jumat, 25 november 2011 “n negeri para zombi filed i ibu kota, akhir-akhir ini sering...

1
D I Ibu Kota, akhir- akhir ini sering diselenggarakan seminar menang- gapi berbagai perkembangan sosial-politik yang banyak menimbulkan tanda tanya dan sering meresahkan. Menghadiri seminar yang sesuai dengan perhatian kita memang bisa mengasyikkan. Proses dialek- tikal memberi manfaat dan membangkitkan semangat, bahkan inspirasi, selain mem- berikan gambaran sampai di mana pengetahuan kita tentang topik yang diseminarkan. Dalam masyarakat modern, ilmu dan pengetahuan mem- berikan kekuatan sosial yang menentukan. Untuk alasan itu saja, wajar bahwa seminar menarik perhatian orang-orang yang mau berpikir luas dan panjang. Wajar pula bahwa kekuatan, arah, isi, serta pe- manfaatan seminar menjadi perhatian. Bukankah Korea Selatan, konon, dalam rangka pembangunannya yang pesat itu juga mendorong penyeleng- garaan berbagai seminar untuk sumber masukan dan forum pengembangan pikiran? Terjadi reformasi konsep yang berlang- sung tenang, bukan revolusi garang yang radikal. Sisi positif lain yang bisa dipetik dari seminar ialah un- sur pendidikannya. Kita tahu betapa lemahnya kita di bidang ini, kalah dari banyak negara ASEAN lainnya. Hasil survei PBB belum lama ini mengung- kapkan hal itu. Ini alasannya mengapa sejak kemerdekaan kita belum berhasil mengada- kan mobilisasi sosial sepesat yang kita inginkan. Banding- kan dengan masyarakat Jepang, misalnya, yang sejak Restorasi Meiji sekitar satu setengah abad lalu memiliki kesadaran mengakar tentang pentingnya pendidikan. Kesadaran itu rasanya belum timbul merata di antara kita. Mobilisasi sosial Sebenarnya sudah lebih satu abad yang lalu di masyarakat kita pun terjadi terobosan pen- ting yang menandai timbulnya kesadaran baru. Dalam hal ini kesadaran baru itu me- ngenai hakikat diri menjadi suatu bangsa yang bangkit dari masyarakat majemuk. Tanggal 20 Mei 1908 kita nobatkan seba- gai Hari Kebangkitan Nasional. Kesadaran baru itu bersemi dan tumbuh melalui keberanian kaum intelektualnya. Mereka bisa merasakan dan memahami secara kritis kondisi yang se- sungguhnya. Dengan memakai tolok ukur kemajuan bangsa- bangsa lain, para intelektual waktu itu semakin sadar akan kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan yang dialami masyarakatnya. Di mana peran para intelek- tual masa sekarang? Dapatkah kelompok ini membuat tero- bosan dan melahirkan konsep baru; menyusun rumusan struktur sosial baru? Ataukah kelompok ini sudah larut dan ikut hanyut dalam arus massa yang materialistis dan bahkan akhir-akhir ini disebut hedo- nistis? Mereka diasumsikan kehilangan wawasan jernih. Itu yang menyebabkan generasi intelektual angkatan tua sering menuding, orang muda seka- rang kehilangan keberanian. Celakanya, justru sekarang- sekarang inilah dibutuhkan mobilisasi sosial yang mampu memesatkan kemajuan. Itu ha- nya mungkin dilakukan lewat pendidikan. KTT ASEAN dan Asia Timur di Bali baru-baru ini membuka mata kita, di mana posisi Indonesia sebenarnya dalam percaturan politik, ekonomi, maupun keamanan dunia, khususnya Asia Pasik. Kita sering terpesona sendiri oleh pencitraan diri sebagai negara besar ASEAN. Memang ditinjau dari per- juangan bangsa ini memba- ngun diri menjadi NKRI, ser- ta luas wilayah dan jumlah penduduknya, maupun pros- peknya di masa depan, tidak salah bila orang lain mengang- gap kita besar. Tetapi sebaiknya kita mawas diri. Kebesaran itu akan benar-benar terwujud bila kita memilih bersikap dan berperilaku beda dari yang sekarang. Bagaimana kita bisa berbangga dengan merajalela- nya maa hukum, korupsi, dan perilaku hedonistis kelas elite, sementara separuh penduduk kita terbilang tidak terdidik dan miskin menurut ukuran PBB? Gejolak Timur Tengah dapat kita jadikan pelajaran. Bukan hanya karena dana Seorang ahli bahasa San- skerta di Universitas George Washington, Dr King, banyak belajar tentang kebijaksanaan masyarakat Timur. Dia terpeso- na. Dia pasti menyayangkan perkembangan sosial-budaya segolongan masyarakat Timur yang secara sembarangan mengikuti irama gendang glo- balisasi yang tidak cocok atau malah bertentangan dengan budaya Timur. Dia banyak berdiskusi dengan mahasiswa- mahasiswa dari Asia karena, katanya, lewat kami dia bisa menyelami lebih jauh falsafah bangsa Timur. Jelas dia bukan tipe orang Barat yang meng- analisis keadaan masyarakat Timur secara subjektif super- sial. Yang sering dipersoalkan orang-orang Barat yang me- ngagumi budaya Timur adalah soal ‘popular votes’ dalam sistem demokrasi, yang beda dengan konsep musyawarah-mufakat dalam Pancasila. Menurut mereka, konsep musyawarah memang lebih tepat untuk masyarakat dengan tingkat pendidikan yang belum mera- ta. Memaksakan satu orang mendapat satu suara untuk per- soalan yang di luar jangkauan pengertian seseorang bisa me- nyesatkan. Dr