issn 2655-4364
TRANSCRIPT
ISSN 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial,
Vol. 1, No. 1, Desember 2018
ISSN 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial,
Vol. 1, No. 1, Desember 2018
SUSUNAN REDAKSI
Penerbit:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
Pengelola:
Pusat Kajian Pemerintahan dan Kesejahteraan Sosial
FISIP-UIC
Penanggung Jawab:
Dekan FISIP UIC
Pemimpin Redaksi:
Mohammad Siddiq
Redaksi Pelaksana:
Subantoro
Sekretaris Redaksi:
Don Gusti Rao
Redaktur:
Hartini Salama, Agus Kurniadi, Dahri Zaenal,
Wiara D. Anggraeni
Alamat Redaksi:
Jalan Pemuda I, Kav. 97, Rawamangun, Jakarta Timur
Surel:
ISSN 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial,
Vol. 1, No. 1, Desember 2018
DAFTAR ISI
SUSUNAN REDAKSI
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-
XVI/2018 TENTANG UJI MATERI UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM
(STUDI KASUS PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN CIRACAS) oleh Don
Gusti Rao 4
HIERARKI DAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA oleh Irsyaf Marsal 18
PERAN LEMBAGA MUSYAWARAH KELURAHAN DALAM MENDUKUNG
TUGAS POKOK DAN FUNGSI RUKUN WARGA DI KELURAHAN GALUR
oleh Rizal & Mohammad Siddiq 33
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN GUBERNUR NOMOR 164
TAHUN 2016 TENTANG PEMBATASAN LALU LINTAS DENGAN SISTEM
GANJIL GENAP oleh Didin Asyari Muhtadin, Dahri Zaenal, Wiara Dewi
Anggraeni 40
DEMOKRASI DAN PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP
ETNIS MINORITAS TIONGHOA DI INDONESIA oleh Muhammad Rohim
Hidayatullah 49
FUNGSI BADAN USAHA MILIK DESA (STUDI PADA BUMDES CINANGSI
KARYA MADANI DESA CINANGSI KECAMATAN CIKALONGKULON
KABUPATEN CIANJUR) oleh Sandi Rahmat & Agus Kurniadi 70
ISSN 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial,
Vol. 1, No. 1, Desember 2018
PENGANTAR REDAKSI
Dengan memanjatkan puji serta syukur kepada Allah swt., Jurnal Perspektif: Kajian
Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial hadir di hadapan pembaca budiman. Jurnal
ilmiah ini merupakan bagian dari penyebaran hasil penelitian, pengkajian, dan berbagai
inovasi yang dilakukan oleh civitas akademik yang kemudian diterbitkan secara
berkala.
Pada edisi Vol. 1 No. 1, Desember 2018 ini disuguhkan enam tulisan. Artikel pertama
berjudul “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/Puu-Xvi/2018 Tentang Uji
Materi Undang-Undang Pemilihan Umum (Studi Kasus Panitia Pemilihan Kecamatan
Ciracas)” yang ditulis oleh Don Gusti Rao menjabarkan pentingnya melibatkan
masyarakat dalam upaya menciptakan pemilu yang adil. Selanjutnya, Irsyaf Marsal
menyampaikan mengenai berbagai bentuk tata perundangan di Indonesia melalui
artikelnya yang berjudul “Hierarki dan Tata Urutan Perundang-Undangan Di
Indonesia”. LMK sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan membuktikan
perannya dalam kerukunan warga dijabarkan melalui artikel yang ditulis oleh Rizal dan
Mohammad Siddiq dengan judul “Peran Lembaga Musyawarah Kelurahan Dalam
Mendukung Tugas Pokok Dan Fungsi Rukun Warga”. Artikel lainnya yang berjudul
“Implementasi Kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 164 Tahun 2016 tentang
Pembatasan Lalu Lintas Dengan Sistem Ganjil Genap (Studi Kasus Di Jalan Thamrin
Sampai Jalan Jenderal Sudirman)” ditulis oleh Didin Asyari Muhtadin, Dahri Zaenal
dan Wiara Dewi Anggraeni menjelaskan mengenai pentingnya penanggulangan
kemacetan di ibukota. Selain itu, Muhammad Rohim Hidayatullah mengungkapkan
perkembangan demokrasi melalui tulisannya yang berjudul “Demokrasi dan Pluralisme
Abdurrahman Wahid Terhadap Etnis Minoritas Tionghoa Di Indonesia”. Jurnal ini
kemudian ditutup dengan artikel yang berjudul “Fungsi Badan Usaha Milik Desa (Studi
Pada Bumdes Cinangsi Karya Madani Desa Cinangsi Kecamatan Cikalongkulon
Kabupaten Cianjur)” yang ditulis oleh Sandi Rahmat dan Agus Kurniadi.
Selamat membaca.
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
1 ISSN: 2655-4364
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-
XVI/2018 TENTANG UJI MATERI UNDANG-UNDANG PEMILIHAN
UMUM (STUDI KASUS PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN
CIRACAS)
Don Gusti Rao | [email protected]
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
Abstrak
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, 23 Juli 2018,
memutuskan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Salah satu
poin dalam putusan MK nomor 31/PUU-XVI/2018 tersebut, pada paragraf
[3.10.1.5] yakni permohonan uji materi Undang-Undang Pemilihan Umum
(Pemilu) nomor 7 Tahun 2017, pasal 52 ayat (1) dimana jumlah Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK) yang berjumlah Tiga ditambah menjadi Lima
orang. Asumsi bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 22E
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum,
yang menyebabkan terjadinya revisi atas jumlah PPK di seluruh Indonesia pada
saat tahapan pemilu 2019 sedang berlangsung.
Putusan tersebut tentu disambut baik oleh para penyelenggara pemilu.
Dari mulai Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta, PPK sampai
Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan (Panwaslucam) yang sejak
awal menyayangkan jumlah PPK berkurang dari Lima – seperti saat
Pemilukada DKI Jakarta 2017 – menjadi Tiga orang saat Pemilihan Legislatif
(Pileg) dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019. Beban kerja
yang semakin tinggi dimana pada Pemilu 2019 di Jakarta, ada empat kotak
suara untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.
Penelitian yang berlangsung tanggal 26 Juli sampai 26 Agustus 2018 ini
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan historis yang
mengeksplorasi langsung beberapa penyelenggara pemilu, dari tingkat Provinsi
hingga kecamatan Ciracas Jakarta Timur. Bagi para penyelenggara yang
terlibat langsung ke masyarakat, putusan MK ini tentu berdampak baik
terhadap peningkatan efektivitas, optimalitas dan pengurangan beban kerja
pada saat tahapan hingga hari pemungutan suara. Meminimalisasi tingkat
kesalahan pada saat distribusi logistik hingga rekapitulasi data pemilih dan
suara, hal tersebut membuat kinerja PPK semakin efektif.
Kata kunci: Putusan MK 31/PUU-XVI/2018, PPK, Undang-undang Pemilu,
Pemilu
Pendahuluan
Demokrasi memungkinkan
rakyat untuk menentukan nasibnya
sendiri. Asas kedaulatan rakyat
sebagai pemegang kekuasaan dan
wewenang tertinggi adalah urgensi
dari negara demokratis. Azed
(2005:1) mengungkapkan bahwa
saat ini hampir semua di setiap
konstitusi berbagai negara yang
dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan
rakyat didalamnya. Karena
kekuasaan yang tertinggi itulah, di
Yunani kuno sekitar abad ke-IV
rakyat menggunakan hak politiknya
untuk menjalankan pemerintahan,
yakni dengan memilih sendiri
pemimpinnya secara langsung.
2 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Dalam peradaban yang lebih
maju, praktik untuk memilih sendiri
pemimpin secara langsung
dimodifikasi dengan sistem
pemilihan umum. Semangat
demokrasi tentunya memegang
peranan penting, tak pelak, seperti
dirumuskan dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1969 tentang pemilihan umum, yang
masih terus berlaku sampai pemilu
1997 seperti diungkapkan Marbun
(2000:61) bahwa pemilihan umum
adalah suatu alat yang
penggunaannya tidak boleh
mengakibatkan rusaknya sendi-
sendi demokrasi dan bahkan
menimbulkan hal-hal yang
menderitakan rakyat, tetapi harus
menjamin suksesnya perjuangan
orde baru, yaitu tetap tegaknya
Pancasila dan dipertahankannya
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
UU tersebut itu pula, asas pemilu
diperkenalkan dengan istilah
LUBER, akronim dari langsung,
umum, bebas, rahasia.
Pemilu di Indonesia secara
konstitusional diselenggarakan oleh
lembaga penyelenggara pemilu
yakni KPU, Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP). Ketiga lembaga tersebut,
mempunyai peraturan turunan guna
menyederhanakan (implementatif)
dan memudahkan penyelenggaraan
pemilu. KPU dengan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
lebih kepada eksekutor pelaksanaan
pemilu, Bawaslu dengan
peraturannya (Perbawaslu)
berfungsi sebagai pengawas, dan DKPP – dengan peraturan DKPPnya
– sebagai penyeimbang dan
pengawasan kode etik terhadap
KPU dan Bawaslu. Peraturan
ketiganya, seperti halnya undang-
undang, terus bertransformasi
mengikuti relevansi zaman. Maka,
tak heran bila PKPU dan bahkan
UU Pemilu yang dinilai tidak
relevan, bisa saja direvisi sewaktu-
waktu. Bila UU bisa direvisi dengan
mengajukan uji materi di MK atau
Perppu, maka peraturan ketiga
lembaga tersebut bisa direvisi
dengan terbitnya peraturan baru
yang otomatis mengoreksi aturan
sebelumnya, tentunya dengan
nomenklatur yang sesuai (tematik)
dan substantif.
UU pemilu no 7 tahun 2017
yang merupakan landasan konstitusi
terbaru pemilihan umum, pada
beberapa putusan, kontraproduktif
dengan UU Pilkada nomor 10 tahun
2016. Tentang jumlah PPK
misalnya – yang menjadi fokus
utama riset ini – yang mengalami
pengurangan jumlah. Logikanya,
tentu dengan beban yang semakin
berat dari pemilukada ke Pilpres-
pileg jumlah PPK bertambah atau
bahkan minimal tetap. Terbitnya
UU pemilu no 7 tahun 2017 juga
bersamaan dengan persiapan
tahapan pemilukada serentak
gelombang ketiga. Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur adalah tiga
provinsi padat yang melaksanakan
pilkada berbarengan dengan 171
daerah lainnya. Imbasnya, seperti
diwartakan berbagai media, terjadi
disinformasi di KPU dan
masyarakat terkait jumlah PPK yang
bertugas pada pilkada 2018. Tetapi,
karena konteksnya adalah pilkada
dan tahapan sudah berlangsung, UU
Pilkada nomor 10/2016 lah yang
dijadikan acuan.
Metode
Metode kualitatif digunakan
penulis untuk menghasilkan data-data yang diperlukan. Mengutip
Emzir (2008:28) bahwa secara
alternatif, metodologi kualitatif
merupakan salah satu metode yang
secara primer menggunakan
paradigma pengetahuan berdasarkan
pandangan konstruktivist (seperti
makna jamak dari pengalaman
individual, makna yang secara sosial
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
3 ISSN: 2655-4364
dan historis dibangun dengan
maksud mengembangkan suatu teori
atau pola) atau pandangan
advokasi/partisipatori (seperti
orientasi politik, isu, kolaboratif,
atau orientasi perubahan) atau
keduanya.
Bogdan dan Taylor seperti
dikutip Moleong (1993:4)
mendefinisikan metode kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Guna melengkapi data
penelitian yang berlangsung di
wilayah Kecamatan Ciracas sejak
tanggal 26 Juli sampai 26 Agustus
2018 ini, peneliti mewawancarai
beberapa narasumber agar
mendapatkan keterangan lisan
terkait tema penelitian. Mereka
adalah Komisioner KPUD Provinsi
DKI Jakarta periode 2018-2023
Nurdin, Fahrur Rohman Komisioner
KPU Kota Jakarta Timur periode
2018-2023 yang juga mantan Ketua
PPK Ciracas periode Pemilukada
dan Pileg-Pilpres, Mukhtar ketua
PPK Ciracas periode 2018-2019,
dan Abdul Hakim Ketua Panwaslu
Kecamatan Ciracas periode 2017-
2019.
Pendekatan yang digunakan
penulis dalam riset ini adalah
historis – telaah fenomena yang
terjadi – yang bersifat eksloratif.
Menurut Arikunto (1995:332),
penelitian historis merupakan
penelaahan dokumen serta sumber-
sumber lain yang berisi informasi
mengenai masa lampau dan
dilaksanakan secara sistematis. Peneliti pun menjadikan dokumen
PPK Ciracas periode 2016-2017
(laporan evaluasi umum) dan
putusan MK nomor 31/PUU-
XVI/2018 sebagai bagian dari
referensi utama. Juga berbagai UU
Pemilu dan PKPU sebagai rujukan.
Pembahasan
Putusan MK nomor
31/PUU-XVI/2018 tentang
permohonan uji materi UU Pemilu
no 7 Tahun 2017, khususnya pasal
52 ayat (1) disebutkan dalam
dokumen MK diajukan oleh lima
pemohon dengan bermacam latar
belakang. Erik Fitriadi dan Miftah
Farid, yang disebut dalam surat uji
materi ber kop Lembaga Bantuan
Hukum Syarikat Islam itu sebagai
pemohon satu (I) dan dua (II),
adalah komisioner KPU 2013-2018
Kabupaten Bogor dan Kabupaten
Karawang. Disebutkan, kerugian
konstitusional atas pasal tersebut
adalah berpotensi menyulitkan
kinerja dan merugikan hak
konstitusional pemohon I dan II
dalam mengemban tugas dan
amanah sebagai penyelenggara
pemilu. Hal tersebut karena
ketentuan dimaksud menjadikan
penyelenggaraan pemilu kesulitan
karena berkurangnya sumber daya
pelaksana pemilu. Selanjutnya
adalah pemohon enam (VI) dan
tujuh (VII) atas nama Turki dan
Mu‟ammar. Kerugian konstitusional
pemohon VI dan VII adalah selaku
warga negara Republik Indonesia,
dengan adanya pasal tersebut,
memperkecil kesempatan
mengabdikan dirinya demi
terwujudnya penyelenggaraan
pemilu yang berkualitas. Pasal
tersebut – yang disebutkan juga
antara lain Pasal 10 (1) huruf c,
Pasal 44 (1) huruf b dan (2) huruf b,
Pasal 117 (1) huruf b, huruf m dan
huruf o – dinilai diskrimimatif serta
tidak memiliki rasio logis dan jelas. Hal ini dianggap bertentangan
dengan prinsip dasar negara
demokrasi dimana seharusnya
ruang-ruang partisipasi aktif warga
negara untuk mengabdikan diri demi
terwujudnya cita-cita negara terbuka
lebar, bukan justru dipersempit.
Pemohon terakhir adalah
Habloel Mawadi, dosen Fakultas
4 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Hukum Universitas Islam As-
Syafi‟iyah yang disebut sebagai
pemohon 8 (VIII). Disebutkan,
sebagai dosen Hukum Tata Negara,
pemohon VIII sangat
berkepentingan dengan lahirnya
penyelenggaraan pemilu yang sesuai
dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Hal tersebut, lanjutnya dalam surat
permohonan uji materi, mengingat
hukum kepemiluan adalah salah satu
mata kuliah yang diajarkan dalam
lingkup hukum ketatanegaraan.
Dimana pasal tersebut – selain pasal
52 (1), disebut juga pasal 10 (1)
huruf c beserta penjelasan dan
lampirannya, Pasal 44 (1) huruf b
dan (2) huruf b, Pasal 21 (1) huruf k,
Pasal 117 (1) huruf b, huruf m dan
huruf o, Pasal 286 (2) dan Pasal 557
(1) huruf b sebagai bahan uji materi
– bertentangan dengan ketentuan
dalam UUD 1945 serta tidak sejalan
dengan prinsip keadilan pemilu.
Oleh karena itu, sebagai bentuk
pertanggungjawaban akademik
pemohon VIII, norma-norma
dimaksud sesudah sepatutnya untuk
diuji di MK, yang menurut pemohon
VIII demi terwujudnya sistem
pemilu yang berkualitas dan sejalan
dengan ketentuan yang termaktub
dalam UUD 1945.
Para pemohon menjadikan
Pasal 22E (1) dan (5), Pasal 27 (1),
Pasal 28B (1) dan 28D (1) UUD
1945 sebagai batu uji – secara
umum, tidak hanya Pasal 52 (1) –
pengajuan uji materi beberapa pasal
di UU Pemilu no 7/2017.
Alasan-alasan permohonan,
sebagai bahan argumentasi logis
diungkapkan pemohon dengan sangat gamblang. Terdiri dari 10
poin yang mengkritik pengurangan
jumlah PPK berdasarkan Surat
permohonan pengujian materi UU
Pemilu no 7 tahun 2017 (2018:26)
yaitu;
1. Bahwa menurut Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945
menyatakan, bahwa
“Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri”, namun secara
implementatif untuk tingkat
Kecamatan ke bawah
dilakukan oleh
penyelenggara yang bersifat
ad hoc, tugas, wewenang,
dan kewajiban Panitia
Pemilihan kecamatan (PPK)
tetap mengacu pada asas-
asas dan prinsip-prinsip
penyelenggaraan pemilu
yang telah ditentukan oleh
Pasal 22E ayat (1) UUD
1945 maupun peraturan
perundang-undangan
lainnya;
2. Bahwa keanggotaan PPK
sebagai penyelenggara
pemilu di tingkat kecamatan
pada pemilu tahun 2014
maupun dengan pilkada
serentak nasional bertahap
berjumlah 5 (lima) orang
(vide Pasal 41 ayat (1) UU
Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota). Namun
demikian, berdasarkan
ketentuan Pasal 52 ayat (1)
UU Pemilu yang
dimohonkan pengujian, pada
pemilu tahun 2019 yang
dilakukan secara serentak
yang dikenal dengan istilah
“pemilu 5 (lima) kotak”,
keanggotaan PPK berjumlah
3 (tiga) orang. Tegasnya
komposisi keanggotaan PPK
mengalami penurunan yang
cukup signifikan. Padahal di sisi lain dengan adanya
perubahan sistem pemilu
yang dilakukan secara
serentak akan menambah
beban yang dapat menguras
energi dan pikiran
penyelenggara, baik pada
saat tahapan persiapan
pemilu, pelaksanaan pemilu
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
5 ISSN: 2655-4364
maupun juga pasca
penetapan hasil pemilu;
3. Bahwa merujuk tugas,
wewenang, dan kewajiban
PPK sebagaimana diatur
dalam pasal 53 UU Pemilu
terdapat perubahan yang
mendasar berkaitan dengan
rekapitulasi hasil
penghitungan suara pemilu.
Dimana rekapitulasi pada
tingkat PPK tidak
berdasarkan lagi dari hasil
rekapitulasi pada tingkat
Panitia Pemungutan Suara
(PPS), tetapi berdasarkan
berita acara hasil
penghitungan suara dari
Tempat Pemungutan Suara
(TPS) (Vide Pasal 382 s.d.
Pasal 390 UU Pemilu, juncto
Pasal 393 s.d. Pasal 397 UU
Pemilu). Tegasnya, PPS
sebagai unsur penyelenggara
pemilu di tingkat
desa/kelurahan pada sistem
rekapitulasi perolehan suara
hasil pemilu tahun 2019
tidak lagi melakukan
rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan
suara di tingkat
desa/kelurahan seperti pada
pemilu tahun 2014. Tugas
PPS hanya (i)
mengumpulkan dan
menyampaikan hasil
penghitungan suara dari
seluruh TPS kepada PPK
(vide Pasal 56 huruf f dan
huruf g UU Pemilu), (ii) PPS
mengumumkan salinan
sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di
wilayah kerjanya dengan
cara menempelkan salinan
tersebut di tempat umum
(vide Pasal 391 UU Pemilu),
dan (iii) PPS membuat berita
acara penerimaan kotak hasil
penghitungan perolehan
suara peserta Pemilu dari
KPPS untuk diteruskan ke
PPK (vide Pasal 392 UU
Pemilu);
4. Bahwa terdapat fakta pada
pelaksanaan pemilu tahun
2014 untuk memilih anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota
di wilayah Kabupaten Bogor
pada pemilu tahun 2014
yang lalu dengan jumlah
peserta pemilu sebanyak 12
(dua belas) partai politik
terjadi permasalah yang
cukup krusial, yaitu berkait
dengan rekapitulasi di
tingkat PPK Kecamatan
Cibinong dan Gunung Putri
yang memakan waktu
selama 7-8 hari dari yang
seharusnya sesuai jadwal
selama 5 (lima) hari
sebagaimana diatur dalam
Peraturan KPU No. 07
Tahun 2012. Penyebab tidak
tepatnya waktu rekapitulasi
disebabkan jumlah TPS pada
2 (dua) kecamatan di atas
berjumlah sebanyak 1.069
TPS dari total TPS se-
Kabupaten Bogor sebanyak
8.891 TPS (Bbukti P-11).
Padahal sistem pemilu saat
itu dikenal dengan istilah
“pemilu 4 (empat) kotak”
dengan peserta pemilu
sebanyak 12 (dua belas)
partai politik serta jumlah
anggota PPK sebanyak 5
(lima) orang masih
mengalami keterlambatan
waktu dalam rekapitulasi
hasil perolehan suara pemilu. Lalu bagaimana dengan
perubahan sistem pemilu
yang dikenal dengan istilah
“pemilu 5 (lima) kotak”
dengan peserta pemilu
bertambah menjadi 16 (enam
belas) partai politik serta
jumlah anggota PPK yang
berkurang menjadi 3 (tiga)
6 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
orang?. Belum lagi
berdasarkan Pasal 9 ayat (3)
Peraturan KPU No. 11
Tahun 2018 yang
menentukan, bahwa jumlah
pemilih per TPS sebanyak
300 (tiga ratus) orang
pemilih yang berimplikasi
bertambahnya jumlah TPS
menjadi sekitar 800.000-an
(delapan ratus ribu-an) yang
akan menjadi basis
rekapitulasi oleh PPK
(https://nasional.sindonews.c
om/read/1235166/12/kpu-
tetapkan-pemilih-300-orang-
di-tiap-tps-1504070517).
Hal tersebut nampak berbeda
dengan pemilu tahun 2014,
dimana jumlah pemilih
setiap TPS sebanyak 500
(lima ratus) orang dengan
jumlah TPS di seluruh
Indonesia berjumlah
sebanyak 478.685 TPS,
sedangkan jumlah
penyelenggaratingkat
desa/kelurahan sebanyak
81.142 PPS yang juga
menjadi basis rekapitulasi
tingkat PPK.
(https.//nasional.kompas.co
m/read/2014/07/10/1338083
1/Rekapitulasi.Suara.KPUJa
ngan.Terpengaruh.Hitung.C
epat.Pilpres);
5. Bahwa berdasarkan uraian
fakta di atas, ke depan pada
pelaksanaan pemilu tahun
2019 sangat potensial
terhambat. Hal itu
disebabkan karena beban
bertambah, namun pada sisi lain jumlah anggota PPK
yang semula berjumlah 5
(lima) kini menjadi 3 (tiga)
orang. Belum lagi pada
pelaksanaan pemilu pada
geografis yang sulit
terjangkau dan minim
fasilitas – seperti di wilayah
Indonesia Timur – tentunya
dapat mengancam ketepatan
waktu dalam tahapan
pemilu, khususnya pada saat
distribusi logistik dan
rekapitulasi perolehan suara
hasil pemilu. Oleh karena
itu, beban tugas yang
diemban oleh PPK dengan
jumlah anggota sebanyak 3
(tiga) orang sebagaimana
diatur dalam Pasal 52 ayat
(1) huruf k UU Pemilu
sangat tidak berdasar dan
potensial dapat mengancam
tidak terlaksananya asas
pemilu sebagaimana diatur
dalam Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945, khususnya asas
jujur dan adil; 6. Bahwa menurut para
Pemohon persoalan
pengurangan jumlah
keanggotaan PPK dalam
pembahasan Rancangan UU
Pemilu bukan sebagai isu
yang krusial diperdebatkan
di DPR bersama Pemerintah,
bahkan wacana pengurangan
itu juga sama sekali tidak
pernah mengemuka ke
publik. Karena itu,
nampaknya pembuat
undang-undang dengan
mereduksi jumlah
keanggotaan PPK
mengalami inkonsistensi
dengan tujuan politik hukum
UU Pemilu sebagaimana
tergambar pada paragraf
terakhir Penjelasan Umum
UU Pemilu yang
menyatakan, bahwa
kelembagaan yang melaksanakan pemilu yang
meliputi KPU, Bawaslu, dan
DKPP kedudukannya
diperkuat dan diperjelas
tugas dan fungsinya serta
disesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan
hukum dalam
penyelenggaraan pemilu.
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
7 ISSN: 2655-4364
Penguatan kelembagaan
dimaksudkan untuk dapat
menciptakan
penyelenggaraan pemilu
lancar, sistematis, dan
demokratis;
7. Bahwa dengan komposisi
keanggotaan PPK yang
berjumlah 3 (tiga) orang jika
dikaitkan dimana dalam
perjalanannya terdapat 1
(satu) orang saja anggota
PPK yang berhenti dan
diberhentikan, maka
menimbulkan masalah dalam
pelaksanaan tugas PPK
dengan 2 (dua) orang
anggota. Hal itu disebabkan
tidak dikenalnya mekanisme
pergantian antarwaktu dalam
hal terjadinya kekosongan
pemangku jabatan level PPK
yang berbeda dibandingkan
dengan adanya kekosongan
pemangku jabatan pada KPU
di semua level dapat
digantikan dengan
mekanisme pergantian
antarwaktu. Karena itu
rumusan jumlah komposisi
keanggotaan PPK sebanyak
3 (tiga) orang lebih besar
aspek mudharat-nya
ketimbang aspek manfaat
untuk melakukan efisiensi
anggaran dengan melakukan
pengurangan komposisi
jumlah keanggotaan PPK
dari 5 (lima) orang pada
penyelenggaraan pemilu
tahun 2014 maupun pilkada
serentak nasional bertahap;
8. Bahwa dari ketentuan tersebut di atas, bahwa
jumlah anggota PPK
sebanyak 3 (tiga) orang
dengan penambahan tugas
dan perubahan sistem pemilu
tentunya dengan jumlah
anggota PPK yang
berkurang akan sangat sulit
mewujudkan prinsip
penyelenggaraan Pemilu
yang profesional, akuntabel,
efektif, dan efisien (vide
Pasal 3 huruf h, i, j, dan k
UU Pemilu). Bahkan
disamping itu, dengan
berkurangnya jumlah
keanggotaan PPK berakibat
berkurangnya ruang bagi
warga negara untuk turut
serta dalam membangun
masyarakat, bangsa, dan
negaranya melalui
pelaksanaan pemilu seperti
sebelum-sebelumnya.
Tegasnya, norma tersebut
juga bertentangan dengan
prinsip pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta
perlakuan yang sama
dihadapan hukum
sebagaimana diatur dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD
1945;
9. Bahwa kendati KPU telah
menetapkan keanggotaan
PPK seluruh Indonesia pada
bulan Maret 2018, namun
menurut para pemohon
bukanlah berarti pintu untuk
menambah jumlah anggota
PPK menjadi 5 (lima) orang
anggota sudah tutup;
10. Bahwa dengan demikian,
beralasan menurut para
pemohon, khususnya
Pemohon I, II, dan VIII, agar
kiranya Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga
negara pengawal dan
penafsir konstitusi, tetapi
juga sebagai pengawal demokrasi dapat membuka
ruang bagi kemaslahatan dan
masa depan demokrasi di
Indonesia dalam pemilu
tahun 2019 agar norma Pasal
52 ayat (1) UU Pemilu agar
berkesesuaian dengan asas
penyelenggaraan pemilu
yang langsung, umum,
8 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
bebas, rahasia, jujur, dan adil
sebagaimana diatur dalam
Pasal 22E ayat (1) UUD
1945, kemandirian
penyelenggara sebagaimana
diatur dalam Pasal 22E ayat
(5) UUD 1945 serta prinsip
keadilan bagi semua
penyelenggara pemilu
sebagaimana dijamin Pasal
28D ayat (1) UUD 1945
sepanjang dimaknai
“sebanyak 5 (lima) orang”.
Bilamana dikaitkan dengan
tahapan dan jadwal
penyelenggaraan pemilu
tahun 2019 sebagaimana
diatur dalam Peraturan KPU
No. 5 tahun 2018, bahwa
tugas yang berkaitan dengan
tugas PPK dalam tahapan
pemilu yang paling dekat
adalah verifikasi faktual dan
syarat dukungan bagi bakal
calon anggota DPD yang
berlangsung pada tanggal 30
Mei s.d. 19 Juni 2018.
Artinya, bahwa proses
pengisian keanggotaan PPK
menjadi 5 (lima) orang
anggota PPK masih
memungkinkan waktunya
demi mewujudkan prinsip
penyelenggaraan Pemilu
yang profesional, akuntabel,
efektif, dan efisien (vide
Pasal 3 huruf h, i, j, dan k
UU Pemilu);
Kesepuluh poin tersebut
menjadi rasionalisasi diajukannya
uji materi khususnya Pasal 52 ayat
(1) ke MK, substansinya adalah pengurangan personel PPK akan
menghambat kinerja yang
mengakibatkan lalainya pelaksanaan
pemilu – yang tidak sesuai dengan
asas pemilu di UUD 45 – di tingkat
kecamatan kebawah.
Meski demikian, pada poin
Tujuh terdapat kekeliruan terkait
model pergantian antar waktu
(PAW) yang disinyalir tak ada di
PPK. Sebenarnya, PPK memakai
model cadangan dari Enam orang,
dengan demikian, Tiga orang yang
tidak terpilih saat seleksi otomatis
akan menjadi peserta yang
dipersiapkan menjadi PAW sesuai
pemeringkatan saat tes rekrutmen
yang terdiri dari seleksi
administrasi, tes tertulis, tes
kompetensi komputer dan
wawancara. Jadi, PPK juga sudah
menggunakan sistem PAW meski
dengan Tiga orang anggota. Sebagai
contoh, di Kecamatan Ciracas
terdapat Lima orang calon anggota
PPK – lebih sedikit dibanding
Sembilan kecamatan lain di Jakarta
Timur yang berjumlah Enam orang
– yang mendaftar, hasil seleksi
memilih Tiga orang menjadi
anggota PPK, Dua lainnya yang
tidak terpilih, otomatis menjadi
pengganti (PAW) apabila peringkat
Satu sampai Tiga berhalangan tetap.
Gambar 1. Pengumuman kelulusan
Anggota PPK (Ciracas) di JakartaTimur
Ketiga anggota PPK terpilih,
seperti pada gambar diatas (Gambar
1.) berdasarkan peringkat Satu
sampai Tiga yakni Fahrur Rohman
(yang berdasarkan pleno internal
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
9 ISSN: 2655-4364
kemudian didampuk menjadi ketua),
Yohana Maris, dan Mukhtar.
Sedangkan Sugiman dan Suherti
menjadi PAW di peringkat Empat
dan Lima. Pada perjalanannya,
terjadi PAW di Ciracas saat Fahrur
Rohman terpilih menjadi
komisioner KPU Jakarta Timur
periode 2018-2023. Secara otomatis
peringkat Empat dan Lima akan
naik menjadi anggota PPK, namun
dikarenakan keduanya pada saat itu
berhalangan tetap, maka sesuai
Pasal 65 ayat (2) PKPU Nomor 3
Tahun 2018 bahwa apabila tidak
tersedianya calon pengganti, bisa
menunjuk masyarakat setempat
yang memenuhi persyaratan.
Dipedomaninya PKPU No 3
tersebut berdampak pada PAW yang
mengambil dari unsur masyarakat
setempat yakni Arief Chan yang
kebetulan menjabat sebagai ketua
Panitia Pemungutan Suara (PPS)
Kelurahan Susukan. Hingga
kemudian personel PPK Ciracas
menjadi Mukhtar sebagai ketua
sekaligus Kelompok Kerja (Pokja)
logistik, sosialisasi dan kampanye.
Yohana Maris sebagai anggota
sekaligus pokja Daftar Pemilih
(Tarlih), dan Arief Chan sebagai
anggota dan pokja Penghitungan
Suara (Tungra.
Selain pengajuan 10 poin
alasan penolakan pengurangan
anggota PPK, para pemohon uji
materi juga mengajukan Titi
Anggraini sebagai saksi ahli. Titi,
yang juga dikenal sebagai aktivis
pegiat pemilu menilai, bahwa pada
pemilu 2019 beban PPK semakin
berlipat. Ia pun menekankan pada saat rekapitulasi suara yang
berjenjang dari TPS ke kecamatan
(PPK).
“Anggota PPK sayangnya,
alih-alih diperkuat akibat
beban yang berlipat dimana
apabila sebelumnya pada
Pemilu 2014 rekapitulasi
suara setelah selesai di TPS
dilakukan di tingkat
kelurahan/desa oleh PPS,
maka untuk Pemilu 2019
langsung melompat ke
tingkat kecamatan oleh PPK.
