jurnal dr rustam

27
BAB I PENDAHULUAN Pertusis atau batuk rejan atau batuk seratus hari merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertussis (Cherry, 2013). Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi (Urwyler dan Heininger, 2014). Terdapat 20 sampai 40 juta kasus pertusis di seluruh dunia setiap tahunnya (Wall, 2011). Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju. Namun setelah digalakannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun masih ada namun jumlah kasusnya tidak signifikan (Thollot et al, 2014). 1

Upload: anindita-ratna-gayatri

Post on 28-Jan-2016

249 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal dr rustam

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Dr Rustam

BAB I

PENDAHULUAN

Pertusis atau batuk rejan atau batuk seratus hari merupakan salah satu

penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun

1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella

pertussis (Cherry, 2013).

Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan

anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa

masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada

bayi atau anak yang belum diimunisasi (Urwyler dan Heininger, 2014). Terdapat

20 sampai 40 juta kasus pertusis di seluruh dunia setiap tahunnya (Wall, 2011).

Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena

menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian

dari negara maju. Namun setelah digalakannya vaksinasi untuk pertusis, angka

kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan

teknologi pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun masih ada namun

jumlah kasusnya tidak signifikan (Thollot et al, 2014).

Dengan mendiagnosis secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto rontgen, dan pemeriksaan penunjang

lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan

cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang

lebih lanjut (Cherry, 2013).

1

Page 2: Jurnal Dr Rustam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent

cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali

menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih

disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang

terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk

yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran

nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang

belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun (Lam et al

2014; Srugo et al, 2000).

Pertusis adalah penyakit infeksi pada saluran napas yang disebabkan oleh

bakteri Bordetella pertussis yang terjadi melalui 3 tahap yaitu tahap catarrhal,

paroxysmal dan convalescence (Gilley, 2014).

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian

pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang

600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang

tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program

imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun (Gouw et

al, 2014; Wolf et al, 2014).

B. Angka Kejadian

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia

ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.

Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama

kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika

Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75

persen adalah anak kurang dari 5 tahun (Cashmore et al, 2013; Wolf et al, 2014).

2

Page 3: Jurnal Dr Rustam

Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4

tahun. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga

lainnya. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober.

Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-

5 tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa

perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1.

Namun pada kenyataannya perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki

menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan

tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%

(Cashmore et al, 2013; Clark, 2014).

Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis.

Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan

pertussis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur

rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak

berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin

pertusis mulai digunakan secara luas (Srugo et al, 2000).

Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk

mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus

dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat

menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat

menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan negatif

setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau

vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan

terhadap penyakit ini jika terpajan (Clark, 2014).

C. Etiologi

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus

pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus

respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis

ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak

3

Page 4: Jurnal Dr Rustam

kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori

memanjang (batuk rejan).

Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil

dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak

bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis

dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou. Ada enam spesies dari

Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B.

holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen

yang paling umum ditemukan pada manusia (Murray et al, 2013).

Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang

tinggi pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk

menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis

yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama.

Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14

aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis

dan sesuai waktu (Murray et al, 2013).

B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak

sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca

penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen

(terutama FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang

disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia

saluran pernapasan (Berger et al, 2013).

Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat

pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat

siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang

menghasilkan gejala pernafasan dan mempermudah penyerapan TP.

TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas

histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan

manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang

percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP

4

Page 5: Jurnal Dr Rustam

tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis

(Hoo et al, 2014; Murray et al, 2013).

D. Patogenenis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis

infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,

perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan

akhirnya timbul penyakit sistemik.

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor

(LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan

Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis

kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran

napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia.

Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang

akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough (Lam et al,

2014).

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena

pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub

unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan

subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF

menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek

mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi

perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan

mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta

adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan

konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka

fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder

(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus

5

Page 6: Jurnal Dr Rustam

aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan

obstruksi dan kolaps paru (Hoo et al, 2014).

