jompet kuswidananto

32
1 J OMPET K USWIDANANTO Solo Exhibition Curated by Alia Swastika

Upload: trinhkhanh

Post on 31-Dec-2016

303 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: JOMPET KUSWIDANANTO

1

JOMPET KUSWIDANANTO

Solo Exhibition

Curated by Alia Swastika

Page 2: JOMPET KUSWIDANANTO

22

Kata-Kata dan Pergerakan Yang Mungkin

Words and Possible Movement

installation

2013

Page 3: JOMPET KUSWIDANANTO

3

Bagaimana memberi makna pada seluruh kegaduhan dan suara-

suara yang tak selalu punya makna pada saat di mana kita

memberi ruang pada kebebasan bersuara? Bagaimana kita masih

percaya bahwa suara massa selalu punya daya tarik kuat, sebuah

distribusi energi dan kekuatan untuk memberi keyakinan atas

gagasan bersama?

Dua pertanyaan itulah yang barangkali bisa menjadi titik awal

untuk melihat karya-karya yang dipamerkan Jompet Kuswidananto

dalam Order and After. Proyek ini merangkum, sekaligus

menunjukkan pergeseran penting dari beberapa seri karya

yang telah diciptakannya selama periode 2011 - 2013. Setelah

proyeknya Java’s Machine, yang berbasis pada investigasinya

atas identitas masyarakat Jawa - pembentukan, perubahan dan

situasinya sekarang - dengan fokus pada persilangan budaya

dan kondisi pasca-kolonial, Jompet melangkah untuk melihat

realitas ketiga yang tercipta pada ruang antara. Proyek ruang

ketiga ini dinamakannya sebagai “Third Realm.” Proyeknya Anno

Domini (dipamerkan di Selasar Soenaryo Art Space, Bandung,

dan di Asian Art Museum San Fransisco) pada 2011 dan 2012

bergeser juga pada bentuk dan pendekatan baru, yang terutama

melibatkan ruang arsitektural dalam struktur karyanya. Masih

Kesunyian dalam Keramaian

PENGANTAR KURATORIAL

Alia Swastika

Page 4: JOMPET KUSWIDANANTO

4 untuk merunut realitas ketiga, Jompet meneliti sepanjang jalan

Anyer-Panarukan pada 2012, menghasilkan projek On Asphalt

yang sempat dipamerkan di Taipei, Melbourne dan Jepang.

Order and After adalah proyek terbaru Jompet yang berangkat

dari pengamatan dan penelitiannya dari berbagai proyek

terdahulu, dan bermuara pada pertanyaan situasi Indonesia 15

tahun pasca Reformasi. Lima belas tahun telah berlalu semenjak

sebuah rezim dijatuhkan, dan harapan baru ditegakkan. Lebih

dari mempertanyakan apakah harapan-harapan baru tersebut

berhasil diwujudkan menjadi kenyataan, Jompet membangun

premisnya dari janji atas terbangunnya demokrasi. Salah satu

elemen penting dalam kehidupan demokrasi adalah “kebebesan

bersuara,” sebuah metafor yang merujuk pada kebebasan untuk

mengeluarkan pikiran dan pendapat, baik lisan maupun tulisan.

Menariknya, Jompet menarik gagasan kebebasan bersuara ini

dalam pemahaman suara sebagai “bunyi,” tanpa harus keluar

dari konteks sosial politiknya.

Dalam demokrasi pasca reformasi, kehidupan (politik) masyarakat

sehari-hari dipenuhi dengan berbagai upaya untuk menunjukkan

bahwa mereka ‘ada,’ dan yang terpenting, didengarkan.

Setelah Orde Baru menjadikan kehidupan politik sedemikian

terkontrol, dan karenanya menjadi senyap, masyarakat melihat

bunyi sebagai cara yang kuat untuk unjuk diri. Sebagian besar

bebunyian ini diciptakan bersama, oleh sekelompok orang atau

massa, sehingga terasa punya daya. Berbagai bunyi berbaur

menjadi satu dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan ruang

publik terasa gaduh dan, barangkali, ricuh. Setiap kelompok

menciptakan dan menampilkan bunyi-nya sendiri, yang mereka

percaya sebagai representasi dari nilai dan jalan yang mereka

percaya, sehingga telinga kita terbiasa dengan kontestasi dari

berbagai macam suara.

Karya pertama, Kata-Kata dan Pergerakan yang Mungkin.

