jurnal kesehatan, vol. 6, no. 2, september 2014 · pdf fileefektivitas kinerja teamwork dalam...
TRANSCRIPT
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
2
JURNAL ILMU KESEHATAN
Terbit minimal 2 kali dalam setahun bulan Mei dan September, berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analisis kritis dibidang ilmu kesehatan
JUDUL JURNAL :
Jurnal Kesehatan
AIPTINAKES JATIM
JUMLAH ARTIKEL
8-10 Artikel yang terdiri dari:
Artikel dan Penelitian.
JUMLAH HALAMAN :
100 halaman (masing-masing
artikel maximum 10 halaman)
FREKUENSI TERBIT:
6 bulan sekali (kwartal)
MUIAI DITERBITKAN:
September 2011 (edisi perdana)
No. Terbitan: Volume 6, Nomor 2,
September 2014
ALAMAT REDAKSI:
Stikes Hang Tuah Surabaya,
JL. Gadung No. 1 Surabaya
KEPENGURUSAN:
Pelindung/Penasehat :
Ketua AIPTINAKES JATIM
Penanggung Jawab:
AIPTINAKES Korwil Surabaya
Ketua Dewan Redaksi:
Setiadi , MKep
Dewan Redaksi:
1. Dwi Priyantini, Skep.,Ns
2. Antonius Catur S., Mkep., Ns
Telepon/fax: (031)8411721.
Email : [email protected]
Web site:
http: adysetiadi.wordpress.com
i
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
3
DAFTAR ISI
cover dalam i
daftar isi ii
kata sambutan iii
sekapur siri iv
1. Pengaruh sanitasi pondok pesantren, higiene perorangan dan kejadian penyakit terhadap prestasi belajar santri (Agus Aan Adriansyah1)
1
2. Analisa metode citizen charter sebagai salah satu metode upaya peningkatan kualitas puskesmas sebagai primary health care (Citra Mayangsari1, Ernawaty, drg.,Mkes)
9
3. Pengaruh tetes mata fenilefrin hidroklorid 10% terhadap tekanan darah (Heru Suswojo1) 23
4. Kejadian malpraktek oleh tenaga kesehatan di Indonesia (Susman Sjarif) 31
5. Disiplin kerja karyawan (Ummi Khoiroh) 41
6. Efektivitas Kinerja Teamwork dalam Pelacakan Kasus Gizi Buruk di Puskesmas (Vinsensius Maghi1, Ummi Khoiroh2, Nyoman Anita Damayanti2)
51
7. Pengukuran efektifitas modal pelatihan dokter dan perawat berdasarkan human capital indexs meassurment menurut watson wyatt di IGD RSU Surabaya tahun 2013 (Yuddy Riswandhy Noora1, Siti Rachmawati2, Tito Yustiawan3)
56
8. Sistem informasi untuk pembangunan jangka panjang sumber daya tenaga medis, paramedis, penyuluh, dan support staff untuk wilayah terpencil di indonesia (Anindya Astrianti M., S.KM)
64
9. Pengaruh Terapi Menulis Ekspresif Terhadap Tingkat Kecemasan Siswa Kelas Xii Ma Ruhul Amin Yayasan Spmma (Sumber Pendidikan Mental Agama Allah) Turi Di Desa Turi Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan (Moh. Saifudin, M. Nur Kholidin)
71
10. Efektifitas Pelaksanaan Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Persepsi Halusinasi Terhadap Kemampuan Pasien Skizofrenia Dalam Mengontrol Halusinasi Di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya (Dya Sustrami, Sri Sundari)
81
ii
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
4
KATA SAMBUTAN Puji syukur ke hadirat Tuhan Allah SWT, karena berkat pimpinan dan ridhonya sehingga Jurnal
Kesehatan Volume 6 Nomer 2 tahun 2014 ini telah diterbitkan.
Jurnal ini disusun untuk memfasilitasi karya inovatif dosen di seluruh jawa timur untuk dipublikasikan
secara regional dalam wilayah Jawa Timur. Jurnal ini, berisikan informasi yang meliputi dunia
Kesehatan yang dipaparkan sebagai hasil studi lapangan maupun studi literatur.
Jumal ini diharapkan dapat digunakan dan memberikan banyak manfaat bagi para pembaca, untuk
peningkatan wawasan di bidang llmu kesehatan
Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi baik mengolah dan menyunting sehingga
jurnal ini dapat disusun dan diterbitkan dengan baik, kami haturkan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran yang membangan sangat kami harapkan untuk
kemajuan Jurnal ini di masa yang akan datang.
Surabaya, September 2014
KETUA AIPTINAKES SURABAYA,
iii
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
5
Sekapur Sirih dari Redaksi Puji syukur patut kami panjatkan Allah SWT untuk segala kebaikan yang telah Ia perbuat bagi kami sehingga Jurnal Kesehatan Volume 6 Nomer 2 bulan September, Tahun 2014 ini dapat diterbitkan. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada sahabat-sahabat kami Dosen Kesehatan yang sudah dengan suka rela mengirimkan tulisan ilmiah berupa penelitian, maupun artikel untuk dapat disajikan dalam Jurnal ini. Di tengah kesibukan redaksi dalam menjalankan tugas masih tersisih waktu untuk menyelesaikan sebuah "proyek" mewujudkan impian, Memang tidak mudah untuk memulai sesuatu, dimana budaya menulis belum begitu kental di kalangan akademisi. Perlahan namun tersendat adalah istilah yang patut kami cuplik sebagai ungkapan betapa susahnya merealisasikan sebuah terbitan ilmiah. Tentu, sesuatu hal yang baru dimulai adalah jauh dari sempurna. Apabila pembaca mendapati begitu banyak kekurangan, kesalahan dan ketidak tepatan baik mulai dari teknis penulisan, materi maupun penyuntingan, mohon dimaafkan dan mohon koreksi disampaikan kepada kami. Kami merentangkan tangan untuk menerima semua masukan demi kesempumaan terbitan Jurnal Kesehatan Nomer berikutnya. Semoga terbitan Jurnal Kesehatan Volume 6 Nomer 2 tahun 2014, ini merupakan langkah awal untuk sebuah kemajuan di Pendidikan Kesehatan. Semoga pada terbitan berikutnya kami dapat menyajikan tulisan ilmiah yang lebih baik lebih bermutu dan memenuhi harapan para pembaca. Di sisi lain, kami ingin menghimbau kepada sahabat-sahabat kami para dosen untuk memberanikan diri menulis karya ilmiah agar dapat diterbitkan pada Jural Kesehatan selanjutnya. Akhir kata, kami ingin menitipkan sebuah moto: “MARI MENULIS". Surabaya, September 2014 Dewan Redaksi
iv
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
6
PENGARUH SANITASI PONDOK PESANTREN, HIGIENE PERORANGAN DAN
KEJADIAN PENYAKIT TERHADAP PRESTASI BELAJAR SANTRI
Agus Aan Adriansyah1
1Mahasiswa Magister Manajemen Kesehatan
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya
Email: [email protected]
ABSTRACT
Study achievement especially for religious pupil in an environment of a Islamic boarding school is very
important to be continuously increased. In the implementation there is some factors that influences namely
internal and external factors. Internal factor comprises of personal hygiene and disease incidence. External
factor comprises of Islamic boarding school sanitation. This research was held in Sunan Drajat of Islamic
Boarding School, Banjaranyar, Paciran, Lamongan. This research was analitic study that held observationally
with cross sectional design and used quantitative approach. This research purposed to know the influence of
sanitation condition of islamic boarding school sanitation, personal hygiene and disease incidence, to study
achievement of religious pupil. Sample in this research was male religious pupil of Sunan Drajat Islamic
Boarding School with MTS level of education. Sample numbers were 97 religious pupil that was collected from
population with proportional random sampling. Variable test held using multiple linear regression analysis
method. The result of this research namely sanitation variable has p value = 0,000. The variable of personal hygiene has p value = 0,936. The variabel of disease incidence has p value = 0,143. From research result,
variable that has influence on religious pupil’s study achievement was sanitation variable of Islamic Boarding
School. Therefore, it is necessary to increase the quality and quantity of islamic boarding Sschool sanitation to
increase the study achievement of religious pupil.
Keywords : sanitation of Islamic boarding school, personal hygiene, disaster, achievement
ABSTRAK
Prestasi belajar khususnya untuk santri di lingkungan pondok pesantren sangatlah penting untuk selalu
ditingkatkan. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi higiene perorangan santri dan kejadian penyakit. Faktor eksternal
meliputi kondisi sanitasi pondok pesantren. Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Sunan Drajat,
Banjaranyar, Paciran, Lamongan. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang dilakukan secara
observasional dengan rancang bangun cross sectional dan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kondisi sanitasi pondok pesantren, higiene perorangan
santri dan kejadian penyakit terhadap prestasi belajar santri. Sampel dalam penelitian ini merupakan santri putra
Pondok Pesantren Sunan Drajat dengan pendidikan MTs. Jumlah sampel sebanyak 97 santri yang diambil dari
populasi dengan cara proportional random sampling. Pengujian variabel dilakukan dengan menggunakan
metode analisis regresi linear berganda. Hasil yang didapat pada penelitian ini yaitu variabel sanitasi pondok
pesantren memiliki nilai p = 0,000. Variabel higiene perorangan santri memiliki nilai p = 0,936. Variabel
kejadian penyakit memiliki nilai p = 0,143. Dari penelitian ini, variabel yang berpengaruh terhadap prestasi belajar santri variabel sanitasi pondok pesantren. Oleh sebab itu, dibutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas
dari sanitasi pondok pesantren untuk meningkatkan prestasi belajar santri.
Kata kunci : sanitasi pondok pesantren, higiene perorangan, penyakit, prestasi
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
7
PENDAHULUAN
Perkembangan jaman yang semakin
modern terutama pada era globalisasi seperti
sekarang ini menuntut adanya sumber daya
manusia yang berkualitas tinggi. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia merupakan
prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan
pembangunan. Salah satu wahana untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia
tersebut adalah pendidikan. Pendidikan adalah
usaha sadar untuk menumbuh-kembangkan
potensi sumber daya manusia melalui kegiatan
pengajaran.
Dalam tujuan untuk menciptakan atau
menyiapkan peserta didik agar mempunyai
kemampuan untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, salah satu usaha
yang digunakan adalah meningkatkan prestasi
belajar siswa. Prestasi belajar merupakan tolok
ukur yang utama untuk mengetahui
keberhasilan belajar seseorang.
Menurut ungkapan yang disampaikan
oleh Dra. Mardien Suprapti S.Psi., Psikolog
Batam Medical Centre, Pencapaian prestasi
bukan semata ditentukan oleh intelegensi anak
saja tapi banyak juga faktor lain sebagai
pemicunya. Faktor yang berperan sebagai
pemicu penurunan prestasi anak sebenarnya
dibedakan menjadi dua yakni faktor internal dan
eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri
anak itu sendiri. Sementara faktor eksternal
berasal dari pergaulan di sekolah, lingkungan
rumah atau teman bermain atau bisa juga akibat
kondisi keluarga yang kurang kondusif
(Muhdar, 2008).
Aspek tingkatan sebuah prestasi belajar
yang dicapai dapat dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor baik secara langsung maupun
tidak langsung seperti masalah sanitasi
lingkungan, higiene perorangan dan timbulnya
suatu penyakit maupun status kesehatan yang
dapat mempengaruhi pencapaian sebuah
prestasi belajar.
Lingkungan merupakan suatu kom-
ponen sistem yang ikut menentukan
keberhasilan proses pendidikan. Dalam
penelitian ini kondisi lingkungan tempat tinggal
(asrama pondok sebagai tempat tinggal)
menjadi perhatian karena faktor ini sangat dekat
dengan kehidupan sehari-hari siswa yang sangat
berpengaruh terhadap prestasi belajar. Kondisi
lingkungan sekitar yang didukung dengan
higiene perorangan yang buruk, yang juga
merupakan faktor dari dalam diri siswa, akan
menyebabkan mudah untuk terserang penyakit,
menurunnya kebugaran jasmani siswa dan akan
berimbas pada menurunnya motivasi dan daya
konsentrasi belajar sehingga berdampak pada
penurunan prestasi belajar jika hal ini terjadi
berulang-ulang.
Oleh karena itu, perlu diadakan penilaian
untuk menggambarkan sanitasi pondok
pesantren dan higiene perorangan santri di
Pondok Pesantren Sunan Drajat, Banjaranyar,
Paciran, Lamongan. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh dari kondisi sanitasi
pondok pesantren dan higiene perorangan santri
di pondok pesantren tersebut serta timbulnya
berbagai penyakit terhadap prestasi belajar
santri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
analitik yang dilakukan secara observasional
dengan rancang bangun cross sectional dan
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh dari beberapa variabel independent
terhadap variabel dependent. Variabel
independent yang diteliti meliputi kondisi
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
8
sanitasi pondok pesantren, higiene perorangan
santri dan kejadian penyakit. Sedangkan
variabel dependent yang diteliti adalah prestasi
belajar santri, yang diukur dari nilai raport santri
dari 4 mata pelajaran UNAS yaitu Bahasa
Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA.
Sampel dalam penelitian ini merupakan santri
putra Pondok Pesantren Sunan Drajat dengan
pendidikan MTs. Jumlah sampel sebanyak 97
santri yang diambil dari total populasi santri
MTS putra dengan cara proportional random
sampling. Data diperoleh dari data primer dan
data sekunder.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penilaian Higiene Perorangan Santri
Secara keseluruhan mengenai tingkat
higiene perorangan santri dari seluruh
responden yang meliputi frekuensi mandi,
penggunaan sabun dan handuk, kebiasaan
keramas, kebiasaan cuci tangan, kebiasaan sikat
gigi, kebersihan pakaian, potong kuku, olahraga
dan lama istirahat, termasuk dalam kategori
cukup baik sepert dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 1. Tingkat Higiene Santri
No. Higiene Santri Jumlah Persentase
1.
2.
3.
Kurang
Cukup
Baik
5
86
6
5,2
88,7
6,2
Total 97 100,0
Berdasarkan pada tabel diatas dapat
dilihat bahwa dari seluruh responden yang
paling banyak adalah responden yang memiliki
higiene perorangan yang cukup baik dengan
jumlah 86 responden (88,7%).
Sedangkan santri yang lainnya masih ada
yang memiliki higiene perorangan yang kurang
baik. Diantaranya adalah dalam kaitannya
kebiasaan mandi yaitu sebesar 46,4% santri
menggunakan sabun mandi yang juga kadang-
kadang dipakai oleh santri lainnya dan 19,6%
menyatakan sabun mandinya juga selalu dipakai
santri lainnya. Disamping itu, sebesar 37,1%
santri menggunakan handuk yang juga kadang-
kadang dipakai oleh santri lainnya dan 26,8%
menyatakan handuknya juga selalu dipakai
santri lainnya. Kemudian hal yang lain adalah
kebiasaan dalam menumpuk pakaian kotor dan
kebiasaan tidur yang kurang baik.
Oleh sebab itu, masih perlu untuk selalu
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat di
kalangan para santri untuk menurunkan angka
terjadinya kesakitan yang lebih disebabkan oleh
higiene perorangan. Seperti halnya santri yang
menderita penyakit kulit setiap bulannya selalu
menunjukkan angka kejadian yang tinggi.
Sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap
aktivitas santri sehari-hari terutama dalam
belajar di pondok pesantren.
