repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · iv abstrak . anwar...
TRANSCRIPT
PERINGANAN HUKUM BAGI JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Anwar Ibrahim Aji
Nim : 1113045000058
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
iv
ABSTRAK
Anwar Ibrahim Aji. 1113045000058. Peringanan Hukum Bagi Justice
Collabolator dalam Tindak Pidana Korupsi. Prodi Hukum Pidana Islam. Fakultas
Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Berbagai
kasus serius dan terorganisir, seperti tindak pidana korupsi menyebabkan dampak luar
biasa dalam kerugian negara, keuangan negara, dan perekonomian negara.
Permasalahan tersebut mebutuhkan suatu solusi yang luar biasa pula untuk pencegahan
dan pemberantasannya, yaitu dengan bekerjasama dengan Justice Colabolator. Namun
keadaan saat ini menunjukan bahwa perlindungan hukum serta bentuk peringanan
dalam peraturan terhadap Justice Collaborator belum maksimal. Oleh karenanya
penulis akan mengkaji peringanan hukum bagi Justice Collabolator dalam tindak
pidana korupsi . Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Justice
Collaborator dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia dan untuk
mengetahui bentuk peringanan peraturan Justice Collaborator dalam hukum positif
dan hukum Islam. Penulis menggunakan metode penelitian normatif, dengan
pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan persepsional. Data-data yang
diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif dan
komparatif dalam mengelaborasi pengaturan serta praktek perlindungan dan
peringanan Justice Collaborator di negara lain sebagai bahan perbandingan dan
pembelajaran bagi Indonesia. Peringanan hukum terhadap Justice Collaborator belum
maksimal, dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Juga melihat dari sudut
pandang pidana Islam dalam memahami bentuk peringanan Justice Collabolator yang
tersirat pada fiqh jinayah.
Kata kunci : Justice Collaborator, Hukum Positif, Hukum Islam.
Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H., M.H.,
v
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Swt yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad Rasulullah
Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri tauladan yang
baik bagi kita semua. Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi
ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga
dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul
“PERINGANAN HUKUM BAGI JUSTICE COLLABOLATOR DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI”, tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Seperti juga perjalanan studi yang
penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam
kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada lingkaran lain yang memberikan
semangat, motivasi bimbingan serta doa. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis
ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, S.H, M.H selaku dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Muhamad Nurul Irfan, M.Ag, dan Bapak Nurohim Yunus. LL.M.
selaku ketua dan sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Alfitra S.H., M.H selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar
membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis
sehingga penulisan skripsi ini selesai.
4. Ketua dan seluruh staf Perpustakaan Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama
UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu dalam
vi
mendapatkan buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi
ini.
5. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum
Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat
kepada penulis.
6. Ayahanda tercinta Sadar, dan Ibunda tercinta Puji Wati, terima kasih atas
segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik moril maupun materil,
sujud abdiku kepada Ibunda atas doa dan pengorbanannya selama ini
“Allahummagfirlii Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira”.
Kepada adik-adikku tercinta Ario Dwi legowo, dan Yunita Setiawati kalian
adalah motivasi dan inspirasiku.
7. Teman-teman seperjuangan jurusan Hukum Pidana Islam (A) angkatan 2013,
terimakasih atas kebersamaannya selama empat tahun kita saling mengenal dan
menjalin persahabatan bahkan persaudaraan. sehingga dapat terselesaikannya
penulisan skripsi ini.
Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis
hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah Swt semoga kebaikan yang telah
diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah Swt. Akhirnya penulis berharap
semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya,
memperoleh ridha Allah Swt, dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk bisa
mengembangkan keilmuan dalam bidang hukum pada masa-masa berikutnya, di
tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada era globalisasi
ini.
Jakarta, 15 November 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 7
C. Pembatasan Masalah ............................................................................. 8
D. Rumusan Masalah ................................................................................. 8
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................................. 8
F. Metode Penelitian .................................................................................. 9
G. Studi Terdahulu ................................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 11
BAB II: TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA KORUPSI, DAN JUSTICE
COLLABOLATOR DALAM PENDEKATAN RESTROAKTIF
A. Pengertian Whitsle Blower dan Justice Collabolator .......................... 13
B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Korupsi ........................... 17
1. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia ......................... 19
2. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi ................................ 22
C. Tinjauan Umum Tindak Pidana dan Pendekatan Restroaktif.............. 23
1. Tinjauan Tindak Pidana .......................................................... 23
2. Penyertaan dalam Tindak Pidana ........................................... 25
3. Teori Restorative Justice ......................................................... 28
BAB III : PERINGANAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM JUSTICE
COLLABOLATOR DALAM PERATURAN DAN PERUNDANG-
UNDANGAN
A. Peraturan Justice Collabolator dalam Pidana Nasional ...................... 32
B. Perlindungan Hukum dan Penghargaan bagi Justice Collabolator .... 36
viii
BAB IV : KAJIAN TERHADAP PERAN DAN BENTUK PERINGANAN
HUKUM JUSTICE COLLABORATOR PADA TINDAK PIDANA
KORUPSI
A. Peran Justice Collabolator dalam Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia ............................................................................................. 44
1. Praktik Perlindungan dan Peringanan Juctice Collabolator ....... 46
2. Korupsi dan Justice Collabolator dalam Pidana Islam ................ 48
B. Bentuk Peringanan Hukum Justice Collabolator dalam Pidana Positif
dan Pidana Islam ................................................................................ 58
1. Bentuk Peringanan Hukum dalam Pidana Positif ........................ 58
2. Bentuk Peringanan Hukum dalam Pidana Islam .......................... 61
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 71
B. Saran .................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi merupakan problem kompleks yang telah merambah ke segala aspek
kehidupan dan terjadi secara sistemis tanpa mengenal kelas sehingga merusak
segala tatanan serta menganggu jalannya pembangunan. Bahkan, korupsi yang
terjadi di negeri ini, telah melembaga di seluruh tatanan pemerintahan, bahkan
hingga ke lembaga pemasyarakatan sekalipun korupsi masih terjadi.1 Di samping
itu, korupsi merupakan jenis kejahatan yang penegakkannya memerlukan
ketegasan dan kejelasan kebijakan politik, Untuk menangani korupsi yang telah
sedemikian kronis tersebut tentunya memerlukan extra ordinary treatment,
keuletan dan juga peran serta berbagai pihak guna memutus mata rantai korupsi
dan beberapa extra ordinary crime yang lain.
Paling tidak ada empat sifat dan karakteristik kejahatan korupsi sebagai extra
ordinary crime, Pertama, korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang
dilakukan secara sistematis, Kedua, korupsi biasanya dilakukan dengan modus
operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya, Ketiga, korupsi
selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keempat, korupsi adalah kejahatan yang
berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang dapat
dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.2 Dikaji
dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar
biasa (extra ordinary crimes) seperti dikemukakan oleh Romli Atmasasmita,
bahwa dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi
kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam,
maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan
1Emerson Yuntho, Negeri Di Kepung Koruptor, (Surabaya: Intrans Publishing, 2011), cet. 1, h. 59
2Edward O.S Hiariej, Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi : Pidato
Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta : Universitas
Gajah Mada, 2012), h.3.
2
merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan
kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes).
Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat
merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru
sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak
ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.3 Penanganan tindak pidana korupsi tidak
dapat dilakukan secara biasa. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara biasa atau kovensional selama ini terbukti tidak efektif karena
mengalami banyak kendala. Hal tersebut disebabkan karena korupsi tidak saja
menyerang badan eksekutif dan legislatif, melainkan juga menyeruak pada
kalangan yudikatif yang dilakukan oleh hakim, kejaksaan dan kepolisian sebagai
institusi penegak hukum, oleh karena itu dibutuhkan sebuah metode penegakan
hukum secara luar biasa untuk memberantas korupsi.4
Peran Justice Collaborator yaitu seseorang sebagai tersangka namun bukan
pelaku utama dan dapat membongkar orang yang terlibat di atasnya. Dalam hal
ini, sekalipun ia telah korupsi namun ia juga mendapat keringanan karena telah
membantu dalam suatu proses pembongkaran fakta dan keadilan. Dalam skripsi
ini penulis akan membahas peran serta tindakan yang dilakukan Justice
Collaborator yang dapat membantu Penyidik serta alasan-alasan lainnya yang
dapat meringankan dia. Konsep Justice Collaborator pada hakikatnya ini sama
dengan konsep delik penyertaan dalam ketentuan pasal 55 dan 56 KUHP, dimana
keterlibatan seseorang dalam suatu kasus korupsi dan dia sendiri melaporkan kasus
tersebut kepada aparat penegak hukum terjadi dalam beberapa kemungkinan
seperti, sebagai orang yang turut serta dengan orang lain melakukan korupsi, orang
3Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, (Jakarta
: Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002), h. 25. 4Febriansyah, et all, Laporan Penelitian : Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui Fungsi
Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (Jakarta : Indonesia Corruption
Watch-Kerjasama dengan Eropa Union (EU) dan UNODC (United Nations Office on Drugs and
Crime), 2011, h. 8
3
yang melakukan korupsi atas anjuran orang dan orang yang membantu orang lain
melakukan korupsi.
Seorang Justice Collaborator dan Wistleblower yang melaporkan kasus korupsi
merupakan Orang yang memilki keberanian dan mental yang kuat. Sebab, orang
tersebut pada dasarnya sudah mengetahui hal-hal buruk yang menimpa mereka
karena laporan tersebut, seperti diancam, diintimidasi, dianiaya, diberhentikan
secara tidak terhormat dari jabatannya atau bahkan dibunuh.5 Peraturan tentang
keberadaan Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dalam dunia
pembuktian hukum di Indonesia merupakan sesuatu hal yang baru, istilah Justice
Collaborator merupakan hasil upaya revolusioner dalam praktik penegakan
hukum pidana yang merupakan dampak bagi modus kejahatan di Indonesia.
Di mana keberadaannya kemudian dan selanjutnya mulai diatur dalam hukum
positif. Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi,
sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi sebagai suatu virus yang dengan
mudahnya menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan dan cenderung mengalami
peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun baik secara kualitas maupun
kuantitasnya sehingga menjadi salah satu permasalahan krusial nasional.
Perkembangan korupsi yang demikian mempunyai relevansi dengan kekuasaan
karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya
untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan kroninya. Perlunya
penanganan secara luar biasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
disebabkan karena tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime) dan dilakukan dalam suatu
jaringan kejahatan yang terorganisasi (organized crime) dan terstruktur sedemikan
tertutupnya dengan berbagai macam modus operandi sehingga menimbulkan
kesulitan oleh aparat penegak hukum dalam hal pemberantasannya.
5Supriadi Widodo Eddyono, “Prospek perlindungan Justice Collaborator di Indonesia,
perbandingannya dengan di Amerika dan Eropa”, (jurnal perlindungan vol 1 no. 1, 2011,) h.586.
4
Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh aparat penegak hukum adalah
dengan bantuan dari orang dalam yang juga terlibat dalam jaringan kejahatan
tersebut. Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap Justice
Collaborator memang beralasan karena dalam sistem hukum di Indonesia belum
mengenal apa yang dinamakan Justice Collaborator. Sampai sekarang belum ada
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai Justice
Collaborator di Indonesia. Pengaturannya secara implisit termaktub dalam UU
No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Peraturan lainnya
adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan
terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja
Sama (Justice Collaborator).6
Tujuan dari SEMA ini adalah agar semua kejahatan yang terorganisir yang
selama ini sangat tertutup rapih dapat diungkap secara menyeluruh jika ada yang
memberikan informasi dari dalam dan dapat dibongkar oleh para penegak hukum
dan dibawa ke pengadilan untuk diadili.7 Penggunaan Justice Collaborator dalam
peradilan pidana merupakan salah satu bentuk upaya luar biasa yang dapat
digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang melibatkan pelaku
tindak pidana itu sendiri, di mana pelaku itu bersedia bekerjasama dengan aparat
penegak hukum.
Peranan saksi sebagai Justice Collaborator sangat penting diperlukan dalam
rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi, karena Justice Collaborator
itu sendiri tidak lain adalah orang terlibat di dalam kejahatan tersebut atau
pelaku minor dalam jaringan tindak pidana tersebut yang digunakan untuk
mengungkap otak pelaku yang lebih besar sehingga tindak pidana dapat tuntas dan
tidak berhenti hanya pada pelaku yang berperan minim dalam tindak pidana
6Abdul Haris Semendawai , Memahami Whistleblower. Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) hal. X Desember 2011. 7Pidato Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional 2011 di
(Jakarta, Varia Peradilan No.311 Oktober 2011), h.11
5
korupsi tersebut. Penghargaan bagi menjadi cara yang efektif untuk membongkar
kejahatan terorganisasi, terutama korupsi, dan mencegah kejahatan serius. Di
Indonesia beberapa orang saksi pelaku telah memperoleh penghargaan dari negara
berupa keringanan hukuman. Juru bicara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
( LPSK), Maharani Siti Shopia, mengatakan, bahwa pada awal tahun 2013,
penghargaan pertama berupa keringanan hukuman bagi seorang Justice
Collaborator kasus korupsi diberikan kepada Kosasih Abbas dalam kasus dugaan
korupsi solar home system di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Selanjutnya penghargaan berupa pembebasan bersyarat terhadap Justice
Collaborator kasus penggelapan pajak, diperoleh Vincentius Amin Sutanto.
Demikian siaran pers yang disampaikan juru bicara Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban ( LPSK), Maharani Siti Shopia.
Penghargaan berupa pemberian remisi tambahan dan pembebasan bersyarat
diberikan kepada Mindo Rosalina Manulang, Agus Chondro, Sukotjo Bambang.
Sedangkan penghargaan berupa perlindungan hukum diberikan kepada Tony
Wong. Deretan kasus ini dan kasus lainnya yang tidak muncul di permukaan
menegaskan bahwa saksi pelaku yang bersedia bekerja sama untuk membongkar
kasus kejahatan akan mendapatkan keringanan hukuman, bahkan pembebasan.
Hal ini menunjukkan implementasi kebijakan tentang Whistleblower dan Justice
Collaborator meskipun lambat, tetapi pasti dan membaik.
Penerapan ketentuan ini didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No. 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana atau
Whistleblower dan saksi pelaku yang bekerjasama atau Justice Collaborator dalam
perkara tindak pidana tertentu dan Peraturan Bersama Kementerian Hukum dan
HAM, KPK, POLRI, Kejaksaan Agung RI dan LPSK Tentang Perlindungan Bagi
Pelapor, Saksi pelapor dan Saksi Pelaku yang bekerjasama. Keputusan itu
memberikan kepastian hukum tentang penghargaan negara terhadap Justice
Collaborator yang berani mengungkap jaringan kejahatan terorganisir.
6
Meski dari segi kuantitas penerapannya masih minim dan masih ditingkat
pusat, setidaknya sejumlah terobosan yang dilakukan aparat penegak hukum ini
perlu dijadikan panutan dan praktik terbaik implementasi pemberian perlindungan
dan penghargaan terhadap sang Justice Collaborator. Sehingga sudah sepantasnya
seorang Justice Collaborator menerima penghargaan dari negara, sebagaimana
ketentuan dalam The United Nations Convention against Corruption (UNCAC)
dan Konvensi international lainnya dalam melawan kejahatan serius selama ini.
Untuk itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK) menilai, penerapan
ketentuan ini merupakan salah satu metode dan alat jitu bagi percepatan
pemberantasan kejahatan terorganisir di Indonesia. Dengan penerapan
penghargaan itu upaya pemberantasan kejahatan terorganisir akan makin efektif
dan kejahatan serius tidak berkembang di Indonesia.8
Dalam khazanah hukum Islam, perilaku korupsi berbicara tentang kejahatan
memakan harta benda manusia secara tidak benar (akl amwa>l al-nas} bi al-bati}l)
seperti yang diharamkan dalam Al-Qur’an, tetapi apabila merujuk kepada kata asal
dari korupsi, maka dapat berarti merusak (dalam bentuk kecurangan) atau
menyuap. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan
tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘ada>lah), akuntabilitas (al-
ama>nah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang
menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat
dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang juga amat
dikutuk Allah SWT.
Pada dasarnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara setiap masyarakat
mempunyai kewajiban untuk membantu jalanya program-program pemerintahan
yang dilakukan oleh seorang Ãmir (pemimpin) guna terwujudnya kemaslahatan.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, maka setiap warga negara memiliki
kewajiban untuk membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian
8 http://lpsk.go.id/berita/berita_detail/1099#sthash.XGFTWteP.dpuf
7
dari aparatur pemerintahan yang menangani masalah yudikasi.Peran serta
masyarakat tersebut menjadi semakin penting guna menanggulangi kejahatan yang
bisa saja tidak diketahui oleh aparat. Hal ini masyarakat selaku warga negara
mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam meminimalisir praktik korupsi.9 Di
sisi lain, jika di analisis dan ditinjau dari konsep maqâsid asy-syarî’ah, pemerintah
sebagai pemangku kekuasaan juga mempunyai kewajiban untuk memberikan dan
mewujudkan perlindungan hak-hak asasi setiap rakyat dalam konteks ini seorang
Justice Collaborator seperti hak milik, hak hidup, hak mengemukakan pendapat
dengan baik dan benar, dan hak-hak yang lain.10
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan penelitian yang penulis ajukan ini dapat diidentifikasi
permasalahannya sebagai berikut:
1. Hal apa saja yang dapat dijadikan dalam penaggulangan tindak pidana korupsi.
2. Bagaimana cara membuktikan modus operandi dalam tindak pidana korpusi.
3. Bagaimana peran Justice Collabolator dalam tindak pidana korupsi di
Indonesia.
