issn 2655-4364

86
ISSN 2655-4364 Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISSN 2655-4364

ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial,

Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Page 2: ISSN 2655-4364

ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial,

Vol. 1, No. 1, Desember 2018

SUSUNAN REDAKSI

Penerbit:

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Pengelola:

Pusat Kajian Pemerintahan dan Kesejahteraan Sosial

FISIP-UIC

Penanggung Jawab:

Dekan FISIP UIC

Pemimpin Redaksi:

Mohammad Siddiq

Redaksi Pelaksana:

Subantoro

Sekretaris Redaksi:

Don Gusti Rao

Redaktur:

Hartini Salama, Agus Kurniadi, Dahri Zaenal,

Wiara D. Anggraeni

Alamat Redaksi:

Jalan Pemuda I, Kav. 97, Rawamangun, Jakarta Timur

Surel:

[email protected]

Page 3: ISSN 2655-4364

ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial,

Vol. 1, No. 1, Desember 2018

DAFTAR ISI

SUSUNAN REDAKSI

DAFTAR ISI

PENGANTAR REDAKSI

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-

XVI/2018 TENTANG UJI MATERI UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM

(STUDI KASUS PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN CIRACAS) oleh Don

Gusti Rao 4

HIERARKI DAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DI

INDONESIA oleh Irsyaf Marsal 18

PERAN LEMBAGA MUSYAWARAH KELURAHAN DALAM MENDUKUNG

TUGAS POKOK DAN FUNGSI RUKUN WARGA DI KELURAHAN GALUR

oleh Rizal & Mohammad Siddiq 33

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN GUBERNUR NOMOR 164

TAHUN 2016 TENTANG PEMBATASAN LALU LINTAS DENGAN SISTEM

GANJIL GENAP oleh Didin Asyari Muhtadin, Dahri Zaenal, Wiara Dewi

Anggraeni 40

DEMOKRASI DAN PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP

ETNIS MINORITAS TIONGHOA DI INDONESIA oleh Muhammad Rohim

Hidayatullah 49

FUNGSI BADAN USAHA MILIK DESA (STUDI PADA BUMDES CINANGSI

KARYA MADANI DESA CINANGSI KECAMATAN CIKALONGKULON

KABUPATEN CIANJUR) oleh Sandi Rahmat & Agus Kurniadi 70

Page 4: ISSN 2655-4364

ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial,

Vol. 1, No. 1, Desember 2018

PENGANTAR REDAKSI

Dengan memanjatkan puji serta syukur kepada Allah swt., Jurnal Perspektif: Kajian

Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial hadir di hadapan pembaca budiman. Jurnal

ilmiah ini merupakan bagian dari penyebaran hasil penelitian, pengkajian, dan berbagai

inovasi yang dilakukan oleh civitas akademik yang kemudian diterbitkan secara

berkala.

Pada edisi Vol. 1 No. 1, Desember 2018 ini disuguhkan enam tulisan. Artikel pertama

berjudul “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/Puu-Xvi/2018 Tentang Uji

Materi Undang-Undang Pemilihan Umum (Studi Kasus Panitia Pemilihan Kecamatan

Ciracas)” yang ditulis oleh Don Gusti Rao menjabarkan pentingnya melibatkan

masyarakat dalam upaya menciptakan pemilu yang adil. Selanjutnya, Irsyaf Marsal

menyampaikan mengenai berbagai bentuk tata perundangan di Indonesia melalui

artikelnya yang berjudul “Hierarki dan Tata Urutan Perundang-Undangan Di

Indonesia”. LMK sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan membuktikan

perannya dalam kerukunan warga dijabarkan melalui artikel yang ditulis oleh Rizal dan

Mohammad Siddiq dengan judul “Peran Lembaga Musyawarah Kelurahan Dalam

Mendukung Tugas Pokok Dan Fungsi Rukun Warga”. Artikel lainnya yang berjudul

“Implementasi Kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 164 Tahun 2016 tentang

Pembatasan Lalu Lintas Dengan Sistem Ganjil Genap (Studi Kasus Di Jalan Thamrin

Sampai Jalan Jenderal Sudirman)” ditulis oleh Didin Asyari Muhtadin, Dahri Zaenal

dan Wiara Dewi Anggraeni menjelaskan mengenai pentingnya penanggulangan

kemacetan di ibukota. Selain itu, Muhammad Rohim Hidayatullah mengungkapkan

perkembangan demokrasi melalui tulisannya yang berjudul “Demokrasi dan Pluralisme

Abdurrahman Wahid Terhadap Etnis Minoritas Tionghoa Di Indonesia”. Jurnal ini

kemudian ditutup dengan artikel yang berjudul “Fungsi Badan Usaha Milik Desa (Studi

Pada Bumdes Cinangsi Karya Madani Desa Cinangsi Kecamatan Cikalongkulon

Kabupaten Cianjur)” yang ditulis oleh Sandi Rahmat dan Agus Kurniadi.

Selamat membaca.

Page 5: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

1 ISSN: 2655-4364

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-

XVI/2018 TENTANG UJI MATERI UNDANG-UNDANG PEMILIHAN

UMUM (STUDI KASUS PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN

CIRACAS)

Don Gusti Rao | [email protected]

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Abstrak

Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, 23 Juli 2018,

memutuskan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Salah satu

poin dalam putusan MK nomor 31/PUU-XVI/2018 tersebut, pada paragraf

[3.10.1.5] yakni permohonan uji materi Undang-Undang Pemilihan Umum

(Pemilu) nomor 7 Tahun 2017, pasal 52 ayat (1) dimana jumlah Panitia

Pemilihan Kecamatan (PPK) yang berjumlah Tiga ditambah menjadi Lima

orang. Asumsi bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 22E

ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum,

yang menyebabkan terjadinya revisi atas jumlah PPK di seluruh Indonesia pada

saat tahapan pemilu 2019 sedang berlangsung.

Putusan tersebut tentu disambut baik oleh para penyelenggara pemilu.

Dari mulai Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta, PPK sampai

Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan (Panwaslucam) yang sejak

awal menyayangkan jumlah PPK berkurang dari Lima – seperti saat

Pemilukada DKI Jakarta 2017 – menjadi Tiga orang saat Pemilihan Legislatif

(Pileg) dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019. Beban kerja

yang semakin tinggi dimana pada Pemilu 2019 di Jakarta, ada empat kotak

suara untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia (DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.

Penelitian yang berlangsung tanggal 26 Juli sampai 26 Agustus 2018 ini

menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan historis yang

mengeksplorasi langsung beberapa penyelenggara pemilu, dari tingkat Provinsi

hingga kecamatan Ciracas Jakarta Timur. Bagi para penyelenggara yang

terlibat langsung ke masyarakat, putusan MK ini tentu berdampak baik

terhadap peningkatan efektivitas, optimalitas dan pengurangan beban kerja

pada saat tahapan hingga hari pemungutan suara. Meminimalisasi tingkat

kesalahan pada saat distribusi logistik hingga rekapitulasi data pemilih dan

suara, hal tersebut membuat kinerja PPK semakin efektif.

Kata kunci: Putusan MK 31/PUU-XVI/2018, PPK, Undang-undang Pemilu,

Pemilu

Pendahuluan

Demokrasi memungkinkan

rakyat untuk menentukan nasibnya

sendiri. Asas kedaulatan rakyat

sebagai pemegang kekuasaan dan

wewenang tertinggi adalah urgensi

dari negara demokratis. Azed

(2005:1) mengungkapkan bahwa

saat ini hampir semua di setiap

konstitusi berbagai negara yang

dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan

rakyat didalamnya. Karena

kekuasaan yang tertinggi itulah, di

Yunani kuno sekitar abad ke-IV

rakyat menggunakan hak politiknya

untuk menjalankan pemerintahan,

yakni dengan memilih sendiri

pemimpinnya secara langsung.

Page 6: ISSN 2655-4364

2 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Dalam peradaban yang lebih

maju, praktik untuk memilih sendiri

pemimpin secara langsung

dimodifikasi dengan sistem

pemilihan umum. Semangat

demokrasi tentunya memegang

peranan penting, tak pelak, seperti

dirumuskan dalam penjelasan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun

1969 tentang pemilihan umum, yang

masih terus berlaku sampai pemilu

1997 seperti diungkapkan Marbun

(2000:61) bahwa pemilihan umum

adalah suatu alat yang

penggunaannya tidak boleh

mengakibatkan rusaknya sendi-

sendi demokrasi dan bahkan

menimbulkan hal-hal yang

menderitakan rakyat, tetapi harus

menjamin suksesnya perjuangan

orde baru, yaitu tetap tegaknya

Pancasila dan dipertahankannya

Undang-Undang Dasar 1945. Dalam

UU tersebut itu pula, asas pemilu

diperkenalkan dengan istilah

LUBER, akronim dari langsung,

umum, bebas, rahasia.

Pemilu di Indonesia secara

konstitusional diselenggarakan oleh

lembaga penyelenggara pemilu

yakni KPU, Badan Pengawas

Pemilu (Bawaslu) dan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu

(DKPP). Ketiga lembaga tersebut,

mempunyai peraturan turunan guna

menyederhanakan (implementatif)

dan memudahkan penyelenggaraan

pemilu. KPU dengan Peraturan

Komisi Pemilihan Umum (PKPU)

lebih kepada eksekutor pelaksanaan

pemilu, Bawaslu dengan

peraturannya (Perbawaslu)

berfungsi sebagai pengawas, dan DKPP – dengan peraturan DKPPnya

– sebagai penyeimbang dan

pengawasan kode etik terhadap

KPU dan Bawaslu. Peraturan

ketiganya, seperti halnya undang-

undang, terus bertransformasi

mengikuti relevansi zaman. Maka,

tak heran bila PKPU dan bahkan

UU Pemilu yang dinilai tidak

relevan, bisa saja direvisi sewaktu-

waktu. Bila UU bisa direvisi dengan

mengajukan uji materi di MK atau

Perppu, maka peraturan ketiga

lembaga tersebut bisa direvisi

dengan terbitnya peraturan baru

yang otomatis mengoreksi aturan

sebelumnya, tentunya dengan

nomenklatur yang sesuai (tematik)

dan substantif.

UU pemilu no 7 tahun 2017

yang merupakan landasan konstitusi

terbaru pemilihan umum, pada

beberapa putusan, kontraproduktif

dengan UU Pilkada nomor 10 tahun

2016. Tentang jumlah PPK

misalnya – yang menjadi fokus

utama riset ini – yang mengalami

pengurangan jumlah. Logikanya,

tentu dengan beban yang semakin

berat dari pemilukada ke Pilpres-

pileg jumlah PPK bertambah atau

bahkan minimal tetap. Terbitnya

UU pemilu no 7 tahun 2017 juga

bersamaan dengan persiapan

tahapan pemilukada serentak

gelombang ketiga. Jawa Barat, Jawa

Tengah, dan Jawa Timur adalah tiga

provinsi padat yang melaksanakan

pilkada berbarengan dengan 171

daerah lainnya. Imbasnya, seperti

diwartakan berbagai media, terjadi

disinformasi di KPU dan

masyarakat terkait jumlah PPK yang

bertugas pada pilkada 2018. Tetapi,

karena konteksnya adalah pilkada

dan tahapan sudah berlangsung, UU

Pilkada nomor 10/2016 lah yang

dijadikan acuan.

Metode

Metode kualitatif digunakan

penulis untuk menghasilkan data-data yang diperlukan. Mengutip

Emzir (2008:28) bahwa secara

alternatif, metodologi kualitatif

merupakan salah satu metode yang

secara primer menggunakan

paradigma pengetahuan berdasarkan

pandangan konstruktivist (seperti

makna jamak dari pengalaman

individual, makna yang secara sosial

Page 7: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

3 ISSN: 2655-4364

dan historis dibangun dengan

maksud mengembangkan suatu teori

atau pola) atau pandangan

advokasi/partisipatori (seperti

orientasi politik, isu, kolaboratif,

atau orientasi perubahan) atau

keduanya.

Bogdan dan Taylor seperti

dikutip Moleong (1993:4)

mendefinisikan metode kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati. Guna melengkapi data

penelitian yang berlangsung di

wilayah Kecamatan Ciracas sejak

tanggal 26 Juli sampai 26 Agustus

2018 ini, peneliti mewawancarai

beberapa narasumber agar

mendapatkan keterangan lisan

terkait tema penelitian. Mereka

adalah Komisioner KPUD Provinsi

DKI Jakarta periode 2018-2023

Nurdin, Fahrur Rohman Komisioner

KPU Kota Jakarta Timur periode

2018-2023 yang juga mantan Ketua

PPK Ciracas periode Pemilukada

dan Pileg-Pilpres, Mukhtar ketua

PPK Ciracas periode 2018-2019,

dan Abdul Hakim Ketua Panwaslu

Kecamatan Ciracas periode 2017-

2019.

Pendekatan yang digunakan

penulis dalam riset ini adalah

historis – telaah fenomena yang

terjadi – yang bersifat eksloratif.

Menurut Arikunto (1995:332),

penelitian historis merupakan

penelaahan dokumen serta sumber-

sumber lain yang berisi informasi

mengenai masa lampau dan

dilaksanakan secara sistematis. Peneliti pun menjadikan dokumen

PPK Ciracas periode 2016-2017

(laporan evaluasi umum) dan

putusan MK nomor 31/PUU-

XVI/2018 sebagai bagian dari

referensi utama. Juga berbagai UU

Pemilu dan PKPU sebagai rujukan.

Pembahasan

Putusan MK nomor

31/PUU-XVI/2018 tentang

permohonan uji materi UU Pemilu

no 7 Tahun 2017, khususnya pasal

52 ayat (1) disebutkan dalam

dokumen MK diajukan oleh lima

pemohon dengan bermacam latar

belakang. Erik Fitriadi dan Miftah

Farid, yang disebut dalam surat uji

materi ber kop Lembaga Bantuan

Hukum Syarikat Islam itu sebagai

pemohon satu (I) dan dua (II),

adalah komisioner KPU 2013-2018

Kabupaten Bogor dan Kabupaten

Karawang. Disebutkan, kerugian

konstitusional atas pasal tersebut

adalah berpotensi menyulitkan

kinerja dan merugikan hak

konstitusional pemohon I dan II

dalam mengemban tugas dan

amanah sebagai penyelenggara

pemilu. Hal tersebut karena

ketentuan dimaksud menjadikan

penyelenggaraan pemilu kesulitan

karena berkurangnya sumber daya

pelaksana pemilu. Selanjutnya

adalah pemohon enam (VI) dan

tujuh (VII) atas nama Turki dan

Mu‟ammar. Kerugian konstitusional

pemohon VI dan VII adalah selaku

warga negara Republik Indonesia,

dengan adanya pasal tersebut,

memperkecil kesempatan

mengabdikan dirinya demi

terwujudnya penyelenggaraan

pemilu yang berkualitas. Pasal

tersebut – yang disebutkan juga

antara lain Pasal 10 (1) huruf c,

Pasal 44 (1) huruf b dan (2) huruf b,

Pasal 117 (1) huruf b, huruf m dan

huruf o – dinilai diskrimimatif serta

tidak memiliki rasio logis dan jelas. Hal ini dianggap bertentangan

dengan prinsip dasar negara

demokrasi dimana seharusnya

ruang-ruang partisipasi aktif warga

negara untuk mengabdikan diri demi

terwujudnya cita-cita negara terbuka

lebar, bukan justru dipersempit.

Pemohon terakhir adalah

Habloel Mawadi, dosen Fakultas

Page 8: ISSN 2655-4364

4 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Hukum Universitas Islam As-

Syafi‟iyah yang disebut sebagai

pemohon 8 (VIII). Disebutkan,

sebagai dosen Hukum Tata Negara,

pemohon VIII sangat

berkepentingan dengan lahirnya

penyelenggaraan pemilu yang sesuai

dengan ketentuan dalam UUD 1945.

Hal tersebut, lanjutnya dalam surat

permohonan uji materi, mengingat

hukum kepemiluan adalah salah satu

mata kuliah yang diajarkan dalam

lingkup hukum ketatanegaraan.

Dimana pasal tersebut – selain pasal

52 (1), disebut juga pasal 10 (1)

huruf c beserta penjelasan dan

lampirannya, Pasal 44 (1) huruf b

dan (2) huruf b, Pasal 21 (1) huruf k,

Pasal 117 (1) huruf b, huruf m dan

huruf o, Pasal 286 (2) dan Pasal 557

(1) huruf b sebagai bahan uji materi

– bertentangan dengan ketentuan

dalam UUD 1945 serta tidak sejalan

dengan prinsip keadilan pemilu.

Oleh karena itu, sebagai bentuk

pertanggungjawaban akademik

pemohon VIII, norma-norma

dimaksud sesudah sepatutnya untuk

diuji di MK, yang menurut pemohon

VIII demi terwujudnya sistem

pemilu yang berkualitas dan sejalan

dengan ketentuan yang termaktub

dalam UUD 1945.

Para pemohon menjadikan

Pasal 22E (1) dan (5), Pasal 27 (1),

Pasal 28B (1) dan 28D (1) UUD

1945 sebagai batu uji – secara

umum, tidak hanya Pasal 52 (1) –

pengajuan uji materi beberapa pasal

di UU Pemilu no 7/2017.

Alasan-alasan permohonan,

sebagai bahan argumentasi logis

diungkapkan pemohon dengan sangat gamblang. Terdiri dari 10

poin yang mengkritik pengurangan

jumlah PPK berdasarkan Surat

permohonan pengujian materi UU

Pemilu no 7 tahun 2017 (2018:26)

yaitu;

1. Bahwa menurut Pasal 22E

ayat (5) UUD 1945

menyatakan, bahwa

“Pemilihan umum

diselenggarakan oleh suatu

komisi pemilihan umum

yang bersifat nasional, tetap,

dan mandiri”, namun secara

implementatif untuk tingkat

Kecamatan ke bawah

dilakukan oleh

penyelenggara yang bersifat

ad hoc, tugas, wewenang,

dan kewajiban Panitia

Pemilihan kecamatan (PPK)

tetap mengacu pada asas-

asas dan prinsip-prinsip

penyelenggaraan pemilu

yang telah ditentukan oleh

Pasal 22E ayat (1) UUD

1945 maupun peraturan

perundang-undangan

lainnya;

2. Bahwa keanggotaan PPK

sebagai penyelenggara

pemilu di tingkat kecamatan

pada pemilu tahun 2014

maupun dengan pilkada

serentak nasional bertahap

berjumlah 5 (lima) orang

(vide Pasal 41 ayat (1) UU

Pemilihan Gubernur, Bupati,

dan Wali Kota). Namun

demikian, berdasarkan

ketentuan Pasal 52 ayat (1)

UU Pemilu yang

dimohonkan pengujian, pada

pemilu tahun 2019 yang

dilakukan secara serentak

yang dikenal dengan istilah

“pemilu 5 (lima) kotak”,

keanggotaan PPK berjumlah

3 (tiga) orang. Tegasnya

komposisi keanggotaan PPK

mengalami penurunan yang

cukup signifikan. Padahal di sisi lain dengan adanya

perubahan sistem pemilu

yang dilakukan secara

serentak akan menambah

beban yang dapat menguras

energi dan pikiran

penyelenggara, baik pada

saat tahapan persiapan

pemilu, pelaksanaan pemilu

Page 9: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

5 ISSN: 2655-4364

maupun juga pasca

penetapan hasil pemilu;

3. Bahwa merujuk tugas,

wewenang, dan kewajiban

PPK sebagaimana diatur

dalam pasal 53 UU Pemilu

terdapat perubahan yang

mendasar berkaitan dengan

rekapitulasi hasil

penghitungan suara pemilu.

Dimana rekapitulasi pada

tingkat PPK tidak

berdasarkan lagi dari hasil

rekapitulasi pada tingkat

Panitia Pemungutan Suara

(PPS), tetapi berdasarkan

berita acara hasil

penghitungan suara dari

Tempat Pemungutan Suara

(TPS) (Vide Pasal 382 s.d.

Pasal 390 UU Pemilu, juncto

Pasal 393 s.d. Pasal 397 UU

Pemilu). Tegasnya, PPS

sebagai unsur penyelenggara

pemilu di tingkat

desa/kelurahan pada sistem

rekapitulasi perolehan suara

hasil pemilu tahun 2019

tidak lagi melakukan

rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan

suara di tingkat

desa/kelurahan seperti pada

pemilu tahun 2014. Tugas

PPS hanya (i)

mengumpulkan dan

menyampaikan hasil

penghitungan suara dari

seluruh TPS kepada PPK

(vide Pasal 56 huruf f dan

huruf g UU Pemilu), (ii) PPS

mengumumkan salinan

sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di

wilayah kerjanya dengan

cara menempelkan salinan

tersebut di tempat umum

(vide Pasal 391 UU Pemilu),

dan (iii) PPS membuat berita

acara penerimaan kotak hasil

penghitungan perolehan

suara peserta Pemilu dari

KPPS untuk diteruskan ke

PPK (vide Pasal 392 UU

Pemilu);

4. Bahwa terdapat fakta pada

pelaksanaan pemilu tahun

2014 untuk memilih anggota

DPR, DPD, DPRD Provinsi,

dan DPRD Kabupaten/Kota

di wilayah Kabupaten Bogor

pada pemilu tahun 2014

yang lalu dengan jumlah

peserta pemilu sebanyak 12

(dua belas) partai politik

terjadi permasalah yang

cukup krusial, yaitu berkait

dengan rekapitulasi di

tingkat PPK Kecamatan

Cibinong dan Gunung Putri

yang memakan waktu

selama 7-8 hari dari yang

seharusnya sesuai jadwal

selama 5 (lima) hari

sebagaimana diatur dalam

Peraturan KPU No. 07

Tahun 2012. Penyebab tidak

tepatnya waktu rekapitulasi

disebabkan jumlah TPS pada

2 (dua) kecamatan di atas

berjumlah sebanyak 1.069

TPS dari total TPS se-

Kabupaten Bogor sebanyak

8.891 TPS (Bbukti P-11).

Padahal sistem pemilu saat

itu dikenal dengan istilah

“pemilu 4 (empat) kotak”

dengan peserta pemilu

sebanyak 12 (dua belas)

partai politik serta jumlah

anggota PPK sebanyak 5

(lima) orang masih

mengalami keterlambatan

waktu dalam rekapitulasi

hasil perolehan suara pemilu. Lalu bagaimana dengan

perubahan sistem pemilu

yang dikenal dengan istilah

“pemilu 5 (lima) kotak”

dengan peserta pemilu

bertambah menjadi 16 (enam

belas) partai politik serta

jumlah anggota PPK yang

berkurang menjadi 3 (tiga)

Page 10: ISSN 2655-4364

6 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

orang?. Belum lagi

berdasarkan Pasal 9 ayat (3)

Peraturan KPU No. 11

Tahun 2018 yang

menentukan, bahwa jumlah

pemilih per TPS sebanyak

300 (tiga ratus) orang

pemilih yang berimplikasi

bertambahnya jumlah TPS

menjadi sekitar 800.000-an

(delapan ratus ribu-an) yang

akan menjadi basis

rekapitulasi oleh PPK

(https://nasional.sindonews.c

om/read/1235166/12/kpu-

tetapkan-pemilih-300-orang-

di-tiap-tps-1504070517).

Hal tersebut nampak berbeda

dengan pemilu tahun 2014,

dimana jumlah pemilih

setiap TPS sebanyak 500

(lima ratus) orang dengan

jumlah TPS di seluruh

Indonesia berjumlah

sebanyak 478.685 TPS,

sedangkan jumlah

penyelenggaratingkat

desa/kelurahan sebanyak

81.142 PPS yang juga

menjadi basis rekapitulasi

tingkat PPK.

(https.//nasional.kompas.co

m/read/2014/07/10/1338083

1/Rekapitulasi.Suara.KPUJa

ngan.Terpengaruh.Hitung.C

epat.Pilpres);

5. Bahwa berdasarkan uraian

fakta di atas, ke depan pada

pelaksanaan pemilu tahun

2019 sangat potensial

terhambat. Hal itu

disebabkan karena beban

bertambah, namun pada sisi lain jumlah anggota PPK

yang semula berjumlah 5

(lima) kini menjadi 3 (tiga)

orang. Belum lagi pada

pelaksanaan pemilu pada

geografis yang sulit

terjangkau dan minim

fasilitas – seperti di wilayah

Indonesia Timur – tentunya

dapat mengancam ketepatan

waktu dalam tahapan

pemilu, khususnya pada saat

distribusi logistik dan

rekapitulasi perolehan suara

hasil pemilu. Oleh karena

itu, beban tugas yang

diemban oleh PPK dengan

jumlah anggota sebanyak 3

(tiga) orang sebagaimana

diatur dalam Pasal 52 ayat

(1) huruf k UU Pemilu

sangat tidak berdasar dan

potensial dapat mengancam

tidak terlaksananya asas

pemilu sebagaimana diatur

dalam Pasal 22E ayat (1)

UUD 1945, khususnya asas

jujur dan adil; 6. Bahwa menurut para

Pemohon persoalan

pengurangan jumlah

keanggotaan PPK dalam

pembahasan Rancangan UU

Pemilu bukan sebagai isu

yang krusial diperdebatkan

di DPR bersama Pemerintah,

bahkan wacana pengurangan

itu juga sama sekali tidak

pernah mengemuka ke

publik. Karena itu,

nampaknya pembuat

undang-undang dengan

mereduksi jumlah

keanggotaan PPK

mengalami inkonsistensi

dengan tujuan politik hukum

UU Pemilu sebagaimana

tergambar pada paragraf

terakhir Penjelasan Umum

UU Pemilu yang

menyatakan, bahwa

kelembagaan yang melaksanakan pemilu yang

meliputi KPU, Bawaslu, dan

DKPP kedudukannya

diperkuat dan diperjelas

tugas dan fungsinya serta

disesuaikan dengan

perkembangan kebutuhan

hukum dalam

penyelenggaraan pemilu.

Page 11: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

7 ISSN: 2655-4364

Penguatan kelembagaan

dimaksudkan untuk dapat

menciptakan

penyelenggaraan pemilu

lancar, sistematis, dan

demokratis;

7. Bahwa dengan komposisi

keanggotaan PPK yang

berjumlah 3 (tiga) orang jika

dikaitkan dimana dalam

perjalanannya terdapat 1

(satu) orang saja anggota

PPK yang berhenti dan

diberhentikan, maka

menimbulkan masalah dalam

pelaksanaan tugas PPK

dengan 2 (dua) orang

anggota. Hal itu disebabkan

tidak dikenalnya mekanisme

pergantian antarwaktu dalam

hal terjadinya kekosongan

pemangku jabatan level PPK

yang berbeda dibandingkan

dengan adanya kekosongan

pemangku jabatan pada KPU

di semua level dapat

digantikan dengan

mekanisme pergantian

antarwaktu. Karena itu

rumusan jumlah komposisi

keanggotaan PPK sebanyak

3 (tiga) orang lebih besar

aspek mudharat-nya

ketimbang aspek manfaat

untuk melakukan efisiensi

anggaran dengan melakukan

pengurangan komposisi

jumlah keanggotaan PPK

dari 5 (lima) orang pada

penyelenggaraan pemilu

tahun 2014 maupun pilkada

serentak nasional bertahap;

8. Bahwa dari ketentuan tersebut di atas, bahwa

jumlah anggota PPK

sebanyak 3 (tiga) orang

dengan penambahan tugas

dan perubahan sistem pemilu

tentunya dengan jumlah

anggota PPK yang

berkurang akan sangat sulit

mewujudkan prinsip

penyelenggaraan Pemilu

yang profesional, akuntabel,

efektif, dan efisien (vide

Pasal 3 huruf h, i, j, dan k

UU Pemilu). Bahkan

disamping itu, dengan

berkurangnya jumlah

keanggotaan PPK berakibat

berkurangnya ruang bagi

warga negara untuk turut

serta dalam membangun

masyarakat, bangsa, dan

negaranya melalui

pelaksanaan pemilu seperti

sebelum-sebelumnya.

Tegasnya, norma tersebut

juga bertentangan dengan

prinsip pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta

perlakuan yang sama

dihadapan hukum

sebagaimana diatur dalam

Pasal 28D ayat (1) UUD

1945;

9. Bahwa kendati KPU telah

menetapkan keanggotaan

PPK seluruh Indonesia pada

bulan Maret 2018, namun

menurut para pemohon

bukanlah berarti pintu untuk

menambah jumlah anggota

PPK menjadi 5 (lima) orang

anggota sudah tutup;

10. Bahwa dengan demikian,

beralasan menurut para

pemohon, khususnya

Pemohon I, II, dan VIII, agar

kiranya Mahkamah

Konstitusi sebagai lembaga

negara pengawal dan

penafsir konstitusi, tetapi

juga sebagai pengawal demokrasi dapat membuka

ruang bagi kemaslahatan dan

masa depan demokrasi di

Indonesia dalam pemilu

tahun 2019 agar norma Pasal

52 ayat (1) UU Pemilu agar

berkesesuaian dengan asas

penyelenggaraan pemilu

yang langsung, umum,

Page 12: ISSN 2655-4364

8 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

bebas, rahasia, jujur, dan adil

sebagaimana diatur dalam

Pasal 22E ayat (1) UUD

1945, kemandirian

penyelenggara sebagaimana

diatur dalam Pasal 22E ayat

(5) UUD 1945 serta prinsip

keadilan bagi semua

penyelenggara pemilu

sebagaimana dijamin Pasal

28D ayat (1) UUD 1945

sepanjang dimaknai

“sebanyak 5 (lima) orang”.

Bilamana dikaitkan dengan

tahapan dan jadwal

penyelenggaraan pemilu

tahun 2019 sebagaimana

diatur dalam Peraturan KPU

No. 5 tahun 2018, bahwa

tugas yang berkaitan dengan

tugas PPK dalam tahapan

pemilu yang paling dekat

adalah verifikasi faktual dan

syarat dukungan bagi bakal

calon anggota DPD yang

berlangsung pada tanggal 30

Mei s.d. 19 Juni 2018.

Artinya, bahwa proses

pengisian keanggotaan PPK

menjadi 5 (lima) orang

anggota PPK masih

memungkinkan waktunya

demi mewujudkan prinsip

penyelenggaraan Pemilu

yang profesional, akuntabel,

efektif, dan efisien (vide

Pasal 3 huruf h, i, j, dan k

UU Pemilu);

Kesepuluh poin tersebut

menjadi rasionalisasi diajukannya

uji materi khususnya Pasal 52 ayat

(1) ke MK, substansinya adalah pengurangan personel PPK akan

menghambat kinerja yang

mengakibatkan lalainya pelaksanaan

pemilu – yang tidak sesuai dengan

asas pemilu di UUD 45 – di tingkat

kecamatan kebawah.

Meski demikian, pada poin

Tujuh terdapat kekeliruan terkait

model pergantian antar waktu

(PAW) yang disinyalir tak ada di

PPK. Sebenarnya, PPK memakai

model cadangan dari Enam orang,

dengan demikian, Tiga orang yang

tidak terpilih saat seleksi otomatis

akan menjadi peserta yang

dipersiapkan menjadi PAW sesuai

pemeringkatan saat tes rekrutmen

yang terdiri dari seleksi

administrasi, tes tertulis, tes

kompetensi komputer dan

wawancara. Jadi, PPK juga sudah

menggunakan sistem PAW meski

dengan Tiga orang anggota. Sebagai

contoh, di Kecamatan Ciracas

terdapat Lima orang calon anggota

PPK – lebih sedikit dibanding

Sembilan kecamatan lain di Jakarta

Timur yang berjumlah Enam orang

– yang mendaftar, hasil seleksi

memilih Tiga orang menjadi

anggota PPK, Dua lainnya yang

tidak terpilih, otomatis menjadi

pengganti (PAW) apabila peringkat

Satu sampai Tiga berhalangan tetap.

Gambar 1. Pengumuman kelulusan

Anggota PPK (Ciracas) di JakartaTimur

Ketiga anggota PPK terpilih,

seperti pada gambar diatas (Gambar

1.) berdasarkan peringkat Satu

sampai Tiga yakni Fahrur Rohman

(yang berdasarkan pleno internal

Page 13: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

9 ISSN: 2655-4364

kemudian didampuk menjadi ketua),

Yohana Maris, dan Mukhtar.

Sedangkan Sugiman dan Suherti

menjadi PAW di peringkat Empat

dan Lima. Pada perjalanannya,

terjadi PAW di Ciracas saat Fahrur

Rohman terpilih menjadi

komisioner KPU Jakarta Timur

periode 2018-2023. Secara otomatis

peringkat Empat dan Lima akan

naik menjadi anggota PPK, namun

dikarenakan keduanya pada saat itu

berhalangan tetap, maka sesuai

Pasal 65 ayat (2) PKPU Nomor 3

Tahun 2018 bahwa apabila tidak

tersedianya calon pengganti, bisa

menunjuk masyarakat setempat

yang memenuhi persyaratan.

Dipedomaninya PKPU No 3

tersebut berdampak pada PAW yang

mengambil dari unsur masyarakat

setempat yakni Arief Chan yang

kebetulan menjabat sebagai ketua

Panitia Pemungutan Suara (PPS)

Kelurahan Susukan. Hingga

kemudian personel PPK Ciracas

menjadi Mukhtar sebagai ketua

sekaligus Kelompok Kerja (Pokja)

logistik, sosialisasi dan kampanye.

Yohana Maris sebagai anggota

sekaligus pokja Daftar Pemilih

(Tarlih), dan Arief Chan sebagai

anggota dan pokja Penghitungan

Suara (Tungra.

Selain pengajuan 10 poin

alasan penolakan pengurangan

anggota PPK, para pemohon uji

materi juga mengajukan Titi

Anggraini sebagai saksi ahli. Titi,

yang juga dikenal sebagai aktivis

pegiat pemilu menilai, bahwa pada

pemilu 2019 beban PPK semakin

berlipat. Ia pun menekankan pada saat rekapitulasi suara yang

berjenjang dari TPS ke kecamatan

(PPK).

“Anggota PPK sayangnya,

alih-alih diperkuat akibat

beban yang berlipat dimana

apabila sebelumnya pada

Pemilu 2014 rekapitulasi

suara setelah selesai di TPS

dilakukan di tingkat

kelurahan/desa oleh PPS,

maka untuk Pemilu 2019

langsung melompat ke

tingkat kecamatan oleh PPK.

Pembuat UU sama sekali

mengabaikan beban besar

yang akan ditanggung PPK

akibat pergerakan

rekapitulasi yang langsung

ke tingkat Kecamatan.