Memasuki ruang pameran, pertama-tama Jompet menyambut

pengunjung dengan rangkaian bendera-bendera dari berbagai

lagu mars organisasi massa. Bendera ini digantung berwarna-

warni, memberikan kesan yang festive, seperti sebuah perayaan

kegembiraan. Pilihan Jompet untuk mentransformasikan lagu-lagu

Page 5: JOMPET KUSWIDANANTO

5mars ini ke dalam bentuk teks, sebuah transformasi dari bunyi

menjadi teks tak bersuara, ironisnya, merupakan satu gagasan

tentang senyap. Ketimbang memperdengarkan lagu-lagu ini,

Jompet mengundang para pengunjung untuk berimajinasi,

membayangkan sebuah suasana riuh yang terbangun dari berbagai

teks di atas bendera. Teks-teks yang berjajar ini menunjukkan

kontestasi dari berbagai nilai, ideologi dan kepercayaan berbeda

yang diperjuangkan oleh masing-masing kelompok. Lihat betapa

beragamnya nilai-nilai itu: agama, partai politik, kelompok

sepakbola, kelompok berbasis etnis, dan sebagainya. Lagu-lagu

diciptakan untuk menimbulkan satu ikatan emosional atas ideologi

bersama ini, dan, pada akhirnya, menjadi bagian dari ‘identitas

kelompok.’ Strategi untuk menuliskan teks-teks ini dalam bendera

juga berharga karena dengan demikian pengunjung dipaksa

membaca - tidak lagi mendengar, dan pada akhirnya, seperti

dikondisikan untuk menautkan makna teks dengan konteks.

Melangkah lebih jauh di dalam ruang pamer, di bawah bendera-

bendera itu, pengunjung dihadapkan pada motor-motor tua yang

berjajar seperti sedang berparade. Bagi masyarakat Indonesia,

imajinasi visual yang semacam ini dengan segera mengantarkan

pada bayangan tentang keriuhan di jalanan ketika musim

kampanye tiba, atau suasana ketika para penonton sepakbola

merayakan kemenangan, atau bahkan sekumpulan anak-anak

remaja baru lulus sekolah. Kita telah begitu terbiasa menerima

suara bising dari puluhan sepeda motor sebagai bagian dari

kegaduhan di ruang publik kita, sesekali terganggu, tetapi acap

kali melihatnya sebagai sebuah atraksi yang menghibur. Amat

sering kita jumpai, parade motor itu dilakukan untuk menegaskan

identitas massa, dan oleh karenanya mereka berseragam,

menunjukkan eksistensi di tengah kerumunan.

Bagian terbesar, barangkali juga terpenting dari proyek ini adalah

instalasi Memanggungkan Kolektivitas. Instalasi ini merupakan

sekelompok ‘figur’--yang sebenarnya lebih tepat sebagai imaji

figur, atau bahkan hantu - yang berada di dalam bak belakang

sebuah truk tua. Imaji visual ini, sebagaimana parade sepeda

motor tadi, juga biasa kita temui di musim tertentu, termasuk di

antaranya pada peristiwa demonstrasi yang besar dari kelompok

buruh, petani, dan sebagainya. Dan pada karya ini kita bisa

Page 6: JOMPET KUSWIDANANTO

6menemukan pekerjaan kinetik khas Jompet, di mana figur-figur ini

bergerak seperti bertepuk tangan. Citra orang-orang dalam truk

ini bisa ditemukan pada video On Asphalt #4, sebuah rekaman

atas perjalanannya menyusuri jalanan Anyer-Panarukan. Di depan

mobil yang ditumpanginya, sekelompok lelaki muda berpakaian

santri berdesakan di dalam truk, dalam arah menuju entah.

Massa selalu menampilkan ketegangan antara individual dan

kolektif, antara “saya” dan “mereka,” juga “kita.” Karenanya,

selalu ada yang tak dikenali, anonim ketika membicarakan diri

kaitannya dengan massa. Suara personal sulit dikenali di antara

belantara suara bersama. Ini dinyatakan oleh Jompet melalui

karya Mengutip si Anonim, sebuah instalasi proyeksi teks, di

mana ia mengutip dua teks dari hasil wawancaranya dengan

“Anonim,” co-sutradara dari film “The Act of Killing.”

Meski secara visual seluruh instalasi ini menyajikan citra gambar

yang meriah, ruangan terasa senyap. Kali ini tidak ada yang

berderap, berdentum atau bunyi instrumen musik. Keriuhan

dihadirkan dalam cara yang diam, semua suara diminimalisir,

termasuk pada semua video.

