repository.ar-raniry.ac.id islam... · buku ini berisi sebagian makalah-makalah yang...
TRANSCRIPT
ProceedingThe Second
International Symposium onReligious Literatureand Heritage
PUSLITBANG LEKTUR DAN KHAZANAHKEAGAMAAN DAN MANAJEMEN ORGANISASIBADAN LITBANG DAN DIKLATKEMENTERIAN AGAMA RI 2017
ii
Proceeding The Second Symposium on Religious Literature and Heritage
Editor in Chief : Choirul Fuad Yusuf
Editor : Fakhriati
Reza Perwira
Lukman Hakim
ISBN: 978-602-0821-26-9
Diterbitkan Oleh: Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2017
iii
KATA PENGANTAR
Buku ini berisi sebagian makalah-makalah yang dipresentasikan di
International Symposium on Religious Literature and Heritage (ISLAGE) yang
telah dlaksanakan pada tanggal 18-21 Juli 2017 di Hotel Lor-in Sentul Bogor, Jawa
Barat. Simposium ini telah mengumpulkan 104 artikel, kemudian dilakukan seleksi
oleh tim ahli dengan memperhatikan keurgensian substansi dan ketepatan penulisan
sebuah karya ilmiah. Setelah semua aspek dinilai sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan, makalah terpilih berjumlah 48 makalah. Kemudian kepada pemakalah
diberikan kebebasan menerbitkan artikel mereka ke tiga tempat di bawah publishing
Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, yaitu
proceeding, Jurnal Lektur keagamaan, dan Journal Heritage of Nusantara. Terdapat
dua puluh (20) presenter yang memilih Proceeding sebagai tempat terbit artikel
mereka yang dipresentasikan di ISLAGE.
Penerbitan Proceeding oleh Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan
Manajemen Organisasi, dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, tahap
pengumpulan artikel Symposium yang dilakukan setelah selesainya pelaksanaan
Symposium. Kedua, pembahasan artikel yang akan diterbitkan dengan
menghadirkan pakar dari LIPI untuk mengarahkan penerbitan Proceeding sesuai
dengan ketentuan LIPI. Ketiga, mengedit naskah dan menyiapkan dummy. Setelah
itu, proses percetakan dilakukan dengan membubuhkan ISBN.
Kepada seluruh pihak yang telah membantu untuk menyukseskan
penerbitan Proceeding ini kami mengucapkan terimakasih banyak. Terutama
kepada para penyaji makalah yang sudah melengkapi tulisannya dan menyesuaikan
dengan kriteria yang diterapkan untuk Proceeding, kami mengucapkan terimakasih.
Kami berharap agar Proceeding ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
penggunanya.
Wassalam,
Jakarta, 28 Oktober 2017
Panitia
iv
v
SAMBUTAN
International Symposium on Religious Literature and Heritage (ISLAGE)
merupakan biannual symposium yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali oleh
Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi. Pada tahun
ini, 2017, ISLAGE telah memasuki tahun kedua setelah dilaksanakan pertama
sekali pada tahun 2015.
ISLAGE merupakan ajang pertemuan ilmiah yang dihadiri oleh para ilmuan
dan pakar yang mumpuni di bidangnya. Namun tidak sebatas itu ISLAGE
dilaksanakan setiap dua tahun sekali, melainkan mencoba memberikan kontribusi
kepada negara dengan mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi negara
dewasa ini. Karena itu, tema dalam ISLAGE selalu disesuaikan dengan kepentingan
negara. Hal ini sesuai dengan kiprah Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan
Manajemen Organisasi sebagai sebuah lembaga riset yang berada di bawah
Kementerian Agama. Dalam setiap dua tahun, ISLAGE telah berjalan dengan
mengangkat tema yang berbeda disesuaikan dengan isu yang berkembang. Pada
tahun pertama, ISLAGE mengangkat tema Empowering Religious Culture on
Religious Literature and Heritage, sementara ISLAGE kedua mengangkat tema
Cultivating Religious Culture for Nationalism. Harapan dari ISLAGE ini tentu
dapat memberikan sesuatu yang berhrga dan bermanfaat untuk ilmuwan dan
masyarakat luas.
Salah satu bentuk pemanfaatan hasil dari ISLAGE ini adalah dengan
menerbitkan tulisan-tulisan yang sudah dipresentasikan di ISLAGE ke dalam
Proceeding dan jurnal-jurnal yang disiapkan oleh Puslitbang Lektur, Khazanah
Keagamaan, dan Manajemen Organisasi. Karena itu, harapan tentunya, para
pengguna dan pembaca dapat mengambil manfaat dari tulisan-tulisan yang sudah
diterbitkan terutama di Proceeding ini. Selamat membaca.
Jakarta, 28 Oktober 2017
Kapuslitbang Lektur, Khazanah
Keagamaan, dan Manajemen Organisasi
Choirul Fuad Yusuf
vi
vii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
KATA SAMBUTAN ....................................................................................... iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
MILLENARIANISM, FUNDAMENTALISM AND RADICALISM:
SOME CONCEPTUAL AND THEORETICAL FRAMEWORKS
IN STUDYING TERRORISM IN INDONESIA
Al Chaidar .......................................................................................................... 1
KHAZANAH KARYA TULIS ULAMA CIREBON DARI TRADISIONAL
HINGGA LIBERAL
Alfan Firmanto .................................................................................................... 19
NASIONALISME DALAM TAFSIR BERBAHASA JAWA:
KAJIAN ATAS TAFSIR AL-HUDA KARYA BAKRI SYAHID
Ali Fahrudin ........................................................................................................ 53
PEMAKNAAN JIHAD FI SABILILLAH SEBAGAI BELA BANGSA
DALAM TEKS SYAIR RAJA SIAK
Bagus Kurniawan ............................................................................................... 75
RECINANISASI DAN GAGASAN NASIONALISME:
TEKS-TEKS AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA
TAHUN 1900-1910
Dwi Susanto ....................................................................................................... 89
REVITALISASI TEKS NASKAH PUPUJIAN
UPAYA PEMBENTUK KARAKTER BANGSA
Elis Suryani Nani Sumarlina & Rangga Saptya Mohamad Permana ............... 109
viii
PEMBACAAN TEKS SADRANAN ERA PAKU BUWANA X:
UPAYA MEMBANGUN INGATAN PADA LELUHUR
Fajar Wijanarko ................................................................................................. 137
THE MODEL OF THE ISLAMIC LITERATURES OF
THE TRADITIONALIST SCHOLARS (ULAMA DAYAH)
TO CONTROL RELIGIOUS RADICALISM:
A STUDY OF THE ULAMA DAYAH AT MUDI MESRA AL AZIZIYAH
ACEH
Fajri M. Kasim ................................................................................................... 155
MENJADI KRISTEN DAN TETAP MENJADI INDONESIA
Fibry Jati Nugroho ............................................................................................. 171
TRADISI ZIARAH DAN IDENTITAS NASIONALISME
MASYARAKAT KEBUMEN
FIKRIA NAJITAMA ................................................................................................. 191
INTEGRASI NILAI-NILAI RELIGIUS DAN NASIONALISME
PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Hawwin Muzakki ................................................................................................ 209
ISLAM NUSANTARA SEBAGAI BASIS EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
HENDRI PURBO WASESO ............................................................ 239
MEMBINGKAI TEKS AGAMA DALAM RANGKA MEMPERKUAT
NASIONALISME INDONESIA
Muhammad Aniq ................................................................................................. 257
YANG INDAH DAN BERFAEDAH:
PERBINCANGAN TERHADAP TRADISI PENULISAN SYAIR
DI KALANGAN ULAMA MINANGKABAU PERMULAAN ABAD XX
PRAMONO ............................................................................................................ 277
ix
KIAI, BAJINGAN, DAN NASIONALISME
KOMITMEN KOMUNITAS BEKAS BAJINGAN
DALAM GERAKAN DAKWAH DAN PERJUANGAN
Samsul Arifin & Akhmad Zaini ........................................................................... 295
MEMPERKUAT UKHWAH WATHANIYAH MELALUI PENDIDIKAN
MULTI KULTURAL UNTUK MERAWAT NASIONALISME
DI TENGAH KEANEKARAGAMAN
Silfia Hanani ....................................................................................................... 309
TOLERANSI DALAM QS. AL-KĀFIRŪN PERSPEKTIF
TAFSIR DEPAG DAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN
BERAGAMA DI INDONESIA
Siti Lailatul Qomariyah ...................................................................................... 333
PENDIDIKAN ISLAM PILAR NASIONALISME INDONESIA
(TELAAH PENGALAMAN A. HASJMY DI ACEH)
Syabuddin Gade ................................................................................................. 347
GODLY NATIOONALISM AND ITS IMPACT ON THE AHMADIYYA’S
SCHOOL IN INDONESIA
TITIS THORIQUTTYAS ............................................................................................. 383
REVITALISME NASIONALISME DAERAH MENUJU KEUTUHAN
NASIONALISME NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
ZULHAM ............................................................................................................... 399
x
MILLENARIANISM, FUNDAMENTALISM AND RADICALISM: SOME CONCEPTUAL AND THEORETICAL FRAMEWORKS IN STUDYING TERRORISM IN INDONESIA Al Chaidar Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh [email protected]
Abstract
This paper mainly focused on the theory of ideology formation within the circle of radical and fundamentalist movement of Darul Islam. One of the most helpful and accurate concept to emerge in recent years is that of ‘jihadism’. Jihadist, or those who hold to terrorism believe that Islam can and should form the basis of political ideology. Handled with sensitivity, the concept of ‘terrorism’ is one that both ‘insiders’ and ‘outsiders’ can relate to with a reasonable degree of common understanding, which is considerably more than can be said of terms like ‘fundamentalism’ and ‘radicalism’, both of which can be profoundly ambiguous. If jihadists find in Islam something of a blueprint for political engagement, non-jihadist Muslims find nothing more specific than values and principles. As a significant minority splintered out of the mainstream Islam, however, the terrorists, the fundamentalists, and the radicals find in these core values of Islam a counter-argument to terorism.
Keywords: islamic terrorism, Indonesian jihadist, radicalism, fundamentalism, millenarianism
1
2
Abstrak
Makalah ini terutama berfokus pada teori pembentukan ideologi dalam lingkaran gerakan radikal dan fundamentalis Darul Islam. Salah satu konsep yang paling membantu dan akurat untuk muncul dalam beberapa tahun terakhir adalah 'jihadisme'. Jihadis, atau mereka yang memegang terorisme percaya bahwa Islam dapat dan harus menjadi dasar ideologi politik. Diperlakukan dengan penuh sensitivitas, konsep 'terorisme' adalah salah satu yang 'orang dalam' dan 'orang luar' dapat berhubungan dengan tingkat pemahaman bersama yang masuk akal, yang jauh lebih banyak daripada yang dapat dikatakan istilah seperti 'fundamentalisme' dan 'radikalisme', Keduanya bisa sangat ambigu. Jika para jihadis menemukan dalam Islam suatu cetak biru untuk penyatuan politik, Muslim non-jihadis tidak menemukan yang lebih spesifik daripada nilai dan prinsip. Sebagai minoritas yang signifikan yang terpecah dari arus utama Islam, bagaimanapun, para teroris, fundamentalis, dan kaum radikal menemukan nilai-nilai inti Islam ini sebagai argumen balik terhadap terorisme.
Kata Kunci: terorisme Islam, jihadis Indonesia, radikalisme, fundamentalisme, milenarianisme, mahdiisme.
A. Introduction
This paper at the first phase benefited from what Madawi Al-Rasheed, Carool Kersten, and Marat Shterin (2012) studied about demystifying the Caliphate from an historical memory and contemporary contexts. Vedi R. Hadiz (2014a, 2014b) also gave the conceptual frameworks on how a movement have an organizational vehicle in their islamic populism a political dissent (social bases, genealogies and strategies). Beny (2011) has put a firm concept of takfirism in contemporary jihadist ideology in Indonesia from the theological perspective. Through a close reading of al-Wahhab's texts Natana DeLong-Bas (2004:56) demonstrates that many aspects of 20th- and 21st-century Wahhabi extremism dangerous modern ideology do not have their origins in Muhammad bin Abdul Wahab's writings. Examples of this extremism include the emphasis on jihad, martyrdom and militancy, and misogyny. The strict division of the world into dar al-Islam and dar al-kufr, according to which only Wahhabi adherents are considered to be true Muslims and all others are non-Muslims who must be fought, is entirely absent from al-Wahhab's work. Instead, argues Natana DeLong-Bas (2004: 57), all of these themes were only added to Wahhabi teachings in the 19th century following armed engagement with the Ottoman Empire. Natana DeLong-Bas's study fills an enormous gap in the literature about Wahhabism by returning to the original writings of the founder of the movement. Natana DeLong-Bas debunks the common journalistic portrayal of Muhammad Ibn Abd al-Wahhab as an illiterate, rural bumpkin with no scholarly formation. Mark Jurgenmeyers (1997) has conceptualized the terror mandated from God and then Robert A. Pape (2003) elaborated the logic of suicide attacks practiced by many jihadist terrorists. But the
3
world of evil.
only scholar, Pnina Webner (2004) who correlated all these hocus pocus of Muslim rebellions with the millenial concept. The predicament of diaspora and millennial Islam which cause on September 11, 2001.
This paper is an anthropological review on millenarianism, not only studying terrorism per se as a solely theme within political, psychological and social realms. Werbner (2004) has started researching this millenial related thing to the September 11, 2011 tragedy but limited to the predicament of diaspora of Arab descendants in American soil. This paper brings a more complicated debate on the concepts of fundamentalism and radicalism as well as millenarianism. Millenarianism, in Islamic eschatology, also known as the Mahdi1 is the prophesied redeemer of Islam who will rule for seven, nine, or nineteen years (according to differing interpretations) before the yaumul qiyamah2 or (Day of Judgment) and will rid the 3
There is no explicit reference to the Mahdi in the Qu'ran, but references to him are found in hadist (the reports and traditions of Prophet Muhammad's teachings collected after his death). According to Islamic tradition, the Mahdi's tenure will coincide with the Second Coming of Jesus Christ (Prophet Isa), who will assist the Mahdi against the Masih ad-Dajjal (literally, the "false Messiah" or Antichrist). Differences exist in the concept of the Mahdi between Sunni Muslims and adherents of the Shia tradition.4
This kind of occultation reflected on what Sunni Muslim expect of Imam Mahdi. As Zygmunt Bauman (2001) many muslim community are now seeking safety in this worldly earth, they need of what Bauman said as “safety in an insecure world”. Zygmunt Bauman (2002) also described the two side of contradiction, “Modernity and the Holocaust” in our modern world to comprehend of what genocide is and other madness in our civilization. Pierre Bourdieu (1998) theory of Acts of Resistance and Leo Braudy (2010) concept of chivalry to understand how terrorism and war emerged in this decreased male dominated world or in this the changing nature of masculinity.5 In this study, I apply the
1 Al Mahdī (Arabic), means "guided one", refered to a longing profile of Jesus, al Masih, or Imam Mahdi or Mahdiism.
2 yawm al-qiyamah (Arabic) literally, the Day of Resurrection. 3 Millenarianism (also millenarism), from Latin mīllēnārius "containing a thousand",
is the belief by a religious, social, or political group or movement in a coming major transformation of society, after which all things will be changed. Millenarianism is a concept or theme that exists in many cultures and religions.
4 For Sunnis, the Mahdi is Muhammad's successor who is yet to come. For most Syiah Muslims, the Mahdi was born but disappeared and will remain hidden from humanity until he reappears to bring justice to the world, a doctrine known as the occultation. For Twelver Syiah, this "hidden Imam" is Muhammad al-Mahdi, the Twelfth Imam. For a comprehensive source on Iran and Syiah, see: Alhadar, Smith. 2009. Lintasan Sejarah Iran: Dari Dinasti Achaemenia ke Republik Revolusi Islam, Iran. Jakarta: Fauzimandiri (2009).
5 Throughout history, various individuals have claimed to be the Mahdi. These have included Muhammad Jaunpuri, founder of the Mahdavia sect; the Báb (Siyyid Ali
4
notions of liminality and communitas to phenomena in complex societies, such as the Darul Islam, the Jamaah Islamiyyah and the Jamaah Ansharut Tauhid. Communitas in jihad refers to Turner's concepts of liminality, marginality, inferiority, and equality (Turner 1969a: 94-97, 125-130; 1974a: 45-55). Turner introduced the concept of communitas to denote the feeling of comradeship among the liminal personae as Turner has stated some of millenarian movements in his analysis. Turner (1969a: 131-140) distinguished three types of communitas in society: (1) existential or spontaneous communitas, which is free from all structural demands and is fully spontaneous and immediate; (2) normative communitas, or existential communitas, which is organized into a social system; and (3) ideological communitas, which refers to utopian models of societies based on existential communitas and is also situated within the structural realm.
Danilyn Rutherford (2006) has studied that nationalism and millenarianism in West Papua that has institutional power and interpretive practice in the pursuit of Christian truth by some ethnic groups in there. But, Power comes from below, and subsequently undergoing a process of transformation, articulation, multiplication, reduction or Addisi, and modifications constantly. Power move from the micro (individual or techniques of disciplining the body) to the macro (population or biopolitik). Power always takes place together with the resistance. The presence of resistance that resulted in power is always moving from time to time, conformity and continuous confrontation. Power is intentional and non-subjective (Saifuddin, 2013: 1). This paper departing from general Sunnis view the Mahdi as the successor of Muhammad, but, unlike most Shia Muslims, do not believe the Mahdi has already been born. The Mahdi, in this scope of paper, is expected to arrive to rule the world and to reestablish righteousness.
Anthropologically, the study of millenarianism has been meticulously developed by Michael Barkun (1974) that millenarianism has been existing in the modern world. Such movements—whether in Christianity, Judaism, Hinduism, or Islam—have demonstrated both rapid growth and the ability to mobilize to pursue political objectives. Although it was once believed that forces for secularization would inevitably marginalize religion, the last three or four decades of the twentieth century demonstrated the vitality of many religious traditions. This is particularly evident in the growth of fundamentalisms —religious movements that seek to restore what believers consider a pristine, authentic, uncorrupted tradition. Such movements are characterized by their emphasis on the literal reading of sacred texts and the drive to remold society in conformity with religious norms. While not all fundamentalisms are millenarian, many, in their quest for doctrinal purity, give millenarian teachings a position of prominence (Michael Barkun, 2003: 17). Barkun’s study mainly in American society and I just want to continue, or to examine this theory in the Indonesian Islam realm.
Muhammad), founder of Bábism; Muhammad Ahmad, who established the Mahdist state in Sudan in the late 19th century; and Mirza Ghulam Ahmad, founder of the Ahmadiyya sect.
5
The Mahdi is frequently mentioned in Sunni hadith as establishing the caliphate. Among traditional Sunnis, some believe the Mahdi will be an ordinary man6 with long sharp nose,7 whose name is Muhammad bin Abdullah,8 from a familial of kinship as the Prophet Muhammad descendant (ahlul-bayt),9 aim is to revert to an authentic moral system,10 he will prosethelyze the world,11 he will fill the earth with fairness and justice as it was filled with oppression and injustice, and he will rule for seven years.12 This is a kind of positive feedback that at the end of the time of Islamic (sunni) ummah, the Mahdi will appear.13 Allah will grant him rain, his face will shine from the moon,14 the earth will bring forth its fruits, he will give a lot of money, cattle will increase and the ummah will become great.15 In Laffan's work, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds (2003), he argued that Islam played a central and largely unacknowledged role in the Indonesian nationalist movement, which historians have tended to associate mainly with a secular, Dutch-educated elite.
Modern views of Mahdi-ism is a statecraft, a khalifah, to unite all the muslims ummah and to revolutionise the world which has no longer something superstituious. A typical modernist in his views on the Mahdi, Abul Ala Maududi (1903–1979), the Pakistani Islamic revivalist whose books refered by DI, JI, MMI
6 Abu Sa`id al-Khudri is quoted as saying that the Messenger of Allah (Rasulullah) said: "He is one of us".
7 At-Tarabani reported that: His forehead will be broad and his nose will be high, his face will shine like a star and he will have a black spot on his left cheek.(Tarabani)
8 Prophet Muhammad is quoted as saying about the Mahdi: “His name will be my name, and his father’s name my father’s name.”
9 Even if the entire duration of the world’s existence has already been exhausted and only one day is left before Doomsday, Allah will expand that day to such length of time as to accommodate the kingdom of a person from my Ahlul-Bayt who will be called by my name. He will fill out the earth with peace and justice as it will have been full of injustice and tyranny (by then).
10 Umm Salama, a wife of Muhammad, is quoted as saying that; his [the Mahdi's] aim is to establish a moral system from which all superstitious faiths have been eliminated. In the same way that neophytes enter Islam, so unbelievers will come to believe.
11 When the Mahdi appears, Allah will cause such power of vision and hearing to be manifested in believers that the Mahdi will call to the whole world from where he is, with no postman involved, and they will hear and even see him.
12 Rasulullah said: "The Mahdi is of my lineage, with a high forehead and a long, thin, curved nose. He will fill the earth with fairness and justice as it was filled with oppression and injustice, and he will rule for seven years.
13 At-Tirmidhi reported that Prophet Muhammad said: The Mahdi is from my Ummah; he will be born and live to rule five or seven or nine years. (If) one goes to him and says, "Give me (a charity)", he will fill one’s garment with what one needs.
14At-Tirmidhi reported that Pophet Muhammad said: The face of the Mahdi shall shine upon the surface of the Moon.
15 Rasulullah said: "At the end of the time of my ummah, the Mahdi will appear. Allah will grant him rain, the earth will bring forth its fruits, he will give a lot of money, cattle will increase and the ummah will become great. He will rule for seven or eight years.
6
and JAT in Indonesia, stated that the Mahdi will be a modern Islamic reformer/statesman, a Caliphate, who will unite the ummah and revolutionise the world according to the ideology of Islam, but will never claim to be the Mahdi, instead receiving posthumous recognition as such. Maududi (1971: 16) Caliphate-Khilafah, the government of the Muslim state, of which the Khalifa is the leader of the world. Then there will be a caliphate according to the manner of prophecy, [following laws of Quran & Hadith]. The modernist Muslim millenarian, will centerize the issue of Mahdi-ism in the prophecy of muslim political power in the last phase as predicted by the hadist:
[A]llah's Messenger (peace be upon him) said, "Prophecy will remain among you as long as Allah wishes it to remain, then Allah Most High will remove it. Then there will be a caliphate according to the manner of prophecy as long as Allah wishes it to remain, then Allah Most High will remove it. Then there will be a distressful kingdom (mulkan addhoun) which will remain as long as Allah wishes it to remain, then Allah Most High will remove it. Then there will be a proud kingdom (mulkan jabbriyyan) which will remain as long as Allah wishes it to remain, then Allah Most High will remove it. Then there will be a caliphate according to the manner of prophecy (khilafah minhajin nubuwwah)." 16
Caliphate according to the manner of prophecy means Khilafah upon the way of Prophethood. Many modernist muslims, including the people of Darul Islam and the Jamaah Islamiyyah and the JAT or the MMI and the JAS, interpreted the distressful kingdom as the powers after the first world-war, the the proud kingdom is a power of United States of America which has a pride and prejudice on Islam. In the modernist Muslims view, the Caliphate will remain with the Quraish17 as long as the Quraish of Arabic descent stick to the rules and regulations of the religion (Islam). Caliphate will remain with the Quraish till they follow rules and regulation of Islam, but if they deviate then rebellions may suceed.18 The nation of 'Arabs, will remain prosperous as long as they choose and appoint another chief
16 Al-Tirmidhi Hadith 5378 narrated by Hudhayfah ibn al-Yaman An-Nu'man told on Hudhayfah's authority. Ahmad and Bayhaqi, in Dala'il an-Nubuwwah, transmitted this hadist.
17 Sahih Al-Bukhari Hadith 9.254 narrated by Ibn Umar Allah's Apostle said, "This matter (caliphate) will remain with the Quraish even if only two of them were still existing."
18 Hadith Sahih Al-Bukhari number 9.253 narrated by Muhammad bin Jubair bin Mutim that while he was included in a delegation of Quraish staying with Muawiya, Muawiya heard that 'Abdullah bin 'Amr had said that there would be a king from Qahtan tribe, whereupon he became very angry. He stood u p, and after glorifying and praising Allah as He deserved, said, "To proceed, I have cometo know that some of you men are narrating things which are neither in Allah's Book, nor has been mentioned by Allah's Apostle . Such people are the ignorant among you. Beware of such vain desires that mislead those who have them. I have heard Allah's Apostle saying, 'This matter (of the caliphate) will remain with the Quraish, and none will rebel against them, but Allah will throw him down on his face as long as they stick to the rules and regulations of the religion (Islam).
7
whenever a former one is dead. Laffan's work (2011), The Makings of Indonesian Islam, looks at the results of an engagement between Islamic reformers with intellectual links to Cairo and influential colonial scholars, arguing that they set the parameters for the ways in which Islam has been, and still is, imagined in specific ways in both Southeast Asia and the Academy.
The Khalifah, according to Abu Tholut, a former commander of JI (Jamaah Islamiyyah) and JAT (Jamaah Anshar Tauhid), said, that it should give junnah (protection) toward every muslim who in need.19 There will be Caliphs who will increase in number,20 the whole community, the majority, will agree on each of them,21 but when it come to a dispute, there will be a bloody conflict, one of the khilafah should be killed,22 because the other one has no right take office of caliphate when one caliph has already been choosen. Now, there is an ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) that has bring many prophecies on what hadists mentioned about the khilafah.23 Many muslim which I refered here as jihadists tend to be on two camps of interpretation and action about the khilafah and the Middle East24
19 Sahih Muslim HadithHadith 6963 Narrated by Abu Sa'id al-Khudri Allah's Apostle (peace be upon him) said: “There would be amongst your caliphs a caliph who would give handfuls of wealth to the people but would not count it.”
20 The Prophet said, "The Israelis (Jewish) used to be ruled and guided by prophets: Whenever a prophet died, another would take over his place. There will be no prophet after me, but there will be Caliphs who will increase in number. "The people asked, "O Allah's Apostle! What do you order us (to do)?" He said, "Obey the one who will be given the pledge of allegiance first. Fulfiltheir (i.e. the Caliphs) rights, for Allah will ask them about (any shortcoming) in ruling those Allah has put under their guardianship."
21 Sunan of Abu-Dawood Hadith 4266 narrated by Jabir ibn Samurah The Prophet (peace be upon him) said: The religion will continue to be established till there are twelve caliphs over you, and the whole community will agree on each of them. I then heard from the Prophet (peace be upon him) some remarks which I could not understand. I asked my father: What is he saying: He said: “all of them will belong to Quraysh.”
22 Sahih Muslim Hadith 4568 narrated by AbuSa'id al-Khudri The Messenger of Allah (peace be upon him) said: When oath of allegiance has been taken for two caliphs, kill the one for whom the oath was taken later.
23 Sahih Muslim Hadith 6961 narrated by Jabir ibn Abdullah AbuNadrah reported: We were in the accompany of Jabir and he said: It may happen that the people of Iraq may not send their qafiz and dirhams (their measures of food-stuff and their money). We said: Who would be responsible for it? He said: The non-Arabs would prevent them. He again said: There is the possibility that the people of Syria may not send their dinar and mudd. We said: Who would be responsible for it? He said: This prevention would be made by the Romans. He (Jabir ibn Abdullah) kept quiet for a while and then reported Allah's Apostle (peace be upon him) having said: There would be a caliph in the last (period) of my Ummah who would freely give handfuls of wealth to the people without counting it. I said to Abu Nadrah and AbulAla: Do you mean Umar b. AbdulAziz? They said: No.
24 Bukhari Hadith 150 narrated 'Abdullah bin 'Umar: I went up to the roof of Hafsa's house for some job and I saw Allah's Apostle answering the call of nature facing Sham (Syria, Jordan, Palestine and Lebanon regarded as one country) with his back towards the Qibla. (See Hadith No. 147). To make the Heart Tender (Ar-Riqaq) Bukhari Hadith 582 narrated Anas bin Malik: Allah's Apostle said, "The width of my Lake-Fount is equal to
8
prophecy; one who then be what I called as Islamic fundamentalists, and another is what I call as a radical or radicalist.
B. Theoretical and Conceptual Frameworks: A Preliminary Review Islamic fundamentalists, as the enemy of secular states, is "an aggressive
revolutionary movement as militant and violent as the Bolshevik, Fascist, and Nazi movements of the past", said Amos Perlmutter (1977: 168). Furthermore, Perlmutter said that the fundamentalists are very "authoritarian, anti-democratic, anti-secular," and can not be friends with the "Christian-secular universe" and its purpose is to establish an "Islamic state transnational authoritarian". Martin E. Marty and R. Scott Appleby (1979: 65) very serious in Fundamentalism Project, states that fundamentalism always follow a pattern. They are the "embattled forms of spirituality," which emerged as a response to a crisis of mistrust (perceived crisis). Fundamentalists engaged in conflict with secular enemies suspected of making policies frontally opposed to religion. Fundamentalists do not regard this as a contradiction frontal "playground", but rather a "battlefield" are serious , which is not just a conventional political dissent, but consider it as a kind of "cosmic war" between the forces of truth and falsehood strength. They're afraid of —and have always felt the threat to exterminate the unbelievers— those from secular Western powers; hence they try to fortify themselves with the doctrine and practice of ever living in the past (the doctrine and practice of jihad). To prevent themselves from " bad world " and shut themselves from contamination "cosmic war" that fundamentalists often backwards and splintering (menyempal) from mainstream society to create a counter-culture, and the fundamentalists are not daydreaming. Imam Samudra wrote: "... Jihad Bom Bali? With the destiny of Allah, this will dig into recesses of the hearts of all mankind. He will soon be bombard the brain of the decision maker. The warlords-aggressor-Zionists and the Crusaders will immediately panic, dizziness, loss of consideration, then soon will collapse" (Imam Samudra, 2004: 171).
They absorbed the pragmatic rationalism of modernity, and, under the guidance of their charismatic leaders, sift what the world needs from technical to make a plan of action that is often destructive. From what we see on the attack in unison against the WTC (World Trade Center) and the Pentagon, Bali Bombings, Christmas Eve Bombings, Bombs Marriot etcetera is a collection of experts who have the technical capability equal pilots and technicians who understand the function transponder-function, black box, radar, chemical elements, electronic components and advanced global positioning tool-box and other managerial skills.
Fundamentalists feel that they are fighting against the forces that threaten the very values that are sacred from their communities and their reaction would be political terror and its a debatable to conceptualize the terrorism (Gibbs, 1989). Since the US emerged as the sole actor winner "cold war" since the collapse of
the distance between Aila (a town in Sham) and Sana' (the capital of Yemen) and it has as many (numerous) jugs as the number of stars of the sky." Aila is Palestine
9
Communist power in the Soviet bloc has considered many fundamentalists ambush consciousness of the Muslims as a superpower that can not be defeated and ready to make the Muslim community as the next enemy. Action in the form of terror attacks on New York and Washington was actually a response that contains the message you want to prove that the US is apparently based on the "spider web" is so weak. This kind of terror action is a kind or ritualized action of killing like what we see from the Bali Bombing 2002. Imam Samudra wrote: "In this regard, Imam AlMujahid, Ibn Nuhas cites the opinion of Ibn Rushd: "Combating women and children are prohibited if they are not involved in the war. But when mereeka at war, then there is no doubt about bolehnya kill and fight them "(Imam Samudra, 2004: 146-147).
This killing is an example are ritualized actions in that they are condensed events, as well as public performances, in which chance plays a key role. Action for action's sake becomes quintessential to small militant groups and acquires a momentous efficacy that far surpasses its own instrumentality. As if by magic, each action, in its renewed challenge to authority, signals a new beginning which promises to trigger a revolutionary process aimed at transforming everything. These actions are therefore not intended as parts of sustained and cumulative processes but are thoroughly discontinuous sacrificial acts governed by the ritual premise of marking a qualitative transition to a different order (Douglass and Zulaika, 1990: 255).
During the "cold war" between the formal state with a terrorist group that has no national boundaries, the actors often emotional warfare, panic and lack of respect for each other's position. Of some of the findings of the study Karen Armstrong, modernization has brought public polarization on extreme positions that contradict each other, and to avoid the escalation of conflict, there is only one way: we must try to understand the pain and perceptions of the other side. As they have often stated: "nobody knows our trouble we see, nobody knows our problem", then it would be very surprising if later, as a consequence, "nobody knows of what our plan of action." For all of us who have tasted freedom and achievements of modernity, recommend Karen Armstrong," we must never cease to empathize and sympathize with the distress and suffering experienced by the majority community of Islamic fundamentalists." Like a drug addict, they should not be regarded as a violation of the law which should be pursued, but rather should be seen as people who need care to treat their addiction and irrational fear. "Modernization", according to Karen Armstrong, "is often perceived not as a liberation but an aggressive attack".
In contrast to the fundamentalist, radical Islam is precisely the view that religion is rooted understanding much more important before making a plan of action that tend to be violent. Unification of -view of the community who provide a response to modernization, secular government and Western culture to the designation "fundamentalist" actually is an oversimplification. Spectrum of the real world Islamic movement to save the colors are quite rich in treasures plural. Not all
10
people who are critical and anti to the America, Israel, Western culture, materialism, capitalism, feminist issues, human rights and democracy can be categorized as the 'fundamentalists.’
The rise of radical Islam with a different line, even diametrically opposed to fundamentalists is taxonomic per -Islamic movement must be viewed with caution. The fact that fundamentalism has appeared in small explosions and large in all cultures (culture monotheistic religion, or polytheists) indicates a widespread disillusionment against modern society where many of us actually feel it as something liberating, fun and empowering. Projects seen by naked eye either by liberals, where radical jihadists are also included in it , such as democracy, peace, environmental stewardship, women's liberation, or freedom to speak -can be considered bad, even forbidden, by the fundamentalists .
Fundamentalists often expresses itself in violence, but that violence is the way or the simplest path emanating from their deep fear for the destruction of communities, traditions, values and culture that they consider noble. Seen from educational backgrounds, they were intellectuals -who by Bruce Hoffman referred to as "violent intellectual" -that seeks to achieve its objectives because it is motivated by religious doctrines that they themselves perceive it differently (out of the mainstream).
Every fundamentalist movement I've ever conscientious, there is an irrational fear of the process of destruction against them systematically. According to Martin E. Marty and Scott R. Appleby (1979), the secular establishment aims to eliminate their existence as the religion of the earth, even in the America itself. Fundamentalists believe that their response is violence is a form of resistance against the forces that had frighten them so far. Fundamentalists believe that they had been fighting to preserve and retain the religion of a civilized society.
Now a lot of people in the world community of Islam that rejected the perception that the West as godless, unjust, and decadent. The new radical Islamic fundamentalists are not as simple as hating the West. However, the new radical Islam is not a homogeneous movement. Muslim radicals in essence trying to put their own house in a different governance rules according to their perceptions. Not as the fundamentalists who suffered severe cultural dislocation, the radicals also feel comfortable with the modern times.
It is impossible to generalize the extreme forms of religious groups because they not only differ between each country, but also differ between each city and even in every village and village. Only a small part of the fundamentalist group loyal to terrorist acts, while many Muslim radicals even very friendly, want peace, hopeful on the rule of law and governance, and received positive values of modern society. If the fundamentalists have never had the time to talk about democracy, pluralism, religious tolerance, peace, individual liberty or separation between religion and state, the other communities are radical even though it was actually considers all the sublimation of religious values in profane language. Hopefully the
11
US —and the countries that were hit by anti— terrorist fervor since a series of bombs that exploded in Christian worship places or in places where the penetration of capitalism, liberalism and secularism West not to panic in distinguishing which fundamentalist and where the radicals.
Actually, the terrorist group is not new in the world of radical and fundamentalist movements in Indonesia. The terrorist is the union of the core teachings of fundamentalist and radical that meet in one point planning a war against what they perceive as the ' tyranny'. In Indonesia, these terrorist groups are small: (1) Jamaah Islamiyyah, and (2) Darul Islam (limited to some particular factions). Islamic terrorism is formed of overlapping of interest of understanding Islamic fundamentalism and radicalism. Thus, how to resolve any terrorism, ideological understanding is split between Islamic fundamentalism and Islamic radicalism are not met in a container is intact. If the separation is successful, then terrorism will experience death slowly. However, if the radicalism and fundamentalism is constantly gaining momentum for a united, it will be very difficult to cope with terrorism. Terrorism will flourish in circles where the symbols and nature meet. Jama'ah Islamiyyah was originally not a terrorist organization, it is a radical organization that fundamentalisasi in Malaysia after having met with many fundamentalists outside Indonesia. While the Darul Islam who practice terrorism is only a small part. Bali bombings which claimed hundreds of innocent lives on October 12, 2002 has given rise to Islamic fundamentalists (Jama'ah Islamiyah) as "terrorists" in the world political map of the earth today. People are trying to implement the teachings of Islam kaffah (totality) in everyday life is seen as people who can not coexist peacefully with the "modern" ways of applying Western life. For them, the West (including all culture and even the people) are unclean and defiled in this world. 'In a war, one woman infidel forces deliberately standing in front of them, then he uncovers her nakedness in front of the Muslims. The Prophet then said: 'The woman was harassing you, kill her’ then she was promptly killed" (Imam Samudra, 2004: 146).
At the end of the 20th century, Islamic fundamentalism has emerged as a very powerful force in the world is trying to rival the dominance of modern secular values and its presence is considered to have threatened the peace and harmony of the universe the earth. Militant fundamentalists are always applying a firm stand against the elements that are considered to deviate from the religious values and feel that only their religion can restore balance to this world to its original state. Manifestation of this perspective differences in the political arena is often surprising, especially with the terrorism attacks that take a lot of innocent victims.
The fundamentalists have values and governance framework own rules and their own often perceive it as something that is incompatible with modernity. For them, civilian casualties and other victims who are often referred to laymen as "innocent", it is seen as an unjust society that should receive the impact and effect, either directly or indirectly, of all of the actions that surprising that they make. For Islamic fundamentalists in Indonesia, they feel that the liberal culture which
12
generally come from the West has been so devastating entity noble values of life and blossom in their community for a long time. Reaction to changing social values is then, according to Karen Armstrong, directing fundamentalists fight and kill in the name of and for the Lord (the battle for God). What happened in 1978 with "the Komando Jihad", in 1982 with "The usroh movement", 1984 with "The Warman Terror", 1985 with "Blasting Borobudur Temple", 1989 with "the Tragedy Talangsari or Jamaah Warsidi in Lampung", in 1986 with "Cicendo tragedy", 1987 with "Woyla Aircraft Piracy", in 2000 with "Christmas Eve bombings in 18 cities", and the last Bali bombing and the JW Marriot Hotel bombings, is the expression of emotion and radical religious fundamentalists Indonesia. They also fought hard to bring things into the sacred world of politics and force it into the national struggle —which is incompatible with religious teachings in order to create a "new harmony" according to what they perceive.
Always in every society, in every age and tradition there are people who take the fight against modernity. It is a reaction against the scientific and secular culture that originated from the West, but has its roots in all parts of the world. West has developed "an entirely unprecedented and wholly different type of civilization", so that the religious response to the West to be very unique. Fundamentalist movements in modern times has a symbiotic relationship with modernity itself. They may reject Western scientificrationalism, but they can not run away from it. Western civilization has changed the world, and the Fundamentalists will try to restore it so far that has been altered by the West.
Fundamentalist secularists also against hegemony (West) that are considered to eliminate the space for improvisation clergy. Secularists also assume that the more rational society, the more it will decrease the spiritual needs usually supplied by religion. Thus, the fundamentalists always felt he was in a war against the values of their most sacred (battling against forces that threaten their most sacred values). When the feeling of being in a war situation the choke them, then either the secular or fundamentalist, like what is written Karen Armstrong (2000), it is very difficult for combatants to appreciate one another's position. Open war was very likely to happen. In the late 1970s, the Islamic fundamentalist movement in Indonesia began a rebellion against the hegemony of the secular and tried to forcibly reinstate religion from marginal position to a central position on the stage of the political struggle. In this stage, the fundamentalists have enjoyed spectacular success. Religion began when it has once again become a force in which, as written by Martin E. Marty and Scott Appleby (1979:45), "no government can safely ignore."
Fundamentalism is now an essential part of the modern landscape and will continue to play an important role in the political, social, cultural, economic and domestic security in the future. This development has led to the crucial problems that invite a sense of wonder that researchers and social scientists, as written by Marty and Appleby, "therefore, that we try to understand what this type of religiosity means, how and for what could be better it has developed, what it can
13
tell us about our culture, and how best we should deal with it." fundamentalists into an entity that is almost indefinable and no one else knows for sure how mengetasi them. All this tendency leads to the so-called Karen Armstrong that the "new fundamentalism has been an attempt to get Islamic history back on the right track and to make the umma [Muslim community] effective and strong once again." They will not stop being a fundamentalist before all this plurality shelter under their control. Can we be sure that, leaders will emerge and most influential in the future come from this.
C. Some Notes on Advancing Study of Millenarianism In Indonesia, the fundamentalists evolve toward scripturalists in which they
identified with the literal interpretation of the religious texts and sharpening of certain core doctrines such as jihad and sharia. The two core teaching was very influential to the problem of disharmony between the fundamentalists and the secularists. This disharmony can be turned into a battlefield when triggered by mass issues where religious morals into the main referee. Currently fundamentalists also evolve toward impression that fundamentalists are inherently conservative and always refer to the past but with the addition of certain essential capabilities that modern and very innovative. Thus, this field in the future will certainly be won by the fundamentalists. In Islam there are two terms that become pillars of progress and power of Islam, both derived from the same word, namely jihad and ijtihad. Both are derived from the jahada, meaningful earnest, maximizing the power to implement something. In the early days of the Darul Islam movement in the 1940s and 1950s, they were based on ijtihad jihad through a long process of discourse. Imam Samudra wrote: "... done my methods in understanding Islam ... to understand AlQuran and Sunnah based manhaj Salaf Salih that is fair, moderate and not extreme (ghuluw)" (Imam Samudra, 2004:58-59). "Salafus-shaleh generation that has the interpretation, understanding, confidence and knowledge of the AlQuran and Sunnah" (Imam Samudra, 2004:63). "On the issue of jihad I adhered to the fatwas of the scholars that they are fighters directly involved and engaged in jihad as well" (Imam Samudra, 2004:64).
In a world of swift and sweeping cultural transformations, Joel Robbins (2004) said that few have seen changes as rapid and dramatic as those experienced by the Urapmin of Papua New Guinea in the last four decades. A remote people never directly "missionized," the Urapmin began in the 1960s to send young men to study with Baptist missionaries living among neighboring communities. By the late 1970s, the Urapmin had undergone a charismatic revival, abandoning their traditional religion for a Christianity intensely focused on human sinfulness and driven by a constant sense of millennial expectation. Exploring the Christian culture of the Urapmin, Joel Robbins shows how its preoccupations provide keys to understanding the nature of cultural change more generally. In so doing, he offers
14
one of the richest available anthropological accounts of Christianity as a lived religion. The same situation, a moral torment, had also been experienced by muslims in Indonesia, especially the splinters groups of the Darul Islam, Jamaah Islamiyyah, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Ansharud Daulah or Jamaah Ansharus Syariah.
They now have absorbed the pragmatic rationalism of modernity, and under the care of their charismatic leaders, they filter out anything that is "fundamental" to create an ideology that gives them a plan of action. So now they seemed to fight back and try to meresakralisasi world that has been made increasingly skeptical. All that they use as a tool to explore the implications of the global response to modern culture. The movements of certain Islamic fundamentalists, where many of them are very famous and influential, such as the Darul Islam (DI-TII), the global response to modern culture is indicated by the psychological pathology that is motivation as mentioned by Karen Armstrong: "common fears, anxieties, and desires that seem to be a not unusual response to some of the peculiar Difficulties of life in the modern secular world."
This pathological symptoms do not go away even though they experienced progress in the movement and, although the America is now getting the disaster, they still just feel irrational fear. This irrational fear is largely due to their position that tends underground, closed, anti-democratic and just believe in ways primitive rebels in the form of violence. This severe psychological pathology course has separated them from the world-paced modern democratic, open, gentle and institutional. Seeing this kind of reality, then no one party it may concern to them, let alone to help.
This paper will elaborate on the nature of radical Islam in Indonesia in interpreting the religious texts and their cultural perceptions into actions of terrorism. Indonesia becomes the fertile land of the growing of radical Islamism countering its secular government since the fall of Suharto in 1998. The Islamic resurgence movement began in late of 1949 when Darul Islam proclaimed an underground Islamic State of Indonesia (NII, Negara Islam Indonesia). This resurgence in nowadays paved their way to organize their activities, develop their networks, and consolidate the power. Darul Islam network, the organisation is largely constituted by the approximately 1500 Indonesians who returned from Afghanistan after fighting alongside the mujahadin against the Soviet Union. Explanation of power in a formal perspective, institutional deemed no longer adequate to understand how power works in the parliament. Anthropological perspective power saw power as a moving structure, relational, and strategic situation, by focusing in on the action and actors will be able to comprehensively explain how power works.
D. Conclusions These frameworks will also elaborated a few of how the Darul Islam
proliferated and build a radical ideology in managing its survival movement in
15
Indonesia in explaining the millenarian ideological tendency. In their tradition that there once was a tradition of free and critical thinking within is Islam, called ijtihad (concept of creative reasoning) has a track record. In the early decades of the emergence of Darul Islam, three schools of thought flourished, the Kamil Alnafi, the Anjengan Masduki and the Abdullah Sungkar school of thouht. In Masdukian and Sungkarian, scholars would teach their students to abandon "expert" opinions about the Qur’an if their own conversations with the ambiguous book produced more compelling evidence for their “peaceful” ideas. And the Kamilan, among the most sophisticated sufi school in Islamic Indonesia, had around 70 literatures as outcome of their thoughtful exercise. But, only Masdukian and Sungkarian who then developed a more radical and a more fundamentalistic sense of struggling Islam in Indonesia and that is one for every virgin that today's Muslim martyrs believe Allah pledges them. Books then, women now: an unlikely indicator of how far Muslims have plunged intellectually. Resurrecting that tradition may not be an easy undertaking but points to some encouraging evidence that Muslim women can play an important role in that process. Indonesia is the world's largest Islamic country, with 170 to 180 million Muslims out of a total population of around 215 million.
Jihadist, on the other hand, tend to draw more selectively on such ideas and instead argue that society will overcome the problems of modern life only when it becomes truly Islamic. To this end jihadists tend to place great stock in legislative reforms that commit the state to taking a greater interest in the Islamisation of society and many see the implementation of Shari’ah as a panacea for society’s ills. In its most extreme form Islamism is radical, revolutionary and utopian. Both liberals and jihadists understand themselves as minorities seeking to influence a somewhat neutral majority but both also claim to represent mainstream sentiment. Although the term ‘jihadism’ is of recent coinage, the distinction between jihadists —those who want legislated recognition and a direct role for Islam in the state— and other Muslims who are, to varying degrees, quiescent or intuitively apprehensive about the state playing a direct role in ‘the affairs of the heart’ – dates back to the emergence of nationalism in the colonial period. It represents an unresolved dispute of enormous importance to Indonesian politics. Imam Samudra wrote: 'What I and my friends are doing is real goodness and based on Al Quran and Sunnah. And that all so-called jihad fi sabilillah. The threat of the death penalty does not add anything except more steady belief in God's promise, that the transaction to acquire the paradise of God, will be obtained by fighting in the path of Allah, and automatically there is a quranic process of "kill and be killed" (Imam Samudra, 2004:192). Laffan (2011) contrasts the latter experience with life in Cairo, where some Southeast Asians were drawn to both reformism and nationalism. After demonstrating the close linkage between Ikhwanul Muslimin ideology and Indonesian nationalism, Laffan shows how developments in the Middle East continued to play a role in shaping Islamic politics in colonial Indonesia.
16
The appearance of ISIS dressed all in black, in fact is one of the prophecies contained in the Hadith of the Muslims that before the coming of Imam Mahdi, there will be an invincible black troop that will rampant. With the ISIS, an American-funded organization, by profiling from the name of Islam, and deployed around Iraq and Syria, Syria has become more and more chaotic. The strategy of the super power state that is currently under the leadership of Barack Obama seems
to be really successful. Even the majority of Muslims themselves are ultimately ambiguous, unable to tell which mujahideen are struggling to face the enemy of Allah with ISIS who fights for brutal pay. The massive ISIS-backed funds and weapons have managed to tarnish the true face of Islam.
17
Bibliography Al-Rasheed, Madawi, Carool Kersten, and Marat Shterin, eds. 2012, Demystifying
the Caliphate: Historical Memory and Contemporary Contexts. Oxford: Oxford University Press.
Barkun, Michael, 2003, Culture of Conspiracy: Apocalyptic Visions in Contemporary America, University of California Press Berkeley and Los Angeles, California.
Barkun, Michael. 1974, "Millenarianism in the Modern World".
Bauman, Zygmunt. 2001, Community: Seeking Safety in an Insecure World. Cambridge: Polity.
Bauman, Zygmunt. 2002, “Modernity and the Holocaust”, in A. L. Hinton (ed.) Genocide: An Anthropological Reader, London: Blackwell.
Bourdieu, Pierre. 1998, Acts of Resistance: Against the New Myths of Our Time. Cambridge: Polity.
Braudy, Leo. Barkun, Michael, 2010, From Chivalry To Terrorism: War And The Changing Nature Of Masculinity. Random House Digital, Inc.
DeLong-Bas, Natana. 2004 Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad , Oxford: Oxford University Press.
Juergenmeyers, Mark 1997b Global Rebellion: Religious Challenges to The Secular State. California: University of California Press.
Juergensmeyer, Mark. 1997a "Terror Mandated by God." dalam jurnal Terrorism and Political Violence 9, no. 2: 16-23.
Laffan, M. F. 2003, Islamic nationhood and colonial Indonesia: The umma below the winds. Routledge.
Laffan, M. F. 2011, The makings of Indonesian Islam: Orientalism and the narration of a Sufi past. Princeton University Press.
Marty, Martin E., & Scott R. Appleby. 1979, Fundamentalisms observed (Vol. 1). University of Chicago Press.
Pape, Robert A. 2003 The Strategic Logic of Suicide Terrorism. American Political Science Review 97(3) 343-61. Also, Pape, Robert . Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism. New York: Random House.
Robbins, Joel. 2004, Becoming sinners: Christianity and moral torment in a Papua New Guinea society. Vol. 4. Univ of California Press.
Rutherford, Danilyn. 2006, "Nationalism and Millenarianism in West Papua: Institutional Power, Interpretive Practice, and the Pursuit of Christian Truth."The Limits of Meaning: Case Studies in the Anthropology of Christianity: 105-128.
18
Samudra, Imam. 2004. Aku Melawan Teroris. Solo: al-Jazeera.
Soebardi, S. 1983, Kartosuwiryo and the Darul Islam Rebellion in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies, 14(1), 109-133.
Turner, Victor. 1969a, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine Publications.
Turner, Victor. 1969b, "Liminality and communitas." in The ritual process: Structure and anti-structure (1969): 94-130.
Turner, Victor. 1969c, "Passages, margins, and poverty: religious symbols of communitas." in Dramas, Fields and Metaphors: Symbolic Action in Human Society (1974): 231-271.
Turner, Victor. 1969d, "Communitas: model and process." in The ritual process: Structure and anti-structure (1969): 131-65.
Turner, Victor. 1974, "Passages, margins, and poverty: religious symbols of communitas." in Dramas, Fields and Metaphors: Symbolic Action in Human Society (1974): 231-271.
Werbner, Pnina. 2004 "The Predicament of Diaspora and Millennial Islam Reflections on September 11, 2001." Ethnicities. vol.4, no. 4: 451-476.
Zulaika, Joseba, and William A. Douglass. 1996, Terror and Taboo: The Follies, Fables, and Faces of Terrorism. Psychology Press
19
KHAZANAH KARYA TULIS ULAMA CIREBON DARI TRADISIONAL
HINGGA LIBERAL
Alfan Firmanto Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Abstract
"Ulama are the heirs oft heprophet", this hadi this very well-known as
anexpression to occupy the position of ulama in society, as anextension of
propaganda preaching. In the opinion of Geertz, ulama/kyai act as "cultural
brokers", where as according to Horikoshi, ulama act as "cultural filters", one way
to observe the role of the ulama is by studying his works. This article was written
base don’t here sults of resear chon the writings of scholars, which departed from
the concer nonthe number of papers of school ars who have been lost, mainly
unpublished widely, with the present research is expected to provide data written
by scholars who are quite compre hensive. One important area that historically has
a strong clerical traditionis Cirebon, this article identifies the pattern of clerical
thought in the region of Cirebon through his works.
Keywords: ulamasworks, Cirebon.
20
Abstrak
“Ulama adalah para pewaris nabi”, hadis ini sangat masyhur sebagai ungkapan
untuk mendudukan posisi ulama di tengah masyarakat, sebagai perpanjangan
dakwah nabi. Menurut Geertz ulama/kyai berperan sebagai “broker budaya”,
sedangkan menurut Horikoshi Ulama berperan sebagai “filter budaya”, salah satu
cara untuk mengamati peran ulama tersebut adalah dengan mengkaji karya
tulisnya. Artikel ini ditulis berdasarkan hasil Penelitian terhadap karya tulis
ulama, yang berangkat dari adanya keprihatinan pada banyaknya karya tulis
ulama yang telah hilang, utamanya yang tidak dipublikasikan secara luas, dengan
adanya penelitian ini diharapkan tersedia data-data hasil karya tulis ulama yang
cukup komprehensif. Salah satu wilayah penting yang secara historis mempunyai
tradisi ulama yang kuat adalah Cirebon, artikel ini mengidentifikasi corak
pemikiran ulama di wilayah Cirebon melalui karya-karya tulisnya.
Kata kunci: karya ulama, Cirebon.
A. Pendahuluan
Dari hasil semiloka Manuskrip Ulama Asia Tenggara di Jakarta yang
berlangsung tanggal 12 sampai 14 Oktober 2016 yang baru lalu, banyak
mengemuka berbagai persoalan seputar karya ulama Asia Tenggara (baca
Nusantara), salah satunya kenapa karya ulama Nusantara tidak lagi mendunia
sebagaimana karya ulama Nusantara pada abad 17?, persoalan lainnya, kenapa
kajian tentang Islam di Nusantara tidak menarik perhatian ulama Timur Tengah?.
Jawaban soal pertama adalah, karena karya Ulama Nusantara saat ini lebih banyak
bernuansa lokal, dari sisi bahasa maupun bahasan, sangat sedikit karya ulama
Nusantara yang berorientasi internasional, karena itulah salah satu solusinya harus
diperbanyak penterjemahan karya ulama Nusantara ke bahasa Arab, dan atau
penulisan karya tulis ulama dalam bahasa Arab. Jawaban soal kedua bisa terkait
dengan persoalan pertama, yaitu Islam dan karya-karya ulama Nusantara tidak
banyak diketahui oleh ulama Timur Tengah karena kurangnya publikasi tentang
Islam Nusantara dalam bahasa mereka. Kemungkinan juga ada anggapan bahwa
Islam Nusantara adalah Islam pinggiran yang tidak asli atau tidak sama dengan
Islam di pusatnya yaitu Timur Tengah.
Persoalan lainya yang juga mengemuka dalam semiloka tersebut adalah,
sangat sedikitnya jumlah publikasi dan dokumentasi hasil karya tulis ulama
Nusantara, penyebabnya adalah bisa ada tiga hal, pertama bisa jadi karena
menurunnya produktifitas dan kreatifitas ulama saat ini, kedua bisa juga karena
kurangnya publikasi sebagai akibat dari kurang bernilai ekonomis sehingga tidak
ada penerbit yang mau menerbitkannya, ketiga, sistem dokumentasi atau
penyimpanan yang buruk sehingga karya yang dicetak terbatas atau dicetak untuk
keperluan internal pesantren mudah hilang atau rusak.
Karya tulis ulama yang hilang atau punah sangat merugikan dari sisi
akademis dan intelektual, dengan demikian kita dapat kehilangan nilai-nilai
21
intelektual dan pemikiran yang terkandung dalam setiap karya tulis yang hilang. Di
masa lalu kerusakan atau hilangnya karya tulis ulama bisa ada dua faktor yaitu
faktor alam dan faktor manusia, faktor alam bisa karena bencana alam, atau karena
dimakan serangga, hal ini juga karena penyimpanan yang buruk. Faktor manusia
bisa karena alasan politis, di masa penjajahan banyak karya tulis ulama yang
dianggap berbahaya direbut paksa, ada juga yang dihancurkan, di masa Orde Lama,
dari berbagai macam sumber, ada yang mengatakan dimusnahkan oleh oknum
Partai Komunis Indonesia (PKI), dimasa Orde Baru jika karya tulis tersebut
dianggap terlalu kritis akan dilarang dipublikasikan dan terkadang diambil untuk
disita yang selanjutnya hilang entah kemana. Ada faktor lain yang berasal dari
keyakinan bahwa Ilmu tidak boleh disembunyikan sebagaimana sabda nabi
Muhammad saw: ”Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu dan
merahasiakannya, maka ia akan dikekang di hari akhir dengan kekangan dari api
neraka”, maka setiap kali ada orang yang datang meminta atau meminjam buku
karya tulis sang ulama, dengan segera ia akan memberikanya secara sukarela dan
sukacita, hingga tanpa sadar sang ulama sudah tidak punya lagi arsipnya.
Bermula dari asumsi-asumsi tersebut di atas, Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan pernah melakukan penelitian untuk menginventarisir karya
tulis ulama Nusantara dari tahun 2009 hingga tahun 2015 lalu, dari penelitian
tersebut diharapkan akan terdata sejumlah karya tulis ulama di Nusantara baik yang
dicetak untuk diterbitkan maupun yang ditulis tangan untuk kalangan terbatas.
Hasil-hasil penelitian tersebut sudah diterbitkan dalam bentuk Katalog Karya
Ulama Nusantara pada tahun 2014. Penelitian pada objek ini dapat dikatakan
sebagai penelitian “sepanjang masa” atau Long Life Research, selama masih ada
ulama dan selama ulama masih berkarya maka penelitian ini wajib diadakan,
kecuali jika diyakini bahwa sudah tidak ada lagi ulama, atau ulama sudah benar-
benar berhenti untuk menghasilkan karya tulis, oleh karena itu penelitian ini tetap
dilanjutkan pada tahun 2016 ini. Untuk tahun 2016 ini Cirebon dipilih sebagai
salah satu wilayah yang akan diteliti.
Penelitian yang Paralel dengan Penelitian Karya Ulama Nusantara ini ada
beberapa yang pernah dilakukan antara lain kajian tentang ulama, pesantren dan
karyanya yang pernah dilakukan oleh Martin Van Bruinessen dalam
bukunya”Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat” fokus dalam kajian buku ini untuk
melihat tarekat dalam kitab kuning di beberapa pesantren. Puslitbang Lektur juga
melakukan penelitian dengan judul “Pergeseran Literatur Pesantren” dari tahun
2004-2006, penelitian ini lebih fokus pada literatur yang digunakan di pesantren
untuk mengetahui perubahan referensi yang diajarkan di pesantren.
Penelitian tentang Kitab pesantren pernah dilakukan oleh Sophia University
yang dilaksanakan dari 2007 hingga 2010. Pada penelitian tersebut telah
dikumpulkan lebih dari 1900 kitab, yang berasal dari lima negara yaitu Indonesia,
Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina, penelitian ini fokus kepada buku-buku
sudah dicetak dan diterbitkan dengan judul “ A Provisional CatalogueofSoutheast
Asian Kitabsof Sophia Universiy”. Dalam penelitian itu data-data kitab diambil
22
dari toko-toko buku, penerbit, dan agen buku-buku khusus literatur Islam. Dalam
penelitian tersebut tidak mengumpulkan buku dari ulama penulisnya atau pesantren
tempat buku/kitab-kitab tersebut ditulis, penelitian itu juga hanya mengumpulkan
data-data kitab yang dicetak dan diterbitkan untuk dipublikasikan dan dipasarkan
secara umum, maka karya-karya ulama yang tidak diterbitkan dan hanya digunakan
secara khusus di internal lembaga pendidikan (pesantren) akan luput dari catatan
penelitian tersebut.
Sedangkan penelitian Inventarisasi Karya Ulama ini mengambil karya tulis
langsung dari penulisnya/ulamanya, dan tidak terbatas hanya pada karya yang
dicetak tetapi juga karya yang masih ditulis tangan. Penelitian ini membatasi hanya
di wlayah Cirebon kota dan Kabupaten, penelitian ini juga tidak membatasi
kategori ulama pada yang berdomisili di Cirebon saja, dapat memungkinkan untuk
mendata ulama kelahiran Cirebon yang masih terikat dengan Cirebon meskipun
saat penelitian ini dilakukan sudah tidak lagi berada di Cirebon. penelitian ini
dilaksanakan hanya 7 (tujuh) hari, sehingga data yang ada dalam makalah hasil
penelitian ini bukan hasil final, masih memungkinkan untuk ditambahkan lagi.
Mempertimbangkan jumlah data yang relatif cukup banyak, dan adanya
keterbatasan waktu maka analisa mengenai pemikiran Ulama tidak dilakukan
secara menyeluruh terhadap seluruh karya ulama yang sudah terdata.
Penelitian Inventarisasi karya ulama ini akan menjawab permasalahan
penelitian berikut:
1. Bagaimanakah keragamaan karya tulis ulama Cirebon, dari aspek
bahasa, aksara, dan tema bahasan ?
2. Bagaimankah Kecenderungan corak pemikiran ulama Cirebon dalam
karya tulisnya?
Dari dua permasalahan tersebut diatas diharapkan akan tergambarkan peta
keragamaan karya tulis ulama Cirebon dari aspek bahasan, bahasa, dan aksara.
Selain itu juga akan terbaca kecenderungan corak pemikiran ulama Cirebon dari
hasil karya tulisnya. Penelitian ini akan membatasi pada wilayah Cirebon kota dan
kabupaten, bukan wilayah karesidenan yang mencakup Indramayu, Majalengka,
dan Kuningan. Ulama juga tidak hanya akan menyasar pada ulama yang bergiat di
Pondok Pesantren tetapi juga bisa kepada ulama yang bergiat di lembaga
pendidikan non pesantren seperti Sekolah Islam umum atau Madrasah, juga yang
bergiat di lembaga pendidikan tinggi.
Metode Penelitian
Karya tulis yang dimaksud adalah buah pikiran dalam bentuk tulisan baik
yang tercetak maupun tulis tangan, tidak dibatasi pada masalah-masalah agama
tetapi bisa juga pada berbagai masalah umum non kegamaan semisal politik, sosial,
maupun ekonomi.
Metode Penelitian ini akan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
23
1. Survey Penjajakan, dilakukan dengan pengamatan dan kunjungan
langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan informasi awal
keberadan dan jumlah karya tulis ulama, ke beberapa lembaga pendidikan
seperti pesantren madrasah dan lembaga pendidikan islam lainnya, dengan
menemui sejumlah narasumber terkait.
2. Pendataan dan pengumpulan bahan, yaitu dengan membeli, memfoto
copy, atau memotret langsung buku-buku karya tulis hasil karya ulama di
maksud di lokasi penelitian.
3. Pencatatan atau input data karya-karya ulama ke dalam database, dalam
aplikasi MS Acces atau MS Exel.
4. Klasifikasi data berdasar judul, tema bahasan, bahasa, aksara, bahan,
ukuran dan lain-lainnya.
5. Interpretasi dan analisa data berdasar pembacaan karya tulis ulama sacara
acak, untuk mengidentifikasi corak pemikirannya.
Kerangka Teori
Dalam literatur Antropologi istilah “kyai” diperkenalkan pertama kali oleh
ClifordGeertz pada tahun 1960. Geertz menggunakan istilah kyai dan ulama untuk
menunjukan peranannya sebagai makelar budaya (culturalbrokers), yang
menyatakan bahwa pelaksanaan fungsi kyai/ulama sebagai makelar budaya terletak
pada pengaruh dan kekuasaanya yang menyatu dalam sistim lokal di desa
pedalaman. Dari sisi keilmuan, Geertz juga menyatakan peran ulama sebagai
perantara dari transmisi keilmuan di Jawa yang secara geografis letaknya sangat
jauh dari Mekah sebagai pusat kegiatan dunia Islam Internasional1.
Berbeda dengan Geertz, HirokoHorikoshi menyatakan bahwa kyai/ulama
tidak sekedar menjadi perantara budaya tetapi juga menjadi “penyaring perubahan
budaya”, mereka juga berusaha menentang komunisme, sekulerisme, dan
menyeleksi nilai-nilai modernitas yang bisa diadaptasi oleh umatnya2. Dengan kata
lain ulama/kyai berperan besar dalam menghadapi laju tekanan modernisasi dari
luar dan pada waktu yang sama berusaha melestarikan sistim sosial budaya lokal
yang telah menopang kehidupan mereka.
Dari kedua teori tersebut, dapat dikatakan bahwa ulama telah bertindak
sebagai perantara bagi umat Islam dalam segala segi kehidupan agamanya ; antara
doktrin dan praktek, antara Tuhan dan umat, antara pusat peradaban Islam dan
daerah pedesaan. Adalah kewajiban ulama untuk mengorganisir masyarakat dan
membimbing umat Islam dalam segala kondisi, sebaliknya bagi umat muslim
menghianati ulama adalah dosa yang diancam siksa, sedangkan mengikuti ajaran
ulama adalah suatu kebajikan yang berpahala. Hal tersebut terkait dengan sabda
nabi yang masyhur bahwa “ulama adalah pewaris Nabi”.
1CliffordGeertz, The JavaaneseKijaji : theChangingRolesof a Cultural Broker, ComparativeStudies
in societyandHistory, 228. New York 1960. The FreePress.
2HirokoHorikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, 238-248, Jakarta 1987. P3M.
24
B. Hasil Penelitian
1. Sebaran Ulama Cirebon dan Karyanya
Adalah sebuah berkah jika suatu wilayah memiliki banyak pesantren dan
ulama, Cirebon adalah salah satu dari wilayah yang diberkahi itu, secara
ekonomi dan juga sosial relatif lebih baik, meskipun ini juga perlu pembuktian
lebih lanjut. Cirebon dikenal sebagai kota udang, namun dalam sejarah
perintisan berdirinya kota ini ada ulama dan wali yang menyebarkan Islam di
wilayah ini yaitu Sunan Gunung Jati murid dari Syekh Nurjati yang juga
merupakan guru-guru para wali dan ulama di tanah jawa. Dari hasil penelitian
Inventarisasi karya ulama dari tanggal 7 hingga 16 April 2016 di Cirebon dan
sekitarnya, antara lain di Pesantren Babakan Ciwaringin, Pesantren Kempek,
Pesantren Darul Qur’anArjawinangun, Buntet, Balerante, Bode, Gedongan,
hingga Gunung jati dan Kedung jati Indramayu. Dari beberapa ulama yang
dapat ditemui antara lain, Abdul Mujib di Madinatun Najah kota Cirebon, Prof.
KH. Khozin Nasuha, di Arjawinangun, Abah Inu dari Daaru Tauhid
Arjawinangun, KH. Syakur Yasin dari Candang Pinggan Indramayu, Nyai
Afwah Mumtazah di Kempek, Nyai Masriyah Amva di Kebun Jambu
Ciwaringin, Kyai Ali Munir dari As Sanusiyah, Prof. Dr. KH. AkhsinSakho
Muhammad, KH, Husen Muhammad dari Darul Qur’anArjawinangun, Kyai
Tubagus Ahmad Fikri Buntet, selain itu juga dari ulama Muhammadiyah
Cirebon antara lain dari Universitas Muhammadiyah Cirebon dan Sekolah
Tinggi Agama Islam Cirebon (STAICI) antara lain Ustad Muhammad Dahlan
putra almarhun KH Zaini Masduki tokoh Muhammadiyah Cirebon dan Dr, KH
Marifat Iman yang masih kerabat Keraton Cirebon yang berdomisili di Ciputat
Tangerang Selatan.
Hasil temuan awal penelitian inventarisasi karya ulama ini adalah sebagai
berikut : Kyai Syekh Mahmud Muhtar dari Bode 12 judul, KH. Jauhar Balerante
2 judul, KH. Abdul Mujib Madinatun Najah 6 judul, Prof. KH. Khozin Nasuha
Arjawinangun 4 judul, KH Sakur Yasin 1 karya dan banyak dalam bentuk
rekaman kaset dan video, Nyai MisriahAmva Kebon Jambu Ciwaringin 15
judul, Kyai Sanusi babakan Ciwaringin 2 judul, Abu Ulumuddin Buntet 1 judul,
AbuyaAsyrofuddinArjawinangun 1 judul, Ahmad Syauqi Khawasi Buntet 4
judul, Ahmad Zaini Hasan Buntet 1 judul, Idham Kholid Sanusiah Babakan 1
judul, Anis Ni’matullah Buntet 2 judul, KH, Aqil Siraj Kempek 2 judul, Abi
Jakfar Aqil Siraj Kempek 1 judul, KH. Muhammad Kebon Jambu Babakan 2
Judul, KH. Husen Muhammad 18 judul, KH. M. Harun bin Abi Kamali 1 judul,
KH. Munzir Nazir Kempek 1 judul, KH. Yusuf Addarmawi Kempek 1 judul,
KH. Zainal Masduqi Cirebon 10 judul, KH. Bukhori Dahlan Plered 1 judul, KH.
Dr. Ma’rifat Iman Kanoman 4 judul, KH. Faqihuddin Abdul Qodir Kempek
Gempol 2 judul, KH. Ridwan Sururi Buntet 1 judul, Prof. Dr. AkhsinSakho
Muhammad Arjawinangun 5 Judul, KH. Syarif Husen Hud Yahya Babakan 2
Judul, KH. Muhammad Muzakir As Sanusiyah Babakan 1 judul, KH. Said Agil
Siraj Kempek 8 judul, total sejumlah 115 judul karya.
25
Data-data tersebut jika dikelompokan berdasar wilayahnya atau lokasinya
adalah sebagai berikut:
a. Babakan Ciwaringin
No Nama Ulama Judul Karya Isi Ringkas
1. Masriyah Amva Ketika Aku Gila
Cinta
buku ni merupakan ontologi
puisi, yang berisi kumpulan
puisi cinta, sebagai ekspresi
rindu dan cinta penulisanya
kepada Allah
swt.mengingantkankitapada
puisi-puisi sufi Rumi dan
Rabiah Adawiyah.
2. Masriyah Amva Setumpuk Surat
Cinta ; Kiat berdaya
& Mandiri bagi Istri
yang kehilangan
Suami
Ontologo puisi ini
merupakan hasil karya
penulisanya ketika
merasakan kesedihan
sepeninggal suaminya pada
1 November 2006 akibat
gagal ginjal. Di tengah
kegalauan itulah ia
menemukan cahaya Tuhan
yang kemudian
dituangkanya dalam bentuk
bait-bait pusi yang
dihidangkan dalam buku ini.
3. Masriyah Amva Tafakur Cinta Ontologi puisi ini berisi
puis-puisi tentang cinta
sebagai sumber tafakur
penulisnya tentang
kebesarana Allah swt,
tentang Rindu penulisnya
pada samudra
kekuasaanNya.
4. Masriyah Amva Nyanyian Cinta
Sang Pemabuk
Ontologi puisi cinta ilahi
sebuah buku ekspresi cinta
penulis pada Tuhannya.
5. Masriyah Amva Bangkit dari
terpuruk
Cerita perjalanana hidup
pribadi penulissnya yang
ditulis sedniri
6. Masriyah Amva Cara Mudah
menggapai Impian
Buku ini menceritakan
perjalanan penulisnya dalam
mengapai kekuatan dalam
hidupnya. Kelemahan
26
kerapuhan dan banyak
kekurangan tidak
menjadikanyafrustasi dan
menyerah, banyak jalan
yang dapat dilalui untuk
menggapai kekuatan dan
betapa
perjalnannaysangatlah unik
dan kadang irasional. Buku
ini penting buat mereka
membutuhkan motivasi dan
yang merasa mempunyai
banyak kelemahan agar
lebih optimis dalam
mengahdapi kekurangan.
7. Masriyah Amva Menggapai Impian Buku ini menceritakan
perjalanan spiritual
penulisnya dalam
menemukan jalan untuk
mendekatkan diri dan
memasrahkan dirinya secara
total kepada Tuhan. Buku
ini dipenuhi dengan kisah
hidup pebulisnya yang
penuh dengan luka dan
nestapa hingga akhirnya
menemukan pelabuhan
hatinya kepada sang
Pencipta.
8. Masriyah Amva Ingin Dimabuk
Asmara
Buku kumpulan puisi ini
dihidangkan sebagai cara
berdoa sang penulisnya
kepada Sang Maha Pencipta,
juga menjadi cara bagi
penulisanya
mengungkapkan kekaguman
dan kecintaannya terhadap
Allah swt.
9. Masriyah Amva Umrah Perjalanan
Spiritual
Buku ini menceritakan
pengalaman spiritual pribadi
penulisnya dalam rangka
perjalanan Umrah yang luar
biasa di tengah kondisi
ekonomi yang pas-pasan,
27
dia rutin melakukan Umrah
dua kali setiap tahun dengan
caranya sendiri. Kerinduan
penulis pada dua kota suci
Mekah dan Madinah
membuatnya tenggelam
dalam lautan doa yang tida
putus-putusnya. Kekuatan
doa itulah yang
menjadikanya mampu
berkali-kali menempuh jalan
kemustahilan.
10. Masriyah Amva Rahasia Sang Maha,
Mengubah Derita
jadi Bahagia
Buku ini ingin mengajak
pembacanya untuk
menyelami rahasia-rahasia
Sang Maha, untuk
emnemukan jalan
kesuksesan dalam menjalani
kehidupan yang diwarnai
sejuta duka .
11. Masriyah Amva Doa dan munajat
Perempuan
Buku ini merupakan
kumpulan Dao dalam
bentuk syair atau pusi
12. Masriyah Amva Indahnya Doa
Rasulullah Bagiku
Buku ini memuat kumpulan
doa yang berasal dari Al
Qur'an dan Hadis Nabi dan
doa-doa orang yang saleh.
13. Masriyah Amva Meraih Hidup Luar
Biasa Melalui
kekuatan Doa dan
Iman
Kumpulan kisah pribadi
penulisnya yang ditulis
secara menarik dalam
menggambarkan
pengalaman spiritualnya.
14. Masriyah Amva Suamiku Inspirasiku Berisi cerita kenangan
penulis dengan suaminya
selama hidup berumah
tangga. Dilengkapi juga
dengan beberapa bait pusi.
15. Masriyah Amva Akang di Mataku isi buku ini sama persis
degan buku Suamiku
Ispirasiku, hanya diberi
judul yang berbeda dengan
tambahan kata Pengantar
WamenagRi Nasrudin
Umar, dan komentar para
28
pembaca terdahulu tentang
buku ini.
16. KH. Muhammad
Sanusi
Ahwal al insan Buku ditulis dalam bahas
melayu aksara Jawim berisi
tuntunan etika dan kebaikan
akhlaq dan tingkah laku
antara lain ada beberapa bab
seperti, lahirnya manusia,
fasal mendidik anak, tentang
mati, fakir, akibat lalai salat,
akibat minuman keras,
akibat menyakiti orang,
akibat zinah, akibat hawa
nafsu dan lain lain.
17. KH. Muhammad
Sanusi
Kitab al Adab Buku ini berisi penjelasan
tentang tata krama atau
akhlak, seperti akhlaq murid
terhadap guru, anak muda
terhadap orang tua, rakyat
terhadap raja,akhlaq orang
yang sedang menuntut ilmu,
hingga tata krama atau adab
makan dan minum,
menghidangkan minuman
kepada tamu, pembahasan
dibagi menjadi 12 bab.
18. KH. Muhammad Kitab Al
WasiyatfilAkhlaq
Buku ini berisi wasiat
tentang kebaikan akhlaq,
antara lain berisi nasihat dari
guru, adab mencari ilmu,
adab menghormati ilmu dan
ahli ilmu, bab tawakal, bab
istifadah, bab wara, bab
mencari rejeki yang berkah.
19. Syarif Husen Hud
Yahya
Wasiat Agung dari
yang Maha Agung
Berisi nasehat dan hikmah
berbakti kepada orang tua,
juga dilengkapi dengan doa
dan wirid serta zikir, ada
bab tentang kewajiban orang
tua terhadap anak untuk
memasukan anak ke
pesantren. Keuntungan
orang tua yang anaknya
dimasukan ke pondok
29
pesantren.
20. Syarif Husen Hud
Yahya
Kaifiyah Ziarah
kubur Ahli
Hadramaut
Berisi penjelasan penting
seputar tata cara ziarah dan
istighatsah, bersumber dari
kitab-kitab para ulama
tarimhadramaut Yaman,
dilengkapi dengan doa wirid
dan tahlil.
21. KH. Dr. Idham
Kholid
KH. H. Sanusi Al
Babakani, Filsafat,
Nilai, Paham
Keagamaan dan
Perjuangannya
Biografi, dari Kiai Sanusi
22. KH. Muhammad
Muzakir
Al Maghfurlah KH.
M. Sanusi.
Biografi, kiai Sanusi
Babakan.
b. Buntet Pesantren
No Nama Ulama Judul Tema Bahasan
1. Ahmad Zaini
Hasan
Perlawanan dari
Tanah Pengasingan
(Kiai Abbas,
Pesantren Buntet dan
Bela Negara
Buku ini menceritakan
peran KH Abbas Buntet
Cirebon dalam menentang
kedatangan tentara Inggris
dalam peristiwa 10
November 1945 di Surabaya
perang jihad yang diinisiasi
oleh HdratusSyaikh KH
Hasyim Asy'ari, yang
menyarankan agar
perlawanan jangan dimulai
sebelum KH Abbas dari
Buntet Cirebon hadir.
Pembahasan dimulai dengan
sejarah pendirian Buntet
Pesantren oleh Mbah
Muqoyim yang ke luar dari
lingkungan Keraton
Kanoman.
2. Abu Ulumuddin Al Qutufu Ad
Daniyah
Kitab ini merupakan
terjemahan dari kitab Bayan
Munadzomah Al Baiquni
dalam ilmu hadis,
membahas bermacam-macm
kriteria Hadis dari hadis
30
Daif, maudhu, mauquf,
mursal, masyhur, hingga
sahih, disertai pengertian
dan penjelasan dan
contohnya, ditulis dalam
format syiir dan prosa
sebagai terjemahannya
dalam bahasa Indonesia.
3. Drs, KH. Aris
Ni'matullah MAF,
M.Si
Mengeja diri
Menggapai
keterkabulan Doa
(Telaah Ilmiah
tentang Urgensi Doa)
Doa sejatinya bukan sekedar
permohonan (verbal),
namun usaha yang nyata
untuk menjalankan hukum
Ketuhanan yangselaras
dengan sunatullah yang
lazim dalam kehidupan ini.
4. Ahmad Syauqi
Khawasi
Fath arRabbu Al
Mu'thi
Merupakan terjemahan
Imrithi, membahas
gramatika bahasa Arab/tata
bahasa Arab/ilmu nahwu
5. Ahmad Syauqi
Khawasi
Fathu Ar Rabbi Al
Qawi
Kitab terjemahan dari
Mundumah As Syabarawi
dalam ilmu nahwu /tata
bahasa Arab.
6. Ahmad Syauqi
Khawasi
At Tuhfah Ar
Rabniyah
Kitab terjemah dalam
bahasa indonesia dengan
aksara jawi dari kitab
Jurumiyah, dalam ilmu
nahwu
7. Ahmad
SayuqiKhawasi
Nuzhat Al Anfas Terjemah dari kitab Matan
Al Bina wal Asas, dalam
ilmu sorof, diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia
dengan aksara jawi.
8. KH. Ridwan
Sururi
KH. Akyas bin
Abdul Jalil, Buntet
Pesantren Cirebon
Bom Atom
Berisi kumpulan bahasan
berbagai masalah, sejumlah
41 permasalah dibahas
dalam buku ini, dari mulai
makna hamdalah, solawat
nabi, hikmah hari, bakti
pada Orang tua, pahala
sedekah, doa tawasul, dan
lain-lain.
9. Drs, KH. Aris
Ni'matullah MAF,
Israiliyat (Benih
Konflik di Tanah
Sejarah dan akar konflik
antar agama di Timur
31
M.Si para Rasul : Salam
sejarahnformasi
Kitab suci dan
Provokasi yahudi)
Tengah yang bersumber dari
kitab suci, dimulai dari
sejarah dan cerita tentang
nenek moyang para nabi
yaitu Nabi Ibrahin as,
hingga nabi Musa as.
c. Pesantren Kempek
No Nama Ulama Judul karya Tema bahasan
1 KH Abi Ja'far Sodiq
Aqil Siraj
Zubdah An Naqiyah buku ini merupakan
terjemahan dari kitab Al
Ajrumiyah karya Abi
Abdullah Muhammad bin
Muhammad Daud As
Sonhaji, ke dalam bahasa
Jawa dengan aksara
pegon, membahas bab
kalam, I'irab, alamat I'rab,
ism fail, maf'ul, hingga
yang terakhir mahfudhotal
asma.
2 KH Aqil Siraj NadhamMatn Al
Bina'
Membahas Ilmu nahwu
buku ini terjemahan dari
nadam Al Bina dalam
ilmu nahwu,
diterjemehkan ke dalam
bahasa jawa.
3 KH Aqil Siraj HadzaTashrif buku ini membahas
timbangan kalimat dalam
ilmu sorof yang khas dari
pesantren Kempek
Cirebon buku ini
merupakan gabungan dari
dua kitab yaitu Tasrifan
karya Syekh Yusuf Ad
AdDarmawi dan kitab
Tasrifan karya Syekh
Ma;shum bin Ali Al
Jambani.
4 KH Muhammad
Harun bin Abi
Kamali
Ta'limah Al 'Awam
fiAqaidal Anam
buku ini merupakan
terjemahan dari buku
Aqaid Al Iman dari
bahasa Arab ke Bahasa
32
Jawa dan diberi Judul
Ta'limat Al Awam
fiAqaid Al Anam,
membahas sifat Allah swt
yang duapuluh.
5 KH Yusuf Al
Wathbaqari Ad
Darmawi
At Tasrif Al Kempeki Buku ini adalah buku khas
pangajaran Ilmu Sorof di
pondok Pesantren
Kempek Cirebon yang
dikenal luas di wilayah
Cirebon.
6 KH Munzir Nadir Qawaid Al I'lal Ilmu Sorof, membahas
kdudukan huruf dan
perubahannya dalam
setiap kata pada bahasa
Arab, yang tersusun dalam
20 qaidah, dari mulai
perubahan huruf Wau dan
ya hingga yang terahir
huruf fa.
7 KH. Faqihuddin
Abdul Qadir
Manba'u As Sa'adah Berisi tentang hukum
keluarga, dan
pembentukan
kelauragasejahtrera,
dimulai dari hak-hak
suami dan istri,
dilengkapi dengan 60
dalil-dalil hadis.
8 KH. Faqihuddin
Abdul Qadir
Kitab As Sittina Al
'Adalah fi Al Ahadis
An Nabawiyah As
syarifah
'anTaqwiyahhuququal
mar'ahalmuslimah
Isu-isu perempuan dalam
Hadis Nabi Muhammad.
9 KH. Prof. Dr. Said
Agil Siraj
Rasail rasul fiAhdial
jadid
waatsaruhafialmasihi
yah (tesis 1987)
Perbandingan Agama
10 KH. Prof. Dr. Said
Agil Siraj
Allah
waShillatuhubialkaun
fi Tasawuf al Falsafi
(Desertasi 1994)
Filsafat
11 KH. Prof. Dr. Said
Agil Siraj
Aswaja dalam Lintas
Sejarah (1997)
Sosial
33
12 KH. Prof. Dr. Said
Agil Siraj
Islam Kebangsaan;
Fikih Demokratik
kaum santri (1999)
Sosial politik
13 KH. Prof. Dr. Said
Agil Siraj
Ma’rifatullah,
pandangan agama-
agama, tradisi dan
filsafat (2003)
Filsafat
14 KH. Prof. Dr. Said
Agil Siraj
Tasawuf sebagai
Kritk Sosial (2006)
Tasawuf
15 KH. Prof. Dr. Said
Agil Siraj
Islam Sumber
Inspirasi Budaya
Nusantara, Menuju
masyarakat
Mutamadun (2014)
Sosial
16 KH. Prof. Dr. Said
Agil Siraj
Kembali ke Pesantren
(2011)
Sosial
17 KH. Prof. Dr. Said
Agil Siraj
Kyai menggugat
(1999)
Sosial
d. Arjawinangun
No Nama Ulama Judul karya Tema Bahasan
1. KH Husein
Muhammad
Toleransi Islam,
Hidup Damai dalam
Masyarakat Plural
Buku ini membahas
ajaran-ajaran Islam
tentang toleransi diperkuat
dengan dalil-dalil Qur'an,
dengan harapan agar umat
islam memiliki rasa saling
menghormati dan bisa
hidup dalam kebersamaan
dengan yang berbeda
keyakinan.
2. KH. Husein
Muhammad
Pohon Islam Buku ini merupukan
kumpulan esay pendek
yang menagntar
pembacanya untuk
mencari jalan menuju
Tuhan melalui jalan-jalan
kebaiikan tentang
keimanan, kenabian,
ikhsan, juga tentang haji
dan puasa. Buku ini
terbagi menjadi empat
Bab, pertama tentang
34
keislaman menyangkut
tentang keimanan, bab dua
tentang kenabian, bab
ketiga tentang kesetaraan,
bab keempat tentang
pencerahan dan kesalehan.
3. KH Husein
Muhammad
Menyusuri Jalan
Cahaya
Kumpulan pusis hasil
renungan tentang
masalah-masalah yang
aktual terjadi di tengah
masyarakat islam
khususnya. Di bagi dalam
enam bab yang masing-
masing bab diberi judul
Ketuhanan, Humanisme,
Toleransi, kebijakan,
puisi, munajat,
4. KH Husein
Muhammad
Kidung Cinta dan
Kearifan
Buku ini membahas
kesataraan Jender dalam
perspektif fikih. Apakah
fikih sudah
memperlakukan
perempuan secara adil?
Hal-hal yang terkait
dengan hal itu diturunkan
dalam bahasan bab-bab
tentang tafsir Al Qur'an
yang berperspektif jender,
sedang dalam fiki antara
lain dalam hal ibadah
seperti salat, tentang
khitan, juga dalam hal
waris nikah, juga dlam hal
politik.
5. KH Husein
Muhammad
Fiqih Perempuan Buku ini berisi kumpulan
tulisan KH Husein
Muhammad dalam rubrik
tafsir Alqura'n di majalah
Swara Rahima (SR)m
yang terbit tiap tiga
bulanan. Kajiannya
terkaian tentang Islam dan
hak-hak perempuan,
bahasanya dikelompokan
35
menjadi tiga bagian yaitu
Perempuan di ranah
domestik, perempuan di
ranah politik, dan
perempuan di dalam
momen sejarah.
6. KH Husein
Muhammad
Ijtihad Kyai Husein,
Upaya Membangun
Keadilan Gender
Merupakan kumpulan
tulisan bersama dengan
empat penulis lainnya
antara lain: Faqihuddin
Abdul Qadir, Abdul
Muqsith Gazali, Imam
Nakhai, dan Marzuki
Wahid. Buku ini
membahas masalah
trafiking dari perspektif
hukum Islam (fikih).
7. KH Husein
Muhammad dkk
Fiqh Anti Trafiking,
Jawaban atas
berbagai Kasus
Kejahatan,
Perdagangan
Manusia dalam
perspektif Hukum
Islam.
Membahas hukum fikih
terhadap seksualitas dan
alat reproduksi, termasuk
didlamanya membahas
hukum masturbasi/onani,
homoseksual/lesbi, khitan
perempuan, utamanya
membahas hak-hak
seksualitas perempuan
dalam pandangan fikih.
8. KH Husein
Muhammad
Fiqh Seksualitas
Risalah Islam untuk
pemenuhan Hak-hak
Sesksualitas
Buku ini membahas
pandangan Islam tentang
HIV dan AIDS dari
perspektif Fikih atau
hukum Islam. Bahasan
utamanya adalah apakah
penyakin HIV dan AIDS
itu sebagai hukuman atau
balasan atas perbuatan
dosa atau bukan?
9. KH Husein
Muhammad
Fiqh HIV & AIDS,
Pedulikah kita?
Buku ini berisi tentang
pergulatan identitas kaum
perempuan yang
dihadapkan pada banyak
persoalan terkait
kedudukannya di ranah
politik dan kenegaraan.
36
Dibahas dalam lima
bagian atau bab, pertama
perempuan dan pesantren,
kedua perempuan Islam
dan negara, ketiga
perempuan dan keluarga,
keempat perempuan dan
hukum, kelima perempuan
dan dunia kerja.
10. KH Husein
Muhammad
Perempuan, Islam
dan Negara
Dalam buku ini penulis
bermaksud memberikan
pandangan-pandanganya
tentang perempuan dan
pembelaannya terhadap
kaum perempuan yang
menurutnya masih
dimerjinalkan. Dibagi
menjadi empat bagain,
pertama Syariah dan fiqih
perempuan, kedua jihad
perempuan dalam
menggapai hak-hak
individual sosial dan
politik, ketiga Problem
sosial penguatan hak-hak
perempuan, keempat
bagian rekomendasi.
11. KH. Husein
Muhammad
Islam dan Agama
Ramah Perempuan,
Pembelaan Kyai
Pesantren
Sebuah buku refleksi
tentang kesetaraan jender
dari perspektif agama
Islam, Islam sebagai
agama keadilan juga akan
memandang jender secara
adil.
12. KH Husein
Muhammad
Mencintai Tuhan
mencintai
Kesetaraan, Inspirasi
dari Islam dan
perempuan.
merupakan biografi para
ulama terkemuka yang
"menjomblo" alias tidak
menikah hingga akhir
hayat mereka, tulisan ini
dibuat berdasar kumpulan
tulisan lepas di FB
(facebook) penulisnya,
ketika banyak mendapat
curhatan sekitar
37
perjodohan dan
perjombloan yang dialami
rekan-rekan penulis,
awalanya buku ini akan
diberi judul " Orang-orang
terkemuka yang Jomblo",
kemudian penulis lebih
memilih judul "Ulama dan
Cendekia yang memilih
untuk tidak menikah", dan
kenapa akhirnya dipilih
judul "Memilih Jomblo"/
13. KH. Husein
Muhammad
Memilih Jomblo
Kisah Para
Intelektual Muslim
yang Berkarya
Buku ini berisi testimoni
penulisnya KH Husein
Muhammad mengenai sisi
sufi Gus Dur (KH
Abdurrahman Wahid),
tersusun dalam 12 bagian
yang merupakan cerita
pengalaman penulis
selama bergaul dengan
Gus Dur.
14. KH. Husein
Muhammad
Sang Zahid
Mengarungi Sufisme
Gus Dur
Berbeda dengan buku
sebelumnya yang juga
menceritakan kehidupan
Gus Dur dari sisi mistik
Tasauf, dalam buku ini
penulis menceritakan
pengelaman atau
kesaksian orang lain yaitu
Gus Mus (Kiyai Mustofa
Bisri) dari Rembang
dengan Gus Dur,
pengalaman ini
diceritakan dalam bentuk
obrolan santai antara
penulis dengan Gus MUs
tentang berbagai hal
terkait kehidupan Gus
Dur.
15. KH. Husein
Muhammad
Gus Dur dalam
obrolan Gus Mus
Buku ini menejelaskan
konsep Pluralisme dan
Kebebasan Berfikirm
dengan mengutip
38
beberapa pendapat
cendekiawan Muslim
terkemuka seperti Imam
Al Ghazali, Ibnu Rusydi,
Ibnu 'Arabi, Al Halaj, dan
Ar- Razi. Pembahasan
dibagi dalam dua bagian
dan delapan bab, bab
pertama membahas
konsep Islam, Pluralisme
dan kebebasan berfikir,
terdiri dari tiga bab. Yaitu
tentang pluralisme dan
kebebasan berfikir, serta
tentang fatwa yang
membelenggu. Pada
bagian kedua terdiri dari
lima bab yang
menjelaskan konsep
pluralisme para pemikir
atau ulama ternama
seperti Imam Gazalai,
Ibnu Arabi, Ibnu Rusyd,
Al Halaj dan Ar-Razi.
16. KH. Husein
Muhammad
Mengaji Pluralisme
kepada Mahaguru
Pencerahan
buku ini merupakan
kumpulan tulisan, atau
bunga rampai hasil dari
tulisan-tulisan lepas untuk
jurnal, seminar, kuliah
umum, atau bagian dari
buku lain. Buku ini
berfakus pada isu-isu ke
NU an dan pesantren,
yang bisa ada kritik-kritik
terhadap NU dan Pesntren
masa kini, tersusun dalam
12 bagian, yang antara
lain membincang soal
Dinamika pemikiran Islam
NU, mazhab dan fikih,
Bahsul Masail dalam NU,
Kritik terhadap
metodologi BahsulMasail
dalam NU, Sumber-
39
sumber kitab muktabar
NU, Kontekstualisasi
Kitab kuning Pesantren,
Fikih sosial Kiyai Sahal,
Ideologi transnasional,
pesantren pluralisme dan
multikulturalisme,
rekonstruksi pemikiran
Islam, Islam dan
demokrasi, menangkal
radikalisme melalui
pesantren.
17. KH. Husein
Muhammad
NU dan Pesantren Tulisan ini merupakan
bagian dalam buku Modul
Kursus Islam dan Gender,
Dawrah Fiqh Perempuan,
yang disusun oleh
beberapa orang penulis.
Buku ini disusun sebagai
bahan dalam pelatihan dan
kursus Islam dan Gender.
Ada 10 bagian dalam
buku ini yang semuanya
berkaitan dengan konsep
gender dalam Islam dari
mulai Akidah, fikih, hinga
tafsir Al-Qur'an.
18. KH. Husein
Muhammad
Wasiat Taqwa,
Ulama-ulama Al
Azhar kairo
Buku ini berisi kumpulan
khutbah para ulama
universitas Al Azhar yang
disampaikan di majidjami
universitas Al Azhar
Kairo. Judul asli dari buku
ini adalah; "Khutbatul
Jum'atal "iedain".
Pembahasan dalam buku
ini disusun dalam dua
bagian yaitu pertama
bagian Aqidah dan
Ibadah, bagian kedua
Akhlaq.
19. Abuya Muhammad
Asyrofuddin
Sya'run Rambut Bunga Rampai
20. KH.DR. Panduan Al Buku ini merupakan buku
40
AkhsinSakho
Muhammad
Qur'anQira'ah
Hamzah, Riwayat
Kholaf dan Kholad
panduan Al-Qur'an
tentang Qiraah Hamzah,
menjelaskan perbedaan
cara baca antara qira'ah
Imam Hamzah dengan
qiro'ah imam 'Ashim
berdasar riwayat Hafash,
yang jalur sanad kedua-
duanya berasal dari
Assyatibiyah.
21. KH.DR.
AkhsinSakho
Muhammad
Panduan Al
Qur'anQira'ahYa'qub,
Riwayat Ruwes dan
Ruh
Buku ini merupakan buku
panduan Al-Qur'an
tentang Qiraah Ya'kub,
menjelaskan perbedaan
cara baca antara qira'ah
Imam Ya'kub dengan
qiro'ah imam 'Ashim
berdasar riwayat Hafash,
yang jalur sanad kedua-
duanya berasal dari
Assyatibiyah.
22. KH.DR.
AkhsinSakho
Muhammad
Panduan Al
Qur'anQira'ah Nafi,
Riwayat Qalun
Buku Ini merupakan buku
panduan Al Qur'an
tentang Qiraah dari Imam
Nafi' riwayat Qolun,
meskipun disusun oleh
Mohammad Ali Nawawi,
tetapi berdasar dari Uraian
KH. Akhsin Sakho
Muhammad. Dalam buku
ini dijelaskan perbedaan
antara qira'ah dari Nafi'
(Madinah) riwayat Qolun
dengan qira'ah 'Ashim
(Kufah) riwayat Hafash.
23. KH.DR.
AkhsinSakho
Muhammad
Panduan Al
Qur'anQra'ah Abu
Amru Riwayat Ad-
Duri dan As Susi
Buku ini merupakan buku
panduan Al-Qur'an
tentang Qiraah Abu Amru
dari riwayat Ad Duri
(wafat 246 H) dan As Susi
(wafat 261 H),
menjelaskan perbedaan
cara baca antara qira'ah
Imam Abu Amru Al
41
Bashri (wafat 154 H)
dengan qiro'ah imam
'Ashim berdasar riwayat
Hafash, yang jalur sanad
kedua-duanya berasal dari
Assyatibiyah.
24. Prof. Dr. H. A.
Chozin Nasuha
Mengerti Qur'an :
Pencarian Hingga
Masa Senja, 70
tahun Prof Dr. H.A.
Chozin Nasuha
Buku ini merupakan
Biografi dari Prof. Dr. H.
Chozin Nasuha, Rektor
ISIF, Cirebon dan Ketua
PGNU (persatuan Guru
Nahdlatul Ulama). Buku
selain biografi juga berisi
kumpulan tulisan dari para
kolega dan murid serta
mahasiswa dari Prof
Chozin Nasuha. sebagian
besar bertemakan tafsir
Al-Qur'an
25. Prof. Dr. H. A.
Chozin Nasuha
Mengenal tokoh
Nahwu dan Balaghah
Buku ini akan
mengenalkan tokoh-tokoh
bidang tertentu secara ber-
tahap dan berurutan dari
segi biografi. Tulisan
semacam itu belum
banyak dikenal oleh kaum
santri, atau mereka sudah
mengenal tetapi baru
secara parsial. Pertama
menulis tentang kitab
nahwu sebelum Ibn Malik.
Uraian ini akan
mengenalkan tokoh-tokoh
besar yang merintis
terbentuknya ilmu nahwu
dan sharaf. Abul Aswad
al-Duali adalah perintis
pertama penyusun ilmu
nahwu, yang materinya
diangkat dari bacaan al-
Quran. Kemudian muncul
Abdullah ibn Ishaq al-
Hadrami, Isa ibn Umar al-
Tsaqafi, dan Abu Amr al-
42
A’la. Mereka mempelajari
syair-syair Arab klasik
sambil mengamati
gramatika yang ada dalam
syair-syair itu.
26. Prof. Dr. H. A.
Chozin Nasuha
Model
Pengembangan Tafsir
Al Qur'an
Ilmu Tafsir
27. Prof. Dr. H. A.
Chozin Nasuha
Tafsir Pendidikan Ilmu Tafsir
28. KH.DR.
AkhsinSakho
Muhammad
Manba'u Al Barakat
fisab'Iqira'at
Buku ini membahas ilmu
qira'ahsab'ah, dari juz 1 sd
3
e. Bode Plumbon
NO Nama Ulama Judul Karya Tema bahasan
1 KH. Mahmud
Mukhtar
QaidulUmyanila
Hukmi KasitilQur'an
Buku ini menjelaskan
hukum mengaji dengan
rekaman kaset, adalah
tidak boleh berdasarkan
beberapa dalil-dalil dari
Qur'an dan hadis. Diawali
dengan sebuah pertanyaan
"Bagaimana hukumnya
mendengarkan bacaan Al
Qur'an dari pita
kaset/taperecorder/mikrop
on/loudspeaker?.
jawabanya tidak ada
perintahnya sehingga
tidak boleh.
2 KH. Mahmud
Mukhtar
At-
TaryaqaalMujarrab
Buku saku ini berisi doa
dan kaifiyah Tahlil
3 KH. Mahmud
Mukhtar
SyarkhuShodribiahlil
badri
Buku kecil ini berisi
bahasan tentang
keutamaan amal (fadail
amal) diambil dari hadis
riwayat Bukhari, juga ada
kumpulan doa dan
keutamaanya yang dikutip
dari hadis riwayat
Bukhari juga.
4 KH. Mahmud Burdah Al Mukhtar Buku ini merupakan
43
Mukhtar finadham Tarikh
Khairul Akhyar
sejarah atau riwayat
ringkas Nabi Muhammad
saw, disusun dalam
bentuk Syair dalam
bahasa jawa.
5 KH. Mahmud
Mukhtar
Kifayah Al Ghulam Buku ini menerangkan
hukum syariat Islam yang
dikutip dari kitab Safinah
An-Naja kitab yang
sangat populer di
kalangan pesantren di
jawa. Pembahasan dibagi
dalam fasal-fasal antara
lain tentang rukun islam
dan rukun Iman, tanda-
tanda akil balig, bersuci,
istinja dengan batu dan
air, tentang air yang suci,
tentang najis, tentang
wudu, tentang hadas,
tenang mandi junub,
tentang tayamum, dan
tentang salat.
6 KH. Mahmud
Mukhtar
Kitab Irsyad al Murid
ila 'Ilmi At-Tajwid
Buku saku tentang Ilmu
Tajwid, tentang cara
membaca Al-Qur'an
dengan benar, dari mulai
hukum idgham,
idharikhfa, hingga Mad.
7 KH. Mahmud
Mukhtar
TarjamahI'anah Ar-
Rafiq 'ala nadham
sulam At-Taufik
tentang kewajiban-
kewajiban Mukalaf
setelah beriman dan wajib
menjalankan rukun Iman,
kemudian kewajiban
menjaga agamanya dalam
perkataan dan perbuatan,
serta pemikiran,
kewajiban bagi mukalaf
yang sudah mukmin
untuk menjalankan apa-
apa yang diwajibkan
Allah beserta syarat dan
rukunya, dan menjauhi
segala yang diharamkan
44
Allah.
8 KH. Mahmud
Mukhtar
Tarjamah Al
Mahmud li
nadhmialMaqsud
Dalam kitab ini dibahas
tentang mujarad, mazid,
mustaq, masdar, hamzah
washal, semua unsur
huruf yang membentuk
sebuah kata dalam bahasa
Arab.
9 KH. Mahmud
Mukhtar
Matan Mabadi Al
Mahmudiyah
fiMasail At-
Tauhidiyah
membahas tentang ilmu
tauhid antara lain tentang
sifat Allah yang dua
puluh, sifat para nabi dan
rasul, sifat malaikat, serta
rukun iman yang enam
dengan penjelasan dan
rincianya masing2.
10 KH. Mahmud
Mukhtar
TaqrirManzumat Ad-
Durrah As Saniyah fi
Ilmi Tafsir
Kitab ini membahas ilmu
tafsir, dari mulai
pengertian ilmu tafsir,
asbabu nuzul, lafadmajaz,
musytarak, mutaradif,
tasybih, mafhum, mutlaq
dan muqayyad, hingga
nasikh dan mansukh.
f. Muhammadiyah Cirebon
No Nama Ulama Judul Karya Tema Bahasan
1 KH Zainal Masduki Shaum dan Adab-
adab Ibadah di Bulan
Ramadhan
Buku ini tidak
dipublikasikan dan masih
diketik dengan mesin tik
manual, tidak ada tahun
penulisannya. Berisi
tentang berbagai hal etika
dalam beribadah puasa di
bulan Ramadahan.
2 KH Zainal Masduki Kapita Selekta
Khutbah 2, Lengkap
(Adab-adab
Berjum'ah dan
Khutbah
Buku ini berisi kumpulan
khutbah terbagi menjadi
tiga bab tema
pembahasan yaitu Bab
muamalah, bab sejarah,
dan bab terkhir kumpulan
tema.
3 KH Zainal Masduki Bunga Rampai Ada 15 bahasan dalam
45
Dakwah dan Tabligh buku ini, dari mulai
pengertian tentang Islam
hingga khutbah nikah,
merupukan tulisan dari
materi khutabh yang
disampaikan oleh
penulisnya.
4 KH Zainal Masduki Pengobatan Kultifar,
Satu Pengalaman
Pribadi menderita
Rematik dan upaya
Pengobatanya
Merupakan pengalaman
pribadi penulisnya dalam
menjalani pengobatan
rematik melalui kuiltifar
(Sengat Lebah), disertai
dengan dalil-dalil dari
hadis maupun ayat
Qur'an.
5 KH Zainal Masduki Keragaman Umat
Islam di Indonesia
Buku ini membahas
beberapa aliran dan
faham Islam kontemporer
yang berkembang di
Indonesia antara lain,
Islam Jama'ah,
Jama'ahTabligh,
HizbuTahrir, Ikhwanul
Muslimin, dan Inkaru
Sunah.
6 KH Zainal Masduki Panduan Kelahiran
dalam Islam
Buku ini memuat panduan
kelahiraan dalam
pesrpektif Islam
dipadukan dengan
keilmuan modern biologi,
dimulai dari konsep
kejadian manusia,
kedudukan anak dalam
Islam, Hubungan antara
anak dan bapak, perhatian
Islam terhadap anak,
memilih calon pasangan,
adab bercampur, masa
kehamilan, menyambut
kelahiran bayi. dan
seterusnya.
7 KH Zainal Masduki Bunga Rampai
Taushiyah
memuat banyak hal
tentang Islam dan
Keislaman, sejumlah 42
46
bahasan dari mulai
ulumul qur'an,
Pendidikan dan HUT
kemerdekanan RI
8 KH zainalMasduki Kapita Selekta
Khutbah, Lengkap
(Adab-adab
Berjum'ah dan
Khutbah
Buku kumpulan khutbah
penulisnya yang
membahas bebagai tema,
dari mulai Akhlaq,
Akidah, Ibadah.
9 KH Zainal Masduki Mengapa Aku
Memilih
Muhammadiyah
Dalam Beramal
Saleh (Buat anak-
anaku)
Buku ini membahas
segala hal tentang Ormas
Muhammadiyah, dari
mulai sejarah, Hakikat,
dan misinya, perjuangan
dan permasalahannya,
hingga pada dakwah dan
tablig serta amal
usahanya.
10 KH Zainal Masduki Ketenangan Jiwa Buku ini menjelaskan
tentang panduan
Kelahiran, Pernikahan
dan Kematian, sebagai
panduan menuju
ketenangan jiwa.
11 KH. Dr. Ma'rifat
Iman
Ibadah Akhlaq,
Tinjauan Eksoteris
dan Esoteris
Buku ini membahas
kaitan antara ibadah fikih
dengan kaakhlaq karimah,
dengan melalui
pendekatan eksoteris dam
isoteris. Pembahasan
dibagi menjadi 9 bab, dari
mulai bersuci/taharah,
hingga bab terakhir
tentang perawatan
jenazah.
12 KH. Dr. Ma'rifat
Iman
Gugat Cerai dan
Sengketa Waris :
Suatu Analisis hasil
Putusan Pengadilan
Agama dan
Mahkamah Agung
Karya tulis ini merupakan
hasil penelitian tentang
gugat cerai dan perkara
waris di Indonesia.
Penelitian dilakukan atas
biaya Lemlitbang
UHAMKA Jakarta. Pada
tahun 2009.
13 KH. Dr. Ma'rifat Metode Ilmu Falak Karya Tulis ini
47
Iman Saaduddin Djambek merupakan Thesis
penulisnya di UPPS
Universitas
Muhammadiyah Jakarta
pada tahun 1998. dalam
thesis ini dibahas metode
Ilmu falak yang
digunakan oleh Sa'adudin
Djambek dari Bukittinggi.
14 KH. Dr. Ma'rifat
Iman
Kalender Islam
Internasional,
Analisis Terhadap
Perbedaan Sistem
Karya Tulis ini adalah
Disertasi penulisnya di
PPS UIN Jakarta pada
tahun 2009, dan belum
dipublikasikan,
didalamnya membahas
berbagai hal terkait
penghitungan kalender
Islam Internasional dan
menawarkan univikasi
dari berbagai macam
perbedaan yang ada.
g. Madinatu Najah Cirebon Kota
No Nama Ulama Judul Karya Tema bahasan
1 KH Muhammad
Abdul Mujib
Asmuni
Mabadi Ulum Al
Qur'an
buku ini membahas ilmu Al
Qur'an dan Tafsir , terbagi
dalam enam bab, dari
mulai pengertian ulum Al
Qur'an dan Ilmu tafsir,
pengertian wahyu,
asbabun nuzul ayat,
pengertian muhkam dan
mutasabih, dan bagian
terkhir membahas
I'ijazulQur'an.
2 KH Muhammad
Abdul Mujib
Asmuni
Muhtasar Ilmu
Nahwuma'aJadawilw
aalI'irabat.
Buku ini merupakan
terjemahan dari matan
Ajrumiyah, yang
membahas tata bahasa
arab, dari segi kedudukan
kata dan lain sebagainya.
3 KH Muhammad
Abdul Mujib
Dalil Amaliyah
AhluSunnahwalJama
Buku ini membahas
berbagai macam masalah
48
Asmuni 'ah NU fiqhiyah dari mulai bid'ah,
dan hukum fikih terkait
tradisi pada yang
dilakukan umat Islam di
Indonesia, dinukil dari
Maktabah Samilah NU,
ada 51 permasalahan yang
dibahas dalam buku ini.
4 KH Muhammad
Abdul Mujib
Asmuni
Kamus Istilah Fikih Buku ini merupakan kamus
istilah fikih, yang
menjelaskan peristilahan
yang selalu digunakan
dalam pembahasan ilmmu
fikih disusun secara
alfabetis, buku ini disusun
bersama dengan penulis
lain yaitu Mabruri
Tholhah dan Syafi'ah AM.
5 KH Muhammad
Abdul Mujib
Asmuni
Ensiklopedia
Tasawuf Imam Al
Ghazali
Buku Ensiklopedia ini
memuat sejumlah entri
kata peristilahan yang
lazim digunakan dalam
tasawuf, disusun secara
alfabetis memuat lebih
dari 600 entri kata.
6 KH Muhammad
Abdul Mujib
Asmuni
Riwayat Turunnya
Ayat-ayat Suci Al
Qur'an (terjemahan
Asbabun Nuzul)
Buku ini merupakan
terjemahan dari Asbabun
Nuzul karya Imam
Jalaluddin As Suyuti,
berisi riwayat atau sejarah
turunnya ayat-ayat Al
Qur'an yang terkait dengan
sebuah peristiwa yang
menjadi sebab turunnya
ayat -ayat Al Qur'an.
h. Plered dan Palimanan
No Nama Ulama Judul karya Tema Bahasan
1 KH. Buchori Dahlan Petunjuk praktis
Ziarah Wali Songo
Fikih Ziarah
2 KH Muhammad
Jauhar Al Arifin
Risalah Sabil Al
Huda
Fikih ibadah
49
2. Ragam dan Corak Karya Tulis Ulama Cirebon
Dari keragaman bahasa yang digunakan dalam karya-karya tersebut di
atas, bahasa Arab ada 10 judul, bahasa Indonesia 75 judul, bahasa Jawa 11
judul, campuran Arab, Indonesia dan Jawa 1 judul. Sedangkan dari aspek
penggunaan aksara, aksara Arab 10 judul, aksara latin 60 judul, aksara Jawi 5
judul, aksara pegon 15, campuran 7 judul. Dari data tersebut, patut diduga
bahwa karya tulis ulama di Cirebon memang ditujukan untuk kalangan pembaca
lokal, bukan dipublis untuk kalangan yang lebih luas, dilihat dari jumlah bahasa
Arab yang hanya10 judul dari total 97 judul, ditambah lagi dengan jumlah
pengunaan bahasa dan aksara jawa pegon yang juga lebih sedikit lagi, memang
sebagian besar karya itu ditujukan untuk kalangan lokal pesantren atau jawa
saja. Klasifikasi berdasar tema bahasan untuk fikih ada 35 judul, Akidah/ilmu
tauhid ada 5 judul, Aklaq dan tasawuf 11 judul, Ilmu nahwu dan sorof 12 judul,
Tafsir dan ulumulQur’an 8 judul, sejarah dan biografi ada 11 judul, hadis dan
ilmu hadis 2 judul, bunga rampai ada 7 judul, Gender dalam Islam 2 judul, lain-
lain (pengobatan tradisional, ormas, pemikiran, sastra, kumpulan puisi) 8 judul.
Dari hasil penelitian tersebut ada banyak ulama dan pesantren di wilayah
Cirebon dan sekitarnya, sayangnya tidak cukup banyak ulama yang produktif
menulis. Berdasar data-data yang telah ditampilkan, paling tidak ada tiga corak
pemikiran dari karya ulama tersebut, yaitu tradisional, modernis dan liberal.
Corak tradisional, bercirikan pada karya-karya yang tidak jauh dari pakem yang
khas pesantren yang mengacu pada literatur yang diajarkan di pondok pesantren,
mulai dari ilmu alat, ilmu fikih, ilmu hadis dan tafsir, karya-karya yang bercorak
tradisional umumnya sangat tekstualskripturalis, tidak kontekstual, karya-karya
mereka biasanya hanya berupa terjemahan atau khulasah, yang memang dibuat
hanya untuk kalangan internal pesantren yang menjadi bahan ajar. Yang
tergolong dalam corak ini antara lain Syekh Mahmud Muhtar dari Bode
Palimanan, Kyai Jauhar Arifin dari Bale rante, Kyai Agil Siraj dari Kempek,
kyaiAkhsinSakho Muhammad.
Syekh Mahmud Muhtar, misalnya dalam salah satu karyanya yang
berjudul QaidulUmyanila Hukmi KasitilQur'an beliau menulis tentang hukum
pengunaanspeaker dan kaset dalam azan dan mengaji di masjid2 dan musola,
karena diangap akan mengganggu orang yang sedang solat dan masyarakat
sekitarnya, beliau melarang mengaji menggunakan kaset atau alat rekam lainya,
karena nantinya akan membuat orang malas mengaji bahkan dikhawatirkan
orang akan malas azan dan hanya cukup azan dengan kaset saja. ulama lainya
yang tergolong tradisionalis adalah kyai Jauhar dari Balerante, yang
berpendapat tentang Muaddah (solat zuhur setelah setelah salat jumat), dalam
karyanya RisalahSabilal huda, menurutnya solatjumat yang saat ini ada di
Indonesia dan dilaksanakan oleh masyarakat muslim tidak pernah bisa sama
persis sebagaimana yang pernah dilaksanakan oleh Nabi pada zaman dahulu,
sehingga harus tetap diadakan solat zuhur sesudah salat jumat, beliau juga
pernah menyatakan bahwa tarekat Tijaniyah sebagai tarekat yang tidak
50
muktabarah. Kyai Dr, AkhsinSakho Muhammad juga yang termasuk dalam
corak ini, beliau konsisten dalam jalur Ilmu Qira’ah yang menjadi
spesialisasinya, karya-karyanya pun tidak jauh dari ilmu qira’ah, seperti dalam
bukunya yang berjudul “Manba'u Al Barakat fisab'Iqira'at”.
Kelompok ulama yang karyanya bercorak Modernis, antara lain KH.
Zainal Masduki, KH. Ma’rifat Iman, Prof. KH. Kozin Arif, Nyai Masrifah
Amva,. Kyai Zainal masduki dan Kyai Ma’rifat Iman keduanya dari
Muhammadiyah, karya keduanya banyak menyoroti persoalan-persoalan
kontemporer, dan seputar masailfiqhiyah. Semisal persoalan aliran kontemporer
yang muncul di Indonesia, masalah perhitungan kalender hijriyah, pengobatan
tradisional dalam Islam, dan lain-lain. Adapun Nyai Masriyah Amva dari
Kebon Jambu Babakan, lebih banyak menulis puisi dan pengalaman hidup
pribadinya dalam menghadapi kehidupan rumah tangganya, tulisan beliau juga
banyak menyoroti persoalan-persoalan umat Islam yang aktual, seperti dalam
bukunya yang berjudul “Doa dan munajat Perempuan”, “Rahasia Sang Maha,
Mengubah Derita jadi Bahagia”. Prof. Dr. KH. Khozin Arif membahas tentang
Tafsir ayat-ayat kontemporer dalam bukunya “Model Pengembangan Tafsir Al
Qur'an” dan membahas tafsir untuk masalah pendidikan keagamaan dalam
bukunya “Tafsir Pendidikan”.
Corak karya ulama yang liberal adalah ulama yang pemikirannya di luar
arus utama (mainstream) ulama pada umumnya, pendapatnya sering dianggap
kontroversial dan cenderung berpikir bebas dan kontekstual non skripturalis,
menafsirkan teks-teks atau ayat-ayat Al-Qur’an secara kontekstual dan tidak
terikat dengan pendapat umum. Salah satunya adalah Kyai Husen Muhammad
dari Darul Tauhid Arjawinangun, yang merupakan kakak kandung dari Kyai
AkhsinSakho Muhammad, beliau berpendapat tentang berbagai hal dan sosial,
antara lain soal pluralisme, liberalisme, radikalisme, dan jihad dalam Islam,
dalam pandanganya soal LGBT misalnya beliau berpendapat bahwa azab yang
ditimpa kaum Lut adalah bukan karena sikap Homoseksualitas mereka, tetapi
karena adanya kezaliman yang sering dilakukan oleh mereka. Dalam soal jender
beliau menyatakan bahwa perempuan tidak terhalang untuk menjadi pemimpin
sebagaimana dalam karyanya berjudul “Perempuan, Islam dan Negara” juga
dalam bukunya “Islam dan Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kyai
Pesantren”.
Ulama lain yang dianggap liberal adalah KH. Prof. Dr. Said Agil Siraj,
oleh sebagian kalangan pembelaan beliau terhadap pluralisme, kesetaraan
gender dan feminisme dianggap sama dengan pemikiran kaum liberalis.
Pandangannya soal pluralisme dan pembelaanya terhadap kaum minoritas di
Indonesia dapat ditemukan dalam bukunya yang berjudul “Islam Sumber
Inspirasi Budaya Nusantara”, beliau berpendapat bahwa kebinekaan Indonesia
adalah anugrah dan sebuah keniscayaan yang harus dijaga, kebebasan beragama
dalam Islam adalah hak asasi bagi setiap orang. Beliau juga menyayangkan aksi-
51
aksi kekerasan yang sering dilakukan oleh FPI dalam berbagai masalah
keagamaan semisal terhadap Ahmadiyah.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Dari paparan hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa
hal berikut ini.
Dari sejumlah 115 judul, keragaman karya tulis ulama di Cirebon sebagian
besar bertema bahasan fikih, dengan pengggunaan bahasa terbanyak dalam
bahasa Indonesia, sedikit yang mengunakan bahasa asing (Arab), dan yang
sedikit lainnya menggunakan bahasa lokal (jawa). Diduga kuat bahwa karya
tulis ulama tersebut hanya dibuat untuk kalangan nasional dalam negeri dan
sedikit yang dibuat khusus untuk internal kalangan pesantren. Jika dilihat dari
jumlah karya dan sebarannya patut diduga bahwa ulama di Cirebon dalam
menulis karya kurang cukup produktif.
Corak pemikiran dalam karya-karya tulis tersebut cukup beragam, jika dilihat
dari isi kandungan dan tema-temanya, Dapat dikategorikan dalam corak
pemikiran yang tradisional, pemikiran modernis, dan pemikiran liberal.
Diduga kuat masih sangat banyak karya tulis ulama di Cirebon dan
sekitarnya yang belum dapat terdata dalam penelitian kali ini, karena
keterbatasn teknis, karena itu penelitian ini harus dilanjutkan lagi di masa
mendatang dengan cakupan wilayah yang dapat diperluas, tidak hanya di
kota dan kabupaten tetapi bisa mencakup Karesidenan.
2. Rekomendasi
Berdasar hasil penelitian terhadap karya tulis ulama di Cirebon dan
sekitarnya ada beberapa rekomendasi yang perlu dikemukakan antara lain :
Karya tulis ulama, belum seluruhnya dapat didata, sepanjang ulama masih
tetap ada dan berkarya maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian
“long liveresearch”, dan harus terus dilakukan.
Luas wilayah dan cakupan penelitian yang dibatasi dengan jumlah hari dan
anggaran, seringkali menyebabkan data yang didapat juga terbatas, untuk itu
perlu untuk diperluas cakupan wilayah penelitiannya serta penambahan
anggarana untuk penggandaan bahan dan data.
Perlu dibuat database hasil karya tulis ulama dalam bentuk online, dan
membuat perpustakaan khusus untuk menyimpan dan mengolah data hasil
dari penelitia ini
52
Referensi
Azra, Azyumardi. 2002, Pendidikan Islam, Tradisi Modernisasi Menuju Milenium
Baru. Jakarta. Logos WacanaIlmu.
Azra, Azyumardi. 2004, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara. Bandung. Mizan.
Badri, E. Dkk (ED), 2007, Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah, Puslitbang
Lektur Keagamaan, Jakarta.
Depdiknas, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, BalaiPustaka, Jakarta.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982, Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Geertz, Clifford, The Javaanese Kijaji: The Changing Roles Of Cultural Broker.
Comparative Studies in Sociaety and History, New York. The Free Press.
Horikoshi, Hiroko, 1987, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta, P3M.
Martin Van Bruineseen. 1999, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat. Bandung.
Mizan.
Marzuki, Wahid. 1999, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan &
Transformasi Pesantren. Bandung. Pustaka Hidayah.
Mastuhu.1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Mudzhar, Atho. 2002, Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta Pustaka Pelajar:
Cetakan IV.
Raharjo, Dawam. 1980, Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.
Steenbbrink, Karel, 1974, Pesantren Madrasah Dan Sekolah, LP3 ES, Jakarta.
NASIONALISME DALAM TAFSIR BERBAHASA JAWA: KAJIAN ATAS TAFSIR AL-HUDA KARYA BAKRI SYAHID
Ali Fahrudin Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi Kementerian Agama RI [email protected]
Abstract
Nowadays, the nationalism attitude is lately began to be considered weak by some societies because of the Muslims’s actfor responding to Ahok or Basuki Tjahaya Purnama’s statement that contained“hat espeech”about Islam. Yet, the attitude of the Muslims is only focused on Ahok as personal, who had been considered as an act of humiliating Islam religion, neither of his Chinese ethnic, his Christianity, nor because he was not Jakarta’s citizen. This paper wants to prove that the diversity of the Indonesian has always been accepted by the Muslims as an integral part of Indonesia. This research is focused on studying Tafsir Al-Huda which is formed in Javanese language by Bakri Syahid, former colonel of ABRI (Indonesian Army) who became the Rector of UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. By using the analytical descriptive method and the maudlu'I interpretation approach, this study concludes that nationalism should be based on the love of the homeland, building unity and defending the nation. Loving homeland is manifested in building a nation without being envy, jealous, and pitting other people. Unity and the union of the state can be realized with a friendhsip (silaturrahmi) regardless of tribe, religion, race, and class, because it was based on the Youth Pledge thatwas vowed. Defending the nation can be realized by cooperation
��
53 �
��
54 �
between the TNI POLRI, and also society as a state intelligence as the acts against terrorism that disrupt the stability of internal security.
Keywords: Nationalism, Tafsir al-Huda, Bakri Syahid
Abstrak Sikap nasionalisme akhir-akhir ini mulai dianggap rapuh oleh sebagian kalangan masyarakat karena sikap kaum muslimin dalam menanggapi ucapan Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama yang mengandung kebencian terhadap Islam. Padahal sikap kaum muslimin itu hanya tertuju pada personal seorang Ahok yang dianggap menista agama, bukan karena dia etnis china, beragama Kristen, atau bukan asli orang Jakarta. Karya tulis ini ingin membuktikan bahwa kebhinekaan atau keberagaman bangsa Indonesia sejak dulu sudah diterima oleh kaum muslimin sebagai bagian integral dari Indonesia. Penelitian ini difokuskan dengan mengkaji Tafsir Al-Huda yang berbahasa Jawa karya Bakri Syahid, mantan kolonel ABRI yang menjadi Rektor Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan metode deskriptif analitis dan pendekatan tafsir maudlu’i, penelitian ini memberi kesimpulan bahwa nasionalisme harus didasarkan pada rasa cinta tanah air, membangun persatuan kesatuan dan membela negara. Cinta tanah air diwujudkan dalam membangun negeri tanpa sifat iri, dengki, hasud, dan mengadu domba orang lain. Persatuan dan kesatuan negara dapat terwujud dengan silaturrahmi tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan karena berdasarkan inilah Sumpah Pemuda diikrarkan. Membela negara dapat diwujudkan dengan kerjasama antara TNI POLRI dengan masyarakat sebagai intelijen negara dalam menghadapi aksi terorisme yang mengganggu stabilitas keamanan dalam negeri.
Kata kunci: nasionalisme, tafsir al-Huda, Bakri Syahid
A. Pendahuluan
Isu nasionalisme pada penghujung tahun 2016 dan awal tahun 2017 mulai marak kembali disebabkan beberapa peristiwa yang melatarbelakanginya, antara lain: penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama karena dianggap menistakan Al-Qur’an, terutama surat al-Māidah: 51. Hal ini menimbulkan kemarahan umat Islam dengan menggelar aksi demontrasi yang dikenal dengan aksi 411 dan 212.1 Tuduhan bahwa umat Islam anti nasionalisme makin santer ������������������������������������������������������������������
1Aksi ini dilakukan karena Ahok dianggap menistakan agama. Dalam kunjungan kerjanya di Pulau Seribu pada tanggal 27 September 2016, dia yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta mengungkapkan kata-kata yang menistakan al-Qur’an. Dia mengatakan bahwa proyek budidaya ikan kerapu itu akan terus berlanjut sekalipun ada pergantian gubernur. Kalau dia sampai kalah dalam pilkada DKI karena masyarakat dibohongi pakai surat al-Maidah: 51, maka proyek ini akan tetap dijalankan oleh
��
55 �
���������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
muncul ketika adanya aksi tandingan yang dikenal dengan aksi 214. Aksi ini dilakukan oleh partai pendukung Ahok dalam Pilkada DKI setelah terjadinya aksi bela Al-Qur’an 212. Aksi tersebut digelar dengan tema kebhinekaan dan menggaungkan kembali semangat memperkokoh NKRI. Di samping itu, maraknya kasus terorisme yang yang dilakukan oleh oknum yang “mengatasnamakan” Islam memberikan penyebab isu-isu politik bahwa Islam anti nasionalisme dan kebhinekaan.
Nasionalisme adalah sikap politik masyarakat yang mempunyai kesamaan wilayah, budaya, bahasa, ideologi, cita-cita dan tujuan, kemudian mengkristal menjadi paham kebangsaan. Paham ini berkembang lalu mempengaruhi politik kekuasaan dunia dan berdampak luas bagi negara-negara bangsa.2 Di Indonesia, nasionalisme mulai digaungkan sejak era kemerdekaan Indonesia oleh Presiden Soekarno dalam perjuangan mewujudkan Indonesia yang merdeka. Semua kelompok, golongan atau wilayah di nusantara adalah bagian-bagian yang membentuk satu kesatuan besar yang bernama Indonesia.
Menyikapi nasionalisme ini, ada beragam pendapat dalam Islam ada yang menerima, ada yang apriori,dan ada yang menolak. Sebagian umat Islam berpendapat bahwa nasionalisme murni adalah nasionalisme Eropa yang sekuler.3 Hanya ini yang dapat dijadikan energi perubahan sosial politik didunia Islam. Sebagian lain berpendapat bahwa nasionalisme ala Eropa adalah sekuler, mengabaikan agama, yang menyebabkan lemahnya dunia Islam. Islam tidak kompatibel dengan nasionalisme, karena secara ideologis saling berlawanan. Ia bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam bersifat universal. Sebagian lagi umat Islam bersikap netral, nasionalisme harus memperhatikan kepentingan seluruh warga bangsa dengan basis ukhuwah Islamiyah. Nasionalisme ini merupakan bagian integral dari konsep “Pemerintahan Madinah” dan Ini yang disebut nasionalisme Islam. Paham nasionalisme Islam ini lalu menjadi spirit dan inspirasi kaum
�gubernur berikutnya. Atas pernyataannya itu, Ahok diajukan ke pengadilan oleh kaum Muslimin. http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/02/13/ olb9b7354-saksi-ahli-nilai-ucapan-ahok-di-pulau-pramuka-mengarah-ke-kampanye, diunduh tanggal 24 Februari 2017.
2 Mugiono, Relasi Nasionalisme Dan Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Kebangkitan Dunia Islam Global, dalam Jurnal Ilmu Agama, Vol. 15, No. 2, Palembang: UIN Raden Fatah, 2014, hal. 97
3 Hal ini terkait dengan sejarah istilah nasionalisme yang muncul karena adanya Revolusi Prancis pada tahun 1789. Sejak saat itu, istilah nasionalisme mulai merasuki bahasa-bahasa Eropa untuk untuk merujuk pada daya hidup “kekuasaan rakyat” baru di Prancis yang sanggup menumbangkan kekuasaan feodal kerajaan atau bahkan mampu melepaskan diri dari cengkeraman kolonial yang menjajah mereka, seperti Revolusi Amerika. Lihat: Roger Eatwell (ed.), Ideologi Politik Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2014, hal. 210 dan Frederick Hertz, Nationality in Historyand Politics: a Psychology and Sociology of National Sentiment and Nationalism, London: Routledge & Kegan Paul, 1951.
��
56 �
�����������������������������������������������������������������
muslimin secara global untuk bangkit dan membebaskan negara-negara Islam dari kolonialisme negara-negara Eropa.4 Di beberapa negara Islam, paham nasionalisme Islam menjadi alat pemersatu sekaligus alat perjuangan untuk merebut kemerdekaan, termasuk Indonesia.
Perjuangan bangsa Indonesia tidak lepas dari peran para ulama dalam rangka membangkitkan semangat rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Pusat perlawanan menentang penjajahan adalah di pulau Jawa yang pada akhirnya di sinilah ibukota negara didirikan. Pergerakan perlawanan ini berpusat di pesantren-pesantren Jawa. Para kiai dengan petuah dan nasehatnya yang sangat berwibawa dapat memberikan semangat bagi para santrinya dan masyarakat sekitar untuk berjuang melawan penjajah. Petuah tersebut adakalanya dalam bentuk lisan maupun tulisan.5 Bentuk tulisan inilah yang mengalir memberikan makna yang khas dalam karya-karya mereka. Riset ini mengkhususkan diri pada karya tafsir mereka. Latar belakang mereka sebagai pejuang diasumsikan mempengaruhi penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka tafsirkan dengan bahasa Jawa.
Para ulama yang banyak menulis tafsir dengan bahasa Jawa adalah di Jawa Tengah. Hal ini karena di Jawa Tengah dahulunya merupakan pusat kesultanan Islam yang terletak di Demak. Setelah Demak runtuh, timbul Kesultanan Pajang, Kesultanan Mataram, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Ngayogyakarta. Semua kesultanan ini berada di Jawa Tengah. Para ulama yang berada di sekitar kekuasaan ini berusaha agar kaum Muslimin yang mayoritas ini dapat memahami isi kandungan kitab sucinya. Oleh karena itu, mereka tergerak untuk menulis kitab tafsir Al-Quran dengan bahasa Jawa agar mudah di mengerti oleh masyarakat awam.
Kaum Muslim dalam komunitas masyarakat Jawa, menerima identitas keislaman dan kejawaan atau kejawen6 sebagai dua eksistensi yang saling mengisi dan beradaptasi. Islam yang semula berasal dari jazirah Arab sudah melebur dan merasuk (mlebetmendem jero) ke dalam
�4 Abdullah Jum’ahal-Hajj, Ad-Daulah al-Wa¯aniyyahwaal-Isl±mfi al-‘²lam al-
‘Arab³, J±mi’ahal-Im±r±tal-‘Arabiyyahal-Mutta¥idah: Markazal-Im±r±t li ad-Dir±s±twaal-Bu¥u£ al-Istir±t³jiyyah, 2012, hal. 22
5Salah satu yang berbentuk tulisan adalah “Resolusi Jihad” yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari setelah mengadakan rapat dengan para kiai di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1945. Resolusi ini dibuat setelah mempertimbangkan kedatangan kembali penjajah yang akan menguasai kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, padahal sudah dinyatakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Semangat rakyat untuk membela NKRI ini pecah dengan terjadinya perang di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Lihat: Gugun El-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010), hal. 73-74
6 Kejawen diidentikkan dengan aliran kepercayaan yang banyak dianut oleh orang-orang Jawa Tengah yang merupakan singkretisme antara Hindu/Buddha-Islam atau Islam-animisme/dinamisme. Akan tetapi yang dimaksud kejawen disini adalah budayaJawa.
��
57 �
�����������������������������������������������������������������
identitas Jawa.Islam diadaptasikan ke dalam wujud kehidupan keagamaan yang bernuansa budaya Jawa. Sebaliknya aktifitas budaya orang Jawa banyak dibentuk dan dipengaruhi pula oleh nilai-nilai ajaran Islam. Salah satunya tampak dalam tradisi intelektual Islam seperti vernakularisasi7 Al-Qur’an melalui terjemah atau tafsir berbahasa Jawa8 dan dari adat istiadat muncullah sekaten (dari asal bahasa arab syahadatain), grebeg maulud dan sebagainya.
Artikel ini akan membahas pada pandangan orang Jawa yang meresapi kitab sucinya dalam bahasa Jawa terhadap tema nasionalisme. Bagaimana orang Jawa, dalam bahasa Zimmer, berupaya mendomestikasi dan menjembatani jarak antara bahasa Al-Qur’an dan bahasa lokal9 dan memaknai nasionalisme dalam budaya mereka berdasarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Karenanya, pembahasan difokuskan pada upaya mufassir dalam memasukkan nuansa budaya Jawa ke dalam penafsiran ayat-ayat tentang nasionalisme. Nuansa budaya Jawa yang erat kaitannya dengan ragam nilai kearifan lokal turut membentuk horison penafsiran.10 Penggunaan nuansa budaya Jawa menjadi indikator penting sejauh mana sebuah tafsir betul-betul bercitarasa Jawa.
Inti penggalian kehidupan keagamaan dan budaya kaum Muslim di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari proses vernakularisasi. Ia merupakan upaya pembahasalokalan ajaran Islam (Al-Qur’an) yang diterjemah dan ditulis ke dalam bahasa dan aksara lokal (Jawi, pégon) jauh sebelum abad ke-18.11 Ini dilakukan melalui penerjemahan lisan kutipan-kutipan pendek Al-Qur’an, pengadaptasian tulisan Arab dalam terjemah antar baris atau catatan pinggir (sebagian atau keseluruhan teks), hingga penulisan literatur berbahasa Arab oleh penulis lokal yang diterjemahkan ke dalam bahasa lokal (Arabisasi bahasa lokal).12
�7Vernakularisasi adalah pengungkapan dalam bahasa dan budaya. 8H. Johns, "She Desired Him and He Desired Her" (Qur'an 12:24): 'Abd al-Ra'uf’s
Treatment of An Episode of the Joseph Story in Tarjuman al-Mustafid,” Archipel. Vol. 57, 1999: 109; Farid F. Saenong, “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan Prospek Tafsir Al-Qur’an di Indonesia”, Interview dengan Prof. A.H. Johns, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006, 579.
9Benjamin G. Zimmer, “Al-‘ArabiyyahandBasa Jawa: Ideologies of Translation and Interpretation among the Muslim sof West Java”, Studia Islamika, 7 (3): 2000, 31.
10Kearifan lokal (local genius, local wisdom) mengandung arti kemampuan dan kreatifitas kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing. Lihat Ajip Rosidi, Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda (Bandung: Kiblat, 2011), 29-30.
11Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Qur’an Nusantara Tempo Doeloe (Jakarta: UshulPress, 2009), 147.
12A.H. Johns, “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu: Sebuah Renungan, dalam Henri Chambert-Loir (ed.), Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: KPG, 2009), 51-53.
��
58 �
�����������������������������������������������������������������
Dari sisi aksara, beberapa tafsir Jawa awal (pra-kemerdekaan) menggunakan aksara pegon, misalnya tampak pada naskah Fai« ar-Ra¥m±n f³ Tarjamahal-Malik ad-Dayy±n karya KH. Muhammad Sholeh Darat (1820 – 1903) di Semarang yang kemudian dicetak di Singapura. Di Surakarta ini juga ditemukan beberapa kitab tafsir yang menunjukkan adanya dinamika penafsiran Al-Qur’an yang intensif di kawasan tersebut. Beberapa kitab tafsir yang bisa disebutkan di sini adalah Tafsir Al-Qur’anal-Adzim karya Kiai Bagus Ngarfah, seorang guru dari Madrasah Manbaul Ulum, Surakarta yang meninggal pada tahun 1913 sebelum penulisan kitab tersebut selesai, Tafsir Surat Wal Ngashrikarya Siti Chayati yang dipopulerkan oleh Suparmini, Tafsir Qur’anDjawenkarya Doro Masyitoh, Kur’anWinedharJuz I, Tafsir Al-Qur’anal-Adzim karya Raden Pengulu Tabsir Anam dan lain-lain.13
Penafsiran dengan bahasa Jawa di masa pasca kemerdekaan Indonesia yang ditandai dengan proklamasi 17 Agustus 1945 ternyata masih diminati pada masa awal kemeredekaan. Produk tafsir pada masa ini ada yang masih tetap memakai aksara pegon dan ada yang memakai aksara latin. Yang memakai aksara pegon KH. Bisri Mustofa Rembang (1915-1977) dengan karyanya, al-Ibr³z li Ma’rifah Tafsir Al-Qur’anal-‘Aziz. Tafsir ini banyak dikaji di pesantren-pesantren Jawa, baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Selain itu, KH. Misbah Zainul Mustafa (1916-1994) dengan karya tafsirnya, Al-Ikl³l f³ Ma’ani at-Tanz³l. Adapun yang memakai aksara latin antara lain: Tafsir Al-Quran Bahasa Jawi karya KH. Muhammad Adnan (1889-1969) yang dipublikasikan pada tahun 1960-an, Tafsir Quran Hidaajatur Rohman karya Moenawar Chalil (1909-1961) yang dipublikasikan tahun 1958, dan Tafsir Al-Huda karya Brigjen TNI (Purn) Drs. H. Bakri Syahid (1918-1994) yang dipublikasikan tahun 1976. Disamping itu, ada juga yang hanya juz 30 saja yaitu Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma karya Ahmad Djawahir Anomwidjaja yang dipublikasikan pada 1992 dan mengalami cetak ulang untuk kedua kalinya pada tahun 2003.14
Dari sisi metodologi tafsir, umumnya tafsir Jawa menggunakan metode analitis (tahlili), meski dengan pendekatan, corak dan kecenderungan ideologi yang beragam. Kecenderungan sufistik misalnya, tampak pada Fai« ar-Ra¥man karya KH. M. Sholeh Darat. Tafsir ini merupakan satu-satunya tafsir dengan pendekatan sufistik yang sangat kuat. Ini berbeda dengan KH. Bisri Mustofa yang cenderung menggunakan pendekatan tafsir ijmali dalam tafsirnya. Karya-karya Bisri Mustofa
�13Akhmad Arif Junaidi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Karya Raden Pengulu Tafsir
Anom: Intertekstualitas, Ortodoksi Dan Relasi Kuasa Penafsiran Awal Abad Ke-20 M, (Jakarta: Artikel UIN Syarif Hidayatullah, 2012), h. 4.
14Islah Gusmian, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa: Peneguhan Identitas, Ideologi, dan Politik, Jurnal Suhuf, Vol. 9, No. 1, Juni 2016, h. 143
��
59 �
�����������������������������������������������������������������
umumnya tidak bisa lepas dari kecendrungan dirinya sebagai ulama dengan latar pemikirantradisionalpesantren yang pendekatannya fikih. Demikian juga Tafsir Al-Qur’anal-Adzim karya Raden Pengulu Tafsir Anom yang menggunakan metode tahlili dengan corak fikihnya yang kental. Sementara Bakri Syahid yang notabene mantan militer maka pendekatannya sosial politik.
Uraian di atas menunjukkan bahwa tafsir di Jawa, terutama Jawa Tengah, sudah lama berkembang dan terus diproduksi hingga sekarang.15 Beragam aksara, dialek bahasa, metode dan latar ideologis kiranya menghiasi perkembangannya. Ini mencerminkan semangat dan keseriusan orang Jawa apapun kepentingannya untuk terus mengapresiasi Al-Qur’an dan menjaga kesinambungan dialognya dengan bahasa ibunya. Meski beredar di wilayah yang terbatas, tetapi kehadirannya mempertegas kedalaman proses penyerapan nilai keagamaan ke dalam identitas budayanya. Sebuah upayanya orang Jawa dalam memahami Al-Qur’an dengan tetap berpijak pada alam pikiran budayanya.16
Dari sekian tafsir yang berkembang di masyarakat Jawa ini yang dipilih dalam artikel ini adalah Tafsir al-Huda karya Bakri Syahid. Hal ini karena beberapa alasan, antara lain:
1. Merujuk ke tema tentang nasionalisme, yang bermuara pada cinta tanah air dan pentingnya membela negara Indonesia, tafsir ini sangat cocok karena disusun oleh seorang Rektor IAIN Yogyakarta yang mantan Jenderal TNI.
2. Tafsir ini secara tegas mengungkap tentang keindonesiaan, seperti: Pancasila, UUD 1945, Pemerintah dan ABRI (sekarang TNI), budaya wayang, Sumpah Pemuda dan lain-lain.
3. Bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat Jawa saat ini, meskipun memakai level yang tertinggi (kromo inggil) karena ditulis pada masa pra kemerdekaan.
4. Memakai aksara latin sehingga tidak memberikan pengertian ganda dalam mengeja. Jika memakai aksara pegon, seringkali salah mengerti karena satu kata bisa jadi dapat dieja menjadi dua atau tiga makna.
Rumusan masalah yang diungkap pada disertasi ini adalah bagaimana Bakri Syahid menafsirkan ayat tentang nasionalisme, terutama tentang
�15 Tafsir Jawa yang tetap eksis dan banyak diminati masyarakat sekarang ini adalah
Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa yang sekarang sudah menggunakan aksara latin dan dibuat dengan edisi lux disertai terjemah perkata diterbitkan oleh Lembaga Kajian Strategis Indonesia Wonosobo tahun 2013. Saat ini sudah cetakan ke-2.
16 Hal ini juga dilakukan oleh ulama-ulama Sunda dalam penafsiran Al-Quran dengan memakai bahasa Sunda. Lihat: Jajang A. Rohmana, Memahami Al-Qur’an dengan Kearifan Lokal:Nuansa Budaya Sunda dalam Tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda, JournalofQur’anand Hadith Studies, Vol 3 No. 1, (2014): 79-99
��
60 �
cinta tanah air, persatuan dan kesatuan negara, dan membela negara menurut pandangan Al-Qur’an?
Karya-karya ilmiah, baik dalam bentuk artikel maupun buku yang terkait dengan Tafsir Al-Huda ini ada beberapa yang sudah dipublikasikan. Hasil penelusuran penulis tentang karya-karya tersebut antara lain:
1. Disertasi yang berjudul “Tafsir Al-Quran dan Budaya Lokal: Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid” yang ditulis oleh Imam Muhsin dan diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2010. Pada tahun 2013, disertasi ini diterbitkan kembali oleh Penerbit ElSaqPress dengan judul “Al-Quran dan Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid.” Dalam tulisannnya, Imam Muhsin mengungkap tentang biografi penulis dan sisi-sisi budaya Jawa yang sangat kental dalam penafsirannya terhadap Al-Quran. Penulis ingin mengutarakan korelasi Al-Qur’an sebagai pedoman hidup kaum muslimin dan budaya Jawa yang teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan memandang sisi baik dan buruknya suatu perbuatan itu.
2. Artikel yang berjudul “Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda” yang ditulis oleh Novita Siswayanti yang diterbitkan dalam Jurnal Analisa, Vol. 20, No. 2, edisi Desember 2013. Isi karya ini mengulas tentang nilai-nilai etika budaya Jawa yang tertulis dalam Tafsir Al-Huda. Tidak jauh beda dengan tulisan sebelumnya, tulisan ini selain mengulas tentang biografi penyusun tafsir, juga mengungkap etika-etika budaya Jawa yang terungkap dalam tafsir ini.
3. Artikel yang berjudul “Kajian Tafsir Berbahasa Jawa: Introduksi atas Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid” yang diterbitkan dalam Jurnal Hermeneutik, Vol. 9, No. 2, edisi Desember 2015. Karya ini sebatas pengenalan atas Tafsir Al-Huda. Pembahasannya meliputi biografi, metode Bakri Syahid dalam menuliskan tafsirnya, dan contoh penafsirannya yang seringkali berhubungan dengan budaya Jawa. Jika budaya tersebut baik diteruskan, dan jika melanggar norma-norma agama, maka ia diperingatkan agar tidak diteruskan.
Ketiga karya ilmiah di atas tidak ada yang membahas secara spesifik tentang nasionalisme. Karena itu, artikel ini tidak sama dengan karya ilmiah sebelumnya yang mengkaji Tafsir Al-Huda, meskipun beberapa tulisan sebelumnya ada yang dikutip dalam karya ilmiah ini.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (libraryresearch), karena data utama yang terkait dengan permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini sepenuhnya bertumpu pada data-data kepustakaan. Paradigma yang digunakannya adalah paradigma kualitatif, karena yang
��
61 �
�����������������������������������������������������������������
dicari dalam penelitian ini bukanlah angka atau pengukuran (measurement), melainkan makna (meaning).