King yang selalu mengambil yang terbaik dari ajaran-ajaran Barat dan Timur menyimpulkan: “Yang kita dambakan sebaiknya hidup yang indah, bukan hidup yang mewah.” Kata-katanya itu terngiang ketika akhir-akhir ini banyak diwacanakan sikap yang hedonistis. Apakah kita meleset dalam memaknai konsep pendidik- an kita? Apa sebenarnya maksud founding fathers ketika mengalo- kasikan dana 20% dari APBN untuk pendidikan? Jumlah itu rasanya memadai mengingat sebagai negara berkembang banyak hal lain yang ingin kita capai dalam waktu bersamaan. Secara proporsional, jumlah itu bisa memenuhi kebutuhan untuk biaya pendidikan. Namun persoalannya, kega- galan kita dalam usaha pendi- dikan bukan semata-mata ka- rena masalah dana. Yang men- jadi sandungan terbesar ialah kemiskinan yang menggurita. Dalam masyarakat heterogen, mobilisasi sosial sulit dilaku- kan bila kemampuan ekonomi masyarakat terlalu timpang. Sekalipun kesempatan meng- enyam pendidikan terbuka un- tuk semua, kaum miskin mem- butuhkan dananya terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pendidikan bukan- lah prioritas bagi mereka. Itu sebabnya kita banyak melihat anak gelandangan dan putus sekolah sebelum tamat sekolah dasar (SD). Bahwa pendidikan bukan prioritas dibuktikan dengan jumlah tenaga kerja yang separuhnya berpendidik- an kurang dari SD. Bahkan di kalangan penduduk desa yang tidak lagi miskin, ada anggapan tamat SMP sudah memadai. Fakta itu tidak memung- kinkan kita mengharapkan terjadinya mobilisasi sosial se- suai harapan bersama. Tentu itu berpengaruh dalam usaha me- mobilisasi kesadaran nasional. Dua hal itu rasanya berjalan seiring. Lagi pula masyarakat di mana-mana mengenal dis- kriminasi sosial. Di lapangan kerja, misal- nya, mereka yang datang dari keluarga menengah ke atas faktanya akan lebih mudah memperoleh pekerjaan layak jika dibandingkan dengan me- reka yang datang dari keluarga miskin; sekalipun pendidikan pelamar-pelamar kerja itu se- tara. Itu menunjukkan bahwa yang disebut pendidikan tidak hanya pendidikan formal, tetapi juga yang diperoleh dari keluarga dan lingkungan atau masyarakat secara informal. Para pengambil keputusan, para ahli didik, maupun para pekerja sosial mudah-mu- dahan menyadari perlunya perhatian lebih besar kepada mereka yang ‘underprivileged’ demi percepatan tumbuhnya kesadaran sosial dan mobil- isasi sosial. “N ILAI dari se- seorang itu di- tentukan dari keberanian- nya memikul tanggung jawab, mencintai hidup, dan peker- jaannya.” Demikian ungkap Kahlil Gibran, yang ditujukan kepada setiap pemikul dan pengemban amanat serta setiap elemen strategis bangsa dan negara supaya aktivitas yang mereka jalani bermakna. Ajakan Gibran itu tak ubah- nya ajakan setiap penyiar atau pengampanye kebenaran yang dialamatkan kepada pilar-pilar negara. Komunitas elite negeri ini memang wajib terus dipan- tau dan diingatkan agar peran dan tugas (amanat) yang me- reka jalani tidak disimpangkan dan disalahgunakan. Penyiar dan pengampanye kebenaran yang seperti Gibran di negeri ini banyak. Mereka sudah sering mengingatkan para elite negara, misalnya, bahwa Indonesia banyak di- huni oleh pemimpin yang suka berdusta atau ‘menghalalkan’ ketidakjujuran. Kritik yang dilontarkannya itu sudah terbilang radikal. Sebab, bobot kritiknya bersub- stansikan eksaminasi moral, politik, dan keagamaan yang menempatkan pemimpin Indonesia sebagai komuni- tas elitis yang tak sedikit di antaranya sibuk menjalankan dan memproduksi peran yang mengeliminasi kebermaknaan. Ironisnya lagi, para elite itu pun tak sedikit yang berlisan sangat fasih mengampanyekan urgensi dan kebermaknaannya amanat kekuasaan. Namun dalam kenyataannya, mereka menunjukkan sisi paradoksal, menjadi pelawan dan pem- bangkang kebenaran. Lebih keras dari Gibran, kritik yang sejatinya tak ber- beda juga disampaikan oleh Nietzhe, yang menyebut bahwa Tuhan sedang mati. Apa yang disampaikan filsuf itu dapat ditafsirkan secara hermeneutik, bahwa kematian Tuhan bisa dii- dentikkan sebagai bentuk kritik fundamental terhadap realitas kehidupan negara yang sedang salah jalan akibat pemimpin- nya yang memainkan peran tanpa makna ( meaningless ). Para pemimpinnya yang sibuk menahbiskan kepemimpin- an sesuka hati, liberalistis, dan rentan mengakrabi kom- promisme dengan berbagai bentuk perilaku antagonistis dan disnormativitas layak dika- tegorikan sebagai pemimpin ambiguitas dan pemberani dalam mendesain dirinya menjadi zombi atau mayat hidup yang mengabdi kepada ketidakadilan, ketidakjujuran, dan ketidakmanusiawian. Kerusakan di masyarakat yang sangat parah, mulai dari dunia pendidikan, budaya, politik, dan hukum, misal- nya, merupakan bagian dari jenis penyakit yang sejatinya menuntut masyarakat dan ne- gara untuk mencarikan obat yang bersifat mujarab. Di negara ini pun demikian. Problem ideologis dan teologis