2. Penilaian Sanitasi Lingkungan Pondok
Pesantren
Secara keseluruhan total skor dari
kondisi sanitasi lingkungan Pondok Pesantren
Sunan Drajat, Banjaranyar, Paciran, Lamongan,
yang meliputi kondisi bangunan asrama,
penyediaan air bersih, kamar mandi dan WC,
Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL),
sistem pengelolaan sampah, kondisi kamar
santri dan kondisi tempat belajar masuk dalam
kategori cukup baik.
Akan tetapi, perlu ditingkatkan lagi
dalam hal penyediaan fasilitas sanitasi dasarnya
dan selalu dilakukan perawatan agar tidak
menjadi kotor dan tidak terawat sehingga
mengakibatkan banyaknya bibit penyakit yang
berkembang biak ditempat tersebut. Dengan
kondisi kesehatan sanitasi lingkungan yang
baik, risiko kesehatan dan risiko lainnya akan
bisa dihindari. Hampir 80% penyakit yang ada
di pondok pesantren diakibatkan oleh kondisi
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
9
kesehatan lingkungan yang tidak baik. Kondisi
yang baik juga akan meningkatkan estetika
pondok pesantren tersebut (Dinkes Jatim, 2008).
3. Identifikasi Kejadian Penyakit
Dari hasil pengamatan di Pondok
Pesanten Sunan Drajat, diketahui bahwa masih
banyaknya angka kejadian sakit yang dialami
santri khususnya yang terdata pada data
kunjungan berobat di klinik pondok. Pada
umumnya, kejadian sakit yang dialami santri
terutama berkaitan dengan higiene perorangan
yang buruk dan ditambah dengan kurang
baiknya kondisi sanitasi lingkungan pondok.
Dari data yang diperoleh pada klinik
pondok, didapatkan 14 jenis penyakit yang
sering diderita oleh santri putra MTs yang
menjadi responden seperti yang tercantum pada
tebel berikut ini. Penyakit-penyakit tersebut
diantaranya penyakit kulit, dan yang paling
dominan serta yang sering dialami santri adalah
penyakit scabies dengan frekuensi kejadian
tertinggi selama 3 bulan terakhir pendataan
mulai bulan April, Mei dan Juni dengan
kejadian 24 kali (25,5%). Selanjutnya penyakit
Gastritis dan ISPA yang sering terjadi dengan
frekuensi terbanyak kedua dan ketiga dengan
persentase masing-masing sebesar 21,3%.
Tabel 2. Jenis Penyakit yang Terjadi
No. Jenis Penyakit Frekuensi Persentase
1.
2.
3. 4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Anemia
Bisul
Comuncol Dermatitis
Febris
Gastritis
ISPA
Konjungtivis
Periodentitis
Scabies
Tonsilitis
Trauma
Typhus
Varicella
4
1
3 6
1
20
20
4
2
24
2
2
4
1
4,3
1,1
3,2 6,4
1,1
21,3
21,3
4,3
2,1
25,5
2,1
2,1
4,3
1,1
Total 94 100,0
Menurut hasil yang didapat, kejadian
penyakit beserta interaksinya dari para santri di
pondok pesantren termasuk dalam kategori
cukup baik. Hal ini dijelaskan dengan daya
respon maupun daya tanggap santri serta
aktivitas santri saat sedang mengalami sakit.
Pada umumnya para santri masih tetap
melakukan aktivitas seperti biasa walaupun
terkadang intensitasnya sedikit berkurang. Sama
halnya dengan kegiatan belajar, meskipun ada
yang merasa tidak terganggu, tidak sedikit para
santri yang merasa terganggu dengan sakit yang
diderita.
4. Penilaian Prestasi Belajar Santri
Prestasi belajar santri dapat dilihat dari
nilai raport yang diperoleh diakhir ujian setiap
semesternya. Nilai mata pelajaran yang
biasanya dipergunakan untuk penilaian tingkat
kelulusan (UNAS) diantaranya adalah nilai
mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Matematika dan IPA. Oleh sebab itu,
keempat nilai dari 4 mata pelajaran tersebut,
masing-masing harus memenuhi nilai minimum
standar yang telah ditentukan untuk bisa
dikatakan lulus UNAS.
Berdasarkan hasil yang didapat,
diketahui bahwa rata-rata (53,6%) santri telah
mendapatkan nilai mata pelajaran khusus
UNAS dengan kriteria baik. Sedangkan sisanya
(46,4%) santri mendapatkan nilai UNAS dengan
kriteria cukup baik. Hal ini menandakan bahwa
untuk persiapan dalam ujian UNAS nanti para
santri kemungkinan besar akan mendapatkan
nilai prestasi yang cukup baik diatas nilai
standar minimum yang telah ditetapkan.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
10
5. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Pondok
Pesantren, Higiene Perorangan Santri
dan Kejadian Penyakit Terhadap Prestasi
Belajar Santri
Berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan, didapatkan hasil bahwa dari ketiga
variabel bebas yang meliputi kondisi sanitasi
lingkungan pondok pesantren, higiene
perorangan dan kejadian penyakit terhadap
kaitan pengaruhnya dengan prestasi belajar
santri, hanya variabel sanitasi lingkungan
pondok pesantren saja yang cukup memberikan
pengaruh terhadap prestasi belajar santri.
Dalam analisis dengan menggunakan
SPSS analisis regresi berganda didapatkan
beberapa tabel yang menjelaskan besaran
pengaruh dari beberapa varibel independent
terhadap variabel dependent yang sedang
diteliti, yaitu sebagai berikut.
Tabel 3. Tabel Model Summary - Regresi Model Summaryd
,663a ,440 ,422 1,29470
,663b ,440 ,428 1,28784
,653c ,426 ,420 1,29738 1,793
Model
1
2
3
R R Square
Adjusted
R Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-W
atson
Predictors: (Constant), X3, X2, X1a.
Predictors: (Constant), X3, X2b.
Predictors: (Constant), X2c.
Dependent Variable: Yd.
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui
bahwa baris model 1 disebutkan variabel
higiene perorangan santri (X1) dan kejadian
penyakit (X3) belum dikeluarkan sehingga
adjusted R square = 0,422 berarti 42,2% variasi
nilai prestasi santri (Y) dipengaruhi oleh ketiga
variabel bebas, sisanya dipengaruhi oleh sebab-
sebab lain.
Baris model 2 disebutkan variabel
higiene perorangan santri (X1) telah
dikeluarkan sehingga R square = 0,440 berarti
44% variasi nilai prestasi santri dipengaruhi
oleh sanitasi lingkungan ponpes (X2) dan
kejadian penyakit (X3), sisanya dipengaruhi
oleh sebab-sebab lain.
Baris model 3 disebutkan variabel
higiene perorangan santri dan kejadian penyakit
telah dikeluarkan sehingga R= 0,653 berarti
65,3% variasi nilai prestasi santri dipengaruhi
oleh sanitasi lingkungan ponpes dan sisanya
dipengaruhi oleh sebab-sebab lain.
Selain itu, dalam perhitungan dengan
SPSS didapatkan 3 buah model dalam Tabel
Anova dengan variasi angka yang berbeda.
Tabel 4. Output Anova - Regresi ANOVAd
122,590 3 40,863 24,378 ,000a
155,892 93 1,676
278,482 96
122,579 2 61,290 36,954 ,000b
155,902 94 1,659
278,482 96
118,578 1 118,578 70,448 ,000c
159,904 95 1,683
278,482 96
Regression
Residual
Total
Regression
Residual
Total
Regression
Residual
Total
Model
1
2
3
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), X3, X2, X1a.
Predictors: (Constant), X3, X2b.
Predictors: (Constant), X2c.
Dependent Variable: Yd.
Dari ketiga model diatas yang diperoleh
dari Tabel Anova, didapatkan penjelasan bahwa
dari ketiga variabel bebas yang diteliti
pengaruhnya terhadap prestasi belajar santri,
hanya variabel sanitasi lingkungan pondok
pesantren yang memiliki pengaruh cukup besar
daripada variabel lainnya yang dapat dilihat
pada Model 3 diatas. Pada Model 3 diatas
disebutkan bahwa nilai F hitung yang hanya
menggunakan variabel sanitasi dalam penga-
ruhnya terhadap prestasi memiliki nilai yang
cukup besar daripada model yang lainnya.
Model 3 didapatkan nilai F= 70,448
dengan p=0,000. Oleh karena p< 0,05, maka
model 3 dapat dipakai untuk memprediksi nilai
prestasi santri, atau secara bersama-sama semua
variabel bebas berpengaruh terhadap nilai
prestasi santri pada taraf kepercayaan 95%.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
11
Setelah variabel higiene perorangan
santri dan kejadian penyakit dikeluarkan,
ternyata F hitung naik dari 24,378 menjadi
36,954 dan berubah lagi menjadi 70,448.
Dengan demikian, model 3 lebih baik daripada
model 1 dan model 2.
Disamping itu, angka probabilitas yang
didapat pada Tabel Coefficients sebesar 0,000
(< α, α = 5%) yang berarti dapat disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
meskipun hanya satu variabel bebas saja, yaitu
sanitasi lingkungan pondok pesantren.
Sementara itu, untuk persamaan
regresinya dapat dilihat pada Tabel Coefficients.
Tabel 5. Output Coefficients - Regresi Coefficientsa
18,700 1,742 10,735 ,000
,004 ,048 ,007 ,080 ,936 ,793 1,262
,929 ,115 ,662 8,078 ,000 ,898 1,114
-,161 ,109 -,123 -1,479 ,143 ,875 1,142
18,742 1,651 11,350 ,000
,932 ,109 ,664 8,562 ,000 ,992 1,008
-,158 ,102 -,120 -1,553 ,124 ,992 1,008
17,313 1,381 12,535 ,000
,916 ,109 ,653 8,393 ,000 1,000 1,000
(Constant)
X1
X2
X3
(Constant)
X2
X3
(Constant)
X2
Model
1
2
3
B Std. Error
Unstandardized
Coef f icients
Beta
Standardized
Coef f icients
t Sig. Tolerance VIF
Collinearity Statistics
Dependent Variable: Ya.
Persamaan yang diperoleh adalah
sebagai berikut :
Y = a + b1X2 = 17,313 + 0,916 X2
Keterangan :
Y = Nilai prestasi belajar santri
A = Konstanta
X2 = Nilai kondisi sanitasi lingkungan pondok
pesantren
Berdasarkan model perumusan regresi
diatas, maka dapat diartikan bahwa rata-rata
nilai prestasi belajar santri diperkirakan
meningkat atau menurun sebesar 0,916 untuk
peningkatan atau penurunan skor penilaian
sanitasi lingkungan pondok pesantren sebesar
satu unit.
Oleh sabab itu, perlunya untuk selalu
melakukan pemeliharaan dan peningkatan
kualitas lingkungan di pondok pesantren.
Meskipun variabel higiene perorangan santri
dan kejadian penyakit tidak memberikan
pengaruh yang kuat pada peningkatan prestasi,
semua warga pondok termasuk para santri untuk
selalu menjaga kebersihan diri sendiri,
melaksanakan program PHBS yang telah
disarankan oleh pihak klinik agar tetap terjaga
kondisi kesehatannya dan tidak sering
mengalami sakit, karena pada dasarnya tubuh
yang selalu terserang atau rentang terkena
penyakit akan memberikan dampak yang
banyak. Diantaranya susah untuk beraktivitas,
tidak kuat berangkat ke sekolah, konsentrasi
belajar terganggu dan pada akhirnya juga bisa
mengakibatkan prestasi belajar menurun.
Meskipun belum memberikan pengaruh
yang kuat terhadap prestasi belajar, diharapkan
kesadaran diri untuk selalu meningkatkan
higiene perorangan agar kesehatan jasmani
selalu terjaga sebagai bekal mencapai suatu
tujuan.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Penilaian higiene perorangan santri MTs
secara umum termasuk dalam kategori
cukup baik (88,7%). Akan tetapi, 5,2%
santri memiliki kebiasaan yang kurang baik
diantaranya : penggunaan sabun mandi yang
jarang, handuk dan sabun yang juga dipakai
oleh teman, kebiasaan potong kuku kecuali
kalau panjang saja, kebiasaan mencuci
tangan yang kurang baik serta kebiasaan
olahraga yang umumnya tidak dilakukan
santri.
b. Penilaian sanitasi pondok pesantren yang
meliputi 6 asrama secara umum termasuk
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
12
dalam kategori cukup baik. Akan tetapi, dari
keenam asrama tersebut, ada 2 asrama yang
memiliki kondisi sanitasi yang lebih baik.
Namun ada 4 asrama yang tidak mendukung
sanitasi pondok pesantren.
c. Terdapat 14 jenis penyakit yang sering
diderita santri. Diantaranya adalah tertinggi
penyakit scabies dengan frekuensi kejadian
24 kali (25,5%), diikuti penyakit ISPA serta
gastritis dengan persentase (21,3%). Semua
jenis penyakit yang terjadi rata-rata karena
kondisi kebersihan diri santri dan sanitsi
lingkungan yang kurang baik. Kemudian
kejadian penyakit beserta interaksinya
termasuk dalam kategori cukup baik.
d. Nilai prestasi santri khusunya 4 mata
pelajaran UNAS secara umum (53,6%)
termasuk dalam kriteria baik. Sisanya
(46,4%) termasuk kriteria cukup baik.
e. Adanya pengaruh dari variabel sanitasi
lingkungan pondok pesantren terhadap
prestasi belajar santri.
2. Saran
a. Dalam higiene perorangan santri, harus
diadakan sosialisasi pentingnya perilaku
hidup sehat dan bersih (PHBS). Diantaranya
penggunaan sabun dan handuk milik pribadi,
kebiasaan mencuci tangan yang baik dengan
sabun dan air mengalir, kebiasaan
memotong kuku minimal seminggu 1 kali,
segera mencuci pakaian yang kotor dan
tidak dibiarkan menumpuk serta anjuran
berolahraga kepada para santri secara
intensif sehingga tidak mengabaikan
pentingnya menjaga kebersihan diri.
b. Dalam sanitasi pondok pesantren, sebaiknya
dilakukan renovasi atau perbaikan terhadap
beberapa asrama yang kurang memenuhi
persyaratan kesehatan yang menunjang
kegiatan pembelajaran santri, diantaranya :
1) Pengecatan dinding kamar santri yang
masih bewarna gelap menjadi terang
dengan memakai jenis warna cat yang
terang seperti warna putih.
2) Pemberian atap di bangunan yang belum
beratap.
3) Pembenahan dan perawatan kondisi
kamar mandi/WC yang kurang baik pada
beberapa asrama, termasuk dinding,
lantai, atap dan bak mandi.
4) Rekonstruksi bangunan SPAL yang lebih
baik. Pemberian saringan di saluran
pembuangan awal untuk menyaring
sampah. Memberikan penutup diatas
saluran limbah, dan selalu dibersihkan.
5) Membalikkan fungsi sanitasi kamar
sebagai sarana penetralan kondisi kamar,
memberi cahaya matahari masuk dengan
leluasa tanpa ada pengahalang,
diantaranya meng-usahakan agar tidak
mengantungkan pakaian didekat cendela.
Tidak meletakkan barang-barang
maupun almari didekat almari hingga
menutupi sebagian jendela.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S., 2006. Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta ; PT Rineka
Cipta.
Awaliyah, D., 2007. Pengaruh Status Sosial
Ekonomi Keluarga Santriyah Terhadap
Prestasi Belajar Santriyah Di Pondok
Pesantren Hasanatul Huda Kabupaten
Sumedang. Skripsi. 2007-03-22.
http://digilib.upi.edu/pasca /available/
etd-0522107-100046/ (sitasi 16
Desember 2007).
