jangan lelah pada kebenaran - gelora45gelora45.com/news/munir_janganlelahpadakebenaran.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
Jangan Lelah pada Kebenaran Tanius Sebastian
15 September 2016
Harian Indoprogress
http://indoprogress.com/2016/09/jangan-lelah-pada-kebenaran/
Untuk Cak Munir (1965-2004)
yang dibunuh,
tapi tak pernah mati dan tak akan berhenti
dan diingat
dari September ke September
Pendahuluan
Dalam sebuah edisi khususnya tahun 2014, majalah Tempo menerbitkan laporan
mengenai temuan fakta dan bukti terbaru kasus pembunuhan aktivis perjuangan hak
asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib.[1] Dalam opininya, majalah tersebut
menyatakan bahwa atas nama keadilan dan kemanusiaan pemerintah Indonesia harus
meneruskan pengungkapan pembunuhan aktivis tersebut. Akan tetapi seperti kita
ketahui, sejumlah proses hukum lewat pengadilan telah dijalani dan terdakwa pembunuh
Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, juga telah dijatuhi hukuman pidana
penjara. Tempo memandang pengungkapan kembali kasus ini akan menunjukkan
aktor-aktor lain pembunuh Munir, khususnya aktor intelektual. Yang menarik, dalam
2
salah satu wawancara Tempo, Abdullah Makhmud Hendropriyono, mantan jenderal yang
senantiasa dikaitkan dengan pembunuhan Munir, berkata bahwa kasus ini sudah selesai
karena hukum sudah memutuskan. “Kalau tak percaya kepada hukum, lalu kita berpegang
pada apa lagi?”.[2] Majalah Tempo bahkan mendesak supaya kasus pembunuhan Munir ini
dibuka oleh pengadilan HAM. Padahal keadilan dan hukum sudah ditegakkan secara
prosedural, seperti yang ditegaskan oleh Hendropriyono. Apa alasan yang dapat
mendasari pengungkapan kasus Munir, selain nama keadilan yang kerap diusung oleh para
aktivis, lawyer, jurnalis, dan juga politikus kita?
Bahasa Latin punya adagium yang sangat pas untuk menggambarkan semangat dari usaha
penelusuran ulang kasus Munir di atas, yakni “Fiat iustitia, et pereat mundus”.
Terjemahan adagium itu dalam bahasa Indonesia kira-kira begini: tegakkan keadilan
meskipun dunia ini hancur. Mula-mula kita akan bertolak dari adagium ini merenungkan
apakah sesungguhnya hakikat dasar dari goyangan timbangan keadilan dan ayunan pedang
hukum sehingga keduanya menjadi harga mati? Kasus Munir yang diulas oleh Majalah
Tempo edisi khusus di atas akan menjadi studi kasus pada refleksi ini karena kasus ini
memunculkan perdebatan soal manakah yang benar. Siapakah yang sesungguhnya
membunuh Munir? Apa motif pembunuhannya yang sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan
ini merupakan pertanyaan tentang kebenaran. Maka, di samping keadilan dan
kemanusiaan, satu hal yang juga penting untuk dikaji di sini adalah kebenaran.
Namun yang akan dibahas di sini bukanlah perihal pencarian fakta empiris, melainkan
refleksi tentang arti kebenaran secara filosofis. 10 tahun setelah meninggalnya Munir,
misteri masih bertebaran dan kita gelisah akan apa yang sebenarnya ada di balik kasus
ini. Konspirasi politik? Dendam pribadi? Tulisan ini tidak akan mengupas hal-hal seperti
itu. Tulisan ini akan mencoba menemukan tempat kebenaran di tengah pusaran politik
yang penuh tabrakan kepentingan. Laporan majalah Tempo memperlihatkan betapa
kepentingan negara, persepakatan politik praktis, dan maksud-maksud pribadi seseorang
saling bercampur aduk sedemikian sehingga kebenaran kasus ini sendiri menjadi kabur.
Pisau analisis yang akan dipakai di sini bersumber dari teks seorang pemikir filsafat
politik, Hannah Arendt (1906-1975). Teks tersebut berjudul “Truth and Politics”.[3]
Sebagai pisau analisis, gagasan Arendt di sini bukan berarti menjadi instrumen belaka
dan tak berharga pada dirinya sendiri. Sedari awal Arendt sudah mengungkapkan bahwa
apa yang ia hadirkan dalam teks tersebut adalah refleksi atas hal yang sudah biasa dan
tidak spesial.[4] Kebenaran dalam konteks politik yang direfleksikan oleh Arendt
merupakan hal yang sudah diterima begitu saja. Orang mungkin lebih tertarik dengan
persoalan administrasi keadilan dan penegakkan hukum formal daripada merenungkan
arti kebenaran dalam politik. Arendt menyebut kecenderungan itu kelihatannya masuk
3
akal, sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan biarpun langit runtuh
menimpa kita. Tapi, Arendt mengubah sedikit saja ungkapan tersebut dengan meletakkan
kosa kata kebenaran sehingga menciptakan adagium “Fiat veritas, et pereat
mundus”.[5] Dari yang tampak biasa, refleksi Arendt ini menjadi tak biasa.