bisa saja muncul dan marak terjadi ketika berbagai bentuk penyakit dari waktu ke waktu semakin berkembang dan sulit dikendalikan, yang semuanya itu berakar dari gaya kepemim- pinan bercorak zombi. Itu menunjukkan bahwa tidak mudah menciptakan tata dunia (Indonesia) yang mantap karena badai pastilah menghadang dan menerjang siapa pun yang berobsesi dan beraksi mewujudkannya, di saat para pemimpin yang ide- alnya berdiri di garis depan justru masih melestarikan dan menguatkan praktik pembusu- kan di mana-mana. Badai kegelapan dan banyak keprihatinan akan terus lahir dan subur di tengah masyarakat yang pemimpin atau elemen strategis negaranya lebih me- menangkan kejahatan di atas kebenaran, atau kebenaran di- jadikan bahan permainan dan dagelan. Badai kekacauan akan sulit dibendung di tegah kehidup- an masyarakat yang suka me- ngalahkan ke- adilan, atau menjadikan keadilan sekadar nyanyian kosong. Suatu saat, masya- rakat bisa menunjuk- kan kemarah- an besarnya jika keadilan terus- menerus dilukai dan dijadikan objek per- mainan. Masyarakat pun bisa menjadi zombi yang melakukan berjenis- jenis kekerasan atau aksi ekstremisme, manakala dirinya sudah frustrasi menghadapi elite pemimpin yang menun- jukkan imu- nitas terhadap ajakan penyiar kebenaran seperti Gibran. Kalau sudah begitu, seperti kata Martin Luther, ”Hanya kaum bajinganlah yang berun- tung, karena kaum bajingan merupakan perekayasa atau penghancur yang licik, keji, dan mudah menyebarkan tipu mus- lihat.” Yang menjadi pahlawan bukanlah penyebar kebenaran, tetapi gerombolan penyeling- kuh kekuasaan atau para zombi yang menjadi instrumen opor- tunis yang membarterkan ke- pentingan strategis negara. Memang, menegakkan kon- struksi negara atau masyarakat yang berjiwa tri (tata dunia baru), yang di dalamnya sarat penegakan dan pembumian nilai-nilai keadaban, demokrat- isasi, dan keadilan tidaklah segampang membalik telapak tangan. Akan tetapi, wajib ada upaya sungguh-sungguh yang ditunjukkan oleh setiap pelaku sejarah atau elemen bangsa untuk berjuang menegak- kan dan mewujudkan- nya. Selain upaya sung- guh-sungguh itu, ada pula beragam dan akumulasi tan- tangan yang poten- sial menghadang dan menjegal pem- bentukan tata du- nia baru, terutama mereka yang merasa tidak diuntungkan de- ngan gerakan-gerakan pembaharuan. Mereka ten- tulah mengumpulkan atau mengolaborasi- kan segenap kekuatan, menebar jurus, atau menyusun strategi yang ditargetkan bisa menciptakan badai guna meng- hambat strategi membangun tata dunia baru. Seba- gai con- toh, ketika Nabi Muhammad SAW beru- saha menawarkan dan memba- ngun tata dunia baru, berbagai bentuk tantangan silih ber- ganti mengujinya. Kekuatan- kekuatan sosial, politik, agama, budaya, dan ekonomi, yang tidak menyukai dan antipati terhadap gerakan pembaha- ruan yang dilancarkan oleh Nabi, silih berganti berusaha menghadirkan duri atau men- ciptakan badai besar yang mengakibatkan penderitaan kemanusiaan. “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu, dan juga sungguh- sungguh kamu akan men- dengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan orang-orang yang me- nyekutukan Allah, gangguan yang banyak dan menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS Ali Imran: 186). Ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam hidup ini akan banyak ujian yang harus diha- dapi oleh setiap penyiar kebe- naran atau pelaku sejarah yang berobsesi membangun dan mewujudkan tata dunia baru. Berbagai bentuk penyalahgu- naan kekuasaan yang terus saja tumbuh subur dan semakin berdaulat adalah wujud ujian riil bagi bangsa ini, yang justru bersumber dari elite pemimpin yang sebenarnya berkewajiban memberikan keteladanan da- lam penyebaran dan pembu- mian doktrin adiluhung. Sudah cukup banyak dan sering di antara komunitas pemimpin negeri ini jadi peng- hafal wahyu dan penyiar ke- benaran, tetapi mereka tidak berkeinginan kuat untuk mengaplikasikannya. Mereka hanya pintar berdalil, tetapi dalilnya tidak menjadi spirit yang mengawal perilakunya. Mereka mampu menduduki jabatan dengan segala fasilitas istimewa, tetapi mereka suka menipu rakyat demi mengail keuntungan berlaksa. Mereka itu telah mengemas atau mendesain konstruksi kekuasaan sekadar sebagai kendaraan untuk mengisi dan memperbanyak pundi-pundi kekayaan, meski demi kese- rakahan itu hak-hak orang miskin dikorbankan. Mereka sangat rajin jadi pengumpul dan pengepul kekuatan politik, bukan demi menyejahterakan rakyat, melainkan demi me- ngalirkan dana ilegal ke partai dan para kroni. Mereka lebih suka menjatuhkan opsi seba- gai ‘mayat hidup’ daripada menjadi sosok pelaku sejarah yang berkepribadian cerdas dan berintegritas. Rakyat lebih sering dihadap- kan pada pentas drama politik, ekonomi, dan hukum yang sarat pemalsuan dan penipuan. Dalam pentas ini, komunitas elite menunjukkan atraksi