joan radina setiawan - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20321207-s-joan radina...
TRANSCRIPT
i
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI TRANSFORMASI KOMPLEKS KEAMANAN: PENGARUH
STRING OF PEARLS TERHADAP TRANSFORMASI KOMPLEKS
KEAMANAN ASIA TIMUR DAN ASIA SELATAN (2005-2011)
SKRIPSI
JOAN RADINA SETIAWAN
0806352284
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK
JULI 2012
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI TRANSFORMASI KOMPLEKS KEAMANAN: PENGARUH
STRING OF PEARLS TERHADAP TRANSFORMASI KOMPLEKS
KEAMANAN ASIA TIMUR DAN ASIA SELATAN (2005-2011)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sosial
JOAN RADINA SETIAWAN
0806352284
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK
JULI 2012
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
3
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Joan Radina Setiawan
NPM : 0806352284
Tanda Tangan :
Tanggal : Juli 2012
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
4
LEMBARPENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
Nama : Joan Radina Setiawan
NPM : 0806352284
Program Studi
Judul Skripsi
: Ilmu Hubungan Intemasional
Studi Transfonnasi Kompleks Keamanan:Pengaruh String of Pearls terhadap Transformasi Kompleks Keamanan Asia timur dan Asia Selatan (2005-2011)
Telah berhasil ilipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan dherima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Scujana Sosial pada Program Studi Hubungan Intemasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing Andi Widjajanto, M.Sc., MS., Ph.D.
Penguji Ardhitya E. Yeremia Lalisang, S.Sos., M.Sc ..
Ketua Sidang Drs. Hariyadi Wirawan, M.Soc.Sc.,Ph.D.
Sekretaris Sidang: Aninda Rahmasari Tirtawinata, M.Litt
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 03 Juli 2012
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
5
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat,
karunia, dan berkah-Nya sehingga penulisan skripsi ini bisa berjalan dengan
lancar dan selesai tepat pada waktunya. Penulisan skripsi ini tidak lain merupakan
salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Sosial dari Departemen Ilmu Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Banyak yang mengatakan bahwa abad ini adalah abad bagi Asia. Dunia
sedang mengamati munculnya great power baru di Asia yang sangat mungkin
akan memainkan peranan vital dalam dinamika keamanan global di masa yang
akan datang, yaitu China dan India. ASEAN juga muncul sebagai organisasi
negara dunia ketiga yang “sukses” mengembangkan caranya sendiri untuk
mewujudkan stabilitas di kawasan, Dalam konteks ini, Masalah keamanan
maritim di Asia merupakan sebuah perkembangan yang patut diamati dalam
kerangka dinamika keamanan Asia. Naval Build up besar-besaran merupakan
sesuatu yang sangat menarik untuk diamati serta dijadikan bahan studi untuk
persiapan pembangunan postur pertahanan masing-masing negara di Asia. Konsep
String of Pearls merupakan sebuah konsep yang memperlihatkan bentuk baru
perluasan kekuatan pengaruh China dalam ranah kemaritiman yang juga
mempengaruhi dinamika great power di kawasan. Mempelajari fenomena ini
merupakan sesuatu yang penting untuk memahami bagaimanakah dinamika
keamanan di Asia berjalan, dan oleh karenanya penulis menggunakan teori
Regional Security Complex Theory (RSCT) agar gambaran yang lebih holistic
mengenai fenomena ini bisa didapatkan.
Penulis di satu sisi menyadari banyaknya kekurangan dan kelemahan yang
telah dilakukan selama penulisan skripsi ini, baik secara teknis maupun substansi.
Atas dasar inilah penulis sangat mengharapkan berbagai saran dan kritik yang
membangun dari pembaca untuk semakin memperkaya skripsi ini. Pada akhirnya,
penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang
bersangkutan.
Depok, 21 Juni 2012
Joan Radina Setiawan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
6
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang selalu memberikan berkah dan kemudahan dalam menjalani kehidupan dan juga mengerjakan skripsi ini. Dengan berkat-Nya lah, skripsi ini dapat penulis selesaikan. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, yang segala aspek kehidupannya menjadi panduan bagi kehidupan penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Orang tua dari penulis, (Y.S. Sardjono dan Ainun Yusana) atas kesabaran,
kepercayaan, dukungan dan kasih sayang yang tak terhingga pada penulis. Kepada mereka berdua, skripsi ini penulis persembahkan. Terima kasih juga kepada kakak penulis yang memberikan dukungan kepada penulis baik materiil maupun immateriil. Maafkan atas kesalahan dan kekhilafan penulis selama ini. Kemudian, dukungan dari keluarga lain yang terus menanyakan dan menyemangati penulis untuk dapat menyelesaikan masa studinya juga menjadi dorongan semangat tersendiri.
2. Andi Widjajanto, Ph.D. selaku pembimbing skripsi dan juga sebagai ketua jurusan yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk membimbing jalannya penelitian ini. Bimbingan dari Mas Andi yang selalu singkat, padat, jelas, dan selalu memecah kebuntuan otak penulis menjadi salah satu faktor utama mengapa saya dapat menyelesaikan skripsi saya semester ini.
3. Dra. Suzie Suparin S. Sudarman, S.Sos., M.A. selaku PA yang selalu penuh dukungan dan passion atas apa saja yang positif bagi mahasiswanya. Meskipun saya tidak terlalu banyak berkonsultasi dengan beliau, namun pemikiran-pemikirannya seringkali menginspirasi saya.
4. Dosen-dosen cluster PengkajianKeamanan Internasional seperti Mas Edy, Mas Andy, Mas Kus, Mas Itok, Mas Yere, MbakDhani, MbakAnin, MbakAmalia, dan lain-lain yang telah membantu memperkaya pengetahuan penulis dalam memahami fenomena-fenomena keamananstrategis internasional.
5. Terima kasih kepada seluruh teman-teman HI UI 2008 yang telah mewarnai kehidupan sehari-sehari penulis selama kuliah di HI dan telah berjuang bersama-sama untuk mencapai garis finish. Buat anak-anak korwil asrama,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
vii
Machfudz, Kun, Gita, Adhy, dan Koang, terima kasih telah menjadi teman bermain dan sepenanggungan deadline yang selalu setia. Buat anak-anak Pengstrat brotherhood: Dhani, Emir, Citra, Sorang, Yusdam, Palar, Robi, Aria yang membuat Pengstrat selalu menyenangkan meskipun orangnya sedikit. Untuk saudara-saudara di cluster lain: Bom-bom, Ady, OK, Agung, TB, Iqbal, Yona, Arjo, Deni, Nasrul, Niko, Tulus, Dafy, Lesly, Yari, Ipeh, Dwi, Marga, Sri, Chei, Raisa, Min Ah, Weki, Gya, Mita, Melisa, Fadlin, Riza, Vina, Vivi, Yanti, Ria, Ria Febrian, Ulpa, terima kasih telah berkontribusi dalam mengisi hari-hari penulis di masa kuliah. Saya belajar banyak dari masing-masing diri kalian. Dan tidak lupa, dua rekan yang pindah, Sasya dan Ryan, semoga terus sukses mencari ilmu dan masa depan di seberang lautan sana!
6. Keluarga besar HMHI UI yang telah menjadi “keluarga” pertama penulis di UI. Maafkan kekurangan penulis dalam berbagai kegiatan HM. L
7. Keluarga besar BEM FISIP UI 2009 dan 2010 yang memberikan saya pelajran
kehidupan yang lebih banyak dibanding waktu 19 tahun umur saya sebelumnya. Untuk “anak-anak” saya: Ardha, Tiffani, Nisa, Shinta, Fika, Uwi, Satrio, Nindya, Hardika dan Rekan utama saya, Bolo, terima kasih telah memberikan pelajaran yang tak ternilai harganya dalam organisasi dan hubungan manusia. Saya minta maaf untuk semua kekurangan, kesalahan, dan kealpaan selama menjadi deputi. Maaf jika tak bisa menjadi “ayah” yang baik, maaf karena tak bisa menjadi “rekan kerja” yang baik.
8. Keluarga besar BPM FISIP UI 2011 yang memberikan dua pelajaran berharga: (1) kuantitas bukanlah segalanya dan (2) semakin besar krisisnya, semakin banyak experience point-nya, dan semakin tinggi juga kenaikan level-nya.
9. Wanda Ayu, rekan yang tak henti-hentinya memberikan motivasi agar penulis dapat lulus semester ini.
10. Semuanya yang tidak bisa disebutkan. Terima kasih buat kalian semua. Tidak basa-basi, kehidupan kuliah saya adalah masa penuh pelajaran yang tidak akan bisa saya rasakan tanpa masing-masing dari kalian.
Depok, 21 Juni 2012
Joan Radina Setiawan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
8
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Joan Radina Setiawan NPM : 0806352284 Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Departemen : Ilmu Hubungan Internasional Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalti Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
STUDI TRANSFORMASI KOMPLEKS KEAMANAN: PENGARUH
STRING OF PEARLS TERHADAP TRANSFORMASI KOMPLEKS
KEAMANAN ASIA TIMUR DAN ASIA SELATAN (2005-2011)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 07 Juli 2012
Yang menyatakan
(Joan Radina Setiawan)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
9
ABSTRAK
Nama : Joan Radina Setiawan
Program Studi : Sarjana Reguler Hubungan Internasional
Judul : Studi Transformasi Kompleks Keamanan: Pengaruh String of Pearls terhadap Transformasi Kompleks Keamanan Asia timur dan Asia Selatan (2005-2011)
Skripsi ini membahas pengaruh dari konsep munculnya konsep String of Pearls, sebuah konsep yang pertama kali muncul pada tahun 2005 dalam laporan Dari konsultan Departemen Pertahanan AS mengenai aktifitas China yang semakin meningkat di Samudera Hindia, terhadap dinamika keamanan regional. Berangkat dari regional security complex theory (RSCT) yang dikemukakan Barry Buzan mengenai signifikansi dan otonomi dari level keamanan regional, penulis mencoba mencari tahu apakah pengaruh dari munculnya titik-titik pengaruh geopolitik China di sepanjang Samudera Hindia dan Laut China Selatan (bentuk nyata dari String of Pearls) terhadap kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan. Dengan menggunakan variabel-variabel dari kompleks keamanan regional yang dijelaskan oleh Buzan, penulis melakukan peneltian kuantitatif untuk menjawab permasalahan tersebut, di mana String of Pearls sebagai variabel polaritas menjadi variabel independen, variabel batasan geografis, struktur anarki, dan pola amity/enmity menjadi variabel antara (intervening variable) dan akhirnya transformasi kompleks keamanan sebagai variabel dependen. Dalam penelitian ini, ditemukan hasil bahwa String of Pearls menyebabkan transformasi eksternal kompleks keamanan regional Asia Timur dan Asia Selatan dan membentuk kompleks keamanan Asia yang solid. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya absolute power dan kapasitas interaksi India dan di saat yang sama terjadi aktifitas penguatan dan perluasan jariangan quasi alliance di antara sekutu-sekutu AS sementara di saat yang sama melakukan hedging terhadap China sebagai bentuk antisipasi untuk merespon semakin menguatnya kapabilitas kekuatan laut China. India pada akhirnya menjadi bagian dari struktur polaritas dari kawasan Asia Timur, menyebabkan peleburan batasan geografis antara kompleks Asia Timur dan Asia Selatan dan akhirnya terjadilah transformasi eksternal tersebut.
Kata kunci: Regional Security Complex theory (RSCT), String of Pearls, Respon terhadap The Rise of China, hedging strategy, Transformasi Kompleks Keamanan, ,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
10
ABSTRACT
Name : Joan Radina Setiawan
Study Program : Sarjana Reguler Hubungan Internasional
Judul : Security Complex Transformation Study: The Impact of String of Pearls for East and South Asia Security Complex Transformation (2005- 2011)
This Thesis focus on the impact of String of Pearls concept (originated from a 2005 report for US Defense Ministry by Booz allen Hamilton about the increasing China activity in Indian Ocean) for regional security dynamics. With Buzan’s regional security complex theory (RSCT) as the basis, about the significance and authonomy of regional securitylevel, the author try to find out the impact of real form of String of Pearls for the composing variables of East Asia and South Asia security complex. With the using of regional security complex variables (as explained by Buzan), the autor conduct a quantitative research to answer the research question, where String of Pearls as polarity variable become independent variable and measured with Bueno De Mesquita’s systemic polarity measurement method. Boundary, anarchic structure, and amity/enmity pattern as intervening variable and security complex transformation as dependent variable. In this research, the author found that String of Pearls causes external transformation of East and South Asia security complex and formed a fully pledges Asia security complex. This happened because the increasing of India’s absolute power and interaction capacity, while at the same time there were activities of strengthening and expanding quasi alliance networking between US allies and hedging towards China as a respond of the increasing of China sea power capability. Because of that, India become the part of East Asia polarity structure, and with that the boundary between East and South Asia melted and the external transformation occurred.
Key word: Regional Security Complex theory (RSCT), String of Pearls, Respond
to The Rise of China, hedging strategy, Security Complex Transformation
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
11
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL .................................................................................... …….. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv KATA PENGANTAR ............................................................................................. v UCAPAN TERIMAKASIH.................................................................................... vi LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................... viii ABSTRAK .............................................................................................................. ix ABSTRACT ............................................................................................................ x DAFTAR ISI ........................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. … xiv BAB I ............................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 I.2 Permasalahan .................................................................................................. 6 I.3 Literature Review ........................................................................................... 6 1.4 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 12
1.4.1 Definisi Konseptual: String of Pearls ................................................... 12 1.4.2 Kerangka Teori: Regional Security Complex Theory (RSCT).............. 14
I.5 Metodologi Penelitian .................................................................................. 18 I.5.1 Metode Penelitian ..................................................................................... 18 1.5.2 Operasionalisasi Konsep ....................................................................... 18 I.5.3 Metode Pengukuran Polaritas Sistemik Bueno de Mesquita .................... 22 1.5.3 Model Analisis ...................................................................................... 28 1.5.4 Asumsi dan Hipotesis............................................................................ 28
1.6 Rencana Pembabakan Skripsi ...................................................................... 30 1.7 Tujuan dan Signifikansi Penelitian............................................................... 31
BAB II ......................................................................................................................... 32 II.1 Superkompleks Asia: Tinjauan Umum dan Historis .................................... 35 II.2 Asia Selatan .................................................................................................. 42
II.2.1 Periode Perang Dingin .......................................................................... 42 II.2.2 Kompleks keamanan Asia Selatan Setelah Perang Dingin ................... 48
II.3 Kompleks Keamanan Asia Tenggara dan Asia Timur Laut ............................. 51 II.3.1 Kompleks Keamanan Asia Timur Laut................................................. 52 II.3.2 Kompleks Keamanan Asia Tenggara ......................................................... 53 II.3.3 Level Interregional ................................................................................ 56
II.4 Pasca Perang Dingin: Munculnya Kompleks Keamanan Asia Timur ......... 57 II.4.1 Level Interregional: Superkompleks yang terus berekspansi............... 63
BAB III ....................................................................................................................... 65 III.1 Peningkatan Kapabilitas PLAN....................................................................... 67
III.1.1 Strategi Maritim China ............................................................................. 68 III.1 2 Modernisasi PLAN ................................................................................... 70
III.2 Penjelasan String of Pearls.............................................................................. 75 III.2.1Definisi dan Latar Belakang Teoritis ......................................................... 75 III.1.2 Motivasi dari String of Pearls................................................................... 82 III.1.3 Deskripsi Masing-Masing Pearls ............................................................. 86
III.2 Respons Negara-Negara di Asia Timur dan Asia Selatan terhadap The Rise of China dan String of Pearls .................................................................................. 90
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
xii
III.2.1 Kelompok Negara-Negara yang mewaspadai String of Pearls ................ 93 III.2.2 Kelompok Negara-Negara yang mengambil keuntungan dari String of Pearls dan The Rise of China ............................................................................ 102
III.4. Pengukuran Polaritas Sistemik Asia Timur dan Asia Selatan ................ 117 III.4.1 Jumlah cluster dalam sistem ................................................................... 119 III.4.2 Tightness dan Discreteness ..................................................................... 130 III.4.3 Concentration of Power.......................................................................... 132
III.5 Kesimpulan.................................................................................................... 134 BAB IV ..................................................................................................................... 137
IV.1 Dampak Perubahan Polaritas terhadap intervening variable ........................ 137 IV.1.1 Batasan Geografis................................................................................... 137 IV. 1.2 Struktur Anarki ...................................................................................... 143 IV. 1. 3 Konstruksi Sosial/Pola amity-enmity ................................................... 147
IV.2 Variabel Dependen: Transformasi Kompleks Keamanan Regional Asia Timur dan Asia Selatan ......................................................................................... 151
BAB V....................................................................................................................... 157
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
13
Daftar Gambar, Tabel, dan Diagram
GAMBAR
Gambar I.1 Jalur String of Pearls…………………………………………………...13 Gambar II.1 Kompleks Keamanan di Asia selama Perang Dingin ………………….39 Gambar II.2 Kompleks Keamanan di Asia setelah Perang Dingin ………………….40 Gambar III.1 Three Island Chain………………………………….…………………..68
Gambar III.2 Titik-titik String of Pearls………………………………………………74 Gambar III.3 Diagram Venn String of Pearls…………………………………………80 Gambar IV.1 Struktur polaritas dan batasan geografis sebelum String of Pearls……140 Gambar IV.2 Struktur polaritas dan batasan geografis sebelum String of Pearls…….141 Gambar IV.3 Peta organisasi regional-global Asia Pasifik……………………………143
TABEL
Tabel I.1 Contoh table kontingensi 4x4 untuk dyad Kanada-Holandia 1951……..13
Tabel I.2 Contoh table kontingensi 4x4 untuk dyad AS-US pada tahun 1951 …….39 Tabel III.1 Kekuatan Angkatan udara China dan Persebarannya di Taiwan ………...71 Tabel III.2 Kekuatan Angkatan udara China dan Persebarannya di Taiwan…………72
Tabel III.3 Kekuatan Misil China……………………………………………………..73 Tabel III.4 Lima negara penyuplai senjata terbesar dan pembeli utama mereka (2007-
2011) ……………………………………………………………………...92 Tabel III.5 Nilai Transfer Senjata ke Bangladesh (2005-2011)……………….…….110 Tabel III.6 Nilai Transfer Senjata ke Sri Lanka (2005-2011)………………………..111 Tabel III.7 Nilai Transfer Senjata ke Pakistan (2005-2011)………………………....115 Tabel III.8 Skor penilaian hubungan aliansi antar negara di Asia (2005)…………..122 Tabel III.9 Skor Tau-B AS-China (2005)…………………………………………...123
Tabel III.10 Skor Tau-B China-Pakistan (2005)……..………..……………………...123
Tabel III.11 Skor tau-b seluruh dyad (2005)…………………………………………124
Tabel III.12 Skor tau-b antara China dengan Pakistan tanpa faktor AS (2005)……...125
Tabel III.13 Beberapa perkembangan hubungan keamanan (2005-2011)……………126
Tabel III.14 Skor penilaian hubungan aliansi antar negara di Asia (2011)…………..127 Tabel III.15 Skor Tau-B China-India (2011)……………………...………………….128 Tabel III.16 Skor Tau-B Jepang-India (2011)……………………………………......128 Tabel III.17 Skor tau-b seluruh dyad pada tahun 2011……………………………… 128 Tabel III.18 Perbandingan nilai Tightness dan Discreteness……………………………130 Tabel III.19 Data Military Expenditures negara-negara anggota pengukuran(2005-
2011)…………………………………………………………………….132 Tabel III.20 Data GDP negara-negara anggota pengukuran dalam Miliar US$(2005-
2011)……………………………………………………………………..132 Tabel III.21 Perbandingan nilai Consentration of Power…………….......................133
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
Tabel III.22 Perbandingan semua aspek pengukuran polaritas……….......................134
14
Diagram
Diagram II.1 Perbedaan pengeluaran militer India dan Pakistan dari tahun 1991-2005 …………………………………..........................................................49
Diagram III.1 Pertumbuhan Anggaran Militer China dan Perkiraan Pengeluaran Nyata.39 Diagram III.2 Perbandingan tema-tema artikel di Modern Navy…………………………...67
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
1
Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Berakhirnya Perang Dingin telah membawa perubahan besar dalam pola
keamanan internasional secara keseluruhan. Sejak dekolonisasi, level keamanan
regional menjadi semakin otonom dan signifikan dalam politik internasional, dan
berakhirnya perang dingin telah mengakselerasi proses ini.1Pada masa Perang Dingin
dengan struktur bipolar di sistem global, masalah-masalah keamanan yang terjadi di
banyak negara sangat terkait dengan rivalitas antara kedua superpower di masa itu,
yaotu Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US). Hal ini sangat nyata terlihat dala
proxy war yang terjadi di berbagai belahan dunia.Namun, setelah berakhirnya Perang
Dingin dan berakhirnya persaingan kedua superpower, kekuatan-kekuatan di kawasan
memiliki lebih banyak ruang untuk bermanuver.2 Struktur polaritas global pun
bergeser dari bipolar menjadi multipolar. Level keamanan regional atau kawasan
kemudian muncul sebagai sebuah level keamanan yang harus diperhitungkan selain
sistem internasional dan kondisi domestik sebuah negara. Kawasan merupakan arena
di mana keamanan nasional dan keamanan global saling mempengaruhi. Pola dan
masalah keamanan dalam sebuah kawasan menjadi semakin bergantung pada
interaksi yang terjadi dalam kawasan tersebut.
Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya Regional Security Complex
Theory (RSCT) atau Teori Kompleks Keamanan Regional yang dikemukakan oleh
Barry Buzan dan Ole Weaver. Ide utama dalam RSCT adalah karena ancaman dapat
menjangkau lebih mudah dalam jarak yang pendek dibandingkan jarak yang panjang,
1 Katzens tein, Peter J. (2000): Re-examining Norms of Interstate Relations in the New Millennium, Kuala Lumpur: Paper for the 14th As ia-Pacific Roundtable 2Barry Buzan dan Ole Weaver. Regions and Powers : The Structure Of International Security. (United Kingdom: Cambridge Univers ity Pres s )
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
2
Universitas Indonesia
security interdependence secara normal berpola dalam kluster-kluster regional:
security complexes (RSCs).3 Dalam teori ini, Buzan dan Weaver menggunakan
perspektif regionalisme, yang memandang bahwa berakhirnya Perang Dingin
menyebabkan intervensi yang dilakukan terhadap oleh negara-negara adikuasa
terhadap negara-negara lain menurun, sehingga pemerintahan dan komunitas kawasan
harus mampu secara mandiri mengurus hubungan-hubungan militer dan politik
mereka. Keamanan kawasan membentuk subsistem di mana kebanyakan interaksi
keamanan berlangsung secara internal di kawasan tersebut; negara-negara saling
bermusuhan dan bersekutu dengan actor-aktor regional lain. Subsistem kawasan
inilah yang disebut oleh Buzan dan Weaver sebagai Security Complex atau kompleks
keamanan. Keamanan nasional sebuah negara di suatu kompleks keamanan sangat
terkait (security interdependence) dengan keamanan nasional negara lain dalam
kawasan tersebut. Interpretasi sebuah negara terhadap keamanan nasional negara lain
akan sangat menentukan bagaimana kondisi keamanan dalam kawasan tersebut
berlangsung.
Asia merupakan sebuah wilayah yang sangat menarik untuk dikaji dalam
konteks RSCT. Saat ini, Asia menjadi sangat penting dalam hubungan internasional
kontemporer, terutama secara ekonomi dan keamanan.Sejak kebangkitan China dan
India di tahun 1990, banyak ahli yang berpendapat bahwa Abad ke-21 adalah abad
Asia.4 Bahkan ADB memperkirakan bahwa pada tahun 2050 setengah dari Gross
National Product (GNP) dunia akan disumbang oleh Asia. Tatanan dan dinamika
keamanan yang terjadi di kawasan Asia dapat mempengaruhi sistem internasional
secara keseluruhan. Wilayah Asia, karena latar belakang historis serta karakteristik
geografis yang dimiliki, membentuk tiga kompleks keamanan yang berbeda, yaitu
Asia Timur Laut, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Ketiga kompleks keamanan ini
memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Interaksi keamanan yang intens
dan unik terjadi di masing-masing kompleks keamanan. Kompleks keamanan Asia
3Barry Buzan, Security Architecture In Asia: The Interplay of Regional and Global Levels . (The Pacific Review, Vol. 16 No. 2 2003) 4Antonio Henrique Lucena Silva, “Forging Alliances: Mapping the Balance of Power between India and China” (IPSA-ECPR Joint Conference, Sau Paulo, Brazil: 2010)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
3
Universitas Indonesia
Selatan, karena letak geografis serta latar belakang historis yang dimilikinya, relatif
lebih berdiri secara otonom dibandingkan dua kompleks keamanan lain di Asia.5
Kompleks-kompleks keamanan ini membentuk superkompleks Asia dengan China
sebagai pusatnya, namun hubungan yang lemah antara kompleks keamanan Asia
Tenggara dan Asia Selatan.6
Menurut Buzan, berakhirnya Perang Dingin merubah tatanan kompleks
keamanan di Asia. Berakhirnya Perang Dingin menjadikan C hina sebagai pihak yang
paling diuntungkan dengan berkurangnya penetrasi great power, dan hal ini
memperkuat dinamika interregional dari superkompleks Asia. Pasca berakhirnya
Perang Dingin, kompleks keamanan Asia Tenggara dan Asia Timur Laut bergabung
menjadi satu. Terbentuknya ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan pertanda
utama meleburnya dua kompleks keamanan ini menjadi satu unit kompleks
keamanan, yaitu kompleks keamanan Asia Timur. Dengan kata lain, keamanan di
kawasan Asia Tenggara akan bergantung pada kondisi keamanan di kawasan Timur
Laut, dan begitu pula sebaliknya. Konflik di Semenanjung Korea dapat
mempengaruhi kondisi keamanan negara-negara ASEAN, dan eskalasi sengketa di
Laut China Selatan juga turut berpengaruh pada kondisi keamanan Jepang dan
negara-negara sekitarnya. Sementara itu, Asia Selatan berdiri sebagai kompleks
keamanan yang independen, namun masih terhubung dengan Superkompleks Asia
yang berpusat pada China.
Buzan pernah memrediksi bahwa hubungan antara kompleks keamanan Asia
Tenggara dan Asia Selatan akan semakin kuat dengan semakin tingginya interaksi
keamanan antara China dan India. Dalam lingkup kawasan AsiaPasifik, China dan
India memang telah menjelma menjadi kekuatan utama. Banyak akademisi yang
menilai hubungan keduanya adalah hubungan rivalitas, jika kita melihat pada sejarah
hubungan kedua negara tersebut dan kepentingan strategis kedua negara saat ini.
Kondisi keamanan di Asia akan ditentukan oleh para Great Power dalam
domain kelautan. Bagi China, negara pengimpor minyak terbesar kedua di dunia,
5Barry Buzan. Op. Cit., 6Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
4
Universitas Indonesia
samudera Hindia dan transit minyak dari Asia Barat melewati Selat Malaka semakin
menjadi prioritas utama.Sekitar 80% dari impor minyak China melewati Selat
Malaka. Selain itu, hampir 25% ekspor China ke wilayah Teluk dan ke Eropa transit
melalui Selat Malaka juga. Seperti yang telah disebutkan oleh salah satu pengamat,
ledakan perdagangan China berarti bahwa “ketergantungan terhadap jalur samudra
strategis melalui Samudera Hindia dan Pasifik akan sangat meningkat.”7
Banyak yang berpendapat bahwa kekhawatiran Beijing terhadap India sangat
dipengaruhi oleh pengalaman sejarah yakni perang 1962 antara India dan China yang
memperebutkan wilayah Himalaya. Pada perang memperebutkan wilayah tersebut,
Tentara Pembebasan Rakyat China atau People Liberation Army (PLC) berhasil
mengalahkan tentara India yang tidak dipersenjatai secara maksimal dan tidak
dipersiapkan untuk pertarungan skala besar.8 China mencurigai bahwa India
mendukung gerakan resistance di Tibet yang anti China dan pro kemerdekaan Tibet.
Kekhawatiran utama China adalah India akan berusaha membalas kekalahan yang
memalukan di tahun 1962 tersebut dan menjadikan Tibet sebagai Buffer zone antara
China dan India. Dalam konteks kontrol terhadap Samudera Hindia, India yang saat
ini juga merupakan salah satu emerging power terletak secara langsung di wilayah
Samudera Hindia.China khawatir bahwa India berkeinginan untuk mengontrol
samudera Hindia dan akhirnya mendominasi Asia selatan sebagai first rate
international big power.
Rivalitas antara China dan India ini perlahan-lahan mencapai babak baru
dengan semakin intensnya naval build-up yang dilakukan kedua negara dan
identifikasi strategi yang dilakukan China untuk mengamankan suplai energinya di
Samudera Hindia. Sebuah laporan yang disiapkan oleh Departemen Pertahanan AS
menunjukkan bahwa China telah mengembangkan apa yang disebut sebagai string of
pearls untuk menghadapi tantangan-tangan yang ada di wilayah samudera Hindia.
Berdasarkan laporan tersebut, China terlibat sangat aktif dalam strategi geostrategic
7Amardeep Athwal. China-India Relations: Contemporary Dynamics. (Routledge: 2008) 8Indo-China War of 1962 . Diaks es dari http://www.globals ecurity.org pada 5 Maret 2011
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
5
Universitas Indonesia
jangka panjang untuk pendirian markas militer dan berbagai fasilitas di wilayah yang
krusial untuk garis komunikasi laut atau Sea Lines of Communications (SLOC) dan
choke points.
Strategi ini dsebut sebagai “String Of Pearls” (Untaian Mutiara) karena terdiri
dari untaian pearls atau dalam artian sebenarnya merupakan poin-poin strategis yang
dimiliki oleh China yang dihasilkan oleh kedekatan diplomatik mereka dengan negara
yang memiliki keunggulan geostrategis tertentu dengan tujuan untuk memperkuat
postur militer mereka.9 String of pearls”China membentang dari Asia Selatan hingga
Asia Timur. Banyak pihak berpendapat bahwa tujuan utama pembentukan String Of
Pearls ini adalah untuk mengamankan jalur suplai energi China di sepanjang wilayah
laut tersebut, terutama karena kehadiran India di wilayah itu.
String Of Pearls yang dibentuk, seperti yang ditunjukkan pada peta di atas,
juga menjangkau wilayah Laut China Selatan di Asia Tenggara. Jika kita kaitk an
dengan Sengketa territorial Laut China Selatan yang belum menemui resolusinya
hingga saat ini, maka String Of Pearls ini turut mempengaruhi dinamika keamanan
kawasan di Asia Tenggara. Kejatuhan Uni Soviet memfasilitasi pertumbuhan
pengaruh dan kehadiran China sepanjang “String Of Pearls” di Laut China Selatan,
Samudera Hindia, dan Laut Arab dengan memberikan China lebih banyak ruang
gerak strategis.10
Pertanyaan yang muncul selanjutnya, apakah dampak dari String Of Pearls
terhadap tatanan keamanan di kawasan Asia Selatan dan Asia Timur? Dengan
dibangunnya String Of Pearls China, interkoneksi antara kompleks keamanan di Asia
Timur dan Asia Selatan semakin menguat. Keterkaitan interregional yang semakin
menguat antara kompleks keamanan Asia Selatan dengan Asia Timur dapat
menyebabkan perubahan kompleks keamanan seperti yang Buzan jelaskan. Paling
sedikit, komponen-komponen penyusun kompleks keamanan Asia Timur dan Asia
9 Major Lawrence Spinetta. “The Malacca Dilemmaǁ‖ – Countering China‘s String Of Pearlsǁ‖ With Land Based Air Power. Diunduh dari http://www.dtic.mil/cgi- bin/GetTRDoc?Location=U2&doc= GetT RDoc.pdf&AD=A DA4769 10Chris topher J. Pehrs on. String of Pearls: Meeting the Challenge of China‘s Rising Power Across the Asian Littoral. (Strategic Studies Ins titute:2006)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
6
Universitas Indonesia
Selatan seperti yang dikemukakan oleh Buzan pada tahun 2003 akan mengalami
perubahan dengan munculnya String of Pearls ini. Jika perubahan yang terjadi cukup
signifikan evolusi kompleks keamanan bukan merupakan sesuatu yang mustahil.
I.2 Permasalahan Dalam kerangka berpikir kompleks keamanan, munculnya String of Pearls ini
merupakan sebuah pertanda munculnya fitur baru dalam kompleks keamanan Asia
Timur dan Asia Selatan. Permasalahan mengenai munculnya String of Pearls ini
berarti juga berarti bahwa terjadi perubahan dari elemen-elemen utama penyusun
kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan, merupakan sesuatu yang dapat
diteliti lebih lanjut. Munculnya jaringan pendukung armada laut China di sepanjang
Laut China Selatan dan Samudera Hindia yang direspon secara berbeda oleh negara-
negara lain di Asia Timur dan Asia Selatan yang memiliki potensi untuk merubah
atau menggeser tatanan keamanan kawasan regional, atau dalam kata lain, dapat
merubah kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan yang sangat dinamis
terutama setelah the Rise of China. Interaksi interregional yang terjadi karena String
of Pearls ini dapat mempengaruhi komponen-komponen penyusun dari kompleks
keamanan kawasan. Jika perubahan yang disebabkan oleh String of Pearls terhadap
kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan cukup signifikan, maka
transformasi kompleks keamanan dapat terjadi. Hal ini berarti menimbulkan
konsekuensi konseptual yang cukup signifikan terhadap pemahaman kita mengenai
kompleks keamanan di Asia.Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis akan
mencoba menjawab pertanyaan penelitian: “Apakah String of Pearls menyebabkan
terjadinya transformasi kompleks keamanan kawasan Asia Timur dan Asia
Selatan? (Periode 2005-2011)”
I.3 Literature Review Teori Regional Security Complex bukan hal yang baru.Sejak dirumuskan pada
tahun 90-an, sudah banyak kajian keamanan internasional dengan kerangka analisis
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
7
Universitas Indonesia
regional security complex .Asia Timur merupakan salah satu wilayah yang banyak
dikaji melalui kerangka pemikiran regional security complex. Namun, analisis
mengenai kondisi terkini kompleks keamanan Asia Timur terutama dengan
munculnya String od Pearls di Asia masih sangat langka. Dalam tinjauan pustaka ini,
penulis akan berusaha memberikan informasi mengenai penelitian-penelitian
sebelumnya yang pernah dilakukan mengenai kompleks keamanan regional.
Salah satu hasil penelitian tesis yang penulis temukan adalah disertasi dari
Andrew Brian Green yang berjudul Is there a Central Asian security complex? An
application of Security Complex theory and securitization to problems relating to
identity in Central Asia. Disertasi ini bertujuan untuk mengaplikasikan RSCT dengan
fokus pada kawasan Asia Tengah. Garis besar dari penelitian Green adalah untuk
memahami apakah kompleks keamanan regional adalah framework yang tepat untuk
memahami keamanan dan proses sekuritisasi di Asia Tengah. Kajian yang dilakukan
adalah menganalisis faktor kemampuan suatu negara untuk melakukan sekuritisasi
terhadap suatu isu namun masih dalam kerangka kompleks keamanan yang terbangun
di Asia tengah. Penelitian ini dapat menjadi contoh untuk analisis ada atau tidaknya
kompleks keamanan regional di kawasan lain. Hal ini cukup unik karena penelitian
yang berusaha mengaplikasikan RSCT untuk mengupas keberadaan sebuah kompleks
keamanan dari awal masih cukup langka. Namun, penelitian ini masih memiliki satu
kritik besar. Dalam penelitian ini sektor keamanan sosial sebagai basis sekuritisasi di
Asia Tengah merupakan fokus penelitian utama yang diambil (dalam cara yang sama
seperti penulis skripsi berfokus pada String of Pearls). Namun, analisis yang
dilakukan tidak dikonsolidasikan secara sistematis dengan menggunakan variabel-
variabel penyusun RSC yang dijelaskan oleh Buzan. Menurut saya, hal ini
menunjukkan ketidakkonsistenan dan ketidakfokusan analisis Green mengenai
kompleks keamanan regional di Asia Tengah.
Hasil penelitian lain yang penulis temukan adalah tesis berjudul Transformasi
Kompleks Keamanan di Semenanjung Korea (1991 - 2003): Aplikasi Teori
Komppleks Keamanan Regional, yang ditulis oleh Prasojo (Universitas Indonesia,
2007). Tesis itu menjelaskan mengenai transformasi kompleks keamanan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
8
Universitas Indonesia
semenanjung Korea dari pola hubungan konfliktual (permusuhan/enmity) antara Kore
Utara dan Korea Selatan menjadi bergeser ke arah pola hubungan yang lebih
kooperatif (amity). Kajian yang dilakukan adalah melihat proses transformasi
Semenanjung Korea dengan dibukanya jalur-jalur dialog dan perundingan dengan
Korea Utara oleh Korea Selatan,dalam kerangka kompleks keamanan regional. Hal
yang masih dapat dipertanyakan dalam penelitian ini adalah bagaimana penulis dapat
menentukan Semenanjung Korea sebagai sebuah kompleks keamanan yang otonom.
Atau dalam kata lain, menurut saya mengisolasi Korea Utara dan korea Selatan
sebagai sebuah unit yang memiliki proses transformasi yang otonom memiliki dasar
yang cukup lemah. Akan lebih baik jika Prasojo berusaha mengikuti pola analisis
yang telah dikemukakan oleh Green jika tetap ingin membuktikan bahwa
Semenanjung Korea merupakan sebuah kompleks keamanan yang terpisah di Asia
Timur.
Selain tesis tersebut, terkait dengan topik kompleks keamanan regional dan
konflik nuklir di Semenanjung Korea, Penulis juga menemukan tesis lain yang
berjudul Dampak Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara Terhadap
Kompleksitas Keamanan Regional Asia Timur yang ditulis oleh Alfita Farmarita
Wicahyani (Universitas Indonesia, 2010). Dalam tesisnya, Wicahyani membahas
pengaruh dari senjata nuklir Korea Utara terhadap keamanan kawasan Asia Timur
secara umum.Wicahyani mengkaji bagaimana dinamika persenjataan di Semenanjung
Korea mempengaruhi kompleks keamanan Asia Timur (buka Kompleks Keamanan
Semenanjung Korea seperti yang ditulis oleh Prasojo). Kritik utama yang dapat
diberikan bagi penelitian ini terletak pada masalah metodologi. Dari penjabaran
metodologi, Wicahyani menyebutkan bahwa penelitian yang dia gunakan
menggunakan metode kualitatif. Namun, dalam model analisis, dia membentuk dua
buah variabel (variabel dan independen) berdasarkan teori dinamika persenjataan dan
RSCT dengan analisis kausalitas (sebab-akibat).Hal ini merupakan kontradiksi karena
pada dasarnya analisis dengan menggunakan variabel dependen dan independen yang
diturunkan langsung dari teori dengan menggunakan hubungan kausalitas merupakan
bentuk penelitian kuantitatif. Selain itu, model analisis yang dia kemukakan terlihat
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
9
Universitas Indonesia
tidak fokus dengan menggunakan dua teori secara simultan.
Berikutnya adalah tulisan dari Christopher J. Pehrson yang berjudul “Meeting The
Challenge Of China‘s Rising Power Across The Asia Littoral” (2006). Tulisan ini
cenderung bersifat deskriptif. Pehrson berusaha memaparkan lebih lanjut mengenai
Strategi String Of Pearls China dengan menganalisis bentuk, tujuan dan dampak
strategis dariString OfPearls dalam konteks lingkungan keamanan global pasca
Perang Dingin. Pehrson juga mengajukan strategi yang dapat dilakukan oleh AS
dalam konteks hubungan AS China dalam lingkungan keamanan global. Dalam
tulisannya, Pehrson tidak serta merta menyatakan bahwa String of Pearls merupakan
sesuatu yang berbahaya dan bersifat militeristik. Namun, Pehrson menganggap bahwa
String of Pearls merupakan manifestasi ambisi China untuk mendapatkan status
Great Power dan mendapatkan “self determined, peaceful, and prosperous futureǁ‖.
Dengan tindakan-tindakan strategis, AS dan China dapat mencapai kerja sama yang
efektif serta menghindari ketegangan terbuka di masa mendatang.
Tulisan berikutnya adalah tulisan dari Daniel J. Kostecka yang berjudul The
Chinese Navy‘s Emerging Support Network In The Indian Ocean(Naval War College
Review, Winter 2011, Vol. 64, No. 1). Tulisan ini membahas mengenai konsep String
of Pearls yang seringkali disebut oleh AS dan India sebagai strategi besar angkatan
laut China di Samudera India yang menunjukkan peningkatan keasertifan China, di
mana Kostecka berusaha menjelaskan bagaimana China mendirikan jaringan
“tempat” (places) dan bukan “markas” (not bases) di sepanjang Samudera Hindia.
Kostecka berusaha menunjukkan bahwa kecil kemungkinannya China akan merubah
tempat-tempat ini ini menjadi pangkalan laut skala besar seperti yang dimiliki AS di
Asia Tenggara. Dengan menjelaskan mengenai keadaan-keadaan empiris di masing-
masing titik “pearls” di sepanjang Samudera Hindia (seperti di Gwadar, Salalah, dan
Aden), Kostecka berusaha menunjukkan bahwa kemungkinan adanya fungsi militer
(konvensional) dari String of Pearls sangatlah kecil. Meskipun analisis dengan data-
data empiris yang dilakukan oleh Kostecka bisa dikatakan cukup tajam, namun
menurut penulis analisis Kostecka ini masih memiliki kelemahan. Meskipun analisis
data empiris merupakan hal yang bagus, namun tanpa mempertimbangkan faktor-
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
10
Universitas Indonesia
faktor non material dalam hubungan internasional (seperti yang ditandaskan oleh
kaum konstruktivis) maka analisis tersebut bisa menyebabkan mislead. Struktur dan
agen merupakan dua hal yang saling mempengaruhi; agen membentuk struktur dan
struktur pada akhirnya membatasi perilaku agen. Di sini, Kostecka masih minim
analisis terhadap immaterial forces dari agen utama, yaitu China. Kostecka tidak atau
sangat sedikit mempertimbangkan analisis intensi tersembunyi, hidden agenda, dan
persepsi China terhadap kompetitor-kompetitornya di Asia. Dalam hal ini, menurut
penulis, Kostecka terlalu banyak melandaskan argumennya pada pernyataan-
pernyataan resmi dari pejabat resmi China.
Berikutnya adalah essay dari W. Lawrence S. Prabhakar “China‘s ‗String of
Pearls‘ in Southern Asia-Indian Ocean:Implications for India and Taiwanǁ‖ (2009).
Essai ini menjelaskan mengenai dampak dari String of Pearls terhadap Taiwan dan
India. Tulisan ini berfokus pada assessment akses ekonomi dan strategi keamanan
String of Pearls China, menganalisis lokasi-lokasi akses diplomasi China di
Samudera Hindia, menganalisis konsep peaceful rise China sebagai “penghalus” dari
kekuatan koersif China, menjelaskan dimensi kompetitif-agresif dari strategi untuk
mewujudkan“One-China Policy”, dan bagaimana semua hal itu dapat berpengaruh
bagi India dan Taiwan. Berbeda dengan tulisan dari Kostecka, dalam tulisannya
Prabhakar sejak awal sudah mengambil sudut pandang mengenai String of Pearls
China sebagai suatu hal yang bersifat militeristik. Menurut penulis, tulisan ini terlalu
bias terhadap persepsi India yang melihat China sebagai sebuah ancaman besar.
Dalam tulisan ini analisis terhadap perilaku String of Pearls hamper semuanya
didasarkan pada asumsi dan kecurigaan terhadap China (cukup kontras dengan
Kostecka).
Berbagai literatur yang ditinjau di sini adalah materi pendukung penulisan
skripsi dan sebagai bahan pembanding dalam penelitian ini. Beberapa yang telah
dipaparkan secara singkat membuktikan bahwa topik penelitian yang diajukan oleh
penulis merupakan karya ilmiah yang original dan berbeda dengan penelitian serupa
sebelumnya. Misalnya, aplikasi teori RSCT di Asia Tengah yang ditulis oleh Green
berfokus pada penilaian tepat atau tidaknya kerangka analisis Regional Security
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
11
Universitas Indonesia
Complex untuk digunakan di kawasan Asia Tengah, berbeda fokus dan objek analisis
dengan penelitian yang penulis ajukan. Perbedaan lainnya dapat dilihat dengan tesis
yang ditulis oleh Wicahyani yang menganalisis mengenai dampak dari
pengembangan nuklir Korea Utara terhadap Kompleks keamanan Asia Timur secara
utuh. Meskipun kerangka analisis dan objek analisisnya sama (kompleks keamanan
regional Asia Timur), namun penulis berfokus pada String of Pearls, dan bukannya
masalah nuklir di semananjung Korea sebagai sebuah fenomena yang kehadirannya
dapat mempengaruhi kondisi Kompleks keamanan Asia Timur. Selain itu, berbeda
dengan tulisan Wicahyani yang merumuskan model analisis kausalitas dengan
variabel dependen dan independen di dalamnya, penulis memposisikan String of
Pearls sebagai sesuatu yang embedded dalam kompleks keamanan Asia Timur dan
melihat perubahan yang (mungkin) terjadi bukan dalam kerangka hubungan
kausalitas. Fokus analisis penelitian ini adalah melihat bagaimanakah kondisi
keamanan kawasan Asia Timur SETELAH munculnya String of Pearls di lautan
Asia. Analisis ini dilakukan dalam kerangka RSCT agar kita dapat lebih secara
sistematis dan terarah dalam menilai perubahan tatanan keamanan di kawasan yang
terjadi. Sejauh ini, penulis belum menemukan adanya penelitian yang secara khusus
membahas String of Pearls dalam kerangka analisis kompleks keamanan regional.
Berbeda dengan analisis mengenai dampak dari String of Pearls yang sudah
dilakukan oleh beberapa penulis sebelumnya (seperti Kostecka dan Prabhakar), di sini
penulis akan berfokus pada dampak dari String of Pearls terhadap Asia Timur dan
Asia Selatan secara keseluruhan. Tidak kalah pentingnya, penulis menggunakan
RSCT sebagai kerangka analisis utama yang dapat membuat analisis dampak RSCT
ini menjadi lebih sistematis dan berimbang. Mengapa berimbang? Seperti yang
ditunjukkan dalam tulisan Kostecka dan Prabhakar, banyak analisis mengenai String
of Pearls cenderung berfokus pada salah satu dari dua hal: material atau immaterial
forces semata. Analisis dilakukan dalam kerangka nero-realisme (analisis power yang
bersifat material) ataupun konstruktivisme semata. Selain itu, banyak analisis tidak
bebas nilai dan bias terhadap perspektif salah satu negara. Analisis pun tidak bisa
dilakukan secara berimbang dan objektif. Menurut penulis, mengandalkan pada hanya
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
12
Universitas Indonesia
salah satu dari kedua pendekatan di atas dapat menyebabkan mislead dalam analisis.
