jbptitbpp gdl adekurniaw 25207 3 2010ta 2

7
7 Tatanan Geologi Regional BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Berdasarkan Van Bemmelen (1949), daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona fisiografis yang berarah barat-timur yaitu: a) Zona Daratan Pantai Jakarta Zona ini memanjang dari ujung barat Pulau Jawa hingga ke arah timur disepanjang pantai utara Jawa Barat. Zona ini memiliki relief topografi datar dan terusun dari litologi endapan alluvial dan lahar gunung api muda, serta batuan sedimen laut yang terlipat lemah. b) Zona Bogor Zona ini berada di sebelah selatan Zona Daratan Pantai Jakarta, memanjang melewati kota Bogor, Purwakarta dan menerus hingga Buniayu di Jawa Tengah. Zona ini memiliki bukit-bukit yang memanjang dengan arah barat- timur di sekitar kota Bogor. Zona ini berupa Antiklinorium yang terdiri dari lapisan batuan berumur Neogen yang terlipat kuat. c) Zona Bandung atau Zona Depresi Tengah Zona ini terbentuk oleh proses depresi antar pegunungan. Pegunungan yang membatasi depresi-depresi tersebut berupa tinggian yang terdiri dari batuan berumur Tersier. Zona ini merupakan puncak antiklin Jawa Barat yang runtuh setelah mengalami pengangkatan, yang kemudian dataran rendah tersebut terisi oleh endapan gunung api muda. Pada zona ini terdapat beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua yang muncul diantara endapan vulkanik, yang disebut Punggungan Zona Depresi Tengah. Dalam sejarah geologinya Zona

Upload: muhammad-firmansyah

Post on 21-Nov-2015

217 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

pendidikan

TRANSCRIPT

  • 7

    Tatanan Geologi Regional

    BAB II

    TATANAN GEOLOGI REGIONAL

    2.1 Fisiografis

    Berdasarkan Van Bemmelen (1949), daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4

    zona fisiografis yang berarah barat-timur yaitu:

    a) Zona Daratan Pantai Jakarta

    Zona ini memanjang dari ujung barat Pulau Jawa hingga ke arah timur

    disepanjang pantai utara Jawa Barat. Zona ini memiliki relief topografi datar

    dan terusun dari litologi endapan alluvial dan lahar gunung api muda, serta

    batuan sedimen laut yang terlipat lemah.

    b) Zona Bogor

    Zona ini berada di sebelah selatan Zona Daratan Pantai Jakarta, memanjang

    melewati kota Bogor, Purwakarta dan menerus hingga Buniayu di Jawa

    Tengah. Zona ini memiliki bukit-bukit yang memanjang dengan arah barat-

    timur di sekitar kota Bogor. Zona ini berupa Antiklinorium yang terdiri dari

    lapisan batuan berumur Neogen yang terlipat kuat.

    c) Zona Bandung atau Zona Depresi Tengah

    Zona ini terbentuk oleh proses depresi antar pegunungan. Pegunungan yang

    membatasi depresi-depresi tersebut berupa tinggian yang terdiri dari batuan

    berumur Tersier. Zona ini merupakan puncak antiklin Jawa Barat yang runtuh

    setelah mengalami pengangkatan, yang kemudian dataran rendah tersebut terisi

    oleh endapan gunung api muda. Pada zona ini terdapat beberapa tinggian yang

    terdiri dari endapan sedimen tua yang muncul diantara endapan vulkanik, yang

    disebut Punggungan Zona Depresi Tengah. Dalam sejarah geologinya Zona

  • 8

    Tatanan Geologi Regional

    Bandung tidak dapat dipisahkan dengan Zona Bogor, kecuali oleh banyaknya

    puncak gunung api yang masih aktif sampai sekarang.

    c) Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat

    Zona ini terbentang dari Pelabuhan Ratu hingga Nusa Kambangan, Cilacap.

    Zona ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

    Jampang

    Pengalengan

    Karangnunggal

    Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat memiliki batas berupa perbukitan

    bergelombang pada lembah Sungai Cimandiri, dan berbatasan langsung dengan

    dataran tinggi dari Pegunungan Selatan dengan beda ketinggian sekitar 200

    meter.