Pembuat UU sama sekali
mengabaikan beban besar
yang akan ditanggung PPK
akibat pergerakan
rekapitulasi yang langsung
ke tingkat Kecamatan.
Kebijakan Pembuat UU ini
tidak logis dan tidak
menghitung potensi masalah
yang akan timbul di
lapangan terkait dengan
ancaman pada pelaksanaan
pemilu yang jujur dan adil
sebagaimana diamanatkan
oleh konstitusi. Ahli
menyebut tidak logis, sebab
sebagai pembanding Pemilu
2009 dimana pemilu
diselenggarakan untuk
memilih “hanya” 4 posisi
(Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota), anggota
PPK di tingkat Kecamatan
terdiri dari 5 orang. Pada
saat itu rekapitulasi juga
dilakukan di tingkat
kecamatan setelah selesai
penghitungan di tingkat TPS.
Pengaturan yang tidak logis
dalam konteks teknis dan
beban kerja yang akan
ditanggung anggota PPK
bisa mengancam kualitas
pemilu kita akibat pelaksana
pemilu yang tidak mampu
bekerja secara profesional,
akuntabel, dan efektif karena besarnya beban dan
tanggung jawab yang
mereka harus tunaikan bila
dibandingkan dengan daya
dukung sumber daya
manusia yang diberi
kewenangan oleh UU.
Sebagai institusi yang
mandiri dan bertindak
10 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
sebagai regulator pemilu
sudah semestinya KPU
diberi kewenangan untuk
menentukan jumlah anggota
PPK yang akan bekerja
menyelenggarakan Pemilu di
tingkat kecamatan. Undang-
undang bisa saja mengatur
jumlah minimal yang
menjadi standar kerja
minimum bahwa proses
rekapitulasi di TPS bisa
berjalan dengan jujur, adil,
dan profesional sesuai
prinsip penyelenggara
pemilu dalam bekerja
sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 UU Pemilu.
Selain itu pengaturan pasal a
quo menunjukkan
inkonsistensi dan berakibat
ketidakpastian hukum, sebab
untuk penyelenggaraan
pilkada misalnya, untuk
melakukan rekapitulasi satu
atau dua jenis surat suara
(dalam hal pilkada serentak),
UU 1/2015 mengatur bahwa
jumlah anggota PPK adalah
sebanyak 5 (lima) orang. Ini
menambah semakin tidak
logisnya pengatuan jumlah
anggota UU Pemilu.”
Selain penekanan pada saat
rekapitulasi, Titi sebagai ahli juga
merekomendasikan peran KPU
sebagai regulator pemilu untuk
diberi wewenang menetapkan
jumlah PPK, tentunya dengan
dipayungi UU yang menyebutkan
peran tersebut sebagai legitimitas.
Ekspektasi tersebut tentunya tidak mudah, mengingat peran pemerintah
sebagai kontrol kebijakan
monopolistik. Sebagai
perbandingan, dalam uji materi ini,
pemerintah merekomendasikan agar
MK menolak permohonan
pengujian para pemohon seluruhnya
atau setidaknya menyatakan tidak
dapat diterima. Disebutkan dalam
Petitum, bahwa beberapa Pasal
dalam UU Pemilu yang diuji tidak
bertentangan dengan Undang-
undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tetap
mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Sebagai lembaga negara
yang diberi kewenangan menguji
UU, MK mempertimbangkan uji
materi Pasal 52 ayat (1) ini. Salah
satu pertimbangannya yakni terkait
profesionalitas penyelenggaraan
pemilu di tingkat kabupaten/kota
dan kebutuhan manajemen pemilu,
terlebih sesuai UU, PPK
berkewajiban membantu KPU
dalam menyelenggarakan Pemilu.
MK juga memafhumi beban PPK
yang lebih besar saat Pileg 2019
dibanding pemilu sebelumnya
seperti saat penghitungan suara
misalnya. Terlebih lagi dengan
kewajiban PPK lainnya, yang
membantu KPU Kabupaten/Kota
dalam proses pemutakhiran daftar
pemilih yang merupakan bagian dari
jaminan perlindungan hak
dasar/politik warga negara di dalam
sebuah proses penyelenggaraan
pemilu. Berkenaan dengan hal
tersebut, juga terkait tugas,
kewenangan, kewajiban PPK dan
asas pemilu yang pelaksanaannya
mesti dalam sebuah management
election yang rasional dan terukur.
Dalam hal beban kerja saat
penghitungan suara PPK, berikut
pandangan MK dalam
pertimbangnnya (poin 6);
“Bahwa apabila dikaji lebih
jauh, berdasarkan
penghitungan dalam Berita Acara KPU Nomor
112/PL.02.1BA/01/KPU/VII
/2018 tentang Rekapitulasi
Daftar Pemilih Sementara
(DPS) Dalam Negeri,
bertanggal 12 Juli 2018,
terdapat 7.201 kecamatan,
83.370 desa/kelurahan, dan
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
11 ISSN: 2655-4364
801.838 tempat pemungutan
suara (TPS) untuk
pelaksanaan Pemilu Serentak
tahun 2019. Dengan melihat
jumlah kecamatan,
desa/kelurahan dan jumlah
TPS untuk pelaksanaan
Pemilu 2019, pelaksanaan
Pemilu Legislatif dan Pemilu
Presiden/Wakil Presiden
yang diselenggarakan secara
bersamaan, jelas menambah
bobot tugas dan kerja
penyelenggara Pemilu di
tingkat kecamatan. Dengan
bentangan fakta tersebut,
pengurangan jumlah PPK
dari Pemilu 2014 berjumlah
lima orang menjadi tiga
orang dalam Undang-
Undang a quo dapat
dikualifikasi sebagai
rumusan yang tidak rasional
dan tidak terukur.
Perumusan norma yang tidak
rasional dan tidak terukur ini
jelas akan berdampak
terhadap pemenuhan asas
Pemilu yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil yang wajib untuk
dilaksanakan oleh
penyelenggara Pemilu,
termasuk penyelenggara
Pemilu di tingkat
kecamatan;”
MK tentu tak mau
mengambil konsekuensi bahwa
penyelenggaran pemilu tidak sesuai
dengan asas luberjurdil yang
menjadi tolok ukur bangsa, maka itu
pengurangan PPK dikualifikasikan
sebagai rumusan yang tidak rasional dan tidak terukur.
Selanjutnya, pengurangan
anggota PPK sesuai Pasal 52 (1) UU
Pemilu menurut MK menyebabkan
ketidakpastian hukum, yakni dalam
hubungannya dengan ketentuan
jumlah PPK yang diatur UU Nomor
10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi UU
Nomor 10/2016.
“Dimana, dalam pasal 16
ayat (1) UU 10/2016 diatur
bahwa anggota PPK
sebanyak 5 (lima) orang.
Sekalipun rezim hukum
Pemilu dan Pilkada dianggap
berbeda, namun
penyelenggara Pilkada yang
diberi tugas oleh UU
10/2016 untuk melaksanakan
Pilkada adalah
penyelenggara Pemilu yang
dibentuk sesuai dengan Pasal
22E ayat (5) UUD 1945.
Oleh karena itu, struktur
penyelenggara Pemilu dan
Pilkada seharusnya tetap
sama meskipun
melaksanakan mandat dari
dua Undang-undang yang
berbeda. Selain perbedaan
pengaturan mengenai
komposisi anggota PPK
antara UU Pemilu dan UU
10//2016 dapat
menyebabkan ketidakpastian
hukum dalam pelaksana
tugas-tugas PPK, rasionalitas
apakah yang dapat
membenarkan bahwa
pemilihan kepala daerah
yang lebih sederhana
diselenggarakan PPK dengan
jumlah anggota adalah 5
(lima) orang, sementara
untuk Pemilu serentak tahun
2019 yang jauh lebih kompleks junlah anggota
PPK hanya 3 (tiga) orang.”
Selain dalil ketidakpastian
hukum diatas (sesuai dengan poin 7
putusan MK), pengurangan PPK
juga dianggap bertentangan dengan
semangat penyelenggaran pemilu
12 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
sebagaimana dimandatkan Pasal
22E ayat (1) UUD 1945.
Atas seluruh pertimbangan
sebagaimana diurai diatas, MK
akhirnya mengabulkan uji materi
Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu
tersebut, yang dianggap
bertentangan dengan Pasal 22E ayat
(1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 adalah beralasan menurut
hukum.
Berikut redaksi amar
putusan MK;
“Frasa „3 (tiga) orang‟ dalam
Pasal 52 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan
Umum (Lembaran Negara
Repulbik Indonesia Tahun
2017 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6109),
bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai „5 (lima)
orang‟.”
Atas putusan MK ini yang
bersifat final dan mengikat, maka
sudah sewajibnya KPU
melaksanakannya. Sepanjang
pengamatan dan hasil wawancara
penulis dengan narasumber
komisioner KPU Provinsi DKI
Jakarta, hasil putusan tersebut butuh
waktu untuk dijalankan, KPU
tingkat Provinsi dan Kota masih
menunggu arahan KPU Pusat terkait
metode perekrutan PPK secara
teknis.
Pasca putusan MK bagi PPK
Ciracas
Di Ciracas, bagi berbagai
stakeholder kepemiluan, putusan
MK tentu menjadi angin segar
mengingat kompleksnya tahapan
pemilu yang sedang berjalan.
Sebagai catatan, berdasarkan Pleno
PPK Ciracas tanggal 10 April 2018,
jumlah TPS di Ciracas pada Pemilu
2019 sebanyak 787. Terjadi
peningkatan yang cukup signifikan
dimana pada pemilukada DKI
Jakarta 2017 berjumlah 332 TPS.
Gambar 2. Berita Acara Rekapitulasi
Daftar Pemilih Sementara PPK Ciracas
pada Pemilu Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta 2017 (1 April
2017). Jumlah TPS sebanyak 332.
Gambar 3. Berita Acara Rapat Pleno
Penetapan Tempat Pemungutan Suara dan
Daftar Pemilih Awal Pemilihan Umum
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
13 ISSN: 2655-4364
Tahun 2019 PPK Ciracas (10 April 2018).
Jumlah TPS sebanyak 787.
Potensi human error pada
tahapan pemilu seperti distribusi
logistik untuk Panitia Pemutakhiran
Data Pemilih (Pantarlih) begitu
besar. Ini terlihat saat Pokja Logistik
PPK Ciracas kesulitan mendata,
mengkategorisasi dan
mendistribusikan logistik ke PPS
sesuai jumlah Pantarlih atau TPS.
PPK beranggapan, tiga hal yang
menyebabkan ruwetnya proses
tersebut yang pertama karena
peningkatan tajam jumlah TPS,
keterlambatannya distribusi dari
KPU, dan yang tak kalah urgennya
adalah sumber daya (SDM) PPK
yang minim, dimana dengan
turunnya logistik yang tak
terprediksi – kadang dini hari –
datangnya, tidak ada anggota lain
yang bisa dijadikan partner karena
ketidakjelasan waktunya. Di sisi
lain, PPS juga bekerja sampai larut
dengan agenda pemetaan TPS yang
belum maksimal, rekrutmen
Pantarlih dan juga pendataan
logistik yang kadang kurang dan
berlebih.
Bisa dipastikan bahwa
komitmen distribusi logistik yang
tepat waktu dan sasaran tidak
maksimal. Masalah lain yang
muncul akibat kurangnya SDM
adalah koordinator wilayah (korwil)
yang dibentuk guna mengakomodir
dan memonitoring Lima PPS yang
ada di Ciracas, bila sebelumnya,
pada saat Pilkada DKI, PPK masih
berjumlah Lima orang, tentu
pembagian korwil sangat
proporsional dimana Satu anggota
PPK mengkoordinatori Satu PPS – meski di PPK lain kadang lebih
rumit dimana jumlah Kelurahannya
yang lebih dari Lima. Berdasarkan
wawancara dengan Mukhtar ketua
PPK Ciracas, sistem kerja
kepemiluan yang seakan tidak kenal
waktu membuat SDM yang sedikit
semakin carut-marut dan kurang
optimal. Apalagi PPK tidak
mendapatkan alokasi tambahan
personel berupa staf seperti
Panwaslucam, yang sangat berguna
dalam membantu pembuatan
laporan kegiatan rutin, sosialisasi,
dan pendataan. Seperti diketahui
bahwa Tiga anggota Panwaslucam –
yang membawahi masing-masing
Satu orang Panwaslukel di tiap
kelurahan – mempunyai staf Lima
orang, Tiga orang sebagai staf
Tehnis dan Dua orang sebagai staf
pendukung. Padahal, secara umum
pekerjaan PPK lebih kompleks
dibanding Panwaslucam.
Sementara Komisioner
KPUD DKI Jakarta, Nurdin,
beranggapan bahwa beban berat
yang menghantui saat rekapitulasi
suara akan hilang seiring
penambahan jumlah PPK. Saat
rekap suara, menurutnya, akan
sangat membantu dan optimal.
Sebelumnya, diakui banyak protes
dari pegiat pemilu di bawah terkait
pasal 52 ayat (1) ini, apalagi dalam
perjalanannya, ada beberapa tahapan
yang berhimpitan seperti kampanye
dan proses pemutahiran data.
Nurdin pun menambahkan, Partai
politik dan panwaslucam juga pada
awalnya menyayangkan
pengurangan jumlah anggota PPK
yang justru akan membuat
pelaksanaan pemilu kurang optimal.
Bagi Fahrur Rohman, komisioner
KPU Jakarta Timur yang juga
mantan Ketua PPK Ciracas, pegiat
pemilu dibawah bahkan sampai
curhat terkait rumitnya sistem
penyelenggaraan pemilu dengan
SDM minim. Ia pun optimis bahwa dengan putusan MK, khususnya di
Ciracas akan sangat efektif
menyukseskan pemilu 2019. Ia
menekankan pada terbaginya pokja
yang proporsional, satu orang bisa
konsentrasi pada satu pokja yang
diampu.
Dari perspektif
Panwaslucam yang notabene
14 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
sebagai partner kerja PPK di level
kecamatan, seperti halnya yang
diungkapkan Nurdin,
menyayangkan pengurangan PPK
yang dinilai bisa menghambat
kesuksesan pemilu. Hal tersebut
lumrah karena secara tidak
langsung, beban pengawasan
Panwaslucam akan lebih berat
dimana banyak celah yang potensial
terjadi pelanggaran, dari mulai
logistik yang tak tepat sasaran,
hingga data yang tak efektif.
Berdasarkan pengalamannya, ketua
Panwaslucam Ciracas Abdul Hakim
mengatakan, jumlah Tiga orang di
PPK akan menimbulkan
ketimpangan kinerja di Pokja,
senada dengan yang dikatakan
Fahrur Rohman. Sedangkan bila
kembali menjadi Lima orang seperti
saat Pilkada DKI Jakarta, Hakim
menilai akan linier dengan jumlah
komisioner KPU Kota di Jakarta.
Apalagi saat PPK di Ciracas baru
terbentuk, Hakim menggarisbawahi
hanya ada satu orang petahana –
yakni Fahrur Rohman – yang
terpilih, otomatis beban berat PPK
sebagai tim akan berat, terutama
saat momen krusial data pemilih
(dari DPT hingga DPSHP) terutama
koordinasi.
Dari semua narasumber yang
penulis wawancarai, menyambut
positif putusan MK ini dan optimis
kinerja PPK akan optimal dalam
menyukseskan pemilu 2019. Saat
dikonfirmasi bagaimana tindak
lanjut putusan MK ini,
penyelanggara pemilu mulai dari
KPU provinsi hingga PPK kompak
mengatakan bahwa mereka sedang menunggu tehnis resmi berupa
PKPU atau Surat Instruksi dari KPU
RI. Harapannya tentu eksekusi
putusan MK jangan menunggu
waktu yang lama, sebab tahapan
sudah semakin krusial dimana akan
ada penetapan DPT dan Daftar
Calon Tetap (DCT) peserta pemilu.
Kesimpulan
Penelitian yang menganalisis
putusan MK nomor 31/PUU-
XVI/2018 pasal 52 ayat (1) UU No
7 Tahun 2017 terhadap kinerja PPK
Ciracas ini, berkesimpulan bahwa
penambahan PPK adalah
keniscayaan efektifitas
penyelenggaran pemilu di tingkat
kecamatan di Ciracas. Berhasilnya
uji materi di MK yang dilakukan
para pemohon bukan saja
berdampak parsial pada yang
memohon, tetapi punya cakupan
luas terhadap optimalitas demokrasi
di Indonesia. Tidak terbayangkan
bila dengan tehnis sistem pemilu
Empat kotak di Jakarta,
dilaksanakan Tiga orang saja di Satu
kecamatan yang notabene
membawahi Lima sampai Delapan
Kelurahan, dengan total rata-rata
130.000 sampai 330.000 pemilih di
Jakarta Timur.
Tentunya fenomena tersebut
merupakan perkejaan rumah kita
bersama demi penguatan eksistensi
demokrasi. Belum lagi, selain
kendala tehnis, PPK juga dalam
perjalannya berpotensi akan
mendapatkan intimidasi dan protes
keras dari stakeholder pemilu yang
tidak puas terhadap kinerjanya,
mulai dari Panwaslu hingga tim
sukses partai politik, calon anggota
legislatif dan peserta pemilu
lainnya. Kesalahan fatal yang dinilai
berakibat pada kerugian peserta
pemilu, tentu tak bisa ditolerir meski
dengan dalih human error, sebagai
contoh saat Pemilkuda DKI Jakarta
2017 lalu, ada kejanggalan terkait
Surat Keterangan (Suket) di Kelurahan Kelapa Dua Wetan
(KDW). Suket yang diatur sebagai
pengganti Kartu Tanda Penduduk
Elektronik (eKTP) ternyata terdapat
kekeliruan pada saat pencoblosan di
TPS 22 KDW, dimana seharusnya
hanya Suku Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil (Sudin Dukcapil)
yang berwenang secara otoritatif
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
15 ISSN: 2655-4364
mengeluarkannya. Tetapi akibat
ketidaktahuan, eKTP yang
dikeluarkan Lurahlah yang dipakai
mencoblos. Karena kuat aroma
politik dalam pesta demokrasi yang
politis pula, maka, partai politik
yang dirugikan, beranggapan bahwa
ada kesengajaan dan pembiaran
yang terdapat pada proses ini,
alhasil, Ketua Kelompok Panitia
Pemungutan Suara (KPPS) hilir
mudik dipanggil sebagai sakisi ke
kantor Bawaslu Provinsi DKI dan
ke Polda Metro Jaya. Tak sampai
disitu, turunnya faktor kepercayaan
terhadap PPK saat rekapitulasi suara
terkait kasus TPS 22 KDW ini juga
menyebabkan forum alot dan
memanas, sampai kemudian
perwakilan kelurahan dihadirkan di
forum untuk memberikan
keterangan dan klarifikasi, pun
dengan Panwaslucam.
Setelah publikasi media dan
sorotan tajam partai politik terhadap
kasus di KDW, PPK Ciracas dan
KPU JakartaTimur yang
sebelumnya juga diminta klarifikasi
di Polda Metro Jaya menyimpulkan
bahwa kesalahan fatal ini akibat
human error, yang bila ditelisik
lebih lanjut adalah minimnya
pemahaman petugas pemilu di
lapangan, ini tentu akibat bimbingan
tehnis (Bimtek) yang tidak
maksimal. Lagi-lagi, selain
kurangnya kapasitas pemberi
bimtek, juga kurangnya SDM yang
menjadi salah satu faktor
pemicunya.
Kejadian di TPS 22 KDW
itulah yang menurut Fahrur
Rohman, bisa saja terulang bahkan makin banyak bila personel PPK
berkurang. Apalagi, menurut Abdul
Hakim, PPK Ciracas kali ini kurang
optimal mengingat hanya satu orang
saja sebagai petahana yang punya
pengalaman di bidang kepemiluan,
sedangkan dua orang lagi tercatat
sebagai pendatang baru di dunia
kepemiluan. Ini tentu merupakan
preseden yang kurang baik.
Meski putusan MK disambut
baik dan apresiatif, namun masih
ada beberapa masalah yang
mengganjal. Pertama yakni belum
jelasnya implementasi terkait tehnis
penambahan anggota PPK. Sejak
diputuskannya uji materi oleh MK
pada 23 Juli 2018 sampai dengan
penulisan akhir penelitian ini 26
Agustus 2018, belum ada tanda-
tanda dari KPU untuk merevisi
PKPU pasca putusan MK. Terlebih
lagi, masa kerja PPK dan PPS sesuai
Surat Keputusan (SK) KPU hanya
Tujuh Bulan sampai September
2018. Bila kita berpendapat bahwa
butuh waktu lebih untuk menyusun
PKPU tersebut, harus dimaklumi
pula bahwa keadaan dibawah sudah
mendesak dan putusan MK sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan, sesuai dengan
Pasal 47 UU MK No 24 Tahun
2003. Meski desas-desus terdengar
bahwa masa kerja PPK-PPS akan
diperpanjang hingga Desember
2018, dan penambahan PPK mulai
awal Januari 2019, kita tetap
berharap implementasinya secepat
mungkin demi efektifitas tahapan
pemilu.
Kedua, adalah metode
perekrutan Dua orang calon anggota
PPK pasca putusan MK. Seperti
diucapkan Fahrur Rohman, bahwa
metode tehnis ini lebih diharapkan
adalah memaksimalkan peran PAW
yang sebelumnya sudah ada saat
pendaftaran awal, dengan asumsi
bahwa tidak ada rekrutmen ulang
yang memakan waktu seleksi dan biaya lagi ditengah padatnya
tahapan pemilu. Tapi, bila jumlah
PAW dimaksimalkan, akan muncul
masalah baru, yakni tidak adanya
proses rekrutmen ulang yang
memungkin adanya PAW baru
berdasarkan pemeringkatan, belum
lagi bila stok PAW sudah habis
sejak awal seperti yang terjadi di
16 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Ciracas. Bila ada masalah di tengah
jalan, tentu akan sulit mencari
penggantinya, apalagi bila kita
melihat fenomena bahwa
kebanyakan tokoh masyarakat atau
yang pernah punya pengalaman di
kepemiluan, lebih memilih menjadi
bagian dari timses, dengan demikian
otomatis tidak bisa mengikuti
rekrutmen PPK. Kemudian juga
muncul asumsi bahwa PAW akan
diseleksi lagi bersama para
rekrutmen baru untuk menentukan
peringkat, dengan demikian akan
ada hasil siapa yang terpilih dan
menjadi PAW baru. Terpenting, kita
akan menunggu tehnis PKPU
perekrutan dengan mekanisme yang
sederhana dan efisien dengan
harapan tidak menggangu
konsentrasi proses tahapan pemilu
yang sedang berjalan.
Ketiga, yang tidak kalah
pentingnya adalah masalah
anggaran kepemiluan yang sudah
ditetapkan sejak awal. Di kutip dari
CNN, Menteri Dalam Negeri Cahyo
Kumolo menegaskan bahwa pasca
putusan MK, kebutuhan anggaran
membengkak. Ini pun bisa dimaknai
bahwa pembahasan akan cukup alot,
maka bisa saja faktor anggaran yang
membenarkan desas-desus bahwa
putusan MK baru akan
diimplementasikan bulan Januari
2019. Karena rekrutmen PPK bukan
saja faktor honorarium, tetapi juga
anggaran dinas lain dan juga rapat
yang menyesuaikan kuantitas
petugas pemilu.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Arikunto, Suharsimi, Manajemen
Penelitian, Jakarta: Bineka
Cipta, 1995.
Azed, Abdul Bari dan Makmur
Amir, Pemilu & Partai
Politik di Indonesia, Jakarta :
Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005.
Emzir, Metodologi Penelitian
Pendidikan: Kuantitatif dan
Kualitatif, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2008.
Marbun, B.N., DPR RI
Pertumbuhan dan Cara
Kerjanya, Edisi Revisi,
Jakarta : Dep P & K, 2000.
Moleong, Lexi J., Metodologi
Penelitian Kualitatif,
Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 1993.
Dokumen, Jurnal, dan peraturan
perundang-undangan
Berita Acara Nomor 08/BA/PPK-
CRCS/IV/2018 tentang
Rapat Pleno Penetapan
Tempat Pemungutan Suara
dan Daftar Pemilih Awal
Pemilihan Umum Tahun
2019 Se-Kecamatan Ciracas
Berita Acara Nomor 13/PPK-
CRS/IV/2017 tentang
Rekapitulasi Daftar Pemilih
Sementara (DPSHP) dari
Setiap PPS dalm Wilayah
Tingkat Kecamatan Panitia
Pemilihan Kecamatan
Ciracas
Jurnal Bawaslu DKI Jakarta edisi
Maret 2018
Laporan Evaluasi Pelaksanaan
Pemilihan Umum Gubernur
dan Wakil Gubernur
Provinsi DKI Jakarta tahun
2017 Kecamatan Ciracas,
Panitia Pemilihan
Kecamatan Ciracas
Laporan Pelaksanaan Pemutakhiran
Data dan Daftar Pemilih
Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi DKI Jakarta tahun
2017 Kecamatan Ciracas,
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
17 ISSN: 2655-4364
Panitia Pemilihan
Kecamatan Ciracas
Pengumuman KPU Jakarta Timur
Nomor 038/KPU-
Kota/010.324886/II/2018
Tentang Hasil Wawancara
dan Tes Kompetensi
Komputer Seleksi Calon
Anggota Panitia Pemilihan
Kecamatan Pemilihan
Umum Tahun 2019 Di
Lingkungan KPU Kota
Jakarta Timur
Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 3 Tahun 2018
tentang Pembentukan dan
Tata Kerja Panitia Pemilihan
Kecamatan, Panitia
Pemungutan Suara, dan
Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara dalam
Penyelenggaraan Pemilihan
Umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi
nomor 31/PUU-XVI/2018
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah
Konstitusi
Wawancara:
Wawancara dengan Ketua Panwaslu
Kecamata Ciracas, Abdul
Hakim, pada Kamis 2
Agustus 2018, di Sekretariat
Panwaslu Kecamatan
Ciracas.
Wawancara dengan Ketua PPK
Ciracas, Mukhtar, pada
Kamis 2 Agustus 2018, di
Kecamatan Ciracas.
Wawancara dengan Komisioner
KPU Daerah Provinsi DKI
Jakarta, Nurdin, pada Senin
30 Juli 2018, di KPU DKI
Jakarta.
Wawancara dengan Komisioner
KPU Kota Jakarta Timur,
Fahrur Rohman, pada Selasa
30 Juli 2018, di KPU Kota
Jakarta Timur.
18 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
HIERARKI DAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA
Irsyaf Marsal | [email protected]
Fakultas Agama Islam Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
Abstrak
Sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia tentang
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan mengalami pasang surut
sesuai dengan perkembangan konstitusi serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Mengingat perlu adanya pembaharuan hukum agar
sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga hukum bukan hanya sebagai
pelengkap administrasi negara saja akan tetapi juga mempunyai peranan yang
sangat penting dalam memajukan ketatanegaraan Indonesia serta meningkatkan
pembangunan terhadap masyarakat agar lebih berkembang sesuai dengan
tuntutan zaman.
Kata kunci: hierarki, tata urutan, perundang-undangan
Pendahuluan
Sistem hukum nasional
merupakan kesatuan hukum dan
perundang-undangan yang terdiri
dari banyak komponen yang saling
bergantung, yang dibangun untuk
mencapai tujuan negara dengan
berpijak pada dasar dan cita hukum
negara yang terkandung di dalam
Pembukaan dan Pasal-pasal
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
(Mahfud MD, 2010:22).
Dengan demikian, dapat
ditegaskan bahwa pembukaan dan
pasal-pasal UUD 1945 merupakan
sumber dari keseluruhan politik
hukum nasional Indonesia.
Penegasan keduanya sebagai
sumber politik hukum nasional
didasarkan pada dua alasan yaitu:
(1) Pembukaan dan Pasal-Pasal
UUD 1945 memuat tujuan, dasar,
cita hukum dan norma dasar negara
Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum di
Indonesia. (2) Pembukaan dan
Pasal-pasal UUD 1945 mengandung
nilai-nilai khas yang bersumber dari
pandangan dan budaya bangsa
Indonesia yang diwariskan oleh
nenek moyang sejak berabad-abad
yang lalu (Mahfud MD, 2010:23).
Pasal 1 ayat (3) UUD
Negara Republik Indonesia (NRI)
Tahun 1945 secara tegas
menyatakan: ”Negara Indonesia
adalah negara hukum.” Negara
hukum yang dimaksud adalah
negara yang menegakkan supremasi
hukum untuk mewujudkan
kebenaran dan keadilan, dimana di
dalamnya tidak ada kekuasaan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebelumnya, ketentuan yang
menyatakan bahwa Indonesia
Negara hukum hanya terdapat pada
bagian penjelasan. Pada persidangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) amandemen ketiga,
ketentuan yang amat penting ini
dikokohkan kedudukannya dengan
diangkat masuk kedalam pasal 1
UUD 1945. Keberadaan ayat 3 ini,
menjadi landasan konstitusional
bahwa Indonesia adalah Negara
yang berdasarkan atas hukum, juga dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Walaupun secara eksplisit
rumusan tersebut tidak
mencantumkan kata Pancasila,
tetapi karena Pancasila merupakan
dasar negara dan merupakan cita
hukum di Indonesia, maka
keberadaan nilai-nilai Pancasila
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
19 ISSN: 2655-4364
harus diacu oleh negara hukum di
Indonesia. Nilai-nilai Pancasila
(pasal 2 UU no.12 tahun 2011)
inilah yang kemudian menjadi
pembeda dengan konsep rechstaat
dan rule of law (Bernard Arief
Sidharta, 2013:98).
Pada dasarnya terdapat 3
(tiga) prinsip yang harus
dilaksanakan dalam suatu negara
hukum, yaitu (A.V. Dicey, 2008) :
supremasi hukum (supremacy of
law), kesetaraan di depan hukum
(equality before the law) dan
penegakan hukum dengan cara-cara
yang tidak bertentangan dengan
hukum (due process of law). Dalam
pelaksanaannya ketiga hal tersebut
dijabarkan dalam bentuk (Jimly
Asshidiqie, 2004:55) : (1) jaminan
perlindungan hak-hak asasi manusia
(HAM); (2) kekuasaan kehakiman
atau peradilan yang merdeka; dan
(3) legalitas hukum dalam segala
bentuknya (setiap tindakan
negara/pemerintah dan masyarakat
harus berdasar atas dan melalui
hukum).
Mendasarkan hal tersebut,
salah satu sarana untuk mewujudkan
kepastian hukum adalah adanya
peraturan perundang-undangan.
Pengertian Peraturan Perundang-
Undangan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011
adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan
peraturan perundang-undangan
(Pasal 1 angka 2, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011).
Keberadaan peraturan perundang-
undangan menjadi penting dalam
asas legalitas antara lain karena
dalam peraturan perundang-
undangan dikenal adanya asas yang
melingkupinya, adanya
kelembagaan pembentuk dan
pengujinya, serta dikenal adanya
hierarki .
Pembentukan peraturan
perundang-undangan harus
dipersepsikan sebagai salah satu
upaya pembaharuan hukum agar
mampu mengarahkan dan
menampung kebutuhan-kebutuhan
hukum sesuai dengan kesadaran
hukum rakyat yang berkembang ke
arah modernisasi menurut tingkat-
tingkat kemajuan pembangunan di
segala bidang. Dengan demikian
diharapkan akan tercapai ketertiban
dan kepastian hukum sebagai
prasarana yang harus ditunjukkan ke
arah peningkatan terwujudnya
kesatuan bangsa sekaligus berfungsi
sebagai sarana penunjang kemajuan
dan reformasi yang menyeluruh.
Walaupun tidak dimungkiri
bahwa seringkali implementasi dan
penegakan peraturan perundang-
undangan tidak berjalan secara
efektif dan efisien. Dengan kata lain
”daya guna” peraturan perundang-
undangan tidak maksimal untuk
mengatur atau menyelesaikan
permasalahan yang ada. Namun
demikian peraturan perundang-
undang belum sepenuhnya mampu
memecahkan permasalahan; aspek
substansi, meliputi: (1)
materiil/substansi yang terkait
dengan dasar hukum pembentukan
peraturan perundangundangan;
masih adanya keinginan dalam
membentuk peraturan yang tak
sejalan dengan kebutuhan; adanya
disharmoni substansi antara
peraturan yang satu dengan yang
lain, serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan masyarakat yang seringkali terlalu cepat berubah. (2)
Aspek formil/proses pembentukan
peraturan perundangundangan yang
meliputi proses pra legislasi
(kualitas penelitian/ pengkajian,
naskah akademik, penentuan
prioritas Prolegnas, pelaksanaan
rapat antar kementerian dan
harmonisasi), legislasi (mekanisme
20 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
pembahasan di DPR) dan pasca
legislasi (diseminasi/sosialisasi). (3)
Aspek kelembagaan baik yang
terkait dengan kelembagaan
pembentuk undang-undang dan ego
sektoral lembaga
(Enny
Nurbaningsih, 2015).
Permasalahan
Melihat pada latar belakang
di atas, maka permasalahan yang
dibahas pada penelitian ini adalah
mengenai hierarki dan tata urutan
peraturan perundang-undangan
yang pernah berlaku di Indonesia,
dan apa saja yang diatur dalam
ketentuan-ketentuan tersebut dan
permasalahan UU no.12 tahun 2011.