Dengan menggunakan RSCT yang menggabungkan antara pendekatan neo -realisme
dan konstruktivisme sebagai kerangka analisis, maka analisis dapat dilakukan secara
lebih menyeluruh, objektif dan berimbang.Hal inilah yang menjadi poin orisinalita
dari penelitian yang diajukan penulis.
Oleh karena itu, signifikansi dari penelitian ini adalah untuk memberikan
analisis yang lebih sistematis dan mendalam mengenai dampak dari munculnya string
of pearls bagi keamanan kawasan Asia Timur.Penelitian ini diharapkan dapat
membawa sumbangan ilmu baru mengenai String of Pearls dan dampaknya secara
holistic bagi keamanan kawasan, yang dapat memberikan kontribusi teoritik maupun
kasuistik bagi kajian Keamanan Internasional serta pemikiran neo-realisme dan
konstruktivisme dalam ilmu Hubungan Internasional.
1.4 Kerangka Pemikiran
1.4.1 Definisi Konseptual: String of Pearls String of Pearls merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk merujuk
kepada pengaruh China yang terus berkembang mulai dari Laut China Selatan hingga
mencapai Samudera Hindia. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 2005
dalam sebuah laporan assessment internal Departemen Pertahanan AS mengenai
masa depan rencana militer Cina berdasarkan temuan agen konsultansi Booz, Allen,
dan Hamilton. Menurut laporan tersebut, China terlibat dalam strategi jangka panjang
pembangunan markas militer dan fasilitas di wilayah yang dekat dengan Sea Line of
Communications (SLOC) yang potensial dan choke points.11Semenjak konsep ini
disebutkan, String of Pearls menjadi sebuah perhatian khusus bagi pengamat
keamanan internasional di Asia. China sendiri tidak pernah menyebut konsep String
of Pearls ini sebagai strategi keamanan nasionalnya. Semenjak digulirkan, intensi dan
dampak strategis jangka panjang di konsep ini masih diperdebatkan; di titik yang
paling ekstrim, String of Pearls dianggap sebagai perwujudan agresifitas China untuk
11Amardeep Athwal. China-India Relations : Contemporary Dynamics (Routledge: 2008) hal. 44
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
13
Universitas Indonesia
mendapatkan superioritas kekuatan laut di Asia, sedangkan di sisi lain dari spektrum
ini menyebut bahwa String of Pearls tidak mengandung ancaman militer
konvensional.
Gambar I.1 Jalur String of Pearls
Menurut Christopher J. Pehrson, masing-masing “mutiara” (Pearl)dalam
String of Pearl” merupakan titik pengaruh geopolitik atau kehadiran militer China.
Pulau Hainan, dengan upgrade fasilitas militer terkini China, merupakan sebuah
“mutiara”. Sebuah pangkalan udara di pulau Woody, merupakan sebuah “mutiara”.
Myanmar, Gwadar di Pakistan, dan Chittagong di Bangladesh, merupakan bagian
dari mutiara-mutiara penyusun String of Pearl”.12 String of pearls China membentang
dari Laut China selatan, melewati Selat Malaka, Samudera Hindia, hingga Laut Arab
dan meliput Bengal, (rencana) pendanaan pembangunan Kanal di sepanjang tanah
genting Kra di Thailand, perjanjian militer dengan Kamboja dan pembangunan
kekuatan di laut China Selatan.13
Pembangunan pelabuhan dan pangkalan udara, hubungan diplomatic yang
erat, serta kerja sama modernisasi merupakan bentuk utama dari String of Pearls
China. Pengembangan strategi geopolitik “mutiara” ini tidak dilakukan dengan
12Letkol USAF Chris topher J. Pehrs on. String of Pearls : Meeting The Challenge of China‘s Rising Power Across The Asian Littoral. (Strategic Studies Indan pangkalan udara, hubungan s titute, United States Army War College: Juli 2006) hal. 2 13“China‟s „String of Pearls ‟ in the Indian Ocean and Its Security Implications ,” Strategic Analysis, Vol. 32, No. 1 (January 2008), hal. 1-22
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
14
Universitas Indonesia
konfrontasi dengan tiadanya bukti ambisi imperialisme atau neonolonialisme.
Pengembangan “String of Pearls” mungkin saja bukan sebuah strategi yang secara
eksplisit dirumuskan oleh pemerintah China, melainkan sebuahh label yang diberikan
oleh AS (atau Negara-negara lain) terhadap elemen kebijakan luar negeri China.14
1.4.2 Kerangka Teori: Regional Security Complex Theory (RSCT) Regional Security Complex Theory (RSCT) merupakan sebuah teori yang
berusaha menunjukkan bahwa dinamika keamanan internasional, terutama pasca
Perang Dingin, berpusat pada dinamika keamanan regional dan bukan hanya
dinamika great power global. Ide utama dalam RSCT adalah karena ancaman dapat
menjangkau lebih mudah dalam jarak yang pendek dibandingkan jarak yang panjang,
security interdependence secara normal berpola dalam kluster-kluster regional:
security complexes (RSCs).15
Menurut Buzan dan Weaver, Regional Security Complex adalah:
„a set of units whose major processes of securitisation, desecuritisation, or both are so interlinked that their security problems cannot reasonably be analysed or resolved
apart from one another‟16
Regional Security Complex (RSC) berarti bahwa kompleks keamanan (dengan
keterkaitan masalah keamanan yang sangat mempengaruhi proses sekuritisasi
maupun desekuritisasi) tersebut terbentuk berdasarkan kawasan atau faktor kedekatan
geografis. Pemikiran RSCT ini merupakan memiliki akar dari pemikiran
konstruktivis (yang menekankan pada dimensi konstruksi sosial) dan juga neorealist
(yang menekankan pada distribusi material power). Fungsi RSCT yang utama adalah
sebagai framework untuk mengorganisasi studi empiris keamanan regional.Ini
merupakan fungsi deskriptif dari RSCT.
14Pehrs on. Op. Cit., 15Barry Buzan. Security Architecture In Asia: The Interplay of Regional and Global Levels . (The Pacific Review, Vol. 16 No. 2 2003) 16 Barry Buzan dan Ole Weaver (2003) “Regions and Powers: The Structure ofInternational Security ”. UK: Cambridge Univers ity Pres s
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
15
Universitas Indonesia
Salah satu fungsi RSCT deskriptif adalah untuk mengidentifikasi dan
menganalisis perubahan di level regional. Struktur utama dari sebuah RSC terdiri dari
empat variable:
1. Batasan (boundary), variabel pembatas membedakan sebuah RSC dengan
tetangga di sekelilingnya
2. Struktur Anarki (Anarchic Structure) yang berarti bahwa RSC harus
tersusun dari dua atau lebih unit-unit yang otonom
3. Polaritas (polarity) yang mencakup distribusi power di antara unit-unit
yang ada
4. Konstruksi social (Social Construction) yang meliputi pola amity-enmity
di antara unit17
Menurut Buzan, RSCT dapat digunakan secara deskriptif (descriptive RSCT)
maupun secara prediktif (predictive RSCT). Secara deskriptif, RSCT berfungsi untuk
mensistematiskan sebuah studi empiris. Teori dalam RSCT deskriptif berarti
merupakan digunakan untuk mengorganisasikan sebuah field secara sistematis,
menstrukturkan pertanyaan dan membangun sebuah set konsep yang saling berkaitan
dan koheren.18 RSCT deskriptif sangat berguna untuk memberikan pemahaman
terhadap sebuah kompleks keamanan yang sudah terbentuk secara holistik dan
sistematis. Di sisi lain, RSCT prediktif berguna untuk mempelajari perubahan yang
mungkin terjadi dari kompleks keamanan yang sudah terbentuk. Dengan
menggunakan seluruh kumungkinan kondisi-kondisi yang terjadi dalam sebuah
kompleks keamanan melalui RSCT deskrptif sebagai basisnya, RSCT prediktif dapat
memberikan scenario-skenario perubahan yang mungkin terjadi dalam sebuah
kompleks keamanan.
Kemungkinan – kemungkinan perubahan yang terjadi dalam RSCT prediktif
adalah sebagai berikut:
17Ibid., 18Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
16
Universitas Indonesia
- Kawasan yang belum terstruktur memiliki kemungkinan berubah menjadi
sebuah kompleks keamanan atau di-overlay oleh superpower.
- Sebuah kawasan yang di-overlay dapat berubah menjadi bentuk apapun.
Bisa saja kawasan tersebut berubah menjadi sebuah kompleks keamanan
ataupun menjadi sebuah aktor yang terintegrasi (Contohnya, ekspansi dari
Rusia menjadi Uni Soviet setelah Perang Dunia I). Hal ini sangat
bergantung dari kedalaman dan karakter perubahan yang dihasilkan dari
overlay tersebut.
- Sebuah aktor yang terintegrasi dapat mengalami disintegrasi,seperti yang
terlihat pada bubarnya Uni Soviet dan terbentuknya Negara-negara Asia
Tengah. Jika aktor tersebut cukup besar, hal ini dapat menyebabkan
terbentuknya RSC baru dan/atau perubahan internal atau eksternal dari
RSC yang sudah ada. Misalnya, pecahnya Yugoslavia yang menyebabkan
transformasi kompleks keamanan kawasan di Balkan.
- Dalam sebuah RSC standar terdapat tiga kemungkinan perubahan atau
evolusi yang terjadi:
1. Maintenance of Status Quo: tidak ada perubahan yang esensial dalam
strukturnya
2. Internal Transformation: perubahan yang esensial terjadi dalam RSC
tersebut (tidak melibatkan RSC di sekelilingnya). Hal ini dapat berarti
perubahan dalam struktur anarki (misalnya karena integrasi regional);
polaritas kekuatan (disintegrasi, penaklukan, kesenjangan pertumbuhan
ekonomi, dan lain-lain;); dan pola amity-enmity (persaingan ideology,
perubahan rezim, dorongan historis, dan lain-lain).
3. External Transformation: perubahan batasan luar sebuah RSC (meluas
atau mengecil). Hal ini dapat terjadi karena bergabungnya dua RSC
(seperti RSC Asia Timur Laut dan Asia tenggara menjadi RSC Asia
Timur setelah berakhirnya Perang Dingin) atau sebuah RSC yang terbagi
menjadi dua.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
17
Universitas Indonesia
Potensi transformasi internal dapat dilihat dengan memperhatikan kondisi
material untuk kemungkinan perubahan polaritas, dan kondisi diskursif untuk
kemungkinan perubahan pola hubungan amity/enmity.Sementara itu, potensi
transformasi eksternal dapat dimonitor dengan melihat intensitas dinamika keamanan
interregional yang dapat menjadi pemicu perubahan. Ketika intensitas interaksi
kemanan interregional rendah, maka transformasi eksternal cenderung tidak akan
tejadi. Ketika dinamika keamanan regional yang terjadi sangat intensif, padat, dan
mengalami peningkatan, maka transformasi eksternal dapat terjadi.Berdasarkan
observasi terhadap kasus-kasus spesifik yang terjadi, Buzan danWeaver juga
mengatakan bahwa variabel-variabel seperti kemampuan interaksi, perbedaan power
dan polaritas sistem sebagai sesuatu yang dapat dimasukkan dalam analisis umum.
Buzan dan Weaver juga merumuskan beberapa tipe RSC:
1. Standar: dalam tipe ini, polaritas dalam RSC tersebut ditentukan oleh
regional power (contoh, Timur Tengah)
2. Terpusat (Centered): polaritas dalam RSC tersebut bersifat unipolar, dan
bergantung dari siapa yang menjadi unit utama yang mendominasi
kompleks keamanan tersebut, tipe RSC ini dapat dideferensiasi lagi:
- Superpower: struktur unipolar yang berpusat pada superpower dunia
(contoh, Amerika Utara
- Great Power: struktur unipolar yang berpusat pada great power (Asia
Selatan berpotensi menjadi RSC tipe ini)
- Regional Power: struktur unipolar yang berpusat pada satu regional
power
- Institutional: tindakan-tindakan para actor dalam kawasan diatur
melalui institusi yang ada (Contoh, Uni Eropa)
3. Great Power: struktur bipolar atau multipolar dengan great powers
sebagai kutub-kutubnya (Contoh, Asia Timur)
4. Supercomplexes: terciptanya hubungan interregional yang kuat dalam
dinamika keamanan yang disebabkan efek spillover yang disebabkan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
18
Universitas Indonesia
great power terhadap kawasan tetangganya (Contoh, Kompleks keamanan
Asia Selatan dan Asia TImur menjadi superkompleks Asia)19
I.5 Metodologi Penelitian
I.5.1 Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kuantitatif untuk
membahas dan menjawab permasalahan pengaruh dari String of pearls China
terhadap kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan. Penelitian ini akan
bersifat deskriptif analitis dengan mencoba memaparkanString of Pearls sebagai
sebuah variabel baru dalam kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan serta
pengaruh dari hal tersebut terhadap variabel-variabel penyusun kompleks keamanan
regional yang lain. Teori dalam hal ini digunakan sebagai lensa analisis dan
merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang saling berhubungan
dan menjelaskan suatu fenomena dengan menspesifikkan hubungan antarvariabel.
Sedangkan konsep adalah abstraksi atau pernyataan yang terbentuk sebagai akibat
generalisasi hal-hal yang bersifat khusus. Dalam penelitian tersebut dihasilkan
beberapa hipotesis (dugaan awal) yang diturunkan dari variabel yang terdapat dalam
kerangka teori. Hipotesis-hipotesis tersebutlah yang akan diuji kebenarannya.
1.5.2 Operasionalisasi Konsep Di penjelasan sebelumnya kita dapat melihat apa saja komponen penyusun
dari String of Pearls dan variabel-variabel operasi dari konsep Regional Security
Complex. Berangkat dari penjelasan tersebut, maka kita dapat mulai merancang
penelitian ini dengan menentukan variabel yang akan digunakan, hubungan dari
variabel-variabel tersebut, serta indicator dari variabel-variabel tersebut
Dengan menggunakan konsep Region Security Complex sebagai kerangka
untuk menganalisis dampak dari String Of Pearls bagi keamanan kawasan Asia
Timur, maka penulis akan menggunakan keempat variabel komponen penyusun
19Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
19
Universitas Indonesia
Regional Security Complex untuk menilai kondisi keamanan di kawasan dengan
adanya:
- Batasan: Di variabel ini, penulis akan menentukan batasan geografis dari
komplekskeamanan Asia Timur dan Asia Selatan. Kemungkinan menganai
adanya kontraksi atau ekspansi dari batasan geografis kompleks Asia Timur
Asia Selatan akan dapat dilihat dalam variabel ini. Di variabel ini jugalah kita
dapat melihat kemungkinan apakah keduanya akan mengalami transformasi
eksternal dengan saling mempengaruhi batas satu sama lain, seperti yang
terjadi sebelumnya pada Kompleks keamanan Asia Tenggara dan Asia Timur
Laut.
- Struktur Anarki: Dalam variabel ini, tingkat anarkisme atau derajat
otonomi aktor-aktor otonom dalam kompleks keamanan Asia Timurakan
dianalisis. Indikator utama untuk menganalisis hal ini Adalah melihat
signifikan atau tidaknya peranan institusi regional dalam menangani suatu isu
keamanan tertentu
- Polaritas: Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, variabel polaritas
mnjelaskan distribusi power dalam kawasan. Dengan rumusan permasalahan
yang telah disebutkan sebelumnya, penulis akan menganalisis distribusi atau
perimbangan kekuatan ekonomi dan militer di Asia Timur dan Asia Selatan
- Konstruksi Sosial/pola amity/enmity: Dalam variabel ini, penulis akan
menganalisis pola hubungan antar negara di Asia Timur. Di sini, analisis
konstruktivis akan sangat ditekankan, dengan menganalisis persepsi Negara,
faktor sejarah, interaksionisme simbolik, dan lain-lain. Pada akhirnya, penulis
akan berusaha menilaipola amity-enmity seperti apakah yang terjadi di
kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan.
Munculnya String of Pearls memperlihatkan sebuah pertanda meluasnya
pengaruh geopolitik China, yang berarti juga melambangkan pertumbuhan power
yang dimiliki China di sepanjang wilayah perairan laut Asia.String of Pearls tidak
memperlihatkan munculnya sebuah rezim keamanan baru ataupun pola amity/enmity
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
20
Universitas Indonesia
dari Negara-negara di Asia.String of Pearls merupakan murni sebuah faktor material
baru, dan bukan diskursif, yang muncul di Asia. String of Pearls menunjukkan
besarnya pengaruh ekonomi dan milniter China dan pengaruhnya yang sangat besar
terhadap negara-negara berkembang di sepanjang Samudera Hindia dan Laut China
Selatan.Pendekatan non konfrontatif dan dan bersifat pragmatis yang digunakan oleh
China untuk memperoleh pengaruh terhadap egara-negara tersebut menunjukkan
power yang semakin meningkat. Hal ini juga senada dengan yang dikemukakan oleh
J. Pehrson, yaitu wilayah Maritim melewati Taiwan, terutama sepanjang String of
Pearls, adalah area di mana China dapat melakukan inisiatif stratagis untuk
meluaskan power dan mendapatkan pengaruh.20 Kesempatan ini, bersama dengan
motif untuk mengamankan jalur energy dan perdagangan maritime sepanjang SLOC
yang vital, menjelaskan dengan sangat baik ―String of Pearls” dalam konteks
geopolitik.21Oleh karena itu, untuk menjelaskan perubahan yang terjadi dalam
kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan, String of Pearls masuk sebagai
variabel polaritas dari kompleks keamanan. String of Pearls sebagai variabel polaritas
inilah yang akan menjadi variabel independen untuk menganalisis perubahan yang
terjadi terhadap kompleks keamanan Asia Timur. Aspek utama yang harus
diperhatikan dalam variabel String of Pearls sebagai variabel polaritas ini adalah
respon dari negara-negara di Asia terhadap String of Pearls tersebut. Respon yang
berbeda-beda menjadi alasan utama mengapa String of Pearls bisa menyebabkan
perubahan polaritas dalam kompleks keamanan di Asia. Respon terhadap String of
Pearls dapat menentukan perubahan struktur polaritas (unipolar, bipolar, multipolar)
maupun keanggotaan dari struktur polaritas yang ada. Hal ini akan sangat berkaitan
dengan metode pengukuran polaritas yang akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.
Tujuan akhir dari penelitian ini adalah melihat apakah terjadi transformasi
dalam kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan karena munculnya String of
Pearls. Untuk mengetahui hal tersebut, kita terlebih dahulu harus mengetahui
perubahan apa yang muncul dalam variabel-variabel penyusun kompleks keamanan.
20 Pehrs on, Op. Cit., 21Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
21
Universitas Indonesia
Untuk itu,ketiga variabel penyusun kompleks keamanan regional yang lain (struktur
anarki, dan konstuksi sosial atau pola amity/enmity) menjadi variabel antara
(intervening variable) untuk selanjutnya menentukan apakah terjadi transformasi
dalam kompleks keamanan regional Asia Timur dan Asia Selatan. Transformasi
kompleks keamanan inilah yang akan menjadi variabel dependen dalam penelitian
ini. Kita akan melihat apakah terjadi perubahan atau tidak dalam intervening variable
karena adanya String of Pearls, dan kemudian melihat transformasi apa yang terjadi
dalam kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan: status quo (tetap/tidak
berubah), transfomasi internal, atau transformasi eksternal.Dengan menggunakan
ketiga variabel penyusun String of Pearls sebagai variabel antara dan transformasi
kompleks keamanan sebagai variabel dependen, maka penelitian ini dapat dilakukan
secara sistematis dengan logika berpikir RSCT prediktif yang dikemukakan oleh
Buzan.
Bagan dari operasionalisasi konsep tersebut adalah sebagai berikut:
Variabel Kategori Indikator
Independen
Polaritas (String of
Pearls)
Tetap
Kehadiran
pengaruh China di
Negara-negara
sepanjang
Samudera Hindia
dan laut China
Selatan
(pelabuhan,
bandara, pipa
energy, dan lain-
lain) dan respon
dari negara-negara
lain di Asia Timur
dan Selatan
Berubah
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
22
Universitas Indonesia
Intervening
Batasan
Tetap Cakupan geografis
kompleks
keamanan Asia
Timur dan Asia
Selatan setelah
munculnya String
of Pearls)
Berubah
Struktur Anarki
Tetap
Signifikansi
institusi regional
(ASEAN dan
ARF) dalam
menangani isu
String of Pearls
Berubah
Konstruksi sosial
(pola amity/enmity)
Tetap
Persepsi Negara-
negara di Asia
Selatan dan Asia
Timur terhadap
String of Pearls
Berubah
Dependen
Transformasi
Komplek keamanan
Asia timur dan Asia
Selatan
Maintenance of
Status Quo
Perubahan yang
terjadi dari
variabel-variabel
kompleks
keamanan Asia
Selatan dan Asia
Timur
Transformasi
Internal
Transformasi
Eksternal
I.5.3 Metode Pengukuran Polaritas Sistemik Bueno de Mesquita Bruce Bueno De Mesquita (1975) merancang sebuah metode pengukuran
polaritas sistem secara kuantitatif. Metode pengukuran yang diberikan Mesquita
inilah yang akan digunakan untuk mengukur perubahan polaritas kompleks keamanan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
23
Universitas Indonesia
karena String of Pearls. Dalam hal ini, kompleks keamanan dianggap sebagai sebuah
sistem. Menurut Mesquita, terdapat tiga aspek polaritas yang membutuhkan
operasionalisasi dalam metode pengukuran ini:
(1) Jumlah kutub/poles/cluster dalam sistem
(2) Tingkat keketatan dalam hubungan atau komitmen dalam sebuah kluster
(3) Derajat hubungan atau dissimilaritas di antara kluster
(4) Konsentrasi power (terdistribusi merata/dimonopoli satu kluster22
A. Jumlah kutub/poles/cluster dalam sistem
Mesquito merumuskan sebuah cara untuk menentukan jumlah dan
keanggotaan cluster yang ada dalam sebuah sistem. Prinsip dari metode tersebut
adalah melihat derajat kesamaan dalam komitmen aliansi pada semua kemungkinan
pasangan (dyad) Negara-negara dalam sebuah sisem. Oleh karena itu, aspek respon
dalam polaritas merupakan data utama yang harus didapatkan. Data respon masing-
masing negara merupakan data awal untuk melakukan pengukuran polaritas sebuah
sistem. Respon-respon dari masing-masing negara inilah yang kemudian akan
mendapatkan penilaian sebagai pola aliansi tipe tertentu berdasarkan kriteria-kriteria
khusus yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam usahanya untuk menghasilkan data-
data polaritas internasional hingga tahun 1960, Mesquita menggunakan dimensi
aliansi militer dan mengklasifikasi aliansi ke dalam empat tipe, diurutkan secara
ordinal mulai dari yang paling tinggi tingkat komitmennya (defense pact), netralitas,
entente hingga tidak beraliansi. Dia menggunakan table kontingensi 4X4 untuk
masing-masing pasangan Negara, dan setelah itu dia menggunakan fungsi
pengukuran korelasi tau-b untuk melihat derajat similaritas pola aliansi tersebut.
22 Bruce Bueno De Mes quita. Measuring Systemic Polarity. The Journal of Conflict Res olution, Vol. 19, No. 2 (Jun., 1975)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
24
Universitas Indonesia
Tabel I.1 Contoh table kontingens i 4x4 untuk dyad Kanada-Holandia pada tahun 1951
Tabel I.2 Contoh table kontingens i 4x4 untuk dyad AS -US pada tahun 1951
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
25
Universitas Indonesia
Formula skor tau-b23 :
Setelah mendapatkan seluruh skor tau-b dari seluruh dyad yang ada dalam
sistem, kita daoat membangun table persegi yang memuat seluruh skor tau-b tersebut.
Setelah itu, kita akan melakukan typel analysis untuk menentukan kluster-kluster
yang ada dalam sistem beserta anggotanya.
Penelitian ini juga akan melakukan metode yang sama dengan bantuan
program pengolah data SPSS 17. Setelah semua skor dari hubungan aliansi dari
seluruh dyad dalam sistem didapatkan, maka kita dapat mendapatkan skor tau-b dari
masing-masing dyad dengan perintah analisis bivariat, sehingga pembangunan table
kontingensi 4x4 seperti di atas tidak diperlukan lagi.
Namun, dalam penelitian ini akan ada beberapa hal yang akan disesuaikan dan
berubah dari yang pertama kali diajukan oleh Mesquita. Pertama adalah masalah
tipologi aliansi yang akan digunakan. Penelitian ini berfokus pada kawasan Asia, dan
di bawah premis dasar dari RSCT yaitu level regional memiliki derajat otonomi
tertentu dari sistem global, maka tipologi aliansi yang akan digunakan akan
bergantung kepada pola interaksi yang unik di antara negara-negara dalam kawasan
Asia Timut dan Asia Selatan sendiri. Jika kita sepenuhnya mengikuti tipologi aliansi
yang diberikan oleh Mesquita yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang Perang
Dingin di masa itu, maka dikhawatirkan dinamika keamanan lokal tidak akan
terpotret dengan sempurna dalam hasil pengukuran. Tipologi ini akan kita tentukan
setelah kita memahami bagaimanakah pola interaksi antar negara-negara di kedua
kompleks keamanan terutama dalam konteks kemunculan String of Pearls. Kedua,
adalah jumlah negara-negara yang akan dilakukan pengukuran. Belum tentu semua
23 Curtis S. Signorino dan Jeffrey M. Rittter, ―Tau-b or not Tau-B: Measuring Alliance Portfolio Similarity”. Hal. 5
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
26
Universitas Indonesia
negara dalam sistem akan masuk ke dalam pengukuran yang akan dilakukan.
Dipertanyakannya signifikansi jika seluruh negara dimasukkan dalam pengukuran
menjadi alasan utama, terutama dalam konteks variasi pola aliansi dan tingkat
national power yang dimiliki. Jika seluruh Negara yang tidak memiliki variasi dalam
pola aliansi cenderung tidak akan banyak mempengaruhi hasil penelitian, karena
mereka sudah bisa dipastikan akan berada dalam satu cluster. Oleh karena itu,
negara-negara yang akan mendapatkan pengukuran adalah major country yang sangat
berkaitan dengan isu yang ada. Penentuan negara-negara ini juga akan dilakukan
setelah kita mengetahui respon dari masing- masing negara terhadap String of Pearls.
B. Stuktur Dalam Masing-Masing Kluster (Longgar/Ketat)
Skor tau-b yang digunakan untuk mengidentifikasi keanggotaan cluster juga berguna
untuk menentukan kesamaan komitmen aliansi dia antara anggota dalam kluster yang
sama, atau antara anggota dari kluster yang berbeda. Sebuah kluster akan memiliki
derajat maksimum kesamaan komitmen (Ketat maksimum) jika total nilai Tau-b
dalam kluster tersebut sama dengan jumlah dyad atau pasangan negara-negara dalam
kluster tersebut. Terdapat dua skor yang dapat dilihat, yaitu tightness (T) atau derajat
keketatan sebuah kluster dan discreteness (D) atau derajat ketidaksamaan antar
Negara-negara dalam kluster yang berbeda. Rumus yang dapat digunakan untuk
menentukan keduanya adalah sebagai berikut.
Dengan ni= jumlah Negara-negara dalam kluster i, x=jumlah kluster dalam sistem,
dan Wab= skor tau-b untuk masing-masing pasangan ab di mana a,b adalah anggota i.
Jika T berkurang, maka keketatan sistem kluster akan berkurang.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
27
Universitas Indonesia
Bac= skor tau-b antar kluster untuk dyad ac di mana a,c bukan merupakan anggota
kluster i, dan bilangan pembagi sama dengan total jumlah dyad di sistem dikurangi
jumlah dyad di dalam kluster.
C. Concentration of Power
Indikator power umumnya didapatkan dengan mengkombinasikan (1) kapabilitas
militer-didefinisikan sebagai belanja militer dan personel militer, dengan
mengecualikan cadangan, (2) kapabilitas demografis, didefinisikan sebagai total
populasi dan populasi perkotaan di kota berpenduduk 20,000 atau lebih, dan (3)
kapabilitas industri, didefinisikan sebagai produksi baja dan konsumsi energy
industry masing-masing negara untuk ke dalam skor kapabilitas yang komposit.
Kapabilitas nasional ini kemudian dijumlahkan di dalam masing-masing kluster,
menghasilkan skor power bagi masing- masing kluster.24
Untuk mengukur derajat ketidaksamaan dalam distribusi kapabilitas, kita bisa
menggunakan indeks konsentrasi yang secara langsung menjadi bagian dari derajat
ketidaksamaan distribusi kapabilitas, dengan menggunakan fungsi berikut:
Di mana Si adalah bagian kluster I dalam jumlah kapabilitas sistemik, dan x adalah
jumlah kluster dalam sistem. Bagian pembilang adalah simpangan baku dari skor
24 Mes quita. Op. Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
28
Universitas Indonesia
agregat kapabilitas kluster, dan penyebut merukpakan kemungkinan maksimun
simpangan baku untuk sistem dengan cluster x.
Dalam penelitian ini, kita akan mensimplifikasi pengukuran power dalam dua
indikator utama, kapabilitas militer (dalam bentuk pengeluaran militer) dan juga
kapabilitas perekonomian (dalam bentuk GDP). Kedua indikator ini merupakan
indikator yang tepat untuk menjelaskan dinamika great power dalam kawasan Asia,
terutama dalam konteks The Rise of china. Peningkatan anggaran militer yang sangat
besar dan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa merupakan striking image dari Asia
saat ini. Dinamika yang terjadi di kawasan pun sebagian besar terdiri dalam dua
dimensi (yang saling berkaitan) ini. Kedua indikator ini juga sangat sesuai dengan
konsep String of Pearls, yang merupakan interseksi dari pendekatan pragmatisme
ekonomi China serta upgrading kapabilitas angkatan laut China untuk menjadi blue
water navy. Selain itu, pemilihan kedua indikator ini juga memudahkan
penghitungan, karena berbentuk nilai uang (US$), sehingga bisa langsung
dipersentasekan.
1.5.3 Model Analisis String of Pearls
Batasan Struktur Anarki Pola Amity/Enmity
Transformasi Kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan Status Quo Transformasi Internal Transformasi Eksternal
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
29
Universitas Indonesia
1.5.4 Asumsi dan Hipotesis Penelitian ini akan menggunakan asumsi regionalisme yang juga digunakan
dalam memahami konsep keamanan kawasan. Perspektif regionalisme menyatakan
bahwa kawasan merupakan sebuah level keamanan prioritas dan sangat signifikan
dalam analisis keamanan internasional. Perspektif regionalisme mengandung baik
elemen neorealisme maupun globalisme.Asumsi neorealisme dalam hal ini dapat
dilihat pada pendekatan state-centric. Pendekatan state-centric yang akan digunakan
dalam penelitian ini berangkat pada pemikiran bahwa negara adalah aktor yang
terpenting dalam politik dunia, dan bahwa sebagai aktor yang rasional, negara akan
berupaya mencapai kepentingan maksimal melalui cara-cara yang tersedia.25
Perspektif regionalism juga, sama seperti perspektif globalisme, juga menekankan
pada interplay antara teritorialisasi dan deteritorialisasi. Contohnya, dalam
globalisme sudah banyak dipahami bahwa regionalisasi, khususnya yang bersifat
kooperatif seperti grouping regionalisme ekonomi merupakan respon terhadap
globalisasi.26Selain itu, karena RSCT menjadi teoeri utama dalam penelitian ini,
maka nilai-nilai konstruktivisme yang menekankan pada pentingnya dimensi
konstruksi nilai dan persepsi yang bersifat immaterial dalam menganalisis masalah
hubungan antar negara, dan bukannya faktor material semata seperti yang
ditandaskan oleh neorealisme. Faktor material (struktur, power, polaritas) dan faktor
immaterial (persepsi, pola amity/enmity) sama pentingnya dalam penelitian ini.
Berdasarkan asumsi dan teori yang disampaikan sebelumnya, penelitian ini
akan mengajukan hipotesis sebagai berikut:
Munculnya String of Pearls China di Kompleks keamanan Asia Selatan
dan Asia Timur memberikan dampak sebagai berikut:
a. String of Pearls menyebabkan terjadinya transformasi Kompleks
keamanan Asia Selatan dan Asia Timur
25Dis ampaikan oleh Robert O. Keohane dalam tulis annya yang berjudul “Theory of World Politics : Structural Realis m and Bey ond”, dalam Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, (New York: Macmillan Publis hing Company, 1993), h. 191.
26Buzan dan Weaver.Op.Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
30
Universitas Indonesia
b. String of Pearls menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap
batasan kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan
c. String of Pearls tidak menyebabkan perubahan yang signifikan
terhadap struktur anarki kompleks keamanan Asia Timur dan Asia
Selatan
d. String of Pearls tidak menyebabkan perubahan yang signifikan
terhadap pola amity/enmity kompleks keamanan Asia Timur dan Asia
Selatan
e. Tipe perubahan yang dialami oleh variabel penyusun kompleks
keamanan tersebut (bergesernya batasan, tidak berubahnya dimensi
internal kompleks keamanan) menyebabkan transformasi eksternal
Kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan
1.6 Rencana Pembabakan Skripsi Penelitian dengan permasalahan dan model analisa di atas akan disusun ke
dalam lima bab. Bab I adalah bagian pendahuluan yang berisi latar belakang
permasalahan, pertanyaan permasalahan, kerangka pemikiran, metodologi penelitian,
tujuan dan signifikansi penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II akan
menjelaskan secara khusus mengenai Kompleks keamanan Asia Timur dan Asia
Selatan secara umum, terutama evolusinya yang terjadi pada masa sebelum dan
sesudah berakhirnya Perang Dingin. Dalam bab ini, fitur-fitur utama dari kompleks
keamanan Asia Timur terutama sebelum munculnya isu String of Pearls akan mulai
dibahas sehingga kita dapat membandingkannya dengan periode sesudah isu tersebut
muncul. Selanjutnya, Bab III akan menjelaskan lebih lanjut mengenai variabel
independen penelitian ini yaitu strategi String of Pearls sebagai variabel polaritas
dalam kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatanbaik secara konteks
pemikiran strategis, bentuk faktual dari String fo Pearls, dan juga respon Negara-
negara di Asia Timur dan Asia Selatan terhadapnya. Dalam bab ini, permasalahan
mengenai manifestasi nyata String of Pearls dan bagaimana respon nyata terhadap
String of Pearls yang dilakukan oleh Negara lain (penambahan kekuatan militer,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
31
Universitas Indonesia
persaingan pengaruh diplomatis, dan lain-lain). Bab IV kemudian akan berisi analisa
mengenai kondisi keamanan di kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan
dengan adanya String of Pearls. Analisa ini akan dilakukan dengan meneliti ketiga
variabel antara yang sudah disebutkan sebelumnya, sehingga kita bisa melihat
bagaimanakah situasi kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan pada periode
2005-2011. Selanjutnya, pada Bab V akan dirumuskan transformasi apakah yang
terjadi di Kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan berdasarkan perubahan-
perubahan yang telah ditemukan di bab sebelumnya. Pada bagian inilah jawaban dari
rumusan permasalahan seharusnya akan ditemukan, yakni apakah String of Pearls
menyebabkan transformasi internal, transformasi internal, atau maintenance of status
quo dalam Kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan. Penelitian ditutup
dengan Bab V, yang berisi kesimpulan dari penelitian sekaligus rekomendasi atau
usulan untuk penelitian berikutnya.
1.7 Tujuan dan Signifikansi Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperbaharui pemahaman kondisi
kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Seatan dengan munculnya perkembangan-
perkembangan terbaru dalam lingkungan keamanannya, di mana yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah munculnya String of Pearls di lautan Asia. Kondisi
keamanan Asia Timur yang saat ini dapat dikatakan sebagai salah satu motor utama
penggerak perekonomian dunia merupakan hal yang penting untuk diamati.
Meningkatnya kekuatan maritim China serta potensi ancaman String of Pearls masih
menjadi masalah yang diperdebatkan.Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat
merumuskan implikasi keamanan yang muncul karena String of Pearls dalam konteks
kerangka pemikiran RSCT
Adapun signifikansi dari penelitian ini adalah untuk memberikan analisis
yang lebih sistematis dan mendalam mengenai dampak dari munculnya string of
pearls bagi keamanan kawasan Asia Timur. Konsep String of Pearls merupakan
konsep yang masih relatif baru, dan hingga saat ini, penulis belum menemukan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
32
Universitas Indonesia
adanya penelitian yang secara khusus berusaha mensistematiskan studi mengenai
String of Pearls bagi keamanan kawasan Asia Timur melalui kerangka pemikiran
RSCT. Penelitian ini diharapkan dapat membawa sumbangan ilmu baru mengenai
String of Pearls dan dampaknya secara holistik bagi keamanan kawasan, yang dapat
memberikan kontribusi teoritik maupun kasuistik bagi mata kuliah Dinamika
Kawasan Asia Timur dan Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan China.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
33
Universitas Indonesia
BAB II
Kompleks Keamanan Asia (Timur dan Selatan)
Setiap kawasan di dunia memiliki keunikannya tersendiri. Asia, dengan latar
belakang historis yang panjang dan cenderung konfliktual, seperti yang dikatakan
oleh Buzan, memiliki struktur yang regional yang berbeda dan tahan yang minimal
sama pentingnya dengan level keamanan global dalam membentuk dinamika
keamanan regional.27 Saat ini, Asia yang menggaungkan prinsip Asian Way
merupakan kawasan yang menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi dunia. Satu tahun
setelah terjadinya resesi perekonomian yang terparah sejak Malaise pasca perang
Dunia I, Asia menjadi pemimpin dalam pemulihan ekonomi global. Sementara
perekonomian di Negara-negara maju terhambat dengan tingkat pengangguran yang
tinggi, neraca pembayaran yang lemah, dan kredit macet, aktivitas perekonomian
emerging and developing market di Asia terus tumbuh pesat. Pola pemulihan
ekonomi bervariasi di Asia, dengan perekonomian yang lebih berorientasi domestic
(China, India, dan Indonesia) dan Australia yang berhasil keluar dari resesi.28Secara
keseluruhan, pemulihan ekonomi di Asia telah matang dengan permintaan eksport
dan domestic member bahan bakar bagi pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat,
yang mencapai 8,3% di tahun 2010. Prospek jangka pendek sangat menjanjikan.
Dengan pertumbuhan di kawasan Asia dan Pasifik mencapai hampir7% di tahun 2011
dan 2012. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan dipimpin oleh China dan India,
yang pertumbuhan ekonominya diproyeksikan mencapai 9,5% dan 8% untuk dua
tahun ke depan. Pertumbuhan mereka akan menyebabkan dampak yang penting bagi
Negara-negara lain di kawasan (dan dunia), secara khusus melalui permintaan untuk
komoditas. Contohnya Australia yang diperkirakan pertumbuhan ekonominya
mencapai 3% dan 3,5% di tahun 2011 dan 2012, karena permintaan komoditas di
27 Barry Buzan. Security Architecture in Asia: The Interplay of Regional and Global Level. (The Pacific Review, Vol. 16 No.2 2003 : Routledge) hal. 143 28 Regional Economic Outlook : Leading the Global Recovery, Rebalancing of The Medium Term . (International Monetary Fund: 2010 ) hal. ix
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
34
Universitas Indonesia
Asia dan investasi swasta dalam pertambangan yang semakin meningkat menjadi
pendorong pertumbuhan yang utama.29
Dari segi keamanan, pertumbuhan ekonomi yang pesat diiringi dengan
pertumbuhan kekuatan militer yang tinggi. Asia Timur dan Asia Selatan menyaksikan
peningkatan belanja militer besar-besaran di kawasan, yang terutama diarahkan untuk
pengembangan kekuatan armada laut dan udara. Keamanan di wilayah lautan lepas
menjadi sebuah concern keamanan baru di Asia. Mulai paruh kedua tahun 2000-an,
dunia sedang melihat interaksi inter regional yang semakin menguat antara Asia
Timur dan Asia Selatan terkait masalah keamanan maritime ini. Dinamika keamanan
ini tentunya menjadi salah satu spotlite isu keamanan internasional, yang terutama
disebabkan oleh status Asia sebagai penggerak perekonomian dunia saat ini dan
perairan di Asia merupakan urat nadi rute perdagangan dunia.
Kondisi kompleks keamanan Asia saat ini merupakan sebuah produk evolusi
yang berlangsung sejak lama. Dalam garis waktu sejarah, Asia tak henti-hentinya
mengalami berbagai dinamika politik dan keamanan dan mengalami beberapa titik
evolusi penting yang akhirnya berpengaruh pada situasi keamanan Asia yang kita
lihat saat ini. Dalam bab ini, kita akan melihat deskripsi dari kompleks keamanan di
Asia dari masa ke masa yang sudah banyak dijelaskan oleh Buzan. Kita akan melihat
bagaimana pengalaman Asia dalam banyak babakan waktu yang berbeda akhirnya
membentuk kompleks keamanan yang saat ini kita lihat. Kita juga akan melihat
bagaimana posisi Asia dan power lokal dalam kaitannya dengan konteks keamanan
global dan interplay dari para superpower dunia. Dua masa utama yang akan banyak
dijelaskan di sini adalah masa selama Perang Dingin dan setelah Perang Dingin
hingga paruh kedua dekade pertama millennium baru. Di sini, penulis memilih untuk
banyak mengambil penjelasan dari Buzan karena yang diuji dalam penelitian ini
adalah konsepsi kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Sekatan yang dipaparkan
oleh Buzan sendiri.
29 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
35
Universitas Indonesia
II.1 Superkompleks Asia: Tinjauan Umum dan Historis
Asia merupakan salah satu kawasan di dunia di mana dinamika keamanan
regional-nya sebagian besar masih didominasi oleh isu-isu politik dan militer
tradisional. Hal ini tentunya berbeda dengan, misalnya, Uni Eropa yang telah
memiliki rezim keamanan yang terinstitusionalisasi sanga kuat dan isu-isu yang
berkembang pun sekarang justru lebih banyak didominasi isu-isu seperti
perekonomian dan lingkungan Perspektif realisme masih mendominasi kebijakan luar
negeri dan keamanan di Asia. Asia, khususnya Asia Selatan merupakan studi kasus
awal di mana teori kompleks keamanan regional pertama kali dikembangkan.
Saat ini, Asia bukan hanya menjadi kawasan utama dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi dunia, namun Asia juga memiliki dimensi keamanan yang
sangat penting di level global karena Asia memiliki beberapa great power tingkat
global dan juga potential power lain. Asia memiliki dua great power (China dan
Jepang) serta Negara ketiga (India) yang berusaha meningkatkan status dari regional
power menjadi great power. Asia juga memiliki tiga Negara pemilik senjata nuklir
(China, India, Pakistan), kemungkinan Negara keempat (Korea Utara) dan tiga
Negara pengguna energy nuklir (Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan yang melakukan
“recessed deterrence” – kapabilitas untuk bergerak secara cepat menjadi NWS ketika
lingkungan keamanan local semakin mengancam secara militer atau jaminan
dukungan AS kehilangan kredibilitas.30
Jika kita melakukan perbandingan sejarah, Asia saat ini dapat dibandingkan
dengan balance of power Eropa di abad ke-19. Asia, seperti Eropa masa lalu,
memiliki sejumlah power dengan derajat industrialisasi yang berbeda. Jepang,
misalnya, seperti Inggris, terdepan dalam kesejahteraan dan pembangunan, dan
berada terpisah dari daratan yang tak stabil. China, seperti Jerman, berada di pusat,
semakin meningkatkan power absolute dan relatifnya, memiliki masalah perbatasan
dan permusuhan yang berlatar belakang historis dengan beberapa tetangganya.
Banyak Negara yang mengkhawatirkan meningkatnya kekuatan militer dan asertifitas
30 Barry Buzan dan ole Weav er, Regions and Powers The Structure of International Security . (United Kingdom: Cambridge Univers ity Pres s , 2003) hal. 93
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
36
Universitas Indonesia
China. Analogi ini berusaha menunjukkan bahwa perilaku power politic klasik
kemungkinan besar akan menjadi standar Asia selama beberapa decade ke depan.
Keamanan politik-militer akan menjadi prioritas, dan penggunaan kekuatan fisik, atau
perang skala penuh, diangkat sebagai sebuah kemungkinan. Pembangunan ekonomi
menjadi prioritas bukan hanya untuk tujuan kesejahteraan dan menjaga kekuatan
militer, namun juga untuk menaikkan peringkat kekuatan militer.31
Namun, tentunya Asia juga memiliki perbedaan yang berarti terhadap Eropa. Asia
membawa sejarah yang berbeda. Dengan pengecualian Jepang, China, dan Thailand,
seluruh wilayah Asia merupakan bekas jajahan kolonial. Bahkan ketiga Negara
tersebut sangat dipengaruhi oleh imperialisme Barat. Namun tidak seperti di Afrika
dan Amerika, proses dekolonisasi di Asia meninggalkan sistem negara yang
merefleksikan politik zaman pra colonial. Hal ini juga berhubungan bagaimana posisi
Asia dalam level global, terutama status great power yang diklaim China, Jepang,
dan India. 32
Sejarah bangsa-bangsa pra kolonial di Asia memiliki porsi besar dalam
membentuk dinamika interaksi antar Negara di Asia setelah berakhirnya
kolonialisme. Sebelum menjadi bagian dari sistem hubungan internasional yang
dibuat Eropa, Asia memiliki dinamika keamana pra kolonial sendiri. Di Asia Timur
pra kolonial kekhawatiran utama adalah kekuatan imperial China. Ekspedisi Laut
Admiral Zheng He pada abad ke-12 telah dicirikan sebagai bagian dari usaha
ambisius kekaisaran Ming China untuk mewujudkan Pax Sinica di seluruh Samudra
Hindia. Sebagai tandem dengan ekspedisi militer ke yunnan dan Vietnam, ekspansi
maritim yang diperintahkan oleh kekaisaran Yong Le diperhitungkan akan membawa
kekuatan-kekuatan politik yang jauh dalam kontrol China, mendapatkan pengakuan
superioritas, dan mendominasi perdagangan Laut-Barat. Pelayaran kekaisaran Ming,
eperti halnya yang dilakukan Portugis seabad kemudian dalam arah yang berlawanan,
dilakukan untuk mengontrol kota-kota pelabuhan dan rute perdagangan sebagai cara-
31 Ibid., hal. 94 32 Ibid., hal. 96
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
37
Universitas Indonesia
cara eksploitasi ekonomi.33 Xu Qi mengatakan bahwa geostrategi China kontemporer
sangat dipengaruhi oleh apa yang disebutnya sebagai “sejarah tragis” di mana China
menutup dirin dari dunia luar dan melupakan pentingnya pertahanan laut, yang pada
akhirnya menjadi jalur masuk utama para penginvasi asing dan menyebabkan China
di abad ke-19 mengalami “periode yang memalukan” di bawah kontrol kekuatan
Barat.34
Kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara sendiri memiliki sejarah peperangan yang
besar satu sama lain (Burma, Thailand, Vietnam, Kamboja) dan sejarah panjang
ratusan tahun perlawanan Vietnam terhadap penjajahan China. Di akhir abad ke-19,
terjadi migrasi besar-besaran dari China ke Negara-negara Asia Tenggara, yang
implikasinya dapat dirasakan hingga saat ini dalam politik domestic di Asia Tenggara
dan hubungan Negara-negara tersebut terhadap China. Asia juga memiliki sejarah
kolonialnya sendiri dengan serbuan imperial Jepang di tahun 1895 dan 1945 yang
meninggalkan luka yang mendalam bagi beberapa Negara, khususnya China dan
Korea. 35
Sementara itu, Asia Selatan atau subkontinen India pra kolonial mengembangkan
peradabannya yang unik sendiri dan sebagian besar terpisah dari kesatuan politik
China.36 Asia Selatan memiliki dinamika kerajaan-kerajaan sendiri serta fragmentasi,
dan lebih mengkhawatirkan serangan bangsa bar-bar dari Barat daya. Kerajaan-
kerajaan besar di Asia Selatan yaitu Maurya, Gupta, dan Mughal, merupakan
kerajaan yang berpusat di India dan berusaha mewujudkan India sebagai sebuah
kesatuan politik yang mencakup seluruh Asia Selatan.37 Pengalaman sejarah ini juga
yang nantinya akan berpengaruh pada dinamika politik dan keamanan Asia Selatan
setelah kolonialisme.