    Berdasarkan pada pembagian tersebut, derah penelitian Bojongpicung dan

    sekitarnya terletak pada perbatasan Zona Depresi Tengah Jawa Barat dan

    Punggungan Zona Depresi Tengah (Gambar 2.1).

    Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949)

  • 9

    Tatanan Geologi Regional

    2.2 Stratigrafi Regional

    Secara umum Martodjojo (1984) membagi daerah Jawa Barat menjadi 3

    mandala sedimentasi, yaitu:

    Mandala Paparan Kontinen

    Mandala ini terletak di paling utara dan lokasinya sama dengan zona

    Dataran Pantai Jakarta pada Zona Fisiografi van Bemmelen (1949). Mandala ini

    dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya terdiri dari batugamping,

    batulempung, dan batupasir kuarsa, serta lingkungan pengendapan umumnya laut

    dangkal dengan ketebalan sedimen dapat mencapai 5000 m.

    Mandala Cekungan Bogor

    Mandala ini terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen yang meliputi

    beberapa Zona Fisiografi van Bemmelen (1949), yakni: Zona Bogor, Zona

    Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala sedimentasi ini dicirikan oleh

    endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan

    batuan sedimen, seperti: andesit, basalt, tuf, dan batugamping. Ketebalannya

    diperkirakan lebih dari 7000 m.

    Mandala Banten

    Mandala sedimentasi ini sebenarnya tidak begitu jelas, karena sedikitnya

    data yang diketahui. Pada umur Tersier Awal, mandala ini lebih menyerupai

    Mandala Paparan Kontinen, sedangkan pada Tersier Akhir cirinya sangat

    mendekati Mandala Cekungan Bogor.

    Berdasarkan pembagian di atas, daerah penelitian termasuk ke dalam

    Mandala Cekungan Bogor yang dicirikan oleh endapan gravitasi dengan ketebalan

    sedimen diperkirakan lebih dari 7000 m (Gambar 2.2).

  • 10

    Tatanan Geologi Regional

    Menurut Martodjojo (1984) batuan tertua berumur Pra-Tersier yang terdiri

    dari batuan metamorf, vulkanik dan batuan beku. Pada Paleosen Eosen Awal

    terbentuk kompleks melange akibat proses penunjaman pada saat itu. Di bagian

    utara diendapkan batuan vulkanik Formasi Jatibarang sebagai endapan busur

    magmatik. Pada waktu yang sama diendapkan Formasi Ciletuh sebagai ponded

    deposits. Pada Eosen terjadi ketidakselarasan akibat kondisi benua, kemudian

    dilanjutkan dengan pengangkatan diseluruh Jawa Barat pada Oligosen Awal. Pada

    saat Oligosen Akhir terjadi transgresi sebagai awal dari pembentukan Cekungan

    Bogor. Pada saat ini terendapkan Formasi Rajamandala yang didahului dengan

    pengendapan batuserpih karbonatan dari Formasi Batuasih. Pada zaman Miosen

    diendapkan sedimen laut dalam dengan mekanisme turbidit dan volcanic debris

    Formasi Citarum, kemudian berturut-turut Formasi Saguling. Formasi

    Bantargadung, Formasi Cigadung dan Formasi Cantayan. Kemudian terjadi

    pengangkatan pada Pliosen dan vulkanisme yang berlanjut sampai Pleistosen.

    Gambar 2.2 Stratigrafi umum cekungan Bogor (Martodjojo, 1984)

  • 11

    Tatanan Geologi Regional

    Formasi Bayah adalah Formasi tertua dalam stratigrafi regional daerah

    penelitian (Koesoemadinata ,1984). Kemudian di atasnya diendapkan lapisan

    batuan Oligocene dan Masigit and Tagogapu Limestones. Menurut Sujatmiko

    (1972) lapisan ini sebanding dengan Formasi Rajamandala. Menurut

    Koesoemadinata, diatas Formasi Bayah diendapkan secara tidak selaras Formasi

    Batuasih kemudian Formasi Rajamandala. Sujatmiko (1972) membagi Formasi

    Rajamandala menjadi Anggota Batulempung, Napal, dan Batupasir Kuarsa dan

    Anggota Batugamping dengan hubungan menjari. Menurut Koesoemadinata

    (1984), Formasi Rajamandala terbagi menjadi dua yaitu Anggota Napal dan

    Anggota Batuagamping dengan hubungan menjemari. Kemudian diendapkan

    Formasi Citarum yang terdiri dari Anggota Batupasir dan Batulanau dan Anggota

    Breksi dan Batupasir (Sujatmiko 1972). Menurut Martodjojo (1994), Anggota

    Breksi dan Batupasir Formasi Citarum dari hasil penelitian Sujatmiko (1972)

    adalah Formasi Saguling.