Kebijakan Pembuat UU ini

tidak logis dan tidak

menghitung potensi masalah

yang akan timbul di

lapangan terkait dengan

ancaman pada pelaksanaan

pemilu yang jujur dan adil

sebagaimana diamanatkan

oleh konstitusi. Ahli

menyebut tidak logis, sebab

sebagai pembanding Pemilu

2009 dimana pemilu

diselenggarakan untuk

memilih “hanya” 4 posisi

(Anggota DPR, DPD, DPRD

Provinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota), anggota

PPK di tingkat Kecamatan

terdiri dari 5 orang. Pada

saat itu rekapitulasi juga

dilakukan di tingkat

kecamatan setelah selesai

penghitungan di tingkat TPS.

Pengaturan yang tidak logis

dalam konteks teknis dan

beban kerja yang akan

ditanggung anggota PPK

bisa mengancam kualitas

pemilu kita akibat pelaksana

pemilu yang tidak mampu

bekerja secara profesional,

akuntabel, dan efektif karena besarnya beban dan

tanggung jawab yang

mereka harus tunaikan bila

dibandingkan dengan daya

dukung sumber daya

manusia yang diberi

kewenangan oleh UU.

Sebagai institusi yang

mandiri dan bertindak

Page 14: ISSN 2655-4364

10 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

sebagai regulator pemilu

sudah semestinya KPU

diberi kewenangan untuk

menentukan jumlah anggota

PPK yang akan bekerja

menyelenggarakan Pemilu di

tingkat kecamatan. Undang-

undang bisa saja mengatur

jumlah minimal yang

menjadi standar kerja

minimum bahwa proses

rekapitulasi di TPS bisa

berjalan dengan jujur, adil,

dan profesional sesuai

prinsip penyelenggara

pemilu dalam bekerja

sebagaimana diatur dalam

Pasal 3 UU Pemilu.

Selain itu pengaturan pasal a

quo menunjukkan

inkonsistensi dan berakibat

ketidakpastian hukum, sebab

untuk penyelenggaraan

pilkada misalnya, untuk

melakukan rekapitulasi satu

atau dua jenis surat suara

(dalam hal pilkada serentak),

UU 1/2015 mengatur bahwa

jumlah anggota PPK adalah

sebanyak 5 (lima) orang. Ini

menambah semakin tidak

logisnya pengatuan jumlah

anggota UU Pemilu.”

Selain penekanan pada saat

rekapitulasi, Titi sebagai ahli juga

merekomendasikan peran KPU

sebagai regulator pemilu untuk

diberi wewenang menetapkan

jumlah PPK, tentunya dengan

dipayungi UU yang menyebutkan

peran tersebut sebagai legitimitas.

Ekspektasi tersebut tentunya tidak mudah, mengingat peran pemerintah

sebagai kontrol kebijakan

monopolistik. Sebagai

perbandingan, dalam uji materi ini,

pemerintah merekomendasikan agar

MK menolak permohonan

pengujian para pemohon seluruhnya

atau setidaknya menyatakan tidak

dapat diterima. Disebutkan dalam

Petitum, bahwa beberapa Pasal

dalam UU Pemilu yang diuji tidak

bertentangan dengan Undang-

undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan tetap

mempunyai kekuatan hukum

mengikat.

Sebagai lembaga negara

yang diberi kewenangan menguji

UU, MK mempertimbangkan uji

materi Pasal 52 ayat (1) ini. Salah

satu pertimbangannya yakni terkait

profesionalitas penyelenggaraan

pemilu di tingkat kabupaten/kota

dan kebutuhan manajemen pemilu,

terlebih sesuai UU, PPK

berkewajiban membantu KPU

dalam menyelenggarakan Pemilu.

MK juga memafhumi beban PPK

yang lebih besar saat Pileg 2019

dibanding pemilu sebelumnya

seperti saat penghitungan suara

misalnya. Terlebih lagi dengan

kewajiban PPK lainnya, yang

membantu KPU Kabupaten/Kota

dalam proses pemutakhiran daftar

pemilih yang merupakan bagian dari

jaminan perlindungan hak

dasar/politik warga negara di dalam

sebuah proses penyelenggaraan

pemilu. Berkenaan dengan hal

tersebut, juga terkait tugas,

kewenangan, kewajiban PPK dan

asas pemilu yang pelaksanaannya

mesti dalam sebuah management

election yang rasional dan terukur.

Dalam hal beban kerja saat

penghitungan suara PPK, berikut

pandangan MK dalam

pertimbangnnya (poin 6);

“Bahwa apabila dikaji lebih

jauh, berdasarkan

penghitungan dalam Berita Acara KPU Nomor

112/PL.02.1BA/01/KPU/VII

/2018 tentang Rekapitulasi

Daftar Pemilih Sementara

(DPS) Dalam Negeri,

bertanggal 12 Juli 2018,

terdapat 7.201 kecamatan,

83.370 desa/kelurahan, dan

Page 15: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

11 ISSN: 2655-4364

801.838 tempat pemungutan

suara (TPS) untuk

pelaksanaan Pemilu Serentak

tahun 2019. Dengan melihat

jumlah kecamatan,

desa/kelurahan dan jumlah

TPS untuk pelaksanaan

Pemilu 2019, pelaksanaan

Pemilu Legislatif dan Pemilu

Presiden/Wakil Presiden

yang diselenggarakan secara

bersamaan, jelas menambah

bobot tugas dan kerja

penyelenggara Pemilu di

tingkat kecamatan. Dengan

bentangan fakta tersebut,

pengurangan jumlah PPK

dari Pemilu 2014 berjumlah

lima orang menjadi tiga

orang dalam Undang-

Undang a quo dapat

dikualifikasi sebagai

rumusan yang tidak rasional

dan tidak terukur.

Perumusan norma yang tidak

rasional dan tidak terukur ini

jelas akan berdampak

terhadap pemenuhan asas

Pemilu yang langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur,

dan adil yang wajib untuk

dilaksanakan oleh

penyelenggara Pemilu,

termasuk penyelenggara

Pemilu di tingkat

kecamatan;”

MK tentu tak mau

mengambil konsekuensi bahwa

penyelenggaran pemilu tidak sesuai

dengan asas luberjurdil yang

menjadi tolok ukur bangsa, maka itu

pengurangan PPK dikualifikasikan

sebagai rumusan yang tidak rasional dan tidak terukur.

Selanjutnya, pengurangan

anggota PPK sesuai Pasal 52 (1) UU

Pemilu menurut MK menyebabkan

ketidakpastian hukum, yakni dalam

hubungannya dengan ketentuan

jumlah PPK yang diatur UU Nomor

10 Tahun 2016 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota menjadi UU

Nomor 10/2016.

“Dimana, dalam pasal 16

ayat (1) UU 10/2016 diatur

bahwa anggota PPK

sebanyak 5 (lima) orang.

Sekalipun rezim hukum

Pemilu dan Pilkada dianggap

berbeda, namun

penyelenggara Pilkada yang

diberi tugas oleh UU

10/2016 untuk melaksanakan

Pilkada adalah

penyelenggara Pemilu yang

dibentuk sesuai dengan Pasal

22E ayat (5) UUD 1945.

Oleh karena itu, struktur

penyelenggara Pemilu dan

Pilkada seharusnya tetap

sama meskipun

melaksanakan mandat dari

dua Undang-undang yang

berbeda. Selain perbedaan

pengaturan mengenai

komposisi anggota PPK

antara UU Pemilu dan UU

10//2016 dapat

menyebabkan ketidakpastian

hukum dalam pelaksana

tugas-tugas PPK, rasionalitas

apakah yang dapat

membenarkan bahwa

pemilihan kepala daerah

yang lebih sederhana

diselenggarakan PPK dengan

jumlah anggota adalah 5

(lima) orang, sementara

untuk Pemilu serentak tahun

2019 yang jauh lebih kompleks junlah anggota

PPK hanya 3 (tiga) orang.”

Selain dalil ketidakpastian

hukum diatas (sesuai dengan poin 7

putusan MK), pengurangan PPK

juga dianggap bertentangan dengan

semangat penyelenggaran pemilu

Page 16: ISSN 2655-4364

12 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

sebagaimana dimandatkan Pasal

22E ayat (1) UUD 1945.

Atas seluruh pertimbangan

sebagaimana diurai diatas, MK

akhirnya mengabulkan uji materi

Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu

tersebut, yang dianggap

bertentangan dengan Pasal 22E ayat

(1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD

1945 adalah beralasan menurut

hukum.

Berikut redaksi amar

putusan MK;

“Frasa „3 (tiga) orang‟ dalam

Pasal 52 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 7 Tahun

2017 tentang Pemilihan

Umum (Lembaran Negara

Repulbik Indonesia Tahun

2017 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 6109),

bertentangan dengan UUD

1945 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat

secara bersyarat sepanjang

tidak dimaknai „5 (lima)

orang‟.”

Atas putusan MK ini yang

bersifat final dan mengikat, maka

sudah sewajibnya KPU

melaksanakannya. Sepanjang

pengamatan dan hasil wawancara

penulis dengan narasumber

komisioner KPU Provinsi DKI

Jakarta, hasil putusan tersebut butuh

waktu untuk dijalankan, KPU

tingkat Provinsi dan Kota masih

menunggu arahan KPU Pusat terkait

metode perekrutan PPK secara

teknis.

Pasca putusan MK bagi PPK

Ciracas

Di Ciracas, bagi berbagai

stakeholder kepemiluan, putusan

MK tentu menjadi angin segar

mengingat kompleksnya tahapan

pemilu yang sedang berjalan.

Sebagai catatan, berdasarkan Pleno

PPK Ciracas tanggal 10 April 2018,

jumlah TPS di Ciracas pada Pemilu

2019 sebanyak 787. Terjadi

peningkatan yang cukup signifikan

dimana pada pemilukada DKI

Jakarta 2017 berjumlah 332 TPS.

Gambar 2. Berita Acara Rekapitulasi

Daftar Pemilih Sementara PPK Ciracas

pada Pemilu Gubernur dan Wakil

Gubernur DKI Jakarta 2017 (1 April

2017). Jumlah TPS sebanyak 332.

Gambar 3. Berita Acara Rapat Pleno

Penetapan Tempat Pemungutan Suara dan

Daftar Pemilih Awal Pemilihan Umum

Page 17: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

13 ISSN: 2655-4364

Tahun 2019 PPK Ciracas (10 April 2018).

Jumlah TPS sebanyak 787.

Potensi human error pada

tahapan pemilu seperti distribusi

logistik untuk Panitia Pemutakhiran

Data Pemilih (Pantarlih) begitu

besar. Ini terlihat saat Pokja Logistik

PPK Ciracas kesulitan mendata,

mengkategorisasi dan

mendistribusikan logistik ke PPS

sesuai jumlah Pantarlih atau TPS.

PPK beranggapan, tiga hal yang

menyebabkan ruwetnya proses

tersebut yang pertama karena

peningkatan tajam jumlah TPS,

keterlambatannya distribusi dari

KPU, dan yang tak kalah urgennya

adalah sumber daya (SDM) PPK

yang minim, dimana dengan

turunnya logistik yang tak

terprediksi – kadang dini hari –

datangnya, tidak ada anggota lain

yang bisa dijadikan partner karena

ketidakjelasan waktunya. Di sisi

lain, PPS juga bekerja sampai larut

dengan agenda pemetaan TPS yang

belum maksimal, rekrutmen

Pantarlih dan juga pendataan

logistik yang kadang kurang dan

berlebih.

Bisa dipastikan bahwa

komitmen distribusi logistik yang

tepat waktu dan sasaran tidak

maksimal. Masalah lain yang

muncul akibat kurangnya SDM

adalah koordinator wilayah (korwil)

yang dibentuk guna mengakomodir

dan memonitoring Lima PPS yang

ada di Ciracas, bila sebelumnya,

pada saat Pilkada DKI, PPK masih

berjumlah Lima orang, tentu

pembagian korwil sangat

proporsional dimana Satu anggota

PPK mengkoordinatori Satu PPS – meski di PPK lain kadang lebih

rumit dimana jumlah Kelurahannya

yang lebih dari Lima. Berdasarkan

wawancara dengan Mukhtar ketua

PPK Ciracas, sistem kerja

kepemiluan yang seakan tidak kenal

waktu membuat SDM yang sedikit

semakin carut-marut dan kurang

optimal. Apalagi PPK tidak

mendapatkan alokasi tambahan

personel berupa staf seperti

Panwaslucam, yang sangat berguna

dalam membantu pembuatan

laporan kegiatan rutin, sosialisasi,

dan pendataan. Seperti diketahui

bahwa Tiga anggota Panwaslucam –

yang membawahi masing-masing

Satu orang Panwaslukel di tiap

kelurahan – mempunyai staf Lima

orang, Tiga orang sebagai staf

Tehnis dan Dua orang sebagai staf

pendukung. Padahal, secara umum

pekerjaan PPK lebih kompleks

dibanding Panwaslucam.

Sementara Komisioner

KPUD DKI Jakarta, Nurdin,

beranggapan bahwa beban berat

yang menghantui saat rekapitulasi

suara akan hilang seiring

penambahan jumlah PPK. Saat

rekap suara, menurutnya, akan

sangat membantu dan optimal.

Sebelumnya, diakui banyak protes

dari pegiat pemilu di bawah terkait

pasal 52 ayat (1) ini, apalagi dalam

perjalanannya, ada beberapa tahapan

yang berhimpitan seperti kampanye

dan proses pemutahiran data.

Nurdin pun menambahkan, Partai

politik dan panwaslucam juga pada

awalnya menyayangkan

pengurangan jumlah anggota PPK

yang justru akan membuat

pelaksanaan pemilu kurang optimal.

Bagi Fahrur Rohman, komisioner

KPU Jakarta Timur yang juga

mantan Ketua PPK Ciracas, pegiat

pemilu dibawah bahkan sampai

curhat terkait rumitnya sistem

penyelenggaraan pemilu dengan

SDM minim. Ia pun optimis bahwa dengan putusan MK, khususnya di

Ciracas akan sangat efektif

menyukseskan pemilu 2019. Ia

menekankan pada terbaginya pokja

yang proporsional, satu orang bisa

konsentrasi pada satu pokja yang

diampu.

Dari perspektif

Panwaslucam yang notabene

Page 18: ISSN 2655-4364

14 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

sebagai partner kerja PPK di level

kecamatan, seperti halnya yang

diungkapkan Nurdin,

menyayangkan pengurangan PPK

yang dinilai bisa menghambat

kesuksesan pemilu. Hal tersebut

lumrah karena secara tidak

langsung, beban pengawasan

Panwaslucam akan lebih berat

dimana banyak celah yang potensial

terjadi pelanggaran, dari mulai

logistik yang tak tepat sasaran,

hingga data yang tak efektif.

Berdasarkan pengalamannya, ketua

Panwaslucam Ciracas Abdul Hakim

mengatakan, jumlah Tiga orang di

PPK akan menimbulkan

ketimpangan kinerja di Pokja,

senada dengan yang dikatakan

Fahrur Rohman. Sedangkan bila

kembali menjadi Lima orang seperti

saat Pilkada DKI Jakarta, Hakim

menilai akan linier dengan jumlah

komisioner KPU Kota di Jakarta.

Apalagi saat PPK di Ciracas baru

terbentuk, Hakim menggarisbawahi

hanya ada satu orang petahana –

yakni Fahrur Rohman – yang

terpilih, otomatis beban berat PPK

sebagai tim akan berat, terutama

saat momen krusial data pemilih

(dari DPT hingga DPSHP) terutama

koordinasi.

Dari semua narasumber yang

penulis wawancarai, menyambut

positif putusan MK ini dan optimis

kinerja PPK akan optimal dalam

menyukseskan pemilu 2019. Saat

dikonfirmasi bagaimana tindak

lanjut putusan MK ini,

penyelanggara pemilu mulai dari

KPU provinsi hingga PPK kompak

mengatakan bahwa mereka sedang menunggu tehnis resmi berupa

PKPU atau Surat Instruksi dari KPU

RI. Harapannya tentu eksekusi

putusan MK jangan menunggu

waktu yang lama, sebab tahapan

sudah semakin krusial dimana akan

ada penetapan DPT dan Daftar

Calon Tetap (DCT) peserta pemilu.

Kesimpulan

Penelitian yang menganalisis

putusan MK nomor 31/PUU-

XVI/2018 pasal 52 ayat (1) UU No

7 Tahun 2017 terhadap kinerja PPK

Ciracas ini, berkesimpulan bahwa

penambahan PPK adalah

keniscayaan efektifitas

penyelenggaran pemilu di tingkat

kecamatan di Ciracas. Berhasilnya

uji materi di MK yang dilakukan

para pemohon bukan saja

berdampak parsial pada yang

memohon, tetapi punya cakupan

luas terhadap optimalitas demokrasi

di Indonesia. Tidak terbayangkan

bila dengan tehnis sistem pemilu

Empat kotak di Jakarta,

dilaksanakan Tiga orang saja di Satu

kecamatan yang notabene

membawahi Lima sampai Delapan

Kelurahan, dengan total rata-rata

130.000 sampai 330.000 pemilih di

Jakarta Timur.

Tentunya fenomena tersebut

merupakan perkejaan rumah kita

bersama demi penguatan eksistensi

demokrasi. Belum lagi, selain

kendala tehnis, PPK juga dalam

perjalannya berpotensi akan

mendapatkan intimidasi dan protes

keras dari stakeholder pemilu yang

tidak puas terhadap kinerjanya,

mulai dari Panwaslu hingga tim

sukses partai politik, calon anggota

legislatif dan peserta pemilu

lainnya. Kesalahan fatal yang dinilai

berakibat pada kerugian peserta

pemilu, tentu tak bisa ditolerir meski

dengan dalih human error, sebagai

contoh saat Pemilkuda DKI Jakarta

2017 lalu, ada kejanggalan terkait

Surat Keterangan (Suket) di Kelurahan Kelapa Dua Wetan

(KDW). Suket yang diatur sebagai

pengganti Kartu Tanda Penduduk

Elektronik (eKTP) ternyata terdapat

kekeliruan pada saat pencoblosan di

TPS 22 KDW, dimana seharusnya

hanya Suku Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil (Sudin Dukcapil)

yang berwenang secara otoritatif

Page 19: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

15 ISSN: 2655-4364

mengeluarkannya. Tetapi akibat

ketidaktahuan, eKTP yang

dikeluarkan Lurahlah yang dipakai

mencoblos. Karena kuat aroma

politik dalam pesta demokrasi yang

politis pula, maka, partai politik

yang dirugikan, beranggapan bahwa

ada kesengajaan dan pembiaran

yang terdapat pada proses ini,

alhasil, Ketua Kelompok Panitia

Pemungutan Suara (KPPS) hilir

mudik dipanggil sebagai sakisi ke

kantor Bawaslu Provinsi DKI dan

ke Polda Metro Jaya. Tak sampai

disitu, turunnya faktor kepercayaan

terhadap PPK saat rekapitulasi suara

terkait kasus TPS 22 KDW ini juga

menyebabkan forum alot dan

memanas, sampai kemudian

perwakilan kelurahan dihadirkan di

forum untuk memberikan

keterangan dan klarifikasi, pun

dengan Panwaslucam.

Setelah publikasi media dan

sorotan tajam partai politik terhadap

kasus di KDW, PPK Ciracas dan

KPU JakartaTimur yang

sebelumnya juga diminta klarifikasi

di Polda Metro Jaya menyimpulkan

bahwa kesalahan fatal ini akibat

human error, yang bila ditelisik

lebih lanjut adalah minimnya

pemahaman petugas pemilu di

lapangan, ini tentu akibat bimbingan

tehnis (Bimtek) yang tidak

maksimal. Lagi-lagi, selain

kurangnya kapasitas pemberi

bimtek, juga kurangnya SDM yang

menjadi salah satu faktor

pemicunya.

Kejadian di TPS 22 KDW

itulah yang menurut Fahrur

Rohman, bisa saja terulang bahkan makin banyak bila personel PPK

berkurang. Apalagi, menurut Abdul

Hakim, PPK Ciracas kali ini kurang

optimal mengingat hanya satu orang

saja sebagai petahana yang punya

pengalaman di bidang kepemiluan,

sedangkan dua orang lagi tercatat

sebagai pendatang baru di dunia

kepemiluan. Ini tentu merupakan

preseden yang kurang baik.

Meski putusan MK disambut

baik dan apresiatif, namun masih

ada beberapa masalah yang

mengganjal. Pertama yakni belum

jelasnya implementasi terkait tehnis

penambahan anggota PPK. Sejak

diputuskannya uji materi oleh MK

pada 23 Juli 2018 sampai dengan

penulisan akhir penelitian ini 26

Agustus 2018, belum ada tanda-

tanda dari KPU untuk merevisi

PKPU pasca putusan MK. Terlebih

lagi, masa kerja PPK dan PPS sesuai

Surat Keputusan (SK) KPU hanya

Tujuh Bulan sampai September

2018. Bila kita berpendapat bahwa

butuh waktu lebih untuk menyusun

PKPU tersebut, harus dimaklumi

pula bahwa keadaan dibawah sudah

mendesak dan putusan MK sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap

sejak diucapkan, sesuai dengan

Pasal 47 UU MK No 24 Tahun

2003. Meski desas-desus terdengar

bahwa masa kerja PPK-PPS akan

diperpanjang hingga Desember

2018, dan penambahan PPK mulai

awal Januari 2019, kita tetap

berharap implementasinya secepat

mungkin demi efektifitas tahapan

pemilu.

Kedua, adalah metode

perekrutan Dua orang calon anggota

PPK pasca putusan MK. Seperti

diucapkan Fahrur Rohman, bahwa

metode tehnis ini lebih diharapkan

adalah memaksimalkan peran PAW

yang sebelumnya sudah ada saat

pendaftaran awal, dengan asumsi

bahwa tidak ada rekrutmen ulang

yang memakan waktu seleksi dan biaya lagi ditengah padatnya

tahapan pemilu. Tapi, bila jumlah

PAW dimaksimalkan, akan muncul

masalah baru, yakni tidak adanya

proses rekrutmen ulang yang

memungkin adanya PAW baru

berdasarkan pemeringkatan, belum

lagi bila stok PAW sudah habis

sejak awal seperti yang terjadi di

Page 20: ISSN 2655-4364

16 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Ciracas. Bila ada masalah di tengah

jalan, tentu akan sulit mencari

penggantinya, apalagi bila kita

melihat fenomena bahwa

kebanyakan tokoh masyarakat atau

yang pernah punya pengalaman di

kepemiluan, lebih memilih menjadi

bagian dari timses, dengan demikian

otomatis tidak bisa mengikuti

rekrutmen PPK. Kemudian juga

muncul asumsi bahwa PAW akan

diseleksi lagi bersama para

rekrutmen baru untuk menentukan

peringkat, dengan demikian akan

ada hasil siapa yang terpilih dan

menjadi PAW baru. Terpenting, kita

akan menunggu tehnis PKPU

perekrutan dengan mekanisme yang

sederhana dan efisien dengan

harapan tidak menggangu

konsentrasi proses tahapan pemilu

yang sedang berjalan.

Ketiga, yang tidak kalah

pentingnya adalah masalah

anggaran kepemiluan yang sudah

ditetapkan sejak awal. Di kutip dari

CNN, Menteri Dalam Negeri Cahyo

Kumolo menegaskan bahwa pasca

putusan MK, kebutuhan anggaran

membengkak. Ini pun bisa dimaknai

bahwa pembahasan akan cukup alot,

maka bisa saja faktor anggaran yang

membenarkan desas-desus bahwa

putusan MK baru akan

diimplementasikan bulan Januari

2019. Karena rekrutmen PPK bukan

saja faktor honorarium, tetapi juga

anggaran dinas lain dan juga rapat

yang menyesuaikan kuantitas

petugas pemilu.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Arikunto, Suharsimi, Manajemen

Penelitian, Jakarta: Bineka

Cipta, 1995.

Azed, Abdul Bari dan Makmur

Amir, Pemilu & Partai

Politik di Indonesia, Jakarta :

Pusat Studi Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2005.

Emzir, Metodologi Penelitian

Pendidikan: Kuantitatif dan

Kualitatif, Jakarta : PT

RajaGrafindo Persada, 2008.

Marbun, B.N., DPR RI

Pertumbuhan dan Cara

Kerjanya, Edisi Revisi,

Jakarta : Dep P & K, 2000.

Moleong, Lexi J., Metodologi

Penelitian Kualitatif,

Bandung : PT Remaja

Rosdakarya, 1993.

Dokumen, Jurnal, dan peraturan

perundang-undangan

Berita Acara Nomor 08/BA/PPK-

CRCS/IV/2018 tentang

Rapat Pleno Penetapan

Tempat Pemungutan Suara

dan Daftar Pemilih Awal

Pemilihan Umum Tahun

2019 Se-Kecamatan Ciracas

Berita Acara Nomor 13/PPK-

CRS/IV/2017 tentang

Rekapitulasi Daftar Pemilih

Sementara (DPSHP) dari

Setiap PPS dalm Wilayah

Tingkat Kecamatan Panitia

Pemilihan Kecamatan

Ciracas

Jurnal Bawaslu DKI Jakarta edisi

Maret 2018

Laporan Evaluasi Pelaksanaan

Pemilihan Umum Gubernur

dan Wakil Gubernur

Provinsi DKI Jakarta tahun

2017 Kecamatan Ciracas,

Panitia Pemilihan

Kecamatan Ciracas

Laporan Pelaksanaan Pemutakhiran

Data dan Daftar Pemilih

Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi DKI Jakarta tahun

2017 Kecamatan Ciracas,

Page 21: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

17 ISSN: 2655-4364

Panitia Pemilihan

Kecamatan Ciracas

Pengumuman KPU Jakarta Timur

Nomor 038/KPU-

Kota/010.324886/II/2018

Tentang Hasil Wawancara

dan Tes Kompetensi

Komputer Seleksi Calon

Anggota Panitia Pemilihan

Kecamatan Pemilihan

Umum Tahun 2019 Di

Lingkungan KPU Kota

Jakarta Timur

Peraturan Komisi Pemilihan Umum

Nomor 3 Tahun 2018

tentang Pembentukan dan

Tata Kerja Panitia Pemilihan

Kecamatan, Panitia

Pemungutan Suara, dan

Kelompok Penyelenggara

Pemungutan Suara dalam

Penyelenggaraan Pemilihan

Umum.

Putusan Mahkamah Konstitusi

nomor 31/PUU-XVI/2018

Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah

Konstitusi

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 2016

tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota

Menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah

Konstitusi

Wawancara:

Wawancara dengan Ketua Panwaslu

Kecamata Ciracas, Abdul

Hakim, pada Kamis 2

Agustus 2018, di Sekretariat

Panwaslu Kecamatan

Ciracas.

Wawancara dengan Ketua PPK

Ciracas, Mukhtar, pada

Kamis 2 Agustus 2018, di

Kecamatan Ciracas.

Wawancara dengan Komisioner

KPU Daerah Provinsi DKI

Jakarta, Nurdin, pada Senin

30 Juli 2018, di KPU DKI

Jakarta.

Wawancara dengan Komisioner

KPU Kota Jakarta Timur,

Fahrur Rohman, pada Selasa

30 Juli 2018, di KPU Kota

Jakarta Timur.

Page 22: ISSN 2655-4364

18 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

HIERARKI DAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DI

INDONESIA

Irsyaf Marsal | [email protected]

Fakultas Agama Islam Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Abstrak

Sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia tentang

jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan mengalami pasang surut

sesuai dengan perkembangan konstitusi serta peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia. Mengingat perlu adanya pembaharuan hukum agar

sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga hukum bukan hanya sebagai

pelengkap administrasi negara saja akan tetapi juga mempunyai peranan yang

sangat penting dalam memajukan ketatanegaraan Indonesia serta meningkatkan

pembangunan terhadap masyarakat agar lebih berkembang sesuai dengan

tuntutan zaman.

Kata kunci: hierarki, tata urutan, perundang-undangan

Pendahuluan

Sistem hukum nasional

merupakan kesatuan hukum dan

perundang-undangan yang terdiri

dari banyak komponen yang saling

bergantung, yang dibangun untuk

mencapai tujuan negara dengan

berpijak pada dasar dan cita hukum

negara yang terkandung di dalam

Pembukaan dan Pasal-pasal

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

(Mahfud MD, 2010:22).

Dengan demikian, dapat

ditegaskan bahwa pembukaan dan

pasal-pasal UUD 1945 merupakan

sumber dari keseluruhan politik

hukum nasional Indonesia.

Penegasan keduanya sebagai

sumber politik hukum nasional

didasarkan pada dua alasan yaitu:

(1) Pembukaan dan Pasal-Pasal

UUD 1945 memuat tujuan, dasar,

cita hukum dan norma dasar negara

Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum di

Indonesia. (2) Pembukaan dan

Pasal-pasal UUD 1945 mengandung

nilai-nilai khas yang bersumber dari

pandangan dan budaya bangsa

Indonesia yang diwariskan oleh

nenek moyang sejak berabad-abad

yang lalu (Mahfud MD, 2010:23).

Pasal 1 ayat (3) UUD

Negara Republik Indonesia (NRI)

Tahun 1945 secara tegas

menyatakan: ”Negara Indonesia

adalah negara hukum.” Negara

hukum yang dimaksud adalah

negara yang menegakkan supremasi

hukum untuk mewujudkan

kebenaran dan keadilan, dimana di

dalamnya tidak ada kekuasaan yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sebelumnya, ketentuan yang

menyatakan bahwa Indonesia

Negara hukum hanya terdapat pada

bagian penjelasan. Pada persidangan

Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) amandemen ketiga,

ketentuan yang amat penting ini

dikokohkan kedudukannya dengan

diangkat masuk kedalam pasal 1

UUD 1945. Keberadaan ayat 3 ini,

menjadi landasan konstitusional

bahwa Indonesia adalah Negara

yang berdasarkan atas hukum, juga dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.

Walaupun secara eksplisit

rumusan tersebut tidak

mencantumkan kata Pancasila,

tetapi karena Pancasila merupakan

dasar negara dan merupakan cita

hukum di Indonesia, maka

keberadaan nilai-nilai Pancasila

Page 23: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

19 ISSN: 2655-4364

harus diacu oleh negara hukum di

Indonesia. Nilai-nilai Pancasila

(pasal 2 UU no.12 tahun 2011)

inilah yang kemudian menjadi

pembeda dengan konsep rechstaat

dan rule of law (Bernard Arief

Sidharta, 2013:98).

Pada dasarnya terdapat 3

(tiga) prinsip yang harus

dilaksanakan dalam suatu negara

hukum, yaitu (A.V. Dicey, 2008) :

supremasi hukum (supremacy of

law), kesetaraan di depan hukum

(equality before the law) dan

penegakan hukum dengan cara-cara

yang tidak bertentangan dengan

hukum (due process of law). Dalam

pelaksanaannya ketiga hal tersebut

dijabarkan dalam bentuk (Jimly

Asshidiqie, 2004:55) : (1) jaminan

perlindungan hak-hak asasi manusia

(HAM); (2) kekuasaan kehakiman

atau peradilan yang merdeka; dan

(3) legalitas hukum dalam segala

bentuknya (setiap tindakan

negara/pemerintah dan masyarakat

harus berdasar atas dan melalui

hukum).

Mendasarkan hal tersebut,

salah satu sarana untuk mewujudkan

kepastian hukum adalah adanya

peraturan perundang-undangan.

Pengertian Peraturan Perundang-

Undangan berdasarkan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011

adalah peraturan tertulis yang

memuat norma hukum yang

mengikat secara umum dan dibentuk

atau ditetapkan oleh lembaga negara

atau pejabat yang berwenang

melalui prosedur yang ditetapkan

peraturan perundang-undangan

(Pasal 1 angka 2, Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011).

Keberadaan peraturan perundang-

undangan menjadi penting dalam

asas legalitas antara lain karena

dalam peraturan perundang-

undangan dikenal adanya asas yang

melingkupinya, adanya

kelembagaan pembentuk dan

pengujinya, serta dikenal adanya

hierarki .

Pembentukan peraturan

perundang-undangan harus

dipersepsikan sebagai salah satu

upaya pembaharuan hukum agar

mampu mengarahkan dan

menampung kebutuhan-kebutuhan

hukum sesuai dengan kesadaran

hukum rakyat yang berkembang ke

arah modernisasi menurut tingkat-

tingkat kemajuan pembangunan di

segala bidang. Dengan demikian

diharapkan akan tercapai ketertiban

dan kepastian hukum sebagai

prasarana yang harus ditunjukkan ke

arah peningkatan terwujudnya

kesatuan bangsa sekaligus berfungsi

sebagai sarana penunjang kemajuan

dan reformasi yang menyeluruh.

Walaupun tidak dimungkiri

bahwa seringkali implementasi dan

penegakan peraturan perundang-

undangan tidak berjalan secara

efektif dan efisien. Dengan kata lain

”daya guna” peraturan perundang-

undangan tidak maksimal untuk

mengatur atau menyelesaikan

permasalahan yang ada. Namun

demikian peraturan perundang-

undang belum sepenuhnya mampu

memecahkan permasalahan; aspek

substansi, meliputi: (1)

materiil/substansi yang terkait

dengan dasar hukum pembentukan

peraturan perundangundangan;

masih adanya keinginan dalam

membentuk peraturan yang tak

sejalan dengan kebutuhan; adanya

disharmoni substansi antara

peraturan yang satu dengan yang

lain, serta perkembangan ilmu

pengetahuan dan masyarakat yang seringkali terlalu cepat berubah. (2)

Aspek formil/proses pembentukan

peraturan perundangundangan yang

meliputi proses pra legislasi

(kualitas penelitian/ pengkajian,

naskah akademik, penentuan

prioritas Prolegnas, pelaksanaan

rapat antar kementerian dan

harmonisasi), legislasi (mekanisme

Page 24: ISSN 2655-4364

20 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

pembahasan di DPR) dan pasca

legislasi (diseminasi/sosialisasi). (3)

Aspek kelembagaan baik yang

terkait dengan kelembagaan

pembentuk undang-undang dan ego

sektoral lembaga

(Enny

Nurbaningsih, 2015).

Permasalahan

Melihat pada latar belakang

di atas, maka permasalahan yang

dibahas pada penelitian ini adalah

mengenai hierarki dan tata urutan

peraturan perundang-undangan

yang pernah berlaku di Indonesia,

dan apa saja yang diatur dalam

ketentuan-ketentuan tersebut dan

permasalahan UU no.12 tahun 2011.