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi

pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan

pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh

langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila

sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek

antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya

menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertussis.

E. Gejala Klinis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan

penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam

waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,

trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.

Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.

Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan

(Srugo et al, 2000).

1. Tahap Kataral

Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah

terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan:

Bersin-bersin

Mata berair

Nafsu makan berkurang

Lesu

Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi

sepanjang hari)

2. Tahap Paroksismal

Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala

awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada

6

Page 7: Jurnal Dr Rustam

tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya

ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di

hidungnya).

Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah.

Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat

sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi

dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.

3. Tahap Konvalesen

Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk

semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih

baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi

saluran pernafasan.

F. Diagnosis

1. Anamnesis

Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala

klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit

dahulu, dan riwayat imunisasi.

2. Pemeriksaan fisik

Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari

stadium saat pasien diperiksa.

3. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-

50,000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral

dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak

menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi

pada infeksi lain.

Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat

diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium

paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk

waktu berikutnya.

7

Page 8: Jurnal Dr Rustam

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk

menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat

dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT.

Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik

disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes

yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak

tampak setelah pertussis (Beaman et al, 2014).

4. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat

perihiler, atelektasis atau emfisema.

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,

pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang

menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.

Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan

laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi

biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi

dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat

menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman

penyebab (Campbell et al, 2014).

G. Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati

keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi,

istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas

adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang

mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi,

dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang

akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan

ini disempurnakan dalam 48-72 jam.

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor

terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan

8

Page 9: Jurnal Dr Rustam

oleh personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan

pemberian makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian

keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda

sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak

biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir

paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir

paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi

bukan tidak berespons (Berger et al, 2013).

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan

faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi,

oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan

lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa

agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis

adalah sebagai berikut:

1. Agen Antimikroba

Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau

diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran

infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi

empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan

baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat

dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang

diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan

dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat

diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis

menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin,

Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup

aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian

klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.

pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang

terbukti.

2. Salbutamol

9

Page 10: Jurnal Dr Rustam

Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup

pengurangan gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol

(albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh

manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan

dengan aerosol memicu paroksismal.

3. Kortikosteroid

Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan

untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen

pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang

bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan

pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak

dibenarkan.

H. Pencegahan

1. Imunisasi aktif :

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang

seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan

menyediakan toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika

pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada

waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7

tahun tidak rutin diimunisasi (Gilley dan Goldman, 2014; Lam et al, 2014).

Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama

adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan

sebagai sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin

pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi

diantara orang dewasa yang terpapar.

Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi

umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan

sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps,

hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya

kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg

10

Page 11: Jurnal Dr Rustam

BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72

jam.

Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit

panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis,

riwayat kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death

Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah

kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian

vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum

imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum

imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau

hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan

40.5 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis (Thollot et al, 2014).

2. Kontak dengan penderita :

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru

lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi

dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang

telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.

Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi

eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-

gejala penyakit.

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum

mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari

sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan,

eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat

eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin

diberikan pada waktu terjadi epidemi (Thampi et al, 2015).

I. Komplikasi

1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.

11

Page 12: Jurnal Dr Rustam

2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada

anak-anak B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder

(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).

3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.

4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang

kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.

5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.

6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema

interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan

menetap.

7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.

8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat

menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,

perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia

inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi.

9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia

serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang

dapat disebabkan oleh temperatur tinggi.

10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap

Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH).

J. Prognosis

Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000

kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004

di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua).

Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah

tulang rusuk sampai 4%. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan

pneumonia atau komplikasi paru-paru lain (Cherry, 2013). Pada beberapa

penelitian disebutkan bahwa pasien dengan angka leukosit yang tinggi memiliki

prognosis yang buruk (Paksu, 2013).