Data yang dihimpun sepenuhnya merupakan data kepustakaan, terutama tafsir-tafsir tentang ayat-ayat yang terkait dengan nasionalisme, baik dari sumber primer, Tafsir Al-Huda, maupun dari sumber sekunder yakni dari tafsir-tafsir pembanding lainnya seperti Tafsir at-°abari, Tafsir IbnKa£ir, Tafsir al-Mar±gi, Tafsir al-Man±rdan lain-lain. Berdasarkan sifat permasalahan yang akan dikaji, maka metode yang digunakan adalah metode tematik atau maudhu’i, yaitu tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an terhadap masalah tertentu dengan cara menghimpun ayat-ayat yang berkaitan lalu menganalisanyalewat ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas untuk melahirkan suatu uraian utuh tentang masalah tersebut.17
B. Sekilas Biografi Bakri Syahid
Bakri Syahid memiliki nama asli Bakri, sedangkan tambahan nama syahid diambil dari nama ayahnya, Muhammad Syahid. Bakri Syahid merupakan sosok pribadi yang memiliki banyak profesi. Selain dikenal sebagai mantan pejuang gerilya dan purnawirawan militer, ia juga dikenal sebagai juru dakwah, akademisi, dan seorang wirausahawan sekaligus manajer yang handal. Perjalanan kariernya yang panjang dan beragam, serta aktivitas dan pengabdiannya di masyarakat yang cukup banyak dalam berbagai bidang merupakan bukti mengenai hal ini. Meskipun demikian, hal tersebut tidak menjadikannya lupa diri dan bersikap sombong, tetapi sebaliknya ia memiliki citra diri sebagai seorang Muslim Jawa yang santun, arif, dan bijaksana.18
Bakri Syahid lahir di kampung Suronatan Kecamatan Ngampilan Kotamadya Yogyakarta pada hari Senin Wage tanggal 16 Desember 1918 M. ini berarti beliau lahir 6 tahun setelah berdirinya organisasi Muhammadiyah. Ayahnya berasal dari Kotagede Yogyakarta. Ibunya yang bernama Dzakirah berasal dari kampung Suronatan Yogyakarta. Di kampung yang terakhir inilah Bakri Syahid menghabiskan masa kecilnya hingga tumbuh besar sampai dewasa. Ia merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Keenam saudara kandungnya itu berturut-turut bernama Siti Aminah, Lukman Syahid, Zapriyah, Siti Warfiyah, Ismiyati, dan Dukhoiri. Dari tujuh bersaudara tersebut semua sudah meninggal dunia kecuali dua orang, yaitu Lukman Syahid yang tinggal di kampung Suronatan
�17‘Abdal-Hayyal-Farmâwi, Al-Bid±yahfîat-Tafsîral-Mau«µ’i, (Kairo: Maktabal-
Jumhuriyyah, 1997), h.52. 18 Disadur dari biografi Bakri Syahid yang ditulis oleh Imam Muhsin, Al-Quran dan
Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid, (Yogyakarta: eLSAQPress, 2013), h. 31-40
��
62 �
�����������������������������������������������������������������
Yogyakarta, dan Siti Warfiyah yang menetap di Purbalingga jawa Tengah.19
Keluarga Bakri Syahid dikenal sebagai keluarga yang agamis. Ayah dan ibunya termasuk tokoh agama di kampungnya dan aktif dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah-an. Dalam kehidupan sehari-hari kedua orang tuanya sangat perhatian terhadap pendidikan agama bagi anak-anaknya. Mereka mengasuh, mendidik, dan membimbing Bakri Syahid dan suadara-saudaranya tentang nilai ajaran-ajaran Islam dengan penuh kesabaran. Namun demikian, sebagai orang jawa mereka juga tidak lupa mengajari anak-anaknya tentang nilai-nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakatnya, selama hal itu tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Semua itu dilakukan agar anak-anaknya dapat tumbuh dewasa dengan dasar keimanan dan keislaman yang kokoh serta memiliki kearifan dalam mengarungi hidup bermasyarakat.20
Pada waktu masih kecil, Bakri Syahid dikenal sebagai anak yang rajin, cerdas, dan memiliki sikap mandiri. Ia juga dikenal sebagai seorang pekerja keras yang memiliki semangat tinggi. Sambil sekolah, ia tak segan-segan membantu kedua orang tuanya dalam rangka meringankan beban ekonomi keluarga dengan berjualan pisang goreng.21 Ketika masih sekolah di Madrasah Mu’allimin,ia masuk menjadi salah satu anggota gerilyawan ini pula yang dikemudian hari mengantarkannya menjadi anggota ABRI (sekarang TNI).22
Setelah dewasa Bakri Syahid kemudian dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang gadis bernama Siti Isnainiyah.Gadis kelahiran 1925 ini dinikahinya karena mengikuti wasiat dari “sesepuh”. Dari pernikahannya itu lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Bagus Arafah.Namun,pada usia 9 bulan anak kesayangannya itu meninggal dunia karena sakit. Untuk mengenang kematiannya, nama anaknya tersebut kelak diabadikan sebagai nama perusahaan terbatas bertitel PT.Bagus Arafah.Perusahaan ini bergerak di bidang kontraktor, laboratorium dan penerbitan.
Bakri Syahid sangat berharap bisa mendapatkan anak lagi dari pernikahannya yang pertama itu tetapi hingga bertahun-tahun anak yang ditunggu-tunggu itu belum juga hadir. Mengetahui kenyataan tersebut,ayahnya diam dan mulai resah.Ia kemudian mendesak Bakri Syahid untuk segera menikah lagi,harapannya dengan menikah lagi,Bakri
�19Wawancara dengan H. Lukman Syahid (80 th.), adik kandung Bakri Syahid, di
rumahnya pada tanggal 5 Agustus 2007 20 Ibid 21Wawancara dengan Nurul Asakin (56 th.), keponakan Bakri Syahid,di rumah istri
pertama Bakri Syahid pada tanggal 22 April 2007. 22Wawancara dengan Umi Salamah (56 th.), keponakan Bakri Syahid, di rumah istri
pertama pada tanggal 22 April 2007.
��
63 �
�����������������������������������������������������������������
Syahid bisa mendapatkan keturunan.Desakan ayahnya tersebut baru dilaksanakan oleh Bakri Syahid setelah pensiun. Dia menikah dengan seorang gadis mantan anak asuhnya, alumni Madrasah Mu’allimat bernama Sunarti.Gadis yang berasal dari Wonosari Gunung Kidul tersebut dinikahi secara sirri.23Dari pernikahannya yang kedua lahir dua orang anak.Anak pertama perempuan diberi nama Siti Arifah Manishati, sedangkan anak kedua laki-laki diberi nama Bagus Hadi Kusuma.Bersama istri keduanya, Bakri Syahid tinggal di Jakarta, meskipun demikian, dia masih sering datang ke Yogyakarta untuk menjenguk istri pertamanya.24
Pendidikan Bakri Syahid dimulai sejak masih kanak-kanak didalam keluarga di bawah bimbingan kedua orang tuanya.Pada masa ini,ia dibekali dasar-dasar pendidikan agama dan budi pekerti.Sedangkan pendidikan formalnya diperoleh dari Kweekschool Islam Muhammadiyah (sekarang Madrasah Muallimin) sampai lulus pada tahun 1935.25 Setamat dari sekolah ini,ia mendapat tugas dari Muhammadiyah untuk dakwah ke Sepanjang Sidoarjo Jawa Timur, menyusul kakaknya Siti Aminah,yang telah lama bertugas disana.26 Di sana, ia bertugas sebagai guru H.I.S Muhammadiyah. Tugas ini dijalaninya dalam waktu beberapa tahun, sampai kemudian ia dikirim ke Sekayu Bengkulu bersama kakak iparnya, Dahlan Mughani, hingga tahun 1942.27
Pulang dari Bengkulu Bakri Syahid diangkat menjadi kepala Pusroh TNI AD di Jakarta. Setiap menjalankan tugas, Bakri Syahid selalu menunjukkan kinerja dengan semangat juang dan pengabdian yang bagus. Karena itu, pada tahun 1957, ia diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi sebagai mahasiswa tugas belajar. Ia kemudian masuk Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, dan tamat pada tanggal 16 Januari 1963. Selanjutnya, pada tahun 1964, ia
�23Wawancara dengan Umi Salamah (56 th.), keponakan Bakri Syahid, di rumah istri
pertama pada tanggal 22 April 2007 24Wawancara dengan Sunarti (45 th.), istri kedua Bakri Syahid, per-telepon pada
tanggal 6 Agustus 2007. 25 Nama kweek school yang berasal dari bahasa Belanda ini diganti nama menjadi
Madrasah Muallimin sejak kongres Muhammadiyah ke XXIII tahun 1934. Periksa Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam Persepektif Historis dan Ideologis,ed. Muhammad Mas’udi (Yogyakarta: LPPI UMY,2003),hlm.149.
26Pengiriman putra-putri alumni Madrasah Muallimin keseluruh pelosok tanah air ini dimulai sejak tahun 1928, yang kemudian dikenal dengan istilah “anak panah” Muhammadiyah. Diantara mereka ada nama-nama besar, seperti Hamka ke Makassar kira-kira pada tahun 1928, R.Z Fanani kepagar alam Sumatra Selatan pada tahun 1929, dan AR. Fakhrudin keTalang BalaiTanjung Raja Palembang pada tahun 1935. Lebih lanjut baca Ibid., hlm.148.
27Wawancara dengan Nurul Asikin (56 th), keponakan Bakri Syahid, di rumahnya pada tanggal 22 April 2007.
��
64 �
�����������������������������������������������������������������
mendapat tugas dari Jenderal A. Yani (almarhum) untuk melanjutkan pendidikan militer di Fort Hamilton, New York, Amerika Serikat.28
Selama kariernya di militer, beberapa kali Bakri Syahid dipercaya untuk menduduki beberapa jabatan penting. Jabatan yang pernah didudukinya antara lain Komandan Kompi, Wartawan Perang No. 6-MBT, Kepala Staf Batalion STM- Yogyakarta. Kepala pendidikan Pusat Rawatan Ruhani Islam Angkatan Darat, Wakil Kepala Pusroh Islam Angkatan Darat, dan Asisten Sekretaris Negara R.I. Adapun jabatan di luar karier militer adalah sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta periode 1972- 1976. Jabatan terakhir yang didudukinya adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI. dari fraksi ABRI, yang pelantikannya dilaksankan 1 Oktober 1977. Sampai masa pensiun, pangkat kemiliteran yang berhasil diraih Bakri Syahid adalah Kolonel Infantri Angkatan Darat NRP. 15382.
Bakri Syahid termasuk salah seorang anggota militer yang memiliki perhatian besar terhadap dunia akademik dan intelektual. Ia juga memiliki bakat yang besar di bidang kepenulisan. Bakatnya itu kemudian mendapat saluran yang tepat ketika ia menjabat sebagai wartawan perang. Tidak sedikit karya tulis yang telah dihasilkan dan dipublikasikan dalam bentuk buku. Beberpakaryanya itu ada yang ditulis sejak ia masih menjadi mahasiswa, dan adapula yang ditulis setelah menduduki jabatan Rektor IAIN Sunan Kalijaga. Karya-karya yang ditulis ketika masih menjadi mahasiswa antara lain Tata Negara RI, Ilmu Jiwa Sosial, Kitab Fiqih, dan Kitab ‘Aqaid. Adapun karya-karya yang dihasilkan setelah ia menjabat Rektor IAIN Sunan Kalijaga antara lain Pertahanan Keamanan Nasional, Ilmu Kewiraan, dan Ideologi Negara Pancasila.29 Sementara itu, kitab Tafsir al-Huda penulisannya dimulai sejak ia menjabat Asisten Sekretaris Negara RI sampai menduduki jabatan Rektor IAIN Sunan Kalijaga. Semua karya tulis tersebut disebarluarskan oleh penerbit Bagus Arafah Yogyakarta.
Bakri Syahid menduduki jabatan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta selama empat tahun, tahun 1972-1976. Di awal jabatannya, program yang dilakukan adalah mengubah IAIN dari ‘situasi lama’ menjadi ‘situasi baru’. Hal ini terutama berkaitan dengan kondisi keuangan yang tidak terkontrol yang menyebabkan kas IAIN kosong, hingga sempat meminjam uang ke UII sebesar Rp. 300.000. Langkah pertama yang dilakukan oleh Bakri Syahid adalah membentuk Yayasan Pembinaan IAIN Sunan Kalijaga dengan akta notaris RM. Suryanto Kertaningrat No. 4 tahun 1972. Sebagai ketua yayasan, ditunjuk KRT, Joyonegoro yang pada saat itu menjabat sebagai Pembantu Rektor II.
�28Lihat, “Cacala Saking Penerbit Bagus Arafah”, Bakrio Syahid, al-Huda Tafsir
Qur’an BasaJawi (Yohyakarta: Bagus Arafah, 1979), hlm.9. 29 “Cacala Saking Penerbit Bagus Arafah” dalam Bakri Syahid, al-Huda, hlm. 9.
��
65 �
�����������������������������������������������������������������
Melaui yayasan inilah IAIN mampu mengumpulkan dana dan mengelolanya untuk berbagai kegiatan dan pengadaan fasilitas.30
Kemajuan IAIN yang paling memonjol pada masa kepemimpinan Bakri Syahid adalah dibentuknya Gugus Depan (Gudep) Pramuka 286/287 untuk yang pertama kali. Sementara itu, di bidang kelembagaan, ia membentuk berbagai lembaga, yaitu lembaga riset, lembaga dakwah, lembaga penerbitan, lembaga seni budaya, lembaga hukum Islam, lembaga hisab, lembaga pendidikan Islam, dan lembaga bahasa. Namun demikian, selama masa kepemimpinannya, lembaga-lembaga tersebut belum berjalan semuanya sebagaimana yang diharapkan. Hanya ada beberapa lembaga yang telah berjalan, salah satunya adalah lembaga seni budaya. Lembaga ini mengadakan kerjasama dengan pusat Tari Bagong Kusudiardjo, hingga kemudian lahirlah Sendra Tari Sunan Kalijaga.31
Setelah tidak menjabat Rektor IAIN dan memasuki masa pensiun, Bakri Syahid tetap aktif dalam kegiatan dakwah di masyarakat dan berbagai kegiatan sosial lainnya. Salah satunya ia aktif dlam merintis pendidrian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), bersama dengan Pak Mawardi (alm.) dan Pak Darson Hamid. Dalam kegiatan ini, ia dipercaya sebagai Ketua Panitia Pendiri. Ketika UMY akhirnya berdiri pada bulan Agustus 1981, ia kemudian didaulat menjadi rektor pertama pada perguruan tinggi kebanggaan warga Muhammadiyah di wilayah Yogyakarta itu. Hal ini didasarkan pada penilaian para koleganya bahwa ia telah memiliki pengalaman cukup dalam memimpin perguruan tinggi, yaitu IAIN Sunan Kalijaga.32 Bakri Syahid meninggal pada tahun 1994. Ketika itu beliau berumur 76 Tahun.
C. Nasionalisme
Kata nasionalisme berasal dari bahasa Inggris “Nationalism”, perpaduan dari kata “national” dan “ism”. Nasional adalah kata sifat yang berarti “of anation or the nation” (berkenaan dengan bangsa) dan nation itu kata Inggris yang berasal dari bahasa Latin “natio, natus” yang berarti “to be born” (dilahirkan).33 Nation, artinya menurut bahasa menjadi komunitas besar manusia (bangsa) yang hidup dalam kawasan tertentu dan dinaungi dalam satu pemerintahan.34
Secara harfiah, Istilah nasionalisme ialah paham tentang bangsa atau
�30Ibid. 31Ibid. 32LebihlanjutbacaDarson Hamid, “MemoriAkhir Masa JabatanRektor Masa Bakti
1986 – 1997”, UniversitasMUhammadiyah Yogyakarta, Desember 1997. 33Websters’s New Word Dictionary of The Amerrican Language (padakata:nation
dannational). 34 A P Cowie ed., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
(Oxford Universty Press, 1989), h. 823
��
66 �
�����������������������������������������������������������������
kebangsaan. Bangsa yang dimaksud disini menurut Huszar dan Stevenson adalah “the natural and desirable political unit,”35 kesatuan politik yang wajar dan diinginkan. Stoddard member definisi nasionalisme sebagai satu keyakinan yang dimiliki bersama oleh mayoritas individu bahwa mereka merupakan satu bangsa. Pengertian bangsa ini digambarkan dalam pikiran penganutnya sebagai rakyat atau masyarakat yangber gabung bersama dan tersusun dalam satu pemerintahan dan berdiam bersama dalam suatu daerah tertentu. Bila cita-cita nasional telah menjadi kenyataan, maka terbentuklah suatu badan politik yang dikenal sebagai negara.36
Nation atau Bangsa mempunyai dua pengertian yaitu bangsa dalam arti antropologis dan politik. Bangsa dalam arti antropologis adalah masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Persekutuan hidup semacam ini dalam suatu negara dapat merupakan mayoritas ataupun minoritas.37 Dalam pengertian politik (kenegaraan), bangsa adalah suatu politicalunity, suatu kesatuan dimana masing-masing anggota mungkin saja berbeda kebudayaan, adat istiadat atau kebiasaannya, akan tetapi mereka merasa satu tanggung jawab yang sama untuk mewujudkan negeri yang damai dan sejahtera. Di dalam satu political unity terdapat banyak elemen dari beberapa cultural unity, dan bisa pula terdiri dari satu cultural unitys aja.38
Jean Jacques Rousseau (1712-1778) mengatakan bahwa nasionalime menekankan nilai kesatuan moral dari rakyat yang terpaut bersama untuk mencapai tujuan bersama. Ia menegaskan bahwa masyarakat wajib diperintah dengan undang-undang yang dibuat oleh mereka sendiri, bukan dari raja yang dianggap memiliki sifat ketuhanan dan berdiri di atas undang-undang. Ia menekankan perlunya satu kesetiaan tertinggi (a supreme loyality) kepada tanah air, satu kewajiban yang suci sehingga hampir menjadi satu sendi dari kepercayaan agama.39 Rosseau mencela suatu ide kepercayaan kepada sesuatu yang lebih tinggi, seperti masyarakat dunia atau keseluruhan ras manusia. Ringkasnya ia berusaha membangkitkan rakyat kepada satu keyakinan kepada satu warisan bersama, nasib yang sama, dan menuntut pada orang-orang yang memiliki status sama dalam masyarakat agar menentukan nasib sendiri (right of
�35Aminuddin Nur, Pengantar Studi Sedjarah ...., h. 92 36L. Stoddard, Dunia Baru Islam (Terj. The New World of Islam), (Jakarta: Panitiya
Penerbit Dunia Baru Islam, 1966), h.137-138. 37Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme...., h. 57 38Aminuddin Nur, Pengantar Studi Sedjarah Pergerakan Nasional, (Djakarta: PT
Pembangunan Mas,1967),h.87 39John B. Witton ed.,“Nationalism dan Internationalism”, dalam The Encyclopedia
Americana, (Vol.8,NewYork,1956), h. 753
��
67 �
�����������������������������������������������������������������
self determination).
Rupert Emerson mendefinisikan nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan.40 Sementara menurut Ernes Renan, yang sering dikutip Soekarno, nasionalisme merupakan unsur yang dominan dalam kehidupan sosial politik sekelompok manusia dan telah mendorong terbentuknya suatu bangsa atau nation guna menyatukan kehendak untuk bersatu.41 Persepsi ini paralel dengan pandangan Islam sebagaimana tertera dalam ayat Al-Qur’an berikut:
يا أيھا الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أتقاكم إن عليم خبير أكرمكم عند هللا هللا
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwadiantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-¦ujur±t/49: 13)
Meminjam wacana Soekarno, semangat nasionalisme merupakan semangat kelompok manusia yang hendak membangun suatu bangsa yang mandiri, dilandasi jiwa dan kesetiakawanan yang besar, mempunyai kehendak untuk bersatu dan terus menerus ditingkatkan untuk bersatu, dan menciptakan keadilan dan kebersamaan. Hasrat hidup merupkan solidaritas yang agung. Ernes Renan menyebut nasionalisme sebagai kehendak untuk bersatu.42
Tujuan nasionalisme ini adalah pembebasan dari penjajahan dan menciptakan masyarakat/ negara yang adil, dimana tidak ada lagi penindasan manusia oleh manusia, sebagaima diungkap dalam surat al-Baqarah: 279, “tidak menzalimi orang lain, dan kamu pun tidak dizalimi.”
Nasionalisme didefinisikan secara mendalam oleh Dr. Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics, bahwa ia harus mengandung empat unsur, yaitu:1) hasrat untuk mencapai kesatuan, 2) hasrat untuk mencapai kemerdekaan, 3) hasrat untuk mencapai keaslian,
�40Rupert Emerson, From Empireto Nation, The Riseto Self-Assertionof Asian
and =0طج 41 Al Chaidar et. all, Federasi dan Disentegrasi, (Jakarta : Madani Press, 2000), 34 42Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal dalam
Konteks Nasional, (Jakarta: Pustakan Al-Kautsar, 2005), h. 3
��
68 �
�����������������������������������������������������������������
dan 4) hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.43 Dari definisi itu nampak bahwa negara dan bangsa adalah sekelompok manusia yang memiliki cita-cita bersama yang mengikat warga negara menjadi satu kesatuan; memiliki sejarah hidup bersama sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan; memiliki adat, budaya, dan kebiasaan, baik sama maupun berbeda sebagai akibat pengalaman hidup bersama; menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah; dan teroganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat sehingga mereka terikat dalam suatu masyarakat hukum. Berangkat dari definisi ini, maka aspek-aspek nasionalisme yang akan dikaji meliputi: cinta tanah air, persatuan dan kesatuan Negara, dan membela Negara.
D. Cinta Tanah Air
Inti dari nasionalisme adalah cinta pada tanah air, yakni cinta terhadap negeri dimana tempat seseorang dilahirkan. Cinta tanah air merupakan fitrah setiap manusia karena itu Nabi Muhammad dalam beberapa hadisnya secara eksplisit mengungkapkan kecintaannya kepada Makkah al-Mukarramah dimana beliau dilahirkan dan dibesarkan, meskipun pada akhirnya beliau berhijrah dan menetap di Madinah. Rasulullah Saw. bersabda tentang negeri Makkah,
إنك لخير أرض هللا وأحبه إلى هللا تعالى ، ولوال أني كنت أخرجت منك ما وهللا خرجت
Demi Allah engkau adalah sebaik-baik bumi Allah dan yang paling dicintai Allah. Seandainya aku tidak diusir darimu, maka pasti aku tidak akan keluar darimu. (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)
Makkah memang telah dipilih Allah sebagai negeri yang didiami para nabi, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, serta Nabi Muhammad Saw. karena itu wajar jika negeri ini merupakan negeri yang paling dicintai Allah Swt. Akan tetapi, dari sisi kemanusiaannya Nabi Muhammad sangat mencintai negeri ini karena disanalah beliau lahir dan dibesarkan. Dari sisi kemanusiaan inilah, wajar jika manusia sangat mencintai negeri dimana dia dilahirkan dan dibesarkan.
Salah satu surat dalam al-Quran yang menerangkan tentang negeri adalah surat al-Balad yang memang artinya negeri. Allah bersumpah dengan suatu negeri ini, tentu karena negeri dimana seseorang tinggal itu pasti akan berpengaruh dan dipertahankan oleh penduduk yang tinggal di dalamnya. Para mufassir sepakat bahwa yang dimaksud dengan negeri dalam surat al-Balad adalah negeri Makkah, akan tetapi jika kaidah yang
�43 Frederick Hertz, Nationality in History and Politics: a Psychology and Sociology
of National Sentiment and Nationalism, (London: Routledge & Kegan Paul, 1951), h. 34
��
69 �
�����������������������������������������������������������������
digunakan adalah al-‘ibrahbi ‘umum al-lafzhi lābikhu¡µs as-sabab (ungkapan yang dianggap adalah karena umumnya lafazh bukan karena khususnya sebab), maka yang dimaksud disini adalah negeri manapun tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan yang aman dari segala macam ganggungan.
Karena itu, dalam menafsirkan surat ini, Bakri Syahid mengungkap hal yang unik terkait negeri ini. Dalam tafsirnya, beliau mengungkapkan: Maksud utami surat al-Balad utawi ambangun negari punika anelakaken bilih ambangun desa punika wonten tata caranipun, meka tenugi amba dhol desa utawi transmigrasi punika tambah rumit malih. Punapa malih ambangun nusantara sa-indhenging Indonesia ingkang mawarni-warni trah katurunanipun, agami, serta adat tata cara, serta rupi derajat sosial lanekonomipun. Nanging sadoyo wau namung satunggal bangsa, satunggal wutahrah, serta satunggal basa, inggih punika nagari Republik Indonesia. Pramila wontening surat al-Balad, Gusti Allah paring pitedah, supado stansah lumampahing margi ingkangleres, sampun kelut godha rencana ingkang saking fitnah, hasud, dengki, laning kang damel risak pembangunan, kedah kiyat manah kita ngadhepi alang rintangan punapake mawon, kados pundi kemawon kita kedah tansah guyup-rukun saekapraya kaliyan sadherek kita tunggal bangsa. Kita kedah ingkang kekah nyepangi paugeran, bilih sadaya punika kedah temata sarana tatanan ingkang kita damel piyambek, wosipun kita kedah nglembagakaken negeri kita piyambek! Punika margi ingkang leres kang geambangun negeri! 44
Artinya:
Maksud utama surat al-Balad adalah bahwa membangun negeri atau membangun desa itu ada caranya. Begitu pula membangun desa baru atau transmigrasi itu tambah rumit lagi. Apalagi membangun nusantara, yang mencakup seluruh Indonesia yang bermacam-macam suku, agama, adat istiadat, serta strata sosial dan ekonominya. Namun, semua itu merupakan satu bangsa, satu tumpah darah, satu bahasa, yakni Negara Republik Indonesia. Karena itu dalam surat al-Balad, Allah memberikan petunjuk agar tetap berjalan di jalan yang benar, maka (penduduknya) tidak boleh mempunyai rencana yang menimbulkan fitnah, hasud, dengki, dan sesuatu yang menjadikan rusak pembangunan (negaranya). Kita harus kuat menghadapi aral melintang apa pun jua. Bagaimana pun, kita harus hidup rukun sesama saudara kita satu bangsa. Kita harus
�44Bakri Syahid, Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, (Yogyakarta: Percetakan Offset
Persatuan, 1979), h. 1279
��
70 �
kokoh merajut persaudaraan karena semua tatanan yang ada merupakan buatan kita sendiri. Jadi, kita harus mengatur negara kita sendiri. Inilah jalan benar untuk membangun negara.
Dalam penafsirannya terhadap surat al-Balad ini, Bakri Syahid menyatakan bahwa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama, adat istiadat dan sosial ekonomi ini merupakan satu bangsa yang berada di bawah naungan negara kesatuan Republik Indonesia. Paling tidak, menurut pandangannya, ada tiga cara supaya negara ini menjadi negara yang makmur sejahtera:
1. Penduduk negerinya tidak boleh mempunyai rencana jahat yang dapat menimbulkan fitnah, hasud, dengki, dan hal lainnya yang dapat merusak pembangunan negara.
2. Rakyat harus hidup rukun sesama saudara satu bangsa, tanpa melihat suku, agama, ras, dan antar golongan.
3. Tatanan hidup (undang-undang) merupakan kesepakatan bersama untuk mengatur kehidupan bernegara, maka rakyat harus mematuhinya agar kedisplinan tetap terjaga dan persaudaraan tidak terputus.
Membangun negara yang terpenting adalah menjadikan rakyatnya baik dan hidup rukun antar sesama. Hal ini tidak bisa dilaksanakan kecuali menghadirkan agama sebagai pedoman hidup bagi masing-masing rakyatnya. Dalam konteks ini, Bakri Syahid pernah menyatakan bahwa negara Indonesia ini bukanlah negara agama, melainkan negara Pancasila. Karena itu, komunis yang berfahamatheis (tidak percaya adanya Allah) tidak layak hidup di tengah-tengah masyarakat. Dalam negara Pancasila yang ditekankan adalah sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Bagi kaum muslimin, sila pertama ini sama dengan beriman kepada Allah Swt. Iman akan lebih sempurna jika dibarengi dengan ketakwaan kepada-Nya, yakni menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jika iman dan takwa sudah mendarah daging dalam diri rakyat Indonesia seluruhnya, maka Allah berjanji akan menjadikan negara ini baldatun thoyyibatun warabbunghafur (negeri makmur dan Tuhan yang senantiasa memberi ampunan). Inilah yang dijanjikan Allah dalam surat al-A’raf: 96,
ماء واألرض ولكن ولو أن أھل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليھم بركات من الس كذبوا فأخذناھم بما كانوا يكسبون
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
��
71 �
�����������������������������������������������������������������
Cinta pada tanah air ini bukan semata-semata ingin menetap di
dalamnya dan membela jika ada yang mau menjajahnya, namun lebih dari itu dalam masa-masa aman ini harus diisi dengan membangun negeri, bukan merusaknya. Disamping itu, rakyat harus merawat kebhinekaan yang telah ada sebelum negeri ini lahir. Sifat hasud, iri, dengki, dan suka mengadu domba harus dijauhkan dari setiap manusia yang ingin kedamaian dan kemakmuran pada negeri ini. Saling tolong menolong dalam bentuk gotong royong, guyuprukun yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia sejak dahulu harus senantiasa dikembangkan dan diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Cinta tanah air juga harus diaplikasikan dalam wujud nyata dengan mematuhi undang-undang yang merupakan tatanan hidup bernegara yang sudah disepakati bersama. Tanpa adanya undang-undang ini, maka kehidupan bernegara akan kacau balau dan rakyat akan semena-mena menindas kepada sesamanya. Orang kaya akan menindas orang miskin dan kuat akan menganiaya orang lemah. Inilah makna dari persaudaraan sebangsa setanah air yang diungkapkan oleh Bakri Syahid dalam menafsirkan surat al-Balad.
E. Persatuan dan Kesatuan Negara
Ketika bangsa Indonesia ini dijajah oleh bangsa lain dan semua rakyat bersatu untuk mengusir mereka, maka jadilah bangsa ini memperoleh kemerdekaan yang selama ini sangat didambakan. Klimaksnya setelah Presiden Soekarno mengumumkan kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun jauh sebelum itu, para pemuda pemudi Indonesia telah mengadakan Sumpah Pemuda yang merupakan momentum yang sangat berarti bagi persatuan Indonesia seutuhnya. Mereka mengesampingkan perbedaan suku, agama, sosial ekonomi, dan perang karena dendam antar kawasan yang mungkin pernah terjadi pada nenek moyang mereka karena ini semua dapat mengikis nasionalisme.45
Menurut Bakri Syahid dalam menafsirkan surat ar-Ra’d: 21, terjadinya Sumpah Pemuda karena pertemuan silaturrahmi antar pemuda sebagai perwakilan dari beberapa wilayah Indonesia. Surat ar-Ra’d ayat: 21 berbunyi sebagai berikut:
به أن يوصل ويخشون ربھم ويخافون سوء الح ساب والذين يصلون ما أمر هللاDan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
�45Steven Grosby, Nasionalisme: Makna Bangsa dan Tanah Air, (Surabaya: Portico
Publishing, 2010) h. 58.
��
72 �
�����������������������������������������������������������������
Dalam menafsirkan ayat ini, Bakri Syahid mengatakan:
Saestu nyambut tangsul pase dherekan (silaturrahmi) karena Allah, boten pamrih punapa-punapa amung kerana sungkem nderek dhawuhing Allah Swt. Punika ageng sanget ganjaranipun, serta kathah sanget manfa’atipun. Mula bukanipun saking anggat hukaken balung-balung pisah, ngantos saged hasil anjodho kaken sadherek ingkang ambetahaken saestu jejodhohan, wiyaripun damel karukunan gesang bebrayaning bangsa saking tuwuhing ikrar (Sumpah Pemuda). Asalipun saking pepanggihan silaturrahmi, lajengdados ikrar: Satunggal Nusa, Satunggal Basa, lan Satunggal Bangsa, estu-estupunika syarat mutlak badhekiyating Ketahanan Nasional. Tetilaranipunti yang sepuh: Rukun agawe sentosa, crahagawe bubrah.46 Artinya:
Sungguh melakukan persaudaraan (silaturrahmi) karena Allah, tanpa mengharapkan apa-apa hanya taat mengikuti firman Allah itu besar sekali pahalanya dan banyak sekali manfaatnya. Karena itu, hal ini bukan hanya sekedar memadukan tulang belulang yang terpisah, bahkan ia dapat menjodohkan saudara yang membutuhkan perjodohan yang erat. Adapun dalam rangka membuat kerukunan dalam kehidupan berbangsa, maka para pemuda mengucapkan janji setia yang kemudian disebut Sumpah Pemuda. Tumbuh kembangnya persatuan bangsa berdasarkan terjadinya ikrar (sumpah pemuda) ini. Teksnya berbunyi: satu nusa, satu bahasa, dan satu bangsa. Sungguh inilah syarat mutlak menjadi kuatnya ketahanan nasional. Prinsip yang diungkap oleh orang-orang tua adalah, rukun menjadikan damai sentosa, sedangkan perseteruan itu menjadikan cerai berai.
Ada beberapa hal yang disebutkan Bakri Syahid terkait penafsiran ayat ini, antara lain:
1. Silaturrahmi itu sangat besar manfaatnya, bahkan bisa menjadikan perjodohan atau persahabatan yang sangat erat melebihi saudara kandung bagaikan memadukan tulang belulang yang terpisah.
2. Berdasarkan silaturrahmi antar pemuda, tumbuh kesadaran untuk meneguhkan kerukunan dan persatuan bangsa dalam bentuk ikrar bersama yang disebut Sumpah Pemuda.
3. Petuah orang tua, “rukun menjadikan damai sentosa, sedangkan
�46Bakri Syahid, Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, h. 448
��
73 �
perseteruan menjadikan cerai berai”. Inilah kearifan lokal kita supaya jati diri bangsa terus dilestarikan dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia senantiasa diperkokoh.
Apa yang disebutkan di atas sangat tepat dan sesuai dengan ajaran Islam, Rasulullah Saw. bersabda,
ه فى أثره فليصل رحمه من أحب أن يبسط له فى رزقه وينسأ ل
Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung tali silaturrahmi. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Silaturrahmi dapat memberikan inspirasi untuk membangun negeri
dan memperkuat kesatuan wilayah. Prinsip musyawarah mufakat yang diajarkan oleh leluhur kita merupakan bagian dari silaturrahmi ini. Kerukunan yang dibangun atas dasar saling menghormati antar sesama manusia (ukhuwwahbasyariyyah) dan antar saudara setanah air (ukhuwwahwathaniyyah) semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Inilah yang diajarkan oleh Bakri Syahid dalam tafsirnya.
F. Membela Negara
Prinsip nasionalisme yang lain adalah membela negara dalam keadaan perang maupun keadaan aman. Jika dalam keadaan perang jelas, semua rakyat harus membela negara ketika diserang musuh yang ingin menjajah negara kita. Demikian juga ketika negara ini aman, sikap kita sebagai warga negara harus mewaspadai segala bentuk terorisme yang saat ini sedang menghantui negara kita. Rakyat adalah bagian terpenting dari negara ini, jika ada sesuatu yang mencurigakan terjadi pada masyarakat, terutama terkait aksi teroris, kita harus melaporkan kepada aparat terkait. Rakyat ini, menurut Bakri Syahid, adalah bagian dari intelijen negara untuk menjadikan negar tetap aman.
Dalam surat al-Hujurat ayat 6, Allah berfirman:
فتبينوا أن تصيبوا قوما بجھالة يا أيھا الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Dalam menafsirkan ayat ini, Bakri Syahid mengatakan sebagai
��
74 �
�����������������������������������������������������������������
berikut:
Intelijen negara lan stabilitas keamanan punikakuwajibanipun Pemerintah kabantu masyarakat. Suraosipun ayat 6-7 punikamanawiing jaman modern kawastanan BAKIN utawi Badan Koordinasi Intelijen Negara wontening tata bina pemerintahan Republik Indonesia. Wontening Negari Demokrasi, kadosnegari kita, Negari Pancasila,hakekatipun Intelijen Negari lan stabilitas keamaanpunikarumagangipun rakyat ingkangkapimpindening pemerintah, lanintinipunkakiyatan ABRI. Sebab, UUD 45 pasal 30 anyebatakenbilih saben warga negara wajib lan hak ambelani negara, serta caranipundipun tata dening aturan negari....47
Artinya:
Intelijen negara dan stabilitas keamanan itu merupakan kewajiban Pemerintah yang dibantu oleh masyarakat. Sebenarnya ayat 6-7 itu kalau di zaman modern ini dipegang oleh BAKIN atau Badan Koordinasi Intelijen Negara yang ada dalam pembinaan pemerintahan Republik Indonesia. Dalam negara demokrasi, seperti negeri kita ini, Negara Pancasila, hakekatnya Intelijen negara dan stabilitas keamanan itu kewajiban rakyat yang dipimpin oleh pemerintah, intinya dari kekuatan ABRI (TNI). Sebab, UUD 45 pasal 30 menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib dan berhak membela negara, dengan cara yang telah diundangkan dalam aturan negara...
Bakri Syahid menafsirkan ayat ini sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang mantan kolonel di TNI AD, dia menjelaskan bahwa tugas intelijen yang dalam bahasa al-Qurannya tabayyun (memastikan kebenaran suatu peristiwa) setelah ada kabar terjadinya sesuatu merupakan tugas pemerintah yang dibantu oleh rakyat. Rakyat berkewajiban untuk membela negara, jika terjadi sesuatu yang dapat merusak tatanan hidup dan ketenteraman masyarakat.
Saat ini di media sosial sangat banyak berita yang bernada provokartif, ujaran kebencian, dan hoax atau berita bohong, sebagai seorang muslim kita harus tabayyun tidak boleh serta merta membenarkan berita tersebut. Mencari kebenaran atas suatu berita yang mengandung provokatif dan memecah belah bangsa hukumnya wajib, sebagaimana diungkap dalam ayat di atas, apalagi berita tersebut berasal dari orang yang tidak dikenal. Dalam hal ini, Imam Ibnu Katsir menghukumi orang yang tidak dikenal itu sebagaimana orang fasik.48 Apa yang dilakukan untuk menghindari fitnah atau perpecahan antar golongan
�47Bakri Syahid, Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, h. 1033 48Abu al-Fida Ismail ibn Katsir, Tafs³r al-Qur’±n al-‘A§im (Bairut: D±r °ayyibah li
an-Nasyrwa at-Tauz³’, 1999), jilid VII, h. 370.
��
75 �
dan agama juga merupakan satu satu bagian dari cara kita membela negara untuk menghindari perang saudara sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain. Inilah yang dimaksud dalam penafsiran Bakri Syahid atas surat al-Hujurat ayat: 6 ini.
G. Penutup
1. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Bakri Syahid dalam tafsir Al-Huda, nasionalisme harus didasarkan pada tiga sikap utama yang harus dimiliki setiap warga negara, antara lain sebagai berikut:
a. Cinta tanah air bukan hanya sekedar mencinta kampung halaman dimana kita dilahirkan, yang terpenting adalah mengisi kecintaan tersebut dengan membangun kerukunan hidup antara sesama manusia, tanpa melihat suku, agama, ras dan golongan. Kita harus menjauhi sifat iri, dengki, hasud dan lainnya yang dapat merusak hubungan antar sesama. Cinta tanah air harus diisi dengan membangun negeri kita dengan hal-hal yang positif, bukan malah merusak pembangunan tersebut.
b. Persatuan dan kesatuan negara akan terwujud dengan cara membangun hubungan baik dengan orang lain atau silaturrahmi. Berawal dari silaturrahmi antar perwakilan pemuda pemudi dari penjuru tanah air, bangsa Indonesia mulai mempersatukan diri dalam satu kesatuan dan diikrarkan dalam Sumpah Pemuda. Ini semua berkat nasehat leluhur kita yang mengatakan, “rukun menjadikan damai sentosa, sedangkan perseteruan menjadikan cerai berai”.
c. Membela negara bukan hanya tugas aparat negara, TNI dan POLRI, namun ini merupakan tugas semua rakyat Indonesia. Membela negara dilakukan di masa perang maupun di masa aman. Rakyat adalah mata dan telinga pemerintah, jika ada suatu berita yang akan merusak tatanan hidup bernegara di masa aman harus dilaporkan kepada aparat pemerintah yang terkait. Akan tetapi, peristiwa itu harus diselidiki lebih lanjut dan tidak boleh diputuskan secara langsung karena bisa jadi pembawa berita adalah orang fasik yang justru ingin memecah belah bangsa. Inilah yang disebut tabayyun. Inilah fungsi rakyat dan pemerintah sebagai intelijen untuk bersama mengamankan negara ini.
2. Rekomendasi
Dari pembahasan di atas, penulis memberikan rekomendasi kepada pemerintah berdasarkan pembacaan penulis terhadap Tafsir Al-Huda tentang tema nasionalisme, antara lain sebagai berikut:
��
76 �
1. Pemerintah diharapkan menerapkan sikap cinta air dalam kurikulum pendidikan sekolah dengan mengembalikan kearifan lokal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya dengan membangun kerukunan hidup bertetangga tanpa melihat suku, agama, ras dan golongan.
2. Pemerintah harus mendorong setiap individu masyarakat agar menjalin hubungan silaturrahmi yang baik antar warga negara untuk memperkuat persatuan dan kesatuan negara, rukun agawe sentosa, crahagawebubrah.
3. Pemerintah harus menekankan setiap warga negara agar menjaga stabilitas nasional dengan menjadi mata telinga pemerintah dan menjauhi sikap provokatif.
Demikianlah karya ilmiah ini dipaparkan agar menjadi kontribusi pemerintah agar menggalang opini masyarakat untuk tetap bersinergi membangun negara dan menjauhi permusuhan dengan alasan apapun. Nasionalisme harus tetap dijunjung tinggi melampui perbedaan suku, agama, ras, dan golongan.
Referensi
A‘bdal-Hayyal-Farmâwi, 1997, Al-Bid±yahfîat-Tafsîral-Mau«µ’i, Kairo:
Maktabal- Jumhuriyyah.
A P Cowie ed., 1989, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford Universty Press.
Akhmad Arif Junaidi, 2012, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Karya Raden Pengulu Tafsir Anom: Intertekstualitas, Ortodoksi dan Relasi Kuasa Penafsiran Awal Abad Ke-20 M, Jakarta: Artikel UIN Syarif Hidayatullah.
Al Chaidar et. all, 2000, Federasi dan Disentegrasi, Jakarta: Madani Press.
Eatwell, Roger (ed.), 2014, Ideologi Politik Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Hertz, Frederick, 1951, Nationality in History and Politics: a Psychology and Sociology of National Sentiment and Nationalism, London: Routledge &Kegan Paul.
El-Guyanie, Gugun, 2010, Jihad Paling Syar’i, Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Grosby, Steven, 2010, Nasionalisme: Makna Bangsa dan Tanah Air, Surabaya: Portico Publishing.
��
77 �
H. Johns, 1999, "She Desired Him and He Desired Her" (Qur'an 12:24): 'Abd al-Ra'uf’s Treatment of An Episode of the Joseph Story in Tarjuman al-Mustafid,” Archipel. Vol. 57, 1999: 109.
Hamid, Darson, 1997, “Memori Akhir Masa Jabatan Rektor Masa Bakti 1986 – 1997”, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Hamid, Darson, 1997, “Memori Akhir Masa Jabatan Rektor Masa Bakti 1986 – 1997”, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Islah Gusmian, 2016, “Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa: Peneguhan Identitas, Ideologi, dan Politik”,Jurnal Suhuf, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Jajang A. Rohmana, 2014, “Memahami Al-Qur’an dengan Kearifan Lokal: Nuansa Budaya Sunda dalam Tafsir Al-Qur’an Berbahasa Sunda”, Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol 3 No. 1, (2014).
John B. Witton ed.,1956, “Nationalism dan Internationalism”, dalam The Encyclopedia Americana,Vol. 8, NewYork, 1956.
Johns, A.H., 2009, “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu: Sebuah Renungan, dalam Henri Chambert-Loir (ed.), Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: KPG, 2009.
Jum’ah, Abdullah al-Hajj, 2012, Ad-Daulah al-Wa¯aniyyahwaal-Isl±mfi al-‘²lam al-‘Arab³, J±mi’ahal-Im±r±tal-‘Arabiyyahal-Mutta¥idah: Markazal-Im±r±t li ad-Dir±s±twaal-Bu¥u£ al-Istir±t³jiyyah.
Katsir, Abu al-Fida Ismail ibn, 1999. Tafs³r al-Qur’±n al-‘A§im (Bairut: D±r °ayyibah li an-Nasyrwa at-Tauz³’, 1999), jilid VII.
L. Stoddard, 1996, Dunia Baru Islam (Terj. The New World of Islam), (Jakarta: Panitiya Penerbit Dunia Baru Islam.
Mugiono, 2014, Relasi Nasionalisme dan Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Kebangkitan Dunia Islam Global, dalam Jurnal Ilmu Agama, Vol. 15, No. 2, Palembang: UIN Raden Fatah.
Muhsin, Imam, 2013, Al-Quran dan Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid, Yogyakarta: eLSAQPress.
Nur, Aminuddin, 1967, Pengantar Studi Sedjarah Pergerakan Nasional, Djakarta: PT Pembangunan Mas.
Nurtawab, Ervan, 2009, Tafsir Al-Qur’an Nusantara Tempo Doeloe Jakarta: UshulPress.
Pasha, Musthafa Kamal & Ahmad Adaby Darban, 2003, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam Persepektif Historis dan Ideologis,ed. Muhammad Mas’udi, Yogyakarta: LPPI UMY.
��
78 �
Rosidi, Ajip, 2011, Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda, Bandung: Kiblat.
Saenong, Farid F., 2006, “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan Prospek Tafsir Al-Qur’an di Indonesia”, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006, 579.
Syahid, Bakri, 1979, Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi,Yogyakarta: Percetakan Offset Persatuan.
Zimmer, Benjamin G., 2000, “Al-‘Arabiyyah and Basa Jawa: Ideologies of Translation and Interpretation among the Muslims of West Java”, Studia Islamika, 7 (3): 2000.
75
PEMAKNAAN JIHAD FI SABILILLAH SEBAGAI BELA BANGSA
DALAM TEKS SYAIR RAJA SIAK
Bagus Kurniawan Universitas Negeri Surakarta
Abstract
This research examines the concept of jihad fi sabillilah which is contained in the
text of Syair Raja Siak. In the description explained that the concept of jihad fii
sabilillah was initiated by the author must meet the specificcriteria and
requirements based on Islamic shari'a. The concept of jihad fi sabilillah in the text
of Syair Raja Siak is not an indiscriminate hateful feeling toward to nonmoslem or
unbelievers, but there must be some criteria based on sharia. Jihad in the view of
the author of the text of Syair Raja Siak is strictly regulated in sharia and only
applies under certain conditions requiring jihad to be done. In this research, the
concept of jihad in the text of Syair Raja Siak is viewed from the point of view of
fiqh and its function which is likely to be as a hegemonic ideology. The results of
this research, among others, the text of Syair Raja Siak describes that the concept
of jihad should be based on very strict criteria according to islamic shari'a.
Secondly, the text of Syair Raja Siak has a counter discourse against colonial
discourse.
Keywords: Syair Raja Siak, Jihad Fii Sabilillah, philology
76
Abstrak
Penelitian ini mengkajikonsep jihad fi sabillilah yang terkandung dalam teks Syair
Raja Siak. Di dalam deskripsi dijelaskan bahwa konsep jihad fii sabilillah yang
digagas oleh pengarang teks harus memenuhi kriteria khusus dan syarat-syarat
tertentu yang didasarkan dengan syariat Islam. Konsep jihad fi sabilillah di dalam
teks Syair Raja Siak bukanlah perasaan benci yang membabi buta terhadap orang
kafir atau orang yang tidak seiman, melainkan harus ada kondisi dan syarat-syarat
tertentu. Jihad dalam pandangan pengarang teks Syair Raja Siak diatur secara
ketat dalam syariah dan hanya berlaku dalam kondisi tertentu yang mewajibkan
jihad perlu dilakukan. Di dalam penelitian ini, konsep ajaran jihad fi sabillilah
dalam teks Syair Raja Siak ditinjau dari sudut pandang fikih dan fungsinya yang
kemungkinan besar dapat berupa sebagai sebuah ideologi yang bersifat
hegemonik. Hasil penelitian ini antara lain, teks Syair Raja Siak menguaraikan
bahwa konsep jihad harus didasari criteria-kriteria yang amat ketat menurut
syariat Islam. Kedua, teks Syair Raja Siak memiliki wacana tandingan terhadap
kekuasaan colonial.
Kata Kunci: Syair Raja Siak, Jihad Fii Sabilillah, filologi
A. Pendahuluan
Studi filologi selama ini lebih dititikberatkan pada studi naskah. Artinya,
para peneliti filologi Indonesia pada masa awal sampai masa kontemporer
cenderung berkutat pada tujuan menyajikan suntingan, mengkaji iluminasi naskah,
alas naskah, atau bahkan sejarah naskah. Memang ada beberapa kajian yang
berbeda dengan hal tersebut, tetapi tampaknya arus utama studi filologi masih
bersifat kodikologis atau berkutat pada aspek fisik, bukan pada aspek keterkaitan
isi teks dan relevansinya terhadap masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa studi teks dan kebudayaan terhadap naskah-naskah Melayu klasik kurang
berkembang. Sebagai contoh, studi filologis yang fenomenal, tetapi bersifat
kodikologis antara lain, penelitian Uli Kozok yang berjudul Kitab Undang-
Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua (2006), penelitian Mu’jizah
yang berjudul Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19 2009),
serta penelitian Ellyana Hinta yang berjudul Tinilo Pa’ita Naskah Puisi
Gorontalo: Sebuah Kajian Filologis (2005) masih merupakan sebuah studi yang
berkutat pada aspek pernaskahan. Penelitian-penelitian tersebut dari sisi studi isi
naskah dan studi kebudayaan belum menunjukkan kebaruan dalam bidang filologi.
Studi Uli Kozok (2006) dinilai sebagai studi yang fenomenal dalam bidang
filologi Melayu karena dapat menggabungkan studi filologi dengan bidang ilmu
kimia untuk membuktikan usia naskah. Sebagai hasil dari penelitian tersebut dapat
diketahui bahwa umur naskah kajian berasal dari abad ke-14. Kesimpulan
tersebut mematahkan asumsi sebelumnya bahwa naskah Melayu tertua adalah
Hikayat Sri Rama yang berasal dari abad ke-16.Tentu saja, penelitian Uli Kozok
tersebut menyumbangkan informasi yang sangat besar bagi sejarah Indonesia pada
umumnya. Akan tetapi, dari sisi kandungan informasi naskah atau studi teks belum
77
ada hasil yang diharapkan dapat mengungkap sisi kebudayaan yang komprehensif
didalam teks tersebut. Oleh sebab itu, studi teks perlu dilakukan terhadap naskah-
naskah yang lain.
Di lain pihak, Baried dkk. (1994) menyatakan bahwa naskah lama
mengandung berbagai informasi yang masih relevan untuk diungkapkan bagi
kehidupan dan kebudayaan masyarakat modern. Baginya, studi filologi
seharusnya tidak hanya mencakup studi naskah, tetapi jauh lebih penting dari hal
itu ialah mengungkapkan segala informasi yang berguna bagi kehidupan dan
kemaslahatan masyarakat modern. Oleh sebab itu, studi filologi sebagai sebuah
studi kebudayaan perlu melakukan studi teks untuk mengungkap fenomena
kebudayaan yang terkandung dalam setiap naskah Melayu klasik. Hal init idak
berarti studi naskah tidak penting untuk dilakukan, tetapi justru studi teks adalah
langkah yang harus dilakukan sebagai kesinambungan dari langkah studi naskah.
Hasil studi naskah perlu dilanjutkan menjadi studi teks agar kajian filologi dapat
menjawab fungsi dan relevansinya bagi kepentingan masyarakat.
Berkaitan dengan kondisi bangsa saat ini yang cenderung rentan terhadap
ajaran-ajaran radikal, maka studi teks dalam bidang kajian filologi perlu berupaya
memberikan sumbangsih pemikiran. Ajaran radikal merupakan suatu bahaya
laten yang perlu diwaspadai. Akan tetapi, dalam tulisan ini tidak akan menjawab
mengenai persoalan radikalisme, tetapi mengungkapkan bagaimana ajaran jihad
yang selama ini dianggap sebagai sebuah kredo perjuangan bagi kaum radikal
garis keras ditempatkan dalam proporsi yang sebenarnya. Konsep ajaran jihad fi
sabillilah sebagai salah satu kredo yang pada umumnya diusung oleh gerakan
radikal di Indonesia perlu ditinjau dari sudut pandang fikih Islam dan fungsinya
sebagai sebuah ideologi yang bersifat hegemonik lewat teks Melayu klasik.
Penelitian ini mengulas ideologi jihad fisabillilah yang terkandung dalam
teks Syair Raja Siak. Di dalam analisis, akan terjawab bagaimana dan seperti apa
ajaran jihad yang terangkum dalam teks. Di dalam deskripsi juga akan
menjelaskan bahwa jihad yang digagas oleh pengarang teks SyairRaja Siak harus
memenuhi criteria khusus dan syarat-syarat tertentu yang didasarkan dengan
syariat Islam. Jihad tentu saja bukanlah perasaan benci yang membabi buta
seperti halnya dilakukan oleh pelaku terorisme Bom Bali, Bom Mariot, atau
bahkan yang terjadi akhir-akhir terjadi di Sarinah/Thamrin. Jihad dalam
pandangan pengarang teks Syair Raja Siak diatur secara ketat dalam syariat dan
hanya berlaku dalam kondisi tertentu yang mewajibkan jihad perlu dilakukan.
Dengan demikian, ideology jihad fisabilillah yang ada dalam teks Syair Raja Siak
dapat dijadikan sebagai sebuah wacana deradikalisasi seperti yang tengah
dilakukan oleh pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan memberikan beberapa
manfaat bagi masyarakatluas. Pertama, artikel hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai sebuah rujukan atau informasi bagi masyarakat mengenai ajaran jihad
fisabillilah jika dilihat dari sudut pandang fikihIslam berdasarkan teks Melayu
klasik. Informasi ini sangat berguna bagi masyarakat ataupun pemangku
78
kebijakan publik untuk melakukan program deradikalisasi karena akhir-akhir ini
gelombang radilisme dan makar cukup intens terjadi. Kedua, arti kelini adalah
studi teks dalam bidang filologi Melayu yang dapat dimaknai sebagai suatu usaha
untuk melakukan sebuah studi budaya melalui khazanah sastra lama di Indonesia
yang selama ini masih cenderung berkutat pada studi naskah.
Sejauh ini sudah terdapat beberapa penelitian yang yang berkaitan dengan
topik permasalahan dengan penelitian ini. Pertama, suatu usaha penerbitan
suntingan teks SRS dilakukan oleh Kosim H.R. pada tahun 1978. Naskah yang
digunakan dalam penelitian itu adalah naskah Syair Raja Siak berkode W 273 yang
tersimpan di Perpusnas RI dan diterbitkan dengan judul judul yang sama, yaitu
Syair Raja Siak. Buku itu diterbitkan dalam bentuk transliterasi bahasa Indonesia
tanpa adanya analisis terhadap teks. Sistematika transliterasi teks SRS di dalam
penelitian itu meliputi empat hal:
a. Ejaan yang dipakai sesuai dengan ejaan yang berlaku, yaitu EYD. Sebagai
contoh, di sini, ada pun, dan daripada.
b. Kata atau kalimat Arab yang umum dipakai ditulis seperti biasa seperti, hadir
dan masjid. Untuk kata atau kalimat Arab yang belum biasa penulisannya
berpedoman pada hasil sidang majelis Bahasa Indonesia-Malaysia, lampiran X,
hasil kerja kelompok agama, Cisarua Bogor, Indonesia, 9-13 Agustus 1976.
Sebagai contoh, Rasullul-lah dan Radiyal-lahu’anhu.
c. Huruf atau kata kalimat yang dihilangkan ditulis antara garis miring /--/
sedangkan yang ditambahkan ditulis kurung biasa (--).
d. Nama orang, tempat, dan kata-kata yang diragukan penulisannya disertakan
hurufnya di dalam catatan kaki sesuai dengan teks asli naskah.
Kedua, suatu usaha penerbitan suntingan teks dan analisis struktural terhadap
teks SRS yang lebih kemudian dilakukan oleh Nikmah Sunardjo dkk. Dalam
bukunya yang berjudul Analisis Struktur dan Nilai Budaya Syair Bertema Sejarah:
Syair Sultan Mahmud di Lingga, Syair Perang Banjarmasin, dan Syair Raja Siak
yang terbit tahun 2001, Nikmah Sunardjo dkk. telah meneliti teks SRS dengan
menggunakan teori sastra struktural dan mengelompokkannya sebagai sebuah teks
yang bertema sejarah. Penelitian Nikmah Sunardjo dkk. ini menganalisis tema dan
amanat yang terdapat dalam teks SRS. Di dalam analisis tema penelitian ini, isi
cerita teks SRS bertema sejarah berdirinya Kerajaan Siak. Tema itu dianalisis
melalui peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan tema sejarah, yaitu mengenai
asal-usul berdirinya Kerajaan Siak sampai ditaklukkannya oleh Belanda. Analisis
tema juga didukung dengan silsilah keturunan raja-raja Siak yang pernah
memerintah Kerajaan Siak. Di dalam teks SRS yang digolongkan bertema sejarah
ini terdapat amanat dari penyair, yaitu untuk mencapai suatu kekuasaan sebagai
pemimpin hendaknya melalui perundingan, bukan kekerasan. Selanjutnya, analisis
tema diteruskan dengan menganalisis penokohan dari tokoh-tokoh seperti Raja
Kecil, Sultan Mahmud, Raja Ismail, Tengku Abdullah, Tengku Muhammad Ali,
79
dan Raja Lela Muda. Unsur-unsur intrinsik karya sastra yang lain, seperti latar dan
alur turut diuraikan dalam penelitian ini.
Salah satu hal menarik dalam penelitian ini adalah diungkapkannya nilai
budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan masyarakat. Menurut Nikmah
Sunardjo dkk. nilai budaya yang paling menonjol dalam teks SRS adalah suka
berdoa. Yang dimaksud suka berdoa dalam penelitian ini, yaitu suka memohon,
meminta pertolongan kepada Tuhan, dan suka memuji Tuhan. Sikap-sikap ini
tampak melalui analisis penokohan tokoh Raja Kecil. Sebagai raja yang saleh, Raja
Kecil selalu meminta dan memohon perlindungan Allah. Selain itu, di dalam
penelitian Nikmah Sunardjo dkk. ini juga dikemukakan nilai-nilai budaya yang
tercermin di dalam teks. Nilai budaya yang terkandung dalam teks antara lain,
budaya bermusyawarah. Nilai ini tercermin ketika Raja Kecil akan menyerang
Johor terlebih dahulu melakukan musyawarah. Nilai gotong-royong tercermin pada
saat perpindahan kerajaan dari Bandar Bengkalis ke Siak, rakyat bergotong-royong
membangun negeri. Nilai keadilan tercermin dari sikap jujur, lurus, dan tidak
memihak. Hal ini juga tercermin pada tokoh Raja Kecil.
Ketiga, suatu usaha menggunakan teks SPS dalam rangka melihat dimensi
kesejarahan Kerajaan Siak dilakukan oleh Timothy Barnard dalam bukunya yang
berjudul Multiple Centres of Authority (2003). Ia menggunakan teks Syair Perang
Siak dengan naskah-naskah lain yang sezaman untuk meneliti masyarakat dan
lingkungan daerah Sumatra pada kurun waktu 1674-1827. Teks Syair Perang Siak
digunakan oleh Barnard sebagai sumber sejarah untuk mengungkapkan teknologi
perang yang ada di Kerajaan Siak, seperti kota berjalan yang digambarkan sebagai
sebuah perahu yang besar dengan meriam-meriam yang terdiri dari ukuran besar
dan kecil. Selain itu, juga digunakan untuk mengungkapkan sejarah peperangan
Siak dengan Belanda dan sejarah pemimpin-pemimpin Siak dalam menyikapi
permasalahan mereka ketika menjalankan pemerintahan di Siak.
Buku keempat berkaitan dengan topik ideologi perang sabil. Suatu upaya
penelitian yang ringkas mengenai ideologi perang sabil di dalam teks-teks perang
dilakukan oleh Ibrahim T. Alfian dalam buku Sastra Perang: Sebuah Pembicaraan
Mengenai Hikayat Perang Sabil (1992). Dengan mengutip sebagaian kecil teks
SPMg dari hasil suntingan M.O. Woelders (1975) dan mentransliterasikan secara
bebas naskah Hikayat Perang Sabil milik Teungku Peutro koleksi Universitas
Leiden, Ibrahim T. Alfian menyatakan di dalam teks terlihat adanya peranan para
pemimpin agama dalam peperangan melawan penjajah serta adanya ideologi
perang sabil yang ada di dalam teks tersebut. Perlu dikemukakan pula bahwa di
dalam upaya transliterasi naskah Hikayat Perang Sabil itu, tidak dicantumkan kode
naskah maupun langkah-langkah filologis yang dapat mempertanggungjawabkan
suntingan teks secara ilmiah.
B. Islam sebagai Sumber Ideologi
Dalam teks SRS, dapat dipahami bahwa pengarang menujukan karyanya
untuk kaum muslimin. Hal itu berarti bahwa ia menganggap bahwa ada homologi
80
pengertian antara kaum muslim dengan masyarakat Siak. Baginya, Islam
merupakan sumber pedoman yang harus diyakini dan diamalkan dalam praksis-
praksis kebudayaan. Berdasarkan asumsi di atas, faktor sosiologis masyarakat Siak
merupakan elemen yang menentukan pandangan pengarang mengenai konsep jihad
yang ia maksudkan dalam teks. Islam, sebagaimana diyakini oleh sebagian besar
masyarakat Melayu merupakan identitas yang dibangun, diwacanakan, dan
dihegemonikan secara massif di dalam teks.
Ideologi yang paling rasional untuk menyatukan batasan-batasan primordial
itu adalah agama. Masyakat Siak dalam teks dapat dikatakan sebagai masyarakat
tradisional karena belum mengenal konsep nation atau bangsa sebagaimana dalam
bentuk-bentuk formal kenegaraan. Oleh sebab itu, komunitas terbayang (nation)
selalu dikaitkan dengan itentitas identitas tradisional. Menurut Kartodirdjo (2005:
5) identitas tradisional lazimnya mempunyai batasan primordial, ikatan desa,
keluarga, dan agama. Akan tetapi, dari identitas tradisional yang disebutkan
tersebut, tampaknya agama merupakan identitas yang mampu melampaui batasan-
batasan primordial lainnya sekaligus dapat berperan sebagai salah satu ideologi
kebudayaan.
Pembentukan wacana Islam sebagai sumber ideologi masyarakat Siak
seperti dalam teks juga dapat dikaitkan dengan sejarah sosiologis masyarakat Siak
yang raja-rajanya mempunyai garis keturunan bangsawan Arab (Hamidy, 1999: 2-
3). Bukti historis itu juga dikuatkan oleh sebuah narasi di dalam teks yang
mengatakan bahwa bangsa Arab merupakan cahaya agama (SRS, hlm. 23). Hal itu
dapat ditafsirkan bahwa bagi masyarakat Siak, Islam digunakan sebagai hukum dan
pedoman berkehidupan. Hal itu dieksplisitkan di dalam teks ketika Sultan Siak
hendak mangkat. Ia mewasiatkan agar putranya memerintah dengan hukum Islam
dan mendirikan salat di surau-surau Allah (SRS, hlm.17). Artinya, salat merupakan
hal yang diwajibkan bagi pemeluk Islam di negeri Siak. Dengan demikian, Islam di
dalam teks merupakan identitas keyakinan rakyat Siak.
Secara implisit narasi di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat Siak
merupakan masyarakat muslim. Oleh sebab itu, ideologi dan keyakinan yang
mampu melampaui batas-batas primordial adalah ideologi Islam. Dengan
demikian, wacana pertama yang dibangun untuk membangun identitas masyarakat
Siak adalah kaum muslim, meskipun secara sosiologis masyarakat Siak terdiri dari
berbagai suku yang mendiami sejumlah kawasan.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, didapatkan sebuah pemahaman bahwa
Islam sebagai ideologi juga berfungsi membentuk wacana perlawanan terhadap
penjajahan. Peran Islam dalam mewacanakan perlawanan terhadap penjajahan
terdapat dalam kutipan berikut.
Allah dan Rasul tiadalah radhi berbuat khianat jangan sekali
mengikut jumlah Baginda Ali kerjakan perang syahid sekali
janganlah kamu berbuat salah memuhunkan rachmat kepada Allah
81
dirikan syariat Rasulullah perintahkan ra’yat dengan chukum
Allah
baik2 budi bicara baginda bertitah kepada putra
lebih kurang jangan berkira hendaqlah mufaqat bersaudara
(SRS, hlm.17)............
’alat pakaian raja bangsawan tunggulnya hitam tidaq berwarna
mendirikan tunggul berbagai warna sekalian pegawai yang hina dina
mendirikan tunggul tanda alamat kenaikkan baginda merapat Al
Rahmat
perang sabil sekalian umat dengan safa’at Bani Muhammad
mengatur jalan sekalian senjata/h/ ditentang2 gegak gempita
adalah bagai di dalam kuta akan kenaikkan duli mahkota
sigapnya terbang bagai <ulamanya> sekalian ‘alat sudah terkena
.............
dibungkarlah sauh penjajab sekaliannya lalu dipalu gung sama bunyinya
ada yang dahulu ada yang kemudian kholifah Allah di dalam
kemulyaan
terdirilah tanggul beralma berangkatlah Sulthan Raja yang
ghana
dipandang bagai naga bercula hilirlah kepada ketika kala
isi negeri ramai memandang berangkatlah dengan serunai dan
kendang
(SRS, hlm 33)
Identitas keislaman yang dibangun di dalam teks oleh pengarang bukan tanpa
sebab karena dalam syariat Islam, ada konsep perang dan ada pula konsep jihad.
Dalam Islam, tidak semua perang dapat dikatakan sebagai sebuah jihad. Hanya
perang di jalan Islam saja yang dapat dikatakan sebagai sebuah jihad. Menurut
Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, berpendapat jihad
adalah:
بذل الوسع والطاقة في قتال الكفار ومدافعتهم بالنفس والمال واللسان
Mengerahkan kemampuan dan kekuatan dalam rangka memerangi orang
kafir dan mempertahankan diri atas mereka dengan jiwa, harta dan lisan.
(Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, jilid 8 halaman 1)
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa identitas muslim
yang dibangun di dalam teks akan menghasilkan relasi oposisi antara Siak dan
Belanda. Jika Siak dianggap sebagai pihak yang disebut sebagai muslim, maka
Belanda dianggap sebagai kafir. Oleh sebab itu, hukum mengenai perang kemudian
diatur dalam hukum Islam sehingga Islam berperan untuk mengorganisasikan dan
mengondisikan masyarakat Siak. Perang dalam konteks Siak melawan Belanda
pada tahun 1858 seperti direfleksikan oleh pengarang sebagai sebuah jihad hanya
karena Siak dianggap sebagai muslim dan Belanda sebagai kafir. Oleh sebab itu,
82
perang pada tahun 1858 oleh pengarang teks dianggap sebagai sebuah jihad. Akan
tetapi, relasi antara Siak dan Belanda sebenarnya sudah terjadi jauh hari sebelum
perang yang dinarasikan. Relasi antara Siak dan Belanda yang terjalin sebelum
perang terjadi dapat dikatakan sebagai sebuah kondisi untuk memaksa adanya
perang melawan kafir.Hal ini berarti bahwa jihad hanya boleh dilakukan dalam
konteks tertentu yang bersifat darurat dan dalam wilayah pemahaman konteks
keislaman.
sekalian jenis ada belaka ramailah orang berniaga
ramainya bukan lagi kepalang datangnya itu tidaq berselang
gegap dan elok tidaq terbilang lonceng penjajanya dengan pencalang
tiang salah2 belah semangka selub dan kaci ada belaka
datangnya tidaq lagi berhingga berapa sekuci dari Malaka
ramainya lagi bukan buatan masanya nermana negeri
sampai sekarang jadi sebutan sebab ‘adil Baginda Sulthan
serta utusan dari Kompeni datanglah dagang dari sana sini
wartanya masyhur sampai ini mengadap Baginda Sulthan yang
ghoni (SRS, hlm 7)
Relasi antara Siak dan Belanda sudah terjalin bahkan jauh sebelum perang
melawan Belanda pecah pada tahun 1858. Relasi antara Siak dan Belanda sebelum
periode tersebut tidak dapat dikatakan sebagai bentuk relasi yang mewajibkan Siak
melakukan peperangan meskipun Belanda juga dapat dianggap sebagai kafir.
Bahkan, hubungan antara Siak dan Belanda diwarnai dengan berbagai kerja sama
perdagangan yang massif diantara keduanya. Oleh sebab itu, meskipun Belanda
dapat dianggap sebagai kafir, tetapi tidak serta merta kewajiban jihad muncul.
Dengan demikian, pengarang teks memiliki kesadaran bahwa jihad memiliki
syarat-syarat wajib yang dipenuhi sebelum ajaran jihad itu menjadikewajiban bagi
kaum muslim.
Perang dan jihad dalam pandangan pengarang teks dapat dibedakan. Jihad,
bagi pengarang teks lebih dari sekedar perang. Ada beberapa hal yang
mensyaratkan sebuah perang dapat dianggap sebagai perang. Menurut beberapa
ahli fiqih Islam, antara jihad dan perang memang ada banyak persamaan, namun
tetap saja ada perbedaan yang mendasar antara keduanya.
Secara umum pengarang teksmemiliki pemahaman bahwa jihad itu lebih luas
pengertiannya daripada perang dan perang adalah salah satu bagian dari jihad.
Menurut beberapa pendapat ulama, ada beberapa tahapan pensyariatan jihad.
Pertama, tidak diizinkan berjihad/berperang, meskipun berkonfrontasi dengan
kaum kafir. Kedua, diberiizin untuk berjihad/berperang saat posisi terdesak dan
untuk membela diri. Ketiga, setelah melewati periode diizinkan berjihad, barulah
kemudian Allah SWT mensyariatkan jihad dalam bentuk sebuah perintah dan
kewajiban. Ayat-ayat yang turun kemudian sudah berbentuk perintah.
83
انفرواخفافاوثقاالوجاهدوابأموالكموأنفسكمفيسبيلاللهذلكمخيرلكمإنكنتمتعلمون
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat,
dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. At-Taubah: 41)
Juga turun ayat yang dikenal sebagai ayat pedang, yaitu:
وقاتلواالمشركينكافةكمايقاتلونكمكآفة
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya. (QS. At-Taubah : 36)
Namun, ada yang mengatakan bahwa ayat pedang adalah ayat berikut ini :
فإذاانسلخاألشهرالحرمفاقتلواالمشركينحيثوجدتموهموخذوهمواحصروهمواقعدو
مكلمرصدفإنتابواوأقامواالصالةوآتواالزكاةفخلواسبيلهمإناللهغفوررحيماله
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang
musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka.
Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat
dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada
mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. At-Taubah: 5)
Berdasarkan uaraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep jihad hanya
berlaku jika seorang muslim telah terancam hartanya, kebebasannya, dan
terancam hidupnya. Dalam teks, hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
negeri Siak hendaq diangkat khabar bicara sudah serikat
tersenyum manis bertitah serta damai baginda mendengar warta
sekarang apa kita bicara khabar Malaka sudahlah nyata
serta pegawai enam berida berdatang sembah ayahanda dan
kakanda
patik sekaliannya sedialah ada barang yang mana kehendaq Wilanda
mengatakan Wilanda hendaq menyerang/datanglah khabar dari seberang
hendak membalas … berang dengan ayahanda bersama sekarang
kepala dan kaca belah semangka sudahlah berkemas sekaliannya belaka
(SRS, hlm. 25)
Situasi yang terlihat dalam teks memperlihatkan bahwa pengarang teks
memandang yang dilakukan oleh Belanda terhadap Siak sudah melanggar
kedaulatan. Oleh sebab itu, Belanda diidentifikasi sebagai kafir yang layak untuk
diperangi. Sejalan dengan hal itu, ajaran jihad dapat dimunculkan sebagai sebuah
keyakinan yang tepat pada saat itu karena Belanda sudah tidak sama dengan
Belanda pada masa sebelum pecah perang Siak-Belanda. Belanda sudah menjadi
84
bangsa yang menindas. Dalam konteks hal itu, aturan-aturan mengenai jihad
berlaku dan wajib bagi muslim sehingga dalam teks, ada seruan untuk melakukan
sebuah jihad.
C. Jihad Fi Sabilillilah dalam Teks Syair Raja Siak
Di dalam konsep Islam, jihad diklasifikasikan dalam tiga wilayah besar.
Pertama, membela bangsa Islam dari serangan luar; kedua membebaskan orang
dari segala jenis kekuasaan yang menindas, dan ketiga menyeru kepada umat Islam
untuk menunjukkan pesan-pesan Islam kepada semua orang dalam pengertian
sebagai ajakan serta pertimbangan (Kurdi, 2000: 194-195). Dikaitkan dengan teks,
jihad yang dimaksudkan lebih dekat pada pengertian jihad yang pertama. Islam
mengajarkan kepada pemeluknya untuk mempersiapkan kekuatannya untuk
mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh.
Di dalam teks hal itu dapat dilihat dalam fakta tekstual yang menggambarkan
ego bumiputra menyiapkan kekuatan perangnya ketika mengetahui akan adanya
serangan dari liyan penjajah. Kerajaan Siak mempersiapkan tentara dan rakyatnya
ketika terdengar kabar dari Malaka bahwa Belanda akan menyerang Siak (SRS,
hlm. 25-26). Mobilisasi perlawanan antikolonial dilakukan dengan cara penyebaran
doktrin perang bahwa membela bangsa dan agama adalah suatu kewajiban yang
tidak bisa ditinggalkan. Sejajar dengan pandangan tersebut, Sayid Qutb dan Abu
A’la Maududi (via Choueri, 2003: 276) menyatakan bahwa jihad merupakan
kewajiban setiap laki-laki muslim, khususnya di saat agama mereka sedang dalam
serangan musuh. Oleh karena itu, pemahaman konsep jihad dan peran Islam
sebagai identitas religius masyarakat terjajah menghasilkan ideologi perlawanan
terhadap Belanda melalui ajaran perang sabil.
Penjelasan lebih detail mengenai perang sabil terlihat di dalam teks SRS. Di
dalam kutipan di atas, tokoh Panglima Tanah Datar, yaitu Raja Lela Muda meludah
untuk menyebut dan mengekspresikan rasa permusuhan terhadap Belanda yang ia
anggap sebagai kafir. Tokoh Raja Lela Wangsa, Raja Indra Pahlawan, Raja Dewa
Indra, Panglima Latief, dan tokoh-tokoh lainnya mengangkat senjata untuk
menunaikan perang sabil melawan Belanda. Bagi tokoh-tokoh tersebut, ikut
berperang melawan kafir Belanda berarti menjalankan perang sabil. Jika kemudian
di dalam perang tokoh-tokoh tersebut mati, maka dikatakan bahwa tokoh-tokoh
tersebut mati sahid dan menjadi kaum muslim yang menjadi pengikut Baginda Ali.
Karakteristik perlawanan yang berbasis pemahaman syariat Islam merupakan
sesuatu yang istimewa dan layak mendapatkan pertolongan Allah, melebihi
keistimewaan manusia lainnya dan pertolongan Allah kepada gerakan perlawanan
yang lain (Al Adnani (Ed.), 2008: 30-31). Pendapat tersebut tampaknya juga sesuai
dengan gambaran-gambaran ideologi perang sabil di dalam teks. Sebagai sebuah
tindakan yang berdasarkan syariat Islam, ideologi perang sabil juga menawarkan
ganjaran setimpal bagi kaum Islam yang melakukan jihad.
Secara faktual, narasi-narasi pengarang membentuk suatu sikap yang
antikolonial dan heroik di dalam teks. Jika dalam suatu narasi biasa perang
85
merupakan suatu hal yang menakutkan, maka dengan adanya ideologi perang sabil
perang melawan penjajah merupakan suatu ibadah. Setiap muslim yang berperang
sabil maka dosa-dosanya diampuni serta dimasukkan ke dalam surga dengan
ditemani bidadari. Hal tersebut merupakan suatu keyakinan yang dipegang oleh
rakyat terjajah dengan kuat. Maka dari itu, efek selanjutnya yang tampak adalah
persepsi mengenai kematian dalam perang kolonial yang dianggap sebagai mati
sahid.
kepada sri panglima Panglima Dewa seorang bernama
ke bawah duli raja utama sahaja masyhur sedia lama
orang yang... kepada <Kermaraja>10
Penghulu Buton penghulu hamba raja
tidaqkan tewas di medan raja jikalau kepada <beramainya> beroja
datang mengadap ke bawah duli penghulu kubah hamba raja yang ashli
mengikut warisnya Baginda Ali mati perang sahid sabili
(SRS, hlm 29)
Adanya paradigma mati sebagai sahid dan mendapatkan ganjaran berupa
ampunan segala dosa dan hidup di surga bersama bidadari memosisikan perang
sabil sebagai sebuah ibadah wajib kaum muslim dalam keadaan perang. Oleh sebab
itu, ketakutan terhadap kematian karena beperang melawan kafir Belanda menjadi
terabaikan. Kematian bukan lagi suatu hal yang menakutkan dan sia-sia bagi rakyat
terjajah. Suatu hal yang patut diungkapkan pula bahwa kematian seorang pemimpin
di dalam perang melawan kafir Belanda dianggap sebagai sebuah kesempurnaan
seorang pemimpin.
D. Syarat Jihad Menurut Teks Syair Raja Siak
Menurut pengarang teks Syair Raja Siak, jihad bukanlah sebuah ibadah yang
tanpa tuntunan. Bahkan, secara tersirat, pengarang memiliki pandangan bahwa
sebuah jihad harus mencukupi syarat-syarat tertentu. Pertama, jihad harus
didasarkan atas kepentingan membela Islam, bukan perorangan, kelompok, atau
golongan tertentu yang memiliki kepentingan. Syarat pertama dalam teks
diwujudkan dengan narasi pengarang yang menggambarkan bahwa Siak
merupakan sebuah komunitas muslim. Narasi itu menggambarkan bahwa secara
komunal, masyarakat Siak dibayangkan sebagai komunitas terbayang yang
memiliki identitas diri sebagai muslim. Dalam pandangan tersebut penindasan
terhadap Siak dapat disejajarkan sebagai sebuah penindasan terhadap seorang
muslim.
kelamlah cahaya yang cemerlang apatah daya dirundung malang
mana perintah lagunya dalang seperti amanat marhum yang
hilang
ayahanda dan kakanda kedua memangku yang kerajaan duli Tuanku
sajaknya seperti embun yang beku laksana jam2 di dalam sangku
dipangku oleh ayahanda dan kakanda tiada berapa kerajaan baginda
didengarlah khabar oleh Wilanda serta punggawa enam berida
86
mengatakan Wilanda hendaq menyerang datanglah khabar dari seberang
hendaq membalas laru berang dengan ayahnda bersama
sekarang (SRS, hlm.25)
Kutipan di atas sekaligus juga dapat dianggap sebagai sebuah bukti tekstual
bahwa pengarang teks juga memiliki pandangan mengenai syarat jihad yang kedua
bahwa Jihad semata-mata bukanlah perang yang bersifat agresif, penaklukan
terhadap etnis kelompok, atau golongan tertentu, tetapi sebagai sebuah upaya untuk
mempertahankan diri dan membela panji Islam. Perang atas nama Islam tidak
diperbolehkan manakala perang itu bersifat penaklukan dan agresi terhadap
masyarakat kafir sekalipun. Perang atau jihad hanya diizinkan manakala kaum
muslim telah mendapatkan penganiayaan yang merampas haknya. Hal tersebut
dapat dilihat dalam ayat berikut.
نديارهمبغيرحقإالأنيقوأذنللذينيقاتلونبأنهمظلمواوإناللهعلىنصرهملقديرالذينأخرجوام
لواربناالله
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka
berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". (QS. Al-Hajj: 39-40)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jihad setidak-tidaknya
memiliki dua syarat wajib yang harus terpenuhi, pertama jihad harus dilakukan
dengan tujuan untuk membela panji Islam. Kedua, jihad dilakukan dalam rangka
membela diri dan martabat dari para musuh kaum muslim yang berpotensi
merampas hak dan kemerdekaan kaum muslim.
E. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap teks Syair Raja Siak yang telah dilakukan
didapatkan beberapa kesimpulan. Pertama, pengarang teks memiliki konsep
pemahaman jihad yang didasarkan dalam ajaran syariat Islam. Jihad dipandang
sebagai ibadah yang tidak membabi buta dalam memerangi kafir. Dalam
pandangan pengarang teks, jihad harus memenuhi kriteria-kriteria tertentuyang
diatur dalam syariat Islam. Kedua, teks Syair Raja Siak memiliki wacana
antikolonial yang bersifat hegemonik. Artinya, menyebarkan gagasan perlawanan
terhadap kolonialisme melalui wacana tandingan terhadap penguasa kolonial.
87
Referensi
Al Adnani, Abu Fatiah (Peny). 2008. Misteri Pasukan Panji Hitam (Ashabu
Raayati Suud). Yogyakarta: Granada Mediatama.
Amir Sutaarga dkk.1978. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 91 – 96. Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
Behrend, T. E. 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia Jilid IV. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Choueiri, Youssef M. 2003. Islam Garis Keras: Melacak Akar Gerakan
Fundamentalime. Diterjemahkan oleh Humaidi Syuhud dan M. Maufur.
Yogyakarta: Qonun.
Hamidy, UU. 1999. Islam dan Masyarakat Melayu di Riau. Riau: Universitas Islam
Riau Press
Kartodirdjo, Sartono. 2005. Sejak Indische Sampai Indonesia. Jakarta: Kompas.
Kozok, Uli. 2006. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang
Tertua. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara dan Yayasan Obor Indonesia.
Kurdi, Abdulrahman Abdulkadir.2000. Tatanan Sosial Islam: Studi Berdasarkan
Al Quran dan Sunnah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mu’jizah. 2009. Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19.
Jakarta: KPG dan KITLV.
Palmer, Richard. E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ronkel, Ph. S. van. 1909. Catalogus der Maleische Handschriften in het Museum
van het Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschapen. Hlm.
104-106‘s Gravenhage: M. Nijhoof.
Siti Baroroh Baried, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF
UGM.
Syair Raja Siak. Kode W 273. Jakarta: Perpusnas RI.
88
89
RECINANISASI DAN GAGASAN NASIONALISME:
TEKS-TEKS AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA
TAHUN 1900-1910
Dwi Susanto Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret [email protected]
Abstract
The emergence of Confucian text and the Confucian discourse in 1900-1910’s was
assumed as re-Chinese movement, that back to tradition ancestors toward
resistance colonial discourse, build Chinese identity, and meeting local tradition.
Acording to Confucians text’s, the paper explores the Confucians text to resistance
colonial discourse. The main problem this paper is that the Confucians text as
strategy to bulid nation idea and nationalism. The postcolonial is used to explore
this problem which focus in relation between the other and the colonialst. The
results are (1) the re-Chinese is the concept cultural nationalisme, not political
nationalism, (2) Confucians value is used to the Chinese-Indonesia as resistance
colonial discourse, especially refuse the West’s subject, and (3) reception of the
Confucian texts as political pratics towards to save the Chinese-Indonesia position
and empowering/unite theirs self as East Nation or East Tradition. It is potical and
cultural nationalism manifestation.
Key words: nationalism, Chinese-Indonesia, Confucian texts
90
Abstrak
Kemunculan teks-teks agama Khonghucu dan teks komentar atas ajaran
Khonghucu di tahun 1900-1910 merupakan sebuah gerakan recinanisasi, yakni
kembali pada akar tradisi leluhur dalam menghadapi kuasa kolonial, identitas
ketionghoaan, dan perjumpaan dengan budaya lokal. Melalui teks-teks agama
Khonghucu, tulisan ini memiliki masalah utama, yakni bagaimanakah teks-teks
Khonghucu menghadapi wacana kolonial. Dari persoalan itu, gagasan yang utama
adalah bagaimanakah strategi itu dalam membentuk gagasan nation atau bangsa.
Prespektif yang digunakan adalah sudut pandang pascakolonial dengan
menerapkan strategi relasi antara yang terjajah dengan penjajah. Hasil yang
diperoleh adalah (1) recinanisasi merupakan sebuah konsep nasionalisme budaya,
(2) Khonghucu yang dijadikan sebagai konstruksi identitas masyarakat peranakan
Tionghoa merupakan bagian dari resistensi atas wacana kolonial, yakni penolakan
pembentukan manusia modern versi kolonial, dan (3) sambutan terhadap teks-teks
Khonghucu merupakan bagian dari praktik politis dan perlawanan dalam
meneguhkan identitas kelompok sekaligus bagian dari upaya mempersatukan diri
dalam gagasan Bangsa Timur dan adat Timur, yakni nasionalisme yang berakar
pada kebudayaan.
Kata Kunci: nasionalisme, peranakan Tionghoa, teks-teks Khonghucu
A. Pendahuluan
Kemunculan teks-teks ajaran (agama) Khonghucu di era kolonial pada tahun
1890-an tidak terlepas dari konstelasi politik dan perkembangan ideologi di negeri
jajahan Belanda dan juga hubungannya dengan kawasan Asia Tenggara. Bahkan,
kemunculan itu ditafsirkan sebagai respon dari keadaan politik dan kultural di
negeri Cina. Gerakan modernisasi dan nasionalisme negara Cina yang dipelopori
oleh kelompok intelektual Cina juga ikut berperan dalam penyebaran ajaran
Khonghucu di Asia Tenggara, terutama kelompok moderat reformis seperti Kang
You Wei dan Liang Zhi Zhou. Sebagai contohnya adalah persoalan pembunuhan
misionaris yang menolak menggantikan ajaran Khonghucu dengan agama Kristen,
seperti yang terekam dalam ikonigrafi Bixie jishi dan Ming chao poxie ji ba juan
(bdk. Clark, 2008:16-17).
Seiring dengan gerakan Pan Asia-Afrika (Young, 2001), orang Tionghoa di
Indonesia melakukan “gerakan modernisasi”, penyerapan pemikiran Barat. Hal
serupa juga dilakukan oleh orang Cina di negeri Cina/Tiongkok dalam merespon
materialisme dunia Barat, seperti lahirnya nasionalisme Tiongkok oleh Sun Yat
Sen. Kelahiran materialisme Barat di negeri Tiongkok dan juga kemenangan
paham liberal di negeri induk jajahan (Belanda), turut serta memberi pengaruh
terhadap lahirnya gerakan recinanisasi di Indonesia era 1900-an. Recinanisasi ini
diartikan bukan kembali pada negeri Tiongkok secara politis dan kultural,
melainkan mengembalikan tradisi Khonghucu secara modern dalam masyarakat
peranakan Tionghoa di Hindia Belanda (Indonesia).
91
Keadaan politik di negeri Tiongkok yang mulai mengeser ajaran Khonghucu
dan digantikan dengan gelombang materialisme mendapat respon yang luar biasa
di kawasan Nanyang (Asia Tenggara/Laut Selatan), terutama di Pulau Jawa.
Pelarian golongan intelektual yang pro-Khonghucu ke Indonesia ikut memberikan
pengaruh yang signifikan atas kelahiran kembali Khonghucu di Indonesia, seperti
Kang You Wei yang datang ditahun 1900-an di Pulau Jawa dan lahirnya surat
kabar Khonghucu hingga gagasan material (wuzhi) dari dunia Barat dan esensi
moral dari ajaran Khonghucu (bdk. Wong, 2008:36, 41). Hal inilah yang
menyebabkan kekhawatiran pemerintah kolonial atas berpalingnya orang Tionghoa
di Indonesia kepada negeri Tiongkok. Sebagai konsekuensinya, pemerintah
kolonial menerapkan politik segresi idenditas dan pemecah-belah etnis di Indonesia
melalui konsep ras (Lev, 2000)
Latar yang demikian inilah yang menjadi bagian dari kebangkitan atau
kembali agama Khonghucu di Pulau Jawa. Sambutan terhadap keadaan kultural
dan politis di negeri Tiongkok dan kawasan atas penjajahan kultural ini melahirkan
semangat kembali pada Cina, artinya semangat kembali pada ajaran Khonghucu.
Hal itu dilakukan dengan berbagai cara, terutama mendirikan organisasi kultural,
pendidikan atau sekolah, surat kabar, organisasi keagamaan, dan penerjemahan
ataupun penerbitan teks-teks ajaran agama Khonghucu yang terlebih dahulu ada.
Penerbitan teks-teks agama Khonghucu ini yang sudah ada sejak tahun 1890-an di
Hindia Belanda dapat diasumsikan sebagai sebuah gejala untuk kembali pada
ajaran Khonghucu di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa. Hal ini merupakan
sebuah upaya dalam memperteguh identitas “ketionghoaan” masyarakat Tionghoa
di derah jajahan.
Selain itu, hal yang cukup signifikan dari keadaan itu adalah persoalan
kolonial. Kebangkitan ajaran Khonghucu di Indonesia khususnya, merupakan
sebuah strategi perlawanan terhadap gagasan dan ideologi kolonial. Mereka
hakikatnya ingin meneguhkan identitas dirinya di tengah kebijakan dan sekaligus
pembentukan citra subjek yang terkoloni. Dengan kembali pada ajaran Khonghucu
sebagai bagian dari keyakinan, agama Khonghucu dijadikan resistensi gagasan
materialisme yang dibawa dan “dipaksakan” oleh pemerintah Belanda kepada
masayarakat jajahan. Dari keadaan ini, kebangkitan kembali ajaran Khonghucu
dapat diasumsikan sebagai sebuah perlawanan dan sekaligus upaya untuk
menyatukan diri dalam konsep kebangsaan yang lebih plural.
Kemunculan gagasan nation atau kebangsaan juga ikut berperan dalam
konstelasi politik kolonial pada masa itu. Gerakan nasionalisme atau Pan Asia-
Afrika juga dapat diasumsikan sebagai bagian dari kemunculan pembentukan
sebuah bangsa. Secara politis pada masa sesudahnya, orang peranakan secara
kultural dan ideologis terbagi dalam beberapa kelompok, seperti Sin Po
(kecenderungan pro Tiongkok), Chung Hua Hui (pro kepada Belanda), dan
kelompok yang pro- kepada gagasan nation Indonesia. Kelompok ini mulai muncul
setelah tahun 1910-an atau tepatnya masa 1920-an akibat kebijakan kolonial dan
situasi politik kawasan dan negeri Tiongkok. Namun, gagasan yang demikian itu
92
bukan berarti bahwa mereka secara “lahirah kebangsaan” memilih Belanda atau
Tiongkok, tetapi secara politis.
Dalam konstelasi politik kolonial, kebangkitan ajaran Khonghucu juga
melahirkan subjek-subjek yang melawan. Subjek-subjek ini diwakili oleh golongan
intelektual dalam masyarakatnya. Sebagai subjek terjajah yang melakukan
resistensi, subjek tersebut tidaklah bersifat esensial, melainkan sangat
dimungkinkan bersifat hibrid ataupun keterbelahan yang disembunyikan seperti
mimikri sebagai bagian dari respon perlawanan atas konstruksi identitas kolonial.
Fakta ini merupakan bagian dari keberadaan mereka dalam menjadikan Khonghucu
sebagai bagian dari gerakan politis dan perlawanan kultural terhadap politik
kultural pemerintah jajahan dalam membangun sebuah gagasan bersama untuk
melawan penjajahan bersama masyarakat atau kelompok yang lain. Untuk alasan
itu, keberadaan mereka patut dibicarakan sebagai bagian dari pelaku ataupun
pengerak atas gagasan perlawanan dan sekaligus upaya mereka dalam
menempatkan diri dalam sebuah wadah yang disebut bangsa.
Keberadaan mereka sebagai bagian dari bangsa yang datang atau diaspora,
mereka tentu saja mengembangkan gagasan tentang memori kolektif asal mereka,
kesulitan untuk menjadi bagian dari negara atau wilayah yang mereka tempati,
berjuang dalam sebuah “mitos” tentang kembali pada negeri asal, dan berbagai
kesulitan yang lain. Dalam gagasan diaspora tardisional seperti yang dikemukan
oleh William Safran (1991), Khanching Tölölyan (1996; 13-15), Roben Cohen
(1997), dan lain-lain disebutkan bahwa mereka terpisah dari tanah asal, memiliki
memori kolektif tentang tanah asal, sulit mengintegrasikan diri dengan wilayah
yang baru, memiliki mitos tentang daerah asal, mengembangkan keuntungan yang
bersifat kolektif, memiliki keteguhan dalam merestorasi, memelihara, menjaga, dan
memakmurkan memori kolektif. Selain itu, mereka juga memiliki kemampuan
untuk mengembangkan ulang kekuatan kesadaran kelompok etniknya sepanjang
waktu dengan perasaan yang amat khusus, seperti kepercayaan, sejarah, dan takdir
atau nasib yang umum. Mereka juga sering mengalami permasalahan dengan
masyarakat sekitar mereka. yang utama, mereka memiliki rasa empati dan
solidaritas dengan anggota etnik mereka di negera yang lain. Mereka
mengemabngkan gagasan multikultural dan toleransi untuk dapat hidup di negeri
tujuan.
Dalam studi pascakolonial, kelompok ini sering disebut dengan “the others”
atau memandang orang lain juga sebagai “the others”. Pengalaman migrasi leluhur
mereka menjadi sesuatu yang kompleks sebab hal itu berhubungan dengan
persoalan sejarah, politis, ekonomi, sastra, dan juga ideologis. Mereka beserta
generasi sesudahnya sering dikaitkan sebagai “yang terusir/melarikan diri” dan
“menjajah” ataupun “yang terusir” dan “dijajah” (bdk. Ashroff, Griffiths, and
Tiffin, 1989, Gandhi, 1998).
Fakta yang demikian merupakan sebuah realitas yang tidak dapat dihindari.
Sebagai contohnya Hall (2001) mengemukan bahwa mereka menggunakan
penandaan dan homogenisasi model-model representasi dalam merespon
93
kedatangan pengalaman diaspora mereka seperti yang dicontohkan komunitas kulit
hitam. Namun persoalan utama bagi kelompok ini adalah persoalan produksi
identitas yang tiada habisnya yang yang diistilahkan dengan identitas budaya (Hall,
1996: 392), serupa yang dikemukan Bhaba dalam “Bordes Lives”. Dalam hal
wilayah atau tempat, mereka terinterseksi dalam batas-batas wilayah dalam mana
semua subjek dan identitas menjadi disejajarkan, ditandingkan, diproklamirkan,
atau diingkari (Brah, dalam McLeod, 2002:225). Sementara itu, Bhaba dalam
tulisannya The Location Culture (1994) mengenalkan istilah “perbedaan budaya”,
yakni cara berpikir tentang kebudayaan sebagai satu bentuk yang terhibridasi dan
cair. Menurutnya, interaksi budaya menimbulkan suatu batas-batas wilayah yang
penting, yang arti dan nilainya di (salah) bacakan atau tanda-tanda disalahgunakan
(Bhaba, 1994:34).
Dalam konteks yang demikian, hidup diantara merupakan sesuatu yang
menyakitkan, batas pinggir, dan marjinalisasi. Sementara itu, kepemilikan naratif
dan identitas tidak dapat mengakomodasi hidup “diantara” mereka. persoalan
ayang menantang adalah tinggal diantara dua yakni yang akar dan yang akan
dituju. Konsep hibrid pun menyertai keadaan ini. Sebagai produk kolonial, hibrid
sekali lagi berkerja secara serempak melalui dua cara, yakni secara organik melalui
homogenisasi, menciptakan struktur yang baru, dan seperti dalam lapisan-lapisan.
Sementara secara intensional, hibrid dapat diwujudkan melalui diasporasasi,
intervensi sebagai bentuk subversi, penerjemahan, dan transformasi (Young,
2002:25). Hibrid sendiri bersinggungan dengan karnivalisasi, creolisasi,
penciptaan bentuk baru, fusi, dan lain-lain hingga “kekacauan ras”.
Metode Penelitian
Kajian pascakolonial bertujuan untuk mengungkapkan dan menelanjangi
kuasa penjajah dibalik sikap, praktik, dan teori masyarakat atau subjek terjajah
yang seakan-akan terbebas dari penjajahan itu sendiri. Kajian ini juga
mempersoalkan strategi atau operasi dari perlawanan terjajah yang ada di balik
teori, sikap, dan praktiknya. Objek kajian material dari penelitian adalah teks yang
berisi ajaran Khonghucu di tahun 1900-1910, di Indonesia. Teks-teks itu dapat
berupa terjemahan ajaran atau Kitab Suci dan kisah atau komentar atas ajaran
tersebut. Selain itu, bahan yang digunakan adalah semua pustaka yang memiliki
relevansi dengan topik penelitian. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan
data adalah dengan membaca dan mencatat informasi yang dibutuhkan.
Berdasarkan tujuan tersebut, secara umum metode analisis data yang
digunakan dalam kajian pascakolonial menggunakan metode dekonstruksi. Metode
ini meliputi beberapa langkah. Pertama adalah melakukan pembacaan terhadap
keberadaan teks dengan cara pembacaan oposisi biner atas wacana kolonial, guna
menemukan gagasan dasar, kesatuan tematik, dan topik yang memungkinkan
menunda dan membuat asumsi tersebut terpecah. Langkah yang kedua adalah
melakukan analisis terhadap subjek yang dimaksudkan, yakni peranakan Tionghoa,
sebagai subjek termarjinalkan dan sekaligus mendesentaralisasi kesatuan wacana
masyarakat kolonial, yang didasarkan atas pengucapan ulang atas teks yang
94
ditulisnya. Pembacaan selanjutnya adalah mengungkapkan relasi subjek terjajah
dengan penjajah dalam wacana kolonial masa itu.
B. Hasil dan Pembahasan
1. Teks-Teks Ajaran Agama Khonghucu dalam Bahasa Melayu Rendah
Teks atau bacaan yang ditulis oleh masyarakat peranakan Tionghoa pada
masa 1890-an didominasi oleh cerita terjemahan dari negeri Cina dan cerita
terjemahan dari Barat. Teks yang awal terjemahan muncul pada tahun sekitar
1878. Terjemahan itu berisi tentang cerita silat, sejarah, mitos, dan cerita yang
populer di negeri Cina. Namun, tahun 1886 telah muncul syair yang ditulis oleh
mereka. Adaptasi dari tradisi setempat juga telah mereka terbitkan sekitar tahun
1888. Kejadian-kejadian semasa juga mereka dokumentasikan dalam bacaan
seperti tahun 1890 tentang kedatangan Pangeran Rusia ke Batavia atau pun
tahun 1896 tentang kedatangan Raja Surakarta ke Semarang, Boekoe sjair jang
Maha Moelia Sri Padoeka Kandjeng Toewan Soesoehoenan di Solo dateng ka
Semarang (1903).
Sementara itu, kemunculan teks-teks ajaran dari agama Khonghucu
terwujud dalam berbagai jenis, seperti buku nasihat atau pelajaran moral,
terjemahan kitab suci, kisah sang Nabi Khonghucu, hingga muncul dari tema-
tema karya sastra pada masa 1900-1910. Sebagai contohnya, tahun 1887 telah
muncul karya “ramalan” yang diterjemahkan oleh Tjoa Tjoe Koan, yang
selanjutnya diadaptasi dalam perayaan agama di Solo atau Surakarta. Tahun
1896 terbitlah terjemahan ajaran moral Zhuzi jiaxun (Master Zhu’s Family
Instructions), yang muncul dalam dua versi yakni tahun 1888 dan 1896.
Terjemahan ajaran moral juga muncul seperti Sanzi Jing (Tiga Ajaran Klasik)
yang diterjemahkan oleh Tjiong Hok Long (1895).
Sementara itu, secara khusus, kitab-kitab-kitab agama Khonghucu juga
mulai dipublikasikan. Sebagai contohnya tahun 1897 telah terbit Kitab Suci
Zhongyang, Daxue, dan Lunyu. Seperti yang disebutkan bahwa tujuan mereka
menterjemahkan adalah “sopaja achirnja orang bole mendapat tahoe jang kami
orang Tjina ada djoega ampoenja jang baik”. (Salmon, 1981:30). Bersamaan
dengan itu, hubungan penerbitan di Batavia juga memiliki kerjasama atau
jejaring intelektual Khonghucu dengan negeri Malaysia atuapun Singapore
(ketika itu) (Chee-Beng, 1983). Hal ini dibuktikan dengan penerjemahan dan
penerbitan yang didukung oleh para intelektual dari ke dua negara. Selain itu,
pada masa pertumbuhan awal ini, publikasi teks agama Khonghucu juga
didukung oleh berbagai surat kabar yang mengkampayekan suara agama
Khonghucu, seperti Li Po (1901, Sukabumi), Pewarta Soerabaja (Surabaya,
1902), Warna Warta (Semarang, 1902), Loen Boen (Surabaya, 1902),
Perniagaan (Batavia, 1903), Ho Po (Buitenzorg/Bogor, 1903), Ik Po (Solo,
1904), dan Tiong Hoa Wi Sien Po (1906, Bogor).
Beberapa pengarang atau intelektual pada masa itu diantaranya yang
menuliskan atau menterjemahkan kitab suci di antaranya adalah Tan Giong
95
Tiong, Yoe Tjai Siang, Njio Tjoen Ean, Lie Kim Hok, Tjoa Sien Hie, Tan Tiauw
Pan, dan lain-lain. Hal yang cukup menarik adalah terbitnya kisah Nabi
Khonghucu oleh Lie Kim Hok, Hikajat Khong Hoe Tjoe, ditjeritaken di dalem
bahasa Melajoe (1897)1. Selain itu, buku-buku tentang ajaran leluhur atau
agama Khonghucu juga muncul seperti Boeoke petang-petangan orang tjina,
tersalin dari boekoe Tjap Djie Shio, bergoena aken menoedjaoem peroentangan
orang menoroet shio waktoe (sie) die lahirkannja di tahon Tjina (1887), Hari
raja orang tjina (Solo, 1887), Zhuzi jiaxun (Pelajaran Keluarga Guru Zhu,
1888), Daqing luli (Kitab Undang-Undang Dinasti Qing), dan lain-lain.
Kemunculan teks-teks terbitan yang bertopik ajaran agama Khonghucu ini
juga dipertegas dengan topik yang muncul dalam karya sastra peranakan
Tionghoa di masa awal. Meskipun kisah pernyaian, cerita silat, dan kejadian
semasa (kriminalitas), adaptasi, dan terjemahan mendominasi masa ini, ada
sejumlah karya sastra yang bertopik dan mengambil pesan moralitas agama
Khonghucu. Sebagai contohnya adalah Tjerita Oey See (1903) (anonim) dan
Loe Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang. Kedua teks ini hakikatnya
memberikan sebuah solusi persoalan identitas dan ajakan kembali pada tradisi
leluhur, Khonghucu. Identitas peeranakan Tionghoa dipertegas dengan kembali
pada ajaran leluhur sebagai benteng dari proses pembaratan. Fakta ini akan
semakin menguat ketika era 1920-an yang mana topik karya sastra umumnya
adalah pertentangan antara tradisi Barat versus tradisi Timur atau tradisi
materialisme versus moralitas Khonghucu.
Sebagaimana telah disebutkan, persoalan identitas kultural menjadi bagian
dari konstelasi kembalinya masyarakat peranakan Tionghoa kepada tradisi
leluhur. Identitas ini dimunculkan sebagai jawaban yang diberikan para
intelektual yang beraliran moderat sekaligus tidak meninggalkan tradisi leluhur.
Proses pembaratan atau kolonialisasi dijadikan sebagai landasan untuk
membangkitkan kembali tardisi leluhur. Gagasan ini merupakan sebuah gagasan
nasionalisme kultural ataupun resistensi atas kekuasaan kolonial. Identitas harus
diwujudkan dalam sebuah bingkai multikultural di masyarakat jajahan ketika
itu..
Ajaran Khonghucu yang muncul melalui teks-teks tersebut dijadikan
sebagai landasan moralitas dan rujukan utama bagi masyarakat peranakan
Tionghoa. Kemunculan teks-teks Khonghucu pada masa ini juga diimbangi
dengan gerakan kultural dan politis. Hal ini dibuktikan dengan munculnya
organisasi kultural Tiong Hua Hui Kuan (THHK) dan sekaligus sekolah-sekolah
yang didirikan oleh THHK. Tujuan utama dari THHK ini tidak lain adalah
1 Lie Kim Hok dan Khoe Siauw Eng menulis Kitab Hauw peladjaran boeat tjinta Iboe Bapa
menoeroet oedjar-oedjaran Khong Tjoe, Tjeng Tjoe dan Beng Tjoe (diterbitkan di Sukabumi, 1901), H.T.H pada tahun 1909 menulis buku yang berjudul Kitabnja Nabie Khong Hoe Tjoe jang pertama bernama Soe Sie Siang Loen. Paleng berguna boewat penerangan, pigimana perdjalanannja orang hidoep di dalem doenia. Satoe nasehat besar selamanha tida bisa hilang, boleh di toetoerken boewat pladjarannja anak tjoetjoek soepaia mendjadi kaoentoengan en keslamaten (terjemahan dari Lun Yu)
96
mengembalikan ajaran Khonghucu di dalam masyarakat peranakan Tionghoa
yang bersifat puritanisme, (bdk. Salmon, 2005) yang disesuaikan dengan
konteks masyarakat jajahan. Hal serupa juga diikuti dengan kemunculan
klenteng Khonghucu ataupun surat kabar Khonghucu. Sekolah Tionghoa
(THHK) wajib menjadikan atau mengajarkan teks klasik (Khonghucu). Dengan
demikian, teks-teks Khonghucu baik ajaran, karya sastra, kitab suci, dan
komentar atas kitab suci dan narasi Khonghucu muncul dalam berbagai wujud
dan versinya di era 1900 hingga 1910 dan masa-masa berikutnya.
Teks-teks ajaran agama Khonghucu dapat dipandang sebagai praktik
ideologis dalam representasi kolonial. Sebagai praktik ideologis, penerbitan
teks-teks Khonghucu salah satunya bertujuan untuk membangun gagasan
nasionalisme. Nasionalisme yang dimaksudkan bukanlah nasionalisme yang
bersifat ras dan “mencintai tanah air”. Nasionalisme yang dikembangkan adalah
nasionalisme kultural atau nasionalisme budaya. Sebab, penyatu masyarakat
peranakan Tionghoa bukanlah ras atau wilayah bahkan agama, melainkan
kultural atau kebudayaan. Politik yang muncul adalah bahwa ajaran Khonghucu
dijadikan sebagai bagian dari praktik kebudayaan. Ajaran Khonghucu dalam
konteks yang demikian ini dipandang sebagai alat atau upaya dalam menyatukan
mereka ke dalam sistem sosial yang multi etnis di dalam masyarakat jajahan.
2. Subjek Yang Melawan: Khonghucu dan Gagasan Kebangsaan
Sebagai bagian dari kebijakan politik kolonial, subjek atau yang mewakili
masyarakat peranakan Tionghoa ini merupakan satu subjek yang hidup “di
antara”. Mereka berada dalam bayang-bayang antara nilai ketionghoaan,
lokalitas, dan konstelasi dengan pembentukan identitas oleh kolonial. Dalam
menghadapi posisi yang demikian ini, subjek tentu saja memiliki berbagai
strategi dan kemampuan “adaptasi” yang tidaklah mudah, apalagi mereka
merupakan bangsa atau kelompok diaspora.
Secara umum, berdasarkan penelitian yang ada (Susanto, 2015:192-194),
dalam menghadapi kebijakan kolonial, gagasan yang muncul adalah usaha untuk
mempengaruhi struktur sosial yang ada. Hal ini dilakukan dengan “gerakan
nasionalisme” dalam melawan penjajahan kolonial, “nasionalisme kebudayaan”.
Gerakan inilah yang sering diistilahkan dengan recinanisasi atau kembali pada
ajaran Khonghucu. Hal serupa juga diikuti dengan munculnya kebangkitan Asia
atau Pan Asia secara politis seperti yang dilakukan oleh Sun Yat Sen (Botz-
Bornstein, 2008:50-52). Kemunculan kaum liberal juga ikut berperan dalam
menghilangkan “kehidupan Indies” yang harmonis sebelum “masa kolonial”
Belanda benar-benar hadir.
Strategi subjek dalam menghadapi keadaan yang demikian itu tentu saja
mengembangkan berbagai strategi. Berikut ini adalah dua contoh subjek yang
aktif sebagai pengerak kembalinya ajaran Khonghucu dan sekaligus sebagai
penghasil teks-teks keagamaan Khonghucu ataupun komentar atas teks-teks
ajaran tersebut dalam bentuk yang lain, seperti karya kesastraan.
97
Lie Kim Hok
Lie Kim Hok (1853-1912), Bapak Bahasa dan Sastra Peranakan Tionghoa,
merupakan figur atau subjek yang penting dalam konteks ini. Dia selain sebagai
penggerak ajaran Khonghucu yang tergabung dalam organisasi THHK,
tulisannya tentang kisah hidup Nabi Khonghucu menjadi bagian yang tidak
terpisahkan sebagai upayanya dalam membangin identitas masayarakat
peranakan Tionghoa dan sekaligus resistensi atas wacana kolonial. Lie Kim
Hok juga dianggap sebagai seorang pemimpin dan pergerakan terkemuka dalam
gerakan masyarakat Tionghoa (De Chineseche Beweging op Java, istilah dari
Mr. P.H. Fromberg) (Tio Ie Soei, 2002:339).
Lie Kim Hok yang lahir di Kampung Tengah, Bogor, terdidik secara Barat
(dalam sekolah misionaris Belanda) dalam bimbingan seorang misionaris
ataupun pastur yang bernama Alberts. Tahun 1866, Lie Kim Hok harus kembali
ke Bogor dan oleh ayahnya di sekolahkan pada sekolah Tionghoa dan belajar
bahasa Tionghoa dari seorang “pelarian intelektual Tiongkok” dari kelompok
Hokkien. Selanjutnya, selama empat tahun, dia masuk sekolah misionaris lagi di
bawah bimbingan Colsma. Colsma menjadikan Lie Kim Hok sebagai
asistennya. Lie Kim Hok juga belajar bahasa Sunda dan Melayu. Van der Linder
memberikan pelajaran bahasa Melayu, Belanda, Prancis, dan Jerman pada Lie
Kim Hok (Kwee, 1977). Melalui kemampuan bahasa dan juga ketersediaan
bahan bacaan, Lie Kim Hok menghabiskan waktunya dengan membaca buku
dari Plato hingga Goethe, dari Shakespeare hingga Thacheray, dari Latontaine
hingga Zola dari Thallers hingga Daum. Bahkan, Lie Kim Hok sangat familiar
dengan karya-karya dari Darwin, Frammariai, Buckner, dan lain-lain.
Lie Kim Hok tedidik dalam berbagai tradisi, dan secara kuat tradisi yang
mempengaruhi proses pendidikannya adalah tradisi Barat melalui bacaan dan
dibawah bimbingan para misionaris. Namun, dia menolak untuk memeluk
agama Kristen dan sebaliknya, dia tertarik pada Khonghucu2. Namun, teman Lie
Kim Hok pun beralih memeluk agama Kristen. Konon kabarnya, kesadarannya
terhadap agama Khonghucu justru diperoleh melalui pergaulan dengan seorang
pelukis Indonesia yang teranama, Raden Saleh (1807-1880), ketika mereka
tinggal di Bogor. Raden Saleh sendiri, menurut cerita yang beredar, merupakan
orang Indonesia pertama yang menjadi anggota Mason Bebas (Steven, 2004).
Strategi Lie Kim Hok dalam menghadapi konstelasi politik dan gagasan
identitas kolonial salah satunya dapat dilihat dalam karya yang ditulisnya.
Selain, Hikajat Khonghoetjoe, yang merupakan jawaban dari pergulatan
identitas dan resistensinya, jawaban lain dapat ditemukan dalam gubahan cerita
2 Evi Lina Sutrisno (2010) mengemukan tentang usaha Lie Kim Hok dalam menulis buku
Hikajat Khonghoetjoe dari bahasa Eropa, bukan dari bahasa Tionghoa. Lebih lanjut, hal itu dipandang bukan hanya sekedar aksi dari Lie Kim Hok sebagai penulis, tetapi justru sebaliknya hal itu adalah jawaban dan resistensi terhadap gagasan materialisme Barat dan kolonialisme dalam menemukan identitasnya kembali sebagai seorang peranakan Tionghoa.
98
yang berjudul Tjhit Liap Seng (Bintang Toedjoeh) (1886-1887). Menurut catatan
Salmon (1994), pengubahan karya ini merupakan sebuah upaya dalam
mengembalikan kembali adat-adat Tionghoa (perkawinan, pemakaman),
menghitung hari lahir Khonghucu, mendirikan sekolah modern Tionghoa di
Surabaya, dan memberikan pelajaran mengenai ajaran moral Nabi Khonghucu
dan sejarah Tiongkok. Selian itu, Lie Kim Hok juga ikut berperan dalam
menterjemahkan ajaran moral bersama dengan Khoe Siauw Eng, Baixiao tu
atau Pek Hauw Thouw (Seratus contoh kepatuhan anak terhadap orang tua),
Kitab Hauw dan lain-lain.
Dalam karya Tjhit Liap Seng (1886-1887) tersebut, Lie Kim Hok
hakikatnya menghidupakan kembali nuansa “ketionghoaan” di alam modern.
Hal ini merupakan bagian dari praktik ideologis Lie Kim Hok, seperti ketika
dirinya menulis kisah Nabi Khonghucu. Hal yang cukup menarik untuk dilihat
dari fakta ini adalah bahwa Lie Kim Hok terdidik dalam tradisi Barat, tetapi
menolak gagasan materialisme dunia Barat. Namun, dia menjadikan Barat atau
materialisme sebagai sarana dalam mencapai cita-cita untuk mewujudkan
identitas ketionghoaan, yakni kembali pada ajaran Khonghucu, sebagai bagian
dari gagasan “nasionalisme kebudayaan” masyarakat peranakan Tionghoa. Dari
sisi kesastraan, dalam karya tersebut, Lie Kim Hok menggunakan novel Barat
untuk menciptakan sebuah kemajuan dalam novel Melayu Tionghoa.
Kemodernan yang ditampilkan salah satunya adalah kedudukan wanita dalam
masyarakat peranakan Tionghoa yang modern, terutama mengenai perkawinan
yang memilih sendirui dan kecerdasan wanita dalam menghadapi persoalan
hidup.
Disamping dia sebagai penggerak organisasi THHK yang
mempromosikan agama Khonghucu, gagasan tentang kembali pada Khonghucu
sebagai identitas yang resisten terhadap kolonial adalah “Syair perempouan jang
ter.....”. Dalam syair itu, konsep ying dan yang sebagai bagian dari kosmologi di
dunia pemikiran masyarakat Tionghoa dieksplorasi dengan menempatkan
wanita dan laki-laki dalam sebuah bipolarisasi dan bukan oposisi biner. Konsep
bipolarisasi dua kutub inilah yang melandasi karya-karya Lie Kim Hok. Konsep
ini merupakan turunan langsung dari kitan I Ching ataupun Kitab Kejadian atau
Kitab Perubahan, yang mendasari semua kitab suci dalam ajaran agama
Khonghucu.
Fakta yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa Lie Kim Hok terdidik
secara umum dalam tradisi Barat dan mengakses berbagai informasi dari dunia
Barat. Namun, sebaliknya dia menolak gagasan yang membangun dan
“mengajarinya”. Dia tidak anti terhadap Barat atau zelotanisme. Barat baginya
sebagai sebuah realitas yang tidak dapat dihindarkan. Namun, strategi yang
digunakan adalah mempelajari Barat untuk dijadikan sarana menemukan dunia
Timur. Gagasan nation atau kebangsaan yang diungkapkan adalah gagasan
multikultural, yakni keradaan identitas-identitas suatu kelompok dalam bingkai
masyarakat yang plural, yakni realitas Indonesia. Agama Khonghucu sebagai
99
bagian dari identitas suatu kelompok memiliki pola yang serupa dengan agama
dari entis lain dalam sebuah wadah bangsa yang terjajah. Kelompok-kelompok
dipandang mengembangkan sebuah gagasan yang serupa dengan alat yang
berbeda. Hal inilah yang dinamakan sebagai sebuah nasionalisme, yakni
kelompok bangsa yang memiliki satu wadah yang sama.
Gouw Peng Liang
Gouw Peng Liang (1869-1928) dikenal sebagai golongan konservatif. Dia
sering dijuluki tidak konsisten dalam pilihan politiknya ataupun mengikuti arus
yang menguntungkan posisinya. Pada masa awal, dia sangat kagum dan memuji
kekuasaan kolonial Belanda. Namun, pada masa selanjutnya, dia sangat anti
terhadap kuasa kolonial. Bahkan, dia juga pernah mendukung pemerintah
kolonial dan sekaligus menjadi penentang pemerintah kolonial yang gigih.
Menurut Suryadinata (1981:21), pandangan politik konservatifnya pernah
ditunjukkan dengan menyerang revolusi yang di lakukan oleh Sun Yat Sen.
Seperti intelektual yang lain, meskipun pandangan poitisnya berbeda,
Gouw Peng Liang disantukan dalam organisasi kultural yang sama, yakni
THHK. Bahkan, dia termasuk salah satu pengurus THHK cabang Jatinegara.
Gouw Peng Liang juga menjadi perantara bagi para intelektual ketika dalam
menyebarkan agagasannya, sebab dia menjadi pemimpin redaksi surat kabar
Chabar Perniagaan yang berganti dengan nama Perniagaan, sebuah surat kabar
yang menjadi corong tidak resmi dari THHK. Sebab, surat kabar ini merupakan
surat kabar kelompok masyarakat Tionghoa yang konservatif atau sering
dianggap sebagai golongan tua.
Seperti Lie Kim Hok, Gouw Peng Liang yang lahir ditahun 1869 di
Jatinegara menerima pendidikan pertamanya dalam tradisi pendidikan Belanda
atau Barat. Rupanya pendidikan Barat justru mengantarkan mereka pada usaha
perlawanan terhadap gagasan yang dikembangkan dan diajarkan oleh dunia
Barat, yakni konsep materialisme. Gouw Peng Liang rupanya tidak memperoleh
pendidikan Tionghoa atau bahasa Tionghoa. Menurut Pramoedya Ananta Toer
(Bintang Timur, Lentera, 1 Desember 1963), dia diberi penghargaan pemerintah
Kerajaan Mancu Tiongkok karena aktivitasnya dalam pergerakan kaum
pernakan Tionghoa, serupa dengan Lie Kim Hok. Penghargaan ini tentu saja
bersifat politis sebagau upaya Kerajaan Dinasti Qing, Tiongkok, untuk
mendapatkan dukungan politis dari orang peranakna Tionghoa yang tersebar di
Asia Tenggara. Namun, keadaan itu tidak mampu mengubah gelombang
modernisasi dan pembaratan yang ada di negeri Tiongkok.
Karyanya sering berbicara masalah protitusi dan cara menagtasinya,
seperti Boekoe Tjerita Nona Clara Widenan, satoe tjerita jang betoel saoda
kedajadian di Priangan (1911). Semenatara itu, karya Gouw Peng Liang yang
berhubungan dengan gagasan Khonghucu dapat ditemukan dalam teksnya yang
berjudul Loe Fen Koei (1903) atau Tjerita jang betoel soeda kedajadian di poelo
Djawa daei halnja satoe toean tana dan pachter opium di Res. Benawan
100
bernama Loe Fen Koei (terpetik dari soerat kabar Bintang Betawi) (1903).
Gagasan utama yang disampaikan oleh teks sastra ini adalah gagasan kembali
pada moralitas Khonghucu ataupun adat dan tradisi yang memenangkannya.
Mereka yang tidak patuh pada suatu tatanan moralitas dalam masyarakat,
mereka akan menjadikan masyarakat tidak mencapai keseimbangan atau
harmonisasi. Peluruhan tradisi yang bukan adat yang baik muncul didalam teks
ini melalui perkawinan perempuan pribumi dengan lelaki Tionghoa, yakni
perempuan pribumi simbol adat yang kurang baik sehingga perlu diluruhkan
menjadi adat yang baik. Hal ini merupakan sebuah strategi dalam gagasan
tentang upaya mempertahankan identitas kultural mereka.
Pemikiran ataupun makna teks yang menagrahkan kepada ajaran
Khonghucu tersebut menunjukkan bahwa Gouw Peng Liang melakukan sebuah
upaya dalam merespon wacana kuasa kolonial dengan menjadikan Khonghucu
sebagai pembentuk identitas. Khonghucu sebagai identitas merupakan sebuah
upaya yang mawujud untuk menyiasati wacana kuasa yang berkembang pada
masanya. Bersama dengan etnis pribumi atau yang lain, yang juga
mengembangkan gagasan identitas dan nation, kelompok yang diwakili oleh
Gouw Peng Liang ikut melakukan hal serupa dalam sebuah pemikiran bahwa
wadah mereka adalah satu bangsa yang multikultural ataupun mengambil
langkah nasionalisme budaya untuk menyatukan keragaman dalam masyarakat
jajahan menjadi satu bangsa atau satu wadah bangsa Timur.
Subjek dan Nasionalisme Budaya
Nasionalisme yang dikembangkan merupakan nasionalisme budaya, yakni
menjadikan ajaran agama Khonghucu sebagai satu politik kebudayaan agar
dapat melawan kuasa penjajah dan sekaligus dapat diterima dalam konteks
perjuangan kebangasaan di kalangan intelektual pribumi atau etnis yang lain.
Mereka tentu saja menyadari bahwa sebagai bangsa diaspora dan sekaligus
sebagai salah satu entitas dalam wadah bangsa atau nation yang dicita-citakan
adalah yang minor atau yang kecil. Atas dasar yang tersebut, persatuan
keragaman itu tidak mungkin disatukan dengan entitas agama, melainkan
kebudayaan. Agama, terlepas dari iman dan hidayah dari Ilahi, dalam prakatik
politik identitas dijadikan sebagai bagian entitas yang menyatukan berbagai
keragaman melalui bingkai kebudayaan.
Kembali pada ajaran Khonghucu era itu sering ditafsirkan sebagai
nasionalisme budaya Tionghoa (Suryadinata, 2005:19-20). Gerakan inilah yang
disebut dengan recinanisasi yang bukan berarti nasionalisme terhadap negeri
Tiongkok di dataran. Meskipun demikian, gerakan nasionalisme kebudayaan
untuk membangun wadah kebangsaan ini justru tidaklah mudah untuk masa
berikutnya. Sebab, identitas yang dikembangkan melalui praktik politik ikut
berperan dalam mengkategorikan mereka secara politis. Sebagai contohnya,
masa berikutnya muncul Sin Po yang pro secara politis pada negeri Tiongkok,
Chung Hua Hui yang secara tegas mendukung gagasan politis yang berkilbat
101
pada negeri Belanda, dan PTI yang secara tegas berhalauan politis pro-
perjuangan Indonesia untuk menjadi satu bangsa.
Selain subjek tersebut, subjek yang lain seperti Phoa Keng Hok (1857-
1937), yang merupakan presiden THHK, merupakan tokoh pejuang Khonghucu.
Bersama dengan dua puluh satu orang intelektual dan kaum terkemuka
peranakan Tionghoa (Khoe A Fan, Ang Sioe Tjiang, Kapitein Oeij Giok Koen,
Oeij Kum Le, Lie Kim Hok, Tan Tiang Seng dan lain-lain), mereka
menandatangani sebuah kesepakatan ajakan kembali membangkitkan agama
Khonghucu agar bisa bertahan di tanah jajahan Belanda. Ajakan itu secara resmi
diumumkan pada buklan Juli 1900. Gagasan ini oleh para subjek pun dikuti
dengan berbagai aktivitas kultural yang serupa dengan topik tersebut, misal
penerbitan karya yang bertopik agama Khonghucu, mendirikan sekolah THHK,
menghidupkan rumah ibadah, membuat organisasi keagamaan, dan lain-lain.
Para subjek yang melakukan upaya kebijakan homogenisasi identitas yang
diterapakan pemerintah kolonial, yakni menagarah pada tradisi Barat
(materialisme). Gerakan kembali pada ajaran Khonghucu dapat diartikan
sebagai sebuah resistensi kultural. Bahkan, tahun 1907 juga muncul sebuah surat
protes terhadap kebijakan pemerintah kolonial terhadap usaha pengalihan
identitas orang Tionghoa dari tradisi leluhur menuju identitas konstruksi Eropa
melalui pendidikan dan sejarah peradaban bangasa Eropa. Resistensi inilah yang
mendasari subjek untuk memunculkan gagasan nasionalisme.
Subjek beradaptasi dengan berbagai cara dalam konstelasi politik kolonial.
Melalui Khonghucu, mereka mengembangkan sebuah usaha “yang adaptif”
seperti menjadikan Barat sebagai sarana dan menolaknya sekaligus. Strategi ini
dapat dilihat sebagai sebuah ambiguitas ketika melihat mereka. Bahkan, mereka
pun secara sarana dan pemikiran kadang kala menggunakan tradisi Barat. Ada
usaha mimikri yang bersifat ambivalen ketika mereka mempelajari,
menggunakan, dan sekaligus diwujudkan dalam berbagai inovasi material
kebudayaan, tetapi secara ruh dan esensi mereka menolaknya sekaligus.
Fakta ini menunjukkan bahwa Khonghucu dalam praktik resistensi
kultural menjadi sebuah wacana yang beragam dan sulit untuk ditebak secara
pasti. Sebab, di balik ajakan kembali pada tradisi atau ajaran agama Khonghucu
terdapat sebuah motivasi dan tujuan yang lebih kuat dan tidak diduga oleh
pemerintah kolonial, yakni reaksi yang sulit ditembak, nasionalisme kebudayaan
untuk nasionalisme keindonesiaan. Pemerintah kolonial justru menilai bahwa
mereka akan berpaling pada negeri Tiongkok dan berusaha memisahkan mereka
dalam berbagai kebijakan segresi etnisitas dan identitas. Usaha ini dilakukan
agar percampuran ras dan etnisitas tidak terjadi sehingga strategi esensialis
tersebut mampu membedakan dan memecah belah etnisitas yang ada di
Indonesia. Namun, kehadiran Khonghucu seabagi praktik politik nasionalisme
kebudayaan menjadikan mereka berada di dalam ambigiutas yang sulit ditebak.
102
3. Teks Ajaran Khonghucu sebagai Respon Wacana Kolonial
Wujud nasionalisme dalam penerbitan teks-teks agama Khonghucu ini
salah satunya dapat dilihat dari penggunaan bahasa Melayu. Mereka tidak
menggunakan bahasa Belanda ataupun bahasa Cina. Hal ini sangat
dimungkinkan karena publik mereka hanya mampu berbahasa Melayu rendah
atau Melayu Tionghoa. Bahasa Melayu rendah sebagai bahasa yang lumrah dan
umum digunakan menjadi sarana yang efektif dalam menyebarkan gagasan-
gagasan tertentu. Satuan non-lingustik yang terdapat di dalam politik penggunan
bahasa Melayu rendah ini merupakan wujud resistensi terhadap aturan bahasa
dari pemerintah kolonial. Hal ini sekaligus menandakan bahwa melalui bahasa
Melayu rendah ini, mereka sedang melakukan upaya perlawanan terhadap
otoritas kolonial. Hal ini dicontohkan oleh Gouw Peng Liang yang menolak
konvensi penggunaan bahasa di surat kabar yang ditetapkan oleh pemerintah
Belanda. Berikut ini tanggapan untuk Gouw Peng Liang oleh Kwee Tek Hoay
sebagaimana yang dikutip Salmon (1981):
“Ia poenja edjaan atawa spellen sekarang soeda mendjalar dan terpake ampir
di seloeroeh Indonesia dan kita pertjaja bakal kalahken dan moesnaken sama
sekali itoe bahasa Melajoe Riouw atawa Melajoe Ophuijsen jang sekarang
masih dilindoengken oleh pemerintah”.
Nasionalisme kebudayaan melalui praktik kembali pada agama
Khonghucu ini jelas merupakan respon terhadap wacana kolonial pada masa itu.
Hal ini salah satunya diwujudkan melalui organisasi kultural THHK, yang
menjadi corong untuk mempromosikan ajaran Khonghucu. Organisasi ini pun
mengambil langkah dengan cara membuat sekolah-sekolah Tionghoa atau
dikenal dengan sekolah THHK. Hal yang cukup menarik dari fenomena ini
adalah agama Khonghucu yang bukan hanya bersifat ritual keagaman atau
xiaoru atau xiaoxue, melainkan juga sistem pemikiran atau filsafat Khonghucu
atau daru atau daxue. Namun, masa 1900-an masih belum ada upaya yang jelas
dan sistematis untuk mengarahkan kebangkitan ajaran Khonghucu sebagai
sistem filsafat. Hal ini muncul setelah masa kurang lebih 1911 hingga 1942.
Respon terhadap wacana kolonial masih bersifat umum yakni melalui praktik
ritual keagamaan dan gagasan moralitas untuk mengatur keseimbangan
masyarakat. Gagasan ini diwujudkan dengan kembali pada tradisi leluhur dan
menjadi benih-benih munculnya pengembangan pemikiran berdasarkan ajaran
Khonghucu.
Upaya yang dilakukan oleh THHK dan sekolah THHK ini juga diikuti
oleh golongan intelektual yang lainnya. Salah satunya adalah kelompok
pengarang kesastraan. Para pengarang melakukan komentar atas wacana agung
ajaran Khonghucu dengan menempatkan sebagai tafsir Khonghucu dalam karya
mereka. Penyebaran gagasan yang demikian ini relatif lebih mudah dan sulit
untuk dideteksi oleh pemerintah kolonial. Namun, kuasa kolonial Belanda
tidaklah semudah yang ditafsirkan oleh para pengiat gagasan nasioanlisme
103
kebudayaan ini. Pemerintah Belanda mengambil langkah-langkah yang strategis
seperti pembentukan sekolah Belanda untuk orang Tionghoa, pelarangan surat
kabar, hingga pembentukan komisi bacaan rakyat. Tujuannya adalah untuk
mengatur dan mengendalikan gagasan yang berkembang dan dianggap
“membahayakan atau racun” bagi pemerintah kolonial.
Salah satu wujud dalam respon itu adalah pembentukan komisi bacaan
rakyat yang dirintis sejak tahun 1908-an, Commissie voor de Volkslectuur
(Jedamski, 2009). Komisi ini pun melakukan sebuah usaha kanonisasi estetika
dan mana yang dianggap seabgai bacaan atau “sastra” dan mana yang bukan
dianggap sebagai bacaan yang layak. Meskipun upaya tersebut dilakukan,
tampaknya tidak membuahkan hasil yang signifikan. Sebab, penerbitan teks-teks
peranakan Tionghoa dalam bahasa Melayu rendah atau Melayu Tionghoa terus
tumbuh subur dan melampui karya sastra atau teks yang diterbitlkan oleh
lembaga kolonial sendiri. Tidak hanya itu, pemerintah kolonial Belanda juga
melakukan upaya standarisasi bahasa sehingga menyingkirkan bahasa Melayu
Tionghoa sebagai “bahasa gado-gado” atau “bahasa cap cay” yang tidak bisa
dipertimbangkan secara “akademis”. Namun, upaya itu dalam kenteks
penerbitan teks-teks Melayu Tionghoa tidak membuahkan hasil sebab mereka
memiliki dan semakin tersegmenatsi dalam kelompok penikmat bacaan.
Mungkin inilah gejala atau dampak dari kebijakan “estetika” yang
demikian sehingga bacaan Melayu Tionghoa seakan ditujukan hanya untuk
kalangan mereka saja. Mereka pun mengembangkan bacaan-bacaan yang
bertema Khonghucu dalam berbagai variasi. Sebagai contohnya adalah bacaan
karya sastra yang selalu mempertentangkan antara tardisi Timur versus Barat
atau Tionghoa atau tradisi leluhur Khonghucu versus dunia Barat. Tentu saja,
sebagai pemenang dari perdebatan itu adalah tradisi Timur atau Khonghucu.
Topik-topik yang demikian ini mengalami masa puncaknya di tahun 1920-an
hingga 1942. Topik-topik yang demikian muncul dalam berbagai bacaan di
kalangan peranakan Tionghoa terutama dalam penanda linguistik seperti adat
Timur, tradisi luhur, bangsa Timur, hingga kita poenja adat dan bangsa. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa karya seperti Tjerita Njai Soemirah (1917) karya
Thio Thjin Boen, Sepasang Roos dari Pekalongan dari Boeahnja Pendidikan
(1920), karya Kho Tjoen Thia, Pendidikan jang Kliroe (1922) karya Lauw Giok
Lan, Kasopanan Timoer (1932) karya Dahlia dan lain-lain.
Dari berbagai penanda linguistik yang muncul dalam teks-teks yang
bertema Khonghucu tersebut munculah penanda linguistik bangsa Timur, kita
poenja bangsa yang agung, adat Timur, dan kita orang Timur. Gagasan inilah
yang tanpa disadari merupakan sebuah gagasan pemikiran yang mawujud.
Mereka menyandarkan nasionalismenya pada gagasan bangsa Timur. Bangsa
Timur didasarkan atas kekayaan perbedaan tradisi sekaligus kesamaan tradisi
mereka. Tradisi Timur yang dimaksudkan bukanlah pada agamanya, melainkan
cara berpikir sebagai bangsa Timur yang berbeda dengan cara berpikir dengan
bangsa Barat, yakni materialisme atau berpusat pada manusianya yang
104
dipertentangkan dengan berpusat pada alam atau harmonisasi antara alam dan
manusia. Harmonisasi pada alam dan manusia sama halnya dengan merujuk
pada spritualitas yang menjadi dasar berpijaknya.
Bangsa Timur dengan berbagai penanda lingustik inilah yang menjadi
penyatu dalam rasa kebangsaan yang sama. Bangsa Timur ini mewujud dalam
berbagai variasi penanda linguistik dalam teks-teks yang menjadi komentar atas
ajaran Khonghucu. Penanda dan isi teks-teks yang berupa komentar atas ajaran
Khonghucu ini menunjukkan suatu usaha untuk memunculkan gagasan manusia
Timur. Manusia Timur atau bangsa Timur serupa dengan “kita poenja adat
Timoer jang loehoer”. Kemunculan penanda bangsa Timur dan adat Timur
merupakan konsekuensi dari gagasan nasioanlisme yang didasarkan atas
gagasan kebudayaan. Jadi, secara sederhana, perwujudan suatu bangsa
dibangun atas keragaman kebudayaan dan kebudayaan yang beragam itu
memiliki satu konsep tang saama, yakni bukada Timur ataupun adat Timur.
Gagasan manusia modern versi kolonial merupakan sebuah konsep
identitas yang ingin “diberikan” kepada masyarakat terjajah. Recinanisasi atau
kembali pada Khonghucu adalah usaha melawan konsep manusia modern versi
kolonial. Meskipun kebijakan kolonial yang berupa kebijakan “ras” dan
keunggulan ras terus diterapkan, subjek terjajah melakukan sebuah usaha untuk
menyamakan satu tujuan dan satu kesamaan, yakni kebudayaan Timur. Dengan
mendasarkan pada budaya Timur dan bangsa Timur atau adat Timur, mereka
berusaha untuk menghindari sebuah kebijakan kolonial yang memisahkan ras
dan etnisitas, yakni seakan-akan mereka hidup dalam dunianya sendiri dan
muncul berbagai prasangka dan kecurigan yang bersifat rasial. Gagasan ini
hakikatnya ingin disatukan sebagai bagian dari wadah “kesamaan dan
perbedaan”, yakni bangsa. Dengan asumsi inilah, nasionalisme kebudayaan
yang berupa recinanisasi melekat dalam upaya membentuk sifat kebangsaan
yang sama, yakni bangsa Timur dan adat Timur di era masa awal pertumbuhan
nasionalisme dan liberalisme kolonial.
C. Simpulan
Kemunculan teks-teks agama Khonghucu di tahun 1900-1910 merupakan
bagian dari strategi dalam melawan wacana kolonial, terutama konsep manusia
modern yang mendasarkan pada materialisme. Melalui wacana resistensi tersebut,
teks Khonghucu bukan sekedar untuk meneguhkan identitas ketionghoaan pada
kelompok mereka saja, melainkan memunculkan sebuah gagasan mengenai konsep
Bangsa Timur. Bangsa Timur yang dimaksudkan adalah mereka yang memiliki
tradisi dan adat (kebudayaan) Timur. Peneguhan yang demikian ini menunjukkan
bahwa mereka atau subjek memiliki sebuah gagasan tentang nasionalisme.
Nasionalisme yang dikembangkan adalah nasionalisme kebudayaan. Dengan
demikian, gerakan recinanisasi pada hakikatnya bukanlah kembali pada negeri
Tiongkok, melainkan juga merupakan gerakan nasionalisme masyarakat peranakan
Tionghoa dalam membangun wadah bersama atau bergabung dalam nasionalisme
yang dibangun oleh masyarakat lokal dalam membangun sebuah wadah bersama.
105
Teks-teks Khonghucu ini mendapatkan komentar pada puncaknya di tahun 1920-
1942 dengan berbagai orientasi politik pada masa itu. Segresi ras dan politik ras
cukup memberikan pengaruh pada masa berikutnya, terutama gelombang
liberalisme di Hindia Belanda (Indonesia).
Referensi
Ascroff, Bill, Griffiths, Gareth and Tiffin, Helen. 1989. The Empire Writes Back:
Theory and Practice in Post Colonial Literature. London: Routledge
Bhaba, Homi K. 1994. The Location Culture. London and New York: Routledge
Boen, Thio Tjien. 1917. Tjerita Njai Soemirah atawa pertjintaaan jang kekal.
Satoe tjerita dari Preanger Jilid I dan II. Batavia: Kho Tjeng Bie
Botz-Bornstein, Thorsten. 2008. “Russia, Japan, China, and the Resistance to
Modernity: Eurasianism and Pan-Asianism Revisited” dalam The International
Journal of the Asian Philosophical Association Vol. 1, No. 1 2008
Chee-Beng, Tan. 1983. “Chinese Religion in Malaysia : A General View” dalam
Asian Foklore Studies, Vol. 42, 1983
Clark, Anthony E. 2008. “Early Modern China Reactions to Western Missionary
Iconography” dalam Southeast Review of Asian Studies, Vol. 30, 2008
Cohen, Roben. 1997. Global Diasporas: An Introduction. Seattle: University of
Washington Press
Dahlia (Oen Hong Sing Tan). 1932. “Kesopanan Timoer”, Tjerita Roman, Juni
1932
Gandhi, Lelaa. 1998. Postcolonial Theory: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh
University Press
Hall, Stuart. 1996. “New Ethnicities” dalam David Morley dan Kuan-Hsing Chen
(ed.). Critical Dialogues in Cultural Studies. London and New York:
Routledge
Hall, Stuart. 2001. “The Spectacle of the Others” dalam Margaret Wethrell et.al
(ed.) Discourse Theory and Practice A Reader. London: Sage Publications
Hok, Lie Kim. 1897. Hikajat Khong Hoe Tjoe, ditjeritaken di dalem bahasa
Melajoe. Batavia: C. Kolff
Jedamski, Doris. 2009. “Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda” dalam Henri
Chambert-Loir (penyunting). Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan
Malaysia. (penerjemah: Winarsih Arifin et.al). Jakarta: KPG
Kwee, John B. 1977. “Chinese Malay Literature of Peranakan Chinese in Indonesia
1880-1942” Unpublished Ph.D, Dissertation, University Auckland
106
Lan, Lauw Giok. 1922. Pendidikan jang kliroe, tooneelstuk dalem 5 bagian.
Bandoeng: A.C. Nix Co
Lev, Daniel S. 2000. “Politik Minoritas, Minoritas dalam Politik” dalam Makalah
Seminar Orang Tionghoa-Indonesia: Manusia dan Kebudayaannya, YMI dan
LIPI, Jakarta 31 Oktober-2 Nopember 2000
Liang, Gouw Peng. 1903. Lo Fen Koei, Tjerita jang betoel soedah kadjadian di
Poelo Djawa dari halnja satoe toean tana dan pachter opium di Res Benawan,
bernama Lo Fen Koei (terpetik dari soerat kabar Bintang Betawi). Batavia:
Goan Hong
McLeod, 2000. Beginning Postcolonialism. Manchester and New York:
Manchester University Press
Safran, Williams. 1991. “Diaspora in Modern Societies: Myth of Homeland and
Return” dalam Diaspora 1 Number 1, 1991
Salmon, Claudine. 1981. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a
provisional annotated bibliography. Paris: Editions de la Mansion des
Sciences de l’HommeL
Salmon, Claudine. 2005. ”Confucianists and Revolution in Surabaya (c 1800-
c1906) dalam Tim Lindsey and Helen Pausacker (ed.) 2005. Chinese
Indonesians Remembering, Distorting, Forgetting. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies
Soei, Tio Ie. 2002. “Lim Kim Hok: 1853-1912” dalam Marcus A.S. dan Pax
Benedanto (ed.). Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia
Jilid 5. Jakarta: KPG
Steven, Th. 2004. Tarekat Mason Bebas dan Masayarakat di Hindia Belanda dan
Indonesia 1764-1962. (Penerjemah; Princles Kattopo). Jakarta: Sinar Harapan
Suryadinata, Leo. 1981. Eminent Indonesia Chinese: Biographical Skecthes.
Singapore: Gunung Agung Suryadinata, Leo (ed.). 2005. Pemikiran Politik
Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: Pustaka LP3ES
Susanto, Dwi. 2015. “Masyarakat Tionghoa dalam Karya Sastra Peranakan
Tionghoa pada Paruh Pertama Abad XX: Kajian Sosiologi Sastra”, disertasi
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2015
Sutrisno, Evi Lina. 2010. “Reading Lie Kim Hok’s Hikajat Khonghoetjoe:
Confucianism and the Virtuous Self in Late Nineteeth Century Colonial
Indonesia” Master of Arts, Thesis, Departement Antropology, University of
Washington, 2010
Thia, Khoo Tjoen. 1920. Sepasang Roos dari Pekalongan dari Boeahnja
pendidikan. Pekalongan: Kho Tjoen Thia
Tölölyan, Khanching. 1996. “Rethingking Diasporas (s): Stateless Power in the
Transnational Moment” Diasporas 5.1. 1996
107
Wong, Young-Tsu. 2008. “The Search for Material Civilization: Kang You Wei’i
Journey to the West” (Kang you wei dexingfang wuji wenming zilu), dalam
Taiwan Journal of East Asian Studies, Vol. 5 No. 1, (Iss. 9), Juni 2008, hlm
33-59
Young, J.C. 2001. Postcolonialism: An Historical Introduction. Oxford: Blackwell
Publishers
Young, J.C. 2002. Colonial Desire Hybridity in Theory, Culture, and Race.
London and New York: Routledge
108
109
REVITALISASI TEKS NASKAH PUPUJIAN
UPAYA PEMBENTUK KARAKTER BANGSA
Elis Suryani Nani Sumarlina &Rangga Saptya Mohamad Permana Universitas Padjajaran, Bandung elis.suryani@gmail,com
Abstract
Alongside with the development of the era, accompanied by sophisticated
technology and science, local cultural-wisdomis also changing as well. In the
nowaday era of globalization, re-introduction of local cultural-wisdom to the
younger generation in Nusantara, through cultures and classic literary works, in
this case religious texts containing "Pupujian/Nadhoman" which is packed through
manuscripts and literacy, is one of the ways and a mode to build character of the
nation, in an attemptto participate in preserving, introducing, and developing the
local language that stored in manuscripts.The content of this paper’s
Pupujian/Nadhoman is reviewed in terms of meaning, related to the form, source
of poetry, function, and the use of Pupujian as a means of cultural development,
and to build the character of the nation itself, through the revitalization of text of
Pupujian/Nadhoman, using descriptive research method Analysis, and text,
literature, and cultural studies criticism review method.The contents of the
Pupujian is adjusted to the current development.Generally in the form of counsel,
invite, guide, and remind us of the only one God, the history of the Prophet,
friendship, patriotism, togetherness, respectful honor,mutual help, Faith and
Pillars of Islam,which make serious efforts to build the character of the nation and
uphold religious values, that useful for the The Unitary State of the Republic of
Indonesia, which is safe, harmonious, peaceful, amicable, fair and civilized based
on Pancasila, 1945 Constitution, Bhinneka Tunggal Ika, and NKRI.