Metode Penelitian

Dalam penulisan ini metode

penelitian yang digunakan adalah

metode penelitian hukum normatif

(doktriner) atau penelitian hukum

kepusatakaan, karena yang

dilakukan adalah meneliti bahan

hukum pustaka atau data sekunder

belaka untuk mengetahui dan

mengkaji perihal hierarki peraturan

perundang-undangan (Soerjono

Soekanto dan Sri Mamudji,

2006:13-14).

Pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini ada tiga jenis

yaitu : pendekatan perundang-

undangan (statute approach),

pendekatan historis (historical

approach) dan pendekatan

perbandingan (comparative

approach). Dipergunakan lebih dari

satu pendekatan dalam penelitiaan

ini adalah untuk saling melengkapi

antara satu pendekatan dengan pendekatan lainnya.

Sedangkan bahan hukum

yang digunakan yaitu bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder.

Bahan hukum primer diartikan

sebagai bahan hukum yang

mengikat seperti norma atau kaidah

dasar misalnya pembukaan UUD

Tahun 1945, dan peraturan

perundang-undangan. Sedangkan

bahan hukum sekunder yaitu bahan

hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer

(Amiruddin dan Zainal Asikin,

2016:118-119). Dalam penulisan ini

Bahan Hukum primer yang

dipergunakan yaitu UUD Tahun

1945, UU Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, dan peraturan

perundang-undangan lainnya.

Sedangkan bahan hukum sekunder

yang dipergunakan yaitu buku,

hasil-hasil penelitian, artikel, dan

pendapat pakar hukum.

Pembahasan

1. Hierarki peraturan perundang-

undangan

Dalam perkembangan

ketentuan/peraturan mengenai

hierarkhi atau tata urutan peraturan

perundang-undangan yang pernah

berlaku di Indonesia hingga saat ini

telah mengalami perubahan-

perubahan mengikuti perkembangan

dan kebutuhan bangsa Indonesia.

Indonesia sebagai negara

hukum (Pasal 1 ayat 3, UUD 45)

tentulah harus memiliki peraturan

perundang-undangannya. Dalam

perkembangannya, aturan

perundang-undangan tersebut

terdapat beberapa fase. Hal itu

tidaklah terlepas dari sejarah

Indonesia itu sendiri. Sejarah

memang menentukan hukum suatu

negara, suatu bangsa. Sejarah

memberikan pengetahuan bahwa

pentingnya bagi kita untuk mengkaji

lebih dalam kedalam suatu peraturan

yang diberlakukan pada masanya. Sejauh ini, perubahan tata urutan

perundang-undangan, berkaitan

dengan perubahan rezim

kepemimpinan. Diantaranya masa

kemerdekaan dan orde lama

sebelum dekrit 5 Juli 1959 (UU

No.1 Tahun 1950, UU no.2 tahun

1950, dan Undang-undang Dasar

Page 25: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

21 ISSN: 2655-4364

Sementara/UUDS tahun 1950 masa

orde lama (Surat Presiden Tanggal

20 Agustus 1959), masa transisi

orde lama-orde baru (Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara/TAP MPRS No.

XX/MPRS/1966), masa transisi

reformasi (TAP MPR No.

III/MPR/2000), masa reformasi (UU

No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 12

Tahun 2011). Adapun untuk

penjabarannya akan dijelaskan

dibawah ini.

A. Konstitusi Republik Indonesia

Serikat (KRIS 1949)

Menurut KRIS 1949

perundangan terdiri atas :

- Undang-undang (Federal)

landasan formal

konstitusionalnya adalah

Pasal 127 sampai dengan

Pasal 138;

- Undang-undang Darurat,

landasan formal

konstitusionalnya adalah

Pasal 139 sampai dengan

Pasal 140;

- Peraturan Pemerintah,

landasan formal

konstitusionalnya adalah

Pasal 141.

Pada masa KRIS 1948 ini

dikeluarkan Undang-undang

tahun 1950 nomor 1 tentang

Peraturan-peraturan Pemerintah

Pusat. Dalam UU tersebut

dikatakan bahwa jenis peraturan-

peraturan Pemerintah Pusat

adalah: Undang-undang dan

Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang; Peraturan

Pemerintah; dan Peraturan Menteri (Pasal 1 Undang-undang

tahun 1950 no.1). Tingkat

kekuatan peraturan-peraturan

Pemerintah Pusat ialah menurut

urutannya pada pasal 1 (Pasal 2

Undang-undang tahun 1950

no.1).

Di samping itu dikeluarkan

pula Undang-undang Nomor 2

Tahun 1950 tentang Menetapkan

Undang-undang Darurat tentang

Penerbitan Lembaran Negara

Republik Indonesia Serikat dan

tentang Mengeluarkan,

Mengumumkan dan Mulai

Berlakunya Undang-undang

Federal dan Peraturan

Pemerintah, Sebagai Undang-

undang Federal.

B. Berdasarkan Undang-Undang

Dasar Sementara Tahun 1950

(UUDS 1950) terdiri atas:

- Undang-undang, landasan

formal konstitusionalnya

adalah Pasal 89 sampai

dengan Pasal 95;

- Undang-undang Darurat,

landasan formal

konstitusionalnya adalah

Pasal 96 dan Pasal 97;

- Peraturan Pemerintah,

landasan formal

konstitusionalnya adalah

Pasal 98.

C. Surat Presiden No.3639/Hk/59

Tanggal 26 November 1959

Pada masa berlakunya

Undang-Undang Dasar 1945

dalam kurun waktu 5 juli 1959

sampai dengan 1966 atau masa

orde lama, Presiden Soekarno

dalam suratnya kepada ketua

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

No. 2262/HK/59 Tanggal 20

Agustus 1959 yang selanjutnya

dijelaskan dengan surat Presiden

No.3639/HK/59 Tanggal 26

November 1959, menyebutkan bentuk-bentuk peraturan negara

adalah (Jimly Asshiddiqie,

2007:212-213) :

- Undang-Undang Dasar

- Undang-Undang

- Peraturan Pemerintah

Page 26: ISSN 2655-4364

22 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

- Peraturan Pemerintah

pengganti undang-undang

(Perpu)

- Penetapan Presiden untuk

melaksanakan Dekrit

Presiden tanggal 5 Juli 1959

- Peraturan presiden

didasarkan pada Pasal 4 ayat

1 UUD 1945, untuk

melaksanakan penetapan

Presiden

- Peraturan Pemerintah untuk

melaksanakan peraturan

Presiden (ini lain daripada

peraturan Pemerintah ex

Pasal 5 ayat 2 UUD 1945)

- Keputusan Presiden untuk

melaksanakan pengangkatan

- Peraturan/keputusan

Menteri.

Di sini tidak dicantumkan

Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat

sebagai bentuk peraturan

perundang-undangan karena

menganggap Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat

merupakan perwujudan dari

Undang-Undang Dasar.

D. Ketetapan MPRS Nomor

XX/MPRS/1966 tahun 1966

tentang Memorandum DPR

Gotong Royong (GR) mengenai

sumber tertib hukum Republik

Indonesia dan tata urutan

peraturan perundangan

Pasal 2 menyebutkan bahwa

Sumber Tertib Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-

undangan Republik Indonesia

tersebut pada pasal 1 berlaku

bagi pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni

dan konsekuen (Pasal 1 :

Menerima baik isi Memorandum

DPR GR tertanggal 9 Juni 1966,

khusus mengenai Sumber Tertib

Hukum Republik Indonesia dan

Tata Urutan Peraturan

Perundangan Republik

Indonesia).

Dalam lampiran Ketetapan

no.XX/MPRS/1966 disebutkan

DPR GR menyampaikan

sumbangan pikiran mengenai

pokok-pokok persoalan yang

langsung atau tidak langsung

menyangkut hidup

ketatanegaraan, dengan tujuan

utama supaya Republik Indonesia

sesungguh-sungguhnya de facto

dan de jure adalah Negara

Hukum yang ditegakkan secara

konsekuen dan diatas landasan

UUD 1945. Sumbangan pikiran

itu meliputi antara lain :

a. Sumber tertib hukum

Republik Indonesia

Pancasila merupakan

sumber dari segala

sumber hukum, sumber

dari tertib hukum sesuatu

negara atau yang biasa

sebagai sumber dari

segala sumber hukum

adalah pandangan hidup,

kesadaran dan cita-cita

hukum serta cita-cita

moral yang meliputi

suasana kejiwaan dan

watak dari rakyat negara

yang bersangkutan.

Perwujudan sumber dari

segala sumber hukum

bagi Republik Indonesia

itu adalah :

- Proklamasi Kemerdekaan 17

Agustus 1945

- Dekrit 5 Juli 1959

- Undang-undang Dasar Proklamasi

- Surat Perintah 11 Maret 1966

b. Tata urutan peraturan

perundang-undangan RI

- UUD 1945

- Ketetapan MPR

- Undang-undang/Perpu

Page 27: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

23 ISSN: 2655-4364

- Peraturan Pemerintah

- Keputusan Presiden

- Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya

o Peraaturan

Menteri

o Instruksi

Menteri

o Dll

Pada saat berakhirnya masa

pemerintahan Orde lama dan

memasuki masa Orde Baru,

Presiden Soekarno menyurati

Dewan Perwakilan Rakyat

Gotong Royong (DPR-GR)

untuk perubahan tata urutan

peraturan perundang-undangan.

Kemudian, dikembangkan oleh

DPR-GR dan hasilnya di awal

Orde Baru dengan

dikeluarkannya Ketetapan

Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara

No.XX/MPRS/1966 tentang

memorandum DPR GR

mengenai Sumber Tertib Hukum

Republik Indonesia dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-

undangan Republik Indonesia

disingkat TAP

MPRSNo.XX/MPRS/1966.

Dalam lampiran II (pokok

Pikiran IIA) TAP MPRS

tersebut disebutkan Bentuk dan

Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan Republik

Indonesia menurut Undang-

Undang Dasar 1945 :

- Undang-undang Dasar 1945 peraturan

perundang-undangan

yang tertinggi, yang

pelaksanaannya

dengan ketetepan

MPR, atau keputusan

Presiden

- Ketetapan MPR. Menurut TAP MPR

No. I/MPR/1973

tentang Tata Tertib

MPR, bentuk

keputusan MPR ada

dua macam, yaitu

TAP MPR yang

memuat garis-garis

besar dalam bidang

legislatif yang

dilaksanakan dengan

undang-undang dan

TAP MPR yang

memuat garis-garis

besar dalam bidang

eksekutif yang

dilaksanakan dengan

keputusan presiden.

- Undang-undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti

Undang-undang untuk

melaksanakan UUD

atau TAP MPR.

Dalam kepentingan

yang memaksa,

presiden berhak

menetapkan peraturan

sebagai pengganti

undang-undang.

Peraturan ini harus

mendapat persetujuan

DPR. (Pasal 22 ayat 1,

2 dan 3 UUD 1945)

- Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-

aturan umum untuk

melaksanakan

undang-undang

- Keputusan Presiden. Ini merupakan

keputusan yang

bersifat khusus

(einmalig) untuk

melaksanakan

ketentuan-ketentuan

UUD, TAP MPR

dalam bidang

eksekutif atau

peraturan pemerintah

- Peraturan-peraturan pelaksana lainnya

seperti:

o Peraturan

Menteri;

Page 28: ISSN 2655-4364

24 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

o Instruksi

Menteri;

o Dan lain-lain-

nya.

Menurut ASS Tambunan

dalam bukunya yang berjudul

MPR, Perkembangan dan

Pertumbuhannya, Suatu

Pengamatan dan Analisis,

mengatakan bahwa bentuk/jenis

peraturan perundang-undangan

yang dimuat dalam TAP MPRS

No.XX/MPRS/1966 diilhami

oleh tulisan Mohammad Yamin

dalam bukunya yang berjudul :

Naskah Persiapan Undang-

undang Dasar, Mohammad

Yamin mengatakan bahwa

bentuk-bentuk peraturan Negara

adalah sebagai berikut:

- UUD 1945

- Dekrit Presiden 5 Juli 1959

- Putusan MPR

- Penetapan Presiden untuk melaksanakan

Dekrit 5 Juli1959

- Peraturan Presiden, peraturan tertulis

untuk mengatur

kekuasaan presiden

berdasarkan pasal 4

ayat (1) UUD 1945

- Keputusan Presiden, peraturan tertulis

untuk menjalankan

Peraturan Presiden

atau Undang-Undang

di bidang

pengangkatan /

pemberhentian

personalia

- Surat keputusan presiden, penentuan

tugas pegawai

- Undang-Undang

- Peraturan pemerintah untuk melaksanakan

Penetapan Presiden

- Peraturan pemerintah untuk pengganti

Undang-Undang

- Peraturan pemerintah untuk menjalankan

Undang-Undang

- Peraturan dan keputusan penguasa

Perang

- Peraturan dan keputusan Pemerintah

Daerah

- Peraturan tata tertib dewan dan

peraturan/keputusan

dewan. Yang di

maksud dengan

Dewan misalnya

MPR, DPR, Dewan

Menteri, DPA, dan

Dewan Perancang

Nasional.

- Peraturan dan keputusan Menteri,

yang di terbitkan atas

tanggungan seorang

atau bersama Menteri.

Dari hal tersebut di atas,

seperti yang disebutkan oleh

Mohammad Yamin,

menempatkan Putusan Majelis

Permusyawaratan Rakyat

(Ketetapan MPR) berada

diurutan ketiga setelah UUD

1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli

1959. Dari inilah awal mulanya

Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat

dimasukkan kedalam peraturan

perundang-undangan di

Indonesia yang kemudian

dicantumkan kedalam Ketetapan

Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara

No.XX/MPRS/1966.

E. Ketetapan MPR

no.III/MPR/2000 tentang sumber

hukum dan tata urutan peraturan

perundang-undangan

Page 29: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

25 ISSN: 2655-4364

Pengertian Sumber hukum

menurut ketetapan MPR ini

adalah sumber yang dijadikan

bahan untuk penyusunan

peraturan perundang-undangan

yang terdiri atas sumber hukum

tertulis dan tidak tertulis.

Pancasila adalah sumber hukum

dasar nasional sebagaimana yang

tertulis dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945,

yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan yang adil dan

beradab, Persatuan Indonesia,

dan Kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan,

serta dengan mewujudkan suatu

Keadilan sosial bagi seluruh

Rakyat Indonesia, dan batang

tubuh Undang-Undang Dasar

1945 (pasal 1 ayat 3 Ketetapan

MPR no.III/MPR/2000).

Tata urutan peraturan

perundang-undangan merupakan

pedoman dalam pembuatan

aturan hukum di bawahnya. Tata

urutan peraturan perundang-

undangan Republik Indonesia

adalah (pasal 2 C. Ketetapan

MPR no.III/MPR/2000) :

- Undang-Undang Dasar 1945;

- Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik

Indonesia;

- Undang-Undang;

- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang (Perpu);

- Peraturan Pemerintah;

- Keputusan Presiden;

- Peraturan Daerah.

Dengan ditetapkannya

Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat tentang

Sumber Hukum dan Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan

ini, maka Ketetapan MPRS

Nomor XX/MPRS/1966 tentang

Memorandum DPR GR

mengenai Sumber Tertib Hukum

Republik Indonesia dan Tata

Urutan Peraturan Perundangan

Republik Indonesia dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dalam Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat No

III/MPR/2000 yang menyebutkan

tata urutan peraturan perundang-

undangan menempatkan

kedudukan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat berada

diurutan kedua setelah UUD

1945. Ketetapan tersebut

merupakan perubahan dari

Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat

Sementara No.XX/MPRS/1966.

Dikatakan bahwa sumber hukum

dasar nasional adalah Pancasila.

F. Undang-undang no. 10 tahun

2004 tentang pembentukan

peraturan perundang-undangan

Dalam Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan tidak lagi

menempatkan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam

jenis dan hierarki Peraturan

Perundang-Undangan. Memang

betul pada Pasal 7 dinyatakan

bahwa “Jenis Peraturan

Perundang-undangan selain

sebagaimana dimaksud ayat (1)

diakui keberadaannya dan

mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang

diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi”, serta kemudian juga

dijelaskan lagi dalam Penjelasan

Pasal 7 ayat (4), tetapi harus

dikatakan bahwa status hukum

tetaplah tidak jelas.

Adanya ketidakpastian

terhadap eksistensi ketetapan

Page 30: ISSN 2655-4364

26 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Majelis Permusyawaratan

Rakyat. Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang

masih berlaku tersebut

keberadaannya tidak lagi diakui

pemerintah dan Dewan

Perwakilan Rakyat. Pemerintah

dan Dewan Perwakilan Rakyat

cenderung mengabaikan

ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang

masih berlaku tersebut baik

dalam proses pembentukan

undang-undang maupun dalam

perumusan kebijakan negara.

Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 telah mengandung

kesalahan yang sangat mendasar.

Akibat kesalahan ini maka

Ketetapan MPR RI No

I/MPR/2003 menjadi tidak jelas

statusnya. Di masa dulu,

pelanggaran terhadap ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat

bisa mengakibatkan jatuhnya

memorandum DPR yang

berujung pada impeachment,

tetapi pasca amandemen UUD

1945 langkah politik semacam

itu tidak bisa lagi digunakan.

Sebab, Pasal 7A UUD 1945

menyatakan bahwa impeachment

terhadap Presiden dan/atau Wakil

Presiden hanya bisa dilakukan

apabila Presiden dan/atau Wakil

Presiden melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan

terhadap Negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat

lainnya, atau melakukan

perbuatan tercela, dan atau

apabila terbukti tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

Padahal ada 11 (sebelas)

Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang

sangat penting dan krusial jika

diabaikan, apalagi dilanggar.

Disana ada TAP MPRS No

XXV/MPRS/1966 tentang

Pembubaran Partai Komunis

Indonesia (PKI), TAP MPR No

XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggaraan Otonomi

Daerah, Pengaturan, Pembagian,

dan Pemanfaatan Sumber Daya

Nasional yang Berkeadilan, Serta

Perimbangan Keungan Pusat dan

Daerah dalam Kerangka NKRI,

TAP MPR No VII/MPR/2001

tentang Visi Indonesia Masa

Depan, TAP MPR No

IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam,

TAP MPR No VI/MPR/2001

tentang Etika Kehidupan

Berbangsa, dan TAP-TAP MPR

lainnya yang sangat penting dan

strategis. Tapi semuanya tidak

ada sanksi dan konsekuensi

apapun baik secara hukum,

politik, maupun manakala

dilanggar. Seperti halnya Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi yang

tidak jadi dibentuk sehingga

pelanggaran HAM seperti Kasus

1965, Tanjung Priok, Lampung,

Kasus Orang Hilang, dan

sebagainya kehilangan modus

dan instrumennya untuk

menyelesaikannya. Sebab, modus

dan instrument yang sangat bijak

seperti yang diamanatkan oleh

TAP MPR No V/MPR/2000

diabaikan.

Pasca terbitnya Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan,

keberadaan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat menjadi tidak jelas. Karena

dalam undang-undang ini posisi

Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat

dikeluarkan dari hirarki peraturan

perundang-undangan di

Indonesia. Nasib Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat

yang berjumlah 139 buah

Page 31: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

27 ISSN: 2655-4364

menjadi tidak jelas status

hukumnya. Namun, kondisi ini

berakhir setelah DPR dan

Pemerintah telah sepakat

memasukkan kembali Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat

ke dalam hirarki peraturan

perundang-undangan. Hal ini

terungkap dalam Rapat Panitia

Khusus revisi Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004. Sehingga

dari rapat tersebut, Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004

dibahas kembali dalam sidang

DPR sehingga direvisi menjadi

Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Dalam

undang-undang terbaru hasil

revisi ini Ketetapan MPR(S)

kembali dicantumkan dalam tata

urut peraturan perundangan

Indonesia.

Pancasila merupakan sumber

dari segala sumber hukum negara

sedangkan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 merupakan hukum

dasar dalam Peraturan

Perundang-undangan

Jenis dan hierarki Peraturan

Perundang-undangan adalah

sebagai berikut (Pasal 7 Undang-

undang no. 10 tahun 2004) :

- Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia

Tahun 1945;

- Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

- Peraturan Pemerintah;

- Peraturan Presiden;

- Peraturan Daerah. o Peraturan

Daerah

provinsi

o Peraturan

Daerah

kabupaten/kot

a

o Peraturan

Desa/peraturan

yang setingkat,

Dalam UU no.12 tahun 2004

pengertian hierarki adalah

penjenjangan setiap jenis

Peraturan Perundang-undangan

yang didasarkan pada asas bahwa

peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan yang lebih

tinggi

G. Undang-undang no. 12 tahun

2011 tentang Pembentukan

peraturan Perundang-undangan

Dalam Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 memuat

tentang ketentuan baru, yakni

masuknya kembali Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat

dalam hierarki dalam peraturan

perundang-undangan. Dalam

pasal 7 ayat (1) disebutkan

bahwa hierarki peraturan

perundang-undangan terdiri dari

(Pasal 7 ayat 1 UU no. 12 tahun

2011) :

- UUD 1945

- Ketetapan MPR

- Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti

Undang-Undang

(Perpu)

- Peraturan Pemerintah

- Peraturan Presiden

- Peraturan Daerah Propinsi dan

- Peraturan Daerah Kabupaten.

Dari pasal di atas, Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat

menduduki posisinya yang benar

dalam sistem hukum di Indonesia

Page 32: ISSN 2655-4364

28 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

dan kembali menjadi sumber

hukum formal dan material.

Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat harus

kembali menjadi rujukan atau

salah satu rujukan selain UUD

1945 bukan hanya dalam

pembentukan perundang-

undangan di Indonesia,

melainkan juga dalam

pembentukan kebijakan-

kebijakan publik lainnya. DPR

dan Pemerintah (Presiden)

mutlak harus memperhatikan

ketetapan-ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang

masih berlaku, bahkan merujuk

kepadanya dalam pembentukan

undang-undang dan peraturan

perundang-undangan di

bawahnya.

Pancasila merupakan sumber

segala sumber hukum

negara.sedangkan Undang-

Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

merupakan hukum dasar dalam

Peraturan Perundang-undangan.

Kekuatan hukum Peraturan

Perundang-undangan sesuai

dengan hierarki maksudnya

penjenjangan setiap jenis

Peraturan Perundang-undangan

yang didasarkan pada asas bahwa

Peraturan Perundang-undangan

yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan yang lebih

tinggi.

Dengan berlakunya undang-

undang ini maka Undang Nomor

10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran

Negara Republik Indonesia

Tahun 2004 Nomor 53,

Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor

4389), dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku.

Menurut A. Hamid S.

Attamimmi, yang dimaksud

peraturan perundang-undangan

ialah Setiap peraturan atau

ketetapan atau keputusan dalam

bentuk tertulis yang dikeluarkan

dan ditetapkan oleh alat-alat

perlengkapan Negara yang

berwenang dan mengikat umum

(Alwi Wahyudi, 2012:301).

Bentuknya yang tertulis ini yang

membedakan peraturan

perundangan dengan hukum adat.

Hans Kelsen mengemukakan

teorinya tentang jenjang norma

hukum/stufentheorie, dimana

norma-norma hukum itu

berjenjang-jenjang dan berlapis-

lapis dalam suatu hierarki tata

susunan dimana norma yang

lebih rendah berlaku, bersumber,

berdasar pada norma yang lebih

tinggi lagi sampai pada suatu

norma yang tidak dapat ditelusuri

lebih lanjut dan bersifat hipotesis

dan fiktif, yaitu norma

dasar/groundnorms (Alwi

Wahyudi, 2012:305).

Jadi Peraturan yang lebih

rendah tingkatannya tidak boleh

bertentangan dengan peraturan

yang lebih tinggi tingkatannya.

Maksudnya Peraturan Menteri

tidak boleh bertentangan dengan

Peraturan Presiden. Peraturan

Presiden tidak boleh

bertentangan dengan Undang-

Undang. Undang-Undang tidak

boleh bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar 1945. Hal

ini berdasarkan asas “Undang-

undang yang dibuat oleh

penguasa yang lebih tinggi

mempunyai kedudukan yang

lebih tinggi pula”. Apabila terdapat pertentangan antara

peraturan yang lebih rendah

terhadap peraturan yang lebih

tinggi, maka dapat diajukan uji

materi. Adapun kewenangan uji

materi dimilki oleh dua lembaga

yaitu Mahamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung, letak

perbedaannya ialah :

Page 33: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

29 ISSN: 2655-4364

- Apabila ada Undang-undang yang

bertentangan dengan

Undang-Undang

Dasar maka yang

berwenang menguji

ialah Mahkamah

Konstitusi/MK.

- Apabila ada peraturan perundang-undang di

bawah undang-undang

yang bertentangan

dengan Undang-

Undang maka yang

berwenang menguji

ialah Mahkamah

Agung/MA.

2. Permasalahan Undang-undang

no. 12 tahun 2011

Undang-undang No.12

Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan ini

menggantikan undang-undang

sebelumnya yakni UU No. 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

Meskipun demikian UU No. 12

Tahun 2011 pada kenyataannya

masih memunculkan beberapa

permasalahan hukum, antara lain :

A. Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12

Tahun 2011, yang memasukkan

Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam

urutan kedua setelah UUD NRI

Tahun 1945, maka apabila ada

UU yang bertentangan dengan

Ketetapan MPR atau ada

Ketetapan MPR yang

bertentangan dengan UUD NRI

Tahun 1945, belum diatur

mekanisme pengujiannya.

Untuk mengatasi masalah ini

yang memungkinkan adalah

mekanisme pengujiannya melalui

Mahkamah konstitusi. Alasannya

bahwa dalam hierarki peraturan

perundang-undangan Ketetapan

MPR terletak di bawah UUD

NRI Tahun 1945 dan di atas

Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-

Undang, padahal pengujian

terhadap Undang-Undang yang

bertentangan dengan UUD NRI

Tahun 1945 melalui Mahkamah

Konstitusi, sehingga logis jika

pengujian terhadap Ketetapan

MPR adalah melalui Mahkamah

Konstitusi, bukan ke Mahkamah

Agung karena Mahkamah Agung

diperuntukkan bagi pengujian

peraturan di bawah Undang-

Undang yang bertentangan

dengan Undang-Undang (Pasal 9

Ayat (1) dan (2)).

B. Pasal 8 Ayat (1) UU No.12

Tahun 2011 diatur mengenai

jenis Peraturan Perundang-

undangan selain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1)

diakui keberadaannya dan

mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang lebih

tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan. Dengan demikian

hampir semua lembaga negara

juga berwenang untuk

mengeluarkan peraturan yang

diakui secara sah.

Permasalahannya, kedudukannya

lebih tinggi yang mana antara

Peraturan Perundangan-undangan

yang dibentuk oleh lembaga

negara tersebut jika

dipersandingkan dengan jenis

Peraturan Perundangan-undangan

sebagaimana diatur dalam Pasal

7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun

2011, misalkan sebagai dasar

hukum lebih tinggi mana

kedudukannya antara Peraturan Bank Indonesia dengan Peraturan

Pemerintah, karena dalam

praktek sering terjadi hal yang

demikian, sedangkan dalam UU

No. 12 Tahun 2011 belum ada

penjelasannya lebih lanjut.

Alternatif penyelesaian dari

permasalahan ini, pertama, yang

harus dilihat apakah peraturan

Page 34: ISSN 2655-4364

30 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

tersebut dibentuk berdasarkan

perintah dari peraturan

perundang-undangan yang lebih

tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan. Kalau peraturan

tersebut dibentuk diluar kriteria

tersebut, maka peraturan tersebut

dapat dikesampingkan, artinya

kedudukannya lebih tinggi dari

jenis peraturan yang ada dalam

hierarki peraturan perundang-

undangan. Kedua, dengan

menggunakan asas-asas hukum

umum, misalnya : lex specialis

derogat lex generalis, bahwa jika

peraturan yang mengatur hal

yang merupakan kekhususan dari

hal yang umum (dalam arti

sejenis) yang diatur oleh

peraturan yang sederajat, maka

berlaku peraturan yang mengatur

hal khusus tersebut dan lex

posterior derogat lex priori,

bahwa dalam hal peraturan yang

sederajat bertentangan dengan

peraturan sederajat lainnya

(dalam arti sejenis), maka

berlaku peraturan yang terbaru

dan peraturan yang lama

dianggap telah dikesampingkan.

C. Terkait dengan Peraturan Menteri

secara hukum diakui

keberadaannya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat

sepanjang diperintahkan oleh

Peraturan Perundang-undangan

yang lebih tinggi atau dibentuk

berdasarkan kewenangan (Pasal 8

UU No.12 Tahun 2011). Dalam

prakteknya banyak daerah dalam

membentuk perda tidak mengacu

pada Peraturan Menteri bahkan

cenderung diabaikan dengan alasan tidak masuknya jenis

Peraturan Menteri dalam jenis

dan hierarki peraturan

perundang-undangan di

Indonesia.

Solusinya Peraturan Menteri

harus diakui dan dijadikan

pedoman dalam pembentukan

Peraturan Daerah.

D. Kedudukan Peraturan daerah

Kabupaten/Kota dibawah

Peraturan Daerah Provinsi dalam

tata urutan peraturan perundang-

undangan sebagaimana diatur

dalam Pasal 7 Ayat (1) UU No.

12 Tahun 2011, sebagai

konsekuensinya apakah sebelum

dibentuk Perda Kabupaten/Kota

harus terlebih dahulu ada Perda

Provinsinya. Dalam praktek ada

provinsi yang tidak

memperbolehkan perda

(kabupaten) tertentu dibuat

dengan alasan perda provinsinya

belum ada.

Penyeleseaian yang dapat

diambil adalah pembentukan

Perda Kabupaten/Kota tidak

harus menunggu adanya Perda

Provinsi. Hal ini harus dipahami

oleh pihak Provinsi dan

Kabupaten/Kota, jangan sampai

karena Perda Provinsi belum

mengatur lantas Perda

Kabupaten/Kota tidak

diperbolehkan, sehingga dapat

mengganggu penyelenggaraan

otonomi daerah.

Simpulan

1. Hierarki dan tata urutan

perundang-undangan yang

pernah berlaku di Indonesia

antara lain adalah:

a. Masa Kemerdekaan dan

orde lama sebelum dekrit

Presiden 5 Juli 1959

- KRIS 1949 pasal 127 s/d pasal 141

- Undang-undang tahun 1950 no.1 tentang

Peraturan-peraturan

Pemerintah Pusat.

- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1950

tentang Menetapkan

Undang-undang

Darurat tentang

Penerbitan Lembaran

Negara Republik

Page 35: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

31 ISSN: 2655-4364

Indonesia Serikat dan

tentang

Mengeluarkan,

Mengumumkan dan

Mulai Berlakunya

Undang-undang

Federal dan Peraturan

Pemerintah, Sebagai

Undang-undang

Federal.

- Undang-Undang Dasar Sementara

Tahun 1950 pasal 95

s/d 98

b. Masa orde lama setelah

dekrit Presiden 5 Juli

1959

- Surat Presiden No.3639/Hk/59

Tanggal 26 November

1959

c. Masa Orde Baru

- Ketetapan MPRS Nomor

XX/MPRS/1966

tahun 1966 tentang

Memorandum DPR

GR mengenai sumber

tertib hukum Republik

Indonesia dan tata

urutan peraturan

perundangan

d. Masa Reformasi

- Ketetapan MPR no.III/MPR/2000

tentang sumber

hukum dan tata urutan

peraturan perundang-

undangan

- Undang-undang no. 10 tahun 2004 tentang

pembentukan

peraturan perundang-

undangan

- Undang-undang no. 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan

peraturan Perundang-

undangan

2. Masih adanya permasalahan

yang muncul dari UU No.12

Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang

memerlukan pembenahan

lebih lanjut untuk

menghindari permasalahan

hukum yang mungkin

muncul dikemudian hari

Saran

1. Perlu dilakukan pengaturan

mengenai mekanisme

pengujian terhadap

Ketetapan MPR,

memasukkan Peraturan

Menteri dalam hierarki

peraturan perundang-

undangan, dan memberikan

penjelasan lebih lanjut

tentang kedudukan peraturan

selain dalam hierarki

peraturan

perundangundangan.

2. Pengaturan dan penjelasan

tersebut bisa dilakukan

dengan cara melakukan

perubahan atau amandemen

terhadap UU No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-

undangan

Daftar Pustaka

Buku:

Amiruddin dan Zainal Asikin,

Pengantar Metode

Penelitian Hukum, Edisi

Revisi, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2016.

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok

Hukum Tata Negara

Indonesia Pasca Reformasi,

Bhuana Ilmu Populer, 2007.

A.V. Dicey, Pengantar Studi

Hukum Konstitusi (Terjemahan dari

Introduction to the Study of

Page 36: ISSN 2655-4364

32 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

the Constitution), Bandung :

Nusamedia, 2008.

MD, Mahfud, Membangun Politik

Hukum Menegakkan

Konstitusi, Jakarta :

Rajawali Pers, 2010.

Soekanto, Soerjono dan Sri

Mamudji, Penelitian Hukum

Normatif, suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada, 2006.

Wahyudi, Alwi, Hukum Tata

Negara Indonesia dalam

Perspektif Pancasila Pasca

reformasi, Pustaka Pelajar,

2012

Peraturan perundang-undangan

Ketetapan MPR no. III/MPR/2000

tentang sumber hukum dan

tata urutan peraturan

perundang-undangan

Ketetapan MPRS Nomor

XX/MPRS/1966 tahun 1966

tentang Memorandum DPR

GR mengenai sumber tertib

hukum Republik Indonesia

dan tata urutan peraturan

perundangan

Surat Presiden No.3639/Hk/59

Tanggal 26 November 1959

Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun

1945

Undang-undang Dasar Sementara

Tahun 1950

Undang-undang Nomor 2 Tahun

1950 tentang Menetapkan

Undang-undang Darurat

tentang Penerbitan Lembaran

Negara Republik Indonesia

Serikat dan tentang

Mengeluarkan,

Mengumumkan dan Mulai Berlakunya Undang-undang

Federal dan Peraturan

Pemerintah, Sebagai

Undang-undang Federal.

Undang-undang no. 10 tahun 2004

tentang pembentukan

peraturan perundang-

undangan

Undang-undang no. 12 tahun 2011

tentang Pembentukan

peraturan Perundang-

undangan

Undang-undang Tahun 1950 no.1

tentang Peraturan-peraturan

Pemerintah Pusat

Makalah

Enny Nurbaningsih, Arah

Pembangunan Hukum

Nasional (disampaikan di

depan peserta Diklat

Lemhanas Jakarta, selasa 23

Juni 2015.