33 Emrys Chew. Crouching Tiger, Hidden Dragon: Indian Ocean and Maritime Balance of Power in His torical Pers pective. (S. Rajaratnam School of International Studies . Singapore:2007) hal. 4 34 Xu Qi. Maritime Geostrategy and the Development of the Chinese navy In the Twenty First Centur y dalam China Military Science (2004) 35 Buzan dan Weaver. Op Cit., hal. 95 36 Robert D. Kaplan. South As ia‟s Geography of Conflict. (Center for a New American Secutity. US:2010). hal. 5 37 Ibid., hal. 7-8
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
38
Universitas Indonesia
Kompleks Keamanan di Asia sebagian besar terbentuk karena insulasi yang
terbentuk oleh ukuran geografisnya (yang sangat besar) dan keberadaan great ower di
dalamnya. Kronologi terbentuknya kompleks keamanan di Asia paska kolonial adalah
sebagai berikut: pertama, munculnya Great power di Asia Timur laut di akhir Abad
ke-19; dan kemudian, setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua terbentuk dua
kompleks keamanan standar di Asia Tenggara dan Asia Selatan. 38
Keberadaan great power di Asia berarti dua hal. Pertama, dinamika keamanan
interregional di Asia menjadi jauh lebih kuat dibandingkan dinamika interregional di
kompleks keamanan standar lainnya. Kedua, hubungan keamanan antara level global
dan regional menjadi lebih kuat dengan hubungan dua arah yang tercipta (regional
mempengaruhi global, global mempengaruhi regional) jika dibandingkan dengan
kompleks keamanan lain di mana level regional biasanya kurang mempengaruhi level
kamanan global. Karena hubungannya dengan level global, Asia, terutama Asia
Timur, menjadi salah satu wilayah utama rivalitas superpower selama Perang Dingin.
Sebagai akibatnya, momen berakhirnya Perang Dingin berpengaruh sangat besar di
Asia. Pembagian Asia menjadi tiga kompleks keamanan yang berbeda merupakan
akibat dari besarnya halangan geografis dan rendahnya kapasitas interaksi. Namun,
seiring meningkatnya absolute power di Asia, signifikansi batasan geografis semakin
berkurang. 39
Detail dari hal yang dimaksud dalam paragraf sebelumnya adalah sebagai berikut:
Pada masa Perang Dingin, Asia terdiri dari tiga kompleks Keamanan yang berbeda:
kompleks keamanan Asia timur Laut, kompleks keamanan Asia Tenggara, dan
Kompleks Keamanan Asia Selatan. Ketiga kompleks keamanan ini sangat
dipengaruhi oleh rivalitas superpower, dengan Perang Dingin yang berpengaruh
secara langsung terhadap keamanan lokal di Asia Timur Laut dan Asia Selatan.
Dengan berakhirnya perang sipil di China pada tahun 1950, China menjadi semakin
stabil dan lebih berpengaruh dalam dinamika keamanan Asia Selatan dan Asia
Tenggara. Dinamika keamanan interregional ini cukup kuat dan terjaga untuk
38 Buzan dan Weaver. Op. Cit., hal. 96 39 Ibid., hal.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
39
Universitas Indonesia
menghasilkan Superkompleks Asia yang berpusat di China, namun dengan hubungan
yang lemah antara Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan bergesernya struktur Global menjadi
1+4 (satu superpower dan empat greatpower), dengan dua great power terletak di
Asia. Setelah perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet, kehadiran AS di kawasan
perlahan-lahan berkurang. Jepang memilih tetap menjadi subordinat dari AS. China
menjadi pihak utama yang diuntungkan dari mundurnya Superpower di Asia, dan
akhirnya meningkatkan hubungan inter regional dari superkompleks Asia. Asia
tenggara juga mendapatkan keuntungan dengan mundurnya superpower, dengan
bergeser dari Kompleks Keamanan yang bercorak formasi konflik yang disebabkan
rivalitas ideology luar, menjadi rezim keamanan berbasiskan ASEAN. Di saat yang
sama dengan transformasi internal ini, Asia Tenggara dan Asia Timur Laut
mengalami proses transformasi eksternal, dengan secara efektif bergabungnya
dinamika keamanan mereka dan membentuk sebuah kompleks keamanan Asia Timur
yang padu. Sementara itu, Asia selatan tetap menjaga status mereka sebagai
kompleks keamanan yang independen, namun tetap terhubung dengan superkompleks
Asia yang China-sentrik. India sendiri berusaha mencapai status great power dengan
membentuk kompleks keamanan yang berpusat pada dirinya sendiri, dengan berusaha
meruntuhkan deadlock bipolaritas bersama Pakistan. 40
Di bagian selanjutnya akan dijabarkan deskripsi dari masing-masing kompleks
keamanan di Asia sebelum dan sesudah Perang Dingin. Kita akan melihat bagaimana
ciri khas dari kompleks keamanan di Asia menghasilkan perkembangan yang berbeda
dari kompleks keamanan lain. Seperti yang dijelaskan Buzan dan Weaver, Asia
memiki tiga poin yang menarik untuk studi kasus RSCT. Pertama, Asia merupakan
tempat di mana para pengamat dapat melihat proses transformasi internal dan
eksternal. Di Asia Selatan kita dapat melihat pergeseran dari bipolaritas menjadi
unipolaritas dengan India sebagai aktor utamanya, pembentukan security regime di
Asia tenggara, dan bergabungnya kompleks keamanan Asia Tenggara dan Asia Timur
Laut menjadi kompleks keamanan Asia Selatan. Kedua, Asia adalah tempat di mana
40 Ibid., hal. 97
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
40
Universitas Indonesia
41Ibid.,
kita dapat melihat fenomena superkompleks yang beroperasi selama periode waktu
yang lama. Ketiga, Asia memiliki tiga Insulator (Mongolia, Burma, dan Afghanistan)
serta satu kombinasi insulator dan buffer, yang peran dan evolusinya dapat dilihat
selama jangka waktu yang panjang.41
Gambar II.1 Kompleks Keamanan di As ia s elama Perang Dingin (Sumber: Buzan dan Weaver (2003)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
41
Universitas Indonesia
Gambar II.2 Kompleks Keamanan di As ia s etelah Perang Dingin
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
42
Universitas Indonesia
II.2 Asia Selatan
II.2.1 Periode Perang Dingin
Seperti telah disebutkan sebelumnya, Asia Selatan merupakan studi kasus
pertama RSCT pertama kali dikembangkan. Kompleks keamanan Asia Selatan,
seperti kebanyakan kawasan keamanan paska kolonial, muncul sebagai suatu
kawasan formasi konflik. Jika dilihat kapabilitas domestiknya, semua Negara di Asia
Selatan selama Perang dingin dapat diklasifikasikan sebagai weak states, meskipun
demokrasi yang berlangsung di India mendorongnya ke arah spektrum antara lemah
dan kuat. Politik domestik negara-negara di Asia Selatan cenderung tidak stabil,
dipenuhi dengan perseteruan antar agama dan etnik, dan afiliasi etnik dan agama yang
bersifat transborder ini menyebabkan konflik domestik dapat berpegaruh pada
ketidakstabilan regional. Hubungan antara Asia Selatan dengan level keamanan
global juga sangat terkait dengan persaingan tiga arah antara AS-China-Soviet.42
Batasan Geografis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kompleks keamanan
Asia Selatan berkembang secara terpisah dari Asia secara umumnya yang berpusat
pada China. Kompleks keamanan di Asia Selatan cukup terinsulasi dari sekelilingnya
oleh Burma (Asia Tenggara) dan Afghanistan (dari Teluk).43 Kawasan modern Asia
Selatan terdiri dari apa yang secara tradisional disebut sebagai subkontinen India.
Secara kasar, kawasan ini terdiri dari kawasan di antara China di bagian utara dan
Samudera Hindia di Selatan; dan antara Afghanistan di barat dan Myanmar di timur.44
Selama Perang Dingin, Asia Selatan sebagian besar terperangkap dalam kawasan
mereka sendiri, terutama rivalitas antara India dan Pakistan. Selama masa Perang
Dingin, Pakistan, Bangladesh dan Nepal yang berada di dalam subkontinen India
memberikan ancaman yang cukup signifikan bagi India, mengurangi energi politik
India yang dapat digunakan untuk power projection ke seluruh Eurasia.45 Akhirnya
ruang gerak India pun terbatas di Asia Selatan saja. Perang utama dalam ketiga
42 Ibid., hal. 101-104 43 Ibid., hal. 103 44 Uttara Sahas rabuddhe. REGIONALISATION PROCESSES IN SOUTH AND SOUTHEAST ASIA: A COMPARATIVE STUDY. (Univers ity of Mumbai. India:2003) hal. 4 45 Kaplan. Op. Cit., hal. 5
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
43
Universitas Indonesia
kompleks keamanan ini cenderung tidak berefek pada kompleks keamanan
tetangganya.
Hubungan Asia Selatan dengan superkompleks Asia pada masa Perang Dingin
pun hanya terbatas dalam hubungan keamanan antara India dengan China. Konflik
perbatasan antara India dengan China terhadap Tibet dan Himalaya pada tahun 1962
muncul sebagai momentum pembuka terbentuknya Superkompleks Asia. Seandainya
saja, India bisa menjaga Tibet sebagai insulator antara Asia Selatan dan India,
Kompleks Keamanan Asia Selatan akan tetap terpisah dari Utara. Namun aneksasi
Tibet oleh China menempatkan perbatasan China mendekati jantung wilayah India
dan selama 1950an meningkatkan friksi terhadap perbatasan yang disengkatakan.
Akhirnya hal ini menyebabkan perang perbatasan antara India dan China pada 1962,
krisis kecil pada 1987, dan perasaan khawatir India terhadap China yang bertahan
sangat lama. Berkaitan dengan ini, kerja sama militer yang bertahan lama (meskipun
bukan aliansi) antara China dan Pakistan terbentuk sejak 1960. Dalam konteks RSCT,
dinamika keamanan Sino-India yang muncul di tahun 1950-an dapat dilihat sebagai
bagian dari proses yang lebih luas di mana superkompleks Asia terbentuk pada masa
itu.46
Struktur Polaritas. Kompleks keamanan Asia Selatan memiliki struktur
polaritas esensial bipolar yang berakar oleh sekuritisasi Timbal-balik antara india-
Pakistan. Pemisahan Bangladesh dari Pakistan tidak terlalu mempengaruhi bipolaritas
ini karena lemahnya Negara tersebut. Bipolaritas ini semakin meruncing dengan
munculnya dimensi nuklir dalam rivalitas militer antara India dan Pakistan.47
India dan Pakistan sudah berperang sejak awal pada tahun 1947 yang dimulai
dengan disintegrasi masyarakat karena konflik agama antara Liga Muslim dan Partai
Kongress yang bertransformasi menjadi rivalitas antar Negara yang bersifat politik
militer antara Pakistan Islam dengan India yang sekuler, multicultural, namun
didominasi oleh Hindu.48 Pakistan, yang berada di Barat laut India di mana wilayah
pegunungan bercampur dengan tanah datar, adalah perwujudan nasional dan
46 Buzan dan Weaver. Loc.Cit., 47 Ibid., hal.104 48 Ibid., hal. 102
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
44
Universitas Indonesia
geografis dari gelombang Muslim yang masuk ke India selama sejarah. India adalah
Negara demorasi sekuler yang harus keluar dari politik agama untuk menghindari
perpecahan Hindu-Muslim di Negara mayoritas Hindu tersebut. Di sisi lain, Pakistan
yang meskipun menganut demokrasi juga, merupakan sebuah republic Islam dengan
elemen radikal. Dalam banyak cara, Pakistan berseberangan dengan prinsip-prinsip
liberal yang menjadi dasar India.49
Rivalitas ini menghasilkan tiga perang (1947-8, 1965, 1971), beberapa krisis
serius yang dapat menyebabkan perang (1984, 1987, 1990, 1999, 2002) dan banyak
sekali insiden-insiden militer Konflik-konflik domestic turut menambahkan api dalam
rivalitas India Pakistan. Sejak 1998 rivalitas ini akhirnya memiliki dimensi nuklir.
Inilah yang menyebabkan Pakistan terus dipertimbangkan sebagai ancaman bagi
India hingga saat ini. Tentu saja, India dapat mengalahkan Pakistan dalam perang
konvensional. Namun dalam masalah nuklir, atau perang melawan terorisme,
Pakistan dapat menyeimbangi India.50
Seperti Pakistan, Negara-negara kecil dan sekunder di Asia Selatan (Nepal,
Bhutan, Sri Lanka, Maldives, Bangladesh) terikat dalam kompleks keamanan karena
keterikatan ekonomi dan sosial mereka dengan India. Untuk beberapa alasan, tidak
pernah ada tendensi dari seluruh negara lain untuk berpolarisasi membentuk aliansi
anti India yang berpusat pada Pakistan. Baik India maupun Pakistan tidak menarik
sekutu kawasan Asia Selatan, di mana berarti India berhasil menjaga politik di
kawasan dengan basis bilateral.51 Meskipun begitu, kekhawatiran akan intensi India
untuk menjadi hegemon utama di kawasan bersifat laten.
Nepal dan Bhutan bergantung pada India untuk perdagangan dan transit. Sri
Lanka bersikap netral dalam rivalitas India-Pakistan, namun terikat kepada India
karena masalah pemberontakan minoritas Tamil yang berhubungan dengan etnis
Tamil di india Selatan. India pernah mencoba mengintervensi dari tahun 1987 hingga
1990-an, namun gagal untuk menyelesaikan masalah tersebut.Maldives merdeka pada
1965, dan krisis politik domestik membuatnya meminta India mengintervensi pada
49 Kaplan. Op. Cit, hal. 10 50 Ibid., 51 Buzan dan Weaver. Loc Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
45
Universitas Indonesia
1989. Bangladesh lahir pada 1971 sebagai hasil dari perang sipil di Afghanistan dan
perang besar ketiga antara India dan Pakistan, serta terikat dengan India karena
kesamaan budaya Bengali, air sungai, dan masalah migrasi. Selama masa perang
dingin intensitas perekonomian tidak terlalu besar. Interdependensi ekonomi tidak
cukup kuat untuk membatasi persaingan politik militer di kawasan.
Bipolaritas di Asia Selatan ini mencapai babak baru dengan masuknya China
dalam rivalitas India dan Pakistan. China memberikan dukungan bagi Pakistan
dengan tujuan untuk mengunci India agar tetap berfokus di Asia Selatan dan
mengurangi ancaman India terhadap China. Jika India masih harus menghadapi
Pakistan, maka India tidak bisa memusatkan perhatiannya untuk menghadapi China
yang mengancam wilayah perbatasan India. Hal inilah yang menjadi penyebab
kompleks keamanan Asia Selatan menjadi bagian dari superkompleks Asia yang
berpusat pada China.
Struktur Anarki. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan
keamanan di Asia Selatan selama Perang Dingin disebabkan ketiadaan (atau tidak
berjalannya) rezim keamanan di wilayah tersebut. Hasilnya, adalah tingkat anarki
yang sangat tinggi, dengan aktor-aktor yang sangat otonom dan kurangnya prinsip,
nilai, atau norma yang dapat menjadi aturan bermain dalam pelaksanaan politik luar
negeri di kawasan.
Asia Selatan memang memiliki sebuah organisasi regional yang disebut South
Asian Association for Regional Cooperation (SAARC). Pembentukan organisasi ini
terinspirasi oleh pembentukan ASEAN di Asia Tenggara. Namun, SAARC tidak
pernah sebegitu signifikan dan tidak mempengaruhi politik keamanan di kawasan.
Langkah awal menuju pembentukan organisasi regional adalah pertemuan Menteri
Luar Negeri di antara tujuh Negara-negara Asia Selatan (Bangladesh, Bhutan, India,
Maldives, Nepal, Pakistan and Sri Lanka), di Colombo in 1981. Hal ini kemudian
diikuti dengan pertemuan lain di New Delhi pada 1983. Pertemuan ini mengadopsi
Deklarasi South Asian Regional Co-operation (SARC) dan meluncurkan Program
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
46
Universitas Indonesia
Aksi Terintegrasi. Kepala-kepala Negara di Asia Selatan bertemu di Dhaka pada
1985 Desember dan menandatangani piagam SAARC.52
Asia Selatan menderita saling kecurigaan satu sama lain, proliferasi nuklir,
konflik etnis yang berdarah dan penurunan dalam modal sosial yang terlihat dalam
hubungan antar Negara dan trans Negara. Rivalitas India Pakistan telah menjadi pusat
konflik identitas Asia Selatan. Hal ini terus berlangsung meskipun adanya SAARC.
Sementara blok kawasan lain mulai muncul sebagai komunitas yang terikat kuat,
SAARC belum berkembang sama sekali.53
Pola yang terjadi sebelum SAARC terbentuk tidak mengalami perubahan.
Proses regionalisasi belum mengambil tempat di Asia Selatan. Negara-negara di
kawasan tidak memiliki pendekatan yang sama untuk menyelesaikan masalah antar
Negara di kawasan. India menekankan bilateralism dan juga menolak peran power
luar kawasan untuk menyelesaikan konflik regional. Namun, Negara-negara lain
nampaknya tidak menolak ide peran power luar kawasan. Pertemuan Tingkat Tinggi
SAARC tidak menegosiasikan konflik antar negara, baik secara formal maupun
informal. Tidak ada deliberasi dalam isu-isu politik dan keamanan utama yang
berdampak pada sebagian besar negara di kawasan, seperti masalah perbatasan,
nasionalisme etnik dan separatisme, dan demokrasi. Sebagain isu high politic
sebagian besar dikesampingkan dari pembahasan.54
Pola Amity/Enmity.Elemen sosial bermain cukup kuat dalam dinamika
keamanan Asia Selatan, yang menghasilkan pola enmity yang cukup kuat di kawasan.
Pakistan merupakan negara baru tanpa akar sejarah khusus. Sri Lanka memiliki
tradisi sejarah sendiri. India dapat dianggap sebagai penerus kekaisaran lamanya
(Maurya, Gupta, Mughal). Dalam hal ini, kehadiran India sebagai “pewaris”
kekaisaran lama di Asia Selatan menjadi latar belakang historis mengapa Negara-
negara di Asia Selatan khawatir akan intensi agresifitas India untuk mendominasi
Asia Selatan. Kekaisaran Mughal bisa dikatakan sebagai kekaisaran terbesar Asia
Selatan Pra-Kolonial yang berpusat di new Delhi, yang wilayah kekuasaannya
52 Uttara Sahas rabuddhe, Op.Cit., hal. 4 53 Athur Rahman. SAARC: Not Yet A Community 54 Ibid,, hal. 2
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
47
Universitas Indonesia
mencakup hampir seluruh wilayah Asia Selatan, termasuk Pakistan dan Afghanistan.
Bagi para elite India, anggapan bahwa Pakistan merupakan bagian dari tanah air India
tidak hanya wajar, namun memiliki pembenaran secara historis.55
Sebelum kemerdekaan Pakistan, proses sekuritisasi antara India dan Pakistan
utamanya bersumber dari keinginan Muslim untuk mendapatkan kemandirian politik
dan kebudayaan. Setelah kemerdekaan, sekuritisasi utamanya terjadi karena klaim
territorial, isu status dan balance of power, klaim keterlibatan kedua Negara untuk
instabilitas yang terjadi satu sama lain, dan perbedaan yang mendasar dalam
konstitusi mereka. Banyak orang-orang Pakistan yang berpikir bahwa India dengan
konstitusinya yang sekuler dan federal bersama dengan warisan imperialnya berniat
untuk menyatukan seluruh Asia Selatan di bawahnya. Sementara itu, India
mengkhawatirkan Pakistan yang mengklaim diri sebagai rumah Muslim di Asia
Selatan akan merusak tatanan multikulturalitas di negaranya sendiri.56
Hubungan Dengan Level keamanan Global. Di level global, Kompleks
keamanan Asia Selatan bukan merupakan teater utama Perang Dingin, namun tetap
dipenetrasi oleh superpower. Teori RSCT menyatakan bahwa, ketika terdapat
rivalitas antara global power, sebuah kompleks keamanan dalam mode formasi
konflik, cenderung akan menarik intervensi dari luar. 57
Perang Dingin menciptakan hubungan khusus antara India, Pakistan, China,
dan AS. Pakistan sejak awal berusaha mengasosiasikan dirinya sendiri dengan AS,
dan selanjutnya China. Sejak pecahnya konflik perbatasan China-India, China dengan
jelas memberikan dukungannya kepada Pakistan. Dalam persaingannya dengan India,
China membangun hubungan diplomatic khusus dengan Pakistan yang diharapkan
dapat membatu China untuk membuat India dikepung dari dua arah, sehingga India
tidak dapat memusatkan kekuatan militernya jika perang benar-benar terjadi.
Pada tahun 1950-an Pakistan sukses menjadi bagian dari jaringan AS dalam
aliansi containment. Meskipun hubungannya dengan AS mengalami pasang surut,
terutama sejak tahun 1970-an karena isu proliferasi nuklir, Pakistan mendapatkan
55 Kaplan. Op. Cit., hal. 9 56 Buzan dan Weaver. Op. Cit., hal. 102 57 Ibid., hal. 104
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
48
Universitas Indonesia
dukungan AS lagi di tahun 1980an sebagai sekutu AS melawan pendudukan Soviet di
Afghanistan. Dukungan AS terhadap Pakistan selama perang Dingin ini membuat AS
menjadi objek sekuritisasi India dan asosiasi India-Soviet mulai terventuk di tahun
1960-an. Dengan begini, perpecahan local di Asia Selatan terkait dan didorong oleh
pola rivalitas global AS-Soviet dan China-Soviet.
II.2.2 Kompleks ke amanan Asia Selatan Setelah Perang Dingin
Paska Perang Dingin, Buzan merancang dua skenario masa depan kompleks
keamanan Asia Selatan. Skenario pertama merupakan kontinuitas dari kondisi
kompleks keamanan Asia Selatan selama perang Dingin, dan skenario kedua
merupakan skenario terjadinya transformasi kompleks keamanan Asia Selatan, baik
secara internal maupun eksternal.58
Keberlanjutan Status Quo dari Asia Selatan dapat dilihat pada dimensi Pola
Amity/Enmity dan struktur anarki kompleks keamanan Asia Selatan. Dari segi pola
amity/enmity, pola permusuhan dan saling curiga di Asia Selatan tidak mengalami
perubahan. Bahkan tensi antara India dan Pakistan, bukan hanya bertahan, namun
semakin tereskalasi. Kepemilikan senjata nuklir oleh kedua Negara merupakan
kekhawatiran utama. Pakistan mendapatkan asistensi dari China dalam
pengembangan nuklir, dan India kemungkinan dari Israel. Posisi Negara-negara lain
terhadap India pun tidak banyak berubah, dan saling curiga satu dengan yang lainnya
masih belum menghilang.
Dari segi struktur anarki, berakhirnya Perang Dingin tidak mengakselerasi
penguatan SAARC sebagai rezim keamanan utama di Asia Selatan. Pada Desember
2003, SAARC merayakan ulang tahun ke-18. Akan tetapi, tidak tampak adanya
antusiasme di jalan-jalan ibukota di Asia Selatan. Harapan tinggi yang dimunculkan
pada pertengahan 1980-an mengenai kerja sama regional Asia Selatan bahkan belum
terbentuk meskipun hanya sebagian.59 SAARC sebagian besar masih dianggap
sebagai sarana lip service semata, sebuah institusi untuk “menyapu semua
58 Ibid., hal. 106 59 Athiur Rahman. Op.Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
49
Universitas Indonesia
permasalahan ke bawah karpet”. Bilateralisme masih merupakan hal ayng utama di
kawasan.
Sebaliknya, tanda-tanda transformasi internal dapat dilihat terutama dari segi
dimensi Polaritas. Struktur polaritas yang bertahan selama Perang Dingin di Asia
Selatan perlahan-lahan berubah. Pakistan yang menuju ke arah negara gagal
nampaknya telah kalah bersaing oleh India yang memperlihatkan performa ekonomi
yang impresif. Hal ini menyebabkan bipolaritas di Asia Selatan dipertanyakan dengan
India yang menjadi lebih hegemonik, atau terjadi perubahan menjadi unipolar.
Bahkan dengan pemerintah yang sangat korup dan berantakan, Pakistan disebut
menuju ke arah failing state. Hal ini diperparah dengan masuknya kelompok Taliban
dari Afghanistan ke wilayah Pakistan untuk mendapatkan dukungan dan melindungi
diri dari keberadaan AS di Afghanistan, meskipun Pakistan dipaksa AS untuk
bergabung dalam Perang melawan terorisme dan memaksa pemerintah Pakistan
meninggalkan sekutu Talibannya. Terjadinya kekerasan terbuka antara Suni, Syi‟ah
dan Kristen juga menjadi hal harus disekuritisasi Pakistan.60 Kesenjangan power
sangat besar antara India dan Pakistan dengan mudah dilihat dari semakin
meningkatnya perbedaan jumlah pengeluaran militer dari tahun ke tahun. Jika pada
tahun 1991 pengeluaran militer Pakistan masih mencapai sekitar 1/3 dari pengeluaran
militer India, pada tahun 2005 pengeluaran militer Pakistan hanya mencapai 1/7-nya.
60 Buzan dan Weaver. Op.Cit., hal 107
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
50
Universitas Indonesia
35000
30000
25000
20000
15000
India
Pakis tan
10000
5000
0
Diagram II.1 Perbedaan pengeluaran militer India dan Pakis tan dari tahun 1991 -2005
dalam juta US$, nilai kurs 2010 (Sumber data: SIPRI Fact Sheet, dengan editan penulis )
Dari segi batasan geografis kompleks keamanan, periode setelah Perang Dingin
hingga awal tahun 2000-an masih menunjukkan kontinuitas atau tidak adanya
perubahan. Kita bisa melihat ini dari kontinuitas dalam level interregional mengenai
Superkompleks Asia, terutama hubungan antara India, China, dan Pakistan. China
nampaknya tetap berusaha menjadikan Pakistan sebagian mengikat kekuatan India,
sehingga India tidak akan menyebabkan masalah bagi China.61 Akumulasi power
India yang terus melangkah untuk menggapai status great power memberikan
kemungkinan transformasi eksternal kompleks keamanan di Asia Selatan. Impresif-
nya pertumbuhan ekonomi India menunjukkan power yang semakin meningkat.
Meskipun menurut Buzan batasan kompleks keamanan Asia Selatan cenderung stabil,
namun kepentingan kompleks keamanan Asia Selatan secara keseluruhan cenderung
berkurang bagi India. India telah melangkah untuk mendapatkan great power
credentials di Asia. India bahkan turut diundang untuk turut bergabung dalam ARF.
61 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
51
Universitas Indonesia
Dalam level global, pola intervensi aktor luar di Asia Selatan cenderung berlanjut.
Namun, dengan terjadinya serangan 9/11, AS mulai mengintensifkan kerja sama
dengan India dan menempatkan Pakistan sebagai rekan dalam perang melawan
terorisme, sementara China masih terus menjalin kerja sama dengan Pakistan sebagai
mitranya “menjaga” India di Asia Selatan.62 Hal inilah yang menyebabkan intensitas
interaksi keamanan antara Asia Selatan dengan Asia Timur semakin menguat, dan
membuka peluang transformasi kompleks keamanan sebagaimana yang terjadi di
Asia Timur setelah perang Dingin, yang akan dijelaskan secara lebih lanjut di bawah.
II.3 Kompleks Keamanan Asia Tenggara dan Asia Timur Laut
Sebelum dan selama perang dunia II, kekuatan Jepang dan ambisi imperialnya
menghubungkan Asia Timur Laut dan Tenggara menjadi satu kawasan keamanan.
Selama Perang Dingin, pola keamanan regional di Asia Timur sangat dipengaruhi,
namun tidak sepenuhnya di bawah kedua superpower. Hal ini menyebabkan
kompleks keamanan Asia Tenggara dan Asia Timur Laut menjadi dua kompleks
keamanan yang berbeda.63
Menurut Mak, Asia Pasifik dapat dianggap sebagai dua sub region yang
berbeda (Asia timur laut dan Asian tenggara) yang memiliki prioritas strategis dan
problem yang berbeda. Asia timur Laut dapat dideskripsikan menggunakan perspektif
neo-realis, sementara Asia Tenggara bersikap lebih cenderung kepada neoliberal
institusionalis.64
Situasi Perang Dingin di Asia Timur (khususnya Timur Laut) parallel dengan
yang terjadi di Eropa, yaitu sebagai frontline dari rivalitas superpower, dengan
penempatan kekuatan superpower di beberapa Negara. Hanya saja, Asia Timur tidak
sepenuhnya mengalami overlaid seperti yang terjadi di Eropa, dinamika keamanan
lokal masih aktif di bawah jubah Perang Dingin. Perang Dingin membagi Korea,
China, dan Vietnam yang mengakibatkan perang-perang lokal Taiwan, Korea Selatan
62 Ibid., 63 Ibid., 64 J.N. Mak. “The Asia Pacific Security Order” dalam “Asia Pacific in the New World Order”. (USA: Routldge, 1998)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
52
Universitas Indonesia
dan Jepang masuk ke dalam konsep Aliansi yang dibentuk AS untuk membendung
komunisme. Setelah tahun 1960, China berpartisipasi dalam rivalitas tiga arah dengan
AS dan US. China juga memainkan peran signifikan di Asia Tenggara, bersaing
dengan Vietnam.65
II.3.1 Kompleks Keamanan Asia Timur Laut
Dinamika keamanan di Asia Timur Laut pada saat Perang Dingin sebagian
besar berlangsung di level domestik (Perang sipil China) dan level global
(Pendudukan AS di Jepang, dan pendudukan bersama AS dan US di Korea. Hingga
berakhirnya Perang Sipil China dan mundurnya AS dan US dari Korea dan
dilepaskannya Jepang dari pemerintahan pendudukan, penetrasi superpower masih
sangat kuat, bahkan hampir mencapai overlaid. Keberadaan pasukan AS di Jepang
(Lewat Traktat Keamanan AS dan Jepang tahun 1951) dan Korea Selatan (Perang
Korea), serta China dan Korea Utara sebagai Sekutu US. Perang Korea menjadi titik
utama pembagiann Timur-Barat di Kawasan, dan diperkuat lagi dengan intervensi AS
dalam perang sipil China dengan mendukung secara penuh kemerdekaan Taiwan.
Batas garis-garis containment di kawasan antara lain Selat Taiwan, Laut Jepang, dan
Perbatasan Korea. Tahun 1960, China melepaskan dari dari aliansi US dan mengejar
atatus sebagai great power sebagai oposisi terhadap kedua superpower. Meskipun
kekuatan militernya tidak dapat menyaingi baik AS maupun US, China dianggap
secara serius sebagai ancaman ideologis dan strategis oleh kedua superpower.66
Namun di bawah imposisi rivalitas level global ini, dinamika keamanan
regional asli terap beroperasi. Salah satu dimensinya adalah peninggalan Perang
Dunia II yang belum terselesaikan, dan sebagian besar adalah ketakutan dan
ketidaksukaan publik terhadap Jepang oleh China kedua Korea. Ketiga Negara
tersebut menyimpan memori buruk terhadap Jepang, dan hanya karena provokasi
sekecil apapun dapat menyebabkan diplomasi retoris mereka tereskalasi menjadi
sekuritisasi kemungkinan remiliterisasi Jepang, atau instnsi untuk menghidupkan
65 Buzan dan Weaver, Op. Cit. hal. 128-129, 66 Ibid., hal. 131
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
53
Universitas Indonesia
struktur hegemonic pra-1945. Selain itu, sengketa territorial antara China, Jepang,
dan Korea juga menjadi latar belakang regional dalam konflik yang ada. Perang
Dingin juga menciptakan dinamika keamanan lokal yang pada akhirnya menjadi
mandiri dari Perang Dingin itu sendiri. Hal ini terutama dapat dilihat dari
pembentukan dua Korea dan dua China (RRC dan Taiwan). 67
II.3.2 Kompleks Keamanan Asia Tenggara
Di Asia Tenggara, dekolonisasi memproduksi formasi konflik tipikal post
kolonial. Sebagian besar terdiri dari Negara lemah, namun karena kebanyakan
Negara-negara ini memiliki akar sejarah yang cukup solid, Negara-negara modern
dan tahan lama segera muncul. Seperti Timur Tengah, kompleks keamanan ini segera
dimasuki oleh kekuatan luar. Asia Tenggara muncul sebagai sebuah kawasan yang
penuh dengan konflik dalam proses dekolonisasi. Filipina di tahun 1946, Indonesia di
1949, Burma 1948, Kamboja pada 1963, Laos dan Vietnam pada 1954, Malaya pada
1957, dan Singapura pada 1965. Sejak awal proses dekolonisasi ini sangat
dipengaruhi oleh pertarungan ideology komunis dan anti komunis, yang bertahan
secara efektif hingga berakhirnya Perang Dingin. 68
Penetrasi level global dalam kompleks keamanan Asia Tenggara yang baru
terbentuk sangat besar, sehingga dinamika keamanan asli Asia Tenggara sulit
dibedakan. Hal ini bisa dilihat dari masuknya pasukan AS secara besar-besaran antara
1962 dan 1973, dan pembangunan markas militer superpower di Vietnam (AS dan
US), Filipina (AS), Thailand (AS). Namun, diamika keamanan asli regional tetap
saja ada dan signifikan.69
Secara geografis dan kultural, Asia Tenggara dapat dibagi menjadi dua sub-
kawasan yang berbeda, yaitu Asia Tenggara daratan dan Asia tenggara maritim.70
Burma dapat didebatkan sebagai anggota kesepuluh, namun dalam konteks keamanan
67 Ibid., hal. 132 68 Ibid., hal. 133 69 Ibid., hal. 134 70 Sahas rabuddhe. Op.Cit. hal. 6,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
54
Universitas Indonesia
dapat lebih akurat dideskripsikan sebagai buffer state, atau zona keamanan relative
antara kompleks keamanan Asia Selatan dan Asia tenggara.71
Perang Dingin sangat berpengaruh pada pembentukan struktur polaritas di
Asia tenggara, apalagi karena salah satu proxy war utama, yaitu Perang Vietnam.
Bipolaritas dengan latar belakang rivalitas ideologi akibat Perang Dingin
mendominasi Asia tenggara. Kompleks keamanan Asia Tenggara selama Perang
Dingin terdiri dari Sembilan Negara yang terbagi dalam dua kelompok: kelompok
pertama merupakan kelompok komunis, berorientasi Soviet, dan didominasi oleh
Vietnam (Vietnam, Laos, Kamboja); dan kelompok non-komunis, kelompok
berorientasi Barat yang terdiri dari enam Negara yang sejak 1967 membentuk
Association of Southeast Asian Nations (Malaysia, Singapore, Philippines, Indonesia,
Thailand, dan sejak 1984, Brunei).72 Setelah kekalahan AS di Vietnam, peran Negara-
negara yang masuk dalam blok AS di kawasan menjadi berkurang, dan memaksa
ASEAN untuk mengambil peran yang lebih aktif melawan ekspansionisme Vietnam.
Burma tetap inward looking dan terisolasi selama Perang Dingin, dan menjadi
insulator antara Kompleks keamanan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Namun hal ini
tidak terjadi di Indochina. Ekspansionisme komunis Vietnam yang sangat besar di
Indochina dan dominasinya terhadap Laos dan kamboja menyebabkan penyebab
utama. Thailand berhadapan secara langsung dengan “trio komunis” (Vietnam, Laos,
Kamboja) sepanjang perbatasan dengan Laos dan kamboja. Hal ini merupakan sebuah
rivalitas yang mengkombinasikan antara rivalitas tradisional Thai-Vietnam dan
pengaruh Perang Dingin yang sangat besar.73
Sebelum terbentuknya ASEAN, Asia Tenggara memiliki pola formasi konflik
yang cukup mencolok. Pola konflik formasi ini mulai berubah yang dimulai dengan
pergantian kekuasaan di Indonesia sejak 1965, yang merubah politik konfrontasi
menjadi kebijakan untuk mempromosikan stabilitas regional untuk mendorong
proyek pembangunan ekonomi berskala regional (namun terkontrol secara nasional).
71 Barry Buzan. The Southeast Asian Security Complex dalam Contemporary Southeast Asia , Vol. 10, No. 1 (June 1988), 72 Ibid., hal. 4 73 Buzan dan Weaver., Regions and Power. Op. Cit., hal. 135
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
55
Universitas Indonesia
Pada tahun 1967, Malaysia, Singapura, Filipina, Indonesia, dan Thailand sepakat
membentuk ASEAN pada 1967 dimana mereka mulai membangun rezim keamanan
sub-regional.74 Negara-negara anggota ASEAN berhasil menahan konfilik-konflik di
antara mereka, dan secara efektif membentuk rezim keamanan regional yang lemah.
ASEAN berhasil mendorong dua perjanjian penting yang menjadi dasar untuk
mencapai stabilitas regional. Pertama adalah Treaty of Amity and Cooperation di Asia
Tenggara, yang ditandatangani langsung oleh kepala pemerintahan negara-negara di
ASEAN pada 24 Februari 1976. Perjanjian ini menaruh dasar-dasar hubungan antara
negara di kawasan dan terbuka untuk negara-negara lain di luar kawasan yang ingin
bergabung. Perjanjian kedua adalah Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone
Treaty, yang ditandatangani pada Desember 1995, yang meminta komitmen semua
negara ASEAN untuk tidak "mengembangkan, memproduksi atau menerima,
memiliki atau mengontrol senjata nuklir; menempatkan atau mengangkut senjata
nuklir dengan cara apapun; atau melakukan uji coba senjata nuklir" di Asia
Tenggara.75
Negara-negara postcolonial membawa stuktur politik yang serupa dengan
masa pra kolonial yang menghasilkan resonansi sekuritisasi berlatar historis di antara
mereka. Di masa-masa awal kemerdekaan menciptakan pola enmity atau permusuhan
yang kuat di Asia Tenggara. Thailand dan Vietnam Utara terseret dalam rivalitas
antara Kamboja dan Laos, dan Kamboja melawan hegemoni Vietnam. Antara 1963
hingga 1066 Indonesia mengancam untuk menghancurkan federasi Malaysia baru,
dan bergesekan dengan Singapura. Selain itu, terdapat pula sengketa territorial antara
Filipina dengan Malaysia terkait wilayah Sabah.76
Namun, seiring dengan berkembangnya ASEAN, pola enmity di antara
Negara-negara Asia Tenggara perlahan-lahan dapat ditekan. Hal ini disebabkan
meningkatnya kesadaran bahwa stabilitas regional merupakan prakondisi wajib untuk
pembangunan nasional masing-masing negara. Pola enmity tersebut perlahan-lahan
74 Ibid., hal. 134 75 Sahas rabuddhe. Op.Cit., hal. 7 76 Buzan dan Weaver. Regions and Power. Hal. 134
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
56
Universitas Indonesia
dialihkan menjadi kerja sama pembangunan dan pengurangan kecurigaan satu sama
lain dengan ASEAN sebagai mekanisme confidence building measures (CBM).
II.3.3 Level Interregional
Dalam level ini, ada lima hal yang dapat dipertimbangkan. Pertama adalah
hubungan antara Asia Tenggara dengan Pasifik Selatan. Hal ini sebagian besar terdiri
dari traktat pertahanan antara Australia dan Selandia Baru dengan negara-negara Asia
Tenggara. Kedua, adalah sengketa territorial yang tidak terselesaikan antara Jepang
dan Uni Soviet terhadap empat pulau kecil di sebelah utara Hokkaido. Ketiga adalah
sisa-sisa ketakutan dan ketidaksukaan terhadap Jepang yang dimiliki Negara-negara
yang pernah diokupasi Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II. Keempat adalah
hubungan terhadap Asia Selatan yang meliputi sengketa perbatasan India-China dan
aliansi China dengan Pakistan. Yang terakhir, dan juga yang paling utama dalam
analisis RSCT, adalah hubungan antara Asia Timur Laut dan Asia Tenggara. 77
Hubungan antara Asia Tenggara dan Asia Timur Laut disebabkan oleh
spillover dari Utara ke Selatan, terutama karena keterlibatan langsung China di Asia
Tenggara. Hubungan ini serupa dengan peran China di Asia Selatan. Namun,
dibandingkan dengan Asia Selatan, pola keterlibatan China di Asia Tenggara
menunjukkan hubungan interregional yang lebih kuat. Keterlibatan China di Asia
Tenggara terutama disebabkan oleh konfliknya terhadap kekuatan lokal, yaitu
Vietnam, dan aliansi dengan aktor lokal lain (Thailand, Khmer Merah).78
Rivalitas keduanya dapat ditelusuri dalam sejarah ribuan tahun resistensi
terhadap pendudukan kerajaan China di Vietnam. Selama perjuangan Vietnam utara
melawan AS yang berusaha membuat Vietnam tetap terbagi dua, solidaritas komunis
dan anti Amerika menutupi perbedaan lokal dan China dianggap sebagai sekutu
Vietnam Utara. Namun, setelah Vietnam kembali bersatu dan mulai menguasai Laos
dan Kamboja, dinamika keamanan level regional kembali aktif. China, bersama
dengan Negara-negara ASEAN dan Barat sangat menentang pendudukan Vietnam
77 Ibid., hal. 136 78 Ibid., hal. 137
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
57
Universitas Indonesia
terhadap Kamboja. China mendukung pasukan Khmer Merah selama masa
pendudukan Vietnam dengan pasokan senjata dan bekerja sama dengan Thailand
dalam kasus ini. Selain Vietnam, beberapa negara lain di Asia Tenggara memiliki
alasan historis yang kuat untuk melihat China sebagai ancaman.79
Kesamaan terakhir dengan Asia Selatan adalah klaim China secara langsung
terhadap teritori di kawasan. Bahkan, klaim teritori dan kedaulatan China di Asia
Tenggara berada tepat di Asia Tenggara, yaitu Laut China Selatan, wilayah kepulauan
Paracels dan Spratly. Konflik ini melibatkan secara langsung Vietnam dan Filipina
yang juga mengklaim wilayah tersebut sebagai milik mereka. Berbagai konflik militer
terjadi antara China dan Vietnam di Kepulauan Spratly di tahun 1988, dan klaim
China ini memaksa Vietnam dan Filipina memperkuat posisi militer mereka di
Spratly.
II.4 Pasca Perang Dingin: Munculnya Kompleks Keamanan Asia Timur
Tidak seperti di Asia Selatan, berakhirnya Perang Dingin di Asia Timur
memberikan dampak besar. Di Asia Tenggara mundurnya kekuatan Soviet dan
ditariknya pasukan AS memfasilitasi pergeseran dari bipolarisasi konfliktual menjadi
rezim keamanan. Di Asia Timur Laut, ketegangan di Semenajung Korea berlanjut,
dan Jepang masih menjadi rekan subordinat dari AS. Berakhirnya Perang Dingin
memberikan keleluasaan dan ruang gerak lebih bagi China untuk meningkatkan
pengaruh dan power di kawasan, sehingga membuka jalan untuk terjadinya
transformasi eksternal dalam arsitektur keamanan di Asia Timur, yaitu bergabungnya
Negara-negara di Asia Timur dalam sebuah kompleks keamanan tunggal. Momen
utama yang menjadi penanda berlangsungnya hal ini adalah pembentukan ARF pada
1994-5.80
Pada tahun 2000, ASEAN memenuhi targetnya yaitu bergabungnya semua
Negara di Asia Tenggara dalam keanggotaan. Berakhirnya masalah Perang Dingin
dan isu kebangkitan China yang semakin menguat, dinamika kawasan yang
79 Ibid., 80 Ibid., hal. 144
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
58
Universitas Indonesia
konfliktual perlahan menghilang. ASEAN semakin berusaha merangkul Burma,
karena kekhawatiran di ASEAN bahwa pengisolasian Burma hanya akan
meningkatkan kedekatan junta militer Burma dengan China. Sementara itu, di Asia
Timur Laut, pola dinamika keamanan lokal Pasca perang Dingin tidak banyak
berubah. Namun interdependensi keamanan dengan Asia Tenggara semakin
meningkat, hingga di titik kuatnya hubungan interregional AsiaTimur Laut dan Asia
Tenggara berubah menjadi penyatuan kedua kompleks keamanan tersebut.
Superkompleks Asia pun menjadi terdiri dari dua kompleks keamanan: kompleks
keamanan Asia Timur dan kompleks keamanan Asia Selatan.81
Munculnya kompleks keamanan Asia Timur ini dapat dilihat dalam dua cara
yang berbeda. Pertama, kompleks Asia Timur yang berpusat pada China, muncul dari
Perang Dingin dan hubungan keamanan antara China dan Asia tenggara. Dengan
hilangnya Soviet dari arena hubungan politik militer antara China dan Asia Tenggara
menjadi semakin penting, memicu pertumbuhan hubungan dinamika keamanan
politik militer di Asia Tenggara dan Asia TImur Laut. Kedua, adalah Asia Timur
yang berpusat pada Jepang, yang muncul dari hubungan ekonomi Asia Timur yang
mulai menguat selama tahun 1980-an.82
Batasan Geografis. Keberadaan ARF secara simbolis memperlihatkan penyatuan
kawasan Asia Timur Laut dan Asia Tenggara menjadi kompleks keamanan Asia
Timur. Kompleks keamanan Asia Timur ini mencakup seluruh Negara di kawasan
Asia timur laut (China, Jepang, Korea Selatan dan Utara, Taiwan), seluruh negara
anggota ASEAN, dan termasuk pula Australia dan Selandia Baru. Namun karena
peran dari ASEAN, ARF menjadi jauh lebih efektif untuk mengikat kekuatan utara,
terutama China dan Jepang, ke Asia Tenggara dibandingkan mengikat Asia Tenggara
ke dinamika Asia Timur Laut. Taiwan bukan anggota ARF, dan hal ini mengekslusi
salah satu konflik kunci di Asia Timur Laut dari agenda ARF. Selain itu, krisis di
semenanjung Korea juga masih tidak tertangani ARF.83
81 Ibid., 82 Ibid., hal. 156 83 Ibid., hal. 160
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
59
84 Ibid., hal. 157 85 Ibid., hal. 158
Universitas Indonesia
Polaritas. Pada akhir akhir 1990, kehilangan dukungan eksternal (dari Soviet)
memaksa Vietnam meninggalkan konfrontasi Militer langsung dengan China, dan
mencari tempat dalam ASEAN yang terus berkespansi. Menghilangnya kekuatan
Soviet dari Asia Tenggara di akhir 1980an melemahkan posisi Vietnam. Pada tahun
1988 dan 1989 Vietnam menarik mundur pasukan mereka dari Laos dan Kamboja.