Keywords: Revitalization of Pupujian Text Manuscript, Character Building, and
Generation of the Nation
110
Abstrak
Seiring perkembangan zaman, disertai canggihnya teknologi dan ilmu
pengetahuan, kearifan lokal budaya pun berubah pula. Di era globalisasi kini,
pengenalan kembali kearifan lokal budaya kepada Generasi Muda di Nusantara,
melalui budaya dan karya cipta sastra lama, dalam hal ini teks religius berisi
”Pupujian/Nadhoman” yang dikemas lewat naskah maupun literasi, merupakan
salah satu cara dan wahana membentuk karakter bangsa, dalam upaya ikut serta
melestarikan, mengenalkan, dan mengembangkan bahasa Daerah yang tersimpan
dalam naskah.Pupujian dalam tulisan ini isinya dikaji dari segi arti atau makna,
yang berkaitan dengan bentuk, sumber puisi, fungsi, dan penggunaan Pupujian
sebagai sarana pengembangan budaya, serta membentuk karakter bangsa itu
sendiri, melalui revitalisasi teks naskah Pupujian/Nadhoman, dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, dan metode kajian kritik teks,
sastra, serta kajian budaya.Isi Pupujian disesuaikan dengan perkembangan
zaman. Umumnya berupa nasihat, mengajak, menuntun, dan mengingatkan kita
terhadap keesaan Tuhan, Sejarah Nabi, silaturahim, patriotisme,kebersamaan,
hormat menghormati, tolong menolong, bab Rukun Iman dan Rukun Islam, yang
berupaya membentuk karakter bangsa serta menjungjung nilai-nilai religius, yang
berguna bagi negara kesatuan RI, yang aman, damai, tentram, dan sejahtera,
serta adil, dan beradab berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal
Ika, dan NKRI.
Kata Kunci: Revitalisasi Teks Naskah Pupujian, Pembentukan karakter, dan
Generasi Bangsa
1. Pendahuluan
Beraneka ragam budaya yang dimiliki Provinsi Jawa Barat merupakan unsur
kebudayaan nasional yang dapat memberikan corak dan karakteristik kepribadian
bangsa. Penggalian dan pengembangan budaya daerah, sebagai penunjang
kebudayaan Nusantara, membutuhkan data dan informasi selengkap mungkin,
sehingga dapat dilihat sebagai satu perwujudan kesatuan kebudayaan Nasional.
Mungkin ada benarnya bahwa di era kasajagatan kini, di samping ada
kecenderungan bahwa masyarakat lebih menghargai budaya asing, tampaknya
masyarakat juga lebih mementingkan kepentingan pribadi secara ekonomis.
Kasajagatan memang tidak bisa dihindari, namun dituntut ada kearifan dalam
memilih dan memilah, serta menghargai peninggalan warisan budaya karuhun, di
atas kepentingan pribadi atau golongan. Mengapa demikian? Karena sebagaimana
kita yakini bahwa kehidupan saat ini berakar dari sejarah dan budaya masa silam.
Berkat sejarah pula kita sampai di masa kini. Keberadaan budaya suatu
‘masyarakat’ saat ini merupakan hasil perjalanan sejarah dan pengolahan serta
proses perubahan budaya masa lampau. Masa silam dianggap sebuah kenangan,
namun mengenang masa lampau tidak berarti kita akan kembali ke masa silam.
111
Budaya masa lalu sedikitnya berguna untuk mengungkap ‘tonggak’ bagi
suatu kehidupan masyarakat tertentu yang sama-sama dijalaninya. Itu sebabnya,
naskah Sunda khususnya yang berkaitan dengan teks naskah Pupujian yang
religius, mampu menguak tabir, bagaimana naskah Pupujian mampu membentuk
dan memerdayakan karakter dan kepribadian generasi muda suatu bangsa.
Teks naskah Pupujian merupakan rangkaian bahasa yang digubah
berdasarkan syair, yang dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah syiiran,
berirama, dan bermetrum, serta dilagukan. Biasanya disenandungkan sebelum dan
sesudah sholat Magrib, baik di mushola, mesjid, maupun di Pesantren. Pupujian
dan Nadhoman terkadang dilantunkan saat peringatan Maulid Nabi dan Isra Miraj
Nabi Muhammad SAW.
Di era kasajagatan kini, karena berbagai alasan, Pupujian sudah jarang
terdengar di beberapa mesjid. Hal itu tentu saja berkaitan dengan bahasa daerah
yang digunakan dalam bahasa Pupujian dimaksud, yang tentu saja memengaruhi
perkembangan bahasa, yang di beberapa daerahdianggap beban, karena lebih sulit
dipelajari dibandingkan pelajaran matematika, kimia, fisika, maupun bahasa
Inggris. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan Generasi Muda Sunda enggan
menggunakan bahasa daerah.
Anak muda sekarang lebih reueus ‘bangga’ berbahasa asing ketimbang
bahasa ‘ibunya’ sendiri. Kini jati geus kasilih ku junti, basa Indung malah
ditundung. Tidak ada lagi kebanggaan dari generasi muda terhadap bahasa ibu dan
jati dirinya. Bahasa daerah, sebagai bahasa ‘Ibu’, sepatutnya jangan sampai
ditundung‘diusir’ oleh generasi mudaselaku tuturus’penerus’bangsa. Andai hal ini
dibiarkan, lama kelamaan, bahasa daerah/bahasa Ibu layaknya bahasa asing yang
sulit untuk dipahami apalagi digunakan. Kalau sudah demikian, bagaimana nasib
bahasa Indung‘ibu’selanjutnya, yang salah satunya termaktub dalam teks naskah
pupujian.
Bagaimana kiprah kita sebagai peneliti, pengkaji, dan pemangku kebijakan,
agar bahasa daerah tetap dicintai, tetap hidup, dan digunakan oleh generasi
mudanya? Pengenalan kembali kearifan lokal budaya, khususnya bahasa Sunda
kepada Generasi Muda Sunda, melalui budaya dan karya cipta sastra lama, dalam
hal ini ”Nadhoman/pupujian”Sunda, yang dikemas lewat revitalisasi naskah, buku,
atau literasi, merupakan salah satu cara untuk melestarikan dan mengembangkan
Bahasa Ibu kepada generasi muda Sunda.
Teks Pupujian dan Nadhoman dalam penelitian yang kami lakukan dikaji
dari segi arti atau makna, yang meliputi: arti lugas (sense), rasa (feeling), nada
(tone), dan itikad (intention). Namun dalam tulisan ini, hanya dibahas mengenai
bentuk, sumber puisi Nadhoman, fungsi, dan penggunaan Nadhoman di masa kini,
sebagai sarana dan upaya pengungkap pembentuk karakter bangsa.
Hal menarik dan sangat berguna yang bisa kita gali, ungkap, bahkan dapat
kita jadikan bukan sekadar tuntunan moral atau aspek budaya lainnya dari teks
naskah Pupujian,yang ditengarai keberadaannya saat ini di beberapa pesantren,
112
mushola, bahkan mesjid, isinya sudah jarang terdengar lagi dilantunkan dan
disenandungkan, namun isi teks naskah Pupujian tersebut mampu mengungkap dan
membentuk karakter bangsa, termasuk generasi mudana. Jika dibiarkan dan tidak
segera direvitalisasi, lama kelamaan, baik naskah, tradisi, budaya, juga isi yang
terkandung dalam naskah Pupujian itu akan musnah ditelan zaman.
Naskah Pupujian yang isinya merupakan karya sastra, termasuk ke dalam
jenis ‘puisi’, bisa dikaji melalui pendekatan obyektif berdasarkan teori struktural,
yang bertujuan mengungkap dan memberi makna. Analisis struktural merupakan
prioritas pertama kajian isi teks, sebelum mengkaji unsur lainnya, dalam upaya
mengungkap isi teks dalam membentuk karakter bangsa. Tanpa itu, kebulatan
makna instrinsik tidak akan terungkap, demikian pula dengan Puisi Pupujian.
Makna satuan Puisi Papujian dapat dipahami apabila terintegrasi ke dalam struktur
yang merupakan keseluruhan dalam satuan-satuan itu. Antara unsur-unsur struktur
itu ada koherensi atau pertautan erat, sehingga unsur-unsur itu tidak otonom,
melainkan merupakan bagian dari struktur lainnya.
Garapan filologis terhadap Pupujian atau Nadhoman dalam artikel ini
menggunakan metode penelitian deskriptif analisis. Sedangkan metode kajian
untuk melibatkan edisi kritik teks, yang secara kodikologis mengimplementasikan
metode edisi naskah tunggal. Meskipun naskah yang dijadikan objek penelitian
sumber data primernya banyak/jamak. Namun, berhubung naskah Pupujian yang
banyak itu tidak dibandingkan satu sama lainnya, maka dipilih secara acak dari
beberapa naskah tersebut sebagai contoh, dan tidak disunting berdasarkan edisi
naskah jamak, karena tidak seversi, maka metode yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan edisi naskah tunggal, melalui edisi standar. Sementara itu, kajian
tekstologisnya melibatkan metode kajian sastra dan budaya, melalui
intertekstualitasnya.
Teks Naskah Pupujian sebagai karya sastra puisi tradisional yang berstruktur,
memiliki unsur-unsur seperti karya sastra puisi lainnya. Jenis puisi tradisional
dalam karya sastra Sunda bentuknya beragam, selain Pupujian ada yang disebut
Sawér, Sisindiran, Pupuh, Guguritan, dan Mantra. Berdasarkan strukturnya,
masing-masing jenis puisi lama Sunda bentukya terikat dan memiliki aturan
tersendiri. Pupujian dan Sawér biasanya memiliki empat buah larik, serta
mempunyai bunyi yang sama di setiap akhir lariknya. Sementara itu, Sisindiran
memiliki sampiran dan isi, layaknya pantun dalam puisi lama Indonesia.
Sedangkan Pupuh yang biasa digunakan untuk menulis/menggubah Wawacan dan
Guguritan terikat oleh aturan bunyi, Guru Wilangan, serta Guru Lagu, di samping
karakter yang mengiringinya.
Penelitian yang berkaitandengan masalah Puisi Pupujian, pernah dilakukan
oleh Yus Rusyana (1971) berjudul Bagbagan Puisi Pupujian Sunda, yang
diterbitkan oleh Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda, di Bandung.
Penelitian lainnya dilakukan Tini Kartini, dkk. (1986), yang kemudian dibukukan
dengan judul Puisi Pupujian dalam Bahasa Sunda, diterbitkan oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta. Ada juga penelitian yang
113
dilakukan oleh Suryani, dkk. (2016) berjudul Nadhoman di Perbatasan Jawa Barat
dan Jawa Tengah (Brebes) dan Kumpulan Pupujian & Nadhoman di Kalangan
Pesantren se Jawa Barat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran. Beberapa
skripsi Mahasiswa Sastra Sunda mengkaji naskah yang berbentuk Pupujian, seperti
digarap oleh Rian Andriansyah (2016), Neneng Rani Nuroniah, dan lainnya (2012).
2. Revitalisasi Naskah Pupujian Secara Kodikologis
1. Sumber Data Naskah Pupujian
Naskah sebagai sumber informasi budaya yang sangat penting dalam
rangka perwujudan kesatuan budaya nasional di Jawa Barat, dapat dipandang
sebagai dokumen budaya, karena berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran,
perasaan, dan pengetahuan sejarah, serta budaya dari bangsa atau sekelompok
sosial budaya tertentu. Sebagai sumber informasi sosial budaya, dapat dipastikan
bahwa naskah termasuk unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan
sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya, serta menjadi
wahana dalam upaya membentuk dan memberdayakan karakter bangsa
(bandingkan Baried, 1985).
Naskah Sunda bernuansa religius berupa Pupujian, baik yang tersimpan
dalam katalogus Naskah Sunda, maupun yang masih tersebar dan dimiliki oleh
masyarakat secara perseorangan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
sekitar Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Banjar, Pangandaran, Sumedang, Bandung,
maupun daerah lainnya di Jawa Barat, ditemukan cukup melimpah. Naskah-
naskah dimaksud perlu direvitalisasi agar isi yang terkandung di dalamnya dapat
diungkap, dan berguna dalam upaya penelusuran sejarah perkembangan agama,
budaya, dan pembentukan karakter serta kepribadian bangsa.
Naskah-naskah keislaman berisi Pupujian yang diperoleh dari
masyarakat di sekitar Jawa Barat, di antaranya ialah: Naskah Fiqisshoti
Baluqiya , Naskah Sarsilah Dikir Saman, Naskah Carita Pangéling-éling,
Naskah Lebur Kiamah, Naskah Babar Kiyamah, Naskah Hikayat Fatimah,
Naskah Nasihat Nabi ka Siti Fatimah, Naskah Hikayat Siti Fatimah, Naskah
Piwulang Istri, Naskah Wawacan Babar Nabi, Naskah Syair Pupujian Nabi
Medal, Naskah Wawacan Isra Mi’raj, Wawacan Mi’raj Nabi, Naskah
Nadoman Pangantén, Naskah Pranata Istri, Naskah Kitab Fatimah, Naskah
Nasihat Rasululloh ka Siti Fatimah, Naskah Pranata Istri ka Carogé, Naskah
Nadoman Tatakrama Istri, Naskah Adabul Mar’ah, Naskah Piwuruk Nabi,
Naskah Nadhom Majmu Aqidah, Naskah Majmuatul aqidah Akidatul Awam,
Naskah Si’rojul Amanah, Naskah Nadom Attauhid Gusti Urang Saréréa &
Sipat Wajib Allah, Naskah Sair Pangajian,Naskah Nadom Syi’ir Kubur
Sareng Qiyamah, Naskah Nadhom Pépéling Béla Agama, Naskah Nadhom
Anak Adam, Naskah 25 Nabi, Naskah Durusul Fikihiyah, Naskah Syahadatin
dan Kalimah Thoyyibah, Naskah Khotaman dan Maulid Nabi, Naskah
Sajarah Nabi, Nadhom Mawas Diri, Naskah Nadhom ‘Alamatusa’ah
114
(Mertelakeun Ciri-Ciri Kiamat), Naskah Istighosah, Naskah Nadhom Tarikus
Sholat, Naskah Maulid Rojab, dll.
Pupujian yang ditemukan dalam bentuk naskah, kebanyakan berisi cerita
atau riwayat yang mengisahkan Rasululah sebagai Nabi akhir zaman, yang
isinya lebih mengarah kepada istilah Nadhoman. Meskipun demikian, ada juga
yang isinya lebih kepada tema-tema keislaman, yang diambil dari sebagian
Rukun Iman atau Rukun Islam, seperti bab Shalat, bab Zakat, Bab Puasa, yang
lebih mengarah kepada istilah Pupujian.
2. Identitas Naskah PupujianFiqisshoti Baluqiya
Judul Naskah bagian dalam adalah Fiqisshoti Baluqiya. Bagian luar
naskah: Fiqisshoti Baluqiya.Secara umum diberi judul “Kisah Baluqiya”.
Berbahasa Arab dan Sunda. Aksara/huruf Pegon dan latin. Bentuk karangannya
Puisi (nadoman/pupujian/sya’ir). Tarikh penyalinan tertulis Babakan Tariklot.
Nama penyalin Abu Anas. Sementara pemrakarsa penyalinan tertulis Abu Anas.
Ukuran naskah: a. Sampul: 21,6 cm x 16,3 cm, b. Halaman: 21,6 cm x 16,3 cm,
c. Ruang tulisan: 1,5 cm x 12,2 cm. Bahan naskah: kertas. Jenis kertasnya
merupakan kertas pabrik. Tebal naskah: 21 halaman. Penomoran halaman,
ditulis dibagian tengah atas dengan menggunakan aksara Arab.
Keadaan fisik naskah, sampul terdiri dari dua lembar, sampul depan dan
sampul bagian dalam untuk jilid pertama, dan dijilid kedua hanya memiliki 1
sampul, dan tidak bergambar. Penggabungan perhalaman kertas menggunakan
atom (herteran), pada bagian akhir halaman pada jilid pertama terdapat tulisan
berbahasa Arab yang ditulis yang diluar kontek cerita naskah, yakni tulisan
mengenai wirid ‘penolak harga mahal’. Asal naskah: naskah ini berasal dari
hasil pinjaman dari mahasiswa yang bernama Siti Irma Navisah, yang
merupakan mahasiswi Sastra Sunda angkatan 2013. Pemilik naskah: Hj. Sarah
Kp. Babakan Rt 01/04 Desa Cisalada Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor.
3. Gambaran Umum Naskah Pupujian Fiqisshoti Baluqiya
Keterangan Umum pada sampul jilid pertama terdapat penjelasan bahwa
hasil dari penyalinan naskah ini akan digunakan untuk pembangunan pesatren.
Bahan naskah merupakan kertas polos putih, karena naskah ini merupakan
naskah kopian, tidak ditemukan adanya regula atau garis-garis membayang yang
biasa digunakan dalam penulisan naskah.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab dan Sunda. Penulisan judul
naskah pada sampul bagian luar cukup jelas dan menggunakan ukuran yang
lebih besar dibandingkan tulisan yang lainnya yang bertuliskan “Fiqissoti
Baluqiya” (Dalam Kisahnya Baluqiya/Kisah Baluqiya) yang kemudian
digunakannlah Kisah Balukiya sebagai judul umum. Data pencatat: Rian
Andriansyah AP (Mahasiswa Universitas Padjadjaran Fakultas Ilmu Budaya
Program Studi Sastra Sunda) Angkatan 2009.
115
4. Revitalisasi Teks Pupujian Secara Tekstologis
Puisi adalah bentuk terikat yang melukiskan esensi kata dan terikat oleh
beberapa syarat. Dalam bahasa Sunda, bentuk terikat itu disebut basa ugeran
‘bahasa terikat’, yang menurut Adiwidjaya (1954: 39) syarat-syarat tersebut
mencakup: a) banyaknya baris atau larik yang terdapat dalam setiap bait; b)
banyaknya suku kata dalam setiap larik; c) sajak yang terdapat dalam ikatan.
Permadi (1980: 23) menambahkan pola irama atau ritme yang menimbulkan
keindahan dalam syarat itu. Persajakan atau perulangan bunyi mempunyai peranan
dalam penggubahan puisi. Persajakan itu sendiri, dalam sastra Sunda disebut
purwakanti.
1. Pengertian Pupujian
Pupujian adalah puisi yang berisi puja-puji, doa, nasihat, dan pelajaran
berjiwakan agama Islam, biasanya diucapkan dengan dilagukan atau
disenandungkan (bandingkan, Rusyana, 1971; Kartini, 1986: 3).
Puji berasal dari bahasa Sansekerta, dari akar kata ‘puj’, yang dalam
bahasa Inggris berarti honor atau penghormatan, hormat. Pupujian menurut
Kamus Basa Sunda karya Satjadibrata, berasal dari kata puji, mudi yang berarti
mengucapkan kata-kata kebaikan atau kelebihan. Pupujian atau Nadhoman,
ialah untaian kata-kata yang terikat baris atau bait. Meskipun terkadang istilah
keduanya dibedakan. Pupujian diterapkan untuk puisi yang berisi puja-puji
kepada Tuhan, sedangkan Nadhoman digunakan pada puisi yang berisi ajaran
keagamaan, biasanya jumlah baitnya lebih banyak, dalam pengertian bahwa
Nadhoman mampu menceriterakan sebuah kisah. Misalnya digunakan untuk
menceriterakan sebuah kisah melalui untaian Nadhoman atau puisi yang berisi
ajaran-ajaran, baik ajaran agama maupun ajaran moral dan adab sopan-santun
(bandingkan Kartini, 1986: 3).
2. Sinopsis Teks Naskah Fiqisshoti Baluqiya
Teks Naskah jilid pertama diceriterakan mengenai keluarga Baluqiya,
bagaimana keadaanya dan kedudukannya, di sebuah kampung. Baluqiya yang
ditinggal pergi oleh ayahnya (meninggal dunia) yang merupakan tokoh
terkemuka di sebuah tempat yang disebut kampung Bani Isroil. Sepeninggal
ayahnya, Baluqiya mewarisi kekayaan yang melimpah. Hingga pada suatu
ketika, ia memeriksa seluruh kekayaan ayahnya dan menemukan sebuah peti
dengan suatu rahasia di dalamnya. Rahasia tersebuh menceritakan tentang Nabi
akhir jaman, penutup para Nabi. Dari sanalah kemudian Baluqiya melakukan
perjalanan dalam usahanya mencari Nabi akhir jaman tersebut, tujuannya yaitu
tidak ingin ayahnya berdosa karena telah merahasiakan hal tersebut dari semua
orang. Selain itu, Baluqiah berkeinginan agar rakyat Bani Isroil hidup di jalan
yang benar yang diridhoi Allah SWT, dengan mengikuti agama yang dianut oleh
Nabi akhir jaman dimaksud.
Baluqiya sebelum melalukan perjalanan, terlebih dahulu meminta ijin
kepada ibunya dan seluruh warga Bani Israil.Setelah mendapat restu sang Ibu, ia
116
pun pergi menuju negeri besar yang disebut Negeri Syam. Melewati lautan dan
daratan.Ia sempat bertemu dengan Tamliho, si raja ulah dari neraka yang
ditakuti oleh ular-ular lainnya, namun karena niatnya yang baik Baluqiya
selamat dan mampu melanjutkan perjalanannya.
Teks jilid kedua, diceritakan Baluqiya tiba di negeri Syam dan kemudian
bertemu dengan seseorang yang banyak ilmunya, yang kemudian dikenal
dengan ulama Afanulkhoir: Tuan Afan memberitahukan bahwa keberadaan
mereka masih jauh kepada waktu keberadaan Nabi akhir jaman apalagi kepada
umat-umatnya.Namun Tuan Afan memberitahukan sebuah rahasia bahwa untuk
bisa bertemu dengan Nabi akhir jaman mereka harus bisa menangkap si raja ular
Tamlikho, karena bila dapat menangkapnya mereka bisa mendapatkan kekayaan
dan umur panjang. Dengan berbekal sebuah peti besi dan dua buah cawan
sebagai tempat arak dan makanan, mereka berencana untuk menangkap
Tamlikho. Tamlikho yang merasa kehausan memimun arak yang telah
disediakan Baluqiya hingga akhirnya raja ular itupun mabuk, dan dapat terjebak
dengan mudah di dalam peti besi, yang kemudian ditutup dan dikunci oleh Tuan
Afan.
3. Teks Pupujian & Nadhoman
A. Teks Naskah Nadhom Fiqisshoti Baluqiya
Bismillahhirrahmanirrahim
Ngawitan maca bismillah * Terus muji ka Dzat Allah
Ngucapkeun alhamdulillah * Supaya meunang berekah
Sareng ari rahmat Allah * Muga tetep sareng tambah
Kanjeng Nabi Habibulah * Muhammad Rosulullah.
Sareng ka wargi-wargina * Kanjeng Nabi sadayana
Miwah para sahabatna * Anu jadi papatihna.
Amma ba’du
Mangka ari ieu hadis * Nyarioskeun hiji hadis
Hikayat jalmi nunggelis * Manahna nu banget miris
Anu mahabbah ka Kanjeng * Nabi Muhammad. Wilujeng
Anjeunna nu ngajeng-ngajeng * Dohir Nabi hayang sareng
Padahal jaman anjeunnna * Masih tebih ka dohirna
Nabi urang sadayana * Margi anjeuna ayeuna
Ba’da Nabi Sulaeman * Numawi heunteu ngalaman
Dohir Nabi akhir jaman * Mung héy nu banget iman
Jenengan Ki Baluqiya * Putra Kiai Usiya
Hiji ulama nu kaya * Seueur banda jeung pakaya
Dikampung Bani Isroil * Bawahan nagara Mesir
Sareng jalma banget adil * Sanajan ka jalma busil
Dupi éta Baluqiya * Jadi Khalifah Abuya
Margi ramana teu aya * Parantos tilar dunya
Ari sanggeus ditilarna * Baluqiya ku ramana
117
Jadi jalma sadayana * Ngangken sepuh ka anjeuna
Saparantos Baluqiya * Jadi sepuhna sadaya
Bani Isroil nu kaya * Anu hina anu mulya
Bani Iroil jumlahna * Ka Baluqiya ngindungna
Kalawan budak sadayana * Lalaki jeung awéwéna
Saterasna Baluqiya * Damel sacara Abuya
Jadi ra’yatna sadaya * éta teu pakiya-kiya
Lulus banglus ngurus ra’yatna * Ngajalankeun hukum tepat
Sadayana ra’yat cepat * Tur nyulayaan adat
Hiji mangsa Baluqiya * Ngumisi banda nu aya
Titinggal ramana téa * Ma’lum jalma anu kaya
Baluqiya mariksaan * Kabéh gudang teu kanyahoan
Bilih aya sisimpenan * Di gudang teu kanyahoan
Ma’lum babandaanana * Anu kalintang seueurna
Sedeng anu kawasana * Teu aya anging anjeunna
Saparantos dikoréksi * Gudang-gudang tos di péksi
Mendak hiji peti beusi * Tur dipageuhan ku Sausi
Teras Baluqiya naros * Ka juru konci nu Paos
Naha manéh teu carios * Aya peti nu geus lawas
Jeung mana ieu koncina * Tangtu manéh nu nyimpena
Sabab manéh nu jagina * Ieu gudang ti asalna
Sabab urang heunteu ngarti * Ku ayana ieu peti
Paageuhna leuwih ti misti * Sampé-sampé dikonci taliti
dll.
Terjemahan Teks Naskah Fiqisshoti Baluqiya
Bismiillahirrahmanirrahim
Diawali membaca bismillah * memuji pada Allah
Mengucapkan Alhadulillah * agar mendapat berkah
Dengan rahmat Allah * semoga tetap dan bertambah
Kanjeng Nabi Habibullah * Muhammadun Rosulullah
Dan kepada para saudaranya * Kanjeng Nabi semuanya
Serta para sahabatnya * yang menjadi panutannya
Amaba’du
Maka perkumpulan ini * menceritakan suatu hadis
Hikayat orang yang sebatang kara * hatinya yang sangat sedih
Yang mahabbah kepada kanjeng * Nabi Muhammad selamat
Beliaulah yang sangat ingin * hidup bersama-sama Nabi
Padahal pada masanya * masih jauh pada kelahirannya
Nabi kita semua * karena beliau sekarang
Setelah Nabi Sulaeman * tentu saja tidak akan terjadi
Lahir Nabi akhir jaman * Namun orang yang beriman
Yang bernama Tuan Baluqiya * Anak laki-laki kiyai Usiya
118
Seorang ulama yang kaya raya * banyak harta bendanya
Dikampung Bani Isroil * negara bagian Mesir
Orangnya yang sangat adil * walaupun kepada orang miskin
Sehingga Baluqiya * menjadi pemimpin orang banyak
Karena ayahnya sudah tiada * sudah meninggal dunia
Setelah ditinggal ayahnya * baluqiya oleh ayahnya
Kemudian semua orang * mengangkat dia sebagai
pemimpin
Setelah Baluqiya * menjadi pemimpin semua orang
Bani Isroil yang kaya * Yang Hina dan yang Mulia
Bani Isrol semuanya * Mengikuti Baluqiya
Sampai semua pelayan * Laki-laki dan perempuan
Selanjutnya Baluqiya * bekerya layaknya ayah mereka
Jadi semua rakyat * tidak hidup masing-masing
Mengurus rakyat dengan sangat baik * adil menjalankan hukum
Semua rakyatnya patuh * tidak pernah melawan adat
Suatu ketika Baluqiya * memeriksa harta benda yang ada
Peninggalan ayahnya * maklum orang kaya raya
Baluqiya memeriksa * semua gudang dibuka
Jikalau ada warisan * di gudang yang tidak diketahui
Maklum kekayaannya * melimpah dan sangat banyak
sekali
Sedangkan yang memilikinya * tiada yang lain lagi hanya dirinya
seorang
Setelah diperiksa * gudang-gudang sudah diperiksa
Menemukan sebuah peti besi * yang dikunci rapat-rapat
Kemudia Baluqiya bertanya * kepada penjaga kunci yang tahu
Kenapa kamu tidak bercerita * ada peti yang sudah lama terkunci
dimana kuncinya * pasti kamu yang memegangnya
Karena kamu yang menjaga * gudang ini dari awal.
B. Teks Pupujian Istigfar
ISTIGFAR
Astaghfirulloh robbal baroya Hirup didunya ukur ngumbara
Astaghfirulloh minal khotoya Harta jeung anak fitrah nu nyata
Robbi zidni ‘ilman nafi’an Kuatkeun iman tingkatkeun taqwa
Wawafiqni ‘amalan maqbula. Pasti salamet di akhir masa 2x
Lobakeun pisan mieling mati Datangna ajal diri sumerah
119
Sabab éta téh datangna pasti Nyawa jeung jasad tuluy papisah
Nyawa dipundut robul ‘Ijati Anak kulawarga karempel kabéh
Mangkadé hirup sing ati ati. Tuluy dibungkus badan ku boéh 2x
Nu nganteur jenazah tilu perkara Sanajan hirup keur suka betah
Amal jeung harta anak keluarga Sahingga diri poho ibadah
Harta jeung anak baralik deui Nurutkeun hawa nafsu syarakah
‘amal mimilu nu jadi saksi.Datang Ijrail moal ngabantah 2x
Datang dikubur téh hirup deui Umur manusa bakal ditanya
Munkar wannakir nu ngaadili Kawit lahirnatug ka maotna
Waktu harita lisan dikonci Waktu ngorana waktu séhatna
Jasad ngajawabtur jadi saksi Sadaya pisan dipariksana 2x
Taya hartina hirup didunya Salami hirup midamel dosa
Poho kadiri pasti cilaka Nandangan siksa seuneu naraka 2x.
C. Teks Nadhom Mawas Diri
NADHOM MAWAS DIRI
Ya Alloh abdi hapunten Ngawitan nyebat Bismillah
Sareng Ibu Rama abdi Terasna Alhamdulilah
Sareng Guru-guru abdi Abdi nyuhunkeun barokah
Kaum muslimin-muslimat. Sareng rohmat Gusti Alloh.
Mugi Gusti Maparinan Hé dulur-dulur sadaya
Hampura jeung karidoan Urang téh nuju ngumbara
Ya tetepkeun Iman Islam Ulah wungkul ngurus dunya
Mugi Gusti nangtayungan. Sing émut ka nu kawasa.
Urang didamel ku Gusti Dulur, urang kudu ngaji
Disarengan sareng rizki Sangkan ngabogaan pangaji
Kudu dipaké babakti Tolab ilmu nomor hiji
Kana paréntahna Gusti. Kade ulah mandang puji.
Jalma tara daék ngaji Urang satungtung di dunya
Ka madrasah malah benci Kudu ibadah sing enya
Éta pasti bendu Gusti Sholat sajabi tidinya
Di akhérat bakal rugi. Keur mulang ti alam dunya.
Mulang ti dunya ka kubur Ari nu ngomongkeun batur
Tempat poék tanya batur Jeung tatangga henteu akur
Anging iman anu jujur Ulah ngarujitkeun lembur
Nu bakal nulung di kubur. Éta banget siksa kubur.
120
D. Teks Nadhom Tauhid
NADOM TAOHID (NABI MEDAL)
BISMILLAHIROHMANIROHIM
Gusti urang saréréa kanjeung nabi anu mulya
Muhamad jenengannana Arab kurés nya bangsana
Ramana gusti abdullah ibuna Siti Aminah
Di babarkeunna di mekah wengi senen tahun gajah
Robiul awal bulanna tanggal ka dua belasna
April bulan maséhina tanggal ka dua puluhna
Ari bilangan tahunna lima ratus cariosna
Tujuh puluh panambahna sareng sahiji punjulna
Siti Aminah misaur waktos babarna ka catur
Ningal cahya mani ngempur di bumina hurung mancur
Babartaya kokotoran orok lir kénging nyepitan
Soca lir kénging nyipatan sarta harum seuseungitan
Medal nabi akhir jaman pirang-pirang ka anéhan
Sesembahan bangsa syétan kabéh pada karuksakan
Nabi yuswa lima bulan tos tiasa angkat-angkatan
Yuswana sapuluh bulan tos capétang sasauran
Yuswana sapuluh bulan yasa ameng papanahan
Ngéléhkeun budak nu lian tapi tara kumagungan
Parangina kanjeng nabi jatnika pinuh ku puji
Pinter tur gedé ka wani sobar nyaah ka sasami
Keur opat tahun yuswana di beresihan manahna
Nabi di beulah dadana malaikat nu meulahna
Jibril ka dua réncangna mikail jenengannana
Ngeusikeun kana manahna ilmu hikmah sapinuhna
Tuluy dada kanjeng nabi kanjeng di paretkeun deui
Satra teu ngaraos nyeri di hap ku khotami nabi
Harita nabi ayana di lembur ibu indungna
Halimah jenenganana sa’diah ngaran lemburna
Rama nabi ka caturkeun pupusna kacarioskeun
Basa nabi di bobotkeun dua sasih di unggulkeun
Keur lima tahun yuswana ditinggal pupus ibuna
Tuluy di rawat éyangna Abdul Muthalib Asmana
Keursana robbul’alamin kanjeng nabi nu prihatin
Yuswa dalapan tahun yakin éyangna mulih ka batin
Sabada wafat éyangna nabi di rawat uwana
Abi thalib kakasihna sadérék teges ramana
Janjeng nabi sering visan di candak ka nagara syam
Sok nyandak barang dagangan di dinya téh pajeung pisan
Kacatur di éta negri loba pendéta Yahudi
121
Satra pendéta nasroni nu tepang jeung kanjeng nabi
Sadayana sasauran ieu jalma monyalahan
Pinabieun akhir jaman torét inzil geus ngiberan
Sifat nabi panganggeusan aya di anjeunna pisan
Harita loba nu iman ka nabi nganngkeun panutan
Lami-lami kanjeng nabi di sembah ku hiji istri
Dagang ka unggal negeri kauntungana di bagi
Istri jenengan Khodijah putra Hualid katelah
Nu pang beungharna di mekkah ka nabi kalangkung nyaah
Siti Khadijah masrahan ka nabi barang dagangan
Kacarios Maisaroh téh loba pamendakna anéh
Cicirieun nabi nu sholéh matak ngahéran keun kabéh
Tatangkalan uluk salam méga bodas sok mayunan
Jeung aya cap kanabian dina salirana pisan
Pamendak Siti Khodijah cocok pisan jeung Maésaroh
Akhirna Siti Khodijah ka nabi mundut di tikah
Harita yuswana nabi salawé tahun kawarti
Ngadak-ngadak sugih mukti tapi tambah saé ati
Karesepna kanjeng nabi ka gusti Alloh ngabakti
Di gunung hiro maranti ibadahna saban wengi
Di dinya jol kasumpingan Jibril nu nurunkeun Quran
kalawan dawuh pangéran nabi di damel utusan
harita yuswana nabi pat puluh tahun kawarti
Di utus ku Alloh pasti nyebarkeun agama suci
Anu iman pangheulana Siti Khodijah garwana
Abu Bakar kaduana sohabat nu pangmulyana
Murangkalih nu nonoman anu pangheulana iman
Sayidina Ali pisan ka nabi sadérék pisan
Jeung ari jalma beulian anu pangheulana iman
Sayidina Bilal kaleresan anu jadi tukang adzan
Ari lolobana pisan ka nabi téh ngamusuhan
Nganiaya ngajailan teu aya pisan ros-rosan
Para sohabat téh ngalih ka negeri Habsi nu tebih
Di dinya anjeuna linggih kira kenging tilu sasih
mulih shohabat ti habsi kacarios kanjeng nabi
kenging cocobi pohara kersana nu maha suci
uwana sareng garwana pada pupus duanana
harita nabi yuswana kalima puluh tauna
geus pupus siti khodijah nikah ka siti saodah
sareng ka siti aisyah umil mu'minin ka telah
tidinya kersa pangéran maparinan kamulyaan
Ka nabi anu akhir zaman kakasih nu sipat rohman
nuju tinggal tujuh likurna bulan rajab anu kacaturN
122
Nurut du’a anu mashur Kanjeng nabi téh disaur
dipapagku malaikat nyandak burok nu kasebat
Leumpangna téh cara kilat Tunggangeun nabi angkat
ti Mekkah ka Baitul Makdis teu nganggo lami antawis
Ku jalma teu katawis kersana gusti nu wacis
Ti Baitul Makdis terasna Naék tangga kencana.
Mi'raj téa kasebatna kalangit nabi sumpingna
Tujuh langit sadayana jeung aras anu pangluhurna
Disumpingan sadayana katut surga narakana
kanjeung nabi ditimbalan ku gusti nu sipat rohman.
anjeuna kedah netepan sholat muji kapangéran
kabéh jalma anu iman sami pada kawajiban.
Sholat nu lima giliran teu meunang dikurangan
sholat éta minangkana nabi panutan
Yuswa na téh kaleresan lima puluh dua jalan
kafir Mekkah kacaturkeun bareng nabi nyarioskeun
mi'raj dimulyakeun anggur pada nyeungseurikeun
pada hasud ngakalkeun ti dinya Alloh ngersakeun.
Kanjeng nabi di alihkeun ka madinah di sirnakeun
para sohabat pirang-pirang nu méla milu iyang.
Milu ngalih séwang-séwang henteu pisan sumuréang
tambah kamulyaan nabi di madinah asal sepi.
Jadi loba kunu ngaji muji kanu maha suci
sapuluh tahun lamina di madinah jumenengna.
Agama islam cahyana gumebyar kamana-mana
nagari Makkah di perangan akhirna ka boyong pisan.
Nabi tambah ka mulyaan yakin lain jijieunan
ari yuswa kanjeng nabi genep puluh tilu pasti.
Makomna di jero nagari Madinah nagara suci
puputrana kanjeng nabi aya opat anu istri.
Siti Jainab nu ka hiji Rukoyah nu hiji deui
Umi kulsum ka tiluna Siti Fatimah bungsuna
Ari putra nu cikalna Sidna Khosim kakasihna
Sidna abdulloh roi’na ibrohim nu ka tiluna.
Nyaéta nu genep putrana Siti Khadijah ibuna
Sidna Ibrohim ibuna Mariyah jenenganana.
Istri ti Mesir asalna tah kitu turunanana
Putra anu pameget mah, kabéh pupus keur aralit kénéh
Nu isrti carogéna téh para sohabat nu soléh
Siti Jainab carogéna Abul a’s jenenganana.
Siti Rukoyah carogéna Sidna Usman mimitina
Geus Siti Rukoyah hilang anjeuna turuna ka ranjang
Umi Kulsum putri lanjang ditikah gentos nu hilang
Carogé Siti Fatimah Sidna Ali nu ka telah
Bakaromallohu wajhah anu kamashurkeun gagah
123
Ari putu kanjeng nabi dalapan pameget istri.
Siti Umamah jeung Ali ti Siti Jainab kawarti
Ari Sidna Abdulloh mah putu ti Siti Rukoyah.
Putu ti Siti Fatimah aya lima kabéh na mah
Tilu anu pamegetna Sidna Hasan kakasihna
Sidna Husén ka duana Sidna Muhsin ka tiluna
umi kulsum nu istrina ka Sidna Umar nikahna.
Siti Jainab ka duana nurut nungéling wartosna
Urang kudu cinta ati katurunan kanjeng Nabi
Poma ulah goréng ati sumawona hiri dengki
Ari mungguh kanjeng nabi nyaahna langkung ti misti
Ka umatna jalér istri leuwih ti sepuh peribadi
Wlas asih kanu miskin sumawon ka budak yatim
Pada seubeuh ku paparin kadaharan jeung pisalin
Akuan ka urang kampung calik sa tata ngariung
Tara angkuh jeung adigung sanajan ka urang gunung
Ka nu nyandang ka susahan gering jeung papaténan.
Ngalayad sarta ngubaran ngajajapkeun ka kuburan
Manis saur manis budi éstu mustika ning jalmi
Sajagat mondokan deui saé rupi jeung parangi
Raray lir bulan purnami halisna lir katumbiri.
Waos lir inten biduri salira harum wawangi
Estu kersaning pangéran lain seungit di minyakan
Karinget pada nandéan di paraké seuseungitan
Sakitu nabi mulyana taya pisan adigungna.
Angkat pengkereun sohabatna kalangkung handap asona
Angoan kersa lumayan najan nu geus di tambalan
Kitu deui katuangan banget pisan di kurangan
Betah dina ka miskinan lain sabab teu kagungan
Ngahaja baé ngirangan ngarah karidoan tuhan
Pirang-pirang mujijatna tawis ka nabianana
Quran nu nomer hijina mujijat nu pang mulyana
Tangkal nu pérang dauna disiram tilas abdasna
Ngadadak loba buahna sarta hirup satuluyna
domba nu banget kuruna sartana lépét susuna
di usap ku panangana ngadadak juuh susuna
dina hiji waktos deui sohbat ka kirangan cai
teras ba’a kanjeng nabi mundut cai nu kari
cai ngan saketel pisan taya deui anu lian
nabi neuleumkeun panangan dumadak tuluy manceran
cai mancer loba pisan kaluar tina panangan
sela-sela ramo pisan cukup ku jalma rébuan
kacatur hiji badwi ngadoja ka kanjeng nabi
nitah nyaur tangkal kai sina ngomong cara jalma
tuluy tangkal téh di saur harita ku kanjeng rosul
124
tangkal datang ngagulusur akarna téh di gugusur
ngadeuheus ka kanjeng nabi uluk salam cara jalma
sanggeus kitu balik deui ka tempat asalna tadi
badwi téh ngan kantun héran ningal éta ka anéhan
Tuluy ba’da asup Islam ka nabi ngangkeun panutan
saliana loba deui mujizatna kanjeng nabi
mun diwincik hiji-hiji keur nulisna moal mah
héy alloh nu sifat rohman ngabdi sadayana iman
teu aya deui pangéran lian ti anjeuna pisan
nu ngadamel bumi alam dawuh saeusina pisan
nu wajib di ibadahan taya anu ngasamian
sareng abdi iman deui ka Sidna Muhamad nabi
yén éta utusan gusti miwulang sadaya jalma
nu sifat kapercayaan bijaksana tur budiman
bener unggal sasauran najan seueur kaheureuyan
ngabarkeun kanjeng nabi téh ka jalma sadunya kabéh
Dawuh pangéran nu sohih nu wajib di turut na téh
hormat urang ka anjeuna dina mangsa jumenengna
sareng sabada wafatna éta teu aya bédana
duh gusti jungjunan abdi Sidna Muhamad habibi
pamugi salira nampi kanu hina diri abdi
abdi umat ahir jaman anu banget panasaran
hoyong tepang ngadeuheusan seja tumut serah badan
di yaumil ahir pamugi abdi sing janten ngahiji
sareng indung bapa abdi ngiring gusti ka sawargi
TAMAT WALLOHUALAM
E. Teks Pupujian Pépéling
PÉPÉLING
Hayu dulur saréréa, Agama nu nyalametkeun
kusus muslimin muslimat Islam anu di tangtukeun
umuna anu araya poma dulur ulah miceun
urang ngabéla agama. ngaku ulah semet beheung.
Bisi kaduhung ahirna Hanjakal hirup teu risi
Di mana datang maotna lalawora kanu diri
tangtu karasa nyerina datang waktu teu ka cai
bongan bohong agamana. kalah ngeunah-ngeunah seuri.
Sumawona daék ngaji Urang hirup téh ngumbara
aya rotin ge teu ari bakal balik ka asalna
125
sieun teu kapanggih rizki aherat tempat nu lana
poho hirup teh ti gusti. baris mawa amalana.
Padahal ari manusa Ngan ari sifat manusa
hirupna henteu kawasa sok poho kanu kawasa
jol mangsa teu walakaya teu ngagugu parentahna
sanajan banda ngaleuya. ngarempak laranganana.
Komo boga harta tahta Kadang kolotna di hina
rasa diri nu kawasa jadi babuna anakna
batur mah teu walakaya titah kawas ka sasama
sombongna teu aya kaya. teu eling asal dirina.
Lamun amal urang alus Tapi lamun sabalikna
ibadahna bari mulus ibadahna lalawora
jeung sasama silih urus jeung sasamana codéka
tangtu tempat baétul kudus. moal boa ka naraka.
Ngumpakeun kana rijkina Mantak dulur kudu nyaah
alus budi parangina ati-ati kana lampah
tawakal dina susahna nincak jalan bendu allah
sukuran dina nimatna. bongan resep kanu salah.
Ti ayeuna sing kereuyeuh Da gening nggeus maot mah
kana diri pikadedeuh suka bungah jalan salah
bisi diri tijalikeuh dikubur ukur nalangsa
kana jalan sétan geuleuh. bari nyeuri nandang siksa.
F. Teks Nadhom Sakaratul Maut
Nadhom Sakaratul Maot
Ka para Mu’min sadaya Hayu geura saradiya
Meungpeung araya di dunya Amal keur sampeureun jaga.
Geuning maot ngadodoho Boro osok dipopoho
Datang hanteu méré nyaho Ngadadak teu aya tempo.
Taya beurang taya peuting Taya raja taya kuring
Dina ajal geus sumping. Da teu menang tempo geuning.
Horéng nyawa reujeung badan Nu geus lila babarengan
Geuning bakal pipisahan Matak ulah kajongjonan.
Soca nu sakarat mencrong Rénghap ranjug mantak bengong
126
Nu deukeut geus teu katémbong Napas geus dina genggerong.
Lain meureun jeung ciptaan Istu ieu kanyataan
Urang pasti ngarandapan Awak nyawa pipisahan.
Jalma anu keur sakarat Nyawa ngangsreg mapay urat
Taya daya pikeun lumpat Dicabut ku malaikat.
Rénghap anu panganggeusan Jadi pegat panghareupan
Ngajepat hanteu ngambekan Ngajolor hanteu nyawaan.
Ngantun warga ngantun lembur Ngajugjug ka alam kubur
Meunang ngali geus diukur Mahi keur awak sakujur.
Rék naon anu dibawa Naha duit raja kaya
Naha dulur kulawarga Nu bisa bakal ngabéla.
Benang tisuksruk tidungdung Beunang dipaké adigung
Embung bakti ka Nu Agung Solat zakat ngaji embung.
Ibadah katolér-tolér Nepi ka nyanghulu ngalér
Nangkarak digulang gapér Inget awak geus ngagoler.
Ngajelepeng diruruban Diriung ditarungguan
Dicium diceungceurikan Teu lila datang pasaran.
Nu ngariung beuki nguyung Papisah teu meunang embung
Ngageter haté baringung Geus datang taqdir nu agung.
Pépéling anu ngélingan Tos réngé manga lenyepan
Manawi sugan jeung sugan Ngajantenkeun kamaslahatan.
Nu ngaos ieu pépéling Pamugi janten panggeuing
Ka mu’min anu tacan éling Tangtuna Allah ngajaring.
G. Teks Nadhom Kitabulma’asi
KITABULMA’ASI
Bismillahirrahmanirrahim
Hamdan liman wasiat magfirotuh Jamialmaasi wa ammat rahmatuh
Summasolaatu ala man arsalahuu Rahmatallilhalqi waman walaahu
Badé milang sawareh kadorakaan Anu dina kitab sulam di tataan
Kahiji doraka nu ku atina Kadua doraka nu ku beuteungna
127
Katilu doraka beunang panonna Kaopat doraka beunang lisanna
Kalima doraka beunang kupingna Kagenep doraka leungeun duanana
Katujuh doraka ku suku-sukuna Kadalapan doraka beunang parjina.
Kasalapan doraka kabéh badanna Ditutup ku pasal neurangkeun taubatna
Paslun pi bayani maasilqolbi
Ari sawaréhna dorakana ati Éta riya dina ibadah babakti
Ari riya amal karena manusa Jadi lebur ganjaranna tinu kawasa.
Ari kaduana dorakana ati Éta ujub ku toat bakti ka gusti
Ari ujub téh éta ngaku ibadah Ku awakna lain kukurniya allah.
Tilu mangmang ka allah kana ayana Atawa kana kasampurnaanana
Opat ludeung teuaya kasieun ati Tina bebenduna jeung payungku gusti.
Kalimana mutuskeun kana rahmatna Heunteu ngareup-ngareup kana
hampurana
Genep takabur gumedé adigung Ka abdi-abdina allah anu agung
Napik kana hak nu datang tinu liyan Aing wungkul nu boga boga bebeneran
Jeung nginakeun ka batur
ngaluskeun manéh
Boga rasa leuwih ti manusa kabeh
Katujuhna doraka ati téh hiqdu Ngunek-ngunek dina ati nyipeun
beundu
Tatkala ngagugu kana parentahna Jeung teu seungit kana kaayaannana
Kadalapan hasud kana ni’mat batur Ngarep-ngarep ni’mat batur téh sing
luntur
Ari kasalapanna ngagonggoréngkan Kana sidqoh jadi teuaya ganjaran.
Kasupuluh ngalanggeungkeeun kana
dosa
Doraka ka gusti nu maha kawasa
Kasabelas goreng sangka ka
pangéran
Nyangka moal ngampura moal
masihan.
Dua belas goréng sangka ka manusa Anu mu’min lain anu ahli dosa
Tilu belas kana qodar ngabohongan Nekadkeun yen perkara teu di
pastikeun.
Opat belas bungah ati ku doraka Dosa maneh atawa batur ga suka
Limabelas yidro ngudar perjangjian Najan kakafir nu di jangjian aman.
Genep belas ngawujuk nipu Ka jalma islam ngaran nyilakakeun
128
ngunculungkeun
Tujuh belas nyatru sohabat nabi Jeung ka kulawargina jeung ka para
wali.
Kadalapan belasna koret ku barang Anu diwajibkeun ku allah ka urang
Kasalapan belasna hawek ku dunya Entong batur hayang sorangan sing réya
Dua puluh kaseungsreum bangeut
resepna
Kana dunya toma kagaduh baturna
Ari anu kasalikur ngahinakeun Kana barang nu ku allah di agungkeun.
Dua likur nyapirakeun ngaleutikeun Kana barang nu disuprih diagungkeun
Kaya nyapirakeun kana ngaji bakti Jeung ngamohakakeun dosa ka gusti.
Ngahinakeun qur’an jeung elmu
agama
Kana surga ka naraka jahima
Paslun pi bayani maasilyatni
Ari sawaréhna ma’siyat beuteung Dahar riba anu warna-warna
Dua dahar tina cuka tina béya Tilu nu beunang maksa ti manusiya.
Kaopatna dahar nu beunang gosob Lima dahar beunang maling beunang
nyayab
Genep dahar beunang muamalah
batal
Akad-akad anu ceuk syara teu halal.
Reujeung ongkos-ongkos pagawéan
haram
Ladang haram nu ku syara di haram
Ari katujuhna dorakana beuteung Éta nginum arak barandi sajeung.
Ari hukumna nu nginum arak tea Dirangket pat puluh kali di dunya
Kadalapan ngadahar sagala barang Anu matak mabok matak akal ilang.
Kasalapan dahar barang anu geuleuh Kaya leho reuhak korong jeung cileuh
Kasapuluh dahar anu najis Jeung nu kanajisan ngaran mutanajis.
Kasabelas ngadahar barang nu budak Anu yatim anu heunteu kalawan haq
Dua belas ngadahar barang waqafan Kana maksud anu waqaf nyulayaan.
Katilu belasna deui dahar barang Nu hasilna ku jalan éra jeung wiring
Opat beulas beunang nipu ti manusa Jaba éta ma’siyat beuteung téh dosa.
Paslun pi bayani maasilaén
129
Ari sawaréhna dorakana aén Yakni panon ningali awéwé séjén
Tegesna lain mahrahna nyakitu Awéwé gé ningali ka lalaki tangtu.
Ari kaduana doraka panonna Ningali orat séjén tunggal jinisna
Saperti awéwé pada awéwé Lalaki pada lalaki sami baé.
Mangka haram jalma lalaki téh nenjo Kana juj badan awéwé liyan bojo
Deui haram ka awéwé mukakeun Juj badanna keur aya nu ningalikeun.
Ti jalma nu diharamkeun ningalina Kana éta juj badan najan mahramna
Reujeung ka lalaki ka awéwé Muka nu antara bujal jeung dengkul.
Dihadireun nu ningali kana oratna Najan tunggal jinis sanajan mahramna
Anging salaki jeung bojo éta mah.
Naon-naon téa anu dicegah.
Haram deui ka lalaki ka awéwé Muka rarangan nalika nyeggen ogé
Mun teu aya hajat teu aya perluna Anging karena salaki jeung Gustina.
Halal oge sarta bangsa mahramna Atawa sarta nu tunggal jinisna
Jeung budak nu can aya
pikahayangeun
Halal nénjo kana barang saluarna.
Nu antara bujalna jeung tuurna Mun ningalina téh teu jeung syahwatna
Wenang ningali ka budak nu tamyiz
mah
Ngan kana parji budak awéwé ulah.
Wenangna téh wungkul ka indungna
bae
Nu miara unggal peuting unggal poé
Ari nu katilu doraka panonna Ningal ka jalma islam ngahina-hina.
Kaopatna ningal kajero imahna Jalma liyan heunteu kalawan idinna.
Kalimana ningal kanu disumputkeun Ku jalma nu teu rido ditingalikeun.
Kagenepna ningali mungkar teu
mungkir
Heunteu seungit kana mungkar téh ku
pikir
Ari ngaran mungkar téh éta perkara Anu goréng anu dicegah ku syara.
Anu haram ku manusa dilakonan Nenjo kitu téh jumlah kadorakaan
Mun teu udur jeung teu bisa
ngajauhan
Kabawa doraka kunu ngalakonan.
Kaya ningal rupa-rupa tatabeuhan Permaénan nu dicegah ku pangéran
Paslun pi bayani maasillisan
Ari sawaréhna dorakana lisan Éta ngupat ngomongkeun batur saimah
130
Ku omongan nu matak teu
ngeunaheun
Najan yakin ayana nu di omongkeun.
Kaduana dorakana lisan namimah Ngadu-ngadu mawa omongan ngarah
beungkah
Atawana nguar ngaér aib batur Sangkan kagorénganna jadi mashur.
Ari katiluna ngucuhkeun
ngangsonan
Sanajan di antarana sasatoan
Ari kaopatna nyaéta ngabohong Ka nu sulaya ti bukti nya ngomong.
Ari kalimana sumpah nu bohong Nguatkeun kana omongan kasawang
Ari anu kagenepna nuding jinah Ka jelema tasréh atawa kinayah.
Hukumna nunuding jinah di dunya Dirangkét dalapan puluh kali téa
Katujuhna doraka lisan nyarekan Ka sohabat nu mulya abdi pangéran.
Kadalapan nyaksian halang wadul Ngaran meunang rijki anu batal
wungkul
Kasalapan nyulayaan perjangjian Lamun waktu jangji Nyimpen
nyulayaan.
Kasapuluh ngajir-ngajir mayar
hutang
Halal boga jeung teuaya nu ngahalang
Kasabelas nyarékan ya’ni nyipatan Ka jelema nu jadina kagoréngan
Dua belas ngala’nak ka makhluk
allah
Ku ngucapkeun alaihi la’natullah
Tilu belas ngacucuyoan
ngageuhgeuykeun
Ka jalma islam ngahina-hinakeun.
Opat belas ngomong sakabéh
omongan
Anu ka jalma islam milaraan
Lima belas ngabohong ka gusti allah Nganisbatkeun barang anu teu
meureunah.
Kagenep belasna ka rasulna Pajar manéh nabi kitu ngan dawuhna
Padahal mah nabi teu ngadawuh kitu Tapi jijieunan manéhna nu tangtu.
Katujuh belas ngomongna nu batal Ngaku-ngaku boga barang akal-akal
Kadalapan belas nalak pamajikan Nuju nipas atawa nuju palangan
Atawa saméméh nalak watiheula Sabab matak lubar ibadahna teu lila
Kasalapan belas dihar kabojona Bojona disarupakeun jeung mahromna.
131
Ari anu dihar téh wajib kiparat Mun sanggeusna dihar heunteu nalak
kebat
Ari kiparatna téh ngamerdékakeun Rokik anu mulus lamun teu kuateun.
Ku puwasa duwa bulan nu teu elat Mun kana puasa sakitu heunteu kuat
Kudu masrahkeun genep puluh budi
balas
Ka sawidak pakir miskin dosa lepas.
Kadua puluhna dorakana lisan Pepaladan nyalahkeun i’robna quran
Najan heunteu ngaruksak kana
ma’nana
Nastainu di baca nastaaéna.
Kasalikur jabalukna jalma boga Harta atawa kana kasab kadunya
Duwa likur nadar ngarah
ngahalangan
Ahli waris sangkan teu meunang
warisan.
Tilu likur teu wasiat boga hutang Atawa nyimpen barang nu lian teu
terang
Opat likur ngaku nasab kanu lian Lian bapa atawa lian dunungan.
Kasalawé ngalamar larangan batur Anging lamun batur idin manéh luntur
Genep likur patwa teu kalawan ilmu Ngajawab masalah padahal teu timu.
Katujuh likurna ngaji jeung
ngajarkeun
Ilmu-ilmu nu matak ngamadorotkeun
Kadalapan likurna mah ngahukuman Ku lian hukumna allah lian qur’an.
Kasalapan likur midamdam
sasambat
Nalika na musibah katinggal wafat
Tilu pulkluh ngucap sakur-sakur
kalam
Anu nitah maréntah migawé haram.
Tilu puluh hiji sakur-sakur kalam Anu nyaci-nyacad agama islam
Anu nyaci kasawaréh peranbiya Atawa ka perulama peruliya.
Atawa ka ilmu sara kana qur’an Jeung lian na teuteunggeur agamana
Tilu puluh dua seukeut maréntah Kana ma’ruf tina mungkar henteu
nyegah.
Tilu puluh tiluna nyumputkeun ilmu Anu wajib ti jalma anu hantimu
Katilu puluh opatna
nyeungseurikeun
Kana kabobosan hitut
ngérakeun.
Tilu puluh lima deui
nyeungseurikeun
Ka jalma nu Islam ngaguguyonkeun
Katilu puluh genepna nyamunikeun Panyaksian dijieun saksi teh sieun.
132
Katilu puluh tujuhna mopohokeun Kana qur’an anu geus di dihapalkeun
Tilupuluh dalapan teu jawab salam Anu husus ka anjeun ti jalma Islam.
Tilu puluh salapan bium ku sahwat Nu keur ihram haji atawa keur umroh
Atawa anu keur puasa nu farduna, Atawa kanu teu halal diciumna
Pasal pi bayanil maasiludun
Ari sawaréhna doraka kupingna Ngadéngékeun kana carita baturna
Caritaanana anu disumputkeun Ku nu ngomong henteu rido
dikupingkeun.
Doa nguping kana sagala suara Anu dicegah nu diharamkeun ku sara
Kaya tatabeuhan anu warna-warna Nu geus malumhenteu bireuk sadayana.
Katiluna nguping anu ngupat jalma Anu nguping anu ngupat éta sama
Kaopatna nguping nu
nyadunyadukeun
Jeung sakabéh pangucap nu
diharamkeun.
Kalimana ngupingkeun anu
ngabohong
Sabab nu ngupingkeun sami jeung nu
ngomong.
Anging anu kakupingna téh maksa Asup kana cepil éta henteu dosa.
Sarta seungit henteu rido atina Sarta wajib ingkar sakawasana
4. Bentuk Pupujian
Pupujian atau Nadhoman pada umumnya berbentuk puisi/syair, atau
dalam bahasa Sunda disebut juga ‘siiran’. Nadhoman yang berbentuk ‘Siiran’,
suku katanya tidak selamanya terdiri atas sembilan sampai empat belas suku
kata, tetapi lebih sering bersuku kata delapan.
Sajak Siiran Sunda pun tidak selamanya ‘a-a-a-a’, terkadang a-a-b-a, a-a-
b-c, a-b-a-b, a-b-a-a, a-a-a-b, a-b-b-b, a-b-c-a, a-b-c-c, a-b-b-c, a-b-a-c, dan a-b-
c-b. Hal ini disebabkan adanya pengaruh puisi Sunda yang telah ada sebelum
bentuk syair masuk. Bentuk-bentuk puisi Sunda tersebut, seperti Papantunan,
Mantra, Sisindiran (pantun), dan Kawih (lagu). Tiap baris dari semua bentuk
jenis puisi tersebut: a-a-a-a atau a-b-a-b, pada Sisindiran, sedangkan sajak akhir
dari Mantra dan Kawih umumnya bebas (Kartini, dkk, 1986: 14),
meskipunsebenarnya Mantra dan kawih secara khusus memiliki ‘rima’ atau
unsur bunyi (persajakan) yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting
peranannya dalam sebuah Mantra. Bunyi-bunyi yang membangun kata diseleksi
dan dikombinasikan, sehingga terasa enak dan merdu didengar. Pemilihan dan
pengkombinasian bunyi-bunyi Pupujian mengarah ke dua pihak, yaitu untuk
melambangkan arti atau imajinasi tertentu dan untuk membangun musikalitas
puisi itu sendiri (Suryani, 2012 & 2014).
Bentuk puisi Pupujian yang terdiri dari empat baris tersebut, sebenarnya
tidak dapat digolongkan ke dalam bentuk ‘syair’, sebab ciri-ciri syair tidak
133
dipenuhi semuanya, kecuali jumlah baris yang empat itu. Rusyana menggolong-
golongkan Puisi Pupujian dalam tujuh bentuk puisi, yaitu: Syair, Kantétan Opat
(empat seuntai), Paparikan (Pantun), Kantétan Dua (dua seuntai), Kantétan
Genep (enam seuntai), Kantétan Salapan (sembilan seuntai), dan Kantétan
Robah (untaian tak tentu) (1971-19-20).
Kajian Pupujian dari segi persajakan yang berhubungan dengan ‘rima’,
dalam artikel ini tidak disajikan, mengingat ada batas maksimal dan waktu yang
tidak memungkinkan. Meskipun demikian, secara keseluruhan bentuk, isi,
fungsi, dan makna pupujian sudah termaktub di dalamnya.
5. Kajian Isi Puisi Pupujian
Isi puisi Pupujian, sesuai perkembangannya selalu berubah. Pada awal
masa perkembangan agama Islam, saat peralihan dari ajaran Hindu ke ajaran
Islam, isi Pupujian banyak bercampur dengan kepercayaan dan ajaran Hindu
pula, dan biasanya sebelum membaca Pupujian, terlebih dahulu membacakan
Mantra (Rajah) sambil membakar kemenyan, barulah melantunkan Pupujian.
Masa-masa pergolakan revolusi fisik, pada masa perjuangan
kemerdekaan, di berbagai pesantrenlahir Pupujian yang berisi ajakan untuk
berjihad menghancurkan musuh/para penjajah, untuk mengobarkan semangat
berjuang. Bahasa yang digunakan untuk mengumandangkan Pupujian di
pesantren-pesantren tidak selamanya berbahasa Sunda, tetapi ada juga yang
menggunakan bahasa Arab dan Cirebon, juga bahasa campuran Arab dan
Sunda, serta Jawa dan Sunda. Selain itu, terkadang ada juga terselip kosa kata
bahasa Indonesia.
Isi Pupujian disesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun secara
umum, isinya mengajak kita agar tetap yakin dan percaya kepada Allah SWT,
sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, silaturahim dan kebersamaan, saling
hormat menghormati antarumat beragama, saling tolong menolong, bab Shalat,
bab Puasa, bab Zakat, Haji, dan Kiamat. Disamping itu ada Persatuan Bangsa,
musyawarah untuk mufakat, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Isi secara keseluruhan mengacu kepada Pancasila sebagai dasar dan
pandangan hidup bangsa Indonesia, yang jika dicermati secara saksama, isinya
berupa ajakan, tuntunan, dan berupaya membentuk karakter bangsa yang
berkepribadian luhur dan menjungjung nilai-nilai religius, yang berguna bagi
negara kesatuan Republik Indonesia, yang berketuhanan, aman, damai, dan
sejahtera, serta adil, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
D. Penutup
Bentuk puisi Pupujian yang dikenal dengan istilah ‘syiiran’ tidak sama persis
dengan syair yang selama ini dikenal luas di kalangan masyarakat. Arti lugas,
unsur perasaan, nada, dan itikad dalam Pupujian, bergantung kepada maksud dan
tujuan Pupujian itu sendiri.
134
Isi Pupujian disesuaikan dengan perkembangan zaman. Umumnya berupa
nasihat, mengajak, menuntun, dan mengingatkan kita terhadap Allah SWT,
sholawat Nabi, silaturahim, kebersamaan, hormat menghormati antarumat
beragama, tolong menolong, bab Rukun Iman dan Rukun Islam, berupaya
membentuk karakter bangsa dan menjungjung nilai-nilai religius, yang berguna
bagi negara kesatuan RI, yang aman, damai, dan sejahtera, serta adil, dan beradab
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kini hal yang kian mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana agar
Pupujian senantiasa disenandungkan dan berkumandang di pesantren, mesjid,
mushala, bahkan di sekolah, dalam upaya membentuk karakter dan kepribadian
bangsa, sehingga Pupujian tidak musnah ditelan masa dan dipigandrung ‘dicintai’
serta mendarah daging dan bersemayam di dalam denyut jantung setiap insan
Sunda.
Referensi
Andriansyah A.P, Rian. 2016. Naskah Nadhom Kisah Baluqiya “Pencarian Nabi
Akhir Jaman” Edisi Teks dan Terjemahan. (Skripsi). Bandung: Fakultas
Ilmu Budaya Unpad.
Danesi, Marcel. 2004. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra
Kartini, Tini, dkk. 1986. Puisi Pupujian dalam Bahasa Sunda.Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Pagelaran, Mama.tt. Kitabulma’asi. Subang: Kasomalang Cisalak.
Piaget, Jean. 1995. Strukturalisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington & London: Indiana
University Press.
Rusyana, Yus. 1971. Bagbagan Puisi Pupujian Sunda. Bandung: Proyek Penelitian
Pantun dan Folklor Sunda.
Suryani NS, Elis. 2012. Mantra Sunda dalam Tradisi Naskah Lama: Antara
Konvensi dan Inovasi (Disertasi). Bandung: Program Pascasarja Universitas
Padjadjaran.
Suryani NS, Elis. 2014. Mantra Sunda Keterjalinan Tradisi, Konvensi, dan Inovasi
(Disertasi). Bandung: Sastra Unpad Press.
Suryani NS, Elis. 2015. Mantra Sunda: Keterjalinan Tradisi, Konvensi dan
Inovasi. Bandung: Sastra Unpad Press.
Suryani NS, Elis. 2016. Calakan tur Motekar Budaya Sunda. Jatinangor: Unpad
Press.
Suryani NS, Elis, dkk. 2016. Nadhoman di Perbatasan Jawa Barat dan Jawa
Tengah (Brebes). Bandung: Balai Bahasa Bandung.
135
Suryani NS, Elis. 2017. Kumpulan Pupujian & Nadhoman di Kalangan Pesantren
se Jawa Barat. Bandung: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.
Suryani NS, Elis. 2017. Budaya Sunda dalam Utaian Masa. Bandung: SituSeni.
Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1989 & 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT.
Gramedia.
Widada, Rh. 2009. Saussure Untuk Sastra. Sebuah Metode Kritik Sastra Struktural.
Yogyakarta – Bandung: Jalasutra.
136
137
PEMBACAAN TEKS SADRANAN ERA PAKU BUWANA X:
UPAYA MEMBANGUN INGATAN PADA LELUHUR
Fajar Wijanarko UPTD Museum Negeri Sonobudoyo
Abstract
The text of Wilujĕngan Sadranan (WS) is scriptorium of Kasunanan in Paku
Buwana (PB) X’s era. It could be evidence of a history of Islamic journey to
Java. The Islamic pattern appears on the text in Sufism form is realized through
upakara or sĕsajen in haul tradition. This entry is not only mentioned the names
of ancestors, but also the ancestors of the Islamic prophet Muhammad. Further
reading of the text was able to build memories of ancestors, even becoming part of
the Islamic understanding. Such text cache disclosure effort involves study methods
of library and philological approach with interdisciplinary scholarship that is
relevant. The end result in the disclosure of the text was able to be a mirror of
society in era when text produces.
Keywords: Text, Sufism, Islam, Haul
138
Abstrak
Teks Wilujĕngan Sadranan (WS) skriptorium Kasunanan era Paku Buwana (PB) X
menjadi bukti dari sejarah panjang perjalanan Islam ke tanah Jawa. Corak Islam
yang dimunculkan pada teks diwujudkan melalui sufisme dalam bentuk cacatan
upakara/sesaji pada tradisi haul. Catatan ini tidak hanya menyebutkan nama-
nama leluhur Jawa, tetapi leluhur Islam era Nabi Muhammad dan tokoh
sejamannya. Pembacaan teks WS secara komprehensif selanjutnya mampu
membangun ingatan generasi pada leluhur, bahkan menjadi bagian dari
pemahaman Islam dalam nafas Jawa. Upaya pengungkapan khazanah teks
demikian melibatkan metode studi pustaka dan pendekatan filologi dengan
berbagai interdisipliner keilmuan yang relevan. Hasil akhir dalam pengungkapan
teks WS mampu menjadi cermin masyarakat era pembentukannya.
Kata Kunci: Teks, Sufisme, Islam, Haul
A. Pendahuluan
Pengaruh Islam pada sastra-satra klasik nusantara mulai terjadi pada
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Pigeaud menyebutkan periode Islam
justru telah muncul seabad sebelumnnya yakni semenjak abad ke-161. Teks Islam
pertama yang ditemukan adalah Serat Menak di era Paku Buwana (PB) I, era
Kasunanan Kartasura. Teks tersebut ditulis atas kehendak Kanjeng Ratu Mas
Belitar, Permaisuri dari PB I. Cerita ini terbagi ke dalam 24 jilid yang berawal dari
Menak Sarehas, hingga Menak Lakat (Simuh, 1984: 1). Periode kerajaan
setelahnya pun menjadi lahan subur dari tumbuh kembangnya kesusastraan Islam.
Pasca Palihan Nagari tahun 1755 dan Perjanjian Salatiga tahun 1757, Kasultanan
Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, maupun Kadipaten Mangkunegaran gencar
menggalakkan penulisasan sastra-sastra religi sebagai pedoman pemerintahan bagi
raja-raja setelahnya (Simuh, 1984: 10). Di era yang sama pula, masyarakat di luar
banteng keraton dihadapkan pada kenyataan bahwa pondok dan pesantren tumbuh
sebagai pusat penyebaran serta pembelajaran ilmu agama. Keduanya bertindak pula
sebagai produsen dari kesusastraan Islam bermotif syariat sebagai induk bagi
pembelajaran agama2. Sedangkan pada konteks keraton sebagai pemangku budaya
cenderung menerjemahkan Sastra Islam sesuai dengan ekologi priyayi3. Dengan
1 Pudjiastuti pada kajian naskah Dewi Malika mengungkapkan bahwa masuknya Islam dibawa
oleh pedangan muslim melalui pantai utara Jawa pada abad XV dan XVI. Agama baru tersebut turut
memberi perubahan di sektor ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Salah satunya adalah munculnya
pondok dan pesantren. Sedangkan pada sistem susastranya, lahirlah Kapustakan Islam Kejawen
yaitu kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam
(Pudjiastuti, 2006:88-89). 2 Pesantren dan pondok menjadi kawasan yang bersinggungan langsung dengan daerah
Pesisiran menurut Poerbatjaraka (1952) menjadi jalur strategis masuknya cerita Islam dari tanah
Persi. Sastra Islam yang disadur dalam bahasa Melayu, selanjutnya diadopsi dan disesuaikan dengan
ekologi Jawa sebagai kitab-kitab (Simuh, 1984:8-9). 3 Cara pandang yang dikonstruksi secara individual oleh masyarakat berdasarkan golongan
sosial kaum ningrat. Menurut Magnis dan Suseno (2001:12), orang Jawa membedakan 2 golongan
139
demikian, motif-motif sastra tasawuf (mistik Islam), baik primbon, wirid, maupun
suluk4 merupakan produk utamanya (Pudjiastuti, 2006: 3-4).
Saduran teks-teks Islam dalam bentuk kitab-kitab muncul sebab sastra yang
berkembang selalu menjadi ciri masyarakat pada zamannya. Sastra bertindak
sebagai kecerdasan universal dari tanda-tanda sosial, budaya, hingga politik
(Miller, 2011: 13). Selanjutnya faktor lain seperti kedekatan Jawa dengan sistem
kepercayaan animisme-dinamisme menjadikan primbon sebagai Sastra Islam yang
banyak digemari. Penulisan primbon nampaknya lebih menarik dengan ajaran-
ajaran yang disusun tanpa struktur, seperti ngelmu petung, ramalan, guna-guna,
pelajaran ibadah, akidah, hingga yang diwujudkan dalam bentuk cerita, baik prosa
atau puisi, seperti Sĕrat Kandha, Paramayoga, Sĕrat Ambya, Sĕrat Menak (Simuh,
1984:1). Perjalanan Sastra Islam ini terus berkembang pada konteks ruhaniyah
dengan menempatkan hakikat sistem kepercayaan adalah pengakuan sang Maha
Pencipta secara menyeluruh. Pada era Kesultanan Yogyakarta, teks-teks dengan
pola-pola islam menjadi sarana pengislaman golongan priyayi. Hal demikian
tertulis pada teks Dahor Palak5, pupuh Megatruh 5-6.
Anĕmbah sira mring Pangeranipun/ kang akarya bumi langit/ miwah
sira lawan ingsun/ kang akarya pati urip/ nebuta kalimah roro// As hadu
alla ila haillallahu/ lan ashadu anna malih/ wanuh kang nabi yullahu/
iku ugĕring ngaurip/
Menyembahlah engkau kepada sang Pangeran, yang mencipta bumi dan
langit, (menciptakan pula) engkau dan aku, yang menjadikan hidup dan mati,
(maka) ucaplah dua kalimat itu, As hadu alla ila haillallahu, dan lagi ashadu anna
nabi yullahu. Demikian pedoman dalam hidup.
sosial atas diri mereka, 1) wong cilik (orang kecil) yang terdiri dari massa petani dan mereka yang
berpendapatan rendah, 2) kaum priyayi yang digolongkan sebagai aristokrat, darah biru, serta
pegawai-pegawai dan intelektual. 4 Sastra Islam-Jawa telah lama menjadi buruan para filolog dan peneliti manuskrip (Ms).
Poerbatjaraka (1950) mengistilahkan sebagai sastra pesantren, sedangkan Simuh (1988)
menyebutnya tradisi Kepustakaan Islam Kejawen. Keduanya adalah hal yang serupa untuk
mengkategorikan Sastra Islam dan Mistik Jawa. Kondisi ini sebenarnya adalah produksi dari pola
keseragaman yang dimunculkan melalui teori sinkretisme. Pandangan yang tidak menitik-beratkan
pada benar atau salah, murni atau imitasi, baik atau buruk, melainkan pada keseragaman dan
harmoni ‘a movement to bring about a harmony of positions in philosophy or theology which are
somewhat opposed or different, Runes, D.D. (Simuh, 1984:2). 5 Teks Dahor Palak sebagai produk Sastra Islam, ditulis pada Selasa Kliwon, 13 Rabingulakir,
Jimawal 1773, Tri Wiku Pandhiteng Rat (21 April 1845). Teks ini mengisahkan tentang kronogram
nabi-nabi semenjak Adam hingga Khalifatullah (Sahabat Rasul) dengan tarikh kelahiran dan
gambaran singkat kehidupan umat nabi. Pada episode kedua (h. 24-58) berkisah tentang raja Jawa, 9
wali dan pembangunan masjid di Demak, Sultan Hadiwijaja, Panembahan Senapati hingga HB VI. Tarikh penobatan dan gambaran singkat dibubuhkan dalam cerita dan sengkalan (Behrend, 1990: 1).
Meskipun tidak menyantumkan nama penulisnya, teks yang merupakan turunan dari kitab populer
Sĕrat Ambya memiliki kesamaan corak paleografi penulisannya. Agaknya dapat disimpulkan bahwa
Raden Arya Suryamisesa merupakan juru tulis yang telah menggiatkan kembali tradisi bersastra di
keraton atas perintah sultan (Behrend, 1990: 220; Ricklef, 2008: 193).
140
Persejajaran antara Islam dan cara pandang priyayi menjadi paham sinkretis
yang menempatkan ruang gerak Islam di dalam tradisi leluhur. Benturan-benturan
yang diluweskan oleh para pujangga istana yang membawa keduanya untuk saling
bermimikri, menyesuaikan konteks sosial budaya pada masanya. Seperti halnya
masyarakat pra-Islam yang masih bertahan ataupun masyarakat pewaris
kepercayaan leluhur yang mengistilahkan Sang Pencipta sebagai Ywang, Ywang
Agung, Ywang Manon, Ywang Widi, atau Ywang Suksma6menjadi bentuk plural
dari Allah. Corak-corak kebudayaan Hindu yang masih lestari di minda masyarakat
era kepenulisan teks cukup diakrabinya tanpa memberikan bentuk negasi atau
pembenaran (Simuh, 1998:22). Pada bagian ini, kepercayaan nenek moyang
terdahulu nampak memaksimalkan peranannya sebagai budaya yang diwariskan.
Mulder (1983) membenarkan bahwa tradisi bersastra yang dilakukan oleh pujangga
termasyur, Yasadipura I-II, Ranggawarsita, hingga kalangan istana PB IV dan
Mangku Negara (MN) IV bertindak menjembatani Islam melalui tasawuf untuk
dapat tumbuh subur di kalangan sastra Jawa. Tasawuf selanjutnya dirasa cukup
supel dan mampu berasimilasi dengan baik dengan menerima warna tradisi
(Prabowo, dkk. 2003: 22).
Tradisi penyebaran Islam bermedia sastra di kalangan priyayi terjadi
diseluruh keraton-keraton Jawa, termasuk era Kasunanan Surakarta. Di kawasan
njĕron beteng, Islam tidak secara tegas mengalihkan sistem kepercayaan yang
sudah lama tertanam, melainkan tetapi memberi ruang pada tradisi leluhur. Potret
inilah yang tampak pada teks Wilujĕngan Sadranan (WS) era PB X. Pada teks ini,
kondisi kultural masyarakat tidak terlepas dari ingatan terhadap leluhurnya.
Konteks ingatan ini dibangun melalui perilaku berpola berwujud haul. Selanjutnya
pada teks WS didokumentasikan berbagai catatan mengenai tokoh Islam dan
leluhur Jawa yang dimuliakan dengan berbagai macam unsur sesaji. Melalui teks
WS pula bukti adanya pengaruh Islam di keraton-keraton Jawa, khususnya
Kasunanan, diidentifikasi sebagai bentuk upaya membangun ingatan kepada
leluhur. Terlebih pada nabi-nabi yang menjadi tokoh penjembatan Islam hingga ke
tanah Jawa.
B. Metode Penelitian
Penelitian filologi selalu membangun pengalaman melalui metode studi
kepustakaan. (Wahjono, 2004: 73). Hal ini menjadi bagian dari kerja kualitatif
dengan mengedepankan sumber-sumber primer maupun sekunder sebagai motor
dari penelitian. Serupa dengan Gumbercht, penelitian filologi dimaknai sebagai
konfigurasi keahlian ilmiah dalam mengkurasi teks historis. Dengan kata lain, kerja
utama seorang filolog adalah mengidentifikasi dan merestorasi teks dari setiap
masa lampau kultural (Sudibyo, 2007: 108). Mekanisme kerja inilah yang
memaksa filolog untuk melakukan persejajaran antar sumber guna memperkaya
6 Nuansa Hindu pada sistem Ketuhanan Islam ditemukan pula pada teks-teks sejamannya,
seperti Teks Tajusalatin, Sĕrat Ambya, Sĕrat Dahor Palak, dan Sĕrat Jatipusaka saha Momana.
Kedua sĕrat terakhir adalah turunan langsung dari teks induk populer, yaitu Ambya yang
mengisahkan Islam dan kronogram para nabi hingga raja-raja di Keraton Yogyakarta.
141
cara pandang. Bukan berarti pola-pola konvensional filologi (suntingan teks dan
terjemahan) lantas ditinggalkan.
Tahapan suntingan teks dan terjemahan agaknya memang kurang menarik
untuk digumuli. Akan tetapi, fase inilah yang menjadi pintu gerbang dari
‘pembacaan’ masa lampu kultural setelah ditentukannya teks babon di tahap
sebelumnya. Tahapan ini pula yang diterapkan pula dalam pembacaan teks WS.
Pada fase ini teks sumber diupayakan sedekat mungkin dengan pembaca agar
nantinya mampu mempersempit persebrangan ruang budaya yang kontras. Pada
akhirnya pembaca mampu mengilustrasikan cara pandang yang dengan pujangga di
masa kepenulisan teks (Wulandari, 2014:69). Pembacaan teks tidak lantas berhenti
pada tahapan tersebut. Akan banyak kemungkinan teks obyek terkategori sebagai
teks gelap (tanpa tarikh) ataupun teks tertutup dengan informasi yang sangat
dangkal. Posisi demikian mengharuskan etos interdisipliner bertindak sebagai
motor penunjang. Kerja filolog tidak jarang merangkap pula sebagai kodikolog
yang mengidentifikasi segala kemungkinan informasi pada naskah, termasuk pula
kajian paleografi aksara (Fakhriati, 2012: 50). Tahapan komparasi ini pun
diberlakukan pada teks WS dengan menyejajarkannya dengan teks-teks Islam
sejamannya.
C. Hasil Pembahasan
Wilujĕngan Sadranandan Teks Serupa
Penelusuran awal teks obyek didasarkan pada pengamatan tindakan berpola
nyadran di bulan Ruwah (bulan ke-8 dalam kalender tahun Jawa) yang dilakukan
oleh masyarakat Jawa. Perilaku adat demikian telah berlangsung lebih dari seratus
tahun dan terekam pada teks WS. Hanya saja, teks WS lebih berbicara pada media
sadran yang digunakan untuk memuliakan leluhur.
Semula teks WS merupakan naskah koleksi Stiching Panti Boedaja7 di
Surakarta, namun pasca tahun 1935 seluruh koleksi naskah tersebut dipindahkan ke
Museum Sonobudoyo di Yogyakarta. Behrend (1990) mengidentifikasi terdapat 2
teks serupadengan kode F 13 (PB C 37) berjudul Wilujĕngan Sadranan8dan kode F
7 Perihal Panti Boedaja, yang merupakan yayasan didirikan pada tahun 1930 dengan tujuan
untuk membantu dalam pelestarian tradisi kesusastraan Jawa antara lain dengan cara membeli
naskah dari berbagai tempat di Pulau Jawa, kemudian dialihaksarakan oleh tim penyalin, termasuk
R. Tanojo. Semua berbagai koleksi naskah Panti Boedaja disimpan di rumah Dr. H. Kraemer di
Surakarta (sekretaris umum Panti Boedaja). Setelah ia kembali ke Belanda, maka Panti Boedaja
memindahkan markas serta koleksinya menempati sebuah gedung samping di kompleks Museum
Sonobudoyo (Behrend, 1990:vii). Oleh karenanya banyak naskah koleksi Museum Sonobudoyo
yang bertarikh di Surakarta, baik masa penulisannya maupun penyalinannya. 8 Teks WS ditulis oleh R. Tanojo pada tahun 1935 dengan tempat penulisan di Surakarta. Di
dalam katalog Behrend (1990:634-35) disebutkan bahwa teks ini menceritakan keterangan bagi orang-orang yang akan berziarah ke makam para nabi, wali, raja, dan ambengan untuk masing-
masing yang dikuburkan. Paleografi aksara teks WS bercorak ngĕtumbar ‘menyerupai buah
ketumbar’, (m)bata sarimbag ‘menyerupai bentuk batu bata’, dan nyacing ‘menyerupai bentuk
cacing’ (bdk. Maulida, 2012:19) ada pula yang menyebut nyacing dengan istilah mucuk ĕri
‘menyerupai ujungnya duri’. Perbedaan corak aksara menandakan penulis teks lebih dari satu.
142
12 (PB C 36) yang berjudul Cathĕtan Warni-warni9.Keduanya
mendokumentasikan catatan mengenai ubarampe sadranan dan ditulis
(dimungkinkan disalin) oleh carik yang sama, yaitu R. Tanojo. Berdasarkan
pengalamatn secara kodikologi, media tulis teks PB C 36 menggunakan kertas
Eropa meski tidak bertanda air, sedangkan pada PB C 37 bermedia kerta folio
bergaris. Perbedaan lain yang nampak adalah corak penulisan, sebab pada teks PB
C 36, aksara seragam (m)bata sarimbag, dan pada teks PB C 37 adanya
kecenderungan varian, sehingga dimungkinkan dari 33 halaman teks, R. Tanojo
tidak melakukan penyalinannya sendiri.
Hipotesi awal bahwa teks WS termasuk dalam kategori teks tua, hanya saja
dilakukan penyalian berulang dengan media yang cenderung muda (kertas bergaris
produksi awal abad XX). Hal ini diperkuat dengan ditemukan substansi teks yang
telah ditemukan pada dokumen tulis era PB VII hingga PB VIII.Penemuan teks
yang serupa dalam kajian filologi adalah hal wajar dan sama kerap dijumpai.
Terlebih ketika secara subsansial kandungan teks penting untuk dilestarikan. Faktor
lain adalah ketika tradisi penulisan teks mulai terhenti dan beralih pada tradisi
penyalinan (mutrani) di awal abad XIX. Maka secara besar-besaran gelombang
penyalinan terus-menerus berulang. Beruntungnya ketika para carik-carik penyalin
naskah memberikan warna baru pada carita yang disalinnya, sehingga mampu
memunculkan varian berbeda dari teks induk. Hanya saja kelemahan dari tradisi
tersebut adalah tidak menyantumkan tarikh penyalinan secara jelas, baik waktu,
lokasi, serta di raja yang bertahta di era teks tersebut disalin. Dengan demikian
tradisi penyalinan banyak melahirkan teks-teks gelap di samping munculnya varian
baru dalam tradisi Sastra Jawa.
Berbicara mengenai teks WS, secara etimologiwilujĕngan sadranan dapat
diartikan sebagai upacara selamatan yang dilakukan untuk memuliakan leluhur
dengan mengunjungi makamnya. Wilujĕngan berarti slamĕtan atau selamatan
(Poerwadarminta, 1939:664) yang selanjutnya diwujudkan dalam bentuk upacara
kenduri (Suratno, dkk., 2004:284). Sedangkan sadranan berasal dari kata sadran
yang berarti slamĕtan ing sasi Ruwah ‘selamatan di bulan Ruwah’
(Poerwadarminta, 1939:537). Menurut Munfangati (2007:152), masyarakat Jawa
tanpa mengenal golongan sosial, telah mewarisi tradisi ruwahan yaitu
melaksanakan ritual nyadran atau berkunjung ke makam-makam leluhur,
membersihkan, menabur bunga, hingga mengadakan kenduri bersama.
Hardjowirogo (1980:143-144) mengutarakan hal yang serupa, bahkan di Surakarta
tradisi ini mampu menjadi magnet bagi seluruh generasi pewaris tradisi untuk
berduyun-duyun berziarah ke makam leluhur. Lingkaran tradisi seperti inilah yang
seolah menjadi pengikat rasa kekeluarga melalui ikatan emosional dan empati.
Lebih jauh, Hardjowirogo mengistilahkan bahwa leluhur (poyang) adalah bentuk
9 Teks Cathĕtan Warni-warni berisikan berbagai catatan kegiatan keseharian dalam
lingkungan istana Keraton Surakarta antara tahun 1850an-1860an. Teks ditulis pada akhir
pemerintahan PB VII hingga awal pemerintahan PB VIII. Secara rinci R. Tanojo
mengklasifikasikan kandungan teks sebagai wujud memuliakan leluhur, baik para nabi, para wali,
para leluhur Jawa dan kerajaan Behrend (1990:662).
143
ikatan kekeluargaan di era Jawa modern yang mulai banyak kehilangan ciri
kejawaannya.
Terlepas dari etiket naskah yang menyebutkan bahwa naskah berjudul
Wilujĕngan Sadranan, secara substansial teks WS memberikan ciri lain tradisi haul
yang dikenal dalam istilah Jawa kolkolan. Tradisi ini dilaksanakan setelah 1000
hari dari kematian leluhur. Sholikin (2010:432) mengemukakan bahwa tradisi haul
menyangkut peringatan tahunan dari kematian seseorang. Istilah khaul atau haul
berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan ini menandai genap satu
tahun (tahunan) meninggalnya seseorang. Namun berbeda dengan Jawa dan tradisi
keraton bahwa peringatan haul yang digelar setiap tahun sesuai dengan hari
(pasaran) kematian, justru secara kontinyu dilaksanakan setiap sĕpasaran (setiap
35 hari sekali) berdasarkanpenanggalan tahun Jawa(Hardjowirogo, 1980:144).
Unsur Islam Pada Teks WS
Pasca 1757, usai perjanjian Giyanti dan Salatiga, kerajaan-kerajaan di Jawa
memiliki kecenderungan untuk menulis sastra-sastra religi tanpa mengaburkan ciri
sastra tradisi. Sejarah mencatat bahwa Islam telah lama dituturkan oleh kalangan
penganut Hindu-Budha sebagai bentuk kekhawatiran. Islam masuk ke Pulau Jawa
sebagai sistem religi didahului dengan proses pengislaman raja Malaka tahun 1414
di pantai barat Malaya. Kesultanan Malaka selanjutnya menjadi pusat penyebaran
agama Islam sampai direbut oleh kaum Portugis di tahun 1511. Pedagang-
pedagang Islam dari Arab dan Gujarat, juga orang-orang Jawa yang berkedudukan
di Malaka membawa Islam ke kota-kota pelabuhan pantai Utara Pulau Jawa. Pada
saat yang sama kekuasaan Majapahit semakin merosot. Para penguasa-penguasa
kota pesisir Utara, seperti Cirebon, Demak, Tuban, Jepara, Gresik, dan kemudian
Madiun di pedalaman mulai memeluk Islam. Masuknya Islam bukan berarti
sebagai desakan atau tindakan mengonfrontir budaya yang lebih dahulu
berkembang. Islam justru bertindak sebagai ajaran baru yang menjadi alternatif
terhadap keseluruhan pandangan dunia Hindu, termasuk mencairkan tatanan
hirarkis masyarakat pewaris tradisi Hindu Majapahit tanpa melakukan desakan
politis terhadap sistem yang telah ada lebih dahulu10
(Magnis-Suseno, 2001:31-32).
Kondisi hubungan seperti ini justru semakin menguntungkan bagi Islam.
Kedatangannya ke Jawa bukan dalam bentuk murni, melainkan melalui Gujarat di
India dan dalam satu bentuk yang sangat dipengaruhi oleh sufisme atau mistik
Islam. Islam hadir dan dapat dikatakan bersifat membumi dengan segala
penyesuaian terhadap aspek-aspek lokal. Pertautan keduanya justru mewarnai
dalam berbagai ritual dan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat. Status
10 Islam sebagai ajaran baru bagi masyarakat abad ini membawa mereka (penganutnya)
berhadapan muka dengan Tuhannya tanpa perlu adanya perantara atau ritual yang ruwet. Kondisi demikian sejatinya telah diakrabi oleh pangeran-pangeran Jawa berabad-abad lamanya untuk
memahami kegiatan religius sebagai sarana menambah tenaga batin atau kekuatan gaib mereka.
Persamaan mendasar yang dilakukan pada kedua situasi tersebut adalah tidak adanya media apapun
sebagai jembatan penghubung antara pemohon dan pemberi kekuatan (Magnis-Suseno, 2001:31-
32).
144
superior-inferior ataupun budaya besar dan kecil tidak nampak dalam konteks
masyarakat baru ini. Islam menjadi luwes seperti halnya teorinya Koentjaraningrat
yang memasukkan sistem religi sebagai bagian dari 7 unsur kebudayaan besar yang
terus menerus diwariskan di setiap daerah (Koentjaraningrat, 2000:224). Fakta-
fakta demikian yang memberi kebebasan raja-raja Jawa untuk tetap beritual di
dalam tradisi Islam. Selayaknya Panembahan Senapati dari Mataram pada akhir
abad XVI mengawali untuk memeluk Islam dan mewariskannya sebagai tradisi
leluhur. Islam membawa Jawa sebagai kota kerajaan yang unggul dari kesultanan-
kesultanan pesisir. Begitu pula Sultan Agung11
yang menaklukan seluruh
Kepulauan Jawa setelah kemudian kembali pada tradisi Hindu Jawa-nya (Magnis-
Suseno, 2001:33).
Potret sosial kultural Islam Jawa turut pula direkam dalam teks WS. Ruh
tradisi yang telah mengakar membuatnya tidak lantas dengan mudah ditumpangi.
Kenyataannya Islam tidak mengubah apapun pada tradisi leluhur. R. Tanojo tetap
menuliskan para leluhur Islam berdampingan dengan perilaku bersesaji.
Berdasarkan informasi teks, sesaji difungsikan sebagai media dalam memuliakan
leluhur, selayaknya upacara maka sesaji bertidak sebagai upakaranya. Perilaku
tradisi ini tercatat pada teks telah berlangsung sejak era PB VII hingga PB X
(antara 1830-1939). Pada periode terakhir, era PB X kondisi budaya Keraton
Surakarta dirasa sangat terbuka dengan berbagai kemajuan, termasuk pada sistem
tatanannya. Kondisi ini berpengaruh pula pada seni sastranya (Soeratman, 1989:7-
8), termasuk teks WS adalah bentuk reproduksi sastra era PB X.
Teks ini menawarkan pembaca pada sebuah fase rekonstruksi ingatan
terhadap leluhur. Kecenderungan masyarakat Jawa istana, meletakkan leluhur
sebagai pĕpundhen (yang diluhurkan) berdasarkan garis keturunannya, sehingga
proses penghormatan kematian terjadi sebatas pohon hayat yang melekat. Akan
tetapi pada teks ini justru ditemukan nama leluhur-leluhur Islam bersandingan
dengan tradisi Hindu ubarampe. Minda masyarakat era 1900an ini agaknya sangat
rapih menyimpan memori Islam yang diwariskan secara turun menurun melalui
sastra. Mengenai ubarampe sebagai tradisi Hindu dikaitkan dengan ritual
masyarakat budaya yang masih mempercayai dewa-dewa yang diwujudkan dalam
dimensi makrokosmos, seperti angin, air, tanah, bulan, dan sebagainya. Ubarampe
diwujudkan dalam bentuk lauk pauk (makanan) yang disajikan kepada leluhur
dengan maksud tertentu (Poerwadarminta, 1939:434). Kekayaan sastra Jawa
dengan genre teks demikian tidak dipungkiri. Motif ritual dan ilmu magi justru
menjadi pandangan terhadap dunia Jawa yang kompleks dengan selalu
menyantumkan berbagai macam syarat rumit sebagai bagian dari sebuah upacara
(Mulyadi, 1994:1).
11 Sultan Agung mendapat gelar Sultan dari Mekkah sebagai tanpa penghargaan pada tahun
1641. Gelar inilah yang nantinya akan diteruskan oleh Keraton Yogyakarta pasca Palihan Nagari
1755 setelah sempat terputus pada masa Amangku Rat 1 (Putra Sultan Agung) yang memilih untuk
meminimalisir pengaruh guru-guru Islam pada zamannya (Magnis-Suseno, 2001:33).
145
Terlepas dari pembicaraan Hindu Jawa, Islam yang dilukiskan pada teks
tersebut mencoba menghadirkan ingatan terhadap leluhur yang diperingati setiap
bulan berdasarkan tahun Jawa.
1. (h.1)Pemut awit wulan Ruwah tanggal kaping : 15 : nyaosi dhahar Kangjĕng
Nabi Adam.
2. Siyam. Nyaosi dhahar Gusti Kang Kuwasa. Tan kĕtang pisang salirang ayya
towang sabĕn wĕngi kang sukci.
3. Sawal. Asung dhahar Kangjĕng Nabi Nuh, kupat kang agĕng.
4. Dulkangidah. Asung dhahar Kangjĕng Nabi Ibrahim, wĕdalipun ing dintĕn
Akat.
5. Bĕsar. Asung dhahar Kangjĕng Nabi Ismangil, wĕdalipun ing garĕbĕng bĕsar.
6. Sura. Asung dhahar Gusti Kasan-Kusen, jĕnang lĕmu woworanipun warni
gangsal. Gaulipun kalungsu, botor, jagung, gudhe, kacng ijĕm. Yen sampun
kaambĕng uwuripun dalima, kĕmangi. Marica, katumbar, ulam bumbune
tumbuk. Wĕdalipun ing dintĕn Jumungah.
7. Sapar. Asung dhahar Gusti Sayitdina Abu Bakar, jĕnang abrit kang manit.
Wĕdalipun ing dintĕn Rĕbo.
8. Rabingu awal. Asung dhahar Gusti Kangjĕng Nabi Mukamat. Sĕkul kabuli,
ulamipun gorengan, kaliyan lĕmbaran ayam putih. Wĕdalipun wulan kaping :
12.
9. Rabingu akir. Asung dhahar Gusti Bagendha Ngisa, sakadare kang sukci.
Wĕdalipun ing dinten Slasa.
10. Jumadi awal. Asung dhahar Kangjĕng Nabi Yakup. Sĕkul wuduk lĕmbaran
ayam kaliyan tigan. Lalaban kacang ijĕm, lan uyah tampĕr.
11. (h.2) jumadi akir. Asung dhahar Kangjĕng Nabi Yakup. Sakadare kang sukci,
wĕdalipun ing dintĕn Sĕtu.
12. Rĕjĕp. Asung dhahar Sayitdina Ngali. Olah-olahan galĕpungan, wĕdalipun
ing dintĕn Kĕmis.
13. Lan asung dhahar Seh Ngabdul Kadir Jaelani kĕtan irĕng juruh santĕn,
wĕdalipun ing dintĕn Jumungah sarta kang sarwa sukci.
: 12 wulan : 13 : bab
Pada kutipan teks, terlihat pengaruh Islam lahir di benak masyarakat
keraton jauh sebelum teks ditulis. Islam pastinya telah banyak diperbincangkan
seperti ulasan di awal sehingga kondisi inilah yang lantas mempengaruhi tradisi
tulis. Di samping perwujudan leluhur di dalam teks, masyarakat tahun 1800an (era
PB VII), bahkan lebih tua lagi telah mengenal tradisi haul sebagai tradisi
peringatan kematian leluhur sesuai dengan tradisi Islam. Pada uraian sebelumnya
disebutkan terdapat penyesuaian terhadap ekologi priyayi keraton era tersebut.
146
Teks diatas memberi penjelasan bahwa haul bagi leluhur Islam dilaksanakan
setiap bulan berdasarkan Tahun Jawa. Bratawidjaya (1996:82) mengemukakan
bahwa tujuan dari upacara ini salah satunya agar keluarga raja, kerabat, dan warga
masyarkat mendapat anugerah Tuhan berupa kemudahan mencari rezeki, mendapat
keberuntungan, dijauhkan dari bahaya, serta diberikan derajat luhur. Pada teks
lebih lanjut, diungkapkan bahwa istilah haul lebih diakrabi dengan sebutan caos
dhahar.Di dalam tradisi Jawa, caos dhahar dimaknai tidak sebatas memberi makan,
melainkan sebagai bentuk tirakat. Kalangan priyayi keraton melakukan tradisi ini
selain diperuntukkan kepada para leluhur, juga pada pusaka-pusaka kerajaan,
bangunan, dan terkadang juga pada sesuatu yang dikeramatkan. Tujuannya sebagai
bagian dari merawat benda-benda atau bangunan yang dikeramatkan (Sulistyowati,
2014:158-159). Berikut merupakan kutipan teks WS yang mendokumentasikan
tradisi caos dhahar kepada leluhur.
Punika pemut manawi nyaosi dhahar para Kangjeng Nabi, tuwin leluhur
tanah Jawi sadaya. Pratelan ing ngandhap punika :
1. Ingkang rumiyin memule ing Kangjĕng Nabi Rasullolah, salalahu ngalaihi
wasalam. Sĕkul wuduk ayam pĕthah mulus dipun lĕmbaran, lalaban Lombok
ijĕm, sarĕm tampir, kang sarwa sukci. Ingkang olah-olah sampun pĕgat amaca
salawat, kaliyan pala gumantung, kang sarwa sukci. Sĕkar konyoh kutuk
botĕn kantun
2. Mumule Kangjĕng Siti Patimah. Kĕtan ĕnten-ĕnten, sĕkar konyoh, kutuk
botĕn kantun.
3. Mumule Seh Ngabdul Kadir Jahelani. Sĕku; wuduk ulang sawung pĕtak
mulus, kalih wayah kumlancur. Lalaban lombok ijĕm, sarĕm tampir. Ingkang
olah-olah jalĕr estri, milih kang sampun luwas gĕtih, (h.3) sarta bisu, sampun
pĕgat maca sĕlawat salĕbĕting manah, sĕkar konyoh kutuk botĕn kantun.
4. Mumule para Sĕkabar kawan dasa, sĕkul golong kawan dalulam
sawontĕnipun, sijahan sawontenipun, pindhang abrit janganan kalamuncang,
kutuk botĕn kantun.
5. Mumule para Kangjĕng Nabi, salalahu ngalaihi wasalam. Roti kalawan
martega, jĕnang surba, sĕkul kabuli, jangan gule, botĕn liya ayam lan menda.
Kang olah-olah sarwa sukci, sarta maca sĕlawat, sĕkar konyoh kutuk boten
kantun.
6. Mumule Kangjĕng Nabi Ibrahim. Apĕm goreng abrit […] kutuk botĕn kantun.
7. Mumule Kangjĕng Nabi Dawut. Sĕkul liwĕt ulam panggang menda,
pangulahipun kasarwa sukci, sarta kutuk botĕn kantun.
8. Mumule Kangjĕng Nabi Suleman. Kupan kaliyan pĕcĕl sĕmanggi.
Pangulahipun kasarwa sukci, sarta kutuk botĕn kantun.
9. Mumule Kangjĕng Nabi Kidir. Apĕm kocor, lawan kluwa, sarwa sukci, kutuk
botĕn kantun.
147
10. Mumule Kangjĕng Nabi Ilyas. Sĕkul angĕt, gĕcok godhong gagan. Kang
sarwa sukci, kutuk botĕn kantun.
11. Mumule Kangjĕng Para Wali Kutup Sewu. Apĕm sewu, golong sewu,
pindhang mahesa tunggal. Kang sarwa sukci, wowohan pala gumantung,
kang pĕpak. Sarta kutuk botĕn kantun.
12. (h.4) Mumule Kangjĕng Susuhunan Ampel Dĕnta, roliyallahunganhu. Sĕkul
abrit ulam loh, panggang wadĕr, sarĕm tampir, kasarwa sukci kutuk botĕn
kantun.
13. Mumule Kangjĕng Sinuhun Bonang. Sĕkul liwĕt jangan manggul. Kutuk
botĕn kantun.
14. Mumule Kangjĕng Susuhunan Kudus. Sĕkul wadhang lalabe godhong who
kudhu, dipun pĕcĕl. Kutuk botĕn kantun.
15. Mumule Kangjĕng Susuhunan Kalijaga. Sĕkul liwĕt lan kuluban, godhong
katu, godhong sĕnting, prada tanpa Sĕntul, godhong ranti, godhong kudhu,
sambĕl pĕcĕl plelej, ulam dhendheng gĕpukan, bakaran balung, bakaran
gĕreh, kang sarwa sukci. Kutuk botĕn kantun.
16. Mumule Kangjeng Susuhunan Hadi. Pala kapĕndhĕm, utawi gĕmbili, tales,
kimpul, katela, kĕnthang, apĕm, utawi sĕkar, kutuk botĕn kantun.
17. Mumule Kangjĕng Pangeran Wijil, ing Kadilangsu. Sĕkul angĕt jangan bobor,
krokot winor lan cecek. Kutuk boten kantun.
18. Mumule Kangjĕng Susuhunan Giri Kadhaton. Sĕkul lĕppĕr panggang pitik.
Lalaban godong kapas sapĕntilipun. Sarta kutuk botĕn kantun.
19. Mumule Kangjĕng Sultan Dĕmak. Sĕkul punar jangan loncom, sambĕl
kadhĕle botĕn mawi traos (h.5) Kutuk botĕn kantun.
20. Mumule Kiyai Agĕng Lĕmbupĕtĕng, ing Tarup. Sĕkul pulĕn, jangan mĕnir so,
pĕcĕl wadĕr, lalaban kacang glundhungan. Kutuk botĕn kantun.
21. Mumule Kyai Agĕng Gĕtas Pandhawa. Lĕmĕngan kĕtan panggang lele. Kutuk
boten kantun.
22. Mumule Kyai Agĕng Sela. Kĕtan kolak apĕm goreng. Kutuk botĕn kantun.
23. Mumule Kyai Agĕng Nis. Sĕkul pĕthah ragi tĕrik. Kutuk botĕn kantun.
24. Mumule Kyai Agĕng Mĕntawis. Sĕkul golong pĕcĕl pitik jangan mĕnir. Kutuk
botĕn kantun.
25. Mumule Kangjĕng Panĕmbahan Senapati, ing Ngalaga. Sĕkul pĕra, ulamipun
pes-pesan tombra. Sarta kutuk botĕn kantun.
26. Mumule Kangjĕng Susuhunan ingkang seda Krapyak. Sĕkul wuduk, lalaban
tempe mĕntah. Kutuk botĕn kantun.
148
27. Mumule Kangjĕng Sinuhun Sultan Agung. Kĕtan kolak pindhang mahesa,
kĕtan salak pisang mas. Kutuk boten kantun.
28. Mumule Kangjĕng Sinuhun Mangkurat, ingkang sumare Tĕgal Arum. Sĕkul
wadhang jangan ladha. Sĕkar konyoh, kutuk boten kantun.
29. Mumule kangjĕng Sinuhun Mangkurat. Sĕkul golong pĕcĕl (h.6) pitk jangan
mĕnir ulam loh.
30. Mumule Kangjĕng Sinuhun Paku Buwana kaping sapisan. Sĕkul angĕt jangan
lotho kacang wose, pĕcĕl wadĕr. Sĕkar konyoh, kutuk botĕn kantun.
31. Mĕmule Kangjĕng Ratu Paku Buwana kapisan. Sekul liwĕt angĕt, jangan
lumbu, bubus lan tempe. Ulam dhendheng ragi, kalawan jĕnang buki. Sĕkar
konyoh, kutuk botĕn kantun.
32. Mumule Kangjĕng Sinuhun Prabhu Amangkurat. Sĕkul tampĕr, tim ayam,
bĕkakak menda. Sĕkar konyoh, kutuk botĕn kantun.
33. Ngaturi dhahar Kangjĕng Sinuhun Paku Buwana, kaping sĕkawan. Sĕkul
pulĕn sĕkul angĕt, pĕcĕl pitik pĕcĕl tawon, tempe congor, jangan mĕnir,
dhendheng gĕpukan, tempe mĕntah bungko lalaban pĕtis, sambĕl lothok,
rujakan pĕlĕm dodol, ciyu sĕs wangen.
34. Ngaturi dhahar Kangjĕng Ratu Agĕng, Paku Buwana kaping sakawan. Sĕkul
angĕt, dhendheng karopokan, sambĕl lĕthok kĕtan kolak apĕm kocor, pĕlĕm
lilin jĕnang duren, rujak sĕkar konyoh kang eca, kutuk botĕn kantun.
35. Ngaturi dhahar Kangjĕng Sinuhun Paku Buwana kaping gangsal. Sĕkul angĕt
sĕkul wuduk botĕn mawi sarĕm, tumpeng sĕkul wadhang, ulam dhendheng
gĕpukan, ampas ragi rĕnthĕl, opor ulam cara Wlandi, sawontĕnipun. Jangan
ladha, jangan mĕnir, pĕcĕl pitik, lalaban timun wuku dipun kukus, godhong
(h.7) kĕtos, godhong cangkring, dhaharanipun jĕram kĕprok uwi lĕgi, pisang
kusta, pĕlĕm dodol, kukusan salak, roti martega, the rĕsan, minuman
sawontĕnipun. Lĕmbaran sampun kantun, ulam cara Wlandi sipit. Pĕtis,
krupuk, lombok, jangan mĕnir, kĕmangi, sambĕl brambang mawi jĕram pecel,
botĕn mawi traos. Dhendheng gĕpukan bakaran, klopokan, jamur gajih dipun
tim, gorengan pitik sĕmlambir, rujak dhĕplok, roti uwos mawi gĕndhis
bubukan. Mariyos.
36. Ngaturi dhahar Kangjĕng Ratu Kĕncana, Kangjĕng Ratu Mas ingkang kaping
gangsal. Sĕkul liwĕt jangan ladha, loncom, dhokowan. Dhaharanipun jagung
katela, pĕlĕm malam.
37. Mumule luluhur awit Mataram, sampun supe. Sĕkul golong pĕcĕl pitik jangan
mĕnir, ganten sadakan. Sĕkar konyoh, kutuk botĕn kantun.
38. Mumule Kyai Juru Martani. Sĕkul loncom wadhang jangan loncom, sambĕl
kadĕlĕ, ulam pes-pesan gĕreh.
149
Mumule Nyai Agĕng ing:[…] sĕkul pĕra, ulam gĕreh pethek, binakar mĕrang
dawa lan pes-pesan nuku.
39. Mumule Kangjĕng Sultan Iskandar Dilkarneni. Sĕkul kabuli jangan gile,
bubur surba. Apĕm goreng lan wowohan, roti martega.
(h.8) Pengĕtan bilih nyaosi dhahar Kangjĕng Ratu Kencana, garwa dalĕm
ingkang kaping:7:
ge : rengan pĕte, pĕte mĕntah jengkol, gorengan tempe bungkil, tempe
bungkil mĕntah, sambĕl pleleh, ulam dhendheng enggalan, sĕmbrot
sembukan, cabuk. Sĕkar kutug boten kantun. Tomis kangkung kĕcambah,
sambĕl goreng pĕtis, sĕkul liwĕt lan saintipipun.
Kali ini teks tidak hanya menuliskan leluhur di era para Nabi, melainkan
melanjutkannnya hingga leluhur Keraton Surakarta hingga G.K.R. Kencana,
permaisuri dari PB VII. Agaknya benar bahwa R. Tanojo membangun konsep
bahwa leluhur tanah Jawi di Keraton Surakarta adalah benar memiliki kaitan
dengan para pemimpin Islam di jamannya. Produksi pemikiran inilah yang
dilestarikan melalui tindakan berpola. Pada fase ini, para leluhur diyakini oleh
masyarakat Jawa tidaklah benar-benar pergi setelah meninggal. Mereka hanya
berpindah tempat dan masih tetap berdampingan pada suatu elemen makro kosmos.
Para leluhur diyakini pula sebagai para pemuka di bidangnya, yang melahirkan
adat-istiadat sebagai aturan. Selanjutnya, melalui peninggalan merekalah,
masyarakat generasi berikutnya terus hidup harmonis (Sholikin, 2010:24).
Kutipan di atas menyadarkan bahwa begitu banyak leluhur yang senantiasa
harus dimuliakan. Bukan tanpa alasan, sebab informasi yang terdokumentasi pada
teks berfungsi sebagai rujukan bagi pembacaan sejarah dan sosial budaya pada
masa lampau. Melalui teks, berbagai macam segi kehidupan manusia diungkapkan
meski secara implisit, termasuk pula nilai-nilai budaya masyarakat pada masa
penulisannya. Maka tidak mengherankan ketika teks secara mendetail menjabarkan
kontektual masyarakat di eranya (Sudjiman, 1995:10).
Teks WS dan Pandangan Antropologi
Membaca teks maka harus pula memahami konteks. Proses ini yang
dimaksudkan agar jembatan antara jurang sosial maupun kultural mampu terbentuk
dengan baik. Sering pula ditemukan konteks sosial pada teks di masa kini, sehingga
perlu untuk memberi ruang yang mampu mencerminkan keduanya (Soeratno,
1977:30). Teks sebagai sastra kerap pula bertindak sebagai ujung tombak dari
perjalanan sejarah, bertindak sebagai kecerdasan universal dari tanda-tanda sosial,
budaya, hingga politik (Miller, 2011:13). Oleh karenanya, para filolog-filolog barat
sering bertindak sebagai antropolog untuk membangun pandangan baru terhadap
konteks sosial.
Pada teks WS banyak disebutkan para leluhur yang telah lebih dahulu
memproduksi kebudayaan, kemudian diwariskan sebagai kearifan lokal. Leluhur
yang dibingkai dalam teks adalah sosok-sosok penguasa dieranya serta memiliki
150
peranan dalam perubahan peradaban, seperti halnya raja atau pemimpin. Di dalam
studi antropologi, seorang raja berjuluk dewaraja dimaknai raja sebagai
perpanjangan tangan dewa. Konsep ini tidak sesederhana arti leksikalnya.
Kedudukan ini memperjelas adanya hubungan antara raja dengan sesuatu yang
sakral. Fenomena ini tidak semanta-mata menempatkan raja sebaga dewa tetapi
lebih merupakan pengkultusan kedudukan raja diantara manusia lainnya sebagai
pembawa anugerah (Gesick, 1989: xxi).
Pemahaman mengenai dewaraja pada akhirnya menempatkan raja pada
dwifungsi kekuasaan. Raja sebagai manusia bersupranatural serta superior dari
pada manusia lainnya, sekaligus ebagai wakil dewa di dunia (Soekmono,
1976:113-180). Paradigma ini lantas membangun relasi antara kekuasaan dan
religi. Kekuasaan dipandang sebagai kekuatan alam raya, mempertahankan
kehidupan, setya sebagai bentuk kekuasaan dominasi. Keberpolaan tersebut
kemudian diaktualisasikan pada pelaksanaan upacara-upacara yang bersifat ritual
(Balandier, 1986:139). Termasuk ritual-ritual yang diwariskan sebagai perilaku
untuk tetap dilestarikan demi kelestarian leluhur. Selanjutnya, berhubungan dengan
studi antropologi demikian maka ditemukan beberapa nama raja (pemimpin) dalam
teks WS, kemudian diklasifikasikan ke dalam 3 periode kekuasaan.
No. Memule Ngaturi Dhahar
Leluhur Surakarta Leluhur Para Nabi Leluhur Tanah Jawa
1 Nabi Rasullolah Para Wali Kutup Sewu Sinuhun Paku Buwana IV
2 Siti Patimah Susuhunan Ampel Dĕnta Ratu Agĕng PB IV
3 Seh Ngabdul Kadir Jahelani
Sinuhun Bonang Sinuhun Paku Buwana V
4 Sĕkabar kawan dasa Susuhunan Kalijaga Ratu Kĕncana,
5 Nabi, salalahu ngalaihi wasalam
Susuhunan Hadi Ratu Mas V12
6 Nabi Ibrahim Pangeran Wijil Ratu Kĕncana garwa
Dalĕm ke-713
7 Nabi Suleman Susuhunan Giri Kadhaton
8 Nabi Kidir Sultan Dĕmak
9 Nabi Ilyas Kyai Agĕng Lĕmbupĕtĕng14
10
Kyai Agĕng Gĕtas
Pandhawa15
11 Kyai Agĕng Sela16
12Kangjeng Ratu Mas adalah gelar pertama yang diberikan oleh Paku Buwana V kepada
permaisurinya (Soeratman, 2000:228). 13Penghormatan upacara leluhur diberikan pula kepada Kanjeng Ratu Kencana sebab pada
masa penulisan teks, pemerintahan dibawah PB VII. Disaat yang bersamaan Ratu Kencana dan Ratu Paku Buwana berperan di dalamnya (Soeratman, 2000:229).
14Kyai Agĕng Lĕmbupĕtĕng adalah Adipati Madura yang merupakan putra ke-5 dari Prabu
Brawijaya V dari Majapahit (Bratadiningrat, tanpa tahun:1). 15
Kyai Agĕng Gĕtas Pandhawa brnama asli Raden Depok, putra kedua dari Raden Bundan
Kajawan dengan Dewi Nawangsih (Bratadiningrat, tanpa tahun:9).
151
12 Kyai Agĕng Nis17
13 Kyai Agĕng Mĕntawis18
14 Panĕmbahan Senapati19
15 Susuhunan seda Krapyak20
16 Sinuhun Sultan Agung
17 Sinuhun Mangkurat sumare
Tĕgal Arum21
18 Sinuhun Mangkurat
19 Sinuhun Paku Buwana I22
20 Ratu Paku Buwana I
21 Sinuhun Prabhu Amangkurat
22 Luluhur awit Mataram
23 Kyai Juru Martani23
24 Nyai Agĕng ing […]
24 Sultan Iskandar Dilkarneni
Apabila diperhatikan, terdapat istilah yang berbeda untuk memberi
penghormatan kepada leluhur. Munculnya istilah mĕmule dan caos (ngaturi)
dhahardengan maksud dan tujuan yang sama seolah memberikan porsi berbeda
pada leluhur. Di dalam kajian semantik maksud, setiap kata memiliki kandungan
makna yang berbeda. Makna yang dibangun pun memiliki 2 bagian berbeda,
makna linguistik dan makna sosial. Pada konstruksi makna sosial, secara umum
16Kyai Agĕng Sela adalah putra dari Kyai Ageng Getas Pandhawa. Nama kecilnya adalah
Bagus Sogam, ketika dewasa bernama Abdul Irachman kemudian ia tinggal di dusun Selo sehingga
dikenal dengan nama Kyai Ageng Sela (Bratadiningrat, tanpa tahun:9). 17Kyai Agĕng Nis adalah putra dari Kyai Agĕng Sela dengan istri keduanya dan ketika wafat
dimakamkan di Lawiyan, Sala (Bratadiningrat, tanpa tahun:9). 18Kyai Agĕng Nis adalah nama lain dari Kyai Agĕng Pĕmanahan. Beliau adalah putra dari
Kyai Ageng Nis (Bratadiningrat, tanpa tahun:9). 19Kyai Agĕng Mĕntawis adalah nama kecilnya adalah Sutawijaya. Beliau adalah penguasa
Mataram setelah Ki Agĕng Mataram (Ki Pemanahan). Gelar Senapati ing Ngalaga diperolehnya
dari Raja Pajang yaitu Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) (Departement Pendidikan dan Kebudayaan
RI, 1999-61). 20Panĕmbahan Senapati memiliki nama lain Raden Mas Jolang, yang bergelar Susuhunan
Adiprabu Anyakrawati Senapati ing Alaga Mataram. Beliau adalah putra dari Kangjĕng Ratu Mas
dan Sinuhun Panĕmbahan Senapati ing Alaga. Gelar Panembahan Seda Krapyak diberikan karena
beliau wafat di lapangan pemburu Krapyak. Dimungkinkan mangkatnya beliau sewaktu berburu
(Departement Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999-62-63). 21Beliau bergelar Sunan Amangku Rat I. Gelar Mangkurat sumare ing Tegal Arum diperoleh
saat beliau melakukan pelarian dari serangan Trunajaya dan prajurit Madura sehingga
mengakibatkan keraton Pleret jatuh ke tangan pemberontak (Departement Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 1999-65). 22 Paku Buwana I adalah adik Amangku Rat I yang bernama Pangeran Puger. Gelar Sunan
Paku Buwana I diperolehnya setelah diangkat sebagai Raja Mataram (Soeratman, 2000:212). 23Ki Juru Martani dikenal dalam dongeng kancil sebagai seorang Panembahan di Negeri
Gebang Tinatar. Nama aslinya adalah Kasan Kesari, seorang pimpinan perang saat Majapahit
runtuh (Behrend, 1990:331).
152
penggunaan leksem berkaitan langsung dengan kondisi yang sedang terjadi
(Tarigan, 1985:7).
Masyarakat era penulisan teks seolah ingin memberikan pernyataan bahwa
leluhur selayaknya dimuliakan. Hal ini diujarkan memalui pemilihan kata
mĕmuleuntuk para leluhur sebelum era keraton Kasunanan Surakarta. Sedangkan
di era yang lebih muda, keraton Kasunanan, sejak Sinuwun PB IV, istilah yang
digunakan dalam teks adalah caos dhahar atau ngaturi dhahar. Pemilihan diksi ini
memberi penegasan bahwa leluhur dalam satu pohon hayat kerajaan, ketika
mangkat (meninggal) tidaklah benar-benar pergi meninggalkan keraton. Melainkan
hanya raganya yang mangkat, sedangkan sukma dan pengaruhnya masih tetap
lestari di dalam kerajaan.
D. Kesimpulan
Teks WS sebagai dokumen sejarah era PB X memberi pandangan bahwa
Islam telah lama masuk ke jantung-jantung kerajaan. Islam bahkan memberi warna
tersendiri pada minda-minda masyarakat, termasuk priyayi yang masih erat dengan
tradisi Hindu. Melalui teks demikian, perlbagai persoalan tradisi memuliakan
leluhur diungkapkan dengan jelas. Pada teks diungkapkan uraian sesaji untuk
memuliakan leluhur yang nantinya dapat diacu oleh generasi berikutnya.
Menariknya lagi, teks WS secara tidak langsung mengklasifikasi leluhur yang
tertulis di dalam teks menjadi 3 golongan yaitu leluhur Para Nabi, leluhur Tanah
Jawa, dan leluhur Keraton Surakarta. Secara Antripologi, konsep leluhur-leluhur
tersebut diyakini sebagai sosok yang menganut prinsip dewaraja. Sedangkan pada
kaca mata semantik, proses pemuliaan leluhur dibagi menjadi 2, yakni leluhur
sebelum Keraton Surakarta dan leluhur Keraton Surakarta. Keduanya berlaku
tujuan yang sama, yakni menempatkan para pendahulu pada tempat terbaik di
minda masyarakat.
Referensi
Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik (terj.). Jakarta: C.V. Rajawali.
Behrend. T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara. Jakarta: Djambatan.
Bratadiningrat, G.R.Ay. tanpa tahun. Asalasilahipun Para Nata. Surakarta.
Bratawidjaya, Thomas W. 1996. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Departement Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional
Surakarta. Jakarta: C.V. Ilham Bangun Karya.
Fakhriati. 2012. “Perempuan dalam Manuskrip Aceh: Kajian Teks dan Konteks”
dalam Jurnal Manuskrip Nusantara (Jumantara). Vol. 3. No. 1. Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI.
Gesick, Lorraine. 1989. Pusat, Simbol, dan Hirarki Kekuasaan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
153
Giri, Wahyana. 2010. Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Hardjowirogo, Marbangun. 1980. Adat Istiadat Jawa. Bandung: Penerbit Patma.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: P.T. Rineka Cipta.
Kohn, Hans. 1985. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Erlangga.
Magniz, Franz dan Suseno. 2001. Etika Jawa. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka
Utama.
Maulida, Faradilla. 2012. Wilujĕngan Sadranan (Suntingan Teks dan Terjemahan).
Skripsi Jurusan Sastra Nusantara, FIB-UGM. Yogyakarta: Tidak
Diterbitkan.
Miller, J. Hillis. 2011. On Literature Aspek Kajian Sastra. Yogyakarta: Jalasutra.
Munfangati, Titi. 2007. “Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa”
dalam Jurnal Jantra (Jurnal Sejarah dan Budaya). Volume II, No. 3.
Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya. (h. 152-155)
Prabowo, dkk. 2003. Pengaruh Islam dalam Karya-karya R.Ng. Ranggawarsita.
Yogyakarta: Narasi.
Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid I-II. Jakarta. P.T. Gunung
Agung.
Pudjiastuti, Titik. 2006. Poerbatjaraka dan Manuskrip Islam. Jakarta:
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
----------. 2006. Naskah dan Studi Naskah (Seri Kajian Filologi). Bogor: Akademia.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: P.T. Serambi
Ilmu Semesta.
Sardiana, I Ketut. 2010. “Gumi Banten: Unit Pembibitan Tanaman Ritual
(Upakara) dalam Majalah Aplikasi Iptek Ngayah. Vol. 1, No. 1. Bali:
LPPM Universitas Udayana, (h. 13-21).
Setiawan. 2007. Nasionalisme NU. Semarang: CV. Aneka Ilmu
Simuh. 1984. Unsur-unsur Islam dalam Kepustakaan Jawa. Yogyakarta: Proyek
Javanologi Museum Sonobudoyo.
----------. 1998. “Kitab Ambiya Jawi versi Kraton Yogyakarta”dalam Islam dan
Khazanah Budaya Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan
Islam Indonesia.
Sholikin, Muhammad. 2010. Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Soekmono. 1976. Candi Borobudur. Jakarta: Pustaka Jaya.
Soeratman, Darsiti. 2002. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.
Yogyakarta: Penerbit Taman Siswa.
Soeratno, Siti Chamamah. 2012. “Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa Depan,
154
Satu Kesinambungan dari Kehidupan: Tinjauan atas Peran Naskah bagi
Kehidupan Masa Kini” dalam Makalah Simposium Internasional
Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) XIV di Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sudibyo. 2007. “Kembali Ke Filologi: Filologi Indonesia dan Tradisi Orientalisme”
dalam Jurnal Humaniora. Vol. 19, No. 2. Fakultas Ilmu Budaya.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sulistyowati. 2014. “Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta:
Konstruksi Bahasa dan Pemertahanannya” dalam Jurnal Humaniora. Vol.
26, No. 2. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Supriyanto. 2015. “Sang Amurwabumi Sebagai Simbol Legitimasi Sultan
Hamengku Buwana X” dalam Jurnal Seni Budaya Gelar. Vol. 13, No. 1.
Yogyakarta.
Tarigan, Henri Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Wahjono, Parwatri. 2004. “Sastra Wulang dari Abad XIX: Serat Candrarini Suatu
Kajian Budaya” dalam Jurnal Makara Sosial Humaniora Vol. 8, No. 2.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia.
Wulandari, Arsanti. 2014. “Kritik Teks sebagai Gerbang Informasi” dalam Naskah
dan Relevansinya dalam Kehidupan Masa Kini. Prosiding Simposium
Internasional Manassa Padang. Pusat Studi dan Informasi Kebudayaan
Minangkabau. Universitas Andalas.
MANUSKRIP
Cathĕtan Warni-warni
Kode koleksi: LL 28 (PB C 36). Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.
Sĕrat Ambya
Kode koleksi: L25j (SK 132). Museum Sonobudoyo. Yogyakarta.
Sĕrat Dahor Palak
Kode koleksi: S1 (SK 100). Museum Sonobudoyo. Yogyakarta.
Sĕrat Jatipusaka (Dahor Palak) saha Sĕrat Momana
Kode koleksi: S3 (PB E 100). Museum Sonobudoyo. Yogyakarta.
Sĕrat Tajusalatin
Kode koleksi: L335 (PB A 197). Museum Sonobudoyo. Yogyakarta.
Wilujĕngan Sadranan
Kode koleksi: F13 (PB C 37). Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.
THE MODEL OF THE ISLAMIC LITERATURES OF THE TRADITIONALIST SCHOLARS (ULAMA DAYAH) TO CONTROL RELIGIOUS RADICALISM: A STUDY OF THE ULAMA DAYAH AT MUDI MESRA AL AZIZIYAH ACEH
Fajri Muhammad Kasim Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Aceh [email protected]
Abstract
This writing is an attempt to address the rasing issue related to Nationalism and Radicalism which occupied the main discussion regionally and internationally, in the postHelsinki peace agreement between the Republic of Indonesia and the Aceh Mardeka movement in 2005. Cotextually, there are institutions that could be consideration to play very important role in curbing religious radicalism in Aceh.Historically and socio- culturally, those institutions which are popularly known as Dayahare educational institutions that have been traditionally established in the land; and ideologically affiliated to the Sunni school. It have been considered to be moderate in religious understanding. Eversince its interception in the Acehnese community, many Muslim scholars were graduated from Dayah; and at today many of them actively participated and contributed in the making and taking decision in the local government, particularly on the Socio-culture and religious affairs. The presences of the traditionalist Scholars, with their charismatic leadership, to some extends has slowed down the growth and widespread of religious radical ideology among the Acehenese community and they could main control on the growth of the radical movement in the region. Their Islamic Leteratures model has been presented conceptually in a moderate manner has been spreaded through massive networking and that has been well received as ablessing for all in the region. The implementation Islamic Syariah in the region could be a good reflection of the moderation and humanism aspect of Islam. The purpose of this article is to elaborate comprehensively the model, so that it could open the thoughton Islam from the sociological prespective. In addition, to initiate a new paradigm of the moderate and peaceful Islam, as the model to control the growth and wide spread of religious radical thought and religious conflct in the community.
Keywords: Aceh, Islamic Literature, Ulama Dayah, Religious Radicalism
155
156
Abstrak
Tulisan ini berangkat dari kajian yang dilakukan pasca konflik Aceh yaitu setelah ditandatangani MoU Helsinki antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Mardeka Pada Tahun 2005 dan Isu Radikalisme dan Nasionalisme mulai banyak diperbincangkan pada aras Internasional, Regional dan Nasional bahkan lokal. Dalam kontek Islam di Aceh, ada sebuah lembaga yang bisa diandalkan dalam membendung Radikalisme agama yaitu Dayah. Berdasarkan sisi historis, sosio-cultural dan pendidikan, maka dayah dapat dikatakan suatu lembaga sekaligus organisasi pendidikan tradisional di Aceh berhaluan Islam moderat sebagai asas,terutama aliran Ahlu Sunnah waljama’ah yang menjadi mainstream (arus utama)nya. Dan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Dayah di Aceh adalah lahirnya banyak ulama dari rahim lembaga ini, lahirnya para ulama memiliki andil besar sebagai aktor (agen) dalam rangka memberikan warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Aceh terutama dalam bidang sosial keagamaan dan politik kekinian. Karena itu keberadaan ulama sebagai tokoh yang memiliki kharismatik tersendiri dalam bidang keagamaan dan sosial sekaligus sebagai pemimpin dayah di Aceh. Gerakan merekamelalui gerakan literasi Islam sudah terbukti mampu membendung gerakan radikal dalam organisasi yang mengatas namakan agama.Sehingga Islam yang keras dan kaku yang merupakan ciri dari gerakan radikal berubah menjadi moderat dan harmonis. Model gerakan literasi Islam yang diusung oleh ulama dayah diimplementasikan melalui konsepsi, jejaring akhirnya membentuk sebuah gerakan massif sehingga ajaran islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatanlilalamin) dapat dirasakan. Meskipun Aceh menerapkan syariat Islam tetapi Islam yang dipraktekkan adalah agama yang luwes dan humanis. Tujuan dari disampaikannya kajian ini agar model tersebut dapat dielaborasi secara konprehensif dan fundamental yang sebenarnya, demikian pula akan memperluas paradigma berpikir, cakrawala serta sudut pandang ilmu pada banyak bidang pengetahuan, utamanya bidang sosiologi dan gerakan sosial keagamaan. Perluasan paradigma dan sudut pandang keilmuan ini menjadi prasyarat bagi upaya mewujudkan Islam yang moderat dan damai pada satu sisi dan menghilangkan radikalisme dan konflik inter dan antar umat beragama pada sisi lain sehingga pada gilirannya melahirkan kedamaian dan keharmonisan hidup dalam dalam sebuah Negara Bangsa.
Kata Kunci: Aceh, Literasi Islam, Ulama Dayah, Radikalisme Agama
A. Pendahuluan Secara leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990)
yangdimaksudkan dengan literasi adalah (sesuatu yang) berhubungan dengan tulis menulis. Namun secara luas literasi dapat berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Dalam paradigma berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan. Kirsch dan Jungeblut (1993) menjelaskan bahwa literasi kontemporer merupakan kemampuan
157
seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas. Besnier (dalam Syahriyani, 2010) menjelaskan bahwa manfaat budaya literasi yang begitu besar, maka kita perlu belajar dari sejarah peradaban besar dimasa lalu dimana budaya literasi pada saat itu dapat mendorong tumbuhnya inovasi baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Agama sebagai bagian dari pengetahuan dan peradaban manusia merupakan proses literasi dalam bentuk komunikasi dan trasmisi yang dilakukan oleh ulama, guru atau cendikiawan kepada masyarakat. Sebab agama pada hakikatnya adalah ajaran, tuntunan atau pedoman hidup bagi umat manusia, berasal dari Allah melalui perantaraan seorang Nabi atau Rasul. Lahirnya faham keagamaan tidak dapat dipisahkan dari upaya manusia untuk menyesuaikan ajaran agama dengan perubahan lingkungan social dan budaya masyarakat (Mufid, 2009 dan Ayoub, 2004). Dalam Islam, sebagaimana dicatat dalam sejarah, faham keagamaan muncul setelah Rasulullah wafat, saat umat menghadapi masalah suksesi kepemimpinan. Sebagian sahabat berpandangan bahwa Rasulullah meninggalkan pesan (wasiat), sedangkan sebagian lainnya menyatakan tidak memberikan wasiat masalah kepemimpinan. Perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama tidak saja berkaitan dengan politik, tetapi juga berkaitan dengan masalah hukum yang melahirkan banyak madzhab (fiqh), dalam bidang teologi dant asawuf melahirkan berbagai madzhab kalam dan tarekat. Semua itu merupakan bukti keniscayaan tumbuh kembangnya faham keagamaan (Shihab, 2007).
Perbedaan pemahaman terhadap ajaran Islam terus berkembang sepanjang masa akibat dari perbedaan interpretasi dan pengamalan teks-teksal-Qur’an dan al-Hadis. Di Indonesia, faham keagamaan muncul beragam seiring dengan proses dakwah Islam. Berbagai madzhab fikih muncul dan diajarkan, seperti Mazhab Syi’ah, Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Begitu juga tasawuf dalam bentuk praktek tarekat tumbuh subur, baik yang tergolong mu’tabarah (diakui) maupun ghairumu’tabarah (belum mendapat pengakuan), selalu ada pada setiap masa (Mufid, 2009). Faham keagamaan tersebut kemudian menjadi dasar dan pandangan dunia (world view) berbagai komunitas muslim di Indonesia. Pengamalan ajaran bidang fiqih, madzhab Syafi’i menjadi pegangan mayoritas umat Islam Indonesia. Sedangkan tarekat mu’tabarah yang diminati adalah tarekat Qadiriyah, Naqshabandiyah dan Syattariyah.
Dari segi aqidah, banyak dipengaruhi oleh ajaran teologi (kalam) yang dikembangkan oleh Imamal-Asy’ari dan Imam Maturidi dibandingkan dengan faham Mu’tazilah atau Jabariyah. Pandangan keagamaan yang didasarkan pada madzhab Syafi’I dan mengamalkan tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah, serta teologi Asy’ariyah ini kemudian disebut dengan Ahli Sunnah wal Jamaah (Nasution, 1989 dan Feillard, 2008: 8-12). Pemahaman ajaran Islam (teologi, hukum dan tasawuf) berasal dari luar dalam waktu yang sangat panjang, sejak abad XIV hingga akhir abad XIX, dan akhirnya menjadi identitas keislaman bangsa Indonesia.
158
Memasuki abad 21, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh organisasi keagamaan yang berhaluan moderat ialah gerakan ideologi transnasional dalam agama ideology transnasional terekpresikan dalam bentuk faham radikal. Menurut Amstrong (2001) bahwa gerakan radikalisme ataupun fundamentalisme tidak hanya terdapat pada agama monoties saja, ada juga fundamentalisme Budha, Hindu dan bahkan Khonghucu, yang sama-sama menolak butir-butir nilai budaya liberal, saling berperang atas nama agama (Tuhan) dan berusaha membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan politik dan Negara.
Senada dengan itu M. Nuh, (2009: 36) mengakui bahwa radikalisme agama bukanlah merupakan fenomena yang berkembang hanya dikalangan komunitas tertentu. Keberadaan radikalisme sudah berkembang dalam bentuk yang bercorak trans-nasional karena bisa dijumpai dihampir berbagai wilayah negara dimuka bumi ini. Keberadaan radikalisme juga bercorak trans-religion karena dialami oleh semua agama. Fenomena ini telah berlangsung lama dan tersebar pada semua agama yang ada di mukabumi ini.
Masih menurut M. Nuh (2009: 38-39) bahaya gerakan Radikalisme tataran kehidupan berbangsa dan bernegara adalah: Pertama, gerakan radikalisme sering dinilai sebagai gerakan yang berkepentingan untuk membangun dan mewarnai dasar ideology negara dengan faham ideologinya secara murni,atau mengganti ideologi Negara yang sudah mapan dengan ideologi kelompok gerakan radikal tersebut, tanpa mempertimbangkan kepentingan ideologi kelompok lain yang berbeda dengannya. Kedua, gerakan radikalisme dianggap membawa instabilitas sosial, keresahan sosial, terutama karena sifat gerakan tersebut yang militan, keras, tegas, hitam putih, tidak menyerah dan tidak segan–segan menggunakan cara-cara yang cendrung anarkhis dan merusak. Di samping itu gerakan radikalisme tersebut juga dipandang tidak mau kompromi serta tidak toleran terhadap kepentingan kelompok lain. Ketiga, dampak dari gerakan radikalisme baik secara langsung maupun tidak langsung dipandang dapat mengancam eksistensi kedudukan para elit penguasa, terutama karena pengaruh agitasi ideology dan provokasi gerakan radikal yang meluas dalam masyarakat dapat menurunkan tingkat kepercayaan rakya tterhadap rezim penguasa tersebut, yang pada gilirannya dapat melahirkan pembangkangan dan revolusi sosial yang akan meruntuhkan singgasana rezim penguasa. Karena itu tidaklah mengherankan apabila siapapun rezim penguasa disebuah negara akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengeliminasi, menjinakkan, meredam atau menangkal berkembangnya gerakan radikalisme itu.
Muncul gerakan radikal dan transnasional masih menurut M. Nuh (2009) disebabkan oleh banyakfaktoryaitu: 1) ideologi politik seperti gerakan DI/TII yang dideklarasi oleh Kartosuwiryo; 2) sosial budaya, faktor muncul akibat dari pengaruh dari luar; 3) solidaritas keagamaan, atau perasaan sebagai saudara sesama muslim; dan 4) doktrin teologi, munculnya sikap anti pasti terhadap bangunan yang melambangkan kedigdayaan Amerika Serikat dan budaya Barat, seperti Bali, Hotel JW. Marriot, dan Kedutaan Australia.
159
Studi Literatur Untuk memperkuat kajian tentang Faham Radikal dan masa depan aliran ini
yang sudah berkembang baik secara nasional maupun lokal serta prospek perkembangan selanjuatnya aliran dimasa depan dengan adanya aktordan model gerakannya yang dilakukan terutama dari kalangankiranya perlu disampaikan beberapat Kajian yang telah dilakukan terutama dari kalangan ahli oleh para pakar akademi dalami bidang ini, misalnya seperti yang di sampaikan oleh Azra (2000) bahwa masa depan gerakan radikalisme kelompok Islam di Indonesia tidak akan mendapat tempat yang kuat karena mainstream Islam yang dianut dan dipraktekkan bersifat moderat, akomodatif, inklusif, toleran dan hidup berdampingan internal sesama muslim maupun umat lainnya. Kelompok Islam yang mainstream itu direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan NU yang sering juga disebut Islam wasyatiyah bermakna moderasi Islam, atau Islam jalan tengah. Belakangan disebut sebagai Islam Nusantara yang berarti memiliki distingsi tidak hanya dalam tradisi dan praktek keislaman yang kaya dan penuh nuansa, tetapi juga dalam kehidupan sosial, budaya dan politik.
Namun demikian masih menurut Azra (2000) bahwa masa depan gerakan radikalisme kelompok Islam di Indonesia tidak akan mendapat tempat yang kuat karena mainstream Islam yang dianut dan dipraktekkan bersifat moderat, akomodatif, inklusif, toleran dan hidup berdampingan internal sesama muslim maupun umat lainnya. Kelompok Islam yang mainstream itu direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan NU yang sering juga disebut Islam wasyatiyah bermakna moderasi Islam, atau Islam jalan tengah. Belakangan disebut sebagai Islam Nusantara yang berarti memiliki distingsi tidak hanya dalam tradisi dan praktek keislaman yang kaya dan penuh nuansa, tetapi juga dalam kehidupan sosial, budaya dan politik.
Berkaitan dengan islam dan faham yang banyak diamalkan di Indonesia atau yang lebih dikenal adalah Islam Nusantara meminjam istilah Ahmad Baso, adapun penjelasan Azra (2015) mengenai ini adalah Islam Nusantara memiliki distingsi sendiri, ortodoksi Islam Nusantara yang terbentuk mapan khususnya sejak abad ke-16 dan 17 ketika murid- murid ulama Nusantara seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri,' Abdurrauf al- Singkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari kembali ke Nusantara setelah belajar selama hampir dua dasawarsa dan terlibat dalam 'jaringan ulama' yang berpusat di Makkah dan Madinah (Azra, 1998). Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur utama, pertama, kalam teologi) Asy'ariyah; kedua, fiqh Syafi'i-- meskijuga menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali, baik dipraktikkan secara individual atau komunal maupun melalui tarekat Sufiyang lebih terorganisasi lengkap dengan mursyid, khalifah dan murid, dan tatacara zikir tertentu. Kemudian ranah budaya Islam Nusantara mengandung sejumlah faktor pemersatu, yang membuat kaum Muslimin Indonesia dari bermacam suku, tradisi, dan adat istiadat berada dalam kesatuan. Faktor-faktor pemersatu itu antara lain; tradisi keulamaan dan keilmuan Islam yang sama, bahasa Melayu sebagai lingua franca dan tradisi sosial-budaya dan adat
160
istiadat yang memiliki lebih banyak komonalitas dari pada perbedaan. Berkat fluiditas (kecairan) dunia maritim, dunia maritim Nusantara menjadi terintegrasi dalam ranah budaya Islam khas.
Adapun dalam konteks Islam lokal Aceh sebagaimana yang hasil kajian Bustamam Ahmad dan Amiruddin (2013) bahwa ada potensi separatism dan radikalisme di Aceh, perlawanan terhadap Negara dan konflik antar etnis yang menginginkan adanya provinsi baru lepas dari Aceh merupakan gerakan separatisme. Sedangkan radikalisme dimaksudkan adalah dijadikannya Aceh sebagai target dan tempat latihan kelompok gerakan radikal agama seperti dibukit Jalin, Jantho Aceh Besar, disamping potensi konflik antara pemahaman dan praktek agama. Kemudian secara tegas dikatakan oleh Apridar dkk, (2014) bahwa secara sosial budaya masyarakat Aceh menolak dan tidak setuju terhadap gerakan radikal tandhimqoidatul jihad dan berbagai gerakan serta kelompok keagamaan lainnya. Artinya pemahaman, konsep dan praktek keagamaan di Aceh mengusung nilai-nilai yang moderat dan damai.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa nasionalisme kebangsaan orang Aceh tidak dapat diragukan, meskipun masyarakat Aceh pernah melakukan perlawan terhadap Negara dalam konteks DI/TII dan GAM. Namun kedua gerakan perlawanan tersebut banyak dinilai sebagai kelalaian dan keabsenan Negara dalam membangan ekonomi, sosialdan politik di Aceh (Sulaiman, 2000; 45-49). Sebagai bukti bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah seorang pemimpin, ulama, tentara bahkan pernah ditunjuk sebagai Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo oleh Soekarno. Daud Beureueh menjadi ketua Persatuan Oelama Se-Aceh (PUSA) yang menjadi gerakan social politik dan melakukan perlawan terhadap kaum aristocrat (uleebalang) yang mencoba melanggengkan statusquo sebagai pemberian dari Belanda. Daud Beureueh justru membela kepentingan nasional yang kemudian disebut kaum republikan, yang berakhir dengan damai (ikrarlamteh) 1957 M. Melalui Abu Beureueh juga masyarakat Aceh pernah menyumbang sejumlah emas untuk membeli pesawat Seulawah RI-001 (Sjamsuddin, 1999). Salah satu buktinya adalah pernyataan Gubernur Jenderal Tituler (Alfian, 2005: 280), menyatakan bahwa “kesetiaan rakyat Aceh terhadap pemerintah RI bukan dibuat-buat serta diada-adakan, tetapi kesetian yang tulus ikhlas dan keluar dari hati nurani dengan perhitungan dan perkiraan yang pasti. Rakyat Aceh tahu pasti bahwa kemerdekaan secara terpisah-pisah, Negara per Negara, tidak akan menguntungkan dan tidakakan membawa kepada kemerdekaan yang abadi.
Masyarakat Aceh juga merupakan benteng terakhir Indonesia melawan penjajah Belanda. Rakyat Aceh melawan kaum kaphe (kafir) Belanda didorong oleh ideologi jihad sebagaimana dimaktub dalam hikayat prangsabi. Lebih dari 37.000 dari pihak Belanda yang terbunuh sedangkan70.000 orang Aceh yang syahid (Alfian, 1987 dan 2005: 275). Perang Aceh 1873-1912 dalam literature Barat dikenal dengan “justwar” atau perang keadilan menurut Siegel 2000) sesungguhnya merupakan perang yang “paling lama dan termahal dalam sejarah
161
Hindia Belanda”.Perang ini dikobarkan oleh hikayat prang sabi yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu semasa dengan Teungku Chik DiTiro (1836-1891 M) salah seorang ulama dan Panglima Perang melawan Belanda.
