isi.docx

10
1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Good Governance ( tata pemerintahan yang baik ) sudah lama menjadi mimpi banyak orang di Indonesia. Banyak pemahaman masyarakat mengenai  good governance berbeda     beda, namun setidaknya sebagian besar sari mereka membayangkan bahwa dengan  good  governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak diantara mereka membayangkan bahwa dengan  good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan  pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepenting an warga.  Namun semua itu ja uh dari yang dibayangkan, sangat ban yak kendala    kendala yang di hadapi oleh pemerintah dalam mewujudkan  good governace tersebut.Dalam proses demokratisasi,  good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan  pemerintahan yang memberikan ruang partisipasi yang luas bagi aktor dan lembaga di luar  pemerintah sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antara negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Good governance sebagai sebuah gerakan juga di dorong oleh kepentingan berbagai lembaga donor dan keuangan internasional untuk memperkuat institusi yang di negara dunia ketiga dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang di biayai oleh berbagai lembaga itu. Mereka menilai bahwa, kegagalan   kegagalan proyek yang mereka biayai merupakan akibat lemahnya institusi pelaksana di negara    negara dunia ketiga yang disebabkan oleh praktik bad governance , seperti tidak transparan, rendahnya partisipasi warga, rendahnya daya tanggap terhadap kebutuhan warga dan inefisiensi.Tantangan utama membangun good governance adalah menyangkut cara mewujudkan karakteristik tersebut dalam pemerintahan sehari   hari. Bisa kita lihat pada contoh kasus mengenai ketidakadilan terhadap rakyat kecil,masih ingatkah kita di awal tahun 2012, media cetak maupun media elektronik memberitakan kasus mengenai “Gerakan Sandal Japit” ? Hanya karena sepasang sandal jepit bekas, seorang  pelajar SMU di Palu, Sulawesi Tengah, harus berurusan dengan pengadilan. Anjar Andreas Lagaronda nama pelajar itu, dituduh mencuri sandal jepit milik seorang anggota polisi. Pengadilan tak kalah garang terhadap pelajar belia i tu. Pelajar malang itu diancam hukuman 5 tahun penjara. Rasa keadilan masyarakat pun terkoyak.

Upload: putrikharismawardani

Post on 14-Oct-2015

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Good Governance ( tata pemerintahan yang baik ) sudah lama menjadi mimpi banyak orang di Indonesia. Banyak pemahaman masyarakat mengenai good governance berbeda beda, namun setidaknya sebagian besar sari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak diantara mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga. Namun semua itu jauh dari yang dibayangkan, sangat banyak kendala kendala yang di hadapi oleh pemerintah dalam mewujudkan good governace tersebut.Dalam proses demokratisasi, good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberikan ruang partisipasi yang luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintah sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antara negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Good governance sebagai sebuah gerakan juga di dorong oleh kepentingan berbagai lembaga donor dan keuangan internasional untuk memperkuat institusi yang di negara dunia ketiga dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang di biayai oleh berbagai lembaga itu. Mereka menilai bahwa, kegagalan kegagalan proyek yang mereka biayai merupakan akibat lemahnya institusi pelaksana di negara negara dunia ketiga yang disebabkan oleh praktik bad governance , seperti tidak transparan, rendahnya partisipasi warga, rendahnya daya tanggap terhadap kebutuhan warga dan inefisiensi.Tantangan utama membangun good governance adalah menyangkut cara mewujudkan karakteristik tersebut dalam pemerintahan sehari hari. Bisa kita lihat pada contoh kasus mengenai ketidakadilan terhadap rakyat kecil,masih ingatkah kita di awal tahun 2012, media cetak maupun media elektronik memberitakan kasus mengenai Gerakan Sandal Japit ? Hanya karena sepasang sandal jepit bekas, seorang pelajar SMU di Palu, Sulawesi Tengah, harus berurusan dengan pengadilan. Anjar Andreas Lagaronda nama pelajar itu, dituduh mencuri sandal jepit milik seorang anggota polisi. Pengadilan tak kalah garang terhadap pelajar belia itu. Pelajar malang itu diancam hukuman 5 tahun penjara. Rasa keadilan masyarakat pun terkoyak. Sandal jepit dan rakyat jelata memiliki nasib yang sama: sama-sama terkecualikan dan terdiskriminasi oleh sistem. Sandal jepit kadang diperlukan pada waktu-waktu tertentu saja: saat hujan, jalan-jalan santai atau pergi ke WC. Begitu pula nasib rakyat jelata: mereka hanya diperlukan pada saat pemilu atau pilkada.Sekarang, kita coba melihat bagaimana sulitnya aparat penegak hukum ini menangkap koruptor. Meski sudah ada dugaan dan bukti-bukti awal, tetapi aparat penegak hukum belum tentu langsung menangkapnya. Seribu alasan pun dimunculkan: bukti-bukti belum lengkap, masih butuh penyidikan, tersangka sakit, dan lain-lain.Kita patut bertanya: kenapa pedang keadilan terlalu tajam ke bawah, tapi sangat tumpul saat menghadap ke atas? Bukankah, sebagai negara hukum, penegakan hukum kita mestinya lebih tajam ke atas. Dari uraian di atas terlihat bahwa perwujudan good governance di Indonesia masih sangat lemah. Upaya kearah sana kiranya masih memerlukan perjuangan yang panjang.