Metode Penelitian
Dalam penulisan ini metode
penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian hukum normatif
(doktriner) atau penelitian hukum
kepusatakaan, karena yang
dilakukan adalah meneliti bahan
hukum pustaka atau data sekunder
belaka untuk mengetahui dan
mengkaji perihal hierarki peraturan
perundang-undangan (Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji,
2006:13-14).
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini ada tiga jenis
yaitu : pendekatan perundang-
undangan (statute approach),
pendekatan historis (historical
approach) dan pendekatan
perbandingan (comparative
approach). Dipergunakan lebih dari
satu pendekatan dalam penelitiaan
ini adalah untuk saling melengkapi
antara satu pendekatan dengan pendekatan lainnya.
Sedangkan bahan hukum
yang digunakan yaitu bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer diartikan
sebagai bahan hukum yang
mengikat seperti norma atau kaidah
dasar misalnya pembukaan UUD
Tahun 1945, dan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan
bahan hukum sekunder yaitu bahan
hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer
(Amiruddin dan Zainal Asikin,
2016:118-119). Dalam penulisan ini
Bahan Hukum primer yang
dipergunakan yaitu UUD Tahun
1945, UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Sedangkan bahan hukum sekunder
yang dipergunakan yaitu buku,
hasil-hasil penelitian, artikel, dan
pendapat pakar hukum.
Pembahasan
1. Hierarki peraturan perundang-
undangan
Dalam perkembangan
ketentuan/peraturan mengenai
hierarkhi atau tata urutan peraturan
perundang-undangan yang pernah
berlaku di Indonesia hingga saat ini
telah mengalami perubahan-
perubahan mengikuti perkembangan
dan kebutuhan bangsa Indonesia.
Indonesia sebagai negara
hukum (Pasal 1 ayat 3, UUD 45)
tentulah harus memiliki peraturan
perundang-undangannya. Dalam
perkembangannya, aturan
perundang-undangan tersebut
terdapat beberapa fase. Hal itu
tidaklah terlepas dari sejarah
Indonesia itu sendiri. Sejarah
memang menentukan hukum suatu
negara, suatu bangsa. Sejarah
memberikan pengetahuan bahwa
pentingnya bagi kita untuk mengkaji
lebih dalam kedalam suatu peraturan
yang diberlakukan pada masanya. Sejauh ini, perubahan tata urutan
perundang-undangan, berkaitan
dengan perubahan rezim
kepemimpinan. Diantaranya masa
kemerdekaan dan orde lama
sebelum dekrit 5 Juli 1959 (UU
No.1 Tahun 1950, UU no.2 tahun
1950, dan Undang-undang Dasar
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
21 ISSN: 2655-4364
Sementara/UUDS tahun 1950 masa
orde lama (Surat Presiden Tanggal
20 Agustus 1959), masa transisi
orde lama-orde baru (Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara/TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966), masa transisi
reformasi (TAP MPR No.
III/MPR/2000), masa reformasi (UU
No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 12
Tahun 2011). Adapun untuk
penjabarannya akan dijelaskan
dibawah ini.
A. Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (KRIS 1949)
Menurut KRIS 1949
perundangan terdiri atas :
- Undang-undang (Federal)
landasan formal
konstitusionalnya adalah
Pasal 127 sampai dengan
Pasal 138;
- Undang-undang Darurat,
landasan formal
konstitusionalnya adalah
Pasal 139 sampai dengan
Pasal 140;
- Peraturan Pemerintah,
landasan formal
konstitusionalnya adalah
Pasal 141.
Pada masa KRIS 1948 ini
dikeluarkan Undang-undang
tahun 1950 nomor 1 tentang
Peraturan-peraturan Pemerintah
Pusat. Dalam UU tersebut
dikatakan bahwa jenis peraturan-
peraturan Pemerintah Pusat
adalah: Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang; Peraturan
Pemerintah; dan Peraturan Menteri (Pasal 1 Undang-undang
tahun 1950 no.1). Tingkat
kekuatan peraturan-peraturan
Pemerintah Pusat ialah menurut
urutannya pada pasal 1 (Pasal 2
Undang-undang tahun 1950
no.1).
Di samping itu dikeluarkan
pula Undang-undang Nomor 2
Tahun 1950 tentang Menetapkan
Undang-undang Darurat tentang
Penerbitan Lembaran Negara
Republik Indonesia Serikat dan
tentang Mengeluarkan,
Mengumumkan dan Mulai
Berlakunya Undang-undang
Federal dan Peraturan
Pemerintah, Sebagai Undang-
undang Federal.
B. Berdasarkan Undang-Undang
Dasar Sementara Tahun 1950
(UUDS 1950) terdiri atas:
- Undang-undang, landasan
formal konstitusionalnya
adalah Pasal 89 sampai
dengan Pasal 95;
- Undang-undang Darurat,
landasan formal
konstitusionalnya adalah
Pasal 96 dan Pasal 97;
- Peraturan Pemerintah,
landasan formal
konstitusionalnya adalah
Pasal 98.
C. Surat Presiden No.3639/Hk/59
Tanggal 26 November 1959
Pada masa berlakunya
Undang-Undang Dasar 1945
dalam kurun waktu 5 juli 1959
sampai dengan 1966 atau masa
orde lama, Presiden Soekarno
dalam suratnya kepada ketua
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
No. 2262/HK/59 Tanggal 20
Agustus 1959 yang selanjutnya
dijelaskan dengan surat Presiden
No.3639/HK/59 Tanggal 26
November 1959, menyebutkan bentuk-bentuk peraturan negara
adalah (Jimly Asshiddiqie,
2007:212-213) :
- Undang-Undang Dasar
- Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah
22 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
- Peraturan Pemerintah
pengganti undang-undang
(Perpu)
- Penetapan Presiden untuk
melaksanakan Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959
- Peraturan presiden
didasarkan pada Pasal 4 ayat
1 UUD 1945, untuk
melaksanakan penetapan
Presiden
- Peraturan Pemerintah untuk
melaksanakan peraturan
Presiden (ini lain daripada
peraturan Pemerintah ex
Pasal 5 ayat 2 UUD 1945)
- Keputusan Presiden untuk
melaksanakan pengangkatan
- Peraturan/keputusan
Menteri.
Di sini tidak dicantumkan
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat
sebagai bentuk peraturan
perundang-undangan karena
menganggap Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat
merupakan perwujudan dari
Undang-Undang Dasar.
D. Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 tahun 1966
tentang Memorandum DPR
Gotong Royong (GR) mengenai
sumber tertib hukum Republik
Indonesia dan tata urutan
peraturan perundangan
Pasal 2 menyebutkan bahwa
Sumber Tertib Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia
tersebut pada pasal 1 berlaku
bagi pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni
dan konsekuen (Pasal 1 :
Menerima baik isi Memorandum
DPR GR tertanggal 9 Juni 1966,
khusus mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan
Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik
Indonesia).
Dalam lampiran Ketetapan
no.XX/MPRS/1966 disebutkan
DPR GR menyampaikan
sumbangan pikiran mengenai
pokok-pokok persoalan yang
langsung atau tidak langsung
menyangkut hidup
ketatanegaraan, dengan tujuan
utama supaya Republik Indonesia
sesungguh-sungguhnya de facto
dan de jure adalah Negara
Hukum yang ditegakkan secara
konsekuen dan diatas landasan
UUD 1945. Sumbangan pikiran
itu meliputi antara lain :
a. Sumber tertib hukum
Republik Indonesia
Pancasila merupakan
sumber dari segala
sumber hukum, sumber
dari tertib hukum sesuatu
negara atau yang biasa
sebagai sumber dari
segala sumber hukum
adalah pandangan hidup,
kesadaran dan cita-cita
hukum serta cita-cita
moral yang meliputi
suasana kejiwaan dan
watak dari rakyat negara
yang bersangkutan.
Perwujudan sumber dari
segala sumber hukum
bagi Republik Indonesia
itu adalah :
- Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945
- Dekrit 5 Juli 1959
- Undang-undang Dasar Proklamasi
- Surat Perintah 11 Maret 1966
b. Tata urutan peraturan
perundang-undangan RI
- UUD 1945
- Ketetapan MPR
- Undang-undang/Perpu
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
23 ISSN: 2655-4364
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya
o Peraaturan
Menteri
o Instruksi
Menteri
o Dll
Pada saat berakhirnya masa
pemerintahan Orde lama dan
memasuki masa Orde Baru,
Presiden Soekarno menyurati
Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR)
untuk perubahan tata urutan
peraturan perundang-undangan.
Kemudian, dikembangkan oleh
DPR-GR dan hasilnya di awal
Orde Baru dengan
dikeluarkannya Ketetapan
Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara
No.XX/MPRS/1966 tentang
memorandum DPR GR
mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia
disingkat TAP
MPRSNo.XX/MPRS/1966.
Dalam lampiran II (pokok
Pikiran IIA) TAP MPRS
tersebut disebutkan Bentuk dan
Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan Republik
Indonesia menurut Undang-
Undang Dasar 1945 :
- Undang-undang Dasar 1945 peraturan
perundang-undangan
yang tertinggi, yang
pelaksanaannya
dengan ketetepan
MPR, atau keputusan
Presiden
- Ketetapan MPR. Menurut TAP MPR
No. I/MPR/1973
tentang Tata Tertib
MPR, bentuk
keputusan MPR ada
dua macam, yaitu
TAP MPR yang
memuat garis-garis
besar dalam bidang
legislatif yang
dilaksanakan dengan
undang-undang dan
TAP MPR yang
memuat garis-garis
besar dalam bidang
eksekutif yang
dilaksanakan dengan
keputusan presiden.
- Undang-undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti
Undang-undang untuk
melaksanakan UUD
atau TAP MPR.
Dalam kepentingan
yang memaksa,
presiden berhak
menetapkan peraturan
sebagai pengganti
undang-undang.
Peraturan ini harus
mendapat persetujuan
DPR. (Pasal 22 ayat 1,
2 dan 3 UUD 1945)
- Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-
aturan umum untuk
melaksanakan
undang-undang
- Keputusan Presiden. Ini merupakan
keputusan yang
bersifat khusus
(einmalig) untuk
melaksanakan
ketentuan-ketentuan
UUD, TAP MPR
dalam bidang
eksekutif atau
peraturan pemerintah
- Peraturan-peraturan pelaksana lainnya
seperti:
o Peraturan
Menteri;
24 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
o Instruksi
Menteri;
o Dan lain-lain-
nya.
Menurut ASS Tambunan
dalam bukunya yang berjudul
MPR, Perkembangan dan
Pertumbuhannya, Suatu
Pengamatan dan Analisis,
mengatakan bahwa bentuk/jenis
peraturan perundang-undangan
yang dimuat dalam TAP MPRS
No.XX/MPRS/1966 diilhami
oleh tulisan Mohammad Yamin
dalam bukunya yang berjudul :
Naskah Persiapan Undang-
undang Dasar, Mohammad
Yamin mengatakan bahwa
bentuk-bentuk peraturan Negara
adalah sebagai berikut:
- UUD 1945
- Dekrit Presiden 5 Juli 1959
- Putusan MPR
- Penetapan Presiden untuk melaksanakan
Dekrit 5 Juli1959
- Peraturan Presiden, peraturan tertulis
untuk mengatur
kekuasaan presiden
berdasarkan pasal 4
ayat (1) UUD 1945
- Keputusan Presiden, peraturan tertulis
untuk menjalankan
Peraturan Presiden
atau Undang-Undang
di bidang
pengangkatan /
pemberhentian
personalia
- Surat keputusan presiden, penentuan
tugas pegawai
- Undang-Undang
- Peraturan pemerintah untuk melaksanakan
Penetapan Presiden
- Peraturan pemerintah untuk pengganti
Undang-Undang
- Peraturan pemerintah untuk menjalankan
Undang-Undang
- Peraturan dan keputusan penguasa
Perang
- Peraturan dan keputusan Pemerintah
Daerah
- Peraturan tata tertib dewan dan
peraturan/keputusan
dewan. Yang di
maksud dengan
Dewan misalnya
MPR, DPR, Dewan
Menteri, DPA, dan
Dewan Perancang
Nasional.
- Peraturan dan keputusan Menteri,
yang di terbitkan atas
tanggungan seorang
atau bersama Menteri.
Dari hal tersebut di atas,
seperti yang disebutkan oleh
Mohammad Yamin,
menempatkan Putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat
(Ketetapan MPR) berada
diurutan ketiga setelah UUD
1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Dari inilah awal mulanya
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat
dimasukkan kedalam peraturan
perundang-undangan di
Indonesia yang kemudian
dicantumkan kedalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara
No.XX/MPRS/1966.
E. Ketetapan MPR
no.III/MPR/2000 tentang sumber
hukum dan tata urutan peraturan
perundang-undangan
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
25 ISSN: 2655-4364
Pengertian Sumber hukum
menurut ketetapan MPR ini
adalah sumber yang dijadikan
bahan untuk penyusunan
peraturan perundang-undangan
yang terdiri atas sumber hukum
tertulis dan tidak tertulis.
Pancasila adalah sumber hukum
dasar nasional sebagaimana yang
tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia,
dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh
Rakyat Indonesia, dan batang
tubuh Undang-Undang Dasar
1945 (pasal 1 ayat 3 Ketetapan
MPR no.III/MPR/2000).
Tata urutan peraturan
perundang-undangan merupakan
pedoman dalam pembuatan
aturan hukum di bawahnya. Tata
urutan peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia
adalah (pasal 2 C. Ketetapan
MPR no.III/MPR/2000) :
- Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik
Indonesia;
- Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (Perpu);
- Peraturan Pemerintah;
- Keputusan Presiden;
- Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan
ini, maka Ketetapan MPRS
Nomor XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR GR
mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No
III/MPR/2000 yang menyebutkan
tata urutan peraturan perundang-
undangan menempatkan
kedudukan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat berada
diurutan kedua setelah UUD
1945. Ketetapan tersebut
merupakan perubahan dari
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat
Sementara No.XX/MPRS/1966.
Dikatakan bahwa sumber hukum
dasar nasional adalah Pancasila.
F. Undang-undang no. 10 tahun
2004 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan
Dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan tidak lagi
menempatkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dalam
jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-Undangan. Memang
betul pada Pasal 7 dinyatakan
bahwa “Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud ayat (1)
diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi”, serta kemudian juga
dijelaskan lagi dalam Penjelasan
Pasal 7 ayat (4), tetapi harus
dikatakan bahwa status hukum
tetaplah tidak jelas.
Adanya ketidakpastian
terhadap eksistensi ketetapan
26 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang
masih berlaku tersebut
keberadaannya tidak lagi diakui
pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat
cenderung mengabaikan
ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang
masih berlaku tersebut baik
dalam proses pembentukan
undang-undang maupun dalam
perumusan kebijakan negara.
Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 telah mengandung
kesalahan yang sangat mendasar.
Akibat kesalahan ini maka
Ketetapan MPR RI No
I/MPR/2003 menjadi tidak jelas
statusnya. Di masa dulu,
pelanggaran terhadap ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
bisa mengakibatkan jatuhnya
memorandum DPR yang
berujung pada impeachment,
tetapi pasca amandemen UUD
1945 langkah politik semacam
itu tidak bisa lagi digunakan.
Sebab, Pasal 7A UUD 1945
menyatakan bahwa impeachment
terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden hanya bisa dilakukan
apabila Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau melakukan
perbuatan tercela, dan atau
apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Padahal ada 11 (sebelas)
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang
sangat penting dan krusial jika
diabaikan, apalagi dilanggar.
Disana ada TAP MPRS No
XXV/MPRS/1966 tentang
Pembubaran Partai Komunis
Indonesia (PKI), TAP MPR No
XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, Pembagian,
dan Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional yang Berkeadilan, Serta
Perimbangan Keungan Pusat dan
Daerah dalam Kerangka NKRI,
TAP MPR No VII/MPR/2001
tentang Visi Indonesia Masa
Depan, TAP MPR No
IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam,
TAP MPR No VI/MPR/2001
tentang Etika Kehidupan
Berbangsa, dan TAP-TAP MPR
lainnya yang sangat penting dan
strategis. Tapi semuanya tidak
ada sanksi dan konsekuensi
apapun baik secara hukum,
politik, maupun manakala
dilanggar. Seperti halnya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang
tidak jadi dibentuk sehingga
pelanggaran HAM seperti Kasus
1965, Tanjung Priok, Lampung,
Kasus Orang Hilang, dan
sebagainya kehilangan modus
dan instrumennya untuk
menyelesaikannya. Sebab, modus
dan instrument yang sangat bijak
seperti yang diamanatkan oleh
TAP MPR No V/MPR/2000
diabaikan.
Pasca terbitnya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan,
keberadaan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat menjadi tidak jelas. Karena
dalam undang-undang ini posisi
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat
dikeluarkan dari hirarki peraturan
perundang-undangan di
Indonesia. Nasib Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang berjumlah 139 buah
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
27 ISSN: 2655-4364
menjadi tidak jelas status
hukumnya. Namun, kondisi ini
berakhir setelah DPR dan
Pemerintah telah sepakat
memasukkan kembali Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
ke dalam hirarki peraturan
perundang-undangan. Hal ini
terungkap dalam Rapat Panitia
Khusus revisi Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004. Sehingga
dari rapat tersebut, Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004
dibahas kembali dalam sidang
DPR sehingga direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Dalam
undang-undang terbaru hasil
revisi ini Ketetapan MPR(S)
kembali dicantumkan dalam tata
urut peraturan perundangan
Indonesia.
Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum negara
sedangkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan hukum
dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan
Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan adalah
sebagai berikut (Pasal 7 Undang-
undang no. 10 tahun 2004) :
- Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia
Tahun 1945;
- Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah. o Peraturan
Daerah
provinsi
o Peraturan
Daerah
kabupaten/kot
a
o Peraturan
Desa/peraturan
yang setingkat,
Dalam UU no.12 tahun 2004
pengertian hierarki adalah
penjenjangan setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan
yang didasarkan pada asas bahwa
peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih
tinggi
G. Undang-undang no. 12 tahun
2011 tentang Pembentukan
peraturan Perundang-undangan
Dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 memuat
tentang ketentuan baru, yakni
masuknya kembali Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
dalam hierarki dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam
pasal 7 ayat (1) disebutkan
bahwa hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri dari
(Pasal 7 ayat 1 UU no. 12 tahun
2011) :
- UUD 1945
- Ketetapan MPR
- Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
(Perpu)
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah Propinsi dan
- Peraturan Daerah Kabupaten.
Dari pasal di atas, Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
menduduki posisinya yang benar
dalam sistem hukum di Indonesia
28 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
dan kembali menjadi sumber
hukum formal dan material.
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat harus
kembali menjadi rujukan atau
salah satu rujukan selain UUD
1945 bukan hanya dalam
pembentukan perundang-
undangan di Indonesia,
melainkan juga dalam
pembentukan kebijakan-
kebijakan publik lainnya. DPR
dan Pemerintah (Presiden)
mutlak harus memperhatikan
ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang
masih berlaku, bahkan merujuk
kepadanya dalam pembentukan
undang-undang dan peraturan
perundang-undangan di
bawahnya.
Pancasila merupakan sumber
segala sumber hukum
negara.sedangkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang-undangan.
Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan sesuai
dengan hierarki maksudnya
penjenjangan setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan
yang didasarkan pada asas bahwa
Peraturan Perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Dengan berlakunya undang-
undang ini maka Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
4389), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Menurut A. Hamid S.
Attamimmi, yang dimaksud
peraturan perundang-undangan
ialah Setiap peraturan atau
ketetapan atau keputusan dalam
bentuk tertulis yang dikeluarkan
dan ditetapkan oleh alat-alat
perlengkapan Negara yang
berwenang dan mengikat umum
(Alwi Wahyudi, 2012:301).
Bentuknya yang tertulis ini yang
membedakan peraturan
perundangan dengan hukum adat.
Hans Kelsen mengemukakan
teorinya tentang jenjang norma
hukum/stufentheorie, dimana
norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-
lapis dalam suatu hierarki tata
susunan dimana norma yang
lebih rendah berlaku, bersumber,
berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi sampai pada suatu
norma yang tidak dapat ditelusuri
lebih lanjut dan bersifat hipotesis
dan fiktif, yaitu norma
dasar/groundnorms (Alwi
Wahyudi, 2012:305).
Jadi Peraturan yang lebih
rendah tingkatannya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi tingkatannya.
Maksudnya Peraturan Menteri
tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Presiden. Peraturan
Presiden tidak boleh
bertentangan dengan Undang-
Undang. Undang-Undang tidak
boleh bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Hal
ini berdasarkan asas “Undang-
undang yang dibuat oleh
penguasa yang lebih tinggi
mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi pula”. Apabila terdapat pertentangan antara
peraturan yang lebih rendah
terhadap peraturan yang lebih
tinggi, maka dapat diajukan uji
materi. Adapun kewenangan uji
materi dimilki oleh dua lembaga
yaitu Mahamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung, letak
perbedaannya ialah :
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
29 ISSN: 2655-4364
- Apabila ada Undang-undang yang
bertentangan dengan
Undang-Undang
Dasar maka yang
berwenang menguji
ialah Mahkamah
Konstitusi/MK.
- Apabila ada peraturan perundang-undang di
bawah undang-undang
yang bertentangan
dengan Undang-
Undang maka yang
berwenang menguji
ialah Mahkamah
Agung/MA.
2. Permasalahan Undang-undang
no. 12 tahun 2011
Undang-undang No.12
Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan ini
menggantikan undang-undang
sebelumnya yakni UU No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Meskipun demikian UU No. 12
Tahun 2011 pada kenyataannya
masih memunculkan beberapa
permasalahan hukum, antara lain :
A. Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12
Tahun 2011, yang memasukkan
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dalam
urutan kedua setelah UUD NRI
Tahun 1945, maka apabila ada
UU yang bertentangan dengan
Ketetapan MPR atau ada
Ketetapan MPR yang
bertentangan dengan UUD NRI
Tahun 1945, belum diatur
mekanisme pengujiannya.
Untuk mengatasi masalah ini
yang memungkinkan adalah
mekanisme pengujiannya melalui
Mahkamah konstitusi. Alasannya
bahwa dalam hierarki peraturan
perundang-undangan Ketetapan
MPR terletak di bawah UUD
NRI Tahun 1945 dan di atas
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, padahal pengujian
terhadap Undang-Undang yang
bertentangan dengan UUD NRI
Tahun 1945 melalui Mahkamah
Konstitusi, sehingga logis jika
pengujian terhadap Ketetapan
MPR adalah melalui Mahkamah
Konstitusi, bukan ke Mahkamah
Agung karena Mahkamah Agung
diperuntukkan bagi pengujian
peraturan di bawah Undang-
Undang yang bertentangan
dengan Undang-Undang (Pasal 9
Ayat (1) dan (2)).
B. Pasal 8 Ayat (1) UU No.12
Tahun 2011 diatur mengenai
jenis Peraturan Perundang-
undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1)
diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan. Dengan demikian
hampir semua lembaga negara
juga berwenang untuk
mengeluarkan peraturan yang
diakui secara sah.
Permasalahannya, kedudukannya
lebih tinggi yang mana antara
Peraturan Perundangan-undangan
yang dibentuk oleh lembaga
negara tersebut jika
dipersandingkan dengan jenis
Peraturan Perundangan-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal
7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun
2011, misalkan sebagai dasar
hukum lebih tinggi mana
kedudukannya antara Peraturan Bank Indonesia dengan Peraturan
Pemerintah, karena dalam
praktek sering terjadi hal yang
demikian, sedangkan dalam UU
No. 12 Tahun 2011 belum ada
penjelasannya lebih lanjut.
Alternatif penyelesaian dari
permasalahan ini, pertama, yang
harus dilihat apakah peraturan
30 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
tersebut dibentuk berdasarkan
perintah dari peraturan
perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan. Kalau peraturan
tersebut dibentuk diluar kriteria
tersebut, maka peraturan tersebut
dapat dikesampingkan, artinya
kedudukannya lebih tinggi dari
jenis peraturan yang ada dalam
hierarki peraturan perundang-
undangan. Kedua, dengan
menggunakan asas-asas hukum
umum, misalnya : lex specialis
derogat lex generalis, bahwa jika
peraturan yang mengatur hal
yang merupakan kekhususan dari
hal yang umum (dalam arti
sejenis) yang diatur oleh
peraturan yang sederajat, maka
berlaku peraturan yang mengatur
hal khusus tersebut dan lex
posterior derogat lex priori,
bahwa dalam hal peraturan yang
sederajat bertentangan dengan
peraturan sederajat lainnya
(dalam arti sejenis), maka
berlaku peraturan yang terbaru
dan peraturan yang lama
dianggap telah dikesampingkan.
C. Terkait dengan Peraturan Menteri
secara hukum diakui
keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan (Pasal 8
UU No.12 Tahun 2011). Dalam
prakteknya banyak daerah dalam
membentuk perda tidak mengacu
pada Peraturan Menteri bahkan
cenderung diabaikan dengan alasan tidak masuknya jenis
Peraturan Menteri dalam jenis
dan hierarki peraturan
perundang-undangan di
Indonesia.
Solusinya Peraturan Menteri
harus diakui dan dijadikan
pedoman dalam pembentukan
Peraturan Daerah.
D. Kedudukan Peraturan daerah
Kabupaten/Kota dibawah
Peraturan Daerah Provinsi dalam
tata urutan peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 Ayat (1) UU No.
12 Tahun 2011, sebagai
konsekuensinya apakah sebelum
dibentuk Perda Kabupaten/Kota
harus terlebih dahulu ada Perda
Provinsinya. Dalam praktek ada
provinsi yang tidak
memperbolehkan perda
(kabupaten) tertentu dibuat
dengan alasan perda provinsinya
belum ada.
Penyeleseaian yang dapat
diambil adalah pembentukan
Perda Kabupaten/Kota tidak
harus menunggu adanya Perda
Provinsi. Hal ini harus dipahami
oleh pihak Provinsi dan
Kabupaten/Kota, jangan sampai
karena Perda Provinsi belum
mengatur lantas Perda
Kabupaten/Kota tidak
diperbolehkan, sehingga dapat
mengganggu penyelenggaraan
otonomi daerah.
Simpulan
1. Hierarki dan tata urutan
perundang-undangan yang
pernah berlaku di Indonesia
antara lain adalah:
a. Masa Kemerdekaan dan
orde lama sebelum dekrit
Presiden 5 Juli 1959
- KRIS 1949 pasal 127 s/d pasal 141
- Undang-undang tahun 1950 no.1 tentang
Peraturan-peraturan
Pemerintah Pusat.
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1950
tentang Menetapkan
Undang-undang
Darurat tentang
Penerbitan Lembaran
Negara Republik
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
31 ISSN: 2655-4364
Indonesia Serikat dan
tentang
Mengeluarkan,
Mengumumkan dan
Mulai Berlakunya
Undang-undang
Federal dan Peraturan
Pemerintah, Sebagai
Undang-undang
Federal.
- Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950 pasal 95
s/d 98
b. Masa orde lama setelah
dekrit Presiden 5 Juli
1959
- Surat Presiden No.3639/Hk/59
Tanggal 26 November
1959
c. Masa Orde Baru
- Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966
tahun 1966 tentang
Memorandum DPR
GR mengenai sumber
tertib hukum Republik
Indonesia dan tata
urutan peraturan
perundangan
d. Masa Reformasi
- Ketetapan MPR no.III/MPR/2000
tentang sumber
hukum dan tata urutan
peraturan perundang-
undangan
- Undang-undang no. 10 tahun 2004 tentang
pembentukan
peraturan perundang-
undangan
- Undang-undang no. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan
peraturan Perundang-
undangan
2. Masih adanya permasalahan
yang muncul dari UU No.12
Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang
memerlukan pembenahan
lebih lanjut untuk
menghindari permasalahan
hukum yang mungkin
muncul dikemudian hari
Saran
1. Perlu dilakukan pengaturan
mengenai mekanisme
pengujian terhadap
Ketetapan MPR,
memasukkan Peraturan
Menteri dalam hierarki
peraturan perundang-
undangan, dan memberikan
penjelasan lebih lanjut
tentang kedudukan peraturan
selain dalam hierarki
peraturan
perundangundangan.
2. Pengaturan dan penjelasan
tersebut bisa dilakukan
dengan cara melakukan
perubahan atau amandemen
terhadap UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-
undangan
Daftar Pustaka
Buku:
Amiruddin dan Zainal Asikin,
Pengantar Metode
Penelitian Hukum, Edisi
Revisi, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2016.
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok
Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi,
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
A.V. Dicey, Pengantar Studi
Hukum Konstitusi (Terjemahan dari
Introduction to the Study of
32 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
the Constitution), Bandung :
Nusamedia, 2008.
MD, Mahfud, Membangun Politik
Hukum Menegakkan
Konstitusi, Jakarta :
Rajawali Pers, 2010.
Soekanto, Soerjono dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif, suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006.
Wahyudi, Alwi, Hukum Tata
Negara Indonesia dalam
Perspektif Pancasila Pasca
reformasi, Pustaka Pelajar,
2012
Peraturan perundang-undangan
Ketetapan MPR no. III/MPR/2000
tentang sumber hukum dan
tata urutan peraturan
perundang-undangan
Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 tahun 1966
tentang Memorandum DPR
GR mengenai sumber tertib
hukum Republik Indonesia
dan tata urutan peraturan
perundangan
Surat Presiden No.3639/Hk/59
Tanggal 26 November 1959
Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945
Undang-undang Dasar Sementara
Tahun 1950
Undang-undang Nomor 2 Tahun
1950 tentang Menetapkan
Undang-undang Darurat
tentang Penerbitan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Serikat dan tentang
Mengeluarkan,
Mengumumkan dan Mulai Berlakunya Undang-undang
Federal dan Peraturan
Pemerintah, Sebagai
Undang-undang Federal.
Undang-undang no. 10 tahun 2004
tentang pembentukan
peraturan perundang-
undangan
Undang-undang no. 12 tahun 2011
tentang Pembentukan
peraturan Perundang-
undangan
Undang-undang Tahun 1950 no.1
tentang Peraturan-peraturan
Pemerintah Pusat
Makalah
Enny Nurbaningsih, Arah
Pembangunan Hukum
Nasional (disampaikan di
depan peserta Diklat
Lemhanas Jakarta, selasa 23
Juni 2015.
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
33 ISSN: 2655-4364
PERAN LEMBAGA MUSYAWARAH KELURAHAN DALAM
MENDUKUNG TUGAS POKOK DAN FUNGSI RUKUN WARGA DI
KELURAHAN GALUR
Rizal | [email protected] & Mohammad Siddiq | [email protected]
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara lebih mendalam
tentang bagaimana peranan Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) dalam
mendukung tugas pokok dan fungsi Rukun Warga (RW) di Kelurahan Galur,
Johar Baru Jakarta Timur, dalam memberikan informasi atau program yang
diturunkan oleh pemerintah daerah untuk kemajuan seluruh masyarakat.
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif
analisis, terkait pengumpulan data, yang dipakai adalah wawancara mendalam
dan studi pustaka.
Hasil Penelitian berdasarkan data yang didapatkan di lapangan bahwa
peranan LMK di masyarakat pasif sejak tahun 2016, hal tersebut dikarenakan
Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) sudah tidak digulirkan
lagi oleh Pemerintah Daerah, sehingga masyarakat menganggap LMK
kehilangan fungsinya.
LMK masih dapat menjalankan fungsi dengan Lurah untuk
mensosialisasikan kebijakan Pemerintah Daerah tentang pedoman Rukun
Tetangga (RT) dan RW berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 171
Tahun 2016, dari hasil sosialisasi Pergub, RT dan RW sudah memahami
bagaimana Tugas dan Fungsi dalam menjalankan amanat yang diemban dari
masyarakat, dan bisa bekerjasama dengan pihak kelurahan dalam hal
administrasi pelayanan masyarakat.
Kata kunci: Lembaga Musyawarah Kelurahan, LMK, Rukun Warga, Kelurahan
Galur
PENDAHULUAN
Perencanaan pembangunan
bukanlah hal yang baru di
Indonesia, karena sistem ini dimulai
sejak kemerdekaan. Hal ini
dilandasi oleh pemikiran parah ahli
ekomoni dan politik nasional waktu
itu bahwa pembangunan ekonomi
dan sosial tidak dapat diserahkan
kepada mekanisme pasar (Market
Mechanism) saja sebagimana banyak dilakukan oleh negara-
negara yang menganut paham
ekomoni liberal. Susuai dengan
Undang-undang Dasar 1945,
pemerintah mempunyai peranan
penting dalam pengendalian
ekomoni dan proses pembangunan
nasional dan daerah. Namun
demikian peranan pemerintah
(Government Intervention) perlu
dilakukan secara sistematis melalui
pelaksanaan sistem perencanaan
pembangunan. (Sjafrizal, 2016:8).
Tujuan pembangunan Nasional
bangsa Indonesia adalah melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia, untuk mewujudkan tujuan tersebut
dilaksanakan pembangunan
nasional, yaitu pembangunan negara
Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat
seluruhnya
Dalam rangka menjalankan
amanat Pasal 25 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2007
34 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia, telah ditetapkan
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun
2010 tentang Lembaga Musyawarah
Kelurahan (LMK).