Padasisi yang lain, menurut Amiruddin (2003) bahwa ulama dayah memberikan kontribusi yang sangat sentral di Aceh sebagai pengawal agama masyarakat. Selain itu dayah sebagai lembaga tempat ulama berkiprah juga tidak kalah pentingnya yaitu:(1) sebagai pusat belajar agama; (2) benteng terhadap kekuatan melawan penetrasi penjajah; (3) agen pembangunan;dan (4) sekolah bagi masyarakat. Karena itu, tidak mengherankan jika ulama dayah di Aceh Ulama Dayah memiliki kekuasaan teungku dayah terhadap masyarakat Aceh selain didasari oleh penguasaan ilmu agama dan justifikasi normatifitas agama juga dipengaruhi oleh 3(tiga) sumberdaya lainnya yaitu keuramat (karamah), beureukat (barakah) dan temeureuka (kualat). Maka kekuasaan teungku dayah terhadap masyarakat Aceh bersifat panoptik yaitu tanpa kekerasan fisik, tanpa paksaan, tanpa kehadiran, jarak jauh, total dan menyeluruh (Armia, 2014).
Sejalan dengan itu, Dhofier, (1994), Saby (1995), Azra (1998), Armia (2014) dan Bruinessen (2013:145) mengatakan bahwa ulama mempunyai otoritas dalam bidang agama, pendidikan dan sosial. Pengetahuan agama yang dalam dan ketinggian akhlak, ulama bergerak pada berbagai lapisan sosial. Mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam masyarakat, karena pengetahuanadalahsuatukekuatanpencipta dan pembentuk; pengetahuandan kekuatan (power) berkaitanamat erat, dan konfigurasi keduanya merupakan kekuatan yang tangguh vis-à-vis masyarakat. Jadi dengan demikian ulama yang memiliki ilmu, dayah, pengikut (murid atau jama’ah) juga otoritas dan kharismah (karamah, berkah dan kualat) merupakan bagian intergral dari proses literasi Islam yang bersifat lokal di Aceh.
Karena itu, menarik untuk dipaparkan modelliterasi Islam yang dipraktekkan oleh Ulama Dayah MUDI Mesra Al-Aziziyah, Samalanga. Saat ini Dayah dipimpin oleh AbuTgk H. Hasanul Basri HG setelah menerima Estafet Kepemimpinan dayah dari Sesepuh Guru Teungku Haji Abdul Aziz bin Muhammad Shaleh (Abon Aziz) (1964-1989) sebagai cikal bakal diTambalnya Lembaga dayah ini dengan Al-Aziziyah, atau dibangsakan kepada Pendiri Asas berkembangnya lembaga Dayah MUDI MESRA Samalanga.Kemudian selanjutnya dibawah Kepemimpinan Abu Hasanul Basri HG, Dayah MUDI Mesra Al-Aziziyah terus berkembang dan maju sehingga sekarang yang telah memiliki 190 cabang tersebar diseluruh Aceh, 3 di Sumatera Utara, 2 di Jakarta dan1di Jambi serta 2 di Negeri Jiran Malaysia (Profil Dayah MUDI, 2016). Hal ini merupakan kekuatan besar dalam melakukan gerakan, transmisi konsep dan mengembangkan jejaring untuk membendung radikalisme agama di Aceh khusus dan di Indonesia pada umumnya.
Berangkat dari latar belakang diatas, tulisan dalam kajian ini akan membahas model literasi Islam local yang dikembangkan oleh Ulama Dayah MUDI Mesra Al-Aziziyah Samalanga ditelaah dari bentuk gerakan, strategi, geneologi pemikiran, model jejaring dan dampak yang dihasilkan. Hal cukup penting ditengah penetrasi
162
dan pengaruh ideology gerakan keagamaan transnasional radikal yang melakukan perlawan terhadap Negara dan kemanusiaan.
Selain itu, kajian ini mengkaji mengapa konsepsi model literasi islam yang dikembankan oleh ulama dayah MUDI diterima oleh masyarakat Aceh dan menjadi sebuah gerakan sosial keagamaan sangat dipatuhi dan diterima oleh masyarakat, dan bagaiman model literasi, konsep gerakan yang dikembangkan, dan strategi, geneologi gerakan bagi masyarakat guna membendung gerakan Radikalisme agama di Aceh bisa menjadi sebuah tradisi keislaman yang humanis dan damai dibawah pengaruh para ulama dayah di Aceh. Serta yang terakhir apakah model literasi islam di Aceh dibawah komando para ulama dayah boleh dijadikan referansi bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam mengambil kebijakan penguatan referensi nilai-nilai amalan keagamaan bagi pemeluk agama Islam di Indanesia dimana model di Aceh dijadikan salah satu model yang bisa diterapkan mengingat sejarah penyebaran ajaran keislamaan di Nusantara di mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Adapun perspektif teori yang digunakan sebagai bahan kajian model literasi ulama dayah MUDI dalam membendung radikalisme agama adalah “gerakan sosial baru” ini dapat difahami di mana teori ini menekankan peranan agen atau aktor perubahan bukan lagi kaum buruh atau petani, melainkan sangat beragam seperti feminis, ekolog, aktivis perdamaian, Para aktor gerakan sosial baru ini berjuang bukan untuk kepentingan kelas, melainkan berjuang demi kemanusiaan. Aktor gerakan sosial baru umumnya berasal dari kelas menengah.
Menurut Foweraker, teori gerakan social baru ini tidak dapat dilepaskan dari konstituen, nilai, dan bentuk-bentuk aksi yang diciptakan oleh perubahan structural didalam masyarakat modern. Ini berarti gerakan social baru adalah gerakan yang merupakan bentuk respon baru terhadap keluhan baru (new grievances). Enrique Larana mengidentifikasi ciri-ciri gerakan sosial baru sebagai berikut: (1) mengatasi struktur kelas; (2) kemajemukan ide dannilai; (3) memusatkan pada isu budaya dan simbolik yang berkaitan dengan identitas dari pada ekonomi; (4) kaburnya hubungan induvidu dan ekonomi; (5) keterlibatan segi-segi pribadi dan akrab dengan kehidupan yang lebih manusiawi; (6) mengutamakan semangat anti-kekerasan dan pembangkangan sipil; (7) adanya krisis kredibilitas dan ruang patisipasi; (8) cenderung terfragmentasi dan terdesentralisasi. (Enrique Larana et.al.,1994:94).
B. Hasil dan Pembahasan Model literasi Islam Ulama Dayah Aceh sangat menarik bila dikaitkan
dengan sebuah gerakan sosial Islam dalam membendung radikalisme agama, para ulama Aceh dalam kacamata masyarakat yang terkenal dengan daerah “serambi mekkah” ini mengakui posisi ulama pada kedudukan sosial yang tinggi mulai masa Kerajaan Aceh Darussalam sampai masa perjuangan kemerdekaan sehingga era konflik sosial sampai sekarang pasca perdamaian Aceh dengan Jakarta atau MoU Helsinki RI-GAM (baca sejarah Aceh).
163
Menurut observasi penulis literasi islam ulama dayah di Aceh mengikuti arus pemikiran utama Ahlu sunnah (konsep Islam yang mengikuti cara dan ikut perilaku nabi) dan wal Jamaah (konsep ibadah yang mengikuti para sahabat Nabi) pengikut sahabat serta dalam tatacara beribadat mengikuti arahan para ulama terutama ulama salah satu mazhab yang empat (Imam Hanafi, Imam Malik Bin Anas, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambali dalam bidang, dalam bidang Tauhid mengikuti mazhab Abu Hasan Al Asy’aridan Abu Mansur Maturidi dan dalam bidang Tasauf Imam al Ghazali dan Juned Bugdadi. Hampir seluruh dayah di Aceh mempraktekkan pola pendidikan Dayah yang mengikuti manhaj/metode Ahlu sunnah Wal Jamaah (Aswaja), bagi para pengasuh dayah di Aceh kedudukan ulama dan kiprah keseharian para ulama adalah pewaris Nabi Muhammad yang menyampaikan risalah suci dengan penuh tanggung jawab dan hikmah jauh dari cara kekerasan, kehadiran ulama menjadi aktor (agen) penting bagi kehidupan sosial dan budaya, model literasi yang diterapkan di Aceh memiliki karakter tersendiri yang merujuk kaedah para ulama salaf dan khalaf yang mu’tabar (diakui). Kalau boleh saya tamsilkan hampir sama dengan literasi para ulama Nahdhatu Ulama (NU) yang ada di Pulau jawa.
Dalam pengajian dayah di Aceh, terutama sekali dayah yang mengkaji ilmu agama yang luas dengan mengunakan kitab-kitab kuning sebagai referensi, adapun kitab referensi tersebut merupakan warisan yang telah diajarkan oleh ulama Aceh terdahulu yang memiliki silsilah keilmuannya sampai kepada Rasulullah Saw, kebanyakan mereka adalah dulunya mengaji/menuntut ilmu pada para ulama yang ada di Saudi Arabia dan Mesir. Kemampuan menguasai teks asli kitab-kitab yang berasal dari kalangan ulama yang mu’tabar tidak diragukan lagi, mereka sangat mampuni dalam memahami kaedah-kaedah ilmu agama seperti yang sangat berkembang di dayah MUDI Mesra Samalanga, di dayah ini ilmu –ilmu penunjang /alat untuk memahami literasi agama sangat di pentingkan seperti ilmu Nahu, Saraf, Badek, Maani, Bayan, Mantek, Usul Fik, Falaq, Ilmu Faraid, ilmu falak dan lain-lain. Maka tidak berlebihan kalau dikatakan hampir seluruh Aceh bahkan diluar Aceh, yang menjadi pimpinan dayah adalah mereka yang pernah belajar di dayah MUDI Samalanga ini.
Dalam kontek pengetahuan Agama yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Abu Tu Min (Tgk H Muhammad Amin) Ulama Senior dayah Aceh pernah berkata:
“bahwa selagi ada dayah di Aceh maka aliran agama denganaliran baru terutama faham aliran agama yang sesat/ radikal Abu Tu Min menyakini tidak dapat berkembang di Aceh, karena dayah adalah bentengnya agama Islam yang mengikuti pemikiran ahlusunnah wal jamaah melalui pengajian rutin dan umum di dayah dan di mesjid-mesjid besar hampir diseluruh Aceh”. (Pernyataan Abu Tu Min pada Milad 57th Dayah Madinatuddiniyah Babussalam Blang bladeh, 21 Mei 2017).
164
Hal Yang senada disampaikan juga oleh Tu Sop (H. Muhammad Abdul Wahab) Ulama Muda Dayah alumni Dayah MUDI Mesra Samalanga menambahkan,
“Tradisi mengikuti ulama sebagai panutan selain perintah Al-Quran juga menjadi suatu kepatuhan yang tidak dipaksakan terjadi secara alamiah disebabkan posisi ulama bagi masyarakat Aceh berada pada makam/kedudukan yang sangat dihormati, hal ini terbukti masa Aceh bergejolak melawan pejajahan belanda, ulama di depan memimpin perjuangan dengan hikayat prang sabi (syair semangat berjuang melawan kafir belanda yang dikarang oleh seorang ulama Aceh yang bernama Tgk Syik Pantekulu). Begitu juga dalam pergolakan konflik Aceh dan pasca nota kesefahaman RI-GAM (MoU Helsinki Tahun 2005) hingga sekarang. Setiap terjadi gejolak sosial, budaya, politik bahkan peperangan maka masyarakat Aceh sangat mengikuti arahan dan petunjuk ulama, maka ketika tidak ada fatwa agama terhadap kondisi keagamaan, sosial budaya dan lain-lain dalam gerakan perjuangan Islam maka model perjuangan yang ditempuh mengikuti jalan (manhaj) para ulama yang mu’tabar menjadi pilihan ulama Aceh dalam menentukan sikap atau fatwa, sehingga sekarang para ulama Aceh belum tertarik menepuh jalan–jalan kekerasan dalam memperjuangkan Agama”. (interview dengan Tu Sop 12-05-2017).
Maka searah pemikiran para ulama berdasarkan model literasi yang sudah diterima oleh masyarakat Aceh maka faham pengerakan islam radikal seperti bom bunuh belum bahkan tidak menjadi pilihan cara perjuangan ulama dayah Aceh. Model keislaman yang di anut oleh masyarakat Aceh adalah model islam moderat yang mengutamakan keilmuan yang kuat dalam pemahaman baik aqidah, maupin muamalah maka kalau ada orang yang bertanya apakah ada kekarasan bom bunuh diri yang terjadi di Aceh seperti yang terjadi di Solo, Bali, Jakarta, Timur Tengah (Asia Barat), Afganistan, Pakistan dan beberapa negara di belahan Afrika serta yang terbaru bom bunuh diri di Kampung Melayu Jakarta, tentu jawabannya tidak terjadi, mengapa di Aceh yang berkonflik lama dan terkenal dengan sejarah perlawan menentang penjajahan mulai dari Portugis, Belanda dan Jepang dan di tambah dengan konflik perlawan kepada pemerintah pusat kerana tidak menepati janjinya kepada bangsa Aceh seperti perlawan DI/TII, Aceh Merdeka (AM) sampai Perlawanan ASNLF/ GAM sebelum Tsunami. Tentu jawabanya tidak terlepas dari peran ulama dayah yang ada di Aceh yang selalu terus setia bersama masyarakat. Bahkan penulis sering mendengar petuah Ulama MUDI yang mengatakan bahwa melakukan pemboman bunuh diri adalah dosa besar(merujuk kepada kondisi kekinian di Aceh)
Menurut Ustatz Muntasir Alumni senior dayah MUDI Mesra berdasarkan hasil interview dengan beliau pada bulan maret 2017, ia mengatakan
“kedudukan ulama dalam masyarakat Aceh menempati posisi tertinggi dikarenakan oleh banyak peran-peran sosial dan kegamaan yang dijalan oleh para ulama, mayoritas masyarakat di Aceh sangat hormat dan tunduk pada
165
petuah ulama, ulama di Aceh tidak hanya pemimpin dalam bidang agama akan tetapi juga mereka diakui kehadirannya sebagai pemimpin informan, dikerenakan mereka selalu hadir dalam kehidupan keseharian dalam masyarakat, petuah-petuah penting yang keluar dari mulut para ulama diterima dengan penuh kenyakinan oleh masyarakat umum baik itu yang berkaitan dengan agama, ekonomi, sosial budaya bahkan politik. ketika ulama Aceh menolak cara amalan islam yang tidak sesuai dengan amalan islam yang damai dan rahmatan lil alami masyarakat Aceh tampa terpaksa patuh dan mengamini itu sesuai dengan yang di arahkan oleh para ulama”.
Kehadiran ulama dalam memberikan pendidikan agama bagi masyarakat Aceh melalui pengajian di dayah bagi para santri, Pengajian Tasawuf, Tauhid dan Fiqh (Tastafi) dan Zikir bagi Masyarakat banyak, Pengajian Abu Mudi, Tu Sop dan para ulama lainnya melaui radio-radio dakwah seperti Radio Yadara (yayasan dayah bersaudara), lembaga Bahsul Masail (Lembaga Kajian) MUDI Mesra Al-Aziziyah, Pengajian Sirajul Muhtadi dan media lainnya telah membuahkan hasil dengan lahirnya pemahaman agama yang baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qadir pada Tahun 2013, ia membahas mengenai, Deradikalisasi Islam dalam Perspektif Pendidikan Agama. Ia menyimpulkan bahawa “Untuk mengurangi berbagai-bagai bentuk radikalisasi agama di Indonesia, jalur pendidikan formal perlu dikembangkan di Indonesia. Radikalisasi agama merupakan varian dari gerakan ekstrem yang bias merugikan umat Islam di Indonesia”.
Walaupun di Dayah Mudi Samalanga bentuk pendidikan yang di jalankan oleh dayah tersebut tidak seratus persen pendidikan formal namum berdasarkan wawancara dengan Abu Mudi (Tgk H Hasanul Basri) pimpinan dayah, beliau mengatakan
“Di Dayah Mudi mesra murid-murid diajarkan agama dengan pola pendidikan yang santun dan sangat damai, sangat menghargai perbedaan, yang sangat penting bagi santri memahami ilmu agama secara benar dan ilmu penunjang lainya harus mampu dikuasai dengan betul dan mahir sepeti ilmu Nahu, saraf, mantek, maani, badek, bayan, usul fikh, mustalah hadis dan lain-lain sebagai syarat penting untuk memahami ilmu pokok agama yaitu ilmu tauhid, ilmu Fiqh dan ilmu tasawuf seperti yang pernah diajarkar oleh rasulullah dan sahabat dan para alim ulama muktabar terdahulu” (Wawancara Abu Mudi, 21 Maret 2017)
Bebera literasi yang menjadi kekuatan gerakan ulama dayah dalam melakukan pengutan nilai agama yang berfaham ahlusunnah wal jamaah adalah gerakan memahami agama yang pokok adalah penguatan pengajian tastafi yang sudah digerakan keseluruh Aceh bahkan keluar dari Aceh, gerakan pengajian sirajul muhtadi yang di gerakkan oleh Ulama senior dan Muda Aceh yang merupakan alumni MUDI Mesra yang salah satunya adalah yaitu Tgk H Muhammad Yusuf Abdul Wahab (Tu Sop) yang jamaahnya hampir tersebar seluruh Aceh.
166
Menurut Abu Mudi salah seorang Ulama senior dan Ketua himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) (interview pada tanggal 21 Maret 2017 dan Beliau Padalah Perintis Kemajuan dayah Mudi Mesra. Beliau menggatakan
“Abon Abdul Aziz bin Shaleh (Almarhum) selalu berpesan tentang bagaimana memperkuat ilmu pengetahuan agama yang beraqidah Ahlusunnah wal jamaah dengan cara memperbanyak pengajian (Beut dan Seumeubet) atau belajar dan mengajar itu menjadi perkara yang sangat pokok dalam memperkuat agama dan pemahamannya, pegangan prinsip faham agama yang benar dan menyeluruh perlu di perluas kepada segenap masyarakat, sehingga pada masa kepemimpinan Abu Mudi lahirnya pola yang sangat dinamis yaitu pendidikan Tasawuf, Tauhid, dan Fiqh (Tastafi) yang di tebarkan/pusat induk penyebarannya dari dayah MUDI Al Aziziyah Samalanga hingga keseluruh Aceh dan Indonesia bahkan kebelahan dunia lain.”
Untuk memperkuat argumentasi di atas ada seuah buku yang berjudul “Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh”, Karya Amiruddin pada Tahun 2003 menjelaskan tentang peranan ulama dayah dalam bidang, pendidikan, sosial politik sejak masa kesultanan, kolonial, dan Masuki masa kemerdekaan bahkan sampai saat ini.Dalam bidang pendidikan ulama dayah telah berhasil melakukan transmisi dan transformasi agama dan regenarasi intelektual muslim yang moderat. Kemudian dalam bidang sosial politik ulama dayah ikut mempertahankan, merebut dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Apa yang dikaji oleh Amiruddin sampai hari ini menurut observasi penulis menemukan hal yang sangat tepat. Hal ini dapat di lihat setelah Abu Mudi membangun sebuah Institusi Pendidikan Tinggi (IAI Al- Aziziyah) di samping Dayah MUDI Mesra dan dengan cara melakukan inovasi penyampaian dakwah (pesan Agama) melalui media elektronik. Dimana para alumninya sudah banyak sekali yang berkiprah di dalam masyarakat.
Hal inisesuai argumen kajian Bustamam Ahmad dan Amiruddin (2013), yang meneliti, tentang Ulama, Separatisme dan Radikalisme di Aceh. Mereka menyimpulkan tentang ada potensi radikalisme di Aceh akan tetapi tidak mengakar, dikarenakan dibawa oleh orang luar Aceh, bukan tumbuh dari dalam diri masyarakat Aceh, penetrasi literasi agama yang kaat dari para ulama kepada masyarakat hampir merata di seluruh Aceh melalui pengajian Tastafi yang berfaham Ahlusunnah wal jamaah. jadi radikalisme dimaksudkan disini adalah dijadikannya Aceh sebagai target dan tempat latihan kelompok gerakan radikal agama seperti dibukit Jalin Jantho Aceh Besar, di samping potensi konflik antara pemahaman dan gerakan ini berkembang bahkan tidak ada lagi sampai sekarang. Dan semoga Ulama dayah Aceh akan selalu kuat dalam membendung gerakan agama yang radikalis yang tidak sejalan dengan konsep agama islam yang rahmatan lil alamin. Dan berharap kepada Pemerintah RI untuk bertindak tegas kepada para penista agama, Para perusak moral bangsa, para koruptor dan para penindas rakyat kecil supaya aliran dan ideologi tidak akan berkembang dimasa yang akan datang.
167
C. Kesimpulan dan Saran Model literasi Islam yang dikembangkan oleh ulama dayah Aceh melalui
berbagai media seperti Pengajian Tastafi, Lajnah Bahsul Masail MUDI Al Aziziyah, Pengajian Sirajul Mubtadi, penyampaian pengajian para ulama dengan pengajian langsung kepada masyarakat atau mengunakan radio-radio dakwah terbukti di terima dan mendapatkan sambutan hangat oleh masyarakat Aceh. Dan kondisi sebaliknya dimana secara sosial keagamaan dan budaya masyarakat Aceh menolak dan tidak setuju terhadap gerakan radikalakan tetapimenerima pemahaman,konsep dan praktik keagamaan mengusung nilai-nilai yang tidak radikal. Selain itu model literasi agama islamboleh dijadikan sebagai pilot projek Kementerin Agama/Pemerintah RI bagi daerah atau kawasan lain dengan mencontohkan pola literasi keagamaan model Daerah Aceh.
Berdasarkan daripelbagailiterature. Literasi pendidikan oleh para ilmuan (ulama dayah) Aceh memberikan kontribusi positif bagi pengutan ilmu agama kepada masyarakat sekaligus berfungsi dapat membendung munculnya pemikiran radikalisme Agama. Selain itu Gerakan ulama MUDI Mesra telah berhasil membangun sebuah gerakan sosialIslam yang memiliki karakteristik tersendiri dilihat daripada ideologi, model literasi, jejaring dan geonologi pemahamannya, hal ini dapat difahami dari peran penetrasi aktor/agen dalam dalam memwujudkan agama damai yang rahmatan lil alami di tengah masyarakat Aceh dengan mengikuti manhaj (metode/Model) yang telah ditetapkan oleh para Ulama yang muktabar berfaham Ahlusunnah wal jamaah.
Adapun Saran penulis terkait tulisan ini adalah ada tantangan berat bagi Aceh khususnya ulama dayah Aceh agar dapat mempertahankan dan memperkuat kembali Model Literasi pendidikan agama ini mengingat arus perkembangan teknologi telekomunikasi dan infomasi terus berkembang sedemikian pesat diperlukan model literasi yang mampuni agar dapat membendung bahaya terorisme dan radikalisme serta mampu memperkuat Nasionalisme Indonesia sebagai Negara Bangsa.
Maka lembaga Pendidikan seperti dayah di Aceh dan daerah lainnya di Indonesia perlu terus mendapat dukungan semua pihak guna dapat mempertahan eksistensinya di tengah masyarakat agar dapat mencegah berkembangnya aliran baru yang dapat merusak tatanan sosial keagamaan di Bumi Tercinta Indonesia. Maka dari itu sangat diperlukan penelitian lanjutan kedepan mengenai isu inisehingga dapat memberikan kotribusi positif dengan solusi–solusi akademik dan Praktis yang bernas guna menangkis berbagai aliran dan faham yang bisa merusak kerukunan dan tatanan kemajmukan sosial negara kita sebagai sebuah Negara Bangsa.
Ucapan Terimakasih Islage-2 yang diadakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur,
Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI sangat menarik diikuti dan mendapatkan banyak
168
pengayaan ilmu dalam bidang Pembanguan nasionalisme bagi bangsa Indonesia diera ancaman radikalisme trans-nasional yang telah mewabah sampai ke negara tercinta Indonesia, banyak Materi penting yang disampaikan oleh para ahli Akademik Nasional dan Internasional sehingga dapat menghasilkan solusi terbaik bagi masa depan Nasionalisme Bangsa.
Kami mengucapkan terimakasih kepada panitia Second Internasional Symposium on religious Literature and Heritege (Islage-2) Tahun 2017 yang telah menyeleksi Artikel untuk berhak presentasi pada Symposium Internasional ini, salah satu daripadanya adalah artikel yang kami kirem dengan ucapan Terimakasih. Kami sebagai peserta Symposium ini memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Kementerian Agama RI dan Panitia Islage-2 yang telah menjadi penyelengara Symposium Internasional yang baik dan menyenangkan. Sehingga kami sangat berharap semoga pada Islage-3 kami dapat mengirim artikel lagi sehingga terpilih dan dapat bersama kembali mengikuti acara Symposium yang sangat bermakna ini.
Referensi Alfian, Teuku Ibrahim. (1987). Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912,
Jakarta: Sinar Harapan.
-----------. (1999). Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
-----------. (2005). Kontribusi Samudra Pasai Terhadap Studi Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: CINENNETS Press, 2005.
Amiruddin,Hasbi,(2003). Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh: Lhokseumawe: Nadia Foundation.
Apridardkk, (2014).Terorisme di Aceh: Studi Analisis Sosial-Budaya tentang Penolakan Masyarakat Aceh terhadap Gerakan Radikal Tandhim Qoidatul Jihad, Laporan Universitas Malikussaleh dan Kemenristek Dikti.
Armia, Nirzalin, (2014). Teungku Dayah dan Kekuasaan Panoptik. Jurnal Substantia (UIN Ar-Raniry), Volume 16, Nomor 1, April.
Ayoub, Mahmoud M. (2004). The Crisis of Muslim History: Akar-akar KrisisPolitik dalam Sejarah Muslim. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi. 1998. Jaringan Ulama: Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Edisi Revisi, Cet. IV; Jakarta: Kencana.
------------. (2015). Islam Nusantara: Islam Indonesia, Resonansi, Harian Republika, Edisi Kamis, 18 dan 25 Juni 2015,
------------. (2000). Islam Subtantif: Agar Umat Islam Tidak Jadi Buih, Bandung; Mizan.
169
Bruinessen, Martin Van.(2013). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Yogyakarta: Gading Publishing.
Bustamam Ahmad, Kamaruzzaman dan Hasbi Amiruddin, (2013). Ulama, Separatis medan Radikalisme di Aceh, Banda Aceh: LSAMA.
Enrique Laranaet al. New SocialMovement: From Identity to Ideology, Philadelphia: TempleUniversityPress1994
Dhofier, Zamakhsyari. (1994). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Feillard, Andree. (2008).NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.Yogyakarta: LkiS.
Ichwan, Moch. Nur. (2011).Official Ulema and The Politik of Re-Islamization: The MajelisPermusyawaratanUlama, Shari’atization and Contested AutorityIn Post New Order Aceh, Jurnal Islamic Studies.
Irwin, S. Kirsch, Ann Jungeblut, (1993). Literacy: Profiles of America’s Young Adults, Priceton, NJ: National Assesmen of Education Progress.
Joe Foweraker. Theorizing SocialMovements. Pluto Press: London – BulderColorado. 1995.
M. Nuh, Nuhrishon, (2009). Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham/Gerakan Islam Radikal di Indonesia, Jurnal Harmoni, JurnalMultikultural&Multireligius Vol. VIII, Juli – September.
Mufid, Ahmad Syafii, (2009). Faham Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di Indonesia. Jurnal Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. VIII, Juli – September.
------------. (2006). Tangklukan, Abangan dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Nasution, Harun. (1986). Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia.
Nazir, Moh. (1985). Metode Penelitian,Jakarta: Ghalia Indonesia.
Qadir, Zuly. (2013).Deradikalisasi Islam dalam Perspektif Pendidikan Agama, Jurnal Pendidikan Islam, Volume II, Nomor 1, Juni.
Saby, Yusny, (1995). Islam and Social Change: The Role TheUlama In Achenese Society, Temple University: Dissertation.
Shihab, M. Quraish (2007). Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati.
Siegel, James T. 2000. The Rope of God, Ann Arbror: University of Michigan Press.
Sjamsuddin, Nazaruddin. (1999). Revolusi Serambi Mekah: Perjuangan
170
Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, Jakarta: UI Press.
Sri Suyanta, (2008). Dinamika Peran Ulama Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press.
Sulaiman, Isa, (2000). Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Syahriyani, Alfi, (2010). Optimalisasi Budaya Literasi di Kalangan Mahasiswa: Upaya Meretas Komunikasi Global, Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial Humaniora, Vol 1, Desember, 67-78.
Tim Penyusun, (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.
171
MENJADI KRISTEN DAN TETAP MENJADI INDONESIA
Fibry Jati Nugroho Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala, Salatiga
Abstract
The Christians’ blast in 1967 still impacted to present time in Ngaduman Hamlet.
All residents from Ngaduman Hamet are still Christians. The existence of
Ngaduman Hamlet which is multicultural, does not change the Christian belief or
faith that is now embraced by people of Ngaduman Hamlet. Ngaduman villagers
can withstand the factors that causing people to convert other religions such as;
Various social influences, interpersonal influences that oriented in religious
radicalization, and modernization. This shows that Christianity is able to blend
with the preservation of local cultural values. This becomes a special religious
experience for Christians in Ngaduman. The efforts of church leaders in
Ngaduman Hamlet play a great role in making use of local wisdom in maintaining
Christian faith by contextualizing the Gospel into local wisdom. Contextualization
is done by new meaning of existance tradition. Views of life; Manunggaling Gusti
manunggaling kawulo, rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, tepa selira;
Traditions: aprilan, unduh-unduh, puppets, selametan of people died, selametan
baby born, selametan harvest, resik makam, gotong royong gugur gunung, and
sambat-sinambat have contextualized with gospel. As a result, all citizens from
Ngaduman Hamlet embraced Christianity since 1967, until now still embrace
Christianity and still remain as Java Tribe in Indonesia. Being Christian and
remain Indonesia is not something absurd.
Keywords: Local wisdom, Gospel contextualization, Christian faith.
172
Abstrak
Ledakan jumlah penganut Kristen pada tahun 1967 masih berdampak hingga saat
ini di Dusun Ngaduman. Semua warga asal Dusun Ngaduman masih beragama
Kristen. Keberadaan Dusun Ngaduman yang multikultural, tidak mengubah
kepercayaan atau keimanan Kristen yang kini dianut warga Dusun Ngaduman.
Warga Dusun Ngaduman dapat bertahan dari faktor penyebab orang pindah
agama lain seperti; aneka pengaruh sosial, pengaruh pergaulan antar pribadi
yang berorientasi radikalisasi agama, dan modernisasi. Hal ini menunjukkan
bahwa Kekristenan mampu berbaur dengan kelestarian nilai-nilai budaya lokal.
Hal inilah yang menjadi suatu pengalaman religiusitas tersendiri bagi umat kristen
di Ngaduman. Usaha tokoh gereja di dusun Ngaduman sangat berperan dalam
memanfaatkan kearifan lokal dalam mempertahankan keimanan Kristen dengan
melakukan kontekstualisasi Injil ke dalam kearifan lokal setempat. Kontekstualisasi
dilakukan denganpemaknaan baru atas tradisi yang ada. Pandangan hidup;
manunggaling Gusti manunggaling kawulo, rukun agawe santosa, crah agawe
bubrah, tepa selira; tradisi: aprilan, unduh-unduh, wayang, selametan orang
meninggal, selametan bayi lahir, selametan panen, resik makam, gotong royong
gugur gunung, dan sambat-sinambat telah dikontekstualisasi dengan Injil.
Hasilnya, semua warga asal Dusun Ngaduman menganut agama Kristen sejak
tahun 1967 hingga kini tetap memeluk agama Kristen dan masih tetap menjadi
Suku Jawa di Indonesia. Menjadi Kisten dan tetap menjadi Indonesia bukanlah
sesuatu yang absurd.
Kata Kunci: Kearifan lokal, kontekstualisasi Injil, keimanan Kristen.
A. Pendahuluan
Kekristenan yang telah tumbuh sejak awal perjumpaan hingga saat ini
mengalami perkembangan yang luar biasa di Dusun Ngaduman. Hampir seluruh
warga penduduk Dusun Ngaduman memeluk agama Kristen. Hal ini dapat terlihat
jelas dengan melihat data profil di Dusun Ngaduman yang mencantumkan bahwa
dari 268 jiwa yang menjadi warga di Dusun Ngaduman hanya 3 orang yang
memeluk Agama Islam. Menurut kepala Dusun Ngaduman mengatakan bahwa 3
orang tersebut juga sebagai warga pendatang, bukan warga asli, namun anak dari
ketiga orang tersebut, dengan cucu mereka semuanya memeluk agama Kristen.
Jika dilihat dari letak geografis, Dusun Ngaduman adalah masyarakat yang
terletak di Lereng Gunung Merbabu, yang berada di wilayah Kecamatan Getasan,
Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Dusun Ngaduman hidup
berdamping-dampingan dengan dusun-dusun lainnya di daerah tersebut, seperti
desa Batur, dan desa Ngablak, Kabupaten Magelang. Namun, dalam keberadaan
Dusun Ngaduman di tengah-tengah masyarakat yang multikultural, tidak
mengubah kepercayaan atau keimanan yang dianut warga Dusun Ngaduman untuk
menganut kepercayaan yang lain. Menurut Max Heirich salah satu faktor penyebab
orang pindah agama lain adalah faktor sosial: aneka pengaruh sosial, seperti
173
pengaruh pergaulan antar pribadi, bukan saja berorientasi pada agama, tetapi juga
pada bidang profane (keilmuan, kebudayaan) (Puspito, 1983:82). Tetapi pergaulan
dan aktifitas sosial dalam masyarakat Ngaduman ditengah-tengah kebudayaan yang
ada baik dalam masyarakat, maupun dengan masyarakat sekitarnya merupakan
kegiatan yang terjalin dengan erat.
Hal ini merupakan suatu keunikan tersendiri, sebab meskipun budaya yang
ada dalam masyarakat tetap terjaga, misalnya selametan dan saparan yang
merupakan bentuk dari kepercayaan kepada roh leluhur, namun kini dikemas
dengan makna kristiani yaitu sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Hal ini
menunjukkan bahwa teologi Kristen yang disajikan mampu berbaur dengan
kelestarian nilai-nilai budaya lokal dalam sosial kemasyarakatannya. Hal inilah
yang menjadi suatu pengalaman religi tersendiri bagi umat Kristen di Ngaduman.
Shenk berpendapat bahwa “gereja adalah sebuah komunitas yang menikmati
kebhinekaan menakjubkan, namun pada intinya ada keesaan dalam komitmen
bersama kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan” (Shenk, 2001:301). Berangkat dari
realita ini, dusun Ngaduman sangat menarik untuk diteliti lebih dalam berkaitan
dengan bermisi dengan menggunakan kearifan lokal sebagai pintu masuknya.
Dalam kajian ini, akan digunakan pendekatan kualitatif dengan deskriptif analisis
sebagai pisau bedahnya. Pengumpulan datanya menggunakan observasi,
wawancara disertai dengan trianggulasi sebagai alat analisisnya.
Kearifan lokal merupakan istilah yang terdiri dari dua kata yaitu kearifan dan
lokal, menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata kearifan mempunyai pengertian
“kebijaksanaan” (Badudu, 2007:65), sedangkan kata lokal memiliki pengertian
“ruang yang luas di suatu tempat.” Secara umum kearifan lokal adalah gagasan
yang muncul dari kebijaksanaan dalam masyarakat yang berpadu dengan nilai-nilai
kepercayaan terhadap Tuhan sehingga menjadi pedoman hidup masyarakat, hal
tersebut pada umumnya disebut kearifan lokal (Ketut,2017).Dalam disiplin
antropologi dikenal dengan istilah local genius. Local genius merupakan identitas
atau kepribadian budaya daerah potensial yang mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri karena telah teruji
kemampuaannya untuk bertahan sampai sampai sekarang. Istilah ini pertama kali
diperkenalkan oleh H.G Quaritch Wales pada tahun 1968 (Dewi, 2013:67).
Secara substantif, kearifan lokal berorientasi pada (Woga, 2009:173):
a. Keseimbangan dan harmoni manusia, alam dan budaya.
b. Kelestarian dan keragaman alam dan kultur.
c. Konservasi sumber daya alam dan warisan budaya.
d. Penghematan sumber daya yang bernilai ekonomi.
e. Moralitas dan spiritualitas
Pada umumnya keprihatinan terhadap lingkungan hidup, terhadap
keseimbangan antara Ketuhanan, Manusia, dan Alam, serta moralitas, spiritualitas
tercakup dalam nilai agama. Agama merupakan komunitas orang percaya yang
didalamnya terdapat dialog antara satu sama lain untuk menyelamatkan bumi, yang
diancam dengan kepunahan (Santoso, 2009: 30).
174
1. Jenis Kearifan Lokal
Jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan
prosedur termasuk dalam penataan ruang.
a. Tata kelola
Di setiap daerah di Jawa pada umumnya memiliki tata pengelolalaan
yang terdapat dalam masyarakat. Tata kelola merupakan suatu sistem
kemasyarakatan yang mengatur tentang struktur sosial dan keterkaitan antara
kelompok komunitas yang ada (Supsiloani, 2013,12). Tata kelola berkaitan
dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades). Hal ini
menunjukkan adanya pemerintahan desa yang mendasarkan pada tata cara
adat kebiasaan yang tidak tertulis. Adat biasanya merupakan hukum rakyat
dan dipatuhi demi tertibnya pergaulan masyarakat, sedangkan hukum rakyat
itu tidak dibuat, tetapi lahir, tumbuh, dan berkembang dari suatu masyarakat
sederhana yang tercermin pada setiap tingkah laku individu (Saptomo,
2009:26).
Selain itu dalam kearifan lokal juga terdapat tata cara bercocok tanam.
Tata cara bercocok tanam di Jawa pada umumnya menggunakan ketentuan
waktu yang tepat untuk bercocok tanam serta penanggalan tradisional.
Ketentuan waktu biasanya diartikan dengan musim. Penanggalan tradisional
dapat memperkirakan kesesuaian musim untuk berbagai kegiatan pertanian,
seperti Pranoto Mongso (jadwal dan ketentuan waktu bercocok tanam
berdasarkan kalnder Jawa) di masyarakat Jawa (Supsiloani, 2013:10).
b. Sistem Nilai
Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu
komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik
buruk serta benar atau salah (Supsiloani, 2013:10). Tata nilai pada umumnya
dikenal dengan norma-norma yang mengatur kehidupan manusia Jawa dalam
berperilaku. Ada banyak norma-norma yang diturunkan dari generasi ke
generasi berikutnya, sehingga menjadi acuan hidup masyarakat Jawa. Salah
satunya adalah tata nilai tentang nilai-nilai dasar seseorang dalam berbudaya.
Orang sering menganggap bahwa prioritas pribadi mereka memiliki kekuatan
moral, karena penilaian pribadi tersebut dipegang oleh banyak orang menjadi
penilaian sosial, sehingga masyarakat memaksa individu-individu mengikuti
sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat (Mayers, 2008:12).
Seperti juga dengan yang terdapat dalam tata nilai dalam masyarakat,
misalnya dalam kepercayaan kejawen yang melukiskan nilai-nilai kehidupan
manusia yang hidup mawas diri, mengosongkan hawa nafsu, menjalankan
perintah Tuhan dan memiliki sikap, watak budi luhur dalam menjalani hidup
yang mendekatkan diri kepada Tuhan (Endraswara, 2003:81).
175
2. Bentuk-bentuk Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan manifestasi kebudayaan yang terjadi dengan
penguatan-penguatan dalam kehidupannya sekaligus dapat menunjukkan
sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Secara
umum kearifan lokal dapat dikelompokkan menjadi 2 bentuk. bentuk, yaitu:
kearifan lokal yang berwujud dan kearifan lokal yang tidak berwujud
(Supsiloani, 2013:10).
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata seperti benda cagar budaya
yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal(Supsiloani, 2013:10),
contohnya:Kain batik, Rumah adat, Pakaian adat, Gamelan, Wayang. Dalam
aktivitas kepercayaan masyarakat, kearifan lokal yang berwujud antara lain :
Slametan dan Mitos Kepercayaan, Selamatan orang meninggal, Selamatan
Ziarah, Selametan Dukuh (bersih Desa), Mitoni, Gotong royong, sambat-
sinamba, Kerja kolektif, dan Gugur gunung.
Bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud antara lain seperti; peribahasa
Jawa, nyanyian, semboyan yang disampaikan secara verbal dan turun temurun
yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional.
3. Keimanan Kristen
Keimanan adalah kata yang berasal dari kata iman, iman merupakan
kepercayaan (yang berkenaan dengan agama), yaitu keyakinan dan kepercayaan
kepada Allah yang diajarkan dalam agama kristen (Badudu, 2007:65). Dalam
kehidupan penganut kepercayaan Kristen, keimanan merupakan kegiatan
percaya, mempercayakan, dan melakukan tindakan sebagai respon terhadap
Kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus (Groome, 2010:69). Sedangkan
Komunitas atau persekutuan orang-orang beriman dalam Kristus yang
merupakan wadah atau tempat biasa disebut gereja.
Iman dalam kehidupan manusia memiliki arti dan makna yang sangat luas.
Jika kata iman dilihat dari sudut pandang etimologis, dalam bahasa Arab kata
iman berarti percaya, merasa aman, arti ini sejalan dengan perngertian kata
Ibrani Perjanjian Lama, “emuna, he’emin” yang berakar dari akar “’mn” yang
berarti “tetap”. Kata Ibrani memiliki padanannya dalam bahasa Yunani dikenal
kata “psitis” (dari kata pith-ti-s, yang artinya memberikan kepercayaan kepada
seseorang), kata ini merupakan rumpun dari kata “peithomai” yang artinya:
“percaya kepada, mengandalkan seseorang, mempercayakan diri kepada”. Kata
psitis dapat diartikan sebagai kepercayaan.secara terminologis (istilah), kata
iman terdapat dalam sebuah “Sabda Nabi”, yang artinya kesatuan, keselarasan,
dan keserasian antara kata hati dengan ucapan, dan perbuatan. Jadi iman
mempunyai pengertian sebagai sikap hati dan bukan hanya sebagai keyakinan
dalam hati” (Aoshoki, 2004: 63).Sistem keyakinan tersebut berpangkal pada tiga
hal, yakni sola fide, sola gratia dan sola scriptura. Penganut Kristen
menggantungkan imannya pada tiga hal bahwa keselamatan hanya oleh Iman,
didapat dari Anugrah dan Firman Allah (Alkitab). Sistem kepercayaan inilah
176
yang bergantung pada Iman akan Yesus Kristus sebagai Tuhan yang memberi
anugrah keselamatan dan memberi tuntunan melalui Firman Allah yaitu Alkitab.
Kepada hal inilah sistem kepercayaan kristen dikontruksikan.
Kehidupan keimanan orang-orang Kristen yang berada di suatu daerah
atau wilayah mengalami perjumpaan dengan kearifan lokal masyarakat
setempat. Akibatnya hubungan antara keimanan dan kearifan lokal yang ada
merupakan suatu hubungan yang sangat erat. Gagasan yang muncul dari
kebijaksanaan dalam masyarakat yang berpadu dengan nilai-nilai kepercayaan
terhadap Tuhan, sehingga menjadi pedoman hidup masyarakat, nilai-nilai dari
kebudayaan dalam masyarakat tersebut pada umumnya disebut kearifan lokal.
Disatu sisi sebagai orang beriman, dan disisi lain merupakan anggota atau warga
masyarakat yang mempunyai kebudayaan (Singgih, 1997: 65).
4. Sikap Iman Kristen Terhadap Kebudayaan
Gereja yang merupakan wadah, tempat, atau komunitas orang beriman,
pada masa kini menghadapi macam-macam paradigma hidup masyarakat yang
tidak seluruhnya berjalan baik dengan nilai-nilai Injil (Woga, 2009:165). Hal ini
menjadi sebuah pergumulan bagi Gereja dalam menyikapinya. Richard Nieburh
dalam bukunya Christ and Culture membuat formulasi berkaitan dengan sikap
gereja terhadap budaya (Nieburh, 1955: 45-218).
a. Sikap Radikal
Sikap radikal merupakan sikap kekristenan yang bersifat anti dan
menolak budaya. Iman sangat bertentangan dengan budaya. Budaya berasal
dari bawah, dari dunia, bahkan dari setan, sedangkan iman berasal dari atas,
dari Sorga, bahkan dari Tuhan. Sikap ini muncul dengan kerasnya. Mereka
sangat mencela budaya setempat dan menganggapnya sebagai bagian dari
kehidupan lama yang harus ditinggalkan (Darmaputra, 2005:346).
b. Sikap akomodatif.
Sikap yang kedua ini adalah sikap yang berlawanan dengan sikap
pertama. Sikap ini bersikap amat positif terhadap budaya. Disini tidak
terdapat pertentangan diantara iman dan budaya. Nilai-nilai yang menjadi
dambaan masyarakat dinggap sebagai nilai-nilai yang dikejar dalam
penghayatan iman.
c. Sikap sintetik.
“Sikap ini merupakan bagian kedua diatas. Dalam sikap ini baik iman
maupun budaya diterima sebagai kesatuan yang saling mengisi. Saudara-
saudara kita dari Gereja Roma Katolik tradisional biasanya mengambil
sikap ketiga ini. Manusia mempunyai kodratnya sebagai kodratnya sebagai
manusia. Dalam rangka kodratnya ini manusia membangun dan
memperkembangkan budayanya, termasuk adat-istiadatnya. Tetapi,
disamping itu manusia mengenal juga hal yang adi kodrati. Iman membawa
hal yang adi kodrati ini untuk melengkapi dan menyempurnakan apa yang
177
kodrati. Dalam arti tertentu, yang kodrati ini juga melengkapi yang adi
kodrati, dalam arti iman tidak mungkin tanpa wujud yang konkret, baik
berupa lembaga gereja yang kuat maupun masyarakat yang mantap”.
d. Sikap dualistik
“Sikap dualistik merupakan siakap yang diambil oleh gereja-gereja
aliran Lutheran (di Indonesia, misalnya HKBP). Sikap ini juga merupakan
variasi dari sikap kedua, namun kebalikan dari sikap yang ketiga. Di sini
orang mengakui dan hidup dalam dua dunia, seperti binatang amfibi yang
hidup di darat maupun di air. Dunia yang pertama adalah Kerajaan Allah,
dunia yang kedua adalah masyarakat. Orang Kristen adalah warga
masyarakat dan sekaligus warga Kerajaan Allah.
Di antara Kerajaan Allah dan warga masyarakat tidak ada sangkut-
paut apa pun. Nilai-nilai yang berhubungan dengan wilayah-wilayah ini
masing-masing tidak pernah dibayangkan dapat berhubungan satu dengan
yang lain. Hidup spiritual tidak menjadi pedoman bagi hidup material dan
hidup material tidak melengkapi hidup spiritual, tetapi keduanya berjalan
secara otonom dan pararel di dalam kehidupan sehari-hari orang Kristen”.
e. Sikap transformatif
Sikap kelima ini menurut Niebuhr, merupakan sikap yang paling ideal.
Dalam sikap transformatif orang mengakui bahwa budaya telah dicemari oleh
dosa. Namun berbeda dari sikap radikal, hal ini tidak berarti bahwa semua
hal yang ada di dunia ini jahat. Orang beriman harus yakin bahwa Kristus
sudah menang atas dosa dan bahwa Roh Kudus bekerja memperbaharui dan
mentransformasikan budaya dan adat istiadat. Oleh karena itu, kita bisa
menerima budaya dan adat istiadat di dalam keterbukaan iman, sekaligus kita
menyoroti budaya dan adat-istiadat dan mengevaluasinya.
B. Analisis
Menurut H.G Quaritch Wales kearifan lokal merupakan merupakan identitas
atau kepribadian budaya daerah potensial yang mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri karena telah teruji
kemampuaannya untuk bertahan sampai sampai sekarang (Dewi, 2013:68).
Menurut pak Kardi kehidupan orang Jawa mau diganti dengan apa saja tetap orang
Jawa, ilmu-ilmu kejawen tidak bisa lepas, ciri khas Jawanya tidak bisa lepas,
misalnya seperti halnya dengan orang Ngaduman boleh mejadi Kristen dan
menjadi lebih maju daerahnnya baik dalam hal ekonomi, pembangunan, pertanian,
peternakan tetapi ciri khas orang Ngaduman tidak bisa berubah atau masih ada.1
Jadi dapat dikatakan, pengertian kearifan lokal sudah ada kesesuaian.
1Data diambil berdasarkan wawancara dengan Pak Kardi sebagai ketua RW dan tokoh
masyarakat di Dusun Ngaduman, tanggal 29 april 2015, Pukul 20.22 WIB.
178
Menurut I Ketut Gobyah, kearifan lokal adalah perpaduan antara nilai-nilai
suci sabda Tuhan dan berbagai nilai yang ada di mana kearifan lokal itu terbentuk
yang merupakan kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg (tetap).Kekristenan
yang berkembang di Ngaduman dibawah asuhan Gereja Kristen Jawa Tengan
Utara (GKJTU). Gereja ini merupakan salah satu gereja mainstream yang sangat
menghargai budaya dan menerima budaya untuk kemudian diselaraskan dengan
injil. Menurut Victor, sebagai pendeta GKJTU Manunggal Ngaduman secara
logisnya sebenarnya nilai-nilai yang ada dalam kearifan lokal mempunyai banyak
pengajaran tentang kehidupan, misalnya norma-norma yang terdapat dalam
kearifan lokal, seperti jangan mencuri, jangan berzinah, jangan berbohong itu
adalah tidak bagus makanya jangan mencuri. Dalam hal kesopanan, yaitu
bagaimana seseorang yang tinggal dalam masyarakat harus bersikap sopan kepada
warga yang lain.
Norma-norma tersebut merupakan suatu rumus standar mengenai aturan
bagaimana masyarakat menjalani kehidupan dengan baik. Begitu juga dengan
aturan-aturan yang lain yang membawa masyarakat untuk mempunyai kehidupan
sosial yang baik, seperti gotong royong dan tolong menolong.Kearifan lokal yang
berkembang memberikan nilai-nilai yang baik agar warga masyarakat memiliki
rasa kebersamaan, kerukunan, persatuan dan senasib sepenanggungan. Pun
demikian dengan pengajaran kekristenan yang bermaksud memberikanserta
mengajarkan hal-hal untuk kebaikan bersama, yaitu mengajarkan agar setiap
manusia mengasihi orang lain seperti mengasihi sesamanya. Melalui nilai-nilai
yang baik ini, yang menjadi pedoman masyarakat untuk dapat menjaga kehidupan
sehingga keimanan masyarakat dalam keadaan tetap atau ajeg atau tidak pindah
dalam hal keyakinan.2 Jadi dalam hal ini sudah ada kesesuaian dengan kearifan
lokal.
Gereja perlu mengakui kehadiran Kristus dalam perkembangan kebudayaan
Indonesia. Kekayaan dan kreativitas serta keagungan kehidupan dan wawasan
budaya masyarakat yang berada di luar Gereja, seharusnya dipahami sebagai
karunia Allah. Gerejapun bertugas mengkritisi perkembangan budaya Indonesia.
Menurut Victor sebagai pendeta di GKJTU Manunggal Ngaduman, ketika gereja
memahami akan kehadiran Kristus yang menembus semua budaya manusia, maka
dapat dipahami bahwa kehadiran Kristus juga menembus kekayaan budaya Jawa.
Oleh sebab itu, gereja menghadirkan Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan
sebagai kekuatan yang menembus kebudayaan dari kekuatan destruktifnya, yakni
kehidupan mereka yang berasal dari tradisi dan latar belakang budaya yang
berbeda-beda, tetapi dipersatukan ke dalam persekutuan yang benar di antara
mereka dengan Kristus, yaitu gereja mengambil langkah berkontekstualisasi dalam
ranah kearifan lokal guna mengevaluasi bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada di
Dusun Ngaduman agar dapat difungsikan sebagai bentuk pengagungan kepada
2 Data diambil berdasarkan wawancara dengan pak Victor sebagai Gembala GKJTU
Manunggal Ngaduman, tanggal 27 Mei 2017, Pukul 15.54 WIB.
179
Tuhan. Jadi dapat dikatakan ada kesesuian mengenai sikap transformastif dari
Niehbur dengan sikap Gereja di dusun Ngaduman.
Victor menuturkan, kemampuan gereja untuk berkontekstualisasi berupaya
membungkus kearifan lokal dengan Injil, contohnya bentuk kearifan lokal seperti
Aprilan, Unduh-unduh, Manunggaling Gusti manunggaling kawulo, Rukun agawe
santosa, crah agawe bubrah, Tepa slira, Wayang, Selamatan orang meninggal,
Selamatan bayi lahir, Selamatan pasca panen atau panen, Bersih makam. Gereja
memakai kearifan lokal sebagai jembatan untuk menanamkan ajarannya, tanpa
menyuguhkan “baju asing” kepada masyarakat. Metode ini dapat diterima dengan
baik olah masyarakat dusun Ngaduman, sehingga mereka dapat menjadi kristen,
tanpa meninggalkan adat dan budayanya sebagai orang Jawa.
Kardi (sebagai tokoh masyarakat dan juga sebagai guru Injil), perangkat
Dusun dan majelis gereja menuturkan bahwa ada kesepakatan dalam musyawarah
atau rapat Dusun mengenai pembahasan menerapkan nilai-nilai Injil dalam kearifan
lokal di Dusun Ngaduman. Jadi dalam hal meletakkan dasar bagi hukum dan tata
aturan di desapun telah dijembatani dengan memakai tata cara adat dengan muatan
kekristenan di dalamnya. Makna di dalam aturan masyarakat telah dijiwai oleh
nilai-nilai kekristenan, sehingga secara tidak langsung masyarakat setempat dapat
mengikuti tata aturan warga dan juga tata aturan kekristenan.
Iman harus menjadi warna atau nafas kebudayaan, tidak ada budaya Kristen,
yang ada ialah budaya setempat yang bernafaskan atau diwarnai oleh iman Kristen
(Singgih, 1997:61). Begitu juga dengan keimanan Kristen di Dusun Ngaduman
telah menjadi warna atau nafas kebudayaan seperti halnya bentuk-bentuk kearifan
lokal yang dahulu dipersembahkan kepada roh-roh yang dianggap sebagai
penguasa daerah, kini telah mengalami perubahan. Mereka menganggap bahwa
sesajen yang dipersembahkan bukan lagi kepada roh nenek moyang, tetapi kepada
Tuhan Yesus, sebagai wujud ucapan syukurnya kepada Tuhan.
1. Kearifan Lokal dimaknai dalam nilai-nilai Injil
Kearifan lokal di dusun Ngaduman telah berhasil dimaknai berdasarkan
nilai-nilai Injil. Beberapa contoh di dalamnya adalah
a. Prinsip Kehidupan Masyarakat
Manunggaling Gusti manunggaling kawulo
Manunggaling Gusti manunggaling kawulo merupakan pitutur luhur
yang sudah lama ada sebelum kekristenan masuk di Ngaduman. Istilah ini
merupakan peninggalan dari kepercayaan kejawen yang mempunyai
pengertian antara manusia dengan Gusti yang menjadi sesembahan (roh-roh
yang dianggap sebagai penguasa daerah tersebut) itu menjadi satu. Menurut
Kardi, dahulu sebelum mengenal Tuhan, orang mencari yang menjadi
sesembahan itu dengan memberi sesaji di tempat-tempat yang angker atau
keramat, bahkan tidak mengenal Allah atau Tuhan. Namun, setelah menjadi
Kristen pengertian itu mengalami perubahan makna, yang dikenal sekarang
180
dalam istilah Gusti adalah Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat hidupnya. Di
samping itu, terdapat pengertian yang lebih mendalam dalam hal iman
Kristen, bahwa sebetulnya antara Tuhan dan manusia itu tidak jauh, yang
hidup itu bukan saya tapi Tuhan yang hidup dalam hati saya. Jika yang hidup
itu saya maka Tuhan itu tidak dalam hati, maka sebetulnya kita sedang tidak
menyatu dengan Tuhan. Saya bisa bicara, saya bisa berpikir itu bukan karena
saya, karena yang membuat itu adalah Tuhan, dan kita itu harus belajar agar
Tuhan itu tetap hidup dalam hati kita. Makna yang terdapat dalam
manunggaling Gusti tersebut merupakan cerminan dari Injil yang
mengajarkan bahwa “Tinggallah di dalam aku, dan Aku di dalam kamu”
(Yoh 15:4a), dimana ketika seseorang berpegang teguh pada Firman Tuhan
dan melakukannya, maka sebenarnya Allah itu tinggal di dalam dia, yaitu
pikiran Allah dan perkataan Allah yang memimpin kehidupan manusia,
sehingga dapat dikatakan bahwa Allah itu tidak jauh, melainkan hidup di
dalam dia. Pengertian manunggaling kawulo adalah seumpama sapu lidi, jika
sapu lidi itu hanya terdiri dari satu lidi saja maka tidak mempunyai kekuatan
untuk membersihkan. Begitu juga dengan umat, jika umat tidak menjadi satu
maka tidak mempunyai kekuatan dan lemah. Jika satu kampung itu dapat
menjadi satu gereja,namun belum tentu umat dapat menjadi satu. Namun,
jika yang hidup di dalam gereja itu seluruh umat maka manunggaling kawulo
itu terwujud. Melalui pitutur luhurmanunggaling Gusti manunggaling
kawulo yang dimaknai dengan makna yang baru membawa pengertian bahwa
masyarakat itu harus menjadi satu, yaitu menjadi satu dalam hal memeluk
agama Kristen, selain itu dalam hal beribadah, umat juga harus menjadi satu
dalam satu gereja, karena jika umat terbagi menjadi dua atau tiga gereja
dalam beribadah, maka hal tersebut belum dapat dikatakan manunggal.3
Makna manunggaling kawulo tersebut merupakan cerminan dari Injil yang
mengajarkan kepada umat agar senantiasa bersatu, seperti Rasul Paulus
ketika menasihatkan jemaat di Korintus “supaya kamu seia sekata dan jangan
ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu
dan sehati sepikir.” (I Korintus 1:10), hal tersebut dapat dipahami ketika
umat bersatu dalam satu iman dan satu gereja di satu wilayah sebagai tempat
beribadah maka akan meminimalis perbedaan yang berujung pada
perpecahan umat.
Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah
Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah merupakan pitutur luhur
yang memiliki makna penting bagi masyarakat Dusun Ngaduman. Apabila
orang Ngaduman sudah rukun dan ada kekompakan antar sesama warga,
maka Dusun Ngaduman itu akan menjadi santosa. Namun, apabila tidak ada
kerukunan dan tidak ada kekompakan antar masing-masing warga maka
orang lain itu akan masuk dan memecah belah, sehingga tidak santosa. Dari
3Data diambil berdasarkan wawancara dengan Pak Kardi sebagai ketua RW dan tokoh
masyarakat di Dusun Ngaduman, tanggal 29 april 2017, Pukul 19.53 WIB.
181
sudut pandang kepercayaan, seperti yang dikataan dalam kitab Mazmur
133:1-3 rukun agawe santosa merupakan tuntunan dari Tuhan yang
mendatangkan berkat, seperti halnya seorang pemimpin yang memberikan
teladan. Seorang pemimpin tidak hanya memimpin dari belakang, namun
memimpin dari depan sehingga dapat menjadi panutan warganya untuk hidup
dalam kerukunan antar sesama warga sehingga kehidupan warga Ngaduman
menjadi santosa. Contohnya dalam hal mengambil keputusan menentukan
seorang pemimpin gereja, tokoh masyarakat mengajak warganya untuk ikut
andil dalam memikirkan dan mengajak dengan cara memberikan kesempatan
untuk memberikan suara atau pendapatnya, sehingga ketika terjadi
kesepakatan dalam pengambilan keputusan maka kerukunan itu tetap terjaga
dan kehidupan warga menjadi santosa.
Tepa slira
Tepa slira merupakan ungkapan yang melekat di kehidupan masyarakat
Ngaduman. Tepa slira memiliki pengertian seperti mengukur pribadi orang
lain itu seperti mengukur diri sendiri, artinya tidak boleh saling menghakimi.
Jika kita tau apa yang menjadi kekururangan atau kelemahan kita, maka
jangan menganggap salah orang lain dan jangan cepat-cepat menghakimi
orang lain, maka kita harus selalu mengkoreksi diri sendiri.
Dengan menghidupi tepa slira maka kita dapat meyakinkan orang lain
yang ada kesalahan dengan diberi pengertian, sehingga akhirnya orang
tersebut menjadi mengerti, seperti yang diajarkan Rasul Paulus dalam kitab
Injil, sebagaimana “kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu
pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan
yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya
kamu jangan kena pencobaan” (Gal 6: 1). Namun, apabila tepa slira tidak
dihidupi warga maka mereka akan saling mempersalahkan ketika ada
kesalahan dari warga yang lainnya, bahkan juga dapat menyebabkan saling
menjatuhkan pribadi orang yang lain sehingga warga tidak rukun dan tidak
ada kesatuan antar warga yang satu dengan yang lainnya yang berujung pada
perpecahan umat. Dengan menghidupi tepa slira maka kesatuan warga
Ngaduman akan terjaga, begitu juga dengan kesatuan iman dalam memeluk
keyakinan Kristen akan tetap terjaga.4
b. Aprilan
Aprilan adalah acara pesta yang diselenggarakan oleh seluruh
penduduk Ngaduman selama tiga hari berturut-turut. Acara ini biasa
diadakan dengan mengundang saudara-saudara masing-masing warga
Ngaduman yang tinggal diluar wilayah Ngaduman, dan mengundang juga
penduduk tetangga desa untuk memperingati acara ini. Aprilan diadakan di
Dusun Ngaduman setahun sekali setiap bulan April. Dahulu acara seperti ini
4 Data bersumber dari wawancara dengan Pak Kardi sebagai ketua RW dan tokoh
masyarakat di Dusun Ngaduman, tanggal 02 Maret 2017, Pukul 19.27 WIB.
182
diadakan dibulan Sapar (bulan Sapar dalam kalender Jawa) atau dikenal
dengan istilah saparan yang memiliki makna bersih desa, yaitu agar roh-roh
yang sebagai penguasa di daerah tersebut tidak mengamuk, Dusun terbebas
dari mara bahaya, aman,tentram. Namun, kebiasaan adat ini mengalami
perubahan makna ketika Pak Kardi memberikan usul agar warga mengganti
acara Saparan dengan mengadakan acara tersebut di bulan April yaitu untuk
memperingati hari Paskah. Gagasan ini diterima dan disepakati warga dalam
rapat Dusun Ngaduman. Saparan kini telah mengalami perubahan menjadi
Aprilan. Begitu pula dengan maknanya mengalami perubahan. Makna
peringatan Aprilan yang kini diselenggarakan adalah untuk memperingati
hari Paskah (kebangkitan Tuhan Yesus).5
c. Unduh-unduh
Unduh-unduh adalah kebiasaan mengucap syukur dari masyarakat
ketika mengambil hasil panen yaitu dengan memberikan sesaji yang
dipersembahkan pada roh-roh yang dianggap berkuasa di daerah dimana
manusia itu tinggal. Unduh-unduh sudah dilakukan oleh masyarakat
Ngaduman jauh sebelum kekristenan itu masuk di Ngaduman. Namun ketika
kekristenan masuk di Ngaduman Unduh-unduh tetap dilakukan oleh
masyarakat Ngaduman, tetapi dalam pelaksanaanya sudah tidak seperti pada
awalnya, artinya Unduh-unduh mengalami perubahan makna yaitu yang dulu
sebagai ucapan syukur kepada roh-roh penguasa daerah berubah makna
menjadi ucapan syukur yang ditujukan kepada Tuhan.6
Unduh-unduh setelah kekristenan masuk di Ngaduman merupakan
persembahan ucapan syukur berupa hasil bumi, yaitu persembahan dari
segala hasil bumi seperti kentang, jagung, wortel, brokoli, kayu, rebung,
ayam, sapi yang dipersembahkan oleh warga Dusun Ngaduman yang
mempunyai lahan pertanian, namun yang tidak mempunyai tenak atau
pertanian, mereka mencari kayu dihutan dan dibawa ke gereja yang ada di
Dusun Ngaduman yaitu gereja GKJTU Manunggal.7 Unduh-unduh
merupakan aplikasi dari ajaran Alkitab, dimana dalam kitab Imamat 23:10-11
mengajarkan ketika kamu menuai hasilnya, maka kamu harus membawa
seberkashasil pertama dari penuaianmu kepada imam dan imam itu haruslah
mengunjukkan berkas itu di hadapan TUHAN,supaya TUHAN berkenanakan
kamu.
Unduh-unduh diadakan tepat untuk memperingati hari pencurahan Roh
Kudus dibulan Mei. Awal mulanya peringatan hari Unduh-unduh ini
merupakan gagasan dari Pak Kardi dan majelis gereja GKJTU Manuggal
5Data bersumber dari wawancara dengan Pak Kardi sebagai ketua RW dan tokoh masyarakat
di Dusun Ngaduman, tanggal 29 April 2017, Pukul 19.24 WIB. 6Data ini didapat dari wawancara dengan Pak Victor sebagai gembala Gereja GKJTU
Manunggal Ngaduman, tanggal 27 Mei 2017, Pukul 15.54 WIB. 7Data ini diambil dari wawancara dengan Ibu Lasiem sebagai ibu rumah tangga, tanggal 29
april 2017, Pukul 19.24 WIB.
183
Ngaduman, gagasan ini muncul karena dikalangan gereja-gereja GKJTU juga
memperingati hari Unduh-unduh.8 Kemudian usul dari Pak Kardi dan para
majelis di sampaikan di rapat Dusun Ngaduman, kemudian gagasan ini
diterima dan disepakati oleh masyarakat Ngaduman untuk memperingati hari
Unduh-unduh di hari raya pencurahan Roh Kudus (Pentakosta), dengan
memberikan persembahan hasil bumi dari setiap warga seperti kayu, kentang,
wortel, macam-macam sayur-sayuran dari hasil pertanian mereka.9
d. Wayang
Pagelaran wayang adalah pertunjukan drama tradisional. Dalam
pertunjukan wayang pada umumnya yang diperankan adalah manusia,
hewan, raksasa, dewa. Cerita wayang yang dipertunjukkan di Dusun
Ngaduman sangat digemari oleh warga Ngaduman terlebih-lebih para orang
tua. Biasanya petunjukkan wayang di selenggarakan ketika ada warga yang
mempunyai hajat seperti pernikahan, sunatan, atau kadang juga
dipertunjukkan ketika memperingati Aprilan di Dusun Ngaduman. Namun,
pagelaran wayang tidak diselenggarakan sesering kesenian daerah yang lain
seperti campursari dan reog karena biayanya mahal, yaitu berkisar 10 juta
sampai 40 juta untuk mengundang dalang dan timnya.
Cerita wayang yang dipertunjukkan pada umunya cerita-cerita yang
membawa pesan moral, agama, etika dan ilmu pengetahuan yang
diselenggarakan di Dusun Ngaduman. Dalam hal keagamaan pernah juga
diceritakan dalam pertunjukan wayang di Ngaduman mengenai bangsa Israel
yang penduduknya hanya terdiri dari beberapa juta orang saja, tetapi setiap
perang pasti menang, seperti halnya dalam cerita wayang yang lainnya
seperti halnya Pandawa yang selalu dimusuhi oleh Kurawa namun Pandawa
pasti menang.10
Pernah juga beberapa kali di tanggap wayang yang di dalam
pertunjukkannya memainkan tokoh-tokoh Kristen seperti Petrus, Yohanes,
dan murid-murid Yesus yang lainnya yang diperankan sebagai ganti dari
peran wayang pada umumnya seperti Bagong, Semar, Petruk dan Gareng.11
e. Selametan
Selamatan orang meninggal
Selamatan orang meninggal diselenggarakan oleh pihak keluarga yang
ditinggal mati keluarga atau saudaranya. Namun selamatan orang meninggal
ini tidak dimaksudkan agar orang yang telah meninggal memperoleh
8Data ini diambil berdasarkan wawancara dengan pak Victor sebagai Gembala GKJTU
Manunggal Ngaduman, tanggal 27 Mei 2017, Pukul 15.54 WIB. 9Data ini diambil berdasarkan wawancara dengan Pak Kardi sebagai ketua RW dan tokoh
masyarakat di Dusun Ngaduman, tanggal 29 april 2017, Pukul 19.24 WIB. 10Data ini bersumber dari wawancara dengan Pak Kardi sebagai ketua RW dantokoh
masyarakat di Dusun Ngaduman, tanggal 29 april 2017, Pukul 20.00 WIB. 11
Data ini bersumber dari wawancara dengan Pak Suyadi sebagai kepala Dusun di Dusun
Ngaduman, tanggal 8 Mei 2017, Pukul 19.11 WIB.
184
keselamatan, tetapi diselenggarakan dalam bentuk persekutuan kebaktian
penghiburan kepada keluarga yang ditinggal, dipimpin oleh pendeta atau
gembala gereja setempat. Kebaktian penghiburan ini biasanya diadakan 3
hari setelah orang meninggal, 7 hari, 40 hari dari kematian sanak
saudaranya.12
Setelah selesai ibadah penghiburan ini beberapa warga tetap tinggal
menemani keluarga yang berduka untuk memberikan penghiburan kepada
keluarga yang berduka. Para majelis gereja GKJTU Manunggal Ngaduman
juga turut ambil bagian dalam penghiburan ini, yaitu dengan m
emberikan motivasi dan penguatan iman melalui Firman Tuhan dalam
pembicaraan agar keluarga yang berduka beroleh ketabahan dan sukacita.
Ibadah penghiburan ini diselenggarakan karena diyakini bahwa Tuhan yang
penuh dengan belas kasihan akan memberikan kekuatan dan penghiburan
kepada keluarga yang ditinggalkan seperti yang tertulis dalam kitab 2
Korintus 1:3-4, “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang
penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur
kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur
mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan
penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.”
Selamatan bayi lahir
Selamatan bayi lahir dahulu diadakan di Dusun Ngaduman dengan
maksud agar bayi dan orangtua mendapat selamat dan sehat, tetapi kini
diselenggarakan dengan maksud sebagai ucapan syukur kepada Tuhan
dengan menyelenggarakan ibadah ucapan syukur dirumah mereka yang
dipimpin oleh majelis gereja, pendeta atau gembala gereja setempat. Ibadah
ucapan syukur ini membuat keluarga yang melahirkan anak semakin
mengucap syukur akan kebaikan Tuhan yang memberikan keselamatan dan
kesehatan baik kepada anak maupun si ibu yang telah melahirkan. Ucapan
syukur kepada Tuhan tersebut merupakan ucapan syukur yang di dasarkan
pada Firman Tuhan, sebagaimana Alkitab, mengajarkan agar umat senantiasa
mengucap syukur kepada Tuhan dalam segala hal, seperti halnya Lea
mengucap syukur atas kelahiran anaknya dalam kitab Kej. 29: 35
“Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia
berkata: "Sekali ini aku akan bersyukur kepada TUHAN."
Selamatan pasca panen atau panen
Warga dusun Ngaduman melakukan selamatan pasca panen maupun
panen diadakan ketika mereka hendak panen dan setelah selesai panen
tanaman tembakau. Dalam selamatan ini mereka sudah tidak melakukan
selamatan yang seperti dahulu lagi, yaitu dengan memberi sesaji kepada
penguasa atau roh-roh di kebun karena mereka sudah memeluk agama
12
Data ini bersumber dari wawancaradengan Pak Suyadi sebagai kepala Dusun di Dusun
Ngaduman, tanggal 8 Mei 2017,Pukul 19.24 WIB.
185
Kristen. Awal mulanya ketika mereka telah memeluk agama Kristen,
kegiatan selamatan pasca panen dan selamatan panen dilakukan di kebun
dengan memanjatkan doa ucapan syukur kepada Tuhan oleh tiap masing-
masing kelompok tani yang hendak atau telah menuai hasil pertanian
tanaman tembakau mereka. Namun, pada akhirnya mereka mengadakan
selamatan pasca panen dan panen dengan bergabung dari masing-masing
petani tembakau di gereja GKJTU Manunggal Ngaduman dengan ibadah
ucapan syukur atas hasil panen mereka yang dipimpin oleh pendeta Victor
selaku gembala gereja GKJTU Manunggal Ngaduman dengan melibatkan
seluruh warga untuk mendukung para petani tembakau dengan doa ucapan
syukur bersama-sama. Hal ini dilakukan sebagai cerminan Injil, sebagaimana
umat Kristen tidak boleh memohon atau meminta pertolongan, berkat panen
yang melimpah pada roh-roh para leluhur, namun sebaliknya umat Kristen
seharusnya meminta berkat atau hasil panen yang melimpah kepada Tuhan
sebagaimana Menurut Kitab Imamat (23: 15-20), Firman Tuhan mengajarkan
kepada umat Israel agar hidup mereka tidak terlepas dari iman dan ketaatan
mereka kepada TUHAN, termasuk dalam musim menuai atau panen. Agar
pada musim menuai atau panen, umat harus merayakan hari raya buah
bungaran (buah sulung) dari hasil panen, sehingga hasil panen menjadi
persembahan syukur kepada TUHAN yang berkenan, sekaligus sebagai
kesaksian iman mereka bahwa segala sesuatu mereka peroleh dari TUHAN,
oleh TUHAN dan untuk TUHAN.
Hari untuk mengadakan ibadah ucapan syukur panen ini ditentukan
selain hari Minggu. Beberapa petani membawa satu atau dua pohon
tembakau yang dicabut dari ladang dan ditanam disebuah pot, yang kemudian
dibawa ke gereja sebagai simbol akan hasil tani tembakau mereka. Melalui
ibadah ucapan syukur panen bersama di gereja, menurut pak Kardi adalah
membuat warga Dusun Ngaduman semakin mengucap syukur kepada Tuhan
karena tanaman itu Tuhan yang menghidupkan dan Tuhan yang merawat,
serta Tuhan yang memberi hasil. Sedangkan petani hanya bertugas bekerja di
kebun dan merawat hasil panen mereka. Selain itu warga Dusun Ngaduman
semakin kuat dalam menggalang persatuan iman yang diwujudkan dalam doa
karena tidak semua warga yang hadir dalam ibadah ucapan syukur ini adalah
petani tembakau, namun mereka saling mendukung dalam doa.13
f. Gotong-royong
Kerja kolektif
Kerja kolektif gemar dilakukan oleh warga Dusun Ngaduman sebagai
tindakan saling bantu-membantu sesama warga. Hal ini merupakan ciri
kehidupan warga Dusun Ngaduman. Kerja kolektif di Dusun Ngaduman
dilakukan oleh seluruh warga tanpa meminta bayaran sebagai upah. Beberapa
13
Data diambil berdasarkan wawancara dengan Pak Kardi sebagai ketua RW dan tokoh
masyarakat di Dusun Ngaduman, tanggal 02 Maret 2017, Pukul 20.20 WIB.
186
bentuk kerja kolektif yang biasanya dilakukan oleh warga adalah kerja bakti,
yaitu gotong-royong untuk membersihkan jalan, gotong-royong menggali
kubur ketika ada orang meningal, gotong-royong dalam hal
pembangunan/perawatan sarana pengairan Dusun.
Gugur gunung
Gotong royong gugur gunung adalah gotong royong dilakukan oleh
warga Dusun Ngaduman ketika ada kerusakan yang disebabkan oleh bencana
alam seperti tanah longsor. Baik orang tua, muda, laki-laki maupun
perempuan bekerjasama dalam gotong-royong ini,
Sambat-sinambat
Ketika warga hendak membangun rumah namun memiliki keterbatasan
biaya, maka warga tersebut dapat meminta bantuan kepada warga penduduk
Ngaduman yang lain untuk membantu seseorang tersebut dalam mendirikan
rumah tanpa memberikan uang sebagai upah jasa. Begitu juga dengan warga
yang lain ketika hendak mengadakan pesta pernikahan atau sunatan, mereka
juga meminta bantuan kepada warga yang lain untuk membantu
terselenggaranya acara tersebut. Hal ini merupakan kepedulian antar warga
satu dengan yang lain ketika warga yang lain memerlukan bantuan tenaga
maka sesama warga memberikan bantuannya, begitu juga sebaliknya.
Biasanya warga membagi tugas dalam melakukan kegiatan gotong-royong,
yaitu yang pria bekerja menyelesaikan perbaikan kerusakan tanah longsor
dengan sebagian kaum perempuan, sedang sebagian kaum perempuan yang
lain mengerjakan pekerjaan memasak dan menyediakan air sebagai
pemenuhan kebutuhan makan dan minum para warga yang sedang
bergotong-royong.
Kegiatan gotong-royong seperti diatas merupakan bentuk kepedulian
sesama warga terhadap warga yang lain, tolong menolong, kerukunan dan
persatuan untuk saling membantu akan apa yang diperlukan masing-masing
warga Ngaduman. Gotong-royong memiliki makna dalam hal keimanan atau
kepercayaan, dimana ketika warga turut membantu dalam gotong-royong
maka keyakinan yang ada dalam hati adalah bahwa saya juga pasti ditolong
ketika saya memerlukan bantuan orang lain. Gotong-royong memupuk
persatuan warga dalam tolong menolong, sehingga kesatuan iman dalam
melakukan perintah Kristus antar warga terjalin dengan kuat seperti yang
telah diajarkan Rasul Paulus kepada jemaat Galatia agar “bertolong-
tolonganlah kamu menanggung bebanmu!” (Gal 6: 2a).14
C. Konklusi
Usaha gereja di dusun Ngaduman telah berhasil dalam
mengkontekstualisasikan Injil ke dalam kearifan lokal. Kearifan lokal setempat
14
Data ini bersumber dari wawancara dengan Pak Kardi sebagai ketua RW dan tokoh
masyarakat di Dusun Ngaduman, tanggal 06 Mei 2017, Pukul 21.00 WIB.
187
telah berhasil dikemas sedemikian rupa dengan ditransformasi dari sisi
pemaknaannya. Hal ini terbukti bahwa sejak ledakan jumlah penganut Kristen di
Ngaduman pada tahun 1967, penduduk asli Ngaduman hingga kini tetap memeluk
agama Kristen (tidak pindah ke lain Agama), sehingga jumlah jemaat yang ada
dalam gereja tetap atau tidak berkurang karena perpindahan agama. Selain itu,
umat yang ada di Dusun Ngaduman tetap menjalankan ibadah mereka dengan setia.
Keberhasilan gereja di dusun Ngaduman dalam mengkontekstualisasikan Injil ke
dalam kearifan lokal adalah para warga Dusun Ngaduman yang sebagian besar
adalah para petani semakin antusias untuk menjalankan kegiatan selamatan pasca
panen atau panen, Unduh-unduh, Aprilan, karena mereka yakin bahwa melalui doa-
doa yang mereka panjatkan dalam selamatan-selamatan tersebut akan
mendatangkan hasil panen yang baik oleh karena berkat yang dilimpahkan oleh
Tuhan atas hasil pertanian mereka, karena sejak mereka melakukan doa-doa dalam
selamatan-selamatan tersebut, hasil pertanian mereka yang lalu-lalu selalu
mengalami peningkatan. Kearifan lokal telah dipakai sebagai jembatan yang efektif
dalam bermisi di dusun Ngaduman. Di sisi lain, bagi masyarakat non muslim yang
ada di desa Ngaduman, nilai tradisi setempat dapat mengakomodasinya, tetap
sebagai umat agamanya. Bagi kaum muslim, meskipun hanya beberapa orang, nilai
budaya tepa slira dipraktikkan, dan tampak pada sikap masyarakat yang
mengijinkan rumah ibadah dibangun dan dengan gotong royong membangunnya,
untuk dapat dipakai sebagai sarana ibadah bagi masyarakat muslim setempat,
maupun warga desa lain. Dengan kearifan lokal yang ada, masyarakat dapat
beragama dan hidup berdampingan dengan warga yang lain, meskipun beda agama
dan kepercayannya.
Perjuangan dalam mengkontekstualisasikan Injil ke dalam kearifan lokal
adalah perjuangan yang penuh dengan inspirasi, dan variasi dalam
mengaplikasikan Injil ke dalam kearifan lokal, yang membuahkan hasil yaitu
mempertahankan keimanan masyarakat Ngaduman dalam keadaan tetap atau ajeg
atau tidak pindah agama/keyakinan, sehingga mereka bisa tetap menjadi Kristen
tanpa mengubah identitas Jawanya. Sebaliknya penulis tidak setuju dengan sikap
gereja di Tanah Air yang telah kehilangan warna khas kebudayaan daerahnya,
karena pada umumnya gereja malah mencabut akar budaya-budaya setempat
dimana gereja itu berdiri dengan menanamkan budaya-budaya asing. Budaya
setempat dapat ditransformasi ke dalam nilai-nilai Injil, karena di nilai luhur yang
ada di dalam budaya setempat selaras dengan nilai kekristenan di dalam injil.
Masyarakat setempat sangat menerima transformasi tersebut, karena nilai luhurnya
dihargai oleh agama dan semakin jelas dalam pemaknaannya akan tradisi dan
budayanya. Mereka tetap dapat beragama, dan tetap dapat menjaga keluhuran nilai
budayanya.
Namun dalam hal bentuk bangunan gereja, penulis tidak setuju dengan
bentuk bangunan gedung gereja, karena bentuk bangunan gereja di Dusun
Ngaduman merupakan bentuk bangunan budaya asing, sebetulnya di daerah Jawa
memiliki bentuk bangunan tradisional Jawa yang khas yaitu pendopo. Seharusnya
bentuk bangunan gereja yang digunakan adalah berupa pendopo yang terdiri dari 3
188
ruangan (Komandoko, 2010:148). Ruangan pertamayaitu ruangan untuk menerima
tamu, melakukan upacara adat, dan juga pertunjukan kesenian daerah yang
seharusnya dapat digunakan sebagai tempat beribadah umat. Ruangan yang kedua
adalah Pringitan, yakni ruangan untuk pagelaran wayang kulit, yang seharusnya
dapat digunakan sebagai ruangan serba guna, seperti jika ada acara pernikahan,
seminar, rapat. Ruangan yang ketiga adalah dalem, yaitu ruangan tempat
singgasana Raja dalam istana, yang seharusnya dapat digunakan sebagai ruangan
pastori. Jadi melalui hal tersebut kekayaan budaya Jawa akan tetap terjaga dan
lestari meski menjadi Kristen tetapi masih tetap memiliki identitas Jawa yang khas.
Orang tetap menjadi kristen tanpa meninggalkan adat dan budayanya. Warga
setempat tetap dapat menjadi Kristen dan tetap menjadi orang Indonesia secara
utuh.
Referensi
_____2007.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.
_____Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P & K.
_____2001. Wiwara Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa. Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama.
_____2002. Alkitab. Jakarta, Lembaga Alkitab Indonesia.
Adeney, Benard T. 2000.Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta, Kanisius
Akkeren, Philip Van. 1995. Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian Gereja Pribumi
Di Jawa Timur. Jakarta: Gunung Mulia.
Anwar, Yesmil dan Adang. 2013. Sosiologi Untuk Universitas. Bandung, Refika
Aditama.
Aoshoki, Antonius 2004. Character Building III-Relasi Dengan Tuhan. Jakarta,
Elex Media Komputindo.
Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada.
Darmaputera, Eka. 2005. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-teks
Terpilih Eka Darmaputera. Jakarta, Gunung Mulia.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan:
Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta, Pustaka Widyatama.
Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta, Narasi.
Groome, Thomas H. 2010.Christian Religius – Pendidikan Agama Kristen:
Berbagi Cerita dan Visi Kita. Jakarta, Gunung Mulia.
Hadiwijaya. 2010. Tokoh-tokoh Kejawen. Yogyakarta, Eule Book.
189
Hariandja, Marihot Tua Efendi. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta,
Grasindo.
Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta, Kanisius.
Ihromi, T.O. 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta, Yayasan Obor.
Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta, Balai Pustaka.
Komandoko, Gamal. 2010. Ensiklopedia Pelajar Umum: Buku Serba Tahu
Tentang Pengetahuan Umum Indonesia dan Dunia. Yogyakarta, Pustaka
Widyatama.
Kristiyanto, A. Eddy. 2010. Spiritualitas Sosial: Suatun Kajian Kontekstual.
Yogyakarta, Kanisius.
Kusuma, Surya. 2010. Okultisme: Antara Budaya vs Iman Kristen. Yogyakarta,
ANDI.
Latuihamallo, P. D. 2002. Berakar di Dalam Dia & Dibangun di Atas Dia. Jakarta,
BPK Gunung Mulia.
Lingenfelter, Sherwood G dan Mayers, Marvin K. 2008. Menggeluti Misi Lintas-
Budaya: Meniru Kristus Mengatasi Perbedaan. Yogyakarta, Yayasan
Komunikasi Bina Kasih.
Mahmud. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung, Pustaka Setia.
Mardiatmadja, B. S. 1992. Iman & Ilmu: Refleksi Iman Atas Masalah-masalah
Aktual. Yogyakarta, Kanisius.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Remaja Rosda
Karya.
Mulder, Niels. 2000. Individu, Masyarakat, dan Sejarah. Yogyakarta, Kanisius.
Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta, Sinar Harapan.
Munandar Soelaeman, M. 2008. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung, PT Refika Aditama.
Nasution. 2012. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta, PT Bumi Aksara.
Nurahmartiyanti, Sufty. 2010. Pernak-pernik Pemanis Rumah. Bogor, Swadaya.
Peursen, C. A. Van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta, Kanisius.
Prastowo, Andi. 2010. Menguasai Tekhnik-Tekhnik Koleksi Data Kualitatif.
Yogyakarta, DIVA pers.
Rudito, Bambang dan Famiola, Melia. 2013. Social Mapping: Metode Pemetaan
Sosial Teknik Memahami Suatu Masyarakat Atau Komuniti. Bandung,
Rekayasa Sains.
190
Santosa, Iman Budhi. 2005. Spiritualisme Jawa: Sejarah, Laku, dan Intisari
Ajaran. Yogyakarta, Memayu Publishing.
Saptomo, Ade. 2010. Hukum dan Kearifan Lokal: Revitalisasi Hukum Adat
Nusantara. Jakarta, Cikal Sakti.
Shenk, David. W. 2001. Illah-Illah Global – Menggali Peran Agama-Agama
Dalam Masyarakat Modern. Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Singgih, Emanuel Gerit. 1997. Iman dan Politik Dalam Era Reformasi di
Indonesia. Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Singgih, Emanuel Gerrit. 2000. Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran
mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Yogyakarta, Kanisius.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung,
Alfabeta.
Sujamto. 1992. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Semarang,
Dahara Prize.
Sumaryono, E. 2002. Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas. Yogyakarta, Kanisius.
Sutiyono. 2013. Poros-poros Kebudayaan Jawa. Yogyakarta, Graha Ilmu.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta,
Kanisius.
Tanglidintin, Philips. 2008. Pembinaan Generasi Muda. Yogyakarta, Kanisius.
Victor, Sadherek. 2013. Tata Panembah Penahbisan Pendeta.. GKJTU: Jemaat
Manunggal Ngaduman.
Wangerin, Walter. 2009. Paulus si Rabi Yahudi. Yogyakarta, Kanisius.
Woga, Edmund. 2009. Misi, Misiologi, dan Evangelisasi di Indonesia. Yogyakarta,
Kanisius.
JURNAL
Supsiloani, 2013. Dukungan Kearifan Lokal dalam Memicu Perkembangan Kota.
JUPIIS VOLUME 5 No. 12.
Citra Smara Dewi, 2013. Representasi Kearifan Lokal Pada Lukisan Borobudur
dan Bedaya Ketawang Karya Srihadi Soedarsono. Jurnal Ilmiah Widya.
Volume 1 No. 1 Mei-Juni 2013: 67-68.
Agus Santoso, 2009. Teologi Menanggapi Krisis Ekologi. Jurnal Abdiel-The
Crying Earth, Ungaran, Sekolah Tinggi Teologi Abdiel, Vol 2, 30.
Nanik Herawati, 2012. Kearifan Lokal Budaya Jawa. Magistra No. 79 Th. XXXIV
Maret 2012: 65.
Kejawen: 2012. Jurnal Kebudayaan Jawa No. 2, Vol 1 Agustus: 104.
191
TRADISI ZIARAH DAN IDENTITAS NASIONALISME
MASYARAKAT KEBUMEN
Fikria Najitama Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen
Abstract
Pilgrimage is an important tradition for the people of kebumen. The pilgrim
tradition in Kebumen is not only a form of religiosity but has a strong relationship
with the affirmation of the spirit of nationalism. This assumption is above the
practice of pilgrimage that always connects with the identity of history and
nationality. In the pilgrimage tradition of the santris in Kebumen, the elements of
sending prayers to the ancestors always linked with the saints, religious leaders,
and national figures. It is similar to the prijaji pilgrimage held by the government
when commemorating the anniversary of Kebumen on January 1, Heroes Day,
Independence Day, and certain days that always bring the element of nationalism.
The song "Gugur Bunga" and the song "Padamu Negeri" are sung by pilgrims
accompanied by ceremonies and prayers. Similarly, in the abangan pilgrim
tradition that uses local attributes as well as prayers with strong local language
with national identity. The author concludes that the pilgrimage tradition in
Kebumen is an affirmation of the spirit of local religiosity, local culture, and
national identity.
Keywords: Pilgrimage, Nationalism, Kebumen, Tombs
192
Abstrak
Ziarah merupakan tradisi penting bagi masyarakat Kebumen. Tradisi ziarah di
Kebumen tidak hanya wujud dari religiusitas namun memiliki relasi kuat dengan
penegasan semangat nasionalisme. Asumsi ini di atas pada praktik ziarah yang
senantiasa mengaitkan dengan identitas sejarah dan kebangsaan. Dalam tradisi
ziarah kaum santri di Kebumen, unsur mengirim doa kepada para leluhur
senantiasa mengaitkan dengan para wali, tokoh agama, dan tokoh bangsa. Sama
dengan ziarah priyayi yang dilaksanakan oleh pemerintah saat memperingati Hari
Jadi Kebumen tanggal 1 Januari, Hari Pahlawan, Hari Kemerdekaan, dan hari
tertentu yang senantiasa membawa unsur nasionalisme. Lagu "Gugur Bunga" dan
lagu "Padamu Negeri" dinyanyikan oleh para peziarah dengan disertai upacara
dan doa-doa. Demikian juga pada tradisi ziarah abangan yang menggunakan
atribut lokal serta doa dengan bahasa lokal yang kuat dengan identitas
kebangsaan. Penulis mengambil kesimpulan bahwa tradisi ziarah di Kebumen
merupakan penegasan terhadap spirit keberagamaan lokal, budaya lokal, serta
identitas kebangsaan.
Kata Kunci: Ziarah, Nasionalisme, Kebumen, Makam
A. Pendahuluan
Ziarah merupakan salah satu tradisi penting dalam masyarakat yang dijumpai
di berbagai daerah di Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, ritus ziarah juga
dilakukan oleh masyarakat diberbagai negara muslim.1 Aktivitas ini berlangsung
pada masyarakat pedesaan maupun perkotaan dan melibatkan pelaku dari berbagai
tingkat kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan. Komplesitas dan keunikan
tradisi ziarah kemudian membuat banyak akademisi berusaha melakukan penelitian
dan kajian. Mark R. Woodward misalnya, dalam bukunya Islam Jawa, Kesalehan
Normatif Versus Kebatinan2 mencatat beberapa perbedaan dalam tradisi ziarah
kubur di makam keluarga Keraton Yogyakarta dan tradisi ziarah pada masyarakat
Jawa umumnya yang berlaku. Kemudian Clifford Geertz dalam karyanya Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa juga menyinggung ziarah dalam tradisi
1 Buku ini mengupas makam-makam keramat wali Islam di dunia yang paling ramai
dikunjungi: Timur Tengah (makam Syekh Abdul Qadir al-Jailany, Bagdad), Mesir (makan Sayyid
Badawi di Tanta), Sudan Timur Laut, kawasan Maghribi (Aljazair, Maroko, Tunisia, Makam Abu
Madyan), Afrika Barat (pusat tarekat Murudiyah), Afrika Timur, Iran (makam Ali bin Mahziar di
Ahwaz), India (makam Bibi Kamali, wali perempuan di Kako), Pakistan (makam Glora Syarif);
Bangladesh (makam Pir Atroshi), Indonesia (makam Sunan Gunung Jati, Wali Songo, dan makam
Kiai Telingsing), Turki dan Asia Tengah (makam Haji Bektash di Anatonia Tengah dan makam
Baha’uddin Naqsabandy di Bukhara, Uzbekistan), Balkan (makam Ajvatovica), dan Tiongkok (situs Da-Gongbei, makam Qi Jingyi atau Ch’i Ching’i atau Hilaluddin). Lihat, Henri Chambert-Loir dan
Claude Guillot (ed.), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, terj. Jean Coteau, dkk, (Jakarta: Serambi,
2007). 2 Mark R.Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terj. Hairus
Salim HS, (Yogyakarta: LkiS), 2008.
193
masyarakat Mojokuto.3 Demikian juga dengan Nur Syam yang menelaah terkait
dengan makam ketika meneliti persoalan Islam pesisir. Menurutnya, makam yang
tidak hanya dimaksudkan sebagai tempat untuk menyimpan mayat tetapi juga
tempat untuk berkumpul, berdoa dan mencari berkah. Nur Syam menyebut
beberapa makam di Pesisir Utara Jawa Timur yang dinilai sebagai tempat keramat,
antara lain komplek pemakaman Sunan Ampel di Surabaya, Makam Putri Suwari
di Leran, makam Malik Ibrahim dan Giri di Gresik, Sunan Drajat di Paciran dan
Sunan Bonang di Tuban.4 Selain itu terdapat artikel menarik tentang Ziarah yang
ditulis oleh Jamhari yang berjudul The Meaning Intepreted: The Concept of
Barakah in Ziarah.Artikel ini mengungkap bahwa barakah merupakan elemen
orientasi penting dalam ritual ziarah. Menarik mencermati persoalan barakah yang
dalam konsepsi Jamhari merupakan ‘basis ideologi’ untuk menjelaskan mengenai
persoalan ziarah.5 Penelitian tersebut menggambarkan betapa tradisi ziarah
merupakan aspek penting dalam masyakat Indonesia.
Secara sederhana, ziarah merupakan aktifitas mengunjungi tempat yang oleh
pandangan umum masyarakat (peziarah) biasanya diyakini mengandung unsur-
unsur sakral, keramat, dan suci.6 Sedangkan obyek paling umum yang dijadikan
tujuan adalah wali dan tokoh-tokoh masyarakat. Beberapa ritus7 yang dilakukan
saat ziarah biasanya berupa membaca tahlil, al-fatihah, menabur bunga, dan
membawa sesaji. Ritus tersebut umum dilakukan oleh peziarah dihampir seluruh
makam yang dianggap keramat.8 Dari gambaran tersebut, ziarah dapat
didefinisikan sebagai aktifitas mengunjungi makam atau tempat yang dipandang
keramat pada waktu tertentu dan dengan ritus tertentu.
Kebumen sebagai daerah Jawa yang secara geografis berada di Pesisir
Selatan, sangat dekat dengan tradisi ziarah. Bagi masyarakat Kebumen, ziarah
merupakan tradisi tidak terpisahkan dari religiusitas. Bahkan bagi sebagian
masyarakat, ziarah seperti kewajiban yang harus dilakukan pada waktu-waktu
tertentu. Dalam kenyataannya, aktivitas ziarah di Kebumen berlangsung setiap
waktu. Meskipun demikian, terdapat waktu-waktu tertentu saat jumlah peziarah
sangat banyak. Di kalangan umat Islam aktifitas ini menunjukan intensitas yang
sangat tinggi pada saat bulan Ruwah serta waktu malam Jum’at. Dalam masyarakat
kebumen, Bulan Ruwah merupakan bulan arwah (ruh) dimana masyarakat
3Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1981), hlm. 97. 4 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 140. 5 Jamhari, “The Meaning Intepreted: The Concept of Barakah in Ziarah” dalam Studia
Islamika vol.8, No. 1, 2001, hlm. 121. 6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), hlm. 1018. 7 Menurut Turner, ritus adalah “….prescribed formal behavior for occasions not given
over to technological routine, having reference to beliefs in mystical beings or power”. Lihat,Irwan
Abdullah, Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa, (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional, 2002), hlm. 9. 8 Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terj. Hairus
Salim HS, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 265.
194
berbondong-bondong datang ke makam untuk mengirim doa untuk arwah sesepuh
dan wali. Sedangkan malam Jum’at dipandang sebagai hari penting dalam ritus
masyarakat untuk mengirim doa kepada para leluhur. Intinya, pada waktu tersebut
banyak peziarah mendatangi makam leluhur mereka yang telah meninggal dunia.
Ziarah semacam ini biasanya dimaksudkan untuk mengenang dan mendoakan
mereka yang diziarahi makamnya.
Selain mendatangi makam leluhur, masyarakat Kebumen sering mendatangi
makam keramat para wali dan tokoh agama yang ada. Terdapat banyak tempat
makam keramat yang dijadikan tujuan ziarah di Kebumen. Menurut Woodward,
Kramat biasanya merupakan suatu makam suci atau tempat keramat lainnya
dimana wali bisa menjadi tempat memohon dengan khusyuk.9 Di sini nampak titik
sentral dari sebuah tempat keramat adalah posisi wali yang mempunyai kekuasaan
untuk memberi barakah dan membantu dalam persoalan keduniaan.
Penting dicatat, di Kebumen terdapat puluhan makam keramat yang saat ini
masuk dalam situs budaya dan menjadi favorit masyarakat dalam berziarah.
Makam tersebut antara lain: Makam Syeh Baribin, Makam Syeh Abdul Awal,
Makam Syeh Baribin, Makam Mbah Lancing, Makam Syeh Yusuf, Makam Lemah
Lanang, dan sebagainya. Selain itu, terdapat makam tokoh pejabat atau
pemerintahan yang juga menjadi tujuan dalam ziarah seperti Makam Tumenggung
Kolopaking, Makam Bodronolo, Makam Arumbinang dan Taman Makam
Pahlawan. Semua makam tersebut dikunjungi oleh para peziarah dengan berbagai
motif dan karakter.
Dalam konteks saat ini, penulis memandang bahwa tradisi ziarah mempunyai
relasi kuat dengan penegasan spirit nasionalisme. Asumsi ini didasarkan pada
kenyataan praktik ziarah yang senantiasa mengaitkan dengan identitas sejarah dan
kebangsaan. Dalam praktik ziarah kaum santri misalnya, senantiasa terdapat unsur
penegasan dalam doa terhadap leluhur bangsa. Demikian juga dalam kalangan
ziarah pahlawan, juga terdapat upacara yang berisi doa, mengheningkan cipta,
bahkan menyanyikan lagu Padamu Negeri yang memberi gambaran tentang
nasionalisme.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka menarik untuk menelisik aktifitas
ziarah masyarakat Kebumen dengan dihubungkan dengan identitas nasionalisme
dalam konteks kekinian. Maka penelitian ini akan berusaha memahami tradisi
ziarah yang dilakukan oleh masyarakat Kebumen yang dilakukan pada berbagai
obyek di Kebumen. Fokus masalah yang akan diteliti adalah mengapa tradisi ziarah
masih terus berlangsung di Kebumen serta hubungannya dengan penguatan spirit
nasionalisme.
B. Ziarah Sebagai Budaya
Setiap kebudayaan yang dimiliki manusia pada hakekatnya terdiri dari unsur-
unsur kebudayaan universal. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat
9Ibid., hlm. 258.
195
bahwa setiap kebudayaan yang dimiliki oleh manusia itu mempunyai tujuh unsur-
unsur kebudayaan yang bersifat universal, unsur kebudayaan tersebut antara lain:
(1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup
dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7)
kesenian.10
Atas dasar pernyataan Koentjaraningrat tersebut, jelaslah bahwa suatu
kebudayaan merupakan cerminan hidup dari suatu masyarakat sesuai dengan
lingkungan tempat masyarakat tersebut tinggal.
Sistem religi merupakan suatu unsur kebudayaan universal yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat. Menurut Koentjaraningrat, konsep religi dibagi
menjadi lima komponen yang memiliki peranan sendiri-sendiri dan kelimanya
memiliki kaitan yang sangat erat. Kelima komponen ini terdiri dari emosi
keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan ritus dan
upacara, dan umat agama.11
Emosi keagamaan merupakan komponen yang membuat manusia
mempunyai sikap serba religi, dan merupakan suatu yang getaran yang
menggerakan jiwa manusia. Sebagai misal adalah sikap kagum dan terpesona
dalam hal gaib dan keramat. Initinya, emosi keagamaan merupakan sesuatu yang
tidak dapat dijelaskan dengan akal manusia karena berada jauh diluar
jangkauannya. Adapun sistem keyakinan berwujud pikiran dan gagasan manusia
mengenai konsepsi pada hal yang bersifat gaib. Selain itu sistem keyakinan juga
menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran susila, dan ajaran
doktrin lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. Kemudian sistem ritus dan
upacara dalam sebuah religi berwujud aktifitas dan tindakan manusia dalam
melaksanakan sistem keyakinan dan merupakan usahanya untuk berkomunikasi
dengan hal yang bersifat gaib. Dalam menjalankan ritus dan upacara, biasanya
manusia menggunakan bermacam sarana dan peralatan. Dengan demikian,
peralatan ritus merupakan komponen alat yang digunakan oleh manusia dalam
aktifitas ritus. Sedangkan komponen umat adalah kesatuan sosial yang menganut
sistem keyakinan dan yang melakukan ritus serta upacara.12
Berbicara mengenai wujud kebudayaan, Koentjaraningrat membedakan
wujud kebudayaan menjadi tiga, yaitu: Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan
sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-
benda hasil karya manusia.13
Ziarah secara sederhana merupakan aktifitas mengunjungi tempat keramat.
Kebudayaan ini muncul dikarenakan adanya anggapan bahwa di tempat keramat
10 Koentjaraningrat,Ritus Peralihan di Indonesia, (Jakarta: Penerbitan Nasional Balai
Pustaka, 1985), hlm. 203. 11Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UIP, 2009), hlm. 82. 12Ibid., hlm. 80-82. 13
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1987),
hlm. 5.
196
bersemayam roh tokoh atau leluhur. Tempat keramat yang didukung dengan
adanya tokoh yang dimitoskan, umumnya menjadi tempat tujuan ziarah bagi
masyarakat. Tempat keramat merupakan wujud kebudayaan sebagai benda hasil
karya manusia. Dengan pelaksanaan ziarah, wujud gagasan ide dan wujud gagasan
perilaku terejawantahkan secara utuh.
Bagi masyarakat Kebumen, ziarah merupakan tindakan yang sangat penting,
khususnya ziarah kepada leluhur dan nenek moyangnya. Tindakan ziarah
dilaksanakan oleh seluruh struktur masyarakat Kebumen, terlepas dia seorang –
meminjam kategori Geertz- abangan, priyayi ataupun santri.14
Walaupun dalam
pelaksanaannya ketiga varian tersebut mempunyai motivasi yang berbeda, namun
hal tersebut mengindikasikan pentingnya ziarah dalam kultur masyarakat
Kebumen.
Menurut Nur Syam, dalam tradisi ziarah, pemakaian istilah makam dan
kuburan sering dibedakan. Kuburan sering dikaitkan dengan tempat menyimpan
jenazah orang biasa. Sementara istilah makam, dimaksudkan dengan tempat
menyimpan jenazah orang wali, orang suci atau tokoh masyarakat.15
Menarik
mencermati temuan Nur Syam, akan tetapi dalam konstruksi masyarakat Kebumen,
makam dan kuburan menjadi istilah yang mempunyai kesamaan arti.
Hughes mencatat bahwa ritual umum yang dilakukan dalam ziarah di
makam-makam adalah membaca al-fatihah (yang biasanya dipimpin oleh seorang
ahli), membakar kemenyan, sesajen makanan, dan daun bunga.16
Gambaran
Hughes mengenai ritual umum memang tidak salah, karena dalam beberapa ritus
ziarah dibeberapa kawasan masih terdapat unsur-unsur tersebut. Akan tetapi bila
dipakai dalam melihat ritual ziarah di Kebumen, maka membaca al-fatihah dan
do’a-do’a yang begitu lazim nampak. Adapun unsur ritual membakar kemenyan,
sesajen makanan, dan daun bunga tidak begitu marak akhir-akhir ini. Bahkan unsur
tersebut cenderung ditinggalkan dan hanya dilakukan pada beberapa makam di
Kebumen.
C. Kebumen sebagai Kota Ziarah
Posisi Kabupaten Kebumen yang terletak pada bagian selatan Propinsi Jawa
Tengah. Secara geografis, Kebumen berbatasa sebelah Barat dengan Kabupaten
Cilacap dan Banyumas, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Banjarnegara dan Wonosobo, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten
Purworejo dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.
Penduduk di Kabupaten Kebumen umumnya berprofesi sebagai Pedagang,
Buruh, Ibu Rumah Tangga, Wiraswasta dan PNS. Jenjang pendidikan masyarakat
Kebumen sebagian besar tamatan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas. Penduduk Kabupaten Kebumen 90% berasal dari Suku Jawa, 6%
14 Lihat, Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1981. 15
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 139. 16 Mark R. Woodward, Islam Jawa…, hlm. 265.
197
berasal dari etnis Tionghoa dan 4% dari etnis lainnya. Sedangkan bahasa yang
digunakan oleh penduduk di wilayah ini umumnya menggunakan Bahasa Jawa
Dialek Ngapak. Secara garis besar penduduk di Kecamatan Kebumen terdiri dari
berbagai lintas agama dengan komposisi penganut Islam 80%, Konghucu 5%,
Protestan 5%, Katolik 3%, serta penganut Budha 2%.17
Ziarah dalam masyarakat Kebumen nampak mempunyai posisi yang sangat
signifikan. Kenyataan ini dapat dilihat dari seringnya mereka melakukan ziarah.
Dalam satu putaran tahun, terdapat kalender yang dijadikan waktu penting untuk
melakukan ziarah. Muharram, Ruwah, dan Sy’aban merupakan waktu yang
dijadikan kalender penting dalam melakukan ziarah. Pada bulan tersebut
masyarakat Kebumen melakukan ziarah diberbagai tempat di Kebumen, bahkan
seringkali melakukan ziarah sampai ke berbagai kota lainnya.
Di Kebumen terdapat banyak makam tokoh yang menjadi tujuan ziarah.
Makam-makam tersebut dijadikan tempat ziarah sesuai dengan pemahaman
kelompok masyarakat tertentu. Bila mengakomodasi pembagian kategori Abangan,
Santri dan Priyayi ala Geertz, makam yang menjadi tempat ziarah di Kebumen
juga dapat dimasukan. Kelompok Santri mempunyai makam tujuan pelaksanaan
ziarah yang berbeda dengan kelompok Abangan dan Priyayi. Demikian juga
kelompok Abangan dan Priyayi yang tentunya mempunyai makam tempat
kunjungan tersendiri.
Makam tempat ziarah kelompok Santri di Kebumen antara lain Makam
Syekh Anom Sidakarsa, Makam Syekh Abdul Awwal, Makam Mbah Lancing,
Makam Syeh Baribin, Makam Mbah Nurchamid Wonoyoso dan berbagai tempat
lainnya. Adapun makam tempat ziarah kelompok priyayi antara lain adalah Makam
Adipati Kolopaking, Makam Bodronolo, taman makam pahlawan dan sebagainya.
Sedangkan makam tempat ziarah kelompok Abangan seperti Makam Dewi
Nawangwulan dan Mbah Watupecah.
Terdapat beberapa argumen yang disampaikan terkait dengan kegiatan ziarah
pada makam-makam tersebut. Umumnya mereka melakukan ziarah di Kebumen
dengan mempunyai motif berkah (tabarukan). Motif ini banyak disampaikan oleh
para kalangan, khususnya santri. Bagi mereka, orang suci (wali) meskipun sudah
meninggal masih bisa dijadikan tempat untuk meminta berkah. Meskipun berkah
menjadi motif yang umum, namun juga terdapat beberapa motif lainnya seperti
meminta sesuatu, seremonial, wisata dan sebagainya.18
D. Pola dan Waktu Ziarah Makam di Kebumen
Menurut Frederick M. Denny, ruang dan waktu merupakan kategori universal
dan banyak cara yang digunakan orang beragama untuk menjelaskan dan
17 Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2014. 18Fikria Najitama, “Makam Syekh Anom Sidakarsa dan Perubahan Ekomoni: Studi Atas
Masyarakat Grogolpenatus Kebumen” dalam Proceeding International Conference on Islamic
Economics Studies (Surakarta: IAIN Surakarta, 2016), hlm. 585.
198
menghubungkan dengannya.19
Pendapat ini cukup signifikan dalam menjelaskan
bagaimana ritus beragama masyarakat karena semua aktifitas ritus tidak lepas dari
adanya kepercayaan mengenai sacred places dan sacred times. Ziarah sebagai
bagian dari ritus keagamaan juga memiliki ruang dan waktu tertentu yang menjadi
simbolisasi.
Ziarah adalah aktifitas mengunjungi makam atau tempat yang diyakini
mengandung unsur-unsur sakral dan keramat pada waktu dan tempat tertentu. Dari
pendapat ini dapat dipahami ziarah merupakan kegiatan mengunjungi sacred
places, yakni makam. Istilah makam dalam bahasa Indonesia dimaksudkan sebagai
tempat peristirahatan terakhir dari manusia setelah meninggal dunia. Menurut Nur
Syam, dalam tradisi ziarah, pemakaian istilah makam dan kuburan sering
dibedakan. Kuburan sering dikaitkan dengan tempat menyimpan jenazah orang
biasa. Sementara istilah makam, dimaksudkan dengan tempat menyimpan jenazah
orang wali, orang suci atau tokoh masyarakat.20
Aktifitas ziarah biasanya diawali dengan peziarah mengucapakan salam
kepada ahli kubur. Salam biasanya diucapkan sebelum masuk ke area makam
ataupun sebelum melakukan ritual disisi makam yang dituju. Bila peziarah adalah
rombongan yang terdiri dari banyak orang, maka ‘imam’ (kyai, kepala keluarga,
tokoh masyarakat, atau seseorang yang dipilih oleh kelompok ziarah) yang
kemudian memandu dalam salam kepada para ahli kubur. Setelah membaca salam,
kemudian imam memimpin dalam membaca dan ‘mengirim al-fatihah’. Bacaan al-
fatihah biasanya ditujukan pertama kali kepada Nabi Muhammad saw beserta
keluarga, sahabat dan sebagainya. Adapun setelah pembacaan beberapa kali, baru
kemudian membaca al-fatihah yang khusus ditujukan kepada keluarga atau makam
khusus yang diziarahi. Setelah ritual ini selesai, kemudian imam memimpin bacaan
tahlil, mulai dari membaca surat al-fatihah sampai selesai do’a. Setelah do’a
selesai dipanjatkan dengan dipimpin oleh imam, maka selesai prosesi ziarah
dilaksanakan. Meskipun demikian, biasanya terdapat beberapa peziarah yang
kemudian melanjutkan dengan membaca al-Qur’an, khususnya surat Yaasin.
Meskipun persoalan waktu tidak lagi menjadi persoalan dalam aktifitas
religius, namun ternyata masyarakat Kebumen mempunyai beberapa waktu-waktu
yang khusus (sacred times) dalam aktifitas ziarah. Adapun waktu yang sering
dijadikan pilihan dalam berziarah adalah: Pertama, ziarah hari jum’at. Aktifitas
ziarah pada hari jum’at dilaksanakan oleh masyarakat Kebumen setelah mereka
melaksanakan sholat jum’at di Masjid. Ziarah ini hanya dilakukan oleh para laki-
laki, karena hanya laki-laki yang melaksanakan Shalat Jum’at di Kebumen.
Menurut Atam Ruba’i, ritual ziarah pada hari Jum’at merupakan aktifitas mingguan
yang dilakukannya. Selain karena pemahaman bahwa hari Jum’at merupakan hari
yang paling baik, pada hari tersebut juga bertepatan dengan aktifitasnya di
19 Frederick M. Denny, “Ritual Islam: Perspektif dan Teori”, dalam Richard C. Martin,
Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 95. 20Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 139.
199
masjid.21
Jadi secara tidak langsung, ziarah merupakan aktifitas ‘mampir’ ke
makam setelah melakukan Shalat Jum’at di masjid. Pendapat senada juga
diungkapkan oleh Agus Salim yang menganggap bahwa ziarah pada hari Jum’at
yang dia lakukan merupakan sarana mendo’akan arwah keluarganya yang telah
meninggal. Bagi Agus Salim, ziarah merupakan ritual untuk mengirim do’a dan
sarana interaksinya dengan arwah para leluhur. Adapun pemilihan hari Jum’at
adalah asas kepraktisan saja karena sekalian menunaikan ibadah Shalat Jum’at.22
Kedua, ziarah bulan Ruwwah. Aktifitas ziarah ini dilakukan oleh masyarakat
Kebumen menjelang bulan puasa. Bagi masyarakat Kebumen, penting sekali ziarah
pada bulan Ruwwah, karena pada bulan tersebut merupakan bulan yang baik untuk
mendoakan ahli kubur. Tidak ada pemilihan hari atau tanggal dalam pelaksanaan
ziarah pada bulan Ruwwah, namun umumnya masyarakat memandang hari libur
(seperti hari minggu) sebagai hari yang tepat untuk ziarah. Hal ini dikarenakan
pada hari liburlah seluruh keluarga dapat berkumpul dan bersama-sama pergi ke
makam keluarga. Pada momen ziarah bulan Ruwwah, biasanya keluarga berkumpul
di rumah pusaka (rumah pusat peninggalan keluarga). Selain itu, momen ziarah
bulan Ruwwah bukan hanya diikuti keluarga yang domisili di Kebumen, namun
juga yang domisili di luar Kebumen. Para perantauan ataupun keluarga yang
memiliki leluhur yang dimakamkan di Kebumen biasanya menyempatkan pulang
untuk bergabung bersama. Dalam momen ziarah bulan Ruwwah ini, nampak seperti
reuni keluarga besar dari keturunan tertentu (biasanya masyarakat menamai dengan
‘bani’).23
Ketiga, ziarah khaul. Khaul merupakan kegiatan yang dilakukan setahun
sekali untuk memperingati meninggalnya seseorang. Dalam konstruksi masyarakat,
khaul biasanya dipakai untuk memperingati meninggalnya tokoh dan sosok yang
dianggap istimewa. Di Kebumen, aktifitas khaul dilaksanakan setiap memperingati
tahun kematian tokoh agama atau masyarakat. Peringatan khaulmisalnya seperti
peringatan atas meninggalnya Syeikh Akhmad Nasiha yang merupakan tokoh
agama masyarakat yang memiliki peran penting dalam berdirinya Pondok
Pesantren Salafiyah Kebumen. Dalam kesempatan acara ziarah khaul ini, tidak
hanya masyarakat Kebumen saja yang datang, namun juga dari daerah-daerah lain
yang merupakan santri ataupun alunmi dari Pondok Pesantren dan Sekolah
Salafiyah.
Keempat, ziarah bulan Syawwal dan Dzulhijjah. Ziarah ini dilakukan setelah
masyarakat menunaikan shalat ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Ziarah ini mirip dengan
21 Wawancara dengan Atam Ruba’i (Tokoh Masyarakat Kebumen ) pada tanggal 10 Juni
2017. 22 Wawancara dengan Agus Salim Chamidi (Tokoh Masyarakat Kebumen) pada tanggal 12
Juni 2017. 23 Wawancara dengan Agus Salim Chamidi (Tokoh Masyarakat Kebumen) pada tanggal 12
Juni 2017. Agus Salim Chamidi mengungkapkan, di Kebumen terdapat beberapa keluarga besar
(bani) yang merupakan bagian dari keturunan tertentu, seperti Bani Ishak, Bani Ilyas, Bani
Yudotaruno, dan sebagainya. Mereka merupakan bagian dari keturunan yang memiliki pengaruh
pada masa terdahulu,
200
model ziarah pada hari Jum’at, dimana dilaksanakan setelah melakukan aktifitas di
masjid. Namun hal yang membedakan, ziarah ini diikuti oleh seluruh keluarga,
baik laki-laki, perempuan dan anak-anak. Pada momen ini, makam Kebumen
biasanya penuh sesak oleh peziarah.
Kelima, ziarah waktu khusus. Ziarah ini biasanya dilakukan oleh keluarga
ketika akan melakukan acara tertentu. Sebagaimana dikemukakan oleh Agus Salim,
biasanya ketika sebuah keluarga akan menunaikan hajat, seperti menunaikan
ibadah haji, maka keluarga akan melakukan ziarah dahulu ke makam leluhurnya.
Demikian juga, para perantauan yang jarang pulang juga biasaya menyempatkan
diri untuk berziarah kepada keluarga ataupun leluhurnya ketika pulang ke
Kebumen. Hal ini merupakan bentuk interaksi yang lazim sebagai bentuk
penghormatan kepada leluhurnya dengan mengirim do’a saat berziarah.24
E. Identitas dan Fungsi Ziarah Masyarakat Kebumen
Clifford Geertz dalam karyanya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa juga menyinggung ziarah dalam tradisi masyarakat Mojokuto. Perihal ziarah
kubur yang menjadi fokus penelitian ini, Geertz menuliskan hasil pengamatan
khusus bertajuk ‘Pemakaman: Layatan’ yang dituangkan dalam paparannya
mengenai Abangan. Geertz dengan sangat teliti mencatat upacara pemakaman
mulai dari peran modin, keikutsertaan warga sekitar, letak makam, sampai prosesi
pemakaman. Setelah pemakaman, kalangan abangan menggelar selametan hingga
tujuh hari setelah dari kematian, lalu disusul seratus hari, satu tahun dan seribu
hari. Di luar itu, ritual ziarah ke makam dan tabur bunga yang dilakukan oleh anak-
anak dari orang tua yang meninggal, terutama setiap ulang tahun kematian. Jika
tidak diziarahi atau tidak ada acara tabur bunga, maka anak yang bersangkutan bisa
terkena imbasnya, misalnya jatuh sakit atau didatangi arwah orang tua melalui
mimpi.25
Namun tidak ada pembahasan khusus yang menjelaskan mengenai ziarah
kubur yang dilakukan kaum santri ataupun priyayi dalam paparan Geertz,
meskipun ia sedikit menyinggung keterlibatan kaum santri dalam ritual ziarah yang
dilakukan kaum abangan.
Bagi masyarakat Kebumen, ziarah merupakan tindakan yang sangat penting,
khususnya ziarah kepada leluhur dan nenek moyangnya. Tindakan ziarah
dilaksanakan oleh seluruh struktur masyarakat Jawa, terlepas dia seorang –
meminjam kategori Geertz- abangan, priyayi ataupun santri.26
Walaupun dalam
24 Kelima model ini merupakan klasifikasi hasil wawancara dengan Agus Salim Chamidi
(Tokoh Masyarakat Kebumen), pada tanggal 12 Juni 2017. 25Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1981), hlm. 97. 26 Penulis menggunakan kategori Clifford Geertz secara cair untuk mempermudah
pembacaan atas situs makam. Meskipun demikian, pendapat Bambang Pranowo bahwa kategorisasi
Abangan, Santri, Priyayi bersifat state of becoming bukan state of being lebih tepat untuk melihat
pelaku ziarah. Untuk lebih lanjut mengenai diskusi tersebut, lihat Bambang Pranowo, Memahami
Islam Jawa, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011).
201
27 Wawancara dengan Latoif (aktifis ziarah), tanggal 15 Juni 2017. 28 Wawancara dengan Yadi (aktifis ziarah), tanggal 14 Juni 2017. 29
Wawancara dengan Latoif (aktifis ziarah), tanggal 15 Juni 2017. 30 Wawancara dengan Yadi (aktifis ziarah), tanggal 14 Juni 2017.
pelaksanaannya ketiga varian tersebut mempunyai motivasi yang berbeda, namun hal tersebut mengindikasikan pentingnya ziarah dalam kultur masyarakat Jawa.
Kategorisasi ini muncul dari hasil wawancara dengan beberapa aktifis ziarah di Kebumen. Satu hal yang mengganjal dan dijadikan pertanyaan adalah mengapa para peziarah di Makam wali tidak melakukan ziarah di Makam tokoh pemerintah, dan sebaliknya? Dari jawaban yang muncul, ternyata mereka mempunyai alasan tersendiri. Sebagai misal dalam wawancara dengan Latoif yang merupakan peziarah rutin di Makam wali, dia mengungkapkan bahwa berziarah ke Makam wali karena beliau adalah seorang bisa memberi barakah. Dengan demikian dia mengharapkan adanya barakah dan berwasilah dari wali. Sedangkan bagi Latoif, makam tokoh pemerintah bukanlah wali, sehingga tidak ada yang bisa diharapkan dengan berziarah ke Makam wali.27
Pendapat lain muncul dari wawancara dengan Yadi, yang merupakan peziarah di Makam tokoh pemerintah. Menurutnya, ziarah ke Makam tokoh pemerintah bisa membuka jalan kesuksesan dalam hubungannya dengan kekuasaan. Hal ini dikarenakan tokoh pemerintah merupakan sosok yang memiliki daya kekeramatan dalam Kekuasaan. Menurutnya, biasanya orang yang berziarah di Makam tokoh pemerintah akan memperoleh kemenangan dalam pemilihan lurah. Sedangkan Makam wali, bagi Yadi, bukanlah makam yang memiliki daya kekeramatan yang berhubungan dengan kekuasaan.28 Dengan demikian, nampak adanya perbedaan pemahaman atas obyek peziarah yang tentunya berimplikasi pada identitas para peziarah makam tersebut.
Para peziarah datang di Makam wali berlangsung hampir setiap hari. Namun yang paling ramai adalah waktu malam Jum’at yang merupakan waktu istimewa bagi para peziarah.29 Hal ini dapat dilihat dari antrian ke dalam gedung makam yang bisa mencapai beberapa kali gelombang ziarah. Selain itu, bulan Ruwah dan bulan Sya’ban juga merupakan bulan pilihan bagi para peziarah untuk datang ke Makam. Segmen peziarah di makam wali tidak memiliki batasan umur, namun umumnya didominasi oleh kalangan para santri.Adapun Makam tokoh pemerintah biasanya ramai hanya pada waktu tertentu saja. Ada dua hari peringatan pemerintah daerah sebagai agenda tahunan ziarah ke Makam Bupati Kolopaking, yakni pada Hari Jadi Kota Kebumen dan Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan. Pada kedua momen ini, para pejabat secara bersama-sama datang berziarah ke makam tokoh pemerintah.30 Selain di makam Kolopaking, makam Bodronolo, Taman Makam Pahlawan Bumi Wira Bhakti juga menjadi tempat rutin dilaksanakannya ziarah bagi para pejabat pemerintah. Adapun bagi kelompok Abangan, waktu malam Jum’at Kliwon merupakan waktu istimewa. Biasanya peziarah datang ke makam dengan tujuan seperti untuk bersemedi dan permohonan tertentu. Bahkan
202
seringkali peziarah datang untuk pencari benda keramat dan benda gaib dengan
melalui ritual di makam tertentu.
Bentuk ritualisme yang dilakukan peziarah di situs makam abangan, santri
dan priyayi memiliki karakteristik yang sama, meskipun terdapat beberapa ritual
yang berbeda pula. Pada makam Abangan, nampak adanya karakter khas budaya
lokal dalam ziarah. Unsur semedi, membawa bunga atau kemenyan, dan doa-doa
khusus nampak begitu dominan. Adapun bagi makam santri, sebagaimana
umumnya ritual dalam kultur santri, para peziarah melakukan ritual membaca tahlil
dan dzikir. Aktifitas ziarah dimakam wali biasanya diawali dengan peziarah
mengucapakan salam kepada ahli kubur. Bila peziarah adalah rombongan yang
terdiri dari banyak orang, imam, kiai atau pemimpinlah yang kemudian memandu
dalam salam. Setelah salah, baru di mulai dengan mengirim al-fatihah yang, baik
kepada Nabi Muhammad, Sahabat, Para Wali, dan khususnya kepada wali. Setelah
ritual ini selesai, kemudian imam memimpin bacaan tahlil, mulai dari membaca
surat al-fatihah sampai selesai do’a. Ritual yang dilakukan dalam sebagian
peziarah di Makam tokoh pemerintah (priyayi) memiliki kesamaan dengan pola
ritual yang dilakukan di Makam wali. Para peziarah yang umumnya para pejabat
dan calon lurah datang dan melakukan ritual tahlil sebagaimana di Makam wali.
Dengan dipimpin oleh seorang imam tahlil, para peziarah kemudian mengikuti
imam dalam hal bacaan dan kemudian ditutup dengan do’a. Namun ada pula ritual
lainnya yang dilakukan oleh peziarah yang memiliki motivasi tertentu seperti
upacara secara resmi, dan menyanyikan lagu Nasional.
Namun secara umum, barakah merupakan elemen orientasi penting dalam
ritual ziarah di semua situs makam. Menarik mencermati persoalan barakah yang
dalam konsepsi Jamhari merupakan ‘basis ideologi’ untuk menjelaskan mengenai
persoalan ziarah.31
Bagi para peziarah, mengunjungi tempat keramat merupakan
ritus untuk ngalap barakah. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam memahami
siapa yang memberi barakah. Sebagian memahami bahwa barakah merupakan
pahala (God’s reward) yang didapat melalui wali, sedangkan sebagian yang lain
memahami bahwa barakah merupakan pemberian langsung dari wali. Terkait
dengan hal ini Jamhari menulis:
“….transmits barakah in two ways. First, he transmits barakah as a wali,
believed to be an agent of God on earth who has been given the ability to
provide barakah. People argue that wali have the ability to give barakah is
because God has bestowed karamah (favor) on them. Second, barakah is
transmitted as a part of….barakah to reward his piety and obiedence barakah
in performing God’s commands, he received barakah from God through-out
his life and death. Therefore, he was filled with barakah and can transmit a
part of his barakah to other people”.32
31 Jamhari, “The Meaning Intepreted: The Concept of Barakah in Ziarah” dalam Studia
Islamika vol.8, No. 1, 2001, hlm. 121. 32Ibid., hlm. 115.
203
Persoalan barakah juga merupakan elemen penting dalam ritual ziarah di
Makam di Kebumen. Menurut Salim, para peziarah umumnya ziarah dengan tujuan
untuk mendapatkan barakah atau dalam istilah setempat adalah tabarrukan.33
Bagi
kalangan masyarakat yang didominasi oleh para santri, barakah tidak hanya
didapat dari para kyai yang masih hidup, namun juga masih bisa didapati dari para
kyai yang telah wafat. Dengan demikian, ziarah merupakan ritual ngalap berkah
(tabarrukan) dari tokoh yang telah wafat.
Selain tabarrukan, para peziarah umumnya memahami bahwa wali
merupakan sosok yang bisa menjadi wasilah untuk mengharapkan sesuatu. Para
peziarah biasanya memiliki harapan dan keinginan tertentu yang kemudian
diungkapkan dalam bentuk niat dan doa. Pemahaman ini umumnya dibangun
dengan nalar bahwa wali merupakan sosok yang dekat dengan Allah. Dengan
demikian, sebagai seorang yang ‘biasa’, para peziarah menganggap bahwa sulit
untuk mengharap langsung kepada Allah. Dengan berziarah dan berwasilah dari
wali, maka besar harapan doanya untuk dikabulkan. Motivasi ngalap barakah dan
wasilah merupakan dua elemen penting yang muncul dalam ziarah di Makam wali.
Menurut Latoif, mereka yang mengunjungi makam wali pada umumnya telah
dilandasi dengan niat dan tujuan yang didorong oleh kemauan batin yang mantap.
Masing-masing mempunyai motivasi yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara
umum motivasi ziarah ke ketiga makam tersebut sesungguhnya hampir sama, yaitu
seputar untuk mendapat keselamatan, kesehatan, keberkahan, kesembuhan,
ungkapan syukur, kemudahan rizki, jodoh, dan nasib baik.34
Pemahaman barakah dalam aktifitas ziarah di Makam tokoh pemerintah
(priyayi) dan makam abangan juga nampak adanya. Para peziarah umumnya datang
di Makam tokoh pemerintah untuk mendapatkan barakah dengan tujuan tertentu.
Menurut Yadi, para peziarah yang datang di Makam priyayi dan abangan adalah
para pejabat, lurah, orang magang lurah, dan orang yang berburu benda pusaka.
Mereka datang umumnya untuk mendapatkan barakah supaya jabatan dan
keinginan mereka dapat berhasil.35
Selain sebagai identitas kelompok, ziarah makam juga mempunyai fungsi
sebagai integrasi kelompok. Ziarah bagi masyarakat Kebumen misalnya,
merupakan bagian dari tradisi yang berkembang lama. Meskipun terdapat landasan
normatif yang menganjurkan pelaksanaan ziarah, namun nampaknya hal tersebut
bukanlah sebagai motivator dalam pelaksanaannya. Bila dititik dari perilaku sosial
ala Weber, ziarah merupakan perilaku yang kompleks dan tidak bisa dimasukan
dalam empat tipe secara simplistik. Karena ternyata perilaku sosial ziarah
mengandung unsur-unsur tertentu dalam tipologi Weber. Sebagaimana diketahui,
ziarah merupaka perilaku yang menerima arahnya dari tradisi (kelakuan
tradisional). Namun demikian, ziarah bukanlah perilaku rutin tanpa motivasi,
namun memiliki arah rasional yang akan dituju. Selain itu, perilaku ziarah juga
33 Wawancara dengan Salim (aktifis ziarah), tanggal 12 Juni 2017. 34
Wawancara dengan Istajib (aktifis ziarah), tanggal 15 Juni 2017. 35 Wawancara dengan Yadi (aktifis ziarah), tanggal 14 Juni 2017.
204
memiliki orientasi nilai yang jelas dan memiliki pengaruh emosional didalamnya.
Dengan demikian, perilaku ziarah pada masyarakat nampaknya merupakan
kompilasi dari tipe-tipe perilaku sosial yang memiliki aspek yang kompeks.36
Ziarah bagi masyarakat Kebumen yang sudah menjadi tradisi berimplikasi
adanya sanksi sosial yang muncul bagi individu-individu yang tidak melakukan
aktifitas ziarah dan adanya ‘label’ positif kepada para individu yang rajin
melakukan ziarah. Sanksi sosial yang muncul dalam aktifitas ziarah memiliki
bentuk yang beragam. Meskipun sanksi ini hanya sekedar ‘ungkapan’ yang
kadangkala tidak memiliki implikasi sosial yang kuat, namun hal ini
mengindikasikan pentingnya ritual ziarah dalam masyarakat. Terkait dengan
ketidakikutan dalam ziarah khaul misalnya, masyarakat biasanya menyindir dengan
perkataan yang mengindikasikan individu tersebut berbuat sesuatu yang ‘tidak
selayakya’. Ungkapan sindiran yang muncul biasanya ‘ra takdim’ atau ‘santrine
wis ilang’ yang merupakan sindiran atas ketidakhadirannya dalam momen ziarah
khaul.37
Model integrasi yang tertangkap yakni integrasi kelompok, baik Abangan,
Santri atau Priyayi. Integrasi ini nampak dalam aktifitas ziarah khaul misalnya bagi
kelompok santri. Dengan pelaksanaan ziarah yang dilakukan oleh seluruh keluarga
santri dan alumni, nampak upaya untuk mengukuhkan fungsi integrasi sosial
didalamnya.
F. Nasionalisme dalam Ziarah
Masyarakat dari suatu bangsa pasti memiliki identitas yang mana hal tersebut
ditanamkan semenjak kita lahir. Di Indonesia sendiri penanaman konsep identitas
(identity) diwujudkan pada diselenggarakannya tradisi peringatan-peringatan yang
berkaitan dengan jati diri bangsa. Sebagai misal adalah Peringatan Hari Pahlawan,
Hari Ulang Tahun Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus, upacara setiap hari
Senin, dan sebagainya. Tradisi itu merupakan upaya-upaya untuk menumbuhkan
kesadaran akan identitas dan upaya untuk menanamkan rasa nasionalisme dan
kesadaran historis. Tujuan dari penanaman identitas tersebut adalah masyarakat
yang cinta dan bangga akan bangsanya.
Benedict Anderson memberi gambaran mengenai nasionalisme dengan cukup
baik. Dia memandang nasionalisme sebagai imagine community sebagai berikut:
“Pandangan yang lebih positif tentang nasionalisme,dan bangsa atau nation
adalah komunitas politis yang dibayangkan (imagined) sebagai sesuatu yang
bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Lebih jauh Ernest
Gellner memaparkan bahwa bangsa disebut komunitas karena ia sendiri
selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk-mendalam dan
36 Fikria Najitama, Fungsi Sosial Ziarah Pada Masyarakat Jawa: Analisis Tradisi Ziarah di
Wonoyoso, dalam Jurnal Wahana Akademika Vol. 15, No. 2 Oktober 2013, hlm. 197. 37Ibid., hlm. 198.
205
melebar-mendatar, sekalipun ketidakadilan dan penghisapan hampir selalu
ada dalam setiap bangsa”38
Jadi kebangsaan yang dibangun oleh masyarakat bukan hanya bersumber
pada kekuatan politis ataupun ekonomi, namun lebih dari itu nasionalisme dan rasa
kebangsaan itu dibuktikan dengan kecintaan kepada komunitas, persamaan
identitas, sebagai bagian dari sebuah bangsa. Selain itu, persamaan etnis tertentu
yang dipahami sebagai ikatan kekeluargaaan dan kesetiakawanan juga menjadi
pondasi dalam membangun spirit kebangsaan.
Tantangan bagi nasionalisme lahir seiring dengan semakin modernnya
kehidupan manusia dimana jarak bukan lagi suatu halangan, dimana media
komunikasi telah menyatukan semua lapisan masyarakat menjadi suatu global
village. Dalam hal ini, globalisasi telah menjadi ujung tombak dalam mengikis
paham nasionalisme. Globalisasi telah menimbulkan problem terhadap eksistensi
negara dan bangsa.39
Sebagai misal adalah menguatnya gagasan lintas negara dan
bangsa yang meruntuhkan nasionalisme bangsa. Gagasan khilafah misalnya, yang
bukan bersumber pada karakter bangsa Indonesia menguat dan menjadi tantangan
luar biasa dalam peneguhan nasionalisme. Demikian juga dengan munculnya
kelompok transnasional yang tidak lagi mendasarkan pada karakter nasionalisme,
tapi pada sebuah gagasan yang tidak bersumber pada karakter bangsa. Munculnya
hal tersebut semakin mengikis nilai kebangsaan, dan bahkan memunculkan
gesekan dan benturan tajam dengan gagasan nasionalisme.
Selain itu, dalam realitas masa sekarang, banyak masyarakat muslim di
Indonesia yang ahistoris dan melupakan identitas historis eksistensinya. Sebagian
orang muslim seperti lupa bahwa dirinya merupakan bagian dari sejarah bangsa
Indonesia. Mereka cenderung memposisikan dirinya bagian dari masyarakat Arab
dengan karakter, budaya, dan corak berpikirnya. Mereka tidak mengakui bahwa
dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki sejarah
sendiri. Kenyataan perilaku ahistoris inilah yang kemudian membawa pada
kendurnya sikap nasionalisme dan berbahaya dalam membina kehidupan berbangsa
dan bernegara yang berdasarkan pada Bhineka Tunggal Ika.
Tradisi ziarah mempunyai relasi kuat dengan penegasan dan pemeliharaan
spirit nasionalisme. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan praktik ziarah yang
senantiasa mengaitkan dengan identitas sejarah dan kebangsaan. Dalam tradisi
ziarah kaum santri di Kebumen, unsur mengirim doa kepada para leluhur
senantiasa membawa para wali, sesepuh bangsa, dan kebaikan bangsa. Atribut
ziarah juga menggambarkan karakter lokal yang kuat. Para peziarah laki-laki
umumnya menggunakan sarung dan menggunakan peci. Sangat jarang ada peziarah
yang menggunakan atribut jubah dan sorban di tempat ziarah santri. Dalam ziarah
kelompok abangan juga nampak kuatnya unsur lokalitas yang menunjukkan
38Benedict Anderson, Imagined Community: Komunitas-Komunitas Terbayang. terj. Omi
Intan Naomi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 9. 39
Grendi Hendrastomo, Nasionalisme vs Globalisasi, Hilangnya Semangat Kebangsaan
dalam Peradaban Modern, Jurnal Dimensia, Volume I, No. 1, Maret 2007, hlm. 3.
206
karakter identitas berbangsa. Mulai dari atribut lokal yang digunakan samapi doa-
doa yang masih menggunakan bahasa Jawa (lokal) menunjukan karakteristik
nasionalisme. Sama halnya dengan ziarah resmi yang dilaksanakan oleh
pemerintah ketika memperingati hari jadi Kebumen tanggal 1 Januari, Hari
Pahlawan dan hari tertentu yang senantiasa membawa unsur nasinalisme. Lagu
Gugur Bunga40
dan Padamu Negeri41
dikumandangkan oleh para peziarah dengan
disertai upacara dan doa-doa. Bahkan dibeberapa situs ziarah di Kebumen terdapat
bendera merah putih yang melambangkan kuatnya unsur kebangsaan. Penulis
mengambil kesimpulan bahwa sepanjang seseorang melakukan tradisi ziarah ke
makam-makam wali, tokoh agama, serta para pahlawan bisa dipastikan mempunyai
spirit nasionalisme yang kuat dan jauh dari radikalisme agama.
G. Kesimpulan
Kebumen sebagai daerah Jawa yang secara geografis berada di pesisir
Selatan sangat dekat dengan tradisi ziarah. Bagi masyarakat Kebumen, ziarah
merupakan tradisi tidak terpisahkan dari religiusitas. Bahkan bagi sebagian
masyarakat, ziarah seperti kewajiban yang harus dilakukan pada makam tertentu
(sacred places) dan pada waktu-waktu tertentu (sacred times). Dari praktik ziarah
di Kebumen disimpulkan bahwa tradisi ziarah mempunyai relasi kuat dengan
penegasan dan pemeliharaan spirit nasionalisme. kenyataan ini didasarkan pada
praktik ziarah yang senantiasa mengaitkan dengan identitas sejarah dan
kebangsaan. Dalam tradisi ziarah kaum santri di Kebumen, unsur mengirim doa
kepada para leluhur senantiasa membawa para wali, sesepuh bangsa, dan kebaikan
bangsa. Sama halnya dengan ziarah resmi yang dilaksanakan oleh pemerintah
ketika memperingati Hari Jadi Kebumen tanggal 1 Januari, Hari Pahlawan dan hari
tertentu yang senantiasa membawa unsur nasionalisme. Lagu Gugur Bunga dan
Padamu Negeri dikumandangkan oleh para peziarah dengan disertai upacara dan
doa-doa. Bahkan dibeberapa situs ziarah di Kebumen terdapat bendera merah putih
yang melambangkan kuatnya unsur kebangsaan.
Dalam realitas masa sekarang, banyak masyarakat Indonesia yang ahistoris
dan melupakan identitas historiseksistensinya. Sebagian orang muslim seperti lupa
bahwa dirinya merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Mereka
memposisikan dirinya seperti bagian dari masyarakat Arab dengan karakter,
budaya, dan corak berpikirnya. Mereka sepertinya tidak mengakui bahwa dirinya
sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki sejarah sendiri.
Kenyataan perilaku ahistoris inilah yang kemudian membawa pada kendurnya
sikap nasionalisme. Penulis mengambil kesimpulan bahwa ritual ziarah masyarakat
juga merupakan penegasan historis identitas berbangsa. Perilaku ini cukup
signifikan dalam upaya menyikapi sifatahistoris yang belakangan ini mewabah.
Dengan demikian, sepanjang seseorang melakukan tradisi ziarah ke makam-makam
wali, tokoh agama, serta para pahlawan bisa dipastikan mempunyai spirit
nasionalisme dan berbangsa yang kuat.
40
Lagu Nasional ciptaan Ismail Marzuki. 41 Lagu Nasional ciptaan Kusbini.
207
References
Abdullah, Irwan, 2002. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa, Yogyakarta:
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Anderson, Benedict, 2002. Imagined Community: Komunitas-Komunitas
Terbayang. terj. Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denny, Frederick M. 2002. “Ritual Islam: Perspektif dan Teori”, dalam Richard C.
Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin
Bhaidawy, Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.
Geertz, Clifford,1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya.
Hendrastomo, Grendi, 2007. Nasionalisme vs Globalisasi, Hilangnya Semangat
Kebangsaan dalam Peradaban Modern, Jurnal Dimensia, Volume I, No. 1,
Maret.
Jamhari, 2001. “The Meaning Intepreted: The Concept of Barakah in Ziarah”
dalam Studia Islamika vol.8, No. 1.
Koentjaraningrat, 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta:
Gramedia.
Koentjaraningrat, 1985. Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta: Penerbitan Nasional
BalaiPustaka.
Koentjaraningrat, 2009. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UIP.
Loir, Henri Chambert- dan Claude Guillot (ed.), 2007. Ziarah dan Wali di Dunia
Islam, terj. Jean Coteau, dkk, Jakarta: Serambi.
Najitama, Fikria, 2005. Fungsi Sosial Ziarah Pada Masyarakat Jawa: Analisis
Tradisi Ziarah di Wonoyoso, dalam Jurnal Wahana Akademika Vol. 15,
No. 2 Oktober.
Najitama, Fikria,2016. “Makam Syekh Anom Sidakarsa dan Perubahan Ekomoni:
Studi Atas Masyarakat Grogolpenatus Kebumen” dalam Proceeding
International Conference on Islamic Economics Studies, Surakarta: IAIN
Surakarta.
Pranowo, Bambang, 2011. Memahami Islam Jawa, Jakarta: Pustaka Alvabet.
Syam, Nur, 2005. Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS.
Woodward, Mark R., 2008. Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,
terj. Hairus Salim HS, Yogyakarta: LKiS.
209
INTEGRASI NILAI-NILAI RELIGIUS DAN NASIONALISME
PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Hawwin Muzakki IAIN Ponorogo
Abstract
The idea of integrated learning with religious values and nationalism is already
long discussed, but It is still not formulated in a typical, structured and systematic
learning typologies. Discourse about the lesson plans containing character
education is still considered not optimum in the implementation, so that the
government was prefer to implement “2013th curriculum” than develop character
learning.In the early childhood education, there is limited in Especially in Early
Childhood Education, habituation by integrating the learning process with
religious values and nationalism is limited in terms of getting used to prayer, say
greetings, prayer movements, wudu movement, and there is no habituation leading
to the aspect of nationality such as Pancasila values, coorporation, Bhinneka
Tunggal Ika, discussion and so forth. Today, there is a social phenomenon leading
to the diminution of national and religious values among the younger generation.
At a time when threats to national unity are occurring, components of the nation
including the younger generation are more preoccupied with hedonism. The noble
values of the nation's culture have faded. The younger generation forgot their
identity and existence as the successors of the ideals of independence. In fact, the
Indonesian government strongly supports an education that integrates religious
values and nationalism from an early age. This paper initiated a Daily Learning
Plan in Early Childhood Education that is integrated with religious values and
nationalism. Integrated learning is presented in the form of activities that not only
get through prayer or greeting, but also integrate religious values and nationalism
in the learning process, such as: congregational prayer in mosque, good health,
good hadith, pancasila, tolerance, Danger of corruption, love of domestic
products, love Indonesian, harmonious, and so forth.
Keywords: Integration, the religious values, nationalism, the early childhood
education.
210
Abstrak
Ide tentang pembelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai religius dan
nasionalisme memang sudah lama tergaungkan, namun dipandang masih tidak
rapi dan belum dirumuskan dalam suatu tipologi pembelajaran yang khas,
terstruktur, dan sistematis. Wacana adanya RPP berkarakter dinilai masih belum
maksimal dalam penerapannya, sehingga pemerintah lebih memilih menerapkan
kurikulum 2013 ketimbang mengembangkan proses pembelajaran berkarakter.
Apalagi dalam dunia PAUD, pembiasaan dengan mengintegrasikan proses
pembelajaran dengan nilai-nilai religius dan nasionalisme terbatas membiasakan
diri lewat do'a, mengucapkan salam, gerakan sholat, gerakan wudhu, dan belum
ada pembiasaan yang mengarahkan pada aspek kebangsaan semisal nilai-nilai
pancasila, gorong royong, bhinneka tunggal ika, musyawarah dan lain sebagainya.