Dengan menggeser sedikit saja kecenderungan kita, penegakkan kebenaran rupanya
lebih masuk akal dalam rangka menjernihkan kekeruhan politik, kendati kita mesti
musnah. Berdasarkan gagasan Arendt ini, pengungkapan kasus Munir seharusnya tidak
hanya bersandar pada administrasi keadilan dan penyelesaian secara yuridis, melainkan
bergerak menembus tabir gelap politik yang menutupi kebenarannya. Tulisan ini
berpendapat bahwa kebenaran merupakan hakikat dasar dari keadilan dan hukum yang
berada pada suatu tatanan politik. Berhadapan dengan pernyataan dari Hendropriyono di
atas, tulisan ini memandang bahwa kita mesti berpegang pada kebenaran dan kebenaran
sendiri tidak tereduksi habis di dalam hukum. Lantas, siapa yang mesti mengejar
kebenaran tersebut dan apa dasarnya? Berdasarkan gagasan Arendt, tulisan ini akan
menekankan peran institusi pendidikan tinggi dan sikap ketakberkepentingan.
Untuk mendukung pendapat di atas, kita dihadapkan pada pertanyaan: apa yang membuat
kebenaran menjadi bernilai dalam politik? Dari Arendt kita akan belajar bahwa
keutamaan politik juga membutuhkan kejujuran (truthfulness). Dengan kata lain,
kebenaran itu penting dalam politik karena mendorong politik yang lebih terbuka dan
representatif. Namun sejauh apa kebenaran menjadi penting dalam politik? Pemikir etika
asal Inggris, Bernard Williams (1929-2003), menjawab pertanyaan ini dalam kaitannya
dengan situasi masyarakat di mana batas yang benar dan yang salah sudah sedemikian
kabur akibat pendustaan diri (self-deception), terutama yang direproduksi oleh media
pada sistem masyarakat itu sendiri.[6] Di sinilah letak urgensi sikap
ketakberkepentingan (disinterested) dan program pendidikan tinggi sebagai, meminjam
istilah Williams, “metode penelusuran serta pentransmisian” kebenaran dalam politik.
Maka tulisan ini akan mendiskusikan pula masalah kejujuran dalam politik dengan
bertolak pada pertanyaan mengapa kebenaran itu penting dalam politik. Di bagian akhir,
tulisan ini mengajukan argumentasi bahwa dalam gerakan perjuangan mengungkap kasus
Munir, di samping kejujuran, dibutuhkan pula keberanian sebagai pangkal kebenaran kita.
Sebab dalam hal ini, dengan mengadaptasi pernyataan Cak Munir, janganlah kita lelah
pada kebenaran.[7]
Hubungan Konfliktual Kebenaran dengan Politik
Arendt memulai analisisnya terhadap hubungan kebenaran dan politik dengan dua pokok
penegasan.[8] Pokok pertama yakni bahwa hubungan kebenaran dengan politik merupakan
4
hubungan yang buruk. Arendt melontarkan serangkaian pertanyaan tentang mengapa
hubungan keduanya tidaklah selaras. Kebenaran berdiri di satu sisi dan politik di sisi lain
lantas keduanya saling menjatuhkan dan melemahkan arti dan nilai masing-masing.
Keduanya bagai air dan minyak yang tertuang sekaligus di dalam gelas kehidupan manusia.
Pokok kedua, bahwa kejujuran tidak dianggap sebagai keutamaan politis. Politik sedari
awal sudah terkait erat dengan kebohongan, senantiasa memperkosa kebenaran, dan
tidak ada urusannya sama sekali dengan kejujuran. Bukankah demikian pula kita
mempersepsi praktik politik di sekitar kita? Arendt menunjukkan bahwa hubungan
kebenaran dengan politik merupakan hubungan yang konfliktual.
Kisah tak mengenakan ini ternyata terlacak jauh ke belakang masa peradaban manusia.
Sebuah kisah yang berusia tua dan penuh komplikasi di mana arti kebenaran itu sendiri
berevolusi, mulai dari kebenaran sebagai standar perilaku manusia menurut Plato sampai
kebenaran sebagai aksioma matematis menurut Thomas Hobbes.[9] Meski berbeda,
kedua arti kebenaran tersebut bentrok dengan kekuasaan politik. Baik kebenaran ideal
Plato maupun kebenaran aksiomatis Hobbes merupakan hasil pikiran manusia yang
berupaya melewati batas-batas pengetahuan pada umumnya. Kebenaran dalam arti
tersebut sulit diterima oleh kebanyakan orang biasa dan bahkan bergesekan dengan
kekuasaan. Pada versi kebenaran Plato, si pengungkap kebenaran berada dalam ancaman
untuk dihabisi nyawanya ketika ia berusaha membebaskan rekan-rekannya dari ilusi dan
tipuan, sedangkan pada versi Hobbes, kebenaran sangat rentan untuk ditindas oleh
dominasi apabila suatu aksioma bertentangan dengan hak atau kepentingan yang
dominan.[10] Hubungan konfliktual itu makin kompleks ketika di masa modern berlaku
pembedaan antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual. Analisis Arendt dalam
teks “Truth and Politics” bertolak dari pembedaan ini untuk kemudian menunjukkan
betapa rentannya kebenaran faktual, dibandingkan kebenaran rasional, terhadap
pengaruh kekuasaan politik.