4. Bagaimana bentuk perlindungan dan peringanan Justice Collabolator dalam
peraturan perundang-undangan.
5. Bagaimana kajian hukum pidana Islam dalam memahami Justice Collabolator.
9Soejono, Kejahatan dan Penegakkan Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), h.
3-6 10Abu Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulţãniyyah Wa al-Wilayat ad-Dîniyyyah, (Mesir:
Muastaahfa al-Asabil Halabi, tt), h. 5
8
C. Pembatasan Masalah
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bentuk peringanan hukum
dalam peratuan perundang-undangan dan peran Justice Collaborator dalam
penanggulangan tindak pidana korupsi, Agar permasalahan dalam penelitian
skripsi ini tidak melebar dan meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan
dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penulisan ini, penulis memfokuskan dan
membatasi pembahasan hanya pada peran Justice Collabolator dalam tindak
pidana korupsi di Indonesia dan kajian dalam hukum pidana Islam.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan yang
diterjemahkan menjadi satu pertanyaan umum, yaitu:
1. Bagaimana peran Justice Collaborator dalam penanggulangan tindak
pidana korupsi di Indonesia?
2. Bagaimana bentuk peringanan hukum pidana bagi Justice Collaborator
dalam hukum positif dan hukum Islam?
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat dijadikan tujuan penelitian yaitu:
1. Untuk mengetahui peran Justice Collaborator dalam penanggulangan
tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bentuk peringanan peraturan Justice Collaborator
dalam hukum positif dan hukum Islam.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktisi
maupun akademisi, antara lain:
1. Bagi penulis, penelitian ini untuk menggali pengetahuan yang sudah
didapat melalui pembelajaran yang sudah diajarkan baik dalam kuliah
umum maupun di luar kuliah dalam lingkup universitas dan sebagai bahan
untuk masukan bagi institusi hukum maupun masyarakat.
9
2. Bagi pihak akademisi, semoga hasil penelitian ini untuk bahan rujukan /
referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya
3. Bagi pihak universitas, semoga dijadikan karya yang bermanfaat dan
menjadi referensi untuk mahasiswanya
4. Bagi pihak institusi hukum/praktisi, semoga informasi ini dapat dievaluasi
dan dapat dijadikan pertimbangan untuk perbaikan di masyarakat.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Library Research,
yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahan bahan berupa
buku, jurnal, ensiklopedi, majalah, media online dan sumber sumber
pustaka lain yang berkaitan dengan tema yang penulis teliti.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yakni sebuah penelitian yang
memberikan pemaparan terkait data yang berkaitan dengan pokok
permasalahan kemudian menganalisa, menginterpretasi dan
menguraikanya sesuai tujuan dengan cara yang tepat.11 Dalam hal ini,
penilaian terpusat pada mengenai peran Justice Collaborator dan aspek
Peringanan hukum terhadapnya
3. Pendekatan Penelitian.
Dalam penelitian ini penulis mengunakan pendekatan normatif yuridis,
yaitu membahas suatu permasalahan dengan terlebih dahulu memberikan
gambaran kemudian meninjau dengan pendekatan-pendekatan hukum,
baik dari hukum Islam maupun hukum positif sehingga diperoleh
11Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatis, cet. ke-13 (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2000), h. 6.
10
kesimpulan-kesimpulan yang tepat sesuai dengan ketentuan syara’ dan
undang-undang yang berlaku.
4. Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi data-data (literature)baik
primer maupun sekunder berupa buku, artikel, jurnal, kitab tafsir dan lain
sebagainya yang memiliki korelasi dengan tema yang penulis bahas. Data-
data tersebut kemudian dipilah sesuai dengan tema pokok yang akan
diteliti, sehingga bisa dihasilkan suatu data yang akurat dari sumber
pustaka.
5. Analisa Data
Dalam menaganalisa data yang didapatkan, penulis menggunakan metode
deduktif, yaitu mendekati suatu permasalahan dari kebenaran yang sifatnya
umum mengenai suatu fenomena atau teori kemudian menggeneralisasikan
kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang memiliki
ciri yang sama dengan tema yang bersangkutan.
G. Studi Terdahulu
Sebagai landasan keabsahan, penulis menelusuri beberapa karya skripsi
terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan judul skripsi yang diangkat peneliti.
Diantara beberapa skripsi tersebut adalah:
1. Karya dari Aditya Wisnu Mulyadi Program Paskahsarjana Universitas
Udayana Denpasar, Tesis (Perlindungan Hukum Terhadap Whitsleblower
dan Justice Collabolator Dalam Tindak Pidana Korupsi). 2015,
Adapun permasalahan yang dikaji dalam tesis tersebut diatas
dikhususkan pada masalah utama, yaitu subyek yang menjadi pembahasan
dalam pengaturan perlindungan hukum dalam tindak pidana korupsi di
Indonesia, penelitian tesis tersebut bertumpu pada peraturan perlindungan
dan kebijakan dalam perlindungan Justice Collaborator dan juga
Whistleblower
11
2. Karya dari Uuf Rouf Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Program
Studi Doble Degree Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Skripsi (Kebijakan Legislatif
Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi
Pelaku yang Bekerja Sama). 2014,
Adapun permasalahan yang dikaji dalam skripsi tersebut diatas
dikhususkan pada permasalahan dari sisi kebijakan legislatif dalam
perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku
yang bekerja sama.
3. Karya dari Fatkul Luqman, Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Skripsi (Islam dan
Keadilan Hukum Studi Atas Justice Collabolator Dalam Peradilan di
Indonesia). 2014.
Adapun pokok permasalahan dari skripsi diatas tersebut terfokus pada
pandangan hukum Islam tehadap Justice Collabolator untuk meneggakan
keadilan.
Dari ketiga studi terdahulu diatas maka penelitian skripsi ini, penulis hanya
memfokuskan pada peringanan hukuman bagi Justice Collabolator dalam tindak
pidana korupsi dan bagaimana pandangannya dalam hukum pidana positi maupun
pidana Islam.
H. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk memahami konsep Justice
Collaborator dan peringanan hukuman terhadap seorang Justice Collaborator
dengan memakai pisau analisa studi keislaman. Penelitian tersebut dimaksudkan
untuk dapat menemukan paradigma baru dalam memahami konsep-konsep ilmu
keislaman berkaitan dengan realita kehidupan yang secara tidak langsung sudah
diatur dalam kitab-Nya. Guna memberikan gambaran yang jelas mengenai
12
keseluruhan isi penelitian tentang kebijakan legislatif perlindungan hukum
Whistleblower dan Justice Collaborator, maka penulis memberikan sistematika
penulisan yang secara garis besar berguna untuk pembaca. Sistematika penulisan
ini dibagi menjadi lima bab, disusun sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini menguraikan mengenai latar belakang
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metodologi penelitian, studi terdahulu dan
sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi, Whitsleblower dan Justice
Collabolator dalam Pendekatan Restoaktif. Bab ini menjelaskan
mengenai pemidanaan, pengertian Tindak pidana korupsi dan
pengertian dari Whitsleblower dan Justice Collabolator. Menjelaskan
pengertian dan teori dalam peraturan perundang-undangan menurut
para ahli.
Bab III Peringanan dan Perlindungan Hukum Justice Collabolator dalam
Peraturan dan Perundang-Undangan dalam bab ini menguraikan
tentang perlindungan dan peringanan hukum pelapor tindak pidana
dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam peraturan perundang
undangan yang ada, dan praktiknya di Indonesia
Bab IV Kajian Fiqh Jinayah Terhadap Peran dan Peringanan Hukum Justice
Collabolator pada Tindak Pidana Korupsi. Pada bab ini menjelaskan
peran Justice Collabolator dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi sekaligus membahas mengenai peringanan hukuman bagi
Justice Collabolator dalam kajian pidana Islam.
Bab V Penutup, Bab ini menguraikan mengenai hasil penelitian berupa
kesimpulan dan saran.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA KORUPSI, WHITSLEBLOWER DAN
JUSTICE COLLABOLATOR DALAM PENDEKATAN RESTROAKTIF
A. Pengertian WhitsleBlower dan Justice Collabolator
Menurut sejarahnya, munculnya istilah Whistleblower berasal dari praktek
petugas Inggris yang akan meniup peluit ketika mereka melihat kejahatan, peluit
juga akan memberitahu aparat penegak hukum lainnya dan masyarakat umum dari
bahaya.12 Sehingga dengan demikian selanjutnya Whistleblower dikonotasikan
sebagai “peniup peluit”. Apabila dikontekstualisasikan di Indonesia, bisa
dianalogikan sebagai “pemukul kentongan”, dimana pemukulan kentongan aparat
pengamanan tradisional (patroli keliling) memberikan tanda pemberitahuan bahwa
telah terjadi suatu peristiwa baik berupa kejahatan (pencurian, perampokan, dan
lain-lain) maupun bencana (kebakaran, banjir, dan lain-lain).
Oleh karena itu berdasarkan kedua konotasi (peniup peluit atau pemukul
kentongan) tersebut dapat dikatakan bahwa Whistleblower identik dengan
pengungkap fakta atau pembocor rahasia dari suatu peristiwa kejahatan. Dalam
perkembangan berikutnya Whistleblower dan Justice Collaborator ada juga
menyebutnya sebagai “saksi pelapor”, “pengadu”, “pembocor rahasia”, “saksi
pelaku yang bekerja sama”, “cooperative whistleblower”, “participant
whistleblower”, “collaborator with justice”, “pentiti” atau bahkan “pengungkap
fakta”. Mulyana Wirakusumah,13 menyebutkan whistleblower sebenarnya bukan
hanya dikenal dalam sistem peradilan pidana, akan tetapi juga dalam lingkungan
lain, seperti perusahaan sebagai upaya mewujudkan good corporate governance.
Para Whistleblower bukan sekadar “tukang mengadu” akan tetapi saksi suatu
kejahatan. Beberapa lembaga seperti KPK sudah mengembangkan sistem online
12 Imam Thurmudhi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower..., Op. Cit., h. 30 13 Buletin Kesaksian, Edisi 2 Tahun 2012, h. 23
14
pelaporan whistleblower, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah) juga mengembangkan whistleblower system. Whistleblower
merupakan orang dalam Kementerian/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau lembaga
lain yang memiliki akses informasi dan mengadukan perbuatan terindikasi
penyimpangan.
Quentin Dempster,14 berpendapat bahwa yang dimaksud dengan whistleblower
adalah peniup peluit, disebut demikian karena seperti wasit dalam pertandingan
sepak bola atau olah raga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan
fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang hendak menilang seseorang
di jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau seperti pengintai dalam
peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul,
berceloteh, membocorkan atau mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan atau
pelanggaran. Dan Quentin Dempster15 menyebut Whistleblower sebagai orang yang
mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktik,
atau korupsi.
Sementara itu, Mardjono Reksodiputro menyebut Whistleblower sebagai
pembocor rahasia atau pengadu. Adapun yang dimaksud pembocor rahasia atau
pengadu tersebut adalah seorang yang membocorkan informasi sebenarnya bersifat
rahasia dikalangan dimana informasi itu berada. Tempat dimana informasi itu
berada maupun jenis informasi itu bermacam-macam. Sementara itu di Indonesia
informasi yang diharapkan dibocorkan adalah informasi tentang kegiatan-kegiatan
yang tidak sah, melawan hukum ataupun bertentangan dengan moral yang baik. Si
pembocor sendiri adalah “orang dalam” diorganisasi tersebut, dia dapat terlibat
14 Quentin Dempster, Whistleblower (Para Pengungkap Fakta), ( Jakarta, Elsam 2006), h. 1
15 Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Colloborator Dalam Perspektif Hukum, (Jakarta,
Penaku, 2012), h.7
15
ataupun tidak dalam kegiatan dibocorkan. Karena dia adalah “orang dalam” maka
dia menempuh resiko dengan perbuatannya.16
Imam Thurmudhi,17berpendapat seseorang dapat dikatakan sebagai
Whistleblower pada dasarnya adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri
atau mengalami sendiri suatu tindak pidana atau pelanggaran, sehingga dengan
itikad baik mengungkapkan kepada publik atau melaporkan kepada pejabat yang
berwenang. Namun demikian penilaian itikad baik yang dimaksudkan disini
memiliki nilai yang sangat subyektif, bisa saja ada niat atau kepentingan tertentu
yang mendasari pengungkapan fakta yang dilakukan oleh Whistleblower, dengan
perhitungan untung rugi dari pengungkapan tersebut bisa saja seseorang terdorong
untuk menjadi Whistleblower.
Adapun mengenai saksi mahkota (kroon geituige) yang terjadi karena inisiatif
pemisahan perkara (splitsing) yang dilakukan jaksa penuntut umum terhadap
beberapa pelaku yang diduga melakukan beberapa tindak pidana, sehingga salah
satu pelaku dapat menjadi saksi bagi pelaku yang lainnya dalam pemeriksaan
perkara yang berbeda.
Mardjono Reksodiputro membedakan definisi dari saksi mahkota,
Whistleblowers, dan Justice Collaborators. Saksi mahkota adalah saksi utama dari
jaksa, Whistleblowers adalah orang yang membocorkan rahasia/pengadu. Baik saksi
mahkota maupun Whistleblowers adalah Justice colaborator yaitu orang yang
bekerjasama dengan penegak hukum.18 Selain definisi berdasarkan pendapat dari
para sarjana tersebut di atas, pada dasarnya pengertian Whistleblower dalam
16Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia (Whistleblower) dan Penyadapan Rahasia
(Wrietapping, Electronic Interception) dalam menanggulangi Kejahatan di Indonesia, disampaikan
dalam Seminar Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy dan Research (CLEAR) di Hotel Le
Meredian, 3 Agustus 2010, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Vol. 10, No. 6, Juli 2010, h. 13. Lihat
dalam: Sigit Artantojati, Perlindungan Hukum terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice
Collaborators) oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Tesis, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2012, h. 55-56 17 Imam Thurmudhi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower..., Op Cit, h. 33 18 Sigit Artantojati, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku..., h.56
16
peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak memberikan pengertian secara
tegas sebagai pengungkap fakta, namun secara tersirat dapat dimaknai sebagai
Whistleblower. Misalnya PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan
peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi menyebut orang yang memberikan suatu informasi kepada penegak
hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi.19 Sementara
itu SEMA Nomor: 4 Tahun 2011 pengertian Whistleblower dengan Justice
Collaborator yang dimaknai oleh SEMA ini adalah berbeda. Whistleblower
diartikan sebagai Pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan
bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporannya.
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum mendefinisikan Justice
Collaborator sebagai pelaku yang bekerja sama yaitu (baik dalam status saksi,
pelapor, atau informan) yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam
bentuk, misalnya pemberian informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau
keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang dapat mengungkapkan suatu tindak
pidana dimana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkannya
tersebut (atau bahkan suatu tindak pidana lainnya)20 Di Indonesia, praktik
perlindungan Whistleblower dan Justice collabolator dilakukan terhadap Vincentius
Amin Sutanto, Agus Condro Prayitno, Yohanes Waworuntu dan Endin Wahyudin.21
Oleh karena itu perlindungan yang diberikan kepada Whistleblower maupun
Justice Collaborator harus komprehesif, tidak saja sebatas perlindungan hukum dan
perlindungan khusus yang berlaku selama proses peradilan pidana saja, namun juga
19 Imam Thurmudhi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower..., Op Cit, hlm. 30 20 Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama
(Justice Collaborators), Usulan Dalam Rangka Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta,
2011, h.3 21Vincentius Amin Sutanto mantan financial controller di Asina Agri Group melakukan pembobolan
uang Asian Agri dengan membuat dua aplikasi transfer fiktif dari PT Asian Agri Oils and Fats Ltd ke
Bank Fortis, Singapura dengan memalsukan tanda tangan dan kemudian memberi keterangan tentang
penggelapan yang dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Kemudian Agus Condro Prayitno
dalam kasus dugaan suap BI kepada Hamka Yandu, Yohanes Waworuntu mengenai masalah
Sisminbankum dan Endin Wahyudin tentang kasus yang melibatkan suap terhadap tiga hakim agung
17
perlu diberlakukan saat setelah proses peradilan. Hal ini dapat dijadikan contoh di
negara Indonesia dan apabila diterapkan dengan baik maka besar harapan tindak
pidana korupsi dapat diberantas secara optimal melalui kondisi yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan para pengungkap fakta Whistleblower maupun
Justice Collaborator.
Singkatnya dari paparan sarjana hukum ditas dapat dibedakan apa itu Saksi
Mahkota, Whistleblower, dan Justice Collabolator. Saksi mahkota yaitu saksi bagi
pelaku yang lainnya dalam pemeriksaan perkara yang berbeda. Whitsleblower yaitu
orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya
atau korupsi. Dan Justice Collabolator yaitu saksi yang berstatus sebagai pelaku
yang mengakui kesalahanya dan mau bekerjasama dengan penyidik dalam tindak
pidana tertentu.
B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Korupsi
Mengenai pengertian korupsi haruslah dilihat terlebih dahulu dari pada asal
katanya, yaitu dari kata Latin “corruption” yang berarti “perbuatan melawan buruk,
tidak jujur, tidak bermoral, atau dapat disuap”. Dalam Kamus Umum Besar Bahasa
Indonesia yang disusun oleh Poerwadarminta , pengertian korupsi adalah perbuatan
yang buruk seperti penggelapan uang, seperti penerimaan uang sogokan dan
sebagainya. Oleh karena itu ruang lingkupnya sangat luas maka pengertian korupsi
lebih disederhanakan yang secara umum merupakan perbuatan buruk dan dapat
disuap.22 Dalam kamus hukum yang populer di Amerika Serikat, Black’s law
Dictionary, yang disusun oleh Henry Cambell Black merumuskan tentang
pengertian korupsi sebagai berikut.