Page 37: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

33 ISSN: 2655-4364

PERAN LEMBAGA MUSYAWARAH KELURAHAN DALAM

MENDUKUNG TUGAS POKOK DAN FUNGSI RUKUN WARGA DI

KELURAHAN GALUR

Rizal | [email protected] & Mohammad Siddiq | [email protected]

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara lebih mendalam

tentang bagaimana peranan Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) dalam

mendukung tugas pokok dan fungsi Rukun Warga (RW) di Kelurahan Galur,

Johar Baru Jakarta Timur, dalam memberikan informasi atau program yang

diturunkan oleh pemerintah daerah untuk kemajuan seluruh masyarakat.

Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif

analisis, terkait pengumpulan data, yang dipakai adalah wawancara mendalam

dan studi pustaka.

Hasil Penelitian berdasarkan data yang didapatkan di lapangan bahwa

peranan LMK di masyarakat pasif sejak tahun 2016, hal tersebut dikarenakan

Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) sudah tidak digulirkan

lagi oleh Pemerintah Daerah, sehingga masyarakat menganggap LMK

kehilangan fungsinya.

LMK masih dapat menjalankan fungsi dengan Lurah untuk

mensosialisasikan kebijakan Pemerintah Daerah tentang pedoman Rukun

Tetangga (RT) dan RW berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 171

Tahun 2016, dari hasil sosialisasi Pergub, RT dan RW sudah memahami

bagaimana Tugas dan Fungsi dalam menjalankan amanat yang diemban dari

masyarakat, dan bisa bekerjasama dengan pihak kelurahan dalam hal

administrasi pelayanan masyarakat.

Kata kunci: Lembaga Musyawarah Kelurahan, LMK, Rukun Warga, Kelurahan

Galur

PENDAHULUAN

Perencanaan pembangunan

bukanlah hal yang baru di

Indonesia, karena sistem ini dimulai

sejak kemerdekaan. Hal ini

dilandasi oleh pemikiran parah ahli

ekomoni dan politik nasional waktu

itu bahwa pembangunan ekonomi

dan sosial tidak dapat diserahkan

kepada mekanisme pasar (Market

Mechanism) saja sebagimana banyak dilakukan oleh negara-

negara yang menganut paham

ekomoni liberal. Susuai dengan

Undang-undang Dasar 1945,

pemerintah mempunyai peranan

penting dalam pengendalian

ekomoni dan proses pembangunan

nasional dan daerah. Namun

demikian peranan pemerintah

(Government Intervention) perlu

dilakukan secara sistematis melalui

pelaksanaan sistem perencanaan

pembangunan. (Sjafrizal, 2016:8).

Tujuan pembangunan Nasional

bangsa Indonesia adalah melindungi

segenap bangsa dan seluruh tumpah

darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, serta ikut

melaksanakan ketertiban dunia, untuk mewujudkan tujuan tersebut

dilaksanakan pembangunan

nasional, yaitu pembangunan negara

Indonesia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat

seluruhnya

Dalam rangka menjalankan

amanat Pasal 25 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2007

Page 38: ISSN 2655-4364

34 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

tentang Pemerintahan Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta

sebagai Ibukota Negara Kesatuan

Republik Indonesia, telah ditetapkan

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun

2010 tentang Lembaga Musyawarah

Kelurahan (LMK).

Lahirnya LMK sejalan dengan

akan berakhirnya masa bhakti

Dewan Kelurahan (Dekel) periode

2006-2011. Peralihan dari Dekel

menjadi LMK bukan hanya

perubahan nama, namun

menyangkut beberapa hal yang

berbeda antara dua lembaga

kemasyarakatan tersebut. LMK

merupakan lembaga musyawarah

pada tingkat kelurahan yang

bertujuan untuk membantu Lurah

dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan untuk

menampung aspirasi serta

meningkatkan partisipasi dan

pemberdayaan masyarakat.

Lembaga Musyawarah

Kelurahan (LMK) diharapkan

menjadi forum dan media bagi

masyarakat untuk : Menyampaikan

aspirasi, LMK berperan aktif dalam

penampung aspirasi masyarakat

dengan kebijakan pemerintah daerah

yang disampaiakan melalui forum

LMK bersama Lurah; Penggerak

partisipasi, LMK dapat

menggerakan partisipasi masyarakat

pada saat kegiatan pembangunan

secara menyeluruh sebelum

mencapai hasil yang maksimal

seperti yang diharapkan, atau tidak

sesuai dengan yang direncanakan;

Solidaritas masyarakat, LMK dapat

menjadi penggerak untuk peduli

dengan lingkungan disekitarnya kepada masyarakat dalam hal

terjadinya musibah atau bencana;

Pemberdayaan masyarakat, dengan

adanya PPMK (Program

Pemberdayaan Masyarakat

Kelurahan) maka LMK dapat

menyalurkan PPMK dengan 2 bina

yaitu bina fisik dan bina sosial;

Penyelesaian masalah sosial

kemasyarakatan dapat kita lihat

seringnya terjadi tawuran antar

warga maupun antar wilayah yang

masih banyak kita jumpai di daerah

Kelurahan Galur umumnya

Kecamatan Johar Baru; Perumusan

usulan kebutuhan masyarakat yang

perlu dibantu oleh pemerintah, yaitu

dengan adanya Musrembang,

masyarakat dapat mengusulkan

langsung apa yang dibutuhkan

diwilayahnya; Mensosialisasikan

peraturan perundang-undangan dan

program lainnya berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-

undangan serta menjamin

tercapainya tujuan pembanguna di

Provinsi DKI Jakarta.

Pemberdayaan masyarakat

sebagai upaya transformasi sosial

dan penguatan ekonomi rakyat

menjadi tema sentral dalam

pembangunan Jakarta.

Pembangunan yang mengabaikan

aspirasi warga dan berorientasi pada

kebijakan bersifat top down

seringkali menimbulkan penolakan

atau penentangan dari warga. Oleh

karena itu keterlibatan lembaga

kemasyarakatan termasuk LMK

memiliki peranan penting dalam

penyelenggaraan pemerintahan.

(Perda Nomor.5 Tahun 2010).

Keberadaan lembaga

masyarakat bertujuan untuk

mempercepat masyarakat yang

tertib, aman dan sejahtera. Selain itu

juga bertujuan untuk meningkatkan

potensi masyarakat agar lebih

inovatif dan kreatif sehingga dapat

berkarya sesuai dengan kemampuan

yang dimiliki oleh masyarakat.

Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, dikenal dengan

istilah Rukun Tetangga dan Rukun

Warga atau dengan singkatan RT

dan RW, yang merupakan suatu

lembaga kemasyarakatan yang

berada di wilayah kelurahan atau

desa. Organisasi Rukun Tetangga

dan Rukun Warga tidak disebut dan

tidak termasuk dalam sistem

Page 39: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

35 ISSN: 2655-4364

pemerintahan, dan pembentukannya

adalah melalui musyawarah

masyarakat setempat dalam rangka

pelayanan kemasyarakatan yang

ditetapkan oleh Kelurahan. Rukun

Tetangga dan Rukun Warga

dipimpin oleh Ketua RW dan Ketua

RT keduanya dipilih oleh warga

sekitar RW maupun sekitar RT.

Dewasa ini banyak pemilihan Ketua

RT dan RW di Indonesia yang di

modelkan mirip Pemilihan Presiden

atau Pemilihan Kepala Daerah yaitu

dengan pemungutan suara.

Kemudian pengadaan forum

pertemuan rutin RT dan RW yang

sangat membantu bagi pemerintaan

khususnya untuk sosialisasi

berbagai program pemerintah.

Belum lagi berbagai kegiatan yang

mereka laksanakan terkait dengan

pembinaan kehidupan sosial seperti

pengadaan kegiatan posyandu,

poskamling, pengadaan dana sosial

dan Kematian hingga penggalian

potensi swadaya masyarakat guna

menunjang kegiataan yang di

selanggarakan oleh pemerintah.

Berbagai persoalan yang

dikemukakan diatas, merupakan

sebuah masalah menarik untuk

dikaji. Atas dasar inilah peneliti

mengangkat permasalahan adalah:

Bagaimana LMK meningkatkan

partisipasi dan pemberdayaan

masyarakat di Kelurahan Galur?

Bagaimana LMK mensosialisasikan

kebijakan pemerintah daerah di

Kelurahan Galur?

METODE

Penelitian ini merupakan

penelitian Kualitatif dengan

pendekatan deskriptif (Descriptive

Research). Dalam tipe kualitatif

lebih mengutamakan kualitas data

dan analisis terhadap fenomena

yang saling berhubungan. Penelitian

kualitatif merupakan penelitian yang

lebih mengutamakan segi kualitas

data, yaitu menggunakan waktu

yang lebih lama dan keterlibtan

yang lebih besar. (Sugiyono,

2017:103).

Instrumen Penelitian yang

digunakan adalah instrument

pedoman wawancara dan pedoman

pengamatan. (Sujarweni, 2014:76).

Dalam penelitian ini peneliti

melalukan observasi langsung

dengan turun kantor Kelurahan

Galur Lantai 3 di Jalan Galur Jaya

No.36, Jakarta Pusat, sebagai tempat

bekerjanya Lembaga Musyawarah

Kelurahan (LMK). Wawancara

dilakukan untuk memperoleh data

atau informasi sebanyak mungkin

dan jelas mungkin kepada subjek

penelitian. Teknik dokumentasi

digunakan untuk mengumpulkan

data dari sumber non-insani.

Sumber itu terdiri dari dokumen dan

rekaman. Teknik Analisis Data yang

digunakan dalam penelitian ini

adalah analisis domain dan

taksonomi.

Dalam pengecekan data peneliti

menggunakan teknik pemeriksaan

keabsahan data triangulasi Dengan

menggunakan teknik ini peneliti

dapat membandingkan data hasil

pengamatan dengan data hasil

wawancara, membandingkan apa

yang dikatakan orang di depan

umum, dengan apa yang dikatakan

secara pribadi, membandingkan apa

yang dikatakan orang-orang tentang

situasi penelitian dengan apa yang

dikatakannya sepanjang waktu

penemuan hasil penelitian beberapa

teknik pengumpulan data dan

pengecekan derajat kepercayaan

beberapa sumber data dengan

metode yang sama.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peranan LMK dalam

meningkatkan partisipasi dan

pemberdayaan masyarakat di

Kelurahan Galur

Pembentukan Lembaga

Musyawarah Kelurahan ini

diharapkan menjadi motor pengerak

Page 40: ISSN 2655-4364

36 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

bagi masyarakat dalam membantu

Kelurahan untuk meningkatkan

persatuan dan kesatuan, pelayanan,

pemberdayaan dan pembangunan

dalam lingkup komunitas

masyarakat Kelurahan menuju

masyarakat yang sejahtera.

Adapun Program-program yang

diturunkan dari Pemeritahan

Provinsi DKI Jakarta pada tahun

2015, yang disebut PPMK (Program

Pemberdayaan Masyarakat

Kelurahan) ada 2 bina: Kegiatan

Bina Fisik terdiri dari: Perbaikan

Pos RW, Perbaikan Pos Ronda/ Pos

Keamanan, Pengadaan Pintu

gerbang Gang, Penomoran Rumah

warga; dan Kegiatan Bina Sosial

terdiri dari: Pelatihan Tata Boga,

Pelatihan Satpam, Pelatihan

Komputer, Pelatihan service HP,

Pembuatan SIM A dan C

Dari kegiatan bina fisik

sebanyak 7 RW terlaksana semua

program tersebut sedangkan bina

sosial sebanyak 77 Orang dapat

mengikuti pelatihan tersebut. Tetapi

pada tahun 2017 semua kegiatan

bina fisik dan bina sosial ditiadakan

karena kegiatan tersebut sudah

diserahkan oleh sektoral masing-

masing ditingkat Walikota Jakarta

Pusat melalui Musrembang yang

setiap usulan dari bawah/masyarakat

diajukan melalui RT/RW lalu

dibawa ke tingkat Kelurahan lalu di

seleksi pada tingkat Kecamatan

kemudian disahkan pada tingkat

walikota Jakarta Pusat.

Lembaga Musyawarah Kelurahan

(LMK) berdasarkan Peraturan

Daerah (PERDA) Nomor 5 Tahun

2010.

Peraturan Daerah Nomor 5

Tahun 2010 Tentang Lembaga

Musyawarah Kelurahan (LMK).

DPRD dan Gubernur DKI Jakarta

memutuskan dan menetapkan

peraturan daerah tentang Lembaga

Musyawarah Kelurahan (LMK)

dapat kita kaji didalam pada Bab I

Ketentuan Umum, Bagian Kedua

Tujuan terdapat pada Pasal 2 yang

berbunyi yaitu :

LMK merupakan lembaga

musyawarah pada tingkat

kelurahan yang bertujuan untuk

membantu Lurah sebagai mitra

dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan untuk

menampung aspirasi serta

meningkatkan partisipasi dan

pemberdayaan masyarakat.

(Perda DKI Jakarta No. 5,

2010:3)

Perda No.5 tahun 2010, Pada

Bab V Tugas, Rapat-rapat dan

Pimpinan LMK, Bagian Kesatu

tentang Tugas pada Pasal 11. LMK

mempunyai tugas sebagai berikut:

Menampung dan menyalurkan

aspirasi masyarakat kepada Lurah;

Memberikan masukan dalam rangka

meningkatkan partisipasi; Menggali

potensi untuk menggerakan dan

mendorong peran serta masyarakat;

Menfinformasikan kebijakan

Pemerintah Daerah kepada

masyarakat; Ikut serta dalam

menyelesaikan masalah Kelurahan;

Membuat rancangan kerja tahunan;

dan Menyusun Tatat Tertib LMK.

Adapun LMK mempunyai fungsi

sebagai berikut: Mendengarkan

aspirasi masyarakat;

Memformulasikan apa yang

didengar menjadi program.

LMK mensosialisasikan

kebijakan Pemerintah Daerah

tentang pedoman RT dan RW di

Kelurahan Galur.

Pada Tahun 2016 keluar

Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 171 Tentang Pedoman

Rukun Tetangga dan Rukun Warga

maka peran Lembaga Musyawarah

Kelurahan (LMK) dan Lurah dapat

mensosialisasikan ditingkat

kelurahan dari 7 RW dan 84 RT

diundang oleh pihak Kelurahan

dilantai 3, sebagai narasumber dari

acara sosialisasi yaitu LMK dari

Page 41: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

37 ISSN: 2655-4364

hasil sosialisasi pergub tersebut, RT

dan RW dapat mendapatkan

hasilnya yaitu: RT dan RW adalah

mitra dari Lurah dalam hal

penyelenggaran urusan

pemerintahan, pembangunan, sosial

kemasyarakatan; Tatacara

persyaratan dan pemilihan RT dan

RW; Masa bhakti RT dan RW

hanya 3 Tahun dari ditetapkan oleh

panitia pemilihan ditingkat RW dan

dikeluarkan surat pengesahan dari

Lurah Galur; RT dan RW hanya

dapat dipilih kembali oleh

masyarakat hanya 2 periode saja;

Persyaratan untuk menjadi Ketua

RT dan RW adalah Tokoh

Masyarakat, berusia minimal 25

tahun, sekurang-kurangnya

berdomisili diwilayah RT dan RW

tersebut, bukan PNS dan

TNI/POLRI kecuali sudah tidak

bekerja lagi atau pensiun.

Dari hasil sosialisasi pergub,

RT dan RW sudah memahami

bagaimana Tugas dan Fungsi RT

dan RW dalam menjalankan amanat

yang diembankan dari masyarakat

dan bisa bekerjasama dengan pihak

kelurahan dalam hal administrasi

pelayanan masyarakat, Kegiatan

kesehatan masyarakat, Kegiatan

lingkungan dan data keluarga serta

Kegiatan keamanan lingkungan:

Lembaga Musyawarah

Kelurahan (LMK) dapat melihat

bahkan membantu dalam kegiatan

kesehatan masyarakat yang rutin

dilaksanakan setiap bulannya di

wilayah RW, Posyandu Balita,

Posyandu Lansia dan Posbindu,

PSN (jumantik) setiap bulannya.

Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) juga mempunyai peran

dikegiatan lingkungan seperti

kerjabakti dan siskamling/ronda

untuk menjaga lingkungan agar

tidak terjadi bentrok antar

warga/tawuran karena wilayah

khususnya Galur dan Umumnya

Johar Baru masih sering terjadi

tawuran antar warga yang

mengakibatkan kerugian dikedua

belah pihak.

Tugas Pokok dan Fungsi Rukun

Warga (RW) dalam meningkatkan

pelayanan masyarakat di

Kelurahan Galur. Dalam Peraturan Gubernur DKI

Jakarta Nomor 171 Tahun 2016

Tentang Pedoman Rukun Tetangga

(RT) dan Rukun Warga (RW) pada

Bab II tentang Kedudukan, Maksud,

Tujuan pada Pasal 3 ayat 1 yang

berbunyi yaitu:

(1) Maksud dibentuknya Rukun

Tetangga (RT) / Rukun Warga

(RW) adalah untuk membantu

Lurah dalam pelaksanaan

penyelenggaraan urusan

pemerintahan, pembangunan,

sosial kemasyarakatan dan

pemberdayaan masyarakat.

Tugas Pokok dan Fungsi Rukun

Warga (RW) berdasarkan Peraturan

Gubernur Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta, Nomor 171 Tahun

2016 tentang Pedoman Rukun

Tetangga (RT) dan Rukun Warga

(RW) di Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta, pada Bab IV

Keanggotaan Bagian Ketiga Tugas,

Fungsi dan Kewajiban RT dan/atau

RW Pasal 18 dan Pasal 19.

RT/RW mempunyai tugas

membantu Lurah dalam

penyelenggaraan urusan

pemerintahan, sosial

kemasyarakatan dan pemberdayaan

masyarakat (Pasal 18 (Tugas)).

Pendataan Kependudukan dan

pelayanan administrasi

pemerintahan lainnya; Pemeliharaan

keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga; Pembuatan

gagasan dalam pelaksanaan

pembangunan dengan

mengembangkan aspirasi dan

swadaya murni masyarakat; dan

Penggerak swadaya gotong royong

dan partisipasi masyarakat di

wilayahnya (Pasal 19 (Fungsi)).

Page 42: ISSN 2655-4364

38 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Struktur Baku Rukun Warga

(RW). Rukun Warga (RW) sebagai

lembaga kemasyarakatan dan mitra

Pemerintah Daerah, memiliki

peranan sangat besar dalam

memelihara dan melestarikan nilai-

nilai kehidupan kemasyarakatan

yang berdasarkan swadaya,

kegotong royongan dan

kekeluargaan, dalam rangka

meningkatkan, ketentraman dan

ketertiban dalam kehidupan

bermasyarakat. Oleh karena itu

untuk mewujudkannya maka sangat

di perlukan sistem keorganisasian

yang handal sesuai dengan tugas

dan fungsinya, berikut tugas dan

fungsi kepengurusan RW: Ketua

Rukun Warga (RW); Sekretaris;

Bendahara; Seksi Keamanan dan

Ketertiban; Seksi Kesejahteraan

Masyarakat; Seksi Kewanitaan dan

Pembinaan Keluarga; Pemuda dan

Olah Raga.

KESIMPULAN

Dari penelitian dan pembahasan

tentang peranan Lembaga

Musyawrah Kelurahan (LMK)

dalam mendukung tugas pokok dan

fungsi Rukun warga (RW) di

Kelurahan Galur Kecamatan Johar

Baru Jakarta Pusat, peneliti

mencoba membuat kesimpulan

antara lain: Pengusulan program,

program yang diusulkan tokoh

masyarakat yang berhimpun dalam

LMK, harus merupakan usulan dari

masyarakat yang telah dilihat, dan

disaksikan urgensinya. Selain itu,

telah di musyawarahkan di

lingkungan mereka sehingga

menjadi program bersama yang

diusulkan dan diperjuangkan. LMK mendorong partisipasi

masyarakat untuk ikut serta menjaga

keamanan dan ketertiban. dalam

mengantisipasi dan menjaga

keamanan dan ketertiban. Ini amat

diperlukan mengingat jumlah aparat

keamanan masih terbatas

jumlahnya.

LMK bekerjasama dengan

unsur masyarakat dalam kebersihan

lingkungan, masalah ini penting

karena belum semua masyarakat

menyadari pentingnya

menjaga kebersihan

lingkungan. Masih banyak

masyarakat yang belum terbiasa

membuang sampah pada

tempatnya. Selain itu, masih

banyak yang tidak peduli kepada

kesehatan lingkungan dengan

merokok di sembarangan tempat,

membuang puntung rokok,

membiarkan genangan air di parit

atau tong-tong bekas sehingga

menjadi sarang nyamuk. Begitu

juga, membiarkan lingkungan

rumah kotor, yang menimbulkan

bau busuk dan penyakit. Masalah

tersebut harus menjadi perhatian

ketua dan seluruh anggota LMK

dengan memberi pencerahan dan

penyadaran kepada masyarakat

supaya berpartisipasi menjaga

lingkungan yang bersih.

Berperan dalam mendorong

terbangunnya kehidupan yang

harmonis dan damai

dilingkungannya. Masalah ini

semakin penting karena tawuran

warga semakin menjadi

kecenderungan masyarakat terutama

anak-anak muda. Dalam masalah

ini, pencegahan agar tidak terjadi

tawuran warga sangat penting dan

mendesak. Salah satu cara untuk

mencegah supaya tidak terjadi

tawuran ialah mengembangkan

kebiasaan silaturrahim warga dan

dialog. Semua modal sosial di

masyarakat harus didayagunakan

dalam upaya mencegah terjadinya tawuran.

LMK merupakan kepanjang

tanganan Pemerintahan Kelurahan

dalam mensosialisasikan setiap

Undang-Undang, Peraturan

Gubernur, Keputusan Gubernur

maupun Intruksi Gubernur atau

Himbauan Walikota, Camat,

maupun Lurah kepada Rukun

Page 43: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

39 ISSN: 2655-4364

Warga (RW) dan Rukun Tetangga

(RT) di wilayah masing-masing.

Masih adanya anggota LMK yang

tidak mengetahui tugas pokok dan

fungsi LMK sebagai mestinya di

masyarakat. LMK dan RW terdapat

perbedaan atau kesalahpahaman

mengenai kebijakan-kebijakan di

wilayah. Pendekatan LMK dan

Masyarakat masih dirasakan tidak

menyatu dengan keinginan dari

masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Sjafrizal, Perencanaan

Pembangunan Daerah Dalam

Era Otonomi. Cetakan Ke-3,

RajaGrafindo Persada,

Jakarta, Jakarta, 2016.

Rahayu, Ani Sri, Pengantar

Pemerintahan Daerah,

Cetakan Pertama, Sinar

Grafika. Jakarta, 2018.

Winardi, Teori Organisasi &

Pengorganisasian, Cetakan

11, RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2016.

Thoha, Miftah, Prilaku Organisasi,

Konsep Dasar dan

Aplikasinya, Cetakan 23,

Rajawali Pres, Jakarta. 2017.

Hardjana Andre, Komunikasi

Organisasi, Stategi dan

Kompetensi, Kompas Media

Nusantara, Jakarta, 2016.

Fahmi Irham, Manajemen Kinerja,

Teori dan Aplikasi, Cetakan

keempat, Alfabeta, Bandung,

2015.

Herabudin, Studi Kebijakan

Pemerintah, dari Filosofi ke

Implementasi, Cetakan 1,

Pustaka Setia, Bandung, 2016.

Umam Khaerul, Manajemen

Organisasi, Cetakan ke-2,

Pustaka Setia, Bandung, 2015.

Syarifin Pipin dan Jubaedah Dedah,

Pemerintahan Daerah di

Indonesia, Pustaka Setia,

Bandung, 2010.

_________, Buku Pemerintahan

Daerah dan Organisasi

Perangkat Daerah. Edisi

Terbaru, Fokusindo Mandiri,

Bandung, 2010.

Gunawan Imam, Metode Penelitian

Kualitatif, Teori dan Praktek,

Cetakan Kelima, Bumi

Aksara, Jakarta, 2017.

Sugino, Metode Penelitian

Kombinasi, Cetakan ke-9,

Alfabeta, Bandung, 2017.

Sujarweni, Wiratna, Metodologi

Penelitian Lengkap, Praktis,

dan Mudah Dipahami,

Pustaka Baru, Yogyakarta,

2014.

Moleong. Metode Penelitian

Kualitatif.Cetakan ke 37.

Rosda, Jakarta: 2017.

M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok

Metodelogi Penelitian Dan

Aplikasinya, Pustaka Jaya,

Bogor: 2016.

Sumber Lain:

Peraturan Daerah Pemerintahan

Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Nomor 5

Tahun 2010 Tentang Lembaga

Musyawarah Kelurahan.

Peraturan Gubernur Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta

Nomor 171 Tahun 2016

Tentang Pedoman rukun

Tetangga dan Rukun Warga.

Page 44: ISSN 2655-4364

40 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN GUBERNUR

NOMOR 164 TAHUN 2016 TENTANG PEMBATASAN LALU LINTAS

DENGAN SISTEM GANJIL GENAP (STUDI KASUS DI JALAN

THAMRIN SAMPAI JALAN JENDERAL SUDIRMAN)

Didin Asyari Muhtadin | [email protected]

Dahri Zaenal | [email protected]

Wiara Dwi Anggraeni | [email protected]

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana Implementasi

Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Nomor 164 Tahun 2016, yakni

tentang pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil genap yang diterapkan di

Jalan Muhammad Husni Thamrin sampai Jalan Jendral Sudirman. Peneliti

dapat memperoleh pemahaman mengenai tingkat kemacetan sekitar Jalan

Thamrin sampai Jalan Jenderal Sudirman pada saat diberlakukannya kebijakan

tersebut, maupun sebelum diberlakukan kebijakan yang saat ini diterapkan oleh

pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Peneliti dalam hal ini tentu mengharapkan dan ingin mendapatkan

khazanah pengetahuan, mengenai arah kebijakan khusus dalam mengatasi

kemacetan di ibu kota Jakarta. Juga hasil penelitian tentang implementasi

kebijakan ini, dalam upaya penanggulangan kemacetan di Ibu Kota Jakarta

yang kemudian dapat menjadi indikator, serta contoh praktis bagi kota-kota

besar lainnya, sebagai upaya mengendalikan kemacetan.

Kata kunci: Peraturan Gubernur, Pembatasan lalu lintas, Ganjil-genap,

Kemacetan

Pendahuluan

Jakarta merupakan ibu kota

Negara Republik Indonesia, kota

terbesar dan berpenduduk terpadat.

Jakarta memiliki luas sekitar 661,52

km² daratan, serta mempunyai luas

lautan 6.977,5 km², dengan penduduk

berjumlah 10.37 Juta Jiwa Tahun

2017 menurut BPS. Sebagai pusat

bisnis, politik, dan kebudayaan,

Jakarta merupakan tempat berdirinya

kantor- kantor pusat Badan Usaha

Milik Negara (BUMN), perusahaan

swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan

lembaga-lembaga pemerintahan dan

kantor sekretariat ASEAN, dilayani

oleh dua bandar udara, Bandara

soekarno Hatta serta Bandara Halim

Perdana Kusumah. (Agustinus

subekti dkk, 2009).

Pada tahun 2003, Gubernur

Jakarta waktu itu Sutiyoso

mengeluarkan Keputusan Gubernur

Nomor 4104 tertanggal 23 Desember

2003 Tentang Penetapan, Kawasan

Pengendalian Lalu lintas dan

Kewajiban mengangkut paling

sedikit 3 Orang Penumpang

perkendaraan atau lebih yang lebih

di kenal dengan kebijakan 3 in 1

(three in one) dan kebijakan ini

bertahan sampai tahun 2017.

Bagi pemilik Kendaraan

pribadi, berkendaraa di Jakarta saat

jam sibuk bukanlah suatu

kenikmatan, karena selain bensin yang terbuang percuma juga waktu

panjang yang harus terbuang sia-sia,

terutama khususnya di jalan

Thamrin-Sudirman sebagai jalan

protokol pusat pemerintahan.

Kebijakan pembangunan

transportasi massal lainya yang

sedang berlanjut sampai sekarang

adalah pembuatan Mass Rapid

Page 45: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

41 ISSN: 2655-4364

Transit (MRT), Peraturan Daerah

(Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor

3 Tahun 2008, tentang pembentukan

Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD), PT. MRT, dan Light Rail

Transit (LRT), Peraturan Presiden

(Perpres) Nomor 98 tahun 2015.

Dikeluarkannya Pergub No.

164 tahun 2016, Tentang

Pembatasan Lalu Lintas dengan

Sistem Ganjil Genap maka,

kebijakan baru Pemerintah DKI

Jakarta untuk mengatasi kemacetan

Jakarta terutama jalan-jalan protokol,

tentu merupakan masalah baru bagi

warga Jakarta karena dengan adanya

pembatasan kendaraan yang

melewati jalan-jalan protokol.

Jakarta bukanlah satu-

satunya negara yang menerapkan

system ganjil genap, jauh sebelum

itu kota Beijing dan kota Guangzou

di negara Republik Rakyat Cina

(RRC), sudah menerapakan sistem

ganjil genap. Persiapan itu di mulai

sejak Cina di tetapkan sebagai tuan

rumah olympiade 2008.

Dalam menyiapkan sistem

ganjil genap, Beijing dan Guangzou

mengkaji masyarakatnya secara

mendalam. Mereka tidak hanya

turunkan ahli transportasi tetapi

mereka juga menurunkan ahli

antropolog untuk melihat prilaku

masyarakat siap atau tidak , dan Cina

menerapkan sistem ini dengan

sukses dan berhasil

memberlakukannya karena

persiapannya sudah matang dan

pemerintahannya sudah

mempersiapkan sarana dan prasarana

transportasi publik yang bagus.

Alat-alat dan jalur-jalur transportasi sudah dipersiapkan

dengan matang termasuk jalur

sepeda, bus, KRL, dan jalur

pedestrian. Sehingga kota Beijing

dan kota Guangzou berhasil

menerapkan sistem ganjil genap

untuk menekan kemacetan di negara

Cina.

Sedangkan kota-kota yang

gagal menerapkan sistem ganjil

genap adalah kota Athena di Yunani,

kota Meksiko di Meksiko, dan kota

Solo di Indonesia. Pada umumnya

kota-kota yang gagal menerapkan

sistem ini karena mereka belum siap

dari segi insfrastruktur maupun dari

segi pengganti transportasi

publiknya.

Berdasarkan uraian diatas

maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul

“Implementasi Kebijakan Peraturan

Gubernur Nomor 164 tahun 2016

tentang Pembatasan Lalu Lintas

dengan Sistem Ganjil Genap (Studi

Kasus di Jalan Thamrin sampai Jalan

Jenderal Sudirman).

Rumusan masalah

Dari uraian di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Implementasi

Peraturan Gubernur Provinsi

DKI Jakarta Nomor 164

tahun 2016 Tentang

Pembatasan Lalu lintas

dengan Sistem Ganjil genap?

2. Sejauh mana tingkat

kemacetan di Jakarta

khususnya daerah sekitar

jalan Thamrin sampai Jalan

Sudirman setelah

diberlakukan kebijakan

tersebut di atas?

Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti

membatasi masalah penelitian yang

akan di pusatkan, yakni hanya

sebatas Jalan Thamrin sampai Jalan

Sudirman.

Landasan teori

1. Teori implementasi

Definisi implementasi

menurut Pressman dan

Wildavsky sebagai pelopor

studi implementasi adalah;

Implementasi

dimaknai dengan beberapa

Page 46: ISSN 2655-4364

42 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

kata kunci sebagai berikut:

untuk menjalankan beberapa

kebijakan (to carry out),

untuk memenuhi janji-janji

sebagaimana dikatakan dalam

dokumen kebijakan (to

fulfill), untuk menghasilkan

output sebagaimana

dinyatakan dalam tujuan

kebijakan (to produce), untuk

menyelesaikan misi yang

harus di wujudkan dalam

tujuan kebijakan (to

complete) (Purwanto dan

Sulistyawati 2015 : 20-21).

2. Teori Kebijakan

Kebijakan sebagai

ilmu pengetahuan secara

filosofis dapat membuktikan

kehadirannya baik secara

ontologis, epistimologis,

maupun secara aksiologis.

Pandangan yang menganggap

bahwa persoalan pokok

implentasi hanyalah tentang

bagaimana melakukan

command and control, tidak

dapat dilepaskan dari

paradigma yang dipakai oleh

para ahli untuk memahami

dan menjelaskan

problematika, implementasi

yang ada. Para ilmuan

administrasi publik

cenderung berpendapat

persoalan implentasi

hanyalah persoaalan

administrasi dan manajemen

(administrative and

management).

Metode penelitian

Metode penelitian adalah

tatanan atau struktur cara-cara

bagaimana melaksanakan suatu

penelitian dengan berdasarkan

prosedur atau teknik penelitian

tertentu yang telah dianggap paling

sesuai oleh peneliti. Penulis akan

menggunakan jenis deskriptif

kualitatif.

Data kualitatif adalah data

yang dapat diinput tentang

fenomena/kejadian apa yang dialami

oleh subjek penelitian. Pendekatan

kualitatif adalah suatu proses

penelitian dan pemahaman yang

berdasarkan pada metodologi yang

menyelidiki suatu penomena sosial

dan masalah manusia.

Tempat dan waktu penelitian

Lokasi dan waktu penelitian,

dalam penelitian ini sebagai berikut:

Lokasi Penelitian ini di

laksanakan di sekitar lokasi Jl. MH

Thamrin sampai Jl. Jendral Sudirman

Jakarta Pusat dan Direktorat Lalu

lintas Polda Metro Jaya Subdit

Gakkum Jl. MT. Haryono Jakarta

Timur.

Waktu Penelitian yang di

laksanakan di lokasi sekitar Jl. MH.

Thamrin sampai Jl. Jendral Sudirman

dilaksanakan selama 8 Minggu atau

2 bulan berjalan tahun ajaran (2017-

2018).

Teknik Pengumpulan Data

Suharismi Arikunto

menyatakan obyek penelitian

merupakan ruang lingkup atau hal-

hal yang menjadi pokok persoalan

dalam suatu penelitian. Berdasarkan

penjelasan pakar di atas maka

disimpulkan obyek penelitian adalah

ruang lingkup yang merupakan

pokok persoalan dari suatu

penelitian.