Arendt menyatakan bahwa “kendati kebenaran-kebenaran yang paling relevan secara
politis adalah faktual, konflik antara kebenaran dan politik pertama kali ditemukan dan
diartikulasikan dalam kaitannya dengan kebenaran rasional.”[11] Berdasarkan pandangan
Arendt, oposisi kebenaran dengan politik dapat digambarkan sebagai berikut:
5
Arendt berangkat dari pembedaan antara kebenaran rasional dan faktual. Baginya,
konflik kebenaran dengan politik pada mulanya adalah konflik antara bidang kebenaran
rasional dan bidang kekuasaan politik, atau yang Arendt sebut sebagai “dua jalan
kehidupan yang saling bertentangan secara diametris”.[12] Ini adalah konflik asali dari
kebenaran versus politik, sebagaimana terlihat pada oposisi A (Alfa) pada skema 1 di
atas. Secara historis, konflik asali sudah dimulai sejak Parmenides dan Plato di mana
kebenaran (rasional) yang dinyatakan oleh filsuf berlawanan dengan opini dari para warga
masyarakat, dan opinilah yang membangun kekuasaan politik. Pelacakan Arendt terhadap
asal-usul konflik ini juga memperlihatkan bahwa ciri pertentangan diametris kebenaran
dengan politik masih ditemukan pada masa awal modernitas hingga abad ke-19.
Perhatikan, antara lain, Hobbes yang mempertentangkan dua fakultas pikiran, yakni
penalaran ketat yang didasarkan pada prinsip kebenaran dan kefasihan bersilat lidah
yang didasarkan pada opini, hasrat, dan kepentingan.[13] Di masa modern, orang seperti
James Madison kurang lebih juga menyatakan hal sama. Kebenaran rasional merujuk pada
singularitas sebuah pikiran sedangkan opini ditentukan oleh ketergantungan dengan
banyaknya jumlah yang sama-sama mencetuskannya.[14]
Akan tetapi dalam pandangan Arendt, bila kita bicara situasi kehidupan saat ini, yang
lebih panas membara bukanlah konflik kebenaran rasional menurut oposisi A pada skema
di atas, melainkan konflik kebenaran faktual dengan politik berdasarkan oposisi Ω
(Omega). Alasannya, pertama, karena terhapusnya oposisi A pada skema 1 di
atas.[15] Kedua, karena kebenaran faktual mengkait secara langsung dengan politik
daripada kebenaran rasional. “Apa yang dipertaruhkan di sini adalah realitas faktual itu
sendiri, dan memang ini adalah masalah politis yang pertama-tama.”[16] Di sini, Arendt
justru bermaksud memperlihatkan betapa malangnya nasib kebenaran faktual apabila
dibandingkan dengan kebenaran filosofis-rasional, terutama dalam keadaan di mana
pasar mereproduksi opini secara massal. Baik kebenaran faktual maupun kebenaran
filosofis terancam jatuh menjadi kebenaran pasar. Namun saat kebenaran filosofis
dapat mengubah kodratnya menjadi opini di dalam pasar, kebenaran faktual tetaplah
merupakan kebenaran faktual, kendati berhimpitan erat dengan opini. Sebab, demikian
Arendt, kebenaran faktual selalu terkait dengan orang lain dan berbagai peristiwa yang
melibatkan banyak orang. Ia pun bergantung pada testimoni dan kesaksian.[17] Dengan
kata lain, bicara kebenaran faktual berarti bicara tentang fakta telanjang yang
bagaimanapun juga berbeda dari opini, termasuk dari data mentah yang terberi, yang
sudah diterima begitu saja (given), dan yang dibentuk seturut perjalanan sejarah. Fakta
telanjang adalah fakta yang bersifat umum, diketahui publik tapi kerap ditutupi
seolah-olah itu bukanlah fakta.[18]
6
Dari kemalangan nasib kebenaran faktual tersebut, Arendt memperlihatkan kekuasaan
politik yang menekan kebenaran faktual. Maka kita dapat belajar bahwa kebenaran
faktual memiliki kualitas yang lebih politis dari pada kebenaran rasional karena ia
bersentuhan langsung dengan realitas beserta berbagai sikap penolakan terhadap fakta
di dalamnya. Apabila kita kembali ke kasus Munir, keadilan dan kemanusiaan yang
seringkali digembar-gemborkan untuk mengungkap kebenaran lebih bersifat anti-politis
karena keduanya mudah sekali jatuh menjadi opini yang direproduksi dan dimanipulasi
secara massal, terutama lewat media. Singkatnya, keadilan dan kemanusiaan itu menjadi
jargon belaka. Pengungkapan kasus Munir mesti melalui saluran pencarian kebenaran
faktual, yakni kebenaran yang nyata-nyata terjadi alias fakta umum tapi yang lepas dari
hiruk-pikuk opini pasar dan data mentah. “Rumus” pengungkapan kebenaran tersebut
kira-kira begini:
Namun rumus di atas tidak menuntaskan masalah hubungan konfliktual kebenaran dengan
politik. Skema 1 menunjukkan bahwa kebenaran faktual beroposisi dengan kebohongan
berencana. Persis pada oposisi Ω inilah Arendt ingin menunjukkan bahwa kebenaran
faktual perlu ditempatkan di dalam bingkai kekuasaan politik; sebuah bingkai di mana
lawan sejati dari kebenaran faktual adalah kebohongan yang diorganisir oleh aktor-aktor
penguasa tertentu. Artinya, kita perlu memakai sudut pandang politik untuk lebih
memahami kebenaran faktual. Pertanyaan Arendt di sini adalah: apakah kekuasaan politik
dapat dan harus diperiksa tidak hanya oleh sebuah konstitusi, atau sebuah deklarasi hak,
atau pembagian kekuasaan, melainkan oleh sesuatu yang berada di luar wilayah politik itu
sendiri?[19]
Elaborasi atas hubungan konfliktual kebenaran dengan politik menurut Arendt memberi
kita wawasan berharga, yakni tentang kebenaran seperti apa yang mesti diungkap dalam
kasus di mana kekuasaan politik bersifat represif. Jawabannya adalah kebenaran faktual.