An act done with intent to give som advantage inconsistent with official duty and
the rights of others. The act official or fuduciary person who unlawfully and
22 Andi Hamzah,Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1994). h.7
18
wrongfully uses in station or character to procure ome benefit fo himself or for
another person, contrary to duty and the rights of others.
(Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak sesuai dangan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak
lain. Perbuatan dari pejabat atau orang kepercayaan yang menggunakan hukum yang
secara salah menggunakan jabatanya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya atau untuk orang lain, berlawanan dengan kewajiban dan
hak-hak dari pihak lain). Berdasarkan dokumen yang dikeluarkan oleh
Transparansy Internasional yang bermarkas di Berlin, Jerman merumuskan
pengertian korupsi sebagai berikut
Coruption involves behavior on the part of official in the public sector, whether
politicians or civil servants, in wich they improperty and unlawfully enrich
themselves, or those close to them, by the public power entrusted them.
(Korupsi mencangkup perilaku dari pejabat-pejabat di sektor publik apakah
politikus atau pegawai negeri, dimana mereka secara tidak benar melanggar hukum
dan memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka,dengan cara
menyalahgunakan kewenangan pubik yang dipercayakan kepada mereka).23
Pengertian korupsi menurut hukum Indonesia, tidak dijelaskan pada pasal
pertama UU Korupsi seperti undang-undang lainnya. Maka dari itu untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi, harus dilihat dalam rumusan pasal-
pasal UU Korupsi, yaitu sekitar 13 pasal yang mengaturnya serta terdapat tiga puluh
jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. Undang-Undang Korupsi
Tahun 31 Tahun 1999 menggantikan berlakunya UU Korupsi tahun 1971 dan
disahkan berlakunya pada tanggal 16 Agustus 1999, perumusan delik (tindak
pidana) korupsi dalam “aturan khusus” hanya merupakan bagian dari keseluruhan
sistem hukum pidana (sistem pemidanaan). Perumusan delik (baik unsur-unsurnya,
23Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, cet.1(Bogor: Ghalia indonesia, 2014), h.7-
10
19
jenis deliknya, maupun jenis pidana/sanksi dan lamanya pidana) bukan merupakan
sistem yang berdiri sendiri.
Oleh karena itu perumusan delik itu masih harus ditunjang oleh bagian-bagian
sistem lainnya, yaitu bagian aturan/pedoman dan asas-asas pemidanaan yang ada
diaturan umum KUHP atau aturan khusus dalam UU khusus yang bersangkutan.
1. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Secara singkat dipaparkan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia. Pada
tahun 1960 diberlakukan Undang undang Nomor 24 Peraturan pemerintah 1960.
Beberapa upaya untuk memberantas korupsi berdasarkan Undang-undang
tersebut dilakukan antara lain:24
a. Operasi Budhi;
b. Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 228 Tahun 1967, yang dipimpin Jaksa Agung.
c. Adanya perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan/perekonomian
Negara yang merupakan perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan
dipidana
d. Pelaku tindak pidana korupsi hanya ditujukan kepada pegawai negeri sedang
kenyataannya, orang-orang yang bukan pegawai negeri pun juga melakukan
perbuatan tercela seperti yang dilakukan pegawai negeri;
e. Perlu diadakan ketentuan kententuan yang mempermudah pembuktian dan
mepercepat proses dari hukum acara yang berlaku tanpa memperhatikan hak
asasi tersangka/terdakwa.
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak
peraturan perundang-undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana
korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak
24 Ibid h.12
20
Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002. Secara substansi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 telah
mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi
tindak pidana korupsi yang semakin rumit.
Dalam Undang-Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai
tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi
tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi,
sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti
yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang-undang tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan
pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim
yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah
diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang-
undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta
masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui
kerja sama dengan dunia Internasioanal.
Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti
korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor
yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia
akan diuntungkan dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu yang penting
dalam konvensi inia adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan
dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.25 Berdasarkan ketentuan
Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. dibentuklah Pengadilan Tindak
25 Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, (Jakarta: Penerbit Penaku bekerjasama
dengan Maharini Press, 2008), h. 49-50.
21
Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Pengadilan TIPIKOR dikualifikasikan sebagai
pengadilan khusus dalam lingkup Peradilan Umum dibawah Kekuasaan
Kehakiman. Keberadaan Pengadilan TIPIKOR diguncang dengan diajukan uji
materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian pada tanggal
19 Desember 2006 MK dalam pertimbangan hukumnya pada pokoknya menilai
bahwa Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK melanggar konstitusi dan
harus dibatalkan karena tidak sesuai Pasal 24c UUD 1945.
Kemudian dari putusan MK tersebut dapat disimpulkan bahwa jika tidak
dibentuk UU Peradilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 3 Tahun,
maka perkara korupsi menjadi kewenangan Pengadilan Umum. Hadirnya
Peradilan khusus Tindak Pidana Korupsi tersebut memberikan dua alternatif
untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi, yaitu disidangkan melalui
Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) atau melalui Pengadilan Khusus Tindak
Pidana Korupsi. Upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan dengan melalui
legislasi, semua bentuk perbuatan korupsi dipertegas dengan diformulasikan
dalam perUndang-Undangan. Masyarakat ingin agar Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dirasakan menjadi sarana yang
efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Masalahnya sekarang
keadilan yang semacam apa yang akan dikenakan kepada orang yang telah
melakukan tindak pidana korupsi. Keadilan yang diberikan tersebut bukanlah
hanya untuk koruptor saja, akan tetapi keadilan tersebut juga harus dirasakan
atau diterima oleh masyarakat luas. Masyarakat kita selalu menghubungkan
keadilan dengan moral dan keadilan sosial, sedangkan hakim melihat "keadilan"
berdasarkan Undang-Undang.
22
2. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi
Untuk memberantas tindak pidana korupsi secara optimal, untuk itu perlu
dilihat dari berbagai modus dan tipu muslihat yang semakin hari semakin
canggih. Korupsi dipersiapkan dengan sangat rapih mulai dari tahap penyusunan
konsep penganggaran pembangunan, korupsi bisa dilangsungkan dengan lancar,
rapi dan susah dibuktikan oleh penegak hukum. Oleh karena itu perlu dilihat dari
tahap ke tahap modus operandi korupsi. Hal ini seperti dikemukakan oleh Alfitra
dalam modus operandi pidana khusus di luar KUHP dari paparannya sebagai
berikut:
a) Tahap formulasi anggaran negara
Bagi-bagi kapling proyek eksekutif dan legislatif. Hal ini muncul ketika
posisi tawar Legislatif yang kuat dan berhadapan dengan eksekutif.
Seharusnya posisi ini agar ada kontrol terhadap kebijakan eksekutif, justru
menggunakan posisinya untuk berkolusi dengan eksekutif demi mengeruk
keuntungan dari uang negara. Modus lainnya seperti kolusi penguasa dan
pengusaha, proyek bagi keluarga, dana bantuan atau proyek fiktif dan masih
banyak modus lainnya.
b) Tahap Perencanaaan operasional Anggaran
Selain dari tahap formulasi, korupsi juga sudah dipersiapkan pada taraf
perencanaan operasional anggaran seperti modus Mark-up anggaran dan
volume proyek, pembelanjaan anggaran belanja legilatif, pelanggaran
terhadap PP No.109 Tahun 2000, tumpang tindih anggaran, pengalokasian
anggaran yang tidak realistik.
c) Tahap Implementasi Anggaran
Sebagai buah dari berbagai manipulasi pada tahap formulasi dan
perencanaan, korupsi berlangsung pada tahap implementasi. Dalam
realitasnya menunjukan terjadinya praktik penjarahan uang rakyat, baik dalam
23
proses pengumpulan pendapatan negara maupun pada relisasi atau
pelaksanaan anggaran pengeluaran negara. 26
Dari apa yang dikemukakan diatas diperlukan upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi di dalam pemerintahan guna mewujudkan clean and
goverment (pemerintahan yang bersih) dari praktik-praktik tindak pidana korupsi.
C. Tinjauan Umum Tindak Pidana dan Pendekatan Restroaktif
Sebelum membahas mengenai tindak pidana korupsi maka perlu dijelaskan
lebih dahulu apa itu pengertian dari tindak pidana serta apa saja hal-hal yang
terkait. Berikut ini penulis akan memaparkan apa itu tindak pidana dan bagaimana
pendekatan restroaktif dalam pemidanaan yaitu:
1. Tinjauan Tindak Pidana
Hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik
perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah
tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban. Prof. Sudarto
berpendapat bahwa pembentuk undang-undang sudah tetap dalam pemakaian
istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana
seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pendapat Sudarto
diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang sekarang selalu
menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah
mempunyai pengertian yang dipahami oleh masyarakat27. Suatu perbuatan akan
menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan itu:
a. Melawan hukum,
b. Merugikan masyarakat,
c. Dilarang oleh aturan pidana,
26 Alfitra. Modus Operandi Pidana Khusus diluar KUHP, (Jakarta: Penebar Swadaya Grup
,2014). h. 11-20 27 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, h. 49
24
d. Pelakunya diancam dengan pidana.28
Syarat-syarat pokok dari sesuatu delik itu adalah:
1. Dipenuhinya semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan
delik;
2. Dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya;
3. Tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak dengan sengaja, dan
4. Pelaku tersebut dapat di hukum. Sedangkan syarat-syarat penyerta seperti
dimaksud di atas merupakan syarat yang harus terpenuhi setelah tindakan
seseorang itu memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan delik.29
Oleh karena itu, setelah mengkaji definisi diatas, maka bahwasanya tindak
pidana merupakan perbuatan yang aturan hukum positif mengandung perintah dan
larangan yang disertai dengan sanksi, dimana dalam memaknai perbuatan ini
disamping perbuatan yang bersifat aktif, juga perbuatan yang bersifat pasif.
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak
pidana itu sendiri, maka perlu diketahui bahwa didalam tindak pidana tersebut
terdapat unsur-unsur tindak pidana. Mengenai masalah unsur tindak pidana ini
menurut Lamintang secara umum dibedakan atas unsur subyektif dan unsur
objektif. Unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
berhubungan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang
terkandung didalam hatinya.Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan
dimana tindakan si pelaku itu harus dilakukan.
a. Unsur-unsur subyektif dari tindak pidana meliputi :
28 Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, (Bandung:Remadja Kayra CV, 1986), h. 2. 29P.A.F Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,(Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), h. 18
25
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1)
KUHP.
3) Macam-macam maksud terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian,
penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP,
yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.
b. Unsur-unsur obyektif tindak pidana meliputi :
1) Sifat melanggar (melawan.) hukum.
2) Kualitas dari si pelaku, seperti tercantum dalam Pasal 415 KUHP.
c. Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan kenyataan sebagai akibat.30Selain berbagai teori yang telah
dikemukakan diatas yang pada umumnya membagi unsur tindak pidana ke
dalam unsur objektif dan unsur subjektif.
2. Penyertaan dalam Tindak Pidana
Hampir semua tindak pidana melibatkan lebih dari seseorang, terutama
dalam tindak pidana korupsi. Artinya dalam melakukan tindak pidana terdapat
orang lain yang turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sehingga
pertanggungjawabannya pun harus dibagi diantara peserta karena mereka
mengambil atau memberi sumbangan dalam bentuk perbuatan kepada peserta
lain sehingga tindak pidana itu terlaksana. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa penyertaan dalam suatu tindak pidana tersangkut beberapa orang atau
lebih. Hubungan antara peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut
dapat bermacam-macam.
Bersama-sama melakukan suatu kejahatan. Seseorang mempunyai
kehendak dan merencanakan sesuatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan
orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Seorang saja yang
30 Ibid.Hlm. 193. Ibid. h. 47.
26
melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan
tindak pidana tersebut. Sehubungan dengan itu, E. Utrecht mengatakan bahwa
pelajaran umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut
pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan
peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua
anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan pembuat, dalam artian
(perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana), masih
juga mereka (turut) bertanggungjawab atau dapat dituntut
pertanggungjawaban mereka atas dilakukannya peristiwa pidana itu, karena
tanpa turut sertanya mereka sudah sudah tentu peristiwa pidana itu tidak
pernah terjadi.Inilah rasio Pasal 55 KUHP.31Dalam KUHP berkaitan dengan
dengan masalah deelneming atau penyertaan ini dibedakan:
a. Pelaku (dader) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP.
Ketentuan Pasal 55 KUHP secara eksplisit menentukan siapa yang
disebut sebagai pelaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP
dibedakanmenjadi 4 macam pelaku, yaitu:
Pasal 55 ayat 1:
1) Orang yang melakukan (dader) sendiri. Yang dimaksud disini adalah
orang yang melakukan sendiri suatu tindak pidana. Sedangkan
pelakunya adalah tunggal. Dalam tindak pidana yang pelakunya
tunggal orang yang melakukan adalah setiap orang yang memenuhi
semua unsur dari yang terdapat dalam perumusan delik.
2) Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) atau middellijk
daderschap. Istilah doenplegen dimaksudkan adalah seseorang yang
berkehendak melakukan suatu tindak pidana, tetapi ia tidak
melakukannya sendiri dengan menyuruh orang lain melakukannya.
Konstitusi yuridis menurut J.E Sahetapy adalah “orang yang
31 E. Utrecht,.Hukum Pidana II.(Surabaya: Pustaka Tinta Mas,1994), h. 9
27
menyuruh melakukan” tersebut harus memenuhi syarat bahwa yang
disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
menurut KUHP. Dengan kata lain dapat dikatakan, orang yang
“menyuruh melek” itu mempergunakan orang lain “sebagai alat tak
berkehendak”.
3) Orang yang turut melakukan (medeplegen) atau mededaderschap.
Bentuk deelneming ini terjadi apabila beberapa orang
bersamasama melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
Apabila beberapa orang melakukan suatu perbuatan pidana secara
bersama-sama. Jadi dengan kekuatan dader sendiri. Antara (beberapa)
orang yang secara bersama-sama melakukan perbuatan pidana itu
harus ada kesadaran bahwa mereka bekerjasama.
Kesadaran antara peserta tindak pidana itu pada umumnya
dianggap ada/timbul apabila beberapa peserta itu sebelum melakukan
suatu tindak pidana melakukan perundingan/pemufakatan untuk
melakukan tindak pidana. Namun adanya perundingan/ pemufakatan
tersebut bukanlah syarat mutlak medepleger sudah dianggap ada
apabila antara peserta tindak pidana itu dengan sadar bekerjasama pada
waktu melakukan tindak pidana itu.
4) Orang yang membujuk/menggunakan orang lain (vitlokhing)
Yang dikatakan sebagai pembujuk/orang yang menggerakkan
orang lain adalah mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
kesempatan sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain
supaya melakukan perbuatan (pidana).32
b. Dalam Pasal 56 KUHP disebutkan bahwa seseorang akan dipidana
sebagai pembantu sesuatu kejahatan karena:
32 A. Fuad Usfa. Pengantar Hukum Pidana. (Malang: UMM Press, 2006). h. 113-114
28
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan.
2. Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan atau keterangan untuk melakukan kejahatan.33
3. Teori Restorative Justice
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan
masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri
yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa.
Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang
tujuan pemidanaan, yaitu teori pendekatan keadilan restoratif (restorative
justice approach) Menurut terminologis, pengertian restorative justice banyak
para pakar yang menyatakannya, dalam kamus “Black’s Law Dictionary”
misalnya diartikan sebagai berikut :
An alternative delinquency sanction focused on repairing the harm
done, meeting the victim’s need, and holding the offender responsible for his or
her actions. Restorative justice sanctions use a balance approach, producing
the least restrictive dis position while stressing the offender’s accountability
and providing relief to the victim. The offender may be ordered to make
restitution, to perform community service, or to make amends in some other
way that the court order.34
Intinya adalah restorative justice merupakan sanksi alternatif bagi pelaku
kejahatan yang berfokus pada perbaikan kerusakan yang dilakukan, memenuhi
kebutuhan korban, dan menuntut pertanggungjawaban pelaku atas
perbuatannya. Sanksi keadilan restoratif menggunakan pendekatan yang
seimbang, menghasilkan disposisi yang paling ketat sementara tidak
mengabaikan pertanggungjawaban pelaku, dan memberikan bantuan kepada
33 ibid, h, 115 34 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Amerika: West Pblishing Co, 2009), h. 1428
29
korban kejahatan. Pelaku dapat dituntut untuk mengganti kerugian (ganti rugi),
kerja sosial, atau menebus kesalahan tersebut dengan cara lain atas keputusan
pengadilan
Menurut Muladi bahwa harus diakui perkembangan konsep restorative
justice tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban
kejahatan (victimology), yang dipelopori oleh Von Hentig seorang ahli
kriminologi pada tahun 1941 dan Mandelsohn pada tahun 1949. Perkembangan
ini melalui beberapa tahap, pertama tahap penal victimology interactionist
victimolgy, tahap kedua general victimolgy, tahap ketiga berkembang pada
tahun 1970-an menandai viktimolgi sebagai suatu disiplin penelitian, dan tahap
keempat dipelopori oleh Separovic pada tahun 1987 yang memperluas
jangkauan definisi viktimologi sehingga mencakup korban pelanggaran HAM
sebagai isu sentral viktimologi dan mengeluarkan dari definisi, korban bencana
alam dan kecelakaan karena dipandang terlalu luas dari sisi ilmiah.35 Oleh
karena itu, proses penyelesaian konflik dalam pendekatan restorative justice
bukan hanya ditujukan untuk pemulihan saja tetapi juga bertujuan untuk
mengurangi tindak pidana dan mencari sebab-sebab yang mendasari timbulnya
tindak pidana dimaksud sehingga dengan demikian masyarakat atau pribadi
lainnya dapat mencegah terulangnya kembali tindak pidana dimaksud.
pendekatan ini menjadi alat alternatif dalam sistem pemidanaan terutama
dalam perlindungan Whitsleblower dan Justice Collabolator hal ini, sama
dengan yang dikemukakan dalam Konsep dan Model Ideal Perlindungan
Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator, oleh Lilik Mulyadi dikatakan
sebagai berikut:36Bahwa dalam hal penanganan perlindungan hukum terhadap
whistleblower dan justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized
35 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum,2007, h. 122 36 Lilik Mulyadi, Menggagas Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Terhadap
Whitsleblower dan Justice Collabolator Dalam Upaya Penaggulangan Organized Crime mendatang,
(Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014), h. 106
30
crime relatif tidak dapat diterapkan asas equality before the law dan asas non-
impunity karena tindak pidana yang bersifat organized crime terlalu kompleks,
multi dimensional dan melintasi batas negara dimana untuk pengungkapannya
mutlak memerlukan adanya whistleblower dan justice collaborator sehingga
konsekuensi logisnya tidak semua orang harus diperlakuan sama karena ada
aspek tertentu yang membedakan orang tersebut dengan orang lain sehingga
perbedaan itu membuka ruang dan dimensi seseorang dapat saja tidak dijatuhi
pidana asal bertanggung jawab atas perbuatannya dengan melakukan
pemulihan keseimbangan seperti keadaan semula (restitutio in integrum) akibat
perbuatan yang telah dilakukannya.
Tegasnya, dalam hal ini diterapkan asas kesamaan hukum yang adil
(equality before the justice) Konsep pendekatan restorative justice
berlandaskan pada asas ketidaksamaan sebagai keadilan. Kontribusi yang
diberikan oleh justice collaborator dalam mengungkap kasus korupsi ini
dijadikan dasar yang membedakannya dengan koruptor biasa. Sehingga,
kontribusinya ini menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan
Konsep pendekatan restorative justice di satu sisi dengan perlindungan
hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya
penanggulangan organized crime di sisi lainnya, kemudian adanya reward dan
sekaligus melekat tanggung jawab bagi Whistleblower dan Justice
Collaborator diharapkan dapat mengungkapkan secara signifikan terhadap
perkara yang berdimensi organized crime.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka konsep restorative justice yang
bertujuan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh korban ini sangat
tepat untuk diterapkan terhadap Justice Collaborator, sebab :
1. Justice Collaborator telah membantu mengungkap kasus korupsi yang
dilakukannya. Laporannya tersebut merupakan kontribusi yang sangat
besar dalam membantu upaya pemberantasan korupsi.
31
2. Penghapusan tuntutan atas Justice Collaborator akan menyebabkan
para pihak mengungkapkan kasus korupsi yang dilakukannya.
Sehingga, kasus korupsi akan terbongkar secara masif dan signifikan.
Dalam hal ini tanggung jawab yang dimiliki oleh Justice Collaborator
terdiri atas tanggung jawab untuk mengembalikan uang negara yang
dikorupsi dan membongkar kasus korupsi yang dilaporkannya hingga
ke akar-akarnya.
Konsep ini merupakan upaya pemulihan kerugian yang diderita oleh negara
akibat korupsi. Tanggung jawab Justice Collaborator dalam hal merestorasi
kerugian negara inilah yang menggantikan pemidanaan bagi Justice
Collaborator. Dalam berbagai jenis kejahatan yang terjadi seringkali orang-
orang yang terlibat di dalamnya atau keluarga mereka melakukan berbagai upaya
agar diringankan dalam penghukuman, termasuk juga dengan penghalangan
dalam sidang pengadilan. Sesungguhnya Unsur terpenting dalam perkara tindak
pidana korupsi adalah saksi pelaku karena ia merupakan orang yang terlibat dan
tau mengenai asal-usul uang yang dikorupsi dan kemana alirannya. Karena
korupsi merupakan kejahatan yang sangat sulit pembuktiannya maka dari itu
seorang saksi pelaku atau Justice Collaborator harus dipersenjatai dengan
berbagai macam perlindungan karena ialah orang yang mengantongi berbagai
bukti penting sehingga proses peradilan dapat berjalan dengan baik dan benar.
32
BAB III
PERINGANAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI JUSTICE
COLLABOLATOR DALAM PERATURAN DAN PERUNDANG-
UNDANGAN
A. Peraturan Justice Collabolator dalam Hukum Pidana Nasional
Dikaji dari perspektif terminologis, Justice Collaborator diartikan sebagai “saksi
pelapor”, “pengadu”, “pembocor rahasia”, “saksi pelaku yang bekerja sama”,
“pemukul kentongan”, atau bahkan “pengungkap fakta”. Pada perkembangan
terakhir, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4
Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan
Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak
Pidana Tertentu disebutkan sebagai pelapor tindak pidana adalah orang yang
mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku
kejahatan yang dilaporkannya, sehingga seorang pelaku yang bekerjasama (justice
collaborator) merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui
kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta
memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.37
Perkembangan ide justice collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan
Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun
2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) dimana ditegaskan bahwa,
“Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate
cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial
cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in
accordance with this Convention”.
(Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam
kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan
37Indriyanto Seno Adji, Urgensi Perlindungan Saksi, 9 Desember 2005, www.antikorupsi.
Org.
33
kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan
yang ditetapkan dalam konvensi ini). Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC
dikemukakan bahwa,
“Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with
fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution
to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution
of an offence established in accordance with this Convention”,
(setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari
penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam
penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan
konvensi ini).
Selanjutnya, dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah
Agung maka justice collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan
pelaku, namun mau bekerja sama dengan penegak hukum dalam rangka
membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi
apabila aset itu ada pada dirinya. Untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku
yang bekerjasama (justice collaborator) sesuai SEMA Nomor 04 Tahun 2011 poin
9 yaitu :
1) Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu
sebagaimana dimaksud dalam SEMA, mengakui kejahatan yang dilakukannya,
bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan
sebagai saksi di dalam proses peradilan
2) Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah
memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga Penyidik
dan/atau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara
efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar
dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
3) Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang bekerjasama
sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan
dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana berupa
menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana
34
berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang
terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.
Dalam ketentuan hukum positif Indonesia, justice collaborator selintas diatur
dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014, United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC), UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU.
Nomor 20 Tahun 2001, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Kapolri Nopol 3 Tahun
2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan
Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia
Nomor: M.HH11.HM..03.02.th.2011, Nomor: PER045/A/JA/12/2011, Nomor: 1
Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/0155/12/2011 Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang
Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama,
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan
Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
(Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu dan lain
sebagainya. 38
Pengaturan nota kesepahaman antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor: SPJ-
12/01/08/2010, Nomor: KEP066/1.6/LPSK/08/2010 tanggal 09 Agustus 2010
tentang Kerjasama Dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi atau Pelapor. Adapun
tujuan nota kesepahaman ini adalah agar para pihak (KPK dan LPSK) dapat
38Lilik Mulyadi,dkk, Perlindungan hukum terhadap whistleblower dan Justice Collabolator
dalam penanggulanggan organized crime. Pusat penelitian dan pengembangan Mahkamah
Agung RI, 2013. h.43-44
35
bekerjasama dan berkoordinasi dalam memberikan perlindungan terhadap saksi atau
pelapor sebagai kewenangan yang ditentukan kewenangan UU. Adapun ruang
lingkup nota kesepahaman tersebut adalah kerjasama operasional yang meliputi:39
a) Perlindungan oleh salah satu pihak Pelindungan ini dilakukan dalam hal KPK
dapat menyerahkan saksi untuk dilakukan perlindungan oleh LPSK dan LPSK
dapat menyerahkan calon Pelapor/Pelapor kepada KPK. Penyerahan saksi
dinyatakan dalam suatu Berita Acara yang ditandatangani para pihak (KPK dan
LPSK) serta disetujui oleh saksi, sejak ditandatangani Berita Acara, maka
kewajiban tanggung jawab pemberian perlindungan saksi beralih kepada LPSK
dan akan menentukan bentuk perlindungan berdasarkan hasil analisis dan
verifikasi yang telah ditentukan LPSK. Kemudian terhadap kerjasama
operasional calon pelapor/pelapor maka LPSK dapat didampingi orang yang
akan melaporkan suatu tindak pidana korupsi kepada KPK. LPSK berkewajiban
untuk menyerahkan seluruh dokumen yang terkait dengan laporan pelapor
kepada KPK yang akan menindaklanjuti sesuai prosedur yang berlaku.
b) Perlindungan secara bersama-sama Kerjasama operasional berupa
perlindungan secara bersamasama dapat dilakukan dalam hal KPK
menyerahkan saksi kepada LPSK untuk dilakukan perlindungan. Apabila
LPSK memerlukan bantuan dalam pelaksanaan perlindungan ini maka LPSK
mengirimkan permintaan bantuan secara tertulis kepada KPK.
c) Pemeriksaan saksi yang dilindungi Kerjasama operasional ini meliputi dalam
hal KPK akan melakukan pemeriksaan terhadap saksi yang berada dalam
perlindungan LPSK, maka KPK memberitahukan secara tertulis kepada LPSK
yang berkewajiban untuk memberi dukungan kelancaran pemeriksaan saksi
sesuai ketentuan hukum acara
39 Ibid, h.82-83
36
B. Perlindungan Hukum dan Penghargaan bagi Justice Collabolator
Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai setiap bentuk perlindungan yang
diatur dan didasarkan oleh peraturan perundang-undangan berdasarkan kepastian
hukum. Secara umum makna atau pengertian perlindungan dalam beberapa
peraturan perundang-undangan diatur secara berbeda, diantaranya: menurut Pasal 1
PP Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa
“perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik
fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
“ Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 2003 menyebutkan
bahwa “perlindungan adalah jaminan rasa aman yang diberikan oleh negara kepada
Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dari kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam perkara tindak pidana terorisme.”
Perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan justice collaborator secara
komprehensif seharusnya berlaku baik pada semua tahap peradilan (mulai dari tahap
pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan)
maupun setelah proses peradilan selesai. Hal ini disebabkan terkadang dalam
kondisi tertentu pada suatu tindak pidana tertentu, ancaman dan teror bagi setiap
Whistleblower dan Justice collaborator akan tetap mengikuti setelah proses
peradilan pidana selesai. Munculnya dendam terdakwa atau terpidana yang telah
dilaporkan tindak pidananya, relatif dimungkinkan membuat ketidaknyamanan dan
membuat bahaya bagi kehidupan Whistleblower dan Justice Collaborator yang
terkait. Selain itu perlindungan hukum juga perlu diberikan tidak hanya bagi
Whistleblower dan Justice Collaborator saja tetapi akan lebih baik juga meliputi
keluarganya, karena keamanan dan kenyamanan terhadap keluarga mereka akan
berpengaruh langsung bagi ketenangan dan kenyamanan dalam menjalankan
fungsinya sebagai pengungkap fakta. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka
secara umum terdapat empat bentuk perlindungan terhadap Whistleblower atau
37
Justice Collaborator diantaranya perlindungan terhadap fisik dan psikis,
penanganan khusus, perlindungan hukum dan penghargaan. Secara rinci dapat
diuraikan sebagai berikut:
1) Perlindungan Terhadap fisik dan psikis
Sebagai seorang Whistleblower dan/atau Justice Collaborator akan
menghadapi berbagai ancaman, teror bahkan kekerasan terhadap diri, jiwa,
psikis dan harta serta keluarganya. Keputusan untuk menjadi seorang
Whistleblower dan/atau Justice Collaborator merupakan keputusan tersulit
bagi hidup mereka, karena segala kenyamanan dan keamanan diri dan
keluarganya akan menjadi terganggu. Apalagi jika tindak pidana yang
diungkapnya adalah tindak pidana korupsi, yang notabene para aktor utama dan
intelektualnya adalah orang yang berpengaruh dan memiliki massa atau
pengikut yang besar serta memiliki kedudukan atau jabatan yang strategis
dipemerintahan, maka sudah tentu intimidasi tidak hanya berasal dari pelaku
saja tetapi juga berasal dari keluarga pelaku maupun orang-orang yang tidak
terima akan tindakan pengungkapan fakta oleh para Whistleblower dan/atau
Justice collaborator.
Oleh karena itu merupakan sebuah konsekuensi logis bahwa pengorbanan
para whistleblower dan/atau justice collaborator harus diapresiasi oleh hukum
melalui kebijakan formulasi perlindungan terhadap rasa aman bagi mereka.
Selain itu mengingat pembongkaran fakta tentang tindak pidana yang
dilaporkan mereka akan menjadi sarana efektif bagi penegak hukum untuk
menangani tindak pidana korupsi. Dengan demikian komitmen penegak hukum
dalam memberikan perlindungan terhadap rasa aman bagi para Whistleblower
dan/atau Justice Collaborator akan berdampak bagi efektifitas dan efisiennya
proses penyelesaian perkara pidana.
Perlindungan terhadap rasa aman yang dapat diberikan kepada
Whistleblower dan/atau Justice collaborator dapat berupa perlindungan
terhadap fisik dan psikis mereka. Perlindungan fisik dan psikis tersebut tidak
38
hanya diberlakukan untuk keamanan pribadi berupa perlindungan dari segala
macam ancaman, teror, kekerasan, tekanan, gangguan terhadap diri, jiwa dan
harta mereka dari pihak manapun, namun juga harus meliputi jaminan
perlindungan fisik dan psikis bagi keluarga mereka. Tegasnya, Whistleblower
dan/atau Justice Collaborator dapat lebih aman, tenang dan nyaman serta tanpa
beban/tekanan selama proses penyampaian laporan, informasi kesaksian pada
semua tahapan pemeriksaan peradilan. Dalam konteks perlindungan terhadap
rasa aman maka secara teknis dibutuhkan perlindungan fisik dan psikis
Whistleblower dan/atau Justice Collaborator serta keluarganya sedapat
mungkin dapat disesuaikan dengan UU Nomor 31 Tahun 2014 atas perubahan
UU Nomor 13 Tahun 2006 pasal 5 Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban menegaskan bahwa seorang Saksi berhak:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
4. Mendapat penerjemah;
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
9. Mendapat identitas baru;
10. Mendapatkan tempat kediaman baru;
11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
12. Mendapat nasihat hukum; dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup
sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
13. Mendapatkan pendampingan dalam penyidikan sampai dengan
pemeriksaan di pengadilan;
14. Mendapatkan tempat kediaman sementara dan/atauTidak dapat dituntut
secara hukum baik pidana, administrasi maupun perdata atas kesaksian,
informasi lain yang akan, sedang atau telah diberikannya.
Secara teknis. mekanisme koordinasi perlindungan fisik dan psikis dalam
perkembangannya diatur dalam Peraturan Bersama. Dimensi peraturan
bersama ini mengatur mekanisme koordinasi berkaitan permohonan
39
perlindungan fisik dan psikis bagi pelapor atau saksi pelapor diajukan oleh
Pelapor atau saksi pelapor kepada LPSK, atau kepada aparat penegak hukum
sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim) untuk
diteruskan kepada LPSK, atau dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Dalam permohonan perlindungan diterima oleh LPSK, maka LPSK wajib
memberikan perlindungan yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan aparat
penegak hukum. Dalam hal permohonan perlindungan diterima oleh penegak
hukum, maka aparat penegak hukum wajib berkoordinasi dengan LPSK.
Sedangkan mekanisme perlindungan fisik dan psikis bagi justice collaborator
diajukan oleh aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik,
penuntut umum atau hakim) kepada LPSK. Perlindungan fisik dan psikis bagi
saksi pelaku yang bekerjasama diputuskan oleh LPSK berdasarkan
rekomendasi dari aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya
(penyidik, penuntut umum atau hakim).40
2) Penanganan Khusus
Selain diberikan fasilitas perlindungan terhadap fisik dan psikis sebagaimana
dijelaskan di atas maka untuk mendukung upaya pemberian perlindungan rasa
aman terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator yang memberikan
kesaksian di persidangan maka dimungkinkan diberikan penanganan khusus
dalam ketentuan pasal 6 ayat (3) Peraturan Bersama Menteri Hukum dan
HAM, Jaksa Agung, Polri, KPK, dan LPSK. berupa :
1. Dipisahnya tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka,
terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam
hal Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani pidana badan;
2. Pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan secara terpisah dengan
tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara yang dilaporkan atau
diungkap;
3. Memperoleh penundaan penuntutan atas dirinya;
40 Sigit Artantojati, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku...., Op. Cit, h. 96
40
4. Memperoleh penundaan proses hukum seperti penyidikan dan penuntutan
yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang
diberikannya; dan
5. Dapat memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan
wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya.
3) Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum yang dimaksud dalam sub bab ini adalah perlindungan
terhadap “status hukum”, sebagaimana yang dimaksud dalam PP Nomor 71
Tahun 2000. Adapun bentuk perlindungan terhadap status hukum ini secara
teknis diantaranya adalah tidak dilanjutkannya terlebih dahulu laporan
pencemaran nama baik oleh tersangka tindak pidana korupsi terhadap saksi
pelapor sebelum ada proses hukum terhadap kasus korupsi itu selesai terlebih
dahulu. Tegasnya, dengan lain perkataan proses hukum kasus korupsi harus
didahulukan daripada tuntutan pencemaran nama baik oleh tersangka terhadap
saksi pelapor tindak pidana korupsi.
Namun perlindungan terhadap “status hukum” tersebut dibatalkan apabila
dari hasil penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti cukup yang memperkuat
keterlibatan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan dan
disaksikannya tersebut. Maka dalam hal ini terhadap saksi pelapor yang
demikian hanya diberikan perlindungan terhadap rasa aman selama proses
pemeriksaan peradilan pidana korupsi.41 Pengaturan perlindungan terhadap
status hukum yang diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 selaras dengan
pengaturan yang ada dalam pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2014, yang
menyebutkan bahwa:
(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara
hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang
akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan
tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi
Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan,
41 Lilik Mulyadi,dkk, Perlindungan hukum terhadap whistleblower dan Justice Collabolator
dalam penanggulanggan organized crime.....Op.Cit, h. 98-99
41
sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda
hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh
pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sementara itu untuk Justice Collaborator, ketentuan pasal 10A ayat (3) UU
Nomor 31 Tahun 2014 menjadi payung hukum untuk mendapatkan
penghargaan berupa keringanan hukuman. Untuk Justice Collaborator yang
notabenenya Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana diduga kuat
telah melakukan kesalahan dan karenanya sangat mudah untuk
membuktikannya di pengadilan.
Yang memungkinkan baginya adalah lepas dari segala tuntutan hukum
sebagaimana terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan
bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Hanya saja untuk
lepas dari segala tuntutan hukum juga sulit karena whistleblower yang juga
sebagai pelaku tindak pidana yang diduga kuat telah melakukan kesalahan,
tindakannya tidak termasuk dalam kerangka dasar penghapusan pidana.42 untuk
memberikan pedoman bagi perlindungan “status hukum” dan pelaksanaan
ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 atas perubahan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, maka Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2011. Langkah progresif dari Mahkamah Agung ini sangat
tepat mengingat ketentuan pasal 10 tersebut masih perlu pedoman lebih lanjut
didalam penerapannya. Mahkamah Agung dalam SEMA ini meminta kepada
para hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat
dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama
dapat diberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya.
42 Imam Thurmudhi, Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower..., h. 64
42
Secara teknis, untuk saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator),
SEMA ini memberikan kriteria yang bersangkutan yaitu bukan pelaku utama
dalam kejahatan tersebut dan dia mengakui kejahatan yang dilakukannya serta
memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Selain itu juga
dipersyaratkan bahwa diperlukan adanya pernyataan dari jaksa penuntut umum
bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang
sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat
mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-
pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan/atau mengembalikan
aset-aset/hasil suatu tindak pidana. Atas bantuannya tersebut maka justice
collaborator tersebut dapat mempertimbangkan penjatuhan pidana dengan
pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana penjara yang
lebih ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah.
Namun dalam hal pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan
pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Selain
itu Ketua Pengadilan dihimbau untuk mendistribusikan perkara yang terkait
dengan perkara-perkara yang diungkap oleh saksi pelaku yang bekerjasama
kepada majelis hakim yang sama sejauh memungkinkan dan mendahulukan
perkara-perkara lain yang diungkap oleh saksi pelaku yang bekerjasama.
4) Penghargaan
Perlindungan dan peringanan dalam bentuk penghargaan bagi para
Whistleblower dan Justice Collaborator sangat penting keberadaannya bagi
upaya menciptakan iklim kondusif bagi pengungkapan organized crime dalam
konteks pelibatan masyarakat. Penghargaan layak diberikan sebagai penegasan
bahwa yang bersangkutan telah berjasa bagi upaya penegakan hukum,
implikasinya bilamana terdapat penghargaan terhadap mereka masyarakat yang
lain dapat berani juga mengungkapkan suatu tindak pidana kepada penegak
hukum. Bagi Whistleblower yang tidak tersangkut sebagai pelaku, penghargaan
43
terhadap mereka telah diatur dalam peraturan perundangan. Salah satu
diantaranya adalah PP Nomor 71 Tahun 2000.
Sementara itu perlindungan dalam bentuk penghargaan bagi justice
collaborator dapat berupa keringanan hukuman, termasuk menuntut hukuman
percobaan, serta pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain
sesuai perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang
bekerjasama adalah seorang narapidana. Secara teknis perlindungan dalam
bentuk penghargaan bagi Justice Collaborator dilakukan sesuai ketentuan
dalam Peraturan Bersama sebagai berikut: Permohonan diajukan oleh pelaku
sendiri kepada Jaksa Agung atau pimpinan KPK; LPSK dapat mengajukan
rekomendasi terhadap saksi pelaku yang bekerjasama untuk kemudian
dipertimbangkan oleh Jaksa Agung atau Pimpindan KPK; Permohonan memuat
identitas saksi pelaku yang bekerjasama, alas an dan bentuk penghargaan yang
diharapkan; Jaksa Agung atau pimpinan KPK memutuskan untuk memberikan
atau menolak penghargaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.43
Selanjutnya dalam hal Jaksa Agung atau Pimpinan KPK mengabulkan
permohonan penghargaan, Penuntut Umum wajib menyatakan dalam
tuntutannya mengenai peran yang dilakukan oleh justice collaborator dalam
membantu proses penegakan hukum agar dapat menjadi pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan. Kemudian dalam hal penghargaan berupa remisi
dan/atau pembebasan bersyarat maka permohonan diajukan oleh saksi pelaku
yang bekerjasama, Jaksa Agung, Pimpinan KPK dan/atau LPSK kepada
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk kemudian diproses sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
43 Sigit Artantojati, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku..., Op Cit, h. 97
44
BAB IV
KAJIAN TERHADAP PERAN DAN BENTUK PERINGANAN HUKUM
JUSTICE COLLABORATOR PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Peran Justice Collabolator dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Penanganan tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan secara biasa.
Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara biasa atau kovensional
selama ini terbukti tidak efektif karena mengalami banyak kendala. Hal tersebut
disebabkan karena korupsi tidak saja menyerang badan eksekutif dan legislatif,
melainkan juga menyeruak pada kalangan yudikatif yang dilakukan oleh hakim,
kejaksaan dan kepolisian sebagai institusi penegak hukum, oleh karena itu
dibutuhkan sebuah metode penegakan hukum secara luar biasa untuk memberantas
korupsi.44
Peran Justice Collaborator yaitu seseorang sebagai tersangka namun bukan
pelaku utama dan dapat membongkar orang yang terlibat di atasnya. Dalam hal ini,
sekalipun ia telah korupsi namun ia juga mendapat keringanan karena telah
membantu dalam suatu proses pembongkaran fakta dan keadilan. Konsep Justice
Collaborator pada hakikatnya ini sama dengan konsep delik penyertaan dalam
ketentuan pasal 55 dan 56 KUHP, dimana keterlibatan seseorang dalam suatu kasus
korupsi dan dia sendiri melaporkan kasus tersebut kepada aparat penegak hukum
terjadi dalam beberapa kemungkinan seperti, sebagai orang yang turut serta dengan
orang lain melakukan korupsi, orang yang melakukan korupsi atas anjuran orang
dan orang yang membantu orang lain melakukan korupsi.
Seorang Justice Collaborator dan Wistleblower yang melaporkan kasus korupsi
merupakan Orang yang memilki keberanian dan mental yang kuat. Sebab, orang
44Febriansyah, et all, Laporan Penelitian : Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui Fungsi
Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (Jakarta : Indonesia Corruption
Watch-Kerjasama dengan Eropa Union (EU) dan UNODC (United Nations Office on Drugs and
Crime), 2011, h. 8
45
tersebut pada dasarnya sudah mengetahui hal-hal buruk yang menimpa mereka
karena laporan tersebut, seperti diancam, diintimidasi, dianiaya, diberhentikan
secara tidak terhormat dari jabatannya atau bahkan dibunuh.45 Peraturan tentang
keberadaan Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dalam dunia
pembuktian hukum di Indonesia merupakan sesuatu hal yang baru, istilah Justice
Collaborator merupakan hasil upaya revolusioner dalam praktik penegakan hukum
pidana yang merupakan dampak bagi modus kejahatan di Indonesia.
Di mana keberadaannya kemudian dan selanjutnya mulai diatur dalam hukum
positif. Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi,
sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi sebagai suatu virus yang dengan mudahnya
menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan dan cenderung mengalami peningkatan
yang signifikan dari tahun ke tahun baik secara kualitas maupun kuantitasnya
sehingga menjadi salah satu permasalahan krusial nasional. Perkembangan korupsi
yang demikian mempunyai relevansi dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan
itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi,
keluarga, kelompok dan kroninya.
Perlunya penanganan secara luar biasa dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi disebabkan karena tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime) dan dilakukan dalam suatu
jaringan kejahatan yang terorganisasi (organized crime) dan terstruktur sedemikan
tertutupnya dengan berbagai macam modus operandi sehingga menimbulkan
kesulitan oleh aparat penegak hukum dalam hal pemberantasannya. Penghargaan
menjadi cara yang efektif untuk membongkar kejahatan terorganisasi, terutama
korupsi, dan mencegah kejahatan serius. Di Indonesia beberapa orang saksi pelaku
telah memperoleh penghargaan dari negara berupa keringanan hukuman.
45Supriadi Widodo Eddyono, “Prospek perlindungan Justice Collaborator di Indonesia,
perbandingannya dengan di Amerika dan Eropa”, (jurnal perlindungan vol 1 no. 1, 2011,) h.586.
46
1. Praktik Perlindungan dan Peringanan Juctice Collabolator
Salah satu fungsi LPSK adalah memberikan perlindungan bagi saksi baik
berstatus sebagai Whistleblower/saksi pelapor maupun sebagai Justice
Collaborators. Menurut Maharani Siti Shopia,46 dari 124 permohonan yang
diterima oleh LPSK pada tahun 2011, yang dapat dikategorikan sebagai justice
collaborator yakni saksi yang juga pelaku suatu tindak pidana yang bersedia
membantu penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dengan
memberikan informasi kepada penegak hukum serta memberikan kesaksian di
dalam proses peradilan hanya dalam 1 (satu) perkara yaitu perkara Agus Condro
kasus suap cek pelawat pemilihan. Deputi Gubernur BI, satu perkara lain dapat
dikategorikan sebagai Whistleblower/saksi pelaporan. Ir.Stanli Erling yang
melaporkan Rektor Universitas Manado dalam kasus dugaan korupsi pembangunan
Laboratorium Microteaching Universitas Manado.
Berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada Agus Condro, Ir. Stanli Erling
justru mendapatkan vonis kurungan lima bulan penjara oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Tondano sedangkan perkara yang dilaporkan oleh Ir. Stanli
Erling oleh Kejaksaan Negeri Tondano telah dikeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) untuk kasus dugaan korupsi tersebut. Agus Condro
adalah pelapor sekaligus pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum
dalam pengungkapan tindak pidana korupsi penerimaan travel chaque oleh anggota
komisi IX DPR RI periode tahun 1999-2004. Berdasarkan kerjasamanya dalam
melaporkan dan mengungkap perkara korupsi penerimaan travel chaque oleh
anggota komisi IX DPR RI periode tahun 1999-2004 tersebut maka oleh majelis
hakim dijadikan sebagai hal yang meringankan hukumannya menjadi 1 (satu) tahun
dan 3 (tiga) bulan. Hukuman ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum
yaitu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Setidaknya terdapat empat alasan Agus Condro
layak ditetapkan sebagai Justice Collaborator diantaranya:
46 Sigit Artantojati, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku..., h. 87-88
47
Pertama, dia pelaku korupsi yang bekerja sama memberikan informasi faktual,
bukan fitnah. Terbukti, oleh Pengadilan Tipikor, keterangannya digunakan sebagai
bukti yang dapat menjerat pelaku korupsi lainnya dalam kasus yang sama. Kedua,
dia kooperatif dalam menjalani seluruh proses penegakan hukum kasusnya,
termasuk tidak pernah buron. Ketiga, dia mengakui dengan tegas telah melakukan
korupsi, bahkan mengembalikan uang korupsi yang diterimanya. Keempat,
statusnya sebagai pelaku korupsi yang bekerja sama, dan karenanya patut
dilindungi, secara resmi diakui eksistensinya LPSK. Empat hal itulah yang
setidaknya harus dimiliki oleh siapa pun pelaku korupsi yang ingin mendapatkan
status dan fasilitas keringanan hukuman sebagai Justice Collaborator.47Menurut
Mahrani Siti Shopia,48
LPSK telah melakukan pendampingan kepada Agus Condro dalam proses
persidangan sebanyak lebih dari 13 kali, mengajukan permohonan keringanan
hukuman kepada majelis hakim, mengajukan permohonan pemindahan rumah
tahanan ke Menteri Hukum dan HAM, perlindungan fisik berupa tindakan
pengamanan dan pengawalan dengan berkoordinasi dengan KPK dan Kepolisian
serta mengajukan permohonan remisi dan pembebasan bersyarat sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu Agus Condro mendapatkan penanganan
khusus dan penghargaan dari perannya sebagai Justice Collaborator berupa:
1. Diberikan untuk memilih tempat dilaksanakannya pidana yaitu mendekatkan
bersangkutan kepada keluarganya, dengan cara pemindahan dari Rutan
Polda Metro Jaya ke LP Alas Roban, Jawa Tengah, pemindahan tersebut
berdasarkan permintaan Agus Condro yang disetujui Menteri Hukum dan
HAM saat itu Patrialis Akbar.
2. Diberikan ruang khusus kepada bersangkutan selama menjalani pidana.
Pemberian ruang khusus ini juga sebagai bentuk pemberian perlindungan
47 Denny Indrayana, Ayo Jadi Justice Collaborator!, Harian Seputar Indonesia, 8 Mei 2012 48 Sigit Artantojati, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku..., Op. Cit, hlm. 88-89
48
kepada bersangkutan terhadap kemungkinan adanya ancaman atau tindakan
yang membahayakan keselamatan bersangkutan.
3. Diberikan keringanan tuntutan hukuman, Agus Condro mendapatkan vonis
1 tahun 3 bulan denda senilai Rp. 50 juta subsider 3 bulan penjara dari
tuntutan penuntut umum 1 tahun 6 bulan denda senilai Rp.50 juta subsider 3
bulan penjara, lebih ringan dari para terdakwa lain dalam satu berkas yaitu
Rusman Lumbatoruan dan Max Moein yang mendapatkan vonis 1 tahun 8
bulan denda senilai 50 juta subsider 3 bulan penjara dari tuntutan 2,5 tahun
penjara dengan membayar denda sebilai Rp.50 juta subsider 3 bulan penjara,
dan terdakwa Willem Max Tutuarima yang divonis 1 tahun 6 bulan penjara
denda senilai Rp.50 juta subsider 3 bulan penjara
4. Diberikan percepatan dalam proses pemberian hak-haknya, seperti hak
mendapatkan pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti
bersyarat (CB), ataupun remisi. Terhitung setelah mulai penahanannya pada
28 Januari 2011 sebanyak 1 bulan 15 hari dan telah menjalani 2/3 masa
pidana, oleh karenanya berhak untuk menjalani pembebasan bersyarat
5. Diberikan perlindungan baik terbuka maupun tertutup bekerjasama dengan
lembaga terkait (seperti LPSK) selama menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara.
2. Korupsi dan Justice Collabolator dalam Pidana Islam
A. Korupsi dalam Pidana Islam
Istilah korupsi dalam hukum Islam memangnlah belum secara tertulis ada
dalam Al-Quran dan As-Sunnah tetapi Bahasa hukum Islam tentang Korupsi bisa
ditelusuri lewat istilah risywah (suap), Sariqah (pencurian), al gasysy (penipuan)
dan khianat (penghianatan). Secara teoritis korupsi berkedudukan sebagai tindakan
kriminal (jinayah atau jarimah) asas legalitas hukum Islam tentang korupsi sangat
49
jelas sebagai suatu delik pencurian, pelaku korupsi memang harus dihukum.49 Hal
ini korupsi dipandang sebagai suatu bentuk penipuan, penyalahgunaan kewenangan
kekuasaan, dan pemerasan dalam berbagai bentuknya, telah menjadi musuh
masyarakat. Korupsi juga disebut lambang ketidak percayaan kepada penguasa yang
akan menentukan cepat lambatnya kejatuhan dan kehancuran kekuasaan. Islam
datang mengubah pandangan masyarakat yang dahulu jahilyah menjadi masyarakat
yang bermoraldan beretika sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum Islam dapat
diklasifikasikan kepada kategori khiya>nah atau ghulūl (pengkhianatan), al-ghasy
(penipuan), dan risywah (suap).
1. Khiyānah (pengkhianatan)
Khiyānah secara etimologis bermakna perubahan hal seseorang menjadi
jahat (syar). Menurut al-Raghib al-Isfahānī, seorang pakar bahasa Arab,
khiyānah adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang
dipercayakan kepadanya. Ungkapan khiyānah juga digunakan bagi seseorang
yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dalam bentuk pembatalan
sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu‘amalah.50
Jarīmah khiyānah terhadap amanah adalah berlaku untuk setiap harta bergerak
baik jenis maupun harganya sedikit maupun banyak. Orang-orang yang
beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini, bahkan seandainya mereka
dikhianati, Rasulullah melarang untuk membalasnya dengan pengkhianatan
pula. Hal ini sebagaimana disinggung dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad
dan Abū Dawud.
