jenis, fungsi dan materi muatan peraturan perundang-undangan · 2017. 12. 26. · 2017. 12. 26. ·...
TRANSCRIPT
1
Pengembangan Mata Kuliah HUKUM PERUNDANG – UNDANGAN
JENIS, FUNGSI DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh : Made Nurmawati , SH.MH
Dr, I Gde Marhaendra Wija Atmaja, SH.M.HUM
Fakultas Hukum Universitas Udayana
2017
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat karunia-Nya,
pengembangan materi kuliah hukum perundang-undangan terkait jenis, fungsi dan
materi peraturan perundang-undangan dapat terselesaiakan. Materi ini dimaksudkan
untuk memperbaiki format, mereformulasi jenis-jenis tugas serta pemutahiran
substansi dan referensi. Materi ini dimaksudkan sebagai materi pengembangan dan
tambahan dalam pelaksanaan proses pembelajaran, baik untuk mahasiswa maupun
bagi dosen dan tutor, sehingga diharapkan pelaksanaan perkuliahan berjalan lebih
baik.
Substansi kuliah ini sudah memakai model pembelajaran berbasis KKNI (
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia ), sebagaimana diamanatkan dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam Pengembangan materi ini terdapat materi
terkait, jenis-jenis peraturan perundang-undangan, fungsi peraturan perundang-
undangan dan materi muatan peraturan perundanga-undangan, yang dilengkapi
dengan tugas serta bahan bacaan.
Dengan selesainya materii ini, sepatutnya diucapkan terima kasih yang tulus
kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para Pembantu Dekan yang
telah berkomitmen untuk mengembangkan matakuliah berbasis KKNI..
2. Para pihak yang telah membantu penyelesaian bahan ini .
Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan tulisan ini.
Semoga bermanfaat terhadap pelaksanaan proses pembelajaran dan mencapai hasil
sesuai dengan kompetensi yang direncanakan.
Denpasar, 13 Nopember 2017
Penyusun.
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................... 2
DAFTAR ISI ..................................................................... 3
1. Pendahuluan .................................................................. 4
2. Capaian Pembelajaran .................................................. 5
3. Indikator Capaian .......................................................... 5
4. Penyajian Materi
4.1. Jenis Peraturan Perundang-undangan ................. 6
4.2. Fungsi Peraturan Perundang-undangan .............. 27
4.3. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan.... 52
5. Penutup
5.1. Resume ................................................................. 57
5.2. Latihan .................................................................. 57
BAHAN BACAAN ............................................................. 58
4
JENIS, FUNGSI DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan ke-6 pembelajaran mata kuliah ini, mahasiswa diajak
mempelajari mengenai jenis, fungsi dan materi muatan dari peraturan perundang-
undangan baik ditingkat pusat maupun daerah. Untuk mendapatkan peraturan
perundang-undangan yang baik melalui pembentukan peraturan perundang-
undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar,
maka diperlukan pula ketentuan yang pasti, baku, dan standar tentang jenis dan
materi muatan peraturan perundang-undangan. Menurut A. Hamid S. Attamimi
pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan adalah pembentukan norma
hukum yang berlaku keluar dan mengikat secara umum yang dituangkan dalam jenis-
jenis peraturan perundang-undangan sesuai hierarkinya.1 Untuk dapat menuangkan
norma hukum tersebut dalam berbagai jenis peraturan perundang-undangan, penting
memperhatikan materi muatannya. Pentingnya pemahaman dan ketentuan tentang
jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan ditunjukkan pula
dengan adanya salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik, yakni asas “kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”.2 Yang
dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan. Hal lainnya yang perlu untuk dipahami pula oleh mahasiswa
adalah terkait fungsi dari peraturan perundang-undangan. Secara umum, peraturan
perundang-undangan fungsinya adalah mengatur sesuatu materi tertentu untuk
memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Selain fungsi umum
tersebut, setiap peraturan perundang-undangan juga memiliki fungsi khusus sesuai
dengan jenis peraturan perundang-undangan tersebut.
1 A.Hamid S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
penyelenggaraaan Pemerintahan Negara, Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam kurun waktu Pelita I-Pelita IV,untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
2 Pasal 5 huruf c UU 12/2011.
5
Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa diharapkan
memahami jenis, fungsi dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang ada,
seperti Undang-Undang Dasar (UUD), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(TAP MPR), Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres),
Peratudan Daerah (Perda) Propinsi dan Peraturan Daerah (perda) Kabupaten. Materi
perkuliahan pada pertemuan ini sangat penting sebagai landasan untuk memahami
bahan kajian pembelajaran pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.
2. Capaian Pembelajaran Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa memahami
jenis, fungsi dan materi muatan peraturan perundang-undangan. 3. Indikator Capaian
Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa mampu:
a. Memahami jenis peraturan perundang-undangan di tingkat pusat.
b. Memahami jenis peraturan perundang-undangan di Daerah.
c. Memahami fungsi dari peraturan perundang-undangan
d. Mamahami materi muatan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat.
e. Memahami materi muatan peraturan perundang-undangan di tdaerah
4. Penyajian Materi Materi perkuliahan pada pertemuan ini terdiri dari:
1. Jenis Peraturan Perundang-undangan
2. Fungsi Peraturan Perundang-undangan
3. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan 4.1. Jenis Peraturan Perundang-undangan
Dalam berbagai literatur yang ada, terdapat berbagai penyebutan berkaitan
dengan “jenis” peraturan perundang-undangan, dimana ada yang memakai
nomenklatur “jenis” ada juga yang memakai nomenklatur “bentuk”. Arti jenis dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online berarti: (1) yang mempunyai ciri (sifat,
keturunan, dan sebagainya) yang khusus; macam: (2) mutu.3 Sedangkan arti kata bentuk berarti: 1 lengkung; lentur; 2 bangun; gambaran; 3 rupa; wujud; 4 sistem;
susunan (pemerintahan, perserikatan, dan sebagainya):; 5 wujud yang ditampilkan
3 http://kbbi.kata.web.id/jenis/
6
(tampak): ; 6 acuan atau susunan kalimat; 7 kata penggolong bagi benda yang
berkeluk (cincin, gelang, dan sebagainya).4
Dari pengertian tersebut maka jelas bahwa terdapat perbedaan antara
pengertian “jenis” dan “bentuk”. Bentuk lebih menekankan kepada wujud lahiriah,
sedangkan jenis lebih kepada macam atau ragam dari sesuatu yang mempunya sifat-
sifat yang sama. Terkait dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan
seperti UUD, TAP MPR, UU dan sebagainya, maka lebih tepat memakai nomenklatur
“jenis” Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan pengunaan nomenklatur ”bentuk”
lahiriah (konverm), maka menunjuk pada: Judul, Pembukaan, konsideran, batang
tubuh, penutup dan penjelasan.5
Bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan sangat penting dalam
perancangan atau penyusunan peraturan perundang-undangan, karena:
Pertama: setiap pembentukkan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
landasan atau dasar yuridis yang jelas, dan apabila tidak terdapat landasan tersebut
maka batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Kedua: hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi
daripada peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk dapat dijadikan
landasan atau dasar yuridis.
Ketiga: pembentukkan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip bahwa
peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat
menghapuskan peraturan perundang-undangan sederajat atau yang lebih rendah.
Prinsip ini mengandung:
1) Pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada hanya mungkin
dilakukan oleh peraturan perundang-undangan sederajat atau yang lebih
tinggi. 2) Peraturan perundang-undangan yang sederajat bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan sederajat lainnya, maka berlaku peraturan
perundang-undangan yang dianggap terbaru dan yang lama telah
dikesampingkan (lex posterior derogar priori).
4 http://kbbi.web.id/bentuk 5 Dalam Lampiran II UU No.12 Tahun 2011 pada Bab IV menggunakan istilah Bentuk Rancangan
Peraturan Perundang-undangan yang berisi kerangka peraturan perundang-undangan memuat:Judul,Pembukaan, , Batang Tubuh , Penutup, Penjelsan (jika diperlukan) dan Lampiran (jika diperlukan).
7
3) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah, maka berlaku peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
4) Peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang umum
yang diatur oleh peraturan yang sederajat, maka berlaku peraturan
perundang-undangan yang mengatur bidang khusus tersebut (lex
specialis derogate lex generalis).
Keempat: pengetahuan mengenai seluk beluk peraturan perundang-undangan untuk
menciptakan suatu sistem peraturan peraundang-undangan yang tertib sebagai salah
satu unsur perundang-undangan yang baik.