Dan kebenaran faktual inilah yang mesti menjadi pegangan dalam pengungkapan kasus
Munir. Lantas, politik seperti apa yang dapat mendukung pengungkapan kebenaran
faktual tersebut? Bukankah politik itu sedemikian kotor, sempit, dan penuh kepentingan
penguasa sehingga justru melihat kebenaran sebagai sesuatu yang berkarakter despotik,
yakni kebenaran sebagai sesuatu yang mendominasi?[20]
7
Ada dan berlipat ganda. Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)
“A Test of Our Truth”
Pertanyaan terakhir di atas merupakan semacam titik balik dari telaah atas kebenaran
menjadi telaah atas politik di dalam hubungan konfliktual kebenaran dengan politik.
Sebelumnya kita sudah melihat bahwa kebenaran yang mesti diungkap adalah kebenaran
faktual. Tapi kebenaran faktual itu jelas tidak berada di ruang yang hampa udara. Ia
bergelut di dalam pertarungan opini pasar dan di tengah distrubusi data mentah. Ia
mesti berhadapan dengan kekuasaan. Maka menjadi penting untuk memaknai politik
seperti apa yang kiranya mendukung kebenaran faktual. Pada kasus Munir, kita melihat
betapa politik sejumlah elit dan alat negara menampilkan wajahnya yang sangat beraneka,
dari wajah empati sampai wajah kecurigaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
waktu itu menyebut kasus ini sebagai “a test of our history”; sebuah ujian yang dinilai
gagal dilewati oleh pemerintahannya.[21] Pada konteks bahasan di sini, upaya pemaknaan
politik seperti apa yang mendukung kebenaran faktual tak kurang merupakan “a test of
our truth”.
Arendt sendiri menjelaskan pemaknaan politik di atas dalam rangka menegaskan betapa
kebenaran faktual sangat mudah dilemahkan. Bagi Arendt politik yang tepat bagi
pengungkapan kebenaran faktual adalah politik representatif, yakni politik yang mampu
memperluas pikiran kita sehingga kita dapat melihat dunia dari sejumlah perspektif yang
berbeda.[22] Namun proses representasi tersebut tidak begitu saja diterapkan seperti
pada sikap empati atau dalam menghitung suara-suara individu, melainkan dengan cara:
8
“Menghadirkan lebih banyak posisi orang-orang lain dalam pikiranku sementara aku
mempertimbangkan isu yang ada, dan dengan lebih baik aku dapat mengimajinasikan
bagaimana aku akan merasa dan berpikir jika aku berada dalam kedudukan mereka, akan
lebih kuat kapasitasku untuk pemikiran representatif dan lebih valid-lah
kesimpulan-kesimpulanku, opiniku.” [23]
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Arendt membela kedudukan opini yang proses
pembentukannya membutuhkan imajinasi, sikap ketidakberkepentingan, dan bebas dari
kepentingan diri sendiri.[24] Tetapi hal ini tidak perlu diartikan sebagai pernyataan
Arendt yang menolak kebenaran. Sebab, Arendt menyatakan bahwa fakta pada
kebenaran faktual dan opini itu sebenarnya saling berhimpitan. “Jika opini-opini tidak
didasarkan pada informasi yang tepat dan akses yang bebas kepada semua fakta-fakta
yang relevan, maka opini-opini tersebut hampir tidak dapat mengklaim validitas apa
pun.”[25] Yang penting di sini adalah fakta pada kebenaran faktual dan opini tersebut
dapat diperdebatkan dan didialogkan dalam ruang publik secara argumentatif. Di
samping itu, nilai-nilai dari opini seperti imajinasi, sikap ketakberkepentingan, dan bebas
dari kepentingan diri sendiri dibutuhkan untuk mewujudkan politik representatif yang
mendukung kebenaran faktual.