Lahirnya LMK sejalan dengan
akan berakhirnya masa bhakti
Dewan Kelurahan (Dekel) periode
2006-2011. Peralihan dari Dekel
menjadi LMK bukan hanya
perubahan nama, namun
menyangkut beberapa hal yang
berbeda antara dua lembaga
kemasyarakatan tersebut. LMK
merupakan lembaga musyawarah
pada tingkat kelurahan yang
bertujuan untuk membantu Lurah
dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan untuk
menampung aspirasi serta
meningkatkan partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat.
Lembaga Musyawarah
Kelurahan (LMK) diharapkan
menjadi forum dan media bagi
masyarakat untuk : Menyampaikan
aspirasi, LMK berperan aktif dalam
penampung aspirasi masyarakat
dengan kebijakan pemerintah daerah
yang disampaiakan melalui forum
LMK bersama Lurah; Penggerak
partisipasi, LMK dapat
menggerakan partisipasi masyarakat
pada saat kegiatan pembangunan
secara menyeluruh sebelum
mencapai hasil yang maksimal
seperti yang diharapkan, atau tidak
sesuai dengan yang direncanakan;
Solidaritas masyarakat, LMK dapat
menjadi penggerak untuk peduli
dengan lingkungan disekitarnya kepada masyarakat dalam hal
terjadinya musibah atau bencana;
Pemberdayaan masyarakat, dengan
adanya PPMK (Program
Pemberdayaan Masyarakat
Kelurahan) maka LMK dapat
menyalurkan PPMK dengan 2 bina
yaitu bina fisik dan bina sosial;
Penyelesaian masalah sosial
kemasyarakatan dapat kita lihat
seringnya terjadi tawuran antar
warga maupun antar wilayah yang
masih banyak kita jumpai di daerah
Kelurahan Galur umumnya
Kecamatan Johar Baru; Perumusan
usulan kebutuhan masyarakat yang
perlu dibantu oleh pemerintah, yaitu
dengan adanya Musrembang,
masyarakat dapat mengusulkan
langsung apa yang dibutuhkan
diwilayahnya; Mensosialisasikan
peraturan perundang-undangan dan
program lainnya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-
undangan serta menjamin
tercapainya tujuan pembanguna di
Provinsi DKI Jakarta.
Pemberdayaan masyarakat
sebagai upaya transformasi sosial
dan penguatan ekonomi rakyat
menjadi tema sentral dalam
pembangunan Jakarta.
Pembangunan yang mengabaikan
aspirasi warga dan berorientasi pada
kebijakan bersifat top down
seringkali menimbulkan penolakan
atau penentangan dari warga. Oleh
karena itu keterlibatan lembaga
kemasyarakatan termasuk LMK
memiliki peranan penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
(Perda Nomor.5 Tahun 2010).
Keberadaan lembaga
masyarakat bertujuan untuk
mempercepat masyarakat yang
tertib, aman dan sejahtera. Selain itu
juga bertujuan untuk meningkatkan
potensi masyarakat agar lebih
inovatif dan kreatif sehingga dapat
berkarya sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki oleh masyarakat.
Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, dikenal dengan
istilah Rukun Tetangga dan Rukun
Warga atau dengan singkatan RT
dan RW, yang merupakan suatu
lembaga kemasyarakatan yang
berada di wilayah kelurahan atau
desa. Organisasi Rukun Tetangga
dan Rukun Warga tidak disebut dan
tidak termasuk dalam sistem
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
35 ISSN: 2655-4364
pemerintahan, dan pembentukannya
adalah melalui musyawarah
masyarakat setempat dalam rangka
pelayanan kemasyarakatan yang
ditetapkan oleh Kelurahan. Rukun
Tetangga dan Rukun Warga
dipimpin oleh Ketua RW dan Ketua
RT keduanya dipilih oleh warga
sekitar RW maupun sekitar RT.
Dewasa ini banyak pemilihan Ketua
RT dan RW di Indonesia yang di
modelkan mirip Pemilihan Presiden
atau Pemilihan Kepala Daerah yaitu
dengan pemungutan suara.
Kemudian pengadaan forum
pertemuan rutin RT dan RW yang
sangat membantu bagi pemerintaan
khususnya untuk sosialisasi
berbagai program pemerintah.
Belum lagi berbagai kegiatan yang
mereka laksanakan terkait dengan
pembinaan kehidupan sosial seperti
pengadaan kegiatan posyandu,
poskamling, pengadaan dana sosial
dan Kematian hingga penggalian
potensi swadaya masyarakat guna
menunjang kegiataan yang di
selanggarakan oleh pemerintah.
Berbagai persoalan yang
dikemukakan diatas, merupakan
sebuah masalah menarik untuk
dikaji. Atas dasar inilah peneliti
mengangkat permasalahan adalah:
Bagaimana LMK meningkatkan
partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat di Kelurahan Galur?
Bagaimana LMK mensosialisasikan
kebijakan pemerintah daerah di
Kelurahan Galur?
METODE
Penelitian ini merupakan
penelitian Kualitatif dengan
pendekatan deskriptif (Descriptive
Research). Dalam tipe kualitatif
lebih mengutamakan kualitas data
dan analisis terhadap fenomena
yang saling berhubungan. Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang
lebih mengutamakan segi kualitas
data, yaitu menggunakan waktu
yang lebih lama dan keterlibtan
yang lebih besar. (Sugiyono,
2017:103).
Instrumen Penelitian yang
digunakan adalah instrument
pedoman wawancara dan pedoman
pengamatan. (Sujarweni, 2014:76).
Dalam penelitian ini peneliti
melalukan observasi langsung
dengan turun kantor Kelurahan
Galur Lantai 3 di Jalan Galur Jaya
No.36, Jakarta Pusat, sebagai tempat
bekerjanya Lembaga Musyawarah
Kelurahan (LMK). Wawancara
dilakukan untuk memperoleh data
atau informasi sebanyak mungkin
dan jelas mungkin kepada subjek
penelitian. Teknik dokumentasi
digunakan untuk mengumpulkan
data dari sumber non-insani.
Sumber itu terdiri dari dokumen dan
rekaman. Teknik Analisis Data yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis domain dan
taksonomi.
Dalam pengecekan data peneliti
menggunakan teknik pemeriksaan
keabsahan data triangulasi Dengan
menggunakan teknik ini peneliti
dapat membandingkan data hasil
pengamatan dengan data hasil
wawancara, membandingkan apa
yang dikatakan orang di depan
umum, dengan apa yang dikatakan
secara pribadi, membandingkan apa
yang dikatakan orang-orang tentang
situasi penelitian dengan apa yang
dikatakannya sepanjang waktu
penemuan hasil penelitian beberapa
teknik pengumpulan data dan
pengecekan derajat kepercayaan
beberapa sumber data dengan
metode yang sama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peranan LMK dalam
meningkatkan partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat di
Kelurahan Galur
Pembentukan Lembaga
Musyawarah Kelurahan ini
diharapkan menjadi motor pengerak
36 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
bagi masyarakat dalam membantu
Kelurahan untuk meningkatkan
persatuan dan kesatuan, pelayanan,
pemberdayaan dan pembangunan
dalam lingkup komunitas
masyarakat Kelurahan menuju
masyarakat yang sejahtera.
Adapun Program-program yang
diturunkan dari Pemeritahan
Provinsi DKI Jakarta pada tahun
2015, yang disebut PPMK (Program
Pemberdayaan Masyarakat
Kelurahan) ada 2 bina: Kegiatan
Bina Fisik terdiri dari: Perbaikan
Pos RW, Perbaikan Pos Ronda/ Pos
Keamanan, Pengadaan Pintu
gerbang Gang, Penomoran Rumah
warga; dan Kegiatan Bina Sosial
terdiri dari: Pelatihan Tata Boga,
Pelatihan Satpam, Pelatihan
Komputer, Pelatihan service HP,
Pembuatan SIM A dan C
Dari kegiatan bina fisik
sebanyak 7 RW terlaksana semua
program tersebut sedangkan bina
sosial sebanyak 77 Orang dapat
mengikuti pelatihan tersebut. Tetapi
pada tahun 2017 semua kegiatan
bina fisik dan bina sosial ditiadakan
karena kegiatan tersebut sudah
diserahkan oleh sektoral masing-
masing ditingkat Walikota Jakarta
Pusat melalui Musrembang yang
setiap usulan dari bawah/masyarakat
diajukan melalui RT/RW lalu
dibawa ke tingkat Kelurahan lalu di
seleksi pada tingkat Kecamatan
kemudian disahkan pada tingkat
walikota Jakarta Pusat.
Lembaga Musyawarah Kelurahan
(LMK) berdasarkan Peraturan
Daerah (PERDA) Nomor 5 Tahun
2010.
Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2010 Tentang Lembaga
Musyawarah Kelurahan (LMK).
DPRD dan Gubernur DKI Jakarta
memutuskan dan menetapkan
peraturan daerah tentang Lembaga
Musyawarah Kelurahan (LMK)
dapat kita kaji didalam pada Bab I
Ketentuan Umum, Bagian Kedua
Tujuan terdapat pada Pasal 2 yang
berbunyi yaitu :
LMK merupakan lembaga
musyawarah pada tingkat
kelurahan yang bertujuan untuk
membantu Lurah sebagai mitra
dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan untuk
menampung aspirasi serta
meningkatkan partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat.
(Perda DKI Jakarta No. 5,
2010:3)
Perda No.5 tahun 2010, Pada
Bab V Tugas, Rapat-rapat dan
Pimpinan LMK, Bagian Kesatu
tentang Tugas pada Pasal 11. LMK
mempunyai tugas sebagai berikut:
Menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat kepada Lurah;
Memberikan masukan dalam rangka
meningkatkan partisipasi; Menggali
potensi untuk menggerakan dan
mendorong peran serta masyarakat;
Menfinformasikan kebijakan
Pemerintah Daerah kepada
masyarakat; Ikut serta dalam
menyelesaikan masalah Kelurahan;
Membuat rancangan kerja tahunan;
dan Menyusun Tatat Tertib LMK.
Adapun LMK mempunyai fungsi
sebagai berikut: Mendengarkan
aspirasi masyarakat;
Memformulasikan apa yang
didengar menjadi program.
LMK mensosialisasikan
kebijakan Pemerintah Daerah
tentang pedoman RT dan RW di
Kelurahan Galur.
Pada Tahun 2016 keluar
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 171 Tentang Pedoman
Rukun Tetangga dan Rukun Warga
maka peran Lembaga Musyawarah
Kelurahan (LMK) dan Lurah dapat
mensosialisasikan ditingkat
kelurahan dari 7 RW dan 84 RT
diundang oleh pihak Kelurahan
dilantai 3, sebagai narasumber dari
acara sosialisasi yaitu LMK dari
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
37 ISSN: 2655-4364
hasil sosialisasi pergub tersebut, RT
dan RW dapat mendapatkan
hasilnya yaitu: RT dan RW adalah
mitra dari Lurah dalam hal
penyelenggaran urusan
pemerintahan, pembangunan, sosial
kemasyarakatan; Tatacara
persyaratan dan pemilihan RT dan
RW; Masa bhakti RT dan RW
hanya 3 Tahun dari ditetapkan oleh
panitia pemilihan ditingkat RW dan
dikeluarkan surat pengesahan dari
Lurah Galur; RT dan RW hanya
dapat dipilih kembali oleh
masyarakat hanya 2 periode saja;
Persyaratan untuk menjadi Ketua
RT dan RW adalah Tokoh
Masyarakat, berusia minimal 25
tahun, sekurang-kurangnya
berdomisili diwilayah RT dan RW
tersebut, bukan PNS dan
TNI/POLRI kecuali sudah tidak
bekerja lagi atau pensiun.
Dari hasil sosialisasi pergub,
RT dan RW sudah memahami
bagaimana Tugas dan Fungsi RT
dan RW dalam menjalankan amanat
yang diembankan dari masyarakat
dan bisa bekerjasama dengan pihak
kelurahan dalam hal administrasi
pelayanan masyarakat, Kegiatan
kesehatan masyarakat, Kegiatan
lingkungan dan data keluarga serta
Kegiatan keamanan lingkungan:
Lembaga Musyawarah
Kelurahan (LMK) dapat melihat
bahkan membantu dalam kegiatan
kesehatan masyarakat yang rutin
dilaksanakan setiap bulannya di
wilayah RW, Posyandu Balita,
Posyandu Lansia dan Posbindu,
PSN (jumantik) setiap bulannya.
Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) juga mempunyai peran
dikegiatan lingkungan seperti
kerjabakti dan siskamling/ronda
untuk menjaga lingkungan agar
tidak terjadi bentrok antar
warga/tawuran karena wilayah
khususnya Galur dan Umumnya
Johar Baru masih sering terjadi
tawuran antar warga yang
mengakibatkan kerugian dikedua
belah pihak.
Tugas Pokok dan Fungsi Rukun
Warga (RW) dalam meningkatkan
pelayanan masyarakat di
Kelurahan Galur. Dalam Peraturan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 171 Tahun 2016
Tentang Pedoman Rukun Tetangga
(RT) dan Rukun Warga (RW) pada
Bab II tentang Kedudukan, Maksud,
Tujuan pada Pasal 3 ayat 1 yang
berbunyi yaitu:
(1) Maksud dibentuknya Rukun
Tetangga (RT) / Rukun Warga
(RW) adalah untuk membantu
Lurah dalam pelaksanaan
penyelenggaraan urusan
pemerintahan, pembangunan,
sosial kemasyarakatan dan
pemberdayaan masyarakat.
Tugas Pokok dan Fungsi Rukun
Warga (RW) berdasarkan Peraturan
Gubernur Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Nomor 171 Tahun
2016 tentang Pedoman Rukun
Tetangga (RT) dan Rukun Warga
(RW) di Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, pada Bab IV
Keanggotaan Bagian Ketiga Tugas,
Fungsi dan Kewajiban RT dan/atau
RW Pasal 18 dan Pasal 19.
RT/RW mempunyai tugas
membantu Lurah dalam
penyelenggaraan urusan
pemerintahan, sosial
kemasyarakatan dan pemberdayaan
masyarakat (Pasal 18 (Tugas)).
Pendataan Kependudukan dan
pelayanan administrasi
pemerintahan lainnya; Pemeliharaan
keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga; Pembuatan
gagasan dalam pelaksanaan
pembangunan dengan
mengembangkan aspirasi dan
swadaya murni masyarakat; dan
Penggerak swadaya gotong royong
dan partisipasi masyarakat di
wilayahnya (Pasal 19 (Fungsi)).
38 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Struktur Baku Rukun Warga
(RW). Rukun Warga (RW) sebagai
lembaga kemasyarakatan dan mitra
Pemerintah Daerah, memiliki
peranan sangat besar dalam
memelihara dan melestarikan nilai-
nilai kehidupan kemasyarakatan
yang berdasarkan swadaya,
kegotong royongan dan
kekeluargaan, dalam rangka
meningkatkan, ketentraman dan
ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu
untuk mewujudkannya maka sangat
di perlukan sistem keorganisasian
yang handal sesuai dengan tugas
dan fungsinya, berikut tugas dan
fungsi kepengurusan RW: Ketua
Rukun Warga (RW); Sekretaris;
Bendahara; Seksi Keamanan dan
Ketertiban; Seksi Kesejahteraan
Masyarakat; Seksi Kewanitaan dan
Pembinaan Keluarga; Pemuda dan
Olah Raga.
KESIMPULAN
Dari penelitian dan pembahasan
tentang peranan Lembaga
Musyawrah Kelurahan (LMK)
dalam mendukung tugas pokok dan
fungsi Rukun warga (RW) di
Kelurahan Galur Kecamatan Johar
Baru Jakarta Pusat, peneliti
mencoba membuat kesimpulan
antara lain: Pengusulan program,
program yang diusulkan tokoh
masyarakat yang berhimpun dalam
LMK, harus merupakan usulan dari
masyarakat yang telah dilihat, dan
disaksikan urgensinya. Selain itu,
telah di musyawarahkan di
lingkungan mereka sehingga
menjadi program bersama yang
diusulkan dan diperjuangkan. LMK mendorong partisipasi
masyarakat untuk ikut serta menjaga
keamanan dan ketertiban. dalam
mengantisipasi dan menjaga
keamanan dan ketertiban. Ini amat
diperlukan mengingat jumlah aparat
keamanan masih terbatas
jumlahnya.
LMK bekerjasama dengan
unsur masyarakat dalam kebersihan
lingkungan, masalah ini penting
karena belum semua masyarakat
menyadari pentingnya
menjaga kebersihan
lingkungan. Masih banyak
masyarakat yang belum terbiasa
membuang sampah pada
tempatnya. Selain itu, masih
banyak yang tidak peduli kepada
kesehatan lingkungan dengan
merokok di sembarangan tempat,
membuang puntung rokok,
membiarkan genangan air di parit
atau tong-tong bekas sehingga
menjadi sarang nyamuk. Begitu
juga, membiarkan lingkungan
rumah kotor, yang menimbulkan
bau busuk dan penyakit. Masalah
tersebut harus menjadi perhatian
ketua dan seluruh anggota LMK
dengan memberi pencerahan dan
penyadaran kepada masyarakat
supaya berpartisipasi menjaga
lingkungan yang bersih.
Berperan dalam mendorong
terbangunnya kehidupan yang
harmonis dan damai
dilingkungannya. Masalah ini
semakin penting karena tawuran
warga semakin menjadi
kecenderungan masyarakat terutama
anak-anak muda. Dalam masalah
ini, pencegahan agar tidak terjadi
tawuran warga sangat penting dan
mendesak. Salah satu cara untuk
mencegah supaya tidak terjadi
tawuran ialah mengembangkan
kebiasaan silaturrahim warga dan
dialog. Semua modal sosial di
masyarakat harus didayagunakan
dalam upaya mencegah terjadinya tawuran.
LMK merupakan kepanjang
tanganan Pemerintahan Kelurahan
dalam mensosialisasikan setiap
Undang-Undang, Peraturan
Gubernur, Keputusan Gubernur
maupun Intruksi Gubernur atau
Himbauan Walikota, Camat,
maupun Lurah kepada Rukun
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
39 ISSN: 2655-4364
Warga (RW) dan Rukun Tetangga
(RT) di wilayah masing-masing.
Masih adanya anggota LMK yang
tidak mengetahui tugas pokok dan
fungsi LMK sebagai mestinya di
masyarakat. LMK dan RW terdapat
perbedaan atau kesalahpahaman
mengenai kebijakan-kebijakan di
wilayah. Pendekatan LMK dan
Masyarakat masih dirasakan tidak
menyatu dengan keinginan dari
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Sjafrizal, Perencanaan
Pembangunan Daerah Dalam
Era Otonomi. Cetakan Ke-3,
RajaGrafindo Persada,
Jakarta, Jakarta, 2016.
Rahayu, Ani Sri, Pengantar
Pemerintahan Daerah,
Cetakan Pertama, Sinar
Grafika. Jakarta, 2018.
Winardi, Teori Organisasi &
Pengorganisasian, Cetakan
11, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2016.
Thoha, Miftah, Prilaku Organisasi,
Konsep Dasar dan
Aplikasinya, Cetakan 23,
Rajawali Pres, Jakarta. 2017.
Hardjana Andre, Komunikasi
Organisasi, Stategi dan
Kompetensi, Kompas Media
Nusantara, Jakarta, 2016.
Fahmi Irham, Manajemen Kinerja,
Teori dan Aplikasi, Cetakan
keempat, Alfabeta, Bandung,
2015.
Herabudin, Studi Kebijakan
Pemerintah, dari Filosofi ke
Implementasi, Cetakan 1,
Pustaka Setia, Bandung, 2016.
Umam Khaerul, Manajemen
Organisasi, Cetakan ke-2,
Pustaka Setia, Bandung, 2015.
Syarifin Pipin dan Jubaedah Dedah,
Pemerintahan Daerah di
Indonesia, Pustaka Setia,
Bandung, 2010.
_________, Buku Pemerintahan
Daerah dan Organisasi
Perangkat Daerah. Edisi
Terbaru, Fokusindo Mandiri,
Bandung, 2010.
Gunawan Imam, Metode Penelitian
Kualitatif, Teori dan Praktek,
Cetakan Kelima, Bumi
Aksara, Jakarta, 2017.
Sugino, Metode Penelitian
Kombinasi, Cetakan ke-9,
Alfabeta, Bandung, 2017.
Sujarweni, Wiratna, Metodologi
Penelitian Lengkap, Praktis,
dan Mudah Dipahami,
Pustaka Baru, Yogyakarta,
2014.
Moleong. Metode Penelitian
Kualitatif.Cetakan ke 37.
Rosda, Jakarta: 2017.
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok
Metodelogi Penelitian Dan
Aplikasinya, Pustaka Jaya,
Bogor: 2016.
Sumber Lain:
Peraturan Daerah Pemerintahan
Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 5
Tahun 2010 Tentang Lembaga
Musyawarah Kelurahan.
Peraturan Gubernur Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 171 Tahun 2016
Tentang Pedoman rukun
Tetangga dan Rukun Warga.
40 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN GUBERNUR
NOMOR 164 TAHUN 2016 TENTANG PEMBATASAN LALU LINTAS
DENGAN SISTEM GANJIL GENAP (STUDI KASUS DI JALAN
THAMRIN SAMPAI JALAN JENDERAL SUDIRMAN)
Didin Asyari Muhtadin | [email protected]
Dahri Zaenal | [email protected]
Wiara Dwi Anggraeni | [email protected]
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana Implementasi
Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Nomor 164 Tahun 2016, yakni
tentang pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil genap yang diterapkan di
Jalan Muhammad Husni Thamrin sampai Jalan Jendral Sudirman. Peneliti
dapat memperoleh pemahaman mengenai tingkat kemacetan sekitar Jalan
Thamrin sampai Jalan Jenderal Sudirman pada saat diberlakukannya kebijakan
tersebut, maupun sebelum diberlakukan kebijakan yang saat ini diterapkan oleh
pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Peneliti dalam hal ini tentu mengharapkan dan ingin mendapatkan
khazanah pengetahuan, mengenai arah kebijakan khusus dalam mengatasi
kemacetan di ibu kota Jakarta. Juga hasil penelitian tentang implementasi
kebijakan ini, dalam upaya penanggulangan kemacetan di Ibu Kota Jakarta
yang kemudian dapat menjadi indikator, serta contoh praktis bagi kota-kota
besar lainnya, sebagai upaya mengendalikan kemacetan.
Kata kunci: Peraturan Gubernur, Pembatasan lalu lintas, Ganjil-genap,
Kemacetan
Pendahuluan
Jakarta merupakan ibu kota
Negara Republik Indonesia, kota
terbesar dan berpenduduk terpadat.
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52
km² daratan, serta mempunyai luas
lautan 6.977,5 km², dengan penduduk
berjumlah 10.37 Juta Jiwa Tahun
2017 menurut BPS. Sebagai pusat
bisnis, politik, dan kebudayaan,
Jakarta merupakan tempat berdirinya
kantor- kantor pusat Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), perusahaan
swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan
lembaga-lembaga pemerintahan dan
kantor sekretariat ASEAN, dilayani
oleh dua bandar udara, Bandara
soekarno Hatta serta Bandara Halim
Perdana Kusumah. (Agustinus
subekti dkk, 2009).
Pada tahun 2003, Gubernur
Jakarta waktu itu Sutiyoso
mengeluarkan Keputusan Gubernur
Nomor 4104 tertanggal 23 Desember
2003 Tentang Penetapan, Kawasan
Pengendalian Lalu lintas dan
Kewajiban mengangkut paling
sedikit 3 Orang Penumpang
perkendaraan atau lebih yang lebih
di kenal dengan kebijakan 3 in 1
(three in one) dan kebijakan ini
bertahan sampai tahun 2017.
Bagi pemilik Kendaraan
pribadi, berkendaraa di Jakarta saat
jam sibuk bukanlah suatu
kenikmatan, karena selain bensin yang terbuang percuma juga waktu
panjang yang harus terbuang sia-sia,
terutama khususnya di jalan
Thamrin-Sudirman sebagai jalan
protokol pusat pemerintahan.
Kebijakan pembangunan
transportasi massal lainya yang
sedang berlanjut sampai sekarang
adalah pembuatan Mass Rapid
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
41 ISSN: 2655-4364
Transit (MRT), Peraturan Daerah
(Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor
3 Tahun 2008, tentang pembentukan
Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), PT. MRT, dan Light Rail
Transit (LRT), Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 98 tahun 2015.
Dikeluarkannya Pergub No.
164 tahun 2016, Tentang
Pembatasan Lalu Lintas dengan
Sistem Ganjil Genap maka,
kebijakan baru Pemerintah DKI
Jakarta untuk mengatasi kemacetan
Jakarta terutama jalan-jalan protokol,
tentu merupakan masalah baru bagi
warga Jakarta karena dengan adanya
pembatasan kendaraan yang
melewati jalan-jalan protokol.
Jakarta bukanlah satu-
satunya negara yang menerapkan
system ganjil genap, jauh sebelum
itu kota Beijing dan kota Guangzou
di negara Republik Rakyat Cina
(RRC), sudah menerapakan sistem
ganjil genap. Persiapan itu di mulai
sejak Cina di tetapkan sebagai tuan
rumah olympiade 2008.
Dalam menyiapkan sistem
ganjil genap, Beijing dan Guangzou
mengkaji masyarakatnya secara
mendalam. Mereka tidak hanya
turunkan ahli transportasi tetapi
mereka juga menurunkan ahli
antropolog untuk melihat prilaku
masyarakat siap atau tidak , dan Cina
menerapkan sistem ini dengan
sukses dan berhasil
memberlakukannya karena
persiapannya sudah matang dan
pemerintahannya sudah
mempersiapkan sarana dan prasarana
transportasi publik yang bagus.
Alat-alat dan jalur-jalur transportasi sudah dipersiapkan
dengan matang termasuk jalur
sepeda, bus, KRL, dan jalur
pedestrian. Sehingga kota Beijing
dan kota Guangzou berhasil
menerapkan sistem ganjil genap
untuk menekan kemacetan di negara
Cina.
Sedangkan kota-kota yang
gagal menerapkan sistem ganjil
genap adalah kota Athena di Yunani,
kota Meksiko di Meksiko, dan kota
Solo di Indonesia. Pada umumnya
kota-kota yang gagal menerapkan
sistem ini karena mereka belum siap
dari segi insfrastruktur maupun dari
segi pengganti transportasi
publiknya.
Berdasarkan uraian diatas
maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul
“Implementasi Kebijakan Peraturan
Gubernur Nomor 164 tahun 2016
tentang Pembatasan Lalu Lintas
dengan Sistem Ganjil Genap (Studi
Kasus di Jalan Thamrin sampai Jalan
Jenderal Sudirman).
Rumusan masalah
Dari uraian di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Implementasi
Peraturan Gubernur Provinsi
DKI Jakarta Nomor 164
tahun 2016 Tentang
Pembatasan Lalu lintas
dengan Sistem Ganjil genap?
2. Sejauh mana tingkat
kemacetan di Jakarta
khususnya daerah sekitar
jalan Thamrin sampai Jalan
Sudirman setelah
diberlakukan kebijakan
tersebut di atas?
Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti
membatasi masalah penelitian yang
akan di pusatkan, yakni hanya
sebatas Jalan Thamrin sampai Jalan
Sudirman.
Landasan teori
1. Teori implementasi
Definisi implementasi
menurut Pressman dan
Wildavsky sebagai pelopor
studi implementasi adalah;
Implementasi
dimaknai dengan beberapa
42 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
kata kunci sebagai berikut:
untuk menjalankan beberapa
kebijakan (to carry out),
untuk memenuhi janji-janji
sebagaimana dikatakan dalam
dokumen kebijakan (to
fulfill), untuk menghasilkan
output sebagaimana
dinyatakan dalam tujuan
kebijakan (to produce), untuk
menyelesaikan misi yang
harus di wujudkan dalam
tujuan kebijakan (to
complete) (Purwanto dan
Sulistyawati 2015 : 20-21).
2. Teori Kebijakan
Kebijakan sebagai
ilmu pengetahuan secara
filosofis dapat membuktikan
kehadirannya baik secara
ontologis, epistimologis,
maupun secara aksiologis.
Pandangan yang menganggap
bahwa persoalan pokok
implentasi hanyalah tentang
bagaimana melakukan
command and control, tidak
dapat dilepaskan dari
paradigma yang dipakai oleh
para ahli untuk memahami
dan menjelaskan
problematika, implementasi
yang ada. Para ilmuan
administrasi publik
cenderung berpendapat
persoalan implentasi
hanyalah persoaalan
administrasi dan manajemen
(administrative and
management).
Metode penelitian
Metode penelitian adalah
tatanan atau struktur cara-cara
bagaimana melaksanakan suatu
penelitian dengan berdasarkan
prosedur atau teknik penelitian
tertentu yang telah dianggap paling
sesuai oleh peneliti. Penulis akan
menggunakan jenis deskriptif
kualitatif.
Data kualitatif adalah data
yang dapat diinput tentang
fenomena/kejadian apa yang dialami
oleh subjek penelitian. Pendekatan
kualitatif adalah suatu proses
penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang
menyelidiki suatu penomena sosial
dan masalah manusia.
Tempat dan waktu penelitian
Lokasi dan waktu penelitian,
dalam penelitian ini sebagai berikut:
Lokasi Penelitian ini di
laksanakan di sekitar lokasi Jl. MH
Thamrin sampai Jl. Jendral Sudirman
Jakarta Pusat dan Direktorat Lalu
lintas Polda Metro Jaya Subdit
Gakkum Jl. MT. Haryono Jakarta
Timur.
Waktu Penelitian yang di
laksanakan di lokasi sekitar Jl. MH.
Thamrin sampai Jl. Jendral Sudirman
dilaksanakan selama 8 Minggu atau
2 bulan berjalan tahun ajaran (2017-
2018).
Teknik Pengumpulan Data
Suharismi Arikunto
menyatakan obyek penelitian
merupakan ruang lingkup atau hal-
hal yang menjadi pokok persoalan
dalam suatu penelitian. Berdasarkan
penjelasan pakar di atas maka
disimpulkan obyek penelitian adalah
ruang lingkup yang merupakan
pokok persoalan dari suatu
penelitian.
1. Data primer
Data primer yang
diperoleh dalam penelitian
yang didapat dengan cara
melakukan tanya jawab, dan pengamatan secara langsung
atau wawancara dan
diperoleh melalui pertanyaan-
pertanyaan yang sesuai
dengan fokus penelitian yang
dipersiapkan peneliti.
Peneliti melakukan
wawancara
mendalam dengan
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
43 ISSN: 2655-4364
Sub Direktorat
Penegakkan
Hukum Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya AKBP.
Budiyanto, S. Sos.M.H.
2. Data sekunder
Data sekunder
diperoleh melalui beberapa
sumber informasi antara lain:
Dokumen-dokumen, buku
ilmiah hasil penelitian, dan
media massa yang relevan
dengan fokus peneliti, serta
internet.
Tahapan-Tahapan Penelitian Tahapan-tahapan penelitian ini
sebagai berikut:
1. Merumuskan
Rancangan Penelitian
2. Menentukan
Lapangan Penelitian
3. Mengurus Perizinan
4. Memasuki lapangan
5. Dll.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Obyek penelitian yang
dilaksanakan peneliti terletak di
daerah elite kawasan Jakarta Pusat
yang merupakan jalan Protokol
negara yaitu Jl.M H. Thamrin - Jl.
Jendral Sudirman. Obyek ini
diambail karena dengan alasan-alasan
letak geografis peneliti lebih dekat
dengan jalan tersebut, serta dilihat
aspek volume kendaraan yang
beroperasi setiap harinya lebih tinggi
dari pada jalan-jalan protokol yang
terkena ganjil genap lainnya, Jl.MH.
Thamrin – Jl. Jendral Sudirman
merupakan jalan kawasan
percontohan, kawasan tertib
lalulintas di ibu kota.
Pertumbuhan jumlah
kendaraan di ibu kota memang tidak
sebanding dengan ruas jalan yang
ada, akibatnya, kemacetan terjadi di
mana-mana. Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta tidak tinggal diam,
berbagai cara dan sistem dilakukan
oleh Pemprov, untuk mengatasi
kemacetan di Jakarta.
Pada tahun 2003, Gubernur
Sutiyoso, mengeluarkan Keputusan
Gubernur Nomor 4104 Tentang
Penetapan, Kawasan Pengendalian
Lalu Lintas dan Kewajiban
mengangkut paling sedikit 3 Orang
Penumpang perkendaraan atau lebih.
Dikenal dengan kebijakan three in
one di ruas Jl. protokol ibu kota.
Seiring berjalannya waktu
kebijakan three in one sudah tidak
relevan lagi lantaran kemacetan
masih kerap terjadi di jalan-jalan
yang diterapkan, dengan serangkaian
uji coba demikian maka, dengan
dihapusnya kebijakan three in one
membuat tingkat kemacetan
meningkat hingga 24,35% waktu
jarak tempuh pun jauh lebih lama
dari 3,5 menit per kilo meter menjadi
6 sampai 7 menit per kilo meter.