2. Al-ghasy (penipuan)
49 Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. (Jakarta: Zikru’l Hakim, 1997)
h,87 50Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. VI, Jil. 3 (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2003), h. 913.
50
Penipuan adalah tindak pidana yang tidak ada ketentuan hadnya, karena nas
belum menerangkan bentuk sanksi kepadanya secara kongkrit, baik dalam Al-
Qur’an maupun dalam hadis. Oleh karena itu penentuan sanksi hukumannya
kembali kepada jarimah ta‘zīr, yang membutuhkan ijtihād hakim dalam
memutuskan hukum terhadap pelakunya. Istilah al-ghasy dalam bisnis adalah
menyembunyikan cacat barang dan mencampur dengan barang-barang baik
dengan yang jelek.51 Al-Qur’an sangat tidak setuju dengan penipuan dalam
bentuk apapun. Penipuan digambarkan oleh Al-Qur’an sebagai karakter utama
kemunafikan, dimana Al-Qur’an telah menyediakan siksa yang pedih bagi
tindakan ini, di dalam neraka. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an Surat An-Nissa ’(4): 145.
Islam menuntut pemeluknya untuk menjadi orang yang jujur dan amanah.
Orang yang melakukan penipuan dan kelicikan tidak dianggap sebagai umat
Islam yang sesungguhnya, meskipun dari lisannya keluar pernyataan
bahwasanya dirinya adalah seorang muslim. Berdasarkan uraian tentang al-
ghasy di atas, maka jelaslah di setiap tindak pidana korupsi yang terjadi dalam
berbagai macam bentuknya mesti ada unsur penipuan. Dalam tindak pidana
korupsi, penipuan merupakan bagian yang tidak terpisah darinya, manipulasi
data, buku, daftar, dan sebagainya termasuk tindak pidana penipuan.
3. Al-risywah (suap)
Secara harfiah, suap (risywah) berarti “batu bulat” yang jika dibungkamkan
ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun.52 Jadi suap bisa
membungkam seseorang dari kebenaran. Menurut Ibrahīm al-Nakha’ī, suap
adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan
kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran. Syaikh ‘Abd al-‘Azīz bin
‘Abd Allāh bin Baz mendefinisikan suap dengan memberikan harta kepada
51 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003), h.
136-137. 52 Muhammad al-Azhari, Tah d ib al-Lughah (Kairo: Dār al-Qawmiyyah, 1964), h. 1.
51
seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan maslahat (tugas/kewajiban) yang
tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip.53
Sedangkan menurut terminologi fiqh, suap adalah segala sesuatu yang
diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia
memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan)nya atau agar ia mengikuti
kemauannya.54Al-Sayyid Abū Bakr mendefinisikan risywah dengan
“memberikan sesuatu agar hukum diputuskan secara tidak benar/tidak adil, atau
untuk mencegah putusan yang benar/adil.55 ”Definisi yang lebih kurang sama
diberikan oleh al-Jurjāni.56 Dasar hukum pelanggaran suap adalah firman Allah
dalam Surat Al-Ma’idah (5): 42. Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah
terpenuhi. Unsur-unsur suap meliputi, pertama yang disuap (al-murtasyī),
kedua, penyuap (al-rasyī), dan ketiga, suap (al-risywah). Suap dilarang dan
sangat dibenci dalam Islam karena sebenarnya perbuatan tersebut (suap)
termasuk perbuatan yang batil. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-
Baqarah (2): 188. Selain itu baik yang menyuap maupun yang disuap dua-
duanya dilaknat oleh Rasulullah SAW, sebagai bentuk ketidaksukaan beliau
terhadap perbuatan keduanya.57 Suap dengan segala bentuknya haram
hukumnya. Di antara bentuk suap adalah hadiah. Seorang pejabat haram
hukumnya menerima hadiah. Bahkan termasuk hadiah yang diharamkan bagi
seorang pejabat yang meski tidak sedang terkait perkara atau urusan, karena
kalau ada kebiasaan memberi hadiah sebelum menjadi pejabat, setelah
53 Abū Abdul Halim Ahmad. S., Suap Dampak dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet. I
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), h. 20-21 54Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Rad al Mikhtar ‘alā al-Dār al-Mukhtar Hasyiyat Ibn
‘Abidin, Juz. VII (Beirut: Dār al-Ihyā’, 1987), h. 5. 55 Al-Sayyid Abū Bakr,I‘ānah alT ālibīn, Jil. 4 (Beirut: Dār al-Fikr, t. th.), h. 232. 56 ‘Ali al-Jurjānī, al-Ta‘rīfāt, al-Maktabah al-Syāmilah, http://alwarraq.com, al-Isdār al-Thānī.
h.111. 57CD-ROM Mawsu’ah alH adīth al-Syar i f, Edisi 1 dan 2, Syarikah Shakhr Libarmij al
Hasib, 1991. Lihat juga, Abū Hatim Muhammad Ibn Hibban Ibn Ahmad al-Tamimī, Sahīh Ibn Hibban
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1414 H/1993 M.), h. 457. Abū al-Qāsim Sulayman Ibn Ahmad
alTabrānī, al-Mu‘jam al-Kabīr, (ed.) Hamdi ‘Abd al-Majīd al-Salafī (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turath
al‘Arabī, 1985),h. 354
52
menduduki jabatan terjadi peningkatan volume kebiasaan pemberian hadiah
tersebut.58
Seorang pejabat juga haram menerima hadiah dari seseorang yang jika bukan
karena jabatannya, niscaya orang tersebut tidak akan memberikannya. ‘Umar
bin ‘Abd al-‘Azīz suatu ketika diberi hadiah oleh seseorang tapi ditolaknya
karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai khalifah. Orang yang memberi
hadiah kemudian berkata, “Rasulullah pernah menerima hadiah”. Lalu ‘Umar
menjawab, “Hal itu bagi Rasulullah merupakan hadiah tapi bagi kita itu adalah
risywah (suap).59 Jadi, setiap hadiah yang diberikan kepada pejabat karena
posisinya sebagai seorang pejabat tidak boleh diterima dan haram hukumnya
karena andaikan pejabat tersebut tidak sedang menjabat dan hanya tinggal di
rumahnya niscaya tidak akan ada orang yang memberinya hadiah. Pada
umumnya, risywah terjadi dalam kasus peradilan, sehingga para fuqahā’ sering
membahasnya dalam konteks peradilan.
Namun dalam salah satu hadis yang dikutip oleh al-Sayyid Abū Bakr
ternyata ia juga diharamkan dalam konteks penguasa negara. Ia mengatakan:
“Sesungguhnya hadis tentang pengharaman memberi hadiah kepada penguasa
sahih, sebagiannya adalah sabda Rasulullah SAW memberi hadiah kepada
“penguasa”, dalam satu riwayat disebutkan “umara”, adalah perbuatan
khianat.” Selanjutnya ia menambahkan bahwa yang dimaksudkan dalam hadis
tersebut adalah pemberian dari seseorang kepada imam (pemimpin) dan
diterimanya, maka ini adalah perbuatan khianat terhadap kaum muslimin.
Karena seorang pemimpin tidak diperlakukan khusus dibandingkan kaum
muslimin umumnya. Kekhususan boleh menerima hadiah hanya berlaku bagi
Rasulullah, karena beliau bersifat ma‘sūm (terpelihara).60
58 Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Rad al Mikhtar…, h.34 59 Muhammad Yūsuf al-Qardāwī, alH alāl wa alH arām fī al-Islām (Beirut: al-Maktab
alIslāmī, 1994),h. 230. 60 Al-Sayyid Abū Bakr, I‘ānah…,h. 229
53
Oleh karena itu, bagi seorang imam (pemimpin), pejabat, dan petugas haram
menerima suap dari siapapun, karena hal ini bisa melemahkan kredibilitas
seorang pemimpin yang idealnya berperan sebagai pihak yang netral terhadap
seluruh rakyatnya. Dengan menerima hadiah, ia akan bersikap lunak dalam
setiap kebijakannya. Apalagi pelaku memberikan suap jelas-jelas untuk suatu
maksud yang dapat menghilangkan atau mengurangi hak orang lain.
4. Al-h{ira>bah (Perampasan)
Dalam Surat al-Ma’idah (5): 33 dan 38 disebutkan secara khusus tentang
h{iraba>h61 dan sariqah. Ayat pertama adalah pengambilan harta orang lain
dengan terang-terangan yang bisa disertai dengan kekerasan, atau dengan cara
melakukan pengrusakan di muka bumi. Sedangkan ayat kedua adalah
pengambilan harta orang lain atau pencurian dengan diam-diam.62‘Abdul-
Qadir‘Awdah mendefinisikan h{ira>bah sebagai perampokan atau pencurian
besar. Lebih lanjut beliau mengatakan pencurian (sariqah) memang tidak sama
persis dengan h{ira>bah. H{ira>bah mempunyai dampak lebih besar karena
dilakukan dengan berlebihan.63 Hal ini karena hirabah kadang disertai dengan
pembunuhan dan pengambilan harta atau kadang pembunuhan saja tanpa
pengambilan harta. Secara khusus korupsi adalah identik dengan pencurian
(sariqah), akan tetapi pelaksanaan korupsi disertai dengan berbagai macam
dalih yang lebih membutuhkan penelitian dan pembuktian. Korupsi
memberikan dampak negatif yang sangat besar di masyarakat, apalagi dengan
kasus-kasus yang saat ini terjadi di Indonesia. Korupsi tidak hanya merugikan
satu dua orang akan tetapi korupsi telah menjadi ancaman bagi kestabilan
keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat.
61 ‘Abd al-Qadir ‘Awdah menyebut h{ira>bah ini sebagai sirqah kubr (pencurian besar) didalam
bukunya al-Tasyr{ i ’ al-Jina’i, h.623 62Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa’ib al-Bayan Tafsir Ayat Ahkam, Jilid (Beirut: Dar al-Fikr,
tt.),h. 551-551 63‘Abd al-Qādir ‘Awdah, al-Tasyrī‘ al-Jina’ī al-Islāmī (Beirut: Dār al-Kutub, 1963), h. 638-
639
54
Oleh karena itu menurut penulis korupsi berdasarkan hal ini secara ‘illat
korupsi lebih dekat kepada hirabah. Dalam hukuman bagi pelaku sariqah dan
h{ira>bah juga berbeda. Menurut penulis pemberlakuan hukuman mati bagi
koruptor bisa mengambil landasan dari ayat h{ira>bah ini. Karena seorang
koruptor yang melakukan tindakan dengan disertai pemberatan dan penghalalan
segala cara maka bisa dimasukkan ke dalam delik h{ira>bah. Berbeda dengan
pasal pencurian yang hanya dengan potong tangan. Pencurian relatif lebih kecil
dibandingan dengan h{ira>bah. Demikian juga apabila dibandingkan dengan
korupsi. Pencurian biasa yang dilakukan oleh seorang kriminal murni mungkin
relatif lebih kecil dampaknya jika dibandingkan dengan korupsi yang akan
membahayakan banyak orang dan bahkan negara.
5. Al-ghas{ab (Penggunaan hak orang lain tanpa izin)
Termasuk dalam kategori korupsi adalah ghas{ab. QS. al-Kahfi (18): 79
menceritakan seorang raja yang dhalim yang akan mengambil kapal dari orang-
orang miskin dengan jalan ghas{ab. Seorang raja dhalim yang dikisahkan dalam
ayat ini lantas menenggelamkan kapal agar supaya tidak bisa dimanfaatkan
dengan tidak halal (ghas{ab) oleh raja yang zalim tersebut.64
Pengertian ghas{ab adalah menguasai harta orang lain dengan
pemaksaandengan jalan yang tidak benar, lebih lanjut dijelaskan bahwa ghas{ab
dilakukan dengan terang-terangan sedangkan ketika dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi maka dinamakan pencurian.65 Hanya ghas{ab ini kadang
berupa pemanfaatan barang tanpa izin yang kadang dikembalikan kepada
pemiliknya.66 Ghas{ab sebagai salah satu bentuk korupsi dengan alasan bahwa
ayat di atas menceritakan bagaimana seorang raja yang semena-mena dapat
64Ibn al-‘Arabī, Ahkam Al-Qur’ān, Jil. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988),h. 242.
Lihat juga, al-Tabari, Tafs ir alTa bar i , Jil. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999),h. 264. 65Taqiyuddin, Kifayat alAkhyar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), h. 384. Lihat juga,
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah…, h. 236. 66 Al-Qurtubi, al-K afifi Fiqh Ahl al-Mad i nah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.), h. 428.
55
dengan seenaknya menggunakan hak milik rakyatnya yang miskin dengan
memanfaatkan kapal yang dimiliki oleh rakyat untuk kepentingan pribadinya.
Pada kasus ini ada unsur memperkaya diri atau pribadinya dengan
menggunakan hak rakyatnya dengan jalan yang tidak benar.
Bentuk-bentuk pelanggaran hukum korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum
Islam adalah bisa berupa ghulu>l (pengkhianatan), al-ghasy (penipuan), dan risywah
(suap), alh{ira>bah (perampasan), dan al-ghas{ab (penggunaan hak orang lain tanpa
izin). Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam perspektif Hukum Pidana
Islam adalah adanya nas yang melarangnya, kemudian telah melakukan perbuatan
yang telah menyalahi nas -nas , misalnya berbuat khiya>nah/ghulu>l, al-ghasy
(penipuan), risywah (suap), al-h{ira>bah (perampasan), al-ghas{ab (penggunaan hak
orang lain tanpa izin), dan yang terakhir pelakunya adalah orang sudah dapat
dibebankan hukum.
B. Justice Collabolator dalam Pidana Islam
Pembuktian adalah salah satu tahapan dalam proses peradilan yang memiliki
peranan penting. Pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana, dapat
dipahami sebagai ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha
mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum,
terdakwa maupun penasihat hukum, semuanya terikat pada ketentuan dan tatacara,
serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.67 Keberadaan alat
bukti sangatlah penting, karena kelengkapanya merupakan syarat utama yang
menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara untuk dilimpahkan ke pengadilan.
SEMA Nomor 4 Tahun 2011 telah mengatur salah satu alat bukti yakni alat bukti
saksi. Dimana penyebutan saksi dalam SEMA ini adalah saksi pelaku yang
bekerjasama. Definisi Justice Collaborators atau saksi pelaku yang bekerja sama
dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak
Pidana ( Whistleblower ) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice
67 Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian dalam Praktik Peradilan Pidana ,h. 27
56
collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, ialah yang bersangkutan
merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam
SEMA, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam
kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses
peradilan. Seorang Justice Collaborators bersaksi atas suatu tindak pidana yang
merupakan tindak pidana tertentu yang mana berbeda dengan saksi pada umumnya.
Maka dari itu perlakuan pada saksi Justice Collabolator dengan saksi biasa
dibedakan dalam Undang-Undang No.31 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
pada hal ini dijelaskan pada Bab III sebelumnya mengenai ketentuan perlindungan
khusus. Namum sebagai alat bukti yang sah hal tersebut, mempunyai kedudukan
yang sama kuat dalam pembuktian di dalam persidangan. Yaitu Justice
Collabolator mempunyai kedudukan yang sama dalam hal alat bukti yang sah.
Dalam fiqh Jina>yah , keberadaan saksi sebagai alat bukti suatu jarimah sangat
penting. Hal ini merujuk pada Al-Qur’an yang secara eksplisit mewajibkan adanya
keberadaan saksi, yaitu surat Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi :
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di
antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa,
seorang lagi mengingatkan. (QS. Al-Baqarah: 282).
Disini menunjukan arti pentingnya keberadaan saksi baik dalam hal yang
berhubungan dengan muamalah, jarimah maupun lainnya. Hal ini diharapkan dapat
terungkapnya kebenaran-kebenaran dari kehadiran saksi tersebut. Justice
Collaborator atau yang merupakan saksi pelaku yang bekerjasama pada dasarnya
keberadaanya sama seperti peranan saksi pada umumnya. Yaitu memberikan
keterangan dalam proses peradilan untuk mencari kebenaran dalam suatu tindak
pidana. Secara umum, terdapat syarat persaksian seseorang yang dapat diterima
yaitu Islam, baliqh , berakal, merdeka, adil, dan dapat berbicara. Dalam prinsipnya
agama merupakan hal yang krusial, dimana seorang saksi dalam persidangan dapat
57
memberikan persaksiannya apabila ia telah disumpah menurut agamanya, apabila
seorang saksi tidak disumpah maka keterangan saksi tersebut bukan merupakan alat
bukti. Ketentuan yang perlu dicermati kemudian adalah syarat adil dalam diri
seorang Justice Collaborators , dimana seorang saksi disyaratkan untuk adil, hal ini
didasarkan pada firman Allah dalam surat at-Thalaaq ayat 2 yaitu:
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil (QS. At-Thalaaq: 2)
Akan tetapi bagi Justice Collaborators yang dalam hal ini sudah melakukan
perbuatan dosa tersebut, maka diharuskan untuk bertaubat dan tidak mengulangi
lagi perbuatannya tersebut. Para fuqaha tidak berselisih pendapat, bahwa kesaksian
orang fasik itu dapat diterima, apabila telah diketahui taubatnya dan taubatnya
diterima. Akan tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kesaksiannya tidak
dapat diterima meski sudah bertaubat.68 Terkait predikat saksi pelaku yang
didapatnya, Maka apabila masih terdapat persangkaan buruk dalam diri Justice
Collaborators. Hakim wajib untuk menghentikan pemeriksaan perkara tersebut
sampai ia mendapat kejelasan mengenai kebenaran saksi. Karena al-bayyinah}
adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang haq (benar) di
depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi dan berbagai indikasi yang
dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk mengembalikan hak kepada
pemiliknya”.69 Untuk menentukan apakah saksi merupakan seorang yang adil dan
keterangannya dapat dipercaya, Malikiyah, dan Hanabilah serta Imam Abu Yusuf
dan Imam Muhammad dari pengikut mazhab Hanafi, berpendapat bahwa “untuk
menyatakan adilnya seseorang tergantung kepada penilaian hakim. Apabila menurut
penilaian hakim, saksi adalah orang yang memenuhi sifat-sifat adil maka dia bisa
diterima persaksiannya.”70
Singkatnya jika ditinjau dari perspektif fiqh jinayah, seseorang dapat dijadikan
sebagai saksi apabila telah memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya yakni
68 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Kifayatul Akhyar Terjemah Fiqih Islam Lengkap, h. 685. 69 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam , h. 207. 70 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam , h. 46-47.