1. Data primer

Data primer yang

diperoleh dalam penelitian

yang didapat dengan cara

melakukan tanya jawab, dan pengamatan secara langsung

atau wawancara dan

diperoleh melalui pertanyaan-

pertanyaan yang sesuai

dengan fokus penelitian yang

dipersiapkan peneliti.

Peneliti melakukan

wawancara

mendalam dengan

Page 47: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

43 ISSN: 2655-4364

Sub Direktorat

Penegakkan

Hukum Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya AKBP.

Budiyanto, S. Sos.M.H.

2. Data sekunder

Data sekunder

diperoleh melalui beberapa

sumber informasi antara lain:

Dokumen-dokumen, buku

ilmiah hasil penelitian, dan

media massa yang relevan

dengan fokus peneliti, serta

internet.

Tahapan-Tahapan Penelitian Tahapan-tahapan penelitian ini

sebagai berikut:

1. Merumuskan

Rancangan Penelitian

2. Menentukan

Lapangan Penelitian

3. Mengurus Perizinan

4. Memasuki lapangan

5. Dll.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Obyek penelitian yang

dilaksanakan peneliti terletak di

daerah elite kawasan Jakarta Pusat

yang merupakan jalan Protokol

negara yaitu Jl.M H. Thamrin - Jl.

Jendral Sudirman. Obyek ini

diambail karena dengan alasan-alasan

letak geografis peneliti lebih dekat

dengan jalan tersebut, serta dilihat

aspek volume kendaraan yang

beroperasi setiap harinya lebih tinggi

dari pada jalan-jalan protokol yang

terkena ganjil genap lainnya, Jl.MH.

Thamrin – Jl. Jendral Sudirman

merupakan jalan kawasan

percontohan, kawasan tertib

lalulintas di ibu kota.

Pertumbuhan jumlah

kendaraan di ibu kota memang tidak

sebanding dengan ruas jalan yang

ada, akibatnya, kemacetan terjadi di

mana-mana. Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta tidak tinggal diam,

berbagai cara dan sistem dilakukan

oleh Pemprov, untuk mengatasi

kemacetan di Jakarta.

Pada tahun 2003, Gubernur

Sutiyoso, mengeluarkan Keputusan

Gubernur Nomor 4104 Tentang

Penetapan, Kawasan Pengendalian

Lalu Lintas dan Kewajiban

mengangkut paling sedikit 3 Orang

Penumpang perkendaraan atau lebih.

Dikenal dengan kebijakan three in

one di ruas Jl. protokol ibu kota.

Seiring berjalannya waktu

kebijakan three in one sudah tidak

relevan lagi lantaran kemacetan

masih kerap terjadi di jalan-jalan

yang diterapkan, dengan serangkaian

uji coba demikian maka, dengan

dihapusnya kebijakan three in one

membuat tingkat kemacetan

meningkat hingga 24,35% waktu

jarak tempuh pun jauh lebih lama

dari 3,5 menit per kilo meter menjadi

6 sampai 7 menit per kilo meter.

Hasil wawacara Peneliti

dengan Kasubdit Gakkum Dirlantas

Polda Metro Jaya pada hari Rabu

tanggal 31 Oktober 2018, bahwa

kebijakan Ganjil genap merupakan

kebijakan transisi dari kebijakan

yang lalu yaitu kebijakan Three in

One, tetapi sebelum kebijakan yang

sebenarnya yang akan diterapkan

oleh pemda yaitu kebijakan ERP

(Elektonik Road Passing), yaitu

kebijakan jalan berbayar yang kini

kebijakannya masih dalam proses,

karena melihat kebijakan three in

one sudah tidak relevan lagi dengan

arus lalu lintas saat itu, maka untuk

mengatasi kemacetan ibu kota

diterapkanlah kebijakan Pergub

No.164 tahun 2016 yaitu kebijakan

tentang Pembatasan Lalu lintas

dengan Sistem Ganjil genap.

Berdasarkan keterangan dari kasubdit gakkum tersebut kebijakan

ganjil-genap dalam penerapannya

cukup bagus terbukti di jalur-jalur

ganjil genap arus lalulintas efektif

lancar dan peningkatan kecepatan

kendaraan meningkat.

Dampak yang timbul dari

kebijakan ganjil genap

Page 48: ISSN 2655-4364

44 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Kebijakan peraturan ganjil

genap yang diterapkan oleh

pemerintah dki Jakarta yang saat ini

masih berjalan dan di nyatakan

berhasil dalam penerapannya di saat-

saat jam sibuk yang di berlakukan di

jalan-jalan protocol, yang telah di

tentukan tentu akan sangat

berdampak positif karena jalanan

menjadi sangat lancar, dan

masyarakat menengah kebawah

mulai mengalihkan perhatian untuk

menggunakan sarana moda

transportasi umum, karena mereka

tidak mau berjam-jam di jalan hanya

untuk mencapai tujuan.

Selain dampak positif

kebijakan ini tentu juga dapat

menimbulkan dampak negatif karena

jalanan menjadi lancar pada jalan-

jalan yang diterapkannya sistem

ganjil genap, akan tetapi, tidak

demikian di jalan-jalan protokol ibu

kota yang tidak di terapkan sistem

tersebut seperti di jalanan alternatif

di sekitar Jl. Thamrin – Jl. Jendral

Sudirman di antaranya yakni Jl.

Penjernihan I pejompongan menuju

arah Jl. Jendral Sudirman, maupun

arah tanah abang jalanan mengalami

kemacetan, dan kepadatan lalu lintas

di jam-jam yang di tetapkan ganjil

genap.

Kemudian Jalanan dari arah

Manggarai menuju arah Jl. Jendral

Sudirman maupun menuju arah

pejompongan mengalami kemacetan,

dan ini tentu dilihat dari faktor

sosiologis akan berdampak negatif.

Dari data-data yang diperoleh

dari Kasubdit Gakkum tersebut,

maka peneliti menemukan beberapa

hal dalam penelitian yang menjadi kajian dalam proses penelitian,

bahwa semenjak disosialisasikan dan

uji coba yang dilakukan, sampai

diberlakukannya, hingga saat ini di

lapangan kebijakan dengan sistem

ganjil genap masih sangat relevan

diterapkan walaupun sudah berjalan

selama dua tahun pelaksanaannya,

akan tetapi masih terdapat titik-titik

kemacetan di jalur-jalur alternatif

lain yang mengakibatkan dampak

negatif dari system tersebut,

sehingga masyarakat yang memiliki

nomor kendaraan di luar jalur yang

telah di tetapkan dapat mencari jalan

alternatif yang tidak menimbulkan

kemacetan dan ini perlu di carikan

solusinya.

kebijakan yang diterapkan

oleh pemerintah dengan pembatasan

dengan sistem ganjil genap ini,

sampai saat ini masih sangat relevan

untuk di terapkan, karena dengan

berbagai pertimbangan dan kajian,

penerapan ganjil genap masih sangat

efektif dalam mengatasi kemacetan

di jalur yang diterapkan ganjil genap,

di ibu kota yang didukung dengan

data-data, dan adanya hasil kajian

ada beberapa indikator yang

mengarah pada perubahan situasi

yang cukup bagus dan hasilnya

positif yaitu;

1. Adanya peningkatan

kecepatan rata-rata kendaraan

di jalur Ganjil genap terutama

jalur Thamrin Sudirman

hingga 37 - 44%

2. Waktu tempuh lebih cepat

menurun rata-rata 23%

3. Kesadaran Masyarakat

menggunkan angkutan umum

trans Jakarta meningkat

hingga 40% dari 2,8 juta

menjadi 4 juta penumpang

4. Kenaikan jumlah penumpang

PPD meningkat sebesar 29%

5. Kenaikan jumlah penumpang

bus sinar jaya sebesar 6%

6. Penurunan emisi kendaraan

sebesar 15%

7. Penurunan terhadap konsentrasi Carbon di Oksida

sebesar 1,7%

8. Penurunan terhadap

konsentrasi No.14,7%

9. Penuruna konsentrasi, THC

mencapai 1,37%

10. Penurunan angka kecelakaan

hingga 20%

11. Penurunan Fatalitas akibat

Page 49: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

45 ISSN: 2655-4364

kecelakaan hingga 20%

Di lapangan pada hari senin

tanggal 8 Oktober peneliti

melakukan kajian observasi

lapangan dengan mengamati

langsung jalan Thamrin pada pukul

6:00 WIB. Pagi sampai dengan

pukul 10.00 WIB. Pagi dari hasil

observasi lapangan tersebut peneliti

menemukan beberapa hal;

1. Kendaraan dari arah

Medan merdeka barat

menuju arah thamrin, arah

merdeka selatan, agak

sedikit tersendat kemacetan

di karenakan bundaran

patung kuda di area monas

merupakan jalur berbagai

arah

2. Kendaraan yang melintas

arah Thamrin relatif lancar

dengan kecepatan yang

sangat signifikan yang telah

di tentukan batas maksimal

kecepatan di Jalan Thamrin.

3. Kendaraan di sekitar

alternatif Jl. Thamrin

diantarnya Jl. Kebon sirih,

Mas Manysur, Jl

Penjernihan I, pejompongan

Tanah abang mengalami

kemacetan

4. Sebaliknya Arus lalulintas

di jalur Jendral Sudirman

relatif lancar dan tidak ada

kemacetan.

Kemudian peneliti

melakuakan observasi pada tanggal

9 Oktober sampai dengan tanggal

16 Oktober 2018 dari pukul 16:00

wib. sampai dengan Pukul 20:00

wib. baik dari arah thamrin menuju

ke arah Jendral Sudirman maupun

dari arah Jendral sudirman ke arah

Jalan thamrin disini peneliti

menemukan beberapa fakta;

1. Bahwa dengan di

terapkannya peraturan

ganjil genap oleh pemda

tersebut, jalanan pada saat

jam 16:00 wib. sampai

dengan jam 20:00 wib. di

area Thamrin ke arah

Sudirman titik jalan

pamekasan menteng pada

saat jam keluar kantor

relatif padat dan jalanan

masih dalam keadaan

lancar.

2. Jalanan dari Arah Jl.

Jendral Sudirman Menuju

Arah Jl Thamrin, masih

relatif lancar perlintasan

dukuh atas pukul 16:00

wib. sampai pukul 18:30

wib. menuju arah

pejompongan agak

tersendat karena terkena

rambu lalulintas

3. Jl. Jendral Sudirman

perlintasan dukuh atas

menuju arah Thamrin

Bundaran Hotel Indonesia

Pukul 18:40 wib. relatif

agak tersendat, di

karenakan banyaknya

pengendara ojek onloine

yang berhenti dan

menunggu penumpang

saat jam pulang kerja,

serta padatnya lalulintas

menuju perbelanjaan

Grand Indonesia arah

teluk betung berbanding

sejajar dengan arah di jalur

bundaran perlintasan Hotel

Indonesia yang menuju ke

berbagai arah

4. Arus lalu lintas dari arah

Jl. Thamrin bundaran

Hotel Indonesia menuju

patung kuda arah Monas,

relatif lancar dan terkendali.

Langkah selanjutnya

peneliti juga melakukan wawancara

dengan masyarakat pengguna jalan

sekitar Jalan Thamrin - Sudirman

di antaranya dengan Bapak Yadi

yang tinggal di Jalan talang

betutu ujung Rw 04 Kebon

Page 50: ISSN 2655-4364

46 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Melati Tanah Abang Jakarta Pusat

wawancara di lakukan pada hari

Senin tanggal 8 Oktober 2018 jam

7.30 WIB. Pagi narasumber bapak

Yadi di temui langsung di lapangan,

di jalan Talang Betutu Kebon

Melati Tanah Abang Jakarta pusat,

nara sumber mengatakan dengan

diterapkannnya sistem ganjil

genap ini sudah tepat bagi

pengendara pribadi, namun, tidak

tepat bagi pengendara online

karena dengan adanya sistem

ganjil genap ini maka bagi kami

yang mempunyai kendaraan ganjil

maupun genap dalam sebulan

hanya akan mendapatkan 15 hari

kerja, dan otomatis akan

mengurangi pendapatan kami

sebagai driver online. Dengan

berakhirnya Asian Para Games

kebijakan masih tetap dilanjutkan

dari tanggal 15 Oktober sampai

dengan 31 Desember 2018 dengan

mengeluarkan pergub baru no 106

tahun 2018 mengenai perluasan

kawasan dan waktu yang di

berlakukan dari hari senin – hari

Jum’at dari pukul 06.00 wib -

pukul 21.00 WIB. waktunya di bagi

menjadi dua segmen; yang pertama

dari pukul 06.00 – pukul 10.00,

yang kedua dari pukul 16.00 –

pukul 21.00. Untuk hari sabtu dan

minggu serta hari libur nasional

tidak berlaku ganjil-genap. Selain

dari hasil penelitian, peneliti juga

membandingkan pernyataan

pengamat transportasi Azas Tigor

Nainggolan sebagaimana di kutif

dari harian Pos Kota pada hari

selasa tanggal, 16 Oktober 2018

halaman 7 – 8 ” Sistem Ganjil Genap cara paling Efektif yang

dapat dilakukan Pemprov. DKI

Jakarta dalam menanggulangi

kemacetan di sebuah ruas jalan ibu

kota saat ini keberhasialan

penerapan ganjil genap genap ini

memebawa perubahan prilaku

bertransportasi warga Jakarta.

Tidak dapat di pungkiri sudah

banyak warga Jakarta yang

meninggalkan mobilpribadinya di

rumah (15/10).

Tigor melihat perubahan

sikap ini dilakukan warga secara

sukarela, ia yakinapabila hal ini

terus di lakukan, maka akan

memunculkan kebiasaan yang baik

bagi tranportasi dan kemacetan di

Jakarta.

Di hubungi terpisah

menurut Dirlantas Polda Metro

Jaya Kombes Pol. Yusuf

menyambut baik perpanjangan

sistem Ganjil genap. Sebab system

tersebut di nilai efektif mengurai

kemacetan lalulintas, baginya tidak

masalah selama itu baik buat

masyarakat.

Kadirlantas pun

menegaskan sistem ini telah

terbukti membantu mengurai

kemacetan dan kecepatan

kendaraan meningkat. Termasuk

mengurangi penggunaan kendaraan

pribadi dan meningkatkan minat

masyarakat menggunakan

transportasi umum, dan kondisi di

lapangan menunjukan beberapa

ruas jalanan kian renggang.

Simpulan

Berdasarkan uraian dalam

pembahasan di bab-bab

sebelumnya, maka peneliti dalam

hal ini menelusuri implementasi

Pergub Nomor 164 tahun 2016

Tentang Pembatasan Lalulintas

dengan Sistem Ganjil genap adalah

sebagai berikut.

1. Implementasi Kebijakan

Pergub tentang Pembatasan

dengan Sistem Ganjil genap yang di terapkan di Jalan-

jalan prokol terutama Jl.

Thamrin - Jl. Jendral

Sudirman di nyatakan

berhasil dan penerapannya

masih tetap berjalan sampai

saat ini dan dapat mengatasi

kemacetan lalu lintas di

jalan Thamrin - Sudirman

Page 51: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

47 ISSN: 2655-4364

terutama pada saat jam-jam

di terapkan ganjil genap

2. Transportasi Umum yang

layak dan baik untuk

masyarakat akan

mengalihkan para pemilik

kendaraan menjadi alternatif

tumpangan;

3. Arus lalulintas di Jl.

Thamrin s/d Jl. Jendral

Sudirman pada saat

diterapkan kebijakan pergub

no 164 tahun 2016 pada saat

jam-jam sibuk ternyata

terbukti bisa mengatasi

sementara kepadatan

lalulintas

4. Dengan di berlakukannya

kebijakan tersebut di atas

pada jalan-jalan protokol

menimbulkan kemacetan di

jalan alternatif wilayah

sekitar Jl. Thamrin s/d Jl.

Jendral Sudirman

Saran

Adapun dari beberapa

simpulan yang telah di jabarkan di

atas maka peneliti memiliki

beberapa saran penelitian, saran ini

adalah:

1. Saran Akademis,

Saran akademis Peneliti mengaharapkan agar

penelitian ini dapat berguna

bagi Mahasiswa yang

melakukan penelitian

serupa atau melakuakan

penelitian lanjutan atas

topik yang sama. Peneliti

berharap agar topik ini dan

pembahasan yang telah

dipaparkan dapat

menimbulkan rasa keingin

tahuan untuk mengadakan

penelitian lanjutan

2. Saran Praktis,

Beradsarkan penelitian

tersebut, peneliti

memberikan beberapa Saran

sebagai berikut:

Kepada pemerintah

Provinsi DKI Jakarta

dengan keberhasilan

kebijakan pemerintah

tentang Pembatasan Lalu

lintas dengan Sistem Ganjil

Genap yang telah di terapkan

selama ini dan di nyatakan

berhasil maka pemerintah

masih harus terus berusaha

agar Ibu Kota Negara

Republik Indonesia Tercinta

ini bisa terbebas dari

kemacetan dan menjadi tolak

ukur bagi kota-kota lain di

Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Alf, MRT Memasuki babak baru,

Jakarta : Media Jaya, 2015.

Dunn, William N, Pengantar

Analisis Kebijakan Publik:

Edisi Kedua, Yogyakarta,

Gadjah Mada University

Press, 2003.

Marbun S.H., B.N. Kamus Politik,

Jakarta: PT. Pustaka Sinar

Harapan, 2013.

Purwanto, Erwan Agus & Dyah

Ratih Sulistyastuti,

Implementasi Kebijakan

Publik Konsep dan

Aplikasinya di Indonesia,

Yogyakarta: Penerbit Gava

Media, 2015.

Setiati, Eni dkk, Ensiklopedia 4,

Profil Kota Jakarta Doeloe,

Kini, dan Esok, Jakarta: PT.

Ikrar Mandiri Abadi, 2009.

_____________, Ensiklopedia 7,

Profil Kota Jakarta Doeloe,

Kini, dan Esok, Jakarta : PT. Ikrar Mandiria Abadi, 2009.

Semma, Dr. Mansyur, Negara

dan Korupsi (pemikiran

Mochtar Lubis atas Negara,

Manusia Indonesia, dan

Perilaku Politik), Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia,

2008.

Sinamo. Dr. Nomensen, SH, MH,

Page 52: ISSN 2655-4364

48 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Hukum Administrasi Negara,

Bekasi : Jala Permata

Aksara, 2015.

Subekti, Agustinus, dkk,

Enslikopedia Jakarta

Doeloe, Kini, dan Esok,

Jakarta : Lentera, 2009.

Haedar Akib, Implementasi

kebijakan apa, mengapa, dan

bagaimana http:

//dx.doi.org/10.26858/jiap.v1i

1289 di akses pada 30

Oktober 2018.

Page 53: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

49 ISSN: 2655-4364

DEMOKRASI DAN PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID

TERHADAP ETNIS MINORITAS TIONGHOA DI INDONESIA

Muhammad Rohim Hidayatullah | [email protected]

Universitas Nasional

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab mengenai pemikiran politik

Abdurrahman Wahid tentang demokrasi dan pluralisme, kerelevansian dalam

konteks perkembangan demokratisasi di Indonesia, dan konsistensi

Abdurrahman Wahid untuk menjadikan isu minoritas Tionghoa sebagai bagian

dari permasalahan demokrasi dan pluralisme. Hasil dari analisis dalam

penelitian ini adalah bahwa Abdurrahman Wahid memberikan penekanan pada

pluralisme berada pada konstitusi Negara, yaitu hukum sebagai “aturan main”

yang memberikan kesetaraan hak kepada seluruh warga Negara. Selain itu,

perhatian yang tinggi terhadap etnis Tionghoa setidaknya telah mendorong

Abdurrahman Wahid untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro

terhadap etnis Tionghoa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

sebagai metodenya, dan studi kepustakaan, serta wawancara mendalam sebagai

teknik pengolahan data. Untuk mempertajam analisis dalam penelitian ini,

penulis menggunakan teori-teori politik identitas-etnisitas dan pluralisme.

Kata kunci: Gus Dur, Demokrasi, Pluralisme, dan Etnis Tionghoa

A. PROLOG

Membahas tentang

demokrasi memang memiliki

keunikan tersendiri, karena

demokrasi bukan sebuah konsep

yang mudah dipahami dan memiliki

banyak konotasi makna, variatif,

dan dinamis. Sehingga, tidaklah

mudah membuat suatu definisi yang

jelas mengenai demokrasi.

Demokrasi memilki makna variatif

karena bersifat interpretatif. Karena

interpretatif itulah dapat mengenal

tipologi demokrasi seperti

demokrasi liberal, demokrasi rakyat,

demokrasi Pancasila, demokrasi

terpimpin, demokrasi parlementer,

dan lain-lain.

Demokrasi juga merupakan

konsep yang dinamis, bukan konsep

yang statis. Artinya, konsep

demokrasi selalu mengalami

perubahan, baik bentuk-bentuk

formalnya maupun substansinya

sesuai dengan konteks dan dinamika

sosio-historis dimana konsep

demokrasi lahir dan berkembang.

Maka apa yang dipahami sebagai

gagasan-gagasan demokrasi pada

masa Yunani kuno misalnya, tidak

harus selalu sesuai dan relevan

dengan gagasan demokrasi yang

berkembang dewasa ini. Walaupun

pada saat itu, seperti misalnya

Aristoteles, dalam karyanya yang

berjudul Politics (politea), telah

menyebut bahwa demokrasi

merupakan bentuk negara yang

kurang baik. Ia mengkategorikan

demokrasi ke dalam negara yang

buruk (bad state), bukan negara

yang baik (good state). Alasannya

ialah bahwa demokrasi merupakan

pemerintahan orang banyak, di

mana satu sama lain memiliki

perbedaan kepentingan, latar

belakang sosial ekonomi, perbedaan

tingkat pendidikan sehingga negara

yang penuh perbedaan tersebut akan

mudah berubah menjadi

pemerintahan yang anarkis, menjadi

ajang pertempuran konflik

kepentingan berbagai kelompok

kepentingan dan elit kekuasaan,

yang merupakan kendala untuk

menjadi pemerintahan yang baik

Page 54: ISSN 2655-4364

50 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

serta sulitnya untuk mencapai

konsensus (Ahmad Suhelmi, 2004).

Namun, dewasa ini terjadi

kecenderungan global di mana

demokrasi tidak sekedar menjadi

wacana intelektual saja, melainkan

juga menjadi “impian” atau obsesi

politik berbagai negara, khususnya

negara-negara berkembang (Ibid,

hal. 295). Demokrasi menjadi

agenda utama dunia pasca-perang

dingin, yang lambat laun demokrasi

diakui sebagai sebuah sistem nilai

kemanusiaan yang paling

menjanjikan masa depan umat

manusia yang lebih baik dari saat

ini. Dasarnya adalah demokrasi

sesuai dengan nilai-nilai luhur

kemanusiaan. Demokrasi dinilai

sesuai dengan tuntutan kebutuhan

non-material manusia, sebab

nilainya bertitik tolak dari nilai-nilai

luhur (Ibid, hal. 296).

Yang perlu digarisbawahi

adalah, tujuan dari demokrasi itu

sendiri bukanlah terletak pada

struktur atau institusi negara yang

tersusun bagus dan indah,

melainkan pertumbuhan warga

negara dalam mencapai penentuan

diri sendiri. Dalam hal ini,

masyarakat dapat berpartisipasi

dalam mempengaruhi, dan

menentukan kebijakan negara

dengan memberikan suaranya

dengan bebas dan

bertanggungjawab (Muslim Mufti,

2012). Selain itu, menurut Muslim

Mufti dan Durrotun Naafisah

(2013), salah satu syarat terpenting

dan yang paling hakiki dari

demokrasi ialah konsensus yang

menjadi pondasi dari demokratis sendiri. Pada umumnya, materi

demokratis adalah upaya untuk

mencapai kata sepakat. Apabila kata

sepakat tidak sampai, maka

keputusan dapat diambil dengan

cara suara terbanyak. Itu merupakan

salah satu aturan main dari

demokrasi.

Demokrasi juga

mengisyaratkan kemajemukan

(pluralisme) dalam masyarakat serta

kesamaan kedudukan di antara

warga negara, kesempatan untuk

berfikir secara bebas, adanya

penghargaan terhadap kelompok-

kelompok minoritas, adanya konflik

dan konsensus yang dapat diatur

secara damai dan menghindari

kekerasan, adanya partisipasi

politik, serta adanya tingkat

kepercayaan dan kepatuhan yang

tinggi pada konstitusi dan

kebijakan-kebijakan yang

demokratis (Ibid, hal. 28).

Pada realitasnya, menurut

Riaty Raffiudin (2016), di dalam

keadaan yang plural tersebut, yang

diikuti dengan memasuki era

modern juga melahirkan kelompok

dengan label mayoritas, dan

minoritas baik secara etnik, agama,

dan kelompok kepentingan. Hal

tersebut dialami oleh Indonesia.

Di Indonesia, dengan adanya

keanekaragaman dalam sosial

budaya bahkan politik, telah

melahirkan kelompok mayoritas dan

minoritas. Kelompok minoritas telah

menjadi sasaran mendapatkan

kebijakan yang bersifat

diskriminatif dari pemerintah, yaitu

misalnya, etnis Tionghoa pada masa

Orde Baru. Selama masa ini,

menurut Sigid Purtanto (1986), telah

mengalami krisis partisipasi politik

yang terjadi karena besarnya

peranan pemerintah dalam arena

sosial politik. Juga kalangan

minoritas etnis Tionghoa, mereka

tidak dapat menikmati kebudayaan

mereka sendiri, seperti kesenian barongsai secara terbuka, perayaan

hari raya Imlek, dan pemakaian

Bahasa Mandarin dilarang seperti

yang tercantum dalam Inpres No. 14

Tahun 1967.

Walaupun rezim Orde Baru

menerapkan kebijakan politik “anti”

Tionghoa, tetapi dalam usaha

Page 55: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

51 ISSN: 2655-4364

membangun perekonomian di sektor

riil, etnis Tionghoa diberi peran dan

peluang yang sangat besar (MN.

Ibad, 2011). Menurut Benny G.

Setiono (2002), malahan segelintir

etnis Tionghoa dijadikan kroni oleh

pihak penguasa untuk melakukan

KKN demi menumpuk kekayaan

pribadinya. Maka lahirlah sejumlah

kecil konglomerat-konglemerat

jahat yang bersama para penguasa

“merampok” kekayaan negara. Hal

inilah yang kembali menjadi stigma

buruk yang dilekatkan pada diri

etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh

etnis Tionghoa adalah “binatang

ekonomi” yang tidak bermoral.

Padahal tidak dapat dimungkiri,

secara historis, etnis Tionghoa

sebenarnya memiliki peran politik

yang cukup penting dalam sejarah

perjalanan bangsa Indonesia pra dan

pasca proklamasi 17 Agustus 1945

(Eddie Kusuma dan S. Satya

Dharma, 2006).

Bukan tanpa sebab,

kebencian terhadap etnis Tionghoa

memang karena faktor menguasai

ekonomi. Hal ini pernah

diungkapkan oleh Bung Hatta,

menurutnya, posisi ekonomi etnis

Tionghoa setelah pendudukan

Jepang tetap tinggi dibandingkan

dengan warga Indonesia pada

umumnya, sehingga menjadi alasan

krusial lahirnya gerakan anti-

Tionghoa selama masa revolusi,

apalagi warga Tionghoa sendiri

kebanyakan datang sebagai

saudagar maka pada saat itu

masyarakat Indonesia

menganggapnya sebagai kelanjutan

kapitalisme asing (Justian Suhandinata, 2012). Jadi, etnis

Tionghoa ini terdiskriminasi dari

sisi sosial-politik, bukan ekonomi.

Hal ini tentu saja bertentangan

dengan prinsip-prinsip demokrasi

yang disebutkan oleh Sukron Kamil

(2013), yaitu menjamin hak asasi

manusia (kebebasan berpendapat,

berserikat, berkumpul).

Salah satu tokoh di

Indonesia yang concern dengan cita-

cita tegaknya demokrasi dan

pluralisme adalah Abdurrahman

Wahid (selanjutnya disebut Gus

Dur). Menurut Gus Dur (2012),

perjuangan menegakkan demokrasi

haruslah dimulai dengan

kesediaannya untuk menumbuhkan

moralitas baru dalam kehidupan

bangsa, yaitu moralitas yang merasa

terlibat dengan penderitaan rakyat di

bawah. Selain itu, Gus Dur juga

memandang bahwa demokrasi

sangat sejalan dengan Islam, karena

sama-sama menjadikan rule of law

sebagai aturan main. Bahkan Islam

disebut olehnya sebagai agama

demokrasi (Abdurrahman Wahid:

1999). Kemudian, ia menyatakan –

seperti yang dipaparkan A. Effendi

Choiry (2010) - bahwa keadaan

plural adalah rahmat yang telah

digariskan oleh Allah SWT, maka

sikap menolak perbedaan ialah sama

halnya dalam mengingkari

pemberian ilahi.

Perjuangan Gus Dur dalam

menegakkan demokrasi dilanjutkan

dengan ikut serta memprakarsai

dalam membentuk Forum

Demokrasi (For-Dem) pada tahun

1991-1998. Pendirian Fordem ini

kerap kali dikatakan sebagai

kekuatan penyeimbang. Sebab,

berdirinya Fordem tersebut

dilatarbelakangi oleh kuatnya

kekuasaan Soeharto sehingga tidak

dapat diimbangi oleh kekuatan sipil.

Oleh karena itu, penguatan

masyarakat sipil sebagai kekuatan penyeimbang perlu dilakukan dalam

memperjuangkan demokrasi (Nur

Kholisoh, 2012).

Ketika menjabat sebagai

Presiden (tahun 1999-2001), Gus

Dur tetap konsisten dengan

demokrasi yang telah ia gagas sejak

Page 56: ISSN 2655-4364

52 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

dahulu. Terbukti dengan penegakan

supremasi sipil, pengembalian TNI

ke barak, penghapusan Bakorstanas,

Litsus, serta Departemen

Penerangan adalah upayanya agar

masyarakat sipil menikmati

kebebasan berserikat, dan

berpendapat dalam demokrasi yang

sejati, serta tidak secara langsung

telah mengajak seluruh warga

negara untuk ikut berpartisipasi

dalam mengontrol pilar-pilar

demokrasi di Indonesia. Sebab, bagi

negara demokrasi, masyarakat tidak

hanya mengikuti pemilihan umum

dengan memberikan suara, akan

tetapi wajib berperan untuk

mengontrol terhadap merebaknya

media yang ada. Ini merupakan

bagian dari demokrasi yang

substansial.

Tidak hanya itu, ketika

menjadi Presiden, Gus Dur juga

membuat suatu usulan yang berani,

yaitu mengusulkan agar TAP MPRS

Nomor XXV Tahun 1966 tentang

pembubaran Partai Komunis

Indonesia (PKI) dan pelarangan

penyebaran ajaran marxisme,

komunisme dan leninisme dicabut.

Hal ini dimaksudkan untuk

membuka cakrawala masyarakat

Indonesia agar lebih toleran

terhadap ajaran atau paham politik

manapun. Walaupun kemudian

tindakan ini sempat dianggap akan

menuai kontroversial di kalangan

masyarakat (Zaairul Haq, 2012).

Gus Dur juga mencabut

Inpres Nomor 14 Tahun 1967

produk rezim Orde Baru. Kemudian,

ia menindaklanjutinya dengan

mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2001

pada tanggal 9 April 2001 yang

meresmikan Imlek sebagai hari libur

fakultatif. Sehingga wajar saja kalau

kemudian Gus Dur diberi gelar

“Bapak Tionghoa Indonesia” oleh

Komunitas Tionghoa Semarang

pada tanggal 24 Agustus 2014

silam. Bagi etnis Tionghoa, Gus Dur

sangat berperan besar dalam

memperjuangkan hak-haknya,

karena ia telah menghapus

kekangan, tekanan dan prasangka,

kemudian ia telah menjadikan

semua warga negara menjadi setara,

termasuk politik (detik.com, 2016).

Dengan demikian, pemikiran

dan tindakannya yang concern

dalam menegakkan demokrasi,

pluralisme, toleransi, persamaan

hak, inilah yang menjadi kata kunci

bagi pemikiran Gus Dur, dan hal itu

dilihat dari tindakannya dalam

membela etnis Tionghoa. Sehingga

wajar jika Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dalam pidatonya

menyebut Gus Dur sebagai Bapak

Pluralisme Indonesia (Titus Pekei,

2013).

Rumusan Masalah

Dengan beberapa fakta

seperti membela minoritas,

toleransi, keterbukaan, menghapus

diskriminasi dan reformasi yang

tercantum dalam latar belakang,

sangat jelas bahwa tindakan Gus

Dur sangat sejalan dengan prinsip-

prinsip demokrasi dan pluralisme.

Pemikirannya inilah yang kemudian

masih terus relevan dalam konteks

perkembangan demokrasi di

Indonesia.

Tentu saja, pemikiran dan

tindakan Gus Dur ini dipengaruhi

oleh kultur, pendidikan dan

lingkungan pergaulan. Selain itu,

pemikirannya yang kontroversial

pada saat itu, kini menjadi relevan

dalam proses demokratisasi di

Indonesia sebab asas

kewarganegaraan (termasuk kelompok minoritas) adalah bagian

yang terpenting dari tegaknya

demokrasi, selain supremasi hukum.

Selain itu, pemikiran dan

tindakannya ini sangat konsisten

dari masa ke masa. Sehingga

Page 57: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

53 ISSN: 2655-4364

beberapa hal inilah yang menjadi

alasan penulis untuk mengkaji

pluralisme dalam pemikiran Gus

Dur secara mendalam. Maka oleh

karena itu, dengan beberapa poin

yang disinggung pada latar

belakang, setidaknya memunculkan

beberapa pertanyaan penelitian,

yaitu:

1. Hal-hal apa saja yang

mempengaruhi

pemikiran Gus Dur

untuk konsisten dalam

memperjuangkan

demokrasi dan

pluralisme?

2. Bagaimana relevansi

pluralisme dalam

pemikiran Gus Dur pada

proses perkembangan

demokrasi di Indonesia?

3. Mengapa pandangan Gus

Dur konsisten membela

kaum minoritas

Tionghoa di Indonesia

sebagai bagian dari

masalah pluralisme di

Indonesia?

B. KERANGKA TEORI

Teori Politik Identitas-Etnisitas

Salah satu ciri penting dari

politik modern adalah tumbuhnya

pengakuan terhadap pengaruh

perbedaan-perbedaan kebudayaan

dalam masyarakat, sering disebut

dengan „politik identitas‟, atau

politik perbedaan (Heywood 2014).