Hasil wawacara Peneliti
dengan Kasubdit Gakkum Dirlantas
Polda Metro Jaya pada hari Rabu
tanggal 31 Oktober 2018, bahwa
kebijakan Ganjil genap merupakan
kebijakan transisi dari kebijakan
yang lalu yaitu kebijakan Three in
One, tetapi sebelum kebijakan yang
sebenarnya yang akan diterapkan
oleh pemda yaitu kebijakan ERP
(Elektonik Road Passing), yaitu
kebijakan jalan berbayar yang kini
kebijakannya masih dalam proses,
karena melihat kebijakan three in
one sudah tidak relevan lagi dengan
arus lalu lintas saat itu, maka untuk
mengatasi kemacetan ibu kota
diterapkanlah kebijakan Pergub
No.164 tahun 2016 yaitu kebijakan
tentang Pembatasan Lalu lintas
dengan Sistem Ganjil genap.
Berdasarkan keterangan dari kasubdit gakkum tersebut kebijakan
ganjil-genap dalam penerapannya
cukup bagus terbukti di jalur-jalur
ganjil genap arus lalulintas efektif
lancar dan peningkatan kecepatan
kendaraan meningkat.
Dampak yang timbul dari
kebijakan ganjil genap
44 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Kebijakan peraturan ganjil
genap yang diterapkan oleh
pemerintah dki Jakarta yang saat ini
masih berjalan dan di nyatakan
berhasil dalam penerapannya di saat-
saat jam sibuk yang di berlakukan di
jalan-jalan protocol, yang telah di
tentukan tentu akan sangat
berdampak positif karena jalanan
menjadi sangat lancar, dan
masyarakat menengah kebawah
mulai mengalihkan perhatian untuk
menggunakan sarana moda
transportasi umum, karena mereka
tidak mau berjam-jam di jalan hanya
untuk mencapai tujuan.
Selain dampak positif
kebijakan ini tentu juga dapat
menimbulkan dampak negatif karena
jalanan menjadi lancar pada jalan-
jalan yang diterapkannya sistem
ganjil genap, akan tetapi, tidak
demikian di jalan-jalan protokol ibu
kota yang tidak di terapkan sistem
tersebut seperti di jalanan alternatif
di sekitar Jl. Thamrin – Jl. Jendral
Sudirman di antaranya yakni Jl.
Penjernihan I pejompongan menuju
arah Jl. Jendral Sudirman, maupun
arah tanah abang jalanan mengalami
kemacetan, dan kepadatan lalu lintas
di jam-jam yang di tetapkan ganjil
genap.
Kemudian Jalanan dari arah
Manggarai menuju arah Jl. Jendral
Sudirman maupun menuju arah
pejompongan mengalami kemacetan,
dan ini tentu dilihat dari faktor
sosiologis akan berdampak negatif.
Dari data-data yang diperoleh
dari Kasubdit Gakkum tersebut,
maka peneliti menemukan beberapa
hal dalam penelitian yang menjadi kajian dalam proses penelitian,
bahwa semenjak disosialisasikan dan
uji coba yang dilakukan, sampai
diberlakukannya, hingga saat ini di
lapangan kebijakan dengan sistem
ganjil genap masih sangat relevan
diterapkan walaupun sudah berjalan
selama dua tahun pelaksanaannya,
akan tetapi masih terdapat titik-titik
kemacetan di jalur-jalur alternatif
lain yang mengakibatkan dampak
negatif dari system tersebut,
sehingga masyarakat yang memiliki
nomor kendaraan di luar jalur yang
telah di tetapkan dapat mencari jalan
alternatif yang tidak menimbulkan
kemacetan dan ini perlu di carikan
solusinya.
kebijakan yang diterapkan
oleh pemerintah dengan pembatasan
dengan sistem ganjil genap ini,
sampai saat ini masih sangat relevan
untuk di terapkan, karena dengan
berbagai pertimbangan dan kajian,
penerapan ganjil genap masih sangat
efektif dalam mengatasi kemacetan
di jalur yang diterapkan ganjil genap,
di ibu kota yang didukung dengan
data-data, dan adanya hasil kajian
ada beberapa indikator yang
mengarah pada perubahan situasi
yang cukup bagus dan hasilnya
positif yaitu;
1. Adanya peningkatan
kecepatan rata-rata kendaraan
di jalur Ganjil genap terutama
jalur Thamrin Sudirman
hingga 37 - 44%
2. Waktu tempuh lebih cepat
menurun rata-rata 23%
3. Kesadaran Masyarakat
menggunkan angkutan umum
trans Jakarta meningkat
hingga 40% dari 2,8 juta
menjadi 4 juta penumpang
4. Kenaikan jumlah penumpang
PPD meningkat sebesar 29%
5. Kenaikan jumlah penumpang
bus sinar jaya sebesar 6%
6. Penurunan emisi kendaraan
sebesar 15%
7. Penurunan terhadap konsentrasi Carbon di Oksida
sebesar 1,7%
8. Penurunan terhadap
konsentrasi No.14,7%
9. Penuruna konsentrasi, THC
mencapai 1,37%
10. Penurunan angka kecelakaan
hingga 20%
11. Penurunan Fatalitas akibat
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
45 ISSN: 2655-4364
kecelakaan hingga 20%
Di lapangan pada hari senin
tanggal 8 Oktober peneliti
melakukan kajian observasi
lapangan dengan mengamati
langsung jalan Thamrin pada pukul
6:00 WIB. Pagi sampai dengan
pukul 10.00 WIB. Pagi dari hasil
observasi lapangan tersebut peneliti
menemukan beberapa hal;
1. Kendaraan dari arah
Medan merdeka barat
menuju arah thamrin, arah
merdeka selatan, agak
sedikit tersendat kemacetan
di karenakan bundaran
patung kuda di area monas
merupakan jalur berbagai
arah
2. Kendaraan yang melintas
arah Thamrin relatif lancar
dengan kecepatan yang
sangat signifikan yang telah
di tentukan batas maksimal
kecepatan di Jalan Thamrin.
3. Kendaraan di sekitar
alternatif Jl. Thamrin
diantarnya Jl. Kebon sirih,
Mas Manysur, Jl
Penjernihan I, pejompongan
Tanah abang mengalami
kemacetan
4. Sebaliknya Arus lalulintas
di jalur Jendral Sudirman
relatif lancar dan tidak ada
kemacetan.
Kemudian peneliti
melakuakan observasi pada tanggal
9 Oktober sampai dengan tanggal
16 Oktober 2018 dari pukul 16:00
wib. sampai dengan Pukul 20:00
wib. baik dari arah thamrin menuju
ke arah Jendral Sudirman maupun
dari arah Jendral sudirman ke arah
Jalan thamrin disini peneliti
menemukan beberapa fakta;
1. Bahwa dengan di
terapkannya peraturan
ganjil genap oleh pemda
tersebut, jalanan pada saat
jam 16:00 wib. sampai
dengan jam 20:00 wib. di
area Thamrin ke arah
Sudirman titik jalan
pamekasan menteng pada
saat jam keluar kantor
relatif padat dan jalanan
masih dalam keadaan
lancar.
2. Jalanan dari Arah Jl.
Jendral Sudirman Menuju
Arah Jl Thamrin, masih
relatif lancar perlintasan
dukuh atas pukul 16:00
wib. sampai pukul 18:30
wib. menuju arah
pejompongan agak
tersendat karena terkena
rambu lalulintas
3. Jl. Jendral Sudirman
perlintasan dukuh atas
menuju arah Thamrin
Bundaran Hotel Indonesia
Pukul 18:40 wib. relatif
agak tersendat, di
karenakan banyaknya
pengendara ojek onloine
yang berhenti dan
menunggu penumpang
saat jam pulang kerja,
serta padatnya lalulintas
menuju perbelanjaan
Grand Indonesia arah
teluk betung berbanding
sejajar dengan arah di jalur
bundaran perlintasan Hotel
Indonesia yang menuju ke
berbagai arah
4. Arus lalu lintas dari arah
Jl. Thamrin bundaran
Hotel Indonesia menuju
patung kuda arah Monas,
relatif lancar dan terkendali.
Langkah selanjutnya
peneliti juga melakukan wawancara
dengan masyarakat pengguna jalan
sekitar Jalan Thamrin - Sudirman
di antaranya dengan Bapak Yadi
yang tinggal di Jalan talang
betutu ujung Rw 04 Kebon
46 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Melati Tanah Abang Jakarta Pusat
wawancara di lakukan pada hari
Senin tanggal 8 Oktober 2018 jam
7.30 WIB. Pagi narasumber bapak
Yadi di temui langsung di lapangan,
di jalan Talang Betutu Kebon
Melati Tanah Abang Jakarta pusat,
nara sumber mengatakan dengan
diterapkannnya sistem ganjil
genap ini sudah tepat bagi
pengendara pribadi, namun, tidak
tepat bagi pengendara online
karena dengan adanya sistem
ganjil genap ini maka bagi kami
yang mempunyai kendaraan ganjil
maupun genap dalam sebulan
hanya akan mendapatkan 15 hari
kerja, dan otomatis akan
mengurangi pendapatan kami
sebagai driver online. Dengan
berakhirnya Asian Para Games
kebijakan masih tetap dilanjutkan
dari tanggal 15 Oktober sampai
dengan 31 Desember 2018 dengan
mengeluarkan pergub baru no 106
tahun 2018 mengenai perluasan
kawasan dan waktu yang di
berlakukan dari hari senin – hari
Jum’at dari pukul 06.00 wib -
pukul 21.00 WIB. waktunya di bagi
menjadi dua segmen; yang pertama
dari pukul 06.00 – pukul 10.00,
yang kedua dari pukul 16.00 –
pukul 21.00. Untuk hari sabtu dan
minggu serta hari libur nasional
tidak berlaku ganjil-genap. Selain
dari hasil penelitian, peneliti juga
membandingkan pernyataan
pengamat transportasi Azas Tigor
Nainggolan sebagaimana di kutif
dari harian Pos Kota pada hari
selasa tanggal, 16 Oktober 2018
halaman 7 – 8 ” Sistem Ganjil Genap cara paling Efektif yang
dapat dilakukan Pemprov. DKI
Jakarta dalam menanggulangi
kemacetan di sebuah ruas jalan ibu
kota saat ini keberhasialan
penerapan ganjil genap genap ini
memebawa perubahan prilaku
bertransportasi warga Jakarta.
Tidak dapat di pungkiri sudah
banyak warga Jakarta yang
meninggalkan mobilpribadinya di
rumah (15/10).
Tigor melihat perubahan
sikap ini dilakukan warga secara
sukarela, ia yakinapabila hal ini
terus di lakukan, maka akan
memunculkan kebiasaan yang baik
bagi tranportasi dan kemacetan di
Jakarta.
Di hubungi terpisah
menurut Dirlantas Polda Metro
Jaya Kombes Pol. Yusuf
menyambut baik perpanjangan
sistem Ganjil genap. Sebab system
tersebut di nilai efektif mengurai
kemacetan lalulintas, baginya tidak
masalah selama itu baik buat
masyarakat.
Kadirlantas pun
menegaskan sistem ini telah
terbukti membantu mengurai
kemacetan dan kecepatan
kendaraan meningkat. Termasuk
mengurangi penggunaan kendaraan
pribadi dan meningkatkan minat
masyarakat menggunakan
transportasi umum, dan kondisi di
lapangan menunjukan beberapa
ruas jalanan kian renggang.
Simpulan
Berdasarkan uraian dalam
pembahasan di bab-bab
sebelumnya, maka peneliti dalam
hal ini menelusuri implementasi
Pergub Nomor 164 tahun 2016
Tentang Pembatasan Lalulintas
dengan Sistem Ganjil genap adalah
sebagai berikut.
1. Implementasi Kebijakan
Pergub tentang Pembatasan
dengan Sistem Ganjil genap yang di terapkan di Jalan-
jalan prokol terutama Jl.
Thamrin - Jl. Jendral
Sudirman di nyatakan
berhasil dan penerapannya
masih tetap berjalan sampai
saat ini dan dapat mengatasi
kemacetan lalu lintas di
jalan Thamrin - Sudirman
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
47 ISSN: 2655-4364
terutama pada saat jam-jam
di terapkan ganjil genap
2. Transportasi Umum yang
layak dan baik untuk
masyarakat akan
mengalihkan para pemilik
kendaraan menjadi alternatif
tumpangan;
3. Arus lalulintas di Jl.
Thamrin s/d Jl. Jendral
Sudirman pada saat
diterapkan kebijakan pergub
no 164 tahun 2016 pada saat
jam-jam sibuk ternyata
terbukti bisa mengatasi
sementara kepadatan
lalulintas
4. Dengan di berlakukannya
kebijakan tersebut di atas
pada jalan-jalan protokol
menimbulkan kemacetan di
jalan alternatif wilayah
sekitar Jl. Thamrin s/d Jl.
Jendral Sudirman
Saran
Adapun dari beberapa
simpulan yang telah di jabarkan di
atas maka peneliti memiliki
beberapa saran penelitian, saran ini
adalah:
1. Saran Akademis,
Saran akademis Peneliti mengaharapkan agar
penelitian ini dapat berguna
bagi Mahasiswa yang
melakukan penelitian
serupa atau melakuakan
penelitian lanjutan atas
topik yang sama. Peneliti
berharap agar topik ini dan
pembahasan yang telah
dipaparkan dapat
menimbulkan rasa keingin
tahuan untuk mengadakan
penelitian lanjutan
2. Saran Praktis,
Beradsarkan penelitian
tersebut, peneliti
memberikan beberapa Saran
sebagai berikut:
Kepada pemerintah
Provinsi DKI Jakarta
dengan keberhasilan
kebijakan pemerintah
tentang Pembatasan Lalu
lintas dengan Sistem Ganjil
Genap yang telah di terapkan
selama ini dan di nyatakan
berhasil maka pemerintah
masih harus terus berusaha
agar Ibu Kota Negara
Republik Indonesia Tercinta
ini bisa terbebas dari
kemacetan dan menjadi tolak
ukur bagi kota-kota lain di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Alf, MRT Memasuki babak baru,
Jakarta : Media Jaya, 2015.
Dunn, William N, Pengantar
Analisis Kebijakan Publik:
Edisi Kedua, Yogyakarta,
Gadjah Mada University
Press, 2003.
Marbun S.H., B.N. Kamus Politik,
Jakarta: PT. Pustaka Sinar
Harapan, 2013.
Purwanto, Erwan Agus & Dyah
Ratih Sulistyastuti,
Implementasi Kebijakan
Publik Konsep dan
Aplikasinya di Indonesia,
Yogyakarta: Penerbit Gava
Media, 2015.
Setiati, Eni dkk, Ensiklopedia 4,
Profil Kota Jakarta Doeloe,
Kini, dan Esok, Jakarta: PT.
Ikrar Mandiri Abadi, 2009.
_____________, Ensiklopedia 7,
Profil Kota Jakarta Doeloe,
Kini, dan Esok, Jakarta : PT. Ikrar Mandiria Abadi, 2009.
Semma, Dr. Mansyur, Negara
dan Korupsi (pemikiran
Mochtar Lubis atas Negara,
Manusia Indonesia, dan
Perilaku Politik), Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
2008.
Sinamo. Dr. Nomensen, SH, MH,
48 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Hukum Administrasi Negara,
Bekasi : Jala Permata
Aksara, 2015.
Subekti, Agustinus, dkk,
Enslikopedia Jakarta
Doeloe, Kini, dan Esok,
Jakarta : Lentera, 2009.
Haedar Akib, Implementasi
kebijakan apa, mengapa, dan
bagaimana http:
//dx.doi.org/10.26858/jiap.v1i
1289 di akses pada 30
Oktober 2018.
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
49 ISSN: 2655-4364
DEMOKRASI DAN PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID
TERHADAP ETNIS MINORITAS TIONGHOA DI INDONESIA
Muhammad Rohim Hidayatullah | [email protected]
Universitas Nasional
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab mengenai pemikiran politik
Abdurrahman Wahid tentang demokrasi dan pluralisme, kerelevansian dalam
konteks perkembangan demokratisasi di Indonesia, dan konsistensi
Abdurrahman Wahid untuk menjadikan isu minoritas Tionghoa sebagai bagian
dari permasalahan demokrasi dan pluralisme. Hasil dari analisis dalam
penelitian ini adalah bahwa Abdurrahman Wahid memberikan penekanan pada
pluralisme berada pada konstitusi Negara, yaitu hukum sebagai “aturan main”
yang memberikan kesetaraan hak kepada seluruh warga Negara. Selain itu,
perhatian yang tinggi terhadap etnis Tionghoa setidaknya telah mendorong
Abdurrahman Wahid untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro
terhadap etnis Tionghoa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
sebagai metodenya, dan studi kepustakaan, serta wawancara mendalam sebagai
teknik pengolahan data. Untuk mempertajam analisis dalam penelitian ini,
penulis menggunakan teori-teori politik identitas-etnisitas dan pluralisme.
Kata kunci: Gus Dur, Demokrasi, Pluralisme, dan Etnis Tionghoa
A. PROLOG
Membahas tentang
demokrasi memang memiliki
keunikan tersendiri, karena
demokrasi bukan sebuah konsep
yang mudah dipahami dan memiliki
banyak konotasi makna, variatif,
dan dinamis. Sehingga, tidaklah
mudah membuat suatu definisi yang
jelas mengenai demokrasi.
Demokrasi memilki makna variatif
karena bersifat interpretatif. Karena
interpretatif itulah dapat mengenal
tipologi demokrasi seperti
demokrasi liberal, demokrasi rakyat,
demokrasi Pancasila, demokrasi
terpimpin, demokrasi parlementer,
dan lain-lain.
Demokrasi juga merupakan
konsep yang dinamis, bukan konsep
yang statis. Artinya, konsep
demokrasi selalu mengalami
perubahan, baik bentuk-bentuk
formalnya maupun substansinya
sesuai dengan konteks dan dinamika
sosio-historis dimana konsep
demokrasi lahir dan berkembang.
Maka apa yang dipahami sebagai
gagasan-gagasan demokrasi pada
masa Yunani kuno misalnya, tidak
harus selalu sesuai dan relevan
dengan gagasan demokrasi yang
berkembang dewasa ini. Walaupun
pada saat itu, seperti misalnya
Aristoteles, dalam karyanya yang
berjudul Politics (politea), telah
menyebut bahwa demokrasi
merupakan bentuk negara yang
kurang baik. Ia mengkategorikan
demokrasi ke dalam negara yang
buruk (bad state), bukan negara
yang baik (good state). Alasannya
ialah bahwa demokrasi merupakan
pemerintahan orang banyak, di
mana satu sama lain memiliki
perbedaan kepentingan, latar
belakang sosial ekonomi, perbedaan
tingkat pendidikan sehingga negara
yang penuh perbedaan tersebut akan
mudah berubah menjadi
pemerintahan yang anarkis, menjadi
ajang pertempuran konflik
kepentingan berbagai kelompok
kepentingan dan elit kekuasaan,
yang merupakan kendala untuk
menjadi pemerintahan yang baik
50 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
serta sulitnya untuk mencapai
konsensus (Ahmad Suhelmi, 2004).
Namun, dewasa ini terjadi
kecenderungan global di mana
demokrasi tidak sekedar menjadi
wacana intelektual saja, melainkan
juga menjadi “impian” atau obsesi
politik berbagai negara, khususnya
negara-negara berkembang (Ibid,
hal. 295). Demokrasi menjadi
agenda utama dunia pasca-perang
dingin, yang lambat laun demokrasi
diakui sebagai sebuah sistem nilai
kemanusiaan yang paling
menjanjikan masa depan umat
manusia yang lebih baik dari saat
ini. Dasarnya adalah demokrasi
sesuai dengan nilai-nilai luhur
kemanusiaan. Demokrasi dinilai
sesuai dengan tuntutan kebutuhan
non-material manusia, sebab
nilainya bertitik tolak dari nilai-nilai
luhur (Ibid, hal. 296).
Yang perlu digarisbawahi
adalah, tujuan dari demokrasi itu
sendiri bukanlah terletak pada
struktur atau institusi negara yang
tersusun bagus dan indah,
melainkan pertumbuhan warga
negara dalam mencapai penentuan
diri sendiri. Dalam hal ini,
masyarakat dapat berpartisipasi
dalam mempengaruhi, dan
menentukan kebijakan negara
dengan memberikan suaranya
dengan bebas dan
bertanggungjawab (Muslim Mufti,
2012). Selain itu, menurut Muslim
Mufti dan Durrotun Naafisah
(2013), salah satu syarat terpenting
dan yang paling hakiki dari
demokrasi ialah konsensus yang
menjadi pondasi dari demokratis sendiri. Pada umumnya, materi
demokratis adalah upaya untuk
mencapai kata sepakat. Apabila kata
sepakat tidak sampai, maka
keputusan dapat diambil dengan
cara suara terbanyak. Itu merupakan
salah satu aturan main dari
demokrasi.
Demokrasi juga
mengisyaratkan kemajemukan
(pluralisme) dalam masyarakat serta
kesamaan kedudukan di antara
warga negara, kesempatan untuk
berfikir secara bebas, adanya
penghargaan terhadap kelompok-
kelompok minoritas, adanya konflik
dan konsensus yang dapat diatur
secara damai dan menghindari
kekerasan, adanya partisipasi
politik, serta adanya tingkat
kepercayaan dan kepatuhan yang
tinggi pada konstitusi dan
kebijakan-kebijakan yang
demokratis (Ibid, hal. 28).
Pada realitasnya, menurut
Riaty Raffiudin (2016), di dalam
keadaan yang plural tersebut, yang
diikuti dengan memasuki era
modern juga melahirkan kelompok
dengan label mayoritas, dan
minoritas baik secara etnik, agama,
dan kelompok kepentingan. Hal
tersebut dialami oleh Indonesia.
Di Indonesia, dengan adanya
keanekaragaman dalam sosial
budaya bahkan politik, telah
melahirkan kelompok mayoritas dan
minoritas. Kelompok minoritas telah
menjadi sasaran mendapatkan
kebijakan yang bersifat
diskriminatif dari pemerintah, yaitu
misalnya, etnis Tionghoa pada masa
Orde Baru. Selama masa ini,
menurut Sigid Purtanto (1986), telah
mengalami krisis partisipasi politik
yang terjadi karena besarnya
peranan pemerintah dalam arena
sosial politik. Juga kalangan
minoritas etnis Tionghoa, mereka
tidak dapat menikmati kebudayaan
mereka sendiri, seperti kesenian barongsai secara terbuka, perayaan
hari raya Imlek, dan pemakaian
Bahasa Mandarin dilarang seperti
yang tercantum dalam Inpres No. 14
Tahun 1967.
Walaupun rezim Orde Baru
menerapkan kebijakan politik “anti”
Tionghoa, tetapi dalam usaha
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
51 ISSN: 2655-4364
membangun perekonomian di sektor
riil, etnis Tionghoa diberi peran dan
peluang yang sangat besar (MN.
Ibad, 2011). Menurut Benny G.
Setiono (2002), malahan segelintir
etnis Tionghoa dijadikan kroni oleh
pihak penguasa untuk melakukan
KKN demi menumpuk kekayaan
pribadinya. Maka lahirlah sejumlah
kecil konglomerat-konglemerat
jahat yang bersama para penguasa
“merampok” kekayaan negara. Hal
inilah yang kembali menjadi stigma
buruk yang dilekatkan pada diri
etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh
etnis Tionghoa adalah “binatang
ekonomi” yang tidak bermoral.
Padahal tidak dapat dimungkiri,
secara historis, etnis Tionghoa
sebenarnya memiliki peran politik
yang cukup penting dalam sejarah
perjalanan bangsa Indonesia pra dan
pasca proklamasi 17 Agustus 1945
(Eddie Kusuma dan S. Satya
Dharma, 2006).
Bukan tanpa sebab,
kebencian terhadap etnis Tionghoa
memang karena faktor menguasai
ekonomi. Hal ini pernah
diungkapkan oleh Bung Hatta,
menurutnya, posisi ekonomi etnis
Tionghoa setelah pendudukan
Jepang tetap tinggi dibandingkan
dengan warga Indonesia pada
umumnya, sehingga menjadi alasan
krusial lahirnya gerakan anti-
Tionghoa selama masa revolusi,
apalagi warga Tionghoa sendiri
kebanyakan datang sebagai
saudagar maka pada saat itu
masyarakat Indonesia
menganggapnya sebagai kelanjutan
kapitalisme asing (Justian Suhandinata, 2012). Jadi, etnis
Tionghoa ini terdiskriminasi dari
sisi sosial-politik, bukan ekonomi.
Hal ini tentu saja bertentangan
dengan prinsip-prinsip demokrasi
yang disebutkan oleh Sukron Kamil
(2013), yaitu menjamin hak asasi
manusia (kebebasan berpendapat,
berserikat, berkumpul).
Salah satu tokoh di
Indonesia yang concern dengan cita-
cita tegaknya demokrasi dan
pluralisme adalah Abdurrahman
Wahid (selanjutnya disebut Gus
Dur). Menurut Gus Dur (2012),
perjuangan menegakkan demokrasi
haruslah dimulai dengan
kesediaannya untuk menumbuhkan
moralitas baru dalam kehidupan
bangsa, yaitu moralitas yang merasa
terlibat dengan penderitaan rakyat di
bawah. Selain itu, Gus Dur juga
memandang bahwa demokrasi
sangat sejalan dengan Islam, karena
sama-sama menjadikan rule of law
sebagai aturan main. Bahkan Islam
disebut olehnya sebagai agama
demokrasi (Abdurrahman Wahid:
1999). Kemudian, ia menyatakan –
seperti yang dipaparkan A. Effendi
Choiry (2010) - bahwa keadaan
plural adalah rahmat yang telah
digariskan oleh Allah SWT, maka
sikap menolak perbedaan ialah sama
halnya dalam mengingkari
pemberian ilahi.
Perjuangan Gus Dur dalam
menegakkan demokrasi dilanjutkan
dengan ikut serta memprakarsai
dalam membentuk Forum
Demokrasi (For-Dem) pada tahun
1991-1998. Pendirian Fordem ini
kerap kali dikatakan sebagai
kekuatan penyeimbang. Sebab,
berdirinya Fordem tersebut
dilatarbelakangi oleh kuatnya
kekuasaan Soeharto sehingga tidak
dapat diimbangi oleh kekuatan sipil.
Oleh karena itu, penguatan
masyarakat sipil sebagai kekuatan penyeimbang perlu dilakukan dalam
memperjuangkan demokrasi (Nur
Kholisoh, 2012).
Ketika menjabat sebagai
Presiden (tahun 1999-2001), Gus
Dur tetap konsisten dengan
demokrasi yang telah ia gagas sejak
52 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
dahulu. Terbukti dengan penegakan
supremasi sipil, pengembalian TNI
ke barak, penghapusan Bakorstanas,
Litsus, serta Departemen
Penerangan adalah upayanya agar
masyarakat sipil menikmati
kebebasan berserikat, dan
berpendapat dalam demokrasi yang
sejati, serta tidak secara langsung
telah mengajak seluruh warga
negara untuk ikut berpartisipasi
dalam mengontrol pilar-pilar
demokrasi di Indonesia. Sebab, bagi
negara demokrasi, masyarakat tidak
hanya mengikuti pemilihan umum
dengan memberikan suara, akan
tetapi wajib berperan untuk
mengontrol terhadap merebaknya
media yang ada. Ini merupakan
bagian dari demokrasi yang
substansial.
Tidak hanya itu, ketika
menjadi Presiden, Gus Dur juga
membuat suatu usulan yang berani,
yaitu mengusulkan agar TAP MPRS
Nomor XXV Tahun 1966 tentang
pembubaran Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan pelarangan
penyebaran ajaran marxisme,
komunisme dan leninisme dicabut.
Hal ini dimaksudkan untuk
membuka cakrawala masyarakat
Indonesia agar lebih toleran
terhadap ajaran atau paham politik
manapun. Walaupun kemudian
tindakan ini sempat dianggap akan
menuai kontroversial di kalangan
masyarakat (Zaairul Haq, 2012).
Gus Dur juga mencabut
Inpres Nomor 14 Tahun 1967
produk rezim Orde Baru. Kemudian,
ia menindaklanjutinya dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2001
pada tanggal 9 April 2001 yang
meresmikan Imlek sebagai hari libur
fakultatif. Sehingga wajar saja kalau
kemudian Gus Dur diberi gelar
“Bapak Tionghoa Indonesia” oleh
Komunitas Tionghoa Semarang
pada tanggal 24 Agustus 2014
silam. Bagi etnis Tionghoa, Gus Dur
sangat berperan besar dalam
memperjuangkan hak-haknya,
karena ia telah menghapus
kekangan, tekanan dan prasangka,
kemudian ia telah menjadikan
semua warga negara menjadi setara,
termasuk politik (detik.com, 2016).
Dengan demikian, pemikiran
dan tindakannya yang concern
dalam menegakkan demokrasi,
pluralisme, toleransi, persamaan
hak, inilah yang menjadi kata kunci
bagi pemikiran Gus Dur, dan hal itu
dilihat dari tindakannya dalam
membela etnis Tionghoa. Sehingga
wajar jika Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam pidatonya
menyebut Gus Dur sebagai Bapak
Pluralisme Indonesia (Titus Pekei,
2013).
Rumusan Masalah
Dengan beberapa fakta
seperti membela minoritas,
toleransi, keterbukaan, menghapus
diskriminasi dan reformasi yang
tercantum dalam latar belakang,
sangat jelas bahwa tindakan Gus
Dur sangat sejalan dengan prinsip-
prinsip demokrasi dan pluralisme.
Pemikirannya inilah yang kemudian
masih terus relevan dalam konteks
perkembangan demokrasi di
Indonesia.
Tentu saja, pemikiran dan
tindakan Gus Dur ini dipengaruhi
oleh kultur, pendidikan dan
lingkungan pergaulan. Selain itu,
pemikirannya yang kontroversial
pada saat itu, kini menjadi relevan
dalam proses demokratisasi di
Indonesia sebab asas
kewarganegaraan (termasuk kelompok minoritas) adalah bagian
yang terpenting dari tegaknya
demokrasi, selain supremasi hukum.
Selain itu, pemikiran dan
tindakannya ini sangat konsisten
dari masa ke masa. Sehingga
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
53 ISSN: 2655-4364
beberapa hal inilah yang menjadi
alasan penulis untuk mengkaji
pluralisme dalam pemikiran Gus
Dur secara mendalam. Maka oleh
karena itu, dengan beberapa poin
yang disinggung pada latar
belakang, setidaknya memunculkan
beberapa pertanyaan penelitian,
yaitu:
1. Hal-hal apa saja yang
mempengaruhi
pemikiran Gus Dur
untuk konsisten dalam
memperjuangkan
demokrasi dan
pluralisme?
2. Bagaimana relevansi
pluralisme dalam
pemikiran Gus Dur pada
proses perkembangan
demokrasi di Indonesia?
3. Mengapa pandangan Gus
Dur konsisten membela
kaum minoritas
Tionghoa di Indonesia
sebagai bagian dari
masalah pluralisme di
Indonesia?
B. KERANGKA TEORI
Teori Politik Identitas-Etnisitas
Salah satu ciri penting dari
politik modern adalah tumbuhnya
pengakuan terhadap pengaruh
perbedaan-perbedaan kebudayaan
dalam masyarakat, sering disebut
dengan „politik identitas‟, atau
politik perbedaan (Heywood 2014).
Menurut Heywood (2014), politik
identitas adalah sebuah gaya politik
yang berusaha melawan
marginalisasi kelompok dengan
menganut sebuah rasa identitas bersama yang positif dan asertif.
Politik identitas juga
merupakan sebuah orientasi ke arah
penteorian sosial atau politik,
daripada sebuah kumpulan ide yang
koheren dengan sebuah karakter
politik yang mapan. Politik identitas
berusaha untuk menentang dan
menyingkirkan penindasan dengan
membentuk kembali sebuah
identitas kelompok melalui apa yang
serupa dengan proses ekspresi diri
politik-kebudayaan, yang
merefleksikan dua keyakinan
pokok: pertama, bahwa
marginalisasi kelompok berlangsung
melalui stereotip-stereotip dan nilai-
nilai yang dikembangkan oleh
kelompok-kelompok yang dominan
yang membentuk bagaimana
kelompok-kelompok marginal
melihat diri mereka dan bagaimana
dilihat oleh kelompok lain. Ini
secara khas memunculkan sebuah
rasa rendah diri, bahkan rasa malu
diri. Kedua, bahwa subordinasi
dapat dilawan dengan pembentukan
kembali identitas untuk memberikan
kelompok tersebut sebuah rasa
kebanggaan dan penghargaan diri
(Ibid).
Selanjutnya, apakah yang
dimaksud dengan etnisitas,
kelompok etnik, dan identitas etnis?
Istilah-istilah tersebut berasal dari
Yunani dengan kata etnos yang
diterjemahkan sebagai bangsa
(nation) atau suatu komunitas
manusia yang memiliki bahasa atau
kebudayaan yang sama (Ishiyama,
2013). Sementara banyak
pandangan awal mengenai
kelompok etnis ini sebagai natural.