Azra, A., 2001. Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta; Penerbit Kalimah.
Azwar, A., 1990. Pengantar Ilmu Dasar – Dasar Kesehatan Lingkungan. Jakarta ;
Mutiara.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
13
Azwar, A., 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan
Lingkungan. Jakarta; PT. Mutiara
Sumber Widya.
Azwar, S., 1996. Tes Prestasi : Fungsi dan
Pengembangan Pengukuran Prestasi
belajar. Yogyakarta ; Kanisius.
Candra, B., 2007. Pengantar Kesehatan
Lingkungan. Jakarta ; EGC.
Depag. R.I., 2003a. Pondok Pesantren dan
Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan
Perkembangannya. Jakarta; Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama R.I.
Depag. R.I., 2003b. Pola Pengembangan
Pondok Pesantren. Jakarta;
Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama R.I.
Depag. R.I., 2003c. Pola Pembelajaran di
Pesantren. Jakarta ; Ditpekapontren
Ditjen Kelembagan Agama Islam
Departemen Agama R.I.
Depkes. RI., 1993. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Tempat-Tempat Umum.
Surabaya; Ditjen PPM dan PLP.
Dinkes. Jatim., 1997. Sanitasi Pondok Pesantren
di Jawa Timur. Surabaya ; Dinas
Kesehatan Jawa Timur.
Dinkes. Jatim., 2008. Materi Pelatihan Pos
Kesehatan Pesantren (POSKESTREN).
Surabaya ; Dinas Kesehatan Jawa Timur.
Griessman, B.E., 1994. Faktor-Faktor Prestasi.
Jakarta ; Binarupa Aksara.
Hasbullah, 1999. Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia: Lintasan
Sejarah Pertumbuhan dan Perkem-
bangan. Jakarta; PT Raja Grafindo
Persada : 24-27 dan 138-161.
Kusnoputranto, H., 1986. Kesehatan
Lingkungan. Jakarta ; FKM Universitas
Indonesia.
Ma‟rufi I., Keman S., Notobroto H.B., 2005.
Faktor Sanitasi Lingkungan Yang
Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Scabies. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
Vol. 2, No.1 hal 11-18.
Menteri Kesehatan R.I., 1999. Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999. Tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan.
Jakarta ; Menteri Kesehatan R.I.
M.U.I., 1990. Air, Kebersihan dan Kesehatan
Lingkungan Menurut Agama Islam.
Jakarta ; Majelis Ulama Indonesia.
Mukono, H.J., 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya ; Airlangga
University Press.
Rahman, A., 2003. Sanitasi Pondok Pesantren.
Surabaya ; FKM Unair.
Sukarni, M., 1995. Kesehatan Keluarga dan
Lingkungan. Yogyakarta ; Kanisius.
Srisoeswati, 1990. Pedoman Pengawasan
Sanitasi Tempat-Tempat Umum. Jakarta.
Syah, M., 1999. Psikologi Belajar. Jakarta ;
Logos Wacana Ilmu.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
14
ANALISA METODE CITIZEN CHARTER SEBAGAI SALAH SATU METODE UPAYA
PENINGKATAN KUALITAS PUSKESMAS SEBAGAI PRIMARY HEALTH CARE
(Analysis Method As A Citizen Charter One Method Of Health Quality Improvement Efforts
As Primary Health Care)
Citra Mayangsari1,
Ernawaty, drg.,Mkes
1Puskesmas Wates Kota Mojokerto Jawa Timur
2Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pada era Jaminan Kesehatan Nasional pada tahun 2014 ini puskesmas mau tidak mau dituntut untuk
memeberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat di Wilayahnya. Konsep puskesmas yang hanya
mengutamakan upaya promotif dan preventif harus beralih menjadi puskesmas yang juga mengutamakan
upaya kuratif dan rehabilitatif. Disini puskesmas berperan sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan Tingkat
I atau Primary Helath Care sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2013 Tentang Pelayanan kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, dimana puskesmas berperan
sebagai penyaring pertama dalam upaya peningkatan derajat kesehatan manusia. Sehingga kualitas
puskesmas menjadi kunci utama dalam menghadapi era JKN dan memberikan kepuasan kepada
masyarakat. Citizen Charter merupakan salah satu metode yang sudah banyak dipakai di puskesmas di
Indonesia. Tool ini dipercaya untuk meningkatkan kualitas puskesmas dalam rangka memberikan
kepuasan kepada masyarakat karena dapat membangun kepercayaan masyarakat kepada puskesmas.
Tujuan dari telaah pustaka ini adalah untuk menjelaskan apa dan bagaimana citizen charter. Artikel ini
menggunakan metode telaah pustaka dari berbagai sumber yang mengulas tentang citizen charter.
Beberapa puskesmas sudah berhasil melaksanakan metode citizen charter dan berhasil. Namun beberapa
puskesmas masih kesulitan untuk melaksanakan metode citizen charter ini. sehingga upaya
pengembangan metode Citizen charter sangat diperlukan.
ABSTRACT
In the era of National Health Insurance in 2014, the health center would not want to be prosecuted on to
provide the best service to the community in the Territory. The concept of health centers that only priority
promotive and preventive efforts should be shifted to primary care clinics also focus on supporting the
curative and rehabilitative. Here health centers act as Health Care Providers Level I or Primary Helath
Care that basic on Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2013 Tentang
Pelayanan kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional,where health centers act as the first filter in
improving the health status of human So the quality of the health center is the key factor in the era of JKN
and give satisfaction to the public. Citizen Charter is one method that has been widely used in health
centers in Indonesia.This tool is believed to improve the quality of health centers in order to give satisfaction to the public because it can build public confidence in the health centers.The purpose of this
literature review is to explain what and how citizen charter. This article uses the method of literature
review to review the various sources of citizen charters. Some health centers have already accomplished
and successful when use the methods of citizen charters. However, some health centers are still
difficulties to implement this method of citizen charters. making efforts to develop methods Citizen charter
is needed.
Keywords : Primary Health Care, citizen charter, puskesmas
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
15
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari
pembangunan nasional mempunyai tujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
optimal. Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 5
menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak
dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau8.
Definisi Puskesmas menurut Depkes 19976
adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang
merupakan pusat pengembangan kesehatan
masyarakat yang juga membina peran serta
masyarakat disamping memberikan pelayanan
kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk
kegiatan pokok. Puskesmas merupakan ujung
tombak pelayanan kesehatan masyarakat, yang
fungsinya antara lain :
1. Pusat pengerak pembangunan berwawasan
kesehatan
2. Pusat pemberdayaanmasyarakat dan keluarga
dalam pembangunan kesehatan
3. Pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama
Puskesmas sebagai pusat pelayanan
kesehatan tingkat pertama seringkali dilupakan oleh
masyarakat. Masyarakat cenderung lebih memilih
pelayanan kesehatan di rumah sakit langsung pada
kunjungan pertama. Sehingga menyebabkan
overload pada pelayanan rumah sakit. Padahal
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Indonesia nomor 001 tahun
2012 tentang Sistem Rujukan PelayananKesehatan
Perorangan bahwa sistem rujukan dilaksanakan
berjenjang sesuai kebutuhan medis7.
Citizen charter merupakan salah satu tool
atau alat untuk meningkatkan kualitas pelayanan di
Puskesmas berdasarkan suatu kontrak pelayanan
antara puskesmas sebagai provider dan masyarakat
sebagai konsumen.
Citizen charter sudah terbukti efektif untuk
meningkatkan kualitas pelayanan di puskesmas,
salah satu puskesmas yang sudah menggunakan
citizen charter adalah puskesmas Bendo di kota
blitar.
Tujuan dari artikel ini adalah;
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep citizen
charter dilaksanakan.
2. Untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
citizen charter
3. Untuk mengetahui contoh aplikatif citizen
charter.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Puskesmas
Menurut KepMenKes RI No.
128/MENKES/SKII/2004 yang dimaksud dengan
Puskesmas adalah : Unit Pelaksana Teknis Dinas
Kesehatan Kabupaten /Kota yang bertanggung
jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan
disuatu wilayah kerja16.
Puskesmas merupakan suatu kesatuan
organisasi kesehatan fungsional yang merupakan
pengembangan kesehatan masyarakat yang juga
memberikan peran serta masyarakat disamping
memberikan pelayanan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya
dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain
puskesmas mempunyai wewenang dan
tanggungjawab atas pemeliharaan kesehatan
masyarakat dalam wilayah kerjanya.
2. Puskesmas sebagai Primary Health Care.
Primary Health Care (PHC) menurut
WHO dalam Alma Ata Declaration (1978)
adalahpelayanan
kesehatanesensialberdasarkanmetode praktis,
ilmiahdan dapat diterimasecara sosialdan teknologi
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
16
dapatdiakses secara universal untuk individu dan
keluarga dimasyarakat melalui partisipasi penuh
mereka dandengan biaya yangdapat dijangkau oleh
Negara dan masyarakat. PHC
merupakantingkatanpertama kontakindividu,
keluarga dan masyarakatdengan sistemkesehatan
nasionalsehinggaperawatan
kesehatandapatdilaksanakansedekat
mungkindengan tempat orangtinggal dan bekerja,
danmerupakanelemenpertama dari proses
perawatan kesehatanberkelanjutan11.
Puskesmas cukup efektif membantu
masyarakat dalam memberikan pertolongan
pertama dengan standar pelayanan
kesehatanapalagipudkesmasperkotaansudahlengkap
fasilitaskesehatanya. Pelayanan kesehatan yang
dikenal murah seharusnya menjadikan Puskesmas
sebagai tempat pelayanan kesehatan utama bagi
masyarakat, namun pada kenyataannya banyak
masyarakat yang lebih memilih pelayanan
kesehatan pada dokter praktek swasta atau petugas
kesehatan praktek lainnya atau bahkan langsung
memeriksakan diri ke rumahsakit. Kondisi ini
kemungkinandidasari oleh anggapan yang negatif
darisebagianbesar masyarakat terhadap pelayanan
kesehatanpuskesmas, misalnya anggapan bahwa
mutu pelayanan yang yang kurangbagus, artinya
Puskesmas tidak cukup memadai dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, baik
dilihat dari sarana dan prasarananya maupun dari
tenaga medis atau anggaran yang digunakan untuk
menunjang kegiatannya sehari-hari. Sehingga
banyak sekali pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat itu tidak sesuai dengan Standar
Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan.
Sikap tidak disiplin petugas medis pada unit
pelayanan puskesmas juga menjadi sebuah
masalah. Padakenyataannya masyarakat selalu
diperlakukan kurang baik oleh para petugas medis
yang dinilai cenderung tidakramahdankasar.
Tidak hanya hal-hal yang telah
diungkapkan di atas,
adabeberapapermasalahanyang muncul di
puskesmas, misalnya: Jam kerja Puskesmas yang
sangat singkat, kemampuan keuangan daerah yang
terbatas, puskesmas yang kurang memiliki otoritas
untuk memanfaatkan peluang yang ada, puskesmas
belum terbiasa mengelola kegiatannya secara
mandiri, serta kurangnya kesejahteraan karyawan
yang berpengaruh terhadap motivasi dalam
melaksanakan tugas di puskesmas.
3. Pengertian Citizen Charter
Penyelenggaraan pelayanan publik saatini
harus sesuai dengan peradigma pelayanan publik
yang berkembang yakni new public service yang
memandang publik sebagai citizen atau warga
Negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang
sama. Tidak hanya sebagai customer yang dilihat
dari kemampuannya membeli atau membayar
produk atau jasa. Citizen adalah penerima dan
pengguna layanan pubik yang disediakan
pemerintah dan sekaligus juga subyek dari
kewaiban publik, seperti mematuhi peraturan
perundang-udangan, membayar pajak, membela
Negara dan sebagainya12.
Menurut John Major pada tahun 1991
Citizen Charter merupakan suatu program yang
dapat meningkatkan kualitas pelayanan oleh sektor
pemberi layanan, dimana dasar idenya adalah untuk
menentukan standar kualitas, menentukan ukuran
standar tersebut, dan meraih standar, dimana
pengguna layanan mengetahui secara pasti
mengenai pelayanan yang diberikan oleh pengguna
layanan dimana di dalamnya terdapat keterbukaan
tentang informasi mengenai standard an bagaimana
kualitas dari pelayanan. Salah satu mekanisme
dalam citizen charter adalah prosedur penanganan
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
17
keluhan. Pelayanan masyarakat ini terdiri dari
pelayanan kesehatan, Industri, pendidikan,
keamanan masyarakat, dan pemerintahan local2.
Citizen Chartermerupakankesepakatanresmi
(formal)
antaramasyarakatsebagaikonsumendenganpenyelen
ggarapelayananpublik.
Biasajugadisebutsebagaikontrakpelyanan yang
berisikesanggupandankesediaanpemberilayananunt
ukmelakukanataumenyelenggarakanpelayanansesua
idenganperjanjian (kesepakatan),
disertaisangsiapabilakeepakatantidakdipenuhiataudl
aanggar, citizen
chartermenekankanaspekpelayananpublik yang
professional,transparan, berkepastian,
ramahdanberkeadilandenganmenghargaihakdankew
ajibanpenggunamaupunpenyedialayananan9.
Citizen Charter adalah suatu pendekatan
dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang
menempatkan pengguna layanan sebagai pusat
perhatian. Artinya, kebutuhan dan kepentingan
pengguna layanan harus menjadi pertimbangan
utama dalam seluruh proses penyelenggaraan
pelayanan publik. Berbeda dengan taktik
penyelenggaraan pelayanan publik yang terjadi
sekarang ini, yang menempatkan kepentingan
pemerintah dan penyedia layanan sebagai acuan
utama dari praktik penyelenggaraan pelayanan.
Citizen Charter menempatkan kepentingan
pengguna layanan sebagai unsur yang paling
penting. Untuk mencapai maksud tersebut, Citizen
Charter mendorong penyedia layanan untuk
bersama dengan pengguna layanan dan pihak-pihak
yang berkepentingan (stakeholder) lainnya untuk
menyepakati jenis, prosedur, waktu, biaya, serta
cara pelayanan. Kesepakatan tersebut harus
mempertimbangkan keseimbangan hak dan
kewajiban antara penyedia layanan, pengguna
layanan, serta stakeholder. Kesepakatan ini
nantinya akan menjadi dasar praktik
penyelenggaraan pelayanan publik13.
4. Tujuan, Manfaat, dan 8 sendi citizen charter.
Tujuan Citizen Charter adalah membuat
pelayanan publik menjadi lebih responsif
(kesesuaian antara pelayanan dengan kebutuhan
masyarakat), transparan (semua aspek pelayanan
yakni jenis, prosedur, waktu, biaya dan cara
pelayanan, dapat diketahui dengan mudah oleh
pengguna layanan), dan akuntabel (aspek
pelayanandan kontekspenyelenggaraannya dinilai
baik oleh pengguna layanan)4.
ManfaatCitizen Charterdapat dipakai baik
oleh pengguna layanan mauapun penyedia layanan.
Bagi pengguna layanan adalah4:
a. Memberikan jaminan bahwa pelayanan publik
akan menjadi lebih responsif transparan dan
akuntabel.
b. Memberikan kemudahan untuk mengakses
informasi pelayanan dan melakukan kontrol
terhadap penyelenggaraan pelayanan;
c. Menghargai martabat dan kedudukan pengguna
layanan sebagai warga yang berdaulat.