Vietnam menjadi aktif bergabung di ASEAN pada 1995 sebagai langkah yang
dipandang terbaik untuk menghadapi China dalam jangka panjang. Hal ini secara
efektif mengakhiri konflik bipolar di Asia Tenggara, dan membuka jalan bagi
ASEAN untuk menyatukan sub-kawasan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan dan
non-intervensi, meskipun bukan dalam bentuk aliansi militer. Pergeseran ini merubah
fokus stratagis (ASEAN) dari Kamboja dan perbatasan darat Sino-Vietnam menjadi
Laut China Selatan pada khususnya dan Asia Timur yang lebih luas pada umumnya.84
Selama Perang Dingin, asertifitas terirotial China di Laut China Selatan
terutama diarahkan terhadap Vietnam, namun juga mempengaruhi Brunei, Malaysia,
Filipina, dan Indonesia. China terus menggunakan kekuatan bersenjata untuk
mengokupasi kepulauan Spratly dan pada 1994 mengokupasi Mischief Reef, yang
sejak lama diklaim Filipina. ASEAN gagal mengambil posisi yang kuat menghadapi
gerakan China ini.85
Kegagalan ASEAN untuk menjadi counterweight bagi China ini akhirnya
membuat ASEAN meluaskan focus strategis regional dengan China sebagai pusatnya.
ASEAN pasca Perang Dingin tidak dapat lagi hanya terbatas di Asia Tenggara saja.
ASEAN ingin melakukan pendekatan dengan China, tidak hanya bersama seluruh
Asia Timur, namun seluruh Pasifik, bahkan dalam konteks global. ASEAN Regional
Forum (ARF) yang dibentuk pada tahun 1994 menjadi kendaraan utama untuk
melaksanakan agenda ini. ARF menghubungkan power menengah dan kecil di
ASEAN bersama dengan rekan dialog mereka yaitu AS, Jepang, China, Rusia, Korea
Selatan, Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, dan Uni Eropa. Jepang memainkan
peran yang signifikan dalam pengembangan ARF ini. ARF mengikat Jepang dan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
60
Universitas Indonesia
China dalam kerangka kerja institusional, mengizinkan Jepang untuk mengatasi
masalah historis, China untuk mengatasi masalah ketakutan Negara-negara
tetangganya, dan keduanya untuk berusaha menghindari perilaku balancing terhadap
satu sama lain yang mencurigakan. Sebuah usaha dari Jepang untuk meningkatkan
dimensi keamanan dalam hubungannya dengan ASEAN mendapatkan respon yang
dingin, karena ASEAN terbukti tidak ingin memprovokasi China dengan tanda-tanda
aliansi anti-China. ASEAN lebih memilih cara mencoba merangkul China secara
diplomatis dengan membangu masyarakat internasional regional, memaksimalkan
keterlibatan power luar dalam kawasan, dan mencoba meluaskan rezim keamanan ala
ASEAN ke seluruh Asia Timur.86
Dilihat dari perspektif realis, ARF dapat dilihat dalam dua cara yang saling
berlawanan, namun juga saling komplementer. Pertama, di permukaan, ARF
merupakan upaya kolektif Asia Timur untuk mensosialisasikan China menjadi
“tetangga yang baik” dengan memasukkannya dalam jaringan dialog. Aspek ini dapat
dilihat sebagai pendekatan terinstitusionalisasi terhadap China. Kedua, di bawah
permukaan, ARF dapat dilihat sebagai peletakan fondasi kolektif untuk balancing
terhadap China jika upaya sosialisasi gagal dan interpretasi terhadap perkembangan
China sebagai sesuatu yang berbahaya menjadi kenyataan.87
Struktur Anarki. Struktur anarki Asia Timur merupakan sesuatu yang cukup unik.
Asia Timur tidak bisa dikatakan memiliki sebuah rezim keamanan yang kuat seperti
di Uni Eropa, namun Asia Timur (yang dipicu oleh ASEAN) mengembangkan pola
pengaturan keamanan yang tidak didasarkan pada konsensus yang mengikat, namun
lebih pada dialog dan membangun keprcayaan antara satu dan yang lainnya. Pendek
kata, di Asia Timur kita bisa melihat paradoks dari konsep rezim keamanan; di Asia
Timur, rezim keamanan tidak mengurangi derajat otonomi Negara-negara di
bawahnya seperti yang dapat kita lihat di Uni Eropa. ASEAN dan ASEAN Regional
Forum berdiri sebagai organisasi/kerangka kerja dengan promosi perdamaian dan
keamanan melalui diplomasi preventif, dialog, dan confidence building measures
86 Ibid., hal. 158 87 Ibid., hal. 161
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
61
Universitas Indonesia
(CBM) sebagai bagian dari tujuan mereka. Namun keduanya tidak dapat dilihat
sebagai organisasi keamanan atau mekanisme pencegahan konflik formal dalam
konteks yang lebih ketat. ASEAN bertindak sebagai "organisasi keamanan luna"
meskipun negara-negara anggotanya cenderung menolak "hard scurity
arrangements".
ARF pada dasarnya hanyalah forum untuk dialog keamanan dan confidence
building, dibandingkan sebagai organisasi keamanan.88 Pada 1992, seluruh kepala
negara ASEAN mendeklarasikan bahwa ASEAN harus mengintensifkan dialog
eksternal dalam masalah politik dan keamanan sebagai upaya untuk membangun
kerja sama di antara negara-negara di kawasan pasifik. Dua tahun kemudian, ASEAN
Regional Forum didirikan. ARF didesain untuk meningkatkan dialog konstruktif dan
konsultasi masalah-masalah politik dan keamanan yang menyangkut kepentingan
bersama serta meingkatkan upaya menuju confidence building dan diplomasi
preventif di kawasan Asia Pasifik.89
China yang pada awalnya tidak merasa nyaman dengan multilateralisme
dengan cepat menyesuaikan diri dengan ARF, karena melihat keuntungan ARF
sebagai prosedur lunak untuk menghindari konflik. China meningkatkan
partisipasinya di ARF dan CSCAP (the council for Security Cooperation in Asia
Pacific) pada tahun 1996 sebagai respon hubungan yang memburuk di Asia Timur
Laut dan dengan AS. 90
ASEAN berusaha keras menjaga kepemimpinan dalam ARF, meskipun
Jepang dan AS terus menginginkan pengaruh yang lebih besar bagi diri mereka
sendiri. China dan India melihat keuntungan dari kepemimpinan ASEAN ini sebagai
mekanisme yang bagus untuk membatasi dominasi AS di ARF. Ada perdebatan
dalam ARF antara beberapa Negara Asia Timur (terutama Jeoang) yang
menginginkan AS tetap berada di kawasan untuk berperan seabagi penyeimbang
88 Mikael Weis s man, Understanding the East Asian Peace Informal and formal conflict prevention and peacebuilding in the Taiwan Strait, the Korean Peninsula, and the Sout h China Sea 1990 -2008. (Univers ity of Gothenburg. Germany:2009) 89 ASEAN Regional Forum dalam Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes (Center for Non Proliferation Studies : 2012) hal. 1 90 Buzan dan Weaver. Op. Cit., hal. 159
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
62
Universitas Indonesia
China yang mana negara-negara di Asia Timur belum bersedia menyediakan
penyeimbang tersebut dari diri mereka sendiri, dan di sisi lain ada tendensi dari
ASEAN untuk tidak bertindak agresif terhadap China dan di saat yang sama tidak
terlalu mendukung kehadiran militer AS. Setelah krisis tahun 1997 yang melanda
ASEAN, Asia Timur Laut mendominasi kawasan Asia Timur yang semakin
disimbolisasikan oleh “ASEAN plus 3” (Tiga yang dimaksud adalah China, Jepang,
dan Korea Selatan) di mana ASEAN tidak lagi terlalu memainkan peran dominan.91
Pola Amity/Enmity. Dengan berakhirnya Perang Dingin dan semakin meningkatnya
peran ASEAN di Asia Timur, sebagian besar pola enmity lama dapat ditekan,
terutama di Asia Tenggara. Namun di Asia timur laut secara umum pola amity/enmity
tidak banyak berubah, konflik dua Korea nampak tidak mengalami perubahan dan
sengketa Taiwan tidak menemui penyelesaian. Kecurigaan historis satu sama lain
masih tetap terasa, meskipun upaya peredaman masih intensif dilakukan di ARF.
Perkembangan ini menyisakan sebuah pertanyaan besar: jika pertumbuhan power
China terus berlanjut, apakah China akan menjadi power yang agresif atau tetap
damai. Dengan China sebagai pemain yang semakin mengukuhkan status sebagai
great power, pandangan yang berbeda terhadap pertanyaan inilah yang akan
membentuk sebagian besar pola amity/enmity di Asia Timur.
Masalah mengenai kemungkinan “ancaman China” ini meluas di Asia Timur.
Terdapat dua pandangan utama yang mendukung kekhawatiran ini. Pertama adalah
ide bahwa China sebagai kekuatan Revisionis yang tidak terikat terhadap tatanan
internasional saat ini, dan bahkan memiliki ketidakpuasan dalam hal status, terirotial,
dan kawasan (terutama menyangkut masalah Taiwan). Kedua, China merupakan
model klasik modernisasi otoritarian yang tidak memiliki demokrasi dan rentan
terhadap (ultra) nasionalisme dan militerisme. Hal yang mendukung pandangan ini
adalah berlanjutnya tingkah laku agresif China dan ancaman penggunaan kekuatan
militer terhadap tetangganya –India, Filipina, dan Taiwan- dan berlanjutnya
kebencian yang bersifat historis terhadap Jepang.92
91 Ibid., hal. 160 92 Ibid., hal. 157
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
63
Universitas Indonesia
II.4.1 Level Interregional: Superkompleks yang terus berekspansi
Setelah berakhirnya perang dingin, terjadi tren-tren yang menunjukkan
terintegrasinya dinamika superkompleks Asia yang berpusat pada China. Dinamika
politik militer yang mendorong terbentuknya kompleks keamanan Asia Timur yang
berpusat pada China sedemikian kuat untuk terus meluas melewati batasan Asia
Timur Laut dan Asia tenggara. Seperti yang Buzan katakana, terdapat kemungkinan
bahwa dinamika inter-regional yang menghubungkan kompleks Asia Timur dan
Selatan akan terus menguat, dan mentransformasi superkompleks menjadi kompleks
keamanan Asia yang solid.93
Peran Burma sebagai insulator antara Asia Selatan dan Asia Tenggara juga
semakin mengalami erosi. Namun hal ini bukan disebabkan interaksi keamanan
antara Asia Selatan dan Asia Tenggara, melainkan kedekatan China dengan junta
militer Burma yang menyebabkan ASEAN dan India terus berusaha merangkul
Burma dan upaya India untuk melakukan naval balancing terhadap kehadiran militer
China di Burma. India yang juga sangat menaruh perhatian terhadap keberadaan
militer Jepang di Laut China Selatan, mengintensifkan kerja sama dengan Jepang dan
korea Selatan. Jepang dan Korea Selatan yang sangat tergantung pada suplai energi
dari luar yang melewati Samudera Hindia, mengharapkan Angkatan Laut India untuk
menjamin keamanan dalam perdagangan maritim mereka. Jepang juga waspada
terhadap pergerakan China di Laut China Selatan, telebih karena Jepang bergantung
pada transportasi laut untuk impor 90% energinya dan 60% bahan makanan. India
memiliki jalur minyak yang unik dari Sakhalin menuju Mangalore lewat jalur laut ini
dan India tidak ingin China mengontrol jalur perairan ini.94
Selain itu, selama 1990, Australia yang sebelumnya menjadi bagian dari
Pasifik Selatan yang tidak terstruktur, juga turut tertarik dalam kompleks keamanan
Asia Timur yang berpusat pada China. Sebelumnya selama Perang Dingin, hubungan
Australia ke Asia Tenggara lebih dapat dilihat dalam konteks aliansi level global
yang dibentuk AS dan Inggris. Selama tahun 1990, Australia menjadi pemain
93 Ibid., hal. 172 94 Rajaram Panda dan Sams ad Khan. China and the South China Sea: Future Power Projections dalam Indian Foreign Affairs Journal5 . 3 (Jul-Sep 2010): 305-323.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
64
Universitas Indonesia
terdepan dalam pembentukan APEC, fungsi sentral yang membuat AS tetap terlibat
di Asia Timur. Namun sejak tahun 1990, Australia mulai mengambil langkah mandiri
dan meningkatkan hubungan keamanannya dengan seluruh Asia. White Paper
pertahanan Australia pada 1994 menunjuk China sebagai sumber isu, dan pada
Desember 1995, Australia dan Indonesia memasuki perjanjian pertahanan.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
65
Universitas Indonesia
BAB III
String of Pearls sebagai Variabel Polaritas Kompleks Keamanan Asia Timur
Fenomena The Rise of China dicirikan oleh akumulasi kapabilitas ekonomi
dan militer China. Pertumbuhannya yang sangat besar di Asia Timur membuat
banyak pihak bertanya mengenai arah masa depan yang akan dipilih China, apakah
dia akan menjadi kekuatan revisionist atau menerima dan bergabung dengan status
quo yang ada. Sebagian besar jawaban dari pertanyaan ini nampaknya akan banyak
diprediksikan lewat perkembangan di matra laut.
Great power merupakan sebuah status yang dihasilkan dari kapasitas ekonomi
dan militer sebuah Negara. Dalam konteks memperoleh dan mendapatkan status great
power, tingkat kontrol sebuah negara merupakan jalur laut merupakan hal yang
sangat penting, karena melalui jalur laut inilah sebuah negara dapat menjaga dan
mengembangkan kapasitas perekonomiannya melalui ekspansi perdagangan, serta
meningkatkan akses ke negara-negara lain dengan keberadaan kekuatan lautnya.
Logika ini semakin menguat jika sebuah kebutuhan energi great power tersebut
berasal dari sumber yang jauh dan harus melalui jalur laut yang panjang sebelum
mencapai tanah air. Energi merupakan faktor determinan dalam kelancaran proses
industrialisasi emerging economy seperti China.
Dengan logika seperti ini, tidaklah mengherankan jika China menempatkan
laut sebagai matra pertahanan prioritasnya. Modernisasi dan peningkatan kekuatan
angkatan laut China menunjukkan bahwa China serius untuk menjadi kekuatan laut
global. Hal ini dimulai, dengan menjadi kekuatan laut regional yang paling besar di
Asia.
Bagi China, peningkatan kapabilitas kekuatan laut dengan yang bisa
menjangkau seluruh Asia menjadi kewajiban karena banyaknya titik-titik yang China
identifikasi sebagai ancaman bagi mereka. Di Asia Selatan, India yang mengalami
sejarah konflik dengan China telah meninggalkan Pakistan yang gagal mengimbangi
India dan mulai menunjukkan aspirasinya untuk menjadi regional power utama di
Asia. Di Asia Tenggara, sengketa Laut China Selatan menjadi hotspot utama yang
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
66
Universitas Indonesia
dapat menjadi gangguan stabilitas kawasan. Keberadaan AS di Asia pun menghambat
China untuk memaksakan klaim kedaulatannya terhadap Taiwan. Jepang, yang masih
menjadi kekuatan ekonomi utama di Asia, mengidentifikasi berkembangnya China
sebagai ancaman. Belum lagi permasalahan choke point Selat Malaka di mana 60%
suplai energi China melalui perairan ini, menyebabkan China merasa sangat rentan
terhadap ketergantungannya di wilayah tersebut.
String of Pearls merupakan perwujudan dari meningkatnya pengaruh
geopolitik China di sepanjang Samudera Hindia. Dilatarbelakangi oleh isu keamanan
jalur energi China di Samudera Hindia, China mendapatkan akses (baik secara
politik, ekonomi dan militer) terhadap lokasi-lokasi strategis di Samudera Hindia
sehingga dapat meningkatkan relative power China di seluruh Asia. Concern yang
meningkat terhadap munculnya India sebagai regional great power di Asia Selatan
disebut menjadi salah satu penyebab utama munculnya String of Pearls ini. Tentu
saja, munculnya String of Pearls ini menimbulkan respon yang berbeda-beda dari
Negara-negara lain di Asia. India dan Jepang merupakan Negara yang sangat
menunjukkan kecurigaannya terhadap String of Pearls. Sementara itu, beberapa
Negara lain justru nampak menangguk keuntungan dari String of Pearls. Respon
terhadap String of Pearls inilah yang pada akhirnya membentuk pola-pola keamanan
tersendiri dan akhirnya meningkatkan interaksi keamanan antara Asia Selatan dan
Asia Timur
Dalam konteks RSCT, String of Pearls lebih merefleksikan meningkatnya
power China yang diproyeksikan menembus batas Asia Timur, bahkan hingga ke
kawasan Asia Selatan. Oleh karena itu, String of Pearls dan respon yang diberikan
Negara-negara lain terhadapnya dapat dijelaskan sebagai variabel polaritas dalam
kompleks keamanan di Asia Timur. Munculnya String of Pearls berpotensi untuk
merubah struktur polaritas di Asia Timur dan Asia Selatan, yang sebagai kompleks
keamanan selama Perang Dingin hingga awal tahun 2000-an (sebelum istilah String
of Pearls mengemuka) telah banyak dipaparkan pada bab sebelumnya.
Dalam bab ini, kita akan melihat deskripsi dan anatomi String of Pearls secara
lebih lanjut, respons Negara-negara di Asia Timur dan Asia Selatan terhadapnya, dan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
67
Universitas Indonesia
pada akhirnya melihat apakah String of Pearls mempengaruhi struktur polaritas
Kompleks Keamanan Asia Timur dan Asia Selatan. Hal ini dilakukan dengan metode
pengukuran polaritas yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian metodologi
penelitian Bab I.
III.1 Peningkatan Kapabilitas PLAN
Pada dasarnya, China tidak menginginkan tejadinya perang. Dengan
lingkungan eksternal yang damai dengan ciri-ciri interdependensi, dan rendahnya
ancaman perang besar (yang tercipta sejak runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya
Perang Dingin), China sangat diuntungkan dengan dapat befokus pada pembangunan
internal dan sambil menghindari konfrontasi langsung dengan AS dan yang lainnya.95
Peningkatan intensitas perdagangan dan kerja sama perekonomian dengan negara-
negara di Asia lain juga sangat berpengaruh positif pada perekonomian China, yang
pertumbuhan perekonomiannya terutama didasarkan kegiatan ekspor.
Namun, China tidak berharap bahwa kondisi seperti ini dapat berlangsung
selamanya. Bagaimanapun juga, China masih memiliki banyak masalah dengan
negara – negara tetangganya yang belum terselesaikan hingga saat ini. Sebagian besar
permasalahan tersebut merupakan sengketa territorial laut ataupun berada di seberang
lautan. Taiwan, Laut China Selatan, dan Kepulauan Senkaku adalah flash point
sengketa China dan negara-negara Asia lainnya. Ketiga persengketaan tersebut saat
ini masih menjadi concern keamanan utama China, dan Taiwan bisa disebut sebagai
prioritas utama kedaulatan maritime China.
Seiring dengan perekonomian China yang terus tumbuh, lautan menjadi
semakin memiliki nilai penting dalam kepentingan nasional China, terutama masalah
keamanan SLOC yang sangat vital dalam konteks perdagangan dan jalur suplai
energy China. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan-tujuan strategis China
(menjaga kekuasaan Partai Komunis, menjaga pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi, mempertahankan kedaulatan nasional dan integritas territorial, mencapai
95 Annual Report To Congress: Military and Security Developments Involving the People‘s Republic of China 2012 (Office of Secretary of Defens e. United States : 2012) hal. 2
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
68
Universitas Indonesia
penyatuan nasional menjaga stabilitas internal, dan mengamankan status great power
China), China melakukan upaya-upaya peningkatan kapabilitas kekuatan laut China,
dalam hal ini terwujud dalam modernisasi PLAN secara besar-besaran.
III.1.1 Strategi Maritim China
Para teori kekuatan laut China mendefinisikan strategi keamanan maritime
mereka dalam konsep Three Island Chain. Konsep Three Island Chain juga
memperlihatkan tiga jangkauan kekuatan laut China. Ekspansi perdagangan maritime
dan SLOC China didasarkan pada kapabilitas, pengaruh, dan wilayah (kontrol) dari
wilayah litoral (brown water); zaona perekonomian yang lebih luas (green water);
dan wilayah oseanik atau samudra (blue water).
Three Island Chain memperlihatkan tiga lingkaran konsentrik wilayah sea-
control/denial China yang menjamin keamanan SLOC China. First Island Chain
memperlihatkan perimeter pertahanan in-shore (Jinan) dari China, yang meliputi
wilayah selat Taiwan, Bohai, Qiongzhou, dan Laut China Selatan. First Island Chain
ini dapat dianggap sebagai perimeter pertahanan akhir China, dan Taiwan masuk ke
dalam wilayaj ini.
Second Island Chain menjadi lingkaran operasi kedua di mana China dapat
memperlihatkan kapabilitas kekuatan lautnya yang membentang dari Kepulauan
Osawa-Gunto Jepang, melewati kepulauan Io-Retto hingga Kepulauan Mariana.
Second Island Chain sangat berhubungan dengan tujuan jangka pendek modernisasi
militer China yaitu untuk menyiapkan kekuatan yang dapat berhasil dalam konflik
jangka pendek dengan Taiwan dan berperan sebagai kekuatan anti-akses untuk
menangkal atau memperlambat intervensi kekuatan laut dan udara AS. 96
96 You Ji, China‘s Naval Strategy and Transformation dalam Lawrence W.Prabhakar et.al, The Evolving Maritime Balance of Power i n the Asia-Pacific: Maritime Doctrines and Nuclear Weapons At Sea (Singapore: NTU Ins titute of Defence and Strategic Studies , 2006) hal. 71 (Singapore: World Scientific, 2006) hal. 75
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
69
Universitas Indonesia
Gambar III.1 Three Island Chain (Sumber: Huang, Chinese Navy’s Offshore Active
Defense Strategy
Sumber ancaman utama China saat ini berada di kedua chain ini. AS memiliki
kekuatan besar di Pasifik Barat dan telah membentuk sistem markas militer di kedua
chain tersebut dengan postur strategis yang melibatkan Jepang dan Korea Utara
sebagai northern anchors, Australia dan Filipina sebagai southern anchors, dan
dengan Guam yang diposisikan sebagai forward base.97
Third Island Chain menjadi konsentrik pertahanan laut China terluar, wilayah
dari off-shore defense (jinhai) atau high-sea defense. Third Island Chain yang
mencakup seluruh samudera Hindia-Pasifik ini merupakan konsekuensi dari semakin
97 Xu Qi. Maritime Geostrategy and the Development of the Chinese navy In the Twenty First Century. China Military Science (2004) dalam Naval War College Review, Autumn 2006, Vol. 59, No.4 (diterjemahkan oleh Andrew S. Ericks on dan Lyle J. Golds tein) hal. 57
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
70
Universitas Indonesia
maraknya pelayaran sipil China (termasuk pelayaran perdagangan dan suplai energi).
Meningkatnya aktifitas pelayaran China ini menyebabkan China harus melindungi
mereka dengan kapabilitas angkatan laut.98 Menurut Xu Qi, karena integrasi global
dan interdependensi maritime antar negara dan kawasan, China berupaya meluaskan
pengaruh strategis dengan tendensi geostrategi maritim didorong oleh integrasi global
dan interdependensi maritim antar negara dan kawasan.99 China telah merancang
strateginya pada tahun 1992 di mana PLA-General Logistic Department menjabarkan
langkah-langkah yang bervariasi, yaitu: i) kunjungan angkatan laut yang intens; ii)
penjualan senjata/asistensi ekonomi; iii) Proyek infrastruktur ekonomi-militer dengan
negara-negara littoral untuk fungsi ganda dan penempatan aset maritim lokal dan
China.100 Prabhakar menginterpretasikan ini sebagai upaya mewujudkan String of
Pearls China. Pembangunan pelabuhan di Myanmar dan Pakistan (Gwadar)
merupakan contoh utama dari pelaksanaan strategi high sea defense ini.101
III.1 2 Modernisasi PLAN
Peningkatan kapabilitas dan modernisasi sistem persenjataan PLAN bukanlah
sebuah rahasia. Modernisasi ini sudah dimulai sejak tahun 1990-an, seiring dengan
semakin banyaknya kepentingan nasional China yang menyangkut kedaulatan dan
keamanan maritim. Dari tahun ke tahun, anggaran pertahanan China menunjukkan
tren peningkatan yang cukup tinggi, dengan transparansi yang masih dipertanyakan
komunitas internasional. Banyak organisasi yang melakukan penelitian dengan
metode yang berbeda-beda untuk mencari tahu seberapa besarkah pengeluaran militer
China yang sebenarnya, dan hasilnya sebagian besar lebih tinggi daripada angka
resmi yang dikeluarkan pemerintah China. Grafik di bawah ini menunjukkan
98 W.Lawrence S. Prabhakar. China‘s ‗String of Pearls‘ in Southern Asia-Indian Ocean: Implications for India and Taiwan dalam M.J.Vinod, Yeong -kuang Ger, S.Y.Surendra Kumar . ed.(2009) Security Challenges in the Asia -Pacific Region: The Taiwan Factor (New Delhi: Viva Books International) pp39-60 99 Xu Qi. Op.Cit., 100 Prabhakar. Op. Cit., 101 Xu Qi. Op. Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
71
Universitas Indonesia
perbandingan pertumbuhan anggaran militer China yang dilansir oleh Pemerintah
China dan Defense Intelligence Agency AS.
Diagram III.1: Pertumbuhan Anggaran Militer China dan Perkiraan Pengeluaran Nyata
(Sumber: Annual Report To Congress, US Department of Defense, 2007)
Untuk jangka pendek, modernisasi PLAN bertujuan untuk membangun
kekuatan sea-denial/anti-access untuk menangkal ataupun memperlambat kedatangan
armada laut dan udara AS jika konflik Taiwan terjadi. Taiwan yang berada di wilayah
First Island Chain memang masih menjadi concern teratas kedaulatan maritim
China. Hal ini dapat dilihat dari tulisan-tulisan di PLA Daily, Modern navy (Jurnal
Angkatan Laut China), dan di surat kabar China.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
72
Diagram III.2: Perbandingan tema-tema artikel di Modern Navy (Sumber: The Chinese
Navy. Expanding Capabilities, Evolving Role . 2011
Tidak heran jika Taiwan sering disebut sebagai faktor pendorong utama
modernisasi PLAN. Namun, kegiatan modernisasi PLAN nampaknya diararahkan
power projection yang lebih jauh daripada Taiwan. China berinvestasi pada dalam
program militer yang didesain untuk extended-range power projection. Tren
pengembangan kapabilitas militer China adalah faktor utama perkembangan
keseimbangan militer di Asia, yang dapat menyediakan China sebuah kekuatan yang
dapat operasi militer di Asia, memperluas pereimeter defensif China dan
meningkatkan kemampuannya untuk mempengaruhi SLOC regional. 102
Tabel III.1 dan III.2: Kekuatan Angkatan Udara dan Angkatan Laut China dan
pers ebaran di wilayah Taiwan (Sumber: Annual report to Congress 2012 , Military and Security
Development Involving People Republic of China )
102 Annual Report to Congress: Military Power of the People‘s Republic of China 2007 . (Department of Defense. US: 2007) hal. 22
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
73
Tabel III.3 Kekuatan Mis il China (Sumber: Annual report to Congress 2012 , Military
and Security Development Involving People Republic of China )
Power projection beyond Taiwan ini dapat dilihat pada komposisi
persenjataan dan armada baru China. Pengembangan Kapal selam nuklir China,
antara lain nuclear powered ballistic missile submarine (SSBN) Jin-class atau Tipe
094 dan nuclear powered attack submarine (SSN) Shang-Class atau tipe 093. Jin-
class (Tipe 094) akan 12 submarine-launched ballistic missile (SLBM) tipe JL-2
yang memiliki jarak 8,000+ km, sehingga memungkinkannya menyerang wilayah AS
seperti Hawai, Alaska, California dan Minnesota. Shang-class (Tipe 094) memiliki
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
74
kemampuan untuk antisurface warfare dengan jarak yang lebih jauh dari pantai
China dibandingkan dengan kapal selam diesel. Kapal selam ini merupakan senjata
utama untuk grup tempur aircraft carrier dan dukungan logistik mereka. Kedua kapal
selam ini akan memperluas jangkauan operasi kapal selam China, dan bahkan dapat
menjadi cornerstone untuk blue-water navy yang sebenarnya.103
Penempatan unit-unit peluncuran misil baru di berbagai lokasi di China juga
dapat digunakan bukan hanya untuk Taiwan. PLA Secondary Artillery Corps
memodernisasi misil balistik jarak pendeknya. Mereka juga memperoleh medium-
range ballistic missiles (MRBMs) untuk meningkatkan jarak di mana mereka dapat
menghantam secara akurat target darat dan kapal laut, termasuk aircraft carriers,
yang beroperasi jauh dari pantai China melewati First Island Chain. Pada tahun 2015
China juga akan menmiliki intercontinental ballistic missiles (ICBM) yang bertipe
road mobile DF-31A dan juga silo-based DF-5.104
Pengembangan Aircraft Carrier China mungkin menjadi bukti paling
mencolok keinginan China untuk memiliki blue-water navy yang dapat beroperasi
jauh melewati First Island Chain dan Taiwan. Pada Maret 2009, Menteri Pertahanan
China (Liang Guanglie, mengumumkan bahwa China berencana untuk melengkapi
PLAN dengan dua aircraft carrier konvensional pada 2015. Carriers
merepresentasikan military power projection dalam arti yang paling mendasar, dan
nampak tidak kongruen dengan dengan kebijakan non-interferensi dalam hubungan
dengan negara lain.105 Dengan adanya aircraft carrier dalam jajaran armada laut
China, maka teater operasi kekuatan militer China jelas tidak terbatas pada coastal
defense saja, namun dapat menjangkau wilayah Asia yang lebih jauh dengan postur
ofensif.
103 Ronald O‟Rourke, PLAN Force Structure: Submarines, Ships, and Aircraft dalam Philip C. Saunders et.al..ed. The Chinese Navy: Expanding Capabilities: Expanding Roles (USA: National Defens e Univers ity Pres s , 2011) hal. 141-170 104 Ibid., 105 John Frewen. “Harmonious Ocean? Chines e Aircraft Carriers and Aus tralia -US Alliances .” JFQ issue 59, 4th quarter 2010 (USA: NDU Pres s )
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
75
III.2 Penjelasan String of Pearls
III.2.1Definisi dan Latar Belakang Teoritis
String of Pearls pertama kali muncul pada tahun 2005 dalam laporan dalam
laporan "Energy Futures in Asia" yang disiapkan untuk Departemen Pertahanan AS
oleh konsultan yang berbasis di Washington, Booz Allen Hamilton. String of Pearls
adalah “untaian” pengaruh geopolitik China di Samudera Hindia. Masing-masing
pearls dalam String of Pearls adalah perwujudan pengaruh geopolitik atau kehadiran
China. Kepulauan Hainan, dengan fasilitas militer yang telah di-upgrade, adalah
sebuah "pearl." Sebuah bandara di kepulauan Woody, yang terletak di kepulauan
Paracel 300 nautical mil sebelah timur Vietnam, adalah sebuah “pearlǁ‖. Sebuah
kontainer fasilitas pengapalan di Chittagong, Bangladesh, adalah sebuah "pearl".
Pembangunan pelabuhan deep water port di Sittwe, Myanmar dan di Gwadar,
pakistan adalah sebuah "pearl”. Pelabuhan dan proyek konstruksi bandara, ikatan
diplomatik, dan modernisasi kekuatan bersenjata membentuk esensi String of Pearl
China.
Gambar III. 2: String of Pearls China. (Sumber: Lawrence Spinetta, Countering The
China’s String of Pearls With Land Based Air Power)
String of Pearls didapatkan melalui kedekatan diplomatik dan kerja sama
China dengan negara-negara rekannya. Di Myanmar, misalnya, kedekatan China
dengan Junta militer Myanmar sudah berlangsung sejak lama. China seringkali
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
76
memberikan bantuan perekonomian dan berinvestasi di Myanmar. Perusahaan-
perusahaan China mengerjakan proyek modernisasi pelabuhan di kita-kota pesisir
Myanmar. Saat ini, China memiliki fasilitas radar dan monitoring elektronik di
Myanmar. Pola yang sama juga terjadi di negara tempat pearls lain berada. China
mengedepankan pada kerja sama pragmatisme ekonomi serta jaminan non-
interferensi terhadap urusan-urusan dalam negeri negara tersebut.
Pemikiran kekuatan laut Alfred Thayer Mahan menjadi dasar utama strategi
String of Pearls China. Menurut Mahan, tidak ada Negara yang dapat menjadi great
global power tanpa memiliki kekuatan laut dan kapal dagang yang tangguh. Dalam
The Influence of Sea Power upon History, 1660-1783, Mahan membangun teori yang
menyebutkan bahwa perdagangan maritime, pengusaaan di seberang lautan, dan
akses special terhadap pasar asing akan memproduksi kesejahteraan dan kejayaan
nasional. Negara merkantilis akan memperoleh power melalui kontrol lautan;
superioritas kekuatan laut akan mengamankan produksi, transportasi, koloni, dan
pasar. Negara yang bergantung pada komunikasi maritime untuk kesejahteraan
namun tidak memiliki sea power yang kuat akan bergantung pada belas kasihan naval
great power.106 Mahan yang merupakan pemikir kekuatan laut dari AS pada masanya
menyarankan pada AS agar tidak hanya membangun armada merchant yang besar
namun juga kekuatan militer laut yang dapat mengontrol sea lines of communication.
Meskipun China tidak menunjukkan ketertarikan dalam koloni, pembangunan
ekonominya sangat bergantung pada merkantilisme bentuk baru.107
Menurut Mahan, perdagangan, merchant dan kapal perang laut, serta markas di sebarang lautan merupakan tiga pilar utama pembentuk sea power. Ketiganya
merupakan pilar yang saling menopang.108 Memperbesar porsi sebuah negara dalam
perdagangan internasional akan memastikan performa perekonomian neggara
106 Margaret Tuttle Sprout. Mahan: Evangelist of Sea Power dalam Mak ers of Modem Strategy: Military Thought from Machiavelli to Hitler, ed. Edward Meade Earle, 430-31 (Princeton: Princeton Univer s ity Pres s , 1943). 107 James Holmes dan Tos hi Yos hihara. The Influence of Mahan upon China‘s Maritime Strategy . Comparative Strategy 24 (March 2005), 23 108 Alfred Thayer Mahan, The Influence of Sea Power upon History, 1660 -1783 (Bos ton: Little, Brown, Dover, 1987 [1890]),71
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
77
tersebut; stasiun atau markas yang tersebar di sepanjang jalur laut akan mendukung
aktifitas komersial; armada militer akan mempertahankan markas tersebut dan alur
perdangan, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan untuk membiayai
angkatan laut.109 Armada tempur yang kuat, menurut Mahan, seharusnya digunakan
untuk mendapatkan kontrol terhadap jalur laut strategis.dari saingan yang kuat dan
memastikan akses yang dominan terhadap jalur laut dan perdagangan yang mereka
lakukan.
Penerapan dari pemikiran Mahan ini dapat dilihat dari apa yang dilakukan AS
pada masanya. Pada waktu itu, China dianggap sebagai sebuah pasar raksasa bagi
barang-barang produk AS sebagai bagian dari "kemajuan dunia".110 Namun,
kebijakan luar negeri yang Asian-Centered membutuhkan perhatian untuk kondisi-
kondisi yang dekat ke tanah air AS. AS perlu menggali kanal Isthmus membelah
Amerika Tengah, menghubungkan pantai timurnya dengan Asia lewat lautan. AS
juga perlu melindungi kanal tersebut, yang berarti mendapatkan markas militer laut di
Karibia, "Mediterania" Amerika. Oleh karena itu, Kekuatan militer laut, merupakan
hal yang utama bagi AS. Gerbang menuju wilayah Pasifik bagi AS adalah Isthmus;
komunikasi menuju Isthmus adalah Teluk Meksiko dan Laut Karibia.111
Hal yang cukup menarik dari pemikiran Mahan ini adalah, meskipun menaruh
penekanan yang sangat besar terhadap sea power di wilayah jalur laut strategis, yang
notabene merupakan nosi yang sering terdengar dari para realis, Mahan justru
menekankan pada pentingnya menjaga stabilitas dan perdamaian. Meskipun
pemikirannya terdengar agresif, Mahan menolak untuk dikatakan bahwa dia
mendorong terjadinya peperangan. Dia berkeras bahwa, karena "Perdagangan
disuburkan oleh perdamaian dan mundur karena perang," perdamaian merupakan
"kepentingan utama" bagi negara-negara penjelajah lautan.112 Angkatan laut
merupakan perdagangan dari aktifitas perdagangan maritim yang damai. Markas yang
109Ibid., 110 Alfred Thayer Mahan. The Problem of Asia (Port Was hington, NY: Kennikat Pres s , 1970 [1900]), 15. 111 Alfred Thayer Mahan. Naval Strategy, Com pared and Contrasted with the Principles and Prac tice of Military Operations on Land (Bos ton: Little, Brown, and Company, 1911), 111. 112 Mahan. The Problem of Asia. Op.Cit., 42
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
78
ditempatkan secara strategis di sepanjang SLOC perlu untuk memungkinkan kapal
perang beroperasi "ke depan".
Mahan mengidentifikasi enam karakteristik yang diperlukan bagi sebuah
negara untuk menjadi kekuatan maritime global:
(1) Posisi geografis: geografi maritime, koloni
(2) Physical conformation
(3) Perpanjangan wilayah
(4) Populasi
(5) Karakter Nasional
(6) Tipe pemerintahan113
Mahan juga mengidentifikasi lime titik geografis kunci yang krusial bagi untuk
global maritime power:
(1) Selat Dover
(2) Gibraltar
(3) Selat Malaka
(4) Tanjung Harapan
(5) Kanal Suez114
Pengaruh Mahan terhadap pemikiran keamanan China yang berate bbahwa
great power politic akan memainkan peran besar dalam strategi maritim China,
menurut Yoshiwara dan Holmes, bukan merupakan sebuah rahasia. Menurut mereka,
hal ini dapat dilihat dari dokumen-dokumen pertahanan China sertatulisan-tulisan dan
pernyataan dari para pemikir pertahanan China yang seringkali menyebutkan atau
merefleksikan pemikiran-pemikiran Mahan. China‘s National Defense 2004 (Kertas
Putih Pertahanan China) merupakan salah satu yang bisa dijadikan rujukan utama.
Dokumen tersebut menyebutkan bahwa perdamaian dan pembangunan akan menjadi
tema utama. Globalisasi akan mempercepat pertumbuhan ekonomi, kerja sama
113 Tos hi Yos hihara dan James Holmes . As ia Looks Seaward 114 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
79
Universitas Indonesia
ekonomi regional akan terus meningkat, dan interdependensi antar negara akan
semakin menguat. Namun, di sini lain, dokumen tersebut juga menunjukkan
bagaimana faktor-faktor ketidakpastian, instabilitas, dan ketidakamanan juga
meningkat. "Terjadi penyesuaian baru dan signifikan di antara negara-negara di
dunia," dengan " balance of power di antara pemain-pemain utama internasional"
mengalami pergeseran mendasar. dokumen tersebut juga menyebutkan bahwa
"tatanan politik dan ekonomi internasional yang adil dan rasional juga belum
terbentuk," di mana "perjuangan untuk titik-titik, sumber daya, dan dominasi yang
strategis terus terjadi dari waktu-ke waktu". Sebagai akibatnya, "faktor militer" akan
"memainkan peran yang lebih besar dalam konfigurasi internasional dan keamanan
nasional. Negara-negara akan mengejar transformasi militer melalui Revolution of
Military Affairs untuk ,engembangkan "persenjataan dan peralatan militer yang
canggih dan peletakan doktrin militer baru". Poin yang paling mencolok adalah,
untuk pertama kalinya mengarahkan People's Liberation Army (PLA) untuk
membentuk struktur kekuatan yang mampu "memenangkan komando di laut dan
udara." Dokumen tersebut memerintahkan Angkatan laut PLA (PLAN) untuk
memfokuskan energinya dalam membangun kapal perang baru, memberikan prioritas
spesial untuk pasukan amfibi, mendapatkan special purpose aircraft, dan penggunaan
maksimun untuk persenjataan akurat dan teknologi informasi.115
Pemikir-pemikir pertahanan China dalam banyak kesulitan dan kesempatan
juga memperlihatkan dukungan mereka pada pemikiran Mahan sebagai landasan
strategi Maritim China. Contohnya bisa dilihat alam simposium mengenai "keamanan
jalur-laut" yang dilaksanakan di Beijing pada musim semi 2004. Banyak akademisi
mengutip poin-poin pemikiran Mahan yang terdengar paling agresif, yang
mendefinisikan komand laut sebagai "kekuatan yang sangat besar di laut yang
mampu mendorong keluar bendera musuh, atau memungkinkannya hanya muncul
sebagai seorang sandera; dan di mana, dengan mengontrol pemain-pemain umum
lainnya, menutup jalur di mana perdagangan bergerak dari dan menuju garis pantai
115 Tos hi Yos hihara dan James Holmes . ―China and The Commons : Angell or Mahan? ǁ‖ World Affairs vol. 168, no. 4 Spring 200 6 hal. 172-191.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
80
Universitas Indonesia
musuh."116Contoh lainnya, dalam Zhongguo Junshi Kexue, jurnal yang berpengaruh
dari Akademi ilmu Militer PLA dan Asosiasi Ilmu Militer China seorang perwira
menggunakan Mahan untuk menjustifikasi kontrol komunikasi China, terutama "jalur
strategis" di mana barang-barang dan material lalu lalang. Disebutkan bahwa dalam
era modern, upaya untuk mengamankan kontrol terhadap komunikasi perlahan
menjadi faktor esensial yang yang menjadi keharusan dalam mewujudkan keamanan
nasional. Menurutnya, pembangunan ekonomi sangat terikat dengan "komando
komunikasi di laut," yang merupakan hal "vital dalam masa depan dan takdir sebuah
negara."117
Kita bisa melihat keterkaitan antara String of Pearls dengan pemikiran laut
Mahan yang telah dipaparkan. Dua hal utama yang paling menunjukkan the Rise of
China adalah meledaknya perekonomian China dan modernisasi besar-besaran
kekuatan militer China. Pertumbuhan perekonomian besar-besaran China
menyebabkan peningkatan lalu lintas kapal-kapal dagang China dan suplai energi
China di sepanjang perairan Asia. Bahkan saat ini China memiliki beberapa
perusahaan pengapalan terbesar di dunia.118 Modernisasi kekuatan militer China,
terutama PLAN (Angkatan Laut China) tentu saja dapat dilihat sebagai upaya China
untuk mewujudkan blue water navy untuk melindungi kepentingan nasionalnya yang
secara strategis sudah banyak berada di lautan. Kedua hal di atas dapat dilihat sebagai
dua pilar sea power yang disebutkan Mahan, yaitu commerce shipping dan naval
military power. String of Pearls merupakan upaya China untuk memperoleh akses
terhadap lokasi-lokasi strategis di sepanjang Samudera Hindia dan Laut China
Selatan. Dalam pemikiran Mahanian, kita bisa melihat ini sebagai upaya China
mendapatkan pilar ketiga, yaitu bases.
Bases atau markas ini berfungsi sebagai pijakan kaki di poin-poin strategis di
sepanjang perairan. Jika kita melihat masing-masing pearls sebagai ekstensi dari
116 Ibid., 117 Ibid., 118 Seth Crops ey dan Artur Milikh. “Mahan‘s Naval Strategy: China Learned It. Will America Forget It?”, diaks es dari http://www.worldaffairs journal.org/article/ mahan% E2%80% 99s -navals trategy - china-learned-it -will-a me rica -forget- it pada 15 Mei 2012
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
81
Universitas Indonesia
pengaruh geopolitik China di seberang lautan, maka kita bisa melihat masing-masing
pearls dalam String of Pearls berperan sebagai bases tersebut. Namun, pearls
tersebut tidak secara eksplisit muncul sebagai markas militer murni. Seperti yang
akan kita lihat pada bagian berikutnya, sebagian pearls ini muncul dalam bentuk
pelabuhan, Bandar udara, atau fasilitas-fasilita strategis untuk perdagangan. Dalam
konteks inilah String of Pearls seringkali diperdebatkan. Misalnya, Daniel Kostecka
berpendapat bahwa String of Pearls merupakan sebuah untaian “tempat” bukan
“markas” (Places not bases). String of Pearls dalam pandangan Kostecka tidak
memiliki nilai ancaman militer, karena hanya berfungsi sebagai tempat-tempat transit
kapal-kapal dagang China. Pandangan ini tentunya sangat berbeda dengan pandangan
para pengamat lain, terutama dari India, Jepang, dan AS yang menekankan pada
nature agresif dari String of Pearls.
Dalam hal ini, Jika kita merujuk kembali pada pemikiran Mahan di mana sea
power dianggap sebagai silent power, maka String of Pearls dapat dianggap sebagai
upaya China untuk mengamankan kepentingan nasionalnya dengan menggunakan
pragmatisme ekonomi yang tidak bersifat agresif. China lebih menekankan pada
pembangunan jaringan kerja sama yang, jika terjadi masa yang genting di masa
mendatang, peluang untuk mengkonversi titik-titik kerja sama tersebut menjadi titik-
titik yang memiliki nilai militer strategis akan tetap ada.
Strategi Maritim dan
Pengembangan Blue Water navy China
Pragmatisme Ekonomi China
Gambar III.3 Diagram Venn Hubungan antara Strategi Maritim dan Pragmatis me ekonomi
China dalam String of Pearls, di mana wilayah iris an (biru gelap) menunjukkan String of Pearls
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
82
Universitas Indonesia
Dengan hal ini, China dapat berharap bahwa power yang terus bekembang
dan meluas di sepanjang Samudera Hindia tidak akan memicu kewaspadaan dan
kecurigaan negara-negara lain di Asia Timur, sementara di saat yang sama China
dapat membangun jaringan untuk melindungi kepentingan nasionalnya di lautan. Kita
bisa merujuk kepada laporan Departemen Pertahanan China terhadap Kongres China
tahun 2005:
“Dependence on overseas resources and energy supplies, especially oil and natural gas, is playing a role in shaping China‘s strategy and policy. Such concerns factor heavily in Beijing‘s relations with Angola, Central Asia, Indonesia, the Middle East (including Iran), Russia, Sudan, and Venezuela—to pursue long-term supply agreements—as well as its relations with countries that sit astride key geostrategic chokepoints—to secure passage. Beijing‘s belief that it requires such special relationships in order to assure its energy access could shape its defense strategy and force planning in the future. Indicators of such a shift would include increased investment in a blue-water capable fleet and, potentially, a more activist military presence abroad.”