Menurut Heywood (2014), politik

identitas adalah sebuah gaya politik

yang berusaha melawan

marginalisasi kelompok dengan

menganut sebuah rasa identitas bersama yang positif dan asertif.

Politik identitas juga

merupakan sebuah orientasi ke arah

penteorian sosial atau politik,

daripada sebuah kumpulan ide yang

koheren dengan sebuah karakter

politik yang mapan. Politik identitas

berusaha untuk menentang dan

menyingkirkan penindasan dengan

membentuk kembali sebuah

identitas kelompok melalui apa yang

serupa dengan proses ekspresi diri

politik-kebudayaan, yang

merefleksikan dua keyakinan

pokok: pertama, bahwa

marginalisasi kelompok berlangsung

melalui stereotip-stereotip dan nilai-

nilai yang dikembangkan oleh

kelompok-kelompok yang dominan

yang membentuk bagaimana

kelompok-kelompok marginal

melihat diri mereka dan bagaimana

dilihat oleh kelompok lain. Ini

secara khas memunculkan sebuah

rasa rendah diri, bahkan rasa malu

diri. Kedua, bahwa subordinasi

dapat dilawan dengan pembentukan

kembali identitas untuk memberikan

kelompok tersebut sebuah rasa

kebanggaan dan penghargaan diri

(Ibid).

Selanjutnya, apakah yang

dimaksud dengan etnisitas,

kelompok etnik, dan identitas etnis?

Istilah-istilah tersebut berasal dari

Yunani dengan kata etnos yang

diterjemahkan sebagai bangsa

(nation) atau suatu komunitas

manusia yang memiliki bahasa atau

kebudayaan yang sama (Ishiyama,

2013). Sementara banyak

pandangan awal mengenai

kelompok etnis ini sebagai natural.

Tokoh besar sosiologi Max Weber

berpendapat bahwa kelompok etnis

itu artifisial dan dikonstruksi secara

sosial (Ibid). Pada esensinya

kelompok etnis itu didasarkan pada

keyakinan subjektif tentang suatu komunitas bersama. Keyakinan

inilah yang menciptakan kelompok,

dan motivasi untuk membentuk

kelompok itu berasal dari hasrat

untuk meraih kekuasaan politik

(Ibid).

Menurut Heywood (2014),

etnisitas adalah sentimen loyalitas

Page 58: ISSN 2655-4364

54 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

pada sebuah populasi, kelompok

kebudayaan atau wilayah teritorial

tertentu. Lebih umum, etnisitas

dipahami sebagai satu bentuk

identitas kebudayaan, yang eksis

pada sebuah level yang dalam dan

emosional.

Teori Pluralisme

Plural dalam arti harfiah

adalah jamak, atau majemuk.

Evolusi peradaban yang panjang

melalui regenerasi, migrasi, dan

berbagai profesi transisi telah

menciptakan manusia terbentuk ke

dalam berbagai etnis, suku, dan

bangsa yang berbeda. Akhirnya,

mereka hidup berkelompok

membentuk sebuah masyarakat, lalu

kelompok-kelompok masyarakat

tersebut kemudian menyatu lagi

dalam wadah yang dinamakan

negara (Riaty Raffiudin, 2014).

Kelompok-kelompok kepentingan

dengan beragam yang ada dalam

wadah negara tersebut itulah yang

kemudian disoroti oleh pluralisme.

Pluralisme meletakkan pondasi

pemikirannya pada pengakuan

perbedaan. Oleh karena itu, kata

kunci yang tepat untuk mewakili

karakteristik ini adalah

keberagaman.

Menurut Apter (1987),

Pluralisme atau bisa disebut dengan

paham kemajemukan, pendekatan

dominan dalam ilmu politik yang

dibangun atas paham kelembagaan

(institutionalisme) dan paham

tingkah laku (behavioralisme).

Pluralisme sangat menekankan

partai sebagai penghubung antara

masyarakat, dan pemerintah, dan dengan membentuk postulat

hubungan-hubungan dinamis

tertentu. Seperti behavioralisme,

pluralisme menekankan sisi untuk

aktif politik dan belajar

menyesuaikan melalui partisipasi

publik pada berbagai tingkat politik

serta dalam hal badan sosial, dan

politik. Dari sudut pandang

pluralisme, politik dipandang

sebagai proses interaksi dalam mana

warga negara yang terlibat dalam

mempengaruhi jalannya

kebijaksanaan.

Dalam pengertian yang lain

(Heywood, 2014), pluralisme adalah

sebuah keyakinan atau komitmen

terhadap keberagaman. Istilah

deskriptif, pluralisme digunakan

untuk menunjuk adanya kompetensi

partai, keragaman nilai-nilai moral,

adanya keragaman norma-norma

budaya. Sedangkan istilah normatif,

pluralisme mengemukakan bahwa

keragaman itu merupakan hal yang

sehat, dan dibutuhkan, sebab

pluralisme biasanya menghendaki

adanya kemerdekaan individu –

individu untuk mengeluarkan

pendapat. Bahkan dengan

pemahaman yang lebih sempit lagi,

pluralisme adalah sebuah teori

tentang distribusi kekuasaan politik

yang mengartikan bahwa kekuasaan

harus dibagi secara merata, dan luas

di tengah masyarakat.

Pluralisme dengan

demokrasi sangat berhubungan satu

sama lain. Dengan sistem yang

demokrasi, akan memungkinkan

munculnya berbagai partisipasi yang

beragam dari kalangan masyarakat,

ikut sertanya beragam partai dalam

mengikuti kompetisi pada saat

pemilu, dan kemampuan dari

kelompok – kelompok kepentingan

untuk mengartikulasikan pandangan

– pandangan mereka secara bebas,

membentuk hubungan yang kuat

antara pemerintah dengan yang diperintah, dan menciptakan saluran

komunikasi antara keduanya

(Heywood, 2014). Menurut Chilcote

(2010), Pluralisme juga

beranggapan bahwa demokrasi

didalilkan pada keragaman

kepentingan dan penyebaran

kekuasaan.

Page 59: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

55 ISSN: 2655-4364

Di dalam pluralisme,

masyarakat dipandang sebagai

terdiri dari berbagai kelompok-

kelompok atau elit-elit yang saling

bersaing untuk merebut kekuasaan

politik. Persaingan ini – menurut

Lyman (1987) - dianggap sebagai

sarana utama untuk melindungi

keterlibatan rakyat dan hak-hak

individu. Kalangan pluralis

(Heywood, 2014), menyebut negara

sebagai “wasit” atau “pengadil” di

dalam masyarakat. Asal mula

pandangan ini dapat ditelusuri

kembali pada teori – teori kontrak

sosial dari pemikir Thomas Hobbes

dan John Lock. Mereka berpendapat

bahwa negara muncul berdasarkan

kesepakatan sukarela, atau kontrak

sosial, yang dibuat oleh individu

yang mengakui bahwa hanya

pembentukan kekuasaan yang

berdaulat yang dapat menjaga

mereka dari ketidakamanan,

ketidaktertiban, dan brutalitas dari

keadaan alamiah (state of nature).

Kemudian, ada tiga

pengertian pluralisme kontemporer

yang telah dikembangkan dan

dijadikan dasar analisis dalam

teologi manapun sejarah Islam ada

pluralisme. Ketiga pengertian

(Budhy Munawar, 2016) itu adalah:

Pertama, pluralisme adalah

keterlibatan aktif dalam keragaman

dan perbedaannya untuk

membangun peradaban bersama.

Kedua, pluralisme dengan

pengertian yang pertama, berarti

mengandaikan penerimaan toleransi

aktif terhadap yang lain. Tetapi

pluralisme melebihi toleransi.

Ketiga, berdasarkan pengertian yang kedua, maka pluralisme bukan

relativisme. Pengenalan yang

mendalam atas yang lain akan

membawa konsekuensi mengakui

sepenuhnya nilai-nilai dari

kelompok yang lain.

Bagi Gus Dur (Nur

Kholisoh, 2012), kebhinnekaan

merupakan kekuatan bangsa dan

kekuatan dalam proses

pembangunan yang harus diakui

keberadaannya. Ketika

kebhinnekaan dilihat sebagai suatu

ancaman bagi stabilitas nasional,

maka pada saat itu juga bangsa

Indonesia akan kehilangan nilai-

nilai kebersamaan yang selama ini

telah disimbolkan melalui lambang

negara, yaitu “Bhinneka Tunggal

Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian adalah suatu

kegiatan yang dilaksanakan dengan

suatu sistematika, metodologi ilmiah

dengan tujuan untuk memperoleh

sesuatu yang baru atau asli dalam

usaha memecahkan suatu masalah

yang setiap saat dapat timbul dalam

masyarakat (Sukandarrumidi, 2002).

Untuk melakukan sebuah penelitian,

maka diperlukan suatu metode

penelitian agar hasil penelitiannya

itu sesuai dengan kaidah-kaidah

ilmiah.

Penelitian ini juga lebih

kepada penilitian historis yang

bersifat eksploratif, yaitu meneliti

fenomena yang telah terjadi.

menurut Suharsimi Arikunto (1995),

penelitian historis merupakan

penelaahan dokumen serta sumber-

sumber lain yang berisi informasi

mengenai masa lampau dan

dilaksanakan secara sistematis.

Sedangkan sifat eksploratif dari

penelitian ini disebabkan karena

penulis ingin menggali secara luas

tentang sebab-sebab atau hal-hal

yang mempengaruhi terjadinya

sesuatu (Suharsimi, 1989).

Data yang digunakan merupakan data kualitatif, yaitu data

yang disajikan dalam bentuk kata

verbal bukan dala, bentuk angka.

Dalam penelitian ini, penulis

menggunakan dua bentuk data.

Pertama, data primer, yaitu data

Page 60: ISSN 2655-4364

56 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

yang berasal dari sumber asli atau

pertama. Kedua, data sekunder

berupada data yang sudah tersedia

dan dapat diperoleh peneliti dengan

cara membaca, melihat atau

mendengarkan.

Untuk menemukan

gambaran yang jelas secara optimal

pada penelitian ini, dengan unsur-

unsur pokok yang ditemukan sesuai

dengan butir-butir rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, maka

digunakan metode penelitian

kualitatif sebagai pendekatan dalam

penelitian ini. Dengan mengetahui

pendekatan penelitian yang penulis

gunakan dalam penelitian ini, maka

jenis penelitian yang dapat

diterapkan adalah penelitian

deskriptif. Penelitian deskriptif

analitis adalah tipe penelitian yang

bertujuan untuk menggambarkan

karakter suatu variabel, kelompok

atau gejala sosial yang terjadi di

masyarakat (Nanang, 2016).

Dalam penelitian ini, penulis

menggunakan 2 (dua) teknik dalam

pengumpulan data, yaitu melalui

studi kepustkaan, dan wawancara.

Dalam melakukan wawancara

sebagai salah satu teknik

pengumpulan data, penulis

menggunakan metode wawancara

mendalam, yaitu teknik

pengumpulan data yang didasarkan

pada percakapan secara intensif

dengan suatu tujuan (Bagong

Suyanto, 2015). Penulis

mewawancarai enam orang

narasumber dalam menuliskan

penelitian ini, yakni Inayah Wahid

(Putri keempat Abdurrahman

Wahid), Ahmad Suaedy (Peneliti senior di The Wahid Institute),

Amsar A. Dulmanan (Dosen tetap di

Universitas Nahdlatul Ulama

Indonesia), Ismail Yusanto (Juru

bicara Hizbut Tahrir Indonesia),

Muhammad Siddik (Ketua Dewan

Dakwah Islamiyah Indonesia), dan

Ulung Rusman (Sekretaris Jenderal

Perhimpunan Indonesia-Tionghoa).

D. PEMBAHASAN: HASIL

PENELITIAN

Deskripsi Pemikiran

Abdurrahman Wahid Tentang

Demokrasi, Pluralisme Dan

Minoritas

Untuk dapat mengetahui

pemikiran Gus Dur tentang

demokrasi dan pluralisme, harus

terlebih dahulu dijelaskan mengenai

pemahaman Gus Dur tentang Islam.

Bagi Gus Dur (1999), Islam

berfungsi bagi kehidupan

masyarakat bangsa tidak sebagai

bentuk kenegaraan tertentu, tetapi

sebagai etika sosial yang akan

memandu jalannya kehidupan

bernegara dan bermasyarakat itu

sesuai dengan martabat luhur dan

kemuliaan derajat manusia, karena

pada penyejahteraan hidup.

Kemudian, Gus Dur (2007) juga

menguraikan universalitas nilai-nilai

Islam yang sejalan dengan lima

buah kebutuhan manusia yang

paling dasar, yaitu: pertama,

jaminan dasar akan keselamatan

fisik warga masyarakat dari

tindakan badani di luar ketentuan

hukum (hifdzu an-nafs). Kedua,

keselamatan keyakinan agama

masing-masing, tanpa ada paksaan

untuk berpindah agama (hifdzu ad-

din). Ketiga, keselamatan keluarga

dan keturunan (hifdzu an-nasl).

Keempat, keselamatan harta benda

dan milik pribadi dari gangguan

atau penggusuran di luar prosedur

hukum (hifdzu al-mal). Kelima,

keselamatan hak milik dan profesi

(hifdzu al-aqli).

Praktisnya, Gus Dur

mengambil paradigma substantif

dalam mempositifkan hukum Islam,

yaitu mengakomodasi hukum Islam

ke dalam hukum nasional, yang

mengedepankan pada prinsip-

Page 61: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

57 ISSN: 2655-4364

prinsip dan nilai-nilai hukum Islam.

Ia terbiasa dengan menggunakan

logika-logika fiqh yang positivistik,

sebab ia tidak pernah lepas dari

lingkungan dan khazanah keilmuan

yang ada di pesantren salaf, yang

menyarankan agar kaidah-kaidah

fiqh (al-qawa’id al-fiqhiyah)

dijadikan metode dalam

pengambilan hukum. Walaupun

pada realitanya, banyak dari

kalangan masyarakat yang menolak

pemikiran Islam yang ada pada Gus

Dur, seperti Ismail Yusanto (2018),

ia menjelaskan bahwa dalam Islam

tidak hanya substansi, tapi juga ada

hukum-hukum formal.

Sehingga, dengan

mengambil paradigma substantive

tersebut, Gus Dur menolak gagasan

ideologisasi Islam, formalisasi

Islam, sistem Islami, dan wacana

Negara Islam. Bagi Gus Dur (2006),

hukum Islam tidak perlu dijadikan

hukum formal Negara, yang penting

adalah menjalankan rukun Islam

bagi individu-individu. Sebab, kalau

hukum Islam dijadikan hukum

Negara, maka akan merusak

eksistensi pluralitas yang ada di

Indonesia, dan menjadikan

penduduk yang beragama selain

Islam menjadi kelas dua. Lagipula,

Islam di Indonesia berkembang

dengan pendekatan kultur, bukan

ideologisasi. Penekanan terhadap

substansi yang dilakukan oleh Gus

Dur ini menurut penulis adalah

dalam rangka mencarikan titik temu

dari perbedaan yang ada, agar dapat

diterima oleh semua pihak dan

melahirkan inklusivitas dalam

pluralitas bangsa Indonesia.

Selain itu, Gus Dur (2006)

juga menguraikan alasannya dalam

menolak Negara Islam: pertama,

tidak ada ajaran baku dalam agama

Islam untuk membentuk Negara,

juga tidak memiliki konsep tentang

suksesi kepemimpinan. Kedua,

ukuran yang disebut Negara Islam

tidak jelas. Ketiga, wacana Negara

Islam tidak cocok di lingkungan

yang heterogen. Akan tetapi, Gus

Dur tidak juga larut dalam

sekularisme (pemisahan agama-

negara). Ia juga menjelaskan bahwa

dalam hal kenegaraan, Islam

memberikan sumbangsih nilai,

seperti keadilan, kejujuran, dan

menjalankan amanat rakyat. Dalam

hal inilah agama dan Negara bisa

bersinergi, bukan dalam tataran

ideologis (Abdurrahman Wahid,

2006).

Dengan kerangka pemikiran

Gus Dur sebagaimana di atas, maka

Gus Dur termasuk dalam kategori

Neo Modernisme Islam, yaitu

mensintesiskan khazanah pemikiran

Islam klasik dengan modernisme

(Umaruddin, 1999). Greg Barton

(1999) menyebutkan bahwa gerakan

Islam neo modernis adalah

pembaruan pemikiran Islam,

akomodasionis, substansialis,

progresif, dan liberal. Menurut

Massa Djafar (2015), gerakan Islam

neomodernis di Indonesia secara

konsisten berpegang kepada prinsip-

prinsip demokratis. Golongan inilah,

dan juga kalangan modernis secara

gigih telah menentang sistem

otoriter, baik pada masa Soekarno

atau Soeharto. Gerakan

neomodernis selain menyebarkan

ide-ide demokrasi, juga melalui

gerakan penguatan masyarakat sipil

untuk membantu perkembangan

demokrasi di Indonesia. Atas dasar

pemikiran Islam Gus Dur tersebut,

Ismail Yusanto (2018) menyebut

bahwa inti dari kontroversialnya

Gus Dur adalah dari pemikiran Islamnya yang menolak substansi,

dan menolak Islam politik.

Kemudian dalam hal

demokrasi, esensi dari demokrasi

menurut Gus Dur adalah

kontroversi, menolak kontroversi

berarti diktator (Bahar, 1999). Ini

dimaksudkan untuk agar masyarakat

Page 62: ISSN 2655-4364

58 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

memiliki beragam pandangan,

sehingga wawasan yang dimiliki

oleh masyarakat menjadi luas, dan

lebih dewasa. Terlebih, Indonesia

ini memiliki banyak aneka ragam

dan tentu saja memiliki perbedaan

yang tinggi di dalamnya. Oleh

karena itu, dalam upaya menjaga

aset bangsa tersebut, hanya dapat

hidup dalam suasana demokrasi

(Abdurrahman Wahid, 1999). Gus

Dur (1999) juga mengatakan bahwa

demokrasi adalah suatu proses, yaitu

pelaksanaan prinsip-prinsip

demokrasi menjadi ukuran yang

paling penting.

Bagi Gus Dur (1999),

demokrasi yang dioperasionalkan

adalah demokrasi yang

mengakomodir semua perbedaan.

Suara mayoritas dalam demokrasi

haruslah diakui, selama tidak

mendiskriminasi kelompok

minoritas. Oleh karena itu,

perkembangan demokrasi haruslah

sejalan dengan hukum (rule of law),

sebab rule of law menjadi syarat

bagi demokrasi (Muslim Mufti dan

Durrotun Naafisah, 2013).

Dalam hal pluralisme,

menurut Amsar (2018), pluralisme

bagi Gus Dur ialah meletakkan

pluralisme itu dalam konsep

konstitusi bernegara disamping

secara substansial, dia meletakkan

hak dasar kemanusiaan untuk hidup

sebagaimana mestinya, (yaitu) hak

kemanusiaan yang diberikan Allah

SWT. Menurut Ulung Rusman

(2018), pluralisme Gus Dur ialah

memberikan penghargaan terhadap

kelompok minoritas. Bagi Siddik

(2018) ideologi pluralisme adalah menganggap semua agama adalah

benar, dan ini harus ditolak dalam

Islam. Bahkan MUI sendiri

melarang pluralisme yang tercantum

dalam fatwanya tanggal 28 Juli

2005. Akan tetapi hal itu dibantah

oleh Amsar, baginya pluralisme Gus

Dur diletakkan bahwa agama

apapun memiliki hak yang sama

dalam konstitusi, bukan dalam

tataran aqidah. Dengan demikian,

pluralisme Gus Dur adalah dalam

kontek sosial dalam rangka

mewujudkan kerukunan sesama

warga Negara yang diatur dalam

konstitusi Negara, walaupun hingga

kini, masih ada kalangan yang

menolak pluralisme Gus Dur.

Selanjutnya, minoritas bagi

Gus Dur bukanlah terletak pada

kuantitas dalam jumlah individu-

individu, melainkan ukurannya

adalah kesetaraan (Inayah, 2018).

Minoritas, sebagaimana penjelasan

Inayah (2018) adalah yang

terlemahkan. Maka Gus Dur

menguatkan yang minoritas. Kata

kuncinya adalah minoritas yaitu

kelompok-kelompok yang

mengalami ketidakadilan.

Kemudian menurut Suaedy (2018),

inti dari pemikiran Gus Dur ini

adalah tentang kesetaraan, yaitu

setara di mata hukum. Akan tetapi,

Ismail Yusanto (2018) menolak Gus

Dur adalah tokoh yang pluralis,

dengan bukti Gus Dur menolak

wacana Negara Islam. Karena

menurut Ismail, kelompok yang

mewacanakan Negara Islam adalah

minoritas.

Relevansi, dan Konsistensi

Pemikiran Gus Dur untuk

Perkembangan Demokratisasi di

Indonesia: Kebijakan Gus Dur

terhadap Etnis Tionghoa

Pemikiran Gus Dur

sebagaimana dipaparkan di atas

tentang Islam, demokrasi,

pluralisme, dan minoritas,

nampaknya lebih menekankan pada prinsip-prinsip dibanding dengan

formalitas belaka. Dalam

menjelaskan demokrasi misalnya, ia

tidak banyak menyinggung tentang

bagaimana mekanisme formal

kelembagaan yang dapat mewakili

demokrasi, meskipun di satu sisi

Page 63: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

59 ISSN: 2655-4364

lembaga demokrasi menjadi

penting. Akan tetapi, yang ia

pentingkan adalah bagaimana fungsi

lembaga-lembaga tersebut dapat

menjalankan prinsip demokrasi.

Pemikiran Gus Dur dalam

hubungan agama dan Negara,

sebagaimana telah dijelaskan di

atas, bahwa Gus Dur menolak

formalisasi Islam. Akan tetapi nilai-

nilai keislaman juga mendorong

untuk melahirkan kesejahteraan

masyarakat. Menurut Gus Dur

(2006), Islam dan Negara dapat

bersinergi dalam tataran nilai, bukan

ideologi. Nampaknya, pemikiran

Gus Dur ini telah merelai

ketegangan antara agama dan

Pancasila dalam Islam. Sebab, sejak

Gus Dur menjadi Ketua Umum

PBNU, ia telah mendukung dan

menyatakan bahwa Pancasila sesuai

dengan ajaran agama Islam. Dalam

bahasanya Kyai Ahmad Siddiq,

bahwa Pancasila ini adalah syar’i

(Suaedy, 2018). Selain itu, Gus Dur

menganggap bahwa Indonesia dan

ideologi Pancasila adalah final.

Sehingga, hal ini dijadikan oleh

Liddle sebagai ciri Islam

substansialis di Indonesia (Adian,

2002).

Dalam menegakkan

demokrasi dan pluralisme, Gus Dur

memberi contoh dengan mendirikan

masyarakat sipil (civil society) untuk

menguatkan proses demokratisasi di

Indonesia. Ia mendirikan Forum

Demokrasi sebagai sarana

masyarakat sipil yang terdiri dari

anggota yang berbeda untuk

menegakkan demokrasi yang pada

saat rezim Orde Baru, demokrasi tidak berjalan dengan semestinya

(Abdurrahman Wahid, 1999).

Begitu juga ketika ia menjabat

sebagai Ketua Umum Pengurus

Besar Nahdlatul Ulama, ia

menjadikan NU sebagai civil

society, yaitu menjadi organisasi

sosial-keagamaan yang menampung

seluruh aspirasi elemen masyarakat

dengan kebijakan „kembali ke

khittah 1926‟, bukan lagi partai

politik. Menurut Tim INCRëS

(2000), kebijakan ini adalah

pemikiran brilliant yang ditawarkan

oleh Gus Dur. Ini dapat dikatakan

sebagai konsekuensi logis dari Gus

Dur sebagai pemikir neo

modernisme Islam, yang mendorong

proses demokrasi dengan gerakan

kultural masyarakat sipil.

Sebelumnya sudah

disinggung oleh Inayah (2018),

bahwa pemikiran Gus Dur tentang

minoritas adalah menguatkan

kepada kelompok yang mengalami

ketidakadilan. Hal tersebut bisa

dilihat dari bagaimana kebijakan

yang dikeluarkan oleh Gus Dur

ketika menjadi Presiden RI terhadap

etnis Tionghoa di Indonesia. Sebab

bagi Gus Dur, posisi yang dialami

etnis Tionghoa itu adalah kenyataan

yang tidak layak dibanding warga

negara yang memiliki hak-hak asasi

pada umumnya (MN. Ibad, 2011).

Oleh karena itu, Gus Dur

mengeluarkan kebijakan Keppres

No. 6 Tahun 2000 untuk mencabut

Inpres No. 14 Tahun 1967 produk

Orde Baru. Tidak hanya itu, Gus

Dur juga meresmikan Hari Raya

Imlek. Akhirnya, dengan kebijakan

yang dikeluarkan Gus Dur, etnis

Tionghoa yang selama ini hanya

melaksanakan adat istiadat secara

intern, bisa dilaksanakan secara

terbuka dihadapan publik. Etnis

Tionghoa adalah etnis minoritas di

Indonesia yang sejak Orde Baru

mengalami kebijakan diskriminatif.

Ia mengupayakan etnis Tionghoa untuk setara dengan warga Negara

lainnya dalam konstitusi. Namun,

pembelaan Gus Dur terhadap etnis

Tionghoa dianggap berlebihan oleh

Siddik, hal itu dapat dilihat

bagaimana Gus Dur meresmikan

agama Konghucu, yang menurutnya

Page 64: ISSN 2655-4364

60 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Konghucu bukanlah agama (Siddik,

2018).

Bagaimanapun juga

kelompok minoritas Tionghoa

merupakan bagian dari label

kewarganegaraan, yang terdiri dari

individu-individu yang merupakan

anggota dari suatu komunitas politik

atau negara, yang memiliki

serangkaian hak dan serangkaian

kewajiban sebagaimana diatur

dalam konstitusi. Kewarganegaraan

bisa diebut dengan „wajah publik‟

dari eksistensi individu. Selain itu,

masyarakat juga dapat berpartisipasi

dalam komunitas mereka sejauh

mereka memiliki hak-hak dan

kewajiban-kewajiban. Partisipasi

warga ini pada gilirannya, memiliki

relasi dengan kemajuan dari

pemerintahan yang konstitusional,

yang tercermin dari keluasan dari

hak-hak politik dan kemerdekaan

warga (Heywood, 2014).

Terlebih dalam sistem

demokrasi, telah menempatkan

warga negara sebagai komponen

paling krusial, yaitu kemajuan

negara yang demokratis tergantung

dengan bagaimana tingkat

partisipasi masyarakat di dalamnya.

Kemudian, salah satu ciri utama dari

demokrasi adalah prinsip tentang

kesetaraan politik, dengan

pengertian bahwa kekuasaan politik

harus dibagi seluas dan serata

mungkin kepada seluruh rakyat.

Menurut Suaedy (2018) Gus Dur

tidak hanya melindungi kelompok

minoritas, melainkan ia juga

menjadikan kelompok minoritas

sebagai entitas politik yang mesti

didengarkan.

Bertolak dari prinsip

kewarganegaraan dengan kesetaraan

di mata hukum sebagai ukurannya

dalam demokrasi, hal inilah yang

melandasi sepanjang hidup Gus Dur

untuk melakukan pembelaan

terhadap kelompok manapun di

Indonesia yang mengalami tindakan

diskriminatif, termasuk kepada etnis

Tionghoa.

Bahkan, -sebagaimana

penjelasan Ulung Rusman (2018)-

Gus Dur terhadap etnis Tionghoa

tidak hanya sekedar member

kebebasan, lebih dari itu, Gus Dur

juga mendorong etnis Tionghoa

untuk mendirikan suatu civil society

dengan nama Perhimpunan

Indonesia-Tionghoa (INTI) untuk

memperjuangan aspirasi etnis

Tionghoa dan mengajak bersama-

sama dalam berperan untuk

membangun Indonesia.

Sebelumnya, Gus Dur juga

menjelaskan bahwa sebenarnya

etnis Tionghoa adalah warga Negara

Indonesia. Hanya saja, ia dianggap

“asing” sejak masa penjajahan

(Abdurrahman Wahid, 2006).

Ternyata, dianggap “asing” tersebut

telah mendarahdaging bagi sebagian

besar masyarakat Indonesia.

Padahal, menurut Gus Dur yang ia

jelaskan dalam majalah Editor tahun

1990:

“Tesis pokoknya di sini

adalah: dapatkah kelebihan

kekayaan orang Tionghoa

dimanfaatkan bagi usaha

lebih memeratakan lagi

tingkat pendapatan segala

lapisan masyarakat kita di

masa depan? Jawabannya,

menurut penulis, adalah

positif. Orang Tionghoa,

sebagaimana orang-orang

lain juga, dapat di-appeal

untuk berkorban bagi

kepentingan masa depan

bangsa dan negara. Tentu dengan tetap menghormati

hal-hal mendasar yang

mereka yakini, seperti

kesucian hak milik dari

campur-tangan orang lain.”

Page 65: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

61 ISSN: 2655-4364

Dengan penjelasan di atas,

Gus Dur berupaya untuk bagaimana

ekonomi-ekonomi yang selama ini

digeluti oleh etnis Tionghoa dapat

didistribusikan untuk kepentingan

masyarakat Indonesia secara luas.

Agar bisa digunakan untuk

kemaslahatan bangsa, maka

menurutnya, apa-apa yang ada dan

menjadi keyakinan etnis Tionghoa

haruslah terlebih dahulu dihormati.

Sebab, Gus Dur melihat ada potensi

yang baik bagi bangsa yang dimiliki

oleh etnis Tionghoa, yaitu

profesionalisme (Suhandinata,

2012).

Mengapa Gus Dur membela

etnis Tionghoa? Ada beberapa

asumsi yang akan penulis uraikan

sebagai berikut: pertama, karena

diskriminasi yang dialami oleh etnis

Tionghoa bertentangan dengan

prinsip-prinsip demokrasi seperti,

menjunjung tinggi kesetaraan,

keterbukaan, hak asasi manusia dan

rule of law. Ulung Rusman (2018)

menjelaskan:

“Gus Dur kami anggap

sebagai orang yang sangat

konsen terhadap isu HAM,

dan dalam hal ini juga

terhadap kelompok minoritas

pada saat itu, tidak terkecuali

Tionghoa. Kemudian juga

bagaimana Gus Dur selalu

menginginkan Tionghoa ya

dalam konteks berbangsa

dan bernegara juga

mengikuti arus mainstream

yang ada. Kemudian juga

bagaimana bisa bersinergi

dengan semua elemen tanpa

terkecuali untuk membangun bangsa. Artinya Gus Dur

selalu memberikan motivasi

berbagi ke temen-temen

Tionghoa untuk bisa

mempunyai perasaan yang

menyatu, tidak merasa jadi

di luar bagian”.

Berdasarkan penjelasan

Ulung Rusman di atas, Gus Dur

dalam asumsi ini sejalan dengan

prinsip-prinsip demokrasi:

mempedulikan hak asasi manusia.

Di samping itu, memang Indonesia

mengalami masa Reformasi yang

memungkin untuk semua warga

Negara dapat mengambil

kesempatan dalam berperan dalam

membangun bangsa. Sehingga hal

itu diikuti dengan fenomena

banyaknya bermunculan partai-

partai politik, dan masyarakat sipil.

Kedua, ada potensi ekonomi

yang dimiliki oleh etnis Tionghoa.

Profesionalisme yang dimiliki oleh

etnis Tionghoa dalam bidang

ekonomi terlihat berhasil. Hal

tersebut dapat dilihat bagaimana

rezim Orde Baru memberlakukan

sistem cukong kepada etnis

Tionghoa dalam membangun

perekonomian di sektor riil,

walaupun pada saat itu sebagian

etnis Tionghoa dimanfaatkan untuk

kepentingan pribadi rezim (Benny,

2002). Potensi inilah yang dilihat

oleh Gus Dur. Terlebih pada saat

reformasi tersebut, perekonomian

Indonesia masih dalam keadaan

terpuruk pasca krisis 1998. Menurut

Suryadinata (2002), Gus Dur adalah

tokoh yang mencoba menghimbau

etnis Tionghoa baik WNI dan WNA

untuk bersama membangun

perekonomian Indonesia. Maka

tidak heran jika Gus Dur ke luar

negeri sebagai Presiden ke Beijing

pada pertengahan Desember 1999.

Perjalanan ini penting baginya

karena selama karir publiknya ia

diketahui selalu mementingkan pembelaan terhadap WNI keturunan

Tionghoa. Selain itu, kunjungannya

ke Beijing ini tentu saja berkaitan

dengan masalah ekonomi. Ia juga

berharap bahwa kunjungannya ke

Beijing ini akan memberikan tanda

positif kepada seluruh orang-orang

Tionghoa di Asia Tenggara bahwa

Page 66: ISSN 2655-4364

62 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

pemerintahannya adalah

pemerintahan yang bersahabat

dengan etnis Tionghoa (Barton,

2003).

Ketiga, pembelaannya

terhadap etnis Tionghoa juga

dikarenakan Gus Dur – dalam

pengakuannya - memiliki darah

keturunan Tionghoa karena ia masih

keturunan dari Tan Kim Han, dan di

waktu lain juga pernah menyatakan

masih keturunan dari Thio Ban Ci

istri dari Brawijaya walaupun

pernyataan tersebut masih sulit

untuk dibuktikan kebenarannya

(MN. Ibad, 2011). Namun bagi yang

kurang setuju dengan pernyataan

bahwa Gus Dur masih memiliki

keturunan Tionghoa, adalah suatu

pernyataan politis belaka sebagai

cara untuk memiliki kedekatan

dengan kelompok keturunan

Tionghoa dan mendapatkan

dukungan dari para pengusaha

Tionghoa untuk melakukan

pembangunan ekonomi di Indonesia

(Ibid).