Sedangkan bagi penyedia layanan adalah:
a. Memudahkan dalam melakukan evaluasi
terhadap kinerja pelayanan ;
b. Membantu memahami kebutuhan dan aspirasi
warga, serta stakeholders mengenai
penyelenggaraan pelayanan publik ;
c. Meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa
pelayanan publik bukan hanya tanggung jawab
pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab
semua, termasuk warga dan pengguna layanan.
Adapun delapan sendi pelayanan pada
Citizen Charteryang harus dipegang teguh antara
lain14:
a. Kesederhanaan (mudah, lancar, cepat)
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
18
b. Kejelasan dan Kepastian (prosedur,
penanggungjawab, biaya, waktu penyelesaian,
hak dan kewajiban)
c. Keamanan (kenyamanan, kepastian, hukum dan
penyimpanan)
d. Keterbukaan (informasi terbuka, peduli dan
sopan)
e. Efisiensi (waktu dan persyaratan lengkap)
f. Ekonomis (kesederhanaan, mudah, lancar dan
cepat)
g. Keadilan Yang Merata (tidak ada perbedaan
pelayanan)
h. Ketepatan Waktu (tepat sesuai permohonan)
5. Pelaksanaan citizen charter
Konsep dari Citizen Charter adalah
membangun kepercayaan antara pemberi layanan
dan pengguna layanan. Konsep ini pertama kali
ditemukan dan dilaksanaakan di Inggris dari
pemerintahan konservatif yaitu John Major pada
tahun 1991 sebagai program nasional dengan
tujuansederhana yaitu untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik di seluruh negeri sehngga seluruh
pelayanan merespon semua kebutuhan dan
keinginan pengguna layanan. Program ini
kemudian dilaunching pada tahun 1998 oleh
„labour Government’ yaitu Tony Blair, dan
menamakan program ini sebagai „Service First’1.
Program ini kemudian diadopsi oleh
Australia (Service Charter, 1997), B (Public
Service Users' Charter 1992), Canada (Service
Standards Initiative, 1995), France (Service
Charter, 1992), India (Citizen's Charter, 1997),
Jamaica (Citizen's Charter 1994), Malaysia
(ClientCharter, 1993), Portugal (The Quality
Charter in Public Services, 1993), and Spain (The
Quality Observatory, 1992) (OECD, 1996). Konsep
dari Negara-negara tersebut secara mendasar
hampir sama dengan model di Inggris yang pada
intinya memberikan pelayanan yang berkualitas
untuk seluruh pengguna layanan1.Di Indonesia
sendiri pelaksanaan Citizen Charterbaru mulai
sekitar tahun 2006 sampai tahun 2009 dimana pada
tahun tersebut lebih dari 60 kabupaten dan kota
daerah diberikan program pelatihan dan bantuan
teknis untuk mengembangkan perbaikan dan
peningkatan kapasitas organisasi pelayanan publik
menuju pada pelayanan yang responsif, partisipasif,
transparan dan akuntabel.
Para peneliti dari Universitas Gadjah
Mada telah melakukan uji-coba dan fasilitasi
penerapan Kontrak Pelayanan di beberapa daerah di
Indonesia. Aspek-aspek yang difasilitasi dengan
Kontrak Pelayanan itu kebanyakan meliputi
pelayanan di bidang kesehatan, kependudukan, dan
perijinan. Sebagai contoh, di kota Blitar, fokus
fasilitasi Kontrak Pelayanan adalah pada pelayanan
di Puskesmas, dimana puskesmas Bendo kota Blitar
sudah menerapkan konsep Citizen Charterini dan
berhasil meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Bahkan kota Blitar mendapatkan
penghargaan Otonomi award Tingkat nasional
Otonomi Award 2006, “Grand Category Region in
a Leading Breakthrough on PublicService”oleh
karena telah berhasil mengembangkan konsep
Citizen Charter.
Contoh yang lain yaitu di kabupaten
Semarang difokuskan dibeberapa kecamatan dalam
hal pelayanan KTP. Sedangkan di kota Yogyakarta
difokuskan pada urusan Akte Kelahiran. Saat ini
sedang dirintis untuk memperluas penerapan
Kontrak Pelayanan di kabupaten atau kota lain di
seluruh Indonesia.
6. Unsur-unsurCitizen Charter
Dalam melaksanakan proses citizen
charter ini, melibatkan 3 unsur yang ketiganya
dalam posisi sejajar sebaga mitra, 3 unsur tersebut
antara lain:
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
19
a. Unsur pemberi layanan yaitu birokrasi atau
pemerintah. Bila di puskesmas adalah petugas
kesehatan di puskesmas.
b. Unsur penerima layanan yaitu masyarakat
pengguna layanan.
c. Unsur stakeholder yaitu para pemangku
kepentingan bisa dari anggota DPRD yang
tinggal di wilayah kerja unit pelayanan, atau
mungkin dari Non government Organisation.
Dalam proses pelaksanaan pembuatan
dokumen ctizen charter bisa mengikutsertakan
fasilitator yang sekiranya dapat menjadi penengah
pada saat brainstorming pembuatan dokumen
Citizen Charter.
Birokasi dalam memberi pelayanan harus
mulai partisipatif dalam menentukan aturan main
penyelenggaraan pelayanan. Masyarakat bukan
sekadar obyek yang seenaknya saja dibebani
berbagai macam biaya yang terkadang tidak jelas
penggunaannya untuk apa. Dalam citizen charter ini
pelayanan kepada masyarakat bersifat terbuka dan
transparan.
7. isi dan langkah-langkah citizen charter.
Ada lima unsur pokok yang tercantum di
dalam isiKontrak Pelayanan, yaitu15.
a. Visi dan misi pelayanan. Yang termuat di sini
adalah rumusan tentang sejauh mana organisasi
pelayanan publik telah merujuk pada prinsip-
prinsip kepastian pelayanan. Harus diingat
bahwa visi dan misi pelayanan tidak hanya
difahami sebagai slogan atau motto, tetapi
harus diaktualisasikan ke dalam tindakan
konkret. Visi dan misi harus menjadi bagian
dari budaya pelayanan yang tercermin di dalam
cara pemberian layanan.
b. Standar pelayanan. Berisi penjelasan tentang
apa, mengapa dan bagaimana upaya yang
diperlukan untuk memperbaiki kualitas
pelayanan. Standar pelayanan memuat norma-
norma pelayanan yang akan diterima oleh
pengguna layanan. Dalam hal ini standar
pelayanan harus memuat standar perlakuan
terhadap pengguna, standar kualitas produk
(out-put) yang diperoleh masyarakat dan
standar informasi yang dapat diakses oleh
pengguna layanan.
c. Alur pelayanan. Berisi penjelasan tentang
unit/bagian yang harus dilalui bila akan
mengurus sesuatu atau menghendaki pelayanan
dari organisasi public tertentu. Alur pelayanan
harus menjelaskan berbagai fungsi dan tugas
unit-unit dalam kantor pelayanan sehingga
kesalahpahaman antara penyedia dan pengguna
jasa pelayanan dapat dikurangi. Bagan dari alur
pelayanan perlu ditempatkan di tempat
strategis agar mudah dilihat pengguna layanan.
Alangkah baiknya kalau bagan itu didesain
secara menarik dengan bahasa yang sederhana
dan gambar-gambar yang memudahkan
pemahaman pengguna pelayanan.
d. Unit atau bagian pengaduan masyarakat. Yang
dimaksud adalah satuan, unit atau bagian yang
berfungsi menerima segala bentuk pengaduan
masyarakat. Satuan ini wajib merespons
dengan baik semua bentuk pengaduan,
menjamin adanya keseriusan penyedia layanan
untuk menanggapi keluhan dan masukan. Ia
juga berperan untuk mengevaluasi system
pelayanan yang ada. Salah satu peran penting
dari unit pengaduan masyarakat ialah dalam
riset dan pengembangan sistem pelayanan.
e. Survai pengguna layanan. Di Indonesia, survai
pengguna layanan kebanyakan masih terbatas
dilakukan oleh perusahaan swasta dalam
bentuk survai pelanggan (customer survey).
Kontrak Pelayanan mengharuskan
dilakukannya survai pengguna layanan bagi
organisasi publik. Tujuannya ialahuntuk
mengetahui aspirasi, harapan, kebutuhan dan
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
20
permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hasil
survei digunakan untuk memperbaiki system
penyelenggaraan pelayanan publik di masa
mendatang sesuai harapan masyarakat. Yang
diharapkan dari adanya survai pengguna
layanan itu ialah adanya hubungan baik dan
tingkat kepercayaan pengguna terhadap
penyedia layanan.
Alur Proses Penyusunan dan
Pengimplementasian Citizen‟s Charter ada pada
gambar 1.
a. Tahap Persiapan4
Persiapan dalam rangka penyusunan
citizen charter pelayanan publik antara lain:
1) Pembentukan Tim Penyusun citizen charter.
Tujuannya adalah memilih anggota dan
mempersiapkan pembentukan timApenyusun
citizen charter. Dalam mempersiapkan tim ini,
sebaiknya ada tim kecil (task force) yang
terdiri dari perwakilan pihak pemberi maupun
penerima pelayanan serta stakeholders lain.
2) Pemilihan Prioritas Jenis Pelayanan. Tujuan
dari tahapan ini adalah untuk melakukan
identifikasi dan prioritisasi pelayanan publik
yang akan dibuatkan dokumen citizen charter
di SKPD. Pembuatan Rencana Kerja dan
Anggaran Penyusunan citizen charter. Tujuan
pembuatan rencana kerja dan anggaran adalah
mengidentifikasi secara sistematissemua
langkah kegiatan
beserta sumber daya yang diperlukan, mulai
dari tahappersiapan
sampai dengan implementasi, serta replikasi
citizen charter.
b. Tahap Penyusunan Dokumen Citizen
Charter4
Tahap penyusunan dokumen citizen
charter antara lain:
1) Membuat Draft Dokumen citizen charter.
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk
merancang dan menyusun isi draft dokumen
citizen charter secara lengkap dan partisipatif.
Secara umum isi draft citizen charter yang
perlu disusun meliputi beberapa komponen:
a) Nama/Judul Pelayanan Publik.
b) Visi.
c) Misi.
d) Standar Pelayanan.
e) Hak dan Kewajiban Pemberi Pelayanan.
f) Hak dan Kewajiban Penerima Pelayanan.
g) Sanksi.
h) Mekanisme Pengaduan.
i) Survei Pengguna Pelayanan.
j) Halaman Pengesahan Dokumen citizen
charter.
Gambar 1. Alur Proses Penyusunan dan Pengimplementasian Citizen’s Charter4
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
21
2) Uji Coba dan Revisi Draft Dokumen citizen
charter. Pada tahap ini yang dapat dilakukan
adalah melakukan pertemuan, membuat materi
uji coba, membuat instrumen masukan atau
feedback, melakukan koordinasi dengan
stakeholders di tempat uji coba, melakukan uji
coba draft citizen charter melakukan pertemuan
review hasil uji coba, melakukan perbaikan
draft citizen charter. Uji coba dilakukan dengan
cara menanyakan langsung dokumen citizen
charter terutama pada standar pelayanan
kepada responden yaitu masyarakat umum dan
para petugas yang akan memberikan pelayanan
publik. Pelaksanaan uji coba dilakukan oleh
para peserta dan calon petugas yang terlibat
dalam memberikan citizen charter. Masyarakat
yang menjadi responden adalah masyarakat
umum dengan berbagai latar tingkat sosial
ekonomi. Hasil yang diharapkan adalah
terselengaranya uji coba dan dipahaminya draft
citizen charter pada masyarakat pengguna dan
pemberi serta mendapatkan masukan untuk
perbaikan citizen charter.
c. Legalisasi Dokumen Citizen Charter4
Tahap legalisasi dokumen citizen charter
antara lain :
1) Seminar dan Advokasi citizen charter. Langkah
yang dapat dilakukan adalah: Melakukan
koordinasi dan pertemuan; Menyusun
kepanitiaan; penugasan, dan menyusun
kebutuhan (menyusunagenda, membuat daftar
peserta dan pembicara, membuat surat
undangan, mencari tempat, sumber dana,
materi, protokoler); Melaksanakan seminar.
Hasil yang diharapkan adalah dukungan publik
melalui publikasi dalam seminar citizen charter
tingkat Kabupaten/Kota.
2) Pengesahan citizen charter. Pengesahan dapat
dilaksanakan
setelah melakukan publikasi dengan langkah
melakukan koordinasi tim; penyiapan
dokumen; Advokasi pada para perwakilan;
penandatanganan. Hasil yang diharapkan
adalah disyahkannya citizen charter oleh para
perwakilan pihak pemberi dan penerima
pelayanan public.
d. Tahap Implementasi Citizen Charter4
Tahap implementasi citizen charter antara
lain:
1) Sosialisasi dan Pelatihan citizen charter.
Sosialisasi dapat dilakukan dengan langkah:
Menyiapkan dokumen citizen charter;
Melakukan koordinasi internal dan eksternal
SKPD, melakukan pertemuan dan sosialisasi;
Menyiapkan dokumen atau modul pelatihan;
Mengundang petugas pemberi pelayanan
citizen charter terkait, Melakukan pelatihan
oleh tim citizen charter. Hasil yang diharapkan
adalah dokumen citizen charter pelayanan
publik tersosialisasi secara internal ke seluruh
tempat pelayanan publik yang terkait dalam
citizen charter. Sosialiasi penting untuk
memperhitungkan kesiapan pemberi
pelayanan. Selain itu juga untuk meningkatkan
kapasitas pemberi pelayanan publik agar
mampu melaksanakan penugasan ini.
2) Penerapan citizen charter. Langkah yang
dilakukan adalah: melakukan koordinasi yang
dipimpin SKPD terkait untuk melakukan
persiapan tempat dan sarana pendukung,
mempersiapkan petugas dan mejalankan
citizen charter. Hasil yang diharapkan adalah
sarana dan petugas pelayanan siap
melaksanakan pekerjaannya.
e. Tahap Monotoring Dan Evaluasi4
Langkah yang dilakukan antara lain:
Melakukan koordinasi dan pertemuan; Membuat
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
22
instrumen monitoring dan evaluasi; Menyiapkan
tim monitoring dan evaluasi; Melaksanakan
monitoring dan evaluasi pelaksanaan citizen
charter; Menganalisis hasil monitoring dan
evaluasi. Monitoring bisa dilakukan secara internal
(dari para pemberi pelayanan) maupun eksternal
(dari pengguna pelayanan atau kelompok
independen yang lain).
Hasil yang diharapkan adalah
teridentifikasinya faktor pendukung dan
penghambat yang dapat dijadikan umpan balik
perbaikan dalam pelayanan publik yang terdapat
dalam dokumen citizen‟s charter.
Agar kegiatan monitoring dan evaluasi
berjalan dengan baik diperlukan: kejelasan petugas
yang bertanggung jawab, instrumen monitoring,
metode pelaksanaan, indikator keberhasilan, dan
waktu pelaksanaan monitoring evaluasi.
f. Upaya Replikasi4
Langkah-langkah umum proses replikasi
citizen charter di lokasi lain adalah: Melakukan
pertemuan; Mengidentifikasi keberhasilan citizen
charter; Mengidentifikasi potensi dan karakteristik
yang dimiliki masing-masing tempat pelayanan;
Melakukan upaya replikasi ditempat tujuan
replikasi.
