istri yang senantiasa kangen ketemu kekasih-kekasihnya

7

Click here to load reader

Upload: salam-vinder-dg-bengo

Post on 28-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Istri Yang Senantiasa Kangen Ketemu Kekasih-Kekasihnya

Istri yang Senantiasa Kangen Ketemu Kekasih-kekasihnya  Post:  02/06/2006 Disimak: 486 kali Cerpen: Veven Sp Wardhana  Sumber: Media Indonesia,  Edisi 02/05/2006 

niyat ingsun turu

turonku gedong wesi

bantalku gemuling atiku eling

rohku madhep imanku tetep

dikitari malaekat patangpuluh papat

lan dilindungi para nabi lan wali

Perempuan itu kembali mengomat-ngamitkan doa dalam bahasa yang tak dia pahami. Dia tahu itu bahasa Jawa, tapi karena dia bukan orang Jawa, dia jadi menganggap larik-larik doa itu sebagai semacam mantra. Sama halnya saat dia mencoba terbata-bata melanjutkan doanya:

Allahumma sholli ‘alaa sayyidina Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad....

Perempuan itu tahu, itu bahasa Arab. Namun, sebagaimana dia menempatkan doa dalam bahasa Jawa, bahasa Arab itu pun hanya menjadi semacam gumam baginya. Setidaknya sebagai sekadar bunyi--yang entah apa arti dan maknanya. Namun, bersamaan dengan itu, perempuan itu merasa tengkuknya dirambati rasa sejuk, yang kemudian menjalar ke seluruh persendiannya.

"Kalau Cece susah tidur, baca saja doa itu," kata-kata pembantunya timbul tenggelam dalam kenangannya yang juga semata berkelebat-kelebat.

Perempuan itu tak benar-benar ingat kapan dia mulai mendengar pembantunya--perempuan asal Jawa--mengajarinya membaca doa sebelum tidur. "Doa susah tidur," koreksinya mencandai pembantunya. Perempuan itu juga tak begitu ingat kenapa kala itu dia susah memejamkan mata. Mungkin karena esoknya akan ulangan susulan akibat saat pekan ulangan di sekolah dia justru digampar penyakit yang mirip-mirip sampar. Mungkin juga lantaran esoknya dia diajak papa dan mamanya ke lain kota, sebuah perjalanan panjang pertama baginya. Mungkin juga memang dia kerap susah menelentangkan badan di ranjang, mengistirahatkan pikiran dalam tidur yang menyenyakkan. Tapi perempuan itu tak pernah alpa bahwa salah satu yang membuatnya benar-benar begitu berat memejamkan mata adalah saat dia mendengar papa dan mamanya saling adu lengkingan.

"Dasar inlander!" suara papanya bergemuruh.

"Dasar singkek!" suara mamanya mengguntur.

Tak ada halilintar malam itu. Tak ada gumpalan mendung di atas rumahnya. Namun, perempuan itu--saat itu masih kanak-kanak--seperti mendapati baris-baris gerimis di hadapannya. Dia tak menyadari bahwa air matanyalah yang menggerimisi kelopak matanya. Pembantunya--yang gopoh-gapah membopong perempuan itu dari tempat tidurnya-- mendekapnya dengan erat. Dia

Page 2: Istri Yang Senantiasa Kangen Ketemu Kekasih-Kekasihnya

merasa hangat, tapi kelopak matanya tak pernah bisa benar-benar rekat. Bahkan usapan lembut tangan pembantunya tak juga membuatnya tertidur. Bahkan pun sampai dia tak lagi mendengar suara tengkar mama dan papanya--mungkin memang sudah terjadi gencatan serapah dan makian, mungkin pula kamar orang tuanya menggunakan peredam--yang dia dengar hanya suara pembantunya yang mendengkur.

Bagaimana bisa pembantunya begitu pulas tertidur, padahal guruh dan guntur saling bersambar-sambar? Sekali waktu pernah dia tanyakan hal itu pada pembantunya.

"Baca saja doa mau - pengen - tidur, Cik. Niyat ingsun turu, turonku gedong wesi...."

Anjuran pembantunya di kemudian hari jadi kerap dia dengar karena suara guruh dan guntur yang melesat dari mulut papa dan mamanya benar-benar menimbulkan gelegar halilintar dalam setiap sudut rumah mereka. Tak lagi pernah jelas kapan gencatan guruh-guntur terjadi. Tak lagi berfungsi alat peredam dalam kamar mereka.

"Baca saja doa susah tidur, Cik. Niyat ingsun...."

Mata perempuan itu makin membelalak karena yang tertinggal adalah suara papanya yang membentak-bentak. Tak lagi ada gerimis dalam kelopak matanya. Kelopak matanya menderetkan kerontang kemarau.