Keempat, ada jaringan bisnis

yang dibangun oleh Gus Dur dengan

Erdward Soeryadjaya (Komisaris

Utama Bank Summa). Jaringan

bisnis tersebut dibangun sejak Gus

Dur pada saat masih menjabat

sebagai Ketua Umum PBNU pada

tahun 1990. Jaringan bisnis tersebut

ialah membangun Bank Nusumma

(NU-Summa) yang bertujuan untuk

membangun jaringan Bank

Pedesaan, untuk mengelola arus

dana ke dana di pedesaan, di mana

mayoritas anggota NU (nahdliyin)

berada; dengan prioritas untuk

pinjaman produktif. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Nusumma juga dirancang untuk

memfasilitasi kebutuhan menabung

warga nahdliyin khususnya maupun

masyarakat pedesaan, begitu banyak

pesantren dengan jutaan

santri/pelajar. Tujuan utama dari

pengembangan Nusumma,

sebagaimana dinyatakan oleh para

pendirinya, adalah untuk bertindak

selaku agen perubahan sebagai

partisipasi dalam proses

transformasi sosial-ekonomi

masyarakat akar rumput di

Indonesia: partisipasi diwujudkan

lewat basis warga NU

(nusummajogja.co.id, 2016).

Berdasarkan uraian di atas,

nampaknya penekanan nilai-nilai

demokrasi yang ditekankan oleh

Gus Dur dengan tindakannya

terhadap etnis Tionghoa sangatlah

sejalan. Karena Gus Dur kepada

Islam, demokrasi, pluralisme, dan

minoritas lebih menekankan kepada

prinsip, maka pemikiran Gus Dur

untuk perkembangan demokratisasi

di Indonesia sangatlah relevan.

Menurut penulis, kerelevansian ini

karena keunikan Gus Dur , yaitu

hanya pada persoalan prinsip, bukan

prosedural dari demokrasi belaka.

Jika Indonesia terus bergerak

dengan proses demokratisasi yang

tiada henti, maka sumbangan

pemikiran dari Gus Dur akan terus

berjalan. Hal tersebut dapat dilihat

bagaimana Gus Dur memperlakukan

kelompok minoritas, dalam hal ini

etnis Tionghoa. Selain itu,

pemikiran dan tindakan Gus Dur

dalam sejarah hidupnya, konsisten

dengan demokrasi dan pluralisme di

Indonesia.

Di samping itu, konsistensi

Gus Dur juga dilatarbelakangi oleh

ajaran Islam itu sendiri (Suaedy,

2018). Jika ada pertanyaan bagian

mana dari pemikiran Gus Dur yang

tidak merelasikannya dengan dalil-

dalil agama Islam? Sejauh ini setelah penulis telusuri, nampaknya

tidak ada. Terlebih, ia adalah

seorang Kiyai yang lahir dari kultur

pesantren tradisional, sekaligus

salah satu cucu dari pendiri

organisasi keagamaan Nahdlatul

Ulama, yaitu KH. Hasyim Asya‟ari.

Page 67: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

63 ISSN: 2655-4364

Sehingga, argumentasinya selalu

berelasi dengan ajaran Islam.

Misalnya mengenai

demokrasi, menurut Gus Dur

(1999), Islam adalah agama

demokrasi dengan argument sebagai

berikut: Pertama, Islam adalah

agama hukum, dengan pengertian

agama Islam berlaku bagi semua

orang tanpa memandang kelas, dari

pemegang jabatan tertinggi hingga

rakyat jelata dikenakan hukum yang

sama. Kalau tidak demikian, maka

hukum dalam Islam tidak jalan

dalam kehidupan. Kedua, Islam

memiliki asas permusyawaratan.

Amruhum syuraa bainahum, artinya

perkara-perkara mereka dibicarakan

di antara mereka. Dengan demikian

tradisi membahas, tradisi bersama-

sama mengajukan pemikiran secara

bebas dan terbuka yang pada

akhirnya diakhiri dengan

kesepakatan. Ketiga, Islam selalu

berpandangan memperbaiki

kehidupan. Karena dunia ini

hakikatnya adalah persiapan untuk

kehidupan di akhirat. “Wa al-

aakhiratu khairu wa-abqaa”, akhirat

itu lebih baik dan lebih langgeng.

Karena itu kehidupan manusia

tarafnya tidak boleh tetap, harus

terus ada peningkatan untuk

menghadapi kehidupan yang lebih

baik di akhirat.

Selain itu, ajaran Islam yang

diamalkan oleh NU yaitu Ahlu

Assunnah Wa Al Jamaáh

(selanjutnya disebut Aswaja) atau

biasa disebut Sunni juga digunakan

oleh Gus Dur. Menurut Said Aqil

(2012), Aswaja ini adalah metode

berfikir (manhajul fikr) yang bersifat sangat lentur, fleksibel, adil,

toleran, seimbang, dan moderat. Hal

ini tercermin dari sikap dan

pandangan kaum Sunni yang

mendahulukan dalil-dalil Alquran

dan Hadits (nash), meskipun

memberikan porsi yang longgar

terhadap rasionalitas, tidak

mengenal ekstrimisme, dan tidak

mengkafirkan sesama penganut

Islam. Moderasi ini berlaku untuk

semua aspek kehidupan akidah,

syari’at, mu’amalah, akhlaq dan

sosial-politik.

Sifat moderasi dan

fleksibilitas Aswaja inilah yang

kemudian membuatnya selalu

mencari konvergensi dan titik temu

di antara berbagai mazhab

pemikiran dan aliran keagamaan,

sehingga Aswaja tidak jumud,

mandeg, tidak kaku, eksklusif, tidak

elitis, dan juga tidak mengenal

status quo. Dengan moderasi dan

kelenturan tersebut membuat aswaja

dapat terbuka dengan perkembangan

zaman dan dapat menerima hal-hal

baru namun tidak larut terlalu jauh

di dalamnya (Said Aqil, 2012).

Dalam hal demokrasi

misalnya, nilai-nilai demokrasi

Abdurrahman Wahid tidak terlepas

dari pespektif atau pandangan

politik Sunni yang diyakininya,

yang oleh Burke disebut sebagai

substansi darinya (Nur Kholisoh,

2012). Pandangan politik Sunni

yang cenderung menjaga

harmonisasi dan menghindari

semaksimal mungkin konfrontasi

dengan penguasa demi

kemaslahatan umat dan menjaga

keutuhan bangsa inilah yang

kemudian turut mempengaruhi

proses identifikasi Abdurrahman

Wahid dengan khalayaknya, baik di

lingkungan maupun di luar

organisasi NU.

Begitu juga dalam hal

pluralisme, Gus Dur tetap sejalan

dengan ajaran Islam. Karena Islam sendiri menjunjung tinggi

perbedaan, sehingga dari perbedaan

tersebut melahirkan sikap toleransi

(Nur Kholisoh,2012). Dalam kontek

kebijakan kepada etnis Tionghoa,

karena membela sesama umat

manusia yang lemah (mustad’afin)

Page 68: ISSN 2655-4364

64 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

adalah kewajiban dalam ajaran

Islam. Sebab, Gus Dur menjadikan

Islam sebagai akhlaq, etika sosial,

pengayom, pelindung, pembawa

perdamaian bagi seluruh umat

manusia (Abdurrahman Wahid,

2006), dan ajaran Islam melindungi

kebutuhan dasar manusia

sebagaimana yang tercantum dalam

kulliyatul khams (Abdurrahman

Wahid, 2007). Oleh karena itu, ia

konsisten menjadikan isu minoritas

etnis Tionghoa sebagai bagian dari

persoalan pluralisme di Indonesia,

karena persoalan yang dihadapi

adalah menyangkut kemanusiaan

(hifdz nafs).

E. EPILOG

Sebagai sosok kontroversial,

Gus Dur memang menjadi topik

yang menarik untuk dibicarakan.

Akan tetapi, dibalik

kontroversialnya tersebut ada hal-

hal yang tidak terduga dan bernilai

positif. Padahal sebelumnya

masyarakat Indonesia sempat dibuat

bingung olehnya dari mulai

pemikirannya, kebijakan-

kebijakannya, dan bahkan joke-nya.

Berdasarkan data-data yang

telah penulis dapati serta dianalisis,

nampaknya terlihat jelas kuatnya

nilai-nilai kultur Islam tradisional

yang ada dalam pesantren dan

Nahdlatul Ulama yang disertai

dengan pergaulan yang luas dan

pendidikan di luar negeri, telah

mempengaruhi pola pikir Gus Dur

untuk terbuka dengan hal-hal baru,

yang lahir dari Barat.

Terlebih, kaidah-kaidah

hukum Islam (qawaid fiqhiyah) –

yang juga dianut oleh NU, dan kalangan tradisional Islam - telah

menjadi peran penting dalam

mengkonstruk pemikiran Gus Dur

dalam merespon perkembangan

yang ada. Misalnya, dengan adanya

penekanan hukum Islam (fiqh) yang

universal dengan lima nilai (kulliyat

al-khams), telah mendorongnya

untuk tidak mengikuti pada legal-

formal serta ideologisasi Islam

(baca: Negara Islam). Baginya,

pelaksanaan kelima nilai tersebut

harusnya menjadi ukuran yang

utama, sebab hal tersebut terkait

langsung dengan hak-hak individu

manusia.

Sehingga, Islam yang

dipahami oleh Gus Dur adalah Islam

yang menjadi landasan etis sosial

masyarakat untuk menuju kepada

kesejahteraan, yang berlaku untuk

ruang dan waktu manapun. Islam

menjadi inspirasi untuk tercapainya

penegakan masyarakat yang

berkeadilan. Dengan begitu, Islam

dalam diri Gus Dur adalah bersifat

substantif-inklusif. Oleh karena itu,

tidak heran kalau pemikirannya

terkait demokrasi dan pluralisme

selalu bergandengan dengan ajaran-

ajaran Islam. Hal ini lah yang

menjadi ukuran tepat untuk

melebelkan Gus Dur sebagai sosok

neomodernis Islam, bukan

tradisionalis Islam.

Kemudian, sebagaimana

telah diuraikan sebelumnya,

pemikiran neomodernis Islam

adalah aliran Islam yang gigih untuk

menyebarkan ide-ide demokrasi

dengan gerakan kultural, dan

melakukan penguatan masyarakat

sipil sebagai upaya mendorong

perkembangan demokrasi. Hal

tersebut dapat dilihat dari tindakan

Gus Dur pada masa rezim Orde

Baru, ia menolak ICMI dan diikuti

dengan membentuk masyarakat

sipil, yakni Forum Demokrasi. Dari forum tersebut, demokrasi bagi Gus

Dur adalah demokrasi yang

memberikan kebebasan-kebebasan,

menegakan keadilan, hak dan

perlindungannya untuk seluruh

warga negara serta mengakomodir

semua pluralitas yang ada dengan

Page 69: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

65 ISSN: 2655-4364

hukum sebagai aturan mainnya. Ia

juga menegaskan, bahwa

kontroversi (perbedaan) merupakan

esensi dari demokrasi.

Ia sendiri mengakui, bahwa

mayoritas dan minoritas dalam alam

demokasi adalah hal yang tidak

dapat dihindari. Bahkan, dalam

proses pengambilan keputusan pun

suara mayoritas yang menjadi

ukurannya. Maka untuk

menghindari masyarakat yang

monolitik, hukum menjadi tumpuan

utama agar kalangan minoritas

“tidak tersingkirkan” dari sistem

sebagai pelengkap untuk menuju

kepada check and balance dalam

demokrasi.

Kemudian, pluralisme yang

ada pada Gus Dur adalah dalam

kontek sosial yang bermuara pada

kesetaraan sesama warga negara

yang diatur dalam mekanisme

konstitusi. Pembelaannya terhadap

kelompok minoritas Tionghoa

bukan sekedar minor secara

kuantitas. Minoritas bagi Gus Dur

adalah kelompok yang mengalami

ketidakadilan, terlemahkan,

termarjinalisasi secara hukum

maupun sosial dst. Maka pembelaan

Gus Dur berada dalam konteks ini,

yaitu mereka yang lemah dan

mengalami ketidakadilan.

Hal itu ada pada etnis

Tionghoa. Mereka dilemahkan

dengan sistem hukum yang ada.

Oleh karena itu ketika menjadi

Presiden RI, Gus Dur mencabut

Inpres No. 14 Tahun 1967 dengan

Keppres No. 6 Tahun 2000 karena

Inpres tersebut memiliki sifat

diskriminasi terhadap kelompok tertentu yang melanggar hak asasi

manusia dan bertentangan dengan

demokrasi. Adapun pembelaan Gus

Dur tersebut tentu saja

dilatarbelakangi beberapa hal;

pertama, karena diskriminasi yang

dialami oleh etnis Tionghoa tidak

sejalan dengan semangat demokrasi

dan pluralisme. Kedua, suasana

reformasi yang merubah keadaan

politik di Indonesia saat itu yang

menuntut untuk lahirnya

keterbukaan-keterbukaan politik

atau partisipasi masyarakat secara

luas, bahkan politik identitas pun

bermunculan dengan semangat

untuk membangun Indonesia secara

bersama, hal tersebut juga dialami

oleh etnis Tionghoa. Ketiga,

keahlian etnis Tionghoa dalam

bidang wirausaha diharapkan dapat

didistribusikan untuk memperbaiki

perekonomian Indonesia yang saat

itu pasca-dilanda krisis 1998, serta

menjaga kerja sama bisnis yang

dibangun antara Gus Dur (PBNU)

dengan etnis Tionghoa Edward S.

Soeryadjaya (Komisaris Utama

Bank Summa) pada tahun 1990.

Namun, hal ini dikhawatirkan hanya

untuk keuntungan kelompok

organisasi tertentu saja.

Selain itu, ia juga

mendorong etnis Tionghoa untuk

bersama-sama berperan dalam

membangun bangsa dan negara

dengan menginisiasi terbentuknya

masyarakat sipil bernama

Perhimpunan Indonesia-Tionghoa

(INTI), sebagai salah satu langkah

untuk mendorong proses

demokratisasi. Sehingga, etnis

Tionghoa setara dengan warga

negara Indonesia lainnya, yaitu

setara dihadapan hukum yang

memiliki hak yang sama sebagai

warga negara. Atas jasa-jasa inilah

Gus Dur kemudian dinobatkan

sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.

Selanjutnya, pemikiran dan

tindakannya ini sangat relevan

dengan perkembangan demokrasi di

Indonesia. Sebab, Gus Dur lebih

menekankan bagaimana prinsip-

prinsip dari demokrasi dapat

berfungsi. Lagipula, menjaga

Page 70: ISSN 2655-4364

66 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

pluralitas yang ada di Indonesia

menjadi kewajiban bagi setiap

warga negara, maka dari itu sikap-

sikap seperti toleransi, inklusif,

penghapusan terhadap diskriminasi,

dan membela yang lemah seperti

yang dicontohkan Gus Dur akan

selalu relevan dan dibutuhkan.

Selain itu, konsistensi Gus

Dur menjadikan isu minoritas

sebagai salah satu masalah dalam

pluralisme adalah karena adanya

semangat kebangsaan, yang dalam

konteks ini berkaitan dengan

pluralitas dan konstitusi. Bagi Gus

Dur, ukuran pluralisme adalah

kesetaraan dalam hukum. Maka

kelompok minoritas sebagai bagian

dari warga negara juga harus

diperlakukan setara, sebagaimana

diatur dalam hukum. Hal ini

dimaksudkan agar prinsip-prinsip

demokrasi seperti keadilan dan

keseimbangan tetap terjaga. Jadi,

apabila kelompok minoritas

diperlakukan secara tidak sama,

maka hal ini tidak sejalan dengan

pluralismenya Gus Dur, meskipun

demikian masih terdapat tanggapan-

tanggapan kontra terhadap

pemikiran dan tindakan-

tindakannya..

DAFTAR BACAAN:

Buku

Anam, Choirul. Pertumbuhan &

Perkembangan NU. Cet. III.

PT. Duta Aksara Mulia,

2010.

Al Qurtuby, Sumanto. Arus Cina-

Islam-Jawa: Bongkar

Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran

Agama Islam di Nusantara

Abad XV dan XVI. Cet. 1.

Yogyakarta: INSPEAL-INTI.

2003.

Apter, David E. Pengantar Analisa

Politik. 1987. Jakarta;

LP3ES, 1987.

Arikunto, Suharsimi. Manajemen

Penelitian. Jakarta: Rineka

Cipta, 1995.

_________________. Prosedur

Penelitian. Jakarta : PT. Bina

Aksara, 1989.

Bahar, Ahmad. Biografi Kiai

Politik Abdurrahman Wahid:

Gagasan & Pemikiran.

Jakarta: Bina Utama, 1999.

Barton, Greg. Biografi Gus Dur;

The Authorized Biography of

Abdurrahman Wahid. Cet. I.

Yogyakarta: LKiS, 2003.

___________. Gagasan Islam

Liberal di Indonesia. Cet. I.

Jakarta: Kerjasama

Paramadina dengan Pustaka

Antara, 1999.

Budiman, Arif. Teori Negara:

Negara, Kekuasaan, dan

Ideologi.Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama,

1996.

Budiardjo, Miriam dkk. Pengantar

Ilmu Politik. Cet. 27.

Tangerang Selatan: Penerbit

Universitas Terbuka, 2017.

_______________. Dasar-Dasar

Ilmu Politik (edisi Revisi).

Jakarta: PT. Gramedia, 2008.

Choiry, A. Effendi. PKB Politik

Jalan Tengah NU:

Eksperimentasi Pemikiran

Islam Inklusif dan Gerakan

Kebangsaan Pasca Kembali

ke Khittah 1926. Cet. 1.

Jakarta: Pustaka Ciganjur,

2002.

_______________dkk. Sejuta

Gelar Untuk Gus Dur. Cet. 1.

Jakarta: PT. Nawa Mulia Nusantara, 2010.

Chilcote, Ronald H. Teori

Perbandingan Politik:

Penelurusan Paradigma.Cet.

4. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada, 2010.

Dahl, Robert. Perihal Demokrasi:

Menjelajahi Teori dan

Praktek Demokrasi Secara

Page 71: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

67 ISSN: 2655-4364

Singkat. Jakarta : Yayasan

Obor Indonesia, 2001.

Djafar, TB. Massa. Krisis Politik &

Proposisi Demokratisasi:

Perubahan Politik Orde Baru

ke Reformasi. Jakarta: Bumi

Aksara, 2015.

Feillard, Andree. Gus Dur NU dan

Masyarakat Sipil. Cet. III.

Yogyakarta: LKiS, 2010.

Geertz, Clifford. Agama Jawa:

Abangan, Santri, Priyayi

dalam Kebudayaan Jawa.

Cet. II. Jakarta: Komunitas

Bambu. 2014.

Haidar, Ali. Nahdlatul Ulama dan

Islam di Indonesia;

Pendekatan Fiqh Dalam

Politik. Jakarta: PT.

Gramedia, 1994.

Hamid, Tijani Abdul Qadir.

Pemikiran Politik Dalam

Alqur’an. Jakarta: Gema

Insani Press, 2001.

Heywood, Andrew. Politik.

Yogyakarta; Pustaka Pelajar,

2014.

Hitti, Philip K. History of Arabs

(diterjemahkan oleh R. Cecep

dkk.).Cet. 1. Jakarta : PT

Serambi Ilmu Semesta, 2014.

Husaini, Adian dan Nuim Hidayat,

Islam Liberal: Sejarah,

Konsepsi, Penyimpangan,

dan Jawabannya, Cet. 1.

Jakarta: Gema Insani, 2002.

Ibad, MN. Bapak Tionghoa

Indonesia. Cet. 1. Yogyakarta

: LKiS, 2011.

Ida, Laode dan A. Tantowi

Jauhari.Gus Dur: Di Antara

Keberhasilan &

Kenestapaan. Cet. 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1999.

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah:

Kontektualisasi Doktrin

Politik Islam. Cet. 2. Jakarta:

Penerbit Gaya Media

Pratama, 2007.

_______________dan Amin

Husein Nasution. Pemikiran

Politik Islam: Dari Masa

Klasik Hingga Indonesia

Kontemporer. Cet. 2. Jakarta:

Kencana Prenada Media

Group, 2013.

Ishiyama, John T, dan Marijke

Breuning. Ilmu Politik Dalam

Paradigma Abad ke-21:

Sebuah Referensi Panduan

Tematis. Cet. 1. Jakarta:

Kencana, 2013.

Kahar, Joko S. dan Adib Susila.

Pokok-Pokok Pemikiran

Bung Hatta. Cet. 1.

Yogyakarta: Buku Litera,

2012.

Kamil, Sukron. Pemikiran Politik

Islam Tematik. Cet. 1.

Jakarta: Kencana Prenada

Group, 2013.

Kholisoh, Nur. Demokrasi Aja Kok

Repot: Retorika Politik Gus

Dur dalam Proses Demokrasi

di Indonesia. Cet. 1.

Yogyakarta : Penerbit Pohon

Cahaya, 2012.

Kuntowijoyo. Identitas Politik

Umat Islam. Cet. II. Bandun :

Penerbit Mizan, 1997.

Kusuma, Eddiedan S. Satya

Dharma. Etnis Tionghoa

dalam Politik Indonesia

Sebelum dan Sesudah

Reformasi 1998. Cet. 1.

Jakarta: SAKTI, 2006.

Latif, Yudi. Negara Paripurna:

Historisitas, Rasionalitas,

dan Aktualitas Pancasila. Cet

1. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2011.

Mardani.Ushul Fiqh. Cet. 1.

Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Martono, Nanang. Metode Penelitian Sosial; Konsep-

Konsep Kunci.Cet. 2. Jakarta:

PT Rajagrafindo Persada,

2016.

Masdar, Umaruddin. Membaca

Pikiran Gus Dur dan Amin

Rais Tentang Demokrasi.

Cet. II. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1999.

Page 72: ISSN 2655-4364

68 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Mufti, Muslim. Teori-Teori Politik.

Bandung : Pustaka Setia,

2012.

_____________dan Didah

Durrotun Naafisah. Teori-

teori Demokrasi. Cet. 1.

Bandung: CV. Pustaka Setia,

2013.

Mundiri. Logika. Cet. VII, Jakarta;

PT Raja Grafindo Persada,

2002.

Muhadjir, Noeng. Metodologi

Penelitian Kualitatif.

Yogyakarta: Rakesarasin,

1996.

Musa, Ali Masykur. Pemikiran dan

Sikap Politik Gus Dur.

Jakarta: Penerbit Erlangga,

2010.

Moleong, Lexi J. Metodologi

Penelitian Kualitatif.

Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 1993.

Narbuko, Cholid dan Abu

Achmadi. Metode Penelitian.

Jakarta: PT Bumi Aksara,

2009.

Nasution, Harun. Pembaharuan

Dalam Islam: Sejarah

Pemikiran Dan Gerakan. Cet

II. Jakarta: PT Bulan Bintang,

1982.

Noer, Deliar. Gerakan Moderen

Islam di Indonesia 1900-

1942. Cet. 2. Jakarta :

LP3ES, 1982.

Pekei, Titus. Gus Dur Guru Papua

& Masa Depan : Hidup

Damai Lewat Dialog. Cet. I.

Jakarta Pustaka Sinar

Harapan, 2013.

Putranto Kusumowidagdo, Sigid

dkk. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta : LP3ES,

1986.

Qodir, Zuly. Islam Liberal: Varian-

Varian Liberalisme Islam di

Indonesia 1991 – 2002. Cet.

1. Yogyakarta: LKiS, 2012.

Raffiudin, Riaty dkk. Teori Politik.

Cet. 10. Tangerang Selatan:

Universitas Terbuka, 2016.

Rachman, Budhy Munawar.

Reorientasi Pembaharuan

Islam: Sekularisme,

Liberalisme, dan Pluralisme.

Malang: Madani. 2016.

Ricklef, Mc. Sejarah Indonesia

Modern. Serambi. 2005.

Sargent, Lyman Tower. Ideologi-

ideologi Politik

Kontemporer: Sebuah

Analisis Komparatif

(diterjemahkan oleh A. R.

Henry Sitanggang). Edisi

Keenam. Jakarta: Penerbit

Erlangga, 1987.

Siradj, Said Aqil. Islam

Kebangsaan: Fiqh

Demokratik Kaum Santri.Cet.

1. Jakarta: Pustaka Ciganjur,

1999.

______________. Tasawuf Sebagai

Kritik Sosial:

Mengedepankan Islam

Sebagai Insipirasi, Bukan

Aspirasi. Cet. IV. Jakarta:

SAS Foundation dan LTN

PBNU, 2012.

Sitompul, Einar M. NU dan

Pancasila. Cet. II. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik

Barat. Cet. II. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama,

2004.

Suhandinata, Justian. WNI

Keturunan Tionghoa dalam

Stabilitas Ekonomi & Politik

Indonesia, Cet. II. Jakarta :

PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2012.

Sugiyono. Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: Alfabeta, 2011.

Sukandarrumidi. Metode

Penelitian;Petunjuk Praktis

Untuk Peneliti Pemula.

Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2002.

Suryadinata, Leo. Negara dan Etnis

Tionghoa: Kasus Indonesia.

Jakarta: LP3ES. 2002.

Page 73: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

69 ISSN: 2655-4364

_______________. Etnis Tionghoa

dan Nasionalisme Indonesia.

Jakarta: Kompas, 2010.

Suyanto, Bagong dkk. Metode

Penelitian Sosial Berbagai

Alternatif Pendekatan. edisi

ketiga cet. 8. Jakarta:

Kencana, 2015.

Syadzili, Munawir. Islam dan Tata

Negara: Ajaran, Sejarah, dan

Pemikiran. Cet. 2. Jakarta:

Penerbit Universitas

Indonesia, 1990.

Tim INCRëS. Beyond The

Symbols: Jejak Antropologis

Pemikiran dan Gerakan Gus

Dur. Cet. 1. Bandung : PT

Remaja Rosdakarya, 2000.

Wahyuni Nafis, Muhammad. Cak

Nur, Sang Guru Bangsa.

Jakarta: PT Kompas Media

Nusantara, 2014.

Wahid, Abdurrahman. Tabayun

Gus Dur; Pribumisasi Islam,

Hak Minoritas, Reformasi

Kultural. Cet.

III,.Yogyakarta: LKiS, 1998.

__________________. Islam,

Negara, dan Demokrasi.

Jakarta: Penerbit Erlangga,

1999.

__________________. Mengurai

Hubungan Agama dan

Negara. Jakarta: Grasindo

1999.

__________________. Gus Dur

Bertutur. Cet. 1. Jakarta:

Harian Proaksi, 2005.

__________________. Islamku

Islam Anda Islam Kita. Cet.

1. Jakarta: The Wahid

Institute, 2006.

__________________. Islam Kosmopolitan.Cet. 1. Jakarta:

The Wahid Insitute, 2007.

__________________.Prisma

Pemikiran Gus Dur. Cet II,

Yogyakarta: LKiS, 2010.

__________________. Tuhan

Tidak Perlu Dibela.

Yogyakarta : LKiS. 2012

Zaairul Haq, Muhammad. Tasawuf

Gus Dur. Cet. 1. Yogyakarta:

Aditya Media Publishing,

2012.

Karya Ilmiah

Indah Putri Indriany, Islam dan

Negara di Indonesia:

Pemikiran Politik

Abdurrahman Wahid, Tesis

Magister Ilmu Politik

Universitas Indonesia,

Jakarta. 2002.

Masyhuri. Hubungan Agama dan

Negara: Studi Pemikiran

Politik Abdurrahman Wahid.

Tesis Magister Universitas

Indonesia. 2005.

Websites

Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa

adalah Bagian Integral

Bangsa Indonesia, 2002,

yang dimuat dalam

https://arusbawah20.wordpres

s.com/s2010/08/23/etnis-

tionghoa-adalah-bagian-

integral-bangsa-indonesia/

diakses pada tanggal 22

Maret 2018, pukul 02:01

WIB.

http://www.gusdurfiles.com/2016/0

7/inilah-pluralisme-yang-

diamalkan-gus-dur.html.

Diunduh pada tanggal 15 Juli

2018, pukul 05.31 WIB

https://islami.co/gus-dur-edward-

soeryadjaya-rahasia-

membentuk-nu-summa/

diakses pada tanggal 5

Septmber 2018 pukul 22.11

WIB.

.

Page 74: ISSN 2655-4364

70 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

FUNGSI BADAN USAHA MILIK DESA

(STUDI PADA BUMDES CINANGSI KARYA MADANI DESA

CINANGSI KECAMATAN CIKALONGKULON KABUPATEN

CIANJUR)

Sandi Rahmat | [email protected] | Agus Kurniadi | [email protected]

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Abstrak

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan penelitian

deskriptif. Tahap-tahap dalam penelitian Fungsi BUMDes terhadapa

Pembangunan Desa Cinangsi meliputi, Definisi Masalah Peninjauan lapangan

yang menghasilkan dokumen, mengumpulkan data berupa laporan BUMDes,

melakukan pengumpulan data primer berupa hasil wawancara dengan

Perangkat Desa, Pengurus BUMDes dan masyarakat desa yang terlibat secara

langsung dan tidak langsung. Fungsi BUMDes menjadi tempat menghimpun

modal masyarakat dikelola bersama-sama dalam mewujudkan kesejahteraan,

kemakmuran masyarakat desa, pengembangan ekonomi rakyat pedesaan,

membentuk kemandirian ekonomi pedesaan yang berkelanjutan.

Secara umum Fungsi Badan Usaha Milik Desa mampu memberikan

kemajuan dalam pembangunan desa sudah cukup baik, dilihat dari keberhasilan

program-program BUMDes dalam membangun desa. BUMDes Cinangsi Karya

Madani harus menambah unit usaha baru pada sektor perikanan ini bertujuan

untuk menarik para pelaku usaha dibidang ini untuk bergabung dengan

BUMDes Cinangsi Karya Madani.

Kata kunci: BUMDes, Fungsi BUMDes, Program BUMDes, Pembangunan

Desa

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara

dengan jumlah penduduk terbesar

keempat dunia. Banyaknya populasi

penduduk Indonesia bisa menjadi

sebuah pendorong ekonomi mandiri

yang harus didukung dengan segala

upaya pemerintah melaui kebijakan-

kebijakannya yang prorakyat.

Politik yang stabil, iklim investasi

yang sehat, keamanan nasional yang

kondusif serta sumber daya manusia

(SDM) yang mumpuni merupakan

beberapa faktor yang akan

mempengaruhi perkembangan

pembangunan. Jauh setelah

melewati masa-masa sulit dijaman

kolonialisme, Indonesia lahir

sebagai negara harapan bagi

rakyatnya, yakni bangsa yang bebas

merdeka untuk menentukan nasib

bangsanya sendiri sebagai negara

yang berdaulat, dengan mewarisi

kekayaan alam yang melimpah serta

didukung dengan sumber daya

manusia yang mumpuni.

Terlepas dari hal tersebut

diatas, diharapkan semua komponen

bangsa ikut serta dalam membangun

negeri ini. Pemerintah dalam hal ini

secara terus menerus memfokuskan

diri pada program-program

percepatan pembangunan, seperti

dalam program pembangunan

nasional dan pembangunan daerah.

Untuk merinci secara lebih spesifik

penelitian ini akan dilakukan pada

tingkat terendah dalam program

pembangunan, yaitu pada tingkat

desa.

Desa merupakan sebuah

permukiman masyarakat yang

notabene jaraknya cukup jauh dari

pusat Ibu kota. Sebagai layaknya

sebuah pemukiman, desa seharusnya

mampu memenuhi kebutuhan dasar

Page 75: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

71 ISSN: 2655-4364

manusia untuk tempat huni atau

bermukim yang pemenuhannya

terus diupayakan agar

masyarakatnya dapat menempati

rumah dengan lingkungan

pemukiman yang layak, sehat, aman

dan dinamis. Pembanguan

pemukiman pada dasarnya

merupakan tugas dan tanggung

jawab masyarakat itu sendiri,

pemerintah berkewajiban

memberikan kemudahan dan

menciptakan iklim perekonomian

yang dapat mendorong tumbuh dan

berkembangnya kemajuan desa.

Pembangunan pemukiman

pedesaan seharusnya dilakukan

secara terpadu dan seimbang, adil,

serta diarahkan agar pembangunan

yang berlangsung di setiap daerah

perdesaan sesuai dengan kondisi dan

potensi daerah perdesaan.

Pembanguan seharusnya ditunjang

dengan pelaksanaan program

penyediaan pasar, kesehatan,

pendidikan, dan tata ruang desa.

Menrurut Sadu Wasistiono

dalam bukunya administrasi

pemerintahan desa (2005: 21)

mengatakan bahwa “Pembangunan

desa merupakan bagian dari

kesatuan sistem pembangunan

nasional yang dilaksanakan oleh

semua komponen masyarakat desa

dalam kerangka NKRI. Perencanaan

pembanguan desa diatur dalam

Peraturan Pemerintah nomor 72

tahun 2005 tentang Desa serta

Peraturan Menteri Dalam Negeri

nomor 66 tahun 2007 tentang

Perencanaan Pembanguan Desa

disusun dalam rangka

penyelengaraan pemerintahan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem

perencanaan pembangunan daerah

Kota/Kabupaten.

Dalam mewujudkan

pembangunan, sering ditemui faktor

faktor penghambat terhadap

pembangunan desa, seperti sumber

daya manusianya kurang terampil.

sumber daya manusia atau aparat

yang bertugas pada organisasi desa

tersebut secara kuantitas jumlah

pegawai yang ada pada kantor

kepala desa masih sangat kurang

jika dibandingkan dengan beban

tugas yang ada. Tingkat partisipasi

masyarakat yang masih rendah

dalam pembangunan desa,

masyarakat kurang begitu mengerti

akan program dalam pembangunan

desa. Seyogiyanya pembangunan

akan terwujud apabila semua

komponen yang ada disatu wilayah

tersebut terlibat, ikut berperan

dalam mengidentifikasi program

program yang seharusnya sesuai

dengan potensi dan kebutuhan

masyarakat desa. Bukan sekedar

daftar keinginan masyarakat tetapi

harus disusun dengan menggunakan

kriteria kebutuhan kebutuhan yang

sifatnya urgently (mendesak). Selain

itu, bentuk partisipasi masyarakat

bisa terlihat melalui penyerahan

lahan yang diperlukan untuk

mengimplementasikan program

program pembangunan desa,

contohnya anggota masyarakat

bersedia menyerahkan sebagian

lahan meraka untuk pembangunan

jalan raya, saluran irigasi tanpa

meminta ganti rugi harga lahannya.

Dengan partisipasi

masyarakat dapat memperkuat

kemauan, kepedulian dan kesediaan

masyarakat untuk memberikan

kontribusi dalam bentuk tenaga,

dana, harta dan pemikiran.