Hasil yang diharapkan adalah citizen
charter dapat diterapkan di tempat pelayanan publik
lain sesuai karakteristiknya. Upaya yang dapat
dilakukan agar replikasi efektif antara lain:
melakukan sosialisasi citizen charter; melakukan
kunjungan ke tempat yang telah berhasil
melaksanakan citizen charter; melakukan sharing
experience terkait keberhasilan antar tempat
pelayanan publik; memeriksa kesiapan sarana dan
prasarana; mengkaji kesiapan organisasi dan
jaringan; menyiapkan petugas/tim citizen charter.
g. Contoh aplikatif pelaksanaan Citizen
Charter
Indonesia sudah mulai banyak menerapkan
program citizen charter. Beberapa puskesmas sudah
menerapkan konsep citizen charter ini. Salah
satunya adalah di Puskesmas Bendo di Kota Blitar.
Dan puskesmas tersebut menjadi bahan rujukan
oleh banyak puskesmas di Jawa Timur. Salah satu
konsep penerapan Citizen Charter di Puskesmas
Bendo yang bagus adalah proses penyelesaian
complain di puskesmas. Proses penyelesaian
komplain di Puskesmas Bendo di Kota Blitar,
adalah sebagai berikut: Jika ada konsumen yang
tidak puas dengan kualitas pelayanan publik yang
diterimanya, yang pertama kali harus dilakukan
adalah memeriksa pada dokumen citizen charter
apakah telah terjadi pelanggaran oleh institusi
pelayanan publik dalam memberi layanan. Jika ya,
konsumen akan mengadukan masalah tersebut pada
orang yang namanya telah tercantum sebagai
penanggung jawab dalam citizen charter tersebut.
Jika konsumen tidak puas dengan respons yang
diterima, maka ia akan mengadukan pada
stakeholder, sebagai institusi independen yang
mendapat wewenang dalam hal ini. stakeholder
kemudian akan mendatangi pejabat dari pelayanan
publik yang dikomplain konsumen tersebut. Jika
para pejabat institusi pelayanan publik tersebut
tidak memberi respons yang diharapkan konsumen,
maka stakeholder akan mengangkat kasus ini di
media massa.
Salah satu puskesmas lain yang
mengadopsi citizen carter adalah Puskesmas
Kauman Kabupaten Tulung Agung. Pada tahun
2007, gagasan Citizen Charter ditawarkan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung kepada
28 dan Puskesmas Kauman dengan kesediaan
sebagai percontohan di Kabupaten Tulungagung6
Diantara 28 Puskesmas yang ada saat itu, ditinjau
dari kelengkapan sarana prasarana, kondisi
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
23
geografis, Puskesmas Kauman lebih siap untuk
menjalankan Citizen Charter, disamping sederetan
prestasi yang telah diraih, dari tingkat Kabupaten
hingga Nasional.
Sejak diimplementasikan tahun 2009
hingga saat ini, telah terjadi peningkatan mutu
layanan yang diindikasikan melalui peningkatan
standart mutu layanan, jumlah kunjungan, kuantitas
dan kualitas partisipasi masyarakat melalui
mekanisme penyelesaian pengaduan masyarakat,
forum Bedah Layanan sebagai forum monitoring
dan evaluasi penyelenggaraan Citizen Charter.
Sejak tahun pertama penyelenggaraan Citizen
Charter, tahun 2009, aduan lebih banyak diterima
melalui kotak saran. Adanya mekanisme pengaduan
pengguna layanan terbukti meningkatkan tanggung
jawab dan responsivitas masyarakat untuk
peningkatan mutu layanan di Puskesmas Kauman.
Aduan yang diterima Tim Penyelesaian
Pengaduan Masyarakat dicatat dalam Buku
Pengaduan yang kemudian dibahas terlebih dahulu
di internal tim untuk menentukan tingkatan aduan,
apakah dapat diselesaikan secara langsung, atau
memerlukan koordinasi lintas sektor dan
berhubungan dengan anggaran. Tahap berikutnya,
jika dapat diselesaikan secara langsung, tim akan
melakukan langkah klarifikasi dengan pihak-pihak
yang disebutkan dalam aduan untuk menemukan
data dan fakta yang benar hingga dapat ditentukan
solusi adil, berimbang dan terbaik. Penyelesaian
pada aduan kategori ini, paling lambat dilakukan
dalam 2 hari setelah pengaduan diterima, dan akan
disampaikan kepada pihak pengadu jika
identitasnya tercatat dengan lengkap dan jelas.
Sedangkan untuk jenis aduan terakhir, seperti
perbaikan menu makanan pada pasien rawat inap,
perbaikan lahan parkir dan taman, jam buka loket
tidak sesuai dengan Citizen Charter, ada musik di
ruang tunggu, penambahan sarana dan prasarana,
penambahan tenaga kesehatan, belum tersedianya
dokter jaga dan petugas laboratorium 24 jam untuk
layanan UGD,belum terpisahnya antara ruang rawat
inap dan isolasi, dan lain sebagainya tim, akan
dibawa ke forum Bedah Layanan yang
diselenggarakan setahun sekali untuk disepakati
solusi-solusinya.
Salah satu dasar peningkatan layanan
untuk mencapai kepuasan pengguna layanan adalah
aduan dan usulan dari pengguna layanan melalui 3
pintu layanan pengaduan, sehingga dapat dilakukan
pembenahan baik secara langsung maupun
bertahap. Ini adalah dampak positif dari Citizen
Charter, dengan mendorong kepedulian pengguna
layanan terhadap perbaikan dan peningkatan
layanan publik, khususnya layanan kesehatan.
Perubahan utama yang dihasilkan antara
lain:
a. Peningkatan manfaat layanan secara langsung
pada masyarakat.
b. Perubahan paradigma layananan dari
Puskesmas yang mengatur masyarakat menjadi
Puskesmas yang memenuhi harapan
masyarakat.
c. Perubahan pola pikir (mindset) pada seluruh
staf tentang layanan yang berorientasi pada
kepuasaan pengguna layanan.
Ke depan konsep pelayanan kesehatan di
puskesmas di seluruh Indonesia akan menggunakan
konsep citzen charter dalam meningkatkan kualitas
pelayanan keehatan di masyarakat.
h. Kekuatan dan kelemahan citizen charter16.
Tdak dapat dipungkiri bahwa citizen
charter atau kontrak pelayanan telah memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam upaya
pelayanan kesehatan yang lebih responsif),
transparan, dan akuntabel. Bahkan citizen charter
dianggap sebagai sebuah konsep baru yang semula
diperkenalkan oleh lembaga-lembaga donor
internasional sebagai upaya menciptakan tata-
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
24
pemerintahan yang baik (good governance) kini
menjadi salah satu kata kunci dalam wacana untuk
membenahi system pelayanan kesehatan di
Indonesia.
Adapun kekuatan dari citizen charter
antara lain bahwa citizen charter dapat :
1. Memberikan kepastian pelayanan yang
meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara
pelayanan.
2. Memberikan informasi mengenai hak dan
kewajiban pengguna layanan, penyedia
layanan, dan stakeholder lainnya dalam
keseluruhan proses penyelenggaraan
pelayanan.
3. Mempermudah pengguna layanan, warga, dan
stakeholder lainnya mengontrol praktik
penyelenggaraan pelayanan.
4. Mempermudah manajemen pelayanan dan
memperbaiki kinerja penyelenggaraan
pelayanan.
5. Membantu manajemen pelayanan
mengidentifikasi kebutuhan, harapan, dan
aspirasi pengguna layanan dan stakeholder
lainnya.
Namun karena yang pertama kalinya
mengungkapkan konsep ini adalah UNDP, Bank
Dunia, ADB, dan lembaga-lembaga donor yang
dikuasai oleh negara-negara Barat, tidak dapat
dipungkiribahwa gagasan-gagasan yang terdapat di
dalamnya seringkali tidak mampu benar-benar
menyentuh konteks sosial dan politik di negara-
negara berkembang. Dan ternyata banyak pakar di
negara-negara berkembang sendiri yang belum
bersedia bekerja keras untuk mewujudkan gagasan-
gagasan baik menyangkut tata-pemerintahan
berdasarkan kondisi lokal dengan mengutamakan
unsur-unsur kearifan lokal yang telah ada.
Ada beberapa kendala dalam pelaksanaan
Citizen charter.Dari pihak pemerintah daerah,
kendala yang muncul dapat berupa:
1. Lemahnya komitmen politik para pengambil
keputusan di daerah untuk secara benar
melaksanakan citizen carter. Untuk
pelaksanaan Citizen Charter diperlukan
legalisasi Dokumen Citizen Charter dan
diperlukan advokasi terhadap para perwakilan
penerima dan pemberi pelayanan untuk
selanjutnya bisa dilakukan legalisasi dokumen
Citizen Charter tersebut. Untuk saat ini
pelaksanaan advokasi Citizen Charter ke
pemerintah daerah sangat sulit dan perlu sekali
banyak pertimbangan.
2. Lemahnya dukungan SDM yang dapat
diandalkan untuk melaksanakan citizen charter.
Kendala ini berasal dari internal puskesmas,
para pemberi layanan kurang mengerti benar
dengan konsep citizen charter, dan
menganggap bahwa tanpa Citizen Charter pun
pasien yang ada di puskesmas sudah sangat
banyak, sehingga tidak diperlukan kontrak
pelayanan dengan masyarakat.
3. Rendahnya kemampuan lembaga legislatif
dalam mengartikulasikan Citizen Charter untuk
kepentingan masyarakat. Hal ini mungkin
disebabkan kurangnya sosialisasi kepada
lembaga legislative, sehingga samapi saat ini
lembaga legislatif sendiri belum mengerti
benar manfaat citizen charter, padahal lembaga
legislatif diperlukan dalam pelaksanaan Citizen
Charter terutama sebagai stakeholder.
4. Lemahnya dukungan anggaran. Karena
kegiatan citizen charter seringkali hanya dilihat
sebagai proyek, maka pemerintah daerah tidak
menyiapkan anggaran secara berkelanjutan.
Akibatnya, kegiatan Citizen Charter hanya
berjalan beberapa saat dan selanjutnya
penyelenggaraan pelayanan publik akan
kembali kepada praktik-praktik lama seperti
pada saat program citizen charter belum
dilakukan.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
25
Sementara itu, dari pihak masyarakat kendala
pelaksanaan citizen charter dapat muncul karena
berbagai hal berikut:
1. Citizen charter masih belum terlalu
memasyarakat sehingga masyarakat tidak
mengerti benar tentan konsep citizen charter,
sehingga sosialisasi harus dilakukan secara
terus menerus.
2. Budaya paternalisme yang dianut oleh
masyarakat selama ini menyulitkan manakala
mereka diminta untuk melakukan diskusi
terbuka dengan para pejabat publik yang
mereka anggap menduduki posisi yang lebih
tinggi dalam masyarakat. Apalagi jika harus
melakukan kritik secara terbuka kepada pejabat
publik pada waktu dialog publik. Padahal
dalam pelaaksanaan citizn charter diperlukan
musyawarah yang berkelanjutan untuk
menentukan segala kebijakan yang harus
disepakati dan tertuang dalam dokumen
kontrak pelayanan.
3. Apatisme. Karena selama ini masyarakat
jarang dilibatkan dalam pembuatan kebijakan
oleh pemerintah daerah, maka mereka menjadi
bersikap apatis. Kondisi ini akan menyulitkan
ketika pemerintah melakukan inisiatif untuk
mengajak mereka berpartisipasi untuk
melaksanakan cc.
4. Tidak adanya kepercayaan (trust) masyarakat
kepada pemerintah. Pengalaman masa lalu di
mana masyarakat hanya dijadikan objek
pemerintah membuat masyarakat kehilangan
kepercayaan kepada pemerintah. Bahkan
masyarakat sering beranggapan bahwa citizen
charter mungkin hanya sesaat dan tidak bisa
bertahan dalam waktu lama.
PEMBAHASAN
Seperti yang sudah diketahui bersama
bahwa konsep citizen charter dapat memberikan
kontribusi yang banyak dalam upaya pelaksanaan
peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Oleh karena ada banyak hal yang bersifat sangat
fungsional di dalam Kontrak Pelayanan, yaitu
bahwa ia akan dapat dijadikan sebagai bentuk
rumusan dari kesepakatan bersama yang bersifat
terbuka, sebagai instrumen publik untuk
mengontrol penyelenggaraan pelayanan, dan juga
sebagai sarana untuk mengatur hak dan kewajiban
dari pengguna maupun penyedia pelayanan secara
seimbang dan adil.
Dengan demikian asumsi yang terdapat di
dalam good governance sangat sejalan dengan
Citizen Charter, yaitu bahwa pelayanan publik akan
menjadi urusan dan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat pengguna pada
umumnya.
Dari beberapa kasus di daerahyang telah
berhasil menerapkan CC, tampak bahwa sistem
Kontrak Pelayanan bisa merupakan terobosan bagi
penciptaan mekanisme pelayanan yang lebih
berkualitas serta reformasi birokrasi publik di
Indonesia. Kontrak Pelayanan jelas sangat sesuai
dengan gagasan tata -pemerintahan yang baik sebab
prinsip dasardari governance adalah keterlibatan
tiga pihak dalam proses pelayanan, yaitu
pemerintah daerah, unsur-unsur swasta, dan unsur-
unsur masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan.
Namun harus diakui bahwa penerapan
sistem Kontrak Pelayanan di Indonesia masih
merupakan hal yang baru dan belum banyak
dipahami dengan baik oleh para perumus kebijakan
di daerah. Prosedur pelayanan sering kali diatur
dengan peraturan daerah (Perda), yang tidak bisa
diubah begitu saja karena pelanggaran terhadap
Perda memiliki risiko yang besar bagi para pejabat
birokrasi. Dan tentu saja komitmen dari semua
unsur citizen charter memgang peranan yang sangat
penting dalam pelaksanaannya. Kendala dalam
pelaksanaan citizen charter di puskesmas yang
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
26
paling utama adalah advokasi kepada pemerintah.
Begitu banyaknya prosedur dalam advokasi
sehingga menyulitkan pihak puskesmas yang hanya
merupakan Unit pelaksana Teknis Dinas Kesehatan
untuk mandapatkan legalitas dari pelaksanaan
citizen charter.
Menurut Chandler (1996)2, dikatakan
bahwa citizen charter merupakan cara efektif
untukmeninkatkan kapasitas pemerintahan daerah
dan dalam pelaksanaannya memerlukan komitmen
yang kuat. Komitmen tersebut haruslah termasuk
peningkatan kualitas pelayanan. Bila komitmen
hanya ada di satu pihak misalnya hanya pada
pemberi layanan tetapi tidak ada komitmen dari
pihak lain maka tidak akan sukses peelaksanaan
citizen charter.
Pada Public Policy and Administration,
Taylor yang dikutip oleh Zannatun Nayem
menyimpulkan bahwa system citizen charter ini
kurang adekuat dalam memenuhi kebutuhan dari
customers, dan memerlukan systm yang lebih kuat.
Studi oleh Vijender Singhn Haryana
municipal council in India menunjukkan bahwa
citizen charter sangat dipengaruhi banyak factor
dan actor dalam proses pelaksanaannya. Jika tidak
didukung oleh kebijakan dari pemerintah maka
citizen charter tidak akan berhasil memberikan
perubahan yang lebih baik10.
Disamping itu, untuk dapat bertahan
pelayananan pada masyarakat juga harus
melakukan penyempurnaan terhadap mekanisme
dan prosedur kerjanya sesuai dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat
menghasilkan pelayanan publik yang cepat dan
berkualitas dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Apabila organisasi tidak mampu
mengadopsi teknologi modern dan terbelenggu oleh
metode kerja yang tradisional, maka pelayanan
yang diberikan akan lambat dan kurang berkualitas.