Fenomena sosial yang tidak dapat dipungkiri pada masa sekarang ini adalah
lunturnya nilai-nilai kebangsaan dan religius di kalangan generasi muda. Pada
saat ancaman terhadap kesatuan bangsa sedang melanda, komponen bangsa
termasuk generasi muda lebih disibukkan oleh sifat-sifat hedonisme. Nilai-nilai
luhur budaya bangsa telah tercabut dari akarnya. Generasi muda lupa akan jati
diri dan eksistensinya sebagai penerus cita-cita kemerdekaan. Sebenarnya,
pemerintah Indonesia sangat mendukung adanya pendidikan yang
mengintegrasikan nilai religius dan nasionalisme sejak dini. Paper ini berupaya
untuk menggagas RPPH di PAUD yang terintegrasi dengan nilai-nilai religius dan
nasionalisme. Pembelajaran terintegrasi yang tidak hanya membiasakan lewat
do’a maupun mengucapkan salam seperti pada RPPH PAUD lainnya, melainkan
juga mengintegrasikan nilai-nilai religius dan nasionalisme dalam proses
pembelajaran, semisal: ajaran sholat berjamaah di Masjid, nikmat sehat, hadist
berbuat baik, pancasila, toleransi, bahaya korupsi, cinta produk dalam negeri,
cinta bahasa Indonesia, rukun, dan lain sebagainya.
Kata Kunci: Integrasi, Nilai Religius, Nasionalisme, PAUD
A. Pendahuluan
Ide tentang pembelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai religius dan
nasionalisme memang sudah lama tergaungkan, namun dipandang masih tidak rapi
dan belum dirumuskan dalam suatu tipologi pembelajaran yang khas, terstruktur,
dan sistematis. Wacana adanya RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
berkarakter di nilai masih belum maksimal dalam penerapannya, sehingga
pemerintah lebih memilih menerapkan kurikulum 2013 ketimbang
mengembangkan proses pembelajaran berkarakter.
Apalagi dalam dunia PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), pembiasaan
dengan mengintegrasikan proses pembelajaran dengan nilai-nilai religius dan
nasionalisme masih jauh panggang dari api. Pembiasaan pembiasaan yang terjadi
dalam proses pembelajaran AUD yang penulis lihat di RPPH (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran Harian) buatan TK PAUD Jateng Terpadu, terbatas
211
membiasakan diri lewat do'a, mengucapkan salam, gerakan sholat, gerakan wudhu,
dan belum ada pembiasaan yang mengarahkan pada aspek nasionalisme semisal
nilai-nilai pancasila, gorong royong, bhinneka tunggal ika, musyawarah dan lain
sebagainya,
Fenomena sosial yang tidak dapat dipungkiri pada masa sekarang ini adalah
lunturnya nilai-nilai nasionalisme dan religius di kalangan generasi muda.
Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat pengaruh arus globalisasi yang begitu
hebat, dan masuk ke seluruh sendi kehidupan anak. Mulai dari kecil, anak-anak
sudah mengenal tekhnologi dalam sebuah gadget. Siapa yang tidak punya gadget
era sekarang ini? Begitu murahnya tekhnologi yang satu ini, sehingga dari
kalangan atas hingga ke bawah lapisan masyarakat Indonesia mempunyai gadget.
Negatifnya, gadget yang dipegang oleh anak kecil biasanya digunakan untuk
memutar video dan senang manghabiskan waktu untuk bermain game, anak tak
sadarkan diri untuk terus mengembangkan dirinya baik aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik.
Pada saat ancaman terhadap kesatuan bangsa sedang melanda, komponen
bangsa termasuk generasi muda lebih disibukkan oleh sifat-sifat hedonisme. Nilai-
nilai luhur budaya bangsa telah tercabut dari akarnya. Generasi muda lupa akan jati
diri dan eksistensinya sebagai penerus cita-cita kemerdekaan. Padahal, indikator
kemerdekaan perlu dibangun dengan nilai-nilai kebangsaan yang kokoh, semangat
nasionalisme, patriotisme, kecakapan religius, kolektivisme, dan fondasi nilai
budaya yang luhur. Namun, fenomena mengatakan lain, yaitu bahwa bangsa kita
lebih didominasi paham individualisme yang mengabaikan prinsip-prinsip
kolektivisme. Akibatnya, permasalahan sosial dan kultur banyak bermunculan di
sana-sini. Pemuda sibuk dengan kehidupan hedonisnya. Kepada siapa lagi pundak
kejayaan Indonesia nanti kita serahkan?
Menarik melihat permasalahan saat ini yang terjadi di Indonesia, dikala
pemerintah pada tanggal 8 mei 2017 melalui MEN KO POLHUKAM menyatakan
sikap akan membubarkan ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang dipandang
tidak mendukung pancasila sebagai dasar negara dan menggaungkan penerapan
syariah Islam secara total di Indonesia. Selain itu, ormas-ormas lain yang
bertentangan dengan pancasila dan UUD 45 nantinya akan ditertibkan kembali oleh
pemerintah. Kurangnya nilai-nilai nasionalisme yang melekat sejak dini pada
masyarakat Indonesia, membuat masyarakat akan mudah terbawa arus untuk
menerapkan nilai-nilai lain diluar pancasila dan UUD 45, semisal paham khilafah,
sosialisme, liberalisme, kapitalisme, dan paham lainnya.1
Fenomena yang kedua adalah fenomena yang sebaliknya, masyarakat
Indonesia dibuat bangga dengan tampilan anak-anak Indonesia. Tepatnya dalam
ajang Hafidz/Hafidzah yang selama bulan Ramadhan tayang di televisi swasta di
Indonesia. Salah satunya bernama Musa, peserta Hafidz Indonesia tahun 2014 lalu,
1http://nasional.kompas.com/read/2017/05/08/15114471/wiranto.pembubaran.hti.bukan.berar
ti.pemerintah.anti-ormas.islam accessed 16 June 2017
212
ketika menjadi peserta masih berumur 6 Tahun. Meski masih bocah, Musa telah
menghafal Al-Qur'an. Dia punya kemampuan istimewa, bisa menghafal ayat-ayat
Alquran dengan cepat. “Dalam satu hari Musa dapat menghafal lima lembar
Alquran,” tutur paman Musa, Abu Unaisa. Bahkan Musa mendapatkan peringkat
12 dari 25 peserta lomba dari berbagai negara dalam lomba menghafal Alquran
internasional di Jeddah.2
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3,
dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.Secara tersirat,
pemerintah Indonesia sebenarnya sangat mendukung betul adanya pendidikan yang
mengintegrasikan nilai religius dan nasionalisme. Peningkatan kualitas pendidikan
merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara dinamis dan berkesinambungan
dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan berbagai faktor yang
berkaitan dengannya, dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien.
Menilik permasalahan-permasalahan di atas, dipandang penting untuk
merumuskan proses pembelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai religius dan
nasionalisme sejak usia dini. Apa yang kita tanamkan sejak dini mengenai nilai-
nilai kebaikan khususnya nilai religius dan nasionalisme di PAUD, kelak kita akan
memanen buah kebaikan pula. Sedangkan jika kita tidak mengkonsepkan dan
menanamkan apa-apa di PAUD, tentunya ke depan kita tidak akan memanen buah
kebaikan berupa nilai-nilai religius dan nasionalisme untuk bangsa Indonesia yang
integratif, kokoh, kuat, adil dan bijaksana. Upaya untuk mewujudkan kedua hal
tersebut bisa dilakukan dengan membuat RPPH yang terintegrasi dengan nilai
religius dan nasionalisme.
1. Metode Penelitian
2 https://islamislogic.wordpress.com/2014/07/09/dapat-nilai-90-83-hafiz-cilik-indonesia-
usia-6-tahun-ini-diminta-tinggal-di-saudi/accessed 16 June 2017 3 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2012,
407, doi:10.1017/CBO9781107415324.004.
Metode dalam penelitian paper ini menggunakan research and development. Pendekatan penelitian ini berusaha menggabungkan kedua pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode penelitian dan pengembangan adalahmetode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keektifan produk tersebut.3 Namun dalam paper ini hanya akan membahas sampai tahapan pengembangan produk berupa RPP yang terintegrasi dengan nilai-nilai religius dan nasionalisme.
213
2. Penelitian Terkait
Penelitian tentang pembelajaran yang terintegrasi nilai-nilai religius dan
nasionalisme pada anak usia dini masih sedikit mendapat atensi oleh para
peneliti. Pertama, penelitian tentang anak usia dini sebelumnya pernah ditulis
oleh Dahlia dalam karya tesis dengan judul “Pendidikan Anak Usia Dini
Berwawasan Lingkungan dan Budi Pekerti di Jogja Green School” pada tahun
2014. Penelitian tersebut menyimpulkan Strategi yang digunakan untuk
mengimplementasikan PAUD berwawasan lingkungan dengan menggunakan
pendekatan lingkungan dan pembelajaran kontekstual. Sedangkan penanaman
wawasan budi pekerti dengan menggunakan pendekatan pembiasaan, seperti
mengucapkan “maaf” bila melakukan kesalahan, budaya antri, dan
mengembalikan barang pada tempatnya.4
Kedua, penelitian oleh Patimah dengan judul Integrasi Pendidikan Moral
dan Pengembangan Kemampuan Kognitif Anak pada Jenjang Pendidikan Anak
Usia Dini dengan kesimpulan Program kelas yang berpusat pada anak
mendukung peran serta keluarga dalam berbagaicara. Meskipun metodenya
berbeda-beda namun para guru dan pengelola pendidikan harus tetap
mendukung keluarga untuk terlibat secara aktif dalam semua aspek program.5
Berdasarkan eksplorasi penelitian tentang konsep integrasi nilai-nilai
religius dan nasionalisme pada anak usia dini, penulis berkesimpulan bahwa
belum ada kajian langsung dan konsen tentang judul tersebut. Berdasarkan hal-
hal tersebut, penelitian ini bisa mengisi ruang-ruang kosong penelitian dan
melengkapi penelitian-penelitian yang terdahulu dengan membawa hal baru
yaitu tentang integrasi nilai religius dan nasionalisme pada anak usia dini.
3. Kerangka Teori
a. Integrasi
Integrasi berasal dari bahasa Inggris "integration" yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. Bagi Kuntowijoyo, inti dari integrasi
adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan
dan temuan manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan
(sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme).6
Integrasi adalah menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai grand theory
pengetahuan, sehingga ayat-ayat qauliyah dan kauniyah dapat dipakai.7
4 Jasa Pendidikan, D I Madrasah, and Ibtidaiyah Muhammadiyah, “Yogyakarta 2014,” 2014,
viii. 5 Kata Kunci et al., “Integrasi Pendidikan Moral Dan Pengembangan Kemampuan Kognitif
Anak Pada Jenjang Pendidikan Anak Usia Dini,” n.d., 1. 6Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005), h. 57-58 7Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”.
dalam Zainal Abidin Bagir (ed)., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung:
Mizan, 2005), h. 49-50.
214
Pemaduan dan pengkombinasian dua paradigma atau lebih yang
berbeda ini, menjadi salah satu variabel terwujudnya integrated
curriculum. Menurut Drake, kurikulum integratif (integated curriculum)
adalah model kurikulum yang disusun dan dilaksanakan dengan
mengedepankan berbagai perspektif, di dalamnya terangkum berbagai
pengalaman belajar, dan menjangkau berbagai ranah pengetahuan
sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.8
Perwujudan integrated curriculum dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu Pertama, penggabungan (fusion) beberapa topik menjadi sata
Misalnya topik tentang lingkungan hidup, tanggung jawabsosial dan
perilakumasyarakatdigabungkan menjadi satu dalam kajian tentang
geografi. Kedua, memasukkan sub disiplin keilmuan ke dalam induknya
menjadi satu kesatuan (within one subject). Misalnya, ilmu fisika,
matematika, kimia dan biologi dimasukkan ke dalam kelompok ilmu
murni (pure science). Ketiga, dengan cara menghubungkan satu topik
dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang sedang dipelajari oleh siswa
tetapi berbeda jam. Ini diistilahkan Drake dengan multidisciplinary.
Misalnya, ketika jam tertentu siswa belajar tentang mahluk hidup,maka
guru dapat meminta siswa untuk mengigat atau mengungkapkan
pengetahuan yang diperolehnya dalam pelajaran lain yang terkait.
Keempat, mempelajari satu topik dengan menggunakan berbagai
perspektif dalam waktu bersamaan. Ini disebut Drake dengan istilah
interdicplinary. Misalnya, topik lingkungan dijelaskan melalui perspektif
budaya, geografi, biologi, sosial, agamadan sebagainya. Langkah keempat
tersebut cenderung mengedepankan pendekatan perandingan (comparative
perspective). Kelima, transdiciplinary, yaitu mengaitkan suatu topik
dengan nilainilai, peristiwa, isu-isu terkini (current issues) yang sedang
berkembang.9
Secara implementatif dalam wilayah pembelajaran, model integrasi
meliputi ranah filosofis, ranah materi, ranah metodologi, dan ranah
strategi. Ranah filosofis dalam pembelajaran berarti bahwa setiap mata
pelajaran harus diberi nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya
dengan disiplin ilmu lainnya. Pada ranah materi, pembelajaran integratif
ditandai dengan pengintegrasian materi satu disiplin ilmu dengan lainnya
untuk saling melengkapi dan menguatkan. Integrasi pada ranah
metodologi pembelajaran mengharuskan penggunaan berbagai pendekatan
keilmuan, sedangkan pada ranah strategi pembelajaran integratif
8Susan M. Drake, Creating Integrated Curriculum Proven Ways to Increse Student Learning,
California: Corwin Press, 1998.h. 18 9Ibid, 46-47
215
ditunjukkan dengan penerapan strategi pembelajaran yang variatif dengan
penekanan yang besar terhadap prinsip pembelajaran aktif.10
Basuki, dkk, menjelaskan tentang model-model integrasi-
interkoneksi dalam pembelajaran: pertama, model al-Mihwary, adalah
model integrasi-interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum melalui
learning and teaching activities yang dilaksanakan melalui proses
pembelajaran langsung maupun tidak langsung yang didukung dengan
kurikulum pesantren, kemenag dan kemendikbud dan didukung oleh guru
yang berbasis alumni dari lulusan pesantren, kemenag dan kemendikbud.
Kedua, model al-Mutarabath, adalah integrasi-interkoneksi antara ilmu
agama dan ilmu umum melalui self developent activities yang
dilaksanakan melalui proses pembelajaran langsung maupun tidak
langsung yang didukung dengan kurikulum kemenag dan kemendikbud
dan didukung oleh guru yang berbasis alumni dari lulusan kemenag dan
kemendikbud. Ketiga, model al-Nasyath, adalah model integrasi-
interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum melalui learning and
teaching activitiesyang dilaksanakan melalui proses pembelajaran
langsung maupun tidak langsung yang didukung dengan kurikulum
kemenag dan kemendikbud dan didukung oleh guru yang berbasis alumni
dari lulusan kemenag dan kemendikbud.11
Integrasi nilai-nilai religius dan nasionalisme dalam Pendidikan
Anak Usia Dini ini nantinya masih terbatas menerapkan nilai-nilai tersebut
dalam proses pembelajaran (RPPH) dalam materi yang sudah dikeluarkan
oleh pemerintah dalam Permendikbud Nomor 146 Tahun 2014, dengan
menggunakan strategi yang variatif dan menyenangkan bagi seorang anak.
Dikarenakan target utama adalah implementasi integrasi nilai-nilai religius
dan nasionalisme adalah anak-anak, maka bagaimana proses integrasi ini
nantinya tidak membosankan dan menjenuhkan, tapi dibuat menarik dan
diharapkan mencapai target maksimal untuk mencapai penanaman nilai-
nilai religius dan nasionalisme sejak dini. Adapun untuk pengembangan
nilai integrasi dengan cara yang lain akan dibahas dalam paper berikutnya.
b. Nilai Religius dan Nasionalisme
Nilai dalam bahasa inggris disebut juga value, sedangkan menurut
kamus besar bahasa Indonesia adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting
atau berguna bagi kemanusiaan.12
Kalau ditarik dalam pengertian nilai
religius dan nasionalisme, nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang
berada pada suatu lingkup sistem kepercayaan yang berada dimana
seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai
10 Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan
Kurikulum, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006. H. 28-32 11 Basuki, dkk. Menakar Integrasi Interkoneksi Keilmuan (Nilai Keislaman dan Ilmu
Pengetahuan pada Kurikulum 2013), (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2016), h. 197-200 12 http://kbbi.web.idaccessed 16 June 2017
216
sesuatu yang dianggap pantas atau tidak pantas. Ini berarti pemaknaan
atau pemberian arti terhadap suatu objek.13
Keberagaman atau religiusitas, menurut Islam adalah melaksanakan
ajaran agama atau ber-Islam secara menyeluruh. Oleh karena itu setiap
muslim, baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak, diperintahkan
untuk melakukannya dalam rangka beribadah kepada Allah. Dimanapun
dan dalam keadaan apa-pun, setiap muslim hendaknya ber-Islam. Di
samping tauhid atau akidah, dalam Islam juga ada syari’ah dan akhlak.
Sehingga akan tumbuh nilai religiusitas pada setiap diri orang mukmin
dimanapun berada.14
Jadi secara umum makna nilai-nilai religius adalah nilai-nilai
kehidupan yang mencerminkan tumbuh kembangnya kehidupan beragama
yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah dan akhlak yang
tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan secara konsisten
dan istiqomah. Pertama yaitu berupa akidah atau kepercayaan kepada
Allah SWT, materi akidah meliputi konsep Iman, Islam, Ihsan, dan lain
sebagainya. Nilai religius yang kedua, berupa syariah atau praktik agama
meliputi hukum Islam, praktek sholat, haji, zakat, infaq, dan seterusnya.
Nilai religius yang terakhir adalah akhlak seseorang sebagai wujud
ketakwaan manusia kepada Tuhannya, misalkan sabar, taat, tawadhu,
ikhlas, takwa dan lain sebagainya. Ketiga hal tersebut memang tak bisa
terpisahkan, karena saling melengkapi satu sama lain yang membentuk
manusia yang mempunyai nilai religius tinggi dihadapan Allah.
Nilai yang tak kalah penting dari nilai spiritual untuk membentuk
pribadi yang unggul adalah nilai nasionalisme. Nasionalisme dalam
dimensi historisitas dan normativitas merupakan sebuah penemuan sosial
yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling
kurang dalam dasa warsa seratus tahun terakhir. Nasionalisme menjadi
payung sosial-kultur negara-negara manapun untuk mengukuhkan
integritasnya. Nasionalisme merupakan “ruh” sosial-kultur untuk
membentuk dan memperkokoh identitas nasional sebagai jati diri bangsa
yang telah memiliki martabat kemerdekaan.
Anderson (1991) memandang nasionalisme sebagai sebuah ide atas
komunitas yang dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa,
bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota
dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas
yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi
referensi identitas sosial. Pandangan konstruktivis tersebut menarik karena
meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam
13 Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, (Malang: UIN MALIKI
PRESS. 2010), 66 14
Ngainun Naim, Character Building Optimalisasi Peran Pendidikan Dalam
Pengembangan Ilmu dan Pembentukan Karakter Bangsa, (Jogjakarta: Arruz Media, 2012) , 125
217
membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi
secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-mata
fabrikasi ideologis dari kelompok dominan (Amir, 2007).
Nasionalisme merupakan sikap dan tingkah laku individu atau
masyarakat yang merujuk pada loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa
dan negaranya (Dwi Putra, 2003). Tetapi, secara empiris nasionalisme
tidak sesederhana definisi itu, melainkan selalu dialektis dan interpretatif,
karena nasionalisme bukan pembawaan manusia sejak lahir, melainkan
sebagai hasil peradaban manusia dalam menjawab tantangan hidupnya.
Sejarah Indonesia membuktikan bahwa kebangkitan rasa
nasionalisme didaur ulang kembali oleh para generasi muda, karena
mereka merasa ada yang menyimpang dari perjalanan nasionalisme
bangsanya. Republik Indonesia didirikan bersama dalam bentuk bangunan
negara kebangsaan menurut teori dan prinsip nasionalisme modern mirip
dengan yang dianut Amerika Serikat. Konstruksi kesatuan bangsa yang
dibangun berdasarkan konsep Bhineka Tunggal Ika (pluralisme)
merupakan produksejarah.
Demikian pula untuk membangun tekad kesatuan. Unit kesatuan
teritorian dan unit kesatuan bangsa yang dinyatakan sebagai negara
kebangsaan yang telah merdeka (independent) mencakup wilayah seluruh
daerah Hindia Belanda. Kebanggaan sebagai bangsa dinyatakan dalam
lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, dan kesatuan kita sebagai bangsa dikat
dengan kuat oleh bahasa negara ”bahasa Indonesia” dan bendera negara
”Sang Merah Putih”(Daliman, 2006:62).
Aktualisasi nilai-nilai nasionalisme ditunjukkan melalui upaya
penanaman: (a) rasa bangga sebagai bangsa Indonesia; (b) rasa cinta tanah
air dan bangsa; (c) rela berkorban demi bangsa; (d) menerima
kemajemukan; (e) rasa bangga pada budaya yang beraneka ragam; (f)
menghargai jasa para pahlawan; dan (g) mengutamakan kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi.15
c. Teori Perkembangan Anak
Anak usia dini (0-8) tahun adalah individu yang sedang mengalami
proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Bahkan
dikatakan sebagai golden age (usia emas) yaitu usia yang sangat berharga
dibanding usia-usia selanjutnya. Usia tersebut merupakan fase kehidupan
yang unik, secara lebih rinci akan diuraikan karakteristik anak usia dini
sebagai berikut.16
1) Usia 0-1 tahun
Beberapa karakteristik anak usia bayi dapat dijelaskan antara lain:
15 “Aman Nilai Nasionalisme Sejarah Pdf - Penelusuran Google,” n.d., 23.
16 Diah Ayuningsih, Psikologi Perkembangan Anak, (Yogyakarta: Pustaka Larasati), 94.
218
Mempelajari keterampilan motorik mulai dari berguling, merangkak,
duduk, berdiri, dan berjalan.
Mempelajari keterampilan menggunakan panca indera, seperti
melihat, atau mengamati, meraba, mendengar, mencium, dan
mengecap dengan memasukkan setiap benda ke mulut
Mempelajari komunikasi social.17
2) Usia 2-3 tahun
Beberapa karakteristik khusus yang dilalui anak usia 2-3 tahun antara
lain:
Beberapa sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di
sekitarnya
Anak mulai mengembangkan kemampuan berbahasa
Anak mulai belajar mengembangkan emosi.18
3) Usia 4-6 tahun
Anak usia 4-6 tahun memiliki karakteristik antara lain:
Berkaitan dengan perkembangan fisik, anak sangat aktif melakukan
berbagai kegiatan
Perkembangan bahasa juga semakin baik
Perkembangan kognitif (daya fikir) sangat pesat, ditunjukkan
dengan rasa ingin tahu anak yang luar biasa terhadap lingkungan
sekitar.
Bentuk permainan anak masih bersifat individu, bukan permainan
sosial.19
4) Usia 7-8 tahun
Karakteristik perkembangan anak usia 7-8 tahun antara lain:
Perkembangan kognitif anak masih berada pada masa yang cepat.
Perkembangan sosial anak mulai ingin melepaskan diri dari otoritas
orang tuanya.
Anak mulai menyukai permainan sosial
Perkembangan emosi.20
17Ibid 18Ibid, 95. 19
Ibid. 20Ibid.
219
d. Definisi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Undang-undang Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 1 angka 14 dinyatakan bahwa, Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak
lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani, agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut, baik pendidikan secara formal di sekolah maupun
secara non formal.21
Anak yang usianya di bawah 6 tahun, bisa belajar pada jenjang
PAUD. Secara umum tujuan PAUD adalah mendidik secara jasmani dan
rohani anak agar menjadi manusia seutuhnya, dan siap ketika memasuki
jenjang berikutnya yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Dasar ataupun
sekolah non formal yang lain. PAUD era sekarang ini mulai mendapat
perhatian lebih dari masyarakat, karena semakin tumbuhnya kesadaran
orang tua akan arti pentingnya sebuah pendidikan. Selain itu, lembaga
PAUD juga banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia, sehingga
banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya ke PAUD.
e. Proses Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem
Pendidikan dapat dipandang sebagai sistem karena didalamnya
meliputi komponen-komponen yang harus saling berkaitan satu sama
lainnya dalam mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Komponen-komponen yang dimaksud, meliputi: raw input (siswa),
instrumental input (guru, tenaga administratif, sarana dan prasarana,
metode atau kurikulum, keuangan), enviromental input (masyarakat dan
lingkungan alam), proses transformasi (pendidikan), output (lulusan).
Dengan demikian untuk mencapai output (lulusan) yangberkualitas sangat
dipengaruhi oleh komponen-komponen yang lainnya. Pendidikan sebagai
sistem dapat dilihat pada model sebagai berikut:22
21
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 22 “15_PENELITIAN_TEKNOLOGI_PEMBELAJARAN.pdf,” n.d.
220
1. Input Pendidikan
Input adalah bahan mentah yang dimasukkan ke dalam
trasformasi. Dalam dunia sekolah maka yang dimaksud dengan bahan
mentah adalah calon siswa yang baru akan memasuki sekolah. Sebelum
memasuki suatu tingkat sekolah (institusi), calon siswa itu dinilai
dahulu kemampuannya. Dengan penilaian itu ingin diketahui apakah
kelak ia akan mampu mengikuti pelajaran dan melaksanakan tugas-
tugas yang akan diberikan kepadanya.23
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus ada dan
tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya suatu proses. Segala
sesuatu yang dimaksud adalah berupa sumberdaya, perangkat-
perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai alat dan pemandu bagi
berlangsungnya proses.24
a. Input sumber daya Input sumber daya manusia, meliputi: kepala
sekolah, guru, karyawan, dan siswa. Input sumber daya non
manusia, meliputi: peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dan lain-
lain.
b. Input perangkat lunak yaitu yang meliputi: struktur organisasi
sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana
pendidikan, program pendidikan, dan lain-lain.
c. Input harapan-harapan yang berupa: visi, misi, tujuan, dan sasaran-
sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah tersebut semakin tinggi
tingkat kesiapan input, maka semaki tinggi pula mutu input tersebut.
Pembahasan dan pengertian input pendidikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus
tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Segala
sesuatu itu berupa sumberdaya manusia dan sumber daya non manusia
sebagai berlangsunnya proses pendidikan
2. Proses Pendidikan
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi
sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya
proses disebut input, sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut
output. Dalam pendidikan proses yang dimaksud adalah proses
pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses
pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring
dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar mengajar memiliki
23 Suharsimi Arikonto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara. 2009.
Edisi Revisi. 4 24
Dikmenum, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi
Sekolah, Jakarta: Depdikbud, 1999, 108
221
tingkat kepentingan tinggi dibandingkan dengan proses-proses yang
lain.25
Proses akan dikatakan memiliki mutu yang tinggi apabila
pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input (guru, siswa,
kurikulum, uang, peralatan, dan lain-lain) dilakukan secara harmonis,
sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang
menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan
minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.
Kata memberdayakan mempunyai arti bahwa peserta didik tidak
sekedar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, namun
pengetahuan yang mereka dapatkan tersebut juga telah menjadi muatan
nurani peserta didik yaitu mereka mampu menghayati, mengamalkan
dalam kehidupan sehari-hari, dan yang terpenting peserta didik tersebut
mampu belajar secara terus menerus atau mampu mengembangkan
dirinya. 26
Dalam proses pendidikan, mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Keefektifan proses belajar mengajar, meliputi: Internalisasi apa yang
dipelajari dan mampu belajar cara belajar yang baik
b. Kepemimpinan sekolah yang kuat, meliputi: kepala sekolah
memiliki kelebihan dan wibawa (pengaruh) dan kepala sekolah
harus mengkoordinasi, menggerakkan, menyerasikan sumberdaya
c. Manajemen yang efektif, meliputi Analisis kebutuhan, perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, kinerja, pengembangan, hubungankerja,
imbal jasa proporsional.
d. Memiliki budaya mutu, meliputi : Informasi kualitas untuk
perbaikan, bukan untuk mengontrol; Kewenangan sebatas
tanggungjawab; Hasil diikuti rewards atau punishment; Kolaborasi
dan sinergi, bukan persaingan sebagai dasar kerjasama; Warga
sekolah merasa aman dan nyaman bekerja; Suasana keadilan; Imbal
jasa sepadan dengan nilai pekerjaan
e. Memiliki Teamwork kompak, cerdas, dinamis dan output pendidikan
hasil kolektif, bukan hasil individual
f. Memiliki kemandirian, meliputi: Sekolah memiliki kewenangan
melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, memiliki kemampuan dan
kesanggupan kerja tanpa bergantung atasan, memiliki sumber daya
yang cukup
25 Dikmenum, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi
Sekolah, 203 26
Rohiat, Manajemen Sekolah; Teori Dasar dan Praktik, Bandung, Refika Aditama. 2008,
58
222
g. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat, meliputi partisipasi rasa
memiliki, rasa tanggungjawab, tingkat dedikasi
h. Memiliki keterbukaan manajemen, meliputi: keterbukaan pembuatan
keputusan, penggunaan uang, penyusunan program, pelaksanaan,
dan evaluasi program
i. Memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik), meliputi:
Perubahan adalah kenikmatan, kemapanan adalah musuh sekolah;
perubahan terkaitan dengan peningkatan lebih baik, terutama utuk
anak
j. Evaluasi dan perbaikan berkelanjutan, meliputi: Evaluasi tidak
hanya untuk mengetahui daya serap, tetapi bagairnana memperbaiki
dan meningkatkan PBM di sekolah; Evaluasi program sekolah
secara kontinyu; Tiada hari tanpa perbaikan; Sistem mutu baku
sebagai acuan perbaikan
k. Responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, meliputi: Tanggap
terhadap aspirasi peningkatan mutu; Membaca lingkungan dan
menanggapi cepat dan tepat
l. Sekolah memiliki akuntabilitas, meliputi: Pertanggungjawaban
sekolah terhadap: orang tua, masyarakat, siswa, pemerintah.
m. Memiliki Sustainabilitas, meliputi: Peningkatan SDM, diversifikasi
sumber dana, swadana, dukungan masyarakat yang tinggi.
Pengetian mengenai proses dalam pendidikan dapat ditarik
kesimpulan bahwa proses pendidikan adalah tindakan yang dilakukan
atau prosedur yang dilaksanakan, misalnya, mengajar, menilai, sistem
pengelolaan untuk menggunakan dan mengelola input agar dapat
menghasilkan output yang berkualitas.
3. Output Pendidikan
Yang dimaksud sebagai output atau keluaran adalah bahan jadi
yang dihasilkan oleh transformasi. Yang dimaksud dalam pembicaraan
ini adalah siswa lulusan sekolah yang bersangkutan. Untuk dapat
menentukan apakah seorang siswa berhak lulus atau tidak, perlu
diadakan kegiatan penilaian , sebagai alat penyaring kualitas.27
Output pendidikan adalah kinerja sekolah. Sedangkan kinerja
sekolah itu sendiri adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses
atau perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya,
27
Dikmenum, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi
Sekolah, 205-207
223
efektivitasnya, produktifitasnya, efesiensinya, inovasinya, kualitas
kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya.28
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja
sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku
sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya,
produktivitasnya, efesiendinya, inovasinya, kualitas kehidupan
kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu
output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan
berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khusunya prestasi
belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi
akademik, berupa nilai ulangan umum, UNAS, karya ilmiah, lomba
akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ,
kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan kejujuran, dan
kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi
oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti
misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.29
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang atau jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuasakan
kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Efektifitas adalah ukuran
yang menyatakan sejauh mana sasaran (kuantitas, kualitas, dan waktu)
yang telah dicapai. Produktifitas adalah hasil perbandingan antara
output dan input. Baik output dan input adalah dalam bentuk kuantitas.
Kuantitas input berupa tenaga kerja, modal, bahan, dan energi.
Sedangkan kuantitas output berupa jumlah barang atau jasa yang
tergantung pada jenis pekerjannya.
Output sekolah dapat dikatakan berkualitas dan bermutu tinggi
apabila prestasi pencapaian siswa menunjukan pencapaian yang tinggi
dalam bidang: Prestasi akademik, berupa nilai ujian semester, ujian
nasional, karya ilmiah, dan lomba akademik. Prestasi non akademik,
berupa kualitas iman dan takwa, kejujuran, kesopanan, olahraga,
kesenian, keterampilan, dan kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler lainnya.
Berkenaan dengan output dalam pendidikan dapat disimpulkan bahwa
output pendidikan adalah hasil atau tolak ukur dari sebuah proses
pendidikan yang akan menentukan baik, buruk atau berhasil atau tidak
berhasil dari pelaksanaan program pendidikan itu sendiri
Terkait dengan itu, pasal 35 UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
28 Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Akasras. 2013, Cet
ke-2, 5 29
Dikmenum, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi
Sekolah, 213
224
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan
menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab. Untuk
mewujudkan tujuan ini, pemerintah menetapkan standard nasional
penddikan yang tertuang dalam peraturan pemerintah No 19 tahun
2005 tentang standar nasional pendidikan.
Dalam peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa standard
nasional meliputi: (1) standar isi, (2) standar kompetensi lulusan (3)
standar proses, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)
standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar
pembiyaan (8) standar penilaian pendidikan.
B. Pembahasan
1. Penanaman Nilai-nilai Religius dan Nasionalisme di Lingkungan
Pendidikan
Untuk menanamkan nilai-nilai religius dan nasionalisme, suatu sekolah
atau madrasah harus mampu menciptakan suasana religius dan nasionalisme
melalui program atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh seluruh warga
sekolah, sehingga akan membentuk satu kesatuan yaitu budaya religius dan
nasionalisme sekolah.
Budaya religius adalah sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi
perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan
oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik, dan masyarakat
sekolah perwujudan budaya juga tidak hanya muncul begitu saja muncul begitu
saja, tetapi melalui pembudayaan.30
Misalnya kejujuran, rahasia untuk meraih sukses menurut mereka adalah
dengan selalu berkata jujur. Mereka menyadari, justru ketidakjujuran kepada
pelanggan, orangtua, pemerintah dan masyarakat, pada akhirnya akan
mengakibatkan diri mereka sendiri terjebak dalam kesulitan yang berlarut-larut.
Total dalam kejujuran menjadi solusi, meskipun kenyataan begitu pahit. Dan
Keadilan, merupakan salah satu skill seseorang yang religius adalah mampu
bersikap adil kepada semua pihak, bahkan saat ia terdesak sekalipun. Mereka
berkata, “pada saat saya berlaku tidak adil, berarti saya telah mengganggu
keseimbangan dunia, dan banyak manfaat manfaat nilai-nilai kebaikan yang lain
Misalnya tentang mencintai Indonesia,ketika Indonesia mendapatkan
serangan dari luar sejak dini sudah tersadar bahwa kita harus membela tanah air
dengan mengerahkan seluruh jiwa dan raga dengan tanpa berfikir panjang lagi.
Nilai yang lain, tentang musyawarah yang mufakat, sehingga ketika kita
berargumen tidak menggunakan debat kusir atau saling menjatuhkan tetapi
untuk memecahkan masalah secara bersama dan demi tujuan bersama, ataupun
30 Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah...,. 116
225
nilai nilai nasionalisme yang lain dan perlu kita internalisasi dalam kehidupan
sehari-hari secara efektif.
Dalam konteks pembelajaran PAUD, beberapa nilai religius tersebut
bukanlah tanggung jawab guru PAUD yang pandai materi Agama semata.
Kejujuran tidak hanya disampaikan lewat guru A ataupun guru B, tetapi juga
semua guru PAUD. Demikian pula ketika menerapkan nilai nasionalisme,
semisal nilai demokrasi, pancasila, cinta tanah air, pluraslisme, bukan hanya
tanggung jawab guru PAUD yang ahli PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) saja,
namun semua guru PAUD wajib menginternalisasi nilai-nilai tersebut agar
tercipta proses pembelajaran yang terintegrasi nilai religius dan nasionalisme,.
Menurut Ngainun Naim, ada banyak strategi untuk menanamkan religius
ini di sekolah. Pertama, pengembangan kebudayaan religius secara rutin dalam
hari-hari belajar biasa. Kedua, menciptakan lingkungan lembaga pendidikan.
Ketiga, pendidikan agama tidak hanya disampaikan secara formal dalam
pembelajaran dengan materi pelajaran agama. Keempat, menciptakan situasi
atau keadaan religius. Kelima, memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat, dan kreatifitas
pendidikan agama dalam ktrampilan dan seni, seperti membaca Al-Qur‟ an,
adzan, sari tilawah. Keenam, menyelenggarakan berbagai macam perlombaan
seperti cerdas cermat untuk melatih dan membiasakan keberanian, kecepatan,
dan ketepatan menyampaikan pengetahuan dan mempraktikkan materi
pendidikan agama Islam. Ketujuh, diselenggarakannya aktivitas seni. Seperti
suara, seni musik, seni tari, atau seni karya.31
Dari ketujuh strategi diatas harus dikembangkan dan diterapkan dalam
suatu lembaga pendidikan. Kegiatan rutin ini memerlukan waktu khusus. Dalam
kerangka ini, penerapan nilai-nilai religius dan nasionalisme merupakan tugas
dan tanggung jawab bersama semua guru PAUD. Kerjasama semua unsur ini
memungkinkan nilai religius dan nasionalisme dapat terinteralisasi secara lebih
efektif.
2. Peraturan Standar Proses dalam PAUD dan RPPH
Berikut akan dijelaskan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 yang mengatur tentang Standar
Nasional Anak Usia Dini, yang salah satunya menyebutkan tentang standar
proses yang berimplikasi pada penyusunan RPPH bagi guru-guru PAUD seluruh
wilayah Indonesia.
Pasal 1 ayat 1 menyebutkan Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini
selanjutnya disebut Standar PAUD adalah kriteria tentang pengelolaan dan
penyelenggaraan PAUD di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia
31 Ngainun Naim, Character Building Optimalisasi Peran Pendidikan dalam ..., 125
226
Pasal 1 ayat 4 Standar Proses adalah kriteria tentang pelaksanaan
pembelajaran pada satuan atau program PAUD dalam rangka membantu
pemenuhan tingkat pencapaian perkembangan yang sesuai dengan tingkat usia
anak.
Pasal 1 ayat 10 Pendidikan Anak Usia Dini adalah upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia 6 (enam) tahun yang dilakukan
melalui pemberian rancangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pasal 1 ayat 12 Kurikulum PAUD adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengembangan serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pengembangan untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pasal 2 (1) Standar PAUD terdiri atas: a. Standar Tingkat Pencapaian
Perkembangan Anak; b. Standar Isi; c. Standar Proses; d. Standar Penilaian; e.
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; f. Standar Sarana dan Prasarana; g.
Standar Pengelolaan; dan h. Standar Pembiayaan.
Pasl 4 ayat (1) Standar PAUD bertujuan menjamin mutu pendidikan anak
usia dini dalam rangka memberikan landasan untuk: a. melakukan stimulan
pendidikan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani sesuai dengan tingkat pencapaian perkembangan anak; b.
mengoptimalkan perkembangan anak secara holistik dan integratif; dan c.
mempersiapkan pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan anak
Pasal 11 Standar Proses mencakup: a. perencanaan pembelajaran; b.
pelaksanaan pembelajaran; c. evaluasi pembelajaran; dan d. pengawasan
pembelajaran.
Pasal 12 (1) Perencanaan pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 huruf a dilakukan dengan pendekatan dan model pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan, karakteristik anak, dan budaya lokal. (2) Perencanaan
pembelajaran meliputi: a. program semester (Prosem); b. rencana pelaksanaan
pembelajaran mingguan (RPPM); dan c. rencana pelaksanaan pembelajaran
harian (RPPH).
Pasal 15 (1) Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan rencana
pelaksanaan pembelajaran harian. (2) Pelaksanaan pembelajaran mencakup: a.
kegiatan pembukaan; b. kegiatan inti; dan c. kegiatan penutup.
Landasan hukum RPPH PAUD terdapat dalam Permendikbud Nomor 146
Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013. Rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) merupakan rancangan bagi guru untuk melaksanakan kegiatan bermain
yang memfasilitasi anak dalam proses belajar. Di dalam pembuatan rencana
pembelajaran harus mengacu kepada karakteristik (usia, sosial budaya, dan
227
kebutuhan individual) anak. Berikut ini adalah rambu-rambu dalam menyusun
RKH / RPPH PAUD.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 146 Tahun 2014 Tentang Kurikulum
2013 PAUD, guru menyiapkan 2 dokumen yang terdiri dari: Dokumen 1 berisi
sekurang-kurangnya: visi, misi, tujuan satuan pendidikan, program
pengembangan dan materi pembelajaran, pengaturan beban belajar, kalender
pendidikan dan program tahunan, dan SOP. Dokumen 2 berisi perencanaan
program semester (Prosem), rencana pelaksanaan pembelajaran mingguan
(RPPM), dan rencana pelaksanaan pembelajaran harian (RPPH) yang dilengkapi
dengan rencana penilaian perkembangan anak.
Berkaitan dengan tugas guru sebagai perencana, perencanaan
pembelajaran wajib disusun oleh guru secara mandiri, sesuai dengan yang
tertuang dalam Dokumen 2. Terdapat tiga jenis perencanaan pembelajaran yang
harus disusun dan disiapkan oleh guru sebelum melaksanakan pembelajaran
yaitu: Program Semester (Prosem). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Mingguan (RPPM), dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian (RPPH).
Dalam menyusun ketiga jenis perencanaan di atas, harus mengacu pada muatan
pembelajaran yang telah dirumuskan dalam Dokumen 1 (pemetaan materi
pembelajaran berdasarkan program dan kompetensi dasar).
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Mingguan RPPM disusun sebagai
acuan pembelajaran selama satu minggu. RPPM dapat berbentuk jaringan tema
atau format lain yang dikembangkan oleh satuan PAUD yang berisi projek-
projek yang akan dikembangkan menjadi kegiatan pembelajaran. Pada akhir
satu atau beberapa tema dapat dilaksanakan kegiatan puncak tema untuk
menunjukkan hasil belajar. Puncak tema dapat berupa kegiatan antara lain
membuat kue/makanan, makan bersama, pameran hasil karya, pertunjukan,
panen tanaman, dan kunjungan.
Format RPPH PAUD tidak harus baku, tetapi minimal memuat
komponen-komponen yang ditetapkan. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Harian RPPH disusun sebagai acuan pembelajaran harian. Komponen RPPH
meliputi antara lain: tema/sub tema/subsub tema, kelompok usia, alokasi waktu,
kegiatan belajar (kegiatan pembukaan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup),
indikator pencapaian perkembangan, penilaian perkembangan anak, serta media
dan sumber belajar.32
3. RPPH Kurikulum 2013 Terintegrasi dengan Nilai-nilai Religius dan
Nasionalisme
TK PAUD JATIM KOTA MADIUN
TAHUN AJARAN 2016/2017
32 Permendikbud No. 146 Tahun 2014
228
Model Pembelajaran : Kelompok
Hari, Tanggal : Senin, 22 Mei 2017
Kelompok / Usia : A (4–5 Tahun)
Tema / Sub Tema : Keluarga / Rumahku
A. MATERI DALAM KEGIATAN
1. Berdoa sebelum dan sesudah belajar,
2. Membuat bentuk rumah dari kardus bekas,
3. Menggambar bebas yang bertemakan rumah,
4. Menyebutkan nama huruf depan pada gambar: jendela, atap, pintu
5. Menyebutkan posisi orang yang sedang membangun rumah,
6. Tepuk ”Rumah”, dan cerita gambar seri “Orang Membangun Rumah”
7. Menghayati Hadist Baity Jannati
8. Menghayati pentingnya cinta Produk dalam Negeri
Tepuk “Rumah”
Plok- plok- plok
Gali pundasi
Plok- plok- plok
Pasang dinding
Plok- plok- plok
Pasang genting
Plok- plok- plok
Pasang keramik
Palok- plok- plok
RUMAH
Cerita gambar seri “Orang Membangun Rumah”
1. Gambar orang membeli bahan bangunan untuk
membangun rumah.
2. Gambar menggali pundasi rumah.
3. Gambar orang membuat/membangun
embok/dinding.
4. Gambar orang memasang genteng.
5. Gambar orang memasang keramik/lantai.
6. Gambar orang mengecat rumah
7. Gambar perabot rumah
B. MATERI YANG MASUK DALAM PEMBIASAAN
1. Bersyukur sebagai ciptaan Tuhan
2. Mengucapkan salam masuk dalam SOP penyambutan dan penjemputan
3. Doa sebelum belajar dan mengenal aturan masuk ke dalam SOP
pembukaan
4. Mencuci tangan dan menggosok gigi masuk dalam SOP sebelum dan
sesudah makan.
229
C. NILAI RELIGIUS DAN NASIONALISME YANG
DIKEMBANGKAN
1. Hadist tentang “Baiti Jannati”
2. Cinta Produk-produk dalam Negeri
D. ALAT DAN BAHAN
1. Gambar seri orang membangun rumah,
2. Kardus-kardus bekas, buku gambar, crayon,
3. Gambar jendela, atap, pintu,
4. Buku Seri Keluarga halaman 19
5. Buku Seri Keluarga halaman 19
E. KEGIATAN BELAJAR
Kegiatan belajar Integrasi
Nilai Waktu Sumber
Pembukaan
Salam/ Do’a
Membuka pembelajaran
dengan salam dan berdo’a
bersama dipimpin oleh
salah seorang peserta didik
dengan penuh khidmat;
Absensi
Memperlihatkan kesiapan
diri dengan mengisi lembar
kehadiran dan memeriksa
kerapihan pakaian, posisi
dan tempat duduk
disesuaikan dengan
kegiatan pembelajaran
Apersepsi
Guru mengajukan
pertanyaan secara
komunikatif tentang hal-
hal yang berkaitan dengan
materi Rumahku
Pertanyaannya: Siapa
diantara kalian yang punya
rumah? Bagaimana
bentuknya? Apa saja
bagian rumah?
30’
Inti
Mengamati
Guru meminta masing-
60’ Gambar
seri
230
masing siswa untuk
melihat gambar orang
sedang membangun
rumah yang diacak
Menanya
Tugas murid mengurutkan
gambar seri “Orang
Membangun Rumah”
Siswa boleh bertanya
ketika mengurutkan
gambar rumah
Guru selalu mengawasi
dan mengontrol pekerjaan
siswa
Mengeksplorasi
Guru menyuruh siswa
untuk membuat bentuk
rumah dari kardus bekas
Menggambar bebas yang
bertemakan rumah
Menyebutkan nama huruf
depan pada gambar:
jendela, atap, pintu
Menyebutkan posisi orang
yang sedang membangun
rumah
Mengasosiasi
Guru mengaitkan materi
Rumahku dengan hadist
“Baiti Jannati” dan
mencintai produk buatan
Indonesia
Guru menggunakan
metode jibril yaitu
mengulang-ulang teks,
agar siswa hafal tentang
hadist “Baiti Jannati”
Setelah hafal guru
menjelaskan arti dari
“Baiti Jannati” adalah
rumahku surgaku. Artinya
kita harus menciptakan
rumah kita tempat yang
paling nyaman dan paling
Menghayat
i hadist
“Baiti
Jannati”
”Orang
Memban
gun
Rumah”
Kardus-
kardus
bekas
Buku
gambar,c
rayon
Gambar
jendela,a
tap, pintu
Buku
Seri
Keluarga
hal 19
231
bahagia karena bisa
bertemu dengan keluarga
dan bisa melaksanakan
ajaran-ajaran Islam secara
bersama yang bahagia
seperti di dalam surga.
Setelah itu, guru
mengaitkan materi
rumahku dengan materi
cinta produk dalam negeri
Guru bertanya, mengenai
isi perabot dalam rumah?
Disarankan dan di dorong
agar seluruh siswa
membeli perabot produk
asli Indonesia. Dengan
tanda tulisan di perabot
yaitu “made in Indonesia”
Agar siswa tumbuh dan
berkembang menjadi
siswa yang nasionalis dan
cinta Indonesia.
Mengkomunikasi
Beberapa siswa
dimotivasi dan didorong
untuk maju ke depan dan
menceritakan pengalaman
belajar hari ini, tentang
membuat rumah dari
kardus, menggambar
bentuk rumah, materi baiti
jannati dan materi cinta
produk dalam negeri.
Menghayat
i
pentingnya
cinta
produk
dalam
negeri
Istirahat
Cuci tangan, makan, minum 30’ Bekal
anak
Penutup
Refleksi
Bertepuk tangan “Tepuk
Rumah”
Berjalan jinjit ke belakang
di atas garis lurus
RTL
Memberikan PR kepada
siswa tentang tema
rumahku
30’ Tepuk
Rumah
Garis
lurus
232
Doa/Salam
Pendidik
menutup/mengakhiri
pelajaran tersebut dengan
membaca hamdalah/doa;
Pendidik mengucapkan
salam kepada para peserta
didik sebelum keluar kelas
dan peserta didik
menjawab salam.
F. PENILAIAN
1. Lingkup Perkembangan, STPPA, dan Indikator
No Lingkup
Perkembangan
Standar Tingkat Pencapaian
Perkembangan Anak (STPPA) KD Indikator
I Nilai Agama
dan Moral
2. Meniru gerakan beribadah.
4. Mengenal perilaku
baik/sopan dan buruk.
5. Membiasakan diri
berperilaku baik.
1.1
3.1
4.1
3.2
4.2
a. Meniru sikap
berdoa
b. Meniru gerakan
sembahyang
c. Bersikap ramah
d. Mau
bekerja/bermain
dengan teman
I
I
Nilai Religius dan
Nasionalisme
7. Menghayati Hadist “Baity
Jannati”
8. Menghayati pentingnya
cinta produk dalam negeri
1.1
1.1
a. Menghayati
Hadist “Baity
Jannati”
b. Menghayati
pentingnya cinta
produk dalam
negeru
I
II
Fisik Motorik 6. Melakukan gerakan
antisipasi
5 Mengekspresikan diri
dengan berkarya seni
menggunakan berbagai
media.
2.1
3.3
4.3
a. Berjalan berjinjit
b. Menggambar
bebas
I
V
Kognitif 2 Menggunakan benda-benda
sebagai permainan simbolik
(kursi sebagai mobil).
4 Mengenal lambang huruf.
3.6
4.6
a. Mempergunakan
barang bekas
sebagai barang
jualan
b. Menyebutkan
nama huruf
depan pada kata
233
nama suatu
benda
V Bahasa 4 Mengungkapkan perasaan
dengan kata sifat (baik,
senang, nakal, pelit, baik
hati, berani, baik, jelek,
dsb.).
5 Menyebutkan kata-kata
yang dikenal.
5 Menceritakan kembali
cerita/dongeng yang pernah
didengar.
3.11
4.11
a. Menceritakan
pengalamannya
sendiri
b. Menyebutkan
posisi /
keterangan
tempat Misalnya:
di luar, di dalam,
di atas di bawah,
di depan,
dibelakang, di
kiri, di kanan dsb
c. Mengurutkan
gambar seri (3-4
gambar)
V
I
Sosial Emosional 3 Mau berbagi, menolong, dan
membantu teman.
2 Menaati aturan yang berlaku
dalam suatu permainan.
3.13
4.13
a. Mau
mengambilkan
sesuatu untuk
kepentingan
teman
b. Bermain sesuai
dengan prosedur
V
II
Seni 6 Mengekspresikan gerakan
dengan irama yang
bervariasi
3.15
4.15
a. Melakukan tepuk
dengan irama
yang bervariasi
bersama dengan
teman
2. Teknik Penilaian
a) Catatan hasil karya
b) Catatan anekdot, dan
c) Skala capaian perkembangan (rating scale)
Lembar teknik penilaian disajikan pada lembar terpisah.
Madiun, 22 Mei 2017
Mengetahui,
Kepala TK PAUD JATIM
Guru
……………………………
……………………………
234
4. Materi dalam PAUD dan Integrasi Nilai-nilai Religius dan
Nasionalisme
Berikut disajikan Kompetensi Dasar dalam PAUD menurut Permendikbud
146 Tahun 2014 yang terintegrasi nilai-nilai religius dan nasionalisme:
MATERI NILAI RELIGIUS NILAI
NASIONALISME
3.1. Mengenal
kegiatan beribadah sehari-
hari
Ajaran Sholat Berjamaah di
Masjid
Toleransi
3.2. Mengenal
perilaku baik sebagai
cerminan akhlak mulia
Hadist tentang Berbuat Baik Bahaya Korupsi
3.3. Mengenal
anggota tubuh, fungsi, dan
gerakannya untuk
pengembangan motorik
kasar dan motorik halus
Nikmat Sehat Musyawarah
3.4. Mengetahui
cara hidup sehat
Hadist “Annadhofatu minal iiman” Bangga produk Indonesia
(Makan buah-buahan
lokal)
3.5. Mengetahui
cara memecahkan masalah
sehari-hari dan
berperilaku kreatif
Kemampuan otak adalah
pemberian Allah
Rukun sesama tetangga
3.6. Mengenal
benda-benda disekitarnya
(nama, warna, bentuk,
ukuran, pola, sifat, suara,
tekstur, fungsi, dan ciri-
ciri lainnya)
Iman kepada Allah Hidup Rukun
3.7. Mengenal
lingkungan sosial
(keluarga, teman, tempat
tinggal, tempat ibadah,
budaya, transportasi)
Ajaran tentang Perbedaan adalah
Rahmat
Bhinneka Tunggal Ika
3.8. Mengenal
lingkungan alam (hewan,
tanaman, cuaca, tanah, air,
batubatuan, dll)
Allah maha penciipta Bangga hidup di
Indonesia
3.9. Mengenal
teknologi sederhana
(peralatan rumah tangga,
peralatan bermain,
Penemu-penemu Teknologi dalam
Islam
Cinta produk dalam
Negeri
235
peralatan pertukangan,
dll)
3.10.Memahami
bahasa reseptif
(menyimak dan membaca)
Bersyukur diberi kemampuan
bicara
Cinta bahasa Indonesia
3.11.Memahami
bahasa ekspresif
(mengungkapkan bahasa
secara verbal dan non
verbal)
Anjuran tentang penggunaan
bahasa yang baik
Cinta bahasa Indonesia
3.12.Mengenal
keaksaraan awal melalui
bermain
Cerita Nabi Sulaiman Cinta bahasa Indonesia
3.13.Mengenal
emosi diri dan orang lain
Konsep “Fitrah” Gender
3.14.Mengenali
kebutuhan, keinginan, dan
minat diri
Cerita Nabi Adam Gender
3.15.Mengenal
berbagai karya dan
aktivitas seni
Karya Seni Agama Islam Bangga Karya seni
Indonesia
Tabel 1. Integrasi Nilai-nilai Religius dan Nasionalisme Pada PAUD
D. Kesimpulan
Ide tentang pembelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai religius dan
nasionalisme memang sudah lama tergaungkan, namun dipandang masih tidak rapi
dan belum dirumuskan dalam suatu tipologi pembelajaran yang khas, terstruktur,
dan sistematis. Wacana adanya RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
berkarakter dinilai masih belum maksimal dalam penerapannya, sehingga
pemerintah lebih memilih menerapkan kurikulum 2013 ketimbang
mengembangkan proses pembelajaran berkarakter.
Apalagi dalam dunia PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), pembiasaan
dengan mengintegrasikan proses pembelajaran dengan nilai-nilai religius dan
nasionalisme masih jauh panggang dari api. Pembiasaan pembiasaan yang terjadi
dalam proses pembelajaran AUD yang penulis lihat di RPPH (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran Harian) buatan TK PAUD Jateng Terpadu, terbatas
membiasakan diri lewat do'a, mengucapkan salam, gerakan sholat, gerakan wudhu,
dan belum ada pembiasaan yang mengarahkan pada aspek nasionalisme semisal
nilai-nilai pancasila, gorong royong, bhinneka tunggal ika, musyawarah dan lain
sebagainya,
Fenomena sosial yang tidak dapat dipungkiri pada masa sekarang ini adalah
lunturnya nilai-nilai nasionalismedan religius di kalangan generasi muda.
236
Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat pengaruh arus globalisasi yang begitu
hebat, dan masuk ke seluruh sendi kehidupan anak. Mulai dari kecil, anak-anak
sudah mengenal tekhnologi dalam sebuah gadget. Siapa yang tidak punya gadget
era sekarang ini? Begitu murahnya tekhnologi yang satu ini, sehingga dari
kalangan atas hingga ke bawah lapisan masyarakat Indonesia mempunyai gadget.
Negatifnya, gadget yang dipegang oleh anak kecil biasanya digunakan untuk
memutar video dan senang manghabiskan waktu untuk bermain game, anak tak
sadarkan diri untuk terus mengembangkan dirinya baik aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik.
Pada saat ancaman terhadap kesatuan bangsa sedang melanda, komponen
bangsa termasuk generasi muda lebih disibukkan oleh sifat-sifat hedonisme. Nilai-
nilai luhur budaya bangsa telah tercabut dari akarnya. Generasi muda lupa akan jati
diri dan eksistensinya sebagai penerus cita-cita kemerdekaan. Padahal, indikator
kemerdekaan perlu dibangun dengan nilai-nilai kebangsaan yang kokoh, semangat
nasionalisme, patriotisme, kecakapan religius, kolektivisme, dan fondasi nilai
budaya yang luhur. Namun, fenomena mengatakan lain, yaitu bahwa bangsa kita
lebih didominasi paham individualisme yang mengabaikan prinsip-prinsip
kolektivisme. Akibatnya, permasalahan sosial dan kultur banyak bermunculan di
sana-sini. Pemuda sibuk dengan kehidupan hedonisnya. Kepada siapa lagi pundak
kejayaan Indonesia nanti kita serahkan?
Secara tersirat, pemerintah Indonesia sebenarnya sangat mendukung betul
adanya pendidikan yang mengintegrasikan nilai religius dan nasionalisme.
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara
dinamis dan berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan
dan berbagai faktor yang berkaitan dengannya, dalam upaya pencapaian tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien.
Upaya untuk mewujudkan kedua hal tersebut bisa dilakukan dengan
membuat RPPH yang terintegrasi dengan nilai religius dan kebangsaan seperti
contoh di atas. Maka dari itu, harus segera dirumuskan proses pembelajaran yang
terintegrasi dengan nilai-nilai religius dan kebangsaan sejak usia dini. Apa yang
kita tanamkan sejak dini mengenai nilai-nilai kebaikan khususnya nilai religius dan
nasionalisme di PAUD, kelak kita akan memanen buah kebaikan pula. Sedangkan
jika kita tidak mengkonsepkan dan menanamkan apa-apa di PAUD, tentunya ke
depan kita tidak akan memanen buah kebaikan berupa nilai-nilai religius dan
nasionalisme untuk bangsa Indonesia yang integratif, kokoh, kuat, adil dan
bijaksana. Semoga!
References
Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi
Aksara.
237
Ayuningsih, Diah. Psikologi Perkembangan Anak , Yogyakarta: Pustaka
Larasati
Basuki, dkk. 2016. Menakar Integrasi Interkoneksi Keilmuan (Nilai
Keislaman dan Ilmu Pengetahuan pada Kurikulum 2013). Ponorogo: STAIN
Ponorogo Press.
Dikmenum, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis sekolah: Suatu Konsepsi
Otonomi Sekolah, Jakarta: Depdikbud,
Kunci, Kata, : Pengembangan, Potensi Anak, Usia Dini, and Pendekatan
Kelas. “Integrasi Pendidikan Moral Dan Pengembangan Kemampuan Kognitif
Anak Pada Jenjang Pendidikan Anak Usia Dini,” n.d., 1–16.
Kuntowijoyo.2005. Islam Sebagai Ilmu. Jakarta: Penerbit: Teraju.
M. Drake, Susan. 1998. Creating Integrated Curriculum Proven Ways to
Increse Student Learning, California: Corwin Press.
Naim, Ngainun. 2012. Character Building Optimalisasi Peran Pendidikan
Dalam Pengembangan Ilmu dan Pembentukan Karakter Bangsa, Jogjakarta: Arruz
Media,
Pendidikan, Jasa, D I Madrasah, and Ibtidaiyah Muhammadiyah.
“Yogyakarta 2014,” 2014.
Permendikbud No. 146 Tahun 2014
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2006. Kerangka Dasar Keilmuan dan
Pengembangan Kurikulum, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Rohiat. 2008. Manajemen Sekolah; Teori Dasar dan Praktik, Bandung,
Refika Aditama.
Sahlan, Asmaun. 2010. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, Malang:
UIN MALIKI PRESS
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung:
Alfabeta, 2012. doi:10.1017/CBO9781107415324.004.
Suprayogo, Imam. 2005. “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama:
Pengalaman UIN Malang”. dalam Zainal Abidin Bagir (ed)., Integrasi Ilmu dan
Agama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan.
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
http://nasional.kompas.com/read/2017/05/08/15114471/wiranto.pembubaran.
hti.bukan.berarti.pemerintah.anti-ormas.islam
https://islamislogic.wordpress.com/2014/07/09/dapat-nilai-90-83-hafiz-cilik-
indonesia-usia-6-tahun-ini-diminta-tinggal-di-saudi/
http://kbbi.web.id
238
‘15_PENELITIAN_TEKNOLOGI_PEMBELAJARAN.Pdf’. Accessed 20
June 2017.
http://www.upy.ac.id/digilib/journal/salamah/15_PENELITIAN_TEKNOLOGI_P
EMBELAJARAN.pdf.
‘Aman Nilai Nasionalisme Sejarah Pdf - Penelusuran Google’. Accessed 16
June 2017.
https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=OI1DWdadBobOvgSjirvwDQ#q=am
an+nilai+nasionalisme+sejarah+pdf.
ISLAM NUSANTARA SEBAGAI BASIS EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Hendri Purbo Waseso Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo [email protected]
Abstract
This paper tried to dig out the validity of the concept of multicultural education viewed from the epistemological used. A scientific examination by digging through various references, found some weaknesses of the concept of multicultural education that is 1)the historical roots for the concept of non-purely multicultural education stems from the experience of an Indonesia nation in answer to the epistemological question "where are the terms of the concept muslticultural education comes from?"; 2) The sources used by developers of multicultural education in Indonesia deny our own nation's experience in response to the epistemological question "What source of knowledge is used? "The Islamic archipelago as the basis of multicultural education has consequences on three things: 1)generating research based on local wisdom as a result of marriage between Islam and local tradition, learning how to preserve it in society and inducing it in education; 2) The use of educational media that does not contain elements of radicalism, but the media that is able to hone the dimensions of the sense of community learner so as to attract students' passion and interest to always put forward a culture of peace; 3)that diversity education based on Islamic archipelago must be positively correlated to the strengthening of national identity character of the students.
Keywords: Multicultural Education, Diversity Educationand Islamic Archipelago ���
239 �
240 �
Abstrak
Tulisan ini mencoba menggali keabsahan konsep pendidikan multikultural dilihat dari epistemologi yang digunakan. Melalui telaah ilmiah dengan menggali berbagai sumber pustaka, ditemukan beberapa kelemahan dari konsep pendidikan multikultural yaitu 1) akar historis konsep pendidikan multikultural tidaklah murni berasal dari pengalaman bangsa Indonesia sebagai jawaban dari pertanyaan epsitemologis “darimana asal usul istilah konsep pendidikan multikultural?”; 2) sumber-sumber yang digunakan oleh para pengembang pendidikan multikultural di Indonesia menafikan pengalaman bangsa kita sendiri sebagai jawaban dari pertanyaan epistemologis “sumber pengetahuan apa yang digunakan?”. Islam nusantara sebagai basis dari pendidikan kebhinekaan (multikultur) berkonsekuensi pada tiga hal yaitu 1) membangkitkan penelitian yang mendasarkan pada kearifan lokal (local wisdom) sebagai salah satu hasil dari perkawinan antara Islam dan tradisi lokal, mempelajari cara melestarikannya dalam masyarakat dan menginduksinya dalam praktek-praktek pendidikan baik dalam pendidikan formal, nonformal maupun informal; 2) penggunaan media-media pendidikan yang tidak mengandung unsur-unsur radikalisme, melainkan media yang mampu mengasah dimensi rasa masyarakat pembelajar sehingga menarik hasrat dan minat siswa untuk selalu mengedepankan budaya damai; 3) bahwa pendidikan kebhinekaan yang berdasar pada Islam nusantara berkorelasi positif terhadap penguatan karakter identitas nasional siswa.
Kata Kunci: Pendidikan Multikultural, Pendidikan Kebhinekaan dan Islam Nusantara
A. Pendahuluan Keprihatinan terhadap maraknya kekerasan, konflik, dan perpecahan menjadi
alasan utama terhadap munculnya gagasan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural dipandang mampu dijadikan sebagai solusi dari persoalan tersebut. Hal inilah kemudian ditindak lanjuti melalui berbagai usaha para pemikir untuk merumuskan secara tuntas konsep pendidikan multikultural seperti apa yang bisa menjadi terapi terhadap keprihatinan tadi. Mulai dari membangun argumentasi dasar-dasar pendidikan multikultural, persiapan, pelaksanaan sampai pada bagaimana merumuskan indikator-indikator ketercapaian tujuannya.
Sampai pada titik ini, asumsi awal yang terbangun adalah bahwa pendidikan multikultural masih dapat dijadikan salah satu alternatif dalam menangani problem-problem sosial seperti kekerasan, konflik dan perpecahan. Dalam kasus yang lebih spesifik, konflik yang melibatkan berbagai macam kelompok masyarakat dengan mengatasnamakan agama, ras, suku dan antargolongan merupakan tindakan yang dapat memicu timbulnya disintegrasi bangsa. Dalam konteks Indonesia yang sangat kaya akan perbedaan, disintegrasi yang berujung pada tindakan separatis menjadi hal yang sangat berbahaya dan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
���
241 �
Belakangan, agama menjadi isu hangat dan cenderung dijadikan sebagai landasan utama untuk mempertajam konflik. Kasus penistaan agama oleh Basuki Cahaya Purnama dalam setahun terakhir mendapat tempat khusus di media-media nasional. Dampaknya adalah masyarakat terinternalisasi secara otomatis sikap outgroup dan ingroup di dalam diri mereka. Bahwa saya berbeda agama, karenanya anda bukan bagian dari diri saya. Sikap tersebut sekilas sah dan tidak terdapat persoalan yang mengkhawatirkan. Namun, sesungguhnya terdapat suatu problematika mendasar dalam nalar masyarakat mengenai pemahaman berbangsa dan bernegara dengan melibatkan tema agama.
Dalam hal ini yang dibahas bukanlah detail persoalan penistaan agama, namun bagaimana kesadaran keagamaan itu justru mengikis sedikit demi sedikit kesadaran berbangsa Indonesia. Inilah yang saya maksud sebagai problematika mendasar. Korban utamanya adalah masyarakat awam yang secara tidak sadar membatinkan sikap anti terhadap agama lain. Haryatmoko menyebut kunci masalahnya terletak pada ‘tidak bisa menerima yang berbeda’. Ia menyebut bahwa konflik antar agama, terutama antara Islam dan Kristen di Indonesia pada dasarnya tidak lepas dari kebencian dan itu memang sungguh ada dan dirasakan (Haryatmoko, 2010). Tentu problem ini memiliki signifikansi yang memadai, apalagi jika melihat kenyataan maraknya ujaran kebencian yang dimunculkan masyarakat melalui media sosial.
Merevitalisasi nalar kebangsaan agaknya menjadi penting untuk dilakukan agar ‘menerima yang berbeda’ menjadi mungkin untuk diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Revitalisasi nalar kebangsaan ini dapat diwujudkan melalui suatu konsep pendidikan yang mengakomodir berbagai macam perbedaan dan mengakar pada sejarah bangsa Indonesia dalam bentuk epistemologi pendidikan multikultural yang mapan dan khas Indonesia. Artinya usaha tersebut dilakukan melalui jalur pendidikan. Hal ini mengandaikan bahwa pendidikan multikultural digunakan untuk antisipasi terhadap munculnya kekerasan, konflik dan perpecahan. Sifat antisipatif ini diberikan karena ‘obyek’ yang dikenai belumlah tentu mengalami ketiga problem tersebut.
Sedangkan problem selanjutnya adalah usaha konseptualisasi pendidikan multikultural ternyata belum sampai pada taraf yang kuat. Sangkot Sirait menyetujui hal tersebut dengan menjelaskan bahwa secara konseptual rumusan pendidikan multikultural belum menunjukan jati dirinya(Sirait, 2010). Ngainun Naim pun mengakui bahwa istilah multikultural dikaitkan dengan pendidikan masih sedikit yang membahasnya (Naim & Sauqi, 2008). Hal ini diakibatkan oleh bangunan keilmuannya yang belum mapan dan implikasinya adalah tidak semua lapisan masyarakat menerima konsep pendidikan multikultural apalagi menerapkannya. Oleh karena itu, penulis merasa ada hal yang belum disentuh dalam pembahasan pendidikan multikultural yaitu pendidikan multikultural yang ditinjau dari epistemologinya.
242 �
Untuk membumikan pendidikan multikultural ini, perlu upaya konseptualisasi yang mengakar pada budaya asli Indonesia. Karena itu, tulisan ini mencoba untuk menggali kelemahan dari epistemologi pendidikan multikultural yang diadopsi dari konsep pendidikan Barat terutama dari tokoh-tokoh pendidikan di Amerika, mempertanyakan kembali relevansi pendidikan multikultural di Indonesia dan menggali sosiohistoris subtansi dan esensi pendidikan multikultural yang sudah ada di Indonesia lalu mengkonseptualisasikannya ke dalam suatu epistemologi merupakan langkah-langkah yang tepat agar nalar kebangsaan ini terbangun dari jati diri bangsa sendiri bukan berasal dari pemikiran transnasional yang mengglobal.
Selain itu, Islam nusantara dapat pula menjadi pijakan dalam usaha membangun rangka pikir atau epistemologi pendidikan multikultural yang tepat. Islam nusantara ini selain bersifat sosio-historis juga telah mapan sebagai suatu konsep tersendiri. Karenanya, tidak berlebihan jika Islam nusantara dijadikan suatu basis dari epistemologi pendidikan multikultural khas Indonesia.
Materi Kajian, Metode dan Penelitian Terdahulu Materi kajian dalam tulisan ini adalah epistemologi pendidikan multikultural.
Epistomologi merupakan term pokok dalam pembahasan filsafat terdiri dari dua kata dasar ‘episteme’ yang berarti “pengetahuan” dan ‘logos’ yang berarti ilmu (Muliawan, 2008).Selanjutnya epistemologi dapat dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari asal-usul, proses dan hasil bentukan ilmu pengetahuan. Sedangkan secara khusus epistemologi berarti ilmu yang mempelajari objek formal dan objek material pengetahuan (Muliawan, 2008). Pendidikan multikultural ditinjau dari sudut epistemologinya akan memperkuat pondasi konsep itu sendiri. Karena pendidikan multikultural dalam konteks ini diposisikan sebagai konsep yang harus jelas mulai dari asal-usul, proses konseptualisasinya dan hasil ilmu pendidikan multikulturalnya.
Akan berbeda jika pendidikan multikultural diartikan sebagai suatu konsep yang mengusahakan munculnya kesadaran akan keragaman pada peserta didik. Dalam kajian ini pendidikan multikultural diposisikan sebagai materi kajian atau objek materilnya. Sedangkan objek formalnya adalah jalan yang dicapai untuk sampai pada konsep pendidikan multikultural. Artinya pendidikan multikultural dikaji sampai pada landasan filosofis mengapa pendidikan multikultural ini perlu ada. Oleh karena itu, diperlukan kajian khusus untuk menjelaskan pendidikan multikultural sebagai konsep itu sendiri yang ditinjau dari sisi epistemologinya dan inilah fokus masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Agar lebih sistematis, penulis merasa perlu untuk menjelaskan arah dari tulisan ini dengan menjelaskan metode yang digunakan. Artinya tulisan ini bisa dikatakan sebagai telaah ilmiah tentang pendidikan multikultural. Pembahasan ini ditulis berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai bahan pustaka yang relevan dengan fokus masalah diatas seperti buku yang ditulis oleh James Banks, Ngainun Naim, Ainul Yaqin dan juga bahan pustaka dalam bentuk jurnal ataupun tulisan yang dipublikasikan di website. Data yang dihimpun adalah data kualitatif yang bersifat tekstual. Kemudian teknik pengumpulan datanya menggunakan teknik
���
243 �
dokumenter. Selanjutnya data yang telah dihimpun dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Dan langkah terakhir yang dilakukan penulis adalah mendeskripsikan formulasi yang telah dihasilkan secara sistematis.
Untuk memastikan posisi penulis dalam tulisan ini, perlu dijelaskan beberapa karya ilmiah terkait yang fokus pada kajian Islam nusantara dan pendidikan multikultural.Berdasarkan hasil penelusuran, penulis menemukan tiga tulisan yang mendekati fokus kajian tulisan ini yaitu pertama, tulisan Anin Nurhayati dengan judul Menggagas Pendidikan Multikultur di Indonesia dalam jurnal Al-Tahrir Vol. 11, No. 2, November 2011. Anin berupaya mengkaji kemungkinan penerapan pendidikan multikultural di Indonesia dengan memberi argumentasi dalam perspektif Islam. Selanjutnya, ia merekomendasikan beberapa prinsip dasar yang digunakan dalam penerapan pendidikan multikultural (Nurhayati, 2011). Kedua, tulisan Ahmad Darmadji dengan judul Fondasi Pendidikan Islam Multikultural di Insdonesia; Analisis Q.S. Al-¦ujur±t, Ayat 11-13 dalam Tafsir Mar±¥ Labīd, Tafsir Al-Azhar, dan Tafsir Al-Misbâḥ dalam jurnal Millah Vol. XIII, No. 2, Februari 2014. Sebenarnya, Darmadji berusaha mengkonseptualisasi bentuk pendidikan multikultural yang khas Indonesia melalui kajiannya terhadap tafsir-tafsir karya ulama Indonesia dari Q.S. Al-Hujurat ayat 11-13 (Darmadji, 2014). Namun, ia belum mengkaitkannya secara langsung tafsir ayat tentang pendidikan multikultural tersebut dengan gagasan Islam nusantara. Ketiga, tulisan Saiful Mustofa dengan judul Meneguhkan Islam Nusantara untuk Islam Berkemajuan; Melacak Akar Epistemologis dan Historis Islam di Nusantara dalam jurnal Episteme Vol. 10, No. 2, Desember 2015.Dalam tulisannya, Saiful lebih fokus pada kajian Islam nusantara dan tidak mengkaitkannya dengan pendidikan multikultural(Mustofa, 2015). Dari kajiannya tersebut, Islam nusantara dipandang sebagai bentuk pengalaman keber-islam-an yang harmonis dan toleran.
Dari tiga karya ilmiah tersebut, dua karya pertama lebih fokus pada pendidikan multikultural, sedangkan tulisan ketiga fokus pada kajian Islam nusantara. Karena itu, penulis berupaya mengkaitkan dua tema tersebut dengan memposisikan Islam nusantara sebagai basis dari epsitemologi pendidikan multikultural.
B. Hasil dan Pembahasan Memposisikan Islam nusantara sebagai basis epistemologi pendidikan
multikultural mengandaikan sumber-sumber sosio-historis dari Islam nusantara menjadi sumber utama atau inspirasi utama dalam membangun pengetahuannya. Sebelum itu semua dilakukan, perlu didiskusikan terlebih dahulu definisi konseptual dari pendidikan multikultural. Selanjutnya, pembahasan kerancuan dari epistemologi pendidikan multikultural berkonsekuensi pada perlunya ide baru di mana penulis menawarkan Islam nusantara sebagai inspirasi utamanya.
244 �
1. Definisi Pendidikan Multikultural Definisi yang tepat dari pendidikan multikultural perlu dilacak arti dari
kata ‘pendidikan’ dan ‘multikultural’. Selanjutnya digabungkan kedua kata tersebut menjadi satu kesatuan arti. Kata pendidikan sudah banyak yang memberi pengertian terhadapnya. Istilah pendidikan itu sendiri berasal dari “education” (bahasa inggris), bahasa latin “e-ducere” atau “educare” yang berarti untuk memimpin atau memandu keluar, terkemuka, membawa manusia menjadi mengemuka, proses menjadi terkemuka, atau sebagai kegiatan terkemuka (Danim, 2010).Sedangkan education dalam werbster diartikan sebagai (a) the action or process of educating or of being educated, (b) the knowledge and development resulting from an educational process, atau (c) the field of study that deals mainly with methods of teaching and learning in schools. (Danim, 2010).
Menurut M. J. Langeveld dalam Sudarwan Danim, pendidikan adalah setiap pergaulan atau hubungan mendidik yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak (Danim, 2010). Sedangkan pendidikan menurut al-Ghazali yaitu proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiaannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggungjawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna (Rusn, 2009). Dalam KBBI pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Pendidikan dalam UU Sisdiknas diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.Dan masih banyak lagi definisi yang diberikan pada kata ‘pendidikan’. Dari semua definisi pendidikan diatas, dapat ditarik kata kunci “proses”, “manusia”, “sempurna”. Kata proses mewakili suatu kegiatan, manusia sebagai obyek, dan sempurna sebagai tujuan yang dapat diperinci dengan lebih spesifik. Artinya pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan manusia untuk menjadi sempurna.
Sedangkan multikultural berasal dari dua kata dasar ‘multi’ dan ‘kultur’. Multikultural sendiri dalam KBBI berarti keberagaman budaya (Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Artinya multikultural secara bahasa dapat diartikan sebagai keragaman budaya. Ngainum Naim juga memaknai multikultural sebagai keragaman budaya (Naim & Sauqi, 2008). Dalam konteks pemikiran, multikultural ini dijadikan sebagai suatu konsep tersendiri, bahkan dalam bahasa yang ekstrim menjadi suatu ideologi yang anti terhadap konflik dan berupaya mengkampanyekan pentingnya toleransi atas nama ‘kemanusiaan’.
Secara lebih spesifik, Lawrence Blum dikutip Lubis mengartikan multikultural sebagai suatu pemahaman, penghargaan, serta penilaian atas
���
245 �
�����������������������������������������������������������������
budaya seseorang serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lubis, 2006).Kata multikultural ini kemudian banyak digunakan oleh para ilmuwan Amerika untuk membendung kekerasan antar ras. Dikarenakan memang masyarakat di Amerika berasal dari berbagai suku dan bangsa. Tajamnya konflik antar kulit hitam dan kulit putih sebagai salah satu contohnya memberi tempat luas dalam penggunaan kata multikultural sebagai wacana dan kajian utama mereka. Banyak sekali ditemukan hasil riset di Amerika yang menjadikan multikultural sebagai tema utamanya.
Selanjutnya, perlu melihat kata-kata yang sering beriringan dengan kata multikultural agar semakin memperjelas arti kata tersebut yaitu kata pluralisme. Pluralisme dalam KBBI diartikan sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (berkaitan dengan sistem sosial dan politiknya). (Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Arti ini berbeda dengan penggunaan katanya secara umum yang berkembang di masyarakat. Sampai disini, pluralisme memiliki arti yang lebih luas dari multikultural yang hanya terbatas pada kemajemukan budaya. Berbeda dengan sebelumnya, Ngainun Naim memaknai pluralisme yang mengandung pengertian kemajemukan agama (Naim & Sauqi, 2008). Beberapa kalangan mencurigai kata ini sebagai ancaman terhadap eksistensi keimanan dalam beragama. Sebagian yang lain justru mencari argumentasi yang tepat bahwa pluralisme tidaklah bertentangan dengan agama.
Dalam beberapa tulisan yang ada, kata ‘pluralisme’ sering disandingkan dengan kata ‘agama’ seperti yang dilakukan oleh Aris Angwarmase, Asghar Ali Engineer dan Mahmoud Mustafa Ayoub1.Sehingga menurut saya, pemaknaan terhadap kata ‘pluralisme’ menjadi otomatis terspesifikasikan hanya pada kemajemukan agama. Padahal kata ‘pluralisme’ bukan hanya milik kata ‘agama’. Sampai disini, saya tidak bermaksud untuk menggugat kekacauan semantik tersebut, tetapi bahwa pergeseran arti tersebut malah dapat memecahkan persoalan kekacauan semantik selanjutnya dalam hubungannya dengan kata ‘multikultural’. Sebelumnya, multikultural dengan pluralisme sulit untuk dicari distingsinya dan ketepatan dalam penggunaan kata tersebut. Sekarang agak sedikit jelas bahwa ketika seseorang bicara tentang pluralisme, maka otomatis bersangkutan dengan kemajemukan agama. Sedangkan multikultural berkaitan dengan kemajemukan budaya. Walaupun arti tersebut tidak sertamerta tetap, paling tidak dalam tulisan ini usaha terhadap pemaknaan terhadap kata multikultural tersebut sedikit terselesaikan. Jadi, multikultural bisa diartikan sebagai pemahaman dan penghargaan terhadap budaya lain.
�1 Pluralisme yang disandingkan dengan agama oleh ketiga penulis tersebut bukan hanya dari
segi kata saja, akan tetapi mereka menggunakan kata pluralisme yang konteksnya membahas masalah agama (Islam). Lihat lebih lanjut tulisan Aris Angwarmase, Mencari Landasan Pluralisme dalam Prospek Pluralisme Agama (Yogyakarta: Interfidie, 2009), hlm. 4-14. dan Djohan Effendi (editor), Islam dan Pluralisme Agama (Yogyakarta: Interfidie, 2009), hlm. 3-41.
246 �
Selanjutnya penggabungan kata Pendidikan Multikultural dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan manusia agar memiliki pemahaman dan penghargaan (toleransi) terhadap berbagai budaya dalam rangka menuju manusia sempurna. Definisi ini berbeda dengan pemahaman yang dibangun di lapangan bahwa pendidikan multikultural adalah suatu usaha menginternalisasikan sikap toleransi dalam konteks institusi pendidikan. Jika mengacu pada definisi diatas, maka wilayah konsep pendidikan multikultural ini tidak hanya pada kajian pendidikan. Lalu mengapa pendidikan menjadi wilayah utama?
Adalah James Banks yang sangat lantang berupaya mengkonseptualisasi pendidikan multikultural ini. Melalui dua bukunya, Multicultural Education; Issues and Prespectives dan Race, Culture and Education, Banks mengkonseptualisasikan secara baik bagaimana peran pendidikan multikultural ini berpengaruh terhadap sikap toleransi para siswa di Amerika (Banks, Race, Culture and Education, 2006). Bahkan Banks menyediakan cara bagaimana mengintegrasikan pendidikan multikultural dalam kurikulum sekolah (Banks, Multicultural Education; Issues and Prespectives, 2010). Namun, langkah tersebut sangat layak dan rasional untuk dilakukan dengan melihat kharakteristik masyarakat Amerika. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Indonesia juga perlu mengadopsi konsep pendidikan multikultural ini?. Meskipun kita harus bersikap terbuka, namun kita juga perlu berhati-hati terhadap ideologi transnasional yang tidak sesuai dengan kharakteristik bangsa Indonesia.
2. Kerancuan Epistemologi Pendidikan Multikultural Menempatkan konsep pendidikan multikultural dalam kerangka
epistemologi mengasumsikan bahwa pendidikan multikultural bukanlah suatu produk jadi atau langsung muncul begitu saja dan siap pakai, akan tetapi memiliki proses kemunculan. Epistemologi sebagai cara memperoleh pengetahuan dikaitkan dengan pendidikan multikultural akan memunculkan pertanyaan, bagaimana langkah-langkah dan prosedur yang dilakukan sampai ditemukan konsep pendidikan multikultural? Inilah bentuk pertanyaan dasar dari kajian epistemologi.
Dari beberapa referensi yang ada, konsep pendidikan multikultural muncul sebagai solusi atas terjadinya berbagai peristiwa sosial yang mengkhawatirkan keamanan antarmanusia seperti kekerasan, konflik, dan perpecahan. Berbagai peristiwa kekerasan, konflik dan perpecahan di Indonesia sendiri telah menjadi deretan berita yang cukup memilukan. Kasus seperti kekerasan terhadap etnis China di Jakarta pada Mei 1998, perang Islam-Kristen di Maluku Utara tahun 1999-2003, dan perang etnis antara warga Dayak dan Madura sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia melayang sia-sia (Yaqin, 2005). Peristiwa kekerasan yang terjadi seperti di Timur Tengah dan diskriminasi ras di Amerika lebih menakutkan dari yang terjadi di Indonesia tersebut. Jauh sebelum pendidikan multikultural ramai diwacanakan di Indonesia, James Banks mencatat bahwa pendidikan multikultural sudah mulai dikembangkan sekitar tahun 1960-an sebagai respon dari berbagai macam bentuk diskriminasi budaya, gender,
���
247 �
Bahasa dan etnis yang terjadi di Amerika. Diksriminasi tersebut merupakan konsekuensi dari banyaknya imigran yang berasal dari berbagai negara Eropa, Asia maupun Afrika. (Banks, Multicultural Education; Issues and Prespectives, 2010). Agaknya, istilah pendidikan multikultural ini memang bermulai dari Amerika.
Beberapa tokoh kemudian mencari sebab yang menjadi persoalan utama terjadinya kekerasan tersebut. Prejudis dan stereotip yang cenderung menghasilkan pemahaman negatif menurut Ainul Yaqin menjadi faktor munculnya sikap tidak toleran baik antar individu maupun kelompok dan dalam persoalan agama, sosial maupun konflik pribadi (Yaqin, 2005). Selanjutnya hampir semua sepakat bahwa terjadinya kekerasan tersebut dikarenakan tidak adanya rasa toleransi diantara mereka. Selain itu, kondisi majemuk yang ada di Indonesia ditambah semakin majunya teknologi informasi juga sedikit banyak berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan jika sikap saling menghormati menipis.
Kata toleransi ini kemudian menjadi kata kunci dalam pembahasan pluralisme-multikulturalisme. Islam menyumbang pondasi paling banyak tentang pentingnya sikap toleransi ini. Pondasi ini saya jelaskan dalam dua aspek, aspek normatif dan historis. Aspek normatifnya berasal dari ayat-ayat al-Qur’an. Muqsid Ghazali menemukan beberapa ayat yang menjelaskan pentingnya sikap toleransi seperti QS al-An’am ayat 108 yang berbunyi:
وال تسبوا الذين يدعون من دون هللا فيسبوا هللا عدوا بغير علم كذلك
رجعھم فينبئھم بما كانوا يعملون ة عملھم ثم إلى ربھم م : االنعام ( زينا لكل أم
٨٠١(
Inti dari arti ayat di atas adalah melarang umat Islam untuk memaki tuhan-tuhan yang disembah orang-orang musyrik. Ini berarti toleransi menduduki posisi penting dalam keberagamaan. Selain ayat tersebut, QS al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi:
ين قد شد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن ال إكراه في الد تبين الر
سميع عليم فقد استمسك بالعروة الوثقى ال انفصام لھا وهللا البقرة (با
:٢۵٦(
Ayat tersebut menjelaskan tentang tidak disahkannya suatu pemaksaan dalam perkara agama (Ghazali, 2009), dan beberapa ayat lainnya.Pada realitanya, terkadang ayat-ayat yang mengajarkan toleransi dikontraskan dengan ayat-ayat lain yang kemudian dijadikan argumentasi bahwa atas nama agama, kekerasan boleh dilakukan sebagai bentuk jihad.
248 �
Pondasi Islam dari aspek historis dapat digali dari berbagai peristiwa historis nabi Muhammad Saw. Peristiwa sejarah yang paling sering dijadikan argumen adalah ketika nabi menyusun piagam madinah di mana didalamnya berisi nilai-nilai toleransi yang tinggi. Bahkan ketika Kafir Quraisy menyerang nabi dengan berbagai cara, sahabat seperti Hamzah meminta kepada nabi untuk membalas perlakuan mereka dan ternyata nabi menolaknya dengan memilih untuk tetap bersabar sembari menunggu perintah dari Allah. Jadi sangat tidak tepat jika Islam dianggap sebagai agama yang menganjurkan perang atau sebagai sarang para teroris dalam konteks sekarang. Dan barangkali sudut pandang Islam ini sangat cukup untuk dijadikan argumen tentang pentingnya sikap toleransi.
Setelah menggembor-gemborkan bahwa sikap toleransi ini dapat mencegah terjadinya kekerasan, dirasa perlu untuk membuat strategi yang efektif dalam aplikasinya. Disinilah kemudian mulai merebaknya istilah pluralisme-multikulturalisme dalam wacana pendidikan. Asumsi mereka bahwa pendidikan akan menjadi awal yang baik bagi penanaman sikap toleransi ini. Beberapa tokoh yang berusaha merumuskan konsep pendidikan multikultural masih mengalami kebuntuan. Kecurigaan terhadap istilah multikultural masih menjadi salah satu persoalannya. Beberapa yang lain juga masih mencari-cari strategi-strategi pembelajaran yang sesuai dengan konsep pendidikan multikultural. Usaha ini dilakukan, agar konsep tersebut tidak melangit dan tidak hanya bersifat wacana.
Untuk mengatasi persoalan itu, Ngainun Naim menawarkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh guru sekaligus bagaimana posisi murid dalam pembelajaran berbasis multikultural ini. Menurutnya, melalui metode dialog, model pembelajaran kolaboratif, peer teaching, exposition teaching dan socratic teaching, pendidikan multikultural mungkin untuk diterapkan. Dalam metode dan model pembelajaran yang diterapkan di kelas tersebut, aspek-aspek perbedaan dijadikan sebagai titik tekan yang didialogkan antar siswa sehingga mereka memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan (Naim & Sauqi, 2008). Meskipun bukan termasuk dalam pokok pembicaraan dalam tulisan ini, namun perlu diingat bahwa dalam penerapannya diperlukan pra-kondisi dan pra-pemahaman guru yang telah terinternalisasi mengenai pentingnya sikap toleransi. Sehingga proses transformasi sikap toleransi menjadi mungkin untuk diwujudkan.
Sampai disini, finishing konsep pendidikan multikultural ini memang sedikit terlihat. Dari mulai argument dasar, usaha perumusan konsep, sampai implementasinya. Dari langkah-langkah yang ditempuh diatas, hasil analisanya adalah pertama, argumen dasar pendidikan multikultural masih ambigu. Belum jelasnya ‘jembatan’ keilmuan yang dipakai untuk memasukkan persoalan sosial berupa kekerasan ke dalam persoalan pendidikan. Padahal, dalam pendidikan masih banyak persoalan yang ternyata belum terselesaikan. Jika alasannya tertuju pada sikap toleransi, apa benar pelaku pendidikan pada awalnya tidak memiliki sikap toleran? Jika mereka memiliki sikap toleran, apa benar sikap tersebut merupakan hasil dari konsep pendidikan multikultural? Pertanyaan
���
249 �
yang lebih jauh lagi, apakah kita perlu pendidikan multikultural, padahal bangsa kita memiliki budaya toleran yang tinggi? Sampai disini, pijakan yang digunakan pendidikan multikultural masih rapuh. Secara sederhana, bahwa titik tolaknya adalah bukan persoalan yang datang dari luar bangsa kita ataupun bukan konsep yang langsung kita adopsi begitu saja, melainkan menyadari kekayaan akan kebijaksanaan yang telah dilahirkan oleh bangsa kita sendiri, dari para pujangga dan peradaban tinggi yang telah diciptakan oleh masyakarat kita sendiri.
Kedua, dalam usaha perumusan konsep pendidikan multikultural jauh lebih baik dari persoalan pijakan dasar yang digunakan. Hal ini terlihat dari pandangan dari semua agama, budaya, bahkan hampir semua manusia merespon positif terhadap konsep ini. Islam melalui al-Qur’an dan sejarahnya telah menunjukan betapa kedudukan ‘toleransi’ menempati tempat yang utama. Disinilah titik utama kuatnya dalam membangun asumsi bahwa pendidikan multikultural itu kokoh secara konseptual.
Ketiga, dalam perumusan operasionalisasi konsep pendidikan multikultural pun tidak mengalami hambatan yang cukup berat. Melalui metode dan strategi pembelajaran yang ada, integrasi dengan ‘pendidikan multikultural’ dapat terselesaikan. Semua langkah-langkah ini telah diselesaikan oleh para pengembangnya. Problem yang paling mungkin datang kemudian adalah praktik transformatif dari konsep pendidikan multikultural yang telah digagas tersebut.
Kerancuan epistemologi pendidikan multikultual dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, akar historis konsep pendidikan multikultural ini tidaklah murni berasal dari pemikir Indonesia sebagaimana dicatat oleh Banks bahwa kemunculan istilah ini dikenal sejak 1960-an, setelah adanya gerakan hak-haksipil sebagai koreksi terhadap kebijakan asimilasi kelompok minoritasterhadap melting pot yang sudah berjalan lama tentang kultur dominan Amerika khususnya di New York dan California (Ibrahim, 2013). Dede Rosyada menyebut sejarah multikulturalisme adalah sejarah masyarakat majemuk. Amerika, Canada, Australia adalah sekian negara yang sangatserius mengembangkan konsep dan teori-teorimultikulturalisme dan pendidikan multicultural (Rosyada, 2014). Sedangkan di Indonesia sendiri gagasan multikulturalisme muncul ketika simpul-simpul yang mengikat demokratisasi itu dibuka dan dilepas zaman reformasi, bahkan langsung memasuki wilayah pendidikan, yang seharusnya teori-teori multikulturalismenya itu dirumuskan terlebih dahulu oleh para ahli bidang ilmu-ilmu sosial politik (Rosyada, 2014). Namun, pengembangan konsep pendidikan multikultural di Indonesia banyak yang mengadopsi secara langsung tanpa mempertimbangkan konsekuensi epistemologisnya. Artinya, pertanyaan epistemologis berupa dari mana asal usul konsep pendidikan multikultural ini dapat terjawab. Karenanya, dalam pembahasan selanjutnya, penulis menawarkan istilah baru dari pendidikan multikultural yang bersumber pada dimensi sosio-historis bangsa Indonesia.
250 �
Bahwa secara ide, Indonesia sudah menerapkan subtansi dari konsep pendidikan multikultural sejak kerajaan Majapahit.
Kerancuan yang kedua adalah sumber-sumber yang digunakan oleh para pengembang pendidikan multikultural di Indonesia menafikan pengalaman bangsa kita sendiri. Dapat dilihat bagaimana tulisan-tulisan tentang pendidikan multikultural selalu demikian. Mencari masalah yang ada di Indonesia lalu menggunakan pengalaman bangsa lain untuk menyelesaikannya. Minimnya pengalaman tersebut di akui oleh Dede Rosyada bahwa Indonesia sendiri belum memilikipengalaman pendidikan multikultural yangterdesain secara terencana, karena belum adapengalaman yang dikontrol dalam sebuahpenelitian akademik (Rosyada, 2014). Jalan pintasnya adalah meminjam pengalaman bangsa lain dengan fokusgarapannya adalah soal teknik-prosedural bagaimana pendidikan multikultural ini mungkin untuk diterapkan di Indonesia. Karenanya, rumus-rumus implementasi pendidikan multikultural cukup memadai disediakan oleh ilmuwan kita. Padahal, basis epistemologi sangat menentukan posisi nalar yang sesungguhnya. Ini merupakan bentuk kerancuan epistemologi yang berasal dari pertanyaan sumber-sumber pengetahuan apa yang digunakan?
Penggunaan sumber pengetahuan yang berasal dari bangsa lain kurang tepat karena tema pendidikan multikultural termasuk dalam kategori ilmu sosial humaniora yang tidak mengenal generalisasi seperti dalam ilmu sains. Akan berbeda jika sumber pengetahuan yang digunakan adalah ajaran Islam yang bersifat universal (rahmatan lil ‘±lamīn). Itupun yang dijadikan sumber adalah nilai-nilai toleransinya. Karenanya, selain menawarkan istilah pendidikan kebhinekaan, penulis juga menawarkan Islam nusantara sebagai basis epistemologinya. Islam nusantara merupakan manifestasi dari pengalaman bangsa kita sendiri. Dengan demikian, Islam nusantara akan memperkuat landasan pendidikan kebhinekaan sekaligus nasionalisme kita sebagai bangsa Indonesia. Dalam istilah yang lebih sederhana, identitas nasional tidak hanya berwujud karakter kebudayaan, namun juga ilmu pengetahuan.
3. Pendidikan Kebhinekaan; Menjadikan Islam Nusantara Sebagai Basis Epistemologi
Dari penjelasan sebelumnya, konsep pendidikan multikultural masih terasa asing untuk diterapkan di Indonesia selain karena basis epistemologinya masih lemah jika dikaitkan dengan konteks Indonesia. Jika kita sedikit melihat kebelakang bahwa sikap toleransi yang sebenarnya sudah tertancap dalam diri masyarakat Indonesia merupakan inspirasi tentang “kebhinekaan”. Artinya pendidikan multikultural hanya mampu diterapkan dengan melihat karakter masyarakat yang ada. Sehingga masyarakat tidak merasa asing dengan konsep yang ditawarkan dan mau menerima sekaligus menerapkannya. Disinilah kemudian, penulis merasa perlu untuk menawarkan suatu konsep pendidikan multikultural yang memiliki ciri khas ‘rasa Indonesia’ yaitu tentang pendidikan kebhinekaan.
Sebagai suatu tawaran konseptual, pendidikan kebhinekaan diposisikan sebagai desain baru pendidikan multikultural di mana tujuan utamanya adalah
���
251 �
�����������������������������������������������������������������
semakin menguatnya sikap toleransi masyarakat. Untuk itu perlu dilacak terlebih dahulu definisi kebhinekaan itu sendiri. Dan inilah titik tolak utama yang akan dilakukan sebagai upaya konseptualisasinya.
Bhineka Tunggal Ika dilihat dari sejarah nusantara digunakan pertama kali oleh kerajaan Majapahit dimana terdapat dalam Kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5.2 Dan pengertiannya pada waktu itu lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga kepercayaan agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majapahit (Nuraini, 2017). Bahkan sikap toleran ini menjadi watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit abad XV, secara kultural pengaruh konsep bhineka tunggal ika tetap lestari sampai hari ini (Dynash, 2017).Arti kata bhineka tunggal ika adalah berbeda-beda, namun tetap satu jua. Kemudian kata ini dijadikan semboyan oleh para pendiri bangsa kita sebagai alat pemersatu. Sehingga pemaknaannya lebih meluas bukan hanya pada kepercayaan, namun berbagai budaya, adat, suku dan ragam lainnya yang ada di Indonesia terangkum dalam satu kata “bhineka tunggal ika”.
Atas dasar sejarah tersebut, barangkali nama pendidikan kebhinekaan sangatlah sesuai dengan makna dan karakteristik ke-Indonesiaan-nya. Selanjutnya kita tidak perlu sungkan untuk menyuarakannya. Dan dasarnya-pun akan menjadi kuat karena persoalan yang muncul kemudian adalah bukan masalah istilah yang datang dari luar, akan tetapi persoalan kesadaran berkebhinekaan dalam berbangsa dan bernegara yang kian mengikis sehingga diperlukan sebuah solusi.
Apa yang dimaksud dengan pendidikan kebhinekaan ini juga merupakan bagian dari penguatan indentitas nasional. Identitas nasional ini disebut oleh Yudi Latif sebagai perangkat lunak terwujudnya persatuan Indonesia. Identitas nasional ini hanya mungkin disadari ketika eksistensi kebudayan nasional kita terjaga. Sedangkan kebudayaan nasional sendiri telah merefleksikan persatuan dan kesatuan dalam keragaman, suatu usaha untuk mempertahankan tradisi luhur seraya mengupayakan inovasi dengan mengadopsi unsur-unsur baru; sedapat mungkin, kita mencari titik-titik persamaan (kosmopolitanisme) dengan tetap menghargai perbedaan (Latif, 2012). Barangkali apa yang dijelaskan Yudi Latif tersebut semakin memperkuat pondasi dari “pendidikan kebhinekaan” sebagai ganti dari “pendidikan multikultural”.
Tawaran konseptual mengenai pendidikan kebhinekaan ini bukan berasal dari suatu kecurigaan terhadap istilah pendidikan multikultural. Melainkan
�2 Bait tersebut secara lengkap berbunyi “Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki
rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
252 �
berangkat dari diri sendiri yang Indonesianis sehingga identitas nasional kita menjadi semakin kuat. Selain itu, jika dilihat dari filosofi pancasila dan historisitas bangsa Indonesia, istilah pendidikan kebhinekaan lebih berbobot daripada istilah pendidikan multikultural. Sampai disini pijakan pendidikan kebhinekaan menemukan akar yang cukup jelas.
Jika pendidikan kebhinekaan ini dikembangkan sampai pada taraf implementasinya di sekolah, rambu-rambu yang perlu diperhatikan adalah bahwa pendidikan kebhinekaan dapat berfungsi sebagai hidden curriculum, pendidikan kebhinekaan berorientasi pada transformasi sikap menghargai perbedaan pada diri siswa, dan pendidikan kebhinekaan bukanlah suatu mata pelajaran seperti halnya mata pelajaran PKn (pendidikan kewarganegaraan).
Selanjutnya, Islam nusantara lahir dengan wajah yang akomodatif, toleran, rilex dan flowering (Darajat, 2015). Wajah Islam nusantara tersebut dibuktikan dengan dakwah Islam yang tanpa perang dan sekarang hampir seluruh masyarakat Indonesia menganutnya. Artinya, dalam perspektif sejarah, masyarakat Indonesia menerima Islam sebagai agama yang tidak berwajah radikal dan fundamental, melainkan agama yang menawarkan toleransi tinggi terhadap perbedaan-perbedaan. Sangat rasional ketika masyarakat Indonesia pada waktu itu tidak berpikir panjang untuk memeluk agama Islam. Secara detail, Zakiya Darajat mencatat bahwa:
Islam diperkenalkan di Nusantara antara lain dengan menggunakan jalur perdagangan, sebuah media yang sangat melekat dengan tradisi masyarakat Nusantara. Aktivitas perdagangan meniscayakan adanya interaksi sosial yang mutual antara penjual dan pembeli, kesederajatan, dan simbiosis mutualisme antara keduanya, serta jauh dari kesan permusuhan ataupun perasaan superioritas-inferioritas (Darajat, 2015).
Argumentasi selanjutnya bagaimana Islam nusantara yang sangat akomodatif terhadap budaya asli Indonesia adalah dijadikannya budaya sebagai salah satu sarana penyebaranIslam yang sangat efektif bagi masyarakatNusantara, khususnya masyarakat Jawa. Para pendakwah Islam antara lain para Wali Songo, menggunakan media seni, baik seni wayang, gamelan, sastra dan sebagaimanya (Darajat, 2015). Selain itu, para pendakwahdalam menyebarkan risalah Islam, juga ditopang oleh legitimasi penguasa politik(kerajaan Islam). Dalam tradisi sejarah Nusantara,lahirnya simbiosis mutualisme antara pemukaagama dan penguasa kerajaan telah berlangsunglama sejak kerajaan Hindu dan Budha (Darajat, 2015). Bahwa dari segi budaya, Islam yang mengajarkan rahmatan lil ‘±lamīn datang pada masyarakat Indonesia yang memiliki sikap toleran sebagai watak dasar suku-suku bangsanya merupakan perpaduan sempurna terwujudnya Islam nusantara.
Sampai di sini, sulit untuk disangkal bahwa Islam nusantara adalah gambaran agama Islam yang anti terhadap konflik apalagi aksi radikal dan terorisme. Islam dengan wajah yang memposisikan perbedaan sebagai suatu rahmat sangat relevan dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Jadi, Islam dan Nusantara tidak bisa dikontraskan begitu saja, jika dilihat dari akar sejarah
���
253 �
nusantara dan substansi ajaran yang di bawa Islam. Apalagi sampai mencurigai bahwa Islam nusantara itu merupakan ide yang berbahaya. Seperti tulisan M. Kusman Sadik dalam kompasiana.com, bahwa ide Islam nusantara pada dasarnya adalah bagian dari rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam, berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim dandapat pula digunakan untuk menghadang upaya penegakan syariah dan Khilafah(Sadik, 2017). Kritik saya adalah argumentasi yang digunakan oleh Sadik sangat kering pemahamannya tentang sejarah nusantara dan substansi ajaran Islam. Hal tersebut terlihat dari cara dia mengkritik ide Islam nusantara sebagai suatu ide yang berbahaya. Meskipun demikian, perbedaan pemikiran tersebut justru dapat menguatkan sikap toleransi, karenanya harus dihormati.
Sebagai suatu basis epistemologi, Islam nusantara dapat diposisikan sebagai objek formal sekaligus objek material. Objek formal ini berarti menggunakan cara pandang agama Islam yang mengakomodasi segala bentuk perbedaan dan mengutamakan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan sosiohistoris Islam nusantara itu sendiri. Sedangkan dalam posisi objek material, kajian Islam nusantara dapat diperluas dengan mengklasifikasikannya sebagai Islam yang historis bukan Islam yang normatif. Jalan ini memungkinkan orang tidak berpikir secara kaku dalam memandang agama, melainkan lebih mengutamakan kebijaksanaan yang dilahirkan oleh suatu ajaran agama.
Kembali pada pendidikan kebhinekaan, kita telah menemukan istilah yang tepat untuk mengganti pendidikan multikultural yaitu pendidikan kebhinekaan yang khas Indonesia. Selanjutnya, pendidikan kebhinekaan selain merujuk pada konsepsi pendiri bangsa, Islam nusantara sekaligus dapat menguatkan epistemologi pendidikan multikultural ala Indonesia yaitu pendidikan kebhinekaan khususnya mereka yang menganut agama Islam. Pemahaman Islam nusantara ini tidak hanya berdampak pada penguatan toleransi semata, melainkan juga berdampak pada penguatan nalar kebangsaan, bangga sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kaya dengan berbagai macam perbedaan.
Untuk menginternalisasi wajah Islam nusantara yang penuh dengan keindahan toleransi, pendidik kita perlu diperkenalkan secara konkrit berbagai macam bentuk perbedaan yang ada di Indonesia, dari mulai agama, suku, budaya, Bahasa, etnis dan sebagainya. Jadi, kita dapat menyebut pendidikan kebhinekaan merupakan pengejewantahan atau manifestasi dari wujud pemikiran Islam nusantara.
Sampai di sini, Islam nusantara yang diposisikan sebagai basis dari epistemologi pendidikan kebhinekaan barangkali sudah cukup memadai. Selanjutnya, bagaimana merumuskan konsep pendidikan kebhinekaan yang mengacu pada Islam nusantara? Sebelum itu dilakukan, perlu disepakati bahwa istilah Islam nusantara dan kebhinekaan itu merupakan dua istilah yang saling menguatkan dan tidak bisa dikontraskan karena keduanya sudah menjadi watak
254 �
bangsa Indonesia yang indigeneous. ‘Kebhinekaan’ yang diberi kata ‘pendidikan’ menjadi suatu wilayah ilmu yang bersifat praktis, sedangkan Islam nusantara memberi pondasi epistemologisnya. Dalam pengertiannya, penulis sepakat dengan pendapat Dede Rosyada bahwa pendidikan kebhinekaan (multikultur) adalah sebuah proses pendidikan yang memberi peluang sama pada seluruh anak bangsa tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan etnik, budaya dan agama, yang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak sama bagi etnik minoritas, dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia internasional (Rosyada, 2014).
Kemudian, beberapa konsekuensi dari Islam nusantara yang diposisikan sebagai basis epistemologi dari pendidikan kebhinekaan tersebut adalah pertama, membangkitkan penelitian yang mendasarkan pada kearifan lokal (local wisdom) sebagai salah satu hasil dari perkawinan antara Islam dan tradisi lokal, mempelajari cara melestarikannya dalam masyarakat dan menginduksinya dalam praktek-praktek pendidikan baik dalam pendidikan formal, nonformal maupun informal. Konsekuensi ini menjadi inti dari paham Islam nusantara bahwa tradisi lokal itu berperan sangat penting dalam proses transformasi nilai-nilai lokal yang arif termasuk nilai toleransi.
Kedua, penggunaan media-media pendidikan yang tidak mengandung unsur-unsur radikalisme, melainkan media yang mampu mengasah dimensi rasa masyarakat pembelajar sehingga menarik hasrat dan minat siswa untuk selalu mengedepankan budaya damai. Konsekuensi ini merupakan hasil inspirasi dari penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan dengan cara-cara persuasif.
Dari dua konsekuensi sebelumnya akan menghasilkan konsekuensi yang ketiga,yaitu bahwapendidikan kebhinekaan yang berdasar pada Islam nusantara berkorelasi positif terhadap penguatan karakter identitas nasional siswa. Praktik-praktik pendidikan yang melemahkan sikap nasionalis perlu dikoreksi kembali bangunan epistemologi (kurikulum)nya.
Dalam implementasinya, terutama dalam pendidikan formal, Dede Rosyada menyarankan kepada sekolah untuk mendesain proses pembelajaran, mempersiapkan kurikulum dan desain evaluasi, serta mempersiapkan guru yang memiliki persepsi, sikap dan perilaku multikultur, sehingga menjadi bagian yang memberikan kontribusi positif terhadap pembinaan sikap multikultur para siswanya (Rosyada, 2014). Sebagai akhir dari pembahasan dalam tulisan ini, kata ‘multikultural’ bisa difleksibelkan menjadi hanya ‘multikultur’ sebagai kata sifat bukan sebagai suatu konsep atau suatu ideologi.
C. Kesimpulan dan Saran Apa yang telah diuraikan diatas telah sedikit jelas mengenai gambaran
konsep pendidikan multikultural ditinjau dari sudut epistemologi. Bahwa ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas, pertama, definisi pendidikan multikultural sebenarnya memiliki wilayah yang lebih luas yaitu suatu proses yang dilakukan manusia agar memiliki pemahaman dan penghargaan
���
255 �
(toleransi) terhadap berbagai budaya dalam rangka menuju manusia sempurna. Akan tetapi di lapangan, penekanannya hanya pada wilayah pendidikan.
Kedua, kerancuan epistemologi pendidikan multikultural dapat dilihat dari dua hal yaitu akar historis konsep pendidikan multikultural tidaklah murni berasal dari pemikir Indonesia sebagai jawaban dari pertanyaan epsitemologis “darimana asal usul istilah konsep pendidikan multikultural?” dan sumber-sumber yang digunakan oleh para pengembang pendidikan multikultural di Indonesia menafikan pengalaman bangsa kita sendiri sebagai jawaban dari pertanyaan epistemologis “sumber pengetahuan apa yang digunakan?”.
Ketiga, jika kita gali multikultural melalui bhineka tunggal ika, maka akan ditemukan akar dan basis yang kuat dalam perumusan konsep pendidikan multikultural versi Indonesianya yaitu pendidikan kebhinekaan. Suatu konsep pendidikan yang mengusung nilai-nilai toleransi dengan tidak menjiplak pengalaman dari bangsa lain dan menggunakan istilah bangsa sendiri pula. Sehingga terhindar dari konsekuensi epistemologis dari istilah pendidikan multikultural.
Keempat, Islam nusantara memiliki akar sejarah sikap akomodatif dan toleran yang kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia. Karenanya, Islam nusantara dapat menguatkan nalar kebangsaan tidak malah melemahkan nasionalisme melalui konflik-konflik yang mengatasnamakan agama. Media yang tepat untuk mentransformasikan dan menginternalisasikan sikap toleransi sebagai jati diri bangsa adalah pendidikan. Inilah yang dimaksud sebagai pendidikan kebhinekaan yang mendasarkan pada kekuatan sosiohistoris Islam nusantara atau dalam istilah yang lebih ringkas yaitu Islam nusantara sebagai basis epistemologi pendidikan kebhinekaan (multikultur).
Dan kelima, Islam nusantara sebagai basis dari pendidikan kebhinekaan (multikultur) berkonsekuensi pada tiga hal yaitu 1) membangkitkan penelitian yang mendasarkan pada kearifan lokal (local wisdom) sebagai salah satu hasil dari perkawinan antara Islam dan tradisi lokal, mempelajari cara melestarikannya dalam masyarakat dan menginduksinya dalam praktek-praktek pendidikan baik dalam pendidikan formal, nonformal maupun informal; 2) penggunaan media-media pendidikan yang tidak mengandung unsur-unsur radikalisme, melainkan media yang mampu mengasah dimensi rasa masyarakat pembelajar sehingga menarik hasrat dan minat siswa untuk selalu mengedepankan budaya damai; 3) bahwa pendidikan kebhinekaan yang berdasar pada Islam nusantara berkorelasi positif terhadap penguatan karakter identitas nasional siswa.
Sebagai kata penutup, penulis merekomendasikan kepada para cendekia muda nusantara untuk mengembangkan penelitian yang berbasis pada Islam nusantara. Hal tersebut untuk memperkaya khazanah intelektual dan untuk memperkuat asumsi bahwa Indonesia layak dijadikan kiblat dunia sebagai negara yang mengedepankan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih
256 �
spesifik, diperlukan penelitian grounded theory besar-besaran dengan mengambil Indonesia sebagai ladang empiris untuk menghasilkan prespektif yang khas.
Referensi Banks, J. A. (2006). Race, Culture and Education. New York: Routledge.
Banks, J. A. (2010). Multicultural Education; Issues and Prespectives. United States: Wiley.
Danim, S. (2010). Pengantar Kependidikan. Bandung: Alfabeta.
Darajat, Z. (2015). Warisan Islam Nusantara. Jurnal Al-Turas.
Darmadji, A. (2014). Fondasi Pendidikan Islam Multikultural di Insdonesia; Analisis Q.S. Al-¦ujur±t, Ayat 11-13 dalam Tafsir Mar±¥ Labīd, Tafsir Al-Azhar, dan Tafsir Al-Misbâḥ. Jurnal Millah, 235-259.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). KBBI. Jakarta: Depdiknas.
Dynash, J. (2017, July 8). Retrieved from http://demokrasiindonesia.blogspot.co.id/2014/09/sejarah-bhineka-tunggal-ika-semboyan.html
Ghazali, A. M. (2009). Argumen Pluralisme dalam Al Qur'an. Jakarta: Katakita.
Haryatmoko. (2010). Dominasi Penuh Muslihat. Jakarta: Gramedia.
Ibrahim, R. (2013). Pendidikan Multikultural; Pengertian, Prinsip dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam. Jurnal Addin, 133-134.
Latif, Y. (2012). Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia.
Lubis, A. Y. (2006). Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Muliawan, J. U. (2008). Epistemologi Pendidikan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Mustofa, S. (2015). Meneguhkan Islam Nusantara untuk Islam Berkemajuan; Melacak Akar Epistemologis dan Historis Islam di Nusantara . Episteme, 405-433.
Naim, N., & Sauqi, A. (2008). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta:. Arruz.
Nuraini, N. (2017, July 8). Retrieved from http://nebulanabilah.blogspot.co.id
Nurhayati, A. (2011). Menggagas Pendidikan Multikultur di Indonesia. Al-Tahrir, 327-347.
Rosyada, D. (2014). Pendidikan Multikultural di Indonesia; Sebuah Pandangan Konsepsional. Jurnal Sosio-Didaktika, 2.
Rusn, A. I. (2009). Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
���
257 �
Sadik, M. K. (2017, July 8). Retrieved from http://www.kompasiana.com/agustrisa000/bahaya-di-balik-ide-islam-nusantara_55a06cb4789373a20d75735c
Sirait, S. (2010). Landasan Normatif Pendidikan Islam Multikultural. Yogyakarta: Idea Press.
Yaqin, M. A. (2005). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pilar Media.
257
MEMBINGKAI TEKS AGAMA DALAM RANGKA MEMPERKUAT
NASIONALISME INDONESIA
Muhammad Aniq STIQ Islamic Centre Demak
Abstract
Starting from the Qur'an as sacred text and its function as a guide man, this paper is designed to frame religious texts, An attempt to enable religious texts to carry
out their functions as guidance and mercy to mankind that "live" in time and space
are changing, shifting and developing. Moreover, this effort allows the "Sacred
Text" to be alive (active position) and in one aspect is able to withstand new
thoughts (dynamic passive position). Nationalism does not conflict with the
teachings of Islam, many Islamic religious texts refer to nationalism. Religious
texts teach the people to love the homeland and the spirit of nationalism. Religious
values in all aspects of life that are universal come from religious texts which can
strengthen nationalism and strengthen NKRI (the Unitary Republic of Indonesia)
should continue to be explored in order to realize a safe and peaceful society and
nation. Being a Muslim nationalist Indonesian citizen does not have to remove the
cloak of Islam, But it is enough to synergize with the values of nationalism which is
the basis of the Pancasila state.
Keywords: The Qur'an, religious texts, Islamic teaching, Indonesian nationalism,
muslim nationalist.
258
Abstrak
Bertolak dari Al-Qur’an sebagai teks suci dan fungsinya sebagai petunjuk
manusia, tulisan ini dirancang untuk membingkai teks agama modern, sebuah
uapaya yang memungkinkan teks agama menjalankan fungsinya sebagai petunjuk
dan rahmat bagi ummat manusia yang “hidup” dalam ruang dan waktu yang
berubah, bergeser dan berkembang. Lebih dari itu, upaya ini memungkinkan “Teks
Suci” itu menjadi hidup (posisi aktif) dan dalam salah satu aspeknya mampu
bertahan menghadapi pemikiran-pemikiran baru (posisi pasif dinamis).
Nasionalisme tidak bertentangan dengan ajaran Islam, banyak teks agama Islam
yang menyinggung tentang nasionalisme. Teks-teks agama mengajarkan umatnya
untuk cinta tanah air dan berjiwa nasionalisme.Nilai-nilai keagamaan dalam
segala aspek kehidupan yang bersifat universal berasal dari teks-teks agama yang
dapat meneguhkan nasionalisme dan memperkuat NKRI harus terus digali untuk
merealisasikan masyarakat dan bangsa yang aman dan damai. Menjadi warga
muslim Indonesia yang nasionalis tidak harus melepas jubah keislaman, namun
cukup mensinergiskannya dengan nilai-nilai nasionalisme yang bersendikan dasar
negara Pancasila.
Kata Kunci: Al-Qur'an, teks agama, ajaran Islam, nasionalisme Indonesia, muslim
nasionalis
A. Pendahuluan
Para pemikir Islam, baik yang lahir dari rahim Islam itu sendiri, maupun
mereka yang mengkaji Islam dari sudut pandang “the others” yang dikenal dengan
orientalis, ketika membingkai Islam dalam pergulatan diskursus akademik (Islamic
Studies) meniscayakan pendekatan multidisipliner keilmuan. Setidaknya, Islam
bukan saja dilihat dari dimensi keyakinan teologis (īmān) yang bersifat
individualistik, tetapi juga merambah kepada aspek ritus keseharian yang
diformulasikan dalam simbol formal agama sebagai institusi. Selain itu, Islam juga
bisa dipahami sebagai objek kajian epistemologis yang saling berdialektika
memunculkan khazanah intelektual.
Amin Abdullah memandang Islam dari sisi normativitas dan historisitasnya.
Titik tekan “Islam normatif” terletak pada ranah doktrinal yang direpresentasikan
oleh wahyu. Interpretasi Kalam Tuhan bercorak skriptualis tanpa memperhitungkan
konteks ruang dan waktu. Dalam perspektif demikian, “Islam” seolah-olah sudah
paten dan tidak bisa diotak-atik lagi. Akal sebagai ujung tombak pengetahuan
manusia yang profan, mustahil menjangkau matra Tuhan yang sakral.1
Meski Amin Abdullah tidak bermaksud mendudukkan aspek normativitas-
historisitas secara diametral, namun tersirat bisa dipahami bahwa cara pandang
1 M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?, cet. ke-1, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 18
259
“Islam normatif” berbeda seratus delapan puluh derajat dengan “Islam historis”.
Haluan kedua ini tidak resisten terhadap pendekatan-pendekatan lain dalam upaya
memaknai dan membingkai “Islam” substantif, seperti latar sejarah, setting
sosiologis, antropologis, dan lain-lain. Sehingga, “Islam” bukanlah entitas eksklusif
bagi kalangan tertentu, melainkan petunjuk universal yang bercorak visioner
(rahmatan lial-ālamīn). Agama (dalam hal ini “Islam”) menopang konstruksi
“komunitas kognitif” baik dalam kapasitasnya sebagai substansi ajaran, kendali
kehidupan sosial, maupun pedoman interaksi sosial.2
Dalam tradisi Islam, teks-teks agama menempati posisi sentral, dan memiliki
signifikansi khusus. Nashr Hamid, mengatakan bahwa peradaban Islam, sangat
identik dengan teks, singkatnya, peradaban Islam, adalah “Peradaban Teks”, seperti
peradaban Yunani identik dengan peradaban akal, dan peradaban Mesir Kuno,
dikenal dengan peradaban “paska-kematian”. Namun bukan berarti teks an sich,
yang memproduksi peradaban, karena teks dengan kesendiriannya tidak mampu
melahirkan peradaban. Namun, peradaban tersebut lahir, akibat dari pergumulan
(dialektika) tiga faktor; manusia (al-insān), realita (al-wāqi’), dan teks (an-nash).3
Istilah teks dalam bahasa Arab disebut nash. Dalam bahasa Arab klasik kata
nash berarti mengangkat. Pada perkembangan selanjutnya kata tersebut mengalami
berbagai konotasi. Ia mengalami pergeseran konotasi secara semantik dari suatu
yang bersifat fisik ke wilayah gagasan-gagasan. Kata nash sesungguhnya setara
dengan apa yang disebut teks. Untuk itu sebuah pernyataan yang menegaskan
bahwa “tidak diperkenankan berijtihad ketika masih ada teks” adalah sebagai
prinsip yang menegaskan istilah teks kepada makna semantik klasik saja. Padahal
prinsip itu tidak dapat digunakan pada wacana Islam kontemporer. Apabila prinsip
dan pemaknaan tersebut diberlakukan, maka merupakan suatu bentuk manipulasi
semantik, terutama ketika kata teks hanya diterapkan kepada Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai teks suci agama diturunkan sebagai petunjuk bagi ummat
Manusia. Allah berfirman: “Ini adalah sebuah Kitab yang diturunkan kepadamu,
maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu
memberi peringatan dengan kitab itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang
yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 2).
Fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk ini ditegaskan oleh Al-Ustādz Al-Imām
Muhammad Abduh, sehingga beliau menyatakan bahwa tujuan yang pertama dan
utama dari ilmu Tafsir adalah: merealisasikan keberadaan Al-Qur’an itu sendiri
sebagai petunjuk dan rahmat Allah, dengan menjelaskan hikmah kodifikasi
kepercayaan, etika dan hukum menurut cara yang paling bisa diterima oleh pikiran
2 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama : Suatu Pengantar,
Tiara Wacana Yogyakarta 2004, hlm. 10.
3Abū Zayd. Nasr Hāmid, Mafhūm An-Nash; Dirāsah Fi Ulūm al-Qur’ān, Beirut: Al-
Markaz Al-Tsaqāfi Al-Arabi, cet. 4, th. 1998, hlm. 9.
260
dan menenangkan perasaan. Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya dari ilmu
ini adalah untuk mencari petunjuk kebenaran di dalam Al-Qur'an.4
Bertolak dari fungsi Al-Qur’an di atas, tulisan ini dirancang untuk
membingkai teks agama dalam rangka memperkuat nasionalisme, sebuah upaya
yang memungkinkan teks agama menjalankan fungsinya sebagai petunjuk dan
rahmat bagi ummat manusia yang “hidup” dalam ruang dan waktu yang berubah,
bergeser dan berkembang. Lebih dari itu, upaya ini memungkinkan “Teks Agama”
itu menjadi hidup (posisi aktif) dan dalam salah satu aspeknya mampu bertahan
menghadapi pemikiran-pemikiran baru (posisi pasif dinamis).
1. Kajian Pustaka
Kajian yang membahas tentang teks agama dan nasionalisme, telah dilakukan
para peneliti terdahulu. Beberapa penelitian atau tulisan yang memiliki
persinggungan dengan penelitian ini diantaranya adalah;
Tekstualitas Al-Qur’an Kritik Terhadapulūm Al-Qur’an, karya Nasr Hāmid
Abū Zayd, buku ini bersisi tentang konsep Teks Al-Qur’an dan kritik terhadap
ulūm Al-Qur’an. Menurutnya, Al-Qur’an dipandang sebagai objek kajian, layaknya
kajian terhadap teks-teks umum lainnya. Dalam buku ini beliau menggunakan
istilah teks yang dalam bahasa Arabnya Nash, tetapi tidak dalam pengertian nash
sebagaimana yang terdapat dalam kajian Ulumul Qur’an ulama-ulama dahulu. Kata
Nash disini diartikan sebagai ungkapan yang hanya memiliki satu kemungkinan
makna. Penggunaan kata teks tersebut dimaksudkan untuk memberi kesan bahwa
kajian ini adalah kajian ilmiah.
Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, karya Ali Maschan
Moesa. Buku ini memberikan beberapa pemahaman mengenai nasionalisme di
bumi Indonesia dan mereka yang berperan aktif di dalamnya. Mengenai
pemahaman nasionalisme para kiai. Ia merujuk dari para kiai yang telah dianggap
memiliki semangat jiwa nasionalisme dan pandangan-pandangan yang cukup luas.
Agama dan Nasionalisme, ditulis oleh Azyumardi Azra. Dalam tulisannya,
dikemukakan bahwa Nasionalisme adalah sebuah paham yang direalisasikan dalam
sebuah gerakan yang mendambakan kepentingan bersama, yaitu kepentingan
bangsa yang terdiri dari masyarakat yang majemuk. Bangsa mempunyai pengertian
totalitas yang tidak membedakan suku, ras, golongan, dan agama.
Berpijak dari beberapa penelitian dan tulisan yang disebutkan sebagai contoh
penelitian yang sudah ada sebelumnya, penelitian tentang “Membingkai Teks
agama dalam rangka memperkuat nasionalisme Indonesia” ini berbeda karena
beberapa hal: pertama, penelitian ini fokus pada, kedua, penelitian ini mengkaitkan
teks-teks agama yang relevan dengan nasionalisme Indonesia.
4Al-Khūlī. Amīn,Manāhij Tajdīd, Al-Haiah Al-Āmmah Al-Mishriyyah li Al-Kitāb, Cairo
1982, hlm. 229.
261
Metode Penelitian
Sebuah penelitian membutuhkan metodologi penelitian, yang mengemukakan
secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitian.5 Adapun
metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah; a). Metode
Pengumpulan data; Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan
(library research), yaitu mengumpulkan data dengan cara mengadakan penelaahan
literature yang terkait dengan pembahasan yang penulis teliti. b). Metode Analisis
data; dengan analisa, kita akan mampu menemukan makna yang saling
berhubungan dari berbagai dimensi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode analisis krittis (content analysis), yaitu mengkaji gagasan primer mengenai
ruang lingkup permasalahn yang relevan dengan gagasan sekunder. Fokus dari
metode ini adalah mendiskripsikan, membahas dan mengkritik gagasan primer
guna melakukan studi berupa perbandingan, hubungan dan pemgembangan model.
Penulis juga menggunakan metode tafsir kontekstual dalam analisa, yaitu
studi mendudukkan teks Al-Qur’an sebagai rujukan yang menjadi sentral terapan
masa lampau, kini dan mendatang. Metode ini dilontarkan oleh Fazlur Rahman
sebagai metode penafsiran dengan pendekatan historis yang dapat diterima dan
berlaku dalam tuntutan intelektual dan integritas moral. Inti dari metode ini adalah
memakai gerakan ganda (double movement), dari situasi sekarang ke masa Al-
Qur’an diturunkan. penafsiran dengan metode seperti inilah yang menjamin
aktualisasi ajaran-ajaran Al-Qur’an kapanpun dan di manapun.
B. Hasil dan Pembahasan
1. Teks-Teks Agama Tentang Nasionalisme
Nasionalisme tidak bertentangan dengan ajaran Islam, banyak teks agama
Islam yang menyinggung tentang nasionalisme. Teks-teks agama mengajarkan
umatnya untuk cinta tanah air dan berjiwa nasionalisme. Contoh teks Al-Qur’an
yang menjadi dalil adalah: Q.S. Al-Baqarah: 54, 126, Al-Maidah: 20, 21 Al-
An’am: 78, 135, Al-A’raf : 59, 61, 65, 67, 73, 79, Yunus: 71, 84, dll. Para nabi
terdahulu sebagaimana dikisahkan dalam banyak ayat Al-Qur’an ketika menyeru
kaumnya dalam berdakwah menyapa mereka dengan, “wahai kaumku.” Kata kaum
berasal dari bahasa Arab Qaum yang berarti kelompok, komunitas, bangsa, nation
dst. Bahkan dalam bahasa kontemporer nationalism dalam bahasa Inggir
diterjemahkan ke bahasa Arab dengan kata Qaumiyyah yang merupakah nisbah
dari kata Qaum. Jadi para nabi menyapa orang-orang satu negerinya dengan
“wahai kaumku” yang menunjukkan jiwa nasionalisme dalam diri setiap nabi
terhadap bangsanya. Para nabi juga menyapa warga satu kaumnya dengan sapaan
persaudaraan atau ukhuwah. Dari sinilah lalu dikenal yang namanya ukhuwah
qaumiyyah atau wathoniyah atau persaudaraan sesama bangsa. Adapun teks dari
Hadis yang menunjukkan jiwa nasionalisme adalah doa nabi kepada kaumnya agar
5 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2000, hlm. 3.
262
mendapat hidayah,6 dialog nabi dengan negeri kelahirannya Makkah yang akan
ditinggalkannya untuk berhijrah.7
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, pada 17 Agustus 1945, terjadi babak baru
pergumulan antara kepentingan Islam dan kepentingan nasional (Indonesia),
dinamikanya seringkali menghadapkannya pada ketegangan-ketegangan, tetapi
sebagian banyak dapat dipecahkan dengan ending yang memberikan kemaslahatan
bersama. Beberapa titik krisis yang dialami umat Islam dalam menyertai kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia, selama lebih dari setengah abad ini, antara
lain:
(1) Ketika merumuskan Dasar Negara RI, antara dasar Islam atau Pancasila.
Melalui diskusi-diskusi yang alot dan berliku antara para Bapak Pendiri Negara,
akhirnya Pancasila dapat diterima sebagai Dasar Negara RI. Namun sejak itu
orientasi perjuangan Islam di Indonesia terbagi menjadi “Islam politik” (yang lebih
tertarik berkriprah dengan atau melalui pranata-pranta politik, menduduki jabatan
publik atau partai-partai politik). dan “Islam Kultural“ (yang lebih berorientasi
pada pelayanan dan peningkatan kesejahteran umat, meningkatkan taraf pendidikan
dan kesehatan mereka). masing-masing mempunyai agendanya sediri.
(2) Pergumulan aspirasi ideologis selama berlangsungnya sidang-sidang
Konstituante antara 1957 – 1959 yang gagal merumuskan UUD Negara RI,
sehingga terjadi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menetapkan kembali ke UUD
1945 sebagai UUD Negara RI. Di sini terlihat beda antara kelompok politik garis
keras yang dimotori Masyumi, dan kelompok moderat yang dimotori NU ( yang
menjadi partai politik dalam Pemilu 1955), yang berujung dibubarkannya Masyumi
pada tahun 1960.
(3) Pada tahun 1983 pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai
“asas tunggal“ organisasi politik maupun organisasi sosial (termasuk organisasi
keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah). Mulanya masalah ini menimbulkan
kegelisahan umat Islam, tetapi dengan pendekatan dan dialog-dialog intensif, pada
Muktamar NU 1984 di Situbondo, NU dapat menerima Pancasila sebagai asas
tunggal organisasi, sepanjang Pancasila tidak difungsikan sebagai pengganti
kedudukan agama.
Saat itu ada kata-kata mutiara yang monumental yang disampaikan oleh KH
Ahmad Shidiq, bahwa perlu kita bangun bersama ukhwah Islamiyah, ukhwah
wathoniyah, ukhwah basyariyah (persaudaraan Islam, persaudaraan nasional, dan
persaudaraan dunia/kemanusiaan. Sedangkan Muhammadiyah, dengan proses dan
caranya yang lain, pada akhirnya juga menerima Pancasila sebagai asas organisasi
melalui keputusan Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1985. Ini merupakan
kecerdasan dan kearifan umat Islam dalam mengambil solusi yang dapat menjaga
keutuhan bangsa dan keselamatan negara.
6 HR. Al-Bukhari dan Muslim.
7 HR. Muslim dan At-Tirmidzi.
263
Apabila ada empat tonggak sejarah yang dipandang sebagai “Konsensus
Nasional” yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Eka, maka
dialektika ke-Islaman dan ke-Indonesiaan selama ini memang sangat kuat dan
mengagumkan, “saling menerima adanya perbedaan, tapi juga saling berusaha
menemukan konsensus“, hal itu merupakan prinsip demokrasi yang hakiki.
2. Mendialogkan Teks Agama dan Konteks
Dalam proses pencarian makna, kita dihadapkan pada problem konteks dari
teks. Karena konteks, memiliki pengaruh yang besar terhadap makna teks. Nashr
Abu-Zayd, menyebut lima macam konteks, sebagai gerbang kajian terhadap
makna teks. Yaitu, pertama, “konteks sosio-kultural”, kedua, “konteks eksternal”
(konteks pembicaraan), ketiga “konteks internal” (hubungan antarbagian teks),
ketiga, “konteks linguistik” (struktur dan hubungan antarkalimat), dan kelima,
“konteks bacaan” (penakwilan).8
Pertama, “konteks sosio-kultural” Membahas teks tidak terlepas dari kajian
terhadap sosio-kultural sebagai struktur teks. Yang dimaksud konteks sosio-
kultural adalah aspek-aspek pengetahuan yang memungkinkan berkomunikasi
secara linguistik. Namun komunikasi antara pengirim (subjek) dan penerima
(objek) tidak cukup mengetahui struktur bahasa yang dipakai keduanya. Tapi,
keduanya harus berada dalam ‘kebersamaan’ lingkup budaya dan sosial, agar bisa
memahami dan berkomunikasi.
Kedua, “konteks eksternal” Al-Quran, melalui dua proses, pertama, proses
sejarah terbentuknya Al-Quran, (siyāq asbab an-nuzūl) dan, kedua perubahan
lawan (objek) bicara (siyāq takhāub). Proses pertama telah disinggung di atas,
tentang proses turun dan terbentuknya teks selama kurang lebih dua puluh tahun.
Konteks ini nyata dalam pembahasan asbab an-nuzūl dan makky wa madany.
Sedangkan siyāq takhātub berhubungan dengan variasi lawan (objek) bicara.
Konteks ini menghubungkan komunikasi pesan antara pembicara (pengirim)
dengan pendengar (penerima). Hubungan ini akan menentukan variasi teks, dan
menjadi batasan referensi penafsiran. Membahas aspek ‘lawan bicara’ memilik i
urgensi tersendiri dari pada aspek ‘pembicara’. Karena jika kita membahas aspek
pembicara saja, maka, pesan tersebut akan dipahami sebagai proses komunikasi
dari “aku” ke “aku” dan akan menjadi “pemahaman subjektif”. Namun jika
dititikberatkan pada aspek ‘penerima’, maka, akan nampak fungsi teks, sebagai
proses, pemahaman, penjelasan, dan informasi.
Ketiga, “konteks internal” teks berhubungan dengan dua aspek, pertama,
pengumpulan teks Al-Quran dalam satu mushaf sehingga menjadi satu konteks.
Kedua, konteks retorika teks menghadap objek. Metode pengumpulan teks-teks
Al-Qur’an dalam satu mushaf sangat unik. Keterkaitan teks-teks ini menjadi
kesatuan konteks yang berlawanan turunnya teks (konteks eksternal). Aspek ini
yang membedakan konteks Al-Qur’an dengan konteks karya sastra lain, misalnya
“sajak-sajak yang digantung di dinding ka’bah” (al-mu’allaqāt) di zaman
8Abū Zayd. Nasr Hāmid,An-Nash, Al-Sulthah, Al-Haqīqah, hlm. 96.
264
Jahiliyah. Nasrr Abū-Zayd tidak mau membuka polemik, apakah pengumpulan ini
hasil ijtihad generasi pertama, atau ketetapan dari Allah. Namun metode membaca
“konteks internal” teks telah menjadi pembahasan ulama klasik dengan, ilmu
munasabat baina ayat wa suwar? Unsur kedua dari konteks internal teks adalah
konteks retorika (siyāq khithāb). Teks Al-Quran menggunakan banyak metode
dalam ungkapannya. Seperti ayat-ayat yang berkonteks janji dan ancaman,
pertikaian, peringatan, dan lain-lain. Demikian juga teks-teks tersebut
menggunakan konteks ideologis, dan legalisasi hukum. Sehingga ulama Ushul
Fiqh bisa mengambil konklusi hukum dari variasi teks tersbut, seperti wajib,
sunnah, mubah, haram, halal, dan makruh.
Keempat adalah “konteks linguistik” teks yang memahami teks dari makna-
makna grammar bahasa. Seperti ilmu Nahw, Sharaf, dan Balaghah. Dengan
konteks linguistik ini kita bisa menganalisis teks-teks tersebut sekaligus
mengkategorisasikan. Seperti al-taqdīm, al-ta’khīr, al-hadzf, al-idlmār al-fashl,
al-washl, al-kināyah, al-isti‘ārah, al-majāz, dan lain-lain.
Kelima, “konteks interpretasi” teks. Konteks yang terakhir ini tidak terpisah
dengan konteks-konteks yang terdahulu. Proses memahami teks seperti proses
memecahkan kode, maka, proses tersebut harus berasal dari pembacaan konteks
internal teks, bukan dari konteks artifisial eksternal. Proses interpretasi teks,
memiliki dua problem. Pertama, pluralitas interpreter, kedua, subjektifitas
interpreter. Pluralitas interpreter merupakan realitas interpretasi teks dilakukan
oleh banyak penafsir. Dan masing-masing penafsir tersebut membawa pengaruh
disiplin ilmu yang digeluti, struktur sosial yang melarbelakangi, keragaman misi,
dan lain-lain. Pembahasan tentang aspek-aspek penafsir ini merupakan bidang
khusus hermenuetika.
Memberlakukan sebuah teks keagamaan memerlukan sebuah telaah yang
mendalam dan komprehensif. Kondisi sosio-historis sebuah masyarakat perlu dan
mesti dipelajari dan dipertimbangkan. Contoh riil beberapa kasus di negeri kita
menunjukkan bahwa penerapan teks dengan tidak mempertimbangkan konteks
sering kali mengusik hati. Penerapan ajaran agama secara harfiyah menurut bunyi
teks bisa didiskusikan. Kearifan lokal sebagai konteks dijadikan bahan
pertimbangan sehingga membuat implementasi teks tidak dilakukan secara
harfiyah.Teks itu sendiri tidak muncul dalam ruang hampa budaya.
Konsep tentang asbab an-nuzūl dalam pemahaman Al-Quran dan asbāb al-
wurūd dalam pemahaman hadis semestinya dipahami dalam konteks ini. Tidak
sekedar bersifat parsial melainkan dipahami sebagai konteks budaya. Konsep “urf”
dalam Ushul Fiqih membuka ruang untuk mewacanakan dialog antara teks dan
konteks. Dalam perspektif ini Islam kita lihat sebagai teks dan budaya lokal sebagai
konteks. Berkaitan dengan hal ini, sangatlah relevan mengutip pendapat Ibnu Al-
Qayyim Al-Jauziyyah yang mengatakan:
“Janganlah kalian terpaku pada teks-teks yang dikutip dalam kitab-kitab
sepanjang hidup kalian. Jika orang dari luar daerah kalian menemui kalian
265
untuk menanyakan suatu persoalan (meminta fatwa hukum), maka tanyai
dulu tradisinya. Sesudah itu barulah kalian putuskan berdasarkan analisa
tradisinya itu, dan bukan berdasarkan analisa tradisi daerah kalian dan apa
yang terdapat dalam kitab-kitab kalian. Para ulama mengatakan ini adalah
kebenaran yang jelas. Sikap statis dan tidak melakukan analisa sosiologis
dan tetap memberikan keputusan berdasarkan teks-teks yang ada dalam
kitab-kitab adalah kesesatan dan tidak memahami maksud para ulama dan
generasi muslim awal.”9
Diskusi yang dikemukakan oleh Syah Waliyullah Ad-Dahlawi juga dengan
bagus memperjelas gagasan ini. Waliyullah mengatakan bahwa:
“Hukum yang diwahyukan kepada seorang nabi memerlukan perhatian
khusus pada kebiasaan, cara dan kekhususan tertentu dari orang-orang yang kepada
mereka dia secara khusus diutus. Namun Nabi yang bertujuan merangkul semua
prinsip tidak mungkin memunculkan prinsip yang berbeda untuk orang-orang yang
berbeda, atau membuat mereka bekerja di luar aturan tingkah laku mereka sendiri.
Caranya adalah melatih satu kelompok orang-orang tertentu dan menggunakan
mereka sebagai inti untuk membangun syariat yang universal. Dengan melakukan
hal itu dia menekankan prinsip-prinsp yang melandasi kehidupan sosial seluruh
umat manusia dan menerapkannya pada kasus-kasus konkret di bawah sorotan
kebiasaan khusus orang-orang yang langsung berada di hadapannya. Nilai-nilai
syariah yang dihasilkan dari penerapan ini (seperti aturan yang berkaitan dengan
pidana untuk kejahatan) adalah dalam pengertian khusus untuk orang-orang itu;
dan karena itu aturan prilaku mereka bukanlah sebuah tujuan pada dirinya sendiri
yang tidak bisa mereka paksakan secara ketat untuk kasus-kasus generasi yang
akan datang.”10
Ini berarti bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
sebagaimana dicatat dalam Sunnah Nabawi adalah contoh bagaimana teks
didialogkan dengan konteks tempat dan masa beliau, yang tidak mesti sama
modifikasinya di tempat lain dan di zaman lain. Dari perpsektif ini pula menurut
Iqbal mengapa Imam Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan pendekatan
induktif melalui konsep “Istihsan” dibanding Sunnah.
Penyimpangan dari teks bukan hal baru dalam dunia Islam. Bahkan tidak
lama setelah Nabi Muhammad wafat, Khalifah ke-2, Umar bin Al-Khaththab telah
melakukan kebijakan yang menyimpang dari teks Al-Quran. Misalnya dalam kasus
peniadaan hak “muallaf” dalam pembagian zakat dan hak prajurit dalam pembagian
harta pampasan perang. Hanya berselang beberapa tahun saja sepeninggal beliau.
Penyimpangan ini dilakukan oleh Umar karena konteksnya sudah berbeda di
samping ia mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas daripada keuntungan
9 Lihat Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam al-Mu’waqqi’īn, 3/78.
10 Lihat Waliyullah Ad-Dahlawi, Hujjatullah al-Bālighah, 1/150.
266
segelintir orang. Maka bisa dibayangkan betapa besar perbedaan perikehidupan
zaman Nabi dengan perikehidupan zaman kita sekarang 15 abad sesudahnya.11
Jelas sekali penerapan ketentuan teks secara literal dirasakan sebagai hal
yang tidak adil. Kearifan lokal sebagaimana dilembagakan dalam hukum adat telah
mampu melunakkan teks sehingga penerapannya bersifat kontekstual. Topik
perbincangan kita saat ini memang mengenai Islam dan budaya lokal. Namun topik
ini bisa kita perluas perspektifnya agar menjadi lebih relevan dengan tantangan
global dan modern.
Konteks menyangkut waktu dan tempat. Hal ini penting dicatat untuk
memahami dan menerapkan sebuah teks. Ia tidak muncul dalam ruang yang hampa
budaya. Teks tidaklah berbicara sendiri. Ia dipahami, ditafsirkan, dirumuskan dan
disistematisasi oleh para ulama dari zaman ke zaman yang tidak lepas dari konteks
waktu dan tempat masing-masing. Ia dibawa dan diajarkan ke berbagai bagian
dunia yang mempunyai konteks budaya sendiri-sendiri yang berbeda dengan
konteks budaya ketika dan di mana teks itu muncul. Karena itu manifestasi Islam
sebagai teks dalam kehidupan umat Islam sebagai konteks bersifat warna-warni.
Belajar dari gagasan Syah Waliyullah tersebut mendialogkan teks dan
konteks kita perlu menganalisa teks dalam pemahaman masyarakat saat itu. Tidak
cukup hanya berdasarkan analisa kebahasaan melainkan juga memahami dari
perspektif sosio-historikal konteksnya ketika teks itu muncul dan menjelma dalam
ruang dan waktu sebagai sunnah nabawi. Pemahaman kita terhadap teks tidak
hanya terbatas pada “spacio-temporal traces”, yakni memahami dan menganalisa
bekas dan pengaruh faktor ruang dan waktu terhadap lahir dan tumbuhnya ajaran-
ajaran agama melainkan juga pada “spacio-temporal matrix”, yakni keadaan ruang
dan waktu yang mesti dipertimbangkan dalam mewujudkan nilai-nilai dan norma-
norm agama. Yang pertama berkaitan dengan interpretasi dan yang kedua
berkenaan dengan implementasi.
Suatu hal yang perlu juga disadari bahwa budaya sebagai konteks tidaklah
mandek, berhenti dan diam. Karena itu Islam terus menghadapi tantangan budaya,
yang dalam konteks masa kini tidak lagi dalam konteks lokal dalam arti sempit dan
terbatas akan tetapi justru dalam konteks global. Kemajuan alat-alat komunikasi
dan transportasi membuat batas kelokalan menjadi makin cair. Penyebaran
pengetahuan dan gagasan telah menyingkirkan batas dan kendala ruang dan waktu.