The Military Power of the People‘s Republic of China,
Department of Defense Annual Report to Congress, 2005119
III.1.2 Motivasi dari String of Pearls
Meskipun masih terjadi perbedaan pendapat mengenai agresif atau tidaknya
tujuan dari String of Pearls, secara umum para pengamat menilai bahwa String of
Pearls muncul karena kekhawatiran China akan ketergantungan mereka terhadap
jalur suplai energi mereka di perairanAsia. Kekhawatiran ini merupakan sesuatu yang
dapat dipahami, karena bagi negara yang mengalami ledakan perekonomian seperti
China, ketersediaan energi merupakan prakondisi utama agar perindustrian tetap terus
tumbuh. Gangguan dalam suplai energi dapat menginterupsi pembangunan nasional
yang sedang bergerak dalam kecepatan maksimum. Kekhawatairan ini juga turut
didorong dengan kesadaran China bahwa banyak negara di Asia, baik Asia Timur dan
Asia Selatan yang karena berbagai alasan politik, sejarah, maupun kultural
menganggap China sebagai ancaman, dan begitu juga sebaliknya. Beberapa negara
119 Chris topher J. Pehrs on. Op. Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
83
Universitas Indonesia
tersebut merupakan negara maju (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Australia) dan juga
negara berkembang yang sedang sedang menikmati pertumbuhan perekonomian yang
tinggi (Vietnam), dan negara yang sedang mengalami fase yang sama seperti China
dan juga memiliki aspirasi menjadi global great power (India). Tidak mengherankan
jika isu energi menjadi isu keamanan nasional. Di bawah ini akan dijelaskan secara
lebih detail mengenai motivasi di balik String of Pearls.
Memperoleh dan Mengamankan Suplai Energi. China memiliki tiga
concern stategis: keberlangsungan rezim, integritas terirorial, dan stabilitas domestik.
Ketiganya berhubungan erat dengan perekonomian, dan kecukupan suplai energy
meletakkan dasar pembangunan ekonomi. Sedangkan di saat yang sama, China
memiliki ketergantungan yang amat besar terhadap jalur laut internasional untuk
suplai energi, bahan mentah, dan perdagangan.
Korea Selatan, taiwan, Thailand, Hong Kong, dan Singapura disebut sebagai
"Macan Asia" karena bmereka berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan industrialisasi dari tahun 1960-an hingga 1990an. Kebangkitan china di abad ke-
21 sebagai "Naga Asia" dapat melampaui pertumbuhan "Macan Asia". Sejak 1978,
perdagangan asing china telah tumbuh dari hanya sepersekian persen dari
perekonomian dunia, atau sekitar $20.6 Miliar, menjadi lebih dari 4% atau sekitar
$851 Miliar pada 2005.120 Pertumbuhan ekonomi tahunan China mencapai lebih dari
9.5% selama 20 tahun terakhir, yang membuatnya memperoleh status sebagai pabrik
dunia, sangat tergantung terhadap minyak. China sekarang menempati peringkat
pertama konsumen minyak dunia. Pada Juni 2010 China mengonsumsi 36.51 juta ton
pil pada Juni 2010, sekitar 11% di atas periode yang sama pada tahun lalu.121 Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan jika salah satu alasan utama String of Pearls
muncul adalah untuk memitigasi kerawanan ini.
Mengamankan akses ke sumber energi berarti mengamankan pelabuhan dan
jalur pipa, elemen-elemen dasar yang membentuk hub transpor energi China.
Bukanlah sebuah kebetulan semata jika China memiliki armada maritim terbesar
120 Ibid., 121 Shee Poon Kim. “An Anatomy of China‟s „String of Pearls ‟ Strategy ǁ‖. THE HIKONE RONSO Journal 2011 spring / No.387 hal. 22-36
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
84
Universitas Indonesia
kedua di dunia. Pada tahun 2007, 1700 kapal dengan bendera China berada di lautan,
dan jumlah ini akan terus bertamabah seiring dengan program akselerasi
pembangunan kapal sipil dan militer China. China menguatkan hubungan antara
pembangunan pelabuhan, kontrol pelabuhan dan kapal lewat String of Pearls,
mengelola sebuah "self sustaining, vertically integrated network of quasi-sovereign
economic entities" untuk mengamankan kumpulan hub transportasi yang kritis dan
jalur suplai.122
Mengamankan Sea Lane of Communications (SLOC). Sebagian besar
kebutuhan energi China berasal dari Timur Tengah dan Afrika. Untuk mencapai
China lewat jalur laut, kapal-kapal China harus melalui panjangnya Samudera Hindia,
beberapa choke point vital (terutama Selat Malaka), Laut China Selatan yang masih
disengketakan, dan pada akhirnya tanah air China sendiri. Ini merupakan jalur yang
sangat panjang dan rawan terjadinya gangguan. China merasa khawatir dengan
ketergantungan mereka yang sangat besar terhadap jalur laut internasional, terutama
Selat Malaka. China merasa harus melindungi SLOC mereka yang panjang ini.
Ni Lexion, seorang profesor studi militer Di Shanghai Normal University dan
direktur dari Institiute of war culture and International Politics, adalah pendukung
kuat pengembangan kekuatan laut untuk melindungi SLOC CHina. Dia mengajukan
bahwa China harus secara drastis meningkatkan anggaran angkatan lautnya dan tidak
terlena dengan "romantisme" kerja sama internasional yang dapat diandalkan untuk
menjaga agar SLOC tetap terbuka, dan China tidak perlu takut akan memprovokasi
AS karena naval buildup yang dilakukan. Ahli strategi seperti Ni mempertimbangkan
akses ke laut sebagai sebuah kondisi yang tidak dapat tergantikan dan faktor penentu
dalam kebangitan China. Vulnerabilitas di SLOC dipercaya sebagai sebuah resiko
geopolitik karena cara-cara China untuk melindungi rute laut sangat terbatas, seperti
yang diperlihatkan pada chokepoint Selat Malaka. SLOC yang menghubungkan
China dengan Afrika dan Timur Tengah harus melewati Selat Malaka, sebuah jalur
sempit yang dikelola bersama oleh Singapura, Malaysia, Indonesia. 95% minyak
yang digunakan di CHina diangkut melalui laut, dan 80% di antaranya harus melalui
122 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
85
Universitas Indonesia
selat ini. Malaka berada di sepanjang “seaborne oil lifeline China" namun,
keberadaannya berada di luar jangkauan angkatan laut China, memberikan China
sebuah Malacca Dilemma. Masalah Selat Malaka adalah contoh utama mengapa
China mengejar strategi String of Pearls. 123
Mewaspadai The Rise of India. Beijing dengan cepat menekankan bahwa
naik dan turunnya sebuah great power tidak hanya ditentukan oleh ekonomi domestic
dan juga “kontrol terhadap rute suplai untuk sumber daya alam dari luar”. Dalam
konteks kontrol terhadap jalur laut yang penting ini, India muncul sebagai sebuah
Negara yang dipersepsikan sebagai sebuah ancaman.
Banyak yang berpendapat bahwa kekhawatiran Beijing terhadap India sangat
dipengaruhi oleh pengalaman sejarah yakni perang 1962 antara India dan China yang
memperebutkan wilayah Himalaya. Pada perang memperebutkan wilayah tersebut,
Tentara Pembebasan Rakyat China atau People Liberation Army (PLC) berhasil
mengalahkan tentara India yang tidak dipersenjatai secara maksimal dan tidak
dipersiapkan untuk pertarungan skala besar.124 China mencurigai bahwa India
mendukung gerakan resistance di Tibet yang anti China dan pro kemerdekaan Tibet.
Kekhawatiran utama China adalah India akan berusaha membalas kekalahan yang
memalukan di tahun 1962 tersebut dan menjadikan Tibet sebagai Buffer zone antara
China dan India.
Dalam konteks kontrol terhadap Samudera Hindia, India yang saat ini juga
merupakan salah satu emerging power terletak secara langsung di wilayah Samudera
Hindia. China khawatir bahwa India berkeinginan untuk mengontrol samudera Hindia
dan akhirnya mendominasi Asia selatan sebagai first rate international big power.
Saat ini, situasi dan aspirasi India similar dengan China. Kedua negara sedang
mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, sangat bergantung dengan minyak
impor, dan permintaan energi yang sangat besar. Diperkirakan pada 2030 China harus
mengimpor 91% kebutuhan minyaknya.
123 Pehrs on. Op.Cit., hal. 7 124 “Indo-China War of 1962.” Diaks es dari http://www.globals ecurity.org pada 5 Maret 2011
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
86
Universitas Indonesia
TIdak mengherankan jika beberapa pearls diidentifikasi memiliki nilai
strategis militer yang dapat diarahkan terhadap India. Contohnya di Myanmar, di
mana China memiliki beberapa fasilitas monitoring elektronik yang dapat
memungkinkan PLAN mengontrol aktivitas angkatan laut India. Juga, tentu saja,
Pakistan sebagai salah satu mata rantai String of Pearls yang utama di Asia
Selatan.Pembangunan pelabuhan Gwadar sering menjadi salah satu contoh yang
disebut banyak pengamat bahwa China sedang melakukan naval encirclement
terhadap India. Aktivitas naval encirclement ini sudah mulai diidentifikasi sekitar
tahun 2003, seperti yang pernah disebutkan oleh Buzan dalam salah satu tulisannya
mengenai kompleks keamanan Asia.125
String of Pearls China juga diarahkan untuk menetralkan upaya India untuk
meluaskan pengaruh secara bisnis, militer, dan politik di berbagai negara-negara yang
kaya energi. Dengan menebar "String of Pearls" di sekeliling India dan membentuk
sebuah "pagar" ambisi India untuk memperloeh akses ke sumber energi dihambat
tepat langsung di halaman belakangnya. Efek samping dari "pagar" yang dibangun
China antara lain membatasi akses India ke pelabuhan-pelabuhan strategis, jalur
pelayaran, jalur pipa dan rute transpor yang penting untuk membawa kembali sumber
energi ke India. Dalam banyak kasus di negara-negara penghasil energi, China
seringkali mengalahkan India dalam berbagai tender sumber energi.
III.1.3 Deskripsi Masing-Masing Pearls
Terdapat beberapa pandangan mengenai ekstensi dari String of Pearls.
Ekstensi terpanjang dari String of Pearls mencapai wilayah Teluk Aden. Namun,
dalam tulisan ini, kita hanya akan berfokus pada pearls yang ada di wilayah Asia
Timur dan Asia Selatan. Di bagian ini akan dijelaskan masing-masing mata rantai
pearls yang dianggap paling signifikan dan paling relevan dalam konteks energy
security.
125 Barry Buzan, “Security Architecture in As ia, the Interplay of R Barry Buzan. Security Architecture in Asia: The Interplay of Regional and Global Level. (The Pacific Review, Vol. 16 No.2 2003 : Routledge) hal. 156
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
87
Universitas Indonesia
a. Myanmar
Kedekatan China dengan Junta militer Myanmar dan letak strategis Myanmar
yang berada di daerah perbatasan Samudera Hindia dan Selat Malaka memungkinkan
China membangun jaringan pearls di sini yang dapat mengurangi Malacca Dilemma.
Sejak tahun 1990, China terlibat dalam modernisasi dan pembangunan beragam
fasilitas sepanjang pantai Myanmar di laut Andaman dan Teluk Bengal. Perusahaan-
perusahaan China mengerjakan proyek modernisasi pelabuhan dan fasilitas
pengurusan kargo di kota pesisir seperti Sittwe, Bassein, Mergui dan Yangon. Selain
itu, di pulau At Hainggyi, selatan Bassein perusahaann China mengerjakan pelabuhan
baru dan markas militer. China juga membagun fasilitas operasi radar dan monitoring
elektronik di Pulau Ramree, pulau Cocos dan Zadetkyi Kunsouth of Bassein. Fasilitas
di Zadetkyi Kyun merupakan satu dari dua stasiun bumi yang dikelola oleh China di
luar perbatasan negeri China dan bekerja sebagai fasilitas monitoring elektronik di
lokasi ini (dan juga di Ramree dan Cocos) memungkinkan PLAN (Angkatan Laut
Tentara Pembebasan China) untuk terus memantau aktivitas militer India.126
Provinsi Kyaukphyu nampaknya merupakan provinsi yang paling banyak
mendapatkan pengerjaan proyek dari China. Pada tahun 2008, China mulai
membangun sebuah deep water port di sini. Proyek ini akan menjadi permulaan
terminal minyak menuju pipa minyak yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika
melalui Myanmar. Selain itu, China juga membangun jalur pipa minyak sepanjang
1450 km dari Kyaukphyu menuju Kunming, Ibukota Provinsi Yunnan, China barat
daya. Selesainya pembangunan pipa minyak ini akan memberikan China kemampuan
untuk mengalirkan minyak langsung dari Myanmar menuju China, yang berarti
memotong jalur Selat Malaka. China juga memiliki sebuah markas angkatan laut di
Kyaukphyu, yang menyediakan kontrol militer dan pengaruh di Teluk Bengal.127
Proyek ambisius lainnya yang dilakukan China di Myammar adalah
pembangunan system transportasi terintegrasi yang akan provinsi Yunnan di China
dengan pelabuhan Kyaukpyu di wilayah utara pulau Ramree (yang juga disebut
126 Amardeep Athwal. China-India Relations: Contemporary Dynamics. (Routledge: 2008) 127 Poon Kim. Op.Cit., hal. 33
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
88
Universitas Indonesia
sebagai koridor Irawadi). Banyak jalan yang telah dibangun dari Yunnan ke Lasio,
Bhami dan Mandalay di wilayah utara Myanmar. Selain itu, sebuah pelabuhan deep
water baru telah berhasil dikembangkan di Thilawa, 25 Mil wilayah selatan dari
Yangon. Pelabuhan ini dapat mengakomodasi kapal-kapal penjelajah Samudera dan
jalur kereta yang akan dibuat di senelah utara dari Jembatan yang melewati sungai
bagon di Yangon juga turut diajukan. 128
b. Pakistan
Selain dengan Myanmar, hubungan khusus juga dijalin oleh China dengan
Pakistan yang merupakan strategi penting China untuk menghadapi India. Dalam
persaingannya dengan India, China membangun hubungan diplomatik khusus dengan
Pakistan yang diharapkan dapat membatu China untuk membuat India dikepung dari
dua arah, sehingga India tidak dapat memusatkan kekuatan militernya jika perang
benar-benar terjadi. Salah satu proyek utama yang diijalankan China adalah Proyek
Gwadar yang dijalankan sejak tahun 2001 dengan nilai US$1.2 Miliar.
Sebenarnya para pemimpin India telah mendiskusikan proyek ini selama
bertahun-tahun, namun karena krisis Kargil di tahun 1999, pryek ini semakin
diprioritaskan dan prosesnya dipercepat. Selama krisis tersebut kapal selam, Fregat
dan destroyer India diluncurkan secara cepat di luar pelabuhan Karachi. Pelabuhan
ini mengangkut hingga 90% perdagangan Pakistan, termasuk impor minyaknya.
Selain itu, pelabuhan ini juga merupakan pelabuhan induk bagi angkatan laut
Pakistan. Para elite Pakistan dengan cepat menyadari bahwa angkatan laut Pakistan
telah terpojok dengan cepat oleh konsentrasi kekuatan laut India. Hal ini segera
menyadarkan China dan Pakistan bahwa Pakistan tidak bisa terus-menerus hanya
bergantung pada pelabuhan Karachi saja. 129
Gwadar dipilih Pelabuhan deep sea Gwadar disebut sebagai cara bagi China
untuk membantunya melindungi kapal yang transit di Teluk Persia. Lebih dari 60%
minyak China berasal dari Timur Tengah dan Afrika. Jarak Gwadar yang dekat
128 Athwal. Op.Cit., 129 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
89
Universitas Indonesia
dengan Selat Hormuz dan Iran dinilai sebagai keuntungan geostrategis kunci untuk
menjadi titik transit impor minyak China dari Iran dan Afrika. Pelabuhan Gwadar
juga disebut-sebut memiliki fasilitas untuk berubah dari energy transportation hub
semata menjadi sebuah markas kekuatan laut yang kuat. Dengan begitu Gwadar juga
dapat berfungsi sebagai markas operasi kapal-kapal militer China yang berada di
kawasan tersebut. Gwadar yang berada di jalur pelayaran tersibuk di dunia juga
menjadikan Gwadar lokasi yang tepat bagi China untuk mengembangkan pos
pengawasan maritim untuk memonitor pergerakan kekuatan laut AS dan India di
wilayah itu.130
Selain itu, di Pakistan juga berpotensi untuk pembangunan pipa minyak dan
juga jalan tol serta rel kerata dari Pelabuhan Gwadar di Pakistan menuju Xin Jiang.
Jalur ini berfungsi sebagai cadangan seandainya saja Myanmar mengalami instabilitas
dan junta militer Myanmar digulingkan dari pemerintahannya yang dapat
mengganggu rencana China untuk mengangkut langsung minyak dari Kyaukphyu
menuju Kunming.131
c. Bangladesh
Di Bangladesh, proyek utama China adalah deep water port
Chittagong.Proyek ini bisa dianggap sebagai kembaran dari proyek Gwadar, dengan
nilai strategis yang serupa. Chittagong menyediakan titik transit bagi angkatan laut
China untuk berlabuh dan mengisi bahan bakar lagi selama berpatroli di Samudera
Hindia. Dengan begitu pelabuhan Chittagong dapat menjadi titik proyeksi militer
China yang lain di Samudera Hindia dan juga menjaga aspek komersial sebagai titik
transit energy. Chittagong juga dinilai memiliki poin strategis untuk meningkatkan
platform kekuatan laut permuakaan dan bawah permukaan China dan menjadi titik
yang sangat tepat bagi China untuk meluncurkan kapal selam.132
d. Sri Lanka
130 Ibid., 131 Kim. Op.Cit., 132 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
90
Universitas Indonesia
Bangladesh saat ini memiliki pemerintahan dan tentara yang bersahabat
dengan India. Sebelumnya Bangladesh memiliki pemerintahan anti India, dan China
telah mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari hal ini. Salah satunya dalah
dengan membangun fasilitas pelabuhan Chittagong.
Pelabuhan Hambatonta yang bernilai sekitar US$1 Miliar menjadi pearl
China di Sri Lanka. Hambatonta berperan sebagai back-up seandainya pelabuhan
Gwadar di Pakistan jatuh oleh gerakan kekerasan Balochistan yang menilai bahwa
Gwadar merupakan symbol eksploitasi China terhadap Pakistan.
e. Thailand
Salah satu pearls yang paling menarik untuk diperhatikan adalah
“pemotongan” tanah genting Kra di Thailand untuk pembangunan Kanal. Ide tersebut
sudah ada sejak tahun 1677 namun paru pada tahun 1993 proyek tersebut mencuat
lagi karena proposal yang ditawarkan pemerintah Thailand. Total pembiayaan untuk
proyek ini mencapai $23 Miliar. Jika proyek ini berhasil dilakukan maka China dapat
mengubah rute suplai minyak mereka melalui teluk Thailand yang pada akhirnya
akan sangat menguntungkan China karena dapat mengurangi “Dilema Malaka”
mereka. Karena titik ini dekat dengan rute minyak dari Timur Tengah, Cina mendapat
lokasi intelijen utama, memungkinkannya untuk memonitor lalu lintas kapal regional
dan kehadiran angkatan laut AS dan dapat digunakan sebagai power projection
hubs.133 Namun, hingga saat ini, proyek ini masih terhambat dan belum berhasil
direalisasikan.
III.2 Respons Negara-Negara di Asia Timur dan Asia Selatan terhadap The Rise
of China dan String of Pearls
String of Pearls merupakan perwujudan meningkatnya power China di
sepanjang perairan Asia. Namun, untuk memahami dampak strategis dari String of
Pearls terhadap keamanan di kawasan, hal lain yang perlu dipahami adalah
pandangan dari negara-negara lain di kawasan. Seperti yang telah disebutkan
133 Amardeep Athwal. Op. Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
91
Universitas Indonesia
sebelumya, para pengamat keamanan Asia Timur sendiri masih memiliki perbedaan
pandangan mengenai berbahaya atau tidaknya String of Pearls secara militer bagi
keamanan di kawasan. Pandangan yang berbeda terhadap String of Pearls tentu akan
menghasilkan respon yang berbeda. Bagaimana pengaruh String of Pearls terhadap
struktur polaritas di kawasan akan sangat bergantung pada respon yang diberikan oleh
negara-negara lain di kompleks keamanan.
Secara umum, hedging merupakan sikap utama yang diberikan oleh negara-
negara di Asia, baik terhadap rise of China secara umum dan String of Pearls secara
khusus. Hedging strategy secara sederhana, dapat dilihat sebagai strategi untuk
menggunakan sebesar-besarnya peluang yang ada dan bersiap-siap untuk resiko
terburuk. Menurut Cheng-Chwee Kuik, hedging dapat didefinisikan sebagai “a
behaviour in which a country seeks to offset risks by pursuing multiple policy options
that are intended to produce mutually counteracting effects, under the situation of
high-uncertainties and high-stake”.134 Negara yang melakukan hedging tidak akan
melakukan balancing maupun bandwagoning terhadap great power manapun.
Mereka berusaha mengambil posisi moderat sehingga dengan bebas menjalin kerja
sama dan mendapatkan keuntungan dari power yang saling bersaing. Strategi ini bisa
dikatakan sebagai strategi yang digunakan oleh seluruh negara di ASEAN (dan juga
sebagian besar negara di Asia Selatan dan Asia Timur) untuk menyikapi The Rise of
China. Bahkan beberapa negara yang melakukan hedging tersebut adalah sekutu
tradisional AS di Asia tenggara (seperti Thailand dan Filipina). Ciri-ciri utamanya
adalah tingginya interaksi perekonomian dan intensitas hubungan diplomatic antara
negara-negara tersebut dengan China, dan di saat yang sama tetap menjalin dan
mempercayakan stabilitas keamanan kepada AS. Menurut Cheng Chwee Kuik,
Hedging berada di antara dua ujung spektrum balancing-bandwagoning yang
berdasarkan skala kedekatannya dengan sebuah rising power, dapat dibagi menjadi
134 Kuik Cheng-Chwee. Malaysia and Singapore Response to A Rising China . Contemporary Southeast Asia Vol 30 No.2 (SEAS: 2008) hal. 160
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
92
Universitas Indonesia
lima tipe yang dapat dijalankan secara simultan: indirect balancing, dominance
denial, economic pragmatism, binding engagement, and limited bandwagoning.135
Menurut Kuik, terdapat tiga faktor utama kenapa negara-negara memilih
hedging untuk merespon sebuah rising power: (1) ketiadaan ancaman secara langsung
(yang dapat memaksa sebuah negara untuk mencari perlindungan dari great power
lain), (2) Ketiadaan perbedaan/pemisah ideology (yang dapat secara kaku membagi
negara-negara dalam kelompok yang saling beroposisi), (3) absennya persaingan all-
out antar great power (yang dapat memaksa negara-negara kecil untuk memilih
pihak).136 Dengan mendasarkan pada ketiga alasan di atas, maka bisa kita katakan
bahwa negara-negara yang melakukan hedging tidak melihat String of Pearls dan The
Rise of China sebagai sebuah ancaman langsung. String of pearls yang merupakan
sisi tidak terpisahkan dari dimensi economic statecraft China memang dibangun
bukan dengan postur militer yang kekar, melainkan dengan pendekatan diplomatik
dan pragmatisme ekonomi ala China, sehingga negara-negara ini belum melihatnya
sebagai sebuah ancaman. Bahkan, istilah string of pearls masih sangat jarang
disebutkan di antara negara-negara ASEAN, meskipun isu kerja sama strategis China
dengan sejumlah negara di Asia dalam hal infrastruktur SLOC sudah lama diketahui.
Pelaksanaan hedging di lapangan nampak terlihat dari naval build up besar-
besaran yang terjadi di kawasan, perluasan jaringan aliansi dari para major power,
dan di saat yang sama terus melakukan diplomatic engagement serta pengintensifan
kerja sama perekonomian dengan China. Dalam periode 2007-2011, volume
perdagangan senjata internasional meningkat 24% dibandingkan periode 2002-2006,
dan kawasan Asia dan Oceania menjadi kawasan importir senjata terbesar di dunia
(44%).137
135 Ibid., 136 Ibid., 137 SIPRI Fact Sheet. May 2012
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
93
Universitas Indonesia
Tabel III.4 Lima negara penyuplai s enjata terbes ar dan pembeli utama mereka (Sumber: SIPRI
Fact Sheet)
Sistem aliansi hub and spoke di mana AS menjadi pusatnya, perlahan bergeser
dengan jaringan kerja sama keamanan di antara sekutu-sekutu AS sendiri. Semakin
mendekatnya Australia, Jepang, dan Korea Selatan serta kerja sama strategis dengan
India menjadi indikator-indikator bergesernya sistem hub and spoke dengan jaringan
aliansi yang bilateral yang bersifat non-binding dan lebih fleksibel. Confidence
building dengan China terus ditingkatkan dengan keikutsertaan aktif negara-negara
tersebut bersama China dalam berbagai wadah multilateral serta pengintensifan
hubungan bilateral.
Sejauh ini, kita bisa mengelompokkan negara-negara di kawasan berdasarkan
responnya terhadap String of Pearls dalam dua kelompok besar: Kelompok yang
mewaspadai dan kelompok yang mengambil keuntungan terhadap String of Pearls.
III.2.1 Kelompok Negara-Negara yang mewaspadai String of Pearls
Negara-negara yang mewaspadai String of Pearls sebagian besar adalah
negara-negara major power yang melihat China sebagai negara revisionis yang ingin
merubah status quo keamanan nasional. Oleh karena itu, the rise of China dapat
menganggu stabilitas keamanan nasional. Selain itu, beberapa negara-negara tersebut
juga memiliki pola enmity yang mendalam terhadap China karena berbagai
pengalaman sejarah. AS, Jepang, India, Australia, merupakan anggota dari kelompok
negara-negara yang menilai String of pearls sebagai sebuah bentuk ancaman,
meskipun dengan skala yang berbeda. Negara-negara ini melakukan hedging terhadap
China; melakukan pendekatan-pendekatan secara bilateral dan multilateral dengan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
94
Universitas Indonesia
China, pembangunan kepercayaan, namun di saat yang sama membuka jaringan kerja
sama yang kompleks dengan major power lain
Hal yang perlu digarisbawahi dari kelompok ini adalah hubungan kerja sama
yang terjalin secara kompleks di antara great power lain di kompleks keamanan Asia
Timur dan Asia Selatan. Dalam lima tahun terakhir, pola aliansi hub and spoke AS di
mana AS menjadi sentralnya bergeser dengan kerja sama keamanan di antara sekutu-
sekutu AS sendiri di Asia, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Australia, India menjadi
aktor di luar kawasan Asia Timur yang masuk ke dalam jaringan kerja sama bilateral
ini. India yang muncul sebagai major power bisa dilihat sebagai penyebab utamanya.
Dengan power yang semakin bertumbuh, India yang memiliki hostilitas yang cukup
kentara dengan China mulai bisa menyebarkan eksistensi dan pengaruhnya di Asia
Timur. India secara serius memperkuat dan memoodenisasi angkatan lautnya. Hal ini
menarik perhatian para great power di kawasan seperti Jepang dan Australia untuk
menjalin kerja sama dengan India. India diharapkan dapat menjadi kompetitor utama
sea power China di Samudera Hindia. Bentuk kerja sama yang paling mencolok
adalah Quadrilateral initiative yang terdiri dari AS, Jepang, India, dan Australia.
Selain keempat negara tersebut, Korea Selatan dan Taiwan juga menjadi
negara yang memiliki perkembangan besar terhadap String of Pearls dan peningkatan
kapabilitas PLAN yang sangat besar. Bagi Taiwan, tentu saja hal ini merupakan
concern besar, karena fokus keamanan laut China saat ini adalah penegakan “One
China Policy” dengan penyatuan kembali Taiwan. Korea Selatan, dengan skala yang
berbeda, juga menilai modernisasi besar-besaran angkatan laut China sebagai sebuah
ancaman yang cukup potensial. Berikut ini akan dipaparkan respon dari masing-
masing negara tersebut.
Amerika Serikat. Meskipun secara geografis AS bukanlah bagian dari
kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan, AS sebagai superpower
merupakan aktor overlay utama yang menjaga status quo keamanan maritim di Asia.
Dengan keberadaan pangkalan militernya di Asia, AS berperan sebagai penyedia
public goods dalam hal keterbukaan di jalur laut. Kemampuan AS untuk
memproyeksikan power di lautan belum tertandingi. Di masa damai kekuatan laut AS
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
95
Universitas Indonesia
bertugas untuk pengelolaan laut lepas “blue water”. Sejak Perang Dunia II AS telah
memungkinkan free trade di Asia dengan menjamin kebebasan navigasi di sepanjang
SLOC utama Asia. Tidak ada negara, termasuk China, yang sudah memiliki kapasitas
untuk mengklaim tangggung jawab untuk protecting the commons. Pada tahun 2005,
jumlah tonase kapal AS mencapai 2.8 6 juta ton, sedangkan total armada China hanya
mencapai 263 ribu ton.138
Kepentingan AS di Asia adalah untuk tetap menjaga pengaruh AS di lautan
untuk tetap tidak terganggu dan menjaga sekutu-sekutunya seperti Jepang dan Korea
Selatan dari konflik yang mungkin terjadi. Sampai sekarang, asuransi yang diberikan
AS terbukti cukup efektif di Asia. Namun, The Rise of China memberikan AS tanda
tanya besar mengenai intense China di masa yang akan datang. Jika China secara
sukses muncul sebagai great power, apakah China akan berpartisipasi di sistem
internasional sebagai stakeholder yang bertanggung jawab? ataukah dengan
kemampuan ekonomi dan militer yang kuat, akankah China menjadi power yang
revisionis dan disruptif untuk merubah sistem internasional bagi keuntungannya
sendiri? 139
String of Pearls semakin menguatkan pertanyaan ini. Munculnya String of
Pearls berpotensi menimbulkan kompetisi untuk hegemoni regional antara AS dan
China. Balance of Power di sepanjang jalur String of Pearls akan terus bergeser
seiring dengan tumbuhnya pengaruh power dan pengaruh China di wilayah
tersebut.140 AS yang berkepentingan untuk menjaga status quo di Asia tentunya tidak
menginginkan Asia yang didominasi China. Dalam Buku Putih Pertahanan AS tahun
2010, AS menyatakan akan “memonitor program modernisasi militer China dan
memastikan bahwa kepentingan dan sekutu AS, secara regional dan global, tidak
terpengaruh.” Dalam hal ini, kita bisa melihat dua cara yang dilakukan AS untuk
menghadapi China. Pertama, AS menggunakan pendekatan diplomatik
multilateralisme dengan memaksimalkan partisipasinya dalam organisasi-organisasi
138 Pehrson. Op.Cit., 139 Robert B. Zoellick. Whither China: From Membership to Responsibility? Remarks to the US National Committee on U.S.-China Relations , September 21, 2005 140 Pehrson. Op. Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
96
Universitas Indonesia
regional di Asia, terutama ARF. AS berusaha untuk mendapatkan posisi dominan dan
pemimpin dalam posisi-posisi tersebut. Kedua, AS berusaha memperkuat jaringan
aliansinya dan juga melihat potensi rekan-rekan baru di Asia. Dalam hal ini, AS
berusaha memperkuat dan mengambangkan jaringan aliansi bilateral dengan AS
sebagai hub utamanya. Quadrilateral Initiative menjadi bentuk nyata usaha untuk
mencegah hegemoni China terhadap Asia. Dengan tumbuhnya India sebagai major
power Asia Selatan dengan power yang sudah bisa menjangkau Asia Tenggara, AS
menjadikan India sebagai rekan sekutu baru di Asia, meskipun India berada di posisi
yang berseberangan dari AS selama Perang Dingin.
India. Rajiv Sikri, mantan Sekretaris Negara india mengatakan, jika India
ingin memperoleh status great power, maka satu-satunya arah di mana India bisa
menyebarkan pengaruhnya adalah lewat laut. Dalam dua dekade terakhir, India
merubah pola pikir strategis dari kontinental menjadi maritim. Hal ini
memperlihatkan bahwa India beraspirasi untuk menjadi sebuah kekuatan yang
diperhitungkan di dunia. Sebagai negara deng yang secara geografis berbentuk
semenanjung di pusat Samudera Hindia (dan juga dengan populasi terbesar di Asia
Selatan) dan dengan warisan kejayaan Dinast-dinasti India pra kolonial, dominasi
terhadap Samudera Hindia merupakan sebuah “takdir”. Dominasi di Samudera
Hindia akan memberikan pengaruh yang signifikan di AsiaTimur.
India berusaha mencegah perairan Asia yang didominasi China. Banyak pihak
di India menilai bahwa String of Pearls merupakan sebuah ancaman naval
encirclement bagi India, karena China melihat India sebagai ancaman bagi jalur
suplai energi di Samudera Hindia. Terlepas dari intensi China sebenarnya dan
keberadaan String of Pearls yang masih diperdebatkan, teori String of Pearls yang
agresif diikuti secara luas di New Delhi. Banyak pejabat di New Delhi, salah satunya
mantan Kepala Staf Angkatan Laut India, menyebutkan adanya resiko signifikan
bahwa “India dan China akan bersaing dan bertabrakan di beberapa titik strategis”. 141
141 David Brews ter “An Indian Sphere of Influence in the Indian Ocean”, Security Challenges, Vol. 6, No. 3 (Spring 2010), pp. 1-20.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
97
Universitas Indonesia
India melakukan apa yang para pengamat sebut sebagai counter encirclement
terhadap String of Pearls, dengan berkompetisi dengan China dalam meluaskan
pengaruhnya di wilayah Samudera Hindia dan Asia tenggara, termasuk
mengusahakan kehadiran militer di titik-titik vital seperti Selat Malaka serta turut
melakukan modernisasi kekuatan laut besar-besaran, seperti apa yang India lakukan
di Vietnam.
Anggaran angkatan bersenjata India meningkat per tahunnya sekitar 5% dari
tahun 2001 hingga 2005 dan sekitar 10% dari tahun 2005 ke 2008. Di saat yag sama,
bagian angkatan laut dari anggaran pertahanan yang meningkat tersebut juga terus
meningkat dari 11% pada tahun 1992/93 menjadi 18% pada 2008/09. Peningkatan
anggaran ini mendorong perubahan yang signifikan dalam struktur kekuatan angkatan
laut India, dengan penekanan pada kapabilitas kontrol laut.142
India sedang menjalankan “look east policy”, sebuah usaha untuk memperoleh
status tersendiri di antara emerging countries di Asia. Hal ini bisa dilihat dengan
pendekatan yang dilakukan India terhadap Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan
Australia. Jepang sendiri telah semakin memantapkan kerja sama pertahanan dengan
India, sebagai upaya untuk menyeimbangkan kekuatan laut China, dengan
menandatangani kerja sama keamanan pada tahun 2008. Hal ini berarti India menjadi
negara kedua yang memiliki kerja ssama pertahanan dengan Jepang setelah
Australia.143 Hal ini merupakan sesuatu yang tidak terlihat di dekade sebelumnya dan
sebelum Perang Dingin, di mana intensitas kerja sama pertahanan cenderung rendah.
Semakin kuatnya kerja sama pertahanan ini nyata dalam Quadrilateral Initiative yang
telah disebutkan di atas.
Jepang. Meskipun China dan Jepang memiliki kerja sama dalam kerangka
kerja startegis yang lebih luas dan terus memperlihatkan tanda-tanda positif,
keterbatasan-keterbatasan seperti sejarah, sengketa teritorial dan kompetisi global dan
regional masih menghambat sercara signifikan pembangunan kepercayaan antara
142 Ibid., 143 Hayoun Ryou. India Japan Security Cooperations: Chinese Perceptions . Ins titute of Peace and Conflict Studies Is s ue Brief, No. 89 January 2009. (New Delhi). Hal. 3
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
98
Universitas Indonesia
China dan Jepang144. Permasalahan sengketa teritorial dengan Jepang (Pulau Senkaku
dan Dyayou), serta kekhawatiran Jepang terhadap keamanan jalur lautnya (yang
sangat vital untuk sebagai jalur energy dan perdagangan Jepang) menjadi poin utama
potensi-potensi ancaman China terhadap Jepang.
Hideaki Kaneda, mantan Wakil Admiral Japan Maritime Self Defense Force
(JMSDF) secara eksplisit menghubungkan strategi maritim China dengan Mahan.
Kaneda berargumen bahwa China memenuhi enam syarat sea power Mahan,
termasuk posisi geografis yang menguntungkan, populasi besar, dan kemauan
nasional untuk berkompetisi di lautan lepas. String of Pearls dengan meluasnya ikatan
diplomatif dan infrastruktur pertahanan China di lautan Asia dianggap sebagai
perwujudan nyata pemikiran Mahan dalam strategi maritime China. Dia
menyimpulkan bahwa "Seluruh Asia harus bangun untuk menghadapi kedatangan
Sea power China yang Agresif". Jepang, secara khusus, harus mereformulasikan
strategi maritim nasionalnya dengan hal ini di dalam pikiran.145
Jepang terlihat sebagai pihak yang paling aktif dalam mengusahakan
Quadrilateral Initiative. Seperti yang kita lihat pada penjelasan sebelumnya,
dimulainya hubungan keamanan Jepang dan India menjadi permulaan kerja sama
yang lebih luas, dan Jepang yang mengajukan dibentuknya Quadrilateral Initiative
dengan AS dan Australia. Keaktifan jepang ini juga bisa dilihat sebagai upaya Jepang
untuk tidak hanya bergantung pada jaminan keamanan dari AS sendiri. Dengan
kekuatan laut China yang semakin meluas, Pemerintah Jepang didesak untuk
melakukan perubahan strategi dan peningkatan kapabilitas kekuatan laut Jepang yang
selama ini dirancang dengan asumsi komitmen keamanan AS yang tidak
dipertanyakan lagi.
Di tahun-tahun terakhir, Jepang sangat aktif mengembangkan hubungannya
dengan India, pada 2006, Jepang dan India mendeklarasikan "strategic partnership" di
antara mereka, di mana Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menulis bahwa: "Tidak
akan mengejutkan jika di dekade mendatang, hubungan Jepang-India akan
144 Ibid., 145 James R. Holmes . Japanese Maritime Thought: If Not Mahan, Who? Dalam James Holmes dan Tos hi Yos hihara. Ed. Asia Look s Seaward ed. (Praeger Security international. London: 2007)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
99
Universitas Indonesia
mengambil alih hubungan Jepang-AS dan Jepang China." Di awal 2007, Perdana
Menteri Abe mengajukan "Quadrilateral Initiative, di mana India akan bergabung
dengan dialog multilateral formal dengan Jepang, As, dan Australia. Pada Agustus
2007 di hadapan parlemen India Abe berbicara mengenai kerja sama demokrasi "Asia
yang lebih luas” dan menyarankan bahwa kerja sama India-Jepang akan berevolusi
menjadi jaringan yang mencakup seluruh Samudera Pasifik, memasukkan AS dan
Australia. Di saat yang sama, hubungan militer AS, India, dan Jepang meningkat
secara signifikan. Pada April 2007, untuk pertama kalinya latihan angkatan laut
trilateral antara Jepang, AS, dan india diadakan di Pasifik Barat dan pada Agustus
2007, latihan angkatan laut tahunan India-AS di Malabar berubah menjadi latihan
multilateral skala besar antara AS, india, jepang, Australia, dan Singapura. Banyak
yang melihat Inisiatif politik dan militer ini sebagai permulaan aliansi keamanan
empat arah antara AS, India, Jepang, dan Australia untuk menyeimbangkan China
yang sedang bangkit.146 China sendiri pernah menyatakan kekhawatirannya bahwa
Quadrilateral initiative akan menghidupkan kembali nuansa persaingan Perang
Dingin di Asia Timur, karena melihat kuatnya gelagat quadrilateral initiative yang
diarahakan untuk membendung China.
Australia. Posisi Australia dalam the rise of China cukup unik. Meskipun
Australia mewaspadai the rise of China, Australia terlihat resisten untuk melakukan
manuver-manuver yang dapat memprovokasi China. Australia menyatakan
keraguannya akan intensi dari pengembangan kekuatan militer China yang memiliki
kapasitas power projection dan mengatakan bahwa China belum mencapai “tingkat
transparansi yang dibutuhkan”. Dalam hal ini, setelah reaksi China yang sangat
negatif terhadap Quadrilateral Initiative di tahun 2007, Australia menjadi ragu-ragu
untuk terlibat lebih jauh dalam pembentukan koalisi anti China, melihat itu sebagai
sesuatu yang kontra-produktif dalam merangkul China ke dalam tatanan internasional
yang sudah ada. Australia tetap menjalin kerja sama keamanan dengan negara-negara
tersebut, namun lebih menekankan pada mekanisme bilateral. Dideklarasikannya
146 David Brews ter. “The Aus tralia-India Security Declaration, the Quadrilateral Redux?” Security Challenges, Vol. 6, No. 1 (Autumn 2010), pp. 1-9.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
100
Universitas Indonesia
kerja sama keamanan Australia-India pada 2009 menjadi bukti akan hal ini. Dalam
buku putih pertahanan di tahun 2009, India disebut sebagai rekan Australia yang
sangat penting dalam menjaga jalur laut di Samudera Hindia Timur yang vital sebagai
rute perdagangan, dan menjaga agar jalur tersebut tetap aman dan terbuka merupakan
kepentingan strategis kedua negara. Australia juga mempertanyakan transparansi
China mengenai pengembangan kekuatan lautnya untuk kemampuan power
projection jarak jauh.147
Dalam hal penjagaan stabilitas di Asia Pasifik, Asutralia tetap mengandalkan
keterlibatan AS. Australia menyatakan bahwa AS tetap perlu dilibatkan dalam
pengelolaan keamanan di Asia Pasifik. Trilateral Security Dialogue antara Jepang,
AS, dan Australia terus diperkuat. Tren ini (penguatan aliansi trilateral serta
hubungan keamanan bilateral dengan India dan jepang) nampaknya akan dilanjutkan
oleh Australia hingga tahun-tahun ke depan.
Taiwan. String of Pearls memiliki beberapa dampak terhadap Taiwan.
Pertama, dengan hubungan baik yang terjalin dengan negara-negara di wilayah String
of Pearls melalui berbagai instrument perekonomian, China berhasil mendapatkan
compliance untuk One China Policy. 148 Di Asia Selatan, Taiwan sangat teralienasi,
dan di Asia tenggara, semua negara mengakui “One China Policy” meskipun tidak
menginginkan konflik di Selat Taiwan. Kedua, dalam dimensi modernisasi kekuatan
laut China, Tujuan jangka pendek dari modernisasi PLAN yang utama sangat
berkaitan dengan masalah Taiwan. China berusaha membangun anti-access/area
denial force, sebuah kekuatan yang dapat menangkal intervensi AS dalam konflik
yang melibatkan Taiwan, atau minimal menunda atau mengurangi efektifitas
intervensi kekuatan udara dan laut AS.149 Selain itu, dengan melakukan tindakan
147 Defending Australia in The Asia Pacific Century: Force 2030 . (Departemen Pertahanan Pemerintah Aus tralia: 2009) 148 W. Lawrence S. Prabhakar, China‘s ‗String of Pearls‘ in Southern Asia -Indian Ocean: Implications for India and Taiwan , dalam Security Challen ges in the Asia-Pacific Region: The Taiwan Factor. Ed. M.J.Vinod, Yeong-kuang Ger, S.Y.Surendra Kumar (New Delhi. Viva Books International:2009) hal. 44 149 Ronald O‟Rourke. China Naval Modernization: Implications for U.S. Navy Capabilities — Back ground and
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
101
Universitas Indonesia
pengamanan dan membangun alternatif bagi jalur laut vital China melalui String of
Pearls, China bisa mengurangi vulnerabilitasnya terhadap blokade jalur laut yang
mungkin dilakukan AS jika konflik Taiwan pecah.
Untuk mempersiapkan diri akan kemungkinan-kemungkinan ini, Taiwan
masih mempercayakan dirinya pada jaminan keamanan AS. Dibandingkan dengan
pendekatan-pendekatan diplomatis terhadap China, Taiwan lebih memilih untuk
memperkuat bandwagoning terhadap AS dan tidak segan-segan mengambil langkah
yang dapat memprovokasi China dan menyebabkan hostilitas terbuka, seperti upaya
pembelian jet-jet tempur dari AS yang menimbulkan tensi tinggi dalam hubungan
AS-China.
Korea Selatan. Dalam skala yang berbeda, Korea Selatan memiliki concern
yang sama terhadap modernisasi kekuatan laut China. Terlepas dari longstanding
enmity dengan Korea Utara, para ahli keamanan Korea Selatan menganggap China
dan Jepang sebagai ancaman terbesar bagi Korea Selatan. Dalam sebuah survei yang
dilaksanakan oleh Korean Institute For Defence Analysis, publik Korea Selatan
menganggap China sebagai ancaman utama bagi masa depan mereka.150
Concern utama Korea Selatan terhadap China sangat berhubungan dengan
masalah keamanan SLOC. Korea Selatan, seperti halnya China dan Jepang, sangat
bergantung pada jalur laut untuk suplai energinya. Peningkatan kapabilitas PLAN
serta peningkatan postur strategisnya di sepanjang Samudera Hindia dan Laut China
Selatan (termasuk fasilitas militer di pulau Hainan dan deep water ports di
Bangladesh, Myanmar, dan Pakistan) menunjukkan kesenjangan kapabilitas kekuatan
laut yang besar antara China dan negara-negara lainnya di Asia.151
Pembangunan blue water navy Korea Selatan menunjukkan bahwa Korea
Selatan mulai memiliki visi keamanan yang lebih jauh daripada masalah keamanan
dengan Korea Utara saja. Melihat naval build-up besar-besaran yang dilakukan oleh
Issues for Congress. Congres s ional Res earch Service (CSR) For Congres s . 23 Maret 2012 (Amerika Serikat) 150 Mingi Hyun. South Korea‟s SLOC Dilemma. Strategic Insight No. 20 , Des ember 2009. Diaks es dari http://www.s ldinfo.com/s outh -koreas -s loc-dilemma/ 151 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
102
Universitas Indonesia
negara-negara Asia lain, terutama China dan Jepang, Korea Selatan meresponsnya
dengan melakukan hal serupa. Selain meningkatkan kapabilitas angkatan lautnya
sendiri, Korea Selatan juga terus memperkuat ikatan keamanan dengan AS, dengan
kerangka kerja sama keamanan yang diperluas yaitu penjagaan keamanan laut Asia.
