iv hasil dan pembahasan 4.1 keadaan umum daerah...
TRANSCRIPT
34
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian
Kota Bandung merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, terletak di antara
107º Bujur Timur (BT) dan 6,55º Lintang Selatan (LS). Secara administratif
berbatasan dengan daerah lainnya, yaitu:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung, dan Kabupaten
Bandung Barat (KBB)
2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung
Kondisi ini menjadikan Kota Bandung berada pada lokasi yang strategis yang
pada akhirnya berimplikasi terhadap potensi perekonomian. Kota Bandung menjadi
tempat wisata bagi warga daerah di sekitar Jabodetabek dan Bandung Raya (Kota
Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan
Kabupaten Sumedang). Banyaknya wisatawan dari luar negeri dan luar daerah yang
bercampur mengakibatkan terbentuknya gaya hidup metropolitan, diantaranya
perbaikan taraf hidup dan perubahan pola konsumsi yang mengarah pada protein
hewani asal ternak (daging, telur, dan susu). Permintaan sapi terus bertambah seiring
dengan peningkatan konsumsi daging sapi di wilayah konsumen, yakni Jabodetabek
dan Bandung Raya. Dampak dari kondisi ini adalah terjadi peningkatan permintaan
protein hewani asal ternak, khusunya daging sapi. Namun, disisi lain laju penyediaan
daging sapi tidak mampu memenuhi permintaan tersebut. Hal itu berujung pada
35
dikeluarkannya kebijakan impor sapi bakalan dari Australia untuk memenuhi
permintaaan sapi dan daging sapi bagi konsumen.
Kebijakan Pemerintah untuk mengimpor sapi bakalan dari Australia harus
didukung oleh infrastuktur yang mendukung, seperti kandang di perusahaan feedlot
harus sesuai dengan standar Australia dan Rumah Potong Hewan (RPH) sesuai
ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Australia melalui Department of
Agriculture, Fish and Forestry Australia (DAFF). Wilayah Jawa Barat memiliki 22
RPH ESCAS (Exporter Supply Chain Assurance System) dan 9 RPH Non-ESCAS
(Tawaf, dkk, 2014). Pemerintah Kota Bandung sendiri memiliki 2 RPH ESCAS
sebagai penyedia jasa pemotongan guna memenuhi permintaan konsumen akan sapi
siap potong, yaitu RPH Ciroyom yang beralamat di Jalan Arjuna No. 45, Bandung
dan RPH Cirangrang berada di Jalan Kopo Cirangrang No. 38, Bandung. Pengelolaan
kedua RPH tersebut berada dibawah Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota
Bandung.
Jumlah pemotongan sapi di RPH Ciroyom rata-rata 60-70 ekor sapi impor per
hari, sedangkan sapi lokal sebanyak 5-10 ekor setiap minggunya. RPH Cirangrang
melakukan pemotongan rata-rata 40-50 ekor per hari dan tidak ada pemotongan sapi
lokal. Jenis sapi impor yang biasa dipotong di RPH adalah Australian Commercial
Cross (ACC) dan sapi lokal hasil Inseminasi Buatan (IB). Dalam hal penyediaan sapi
impor, pihak RPH Ciroyom bekerjasama dengan PT. Santosa Agrindo (Santori) dan
RPH Cirangrang bekerja sama dengan PT. Lembu Jantan Perkasa (LJP). Berikut data
jumlah pemotongan sapi di RPH Ciroyom dan Cirangrang selama 6 tahun terakhir
dapat dilihat pada Tabel 2.
36
Tabel 2. Jumlah Pemotongan di RPH Ciroyom dan Cirangrang Tahun 2009-2014
No RPH Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 Ciroyom 7,347 7,600 10,404 12,493 11,396 15,207
2 Cirangrang 16,960 16,107 15,461 5,707 8,628 10,969
Jumlah (ekor) 24,307 23,707 25,865 18,200 20,024 26,176
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, 2015
Berdasarkan Tabel 2. jumlah pemotongan sapi yang dilakukan di RPH
Pemerintah Kota Bandung terjadi peningkatan dari tahun 2009 hingga 2011, namun
pada tahun 2012 mengalami penurunan jumlah pemotongan sebesar 7.665 ekor. Hal
itu akibat di berlakukannya penghentian ekspor sapi bakalan oleh Australia karena
terjadi pelanggaran animal welfare yang dilakukan oknum RPH di Indonesia. Selain
itu, akibat dari stop impor sapi bakalan maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan daging sapi terjadi pemotongan sapi lokal secara besar-besaran. Akhirnya terjadi
peningkatan jumlah pemotongan sapi dari tahun 2013 sampai 2014, jumlahnya
mencapai 26.176 ekor.