"Baca doa susah tidur itu, Cik...."

Mata perempuan itu tak lagi bisa berkedip karena suara mamanya yang meraung panjang, setelah beberapa hari papanya tak lagi pernah kembali pulang.

Jika kemudian akhirnya perempuan itu tertidur di ranjang pembantunya, sementara pembantunya juga lelap di atas lantai dingin di sampingnya, dia tak mengingatnya apakah itu karena dia menuruti berdoa sebagaimana dianjurkan pembantunya--dengan cara dia menirukan komat-komat pembantunya--ataukah justru dia kemudian terlena lantaran pembantunya yang berdoa nyaris sama dengan mendendangkan tembang timang-timang yang meninabobokan.

***

SEKALI lagi perempuan itu menggumamkan kalimat-kalimat yang tak terpahamkan. Perempuan itu tetap gagal memasuki alam tidur, bahkan pun tak pernah sampai dia di ambang gerbang. Begitu dia rebahkan badannya, begitu dia pejamkan matanya, dia tahu dia masih tetap terjaga dan pikirannya justru mengembara ke mana-mana. Perempuan itu tahu dia susah tidur bukan karena dia besok akan bepergian ke luar kota, karena dia sendiri sudah kerap kali bahkan ke luar negeri.

Ulangan susulan juga bukan yang menjadi musabab, karena dia sudah lulus dan bahkan kawan-kawannya tak ada yang bisa menyusuli prestasinya hingga tingkat sarjana. Gemuruh yang mengundang kilatan petir dalam rumah juga tak ada karena sama sekali dia tak pernah bertengkar dengan suaminya. Apalagi, suaminya tak pernah jelas jadwalnya pulang ke rumah.

Pembantunya tak bisa diminta mengajarinya doa apa pun. Doa menunggu suami, doa mengantar suami, doa menyambut pulang suami, atau menerjemahkan doa menjelang tidur alias doa susah tidur ke dalam bahasa yang dia pahami. Siapa tahu, dengan memahami huruf per huruf doa itu dia jadi bisa tidur dengan gampang. Pembantunya sudah pulang kampung dan kabarnya meninggal beberapa tahun silam, waktu perempuan itu masih lajang. Pembantunya memang sudah tua, bahkan lebih tua dari mama perempuan itu.

Page 3: Istri Yang Senantiasa Kangen Ketemu Kekasih-Kekasihnya

Pembantunya yang sekarang, usianya lebih muda darinya, memanggilnya: Tacik. Itu bukan karena ada guratan Tionghoa dalam wajahnya. Perempuan itu lebih mewarisi garis wajah ibunya sekalipun darah papanya mengalir deras dalam tubuhnya. Toh, pembantunya yang sekarang tak pernah paham silsilah perempuan yang menjadi majikannya itu. Mama perempuan itu sudah meninggal setelah putrinya, perempuan itu, beberapa minggu kemudian naik pelaminan, sementara pembantu yang sekarang bekerja padanya datang setelah lebih dari lima tahun perkawinannya. Papa perempuan itu tak pernah diketahui di mana keberadaannya. Pasti lantaran suami perempuan itu yang sangat tegas pahatan Tionghoa-nya yang membuat pembantunya memanggilnya tacik, sekalipun terkadang dipanggilnya pula dia Nyah, pemendekan dari Nyonyah.

Makin hari perempuan itu makin menginginkan kehadiran pembantu lamanya. Dia ingin diajari doa kangen kekasih, atau bahkan doa ketemu kekasih. Pembantunya yang sekarang, jangan-jangan berdoa pun tak pernah.

"Mbak, kamu enggak kangen sama pacarmu? Kamu berdoa enggak supaya kamu bisa ketemu dia?" perempuan itu sambil lalu bertanya saat pembantunya bersimpuh di depan pesawat televisi menyaksikan kisah mistik yang diselimuti ayat-ayat yang diujarkan tokoh ustaz.

"Wah, Tacik ini tanyanya aneh-aneh. Mosok ada doa ketemu taysen? Ya, dimimpiin saja dalam tidur, Nyah."

Karena mimpi itu hanya ada dalam tidur, anjuran pembantunya itu tak pernah bisa dia jalankan. Sudah berhari-hari perempuan itu tak pernah bisa memejamkan mata, merebahkan badan, dan mengistirahatkan hatinya. Dia cari mimpi yang bisa dihadirkan dalam keadaan terjaga, atau setidaknya sambil rebahan. Dia menemukannya. Namanya: lamunan. Tapi, di saat dia hendak mulai menjelajahkan lamunan, yang mendadak muncul justru sosok suaminya, yang tak pernah jelas malam itu pulang ke rumah atau meneleponnya mengabarkan dirinya sedang di luar kota atau luar pulau. Jangan-jangan malah luar benua.