Tokoh besar sosiologi Max Weber
berpendapat bahwa kelompok etnis
itu artifisial dan dikonstruksi secara
sosial (Ibid). Pada esensinya
kelompok etnis itu didasarkan pada
keyakinan subjektif tentang suatu komunitas bersama. Keyakinan
inilah yang menciptakan kelompok,
dan motivasi untuk membentuk
kelompok itu berasal dari hasrat
untuk meraih kekuasaan politik
(Ibid).
Menurut Heywood (2014),
etnisitas adalah sentimen loyalitas
54 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
pada sebuah populasi, kelompok
kebudayaan atau wilayah teritorial
tertentu. Lebih umum, etnisitas
dipahami sebagai satu bentuk
identitas kebudayaan, yang eksis
pada sebuah level yang dalam dan
emosional.
Teori Pluralisme
Plural dalam arti harfiah
adalah jamak, atau majemuk.
Evolusi peradaban yang panjang
melalui regenerasi, migrasi, dan
berbagai profesi transisi telah
menciptakan manusia terbentuk ke
dalam berbagai etnis, suku, dan
bangsa yang berbeda. Akhirnya,
mereka hidup berkelompok
membentuk sebuah masyarakat, lalu
kelompok-kelompok masyarakat
tersebut kemudian menyatu lagi
dalam wadah yang dinamakan
negara (Riaty Raffiudin, 2014).
Kelompok-kelompok kepentingan
dengan beragam yang ada dalam
wadah negara tersebut itulah yang
kemudian disoroti oleh pluralisme.
Pluralisme meletakkan pondasi
pemikirannya pada pengakuan
perbedaan. Oleh karena itu, kata
kunci yang tepat untuk mewakili
karakteristik ini adalah
keberagaman.
Menurut Apter (1987),
Pluralisme atau bisa disebut dengan
paham kemajemukan, pendekatan
dominan dalam ilmu politik yang
dibangun atas paham kelembagaan
(institutionalisme) dan paham
tingkah laku (behavioralisme).
Pluralisme sangat menekankan
partai sebagai penghubung antara
masyarakat, dan pemerintah, dan dengan membentuk postulat
hubungan-hubungan dinamis
tertentu. Seperti behavioralisme,
pluralisme menekankan sisi untuk
aktif politik dan belajar
menyesuaikan melalui partisipasi
publik pada berbagai tingkat politik
serta dalam hal badan sosial, dan
politik. Dari sudut pandang
pluralisme, politik dipandang
sebagai proses interaksi dalam mana
warga negara yang terlibat dalam
mempengaruhi jalannya
kebijaksanaan.
Dalam pengertian yang lain
(Heywood, 2014), pluralisme adalah
sebuah keyakinan atau komitmen
terhadap keberagaman. Istilah
deskriptif, pluralisme digunakan
untuk menunjuk adanya kompetensi
partai, keragaman nilai-nilai moral,
adanya keragaman norma-norma
budaya. Sedangkan istilah normatif,
pluralisme mengemukakan bahwa
keragaman itu merupakan hal yang
sehat, dan dibutuhkan, sebab
pluralisme biasanya menghendaki
adanya kemerdekaan individu –
individu untuk mengeluarkan
pendapat. Bahkan dengan
pemahaman yang lebih sempit lagi,
pluralisme adalah sebuah teori
tentang distribusi kekuasaan politik
yang mengartikan bahwa kekuasaan
harus dibagi secara merata, dan luas
di tengah masyarakat.
Pluralisme dengan
demokrasi sangat berhubungan satu
sama lain. Dengan sistem yang
demokrasi, akan memungkinkan
munculnya berbagai partisipasi yang
beragam dari kalangan masyarakat,
ikut sertanya beragam partai dalam
mengikuti kompetisi pada saat
pemilu, dan kemampuan dari
kelompok – kelompok kepentingan
untuk mengartikulasikan pandangan
– pandangan mereka secara bebas,
membentuk hubungan yang kuat
antara pemerintah dengan yang diperintah, dan menciptakan saluran
komunikasi antara keduanya
(Heywood, 2014). Menurut Chilcote
(2010), Pluralisme juga
beranggapan bahwa demokrasi
didalilkan pada keragaman
kepentingan dan penyebaran
kekuasaan.
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
55 ISSN: 2655-4364
Di dalam pluralisme,
masyarakat dipandang sebagai
terdiri dari berbagai kelompok-
kelompok atau elit-elit yang saling
bersaing untuk merebut kekuasaan
politik. Persaingan ini – menurut
Lyman (1987) - dianggap sebagai
sarana utama untuk melindungi
keterlibatan rakyat dan hak-hak
individu. Kalangan pluralis
(Heywood, 2014), menyebut negara
sebagai “wasit” atau “pengadil” di
dalam masyarakat. Asal mula
pandangan ini dapat ditelusuri
kembali pada teori – teori kontrak
sosial dari pemikir Thomas Hobbes
dan John Lock. Mereka berpendapat
bahwa negara muncul berdasarkan
kesepakatan sukarela, atau kontrak
sosial, yang dibuat oleh individu
yang mengakui bahwa hanya
pembentukan kekuasaan yang
berdaulat yang dapat menjaga
mereka dari ketidakamanan,
ketidaktertiban, dan brutalitas dari
keadaan alamiah (state of nature).
Kemudian, ada tiga
pengertian pluralisme kontemporer
yang telah dikembangkan dan
dijadikan dasar analisis dalam
teologi manapun sejarah Islam ada
pluralisme. Ketiga pengertian
(Budhy Munawar, 2016) itu adalah:
Pertama, pluralisme adalah
keterlibatan aktif dalam keragaman
dan perbedaannya untuk
membangun peradaban bersama.
Kedua, pluralisme dengan
pengertian yang pertama, berarti
mengandaikan penerimaan toleransi
aktif terhadap yang lain. Tetapi
pluralisme melebihi toleransi.
Ketiga, berdasarkan pengertian yang kedua, maka pluralisme bukan
relativisme. Pengenalan yang
mendalam atas yang lain akan
membawa konsekuensi mengakui
sepenuhnya nilai-nilai dari
kelompok yang lain.
Bagi Gus Dur (Nur
Kholisoh, 2012), kebhinnekaan
merupakan kekuatan bangsa dan
kekuatan dalam proses
pembangunan yang harus diakui
keberadaannya. Ketika
kebhinnekaan dilihat sebagai suatu
ancaman bagi stabilitas nasional,
maka pada saat itu juga bangsa
Indonesia akan kehilangan nilai-
nilai kebersamaan yang selama ini
telah disimbolkan melalui lambang
negara, yaitu “Bhinneka Tunggal
Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian adalah suatu
kegiatan yang dilaksanakan dengan
suatu sistematika, metodologi ilmiah
dengan tujuan untuk memperoleh
sesuatu yang baru atau asli dalam
usaha memecahkan suatu masalah
yang setiap saat dapat timbul dalam
masyarakat (Sukandarrumidi, 2002).
Untuk melakukan sebuah penelitian,
maka diperlukan suatu metode
penelitian agar hasil penelitiannya
itu sesuai dengan kaidah-kaidah
ilmiah.
Penelitian ini juga lebih
kepada penilitian historis yang
bersifat eksploratif, yaitu meneliti
fenomena yang telah terjadi.
menurut Suharsimi Arikunto (1995),
penelitian historis merupakan
penelaahan dokumen serta sumber-
sumber lain yang berisi informasi
mengenai masa lampau dan
dilaksanakan secara sistematis.
Sedangkan sifat eksploratif dari
penelitian ini disebabkan karena
penulis ingin menggali secara luas
tentang sebab-sebab atau hal-hal
yang mempengaruhi terjadinya
sesuatu (Suharsimi, 1989).
Data yang digunakan merupakan data kualitatif, yaitu data
yang disajikan dalam bentuk kata
verbal bukan dala, bentuk angka.
Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan dua bentuk data.
Pertama, data primer, yaitu data
56 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
yang berasal dari sumber asli atau
pertama. Kedua, data sekunder
berupada data yang sudah tersedia
dan dapat diperoleh peneliti dengan
cara membaca, melihat atau
mendengarkan.
Untuk menemukan
gambaran yang jelas secara optimal
pada penelitian ini, dengan unsur-
unsur pokok yang ditemukan sesuai
dengan butir-butir rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, maka
digunakan metode penelitian
kualitatif sebagai pendekatan dalam
penelitian ini. Dengan mengetahui
pendekatan penelitian yang penulis
gunakan dalam penelitian ini, maka
jenis penelitian yang dapat
diterapkan adalah penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif
analitis adalah tipe penelitian yang
bertujuan untuk menggambarkan
karakter suatu variabel, kelompok
atau gejala sosial yang terjadi di
masyarakat (Nanang, 2016).
Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan 2 (dua) teknik dalam
pengumpulan data, yaitu melalui
studi kepustkaan, dan wawancara.
Dalam melakukan wawancara
sebagai salah satu teknik
pengumpulan data, penulis
menggunakan metode wawancara
mendalam, yaitu teknik
pengumpulan data yang didasarkan
pada percakapan secara intensif
dengan suatu tujuan (Bagong
Suyanto, 2015). Penulis
mewawancarai enam orang
narasumber dalam menuliskan
penelitian ini, yakni Inayah Wahid
(Putri keempat Abdurrahman
Wahid), Ahmad Suaedy (Peneliti senior di The Wahid Institute),
Amsar A. Dulmanan (Dosen tetap di
Universitas Nahdlatul Ulama
Indonesia), Ismail Yusanto (Juru
bicara Hizbut Tahrir Indonesia),
Muhammad Siddik (Ketua Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia), dan
Ulung Rusman (Sekretaris Jenderal
Perhimpunan Indonesia-Tionghoa).
D. PEMBAHASAN: HASIL
PENELITIAN
Deskripsi Pemikiran
Abdurrahman Wahid Tentang
Demokrasi, Pluralisme Dan
Minoritas
Untuk dapat mengetahui
pemikiran Gus Dur tentang
demokrasi dan pluralisme, harus
terlebih dahulu dijelaskan mengenai
pemahaman Gus Dur tentang Islam.
Bagi Gus Dur (1999), Islam
berfungsi bagi kehidupan
masyarakat bangsa tidak sebagai
bentuk kenegaraan tertentu, tetapi
sebagai etika sosial yang akan
memandu jalannya kehidupan
bernegara dan bermasyarakat itu
sesuai dengan martabat luhur dan
kemuliaan derajat manusia, karena
pada penyejahteraan hidup.
Kemudian, Gus Dur (2007) juga
menguraikan universalitas nilai-nilai
Islam yang sejalan dengan lima
buah kebutuhan manusia yang
paling dasar, yaitu: pertama,
jaminan dasar akan keselamatan
fisik warga masyarakat dari
tindakan badani di luar ketentuan
hukum (hifdzu an-nafs). Kedua,
keselamatan keyakinan agama
masing-masing, tanpa ada paksaan
untuk berpindah agama (hifdzu ad-
din). Ketiga, keselamatan keluarga
dan keturunan (hifdzu an-nasl).
Keempat, keselamatan harta benda
dan milik pribadi dari gangguan
atau penggusuran di luar prosedur
hukum (hifdzu al-mal). Kelima,
keselamatan hak milik dan profesi
(hifdzu al-aqli).
Praktisnya, Gus Dur
mengambil paradigma substantif
dalam mempositifkan hukum Islam,
yaitu mengakomodasi hukum Islam
ke dalam hukum nasional, yang
mengedepankan pada prinsip-
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
57 ISSN: 2655-4364
prinsip dan nilai-nilai hukum Islam.
Ia terbiasa dengan menggunakan
logika-logika fiqh yang positivistik,
sebab ia tidak pernah lepas dari
lingkungan dan khazanah keilmuan
yang ada di pesantren salaf, yang
menyarankan agar kaidah-kaidah
fiqh (al-qawa’id al-fiqhiyah)
dijadikan metode dalam
pengambilan hukum. Walaupun
pada realitanya, banyak dari
kalangan masyarakat yang menolak
pemikiran Islam yang ada pada Gus
Dur, seperti Ismail Yusanto (2018),
ia menjelaskan bahwa dalam Islam
tidak hanya substansi, tapi juga ada
hukum-hukum formal.
Sehingga, dengan
mengambil paradigma substantive
tersebut, Gus Dur menolak gagasan
ideologisasi Islam, formalisasi
Islam, sistem Islami, dan wacana
Negara Islam. Bagi Gus Dur (2006),
hukum Islam tidak perlu dijadikan
hukum formal Negara, yang penting
adalah menjalankan rukun Islam
bagi individu-individu. Sebab, kalau
hukum Islam dijadikan hukum
Negara, maka akan merusak
eksistensi pluralitas yang ada di
Indonesia, dan menjadikan
penduduk yang beragama selain
Islam menjadi kelas dua. Lagipula,
Islam di Indonesia berkembang
dengan pendekatan kultur, bukan
ideologisasi. Penekanan terhadap
substansi yang dilakukan oleh Gus
Dur ini menurut penulis adalah
dalam rangka mencarikan titik temu
dari perbedaan yang ada, agar dapat
diterima oleh semua pihak dan
melahirkan inklusivitas dalam
pluralitas bangsa Indonesia.
Selain itu, Gus Dur (2006)
juga menguraikan alasannya dalam
menolak Negara Islam: pertama,
tidak ada ajaran baku dalam agama
Islam untuk membentuk Negara,
juga tidak memiliki konsep tentang
suksesi kepemimpinan. Kedua,
ukuran yang disebut Negara Islam
tidak jelas. Ketiga, wacana Negara
Islam tidak cocok di lingkungan
yang heterogen. Akan tetapi, Gus
Dur tidak juga larut dalam
sekularisme (pemisahan agama-
negara). Ia juga menjelaskan bahwa
dalam hal kenegaraan, Islam
memberikan sumbangsih nilai,
seperti keadilan, kejujuran, dan
menjalankan amanat rakyat. Dalam
hal inilah agama dan Negara bisa
bersinergi, bukan dalam tataran
ideologis (Abdurrahman Wahid,
2006).
Dengan kerangka pemikiran
Gus Dur sebagaimana di atas, maka
Gus Dur termasuk dalam kategori
Neo Modernisme Islam, yaitu
mensintesiskan khazanah pemikiran
Islam klasik dengan modernisme
(Umaruddin, 1999). Greg Barton
(1999) menyebutkan bahwa gerakan
Islam neo modernis adalah
pembaruan pemikiran Islam,
akomodasionis, substansialis,
progresif, dan liberal. Menurut
Massa Djafar (2015), gerakan Islam
neomodernis di Indonesia secara
konsisten berpegang kepada prinsip-
prinsip demokratis. Golongan inilah,
dan juga kalangan modernis secara
gigih telah menentang sistem
otoriter, baik pada masa Soekarno
atau Soeharto. Gerakan
neomodernis selain menyebarkan
ide-ide demokrasi, juga melalui
gerakan penguatan masyarakat sipil
untuk membantu perkembangan
demokrasi di Indonesia. Atas dasar
pemikiran Islam Gus Dur tersebut,
Ismail Yusanto (2018) menyebut
bahwa inti dari kontroversialnya
Gus Dur adalah dari pemikiran Islamnya yang menolak substansi,
dan menolak Islam politik.
Kemudian dalam hal
demokrasi, esensi dari demokrasi
menurut Gus Dur adalah
kontroversi, menolak kontroversi
berarti diktator (Bahar, 1999). Ini
dimaksudkan untuk agar masyarakat
58 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
memiliki beragam pandangan,
sehingga wawasan yang dimiliki
oleh masyarakat menjadi luas, dan
lebih dewasa. Terlebih, Indonesia
ini memiliki banyak aneka ragam
dan tentu saja memiliki perbedaan
yang tinggi di dalamnya. Oleh
karena itu, dalam upaya menjaga
aset bangsa tersebut, hanya dapat
hidup dalam suasana demokrasi
(Abdurrahman Wahid, 1999). Gus
Dur (1999) juga mengatakan bahwa
demokrasi adalah suatu proses, yaitu
pelaksanaan prinsip-prinsip
demokrasi menjadi ukuran yang
paling penting.
Bagi Gus Dur (1999),
demokrasi yang dioperasionalkan
adalah demokrasi yang
mengakomodir semua perbedaan.
Suara mayoritas dalam demokrasi
haruslah diakui, selama tidak
mendiskriminasi kelompok
minoritas. Oleh karena itu,
perkembangan demokrasi haruslah
sejalan dengan hukum (rule of law),
sebab rule of law menjadi syarat
bagi demokrasi (Muslim Mufti dan
Durrotun Naafisah, 2013).
Dalam hal pluralisme,
menurut Amsar (2018), pluralisme
bagi Gus Dur ialah meletakkan
pluralisme itu dalam konsep
konstitusi bernegara disamping
secara substansial, dia meletakkan
hak dasar kemanusiaan untuk hidup
sebagaimana mestinya, (yaitu) hak
kemanusiaan yang diberikan Allah
SWT. Menurut Ulung Rusman
(2018), pluralisme Gus Dur ialah
memberikan penghargaan terhadap
kelompok minoritas. Bagi Siddik
(2018) ideologi pluralisme adalah menganggap semua agama adalah
benar, dan ini harus ditolak dalam
Islam. Bahkan MUI sendiri
melarang pluralisme yang tercantum
dalam fatwanya tanggal 28 Juli
2005. Akan tetapi hal itu dibantah
oleh Amsar, baginya pluralisme Gus
Dur diletakkan bahwa agama
apapun memiliki hak yang sama
dalam konstitusi, bukan dalam
tataran aqidah. Dengan demikian,
pluralisme Gus Dur adalah dalam
kontek sosial dalam rangka
mewujudkan kerukunan sesama
warga Negara yang diatur dalam
konstitusi Negara, walaupun hingga
kini, masih ada kalangan yang
menolak pluralisme Gus Dur.
Selanjutnya, minoritas bagi
Gus Dur bukanlah terletak pada
kuantitas dalam jumlah individu-
individu, melainkan ukurannya
adalah kesetaraan (Inayah, 2018).
Minoritas, sebagaimana penjelasan
Inayah (2018) adalah yang
terlemahkan. Maka Gus Dur
menguatkan yang minoritas. Kata
kuncinya adalah minoritas yaitu
kelompok-kelompok yang
mengalami ketidakadilan.
Kemudian menurut Suaedy (2018),
inti dari pemikiran Gus Dur ini
adalah tentang kesetaraan, yaitu
setara di mata hukum. Akan tetapi,
Ismail Yusanto (2018) menolak Gus
Dur adalah tokoh yang pluralis,
dengan bukti Gus Dur menolak
wacana Negara Islam. Karena
menurut Ismail, kelompok yang
mewacanakan Negara Islam adalah
minoritas.
Relevansi, dan Konsistensi
Pemikiran Gus Dur untuk
Perkembangan Demokratisasi di
Indonesia: Kebijakan Gus Dur
terhadap Etnis Tionghoa
Pemikiran Gus Dur
sebagaimana dipaparkan di atas
tentang Islam, demokrasi,
pluralisme, dan minoritas,
nampaknya lebih menekankan pada prinsip-prinsip dibanding dengan
formalitas belaka. Dalam
menjelaskan demokrasi misalnya, ia
tidak banyak menyinggung tentang
bagaimana mekanisme formal
kelembagaan yang dapat mewakili
demokrasi, meskipun di satu sisi
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
59 ISSN: 2655-4364
lembaga demokrasi menjadi
penting. Akan tetapi, yang ia
pentingkan adalah bagaimana fungsi
lembaga-lembaga tersebut dapat
menjalankan prinsip demokrasi.
Pemikiran Gus Dur dalam
hubungan agama dan Negara,
sebagaimana telah dijelaskan di
atas, bahwa Gus Dur menolak
formalisasi Islam. Akan tetapi nilai-
nilai keislaman juga mendorong
untuk melahirkan kesejahteraan
masyarakat. Menurut Gus Dur
(2006), Islam dan Negara dapat
bersinergi dalam tataran nilai, bukan
ideologi. Nampaknya, pemikiran
Gus Dur ini telah merelai
ketegangan antara agama dan
Pancasila dalam Islam. Sebab, sejak
Gus Dur menjadi Ketua Umum
PBNU, ia telah mendukung dan
menyatakan bahwa Pancasila sesuai
dengan ajaran agama Islam. Dalam
bahasanya Kyai Ahmad Siddiq,
bahwa Pancasila ini adalah syar’i
(Suaedy, 2018). Selain itu, Gus Dur
menganggap bahwa Indonesia dan
ideologi Pancasila adalah final.
Sehingga, hal ini dijadikan oleh
Liddle sebagai ciri Islam
substansialis di Indonesia (Adian,
2002).
Dalam menegakkan
demokrasi dan pluralisme, Gus Dur
memberi contoh dengan mendirikan
masyarakat sipil (civil society) untuk
menguatkan proses demokratisasi di
Indonesia. Ia mendirikan Forum
Demokrasi sebagai sarana
masyarakat sipil yang terdiri dari
anggota yang berbeda untuk
menegakkan demokrasi yang pada
saat rezim Orde Baru, demokrasi tidak berjalan dengan semestinya
(Abdurrahman Wahid, 1999).
Begitu juga ketika ia menjabat
sebagai Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama, ia
menjadikan NU sebagai civil
society, yaitu menjadi organisasi
sosial-keagamaan yang menampung
seluruh aspirasi elemen masyarakat
dengan kebijakan „kembali ke
khittah 1926‟, bukan lagi partai
politik. Menurut Tim INCRëS
(2000), kebijakan ini adalah
pemikiran brilliant yang ditawarkan
oleh Gus Dur. Ini dapat dikatakan
sebagai konsekuensi logis dari Gus
Dur sebagai pemikir neo
modernisme Islam, yang mendorong
proses demokrasi dengan gerakan
kultural masyarakat sipil.
Sebelumnya sudah
disinggung oleh Inayah (2018),
bahwa pemikiran Gus Dur tentang
minoritas adalah menguatkan
kepada kelompok yang mengalami
ketidakadilan. Hal tersebut bisa
dilihat dari bagaimana kebijakan
yang dikeluarkan oleh Gus Dur
ketika menjadi Presiden RI terhadap
etnis Tionghoa di Indonesia. Sebab
bagi Gus Dur, posisi yang dialami
etnis Tionghoa itu adalah kenyataan
yang tidak layak dibanding warga
negara yang memiliki hak-hak asasi
pada umumnya (MN. Ibad, 2011).
Oleh karena itu, Gus Dur
mengeluarkan kebijakan Keppres
No. 6 Tahun 2000 untuk mencabut
Inpres No. 14 Tahun 1967 produk
Orde Baru. Tidak hanya itu, Gus
Dur juga meresmikan Hari Raya
Imlek. Akhirnya, dengan kebijakan
yang dikeluarkan Gus Dur, etnis
Tionghoa yang selama ini hanya
melaksanakan adat istiadat secara
intern, bisa dilaksanakan secara
terbuka dihadapan publik. Etnis
Tionghoa adalah etnis minoritas di
Indonesia yang sejak Orde Baru
mengalami kebijakan diskriminatif.
Ia mengupayakan etnis Tionghoa untuk setara dengan warga Negara
lainnya dalam konstitusi. Namun,
pembelaan Gus Dur terhadap etnis
Tionghoa dianggap berlebihan oleh
Siddik, hal itu dapat dilihat
bagaimana Gus Dur meresmikan
agama Konghucu, yang menurutnya
60 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Konghucu bukanlah agama (Siddik,
2018).
Bagaimanapun juga
kelompok minoritas Tionghoa
merupakan bagian dari label
kewarganegaraan, yang terdiri dari
individu-individu yang merupakan
anggota dari suatu komunitas politik
atau negara, yang memiliki
serangkaian hak dan serangkaian
kewajiban sebagaimana diatur
dalam konstitusi. Kewarganegaraan
bisa diebut dengan „wajah publik‟
dari eksistensi individu. Selain itu,
masyarakat juga dapat berpartisipasi
dalam komunitas mereka sejauh
mereka memiliki hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Partisipasi
warga ini pada gilirannya, memiliki
relasi dengan kemajuan dari
pemerintahan yang konstitusional,
yang tercermin dari keluasan dari
hak-hak politik dan kemerdekaan
warga (Heywood, 2014).
Terlebih dalam sistem
demokrasi, telah menempatkan
warga negara sebagai komponen
paling krusial, yaitu kemajuan
negara yang demokratis tergantung
dengan bagaimana tingkat
partisipasi masyarakat di dalamnya.
Kemudian, salah satu ciri utama dari
demokrasi adalah prinsip tentang
kesetaraan politik, dengan
pengertian bahwa kekuasaan politik
harus dibagi seluas dan serata
mungkin kepada seluruh rakyat.
Menurut Suaedy (2018) Gus Dur
tidak hanya melindungi kelompok
minoritas, melainkan ia juga
menjadikan kelompok minoritas
sebagai entitas politik yang mesti
didengarkan.
Bertolak dari prinsip
kewarganegaraan dengan kesetaraan
di mata hukum sebagai ukurannya
dalam demokrasi, hal inilah yang
melandasi sepanjang hidup Gus Dur
untuk melakukan pembelaan
terhadap kelompok manapun di
Indonesia yang mengalami tindakan
diskriminatif, termasuk kepada etnis
Tionghoa.
Bahkan, -sebagaimana
penjelasan Ulung Rusman (2018)-
Gus Dur terhadap etnis Tionghoa
tidak hanya sekedar member
kebebasan, lebih dari itu, Gus Dur
juga mendorong etnis Tionghoa
untuk mendirikan suatu civil society
dengan nama Perhimpunan
Indonesia-Tionghoa (INTI) untuk
memperjuangan aspirasi etnis
Tionghoa dan mengajak bersama-
sama dalam berperan untuk
membangun Indonesia.
Sebelumnya, Gus Dur juga
menjelaskan bahwa sebenarnya
etnis Tionghoa adalah warga Negara
Indonesia. Hanya saja, ia dianggap
“asing” sejak masa penjajahan
(Abdurrahman Wahid, 2006).
Ternyata, dianggap “asing” tersebut
telah mendarahdaging bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia.
Padahal, menurut Gus Dur yang ia
jelaskan dalam majalah Editor tahun
1990:
“Tesis pokoknya di sini
adalah: dapatkah kelebihan
kekayaan orang Tionghoa
dimanfaatkan bagi usaha
lebih memeratakan lagi
tingkat pendapatan segala
lapisan masyarakat kita di
masa depan? Jawabannya,
menurut penulis, adalah
positif. Orang Tionghoa,
sebagaimana orang-orang
lain juga, dapat di-appeal
untuk berkorban bagi
kepentingan masa depan
bangsa dan negara. Tentu dengan tetap menghormati
hal-hal mendasar yang
mereka yakini, seperti
kesucian hak milik dari
campur-tangan orang lain.”
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
61 ISSN: 2655-4364
Dengan penjelasan di atas,
Gus Dur berupaya untuk bagaimana
ekonomi-ekonomi yang selama ini
digeluti oleh etnis Tionghoa dapat
didistribusikan untuk kepentingan
masyarakat Indonesia secara luas.
Agar bisa digunakan untuk
kemaslahatan bangsa, maka
menurutnya, apa-apa yang ada dan
menjadi keyakinan etnis Tionghoa
haruslah terlebih dahulu dihormati.
Sebab, Gus Dur melihat ada potensi
yang baik bagi bangsa yang dimiliki
oleh etnis Tionghoa, yaitu
profesionalisme (Suhandinata,
2012).
Mengapa Gus Dur membela
etnis Tionghoa? Ada beberapa
asumsi yang akan penulis uraikan
sebagai berikut: pertama, karena
diskriminasi yang dialami oleh etnis
Tionghoa bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi seperti,
menjunjung tinggi kesetaraan,
keterbukaan, hak asasi manusia dan
rule of law. Ulung Rusman (2018)
menjelaskan:
“Gus Dur kami anggap
sebagai orang yang sangat
konsen terhadap isu HAM,
dan dalam hal ini juga
terhadap kelompok minoritas
pada saat itu, tidak terkecuali
Tionghoa. Kemudian juga
bagaimana Gus Dur selalu
menginginkan Tionghoa ya
dalam konteks berbangsa
dan bernegara juga
mengikuti arus mainstream
yang ada. Kemudian juga
bagaimana bisa bersinergi
dengan semua elemen tanpa
terkecuali untuk membangun bangsa. Artinya Gus Dur
selalu memberikan motivasi
berbagi ke temen-temen
Tionghoa untuk bisa
mempunyai perasaan yang
menyatu, tidak merasa jadi
di luar bagian”.
Berdasarkan penjelasan
Ulung Rusman di atas, Gus Dur
dalam asumsi ini sejalan dengan
prinsip-prinsip demokrasi:
mempedulikan hak asasi manusia.
Di samping itu, memang Indonesia
mengalami masa Reformasi yang
memungkin untuk semua warga
Negara dapat mengambil
kesempatan dalam berperan dalam
membangun bangsa. Sehingga hal
itu diikuti dengan fenomena
banyaknya bermunculan partai-
partai politik, dan masyarakat sipil.
Kedua, ada potensi ekonomi
yang dimiliki oleh etnis Tionghoa.
Profesionalisme yang dimiliki oleh
etnis Tionghoa dalam bidang
ekonomi terlihat berhasil. Hal
tersebut dapat dilihat bagaimana
rezim Orde Baru memberlakukan
sistem cukong kepada etnis
Tionghoa dalam membangun
perekonomian di sektor riil,
walaupun pada saat itu sebagian
etnis Tionghoa dimanfaatkan untuk
kepentingan pribadi rezim (Benny,
2002). Potensi inilah yang dilihat
oleh Gus Dur. Terlebih pada saat
reformasi tersebut, perekonomian
Indonesia masih dalam keadaan
terpuruk pasca krisis 1998. Menurut
Suryadinata (2002), Gus Dur adalah
tokoh yang mencoba menghimbau
etnis Tionghoa baik WNI dan WNA
untuk bersama membangun
perekonomian Indonesia. Maka
tidak heran jika Gus Dur ke luar
negeri sebagai Presiden ke Beijing
pada pertengahan Desember 1999.
Perjalanan ini penting baginya
karena selama karir publiknya ia
diketahui selalu mementingkan pembelaan terhadap WNI keturunan
Tionghoa. Selain itu, kunjungannya
ke Beijing ini tentu saja berkaitan
dengan masalah ekonomi. Ia juga
berharap bahwa kunjungannya ke
Beijing ini akan memberikan tanda
positif kepada seluruh orang-orang
Tionghoa di Asia Tenggara bahwa
62 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
pemerintahannya adalah
pemerintahan yang bersahabat
dengan etnis Tionghoa (Barton,
2003).
Ketiga, pembelaannya
terhadap etnis Tionghoa juga
dikarenakan Gus Dur – dalam
pengakuannya - memiliki darah
keturunan Tionghoa karena ia masih
keturunan dari Tan Kim Han, dan di
waktu lain juga pernah menyatakan
masih keturunan dari Thio Ban Ci
istri dari Brawijaya walaupun
pernyataan tersebut masih sulit
untuk dibuktikan kebenarannya
(MN. Ibad, 2011). Namun bagi yang
kurang setuju dengan pernyataan
bahwa Gus Dur masih memiliki
keturunan Tionghoa, adalah suatu
pernyataan politis belaka sebagai
cara untuk memiliki kedekatan
dengan kelompok keturunan
Tionghoa dan mendapatkan
dukungan dari para pengusaha
Tionghoa untuk melakukan
pembangunan ekonomi di Indonesia
(Ibid).
Keempat, ada jaringan bisnis
yang dibangun oleh Gus Dur dengan
Erdward Soeryadjaya (Komisaris
Utama Bank Summa). Jaringan
bisnis tersebut dibangun sejak Gus
Dur pada saat masih menjabat
sebagai Ketua Umum PBNU pada
tahun 1990. Jaringan bisnis tersebut
ialah membangun Bank Nusumma
(NU-Summa) yang bertujuan untuk
membangun jaringan Bank
Pedesaan, untuk mengelola arus
dana ke dana di pedesaan, di mana
mayoritas anggota NU (nahdliyin)
berada; dengan prioritas untuk
pinjaman produktif. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Nusumma juga dirancang untuk
memfasilitasi kebutuhan menabung
warga nahdliyin khususnya maupun
masyarakat pedesaan, begitu banyak
pesantren dengan jutaan
santri/pelajar. Tujuan utama dari
pengembangan Nusumma,
sebagaimana dinyatakan oleh para
pendirinya, adalah untuk bertindak
selaku agen perubahan sebagai
partisipasi dalam proses
transformasi sosial-ekonomi
masyarakat akar rumput di
Indonesia: partisipasi diwujudkan
lewat basis warga NU
(nusummajogja.co.id, 2016).
Berdasarkan uraian di atas,
nampaknya penekanan nilai-nilai
demokrasi yang ditekankan oleh
Gus Dur dengan tindakannya
terhadap etnis Tionghoa sangatlah
sejalan. Karena Gus Dur kepada
Islam, demokrasi, pluralisme, dan
minoritas lebih menekankan kepada
prinsip, maka pemikiran Gus Dur
untuk perkembangan demokratisasi
di Indonesia sangatlah relevan.