Korea Selatan dan Jepang juga berusaha menjalin kerja sama keamanan terlepas
kecurigaan satu sama lain yang masih kuat, membentuk apa yang Victor D. Cha sebut
sebagai Quasi Alliance.152
Namun, Korea Selatan tidak memperlihatkan sikap agresif vis-à-vis China.
Bagaimanapun juga, China merupakan partner perdagangan utama Korea Selatan.
Sementara Korea Selatan melakukan naval build up dan penguatan kerja sama
dengan AS, Korea Selatan terus berusaha mengembangkan hubungan diplomatic dan
perekonomian dengan China dalam upaya confidence building measures.
III.2.2 Kelompok Negara-Negara yang mengambil keuntungan dari String of
Pearls dan The Rise of China
The Rise of China secara umum menciptakan aura rivalitas yang cukup
kentara di antara great power di Asia. Namun, dengan pendekatan pragmatisme
ekonomi yang ditawarkan oleh China dan yang direspon dalam kompetisi perluasan
pengaruh oleh great power lain terlibat membuat banyak negara memilih untuk
mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari kondisi yang terjadi, dan di saat yang
sama tetap melakukan langkah-langkah antisipasi untuk kemungkinan China dapat
menjadi ancaman. Kompetisi pengaruh antara China, AS, dan India berarti semakin
banyak tawaran kerja sama dan keuntungan yang akan diterima banyak small power
di Asia. Pola seperti inilah yang sebagian besar menjadi reaksi dari negara-negara di
Asia. Negara-negara yang mengambil keuntungan ini sendiri dapat dibagi dalam dua
tipe yang berbeda: negara-negara yang melakukan hedging strategy, dan negara yang
melakukan bandwagoning terhadap China (Pakistan dan Korea Utara).
152 Victor D. Cha. Abandonment, Entrapment, and Neoclassical Realism in Asia: The United States, Japan, and Korea. International Studies Quarterly, Vol. 44, No. 2 (Jun., 2000) . International Studies Association.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
103
Universitas Indonesia
Myanmar. Limited Bandwagoning merupakan karakteristik utama hubungan
China dan Myanmar. Hubungan erat China dan junta militer Myanmar telah
terbangun sejak lama. Dimulai dari tahun 1988, hubungan yang
tadinyaberbentuk”strategic neutrality” berubah menjadi “strategic ententeǁ‖yang
bersifat asimetris, namun menguntungkan bagi kedua belah pihak. Myanmar
mendapatkan aliran uang dan investasi yang sangat besar dari China, sesuatu yang
sangat berharga di tengah isolasi dunia internasional terhadapnya. Di sisi lain, China
sangat memerlukan Myanmar untuk memotong jalur suplai energi dan mengurangi
“Malacca Dilemma”. Terlebih lagi, posisi Myanmar yang berbatasan langsung
dengan China dan India dan berada di kawasan Samudera Hindia juga semakin
menguatkan argument Myanmar sebagai strategic pivot bagi China. Di tahun 2050,
China berharap untuk mencapai status blue water nav y, dan Myanmar secara strategis
penting bagi China untuk mendapatkan akses langsung ke Samudera Hindia dan
Pasifik.153
Myanmar mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari hubungannya
dengan China. Investasi infrastruktur China yang sangat besar di Myanmar tentunya
mendorong pembangunan ekonomi di Myanmar. China pun mendapatkan banyak
keuntungan strategis, misalnya, China ditemukan memiliki sebuah fasilitas
monitoring elektronik di Pulau Coco – Polau yang disewkan oleh Myanmar kepada
China. Kehadiran China yang sangat besar di Myanmar mengusik India, dan India
pun juga memulai pendekatan strategisnya terhadap Myanmar (dengan cara yang
relatif sama seperti China). ASEAN yang melihat tren tersebut di atas akhirnya
memilih untuk melakukan constructive engagement terhadap Maynmar, menerima
Myanmar dalam ASEAN dan mengakhiri isolasi Myanmar di kawasan.
Myanmar tidak bisa disebut sepenuhnya melakukan bandwagoning terhadap
China. Nasionalisme Myanmar yang besar membuat Myanmar tidak mau menjadi
sepenuhnya negara satelit China. Penerimaan China secara diplomatis terhadap
engagement yang dilakukan India dan ASEAN merupakan tanda bahwa Myanmar
153 Poon Kim Shee. The Political Economy of China -Myanmar Relations: Strategic and Economic Dimensions. Rits umeikan Annual Review of International Studies , 2002. ISSN 1347-8214. Vol.1, pp. 33-53
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
104
Universitas Indonesia
pun khawatir akan ketergantungan yang berlebihan pada China.154 Hal ini bisa
disebut sebagai strategi hedging Myanmar terhadap China. Dengan masuknya aktor
lain ke Myanmar, Myanmar dapat meningkatkan bargaining position terhadap China
dan menikmati berlangsungnya kompetisi yang terjadi.
Filipina. Seperti halnya Myanmar, Filipina nampaknya menjadikan The Rise
of China dan dinamika major power yang dihasilkan sebagai sebuah keuntungan
untuknya sendiri. Karena masalah kepulauan Mischief Reef (salah satu titik Pearls
yang secara de facto beradal dalam teirori yang dikontrol China secara langsung),
Filipina memiliki kekhawatiran yang besar terhadap China. Filipina pun mengakui
bahwa mereka tidak memiliki kapabilitas militer untuk bersaing dengan China.
Setelah penutupan pangkalan militer AS di tahun 1992, Filipina menjadi semakin
khawatir terhadap The Rise of China dan menyadari pentingnya kehadiran militer AS
di kawasan.155
China yang menyadari apa yang dilakukan Filipina akhirnya memilih untuk
menurunkan tensi sengketa Mischief Reef dan sepakat untuk membahas permasalahan
Laut China Selatan secara multilateral bersama ASEAN. China juga melakukan
serangkaian konsesi diplomatic dan pengintensifan kerja sama dengan Filipina dalam
berbagai hal, terutama perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari intensitas
perdagangan kedua negara yang terus meningkat, membuat China menjadi salah satu
rekan dagang terbesar Filipina. China juga banyak memberikan investasi dalam
pengadaan infrastruktur di Filipina, seperti pembangunan rel kereta Luzon utara.
China menjadi salah satu rekan penting dalam pertumbuhan ekonomi Filipina.156
Di saat yang sama, Filipina juga memainkan kartu “China” terhadap AS untuk
menaikkan bargaining position mereka. Contohnya terjadi ketika Filipina melakukan
penarikan tentara dari Irak yang diprotes keras Washington dan terdengar ancaman
bahwa hal itu akan mengganggu hubungan kerja sama AS dan Filipina. Filipina
154 Ibid., 155 Renato Cruz De Cas tro, Between the Eagle and the Dragon: Is s ues and Dilemmas in the Philippine Foreign Policy of “Equi-balance” dalam Lam Peng Er. Ed. Eas t As ia‟s Relations with Ris ing China (Korea Selatan: Konrad -Adenauer-Stiftung, 2008) hal. 325-359 156 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
105
Universitas Indonesia
menggunakan kedekatannya dengan China sebagai daya tawar terhadap AS. Dengan
kata lain, Filipina melakukan “equi-balancing” antara AS dan China.157
Vietnam. Serupa dengan Filipina, Vietnam yang juga sedang bersengketa
dengan China mengenai masalah Laut China Selatan juga mengadopsi pendekatan
prgamatis dalam menyikapi The Rise of China. Vietnam tidak secara langsung
merujuk pada String of Pearls sebagai sebuah ancaman. Isu utama Vietnam dalam
hubungannya dengan China tentu saja masalah sengketa Laut China Selatan (wilayah
yang krusial dalam SLOC China). Keberadaan angkatan laut China di Laut China
Selatan yang semakin kuat (dan sudah diperkuat dengan airstrip di pulau Woody,
kepulauan Paracel). Vietnam menyadari bahwa China terlalu kuat untuk dikonfrontir
secara langsung dan juga terlalu banyak peluang perekonomian yang terbuang jika
Vietnam secara keras bermusuhan dengan China. Oleh karena itu, Vietnam
melakukan pendekatan deference terhadap China, atau berusaha menjaga
kepentingannya dengan sebanyak mungkin berkompromi dengan China.
Di sisi lain, Vietnam juga terus melakukan external balancing dengan
membuka kerja sama yang erat dengan great power lain, terutama AS, Jepang, dan
India. Kedekatan Vietnam dengan AS dapat mulai dilihat pada tahun 2003 dengan
seringnya kunjungan pejabat Vietnam ke AS dan kapal perang AS secara rutin
mengunjungi Vietnam setiap tahunnya. Hal semacam ini, tidak pernah terpikirkan di
periode sebelumnya, apalagi kalau bukan karena sejarah perang Vietnam. Vietnam
juga membuka kerja sama dengan dua rival China di Asia, yaitu “reliable
partnership” Jepang dan “strategic and comprehensive cooperative partnership”
dengan India yang dimulai dalam kunjungannya ke kedua negara di tahun 2003.158
Kehadiran India di Laut China Selatan bisa dilihat dari hubungannya dengan
Vietnam. Harsh Pant berargumen bahwa kepentingan utama India terhadap Vietnam
berada pada dimensi pertahanan. New Delhi melihat China sebagai counterwight
terhadap China. Hubungan khusus dengan india dimulai pada tahun 2007, di mana
157 Ibid., 158 Alexander L. Vuving. Strategy and Evolution of Vietnam's China Policy: A Changing Mixture of Pathways dalam Asian Survey, Vol. 46, No. 6, November/December 2006 (Univers ity of California Pres s ) hal. 817
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
106
Universitas Indonesia
India dan Vietnam menandatangi Strategic Partnershp Agreement. Bahkan media-
media India melaporkan kemungkinan penjualan misil Brahmos (joint venture antara
Rusia dan India) kepada Vietnam.159
Thailand. Thailand bisa dikatakan sebagai negara kedua di ASEAN setelah
Myanmar yang memiliki hubungan sangat erat dengan China. Bahkan, hubungan
Thailand dengan China dianggap sebagai katalis hubungan China dengan negara
ASEAN lain. Kebijakan luar negeri Thailand terkenal dengan adagium bending with
the wind; seperti bambu, mantap dan kuat di akar, namun juga fleksibel, tidak kaku,
dan selalu mengikuti arah angin agar tidak patah. Dalam konteks ini, Leszek
Buszynski menempatkan bending with the wind dalam konteks sejarah untuk
mengindikasikan kebutuhan Thailand untuk terus merubah sekutu internasional dan
regional untuk menjaga kemerdekaan mereka.160
Strategi luar negeri ini sangat terlihat dalam hubungan antara Thailand dengan
China dan AS. Hubungan dekat China dan Thailand nampak jelas dalam berbagai
dimensi. Thailand juga memiliki strategic partnership dengan China. Thailand
dengan Proyek kanal Kra (Kra Isthmus) juga disebut sebagai salah satu bagian String
of Pearls China. Ide tersebut sudah ada sejak tahun 1677 namun paru pada tahun
1993 proyek tersebut mencuat lagi karena proposal yang ditawarkan pemerintah
Thailand. Total pembiayaan untuk proyek ini mencapai $23 Miliar. Jika proyek ini
berhasil dilakukan maka China dapat mengubah rute suplai minyak mereka melalui
teluk Thailand yang pada akhirnya akan sangat menguntungkan China karena dapat
mengurangi “Dilema Malaka” mereka. Karena titik ini dekat dengan rute minyak dari
Timur Tengah,, Cina mendapat lokasi intelijen utama, memungkinkannya untuk
memonitor lalu lintas kapal regional dan kehadiran angkatan laut AS dan dapat
digunakan sebagai power projection hubs.161 Thailand juga dengan tegas mendukung
“One China Policy”, yang berarti tidak mengakui keberadaan Taiwan. Di sisi lain,
159 Amruta Karambelkar. Indo-Vietnam Defence Relations: Strategically Responsive. (Ins titute of Peace and Conflict Studies : 2012) Diaks es dari http://www.ipcs .org/article/india/indo -vietnam- defence-relations -s trategically-res pons ive-3568.html pada 28 Mei 2012 160 Les zek Bus zyns ki. Thailand's Foreign Policy: Management of a Regional Vis ion" As ian Survey, Vol. 34, No. 8 (Augus t 1994), hal 721-737 161 Amardeep Athwal. Op. Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
107
Universitas Indonesia
meskipun terus mengalami fluktuasi, Thailand tetap menjaga aliansinya dengan AS,
di mana Thailand menjadi salah satu sekutu utama AS non-NATO.162 Thailand telah
menjadi sekutu formal AS sejak keanggotaannya dalam SEATO, bubarnya SEATO
tidak memutuskan hubungan ini, dan AS menjamin keamanan Thailand sebagai salah
satu sekutunya di Asia Tenggara. AS seringkali dianggap memperlakukan aliansi ini
sebagai taken for granted, yang menyebabkan insekuritas di antara pemimpin
Thailand. Hal ini juga yang menjadi salah satu faktor pendorong intensitas hubungan
Thailand dengan China. Meskipun demikian, Thailand hingga saat ini tidak
meninggalkan hubungan aliansi ini.
Malaysia. Hubungan China dan Malaysia mengalami perubahan yang drastis
dari mas Perang Dingin hingga sekarang. Hingga tahun 1980-an hubungan mereka
dipenuhi rasa saling curiga, bukan hanya dukungan China terhadap kelompok
komunis di Malaysia, namun juga sengketa terhadap kepulauan Spratly di Laut China
Selatan. Namun hal ini berubah setelah reformasi perekonomian yang dilakukan
China, dari sumber ancaman menjadi rekan kunci dalam perekonomian dan kebijakan
luar negeri. Kedekatan Malaysia ini, menurut Kuik, hingga mencapai level limited
bandwagoning.
Respon utama yang diberikan Malaysia terhadap String of Pearls adalah
pragmatisme, yaitu mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari meningkatnya
kapabilitas China dan dinamika great power yang ditimbulkan. Pragmatisme
ekonomi menjadi landasan utamanya. Perilaku limited bandwagoning Malaysia dapat
dilihat dari kesediaan para pemimpinnya untuk mendukung kepentingan inti China,
seperti “One China Policy” dan juga kerja sama China dan Malaysia dalam
mendorong East Asia Economic Caucus. Malaysia men-downplay kemungkinan
potensi ancaman dari China, dan menargetkan reward yang sepantasnya dari
hubungan mereka.163
Malaysia juga sudah lama menjadi partisipan dalam Five-Power Defence
arrangements (FPDA), dan menjaga hubungan pertahanan yang erat dengan AS, pada
162 Pavin Chachavalpongpun, Thailand: Bending with the (Chinese) Wind? , Lam Peng Er. Ed. Eas t As ia‟s Relations with Ris ing China (Korea Selatan: Konrad -Adenauer-Stiftung, 2008) hal. 365-402 163 Kuik Cheng-Chwee.Op.Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
108
Universitas Indonesia
Mei 2005, Malaysia dan AS memperbaharui Acquisition and Cross-Servicing
Agreement, yang pertama kali ditandatangani pada 1994. Namun pengaturan ini lebih
dapat dianggap sebagai manifestasi dari indirect balancing, karena lebih kepada
persiapan untuk kontingensi, dibandingkan untuk menargetkan terhadap ancaman
tertentu. Malaysia juga tidak menginginkan Asia yang didominasi China. Hal ini
terefleksikan dengan hubungan erat Malaysia dengan Major Power lain.164
Singapura. Hedging merupakan strategi kebijakan luar negeri yang dilakukan
oleh Singapura yang sudah dijalankan sejak lama. Singapura selalu berusaha
menciptakan keseimbangan great power di sekelilingnya. Karena ukuran negaranya
yang kecil dan vulnerabilitas secara geopolitik, Singapura menekankan pada
penegakan status quo dalam (1) kebebasan navigasi di laut, (2) ASEAN yang kohesif,
(3) distribution of power yang stabil. Dalam konteks hubungannya terhadap the rising
China, posisi Sinngapura cenderung ambivalen: hangat dalam hubungan
perekonomian dan diplomatik, namun cenderung jauh dalam dimensi politik dan
strategis.165
China tidak muncul sebagai ancaman keamanan secara langsung bagi
Singapura, karena kedua negara tersebut tidak memiliki sengketa territorial dan
semacamnya. Ancaman utama yang mungkin diberikan China kepada Singapura
adalah jika China menyebabkan instabilitas di kawasan, faktor determinan bagi
perekonomian Singapura. Karena sebagian besar perekonomiannya berasal dari
aktifitas perdagangan di lautas Asia, Singapura menaruh perhatian besar terhadap
keamanan jalur laut. Singapura akan konflik yang mungkin terjadi di Selat Taiwan
dan Spratly, karena perekonomian mereka sangat tergantung pada kebebasan dan
keamanan navigasi di lautan. Dalam konteks String of Pearls, Singapura tidak pernah
menyatakan kekhawatirannya secara langsung bahwa String of Pearls akan menjadi
ancaman bagi keamanan Singapura. Namun para analis beranggapan bahwa
Singapura sangat khawatir dengan proyek Kanal Kra yang dapat mem-bypass Selat
164 Ibid., 165 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
109
Universitas Indonesia
Malaka, sehingga dapat berpengaruh negaif bagi perekonomian Singapura yang
bergantung pada perdagangan.
Singapura meletakkan China sebagai rekan yang dapat meningkatkan
pertumbuhan dan kesejahteraan kawasan secara bersama. Sejauh ini, Singapura
merupakan rekan perdagangan China yang terbesar di Asia Tenggara. Singapura tidak
melakukan containment terhadap China, melainkan usaha engangement untuk
merangkul China ke dalam wadah-wadah multilateral. Singapura juga berusaha
mengembangkan hubungannya dengan China bersama dengan major power lain
seperti AS, Jepang, India, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. 166 Singapura
bisa disebut sebagai salah satu sekutu non-formal AS di Asia Tenggara. Sejak Perang
Dingin hingga sekerang, Singapura merupakan pendukung keberadaan militer AS di
Asia Tenggara. Dari perspektif Singapura, AS merupakan non benign power yang
sangat penting untuk menjaga kestabilan di kawasan. Singapura juga terus
meningkatkan kerja sama keamanan dengan India. Sejak tahun 2003, kerja sama ini
semakin intensif ditandai dengan dialog regular dan latihan intensif angkatan laut,
angkatan darat, dan angkatan udara. India juga mengizinkan angkatan udara
Singapura untuk berlatih di markas Indian Air Force di kalaikunda, West Bengal.
Indonesia. Indonesia pada dasarnya berusaha membangun hubungan yang
baik dengan semua negara di ASEAN dan great power. Indonesia selalu berusaha
mempertahankan independensinya dari interferensi great power manapun, termasuk
AS. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia bisa dikatakan sebagai
negara paling netral dalam isu the rising China.
Kebijakan Indonesia terhadap China merefleksikan ambiguitas yang nampak
serupa seperti yang ditunjukkan oleh Singapura. Di satu sisi, Indonesia melihat
keuntungan dengan memiliki hubungan bang baik dengan China dan mulai
mendemonstrasikan meningkatnya kepercayaan dalam pengelolaan hubungan
bilateral kedua negara. Sejak reformasi 1998, Hubungan Indonesia dengan China
terus meningkat secara bilateral, terutama dalam hal kerja sama perekonomian. Di sisi
166 Lye Lian Fook, Singapore: Balancing among China and Other Great Powers dalam Lam Peng Er. Ed. Eas t As ia‟s Relations with Ris ing China (Korea Selatan: Konrad -Adenauer-Stiftung, 2008) hal.277-320
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
110
Universitas Indonesia
lain, Indonesia masih tetap ragu-ragu terhadap peran dan intense jangka panjang
China di kawasan. Keragu-raguan ini terlihat ketika Indonesia menginginkan
dimasukkannya India, Australia, dan Selandia Baru dalam East Asia Summit, dan
tidak hanya terbatas pada ASEAN Plus Three. 167Ambiguitas ini menyebabkan
Indonesia mengambil kebijakan re-engagement yang dicirikan dengan strategi
Hedging terhadap kehadiran China. Strategi hedging Indonesia mirip dengan apa
yang dilakukan Singapura di mana tidak nampaknya intensi dari Indonesia untuk
mengambil keuntungan dari dinamika great power di kawasan. Hal ini Nampak
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Burma, Thailand, dan Filipina yang terlihat
menggunakan dinamika great power untuk mendapatkan tujuan nasionalnya.
Indonesia juga tidak secara khusus menyebut String of Pearls sebagai sebuah
ancaman. Nampaknya dalam isu ini dan isu meningkatnya kekuatan laut China,
Indonesia tetap bersikap netralitas dan independensi menjadi sikap utama Indonesia.
Hal ini terlihat di mana Indonesia bersama Malaysia, menolak kehadiran kekuatan
asing manapun di Selat Malaka, karena hal tersebut dianggap sebagai bentuk
pelanggaran terhadap kedaulatan negara.
Bangladesh. Bangladesh menjadi salah satu negara dalam jaringan String of
Pearls China. Terlepas dari masa lalu yang yang kelam dalam hubungan dengan
China (pada masa di mana Bangladesh sangat dekat dengan India dan Rusia, dan
China menghalangi upaya Bangladesh untuk menjadi anggota PBB), saat ini
Bangladesh secara publik dikenal sebagai “all-weather friend” China, seperti yang
terlihat dalam penandatanganan Joint Statement Bangladesh-China pada saat
kunjungan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, pada 2010.168 Beijing
menjadi donor utama bagi Bangladesh.169 China mendanai berbagai proyek
infrastruktur di Bangladesh, di mana hingga saat ini China memberikan bantuan
167 Rizal Sukma, Indonesia‘s Response to the Rise of C hina: Growing Comfort amid Uncertainties dalam Jun Ts unekawa. Ed. The Rise of China: Response from Southeast Asia and Japan , NIDS Joint Research Series No.4 (Tokyo: 2009) hal. 139-155 168 Iftekhar Ahmed Chowdhury. Bangladesh-China: An Emerging Equation in Asian Diplomatic Calculations. ISAS Working Paper No. 105 – 31 March 2010 169 J. Mohan Malik. South Asia in China‘s Foreign Relations. Paci. ca Review, Volume 13, Number 1, February 2001
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
111
Universitas Indonesia
dengan total nilai $1.5 Miliar. Pada tahun 2010, 186 proposal proyek dari China
dengan nilai US$320 juta telah didaftarkan di Bangladesh Board of Investment.170
Proyek utama yang menjadi sorotan dalam konteks String of Pearls adalah proyek
Pelabuhan Chittagong di Teluk Bengal. China juga menjadi penyuplai terbesar bagi
Bangladesh saat ini. Tabel III.5 Nilai Trans fer s enjata ke Banglades h periode 2005 -2011 dalam juta US$ nilai
kons tan tahun 1990. (Sumber: SIPRI Arms trans fer Databas e)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Total
China 21 10 8 53 5 96
Total
transfer
senjata
51 58 49 64 5 237
Namun, hubungan China-Bangladesh sulit untuk disebut sebagai sebuah
upaya balancing terhadap India di Asia Selatan, seperti hubungan China dan
Pakistan. Bangladesh justru dapat dilihat sebagai sebuah jembatan penghubung antara
India dan China, karena hubungan baik yang terjalin dengan keduanya. Bangladesh
selalu berusaha menghindari ketegangan yang muncul karena kedekatannya dengan
India. Dalam pembangunan pelabuhan Chittagong misalnya, PM Bangladesh terkesan
mengundang India untuk mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut, dengan
menyebutkan “China mendapatkan keuntungan dari pembangunan deep seaport
tersebut, sementara semua negara tetangga juga dapat menggunakannya”. India juga
bisa mendapatkan keuntungan dari Proyek sungai Brahmaputra yang dikerjakan oleh
China di Bangladesh yang sangat terkait dengan India, Jika India dan China bisa
merancang mekanisme pertukaran data mengenai Brahmaputra. 171
Sri Lanka. Seperti halnya Bangladesh, Sri Lanka menjadi salah satu pearls
penting bagi China di Asia Selatan. Dengan ditandatanganinya Joint Communiqué
pada September 2005, hubungan keduanya terus menguat. China berinvestasi besar-
besaran dalam pembangunan infrastruktur di Sri Lanka, dengan menyediakan
170 Chowdury.. Op.Cit., 171 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
112
Universitas Indonesia
pinjaman bebas bunga atau pinjaman bersubsidi. Sebagai hasilnya, bantuan dan
investasi komersial China meningkat sangat pesat selama masa Presiden Rajapakse,
terutama Proyek Pembangunan Pelabuhan Hambatonta (US$ 1 Miliar); Proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Norochcholai; dan jalur ekspres Colombo
Katunayake. Selama tahun 2006-2008, bantuan China ke Sri Lanka meningkat pesat
dan menggantikan Jepang sebagai pemberi donor terbesar bagi Sri Lanka. China juga
menjadi penyuplai persenjataan utama bagi Sri Lanka. Tabel III.6 Nilai Trans fer s enjata ke Sri Lanka periode 2005-2011 dalam juta US$ nilai kons tan
tahun 1990. (Sumber: SIPRI Arms trans fer Databas e)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Total
China 1 184 55 10 12 161 422
Total
transfer
senjata
10 221 76 13 35 164 518
Keberhasilan China dalam Sri Lanka ini sangat berkaitan dengan
ketidakpuasan Sri Lanka terhadap India dan negara-negara Barat terutama dalam
masalah pemberontakan Macan Tamil. Negara-negara Barat terus mengecam
pemerintahan Sri Lanka krena dianggap melakukan kejahatan perang dan
pelanggaran HAM terhadap Macan Tamil, sedangkan India mengambil posisi ambigu
dengan mendukung “kesatuan dan integritas” Sri Lanka dan di sisi lain mendorong
“penyelesaian (konflik) dengan negosiasi”.172 China yang memegang teguh prinsip
non interferensi dalam setiap kerja sama luar negerinya menjadi pihak yang lebih
difavoritkan oleh Sri Lanka.
Meski begitu, Sri Lanka juga tidak bisa sepenuhnya dianggap melakukan
bandwagoning terhadap China. Sri Lanka tetap mengakui India sebagai major power
di Asia Selatan dan tidak ingin mengambil posisi yang antagonistic terhadap India.
Pragmatisme tetap menjadi landasan hubungan Sri Lanka dan China. India berusaha
memperkuat kembali pengaruhnya di Sri Lanka melalui berbagai pendekatan
172 Brian Orland. India‘s Sri Lank a Policy: Towards Economic Engagement . IPCS Res earch Paper. (Singapore: 2008)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
113
Universitas Indonesia
perekonomian.173 Sri Lanka masih berusaha menciptakan keseimbangan dalam
persaingan keduanya di Sri Lanka seperti yang dikatakan oleh mantan diplomat Sri
Lanka Jayantha Dhanapala, “Ini bukanlah zero-sum game di mana hubungan Sri
Lanka dengan China harus mengorbankan hubungan dengan India.Kami dengan
cerdik menyeimbangkan hubungan ini.”174
Nepal. Sebagai buffer zone antara India dan China, Nepal merupakan arena
perebutan pengaruh antara keduanya. Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan
Nepal dengan China terus meningkat, apalagi setelah partai Maoist Nepal memegang
kekuasaan. Pada tahun 2008, China mengumumkan pemberian bantuan militer
sebesar US$1.3 juta, dan bantuan militer non lethal sebesar $2.6 juta kepada Nepal.
Pada tahun 2011, delegasi pertahanan tingkat tinggi China mengunjungi Nepal.
Pimpinan delegasi China mengatakan bahwa "Kerja sama yang bersahabat antara dua
negara dan dua ketentaraan tidak hanya kondusif bagi rakyat kedua negara, namun
juga terhadap perdamaian dunia dan Asia Pasifik khususnya." Dia juga menyebutkan
komitmen China untuk meningkatkan kerja sama pertahanan dengan tentara Nepal.
Nepal menyebut China sebagai teman yang dapat diandalkan dan sangat berterima
kasih atas dukungan yang diberikan Pemerintah, rakyat, dan tentara China terhadap
transformasi sosial di Nepal.175
Partai Maoist yang berkuasa di Nepal saat ini memperlihatkan kecenderungan
pro China yang sangat kuat dan seringkali memperlihatkan sentiment anti India.
Namun, Nepal tetap berusaha menjaga hubungan baik dengan India. Hal ini terlihat
dari kunjungan Perdana Menteri Nepal Baburam Bhattarai ke India pada tahun 2011.
Baburai tetap mengakui pentingnya India bagi Nepal. Dia mengatakan, pada
kenyatannya interaksi sosio-ekonomi Nepal sebagian besar adalah dengan India, dan
173 Ibid., 174 Sergei DeSilva-Ranas inghe. Sri Lank a, The New Great Game. Strategic Analysis Paper, 24 Maret 2010. (Future Directions International. Aus tralia) 175 Satis h Kumar. China‘s Expanding Footprint in Nepal: Threats to India . Vol 5. No 2. April 2011. Journal of Defence Studies
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
114
Universitas Indonesia
2/3 dari jumlah nilai perdagangan tahunan Nepal juga dengan India, dan dengan
China hanya 10%.176
Kamboja. Kamboja disebut-sebut sebagai salah satu pearls baru dalam String
of Pearls China. Dalam beberapa tahun terakhir, China menjadi pendonor terbesar di
Kamboja, melewati Jepang, AS, dan Uni Eropa. Berbagai macam proyek
infrastruktur, investasi, dan bantuan mengalir dari China ke Kamboja, antara lain
fasilitas docking di Ream dan upgrade pelabuhan Sihanoukville (yang disebut-sebut
sebagai pearls tersebut).177 Militer Kamboja pun sangat banyak mendapatkan
asistensi dari China. Hubungan militer yang erat ini dapat dilihat pada tahun 2008,
kapal perang China Zhenghe dengan 400 kru berlabuh di Sihanoukville.
Hubungan Kamboja dan China memperlihatkan perbedaan nyata antara
pendekatan pragamtisme ekonomi dan prinsip non-interferensi China dibandingkan
dengan nilai-nilai demokrasi, Ham, dan transparansi yang diusung oleh negara-negara
Barat untuk mendekati negara-negaralain. Sementara negara-negara Barat seringkali
mengecam masalah-masalah pelanggaran HAM dan militer yang kerap terjadi di
Kamboja serta tingginya tingkat korupsi di Kamboja, China tetap “bermurah hati”
memberikan berbagai macam bantuan, investasi, dan pinjaman kepada Kamboja. Hal
ini nyata terlihat pada kasus, pemulangan etnis Uygghur China yang meminta suaka
politik di Kamboja pada tahun 2009, di mana dua hari kemudian China
menandatangani 14 perjanjian dengan total nilai $1.4 Miliar. Sementara itu, AS justru
merepsonnya dengan menunda pemberian bantuan ke Kamboja pada 2010.178
Namun, hal ini tidak berarti bahwa Kamboja sepenuhnya menggantungkan
diri pada China. Kamboja sangat memerlukan bantuan luar negeri. Prinsip
pragmatism menyebabkan Kamboja tidak peduli dari mana datangnya bantuan
tersebut. Selama ada uang datang, stance politik Kamboja dapat berubah. Kerja sama
176 Col. C. Hariharan. CHINA‘S IMPACT ON INDIA-NEPAL RELATIONS . South Asia Analysis Group, Paper No. 4780, 20 Nov. 2011. Diaks es dari http://www.s outhas iaanalys is .org/ \papers 48\paper4780.html 177 Ian Storey. China's Tightening Relationship with Cambodia. 01 Juli 2006. Diaks es dari http://www.as ianres earch.org/articles /2881.html 178 Jennifer Chen. US-China-Cambodia Relations: The trilateral balance . 02 Oktober 2010. Diaks es dari http://www.eas tas iaforum.org/2010/10/02/us -china-cambodia- re lations -the-trilatera l-ba lance/
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
115
Universitas Indonesia
ekonomi merupakan kunci untuk mendekati Kamboja. Sikap Kamboja terhadap
sanksi yang diberikan AS pada tahun 2010 mendemonstrasikan hal ini.179
Laos. Laos menerima uluran kerja sama China dengan tangan terbuka. Dari
tahun 1999-2009, China memberikan 2.3 Miliar yuan untuk membiayai 60 proyek
infrastruktur dan US$ 291 Juta sebagai pinjaman untuk Sembilan proyek lain.
Perdagangan bilateral pada tahun 2006 mencapai US$220 juta, dibandingkan pada
tahun 1999 yang hanya mencapai US$34 juta. Investasi china di Laos pada tahun
2006 mencapai US$ 498 juta, meningkat 158 kali lipat daripada jumlah di tahun
1996.180 Aktivitas investasi dan ekonomi terbesar China di Laos berada pada sektor
energy dan pertambangan. China telah merelokasi lebih dari 30,000 keluarga China
untuk bekerja di Laos di proyek infrastruktur dan pembangkit energi serta konsesi
pertambangan untuk emas, tembaga, baja, potasium, dan bauksit.181
Namun, pemerintah Laos nampaknya tidak ingin bergantung terlalu banyak
dengan China dan menciptakan keseimbangan diplomatik dengan memperkuat
hubungan dengan rekan lain di kawasan. Laos adalah anggota ASEAN yang sangat
aktif, dan selama periode 2007-2009, Laos adala negara koordinir ASEAN bersama
Jepang, mereka bekerja sama dengan sangat baik sehingga komunikasi ASEAN
Jepang berjalan halus. Di saat yang sama Presiden Chounmaly Sayasone mengadakan
kunjungan ke Jepang pada 2008, dan Perdana Menteri Bouasone Bouphavanh pada
2007. Selain itu, PM laos juga mengadakan kunjungan ke Korea (pada 2008) dan
Presiden mengadakan kunjungan ke China (2008). Tanda-tanda pendekatan antara
Laos dan AS, juga terlihat, misalnya, dengan pembukaan kantor atase militer pertama
di Vientiane dan Washington D.C.182
179 Ibid., 180 Kazuhiro Fujimura. The Increas ing Pres ence of China in Laos Today: A Report on Fixed Point Obs ervation of Local News papers from March 2007 to February 2009. (Rits umeikan As ia pacific Univers ity: 2009) 181 Teres ita Cruz-del Ros ario. ENTER THE DRAGON, SOFTLY: CHINESE AID IN SOUTH, SOUTHEAST AND CENTRAL AS IA. Lee Kuan Yew School of Public Policy Working Paper Series . (Paper pres ented at the works hop on “Chines e Inves tments in Southeas t As ia.” Hongkong, 17 June 2011). 182 Kazuhiro Fujimura. Op.Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
116
Universitas Indonesia
Pakistan. Proyek pembangunan pelabuhan Gwadar di Pakistan merupakan
pearls yang paling menjadi concern para pengamat keamanan India. Proyek ini
menjadi dasar utama kecurigaan India akan strategi encirclement yang dilakukan oleh
China terhadap India. Hal ini wajar, karena Pakistan merupakan nemesis India di Asia
Selatan hingga saat ini, meskipun dari segi kapabilitas Pakistan sudah tertinggal jauh
dan bahkan mengarah ke failed state. Kedekatan Pakistan dengan China yang
memiliki sejarah konflik dengan India tentu saja memicu kecurigaan India.
Bandwagoning Pakistan terhadap China ini dilakukan khususnya dalam konteks vis-
à-vis India. China berharap untuk terus “mengikat” India di Asia Selatan dengan
menggunakan Pakistan. Tabel III.7 Nilai Trans fer s enjata ke Pakis tan periode 2005-2011 dalam juta US$ nilai
kons tan tahun 1990. (Sumber: SIPRI Arms trans fer Databas e)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Total
China 78 98 144 250 779 858 898 3104
AS 147 124 341 282 118 1126 527 2664
Total
transfer
senjata
419 274 636 1037 1124 2450 1675 7616
Pakistan saat ini memang sangat bergantung pada China untuk berbagai
bantuan ekonomi dan peralatan militer. Tidak ada negara di Asia lain yang
dipersenjatai dengan tingkat kekonsistenan yang sama selama periode waktu yang
panjang seperti China mempersenjatai Afghanistan.183 Aliansi dengan China ini tidak
membuat Pakistan tidak menjalin hubungan dengan great power lain. Pakistan masih
terus menjalin hubungan dengan AS, karena AS masih membutuhkan Pakistan untuk
memerangi Al-Qaeda dan Taliban di perbatasan dengan Afghanistan. Hubungan AS
dan Pakistan bukan merupakan hubungan yang stabil, namun AS masih mengakui
Pakistan sebagai rekan yang sangat diperlukan dalam War on Terrorism. AS juga
tidak merasa nyaman dengan kedekatan Pakistan terhadap China, dan terus berusaha
memperbaiki hubungannya dengan Pakistan. Namun, aliansi de facto China dan
183 J. Mohan Malik. Op.Cit., 75.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
117
Universitas Indonesia
Pakistan nampaknya sudah semakin mantap. Dalam agregat periode 2005-2011,
China melampaui AS dalam nilai transfer senjata ke Pakistan. Aziz menjelaskan
penjelasan geopolitik ikatan Pakistan terhadap China, dengan merujuk pada hukum
ketiga Newton - setiap aksi menghasilkan reaksi yang setara dan berlawanan - bahwa
hubungan Pakistan-China merupakan sebuah reaksi terhadap hubungan AS-India.184
Korea Utara. Beberapa pengamat menilai Korea utara sebagai ujung dari
String of Pearls China di Asia Timur. Hubungan khusus China dengan Korea Utara
memang sudah terbangun sejak lama. Hingga saat ini, hubungan aliansi tersebut
masih terbentuk. Namun, hubungan aliansi tersebut nampaknya telah tereduksi cukup
drastis. China tidak lagi dianggap sebagai “blood ally” Korea Utara seperti yang
terjadi selama perang Dingin. Hal ini bisa dilihat pada perbedaan sikap mengenai
konflik Semenanjung Korea, di mana China lebih menginginkan kestabilan di
Semenanjung Korea dan berusaha mende-nuklirisasi Korea Utara, sikap yang
diabaikan oleh Korea Utara.
Korut sekarang lebih memposisikan China sebagai rekan pragmatis untuk
regime survival, dengan menyediakan resource militer dan pertahanan, makanan dan
energi. Korut saat ini menapaki jalan menuju independensi politik dari Beijing.
Kebijakan luar negeri Korut memperlihatkan level independensi yang tinggi dari
China, di mana Korut berusaha membuka jalur perundingan sendiri dengan lawan-
lawannya di Asia, termasuk dengan AS dan Jepang. Namun, untuk masa depan yang
masih terlihat, Korea Utara nampaknya masih akan terus dilihat sebagai sekutu
China.
III.4. Pengukuran Polaritas Sistemik Asia Timur dan Asia Selatan
Setelah seberlumnya dijabarkan mengenai strategi maritime China, konsep
String of Pearls, dan respon dari negara-negara di Asia timur dan Asia Selatan, maka
184 Telegram 04 ISLAMABAD 9705 dari kedubes AS di Is lamabad, “Subject: Pak-Sino Relations :„Higher than the Himalayas , Deeper than the Sea,” a copy of which is available at http://wikileaks .org/cable/2006/05/ 06IS LAMABA D9705.ht ml , Lihat John J. Tkacik, The Enemy of Hegemony is My Friend: Pak istan‘s de facto ‗Alliance‘ with China (USA: House Committee on Foreign Affairs Oversight and Investigations Subcommittee , 2011)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
118
Universitas Indonesia
sekarang kita dapat mulai mengukur secara kuantitatif dampak String of Pearls bagi
polaritas sistemik di kompleks keamanan Asia timur dan Asia Selatan. Seperti yang
telah dijelaskan pada Bab I subbab metodologi, untuk melakukan pengukuran ini
penulis akan menggunakan metode pengukuran polaritas sistemik yang diperkenalkan
oleh Bueno De Mesquita. Sesuai dengan meotde tersebut, pada bagian ini kita akan
melihat tiga elemen polaritas sistem, yaitu jumlah cluster (atau bisa disebut juga
poles/bloc), tingkat keketatan (tightness) dalam kluster dan dissimilaritas antar
kluster, serta concentration of power dalam sistem tersebut. Untuk penelitian ini,
penulis akan melakukan beberapa penyesuaian dalam metode yang akan digunakan
sesuai dengan keunikan dari kompleks keamanan Asia Timur serta konsep String of
Pearls itu sendiri.
Dalam pengukuran ini, kompleks keamanan Asia Timur dan Asia selatan akan
disatukan agar kita bisa melihat dampaknya secara keseluruhan. Namun, kita tidak
akan menganalisis seluruh negara yang ada di Asia timur dan Asia Selata, melainkan
kita akan memilih beberapa negara yang memang signifikan untuk dimasukkan ke
dalam analisis ini. Terdapat beberapa alasan untuk hal ini. Pertama, pengukuran
jumlah cluster dalam sistem mensyaratkan kita untuk menentukan seluruh pasangan
(dyad) negara-negara yang mungkin dalam sebuah sistem. Jika kita mengambil
seluruh negara di Asia, maka jumlah dyad yang dianalisis akan melebihi 200. Kedua,
banyaknya dyad yang dianalisis tidak sebanding dengan signifikansi yang diberikan,
karena banyak negara tersebut memiliki pola aliansi yang sama terhadap negara lain,
yaitu hedging, dan tidak memiliki hubungan aliansi yang lebih tinggi dari itu (akan
dibahas lebih lanjut pada bagian jumlah cluster dalam sistem). Ketiga, dimensi-
dimensi kapabilitas power yang dimiliki negara tersebut jumlahnya tidak signifikan
sehingga tidak akan berpengaruh banyak dalam analisis (akan dibahas lebih lanjut
pada bagian power concentration).
Berkaitan dengan periode penelitian ini (2005-2011), maka pengukuran ini
akan membandingkan polaritas sistemik yang terjadi pada tahun 2005 dan 2011,
shingga kita dapat melihat perubahan yang telah terjadi. Selain itu, berkaitan dengan
posisi AS yang tumpang tindih dan tidak bisa dilepaskan dari kompleks keamanan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
119
Universitas Indonesia
regional Asia, maka dalam pengukuran polaritas sistemik ini akan selalu
membandingkan keadaan polaritas dengan dan tanpa faktor AS. Sehingga, dalam satu
bagian kita akan menganalisis empat keadaan sistem yang berbeda, yaitu tahun 2005
dengan dan tanpa AS, serta tahun 2011 dengan dan tanpa AS.
III.4.1 Jumlah cluster dalam sistem
Pengukuran jumlah cluster ini, seperti yang telah dijelaskan oleh Mesquita,
secara prinsipnya dilakukan melalui analisis similaritas pola aliansi dari seluruh
negara dalam sebuah sistem. Analisis ini dilakukan dengan melihat derajat similaritas
hubungan aliansi dalam seluruh kemungkinan pasangan negara (dalam sebuah
sistem).185 Dalam operasionalisasinya, analisis ini akan membutuhkan beberapa
langkah:
1) Penentuan tipe/kategori aliansi
2) Menentukan seluruh dyad (pasangan) negara-negara yang ada dalam sebuah
sistem
3) Menentukan tipe hubungan aliansi dari seluruh dyad yang ada
4) Menghitung derajat similaritas pola aliansi masing-masing dyad dengan
menggunakan fungsi asosiasi kendall tau-b
5) Memasukkan seluruh skor tau-b yang sudah didapatkan dalam table persegi
6) Melakukan typal analysis, untuk menentukan cluster yang ada dalam sebuah
sistem beserta anggotanya
Dalam metode yang Mesquita ajukan (pada tahun 1975), dia menentukan tiga
tipe aliansi yang memiliki derajat komitmen yang berbeda, yaitu (a) Pakta
pertahanan, di mana negara yang terlibat setuju untuk saling membantu pertahanan
jika salah satu negara anggota diserang; (b) netralitas atau pakta non-agresi, di mana
negara-negara yang terlibat setuju untuk tidak saling mendeklarasikan perang satu
sama lain jika ada negara lain yang mendeklarasikan perang terhadap mereka; dan (c)
entente, di mana negara-negara yang terlibat setuju untuk saling berkonsultasi jika
185 Bruce Bueno De Mes quita. Measuring Systemic Polarity. The Journal of Conflict Resolution, Vol. 19, No. 2 (Jun., 1975) . Sage Publications.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
120
Universitas Indonesia
salah satu dari mereka diserang oleh pihak ketiga.186 Tipologi ini mengikuti tipologi
yang dibuat oleh Small dan Singer yang memang cukup merefleksikan kondisi
ketatnya hubungan aliansi dari abad ke-19 hingga Perang Dingin dalam data polaritas
sistemik yang mereka kumpulkan (dari tahun 1816-1960). Namun, penulis
berargumen bahwa tipologi seperti ini tidak tepat untuk diterapkan dalam penelitian
ini, karena ciri khas dari hubungan negara-negara di Asia.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak ada satupun negara-negara di
Asia yang memberikan respon frontal dan keras terhadap China karena munculnya
String of Pearls. Hedging merupakan respon dari sebagian besar negara di Asia
Timur dan Asia Selatan terhadap China. Small powers melakukan hedging untuk
menciptakan kesimbangan dan mendapatkan keuntungan dari dinamika great power
yang ada dengan menerima uluran kerja sama dan membina hubungan erat dengan
mereka semua. Sementara great dan major power melakukan hedging terhadap China
untuk menghindari ketegangan terbuka dan juga tetap dapat menjalin hubungan baik
dengan China (yang telah menjadi rekan perekonomian kunci). Mereka melakukan
enganging secara bilateral dan multilateral, menjaga dan meningkatkan kerja sama
perekonomian, dan upaya-upaya confidence building terhadap China. Namun, di sisi
lain, mereka juga melakukan upaya-upaya balancing, bukan dengan tindakan frontal
yang memicu ketegangan, namun dengan memperdalam dan memperluas jaringan
aliansi mereka dengan berbagai kerja sama keamanan dan strategic partnership. Para
great power ini (dan juga seluruh negara di Asia Selatan dan Asia Timur), tidak
menginginkan adanya ketegangan terbuka yang dapat menjadi ancaman bagi
stabilitas regional, dan dalam dimensi perekonomian, negara-negara tersebut juga
sangat membutuhkan China. Bahkan, China merupakan kreditor terbesar AS saat ini.
Hal ini tentu berbeda dengan yang terjadi selama Perang Dingin, di mana ketegangan
terbuka adalah hal biasa, dan aliansi yang ketat yang antagonistic satu sama lain
merupakan hal yang umum. Oleh karena itu, merupakan hal yang kurang tepat jika
kita menyebut hubungan para great power lain dengan China sebagai pola zero-sum
game dan tanpa mutual gain sama sekali.
186 Ibid.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
121
Universitas Indonesia
Dalam penelitian ini, penulis mengembangkan tipologi hubungan aliansi yang
berbeda sesuai dengan keadaan di Asia: (1) Formal Alliance, (2) Quasi Alliance, (3)
Hedging, (4) No Alliance . Berikut ini adalah penjelasan dan kriteria-kriteria
operasionalisasi dari masing- masing tipe tersebut.