Keseluruhan instalasi ini berbicara tentang ‘massa’ dan bagaimana

mereka dimobilisasi dan diorganisir. Dalam pengakuan Jompet,

istilah ‘mobilisasi’ ini sendiri, telah dihindari, bahkan ditolak, oleh

beberapa aktivis politik masa kini yang sempat ditemuinya untuk

meneliti subjek ini. Mereka menilai bahwa mobilisasi merupakan

terma Orde Baru, yang merujuk pada kontrol yang langsung

dari atas pada masyarakat bawah. Sebaliknya, sekarang ini,

semua individu dalam massa bisa melakukan pengerahan massa

untuk mendapatkan dukungan. Jompet melihat bahwa berbeda

dengan masa Orde Baru yang melihat massa sebagai bagian

dari formalitas politik, maka pada masa kini, massa menjadi

kendali utama bagi mesin politik itu sendiri. Pada situasi hari

ini, mesin politik menyaratkan kehadiran massa, sehingga

organisasi-organisasi ini berupaya sekuat tenaga menggalang

massa. Jompet tertarik untuk melihat massa sebagai sekumpulan

energi, daya, dan kekuatan sebagai sesuatu yang terus bergerak

dan menggerakkan. Dalam pernyataannya, Jompet menyebut

Page 7: JOMPET KUSWIDANANTO

77

bahwa demokrasi adalah sebuah proses organik dimana setiap

kelompok kepentingan menggambar posisinya sendiri di dalam

peta, di mana garis yang mereka gambar acapkali bertabrakan

dengan kelompok kepentingan lain. Dalam perbenturan ini, tak

jarang massa digunakan untuk menegaskan garis dan posisi bagi

kelompok tertentu.

Seluruh strategi yang digunakan Jompet pada presentasi projeknya

kali ini, sebagaimana proyek-proyek sebelumnya, sangat dekat

dengan teater dan panggung. Semua instalasi di sini mempunyai

dimensi performatif, memindahkan apa yang kita lihat dalam

kehidupan sehari-hari, dengan pendekatan separuh abstraksi

separuh mendekati kenyataan. Seperti selalu, ia menggunakan

barang-barang temuan, hampir semuanya bekas pakai, bahkan

hampir terlihat seperti rongsokan, yang memang ia sengaja

untuk memberi kesan tua. Dengan situasi ruangan yang nyaris

‘dramatik’, beberapa pembesaran dan penegasan atas peristiwa,

ingatan kita atas persentuhan kita dengan fenomena-fenomena

yang melibatkan massa ini dipertegas, agar kita sendiri merasakan

energi dan daya yang ingin digemakan oleh sang seniman. Kita

lebih terlibat pada pengerahan daya ini ketimbangan ketegangan

politik yang sesungguhnya mendasari semua perpindahan orang

banyak ini.

Words and Possible Movement (detail)

installation

2013

Page 8: JOMPET KUSWIDANANTO

8

Peristiwa keseharian, yang kadangkala lebih performatik

dan dramatik ketimbang peristiwa panggung, sebagaimana

yang ditegaskan Richard Schechner, memang terasa sebagai

‘tontonan’. Filsuf Slavoj Zizek merujuk fenomena-fenomena ini

sebagai “ideologico-critical spectacles”, yang merujuk pada

situasi di mana yang ideologis berada di antara tampak dan tidak

tampak (visible and invisible). Lebih lanjut, Zizek menyatakan

bahwa kepastian ideologis lebih sering tersembunyi, seperti

tersimpan dalam kotak kaca, dalam kehidupan masyarakat

kontemporer yang penuh gairah konsumtif. Subjek dan individu

dalam masyarakat tidak lagi berdiri atas nama identitas ideologis

yang besar, tetapi langsung menjadi subjek kesenangan (subject

of pleasures), sehingga identitas ideologis yang ingin ditampilkan

menjadi tersembunyi. Individu-individu dalam karya Jompet ini,

meski menggunakan seragam dan penanda identitas lain untuk

menegaskan kekhasan kerumunannya, sesungguhnya tidak secara

langsung merepresentasikan ideologi dan kepercayaan mereka,

karena sekarang ini setiap atribut yang dipakai seseorang menjadi

bagian dari pertarungan kuasa dan kepentingan. Pertarungan

kuasa ini menuntut kedewasaan untuk melihat perbedaan dan

menumbuhkan sikap toleran , sebagaimana yang di awal disebut

oleh Jompet, sehingga semua mendapat tempat dalam peta.