1. 2 Rumusan MasalahRumusan masalah dari makalah ini yaitu:1. Apa itu Good Governance?2. Apa saja prinsip dari Good Governance?3. Bagaimana kondisi hukum yang ada di Indonesia?4. Bagaimana pencapaian prinsip dari Good Governance?

1. 3 Tujuan dan Manfaat PenulisanTujuan dan manfaat penulisan makalah ini yaitu:1. Untuk mengetahui apa itu Good Governance2. Untuk mengetahui apa saja prinsip dari Good Governance3. Untuk mengetahui bagaimana kondisi hukum yang ada di Indonesia4. Untuk mengetahui bagaimana pencapaian prinsip dari Good Governance

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Pengertian Good GovernanceGovernance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalahpenggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelolaurusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakupseluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dankelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembataniperbedaan-perbedaan diantara mereka. Pierre landell- Mills & Ismael Seregeldin, mendefinisikan good governance adalah sebagai penggunaan otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan sosial ekonomi. Robert Charlick, mengartikan good governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan/ atau kebijakan yang absah demi untuk mempromosikan nilai nilai kemasyarakatan. Good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristikkebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan dengan kinerjapemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi untukmempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikankesehatan dan infrastuktur.

2. 2. Prinsip Good Governance Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:1. Partisipasi Masyarakat (Participation) Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.2. Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law) Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Sehubungan dengan itu, dalam proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut: Supremasi hukum (the supremacy of law), Kepastian hukum (legal certainty), Hukum yang responsip, Penegakkan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, Indepedensi peradilan. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.3. Transparansi (Transparency) Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Sehingga bertambahnya wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan dan berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.4. Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha, pihak korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana good governance dapat berjalan dengan baik di masing-masing lembaganya. Pelaksanaan good governance secara benar dan konsisten bagi dunia usaha adalah perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis yang seharusnya dimiliki oleh setiap lembaga korporasi yang ada didunia. Dalam lingkup tertentu etika bisnis berperan sebagai elemen mendasar dari konsep CSR (Corporate Social Responsibility) yang dimiliki oleh perusahaan. Pihak perusahaan mempunyai kewajiban sebagai bagian masyarakat yang lebih luas untuk memberikan kontribusinya. Praktek good governance menjadi kemudian guidence atau panduan untuk operasional perusahaan, baik yang dilakukan dalam kegiatan internal maupun eksternal perusahaan. Internal berkaitan dengan operasional perusahaan dan bagaimana perusahaan tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana perusahaan tersebut bekerja dengan stakeholder lainnya, termasuk didalamnya publik.5. Berorientasi pada Konsensus (Consensus) Menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskansemua pihak atau sebagian besar pihak, jugaakan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga ia akan mempunyai kekuatan memaksa (coercive power) bagi semua komponen yang terlibatuntuk melaksanakan keputusan tersebut. Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipasi, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.6. Kesetaraan (Equity) Kesetaraan yakni kesamaandalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur,leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi 7. Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency) Untuk menunjang prinsip-prinsip yang telahdisebutkan di atas, pemerintahan yang baik dan bersihjuga harus memenuhi kriteriaefektif dan efisien yakni berdaya guna dan berhasil-guna. Kriteria efektif biasanya di ukur dengan parameter produk yangdapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyatamasyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur. Dengan perencanaan yang rasional tersebut, maka harapan partisipasi masyarakat akan dapat digerakkandengan mudah, karena program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.8. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Instrumen dasar akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan komitmen politik akan akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas. 9. Visi Strategis (Strategic Vision) Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yangakan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