58
syarat adil yang harus ada dalam diri seseorang. Ketentuan adil ini adalah tidak
berbuat dosa besar dan tidak membiasakan dosa kecil atau fasiq . Akan tetapi
keberadaan Justice Collaborators sangat diperlukan dikarenakan kebutuhan
d}aru>riyat melihat dampak serius yang diakibatkan dari kejahatan serius dan
terorganisir ini. Oleh karena itu, keberadaannya diperbolehkan selama dapat
dibuktikan kebenaran tentang persaksiannya baik kebenaran pribadi saksi maupun
kebenaran dari keterangannya.
B. Bentuk Peringanan Hukum Justice Collabolator dalam Pidana Positif dan
Pidana Islam
1. Bentuk Peringanan Hukum dalam Pidana Positif
Beberapa konsep peringanan yang dapat diberikan dalam konteks hukum di
Indonesia, antara lain:
A. Tuntutan dan Penjatuhan Hukuman Percobaan
Sebagaimana diatur dalam pasal 14a s/d 14f KUHP yang menjadikan dasar
atas tuntutan dan hukuman percobaan sebagai pilihan dalam memberikan
penghargaan kepada Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak perlu menjalani
hukuman kecuali jika dalam masa percobaan yang ditetapkan hakim terhadap
Saksi Pelaku yang Bekerjasama tersebut melakukan tindak pidana. Pemberian
hukuman percobaan ini dapat diberikan atas inisiatif/kebijakan hakim maupun
JPU dalam tuntutannya. Hambatan :
1. Ketentuan hukuman percobaan dalam KUHP hanya dapat diberikan terhadap
tindak pidana dimana hakim akan menjatuhkan hukuman paling tinggi 1 tahun
2. Adanya ancaman minimum yang besarannya diatas 1 tahun penjara tidak
memungkinkan dilakukannya penerapan pasal 14 KUHP
3. Belum adanya pengaturan khusus mengenai penghargaan kepada Saksi
Pelaku yang Bekerjasama
59
B. Perubahan/Pengalihan Bentuk Hukuman
Pengalihan dari suatu bentuk hukuman ke bentuk hukuman lainnya yang lebih
ringan. Terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam tindak pidana korupsi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, ancaman hukuman
bersifat kumulatif alternatif antara pidana penjara dan/atau denda, dan hakim
dapat menjatuhkan hukuman baik pidana dan denda sekaligus atau hanya salah
satu diantaranya.
C. Pengurangan Tuntutan dan Hukuman
Sebagaimana diatur dalam Pasal 10A ayat (3) UU No.31 tahun 2014, namun
dalam pelaksanaannya pengaturan ini belum memadai karena sifat fakultatifnya
dan tidak adanya jaminan atau tidak dapat diprediksi apakah peringanan ini dapat
diperoleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Implementasi dari penghargaan ini
lebih bersifat politik hukum yang berada di tangan eksekutif dan tidak mengikat
sepenuhnya kepada yudikatif. Karena dalam implementasinya harus dimulai
dengan adanya pengajuan tuntutan yang lebih ringan oleh JPU terhadap Saksi
Pelaku yang Bekerjasama. Respon positif atas implementasi penghargaan ini
datang dari Mahkamah Agung melalui SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana. Ditegaskan bahwa dalam menjatuhkan
pidana bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama hakim dapat mempertimbangkan
sanksi berupa pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau pidana yang paling
ringan dibandingkan dengan terdakwa lain dalam kasus tersebut.
D. Remisi /Grasi
1) Tindakan narapidana yang membantu mengungkap tindak pidana dapat masuk
dalam kriteria penerima remisi yang diatur dalam PP No. 99 Tahun 2012 Pasal
34A, dan dengan memperhatikan terpenuhinya syarat-syarat umum lainnya
tentunya terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama juga dapat memperoleh
hak-hak narapidana pada umumnya.
2) Dalam konteks Grasi, penerapan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2002
tentang Grasi, dapat dijadikan salah satu bentuk lain dari penghargaan bagi
60
Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang dijatuhi hukuman diatas 2 tahun, dengan
mempertimbangkan adanya batasan-batasan sebagaimana diatur dalam UU
tersebut.
Perlu juga diatur dalam pembatalan penghargaan sehingga pelaku dapat
dibatalkan status Justice Collabotor nya. Sebagai berikut dalam penjelasan
mengenai syarat Pembatalan penghargaan sebagai berikut71:
a) Apabila terbukti informasi yang diberikan Justice Collabolator dibuat
secara palsu/bohong, maka perlu juga diatur bahwa perlindungan harus
dibatalkan.
b) Perlu dilakukan proses hukum lanjutan untuk “mengembalikan kepada
keadaan semula” maupun menghukum tindakan kebohongan/pemberian
keterangan palsu tersebut.
c) Jika bentuk penghargaan yang diberikan adalah pengurangan/peringanan
tuntutan atau hukuman, JPU perlu mengajukan PK kepada MA dengan
berdasarkan novum yang ada.
d) Pemberian keterangan, laporan atau kesaksian palsu yang dilakukan
Justice Collaborator harus diproses sesuai dengan ketentuan pidana yang
ada.
e) Tidak terbuktinya tindak pidana yang dilaporkan dan/atau dibantu oleh
Justice Collaborator tidak sama dengan pemberian informasi/keterangan
palsu.
f) Dalam hal informasi yang diberikan Justice Collaborator diyakini benar
namun tidak dapat secara maksimal digunakan sebagai dasar untuk
membuktikan tindak pidana yang dilaporkan/dibantunya, maka hal tersebut
tidak dapat membatalkan penghargaan yang diberikan kepadanya.
71 Disampaikan Dalam Kegiatan Stadium General Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 17 April 2013
61
2. Bentuk Peringanan Hukum dalam Pidana Islam
Hukum Islam adalah Syari’at Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-
Sunah yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut
kondisi dan situasi masyarakat. Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para
fuqaoha dalam menetapkan Syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Setiap penegakan syar’i dalam Islam berkaitan dengan maqas>}id syar’i<ah , yang
berarti adalah tujuan daripada ditegakkannya Syar’i dalam Islam. Maka tidak
salah jika dalam penegakan Syari’ah, Allah SWT merumuskan hukum-hukum
Islam. Tujuan tersebut dapat ditelsuri dalam ayat Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Dalam pandangan asy-Syatibi, kemaslahatan dibagi menjadi dua
bagian yaitu maqa>i}dal-mukallaf yaitu kembali kepada tujuan Allah dan
maqa>si}dal-mukallaf yaitu kembali kepada tujuan mukallaf, adapun yang
dimaksud kembali tujuan Allah adalah sebagai berikut:
a) Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat
b) Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami
c) Syariat sebagai sesuatu hukum taklif yang harus dilakukan dan
d) Tujuan Syariat adalah membawa manusia kebawah naungan hukum.72
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas maqa>s}idasy-syar’i<yah sebagai
tujuan untuk menjamin, memberikan perlindungan dan melestarikan
kemaslahatan bagi umat manusia secara umum, umat Islam pada khususnya,
maka dalam hal ini lima unsur yaitu agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta yang
harus dilindungi dan dilestarikan. Untuk itu pembagian terhadap kebutuhan yang
harus dilindungi dalam penegakan syari’at Islam terdapat dalam prioritas yaitu
d}aru>riyat , h}ajiyyat , tah}siniyat , kebutuhan tersebut untuk kemaslahatan umat
manusia.73 Pada dasarnya, para ulama sependapat bahwa tujuan ditetapkanya
72 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqa>s}id Syar’i<ah Menurut Al-Syatibi, Cet ke-1 (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 70 73 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh ,Cet ke-3 (Jakarta: Kencana, 2009), h. 233.
62
syariat (maqãşid as-syarĩ’ah) secara global adalah untuk terciptanya
kemaslahatan hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat.74
Hal ini dapat dilihat dari kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengindikasikan adanya aspek maslahat.75 Indikasi tersebut dapat dicontohkan
dalam pesan tersurat dari ayat berikut:
فور غ يز ال ز ع و ال ه لا و م ن ع س ح م أ ك ي م أ ك و ل ب ي اة ل ي ح ال ت و و م ق ال ل ي خ ذ 76ال
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun”
Ayat tersebut memberikan gambaran mengenai adanya nilai maslahah dari
asy-syari’dalam menciptakan kematian dan kehidupan, yaitu guna membentuk
pribadi-pribadi yang mempunyai amal baik. Dalam perkembangangan tindak
pidana korupsi, ini sebagai kejahatan yang luar biasa maka perlu juga dalam
pengaturan untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, perlu semakin
ditingkatkan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia juga kepentingan
masyarakat. Terkait pasal 2 ayat (1) dan pasal No. 31 Tahun 1999 UU Tindak
Pidana Korupsi tersebut, sejauh manakah paparan teori maslahat kaitannya
dengan korupsi. Menurut Asmawi dalam pandangan hukum Islam, kualifikasi
tindak pidana korupsi bila dikaji pada pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut dapat
diidentifikasi merujuk pada masalah al-gulul>>>>> >>>>>>>> dan akh al-suht yang dikecam dan
dilarang keras baik Al-Qur’an maupun Hadis. Dalam kaitan ini dapat dirujuk
pada Q.S Ali Imran/3:161 dan Q.S. al Ma’idah/5:62. Mengandung pesan al-
ghulu>l dan akl al-suht haram hukumnya dan termasuk bentuk al-ma’siyyah.
Dalam perspektif hukum pidana Islam, secara doktriner setiap bentuk al-
74 IsmailMuhammad Syah, Filsafat Hukum Islam,cet. ke-3 (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999),
hlm. 65. Lihat juga Hamka Haq, al-Syatibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab
Muwafaqat,(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 78. 75Asafari Jaya Bakri, Konsep Mashlahat Menurut al-Syatibi, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996). h. 66. 76QS. Al-Mulk (67) : 2
63
ma’siyyah terbuka untuk dikriminalisas, ditetapkan sebagai tindak pidana. Dan
secara doktriner al-gulu#l dan akl al-suht itu tidak termasuk dalam jarimah hudud
namun dalam domain qisash diyat. Jika demikian maka al-gulu>l dan akl al-suht
merupakan jarimah tak’zir.77
Dengan demikian pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 dalam
perspektif hukum Islam merupakan domain tak’zir. Dalam kaitannya dengan
jarimah tak’zir , pemberatan sanksi pidana bagi suatu tindak pidana merupakan
bagian dari diskresi hakim atau pemerintah dan juga, dalam hal peringanan
perlindungan hukuman bagi para pelapor dan saksi pelaku yang bekerja sama
dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi. ia bisa diberikan pemberatan
pidana berdasarkan alasan-alasan tertentu sejalan dengan maslahat.
Juga dalam Pemberian peringanan hukuman bagi saksi pelaku yang bekerja
sama merupakan hal yang pantas didapatkan hal ini sejalan dengan upaya
pemberantasan korupsi dan permohonan pengampunan. Hukum Islam mengenal
adanya konsep pertaubatan, konsep ini memberikan ruang dalam peringanan
hukuman terhadap para pelaku yang mendapatkan maaf dari para korban, yang
dimaksud korban disini yaitu person (orang)/ lembaga dan pemimpin/Negara.
Dalam kasus korupsi yang terdapat pada UU No.31 Tahun 1999 dijelaskan
bahwa korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara juga merugikan
perekonomian Negara. Hal ini dimaknai bahwa negara sebagai korban berhak
meminta pelaku mengembalikan kerugian negara.78 Maka dari itu pelaku yang
bekerja sama layak mendapakan maaf dari Negara. Sehingga pelaku yang bekerja
sama dapat diberikan hukuman pengganti sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dan apakah pelaku yang bekerja sama mendapakan remisi dari
pemerintah? tentu saja hal ini juga disampaikan pada peraturan perundang-
undangan salah satunya terkait pada pemberian remisi pada pelaku tindak pidana
77Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-udangan...,(Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat kementerian Agama RI ), 2010. h,114. 78 Ibid h,118
64
korupsi. Hal ini diatur pada Peraturan Pemerintah No.99 tahun 2012 dalam pasal
34A ayat (1) bahwa syarat untuk mendapatkan remisi bagi pelaku kasus korupsi
yang dimasud sebagai berikut:
1) Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
2) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
pidana korupsi.
Peran saksi pelaku yang bekerja sama merupakan upaya pemberantasan korupsi
adalah upaya revolusioner untuk menekan tindak pidana korupsi. Kaitan hal ini
sejalan dengan konsep maqãşid al-syarĩah, Pada dasarnya, secara implisit dalam
konsep fiqh jinayah mendukung peran yang dilakukan oleh pelaku yang bekerja
sama. Hal tersebut tersirat dari adanya perintah kepada umat Islam untuk
menegakkan amar ma’rũf nahi munkar sebagai salah satu bagian utama
pelaksanaan pemberantasan kriminal dalam hukum pidana Islam. Dalam fiqh
jinayah ada 3 sanksi pelaku korupsi sekaligus pemberian peringanan hukum bagi
Justice Collabolator sebagai berikut:79
a. Takzir sebagai sanksi alternatif
Secara etimologis takzir adalah mencegah dan menolak. Takzir adalah
ta’di^b, pengajaran tidak masuk dalam kelompok had. Takzir memang bukan
dalam hukum hudud. Namun bukan, berarti tidak boleh keras dari hudud,
bahkan sangat dimungkinkan diantara sekian banyak dan bentuk takzir berupa
hukuman mati. Tak’zir juga bisa memberikan pengampunan dan peringanan
seperti didalam hukum Islam masalah pengampunan, di sebut dengan istilah
al-afwu (لعفو) dan alsyafaat, (الشفاعة) baik pengampunan tersebut diberikan
oleh pihak korban atau yang diberikan oleh penguasa kepada pelaku dari
tindak kejahatan. Kata menurut istilah al-afwu (لعفو) adalah setiap pembuat
dosa (pelaku kejahatan) yang seharusnya menjalani hukuman menjadi
79 Nurul Irfan. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta:Amzah,2012). h, 78
65
terhapuskan sebab telah mendapatkan pengampunan. Sementara itu kata
alsyafaat, (الشفاعة) dalam kamus bahasa Arab merupakan lawan kata dari al-
witru (الوتر) atau - ganjil - yang mengandung arti genap, sepasang, sejodoh,
perantaraan, pertolongan dan bantuan.80Sebagaimana perantaraan atau
pertolongan dari seseorang dalam menyampaikan kebaikan atau menolak
kejahatan. Adapun kata al-syafa’at (الشفاعة) sendiri berasal dari kata syafa’at
yang juga berarti menghimpun, mengumpulkan atau menggandakan (شفع)
sesuatu dengan sejenisnya. Dalam hal permasalahan istilah ini diterangkan
pada QS. al-Baqarah: 178, Q.S. al-Araf: 199, Q.S. an-Nissa: 85 serta hadis
yang yang diriwayatakan oleh Abu Daud.
Di dalam dunia Islam mengatur kewenangan dalam pemberian maaf atau
syafa’at itu bisa dilakukan oleh Ahlul Bait Hal ini kiranya bisa kita temukan
landasan hukum yang mendasari kenapa ahlul baid atau keluarga menjadi
objek pemberi maaf sebagai peniadaan hukum hal ini terlihat pada QS. Al-
Baqarah: 178 Pada ayat ini Allah telah memberikan wewenang kepada ahli
waris terbunuh, tetapi tidak boleh melampaui batas dalam melaksanakan
pembalasan darah tersebut. Yang dimaksud wewenang di sini adalah
justifikasi sebagai ahli waris korban untuk menuntut qishash atau
memberikan pengampunan terhadap pelaku pembunuhan tersebut, dari
sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal pembunuhan di
mana pelaku pembalas (penuntut) bukanlah negara melainkan ahli waris
dari yang terbunuh. Oleh karena itu, negara sendiri tidak berhak untuk
memberikan ampunan.
b. Sanksi moral, sanksi sosial, dan sanksi akhirat
Ketiga jenis sanksi ini bisa ditemukan dalam rumusan pasal pada UU No.
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. hal ini bisa
80 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 729
66
dimengerti karena bahasa hukum berbeda dengan bahasa hukum atau akhlak.