ser- barekayasa atau menyuguhkan gaya ambiguitas. Di satu sisi seolah negeri ini akan dengan mudah disterilkan dari berba- gai bentuk virus penyalahgu- naan kekuasaan, rakyat diper- cepat menemukan atmosfer kemakmuran atau pemerataan ekonomi, rakyat akan men- dapatkan garansi perlakuan yang berbasis kesederajatan dan keadilan, serta berbagai bentuk pola ‘pemanusiaan ma- nusia’ atau hidup berkeadaban makro. Padahal, di sisi lain, apa yang ditunjukkan ialah cermin wajah semu dan paradoksal. Semoga kondisi paradoks ini tidak terus semakin berdaulat. Negeri para Zombi Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP). PARTISIPASI OPINI M Bashori Muchsin Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang n b 28 JUMAT, 25 NOVEMBER 2011 O PI NI Para pengambil keputusan, para ahli didik, maupun para pekerja sosial mudah- mudahan menyadari perlunya perhatian lebih besar kepada mereka yang ‘underprivilegeddemi percepatan tumbuhnya kesadaran sosial dan mobilisasi sosial.” Mobilisasi Sosial dan Kesadaran Nasional MI/ SUMARYANTO Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group 317526, Pekanbaru: Bambang Irianto 081351738384. Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Tele- pon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirku- lasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Per- cetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Web- site: www.mediaindonesia.com, DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WAR- TAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU ME- MINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm) Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra- djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo- pratomo, Toeti Adhitama Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu- tabarat Deputi Direktur Pemberitaan: Usman Kansong Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahyudi Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kustedja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mo- chamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelistijono Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Aryo Bhawono, Asep Toha, Asni Harismi, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Cornelius Eko, Denny Parsaulian Si- naga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edwin Tirani, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anugerah, Fardiansah Noor, Fidel Ali Permana, Gino F. Hadi, Heru Prihmantoro, Heryadi, Iis Zatnika, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Sumantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, M. Soleh, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Panca Syurkani, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sidik Pramono, Siswantini Sur- yandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumar- yanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Vini Mariyane Rosya, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zubaedah Hanum Biro Redaksi: Dede Susianti (Bogor) Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Palembang); Parulian Manulang (Pa- dang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya) MICOM Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso, Yulius Martinus Staf Redaksi: Heni Rahayu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Rita Ayuningtyas, Yulia Permata Sari, Wisnu Arto Subari Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Budi Haryanto, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gus- tiawan, Widjokongko DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING) Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica Huwae Redaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe, Regina Panon- tongan Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia Novelia, Rahma Wulandari CONTENT ENRICHMENT Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Aam Firdaus, Adang Is- kandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto ARTISTIK Redaktur: Annette Natalia, Donatus Ola Pereda, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata Areadi Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ami Luhur, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Aria Mada, Bayu Aditya Ramadhani, Bayu Wicaksono, Briyan Bodo Hendro, Budi Setyo Widodo, Dedy, Dharma Soleh, Endang Mawardi, Fredy Wijaya, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haris Imron Armani, Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Her- nando, Nurkania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi Olah Foto: Saut Budiman Marpaung, Sutarman. PENGEMBANGAN BISNIS Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Su- jiyono Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: Joseph (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Sema- rang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) SENO