Jumlah pemotongan sapi impor di RPH cenderung konstan setiap harinya,
namun terjadi peningkatan permintaan sapi cukup banyak yaitu pada saat sebelum
Ramadhan, selama Ramadhan, sebelum Idul Fitri, dan setelah Idul Fitri. Berdasarkan
Ilustrasi 2. dapat dijelaskan bahwa jumlah pemotongan sapi impor di RPH Tanggal 1
Juni 2015 atau hari ke-1 penelitian, pemotongannnya cenderung stabil. Pada saat
menjelang Ramadhan atau biasa disebut “munggahan” yaitu hari ke-14 jumlah
pemotongan sapi impor meningkat tajam dibandingkan hari sebelumnya, kemudian
hari ke-18 jumlah permintaan sapi impor oleh pemotong mengalami penuruan drastis
karena jumlah stock daging sapi di pedagang masih ada dari sisa pemotongan hari
sebelumnya. Pemotongan normal lagi dari hari ke 20 sampai ke 40 atau seminggu
37
sebelum Idul Fitri. Puncak pemotongan atau permintaan sapi impor para pemotong
yaitu pada hari ke 44 atau tanggal 14 Juli 2015, yaitu 3 hari menjelang Idul Fitri
sebanyak 270 ekor sapi impor. Tingginya jumlah pemotongan ini dipengaruhi oleh
perilaku konsumen daging sapi, seperti penyediaan paket daging dan Idul Fitri.
Pemotongan kembali normal saat seminggu setelah Idul Fitri.
Ilustrasi 2. Grafik Jumlah Pemotongan Sapi Impor di RPH milik Pemerintah
Kota Bandung
Pemotongan dan penyediaan daging sapi tidak terlepas dari peran orang-orang
yang terlibat dalam bisnis sapi di tingkat hilir ini. Orang-orang yang terlibat di RPH
biasa dikenal dengan istilah pemotong atau jagal. Jagal sapi biasa disebut juga
sebagai konsumen sapi siap potong atau sebelum konsumen akhir yaitu Rumah
Tangga dan HOREKA (Hotel Restoran, dan Katering). Jagal membeli sapi dari
perusahaan feedlot sebagai penyedian sapi impor siap potong atau bisa juga membeli
melalui jasa bandar sapi yang berada di RPH. Pemotong sapi di RPH cukup banyak,
-
50
100
150
200
250
300
0 10 20 30 40 50 60 70
Jum
lah
Pe
mo
ton
gan
(e
kor)
Hari ke-
38
namun yang selalu memotong sapi setiap hari berjumlah 20 orang pemotong.
Responden atau pemotong sapi di RPH Ciroyom berjumlah 15 orang dan responden
di RPH Cirangrang sebanyak 5 orang, sehingga secara keseluruhan jumlah responden
dalam penelitian ini sebanyak 20 orang. Profil identitas responden atau jagal dapat
dilihat pada Lampiran 1. Adapun karakteristik atau identitas dari para responden
adalah sebagai berikut :
A. Umur Responden
Umur responden akan mempengaruhi bagaimana cara melakukan kegiatan
usaha pemotongan sapi dan transaksi jual beli daging kepada konsumen di pasar.
Umur pemotong yang masih produktif akan menunjang dalam keberhasilan usaha
yang dijalankan. Menurut Herliawati (2007), kelompok umur produktif merupakan
sumber tenaga yang produktif sehingga diharapkan mampu mengembangkan
usahanya. Umur responden bervariasi, yaitu mulai umur 36 sampai 58 tahun.