BAB IIIPEMBAHASAN

Dari contoh kasus Sendal japit yang diceritakan pada latar belakang masalah makalah ini dapat dianalisis bahwa, hukum di Indonesia masih tebang pilih, terlihat sangat jelas bahwa hukum itu begitu tajam ke bawah namun tumpul ke atas, rakyat kecil dengan keawamannya dalam dunia hukum mereka perlakukan bak seekor singa yang hendak menerkam mangsanya, dan sebaliknya bagi pelaku-pelaku koruptor dan penjahat-penjahat kelas kakap yang berkantong tebal, aparat seolah-olah sangat lembek terhadap mereka. Supremasi hukum masih mendapat kendala dalam iklim demokrasi di Indonesia. Pranata hukum belum dimanfaatkan secara maksimal untuk menghadirkan keadilan di tengah masyarakat. Karena itu sangat sulit menemukan capaian prestasi di bidang hukum yang mencerminkan keadilan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah memvonis terdakwa pencurian sandal jepit tersebut bersalah melakukan perbuatan pidana. Semangat para penegak hukum dalam mengadili kasus-kasus kelas sandal jepit tersebut rasanya sungguh mencengangkan sekaligus melengkapi tragedi dunia hukum di republik ini. Sementara para koruptor yang terbukti memiskinkan jutaan rakyat tak berdosa bisa bebas berkeliaran tanpa bisa tersentuh hukum. Beberapa kasus korupsi yang tengah diproses Komisi Pemberantasan Korupsi pun hanya berputarputarataujalanditempat. Tak heran bila masyarakat merasakan pesimisme bahwa lembaga yudikatif dalam menegakkan keadilan serta memperlakukan setiap orang sama di depan hukum. Fakta-fakta yang muncul membuktikan hal-hal yang sebaliknya. Alih-alih memberi rasa keadilan kepada kaum lemah dan teraniaya, sidang-sidang pengadilan yang berlangsung justru lebih menikam jantung para pencari keadilan serta membunuh harapan terakhir mereka. Berkali-kali kita menyaksikan betapa supremasi hukum ditegakkan begitu perkasa dan angkuhnya jika menghadapi kasus remeh-temeh yang melibatkan mereka yangtanpadaya. Dunia hukum pun beralih rupa menjadi tak ubahnya monster keji pemangsa rasa keadilan dan hati nurani rakyat. Padahal, umum diyakini bahwa hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Bila menilik secara hukum positif di Indonesia, sanksi terhadap anak-anak yang melakukan kejahatan merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 45 dinyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan orang dewasa sama dengan yang dilakukan anak. Karena itu, penyidikannya mengikuti penyidikan orang dewasa sebagaimana yang diatur jika tersangka khawatir melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengurangi tindak pidana, dan ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Jika kriteria tersebut dipenuhi, tindakan penahanan dianggap sah. Hal yang masih mengganjal secara hukum, menyangkut definisi anak, tampaknya sampai sekarang belum ada ketentuan pasti. Batasan umur anak di bawah umur juga berbeda-beda. Pasal 45 KUHAP menentukan 16 tahun. Pasal 283 KUHP menentukan 17 tahun, Pasal 287-293 menentukan 15 tahun. Sedangkan dalam UU Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1979, anak-anak adalah mereka yang belum berusiamencapai21tahun. Sementara itu, kasus seperti ini memberi pelajaran berharga bagi publik bahwa hukum dan pengadilan negara itu amat esoterik. Artinya, hukum masih hanya dapat dipahami profesional di bidang hukum. Logika awam tampaknya tak mencukupi untuk memahami bahasa, istilah, konsep, dan berbagai doktrin hukum positif yang berlaku di dunia pengadilan. Ketika kedua logika itu berada dalam jurang pemisah, kekecewaan publik akan muncul dalam berbagai bentuk, baik halus maupun dengan kekerasan. Di situlah semestinya ada kesadaran bagi semua profesional hukum untuk mempersempit jurang pemisah logika hukum tersebut. Memang kasus sandal jepit ini menjadi murni ditilik dari segi hukum karena Indonesia hanya mengenal satu sistem hukum pidana. Perkara pidana akan ditangani polisi dan jaksa kemudian bermuara pada pengadilan. Berbeda yang berlaku, misalnya di Timur Tengah. Di satu sisi, ada sanksi kejam misalnya potong tangan, namun ada pemberlakuan mekanisme maaf melalui lembaga pemaafan. Sedangkan yang berlaku di negeri kita mempunyai akibatsecarayuridisnormatifbahwaperkarapidanasekecilapapunharustetapdiprosesdi pengadilan,termasuk pencuriansandaljepit. Kasus pencurian sandal jepit juga menjadi salah satu bukti mendesaknya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) SistemPeradilanAnak. Melalui RUU Sistem Peradilan Anak, anak-anak yang tersangkut hukum seharusnya tidak perlu dijebloskan ke penjara. Pelajaranberhargautamadarikasusinikiranyaadalahperlunyapembenahanterhadapsistemperadilan pidana. Dalam proses pembenahan inilah diperlukan adanya kerja sama antara pihak pemerintah, swasta, dan juga masyarakat.