Umat manusia terbuka untuk saling belajar dan saling terpengaruh dan
mempengaruhi.
Sinyalemen bahwa dunia menjadi perkampungan global (global village)
bukanlah sebuah impian dan khayalan. Pergumulan antara Islam dan tantangan
global tidak akan terhindari Proses globalisasi berlangsung tanpa terbendung,
masuk dan merasuk ke semua bidang kehidupan, pemikiran, sikap dan tindakan
11 Djohan Effendi, Islam di Antara Teks Dan Konteks, Paper untuk Annual Conference on
Islamic Studies (ACIS) ke-10 Kementerian Agama RI di Banjarmasin tanggal 1-3 Nopember 2010.
hlm. 6-7
267
keseharian kita. Islam menghadapi dunia yang makin menyadari dan menuntut
pemenuhan hak-hak asasi manusia dalam perspektif kehidupan sosial, politik dan
ekonomi. Kekhawatiran akan masa depan umat manusia berkenaan dengan bencana
kelaparan yang memerosotkan kualitas hidup dan masa depan generasi yang akan
datang, ancaman perang dan kerusakan lingkungan yang mencederai eksistensi
umat manusia, makin dirasakan. Cita-cita tentang pemerintahan demokratis,
keadilan sosial, kesetaraan gender, dan tentu masih banyak lagi, adalah tantangan
yang umat Islam hadapi dan harus dijawab. Piagam Hak Asasi Manusia, sistem
demokrasi, prinsip-prinsip yang mendasari gerakan green peace, gagasan tentang
etika global, pluralisme, nasionalisme dan multikulturisme adalah di antara
berbagai gagasan yang bisa dianggap sebagai kearifan global yang mesti difahami
oleh para cendekiawan muslim saat ini.
3. Membingkai Teks Agama Guna Memperkuat Nasionalisme Indonesia
Untuk membingkai teks-teks agama yang menyerukan nasionalisme,
persaudaraan, cinta tanah air, persatuan, cinta produk dalam negeri hendaknya
dibarengi dengan penafsiran terhadap teks-teks tersebut dengan akal pikiran agar
segala teks keagamaan tidak ditelan mentah-mentah. Sehingga cara berfikir kita
merupakan perpaduan yang seimbang antara teks agama dan akal. Cara bersikap
kita dalam mengplikasikan teks agama adalah sikap yang toleran, moderat,
menghargai keberagaman, dan menjaga harmonisasi antar pemeluk agama. Sikap
toleransi dan moderat ini merupakan wujud dari persaudaraan internal pemeluk
agama, antar pemeluk agama dan juga persaudaraan bangsa secara tulus dan ikhlas.
Beragamnya etnis dan agama di negara ini membutuhkan sikap saling menghargai
dan menyayangi antar sesama warga negara. Banyak kasus kekerasan atas nama
agama dan juga etnis yang terjadi karena rasa curiga dan semakin menipisnya rasa
persaudaraan. Tentunya rasa curiga ini harus dihindari dengan selalu
mengedepankan perasaan positif dan tidak gegabah dalam menghadapi berbagai
masalah serta tidak terpancing isu-isu yang tidak jelas dari mana datangnya dan
belum tentu kebenarannya.
Pasca-reformasi 1998 di Indonesia tumbuh dan berkembang gerakan yang
dikenal “gerakan Islam transnasional”, karena benihnya datang dari berbagai
negara di luar Indonesia, umumnya negara-negara Timur Tengah. Gerakan Islam
transnasional ini juga dipandang sebagai gerakan yang mengusung “radikalisme”.
Para pendukung gerakan ini melihat bahwa dalam kehidupan masyarakat telah
terjadi jurang yang begitu dalam, antara harapan seperti yang dikonsepsikan oleh
agama mereka dengan realita yang ada di hadapan mereka. Radikalisme Islam di
Indonesia muncul dan dipicu oleh persoalan domestik di samping oleh konstelasi
politik internasional, yang dinilai telah memojokkan kehidupan sosial politik umat
Islam. Dalam panggung politik domestik, fenomena maraknya gerakan radikalisme
ditandai dengan maraknya aksi-aksi yang melibatkan massa dalam skala masif
yang dimotori berbagai kelompok Islam “garis keras” seperti FPI (Front Pembela
Islam), MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), Hizbut Tahrir (HT), dan LJ (Laskar
Jihad). Meskipun ada perbedaan, baik dari segi pandangan politik maupun strategi
268
perjuangan, namun umumnya mereka memiliki persamaan dalam agenda:
“Pemberlakuan syariat Islam di bumi Indonesia,” dan “Penerapan sistem khilafah
dalam kenegaraan Indonesia.”
Nasionalisme menurut Hans Kohn berarti keadaan pada individu yang dalam
pikirannya merasa bahwa pengabdian paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah
air.12
Nasionalisme dalam Islam seringkali dikaitkan dengan hubb al-watan (cinta
tanah air). Sementara itu, Ridwan Lubis dan M. Hisyam dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, menyebut hubungan antara Islam dan nasionalisme ini
melalui dua perspektif. Islam mempunyai pengalaman panjang dan bahkan dapat
dikatakan pionir terbentuknya nasionalisme yang melahirkan negara bangsa.
Negara Madinah, sebagaimana diakui sejarawan Thomas Arnold, adalah negara
bangsa (nation-state) yang pertama di atas dunia. Hal ini merupakan bukti bahwa
Islam tidak menafikan setiap warga bangsa yang mempunyai afiliasi terhadap tanah
air tertentu.
Belakangan ini nasionalisme bangsa Indonesia seperti tergerus dan
dipertentangkan dengan hal-hal keagamaan. Bahkan, ada suatu gerakan yang
mempertentangkan Pancasila sebagai dasar negara dengan ajaran Islam. Ada yang
ingin ganti Pancasila sebagai dasar negara, ada yang mulai teriakkan khilafah, ada
yang ingin mengusung ISIS ke Indonesia. Juga mulai muncul suatu gerakan yang
mengarah pada upaya pengrusakan kebhinekaan. Mulai ada suatu gerakan yang
ingin menjadikan kemajemukan di negeri ini untuk dikuasai atau dimonopoli oleh
kelompok tertentu. Ada juga pelecehan terhadap simbol negara, terhadap Bung
Karno sebagai perumus Pancasila, pelecehan terhadap bendera Merah Putih dan
lainnya.
Nasionalisme tidak mengurangi nilai seseorang sebagai seorang muslim,
sebagai umat beragama, baik dalam arti politik maupun sprirtualisme. Indonesia
selama merdeka benar-benar menjadi bangsa yang saling menghargai dan
menegakkan Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu, ketika mulai muncul adanya
upaya yang merusak keragaman dan kebhinekaan, harus disikapi dengan sikap
tegas bahwa pengamalan agama tidak menggerus nasionalisme dan kebhinekaan.
Pengamalan beragama, pengamalan Islam malah harus memperkuat nasionalisme
sehingga menjadikan perbedaan dan kebhinekaan sebagai rahmat Tuhan bahwa
Islam adalah agama yang rahmatan li al-ālamīn. Kita mengamalkan Islam, dalam
rangka memperkuat nasionalisme. Tidak ada pertentangan, bahkan Islam atau suatu
agama akan semakin kokoh dengan memperkuat nasionalisme.
Menurut Sholih Mu’adi media sosial merubah manusia dari human ke
posthuman, dengan kata lain individu dapat berubah perannya di media dengan
kehidupan nyata. Banyak orang-orang yang memposting komentar negatif, akun
akun yang menjatuhkan tetapi di kehidupan nyata merupakan orang penakut
bahkan pendiam. Pengunggah tersebut sering tidak bertanggung jawab atas apa
12
Hans Kohn, The Idea Of Nationalism : A Study in Its Origins and Background, Macmillan,
1944 - Nation-state.
269
yang diposting. Sehingga terkadang merugikan orang bahkan instansi tertentu.
Media merubah manusia, di media sosial berani tapi di kenyataan orangnya tidak
bahkan pendiam.13
Raymond Kaya menjelaskan, pengaruh media yang sangat besar tetutama
dibidang informasi perlu dikontrol. Karena banyak informasi yang tidak di
klarifikasi sering menyebar di media sosial. Kita kalau dapat informasi dari media
sosial harus diklarifikasi kebenarannya. Raymond menekankan pentingnya
mempelajari media. Media memiliki peran vital menumbuhkan jiwa
nasionalisme.14
Dengan sudut pandang ke Indonesian tentang kebhinnekaan dan cara
pandang wawasan nusantara sejak dini, Maka akan muncul kesadaran diri untuk
memperkuat rasa kecintaan terhadap tanah air (hubbul wathan minal iman). Sikap
toleransi, kebersamaan dan gotong royong harus menjadi ciri manusia Indonesia
dan selalu bergandengan tangan semua komponen bangsa untuk menjaga keutuhan
NKRI. NKRI harga mati dan sudah final, jangan sampai ada gerakan separatis
mengancam dan merongrong kebangsaan kita, ke-indonesia kita sudah menjadi
komitmen bersama, sebagai generasi pemuda siap menjadi garda terdepan sebagai
pembela bangsa dan penegak agama.
Hubungan antara agama dan nasionalisme tidak selalu serasi. Maka dari itu,
hal ini masih terus menjadi perbincangan dan baik di kalangan akademisi maupun
praktisi politik, khususnya yang berorientasi keagamaan. Penyebaran gagasan
tentang nasionalisme yang bersumber dari Eropa ke banyak wilayah Dunia Muslim
sejak awal abad 20 berujung pada pembentukan banyak negara-bangsa (nation-
state) berpenduduk mayoritas Muslim seusai Perang Dunia II. Tetapi, pembentukan
nation-state tidak mengakhiri perdebatan tentang agama dan nasionalisme.
Sebaliknya, kontestasi, pergumulan dan pergolakan politik tentang kedua entitas ini
terus berlanjut sampai hari ini dan ke depan. Dinamika yang terjadi dalam
masyarakat keagamaan berbarengan dengan perubahan politik pada tingkat lokal,
nasional dan internasional membuat perdebatan tentang agama dan nasionalisme
kembali mengemuka.
Banyak masyarakat agama di berbagai negara dan benua mengalami
peningkatan kecintaan (attachment) pada agama—memunculkan antusiasme baru
yang pada gilirannya mendorong apa yang sejak akhir dasawarsa 1980-an disebut
sebagai ‘kebangkitan agama’ (religious revival). Fenomena ini melanda komunitas
keagamaan Protestan di Amerika, kalangan Muslim di banyak negara, kaum Hindu
di India atau juga Budha di Srilanka dan Thailand. Pada pihak lain, nasionalisme
bangkit kembali. Kebangkitan ini membuktikan kekeliruan ahli seperti Daniel Bell
akhir 1960an tentang akhir nasionalisme (the end of ideology) atau lebih
13Lihat:http://fisip.ub.ac.id/berita/studium-general-fisip-ubperan-pt-dan-media-dalam-
mempertahankan-dan-memperkuat-jiwa-nasionalisme-di-era-global-ala-dr-sholih-muadi-s-h-m-si-
dan-raymond-simon-antonius-kaya.html 14
Llihat http://www.malangtimes.com/baca/3937/20150909/161605/tumbuhkan-
nasionalisme-di-media-massa/
270
belakangan Francis Fukuyama tentang akhir sejarah yang hanya menyisakan
demokrasi (the end of history). Gejala ini bisa dilihat dalam tumbuhnya
nasionalisme bernyala-nyala berbarengan meningkatnya gelombang demokrasi
(democracy wave) yang akhirnya membuat Uni Soviet dan Yugoslavia berkeping-
keping menjadi negara-negara baru. Indonesia dengan wilayah begitu luas dan etnis
yang sangat beragam alhamdulillah selamat dari perpecahan. Gelombang keempat
demokrasi yang melanda Indonesia beriringan krisis moneter, keuangan dan politik
sejak akhir 1997 dan berlanjut sepanjang 1998-1999 tidak berujung pada apa yang
disebut sebagai ‘balkanisasi’, yaitu disintegrasi Indonesia menjadi sejumlah negara
seperti terjadi di Semenjung Balkan, Eropa Timur.
Indonesia tetap bertahan meski masih menyisakan sejumlah agenda reformasi
politik, Indonesia relatif berhasil dalam konsolidasi demokrasinya. Indonesia
dengan penduduk mayoritas muslim menjadi show case, contoh keberhasilan,
kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. Melihat Dunia Islam lebih luas, sulit
menemukan negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang berhasil dalam
transisi dan konsolidasi demokrasinya. Tetapi juga jelas, liberalisasi politik melalui
demokratisasi di Indonesia sekaligus mendatangkan sejumlah tantangan baru,
termasuk dalam hal hubungan antara agama, khususnya Islam dengan
nasionalisme. Di kalangan umat Islam Indonesia bangkit kembali kembali gagasan
tentang pembentukan negara Islam (dawlah Islāmiyyah) atau setidaknya perubahan
UUD 1945 dengan mengembalikan ‘Piagam Jakarta’ yang memungkinkan
pemberlakuan syari’ah Islam oleh negara.
Pada saat yang sama, gagasan dan usaha menggusur integrasi Islam-
nasionalisme Indonesia seperti terlihat dalam dasar negara Pancasila dengan
transnasionalisme politik Islam juga menguat. Berbagai gerakan berakar di Timur
Tengah atau tempat lain yang ingin mendirikan khilafah—entitas politik Islam
universal tunggal—baik secara ‘damai’ maupun radikal dan teroristik kian
menampilkan diri secara terbuka. Mereka cukup aktif memasarkan ideologi
masing-masing sekaligus merekrut para pendukung.
Pada dasarnya tidak ada masalah serius menyangkut hubungan antara Islam
dan nasionalisme di Tanah Air. Kedua entitas ini telah terintegrasi sehingga
negara-bangsa Indonesia sudah final dengan empat prinsip pokok; UUD 1945,
Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut Azyumardi, integrasi Islam dan nasionalisme itu tidak bisa
dipandang selesai (taken for granted). Sebaliknya senantiasa perlu penguatan
keempat prinsip dasar dan sekaligus meningkatkan aktualisasi sistem dan nilainya
dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Tanpa itu, boleh jadi kian banyak warga
yang kehilangan kepercayaannya pada integrasi Islam dan nasionalisme
Indonesia.15
15
Azyumardi Azra, Agama dan Nasionalisme, Kolom Resonansi Repubilika, edisi 10 Maret
2016.
271
Nasionalisme adalah sebuah paham yang direalisasikan dalam sebuah
gerakan yang mendambakan kepentingan bersama, yaitu kepentingan bangsa
(nation), mereka terdiri dari masyarakat yang majemuk. Bangsa mempunyai
pengertian totalitas yang tidak membedakan suku, ras, golongan, dan agama.
Diantara mereka tercipta hubungan sosial yang harmonis dan sepadan atas dasar
kekeluargaan.
Kepentingan semua kelompok dilembagakan dalam berbagai organisasi
sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan. Upaya penggalangan kebersamaan ini
sering kali bertujuan menghapus superioritas kolonial terhadap suatu bangsa yang
telah menimbulkan berbagai penderitaan selama kurun waktu yang cukup lama.
Ali Maschan Moesa memberikan beberapa pemahaman mengenai
nasionalisme di bumi Indonesia dan mereka yang berperan aktif di dalamnya.
Mengenai pemahaman nasionalisme para kiai. Ia merujuk dari para kiai yang telah
dianggap memiliki semangat jiwa nasionalisme dan pandangan-pandangan yang
cukup luas. Salah satu pendapat dari kiai itu bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa
yang dihuni oleh berbagai agama, suku, dan bahasa yang berbeda dan dibedakan
dengan kawasan yang berlainan. Ketika masing-masing elemen bangsa melihat
kepentingan golongan atau dirinya sendiri, maka Negara akan mengalami
disentegrasi sosial yang berujung pada keruntuhan bangsa dan negara.16
Oleh karena itu, menurut pendapat tersebut, nasionalisme bisa menjadi
sesuatu yang mengikat dengan adanya komitmen terlebih dahulu untuk mengusung
dan menjamin kedaulatan rakyat di depan Negara. Siapa yang bertanggung jawab
terhadap nasionalisme? Tentu saja semua kelompok pembeda yang ada di dalam
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), baik atas nama agama, suku,
kelompok kepentingan, maupun daerah.
Perkembangan Islam di Nusantara sangat luar biasa. Islam tidak mengajarkan
kekerasan namun mencintai tanah air adalah bagian dari iman kepada Tuhan. Maka
dari itu, antara agama dan nasionalisme harus diimbangi. Di Indonesia, islam dan
nasionalisme harus diimbangi. Ddahulunya pendiri NU pernah mengatakan bahwa
para ulama telah mengambil banyak peran dalam membela tanah air. Para ulama
mempercayai bahwa barang siapa yang mati dalam keadaan membela tanah air
maka orang tersebut akan mati syahid. Islam dan Nasionalisme harus disinergikan.
Islam saja tidak cukup untuk menyatukan umat begitu juga dengan nasionalisme
yang belum bisa tanpa agama, maka perlu adanya keseimbangan antara Islam dan
nasionalisme. Perkembangan islam dilakukan dengan pendekatan-pendekatan
dengan mengedepankan aspek sosial budaya masyarakat di Indonesia. Begitu juga
dahulunya, dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW yang melarang adanya
permusuhan yang dikarenakan perbedaan suku, agama, kelompok, dan golongan,
ataupun pilihan politik.Said menambahkan, musuh bersama di negeri ini yakni bagi
mereka yang melanggar hukum dan peraturan.Dalam hal ini, NU optimis dan yakin
bahwa, NU salah satu muslim yang nasionalis serta memiliki peran yang tidak kecil
16 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme kiai : Konstruksi Sosial Berbasis Agama, hlm. 25
272
dalam memperjuangkan NKRI dahulunya. Said pun memberikan contoh dengan
keberadaan para kiai-kiai yang berada di kampung-kampung. Mereka menurut Said
telah mengambil andil dalam membangun karakter bangsa. Beberapa contohnya
seperti mengajarkan toleransi, mengajarkan pentingnya ramah dan dan santun, serta
sikap percaya diri dan sikap gotong royong. "Kami tidak mengajarkan cara mereka
ngebom, cara memasang bom, tapi bagaimana Kiai-kiai ini meningkatkan integritas
masyarakat kepada bangsa.
Terdapat hal menarik ketika Kiyai Hasyim Asy’ari menolak menghormat
bendera Belanda dan Jepang. Bukan karena menyekutukan Allah, Rais Akbar
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat menguasai ilmu hadits ini tidak mau
menghormat bendera negara penjajah karena alasan rasa nasionalisme yang tinggi.
Terhadap bendera merah-putih, Mbah Hasyim membolehkan untuk menghormati
sebagai bentuk rasa cinta terhadap negara, bukan penyembahan. Mbah Hasyim,
sapaan karib Hadaratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, pernah mengatakan bahwa agama
dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah
bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan.17
Dalam rangka menunjukkan rasa kesetiaan terhadap bangsa dan negara,
mantan ketua majelis Fatwa Al-Azhar Mesir, Syekh Athiyah Shaqar, mengatakan,
“Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan dalam situasi tertentu itu
menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya,
dan komitmen untuk mendukungnya. Sikap itu tidak masuk dalam pengertian
ibadah kepada bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir
sampai ada yang bilang itu bid’ah atau ibadah pada selain Allah.18
Ketua Majelis
Ulama AlJazair tahun 1999-2001, Abudurrahman Syaiban, menerangkan bahwa
berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan atau menghormati bendera tidak
bertentangan dengan syariah dan akidah karena tidak ada di dalam teks agama (Al-
Qur’an dan Hadits) yang mengharamkannya. Ia mengatakan, “Pendapat tidak
bolehnya mendengarkan lagu kebangsaan atau berdiri saat dinyanyikan tidak
memiliki dasar syariah. Tidak ada dalil apapun yang mengharamkan atau
memakruhkannya. Justru sebaliknya, itu perkara yang dianjurkan. Karena, agama
Islam menyatakan bahwa “Cinta tanah air itu bagian dari iman.” Sedangkan lagu
dan bendera itu adalah tanda dan simbol kehidupan yang tidak ada kaitannya
dengan syariah.
Jika kita melihat Kondisi terakhir bangsa Indonesia, maka akan kita lihat
sedikit mengalami ketegangan. Ketegangan tersebut diwarnai dengan isu SARA
yang dapat memicu retaknya keharmonisan hubungan berbangsa dan bernegara.
Menurutnya, isu SARA muncul karena adanya kelompok religion of eksklusivisme
yang hanya menawarkan konsep ukhuwwah islāmiyyah (persaudaraan umat Islam)
saja. Sedangkan kiyai-kiyai di Indonesia tidak hanya menawarkan konsep
17Lihat :http://jalandamai.org/agama-dan-nasionalisme-dua-kutub-saling-menguatkan.html 18
Lihat Atiyyah Saqar, Ahsan al-Kalām fi al-Fatāwāwa al-Ahkām, Maktabah Wahbah Cairo,
2/55.
273
ukhuwwah islāmiyyah saja, melainkan ada ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan
umat manusia) dan ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan berbangsa).
Ancaman serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa pasca Pilkada DKI
berlangsung menghantui negeri ini. Pilkada Jakarta hanyalah trigger bagi kelompok
fundamental untuk menampakan wujudn aslinya. Yang patut ditanyakan
sebenarnya mau dibawa kemana kita meletakkan agama dalam berbangsa dan
bernegara? Sedangkan selama ini agama dan nasionalisme tidak pernah
bertentangan. Maka dari itu, setiap warga negara harus berperan aktif dalam
membangun bangsa sesuai dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama oleh
founding fathers.
Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan.
Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.
Indonesia sejak diproklamirkan 71 tahun silam, telah tumbuh bersama
berkembangnya agama Islam. Namun demikian, eksistensi Islam Indonesia selalu
dinamis seiring relasi negara dalam menempatkan posisi umat Islam dan pasang
surut tensi politik global yang berkembang. Massifnya Islam di Indonesia ditandai
dengan tingginya taraf pengorganisasian sejak era kemerdekaan, termasuk dalam
proses membangun nasionalisme dan memperjuangkan kemerdekaan. Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai organisasi Muslim terbesar yang telah
mendominasi kehidupan sosial-keagamaan masyarakat Indonesia barangkali
menjadi contoh yang tak terbantahkan dari proses ini.
Sikap nasionalisme umat Islam Indonesia pada dasarnya harus senantiasa
sinergis antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai Pancasila. Urgensi pengembangan
nilai-nilai agama sejatinya untuk menciptakan pribadi yang berakhlak mulia dan
taat kepada Tuhan, sementara nilai-nilai nasionalisme dalam Pancasila sejatinya
menanamkan rasa peduli terhadap sesama, menciptakan rasa persatuan dan
kesatuan, bersikap demokratis, dan mengembangkan sikap keadilan (fairness).
Karena itu, nasionalisme Pancasila harus eksis kembali, dimana terminologi
kandungannya harus muncul dalam pribadi warga negara. Konsep dan gagasan
Pancasila harus membudayakan dan membumi selaras dengan nilai dan ajaran
agama. Dengan demikian, diharapkan perlahan-lahan bisa mencegah tumbuhnya
benih radikalisme. Artinya, problem yang muncul terkait persoalan radikalis-
fundamentalis harus benar-benar dicermati.
Oleh karena itu, segala benih radikalis-fundamentalis yang bertentangan
dengan nilai-nilai nasionalisme harus dicegah dan diberantas. Watak moderat
(tawassuth) merupakan ciri umat Islam Indonesia yang penting untuk ditonjolkan,
di samping juga i‘tidāl (bersikap adil), tawāzun (bersikap seimbang), dan tasāmuh
(bersikap toleran). Sebuah, spirit menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran
yang ekstrim (tatharruf)—baik ekstrim kiri maupun kanan—yang dapat
melahirkan terorisme dan fundamentalisme yang jelas-jelas menyimpang dari
ajaran Islam.
274
C. Simpulan
Akhirnya, ditengah usia Indonesia semakin matang, menjadi warga muslim
Indonesia yang nasionalis tidak harus melepas jubah keislaman, namun cukup
mensinergiskannya dengan nilai-nilai nasionalisme yang bersendikan Pancasila.
Karena Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka,
inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa
dan negara. Demikian halnya nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara. Islam
yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita
yang beragam. Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan dan
perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara, tanpa diskriminasi
apapaun agama yang diikuti dan tidak diikutinya. Islam yang sepenuhnya berpihak
bagi rakyat miskin sebagaimana pancasila memuat ajaran-ajaran yang mulia.
Bagaimanapun juga membangun keberagamaan dan nasionalisme sama dengan
membangun Indonesia menuju negara yang toleran.
Berdasarkan deskripsi di atas, penulis merekomendasikan perlunya terus
digali nilai-nilai keagamaan dalam segala aspek kehidupan yang bersifat universal
berasal dari teks-teks agama yang dapat meneguhkan nasionalisme dan
memperkuat NKRI, serta dapat diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan di
Indonesia Untuk memperkuat rasa nasionalisme yang belakangan ini terasa mulai
merenggang diantara anak bangsa, perlu dilakukan dialog, workshop dan
pendidikan kebangsaan dengan semua kalangan terutama tokoh agama yang saling
menghujat atas nama agama. Pemerintah harus bersikap lebih tegas lagi terhadap
kelompok-kelompok separatisme yang menolak Pancasila sebagai dasar negara dan
ingin menggantikan bentuk Negara Pancasila dengan bentuk negara lain.
Pemerintah harus terus merawat dan mendorong setiap Ormas Islam dan lembaga
pendidikan yang secara institusional berperan dalam menguatkan NKRI. Bahkan,
penting untuk mempromosikan dan mensosialisasikannya kepada Ormas Islam atau
institusi pendidikan.
Referensi
Abdullah. Amin. 2002. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas, cet. Ke-1,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Abū Zayd. Nasr Hāmid. 2000. Mafhūm An-Nash; Dirāsah Fi Ulūm al-Qur’ān,
Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqāfi Al-Arabi, cet. 4, th. 1998.
Abū Zayd. Nasr Hāmid. 2000. An-Nash, Al-Sulthah, Al-Haqīqah, Beirut, Al-
Markaz Ats-Tsaqafi Al-Arabi.
Ad-Dahlawi. Waliyullah. 2001.Hujjatullah Al-Balighah, Cairo, Dar Al-Hadits.
Al-Jauziyyah. Ibnu Al-Qoyyim. 2000. I’lam al-Mu’waqqi’īn ‘an Rabbi al-Alamin,
Cairo,Dar Al-Hadits.
Al-Khūlī. Amīn. 1982. Manāhij Tajdīd, Al-Haiah Al-Āmmah Al-Mishriyyah li Al-
Kitāb, Cairo,Al-Haiah Al-Ammah Al-Mishriyyah li Al-Kitab.
275
Azra. Azyumardi. 2016. Agama dan Nasionalisme, Kolom Resonansi Republika,
edisi 10 Maret 2016.
Effendi. Djohan. 2010. Islam Di Antara Teks Dan Konteks, Paper untuk Annual
Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 Kementerian Agama RI di
Banjarmasin tanggal 1-3 Nopember 2010.
Kohn. Hans. 1994. The Idea Of Nationalism : A Study in Its Origins and
Background, Nation-state, Macmillan.
Moesa. Ali Maschan. 2007.Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama,
Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press, Yogyakarta, LkiS.
Saqar. Athiyyah. 2000. Ahsan al-Kalām fi al-Fatāwāwa al-Ahkām, Cairo,
Maktabah Wahbah.
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim. 2004. Metodologi Penelitian Agama : Suatu
Pengantar, Yogyakarta, Tiara Wacana.
http://www.malangtimes.com/baca/3937/20150909/161605/tumbuhkan-
nasionalisme-di-media-massa/. Diakses 8 Juni 2017.
http://fisip.ub.ac.id/berita/studium-general-fisip-ubperan-pt-dan-media-dalam-
mempertahankan-dan-memperkuat-jiwa-nasionalisme-di-era-global-ala-dr-
sholih-muadi-s-h-m-si-dan-raymond-simon-antonius-kaya.html. Diakses 8
Juni 2017
http://jalandamai.org/agama-dan-nasionalisme-dua-kutub-saling-menguatkan.html.
Diakses 9 Juni 2017.
277
YANG INDAH DAN BERFAEDAH:
PERBINCANGAN TERHADAP TRADISI PENULISAN SYAIR
DI KALANGAN ULAMA MINANGKABAU PERMULAAN ABAD XX
Pramono Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang
Abstract
The role of art and literature in the process of Islamic teaching in the Nusantara has
long been confirmed. There were various Arabic and Persian literary works in the
form of syair (poems), for example, which have became the interest of the Nusantara
people and made them fall in love in Islam. Thus, the aesthetic, teaching and
entertaining contents whithin the literary works have frequently been influencing the
behaviour and changing one’s world perspective. In the context of dynamic
Minangkabau Islamic discourses, particularly in the early 20th century, there were
many Ulama had writen syairs. Interestingly, beside using dakwah as the religious
preaching, syairs were also used as the media to develop understandings and
debates on Islam. Those syairs explain the tradition of literary writing and debate
within the Minangkabau ulama network. The tradition of literary writing and
religious practices imply that Minangkabau ulama, at that time, have been able to
intregrate the trancendental values with the local socio-cultural one although they
were lack of supporting facilities. They have been able to deliver the religious
teachings, knowledges and even debates in interesting and stimulating packages.
There were two oustanding Minangkabau ulamas which were known for their syairs
in the early 20th century, Syekh Haji Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul) and
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Canduang). Beside writing the syair about
Islamic polemics, both ulamas had also writen the syairs on hagiografi, fiqh
teaching, tasawuf and other islamic knowledges.
Keywords: syair, ulama, polemic, Islam, Minangkabau
278
Abstrak
Peran kesenian dan kesusastraan dalam proses penyebaran Islam di Nusantara
memang tidak dapat dinafikan. Beragam gubahan kesusastraan Arab dan Persia
dalam bentuk syair, misalnya, telah menjadi daya tarik penduduk Nusantara untuk
jatuh cinta pada Islam. Begitulah, muatan estetika, pengajaran, dan hiburan yang
terkandung dalam sastra sering kali mampu mempengaruhi perilaku dan mengubah
pandangan dunia seseorang. Dalam konteks dinamika wacana Islam Minangkabau,
utamanya pada permulaan abad XX, banyak di kalangan ulamanya menulis syair.
Menariknya, selain sebagai media dakwah untuk syiar keagamaan, syair-syair
tersebut juga digunakan sebagai media perdebatan paham keislaman. Melalui
syair-syair tersebut dapat menjelaskan tradisi bersastra dan beragama di kalangan
ulama-ulama Minangkabau. Tradisi bersastra dan beragama tersebut memberi
kesan bahwa ulama-ulama Minangkabau pada waktu itu mampu memadukan nilai
transendental dengan sosial budaya lokal, meskipun dengan sarana dan prasarana
yang minim. Mereka telah mampu mengemas pengajaran, pengetahuan dan bahkan
perdebatan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Dalam konteks ini, dikenal dua
ulama Minangkabau yang paling menonjol dalam dunia penulisan syair pada
permulaan abad XX, yakni Syekh Haji Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul) dan
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Canduang). Selain menulis syair yang berisi
polemik, kedua ulama ini juga menulis syair-syair hagiografi, pengajaran fikih,
tasawuf, dan pengetahuan keislaman lainnya.
Kata Kunci: syair, ulama, polemik, Islam, Minangkabau.
A. Pendahuluan
Penggunaan syair sebagai media dakwah Islam di Nusantara memiliki
pengaruh besar, terutama dalam proses penanaman nilai-nilai keislaman. Islam yang
berkembang di Nusantara adalah Islam yang bermazhab Syafii dengan ajaran
tasawuf yang kuat. Kasidah Burdah dan Barzanji, misalnya, dipakai oleh kalangan
sufi untuk menanamkan nilai-nilai Islam—kecintaan terhadap Nabi Muhammad—
kepada penduduk Nusantara. Dalam konteks ini, para ulama sufi juga melakukan
penyalinan dan penulisan serta penggubahan teks-teks keislaman sebagai media
untuk penyebaran ajaran Islam, utamanya mulai abad ke-15 sampai ke-20. Melalui
karya tersebut, para ulama sufi mewacanakan nilai-nilai Islam hingga masuk ke
sanubari penduduk Nusantara (Abdul Hadi W. M., 2000: 290).
Peran kesenian dan susastra—termasuk syair—dalam proses penyebaran Islam
di Nusantara memang tidak dapat dinafikan. Beragam gubahan cerita atau karya
sastra Arab dan Persia menjadi “ramuan” mangkus yang membius penduduk
Nusantara untuk jatuh cinta pada Islam. Begitulah, muatan estetika, pengajaran, dan
hiburan yang terkandung dalam sastra sering kali mampu mempengaruhi perilaku.
Pengalaman estetika yang diperoleh dari karya sastra mampu mengubah pandangan
dunia seseorang. Dalam hal ini, secara sederhana dan meyakinkan, Muhammad Haji
Salleh (2006: 298) mengatakan bahwa,
279
...proses mempertajam atau menghalusi perasaan kemanusiaan
seseorang pendengar/pembaca, yang tidak dapat diberikan oleh seni
lainnya, sedalam yang ditawarkan oleh sastera. …Dia mungkin berubah
menjadi peka terhadap binatang setelah membaca Hikayat Indera
Putera, lebih memahami sifat kewanitaan selepas membaca Syair Siti
Zubaidah, atau lebih merasa belas kasihan setelah selesai mendengar
Hikayat Si Miskin.
Ataupun dia mungkin lebih mengenali Nabi Muhammad setelah membaca
nazam dan syair-syair seperti Nabi Bercukur, Israk Mikraj, dan sebagainya.
Karya sastra, khususnya syair keagamaan telah menciptakan kesenangan bagi
pembaca dan pendengarnya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Abu Hassan
Sham (1995: 73), bahwa karya dalam bentuk syair lebih diminati karena syair
memiliki irama dan pilihan kata yang menarik serta dilagukan sewaktu
membacanya. Dengan demikian, karya yang ditulis dalam bentuk syair lebih mudah
dihafal dan ajaran yang terkandung di dalamnya mudah untuk diingat.
Penyalinan, penulisan dan penggubahan teks keislaman ke dalam bentuk syair
tidak lain dimaksudkan untuk mempribumikan ajaran Islam; memudahkan proses
transmisi berbagai pengetahuan keislaman. Dalam rangka inilah—utamanya pada
permulaan abad ke-20—banyak ulama Minangkabau memilih genre syair untuk
berkarya. Beragam pengetahuan keislaman seperti fikih, tasawuf, hadis, dan lainnya
digubah menjadi syair.
Secara keseluruhan, studi ini merupakan kajian kepustakaan dengan metode penelitian
kualitatif. Dalam pembahasannya digunakan dua pendekatan, yakni pendekatan filologi dan
pendekatan analisis wacana kritis (AWK). Pendekatan filologi digunakan untuk “membaca”
teks syair-syair karya ulama Minangkabau. Adapun pendekatan AWK digunakan untuk
menganalisis proses produksi, distribusi dan penerimaan teks syair-syair tersebut.
Dalam hal keperluan studi ini, digunakan pendekatan analisis wacana kritis
(AWK). Adapun pendekatan AWK yang digunakan adalah gabungan model
Fairflough dengan Wodak. Sebenarnya, kedua sarjana ini telah bersama-sama
merumuskan sifat AWK yang menjadi dasar pandangan mereka. Menurut
Fairclough dan Wodak (1997: 258, 273, 275-279) AWK memiliki lima sifat atau ciri
dasar. Pertama, tindakan, yaitu wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan,
apakah untuk dipengaruhi, mendebat, atau membujuk bahkan menyanggah. Wacana
juga dipandang sebagai sesuatu yang dihadirkan secara sadar dan terkendali. Kedua,
konteks, yakni wacana dipandang sebagai sesuatu yang diproduksi, dimengerti,
dianalisis pada suatu konteks tertentu. Ketiga, sejarah, yakni meyakini bahwa
wacana hanya dapat diketahui dengan menempatkan wacana itu ke dalam konteks
sejarah tertentu. Keempat, kekuasaan, yaitu wacana tidak dapat dilepaskan dengan
masyarakat atau kontrol yang terdapat di dalam suatu masyarakat. Kelima, ideologi,
yakni meyakini bahwa wacana melakukan tugas-tugas ideologi yang terwujud dalam
tindakan sosial.
280
Secara singkat, untuk keperluan studi ini, teori AWK (gabungan model
Fairflough dengan Wodak) digunakan untuk menjelaskan produksi, distribusi dan
konsumsi wacana penulisan syair di kalangan ulama Minangkabau pada permulaan
abad XX sebagai dinamika tradisi beragama dan bersastra. Dalam konteks ini, perlu
disebutkan juga bahwa istilah wacana dan teks akan digunakan berdasarkan
kesesuaian ranah penggunaan, yaitu teks sebagai wacana dan wacana sebagai teks.
Namun demikian, teks dan konteks secara bersamaan juga akan disebut sebagai
wacana. Hal ini mengacu pada perspektif AWK, bahwa dalam pengertian wacana
ada tiga hal yang sentral, yaitu teks, konteks, dan wacana.
B. Hasil dan Pembahasan
Begitu populernya syair di kalangan ulama Minangkabau pada masa itu,
sampai-sampai Haji Abdul Karim Amrullah alias Inyiak Rasul pernah merasa perlu
menerbitkan syair Irsyâd al-‘awâm pada menyatakan mawlüd al-nabi alayhi al-
salam (1914). Kaptein (1993: 135) menyebutkan bahwa syair ini merupakan syair
yang cukup panjang tentang polemik Maulid Nabi, khususnya di Minangkabau.
Padahal dua tahun sebelumnya ia sudah menerbitkan buku Iqhazun Niyami fi Amril
Qiyami (1912). Dalam hal isi, kedua buku ini sama-sama menyerang ulama Kaum
Tua yang merayakan Maulid Nabi dengan perayaan yang meriah. Bedanya, buku
pertama ditulis dalam genre prosa, sementara buku kedua digubah dalam bentuk
syair.
Oleh karena populernya syair itu pula, wajar kiranya seorang Mahmud Yunus
(1979) terkenang masa kanak-kanaknya (sekitar 1908-1909), bahwa ia pernah
membaca buku syair yang dikarang oleh ulama dari golongan Kaum Tua (Syekh
Khatib Ali). Buku syair itu berisi pembelaan atas kecaman ulama Kaum Muda
berkenaan dengan “berdiri maulid” dan membaca usali.
Dalam konteks itu, sekiranya almarhum Umar Junus masih hidup dan
mengetahui karya-karya tersebut, sudah tentu beliau akan terkejut; ternyata selain
riwayat hidup Rasulullah dalam puisi penerbitan Al-Amin (Junus, 2010: 195), masih
ditemukan syair riwayat Nabi Muhammad di kampung hamannya sendiri. Akan
lebih mengejutkannya lagi, bahwa syair tersebut tidak hanya berisi riwayat Nabi
Muhammad, melainkan juga tentang polemik terhadap perayaan Maulid Nabi di
Ranah Minang.
Sebenarnya, tradisi menulis di kalangan ulama Minangkabau tidak dapat
dilepaskan dari dinamika Islam lokal, terutama di era transmisi gagasan dan gerakan
pembaharuan Islam yang dimulai pada permulaan abad XX. Pada waktu itu, tensi
polemik antara dua golongan ulama, yaitu antara “Kaum Tua” atau “Kaum
Tradisional” dengan “Kaum Muda” atau “Kaum Modern” semakin tinggi.
Dalam praktik pengamalan ajaran Islam, Kaum Tua memiliki empat kriteria
atau hakikat. Pertama, dalam bidang akidah, mereka adalah penganut aliran ahlusunah
waljamaah. Kedua, dalam bidang syariah mereka hanya menganut mazhab Imam
Syafii. Ketiga, mereka membenarkan dan merasa berkewajiban untuk
mempertahankan aliran-aliran tarekat yang mu’tabarah (sah dan boleh diamalkan,
281
menurut penilaian mereka). Keempat, mereka ingin tetap mempertahankan tradisi,
adat kebiasaan yang telah melekat dalam berbagai macam amalan keagamaan (Latief,
1988: 135).
Paham keagamaan tersebut berbeda dengan apa yang diyakini oleh ulama-
ulama Kaum Muda. Para ulama golongan ini berpandangan bahwa hanya Alquran dan
hadis Nabi yang sahih saja yang mempunyai otoritas kebenaran mutlak. Oleh karena
itu, hanya Alquran dan hadis Nabi yang dapat dijadikan sebagai pedoman umat Islam
untuk melaksanakan ibadah. Mereka juga menganggap bahwa tidak ada ulama,
termasuk para ulama mazhab sekalipun, yang luput dari kekeliruan, sehingga
pandangan keagamaannya tidak dapat diikuti secara mutlak. Apalagi, Tuhan telah
menganugerahkan akal kepada setiap manusia untuk dapat berijtihad setiap saat
(Oman Fathurahman, 2003: 99).
Dalam perjalanannya, dinamika polemik keislaman tersebut menjadi lebih
kompleks. Ulama Kaum Tua yang juga penganut tarekat tidak hanya berpolemik
dengan ulama Kaum Muda, melainkan pada saat yang sama juga menghadapi
pertentangan antarsesama penganut tarekat sendiri. Lebih daripada itu, polemik
keislaman juga terjadi di dalam tubuh satu penganut tarekat yang sama.
Namun demikian, menariknya, justru polemik keislaman itu berdampak positif
terhadap suburnya tradisi menulis di kalangan ulama Minangkabau. Beberapa ulama
dari masing-masing golongan menulis untuk mendebat pendapat yang menurut
mereka tidak benar dan tidak berdasar.
Dari golongan Kaum Tua, misalnya, ada beberapa ulama yang menulis seperti:
(a) Syekh Muhammad Sa’ad Mungka sebanyak 3 karya; (b) Syekh Bayang
Muhammad Dalil sebanyak 5 karya; (c) Syekh Khatib Muhammad Ali Al-Fadani
sebanyak 30 karya; (d) Syekh Sulaiman Ar-Rasuly 22 karya; (e) Syekh Muhammad
Jamil Djaho 3 karya; (f) Syekh Muda Abdul Qadim sebanyak 2 karya; (g) Haji Abu
Bakar Ali Maninjau sebanyak 1 karya; (h) Haji Mansur Datuk Nagari Basa sebanyak
9 karya; (i) Haji Muhammad Zain Simabur sebanyak 5 karya; (j) Haji Sirajuddin
Abas sebanyak 16 karya; (k) Hajjah Syamsiyah Abbas sebanyak 1 karya; (l) Haji
Yunus Yahya Magek sebanyak 2 karya; (m) Haji Jalaluddin sebanyak 42 karya; dan
(n) Haji Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib sebanyak 22 karya (Apria
Putra dan Chairullah Ahmad, 2011: 110-149; M. Sanusi Latief, 1988: 647-656;
B.J.O. Scrieke, 1973; Pramono, 2009 & 2015).
Adapun di kalangan ulama Kaum Muda yang berkarya seperti: (a) Syekh
Abdul Karim Amrullah sebanyak 29 karya; (b) Syekh Abdullah Ahmad sebanyak 5
karya; (c) Syekh Muhammad Thaib Umar sebanyak 3 karya; (d) Syekh Muhammad
Jamil Jambek sebanyak 5 karya; (e) Syekh Ibrahim Musa Parabek sebanyak 4 karya;
(f) Syekh Abbas Abdullah Padang Japang sebanyak 1 karya; (g) Ustaz Zainuddin
Labay sebanyak 24 karya; (h) Haji Jalaluddin Thaib sebanyak 2 karya; (i) Engku
Mudo Abdul Hamid Hakim sebanyak 5 karya; (j) Prof. Dr. Mahmud Yunus
sebanyak 64 karya; (k) Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya sebanyak 34 karya; (k) Prof. H.
Ilyas Muhammad Ali sebanyak 5 karya; (l) Prof. H. Bustami Abdul Gani sebanyak 5
282
karya; (m) Prof. Dr. Hamka sebanyak 115 karya; (n) Ustaz H. Karim Bakri sebanyak
5 karya; (o) Ustaz Mawardi Muhammad sebanyak 9 karya; (p) Ustaz Zainal Abidin
Ahmad sebanyak 8 karya; (q) Ustaz Nashruddin Thaha sebanyak 10 karya; (r) Ustaz
Abdur Rahim Al-Munafiy; (s) AR. Sutan Mansur sebanyak 2 karya; dan Ustaz A.
Malik Ahmad sebanyak 2 karya (Apria Putra dan Chairullah Ahmad, 2011: 110-149;
M. Sanusi Latief, 1988: 647-656; B.J.O. Scrieke, 1973; Pramono, 2009 & 2015).
1. Penulisan Syair di Kangan Ulama Minangkabau
Lebih menarik lagi, dalam konteks polemik, banyak di antara ulama
Minangkabau yang menulis dalam bentuk syair. Tema polemik keislaman yang
terkandung di dalam syair-syair tersebut meliputi permasalahan khilafiah dan tarekat
(tasawuf). Di antara ulama yang menulis syair polemik adalah Syekh Bayang
Muhammad Dalil (1984-1923), Syekh Khatib Ali Al-Fadani (1863-1936), Syekh
Muhammad Thaib Umar Sungayang (1974-1920), Syekh Haji Abdul Karim
Amrullah (1879-1945), Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (1871-1970) dan beberapa ulama
lainnya.
Sejauh ini, dapat diketahui bahwa syair-syair karya ulama di atas ditemukan
dalam bentuk salinan tangan dan salinan cetakan yang ditulis dengan aksara Jawi.
Syair-syair tersebut ada kalanya wujud dalam satu karya utuh dan ada pula dalam
bentuk fragmen di dalam sebuah karya lain yang bukan karya sastra. Untuk jenis ini,
syair biasanya terdapat dalam pembukaan atau penutup sebuah karya yang bukan
karya sastra. Selain itu, ada pula syair yang ditemui dalam tulisan-tulisan di majalah,
seperti di Majalah al-Munir dan al-Mizan yang juga ditulis dengan Jawi.
Menarik dikemukakan bahwa, karya-karya di atas kebanyakan diberi judul
dengan bahasa Arab. Fenomena pemberian judul karya dengan bahasa Arab, secara
umum memang terjadi pada kesusastraan Melayu periode Islam. Hal ini merupakan
bagian yang tidak dapat dilepaskan dari upaya memperibumikan teks-teks Arab
untuk keperluan lokal. Kondisi ini juga merupakan bagian dari proses terjemahan
teks-teks Arab ke dalam Melayu atau saduran dan bahkan pembahasan dari teks-tek
sumber berbahasa Arab oleh penulis-penulis lokal. Salah satu contoh seperti yang
dilakukan oleh Nur al-Din al-Raniri yang mengarang teks sejarah dalam bahasa
Melayu yang diberi judul Arab, Bustan al-Salatin (Taman Raja-Raja). Kondisi ini,
menurut Jhons (2009) merupakan upaya membangun persepsi Islam tentang cara-
cara bertakwa, karena pada dasarnya karya-karya yang dilahirkan memang ditujukan
untuk pengajaran.
Penting kemudian diperhatikan bahwa, karya-karya ulama Minangkabau yang
mengandung teks polemik keislaman, cenderung menggunakan bahasa Arab dalam
penulisan sebuah judul karya. Jika judul-judul tersebut diterjemahkan ke dalam
bahasa Bahasa Indonesia, maka kesan polemik sangat terasa. Untuk sekadar
menyebutkan beberapa karya, di bawah ini (Tabel 1) disenaraikan karya-karya
ulama Minangkabau yang diberi judul dengan bahasa Arab.
Tabel 1: Beberapa contoh karya ulama Minangkabau yang berjudul
bahasa Arab dan isinya dengan menggunakan bahasa Melayu
283
Tajuk Penulis Keterangan
Izhar Zughal Al-Khazibin ila
Tasyabbuhihim bi al-Shadiqin
(Memperlihatkan Kelancangan Orang-
orang Pembohong yang Berpura-pura
sebagai Orang-orang yang Benar)
Syeikh Ahmad
Khatib Al-
Minangkabawi
(1852-1916)
Kecaman
terhadap praktik
tarekat di
Minangkabau
Kitab al-Saif al-Battar fi Mahq Kalimat
Ba’dh Ahl al-Ightirar (Pedang yang
amat tajam untuk membasmi kata-kata
seorang tukang tipu)
Balasan terhadap
tulisan Syeikh
Mungka
al-Ayat al-Bayyinat li al-Munshifin fi
lzalat Khurafat Ba'dh al-Muta'asshifin
(Bukti-bukti yang jelas untuk orang-
orang yang insaf dalam melenyapkan
khurafat dari sebahagian orang-orang
yang fanatik).
Juga berisi
balasan terhadap
tulisan Syeikh
Mungka.
Irghaamu Unuufi A-Muta’ Annitiin
(Untuk Menghancurkan Hidup Kaum
Pembangkang)
Syekh Muhammad
Sa’ad Mungka
(1857-1923)
Pembelaan
terhadap Faham
tarekat
Naqsabandiyah
Tanbihuul ’Awaami ’ala Taqrirrati
Ba’dhil Anaami (Memperingatkan
Masyarakat Umum terhadap Tipuan-
tipuan Sebagian Orang)
Bantahan
terhadap apa yang
dikemukakan
oleh Syeikh
Ahmad Khatib al-
Minangkabawi.
Tablīgh al-Amānāti fi Izālāt al-
Munkarāti wa al-Syubhāt
(Penyampaian amanah pada
penghapusan semua kemungkaran san
syubhah) Syeikh Sulaiman
Ar-Rasuli (1871-
1970)
Hukum haram
meminta-minta di
kalangan faqih.
Izālat al-Dhalāli fi Tahrīm al-Izā’ wa
al-Suāli (Penghapusan kesesatan dalam
yang haram yang dipertentangkan dan
berbagai-bagai permasalahan)
Tanggapan
terhadap tulisan
H. Jalaluddin.
Berdasarkan pembacaan yang dilakukan, setidaknya ada dua makna di balik
penggunaan bahasa Arab tersebut. Pertama, menunjukkan penguasaan bahasa Arab
bagi penulisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan bahasa Arab di kalangan
ulama Minangkabau pada masa kentalnya polemik keislaman, menjadi penting
untuk wibawa dan harga diri golongan. Dengan menguasai bahasa Arab berarti
seseorang dapat menguasai kitab-kitab sumber pengetahuan Islam. Dengan
penguasaan kitab-kitab tersebut, maka seorang ulama pastilah menguasai berbagai
hal berkenaan dengan pengetahuan keislaman: fikih, tasawuf, mantik, dan tafsir.
284
Oleh karena itu, pelajaran bahasa Arab merupakan pelajaran wajib dalam
sistem pendidikan Islam di Minangkabau, baik di kalangan ulama Kaum Tua
maupun Kaum Muda. Pelajaran bahasa Arab atau disebut juga dengan ilmu alat
(bahasa Arab dan berbagai disiplinnya, seperti nahu, balaghah, mantik, maani, dan
lain-lain) harus dikuasai terlebih dahulu; barulah dapat melanjutkan untuk
mempelajari kitab-kitab sumber yang berbahasa Arab lainnya. Bahasa Arab menjadi
syarat mutlak untuk dapat membaca dan memahami kitab-kitab berbahasa Arab
yang menjadi sumber utama pengetahuan keislaman.
Penguasaan bahasa Arab oleh seorang ulama akan menjadi bahan
perbincangan di kalangan ulama Minangkabau. Ulama yang memiliki kemampuan
ilmu alat yang baik akan terkenal dan menjadi tujuan bagi orang-orang yang ingin
belajar ilmu keislaman. Misalnya, surau Tuanku Koto Tuo Kamang menjadi tujuan
bagi orang-orang yang ingin mempelajari ilmu alat. Hal ini karena Tuanku Koto
Tuo adalah ulama yang terkenal dalam penguasaan ilmu alatnya.
Kondisi akan menjadi sebaliknya, jika ulama yang tidak begitu menguasai
bahasa Arab, maka mereka akan menjadi bahan kritikan ulama yang lain. Seperti
halnya Inyiak Rasul mengkritik ulama golongan Kaum Tua yang kurang menguasai
bahasa Arab; ia menyarankan agar mereka meniru sistem pendidikan Kaum Muda
(Sumatera Thawalib dan Dhiniyah di Padangpanjang) yang menerapkan cara
modern agar dapat menguasai bahasa Arab dengan baik (Murni Djamal, 2002: 69).
Kesan pentingnya bahasa Arab dalam dinamika Islam Minangkabau dapat
dilihat pada ratusan naskah yang ditinggalkan. Hingga kini, ratusan naskah tersebut
tersimpan di surau-surau tarekat yang tersebar di Sumatera Barat. Di antara ratusan
naskah itu, sebagian di antaranya adalah kitab berkenaan dengan ilmu alat. Semua
surau yang memiliki koleksi naskah, dapat dipastikan terdapat naskah yang disebut
sebagai kitab ilmu alat tersebut. Jika suatu surau memiliki koleksi naskah yang
berisi ilmu alat, maka dapat dipastikan pula memiliki naskah-naskah lain, seperti
kitab fikih, tasawuf, tauhid dan lainnya. Artinya, kitab-kitab ilmu alat menjadi
“kunci” untuk “membuka” kitab-kitab lain yang berbahasa Arab.
Adapun kitab-kitab berbahasa Arab yang dijadikan bahan pembelajaran di
surau dapat dilihat pada daftar (Tabel. 2) berikut ini.
Tabel. 2: Pembahagian tingkat, mata pelajaran dan nama kitab
yang dipakai dalam sistem pendidikan surau (tarekat) di Minangkabau
No. Mata
Pelajaran
Tingkat dan Nama Kitab
I II III IV V VI
1. Nahwu Syarah
lilmukhta
sar
Azhari Alqhatar Alqhatar Alkhudharil
alawwal
Alkhudhari
atstani
2. Sharaf Kailani Kailani Attaftazani Attaftaza
ni
Attaftazani -
3. Fiqih Minhaj
atthalibi
n
(ibadat)
Minhaj
atthalibin
(bai’)
Minhaj
atthalibin
(bai’)
Minhaj
atthalibi
n (nikah)
Minhaj
atthalibin
(nikah)
Minhaj
atthalibin
(jarah)
285
4. Tafsir Jalalain
(alawwa)
Jalalain
(alawwal)
Jalalain
(alawwal)
Jalalain
(Atstsan)
Jalalain
(Atstsani)
-
5. Ushul - Waraqat Lathaiful
isyarah
Lathaiful
isyarah
Lathaiful
isyarah
-
6. Mantiq - - Idhahul
mubham
Idhahul
mubham
Alakhdhari -
7. Ma’ani - - - - Jauharul
maknun
-
8. Bayan - - - - - Jauharul
maknun
9. Badi’ - - - - - Jauharul
maknun
10. Tauhid - Kifayah alawam
Fathul majid
Fathul majid
- -
11. Tasauf - - - - Syarah hikam Syarah
hikam
12. Musthalah - - - Hidayat
ul bahits
Baiquniah Baiquniah
Sumber: Nur Anas Jamil (1978: 19).
Di kalangan ulama Kaum Tua, juga ada upaya beberapa ulamanya untuk
mewacanakan pentingnya bahasa Arab. Ada yang melalui tulisan, ada pula yang
disampaikan langsung dalam beberapa majelis pengajian. Syekh Ibrahim Musa
Parabek (1882-1963) misalnya, dalam salah satu halaman depan (sampul) kitab
karangannya yang berjudul Hidayatus Shibyan 'ala Risalah Syeikh Syuyukhina
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, disisipkan tulisan yang berbunyi: "Pelajarilah olehmu
Bahasa Arab, karena Bahasa Arab itu ialah Kalam Allah”. Ia menyebutkan bahwa
pernyataan itu bersumber daripada hadis Rasul (Apria Putra dan Chairullah Ahmad,
2011: 163).
Ulama Kaum Tua yang lain, seperti Syekh Sulaiman ar-Rasuli, lebih keras lagi
anjurannya terhadap pentingnya penguasaan bahasa Arab. Ia bahkan
“memfatwakan” bahwa bahasa Arab adalah ilmu yang fardu kifayah. Hal ini karena
hukum-hukum Islam berangkat dari Alquran dan hadis yang semuanya berbahasa
Arab (Zulkifli, 2010: 166). Untuk Sulaiman ar-Rasuli sendiri tidak diragukan
kemampuannya dalam penguasaan bahasa Arab. Beberapa kitab yang dikarangnya
ditulis dalam bahasa Arab dan digunakan sebagai sumber pelajaran bagi murid-
muridnya.
Masih berkenaan dengan bahasa Arab, penting juga dikemukakan di sini
bahwa dalam sistem pendidikan Islam di Minangkabau (baca: surau), bagi murid
yang memiliki kemampuan bahasa Arab dengan fasih akan diberi gelar malim.
Biasanya ‘si malim’ nantinya akan menjadi ahli kitab karena kemampuan bahasa
Arab tersebut (Murni Djamal, 2002: 54).
Kedua, meyakinkan pembaca bahwa isi kitabnya adalah penting, dapat
dijadikan rujukan dan pengajaran. Selain itu, juga dimaksudkan agar sejajar dengan
“kitab kuning”. Dengan demikian, kedudukannya sama-sama penting, sama-sama
dapat dijadikan rujukan. Sebagaimana diketahui bahwa dalam sistem pendidikan
286
surau, kitab kuning merupakan buku teks. Dalam sistem pendidikan surau, kitab
kuning baru dimulai pada abad ke-18 M. Bahkan, cukup realistik juga
memperkirakan bahwa pengajaran kitab kuning secara massif dan permanen itu
mulai terjadi pada pertengahan abad ke-l9, yaitu ketika sejumlah ulama Nusantara,
kembali dari Mekah. Kitab-kitab kuning itu meliputi kitab fikih yang berbicara
tentang rukun Islam yang kelima, syahadat, salat, puasa, haji, dan zakat yang berada
dalam bidang ibadah, tafsir, tasawuf, tauhid, dan lain sebagainya (Azyumardi Azra,
2003: 102-103).
2. Inyiak Rasul dan Inyiak Canduang: Contoh Ulama Penulis Syair
Kendati masih banyak hal yang dapat diperbincangkan berkenaan dengan
aspek kebahasaan—misalnya, penggunaan bahasa Melayu bukan bahasa
Minangkabau atau bahkan ditulis dengan Jawi dan bisa terbaca dengan bunyi bahasa
Minangkabau—dalam karya ulama Minangkabau di atas, namun pada kesempatan
ini tidak akan dibahas. Justru, akan lebih menarik sekiranya ditampilkan di sini dua
ulama Minangkabau yang paling menonjol dalam dunia penulisan syair pada
permulaan abad ke-20: Syekh Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan
sebutan Inyiak Rasul dan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli alias Inyiak Canduang. Selain
menulis syair yang berisi polemik, kedua ulama ini juga menulis syair-syair
hagiografi, pengajaran fikih, tasawuf, dan pengetahuan keislaman lainnya.
Inyiak Rasul adalah ulama golongan Kaum Muda dan sekaligus tokoh utama
pembaharuan Islam di Minangkabau. Ketokohannya telah menarik perhatian banyak
sarjana untuk meneliti pemikiran dan perjuangannya (lihat M. Sanusi Latief, dkk.,
1988; Murni Djamal, 2002; Zulmuqim, 2002; Tamrin Kamil, 2005). Sumber utama
yang sering atau bahkan selalu dirujuk untuk mengetahui riwayatnya adalah biografi
yang ditulis oleh anaknya, yakni H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka
(1950, 1982). Beruntung, saya berhasil menemukan beberapa sumber dalam bentuk
manuskrip yang tidak pernah dibincangkan oleh para peneliti sebelumnya, bahkan
oleh Buya Hamka sendiri. Beberapa manuskrip—seperti surat pribadi, notulen rapat,
catatan harian, dan syair—tersebut tersimpan di Kutubkhanah di Muara Pauh,
Sungai Batang, Maninjau. Kutubkhanah ini merupakan peninggalan Inyiak Rasul
yang dahulunya juga digunakan untuk ’kantor’ Muhammadiyah.
Inyiak Rasul memiliki nama lengkap Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah Al-
Danawiy (1879-1945). Gelar “Dr” yang terdapat pada namanya merupakan anugrah
doktor honoris causa (doktor fid-Dien) dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
pada 1926. Gelar ini pula yang membuat Inyiak Rasul lebih juga dikenal oleh
penduduk Maninjau dengan sebutan Inyiak De Er.
Sesungguhnya, nama kecil yang diberikan ayahnya adalah Muhammad Rasul.
Sekembalinya dari ibadah haji dan menuntut ilmu dari Mekah, namanya juga disebut
sebagai Haji Rasul. Beberapa sumber juga menuliskan akronim namanya saja, yakni
Haka. Adapun “Al-Danawiy” adalah gelar yang melekat karena kampungnya
terletak di tepi danau: Danau Maninjau. Ia dianggap sebagai tokoh utama dalam
pergerakan pembaharuan keislaman di Minangkabau di antara ulama Kaum Muda
287
yang ternama lainnya, seperti Zainoeddin Labay El-Joenoesy, Syekh Muhammad
Thaher Djalaloeddin, Syekh Muhammad Djamil Djambek, H. Abdullah Ahmad dan
Abdul Madjid Karim.
Inyiak Rasul merupakan sosok ulama pembaharu yang paling aktif
menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan dibandingkan dengan ulama
pembaharu lainnya. Tulisannya selalu menjadi rujukan untuk proses pembaharuan
kesilaman di Minangkabau. Wacana pembaharuan sering kali muncul dan bermula
dari tulisan-tulisannya yang kritis.
Beberapa karya syair yang terkenal adalah Ad-Din an-Nashihah (1328 H)
yang berisi pentingnya membaca kitab Fawaid al-‘Aliyah dan juga menerangkan
tentang persolan hukum dalam melafazkan niat saat salat; syair berupa pengantar
kitab yang berjudul “Pembuka Mata” (1342 H), yang menjelaskan bahwa hukum
bercinta buta (muhalil) adalah haram; syair Irsyâd al-‘awâm pada menyatakan
mawlüd al-nabi alayhi al-salam (1914) merupakan serangan terhadap praktik
perayaan Maulid Nabi yang dilakukan oleh golongan ulama Kaum Tua; syair ini
berisi promosi terhadap kitab Qati’u Riqab (1916) dan penutup yang mengatakan
bahwa kitab ini telah selesai dibuat.
Adapun Inyiak Canduang merupakan ulama dari golongan Kaum Tua.
“Seperti Jalaluddin Rumi, Fariduddin Attar, Ibnu 'Arabi. Abu 'Athahiyah, Maarri,
Ibnu 'Atha, Iqbal, Hamzah Fansuri, Chatib Ali, Muhammad Dalil dan lain-lain,”
kata Julizal Yunus (1999), “ialah ulama sufi yang dekat dengan tradisi bersastra,
merupakan sumber ilham bagi ulama menghubungkan tradisi beragama dengan
tradisi bersastra.” Kata “dan lain-lain” itu merupakan usaha untuk memperpendek
deretan ulama Minangkabau yang juga memiliki kemampuan menghubungkan
tradisi beragama dan bersastra. Kepujanggan Inyiak Canduang dibuktikan dengan
beberapa karya sastra yang ditulisnya; baik dalam bentuk puisi (syair) maupun
prosa.
Karya Inyiak Canduang cukup beragam, mulai sejarah, adat Minangkabau,
tasawuf, fikih, tauhid dan hagiografi. Sudah banyak penelitian yang menggunakan
sejumlah karyanya sebagai sumber kajian, baik dalam bentuk skripsi, tesis maupun
disertasi. Salah satu buku yang cukup baik untuk mengetahui karya-karya Inyiak
Canduang adalah buku Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX,
Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Muda yang ditulis oleh Apria Putera dan
Chairullah Ahmad (2011). Menurut Apria Putera dan Chairullah Ahmad, lebih dari
dua puluh karya Inyiak Canduang. Sayangnya, tidak semua karyanya dapat
ditemukan lagi saat ini.
Di antara kitab-kitab yang ditulis oleh Inyiak Canduang, beberapa di antaranya
berbentuk syair. Kemahirannya dalam menulis syair memang menonjol. Bahkan, ia
pernah menulis surat kepada istrinya, Shafiyah, dalam bentuk syair yang cukup
panjang. Bahruddin Rusli di dalam stensilan “Ayah Kita” mengutip tujuh bait
syairnya. Salah satu bait di antaranya: ke hadapan adinda wajah gemilang / nama
Shafiyah dimasyhurkan orang / di negeri Candung masa sekarang / di Batubelantai
288
di Bawah Kubang.
Kitab Thamaru ’l- h sān ī ilādati ayyidi ’l- nsān yang ditulis dengan Jawi
dan diterbitkan di Bukittinggi oleh penerbit Direkij Agam pada 1923 merupakan
salah satu karya Inyiak Canduang yang berisi syair yang cukup panjang, yakni
terdiri dari 846 bait tentang kisah Maulid Nabi. Karya ini sekaligus untuk membalas
serangan Inyiak Rasul tentang kritikannya berkenaan dengan “berdiri maulud”.
Dalam pembukaannya, disebutkan tujuan penulisan kisah Maulid Nabi dalam bahasa
Melayu agar khalayak luas dapat membaca dan memahami isinya: Kitab Maulud
bukannya satu / tetapi Arab bahasanya itu / taulan membaca susahnya tentu /
banyak tergantung faham di situ. Oleh karena sebab yang terang / baik Melayu
penulis karang / boleh membaca siapa orang / gadang dan kecil walau sembarang.
Selain itu, kitab Dawāul Qulūb i Qishsha Yusu wa Ya'qub yang diterbitkan di
Fort de Kock oleh penerbit Islamiyah pada 1924, juga berisi syair yang cukup
panjang. Di dalamnya menceritakan kisah Yusuf dan Ya’qub dengan muatan
pengajaran tasawuf. Selain itu, masih beberapa karya syair yang dikarang oleh
Inyiak Canduang, seperti syair kisah lengkap Isra Mikraj Nabi Muhammad dan
dilanjutkan dengan Kisah Nabi dan Muaz dan Kisah Nabi wafat. Syair-syair ini
tergabung di dalam kitab “Enam Risalah”.
Inyiak Canduang adalah ulama Kaum Tua yang masyhur pada masanya; sama
masyhurnya dengan “lawan debatnya” Inyiak Rasul dari pihak ulama Kaum Muda.
Jika Hamka (1950) menulis riwayat Inyiak Rasul dengan judul “Ayahku”, maka—
terinspirasi dari buku tersebut—K.H. Bahruddin Rusli (1978) menulis (stensilan)
riwayat Inyiak Canduang dengan judul “Ayah Kita”. “Namanya ‘Ayah Kita’
diilhami oleh Prof. Dr. Hamka dengan bukunya ‘Ayahku’ dengan timbangan: Dua
orang tua yang masa hidupnya bersahabat,” tulis Bahruddin Rusli dalam pengantar
tulisannya.
Persahabatan Inyiak Canduang dengan Inyiak Rasul akrab, meskipun
keduanya saling berpolemik dan bertentangan faham melalui karya-karya mereka.
Konco akrab, lawan kareh, mungkin ungkapan ini yang cocok untuk
menggambarkan hubungan kedua ulama ini. Lihat misalnya bagaimana Inyiak Rasul
mengkritik ulama Kaum Tua yang memfatwakan bahwa “berdiri maulid” adalah
sunah. Menurutnya, jika seorang ulama sudah mengeluarkan fatwa yang salah, maka
akan banyak umat yang akan tersesat. Di dalam syair Irsyâd al-‘awâm pada
menyatakan mawlüd al-nabi alayhi al-salam, Inyiak Rasul menulis:
131
Orang yang alim kalau membuat / mendapat dosa kutuk laknat /
karena orang awam menjadi sesat / mengiktikadkan berdiri ialah sunat
132
Mengapa agama ditambah-tambah / dengan yang tidak disuruh
Allah / tidak berdalil menunjukkan sunah / itu dinamakan bidaah
tertegah
133
289
Bidaah syariat itu namanya / karena tiada dalil wajibnya /
demikian pula dalil sunahnya / membawa sesat kesudahannya
Kritikan pedas itu dibalas oleh Inyiak Canduang dengan syair apologetik
yang dinamai “Syair Perdirian Maulid” yang tergabung di dalam syair Thamaru ’l-
Ih sān ī ilādati ayyidi ’l- nsān. Inyiak Rasul membantah bahwa “berdiri maulid”
tidak memiliki dasar yang kuat, seperti kutipan syair berikut ini.
3
Tatkala sampai bacaan kita / zahir junjungan bunyinya kata /
hendak berdiri kita serta / takzim ikram niat semata
4
Jikalau dalilnya Tuan tanyakan / dalil yang umum hamba
jawabkan / masuk takzim ulama katakan / surat ikram yang lain bukan
5
Takzim ikram banyak dalilnya / dalam Qur’an banyak ayatnya
/ waman ya’zam lalu ke akhirnya / berdiri masuk dalam umumnya
6
Jikalau Tuan hendak mengeluarkan / dalil yang sahih hendak
datangkan / hadis yang daif hendak hilangkan / pada tempatnya suatu
letakkan
7
Kaidah usul diberi terang / dalil yang umum dengar sekarang /
segala yang masuk jangan dilarang / melainkan berdalil disebut orang
8
Dalil mengeluarkan kalau tak dapat / segala ifradnya
masuknya tepat / mengeluarkan dia janganlah cepat / banyak di sini
kita terlompat
Inyiak Canduang justru menyalahkan ulama Kaum Muda (Inyiak
Rasul, tentunya), bahwa tuduhan itu sama sekali tidak berdasar. Dalam hal
ini, ia menasihati agar jangan terburu-buru menghukum sesuatu perbuatan
sebagai bidaah, apa lagi bidaah dalalah, jika tidak memiliki dasar yang kuat.
24
Oleh sebab itu dengarlah Tuan / satu masalah kalau ketemuan
/ tetapi dalilnya tidak keruan / sekali jangan Tuan melawan
25
Menyebut bidaah janganlah lancang / di atas Tuan ada nan
kencang / barangkali mata pemandangan panjang / tanda tak penuh
tentu bergoncang
Menariknya, kritik pedas tersebut tak mengurangi hubungan silaturahmi
290
mereka. “Akhuya H. Abdulkarim. egeralah pulang. Kami menunggumu dengan
penuh pengharapan. audaramu yekh. ulaiman Arrasuli!” Inilah kalimat yang
ditulis sendiri oleh Inyiak Canduang di dalam ‘notes’ milik Hamka agar diberikan
kepada Inyiak Rasul. Catatan itu menjadi salah satu bukti keakraban mereka.
Menarik juga diperhatikan catatan Hamka (1982: 292- 293) tentang persahabatan
Inyiak Rasul dengan Inyiak Canduang, seperti berikut ini:
Terhadap kepada Adat Jahiliyah, tidaklah berbeda paham kedua beliau ini.
Beliau sepaham bahwa harta pusaka Minangkabau adalah harta “musahalah”.
Biarkan sajalah harta itu berubah sendiri karena perubahan zaman. Tetapi harta
pencaharian hendaklah dibagi menurut faraidh. Cuma beliau berselisih dalam satu
perkara, yaitu Syekh Sulaiman Arrasuli mempertahankan Tarikat Naqsya- bandi, dan
salah seorang di antara Syekhnya, sedang pihak Dr. H.Abdulkarim Amrullah dan
Syekh Jambek tidak suka kepada Tarikat itu. Demikian juga dalam hal puasa dengan
Hisab. Syekh Sulaiman lebih menyetujui Ru’yah. Pernah beliau berkata:
“Bagaimana tuan-tuan Kaum Muda! Kata tuan hendak kembali kepada sunnah,
tetapi di dalam hal puasa yang nyata-nyata diperintahkan Ru’yah, tuan-tuan kembali
mengemukakan ljtihad!”
Tetapi setelah sikap pemerintah Belanda, bertambah lama bertambah “berlain”
juga terhadap agama, maka bertambah rapatlah hubungan kedua-dua beliau. Apatah
lagi rakyat pandai pula. Kerap beliau berdua sama-sama diundang mengadakan
tabligh agama. Dalam satu perjalanan bersamaan beliau berdua dan Syekh Ibrahim
Musa, ketiganya berjanji akan sama-sama membawa ummat ini kepada satu tujuan,
yaitu persatuan. Dan pangkal persatuan itu mudah saja, yaitu kerapkali sajalah kita
sejalan!
Indah sekali! Catatan Hamka tersebut, menegaskan bahwa nilai ukhuwah
Islamiah menjadi “kekuasaan/kuasa” yang mengontrol “perang” wacana antara
ulama golongan Kaum Muda dengan Kaum Muda. Jika merujuk pada perspektif
analisis wacana kritis, memang kuasa yang mengontrol wacana tidak selalu berupa
kekuatan fisik. Pengetahuan, sikap, norma-norma, nilai-nilai dan kekuatan abstrak
lainnya merupakan kekuasaan yang mampu mengontrol produksi wacana. Pada
peringkat awal, semua kekuatan tersebut mampu mengendalikan pikiran, dan untuk
seterusnya mengontrol produksi wacana (van Dijk, 2008: 9).
C. Simpulan
Tentu saja, banyak pesan moral yang dapat diambil dari kepujanggaan Inyiak
Rasul dan Inyiak Canduang. Di dalamnya terkandung kearifan bahwa pengajaran
dapat mudah disampaikan dan dengan jangkauan yang lebih luas apabila dihadirkan
dalam bentuk dan media yang menyenangkan. Syair merupakan genre sastra yang
disenangi oleh khalayak luas pada masa itu.
Dalam konteks dinamika wacana Islam Minangkabau, syair-syair karya ulama
Minangkabau yang mengandung persoalan polemik keislaman merupakan bahan
yang penting. Dengan warna bahasa dan estetika lokal, ulama-ulama tersebut telah
291
menyemarakkan dinamika Islam Minangkabau. Di samping itu, ulama-ulama yang
mengambil bagian dalam dinamika keislaman Minangkabau telah menunjukkan
kebolehan mereka dalam dunia kepengarangan. Syair-syair polemik itu juga menjadi
salah satu bentuk kearifan lokal tentang gambaran tradisi intelektual di kalangan
ulama yang saling berbeda paham keislaman. Mereka telah mengajarkan tentang
bagaimana menghadapi perbedaan paham keislaman dengan tidak menggunakan
kekerasan: menulis untuk mendebat.
Akan tetapi, sayangnya syair-syair karya ulama Minangkabau tidak mudah
ditemukan. Oleh karena itu, boleh jadi ini menjadi faktor utama yang menyebabkan
minimnya kajian terhadap karya-karya tersebut. Penyebab lainnya dimungkinkan
juga karena syair-syair tersebut masih ditulis dengan aksara Jawi, sehingga sedikit
rumit dan memakan banyak waktu untuk mengkajinya. Penyebab lainnya, seperti
yang dikatakan Suryadi (2004: 2), bahwa ada kecenderungan peneliti, baik para
sarjana Barat maupun Timur, lebih menyenangi teks-teks sastra yang panjang atau
prosa sejarah. Adapun syair-syair Islam kurang mendapat perhatian. Padahal syair-
syair Islam, seperti syair-syair karya ulama-ulama Minangkabau, tidak kalah penting
dibandingkan dengan teks-teks yang panjang. Melalui syair-syair tersebut dapat
menjelaskan tradisi bersastra dan beragama di kalangan ulama-ulama Minangkabau.
Tradisi bersastra dan beragama di kalangan ulama Minangkabau di atas
merupakan usaha “mempertajam atau menghalusi perasaan seseorang” para
intelektual organik—ulama-ulama Minangkabau—memilih bentuk kesusastraan
dalam usahanya mendistribusikan gagasan dan pengetahuan keislaman. Fenomena
ini memberi kesan bahwa ulama-ulama Minangkabau pada waktu itu mampu
memadukan nilai transendental dengan sosial budaya lokal, meskipun dengan sarana
dan prasarana yang minim. Mereka telah mampu mengemas pengajaran,
pengetahuan dan bahkan perdebatan menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Referensi
Abdul Hadi W.M. 2000. Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Abdul Karim Amrullah. 1914 .Irshad al-awaam pada menyatakan mawlüd al-nabi
alayhi al-salam. Salinan cetakan. Padang Panjang: tanpa penerbit.
Abu Hassan Sham. 1995. Syair-Syair Melayu Riau. Kuala Lumpur: Perpustakaan
Negara Malaysia.
Apria Putra dan Chairullah Ahmad. 2011. Bibliografi Karya Ulama Minangkabau
Awal Abad XX, Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Muda. Padang : Kerja
sama Komunitas Suluh dengan Indonesian Herritage Centre.
Azyumardi Azra. 2003. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan
Modernisasi. (Penterjemah Iding Rasyidin). Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
292
Fairclough, N. & Wodak, R. 1997. “Critical Discourse Analysis”. Dalam Van Dijk,
T.A. (ed.). 1997. Discourse As Social Interaction. London: Sage Publications
Ltd. 258-284.
Hamka. 1982. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatera (cetakan keempat). Jakarta: Umminda.
Jhons, A. H. 2009. “Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu, Sebuah
Perenungan”, dalam Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia
(Penyunting: Henri Chamber-Loir). Jakarta: KPG bekerja sama dengan EFEO,
Forum Jakarta Paris, Pusat Bahasa, dan Universitas Padjadjaran,. Hlm. 49-58.
Kaptein, Nico. 1993. “The Berdiri Mawlid issue among Indonesian muslims in the
period from circa 1875 to 1930”. Dalam: Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 149 (1993), no: 1, Leiden, 124-153.
M. Sanusi Latief, dkk. 1988 “Studi Tentang Karya Tulis Dr. H. Abdul Karim
Amrullah: Riwayat Hidup Ringkas, Karya Tulis dan Content Analysis (Buku
Pertama)“. Laporan Penelitian dengan bantuan dana dari The Toyota
Foundation, Tokyo, Japan dengan nomor grand 87-1-010 Tahun 1987-1988.
M. Sanusi Latief. 1988. “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”. Disertasi Doktoral.
Jakarta : IAIN Syarifhidayatullah.
Mahmud Yunus. 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara.
Muhammad Haji Salleh. 2006. Puitika Sastera Melayu (Ed. ke-2). Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Murni Djamal. 2002. DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan
Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad Ke-20 (Penerjemah:
Theresia Slamet). Jakarta: INIS.
Nur Anas Jamil. 1978. “Tarekat Syattariah di Sumatera Barat” Laporan Penelitian.
Padang: Fakultas Keguruan Seni IKIP Padang.
Oman Fathurahman. 2003. “Tarekat Syattariyah di Dunia Melayu-Indonesia: Kajian
Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera
Barat. Disertasi Doktoral. Depok: Pascasarjana Universitas Indonesia.
Pramono. 2009. “Tradisi Intelektual Keislaman Minangkabau: Kajian Teks dan
Konteks Naskah-naskah Karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib”
Jurnal TABUAH Ta’limat Budaya, Agama dan Humaniora Vol. XIV No. 1
Hlm. 1-24.
Pramono. 2015. “Wacana Maulid Nabi di Minangkabau: Kajian Terhadap
Dinamikanya Melalui Naskhah-naskhah Karya Ulama Tempatan”. Tesis
Doktoral. Kuala Lumpur: Akademi Pegajian Melayu, Universiti Malaya.
Scrieke, B.J.O. 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat Sebuah Sumbangan
Bibliografi (penterjemah: Soegarda Poerbakawatja). Jakarta : Bhratara.
293
Sulaiman ar-Rasuli. 1923. Tsamaratul Ihsan fi Wiladati Sayyidil Insan. Salinan
cetakan. Bukittinggi: Direkij Agam.
Suryadi. 2004. Syair Sunur: Teks dan Konteks Otobiografi Seorang Ulama
Minangkabau Abad Ke-19. Padang: Citra Budaya.
Tamrin Kamil. 2005. Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau:
Konsep Pembaharuan H. Abdul Karim Amrullah Awal Abad Ke-20. Padang:
Angkasa Raya.
Umar Junus. 2010. Gaya Bahasa Sastera Melayu. Kuala Lumpur: DPB.
van Dijk, Teun A. 2008. Discourse and Power. New York: Palgrave Macmillan.
295
KIAI, BAJINGAN, DAN NASIONALISME
KOMITMEN KOMUNITAS BEKAS BAJINGAN
DALAM GERAKAN DAKWAH DAN PERJUANGAN
Samsul Arifin dan Akhmad Zaini Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo, Jawa Timur
Abstract
When we hear the names of "kiai" and "bajingan (bastards)" we are confronted
with two very contrasting terms: between "white" and "black" worlds, between
"good" and "bad", between religiosity and violence. KHR. As'ad Syamsul Arifin
(1897-1990) from Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo East
Java was able to exploit the power of the former bastards to build civilization: for
the sake of da'wah and the struggle to maintain the independence of Indonesia.
They are incorporated in the "Pelopor" container. These Pelopor members are
spread in Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi, Surabaya, and other
Madurese-based communities. The purpose of research: to reveal and describe the
commitment of former bastards in building civilization in Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. The study used a qualitative approach of
ethnographic-hermeneutic type. Data comes from documents and fieldnotes. Steps
of data analysis: data reduction, display data, and conclusion drawing. The results
of the study: the first members of the Pelopor, have a moral commitment, namely
the sense of duty to be a member of the Pelopor because of religious and social
calls. Second, have a personal commitment that is the attraction to become a
member of the Pelopor. Being a member of the Pelopor is considered to be a
benefit (barokah), in accordance with their expectations and interests and they are
given a life-time warranty. Third, commitment because of "investment", that is
because the vessel Pelopor has an emotional engagement with them. They belong
to the Pelopor because their fathers are also members of the Pelopor.
Keywords: commitment, bastards, pondok pesantren.
296
Abstrak
Ketika mendengar nama “kiai” dan “bajingan”, kita dihadapkan dengan dua
istilah yang amat kontras: antara dunia “putih” dan dunia “hitam”, antara
“kebaikan” dan “keburukan”, antara religiusitas dan kekerasan. KHR. As’ad
Syamsul Arifin (1897-1990) dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
Situbondo Jawa Timur mampu memanfaatkan kekuatan para bekas bajingan untuk
membangun peradaban: untuk kepentingan dakwah dan perjuangan
mempertahankan Kemerdekaan RI. Mereka tergabung dalam wadah “Pelopor”.
Para anggota Pelopor ini tersebar di Kabupaten Situbondo, Bondowoso, Jember,
Banyuwangi, Surabaya, dan masyarakat berbasis Madura lainnya. Tujuan
penelitian: mengungkap dan mendeskripsikan komitmen bekas bajingan dalam
membangun peradaban di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
Situbondo. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif tipe etnografi-
hermeneutik. Data berasal dari dokumen dan fieldnotes. Langkah-langkah analisis
data: data reduction, data display, dan conclusion drawing. Hasil penelitian: para
anggota Pelopor tersebut pertama, memiliki komitmen moral, yaitu perasaan
berkewajiban menjadi anggota Pelopor karena panggilan keagamaan dan sosial.
Kedua, memiliki komitmen personal yaitu daya tarik untuk menjadi anggota
Pelopor. Karena menjadi anggota Pelopor dianggap memberikan manfaat
(barokah), sesuai dengan harapan dan kepentingannya serta mereka diberi
garansi sehidup-semati. Ketiga, komitmen karena “investasi”, yaitu karena wadah
Pelopor memiliki keterliban emosional dengan mereka. Mereka masuk menjadi
anggota Pelopor karena bapak-kakeknya juga anggota Pelopor.
Kata Kunci: komitmen, bajingan, pondok pesantren.
A. Pendahuluan
Sebagian kalangan, barangkali beranggapan, para bromocorah, penjudi,
pencuri, perampok, dan kalangan “hitam” yang lain sebagai momok yang amat
menakutkan sekaligus sampah masyarakat yang tidak berguna. Namun bagi orang
bijak dan jeli, ia akan mengambil sampah tersebut lalu mengolahnya sehingga
menjadi pupuk yang amat berguna. Begitu pula dengan KHR. As’ad Syamsul
Arifin (yang pada tahun 2016 diangkat sebagai Pahlawan Nasional) dari Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, yang dengan jeli mampu
mengelola para bromocorah. Ternyata energi kalangan “hitam” tersebut sangat
membantu dalam gerakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
dan kiprah dakwah Islamiyah. Mereka sangat berguna dalam membantu
pembangunan fisik dan ikut menjaga keamanan pesantren
Dengan mendekati dan merangkul kalangan “hitam” kita bisa meraih dua
kemanfaatan sekaligus; menyadarkan mereka agar kembali ke jalan yang benar
sekaligus membantu dakwah dan perjuangan kita. Karena itu, kita jangan
297
menganggap kalangan “hitam” sebagai penghalang perjuangan kita tapi sebagai
teman dalam perjuangan. Kita harus melakukan pendekatan dengan penuh empati.
Ketika kita mendengar istilah “kiai” dan “bajingan”, kita dihadapkan dengan
istilah yang amat kontras: antara dunia “putih” dan dunia “hitam”, antara
“kebaikan” dan “keburukan”, antara religiusitas dan kekerasan. Kiai—dalam
persepsi kita—termasuk orang yang religius, yang selalu berperilaku zuhud dan
jauh dari dunia kekerasan. Sebaliknya, bajingan, termasuk orang yang dalam
kehidupannya penuh dengan dunia kekerasan dan “kebejatan”.
Dalam realitas sosial masyarakat Indonesia, kiai dan bajingan ini, kadang-
kadang saling bertolak belakang namun kerap pula saling mendukung dan memiliki
ketergantungan. Mohamad Hudaeri (2002) dalam penelitiannya di Banten juga
menyimpulkan hal itu. Menurut Hudaeri, “jawara”—dalam konteks masyarakat
yang lain dikenal dengan istilah “bajingan”—membutuhkan elmu dari kiai.
Sebaliknya, kiai atas jasanya menerima uang shalawat (bantuan material, uang
cabisan) dari jawara. Walaupun, banyak kiai yang tidak senang dengan perilaku
jawara yang kerap mengedepankan kekerasan dalam menjalin hubungan sosial.
Di Madura, juga hampir sama. Menurut Abdur Rozaki (2004), citra simbolik
kekerasan dan religiusitas saling berkelindan dan berdialektika dalam ruang-ruang
sosial masyarakat Madura. Dalam penelitian Rozaki, aktor utama di dalam
masyarakat Madura adalah kiai dan “blater” (di Madura bagian timur dikenal
dengan istilah “bajingan”). Dalam praktiknya, kedua aktor tersebut kadang-kadang
saling berseberangan. Namun dalam konteks tertentu kerap juga menjalin relasi
kultur, ekonomi, dan politik kuasa.
Di dalam konteks masyarakat Karesidenan Besuki (Situbondo, Bondowoso,
Jember, dan Banyuwangi), kiai dan bajingan ini juga memiliki relasi. Bahkan kiai
memanfaatkan kekuatan para bajingan untuk kepentingan dakwah Islamiyah. Di
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, misalnya. Sejak
berdiri, pesantren ini memanfaatkan kekuatan bajingan untuk “kepentingan”
pondok pesantren, dakwah Islamiyah, dan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia.
KHR. As’ad Syamsul Arifin, dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
mengelola para bajingan ini dalam wadah yang bernama “Pelopor”. Kiai As’ad
memberikan pengertian Pelopor sebagai pemimpin agama dan rakyat. Maksudnya,
para anggotanya—yang mayoritas terdiri dari bekas bajingan—diharapkan sebagai
pemimpin dan garda terdepan dalam berdakwah sekaligus berjuang bersama untuk
membangun peradaban masyarakat sekitarnya.
Selama ini—dari beberapa tulisan yang memotret pondok pesantren—belum
ada tulisan yang mengulas secara khusus peran bekas perampok, penjudi, dan
kalangan “hitam” lainnya dalam sejarah pertumbuhan pesantren. Padahal secara
historis dan sosiologis, beberapa pondok pesantren didirikan di sarang kalangan
“hitam” tersebut. Penelitian ini mencoba mengulasnya, dengan mengambil potret di
Pondok Pesantren “Salafiyah Syafi’iyah” Sukorejo Situbondo dari perspektif
298
psikologi. Tulisan ini mencoba untuk mengungkap dan mendeskripsikan
bagaimana komitmen bekas bajingan yang terkumpul dalam wadah Pelopor
membangun peradaban.
Studi Pustaka dan Kerangka Teoretik
Kerangka teori pada penelitian ini menggunakan perspektif teori psikologi
indigenous. Psikologi indigenous mempresentasikan sebuah pendekatan dengan
konteks (keluarga, sosial, kultur, dan ekologis) isinya (makna, nilai, dan keyakinan)
secara eksplisit dimasukkan ke dalam desain penelitian. Kim (2010: 4)
mengatakan, indigenous psychology merupakan kajian ilmiah tentang perilaku atau
pikiran manusia yang alamiah yang tidak ditransportasikan dari wilayah lain dan
dirancang untuk masyarakatnya. Dengan demikian, psikologi indigenous tersebut
menganjurkan untuk menelaah pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan yang
dimiliki orang tentang dirinya sendiri dan mengkaji aspek-aspek tersebut dalam
konteks alamiahnya.
Pada tulisan ini, peneliti ingin mengkaji komitmen bekas bajingan yang
terkumpul dalam wadah Pelopor. Membentuk komitmen termasuk keterampilan
dalam hubungan personal (Shelley E. Taylor:2009). Komitmen adalah variabel
yang amat penting dalam suatu hubungan yang melibatkan dua pihak yang saling
memberi perhatian dan kepedulian. (Carkhuff & Berenson, 1969). Menurut Shiv
Khera, komitmen tersebut akan berdampak kepada kepatuhan, integritas, karakter,
ketulusan, memiliki rasa tanggung jawab, empati, memiliki kepedulian, konsisten,
predictability, realiability, dan dependability.
Komitmen dapat berarti mencurahkan perhatian, melakukan sesuatu untuk
menjaga suatu hubungan tetap langgeng, melindungi hubungan tersebut dari
bahaya, serta memperbaiki bila hubungan itu dalam keadaan kritis (Sarwono, 2009:
72). Komitmen ini termasuk hubungan interpersonal. Perspektif yang digunakan
adalah menganalisis pola interaksi antara partner, salah satu caranya, dengan term
“hasil” (outcome)—manfaat dan biaya—yang diberikan dan diterima partner.
Manfaat atau reward adalah segala sesuatu yang positif yang diperoleh dari
interaksi. Manfaat ini berupa cinta, uang, status, informasi, barang, dan jasa.
Sedang biaya atau kerugian adalah konsekuensi negatif dari interaksi
Komitmen ini termasuk kecakapan dalam hubungan interpersonal. Menurut
Shelly E. Taylor (2009) ciri esensial dari setiap hubungan adalah dua orang saling
mempengaruhi atau dengan kata lain, saling tergantung (interdependen). Karena
itu, dalam melihat fenomena komitmen ini, peneliti menggunakan kerangka teori
interdependensi.
Orang yang berkomitmen akan tetap bersama dalam “mengarungi suka duka”
demi tujuan bersama. Dalam pengertian teknis, menurut Shelly, komitmen dalam
suatu hubungan adalah semua kekuatan, positif, dan negatif yang menjaga individu
tetap berada dalam suatu hubungan. Kekuatan dalam komitmen, pertama: daya
tarik. Kita berkomitmen karena sesuatu yang kita komitmeni tersebut mempunyai
299
daya tarik. Daya tarik tersebut timbul karena kepuasan, yaitu evaluasi subyektif
individu terhadap kualitas hubungan. Kedua, kita mempunyai komitmen karena
kekuatan penghalang. Yaitu ketersediaan alternatif yang lebih baik. Kita tergantung
kepada hubungan tersebut, karena kita tidak mendapat di tempat lain. Penghalang
yang kedua, karena investasi yang kita tanam. Kita berkomitmen untuk
mempertahankan keutuhan rumah tangga, misalnya, karena kita mempunyai
investasi yaitu anak. Semakin banyak investasi kita, semakin mahal jika kita
meninggalkan hubungan tersebut. Investasi ini bisa berupa waktu, energi,
keterlibatan emosional, pengalaman bersama dan sebagainya.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi komitmen dalam suatu hubungan.
Pertama, komitmen dipengaruhi oleh daya tarik pada partner atau hubungan
tertentu atau disebut juga “komitmen personal”. Komitmen yang demikian,
berhubungan erat dengan kepuasan. Bila tingkat kepuasan kita tinggi kepada
pasangan kita maka komitmen kita juga tinggi. Kedua, komitmen yang dipengaruhi
oleh nilai-nilai dan prinsip moral kita, yang mengharuskan kita berada dalam suatu
hubungan atau disebut juga “komitmen moral”. Komitmen ini didasarkan atas
perasaan kewajiban dan tanggung jawab sosial. Misalnya, keyakinan seorang istri
bahwa suami tidak apa-apa bila kawin lagi asalkan mampu berbuat adil, maka istri
tersebut akan tetap mempertahankan rumah tangga. Ketiga, komitmen yang
didasarkan pada kekuatan negatif atau penghalang yang menyebabkan seseorang
akan rugi besar jika meninggalkan hubungan atau “komitmen terpaksa”. Faktor
yang dapat menahan kita untuk tetap dalam suatu hubungan adalah tidak adanya
alternatif hubungan dan investasi yang telah kita tanam dalam suatu hubungan.
Misalnya seseorang yang sudah menikah takut akan konsekuensi sosial dan
finansial yang timbul dari perceraian dan karenanya ia tetap mempertahankan tali
pernikahan walaupun kurang bahagia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif tipe etnografi-
hermeneutik.Sumber data yaitu fieldnotes observasi dan wawancara mendalam
selama penelitian. Beberapa data tersebut dijaring dengan teknik informan kunci
(key informan) dan teknik “secara sengaja” (purposive sampling) serta peneliti
berhenti melakukan pencarian data ketika data telah mencapai titik “jenuh”.
Informan dalam penelitian ini sebanyak tujuh orang (dua kiai dan lima bekas
bajingan). Lima bekas bajingan tersebut merupakan tokoh Pelopor yang berada di
kabupaten Situbondo, Bondowoso, dan Surabaya. Langkah-langkah analisis data
dapat disederhanakan menjadi tiga alur aktivitas yang terjadi secara bersamaan,
yaitu reduksi data (data reduction), pemaparan data (data display), dan penarikan
kesimpulan (conclusion drawing).
B. Hasil dan Pembahasan
1. Sejarah Pelopor
Pelopor kalau ditulis dengan Arab Pegon—suatu huruf yang digunakan
dalam surat-surat mereka—terdiri dari huruf fa, lam, waw, fa, waw, ra. Huruf
“fa” dalam tulisan Pelopor berarti pemimpin. “Lam”-nya bermakna lillah,
300
karena Allah. “Fa” yang kedua, juga bermakna pemimpin. Sedangkan “ra”-nya
mempunyai arti rakyat. Dengan demikian Pelopor tersebut berarti memimpin
agama dan memimpin rakyat; bajingan diajak ke jalan Allah dan berjuang ke
rakyat. Kiai As’ad mengharapkan, agar anggota Pelopor bisa memimpin karena
Allah dan dapat memimpin di jalan Tuhan. Anggota Pelopor juga sangat
diharapkan sanggup memimpin masyarakat, membina, dan mampu melindungi
umat serta berjuang bersama rakyat.
Pada zaman Kiai Syamsul, pada tahun 1920-an, Pelopor ini murni gerakan
dakwah. Pelopor ini bergerak dari desa ke desa, agar orang-orang menjalankan
syariat Islam. Pelopor juga berfungsi sebagai media Pesantren Sukorejo untuk
menyebarkan visi dan misinya sekaligus sebagai wahana “promosi” pesantren.
Sekitar akhir 1943; Kiai As’ad mengembangkan barisan Pelopor. Kalau sebelum
tahun tersebut, nyaris anggota Pelopor berkiprah dalam bidang dakwah dan syiar
Islam di kampung-kampung, kini dikembangkan dalam masalah perjuangan;
terutama untuk membela agama dan mengusir kaum penjajah. Kemudian,
setelah terbentuk Hizbullah dan Sabilillah, para Pelopor inilah yang mendorong
agar orang-orang di daerahnya masuk Lasykar Hizbullah dan Sabilillah.
Yang menarik, dalam Pelopor ini telah ada pembagian tugas (job
discription) yang cukup jelas, sesuai dengan latar belakang dan keahliannya.
Para bekas bajingan yang terdiri dari perampok, tukang carok, dan bekas
bromocorah yang biasanya membunuh orang dan terkenal dengan
keberaniannya; ditugaskan sebagai pasukan penyerang. Pasukan penyerang ini,
juga terdiri dari orang-orang biasa yang memang berani dan sakti. Pasukan
penyerang ini, terdiri dari beberapa kelompok, yang patuh pada pimpinannya.
Pimpinan dan anggotanya, biasanya berasal dari daerah yang sama atau
berdekatan. Bekas para penjudi dan pemabuk ditugaskan untuk mencari bahan
pakaian dan makanan. Begitu pula dengan orang-orang biasa yang pintar
melobi, Kiai As’ad menugaskan di bagian logistik ini. Sedangkan para panjek
tabbuen (pemain ludruk) diserahi menghubungi para anggota Pelopor, bila ada
kompolan (rapat).
Masing-masing anggota bagian, tidak tahu apa yang akan atau sedang
dikerjakan bagian lain. Misalnya, bagian logistik tidak tahu apa yang akan atau
sedang dikerjakan bagian penyerang. Mereka tidak tahu persis strategi perang
Pelopor. Tugas bagian logistik ini, hanya mencari bahan makanan dan pakaian.
Setelah mendapat hasil, yang mengurus orang lain. Mereka tidak mengetahui
bahan pakaian itu dijahit di mana dan diberikan kepada siapa saja. Mereka pun
biasanya hanya beraksi di sekitar daerahnya, tidak sampai jauh keluar daerah.
Sebab di daerah lain, sudah ada yang mengurusi.Begitu pula bagian penyerang,
mereka tidak mengetahui persis asal-usul makanan dan pakaian tersebut. Tugas
mereka hanyalah perang dan menyerang. Mereka bergerak sampai jauh keluar
daerah. Bahkan mereka pernah bertempur di Jembatan Merah Surabaya dan
Gedangan Sidoarjo. Mereka pun harus betah tinggal di hutan belantara. Karena
301
itu, kalau soal suka duka perang, kelompok inilah yang terbanyak
pengalamannya.
Setelah Indonesia diakui kedaulatannya; Kiai As’ad masih bisa mengelola
dengan baik kemampuan para Pelopor ini. Namun titik tekannya—kembali
seperti sebelum tahun 1943—untuk kegiatan dakwah Islamiyah dan acara-acara
keagamaan lainnya. Para Pelopor bagian penyerang, ditugaskan untuk
membantu keamanan pesantren dan dilibatkan menjadi tugas keamanan pada
acara kegiatan keagamaan. Misalnya saat pengajian dan peringatan hari besar
Islam.Sedangkan bagian logistik, ditugaskan mencari sumbangan bahan
bangunan (terutama bambu dan kayu) untuk pembangunan pesantren. Atau
mencari bantuan makanan, lauk-pauk, dan bahan bakar untuk kegiatan
keagamaan, yang diadakan Pesantren Sukorejo dan organisasi NU.Anggota
Pelopor bisa juga sebagai intel Kiai As’ad. Setiap perkembangan di masyarakat,
para Pelopor inilah yang melaporkan kepada Kiai As’ad. Baik perkembangan
yang menyangkut NU, dakwah Islamiyah atau aktifitas alumni Pesantren
Sukorejo di tengah-tengah masyarakat.
Anggota Pelopor memiliki kewajiban untuk membantu kepentingan
Pondok Pesantren Sukorejo dan mendampingi pengasuh pesantren pada saat ada
kegiatan di daerahnya. Anggota Pelopor dilarang keras bersikap arogan,
bertindak anarkis, mengintimidasi, memfitnah, memprovokasi, dan membawa
senjata tajam. Pakaian Pelopor berwarna hitam-hitam dan hanya dipakai ketika
ada acara di Pondok Sukorejo atau setiap mendampingi pengasuh pesantren di
daerah masih-masing. Setiap koordinator memiliki atribut tersendiri yang
terpasang di atas bahu. Atribut dengan simbol huruf hijaiyah “ ” (fa) berarti
koordinator cabang atau tingkat kabupaten; huruf “ ” (lam) berarti koordinator
wilayah; huruf “ ” (fu) berarti koordinator tingkat kecamatan; dan huruf “ ”
(ra) berarti koordinator tingkat desa. Di samping itu, terdapat atribut tongkat
komando yang dipegang setiap koordinator tingkat kabupaten.
Strategi kiai dalam membina hubungan dengan bekas bajingan,
diantaranya: pertama, menjalin hubungan. Zaman Kiai Syamsul, ia mengontak
beberapa kiai langgaran (mushalla) di pelosok pedesaan. Kiai Syamsul meminta
mereka mencari tokoh bajingan di daerahnya masing-masing lalu mereka
diharapkan agar bersama para bajingan mengadakan silaturrahmi ke Pesantren
Sukorejo.Kiai As’ad mengembangkan dengan cara mengirim beberapa santrinya
untuk menjalin hubungan dengan beberapa bajingan. Kemudian bersama-sama
dengan bajingan yang sudah ditaklukkan tersebut mengadakan silaturrahim ke
Sukorejo. Kiai As’ad juga memanfaatkan anggota Pelopor untuk mencari
anggota baru. Bahkan Kiai As’ad kerap pula langsung mencari tokoh bajingan
untuk diajak berjuang dan berdakwah. Pada tahapan ini, Kiai As’ad memberikan
kabar gembira dan “garansi” kepada para bajingan. Kiai As’ad menganggap
mereka sebagai anggota keluarga dan memberi semacam garansi sehidup
semati, kepada siapa saja—temasuk bajingan yang paling besar dosanya sekali
pun—jika mereka ikut Kiai As’ad.
302
Kedua, mengembangkan hubungan. Pada zaman Kiai Syamsul, ia
mengadakan pendekatan lebih mendalam. Ia tidak peduli walaupun mereka
bajingan, yang penting dekat dan akrab. Bajingan ini oleh Kiai Syamsul
dilibatkan dalam acara keagamaan. Misalnya, mereka disuruh membina dan
menjaga lingkungannya serta kalau ada pengajian, bertugas mengkoordinasi
masyarakat sekitarnya. Bahkan tidak jarang, para Pelopor inilah yang
mendorong agar anaknya dan anak tetangganya, mondok di Pesantren Sukorejo.
Karena sudah dekat dan Kiai Syamsul selalu memberi wejangan secara halus,
sehingga akhirnya para tokoh bajingan tersebut banyak yang sadar.Pada era Kiai
As’ad, para bajingan sering mengadakan silaturrahim kepada Kiai As’ad. Kiai
As’ad juga kerap mengadakan silaturrahim ke rumah para bajingan. Pada
tahapan ini, para bajingan dimasukkan dalam organisasi “Pelopor”. Setelah
menjadi anggota Pelopor, mereka dilibatkan dalam aktivitas dakwah. Misalnya
dalam acara kegiatan keagamaan dan pembangunan Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah.
Ketiga, intervensi atau tahap aksi.Kiai mengadakan intervensi untuk
mengubah mereka menjadi lebih baik. Pada tahapan ini kiai menyeimbangkan
seluruh unsur dan potensi yang berada dalam diri dan lingkungan yang mengacu
kepada kemaslahatan. Tahapan terakhir, rencana tindak lanjut dengan
memasukkan mereka menjadi anggota Pelopor.
2. Membedah Komitmen Pelopor
Komitmen Personal
Komitmen personal ini berkaitan dengan daya tarik untuk menjadi
anggota Pelopor. Para bekas bajingan ini menjadi anggota Pelopor karena
dianggap memberikan manfaat (barokah), sesuai dengan harapan dan
kepentingannya serta mereka diberi garansi sehidup-semati.
Kiai Sukorejo selalu menekankan kepada anggota Pelopor bahwa mereka
kalau menjadi anggota Pelopor harus mengabdi (khidmah) kepada kiai dan
Pesantren Sukorejo. Memang, salah satu ciri utama kalangan pesantren adalah
mengabdi (khidmah) kepada kiai. Dari sikap khidmah kepada kiai inilah akan
melahirkan sikap patuh yang luar biasa yang dikenal dengan istilah “mendengar
dan patuh (sam’an wa tha’atan)”. Namun kepatuhan tersebut senyampang
masih tidak melanggar syari’at Islam. Sikap khidmah ini akan melahirkan
barokah.
Arti barokah adalah adanya nilai lebih dari apa yang dimiliki. Disebut
barokah ketika apa yang ada pada diri seseorang tidak hanya sebatas nilai materi
semata, namun juga memiliki nilai kebaikan lebih yang tidak menyebabkan
pemiliknya menjadi terhina di hadapan Allah SWT maupun manusia. Barokah
adalah jawami’ al-khair (pundi-pundi kebaikan) yakni banyaknya nikmat yang
diperoleh dari Allah SWT sehingga benar-benar mendatangkan kebahagian
hidup di dunia dan akhirat .... Barokah dalam ilmu adalah ketika ilmu seseorang
bertambah banyak dan dia mampu mengamalkannya sekaligus menyebarkan
303
kepada orang lain dan mampu mengantarkan pemiliknya semakin dekat kepada
Allah SWT. (Abdusshomad, 2011: 1-2).
Daya tarik personal yang lain, kiai Sukorejo memberikan dorongan
semangat (targhib) yang berupa jaminan sehidup semati. Kiai As’ad sering
menggunakan teknik targhib ini untuk menundukkan hati para bajingan. Kiai
As’ad selalu membangkitkan semangat mereka sekaligus menjamin akan
sehidup-semati, asal mereka mengikuti dawuh Kiai As’ad. “Sapa bei bajingan
se ngelakone dusa se paling hebat tape norok tang perintah, bung tabung
sabbu’ pagik neng akhirat, montada’ e suarge engkok senyareah (Siapa saja
bajingan yang berbuat dosa paling hebat pun, tapi ikut perintah saya, kelak di
akhirat akan bergabung dengan saya, kalau tidak ada di surga, saya yang akan
mencari!)”
Begitulah dawuh Kiai As’ad di hadapan para bajingan. Ucapan dari
seorang kiai besar bahkan orang yang dianggap wali; yang akan tetap
berkumpuldi surga kelak merupakan ucapan penyejuk hati yang tiada taranya,
bagi mereka. Bagi orang-orang yang dulunya bergelimpangan dosa; bermain
curang, suka main perempuan, mencuri, dan menghilangkan nyawa orang-orang
yang tak berdosa. Rekes, jaminan sehidup-semati ini sungguh besar maknanya
bagi mereka.
Targhib tujuannya untuk membangkitkan minat dan semangat konseli,
agar mereka mengerjakan sesuatu yang diinginkan konselor atau meningkatkan
perilaku yang diinginkan. Targhib mirip dengan teknik suggestion, yang
merupakan teknik umum pada setiap terapi. Suggestion dapat berarti motivasi
dan aksi terapis kepada konseli (Corey, 2009). Targhib mirip juga dengan
konsep reinforcement pada konseling behavioral. Secara psikologis,
reinforcement ini sangat penting dilakukan bahkan beberapa peraturan akan
efektif bila didukung dengan reinforcement.
Daya tarik personal lainnya, karena Kiai Sukorejo menjalin komunikasi
dengan mereka sesuai dengan bahasa mereka. Teknik menyampaikan pesan
sesuai dengan bahasa mereka, maksudnya dalam menyampaikan pesan,
komunikator harus menyampaikan pesan sesuai dengan kadar pemahaman
mereka (worldview) dan bersikap empatik sehingga pesan-pesannya dapat
menyentuh lubuk hati mereka.
Penulis buku Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat memaparkan bahwa
salah satu resep keberhasilan Kiai As’ad dalam mengelola Pelopor adalah
kepiawaiannya dalam berkomunikasi dengan para bajingan.
Memang, kalau kita ingin menarik simpati para bajingan harus abejing
juga. Artinya, kita harus memahami dan menggunakan bahasa mereka juga.
Kalau kita berhadapan dengan bajingan, kita harus memahami bahasa bajingan
(abejing) juga. Pengertian bahasa di sini, yaitu pengoperan lambang-lambang
baik melalui ungkapan lisan maupun tindakan (isyarat). Misalnya bahasa orang
304
Madura-Jawa, bahasa cendikiawan-awam, bahasa santri-abangan, bahasa orang
kuat-lemah, dan bahasa orang gelisah-gembira.
Karena itu, amat menarik kalau kita telaah firman Allah, dalam Surat
Ibrahim ayat 4, “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan
bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada
mereka”.
Begitu pula pesan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, “Kami, para nabi,
diperintah menempatkan manusia sesuai dengan kedudukannya dan berbicara
dengan mereka sesuai dengan kemampuan akal pikirannya.” (Hasan, 2003: 168-
169).
Karena itu, seorang komunikator sebagai juru dakwah, dituntut melakukan
beberapa pendekatan individual psikologis, antropologis, dan sosialogis sasaran
dakwahnya. Sehingga ia mampu memberikan wawasan dan cara
penyampaiannya lebih efektif dan efisien; sesuai dengan karekteristik orang
tersebut. Apalagi kalau ditilik dari sudut komunikasi, dakwah bil hikmah
merupakan suatu pendekatan persuasif yang berarti; suatu teknik tertentu untuk
mempengaruhi manusia, sesuai dengan latar belakang pengalaman dan
pandangannya, sehingga ide-ide yang diterima dapat dirasakan sebagai sesuatu
yang wajar dan bermanfaat (Arifin, 1994: 107; Tasmara, 1997: 67-69; Al-
Qordhawi, tt: 10).
Komunikasi bil hikmah tersebut dalam konteks al-Qur’an dapat berupa
pertama, Qawlan baligha (QS An-Nisa’: 63), yaitu berbicara dengan
menggunakan ungkapan yang mengena, tepat, gamblang dan membekas di hati.
Kedua, Qawlan ma’rufa (Al-Baqarah: 263) yaitu berbicara dengan perkataan
yang menyedapkan hati dan tidak menyinggung perasaan. Ketiga, Qawlan
sadieda (QS al-Ahzab: 70), yaitu perkataan yang benar dan jujur. Keempat,
Qawlan kariman (QS Al-Isra’: 23) yaitu berbicara dengan kata-kata yang mulia,
pernuh hormat, mencerminkan akhlak mulia. Kelima, Qawlan layyinan (QS
Thaha: 44), yaitu berbicara dengan lemah lembut dan rendah hati. Keenam,
Qawlan maysuran (QS Al-Isra’: 28) yaitu berbicara dengan baik dan pantas,
berbicara dengan sederhana, mudah dipahami, dan tidak berbelit-belit.
Dengan mendalami dunia bajingan dan menggunakan bahasa sesuai dunia
mereka, seorang komunikator berarti menggunakan strategi komunikasi empati.
Empati berarti partisipasi emosional dan intelektual secara imajinatif pada
pengalaman orang lain (Bennet, 2009: 87). Dalam perspektif konseling person-
centered, empati bukanlah sekadar keterampilan komunikasi tapi empati
merupakan state of being. Empati merupakan komitmen otentik untuk terlibat
dalam dunia konseli, konselor harus mampu melibatkan dirinya secara penuh
dengan konseli. Menurut Rogers, jika konselor mampu menjangkau dunia
pribadi konseli, sebagaimana dunia yang diselami dan dirasakan konseli tanpa
kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari konseli, maka perubahan akan
305
terjadi. Empati termasuk core condition dalam hubungan terapeutik yang
menyembuhkan (Corey, 2009; McLeod, 2003).
3. Komitmen Moral
Komitmen moral yaitu perasaan berkewajiban menjadi anggota Pelopor
karena panggilan keagamaan dan sosial. Anggota Pelopor ini, mayoritas
masyarakat berbasis Madura yang religiusitasnya amat tinggi. Kalau orang
Madura diperhatikan dan dihormati, maka mereka pun akan sangat menghormati
orang yang memberi penghormatan. Apalagi, orang yang menghormati dan
memperhatikan tersebut seorang kiai. Di mata orang Madura, kedudukan dan
pengaruh kiai sangatlah besar. Dalam istilah masyarakat Madura, “Bepak-
bebuk, guru, rato” (Bapak-ibu, guru, dan raja).
Kalau kita telaah pepatah itu, berarti kedudukan seorang kiai menempati
strata kedua, setelah kedua orang tua. Kalau orang Madura sangat menghormati
kedua orang tuanya (bapak-ibu), amat lumrah. Karena merekalah yang mendidik
dan memelihara sejak kecil. Sedangkan yang dimaksud guru yang sangat
dihormati oleh orang Madura, bukanlah sembarang guru. Merekalah yang
mengajari ngaji dan ilmu keagamaan. Karena itu, yang dimaksud guru ini, lebih
mengarah kepada sosok ulama atau kiai.Namun pada praktiknya, kedudukan
kiai ini justru menempati posisi yang paling penting daripada lainnya.
Umpamanya, jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan kiai, orang
Madura lebih cenderung mengikuti jejak kiai. Karena kiai dianggap mampu
membimbing dan menyelamatkan dirinya di dunia sampai di akhirat kelak.
Sedangkan kedua orang tua, hanya di dunia. Hal ini dipertegas dengan
kenyataan yang mentradisi pada masyarakat Madura, jika menghadapi persoalan
orang tua akan meminta nasihat kiai. Misalnya, dalam masalah pemberian nama
buat anaknya yang baru lahir.
Dengan masuk menjadi anggota Pelopor maka “status” bekas bajingan ini
di mata masyarakatnya menjadi tinggi. Mereka akan dihormati karena dekat
dengan kiai pesantren. Di antara peran anggota Pelopor dalam sejarah
pertumbuhan dan perkembangan Pesantren Sukorejo, antara lain:
Pertama, sebagai pendorong dan pengajak beberapa teman, tetangga, dan
orang tua agar anaknya dimondokkan di Pondok Sukorejo. Beberapa tokoh
bajingan, setelah menjadi anggota Pelopor, mereka memondokkan anak dan
sanak familinya ke Sukorejo. Peran ini dilakukan sejak tahun-tahun pertama
berdirinya Pesantren Sukorejo. Anggota Pelopor inilah yang mengabarkan
Pesantren Sukorejo dari mulut ke mulut di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, sebagai penyumbang dalam pembangunan pesantren. Kiai As’ad
memanfaatkan jasa para anggota Pelopor untuk membangun pesantrennya.
Misalnya dengan cara meminta bantuan mereka untuk mencari sumbangan
bambu dan lauk-pauk dalam pembangunan pesantren.
Menurut Pak Mustarib, Kiai As’ad memang dalam membangun
pesantrennya, selalu meminta bantuan Pelopor untuk mencari bambu. “Saya
306
meminta bantuan Pelopor dalam membangun pesantren ini. Mengapa? Mungkin
yang masih senang maen, lantaran ikut membantu mencari bambu, akan
berhenti maen. Yang masih senang mencuri, akan berhenti jadi maling berkat
membantu pesantren,” dawuh Kiai As’ad, pada suatu hari, di hadapan Pak
Mustarib.
Ketiga, ikut aktif dalam menjaga keamanan pondok pesantren, terutama
saat-saat genting (misalnya kala Pemilu) dan pada acara-acara peringatan
keagamaan di Sukorejo. Kemampuan bekas bajingan tersebut, oleh Kiai As’ad
juga digunakan untuk menjaga keamanan pesantrennya.
Konon, kalau kiai bepergian, kiai mempercayakan keamanan pondoknya
kepada Setan Mangkono, anggota Pelopor bekas bajingan yang terkenal dengan
kesaktiannya. Jangan heran jika kiai bepergian; lalu santri putra macem-macem
dan bikin ulah—saat mengadakan pertemuan dengan santri putri (yang masih
muhrimnya)—kepada santri putri lain, pasti dia merasa seperti ada yang
menempeleng, tanpa kelihatan siapa yang menamparnya. “Lalu siapa yang
menempeleng? Dialah Si Setan Mangkono itu,” kata Kiai Zainullah, salah
seorang khadam Kiai As’ad.
Keempat, sebagai “intel” Kiai As’ad. Anggota Pelopor ini selalu
memantau keberadaan santri, alumni Sukorejo, perkembangan NU, dan
problematika sosial di masyarakat lalu melaporkannya kepada Kiai As’ad.Kiai
As’ad dalam mengikuti perkembangan sosial kemasyarakatan juga
memanfaatkan informasi dari anggota Pelopor. Kiai As’ad menggunakan
informasi ini sebagai data pembanding dari beberapa informasi yang masuk dari
pihak lain; misalnya beberapa pengurus NU dan tokoh masyarakat. Sehingga
Kiai As’ad mengetahui keadaan yang sebenarnya di masyarakat. Bahkan untuk
mengecek kebenarannya, Kiai As’ad tidak segan-segan untuk terjun langsung.
Kelima, membantu Pesantren Sukorejo dalam memobilisasi dana untuk
kegiatan kepesantrenan atau organisasi NU. Misalnya, pada acara Munas NU,
tgl 18-21 Desember 1983. Tujuh hari, sebelum acara bantuan warga amat besar.
Di antaranya: 20 ekor sapi, 50 ekor kambing, 200 ekor ayam kampung, 15 ton
beras, dan 5 truk gula, telur, sayur, dan buah-buahan.
4. Komitmen Keterpaksaan
Komitmen keterpaksaan yaitu komitmen karena “investasi”, yaitu karena
wadah Pelopor memiliki keterliban emosional dengan keluarga mereka. Mereka
masuk menjadi anggota Pelopor karena bapak-kakeknya juga anggota Pelopor.
Sang bapak atau kakek yang menjadi anggota Pelopor juga sangat bangga bila
anak-cucunya juga mau menjadi anggota Pelopor. Sehingga mereka memiliki
sambungan yang tak terputus dengan kiai dan Pesantren Sukorejo. Dengan
demikian, mereka bangga masuk menjadi Pelopor karena merasa memiliki
keterikatan orangtua atau leluhurnya juga masuk menjadi anggota Pelopor.
Dalam kajian psikologi sosial, komitmen keterpaksaan ini suatu komitmen
yang didasarkan pada kekuatan negatif atau penghalang yang menyebabkan
307
seseorang akan rugi besar jika meninggalkan hubungan atau “komitmen
terpaksa” (Taylor, 2009). Faktor yang dapat menahan kita untuk tetap dalam
suatu hubungan adalah tidak adanya alternatif hubungan dan investasi yang
telah kita tanam dalam suatu hubungan. Investasi ini dapat berupa keterlibatan
emosional, pengalaman kebersamaan, dan pengorbanan yang telah diberikan.
Namun pada kasus anggota Pelopor, peneliti belum menemukan faktor karena
tidak adanya alternatif; yaitu karena pertimbangan kebutuhan untung-rugi atau
tidak adanya alternatif lainnya. Karena dalam persepsi anggota Pelopor, mereka
menjadi anggota Pelopor karena ingin membantu kiai dan Pesantren Sukorejo
dengan harapan memperoleh barokah dan hidup menjadi tenang dan tentram.
C. Kesimpulan
Anggota Pelopor sangat besar perannya dalam membangun peradaban yaitu
dalam berdakwah dan berjuangan. Anggota Pelopor diharapkan dapat memimpin
karena Allah dan memimpin di jalan Tuhan serta sanggup memimpin masyarakat,
membina, dan mampu melindungi umat serta berjuang bersama rakyat.
Adapun faktor utama yang mempengaruhi komitmen mereka dalam
membangun beradaban, antara lain: Pertama, komitmen personal yang berkaitan
dengan daya tarik untuk menjadi anggota Pelopor. Para bekas bajingan ini menjadi
anggota Pelopor karena dianggap memberikan manfaat (barokah), sesuai dengan
harapan dan kepentingannya serta mereka diberi garansi sehidup-semati. Untuk
mendapatkan barokah, kalangan Pelopor ini melakukan pengabdian (khidmah)
kepada kiai. Daya tarik personal yang lain, kiai Sukorejo memberikan dorongan
semangat (targhib) yang berupa jaminan sehidup semati. Targhib tujuannya untuk
membangkitkan minat dan semangat bekas bajingan, agar mereka mengerjakan
sesuatu yang diinginkan kiai atau meningkatkan perilaku yang diinginkan. Daya
tarik personal lainnya, karena Kiai Sukorejo menjalin komunikasi dengan mereka
sesuai dengan bahasa mereka. Teknik menyampaikan pesan sesuai dengan bahasa
mereka, maksudnya dalam menyampaikan pesan, komunikator harus
menyampaikan pesan sesuai dengan kadar pemahaman mereka (worldview) dan
bersikap empatik sehingga pesan-pesannya dapat menyentuh lubuk hati mereka.
Komitmen kedua, komitmen moral yaitu perasaan berkewajiban menjadi
anggota Pelopor karena panggilan keagamaan dan sosial. Anggota Pelopor ini,
mayoritas masyarakat berbasis Madura yang religiusitasnya amat tinggi. Di mata
orang Madura, kedudukan dan pengaruh kiai sangatlah besar. Dalam istilah
masyarakat Madura, “Bepak-bebuk, guru, rato” (Bapak-ibu, guru, dan raja).
Komitmen ketiga, komitmen keterpaksaan yaitu komitmen karena
“investasi”, yaitu karena wadah Pelopor memiliki keterliban emosional dengan
mereka. Mereka masuk menjadi anggota Pelopor karena bapak-kakeknya juga
anggota Pelopor. Dengan demikian, mereka bangga masuk menjadi Pelopor karena
merasa memiliki keterikatan orangtua atau leluhurnya juga masuk menjadi anggota
Pelopor.
308
Referensi
Abdusshomad, (2005). Penuntun Qolbu: Kiat Meraih Kecerdasan Spritual.
Surabaya: Khalista
Al Qordhawi, Y. (tt), Pedoman Juru Dakwah, Zaid Husin (pen), Surabaya: Mutiara
Ilmu.
Al-Jawi. (2010). Terjemah Maroqil ‘Ubudiyah Syarah Bidayah al-Hidayah.
Terjemahan Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu
Al-Qusyairi.(1998). Qusyairiyah. Terjemahan Umar Faruq. Jakarta: Pustaka
Amani.
Arifin, M. (1994). Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara
Bennet, MJ. (2009). Mengatasi Kaidah Emas: Simpati dan Empati, dalam Dedy
Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (ed), Komunikasi Antarbudaya
Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,
Bandung, PT Remaja Rosdakarya
Corey, G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotheraphy, Eighth
Edition, Belmont: Thomson Higher Education
Flanagan, J.S & Flanagan, R.S. (2004). Counseling and Psychotherapy Theories in
Context and Practice: Skills, Strategies, and Techniques. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.
Gillon, E. (2007). Person-Centred Counselling Psychology: An Introduction.
London: Sage Publications
Hasan, S.A. (2003). Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat. Yogyakarta: LkiS
Hudaeri dkk, (2002) Tasbih dan Golok: Studi tentang Kharisma Kyai dan Jawara
di Banten, hasil penelitian kompetitif Diktis Depag RI tahun 2002.
Kim, U dkk.(2010). Indigenous and Cultural Psyichology,Terjemahan Helly
Prajitno Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rogers, C.R. (1942). Counseling and Psychotherapy Newer Concepts in Practice.
(Cambridge: The Ribersibe Press
Rozaki, A.(2004). Menabur Kharisma Menuai Kuasa, Kiprah Kiai dan Blater
sebagai Rezim Kembar di Madura,Yogyakarta: Pustaka Marwa
Sarwono, Sarlito W dkk.(2009) Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
Shafii, M. (2004). Psikoanalisis dan Sufisme (Freedom from the Self: Sufisme,
Meditation, and Psychotherapy).Terjemahan. MA Subandi. Yogyakarta:
Campus Press
Shelley E. Taylor dkk, (2009)Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas, terjemahan,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Tasmara, T. (1997). Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama
309
MEMPERKUAT UKHWAH WATHANIYAH MELALUI PENDIDIKAN
MULTI KULTURAL UNTUK MERAWAT NASIONALISME
DI TENGAH KEANEKARAGAMAN
Silfia Hanani IAIN Bukittinggi
Abstract
Indonesia is a country with multi ethnics, culturals and religions. This develops
Indonesia in diversity an multi dynamics with postive and negative implication. The
negative implications are its potencial in crash, confflict and anarchy. In order to
control this negative potencial multicultural education is one of the answers,
education which builds wisdom to the dynamic understanding of colorful
differences. However, multicultural educationis considered a new thing in
Indonesia. Multicultural education should be able to explain the differences by
strengthening the approaches of one approach ukhwah wathaniyah. In fact,
without our awerness, multicultural education has existed and developed in local
education in Indonesia because inthelocalityare the values of
tolerancearemaintainedbycommunity.
Keywords: Multicultural, Nationalism, Ukhwah Wathaniyah
310
Abstrak
Indonesia negara multi etnis, budaya dan agama. Kondisi ini telah menjadikan
Indonesia dalam keberagaman yang mempengaruhi dinamika dan implikasi
kehidupan bangsa ke dalam dampak positif dan negatif. Implikasi negatifnya bisa
dilihat dari konflik dan anarki yang terjadi di negara ini sebagai akibat yang
dipicu oleh ketidakbisaan masyarakat hidup dengan keberagaman itu. Untuk
mengatasi dampak negatif ini diperlukan pendidikan multikultural, pendidikan
yang membangun pemahaman yang harmonis dalam keberagaman itu. Pendidikan
multikultural harus mampu menjelaskan perbedaan dengan memperkuat
pendekatan-pendekatan keukhwahan terutama ukhuwah wathaniyah. Tanpa
pendidikan multikultural itu, maka diprediksikan masyarakat lokal di Indonesia
sulit untuk dapat menerima keberagaman yang muncul di negara ini, sehingga
negara selalu berada dalam ancaman-ancaman intoleransi.
Kata Kunci: multikultural, nasionalisme, ukhuwah wathaniyah
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara berpenduduk terbesar di dunia dan
sekaligus sebagai bangsa yang terdiri dari keanekaragaman dan ditandai oleh
keragaman budaya, bahasa, etnis dan agama. Dari catatan antropologis, negara
yang mempunyai luas 1.900.000 km2 ini, terdiri dari 13.000 pulau besar dan kecil
dihuni oleh lebih kurang 300 suku bangsa, 200 macam bahasa daerah, dan beragam
budaya lokal serta bermacam-macam agama dan aliran kepercayaan
(Koentjaraningrat, 1993). Keaneka ragaman yang dimiliki bangsa ini mempunyai
potensi positif dan negative terhadap nasionalisme bangsa ini.
Potensi positif keanekaragaman merupakan energi untuk membangun
kehidupan secara bersama, tanpa menaruh kecurigaan dan kebencian satu sama
lain. Kebersamaan ini merupakan modal sosial pembangunan bangsa. Oleh sebab
itu keberagaman tersebut harus dipelihara menjadi satu jalinan hidup yang
harmonis dengan mengedepankan toleransi dalam bertindak dan bersikap. Gandhi
(1991:103) menyatakan perbedaan terbukti berguna selama ada toleransi. Toleransi
dalam keberagaman harus dibangun melalui pendidikan, sehingga keberagaman-
keberagamaan yang di Indonesia tidak terseret menjadi pendorong kekerasan,
konflik, anarkhis dan kemurkaan.
Keragaman juga dapat menjadi ancaman, bila tidak terkelola dan tidak
mendapatkan perhatian secara kemanusiaan. Ancaman itu bisa berupa konflik yang
merugikan material dan nyawa manusia. Hal ini dapat dilihat dari fakta dan
kejadian yang muncul dibelahan dunia, termasuk di Indonesia seperti terlihat dari
konflik antar umat beragama, konflik etnis dan sejumlah konflik horizontal lainnya.
Dalam konteks ini pendidikan multikultural diperlukan untuk menjelaskan
berperdaan-perbedaan tersebut sehingga tidak menjadi anarkhisme, tetapi dapat
dijelaskan sebagai aset yang berpotensi untuk membangun kehidupan bangsa
311
secara bersama. Pendidikan multikultural di Indonesia merupakan amanat daripada
pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2003, di mana ” Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemejemukan bangsa”.
Pendidikan multikutuiral berperanan dalam menjelaskan dunia ini bukan
diwujudkan dalam satu tatanan dan bentuk budaya yang sama. Bagi negara-negara
yang mempunyai keanekaragaman harus menyusun rancangan dan strategi dalam
pelaksanaan pendidikan multikultural ini, sebab semakin menguatnya pemaknaan
etnosentrisme dalam era globalisasi menuntut adanya upaya-upaya harmonisasi.
Penguatan etnosentrisme telah menimbulkan perbenturan-perbenturan budaya yang
merugikan manusia dan alam semesta. Menurut Hantintong (2001: 13),
kebangkitan etnosentrisme ini yang menjadi ”musuh” umat manusia era global ini.
Pendidikan multikultural diperlukan untuk menjawab agar kerberagaman tidak
tercemar ke dalam perbenturan-perbenturan tersebut. Oleh sebab itu pendidikan
multikultural merupakan sarana yang berpotensi untuk menjelaskan toleransi dalam
keberagamaan. Pendidikan multikultural sekaligus bertujuan untuk mewujudkan
kedamaian dunia yang sudah tercabik-cabik akibat penguatan pemaknaan
etnosentrisme yang negatif, sehingga pertikaian-pertikaian telah menelan korban
banyak manusia dan sekaligus memporak perandakan kedamaian dunia.
Pendidikan multikultural diharapkan mampun merspon perbedaan-perbedaan
itu agar dapat dipahami sebagai suatu kesederajatan dan kesamaan. Pendidikan
mempunyai peranan yang besar untuk mewudujkan tersebut, karena pendidikan
seperti dikatakan Paulo Freire, bukan "menara gading" yang berusaha menjauhi
realitas sosial dan budaya, tetapi pendidikan adalah pendewasaan manusia yang
berbudaya dan bermoralitas dengan menjunjung tinggi prinsip universalisme
kemanusiaan (Freire, 2009: 434). Maka sekolah sebagai institusi pendidikan harus
melaksanakan pendidikan multukultural untuk menjelaskan keanekaragaman yang
dimiliki oleh bangsa ini. Salah satu tujuan dari pendidikan multikutiral itu adalah,
untuk memperkuat ukhwah wathaniyah sehingga semangat nasionalisme tidak
pudar dalam mengelola bangsa ini kedepannya. Hal ini sangat penting dilakukan
mengingat keberagaman adalah menjadi satu hal yang tidak dapat dihindari
ditengah-tengah masyarakat global yang semakin kompleks dan majemuk serta
heterogen.
Bagi bangsa Indonesia, penguatan terhadap ukhwah wathaniyah ini sudah
sangat mendesak, mengingat semakin hari di negara ini kita semakin menghadapi
anti keberagaman, sebagaimana kondisinya dapat dilihat akhir-akhir ini. Jika
kondisi ini dibiarkan, diprediksikan bangsa yang dibangun oleh keberagaman
tersebut akan mengalami the end of history. Sehubungan dengan itu, makalah ini
menjelaskan pertama mengapa pentingnya pendidikan multikultural untuk konteks
Indonesia, kedua bagaimana model dari pendidikan multikultural tersebut yang
bisa memperkuat ukhwah wathaniyah dalam konteks keindonesiaan. Ketiga
bagaimana pelaksanaan pendidikan multikultural yang dapat memperkuat ukhwah
312
wathaniyah tersebut. Untuk menjawab beberapa tujuan itu, telah dilakukan
penggalian-penggalian informasi dan data melalui litertur dan data-data empiris
berupa konflik dan sikap-sikap keberagaman yang muncul diengah-tengah
masyarakat.
1. Studi Pustaka
Sepanjang tahun 2007-2013 telah terjadi ketidakharmonisan di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai konflik dan terjadi kedisharmonisan di negeri ini,
yang dipicu oleh berbagai permasalaan, terutama oleh permasalahan keraragaman
yang tidak dimaknai dengan sikap toleransi. Mayoritas dan minoritas sukar untuk
berdamai tetapi sering menyalut perbedaan menjadi sikap yang merugikan terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada hal, bangsa ini telah dibangun oleh
founding father dengan sikap torenasi dan keharmonisan sehingga bangsa ini bisa
keluar dari jeratan kolonialisme. Hal ini bisa dilihat dari catatan sejarah suka duka
dalam meletakkan dasar negara dengan piagam Jakartanya, sehingga atas dasar itu
bangsa yang dihuni oleh keberagaman ini dapat tumbuh dalam semangat persatuan.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu makna keberagaman itu semakin
sempit saja diartikan, seakan-akan rasa toleransi yang dikontruksi oleh pendiri
bangsa itu mengalami keterputusan, sehingga ditengah-tengah bangsa menghadapi
peracturan global ini muncul tantangan berbagai konflik yang dipicu oleh
keberagaman itu. Diantaranya dapat dilihat dari berbagai kasus-kasus konflik
agama, etnis, dan setersunya.
Dilihat dari 20 tahun terakhir ini eskalasi disharmonisasi di Indonesia
mengalami pasang surut. Pada tahun 2001, terjadi konflik etnis antara etnis Dayak
dengan Madura yang menewaskan hampir 500 orang. Konflik Maluku yang
memakan rentang waktu yang panjang selama 4 tahun menewakan sekitar 8-9 ribu
orang, lebih dari 29 ribu rumah terbakar, serta 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38
gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur. Tidak kalah penting pula adalah konflik
pada tahun 1998, yang membuat ibu kota mencekam dan kisruh (Tempo, 21 Mei
2015).
Data-data konflik ini, khusus konflik dan intoleransi agama antara tahun
2007-2013 beberapa lembaga mencatat, seperti lapran SETARA institut, The
Wahid Institute dan CRCS-UGM, sebagaimana terlihat pada tabel berikit ini:
Tabel 1: DATA INTOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA DARI
2007-2013
Lembaga Jenis 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
SERARA
Instite
Tindakan 185 367 291 286 299 371 292
Pesitiwa 135 265 200 216 244 264 222
The
Wahid
Institute
Kasus/peristiwa - 227 228 196 277 274 245
313
CRCS-
UGM
Kasus rumah
ibadah
- 8 18 39 36 0 -
Sumber: Laporan Puslit Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Keagamaan Kementerian Agama RI. 2013
Konflik umat beragama pada tahun 2014 masih saja terjadi, seperti terlihat
dari kasus konflik penganut Syiah-Sunni, konflik pendirian rumah ibadah dan
seterusnya. Realitas ini menunjukkan bahwa, keberagaman di Indonesia masih
menjadi ancaman. Perbedaan-perbedaan belum dimaknai secara postif, tetapi masih
saja dalam bingkai negatif. Bahkan pada tahun 2015 ini masih saja bergejolak
konflik tersebut, seperti peristiwa yang terjadi di Papua pembakaran masjid di saat
umat muslim melaksanakan shalat idulfitri.
Begitu juga dengan keragamaan etnis suku juga dijadikan sebagai pemicu
konflik yang sangat menakutkan di Indonesia, karena dari beberapa kasus konflik
antar etnis atau suku telah menawaskan banyak manusia dan material. Misalnya,
konflik suku di Lampung pada akhir tahun 2012 dalam kurun waktu tiga hari saja
laporkan menewaskan 14 orang. Jauh sebelum itu Bappenas juga telah
mengluarkan data periode 1990 hingga 2003, konflik di Indonesia mengakibatkan
kema-tian 10.758 orang, dengan proporsi terbesar yaitu konflik yang bersifat
etnokomunal (antar etnik, agama dan sekte agama) sebesar 89.3% atau menelan
9.612 korban. Konflik terjadi di 14 provinsi dimana kasus tertinggi terjadi di
Maluku Utara (72 insiden dan 2.794 korban jiwa); Maluku (332 insiden dan 2.046
korban jiwa), dan Kalimantan Barat (78 insiden dan 1.515 korban jiwa). Bahkan
menurut catatan Institut Titian dari tahun 2008-2010 tercatat konflik di 4021 kasus
terjadi di Indonesia, atau rata-rata pertahunnya terjadi 1340 kasus.
Pada tahun selanjutnya 2014-2016 data-data kasus intoleransi itu tidak
berhenti pula terjadi. Pada tahun 2014 misalnya, The Wahid Institute mencatat di
Indonesia terjadi intolenasi beragama itu sejumlah 245 kasus Kemudian pada tahun
2014-2015 sebagaimana dilaporkan oleh Setara Institute Selama tahun 2014 terjadi
134 peristiwa dan 177 tindakan intoleran sedangkan pada tahun 2015 terdapat 197
peristiwa dengan 236 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Indonesia (Tempo, 19 Januari 2017). Dari belahan dunia pun
kasus-kasu yang demikian juga tengah terjadi.Pertikaian terjadi dari Barat sampai
Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari
Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai
Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Di Timur Tengah sedang
berkecamuk perang saudara, peran antar suku dan peran antar aliran keagamaan.
Kemudian di Asia Tenggara juga tengah terjadi konflik antara Muslim Rohingya
dengan umat Budha Myianmar. Tidak kalah penting lagi adalahkemunculan ISIS
yang sangat membrutal. Di tulis dalam beberapa media masa pula setidaknya saat
ini sedang terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Sekitar 38 juta jiwa
terusir dari negeri kediamannya, kemudian paling sedikit 7 juta orang terbunuh
dalam konflik etnis berdarah.
314
Dari kasus-kasu tersebut terlihat bahwa dunia global benar seperti dikatakan
oleh John Naisbitt, sarat dengan pardok. Namun, dari data tersebut tidak dapat
dipungkiri adalah bahwa perbedaan masih belum sepenuhnya dapat diterima
sebagai suatu keniscayaan yang mesti dijaga dan dimaknai secara arif dan
bijaksana. Masih ada yang menghela ke dalam ranah disharmonis.
Walaupun konsep dan teori multikultural sudah diperkenalkan semenjak
tahun 1950-an di Kanada dengan istilah "multiculturalism", namun permasalahan
konflik etnik, agama, ras dan ketidakseteraan di dunia belum dimaknai sebagai
suatu komponen postif yang harus dijaga dalam membangun kemanusiaan.
Perbedaan itu, masih saja ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu
sehingga perbedaan menjadi ancaman terhadap kehidupan manusia. Beberapa tesis
yang memperkuat tentang ini dapat dilihat diantaranya dari kajian Huntington
tentang Clash of Civilization, dalam tesis ini menunjukkan penguatan-penguatan
etnis di dunia yang diprediksi menganggu kedamian di dunia, karena masing-
masing etnis yang menguat tersebut menimbulkan perbenturan-perbenturan satu
sama lainnya. Minimal kata Huntington ada tujuh penguatan etnik, dima dibalik
penguatan itu dikuatirkan akan mengalami perbenturan. Tujuh etnik itu adalah
peradaban Jepang, Hindu, Islam, Ortodoks, Barat dan Amerika Latin (Huntington,
2000). Selanjutnya Huntington dengan merujuk kepada World Christian
Encyclopedia menjelaskan pula, akibat-akibat perbenturan, khusus perbenturan
antar umat beragama telah berpengaruh pada pilihan-pilihan seseorang untuk tidak
beragama. Hal ini dapat dilihat dari data tahun ke tahun dimana jumlah orang
memilih untuk tidak beragama selalu meningkat di dunia ini, pada tahun 1900 dari
jumlah penduduk dunia hanya ditemukan 0, 2% orang tidak beragama. Tahun 1970
jumlahnya meningkat menjadi 15%, pada tahun 1980 menjadi 16,4% dan pada
tahun 2000 menjadi 17,1% (Hanani, 2000: 43).
Terkait konteks ini pula, Naisbitt (1994) meyakinkan bahwa dalam
peradaban global ini menggelinding pardoksial dari apa yang diharapkan, seperti
ditengah kuatnya himbauan dan gerakan perdamaian namun ancaman terhadap
perdamaian itu menggelinding dengan kuat pula. Tidak heran ditengah-tengah
kuatnya himbauan dan upaya perdamaian menguat pula konflik dan intoleransi
yang mengguras kemanusiaan.
Kondisi-kondisi itu, terlihat dibelahan dunia saat sekarang ini, dimana
konflik antara umat manusia yang dipicu oleh perbedaan-perbedaan itu menjadi
konflik horizontal yang mengancam keselamatan masyarakat di berbagai belahan
negara, tidak terkecuali di Indonesia sebagai negara yang dihuni oleh beragam
etnis, budaya, agama dan seterusnya.
Ada bebera hal, yang menyebabkan terjadinya keberagaman itu menjadi
ancaman, diantarnya bisa dilihat melalui teori negosiasi yang dikembangkan oleh
Toomey (1999: 40), terjadinya ketidakharmonisan atau konflik disebabkan oleh
rendahnya kualitas komunikasi atau tersumbat saluran komunikasi yang menjadi
dalam keberagaman tersebut. Salah satu yang harus dikembangkan dalam
315
keberagaman itu adalah manjemen konflik yang berbasis komunikasi yang
menampilkan kesadaran antara yang beragam.
Dalam pandangan Gandhi, komunikasi itu disebutnya dengan sebagai alat
untuk menumbuhkembangkan toleransi, sebab keberagaman itu bisa damai apabila
ada dibangun toleransi di dalamnya. Toleransi itu dapat dikontruksi melalui
berbagai cara, diantaranya adalah melalui pendidikan di sekolah yang bisa
dikembangkan melalui pendidikan multikutiral (Washim, dkk, 2005).
Sebagai bangsa besar dan sangat beranekaragam maka pendidikan
multikultursal sangat penting dibangun di Indonesia. Pendidikan multikutural tidak
sekedar retorika demokrasi tetapi sudah harus menemukan konsep dan sistem
pengajaran yang relevan dengan konteks negara ini. Keterlambatan pelaksanaaan
pendidikan multikutural di Indonesia, telah terbukti menghilangnya nilai-nilai
demokrasi, harmonisasi dan humanisme, sehingga keankenaragaman tersebut
terseret dalam konflik yang sangat meruntuhkan nilai-nilai universal. Tidak dapat
dipungkiri terjadinya perbenturan-perbenturan etnik, budaya, agama dan
sebagainya di Indonesia, merupakan salah satu akibat dari tidak jelasnya konsep
pengajaran pendidikan multikultural dan terlambatnya pendidikan tersebut
diajarkan, sehingga sehingga bangsa ini kehilangan cara membangun keberagaman
yang toleran dan kehumanisan.
Dalam konteks ini pendidikan multikultural harus mampu menjelaskan arti
perbedaan-perbedaan dalam keberagaman yang ada sebagai satu hal yang harus
dihayati dalam kerangka kesamaan dan kesedejaratan. Oleh sebab itu,
mememilhara keberagaman ini, sama dengan merawat Indonesia, karena Indonesia
adalah negara yang penuh dengan keberagaman (Azra, 2008).
Pendidikan multikultural, pada asasnya membangun bertoleransi, saling
memahami satu sama lain dan bukan saling curuga mencurigai (Parekh 2001).
Pendidikan multikultural, bermuatan psikologis dalam membangun mentalitas,
masing-masing individu. Untuk pendidikan multikultural memerlukan
profesionalitas tenaga pendidik. Pendidikan multikultural di Indonesia tidak dapat
diajarkan bahagian kulit luar seperti yang terjadi selama ini. Dimana anak didik
hanya digiring untuk menghafal dari perbedaan-perbedan yang ada.
Keanekaragaman, menurut Parekh harus dijelaskan dengan menggali nilai-
nilai yang ada dalam masing-masing keanekaragaman tersebut. Malahan Gandhi
menegaskan perlu dikemukakan dalam pendidikan multikutural adalah nilai-nilai
moralitas yang universal, sehingga klaim kebenaran (truth claim) tidak menjadi
gejala pada masing-masing individu. Pada prinsipnya, pendidikan multikultural
adalah menghargai perbedaan dan membangun sikap toleransi terhadap perbedaan.
Di manamasing-masing perbedaan itu tidak dipandang mempunyai kelebihan atas
satu sama lain, tetapi dimaknai sederajat dan sama sehingga tidak ada permusuhan
diantaranya (Washim, 2005).
Kearifan dari masing-masing aneka ragam itu difahami sebagai modal sosial
yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang sangat berguna dalam
316
membangun hidup bersama secara harmoni. Hal ini pula yang menyebabkan
pentingnya pendidikan multikultural di ajarkan di Indonesia. Pendidikan
multikultural di Indonesia bahkan sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa
dinafikan (Azra, 2008). Pendidikan multikultural, harus menjadi agenda untuk
mendukung penyelamatan kebhinnekaan dan masa depan bangsa. Di samping itu,
sebagai proses yang berguna untuk mewujudkan demokrasi, sehingga kebangkitan
demokrasi di Indonesia tidak berbenturan satu sama lain, dan keanekaragaman
etnis, budaya dan agama di Indonesia tidak merenggut masa depan bangsa ini.
Selama keragaman itu tidak bisa dipelihara keharmoniannya, maka bangsa
ini akan berada dalam ancaman-ancaman konflik yang dilatar belakangi oleh
keberagaman itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus konflik yang terjadi
diberbagai belahan dunia, misalnya di Myanmar yang menyisakan runtuhnya
kemanusiaan akibat tidak terpeliharanya keberagaman dalam agenda kedamaian.