Dalam perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dikenal ada berbagai jenis
peraturan perundang-undangan. Secara eksplisit dalam UUD Tahun 1945 hanya
menyebutkan jenis peraturan perundang-undangan yaitu: UU, Perpu, dan PP,
sedangkan peraturan lainnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan
perkembangan praktek ketatanegaraan Indonesia. Berikut jenis peraturan perundang-
undangan di Indonesia berdasarkan sejarahnya:
Masa Hindia Belanda
Belanda datang ke Indonesia pada Tahun 1596, dimana hukum yang berlaku
di Indonesia adalah hukum tidak tertulis (Hukum Adat). Namun dengan masuknya
Belanda ke Indonesia dan mendirikan perserikatan dagang yang dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maka terjadi perubahan terkait
hukum yang ada. Masuknya VOC akibat diberikannya hak octrooi kepada VOC
oleh Staten Generaal, yaitu badan federatif tertinggi negara-negara Belanda, hal ini
berdampak pada terjadinya dualisme hukum yakni adanya Hukum Adat dan Hukum
yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Hukum Belanda adalah hukum yang
diberlakukan bagi orang eropa, khususnya Belanda di pusat-pusat dagang VOC,
yang pada awalnya berlaku bagi kapal-kapal VOC. Hukum tersebut terutama berupa
hukum disiplin (tucht recht). Namun pada akhirnya hukum Belanda juga diberlakukan
kepada pribumi dalam beberapa hal. Menurut Utrecht, hukum Belanda yang berlaku
di daerah kekuasaan VOC terdiri dari :6
6 E. Utrecht. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Universitas, Bandung,dikutip dari
https://e-kampushukum.co.id/2016/05/tata-hukum-di-indonesia-pada-masa-voc.html
8
1. Hukum Statuta (yang termuat dalam statuten van Batavia)
2. Hukum Belanda yang kuno
3. Asas-asas hukum Romawi
Pada masa ini peraturan yang tertinggi adalah perintah dari Raja Belanda, kemudian
yang ada dibawahnya adalah “Heeren Zewentie” yaitu peraturan yang dibuat di plakat-
plakat buatan VOC untuk mengatasi keadaan-keadaan yang perlu penanganan
secara khusus. Pada masa Gubernur Jenderal Van Diemen (1636-1646) meminta bantuan Joan Maetsyucker, seorang pensiunan dari Hof Van Justitie (setingkat MA)
untuk mengumpulkan dan menyusun plakaat yang telah diterbitkan. Pada Tahun
1642, “Heeren Zewentie” berhasil dihimpun (dikodifikasi), kemudian diumumkan
dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi). Statuta tersebut berlaku sebagai
hukum positif dan memiliki kekuatan berlaku yang sama sebagaimana peraturan lain
yang telah ada. Mengenai pemberlakuannya, Statuta Betawi ditujukan kepada orang
pribumi maupun orang pendatang. Kemudian pada Tahun 1766 dihasilkan
kumpulan plakaat ke-2 diberi nama Statuta Bara.7
Selanjutnya pada masa penjajahan Belanda berdasarkan Pasal 36 Netherland
Gronwet 1814, menentukan bahwa “Raja yang berdaulat punya kekuasaan tertinggi
atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara di daerah-daerah lain....”. Dalam
melaksanakan kekuasaannya raja membuat peraturan bersifat umum yang biasa disebut dengan “Algemene Verordering” (peraturan pusat) atau “Koninklijk Besluit”
(besluit raja=keputusan/penetapan) yang berlaku dibidang eksekutif untuk daerah jajahan dan “Aglemene Maatregel van Bestuur”(AmvB) yang berlaku untuk
pemerintah Belanda. Peraturan ini dibuat oleh raja (kroon) bersama dengan parlemen
Belanda (staten general). 8
Setelah adanya kodifikasi pada tanggal 1 Oktober 1838, Komisi Undang-undang untuk Hindia Belanda membuat peraturan yaitu : Algemene Bapalingen van
Wetgeving (AB) (stb.1847.No.23) atau ketentuan umum tentang perundang-
undangan. Selain peraturan tersebut dihasilkan pula beberapa kodifikasi yaitu :
a.Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi
pengadilan;
b.Burgerlijke Wetboek (BW) Kitab Undang-undang Hukum Sipil;
7 Ibid 8 http://www.bphn.go.id/data/documents/ae_peraturan_perundang-
undangan_peninggalan_kolonial_belanda.pdf
9
c.Wetboek van Kophandel (WvK) KUHD
d.Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering (RV) peraturan tentang Acara Perdata.
e.Inlandsch Reglement (IR) yaitu reglement bumi putera (peraturan tentang acara
perdata yang berlaku untuk Bumi Putera), belakangan peraturan ini berubah menjadi
HIR (Herzeine Inlandsch Reglement). 9
Selanjutnya antara Tahun 1855-1926 terjadi perubahan Grondwet di negeri
Belanda, dari monarki konstitusional menjadi monarki konstusional parlemen. Dari
perubahan tersebut membuat kekuasaan raja atas daerah jajahan menadi sedikit
terkurangi. Bentuk undang-undang (wet) pada waktu ini dinamakan Regerings
Reglement (RR) diundangkan mulai tanggal 1 Januari 1854 stb.1854 No.2) yang
mengatur tentang kebijakan pemerintah di Hindia Belanda. Kemudian pada tahun 1918 dibentuk sebuah “Volksraad” (wakil rakyat) untuk ikut serta dalam pembuatan
undang-undang. Pada Tahun 1922 terjadi perubahan grondwet di negeri Belanda.
Grondwet tersebut kemudian diberi nama “Indische Staatregeling” (stb.1925, Nomor
415) yang memberi kekuasaan kepada daerah jajahannya untuk membuat peraturan
sendiri. Dengan demikian Jenis Peraturan pada masa Hindia Belanda yang dibentuk
antara lain:10 1. Reglement op het beleid der Regering van Nederlands Indies yang disingkat
dengan Regering Reglement (RR), dan kemudian berubah menjadi Wet op the
Staatsinrichting van Netherlands Indie (IS) dianggap sebagai Undang-Undang
Dasar] 2. Ordonantie Gouvernour Genneral adalah peraturan setingkat UU yang terdiri dari 2
jenis yaitu: a. Ordonansi yang dibuat oleh Gubernur Jendral dengan persetujuan
Voolksraad, yang mengatur mengenai pokok-pokok persoalan menyangkut
Nederland Indie; dan
b. Ordonansi yang ditentukan dalam Grondwet atau Wet yaitu:
1) Regeringsverordening (R.V) setingkat Peraturan Pemerintah, adalah
peraturan untuk melaksanakan wetten, AMVB dan ordonansi dan
dapat mencantumkan ketentuan pidana;
9 Ibid 10 Rahmat Trijono, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Papas Sinar Sinanti,
Jakarta, hlm.54
10
2) Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah) merupakan
peraturan untuk mengatur hal-hal yang bersifat administratif, dan
tidak dapat mencantumkan ketentuan pidana. 3. AMVB dan Wetten, yang dibuat oleh Raja ( Kroon) bersama dengan parlemen
Belanda (Staten General)
Masa Pendudukan Jepang
Jepang tidak lama berkuasa di Indonesia, dan pada masa berkuasanya Jepang
jenis peraturan perundang-undangan yang ada adalah:11
1. Osamu seirei, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Seikosikikan
(pemerintah sipil);
2. Osamu Kanrei, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Kepala Staf
(Gunseikan ).
Peaturan tersebut diudangkan dalam Lembaran Negara yang disebut Kanpo
Masa Kemerdekaan
Masa ini terbagi dalam beberapa periode yakni masa setelah kemerdekaan
tanggal 17 Agustus Tahun 1945 yaitu berlakunya UUD Tahun 1945, masa berlakunya
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS), dan Masa Reformasi (UUD Tahun 1945 Pasca amandement) Masa berlakunya UUD Tahun 1945. Pada masa awal kemerdekaan dan berlakunya UUD Tahun 1945, jenis
peraturan perundang-undangan yang ada masih belum tersusun karena situasi dan
kondisi masa itu, misalnya adalah kadang-kadang berbentuk nota-nota dinas,
maklumat, surat-surat edaran dan lain sebagainya diperlakukan sebagai peraturan
yang seakan mengikat secara hukum. Bahkan, Wakil Presiden mengeluarkan
Maklumat yang isinya membatasi tugas dan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang saat itu berperan sebagai lembaga legislatif, tetapi maklumat itu dibuat
tanpa nomor, sehingga dikenal kemudian sebagai Maklumat No.x tertanggal 16
Oktober 1945. Dalam UUD Tahun 1945 jenis peraturan yang ada adalah: Undang-
Undang yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1), Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat 2)
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) yang diatur dalam
11 Ibid, hlm.58.
11
Pasal 22 ayat (1). Namun dalam prakteknya dikeluarkan juga beberapa peraturan
perundang-undangan lainnya yaitu: Penetapan Presiden (Penpres), Peraturan
Presiden (Perpres), Penetapan Pemerintah, Maklumat Presiden dan Maklumat Wakil
Predsiden.
KRIS TAHUN 1949
Dalam Konstitusi RIS yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949, bentuk-
bentuk peraturan yang tegas disebut adalah Undang-Undang Federal, Undang-
Undang Darurat, dan Peraturan Pemerintah. UU Federal adalah merupakan UU yang
dibuat oleh pemerintah federal. Undang-Undang Darurat;12adalah UU yang
dikeluarkan untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan federal yang karena
keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera. Peraturan ini
mempunyai kekuasaan dan kuasa UU Federal.
Peraturan Pemerintah13, adalah peraturan untuk menjalankan ketentuan UU
yang ditetapkan oleh Pemerintah.Peraturan ini dapat memuat ancaman hukuman
atas pelanggaran aturan-aturannya. Berdasarkan Pasal 127 KRIS terdapat 3 macam
Undang-Undang Federal yaitu:
1. UU yang dibentuk pemerintah bersama dengan DPR dan Senat yang mengatur
tentang daerah bagian dan bagiannya, hubungan antara RIS dengan daerah
bagiannya;14
2. Undang-undang yang dibentuk Pemerintah bersama-sama dengan DPR; 15
dan
3. Undang –Undang yang dibentuk Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan
Senat, khusus mengenai Perubahan KRIS.16
Pada saat berlakunya KRIS, dikeluarkan UU No.1 Tahun 1950 tentang Jenis
dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Negara
Bagian Republik Indonesia Yogyakarta yang merupakan negara bagian dari RIS. UU
ini dikeluarkan oleh Negara RI di Jogyakarta (negara bagian), sedangkan untuk RIS
(pemerintah federal) berlaku UU Drt 2-1950. Jenis peraturan berdasarkan Pasal 1
Undang-Undang tersebut adalah:
12 Pasal 139 KRIS 13 Pasal 141 KRIS 14 Pasal 127a KRIS 15 Pasal 127b KRIS 16 Pasal 190 KRIS
12
a.Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
b.Peraturan Pemerintah,
c.Peraturan Menteri. UUDS TAHUN 1950 Degan berlakunya UUDS tanggal 17 Agustus Tahun 1950, jenis peraturan
perundang-undangan yang ada adalah:
a. Undang-Undang (Pasal 89);
b. Undang-Undang Darurat (Pasal 196 )
c. Peraturan Pemerintah (Pasal 98 )
Selain peraturan tersebut diatas, terdapat peraturan lainnya yakni:
a. Peraturan Menteri
b. Keputusan Menteri; dan
c. Peraturan Tingkat Daerah DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959, maka Bangsa Indonesia
kembali kepada UUD Tahun 1945. Karena itu jenis peraturan perundang-undangan
adalah apa yang tertuang didalam UUD Tahun 1945, dan apa yang tertuang dalam
Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR)
No. 2262/HK/59 tanggal 20 Agustus 1959 yang selanjutnya dijelaskan lebih lanjut
dengan Surat Presiden No. 3639/HK/59 tanggal 26 November 1959. Dengan
demikian “bentuk-bentuk” peraturan-peraturan Negara setelah UUD adalah:
1. Undang-Undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Penyebutan jenis-jenis tersebut dalam Undang-Undang Dasar bersifat
enunsiatif dalam arti tidak menutup kemungkinan untuk mengatur bentuk-bentuk lain
yang lebih rinci sesuai dengan kebutuhan. Karena itu berdasarkan Surat Presiden
No.2262/HK/1959 tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong, dinyatakan bahwa di samping bentuk-bentuk
peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan
yang lain, yaitu:
1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada UUD Tahun
1945.