Kelompok umur produktif akan dapat bekerja dengan baik sehingga dapat
memperhitungkan keuntungan usaha yang akan diperoleh. Pada usia produktif,
pemotong akan mencoba hal-hal baru yang dapat meningkatkan pendapatan mereka
terutama saat pembelian sapi impor siap potong, karena jika salah perhitungan ketika
membeli sapi maka akan merugikan pemotong itu sendiri. Selain itu, para pemotong
juga menjual sapi yang telah disembelih ke pasar-pasar di Wilayah Kota Bandung
dan sekitarnya. Usia dari setiap responden dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase Kelompok Umur Responden
Klasifikasi Umur Jumlah (orang) Persentase
15-55 Tahun 17 85%
>55 Tahun 3 15%
Jumlah 20 100%
39
Seseorang termasuk ke dalam golongan umur produktif akan memiliki
motivasi yang tinggi dalam dirinya sehingga akan berusaha untuk lebih maju dalam
segala hal yang dikerjakan untuk medapatkan hasil yang lebih baik (Adiwilaga,
1982). Umur 15-55 tahun merupakan usia produktif, sedangkan umur 1-14 tahun dan
di atas 55 tahun usia non produktif (Chandriyanti, 2000). Kelompok usia produktif
akan dapat bekerja dengan baik sehingga keuntungan usaha yang diperoleh
diharapkan maksimal. Pada golongan usia produktif biasanya seseorang lebih aktif
dalam melakukan aktivitas seperti pemilihan sapi, penjualan daging sapi, dan lain-
lain. Sejalan dengan pernyataan tersebut, jika dilihat pada Tabel 3. terlihat bahwa
sebagian besar umur responden termasuk ke dalam usia produktif yaitu sebesar 85%
atau 17 responden yang berumur antara 15 sampai 55 tahun dan 15% saja yang
termasuk usia non produktif yaitu berumur di atas 55 tahun.
Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
responden yang melakukan pemotongan sapi impor di RPH Ciroyom dan Cirangrang
termasuk ke dalam golongan usia produktif. Pemotong yang termasuk dalam
golongan usia produktif secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatkan
kegiatan usaha yang dijalankannya, yaitu dalam komoditas sapi siap potong dan
daging sapi.
B. Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan merupakan lama pendidikan yang ditempuh responden
pada bangku sekolah. Responden dengan pendidikan yang relatif tinggi akan
cenderung terbuka menerima hal-hal yang baru. Tingkat pendidikan responden yang
melakukan pemotongan sapi impor bisa dilihat pada Tabel 4.
40
Tabel 4. Persentase Tingkat Pendidikan Responden
Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase
Sekolah Dasar - -
Sekolah Menengah Pertama 4 20 %
Sekolah Menengah Atas 16 80 %
Perguruan Tinggi - -
Jumlah 20 100%
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab I Pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan Tabel 4. responden memiliki tingkat pendidikan minimal
Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berjumlah 4 orang atau sebesar 20%.
Pendidikan yang paling tinggi yang pernah ditempuh oleh para responden adalah
setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) / STM, sebesar 80% atau sebanyak 16
orang dari keseluruhan responden. Tingkat pendidikan tersebut merupakan syarat
penunjang dalam memperlancar suatu pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin baik juga tingkat pengetahuan dan penyerapan dalam aktivitas usaha.
Tingkat pendidikan responden yang cukup tinggi, hal itu menunjukan bahwa
pada umumnya para jagal telah memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan baik
formal maupun non formal. Pendidikan dapat diperoleh melalui pendidikan non
formal seperti mengikuti kursus, aktif dalam mengikuti pelatihan dari Dinas
Peternakan atau pihak-pihak yang terkait sehingga jagal mendapatkan inovasi baru
dan informasi-informasi baik mengenai teknologi, produksi, pemasaran, dan lain-lain.
41
C. Mata Pencaharian
Mata pencaharian seluruh responden merupakan pemotong sapi atau
konsumen sapi di RPH dan dagingnya dijual di pasar-pasar tradisional di sekitar Kota
Bandung. Selain berdagang di pasar, ada beberapa responden mempunyai mata
pencaharian sampingan seperti berdagang dan membuka rumah makan di rumahnya.
Mata pencaharian responden dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Mata Pencaharian Responden
Mata Pencaharian Jumlah (orang) Keterangan
Utama (pemotong sapi) 17 -
Utama dan Sampingan 3 Warung dan Rumah Makan
Jumlah 20
Berdasarkan Tabel 5, semua mata pencaharian utama para responden sebagai
pemotong sapi, namun ada 3 orang responden yang memiliki pekerjaan sampingan
yaitu membuka tempat usaha rumah makan dan warung. Pekerjaan utama responden
adalah sebagai pemotong atau konsumen sapi siap potong saat berada di RPH.