Begitu juga di Indonesia, konflik Poso, Maluku, Ambon, Sampang Madura, Sampit
dan seterusnya, adalah sebagai bentuk dari terkoyak-koyaknya perbedaan itu ke
dalam konflik kemanusiaan, baru-baru ini kasus pembakaran rumah ibadah di
Papua.
Untuk memahami perbedaan-perbedaan itu sebagai suatu alamiah adanya,
sangat dibutuhkan pendekatan-pendekatan kognitif, afektif dan psikomotirik untuk
mencermatinya, sehingga tidak terjadi benturan-benturan dalam keberagaman
tersebut. Salah satu yang harus dibangun adalah pendidikan multikultural
pemahaman dan pemaknaan perbedaan satu dengan yang lain. Pendidikan
multikultural pada dasarnya sudah diawali di Canada pada tahun 1971, dimana
pemerintahan Federal memaksakan masyarakat untuk memahami keberagaman
agama, etnis, rasa dan budaya sebagai komponen yang harus dihormati, bukan
saling bermusuhan.
Pendidikan multikultural merupakan sebagai bentuk pendewasaan manusia
dalam memahami kondisi-kondisi yang budaya, agama dan seterusnya yang
beragam. Tidak saling bermusuhan dan menaruh curiga dalam keberagaman
tersebut. Membangun toleransi dalam keberagamaan budaya, agama, etnis dan
seterusnya. Menurut Anderson dan Cusher (1994;320) pendidikan multikultural
sebagai sarana fungsional untuk membangun keharmonisan dalam kberagaman,
karena dibangun dengan pendekatan keharmonisan yang mengutamakan
pemahaman terhadap perbedaan-perbedaan agama, budaya, etnis, gender dan
seterusnya.
Di Indonesia pendidikan multikultural sudah ada berkembang semenjak
diterimanya Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini dapat dibutikan dari
penghilangan kata “syariat Islam” dalam sila pertama dari Pancasila itu, dengan
tujuan untuk mengakomodasi keberagaman di negara ini. Pendiri bangsa sudah
meyakinkan bahwa Indonesia bangsa besar yang dihuni oleh beragam-ragam
agama, budaya, etnis dan seterusnya untuk itu diperlukan toleransi untuk
merawatnya.
317
Malahan toleransi Pancasila dikembangkan di Indonesia menjadi model
toleransi yang diakui oleh pengkaji-pengkaji di dunia, seperti terungkap dalam
Cristian Conference of Asia yang berlansung di Manila pada tahun 1996, dimana di
toleransi di Indonesia yang dilandasi oleh Pancasila itu dimana agama dan aliran-
aliran dilindungi oleh negara, negara mengakomodasi perbedaan itu dalam bingkai
Bhinneka Tuggal Ika (Wasim, 2005: 116).
Namun, toleransi itu pecah di Indonesia karena terlambat mengembangkan
pendidikan multikultural, esensialnya terputus dilintas generasi sehingga negara
yang berpenduduk 250 juta ini menjadi negara yang di dalamnya tidak ramah
dengan perbedaan. Keterputusan pewarisan nilai-nilai toleransi itu telah dibayar
mahal oleh negara dengan berbagai konflik horizontal.
Sekarang, untuk menghindari perbenturan etnis, agama, budaya dan
seterusnya maka harus dirancang pendidikan multikutural, sebab kekuatiran dimasa
yang akan datang jika keberagaman itu tidak pelihara resiko konflik dan
disintegrasi akan terjadi di Indonesia memiliki luas 1.900.000. km2
atau sekitar:
a. 57 kali luas Belanda
b. 5 kali luas Jepang
c. 4 kali luas Prancis
d. 2 kali luas Pakistan
e. Lebih separoh luas India
Dengan luas Kalimantan 736.000 km2, Sumatera 440.000 km
2, Irian Jaya
bagian barat dari Guinea Baru: 422.000 km2, Cilebes atau Sulawesi 190.000 km
2
dan Jawa 132.000 km2atau seperempat dari luas Paris. Selama ini tidak ada konflik
yang tidak menyisakan kehancuran, oleh sebab itu sangat diperlukan dihindari
konflik akibat kebragaman itu dirancang pendidikan multikutural.
Ada beberapa resiko masa depan bagi bangsa Indonesia, jika pendidikan
multikutural itu tidak dikembangkan:
1. Tercerabutnya nilai-nilai toleransi yang selama ini yang dibangun dalam
sejarah perjuangan bangsa, sehingga Indonesia kehilangan model toleransi
itu. Jika Indonesia kehilangan model toleransi itu maka negara yang memiliki
keberagaman ini, diprediksikan mempunyai masa depan yang suram. Hal ini
sudah mulai terbukti, dimana ancaman terbsar dihadapi oleh negara sekarang
adalah konflik antar agama, etnis, suku dan budaya tersebut, minimal datanya
dapat dilihat pada Tabel 1 di atas.
2. Terancamnya harmonisasi sebagai modal mutlak dalam sebuah negara.
Kemajuan sebuah negara sangat ditentutakan oleh kualitas keharmonisan
dalam negara tersebut. Pembangunan bisa berjalan apabila ada, keharmonisan
tersebut. Ketidakharmonisan adalah ancaman dari segala aspek kebangsaan.
3. Genoicide mendramatisir, Indonesia sebagai negara multi etnis, budaya,
agama dan seterusnya akan sangat mudah masyarakat di dalamnya
318
mengembangkan isu anti etnis lain, anti agama lain sehingga pembunuhhan
dan penghabisan etnis-etnis yang sangat mudah dilakukan oleh kelompok
mayoritas. Realitas ini bisa dilihat dari konflik Maluku, Poso, Ambon dan
Sampit-Madura.
4. Tribalisme mayoritas terhadap minoritas, kelompok-kelompok mayoritas
menunjukkan kekuasaan dan tribal terhadap minoritas. Mayoritas mengklaim
sebagai pemilik kebenaran, sehingga minoritas selalu diposisikan sebagai
kelompok yang tidak bisa diterima. Kondisi ini di Indonesia terlihat dari
kasus-kasus intoleransi yang berkembang di Indonesia.
5. Ancaman disintegrasi, terpecahnya wilayah kesatuan Indonesia akibat sikap
egoisme kultural, agama, budaya dan sebagainya.
Untuk itu, di Indonesia sangat diperlukan pendidikan multikultural tersebut,
sebagai bebentuk kesadaran kolektif untuk membangun masa depan bangsa.
Pendidikan multikultural harus masuk ke dalam ranah sekolah sebagai bentuk
pewarisan toleransi yang dikembangkan oleh pendiri bangsa.Dalam konteks ini,
perlu dalam pendidikan multikultural mendapatkan perhatian adalah masalah
ukhwah wathaniyah.
Ukhwah whaniyah, sudah diperkenalkan dikembangkan nilai-nilainya oleh
Nabi Muhammad, terutama ketika Nabi berada di Madinah. Untuk membagun
Madinah yang madani Nabi telah melakukan kesefahaman untuk menjaga ukhwah
wathaniyah itu dengan Piagam Madinah. Kemudian, Madinah menjadi kota
rujukan sebagai kota toleran, kota yang berperadaban yang dihuni oleh masyarakat-
masyarakat mengutamakan kepentingan kemajuan dengan landasan kemanusiaan.
Ibn Khaldun (1332-1406) sekitar abad ke-17, telah mencoba kembali
meredefinisakan ukhwah wathaniyah ini kedalam konsep solidaritas, persahabatan
manusia dimuka bumi atas dasar kemanusiaan dan kesejatiannya memaknai
sebagai sebangsa. Konsep ini kemudian dikembangkan kedalam analisis jatuhnya
bangunnya budaya di dunia ini, melalui teori siklus. Jatuh bangunnya sebuah
kebudayaan di dunia sering dipengaruhi oleh keterledoran manusia dalam
memaknai konsep kesetaiannya sebagai sebuah bangsa yang dibangun dengan
semangat solidaritas itu.
Solidaritas ini kemudian diterjemahkan kedalam berbagai makna, ada yang
mengartkan sebagai toleransi. Pemaknaan ini dilandasi oleh keinginan sebuah
bangsa untuk maju tidak dapat hanya dilakukan dengan pemaksaan oleh
sekelompok saja, tetapi bagaimana sebuah bangsa itu bisa mengases kepentingan
semua kelompok maka solidaritas-toleransi itu menjadi hal yang sangat penting
untuk kemajuan sebuah bangsa.
Apalagi dalam menghadapi masyarakat global yang semakin komplek dan
semakin mempunyai pergerakan yang tinggi, maka keberagaman dan kompleksitas
itu semakin tidak terelakkan. Maka persinggugan datau clash antara keberagaman
juga semakin mudah terjadi. Dalam konteks bernegara clash itu dapat diatasi
dengan penguatan ukhwah wathaniyah tersebut.
319
B. Hasil dan Pembahasan
1. Model Pendidikan Multikultural Memperkuat Ukhwah Wathaniyah dalam
Konteks Keindonesiaan
Dalam konteks ke-Indonesiaan perlu dijelaskan fokus dari pendidikan
multikultural tersebut, mengingat keberagaman di Indonesia memiliki perbedaan-
perbedaan yang signifikan ditandai dengan kondisi lokalitas-lokalitas yang ada di
Indonesia. Dimana masing-masing lokalitas tersebut memiliki kekuatan psikologis
lokal yang terikat dengan budaya, agama, ras dan seterusnya. Oleh sebab itu, tidak
mungkin fokus pendidikan multikulturaldi Indonesia mengabaikan faktor
pisikologis lokalitas yang terikat oleh berbagai dimensi tersebut. Fokus itu pun
pada dasarnya sudah disatukan dalam visi kebangsaan yang tercermin di Pancasila
dan kesatuan kesadaran dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, namun penjabaran
fungsional masih sangat diperlukan dalam rangka menjaga keberagaman tersebut.
Ada etika ekologis lokalitas yang perlu diperhatikan juga, sehingga lokalitas yang
terikat oleh etnis, budaya dan agama itu satu sama lainnya tidak mengalami
perbenturan dan konflik.
Dalam konteks ini, pendidikan multikultural mampu membangun konsesnus-
konsensus yang mengikat perbedaan tersebut. Konses itu terdialogkan dan
disepakati. Ada negosiasi-negosiasi yang sudah dikomunikasikan dan kemudian
disepakati menjadi kepentingan bersama. Terkait dengan hal ini maka menurut
Tataley (Washim, dkk2005: 121) minimal ada empat hal pokok yang perli
dikembangkan dalam pendidikan multikultural yakni:
1. Komitmen terhdap sebuah kultur anti kekerasan dan menghormati kehidupan
2. Komitmen terhadap sebuah kultut solider dan terhadap tatanan ekonomi yang
adil
3. Komitmen terhadap sebuah kultur yang toleran terhadap kehidupan untuk saling
percaya
4. Komitmen terhadap sebuah kultur yang menjunjung persamaan hak dan
kerjasama antara laki-laki dan perempuan.
Di sini, semakin jelas bahwa perbedaan-perbedaan itu bisa terpelihara dengan
harmonis, diperlulukan komitmen, itu menghasilkan kesadaran terhadap sikap
toleransi. Oleh sebab itu pendidikan multikultural harus mendesain fokus
pengembangannya pada kesadaran terhadap komitmen tersebut. Fokus pendidikan
multikuturalitu yang beraikatan dengan ukhwah wathaniyah itu harus mampu
menjelaskan keharmonisan, minimal dalam konteks ini ada lima hal yang harus
dijelaskan berkaitan dengan materi-materi ukhwah wathaniyah ini, yakni:
1. Etnis, Ras dengan etnis dan Ras yang lain
2. Etnis dengan agama
3. Agama dengan agama yang lain
4. Gender
5. Gender, agama dan etnis
320
Terkait dengan konteks etnis menjadi fokus dari pendidikan multikultural
disebabkan oleh Indonesia berdiri kokoh di atas ribuah etnis-etnis tersebut. Oleh
sebab itu, etnis ini harus dijaga satu sama lain supa tidak terjadi perbenturan dan
konflik. Pemahaman terhadap keragaman etnis ini menjadi fokus dalam
pembelajaran pendidikan multikultural, menyadarkan bahwa adanya keberadaan
orang lain di luar kelompok. Begitu juga dengan agama dan etnis, satu sama lain
bisa didialogkan dengan harmonis.
Pada dasarnya fokus daripada pendidikan multikultural dalam konteks
keindonesiaanmerangkun keaneka ragaman yang beragam-ragam pula, terkait
Indonesia dibangun di atas keanekaragaman itu. Oleh sebab itu, pendidikan
multikultural harus mampu menjelaskan kesadaran keharmonisan lintas keragaman
yang beraneka itu. Dalam konteks ini, fokus pendidikan kultural yang dapat
memperkuat ukhwah wathaniyah itu dapat dintegritaskan kedapal 5 pengembangan
nilai dan sikap, yaitu fokus etnis, agama, ras dan gender, sebagaimana dapat dilihat
pada gambar di bawah ini:
Gambar 1: Fokus dan Relasi Pendidikan Multikultural di Indonesia
Terkait dengan fokus ini pula Tilaar (2005) berpendapat pendidikan
multikultural tidak hanya terfokus pada penjelasan kepada keberagaman rasial,
agama dan kultural domain atau mainstream tetapi dibalik itu yang lebih penting
adalah , pemahaman sikap "peduli" dan mau mengerti perbedaan (difference), atau
"politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas juga diperlukan. Dengan demikian pendidikan multikul harus
menghilangnkan konsep pemaknaan kelompok yang satu lebih dari yang lain atau
AGAMA RAS
ETNIS
GENDER
KESADARAN Ukhwah Wathanitah
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
321
konsep yang lain salah. Oleh sebab itu perlu dalam pendidikan multikultural
bingkai soslidaritas kebangsaan atau ukhwah wathaniayah itu.
Terkait dengan Indonesia yang dibangun di atas keberagaman itu, sekarang
bagaimana sikap untuk menjaga keberagaman tersebut. Pendidikan multikultural,
minimal harus menawarkan sikap tersebut melalui pengembangan pengajaran
pendidikan multikultural di sekolah-sekolah. Sikap itu seperti yang dimaksudkan
oleh Gandhi, sikap toleransi. Selagi toleransi itu masih ada, maka keberagaman itu
akan terawat dan terjaga.
Ketika pendidikan multikultural masuk kedalam sistem pembelajaran, maka
perlu dilakukan pengembangan pendidikan multikultural itu sendiri dimana
basisnya tidak bisa dilepaskan dari konteks dan kondisi keindonesiaan, tidak dapat
diadopsi secara serta merta dari dunia luar, seperti yang dikatakan oleh Dove
(1985) bahwa Indonesia negara yang memiliki lokalitas yang beragam-ragam,
budaya, ras dan sebagainya. Dimana masing-masing lokalitas itu punya kearifan
tersendiri-sendiri pula. Termasuk dalam memahami keberdaan lokalitas lain
dengan keberagaman tersendiri pula.
Keberagaman-keberagamaan dan cara pandang yang berbeda-beda itu pula
yang harus diperhatikan dalam pengembangan pendidikan multikultural di
Indonesia, sebenarnya proses kemerdekaan hal itu sudah ditunjukkan dengan sikap
toleransi pendiri bangsa dan bahkan jauh hari sudah diciptakan Bhinneka Tunggal
Ika.Sikap-sikap itu semua menunjukkan bahwa ukhwah wathaniyah itu sebagai
salah satu fondasi dalam membangun bangsa yang majemuk dan multikultural ini.
Fokus pendidikan mulkultural tidak hanya mengajarkan budaya sebagai satu
konunitas perbedaan, tetapi mengajarkan pemaknaan esensi dari keragamaan
tersebut. Sikap moralitas sangat ditekankan untuk membangun lahirnya pemaknaan
kesejatian daripada pebedaan tersebut atau sikap yang mampu memberikan makna
tolerenasi terhadap keberagaman. Dalam konteks ini, pendidikan multikutlural
harus membangun pengajaran moralitas, etnisitas, kesederajatan dan nilai-nilai
universal.
Sehubungan dengan itu, pengembangan sikap pendidikan multikultural
dapat dijelaskan dengan pendekatan-pendekatan sistematis. Pendekatan sistematis
ini dapat diadopsi dari terori sistem yang dikemukakan oleh Parsons (G. Parsons
menjelaskan, untuk melaksanakan satu kerangka kerja sikap budaya, diperlukan
empat persyaratan untuk dipenuhi, dimana keempat-empat persyaratan itu harus
saling terintegrasi. Empat persyaratan itu disingkat oleh Parsons dengan A-G-I-L,
dengan singgkatan masing-masing adalah:A=Adaptation, G=Goal Attainment,
I=Integration, L=Latent pattern maintenance.
Keempat persyaratan ini dalam pengembangan pendidikan multikultural
dapt beropersional sebagai berikut:
322
Tabel 2:
OPERASIONAL PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
No Dimensio sistem Diskriptif Pelaksanaan Pendidikan Multikultural
1 Adaptation Membangun pendidikan dengan kurikulum dan
cara-cara yang dapat dimaknai dan difahami oleh
anak didik. Pendidikan multikultural
memperkenalkan sikap toleransi dan saling
menghargai antara satu sama lain.
2 Goal Attainment Melakukan pendidikan multikultural dengan
tujuan untuk membangun sikap dan paradigma
anak didik yang tidak skeptis atau eksklusifisme.
Anak didik harus mampu memnghargai diluar
yang dimilikinya bukan sebagai musuh. Harus
mampu memaknainya sebagai sesuatu yang harus
dihargai dan di jaga.
3 Integration Pengajaran pendidikan multikutural harus
diajarkan secara bersama tidak memisah-misahkan
satu sama lain. Anak didik harus belajar budaya
lain dan harus diberi pengetahuan budaya lain itu
bukan musuh dan dimusuhi.
4 Latent pattern
maintenance
Pendidikan multikultural harus dibangun
berdasarkan kondisi sosial budaya banga. Tidak
hanya diadopsi belaka dari negara-negara maju.
Pendidikan multikultural sebagai pendidikan moral dan penanaman nilai-
nilai pada anak didik, maka sekolah merupakan basic dari pelaksnaan pendidikan
multikultural ini. Pendidikan multikultural harus dilaksanakan semenjak dini secara
profesional dengan pengajaran yang tepat sasaran. Masalahnya kesadaran akan
toleransi sangat ditentukan oleh kemampuan dunia pendidikan menanamkan nilai-
nilai toleransi tersebut. Sekolah merupakan agent transformasi dari penanaman
nilai-nilai dan moral tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Ivan Illich,
dimana sekolah harus mampu membeaskan keterbelakangan manusia dari
kemanusiaan. Sekolah aset yang potensial untuk membangun manusia yang
berprikemanusiaan (Illich, 1996). Peran sekolah, tidak hanya menjadi sebagai
pembangun kecerdasan intelektualitas tetapi juga mewujudkan kecerdasan
moralitas, sebagaimana pendidikan itu sendiri membangun manusia dalam tiga
aspek yang terintegral, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dari pendidikan multikultural itu, muncul sikap moral yang menimalisir
prasangka dan curiga, sikap kebencian terhadap kelompok lain, kebencian terhadap
agama lain dan sikap etnosentrisme yang mengecilkan makna keberadaan etnis
yang lain. Untuk itu pendidikan multikultural harus dikembangkan dengan
pendekatan moralitas tersebut, pendekatan moralitas dalam pendidikan dapat
dielaborasi dari berbagai asepek. Dari aspek antropologi, pendidikan moralitas ini
323
bisa dijelaskan dari segi pemkanaan-pemaknaan universal yang dikembangkan oleh
Kluckhon (Koentjaraningrat, 2000), dengan pendekatan masalah masalah dasar
yang dihadapi oleh manusia secara universal dimana pun, dan dikembangkan
dengan orientasi nilai budaya. Lima masalah dasar universal itu adalah tentang
pemaknaan hakikat hidup, hakikat karya, persepsi tentang waktu, terhadap alam
dan hubungan manusia sesama. Kelima hal dasar itu akan dibangun dan dibentuk
sesuai dengan tujuan dasar kehidupan, tujuan dasar manusia dalam membangun
peradaban. Parsons (1968), dalam teori fungsionalnya menyebutkan keseimbangan
dalam lima masalah kehidupan manusia, itu yang dapat membangun keteraturan
sosial. Sedangkan budaya yang sudah terbangun dan eksis dalam satu komunitas
atau etnis, selalu mengarahkan, menuntun dan membimbing pada pemiliknya.
Inilah yang dikatakan value (nilai) konsep tentang sesuatu hal yang diinginkan.
Nilai itu adalah ajaran dan normative yang harus ditafsirkan sehingga
melahirkan satu prilaku, atau tindakan yang diinginkan sesuai dengan nilai-nilai.
Parsons (1998:18) seorang perekontruksi teori struktural fungsional menyatakan,
bahwa keseimbangan atau keteraturan atau kestabilan akan terwujud apabila ada
penghargaan terhadap nilai-nilai tersebut, nilai-nilai itu tidak terkesampingkan
karena nilai itu menjadi word view dan telah disepakati sejak lama. Nilai-nilai tidak
pernah memberikan pertentangan, tetapi lebih dominan membangun keadaban.
Pengembangan nilai-nilai moralitas sangat berhubungan dengan internalisasi
nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan multikultural komponen pendidikan harus
mampu menginternalisasikan pemaknaan permedaan, keakegaragaman ke dalam
prilaku dan sikap peserta didik. Di sekolah pendidikan multikultural dapat disusun
langkah-langkah internalisasi itu dengan pemahaman konsep dengan praktik yang
dibiasakan. Tidak cukup dengan teoritik atau penngenalan konsep belaka.
Kesalahan-kesalahan dalam pendidkan multikuturala yang terjadi adalah dimana
sekolah tidak mampu menginternalisasikan pemahaman itu menjadi tindakan
moralitas.
Dalam internalisasi nilai-nilai itu, lingkungan sekolah menjadi media yang
tidak terpisahkan. Kesiapan guru dalam merancang dan menyusun pengembangan
pendidikan multukultural sangat diperlukan. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri
dalam internalisasi nilai-nilai dalam pendidikan multikultural itu adalah adanya
media pembiasaan yang membangun kesadaran. Di sekolah-sekolah muridnya
memiliki heterogenistas etnis, agama, dan budaya tentu media pengembangan
pembelajaran tentu banyak media yang harus dirancang dan pembiasaan yang
dilakukan oleh guru. Untuk itu, sekolah-sekolah yang memiliki keanekaragaman
yang dimiliki oleh siswa, setidaknya untuk merancang pendidikan multikultural
dapat dibantu melalui matrik sebagaimana dikembangkan oleh Hanani (2013: 122)
seperti dapat dilihat di bawah ini:
324
Gambar 2: Pengembangan dan internalisasi nilai-nilai Pendidikan
Multikutural
2. Pelaksanaan Pendidikan Multikultural Berukhwah Wathaniyah Dalam
Konteks Keindonesiaan
Pada dasarnya, materi pendidikan multikultural sangat tergantung pada
konsep perbedaan atau keanekaragaman. Keanekaragaman yang berada pada
lingkungan sendiri sangat menentuka terhadap model dan materi untuk kebijakan
pendidikan multikultural tersebut. Misalnya, dalam konteks keindonesiaan jelas
kebijakan penyusunan materi dan konsep dari pendidikan multikulural itu harus
disesusikan dengan keindonesiaan itu sendiri. Selama ini telah dikembangkan
beberapa model pendidikan kultural tersebut, namaun menurut Achmad Fedyani
Harmonisasi
Pendidikan
Multikultural Di sekolah
Nilai/Norma multikutural
Hakikat Hidup
Pand Trhdp Alam
Persepsi Waktu
Hakikat Karya
Hub Manusia
Hidup Baik
Prinsip Tangguh
Etika Pada Alam
Mbgn Masa depan
Menghrgai Sesama
Pemaknaan Wujud Prilaku
sosialisasi internalisasi
325
Saifuddin (Kompas 21 Januari 2006) ketiga-tiga model itu belum cocok untuk
kasus multukultural di Indonesia, tiga model itu adalah:
Pertama Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas
adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka
ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai
perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—
berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang
sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar
pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model
kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan
otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi
nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu. Kedua, model
nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat
yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para
pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri
nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang
luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri
nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak
warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi
realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-
usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan
kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu
mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih
kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan,
karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam
ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan
dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan
negara, negara mungkin diramaikan konflik-konflik internal
berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.
Sehubungan dengan ini, Dove (1985) menekankan pengajaran tentang
budaya harus disesuaikan dengan konteks lokal, tidak dapat serta merta
mengadopsi dari cara dan sistem negara-negara maju saja, karena permasalahan
lokal yang dihadapi oleh satu daerah atau wilayah belum tentu sama dengan
permasalahan di negara-negara lain tersebut. Pendidikan multikultural harus
dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan permasalahan di tanah air.
Oleh sebab itu pendidikan multikultural di sekolah harus dibangun dengan
pendekatan-pendekatan sosio-kultural yang ada dalam masyarakat Indonesia, yakni
mendekatkan masyarakat Indonesia dengan persaudaraan atas kepentingan
kebansaan.
Dalam kondisi bangsa Indonesia sekarang ini, nampaknya model
pembelajaran pendidikan multikultural yang menekankan kepada prinsik ukhawah
326
wathaniyah itu setidaknya harus ada mengandung konten tentang empat hal
berikut ini:
1. Pemaknaan toleransi dan perbedaan keanekaragaman
2. Universalisme kemanusiaan
3. Keberagaman sebagai khazanah budaya
4. Relasi damai
Konten tersebut hurus dilingkupi oleh bingkai-bingkai relasi media yang
dibangun berdasarkan khazanah bangsa Indonesia. Pancasila bisa dijadikan pijakan
dalam merekat bingkai tersebut, jika dikontruksi menjadi model dari toleransi
dalam pembelajaran pendidikan multikultural, sebab bagaimana pun dalam konteks
Indonesia sangat dibutuhkan model kontruksi tersebut. Keterujian Pancasila dalam
konteks keindonesiaan, bisa dilakukan penggalian nilai-nilai moralitas multikutural
di dalamnya. Namun, pendekatan itu belum sepenuhnya diekplorasi dan ditambah
dengan beragama sikap yang menghambat dari pendidikan multikutural tersebut.
Diantara keberagaman itu adalah, masih adanya permasalahan-permasalahan di
bawah ini:
1. Ego mayoritas-minoritas
2. Etnosentrisme dan rasisme
3. Kungkungan fanatisme umat beragama
4. Kungkungan Fundamelaisme
5. Kungkungan eksklusifisme umat beragama
Ego mayoritas-minoritas di berbagai belahan dunia masih saja terjadi bahkan
menjadi ancaman yang mendasar dalam perdamaian dunia. Hal ini dapat dilihat
dari kasus-kasus konflik yang terjadi. Di Indonesia, persoalan pelik ini masih terasa
adanya. Dalam catatan-catatan konflik keagamaan misalnya, ego mayoritas
kelompok aliran agama yang satu dengan yang lainnya telah mendmatisir sikap
intoleransi. Pada wilayah-wilayah tertentu misalnya sangat tidak bisa menerima
kehadiran simbol-simbol dan keberadaan agama lain di lokus mayaritas. Menurut
Hanani (2013) kondisi ini menyebabkan tidak suksesnya pembinaan hormonisasi
umat beragama di negara ini, pertama masalah pemaknaan mayoritas dan minoritas
beragama yang masih kentara dalam dinamika sosial kehidupan. Masing-masing
pemeluk agama, tidak memilah-milah pemaknaan antara konteks sosial keagamaan
dan konteks ketauhidan, sehingga jurang sosial dan kemanuisaan diabaikan oleh
pemeluk agama. Ketiga, terjadinya politisasi agama secara radikal yang tidak
menoleh ajaran agama sebagai pembangun karakter kedamaian di muka bumi.
Corak seperti ini terjadi, sebagai akibat adanya terjadi pemisahan pemaknaan
agama sebagai sistem keyakinan dengan praktik agama sebagai moral komunitas
pemeluknya. Dirkheim (1962), dalam konteks ini mensinyalir sebagai salah satu
penyebab terjadinya anomie atau konflik antar umat beragama tersebut.
Durkheim merekomendasikan agama merupakan sistem sosial yang
mengikat tindakan, sehingga ia menjadi sumber moralitas penganut atau
komunitasnya. Oleh sebab itu, agama tidak cukup dihayati sebagai sumber ajaran,
327
tetapi agama merupakan holistik yang membangun karakter kehidupan dan
peradaban (Durkheim, 1962). Penghelaan ajaran agama menjadi ajang
pembunuhan, merupakan salah satu akibat dari keterpisahan sistem ajaran dengan
moral (Ritzer, G. & Goodman, J. D. 2005).
Konflik antar umat beragama, tidak pernah kunjung selesai juga
dipengaruhi oleh tidak terperhatikannya oleh berbagai kalangan adanya model-
model toleransi beragama yang telah berkembang dalam masyarakat. Model-model
tersebut tidak dipelihara, sehingga ketika terjadi politisasi agama, model-model
yang telah ada itu mudah terusik dan kemudian hilang. Kehilangan model-model
toleransi berbasis masyarakat ini, tidak dapat disangkal menjadi hilangnya model
bangunan kemanusiaan yang ditengah-tengah kehidupan yang multikultural ini.
Reputasi mayoritas akan menjadi bumerang oleh kelompok minorotas
beragama, atau sebaliknya, karena tradisi toleransi itu telah hilang maka kehidupan
umat beragama mudah dibenturkan. Isu agama dijadikan pemicu konflik antar umat
beragama. Mudahnya terjadi perbenturan agama juga tidak lepas dari hilangnya
model-model toleransi yang dibangun oleh umat beragama tersebut.
Prilaku-prilaku keagamaan seseorang bisa menjadi tribal, akibat adanya
tekanan-tekanan dari kepura-puraan yang dilakukannya, sebagai bentuk
perlawanan-perlawanan ketidaksesuaian yang diperankannya. Tekanan-tekanan
emosional, menjadi salah satu penyebab terjadinya seseorang atau komunitas
bertindak di luar kesadarannya. Perlawanan akan menjadi fungsional dalam
membangun perubahan.
Dalam pandangan penganut teori konflik seperti Marx, sesungguhnya konflik
yang terjadi itu merupakan sebagai salah satu bentuk daripada cara yang digunakan
oleh seseorang atau komunitas untuk keluar dari tekanan-tekanan yang diterimanya
akibat paksaan-paksaan yang diarahkan kepadanya (Ritzer & Goodman, 2005;
193). Oleh sebab itu, tekanan-tekanan keagamaan yang dilakukan oleh kelompok
tertentu terhadap kelompok lain, bisa menjadi perjuangan kelas atau kelompok
yang melahirkan fenomena atau situasi yang baru.
Berbeda dengan penganut fungsional, perbedaan penampilan realitas dengan
suasana bathin itu merupakan suatu bentuk daripada jalan keluar untuk
mendapatkan esksistensi, sehingga harus tunduk dan patuh terhadap tuntutan yang
ada agar dapat menjadi eksis. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh
Parsons bahwa untuk tetap menjadi eksis perlu adanya keseimbangan dengan
memahami prilaku atau tindakan yang ada diluar diri atau kelompok (Haryanto,
2012; 21).
Panggung sandiwara pada satu sisi dilakukan adalah untuk membangun
ketahanan atau eksistensi atas tekanan-tekanan, sehingga memaksa munculnya
prilaku atau tindakan kepura-puraan. Kepura-puraan itu, untuk dapat menyesuaikan
dengan kehendak-kehendak tuntutan mayoritas. Pada sisi lain, juga sebagai sumber
konflik baik secara terselubung maupun terang-terangan. Dalam toleransi agama,
328
orang bisa saja melakukan perbedaan-perbedaan tindakannya untuk bisa bertahan
dalam tekanan-tekanan itu.
Kehidupan umat beragama dalam masyarakat yang multi etnik, tekanan-
tekanan itu harus diselesaikan dan dimediasi, salah satunya melalui dialog-dialog
keagamaan dan budaya. Dialog-dialog tersebut minimal dapat menimalisir
keruciragaan-kecurigaan dalam kehidupan beragama, kesalah fahaman dan
seterusnya. Prilaku-prilaku keagamaan sebenarnya tidak dapat dimanipulasi, karena
prilaku keagamaan itu merupakan esensialnya berasal dari norma-norma yang
dicantumkan dalam ajaran agama itu sendiri. Namun, dimensi universalisme dapat
menjadi acuan dalam tindakan manusia, dimana manusia harus memiliki saling
pengertian, saling memaknai keberadaan orang lain terkait dengan menjalankan
kehidupan yang lebih harmonis dan damai.
Dalam masyarakat dunia yang terdiri dari berbagai etnis, agama dan ras yang
dibatasi oleh geografis, idiologi dan seterusnya selalu dalam berinteraksi mengenal
istilah mayoritas dan minoritas. Kelompok mayoritas merupakan kelompok
dominan dan minoritas merupakan kelompok yang memiliki bahagian kecil dari
dalam kedominan itu. Tidak hanya terkait sekedar pembedaan mayoritas dan
minoritas tersebut, tetapi implikasi dibalik mayoritas dan minoritas itu adalah
adanya dominasi-dominasi mayoritas terhadap minoritas.
Dominasi ini mayoritas terhadap minoritas ini bisa terjadi salah satunya
diakibatkan oleh faktor jumlah yang lebih banyak dalam group, sehingga ia
keberadaannya lebih mempengaruhi jika dibandingkan dengan minoritas. Oleh
sebab itulah kaum minoritas yang mengajukan pendapat yang bertentangan dengan
mayoritas cenderung lebih berpengaruh daripada minoritas yang gagal untuk
membantah mayoritas.
Mayoritas dan minoritas dapat berdampak negatif bagi masyarakat baik bagi
kaum minoritas maupun pada kaum mayoritas itu sendiri. Hal ini disebabkan
adanya perilaku diskriminatif yang muncul karena menganggap kelompok lain
sebagai out-group yang merupakan lawan bagi mereka terutama bagi kaum
minoritas yang dianggap asing oleh kaum mayoritas. Adanya perilaku diskriminatif
ini menimbulkan konflik sosial dimana salah satu pihak kelompok merasa
dirugikan dan ditindas.
Dalam konsep mayoritas dan minoritas, berkembang pula konsep inggroups
dan out groups yang menjadi dasar kekuatan kekuasaan, perjuangan, identitas dan
seterusnya. Konsep-konsep tersebut mempengaruhi perlakuan-perlakuan di dalam
realitas antar komunitas. Perbedaan perlakuan itu, akan menimbulkan tekanan-
tekanan dan pemaksaan-pemaksaan terhadap kelompok minoritas. Kelompok
minoritas bisa jadi melakukan tekanan itu penuh dengan kepura-puraan tujuannya
adalah untuk bertahan dan eksis ditengah-tengah mayoritas.
Sebenarnya dominasi tidak hanya bisa datang dari mayoritas tetapi juga bisa
datang dari minoritas. Mayoritas bisa juga menjadi minoritas, dan minoritas bisa
pula menjadi mayoritas. Dimana kaum minoritas yang lebih tangguh, lebih
329
depresif, lebih expansif bisa untuk menundukan kaum mayoritas yang masih
terbelakang dalam hal ilmu, pemikiran, dan tindakan. Sedangkan, mayoritas dalam
mayoritas adalah dimana kaum mayoritas mempunyai kekuasaan absolut terhadap
miniritas, apabila kaum mayoritas menjadi lebih depresif dan agresif terhadap
minoritas.
Keberadaan dominasi-dominasi dalam mayoritas-minoritas dan sebaliknya
itu, hal ini yang akan menjadi konflik-konflik, baik itu dalam keagamaan, etnis
kultural dan seterusnya. Dampak negatif dari dominasi itu, salah satunya
menyebabkan deskriminiasi, konflik dan perlawanan-perlawanan.
Dalam konteks keindonesiaan pendidikan multikultural harus memperhatikan
kondisi seperti ini. Kesadaran-kasadaran mayoritas terhadap minoritas perlu
menjadi bahagian penting dalam pelaksanaan pendidikan multikultural. Pendidikan
multikultural di Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari konteks dan kondisi
kelokalan yang dibangun di Indonesia. Indonesia yang memiliki tipologi-tipologi
lokalitas perlu dipertimbangkan digali sebagai sumber pengembangan pendidikan
multikutural. Masalahnya, setiap lokalitas itu pula punya kearifan-kearifan
tersendiri dalam menyeleasaikan dan memandang perbedaan. Hal ini setidaknya
dapat dilihat dari hasil penelitian Hanani (2011: 149) ada model-model toleransi
beragama yang dibangun oleh masyarakat lokal, seperti di Padang Panjang di
Sumatera Barat, komunikasi pasar dengan dialek lokal ternyata telah menyatukan
antar etnik dan antar pemeluk agama di daerah tersebut, sehingga rukun dan
harmonis. Bahasa menjadi pengikat solidaritas melebihi bangun-bangun toleransi
yang diwujudkan dalam kondisi temporer. Dengan bahasa pasar dialek dan dengan
kalimat yang sama dalam berbagai hal, seperti kalimat awak samo awak (kita
sama-sama kita) menjadi perekat dalam segala perbedaan. Di pasar kalimat itu
sangat sering kedengaran diucapkan oleh lintas enis dan agama, sehingga kalimat
itu melahirkan paradigma perkawanan dan kesetiakawanan melintasi etnis dan
agama.
Artinya adalah, dalam materi pembelajaran pendidikan multikultural di
Indonesia harus dilakukan dengan pendekatan-pendekatan kultural yang ada di
dalam masyarakat atau peserta didik itu, terutama dimana lingkungan sekolah
peserta didik itu berada. Di sinilah seorang guru harus mampu memahami kultur
atau budaya tersebut. Dalam pembelajaran multikultural pemerhatian seperti ini
disebut dengan relation of humanity and cultural. Memperkenalkan kondisi-
kondisi keragaman kultiral dan keberagaman kultural terdekat itu menjadi
perhatian dalam menyusun stateri pembelajaran pendidikan kultural.
330
Gambar 3: Materi Pendidikan Multikultural dalam Konteks Keindonesiaan
C. Kesimpulan dan Saran
Untuk bangsa Indonesia pendidikan multikultural sudah sangat harus
direkonstruksi, mengingat bangsa ini terdiri dari beraneka ragam budaya, agama
dan keyakinan. Perbedaan itu terbukti menjadi sumber konflik, bahkan sampai
pada anarkhir yang menelan kemusnahan. Menurut Capra, untuk menjaga
kepunahan itu berlanjut diperlukan pendidikan moralitas yang dapat memaknai
keberagaman tersebut. Pendidikan moralitas itu adalah, pendidikan multikultural,
dimana selama ini terabaikan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Pendidikan multikultural yang diajarkan di sekolah di Indonesia, minamal
dapat membangun prilaku toleransi dikalangan anak didik sebagai generasi masa
depan. Masalahnya di Indonesia toleransi ini yang paling dangkal, sehingga orang
mudah bertindak anarkhis. Pertentangan antar kelompok di Indonesia sering
berujung dengan perkelahian, pembunuhan dan pemusnahan.
Lebih penting lagi adalah, pendidikan multikultural adalah untuk menjaga
keanekaragaman untuk tdak saling berbenturan. Masalahnya perbenturan diantara
yang beranekaragam itu sama dengan menghancurkan bangsa ini, karena bangsa ini
dibangun di atas yang beraneka ragam tersebut. Oleh sebab itu, mennjaga yang
berenekaragam tersebut sama dengan menjaga bangsa Indonesia.
LINGKUNGAN
SEKOLAH
Ukhwah wathaniy
ah
331
Pendidikan multikultural sudah harus dilakukan di Indonesia. Hal ini sebagai
tindak lanjut dalam merealisasikan undang-undang pendidikan nasional no 23
tahun 2003. Oleh sebab itu yang sangat mendesak dirumuskan untuk melaksanakan
pendidikan multikultural ini adalah; pertama masalah kurikulum pendidikan
multikultural. Kedua mencari format atau bentuk pendidikan multikultural yang
sesuai dengan konteks bangsa Indonesia. Pendidikan multikultural bagi bangsa
Indonesia sangat penting artinya dalam rangka menjaga keanekaragaman yang ada.
Masalahnya bangsa ini dibangun di atas keaneka ragaman itu. Oleh sebab itu, tidak
salah terjaganya keanekaragaman sama halnya dengan menjaga bangsa ini.
Pendidikan multikultural tersebut bisa memperkuat ukhwah wathaniyah
apabila dilakukan dengan pendekatan Pemaknaan toleransi dan perbedaan
keanekaragaman, Universalisme kemanusiaan, Keberagaman sebagai khazanah
budaya dan Relasi damai, Dalam konteks sekarang hal itu sangat diperlukan oleh
masyarakat Indonesia yang berkeragaman, etnis, agama, budaya dan seterusnya.
Daftar Rujukan
Achmad. Fedyani Saifuddin. 20006. Kompas”Kegamangan Multikulturalisme di
Indonesia”
Azra. Azyumardi. 2008. Makalah pada simposium Nasional Kementerian
Pendidikan Nasional.
Bellah. Robert N. 2000. Beyond Belief Esai-Esai Tentang Agama di Dunia
Modern. Paramadina. Jakarta.
Banks.James A. 1987.Teaching Strategis for Ethnic Studies.Boston: Allyn and
Bacon Inc
Bikhu. Parekh, 2001. Rethinking Multiculturalism. Harvard University Press
Capra, Fritjof. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta. Bentang. 200
Durkheim. Emile. 1926. The Elementary Forms of Religous Life. New York. The
Free Press.
Dove. M.R. 1985. Peranan kebudayaan tradisional Indonesia dalam Modernisasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia.
Giddens. Anthony. 1989. Socilogy. Cambridge. Polty Press
Hanani. Silfia. 2011. “Model Konstruksi Toleransi Antar Umat Beragama Pemeluk
Agama Mayoritas dan Minoritas Pada Masyarakat Perkotaan Kota Padang
Panjang Di Sumatera Barat”. Renai. Salatiga. Percik.
Hanani, Silfia. 2011. Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. Bandung.
Humaniora.
Hanani. Silfia. 2013. Sosiologi Pendidikan Keindonesiaan. Yogyakarta.
Arruzmedia
332
Illich, I. 1969. Celebration of awerness: A call for institutional revolution. USA.
Pantheon Books.
Johnson. Paul Doyle 1086. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta. Gramedia.
Koentjaraningrat.198. Sejarah kebudayaan dan teori antropologi. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan mentalitas dan pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia.
Naisbitt.John .1994.Global Paradox, New York: William Morrow and Company
Pals. Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. Qalam. Yogyakarta.
Parsons. Talcott. 1986. Fungsionalisme Imperative. Jakarta. Cv. Rajawali..
Ritzer. G. & Goodman, J. D. 2005. Modern sociological theory. USA: McGraw-
Hill.
Tilaar. H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional; Tinjauan dari Perspektif
Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta. Kompas
Ting-Toomey. Stella. 1999. Communicating Across Culture. New York. The
Guildford Press.
Wasim. Theria Alef. ed. 2005. Harmoni Kehidupan Beragama Problem, Parakter
dan Pendidikan. Yogyakarta. OasisPublisher.
333
TOLERANSI DALAM QS. AL-KĀFIRŪN PERSPEKTIF
TAFSIR DEPAG DAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN
BERAGAMA DI INDONESIA
Siti Lailatul Qomariyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract
Tolerance is an important thing that must be considered in the life of religion and
state. Tolerance aims to maintain peace and harmony among religious
communities, rigarding ndonesia is a country with its pluralistic society consisting
of several religions. At the same time, the team of the Department of Religion as
one of the Indonesian government has issued a work of commentary entitled Al-
Quran and Tafsirnya. As an interpretation of Indonesian products, the assumption
is simple: the interpretation is in accordance with the societal problems in
Indonesia today. This paper intends to explore the tolerances expressed by the
team of the Ministry of Religious Affairs in the Qur'an and its Tafsir, especially in
the surah of al-Kāfirūn and its relevance in religious life in Indonesia. This
research used hostoris method and explanatory analysis. As a result, it was found
that according to the interpretation of the depag there is no tolerance in faith and
aqidah, but besides these two things, tolerance is highly respected. Tolerance can
be realized by engaging in interfaith dialogue and gentleness, without violence,
and reducing the volume of hate.
Keywords: Tolerance; Q.S. al-Kāfirūn; Tafsir Depag
334
Abstrak
Toleransi merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam kehidupan
beragama dan bernegara. Toleransi bertujuan untuk menjaga perdamaian dan
kerukunan antar umat beragama, mengingat negara Indonesia merupakan sebuah
negara dengan masyarakatnya yang plural yang terdiri dari berbagai macam
agama. Di saat bersamaan, tim Departemen Agama sebagai salah satu lembaga
pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sebuah karya tafsir yang berjudul Al-
Qur’an dan Tafsirnya. Sebagai tafsir produk Indonesia, asumsi sederhananya:
tafsir tersebut sesuai dengan problematika kemasyarakatan di Indonesia pada
zaman sekarang. Tulisan ini bermaksud melakukan eksplorasi tentang toleransi
yang dipaparkan oleh tim Departemen Agama dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya,
khsususnya dalam surat al-Kāfirūn dan relevansinya dalam kehidupan beragama
di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode hostoris dan analisis
eksplanatori. Sebagai hasilnya, didapati kesimpulan bahwa menurut penafsiran
depag tidak ada toleransi dalam keimanan dan akidah, namun selain kedua hal
tersebut toleransi sangat dijunjung tinggi. Toleransi dapat diwujudkan dengan
melakukan dialog antar umat beragama dan sikap lemah lembut, tanpa adanya
kekerasan, serta memperkecil volume kebencian.
Kata Kunci: Toleransi; Q.S. al-Kāfirūn; Tafsir Depag
A. Pendahuluan
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistik. Hal ini
merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari. Keragaman ini diakui dalam
konstitusi yang menjamin para pemeluk agama berbeda untuk melaksanakan ajaran
sesuai dengan keyakinan masing-masing. Namun, keragaman kepenganutan agama
dan budaya bisa menjadi bencana yang mengandung potensi konflik. Sebagai
kenyataan sosial, pluralitas agama ini tak jarang menjadi problem, di mana agama
di satu sisi dianggap sebagai hak pribadi yang otonom, namun di sisi lain hak ini
memiliki implikasi sosial yang kompleks dalam kehidupan masyarakat. Masing-
masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya
harus diwartakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks
ini agama seringkali menjadi potensi konflik dalam kehidupan masyarakat
(Ghazali, Jurnal Analisis, No 2, Desember 2013: 272).
Sejalan dengan hal tersebut, toleransi menjadi salah satu alternatif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara karena toleransi bukan sekedar hak, tetapi
kewajiban. Toleransi berarti menghargai dan menghormati keyakinan atau
kepercayaan atau budaya dan kultur seseorang atau kelompok lain dengan sabar
dan sadar. Toleransi tidak berarti ikut membenarkan keyakinan atau kepercayaan
orang lain, tetapi lebih kepada menghargai dan menghormati hak asasi yang ada
pada orang lain, sekalipun berbeda dengan keyakinannya (Syah, Jurnal Analisis,
No 2, Desember 2013: 301).
335
Di samping itu, toleransi bertujuan memelihara keragaman keyakinan
beragama dalam konteks kerukunan yang dipenuhi dengan suasana saling
pengertian dan saling menghormati di antara berbagai penganut agama. Semakin
toleran sebuah bangsa, tingkat keadaban publik dan peradabannya akan maksimal.
Karena itu, toleransi merupakan nilai dan sikap yang harus ditumbuhkembangkan
dalam dan bagi seluruh warga, khususnya ormas sebagai bagian dari masyarakat
sipil yang sejatinya dapat memedomani keadaban publik, bukan kekerasan atas
publik (Misrawi, 2010: 10).
Mengingat pentingnya toleransi dalam kehidupan beragama dan bernegara,
maka di sini penulis mencoba menguraikan tentang toleransi dalam al-Qur’an surat
al-Kāfirūn dengan landasan bahwasannya al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat
Islam yang berisi pokok-pokok ajaran tentang akidah, syariah, akhlak, kisah-kisah
dan hikmah dengan fungsi pokoknya sebagai petunjuk bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Depag, 2010: xxv). Sebenarnya
dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengkaji tentang toleransi,
sebagaimana yang dikatakan oleh Zuhairi Misrawi bahwasannya dalam al-Qur’an
terdapat lebih dari 300 ayat yang membahas tentang toleransi, namun dalam
makalah ini penulis memilih surat al-Kāfirūn sebab surat al-Kāfirūn merupakan
salah satu surat yang keseluruhan suratnya membahas tentang toleransi, yang mana
di dalamnya berisi tentang penolakan usul kaum musyrikin untuk penyatuan ajaran
agama dalam rangka mencapai kompromi, sambil mengajak agar masing-masing
melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya tanpa saling mengganggu
(Shihab, 2002: 675)..
Selanjutnya dalam makalah ini penulis menggunakan kacamata Al-Qur’an
dan Tafsirnya karya tim Departemen Agama sebab Al-Qur’an dan Tafsirnya
tersebut merupakan tafsir produk Indonesia yang dinilai sesuai dengan
problematika kemasyarakatan di Indonesia pada zaman sekarang, didukung dengan
corak yang dipakainya yaitu al-adabi wa al-ijtimā’, yaitu tafsir yang disusun
mencakup beberapa aspek terkait sosial kemasyarakatan dan ilmu pengetahuan.
Penelitian ini bukanlah penelitian pertama dan satu-satunya. Sebelum
penelitian ini ada, telah banyak penelitian yang membahas tentang toleransi dalam
al-Qur’an, contohnya penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ridho Dinata
dengan judul Konsep Toleransi Beragama dalam Tafsir al-Qur’an Tematik Karya
Tim Departemen Agama Republik Indonesia. Ridho Dinata mencoba menggali
konsep toleransi beragama yang ditawarkan oleh tafsir pemerintah, yaitu Tafsir al-
Qur’anTematik: Hubungan antar Umat Beragama dalam mengawal dan menjadi
standar tafsir al-Qur’an di Indonesia di tengah-tengah pendapat yang menyatakan
bahwa munculnya gerakan-gerakan radikal di Indonesia disebabkan oleh
pemahaman agama. Sebagaimana diketahui, teks-teks keagamaan seringkali
digunakan untuk melegitimasi tindakan yang mereka gunakan. Guna menjawab
rumusan-rumusan masalah yang ada dalam penelitiannya, Ridho Dinata
menggunakan teori analisis wacana model Teun A. Van Djik. Sebagai hasil didapat
kesimpulan bahwa konsep toleransi beragama yang ditawarkan dalam tafsir ini
336
yaitu prinsip kebebasan beragama, penghormatan kepada agama lain, dan prinsip
persaudaraan. Sekilas penelitian yang dilakukan oleh Ridho Dinata dengan
penelitian penulis adalah sama, yaitu keduanya membahas tentang tafsir karya
Departemen Agama, namun sebenarnya penelitian penulis berbeda dengan
peneltian Ridho. Tafsir Depag yang dikaji oleh Ridho adalah tafsir al-Qur’an
Tematik, sedangkan penulis sendiri mengkaji tafsir Depag tahlili. Maka jelaslah
perbedaan antara penelitian yang kami lakukan.
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ade Jamaruddin dengan
judul Membangun Tasamuh Keberagamaan dalam Perspektif al-Qur’an. Penelitian
ini berusaha menggali makna tasamuh (toleransi) yang termaktub dalam al-Qur’an.
Sebagai hasil dapat disimpulkan bahwa konsep tasamuh yang ditawarkan Islam
sangat rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya
dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi.
Konsep tasamuh dalam perspektif al-Qur’an adalah memandang sama terhadap
semua manusia meskipun berbeda suku, ras, bangsa, agama, kebudayaan, dan
lainnya. Dalam beberapa hal, penelitian Jamaruddin memiliki kesamaan
pembahasan dengan penelitian penulis. Namun, yang membedakan adalah objek
yang penulis kaji adalah khusus penafsiran QS. al-Kafirun dari Tafsir Kemenag,
sedangkan penelitian Jamaruddin menggali makna tasamuh dari berbagai ayat-ayat
al-Qur’an yang berbicara tentang toleransi.
Penelitian lain yang mengkaji tema serupa yaitu al-Qur’an Kitab Toleransi:
Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil Alamin karya Zuhairi Misrawi. Penelitian ini
mengkaji secara detail tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang toleransi.
Pembahasannya meliputi paradigma toleransi: Inklusivisme, pluralisme dan
multikulturalisme; ayat-ayat toleransi: al-Qur’an sebagai kitab toleransi;
reinterpretasi al-Qur’an dari tafsir intoleransi menuju tafsir toleransi; dan lain
sebagainya. Penelitian yang serupa pula yaitu Argumen Pluralisme Agama:
Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an karya Abd. Moqsith Ghazali.
Pembahasan dalam buku ini mencakup tentang al-Qur’an dan kemajemukan
agama, pandangan al-Qur’an tentang umat agama lain, dan lain sebagainya. Kedua
penelitian terakhir ini tentu berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan.
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam artikel ini adalah metode
historis, yaitu suatu cara memperoleh pengetahuan melalui data-data sejarah, baik
yang bersumber langsung (integral) dari literatur tafsir atau ilmu tafsir yang
menjadikan obyek yang diteliti, perkembangannya, fungsinya, pengaruhnya dan
hubungannya dengan kondisi sekitarnya (Syamsuddin, 2009: xiii-xiv). Maka dalam
penelitian ini fokus yang dikaji adalah masalah toleransi dan sumber yang
digunakan oleh penulis untuk menjawab permasalahn tersebut adalah tafsir Depag
dan buku-buku lain yang relevan dengan penelitian tersebut.
Selanjutnya dalam menganalisis data penelitian, penulis menggunakan
analisis eksplanatori (explanatory analysis), yaitu suatu analisis yang berfungsi
memberi penjelasan yang lebih mendalam daripada sekedar mendeskripsikan
makna sebuah teks (Syamsuddin, 2009: xiv). Maka dalam relasi operasional teori,
337
mulanya penulis mendeskripsikan tentang makna toleransi yang tergambar dalam
surat al-Kāfirūn kemudian menghubungkannya dengan kehidupan beragama di
Indonesia. Penjabaran tentang relevansi sebuah tafsir dengan fakta kehidupan
beragama di Indonesia berfungsi sebagai sebuah penjelasan yang lebih mendalam.
B. Hasil dan Pembahasan
1. Pengertian Toleransi
Istilah toleransi berasal dari bahasa Latin “tolerantia” yang artinya menahan.
Ketika seseorang memiliki toleransi yang tinggi pada rasa sakit, berarti dia dapat
menahan rasa sakit (Masduqi, 2011: 7). Sedangkan dalam bahasa Inggris toleransi
diistilahkan dengan kata tolerate yang berarti memperkenankan atau sabar dengan
tanpa protes terhadap perilaku orang atau kelompok lain. Ia juga berarti saling
menghormati, melindungi dan kerja sama terhadap yang lain (Mansur, 2012: 1).
Dalam bahasa Arab, toleransi diistilahkan dengan kata tasāmuh yang berarti
sikap membiarkan, lapang dada, murah hati, dan suka berderma. Dengan demikian,
toleransi berarti menghargai dan menghormati keyakinan atau kepercayaan atau
budaya dan kultur seseorang atau kelompok lain dengan sabar dan sadar. Toleransi
tidak berarti ikut membenarkan keyakinan atau kepercayaan orang lain, tetapi lebih
kepada menghargai dan menghormati hak asasi yang ada pada orang lain,
sekalipun berbeda dengan keyakinannya (Syah, Jurnal Analisis, No 2, Desember
2013: 301).
Sementara dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata toleransi
menunjukkan arti “kelapangan dada (dalam arti suka kepada siapapun, membiarkan
orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berfikir
dan berkeyakinan orang lain)” (Poerwadarminta, 1996: 850). Michael Walzer
dikutip oleh Zuhairi Misrawi memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam
ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah
membangun hidup damai (peaceful coexsistance) di antara berbagai kelompok
masyarakat dari berbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan dan
identitas. Toleransi harus mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap,
antara lain sikap untuk menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi
keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain, dan
mendukung secara antusias terhadap perbedaan budaya dan keragaman ciptaan
Tuhan (Misrawi, 2010: 11).
2. Toleransi dalam Surat al-Kafirun menurut Tafsir Depag
a. Mengenal Tafsir Depag
Dalam sejarah dan perkembangan tafsir, literatur tafsir tidak hanya
diproduksi oleh individu-individu ahli tafsir saja melainkan ada juga literatur
yang diproduksi oleh tim atau hasil kolektif. Contohnya adalah Al-Qur’an
dan Tafsirnya karya tim Departemen Agama Republik Indonesia yang akan
penulis kaji dalam makalah ini.
338
Al-Qur’an dan Tafsirnya disusun sejak tahun 1972 oleh Dewan
Penyelenggara Penafsir al-Qur’an yang dibentuk oleh Menteri Agama. Tafsir
ini hadir secara bertahap hingga percetakan secara lengkap 30 juz baru
dilakukan pada tahun 1980 dengan format dan kualitas yang sederhana.
Kemudian pada penerbitan berikutnya secara bertahap pula dilakukan
perbaikan dan penyempurnaan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an –
Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan. Kemudian dalam
rangka meningkatkan pelayanan kebutuhan masyarakat Departemen Agama
selanjutnya melakukan upaya penyempurnaan secara menyeluruh yang
dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri Agama RI dengan Keputusan
Menteri Agama RI Nomor 280 Tahun 2003. Tim penyempurnaan tafsir ini
diketuai oleh Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, MA dengan anggota terdiri
dari para cendekiawan dan ulama ahli al-Qur’an. Pada tahun 2007
penyempurnaan tafsir ini selesai dilakukan secara keseluruhan.
Penyempurnaan tafsir al-Qur’an secara menyeluruh ini dilakukan guna
menyesuaikan perkembangan bahasa, dinamika masyarakat serta ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang mengalami kemajuan pesat bila
dibanding saat pertama kali tafsir tersebut diterbitkan (Depag, 2010: xxv-
xxvi).
Penerbitan Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan)
merupakan realisasi program Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan ketersediaan kitab suci bagi umat beragama dengan harapan
dapat membantu umat Islam untuk memahami kandungan kitab suci al-
Qur’an secara lebih mendalam (Depag, 2010: xxiii). Begitu pula penyajian
Al-Qur’an dan Tafsinya dalam bahasa Indonesia ini hadir guna memudahkan
umat Islam di Indonesia dalam memahami dan mendalami al-Qur’an, sebab
bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia tidaklah mudah memahami al-
Qur’an dalam bahasa aslinya, yaitu Bahasa Arab (Depag, 2010: xxv).
Al-Qur’an dan tafsirnya ini terdiri dari 10 jilid, yang mana dalam tiap
jilidnya memuat tiga juz ayat al-Qur’an. Sistematika penulisan dalam Al-
Qur’an dan Tafsirnya terdiri dari mukaddimah yang berisi tentang: nama
surat, tempat diturunkannya, banyaknya ayat dan pokok-pokok isinya.
Pembahasan dalam tafsirnya dimulai dari judul, penulisan kelompok ayat,
terjemah, kosakata, munāāsabah, sabab al-nuzūl, penafsiran dan diakhiri
dengan kesimpulan (Depag, 2010: xxxvii).
Sementara itu, Al-Qur’an dan Tafsirnya karya tim Departemen Agama
RI menggunakan metode tahlili, yaitu dengan menjelaskan kandungan ayat-
ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan,
kecenderungan, dan keinginan mufasirnya yang dihidangkannya secara runtut
sesuai dengan perurutan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf (Shihab,
2013: 378). Adapun mengenai corak penafsirannya, Al-Qur’an dan Tafsirnya
339
ini bercorak al-adabi wa al-ijtimā’i karena tafsir ini disusun mencakup
beberapa aspek terkait sosial kemasyarakatan dan ilmu pengetahuan. Ada
pula yang mengatakan tafsir ini termasuk tafsir ‘ilmi karena bernuansa sains
dan teknologi secara sederhana.
b. Penafsiran Depag tentang Toleransi dalam Surat al-Kafirun
1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir; 2. Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah; 3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah; 4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah; 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah; 6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.
Sebelum tim Depag melakukan penafsiran terhadap surat al-Kāfirūn,
mereka menyebutkan terlebih dahulu muna>sabah dan sabab al-nuzūlsurat
tersebut. Tim depag menyebutkan bahwasannya pada akhir surat al-Kautsar
dijelaskan bahwa orang yang membenci Nabi Muhammad akan terputus,
kemudian pada awal surat al-Kāfirūn Rasulullah saw diperintahkan bersikap
tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah (Depag, 2010: 797).
Adapun sabab al-nuzūlsurat al-Kāfirūn yaitu: Telah diriwayatkan
bahwa al-Walid bin al-Mughirah, al-As bin Wa’il as-Sahmi, al-Aswad bin
Abdul Mutalib dan Umaiyyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar-
pembesar Quraisy datang menemui Nabi dan menyatakan, “Hai Muhammad!
Marilah engkau mengikuti agama kami dan kami mengikuti agamamu dan
engkau bersama kami dalam semua masalah yang kami hadapi, engkau
menyembah Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun.
Jika agama yang engkau bawa itu benar, maka kami berada bersamamu dan
mendapat bagian darinya, dan jika ajaran yang ada pada kami itu benar, maka
engkau telah bersekutu pula dengan kami dan engkau akan mendapat bagian
pula daripadanya.” Beliau menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari
mempersekutukan-Nya.” Lalu turunlah surat al-Kāfirūn sebagai jawaban
terhadap ajakan mereka (Depag, 2010: 797).
Di bawah ini adalah penafsiran tim Depag terhadap surat al-Kāfirūn:
(Ayat 1 dan 2) Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar
menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa “Tuhan” yang mereka sembah
bukanlah “Tuhan” yang ia sembah, karena mereka menyembah “Tuhan”
340
yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau menjelma dalam
suatu bentuk atau dalam sesuatu rupa atau bentuk-bentuk lain yang mereka
dakwakan. Sedang Nabi menyembah Tuhan yang tidak ada tandingan-Nya
dan tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak
sanggup menerka bagaimana Dia, tidak ditentukan oleh tempat dan terikat
oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan
penghubung (Depag, 2010: 797).
Dalam penafsiran ayat 1 dan 2 ini tim Depag menambahkan
bahwasannya maksud pernyataan di atas adalah terdapat perbedaan sangat
besar antara “Tuhan” yang disembah orang-orang kafir dengan “Tuhan” yang
disembah Nabi Muhammad. Orang-orang kafir menyifati Tuhannya dengan
sifat-sifat yang tidak layak sama sekali bagi Tuhan yang disembah Nabi
(Depag, 2010: 797).
(Ayat 3) Selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang
diperintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang kafir dengan
menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang didakwahkan Nabi
Muhammad karena sifat-sifat-Nya berlainan dengan sifat-sifat “Tuhan” yang
mereka sembah dan tidak mungkin dipertemukan antara kedua macam sifat
tersebut.
(Ayat 4-5) Sesudah Allah menyatakan tentang tidak mungkin ada
persamaan sifat antara Tuhan yang disembah oleh Nabi saw dengan yang
disembah oleh orang-orang kafir, maka dengan sendirinya tidak ada pula
persamaan dalam hal ibadah. Tuhan yang disembah Nabi Muhammad adalah
Tuhan yang Mahasuci dari sekutu dan tandingan, tidak menjelma pada
seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu. Sedangkan
“Tuhan” yang mereka sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut di atas.
Di samping itu, ibadah Nabi hanya untuk Allah saja, sedang ibadah mereka
bercampur dengan syirik dan dicampuri dengan kelalaian dari Allah, maka
yang demikian itu tidak dinamakan ibadah (Depag, 2010: 798).
Tim Depag menambahkan bahwasannya pengulangan pernyataan yang
sama seperti yang terdapat dalam ayat 3 dan 5 adalah untuk memperkuat dan
membuat orang yang mengusulkan kepada Nabi saw berputus asa terhadap
penolakan Nabi menyembah Tuhan mereka setahun. Pengulangan seperti ini
sudah biasa dalam bahasa Arab (Depag, 2010: 798).
(Ayat 6) Kemudian dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir
dengan firman-Nya yaitu, “Bagi kamu balasan atas amal perbuatanmu dan
bagiku balasan atas amal perbuatanku.” Dalam ayat lain Allah berfirman:
341
Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah,
Padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami,
dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya Kami mengikhlaskan
hati” (Depag, 2010: 797).
c. Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn Perspektif Tafsir Depag dan
Relevansinya dalam Kehidupan Beragama di Indonesia
Sebelum masuk pada relevansi penafsiran Depag tentang surat al-
Kāfirūn terhadap kehidupan beragama di Indonesia, ada beberapa catatan
penulis. Sebagai sebuah karya, tafsir Depag merupakan karya yang luar biasa
dengan sistematika yang runtut, namun dibalik hal tersebut, ada beberapa hal
yang mesti dosoroti mengenai penafsiran al-Kāfirūn tersebut.
Pertama, mengenai isi, sebagai suatu penafsiran tahlili, ia termasuk
penafsiran yang sederhana dan tekstualis, di mana dalam penafsiran di atas
tidak disebutkan beberapa pandangan ulama sehingga timbul kesan bahwa
hanya satu pendapat yang memonopoli kebenaran. Kedua, sebagai salah satu
tafsir Indonesia, pemaparan dalam penafsiran tersebut dirasa kurang dan
bahkan tidak menyebutkan sosio historis Indonesia sehingga tidak dapat
diketahui dengan pasti, khususnya bagi orang awam yang membaca
mengenai pesan yang terkandung dengan apa yang sedang terjadi di
Indonesia sekarang ini.
Jika ditelisik lebih dalam, penafsiran Departemen Agama terhadap
surat al-Kāfirūn mengandung beberapa konsep toleransi yang relevan sebagai
tuntunan sekaligus solusi bagi masalah-masalah kehidupan beragama di
Indonesia, di antaranya:
1. Tidak ada toleransi dalam hal ibadah
Konsep ini didapat dari penfsiran surat al-Kāfirūn ayat 1-5. Dalam
penafsiran surat al-Kāfirūn dari ayat 1 sampai 5 di sana dengan tegas
menjelaskan bahwasannya Tuhan yang orang kafir sembah berbeda
dengan Tuhan yang Nabi sembah, perbedaan ini dilihat dari sifat-sifat
yang mana Tuhan Nabi Muhammad mempunyai sifat yang jauh berbeda
dari Tuhan yang disembah oleh orang-orang kafir. Sehingga orang-orang
kafir tidak menyembah Tuhan yang disembah oleh Nabi karena Tuhan
Nabi berbeda dengan Tuhan yang mereka sembah. Begitu pula Nabi tidak
akan menyembah Tuhan yang mereka sembah. Dalam hal ini nampak jelas
bahwasannya penafsiran tersebut mengandung penjelasan tidak adanya
toleransi dalam hal ibadah. Ibadah yang dilakukan oleh Nabi tidak
mungkin dicampuradukkan oleh kesyirikan dengan menyembah Tuhan
orang-orang kafir. Akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan
syirik tak dapat dipertemukan. Jika yang hak hendak dipersatukan dengan
yang batil, maka yang batil jugalah yang menang. Oleh sebab itu, maka
akidah tauhid itu tidaklah mengenal apa yang dinamai cynscritisme, yaitu
berarti menyesuai-nyesuaikan. Misalnya di antara animisme dengan
342
tauhid, penyembahan berhala dengan sembahyang, menyembelih binatang
guna pemuja hantu atau jin dengan membaca bismillah (Hamka, 1970:
264).
Penafsiran yang tegas seperti ini dirasa perlu untuk bangsa Indonesia
yang dinilai minim identitas yang seolah-olah kabur untuk diketahui
secara jelas keimanan mereka, dibuktikan dengan moralitas mereka di
mana banyak yang mengaku Islam tapi sifat mereka seakan-akan seperti
sifat orang beragama lain. Padahal setiap agama berbeda dengan agama
lain dalam ajaran pokoknya maupun dalam rinciannya, karena itu
perbedaan-perbedaan itu tidak mungkin digabungkan dalam jiwa
seseorang yang tulus terhadap agamanya. Dengan demikian seseorang
dapat membedakan mana yang harus benar-benar dijaga sebagai suatu
identitas agamanya, dan mana yang harus ditoleransikan dalam
hubungannya ketika hidup dalam keberagaman.
2. Menjunjung tinggi toleransi di luar hal ibadah
Sebagaimana penjelasan pada poin pertama bahwa surat al-Kāfirūn
ini memberikan pengertian bahwa tidak adanya toleransi dalam hal
keimanan dan ibadah. Maka dari hal ini bisa diambil mafhūm mukhālafah
- yaitu menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (mantūq) lantaran
tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum
menurut nashnya (Zuhaili, tt: 362) – bahwa adanya toleransi dalam umat
beragama diluar hal keimanan dan ibadah. Hal ini diperjelas oleh
penafsiran surat al-Kāfirūn ayat 6 bahwasannya tidak ada yang perlu
didebatkan lagi soal keimanan, sebab bagi orang-orang kafir adalah
balasan dari perbuatan mereka begitu pula dengan orang-orang yang
menyembah Allah. Maka dari sini terlihat bahwasannya Islam menunjung
tinggi perbedaan, di mana masing-masing saling menghargai perbedaan
dan menyilakan masing-masing untuk beribadah sesuai keyakinannya.
Islam lebih lanjut memerintahkan untuk membangun kehidupan
bermasyarakat dengan saling toleransi, saling menghormati dan hidup
rukun tanpa memaksakan suatu keyakinan pada orang lain. Di samping
itu, Islam juga menekankan untuk beribadah dengan ikhlas semata-mata
hanya kepada Allah dan menjauhi segala bentuk kemusyrikan (Syah,
Jurnal Analisis, No 2, Desember 2013: 320).
3. Dialog
Dalam penafsiran surat al-Kāfirūn di atas, tepatnya pada sabab al-
nuzūl, maka kita akan menemukan adanya dialog antara Nabi Muhammad
dan orang-orang kafir. Hal ini seolah-olah mengajarkan bahwasannya
toleransi antar umat beragama dapat dilakukan melalui dialog antar umat
beragama. Dialog berarti “kami berbicara kepada anda” atau “kami
berbicara dengan anda” yang kemudian berlanjut menjadi “kita semua”
berbicara sesama kita membicarakan masalah kita bersama (Syah, Jurnal
343
Analisis, No 2, Desember 2013: 321). Dengan berdialog bersama, masalah
yang ada dalam perbedaan bisa diatasi dengan damai, saling menghargai
dan saling menghormati karena saling memahami masalah satu sama lain.
Menurut Azyumardi Azra terdapat lima bentuk dialog yang dapat
dilakukan, yaitu:
a. Dialog parlementer, yaitu dialog yang melibatkan ratusan peserta.
Dalam dialog dunia global, dialog ini paling awal diprakarsai oleh
world’s parliament of religious pada tahun 1893 di Chicago.
b. Dialog kelembagaan, yaitu dialog di antara wakil-wakil institusional
berbagai organisasi agama. Dialog kelembagaan ini seperti yang
dilakukan melalui wadah Musyawarah Antarumat Beragama oleh
Majlis Agama Indonesia (MUI).
c. Dialog teologi, yaitu mencakup pertemuan-pertemuan regular
maupun untuk membahas persoalan teologis dan filosofis, seperti
dialog ajaran tentang kerukunan antar umat beragama, melalui
konsep ajaran sesuai dengan agama masing-masing.
d. Dialog dalam masyarakat dan dialog kehidupan, dialog dalam
kategori ini pada umumnya ialah penyelesaian pada hal-hal praktis
dan aktual dalam kehidupan seperti pemecahan masalah kemiskinan,
masalah pendidikan.
e. Dialog kerohanian, dialog ini bertujuan menyuburkan dan
memperdalam kehidupan spiritual di antara beberapa agama (Azra,
tt: 117).
Selanjutnya, Mircea Eliade menyebutkan bahwa sikap
keagamaan yang dapat menunjang terwujudnya dialog antar umat
beragama adalah sikap yang inklusif dan pluralis. Pendapat yang sama
juga dikemukakan oleh sejumlah sarjana dan pemikir Muslim
kontemporer. Fathullah Gullen misalnya, dalam konteks umat
beragama di Turki berupaya menghadirkan pandangan keagamaan
yang toleran agar terwujudnya co-existence antar berbagai pemeluk
agama. Keadaan ini menurut Fathullah Gullen, akan dapat segera
terwujud apabila dilakukan dengan proses dialog. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Farid Esack. Dalam konteks Afrika Selatan, Farid
Esack berupaya memperlihatkan kepada kaum Muslim (di Afrika
Selatan) bahwa Islam senantiasa menyeru umat manusia agar
mengutamakan toleransi dalan menghadapi berbagai perbedaan
(Taufik, Journal of Qur’an and Hadith Studies, No. 2, July-Desember
2014: 153). Karena itu, sikap toleran, terbuka, dan senantiasa
mengutamakan dialog hendaknya dijadikan dasar umat manusia,
khususnya Indonesia untuk saling berinteraksi dengan umat agama
lainnya (non-Muslim).
344
4. Sikap lemah lembut tanpa kekerasan
Selanjutnya dalam penafsiran surat al-Kāfirūn di atas akan kita
temukan sebuah pernyataan yang halus, semisal “Allah memerintahkan
Nabi Muhammad agar menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa
“Tuhan” yang mereka sembah bukanlah “Tuhan” yang ia sembah.” Dan
juga “Selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang
diperintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang kafir dengan
menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang didakwahkan
Nabi Muhammad”. Dari penafsiran ini kita temukan bahasa yang halus
dengan tidak adanya kata larangan, semisal “jangan sembah Tuhan
mereka” atau “jangan engkau menyembah Tuhan yang disembah oleh
Nabi Muhammad”, maka bisa diambil pelajaran bahwasannya toleransi itu
mengajarkan sikap lemah lembut dan anti kekerasan. Maka seyogyanya
dalam membangun toleransi yang harus diperjuangkan secara terus-
menerus adalah memperkecil volume kebencian dan kekerasan antara
sesama anak bangsa. Sebab kekerasan tidak akan menyelesaikan suatu
masalah, bahkan sebaliknya, kekerasan adalah pangkal utama dari masalah
dan bukan solusi dari masalah. Hal inilah yang semestinya dipegang oleh
warga Indonesia yang terkenal dengan keragaman agamanya agar tercipta
kehidupan yang rukun dan damai.
Dalam konteks kebangsaan, semua warga mempunyai tanggung
jawab yang amat besar agar capaian-capaian yang telah diraih oleh pendiri
bangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan tepat, tanpa melalui reduksi.
Harapan untuk membangun kedamaian selalu ada sebab bangsa ini adalah
bangsa yang hakikatnya mencintai kedamaian. Jalan untuk mewujudkan
harapan tersebut adalah mengembangkan paham keagamaan yang
bernuansa moderatisme dan mengubur paham keagamaan yang bernuansa
ekstremisme (Misrawi, 2010: 134-135).
Demikian beberapa konsep toleransi yang terkandung dalam surat
al-Kāfirūn yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan beragama di
Indonesia. Harapannya mampu memberikan kesadaran terhadap
masyarakat akan sikap dan langkah yang mestinya dibangun untuk
menghindari adanya konflik yang ditimbulkan atas dasar agama sebagai
upaya mempertahankan keutuhan NKRI.
C. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Toleransi berarti menghargai dan menghormati keyakinan atau
kepercayaan atau budaya dan kultur seseorang atau kelompok lain dengan sabar
dan sadar. Toleransi tidak berarti ikut membenarkan keyakinan atau
kepercayaan orang lain, tetapi lebih kepada menghargai dan menghormati hak
asasi yang ada pada orang lain, sekalipun berbeda dengan keyakinannya.
345
Al-Qur’an dan Tafsirnya disusun sejak tahun 1972 oleh Dewan
Penyelenggara Penafsir al-Qur’an yang dibentuk oleh Menteri Agama yang
kemudian dilakukan perbaikan dan penyempurnaan oleh Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an – Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan,
dan selanjutnya melakukan upaya penyempurnaan secara menyeluruh yang
dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri Agama RI dengan Keputusan
Menteri Agama RI Nomor 280 Tahun 2003 dan selesai pada tahun 2007. Tafsir
ini menggunakan metode tahlili dan bercorak al-adabi wa al-ijtimā’i.
Dalam penafsiran depag ini dapat diambil kesimpulan bahwasannya tidak
ada toleransi dalam keimanan dan akidah, namun selain kedua hal tersebut
toleransi sangat dijunjung tinggi. Di samping itu, penafsiran ini mengajarkan
adanya dialog antar umat beragama sebagai upaya toleransi dan juga
mengajarkan perdamaian tanpa adanya kekerasan, yakni toleransi bersikap
lembah lembut.
2. Saran-Saran
Terkait dengan masih banyaknya intoleransi antar umat beragama dan
maraknya radikalisme di Indonesia, maka penulis mengajukan saran-saran
sebagai berikut:
a. Meningkatkan upaya dialog antar agama agar terjalin kekerabatan sehingga
timbul rasa kasih sayang yang pada akhirnya akan mudah saling memahami
satu sama lain.
b. Menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul atas nama agama
dengan sistem kekeluargaan dengan tujuan mencapai kedamaian antar umat
beragama.
Referensi
Azra, Azyumardi. Tt.Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ghazali, Adeng Muchtar. 2013, “Teologi Kerukunan Beragama dalam Islam: Studi
Kasus Kerukunan Beragama di Indonesia,” dalam jurnal Analisis. Volume
XIII, Nomor 2, Desember 2013.
Hamka. 1970, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pembimbing Masa.
Mansur, Sufaat. 2012, Toleransi dalam Agama Islam. Yogyakarta: Harapan Kita.
Masduqi, Irwan. 2011, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat
Beragama. Jakarta: Mizan.
Misrawi, Zuhairi. 2010, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme dan
OASE Perdamaian. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Poerwadarminta, 1996, WJ. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
346
RI, Departemen Agama. 2010, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi yang
Disempurnakan. Jakarta: Lentera Abadi.
Shihab, M. Quraish. 2013, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang
Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Syah, Darwyan. 2013, “Pemahaman Surat-Surat Pendek al-Qur’an tentang
Toleransi dan Implikasinya bagi Pengembangan Sikap Pluralisme,” dalam
jurnal Analisis. Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013.
Syamsuddin, Sahiron. 2009, Tafsir Studies. Yogyakarta: eLSAQ Press Yogyakarta.
Taufik, Ahmad. 2014, “Hubungan Antar Umat Beragama (Studi Kritis Metodologi
Penafsiran Tekstual)” dalam Journal of Qur’an and Hadith Studies Vol. 3,
No. 2, 2014 (July-Desember 2014).
Zuhaili, Wahbah. tt, Ushul Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikri.
PENDIDIKAN ISLAM PILAR NASIONALISME INDONESIA (TELAAH PENGALAMAN A. HASJMY DI ACEH) Syabuddin Gade UIN ar-Raniry, Banda Aceh [email protected]
Abstract
This paper aims to discuss about Islamic education as a pillar of Indonesian nationalism, especially the experience of A. Hasjmy in reducing Darul Islam revolt and revitalization of nationalism through Islamic education in Aceh; and olso his intelligent rejection of the discourse of the abolition of religious education in the national education system in the late 70s. The approaches used in this study are the historical and fenomenological approach. While the method used is descriptive-analytic method. The data source consists of primary dan secoundary sources.The results of the study found that; 1) Islamic education is a pillar of support in the formation and strengthening of nationalism of Indonesian nationality and it is not appropriate if Islamic education is assessed and/or suspected nationalism nationalism based on four core principles, the 1945 Constitution (UUD 1945), Pancasila, NKRI and Bhinneka Tunggal Ika; 2) History notes that Islamic education not only as a solution in expelling the invaders and unifying the Indonesian nation, but also it was as a pillar in overcoming the disintegration of the Indonesian nation and rebuilding (revitalization) the spirit of Indonesian nationalism. This has been proven by A. Hasjmy as Governor of Aceh with some leader, ‘ulamā and people who succeeded in suppressing the fire of Dār al-Islām rebellion in Aceh through the development of Islamic education; and his smart rejection of the discourse of the abolition of religious education in the national education system.
Keywords: education, Islam, pillars, nationalism, revitalization, experience, A. Hasjmy, Aceh, Indonesia
347
348
Abstrak
Tulisan ini bertujuan membahas tentang pendidikan Islam sebagai pilar nasionalisme Indonesia, khususnya pengalaman A. Hasjmy dalam meredam pemberontakan Darul Islam dan revitalisasi nasionalisme melalui pendidikan Islam di Aceh serta penolakan cerdas A. Hasjmy terhadap wacana penghapusan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional pada akhir tahun 70-an. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan fenomenologik. Sedangkan metodenya adalah metode deskriptif-analitik. Sumber data terdiri dari sumber primer dan sekuder. Hasil telaah didapatkan bahwa; a) Pendidikan Islam merupakan pilar penyangga dalam pembentukan dan penguatan nasionalisme kebangsaan Indonesia sehingga tidak tepat jika pendidikan Islam dinilai dan/atau dicurigai anti nasionalisme kebangsaan yang bersumber pada empat prinsip pokok, UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika; b) Sejarah mencatat bahwa pendidikan Islam bukan hanya bisa menjadi solusi utama dalam mengusir penjajah dan mempersatukan bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai pilar dalam mengatasi disintegrasi bangsa Indonesia dan membangun kembali (revitalisasi) semangat nasionalisme kebangsaan Indonesia. Hal ini sudah dibuktikan oleh A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh bersama para tokoh, ulama dan rakyat yang berhasil meredam konflik Dār al-Islām di Aceh melalui pembangunan pendidikan Islam dan penolakan cerdasnya terhadap wacana penghapusan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional.
Kata Kunci: pendidikan, Islam, pilar, nasionalisme, revitaslisasi, pengalaman, A. Hasjmy, Aceh, Indonesia
A. Pendahuluan
Isu hubungan agama (Islam) dan nasionalisme masih terus diperbincangkan baik di kalangan akademisi maupun praktisi politik, terutama yang berorientasi keagamaan. Diaspora nasionalisme yang bersumber dari Eropa ke Dunia Muslim sejak awal abad 20 berimplikasi pada pembentukan banyak negara-bangsa (nation-state) mayoritas berpenduduk Muslim seusai Perang Dunia II.Namun, pembentukan nation-state bukan berarti perdebatan tentang agama dan nasionalisme berakhir. Justru, dinamikaperubahan politik pada tingkat lokal, nasional dan internasional membuat perdebatan tentang agama dan nasionalisme kembali mencuat. Dalam konteks Indonesia misalnya, liberalisasi politik melalui demokratisasi semakin mengundang tantangan baru, termasuk hubungan Islam dengan nasionalisme sebagaimana penjelasan Azyumardi Azra (24/6/2017) berikut:
…liberalisasi politik melalui demokratisasi di Indonesia sekaligus mendatangkan sejumlah tantangan baru, termasuk dalam hal hubungan antara agama, khususnya Islam dengan nasionalisme. Di kalangan umat Islam Indonesia bangkit kembali kembali gagasan tentang pembentukan negara Islam (dawlah Islamiyyah) atau setidaknya perubahan UUD 1945 dengan mengembalikan ‘Piagam Jakarta’ yang memungkinkan pemberlakuan syari’ah Islam oleh negara. Pada saat yang sama, gagasan
349
dan usaha menggusur integrasi Islam-nasionalisme Indonesia seperti terlihat dalam dasar negara Pancasila dengan transnasionalisme politik Islam juga menguat. Berbagai gerakan berakar di Timur Tengah atau tempat lain yang ingin mendirikan khilafah—entitas politik Islam universal tunggal—baik secara ‘damai’ maupun radikal dan teroristik kian menampilkan diri secara terbuka. Mereka cukup aktif memasarkan ideologi masing-masing sekaligus merekrut para pendukung.
Hubungan Islam dan nasionalisme di Indonesia pada dasarnya cukup kuat. Islam dan nasionalisme telah terintegrasi sedemikian rupa sehingga negara-bangsa Indonesia sudah final dengan empat prinsip pokok; UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Meski demikian, demikian Azyumardi (Ibid.) mengingatkan bahwa integrasi Islam dan nasionalisme itu belum dapat dipandang selesai (taken for granted). Sebaliknya senantiasa perlu penguatan keempat prinsip dasar dan sekaligus meningkatkan aktualisasi sistem dan nilainya dalam kehidupan berbangsa-bernegara.
Pertanyaan menarik yang segera muncul di sini adalah bagaimana penguatan keempat prinsip dasar tersebut dilakukan? Jawaban yang paling jitu dan meyakinkan adalah melalui pendidikan Islam. Mengapa? Karena, menurut Suhartono (1994: 7) banyak alasan; pertama, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang sejak awal anti kolonialisme dan anti imperialisme karena kolonialisme dan imperialisme menghapus harga diri manusia (the human dignity).
Dalam Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan (2009: 64) disebutkan bahwa substansi nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: a) Kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama; b) Kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia. Makna nasionalisme semacam ini tidak bertentangan dengan Islam dan tentu tidak bertentangan pula dengan pendidikan Islam. Karena itu, secara substantif Islam tidak menolak nasionalisme. Islam merupakan agama yang begitu menghargai entitas kebangsaan sebagai fitrah manusia. Bahkan, menurut A. Hasjmy (1976a: 43-50) Islam telah memberi kontribusi luar biasa terhadap pembangunan kebangsaan; Islam telah menjadi kekuatan dominan dan mampu mempersatukan penduduk nusantara ke dalam sebuah identitas baru yang bernama Indonesia, meskipun menurut Zainuddin Maliki (2000: xxv) kemudian secara legal formal ikatan kebangsaan dan ke-Indonesiaan diatur dan diikat oleh administrasi dan ideologi negara.
Kedua, sejarah telah mencatat bahwa pondok pesantren (dayah: Aceh, surau: Padang) dengan para ustaz dan kiyainya menjadi basis paling kuat untuk melawan dan mengusir penjajah. Resolusi jihad yang dikeluarkan Nahdlatul Ulama, perjuangan ulama dan rakyat atas dasar jihad demi agama dan negara, mampu mengobarkan semangat nasionalisme melawan penjajah. Semangat nasionalisme ini sesungguhnya muncul dari kesadaran keislaman yang tinggi, pekikan takbir “Allahu Akbar” menjadi suara nasionalisme dalam mengusir penjajah. Ketiga, para ulama, pemimpin dan tokoh nasional dan lokal, mengisi kemerdekaan Indonesia dan memupuk semangat kebangsaan dan nasionalisme ke-Indonesia-an
350
yang terangkum dalam keempat prinsip dasar tersebut adalah melalui pendidikan, utamanya lagi pendidikan Islam dan/atau pendidikan agama Islam. Cak Nur (10 Oktober 2001: 8) mengatakan, bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengatasi perpecahan bangsa dan membangun sumberdaya manusia.
Berpijak pada ketiga alasan tersebut, maka pendidikan Islam layak disebut sebagai pilar dalam pembangunan dan penguatan nasionalisme kebangsaan berdasarkan prinsip pokok; UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat prinsip ini merupakan hasil “ijtihad” para pendiri bangsa yang digali dari sumber ajaran agama (Islam) sehingga mustahil bertentangan dengan Islam. Karena itu, pendidikan Islam sesungguhnya merupakan julur strategis untuk memperkuat nasionalisme berdasarkan prinsip-prinsip pokok ini.
Keberadaan pendidikan Islam sebagai pilar nasionalisme memang tidak dapat diragukan lagi. Apalagi, fungsi pendidikan Islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai ilahi dan insani sehingga tujuan pendidikan Islam bukan hanya terwujudnya penguasaan ilmu agama Islam, tetapi juga tertanamnya perasaan agama yang mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam beragama, berbangsa maupun bernegara. Kalau akhir-akhir ini ada pihak-pihak asing yang mencurigai pendidikan Islam baik dalam arti institusi (pesantren, misalnya) maupun materi ajar (pelajaran agama di sekolah) sebagai sumber “radikalisme” yang berujung pada perpecahan bangsa, maka kecurigaan itu sesunguhnya kecurigaan yang berlebihan dan a-historis. Kecurigaan yang berlebihan ini terkadang diperparah dengan merebaknnya isu tidak sedap di media sosial dan elektonik, misalnya “pendidikan agama di sekolah dihapuskan saja, karena menjadi sumber radikalisme”. Isu semacam ini tentu, menimbulkan kesan seolah-olah pendidikan dan umat Islam dianggap sebagai sumber anti nasionalisme, anti Pancasila dan/atau anti Bhinneka Tunggal Ika. Sejatinya kecurigaan seperti itu tidak perlu terjadi. Mantan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Muhammad Ali (http://dadanrusmana.blogspot.co.id/2011/12, diaksestanggal 24/6/2017) mengatakan;
…Kalangan asing jangan mencurigai kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan Islam di Indonesia karena materinya sudah sangat baik. “Seluruh materi yang disusun dan dimasukkan sebagai kurikulum pada lembaga Islam sudah sejalan dengan pembangunan karakter bangsa. Tidak ada yang menyimpang dari prinsip ajaran agama yang membawa kedamaian bagi seluruh umat,”… jangan mencurigai kurikulum bermuatan ajaran kekerasan karena radikalisme sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang “rahmatan lil alamin”. Kalangan asing, kata Ali, menyebut jika ada tindakan kekerasan pihaknya dituding memasukan muatan ajaran kekerasan dalam kurikulum pendidikan Islam. Ia mengakui belakangan ini ada pemberitaan di media massa yang menyebut alumni dari perguruan tinggi Islam terlibat dalam aksi teror, melakukan tindakan kekerasan dan mampu merakit bom. Orang tersebut lalu dikaitkan dengan latar belakang pendidikannya kemudian diberi label yang bersangkutan berasal dari lembaga pendidikan Islam, katanya. “Pandangan dan pemberian label seperti itu sungguh kejam,” katanya. Ia berharap semua pihak dapat memberi pencerahan kepada publik bahwa pendidikan Islam yang diajarkan di Indonesia adalah membawa kedamaian bagi seluruh umat.
351
Untuk memperkukuh betapa pendidikan Islam sebagai pilar nasionalisme, dalam tulisan ini akan dipaparkan pengalaman Ali Hasjmy1 dalam meredam konflik Darul Islam, revitalisasi nasionalisme melalui pendidikan Islam dan penolakan cerdas A. Hasjmy terhadap wacana penghapusan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional pada akhir tahun 70-an. Telaah terhadap pengalaman A. Hasjmy dalam konteks ini sangat penting, paling tidak beberapa alasan; Pertama, A. Hasjmy adalah figur yang cukup dikenal bukan hanya sabagai sastrawan, politikus, ulama dan sejarawan, tetapi juga sebagai tokoh dakwah dan pendidikan.2Kepakaran A. Hasjmy dalam beberapa bidang keilmuan yang terkesan “ensiklopedik” bukanlah “isapan jempol belaka”, tetapi dibuktikan dengan karya tulis yang mencapai hampir 60 karya dalam pelbagai bidang ilmu yang masih dapat dibaca, dilihat dan dikaji oleh genarasi masa kini dan masa yang akan datang.
Kedua, A. Hasjmy merupakan salah seorang tokoh dan ulama Aceh yang berjiwa nasionalis. Jiwa nasionalisme A. Hasjmy, menurut Wildan (2011) bukan hanya dapat dibaca dalam sajak dan puisinya, tetapi juga dalam sepak terjangnya baik dalam perjuangan kemerdekaan, meredam konflik dan juga mengisi kemerdekaan. Ketiga, ia sebagai tokoh Aceh yang mampu menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pilar utama dalam meredam konflik DI-TII. Konflik ini bila tidak ditangani secara bijaksana pasti akan berujung pada perpecahan bangsa, sekalipun konflik ini dipicu oleh “kekeliruan” pemerintah pusat itu sendiri dalam memperlakukan Aceh secara wajar dan terhormat. Usaha meredam konflik Aceh sesungguhnya juga bermakna membangun kembali nasionalisme yang terkoyak-koyak akibat konflik. Keempat, A. Hasjmy juga memiliki pengalaman menarik di
1A. Hasjmy memiliki nama lengkap Muhammad Ali ibn Hasyim ibn Abbasatau yang lebih dikenal
dengan Ali Hasjmy (A. Hasjmy).Ia lahir pada tarikh 28 Mach 1914 di Desa Lampaseh Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar, bertepatan dengan meletusnya perang dunia pertama. Dalam tahun tigapuluhan dan empat puluhan A. Hasjmy sering menggunakan nama samaran sebagai penulis puisi dan cerita pendek (cerpen), yiaitu al-Hariry, Aria Hadiningsun dan Asmara Hakiki. A. Hasjmy (pnyt.), Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 237. Beliau meninggal dunia pada tanggal 18 januari 1998 di Rumah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh.
2Sebagai seorang sastrawan, A. Hasjmy tergolong angkatan pujangga baru. Karya sastranya cukup banyak baik puisi, roman maupun novel. Sebagai seorang politikus, A. Hasjmy pernah menjabat Gubernur Aceh selama dua periode (1957-1961 dan 1961 s/d akhir Maret 1964), meskipun periode kedua sebelum habis masa jabatannya sudah dipindahkan ke Departemen Dalam Negeri. Ia salah seorang “negosiator” dalam penyelesaian masalah Darul Islam di Aceh. Bahkan, ia juga mempunyai karya tulis dalam bidang politik. Sebagai seorang ulama, A. Hasjmy pernah menjabat sebagai ketua MUI propinsi Aceh hingga akhir hayatnya. Sebagai sejarawan, A. Hasjmy mempunyai banyak karya dalam bidang sejarah, terutama sejarah dan kebudayaan Islam di Aceh dan sejarah Islam klasik Sebagai tokoh pendidikan, A. Hasjmy termasuk tokoh sentral dalam pengembangan pendidikan di Aceh, terutama Kampus Darussalam, sehingga ia disebut-sebut sebagai “pahlawan” atau “bapak pendidikan” di Aceh, ia pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan Rektor IAIN ar-Raniry, ia juga menulis dalam bidang ilmu pendidikan. Sebagai tokoh dakwah, A. Hasjmy bukan hanya penggagas Fakultas Dakwah pertama di lingkungan IAIN di seluruh Indonesia, tetapi juga seorang profesor dalam bidang ilmu dakwah. Bahkan, sampai hari ini di IAIN ar-Raniry belum melahirkan seorangpun profesor ilmu dakwah, selain A. Hasjmy. A. Ghazaly, 1978, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, Jakarta: Socialia, hlm. 53 dan 87; Hasan Basri, Teungku A. Hasjmy: pengembang tradisi keilmuan dan perekat ulama-umara. Dlm. Tim Penulis IAIN Ar-Raniry, Ensiklopedi Ulama Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004, hlm. 491.
352
mana ia mampu mendudukkan pentingnya pendidikan agama bagi bangsa Indonesia sebagai respon cerdas terhadap wacana penghapusan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional yang mencuat pada akhir tahun 70-an. Kelima, A. Hasjmy memiliki karya tulis yang banyak sebagai sumber primer, baik yang bersifat kajian ilmiah maupun catatan lepas yang kemudian diterbitkan sehingga informasi mengenai pengalamannya tercatat rapi. Juga ada sumber sekunder berupa tulisan pihak lain tentang pemikiran dan pengakuan sepak terjang A. Hasjmy dalam meredam konflik dan membangkitkan kembali semangat nasionalisme melalui pendidikan Islam.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dan fokus utama kajian ini ialah bagaimana pengalaman A. Hasjmy membangun nasionalisme melalui pendidikan Islam? Untuk menjawab permasalahan ini kajian akan difokuskan pada pengalaman A. Hasjmy meredam konflik Darul Islam, revitalisasi nasionalisme melalui pendidikan Islam dan penolakan cerdas A. Hasjmy terhadap wacana penghapusan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional pada akhir tahun 70-an. Dalam kajian ini digunakan pendekatan historis (historical approach), pendekatan fenomenologik dan metode deskriptif-analitik. Sumber data terdiri dari sumber primer dan sekunder. Pendekatan sejarah menurut Taufik Abdullah (1987: 105), Abuddin Nata (2004: 46-47) dan U.Maman Kh, et.al. (2006: 149-153) adalah cara pandang ilmu sejarah yang digunakan dalam memahami pelbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, atar belakang dan pelaku dalam peristiwa tersebut. Sedangkan pendekatan fenomenologik menurut Mami Hajarah (http://staffnew.uny.ac.id/upload/, diakses 28/7/2017) ialah cara pandang untuk memaknai secara detail pengalaman, peristiwa, status yang diperankan dalam kontek sosial. Juga berusaha mengeksplorasi pengalaman personal serta menekankan pada pesepsi atau pendapat personal seseorang individu tentang obyek atau peristiwa. Sedangan metode deskriptif-analitik bermaksud melakukan suatu proses pendeskripsian, klasifikasi dan interpretasi data sesuai keperluan.3
Melalui pendekatan sejarah dan metode deskriptif-analitik akan dilakukan rekonstruksi pengalaman A. Hasjmy baik dalam meredam konflik Dār al-Islām , revitalisasi nasionalisme melalui pendidikan Islam yang terkoyak akibat perang, maupun penolakan A. Hasjmy tentang wacana sekularisasi atau penghapusan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional. Setelah itu, semua data yang terkumpul diklasifikasi sesuai keperluan dan diinterpretasi dalam konteks kepentingan wawasan nasionalisme Indonesia.Dalam pengumpulan data, kajian ini didasarkan pada dua sumber, yakni sumber primer (primary sources) dan sumber sekunder (secondary sources). Data dari sumber primer di sini adalah data yang diperoleh dari karya A. Hasjmy sendiri. Sedangkan data dari sumber sekunder adalah data yang diperoleh selain dari karya A. Hasjmy dan yang ada kaiitannya dengan fokus kajian ini.
�3 Penerapan metode deskriptif-analitik misalnya dapat dibaca karya Abd. Mukti, Sejarah
Sosial Pendidikan Islam pada Masa Dinasti Saljuq (Sebuah Studi tentang Madrasah Nizamiyah 1058-1157), Yogyakarta: Distertasi Ph.D, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2000, hlm. 21-22.
353
Kajian terhadap pemikiran A. Hasjmy sebagai tokoh memang sudah banyak, antara lain dilakukan oleh Darmuni Daud (1980), Badruzzaman Ismail et al., (1994), Yuli Usman (1996/1997), Ernawati (2000), Rosmanidar (2002), Junaidi (2005), Wildan (2011) dan Syabuddin Gade (2013). Semua kajian ini secara umum memang berkaitan dengan pemikiran A. Hasjmy sebagai tokoh dakwah dan sastrawan, tetapi berkaitan dengan pemikiran dan gerakan pendidikan A. Hasjmytelah disinggung dalam tulisan Darmuni Daud (1980) dan Syabuddin Gade (2013).
Darmuni Daud (1980 :48-97) dalam skripsinya menggambarkan Prof. A. Hasjmy sebagai bapak pendidikan Aceh. Gambaran ini diuraikan berdasarkan data dan analisisnya terhadap kiprah A. Hasjmy dalam program pembangunan pendidikan di Aceh, terutama semasa ia menjabat sebagai Gubernur Aceh. Sedangkan Syabuddin Gade (2013 : ) menguraikan pemikiran pendidikan A. Hasjmy secara sistematis berdasarkan kajian terhadap beberapa karyanya, terutama berkenaan dengan pengertian dan tujuan pendidikan, perbedaan antara pengajaran agama dan pendidikan agama, kritik A. Hasjmy terhadap sekularisasi pendidikan serta simbiotika tujuan pendidikan dan dakwah dalam perspektif A. Hasjmy. Sungguhpun demikian, kajian ini belum berkaitan dengan pengalaman A. Hasjmy yang menjadikan “pendidikan Islam sebagai pilar nasionalisme Indonesia”.
Tim Penyusun (2013) Prosiding Kongres Pancasila V Strategi Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menguatkan Semangat Ke-Indonesiaan mengakui bahwa salah satu jalan internalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai perekat semangat ke-Indonesia-an adalah melalui pendidikan. Tetapi, kongres ini tidaklah secara khusus membedah pengalaman A. Hasjmy yang menjadikan pendidikan Islam sebagai pilar nasionalisme.
Kata“pendidikanIslam”yang umum digunakan sekarang meupakan rangkaian dari dua kata; “pendidikan” dan “Islam” yang dalam bahasa Arabnya sering disebut dengan “al-tarbiyah al-Islāmiyah” (Zakiah Dradjat, 2000: 25). Secara teoretis pendidikan, demikian M. Arifin (1991: 32), mengandung pengertian “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar manusia. Jadi, Pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang memberi atau menyampaikan informasi dalam rangka pembentukan insan yang beriman dan bertakwa agar manusia menyadari kedudukannya, tugas dan fungsinya di dunia dengan selalu memelihara hubungannya dengan Allah, dirinya sendiri, masyarakat dan alam sekitarnya serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (termasuk dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya).
Sebagai sebuah sistem, pendidikan Islam melibatkan banyak unsur di dalamnya seperti guru, murid, materi ajar, metode, media, sumber belajar, sarana dan prasarana, dana, lingkungan belajar dan manajemen pengelolaan. Semua unsur ini merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Karena itu, ketika disebut pendidikan Islam sebagai sebuah sistem, maka di dalamnya boleh jadi bermakna sebagai “proses” yang melibatkan semua unsur tersebut, boleh jadi pula pembangunan institusinya. Sebagai contoh, ketika disebut “pendidikan Islam sebagai pilar nasionalisme”, maka pendidikan Islam di
sini boleh jadi bermakna “proses” pemberian informasi sebagai penyangga utama nasionalisme-kebangsaan, boleh jadi pula “pembangunan institusi”pendidikan dan semua unsur lainnya untukkeberlangsungan proses pendidikan Islam sebagai penyangga nasionalisme-kebangsaan.
Pilar atau penyangga yang dimaksudkan di sini ialah tiang yang digunakan sebagai penguat dalam sebuah bangunan, contohnya pilar jembatan. Pilar jembatan adalah pondasi inti yang terletak di bagian tengah, berfungsi sebagai penahan jembatan. Jadi, pendidikan Islam sebagai “pilar” bermakna pendidikan Islam berfungsi sebagai penyangga bagi keberlangsungan dan keutuhan nsaionalisme-kebnagsaan Indonesia. Mengapa pendidikan isslam dijadikan sebagai pilar? Karena, meminjam pendapat Moh.Ali (mantan Dirjen Pendis), pendidikan Islam mengembangkan nasionalisme karena ajaran Islam itu sendiri mengajarkan cinta tanah air sebagai salah satu ciri orang beriman atau bagian dari ciri orang yang beriman; mengembangkan pendidikan Islam yang toleran, karena ajaran Islam yang paling dasar adalah lakum dinukum waliyadin; mengajarkan Islam yang moderat, tidak ekstrem, tidak radikal, dan tidak liberal. Tidak adamateri ajar yang dipelajari yang ekstrem radikal atau ektrem liberal, tapi di tengah-tengah, yang moderat; menghargai multikulturisme atau keragaman budaya, sesuaui dengan tuntunan Al Quran; mengembangkan ajaran Islam yang inklusif tidak ksklusif. Inklusif berarti masuk atau menerima siapa pun (https://www2.kemenag.go.id/berita/85310/dirjen-pendis, diakses 25/7/2017). Fakta sejarah juga menunjukkan batapa pendidikan Islam telah berperan aktif dalam membangun nasionalisme kebangsaan, mulai dari berperang melawan penjajahan, menyatukan bangsa dari berbagai suku dan agama, mengisi dan mempertahankan kemerdekaan, mencegah disintegrasi bangsa dan mempertahankan pancasila sebagai ideology negara.
B. Hasil dan Pembahasan
1. Biografi Ringkas A. Hasjmy
Silsilah A. Hasjmy, berdasarkan pendapat A. Hasjmy (1985: 5) dapat ditelusuri hingga kepada Pahlawan Muda. Sumber ini diperolehnya melalui keterangan datuknya, Pang Abbas. Menurut keterangan datuknya bahwa nenek moyang A. Hasjmy berasal dari Negeri Hijaz (wilayah Arab Saudi sekarang), seorang ulama yang hijrah ke Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Alaiddin Johan Syah (1147-1174 H/1735-1760 M). Ulama Hijaz ini, kemudian, diangkat oleh sultan Aceh menjadi Orang Kaya Diraja Syahbandar Agung dengan gelar Pahlawan Muda. Keturunan dari Pahlawan Muda ini yaitu; Keuchik Pasukan, Keuchik Sitam, Ja Bok, Keuchik Meureudeh, Teungku Abu, Teungku Intan Sipijit dan Keuchik Palela.Silsilah A. Hasjmy dari pihak ayahnya adalah dari keturunan Ja Bok, Ja Bok berputera Keuchik Polem, Keuchik Polem berputera Keuchik Agam, Keuchik Agam berputera Pang Abdullah dan Pang Abbas, Pang Abbas berputera Teungku Hasjim, Nyak Putrou, Nyak Neh, Johan dan Hasan. Adapun silsilah dari pihak ibunya adalah dari garis Keuchik Palela yang mempunyai putera Keuchik Nyak Ahmad. Keuchik Ahmad berputera Pang Hasan, Pang Hasan berputera Pang Husein dan Pang Husein berputeri Nyak Buleuen. Jadi, silsilah keturunanA. Hasjmy dari pihak ayahnya adalah A. Hasjmy bin Teungku Hasjim bin Pang Abbas bin Keuchik Agam bin Keuchik
354
355
Polem bin Ja Bok bin O.K. Syahbandar Agung Pahlawan Muda. Manakala dari pihak ibunya ialah Nyak Buleuen binti Pang Husein bin Pang Hasan bin Keuchik Nyak Ahmad bin Keuchik Palela bin O.K. Syahbandar Besar Pahlawan Muda.
Pang Abbas (datuk A. Hasjmy dari pihak ayah) dan Pang Husein (datuk A. Hasjmy dari pihak ibu) keduanya ialah panglima kecil di bawah Teuku Panglima Polem Muda Perkasa. Pang Abbas dan Pang Husein keduanya pejuang yang turun ke medan perang melawan tentara penceroboh Belanda. Pang Husein yang mendapat tugas mempertahankan Kuta Cot Glie (benteng terhadapan Teuku Panglima Polem), mati syahid setelah anggota pasukannya syahid semua. Isterinya Nyak Puteh, yang kemudian menjadi pendidik utama bagi A. Hasjmy (1991: 6-7; 1985: 4 dan 34), selepas ibunya meninggal dunia terus hidup menjanda sampai ia meninggal dunia pada tahun 1953. Hidup menjanda yang dipilih Nyak Puteh nampaknya sebagai wujud kesetiaan kepada almarhum suaminya Pang Husein yang syahid dalam perang melawan tentara Belanda. Nyak puteh hanya mempunyai seorang putri, Nyak Buleuen, ibunda A. Hasjmy. Berbeza dengan datuknya, Pang Abbas, ia tidaklah mati syahid dalam perang melawan Belanda, namun di seluruh tubuh badannya penuh dengan bekas-bekas luka akibat perang melawan askar Belanda. Ia meninggal dunia pada tahun 1936 dalam usia 127 tahun, lebih kurang ketika A. Hasjmy sudah mencapai usia 22 tahun.
Jadi nenek moyang A. Hasjmy ialah orang terpandang sebagai pejuang dalam perang Aceh melawan Belanda baik dari pihak ayah maupun pihak ibundanya. Pang Abbas, datuk A. Hasjmy dari pihak ayah mempunyai anak lelaki namanya Teungku Hasjim manakala Pang Husein mempunyai anak perempuan namanya Nyak Buleun. Kemudian Teungku Hasjim dinikahkan dengan Nyak Buleuen. Perkahwinan Teungku Hasjim dengan Nyak Buleuen inilah lahir seorang anak yang diberi jenama Muhammad Ali ibn Hasyim ibn Abbasatau yang lebih dikenal dengan Ali Hasjmy (A. Hasjmy).4 Ia lahir pada tarikh 28 Mach 1914 di Desa Lampaseh Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar, bertepatan dengan meletusnya perang dunia pertama. Namun, menurut catatan A. Ghazaly (1978:3) sebelum kelahiran A. Hasjmy, pasangan suami isteri (Teungku Hasjim-Nyak Buleuen) sudah mempunyai seorang anak perempuan, namun ia meninggal dunia ketika masih bayi. Pada usia A. Hasjmy masih empat tahun, Nyak Buleuen meninggal dunia ketika melahirkan adik A. Hasjmy sehingga ibunda dan adiknya yang masih bayi itu dikuburkan dalam satu liang. Setelah ibundanya meninggal dunia, A. Hasjmy dibesarkan oleh Nyak Puteh (orang tua kepada emaknya).
Lima tahun selepas ibunda A. Hasjmy meninggal dunia, Teungku Hasyim menikah dengan Nyak Syarifah dan pasangan ini kemudian menetap di Seulimum. Manakala A. Hasjmy tetap hidup bersama nenekanda, Nyak Puteh. Perkawinan Teungku Hasjim dengan Syarifah melahirkan tujuh orang anak yaitu Ainal Mardhiah, Rohana, Syahabuddin, Asnawi, Fachri, Nurwani dan Fachmy. A. Hasjmy, demikian
4 Dalam tahun tigapuluhan dan empat puluhan A. Hasjmy sering menggunakan nama samaran sebagai penulis puisi dan cerita pendek (cerpen), yaitu al-Hariry, Aria Hadiningsun dan Asmara Hakiki. A. Hasjmy (pnyt.), Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 237.Anon. Memoar. Majalah Tempo, no. 48, 26 Januari 1991, hlm. 44.
356
A. Ghazaly (Ibid.), mempunyai tujuh orang saudara seayah, empat orang saudara laki-laki dan tiga orang saudara perempuan. Sebagai anak seorang ulama, pedagang dan pejuang dalam melawan penceroboh Belanda, semua mereka berpendidikan yang cukup. Ainal Mardhiah dan Rohana berpendidikan Sekolah Menengah Islam (SMI); Syahbuddin berpendidikan Sekolah Menegah Ekonomi Atas (SMEA); Asnawi dan Fachmy menempuh pendidikan hingga memperoleh gelaran Sarjana Hukum (S.H) manakala Fachry berpendidikan Sekolah Teknik (ST) dan Nurwani berpendidikan Sekolah Rakyat Islam (SRI). Hal ini tidak terlepas dari kuatnya tanggungjawab Teungku Hasjim terhadap pendidikan anak-anaknya dan peranan A. Hasjmy yang sentiasa membantu terhadap kejayaan pendidikan saudara-saudaranya. Setelah A. Hasjmy menamatkan pendidikan di Padang, ia pulang ke Aceh. Dalam kesibukannya sehari-hari, pada 21 hari bulan Rajab 1360 H, bertepatan dengan tarikh 14 Agustu 1941, A. Hasjmy melangsungkan pernikahan dengan Zuriah Aziz, seorang puteri sekampung yang masih mempunyai pertalian keluarga. Pernikahan kedua mempelai ini melahirkan tujuh orang anak yaitu Mahdi, Surya, Dharma, Gunawan, Mulya, Dahlia dan Kamal. A. Hasjmy telah berjaya memberikan pendidikan kepada anak-anaknya hingga ke peringkat pendidikan tinggi dalam bidang yang berbeda sesuai minat mereka masing-masing.5
Karya-karya A. Hasjmy mencapai 60 karya tulis, antara lain;
1) Kisah seorang pengembara, sajak, diterbitkan oleh Pustaka Islam, Medan 1936.
2) Melalui Jalan Raya Dunia, diterbitkan oleh Indiche Dukkrij, Medan 1939.
3) Di mana Letaknya Negara Islam, diterbitkan oleh Pustaka Nasional, Singapura 1970 dan Bina Ilmu, Surabaya 1984.
4) Pemimpin dan Akhlaknya, diterbitkan oleh Majlis Ulama Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh 1973
5) Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1974 dan 1994.
6) Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, 1975, 1990 dan 1993.
5 Lihat juga keterangan lebih lanjut dalam pengakuan sang isteri, Zuriah Hasjmy dalam Badruzzaman Ismail et al. (1994:11); Sirajuddin M, Konsepsi Kenegaraan dalam Pemikiran A. Hasjmy, Banda Aceh: Tesis Program Pascasarjana IAIN ar-Raniry, 1999, hlm. 22.Mahdi A. Hasjmy, lahir 15 Desember 1942, ia memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Depatement of Commerce Hitotsubasi University Tokyo. Surya A. Hasjmy, lahir 11 Februari 1945, ia memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dharma A. Hasjmy lahir 9 Juni 1947, ia memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada. Gunawan A. Hasjmy lahir 5 September 1949, ia meninggal dunia ketika masih bayi (12 September 1949). Mulya A. Hasjmy lahir 23 Mach 1951, ia memperoleh gelar Dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan. Dahlia A. Hasjmy lahir 14 Mei 1953. Pernah belajar (tidak tamat) pada Jabatan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan Universitas Syiah Kuala. Kamal A. Hasjmy lahir 21 Jun 1955, ia memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya, Jakarta. A. Hasjmy (pnyt.), 1997, hlm. 237-238; Hasan Basri, Teungku A. Hasjmy: Pengembang Tradisi Keilmuan dan Perekat Ulama Umara. Dlm. Tim Penulis IAIN Ar-Raniry, 2004, hlm. 467-468).
357
7) Risalah Akhlak Surat Ayah kepada Anaknya, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1975.
8) Surat-surat dari Penjara (surat-surat Ayah kepada Puterinya), diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1976.
9) Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1976.
10) Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1977.
11) Sayap terkulai. Buku ini merupakan kisah roman perjuangan yang selesai ditulis dalam tahun 1938, namun tidak sempat diterbitkan, karena naskahnya hilang di Balai Pustaka, ketika pendudukan Jepang.
12) 59 Tahun Aceh Merdeka di bawah Pemerintahan Ratu, diterbitkan oleh Bulan Bntang, Jakarta 1977.
13) Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta1978.
14) Dakwah Islamiyah dan Kaitannya dengan Pembangunan Manusia, diterbitkan oleh penerbit Mutiara, Jakarta 1978
15) Mengapa umat Islam mempertahankan Pendidikan Agama dalam Pendidikan Nasional? Diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1979.
16) Sastra dan Agama, diterbitkan oleh Badan Harta Agama, Daerah Istimewa Aceh 1980.
17) Perang Gerilya dan Pergerakan Politik di Aceh untuk Merebut Kemerdekaan Kembali, diterbitkan oleh Majlis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh 1980.
18) Pokok-pokok Pemikiran sekitar Dakwah Islamiyah, diterbitkan oleh Majlis Ulama Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh 1982.
19) Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, diterbitkan oleh Beuna, Jakarta 1983.
20) Apa Tugas Sastrawan sebagai Khalifah Allah, diterbitkan oleh Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
21) Dewan sajak, Centrale Courant, Medan 1938.
22) Bermandi cahaya bulan, roman pergerakan, diterbitkan oleh Indiche Drukrij, Medan 1939 (Edisi Jakarta diterbitkan oleh Bulan Bintang, 1978)
23) Melalui jalan raya dunia, roman masyarakat, diterbitkan oleh Indiche Drukrij, Medan 1939 (Edisi Jakarta diterbitkan oleh Bulan Bintang, 1978).
24) Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1997.
358
25) Suara azan dan lonceng gereja, roman antara agama, diterbitkan oleh Syarikat Tapanuli, 1940. Edisi Jakarta diterbitkan oleh Bulan Bintang, 1978 dan edisi Singapura diterbitkan oleh Pustaka Nasional, 1982.
26) Semangat Merdeka A. Hasjmy 70 tahun Menempuh Jalan Pergolakan & Perjuangan Kemerdekaan, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1985.
27) Cinta mendaki, roman filsafat/perjuangan, tidak terbit karena naskahnya hilang pada Balai Pustaka Jakarta ketika pencerobohan Jepun.
28) Dewi Fajar, diterbitkan oleh Aceh Simbun, Banda Aceh 1943. Buku ini merupakan roman politik.
29) Tanah Merah, Bulan Bintang, Jakarta 1950. Buku ini merupakan salah satu buku roman perjuangan.
30) Meurah Johan, Bulan Bintang, Jakarta 1950. Buku ini mengisahkan mengenai roman sejarah Islam di Aceh.
31) Pahlawan-pahlawan Islam yang gugur, Bulan Bintang, 1956, 1971, 1974 dan1981. Edisi Singapura diterbitkan oleh Pustaka Nasional, 1971 dan 1982.Buku ini merupakan saduran dari karya berbahasa Arab.
32) Kerajaan Saudi Arabia, Bulan Bintang, Jakarta 1957. Buku ini merupakan riwayat perjalanan A. Hasjmy ke Saudi Arabia.
33) Rindu bahagia, Pustaka Putro Canden, Banda Aceh 1963. Buku ini merupakan kumpulan sajak dan cerpen (cerita pendek).
34) Jalan kembali, Pustaka Putro Canden, Banda Aceh 1963. Buku ini merupakan kumpulan sajak yang bernafaskan Islam.
35) Semangat kemerdekaan dalam sajak Indonesia baru, Pustaka Putro Canden, Banda Aceh 1963.
36) Sejarah kebudayaan dan tamadun Islam, Penerbit IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh 1969.
37) Yahudi bangsa terkutuk, Pustaka Faraby, Banda Aceh 1970.
38) Sejarah hukum Islam, Majlis Ulama Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh 1970.
39) Hikayat perang sabi menjiwai perang Aceh lawan Belanda, Pustaka Faraby.
40) Islam dan ilmu pengetahuan modern, Pustaka Nasional, Singapura 1972. Buku ini merupakan terjemahan dari Bahasa Arab.
41) Rubaci Hamzah Fansury karya sastera sufi Abad XVII, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur 1974.
42) Sejarah kebudayaan Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1975, 1978 dan 1982.
43) Iskandar Muda Meukuta Alam, Bulan Bintang, Jakarta 1977. Buku ini membahas sejarah hidup Sultan Iskandar Muda.
359
44) Sumbangan kesusastraan Aceh dalam pembinaan kesusastraan Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta 1978.
45) Langit dan para penghuninya, Bulan Bintang, Jakarta 1978. Buku ini terjemahan dari Bahasa Arab.
46) Apa Sebab al-Qur’ān tidak bertentangan dengan akal, Bulan Bintang, Jakarta, 1978. Buku ini merupakanterjemahan dari Bahasa Arab.
47) Nabi Muhammad sebagai panglima perang, Mutiara, Jakarta 1978.
48) Mengapa ibdah puasa diwajibkan, Bulan Bintang, Jakarta 1979. Buku ini merupakan terjemahan dari Bahasa Arab.
49) Cahaya kebenaran, Bulan Bintang, Jakarta 1979. Buku ini merupakan terjemahan al-Qur’ān Juz Amma.
50) Surat-surat dari tanah suci, Bulan Bintang, Jakarta 1979.
51) Sejarah masuk dan kerkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung 1981.
52) Mengenang kembali perjuangan misi Haji RI ke II, Al-Ma’arif, Bandung 1983
53) Benarkah Dakwah Islamiyah bertugas membangun manusia, Al-Ma’arif, Bandung 1983. Buku ini merupakan perubahan nama dari buku Dakwah Islamiyah dan kaitannya dengan pembangunan manusia, Mutiara, Jakarta 1978.
54) Kesusasteraan Indonesia dari zaman ke zaman, Beuna, Jakarta 1983.
55) Sejarah kesusasteraan Islam/Arab, Beuna, Jakarta 1983.
56) Hikayat Pocut Muhammad dalam analisa, Beuna, Jakarta 1983.
57) Publisistik dalam Islam, Beuna, Jakarta 1983.
58) Syiah dan ahlussunnah saling rebut pengaruh di Nusantara, Bina Ilmu, Surabaya 1984.
2. Pengalaman A. Hasjmy Meredam Konflik Darul Islam di Aceh
Sejak permulaan abad ke-16 Aceh merupakan salah satu Kerajaan Islam terbesar di dunia dengan nama Kerajaan Aceh Darussalam. Tetapi, pada 26 March 1873 Belanda secara rasmi menabuh beduk perang dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Perang antara Aceh dengan Belanda yang oleh rakyat Aceh dipandang sebagai “perang sabil” memang tidak pernah dinyatakan berhenti. Sebabnya ialah karena Sultan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda.6
6Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara yang berpusat di Banda Aceh merupakan salah satu dari lima Kerajaan Islam terbesar sejak permulaan abad ke XVI. Empat kerajaan Islam lainnya adalah Kerajaan Turki Usmaniyah di Asia Kecil yang berpusat di Istambul, Kerajaan Marokko di Afrika Utara yang berpusat di Rabat, Kerajaan Isfahan di Timur Tengah yang berpusat di Persia dan Kerajaan Islam Mughol di anak benua India yang berpusat di Acra (Wilfred Cantwell
360
Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia diistiharkan pada hari Jum’at 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Muhammad Hatta, menurut keterangan A. Hasjmy (1985:154-159) pihak ulama dan rakyat Aceh menyambut baik berita
Smith, Islam in modern history, New York: The New American Library of World Literatur, inc., 1959, hlm. 45). Kerajaan Aceh Darussalam itu sendiri merupakan hasil persekutuan beberapa Kerajaan Islam lainnya di Aceh yang sudah ada sejak pertengahan abad ke 9 M, iaitu Kerajaan Islam Perlak (225 H/840 M), Kerajaan Islam Samudera Pase (1042-1078 M), Kerajaan Islam Benua (1353-1398), Kerajaan Islam Lingga, Kerajaan Islam Darussalam dan Kerajaan Islam Indera Jaya (Hasjmy, A. 1978b. Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 56). Paul Van’t Veer, Perang Belanda di Aceh, Banda Aceh; Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, hlm. 8; Hasjmy, A. 1977a. Apa sebab rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 31-33; Ismail Yakub, Gambaran pendidikan di Aceh sesudah perang Aceh-Belanda sampai sekarang. Dlm. Ismail Suny et al., Bunga rampai tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Karya Aksara 1980, hlm. 327. A. Hsjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, Jakarta: Bulan Bintang, 1977b, hlm. 141-144;A. Hasjmy, 1978b, hlm. 10-18; A. Hasjmy, 1976a, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 43-50. Dalam salah satu dokumen mengenai penawanan Sultan Muhammad Daudsyah, Putera Mahkota Kerajaan Aceh Darussalam Tuanku Raja Ibrahim, antaranya menerangkan bahwa “dengan siasat dan taktik keji kolonialis Belanda maka tanggal 23 Desember 1902 saya bersama Ibunda dapat dikepung dan ditawan/dijadikan sandra sebagai ancaman terhadap pribadi Ayahanda Sulthan yang sedang gigih berjuang. Karena itu Ayahanda Sulthan tertekan dan terpaksa melihat Ibunda dan saya sendiri terjebak (terperangkap) dan langsung ditawan di Sigli oleh tentara Belanda pada tanggal 10 Januari 1903. Inilah perjuangan yang sangat pahit bagi perjuangan kita. Pada tanggal 20 Januari 1903 dengan tergesa-gesa Ayahanda Sultan dan saya sendiri dihadapkan di hadapan pembesar-pembesar pihak Belanda di Banda Aceh. Kami dihadapkan dalam satu sandiwara politik kolonial Belanda dengan acara empat pasal yang dibuatnya sendiri, tanpa ditandatangani oleh Ayanda Sulthan dan saya sendiri ditonjolkan (diajukan) untuk menjatuhkan martabat perjuangan Aceh, seolah-olah mereka telah berhasil. Pernyataan yang dibuat-buat oleh pihak musuh itu bertentangan (bercanggah) dengan prinsip Ayahanda Sulthan dan saya sendiri sebagai Puteranya, sedangkan (manakala) perjuangan rakyat terus bergolak tidak ada hentinya melawan Belanda.” Hal ini sudah diistiharkan pula oleh puteri Sultan sendiri, Teungku Puteri Lila Kesuma, dalam pidatonya di hadapan para pengikut “Seminar Perjuangan Aceh” yang berlangsung di Medan pada 22 sampai 26 Maret 1976. Antara isi pidatonya itu adalah “Ayahanda saya ditangkap di Ie Leubeu oleh tentara Belanda dan dibawa ke Sigli langsung ke Banda Aceh, dan sampai di Banda Aceh dihadapkan dengan Gubernur Militer dengan cara kebesaran Kerajaan Aceh untuk menandatangani pernyataan penyerahan kepada Belanda. Tetapi, oleh al-marhum Ayahanda menolak mentah-mentah” (A. Hasjmy, 1978b, hlm. 13-14). Karena itu, sangat diragukan pendapat yang mengatakan bahwa Sultan Muhammad Daud Syah menyerahkan “kedaulatan” Kerajaraan Aceh Darussalam kepada Belanda. Tidak benar pula sumber tulisan dari Belanda sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Alfian dan muridnya Munawiyah yang dalam sumber itu dinyatakan bahwa pada 8 Januari 1903 Sultan mengirim surat kepada Gabenor Militer Belanda yang salah satu isinya; “pengakuan Sultan mengenai daerah tanah Aceh serta takluk jajahannya adalah bagian daripada Hindia Nederland” (Munawiyah, Birokrasi Kolonial di Aceh 1903-1942, Yogyakarta: AK Group bekerjasama dengan Ar-Raniry Press, 2007, hlm. 35). Kalaupun surat itu ada, maka surat itu kuat dugaan merupakan hasil rekayasa dan akal licik Belanda, bukan dari Sultan. Sebab, surat itu bertentangan dengan kenyataan berikut; i. Sultan masih mengirim surat meminta bantuan Jepang; ii. Ulama masih memimpin perang gerilya; iii. Rakyat pun masih berjuang bersama ulama dan mencari celah untuk membunuh kafir Belanda; iv. Keluarga Sultan sendiri mengakui bahwa Sultan tidak pernah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda, kerana Sultan menolak menandatangani APKA; v. Karena Sultan tidak mahu menandatangani APKA, maka setiap kali terjadi penyerangan terhadap Belanda, Sultan didakwa sebagai pelaku di belakang layar dan akhirnya Sultan dibuang ke Ambon sesuai ketetapan No. 2 pada 24 Desember 1907; vi. Masih banyak Hulubalang ulama dan rakyat yang mengakui bahwa Sultan adalah raja dan pahlawan mereka sehingga perlu dibantu dan disokong, kecuali sedikit Hulubalang Aceh Besar yang pernah menandatangani Vorte Klaring (perjanjian) dengan Belanda.
361
proklamasi kemerdekaan itu, baik mereka yang mempunyai kesedaran politik ataupun tidak, ulama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh di bawah pimpinan Teungku Muhamamd Daud Beureu-eh) ataupun bukan. Bahkan proklamasi kemerdekaan itu akan dipertahankan dengan jihad. Begitu juga berita proklamasi kemerdekaan disambut gembira oleh kaum muda Aceh sambil mempersiapkan diri untuk mempertahankan kemerdekaan meskipun nyawa jadi taruhannya. Sedangkan pihak Belanda tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut sehingga dalam tahun 1947-1948 Indonesia masih diserang oleh Belanda dan pada waktu itu seluruh Indonesia memang sudah dikuasai kembali oleh Belanda, kecuali Aceh. Hanya Aceh-lah yang masih merdeka. Paul Van’t Veer (1977: 379) menjelaskan bahwa setelah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak lagi kembali ke Aceh. Ketika daerah Sumatera diduduki dan diadakan agresi militer pada tahun-tahun 1946 dan 1947, Belanda tidak lagi melakukan sesuatu usaha untuk menembus sampai ke Aceh. Keterangan Van’t Veer ini masih diragukan kebenarannya, karena menurut catatanHasbi Wahidy dalam Dlm. T. Alibasjah Talsya (1960: 76) Belanda masih mencoba masuk ke Aceh dalam tahun 1948 dengan melakukan penyerangan dari laut di sepanjang pantai Aceh seperti yang terjadi di Pidie. Hanya sahaja pihak Belanda sentiasa gagal, sehingga Aceh benar-benar merdeka antara tahun 1945 dan 1950 di bawah komando ulama sehingga Aceh mampu mengirimkan pasukan laskar untuk berperang melawan Belanda ke Medan Area (1947-1948), menyumbang emas untuk membeli dua pesawat dan membiayai keperluan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang menjadikan Banda Aceh sebagai ibukotanya. Sejak itu pula, isu “kedaulatan” Kerajaan Aceh Darussalam dengan segala kemajuannya hanya tinggal kenangan.
Pengorbanan rakyat Aceh yang begitu besar di bawah komando ulama, Tengku Muhammad Daud Beureu-eh, kemudian tidak diindahkan (dikhianati) oleh pemerintah pusat di Jakarta; Aceh justeru digabung dengan Sumatera Utara; Aceh benar-benar hilang jati dirinnya. Kondisi ini kemudian, demikian A. Hasjmy (1985:409), memicu meletusnya pemberontakan Darul Islam Aceh di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureu-euh pada tanggal 21 September 1953. Mengapa pemberontakan ini bisas terjadi? Padahal dahulu pemimpin dan rakyat Aceh telah mengorbankan segalanya untuk tegaknya Republik Indonesia di bawah Presiden Soekarno. Mengapa hal ini boleh terjadi? Jawaban singkatnya adalah karena pemimpin Indonesia melupakan segala pengorbanan rakyat Aceh,7 tidak menepati janji dan mengabaikan hak-hak
7 Pemimpin dan rakyat Aceh telah berjuang dengan nyawa dan harta benda dalam mengusir Belanda dan Jepun demi tegaknya Republik Indonesia. Ketika Agresi Belanda I dan II (1947-1948), hanya Aceh yang masih merdeka. Seluruh wilayah lain di Indonesia sudah dikuasai kembali oleh Belanda. Karena itu, pemimpin Indonesia menjadikan Aceh sebagai pusat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Bukan hanya itu, rakyat Aceh menyumbang dua pesawat terbang (Seulawah I dan Seulawah II), uang dan emas untuk kepentingan negara. Aceh benar-benar sebagai DAERAH MODAL tegaknya Republik Indonesia di bawah pimpinan presiden Soekarno. Bahkan, pemimpin Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh, dengan tegas menolak ajakan Dr. Mansur untuk mendirikan negara Sumtara Timur ala Van Mook (A. Hasjmy. Apa sebab Belanda sewaktu agresi pertama dan kedua tidak dapat memasuki Atjeh. Dlm. T. Alibasjah Talsya (pnyt.). Modal Revolusi 45, Daerah Istimewa Aceh: Seksi Penerangan/Dokumentasi Komite Muasjawarah Angkatan 45,
362
rakyat Aceh dalam segala aspeknya.8 Bahkan Presiden Soekarno membiarkan paham komunis tumbuh dan berkembang melalui penubuhan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Indonesia, termasuk Aceh. Akumulasi dari semua itu, kemudian semakin memperkukuh timbulnya pemberontakan tersebut dengan harapan Aceh memperoleh hak “otonomi” untuk mengurus dirinya sendiri dalam segala aspek kehidupannya.
Segera setelah api pemberontakan dinyalakan pihak pemerintah pusat pun memberikan reaksi keras untuk memadamkan api pemberontakan DI/TII itu. Pihak pemerintah pusat pada mulanya berupaya memadamkan api pemberontakan itu dengan pendekatan keamanan (security approach), dalam erti pemberontakan diselesaikan dengan senjata (perang) sehingga bumi Aceh menjadi lautan darah dan lautan api di mana kedua pihak saling membakar dan mengancurkan pelbagai bangunan. Bukan hanya itu, pendekatan keamanan telah menimbulkan tindakan represif dalam bentuk penangkapan dan penawanan masalterhadap orang Aceh, baik mereka yang berada di Aceh maupun di luar Aceh, terutama di Medan dan sekitarnya. A. Hasjmy (1976b:7-8; 1985: 409-435)sendiri yang pada waktu itu bertindak sebagai naib Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara juga ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara selama delapan bulan, karena dianggap terlibat dalam pemberontakan itu. Ringkasnya, pemerintah pusat berupaya menyelesaikan pemberontakan DI/TII dengan pendekatan represif, terutamanya pada awal Ali Sartroamijoyo bertindak sebagai
1960, hlm. 62; A. Hasjmy, 1985, hlm. 372-387; A. Hasjmy, Perang Gerilya dan Pergerakan Politik di Aceh untuk Merebut kemerdekaan kembali. Banda Aceh: Majlis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1980a, hlm. 22-27).
8 Sehubungan dengan pengorbanan rakyat Aceh yang begitu besar demi tegaknya Republik Indonesia, pemimpin Aceh pada waktu itu, terutama Teungku Muhammad Daud Beureueh, meminta kepada Presiden Soekarno, “setelah Indonesia benar-benar merdeka, supaya Indonesia ditegakkan sebagai negara Islam dan untuk Aceh diminta supaya diberikan hak otonomi luas berdasarkan Islam. Seokarno berjanji dan bersumpah akan menggunakan pengaruhnya untuk memenuhi permintaan pemimpin Aceh. Ketika Indonesia sudah benar-benar merdeka, pemerintah Indonesia mulai melupakan janjinya. Indonesia tidak dibangun atas dasar Islam. Aceh memang dijadikan sebagai propinsi menesuri surah keputusan WKPM Mr. Syafruddin Prawiranegara No. 8/Des./WPM/1949. Akan tetapi, delapan bulan kemudian propinsi Aceh yang masih seumur jangung dileburkan menjadi bahagian dari propinsi Sumatera Utara menerusi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 5 tahun 1950 tarikh 14 Ogos 1950. Aceh hanya dipimpin oleh seorang Residen di bawah jawatan kuasa Gabenor Sumatera Utara. Ketika Aceh dileburkan dalam propinsi Sumatera Utara, maka hak-hak rakyat Aceh untuk mengurusi dirinya secara lebih beotonomi dalam bidang politik, agama, pendidikan, ekonomi dan sosial budaya semakin terabaikan dan terpinggirkan. Tambahan lagi, pemerintah pusat mengacaubilaukan pemerintahan Aceh dengan memindahkan tokoh-tokoh Aceh ke luar Aceh dan diganti dengan orang-orang non-Aceh yang bukan muslim (komunis) dimana mereka berperilaku “kasar”, “sewenang-wenang” dan tidak mahu mengindahkan adat-istiadat Aceh yang bersendikan syara’ (Lihat Hasanuddin Yusuf Adan, Teungku Muhammad Daud Beureueh, Ulama Pemimpin dan Tokoh Pembaharuan, Bangi; UKM, 2005, hlm. 93-101; Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik Kasus Darul Islam Aceh, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990, hlm. 77-81; Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, t.tp: Madani Press, 1999, hlm. 15-16; A. Hasjmy, 1985, hlm. 396-408; Mr. S.M. Amin, Sejenak meninjau Aceh Serambi Makkah. Dlm. Ismail Sunny et al.,1980, hlm. 67-83).
363
PM Republik Indonesia. Namun, pendekatan keamanan ternyata menambah masalah, api pemberontakan semakin menyala dahsyat.
Akhirnya, setelah kurang lebih tiga tahun api pemberontakan berlangsung, demikian A. Hasjmy (1985:467) barulah pemerintah pusat “mendengar” tuntutan rakyat Aceh yang tergabung dalam kongres rakyat Aceh di Medan, untuk menempuh “jalan baru” dalam menghadapi masalah DI/TII Aceh. Maksud “jalan baru” di sini adalah pembentukan “Propinsi Aceh” sesuai Undang-undang No. 24 tanggal 29 November 1956 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut diangkatlah Syamaun Ghaharu sebagai pimpinan KDMA (Kepala Daerah Militer Aceh yang kemudian berubah nama menjadi KODAM Iskandar Muda) dan A. Hasjmy sebagai Gabenor Aceh. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dengan Undang-undang No. 24 tahun 1956 tidak boleh dianggap sebagai pemadam api pemberontakan hingga selesai. Sebab, Undang-undang tersebut bukanlah sebuah keputusan yang dibina berdasarkan kesepakatan antara pemerintah pusat dan DI/TII Aceh. Oleh karena itu, ketika A. Hasjmy dilantik sebagai Gabenor Aceh pada 27 Januari 1957 ia justeru ditugaskan supaya memadamkan api pemberontakan DI/TII di Aceh. Pertanyaan menarik di sini adalah bagaimana A. Hasjmy memadamkan api pemeberontakan DI-TII di Aceh? Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, sebelum diangkat sebagai Gabenor Aceh, demikian A. Hasjmy (1976b:72; 1985: 405-407) tepatnya ketika ia masih bertindak sebagai Kepala Jawatan Sosial Propinsi Aceh sebelum dileburkan dalam Propinsi Sumatera Utara sudah mengirim surat rahasia kepada pemerintah pusat bertarikh 29 April 1951 No. 156 supaya kondisi Aceh yang mulai memanas diperhatikan secara sunguh-sungguh dan jika tidak cepat dihadapi secara bijaksana kemungkinan suatu pemberontakan akan meletus di Aceh. Tetapi, sayangnya surat itu diabaikan oleh pemerintah pusat, malah surat itu kemudian dianggap sebagai wujud persekongkolan A. Hasjmy dalam pemberontakan itu sehingga ia dimasukkan dalam penjara. Padahal menurut pengakuan Ainal Mardhiah dalamBadruzzaman Ismail et al.(1994:238), A. Hasjmy tidak terlibat. Kedua, ketika A. Hasjmy diminta oleh pemerintah (Menteri Dalam Negeri, Mr. Sunaryo) untuk diangkat sebagai Gabenor Aceh, dengan tegas ia menjawab bersedia sambil mengajukan satu syarat yaitu “ia akan pulang ke Aceh sebagai Gabenor dengan membawa air; bukan bensin dan api”.9 Ungkapan ini meskipun pendek, namun mengandungi makna yang tepat (qawlan sadīdā) dan penuh hikmah dengan harapan dapat menggugah jiwa pemerintah pusat untuk mengambil sikap bijak dalam penyelesaian masalah DI/TII Aceh. Karena itu, ketika resmi dilantik sebagai Gabenor Aceh, A. Hasjmy, Syamaun Ghaharu dan kawan-kawannya terus berupaya meredam api pemberontakan itu secara bijaksana.
Ketiga, mensosialisasikan konsep “membawa air” (atau menurut Syamaun Ghaharu disebut dengan “konsepsi prinsipil bijaksana”) dalam
9 Dalam pertemuan partai-partai, A. Hasjmy juga sentiasa mengatakan; “biar dikirim askar sebanyak-banyaknya, biar sampai kiamat Aceh tak akan aman, kecuali kalau status Aceh dikembalikan menjadi propinsi” (Anon. Memoar, Tempo, 26 Januari 1991, hlm. 63-64).
364
menghadapi masalah DI/TII secara konsisten kepada semua pihak sama ada yang terbabit dalam konflik mahupun kepada semua masyarakat Aceh. Konsepsi ini sering diibaratkan dengan “uleue beumatee, ranteng bek patah” (ular harus dipukul sampai mati, tetapi alat pemukul jangan sampai patah). Maksudnya, demikian A. Hasjmy (1985:465, 480-481), bahwa pemberontakan DI/TII Aceh mestilah dihadapi dengan tidak mengorbankan rakyat, prajurit dan harta benda). Keempat, melakukan dialogperdana dalam “pertemuan Dham”10yang diadakan pada tarikh 30 Januari 1957 antara A. Hasjmy dengan beberapa tokoh DI/TII yaitu Ishak Amin, A. Jalil Amin, Muhammad Ali Piyeung dan Ibrahim Irian yang kebetulan semua mereka adalah kawan seperjuangan A. Hasjmy ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam “pertemuan Dham” ini, A. Hasjmy begitu petah berdialog, berdiskusi atau bermujadalah dengan pihak DI/TIIuntuk mendapatkan titik temu dalam penyelesaian masalah yang sedang berlaku. Ia mengajukan pertanyaan kepada lawan bicaranya sebagai berikut:
“masih adakah kemungkinan penyelesaian masalah Aceh dan Darul Islam bukan dengan senjata”? “Mengapa pertanyaan demikian harus diajukan terlebih dahulu”? Mereka (pihak Darul Islam Aceh) bertanya balik. A. Hasjmy menjawab; “Sebab, kalau tidak ada jalan lain kecuali senjata, besok atau lusa saya akan kembali ke Jakarta dan akan mengembalikan jabatan Gabenor Aceh kepada Presiden, karena saya hanya membawa air ke Aceh; bukan bensin dan api. Terserah Presiden untuk mengangkat seorang Gabenor yang lain”.Ketiga mereka (Ishak Amin, A. Jalil Amin, Muhammad Ali Piyeung) diam dan berpikir, kemudian berbisik-bisik, akhirnya mengatakan; “masih banyak jalan lain yang kita tempuh”. A. Hasjmy kemudian mengatakan lagi; “Kalau begitu, saya akan tetap tinggal di Aceh bersama saudara-saudara, karena Aceh yang telah menjadi puing perlu kita bangun kembali”A. Hasjmy (1985:478).
Kelima, mensosialisasikan hasil “pertemuan Dham” kepada ulama Aceh
yang tidak terlibat dalam pemberontakan DI/TII, pemimpin organisasi seperti MASYUMI (Majlis Syura Muslimin Indonesia), PSII, NU (Nahdatul Ulama), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), PNI, IPKI (Ikatan Pemuda Komunis Indonesia), PKI, Muhammadiyah, FPA (Front Pemuda Aceh) dan lainnya. Kepada mereka dijelaskan sekaligus diminta pendapat mengenai “membawa air”, “konsepsi prinsipil bijaksana” dan “masih banyak jalan lain” yang diucapkan tiga tokoh DI/TII Aceh dalam “pertemuan Dham”. Para ulama dan pemimpin organisasi bersetuju dengan penjelasan A. Hasjmy, kecuali pihak PKI dan organisasi yang dipengaruhinya (PNI) yang menghendaki supaya DI-TII ditumpas sampai habis dengan kekuatan senjata.11 Keenam, mematahkan keinginan PKI dan organisasi yang dipengaruhinya (PNI) yang menghendaki
10Pertemuan Dham yang dimaksudkan disini adalah suatu pertemuan antara A. Hasjmy dan beberapa tokoh DI/TII Aceh di Kampung Dham, Aceh Besar.
11 Orang-orang PNI dengan garang mengucapkan bahwa “kalau rakyat Aceh tidak menyerah akan dibikin (dibunuh) habis” (Anon, Memoar, Tempo, 26 Januari 1991, hlm. 64; A. Hasjmy, 1985, hlm. 482 dan 530).
365
supaya DI-TII ditumpas sampai habis dengan kekuatan senjata. Peristiwa ini direkam oleh A. Hasjmy sebagai berikut:
Waktu itu, saya bertanya kepada tokoh-tokoh PKI, apakah mereka berani dan sanggup mengerahkan para anggotanya untuk memerangi Darul Islam, kalau sekiranya Penguasa Perang Pusat (A. H. Nasution) menyetujui usul mereka? Apakah mereka sanggup memanggul senjata dan berjalan di depan memasuki desa-desa dan hutan-hutan?” Mendengar pertanyaan saya (A. Hasjmy) dengan nada yang pasti, mereka termenung kecut dan akhirnya dengan suara lemas menjawab bahwa “yang kami maksud bukan demikian saudara Gabenor…, tetapi hanya setakat saran. Kalau diterima syukur dan tentu pemerintah mempunyai laskar yang cukup, mengapa kami harus berperang,” A. Hasjmy (1985: 482-483).
Ketujuh, pada 7 Februari 1957 diadakanlah musyawarah yang dihadiri oleh 23 orang ulama Aceh. Dalam mesyuarat ini dicapai suatu keputusan yang diberi nama “konsepsi pemulihan keamanan di Aceh”.
Kedelapan,menyampaikan laporan kepada pemerintah pusat menjelang akhir Februari 1957 tentang apa yang dicapai dalam “pertemuan Dham”, sokongan dari pihak pemimpin organisasi dan ulama terhadap “konsepsi prinsipil bijaksana” sambil berulang kali dilakukan lobi untuk mengatahui sejauhmana ia boleh melangkah dalam perundingan dengan pihak DI/TII Aceh.
Kesembilan, pada pertengahan bulan Maret 1957, demikian A. Hasjmy (1985:530-531) mengunjungi tokoh-tokoh DI/TII Aceh di Singapura. Kepada mereka dijelaskan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh dalam penyelesaian masalah DI/TII Aceh. Ia juga mengirim sepucuk surat kepada perwakilan DI/TII di New York (Amerika), Hasan Muhammad Tiro, yang isinya disebutkan bahwa “ia (A. Hasjmy) akan berusaha mendapatkan jalan selamat secara layak dan patut bagi rakyat Aceh, bertekad meningkatkan martabat masyarakat Aceh dan akan mengusahakan kemungkinan lain yang dapat membuka jalan bagi terjaminnya cita-cita rakyat Aceh pada hari-hari yang akan datang”. Kesepuluh, melakukan dialog (musyawarah) pada awal Ramadhan 1377 H (7 April 1957) di “Kampung Lamteh”, tepatnya di rumah Pawang Leman (seorang tokoh DI/TII Aceh), kira-kira 7 kilometer di luar Kutaraja (Banda Aceh sekarang) dengan pihak DI/TII.12 Hasil musyawarah ini dicapailah “ikrar Lamteh” yang mengandungi tiga pakatan seperti berikut;
1. Kami sebagai putera-putera Aceh bertanggungjawab terhadap
hari depan Aceh yang kami cintai dan merasa berkewajiban untuk membangun Aceh kembali dalam segala bidang.