Kendati telah didukung dengan pemaknaan politik representatif, masih terdapat
rintangan sulit bagi kebenaran faktual untuk mengekspresikan dirinya dalam kehidupan
publik. Hal ini dikarenakan oleh nasib pengungkapan kebenaran faktual yang sedemikian
mudahnya disingkirkan. Berkebalikan dengan pengungkap kebenaran filosofis,
pengungkap kebenaran faktual tidak mungkin untuk melakukan semacam persuasi. Ia mau
tidak mau akan melanggar aturan atau kaidah tertentu yang berlaku dalam kehidupan
politik. Konsekuensi praktis ini terjadi karena apa yang dapat dilihat dengan mata dari
upaya pengungkapan kebenaran faktual bukannya kebenaran akan apa yang diungkapkan,
bukan pula kejujuran, melainkan keberanian dan kekukuhan yang sulit
disangkal.[26] Maka ujian bagi kebenaran kita tidak cukup berhenti sampai di pemaknaan
politik representatif. Arendt menunjukkan aspek lain yang mesti dipenuhi untuk
melewati ujian tersebut, yakni kejujuran.
Ketika politik representatif dirasa masih belum cukup untuk mengakomodasi kebenaran
faktual, kita mesti kembali kepada nilai kebenaran itu sendiri. Inilah yang ditawarkan
oleh Arendt saat ia menegaskan bahwa musuh bebuyutan kebenaran faktual yang
sesungguhnya adalah kebohongan berencana.[27] Maka perhatian perlu kita curahkan
kembali ke skema 1 di atas, tepatnya pada oposisi Ω. Lantas pertanyaannya kini: apa yang
membuat kebenaran faktual itu penting dalam politik?
9
Arendt setidak-tidaknya menunjukkan dua hal yang membuat kebenaran itu penting
dalam politik. Yang pertama adalah kejujuran. Kebohongan berencana dilakukan sebagai
upaya memanipulasi fakta dan opini. Di sini, kejujuran menjadi sangat penting karena
dengan kejujuran pengungkapan kebenaran faktual dapat menciptakan suatu tindakan
yang kemudian akan menggonggongi politik yang manipulatif. Yang kedua adalah
fenomena maraknya upaya manipulasi yang dilakukan oleh media dan negara. Arendt
mengatakan bahwa manipulasi fakta dan opini tampak jelas dalam pencitraan, penulisan
ulang sejarah, dan kebijakan pemerintah.[28]
Kalau begitu, mengapa kejujuran itu penting dalam politik? Arendt tampaknya tak
mengantisipasi pertanyaan ini. Ia hanya menekankan bahwa kejujuran itu penting demi
politik representatif. 29 tahun setelah teks “Truth and Politics” terbit, Bernard
Williams dalam teksnya “Truth, Politics, and Self-Deception” memberikan penjelasan
atas pertanyaan tersebut. Salah satu gagasan pokok Williams adalah tiga atau empat
macam argumen bagi kejujuran di dalam politik.[29] Dari telaah Williams, kita melihat
bagaimana politik membutuhkan kejujuran karena dalam sistem administrasi modern,
yang didukung berbagai institusi komunikasi dan edukasi, bidang politik hampir tak bisa
dibedakan dari bidang hiburan (entertainment).[30] Lebih parah lagi, politik tersebut
dibangun oleh konspirasi antara pendusta dan yang didustai sehingga terjadilah
pendustaan diri kolektif. Akibatnya, politik yang ditampilkan oleh media menjadi ambigu
antara hiburan atau penelusuran kebenaran.[31] Maka, kejujuran menjadi penting untuk
menjernihkan kekacauan seperti itu.
Ujian kebenaran di sini ternyata membutuhkan kejujuran, di samping politik
representatif. Lebih lanjut, Arendt mengemukakan keberadaan dua aspek penting
lainnya bagi kelulusan ujian kebenaran kita. Aspek pertama adalah peran institusi
pendidikan tinggi sebagai lembaga yang memprogram pencarian kebenaran dengan
berasaskan pada kejujuran dan keterbukaan pada publik. Arendt mengambil Akademi
yang didirikan Plato sebagai figur lembaga pendidikan tinggi yang berdiri di luar
kekuasaan politik. “Tingkat kesempatan bagi kebenaran untuk muncul di publik sangat
besar dengan eksistensi tempat semacam itu dan dengan organisasi cendikiawan yang
independen, dan semesetinya tak berkepentingan, yang terkait dengan tempat
itu.”[32] Aspek kedua adalah suatu prasyarat supaya kebenaran faktual dapat
memunculkan dirinya, khususnya lewat program penelitian dan pengajaran di pendidikan
tinggi, yakni sikap mengambil jarak dari wilayah politik. Sikap ketakberkepentingan ini
sendiri mensyaratkan imparsialitas serta kebebasan dari kepentingan diri dalam pikiran
maupun pembuatan keputusan.[33]
10
Perealisasian dua aspek ini menjadi urgen di tengah kondisi yang digambarkan Williams,
yakni saat kodrat media tidaklah cocok dengan penemuan dan penyaluran
kebenaran.[34] Hal ini muncul dari melorotnya metode penemuan dan penyaluran
tersebut menjadi sekadar reproduksi penampilan-penampilan di dalam media massa.