Upload: dotuyen

Post on 06-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JUMAT, 25 NOVEMBER 2011 “N Negeri para Zombi fileD I Ibu Kota, akhir-akhir ini sering diselenggarakan seminar menang-gapi berbagai perkembangan sosial-politik yang banyak menimbulkan

DI Ibu Kota, akhir- akhir ini sering diselenggarakan seminar menang-

gapi berbagai perkembangan sosial-politik yang banyak menimbulkan tanda tanya dan sering meresahkan. Menghadiri seminar yang sesuai dengan perhatian kita memang bisa mengasyikkan. Proses dialek-tikal memberi manfaat dan membangkitkan semangat, bahkan inspirasi, selain mem-berikan gambaran sampai di mana pengetahuan kita tentang topik yang diseminarkan.

Dalam masyarakat modern, ilmu dan pengetahuan mem-berikan kekuatan sosial yang menentukan. Untuk alasan itu saja, wajar bahwa seminar menarik perhatian orang-orang yang mau berpikir luas dan panjang. Wajar pula bahwa kekuatan, arah, isi, serta pe-manfaatan seminar menjadi perhatian. Bukankah Korea Selatan, konon, dalam rangka pembangunannya yang pesat itu juga mendorong penyeleng-garaan berbagai seminar untuk sumber masukan dan forum pengembangan pikiran? Terjadi reformasi konsep yang berlang-sung tenang, bukan revolusi garang yang radikal.

Sisi positif lain yang bisa dipetik dari seminar ialah un-sur pendidikannya. Kita tahu betapa lemahnya kita di bidang ini, kalah dari banyak negara ASEAN lainnya. Hasil survei PBB belum lama ini mengung-kapkan hal itu. Ini alasannya mengapa sejak kemerdekaan

kita belum berhasil mengada-kan mobilisasi sosial sepesat yang kita inginkan. Banding-kan dengan masyarakat Jepang, misalnya, yang sejak Restorasi Meiji sekitar satu setengah abad lalu memiliki kesadaran mengakar tentang pentingnya pendidikan. Kesadaran itu rasanya belum timbul merata di antara kita.

Mobilisasi sosialSebenarnya sudah lebih satu

abad yang lalu di masyarakat kita pun terjadi terobosan pen-ting yang menandai timbulnya kesadaran baru. Dalam hal ini kesadaran baru itu me-ngenai hakikat diri menjadi suatu bangsa yang bangkit dari masyarakat majemuk. Tanggal 20 Mei 1908 kita nobatkan seba-gai Hari Kebangkitan Nasional. Kesadaran baru itu bersemi dan tumbuh melalui keberanian kaum intelektualnya. Mereka bisa merasakan dan memahami secara kritis kondisi yang se-sungguhnya. Dengan memakai tolok ukur kemajuan bangsa-bangsa lain, para intelektual waktu itu semakin sadar akan kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan yang dialami masyarakatnya.

Di mana peran para intelek-tual masa sekarang? Dapatkah kelompok ini membuat tero-bosan dan melahirkan konsep baru; menyusun rumusan struktur sosial baru? Ataukah

kelompok ini sudah larut dan ikut hanyut dalam arus massa yang materialistis dan bahkan akhir-akhir ini disebut hedo-nistis? Mereka diasumsikan kehilangan wawasan jernih. Itu yang menyebabkan generasi intelektual angkatan tua sering menuding, orang muda seka-rang kehilangan keberanian.

Celakanya, justru sekarang-sekarang inilah dibutuhkan mobilisasi sosial yang mampu memesatkan kemajuan. Itu ha-nya mungkin dilakukan lewat pendidikan. KTT ASEAN dan Asia Timur di Bali baru-baru ini membuka mata kita, di mana posisi Indonesia sebenarnya dalam percaturan politik, ekonomi, maupun keamanan dunia, khususnya Asia Pasifi k. Kita sering terpesona sendiri oleh pencitraan diri sebagai negara besar ASEAN.

Memang ditinjau dari per-juangan bangsa ini memba-ngun diri menjadi NKRI, ser-ta luas wilayah dan jumlah penduduknya, maupun pros-peknya di masa depan, tidak salah bila orang lain mengang-gap kita besar. Tetapi sebaiknya kita mawas diri. Kebesaran itu akan benar-benar terwujud bila kita memilih bersikap dan berperilaku beda dari yang sekarang. Bagaimana kita bisa berbangga dengan merajalela-nya mafi a hukum, korupsi, dan perilaku hedonistis kelas elite, sementara separuh penduduk

kita terbilang tidak terdidik dan miskin menurut ukuran PBB? Gejolak Timur Tengah dapat kita jadikan pelajaran.

Bukan hanya karena danaSeorang ahli bahasa San-

skerta di Universitas George Washington, Dr King, banyak belajar tentang kebijaksanaan masyarakat Timur. Dia terpeso-na. Dia pasti menyayangkan perkembangan sosial-budaya segolongan masyarakat Timur yang secara sembarangan mengikuti irama gendang glo-balisasi yang tidak cocok atau malah bertentangan dengan budaya Timur. Dia banyak berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswa dari Asia karena, katanya, lewat kami dia bisa menyelami lebih jauh falsafah bangsa Timur. Jelas dia bukan tipe orang Barat yang meng-analisis keadaan masyarakat Timur secara subjektif super-fi sial.

Yang sering dipersoalkan orang-orang Barat yang me-ngagumi budaya Timur adalah soal ‘popular votes’ dalam sistem demokrasi, yang beda dengan konsep musyawarah-mufakat dalam Pancasila. Menurut mereka, konsep musyawarah memang lebih tepat untuk masyarakat dengan tingkat pendidikan yang belum mera-ta. Memaksakan satu orang mendapat satu suara untuk per-soalan yang di luar jangkauan

pengertian seseorang bisa me-nyesatkan. Dr King yang selalu mengambil yang terbaik dari ajaran-ajaran Barat dan Timur menyimpulkan: “Yang kita dambakan sebaiknya hidup yang indah, bukan hidup yang mewah.” Kata-katanya itu terngiang ketika akhir-akhir ini banyak diwacanakan sikap yang hedonistis.