Pertarungan atas nama ideologi mempunyai harga mahal yang

harus dibayar, dimana Zizek menyebut harga ini sebagai keriuhan

di latar belakang (background noise) dan bagi Zizek menghapus

keriuhan ini hampir menjadi sesuatu yang utopis.

Words and Possible

Movement

(detail)

installation

2013

Page 9: JOMPET KUSWIDANANTO

9Apakah daya massa selalu ada dalam kutub yang positif?

Saya tertarik untuk melihat bagaimana gerakan-gerakan

mengatasnamakan massa mempunyai dampak sosial politik yang

besar untuk membawa perubahan. Akan tetapi, apakah berubah

saja sudah cukup? Bagaimana dengan arah dari perubahan

itu sendiri, masihkah semua peduli pada tujuan-tujuan masa

depan? Filsuf muda Jerman yang mendalami studi arsitektur,

Markus Miessen, mengetengahkan pandangan menarik berkaitan

dengan bahayanya menggunakan massa sebagai garda depan

demokrasi. Kasus-kasus seperti Occupy Wall Street, yang

menginspirasi berbagai gerakan massa besar-besaran beberapa

tahun belakangan menunjukkan ketegangan yang disebut Miessen

sebagai pasca-konsensus.

Dalam bukunya, The Nightmare of Democracy, Miessen menyebut

bahwa model konvensional dalam partisipasi berdasar pada

asumsi protokol sosial demokrasi di mana setiap suara dari setiap

orang punya beban yang sama dalam masyarakat egaliterian.

Partisipasi, terutama dalam waktu krisis, dilihat dan dirayakan

sebagai penyelamat dari para setan. Miessen kemudian

mempertanyakan, apakah ada kemungkinan untuk melihat

partisipasi sebagai bentuk kekerasan yang lain, praktik non-

demokratis, dan model yang oportunistik atas intervensionisme?

Ia telah melakukan serangkaian penelitian dan percobaan

yang berangkat dari premis dan pertanyaan di atas, terutama

berkaitan dengan penggunaan ruang publik sebagai ruang

dasar partisipasi politik, tidak dalam tujuan untuk menyatakan

ketidakpercayaan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, tetapi lebih

untuk mempresentasikan dan memancing perubahan yang kritis

dan produktif.

Karya-karya Jompet dengan tepat menampilkan ketegangan

antara model konvensional partisipasi dengan kritisisme yang

dibawa Miessen. Tidak secara langsung ia melihat partisipasi

massa sebagai kekerasan, tetapi kita merasa ada pertanyaan

kritis yang diajukan di sana. Cara-cara yang ia gunakan untuk

menggarisbawahi perpindahan massa, dalam sudut pandang

tertentu, menyarankan kita untuk mengajukan pertanyaan-

pertanyaan terhadap hal yang kita terima sebagai “sudah wajar

adanya”.

Page 10: JOMPET KUSWIDANANTO

10

Bagian terakhir dari instalasi di ruang pamer adalah kotak

hitam yang berisi artifak-artifak penghasil suara dan perekam

bunyi. Memberi penegas atas teater sebagai rujukannya, Jompet

memberi judul karya ini sebagai Ruang Ganti Hamlet. Puluhan

loud speaker, drum bekas pakai, pemutar musik bekas pakai,

serta berbagai macam kostum dan atribut yang biasa dipakai

orang-orang pada waktu berkumpul bersama. Semua disatukan

seperti gudang atau ruang arsip. Karya ini berangkat dari

satu bagian dari naskah Hamlet Machine-nya Heiner Müller, di

salah satu monolognya Hamlet di mana dia berbicara setelah

ia menanggalkan perannya sebagai Hamlet. Ruang ini seperti

menyimpan sejarah dan percikan kenangan tentang peristiwa

-peristiwa bersama skala besar di luar publik, tentang bagaimana

suara-suara dan kehadiran orang-orang, yang seringkali berujung

pada berubahnya sejarah masyarakat, pada akhirnya (di)

bisu(kan). Jompet Kuswidananto menghadirkan kesenyapan itu di

tengah-tengah hiruk pikuk berkumpulnya massa, memberi ruang

jeda di antara diri dan dunia. *

Ruang Ganti Hamlet (detail)

Hamlet’s Dressing Room

installation

2013

Page 11: JOMPET KUSWIDANANTO

11

How do we give meaning to all the noise and voices that do not

always have meaning at that moment we give them space and

freedom to speak? How can we still believe that the voice of the

masses has appeal; distribution of energy and strength to provide

certainty that we are thinking together?