Konsep citizen charter ini juga harus didukung oleh
teknologi masa kini.
Jelas sekali bahwa konsep citizen charter memang
seharusnya bisa memberian banyak perubahan
dalam hal peningkatan pelayanan kepada
masyarakat, namun banyak faktor yang dapat
menyebabkan gagalnya pelaksanaan citizen charter.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Citizen Charter merupakan kesepakatan
resmi (formal) antara masyarakat atau konsumen
dengan penyelenggara pelayanan publik. Biasa juga
disebut sebagai Kontrak Pelayanan yang berisi
kesanggupan dan kesediaan pemberi layanan untuk
melakukan atau menyelenggarakan pelayanan
sesuai dengan perjanjian (kesepakatan), disertai
sanksi apabila kesepakatan tidak dipenuhi atau
dilanggar. Citizen charter menekankan aspek
pelayanan publik yang profesional, transparan,
berkepastian, ramah dan berkeadilan dengan
menghargai hak dan kewajiban pengguna maupun
penyedia layanan.
Citizen charter dapat:
a. Memberikan kepastian pelayanan yang
meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara
pelayanan.
b. Memberikan informasi mengenai hak dan
kewajiban pengguna layanan, penyedia
layanan, dan stakeholder lainnya dalam
keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan
c. Mempermudah pengguna layanan, warga, dan
stakeholder lainnya mengontrol praktik
penyelenggaraan pelayanan.
d. Mempermudah manajemen pelayanan dan
memperbaiki kinerja penyelenggaraan
pelayanan.
e. Membantu manajemen pelayanan
mengidentifikasi kebutuhan, harapan, dan
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
27
aspirasi pengguna layanan dan stakeholder
lainnya.
Ada beberapa kendala dalam pelaksanaan
Citizen charter.Dari pihak pemerintah daerah,
kendala yang muncul dapat berupa:
a. Lemahnya komitmen politik para pengambil
keputusan di daerah untuk secara benar
melaksanakan citizen carter.
b. Lemahnya dukungan SDM yang dapat
diandalkan untuk melaksanakan citizen charter.
c. Rendahnya kemampuan lembaga legislatif
dalam mengartikulasikan cc untuk kepentingan
masyarakat.
d. Lemahnya dukungan anggaran.
2. Saran
Diperlukan sosialisasi secara berkelanjutan
kepada seluruh unsur yang terlibat pada citizen
charter. Dan juga diperlukan adanya pendampingan
yang tepat untuk pelaksanaan citizen charter.
Daftar Pustaka
Centre for Good Governance, “Handbook on Citizen's Charters” Centre for Good
Governance, Andhra Pradesh, India, 2008
J.A Chandler, “ The Citizen Charter” Universitas
Michigan, Dartmouth (1996),
Peraturan Menteri Kesehatan Repiblik Indonesia
Indonesia no 001 tahun 2012
Panduan penyusunan Citizen Charter dan Good
Practices, Local Governance Support
Program Local Government Management
Systems, Jakarta, 2009
Tim Revisi Buku Pedoman kerja Puskesmas 1991/1992, “Pedoman Kerja Puskesmas Jilid
1”, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta, 1997.
Tjut Zakiyah Anshari ,”Citizen Charter dan
Penyelesaian Pengaduan Masyarakat di
Puskesmas Kauman Tulungagung”, IGI
(Inisiatives for Governance Inovations),
Yogyakarta, 2007
http://www.cgi.fisipol.ugm.ac.id
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36
tahun 2009 tentang kesehatan
Wibowo, Cendikia, Rostanti, Sudarno,
“Implementasi Mekanisme Komplain
Terhadap Pelayana Publik Berbasis
Partisipasi Masyarakat”, Jakarta, PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional), 2007
Zannatun Nayem, “Problems of Implementing
Citizen Charter : A Study of Upazila Land
Office” Master in Public Policy and
Governance, Department of General and
Continuing Education, North South
University, Dhaka. http: // mppgnsu.org
/attachments/ 119_Zannat_Citizen
charter.pdf
Society, The Individual, and Medicine, Primary
Care: Definition and Historical development, Canada‟s university, August,
2013http://www.med.uottawa.ca/sim/data/Pr
imary_Care.htm
Parliamentary Center,26 Oktober 2010,
KinerjaBirokrasiPelayanan public, Nasional
2 Comments https: //www. academia.edu
/4627244/ Kinerja_ Birokrasi_ Pelayanan_
Publik
AH.Rahardian, Konsep Citizen Charter
SebagaiinovasidaampelayananPublik
https://www.stiami.ac.id/jurnal/download/70/k
onsep
Portal Pemerintah Kota Jogjakarta,
SitusResmiPemerintah Kota Jogjakarta
http://www.jogjakota.go.id/services/citizen-
charter
Kumorotomo,Wahyudi, Citizen Charter
(KontrakPelayanan):
PolaKemitraanstrategisuntukmewujudkan
Good Governance dalampelayanan public
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/CivilSociety/citizen-charter-kemitraan-strategis-
good-governance-dlm-pelayanan-publik.pdf
Kepmenkes RI Nomor 128 tahun 2004
tentangkebijakandasarPuskesmas
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
28
PENGARUH TETES MATA FENILEFRIN HIDROKLORID 10%
TERHADAP TEKANAN DARAH
Heru Suswojo1
1Mahasiswa Magister Administrasi Rumah Sakit
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur
Email: [email protected]
ABSTRACT
Topical eye drugs can cause systemic effects that often not recognized and anticipated. Phenylephrine is
a sympathomimetic drug that stimulates the receptor α1 directly, so that can give effect to the cardiovascular
system. This study aims to determine the effect of Phenylephrine 10% eye drops against cardiovascular status,
i.e. blood pressure. The subjects of the study are 25 people, aged 30-70 years, were treated for the provision of
Phenylephrine 10% eye drops in one eye in accordance with the criteria of the sample. Hatching performed twice with an interval of five minutes, 30 minutes later cardiovascularstatus were examined. From examination
of the mean systolic blood pressure obtained before hatching Phenylephrine 123.52 ± 16.56 mmHg and 127.72 ±
15.89mmHg after hatching. The magnitude of change in mean systolic blood pressure was4.20 ± 5.42 mmHg.
Mean diastolic blood pressure before hatching Phenylephrine was 74.80 ± 8.79 mmHg and 77.44 ± 8.46mmHg
after hatching. The magnitude of change in mean diastolic blood pressure was 2.64 ± 4.60 mmHg. The results of
the analysis between the administration of Phenylephrine 10% eye drops against systolic and diastolic blood
pressure showed a significant change, the increase in systolic blood pressure (p = 0.0005) and diastolic blood
pressure (p = 0.004).
Keywords: Eye drops/Eye drugs, Phenylephrine, blood pressure, Systolic and Diastolic
ABSTRAK
Obat-obatan mata yang diberikan secara topikal dapat menimbulkan efek sistemik yang seringkali tidak
disadari dan diantisipasi. Fenilefrin merupakan obat simpatomimetik yang menstimulasi secara langsung
reseptor α1, sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh tetes mata Fenilefrin 10% terhadap status kardiovaskuler, yaitu tekanan darah. Subyek
penelitian sebanyak 25 orang, usia 30-70 tahun, diberi perlakuan berupa pemberian tetes mata Fenilefrin 10%
pada satu mata yang sesuai dengan kriteria sampel. Penetesan dilakukan dua kali dengan interval lima menit,
30 menit kemudian dilakukan pemeriksaan status
kardiovaskulernya. Dari pemeriksaan didapatkan tekanan darah sistolik rerata sebelum penetesan Fenilefrin
123,52 ± 16,56 mmHg dan sesudah penetesan 127,72 ± 15,89 mmHg. Besarnya perubahan tekanan darah
sistolik rerata 4,20 ± 5,42 mmHg. Tekanan darah diastolik rerata sebelum penetesan Fenilefrin sebesar 74,80 ± 8,79 mmHg dan sesudah penetesan 77,44 ± 8,46 mmHg. Besarnya perubahan tekanan darah diastolik
rerata 2,64 ± 4,60 mmHg. Hasil analisis antara pemberian tetes mata Fenilefrin 10% dan tekanan darah
sistolik maupun diastolik menunjukkan perubahan bermakna, yaitu meningkatkan tekanan darah sistolik (p
= 0,0005) dan tekanan darah diastolik (p = 0,004).
Kata kunci : Tetes mata, Fenilefrin, Tekanan darah, Sistolik, dan Diastolik
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
29
PENDAHULUAN
Obat–obatan mata yang diaplikasikan
secara topikal kebanyakan dalam bentuk tetes
mata. Kesalahpahaman yang umum terjadi
ialah bahwa tetes mata tidak mampu
mengakibatkan efek samping sistemik dari
dugaan medikasi pada mata memiliki absorpsi
sistemik yang buruk.
Setelah ditempatkan pada sakus
konjungtiva, jumlah obat signifikan untuk
terjadi absorpsi sistemik dan dapat
mengakibatkan efek samping sistemik yang
merugikan. Karena medikasi yang diberikan ke
mata akan mengalir melalui duktus
nasolakrimalis secara cepat, kemudian sebanyak
80% obat diabsorpsi melalui mukosa hidung dan
masuk ke dalam sirkulasi sistemik tanpa
dimetabolisme oleh hati sebelumnya.
Disamping itu, obat yang penetrasi ke
dalam mata dieliminasi dari bilik mata depan
melalui sawar akuos-darah menuju trabecular
meshwork dan kanal Schlemm, dari vitreus
menuju rute anterior (bilik mata belakang) dan
posterior melalui sawar retina-darah, akhirnya
akan menuju sirkulasi sistemik. Efek ini
seringkali tidak diantisipasi, dikenali, atau
diterapi secara tepat (Shiuey & Eisenberg 1996,
Urtti 2006).
Dilatasi pupil merupakan bagian rutin dari
pemeriksaan mata komprehensif. Fenilefrin 10%
sering digunakan sebagai midriatikum dalam
bidang mata untuk tujuan diagnostik dan
terapeutik (Aronson 2006). Keuntungan
Fenilefrin adalah onsetnya yang relatif cepat
dan durasi kerjanya cukup panjang (Bartlett
2007). Namun insiden efek merugikan tinggi
dengan penggunaan Fenilefrin 10%, yang
berkurang dengan konsentrasi lebih rendah.
Reaksi sistemik meningkat seiring peningkatan
frekuensi pemakaian dan ketika diberikan
dalam bentuk pledget (Aronson 2006, Duvall &
Kershner 2005).
Terdapat kontroversi tentang konsentrasi
Fenilefrin topikal yang dianjurkan untuk
midriasis diagnosis atau terapeutik. Samantary
dan Thomas (1975) melaporkan peningkatan
tekanan darah yang nyata setelah penggunaan
topikal Fenilefrin dalam semua kasusnya.
Kumar et al. (1985) menyimpulkan
bahwa tekanan darah rata–rata lebih tinggi
dengan Fenilefrin 10%. Kenawy dan Jabir (2003)
menunjukkan peningkatan tekanan darah
sistolik signifikan secara statistik pada
kelompok Fenilefrin 10%. Mathew et al. (2004)
menyimpulkan bahwa Fenilefrin 10% mengubah
secara signifikan tekanan darah perioperatif
(Bhatia et al. 2009, Škunca et al. 2007).
Mengingat adanya laporan–laporan studi
yang bertentangan mengenai efek sistemik,
terutama terhadap kardiovaskuler, penggunaan
topikal Fenilefrin 10% dan adanya kontroversi
tentang konsentrasi Fenilefrin topikal yang
dianjurkan untuk midriasis diagnosis atau
terapeutik, maka penelitian ini diajukan untuk
menilai pengaruh Fenilefrin hidroklorid 10%
terhadap tekanan darah.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode One
group pretest–posttest design. Penelitian ini
dilakukan di Unit Rawat Jalan Mata pada
sebuah Rumah Sakit Umum di Kabupaten
Lamongan selama tiga bulan.
Populasi pada penelitian ini adalah pasien-
pasien katarak yang berkunjung ke Unit
Rawat Jalan Mata Divisi Katarak, yang
dilakukan diagnostik pra bedah katarak selama
tiga bulan penelitian berlangsung. Sedangkan
untuk sampel penelitian adalah para pasien–
pasien yang telah memenuhi kriteria inklusi.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
30
Kemudian untuk cara pengambilan sampel adalah
dengan cara simple random sampling. Untuk
besar sampel yang dijakdikan objek penelitian
adalah sebanyak 25 responden.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
pasien dengan usia 30 – 70 tahun, pasien yang
dilakukan diagnostik pra bedah katarak, dan
bersedia mengikuti penelitian setelah diberikan
informed consent. Sedangkan untuk criteria
Eksklusi nya adalah bilik mata depan dangkal
atau riwayat glaukoma sudut tertutup,
menggunakan obat–obatan inhibitor monoamin
oksidase, antikolinergik , beta bloker, Reserpin,
Guanetidin, Metildopa. Mengidap penyakit
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, DM
dengan retinopati diabetik, CVA. Menggunakan
obat–obatan okuler topikal, kecuali artificial tears
nonpreservatif Kelainan–kelainan aktif yang
mengenai kelopak mata, sistem lakrimalis,
konjungtiva, dan kornea, serta pemakai lensa
kontak.
HASIL
1. Karakteristik Responden
Rentang usia subyek penelitian termuda
ialah 30 tahun dan tertua 70 tahun. Usia rerata
responden dalam penelitian ini adalah 52,12 ±
12,53 tahun. Jika dikelompokkan dalam beberapa
kategori, didapatkan distribusi usia subyek
sebagai berikut.
Tabel 1. Gambaran responden menurut usia
Tabel 2. Gambaran responden menurut jenis
kelamin
Tabel 3. Gambaran responden menurut penyakit
penyerta
2. Perubahan Tekanan Darah
a. Perubahan Tekanan Darah Sistolik Sebelum
dan Sesudah Pemberian Tetes Mata
Fenilefrin 10%
Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa
tekanan darah sistolik minimal dan maksimal
sebelum pemberian Fenilefrin ialah 95 mmHg
dan 150 mmHg dengan rerata 123,52 ± 16,56
mmHg. Tekanan darah sistolik minimal dan
maksimal sesudah pemberian Fenilefrin ialah
105 mmHg dan 152 mmHg dengan rerata
127,72 ± 15,89 mmHg. Besarnya perubahan
tekanan darah sistolik rerata 4,20 ± 5,42 mmHg.
Distribusi perubahan tekanan darah sistolik
bervariasi. Terdapat peningkatan tekanan darah
sistolik pada 20 subyek (80%), penurunan
pada 3 subyek (12%), dan tetap pada 2
subyek (8%).
Didapatkan perubahan bermakna
peningkatan tekanan darah sistolik antara
sebelum dan sesudah pemberian Fenilefrin (p
= 0,0005).
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
31
Tabel 4. Tekanan darah sistolik sebelum dan
sesudah pemberian Fenilefrin
Tabel 5. Gambaran tekanan darah sistolik
sebelum dan sesudah pemberian
Fenilefrin
b. Perubahan Tekanan Darah Diastolik Sebelum
dan Sesudah Pemberian Tetes Mata Fenilefrin
10%
Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa
tekanan darah diastolik minimal dan maksimal
sebelum pemberian Fenilefrin ialah 61 mmHg
dan 90 mmHg dengan rerata 74,80 ± 8,79
mmHg. Tekanan darah diastolik minimal dan
maksimal sesudah pemberian Fenilefrin ialah 61
mmHg dan 92 mmHg dengan rerata 77,44 ±
8,46 mmHg. Besarnya perubahan tekanan
darah diastolik rerata 2,64 ± 4,60 mmHg.