Formal Alliance. Ini adalah tipe hubungan aliansi tertinggi dan dengan
definisi yang sudah cukup jelas. Dalam tipe ini, negara-negara yang terlibat memiliki
sebuah perjanjian aliansi resmi yang menjamin dukungan negara-negara tersebut jika
salah satu anggota memiliki masalah keamanan. Contoh yang paling jelas dari formal
alliance ini, misalnya, hubungan AS-Taiwan melalui Taiwan Relations Act dan Six
Assurances yang menjadi landasan jaminan keamanan AS terhadap Taiwan. Kriteria
utama dari formal alliance ini cukup mudah diidentifikasi, yaitu terdapat sebuah
perjanjian formal (atau instrument hokum lain) yang mengikat negara-negara yang
terlibat, seperti contoh hubungan AS-Taiwan tersebut.
Quasi Alliance. Tipologi Quasi Alliance merupakan tipologi yang sengaja
dirancang untuk memotret munculnya hubungan beberapa great power yang cukup
intens untuk hanya sekedar disebut “negara sahabat” semata, namun juga tidak
memiliki perjanjian formal untuk disebut sebagai aliansi formal. Beberapa ahli
memiliki definisinya sendiri untuk Quasi Alliance. Menurut Victor D. Cha, Quasi
Alliance merupakan hubungan dua negara yang tidak beraliansi, namun memiliki
great power yang menjadi pihak ketiga sebagai common ally (contoh, Jepang-Korea
Selatan).187 Sementara itu, menurut Weng, Quasi Alliance bisa terbentuk di antara
dua negara yang memiliki common threat serta similaritas kebudayaan dan ideology
(contoh, iran-Suriah). Dalam tulisan ini, penulis mendefinisikan quasi alliance
sebagai hubungan di antara dua negara yang memiliki identifikasi threat yang sama
dan membangun kerja sama bukan dalam bentuk pakta pertahanan kaku, namun
dengan kerja sama strategis yang lebih fleksibel. Terdapat dua kriteria utama untuk
kategori ini: (1) kedua negara memiliki identifikasi threat yang sejenis, atau memiliki
great power lain sebagai common ally, (2) mengembangkan kerja sama strategis
187 Victor D. Cha. Op.Cit.,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
122
Universitas Indonesia
dalam bidang pertahanan dan keamanan, namun bukan dalam bentuk pakta
pertahanan formal.
Hedging. Hedging, seperti yang telah dilakukan sebelumnya, merupakan
sikap yang dilakukan untuk menghadapi keadaan yang diwarnai ketidakpastian
dengan menjalin hubungan baik ke semua pihak. Dimasukkannya hedging dalam
tipologi aliansi ini merupakan hal yang sangat penting untuk menggambarkan
dinamika keamanan yang nyata terjadi di Asia. Meskipun sikap hedging memang
tidak memperlihatkan komitmen untuk saling membantu pertahanan satu dengan
yang lainnya, namun kategori hedging merupakan kunci untuk menggambarkan sikap
sebagian besar negara terhadap China, termasuk great power. Hal ini sangat penting
dalam analisis kuantitatif yang dilakukan agar tidak menghasilkan mislead dalam
angka-angka yang dihasilkan. Tanpa kategori hedging, maka analisis yang ada dapat
memperlihatkan kuatnya hubungan antagonistik antara cluster China dan cluster
lainnya. Padahal, pada faktanya, hubungan di antara cluster tidak memperlihatkan
rivalitas yang eksplisit. yang nantinya akan diperlihatkan pada bagian selanjutnya.
Hedging dalam tipologi ini tidak memperlihatkan hubungan aliansi, namun lebih
menggambarkan sikap sebuah negara terhadap negara lain. Kriteria utama dari
hedging dalam sebuah dyad adalah: (1) hubungan diplomatik dan perekonomian yang
normal di antara negara tersebut, dan (2) identifikasi threat yang tidak sama.
No alliance. Hubungan no alliance menggambarkan hubungan dua negara
yang tidak memiliki hubungan diplomatic resmi, tidak memiliki traktat formal, atau
memperlihatkan total hostility satu sama lain. Hal ini tentunya berbeda dengan
hedging di mana hubungan diplomatic dan perekonomian normal masih terus
berjalan.
Hampir seluruh small power di Asia Timur dan Asia Selatan melakukan
hedging terhadap Great Power dan juga terhadap satu sama lain. Kelompok negara-
negara ini, akan menghasilkan cluster dari negara-negara yang (sebenarnya) non-
clustered atau tidak memiliki alignment. Oleh karena itu, negara-negara ini tidak akan
signifikan untuk dimasukkan ke dalam analisis. Negara-negara yang akan
dimasukkan dalam analisis ini adalah negara yang memiliki minimal satu hubungan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
123
Universitas Indonesia
aliansi dengan tingkat di atas hedging (Formal alliance atau quasi alliance), yaitu
Amerika Serikat (AMS), China (CHN), Korea Selatan (KRS), Korea Utara (KRU),
Jepang (JPN), Taiwan (TWN), Thailand (THN), Filipina (PHL), India (IND),
Pakistan (PAK), dan Australia (AUS).
Masing-masing kategori hubungan aliansi diberikan nilai yang berbeda:
3=Formal Alliance, 2=Quasi Alliance, 1=Hedging, dan 0=no alliance. Nilai-nilai ini
merupakan data ordinal untuk pengukuran non-parametric joint ranking dengan tau-b
dengan menggunakan program SPSS 17.
A. Jumlah dan anggota cluster dalam sistem pada tahun 2005
Dengan menggunakan kriteria tipe aliansi yang telah dijelaskan sebelumnya,
kita sekarang dapat melakukan penilaian mengenai tipe hubungan aliansi apa yang
terjadi di antara semua pasangan negara-negara yang dianalisis .Berikut ini adalah
data penilaian hubungan aliansi di antara negara-negara yang menjadi masuk ke
dalam pengukuran pada tahun 2005. Tabel III.8 Skol penilaian hubungan alians i antar negara di As ia
AMS CHN KRS KRU JPN TWN THN PHL IND PAK AUS AMS 3 1 3 0 3 3 3 3 1 2 3 CHN 1 3 1 2 1 0 1 1 1 2 1 KRS 3 1 3 0 1 0 1 1 1 1 1 KRU 0 2 0 3 0 0 1 1 1 2 0 JPN 3 1 1 0 3 0 1 1 1 1 1 TWN 3 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 THN 3 1 1 1 1 0 3 1 1 1 1 PHL 3 1 1 1 1 0 1 3 1 1 1 IND 1 1 1 1 1 0 1 1 3 0 1 PAK 2 2 1 2 1 0 1 1 0 3 1 AUS 3 1 1 0 1 0 1 1 1 1 3 Setelah kita mengatahui hubungan aliansi masing-masing pasangan, kita bisa
berlanjut dengan menilai skor tau-b dari masing-masing pasangan. Dengan
menggunakan SPSS, proses komputas bisa dilakukan dengan lebih efektif.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
124
Universitas Indonesia
Tabel III.9 Skor Tau-B antara AS dengan China
Correlations
Am erika Serikat
China
Kendall's tau_b Am erika Serikat Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
China Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
1.000 .
11 -.667(**)
.010 11
-.667(**) .010
11 1.000
. 11
** Correlation is s ignificant at the .01 level (1 -tailed).
Tabel III.10 Skor tau-b China dengan Pakis tan
Correlations
China Pakis tan Kendall's tau_b China Correlation Coefficient
Sig. (1-tailed) N
Pakis tan Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
1.000 .
11 .734(**)
.004 11
.734(**) .004
11 1.000
. 11
** Correlation is s ignificant at the .01 level (1 -tailed).
Skor tau-b yang dihasilkan akan memiliki nilai dalam range -1 hingga 1. Skor
tau-b bernilai positif menunjukkan korelasi similaritas aliansi yang positif, dan skor
yang bernilai minus menunjukkan yang sebaliknya. Nilai 0 menunjukkan ketiadaan
korelasi. Nilai 1 berarti bahwa similaritas pola aliansi di antara kedua negara
sempurna, dan -1 adalah kebalikannya. Setelah didapatkan skor tau-b untuk seluruh
dyad yang ada, maka kita bisa membuat table kontingensi persegi yang akan memuat
seluruh skor tau-b tersebut.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
125
Universitas Indonesia
Tabel III.11 Skor tau-b s eluruh dyad pada tahun 2005 AMS CHN KRS KRU JPN TWN THN PHL IND PAK AUS
AMS 1 -0.667 0.369 -0.761 0.369 0.328 0.137 0.137 -0.171 -0.299 0.369
CHN -0.667 1 -0.031 0.707 -0.492 -0.492 0.137 0.137 0.034 0.734 -0.31
KRS 0.369 -0.031 1 -0.387 0.719 0 0.555 0.555 0.277 0.166 0.719 KRU -0.761 0.707 -0.387 1 -0.387 -0.442 0.031 0.031 0.031 0.415 -0.387
JPN 0.369 -0.492 0.719 -0.387 1 0 0.555 0.555 0.277 0.166 0.719
TWN 0.328 -0.492 0 -0.442 0 1 -0.046 -0.046 -0.37 -0.11 0 THN 0.137 0.137 0.555 0.031 0.555 -0.046 1 0.615 0.346 0.337 0.555
PHL 0.137 0.137 0.555 0.031 0.555 -0.046 0.615 1 0.346 0.337 0.555
IND -0.171 0.034 0.277 0.031 0.277 -0.37 0.346 0.346 1 -0.276 0.277 PAK -0.299 0.734 0.166 0.415 0.166 -0.11 0.337 0.337 -0.276 1 0.166
AUS 0.369 -0.387 0.719 -0.387 0.719 0 0.555 0.555 0.277 0.166 1
Setelah table ini dibentuk, maka kita bisa melakukan typal analysis untuk
menentukan cluster yang ada dalam sistem beserta anggotanya. Typal analysis ini
cukup sederhana. Pertama, di tiap-tiap kolom, skor tau-b tertinggi diberi tanda (skor 1
untuk negara yang sama atau bukan dyad tidak dihitung). Skor tau-b tertinggi dari
skor yang sudah ditandai tersebut menunjukkan dyad yang menjadi dua anggota
pertama dari cluster pertama. Baris di mana skor tersebut berada dilihat, dan jika
terdapat skor lain yang sudah ditandai, maka negara yang direpresentasikan oleh skor
tersebut dimasukkan ke dalam anggota. Masing-masing baris dari negara yang sudah
menjadi anggota cluster tersebut kemudian dilihat lagi, dan jika terdapat skor yang
juga ditandai dalam baris tersebut, maka negara yang direpresentasikan kembali
ditambahkan. Jika sudah tidak ada lagi, maka nilai skor tau-b tertinggi yang ditandai
dan masih belum masuk cluster menjadi anggota cluster berikutnya, dan proses yang
sama diulangi, hingga semua negara sudah terkelompok dalam cluster.
Dengan typal analysis tersebut, maka kita sudah dapat menemukan jumlah
cluster yang ada pada tahun 2005 beserta anggotanya. Ditemukan tiga cluster dengan
anggota yang berbeda, yaitu:
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
126
Universitas Indonesia
- Cluster I (China, Pakistan, Korea Utara)
- Cluster II (AS, Australia, Korea Selatan, Jepang, Taiwan)
- Cluster III (Thailand, Filipina, India)
Hal yang sama juga dilakukan untuk menemukan jumlah cluster dalam sistem
tanpa faktor AS. Analisis ini berarti memperlihatkan jumlah cluster murni dari
kompleks keamanan Asia sendiri. Setelah menghapus variabel AS dari dataset, skor
tau-b masing- masing dyad kembali dihitung. Tabel III.12 Skor tau-b antara China dengan Pakis tan tanpa faktor AS (bis a dibandingkan
dengan table s kor tau-b China Pakis tan dengan faktor AS s ebelumnya)
Correlations
China Pakis tan Kendall's tau_b China Correlation Coefficient
Sig. (1-tailed) N
Pakis tan Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
1.000 .
10 .808(**)
.003 10
.808(**) .003
10 1.000
. 10
** Correlation is s ignificant at the .01 level (1 -tailed).
Setelah mendapatkan seluruh table dan mengulangi prosedur yang sama
sebelumnya, termasuk typal analysis, kita mendapatkan komposisi cluster baru:
- Cluster I: China, korea Utara, Pakistan
- Cluster II: Australia, Korea Selatan, Jepang
- Cluster III: Thailand, Filipina, India
- Unclustered: Taiwan
Terdapat beberapa hal yang layak dianalisis dalam hasil ini. Pertama, ditariknya
faktor AS tidak memberikan perubahan bagi jumlah kluster, dan sebagian besar
anggota kluster masih tetap sama, kecuali Taiwan. Dihilangkannya faktor AS
menyebabkan Taiwan keluar dari cluster yang awal. Keanggotaan Taiwan di cluster
tersebut memang sangat terikat dengan keberadaan AS, karena tidak ada negara
dalam cluster itu yang memiliki hubungan diplomatic resmi dengan Taiwan, sehingga
masuk ke dalam kategori No Alliance. Kedua, adalah masuknya Thailand, Filipina,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
127
Universitas Indonesia
dan India dalam satu kluster. Apakah hal ini berarti bahwa Thailand, India, dan
Filipina memiliki komitmen atau keterikatan satu sama lain? Jika dianalisis secara
lebih seksama ketiga negara tersebut melakukan hedging terhadap nyaris seluruh
negara lain pada tahun 2005 ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hedging
dalam kategori aliansi ini lebih memperlihatkan sikap “normal” sebuah negara
terhadap negara lain. Tidak ada attachment yang mendalam di antara mereka.
Masuknya negara-negara ini dalam satu cluster menunjukkan bahwa kesamaan sikap
mereka tersebut kepada kebanyakan negara lain dan tidak lebih dari itu. Hal ini
penting untuk dipahami agar tidak terjadi salah interpretasi bahwa ketiga negara
tersebut tergabung dalam satu cluster karena memiliki ikatan yang khusus satu sama
lain. Jika negara-negara yang melakukan hedging terhadap seluruh negara lainnya
dimasukkan ke dalam analisis, maka negara-negara tersebut akan masuk ke dalam
cluster ini, seperti yang terjadi pada India.
B. Jumlah dan anggota cluster dalam sistem pada tahun 2011
Prosedur yang sama kembali dilakukan untuk menentukan jumlah dan angota
cluster pada tahun 2011 dengan terlebih dahulu menyusun data penilaian hubungan
aliansi di antara negara-negara yang menjadi masuk ke dalam pengukuran untuk
tahun 2011. Berikut ini adalah beberapa perkembangan utama yang muncul selama
periode 2005-2011 untuk masing-masing pasangan.negara yang menjadi bahan
pertimbangan perubahan penilaian tipe aliansi.
Tabel III.13 Beberapa perkembangan hubungan keamanan s elama periode 2005 -2011 (dari
berbagai s umber)
Tahun Negara yang terlibat Perkembangan yang muncul
2007 Jepang Perdana Menteri Shinzo Abe mengajukan
Quadrilateral Initiative
2007 AS-India-Jepang,Australia Latihan bersama Quadrilateral Initiative
2007 AS, Jepang, India Trilateral naval Exercise (untuk pertama
kalinya)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
128
Universitas Indonesia
2006 AS, Jepang, Australia Trialteral Security Dialogue Upgrading
(level menteri luar negeri dan pertahanan)
2007 Australia, Jepang Australia-Japan Security Declaration
2009 Australia, Korea Selatan Australia-South Korea Security Declaration
2009 Australia, India Australia-India Security Declaration
2010 India, Jepang Deklarasi Strategic Partnership
2010 Korea Selatan, India Deklarasi Strategic Partnership, diikuti dengan kunjungan Menhan India A.K. Anthony untuk meningkatkan kerja sama pertahanan
Dengan berbagai perkembangan yang terjadi tersebut, data penilaian hubungan
aliansi mengalami beberapa perubahan. Tabel data penilaian hubungan aliansi 2011
adalah sebagai berikut.
Tabel III.14 Data penilaian ahubungan alians i tahun 2011
AMS CHN KRS KRU JPN TWN THN PHL IND PAK AUS AMS 3 1 3 0 3 3 3 3 2 2 3 CHN 1 3 1 2 1 0 1 1 1 2 1 KRS 3 1 3 0 1 0 1 1 2 1 2 KRU 0 2 0 3 0 0 1 1 1 2 0 JPN 3 1 1 0 3 0 1 1 2 1 2 TWN 3 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 THN 3 1 1 1 1 0 3 1 1 1 1 PHL 3 1 1 1 1 0 1 3 1 1 1 IND 2 1 2 1 2 0 1 1 3 0 2 PAK 2 2 1 2 1 0 1 1 0 3 1 AUS 3 1 2 0 2 0 1 1 2 1 3 Berikut ini beberapa skor tau-b yang dihasilkan.
Tabel III.15 Skor Tau-B China-Indi a
Correlations
China
India Kendall's tau_b China
Correlation Coefficient
1.000
-.188
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
129
Universitas Indonesia
.
.250
11
11 India Correlation Coefficient
Sig. (1-tailed)
N
-.188
1.000
.250
.
11 11
Sig. (1-tailed)
N
Tabel III.16 Skor Tau-B Jepang-Indi a
Correlations
Jepang
India
Kendall's tau_b Jepang Correlation Coefficient
Sig. (1-tailed)
N
1.000 .643**
. .009
11 11 India Correlation Coefficient
Sig. (1-tailed)
N
.643**
1.000
.009 .
11 11
**. Correlation is s ignificant at the 0.01 level (1 -tailed).
Selanjutnya, adalah tabel yang memuat seluruh skor tau-b pada tahun 2011.
Tabel III.17 Skor tau-b s eluruh dyad pada tahun 2011
AMS CHN KRS KRU JPN TWN THN PHL IND PAK AUS
AMS 1 -0.727 0.322 -0.816 0.322 0.328 0.137 0.137 0.134 -0.353 0.394
CHN -0.727 1 -0.134 0.707 -0.134 -0.492 0.137 0.137 -0.188 0.734 -0.184 KRS 0.322 -0.134 1 -0.458 0.643 0 0.424 0.424 0.643 -0.024 0.837
KRU -0.816 0.707 -0.458 1 -0.458 -0.442 0.031 0.031 -0.361 0.415 -0.565
JPN 0.322 -0.134 0.643 -0.458 1 0 0.424 0.424 0.643 -0.024 0.837 TWN 0.328 -0.492 0 -0.442 0 1 -0.046 -0.046 -0.145 -0.11 0
THN 0.137 0.137 0.424 0.031 0.424 -0.046 1 0.615 0.272 0.337 0.384
PHL 0.137 0.137 0.424 0.031 0.424 -0.046 0.615 1 0.272 0.337 0.384 IND 0.134 -0.188 0.643 -0.361 0.643 -0.145 0.272 0.272 1 -0.313 0.698
PAK -0.353 0.734 -0.024 0.415 -0.024 -0.11 0.337 0.337 -0.313 1 -0.047
AUS 0.394 -0.184 0.837 -0.565 0.837 0 0.384 0.384 0.698 -0.047 1
Sebagai langkah terakhir, kita melakukan typal analysis terhadap table tersebut, yang akan menghasilkan tiga cluster sebagai berikut:
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
130
Universitas Indonesia
- Cluster I: Australia, Jepang, Korea Selatan, Jepang, India, Taiwan
- Cluster II: China, Korea Utara, Pakistan
- Cluster III: Thailand, Filipina
Jika kita menghilangkan faktor AS, maka sebagai hasil akhir kita kembali
mendapatkan tiga cluster dengan komposisi sebagai berikut:
- Cluster I: Australia, Korea Selatan, Jepang, India
- Cluster II: China, Pakistan, Korea Utara
- Cluster III: Thailand, Filipina
- Unclustered: Taiwan
Perbedaan utama dari tahun 2005 dan 2011 adalah bergabungnya India ke dalam
cluster AS dan aliansinya yang lain. Cluster-cluster inilah yang akan selanjutnya
akan digunakan untuk mengukur dua elemen polaritas lainnya, yaitu tightness-
discreteness, dan concentration of power.
III.4.2 Tightness dan Discreteness
Tightness memperlihatkan similaritas komitmen dari negara-negara anggota
sebuah cluster. System cluster memperlihatkan seberapa ketatnya ikatan cluster yang
ada dalam sebuah sistem. Discreteness, sebaliknya, memperlihatkan derajat
dissimilaritas komitmen aliansi negara-negara antar cluster. Discreteness dan
tightness memperlihatkan kuat aliansi dan seberapa tebal batasan antar cluster dalam
sebuah sistem. Rumus tightness (T):
ni= jumlah negara dalam cluster i
x= jumlah cluster dalam sistem
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
131
Universitas Indonesia
Wab=Skor tau-b untuk dyad an di mana ab adalah bagian dari cluster i
Rumus discreteness (D):
Bac= skor tau-b antar cluster untuk ac di mana ac bukan anggota cluster i
Dengan menggunakan data skor tau-b yang sudah didapatkan, maka kita dapat
menentukan nilai T dan D pada tahun 2005 dan 2011, dengan dan tanpa faktor AS. Tabel III.18 Perbandingan nilai T dan D pada tahun 2005 dan 2011 (dengan dan tanpa AS)
2005 2011
T D T D
Dengan AS 0.422 -0,08 0.427737 0.085
Tanpa AS 0.533 -0.11 0.6792 0.0365
Pada tahun 2005 skor D bernilai negatifs. Menurut Mesquita, range nilai dari 0
hingga 1 menunjukkan sistem bipolar. Nilai 1 menunjukkan bahwa perbedaan antar
cluster yang terjadi berada pada titik maksimum. Nilai minus di sini berarti dapat kita
interpretasikan bahwa antar cluster tidak terjadi dissimilaritas, bahkan terjadi
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
132
Universitas Indonesia
interkoneksi yang sangat kuat oleh intercluster dyad. Dengan kata lain, bipolaritas
belum terjadi di sini. Sedangkan pada tahun 2011, nilai D meningkat dan menjadi
bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode, boundaries antar cluster
mbertambah (meskipun sangat rendah), dan jika merujuk pada penjelasan Mesquita,
maka sistem sudah masuk ke kategori bipolar. Di sisi lain, nilai T juga bertambah
selama periode 2005-2011 dan jika faktor AS dihilangkan. Hal ini terutama pada
tahun 2011. Efek dihilangkannya faktor AS bagi nilai D merupakan kebalikan dari T,
nilai D justru menurun jika faktor AS dihilangkan.
III.4.3 Concentration of Power
Elemen concentration of power (Con) menunjukkan tingkat persebaran power
di antara cluster yang ada dalam sebuah sistem. Untuk mengukur nilai Con, maka
pertama-tama kita harus mengukur persentase power dari masing-masing cluster
terhadap total kapabilitas komposit dalam sistem. Indikator-indikator power yang
Mesquita ajukan terdiri dari kapabilitas Militer, kapabilitas demografis, dan
kapabilitas industrial. Namun, dalam penelitian ini, indikator yang akan digunakan
adalah kapabilitas militer (dalam bentuk pengeluaran militer) dan juga kapabilitas
perekonomian. Kedua indikator ini merupakan indikator yang tepat untuk
menjelaskan dinamika great power dalam kawasan Asia. Peningkatan anggaran
militer yang sangat besar dan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa merupakan
striking image dari Asia saat ini. Dinamika yang terjadi di kawasan pun sebagian
besar terdiri dalam dua dimensi (yang saling berkaitan) ini. Kedua indikator ini juga
sangat sesuai dengan konsep String of Pearls, yang merupakan interseksi dari
pendekatan pragmatisme ekonomi China serta upgrading kapabilitas angkatan laut
China untuk menjadi blue water navy. Selain itu, pemilihan kedua indikator ini juga
memudahkan penghitungan, karena berbentuk nilai uang (US$), sehingga bisa
langsung dipersentasekan.
Tabel III.19 Data Military Expenditures negara-negara anggota pengukuran dalam Miliar US$
(Sumber: SIPRI)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
133
Universitas Indonesia
Negara 2005 2011 AS 562039 689591 China 64726 129272 Korea Utara Korea Selatan 22791 28280 Jepang 55330 54529 Taiwan 8300 8888 Thailand 2846 5114 Filipina 2145 2225 India 33690 44282 Pakistan 5572 5685 Australia 18413 22955 Jumlah Total 775852 990821 Jumlah Total (Tanpa AS) 213813 301230
Tabel III.20 Data GDP negara-negara anggota pengukuran dalam Miliar US$ (Sumber: IMF
World Economic Outlook Database)
Negara 2005 2011 AS 12,455,825.00 15,094,025.00 China 2,234,133.00 7,298,147.00 Korea Utara Korea Selatan 787,567.00 116,247.00 Jepang 4,567,441.00 5,869,471.00 Taiwan 346,178.00 466,832.00 Thailand 173,130.00 345,649.00 Filipina 98,371.00 213,129.00 India 771,951.00 1,676,143.00 Pakistan 110,970.00 210,566.00 Australia 708,519.00 1,488,221.00 Jumlah Total 22,254,085.00 32,778,430.00 Jumlah Total (Tanpa AS) 9,798,260.00 17,684,405.00
Dengan data-data yang sudah ada tersebut, kita bisa melakukan perhitungan dengan
rumus Con yang dijelaskan Mesquita.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
134
Universitas Indonesia
Si=bagian cluster I dalam kapabilitas sistem
X=jumlah cluster dalam sistem
Hasil perhitungan dari formula ini akan berada di antara 0 sampai 1. Nilai 1
menunjukkan bahwa kapabilitas sistem terpusat pada satu cluster, sedangkan 0 berarti
kapabilitas sistem terbagi merata di semua cluster. Berikut ini adalah hasil
perhitungan Con dengan formula tersebut. Tabel III.21 Perbandingan nilai Con
2005 2011
Dengan AS 0.80298 0.695821
Tanpa AS 0.47068 0.471554
Hal yang menarik diperhatikan di sini adalah besarnya signifikansi dari AS dalam
power concentration dan perubahan power concentration yang cukup signifikan dari
tahun 2005 ke 2011. Jika AS dimasukkan ke dalam analisis, nilai Con pada tahun
2005 mencapai 0.8, yang berarti bahwa konsentrasi power sangat berpusat di cluster
tersebut. Begitu juga padatahun 2011, di mana terjadi hampir tiga poin pengurangan.
Namun, jika faktor AS dihilangkan, poin konsentrasi berkurang drastis, yang berarti
kapabilitas sistem lebih merata. Pemerataan power juga terjadi dalam konteks
periodis diperlihatkan dengan penurunan nilai Con dari 0.8 hingga ke 0.69 (dengan
faktor AS).
III.5 Kesimpulan
Pada bab ini kita melihat bagaimanah strategi maritime China, deskripsi
String of Pearls, respon dari masing-masing negara terhadap String of Pearls, dan
akhirnya pengukuran secara kuantitatif perubahan polaritas sistemik kompleks
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
135
Universitas Indonesia
keamanan Asia timur dan Asia Selatan yang disebabkan String of Pearls. China yang
seiring dengan perkembangan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi
energinya menempatkan keamanan lautan sebagai salah satu kepentingan
strategisnya, dan berusaha merancang blue water navy untuk menjaga kepentingan
dan kedaulatannya di lautan. String of Pearls muncul sebagai perluasan pengaruh
China di sepanjang Laut China Selatan dan Samudera Hindia sebagai infrastruktur
pendukung tujuan blue water navy ini. Negara-negara di Asia timur dan Asia Selatan
sebagian besar menanggapi String of Pearls secara pragmatis, yaitu
memanfaatkannya untuk keuntungan negaranya sendiri (terutama perekonomian), dan
di saat yang sama tetap menjalin hubungan yang erat dengan great power lain.
Sementara itu, major power meresponnya dengan mengembangkan jaringan
aliansinya dan di saat yang sama tetap melakukan diplomatic engagement dan kerja
sama ekonomi yang intensif dengan China. Hal inilah yang menyebabkan beberapa
perubahan dalam polaritas sistem di Asia.
Tabel III.21 Perbandingan s emua as pek pengukuran polaritas
2005 2011 Clus ter T D Con Clus ter T D Con
Dengan AS
Clus ter I (CHN, PAK, KRU),
Clus ter II (AMS, AUS, KRS, JPN, TWN), Clus ter III (THN, PHL,
IND)
0.422
-0,08
0.803
Clus ter I (CHN, PAK, KRU),
Clus ter II (AMS, AUS, KRS, JPN,
TWN, IND), Clus ter III
(THN, PHL)
0.427737
0.085
0.695821
Tanpa AS
Clus ter I (CHN, PAK, KRU),
Clus ter II (AUS, KRS, JPN), Clus ter III
(THN, PHL, IND)
0.533
-0.11
0.470
Clus ter I (CHN, PAK, KRU),
Clus ter II (AUS, KRS, JPN, IND), Clus ter III (THN,
PHL)
0.6792
0.0365
0.471554
Dengan hasil pengukuran polaritas sistemik, maka terlihat bahwa perubahan
utama yang terjadi adalah India sebagai regional power utama di Asia Selatan masuk
ke dalam struktur polaritas bersama dengan great power lainnya di Asia Timur.
Dinamika great power telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan, di mana
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
136
Universitas Indonesia
secara struktur polaritas great power kawasan Asia Timur dan Asia Selatan bisa
dipandang sebagai satu kesatuan polaritas. Dengan hal ini berarti bahwa variabel
polaritas sebagai variabel independen dalam penelitian ini mengalami perubahan.
Lalu bagaimanakah dampak terhadap perubahan dari variabel dependen ini terhadap
variabel lainnya? Analisis mengenai hal tersebut akan kita lohat pada bab selanjutnya.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
137
Universitas Indonesia
BAB IV
Dampak dari Perubahan Polaritas Terhadap Perubahan Kompleks Keamanan
Asia Timur dan Asia Selatan
Sebagai sebuah variabel polaritas, String of Pearls seperti yang telah
dibuktikan di bab sebelumnya memberikan beberapa perubahan terhadap polaritas
sistem di kawasan Asia, atau dalam konteks ini kita bisa menyebutnya superkompleks
Asia. Strinng of Pearls menyebabkan dinamika interregional yang lebih intens di
antara kompleks Asia Timur dan Asia Selatan. Struktur polaritas yang ditandai
dengan sistem aliansi hub and spoke bergeser menjadi jaringan kerja sama pertahanan
bilateral dan masuknya India ke dalam sistem aliansi tersebut. Lalu, bagaimanakah
hal tersebut membentuk perubahan kompleks keamanan Asia Timur dan Asia
Selatan? Apakah perubahan yang terjadi cukup signifikan seperti transformasi
eksetrnal yang terjadi di Asia Timur setelah Perang Dingin? Di dalam bab ini kita
akan melihat transformasi apakah yang terjadi dari kompleks keamanan Asia Timur
dan Asia Selatan karena perubahan polaritas yang terjadi, dan pada akhirnya
menemukan jawaban atas pertanyaan permasalahan dalam penelitian ini.
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab I, untuk melihat transformasi
kompleks keamanan yang mungkin terjadi, maka kita terlebih dulu melihat perubahan
yang terjadi dalam intervening variable, yaitu batasan geografis (boundary), struktur
anarki, dan konstruksi sosial (pola amity/enmity). Masing-masing variabel ini akan
dianalisis untuk melihat apakah berubahnya struktur polaritas juga menyebabkan
perubahan terhadap mereka. Setelah mendapatkan hasilnya, maka kita akan dapat
menentukan tipe transformasi yang terjadi (variabel dependen): transformasi
eksternal, transformasi eksternal, atau status quo.
IV.1 Dampak Perubahan Polaritas terhadap intervening variable
IV.1.1 Batasan Geografis
Variabel batasan geografis merupakan sebuah variabel yang menjadi kunci
untuk melihat sejauh mana jangkauan sebuah RSC. Batasan geografis menunjukkan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
138
Universitas Indonesia
hingga sejauh mana isu-isu keamanan dalam sebuah kawasan tersekuritisasi bersama.
Variabel batasan geografis ini juga menjadi faktor penentu dalam melihat
transformasi eksternal sebuah kompleks keamanan. Terdapat beberapa faktor yang
menjadi pembentuk utama variabel ini, antara lain kapasitas interaksi aktor-aktor
yang ada dan rintangan geografis alami. Masuknya sebuah negara dalam kompleks
keamanan menunjukkan bahwa kapasitas interaksi negara tersebut dengan negara lain
dalam kompleks berada pada level yang cukup, sehingga mereka dapat menjadi
bagian/berinisiatif dalam proses sekuritisasi isu keamanan dalam kompleks. Faktor
halangan geografis alami juga sangat berpengaruh. Dalam beberapa kompleks,
insulator alami dapat menjadi cukup kuat untuk memisahkan dua kompleks
keamanan yang bersebalahan. Kedua faktor inilah yang nantinya dapat membantu
menjelaskan pengaruh polaritas terhadap variabel batasan geografis kompleks
keamanan Asia Timur dan Asia Selatan. Namun sebelumnya, kita kembali me-review
proses transformasi eksternal yang terjadi di kompleks keamanan Asia Timur setelah
perang Dingin sebagai bahan perbandingan.
Selama masa Perang Dingin, kompleks keamanan Asia Tenggara dan Timur
laut merupakan dua kompleks keamanan yang terpisah. Kompleks Asia Timur Laut
terdiri dari China, Jepang, Korea Selatan, Korea Utara dan Taiwan. Sedangkan
Kompleks keamanan Asia tenggara terdiri dari negara-negara yang tergabung dalam
ASEAN saat ini. Secara geografis, wilayah Selat Taiwan secara efektif menjadi batas
geografis antara kompleks Asia Timur Laut dan Asia Tenggara. China menjadi great
power yang berpengaruh dalam kedua kompleks tersebut. Namun, karena overlay
yang terjadi, interaksi keamanan antara aktor-aktor lain aeperti Jepang dan negara-
negara di Asia Tenggara menjadi rendah. Hal inilah yang menyebabkan tidak
keduanya menjadi kompleks keamanan yang terpisah.
Berakhirnya Perang Dingin memperlihatkan perubahan drastis dalam
arsitektur keamanan di Asia Timur. Kompleks keamanan Asia Tenggara dan Asia
Timur Laut yang tadinya merupakan entitas kompleks keamanan yang terpisah
menjadi sebuah kompleks keamanan yang solid. Berakhirnya Perang Dingin
menyebabkan berkurangnya secara drastis pengaruh superpower di kedua kompleks.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
139
Universitas Indonesia
Keberadaan kekuatan Uni Soviet secara efektif menghilang, dan kekuatan AS
berkurang secara signifikan. Hal ini menyebabkan kapasitas interaksi aktor-aktor
dalam kedua kompleks semakin meningkat, terutama China, Jepang, dan negara-
negara ASEAN secara agregat. China menjadi aktor yang paling diuntungkan dengan
keluarnya superpower dari kompleks. Jepang, setelah Perang Dingin, diberikan
keleluasaan oleh AS untuk mengambil peran lebih besar di kawasan Asia Pasifik
secara keseluruhan. Hal ini dimanfaatkan oleh Jepang untuk mengintensifkan
hubungan dengan ASEAN sebagai bagian dari upaya untuk merespon The Rise of
China. ASEAN menyadari bahwa berakhirnya Perang Dingin menuntut mereka untuk
lebih memperluas jangkauannya dan lebih banyak melibatkan aktor-aktor lain di luar
kawasan mereka. ASEAN memiliki peran penting dalam menciptakan keseimbangan
di kawasan tanpa melakukan alignment ke salah satu pihak sebagai upaya
mengakomodasi The Rise of China dan mendapatkan keuntungan dari hal tersebut.
Interaksi yang terus meningkat di antara aktor-aktor ini berpuncak pada terciptanya
ARF pada tahun 1994-1995 yang akhirnya secara efektif menghilangkan batasan
geografis kedua kompleks keamanan. Pada akhirnya Australia juga tertarik ke dalam
kompleks keamanan Asia Timur ini dengan logika yang sama seperti aktor-aktor lain.
Bergabungnya kedua kompleks keamanan ini menunjukkan perubahan
struktur polaritas di antara keduanya. Dengan menghilangkan unsur overlay AS,
struktur polaritas esensial di Asia Timur Laut bersifat bipolar, di mana dua great
power kawasan, China dan Jepang (bersama dengan Korea Selatan, namun tidak
beraliansi) berada pada dua camp yang berbeda. Bergabungnya kedua kompleks
keamanan menunjukkan bahwa struktur esensial bipolar ini masuk ke dalam
Kompleks keamanan Asia Timur secara umum. ASEAN tidak melakukan alignment
ke pihak manapun dengan kebijakan hedging mereka, namun rendahnya kapasitas
power negara-negara di ASEAN tidak membuat ASEAN dipehitungkan menjadi satu
kekuatan khusus.
Lalu, bagaimana hal ini dapat dibandingkan dengan setelah munculnya isu
String of Pearls? Seperti yang telah ditunjukkan dalam pengukuran polaritas sistem
di bab sebelumnya, hingga tahun 2005 di mana isu String of Pearls mulai mencuat,
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
140
Universitas Indonesia
struktur polaritas tersebut tidak berubah. Melalui pengukuran derajat similaritas pola
aliansi, Jepang, Australia, dan Korea Selatan berada dalam satu bloc yang berbeda
dengan China, yang terutama dibentuk karena kesamaan sikap mereka terhadap
Korea Utara. Hanya saja, karena sikap hedging yang dilakukan negara-negara lain di
kawasan serta belum kuatnya hubungan di antara Jepang, Australia, dan Korsel
sendiri (yang masih mengandalkan pada sistem hub and spoke AS), maka
keterpisahan antar pole tersebut masih tidak terasa. Sementara itu, India masih belum
tergabung dengan sistem aliansi di Asia Timur. Interaksi India tersebut, dalam
pengukuran polaritas, masih terbatas di Asia Selatan. Karena India masih belum
masuk ke dalam struktur polaritas di Asia Timur, maka batasan geografis dari
kompleks keamanan Asia Timur masih belum berubah. Keadaan seperti pada saat
Jepang berhasil memperkuat interaksinya dengan negara-negara di Asia Tenggara
saat peleburan Kompleks Keamanan belum terjadi. Hubungan di antara Pakistan dan
Korea Utara tidak bisa menggambarkan menyatunya kompleks keamanan Asia
Selatan, karena hubungan keduanya tidak memperlihatkan kuatnya kapasitas interaksi
mereka. Hubungan di antara keduanya terutama disebabkan karena hubungan quasi
alliance mereka dengan China yang meningkat menjadi proliferasi nuklir.
Hal yang berbeda terlihat pada pengukuran tahun 2011. String of Pearls
memperlihatkan semakin meluasnya pengaruh geopolitik China, dari Asia Tenggara
bersambung ke Asia Selatan. Di saat yang sama, India muncul sebagai regional
power baru di Asia Selatan dengan kapasitas interaksi yang semakin besar dan Look
East Policy, merasakan potensi ancaman dari String of Pearls. Sementara itu, di Asia
Timur, muncul aktifitas di antara sekutu-sekutu AS di kawasan untuk membentuk dan
memperluas jaringan aliansi non-formal dan strategic partnership diantara mereka
untuk merespon meningkatnya naval presence China tanpa menimbulkan ketegangan
langsung dengan China. Dalam pengukuran polaritas sebelumnya, hubungan di antara
mereka meningkat menjadi quasi alliance. Kedua hal ini berlangsung secara parallel,
dan akhirnya pada tahun 2011, India telah masuk ke dalam struktur polaritas di Asia
Timur. Bergabungnya India dalam struktur polaritas Asia Timur dimulai dengan
pembentukan Strategic Partnership antara India dan Jepang, membentuk apa yang
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
141
Universitas Indonesia
kedua pemimpin negara tersebut klaim sebagai “String of Democracy” di sepanjang
perairan Asia. Jaringan aliansi bilateral ini bahkan sempat berpeluang untuk berubah
menjadi forum multilateral melalui Quadrilateral Initiative, seandainya saja reaksi
China yang sangat negative tidak memundurkan langkah negara-negara tersebut.
Meskipun Quadrilateral Initiative gagal diwujudkan, namun jaringan aliansi bilateral
tersebut tetap ada dan terus mengalami penguatan.
Masuknya India ke dalam struktur polaritas di Asia Timur ekuivalen dengan
apa yang terjadi sebelumnya oleh Jepang dan Australia. Kondisi di mana Jepang
meningkatkan interaksinya dengan ASEAN untuk merespon The Rise of China
dilakukan lagi oleh India untuk merespon String of Pearls dengan mewujudkan kerja
sama dengan negara-negaar lain di Asia Timur. Berangkat dari kesamaan ini kita bisa
menyimpulkan bahwa perubahan polaritas sistem menyebabkan memudarnya batasan
geografis kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan.
Buzan tidak menjelaskan indikator-indikator berubahnya batasan geografis
sebuah kompleks keamanan, namun dia memberikan beberapa tanda di mana
kemungkinan besar transformasi eksternal akan terjadi yang berarti juga bahwa
terjadi perubahan dalam variabel batasan geografis. Peningkatan kapasitas interaksi
yang disertai dengan munculnya sebuah isu (keamanan) bersama dapat menyebabkan
peningkatan interaksi negara-negara yang berada di dua kompleks yang berbeda, dan
jika peningkatan interaksi ini terus berlanjut, maka di satu titik hal ini dapat
menyebabkan peleburan kedua kompleks keamanan yang berbeda tersebut.
Terbentuknya kompleks keamanan Asia Timur menjadi contoh nyata, dan titik
penentuannya, menurut Buzan adalah pada saat terbsentuknya ARF.
Buzan juga tidak mengatakan bahwa berubahnya kompleks keamanan harus
melibatkan seluruh negara dalam suatu kompleks secara langsung. Contohnya adalah
masuknya China sebagai bagian dari kompleks keamanan Asia Selatan, yang
akhirnya menyebabkan terbentuknya Superkompleks Asia. Konflik perbatasan antara
India dengan China terhadap Tibet dan Himalaya pada tahun 1962 muncul sebagai
momentum pembuka terbentuknya Superkompleks Asia. Seandainya saja, India bisa
menjaga Tibet sebagai insulator antara Asia Selatan dan India, Kompleks Keamanan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
142
Universitas Indonesia
Asia Selatan akan tetap terpisah dari Utara. Namun aneksasi Tibet oleh China
menempatkan perbatasan China mendekati jantung wilayah India dan selama 1950an
meningkatkan friksi terhadap perbatasan yang disengkatakan. Akhirnya hal ini
menyebabkan perang perbatasan antara India dan China pada 1962, krisis kecil pada
1987, dan perasaan khawatir India terhadap China yang bertahan sangat lama.188 Di
sini, kita bisa melihat bahwa dalam konteks RSCT Buzan menganggap signifikansi
interaksi antar negara terhadap sebuah kompleks keamanan dapat dilihat dari skala
kapasitas di antara mereka. Interaksi di antara negara-negara dengan kapasitas power
yang besar cenderung akan menjadi faktor pembentuk utama arsitektur keamanan.
Buzan juga menyebutkan bahwa karena ukuran dari India, adalah hal yang beralasan
jika kompleks keamanan Asia Selatan dibentuk melalui hubungan antara India
dengan negara-negara tetangganya dalam dimensi politik dan keamanan.189
Dengan kedua contoh tersebut, maka perubahan polaritas sistem yang terjadi
dari String of Pearls menyebabkan hilangnya batasan geografis kompleks keamanan
Asia Selatan dan Asia Timur. Namun, jika kita melepaskannya dari struktur polaritas
pun, String of Pearls memang berkontribusi secara nyata dalam meningkatkan
kapasitas interaksi negara-negara di Asia Selatan terhadap Asia Tenggara. Hal ini
misalnya terlihat dari proyek pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan
Bangladesh dan Myanmar, dan juga upgrading berbagai fasilitas pelabuhan di Asia
Selatan. Dengan berbagai proyek ini, maka interaksi antara negara-negara di Asia
Selatan dan Asia Timur terus meningkat, dan pada akhirnya interdependensi antar
kawasan akan meningkat dan relevansi batasan geografis akan berkurang.
China Jepang
India Pakis t an
Korut
Kors el
188 Barry Buzan dan Ole Weaver. Op. Cit., hal. 160 189 Ibid., hal. 107
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
143
Universitas Indonesia
Gambar IV.1 Struktur Polaritas dan pengaruhnya terhadap batas an geografis : Sebelum String
of Pearls
China
Pakis t an
Korut
Jepang
India
Aus tr alia
Kors el
Gambar IV.2 Struktur Polaritas dan pengaruhnya terhadap batas an geografis : Ses udah String
of Pearls
Ket: : Keberadaan batasan Geografis
: Menghilangnya Batasan Geografis
IV. 1.2 Struktur Anarki
Terbentuknya kompleks keamanan Asia Timur disebabkan oleh peningkatan
interaksi antar aktor utamanya justru merubah struktur anarki dan bukannya polaritas
dalam kompleks (seperti yang terjadi karena String of Pearls). Hal ini terwujud dalam
pembentukan ARF yang menggeser struktur anarki yang tadinya lebih cenderung ke
arah conflict formation menjadi security regime. Perubahan dalam struktur anarki
inilah yang pada akhirnya turut merubah variabel batasan geografis, karena ekspansi
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
144
Universitas Indonesia
ARF yang melingkupi Asia timur Laut dan Asia Tenggara, sehingga batasan
geografis antara kedua kompleks keamanan menghilang. Namun, perubahan struktur
anarki ini, tidak merubah secara signifikan struktur esensial bipolar dalam kawasan
antara China dan Jepang. Jika kita memasukkan variabel Korea Utara, maka Australia
dan korea Selatan akan berada pada satu bloc bersama Jepang. Negara-negara
ASEAN tidak melakukan alignment ke pihak manapun, sehingga satu-satunya
perubahan yang terjadi adalah peningkatan interkoneksi antar pole dalam struktur
bipolar tersebut (nilai discreteness negatif dalam pengukuran polaritas di bab
sebelumnya), atau dalam kata lain menghilangkan “jarak” antara kedua cluster
tersebut dengan ASEAN sebagai media penghubungnya. Namun, tetap saja
keanggotaan cluster tidak berubah dan konsentrasi kekuatan masih berada pada great
power tersebut.
Hal yang berbeda muncul dari String of Pearls. Perubahan utama yang
diberikan String of Pearls kepada kompleks justru melalui perubahan polaritas. Dan
jika pada saat terbentuknya kompleks keamanan Asia Timur perubahan struktur
anarki tidak berpengaruh pada polaritas, maka kali ini perubahan polaritas pun tidak
merubah struktur anarki yang ada. Di Asia Timur, ASEAN dan ARF masih menjadi
institusi keamanan utama untuk menjaga stabilitas di kawasan, sedangkan di Asia
Selatan SAARC masih tetap terfragmentasi dan “mandul”.
ASEAN dan ARF masih menjadi tumpuan utama struktur anarki di kawasan.