13
2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk melaksanakan
penetapan Presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Pasal
4 ayat (1) UUD Tahun1945.
3. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan Presiden,
sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan Pemerintah yang
dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945.
4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan
pengangkatan-pengangkatan.
5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh kementerian-
kementerian negara atau Departemen-Departemen pemerintahan, masing-
masing untuk mengatur sesuatu hal dan untuk melakukan atau meresmikan
pengangkatan-pengangkatan.
Dalam susunan tersebut di atas, jelas terdapat kekacauan antara satu bentuk
dengan bentuk peraturan yang lain. Bahkan, dalam praktek, bentuk yang paling
banyak dikeluarkan adalah Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. banyak
materi yang seharusnya diatur dalam UU, justru diatur dengan Penetapan Presiden
ataupun Peraturan Presiden.
Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Lama, pada Tahun 1966, MPRS
mengeluarkan TAP MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-
Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
yang tidak sesuai dengan UUD Tahun 1945 dan Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966, yaitu tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia. TAP
MPRS tersebut dimaksudkan untuk menata dan mendudukkan secara konstitusional
jenis dan bentuk peraturan perundang-undangan yang banyak “menyimpang” dari
UUD Tahun 1945.
Dalam Lampiran II Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, ditentukan bentuk
peraturan dengan tata urutan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar.
2. Ketetapan MPR.
3. Undang-Undang/Perpu.
4. Peraturan Pemerintah.
5. Keputusan Presiden.
14
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi
Menteri, dan lain-lain.
Jenis peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam TAP MPRS
tersebut banyak mengandung kelemahan , salah satu contoh adalah tidak diaturnya
secara tegas jenis peraturan tingkat daerah khususnya Peraturan Daerah (Perda),
sehingga terkesan kurang dihormatinya Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang
bersifat pengaturan (regeling) sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-
undangan nasional.
Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru, MPR menetapkan TAP MPR
No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan sebagai pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Jenis dan tata urutan
(susunan) peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 2 TAP MPR
No.III/MPR/2000 adalah:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan (TAP) MPR;
3. Undang-Undang (UU);
4. PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. PeraturanPemerintah (PP);
6. KeputusanPresiden (Keppres); dan
7. Peraturan Daerah (Perda).
Selanjutnya dalam Pasal 3 ditentukan bahwa:
(1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik
Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan
putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat
yang ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(3) Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk
melaksanakan UndangUndang Dasar 1945 serta Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
(4) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh Presiden dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan ke Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;
15
b. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak peraturan pemerintah
pengganti undang-undang dengan tidak mengadakan perubahan;
c. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, peraturan pemerintah pengganti
undang-undang tersebut harus dicabut.
(5) Peraturan pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah
undang-undang.
(6) Keputusan presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk
menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi
negara dan administrasi pemerintahan.
(7) Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di
atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan:
a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah propinsi
bersama dengan gubernur;
b. Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau
yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang
setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
TAP MPR No. III/2000 tidak berlaku lama, selanjutnya pada Tahun 2004
dikeluarkanlah UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, dimana dalam Pasal 7 ditentukan :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama
dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
16
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa
atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Berdasarkan hierarchi pada Pasal 7 tersebut, maka dalam UU No.10 Tahun
2004 dikenal dan diakui secara formal satu jenis peraturan baru yakni Peraturan Desa
(Perdes) yang kedudukannya berada dibawah Perda Kabupaten. Jenis peraturan
perundang-undangan selain yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, dikenal
juga jenis lainnya yang mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Pasal 7 ayat ( 4)
yang menyebutkan bahwa: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi. Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) tersebut disebutkan
bahwa jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain,
peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau
pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
UU No.10 Tahun 2004 kemudian dirubah kembali dengan UU No.12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan . Perubahan terhadap
UU No.10 Tahun 2004 dilakukan karena Undang-Undang ini banyak mengandung
kelemahan-kelemahan yaitu antara lain:17
a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan
kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau
kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan
d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan
sistematika.
17 Penjelasan Umum UU No.12 Tahun 2011
17
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU N0.12 Tahun 2011 menyebutkan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari uraian tersebut maka sama halnya dengan UU No.10 Tahun 2004, dalam
UU ini juga diakui jenis peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) yang menentukan bahwa: Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan ini mempunyai kekuatan
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi.
Ketentuan tersebut mengindikasikan terdapat 2 jenis peraturan perundang-
undangan yakni peraturan perundang-undangan didalam hierarchi dan diluar
hierarchi yang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU 12/2011. Jenis peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 dapat
disebut sebagai Jenis Peraturan Perundang-undangan Di Dalam Hierarki, untuk
membedakan dengan jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal
8 ayat (1) UU 12/2011, yang dapat disebut Jenis Peraturan Perundang-undangan di
Luar Hierarki.
Berikut tabel jenis Peraturan Perundang-undangan menurut TAP MPRS
XX/MPRS/1966, TAP MPR III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2014 dan UU No.12
Tahun 2011.
Tabel 1
Perbandingan Jenis Peraturan Perundang-undangan menurut :
18
TAP MPRS XX/MPRS/1966, TAP MPR III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2014 dan
UU No.12 Tahun 2011.
No. TAP MPRS XX/MPRS/1966
TAP MPR III/MPR/2000
UU No.10 Tahun 2014
UU No.12 Tahun 2011
1 UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945
2 Ketetapan MPR Ketetapan MPR UU/Perpu Ketetapan MPR
3 UU/Perpu UU PP UU/Perpu
4 PP Perpu Perpres PP
5 Keppres PP Perda Propinsi Perpres
6 Peraturan
pelaksanaan
lainnya seperti
Peraturan Menteri,
Instruksi Menteri,
dan lain-lain.
Keppres Perda
Kabupaten
Perda Propinsi
7 - Perda Perdes Perda
Kabupaten
Sumber:Penulis
Kekuatan hukum mengikat peraturan perundang-undangan tersebut diatas
adalah sesuai dengan hierarchinya (Pasal 7 ayat 2 UU No.12 Tahun 2011). Yang
dimaksud dengan “hierarki” menurut Penjelasan pasal tersebut adalah: penjenjangan
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa
Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan demikian dari pemaparan tersebut diatas adanya kesesuaian antara
jenis, hierarki, dan materi muatan”, adalah sebagai salah satu asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik (Pasal 5 huruf c UU 12/2011),
menunjukkan pentingnya pemahaman dan ketentuan tentang jenis, hierarki, dan
materi muatan peraturan perundang-undangan. Asas ini dapat dicermati dalam Kotak
berikut:
19
KOTAK:
ASAS KESESUAIAN ANTARA JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN
PASAL 5 PENJELASAN PASAL 5 ANOTASI
Dalam membentuk
Peraturan Perundang-
undangan harus
dilakukan
berdasarkan
pada asas
Pembentukan
peraturan Perundang-
undangan yang baik,
yang meliputi:
.........................
c. kesesuaian antara
jenis, hierarki, dan
materi muatan;
..............
Huruf c
Yang dimaksud dengan
“asas kesesuaian antara
jenis, hierarki, dan materi
muatan” adalah bahwa
dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-
undangan harus benar-
benar memperhatikan
materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan
hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
A. Hamid S.
Attamimi18
mengetengahkan
Asas-asas
Pembentukan
Peraturan Perundang-
unangan Yang Patut,
yang dibagi ke dalam
Asas-asas formal dan
Asas-asas material.
Asas yang keempat
dari Asas-asas formal
itu adalah “asas
materi muatan yang
tepat”.
Asas “materi muatan yang tepat” itu oleh A. Hamid S. Attamimi diturunkan dari
asas “organ/lembaga yang tepat”, yang oleh karena itu ia sebut juga sebagai asas
“organ/lembaga dan materi muatan yang tepat” .19 Saat memberikan komentar
tentang asas “organ/lembaga yang tepat” dari Van der Vlie, A. Hamid S. Attamimi
mengemukakan:20
“Berbeda dengan di Negeri Belanda di Republik Indonesia mengenai
organ/lembaga yang tepat itu perlu dikaitkan dengan materi muatan dari jenis-
jenis peraturan perundang-undangan. Menurut hemat penulis, materi muatan
peraturan perundang-undangan itulah yang menyatu dengan kewenangan
masing-masing organ/lembaga yang membentuk jenis peraturan perundang-
undangan bersangkutan. Atau dapat juga sebaliknya, kewenangan masing-
18 A Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan....., opcit, hlm.345-346 19 Ibid 20 Ibid
20
masing organ/lembaga tersebut menentukan materi muatan peraturan
perundang-undangan yang dibentuknya”.