Bahasa hukum lebih pada teknis dalam menerapkan sanksi, baik pidana
kurungan, penjara maupun seumur hidup. Tidak ada jenis sanksi yang
dihubungkan dengan persoalan moral atau akhlak. Sanksi moral pernah
diberikan Rasulullah SAW kepada seorang pejabat bernama Ibnu al-
Lutbiyyah, seorang pejabat yang bertugas memungut zakat. Ia pernah
mengaku di hadapan Nabi telah menerima hadiah dalam tugasnya. Kemudian
ia melaporkan kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, ini adalah harta
hasil dari pungutan zakat untukmu (negara), tetapi yang ini dihadiahkan untuk
ku.
Mendengar hal itu Rasulullah secara tegas bersabdah kepada Ibnu al-
Lutbiyyah, mengapa kamu tidak duduk-duduk saja dirumah bapak dan ibu
kamu sehingga hadiah itu datang sendiri untuk kamu, kalau kamu memang
benar demikian? Kemudian Rasulullah langsung naik mimbar untuk
menyampaikan kepada publik tentang ketidakbenaran sikap dan tindakan
seorang petugas yang menerima hadiah ketika menjalankan tugasnya. Kasus
ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Sanksi moral dan sanksi sosial
ini diberikan kepada Ibnu al-lutbiyyah ketika disampaikan pidato mengenai
ketidakbenaran perilaku yang menerima hadiah dalam bertugas.
c. Konsep taubat dan pengembalian harta hasil korupsi81
Taubat adalah sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah satu
jahat) dan berniat akan memmperbaiki tinkah laku dan perbuatan. Para ulama
sepakat bahwa taubat dari setiap dosa yang pernah dilakukannya termasuk
korupsi hukumnya wajib.
Seperti firman Allah dalam Surah al-Tahrim (66) ayat8:
توبة نصوحا عسى ربكم أن يكف ر عنكم سي اتكم ويدخلكم يأيها الذين امنوا توبوا إلى الله
81Ibid h, 146-160
67
يسعى جنت تجري من تحتها النهار يوم ل يخزى الله النبي والذين امنوا معه نورهم
نهم يقولون ربنا أتمم لنا نورنا واغفر لنا إنك على كل شيء قدير بين أيديهم وبأيما
“Wahai orang orang yang beriman. Bertaubatlah kepada Allah dengan
taubat yang semurni murninya, mudah mudahan Tuhan kamu akan
menghapus kesalahan kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga
surga yang mengalir di bawah sungai sungai, pada hari ketika Allah tidak
mengecewakan Nabi dan orang orang yang beriman bersama dengannya;
sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan sebelah kanan mereka,
sambil mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami
cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala
sesuatu."(QS: At Tharim (66) ayat 8).
dalam berbagai hadis juga Rasulullah SAW menyampaikan agar manusia
melakukan taubat . diantaranya sabda beiau,
wahai manusia bertaubatlah kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-
Nya. Sesungguhnya saya setiap hari bertaubat (membaca Istigfar) sebanyak
seratus kali).82
Adapun pendapat ulama Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
mengemukakan bahwa jika dosa/maksiat berkaitan dengan hak indivdu
selain ia harus meminta maaf, menyesali perbuatan, dan menarik diri dari
kemaksiatan maka ia harus mengembalikan kerugian yang telah ia rampas
dari orang yang dizalimi. Selain dalam penegakan Syari’at Islam melihat
dari konteks maqas>}id asy-syar’i<yah pastinya dalam penegakan hukum
pidana Islam juga harus melihat koridor dari tujuan pemidanaan, hal ini
setidaknya akan mengetahui apakah Justice Collaborator, dalam pandangan
Islam dapat memberikan efek jera terhadap pelaku, karena setiap
pemidanaan yang ditujukan oleh pelaku tidak pidana memiliki tujuan yaitu
82 Mengenai hadis lihat al-Nawawi, Syarh S>>>ahih Muslim, h. 1592
68
keadilan dan kebenaran. Maka setidaknya pemidanaan tersebut sepadan dan
sesuai dengan asas keadilan, sedangkan menurut Octoberrisyah menjelaskan
tentang tujuan pemidanaan tersebut sebagai berikut:
1. Pembalasan ( al-Jaza> )
Konsep ini secara umum memberikan arti bahwa pelaku tindak pidana
perlu dikenakan pembalasan yang setimpal sesuai dengan apa yang
dilakukan tanpa melihat apa hukuman itu berfaedah untuk dirinya atau
masyarakat.83
2. Pencegahan ( az-Zajr )
Pencegahan atau deterrence ini dimaksudkan untuk mencegah sesuatu
tindakan pidana agar tidak terulang lagi, pencegahan yang menjadi tujuan
dari hukuman-hukuman ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pencegahan
umum dan khusus. Pencegahan umum ditujukan terhadap masyarakat
secara keseluruhan, dengan harapan mereka tidak melakukan tindak
pidana karena takut hukuman. Sementara, pencegahan khusus bertujuan
pula untuk mencegah pelaku tindak pidana itu sendiri dari mengulangi
perbuatannya yang salah itu.84
3. Pemulihan/ Pebaikan ( al-Is}lah )
Dalam maslahat ini tujuan pemidanaan menurut hukum Islam tersebut
adalah memulihkan pelaku tindak pidana dari keinginan untuk melakukan
tindak pidana. Malahan menurut sebagian para fuqaha, tujuan inilah yang
merupakan tujuan paling asas dalam sistem pemidanaan dalam Islam.85
4. Restorasi ( al-Isti’a>dah )
Restorasi ini adalah langkah untuk perbaikan yang ditujukan terhadap
korban (Individu atau masyarakat). Tujuan ini lebih mengutamakan
83 Octoberrinsyah: Tinjauan Pemidanaan dalam Islam, dalam Jurnal In Right, Vol I. No I,
2011, h. 23. 84 Ibid, h, 26. 85 Ibid, h. 29
69
mengembalikan suasana seperti semula dengan merekonsuliasi antara
korban dan pelaku.
5. Penebusan Dosa ( at-Takfir )
Salah satu hal yang membedakan hukum pidana Islam dan hukum
pidana Sekuler adalah adanya dimensi-dimensi ukhrawi dalam hukum
pidana Islam. Ketika manusia melakukan suatu kejahatan tidak hanya
dibebani dengan pertanggungjawaban hukuman dunia tetapi
pertangungjawaban di akhirat.
Penjatuhan hukuman di dunia ini menurut sebagian fuqaha, salah satu
fungsinya adalah untuk menggugurkan dosa dosa yang telah
dilakukan.86Berkaitan dengan hukum dan keadilan, dalam Islam seorang
hakim memiliki kewenangan yang luas dalam melaksanakan keputusan
hukum dan bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan
prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Putusan hakim harus
mencerminkan rasa keadilan hukum dengan tidak memandang kepada
siapa hukum itu diterapkan. Dalam Al-Quran Surat An-Nissa (4) 58
disebut:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”87
Keadilan dalam Islam, sebagaimana Makhrus mengatakan, adalah kebenaran.
Kebenaran merupakan salah satu nama Allah. Dia adalah sumber kebenaran yang
dalam Al-Qur’an disebut al-H}aq. Ia adalah keadilan yang tepat, jauh dari rasa
86 Ibid, h. 32. 87 QS: An-Nissa(4) 58
70
kebencian dan menghormati segala proporsi. Prinsip keadilan ini sangat
ditekankan yang mana dalam Islam merupakan motivasi keagamaan yang paling
esensi.88Lebih lanjut, Hasby ash-Shiddiqy seperti dikutip Makhrus Munajat
mengatakan bahwa lahirnya hukum dituntut adanya rasa keadilan, terwujudnya
keadilan melahirkan teori keadilan, teori keadilan perlu diwujudkan dalam
hukum, dan hukum harus melahirkan keputusan hukum yang mencerminkan rasa
keadilan. Islam merupakan sendi yang fundamental dalam rangka penegakan
supremasi hukum, oleh sebab itu, dalam tatanan masyarakat harus ada lembaga
peradilan yang mampu menciptakan rasa dan nilai keadilan. Lembaga peradilan
inilah yang merupakan tempat berputarnya roda keadilan guna menjaga
keseimbangan hidup manusia.
88 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 219-220.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka peneliti menyimpulkan dari uraian
tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Peran Justice Collabolator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia masih
minim pemanfaatannya dalam mengembalikan kerugian negara terutama pada
kasus besar, seperti dalam praktiknya selama ini. Peringanan pidana dapat
dijadikan alternatif dalam mengungkap tindak pidana korupsi di Indonesia
didasari adanya peringanan pidana sebagai penghargaan (reward) dalam
mengungkap tindak pidana korupsi dapat menjadi salah satu dorongan
seseorang pelaku tindak pidana yang bukan merupakan pelaku utama (Justice
Collaborator) untuk memberikan keterangan yang dapat membantu secara
efektif dalam pengungkapan tindak pidana, dimana keterangan saksi pelaku
yang bekerjasama (Justice Collaborator) berkedudukan sebagai alat bukti
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Telah diatur dan dipraktekkan di
berbagai negara (nasional) juga untuk Peradilan Pidana Internasional, baik yang
temporer maupun permanen. Dalam konsep restorative justice tidak mengenal
metode pembalasan akan tetapi lebih menekankan pada pemulihan.
2. Bentuk peringanan pidana dalam hukum positif dan hukum Islam tidak begitu
berbeda, pemberian peringanan Justice Collabolator tetap diberikan, atas dasar
membatu dalam mengungkap pelaku-pelaku utama. Pemberian peringanan
seperti 1). Grasi/remisi, 2). Hukuman percobaan, 3). Sanksi moral. Begitu pula
keberadaan Justice Collaborator dalam perspektif hukum Islam tidak menjadi
pertentangan. Hal ini dapat dibenarkan selama memang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemaslahatan dalam tujuan pemidanaan yakni al-Is}lah (pemulihan).
Keberadaan Justice Collaborator juga memberikan gambaran bahwa di
72
dalamnya terdapat tujuan pemidanaan sebagaimana dalam hukum Islam yakni
restorasi (al-Isti’adah) atau langkah perbaikan yang ditujukan terhadap korban
(Individu atau masyarakat). Sesuai dengan teori dari salah satu aspek maqas>}id
asy-syar’ i<yah yakni aspek d}aru>riat , Oleh sebab itu, mengenai pemberian
status dan perlakuan hukum bagi seorang Justice Collaborator, negara
mempunyai wewenang dalam memperlakukannya sebagai saksi kunci untuk
mengungkap kejahatan. Atas kedudukannya yang penting tersebut, Justice
Collaborator menjadi relevan jika berhak mendapatkan jaminan atas penjagaan
terhadap hak-haknya dengan tujuan hukum Islam itu sendiri ( maqa>si}d asy-
syar’i<yah ).
B. Saran
1. Demi terbongkarnya suatu perkara kejahatan korupsi yang terorganisir sudah
sepatutnya negara mengapresiasi dan menghargai jasa seorang Justice
Collaborator dengan memberikannya pengurangan masa tahanan dan
pemisahan dengan narapidana lain dalam perkara sejenis. Meskipun dari segi
kuantitas penerapan mekanisme proses hukum bagi Justice Collaborator masih
minim dan masih ditingkat pusat, setidaknya sejumlah terobosan yang
dilakukan aparat penegak hukum ini perlu dijadikan contoh yang baik dalam
implementasi pemberian perlindungan dan penghargaan terhadap Justice
Collaborator dikarenakan perannya dalam mengungkap suatu kejahatan
terorganisir sangat besar.
2. Bentuk-bentuk pemberian reward juga harus diatur dalam peraturan
perundang-undangan supaya timbul kepastian hukum, Bagi Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, agar memperluas kewenangan dan penguatan
kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi
pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama untuk itu lembaga
terkait seperti KPK, POLRI, dan Kejaksaan bersinergi dengan membuat Nota
kesepahaman antar lembaga, terkait dengan perlindungan Justice Collabolator.
73
DAFTAR PUSTAKA
A. Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, Malang: UMM Press.2006
Abd al-Qādir ‘Awdah, al-Tasyrī‘ al-Jina’ī al-Islāmī, Beirut: Dār al-Kutub, 1963
Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. VI, Jil. 3, Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 2003
Abdul Haris Semendawai, Ferry Santoso, Wahyu Wagiman, Betty Itha Omas,
Susilaningtias, Syahrial Martanto Wiryawan, Memahami Whistleblower,
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta, 2011
-------------------, Eksistensi Justice Collaborator Dalam Perkara Korupsi Catatan
Tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis Atas Penetapannya Pada Proses
Peradilan Pidana, Makalah disampaikan dalam kegiatan Stadium General
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta, 17 April 2013
Abū Abdul Halim Ahmad. S., Suap Dampak dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet. I
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996
Abu Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulţãniyyah Wa al-Wilayat ad-Dîniyyyah,
Mesir: Muastaahfa al-Asabil Halabi, tt
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus diluar KUHP, Jakarta: Penebar Swadaya
Grup, 2014.
Ali al-Jurjānī, al-Ta‘rīfāt, al-Maktabah al-Syāmilah, http://alwarraq.com, al-Isdār al-
Thānī.
Ali Mahrus, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia cetakan ke 2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana. Yokyakarta: Rangkang Education Yogyakarta.
2012
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2008
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqa>s}id Syar’i<ah Menurut Al-Syatibi, Cet ke-1 Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996
74
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana
Khusus di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat kementerian Agama
RI , 2010
Bassar Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Bandung: Remadja Kayra CV, 1986.
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Amerika: West Pblishing Co, 2009
E. Utrecht, Hukum Pidana II.Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994
Emerson Yuntho, Negeri Di Kepung Koruptor, Surabaya: Intrans Publishing, 2011
Febriansyah, et all, Laporan Penelitian : Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui
Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Jakarta : Indonesia Corruption Watch-Kerjasama dengan Eropa Union
(EU) dan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), 2011
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Jakarta: Penerbit Penaku
bekerjasama dengan Maharini Press, 2008
Hamka Haq, al-Syatibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab Muwafaqat,
Jakarta: Erlangga, 2007
J. Hudson dan Galaway, Restitution in Criminal Justice, Lexington, Massachusset,
USA, 1977
Leden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,
2005
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatis, cet. ke-13 Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2000
Lilik Mulyadi, Menggagas Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Terhadap
Whitsleblower dan Justice Collabolator Dalam Upaya Penaggulangan
Organized Crime mendatang, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor
2 Juli 2014
----------------, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Bandung: PT Alumni, 2007
75
-----------------, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus Indonesia Dalam
Teori dan Praktek, Bandung: PT Alumni, 2013
Maharani Siti Shopia, LPSK Puji Keberanian Hakim Agung Vonis Ringan Justice
Collaborator, artikel diakses pada 19 Nopember 2013
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2009
Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Wistleblowers dan Penyadapan
(Wiretapping, Electronic Interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan Di
Indonesia, Wacana Goverminyboard
Marwan Mas. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, cet 1, Bogor: Ghalia Indonesia,
2014
Muhammad al-Azhari, Tah d ib al-Lughah, Kairo: Dār al-Qawmiyyah, 1964
Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Rad al Mikhtar ‘alā al-Dār al-Mukhtar Hasyiyat Ibn
‘Abidin, Juz. VII Beirut: Dār al-Ihyā’, 1987
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, PT
Alumni, Bandung, 1992
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. Jakarta: Zikru’l Hakim,
1997
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003
Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, edisi kedua, Jakarta: Amzah, 2012
Octoberrinsyah, Tinjauan Pemidanaan dalam Islam, dalam Jurnal In Right, Vol I. No
I, 2011
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti,1997
Quentin Dempster, Whistleblower (Para Pengungkap Fakta), Elsam, Jakarta, 2006
Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di
Indonesia, Jakarta : Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan HAM RI, 2002
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh ,Cet ke-3, Jakarta: Kencana, 2009
76
Sigit Artantojati, Perlindungan Hukum terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama
(Justice Collaborators) oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
Soejono, Kejahatan dan Penegakkan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1996
Supriyadi Widodo Eddyono, Tantangan Perlindungan Justice Collaborator dalam UU
Nomor 13 Tahun 2006,Jakarta: Koalisi Perlindungan Saksi, 2008
-------------------------, Masa Depan Perlindungan Whistleblower dan Peran LPSK,
Koalisi Perlindungan Saksi, 2008
-------------------------, Prospek Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia:
Perbandingan di Amerika dan Eropa, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban,
Volume 1 Nomor 1 tahun 2011
-------------------------, Prosedur Perlindungan Saksi di Amerika Serikat,
www.perlindungansaksi.worldpress.com, 2005 di upload pada tanggal 1
Agustus 2013
--------------------------, Saksi, Sosok Yang Terlupakan Dari Sistem Peradilan Pidana,
Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi dan Korban,
Elsam dan Koalisi Perlindungan Saksi, 2006
Yutiarsa Yunus, Rekomendasi Kebijkan Perlindungan Hukum Justice collaborator:
Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi Indonesia, Konferensi
Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional 2013
Zenitha Dina, Mengenal Perlindungan Saksi di Jerman, Indonesia Corruption Watch,
Jakarta, 2006
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
77
Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi),
2003
Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor
Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama di dalam Perkara Tindak
Pidana Tertentu
WEBSITE dan Lain-Lain
Buletin Kesaksian, Edisi 2 Tahun 2012
Http://katadata.co.id/berita/2017/07/20/dua-terdakwa-korupsi-e-ktp-divonis-sesuai-
tuntutan-jaksa-kpk
Http://lpsk.go.id/berita/berita_detail/1099#sthash.XGFTWteP.dpuf
hhtp://lpsk.go.id/page/51c1ad91b45e8
Majalah Kesaksian, Apresiasi Bagi Whistleblower dan Justice Collaborator Minim,
Jakarta: LPSK, 2012, edisi II