Apakah kita meleset dalam memaknai konsep pendidik-an kita?

Apa sebenarnya maksud founding fathers ketika mengalo-kasikan dana 20% dari APBN untuk pendidikan? Jumlah itu rasanya memadai mengingat sebagai negara berkembang banyak hal lain yang ingin kita capai dalam waktu bersamaan. Secara proporsional, jumlah itu bisa memenuhi kebutuhan untuk biaya pendidikan.

Namun persoalannya, kega-galan kita dalam usaha pendi-dikan bukan semata-mata ka-rena masalah dana. Yang men-jadi sandungan terbesar ialah kemiskinan yang menggurita. Dalam masyarakat hete rogen, mobilisasi sosial sulit dilaku-kan bila kemampuan ekonomi masyarakat terlalu timpang. Sekalipun kesempatan meng-enyam pendidikan terbuka un-tuk semua, kaum miskin mem-butuhkan dananya terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pendidikan bukan-lah prioritas bagi mereka. Itu

sebabnya kita banyak melihat anak gelandangan dan putus sekolah sebelum tamat sekolah dasar (SD). Bahwa pendidikan bukan prioritas dibuktikan dengan jumlah tenaga kerja yang separuhnya berpendidik-an kurang dari SD. Bahkan di kalangan penduduk desa yang tidak lagi miskin, ada anggapan tamat SMP sudah memadai.

Fakta itu tidak memung-kinkan kita mengharapkan terjadinya mobilisasi sosial se-suai harapan bersama. Tentu itu berpengaruh dalam usaha me-mobilisasi kesadaran nasional. Dua hal itu rasanya berjalan seiring. Lagi pula masyarakat di mana-mana mengenal dis-kriminasi sosial.

Di lapangan kerja, misal-nya, mereka yang datang dari keluarga menengah ke atas faktanya akan lebih mudah memperoleh pekerjaan layak jika dibandingkan dengan me-reka yang datang dari keluarga miskin; sekalipun pendidikan pelamar-pelamar kerja itu se-tara. Itu menunjukkan bahwa yang disebut pendidikan tidak hanya pendidikan formal, tetapi juga yang diperoleh dari keluarga dan lingkungan atau masyarakat secara informal. Para pengambil keputusan, para ahli didik, maupun para pekerja sosial mudah-mu-dahan menyadari perlunya perhatian lebih besar kepada mereka yang ‘underprivileged’ demi percepatan tumbuhnya kesadaran sosial dan mobil-isasi sosial.

“NILAI dari se-seorang itu di-tentukan dari keberanian-

nya memikul tanggung jawab, mencintai hidup, dan peker-jaannya.” Demikian ungkap Kahlil Gibran, yang ditujukan kepada setiap pemikul dan pengemban amanat serta setiap elemen strategis bangsa dan negara supaya aktivitas yang mereka jalani bermakna.

Ajakan Gibran itu tak ubah-nya ajakan setiap penyiar atau pengampanye kebenaran yang dialamatkan kepada pilar-pilar negara. Komunitas elite negeri ini memang wajib terus dipan-tau dan diingatkan agar peran dan tugas (amanat) yang me-reka jalani tidak disimpangkan dan disalahgunakan.

Penyiar dan pengampanye kebenaran yang seperti Gibran di negeri ini banyak. Mereka sudah sering mengingatkan para elite negara, misalnya, bahwa Indonesia banyak di-huni oleh pemimpin yang suka berdusta atau ‘menghalalkan’ ketidakjujuran.

Kritik yang dilontarkannya itu sudah terbilang radikal. Sebab, bobot kritiknya bersub-stansikan eksaminasi moral, politik, dan keagamaan yang menempatkan pemimpin Indonesia sebagai komuni-tas elitis yang tak sedikit di antaranya sibuk menjalankan dan memproduksi peran yang mengeliminasi kebermaknaan. Ironisnya lagi, para elite itu pun tak sedikit yang berlisan sangat fasih mengampanyekan urgensi dan kebermaknaannya amanat kekuasaan. Namun dalam kenyataannya, mereka menunjukkan sisi paradoksal, menjadi pelawan dan pem-bangkang kebenaran.

Lebih keras dari Gibran, kritik yang sejatinya tak ber-beda juga disampaikan oleh

Nietzhe, yang menyebut bahwa Tuhan sedang mati. Apa yang disampaikan filsuf itu dapat ditafsirkan secara hermeneutik, bahwa kematian Tuhan bisa dii-dentikkan sebagai bentuk kritik fundamental terhadap realitas kehidupan negara yang sedang salah jalan akibat pemimpin-nya yang memainkan peran tanpa makna (meaningless). Para pemimpinnya yang sibuk menahbiskan kepemimpin-an sesuka hati, liberalistis, dan rentan mengakrabi kom-promisme dengan berbagai bentuk perilaku antagonistis dan disnormativitas layak dika-tegorikan sebagai pemimpin ambiguitas dan pemberani dalam mendesain dirinya menjadi zombi atau mayat hidup yang mengabdi kepada ketidakadilan, ketidakjujuran, dan ketidakmanusiawian.