UU No. 12 Tahun 2011 mengatur asas organ/lembaga yang tepat dalam Pasal
5 huruf b, yakni asas “kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat”. Asas
tersebut berikut artinya dapat disimak dalam Kotak berikut:
KOTAK:
ASAS KELEMBAGAAN ATAU PEJABAT PEMBENTUK YANG TEPAT
PASAL 5 PENJELASAN PASAL 5
Dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang
baik, yang meliputi:
.........................
b. kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat;
..............
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan
atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah
bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-
undangan harus dibuat oleh lembaga negara
atau pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan Perundang-undangan tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum
apabila dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang tidak berwenang.
Pemahaman yang dapat diperoleh dari uraian tersebut diatas adalah bahwa
apabila Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat berisi materi muatan yang tidak tepat, maka itu masuk kategori Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang, dan oleh karena itu dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Apa arti “dapat dibatalkan”?; Apa arti “batal demi hukum”? Dalam hukum
administrasi, suatu keputusan tidak sah akan berakibat batal keputusan tersebut.
Dibedakan tigas jenis pembatalan suatu ketetapan tidak sah, yakni batal karena
hukum, batal, dan dapat dibatalkan.21 Rinciannya dalam tabel berikut:
21 Utrecht, E, 1986, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi Fotografi.
21
KONSEP ISI KONSEP
Batal demi Hukum
(nietigheid van
rechtswegw)
Keputusan yang batal demi hukum adalah suatu
ketetapan yang isinya menetapkan adanya akibat suatu
perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi
hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan keputusan
pengadilan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berwenang menyatakan batalnya ketetapan
tersebut.
Jadi ketetapan batal sejak dikeluarkan, bagi hukum
dianggap tidak ada tanpa diperlukan suatu keputusan
hakim atau suatu keputusan badan pemerintah lain yang
berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau
seluruhnya.
Batal (nietigheid) Ketetapan batal merupakan suatu tindakan atau perbuatan
hukum yang dilakukan yang berakibat suatu perbuatan
dianggap tidak pernah ada.
Dapat Dibatalkan (nietigheidbaar)
Keputusan dapat dibatalkan yaitu suatu keputusan dapat
dinyatakan batal setelah adanya pembatalan oleh hakim
atau instansi yang berwenang membatalkan, dan
pembatalan tidak berlaku surut.
Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat hukum
yang ditimbulkan dianggap sah sampai dikeluarkan
keputusan pembatalan (ex-nunc) kecuali undang-
undang menentukan lain.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(UU30/2014) mengenal dua jenis pembatakan keputusan, yaitu dibatalkan dan dapat
dibatalkan. Rinciannya dalam tabel berikut:
Tabel : dibatalkan dan dapat dibatalkan KONSEP ISI KONSEP
Dibatalkan
Keputusan pembatalan dilakukan oleh: a. Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; b. Atasan
22
Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau c. atas
Putusan Pengadilan.
Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan dibatalkan:
a. tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan
tersebut ditetapkan; dan segala akibat hukum yang
ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.
Dapat Dibatalkan Keputusan pembatalan dilakukan oleh: a. Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; b. Atasan
Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau c. atas
Putusan Pengadilan.
Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan dapat
dibatalkan: a. tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau
tetap sah sampai adanya pembatalan; dan berakhir
setelah ada pembatalan.
Terkait dengan pernyataan “Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
yang tidak berwenang” bermakna:
Pertama, Peraturan Perundang-undangan dapat dibatalkan adalah Peraturan
Perundang-undangan dinyatakan batal setelah adanya keputusan pembatalan oleh
hakim atau instansi yang berwenang membatalkan, dan pembatalan tidak berlaku
surut. Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh
Peraturan Perundang-undangan dianggap sah sampai dikeluarkan keputusan pembatalan (ex-nunc).
Kedua, Peraturan Perundang-undangan yang batal demi hukum adalah
Peraturan Perundang-undangan yang akibat hukumnya baik sebagian maupun
seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan keputusan pembatalan
oleh hakim atau instansi yang berwenang membatalkan. Jadi Peraturan Perundang-
undangan batal sejak dikeluarkan, bagi hukum dianggap tidak ada tanpa diperlukan
suatu keputusan hakim atau instansi yang berkompeten untuk menyatakan batalnya
sebagian atau seluruhnya.
23
Persoalannya, siapa yang pada akhirnya menentukan Peraturan Perundang-
undangan batal demi hukum, akan menjadi problem hukum tersendiri. Oleh karena itu
dapat dipahami dalam UU 30/2014 tidak dikenal keputusan batal demi hukum.
Berikut dijelaskan jenis-jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011: a.Undang-Undang Dasar Salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kedudukan
yang tertinggi dalam hierarchi peraturan perundang-undangan adalah UUD Tahun
1945. Hal tersebut telah diatur dengan tegas dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun
2011. Dengan kedudukan yang tertinggi itu berarti bahwa peraturan yang berada
dibawahnya harus berdasar atau bersumber pada UUD Tahun 1945. Dalam Pasal 3
ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan :Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar
bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum
bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.22
Menurut A.Hamid S Attamimi, UUD Tahun 1945 tidak tepat disebut sebagai
salah satu jenis peraturan perundang-undangan dengan mengatakan bahwa: UUD
Tahun 1945 dan Ketetapan MPR tidak tepat masuk dalam jenis peraturan perundang-
undangan karena termasuk dalam aturan dasar.Sedangkan yang termasuk peraturan
perundang-undangan adalah undang-undang/perpu, Pertauran Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Keputusan Direktur Jendral Departemen, keputusan kepala badan
negara diluar jajaran pemerintah yang dibentuk dengan undang-undang, Peraturan
Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur
Kepala Daerah , Keputusan Bupati/Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II.23
Eksistensi UUD Tahun 1945 sendiri diakui dalam Pasal 3 ayat (1) UUD Tahun
1945 yang menyebutkan bahwa; MPR berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar.
22 Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 23 A.Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden ..... op cit,hlm.58.
24
b.Ketetapan MPR Ketetapan MPR adalah Putusan majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.24
Sedangkan Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat”
dalam UU No.12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960
sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.25 c.Undang-Undang (UU) / Perpu
Jenis peraturan perundang-undangan yang ketiga menurut UU No,12 Tahun
2011 adalah Undang-Undang (UU). Landasan Hukum UU diatur dalam Pasal 20 ayat
(1) dan Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa :
yang memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang adalah DPR.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 3 UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan: Undang-
Undang adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Dengan demikian maka dalam pembentukan UU lembaga legislatif
memepunyai peranan yang sangat menentukan keabsahan dan kekuatan mengikat
UU itu untuk umum. 26 Menurut para ahli hukum antara lain P.J.P.Tak27 dalam
bukunya Rechtsvorming in Netherland pengertian UU dibagi menjadi: UU dalam arti
materiil (wet materiele zin) dan UU dalam arti formal (wet formele zin). UU dalam arti
formil adalah apabila pemerintah bersama dengan parlemen mengambil keputusan –
maksudnya untuk membuat UU- sesuai dengan prosedur . Sedangkan UU dalam arti
materiil adalah jika suatu lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan mengeluarkan suatu keputusan yang isinya mengikat
masyarakat secara umum. Atau dengan kata lain UU dalam arti Materiil melihat UU
24 Lihat Pasal 3 ayat (2) Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan. 25 Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.12 Tahun 2011 26 Jimly Assidiqie,2006, Perihal ........., op cit, hlm.32-33. 27 HAS Natabaya, 2008, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press,
hlm.11.
25
dari segi isi, materi dan dan substansinya. Sedangkan UU dalam arti formil dilihat dari
segi bentuk dan pembentukannya. Pembedaan tersebut hanya dilihat dari segi
penekanannya yaitu sudut penglihatan, yaitu undang-undang yang dilihat dari segi
materinya dan undang-undang yang dilhihat dari segi bentuknya.28
Sedangkan arti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
dalam angka 4 pasal 1 UUNo.12 Tahun 2011 disebutkan bahwa: Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Perpu
ditetapkan tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan bersama Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan hanya dapat dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan memaksa.
Perpu harus mendapatkan persetujuan DPR pada sidang berikutnya untuk dapat
berubah menjadi UU. Bila tidak maka Perpu tersebut harus dicabut.
d.Peraturan Pemerintah (PP)
Dasar hukum PP adalah Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan
: Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan Peraturan Pemerintah adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 1 angka 5) UU No.12 Tahun 2011.
Dengan demikian maka tidak akan ada PP jika tidak ada UU yang menjadi induknya.
Menurut A Hamid S Attamimi, kharakteristik dari PP adalah:29
1. PP tidak dapat lebih dulu dibentuk tanpa ada UU yang menjadi induknya;
2. PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila UU yangbersangkutan tidak
mencantumkan sanksi pidana;
3. Ketentuan PP tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan UU yang
bersngkutan;
4. PP dapat dibentuk meski ketentuan UU yang bersangkutan tidak memintanya
secara tegas;
6. Ketentuan-ketentuan PP berisi peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan.
PP tidak berisi penetapan semata-mata.
28 Ibid, hlm 34-35. 29 Dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan –Dasar-dasar
Pemebentukannya, Kanisius, Jogyakarta, hlm.99.
26
e.Peraturan Presiden (Perpres). Peraturan Presiden adalah salah satu jenis peraturan perundang-undang yang
baru ditentukan dengan tegas dalam UU No.10 Tahun 2004. Sebelum keluarnya UU
No.10 Tahun 2004 dalam hierarchi PPU dikenal istilah Keputusan Presiden (Keppres)
yang mempunyai sifat mengatur. Setelah keluarnya UU No.10 Tahun 2004, istilah
keputusan kemudian diganti dengan istilah “Peraturan”, hal ini dimaksudkan untuk
lebih memperjelas bentuk peraturan apakah berupa “regelings” (pengaturan) ataukah
“beschiking” (penetapan). Kedua bentuk tersebut mempunyai sifat yang berbeda
yaitu; jika berbentuk pengaturan maka bersifat deuerhaftig yakni berlaku terus
menerus, dan jika bentuknya adalah “keputusan” maka sifatnya adalah einmalig yaitu
sekali selesai.