BAB IVKESIMPULAN

Adapun dari beberapa prinsip good governance yang ada jika hanya salah satu prinsip saja yang tercapai dan dapat dibenahi belum tentu menjamin good governance dapat tercipta di negara ini artinya jika hanya agenda hukum saja yang dibenahi dan katakanlah supremasi hukum sudah terwujud di Indonesia, belum dapat dikatakan bahwa good governance itu sudah terwujud karena good governance menuntut reformasi secara radikal baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lain-lain. Serta pada tahap implementasinya harus sesuai dengan prinsip-prinsip good governace itu sendiri, maka dengan demikian good governance dapat terwujud di Indonesia.Oleh karena itu perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara universal mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan. Supremasi hukum harus ditegakan untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia.Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa pandang bulu, bahkan seorang Presiden pun jika terbukti bersalah dan melanggar hukum maka hukum itu harus ditegakkan. Selain itu good governance akan terwujud jika masing-masing pihak mau bekerja sama baik dari pihak pemerintah, korporasi, dan masyarakat.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa hubungan kerja sama antara pemerintah, korporasi serta masyarakat sangat penting untuk terciptanya good governance. Era demokratisasi yang berlangsung selama ini menjadi babak baru dan telah mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberi ruang partisipasi luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintah sehingga sangat dimungkinkan adanya pembagian peran dan kekuasaan seimbang antara Negara, masyarakat sipil dan mekanisme pasar. Jika kondisi ini dapat di implementasikan dengan kesadaran penuh khususnya bagi penyelenggara Negara, maka apa yang diharapkan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik secara bertahap akan terlaksana. Penerapan prinsip-prinsip Good Governance merupakan sarana untuk memperbaiki citra buruk Indonesia, oleh karena itu kita harus berperan serta dalam mengubah wajah bangsa, mengembalikan martabat yang telah lama hilang, yaitu melalui penerapan Good Corporate Governance secara nyata dan konsisten.

3