Keberhasilan partisipasi masyarkat

perlu kesadaran dan pemahaman

anggota masyarakat dan diperlukan

juga local leadership

(kepemimpinan lokal) yang tangguh dan berwawasan kepada

pembangunan masa depan, serta

keberhasilan partisipasi ini

dipengaruhi juga oleh sikap dan

perilaku masyrakat, kemahiran

sosialisasi, kominikasi yang baik,

pendampingan dan kelembagaan

yang efektif dan efisien yang

Page 76: ISSN 2655-4364

72 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

berorientasi pada pembangunan

yang berkelanjutan.

Melaui program Badan

usaha milik desa atau BUMDes,

penelitian ini akan memberikan

gambaran tentang salah satu aspek

pembangunan desa dengan

konsentrasi pada fungsi BUMDes,

seperti kita tahu bahwa

pembangunan desa merupakan

bagian dari pembangunan nasional

dan pembangunan desa ini memiliki

arti dan peranan yang penting dalam

mencapai tujuan nasional, karena

desa beserta masyarakatnya

merupakan basis dari ekonomi,

politik, sosial budaya dan

pertahanan keamanan.

Faktor-faktor yang

mempengaruhi eksistensi BUMDes

harus mendapat perhatian bersama

untuk semakin diberdayakan, yakni

kualitas sumber daya manusia

pengelola, kelembagaan,

permodalan, transparansi sumber

keuangan seta ruang lingkup

aktivitas yang digeluti. Semua itu

harus diketahui secara benar dan

utuh oleh jajaran pengelola,

kehadiran BUMDes telah

dilegitimasi dalam Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 39

Tahun 2010 Tentang BUMDes.

Keseriusan pemerintah untuk tetap

mendorong peningkatan ekonomi

masyarakat desa melalui BUMDes

tidak semata didasarkan pada aspek

pertumbuhan ekonomi, akan tetapi

yang lebih penting adalah

menciptakan aktifitas ekonomi yang

kondusif di tingkat desa untuk

memecahkan kendala

pengembangan usaha desa guna mendorong peningkatan pendapatan

masyarakat sehingga dapat

mewujudkan kesejahteraan

masyarakat secara luas.

Metode pendekatan dan

sosialisasi juga berperan penting

dalam menjalankan program

BUMDes, sosialisasi baiknya

dilakukan secara kontinyu dan

menyeluruh mengingat cakupan

manfaat BUMDes untuk semua

masyarakat Desa Cinangsi,

keikutsertaan atau keterlibatan

masyarakat sangat dibutuhkan untuk

mensukseskan dan mengawasi

jalannya program-program

BUMDes. Sejatinya dalam

membangun sebuah daerah semua

komponen harus terlibat seperti

adanya wilayah sebagai kegiatan

ekonomi dan sosial, adanya

penduduk yang memiliki SDM

bermutu, adanya kebijakan-

kebijakan daerah yang membantu

dalam pembanguan desa seperti

membangun usaha bersama untuk

menguatkan ekonomi desa melalui

BUMDes.

Rumusan Masalah Berdasarkan hasil

pembahasan diatas maka dapat

dirumuskan suatu permasalahan

yaitu :

Bagaimanakah fungsi

BUMDes Cipta Karya Madani

dalam pembangunan desa Cinangsi?

Bagaimanakah proses

pengumpulan modal serta pemilihan

jenis usaha pada BUMDes Cipta

Karya Madani?

Metode Penelitian

Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif deskriptif

dengan menggunakan pendekatan

kualitatif yaitu metode deskriptif

merupakan metode yang digunakan

untuk menggambarkan atau

menganalisis suatu hasil penelitian

tetapi tidak digunakan untuk

membuat kesimpulan yang lebih luas (Sugiyono, 2005: 21).

Sedangkan jenis penelitian

yang digunakan adalah studi kasus

yaitu merupakan pengujian secara

rinci terhadap, suatu latar, satu

subyek, satu tempat penyimpanan,

atau satu peristiwa tertentu. Dalam

penelitian ini studi kasus dititik

Page 77: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

73 ISSN: 2655-4364

beratkan pada Fungi BUMDes

Dalam Pembangunan Desa

Cinangsi Kecamatan Cikalongkulon

Kabupaten Cianjur.

Pembahasan Gerakan membangun badan

usaha milik desa atau disebut juga

dengan BUMDes sebenanrnya

bukan hal baru meskipun konsep itu

baru diperkenalkan oleh pemerintah

dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut Sutoro Eko “dari dulu kita

telah mengenal berbagai instansi

sosial dan institusi keuangan mikro

yang dibentuk pemerintah

diantaranya : BKD, BIMNAS,

KUPEDES, KIK, KCK, BUUD,

KUD, UEDSP, LPD belakangan

juga hadir berbagai nama bergulir

yang dikelola kelompok-kelompok

masyarakat yang dibentuk oleh oleh

proyek-proyek sectoral kementrian

seperti UPK dan simpan pinjam

untuk perempuan (SPP) dalam

PNPM mandiri perdesaan.

Semua ini adalah LKM

korporatis atau lembaga keuangan

mikro (LKM) yang dibentuk oleh

pemerintah, berbagai LKM ini

dibentuk oleh pemerintah karena

komitmen pemerintah menolong

rakyat desa dari jeratan rentenir dan

sekaligus membuka akses kredit

bagi rakyat desa, mengingat bank-

bank komerisal baik BUMN atau

swasta tidak pro rakyat. Seperti pada

umumnya program program

semacam ini sudah berkembang

terlebih dahulu dipedesaan seperti

juga hal halnya desa desa di Jawa

sudah menjalankan usaha desa

sebelum mengenal BUMDes. Di desa Jawa barat pun telah

mengembangkan program program

usaha desa yang biasanya

diprakarsai oleh kelompok-

kelompok tani atau oleh sesepuh

desa, di beberpa desa yang berada di

kabupaten Cianjur bahkan telah

mengembangkan usaha yang

berorientasi bisnis lokal maupun

ekonomi kreatif. Seperti yang terjadi

di desa desa kecamatan

cikalongkulon yang dilewati jalur

provinsi (mekar galih, sawah girang,

sukaresmi, gunung gambir, pasir

waru, cinangsi) melakuan

pembukaan lahan ekonomi dengan

membangun saung-saung tempat

istirahat bagi pengguna jalan raya

Jakarta-Bandung. Mereka

membangun mushola mushola

toilet-toilet umum dan warung-

warung tempat istirahat dan makan,

membangun tempat berjualan untuk

disewakan kepada pelaku ekonomi,

hasil persewaan ini sangat signifikan

sebagai PADes, meskipun

jumlahnya tidak besar namun bisa

menambah kas desa yang mereka

bisa gunakan untuk membangun

fasilitas umum, maupun mendukung

kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Berbeda dengan desa yang

berada dibawah kaki gunung seperti

yang terdapat di Kecamatan Pacet

(Hanjawar, Sindanglaya,

Sindangjaya, Sukaresmi, Sukatani)

rata rata membangun usaha wisata

desa, seperti membangun tempat

camping ground, jasa pemandu

wisata pendakian, membuat

perkoprasian tamanan sayur dan

tanaman hias, menyewakkan villa

untuk menginap dan

mengembangkan perusahaan air

desa (PAMDes) sebagai bisnis lokal

yang melayani kebutuhan air minum

warga.

Setelah lahir program

pendanaan desa dari pusat yakni 1

milyar perdesa, ini menjadi sebuah

penyemangat baru untuk desa dalam

membangun desa dan memberdayakan masyarakat dari

ketertinggalan, selanjutnya dana ini

dialokasikan untuk membentuk

BUMDes untuk percepatan

pertumbuhan ekonomi desa,

BUMDes lahir sebagai ikon baru

karena sebelumnya desa telah

mengenal Alokasi Dana Desa

(ADD) dan Rencana Pembangunan

Page 78: ISSN 2655-4364

74 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Jangka Menengah Desa (RPJM

Desa). Ketiga program itu telah

tertuang dalam PP No. 72/2005 dan

secara khusus BUMDes dipayungi

dan digerakan oleh Permendagri No.

39/2010. Kebijakan pemerintah ini

mempunyai kehendak dan spirit

kemandirian, kebersamaan, gotong

royong antara aparatur desa dan

masyarakat yang mengembangkan

asset lokal untuk memberikan

pelayanan kepada masyarakat dan

meningkatkan pendapatan ekonomi

masyarakat dan desa. BUMDes juga

hadir untuk memberikan sumbangan

terhadap penanggulangan

kemiskinan dan pencapaian

kesejahteraan rakyat.

BUMDes Cinangsi Karya Madani

Desa Cinangsi merupakan

sebuah desa yang berada diwilayah

Kecamatan Cikalongkulon

Kabupaten Cianjur, dengan luas

wilayah 586,26 Hektar dengan

mayoritas lahan pertanian dan

pesawahaah. Jumlah penduduk desa

ini mencapai 9.123 jiwa dengan

tingkat kepadatan penduduk 0,082

m (sumber: Sekretaris Desa).

Dengan memiliki potensi alam yang

tropis, berada pada lembah

pegunungan menjadikan desa ini

subur akan produksi padi dan

sayuran, namun jika melihat dari

data yang didapat luasya lahan yang

dimiliki desa ini belum

termanfaatkan dengan baik,

penyebabnya bisa saja karena

sumberdaya manusia dan modal

untuk memanfaatkan lahan menjadi

ladang pertanian atau usaha.

BUMDes merupakan instrument pendayagunaan ekonomi

lokal dengan berbagai ragam jenis

potensi, pendayagunaan potensi ini

bertujuan untuk peningkatan

kesejahteraan ekonomi masyarakat

perdesaan, melaui pengembangan

usaha ekonomi mereka sebelumnya

ataupun baru. Keberadaan BUMDes

ini dapat memberikan kontribusi

dalam peningkatan pendapatan asli

desa (PADes) yang memungkinkan

desa mampu melaksanakan

pembangunan dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat desa

secara optimal.

BUMDes in diberi nama

Cinangsi Karya Madani dibentuk

pada bulan Oktober 2014, dikelola

dan dikembangkan bersama oleh

pemerintah desa dan masyarakat

desa yang disesuaikan dengan

karakteristik potensi sumber daya

alam dan budaya lokal yang dimiliki

desa, untuk memfasilitasi,

memperkuat, menjaga

keberlangsungan, serta

mengembangkan usaha dan aktifitas

ekonomi produktif yang dilakukan

warga desa. Meski tergolong baru

namun BUMDes Cinangsi Karya

Madani di Desa Cinangsi kecamatan

Cikalongkulon Kabupaten Cianjur

telah mendapat omzet yang

diharapakan lewat usaha budidaya

jamur tiram dan pengolahan limbah

jeroan ayam.

Pencapaian omset BUMDes

Cianangsi Karya Madani

keseluruhan jika dirata-rata

mencapai kisaran 30 s/d 40 juta

perbulan, hasil ini sesuai yang

diharapkan dan memberikan

kemajuan pada BUMDes, namun

“jika pemenuhan kebutuhan pasar

terpenuhi secara maksimal ditambah

dengan sumber daya manusia yang

memadai maka hasilnya akan lebih

besar dari yang sekarang”, tutur

Wahyu Hidayat selaku ketua

pelaksana BUMDes Cinangsi Karya

Madani. Seiring berjalannya

BUMDes dan marketnya yang terus meluas BUMDes Cinangsi Karya

Madani mulai menunjukan

eksistensinya terlihat dari tingkat

pesanan yang meningkat, meskipun

permintaan pesanan meningkat

pengelola tidak menaikan target

produksi mengingat karena ada

beberapa kendala salah satunya

adalah keterbatasan sumber daya

Page 79: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

75 ISSN: 2655-4364

manusia didalamnya, ditambah

dengan kekurangan armada (alat

transportasi) berupa mobil pick up

yang saat ini hanya memiiki 1 (satu)

buah, tentunya ini akan mempersulit

ke stabilan pengiriman barang.

Namun untuk meminimalisir

kekurangan itu armada sementara

dibantu dengan memakai roda 2

(dua) untuk membantu pengiriman

barang.

Permodalan BUMDes Cinangsi

Karya Madani

Proses perolehan modal

BUMDes Cinangsi Karya Madani

semula berasal dari Pemerintah

Desa yang bersumber dari APBDes,

modal BUMDes selanjutnya dapat

berasal dari sebagian atau

seluruhnya dari kekayaan desa yang

dipisahkan oleh Pemerintah Desa.

1. Pengumpulan dana dari

masyarakat atau investor.

BUMDes Cinangsi Karya

Madani mengajukan

proposal.

2. Pinjaman.

3. Bantuan Pemerintah,

Pemerintah Provinsi,

Pemerintah Kabupaten.

4. Penyertaan modal pihak lain

atau kerjasama bagi hasil

atas dasar saling

menguntungkan.

5. Tambahan Modal dari

APBDes selanjutnya untuk

memperbesar Modal

BUMDes selama diperlukan

dan besaranya ditetapkan

melalui Musyawarah Desa.

6. BUMDes dapat melakukan

pinjaman kepada lembaga perbankan atau pihak-pihak

lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Unit Usaha BUMDes Cinangsi

Karya Madani

BUMDes Trading yaitu

suatu jenis usaha yang berdagang

kebutuhan pokok dan sarana

produksi (Herry

Kamaroesid:5)BUMDes Cinangsi

Karya Madani menjual limbah dari

PT. QL Trimitra yaitu berupa jeroan

ayam potong meliputi usus, ati,

ampela dan kepala ayam kepada

masyarakat umum, objeknya adalah

pasar tradisional, pedagang warung

nasi, dan konsumen langsung (end

user). Usaha ini dipilih karena

dilihat dari beberapa aspek dan

peluang yang ada, terlebih PT. QL

Trimitra mendukung program ini

sebagai bentuk CSR dari perusahaan

untuk masyarakat sekitar, disisi lain

barang komoditi seperti ini adalah

konsumsi primer dengan permintaan

pasar yang cukup stabil sehingga

mudah untuk dijalankan.

Pemanfaatan limbah ini sebelumnya

sudah ada mulai lebih dulu oleh

perorangan, BUMDes Cinangsi

Karya Madani diberikan jatah untuk

mengelola limbahnya. Berdasarkan

dari kebiasaan masyrakat sekitar

Desa Cinangsi jeroan ayam ini

sangat digemari sebagai lauk untuk

makan sehari-hari, juga digunakan

sebagai campuran pakan untuk ikan

Lele, karena dibeberapa wilayah

Kecamatan Cikalong Kulon terdapat

pelaku usaha yang bergerak

dibidang ternak ikan Lele. Untuk

harga yang didapat dari PT QL

seharga 3000/kg dalam kondisi

belum bersih dari kotoran-kotoran,

begitupun kondisi ati ampela masih

belum bersih, untuk mendapatkan

barang limbah ini BUMDes

mengambil langsung ke PT QL

karena PT QL tidak bisa mengantar

barang ke BUMDes. Setelah sampai ditempat pengolaan yang BUMDes,

proses pembersihan kotoran

dilakukan setelah itu sortir dan

dikemas. Kebutuhan pesanan harian

konsumen untuk jeroan ini

mencapai pada angka 100

kg/perhari, angka ini belum

maksimal jika dibandingkan dari

market share yang ada yakni

Page 80: ISSN 2655-4364

76 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

menembus angka di atas 200

kg/hari, kebutuhan 200 kg/perhari

belum bisa terpenuhi mengingat

limbah jeroan hasil produksi PT QL

rata rata mencapai 100 kg/hari dan

limbah ini juga sudah ada kuotanya

untuk perorangan yang sudah

menjalankan usaha ini sebelumnya.

Maka dari hal ini sangat jelas bahwa

usaha usaha komoditi ini sangat

menjanjikan, hanya saja BUMDes

Cinangsi Karya Madani untuk stok

ketersediaan barang masih

bergatung pada PT QL Trimitra,

dengan kata lain jika permintaan

ayam potong PT QL meningkkat

maka stok limbah jeroan ayam pun

akan meningkat untuk BUMDes ini.

Usaha pembuatan kerajinan

rakyat dan industri rumah tangga

(handycraft) bunga dari plastik,

usaha ini merupakan usaha yang

digemari pada saat ini oleh

masyrakat Desa Cinangsi khususnya

oleh kaum wanita atau ibu-ibu.

Market dari handycraft bunga

plastik ini sudah ada hanya tinggal

dibantu dengan pemasaran dan

sumber daya manusianya. Usaha ini

bisa memberikan dampak postif

untuk Ibu ibu yang notabene adalah

Ibu rumah tangga yang tidak

memiliki pekerjaan tetap, yang pada

akhirnya bisa membuka kesempatan

atau peluang ekonomi baru untuk

Ibu-ibu dilingkungan Desa

Cinangsi. Untuk harga handycraft

ini mulai dari Rp 35,000 sampai Rp.

200,000 tergantung dari motif bunga

dan tingkat kesulitan dalam

pengerjaan.

Usaha pertanian budidaya

Jamur Tiram konsumsi seperti yang sedang populer di masyarakat

perkotaan, jenis usaha ini diambil

karena telah melalui berbagai

pertimbangan dari hasil study

banding ke daerah Kota Sukabumi

tepatnya pada Suku Dinas Pertanian

kota sukabumi yang bekerjasama

dengan mahasiswa dan BUMDes di

kelurahan Cikundul dan Cipanengah

dari informasi yang didapat

permintaan untuk kebutuhan

konsumsi jamur ini cukup tinggi di

kota Sukabumi bahkan mereka tidak

bisa memenuhi kebutuhan maksimal

yang diminta pasar, berangkat dari

hal inilah yang membuat pemilihan

usaha produksi jamur ini untuk

dijadikan BUMDes di Desa

Cinangsi. Besarnya permintaan

barang ini disebabkan karena harga

yang diberikan oleh BUMDes jauh

lebih murah diabanding pesaing-

pesaingnya untuk harga jamur tiram

perkilonya mencapai 11.500/kg

kondisi ini jauh lebih murah jika

dibandingkan dengan pesaingnya

dipasaran yang membandrol harga

15.000/kg dan didukung dengan

jamur yang masih fresh dengan kata

lain “panen hari ini jual hari ini”

ucap Wahyu Hidayat. Pemenuhan

pasar untuk saat ini hanya melayani

kebutuhan pedagang di pasar baru

Cikalong Kulon. Namun untuk

pembelian eceran kecil dilayani

langsung ditempat pengelolaan

jamur atau disebut rumah baglog

atau bisa juga diantar langsung ke

rumah konsumen dengan ketentuan

pembelian minimal 5 kg, ini

dilakukan agar menjaga kestabilan

harga dengan para penjual yang ada

di Pasar Baru Cikalongkulon. Saat

ini kebutuhan pesanan konsumen

hanya terpenuhi 20 kg/hari dan

tergolong stabil. Mengingat

konsumsi akan jamur pada

masyarakat Desa Cinangsi umunya

dilingkungan Kecamatan

Cikalongkulon tidak banyak seperti

perminntaan di masyarakat

perkotaan. Sejauh ini BUMDes Cinangsi Karya Madani tidak

mengolah jamur ini menjadi

makanan cemilan hanya menjual

mentah saja.

Usaha usaha diatas akan

membawa dampak baik bagi

internal desa untuk melayani

kebutuhan masyarakat setempat,

bisnis internal desa berjalan dan

Page 81: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

77 ISSN: 2655-4364

berkembang dengan dimulai dari

skala kecil, masyarakat setempat

mudah memperoleh kebutuhan

barang barang dengan mudah,

bisnis internal desa relatif sederhana

serta berskala kecil tetapi bisnis

sangat menjanjikan, dan menambah

pendapatan bagi desa,

menggairahkan perekonomian desa

dan membuka lapangan pekerjaan,

berkembang secara sehat dan

berkelanjutan.

Bagi hasil usaha merupakan

pendapatan BUMDes yang

diperoleh dalam 1 (satu) tahun buku

dikurangi dengan penyusutan dan

kewajiban gaji dan tunjangan

pengurus BUMDes termasuk pajak

dalam tahun yang bersangkutan.

Besaran Gaji dan Tunjangan

Pengurus BUMDes ditentukan oleh

Kepala Desa melalui Rapat atau

Musyawarah Desa.

Penerapan Manajemen Dalam

Pembentukan dan Pengelolaan

BUMDes Cinangsi Karya Madani

Aspek manajemen dalam

membangun BUMDes hendaklah

didasari pada pendekatan fungsi

manajemen meliputi : perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan

pengendalian, tujuan kajian pada

aspek manajemen adalah untuk

mengetahui apakah pembentukan

dan pelaksanaan BUMDes dapat

direncanakan, dilaksanakan, dan

dikendalikan.

Dilihat berdasarkan

pengamatan yang dilakukan peneliti

di BUMDes Cinangsi Karya Madani

ini sebetulnya secara konsep mereka

telah memakai fungsi-fungsi manajemen hanya saja karena

keterbatasan ilmu akademik mereka

sehingga konsep ini terasa asing

bagi mereka namun dalam

prakikalnya mereka sudah

menggunakan. Berikut penerapan

fungsi fungsi manajemen di

BUMDes yang terlihat melalui

pengamatan peneliti.

Tujuan dari gagasan

menjalankan BUMDes adalah untuk

memperoleh keuntungan dan

kemanfaatan, untuk mencapai suatu

tujuan ini diperlukan suatu

perencanaan secara manyeluruh

beserta kebijakan yang diperlukan.

Untuk itu perlu disusun suatu

program kerja untuk mencapai

tujuan yang telah diterapkan serta

menyusun kegiatan-kegiatan yang

diperlukan.

Perencanaan dalam anggaran

unit usaha BUMDes juga harus

dilakukan dengan sebaik mungkin,

misalnya membuat anggaran

pembelian, anggaran produksi,

anggaran penjualan, dan anggaran

lainnya disesuaikan keperluan usaha

yang akan dijalankan. Dalam

merencanakan anggaran harus

detail, misalnya anggaran dalam

pembelian bahan (berapa dan

banyaknya barang yang akan

dibeli), berapa harganya, siapa yang

menangani pembelian, dimana

membelinya dan lain-lain.

Perencanaan dalam

pengadaan man power disesuaiakan

dengan rencana proses produksi,

kegiatan yang akan dilakukan,

persyaratan yang diperlukan dan

jumlah karyawan yang dibutuhkan.

Demikian pula perencanaan dalam

bidang produksi, perlu direncanakan

jenis produk, jumlah produk, dan

standar kualitas produk yang akan

dihasilkan, bahan baku yang

diperlukan, peralatan yang akan

digunakan, petugas yang menangani

proses produksi, dan sebagainya.

Perencanaan dalam bidang

penjualan juga perlu dibuat antara lain : jumlah produk yang akan

dijual, bentuk promosi yang

diperlukan, daerah penjualan, cara

mendistribusikan produk, biaya

penjualan, penetapan harga, saluran

pemasaran, sistem pembayaran, dan

sebagainya. (Heri Kamaroesid :

2016)

Page 82: ISSN 2655-4364

78 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Berdasarkan penjabaran

diatas dapat disimpulkan bahwa

untuk memulai seuatu kegiatan

usaha tahap pertama yang dilakukan

adalah perencanaan. Pada awal

berdirinya BUMDes ini adalah hasil

prakarsa para Perangkat Desa yang

meneruskan intstruksi dari pusat

untuk membangun suatu kegiatan

usaha yang bersifat kolektif dan

dijalankan secara gotong royong

oleh warga desa dengan

pengawasanya dari pihak desa.

Kemudian pada smester kedua tahun

2014 tepatnya di bulan Agustus

Bapak Yusuf Supriatna selaku

Kepala Desa mendiskusikan hal ini

dengan para perangkat desa, mereka

membahas tentang harus

terealisasinya program pemerintah

ini.

Asas organisasi merupakan

pedoman yang perlu dilaksanakan

agar diperoleh suatu struktur

organisasi yang baik dan aktifitas

organisasi dapat berjalan dengan

lancar, asas-asas organisasi terdiri

dari perumusan tujuan organisasi,

penyusunan bagian-bagian

organisasi yang diperlukan,

pembagian kerja yang jelas,

koordinasi pelimpahan wewenang,

rentang kendali, jenjang organisasi,

kesatuan perintah. Struktur

organisasi hendaknya mudah diubah

untuk disesuaikan dengan

perubahan-perubahan yang terjadi

tanpa mengurangi kelancaran

aktifitas yang sedang berjalan,

apabila asas organisasi tersebut

dapat diterapkan dengan baik, maka

akan sangat mendukung kelancaran

kegiatan usaha BUMDes. Struktur organisasi yang

dirancang harus dapat menjelaskan

pembagian aktifitas kerja dan

memerhatikan fungsi-fungsi dari

aktifitas tersebut. Struktur organisasi

juga menjelaskan hierarki (jenjang

atau tingkatan). Dan susunan

kewenangan, serta hubungan

pertanggungjawaban (siapa melapor

pada siapa). Hal terpenting dalam

penyusunan struktur organisasi ini

adalah rancangan struktur organisasi

yang disusun harus fungsional,

efektif, dan efisien, dalam artian

susunan organisasi unit bagian

organisasi, hubungan ketugasan

antar bagian harus jelas, dan

susunan organisasi disesuaikan

dengan keperluan.

Seusai mekanisme AD/ART

pembentukan kepengurusan

BUMDes Cinangsi Karya Madani

sangat terkonsep dengan rapih

diawali dengan membuat proposal

pembentukan BUMDes

a. Komisaris jabatan ini

dipegang oleh Kepala Desa

b. Direktur jabatan ini dipegang

oleh pemegang saham

c. Badan pengawas jabatan ini

dipegang oleh Sekretaris

Desa, sesepuh desa

d. Manajer jabatan ini diisi oleh

Ketua Karang Taruna

e. Sekretaris jabatan ini diisi

oleh anggota karang taruna

melalui pemilihan

f. Bendahara jabatan ini diisi

oleh anggota karang taruna

melalui pemilihan

g. Staf unit usaha jabatan ini

diisi oleh pakar usaha dan

anggota karang taruna

Pelaksanaan penyelengaraan

BUMDes Cinangsi Karya Madani

sepenuhnya dikerjakan atau dikelola

oleh masyarakat melalui

pengawasan desa, dengan adanya

sinergi antara masyarakat dan pihak

desa, penyelenggaraan program

program BUMDes Cinangsi Karya

Madani mudah untuk terealisasi diantara program-program BUMDes

Cinangsi Karya Madani untuk

pembanguan Desa Cinangsi adalah:

Meningkatkan pendapatan

asli desa (PADes) sebelum

pembentukan BUMDes Cinangsi

Karya Madani kondisi

pembelanjaan untuk infrastruktur

desa cenderung sangat stagnan dan

Page 83: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

79 ISSN: 2655-4364

relatif biasa biasa saja tidak banyak

yang diperbaharui hanya jalan raya

saja yang terlihat diperbaiki dan

intervalnya pun cukup lama, kondisi

ini dikarenakan uang yang diterima

dari pemerintah pusat tidak terserap

dan tidak sesuai dengan kebutuhan

belanja desa. Kehadiran BUMDes

Cinangsi Karya Madani tepatnya

pada Agustus tahun 2014 membawa

berkah bagi masa depan desa,

BUMDes mampu menyumbang

untuk penigkatan PADes, masuk ke

kas desa untuk mendorong

perbaikan perbaikan infrasturktur

desa.

Penyamarataan Pendidikan

(sekolah desa) program sekolah desa

adalah suatu gerakan untuk ikut

mencerdaskan kehidupan bangsa,

BUMDes Cinangsi Karya Madani

bersama desa membangun sekolah

Paket B (setara SMP) dan Paket C

(setara SMA) dengan Pembina

Kepala Desa. Pertumbuhan standar

pendidikan masyarkat Desa

Cinangsi sudah meningakat yang

semula rata rata pendikannya SD

sekarang angkanya sudah berubah

menjadi rata rata pendidikan SMP

bahkan pada tahun 2020 Kepala

Desa menargetkan untuk rata rata

berada di tingkat SMA bukan tidak

mungkin ini bisa terwujud sebab

semua fasilitas pendidikan seperti

gedung, pengajar, buku, alat tulis

semua sudah disediakan oleh

BUMDes dan desa hanya tinggal

menggerakan dan memberi

semangat sekolah kepada anak-anak

di Desa Cinangsi.

Peningkatan kesejahteraan

petani banyaknya masalah masalah desa yang komplek seperti irigasi

untuk pesawahan dikala kemarau

panjang nyaris petani gagal panen

karena aliran air sungai menyusut

dan kering dan mahalnya harga

pupuk subsidi jika kondisi kemarau

sedang melanda. Untuk

memperbaiki keadaan irigasi ini

dibutuhkan biaya yang cukup besar

mengingat sewa alat berat dan man

powernya yang cukup mahal

menyebabkan tidak terlaksananya

perbaikan irigasi. BUMDes melaui

program kreatifnya memberikan

solusi alternatif untuk para petani

yakni melalui budidaya jamur tiram,

usaha jenis ini mudah dijalankan

oleh petani karena pada dasarnya

pengelolaan budidaya jamur tiram

ini tidak sesulit seperti menanam

padi, dengan masa panen 2 (dua)

hari sekali, dengan sering terjadinya

panen maka pendapatan petani pun

akan meningkat dan bisa menjadi

mata pencaharian tambahan dari

yang utama.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian

dengan teknik observasi, wawancara

dan dokumentasi yang dilaksanakan

di BUMDes Cinangsi Karya Madani

yang berlokasi di Desa Cinangsi

Kecamatan Cikalongkulon

Kabupaten Cianjur tentang Fungsi

Badan Usaha Milik Desa dapat

diambil beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

Membangun Desa Cinangsi

diantaranya: Meningkatkan

pendapatan asli desa (PADes)

Kehadiran BUMDes Cinangsi

Karya Madani tepatnya pada

September tahun 2014 membawa

berkah bagi masa depan desa,

BUMDes Cianangsi Karya Madani

mampu menyumbang untuk

penigkatan PADes untuk

mendorong perbaikan perbaikan

infrasturktur desa seperti sarana

umum dan tempat ibadah;

Penyamarataan Pendidikan

(sekolah desa) program sekolah desa adalah suatu gerakan untuk

ikut mencerdaskan kehidupan

bangsa, BUMDes Cinangsi Karya

Madani bersama desa membangun 1

(satu) sekolah Paket B (setara SMP)

dan 1 (satu) sekolah Paket C (setara

SMA) dengan Pembina Kepala

Desa. Pertumbuhan standar

pendidikan masyarkat Desa

Page 84: ISSN 2655-4364

80 ISSN: 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

Cinangsi sudah meningakat yang

semula rata rata pendikannya SD

sekarang angkanya sudah berubah

menjadi rata rata pendidikan SMP

bahkan pada tahun 2020 Kepala

Desa menargetkan untuk rata rata

berada di tingkat SMA; Peningkatan

kesejahteraan petani BUMDes

Cinangsi Karya Madani melaui

program kreatifnya memberikan

solusi alternatif untuk para petani

yakni program budidaya jamur

tiram, usaha jenis ini mudah

dijalankan oleh petani karena pada

dasarnya pengelolaan budidaya

jamur tiram ini tidak sesulit seperti

menanam padi, dengan masa panen

2 (dua) hari sekali.

BUMDes Cinangsi Karya

Madani di Desa Cinangsi

Kecamatan Cikalongkulon

Kabupaten Cianjur dilaksanakan

dengan profesional dan fleksible,

BUMDes telah meningkatkan

produktivitas masyarakat desa serta

pengembangan usaha riil.

Menyerap tenaga kerja sehingga

meningkatkan pendapatan

masyarakat yang tergabung dalam

BUMDes, dan memicu

pertumbuhan sektor informal

lainnya. Mendorong kreatifitas jiwa

kewirausahaan masyrakat Desa

Cinangsi. Unit-unit usaha riil yang

dibentuk oleh BUMDes Cinangsi

Karya Madani dapat

memaksimalkan keunggulan potensi

desa yang ada sehingga berdampak

pada masyarakat sekitar dan dapat

dijadikan sumber penghasilan baru

bagi masyarakat yang mengelola

usaha-usaha BUMDes.

Daftar Pustaka

Sugiyono, 2003. Metode penelitian

administrasi. Bandung:

Alfabeta

Moleong, J. Lexy. 2004. Metode

Penelitian Kualitatif. Jakarta:

Rosda

Siagian, Sondang P. 2015. Filsafat

administrasi. Jakarta: Bumi

Aksara

Siagian, Sondang P. 2012.

Administrasi Pembangunan.

Jakarta: Bumi Aksara

Kencana, Inu. 2003. Sistem

administrasi negara republik

Indonesia. Jakarta: Bumi

Aksara

Thoha, Mifta, 2014. Birokrasi dan

politik di Indonesia. Jakarta :

Rajawali press

Kamaroesid, Herry. 2016. Tata

Cara Pendirian dan

Pengelolaan Badan Usaha

Milik Desa. Jakarta: Mitra

Wacana Media

Warsito, Sadu. dan Tahir, Irwan.

2016. Administrasi

Pemerintahan Desa. Jakarta:

Universitas Terbuka Penerbit

Adisasmita, Rahardjo. 2013.

Pembangunan Perdesaan.

Yogyakarta: Graha Ilmu

Soetoro, Eko. 2004. Desa

Membangun Indonesia.

Yogyakarta: Forum

Pengembangan Pembaharuan

Desa (FPPD)

Widjaya, A.W. 2003. Otonomi

Desa. Jakarta: Rajawali pers

Zuraida, Ida.2013. Tekhnik

Penyusunan Peraturan

Daerah. Jakarta: Sinar

Grafika.

Daftar Website/Laman Daring

Contoh Penyusunan Skripsi Yang

Baik Dan Benar.

http://www.rijalhabibulloh.com/20

15/04/contoh-proposal-

skripsi-yang-baik-dan.html

(diakses 20 Desember 2016)

Pendirian BUMDes, Tata Cara Pendirian BUMDes.

http://www.kemendagri.go.id/articl

e/2011/09/12. (diakses 11

Februari 2017)

Definisi Pembangunan Menurut

Para ahli

http://www.materibelajar.id/2015/1

2/inilah-beberapa-definisi-

pembangunan_28.html

Page 85: ISSN 2655-4364

Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018

81 ISSN: 2655-4364

(diakses 11 Februari 2017)

Ruang Lingkup Administrasi

Pembangunan

http://dokumen.tips/documents/i-

pengertian-dan-ruang-

lingkup-administrasi-

bisnis.html (diakses 19

Februari 2017)

Pendirian BUMDes Menurut

Undang Undang

https://lbhsembilandelapan.wordpr

ess.com/2015/08/10/otonomi-

menurut-undang-undang-no-

6-tahun-2014-tentang-desa/

(diakses 19 Februari 2017)

Page 86: ISSN 2655-4364