Dasar hukum Perpres terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang
menentukan bahwa: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut UndangUndang Dasar. Dalam rangka melaksanakan
kekuasaan pemerintahan tersebutlah, presiden dapat mengeluarkan Perpres. Yang
dimaksud dengan Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan (Pasal 1 angka 6, UU
No.12 Tahun 2011).
Rumusan tersebut jelas menegaskan bahwa kewenangan untuk membentuk
Perpres adalah ditangan Presiden, dan pembentukan Perpres dilakukan dalam
rangka pelaksanaan pemerintahan oleh presiden.
Dari segi wewenang Perpres dapat dibedakan:
1. Perpres sebagai pelaksanaan kewenangan dari presiden baik presiden sebagai
kepala negara maupun kepala pemerintahan. Disini Presiden mempunyai
kewenangan secara mandiri untuk membuat Perpres yang tidak tetap batas
lingkupnya. Kewenangan disini merupakan kewenangan atributif yang diberikan
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945. Perpres mandiri ini adalah
konsekwensi dari kedudukan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan
negara tertinggi, dimana kekuasaan dan tanggung jawab ada ditangan Presiden (
cocentration of power and responsibility upon the President).
27
2. Perpres dapat juga dibentuk karena delegasi (delegated legislation), sebagai
peraturan delegasi untuk melaksanakan perintah UUD, UU maupun PP.30
5. Peraturan Daerah Propinsi
Dalam UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 18 ayat (6) ditentukan bahwa:
pemerintahan daerah berhak untuk menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Perda terbagi
menjadi Perda Propinsi dan Perda Kabupaten. Yang dimaksud dengan Perda Propinsi
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur (Pasal 1 angka 7 UU
No.12 Tahun 2011). Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang
berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
(Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf f) UU No.12 Tahun 2011.
6. Peraturan Daerah Kabupaten,
Adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota (Pasal
1 angka 8). Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang
berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh (Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf g).
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, dalam Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa
Peraturan Daerah Provinsi atau nama lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut perda adalah peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah. 5.2. Fungsi Peraturan Perundang-undangan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti Fungsi : 1. jabatan (pekerjaan) yg
dilakukan: 2.faal (kerja suatu bagian tubuh): 3 Mat besaran yg berhubungan, jika
besaran yg satu berubah, besaran yg lain juga berubah; 4 kegunaan suatu hal; 5.
Ling peran sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti
30 Pantja Astawa,Suprin Na’a, Op Cit, hlm.68.
28
nomina berfungsi sbg subjek).31 Terkait peraturan perundang-undangan maka fungsi
peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai kegunaan peraturan
perundang-undangan secara umum dan secara khusus sesuai dengan jenisnya. Atau
dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah sebagai instrumen
kebijakan (beleids instrument), yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga yang
berwenang yang memiliki kegunaan atau fungsi-fungsi tertentu.
Ada perbedaan antara fungsi hukum dan fungsi peraturan perundang-
undangan. Fungsi hukum dimaksudkan sebagai fungsi dari setiap sumber hukum,
sedangkan fungsi peraturan perundang-undangan adalah fungsi dari salah satu
sumber hukum, yaitu peraturan perundang-undangan itu sendiri.32
Robert Baldwin dan martin cave, sebagaiman di kutip oleh Ismail Hasani dan
Prof. DR. A. Gani Abdullah, SH, mengemukakan bahwa peraturan perundang
undangan memiliki fungsi :33
a. Mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber daya;
b. Mengurangi dampak negatif dari suatu aktivitas dan komunitas atau lingkunganya;
c. Membuka informasi bagi publik dan mendorong keseteraan antar kelompok
(mendorong perubahan institusi, atau affirmative action kepada kelompok
marginal);
d. Mencegah kelangkaan sumber daya public dari eksploitasi jangka pendek;
e. Menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta keadilan sosial,
perluasan akses dan redtribusi sumber daya,;dan
f. Memeperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sector ekonomi.
Sedangkan fungsi peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan
dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal.34
1.Fungsi Internal. Adalah fungsi peraturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum
perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum. Secara internal, peraturan
perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan
hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, dan fungsi kepastian hukum:35
31 http://kbbi.co.id/arti-kata/fungsi 32 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Op. Cit, h.60-65. 33 Ismail Hasani & Prof. DR. A. Gani Abdullah, SH, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan (Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2006, hlm.33 34 Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Jakarta, hlm. 47. 35 Ibid,hlm 17-20
29
a. Penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum
yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui
putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan
sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang
yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk
melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam
pembentukan hukum.
Salah satu cara utama penciptaan hukum di Indonesia adalah melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan. Atau dengan kata lain bahwa
peraturan perundang-undangan merupakan sendi utama sistem hukum
nasional. Pemakaian peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama
sistem hukum nasional karena:
1. Sistem hukum Indonesia – sebagai akibat sistem hukum Hindia Belandia –
lebih menampakkan sistem hukum kontinental yang mengutamakan bentuk sistem hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).
2. Politik pembangunan hukum nasional mengutamakan penggunaan peraturan
perundang-undangan sebagai Instrumen utama. Bandingkan dengan hukum
yurisprudensi dan hukum kebiasaan. Hal ini antara lain karena pembangunan
hukum nasional yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai
instrument dapat disusun secara berencana (dapat direncanakan). b. Fungsi Pembaharuan Hukum
Artinya bahwa peraturan perundang-undangan merupakan instrumen dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan
penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah
dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat
direncanakan melalui program legislasi baik nasional maupun daerah ,
sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Pembaharuan tidak
hanya dilakukan terhadap hukum yang sudah ada tetapi dapat juga pula
dipergunakan sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi, Hukum
kebiasaan atau hukum adat.
Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara
lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa
pemerintahan Hindia Belanda. Termasuk pula adalah memperbaharui
30
peraturan perundang-undangan yang dibuat setelah kemerdekaan yang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat .
Terhadap hukum kebiasaan atau hukum adat, peraturan perundang-
undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak
sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada. Pemanfaatan peraturan
perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan
atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua
hukum yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.36
c. Fungsi Integrasi Pluralisme Sistem Hukum
Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem
hukum, yaitu: sistem hukum Eropa kontinental (Barat), sistem hukum adat,
sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”.37 Hal ini
menunjukkan adanya pluralisme hukum di Indonesia.38 Menurut Erman
Rajagukguk bahwa kendala terberat adanya pluralisme hukum adalah dalam
mewujudkan kepastian hukum. Hukum di Indonesia menurut guru besar
tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Bahkan pemberantasan korupsi
sampai saat ini pun oleh Erman diakui sangat sulit karena dalam
penegakannya banyak mempertimbangkan faktor politik.39
Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut tidaklah dimaksudkan
meniadakan berbagai sistem hukum, terutama sistem hukum yang hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan
masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam
rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun
dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah
hukum sepenuhnya bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah
hukum dapat berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada
keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian
36 Bagir Manan, Sleten, 1993, Perundang-undangan Indonesia, Makalah, Jakarta,, hlm. 6 37 Bagir Manan, 1994, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional, Makalah, Jakarta, hlm. 6 38 Pluralisme hukum menurut Erman Rajagukguk dalam Kongres Internasional ke-15 Mengenai
Pluralisme Hukum yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Kamis (29 Juni Tahun 2006) diartikan sebagai sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.
39 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15089/pluralisme-hukum-harus-diakui
31
fungsi peraturan perundang-undangan adalah mengintegrasikan berbagai
(pluralisme) peraturan yang ada. Pemahaman akan pluralisme hukum menurut
The Commission on Folk Law and Legal Pluralism Prof. Anne Griffith perlu
diberikan kepada pengambil kebijakan, ahli hukum, antopolog, sosiolog dan
ilmuwan sosial lainnya.40
d. Fungsi kepastian hukum Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) adalah merupakan
asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum
(hendhaving, uitvoering). Adanya peraturan perundang-undangan dapat
memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi daripada pada hukum
kebiasan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui,
kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written) yakni selain
harus memenuhi syarat-syarat formal, juga harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu: Jelas dalam perumusannya (unambiguous), Konsisten dalam
perumusannya baik secara intern maupun ekstern. Konsisten secara intern
mengandung makna bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang sama
harus terpelihara hubungan sietematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan
susunan dan bahasa. Konsisten secara eketern, adalah adanya hubungan
“harmonisasi” antara berbagai peraturan perundang-undangan.
Selain itu adalah memperhatikan penggunaan bahasa yang tepat dan
mudah dimengerti. Bahasa peraturan perundang-undangan haruslah bahasa
yang umum dipergunakan masyarakat. Tetapi ini tidak berarti bahasa hukum
tidak penting. Bahasa hukum –baik dalam arti struktur, peristilahan, atau cara
penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian
dan upaya menjamin kepastian hukum Melupakan syarat-syarat di atas,
peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak pasti
dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum
yurisprudensi.
2. Fungsi Eksternal, adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan
tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum,
40 Ibid
32
yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan
demikian, fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum
adat, atau hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih
diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai pertimbangan
yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:41 1. Fungsi perubahan, yaitu fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan (law
as social engineering). Peraturan perundang-undangan diciptakan atau
dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial,
maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal” dapat didorong
menuju masyarakat “parental” melalui peraturan perundang-undangan
perkawinan. 2. Fungsi stabilisasi, Peraturan perundang-undangan dapat pula berfungsi
sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan di bidang pidana, di bidang
ketertiban dan keamanan adalah kaidah-kaidah yang terutama bertujuan
menjami stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup kegiatan
ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata cara perniagaan dan lain-
lain. Demikian pula di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula
berfungsi menstabilkan sistem soeial budaya yang telah ada.
3. Fungsi kemudahan, Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan
sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas).
Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan insentif seperti
keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara
perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-
kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan
kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan.
Dalam penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan seperti
disebutkan di atas diperlukan juga persyaratan lain seperti stabilitas politik,
sarana dan prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.