These two questions may represent a starting point from which

to see the works exhibited by Jompet Kuswidananto in “Order

and After.” The project embraces, as well as represents, important

changes from several series of works created in the period 2011-

2013. After his Java’s Machine project, which was based on

investigations into the identity of Javanese society – its forms,

changes and current situations – with a focus on cross-cultural

and post-colonial conditions, Jompet has moved on to look at the

third reality that is created in the spaces in between. This third

space project is called the “Third Realm”. His Anno Domini project

(exhibited at Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, and Asian

Art Museum San Fransisco) in 2011 and 2012 also shifted his

work towards new forms and approaches, in particular involving

architectural spaces in his work. Still tracing the third reality,

Jompet investigated the length of Anyer Panarukan street in 2012,

resulting in the On Asphalt project that was exhibited in Taipei,

Silence in the Crowd

Alia Swastika

CURATORIAL INTRODUCTION

Page 12: JOMPET KUSWIDANANTO

12 Melbourne and Japan.

‘Order and After’ is a new project for Jompet that departs from

observations and research from a number of earlier projects, and

voices questions about the situation in Indonesia 15 years post-

Reformation. Fifteen years have past since a regime was toppled

and new hope was born. More than simply questioning whether

those hopes were successfully realised, Jompet builds his premise

from the promises of democratic development. One important

element in the life of democracy is “free speech”, a metaphor that

refers to freedom to express thoughts and opinions, both verbally

and in writing. Interestingly, Jompet draws this concept of free

speech into his understanding of voice as “sound”, without having

to remove it from its socio-political context.

In post Reformation democracy, the every-day (political) life of

the people is filled with efforts to show that they “are”, and most

importantly, to be heard. After the New Order’s creation of a

political life that was highly controlled, and because of this silent,

society came to see sound as a strong way of displaying itself.

The majority of this noise is created together, by groups of people

or masses, so that there is a sense of power. Various sounds blur

to become one in every-day life, generating public spaces that

seem noisy and even chaotic. Each group constructs and displays

its own sound, that they believe represents the values and path

that they believe in, until the ear becomes accustomed to this

contestation from so many different voices.

On entering the exhibition space, Jompet at first welcomes visitors

with a series of flags and marching songs from mass organisations.

The flags hang colourfully, giving a festive impression, like a

happy celebration. Jompet’s choice to transform the marching

songs into text form, a transformation from sound to mute text,

ironically constructs conceptual silence. Rather than listening to

these songs, Jompet invited visitors to imagine – visualise – a

clamorous atmosphere constructed from the various texts on the

flags. These rows of texts indicate the contestation of diverse

values, ideologies and beliefs that are championed by each

group. See how varied these values are: religion, political parties,

soccer supporters, ethnic groups and so on. The songs are created

Page 13: JOMPET KUSWIDANANTO

13to evoke emotional ties to joint ideologies and eventually, the song

becomes a part of their ‘group identity.’ The strategy of writing

these texts on the flags is valuable because it forces visitors to read

– not to listen – and ultimately seems to condition them to link the

meaning of the text to the context.

Moving further into the exhibition space, visitors are faced with

old motorbikes that are lined up as if on parade. For Indonesian

society, visual imaginaries such as these immediately conjure up

visions of the commotion in the street when the campaign season

begins, or the atmosphere when soccer fans celebrate a win, or

even a group of teenagers who have just graduated. We have

become used to accepting the sound of tens of motors as a part

of the noise of our public spaces; occasionally it is disturbing,

but frequently we see it as a kind of entertaining attraction. Most

often when we meet a motorbike parade it is underway to stress a

mass identity; because of this they are uniformed, displaying their

existence in within the throng.

The largest and most important part of this project is the nearly 30

‘figures’ that are places in the tray of an old truck. Some of them

are waiting to get in the back of the truck, as though they don’t

care that they will be jostled once inside. This visual image, like

that of the motorbike parade, is also one we encounter during

particular seasons, among them incidences of large demonstrations

by labourers, farmers and others.