Kerusakan di masyarakat yang sangat parah, mulai dari dunia pendidikan, budaya, politik, dan hukum, misal-nya, merupakan bagian dari jenis penyakit yang sejatinya menuntut masyarakat dan ne-gara untuk mencarikan obat yang bersifat mujarab.

Di negara ini pun demikian. Problem ideologis dan teologis bisa saja muncul dan marak terjadi ketika berbagai bentuk penyakit dari waktu ke waktu semakin berkembang dan sulit dikendalikan, yang semuanya itu berakar dari gaya kepemim-pinan bercorak zombi.

Itu menunjukkan bahwa tidak mudah menciptakan tata dunia (Indonesia) yang mantap karena badai pastilah menghadang dan menerjang siapa pun yang berobsesi dan beraksi mewujudkannya, di

saat para pemimpin yang ide-alnya berdiri di garis depan justru masih melestarikan dan menguatkan praktik pembusu-kan di mana-mana.

Badai kegelapan dan banyak keprihatinan akan terus lahir dan subur di tengah masyarakat yang pemimpin atau elemen strategis negaranya lebih me-menangkan kejahatan di atas kebenaran, atau kebenaran di-jadikan bahan permainan dan dagelan. Badai kekacauan akan sulit dibendung di tegah kehidup-an masyarakat yang suka me-ngalahkan ke-adilan, atau menjadikan k e a d i l a n s e k a d a r n y a n y i a n kosong.

S u a t u saat, masya-r a k a t b i s a m e n u n j u k -kan kemarah-an be sarnya jika ke adilan terus-menerus dilukai dan dijadikan objek per-mainan. Masyarakat pun bisa menjadi zombi yang melakukan berjenis-jenis kekerasan atau aksi ekstremisme, manakala dirinya sudah frustrasi menghadapi elite p e m i m p i n yang menun-jukkan imu-nitas terhadap ajakan penyiar

kebenaran seperti Gibran.Kalau sudah begitu, seperti

kata Martin Luther, ”Hanya kaum bajinganlah yang berun-tung, karena kaum bajingan merupakan perekayasa atau penghancur yang licik, keji, dan mudah menyebarkan tipu mus-lihat.” Yang menjadi pahlawan bukanlah penyebar kebenaran, tetapi gerombolan penyeling-

kuh kekuasaan atau para zombi yang menjadi instrumen opor-tunis yang membarterkan ke-pentingan strategis negara.

Memang, menegakkan kon-struksi negara atau masyarakat yang berjiwa fi tri (tata dunia baru), yang di dalamnya sarat penegakan dan pembumian nilai-nilai keadaban, demokrat-isasi, dan keadilan tidaklah segampang membalik telapak tangan. Akan tetapi, wajib ada upaya sungguh-sungguh yang ditunjukkan oleh setiap pelaku

sejarah atau elemen bangsa untuk berjuang menegak-

kan dan mewujudkan-nya.

Selain upaya sung-guh-sungguh itu, ada pula beragam dan akumulasi tan-tangan yang poten-sial menghadang dan menjegal pem-bentukan tata du-

nia baru, terutama mereka yang merasa

tidak diuntungkan de-ngan gerakan-gerakan

pembaharuan. Mereka ten-tulah mengumpulkan atau mengolaborasi-kan segenap kekuatan, menebar jurus, atau

menyusun strategi yang ditargetkan bisa menciptakan

badai guna meng-hambat strategi

membangun tata dunia

baru.Seba-

gai con-toh, ketika

Nabi Muhammad SAW beru-saha menawarkan dan memba-ngun tata dunia baru, berbagai bentuk tantangan silih ber-ganti mengujinya. Kekuatan-kekuatan sosial, politik, agama, budaya, dan ekonomi, yang tidak menyukai dan antipati terhadap gerakan pembaha-ruan yang dilancarkan oleh Nabi, silih berganti berusaha menghadirkan duri atau men-ciptakan badai besar yang mengakibatkan penderitaan kemanusiaan.

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu, dan juga sungguh-sungguh kamu akan men-dengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan orang-orang yang me-nyekutukan Allah, gangguan yang banyak dan menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS Ali Imran: 186).

Ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam hidup ini akan banyak ujian yang harus diha-dapi oleh setiap penyiar kebe-naran atau pelaku sejarah yang berobsesi membangun dan mewujudkan tata dunia baru. Berbagai bentuk penyalahgu-naan kekuasaan yang terus saja tumbuh subur dan semakin berdaulat adalah wujud ujian riil bagi bangsa ini, yang justru bersumber dari elite pemimpin yang sebenarnya berkewajiban memberikan keteladanan da-lam penyebaran dan pembu-mian doktrin adiluhung.

Sudah cukup banyak dan sering di antara komunitas pemimpin negeri ini jadi peng-hafal wahyu dan penyiar ke-

benaran, tetapi mereka tidak berkeinginan kuat untuk mengaplikasikannya. Mereka hanya pintar berdalil, tetapi dalilnya tidak menjadi spirit yang mengawal perilakunya. Mereka mampu menduduki jabatan dengan segala fasilitas istimewa, tetapi mereka suka menipu rakyat demi mengail keuntungan berlaksa.