Selain fungsi-fungsi tersebut, terkait dengan adanya beberapa jenis peraturan
perundang-undangan, maka masing-masing peraturan peraturan perundang-
41 Bagir Manan, Beberapa masalah..............., Op Cit,hlm.21-22
33
undangan tersebut memiliki fungsi-fungsi tertentu . Secara khusus fungsi peraturan
perundang-undangan dirinci sebagai berikut yakni:
1. Fungsi UUD Tahun 1945. Pasal 3 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa: Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian sebagai hukum dasar, UUD 1945
berisi norma-norma dan aturan-aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh
semua komponen masyarakat . UUD adalah merupakan hukum dasar, yaitu hukum
dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 juga merupakan sumber hukum
tertulis dan memiliki kedudukan yang tertinggi dalam hierarchi peraturan perundang-
undangan sebagaimana yang ditetukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun
2011. Artinya bahwa setiap produk hukum dibawahnya seperti Tap MPR, undang-
undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, Perda ataupun setiap tindakan
atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan
yang lebih tinggiyakni UUD Tahun 1945.
Dalam kedudukan yang demikian itu, maka UUD Tahun 1945 mempunyai
fungsi sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD Tahun 1945 mengontrol apakah
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. UUD 1945 juga berperan sebagai
pengatur bagaimana kekuasaan negara disusun, dibagi, dan dilaksanakan. Selain itu
UUD 1945 juga berfungsi sebagai penentu dan pelindung hak dan kewajiban negara,
aparat negara, dan warga negara.
2. Fungsi Ketetapan MPR
fungsi Ketetapan MPR adalah sebagai landasan hukum bagi produk hukum
yang ada di bawahnya, selama ketetapan MPR itu masih dinyatakan berlaku,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960
sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. 3.Fungsi Undang-Undang dan Perpu Ada beberapa Fungsi Undang-Undang yaitu:
34
1. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang
tegas-tegas menyebutnya;
2. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang
Tubuh UUD 1945;
3. Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya;
Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) pada
dasarnya sama dengan fungsi dari undang-undang. Perbedaan keduanya terletak
pada Pembuatnya, undang-undang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR
dalam keadaan normal sedangkan PERPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya
adalah Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal, sedangkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat dalam keadaan kegentingan
yang memaksa.
Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah:
1. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya;
2. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang
Tubuh UUD 1945;
3. Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya;
4. Fungsi Peraturan Pemerintah
Landasan formal konstitusional PP adalah Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Fungsi
PP adalah :
1. pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas
menyebutnya;
2. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut, ketentuan lain dalam undang-
undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
5. Fungsi Perpres Secara umum Fungsi Peraturan Presiden (regeling) adalah, sebagai berikut :
1. menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan. (sesuai Pasal 4 ayat 1 UUD 1945);
2. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya;
35
3. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan
Pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutkannya.
4. Fungsi Peraturan Daerah
Perda terbagi menjadi Perda Provinsi dan Perda Kabupaten. Fungsi Peraturan
Daerah adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan
menjabarkan lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 236 ayat (1) UU No. 23/2014 tentang Pemerintah
Daerah (sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki
Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. sebagai
penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat
di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan
kesejahteraan daerah. Sedangkan menurut Kepala pusat penyuluhan hukum Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi
yaitu:42
a) sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas
pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah.
b) merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki
Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
c) sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi
masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara
42 https://saepudinonline.wordpress.com/2013/05/01/fungsi-perda-dalam-peraturan-perundang-
undangan/
36
kesatuan Republik indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945.
d) sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.
5.3. Materi Muatan Istilah “materi muatan peraturan perundangan” diperkenalkan oleh A. Hamid S.
Attamimi, yang disampaikan secara lisan dalam Lokakarya mengenai Pengembangan
Ilmu Hukum, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 22 Pebruari 1979.
Naskahnya diselesaikan sesudahnya, dimuat dalam Majalah Hukum dan
Pembangunan, Nomor 3 Tahun 1979.43 A.Hamid S Attamimi secara tidak langsung
mengartikan materi muatan peraturan perundang-undangan sebagai materi yang
harus dimuat dalam masing-masing jenis peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 13 UU NO.12 Tahun 2011 disebutkan bahwa
: Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat
dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian apa yang
merupakan materi suatu peraturan perundang-undangan adalah berbeda-beda
tergantung jenis, fungsi dan materinya. Dalam menyusun materi muatan
peraturan perundang-undangan ada beberapa asas yang harus dipenuhi
yaitu:44
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
43 A. Hamid S. Attamimi, 1982, “Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan”, BPHN, Himpunan
Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, Diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, ,hlm.282-292. 44 Pasal 6 UU No.12 Tahun 2011
37
Dalam Penjelasan UU No.12 Tahun 2011, disebutkan arti dari asas-asas
tersebut adalah :
a. Asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
b. Asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
c. Asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untukmencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di
daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku
dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
38
j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.
Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “asas
lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan”, antara lain:45
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik
Materi muatan dari jenis-jenis peraturan perundang-undangan dapat
dijabarkan sebagai berikut: 5.3.1. Materi Muatan UUD UUD adalah merupakan hukum dasar negara. Atau the basic of the national legal order/ Sebagai the basic of the national legal order maka UUD atau konstitusi
akan menjadi sumber bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada
dibawahnya. Perbedaan antara UUD dengan peraturan perundang-undangan yang
ada dibawahnya , salah satunya adalah dari segi materi muatan. Menurut
K.C.Wheare46 UUD adalah suatu dokument hukum sehingga akan merupakan :
a.Pernyataan pilihan (a short of manifesto);
b.Pengakuan dan keyakinan ( a consession of faith);
c.Pernyataan mengenai cita-cita bangsa/negara (a statement of ideals);
d.Piagam negara ( a charter of the land).
Karena itu menurut K.C.Wheare bahwa UUD sebagai suatu aturan hukum mengatur/
berisi aturan-aturan negara yang mengatur tentang :47
1. Susunan (structure) pemerintahan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif;
2. Hubungan timbal balik (mutual relation ) antara alat-alat perlengkapan
negara;
45 Lihat Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 46 K.C.Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press,hlm.32 47 Ibid
39
3. Hubungan antara alat-alat perlengkapan negara dengan masyarakat
(community), agar hak –hak masyarakat dan warga negara tidak dilanggar;
4. The quarantes of citizen.
Sedangkan menurut Struycken, Materi UUD berisi48:
1. Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu
sekarang maupun yang akan datang;
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan
hendak dipimpin.
Menurut Sri Sumantri Martosoewignyo , Materi muatan konstitusi setidaknya
berisi tiga hal pokok yaitu: 49
1. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia dan Warga Negara;
2. Ditetapkannya susunan ketatanegraan suatu negara yang bersifat
fundamental; dan
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat
fundamental. Sedangkan materi muatan konstitusi menurut Mr. J.G Steenbeekseperti yang
dikutip oleh Dahlan Thaib, Jaiz Hamidi dan N’imatul Huda, mulai dari Jaminan Hak
Asasi Manusia dan hak warga negaranya, susunan dasar ketatanegaraan negara
yang bersangkutan, dan susunan dasar pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraa telah mengalami perubahan mendasar.50
Terkait materi UUD Tahun 1945 apa yang merupakan materi mutan UUD
Tahun 1945 tidak diatur dalam UU No.12 Tahun 2011. Hal ini dapat dipahami karena
kedudukan dari UU No.12 Tahun 2011adalah lebih rendah dibandingkan dengan
UUD, sehingga UU No.12 tidak mengatur materi muatan UUD. Materi UUD Tahun
1945, dapat dilihat dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945 yaitu: Pembukaan dan
Pasal-Pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Pembukaan terdiri atas 4 Alinea, yang di
dalam Alinea keempat terdapat rumusan dari Pancasila, dan Pasal-Pasal Undang-
Undang Dasar 1945 terdiri dari 20 Bab (Bab I sampai dengan Bab XVI) dan 72 Pasal
48 Dalam I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na,a, Ibid, hlm.95 49 Dalam H.R.Soemantri Martosoewignyo, 2006, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi ( Sebelum
dan Sesudah Perubahan UUD 1945), Bandung, Alumni, hlm.2. 50 Dahlan Thaib, Jaiz Hamidi dan N’imatul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2003), hlm. 16.
40
(Pasal 1 sampai dengan pasal 37), ditambah dengan 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2
pasal Aturan Tambahan. Bab IV tentang DPA dihapus, dalam amandemen keempat
penjelasan tidak lagi merupakan kesatuan UUD 1945. Pembukaan dan Pasal-pasal
UUD 1945 merupakan satu kebulatan yang utuh, dengan kata lain merupakan bagian-
bagian yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Secara garis besar materi
yang termuat dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945 adalah sebagai berikut:
1. Bentuk dan Kedaulatan
2. MPR (Pasal 2-3)
3. Kekuasaan Pemerintahan Negara (Pasal 4- Pasal 16)
4. Kementrian Negara (Pasal 17)
5. Pemerintahan Daerah (Pasal 18)
6. DPR (Pasal 19 – 22B)
7. DPD (Pasal 22C)
8. Pemilihan Umum (Pasal 22 E)
9. Hal Keuangan (Pasal 23 – 23 D)
10. BPK (Pasal 23E
11. Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24 – 25)
12. Wilayah Negara (Pasal 25A)
13. Warga Negara dan Penduduk (Pasal 26 – 28)
14. HAM (Pasal 28A -28J)
15. Agama (Pasal 29)
16. Pertahanan dan Keamanan Negara (Pasal 30)
17. Pendidikan dan Kebudayaan ( Pasal 31-32)
18. Perekonomian dan Kesejahtraan Sosial (Pasal 33- 34)
19. Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (Pasal
35 -36);
20. Perubahan UUD.
Selain hal tersebut UUD Tahun 1945 juga memuat 3 pasal tentang Aturan
Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. 5.3.2. Materi Muatan Ketetapan MPR
Dalam UU No.12 Tahun 2011 tidak termuat materi muatan Ketetapan MPR.