Setelah membeli sapi dari pihak bandar atau perusahaan feedlot yang menyimpan sapi
di RPH, kemudian responden menyembelih sapi tersebut melalui jasa tukang potong
(modin) yang rata-rata berjumlah tiga orang. Selanjutnya karkas sapi dibawa ke pasar
induk (Caringin dan Gedebage) dan pasar-pasar tradisional lainnya di sekitar Kota
dan Kabupaten Bandung untuk dijual kepada masyarakat atau konsumen daging sapi,
tetapi ada juga yang dijual kembali kepada pedagang kecil disekitar pasar. Beberapa
responden memiliki pekerjaan sampingan, seperti membuka warung dan rumah
makan. Pekerjaan sampingan tersebut dikelola oleh istrinya untuk menambah
penghasilan keluarga dan mengisi waktu kosong selama istri ada di rumah.
42
D. Pengalaman Berdagang Responden
Suatu usaha akan berjalan dengan baik ditentukan oleh banyak faktor. Salah
satu faktor yang menentukan maju mundurnya usaha adalah pengalaman, yaitu
lamanya seseorang berkecimpung dalam usaha yang dilakukannya. Pengalaman
merupakan guru yang baik yang menjadi sumber pengetahuan dan merupakan suatu
cara untuk mendapatkan kebenaran (Notoatmomodjo, 2005).
Pengalaman menjadi pemotong atau jagal menunjukan lamanya seseorang
dalam usaha pada komoditas sapi. Pengalaman responden tersebut dapat
mempengaruhi keterampilan mereka dalam mengelola usaha pada daging sapi,
sehingga pemotong yang mempunyai pengalaman lebih lama, relatif akan lebih
mampu dalam mengelola usaha daging sapi dibandingkan pemotong yang memiliki
pengalaman kurang. Berikut Tabel 6, menyajikan lama pengalaman menjadi
pemotong sapi dalam satuan tahun dari masing-masing responden yang melakukan
pemotongan sapi di RPH Ciroyom dan Cirangrang.
Tabel 6. Pengalaman Berdagang Responden
Klasifikasi Pengalaman
(tahun) Jumlah (orang) Persentase
0-5 - -
6-10 2 10 %
11-15 7 35 %
16-20 5 25 %
21-25 3 15 %
26-30 3 15 %
Jumlah 20 100%
Berdasarkan Tabel 6, pengalaman berdagang dari responden atau pemotong
sapi lebih dominan antara 11 hingga 15 tahun atau 35% dari keseluruhan pengalaman
bekerja para responden. Pengalaman menjadi pemotong ada yang sudah lama, yakni
43
hampir 21-30 tahun sebanyak 3 orang atau 15% dari keseluruhan responden.
Biasanya responden yang sudah berpengalaman lama dibidang pemotongan sapi
sudah menjadi pedagang besar di pasar induk. Tingkat pengalaman yang tinggi
diharapkan akan mengembangkan usaha seseorang sebab orang tersebut akan
semakin mengetahui seluk-beluk dari usaha yang dijalankannya. Menurut Herlawati
(2007), suatu usaha akan berjalan dengan baik ditentukan oleh banyak faktor. Salah
satu faktor yang menentukan maju mundurnya usaha adalah pengalaman, yaitu
lamanya seseorang berkecimpung dalam usaha yang dilakukannya.
4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemotongan Sapi Impor di RPH
Pemerintah Kota Bandung
Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan berdasarkan analisis model yang
dibangun melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan kegiatan dalam analisis model
untuk pengujian hipotesis adalah sebagai berikut:
1. Penetapan model
2. Estimasi koefisien variabel dalam model analisis fungsi regresi berganda
4.2.1 Penetapan Model
Penetapan model bertujuan untuk melihat kemampuan (Goodness of Fit)
model persamaan yang dibangun dalam hal menjelaskan variasi variabel terikat
(dependent) terhadap variabel bebas (independent) dengan metode pendugaan yang
digunakan adalah metode OLS (Ordinary Least Square). Untuk pemberlakuan
metode tersebut, ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi yaitu: pengujian
multikolinieritas, autokorelasi, dan heterokedastis. Berikut hasil pengujian
multikolinieritas, autokorelasi, dan heterokedastis:
44
A. Pengujian Multikolinieritas
Pengujian multikolinieritas bertujuan agar variabel independen yang
digunakan tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Analisis mengenai uji
multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factors) dan nilai
tolerance, untuk lebih rincinya dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai yang umum dipakai
untuk menunjukkan adanya masalah multikolonieritas dalm suatu model adalah nilai
tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10 (Ghozali, 2013). Hasil pengujian
antar variabel pada Tabel 7 menyatakan bahwa model yang digunakan tidak terdapat
masalah multikolinieritas pada setiap variabel. Hal itu dapat dilihat bahwa nilai VIF
dari empat variabel tidak ada yang lebih dari 10 dan nilai tolerance lebih dari 0,1
sehingga model dikatakan baik dan tidak melanggar multikolinieritas, kemudian
dapat dilakukan analisis berikutnya.