Menurut penulis, kerelevansian ini
karena keunikan Gus Dur , yaitu
hanya pada persoalan prinsip, bukan
prosedural dari demokrasi belaka.
Jika Indonesia terus bergerak
dengan proses demokratisasi yang
tiada henti, maka sumbangan
pemikiran dari Gus Dur akan terus
berjalan. Hal tersebut dapat dilihat
bagaimana Gus Dur memperlakukan
kelompok minoritas, dalam hal ini
etnis Tionghoa. Selain itu,
pemikiran dan tindakan Gus Dur
dalam sejarah hidupnya, konsisten
dengan demokrasi dan pluralisme di
Indonesia.
Di samping itu, konsistensi
Gus Dur juga dilatarbelakangi oleh
ajaran Islam itu sendiri (Suaedy,
2018). Jika ada pertanyaan bagian
mana dari pemikiran Gus Dur yang
tidak merelasikannya dengan dalil-
dalil agama Islam? Sejauh ini setelah penulis telusuri, nampaknya
tidak ada. Terlebih, ia adalah
seorang Kiyai yang lahir dari kultur
pesantren tradisional, sekaligus
salah satu cucu dari pendiri
organisasi keagamaan Nahdlatul
Ulama, yaitu KH. Hasyim Asya‟ari.
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
63 ISSN: 2655-4364
Sehingga, argumentasinya selalu
berelasi dengan ajaran Islam.
Misalnya mengenai
demokrasi, menurut Gus Dur
(1999), Islam adalah agama
demokrasi dengan argument sebagai
berikut: Pertama, Islam adalah
agama hukum, dengan pengertian
agama Islam berlaku bagi semua
orang tanpa memandang kelas, dari
pemegang jabatan tertinggi hingga
rakyat jelata dikenakan hukum yang
sama. Kalau tidak demikian, maka
hukum dalam Islam tidak jalan
dalam kehidupan. Kedua, Islam
memiliki asas permusyawaratan.
Amruhum syuraa bainahum, artinya
perkara-perkara mereka dibicarakan
di antara mereka. Dengan demikian
tradisi membahas, tradisi bersama-
sama mengajukan pemikiran secara
bebas dan terbuka yang pada
akhirnya diakhiri dengan
kesepakatan. Ketiga, Islam selalu
berpandangan memperbaiki
kehidupan. Karena dunia ini
hakikatnya adalah persiapan untuk
kehidupan di akhirat. “Wa al-
aakhiratu khairu wa-abqaa”, akhirat
itu lebih baik dan lebih langgeng.
Karena itu kehidupan manusia
tarafnya tidak boleh tetap, harus
terus ada peningkatan untuk
menghadapi kehidupan yang lebih
baik di akhirat.
Selain itu, ajaran Islam yang
diamalkan oleh NU yaitu Ahlu
Assunnah Wa Al Jamaáh
(selanjutnya disebut Aswaja) atau
biasa disebut Sunni juga digunakan
oleh Gus Dur. Menurut Said Aqil
(2012), Aswaja ini adalah metode
berfikir (manhajul fikr) yang bersifat sangat lentur, fleksibel, adil,
toleran, seimbang, dan moderat. Hal
ini tercermin dari sikap dan
pandangan kaum Sunni yang
mendahulukan dalil-dalil Alquran
dan Hadits (nash), meskipun
memberikan porsi yang longgar
terhadap rasionalitas, tidak
mengenal ekstrimisme, dan tidak
mengkafirkan sesama penganut
Islam. Moderasi ini berlaku untuk
semua aspek kehidupan akidah,
syari’at, mu’amalah, akhlaq dan
sosial-politik.
Sifat moderasi dan
fleksibilitas Aswaja inilah yang
kemudian membuatnya selalu
mencari konvergensi dan titik temu
di antara berbagai mazhab
pemikiran dan aliran keagamaan,
sehingga Aswaja tidak jumud,
mandeg, tidak kaku, eksklusif, tidak
elitis, dan juga tidak mengenal
status quo. Dengan moderasi dan
kelenturan tersebut membuat aswaja
dapat terbuka dengan perkembangan
zaman dan dapat menerima hal-hal
baru namun tidak larut terlalu jauh
di dalamnya (Said Aqil, 2012).
Dalam hal demokrasi
misalnya, nilai-nilai demokrasi
Abdurrahman Wahid tidak terlepas
dari pespektif atau pandangan
politik Sunni yang diyakininya,
yang oleh Burke disebut sebagai
substansi darinya (Nur Kholisoh,
2012). Pandangan politik Sunni
yang cenderung menjaga
harmonisasi dan menghindari
semaksimal mungkin konfrontasi
dengan penguasa demi
kemaslahatan umat dan menjaga
keutuhan bangsa inilah yang
kemudian turut mempengaruhi
proses identifikasi Abdurrahman
Wahid dengan khalayaknya, baik di
lingkungan maupun di luar
organisasi NU.
Begitu juga dalam hal
pluralisme, Gus Dur tetap sejalan
dengan ajaran Islam. Karena Islam sendiri menjunjung tinggi
perbedaan, sehingga dari perbedaan
tersebut melahirkan sikap toleransi
(Nur Kholisoh,2012). Dalam kontek
kebijakan kepada etnis Tionghoa,
karena membela sesama umat
manusia yang lemah (mustad’afin)
64 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
adalah kewajiban dalam ajaran
Islam. Sebab, Gus Dur menjadikan
Islam sebagai akhlaq, etika sosial,
pengayom, pelindung, pembawa
perdamaian bagi seluruh umat
manusia (Abdurrahman Wahid,
2006), dan ajaran Islam melindungi
kebutuhan dasar manusia
sebagaimana yang tercantum dalam
kulliyatul khams (Abdurrahman
Wahid, 2007). Oleh karena itu, ia
konsisten menjadikan isu minoritas
etnis Tionghoa sebagai bagian dari
persoalan pluralisme di Indonesia,
karena persoalan yang dihadapi
adalah menyangkut kemanusiaan
(hifdz nafs).
E. EPILOG
Sebagai sosok kontroversial,
Gus Dur memang menjadi topik
yang menarik untuk dibicarakan.
Akan tetapi, dibalik
kontroversialnya tersebut ada hal-
hal yang tidak terduga dan bernilai
positif. Padahal sebelumnya
masyarakat Indonesia sempat dibuat
bingung olehnya dari mulai
pemikirannya, kebijakan-
kebijakannya, dan bahkan joke-nya.
Berdasarkan data-data yang
telah penulis dapati serta dianalisis,
nampaknya terlihat jelas kuatnya
nilai-nilai kultur Islam tradisional
yang ada dalam pesantren dan
Nahdlatul Ulama yang disertai
dengan pergaulan yang luas dan
pendidikan di luar negeri, telah
mempengaruhi pola pikir Gus Dur
untuk terbuka dengan hal-hal baru,
yang lahir dari Barat.
Terlebih, kaidah-kaidah
hukum Islam (qawaid fiqhiyah) –
yang juga dianut oleh NU, dan kalangan tradisional Islam - telah
menjadi peran penting dalam
mengkonstruk pemikiran Gus Dur
dalam merespon perkembangan
yang ada. Misalnya, dengan adanya
penekanan hukum Islam (fiqh) yang
universal dengan lima nilai (kulliyat
al-khams), telah mendorongnya
untuk tidak mengikuti pada legal-
formal serta ideologisasi Islam
(baca: Negara Islam). Baginya,
pelaksanaan kelima nilai tersebut
harusnya menjadi ukuran yang
utama, sebab hal tersebut terkait
langsung dengan hak-hak individu
manusia.
Sehingga, Islam yang
dipahami oleh Gus Dur adalah Islam
yang menjadi landasan etis sosial
masyarakat untuk menuju kepada
kesejahteraan, yang berlaku untuk
ruang dan waktu manapun. Islam
menjadi inspirasi untuk tercapainya
penegakan masyarakat yang
berkeadilan. Dengan begitu, Islam
dalam diri Gus Dur adalah bersifat
substantif-inklusif. Oleh karena itu,
tidak heran kalau pemikirannya
terkait demokrasi dan pluralisme
selalu bergandengan dengan ajaran-
ajaran Islam. Hal ini lah yang
menjadi ukuran tepat untuk
melebelkan Gus Dur sebagai sosok
neomodernis Islam, bukan
tradisionalis Islam.
Kemudian, sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya,
pemikiran neomodernis Islam
adalah aliran Islam yang gigih untuk
menyebarkan ide-ide demokrasi
dengan gerakan kultural, dan
melakukan penguatan masyarakat
sipil sebagai upaya mendorong
perkembangan demokrasi. Hal
tersebut dapat dilihat dari tindakan
Gus Dur pada masa rezim Orde
Baru, ia menolak ICMI dan diikuti
dengan membentuk masyarakat
sipil, yakni Forum Demokrasi. Dari forum tersebut, demokrasi bagi Gus
Dur adalah demokrasi yang
memberikan kebebasan-kebebasan,
menegakan keadilan, hak dan
perlindungannya untuk seluruh
warga negara serta mengakomodir
semua pluralitas yang ada dengan
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
65 ISSN: 2655-4364
hukum sebagai aturan mainnya. Ia
juga menegaskan, bahwa
kontroversi (perbedaan) merupakan
esensi dari demokrasi.
Ia sendiri mengakui, bahwa
mayoritas dan minoritas dalam alam
demokasi adalah hal yang tidak
dapat dihindari. Bahkan, dalam
proses pengambilan keputusan pun
suara mayoritas yang menjadi
ukurannya. Maka untuk
menghindari masyarakat yang
monolitik, hukum menjadi tumpuan
utama agar kalangan minoritas
“tidak tersingkirkan” dari sistem
sebagai pelengkap untuk menuju
kepada check and balance dalam
demokrasi.
Kemudian, pluralisme yang
ada pada Gus Dur adalah dalam
kontek sosial yang bermuara pada
kesetaraan sesama warga negara
yang diatur dalam mekanisme
konstitusi. Pembelaannya terhadap
kelompok minoritas Tionghoa
bukan sekedar minor secara
kuantitas. Minoritas bagi Gus Dur
adalah kelompok yang mengalami
ketidakadilan, terlemahkan,
termarjinalisasi secara hukum
maupun sosial dst. Maka pembelaan
Gus Dur berada dalam konteks ini,
yaitu mereka yang lemah dan
mengalami ketidakadilan.
Hal itu ada pada etnis
Tionghoa. Mereka dilemahkan
dengan sistem hukum yang ada.
Oleh karena itu ketika menjadi
Presiden RI, Gus Dur mencabut
Inpres No. 14 Tahun 1967 dengan
Keppres No. 6 Tahun 2000 karena
Inpres tersebut memiliki sifat
diskriminasi terhadap kelompok tertentu yang melanggar hak asasi
manusia dan bertentangan dengan
demokrasi. Adapun pembelaan Gus
Dur tersebut tentu saja
dilatarbelakangi beberapa hal;
pertama, karena diskriminasi yang
dialami oleh etnis Tionghoa tidak
sejalan dengan semangat demokrasi
dan pluralisme. Kedua, suasana
reformasi yang merubah keadaan
politik di Indonesia saat itu yang
menuntut untuk lahirnya
keterbukaan-keterbukaan politik
atau partisipasi masyarakat secara
luas, bahkan politik identitas pun
bermunculan dengan semangat
untuk membangun Indonesia secara
bersama, hal tersebut juga dialami
oleh etnis Tionghoa. Ketiga,
keahlian etnis Tionghoa dalam
bidang wirausaha diharapkan dapat
didistribusikan untuk memperbaiki
perekonomian Indonesia yang saat
itu pasca-dilanda krisis 1998, serta
menjaga kerja sama bisnis yang
dibangun antara Gus Dur (PBNU)
dengan etnis Tionghoa Edward S.
Soeryadjaya (Komisaris Utama
Bank Summa) pada tahun 1990.
Namun, hal ini dikhawatirkan hanya
untuk keuntungan kelompok
organisasi tertentu saja.
Selain itu, ia juga
mendorong etnis Tionghoa untuk
bersama-sama berperan dalam
membangun bangsa dan negara
dengan menginisiasi terbentuknya
masyarakat sipil bernama
Perhimpunan Indonesia-Tionghoa
(INTI), sebagai salah satu langkah
untuk mendorong proses
demokratisasi. Sehingga, etnis
Tionghoa setara dengan warga
negara Indonesia lainnya, yaitu
setara dihadapan hukum yang
memiliki hak yang sama sebagai
warga negara. Atas jasa-jasa inilah
Gus Dur kemudian dinobatkan
sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.
Selanjutnya, pemikiran dan
tindakannya ini sangat relevan
dengan perkembangan demokrasi di
Indonesia. Sebab, Gus Dur lebih
menekankan bagaimana prinsip-
prinsip dari demokrasi dapat
berfungsi. Lagipula, menjaga
66 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
pluralitas yang ada di Indonesia
menjadi kewajiban bagi setiap
warga negara, maka dari itu sikap-
sikap seperti toleransi, inklusif,
penghapusan terhadap diskriminasi,
dan membela yang lemah seperti
yang dicontohkan Gus Dur akan
selalu relevan dan dibutuhkan.
Selain itu, konsistensi Gus
Dur menjadikan isu minoritas
sebagai salah satu masalah dalam
pluralisme adalah karena adanya
semangat kebangsaan, yang dalam
konteks ini berkaitan dengan
pluralitas dan konstitusi. Bagi Gus
Dur, ukuran pluralisme adalah
kesetaraan dalam hukum. Maka
kelompok minoritas sebagai bagian
dari warga negara juga harus
diperlakukan setara, sebagaimana
diatur dalam hukum. Hal ini
dimaksudkan agar prinsip-prinsip
demokrasi seperti keadilan dan
keseimbangan tetap terjaga. Jadi,
apabila kelompok minoritas
diperlakukan secara tidak sama,
maka hal ini tidak sejalan dengan
pluralismenya Gus Dur, meskipun
demikian masih terdapat tanggapan-
tanggapan kontra terhadap
pemikiran dan tindakan-
tindakannya..
DAFTAR BACAAN:
Buku
Anam, Choirul. Pertumbuhan &
Perkembangan NU. Cet. III.
PT. Duta Aksara Mulia,
2010.
Al Qurtuby, Sumanto. Arus Cina-
Islam-Jawa: Bongkar
Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran
Agama Islam di Nusantara
Abad XV dan XVI. Cet. 1.
Yogyakarta: INSPEAL-INTI.
2003.
Apter, David E. Pengantar Analisa
Politik. 1987. Jakarta;
LP3ES, 1987.
Arikunto, Suharsimi. Manajemen
Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta, 1995.
_________________. Prosedur
Penelitian. Jakarta : PT. Bina
Aksara, 1989.
Bahar, Ahmad. Biografi Kiai
Politik Abdurrahman Wahid:
Gagasan & Pemikiran.
Jakarta: Bina Utama, 1999.
Barton, Greg. Biografi Gus Dur;
The Authorized Biography of
Abdurrahman Wahid. Cet. I.
Yogyakarta: LKiS, 2003.
___________. Gagasan Islam
Liberal di Indonesia. Cet. I.
Jakarta: Kerjasama
Paramadina dengan Pustaka
Antara, 1999.
Budiman, Arif. Teori Negara:
Negara, Kekuasaan, dan
Ideologi.Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama,
1996.
Budiardjo, Miriam dkk. Pengantar
Ilmu Politik. Cet. 27.
Tangerang Selatan: Penerbit
Universitas Terbuka, 2017.
_______________. Dasar-Dasar
Ilmu Politik (edisi Revisi).
Jakarta: PT. Gramedia, 2008.
Choiry, A. Effendi. PKB Politik
Jalan Tengah NU:
Eksperimentasi Pemikiran
Islam Inklusif dan Gerakan
Kebangsaan Pasca Kembali
ke Khittah 1926. Cet. 1.
Jakarta: Pustaka Ciganjur,
2002.
_______________dkk. Sejuta
Gelar Untuk Gus Dur. Cet. 1.
Jakarta: PT. Nawa Mulia Nusantara, 2010.
Chilcote, Ronald H. Teori
Perbandingan Politik:
Penelurusan Paradigma.Cet.
4. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2010.
Dahl, Robert. Perihal Demokrasi:
Menjelajahi Teori dan
Praktek Demokrasi Secara
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
67 ISSN: 2655-4364
Singkat. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia, 2001.
Djafar, TB. Massa. Krisis Politik &
Proposisi Demokratisasi:
Perubahan Politik Orde Baru
ke Reformasi. Jakarta: Bumi
Aksara, 2015.
Feillard, Andree. Gus Dur NU dan
Masyarakat Sipil. Cet. III.
Yogyakarta: LKiS, 2010.
Geertz, Clifford. Agama Jawa:
Abangan, Santri, Priyayi
dalam Kebudayaan Jawa.
Cet. II. Jakarta: Komunitas
Bambu. 2014.
Haidar, Ali. Nahdlatul Ulama dan
Islam di Indonesia;
Pendekatan Fiqh Dalam
Politik. Jakarta: PT.
Gramedia, 1994.
Hamid, Tijani Abdul Qadir.
Pemikiran Politik Dalam
Alqur’an. Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Heywood, Andrew. Politik.
Yogyakarta; Pustaka Pelajar,
2014.
Hitti, Philip K. History of Arabs
(diterjemahkan oleh R. Cecep
dkk.).Cet. 1. Jakarta : PT
Serambi Ilmu Semesta, 2014.
Husaini, Adian dan Nuim Hidayat,
Islam Liberal: Sejarah,
Konsepsi, Penyimpangan,
dan Jawabannya, Cet. 1.
Jakarta: Gema Insani, 2002.
Ibad, MN. Bapak Tionghoa
Indonesia. Cet. 1. Yogyakarta
: LKiS, 2011.
Ida, Laode dan A. Tantowi
Jauhari.Gus Dur: Di Antara
Keberhasilan &
Kenestapaan. Cet. 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1999.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah:
Kontektualisasi Doktrin
Politik Islam. Cet. 2. Jakarta:
Penerbit Gaya Media
Pratama, 2007.
_______________dan Amin
Husein Nasution. Pemikiran
Politik Islam: Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer. Cet. 2. Jakarta:
Kencana Prenada Media
Group, 2013.
Ishiyama, John T, dan Marijke
Breuning. Ilmu Politik Dalam
Paradigma Abad ke-21:
Sebuah Referensi Panduan
Tematis. Cet. 1. Jakarta:
Kencana, 2013.
Kahar, Joko S. dan Adib Susila.
Pokok-Pokok Pemikiran
Bung Hatta. Cet. 1.
Yogyakarta: Buku Litera,
2012.
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik
Islam Tematik. Cet. 1.
Jakarta: Kencana Prenada
Group, 2013.
Kholisoh, Nur. Demokrasi Aja Kok
Repot: Retorika Politik Gus
Dur dalam Proses Demokrasi
di Indonesia. Cet. 1.
Yogyakarta : Penerbit Pohon
Cahaya, 2012.
Kuntowijoyo. Identitas Politik
Umat Islam. Cet. II. Bandun :
Penerbit Mizan, 1997.
Kusuma, Eddiedan S. Satya
Dharma. Etnis Tionghoa
dalam Politik Indonesia
Sebelum dan Sesudah
Reformasi 1998. Cet. 1.
Jakarta: SAKTI, 2006.
Latif, Yudi. Negara Paripurna:
Historisitas, Rasionalitas,
dan Aktualitas Pancasila. Cet
1. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2011.
Mardani.Ushul Fiqh. Cet. 1.
Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Martono, Nanang. Metode Penelitian Sosial; Konsep-
Konsep Kunci.Cet. 2. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada,
2016.
Masdar, Umaruddin. Membaca
Pikiran Gus Dur dan Amin
Rais Tentang Demokrasi.
Cet. II. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999.
68 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Mufti, Muslim. Teori-Teori Politik.
Bandung : Pustaka Setia,
2012.
_____________dan Didah
Durrotun Naafisah. Teori-
teori Demokrasi. Cet. 1.
Bandung: CV. Pustaka Setia,
2013.
Mundiri. Logika. Cet. VII, Jakarta;
PT Raja Grafindo Persada,
2002.
Muhadjir, Noeng. Metodologi
Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Rakesarasin,
1996.
Musa, Ali Masykur. Pemikiran dan
Sikap Politik Gus Dur.
Jakarta: Penerbit Erlangga,
2010.
Moleong, Lexi J. Metodologi
Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1993.
Narbuko, Cholid dan Abu
Achmadi. Metode Penelitian.
Jakarta: PT Bumi Aksara,
2009.
Nasution, Harun. Pembaharuan
Dalam Islam: Sejarah
Pemikiran Dan Gerakan. Cet
II. Jakarta: PT Bulan Bintang,
1982.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen
Islam di Indonesia 1900-
1942. Cet. 2. Jakarta :
LP3ES, 1982.
Pekei, Titus. Gus Dur Guru Papua
& Masa Depan : Hidup
Damai Lewat Dialog. Cet. I.
Jakarta Pustaka Sinar
Harapan, 2013.
Putranto Kusumowidagdo, Sigid
dkk. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta : LP3ES,
1986.
Qodir, Zuly. Islam Liberal: Varian-
Varian Liberalisme Islam di
Indonesia 1991 – 2002. Cet.
1. Yogyakarta: LKiS, 2012.
Raffiudin, Riaty dkk. Teori Politik.
Cet. 10. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka, 2016.
Rachman, Budhy Munawar.
Reorientasi Pembaharuan
Islam: Sekularisme,
Liberalisme, dan Pluralisme.
Malang: Madani. 2016.
Ricklef, Mc. Sejarah Indonesia
Modern. Serambi. 2005.
Sargent, Lyman Tower. Ideologi-
ideologi Politik
Kontemporer: Sebuah
Analisis Komparatif
(diterjemahkan oleh A. R.
Henry Sitanggang). Edisi
Keenam. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1987.
Siradj, Said Aqil. Islam
Kebangsaan: Fiqh
Demokratik Kaum Santri.Cet.
1. Jakarta: Pustaka Ciganjur,
1999.
______________. Tasawuf Sebagai
Kritik Sosial:
Mengedepankan Islam
Sebagai Insipirasi, Bukan
Aspirasi. Cet. IV. Jakarta:
SAS Foundation dan LTN
PBNU, 2012.
Sitompul, Einar M. NU dan
Pancasila. Cet. II. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik
Barat. Cet. II. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama,
2004.
Suhandinata, Justian. WNI
Keturunan Tionghoa dalam
Stabilitas Ekonomi & Politik
Indonesia, Cet. II. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2012.
Sugiyono. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta, 2011.
Sukandarrumidi. Metode
Penelitian;Petunjuk Praktis
Untuk Peneliti Pemula.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2002.
Suryadinata, Leo. Negara dan Etnis
Tionghoa: Kasus Indonesia.
Jakarta: LP3ES. 2002.
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
69 ISSN: 2655-4364
_______________. Etnis Tionghoa
dan Nasionalisme Indonesia.
Jakarta: Kompas, 2010.
Suyanto, Bagong dkk. Metode
Penelitian Sosial Berbagai
Alternatif Pendekatan. edisi
ketiga cet. 8. Jakarta:
Kencana, 2015.
Syadzili, Munawir. Islam dan Tata
Negara: Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran. Cet. 2. Jakarta:
Penerbit Universitas
Indonesia, 1990.
Tim INCRëS. Beyond The
Symbols: Jejak Antropologis
Pemikiran dan Gerakan Gus
Dur. Cet. 1. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya, 2000.
Wahyuni Nafis, Muhammad. Cak
Nur, Sang Guru Bangsa.
Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2014.
Wahid, Abdurrahman. Tabayun
Gus Dur; Pribumisasi Islam,
Hak Minoritas, Reformasi
Kultural. Cet.
III,.Yogyakarta: LKiS, 1998.
__________________. Islam,
Negara, dan Demokrasi.
Jakarta: Penerbit Erlangga,
1999.
__________________. Mengurai
Hubungan Agama dan
Negara. Jakarta: Grasindo
1999.
__________________. Gus Dur
Bertutur. Cet. 1. Jakarta:
Harian Proaksi, 2005.
__________________. Islamku
Islam Anda Islam Kita. Cet.
1. Jakarta: The Wahid
Institute, 2006.
__________________. Islam Kosmopolitan.Cet. 1. Jakarta:
The Wahid Insitute, 2007.
__________________.Prisma
Pemikiran Gus Dur. Cet II,
Yogyakarta: LKiS, 2010.
__________________. Tuhan
Tidak Perlu Dibela.
Yogyakarta : LKiS. 2012
Zaairul Haq, Muhammad. Tasawuf
Gus Dur. Cet. 1. Yogyakarta:
Aditya Media Publishing,
2012.
Karya Ilmiah
Indah Putri Indriany, Islam dan
Negara di Indonesia:
Pemikiran Politik
Abdurrahman Wahid, Tesis
Magister Ilmu Politik
Universitas Indonesia,
Jakarta. 2002.
Masyhuri. Hubungan Agama dan
Negara: Studi Pemikiran
Politik Abdurrahman Wahid.
Tesis Magister Universitas
Indonesia. 2005.
Websites
Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa
adalah Bagian Integral
Bangsa Indonesia, 2002,
yang dimuat dalam
https://arusbawah20.wordpres
s.com/s2010/08/23/etnis-
tionghoa-adalah-bagian-
integral-bangsa-indonesia/
diakses pada tanggal 22
Maret 2018, pukul 02:01
WIB.
http://www.gusdurfiles.com/2016/0
7/inilah-pluralisme-yang-
diamalkan-gus-dur.html.
Diunduh pada tanggal 15 Juli
2018, pukul 05.31 WIB
https://islami.co/gus-dur-edward-
soeryadjaya-rahasia-
membentuk-nu-summa/
diakses pada tanggal 5
Septmber 2018 pukul 22.11
WIB.
.
70 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
FUNGSI BADAN USAHA MILIK DESA
(STUDI PADA BUMDES CINANGSI KARYA MADANI DESA
CINANGSI KECAMATAN CIKALONGKULON KABUPATEN
CIANJUR)
Sandi Rahmat | [email protected] | Agus Kurniadi | [email protected]
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
Abstrak
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan penelitian
deskriptif. Tahap-tahap dalam penelitian Fungsi BUMDes terhadapa
Pembangunan Desa Cinangsi meliputi, Definisi Masalah Peninjauan lapangan
yang menghasilkan dokumen, mengumpulkan data berupa laporan BUMDes,
melakukan pengumpulan data primer berupa hasil wawancara dengan
Perangkat Desa, Pengurus BUMDes dan masyarakat desa yang terlibat secara
langsung dan tidak langsung. Fungsi BUMDes menjadi tempat menghimpun
modal masyarakat dikelola bersama-sama dalam mewujudkan kesejahteraan,
kemakmuran masyarakat desa, pengembangan ekonomi rakyat pedesaan,
membentuk kemandirian ekonomi pedesaan yang berkelanjutan.
Secara umum Fungsi Badan Usaha Milik Desa mampu memberikan
kemajuan dalam pembangunan desa sudah cukup baik, dilihat dari keberhasilan
program-program BUMDes dalam membangun desa. BUMDes Cinangsi Karya
Madani harus menambah unit usaha baru pada sektor perikanan ini bertujuan
untuk menarik para pelaku usaha dibidang ini untuk bergabung dengan
BUMDes Cinangsi Karya Madani.
Kata kunci: BUMDes, Fungsi BUMDes, Program BUMDes, Pembangunan
Desa
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara
dengan jumlah penduduk terbesar
keempat dunia. Banyaknya populasi
penduduk Indonesia bisa menjadi
sebuah pendorong ekonomi mandiri
yang harus didukung dengan segala
upaya pemerintah melaui kebijakan-
kebijakannya yang prorakyat.
Politik yang stabil, iklim investasi
yang sehat, keamanan nasional yang
kondusif serta sumber daya manusia
(SDM) yang mumpuni merupakan
beberapa faktor yang akan
mempengaruhi perkembangan
pembangunan. Jauh setelah
melewati masa-masa sulit dijaman
kolonialisme, Indonesia lahir
sebagai negara harapan bagi
rakyatnya, yakni bangsa yang bebas
merdeka untuk menentukan nasib
bangsanya sendiri sebagai negara
yang berdaulat, dengan mewarisi
kekayaan alam yang melimpah serta
didukung dengan sumber daya
manusia yang mumpuni.
Terlepas dari hal tersebut
diatas, diharapkan semua komponen
bangsa ikut serta dalam membangun
negeri ini. Pemerintah dalam hal ini
secara terus menerus memfokuskan
diri pada program-program
percepatan pembangunan, seperti
dalam program pembangunan
nasional dan pembangunan daerah.
Untuk merinci secara lebih spesifik
penelitian ini akan dilakukan pada
tingkat terendah dalam program
pembangunan, yaitu pada tingkat
desa.
Desa merupakan sebuah
permukiman masyarakat yang
notabene jaraknya cukup jauh dari
pusat Ibu kota. Sebagai layaknya
sebuah pemukiman, desa seharusnya
mampu memenuhi kebutuhan dasar
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
71 ISSN: 2655-4364
manusia untuk tempat huni atau
bermukim yang pemenuhannya
terus diupayakan agar
masyarakatnya dapat menempati
rumah dengan lingkungan
pemukiman yang layak, sehat, aman
dan dinamis. Pembanguan
pemukiman pada dasarnya
merupakan tugas dan tanggung
jawab masyarakat itu sendiri,
pemerintah berkewajiban
memberikan kemudahan dan
menciptakan iklim perekonomian
yang dapat mendorong tumbuh dan
berkembangnya kemajuan desa.
Pembangunan pemukiman
pedesaan seharusnya dilakukan
secara terpadu dan seimbang, adil,
serta diarahkan agar pembangunan
yang berlangsung di setiap daerah
perdesaan sesuai dengan kondisi dan
potensi daerah perdesaan.
Pembanguan seharusnya ditunjang
dengan pelaksanaan program
penyediaan pasar, kesehatan,
pendidikan, dan tata ruang desa.
Menrurut Sadu Wasistiono
dalam bukunya administrasi
pemerintahan desa (2005: 21)
mengatakan bahwa “Pembangunan
desa merupakan bagian dari
kesatuan sistem pembangunan
nasional yang dilaksanakan oleh
semua komponen masyarakat desa
dalam kerangka NKRI. Perencanaan
pembanguan desa diatur dalam
Peraturan Pemerintah nomor 72
tahun 2005 tentang Desa serta
Peraturan Menteri Dalam Negeri
nomor 66 tahun 2007 tentang
Perencanaan Pembanguan Desa
disusun dalam rangka
penyelengaraan pemerintahan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem
perencanaan pembangunan daerah
Kota/Kabupaten.
Dalam mewujudkan
pembangunan, sering ditemui faktor
faktor penghambat terhadap
pembangunan desa, seperti sumber
daya manusianya kurang terampil.
sumber daya manusia atau aparat
yang bertugas pada organisasi desa
tersebut secara kuantitas jumlah
pegawai yang ada pada kantor
kepala desa masih sangat kurang
jika dibandingkan dengan beban
tugas yang ada. Tingkat partisipasi
masyarakat yang masih rendah
dalam pembangunan desa,
masyarakat kurang begitu mengerti
akan program dalam pembangunan
desa. Seyogiyanya pembangunan
akan terwujud apabila semua
komponen yang ada disatu wilayah
tersebut terlibat, ikut berperan
dalam mengidentifikasi program
program yang seharusnya sesuai
dengan potensi dan kebutuhan
masyarakat desa. Bukan sekedar
daftar keinginan masyarakat tetapi
harus disusun dengan menggunakan
kriteria kebutuhan kebutuhan yang
sifatnya urgently (mendesak). Selain
itu, bentuk partisipasi masyarakat
bisa terlihat melalui penyerahan
lahan yang diperlukan untuk
mengimplementasikan program
program pembangunan desa,
contohnya anggota masyarakat
bersedia menyerahkan sebagian
lahan meraka untuk pembangunan
jalan raya, saluran irigasi tanpa
meminta ganti rugi harga lahannya.
Dengan partisipasi
masyarakat dapat memperkuat
kemauan, kepedulian dan kesediaan
masyarakat untuk memberikan
kontribusi dalam bentuk tenaga,
dana, harta dan pemikiran.
Keberhasilan partisipasi masyarkat
perlu kesadaran dan pemahaman
anggota masyarakat dan diperlukan
juga local leadership
(kepemimpinan lokal) yang tangguh dan berwawasan kepada
pembangunan masa depan, serta
keberhasilan partisipasi ini
dipengaruhi juga oleh sikap dan
perilaku masyrakat, kemahiran
sosialisasi, kominikasi yang baik,
pendampingan dan kelembagaan
yang efektif dan efisien yang
72 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
berorientasi pada pembangunan
yang berkelanjutan.