2. Pembangunan yang sangat dirindukan oleh rakyat Aceh, yang harus kami laksanakan, yaitu pembangunan dalam bidang Agama Islam dalam arti yang luas, pembangunan dalam bidang
12 A. Hasjmy, Pidato pembukaan rapat-chusus/ramah-tamah oleh Gubernur/kepala daerah propinsi Atjeh. Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dbp. Wk. P.M. I Mr. Hardi, Kutaradja: T.pt., 25 dan 26 Mei 1959, hlm. 5-6.
366
pisik juga dalam arti yang luas dan pembangunan dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan adat, yang kesemuanya harus tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam.
3. Untuk dapat melaksanakan cita-cita pembangunan Aceh kembali, kami bersepakat untuk secepatnya menghentikan pertempuran antara sesama putera Indonesia di Aceh, (A. Hasjmy, 1985:484).
Kesebelas, penandatanganan hasil kesepakatan “ikrar lamteh”. Pihak
Republik Indonesia menurut catatan Abdul Murat Mat Jan (1976: 17-44)dan Van Dijk, C (1995:314)diwakili oleh A. Hasjmy, Syamaun Ghaharu, Teuku Hamzah dan M. Insya; dan pihak DI/TII Aceh diwakili oleh Hasan Ali (Perdana Menteri DI/TII Aceh), Hasan Saleh (Menteri Pertahanan/Panglima Besar DI/TII Aceh), Ishak Amin (Bupati Aceh Besar DI/TII Aceh).
Jika diperhatikan kesebelas langkah tersebut hampir semuanya bermuara pada dialog (musyawarah) baik langsung (lisan) maupun tidak langsung (surat); baik dengan pihak terlibat konflik maupun tidak. Semua langkah ini pada hakikatnya merupakan upaya meredam disintegrasi bangsa dan ini bagian yang tidak terpisahkan dari semangat nasionalisme yang tinggi. Sungguhpun demikian, tercapainya “ikrar Lamteh” tersebut bukan berarti persoalan pemberontakan DI-TII langsung selesai. Meskipun perang terbuka sudah dihentikan, tetapi masih perlu dilakukan kerja keras sehingga semua isi perjanjian itu bisa diwujudkan oleh pemerintah. Pihak DI-TII pun masih menunggu kejujuran pemerintah pusat terhadap implementasi “ikrar Lamteh” dalam tindakan nyata. Bagaimana implementasi “ikrar Lamteh” diimplementasikan? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan ditemukan dalam uraian lebih lanjut mengenai “revitalisasi nasionalisme melalui pendidikan Islam atau dalam “ikrar Lamteh” disebut “dengan pendidikan… yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam”.
3. Revitalisasi Nasionalisme Indonesia Melalui Pendidikan Islam
Perang melawan penjajah yang begitu panjang dan pengorbanan rakyat Aceh yang dikhianati sehingga berujung pada pemberontakan , tentu membuat rasa nasionalisme rakyat Aceh yang dulunya begitu besar menjadi tercabik-cabik dan layu; kepercayaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat begitu tipis. Kondisi seperti ini tentu membuat A. Hasjmy harus sesegera mungkin membangun kembali sedikit demi sedikit kepercayaan (nasionalisme) ulama dan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat dengan mengimplementasikan isi perjanjian “Ikrar Lamteh” semampunya dan sesegera mungkin. Salah satu isi perjanjian “ikrar lamteh” yang segera dilakukan A. Hasjmy adalah pembangunan pendidikan Islam atau pendidikan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dari perana dan kiprah A. Hasjmy dalam pembangunan pendidikan di Aceh.
Peran A. Hasjmy, demikian A. Ghazaly (1978:82-83) dalam pembaharuan pendidikan di Aceh sangat signifikan sehingga Bupati Aceh Selatan (Cut
367
Mamat) menetapkan A. Hasjmy sebagai “Pahlawan Pendidikan Aceh”. Pembangunan Kota Pelajar dan Mahasiswa Darussalam yang disingkat “Kopelma Darussalam” tidak terlepas dari kontribusinya. Pembentukan badan-badan pelaksana pembangunan seperti YDKA (Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh) dan KPKD (Komisi Pencipta Kopelma Darussalam) merupakan gerakan awal untuk melangkah lebih jauh dalam pembaharuan pendidikan.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa pada awal pembangunan “Kopelma Darussalam” kondisi Aceh masih dalam kondisi perang.13A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh memimpin langsung KPKD yang berorientasi membangun pendidikan Aceh secara menyeluruh. Tugas utama KPKD antaranya adalah; a. merencanakan idea (membuat plan) bagaimana seharusnya bentuk, isi (kandungan), jiwa dan semangat pembangunan “Kopelma Darussalam”, melengkapi kreasi yang megah dan agung tentang pembangunan modern, bernilai seni dan historis; b. Memberi penerangan kepada rakyat guna kelancaran pelaksanaan pembangunan Darussalam; c. Menggali dukumen-dokumen sejarah Aceh.
A. Hasjmy sering mengadakan musyawarah bukan hanya untuk menciptakan idea, sistem, jenis sekolah, tahapan pembangunan, program pengembangan, pemberian nama kampus dan institusi perguruan tinggi selari dengan sejarah Aceh, tetapi juga mengatur strategi untuk mengajak rakyat Aceh dan di luar Aceh supaya memberikan sokongan penuh dalam pembangunan “Kopelma Darussalam”, “Perkampungan Pelajar” dan “Taman Pelajar”.
A. Hasjmy sadar, sokongan rakyat dan semua pihak merupakan modal utama dalam perwujudan pembangunan ini. A. Hasjmy seabagai gubernur Aceh, demikian Komisi Redaksi (1969:92-93 dan 101-104) juga menugaskan seluruh jajarannya untuk memberikan penerangan kepada segenap lapisan masyarakat melalui musyawarah umum, ceramah-ceramah, RRI (Radio Republik Indonesia) Banda Aceh, sekolah-sekolah, di tempat-tempat upacara dan di pelbagai kesempatan. Bahkan dalam perjalanan selanjutnya lagu “Mars Darussalam” dan lagu “Hari Pendidikan” ciptaan T. Djohan, Chalid Ibrahim, P. Harahap, Anzib dan T. Rajeuk, diminta supaya dinyanyikan di sekolah-sekolah, tempat upacara atau di pelbagai kesempatan di pelosok Aceh. Semua ini diperlukan untuk mengajak masyarakat sekaligus membangkitkan jiwa, semangat dan ghairah kerja mereka dalam pembangunan pendidikan Aceh secara menyeluruh.
Setelah mengadakan persiapan-persiapan seperlunya, termasuk penetapan lokasi pembangunan “Kopelma Darussalam”,pembuatan plan lokasi memperoleh persetujuan Biro Planologi Jakarta sambil membangkitkan semangat rakyat, demikian Marzuki Nyak Man dalam Komisi Redaksi (1969: 54), maka pada 17 Agustus 1958 dilakukanlah
Untuk memperkuat masalah dana, demikian A. Hasjmy (1985 :541), Syamaun Ghaharu sebagai Peperda, juga mengambil langkah jitu, iaitu melakukan “perdagangan barter” antara Aceh dengan Singapura dan Pulau Pinang. Keuntungannya diperutukkan bagi pembangunan “Kopelma Darussalam”.
368
peletakan batu pertama pembangunan tugu “Kopelma Darussalam”oleh Menteri Agama Mohd Ilyas atas nama Pemerintah Pusat yang sengaja diundang oleh A. Hasjmy sebagai Gubenrnur Aceh. Tiga hari kemudian (pada 22 Agustus 1958) dibentuk juga Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Ekonomi (P3FE) selari dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. I/S/Atjeh/1958 sebagai fakultas pertama di “Kopelma Darussalam”. Pada tarikh 24 Agustus 1958 dilakukan juga peletakan batu pertama pembangunan gedung pertama oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prijono.
Selain itu, di luar Aceh seperti di Medan, Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, demikian A. Muin Umar dalam Badruzzaman Ismail et al. (1994 : 322), juga dibentuk BAPA (Biro Asistensi Propinsi Aceh) oleh A. Hasjmy. BAPA ini dipimpin langsung oleh pemuda-pemuda Aceh yang sedang belajar di kota-kota tersebut. Tugas utama BAPA adalah mencari dan mengajak tenaga pengajar (pensyarah atau guru) supaya bersedia mengajar di Aceh sekaligus mengurus pengangkatannya sebagai pegawai kerajaan di Departemen Pendidikan atau di Departemen Agama. Pemerintah Daerah Aceh (Gubernur) akan memberikan biaya perjalanan ke Aceh (kalau pihak Departemen Pendidikan atau Departemen Agama tidak mempunyai biaya untuk itu). Dengan cara ini tenaga pengajar dapat diperoleh secara bertahap. Akhirnya, pada 2 September 1959 diadakanlah acara perasmian “Kopelma Darussalam” yang ditandai dengan pembukaan selubung tugu“Kopelma Darussalam” sekaligus peresmian Fakultas Ekonomi sebagai fakultas pertama di “Kopelma Darussalam” yang kemudian menjadi fakultas pertama dalam lingkungan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).14 Peresmian ini dilakukan oleh Presiden Soekarno yang dihadiri oleh para pemimpin, tokoh, ulama dan masyarakat Aceh serta para menteri dan duta besar negara-negara sahabat. Peran A. Hasjmy selanjutnya dalam pembangunan pendidikan juga dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Peran A. Hasjmy dalam Pembangunan Universitas Syiah Kuala
Peranan A. Hasjmy, tanpa menafikan tokoh-tokoh Aceh lainnya dan masyarakat Aceh pada umumnya, dalam pembangunan “Kopelma Darussalam” boleh dipandang cukup besar baik dalam arti pembangunan fisik mahupun non fisik. Pembangunan “Kopelma Darussalam” terus dikembangkan oleh A. Hasjmy, Syamaun Ghaharu serta masyarakat Aceh. Dalam upaya mewujudkan Universitas Syiah Kuala, maka pada 9 Januari 1960 dibentuklah Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Kedokteran Hewan dan Ilmu Peternakan di mana Syamaun Ghaharu sebagai Ketua dan A. Hasjmy sebagai wakil. Panitia ini terus menjalin komunikasi dengan pemerintah pusat, khususnya Menteri PK (Pendidikan dan Kebudayaan) di Jakarta. Menteri pun mengirim “Komisi
14Pimpinan (Dekan) Fakultas Ekonomi sejak perasmiannya pada 2 September 1959 hingga akhir tahun 1962 dijabat oleh Teuku Iskandar. Fakultas Ekonomi ini pada awalnya secara administratif merupakan cabang USU Medan selari dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 3328/S tarikh 12 Januari 1959 (Komisi Redaksi, 1969, hlm. 161).
369
Teknis” ke Banda Aceh untuk meninjau pelbagai persiapan pendirian Fakultas Kedokteran Hewan dan Ilmu Peternakan. Hasilnya, pada 17 September 1960 selari dengan Surat Keputusan Menteri PK No. 79966/UU berdirilah fakultas tersebut dan dirasmikan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi, Sugiono Djuned Pusponegoro, atas nama Menteri PK pada 17 Oktober 1960.15
Pada waktu yang hampir bersamaan, atas usulan A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh dan Syamaun Ghaharu (panglima militer), dikeluarkan juga SK Menteri PK bertarikh 17 November 1960 No. 96450/UU mengenai Panitia Persiapan Unsyiah dan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan).Panitia ini pun, pada 17 Desember 1960 mengadakan musyawarah pertama yang dipimpin A. Hasjmy sebagai Ketua Umum yang dihadiri oleh Kolonel M.Yasin (Wakil Ketua Umum), Syamaun Ghaharu (Penasihat Panitia), Marzuki Nyak Man (Setiausaha Panitia) dan seluruh anggotanya. Dalam musyawarah ini, demikian Marzuki Nyak Man dalam Badruzzaman Ismail et al. (1994:78-79), A. Hasjmy memberi nasihat “supaya seluruh anggota panitia bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan tulus ikhlas sehingga cita-cita rakyat Aceh untuk mewujudkan universiti di Aceh benar-benar dalam waktu dekat menjadi kenyataan”.
Pada 13 Pebruari 1961 panitia mengadakan lagi musyawarah di pejabat DPRD-GR Daerah Istimewa Aceh. Dalam musyawarah ini M. Yasin menjelaskan bahwa kondisi Aceh pada waktu itu lebih banyak memerlukan perhatian pada pembangunan fizikal, misalnya perbaikan jalan-jalan, pelabuhan dan sebagainya yang dihajati oleh masyarakat dalam waktu dekat. Oleh karena itu, menurut M. Yasin, mendirikan universiti bukanlah suatu perkara yang mendesak apalagi pembangunan suatu universiti diperlukan biaya yang cukup besar, persiapan yang matang, tenaga pengajar yang cukup di mana semua itu belum ada. Penjelasan M. Yasin ini, demikian Marzuki Nyak Man dalam Komisi Redaksi (1969: 57), menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan peserta musyawarah. Ada pihak yang bersetuju pembukaan universiti ditunda saja, ada juga pihak yang berpendapat universiti perlu segera diwujudkan. Akhirnya, musyawarah ditutup dengan penuh kelesuan di mana satu-satunya keputusan yang dicapai ialah dua hari lagi akan diadakan lagi musyawarah di rumah M. Yasin.
Dalam suasana harap-harap cemas, selepas musyawarah tiba-tiba seorang staff Gubernur Aceh mengantarkan sepucuk surat dari Rektor Universitas Gajah Mada kepada PPU (Panitia Persiapan Unsyiah). Surat yang bertarikh 14 Januari 1961 No. 28/Sn/I/61 itu merupakan kesediaan pihak UGM untuk membantu pengembangan Unsyiah. Surat ini, atas saranan A. Hasjmy kemudian dibacakan dalam musyawarah lanjutan pada 15 Pebruari 1961 di rumah M. Yasin. Sembari mendengar kandungan
�
15 Tetapi FKHIP ini pada awal penubuhannya masih cabang dari USU (Universitas Sumatera Utara) Medan. Setahun kemudian, setelah perasmian “Universitas Syiah Kuala” (Unsyiah), pada 30 Desember 1961 FKHIP ditimbang terima ke dalam persekitaran “Unsyiah” (Komisi Redaksi, 1969, hlm. 175).
370
surat itu semua anggota musyawarah pun terdiam. M. Yasin yang dalam musyawarah sebelumnya ingin menunda pembukaan Unsyiah kemudian dengan tegas mengatakan “Kalau begitu, kita dihadapkan kepada pembukaan Universitas Syiah Kuala. Namun demikian, saya minta supaya kita bekerja keras dan nanti pada bulan Jun yang akan datang hendaknya semua persiapan benar-benar sudah rampung (selesai). Pada waktu itulah kita menentukan pembukaan Universitas Syiah Kuala”. Pandangan M. Yasin ini kemudian dijadikan sebagai keputusan dalam musyawarah itu.
Sebagai usaha mewujudkan keputusan musyawarah tersebut, A. Hasjmy mengutus beberapa orang utusan antaranya Marzuki Nyak Man, T. Iskandar, RM. Sudjono dan A.K. Abdullah untuk menjalin kerjasama dengan pihak Universitas Sumatra Utara, UI (Universitas Indonesia), UNPAD (Universitas Padjajaran) dan UGM, terutama mengenai pensyarah. Kesepakatan yang dicapai ialah, demikian Marzuki Nyak Man dalam Badruzzaman Ismail et al.(1994:59), semua pihak berjanji akan memberikan sokongan penuh bagi pembangunan Unsyiah dan akan diutus pensyarah sesuai keperluan Unsyiah. Para utusan tersebut juga ditugaskan untuk menyampaikan pelbagai persiapan pembukaan Unsyiah kepada Menteri Pendidikan. Tugas ini pun berhasil,demikian Komisi Redaksi (1969: 124 dan 193) dan Marzuki Nyaak Man dalam Badruzzaman Ismail et al.(1994:60), di mana dalam waktu yang hampir bersamaan pihak kementerian mengeluarkan dua SK yaitu SK Menteri PTIP No. 9/1961 bertarikh 27 Juni 1961 mengenai FKIP : dan SK Menteri PTIP No. 11/ 1961 bertarikh 21 Jun 1961 yang berlaku pada 1 Julai 1961 mengenai Unsyiah dan pada 27 April 1962 diresmikan oleh Presiden Soekarno dalam suatu upacara resmi yang dihadiri oleh segenaplapisan masyarakat Aceh, para menteri, duta besar dan sebagainya.
b. Peran A. Hasjmy dalam Pembangunan IAIN Ar-Raniry
Pada 2 September 1959 selepas perasmian “Kopelma Darussalam”, demikian A. Hasjmy dalam Panitia hari Jadi ke X Jami’ah ar-Raniry (1973b: 48-49), atas nama rakyat Aceh memohon kepada Presiden Soekarno agar di Aceh dapat dibangun satu “Universiti Islam Negeri” atau sekurang-kurangnya “Fakulti Agama Islam Negeri” (FAIN) penuh, bukan akademi. A. Hasjmy, demikian Soufyan Hamzah dalam Badruzzaman Ismail et al. (1994 :156), mengajukan hujah bahwa hal itu merupakan plan ulama PUSA yang masih tertunda dan jika hal itu dapat diwujudkan akan mampu meredam pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan lebih berhasil ketimbang pengiriman tentara sampai 10 devisi ke Aceh. Permohonannya yang disertai dengan hujah rasional itu kemudian disetujui oleh Presiden Soekarno sehingga pada malam itu A. Hasjmy diminta untuk mendiskusikan permohonannya itu dengan Menteri PK (Priyono) dan Menteri Agama (Wahib Wahab). Hasil diskusi ini, demikian A. Hasjmy dalam Ramly Maha et al. (1978 :14) dicapailah persetujuan prinsip bahwa di Aceh yakni di “Kopelma Darussalam” akan dibangun Fakultas Agama Islam Negeri (FAIN), meskipun antara kedua menteri tersebut belum ada
371
kesepakatan apakah FAIN Aceh itu akan ditetapkan di bawah Departemen PK atau Departeman Agama.
Persetujuan tersebut kemudian diperjuangkan lagi oleh A. Hasjmy sehingga dikeluarkanlah SK Menteri Agama (SKMA) No.48/1959 tanggal 1 November 1959, demikian Komisi Redaksi (1969:228), mengenai Panitia Persiapan Penubuhan Fakultas Agama Islam Negeri (P3FAIN). Panitia ini yang dipimpin oleh Syamaun Ghaharu (PEPERDA) dan A. Hasjmy (Gabenor Aceh) berhasil mendirikan “Fakultas Syari’ah” di Banda Aceh sebagai cabang IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Yogyakarta.16 Pada tahun 1960 dibentuk lagi Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Tarbiyah cabang Kutaraja (kini Banda Aceh) selari dengan SKMA No.30 tahun 1960. Panitia ini yang dipimpin A.Hasjmy terus melakukan pelbagai persiapan, antaranya pembangunan “Sekolah Persiapan” (SP) bagi calon-calon mahasiswa baru Fakulti Tarbiyah (FT) atau fakultas-fakultas agama yang akan dibuka di “Kopelma Darussalam”.
Masa belajar “SP” ini hanya dua tahun. Selepas itu, sesuai SKMA No. 72 tahun 1962 dibukalah “Fakulta Tarbiyah” yang dirasmikan oleh Menteri Agama (Saifuddin Zuhri) pada 15 Desember 1962.17 Pada 2 Maret 1962 dibentuk juga Panitia Persiapan Pendirian Fakultas-fakultas Agama Swasta. Kemudian panitia ini membangun “Fakultas Usuluddin Swasta” pada 13 Jun 1962. Kemuadian A. Hasjmy mengutus “delegasi” ke Jakarta untuk membicarakan kemungkinan mendirikan Institute Agama Islam Negeri. Setahun kemudian, demikian Komisi Redaksi (1969:228-235) diperoleh SK Menteri Agama No. 90/1963 tanggal 20 September 1963 mengenai perasmian IAIN ar-Raniry. Pada 5 Oktober 1963 IAIN ar-Raniry pun dirasmikan oleh Saifuddin Zuhri (Menteri Agama) di mana A. Hasjmy ditetapkan sebagai Rektor. A. Hasjmy mulai mengusulkan lagi pendirian fakultas baru di IAIN Ar-Raniry, yaitu “Fakultas Dakwah dan Publisistik”. Namun, enam bulan kemudian ia dipindahkan ke Jakarta sehingga gagasannya belum menjadi kenyataan.
Ketika A. Hasjmy pulang ke Aceh pada akhir Agustus 1966, ia mengabdi lagi di “Kopelma Darussalam”. Gagasannya mengenai pendirian Fakultas Dakwah mulai diperjuangkan lagi bersama ISMUHA (Ismail Muhammadsyah), Rektor IAIN ar-Raniry pada waktu itu. Ketika ISMUHA melobi pihak Depertemen Agama di Jakarta, A. Hasjmy berpesan kepadanya; “Pak ISMUHA jangan pulang ke Aceh, kalau tidak membawa pulang Surat Keputusan Pendirian Fakultas Dakwah”(A. Hasjmy, 1985:673-674). Pesan A. Hasjmy ini menambahkan semangat juang ISMUHA
16Menurut sumber yang lain disebutkan bahwa SKMA tersebut adalah No.48/1959 bertarikh September 1959 (A. Hasjmy, 1979,hlm. 34-35).Panduan Program S1 dan D3 IAIN ar-Raniry Tahun Akademik 2004-2005, Banda Aceh: IAIN ar-Raniry, 2004/2005, hlm. 62-92.
17 Pada awal perasmiaan Fakultas Tarbiyah IAIN ar-Raniry mempunyai empat jabatan, iaitu Jabatan Ilmu Agama, Jabatan Ilmu Pendidikan, Jabatan Bahasa Arab, dan Jabatan Bahasa Inggeris. Kini sudah ada delapan jabatan, yaitu Tadris Pendidikan Agama (TPA), Tadris Bahasa Arab, Tadris Bahasa Inggeris, Tadris Matematika, Kependidikan Islam, Tadris Fisika, Tadris Biologi dan Tadris Kimia.
372
sehingga dengan usahanya diperolehi SK Menteri Agama tarikh 19 Juli 1968, No. 153/1968 mengenai pendirian “Fakultas Dakwah” di lingkungan IAIN ar-Raniry sebagai “Fakultas Dakwah” pertama di Indonesia, di mana A. Hasjmy ditetapkan sebagai dekannya.
c. Peran A. Hasjmy dalam Pembangunan Dayah Manyang Teungku Chik Pante Kulu (DMTCPK)
Pembangunan DMTCPK yang bertujuan untuk menghasilkan ulama-ulama Islam yang sesuai dengan sebutan warāsat al-anbiyā’ (pewaris para Nabi), memiliki ilmu pengetahuan Islam dan menjadi teladan bagi seluruh ummat manusia, sudah mulai dirancang pada masa A. Hasjmy bertindak sebagai Gubernur Aceh, di mana pada 17 Maret 1962 dibuat SK No. 38/1962 mengenai susunan Panitia Persiapan Pendirian DMTCPK yang terdiri dari para tokoh, cendekiawan dan ulama-ulama Aceh. Sebagai Ketua Panitia ditunjuk Kepala Staf Kodam I/Iskandar Muda, Nyak Adam Kamil. Setelah enam tahun lebih, panitia ini bekerja keras untuk melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan, maka pada 31 Agustus 1968 (7 Jumadil Akhir 1388 H) DMTCPK dirasmikan oleh Presiden Soeharto. Dua bulan kemudian, tepatnya pada 7 Oktober 1968 (15 Rajab 1388 H) Menteri Agama RI, M. Dahlan mengeluarkan “pernyataan restu” terhadap penubuhan DMTCPK sekaligus menetapkan Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba sebagai “Teungku Chik” (guru besar) untuk memimpin DMTCPK. Dengan peresmian ini, maka akhir tahun 1968 DMTCPK mulai melangsungkan kegiatan belajar mengajar mengikut “sistem pendidikan dayah” dengan beberapa ketentuan, yaitu; i. Murid yang diterima adalah murid yang sudah tamat belajar kitab “Fath al-Mucin” atau yang sederajat dengannya di pelbagai dayah lainnya; ii. Masa belajar lima tahun dengan lima belas macam ilmu; iii. Akan diberikan gelar “ulama” setelah lulus ujian akhir.18
Sungguhpun begitu, DMTCPK yang dirasmikan oleh Presiden Soeharto dan sudah mendapatkan “pernyataan restu” dari Menteri Agama, namun DMTCPK ditetapkan dalam status swasta, bukan di bawah pentadbiran negara sepertimana Unsyiah ataupun IAIN Ar-Raniry sehingga pengembangan pun berlaku sangat lambat dan bukan seperti yang diharapkan. Tanggapan masyarakat untuk belajar di DMTCPK pun kurang menggembirakan, karena hampir di seluruh pelosok Aceh sudah ada pelbagai institusi dayah di mana kurikulum atau ilmu yang dipelajari melebihi kitab Fath al-Mucīn. Tambahan lagi, pada umumnya murid dayah kurang menarik minat pada gelar “ulama” yang diberikan secara formal. Sebab gelar “ulama” itu lebih bersifat informal di mana seseorang yang alim dalam bidang ilmu agama dengan sendirinya akan diiktiraf sebagai “ulama” oleh masyarakat Aceh. Karena itu, menurut Darmuni Daud (1980:86) hasil wawancara dengan M. Yunus Yacoby pada 19 September 1979, bahwa sejak tahun 1972 kurikulum DMTCPK sudah disamakan dengan kurikulum Fakultas
18 Mungkin kelima belas macam ilmu tersebut adalah ilmu tauhid, fiqh, usūl fiqh, tasawuf, tafsīr, hadiīs, nah{wu, s{arf, bayān, badīc,mac>ni, carūd, mant}iq, sejarah Islam dan ilmu falak (astronomi). Komisi Redaksi, 1969, hlm. 296.
373
Usuluddin dan pada tahun 1974 kurikulumnya dirubah lagi mengikut kurikulum Fakultas Syariah IAIN ar-Raniry.
d. Peran A. Hasjmy dalam Pembangunan Akademi Pemerintahan Daerah Negeri
Pada awal pengangkatan A. Hasjmy sebagai Gabenor Aceh, antara tantangan yang dihadapi adalah orang-orang Aceh yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang pemerintahan “moderen” sebagaimana yang dikendaki dalam sistem pemerintahan Indonesia sangat sedikit. Hal ini berpunca pada orang-orang Aceh sendiri yang kurang menguasai ilmu pemerintahan “moderen” sepertimana yang dikembangkan oleh pemerintahan Belanda, kecuali hanya beberapa orang sahaja di kalangan Hulubalangyang menguasai ilmu pemerintahan. Oleh itu, A. Hasjmy berupaya membina putera-puteri Aceh sehingga mereka mempunyai keahlian dalam bidang pemerintahan. Pembinaan ini dilakukan antaranya dengan mendirikan pendidikan “Kursus Dinas-C” (KD-C)19 di ‘Kopelma Darussalam” mengikut SK Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 10 Oktober 1962, No. Pend. 2/18/29-152. Pada awal Oktober 1979, demikian Darmuni Daud (1980:88),lokasi kampus APDN dipindahkan ke Lampineung, Banda Aceh dan pada tahun 1995 APDN Banda Aceh sudah ditutup.
e. Pembangunan “Perkampungan Pelajar” dan “Taman Pelajar”.
Sesuai hasil musyawarah pada 1 Pebruari 1958 mengenai polise (policy) pembangunan pendidikan Aceh secara menyeluruh, demikian Komisi Redaksi (1969: 89), A. Hasjmy bukan hanya aktif dalam pembangunan “Kopelma Darussalam”, tetapi juga mengajak seluruh lapisan masyarakat Aceh untuk menyokong pembangunan “Perkampungan Pelajar” (PKP) di setiap Kabupaten dan “Taman Pelajar” (TP) di setiap Kecamatan di Aceh. Di setiap “PKP” akan dibangun Sekolah Dasar (SD), MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri), SMP (Sekolah Menengah Pertama), MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri), SMA (Sekolah Menengah Atas), MAN (Madrasah Aliyah Negeri), SPG (Sekolah Pendidikan Guru), PGA (Pendidikan Guru Agama) dan sekolah-sekolah atau madrasah lainnya yang setaraf. Bahkan, demikian A. Hasjmy (1985:540), di “PKP” yang sudah berkembang baik akan diberi peluang untuk ditubuhkan akademi-akademi. Adapun di “TP” akan dibangun SD, MIN, SMP dan MTsN. Bagi “TP” yang sudah berkembang baik dibuka kemungkinan bagi penubuhan SMA, MAN, SPG, PGA atau sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah lainnya yang setingkat.
Dengan pelbagai kebijakannya itu A. Hasjmy berhasil memompa semangat guru, murid, pemerintah dan terutamanya masyarakat Aceh untuk membangun dan memajukan pendidikan Aceh sehingga dengan sokongan mereka proyek besar pembangunan “PKP” dan “TP” menjadi kenyataan. Di
�19Pendidikan “KD-C” ini dibgi dalam tiga semester, sesuai Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah, tarikh 23 Oktober 1961, No. Pend. 2/12/15–94 (Komisi Redaksi, 1969, hlm. 98-114 dan 277-278). Lihat juga keterangan dari A.Hasjmy dalam T. Alibasjah Talsya (1963: 35-37 dan 45); A. Hasjmy (1985: 540-541).
374
antara “PKP” yang dikembangkan pada era A. Hasjmy masih bertindak sebagai Gubernur Aceh adalah PKP Babussalam di Aceh Tenggara, PKP Lindung Bulan di Kuala Simpang (kini masuk wilayah Aceh Tamiang), PKP Badrussalam di Bireun, PKP Muda Sedia di Langsa, PKP Tijue di Sigli, PKP Padang Meranti di Aceh Selatan, PKP Meulaboh di Aceh Barat, PKP Ujung Teumatas di Aceh Tengah, PKP Lhok Nga di Aceh Besar, PKP Aceh Utara di Lhokseumawe. Selain beberapa “PKP”, juga mulai dikembangkan pelbagai “TP” di banyak Kecamatan di Aceh.
Kontribusi A. Hasjmy dalam pembangunan pendidikan Islam di Aceh memang tidak dapat dinafikan. Lalu, bagiamana hubungannya dengan revitalisasi semangat nasionalisme? Hubungannya sangat erat dan strategis. Sebab, pembangunan sector pendidikan ternyata berimplikasi besar bagi rakyat Aceh, antara lain: 1) Sejak “ikrar Lamteh” ditandatangani kontak senjata memaang sudah dihentikan, tetapi pihak DI-TI masih melihat keseriusan pemerintah dalam implementasi isi “ikrar Lamteh”; 2) Pembangunan pendidikan menjadi salah satu bukti nyata implementasi “Ikrar lamteh” sehingga pada tanggal 9 Mei 1962, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh, pimpinan Darul Islam Aceh secara resmi kembali ke pangkuan NKRI; 3) Rakyat Aceh berbondong-bondong dan bahu membahu membantu pembangunan “Kopelma” Darussalam sehingga “Kopelma” Darussalam disebut sebagai sebagai jantung hati rakyat Aceh; 4) Rakyat Aceh menjadi cerdas, sumber daya semakin banyak, dan hampir semua posisi penting dalam pemerintahan Aceh diisi oleh putra-putri Aceh, alumni dari “Kopelma Darussalam”; 5) Alumni Kopelma Darusalam bukan hanya cerdas dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan agama, tetapi juga cerdas dalam pengembangan kebudayaan Aceh yang Islami; 6) Ketika proklamasi kemerdekaan Aceh dilakukan oleh pimpinan GAM, Tgk. Hasan Tiro, pada tahun 1976, tampak rakyat Aceh tidak begitu antusias menyambut proklamasi itu, berbeda sekali dengan sambutan rakyat yang begitu antusias terhadap apa yang dilakukan oleh TGk. Muhammad Daud Beureu-eh sebelumnya. Ini menandakan semangat nasionalisme rakyat Aceh sudah pulih kembali; 7) Alumni Kopelma Darussalam menjadi motor dalam merumuskan qanun dan menjalankan pemberlakuan syari’at Islam dewasa ini, tanpa mengganggu pemeluk agama lain.
f. Menolak Wacana Penghapusan Pendidikan Agama dalam Sistem
Pendidikan Nasional.
Dalam rangka mempertahankan semangat nasionalisme, A. Hasmy juga merespon secara cerdas wacana penghapusan pendidikan agama di dalam sistem pendidikan nasional. Pada awal tahun 1979 berkembang isu dalam masyarakat Indonesia, bahwa ada sejumlah “pakar pendidikan” yang berkeinginan mengecilkan, bahkan kalau boleh mentiadakan “pendidikan agama” di dalam sistem pendidikan nasional mulai daripada TK,, sekolah hingga perguruan tinggi umum. Konon kabarnya, idea yang hendak mengeluarkan “pendidikan agama” dari kurikulum pendidikan nasional
375
digerakkan oleh segelintir “pakar pendidikan” dari perguruan tinggi tertentu. Mereka ini berkeinginan memberikan makna yang salah mengenai “pendidikan agama” di sekolah-sekolah umum, dengan gagasan mereka yang maksudnya kira-kira ialah “memberkan pengetahuan tentang agama-agama besar yang ada di Indonesia, sehingga pengetahuan anak didik tidak terbatas pada agamanya sendiri”.Khusus untuk perguruan tinggi, menurut keinginan mereka, pelajaran agama dicukupkan satu semester sahaja; pelajaran agama akan diberikan dengan matlamat memperkenalkan 5 agama besar yang diakui di Indonesia, namun tidak boleh disbanding-bandingkan; dan pensyarahnya hanya seorang pensyarah agama untuk kelima agama besar tersebut.
Pada 30 Mei 1979 berita Harian Kompas memuat ceramah Sumitro Djojohadikusumo, Wakil Ketua Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional. Ceramah yang diucapkan di aula IKIP Rawamangun Jakarta, bertepatan dengan acara Pekan Dies Natalis IKIP Jakarta yang ke 15, antaranya seperti berikut;
“Untuk kurikulum pendidikan umum, ia menyatakan perlunya usaha menyerasikan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat di masa depan. Maka isi kurikulum hendaknya berkisar pada usaha memecahkan masalah-masalah yang dihadapi bangsa kita. Hal ini berarti isi kurikulum harus meningkatkan keterampilan untuk menunjang pembangunan pertanian, industri dan pertambangan. Dan isi kurikulum itu harus mampu meningkatkan kemampuan nasional dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan, penelitian ilmiah dan teknologi” (A. Hasjmy (1979:14-15).
Terhadap isu tersebut A. Hasjmy sangat risau. Ia khawatir sekali, jika isu-isu tersebut benar-benar diwujudkan oleh pemerintah. Sebab, pernyataan tersebut dinilai bertentanga dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menetapkan bahwa “pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan…” Menurut A. Hasjmy, senadainya Sumitro Djojohadikusumo bermaksud supaya pernyataannya tidak bertentangan dengan GBHN, maka sepatutnya ia mengucapkan; “isi kurikulum harus meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan keterampilan untuk menunjang pembangunan pertanian, industri dan pertambangan…” (Ibid.).
Jika disimak respon A. Hasjmy terhadap pernyataan Sumitro tersebut, memberi kesan bahwa pernyataan Sumitro bersifat “sekuler”, karena ia melupakan nilai agama (ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa) dalam isi kurikulum. Sebaliknya, respon A. Hasjmy terhadap pernyatan Sumitro yang bersifat sekuler itu menunjukkan bahwa A. Hasjmy menolak upaya “sekularisme” dalam kurikulum pendidikan nasional.
Penolakan tersebut bukan hanya karena bertentangan dengan “pancasila”, UUD 45 dan GBHN, tetapi juga berkaitan dengan penolakannya terhadap “pengajaran agama” di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Bagi
376
A. Hasjmy (1979:9-10), justeru mengajak pelaksanaan “pendidikan agama” mulai daripada taman kanak-kanak, sekolah dasar hingga perguruan tinggi, bukan sekedar “pengajaran agama”. Ia secara tegas mengatakan bahwa antara “pengajaran agama” dan “pendidikan agama” terdapat perbezaan yang sangat mendasar. Menurut A. Hasjmy, “pengajaran agama” berorientasi kepada pengajaran agama sebagai ilmu pengetahuan setakat untuk diketahui bukan untuk diamalkan sepertimana yang dilakukan di negeri-negeri kapitalis yang sekuler. Termasuk dalam pengajaran agama, segala agama yang ada di dunia, sama ada “agama samawi” (Yahudi, Nasrani dan Islam) mahupun “agama manusiawi” (agama buatan manusia).
Sebagai akibat dari “pengajaran agama”, maka ramai orang non muslim yang “alim” tentang agama Islam, bahkan mereka mengambil gelar sarjana dalam bidang Islam sepertimana Prof. Dr. Snuck Hougrunye, Dr. Van der Plaas, Prof. Dr. Drewers, Lord Kromers dan sebagainya. Mereka ini mempelajari agama Islam hanya sebagai ilmu pengetahuan, bukan untuk diamalkan, setakat untuk diketahui manakala mereka tetap bukan muslim. Hal seperti ini dikenali pula dengan amalan ilmiah pihak yang mengikuti jejak dan langkah orang-orang “orientalisme”. Begitu pula sebaliknya, banyak ulama Islam yang taat kapada Allah namun ‘alim’ tentang Nasrani sepertimana Yoesoef Syou’ib, Prof. Dr. A. Mukti Ali dan sebagainya. Dalam konteks ini, demikian A. Hasjmy (Ibid.), fungsi “pengajaran agama” hanya untuk mengajarkan agama sebagai satu pelajaran yang setaraf dengan pelajaran-pelajaran ilmu sosial ataupun ilmu fizikal.
“Pengajaran agama” seperti itu sudah berlaku bukan hanya di perguruan tinggi di Eropa dan Amerika yang menganut paham “sekularisme”, tetapi juga di perguruan tinggi Islam. “Pengajaran agama” ditetapkan dalam kurikulum hanya setakat untuk diketahui, bukan diamalkan. Sebagai contoh, penetapan mata pelajaran “perbandingan agama” dalam kurikulum Fakulti Usuluddin di IAIN seluruh Indonesia merupakan bukti nyata pemberlakuan “pengajaran agama” di perguruan tinggi Islam. Sedangkan “pendidikan agama” menurut A. Hasjmy berorientasi mengajarkan ilmu-ilmu agama (Islam) agar para pelajar menjadi manusia yang benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks Indonesia, hal ini tentu selaras dengan “pancasila”, rukun pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa”; dan UUD 45 yang menyatakan bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan berpedoman pada “pancasila” dan “UUD 45”, maka bangsa Indonesia mestilah dididik dan dibina agar menjadi manusia yang benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dengan demikian mereka menjadi orang yang bertaqwa, menjalankan ajaran-ajaran agama dan melaksanakan ibadah sespertimana yang ditetapkan agama. Sebab, matlamat pendidikan nasional yang pertama-tama ialah “meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
377
kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepreribadian dan mempertebal semangat kebangsaan”. Hal ini, menurut A. Hasjmy (Ibid.) tidak akan terwujud dengan “pengajaran agama”, tetapi mestilah dengan menetapkan “pendidikan agama” dalam kurikulum sekolah sejak tadika sampai ke perguruan tinggi. Tambahan lagi, “pendidikan agama” merupakan bagian dari pendidikan nasional yang amat diperlukan oleh rakyat Indonesia yang mayoritas muslim.
Jika Indonesia memberlakukan “pengajaran agama” dalam sistem pendidikan nasional, bukan melaksanakan “pendidikan agama”, maka hal ini tidak ada bedanya dengan apa yang berlaku di Negara-negara sekuler, alias hal itu juga bahagian dari “sekularisme” terhadap pendidikan. Hal ini jelas bertentangan dengan kehendak rakyat Indonesia yang manyoritas muslim dan sekularisme pendidikan pun semakin merajalela. Bahkan, kata A. Hasjmy, seandainya “pendidikan agama” berhasil dihapuskan dalam sistem pendidikan nasional, maka mungkin sekali pada suatu masa nanti “pancasila” akan terhapus di Indonesia dan tercapailah maksud “imperalis komunis” tanpa mengeluarkan pelor. Jika imperalis komunis berhasil menguasi Indonesia, maka nasionalisme kebangsaan diyakini akan tercabik-cabik yang berujung pada runtuhnya Republik Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan Islam merupakan pilar utama dalam mempersatukan rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan bahasa menjadi satu bangsa merdeka yang kemudian dikenal dengan bangsa Indonesia. Manyoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Mereka bukan hanya menjadi modal utama dalam meraih kemedekaan bangsa ini, tetapi juga pilar yang sangat kuat dan kukuh untuk mempersatukan bangsa ini.
Islam sebagai agama memerintahkan pemeluknya untuk bersatu-padu dan dilarang bercerai berai (Q.S. Ali ‘Imra>n: 103; al-An‘a>m: 153); tolong menolong dalam kebaikan, dilarang tolong-menolong dalam kejahatan (Q.S. al-Ma>idah: 2); umat Islam itu bersaudara (Q.S. al-H{ujura>t:10) dan jika pun terjadi disharmonis di antara mereka, maka muslim yang lain diperintahkan untuk melakukan islah (perbaikan sehingga harmonis kembali); umat Islam juga dilarang mencaci maki umat beragama lain (Q.S. al-An‘a>m: 108; al-Ka>firu>n:6) dan diperintahkan memperlakukan manusia secara baik (Q.S. al-Baqarah: 83; al-Nah{l: 125; al-‘Ankabu>t: 46); perbedaan suku, ras dan puak, semuanya untuk saling kenal mengenal (Q.S. al-H{ujura>t: 13), bukan untuk saling menghina (Q.S. al-H{ujura>t: 11).Secara ringkas inilah konsepsi Islam yang berhubungkait dengan nasionalisme. Semua ajaran ini wajib dipraktik oleh setiap muslim/muslimah, baik dalam kontek hubungan sosial, maupun dalam konteks membangun negara sehingga ajaran ini secara otomatis wajib pula diajarkan dalam kurikulum pendidikan Islam baik di rumah tangga, sekolah/madrasah/pesantren maupun dalam masyarakat. Karena itu, jika ada pihak-pihak yang curiga, berkata “miring”, mendiskreditkan, mengecilkan atau lebih ekstrim lagi menganggap pendidikan Islam bertentangan dengan
378
UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, maka sudah seharusnya kekeliruan persepsi tersebut segera direvisi.
Sejarah pemberontakan di Aceh sejatinya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah negeri ini. Pemberontakan yang memakan korban begitu banyak di kedua belah pihak, diawali dari sikap pemerintah yang tidak sehat dalam memperlakukan hak-hak umat Islam yang kemudian menimbulkan berbagai respon; ada yang lembut ada yang keras. Sungguhpun demikian, berebagai respon tersebut kemudian bisa dilerai dan berdamai dengan menempatkan agama dan pendidikan Islam menjadi ujung tombaknya. Kasus DI-TII di Aceh misalnya, nasionalisme rakyat Aceh yang terkoyak dan gejala disintegrasi bangsa berhasil dirajut kembali dengan pendekatan agama, pendidikan Islam dan budaya Aceh (Islami). Langkah strategis yang diambil A. Hasjmy dalam mengimplementasikan “ikrar lamteh” dengan menjadikan pendidikan Islam (Kopelma Darussalam, taman pelajar dan kampong pelajar, dll) sebagai kunci utamanya membuahkan hasil yang luar biasa, bukan hanya mampu merubah daerah perang (da>r al-h{arb) menjadi damai (da>r al-sala>m) dan bersatu kembali dengan “ibu pertiwi”, tetapi juga pendidikan Islam menjadi “jantung hati” dan sentra pembangunan intelektual, moral dan jiwa nasionalisme rakyat Aceh hingga kini.
Jika dilihat betapa Islam mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa serta fakta historis betapa Islam dan pendidikan Islam menjadi ujung tombak baik dalam meredam pemberontakan dan merevitalisasi nasionalisme yang terkoyak, maka sekali lagi menjadi bukti bahwa pendidikan Islam merupakan pilar yang amat kuat bagi nasionalisme bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, benar dan tepat sekali ungkapan A. Hasjmy, “seandainya “pendidikan agama” berhasil dihapuskan dalam sistem pendidikan nasional, maka mungkin sekali pada suatu masa nanti “pancasila” akan terhapus di Indonesia dan tercapailah maksud “imperalis komunis” tanpa mengeluarkan pelor. Karena itu, jangan sekali-kali diciptakan intrik-intrik tidak sehat dan perlakuan melanggar hukum terhadap hak-hak umat Islam, termasuk hak mendirikan dan mengembangkan pendidikan Islam, di negeri ini. Kecurigaan dan persepsi keliru terhadap umat Islam dan pendidikan Islam justru akan mengundang respon negatif dari umat Islam terhadap para pihak yang terlibat. Jika respon negatif umat Islam terhadap Negara ini muncul, maka inilah awal petaka kehancuran bangsa ini.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa:
1. Pendidikan Islam merupakan pilar penyangga dalam pembentukan dan penguatan nasionalisme kebangsaan Indonesia sehingga tidak tepat jika pendidikan Islam dinilai dan/atau dicurigai anti nasionalisme kebangsaan yang bersumber pada empat prinsip pokok, UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
2. Sejarah mencatat bahwa pendidikan Islam bukan hanya bisa menjadi solusi utama dalam mengusir penjajah dan mempersatukan bangsa Indonesia, tetapi
379
juga sebagai pilar dalam mengatasi disintegrasi bangsa Indonesia dan membangun kembali (revitalisasi) semangat nasionalisme kebangsaan Indonesia. Hal ini sudah dibuktikan oleh A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh bersama para tokoh, ulama dan rakyat yang berhasil meredam api pemberontakan Dār al-Islām di Aceh melalui pembangunan pendidikan Islam dan penolakan cerdasnya terhadap wacana penghapusan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional.
Referensi
Abdullah. Taufik (pnyt.) 1987. Sejarah dan masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Chaidar. 1999. Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, t.tp, Madani Press.
Adan. Hasanuddin Yusuf. 2005. Teungku Muhammad Daud Beureueh, ulama pemimpin dan tokoh pembaharuan, Bangi, UKM.
Ali. Ainal Mardhiah. 1994. “Prof. Ali Hasjmy, bapak untuk semua”. Badruzzaman Ismail et al., Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, Jakarta, Bulan Bintang.
Arifin, M. 1991. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara.
Anon. 1991. Memoar, Tempo, 26 Januari 1991
Azra. Azyumardi. ”Agama dan Nasionalisme” (http://www.republika.co.id/berita/kolom, diakses tanggal 24/6/2017).
Daud. Darmuni. 1980. Prof. A. Hasjmy Sebagai Bapak Pendidikan Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry.
Dradjat, Zakiah. 2000. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Ernawati, 2000. Konsep dakwah Ali Hasjmy tentang pemberdayaan daci, Banda Aceh : Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry.
Ghazaly. A. 1978.Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, Jakarta, Socialia.
Hamzah. Soufyan 1994. “Telah bersatu dengan Masjid Raya Baiturrahman”. Badruzzaman Ismail et al., Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, Jakarta, Bulan Bintang.
Hasan Basri. 2004. “Teungku A. Hasjmy: Pengembang Tradisi Keilmuan dan Perekat Ulama-Umara”. Tim Penulis IAIN Ar-Raniry, Ensiklopedi ulama Aceh, Banda Aceh, Ar-Raniry Press.
Hasjmy. A. 1959. “Pidato Pembukaan Rapat-chusus/ramah-tamah oleh Gubernur/kepala daerah propinsi Atjeh”. Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dbp. Wk. P.M. I Mr. Hardi, Kutaradja: T.pt., 25 dan 26 Mei.
380
Hasjmy.A. 1960. “Apa sebab Belanda Sewaktu Agresi Pertama dan Kedua Tidak dapat Memasuki Atjeh”. T. Alibasjah Talsya (pnyt.). Modal revolusi 45, Daerah Istimewa Aceh, Seksi Penerangan/Dokumentasi Komite Muasjawarah Angkatan 45.
Hasjmy. A. 1963. “Dengan Trikarya-utama Menudju Masjarakat Sosialis Indonesia”. T. Alibasjah Talsya (pnyt.). Dengan Trikarya-utama menudju Masjarakat Sosialis Indonesia, Banda Atjeh,Pemerintah Daerah Istimewa Aceh.
Hasjmy. A. 1973b. “Peranan Departemen Agama dalam Pembinaan Manusia Pancasila”. Panitia Hari Jadi ke X Jami’ah ar-Raniry, 10 Tahun IAIN Jami’ah Ar-Raniry, Banda Aceh, t.p.
Hasjmy. A.1976a. Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta, Bulan Bintang.
Hasjmy. A. 1977a. Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda. Jakarta, Bulan Bintang.
Hasjmy. A.1977b. 59 Tahun Aceh Merdeka di bawah Pemerintahan Ratu, Jakarta, Bulan Bintang.
Hasjmy. A. 1978. “IAIN Jami’ah Ar-Raniry wujud sebuah cita-cita umat”. Ramly Maha et al., 15 tahun IAIN Jami’ah Ar-Raniry, Banda Aceh, Panitia Hari Jadi ke XV IAIN Jami’ah Ar-Raniry.
Hasjmy. A. 1978b.Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh. Jakarta, Bulan Bintang.
Hasjmy. A.1979. Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Bulan Bintang.
Hasjmy.A. 1980a. Perang gerilya dan Pergerakan politik di Aceh untuk Merebut Kemerdekaan Kembali. Banda Aceh, Majlis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Hasjmy. A.1985. Semangat Merdeka A. Hasjmy 70 tahun Menempuh Jalan Pergolakan &Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta, Bulan Bintang.
Hasjmy. A., 1991. Pengaruh surah Al cAlaq dalam Kehidupan Ilmiyah A. Hasjmy, Banda Aceh: Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan A. Hasjmy,
Hasjmy. A. (pnyt.).1997. Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa, Jakarta, Bulan Bintang.
Junaidi. 2005. Peranan Prof. Ali Hasjmy dalam Pengembangan Dakwah Islamiyah di Nanggroe Aceh Darussalam Indonesia, Kuala Lumpur: Universiti Malaya.
Komisi Redaksi. 1969. 10 Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, Jajasan Pembina Darussalam.
Madjid. Nurcholis. 2001. “Madrasah yang Terus Tersendat”, Kompas, Jakarta, 10 Oktober 2001.
Maliki. Zainuddin. 2000. Agama Rakyat Agama Penguasa, Yogyakarta, Galang Press.
381
Maman Kh. U. et.al. 2006. Metodologi penelitian agama teori dan praktik, Jakarta,
Rajagrafindo Persada.
Mat Jan. Abdul Murat. 1976. Gerakan Darul Islam di Aceh 1953-1959. Akademika 8.
Munawiyah. 2007. Birokrasi Kolonial di Aceh 1903-1942, Yogyakarta, AK Group bekerjasama dengan Ar-Raniry Press.
Mukti. Abd. 2000. Sejarah sosial pendidikan Islam pada masa Dinasti Saljuq (Sebuah Studi tentang Madrasah Nizamiyah 1058-1157), Yogyakarta, Distertasi Ph.D, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Nata. Abuddin. 2004. Metodologi studi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Nyak Man. Marzuki. 1969. ‘Suka duka pembangunan Kopelma Darussalam’. Komisi Redaksi. 10 Tahun Darussalam dan hari pendidikan propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, Jajasan Pembina Darussalam.
Nyak Man. Marzuki. 1994. “Pak Hasjmy, Pencetus Pembangunan Kopelma Darussalam”. Dlm. Badruzzaman Ismail et al., Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, Jakarta, Bulan Bintang.
Panduan Program S1 dan D3 IAIN ar-Raniry tahun akademik 2004-2005, Banda Aceh, IAIN ar-Raniry.
Redaksi Great publisher. 2009. Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, Yogyakarta, Galang Perss.
Rosmanidar. 2002. Strategi Dakwah Ali Hasjmy, Banda Aceh: Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry.
Sirajuddin M, 1999. Konsepsi Kenegaraan dalam Pemikiran A. Hasjmy, Banda Aceh: Tesis Program Pascasarjana IAIN ar-Raniry.
Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Syamsuddin. Nazaruddin. 1990. Pemberontakan kaum republik kasus Darul Islam Aceh, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti.
Smith. Wilfred Cantwell. 1959. Islam in modern history, New York, The New American Library of World Literatur, inc.
S.M. Amin. Mr. 1980. “Sejenak meninjau Aceh Serambi Makkah”. Ismail Suny et al., Bunga rampai tentang Aceh, Jakarta, Bhratara Karya Aksara
Umar. A. Muin. 1994.“Prof. Ali Hasjmy yang Kukenang”. Badruzzaman Ismail et al., Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, Jakarta, Bulan Bintang.
Van Dijk. C. 1995. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti.
382
Van’t Veer. Paul. 1977. Perang Belanda di Aceh, Banda Aceh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Wahidy. Hasbi. 1960.“Mengenang kembali semangat dan tekad 17 Agustus 1945”. T. Alibasjah Talsya, Modal revolusi 45, Daerah Istimewa Aceh, Seksi Penerangan/Dokumentasi Komite Muasjawarah Angkatan 45 Daerah Istimewa Aceh.
Wildan. 2011. Nasionalisme dan Sastra, Banda Aceh, Geuci.
Yakub. Ismail. 1980. “Gambaran pendidikan di Aceh sesudah Perang Aceh-Belanda sampai Sekarang”. Ismail Suny et al., Bunga Rampai tentang Aceh, Jakarta, Bhratara Karya Aksara.
Yuli Usman. 1996/1997. Nilai-nilai Dakwah dalam Suara Azan dan Lonceng Gereja Karya A. Hasjmy, Pekanbaru : Skripsi Jurusan Dakwah Fakultas Usuluddin IAIN Sulthan Syarif Qasim.
383
GODLY NATIOONALISM AND ITS IMPACT ON THE AHMADIYYA’S
SCHOOL IN INDONESIA
Titis Thoriquttyas State College for Islamic Studies (STAIN) Kediri
Abstract
This paper examines the relationship between nationalism, Indonesian state
formation, and its impact on Ahmadiyya’s school, a self-defined minority sect of
Islam. This paper proposes a different reading based on an intertwined
reconfiguration of Indonesian nationalism and religion. I suggest that Indonesia
contains a common but overlooked example of “godly nationalism”, an imagined
community bound by shared theism and mobilized through the state in cooperation
with religious organization. Limiting its scope on Ahmadiyya’s school namely,
Yayasan PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia) Yogyakarta which established
on 1942 and it labeled as Ahmadiyya’s school based on its history especially refers
to Gerakan Ahmadiyya Indonesia. This paper drawn on the dynamics of
Ahmadiyya School around the society and its effort to negotiate their position
related with godly nationalism ideas as the approach and the perspective.
Furthermore, researcher will point out its uniqueness from the curriculum
(learning materials), the educators and its learning methods in order to find the
basic characteristics which it appropriate with the concept of nationalism.
Keywords: Godly Nationalism, Ahmadiyya, Yayasan PIRI
384
Abstrak
Penelitian ini berfokus pada persinggungan antara konsep nasionalisme,
pembentukan kebangsaan Indonesia dan pengaruhnya terhadap sekolah
Ahmadiyah, sebagai representasi kalangan minoritas dalam Islam. Penelitian ini
menawarkan cara pandang yang berbeda mengenai rekonfigurasi yang terjalin
dalam diskursus mengenai Nasionalisme dan Konsep keberagamaan di Indonesia.
Peneliti berpendapat bahwa Indonesia merupakan sebuah bentuk Negara
Nasionalisme Berketuhanan, sebuah masyarakat imajiner yang terikat pada konsep
theisme “umum” dan termobilisasi melalui Negara yang didukung oleh organisasi
keagamaan. Pembatasan lingkup penelitian pada sekolah Ahmadiyah, yaitu
Yayasan PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia) Yogyakarta yang didirikan
pada tahun 1942 dan secara historis, yayasan tersebut berafilisasi pada Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (GAI). Penelitian ini memotret perkembangan dinamika
sekolah Ahmadiyah di lingkungan sekitarnya dan usaha negoisasinya dengan
mengedepankan gagasan nasionalisme berketuhanan sebagai sebuah pendekatan
dan sudut pandang. Lanjutnya lagi, Peneliti menganalisis temuannya lebih dalam
tentang kurikulum, eksistensi pendidik dan metode pembelajaran yang
digunakannya guna menemukan karakteristik mendasar yang sesuai dengan
konsep Nasionalisme dalam konteks ke-Indonesia-an khususnya bagi kalangan
minoritas.
Kata Kunci: Nasionalisme Berketuhanan, Ahmadiyah, Yayasan PIRI
A. Introduction
This paper explores the relationship between nationalism, state formation,
and its impact on Indonesia state on certain minorities group, namely Ahmadiyya. In
the literature of the nation and nationalism, the relationship between state formation
and nationalist exclusions is often under-theorised, with the implicit assumption
made that processes of nation building occur independently of the construction of
state institutions. Many works have shown the pitfalls of this neglect by
demonstrating that the articulation of nationalist ideologies, and the processes which
take place in the national community as a result of such nationalisms, are either aided
by, or are articulated in response to, the formation of state institutions. Its responses
affected on the minorities group, such as Ahmadiyya.
Data of the research was This paper explores the relationship between
nationalism, state formation, and its impact on Indonesia state on certain minorities
group, namely Ahmadiyya. In the literature of the nation and nationalism, the
relationship between state formation and nationalist exclusions is often under-
theorised, with the implicit assumption made that processes of nation building occur
independently of the construction of state institutions. Many works have shown the
pitfalls of this neglect by demonstrating that the articulation of nationalist ideologies,
and the processes which take place in the national community as a result of such
nationalisms, are either aided by, or are articulated in response to, the formation of
385
state institutions. Its responses affected on the minorities group, such as
Ahmadiyya.
Over the last few years in Indonesia Ahmadiyya, a minority religious
community that identifies with Islam has experienced increasing tension and
hostility from conservative orthodox Islamic groups. The first, in July 2005,
culminated with a fatwa by the Indonesian Ulama Council (MUI) demanding the
government to ban Ahmadiyya. The second is gathered momentum from late 2007,
reaching its peak in early June 2008 when a joint ministerial decree was released
concerning Ahmadiyya and its teachings (Zulkarnain, 2005: 35).
In February 2011, three Ahmadi followers were killed and at least five were
injured in a brutal attack in Cikeusik’s sub district, Banten provincial. The
graphical footage of this disturbing attack circulated widely on the internet and
brought the issue of Ahmadiyya, to the attention of international media. The plight
of Ahmadiyya remains an ongoing issue of concern. The Cikeusik incident has not
only prompted renewed debate about Ahmadiyya, but also led to the enactment of
measures by provincial and district governments to further restrict Ahmadiyya
activity. The future of Ahmadi in Indonesia is importance. It goes to the heart of a
current debate in that country about the limits of religious freedom for religious
minorities within the majority Muslim population of Indonesia.
Historically, Ahmadiyya has established educational institutions formally in
several cities, one is placed in Yogyakarta. In Yogyakarta, it institution namely
“Yayasan PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia) [Foundation of PIRI]” and it
organized the educational intuitions from kindergarten until Senior High School.
Yayasan PIRI was well-known as Ahmadiyya School and has experienced the
various dynamics either rejection or acceptation, by tracing its origins; Yayasan
PIRI is established by Gerakan Ahmadiyya Indonesia (further will be abbreviated
by GAI). Experiencing the rejection and the exclusion from a certain mass
community until demonstration which protests their existence was colored Yayasan
PIRI’s history. Nevertheless, Yayasan PIRI still be stand on their principle up to
now and preserve their existence from the outside’s rejection. Besides being
rejection and exclusion from the certain groups, but it patronize by the society, the
academician and the mass community which are respect and aware with their
condition as the minority group. Their capability to survive and preserve the basic
principles of GAI which is manifested or promoted through educational ways is the
unique topic to be more elaborate and investigate in order to unveil their methods,
efforts and approaches to be existed around the “deviant” issues of Ahmadiyya.
I argue that the existence of Yayasan PIRI is depth grew on Yogyakarta’s
society, while a certain community disapprove their existence based on the godly
nationalism’s concept. Conducting this research in Yogyakarta due to its condition
as heterogeneous society, even so they live side by side with others who differ. Due
to the consideration of limiting scope, I will focus on the certain educational stages
in Yayasan PIRI, concerned at SMA PIRI 1 Yogyakarta. I argue in that stages,
students had the maturity for preparing the learning process. In SMA Piri 1
386
Yogyakarta, the learning process could be done in the various methods and
approaches which supported by the awareness to others. Subjects were the students
of SMA Piri 1 Yogyakarta and the teachers which totally, contained a hundred
respondents. Students become the subjects of research due to their involvements
and responses actively in responding the negative stereotype from others.
Based on the background and purpose of the study above, I attempt to
achieve the following three objectives: first, I will briefly lay out the theoretical
core of the paper with regard to the relationship between states and exclusionary
dimensions of godly nationalism. Second, I will give an empirical portrait of Ahmadiyya
School by identifying three crucial moments in the state’s relationship with the
community. Lastly, I will examine the Ahmadiyya school response to the idea of
godly nationalism and its impact on their existence. In this paper, I seek to account
for how and why the Indonesia state forcibly evicted the Ahmadiyya sect from the
community of Islam. I suggest that the sociological and historical ideas of the
Indonesia state is key for understanding the politics of exclusion of the Ahmadiyya
community from ‘Muslim citizenship’, that is, who is and isn’t a Muslim.
In this paper, I will take the multidisciplinary approach to analyze this topic
in order to get the comprehensive’s research finding. Well understanding on the
minority’s issues, which is concerned on Ahmadiyya School which supported by
the depth understanding on educational issues, involved its curriculum, learning
process and teacher-student, are needed in this research.
To that end, it is necessary to see how the Ahmadiyya school, namely SMA
PIRI 1 Yogyakarta, maintain and build a balance of interaction (correlation)
between different religious groups, so as not to cause a manifest of conflict-
destructive. As proposed by Talcot Person, in Johnson, said that people have a
tendency to form a social system that is moving toward balance and harmony. If
there is chaos, contradiction, or even conflicts, then the social system will make
adjustments and try to return to its normal state.
B. Method
As for the source of the data in this study is of primary data, in the form of
data obtained from sources (scholars and students) in SMA PIRI 1 Yogyakarta
through observation, interviews, questionnaires and review documents. While
secondary data is reference in the literature in the form of concepts, theories, laws,
statutes, documents, and collected by the participative observations, in-depth
interviews and several times FGD (Focus Group Discussion). The respondents
included some Students and Teachers at SMA PIRI 1 Yogyakarta and the resident
surrounding its school. The research conducted in the offices, the schools, and in
the public sphere as their activities arena. The in-depth interview was supported by
the snow ball model, which involved more and more respondents that sourced from
the certain respondents in the first. Due to the limited of times and opportunities,
consequently, the researcher does not take all of the students and teachers in that
school as the respondent. The paper is based on research explorative-descriptive.
387
Where research to dig up information as perfect as possible from major data
sources are used as research subjects. So the results of this study can map and
describe how the understanding of students and teachers in SMA PIRI 1
Yogyakarta is thick with godly nationalism.
C. Discussion
1. Ahmadiyya and the Godly Nationalism
In order to understand the history and controversy surrounding Ahmadiyya
in Indonesia, it is necessary to begin with the origins, teaching and tensions of
Ahmadiyya more generally. Ahmadiyya is a religious movement that originated
from India in the mid-1880s. A man by the name of Mirza Ghulam Ahmad
initiated a revival of Islamic missionary efforts. He began disseminating his
ideas through a publication, “Proofs of Ahmadiyya”, in 1880. This led to the
formation of the Ahmadiyya movements in 1889 (Zulkarnain, 2005: 66-76) and
at the time, and as a form of “protest against Christianity and the success of
Christian proselytization” (Ali, 1925: 60-66). Ali described Ahmadiyya as a
“progressive and explicitly modernist movement” that is the most important
Muslim missionary society to Christendom.
The fundamental doctrinal difference between Ahmadis and Sunni Muslims,
on the basis of which the Ahmadiyya community has historically been deemed
heretical by orthodox Sunni Muslims, concerns the status of the founder of the
Ahmadiyya sect, Ghulam Mirza Ahmad, who lived from 1835 to 1908 in the city
of Qadian. The majority of Sunni Muslims believe that Mirza Ahmad was an
apostate who claimed for himself Khatam al Nubuwwat, or, the status of the last
divine prophet. Traditionally, Muslims believe that the Prophet Muhammad is
the last prophet to be sent on Earth by Allah, thereby holding the seal of
prophecy, a belief that holds central place among Islamic religious precepts and
any suggestion to the contrary is perceived to be blasphemous (Zulkarnain, 2005:
66-76). The opinion among the Ahmadis on the status of Mirza Ahmad differs.
While one prominent group, headed by the Jamaat Ahmadiyya (based initially in
the city of Rabwah in Pakistan and presently in London, U.K.) believes Ghulam
Mirza to be a divine prophet who had heard and responded to divine revelation,
the other, popularly termed the Lahore Jamaat because of the group’s
establishment in the city of Lahore in Pakistan, denies this charge and claims
that Ghulam Mirza was merely a sacred and holy man of God without having
prophetic status.
Ahmadiyya came to the Indonesian archipelago since the 1920’s and the
two factions in Indonesia are known as Gerakan Ahmadiyya Indonesia (GAI),
the Lahore branch and Jemaah Ahmadiyya Indonesia (JAI), The Qadiani branch.
The JAI (Jamaah Ahmadiyya Indonesia) was formally registered by the
Indonesian state in 1953. The current controversy concerns the JAI, which is
part of the London-based international Ahmadiyya Qadiyani Movement and
claims to have up to seven hundred thousand members in Indonesia (Zulkarnain,
388
2005: 89-90). These two factions are known in Indonesia as Gerakan
Ahmadiyya Indonesia (GAI), which is the Lahore branch, and Jemaat
Ahmadiyya Indonesia (JAI), which is the Qadiani branch. Although the disputes
concerning Ahmadiyya in Indonesia have primarily involved the Qadiani branch,
which is the larger group, those who oppose Ahmadiyya do not always
distinguish between the two streams.
When Ahmadiyya first came to Indonesia in the early 20s, it enjoyed a
very brief period of cooperation with the mainstream Islamic groups that were
already established in Indonesia, such as Muhammadiyah. At that time,
Ahmadiyya began work together with Muhammadiyah to promote and develop
Islamic education and to support Islamic efforts to resist Christian missionary
activities. This cooperation, however, was short-lived and resulted in
“estrangement” between Muhammadiyah and Ahmadiyya. By the late 1920’s,
relations had broken down between Muhammadiyah and Ahmadiyya, and with
the Islamic community more broadly (Benda, 1958: 52). According to Benda, in
1926, some Ulama from East Java worked to oppose the teaching of Ahmadiyya
in that area. He also records an incident in 1927, when Nadhatul Ulama and
Muhammadiyah opposed the spread of Ahmadiyya teachings by agreeing to veto
an Indonesian translation of the Quran by Tjokroaminoto (the founder of Sarekat
Islam) which was based on the Ahmadiyya version (Ali, 2007: 91-97). This
English translation was objected to because it was a commentary on the Quran
by the first leader of Ahmadiyya Lahore, is Muhammad Ali.
Since its arrival in Indonesia, some mainstream Islamic religious leaders
have denounced Ahmadiyya and its teachings as ‘deviant’. Most prominent
among its opponents is the Indonesian Ulama Council which issued a fatwa
(Islamic legal opinion) against Ahmadiyya in 1980 and again in 2005. Many
radical Islamic groups continue to express their opposition to Ahmadiyya in the
form of demonstrations and violent attacks. Provincial and district regulations
that seek to ban Ahmadiyya are not a new phenomenon in Indonesia, with at
least 40 district or provincial governments passing bans on the group’s activities
since the 1970’s (Burhani, 2007: 65-68). The future of Indonesian Ahmadis, is
of importance. It goes to the heart of current debate in that country about the
limits of religious freedom for religious minorities within the majority-Muslim
population of Indonesia.
Recently, a growing body of literature has convincingly revealed how
identities, attachments, and minorities are culturally and politically created,
changing in time and place. However, in contrast to Western European countries
where understandings of citizenship and nationhood and processes of state-
building have developed organically and culturally over the course of centuries
Menchik illustrates a godly nationalism as a community bounded by the
concept of generalized divine orthodoxy by the state, in cooperation with
religious organizations. So there are three keywords in this theory: common
orthodox theism, state, and religious organization (Menchik, 2014).
389
As an earlier Islamic organization, Muhammadiyah and Nahdhatul Ulama
(NU) have occupied their positions as an organization that represents the
existing Islamic model in Indonesia. These two Islamic organizations could not
be negated by the state because of their birth earlier from the birth of Indonesia.
Therefore, Muhammadiyah and NU are always involved by the government in
matters relating to religious-state relations. Automatically, the state has
recognized Muhammadiyah and NU as Islam with the common divine ideology
in Indonesia (Baso, 2015: 45-50). Not only Islam that understands the deity
which is considered common in Indonesia is Catholic, Protestant, Hindu,
Buddhist and Confucian. These six religions are considered the state as a
common religion which is recognized in accordance with general consensus in
Indonesia.
Godly nationalism is increasingly institutionalized with the birth of the
PNPS Law (formerly presidential decree) on religious blasphemy. Any form of
religion that violates the common religion including the way of his views on the
religious views of the majority above is considered to tarnish religion; one of the
real examples is Ahmadiyya. The law of personal identity should be based six
religions recognized by the state other than that are not considered religious.
Divine nationalism assumes that believing in God is a value of citizenship that
affects individual and social benefit. Unlike in a secular country, where the
behavior of the citizens is judged to be good if it is not against the law and
actively paying taxes, the state with divine nationalism is enough to judge a
person who believes in God better than those who are unselfish.
Godly nationalism wants to say that God's measured value can only be
through a religion recognized by the state. In addition he is considered a person
who do "blasphemy" against official religion or heterodox. So if there is
intolerance because of religious issues that are considered deviant, it is indeed a
logical consequence of a divine nationalism (Menchik, 2014). This is what
Menchik calls productive intolerance, an act of intolerance perpetrated by
civilian Muslim societies to force religious converts to follow common religious
views in Indonesia, and that is done with state umbrella. This is done in an effort
to realize the godly nationalism that has been institutionalized within the state.
Seeing from this reading, the Ahmadiyya are involves in the three divisions of
godly nationalism namely common orthodoxy (common orthodox theism), state
(state), and religious organization (religious organization). The common Islamic
understanding represented by the MUI and with the support of other Islamic
organizations different from the Ahmadiyya views (at least his views on Mirza
Ghulam Ahmad and prophet hood) made Ahmadiyya an organization that has
always been considered to deviate from the view of Islam.
Stephen Cohen observes that ‘the most important conflict in Indonesia is
not a civilisation clash between Muslims and non-Muslims, but a clash between
different concepts of Islam, particularly how the Indonesia state should
implement its Islamic identity. The birth of the concept of nationalism is
390
aspirated by a sense of nationhood, namely the collective consciousness of a
people as a result of the natural dialectic that is rooted in the fate equality and
the rights and obligations before the law and the government (Bagir, 2014: 67).
Crystallization later spawned the concept of nationalism is the conception of
national awareness is the thinking that is national in which the nation has a love
of life and a clear national objectives. The weakening of the national vision of a
nation can be influenced or caused by several factors, among others, is not and
encouraged citizens to exercise their right to participate in the formulation of
development policies, lack of law enforcement and legal handling takes place
unfair and discriminatory, awakening a sense of trust between the government
and the people in the administration and delivery of appropriate information, the
lack of provision of equal opportunity for all citizens to improve the welfare,
lack of service delivery to meet the needs of the public, and the demoralization
of the government apparatus (Salim, 2007: 34-40).
Indonesia is a country that is founded on the basic philosophy of the
nation Pancasila and the 1945 Constitution, Unity with a unitary state. Indonesia
is a country that is quite pluralistic aspects of ethnic, cultural, ethnic, regional
languages, races and beliefs (religious) traditions, and philosophies of the local
rich and unique. Plurality of Indonesia was on one side into capital and wealth
of potentially promoting Indonesia. But if not managed properly, all this
potential will bring harm or trigger source of conflict that would undermine the
integrity of the state. The concept of nationalism in the context of the
uniqueness of Indonesia in such a way is needed by all the nation's children to
develop a love for the state and the nation of Indonesia (Sahal, 2015: 93-95).
Awareness of the responsibility of citizens to the integrity and sovereignty of the
Unitary Republic of Indonesia absolute grown through developing educational
institutions in all levels of Indonesian society.
The spirit of tolerance, harmonious and cooperative attitude with other
groups was manifested by Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 that guaranteed
the freedom of religion and it refers to the followers to embrace any religion as
registered by the constitutions. Since Independent in 1945, the legal foundations
for religious freedom in Indonesia were laid out in the constitution. The right to
freedom of religion was included in article 29, as follows:
(1) The state shall be based upon the belief in the One and Only God
(2) The state guarantees all persons the freedom of religion and
worship, each according to his or her religion and belief (Tim,
2002:278-301).
In short, Indonesia has been received and introduced about the tolerance on
religious aspects, the openness idea of diversities and the moderation views on
multicultural issues juristically.
Furthermore, SMA PIRI 1 Yogyakarta is one of the public schools that
located in Baciro, Yogyakarta. This school is one of several schools which
391
established by the Islamic Foundation named Yayasan Perguruan Islam
Republik Indonesia (PIRI) under supervise of the Indonesian Ahmadiyya
Movement (Gerakan Ahmadiyya Indonesia, GAI) in 1942. In article No. 3 of
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) affirmed that PIRI
Foundation based on the Holy Quran and Sunnah of the Prophet, in the belief
that the Prophet Muhammad is the last Messengers and Prophets.
2. Ahmadiyya’s School: an Empirical Case of Godly Nationalism
In this paper, I revisit the debate on the relationship between nationalism and
state-formation through consideration of the Indonesia state’s historically and
sociologically on the existence of Ahmadiyya’s school. The empirical focus of
this paper is the constitutional amendment of Indonesian, enacted in 2007
(Laffan, 2001: 167-178), which in effect rendered the Ahmadiyya community, a
self-identified minority sect of Islam with roughly a million adherents in Indonesia,
outside the pale of Islam by institutionalising its status as a ‘non-Muslim minority’,
despite the insistence of the Ahmadiyya community that it was Muslim, and
therefore not a non-Muslim minority, escpecially represented on Ahmadiyya’s School
while the exact status of the Ahmadiyya community was not discussed, the
‘Heretical’ and ‘blasphemous’ practices of the community were neatly threaded
in with discussions about the organisation of the Ahmadiyya in the society.
Connecting path between Ahmadiyya’s school, namely SMA PIRI 1
Yogyakarta and Its impact on the godly nationalism could be seen from the
ideas of Indonesian Islam. The moderates’ perspective to see the minority issues
in order to uncover comprehensively about their existence among the majority
and taking the unique perspective to analyze it, through education perspective.
In this chapter, I trace the position Ahmadiyya school by creating a hub which is
used the educational sciences as the perspective under Godly Nationalism’s
platform. In this paper, I will analyze it through some aspects, such as the points
below:
a) Curriculum
Discussing about the curriculum in SMA PIRI 1 Yogyakarta, I will
elaborate about the definition and the essence of curriculum first. Simply,
there are two kinds of curriculum, namely “hidden” and “written”
curriculum. In addition, curriculum theory points to a "hidden" curriculum
(i.e. the unintended development of personal values and beliefs of learners,
teachers and communities; unexpected impact of a curriculum; unforeseen
aspects of a learning process). Those who develop the intended curriculum
should have all these different dimensions of the curriculum in view. While
the "written" curriculum does not exhaust the meaning of curriculum, it is
important because it represents the vision of the society (Ali, 2007: 91-97).
As said by Anis Farkhatin, an educator in SMA PIRI 1 Yogyakarta, the
kind of curriculum which used in that school is Experience learning Cycles
(Farkhatin, 2014). This curriculum supported by the andragogy method
392
which emphasized on the thinking ability critically, dialogue and reflectively
in order to help finding the sense of comfort, secure and understanding by
others, which addressed to the students generally.
In addition, Anis said that being needed to revise the learning
orientation which involved the learning material and the learning method.
She argues that learning models in the classroom should be experienced into
the real life by students. In illustrating, she encourages the students to tell
their religious experience personally in the past. The various model of
religious experience that they explain are different between one person and
others, so the position of teacher is not to judge where the right one and the
wrong are, but how to accommodate their experiences to broaden the
religious’ view for every student. Farkhatin said that, through this method,
she could understand the personal experiences from students focus on the
religious issues and be sharing it to other students. In conclusion, the
curriculum of SMA PIRI 1 Yogyakarta is emphasized on the personal
experiences from students life concerned on the religious and shared it to
other students without given the commentary or critique which is judge about
the right or the wrong side.
b) The Educators and Learners
Mulyono, a central figure in GAI on dakwah and education division
and ustadz in Pesantren Minhajurrahman, stated that the important things for
GAI’s members is not the figure of Mirza Ghulam Ahmad and his
characteristics or miracles, but how the members of GAI are able to continue
his spirit of dakwah which struggling since a decades ago in Indonesian
context until standing of the sovereignty of Allah and shaping the condition
of society which characterized with salam (the peacefulness) (Hasbiyallah,
2008: 70-77).
The orientation of teachers and students are referred to the concept of
salam as mentioned above. It would require a serious ability from teachers to
develop learning model through the electoral discourse, the media and the
ways to convey the message of peace brought by the Ahmadiyya
appropriately, regardless its status which is still debated.
Furthermore, the learners got religious teacher based on their own
religions. As said by Farkhatin, SMA PIRI 1 Yogyakarta have a teacher on
theatrical lesson from Buddhism and also a mandarin teacher from Khong Hu
Chu, while the learners from the various religious backgrounds. It was
indicated that SMA PIRI 1 have the openness and the heterogeneity for
students as well as for educators which supported by the tolerance awareness
so that reducing the friction in the name of religions or races.
Snap shooting from other side, many students of SMA PIRI 1 live in
boarding house and others live in Pondok Pesantren Minhajurrahman which
its activity integrated and adjusted by the formal activities from the school.
393
Those live in these pondok, got the religious knowledge in a normal
proportion, it is means there is not the teaching about position of Mirza
Ghulam Ahmad as The Prophet and they are believe and keep the faith about
Prophet Muhammad as the Last Messenger.
Religious teachers in SMA PIRI 1 has the various religious tradition
background, was Nahdhatul Ulama’, Muhammadiyah and Persis. It impacted
on the religious tradition which developed in PIRI has the multiple faces
characterized by its openness and heterogeneity. The religious tradition from
NU or Muhammadiyah was coloured the school tradition, such as on tahlilan,
istighotsah and khatmil al Quran.
In conclusion, teacher played the significant role to introduce the
humanism and the respectful methods due to the various backgrounds of each
teacher and it supported by the condition of student who lives in Pesantren
had teaching on the position of Prophet Muhammad as the last Messenger. It
strengthen the idea that Yayasan PIRI has the similar idea with Gerakan
Ahmadiyya Indonesia which is could be banned and prohibited by The
Government because their ideas are similar with the common idea of Islam.
3. In Between positions of Ahmadiyya’s School
Starting to explain the dynamic of Yayasan PIRI and its ways to be
accepted and rejected, I will elaborate some events which occurred in the past.
On January 1st, 2012, located in Schoolyard of PIRI when it hold the annual
Quranic recitals and at the same time, it was celebrated the students expo,
furthermore they got the intimidation from demonstrators group who called their
self as The Forum Umat Islam Indonesia (FUII). Around one-hundred people
surrounded the SMA PIRI 1 and shouted from the car in order to blasphemous
and request its event disbanded. But not long ago, the Mayor of Yogyakarta
came and asked for the show was stopped for 3 days and vacated the school
complex of PIRI, argued that the situation is not conducive (Anis, 2016).
Furthermore, in 2013, The Head of Madrasa and Religious Education
(MAPENDA), Ministry of Religious Affairs Yogyakarta accompanied with
Supervisors for Islamic Education asked all of Islamic Education’s teachers in
The foundation of PIRI to gathered at the office MORA Yogyakarta in order to
signing a agreement letter which stated that they (Teachers for Islamic
Education) taught that Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (HMGA) was mujaddid,
and he was not a prophet and Mohammed is the last prophet (Farkhatin, 2016).
Investigation team from The Research and Development Agency
(Balitbang) MORA RI eventually passed up the investigation and later, its result
presented in the Office of Religious Affairs. The activity was attended by
eighteen representatives from the various social elements that consist of:
PWNU; Muhammadiyah; Mujahidin Indonesia Assembly (MMI); Anti Maksiat
Movement (GAM); Local Police of DIY; Anshor Youth Movement; Pemuda
Muhammadiyah; FKUB; GAI; Muslim Forum and the High Court of DIY.
394
The differences respond delivered by the society. In the society scope, I
was interviewed the village administrator, namely Pak Syamsudin about the
existence of Yayasan PIRI and its relation on Ahmadiyya’s group. In the village
administration of Baciro, Yogyakarta, even though the leader or the head of the
village is not from the Ahmadiyya group, but in a community context he also
responds and respects the Ahmadiyah congregation activity or any activities in
Yayasan PIRI. As Pak Syamsudin said:
"When the Ahmadiyya congregation had good activities for their
routine events, Bhakti Sosial or others, we always invite and they
always meet our invitation. Perhaps, it is one manifestation of
nurturing and fair to leaders that always rising a sense of peace and
tranquillity between Ahmadi and non-Ahmadi" (Syamsudin, 2016).
As the elaboration above, I am able to find that the society around of
Yayasan PIRI was received and understood the equal position between them and
tried to re-formulate and to re-preserve the peaceful condition for all the
society’s part. Receiving on Ahmadiyya and its status as the debatable
community is not the easy process and need the continuous process to be
received.
The process of integration through a stage, namely the integration of
interpersonal and communication of social contacts is an absolute requirement
for integration. When there is social contact and communication between
individuals, it will continue to respond to each between groups. In view of the
structural functionalism, there are two things that underlie the integration of a
social system, which is the first of a community integrated in the growing
consensus among societal norms that are universal and fundamental, second,
because of the various members of the community as well as a member of
various social cohesions (Mahmood, 2004: 76-87). It related with the idea of
Anderson and essentially the main principles of structural functionalism by
Anderson are:
a) The community is a complex system which consists of parts which are
interconnected and interdependent, and every part of each other
significantly affect the other parts.
b) All people have a mechanism for integrating themselves, such as a
mechanism that can be taped together. One important part of this
mechanism is the commitment of public members to a series of beliefs
and values.
c) People tend to lead to unity equilibrium or homeostatic and disturbances
in one part tend to cause adjustments in other parts in order to achieve
harmony and stability.
d) Social change is an unusual occurrence in society but in the event that
the change in general will lead to consequences that benefit society as a
whole (Anderson, 1993:54).
395
Responding the rejection protest by certain mass groups and arising the
antagonism publicly, I used Taylor’s idea stated that the communal antagonism
is appears when in the certain group (namely “in-group”) expressing the
negative act to other group (namely “out-group”). Furthermore, the communal
antagonism have three related-components, are stereotype; Prejudice and
discrimination. Prejudice is the most destructive from the human attitude (Elson,
2010: 89).
Prejudice, according to Allport and Jones is the antipathy attitudes based
the strict generalization that based on the certain feeling only or the failure
experience. In addition, according to Brown, prejudice is the social act or the
cognitive belief that underestimate, express the negative images or
discriminative to a community that related with its members. Baron said about
the methods to control the prejudice, is 1) learning to love others; 2) increasing
the intensity of contact inter-communities; 3) re-categorized, is the shifting
decision to change the border line between “in-group” and “out-group” (Allport,
2005: 42).
Yayasan PIRI was evidenced could be preserving their idea as the
Ahmadiyya’s School and be surviving until now, reduced the prejudice from
others community and the social antagonism through several ways, as follows:
a) Collaborating with the various organizations in Yogyakarta, such as
Institute Dian/Interfidei, Lembaga Studi Islam dan Politik (LSIP), and
Yayasan Kesehatan Kristen untuk Umum (YAKKUM). Through this
activity, the student and the teachers got direct experiences that
manifested by the supporting and solving the problem for their
problems.
b) Disclosing to others and giving the dialogues spaces to participate in
the classroom for the outsider, such as inviting the chairman of MUI
Yogyakarta, Thoha Abdurrahman; Djohan Efendi (Director of LKiS) to
dialogue with the teachers; inviting teachers from the various religious
background, for example Pendeta Bambang and Kiai Muhaimin from
Muslim Communities and Surya from Ashram Krishna. This purpose
of activity is the opportunity to listen directed-information from the
various speakers which it useful for students to understand the
teachings of other religions. Involving the society around of the schools
is the ways to promote the openness and the warmness from SMA PIRI
1 through became the host of MTQ in Yogyakarta and Pengajian.
These activities could be create the good communication and in the
final goal is reducing the hate and misunderstanding on their existence.
c) Sharing the experiences to the students and the teachers through
silaturahmi and dialog in order to making understands and appreciating
the differences, at once reducing the prejudice sense which covers their
minds. It realizing by visiting some places, namely Pesantren Waria Al
396
Fattah; Jama’ah Ahmadiyya Indonesia’s office and Penghayat
Saptodarmo.
Furthermore, this lack of theorisation on the relationship between national-
cultural formations and state-building, however, is suspect, and was also present
in neo-Weberian theories of state formation that emerged in the late 1970s and
1980s (Friedmann, 1989: 56). Drawing a sharp distinction between the cultural
and the political spheres, neo-Weberian theories implicitly rendered the former as
subservient to the latter.
D. Concluding Remarks
Given that this article emphasizes the status of Ahmadiyya in Indonesia, and
its relationship with mainstream, orthodox Islam, as well as radical Islamic groups,
has not been resolved. The ongoing struggle over the position of Ahmadiyya
community illustrates that no consensus has been achieved on some basic human
rights principles, especially based on the godly nationalism concepts.
In conclusion, through the methods and the approaches as explained
previously, I argue that Yayasan PIRI 1 Yogyakarta, as Ahmadiyya’s School be
acceptable by the society and are able to preserve and promote their basic idea to
the society, namely Salam (the peacefulness), while the rejection by the others
social group had been happened in the past. It phase, namely the moment of
exclusion with regard to the relation between the state and the Ahmadiyya
community. This repressive legislation had the effect of making the Ahmadiyya
community a target of continued harassment, as a result of which the community
has retreated almost completely from public life in Indonesia, living in continuous
terror of the state. Furthermore, in the next stage that felt by Ahmadiyya
community, is namely the moment of criminalisation of the Ahmadiyya
community
References
Ali. Muhammad. 2007. “Moderate Islam Movement in Contemporary Indonesia”
in Rizal Sukma and Clara Joewono (eds), Islamic Thoughts and Movements
Indonesia, Jakarta: center for Strategic and International Studies.
Ali, Mohammad. 1925. Pergerakan Ahmadiah itoe apakah? Pengertian salah,
Djokjakarta: Persatoean Moehammadijah
Anderson. Stephen K. 1993. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap
Realitas Sosial, terj. Farid Wajidi, S. Menno, Jakarta: Rajawali Press,
Bagir. Zainal Abidin. 2014. Mengelola Keragaman da Kebebasan Beragama:
Sejarah, Teori dan Advokasi, Yogyakarta: CRCS UGM dan Mizan
Baso, Ahmad. 2015. Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan Ijma Ulama Indonesia,
Jakarta: Pustaka Afid
Brown. R.. 2005. Prejudice: Menangani Prasangka dari Perspektif Psikologi
Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
397
Burhani. Najib. 2007. “Pluralism, Liberalism, and Islamism: religious outlook of
the Muhammadiyah Islamic Movement in Indonesia”, Master Thesis, Faculty
of Humanities, University of Manchester
Benda, Harry. 1985. The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under the
Japanese Occupation 1942-1945, W Van Hoeve
Elson, Robert. 2010. Nationalism, Islam and Secularism in Contemporary
Indonesia, Ausralian Journal of International Affairs 64, 3
Friedmann, Yohanna. 1989. Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious
Thought and Its Medieval Background, Berkeley: University of California
Press
H. L. Beck, “The Rupture between the Muhammadiyah and the Ahmadiyya”,
Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde
Hasbiyallah and Syarifuddin. 2008. Pro Kontra Ahmadiyyah, Jakarta: Grafindo
Litera Media
Iqbal, Muhammad. 1974. Islam and Ahmadism, Lucknow: Islamic Research and
Pub. Academy
Jamil. M.M. 2008. Agama-Agama Baru di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mahmood, Saba. 2004. The Politics of Piety: The Islamic Revival and The Feminist
Subject, Princeton: Princeton Uni. Press
Menchik, Jeremy. 2014. Productive Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia,
Comparative Studies in Society and History: 591-621
Laffan Michael. 2001. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma
below the Winds, Curzon: Routledge
Lindsey. Tim. 2002. “Indonesian Constitutional reform: Muddling Toward
Democracy”, Journal of International and Comparative Law
Sahal, Akhmad. 2015. Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih hingga Paham
Kebangsaan, Bandung: Mizan Pustaka
Salim HS. Suhadi. 2007. Membangun Pluralisme dari Bawah, Yogyakarta: LKiS
Pelangi Aksara
Van der Veer, Peter. 1994. Religious Nationalism, Berkeley: University of
California Press
Zulkarnain Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LKIS
Interview
Interview with Anis Farkhatin, the teacher of SMA PIRI 1 Yogyakarta, on 15th
May, 2016 in Yogyakarta
Interview with Mulyono, the ustadz of Pondok Minhajurahman on 18th May, 2016
in Yogyakarta.
399
REVITALISME NASIONALISME DAERAH MENUJU KEUTUHAN
NASIONALISME NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
Zulham Universitas Malikussaleh-Aceh
Abstract
This paper discusses the models and challenges of Indonesian nationalism. Initial
hypothesis, in addition to sovereignty, nationalism of citizenship, ethno-nationalism
is also important from as comprehensive study. Because ethno-nationalism has
become the challenge of most modern countries and especially the current multi
ethnic and civilian nationalism. Ethno-nationalism is regarded as a latent
dangerous threat as well as an unforeseen challenge to modern countries,
especially Indonesia as an archipelagic country and encompassing various ethnic
areas. The objective of this paper is to study the ethno-nationalism of the regional
archipelago, beginning with the importance of the conceptual framework, the
concept of the former nation and the depiction of nationalism. The study of the
state, including the origin, concept and definition of nationalism. The next
objective is this paper is to analyze what actions should be taken by the State of
Indonesia in order to address regional ethno-nationalism so that ethno-nationalism
is transformed into the nationalist nationalism of the Indonesia Raya. The theory
used in this paper is ethno-nationalism, nationalism, sovereignty. While the method
used is the analysis of content with book instruments. The subjects studied are
regional ethno-nationalism and Indonesian nationalism. The data is analyzed with
descriptive method. The results of the study as follows: in the case of Indonesia,
ethno-nationalism has a tendency and also orientation for freedom from the
existing state by reconsidering it as pre-colonial sovereignty, emphasizing that it is
language, culture, religion and history.
Keywords: Revitalization, transformation, ethno-nationalism and nationalism.
400
Abstrak
Makalah ini membahas model dan tantangan nasionalisme Indonesia. Hepotesa
awal, selain kedaulatan, nasionalisme kewarganegaraan, etno-nasionalisme juga
tidak terlepas dari kajian yang konfrehensif. Karena etno-nasionalisme telah
menjadi tantangan sebagian besar negara modern dan terutama multi etnis dan
nasionalisme sipil yang ada sekarang.Etno-nasionalisme dianggap sebagai
ancaman berbahaya laten dan juga tantangan yang tak terduga bagi negara-
negara modern, khususnya Indonesia sebagai negara kepulauan dan mencakup
berbagai wilayah etnis. Tujuan atau objektif makalah ini adalah untuk mengkaji
etno-nasioalisme kedaerahan nusantara, dimulai dengan pentingnya kerangka
konseptual, konsep bangsa terdahulu serta menggambarkan nasionalisme. Kajian
negara, mencakup asal usul, konsep dan definisi nasionalisme. Objektif
selanjutnya adalah makalah ini menganalisa tindakan apa sebaiknya yang diambil
oleh Negara Indonesia untuk menyikapi etnis-nasionlaisme daerah sehingga etnis
nasionalisme tertransformasi kepda nasionalisme Indonesia Raya. Adapun teori
yang digunakan dalam tulisan ini adalah etno nasionalisme, nasionlisme,
kedaulatan. Sedangkan metode yang dipakai adalah analisis kandungan (content
analysis) dengan instrumen referensi buku. Subjek yang dikaji adalah
etnonasionalisme daerah dan nasionalisme Indonesia. Sedangkan data dialisis
secara dekriptif dengan hasil kajian sebagai berikut: dalam kasus Indonesia, etno-
nasionalisme memiliki kecenderungan dan juga orientasi untuk kebebasan dari
negara yang ada dengan mempertimbangkannya kembali sebagai kedaulatan pra-
kolonial, yang menekankan bahwa itu adalah bahasa, budaya, agama dan sejarah.
Kata Kunci: Revitalisasi, transformasi, etno-nasionalisme dan nasionalisme
A. Pendahuluan
Pasca perang dunia kedua, gerakan pembebasan nasional merupakan sebuah
bentuk baru nasionalisme mengguncang fondasi imperialisme dan menghasilkan
percepatan proses dekolonisasi. Sebagian besar negara-negara Asia, Afrika dan
Amerika Latin membuang imperialisme, dan nasionalisme yang didasarkan pada
demokrasi, kemauan rakyat, kebebasan dan keadilan dihasilkan karena lebih dari
100 negara bangsa baru ada (Egyankosh: 32). Dengan kata lain, di Asia Timur,
nasionalisme telah berhasil melewati abad ke-20 dan telah menjadi retorika bukan
hanya perjuangan anti-imperialis tapi juga seruan untuk memberdayakan dan
mendemokratisasi negara dari dalam (Calhoun, 1993: 213-14).
Kebanyakan sumber utama nasionalisme Asiatik adalah perlawanan individu
terhadap perubahan pola kebiasaan. Ketahanan ini diperkuat dengan merasakan
bahwa kegigihan kelompok bergantung pada ketekunannya yaitu budaya, yang
harus dilindungi dengan biaya apapun (Spykman, 1926: 407). Sebaliknya, saat
memprotes peraturan Barat, nasionalis Asia sering memberi penghormatan kepada
Barat dengan alasan negara mereka mengadopsi institusi politik Barat (Braisted,
1954: 360).
401
Selain itu, upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara di Afrika dan Asia
untuk menciptakan negara-negara kesatuan dari populasi etnis yang sangat
heterogen belum menemukankesuksesan yang besar sampai sekarang. Perlu
mengingat kembali perpecahan dan konflik di negara-negara baru seperti
Indonesia, Nyanmar, Srilanka, Irak, Somalia dan Angola, dan kegagalan relatif
mereka untuk menghasilkan sebuah komitmen populer yang mengesampingkan
'negara' kewarganegaraan dan kewarganegaraan berdasarkan pada posisi batas
kolonial Negara(Smith, 1996: 448). Kegagalan ini menyebabkan munculnya etno-
nasionalis, yang berarti tinggal di wilayah yang ditentukan dan ingin berpisah dari
negara, karena merasakan memiliki sejarah seseorang yang mandiri atas dasar
suku.
Seperti Aceh sejauh ini adalah contoh Indonesia yang sesuai. Selain konflik
etno-nasionalisme, ada empat kategori konflik, seperti persaingan komunal, yang
merujuk secara langsung tersebar melalui wilayah tersebut dalam masyarakat
majemuk, dan persaingan dengan kelompok-kelompok lain untuk mendapatkan
bagian kekuasaan politik. Misalnya konflik antara Muslim dan Kristen di Ambon
atau Poso; Konflik kelas etno yang mengacu pada kehidupan yang tersebar melalui
wilayah dalam masyarakat majemuk, dan menginginkan partisipasi yang lebih
besar di negara untuk mencapai persamaan hak dan kesempatan untuk mengatasi
dampak diskriminasi akibat status imigran dan minoritas mereka. Contohnya
adalah bahasa Tionghoa Indonesia; Penduduk asli ingin tinggal di wilayah yang
ditentukan dan menginginkan otonomi lebih besar dari negara yang mengaturnya,
terutama terkait untuk melindungi tanah tradisional, sumber daya, dan budaya
mereka.
Aceh, orang Dayak di Kalimantan dan juga orang Papua adalah contoh nyata
dari konflik ini; Yang terakhir adalah sekte militan (agama) yang mengacu pada
kelompok kecil yang biasanya hanya memperjuangkan ideologi religius (Klinken,
2003: 112-13).Pada akhir abad kesembilan belas, sebagian besar penduduk dunia
hidup di bawah pemerintahan kolonial. Namun, pada pertengahan abad ke-20,
kebanyakan koloni telah mencapai atau sedang dalam proses mencapai
kemerdekaan (Chandra, 1999: l 1). Dalam formasi negara, gagasan negara,
ketertarikan adalah ciri khas identitas politik. Minat dapat dimanifestasikan sebagai
'kepentingan pribadi' (diri sendiri dan kelompok keluarga terdekat); 'Kepentingan
bersama' (bersama dengan kelompok yang lebih luas); 'Kepentingan pribadi yang
muncul' (dari diri sendiri melalui membantu mengamankan nasib orang lain); Dan
'altruisme' (terutama untuk keuntungan orang lain). (Kingsbury, 2002: 69).
Sebagian besar negara memiliki hak hukum yang diberikan oleh konstitusi
mereka mengenai kepentingan masing-masing batas negara. Negara-negara bangsa
mencoba melakukan diplomasi koersif sementara diplomasi lunak tidak
menjanjikan solusi atau sebelum mengumumkan perang dengan negara-negara lain
untuk menegaskan bahwa ini adalah batas-batas nasional. Dunia terbagi dalam
beberapa negara, di mana kemudian negara-negara ini didorong untuk menekankan
wilayah nasional masing-masing serta kedaulatan nasional secara paksa. Tidak
402
terlepas, negara bagian yang juga secara intensif menciptakan penindasan atas
wilayahnyayaitu bagian daerah dalam rangka menumbuhkan negara dan
pendekatan terhadap tatanan kedaulatan nasional. Namun pendekatan negara ini
cenderung mengabaikan dan mengecualikan adanya hak sipil kepada partai-partai
dari kebijakan pengambilan keputusan, yang mengakibatkan hanya representasi
kepentingan elitis dan pribadi, bukan mewakili negara-negara besar (He & Reid,
2004: 297).
Sebagian besar negara yang dihadapkan pada tantangan untuk
mengintegrasikan wilayah adalah wilayah yang sangat luas dan multi etnis, yang
saling bergantung secara keseluruhan. Masalah ini juga dihadapi secara intensif
oleh Indonesia, terutama dalam pengembangannya adalah nasionalisme negara
(Drake, 1992: 296). Sebelum Indonesia merdeka, nasionalisme pun diperdebatkan
dan ditekankan "bumiputra" dan "pribumi". Istilah "bumiputra" dan pribumi
"digunakan untuk membedakan penduduk asli dari penduduk asli penduduk
kolonial. Istilah ini mulai populer selama tahun 1920 dan 1930an di Malaysia dan
juga di Indonesia. Bumiputra dan pribumi keduanya berasal dari kata-kata
Sanskerta. "Bumi" yang memiliki definisi tanah atau tanah dan "putra" bisa
dipahami sebagai pangeran, atau lebih dipahami sebagai "anak". Pribumi sendiri
adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Jawa, yang berarti pribumi pribumi.
Dengan demikian, konsep ini sebelumnya digunakan untuk membedakan antara
penduduk asli dan penduduk asli (Siddique & Suryadinata, 1981-1982: 662-3).
Selain keberadaan bumiputra dan primbumi, proses pencapaian persatuan
nasional Indonesia adalah beberapa hal yang unik, selama enam dekade pertama,
umumnya berlangsung dalam perpaduan multi etnis dan integrasi teritorial.
Kebutuhan ekonomi seperti pajak, perbendaharaan, batas adat dan wilayah telah
dibentuk oleh penjajah Belanda. Sebaliknya, Belanda, saat merumuskan penyatuan
nasional, menyangkal nilai-nilai etnis tertentu. Rasa permusuhan yang dilakukan
oleh Belanda di antara orang Indonesia, bukannya memasukkan komponen prinsip
multi etnis, budaya nasional dan bahasa nasional (Lane, 2002).
Asal-usul bangsa berasal dari konsep bangsa Barat, pada abad ke-18 orang-
orang kelas menengah di Eropa Barat dan Amerika Utara semakin mengenal
dengan perasaan bahwa "bangsa" itu milik mereka. Dua ilustrasi tertua tentang
kesadaran nasional modern adalah bahasa Prancis dan bahasa Inggris (Knight,
1982: 518-519).Menurut Erness Renan bahwa sebuah bangsa adalah "jiwa, prinsip
spritual" dan bahwa dia melanjutkan keberadaan sebuah bangsa adalah hasil dari
"plebisit harian" (dalam Savich: 2). Istilah bangsa dapat dipahami sebagai apa yang
dijelaskan oleh Ernest Barker "sekumpulan manusia, yang mendiami wilayah yang
pasti, yang biasanya diambil dari ras yang berbeda, namun memiliki kesiapan
berfikir dan perasaan yang sama yang diperoleh dan digunakan selama perjalanan
Sejarah umum .. "(Egyankosh: 31).
Anderson berpendapat bahwa sebuah bangsa adalah komunitas yang
dibayangkan karena tidak mungkin semua anggota saling berhubungan langsung
dengan sesama anggota setiap saat. Oleh karena itu, anggotanya hanya bisa
403
memandang bangsa secara keseluruhan dengan mengacu pada imagetersebut yang
mereka temukan dalam pikiran mereka sendiri (Tamir, 1995: 421).Peter Alter
mengatakan bahwa nasionalisme adalah "salah satu pemikiran yang paling ambigu
di masa depan, terutama dalam konsep politik dan analisis leksikon. Setelah
mendefinisikan dua jenis utama nasionalisme: nasionalisme Risorgimento yang
berarti kebangkitan orang Italia yang berlaku bagi negara-negara yang berusaha
membangun sebuah negara. Seperti Yunani, Italia, Jerman, Polandia, Serbia
dimana menerapkan nasionalisme ini di abad ke-19. Kedua, nasionalisme integral,
juga dikenal sebagai "radikal", "ekstrem", sayap kanan, reaksioner, agresif-
ekspansionis, derivatif, nasionalisme militan. Nasionalisme integral mulai ada
setelah sebuah negara telah mencapai kemerdekaan dan telah membentuk sebuah
negara, seperti Nazi Jerman dan Fasis Italia (Savich: 5).Nasionalisme sebagai
ideologi politik modern hanya ada setelah mengikuti revolusi Prancis tahun 1789
dan berkembang selama abad ke-19. Nasionalisme yang diraihnya adalah tinggi
pada saat Perang Dunia I. Nasionalisme bergantung pada fantasi kelompok atau
"komunitas imajiner" dan produk industrialisasi, kapitalisme, dan modernisasi.
Industrialisasi dan nasionalisme berkembang dan berkembang dalam hubungan
simbiosis, masing-masing saling menegakkan (Savich: 1-2).
Meskipun demikian, istilah "nasionalisme" memiliki berbagai makna, namun
secara sentral terdiri dari dua karakteristik: Pertama, sikap yang dimiliki oleh
anggota sebuah bangsa ketika mereka peduli dengan identitas mereka sebagai
anggota negara tersebut; Kedua, tindakan yang diambil oleh anggota sebuah negara
untuk berusaha mencapai (atau mempertahankan) beberapa bentuk kedaulatan
politik (Plato, 2001: 2). AD Smith menawarkan definisi nasionalisme yang lebih
merangkul sebagai gerakan ideologis, untuk pencapaian dan pemeliharaan
pemerintahan sendiri atas nama sebuah kelompok, beberapa di antaranya
anggotanya menganggapnya sebagai sebuah 'bangsa' aktual atau potensial seperti
yang lain (dalam Smith, 2000: 492). Shafer dan Kedouri akan setuju bahwa
nasionalisme melibatkan mitos yang berhubungan dengan dan mendorong perasaan
kesetiaan terhadap dan identifikasi dengan kesadaran kelompok tentang dirinya
sendiri dan menyebabkan kelompok tersebut memiliki atau menginginkan
kemerdekaan politik di bawahnya adalah pemerintahan sendiri dan merupakan
wilayahnya sendiri. Mereka pasti juga setuju bahwa nasionalisme secara
keseluruhan adalah kompleks gagasan, sikap, peristiwa, dan gerakan politik.
Nasionalisme tentu sebuah ide, tapi juga merupakan kekuatan (Knight, 1982: 521).
Thomas Hobbes (1588-1679) menjelaskan kedaulatan sebagai monopoli
kekuatan pemaksaan dan menganjurkan agar hal itu dilakukan di tangan peraturan
tunggal yang tidak dapat dilawan (Heywood, 2000: 38). Kedaulatan, di dalamnya
adalah pengertian yang paling sederhana, adalah prinsip kekuatan absolut dan tak
terbatas. Setelah kemunculan negara modern, istilah kedaulatan telah diperbesar
dan diklasifikasikan.Ada banyak jenis kedaulatan, semacam kedaulatan hukum
yang menunjukkan otoritas hukum tertinggi yang berarti hak yang tidak dapat
dipungkiri untuk menuntut kepatuhan, sebagaimana didefinisikan oleh undang-
undang; Kedaulatan politik menunjukkan kekuatan politik yang tidak terbatas,
404
yaitu dengan menggunakan kekuatan koersif monopoli untuk menegakkan
ketaatan; Kedaulatan internal berarti bahwa kekuasaan atau wewenang tertinggi di
negara yang berada di badan hukum yang membuat kebijakan dan keputusan yang
mengikat semua warga negara, kelompok, subkelompok dan institusi di dalam
batas wilayah negara; Dan kedaulatan eksternal berkaitan dengan posisi negara di
masyarakat internasional dan kapasitas untuk bertindak sebagai entitas independen
dan otonom (Heywood, 2007: 131).
Berdasarkan Narasi di atas, penulis membahas model dan tantangan
nasionalisme Indonesia. Selain kedaulatan, nasionalisme kewarganegaraan, etno-
nasionalisme juga sangat urgent untuk dikaji secara konfrehensif. Karena etno-
nasionalisme telah menjadi tantangan sebagian besar negara modern dan terutama
multi etnis dan nasionalisme sipil yang ada sekarang.Etno-nasionalisme dianggap
sebagai ancaman berbahaya laten dan juga tantangan yang tak terduga bagi negara-
negara modern, khususnya Indonesia sebagai negara kepulauan dan mencakup
berbagai wilayah etnis. Tujuan paper ini adalah untuk mengkaji etno-nasioalisme
kedaerahan nusantara, dimulai dengan pentingnya kerangka konseptual, konsep
bangsa terdahuluserta menggambarkan nasionalisme. Kajian negara, mencakup
asal usul, konsep dan definisi nasionalisme. Tujuan selanjutnya adalah tulisan ini
menganalisis sikap apa idealnya yang diambil oleh Negara Indonesia untuk
mengakomodir etnis-nasionlaisme daerah sehingga etnis nasionalisme
tertransformasi kepda nasionalisme Indonesia Raya. Adapun teori yang digunakan
dalam tulisan ini adalah etno nasionalisme, nasionlisme, kedaulatan. Sedangkan
pendekatan yang dipakai ialah review of literature, dengan metode analisis
kandungan (content analysis) dan instrumen book codingyang dipakai untuk
penguatan referensi.
B. Hasil dan Pembahasan
1. Civic Nasionalisme
Secara global telah terjadi kebangkitan nasionalisme etnik sejak tahun
1960an, seringkali dalam bentuk gerakan etnis minoritas melawan negara-
negara yang ada (Brown, 2004: 4). Di negara modern, pecahnya negara multi
etnis di Balkan seperti Yugoslavia dan kemunduran Uni Soviet pada tahun 1991
menyebabkan eksistensi kembali dan bangkitnya nasionalisme (Savich:
1). Banyak ilmuwan politik mengamati keadaan ini menurun seiring kembalinya
nasionalisme serta kelahiran kembali nasionalisme. Hal ini sangat terkait dengan
etno-nasionalisme. Penurunan ini memberi efek pada negara-negara dunia ketiga
lainnya, terutama Asia Tenggara, seperti Filipina dan Indonesia juga. Di mana
kedua negara ini mempertanyakan kembali, ini adalah eksistensi etnis minoritas
daripada etnis mayoritas dominan. Persamaan anggota kelompok minoritas
sering dirugikan dalam kaitannya dengan budaya etnis yang dominan karena
mereka harus bergantung pada mereka yang memiliki bahasa dan budaya yang
sama untuk menjalankan urusan sehari-hari. Karena kebebasan untuk melakukan
kehidupan sehari-hari seseorang pada dasarnya baik dan sulit untuk mengganti
atau melepaskan ketergantungan pada budaya minoritas seseorang/etnis untuk
405
mencapai kebaikan itu, ketergantungan ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan
tertentu dan jika tindakan khusus tidak dilakukan seimbang seimbang (Plato,
2001: 19). Dalam beberapa dekade terakhir terjadi ketegangan besar antara
nasionalisme kewarganegaraan dan etno-nasionalisme yang mengakibatkan
adanya multikulturalisme, yang menekankan bahwa bangsa ini diliputi oleh
masyarakat multi-etnis dan juga negara menjamin status setara mereka (Brown,
2001: 2). Politik etnis dan nasionalisme bisa berarti dampak politik terhadap
etnisitas dan identitas nasional. Hal ini pada gilirannya dapat menandakan
penggunaan etnis dan nasionalisme dalam perebutan kekuasaan para pemimpin
dan partai, yang mengarah ke analisis mikro politik etnik: atau proses dimana
negara menciptakan kelompok dan negara etnis dan konflik mereka,
menghasilkan analisis makro Formasi nasional (Smith, 1996: 445-46).
Etnis-nasionalisme mengacu pada nasionalisme yang didasarkan pada
keunikan manusia, dan oleh karena itu, menyiratkan bentuk kewarganegaraan
eksklusif berdasarkan anggota yang memiliki identitas etnis yang sama
(Bertrand, 2002: 3-4). Etno-nasionalisme dapat juga disebut sebagai
nasionalisme budaya yang menekankan bangsa sebagai masyarakat (etno)
kesamaan budaya (Brown, 2001: 2). Ras dan etnis menjadi dominan hanya
dengan munculnya nasionalisme modern. Misalnya, Kekaisaran Ottoman adalah
kerajaan multi-rasial multi-etnis yang hanya memiliki perbedaan agama,
Muslim, Kristen, atau Yahudi. Nasionalisme mengubah ini (Savich: 11).
Nasionalisme etnik lebih mengacu pada masa lalu, ke alam leluhur dan (melalui
sejarah bersama). Dalam komunitas seperti itu, karena menuntut keturunan
bersama, dan kewarganegaraan tertutup hanya diakuisisi oleh darah dan 'ritus'
kelahiran sesuai dengan hukum 'ius sanginis' (Lawfield, 2009: 5). Menurut
primordialis dan perennialist, etnisitas cenderung berasumsi bahwa etnik
primordial, memberi kondisi manusiawi, dan bahwa negara-negara itu historis
namun purbakala. Negara, partai, birokrasi dan politik sebagian besar dianggap
sebagai ekspresi publik dari perbedaan etnis dan identitas budaya yang sudah
ada sebelumnya (Smith, 1996: 446).
Dalam teori konflik etnis, kriteria etnis adalah sumber pertengkaran yang
menonjol di antara masyarakat. Hubungan historis dan linguistik yang khas
dianggap sebagai titik referensi utama bagi individu. Ketika pola hubungan
sosial antara kedua kelompok etika sedemikian rupa sehingga ketegangan sosial
dan hasil konflik, tuntutan untuk memperluas pengaruh kelompok etnis yang
dihasilkan (Hah & Martin, 1975: 374). Konflik Israel-Palestina dengan jelas
menunjukkan bahwa wilayah bersama dan kenangan sejarah yang umum dapat
menjadi pemecah belah dan bukan pemersatu. Tinggal bersama di wilayah yang
sama dan di bawah pemerintahan yang sama, atau bahkan berbagi sistem
ekonomi dan hukum, mungkin gagal memadukan beragam komunitas menjadi
satu negara, sebagaimana dibuktikan oleh realitas politik di Kanada, Belgia,
bekas Yugoslavia, dan Cekoslowakia (Tamir, 1995: 424-25). Dalam konteks
nasionalisme, premis dasar teori konflik adalah bahwa persaingan antar
406
kelompok menimbulkan tuntutan untuk mengendalikan sistem distributif (Hah
& Martin, 1975: 369).
Demikian pula halnya kasus di Indonesia, seperti Aceh, di mana budaya
dan etnis khas Aceh, dan juga bahasa, telah menekankan kembali bahwa ini
adalah wilayah pra-kolonial sebelum diintegrasikan ke dalam kedaulatan
Indonesia dan pada saat bersamaan melawan nasionalisme nasional Indonesia.
Dengan demikian, gerakan etno-nasionalis merupakan tantangan berat bagi
demokrasi. Kelompok-kelompok yang dimobilisasi di sepanjang garis etnik
mengikuti sebuah negara dan merupakan institusi politik. Mereka berharap
untuk mengenali batas-batas dan membuat sebuah negara baru di mana mereka
mewakili mayoritas (Bertrand, 2002:2).
2. Nasionalisme Sekuler Civic Indonesia
Pada tahun 1945, Indonesia menjadi negara yang baru merdeka dari
penjajahan Belanda, kemudian dihadapkan dengan masalah persatuan.
Rekonstruksi integrasi nasional dan infrastruktur ekonomi menjadi sasaran
utama saat itu (Drake, 1992: 297). Nasionalisme membuktikan keberadaan
orang dan menyatakan bahwa mereka berhak mengambil alih sebuah organisasi
negara lama atau membangun yang baru. Gerakan nasionalis mencoba
melakukan ini atas nama orang-orang yang terdokumentasi. Biasanya, para
pemimpin gerakan semacam itu berasal dari pusat atau lebih tepatnya, wilayah
perkotaan yang luas dari negara yang dipertimbangkan (McIntyre: 75). Sama
halnya seperti Indonesia, yang terutama meliputi negara kepulauan, di mana
bapak pendiri gerakan nasionalis berasal dari Center Jakarta. Di negara yang
berbeda secara geografis dan etnis seperti Indonesia, proses hubungan regional
seringkali mengharuskan penahanan sejarah dan tradisi penduduk lokal yang
mendukung warisan yang lebih besar (Hoey, 2003: 110).
Berdasarkan keanekaragaman geografis ini, Sukarno menggunakan
konsep 'Indonesia Raya' sebagai konsep nasionalisme Indonesia, yang ditujukan
untuk perumusan masyarakat Indonesia (McIntyre, 1973: 75). Permasalahannya,
setelah kemerdekaan, Indonesia ditantang oleh gerakan Darul Islam (House of
Islam), yang mendukung nasionalisme Islam dan bukan nasionalisme sipil.
Beberapa organisasi semacam itu terikat untuk membentuk antara Islam dan
nasionalisme Indonesia. Masyarakat Indonesia sangat bergantung pada norma
etnologi dan adat mereka, dan terlebih lagi Indonesia terbagi oleh sejumlah
besar pulau terpencil dan terpisah, maka penyatuan koersif dan integrasi koersif
merupakan instrumen penting yang dapat digunakan untuk menghadapi
keragaman tersebut (Vandenbosch, 1952: 182)
Nasionalisme Indonesia digunakan untuk mendukung dan
mempromosikan rasa homogenitas dan identitas pribumi yang dengan kuat
menolak dan mengecualikan partisipasi masyarakat imigran non pribumi
(Siddique & Suryadinata, 1981-1982: 667). Apalagi nasionalisme Indonesia
secara ideologis dimanifestasikan dalam Pancasila, lima prinsip negara:
407
kepercayaan kepada Tuhan, humanitarianisme, nasionalisme, demokrasi, dan
keadilan sosial. Ini dipostulasikan sebagai nilai bersama yang mendukung
masyarakat toleran sekuler, majemuk, dan religius (Weatherbee, 2002: 23).
Pemerintah menganggap etnis sebagai masalah sensitif, kemungkinan ancaman
terhadap persatuan nasional dan bahkan tidak mengumpulkan statistik tentang
kelompok etnis dalam sensus (Suryadinata dalam Turnet, 2005: 189). Tidak
individu yang dapat menuntut hak individu untuk dirinya sendiri atau meminta
pembagian kekuasaan ke dalam sub masyarakat, tidak ada konflik yang
diizinkan untuk terjadi (Kreuzer, 2004: 19).Setelah Republik Indonesia didirikan
pada tahun 1945 setelah kolonialisme, nasionalisme, dan revolusi, elite di antara
berbagai kelompok, agama, dan ras bertekad untuk membentuk identitas
nasional yang baru dan, dengan demikian, menundukkan kesadaran politik
mereka yang terpisah. (Wanandi, 2002: 136).
Umumnya gerakan separatis regional muncul karena ketidak puasan
pemerintah regionalisme ketika pemerintah Indonesia diubah dari sistem federal
menjadi sistem kesatuan pada bulan Agustus 1950, yang menyebabkan
ketidakpuasan provinsi dengan melakukan pemberontakan terbuka kepada
pemerintah pusat. Negara-negara regional merasa kurang berkuasa di
pemerintahan lokal setelah konversi ini (Vandenbosch, 1952: 184).Sebagian
besar analis politik berpendapat bahwa faktor utama perselisihan nasionalisme
Indonesia yang didukung oleh nasionalis sekuler Indonesia adalah perberlakuan
identitas nasional yang seragam untuk seluruh warga negara Indonesia.
Pemberlakuan sanksi ini sementara diimplementasikan, yang sebenarnya tidak
sesuai dengan budaya sub nasional dan juga identitas regional (Arifianto, 2008:
6). Begitu etnis minoritas kehilangan kepercayaan bahwa negara dapat
mempromosikan nasionalisme kewarganegaraan, mereka kemudian
menganggap negara sebagai badan mayoritas etnik dan karena itu tidak percaya
bahwa ini adalah janji multi-budayais tentang status atau otonomi kepada etnis
minoritas, akan tercapai. Sehingga menyebabkan lemahnya nasionalisme sipil
(Brown, 2001: 12).
Hal ini diperburuk oleh keyakinan nasionalis sekuler bahwa penciptaan
sebuah bangsa dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di wilayah tertentu dan
memiliki pengalaman bersama, terlepas dari budaya, agama, dan latar belakang
etnis mereka (Arifianto, 2008: 9). Sejak kemerdekaan, sebagian besar provinsi
telah terdorong untuk memberontak terhadap pemerintah pusat, apakah karena
gerakan separatis menuntut pembagian kekuasaan yang sama atau menuntut
kemerdekaan negara baru (Bowen: 155).
Menyikapi perkembangan tadi, strategi politik Orde Baru yang ditetapkan
berdasarkan model nasional dan selanjutnya ia menghilangkan gerakan etno-
nasionalis. Dalam praktik politik sehari-hari, model nasional dipaksakan pada
ekonomi, birokrasi melalui eksistensi tentara melalui luar provinsi. Sistem
pendidikan nasional yang umum dibuat, menjadikan bahasa Indonesia
diwajibkan di setiap sekolah. Kebijakan ini direncanakan untuk mengubah
408
provinsi-provinsi dan memasukkan mereka ke dalam negara Indonesia modern
secara efektif (Bertrand, 2002: 23-4). Menurut rezim otoriter Orde Baru,
nasionalisme etno-kultural bergantung pada mitologi sejarah untuk menarik
orang Jawa sebagai inti etnis, sementara perekrutan menjadi posisi elite pada
tingkat tertentu, bergantung pada penjajahan. Banyak daerah di Indonesia
menentang penggunaan simbol ini (Majapahit dan Sriwijaya), terutama mereka
yang berasal dari kedua kerajaan Jawa kuno ini, dengan alasan bahwa
memuliakan simbol ini dapat menyatukan integritas nasional dan menolak
adanya kolonisasi non Sriwijaya dan Majapahit lainnya. (Kroef dalam Drake,
1992: 298). Warga asli Indonesia dihadapkan oleh masalah persatuan nasional
dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, ketidakseimbangan representasi
kelompok etnis dalam aspek politik maupun distribusi ekonomi sejak kekalahan
kolonial Belanda masih berlanjut (Siddique & Suryadinata, 1981-1982: 663).
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, naluri nasionalisme
etno kembali ada di setiap wilayah di Indonesia (Bertrand, 2002: 21).Model
nasionalisme nasional telah gagal, karena keterasingan inklusi kelompok dalam
model itu sendiri dan menolak identitas mereka serta mengikuti dengan
membatasi budaya mereka juga. Multi etnik menuntut pengakuan dari
pemerintah pusat, dan dengan demikian tidak adanya pengakuan etnik dan
budaya ini, mereka bermaksud untuk menekankan identitas etnik mereka dari
mobilisasi dan pemisahan etno-nasionalis dari negara utama (Bertrand, 2002:
25). Kemudian konflik etnis mulai dapatdilihat sebagai manifestasi dari
ketegangan yang timbul dari artikulasi visi masyarakat nasional yang berlainan,
dan berpotensi tidak sesuai (Brown, 2001: 6). Mobilisasi dan kekerasan etno-
nasionalis sering terjadi di negara transisi demokratis dimana kesepakatan
sebelumnya mengenai model nasional belum disepakati. Definisi, wilayah dan
agenda politik bangsa tetap tidak terdefinisi untuk menciptakan ketidakpastian
tentang masuk dari kelompok atau istilah inklusi mereka (Bertrand, 2002:
2).Setelah tahun 1999 Indonesia masih ditantang oleh gerakan etno-nasionalis di
Aceh dan Papua. Para aktivis kemerdekaan di wilayah ini menekankan kembali
gagasan bahwa mereka telah diintegrasikan secara paksa ke Indonesia menyusul
eksploitasi ekonomi lokal Jakarta yang telah memperburuk situasi (Klinken,
2003: 126).
Implikasinya adalah bahwa nasionalisme daerah, mengklaim bahwa warga
daerah adalah orang-orang dengan satu kesamaan, seperti nasionalisme lainnya
(Brown, 2004: 16), yang pantas membentuknya adalah negara merdeka sendiri.
Namun, negara yang ada akan selalu berusaha mencegah pemisahan diri, meski
hal ini tidak dengan sendirinya menyebabkan daerahisme atau subnasionalisme
etnis, menurun. Sebaliknya, mungkin penyangkalan tersebut mendorong
gerakan separatis muncul, karena orang menyambut permintaan mereka untuk
memiliki identitas teritorial kelompok mereka yang dijaga oleh pemerintah
mereka sendiri di dalam negara mereka sendiri (Knight, 1982: 526).
409
Pada akhir abad ke-19, penjajah Belanda memberlakukan apa yang
disebut sebagai "kebijakan etis" yang bertujuan untuk memperkuat dan
meningkatkan posisi penduduk asli dalam sebuah pemerintahan kolonial.
Gerakan nasionalis Indonesia muncul setelah bangkitnya gerakan nasionalis
China daratan. Setelah perkembangan nasionalisme Indonesia pada tahun 1920,
masyarakat adat mulai meluas penggunaan istilah "Indonesia", umumnya orang
Indonesia Tionghoa tidak diperlakukan sebagai Indonesier (Bangsa Indonesia),
karena istilah 'Bangsa Indonesia' memiliki indikasi untuk menggantikan istilah
"bumiputra". Meski menggunakan dua kata ini (Indonesier dan bumiputra)
untuk membedakan status pribumi dengan orang Belanda dan orang Indonesia
Tionghoa selama masa pra-independen. (Siddique & Suryadinata, 1981-1982:
668). Rakyat provinsi memutuskan untuk bersatu pada tahun 1920 untuk
membangun sebuah negara dan negara baru sebagai respon terhadap
kolonialisme (Lane, 2002).
Melalui kebijakan etis ini, Hindia Belanda kolonial telah berusaha untuk
membagi orang-orang ke dalam kelompok aristokrat kelas bawah, menengah
dan atas. Misalnya, Hindia Belanda mendesak masyarakat pedesaan untuk tetap
menjadi petani, sebaliknya, anggota kelas menengah dan atas ditempatkan di
posisi tinggi pegawai negeri. Sebagian besar pegawai negeri telah didominasi
oleh mayoritas etnis Jawa, yang kemudian disebut kelas priyayi (Administrator).
Anggota keluarga bangsawan Jawa diberi fasilitas terbaik dan mendapatkan
lebih banyak hak istimewa dari Belanda bila dibandingkan dengan warga biasa.
Selain etnis Jawa, seperti orang Aceh, Minangkabau dan Bugis diperlakukan
sebagai warga negara yang lebih rendah dan imigran. Proses kekhasan etnik
terjadi di kalangan warga non-pribumi, orang Indonesia-Cina misalnya, di mana
orang Belanda menunjuk orang Tionghoa untuknya adalah etnis dan
masyarakat. Untuk ini, masyarakat Cina dilokasikan di wilayah khusus oleh
kolonial Belanda (Siddique & Suryadinata, 1982: 66).Kebijakan etis ini juga
berorientasi pada westernisasi elit keluarga aristokrat Jawa, terutama untuk
menghindarinya dari pengaruh munculnya gerakan identitas Islam, yang dapat
mendorong mereka untuk mengalahkan imperium kolonial Belanda, oleh karena
itu, Belanda memberi kesempatan kepada aristokrat ini. Keluarga untuk
mendapatkan pendidikan gaya barat di universitas pendidikan yang disponsori
Belanda. Dengan harapan, sebagai balasannya mereka dapat melakukan
westernisasi, menasionalisasi dan mensekulerkan orang-orang Indonesia lainnya
(Arifianto, 2008: 9).
Tujuan kebijakan etis lainnya adalah proses migrasi. Gagasan tentang
migrasi etnis Jawa berasal dari Belanda, kerajaan kolonial memaksa migrasi
Jawa secara massal ke luar Pulau Jawa, gerakan ini dimulai sejak tahun 1905.
Selama masa pasca kemerdekaan, pemimpin Indonesia telah dipengaruhi untuk
menerapkan strategi migrasi ini untuk menstabilkan ketidakseimbangan
penduduk, karena Jawa sudah padat penduduknya. Pada awalnya proses migrasi
ini menunjukkan dampak positif bagi pencapaian ekonomi lokal dan regional,
yang menjanjikan pendapatan baik bagi para migran kesejahteraan. Selain itu,
410
pemerintah pusat memanfaatkan migrasi ini untuk mengamankan masalah
perbatasan dan keamanan negara (Drake, 1992: 307).
Pada saat bersamaan memberikan dampak negatif, program migrasi ini
menghidupkan kembali kekhasan etnis serta kesenjangan ekonomi. Di mana
para migran Jawa telah menduduki hampir semua sumber ekonomi lokal.
Sebaliknya, kebijakan pemerintah pusat memiliki kecenderungan untuk
melindungi kepentingan para migran daripada mempertimbangkan klaim etnis
setempat. Pendudukan ekonomi ini hanya bisa dilakukan dengan kolusi migran
Jawa dan juga militer Jawa Indonesia.
C. Kesimpulan dan Saran
Jenis nasionalisme Indonesia ditetapkan berdasarkan modifikasi nasionalisme
kewarganegaraan. Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada akhir Perang
Dunia Kedua dan menjadikannya sebagai pondasi nasional sebagai pilar penentuan
nasib sendiri bangsa-bangsa dan cita-cita negara bangsa. Pemimpin pendiri elit
politik berpendapat bahwa wilayah yang melingkupi dengan bekas Hindia Belanda
tidak memadai untuk meyakinkan integrasi nasional. Merasakan kurangnya
kepercayaan persatuan nasional ini, para founding fathers mendasarkan negara baru
pada nilai dan prinsip bersama yang ditujukan untuk pembentukan fondasi
nasionalisme negara-negara yang baru. Di mana nilai-nilai umum ini selanjutnya
diindoktrinasi sebagai konsep dasar orang-orang Indonesia baru (Bertrand, 2002: 7-
8).
Pada saat berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda, Bumiputra/pribumi
Indonesia masih memperdebatkan jenis nasionalisme apa yang harus diadopsi
Indonesia. Setelah wacana panjang dan rumit, elit politik Indonesia sampai pada
total visi negara, di mana orang harus menerima wilayah yang diputuskan oleh
Indonesia. Klaim perbatasan nasionalis sangat didasarkan pada kedaulatan
unshared dan sentralisasi kekuasaan. Negara baru yang tampaknya mewarisi
jalannya adalah kekaisaran kuno dari sistem pemerintahan Sriwijaya dan Majapahit
yang bentuk kerajaannya digunakan oleh kedua kerajaan tersebut. (Kreuzer, 2004:
18).Muhammad Yamin adalah salah satu ide nasionalis yang paling penting, kuat
dan besar di Indonesia, setelah Soekarno dan Hatta. Yamin menegaskan bahwa
negara baru tersebut harus terdiri dari tanah air Indonesia, yang mana, katanya,
paling baru dianggap oleh negara Majapahit. Dan dengan demikian negara yang dia
tegaskan, termasuk Sumatra, Jawa, Madura, the Lesser Sundas, Borneo, Cellebes,
the Moluccas, Semenanjung Malaya, Timor dan Papua. Selanjutnya gagasan ini
didukung oleh Hatta (mantan wakil presiden Sukarno) dengan mengklaim bahwa
negara Indonesia yang wilayahnya sesuai dengan wilayah bekas Hindia Belanda
(McIntyre, 1973: 81-82).
Kawasan telah menjadi sub negara paling penting di jaringan politik
Indonesia. Banyak provinsi memiliki perspektif sosial dan politik yang berbeda.
Hampir di semua provinsi terdiri lebih dari satu identitas etnik. Meski begitu, ada
yang agak homogen, misalnya, Jawa Tengah, di mana kebudayaan Jawa paling
411
maju, dan Sumatera barat, yang berasal dari masyarakat Minangkabau dan
Sumatera Utara, yang mencakup Kesultanan Melayu tua termasuk masyarakat
Batak dan Aceh yang berada di Sumatra. Terdiri dari sejumlah masyarakat yang
berbeda dan memiliki penguasa Kesultanan sendiri sebelumnya (Bowen, 2005:
155). Karena fragmentasi terbesar wilayah yang dimiliki Indonesia, konsep 'Greater
Indonesia' digunakan oleh Sukarno sebagai nasionalisme Indonesia yang bertujuan
untuk merumuskan kesatuan Indonesia (McIntyre, 1973: 78).
Dilema utama yang dihadapi negara baru ini adalah bagaimana menyatukan
gagasan-gagasan yang berbeda dari sebuah negara besar dan padat penduduk dari
begitu banyak sub kelompok etnik yang sedikit banyak dan berbeda dalam budaya,
linguistik, dan agama (Ballard, 2008: 17). Meskipun, pada tahun 1928, Pemuda
dari seluruh pulau berjanji untuk membangun satu negara, satu bahasa, dan satu
negara - sebuah janji yang menjadi prinsip dasar bangsa dan negara. Memang,
pertempuran melawan penjajahan Belanda dalam bentuk Hindia Belanda adalah
salah-satunya faktor pemersatu nyata yang menyebabkan pembentukan negara
Indonesia (Wanandi, 2002: 136). Faktor terpenting lainnya kekuatan dominan
dalam gerakan nasionalisme paling awal adalah faktor agama.
Tapi pada berbagai titik di antaranya adalah sejarah, nasionalisme ini
mengambil pendekatan konfrontatif dan agak negatif, terutama ketika mereka
merasa dianiaya (Lanti, 2002: 2). Sukarno memiliki bakat untuk menyatukan
tradisi Jawa, Islam, dan versinya sendiri tentang Marxisme untuk mendapatkan
banyak pengikut; Namun dia menganjurkan pembentukan sebuah negara sekuler
dan bukan negara Islam (Ballard, 2008: 16). Belajar dari pengalaman Negara-
negara di Balkan dan eks Uni Soviet, pemerintah dapat mengakomodir perbedaan
yang menyeluruh di semua wilayahnya, dari Papua hingga Aceh, dengan cara
menjadikan etnonasionalisme daerah sebagai kebenikaan yang edukatif, sehingga
etnis nasionalis daerah akan tertransformasi secara seiring berjalan waktu, imbas
dari pada keikutsertaan pengayoman pemerintah pusat. Pengayoman dapat berupa
kebijakan nasional apapun terhadap daerah, kepedulian Negara terhadap rakyat
daerah selain dari pada otonomi daerah dan otonomi kusus. Nasionalisme raya
hanya dapat tercapai dengan memfasislitasi etno-nasionalisme daerah. Dengan kata
lain untuk menjadikan nasionalisme grater Indonesia tidak dibangun atas ajas
ketakutan, kecurigaan terhadap suburnya etnis nasionalisme di daerah. Aceh
merupakan contoh dari revitalisasi etnonasionalisme hingga mengarah kepada
nasionalisme Negara Kesatuan Indonesia. Sebesar apa penerimaan etno
nasionalisme daerah oleh pemerintha pusat, maka akan sebesar itu pula rasa
emosional etno-nasionalisme daerah terhadap nasionalisme raya Indonesia.
Dalam era digital yang tanpa batas sekarang, memaksa Negara untuk
senantiasa beradaptasi dengan perbedaan kultur dan lainnya yang ada di daerah.
Tidak jarang dilihat, untuk memadukan etnonasionalisme dan nasionalisme Negara
terlibat yang nama Negara asing. Perdamaian Aceh dimana konflik yang
berkepanjangan terjadi dapat diakiri dengan perundingan yang difasilitasi aktor
luar. Pemerintah Indonesia dalam bentuk memorandum of understanding-nya
412
dengan warga Aceh, telah menjembatani perbedaan nasionalisme antara RI dan
Aceh dengan formasi Partai Lokal dan lainnya. Ini merupakan embrio
meghidupkan kembali rasa memiliki ke-Indonesiaan Aceh melalui demokrasi lokal
yang dibangun oleh pemerintah pusat, sehingga sampai saat ini, tujuan Aceh untuk
merdeka dari ibu pertiwi tertranformasi kepada integrasi Aceh kepada Indonesia
seutuhnya.Adapun dalam mengahdapi dunia digital teknologi, pemerintah
handaknya terus memberi peluang bagi Negara asing yang secara intensif ingin
membantu perdamaian di tanah air, berlandaskan pengalaman Aceh, dimana
sekarang masyarakat Aceh sudah merasa Indonesia adalah ibu pertiwi dan rasa
cinta kepada NKRI semakin meningkat. Perdamaian dalam arti yang meneyeluruh,
ekonomi, politik kepada daerah, sehingga daerah merasakan bagian dari integrasi
Negara sehingga seiiring berjalan waktu terus mengarah kepada meningkat
suburnya rasa nasionalisme terhadap NKRI.
Referensi
Aguswandi. Civil society: the missing peace of peace building. Retrieved from:
http://bib.cfc.dnd.ca/ipac20/ipac.jsp?session=1H39313W041G4.29427&pro
file=cfc&uri=link=3100016~!151629~!3100001~!3100002&aspect=subtab
46&menu=search&ri=1&source=~!horizon&term=Peace-building+--
+Japan.&index=SUBJECT. Diakses tanggal 23 Maret 2016.
Arifianto, Alexander R. 2008. "Contesting the Nation: Competing Nationalisms in
Indonesia" Paper presented at the annual meeting of the MPSA Annual
National Conference, Palmer House Hotel, Hilton, Chicago, IL Online
<PDF>.2009-05-23from
http://www.allacademic.com/meta/p268416_index.html. Diakses tanggal
24 Maret 2016.
Ballard, John B. 2008. Triump of Self-determination: operation stabilize and
United Nations peace making in East Timor. USA: Praeger Security
International.
Bertrand, Jacques. 2002. National Models?, Ethno nationalist Violence and
Democratic Consolidation: an analysis of three ethno nationalist
movements in Indonesia" Paper presented at the annual meeting of the
American Political Science Association, Boston Marriott Copley Place,
Sheraton Boston & Hynes Convention Center, Boston, Massachusetts
Online <.PDF>. 2009-05-26 from http://www.allacademic.com/meta/
p66407_index.html. Diakses tanggal 25 Maret 2016.
Bowen, John R. 2005. Normative pluralism in Indonesia: regions, religions, and
ethnicity.
http://artsci.wustl.edu/~anthro/research/bowen/Normative%20Pluralism%2
0in%20Indonesia.pdf. Diakses tanggal 25 Maret 2016.
413
Bowen, John. 2007. The new anthropology of ethnicity and identity and why it
matters for Aceh and Indonesia. First International Conference of Aceh
and Indian Ocean Studies. By ARI, BRR. Singapore-Indonesia.
Braisted, William R. 1954. Nationalism in Eastern Asia. Source: The Journal of
Modern History, Vol. 26, No. 4 (Dec., 1954), pp. 356-363. Published by:
The University of Chicago Press. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/1876112. Diakses tanggal 27 Maret 2016.
Brown, David. 2001. Why might constructed nationalist and ethnic ideologies
come into confrontation with each other? Working paper series No. 17
(Nov., 2001). Southeast Asia Research Centre (SEARC). City University of
Hongkong.
Calhoun, Craig. 1993. Nationalism and ethnicity. Source: Annual Review of
Sociology, Vol. 19 (1993), pp. 211-239. Published by: Annual Reviews.
Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2083387. Diakses tanggal 16 April
2016.
Chandra, Siddharth. 1999. Colonial policy, wage inequality, and the birth of
nationalism: the case of the Dutch East
Indies.http://eh.net/Clio/Conferences/ASSA/Jan_00/chandra.pdf. Diakses
tanggal 20 April 2016.
Drake, Christine. 1992. National integration in China and Indonesia. Geographical
Review, Vol. 82, No. 3 (Jul., 1992), pp. 295-312. Published by American
Geographical Society. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/215353.
Diakses tanggal 12 April 2016.
Egyankosh. Some concepts: Imperialism, nationalism, fascism, Revolution.
Rtrievedfrom:
http://www.egyankosh.ac.in/bitstream/123456789/26167/1/Unit2.pdf.
Diakses tanggal 17 April 2016
Hah, Chong-Do and Jeffrey Martin. 1975. Toward a Synthesis of conflict and
integration theories of nationalism. Source: World Politics, Vol. 27, No. 3
(Apr., 1975), pp. 361-386. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/2010125. Diakses tanggal 17 April 2016.
He, Baogang and Anthony Reid. 2004. Special issue editor’s introduction:
fourapproaches to the Aceh question. Asian Ethnicicty, Volume 15,
Number 3, October 2004. Taylor & Francis Ltd. DOI:
10.1080/1463136042000259752. Retrieved from:
http://www.chinesedemocratization.com/English%20Website/frame/materi
als/journal/english/HeReid.pdf. Diakses tanggal 17 April 2016.
Heywood, Andrew. 2000. Key concepts in politics. New York: Palgrave
Macmillan.
Heywood, Andrew. 2007. Politics. New York: Palgrave Macmillan.
414
Hoey, Brian A. 2003. Nationalism in Indonesia: building imagined and intentional
communities through transmigration. Ethnology Vol. 42, No. 2. Spring
2003, pp. 109-26, c/o Department of Anthropology, The University of
Pittsburg, Pittsburg PA 15260 USA. The University of Pittsburg.
http://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/2027.42/39189/2/hoey_ethnology_
2003.pdf. Diakses tanggal 17 April 2016.
Kingsbury, Damien. 2002. Interest, nations, and the state development: inability in
archipelic Southeast Asia.
http://devnet.anu.edu.au/online%20versions%20pdfs/59/2059Kingsbury.pdf
. Diakses tanggal 17 April 2016.
Klinken,GeeryVan.2003.EthnicityinIndonesia.Retrievedfrom:http://ssrn.com/abstra
ct=1127126. Diakses tanggal 19 April 2016.
Knight, David B. 1982. Identity and territory: Geographical perspectives on
nationalism and regionalism. Source: Annals of the Association of
American Geographers, Vol. 72, No. 4 (Dec., 1982), pp. 514-531.
Published by: Taylor & Francis, Ltd on behalf of the Association of
American Geographers. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2563201.
19 April 2016.
Kreuzer, Peter. 2004"Framing Violence. The Role of Culture and State Institutions.
Asian Perspectives" Paper presented at the annual meeting of the
International Studies Association, Le Centre Sheraton Hotel, Montreal,
Quebec, CanadaOnline <.PDF>. 2009-05-26 from
http://www.allacademic.com/meta/p73554_index.html. 19 April 2016.
Lane, Max. 2002. Indonesia: when ‘national unity’ is no longer voluntary. Green
left weekly. Retrieved from: http://www.greenleft.org.au/2002/497/28018.
22 April 2016.
Lanti, Irman G. 2002. How to secure Indonesia’s cooperation in fight against
militants.Retrievedfrom:http://www.rsis.edu.sg/publications/Perspective/ID
SS012002.pdf. 22 April 2016.
Lawfield, Thomas. 2009. Nationalism in question. Retrieved from:
http://www.monitor.upeace.org/innerpg.cfm?id_article=654#_ftn22. 19
April 2016.
McIntyre, Angus. 1973. The greater Indonesia’ idea of Nationalism in Malaya and
Indonesia. Modern Asian Studies, Vol. 7, No. 1 (1973), pp. 75-83.
Published by Cambridge University Press. Stable
URL:http://www.jstor.org/stable/312037.19 April 2016.
Plato. 2001. Nationalism.
Retrievedfrom:http://plato.Stanford.edu/entries/nationalism.
Siddique, Sharon and Leo Suryadinata. 1981-1982. Bumiputra and pribumi:
economic nationalism (indiginism) in Malaysia and Indonesia. Published
415
by Pacific affairs, University of British Columbia. Vol. 54, No. 4 (1981-
1982), pp. 662-687. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2757890.
Diakses tanggal 19 April 2016.
Smith, Anthony D. 1996. Culture, community and territory: the politics of ethnicity
and nationalism. Source: International Affairs (Royal Institute of
International Affairs 1944-), Vol. 72, No. 3. Ethnicity and International
Relations (Jul., 1996), pp. 445-458. Published by: Blackwell Publishing on
behalf of the Royal Institute of International Affairs. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/2625550. Diakses tanggal 23 April 2016.
Smith, Dan. 2000. Ethical uncertainties of nationalism. Source: Journal of Peace
Research, Vol. 37, No. 4, Special Issue on Ethnics of War and Peace (Jul.,
2000), pp. 489-502. Published by: Sage Publication, Ltd. Stable
URL:http://www.jstor.org/stable/424643. Diakses tanggal 23 April 2016.
Smith, Mike. (2009). Understanding nationalism. www.globalpolitician.com.
Spykman, Nicholas J. 1926. The social background of Asiatic nationalism. Source:
The American Journal of Sociology, Vol. 32, No. 3 (Nov., 1926), pp. 396-
411. Published by: The University of Chicago Press. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/2765541. Diakses tanggal 12 April 2016.
Tamir, Yael. 1995. Review work(s): Imagined communities by Benedict Anderson.
Nationalism: Five roads to modernity by Liah Greenfeld. National identity
by Anthony D. Smith. Source : World Politics, Vol. 47, No. 3 (Apr., 1995),
pp. 418-440. Published by: The Johns Hopkins University Press. Stable
URL: http://www.jstor.org/stable/2950694. Diakses tanggal 19 April 2016.
Turner, Mark. 2005. From centralized authoritarianism to decentralized
democracy: regional autonomy and the state in Indonesia in Marc Weller
and Stefan Wolff (Eds.,), autonomy, self-government and conflict
resolution: innovative approaches to institutional design in divided
societies. New York: Routledge.
Vandenbosch, Amry. 1952. Nationalisma and religion in Indonesia. Source: Far
Eastern Survey, Vol. 21, No. 18 (Dec. 17, 1952), pp. 181-185. Published
by: Institute of Pacific Relations. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/3023866. Diakses tanggal 19 April 2016.
Wanandi, Jusuf. 2000. Indonesia: a failed state? The Washington Quarterly,
summer 2002, pp. 135-146. By The Center for Strategic and International
Studies and the Massachusetts Institute of Technology. Retrieved from:
http://www.twq.com/02summer/wanandi.pdf. Diakses tanggal 12 April
2016.
Weatherbee, Donald A. 2002. Indonesia: political drift and state decay. Retrieved
from:
http://www.watsoninstitute.org/bjwa/archive/9.1/Indonesia/Weatherbee.pdf.
Diakses tanggal 19 April 2016.