Tabel 7. Nilai Tolerance dan VIF
Variabel Tolerance VIF
Konstanta - -
X1 0,453 2,208
X2 0,479 2,086
X3 0,280 3,566
X4 0,890 1,124
B. Pengujian Autokorelasi
Pengujian autokorelasi bertujuan untuk mengetahui adanya autokorelasi di
dalam model jumlah pemotongan sapi impor di RPH pemerintah Kota Bandung,
sehingga dilakukan uji Durbin-Watson. Nilai d yang didapat dari hasil Uji Durbin-
Watson yang didapat adalah sebesar 1,209. Menurut pendapat Sugiyono (1999), jika
besarnya nilai d (Durbin-Watson) ≥ 5 maka dapat dikatakan terjadi autokorelasi
45
dalam model, sedangkan jika besar nilai d < 5 maka tidak terdapat autokorelasi antar
kesalahan pengganggu yang satu dengan yang lainnya. Pernyataan tersebut
menerangkan bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi dalam model.
C. Pengujian Heterokedastis
Pengujian heterokedastis bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan asumsi klasik heterokedastis yaitu adanya ketidaksamaan varian dari
residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Model regresi yang baik
adalah memilki distribusi normal atau mendekati normal. Prasyarat yang harus
terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala heterokedastis. Metode
pengujian yang digunakan adalah melihat pola grafik regresi. Pendeteksian
heteroskeditas pada model regresi jumlah pemotongan sapi impor yaitu menggunakan
metode grafik p-plot, histogram, dan grafik scatterplot yang dapat dilihat pada
Lampiran 6. Dapat dilihat pada grafik histogram membentuk gambar seperti lonceng,
persebaran titik-titik scatterplot tidak membentuk suatu pola tertentu, dan pada grafik
p-plot titik-titik menyebar mengikuti garis plot normal. Oleh karena itu, dapat
diartikan bahwa dalam model jumlah pemotongan sapi impor normal dan tidak terjadi
masalah heteroskeditas. Model regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau
tidak terjadi masalah heteroskeditas (Ghozali, 2005).
Berdasarkan ketiga pengujian di atas menunjukkan besaran model pendugaan ini
telah ditetapkan sebagai model yang dapat menggambarkan kondisi aktual. Oleh
karena itu, langkah selanjutnya adalah estimasi koefisien variabel dalam model
analisis regresi berganda non linier.
46
4.2.2 Estimasi Variabel Jumlah Pemotongan Sapi Impor di RPH Pemerintah
Kota Bandung
Fungsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda non linier
dengan empat variabel bebas. Variabel bebas yang diamati yaitu berat badan sapi
(X1), harga sapi impor (X2), harga sapi lokal (X3), dan Dummy jenis kelamin (X4).
Berdasarkan keempat variabel tersebut akan dilihat berapa besar pengaruhnya
terhadap Jumlah Pemotongan (Permintaan) Sapi Impor (Y). Pendugaan parameter
pada fungsi persamaan, data akan diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk double
logaritma (ln).
Berdasarkan hasil pengolahan yang dilakukan, maka model penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Y = 17,063 X1-4,187
X2 8,944
X3 -7,752
X4 1,102
Model fungsi tersebut apabila dilinierkan menjadi:
Ln Y = 17,063 – 4,187 Ln X1 + 8,944 Ln X2 – 7,752 Ln X3 + 1,102 Ln X4
Keterangan:
Y : Jumlah Pemotongan Sapi Impor (ekor)
X1 : Berat Badan Sapi (Kg/ekor)
X2 : Harga Sapi Impor (Rp/ Kg Berat Hidup)
X3 : Harga Sapi Lokal (Rp/ Kg Berat Hidup)
X4 : Dummy Jenis Kelamin
Kode Jantan : 1 Betina: 0
Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan SPSS 21.0 maka diperoleh
hasil pendugaan fungsi seperti pada Tabel 8. Pada tabel nilai koefisien determinasi
(R2) sebesar 0,564. Artinya variabel bebas yang digunakan dalam model berpengaruh
sebesar 56,4 % terhadap variabel terikat, sedangkan sisanya yaitu 43,6 %
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model.