Ilustrasi tentang masyarakat Orwellian dari Michael Lynch kiranya dapat
menggambarkan konsekuensi dari kondisi ketiadaan nilai kebenaran dalam kehidupan
sosial tersebut. Masyarakat Orwellian dapat dibayangkan sebagai sejumlah orang yang
masing-masingnya meyakini bahwa apa yang benar adalah apa yang ditentukan oleh yang
berkuasa, atau yang disebut “Otoritas”.[35] Apa yang tidak dimiliki oleh masyarakat
Orwellian adalah sikap kritis terhadap Otoritas yang kemudian dapat memunculkan
ketidaksepakatan bahwa ada yang salah dengan perkataan atau kebijakan Otoritas.
Dengan ilustrasi ini, Lynch memperlihatkan dimensi sosial dari nilai normatif kebenaran,
yakni membuka kemungkinan untuk memberi koreksi meski hal tersebut berlawanan
dengan kekuasaan politik.[36]Program pendidikan tinggi dan sikap ketakberkepentingan
merupakan dua contoh konkret dari tindakan kritis dan korektif tersebut. Titik pijak hal
ini jelas berada di luar status quo politik.
Keberadaan aspek kejujuran dan ketakberkepentingan ini jangan dimengerti sebagai
ketidakmandirian kebenaran faktual untuk memunculkan diri dalam politik. Aspek-aspek
tersebut adalah bagian dari kebenaran faktual. Sesungguhnya kebenaran faktual itu
lebih superior daripada kekuasaan berkat kekukuhannya yang tak dapat disangkal
(stubbornness). Oleh sebab itu, kebenaran faktual lebih kurang bersifat temporer
daripada sifat kekuasaan yang senantiasa berubah-ubah tergantung pada tujuan-tujuan
tertentu.[37]
Dengan sedikit saja mengubah paradigma kasus Munir dari “a test of our history”
menjadi “a test of our truth”, pengungkapan kasus Munir dituntut untuk mengakomodasi
kebenaran faktual berdasarkan politik “perluasan pikiran”. Maka, perdebatan secara
argumentatif dalam ruang diskursus yang terbuka mesti tetap dipelihara. Kejujuran
menjadi dasar dalam proses tersebut. Ada pun perwujudannya secara konkret dalam
kehidupan sosial dinyalakan oleh kerja riset dan interpretasi para cendikiawan
pendidikan tinggi terhadap kebenaran faktual. Mereka ini bersikap kritis terhadap upaya
manipulasi fakta dengan berjarak dari kantong-kantong kekuasaan politik. Kekukuhan
kebenaran faktual juga menjadi modal berharga bagi kebernilaiannya dalam beradu
dengan kekuasaan politik. Paradigma seperti ini agaknya berguna untuk menerobos jalan
buntu pemunculan kebenaran faktual yang dikekang oleh manipulasi sejumlah elit politik.
Pada kasus Munir, hal ini menyuarakan nilai kebenaran sebagai pegangan dalam upaya
pengungkapannya.
11
Penutup
Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, kita bisa mengatakan bahwa politik
membutuhkan kebenaran. Kebenaran faktual-r2lah yang menjadi pegangan bagi politik
dalam rangka memperluas sudut pandang pemahamannya. Politik yang representatif ini
menaruh perhatian serius pada peristiwa atau fakta yang partikular, lalu
mendiskusikannya secara kritis dan terbuka sehingga akhirnya dapat memunculkan
signifikansi peristiwa tersebut pada tataran yang universal.[38] Oleh sebab itu pula,
politik yang berlandaskan kebenaran akan mengacu pada nilai kejujuran, ketulusan, dan
akurasi. Politik yang demikian tentu merupakan politik yang paling tidak realistis bagi
kalangan para pendusta yang senang berkonspirasi satu sama lain. Kebenaran merupakan
tapal batas dari praktik perilaku politik seperti itu.[39]
Oleh karena itu, kebenaran pun membutuhkan politik. Kebenaran tersebut harus dapat
melakukan konstatasi di dalam kehidupan sosial dan menjadi aparatus pengkoreksi
kekuasaan yang tirani. Namun, secara paradoksal, upaya tersebut dilakukan dari luar
sistem politik. Imparsialitas ini merupakan syarat bagi pengungkapan kebenaran faktual.
Menurut Arendt, inilah akar dari objektivitas yang juga berlaku dalam dunia ilmu
pengetahuan.[40]Barangkali demikianlah sisi lain hubungan politik dengan kebenaran,
yakni hubungan yang saling membina. Titik seimbang keduanya terwujud berkat
kekukuhan kebenaran faktual. Dalam sosok Munir, sifat itu tampil dalam rupa
keberaniannya memperjuangkan HAM. Kebenaran memang sepaket dengan
keberanian.[41]
Repotnya, kasus Munir tampak masih dipahami melulu secara legal-yuridis. Padahal
sebagaimana posisi tulisan ini, kebenaran justru merupakan hakikat dasar dari hukum.