Distribusi perubahan tekanan darah diastolik
bervariasi. Terdapat peningkatan tekanan darah
sistolik pada 14 subyek (56%), penurunan
pada 1 subyek (4%), dan tetap pada 10
subyek (40%).
Didapatkan perubahan bermakna
peningkatan tekanan darah diastolik antara
sebelum dan sesudah pemberian Fenilefrin (p =
0,004).
Tabel 6. Tekanan darah diastolik sebelum dan
sesudah pemberian Fenilefrin
Tabel 7. Gambaran tekanan darah diastolik
sebelum dan sesudah pemberian
Fenilefrin
PEMBAHASAN
Fenilefrin hidroklorid dengan konsentrasi
10% digunakan secara luas sebagai midriatikum
untuk berbagai macam indikasi di bidang
mata. Fenilefrin yang diabsorpsi akan menuju
sirkulasi sistemik sehingga dapat menimbulkan
efek sistemik. Efek sistemik ini pertama kali
dikemukakan oleh Heath (1936) yang
melaporkan bahwa terdapat peningkatan tekanan
darah sistemik sebesar 50 mmHg setelah
pemberian Fenilefrin 3 mg dalam bentuk bubuk
pada kornea anjing (Tang et al. 1997).
Pada beberapa laporan kasus selama
ini, terdapat kejadian fatal akibat penggunaan
Fenilefrin. Lai (1989) melaporkan kasus
seorang laki-laki usia 57 tahun dengan retinal
detachment total yang dilakukan operasi di
bawah anestesi general mengalami hipertensi
berat (260/120 mmHg) setelah diberikan tetes
mata Fenilefrin 10% 4 kali praoperatif dengan
interval 30 menit dan 4 kali intraoperatif.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
32
Fraunfelder et al. (2002) melaporkan 11
kasus penggunaan Fenilefrin 10% dalam bentuk
pledget, didapatkan komplikasi cardiac arrest
pada 3 individu, edema paru 1 individu,
perdarahan subaraknoid 2 individu, CVA 1
individu, fibrilasi ventrikuler 1 individu, dan
hipertensi berat 9 individu. Weisberg (1993)
melaporkan 1 kasus perempuan usia 72 tahun
mengalami perdarahan intraserebral di daerah
talamus setelah mendapat 1 tetes Fenilefrin 2,5%
dan 1 tetes Tropikamid 1% pada masing-masing
mata.
Penelitian ini menggunakan tetes mata
Fenilefrin dengan konsentrasi 10% karena
preparat komersialnya lazim didapatkan dan
semua subyek dalam penelitian ini beriris gelap.
Individu beriris gelap memiliki banyak
pigmen dan Fenilefrin cenderung berikatan
dengan pigmen (Bartlett & Jaanus 2008, McEvoy
et al. 2005).
Dalam Fenilefrin 10%, 1 ml obat
mengandung 100 mg Fenilefrin. Ukuran alat
penetes obat pada penelitian ini tidak diketahui
secara pasti. Ukuran alat penetes obat rata -rata
adalah 25–50 µL, namun cul–de–sac hanya
mampu menahan 25–30 µL obat, sehingga
obat yang dapat ditampung sebanyak 2,5–3 mg
(dengan asumsi 1 ml setara dengan 20 tetes).
Dosis total yang kami gunakan sebanyak 2
tetes, sehingga setara dengan 5–6 mg obat.
Bilamana dianggap obat yang diabsorpsi
sebanyak 80% menuju ke sirkulasi sistemik,
maka didapatkan 4–4,8 mg Fenilefrin dalam
plasma. Dosis tersebut melebihi batas tertinggi
dosis aman yang diberikan secara intravena, yaitu
sebesar 1,5 mg (Bartlett & Jaanus 2008,
Fraunfelder et al. 2008).
Sulit untuk memprediksi konsentrasi
plasma efektif Fenilefrin topikal yang diberikan
pada mata. Berbagai faktor mempengaruhi
absorpsi obat-obat topikal. Faktor-faktor ini
meliputi waktu residensi obat pada air mata,
ikatan dan metabolisme obat oleh protein
jaringan dan air mata, difusi melewati struktur
okuler dan drainase nasolakrimal (Lee 1993).
Waktu pemeriksaan tekanan darah
setelah penetesan Fenilefrin pada penelitian ini
yang dipilih adalah 30 menit, karena periode ini
merupakan saat dimana pupil berdilatasi secara
maksimal dan diasumsikan bahwa obat telah
mencapai sirkulasi sistemik pada titik waktu
tersebut (Tang et al. 1997). Dalam suatu studi, 60
pasien diberikan aplikasi tetes mata Fenilefrin
10% 3 kali dengan interval 10 menit pada
masing-masing mata. Tiga puluh menit setelah
penetesan terakhir, terjadi peningkatan tekanan
darah sistolik sebesar 10-40 mmHg dan diastolik
sebesar 10-30 mmHg pada semua subyek.
Pada masing-masing kasus terdapat
penurunan denyut nadi sebesar 10-20 kali/menit
(Bartlett & Jaanus 2008).
1. Karakteristik Responden
1. Usia
Usia rerata subyek penelitian ini (52,12 ±
12,53 tahun) hampir sama dengan penelitian
Yospaiboon et al. (2004), yaitu 49,93 ± 17,03
tahun pada kelompok Fenilefrin 10% dan
52,37 ± 16,46 tahun pada kelompok Fenilefrin
2,5% (Yospaiboon et al. 2004).
Pada penelitian ini, karakteristik usia
tidak memberikan pengaruh terhadap efek
sistemik yang ditimbulkan oleh pemberian tetes
mata Fenilefrin 10%. Usia subyek dibatasi sampai
dengan usia 70 tahun mengingat adanya
beberapa laporan kasus tentang pemberian
Fenilefrin menimbulkan komplikasi-komplikasi
kardiovaskuler berat yang kebanyakan terjadi
pada usia di atas 70 tahun (Lai 1989).
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
33
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin subyek penelitian ini
hampir sama dengan penelitian Škunca et al.
(2007), terdiri dari 55,1% laki -laki dan 44,9%
perempuan. Karakteristik jenis kelamin pada
penelitian ini tidak memberikan pengaruh
terhadap efek sistemik akibat pemberian tetes
mata Fenilefrin 10%. Pada penelitian-penelitian
lain tidak dijelaskan apakah karakteristik jenis
kelamin turut berpengaruh atau tidak terhadap
efek sistemik penetesan Fenilefrin.
3. Penyakit Penyerta
Ada beberapa peneliti yang membagi
subyek menjadi kelompok normotensif dan
hipertensif, antara lain Chin et al. (1994), Tang et
al. (1997), dan Bhatia et al. (2009).
Meskipun penelitian ini tidak secara
khusus mengelompokkan subyek tanpa
kelainan dan dengan kelainan, namun terdapat
subyek dengan penyakit penyerta hipertensi
stadium 1 dan DM tipe 2 tanpa retinopati
diabetik. Hal ini sama dengan penelitian
Brown et al. (1980), terdapat subyek dengan
hipertensi pada kelompok Fenilefrin sebanyak
23% dan kelompok kontrol 30% serta DM
tipe 2 pada masing-masing kelompok
sebanyak 10% (Brown et al. 1980).
Hipertensi stadium 1 dalam kriteria
inklusi dibatasi pada tekanan darah ≤ 150/90
mmHg mengingat pemeriksaan terhadap
subyek dilakukan di Unit Rawat Jalan tanpa
ketersediaan alat-alat life saving yang akan
dibutuhkan bila terjadi komplikasi seperti krisis
hipertensi yang mengancam jiwa setelah diberi
perlakuan. DM tipe 2 dalam kriteria inklusi
dibatasi pada DM tanpa retinopati diabetik karena
durasi diabetes kemungkinan merupakan
prediktor paling kuat untuk perkembangan dan
progresifitas retinopati, serta insiden retinopati
berkorelasi secara signifikan dengan prevalensi
komplikasi-komplikasi terkait diabetes lainnya
(Cohen et al. 1998, Fong et al. 2004).
Dalam penelitian ini, hanya ada 3
subyek yang disertai kelainan sistemik,
sehingga sulit dianalisis apakah penyakit
penyerta turut berpengaruh atau tidak terhadap
efek sistemik pemberian Fenilefrin 10%.
2. Perubahan Tekanan Darah
a. Perubahan Tekanan Darah Sistolik Sebelum
dan Sesudah Pemberian Tetes Mata
Fenilefrin 10%
Pada penelitian ini terdapat variasi
perubahan tekanan darah sistolik antara sebelum
dan sesudah pemberian Fenilefrin. Peningkatan
tekanan darah sistolik paling tinggi sebesar 20
mmHg, penurunannya paling tinggi sebesar 5
mmHg. Ada beberapa subyek yang tidak
didapatkan perubahan tekanan darah sistolik.
Hasil ini sesuai dengan Kenawy dan Jabir
(2003) yang melaporkan adanya peningkatan
signifikan rerata tekanan sistolik sebesar 34,4
mmHg (grup normotensif) dan 22,8 mmHg (grup
hipertensif) pada kelompok Fenilefrin 10%
(Kenawy & Jabir 2003).
Berbeda dengan penelitian Malhotra et.al.
(1998) yang menyatakan tidak ada perubahan
tekanan darah yang berarti akibat pemberian
Fenilefrin topikal 2,5% dan 10%. Suwan-apichon
et al. (2010) menyatakan terdapat perbedaan
rerata tekanan darah sistolik yang tidak
bermakna secara statistik antara sebelum dan
sesudah penetesan Fenilefrin. Yospaiboon et al.
(2004) menunjukkan bahwa peningkatan tekanan
darah sistolik rerata tidak bermakna pada
kelompok Fenilefrin 2,5% maupun 10%; hal
ini mungkin berkaitan dengan dosis tunggal yang
diberikan sehingga konsentrasi Fenilefrin terlalu
rendah untuk mengakibatkan efek sistemik yang
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
34
signifikan (Malhotra et al. 1998, Suwan-apichon
et al. 2010, Yospaiboon et al. 2004).
Hasil analisis penelitian ini menyatakan
terdapat perubahan bermakna tekanan darah
sistolik antara sebelum dan sesudah perlakuan.
Adanya variasi tersebut bisa disebabkan oleh
banyak faktor, di antaranya terdapat refleks
kedip pada subyek, dilusi obat oleh lakrimasi,
adanya interaksi obat pada subyek yang men
derita DM tipe 2 dan hipertensi.
Variasi pengukuran juga dapat dipengaruhi
oleh kecemasan, kandung kemih yang mengalami
distensi, dan berbicara yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Lingkungan berisik, makan
makanan sesaat sebelum diperiksa, dan
penekanan bell yang berlebihan dapat
menurunkan tekanan darah (Kaplan 2006).
b. Perubahan Tekanan Darah Diastolik Sebelum
dan Sesudah Pemberian Tetes Mata Fenilefrin
10%
Perubahan Tekanan Darah Diastolik
Sebelum dan Sesudah Pemberian Tetes Mata
Fenilefrin 10% pada penelitian ini juga terdapat
variasi perubahan tekanan darah diastolik antara
sebelum dan sesudah pemberian Fenilefrin.
Peningkatan tekanan darah diastolik tertinggi
sebesar 16 mmHg, penurunan terendah sebesar 5
mmHg. Ada beberapa subyek yang tidak
didapatkan perubahan tekanan darah diastolik.
Hasil ini sesuai dengan penelitian
Kenawy dan Jabir (2003) yang melaporkan
adanya peningkatan signifikan rerata tekanan
diastolik sebesar 10,5 mmHg (grup
normotensif) dan 16,8 mmHg (grup
hipertensif) pada kelompok Fenilefrin 10%
(Kenawy & Jabir 2003). Hasil ini berbeda dengan
Suwan-apichon et al. (2010), yaitu terdapat
perbedaan rerata tekanan darah diastolik yang
tidak bermakna secara statistik antara sebelum
dan sesudah penetesan Fenilefrin. Yospaiboon
et al. (2004) menunjukkan bahwa peningkatan
tekanan darah diastolik rerata tidak bermakna
pada kelompok Fenilefrin 2,5% dan 10% (Suwan-
apichon et al. 2010, Yospaiboon et al. 2004).
Hasil analisis penelitian ini menyatakan
bahwa terdapat perubahan bermakna tekanan
darah diastolik antara sebelum dan sesudah
perlakuan. Adanya variasi tersebut bisa
disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tekanan darah diastolik sama
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan
darah sistolik (Kaplan 2006).
Perbedaan nilai kemaknaan antara
tekanan darah sistolik dan diastolik dimana
nilai kemaknaan sistolik lebih tinggi daripada
diastolik bisa difahami karena Fenilefrin lebih
memberikan pengaruh terhadap tekanan arterial
(Ebadi 2008).
KESIMPULAN
Dari penelitian mengenai pengaruh tetes
mata Fenilefrin hidroklorid 10% terhadap
tekanan darah di Unit Rawat Jalan Mata Divisi
Katarak pada sebuah Rumah Sakit di Kabupaten
Lamongan dapat ditarik simpulan sebagai berikut
bahwa pemberian tetes mata Fenilefrin
hidroklorid 10% meningkatkan tekanan darah
sistolik dan tekanan darah diastolik secara
bermakna.
DARTAR PUSTAKA
Bartlett JD, ed. 2007. Ophthalmic drug facts. 18th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. p.43–47.
Bartlett JD, Jaanus SD. 2008. Clinical ocular
pharmacology. 5th ed. Missouri:
Butterworth – Heinemann Elsevier.
p.17,39–41,68,114–117.
Bhatia J, Varghese M, Bhatia A. 2009. Effect of
10% phenylephrine eye drops on systemic blood pressure in normotensive &
hypertensive patients. Oman Medical
Journal 24(1): 30–32.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
35
Brown MM, Brown GC, Spaeth GL. 1980. Lack
of side effects from topically administered
10% phenylephrine eyedrops. Arch
Ophthalmol 98(3): 487–489.
Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I,
eds. 2008. Goodman & Gilman’s manual
of pharmacology and therapeutics. New
York: McGraw-Hill. p.110,162.
Chawdhary S, Angra SK, Zutshi R, Sachdev MS.
1984. Mydriasis-use of phenylephrine (a
dose-response concept). Indian J Ophthalmol 32: 213–216.
Chin KW, Law NM, Chin MK. 1994.
Phenylephrine drops in ophthalmic
surgery: a clinical study on cardiovascular
effects. Med J Malaysia 49: 158–163.
Davies NM. 2000. Biopharmaceutical
considerations in topical ocular drug
delivery. Annual
Ebadi M. 2008. Desk reference of clinical
pharmacology. 2nd ed. Boca Raton:
CRC Press. p.567–568. Fong DS, Aiello L, Gardner TW, King GL,
Blankenship G, Cavallerano JD, Ferris FL,
Klein R. 2004. Retinopathy in diabetes.
Diabetes Care 27(suppl .1).
Fraunfelder FT, Fraunfelder FW, Chambers
WA. 2008. Clinical ocular toxicology.
Philadelphia: Saunders Elsevier. p.3–
4,9,167–168.
Garg A. 2004. Mydriatics and cycloplegics.
In: Agarwal S, Agarwal A, Agarwal A,
eds. Phacoemulsification. 3rd ed. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of medical
physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders. p.106,110,112,121–
122,126,166,175.