The mass consistently present tense relations between individuals

and the collective, between ‘me’ and ‘them’ as well as ‘us’. Thus,

Tentang Aspal #4

On Asphalt #4

(detail)

5 channels video

(partly screenedl

2012

Page 14: JOMPET KUSWIDANANTO

14

there will always be an unknown, anonymous when talking about

the self in relations to the mass. Personal voices are undisclosed in

the midst of collective sounds. This is stated by Jompet through his

work ‘Quoting the Anonymous’ - an installation of text projections-

which he quoted from his interview with The Anonymous, co-

director of the film ‘The Act of Kiling’.

All of this installation speaks of the ‘masses’ and how they are

mobilised and organised. Jompet acknowledges that the phrase

mobilisation itself is one avoided, or even rejected by the

contemporary political activists he has had the opportunity to meet

during his investigations on this subject. They consider mobilisation

a term of the New Order, referrring to a kind of direct control from

above over society below. On the contrary, these days, all of the

individuals within the mass can mobilise a mass in order to gain

support. For Jompet the difference in the New Order eras was

one which saw the mass as a kind of political formality, whereas

now the masses are one of the controlling forces of the political

machine itself. In today’s situations, the political machine requires

the presence of the masses, so these organisations try as hard

as they can to establish a mass as a pool of energy, power and

strength that continues to be moved and to move. In his enquiries,

Jompet mentions democracy as an organic process where each

group’s interests describe their own position on the map, where

the lines they draw often collide with the interests of other groups.

All of the strategies Jompet uses in his project this time, as in

his previous projects, are very close to theatre and the stage. All

of his installations here have a performative dimension, shifting

Ruang Ganti Hamlet

Hamlet’s Dressing Room

installation

2013

Page 15: JOMPET KUSWIDANANTO

15what we see in our everyday lives, with an approach that is half

abstract and half near reality. As always he uses found objects,

almost all re-used, many even seeming like rubbish, it does indeed

give the impression of being old. In the situation of this almost

‘dramatic’ space, our memories of encounters that involve the

masses are reinforced, so that we feel the energy and strength that

the artist echoes. We are more involved in the mobilisation of this

power than in the political tensions that are the real basis for the

movement of all these people.

Everyday events, that are sometimes more performative and

dramatic than the events on stage, as explained by Richard

Schechner, do really seem like a ‘spectacle.’ The philosopher

Slavoj Zizek referred to these phenomena as “ideologico-critical

spectacles” that refer to a situation where ideology is in between the

visible and the invisible. Further, Zizek states that the ideological

conviction is more often hidden, as though stored in a glass box,

within the lives of contemporary societies filled with a consuming

passion. The subject and individual in society no longer stand

against the name of a major ideology, but immediately become the

“subjects of pleasure”, so the ideological identity that desires to be

displayed becomes hidden. The individuals in Jompet’s work here,

although they wear uniforms and other signs of identity to stress

the uniqueness of their throng, are actually indirectly representing

their ideologies and beliefs, because this is now an attribute used

by the person to become a part of the contest for power and

importance. This power contest demands enough maturity to see

difference and develop a tolerant attitude, such as that which

Jompet has begun to discuss, so that all may find their place on

the map. To fight in the name of ideology carries a uanvoidably

high price; Zizek calls this price ”background noise, for him the

obliteration of this noise is almost a kind of utopia.

Is the power of the mass always at the negative extreme? I was

interested to see how movements in the name of the masses have a

strong socio-political effect in bringing about change. In his book

The Nightmare of Democracy, Miessen says that conventional

models of participation depend on the assumptions of socially

democratic principle whereby every voice from every person has

equal weight in an egalitarian society. Participation, especially in

Page 16: JOMPET KUSWIDANANTO

16 times of crisis, is seen and celebrated as a saviour from demons.

Miessen then asks, is it possible to see participation as another

kind of violence, a non-democratic practice and an opportunistic

model of interventionism? He undertakes a series of research

experiments that depart from the premise of the above question,

in particular connected to the use of public space in political

participation, not with the intention of expressing his mistrust of

the principles of democracy, but more to represent and invite

change and productive criticism.

Jompet’s works precisely display the tension between conventional

models of participation and the criticisms brought up by Miessen.

He does not directly see mass participation as violence, but we

sense there is a critical question proposed here. The methods he

uses to underline mass movement, from a particular perspective,

suggests that we ask questions about issues that we accept as

“inevitable.”

The final part of this installation in the exhibition space is a black

box which contains artefacts of voice and sound recordings.