47
Tabel 8. Hasil Pendugaan Fungsi Regresi
Variabel Koefisien
Regresi
T hitung R2
Tolerance VIF Fhit Ttab
Konstanta 17,063 0,626 0,564 - - 16,806 1,672
X1 - 4,187 - 3,418 0,453 2,208
X2 8,944 3,282 0,479 2,086
X3 - 7,752 - 3,873 0,280 3,566
X4 1,102 5,522 0,890 1,124
Tabel 8. memperlihatkan bahwa nilai F hitung diperoleh sebesar 16,806,
kemudian nilai F hitung dibandingkan dengan F tabel, nilai F tabel yang diperoleh
dari tabel F untuk probabilitas 0,05 yaitu 2,77. Hal ini menunjukan bahwa F hitung >
F tabel yang berarti H0 di tolak sehingga variabel-variabel bebas yang digunakan
dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya.
Variabel berat badan sapi impor, harga sapi impor, harga sapi lokal, dan jenis kelamin
mempengaruhi secara bersama-sama (simultan) terhadap jumlah pemotongan sapi
impor di RPH Kota Bandung.
Pengujian satistik Uji-t menunjukan nilai Ttab pada model adalah sebesar
1,672. Hasil uji-t untuk berat badan sapi menunjukan, bahwa secara parsial berat
badan sapi (Thit - 3,418 < Ttab 1,672) tidak berpengaruh nyata terhadap pemotongan
sapi impor. Hasil uji-t untuk harga sapi impor, bahwa harga sapi impor secara parsial
berpengaruh nyata terhadap permintaan atau pemotongan sapi di RPH (Thit 3,282 >
Ttab 1,672). Hasil uji-t untuk harga sapi lokal menunjukan bahwa sapi lokal secara
parsial tidak berpengaruh nyata terhadap pemotongan sapi impor (Thit - 3,873 < Ttab
1,672). Hasil uji-t untuk dummy jenis kelamin sapi, bahwa jenis kelamin (Thit 5,522 >
Ttab 1,672) secara parsial berpengaruh nyata terhadap jumlah pemotongan sapi impor
yang dilakukan di RPH Pemerintah Kota Bandung.
48
Adapun estimasi koefisien variabel yang mempengaruhi jumlah pemotongan sapi
impor adalah sebagai berikut:
1. Berat Badan Sapi (X1)
Berat badan sapi memiliki koefisien regresi sebesar -4,187 artinya dalam
setiap kenaikan X1 atau berat badan sapi sebesar satu persen, maka akan
mengakibatkan penurunan jumlah pemotongan sebesar 4,187 persen. Berat badan
sapi berpengaruh negatif terhadap jumlah pemotongan sapi impor yang dilakukan
para jagal di RPH. Semakin berat bobot sapi maka akan semakin mahal juga biaya
yang harus dikeluarkan oleh konsumen atau jagal. Berdasarkan uji t (α= 0,05), berat
badan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah pemotongan sapi. Para jagal lebih
mementingkan faktor lain dibanding dengan bobot sapi dalam melakukan
pemotongan sapi di RPH Pemerintah Kota Bandung.
Berat badan sapi akan mempengaruhi tingkat daya beli konsumen atau
pemotong. Rata-rata bobot sapi yang dibeli oleh para pemotong berada dikisaran 400-
450 kg per ekor karena jika dikalkulasikan menjadi harga per ekor, nilai tersebut
cukup terjangkau bagi para pemotong. Selain itu, jika responden membeli sapi
dengan bobot diatas 500 kg, biasanya para pemotong mengalami kerugian, yaitu
harga sapi menjadi mahal dan karkas sapi yang didapatkan lebih banyak lemak
dibanding dagingnya. Kurva bobot badan sapi yang sering dipotong di RPH dapat
dilihat pada Ilustrasi 3.
Bobot badan sapi berhubungan langsung dengan harga sapi karena harga sapi
per ekor didapat dari berat badan sapi dikali harga per kg bobot hidup sapi, sehingga
besar kecilnya berat badan sapi berimplikasi terhadap tinggi rendahnya harga sapi per
ekor dan permintaan sapi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sukirno (2002)
49
bahwa semakin tinggi harga suatu barang maka akan menurunkan permintaan barang
tersebut, sebaliknya semakin rendah harga suatu barang maka akan meningkatkan
permintaan akan barang tersebut.