ASEAN, pada khususnya, merupakan inti dari concentric circle berbagai institusi
regional di Asia Pasifik yang saling overlap satu sama lain dari segi keanggotaan dan
isu. ARF di sisi lain, lebih dispesifikkan untuk CBM dan diplomasi preventif untuk
berbagai masalah keamanan di Asia Timur.
Meskipun banyak pihak menyebutnya sebagai sebuah “rezim keamanan”,
namun ASEAN tidak bisa didefinisikan melalui konsep rezim keamanan secara
umum. Jika kita berbicara mengenai “rezim keamanan” maka semestinya yang ada di
benak kita aalah sekumpulan negara yang rela melepaskan sebagian otonominya dan
mengikuti nilai-nilai dalam sebuah rezim demi upaya pencapaian stabilitas keamanan.
ASEAN dalam kebalikannya, sangat mendewakan asas non-interferensi dalam code
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
145
Universitas Indonesia
of conduct mereka. Dalam kata lain, keberadaan sebuah negara dalam ASEAN tidak
akan mengurangi sedikit pun derajat otonomi mereka. Prinsip non interferensi inilah
yang banyak pemimpin Asia banggakan sebagai The Asian Way. ARF merupakan
ekstensi dari nilai-nilai yang dibawa ASEAN tersebut. Pada kenyataannya, ARF
memang merupakan sebuah forum dialog biasa, yang tujuan utamanya adalah sebagai
upaya confidence building mechanism di antara negara-negara anggotanya.
Figur IV.3 Peta Organis as i Regional Global di Kawas an As ia Pas ifik. (Sumber: Setneg.org)
Michael Leifer menjelaskan bahwa prinsip non-interferensi merupakan
cherished principle dari ASEAN yang baru dilanggar dua kali: pada tahun 1986 di
mana ASEAN menyerukan peaceful resolution untuk kekacauan politik yang terjadi
di Filipina serta pada tahun 1977 ketika terjadi pemberontakan di di Kamboja.190
Prinsip institusional yang paling ASEAN pegang hingga saat ini adalah prinsip non-
interferensi.
190 Michael Leifer, The ASEAN Regional Forum: Extending ASEAN's Model of Regional Security , Adelphi Paper 302 (Oxford: Oxford Univers ity Pres s , 1996).
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
146
Universitas Indonesia
Hingga saat ini, prinsip non-interferensi masih belum tergoyahkan, dan
munculnya isu String of Pearls tidak memperlihatkan tanda-tanda akan adanya
perubahan dalam struktur anarki security regime “ala Asia” seperti ini. Prinsip non-
interferensi ini nampaknya akan terus dipegang hingga foreseeable future. Tidak ada
tanda-tanda akan dilakukannya langkah-langkah untuk menjadikan ASEAN dan ARF
menjadi security regime yang lebih mengikat. Sementara banyak scholar yang
menyarankan agar prinsip non-interferensi direvisi kembali demi keefektifan ASEAN
sendiri, nampaknya para pemimpin di Asia Tenggara (dan Asia Pasifik dalam ARF)
sudah nyaman dengan aturan main seperti ini. Hal ini juga yang menyebabkan China
merasa cocok dan terus melakukan engagement dengan multilateralisme ala Asia ini.
Di bawah aturan main seperti ini juga, great power lain melakukan pendekatan
multilateral diplomatik dengan China untuk menjaga tingkat kepercayaan dan
meredakan ketegangan yang mungkin terjadi sebagai bagian dari sikap hedging
mereka terhadap China. Terlepas dari efektifitas yang masih diperdebatkan,
kenyamanan semua pihak menjadi dasar prinsip seperti ini terus dijalankan.
Sementara itu, SAARC masih belum dapat mencapai stabilitas keamanan
yang diinginkan di kawasan Asia. Bahkan, para pemimpin di Asia Selatan sendiri
mengakui bahwa SAARC adalah sebuah kegagalan.191 Ratusan juta penduduk di Asia Selatan hidup di bawah 1 dolar per hari, sementara Asia selatan terus menderita
saling curiga yang mendalam satu sama lain, proliferasi nuklir, konflik antar etnis
yang penuh kekerasan dan penurunan modal sosial.192 Selama 25 tahun SAARC pencapaian SAARC masih amat kecil dan dianggap sebagai organisasi dengan
kemanfaatan yang minim baik di dalam maupun di luar kawasan,193 Keberadaannya hanya menjadi sekedar talk shop rutin di antara para penguasa tanpa adanya aksi
substantif. Berbagai peristiwa baik positif dan negatif terjadi di Asia Selatan yang
191 South Asia leaders admit SAARC failure; blame India, Pak (29 April 2010). Diaks es dari http://zeenews .india.com/news /nation/s outh -as ia-leaders -admit-s aarc-failure-blame-india- pak_622703.html pada 17 Juni 2012 192 Athiur Rahman, SAARC, Not Yet A Community. 193 SD Muni. SAARC at Twenty Five. Institute of South Asian Studies (National University of Singapore) , Brief No. 160, 04 May 2010.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
147
Universitas Indonesia
sama sekali tidak dipengaruhi keberadaan SAARC. Peningkatan hubungan
oerdagangan pun juga tidak disebabkan oleh Peran SAARC. Sekitar 200 pertemuan
dilangsungkan di bawah SAARC tiap tahunnya, namun banyaknya pertemuan ini
tidak diimbangi dengan hasil yang nyata.
Dalam konteks String of Pearls dan peningkatan aktifitas China di Asia
Selatan, masih belum muncul upaya-upaya peningkatan kapasitas SAARC agar
mampu memberikan kontribusi nyata bagi stabilitas kawasan. Perbedaan persepsi,
distrust, dan berbagai hal lainnya masih belum terselesaikan. Dalam hal ini,
kekhawatiran India mengenai pengaruh geopolitik China di Bangladesh, Sri Lanka,
dan tentu saja Pakistan, tidak banyak dibahas dalam SAARC. India justru
meresponnya dengan naval build up dan membentuk jaringan kerja sama dengan
sekutu-sekutu AS di Asia Timur.
Tren yang muncul justru adalah tertariknya negara-negara di Asia Selatan
terhadap institusi ARF. Bergabungnya Bangladesh dan Sri Lanka di ARF pada tahun
2006 dan 2007 dan juga Pakistan menjadi penanda bahwa negara-negara di Asia
Selatan justru lebih berminat untuk bergabung dengan institusi regional yang telah
berhasil menarik great power lain di kawasan dibandingkan memperkuat SAARC
yang sudah ada. Apakah tren ini akan berlanjut, sehingga ARF menjadi rezim
keamanan yang akan menjangkau seluruh wilayah Asia merupakan hal yang sulit
dijawab, karena keterbatasan dari geographical footprint ARF dan masih belum
terselesaikannya berbagai agenda keamanan ARF di kawasan Asia Timur sendiri.
Tapi yang jelas, dilihat dari sisi manapun, peningkatan intertwined masalah
keamanan antara Asia Timur dan Asia Selatan merupakan sesuatu yang sulit untuk
dibantah.
IV. 1. 3 Konstruksi Sosial/Pola amity-enmity
Variabel pola amity-enmity dalam kompleks keamanan menjadi dimensi
konstruktivisme dalam teori ini. Variabel ini memperlihatkan bagaimana sebuah
negara mempersepsikan negara lainnya, apakah sebagai teman (amity) ataukah
sebagai musuh (enmity). Selama Perang Dingin, pola amity-enmity ini sebagian besar
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
148
Universitas Indonesia
mengalami overlay akibat rivalitas ideologi kedua superpower. Namun, pola amity-
enmity lokal memberikan warna tersendiri dalam berbagai proxy war yang terjadi.
Pola amity-enmity ini bersifat sangat durable, dan terlepas dari berbagai perubahan
yang terjadi, pola yang ada selama Perang Dingin masih bertahan hingga sekarang.
Perubahan polaritas akibat String of Pearls tidak memberikan perubahan yang berarti
terhadap pola amity-enmity yang sudah ada. Lebih tepatnya, berbagai perubahan
yang terjadi di kompleks keamanan tidak pernah sepenuhnya menghilangkan atau
merubah pola amity-enmity di Asia, karena sebagian besar pola tersebut bersifat deep
rooted dengan latar belakang sejarah yang sangat berpengaruh dalam pembentukan
persepsi.
Di Asia Timur Laut, kecurigaan antara satu dengan yang lainnya masih terasa
sangat kuat. Seluruh negara di Asia Timur masih memendam dendam dan kecurigaan
yang besar terhadap Jepang akibat imperialisme dan kekejaman dalam penjajahan
yang Jepang lakukan selama Perang Dunia II. Korea Selatan, misalnya meskipun
sama-sama menjadi sekutu AS di Asia bersama Jepang, tetap sulit untuk menjalin
hubungan keamanan yang lebih erat dengan Jepang karena kecurigaan yang masih
besar terhadapnya. Sementara Korea Selatan dan Jepang sudah menghasilkan pakta
kerja sama keamanan dengan Australia dan India, namun hingga saat ini keduanya
masih “dalam proses” untuk mencapai kerja sama yang sejenis (skor “1” dalam
penilaian hubungan aliansi). Pada bulan Mei 2012 lalu, semestinya Perdana Menteri
Korea Selatan berangkat ke Jepang untuk menandatangani perjanjian kerja sama
militer dengan China, namun hal tersebut dibatalkan dan mengatakan bahwa
Pemerintah Korea Selatan akan mempertimbangkan kembali rancangan kerja sama
tersebut.194 Longstanding enmity Korea Selatan dengan Korea Utara juga terus
bertahan, di mana ancaman nuklir Korea Utara terus menjadi ancaman utama bagi
Korea Selatan. Korsel terus memperkuat kerja sama pertahanan dengan AS, dan
bahkan beberapa politisi konservatif mempertimbangkan agar Korea Selatan juga
memiliki arsenal nuklir, hal yang sangat berusaha dicegah oleh Presiden AS Barack
194 South Korean defense minister calls off trip to Japan (18 Mei 2012). Diaks es dari http://ajw.as ahi.com/article/as ia/korean_penins ula/AJ201205180040 pada 18 juni 2012
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
149
Universitas Indonesia
Obama.195 Saling curiga antara China dan negara-negara tetangganya pun juga terus
berlanjut. Sama seperti Korea Selatan, China juga mencurigai Jepang yang
dilatarbelakangi luka Perang Dunia II, dan China juga mencurigai Jepang memiliki
niatan untuk menghentikan The Rise of China. Di sisi lain, rivalitas dan kebijakan-
kebijakan agresif China selama Perang Dingin serta berbagai masalah territorial
seperti Kepulauan Senkaku turut mengundang kecurigaan Jepang dan Korea Selatan
terhadap naval build up yang dilakukan China. Jepang mengkhawatirkan China yang
dapat bertindak sebagai aktor revisionist yang berniat menjadi hegemon utama di
kawasan. Munculnya String of Pearls hanya menguatkan kembali pola kecurigaan
ini, meskipun hal ini terus saling curiga ini terus diupayakan untuk dikurangi dengan
berbagai pendekatan diplomatik yang mereka lakukan. Bagaimanapun juga,
keuntungan dari tingginya intensitas perdagangan di antara mereka terlalu berharga
untuk dirusak akibat kecurigaan politik. Sementara itu, permasalahan Taiwan hingga
saat ini belum menemui titik resolusi. Adalah natural jika China menjadi ancaman no.
1 bagi Taiwan, karena penyatuan Taiwan ke mainland adalah core interest China,
jangka pendek maupun jangka panjang. Permasalahan Taiwan inilah yang yang
menjadi alasan utama kecurigaan dan keengganan China untuk kehadiran AS di
kawasan Asia Timur.
Di Asia Tenggara, pola enmity sudah jauh ditekan dengan semakin
berkembangnya ASEAN dan manfaat stabilitas regional yang dirasakan secara
langsung terhadap pembangunan ekonomi di masing-masing negara. Hubungan di
antara negara-negara di ASEAN terjalin cukup baik, dan tren ini diharapkan dapat
terus berlangsung. Minimal kita bisa mengharapkan bahwa tidak aka nada major war
di antara negara-negara ASEAN setidaknya hingga foreseeable future. Namun,
terdapat beberapa pola enmity lama yang terjadi secara bilateral yang masih bertahan
hingga saat ini, misalnya kecurigaan Thailand terhadap ekspansionisme Vietnam,
yang memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang, dari masa kerajaan pra-
195 New “Military Cooperation” unveiled between S. Korea and Japan (24 Mei 2012). Diakses dari http://www.k oreab ang.c om/2012/s tories /new-militar y-c ooperation- un veiled- be t ween -k orea- an d- japan.ht ml pada 18 Juni 2012
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
150
Universitas Indonesia
kolonial hingga masa Perang Dingin. Selain itu, hubungan dengan China pun terlihat
sangat positif. Interaksi perdagangan hingga terbentuknya zona perdagangan bebas
(ACFTA) dan juga kedekatan diplomatic China baik dengan negara-negara di Asia
Tenggara secara bilateral maupun dengan ASEAN menjadi bukti nyata. Namun, hal
ini tidak menghilangkan pola enmity yang harus dilihat tentu saja terjadi antara China
dengan beberapa negara di Asia Tenggara, terutama Malaysia, Vietnam, dan Filipina
terkait dengan masalah Laut China Selatan yang juga tidak menemukan resolusinya
hingga saat ini akibat sikap “indisputable sovereignty” China. Bagi Malaysia dan
Filipina, sengketa dengan China tidak bersifat deep rooted, dalam artian tidak
memiliki permusuhan historis yang sangat mendalam. Namun, bagi Vietnam,
kecurigaan terhadap China memiliki latar belakang sejarah yang berusia ribuan tahun.
Negara-negara tersebut menyadari kerugian yang sangat besar jika mengkonfrontir
China dan membuang potensi keuntungan yang mereka dapatkan jika mereka tidak
bekerja sama dengan China. The rise of China tidak dianggap sebagai immediate
threat, dan String of Pearls China justru dianggap sebagai sebuah peluang baru
untuk mendapatkan berbagai keuntungan ekonomi lain dari China dan great power
lain yang merespon String of Pearls seperti India. Dengan alasan-alasan ini, pola
enmity di Asia Tenggara benar-benar dapat ditekan. Tidak ada yang mau
mengganggu pertumbuhan ekonomi regional yang sangat menjanjikan dengan
instabilitas regional.
Di Asia Selatan, pola conflict formation masih belum berubah. Permusuhan
nyata antara Pakistan dan India masih menjadi konflik utama di kawasan Asia
Selatan, dan juga saling curiga antara negara-negara kecil di Asia Selatan dan India.
Tingginya pola enmity di Asia Selatan memang sulit diurai, karena permasalahan
yang ada bersifat multi dimensi dan multi sektoral, di mana permasalahan etnis dan
agama memainkan peranan vital. Permusuhan India dan Pakistan, jika disimplifikasi,
bisa disebut sebagai permusuhan atara Islam radikal dengan Hindu sekuler yang
memiliki latar belakang uang sangat mendalam. Sementara itu, negara-negara lain di
Asia Selatan mencurigai intense hegemonik India, apalagi dengan fakta sejarah
bahwa kerajaan India di masa lampau memang menguasai hampir seluruh sub
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
151
Universitas Indonesia
kontinen Asia Selatan. Sementara itu, India mencurigai intensi negara-negara kecil
tersebut untuk bersatu melawan kepentingan nasional India. Sementara itu, hubungan
negara-negara lain di China bukanlah merupakan hubungan yang positif. Bahkan pola
amity di antara mereka sangat terasa. Munculnya String of Pearls dan perubahan
polaritas yang ditimbulkan memberikan dua efek yang cukup berlawanan. Di satu
sisi, pola enmity tersebut menjadi semakin menajam, karena India kecurigaan India
terhadap negara-negara di sekelilingnya semakin besar, terutama permusuhannya
dengan Pakistan. Namun di sisi lain, India berusaha melakukan counter encirclement
dengan berupaya melakukan pendekatan-pendekatan terhadap small power lain
seperti Bangladesh dan Sri Lanka dalam kompetisi dengan China untuk merebut
pengaruh di negara-negara tersebut. Pada akhirnya, negara-negara ini menikmati
keuntungan dari persaingan antara India dan China dengan semakin bannyaknya
aliran uang, investasi, dan tawaran kerja sama yang masuk ke negara mereka.
IV.2 Variabel Dependen: Transformasi Kompleks Keamanan Regional Asia
Timur dan Asia Selatan
Dari analisis pengaruh perubahan polaritas terhadap variabel dependen, kita
mendapatkan tiga hasil:
- Berubahnya polaritas kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan
karena String of Pearls menyebabkan hilangnya batasan geografis antara
kompleks Asia Timur dan Asia Selatan
- Berubahnya polaritas kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan
karena String of Pearls tidak menyebabkan perubahan struktur anarki
kompleks keamanan
- Berubahnya polaritas kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan
karena String of Pearls tidak menyebabkan perubahan pola amity-enmity di
kedua kompleks keamanan
Lalu, bagaimanakah perubahan dalam intervening variable ini berpengaruh
terhadap variabel dependen, yaitu transformasi kompleks keamanan?
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
152
Universitas Indonesia
Terdapat tiga kemungkinan transformasi kompleks keamanan yang mungkin
terjadi:
- Transformasi internal: transformasi ini terjadi jika terdapat perubahan dalam
struktur internal sebuah kompleks keamanan, terutama karena perubahan
dalam polaritas, struktur anarki dan pola amity-enmity
- Transformasi eksternal: transformasi ini terjadi jika terdapat sebuah kompleks
keaman mengalami kontraksi atau ekspansi di batas terluarnya, menyebabkan
perubahan keanggotaan dalam kompleks tersebut. Variabel batasan geografis
menjadi kunci untuk mengidentifikasi hal ini.
- Maintenance of Status Quo: tidak ada perubahan yang berarti dalam struktur
esensialnya
Dengan melihat perubahan yang terjadi dalam intervening variable, maka kita
dapat mengatakan bahwa terjadi transformasi eksternal di dalam kompleks
keamanan Asia Timur dan Asia Selatan yang menyebabkan kedua kompleks
keamanan tersebut melebur menjadi satu. Meleburnya kedua kompleks keamanan ini
membentuk Kompleks Keamanan Asia yang lebih solid dibandingkan dengan
Superkompleks Asia yang berpusat pada China dengan interaksi interregional yang
lemah.
Terjadinya transformasi eksternal ini similar dengan apa yang terjadi saat
terbentuknya kompleks keamanan Asia Timur. Semakin meningkatnya power China
dan meluasnya pengaruh geopolitiknya di sepanjang perairan Asia hingga ke Asia
Selatan menarik perhatian para great dan small power yang dalam cara yang berbeda
merespon fenomena ini. Ketika pengaruh ini “mencapai” Asia Tenggara setelah
Perang Dingin, negara-negara ASEAN meresponnya dengan memperluas
memperluas struktur pengaturan keamanan yang mereka miliki kepada great power
lain untuk menciptakan kestabilan di kawasan. Hal ini disambut Jepang dengan
negara-negara lain di kawasan sehingga terbentuklah ARF yang meleburkan
kompleks keamanan Asia. Ketika pengaruh China sudah mencapai Asia Selatan
dalam bentuk String of Pearls, maka pola yang sama terjadi dengan India sebagai
aktor baru yang menentukan, namun kali ini bukan dalam bentuk perubahan struktur
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
153
Universitas Indonesia
anarki lagi, melainkan pergeseran pola aliansi dan polaritas. Penguatan dan perluasan
jaringan aliansi di antara negara-negara sekutu AS dalam bentuk strategic
partnership dan berbagai kerja sama keamanan lain yang tidak secara langsung
diarahkan pada China namun membentuk fondasi jaringan komunikasi dan
kepercayaan yang kuat menjadi pola respon utama yang muncul. India yang muncul
sebagai major power baru dengan kapasitas interaksi yang semakin besar dan juga
merasakan vulnerabilitas karena String of Pearls China di kawasan menjadi bagian
dari struktur polaritas yang lebih besar di kawasan Asia Timur, dan menjadi bagian
dari cluster keamanan bersama dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, dan juga
AS.
Dengan masuknya India ke dalam struktur polaritas Asia Timur, maka batasan
geografis kedua kompleks keamanan menjadi hilang. Superkompleks Asia yang
tadinya berpusat padah China berubah menjadi kompleks keamanan Asia di mana
aktor-aktor lain yang terlibat mengukuhkan jaringan interaksi di antara mereka
sendiri sebagai respon terhadap The Rise of China tersebut.
Dengan terjadinya transformasi eksternal ini, apa yang tadinya menjadi level
kompleks keamanan, tingkatannya berubah menjadi subkompleks, dan apa yang
tadinya menjadi level superkompleks, menjadi kompleks keamanan secara solit.
Level interregional pun berubah menjadi level regional. Berikut ini akan dijelaskan
kembali variabel-variabel penyusun kompleks keamanan Asia dan hubungannya
dengan level global.
Batasan geografis: Kompleks keamanan Asia menjadi kompleks keamanan
terluas di dunia yang mencakup seluruh wilayah yang tadinya merupakan bagian dari
kompleks keamanan Asia Timur Laut, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan ditambah
dengan Australia. Di utara, batasnya adalah Mongolia (Insulator China dengan Rusia)
dan di barat batasnya adalah Afghanistan dan negara-negara Asia Tengah. Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia menjadi pembatas alami sebelahtimur dan selatan
kompleks keamanan.
Di kompleks keamanan Asia Timur, karena peran dari ASEAN, ARF menjadi
jauh lebih efektif untuk mengikat kekuatan utara, terutama China dan Jepang, ke Asia
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
154
Universitas Indonesia
Tenggara dibandingkan mengikat Asia Tenggara ke dinamika Asia Timur Laut.
Dinamika Asia Timur Laut sebagai sebuah subkompleks masih banyak berdiri
sendiri. Hal serupa juga terjadi ketika kita melihat bergabungnya kompleks keamanan
Asia Timur dan Asia Selatan. Secara polaritas, India memang telah masuk dalam
struktur polaritas di Asia Timur. Namun, dinamika keamanan di Asia Selatan sebagai
sebuah subkompleks sendiri masih akan mengalami otonomi dari kompleks
keamanan yang lain.
Polaritas. Struktur esensial di dalam kompleks keamanan Asia bersifat bipolar,
dengan China (bersama dengan Pakistan dan Korea Utara) sebagai salah satu pole
dan Jepang, Australia, Korea Selatan dan India sebagai pole lain. Tiga negara yang
disebut di atas memiliki senjata nuklir, dan ketiga negara lainnya menggunakan
energi nuklir dan memiliki kapabilitas mengembangkan senjata nuklir. Jaringan
aliansi non-formal menjadi keunikan utama struktur polaritas tersebut. Concentration
of Power berpusat pada kedua pole ini, dan terbagi cukup merata di antara keduanya.
Sementara itu, negara-negara lainnya, yaitu negara-negara ASEAN serta negara-
negara Asia Selatan lainnya dengan strategi hedging yang beragam skala (hingga
limited-bandwagoning) tidak melakukan bandwagoning ke pihak manapun. Kedua
pole tersebut tidak terpisah jauh, dan tidak memperlihatkan rivalitas terbuka di antara
mereka. Mereka melakukan balancing satu sama lain sebagai upaya antisipasi
seandainya di masa depan pihak lainnya menunjukkan keagresifan yang berbahaya,
sementara itu di saat yang sama mereka tidak menginginkan instabilitas regional dan
butuh untuk menjalin kerja sama perekonomian yang menguntungkan dengan pole
lainnya.
Struktur Anarki. ASEAN dan ARF masih menjadi rezim keamanan utama
yang mencakup sebagian besar negara di dalam kompleks keamanan Asia, termasuk
Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh. The Asian Way dan prinsip non-interferensi
menjadi prinsip yang masih terus dipegang kuat oleh negara-negara anggotanya,
menjadikan ASEAN dan ARF sebagai rezim keamanan unik yang lebih
mengandalkan pada pembangunan kepercayaan dan pengadopsian norma
dibandingkan dengan peraturan yang mengikat. Tentunya hal ini sangat berbeda
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
155
Universitas Indonesia
dengan institusionalisme rezim sepeti yang terjadi di Uni Eropa yang di beberapa
dimensi mengurangi derajat otonomi dari negara-negara yang tergabung dalam
anggota. Di ASEAN dan ARF, kerja sama diwujudkan sementara di saat yang
kedaulatan tidak akan dipertanyakan dan tidak akan berkurang sama sekali, hal yang
sangat membuat pemimpin-pemimpin di Asia merasa nyaman. Namun, karena masih
banyaknya isu yang belum terselesaikan di Asia Timur, geographical footprint dari
ARF masih terbatas di Asia Timur, merestriksi pengembangan keanggotaan ARF
lebih luas.
Sementara itu, SAARC gagal disebut sebagai institusi keamanan regional
yang menentukan di Asia Selatan, menyebabkan conflict formation masih menjadi
karakteristik struktur anarki di Asia Selatan. Beberapa negara di Asia Selatan justru
lebih memilih ARF sebagai institusi regional, terutama dilatarbelakangi oleh motif
untuk semakin mengintensifkan interaksi dan kerja sama dengan negara-negara di
Asia Timur.
Pola amity-enmity. Kompleks keamanan Asia dipenuhi oleh berbagai
longstanding enmity antar negara anggotanya yang dapat ditekan secara efektif
karena interdependensi ekonomi di antara mereka. Para great power menjadi
episentrum dari pola amity-enmity yang ada, terutama China, Jepang, dan India. Latar
belakang sejarah imperialisme dan agresifitas negara-negara tersebut baik selama
masa pra kolonial, Perang Dunia, dan Perang Dingin sebagian besar membentuk pola
enmity terhadap mereka. Di Asia Timur Laut, longstanding enmity antara korea
Utara-Korea Selatan berulangkali memanas, dan Taiwan selalu bersiaga untuk
kemungkinan invasi China untuk menyatukan Taiwan ke mainland, sementara China
bersiap untuk segala kemungkinan intervensi AS dalam masalah keamanannya.
Permasalahan territorial seperti kepulauan Senkaku dan laut China Selatan hingga
kini tidak terselesaikan. Namun, di Asia Timur, pola enmity ini dapat diabaikan demi
terjaganya hubungan dan kerja sama perekonomian yang menguntungkan. Di Asia
Selatan, pola enmity akibat berbagai permasalahan etnisitas dan agama masih terasa
kuat, namun sebagai upaya untuk menetralisir pengaruh China di Asia Selatan, India
berusaha memperbaiki hubungan dengan negara-negara lain di sekelilingnya.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
156
Universitas Indonesia
Sementara itu, longstanding enmity antara India dan Pakistan nampaknya belum
menemukan resolusinya dan berulangkali eskalasi konflik terus terjadi.
Hubungan dengan Level Global. Keterlibatan AS dalam kawasan
merupakan indikator utama terhubungnya Kompleks Keamanan Asia ke dalam level
global, Lebih tepatnya, keberadaan dua great power di Asia menyebabkan dinamika
keamanan di Asia sebagai interplay antara level keamanan regional dan global. AS
berencana untuk terus meningkatkan jumlah pasukan di kawasan, hal yang sangat
didukung oleh para sekutunya di sini. China, tentu saja, sangat enggan dengan
rencana ini. Hingga saat ini, secara militer, kekuatan AS masih jauh melampaui
negara-negara lain di Asia, termasuk China. AS juga memberikan asuransinya
terhadap sekutu-sekutunya di Asia, termasuk Taiwan. Seperti yang telah ditunjukkan
pada bab sebelumnya, faktor AS memberikan perbedaan yang cukup berarti dalam
polaritas di kawasan. Jika faktor AS dimasukkan sebagai bagian dari kompleks
keamanan, maka Taiwan juga akan menjadi bagian dari cluster di mana Jepang dan
lainnya berada, dan konsentrasi power secara asimetris akan berada pada cluster di
mana AS berada. China dalam berbagai kesempatan di forum multilateral regional,
berusaha untuk mengurangi keberadaan AS di kawasan.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
157
Universitas Indonesia
BAB V
Kesimpulan
Setelah berakhirnya Perang Dingin, level regional menjadi level analisis
keamanan internasional yang sangat signifikan. Jika selama masa perang Dingin
hampir seluruh konflik dapat dijelaskan dalam konteks superpower rivalry, maka
setelah Perang Dingin konflik-konflik regional yang ada memiliki keunikannya
masing-masing dan memiliki derajat oronomi dari pengaruh kekuatan global seperti
AS. Hal ini melatarbelakangi munculnya Regional Security Complex Theory yang
dikembangkan oleh Buzan. Dunia terbagi dalam kompleks-kompleks keamanan
Regional di mana proses sekuritisasi yang terjadi di dalamnya utamanya dipengaruhi
oleh dinamika yang terjadi di dalam regional tersebut. Sebuah kompleks keamanan
regional tidaklah statis, melainkan dinamis dan dapat mengalami transformasi, seperti
yang terjadi dalam pada transformasi eksternal yang menyebabkan terbentuknya
kompleks keamanan regional Asia Timur.
Dalam konteks itu, Asia menjadi salah satu kawasan yang menarik untuk
diamati. Superkompleks Asia yang terdiri dari kompleks keamanan Asia Timur dan
Asia Selatan pada Abad ke-21 ini sedang mengamati tumbuhnya great power baru di
Asia, yaitu China. Pertumbuhan ekonominya yang sangat mengesankan yang diikuti
dengan modernisasi militer besar-besaran menyebabkan The Rise of China menjadi
bahan diskusi yang tidak pernah habis-habisnya. Keberadaan China yang semakin
meningkat di lautan Asia baik dalam militer dan perdagangan menimbulkan concern
tersendiri di antara pemimpin negara di Asia. Semakin banyaknya kepentingan
nasional China, baik perekonomian maupun keamanan, yang berada di laut
mendorong China untuk terus memperkuat sea power mereka. Munculnya konsepsi
String of Pearls menunjukkan keberadaan secara fisik pengaruh geopolitik China di
Sepanjang Samudera Hindia dan Laut China Selatan. String of Pearls ini
menimbulkan reaksi yang berbeda-beda di antara negara-negara di Asia. Hingga
sejauh mana String of Pearls mempengaruhi kompleks keamanan di kawasan?
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
158
Universitas Indonesia
Bagaimanakah pengaruh String of Pearls terhadap Kompleks Keamanan di Asia
Timur dan Asia Selatan?
String of Pearls nampaknya memiliki pengaruh besar terhadap superkompleks
Asia, yaitu menyebabkan transformasi kompleks keamanan dengan meleburnya
kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan, merubah superkompleks Asia
menjadi kompleks keamanan Asia. String of Pearls menunjukkan terus meluasnya
pertumbuhan geopolitik China, sementara itu di sisi lain great power lain
mewaspadai langkah China tersebut sebagai sebuah potensi ancaman. India yang juga
telah tumbuh sebagai major power baru dengan kapasitas interaksi yang semakin
besar dan memiliki isu keamanan khusus dengan China mewaspadai String of Pearls
sebagai sebuah bentuk encirclement China terhadap India di Samudera Hindia.
Jepang dan sekutu-sekutu AS yang lain di Asia juga waspada akan potensi String of
Pearls yang melihatnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari strategi
pengembangan blue water navy China. Sementara itu, tidak ada staupun di antara
negara-negara ini (dan juga negara-negara lain di seluruh kawasan) yang ingin
merusak stabilitas regional di kawasan dengan mengkonfrontir China secara langsung
dan merusak hubungan perekonomian dengan China yang sedang berada pada
kondisi terbaik. Akhirnya, The Rise of China dan String of Pearls direspon oleh para
great power dengan melakukan hedging dan indirect balancing dengan penguatan
dan perluasan jaringan aliansi yang berisfat non-formal dan kerja sama strategis di
antara mereka sendiri, yang pada akhirnya menarik India bersama ke dalam satu
cluster, secara efektif memasukkan India ke dalam polaritas Asia Timur. Sementara
itu, small powers lain di kawasan tidak melakukan alignment ke pihak manapun.
Mereka melakukan hedging kepada semua pihak, menjalin hubungan yang baik
dengan semua, dan mengambil keuntungan dari dinamika great power yang muncuk.
Bagi negara-negara ini, String of Pearls justru merupakan sebuah kesempatan untuk
mendapatkan keuntungan perekonomian yang lebih besar.
Perubahan polaritas ini menyebabkan perubahan terhadap salah satu variabel
penyususn struktur esensial dari sebuah kompleks keamanan, yaitu batasan geografis.
Dengan masuknya India dalam struktur polaritas yang sudah ada di Asia Timur, maka
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
159
Universitas Indonesia
batasan geografis yang memisahkan kompleks keamanan Asia Selatan dan Asia
Timur melebur. Perubahan polaritas itu berarti bahwa dengan kapasitas interaksi yang
kuat, maka para aktor lain di kawasan, termasuk India, mampu terhubung dengan
aktor lainnya secara langsung untuk menyikapi secara bersama The rise of China,
menyebabkan sekat batasan dalam kompleks keamanan menghilang.
Sementara itu, variabel lain dalam struktur esensial yaitu struktur anarki dan
pola amity-enmity tidak mengalami perubahan. ASEAN dan ARF dengan The Asian
Way dan prinsip non-interferensi tetap menjadi rezim keamanan utama dan terbesar di
kawasan di mana berbagai negara terus melakukan pendekatan diplomatic
multilateral kepada China. SAARC di Asia Selatan masih tetap gagal menjadi rezim
keamanan yang signifikan, menyebabkan masih tingginya tingkat anarkisme di Asia
Selatan. Konstruksi sosial atau persepsi yang diberika satu negara kepada negara lain
juga tidak banyak mengalami perubahan. Banyak Longstanding enmity (Korsel-
Korut, India-Pakistan, China-Taiwan, dll) tidak terselesaikan hingga saat ini dengan
China, Jepang dan India menjadi faktor utama terbentuknya pola yang sudah ada.
Namun, di Asia Timur, dengan interdependensi ekonomi dan rezim keamanan
berbasis CBM, pola enmity tersebut dapat ditekan dan tidak ada yang ingin
mengganggu stabilitas regional dengan ketegangan yang tidak perlu.
Perubahan dalam variabel batasan geografis dan tidak berubahnya dua
variabel lain berarti bahwa kompleks keamanan mengalami transformasi eksternal,
karena berubahnya batasan geografis menunjukkan bahwa sebuah kompleks
keamanan mengalami ekspansi dan terjadi perubahan keanggotaan dalam kompleks.
Kompleks keamanan Asia Timur dan Asia Selatan melebur menjadi kompleks
keamanan Asia, yang terdiri dari tiga subkompleks utama, Asia Selatan, Asia
Tenggara, dan Asia Timur Laut. Struktur polaritas tetap bipolar namun kali ini
dengan India sebagai bagian dari struktur polaritas tersebut bersama dengan Jepang
dan yang lain. Struktur anarki dan pola amity-enmity di kompleks keamanan tidak
mengalami perubahan berarti.
Dengan adanya perubahan ini, maka penjelasan dari Buzan mengenai
superkompleks Asia nampaknya harus direvisi, karena salah satu prediksi Buzan
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
160
Universitas Indonesia
mengenai transformasi eksternal superkompleks Asia menjadi kompleks keamanan
yang solid dan fully pledged telah terbukti. Hal ini juga berarti bahwa para pengamat
dan para pengambil kebijakan keamanan harus mulai memperlakukan kawasan Asia
menjadi sebuah kawasan yang integral dalam dimensi keamanan. Karena ukuran,
jumlah populasi, dan posisinya yang berada di jalur perdagangan global, berubahnya
superkompleks Asia menjadi kompleks Asia, maka interplay terhadap level global
pun juga akan terus meningkat. Tidak akan mengherankan jika dalam beberapa
dekade ke depan dinamika keamanan dan perekonomian global akan berpusat did ala
kompleks keamanan Asia ini.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
161
Universitas Indonesia
Daftar Referensi
Buku
Athwal, Amardeep. China-India Relations: Contemporary Dynamics. USA: Routledge: 2008.
Buzan, Barry dan Ole Weaver. Regions and Powers: The Structure Of International
Security. United Kingdom: Cambridge University Press, 2003.
Holmes, James dan Toshi Yoshihara. Ed. Asia Looks Seaward. Praeger Security international. London: 2007.
J. Pehrson , Christopher. String of Pearls: Meeting the Challenge of China‘s Rising
Power Across the Asian Littoral. USA:Strategic Studies Institute, 2006.
Mahan, Alfred Thayer. The Influence of Sea Power upon History, 1660-1783. Boston: Little, Brown, Dover, 1987 (1890)
Mahan, Alfred Thayer. The Problem of Asia. New York: Kennikat Press, 1970
(1900).
Mahan , Alfred Thayer. Naval Strategy, Com pared and Contrasted with the Principles and Prac tice of Military Operations on Land. Boston: Little, Brown, and Company, 1911.
Mak, J.N. Asia Pacific in the New World Order. USA: Routldge, 1998.
Peng Er, Lam. Ed. East Asia‘s Relations with Rising China Korea Selatan: Konrad- Adenauer-Stiftung, 2008.
Saunders, Philip C. et.al..ed. The Chinese Navy: Expanding Capabilities: Expanding Roles. USA: National Defense University Press, 2011.
Spinetta , Lawrence. “The Malacca Dilemmaǁ‖ – Countering China‘s String Of Pearlsǁ‖ With Land Based Air Power”. USA: School of Advanced Air and Space Studies Air University, 2006.
Tsunekawa. Jun Ed. The Rise of China: Response from Southeast Asia and Japan, NIDS Joint Research Series No.4 (Tokyo: 2009).
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
162
Universitas Indonesia
Vinod M.J. et.al. Ed., Security Challenges in the Asia-Pacific Region: The Taiwan Factor. New Delhi: Viva Books International, 2009.
Viotti R. Paul dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism,
Pluralism, Globalism, New York: Macmillan Publishing Company, 1993.
W.Prabhakar, Lawrence et.al, The Evolving Maritime Balance of Power in the Asia- Pacific: Maritime Doctrines and Nuclear Weapons At Sea. Singapore: NTU Institute of Defence and Strategic Studies, 2006.
Jurnal dan Paper
B. Zoe lll ick, Robert. “Whither China: From Membership to Responsibility?” Remarks to the US National Committee on U.S.-China Relation, (2005)
Brewster, David. “An Indian Sphere of Influence in the Indian Ocean”, Security
Challenges, Vol. 6, No. 3 (2010)
Brewster, David. “The Australia-India Security Declaration, the Quadrilateral Redux?” Security Challenges, Vol. 6, No. 1 (2010)
Buszynski, Leszek. “Thailand's Foreign Policy: Management of a Regional Vision"
Asian Survey, Vol. 34, No. 8 (Agustus 1994)
Buzan, Barry. “Security Architecture In Asia: The Interplay of Regional and Global Levels.” The Pacific Review, Vol. 16 No. 2 (2003).
Buzan, Barry. “The Southeast Asian Security Complex”. Contemporary Southeast
Asia, Vol. 10, No. 1 (1988).
Cha, Victor D.. “Abandonment, Entrapment, and Neoclassical Realism in Asia: The United States, Japan, and Korea.” International Studies Quarterly, Vol. 44, No. 2 (Jun., 2000). International Studies Association.
Chew, Emrys. Crouching Tiger, Hidden Dragon: Indian Ocean and Maritime
Balance of Power in Historical Perspective. Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, 2007.
Cheng-Chwee, Kuik. “Malaysia and Singapore Response to A Rising China.”
Contemporary Southeast Asia Vol 30 No.2 (SEAS: 2008)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
163
Universitas Indonesia
Chowdhury, Iftekhar Ahmed. “Bangladesh-China: An Emerging Equation in Asian Diplomatic Calculation”s. ISAS Working Paper No. 105 – 31 (Maret 2010)
De Mesquita, Bruce Bueno. “ Measuring Systemic Polarityǁ‖. The Journal of
Conflict Resolution, Vol. 19, No. 2 (Sage Publications: 1975).
Del Rosario, Teresita Cruz-. “ENTER THE DRAGON, SOFTLY: CHINESE AID IN SOUTH, SOUTHEAST AND CENTRAL ASIA.” Lee Kuan Yew School of Public Policy Working Paper Series. (2011)
Frewen, John. “Harmonious Ocean? Chinese Aircraft Carriers and Australia-US
A lll iances.” JFQ issue 59, 4th quarter 2010.
Holmes, James dan Toshi Yoshihara. “The Influence of Mahan upon China‟s Maritime Strategy”..Comparative Strategy 24 (Maret, 2005)
Holmes, James dan Toshi Yoshihara. ―China and The Commons: Angell or
Mahan?ǁ‖. World Affairs vol. 168, no. 4 (Spring 2006)
Fujimura, Kazuhiro. The Increasing Presence of China in Laos Today: A Report on Fixed Point Observation of Local Newspapers from March 2007 to February 2009. Jepang: Ritsumeikan Asia pacific University, 2009
Katzenstein, Peter J. “Re-examining Norms of Interstate Relations in the New
Millennium”Paper for the 14th Asia-Pacific Roundtable. Kuala Lumpur, 2000.
Kaplan, Robert D., South Asia‘s Geography of Conflict. US: Center for a New
American Secutity, 2010.
Kim, Shee Poon. “An Anatomy of China‟s „String of Pearls‟ Strategyǁ‖. THE HIKONE RONSO Journal 2011 spring / No.387 hal. 22-36
Kim Shee, Poon. “The Political Economy of China-Myanmar Relations: Strategic and
Economic Dimensionsǁ‖. Ritsumeikan Annual Review of International Studies, ISSN 1347-8214. Vol.1 (2002)
Kumar, Satish. “China‟s Expanding Footprint in Nepal: Threats to India.” Journal of
Defence Studies Vol 5. No 2. (April 2011).
Malik, J. Mohan. “South Asia in China‟s Foreign Relations. ” Pacifica Review, Vo. 13.1,(Februari 2001)
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
164
Universitas Indonesia
Michael Leifer. “The ASEAN Regional Forum: Extending ASEAN's Model of Regional Security”. Adelphi Paper 302 (Oxford: Oxford University Press, 1996).
Muni, SD.. “SAARC at Twenty Five. Institute of South Asian Studiesǁ‖ National
University of Singapore, Brief No. 160, 04 (Mai 2010)
O‟Rourke, Ronald. China Naval Modernization: Implications for U.S. Navy Capabilities—Background and Issues for Congress. USA: Congressional Research Service (CSR), 2012
Orland, Brian. “India‟s Sri Lanka Policy: Towards Economic Engagement.” IPCS
Research Paper. (Singapore: 2008)
Panda, Rajaram dan Samsad Khan. “China and the South China Sea: Future Power Projections”. Indian Foreign Affairs Journal Vol. 5. 3 (2010).
Ranasinghe, Sergei DeSilva. “Sri Lanka, The New Great Game.” Strategic Analysis
Paper (Australia: Future Directions International, 2010)
Ryou, Hayoun. “India Japan Security Cooperations: Chinese Perceptions.” Institute of Peace and Conflict Studies Issue Brief, No. 89 (Januari 2009)
Sahasrabuddhe, Uttara. Regionalisation Processes In South and Southeast Asia: A
Comparative Study. India: University of Mumbai, 2003.
Silva, Antonio Henrique Lucena “Forging A lll iances: Mapping the Balance of Power between India and China” IPSA-ECPR Joint Conference. Brazil: Sao Paulo, 2010.
Signorino, Curtis dan Jeffrey M. Rittter, “Tau-b or not Tau-B: Measuring Alliance
Portfolio Similarity” Paper for annual meeting of the Midwest Political Science Association. USA: 1997.
Weissman, Mikael. Understanding the East Asian Peace Informal and formal conflict
prevention and peacebuilding in the Taiwan Strait, the Korean Peninsula, and the South China Sea 1990-2008. Jerman: University of Gothenburg.
Xu Qi. “Maritime Geostrategy and the Development of the Chinese navy In the
Twenty First Century”. Trans. Andrew S. Erickson dan Lyle J. Goldstein. China: China Military Science, 2004. Trans. Naval War College Review, Autumn
2006, Vol. 59, No.4, 2006.
“China‟s „String of Pearls‟ in the Indian Ocean and Its Security Implications,” Strategic Analysis, Vol. 32, No. 1 (2008).
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
165
Universitas Indonesia
Internet
Chen, Jennifer. “US-China-Cambodia Relations: The trilateral balance”. Diakses dari http://www.eastasia forum.org/2010/10 /02/us-c hina-ca mbod ia-re la tio ns-the- trilatera l-ba la nce /
Cropsey, Seth dan Artur Milikh. “Mahan‟s Naval Strategy: China Learned It. Willl
America Forget It?”, diakses dari http://www.wo rlda ffa irsjo urna l. org/a rtic le /ma ha n%E2%80%99s- navalstrate gy-c hina- lea rned- it -will-a me rica- forge t- it
Hariharan. “CHINA‟S IMPACT ON INDIA-NEPAL RELATIONSǁ‖. South Asia
Analysis Group, Paper No. 4780, 20 Nov. 2011. Diakses dari http://www.so uthasiaa na lysis.org/\pap ers48 \paper4780. html
Hyun, Mingi. ―South Korea‟s SLOC Dilemma ”. Strategic Insight No. 20, Desember
2009. Diakses dari http://www.sld info.co m/so uth-koreas-sloc-d ile mma /
Storey, Ian. “China's Tightening Relationship with Cambodiaǁ‖. 01 Juli 2006. Diakses dari http://www.asia nrese arc h.org/artic les/2881. html
―Indo-China War of 1962”. Diakses dari http://www. globa lsec urity.org
―New “Military Cooperation” unveiled between S. Korea and Japan” (24 Mei 2012). Diakses dari http://www.koreab a ng.co m/2012/stories/ne w- military-cooperatio n-unve iled-betwee n-
korea-and-japan.html
“South Asia leaders admit SAARC failure; blame India, Pak” (29 April 2010). Diakses dari http://zee ne ws. ind ia.co m/ne ws/natio n/so uth-asia- leaders-ad mit- saarc-failure-b la me- ind ia-pak_622703.html
―South Korean defense minister ca lll s off trip to Japan” (18 Mei 2012). Diakses dari
http://ajw.a sa hi.co m/a rtic le /asia/kore a n_pe ninsula/AJ201205180040
SIPRI Arms Transfer Database. Diakses dari http://www.sipri.o rg/da tabase s/armstra nsfers
IMF World Economic Outlook Database.
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012
166
Universitas Indonesia
Dokumen
Annual Report to Congress: Military Power of the People‘s Republic of China 2007. (Department of Defense. US: 2007)
Annual Report To Congress: Military and Security Developments Involving the
People‘s Republic of China 2012 (Office of Secretary of Defense. United States: 2012)
ASEAN Regional Forum dalam Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes (Center for Non Proliferation Studies: 2012)
Defending Australia in The Asia Pacific Century: Force 2030. (Departemen
Pertahanan Pemerintah Australia: 2009)
Regional Economic Outlook: Leading the Global Recovery, Rebalancing of The Medium Term. (International Monetary Fund: 2010)
SIPRI Fact Sheet. May 2012 (Stockholm International Peace Research Institute)
SIPRI Military Expenditure Data 1988-2011
Studi transformasi..., Joan Radina Setiawan, FISIP UI, 2012