Confirming theatre as his reference point, Jompet gives this work

the title Hamlet’s Dressing Room. Tens of loudspeakers, second-

hand drums, second hand instruments and a variety of costumes

and attributes that are often used by people when they gather

together, are united in a kind of warehouse or archive. The work

is inspired by a scene in Heiner Müller’s Hamlet Machine when

Hamlet is dressing off his costume to end his act. This space seems

to collect history and spark memories of large scale collaborative

events outside of the public, of how the voices and presence

of people, which often peaks at points of change in a society’s

history, are eventually silenced. Jompet Kuswidananto places

silence in the middle of the commotion of the masses, giving

space for an interlude between the self and the world. *

References: 1. Slavoj Zizek. Denial: The Liberal Utopia dalam Lacan.com 2009 (English) 2. Markus Miessen. The Nightmare of Participation. Staenberg Press, 2011 3. Literatur tentang karya Jompet dan wawancara dengan seniman

Page 17: JOMPET KUSWIDANANTO

17

Mengutip si Anonim

Quoting the Anonymous

projected texts on wall

2013

The Artworks

(detail)

Page 18: JOMPET KUSWIDANANTO

18 18

Kata-Kata dan Pergerakan Yang Mungkin

Words and Possible Movement

installation

2013

Page 19: JOMPET KUSWIDANANTO

19(detail)

Page 20: JOMPET KUSWIDANANTO

20

Ruang Ganti Hamlet

Hamlet’s Dressing Room

installation

2013

Page 21: JOMPET KUSWIDANANTO

21

(detail)

Ruang Ganti Hamlet

Hamlet’s Dressing Room

installation

2013

Page 22: JOMPET KUSWIDANANTO

22

Tentang Aspal #4

On Asphalt #4

5 channels video (partly screenedl

2012

(detail)

Page 23: JOMPET KUSWIDANANTO

23

Sesi menggambar bersama seniman muda tentang Organisir/Mobilisir

Drawing session with a younger artist on Organisir/Mobilisir

9 ink on paper, 40cm x 40cm each, in Collaboration with Timoteus Anggawan Kusno

2013

(detail)

Page 24: JOMPET KUSWIDANANTO

24Memanggungkan Kebersamaan

Staging Collectivism

linstallation

2013

(detail)

Page 25: JOMPET KUSWIDANANTO

25

Page 26: JOMPET KUSWIDANANTO

26

Merekam latihan dua orang aktor dalam La Lecture-nya Henri Fantin –Latour

Taping a Rehearsal of Two Actors on Henri Fantin-Latour’s La Lecture

Video recorded performance in collaboration with Theodorus Christanto and MN. Qommarudin

2013

Page 27: JOMPET KUSWIDANANTO

27

The Opening

Page 28: JOMPET KUSWIDANANTO

28

Exhibition ViewExhibition View

Page 29: JOMPET KUSWIDANANTO

29

Page 30: JOMPET KUSWIDANANTO

30Jompet Kuswidananto CURRICULUM V I TAE

Born in 1976, in YogyakartaLives and works in Yogyakarta-Indonesia

EDUCATION

1995-1999 Gadjah Mada University, Faculty of Social and Politics Science, Yogyakarta, Indonesia

SOLO EXHIBITION

2012 On Asphalt, Project Fulil Art Space, Taipei2011 Third Realm, Independent project at 54th Venice Biennale, Venice, Italy2011 Java’s Machine: Family Chronicle, Selasar Sunaryo, Bandung2010 Third Realm, Para-site Art Space, Hongkong2010 Java’s Machine: Phantasmagoria, Osage Gallery, Hongkong2009 Java’s Machine: Phantasmagoria, Osage Gallery, Singapore2008 Java’s Machine: Phantasmagoria, Cemeti Art House, Yogyakarta

SELECTED GROUP EXHIBITIONS

2013 WE = ME, Asean Art Exhibition, Art Centre of Silpakorn University, Bangkok

2012 Taboo, Museum of Contemporary Art, Sydney, AustraliaRally, Eko Nugroho and Jompet Kuswidananto, Indonesian ContemporaryArt, National Gallery of Victoria, Melbourne Taipei Biennale, Taipei Fine Art Museums, Taipei Moscow Biennale for Young Art, MoscowPhantoms of Asia, Asian Art Museum, San Francisco

2011 Jakarta Biennale, National Gallery, JakartaJogjakarta Biennale XI, Jogja National Museum, JogjakartaGlobal Contemporary, Art Movement Since 1989, ZKM Karlsruhe, GermanyIndonesian – Eye, Saatchi Gallery, LondonMotion / Sensation, Edwin Gallery, JakartaInlux, Ruang Rupa, Jakarta