Ilustrasi 3. Grafik Bobot Badan Sapi yang dipotong di RPH Kota Bandung
2. Harga Sapi Impor (X2)
Harga sapi impor memiliki koefisien regresi sebesar 8,944. Harga sapi impor
berpengaruh positif terhadap jumlah pemotongan sapi impor sesuai dengan hipotesis
awal. Berdasarkan uji t, harga sapi impor berpengaruh nyata terhadap jumlah
pemotongan sapi impor (thit 8,944 > 1,672). Kegiatan pemotongan sapi di RPH di
dominasi oleh sapi impor dibandingkan sapi lokal, dengan perbandingan 98,4% sapi
impor dan 5,2% sapi lokal (Disnak Kota Bandung, 2015). Hal itu bisa
mengindikasikan bahwa sapi impor merupakan barang pengganti (subtitusi) dari sapi
lokal yang harganya semakin mahal. Pemotongan sapi di RPH Kota Bandung lebih
350
400
450
500
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61
Bo
bo
t B
adan
Sap
i
Hari Ke-
50
banyak sapi impor karena dari sisi harga cukup terjangkau dan konsumen bisa
memperoleh keuntungan dari hasil penjualan dagingnya yang relatif banyak. Harga
sapi impor yang lebih rendah dibanding sapi lokal mengakibatkan permintaannya
meningkat terus setiap waktu. Hal itu sesuai dengan hukum permintaan yang
diungkapkan Sukirno (2002) bahwa semakin rendah harga suatu barang maka akan
meningkatkan permintaan barang tersebut, sebaliknya semakin tinggi harga barang
akan menurunkan permintaan akan barang tersebut. Sehingga apabila terjadi
peningkatan harga sapi lokal maka akan berpengaruh signifikan terhadap
meningkatnya permintaan sapi impor di RPH.
Ilustrasi 4. Grafik Harga Sapi Impor di RPH Pemerintah Kota Bandung.
Pada waktu tertentu, dalam hal ini pada saat bulan Ramadhan dan menjelang
hari raya (Idul Fitri), permintaan sapi mengalami peningkatan cukup tinggi sehingga
mengakibatkan harga daging sapi di pasar semakin mahal. Fenomena naiknya
permintaan saat bulan tersebut merupakan kenaikan reguler setiap tahunnya dan tidak
akan menurun lagi pada bulan-bulan setelah Idul Fitri. Berdasarkan Ilustrasi 4, Harga
terendah sapi impor berada pada harga Rp 38.400 atau hari ke-19 beberapa hari
38,000
39,000
40,000
41,000
42,000
43,000
44,000
45,000
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61
Rp
/ k
g B
B H
idu
p
Hari
51
setelah “munggahan”, sedangkan harga tertinggi sapi hari ke-59 sebesar Rp 43.800
harga sapi tersebut tidak mengalami penurunan yang signifikan setelah Idul Fitri.
Hal itu sesuai dengan penyataan Ilham (2001), seandainya harga sapi siap
potong menurun setelah hari raya Idul Fitri, harga sapi tidak akan sama atau lebih
rendah dari harga sebelum Idul Fitri. Hal itu juga terjadi di RPH Pemerintah Kota
Bandung, yaitu adanya peningkatan harga dari sebelum Ramadhan hingga setelah
hari raya atau Idul Fitri. Harga sapi kembali menurun beberapa minggu setelah Idul
Fitri, namun turunnya harga sapi potong tidak terlalu signifikan sehingga
berimplikasi juga terhadap harga daging yang dibeli konsumen akhir menjadi mahal.
3. Harga Sapi Lokal (X3)
Harga sapi lokal memiliki koefisien regresi sebesar -7,752 artinya dalam
setiap kenaikan X3 atau harga sapi lokal sebesar satu persen, maka akan
mengakibatkan penurunan jumlah pemotongan sebesar 7,752 persen. Harga sapi
lokal berpengaruh negatif terhadap jumlah pemotongan sapi impor di RPH
Pemerintah Kota Bandung. Hal itu menunjukan bahwa semakin mahal harga sapi
lokal (Rp/Kg Bobot Hidup) maka permintaan jagal terhadap sapi lokal akan semakin
menurun karena biaya yang dikeluarkan dalam pembelian sapi lebih besar
dibandingkan keuntungan yang didapatkan para jagal. Berdasarkan fakta di lapangan,
jika harga sapi lokal naik maka permintaan akan turun karena ada subtitusi dari sapi
lokal, yakni sapi impor yang harganya lebih murah. Akhirnya, jumlah pemotongan
sapi yang terjadi di RPH Pemerintah Kota Bandung lebih banyak sapi Impor
dibandingkan sapi lokal. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Sukirno
(2002), bahwa jika barang pengganti (subtitusi) bertambah murah, maka barang yang
digantikannya akan mengalami pengurangan permintaan.