Melaui program Badan
usaha milik desa atau BUMDes,
penelitian ini akan memberikan
gambaran tentang salah satu aspek
pembangunan desa dengan
konsentrasi pada fungsi BUMDes,
seperti kita tahu bahwa
pembangunan desa merupakan
bagian dari pembangunan nasional
dan pembangunan desa ini memiliki
arti dan peranan yang penting dalam
mencapai tujuan nasional, karena
desa beserta masyarakatnya
merupakan basis dari ekonomi,
politik, sosial budaya dan
pertahanan keamanan.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi eksistensi BUMDes
harus mendapat perhatian bersama
untuk semakin diberdayakan, yakni
kualitas sumber daya manusia
pengelola, kelembagaan,
permodalan, transparansi sumber
keuangan seta ruang lingkup
aktivitas yang digeluti. Semua itu
harus diketahui secara benar dan
utuh oleh jajaran pengelola,
kehadiran BUMDes telah
dilegitimasi dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 39
Tahun 2010 Tentang BUMDes.
Keseriusan pemerintah untuk tetap
mendorong peningkatan ekonomi
masyarakat desa melalui BUMDes
tidak semata didasarkan pada aspek
pertumbuhan ekonomi, akan tetapi
yang lebih penting adalah
menciptakan aktifitas ekonomi yang
kondusif di tingkat desa untuk
memecahkan kendala
pengembangan usaha desa guna mendorong peningkatan pendapatan
masyarakat sehingga dapat
mewujudkan kesejahteraan
masyarakat secara luas.
Metode pendekatan dan
sosialisasi juga berperan penting
dalam menjalankan program
BUMDes, sosialisasi baiknya
dilakukan secara kontinyu dan
menyeluruh mengingat cakupan
manfaat BUMDes untuk semua
masyarakat Desa Cinangsi,
keikutsertaan atau keterlibatan
masyarakat sangat dibutuhkan untuk
mensukseskan dan mengawasi
jalannya program-program
BUMDes. Sejatinya dalam
membangun sebuah daerah semua
komponen harus terlibat seperti
adanya wilayah sebagai kegiatan
ekonomi dan sosial, adanya
penduduk yang memiliki SDM
bermutu, adanya kebijakan-
kebijakan daerah yang membantu
dalam pembanguan desa seperti
membangun usaha bersama untuk
menguatkan ekonomi desa melalui
BUMDes.
Rumusan Masalah Berdasarkan hasil
pembahasan diatas maka dapat
dirumuskan suatu permasalahan
yaitu :
Bagaimanakah fungsi
BUMDes Cipta Karya Madani
dalam pembangunan desa Cinangsi?
Bagaimanakah proses
pengumpulan modal serta pemilihan
jenis usaha pada BUMDes Cipta
Karya Madani?
Metode Penelitian
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif deskriptif
dengan menggunakan pendekatan
kualitatif yaitu metode deskriptif
merupakan metode yang digunakan
untuk menggambarkan atau
menganalisis suatu hasil penelitian
tetapi tidak digunakan untuk
membuat kesimpulan yang lebih luas (Sugiyono, 2005: 21).
Sedangkan jenis penelitian
yang digunakan adalah studi kasus
yaitu merupakan pengujian secara
rinci terhadap, suatu latar, satu
subyek, satu tempat penyimpanan,
atau satu peristiwa tertentu. Dalam
penelitian ini studi kasus dititik
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
73 ISSN: 2655-4364
beratkan pada Fungi BUMDes
Dalam Pembangunan Desa
Cinangsi Kecamatan Cikalongkulon
Kabupaten Cianjur.
Pembahasan Gerakan membangun badan
usaha milik desa atau disebut juga
dengan BUMDes sebenanrnya
bukan hal baru meskipun konsep itu
baru diperkenalkan oleh pemerintah
dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Sutoro Eko “dari dulu kita
telah mengenal berbagai instansi
sosial dan institusi keuangan mikro
yang dibentuk pemerintah
diantaranya : BKD, BIMNAS,
KUPEDES, KIK, KCK, BUUD,
KUD, UEDSP, LPD belakangan
juga hadir berbagai nama bergulir
yang dikelola kelompok-kelompok
masyarakat yang dibentuk oleh oleh
proyek-proyek sectoral kementrian
seperti UPK dan simpan pinjam
untuk perempuan (SPP) dalam
PNPM mandiri perdesaan.
Semua ini adalah LKM
korporatis atau lembaga keuangan
mikro (LKM) yang dibentuk oleh
pemerintah, berbagai LKM ini
dibentuk oleh pemerintah karena
komitmen pemerintah menolong
rakyat desa dari jeratan rentenir dan
sekaligus membuka akses kredit
bagi rakyat desa, mengingat bank-
bank komerisal baik BUMN atau
swasta tidak pro rakyat. Seperti pada
umumnya program program
semacam ini sudah berkembang
terlebih dahulu dipedesaan seperti
juga hal halnya desa desa di Jawa
sudah menjalankan usaha desa
sebelum mengenal BUMDes. Di desa Jawa barat pun telah
mengembangkan program program
usaha desa yang biasanya
diprakarsai oleh kelompok-
kelompok tani atau oleh sesepuh
desa, di beberpa desa yang berada di
kabupaten Cianjur bahkan telah
mengembangkan usaha yang
berorientasi bisnis lokal maupun
ekonomi kreatif. Seperti yang terjadi
di desa desa kecamatan
cikalongkulon yang dilewati jalur
provinsi (mekar galih, sawah girang,
sukaresmi, gunung gambir, pasir
waru, cinangsi) melakuan
pembukaan lahan ekonomi dengan
membangun saung-saung tempat
istirahat bagi pengguna jalan raya
Jakarta-Bandung. Mereka
membangun mushola mushola
toilet-toilet umum dan warung-
warung tempat istirahat dan makan,
membangun tempat berjualan untuk
disewakan kepada pelaku ekonomi,
hasil persewaan ini sangat signifikan
sebagai PADes, meskipun
jumlahnya tidak besar namun bisa
menambah kas desa yang mereka
bisa gunakan untuk membangun
fasilitas umum, maupun mendukung
kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Berbeda dengan desa yang
berada dibawah kaki gunung seperti
yang terdapat di Kecamatan Pacet
(Hanjawar, Sindanglaya,
Sindangjaya, Sukaresmi, Sukatani)
rata rata membangun usaha wisata
desa, seperti membangun tempat
camping ground, jasa pemandu
wisata pendakian, membuat
perkoprasian tamanan sayur dan
tanaman hias, menyewakkan villa
untuk menginap dan
mengembangkan perusahaan air
desa (PAMDes) sebagai bisnis lokal
yang melayani kebutuhan air minum
warga.
Setelah lahir program
pendanaan desa dari pusat yakni 1
milyar perdesa, ini menjadi sebuah
penyemangat baru untuk desa dalam
membangun desa dan memberdayakan masyarakat dari
ketertinggalan, selanjutnya dana ini
dialokasikan untuk membentuk
BUMDes untuk percepatan
pertumbuhan ekonomi desa,
BUMDes lahir sebagai ikon baru
karena sebelumnya desa telah
mengenal Alokasi Dana Desa
(ADD) dan Rencana Pembangunan
74 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Jangka Menengah Desa (RPJM
Desa). Ketiga program itu telah
tertuang dalam PP No. 72/2005 dan
secara khusus BUMDes dipayungi
dan digerakan oleh Permendagri No.
39/2010. Kebijakan pemerintah ini
mempunyai kehendak dan spirit
kemandirian, kebersamaan, gotong
royong antara aparatur desa dan
masyarakat yang mengembangkan
asset lokal untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan
meningkatkan pendapatan ekonomi
masyarakat dan desa. BUMDes juga
hadir untuk memberikan sumbangan
terhadap penanggulangan
kemiskinan dan pencapaian
kesejahteraan rakyat.
BUMDes Cinangsi Karya Madani
Desa Cinangsi merupakan
sebuah desa yang berada diwilayah
Kecamatan Cikalongkulon
Kabupaten Cianjur, dengan luas
wilayah 586,26 Hektar dengan
mayoritas lahan pertanian dan
pesawahaah. Jumlah penduduk desa
ini mencapai 9.123 jiwa dengan
tingkat kepadatan penduduk 0,082
m (sumber: Sekretaris Desa).
Dengan memiliki potensi alam yang
tropis, berada pada lembah
pegunungan menjadikan desa ini
subur akan produksi padi dan
sayuran, namun jika melihat dari
data yang didapat luasya lahan yang
dimiliki desa ini belum
termanfaatkan dengan baik,
penyebabnya bisa saja karena
sumberdaya manusia dan modal
untuk memanfaatkan lahan menjadi
ladang pertanian atau usaha.
BUMDes merupakan instrument pendayagunaan ekonomi
lokal dengan berbagai ragam jenis
potensi, pendayagunaan potensi ini
bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan ekonomi masyarakat
perdesaan, melaui pengembangan
usaha ekonomi mereka sebelumnya
ataupun baru. Keberadaan BUMDes
ini dapat memberikan kontribusi
dalam peningkatan pendapatan asli
desa (PADes) yang memungkinkan
desa mampu melaksanakan
pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat desa
secara optimal.
BUMDes in diberi nama
Cinangsi Karya Madani dibentuk
pada bulan Oktober 2014, dikelola
dan dikembangkan bersama oleh
pemerintah desa dan masyarakat
desa yang disesuaikan dengan
karakteristik potensi sumber daya
alam dan budaya lokal yang dimiliki
desa, untuk memfasilitasi,
memperkuat, menjaga
keberlangsungan, serta
mengembangkan usaha dan aktifitas
ekonomi produktif yang dilakukan
warga desa. Meski tergolong baru
namun BUMDes Cinangsi Karya
Madani di Desa Cinangsi kecamatan
Cikalongkulon Kabupaten Cianjur
telah mendapat omzet yang
diharapakan lewat usaha budidaya
jamur tiram dan pengolahan limbah
jeroan ayam.
Pencapaian omset BUMDes
Cianangsi Karya Madani
keseluruhan jika dirata-rata
mencapai kisaran 30 s/d 40 juta
perbulan, hasil ini sesuai yang
diharapkan dan memberikan
kemajuan pada BUMDes, namun
“jika pemenuhan kebutuhan pasar
terpenuhi secara maksimal ditambah
dengan sumber daya manusia yang
memadai maka hasilnya akan lebih
besar dari yang sekarang”, tutur
Wahyu Hidayat selaku ketua
pelaksana BUMDes Cinangsi Karya
Madani. Seiring berjalannya
BUMDes dan marketnya yang terus meluas BUMDes Cinangsi Karya
Madani mulai menunjukan
eksistensinya terlihat dari tingkat
pesanan yang meningkat, meskipun
permintaan pesanan meningkat
pengelola tidak menaikan target
produksi mengingat karena ada
beberapa kendala salah satunya
adalah keterbatasan sumber daya
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
75 ISSN: 2655-4364
manusia didalamnya, ditambah
dengan kekurangan armada (alat
transportasi) berupa mobil pick up
yang saat ini hanya memiiki 1 (satu)
buah, tentunya ini akan mempersulit
ke stabilan pengiriman barang.
Namun untuk meminimalisir
kekurangan itu armada sementara
dibantu dengan memakai roda 2
(dua) untuk membantu pengiriman
barang.
Permodalan BUMDes Cinangsi
Karya Madani
Proses perolehan modal
BUMDes Cinangsi Karya Madani
semula berasal dari Pemerintah
Desa yang bersumber dari APBDes,
modal BUMDes selanjutnya dapat
berasal dari sebagian atau
seluruhnya dari kekayaan desa yang
dipisahkan oleh Pemerintah Desa.
1. Pengumpulan dana dari
masyarakat atau investor.
BUMDes Cinangsi Karya
Madani mengajukan
proposal.
2. Pinjaman.
3. Bantuan Pemerintah,
Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten.
4. Penyertaan modal pihak lain
atau kerjasama bagi hasil
atas dasar saling
menguntungkan.
5. Tambahan Modal dari
APBDes selanjutnya untuk
memperbesar Modal
BUMDes selama diperlukan
dan besaranya ditetapkan
melalui Musyawarah Desa.
6. BUMDes dapat melakukan
pinjaman kepada lembaga perbankan atau pihak-pihak
lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Unit Usaha BUMDes Cinangsi
Karya Madani
BUMDes Trading yaitu
suatu jenis usaha yang berdagang
kebutuhan pokok dan sarana
produksi (Herry
Kamaroesid:5)BUMDes Cinangsi
Karya Madani menjual limbah dari
PT. QL Trimitra yaitu berupa jeroan
ayam potong meliputi usus, ati,
ampela dan kepala ayam kepada
masyarakat umum, objeknya adalah
pasar tradisional, pedagang warung
nasi, dan konsumen langsung (end
user). Usaha ini dipilih karena
dilihat dari beberapa aspek dan
peluang yang ada, terlebih PT. QL
Trimitra mendukung program ini
sebagai bentuk CSR dari perusahaan
untuk masyarakat sekitar, disisi lain
barang komoditi seperti ini adalah
konsumsi primer dengan permintaan
pasar yang cukup stabil sehingga
mudah untuk dijalankan.
Pemanfaatan limbah ini sebelumnya
sudah ada mulai lebih dulu oleh
perorangan, BUMDes Cinangsi
Karya Madani diberikan jatah untuk
mengelola limbahnya. Berdasarkan
dari kebiasaan masyrakat sekitar
Desa Cinangsi jeroan ayam ini
sangat digemari sebagai lauk untuk
makan sehari-hari, juga digunakan
sebagai campuran pakan untuk ikan
Lele, karena dibeberapa wilayah
Kecamatan Cikalong Kulon terdapat
pelaku usaha yang bergerak
dibidang ternak ikan Lele. Untuk
harga yang didapat dari PT QL
seharga 3000/kg dalam kondisi
belum bersih dari kotoran-kotoran,
begitupun kondisi ati ampela masih
belum bersih, untuk mendapatkan
barang limbah ini BUMDes
mengambil langsung ke PT QL
karena PT QL tidak bisa mengantar
barang ke BUMDes. Setelah sampai ditempat pengolaan yang BUMDes,
proses pembersihan kotoran
dilakukan setelah itu sortir dan
dikemas. Kebutuhan pesanan harian
konsumen untuk jeroan ini
mencapai pada angka 100
kg/perhari, angka ini belum
maksimal jika dibandingkan dari
market share yang ada yakni
76 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
menembus angka di atas 200
kg/hari, kebutuhan 200 kg/perhari
belum bisa terpenuhi mengingat
limbah jeroan hasil produksi PT QL
rata rata mencapai 100 kg/hari dan
limbah ini juga sudah ada kuotanya
untuk perorangan yang sudah
menjalankan usaha ini sebelumnya.
Maka dari hal ini sangat jelas bahwa
usaha usaha komoditi ini sangat
menjanjikan, hanya saja BUMDes
Cinangsi Karya Madani untuk stok
ketersediaan barang masih
bergatung pada PT QL Trimitra,
dengan kata lain jika permintaan
ayam potong PT QL meningkkat
maka stok limbah jeroan ayam pun
akan meningkat untuk BUMDes ini.
Usaha pembuatan kerajinan
rakyat dan industri rumah tangga
(handycraft) bunga dari plastik,
usaha ini merupakan usaha yang
digemari pada saat ini oleh
masyrakat Desa Cinangsi khususnya
oleh kaum wanita atau ibu-ibu.
Market dari handycraft bunga
plastik ini sudah ada hanya tinggal
dibantu dengan pemasaran dan
sumber daya manusianya. Usaha ini
bisa memberikan dampak postif
untuk Ibu ibu yang notabene adalah
Ibu rumah tangga yang tidak
memiliki pekerjaan tetap, yang pada
akhirnya bisa membuka kesempatan
atau peluang ekonomi baru untuk
Ibu-ibu dilingkungan Desa
Cinangsi. Untuk harga handycraft
ini mulai dari Rp 35,000 sampai Rp.
200,000 tergantung dari motif bunga
dan tingkat kesulitan dalam
pengerjaan.
Usaha pertanian budidaya
Jamur Tiram konsumsi seperti yang sedang populer di masyarakat
perkotaan, jenis usaha ini diambil
karena telah melalui berbagai
pertimbangan dari hasil study
banding ke daerah Kota Sukabumi
tepatnya pada Suku Dinas Pertanian
kota sukabumi yang bekerjasama
dengan mahasiswa dan BUMDes di
kelurahan Cikundul dan Cipanengah
dari informasi yang didapat
permintaan untuk kebutuhan
konsumsi jamur ini cukup tinggi di
kota Sukabumi bahkan mereka tidak
bisa memenuhi kebutuhan maksimal
yang diminta pasar, berangkat dari
hal inilah yang membuat pemilihan
usaha produksi jamur ini untuk
dijadikan BUMDes di Desa
Cinangsi. Besarnya permintaan
barang ini disebabkan karena harga
yang diberikan oleh BUMDes jauh
lebih murah diabanding pesaing-
pesaingnya untuk harga jamur tiram
perkilonya mencapai 11.500/kg
kondisi ini jauh lebih murah jika
dibandingkan dengan pesaingnya
dipasaran yang membandrol harga
15.000/kg dan didukung dengan
jamur yang masih fresh dengan kata
lain “panen hari ini jual hari ini”
ucap Wahyu Hidayat. Pemenuhan
pasar untuk saat ini hanya melayani
kebutuhan pedagang di pasar baru
Cikalong Kulon. Namun untuk
pembelian eceran kecil dilayani
langsung ditempat pengelolaan
jamur atau disebut rumah baglog
atau bisa juga diantar langsung ke
rumah konsumen dengan ketentuan
pembelian minimal 5 kg, ini
dilakukan agar menjaga kestabilan
harga dengan para penjual yang ada
di Pasar Baru Cikalongkulon. Saat
ini kebutuhan pesanan konsumen
hanya terpenuhi 20 kg/hari dan
tergolong stabil. Mengingat
konsumsi akan jamur pada
masyarakat Desa Cinangsi umunya
dilingkungan Kecamatan
Cikalongkulon tidak banyak seperti
perminntaan di masyarakat
perkotaan. Sejauh ini BUMDes Cinangsi Karya Madani tidak
mengolah jamur ini menjadi
makanan cemilan hanya menjual
mentah saja.
Usaha usaha diatas akan
membawa dampak baik bagi
internal desa untuk melayani
kebutuhan masyarakat setempat,
bisnis internal desa berjalan dan
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
77 ISSN: 2655-4364
berkembang dengan dimulai dari
skala kecil, masyarakat setempat
mudah memperoleh kebutuhan
barang barang dengan mudah,
bisnis internal desa relatif sederhana
serta berskala kecil tetapi bisnis
sangat menjanjikan, dan menambah
pendapatan bagi desa,
menggairahkan perekonomian desa
dan membuka lapangan pekerjaan,
berkembang secara sehat dan
berkelanjutan.
Bagi hasil usaha merupakan
pendapatan BUMDes yang
diperoleh dalam 1 (satu) tahun buku
dikurangi dengan penyusutan dan
kewajiban gaji dan tunjangan
pengurus BUMDes termasuk pajak
dalam tahun yang bersangkutan.
Besaran Gaji dan Tunjangan
Pengurus BUMDes ditentukan oleh
Kepala Desa melalui Rapat atau
Musyawarah Desa.
Penerapan Manajemen Dalam
Pembentukan dan Pengelolaan
BUMDes Cinangsi Karya Madani
Aspek manajemen dalam
membangun BUMDes hendaklah
didasari pada pendekatan fungsi
manajemen meliputi : perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengendalian, tujuan kajian pada
aspek manajemen adalah untuk
mengetahui apakah pembentukan
dan pelaksanaan BUMDes dapat
direncanakan, dilaksanakan, dan
dikendalikan.
Dilihat berdasarkan
pengamatan yang dilakukan peneliti
di BUMDes Cinangsi Karya Madani
ini sebetulnya secara konsep mereka
telah memakai fungsi-fungsi manajemen hanya saja karena
keterbatasan ilmu akademik mereka
sehingga konsep ini terasa asing
bagi mereka namun dalam
prakikalnya mereka sudah
menggunakan. Berikut penerapan
fungsi fungsi manajemen di
BUMDes yang terlihat melalui
pengamatan peneliti.
Tujuan dari gagasan
menjalankan BUMDes adalah untuk
memperoleh keuntungan dan
kemanfaatan, untuk mencapai suatu
tujuan ini diperlukan suatu
perencanaan secara manyeluruh
beserta kebijakan yang diperlukan.
Untuk itu perlu disusun suatu
program kerja untuk mencapai
tujuan yang telah diterapkan serta
menyusun kegiatan-kegiatan yang
diperlukan.
Perencanaan dalam anggaran
unit usaha BUMDes juga harus
dilakukan dengan sebaik mungkin,
misalnya membuat anggaran
pembelian, anggaran produksi,
anggaran penjualan, dan anggaran
lainnya disesuaikan keperluan usaha
yang akan dijalankan. Dalam
merencanakan anggaran harus
detail, misalnya anggaran dalam
pembelian bahan (berapa dan
banyaknya barang yang akan
dibeli), berapa harganya, siapa yang
menangani pembelian, dimana
membelinya dan lain-lain.
Perencanaan dalam
pengadaan man power disesuaiakan
dengan rencana proses produksi,
kegiatan yang akan dilakukan,
persyaratan yang diperlukan dan
jumlah karyawan yang dibutuhkan.
Demikian pula perencanaan dalam
bidang produksi, perlu direncanakan
jenis produk, jumlah produk, dan
standar kualitas produk yang akan
dihasilkan, bahan baku yang
diperlukan, peralatan yang akan
digunakan, petugas yang menangani
proses produksi, dan sebagainya.
Perencanaan dalam bidang
penjualan juga perlu dibuat antara lain : jumlah produk yang akan
dijual, bentuk promosi yang
diperlukan, daerah penjualan, cara
mendistribusikan produk, biaya
penjualan, penetapan harga, saluran
pemasaran, sistem pembayaran, dan
sebagainya. (Heri Kamaroesid :
2016)
78 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Berdasarkan penjabaran
diatas dapat disimpulkan bahwa
untuk memulai seuatu kegiatan
usaha tahap pertama yang dilakukan
adalah perencanaan. Pada awal
berdirinya BUMDes ini adalah hasil
prakarsa para Perangkat Desa yang
meneruskan intstruksi dari pusat
untuk membangun suatu kegiatan
usaha yang bersifat kolektif dan
dijalankan secara gotong royong
oleh warga desa dengan
pengawasanya dari pihak desa.
Kemudian pada smester kedua tahun
2014 tepatnya di bulan Agustus
Bapak Yusuf Supriatna selaku
Kepala Desa mendiskusikan hal ini
dengan para perangkat desa, mereka
membahas tentang harus
terealisasinya program pemerintah
ini.
Asas organisasi merupakan
pedoman yang perlu dilaksanakan
agar diperoleh suatu struktur
organisasi yang baik dan aktifitas
organisasi dapat berjalan dengan
lancar, asas-asas organisasi terdiri
dari perumusan tujuan organisasi,
penyusunan bagian-bagian
organisasi yang diperlukan,
pembagian kerja yang jelas,
koordinasi pelimpahan wewenang,
rentang kendali, jenjang organisasi,
kesatuan perintah. Struktur
organisasi hendaknya mudah diubah
untuk disesuaikan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi
tanpa mengurangi kelancaran
aktifitas yang sedang berjalan,
apabila asas organisasi tersebut
dapat diterapkan dengan baik, maka
akan sangat mendukung kelancaran
kegiatan usaha BUMDes. Struktur organisasi yang
dirancang harus dapat menjelaskan
pembagian aktifitas kerja dan
memerhatikan fungsi-fungsi dari
aktifitas tersebut. Struktur organisasi
juga menjelaskan hierarki (jenjang
atau tingkatan). Dan susunan
kewenangan, serta hubungan
pertanggungjawaban (siapa melapor
pada siapa). Hal terpenting dalam
penyusunan struktur organisasi ini
adalah rancangan struktur organisasi
yang disusun harus fungsional,
efektif, dan efisien, dalam artian
susunan organisasi unit bagian
organisasi, hubungan ketugasan
antar bagian harus jelas, dan
susunan organisasi disesuaikan
dengan keperluan.
Seusai mekanisme AD/ART
pembentukan kepengurusan
BUMDes Cinangsi Karya Madani
sangat terkonsep dengan rapih
diawali dengan membuat proposal
pembentukan BUMDes
a. Komisaris jabatan ini
dipegang oleh Kepala Desa
b. Direktur jabatan ini dipegang
oleh pemegang saham
c. Badan pengawas jabatan ini
dipegang oleh Sekretaris
Desa, sesepuh desa
d. Manajer jabatan ini diisi oleh
Ketua Karang Taruna
e. Sekretaris jabatan ini diisi
oleh anggota karang taruna
melalui pemilihan
f. Bendahara jabatan ini diisi
oleh anggota karang taruna
melalui pemilihan
g. Staf unit usaha jabatan ini
diisi oleh pakar usaha dan
anggota karang taruna
Pelaksanaan penyelengaraan
BUMDes Cinangsi Karya Madani
sepenuhnya dikerjakan atau dikelola
oleh masyarakat melalui
pengawasan desa, dengan adanya
sinergi antara masyarakat dan pihak
desa, penyelenggaraan program
program BUMDes Cinangsi Karya
Madani mudah untuk terealisasi diantara program-program BUMDes
Cinangsi Karya Madani untuk
pembanguan Desa Cinangsi adalah:
Meningkatkan pendapatan
asli desa (PADes) sebelum
pembentukan BUMDes Cinangsi
Karya Madani kondisi
pembelanjaan untuk infrastruktur
desa cenderung sangat stagnan dan
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
79 ISSN: 2655-4364
relatif biasa biasa saja tidak banyak
yang diperbaharui hanya jalan raya
saja yang terlihat diperbaiki dan
intervalnya pun cukup lama, kondisi
ini dikarenakan uang yang diterima
dari pemerintah pusat tidak terserap
dan tidak sesuai dengan kebutuhan
belanja desa. Kehadiran BUMDes
Cinangsi Karya Madani tepatnya
pada Agustus tahun 2014 membawa
berkah bagi masa depan desa,
BUMDes mampu menyumbang
untuk penigkatan PADes, masuk ke
kas desa untuk mendorong
perbaikan perbaikan infrasturktur
desa.
Penyamarataan Pendidikan
(sekolah desa) program sekolah desa
adalah suatu gerakan untuk ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa,
BUMDes Cinangsi Karya Madani
bersama desa membangun sekolah
Paket B (setara SMP) dan Paket C
(setara SMA) dengan Pembina
Kepala Desa. Pertumbuhan standar
pendidikan masyarkat Desa
Cinangsi sudah meningakat yang
semula rata rata pendikannya SD
sekarang angkanya sudah berubah
menjadi rata rata pendidikan SMP
bahkan pada tahun 2020 Kepala
Desa menargetkan untuk rata rata
berada di tingkat SMA bukan tidak
mungkin ini bisa terwujud sebab
semua fasilitas pendidikan seperti
gedung, pengajar, buku, alat tulis
semua sudah disediakan oleh
BUMDes dan desa hanya tinggal
menggerakan dan memberi
semangat sekolah kepada anak-anak
di Desa Cinangsi.
Peningkatan kesejahteraan
petani banyaknya masalah masalah desa yang komplek seperti irigasi
untuk pesawahan dikala kemarau
panjang nyaris petani gagal panen
karena aliran air sungai menyusut
dan kering dan mahalnya harga
pupuk subsidi jika kondisi kemarau
sedang melanda. Untuk
memperbaiki keadaan irigasi ini
dibutuhkan biaya yang cukup besar
mengingat sewa alat berat dan man
powernya yang cukup mahal
menyebabkan tidak terlaksananya
perbaikan irigasi. BUMDes melaui
program kreatifnya memberikan
solusi alternatif untuk para petani
yakni melalui budidaya jamur tiram,
usaha jenis ini mudah dijalankan
oleh petani karena pada dasarnya
pengelolaan budidaya jamur tiram
ini tidak sesulit seperti menanam
padi, dengan masa panen 2 (dua)
hari sekali, dengan sering terjadinya
panen maka pendapatan petani pun
akan meningkat dan bisa menjadi
mata pencaharian tambahan dari
yang utama.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
dengan teknik observasi, wawancara
dan dokumentasi yang dilaksanakan
di BUMDes Cinangsi Karya Madani
yang berlokasi di Desa Cinangsi
Kecamatan Cikalongkulon
Kabupaten Cianjur tentang Fungsi
Badan Usaha Milik Desa dapat
diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
Membangun Desa Cinangsi
diantaranya: Meningkatkan
pendapatan asli desa (PADes)
Kehadiran BUMDes Cinangsi
Karya Madani tepatnya pada
September tahun 2014 membawa
berkah bagi masa depan desa,
BUMDes Cianangsi Karya Madani
mampu menyumbang untuk
penigkatan PADes untuk
mendorong perbaikan perbaikan
infrasturktur desa seperti sarana
umum dan tempat ibadah;
Penyamarataan Pendidikan
(sekolah desa) program sekolah desa adalah suatu gerakan untuk
ikut mencerdaskan kehidupan
bangsa, BUMDes Cinangsi Karya
Madani bersama desa membangun 1
(satu) sekolah Paket B (setara SMP)
dan 1 (satu) sekolah Paket C (setara
SMA) dengan Pembina Kepala
Desa. Pertumbuhan standar
pendidikan masyarkat Desa
80 ISSN: 2655-4364
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
Cinangsi sudah meningakat yang
semula rata rata pendikannya SD
sekarang angkanya sudah berubah
menjadi rata rata pendidikan SMP
bahkan pada tahun 2020 Kepala
Desa menargetkan untuk rata rata
berada di tingkat SMA; Peningkatan
kesejahteraan petani BUMDes
Cinangsi Karya Madani melaui
program kreatifnya memberikan
solusi alternatif untuk para petani
yakni program budidaya jamur
tiram, usaha jenis ini mudah
dijalankan oleh petani karena pada
dasarnya pengelolaan budidaya
jamur tiram ini tidak sesulit seperti
menanam padi, dengan masa panen
2 (dua) hari sekali.
BUMDes Cinangsi Karya
Madani di Desa Cinangsi
Kecamatan Cikalongkulon
Kabupaten Cianjur dilaksanakan
dengan profesional dan fleksible,
BUMDes telah meningkatkan
produktivitas masyarakat desa serta
pengembangan usaha riil.
Menyerap tenaga kerja sehingga
meningkatkan pendapatan
masyarakat yang tergabung dalam
BUMDes, dan memicu
pertumbuhan sektor informal
lainnya. Mendorong kreatifitas jiwa
kewirausahaan masyrakat Desa
Cinangsi. Unit-unit usaha riil yang
dibentuk oleh BUMDes Cinangsi
Karya Madani dapat
memaksimalkan keunggulan potensi
desa yang ada sehingga berdampak
pada masyarakat sekitar dan dapat
dijadikan sumber penghasilan baru
bagi masyarakat yang mengelola
usaha-usaha BUMDes.
Daftar Pustaka
Sugiyono, 2003. Metode penelitian
administrasi. Bandung:
Alfabeta
Moleong, J. Lexy. 2004. Metode
Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Rosda
Siagian, Sondang P. 2015. Filsafat
administrasi. Jakarta: Bumi
Aksara
Siagian, Sondang P. 2012.
Administrasi Pembangunan.
Jakarta: Bumi Aksara
Kencana, Inu. 2003. Sistem
administrasi negara republik
Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara
Thoha, Mifta, 2014. Birokrasi dan
politik di Indonesia. Jakarta :
Rajawali press
Kamaroesid, Herry. 2016. Tata
Cara Pendirian dan
Pengelolaan Badan Usaha
Milik Desa. Jakarta: Mitra
Wacana Media
Warsito, Sadu. dan Tahir, Irwan.
2016. Administrasi
Pemerintahan Desa. Jakarta:
Universitas Terbuka Penerbit
Adisasmita, Rahardjo. 2013.
Pembangunan Perdesaan.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Soetoro, Eko. 2004. Desa
Membangun Indonesia.
Yogyakarta: Forum
Pengembangan Pembaharuan
Desa (FPPD)
Widjaya, A.W. 2003. Otonomi
Desa. Jakarta: Rajawali pers
Zuraida, Ida.2013. Tekhnik
Penyusunan Peraturan
Daerah. Jakarta: Sinar
Grafika.
Daftar Website/Laman Daring
Contoh Penyusunan Skripsi Yang
Baik Dan Benar.
http://www.rijalhabibulloh.com/20
15/04/contoh-proposal-
skripsi-yang-baik-dan.html
(diakses 20 Desember 2016)
Pendirian BUMDes, Tata Cara Pendirian BUMDes.
http://www.kemendagri.go.id/articl
e/2011/09/12. (diakses 11
Februari 2017)
Definisi Pembangunan Menurut
Para ahli
http://www.materibelajar.id/2015/1
2/inilah-beberapa-definisi-
pembangunan_28.html
Jurnal Perspektif: Kajian Kepemerintahan & Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Desember 2018
81 ISSN: 2655-4364
(diakses 11 Februari 2017)
Ruang Lingkup Administrasi
Pembangunan
http://dokumen.tips/documents/i-
pengertian-dan-ruang-
lingkup-administrasi-
bisnis.html (diakses 19
Februari 2017)
Pendirian BUMDes Menurut
Undang Undang
https://lbhsembilandelapan.wordpr
ess.com/2015/08/10/otonomi-
menurut-undang-undang-no-
6-tahun-2014-tentang-desa/
(diakses 19 Februari 2017)