2010 Mental Archieve, Cemeti Art House, Yogyakarta Kuandu Biennale, Kuandu museum of ine arts, Taiwan Art Forte, Gana art Center, SeoulMedia Landscape, Zone East, Contemporary Urban Culture, LiverpoolContemporaneity, Shanghai Museum of Contemporary Art, ChinaLoss of the Real, Selasar Sunaryo Art Space, BandungThe Tradition of The New, Shaksi Gallery, Mumbai

Page 31: JOMPET KUSWIDANANTO

312009 Jogjakarta Biennale X, Jogja National Museum, JogjakartaBeyond the Dutch, Centraal Museum Utrecht, The Netherlands10th Lyon Biennale, Musee d’art contemporaine, Lyon, FrancePerang, Kata dan Rupa, Salihara Gallery, JakartaJakarta Biennale, Indonesian National Gallery, Jakarta

2008 Yokohama Triennale, Yokohama, JapanLanding Soon, Group exhibition, Erasmus Huis, JakartaManifesto, Group Exhibition, National Gallery, Jakarta

2007 Jogjakarta Biennale, Taman Budaya Yogyakarta‘Equatorial Rhythms’, Stenersen Museum, Oslo, Norway‘OK Video #3, MILITIA’, Indonesian National Gallery, Jakarta‘Anti Aging’, Gaya Fusion Art, Ubud-Bali

2005 Fukuoka Asian Art Triennale, Fukuoka Asian Art Museum, JapanCP Bienalle, Indonesian Bank Museum, JakartaRevolution Ugly, No Beauty, Cemeti Arts House, Yogyakarta

THEATRE AND DANCE PERFORMANCE

2012 Restaurant of Many Orders, in collaboration with Hiroshi Koike, Japan2010 Third Bodies, On Embracing the In-Between, collaboration with Yudi Ahmad Tajudin

and Teater Garasi.2009 ‘Garibaba’s Strange World’, Dance Theatre with Pappa Tarahumara and Hiroshi

Koike2006 ‘King’s Witch’, a contemporary orchestra with Tony Prabowo and Garasi

Theatre Laboratory

HONORS AND AWARDS

2011 Lecturis Award Finalist, Art Amsterdam, The Netherlands2010 Asia Art Award Finalist, Loop Gallery, Seoul, South Korea2008 Academic Art Award, Yogyakarta Institute of Art, Yogyakarta

RESIDENCY

2012 Nagareyama City Lifelong Learning Center, Japan2010 Geumcheon Art Space, Seoul, South Korea2007 Cemeti Art House, Yogyakarta2006 Kawasaki Factory, Japan

PUBLIC COLLECTION

Akili Museum of Art, Jakarta, IndonesiaNational Gallery of Victoria, Melbourne AustraliaGallery of Modern Art, Brisbane, AustraliaSingapore Art Museum, Singapore Michael Jacobs collection, New York, Kardis Art Foundation, San Francisco, USAMuseum of Contemporary Art Photography, Chicago, USA

Page 32: JOMPET KUSWIDANANTO

32

ORDER AND AFTER

Jompet Kuswidananto

Solo Exhibition

December 11 2013 - January 5 2014

Curated by

Alia Swastika

Translator:

Elly Kent

Photographer:

Stanislaus Yangni

Irvin Domi

Exhibition Venue

Ark Galerie

Jl. Suryodiningratan 36A,

Yogyakarta 55141

Published by

Ark Galerie

www.arkgalerie.com

Enquiries

+62 274 388162

[email protected]

JOMPET WOULD LOVE

TO THANK TO:

 Nurkholis (Brekele)Warsito dan Kru PissOneIpung (Muh. Habib Syaifullah)Danang LuthiKototRagil BinsarTheodorus ChristantoMN. QomarrudinTimoteus Anggawan KusnoRisky SummerbeeAndri Nur latifJamaludin LatiefBanjar Tri Andaru CahyoAdi WisanggeniDodok Putra BangsaAndreas Ari ‘Inyonk’ DwiantoYudi Ahmad TajudinDewa Ngakan ArdanaTeater GarasiNindityo Adipurnomo dan Proyek Pseudo PartisipatifThe Anonymous of The Act Of KillingKelompok Simtotduror Al-Jannah Bil Iman PekalonganSuporter Kalong Mania Persip Pekalongan

aRK

aRKark

aRK

ark

ark