12

Page 13: Jurnal Dr Rustam

13

Page 14: Jurnal Dr Rustam

BAB III

SIMPULAN

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough adalah batuk yang

sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas

akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum

diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia

ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.

Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama

kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika

Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75

persen adalah anak kurang dari 5 tahun.

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus

pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus

respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis

ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak kecil yang

ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang, ”

batuk rejan”.

Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik minotil kecil

dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak

bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis

dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou. Bordetella pertussis

menghasilkan toksin pertusiss (TP). TP terbukti mempunyai banyak aktifitas

biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit),

beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit.

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis

infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,

14

Page 15: Jurnal Dr Rustam

perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan

akhirnya timbul penyakit sistemik.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka

fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder

(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus

aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan

obstruksi dan kolaps paru.

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan

penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam

waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,

trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.

Perkembangan penyakit melalui 3 tahapan yaitu kataral, paroksismal, dan

konvalesen. Pada tahap paroksismal mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah

timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam

dengan pada tinggi.

15

Page 16: Jurnal Dr Rustam

DAFTAR PUSTAKA

Beaman MH, Karimi M, Hodge M, Keil AD, Campbell P (2014). Diagnosis of Pertussis Using Nasopharyngeal IgA and Polymerase Chain Reaction in Specimens from Outpatients in Australia. Eur J of Microb and Immunol 4: 177–183

Berger T, John, Joseph A. Carcillo, Thomas P. Shanley, David L. Wessel, Amy Clark, Richard Holubkov, Kathleen L. Meert, Christopher J.L.Newth, Robert A. Berg, Sabrina Heidemann, Rick Harrison, Murray Pollack, Heidi Dalton, Eric Harvill, Alexia Karanikas, Teresa Liu, Jeri S. Burr, Allan Doctor, Michael Dean, Tammara L. Jenkins, Carol E. Nicholson, (2013). Critical Pertussis Illness in Children, A Multicenter Prospective Cohort Study. Pediatr Crit Care Med. 2013 May ; 14 (4)

Campbell H, Amirthalingam G, Fry NK, Litt D, Harrison TG, Wagner K, Crowcroft NS, Miller E (2014). Oral Fluid Testing for Pertussis, England and Wales, June 2007–August 2009. Emerg Inf Dis 20 ( 6): 968-75

Cashmore W. Aaron, David J Muscatello, Alistair Merrifield, Paula Spokes, Kristine Macartney, and Bin B Jalaludin (2013). Relationship between the population incidence of pertussis in children in New South Wales, Australia and emergency department visits with cough: a time series analysis. BMC Medical Informatics and Decision Making. Available at http://www.biomedcentral.com/1472-6947/13/40

Cherry JD (2012). Epidemic Pertussis in 2012- The Resurgence of a Vaccine-Preventable Disease. NEJM 367 (9): 785-787

Cherry JD (2013) Pertussis: Challenges Today and for the Future. PLoS Pathog 9(7): e1003418

Clark A. Thomas (2014). Changing Pertussis Epidemiology: Everything Old is New Again. The Journal of Infectious Diseases 2014; 209:978–81

Gentile, Angela, Viviana S, Maria D, Maria F, Maria D, Alicia S (2014). Epidemiology of bordetella pertussis in a children’s hospital. Arch Argent Pediatr 112 (1): 26-32

Gilley M dan Goldman RD (2014). Protecting infants from pertussis. Canad Fam Phys (60): 138-40

Gouw D, Serra DO, Jonge MI, Hermans P, Wessels H, Zomer A, Yantorno OM, Diavatopoulos DO, Mooi FR (2014). The vaccine potential of Bordetella pertussis biofilm-derived membrane proteins. Emerg Microb and Inf 3: e58

16

Page 17: Jurnal Dr Rustam

Hoo R, Lam JH, Huot L, Pant A, Li R, Hot D, Alonso S (2014). Evidence for a Role of the Polysaccharide Capsule Transport Proteins in Pertussis Pathogenesis. PLoS one J. (10) 1371: 1-31