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b, hanya menyebutkan bahwa: “Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih
41
berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960
sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Dengan demikian yang menjadi
materi Ketetapan MPR yang masih diakui adalah materi ketetapan MPRS dan
Ketetapan MPR yang masih berlaku, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 dan
Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
I/MPR/2003. Berikut ini Ketetapan-Ketetapan MPR yang masih tetap berlaku dan
tidak dapat dicabut atau diganti dengan undang-undang adalah:
1. Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan
Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau
Ajaran Komunis/Marxisme, Leninisme; dan
2. Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka
Demokrasi Ekonomi;
Berdasarkan Uraian di atas, makna Ketetapan MPR adalah ketetapan yang
dikeluarkan MPR sebagai konsekuensi dari tugas, kedudukan dan kewenangan MPR
sesuai UUD 1945. Adapun Kedudukan Ketetapan MPR dalam sistem hukum nasional
adalah sebagai salah satu sumber hukum nasional. 5.3.1. Materi Muatan Undang-Undang
Dalam Pasal 10 UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan:
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan UndangUndang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Ketentuan tersebut diatas dapat dijabarkan dalam bentuk tabel berikut:
42
KOTAK: MATERI MUATAN YANG HARUS DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG
PASAL 10 PENJELASAN PASAL 10 ANOTASI
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: a. pengaturan lebih
lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
a. tindak lanjut atas
putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
- - Ayat (1) ......... Huruf c Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Huruf d Yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan
- Pasal 10 ayat (1) huruf b tidak sesuai dengan asas lex posteriore derogat lex priori. Di sisi lain ketentuan itu menunjukkan pendelegasian kewenangan mengatur dari undang-undang kepada undang-undang lainnya. -
43
e. pemenuhan
kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. -
-
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Ayat (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.
-
Salah satu materi muatan Undang-Undang adalah “perintah suatu Undang-
Undang untuk diatur dengan Undang-Undang”. Hal ini tidak sesuai dengan asas
preferensi, bahwa undang-undang yang berlaku belakangan menyampingkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriore derogat lex priori), dan
bukannya undang-undang terdahulu menentukan materi muatan undang-undang
yang kemudian dibentuk.
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi pengaturan
lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, terdapat dalam sejumlah pasal UUD 1945 dengan penanda “dengan
undang-undang” atau “dalam ndang-undang”. Secara lebih terperinci materi muatan
yang harus diatur dengan UU dapat dilihat dalam tabel berikut:
No
KOTAK: MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
PENGATURAN LEBIH LANJUT MENGENAI KETENTUAN UUD 1945 1
Pasal 2 (1)UUD 1945:
Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang
dipilih melalui pemilihan umum dan
ANOTASI
Rumusan diatur dengan undang-undang bermakna hal yang diatur
dalam ketentuan itu harus
dirumuskan dalam sebuah undang-
undang yang khusus diterbitkan
44
2
3
4
5
6
7
diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Pasal 6 (2) UUD 1945:
Syarat-syarat untuk menjadi
Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Pasal 6A (5) UUD 1945:
Tata cara pelaksanaan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Pasal (3) UUD 1945:
Ketentuan lebih lanjut tentang
perjanjian internasional diatur
dengan undang-undang.
Pasal 12 UUD 1945:
Presiden menyatakan keadaan
bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 15 UUD 1945:
Presiden memberi gelar, tanda jasa,
dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 16 UUD 1945:
untuk kepentingan itu (Majelis
Permusyawaratan Rakyat 2013).
lihat anotasi 1
Rumusan diatur dalam undang-undang bermakna hal yang diatur
dalam ketentuan itu dapat menjadi
materi suatu atau beberapa
undang-undang yang tidak khusus
diterbitkan untuk kepentingan itu
(Majelis Permusyawaratan Rakyat
2013).
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 2
45
8
9
10
11
Presiden membentuk suatu dewan
pertimbangan yang bertugas
memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.
Pasal (4) UUD 1945:
Pembentukan, pengubahan, dan
pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
Pasal 18 (1) UUD 1945:
Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,
dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 18 (7) UUD 1945:
Susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam undang-undang.
Pasal 18A (1) UUD 1945:
Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten, dan
kota, atau antara provinsi dan
lihat anotasi 2
lihat anotasi 1
lihat anotasi 2
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
46
12
13
14
15
kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
Pasal 18B (1) UUD 1945:
Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 18B (2) UUD 1945:
Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 19 (2) UUD 1945:
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.
Pasal 20A (4) UUD 1945:
Ketentuan lebih lanjut tentang hak
Dewan Perwakilan Rakyat dan hak
anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
lihat anotasi 2
lihat anotasi 1
lihat anotasi 2
lihat anotasi 1
lihat anotasi 2
lihat anotasi 1
lihat anotasi 2
lihat anotasi 1
47
16
17
18
19
20
21
Pasal 22A UUD 1945:
Ketentuan lebih lanjut tentang tata
cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Pasal 22B UUD 1945:
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dapat diberhentikan dari jabatannya,
yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Pasal 22C (4) UUD 1945:
Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D (4) UUD 1945:
Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dapat diberhentikan dari jabatannya,
yang syarat-syarat dan tata caranya
diatur dalam undang-undang. Pasal 22E (6) UUD 1945:
Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Pasal 23A UUD 1945:
Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang.
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 2
lihat anotasi 1
48
22
23
24
25
26
27
28
Pasal 23B UUD 1945:
Macam dan harga mata uang
ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 23C UUD 1945:
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
Pasal 23D UUD 1945:
Negara memiliki suatu bank sentral
yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan
independensinya diatur dengan undang-undang.
Pasal 23E (3) UUD 1945:
Hasil pemeriksaan tersebut
ditindaklanjuti oleh lembaga
perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
Pasal 23G (2) UUD 1945:
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Badan Pemeriksa Keuangan diatur
dengan undang-undang. Pasal 24 (3) UUD 1945:
Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
49
29
30
31
32
33
kehakiman diatur dalam undang-undang.
Pasal 24A (5) UUD 1945:
Susunan, kedudukan, keanggotaan,
dan hukum acara Mahkamah Agung
serta badan peradilan di bawahnya
diatur dengan undang-undang.
Pasal 24B (4) UUD 1945:
Susunan, kedudukan, dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
Pasal 24C (6) UUD 1945:
Pengangkatan dan pemberhentian
hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang- undang.
Pasal 25 UUD 1945:
Syarat-syarat untuk menjadi dan
untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 25A UUD 1945:
Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri Nusantara
dengan wilayah yang batas-batas
lihat anotasi 1
lihat anotasi 1
lihat anotasi 2
lihat anotasi 2
50
34
35
36
37
dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 26 (1) UUD 1945:
Yang menjadi warga negara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang
sebagai warga negara.
Pasal 26 (3) UUD 1945:
Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang- undang.
Pasal 28 UUD 1945:
Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 28J (2) UUD 1945:
Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-
lihat anotasi 2
lihat anotasi 1
51
38
39
40
41
nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
Pasal 30 (5) UUD 1945:
Susunan dan kedudukan Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia,
hubungan kewenangan Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia di dalam
menjalankan tugasnya, syarat-
syarat keikutsertaan warga negara
dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara, serta hal-hal
yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.
Pasal 31 (3) UUD 1945
Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 33 (5) UUD 1945:
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
52
Pasal 34 (4) UUD 1945:
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal 36C UUD 1945:
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.
Sumber: Penulis
5.3.2. Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Dalam KRIS dan UUDS Tahun 1950 Perpu disebut dengan istilah UU
Darurat.51 Istilah UU Darurat ini menggambarkan pengertiannya sebagai emergency
law (emergency legislation).52 Perpu sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
undangan diatur dalam Pasal 22 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa: (1) dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan
Pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut,
dan (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus
dicabut. Selanjutnya
Dengan demikian dari rumusan pasal tersebut ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dari segi kedudukan dan keberadaan Perpu:53
1. bahwa dilihat dari segi jenis/bentuknya Perpu adalah Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945, Namun
51 Lihat Pasal 139 KRIS, dan Pasal 96 UUDS. 52 Jimly Assidiqie, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan keempat, Jakarta, Pusat
Studi Hukum Tata Negara,Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.29 53 Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op Cit, hlm.63, lihat juga Jimly Assidiqie,2006, Perihal Undang-
Undang, Jakarta, Konstitusi Press. hlm.80-87.
53
dalam keadaan yang memaksa peraturan pemerintah itu, dari segi
materinya dapat memuata ketentuan-ketentuan yang sama dengan UU;
2. Dalam UUD Tahun 1945 tidak ada istilah resmi terkait Perpu,
sehinggadapat ditafsirkan bahwa istilah perpu dapat diganti dengan UU
Darurat misalnya;
3. Perpu hanya dapat ditetapkan Presiden apabila ada kegentingan yang
memaksa, yang tidak boleh dicampur adukkan dengan pengertian keadaan
bahaya. Dalam pengertian “kegentingan yang memaksa” terkandung sifat
darurat atau emergency yang memberi dasar kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perpu. Emergency itu sendiri timbul dari
penilaian subyektif Presiden belaka mengenai tuntutan keadaan
mendesak untuk bertindak cepat dan tepat mengatasi keadaan tersebut
(noodverordeningsrecht).
4. Pada dasarnya Perpu sederajat dengan atau memiliki kekuatan yang sama
dengan UU, DPR harus aktif mengawasi baik dalam penetapan maupun
pengawasan Perpu;
5. Perpu bersifat sementara.
Hal lainnya juga yang membedakan Perpu dan UU menurut Bagir Manan
adalah mengenai sifat pengaturan kedua produk hukum tersebut. Jika UU adalah
merupakan produk tindakan pengaturan kenegaraan , sedangkan Perpu merupakan
tindakan produk pengaturan yang bersifat pemerintahan.54 Namun pendapat tersebut
menurut Jimly Assidiqie tidaklah tepat karena banyak juga UU yang dibentuk berkaitan
dengan kepentingan pemerintahan dan karena itu dapat dikatakan sebagai tindakan
pemerintahan. Misalnya, pembentukan UU tentang pemekaran suatu kabupaten atau
provinsi tertentu jelas berkaitan dengan pemerintahan.55
Selanjutnya dalam Pasal 11 UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Materi
muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi
muatan Undang-Undang.Dengan demikian apa yang menjadi materi muatan Perpu
adalah sama dengan materi muatan UU sebagaimana telah disebutkan diatas.