Perempuan itu tidak sedang membutuhkan kehadiran sosok suaminya. Perempuan itu menginginkan kehadiran sosok kekasihnya - entah kekasih yang mana. Saban kali sosok suaminya yang datang dalam lamunannya, yang segera muncul hanyalah perdebatan antara mereka yang tak pernah berkesudahan.

"Apa sih yang kamu uber, Schaat?" tanyanya suatu kali, berulang kali, saat bertelepon atau saat berhadap-hadapan di kamar. Tetap dalam nada mesra. Suaminya tampak kelelahan sehabis pulang kantor--atau entah dari mana-- dan gelagatnya sudah siap-siap menyungkupkan kepalanya di balik bantal dan meringkukkan badannya dalam guling.

"Reputasi? Prestasi?" perempuan itu mendahului jawaban suaminya - tetap dalam nada tertahan. Suaminya memang pernah menyatakan itu.

"Prestasi untuk apa? Reputasi untuk siapa? Untuk keluarga kan? Sekarang saja, Papa enggak pernah bisa kumpul dengan keluarga, dengan aku, satu-satunya keluargamu," perempuan itu merasa sedang mengutip kalimat entah dari mana.

Jangan-jangan karena aku tak bisa memberinya anak, maka suamiku jadi jarang pulang. Apakah dia pulang ke lain rumah dan dia mempunyai anak di lain rumah?

Perempuan itu buru-buru menepis pikiran buruknya. Diagnosis dokter menegaskan, suaminyalah yang tak memungkinkan menebar benih untuk tumbuh dalam rahim perempuan itu, dan perempuan itu sama sekali tidak mempersoalkan. Belakangan dia bahkan merasa bersyukur

Page 4: Istri Yang Senantiasa Kangen Ketemu Kekasih-Kekasihnya

karena dia tidak melahirkan generasi yang hanya akan diombang-ambingkan kedua orang tuanya sebagaimana yang dia alami.

"Kalau cari harta untuk diri kita, memang cukup. Kan kamu tahu, wangsa-ku tak berhenti sampai di kita kan? Masih...."

"Ya, masih ada tiga generasi di bawah kita. Kamu mengumpulkannya untuk mereka!" Masih dalam nada sesantunnya perempuan itu menukas. Dia hanya menegaskan jawaban yang pernah diucapkan suaminya.

"Kita, setidaknya kamu, juga hidup karena investasi tiga generasi di atasmu!" sengit perempuan itu mencerocoskan kalimat. Kalimat yang juga pernah diucapkan suaminya. Baru sekali itu perempuan itu melengkingkan suaranya. Tapi tak ada guruh, tak ada guntur.

Yang ada hanyalah gaung. Gaung yang memantul-mantul menjadi gema itulah yang kemudian menumbuhkan rasa jengkel, juga kesal, yang lantas melonjak-lonjak dari kantung perutnya naik ke ujung leher, akhirnya malah memorak-porandakan mata perempuan itu yang sesungguhnya mulai dilindapi kantuk. Selalu begitu. Tak pernah lagi ada pengantar tidur yang menenteramkan perempuan itu. Jadinya, sosok kekasihnya pun tak pernah bisa utuh dia hadirkan dalam lamunannya. Bahkan perempuan itu juga susah payah memilih sosok kekasih yang mana yang ingin dia hadirkan dalam lamunannya. Masing-masing muncul dalam wajah remaja. Perempuan itu ingin salah satunya saja yang datang dalam mimpinya dalam ujud yang lebih kemudian, lebih ke masa sekarang, dan matang, lalu meranggeh tubuhnya dan mencengkeram dalam diam penuh kehangatan, satu hal yang sesungguhnya kerap dilakukan suaminya - namun kini dia maknai sebagai sekapan yang membuatnya pengap. Bahkan pun di saat-saat awal mereka masih membaui kursi pengantin dan ranjang pelaminan.

Perempuan itu tak tahu adakah bergumpal mendung yang menggantung di atas rumahnya. Dia mendengar suara guntur. Dia mendengar air hujan menderas lebih dari sekadar gerimis. Dia matikan air condition kamarnya. Perempuan itu malah makin merasa kedinginan. Dia mencari-cari penghangat ruangan. Dia lupa, dia sedang tidak berada di sebuah hotel di Harlem, sebuah kota tua di Belanda, tempat dia berbulan madu dulu. Tak ada penghangat ruangan di rumahnya yang beriklim tropik.

Kalau saja yang pergi bersamaku ke Harlem itu kekasihku. Perempuan itu membayangkan sosok salah satu kekasihnya, yang pertama kali mengajarinya berciuman bibir.