Klein, Nicola P, Joan Bartlett, Ali Rowhani-Rahbar, Bruce F, Roger B (2012). Waning protection after fifth dose of acellular pertussis vaccine in children.NEJM 367 (11): 1012-1019

Lam Connie, Sophie Octavia, Lawrence Ricafort, Vitali Sintchenko, Gwendolyn L. Gilbert, Nicholas Wood, Peter McIntyre, Helen Marshall, Nicole Guiso, Anthony D. Keil, Andrew Lawrence, Jenny Robson, Geoff Hogg, and Ruiting Lan (2014). Rapid Increase in Pertactin-deficient Bordetella pertussis Isolates, Australia. Emerging Infectious Diseases (20) 4: 626-633

Mughal AA, Yasmen Faiz Kazi, Syed Habib Bukhari (2011). Diagnosis of Pertussis in Vaccinated Children of Khairpur, Sindh, Pakistan by Cough Plate Method. JMID 1 (2): 68-72

Murray L. Errin, Delma Nieves, John S. Bradley, Jessie Gargas, Wilbert H. Mason, Deborah Lehman, Kathleen Harriman, and James D. Cherry6 (2013). Characteristics of Severe Bordetella pertussis Infection Among Infants 90 Days of Age Admitted to Pediatric Intensive Care Units Southern California, September 2009–June 2011. Journal of the Pediatric Infectious Diseases Society pp. 1–6, 2013. DOI:10.1093/JPIDS/PIS105

Nieves, DJ, Jasjit S, Negar A, Troy M, Felice C (2011). Clinical and Laboratory Features of Pertussis in Infants at the Onset of a California Epidemic. Journal of Pediatrics 1044-1046

Paksu, MS, Muhammet A, Adil K, Nazik A, Nursen B, Gulnar S (2013). Fulminant Pertussis in very young infants. The Turkish Journal of Pediatrics 55 (4): 426-429

Sheridan SL, Bradley J, Craig A, Jennifer M, Brynley P (2014). Acellular pertusis vaccine effectiveness for children during the 2009-2010 pertussis epidemic in Queensland. MJA 200 (6): 334-338

Srugo Issac, Daniel Benilevi, Ralph Madeb, Sara Shapiro, Tamy Shohat, Eli Somekh, Yossi Rimmar, Vladimir Gershtein, Rosa Gershtein, Esther Marva, and Nitza Lahat (2000). Pertussis Infection in Fully Vaccinated Children in Day-Care Centers, Israel. Emerging Infectious Diseases (6) 5: 526-529

Thampi N, Gurol-Urganci I, Crowcroft NS, Sander B (2015). Pertussis Post-Exposure Prophylaxis among Household Contacts: A Cost-Utility Analysis. PLoS one J. (10): 1-17

17

Page 18: Jurnal Dr Rustam

Thollot F, Scheifele D, Pankow-Culot H, Cheuvar B, Leyssen M, Ulianov M, et al (2014) Immunogenicity and Safety of a Heptavalent (Diphtheria, Tetanus, Pertussis, Hepatitis B, Poliomyelitis, Haemophilus influenzae b, and Meningococcal Serogroup C) Vaccine. Pediatr Infect Dis J. 33:1246-54

Urwyler P dan Heininger U (2014). Protecting newborns from pertussis – the challenge of complete cocooning. BMC Inf Dis 14:397

Wall, Richard, Anita B, Jason T (2011). Pertussis (Whooping Cough) Epidemiology in Waikato New Zealand 2000-2009. NZMJ 1334 (124): 1-10

Wolf R. Elizabeth, MD, MPH, Douglas Opel, MD, MPH, M. Patricia DeHart, ScD, Jodi Warren, BSNd and Ali Rowhani-Rahbar, MD, MPH, PhD (2014). Impact of a Pertussis Epidemic on Infant Vaccination in Washington State. Pediatrics 2014;134:456–464

18