5.3.3. Materi Muatan Peraturan Pemerintah
54 Jimly Assidiqie, Ibid, hlm.83 55 Ibid
54
Dalam Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan : Presiden menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa PP hanya dapat ditetapkan oleh Presiden
jika ada UU induknya. Kewenangan Presiden untuk menetapkan PP adalah
merupakan salah satu wujud dari fungsi Presiden sebagai kepala pemerintahan,
yakni kepala kekuasaan eksekutif dalam negara, sehingga dalam rangka menjalankan
UU , Presiden mempunyai kekuasaan untuk menetapkan PP ( pouvoir reglementair).
Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 12 UU No,12 Tahun 2011 yang
menentukan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian maka PP
berisi pengaturan lebih lanjut dari UU.J.A.H Logemann mengatakan:Dit is een zeer
ruime bevoegheid, maar het moet uitvoering blijven, geen aan vulling ( ini adalah suatu
kewenangan yang sangat luas, tetapi ia (PP) harus tetap sebagai pelaksana belaka,
tidak ada penambahan).56
Terkait materi yang memuat sanksi pidana, atau pemaksa, bila UU tidak
mencantumkannya maka dalam PP tidak boleh mencantumkan sanksi pidana
maupun sanksi pemaksa.
5.3.4. Materi Muatan Peraturan Presiden
Pasal 13 UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa materi muatan Peraturan
Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
5.3.5. Materi Muatan Peraturan Daerah Propinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten
Dalam Pasal 14 UU No.12 Tahun 2011 disebutkan bahwa Materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
56 Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op Cit, hlm.66.
55
Sedangkan dalam Pasal 236 ayat (1) UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa: Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah
dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda. Selanjutnya dalam Pasal 236
ayat (3) ditentukan bahwa: Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Dalam ayat (4) : Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Namun khusus untuk materi yang terkait dengan ketentuan pidana, Pasal 15
UU No.12 Tahun 2011 menentukan:
(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa
ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat
ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Selain rumusan dalam UU No.12 Tahun 2011 penjabaran lebih lanjut tentang
materi muatan Perda Propinsi dan Perda Kabupaten diatur lebih lanjut dalam
Permendagri N.80 Tahun 2015. Dalam Pasal 4 ayat (2) Permendagri No.80 Tahun
2015 menentukan bahwa materi muatan Perda adalah:
a. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Dalam Pasal 4 ayat (3) ditentukan bahwa selain materi muatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Pasal 5 ditentukan bahwa Perda provinsi memuat materi muatan untuk mengatur:
a. kewenangan provinsi;
b. kewenangan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi;
56
c. kewenangan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu
provinsi;
d. kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan/atau
e. kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan
oleh daerah provinsi.
Perda kabupaten/kota memuat materi muatan untuk mengatur:
a. kewenangan kabupaten/kota;
b. kewenangan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota;
c. kewenangan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota;
d. kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam daerah
kabupaten/kota; dan/atau
e. kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
Selain materi tersebut, dalam Pasal 5 Permendagri No.80 Tahun 2015
disebutkan bahwa ada materi lain yang dapat dimuat dalam Perda yaitu:
(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan
penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
(4) Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan
semula dan sanksi administratif.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin;
g. denda administratif; dan/atau
57
h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 236 ayat (3) UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemda menentukan: Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan: a.
penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan b. penjabaran
lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat
memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5. Penutup a. Resume.
Dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia, mulai jaman
penjajahan Belanda hingga pasca reformasi terdapat berbagai jenis peraturan
perundang-undangan yang ada. Dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangn disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) jenis dan hierarci
peraturan perundang-undangan terdiri dari: UUD Tahun 1945, Ketetapan MPR,
UU/Perpu, PP, Perpres , Perda Propinsi dan Perda Kabupaten. Selain peraturan
perundang-undangan yang terdapat didalam hierarchi juga terdapat peraturan
perundang-undangan diluar hierachi sebagaimana yang disebut dalam Pasal 8 ayat
(1) UU No.12 Tahun 2011.
Fungsi dari peraturan perundang-undangan secara umum terbagi menjadi 2
yakni fungsi internal dan fungsi eksternal. Fungsi internal adalah: fungsi
penciptaan hukum, fungsi pembahuaruan hukum, fungsi integrasi pluralisme sistem
hukum dan fungsi kepastian hukum. Sedangkan fungsi eksternal meliputi :fungsi untuk
melakukan perubahan, fungsi stabilitas dan fungsi kemudahan. Selain fungsi tersebut
masing-masing peraturan perundang-undangan juga mempunya fungsi khusus
sesuai dengan jenis peraturan perundang-undangan tersebut.
Materi peraturan perundang-undangan berbeda-beda sesuai dengan jenis
peraturan perundang-undangan. Apa yang merupakan materi muatan UU/Perpu, PP,
Perpres, Perda Propinsi dan Perda Kabupaten telah diatur dalam UU No.12 Tahun
2011.
58
b. Latihan
1. Dalam UU No.12 Tahun 2011 dikenal jenis peraturan perundang-undangan
di dalam hierarchi dan diluar hierarchi. Bagaimana kekuatan mengikat
peraturan perundang-undangan diluar hierarchi tsb?
2. Jelaskan dan berikan contoh apa fungsi internal dari peraturan perundang-
undangan?
3. Jelaskan apa yang menjadi materi muatan Perda Provinsi?
a. Bahan Bacaan Assidiqie, Jimly,2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan keempat,
Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara,Fakultas Hukum Universitas
Indonesia,
----------- , Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press,2006
Attamimi, A.Hamid S, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
penyelenggaraaan Pemerintahan Negara, Suatu studi analisis mengenai
Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam kurun waktu Pelita I-
Pelita IV,untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm.289. dalam I Gde Pantja Astawa, dan Suprin Na’a,Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia, 2008, Alumni,Bandung,
Attamimi, A. Hamid S. 1982, “Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan”,
BPHN, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang
Peraturan Perundang-undangan Tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, Diterbitkan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, Utrecht, E, 1986, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi Fotografi.
HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta,
Konstitusi Press, 2008. Indrati Soeprapto, Maria Farida , Ilmu Perundang-Undangan –Dasar-dasar
emebntukannya, Kanisius, Jogyakarta, 1998/ Manan, Bagir, Sleten, Perundang-undangan Indonesia, Makalah, Jakarta, 1993. Manan, Bagir , Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional, Makalah, Jakarta,
1994, Martosoewignyo, H.R.Soemantri , Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (
Sebelum dan Sesudah Perubahn UUD 1945), Bandung, Alumni, 2006.
59
Rajagukguk, Erman, dalam Kongres Internasional ke-15 Mengenai Pluralisme
Hukum yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Depok, Kamis (29 Juni Tahun 2006) diartikan sebagai sebagai situasi
dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu
kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas
masyarakat.
Utrecht. E. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Universitas,
Bandung,dikutip dari https://e-kampushukum.co.id/2016/05/tata-hukum-di-
indonesia-pada-masa-voc.html Trijono, Rahmat , Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Papas
Sinar Sinanti, Jakarta, 2013 undangan_peninggalan_kolonial_belanda.pdf
K.C.Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press,hlm.32
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15089/pluralisme-hukum-harus-di
http://kbbi.kata.web.id/jenis/
http://kbbi.web.id/bentuk
http://www.bphn.go.id/data/documents/ae_peraturan_perundang-
60
PERTEMUAN TUTORIAL
1. Pendahuluan. Dalam pertemuan kedua ini, mahasiswa berdiskusi mengenai Peraturan Desa
(Perdes). Setelah melakukan tutorial ini, mahasiswa diharapkan memahami salah
satu jenis peraturan perundang-undangan yakni perdes, terkait kedudukan,fungsi dan
materi muatannya. Materi tutorial ini sangat penting sebagai landasan untuk
memahami bahan kajian pembelajaran pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Karena itu, dalam tutorial ini mahasiswa harus mendiskusikan mengenai Perdes yang terdapat dalam penyajian materi Problem Task.
2. Penyajian Materi: Problem task.
Peraturan Desa
Sebelum berlakunya UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yakni dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dikenal satu jenis peraturan perundang-undangan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) yakni Peraturan Desa (Perdes).
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Peraturan Desa /peraturan yang setingkat adalah
Peraturan Perundangundangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Dari segi hierarchinya
kedudukan Perdes adalah berada dibawah Perda Kabupaten. Namun setelah UU
No.10 Tahun 2004 diganti dengan UU No.12 Tahun 2011 Peraturan Desa tidak lagi
ada dalam hierarchi peraturan perundang-undangan Indonesia sebagaimana
dituangkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011. ). Namun dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa muncul kembali pengaturan Perdes.
Pertanyaan:
1. Bagaimana kedudukan Perdes dalam sistem hukum perundang-undangan
Indonesia setelah berlakunya UU No.12 Tahun 2011?
2. Apa Fungsi dari Perdes?
3. Apa yang menjadi materi muatan Perdes?
61
3. Penutup
Dalam penyajian materi: Problem Task tersebut di atas dideskripsikan adanya
jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2011
, dimana Perdes tidak disebut dengan jelas dan tegas didalam hierarchi peraturan
perundang-undangan.
Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan kegiatan tutorial, yang
mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa pemimpin diskusi (discussion leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan
alokasi waktu selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat
berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.
4. Bahan Bacaan
Lihat bahan bacaan pada perkuliahan diatas.