52
Berdasarkan Ilustrasi 5. dapat dilihat bahwa harga sapi lokal siap potong di
RPH Pemerintah Kota Bandung saat bulan Juni atau sebelum “munggahan” berkisar
antara Rp. 39.000 sampai Rp. 40.000 kemudian pada dua hari menjelang Ramadhan
meningkat lagi menjadi Rp. 42.000 harga tetap cenderung stabil hingga beberapa hari
selanjutnya. Menjelang idul fitri harga sapi lokal naik lagi menjadi Rp. 46.000 hal ini
mengakibatkan harga daging di tingkat pasar melonjak tajam hingga Rp. 130.000.
Harga sapi lokal yang tak kunjung turun dan tetap lebih mahal dari sapi impor
mengakibatkan permintaannya semakin menurun terus menerus dan para pemotong
sekarang lebih banyak membeli sapi impor karena harganya lebih murah.
Ilustrasi 5. Grafik Harga Sapi Lokal di RPH Pemerintah Kota Bandung.
4. Jenis Kelamin (X4)
Jenis kelamin sapi memiliki koefisien regresi sebesar 1,102 hal ini
menunjukan bahwa setiap kenaikan X4 sebesar satu persen, maka jumlah pemotongan
sapi akan bertambah sebesar 0,013 persen. Dumi jenis kelamin berpengaruh positif
38,000
39,000
40,000
41,000
42,000
43,000
44,000
45,000
46,000
47,000
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61
Har
ga
Hari
53
terhadap jumlah pemotongan sapi impor di RPH yang dilakukan para jagal. Hal itu
sesuai dengan kenyataan pada saat penelitian di lapangan, yakni pada hari-hari biasa
pemotongan sapi impor di RPH lebih banyak sapi berjenis kelamin jantan atau Steer
dibandingkan betina (Heifer dan Cows) karena kualitas dari daging sapi jantan lebih
bagus dibandingkan sapi betina, seratnya bagus, dan tidak terlalu basah. Namun,
pemotongan sapi saat menjelang Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri
kondisi pemotongan sapi di RPH tidak seperti biasanya, yakni lebih banyak sapi jenis
kelamin betina yang dipotong untuk pasokan ke pasar. Pada saat menjelang
Ramadhan dan Idul Fitri permintaan daging sapi oleh kosumen akhir cukup tinggi,
maka para pemotong lebih memilih sapi betina karena harganya lebih murah dari sapi
jantan hal itu dilakukan untuk menutupi biaya tinggi yang harus dikeluarkan bila
membeli steer dan mengalihkan biaya untuk upah para pekerja tambahan saat
menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Selain itu, keuntungan dari memotong sapi
betina ialah para pemotong mendapatkan bonus dari jeroan sapi yang lebih banyak
dibandingkan sapi jantan atau steer. Sehingga pengaruh jenis kelamin berpengaruh
signifikan untuk setiap hari pemotongan selama bulan Juni dan Juli, pemilihan jenis
kelamin bisa dikatakan sebagai selera para pemotong sapi yakni pada saat menjelang
Ramadhan dan menjelang Idul Fitri agar keuntungan mereka dapat bertambah.
Faktor yang paling berpengaruh terhadap pemotongan sapi impor di RPH
Pemerintah Kota Bandung adalah harga sapi impor. Hal itu dapat dibuktikan dengan
nilai terbesar pada Standardized Coefficients Beta dari setiap variabel. Nilai koefisien
beta harga sapi impor sebesar 0,434. Nilai Standar koefisien beta dapat
memperlihatkan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hal itu
54
sesuai dengan pernyataan Gujarati (2003) bahwa standar koefisien beta adalah
variabel-variabel yang datanya telah di stadardisasi dengan standar deviasi masing-
masing variabel, sehingga dapat membandingkan secara langsung antar variabel
independen dalam pengaruhnya terhadap variabel dependen. Jadi, variabel harga sapi
impor merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pemotongan sapi impor di
RPH Pemerintah Kota Bandung