    2.3 Tektonik dan Struktur Geologi Regional

    Secara regional, daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan

    bagian dari Busur Sunda (Soria-Atmadja, 1998). Interaksi Antara Lempeng

    Samudera Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia menghasilkan Busur Sunda

    yang membentang dari Pulau Sumatera ke arah timur hingga Nusa Tenggara,

    dimana Lempeng Samudera Indo-Australia bergerak ke utara dan menunjam ke

    bawah benua Lempeng Eurasia yang relatif tidak bergerak (Hamilton, 1979).

    Pembentukan struktur Tersier Pulau Jawa terdiri dari tiga periode

    (Purnomo dan Purwoko 1994) yaitu:

    Paleogen Extensional Riftin yang ditandai oleh proses rifting pada Eosen-Oligosen yang mengawali pembentukan cekungan-cekungan Tersier di

    Pulau Jawa.

    Neogen Compressing Wrenching yang ditandai oleh pembentukan sesar-sesar geser yang merupakan reaktifasi sesar-sesar normal yang terbentuk

  • 12

    Tatanan Geologi Regional

    pada Paleogene sebagai akibat gaya kompresi dari tumbukan Lempeng

    Hindia dengan Lempeng Eurasia.

    Plio-Pleistocene Compressing Thrust-Folding yang ditandai oleh pembentukan lipatan yang berlanjut pada pembentukan sesar-sesar naik.

    Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994), pola struktur yang

    berkembang dominan di Pulau Jawa adalah:

    Pola Meratus yang berarah NE-SW, terbentuk pada 80 hingga 53 juta

    tahun yang lalu (Kapur Akhir Eosen Awal). Diwakili oleh sesar naik

    di Rajamandala dan sesar-sesar di daerah Purwakarta.

    Pola Sunda yang berarah N-S terbentuk 53 hingga 32 juta tahun yang

    lalu (Eosen Awal Oligosen Awal).

    Pola Jawa yang berarah E-Wdan terbentuk sejak 32 tahun yang lalu.

    Disamping pola struktur diatas, (Martodjojo, 1994) menambahkan Pola

    Sumatera yang berarah NW-SE yang diwakili oleh Sesar Baribis, sesar pada

    Lembah Cimandiri dan Gunung Walat (Gambar 2.3).

    Gambar 2.3 Struktur regional Jawa Barat (Martodjojo, 1984) dimana daerah penelitian temasuk dalam jalur lipatan-anjakan

  • 13

    Tatanan Geologi Regional

    Jawa Barat memiliki tatanan tektonik yang cukup rumit karena tidak

    adanya kecenderungan umum struktur yang dominan. Koesoemadinata dkk

    (2001) menjelaskan bahwa struktur batuan dasar, yang terdiri dari blok-blok yang

    terbentuk akibat sesar dan saling bergerak, kemungkinan dapat menyebabkan

    tatanan tektonik yang rumit dari Jawa Barat. Menurut Situmorang (1977) struktur

    kompleks tersebut diakibatkan oleh wrench faulting dengan kecenderungan arah

    NW-SE dan ENE-WSW. Suwiyanto (1980) memperkuat pendapat tersebut

    dengan ditemukannya kelurusan pada daerah ini melalui studi citra inderaja.

    Struktur yang berkembang di daerah Rajamandala dan sekitarnya adalah

    lipatan asimetris yang overturning ke arah utara (Harting, 1927). Van Bemmelen

    (1949) menginterpretasikan terjadinya gelinciran ke arah utara dari puncak

    antiklin yang patah akibat perlipatan yang kuat pada bidang plastis batulempung

    di bawahnya. Hal tersebut menyebabkan perlapisan yang tidak teratur pada

    perbukitan Rajamandala. Sedangkan menurut Sudjatmiko (1972) struktur yang

    berkembang adalah sesar anjak dengan arah kemiringan bidang sesar ke arah

    selatan.

    TslfGK7d