Mereka itu telah mengemas atau mendesain konstruksi kekuasaan sekadar sebagai kendaraan untuk mengisi dan memperbanyak pundi-pundi kekayaan, meski demi kese-rakahan itu hak-hak orang miskin dikorbankan. Mereka sangat rajin jadi pengumpul dan pengepul kekuatan politik, bukan demi menyejahterakan rakyat, melainkan demi me-ngalirkan dana ilegal ke partai dan para kroni. Mereka lebih suka menjatuhkan opsi seba-gai ‘mayat hidup’ daripada menjadi sosok pelaku sejarah yang berkepribadian cerdas dan berintegritas.

Rakyat lebih sering dihadap-kan pada pentas drama politik, ekonomi, dan hukum yang sarat pemalsuan dan penipuan. Dalam pentas ini, komunitas elite menunjukkan atraksi ser-barekayasa atau menyuguhkan gaya ambiguitas. Di satu sisi seolah negeri ini akan dengan mudah disterilkan dari berba-gai bentuk virus penyalahgu-naan kekuasaan, rakyat diper-cepat menemukan atmosfer kemakmuran atau pemerataan ekonomi, rakyat akan men-dapatkan garansi perlakuan yang berbasis kesederajatan dan keadilan, serta berbagai bentuk pola ‘pemanusiaan ma-nusia’ atau hidup berkeadaban makro. Padahal, di sisi lain, apa yang ditunjukkan ialah cermin wajah semu dan paradoksal. Semoga kondisi paradoks ini tidak terus semakin berdaulat.

Negeri para Zombi

Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP).PARTISIPASI OPINI

M Bashori Muchsin Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

nb

28 JUMAT, 25 NOVEMBER 2011OPINI

Para pengambil keputusan, para

ahli didik, maupun para pekerja sosial mudah-mudahan menyadari perlunya perhatian lebih besar kepada mereka yang ‘underprivileged’ demi percepatan tumbuhnya kesadaran sosial dan mobilisasi sosial.”

Mobilisasi Sosial dan Kesadaran Nasional

MI/ SUMARYANTO

Toeti AdhitamaAnggota Dewan Redaksi Media Group

317526, Pekanbaru: Bambang Irianto 081351738384.Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Tele-pon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirku-lasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Per cetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Reke ning Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Su dir man: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Pur nama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Se latan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Per-cetakan: Media In do nesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Web-site: www.mediaindo nesia.com,

DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WAR-TAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DI PERKENANKAN MENERIMA ATAU ME-MINTA IMBALAN DE NGAN ALASAN APA PUN

Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)Direktur Utama: Rahni Lowhur-SchadDirektur Pemberitaan: Saur M. HutabaratDirektur Pengembangan Bisnis: Alexander StefanusDewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra-djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo-pratomo, Toeti AdhitamaRedaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu-tabaratDeputi Direktur Pemberitaan: Usman KansongKepala Divisi Pemberitaan: Kleden SubanKepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius SuhardiDeputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul KoharSekretaris Redaksi: Teguh NirwahyudiAsisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.SihombingAsisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto

Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kuste dja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mo-chamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, SoelistijonoStaf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Aryo Bhawono, Asep Toha, Asni Harismi, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Cornelius Eko, Denny Parsaulian Si-naga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mu tiah, Dwi Tu pa ni Gunarwati, Edwin Tirani, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anuge rah, Fardi an sah Noor, Fidel Ali Permana, Gino F. Hadi, Heru Prih mantoro, Heryadi, Iis Zatnika, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Su mantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, M. Soleh, Mirza Andreas, Mo hamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Panca Syurkani, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sidik Pra mo no, Siswantini Sur-yandari, Sitriah Hamid, Su geng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumar-yanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Tha latie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Vini Mariyane Rosya, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zu baedah Hanum

Biro Redaksi: Dede Susianti (Bogor) Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Palembang); Parulian Manulang (Pa-

dang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)

MICOMAsisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. NababanRedaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso, Yulius MartinusStaf Redaksi: Heni Raha yu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Rita Ayuningtyas, Yulia Permata Sari, Wisnu Arto SubariStaf: Abadi Surono, Abdul Salam, Budi Haryanto, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gus-tiawan, Widjokongko

DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING)Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica HuwaeRedaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe, Regina Panon-tongan Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia No velia, Rahma Wulandari

CONTENT ENRICHMENTAsisten Kepala Divisi: Yohanes S. WidadaPeriset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Aam Firdaus, Adang Is-

kandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto

ARTISTIKRedaktur: Annette Natalia, Donatus Ola Pereda, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata AreadiStaf Redaksi: Ali Firdaus, Ami Luhur, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Aria Mada, Bayu Aditya Ramadhani, Bayu Wicaksono, Briyan Bodo Hendro, Budi Setyo Widodo, Dedy, Dharma Soleh, Endang Mawardi, Fredy Wijaya, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haris Imron Armani, Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Su tisna, Novi Her-nando, Nurkania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi

Olah Foto: Saut Budiman Marpaung, Sutarman.

PENGEMBANGAN BISNISKepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful BachriKepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Su-jiyonoAsisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: Joseph (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Sema-rang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yu dhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711)

SENO