Kebenaran itu masih perlu digali lebih lanjut sambil mengerti perimbangan hubungan
antara politik dan kebenaran tadi. Usman Hamid, misalnya, sangat getol menderet sekian
nama elit politik yang dianggapnya dapat mengungkap kembali kasus Munir, tentunya
dengan nama Joko Widodo di urutan nomor satu.[42] Hal ini terkesan seperti memaksa
maling untuk mengakui bahwa dirinya adalah maling di wilayah kekuasaan para maling itu
sendiri. Dalam arti tertentu, pernyataan Hamid ini senapas dengan pernyataan
Hendropriyono yang melulu mengacu pada standar-standar universal dari hukum.
Keduanya seperti gambar yang berbeda dari satu mata koin yang sama, yang jatuh di
ruangan gelap, dan hanya meninggalkan bunyi teka-teki berdencing-dencing. Bahwa
pemrosesan hukum pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan Munir
adalah keharusan untuk dijalani merupakan satu hal, tapi bahwa upaya pengungkapan
kasus tersebut memang menampilkan kebenaran secara benderang adalah hal yang lain.
12
Arti kebenaran yang telah kita kaji mendesak bidang pendidikan tinggi sebagai agen
pengungkap kebenaran. Perguruan tinggi di Indonesia semestinya dapat memenuhi peran
ini untuk memunculkan kebenaran di ruang publik. Perguruan-perguruan antara lain dapat
melakukan riset secara ilmiah, kolektif, dan koordinatif terhadap fakta-fakta
pelanggaran HAM seperti kasus Munir sehingga nilai kebenaran itu terus-menerus
direfleksikan dan dirawat. Dengan tetap membuka perdebatan dan diskusi kritis kasus
Munir, perguruan tinggi justru menghidupi kehidupan politik. Hal ini bertolak belakang
dengan pernyataan Hendropriyono, dan juga pernyataan Hamid di atas, yang sama-sama
menunggalkan pengungkapan kasus Munir ke dalam jalur administrasi peradilan. Bila
halnya demikian, maka kebenaran, seperti kata Arendt, menjadi anti politis.***
Tanius Sebastian, kader dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung.
Kepustakaan:
Arendt, Hannah. “Truth and Politics.” Dalam Truth. Engagements Across Philosophical
Traditions, edited by José Medina and David Wood. Malden, Oxford, Victoria: Blackwell
Publishing Ltd, 2005, hlm. 295-314.
d’Entreves, Maurizio Passerin. “Hannah Arendt.”
http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#ActPowSpaApp. Diakses pada 6 Desember
2014.
Hidayat, Bagja., et al. “Bukti Baru Pembunuhan Munir. Liputan Khusus.” Majalah Tempo
Edisi Khusus (8-14 Desember 2014):42-119.
Lynch, Michael P. True to Life. Why Truth Matters. Cambridge, Massachusetts:
Massachusetts Institute of Technology, 2006.
Williams, Bernard. “Truth, Politics, and Self-Deception.” Social Research 63 (Fall 1996):
603-617.
—————–
[1] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Fakta Baru Pembunuhan Munir”, 8-14 Desember 2014.
[2] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Abdullah Makhmud Hendropriyono: Saya Bukan Intel
Kemarin Sore”, hlm. 68.
13
[3][3] Hannah Arendt, “Truth and Politics” dalam José Medina and David Wood
(eds.), Truth. Engagements Across Philosophical Traditions (Malden, Oxford,
Victoria: Blackwell Publishing Ltd, 2005), hlm. 295-314.
[4] “The subject of these reflections is a commonplace.” Hannah Arendt, “Truth and
Politics”, hlm. 295.
[5] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 295.
[6] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception.”, Social Research 63 (Fall
1996): 603-617.
[7] Majalah Tempo mengutip pernyataan Munir yang memang getol memprotes kedegilan
penguasa yang suka menggunakan kekerasan bagi rakyatnya. Majalah Tempo
menyerukan supaya kejahatan pembunuhan Munir harus diungkap dan tidak boleh
terulang. “Sebab, kita, mengutip Munir pada suatu kesempatan, ‘Sudah lelah dengan
kekerasan’”. Majalah Tempo Edisi Khusus, “Kami Sudah Lelah dengan Kekerasan”,
hlm.45.
[8] “No one has ever doubted that truth and politics are on rather bad terms with each
other, and no one, as far as I know, has ever counted truthfulness among the
political virtues.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 295.
[9] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 296.
[10] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 296.
[11] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 297.
[12] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 298.
[13] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 298.
[14] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 299.
[15] “In the world we live in, the last traces of this ancient antagonism between the
philosopher’s truth and the opinions in the market place have disappeared. Neither
the truth of revealed religion, which the political thinkers of the seventeenth
century still treated as a major nuisance, nor the truth of the philosopher,
disclosed to man in solitude, interferes any longer with the affairs of the world.”
Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 299-300.
14
[16] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 300.
[17] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 301.
[18] “The facts I have in mind are publicly known, and yet the same public that knows
them can successfully, and often spontaneously, taboo their public discussion and
treat them as though they were what they are not – namely secrets.” Hannah
Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 300.
[19] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303.
[20] Hal ini sejalan dengan apa yang digagas oleh Michel Foucault dalam pernyataannya
bahwa kebenaran sudah merupakan bentuk kekuasaan. Bdk. Michel Foucault, “The
Discourse on Language and ‘Truth and Power’”, dalam José Medina and David Wood
(eds.), Truth. Engagements Across Philosophical Traditions (Malden, Oxford,
Victoria: Blackwell Publishing Ltd, 2005), hlm. 334-335.
[21] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Bukti Baru Pembunuhan Munir”, hlm.31.
[22] Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah
Arendt”, http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#ActPowSpaApp, diakses pada
6 Desember 2014. Ini merupakan gagasan tentang “perluasan pikiran” (enlarged
mentality) yang diadaptasi oleh Arendt dari kritik ketiga Immanuel Kant dalam
karyanya Critique of Judgement. Arendt menyatakan kritik ketiga ini memuat
filsafat politik Kant meskipun Kant sendiri tak menyadari implikasi moral dan politik
dari ajarannya ini. d’Entreves mengomentari bahwa adaptasi Arendt atas kritik
ketiga Kant ini merupakan bagian dari teori Arendt tentang keputusan (judgement).
Menurut d’Entreves, Arendt meyakini kritik keputusan estetis Kant dari bagian
pertama dari Critique of Judgement telah mengkaitkan konsep keputusan dengan
kemampuan politis tertentu, yakni kemampuan untuk memperlakukan peristiwa yang
partikular menurut partikularitasnya, lalu memaknainya sebagai eksemplar sejarah.
[23] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303. Konsep “perluasan pikiran” yang
berkorelasi dengan dua fakultas keputusan politik (imajinasi dan akal sehat yang
berlaku umum (sensus communis) serta diukur menurut standar dapat tidaknya
keputusan dikomunikasikan) menjadi prinsip bagi keputusan dan tindakan manusia.
Hal ini memperlihatkan ide gambaran manusia yang terlibat (actor) sekaligus yang
menyaksikan (spectator). Lihat lebih lanjut: Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah
Arendt”.
15
[24] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303.
[25] Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah Arendt”.
[26] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 306.
[27] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 306.
[28] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 307.
[29] Williams menerangkan hubungan kejujuran dengan politik dan menyusun tiga
argumen tentang pentingnya kejujuran di dalam politik, yakni (1) argumen anti-tiran;
(2) argumen menurut demokrasi; (3) argumen liberal, yang dibagi menjadi dua(3a)
versi minimal dan (3b) versi pengembangan diri. Williams memandang argumen (3a)
menekankan “kebebasan dari” atau yang menurutnya bisa disebut dengan kebebasan
negatif, sedangkan argumen (3b) lebih kepada “kebebasan untuk”. Menurutnya,
argumen (3b) ini lebih mengarah pada nilai kebenaran yang sejati. Lebih lanjut lihat:
Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, Social Research 63 (Fall
1996), hlm. 603-617.
[30] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 613-614.
[31] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 615. Arendt
sebenarnya memiliki keprihatinan yang sama. Hal ini bisa kita lihat dari pendapatnya
bahwa penggantian total dan konsisten kebenaran faktual dengan kebohongan akan
menghancurkan kategori atau batas antara mana yang benar dan yang salah. Hannah
Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 309.
[32] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 311.
[33] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 312.
[34] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 614.
[35] Michael P. Lynch, True to Life. Why Truth Matters (Cambridge, Massachusetts:
Massachusetts Institute of Technology, 2006), hlm. 161-162.
[36] Michael P. Lynch, True to Life. Why Truth Matters, hlm. 162.
16
[37] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 310. Hal ini menegaskan bahwa sifat
kukuh yang tak dapat disangkal erat berdampingan, bahkan saru dengan sifat berani
dari pengungkapan kebenaran faktual. Lihat catatan kaki nomor 26.
[38] Hal ini dimungkinkan oleh keputusan reflektif yang berasal ajaran kritik ketiga Kant.
Menurut teori keputusan reflektif, prinsip, aturan, atau hukum yang universal tidak
mendeterminasi peristiwa yang partikular. Artinya, peristiwa tersebut tetap
terbuka untuk diperdebatkan dan didiskusikan menurut kapasitas “perluasan
pikiran”. Maka, kebenaran faktual pun bersifat politis.
[39] “Conceptually, we may call truth what we cannot change; metaphorically, it is the
ground on which we stand and the sky that stretches above us.” Hannah Arendt,
“Truth and Politics”, hlm. 313.
[40] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 313.
[41] Fitri Nganthi Wani, “Buat Suci dan Kedua Anaknya”, dalam Majalah Tempo Edisi
Khusus, hlm. 119.
[42] Usman Hamid, “Jokowi dan Kasus Munir”, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus, hlm.
118.