Kalau saja yang menemaniku ke Leiden dulu itu dia…. Perempuan itu menghadirkan sosok kekasihnya yang lain, yang gugup-gagap saat pertama kali membukakan ritsluiting celana dril yang biasa dipakai perempuan itu.

Halilintar pecah tepat di atas bubungan rumah.

Perempuan itu makin menggigil.

Kalau saja malam-malam begini aku bersamanya.... Sosok kekasih yang lainnya lagi muncul di hadapan perempuan itu. Dialah lelaki yang mengajarinya berteriak tanpa ada yang sama sekali mendengar sehingga teriakan itu menjadi lenguhan panjang.

Guntur menggelundung di atas genting. Listrik padam. Pekat malam mengental.

niyat ingsun turu.....

Page 5: Istri Yang Senantiasa Kangen Ketemu Kekasih-Kekasihnya

Perempuan itu tak yakin apakah dia masih menginginkan kehadiran pembantunya yang mengajarinya doa susah tidur itu.

turonku gedhong wesi.....

Dia ingin salah satu kekasihnya - entah yang mana - bersusah payah menyibakkan pakaiannya. Dia ingin salah satu kekasihnya yang lain menjamah dadanya. Dia ingin kekasih-kekasihnya membuatnya berteriak kencang.....

niyat ingsun.....

Perempuan itu benar-benar berteriak. Dia tak ingin menyimpan teriakannya dalam lenguh. Perempuan itu lalu lunglai. Matanya memejam tampak tenteram. Mulutnya menggumam pelahan: dikitari empat puluh empat malaikat, empat puluh empat malaikat.....

Perempuan itu tidur sangat panjang. Dia tak sempat menyetel alarm di jam wekernya sebagaimana biasa. Dalam tidurnya perempuan itu bertemu dengan sesosok lelaki yang dia lupa kekasih yang ke berapa. Wajahnya begitu bersih, jenggot di dagunya habis dikerok, rambutnya begitu panjang, tubuhnya menguarkan parfum yang pernah dia hirup di museum Fragonard di Paris, yang dia batal beli karena parfum yang begitu harum itu hanya untuk koleksi museum.

Kecupan lembut di mulut perempuan itu gagal dia reka, siapa yang pernah menciumnya selembut dan semesra itu.

Saat lelaki itu menggandeng tangan perempuan itu menuju cakrawala, perempuan itu masih belum juga bisa memastikan siapa lelaki yang kini menghabiskan waktu dalam mimpi panjangnya ini.

Jemari tangan perempuan itu merasakan ada lubang menganga bekas luka di telapak tangan lelaki yang menggamitnya, tapi itu tak memberikan makna apa-apa dalam diri perempuan itu. Perempuan itu tak sempat menengok sepasang kaki lelaki itu yang tak beralas sandal ataupun sepatu. Di dua mata kakinya juga menganga bekas luka akibat dipantek paku.

Perempuan itu tak pernah tahu siapa lelaki itu. Perempuan itu juga tak tahu apakah dia ingin terus bermimpi panjang dalam tidur yang melelapkan ataukah ingin segera dibangunkan. Lelaki itu bisa memenuhi permintaan perempuan itu. Aku tahu pasti itu karena aku tahu lelaki itu.

Lelaki itu: aku.....

Harlem, September 2002;

Larangan Indah, Maret - 11 Oktober 2005

Catatan:

1. "Aku berniat tidur, rumahku bertembok besi; bantalku menyenyakkan, hatiku tetap teringatkan; ruhku menghadap, imanku mantap; dikelilingi 44 malaikat serta dilindungi para nabi dan wali..." (dari bahasa Jawa).

2. Harusnya, itu bukan doa, melainkan sholawat nabi. Artinya: ya Allah, semoga keselamatan selalu dilimpahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan juga kepada keluarganya.

Page 6: Istri Yang Senantiasa Kangen Ketemu Kekasih-Kekasihnya

3. Cece (dari bahasa Mandarin): panggilan untuk kakak perempuan atau dihormati. Bagi yang fasih, lafalnya menjadi 'ciecie.' Bagi yang mau pilih gampangan, lafalnya menjadi 'cicik'. Lebih intim ketimbang panggilan 'tacik.'

4. Inlander: sebutan untuk pribumi Indonesia pada zaman kolonial Belanda.

5.Singkek: sebutan untuk etnis Tionghoa totok.

6. Tacik (bahasa Mandarin): panggilan untuk perempuan lebih tua atau dihormati; agak berjarak dibandingkan 'cece'.

7. Taysen (bahasa Mandarin): pasangan atau kekasih.

Kalau mau jujur, kutipan itu berasal dari dialog dalam cerpen 8. "Silsilah Ayah, Anjing, dan Kepinding" (Veven Sp Wardhana, 2005).