Hardman JG, Goodman Gilman A, Limbird
LE. 1996. Goodman and Gilman’s the
pharmacological basis of therapeutics. 9th
ed. New York: McGraw–Hill. p.1626–
1628.
Kaplan NM. 2006. Kaplan's clinical hypertension. 9th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. p.23–
24,48–53,66.
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, eds. 2009.
Basic and clinical pharmacology. 11th ed.
New York: McGraw-Hill. p.159.
Kenawy NB, Jabir M. 2003. Phenylephrine
2.5% and 10% in phacoemulsification
under topical anaesthesia: is there an
effect on systemic blood pressure? Br J
Ophthalmol 87: 505–506.
Lai YK. 1989. Adverse effect of intraoperative phenylephrine 10%: case report. Br J
Ophthalmol 73: 468–469.
Lee VHL. 1993. Precomeal, cornea1 and
postcomeal factors. In: Mitra AK, ed.
Ophthalmic drug delivery systems. New
York: Marcel Dekker. p.59–82.
Malhotra R, Banerjee G, Brampton W, Price
NC. 1998. Comparison of the
cardiovascular effects of 2.5%
Phenylephrine and 10% Phenylephrine
during ophthalmic surgery. Eye (Lond)
12(Pt 6): 973–975.
National Institutes of Health. 2004. The seventh report of the Joint National Committee on
prevention, detection, evaluation, and
treatment of high blood pressure. U.S.
Department Of Health And Human
Services, p.11–12,18.
Pratanu S. 2000. Buku pedoman kursus
elektrokardiografi. Surabaya: Karya
Pembina Swajaya, p.8,13,31,33,81–82.
Urtti A. 2006. Challenges and obstacles of
ocular pharmacokinetics and drug
delivery. Advanced Drug Delivery Reviews 58: 1131–1135.
Ward M, Langton JA. 2007. Blood pressure
measurement. Continuing Education in
Anaesthesia, Critical Care & Pain 7(4).
Weisberg LA. 1993. Intracerebral hemorrhage
after topical administration of mydriatic
agents. Southern Medical Journal 86(9):
1064–1066.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
36
Kejadian Malpraktek oleh Tenaga Kesehatan di Indonesia
(Malpractice by Health Workers in Indonesia)
Susman Sjarif
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Health is everyone's dream because everyone can work optimally when in a healthy state. In practice conducted by
public health personnel frequent errors that can lead to a criminal act, such as fault diagnosis and errors in
surgery, as it is better known as malpractice. Incidence of malpractice could be as a result of health care actors are
still often ignore medical service standards, professional ethics, prudence and patient rights. The low performance
of health workers resulted in vulnerability to malpractice events. To avoid malpractice claims to health care, then
all health workers must have appropriate professional competence. Competence is a key factor for a person to
produce a good performance as well as a factor determining the success of an organization. A health worker should
have the competence related to intellectual ability, psychomotor and affective include professionalism, attitude and ethical behavior, basic medical sciences, clinical skills, communication skills, individual and system health in the
population, management information and to think scientifically and critically. If the health worker has to perform its
obligations according to their competencies, it is expected that the incidence of malpractice or allegations of
malpractice actions can be minimized.
Keywords: Malpractice, competence, professional ethics
ABSTRAK
Kesehatan merupakan dambaan setiap orang karena setiap orang dapat berkarya secara optimal manakala dalam
keadaan sehat. Dalam praktek yang dilakukan para tenaga kesehatan masyarakat sering terjadi kesalahan yang dapat
menimbulkan suatu tindak pidana, misalnya saja kesalahan diagnosis dan kesalahan dalam melakukan operasi, seperti yang lebih dikenal dengan istilah malpraktek. Kejadian malpraktek bisa sebagai akibat pelaku pelayanan
kesehatan masih sering mengabaikan standar pelayanan medik, etika profesi, sikap kehati-hatian dan hak-hak
pasien. Rendahnya kinerja tenaga kesehatan mengakibatkan kerawanan terhadap kejadian malpraktek. Untuk
menghindari tuntutan malpraktek pada tenaga kesehatan, maka semua tenaga kesehatan harus memiliki kompetensi
sesuai profesinya. Kompentensi merupakan factor kunci bagi seseorang untuk menghasilkan kinerja yang baik
sekaligus juga menjadi factor penentu keberhasilan suatu organisasi. Seorang tenaga kesehatan harus memiliki
kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan intelektual, psikomotor dan afektif meliputi profesionalisme, sikap
dan perilaku yang beretika, ilmu dasar pengobatan, ketrampilan klinis, ketrampilan komunikasi, sistem kesehatan
individu maupun dalam populasi, manajemen informasi dan berpikir secara ilmiah dan kritis. Jika tenaga kesehatan
sudah menjalankan kewajibannya sesuai kompetensinya, maka diharapkan kejadian malpraktek atau tuduhan
melakukan tindakan malpraktek dapat diminimalisir.
Kata kunci : Malpraktek, kompetensi, etika profesi
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
37
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan dambaan setiap
orang karena setiap orang dapat berkarya secara
optimal manakala dalam keadaan sehat.“
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial maupun ekonomi” (UU
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, pasal 1 ayat 1).
Bentuk pelayanan kesehatan berupa pelayanan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, yang
diberikan sesuai kebutuhan setiap
orang.Pelayanan kesehatan memerlukan tenaga
kesehatan yang beragam, sesuai dengan keahlian
yang diperlukan.
Dewasa ini sistem pelayanan medis yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan sebagai
penyembuh banyak diperbincangkan masyarakat,
dan penilaian serba positif terhadap profesi
kesehatan mulai luntur dikarenakan dalam upaya
penyembuhan yang dilakukan tenaga kesehatan
tidak semuanya sesuai yang diinginkan oleh
pasien, yaitu kesembuhan. Dalam praktek yang
dilakukan para tenaga kesehatan masyarakat
sering terjadi kesalahan yang dapat menimbulkan
suatu tindak pidana, misalnya saja kesalahan
diagnosis dan kesalahan dalam melakukan
operasi, seperti yang lebih dikenal dengan istilah
malpraktek.
Malpraktek menurut Valentin v. La
Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956 dapat didefinsikan
dengan, “kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran di lingkungan yang
sama”.
Kasus dugaan malpraktek bisa dituduhkan
pada semua tenaga kesehatan sebagai akibat dari
meningkatnya kesadaran hukum pada
masyarakat. Kejadian malpraktek bisa sebagai
akibat pelaku pelayanan kesehatan masih sering
mengabaikan standar pelayanan medik, etika
profesi, sikap kehati-hatian dan hak-hak pasien.
Di lain pihak, tindakan malpraktek yang
dilakukan oleh beberapa tenaga kesehatan biasa
disebabkan karena ketidakmampuan dari tenaga
kesehatan tersebut untuk memberikan pelayanan
yang baik kepada para pasien, begitupun dalam
hal bidan yang melakukan malpraktek.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Malpraktek
Malpraktek Medis adalah suatu tindakan
medis yang dilakukan oleh tenaga medis yang
tidk sesuai dengan standartd tindakan sehingga
merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai
kealpaan atau kesengajaan dalam hukum pidana.
Malpraktek medis menurut J. Guwandi
(2004) meliputi tindakan-tindakan sebagai
berikut:
a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak
boleh dilakukan oleh seorang tenaga
kesehatan.
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan atau melalaikan kewajiban.
c. Melanggar suatu ketentuan menurut
perundang-undangan.
Guwandi (2004) juga memberikan
pengertian bahwa malpraktek dalam arti luas
dibedakan antara tindakan yang dilakukan:
a. Dengan sengaja (dolus, Vorsatz, intentional)
yang dilarang oleh Peraturan Peru ndang-
undangan, seperti dengan sengaja melakukan
abortus tanpa indikasi medis, euthanasia,
memberikan keterangan medis yang isinya
tidak benar.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
38
b. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa)
atau karena kelalaian, misal : menelantarkan
pengobatan pasien, sembarangan dalam
mendiagnosis penyakit pasien.
Selanjutnya dikatakan perbedaan antara
malpraktek murni dengan kelalaian akan lebih
jelas jika dilihat dari motif perbuatannya sebagai
berikut :
a. Pada malpraktek (dalam arti sempit),
tindakannya dilakukan secara sadar, dan
tujuan dari tindakan memang sudah terarah
pada akibat yang hendak ditimbulkan atau
tidak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia
mengetahui atau seharusnya mengetahui
bahwa tindakannya adalah bertentangan
dengan hukum yang berlaku.
b. Pada kelalaian, tindakannya tidak ada motif
atau tujuan untuk menimbulkan akibat.
Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang
sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.
Dengan demikian di dalam malpraktek
medis terkandung unsur-unsur kesalahan yang
tidak berbeda dengan pengertian kesalahan
didalam hukum pidana, yaitu adanya kesengajaan
atau kelalaian termasuk juga delik omissi yang
menimbulkan kerugian baik materiil maupun
inmmateriil terhadap pasien.
2. Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana dalam Malpraktek Medis
Seorang dokter yang tidak melakukan
pekerjaannya sesuai dengan standar operasional
kedokteran dan standar prosedur tindakan medik
berarti telah melakukan kesalahan atau kelalaian,
yang selain dapat dituntut secara hukum pidana,
juga dapat digugat ganti rugi secara perdata
dalam hal pasien menderita kerugian. Penuntutan
pertanggungjawaban pidana hanya dapat
dilakukan jika pasien menderita cacat permanen
atau meninggal dunia, sedangkan gugatan secara
perdata dapat dilakukan asal pasien menderita
kerugian meskipun terjadi kesalahan kecil
(Supriadi,2001).
Untuk menentukan pertanggung-jawaban
pidana bagi seorang dokter yang melakukan
perbuatan malpraktek medis, diperlukan
pembuktian adanya unsur-unsur kesalahan, yang
dalam hukum pidana dapat berbentuk
kesengajaan dan kelalaian.Perbuatan malpraktek
medis yang dilakukan dengan kesengajaan,
tidaklah rumit untuk membuktikannya.
Definisi kelalaian medis menurut Leenen
sebagai kegagalan dokter untuk bekerja menurut
norma “medische profesionele standard” yaitu
bertindak dengan teliti dan hati-hati menurut
ukuran standar medis dari seorang dokter dengan
kepandaian rata-rata dari golongan yang sama
dengan menggunakan cara yang selaras dalam
perbandingan dengan tujuan pengobatan tersebut
(Guwandi,2004) sehingga seorang dokter dapat
disalahkan dengan kelalaian medis apabila dokter
menunjukkan kebodohan serius, tingkat kehati-
hatian yang sangat rendah dan kasar sehingga
sampai menimbulkan cedera atau kematian pada
pasien. Hal ini oleh karena seorang dokter
disyaratkan mempunyai tingkat kehati-hatian
yang harus lebih tinggi dari orang awam, yang
disetarakandengan tingkat kehati-hatian dokter
rata-rata dan bukan dengan dokter yang terpandai
atau terbaik.
Tom Christoffel memberikan 4 (empat)
elemen yang mendasari terjadinya malpraktek
medis (Walter, 2005):
a. A duty Owed
“The profesional does not owed a duty to
the general public, but only to those with whom
he/she has development a profesional
relationship. In terms of health care, the question
of whether or not a provider patient relationship
exstend is very important. The health profesional
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
39
can be negligent’s clear need for profesional
assistance. The health profesional has a duty to
the patient to exercise reasonable care and skill,
and by implication, to process the skills, and by
implication, to process the skills expected of such
a profesional”.
b. A Duty Breached/Dereliction of that
Duty/Breach of Standar Care.
Seorang dokter dikatakan melakukan
penyimpangan/ pelanggaran terhadap
kewajibannya jika telah menyimpang dari apa
yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan
apa yang seharusnya dilakukan menurut standar
profesi medis, sehingga dokter yang bersangkutan
dapat dipersalahkan dan dituntut pertanggung
jawabannya. Untuk menentukan ada/tidaknya
penyimpangan kewajiban, harus didasarkan pada
fakta-fakta yang meliputi kasusnya dengan
bantuan pendapat ahli dan saksi ahli.
c. Harm/Damage
Adanya hubungan yang erat antara Damage
(kerugian) dengan Causation (penyebab)
kerugian. Untuk mempersalahkan seorang dokter
harus ada hubungan kausal (secara langsung/
adekuat) antar penyebab (tindakan dokter) dengan
kerugian (cedera/kematian) pasien, dan harus
tidak ada peristiwa atau tindakan sela di
antaranya. Dalam hal demikian maka penilaian
fakta-faktanya, yang akan menentukan
ada/tidaknya suatu penyebab yang adekuat yang
dapat dijadikan sebagai bukti.
Kelalaian (negligent/culpa) yang sering-kali
mendasari terjadinya malpraktek medis
memerlukan pembuktian yang rumit. Namun
tidak jarang terjadi seorang dokter melakukan
kelalaian dengan begitu jelas, sehingga orang
awan pun dapat menilai bahwa telah terjadi
kelalaian. Dalam hal ini berlaku asas “Res ipsa
Loquitur” yang berarti the “thing speaks for
itself” (faktanya sudah berbicara), sehingga
pembuktian adalah pembuktian terbalik, dokter
harus membuktikan bahwa dirinya tidak
melakukan kelalaian.
d. Direct Causation
Tindakan ini merupakan tindakan langsung
menyebabkan kerugian/ penderitaan pasien, hal
ini disebabkan oleh dokter/tenaga medis lainnya
yang melalaikan kewajibannya yang seharusnya
ia laksanakan.
3. Sanksi Hukum Tindak Pidana
Malpraktek.
Kelalaian (negligence, culpa) adalah suatu
kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja,
atau kurang hati-hati, atau kurang penduga-
duga.Akibat yang terjadi karena kelalaian
sebenarnya tidak dikehendaki oleh si pembuat.
Didalam KUHP, tindak pidana yang
disebabkan oleh kelalaian diatur dalam pasal
359,360 dan 361 KUHP.
Kelalaian (negligence, culpa) adalah salah
satu faktor yang sering dijadikan sebagai
penyebab terjadinya malpraktek. Bahkan ada juga
yang menyebutkan bahwa kelalaian dan
malpraktek adalah istilah yang memiliki maksud
yang sama.
PEMBAHASA
1. Malpraktek Tenaga Kesehatan di
Indonesia
Berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, memberi peluang bagi
pengguna jasa atau barang untuk mengajukan
gugatan/tuntutan hukum terhadap pelaku usaha
apabila terjadi konflik antara pelanggan dengan
pelaku usaha yang dianggap telah melanggar hak-
haknya, terlambat melakukan / tidak melakukan /
terlambat melakukan sesuatu yang menimbulkan
kerugian bagi pengguna jasa/barang, baik
kerugian harta benda atau cedera atau bisa juga
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
40
kematian. Hal Ini memberikan arti bahwa pasien
selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan dapat
menuntut/menggugat rumah sakit, dokter atau
tenaga kesehatan lainnya jika terjadi konflik.
Dalam penegakan hukum kesehatan,
kesulitan yang dihadapi oleh penegak hukum,
pada umumnya berada dalam tataran pemahaman,
artinya, kurangnya kemampuan atau pengetahuan
aparat penegak hukum terhadap hukum
kesehatan, dalam konteks ini biasanya ditemukan
persoalan antara etik dan hukum.Artinya, apakah
perbuatan atau tindakan dokter yang dianggap
merugikan pasien itu merupakan pelanggaran etik
atau pelanggaran hukum positif yang
berlaku.Mengacu pada kenyataan betapa rumitnya
penegakan hukum dalam bidang kesehatan,
kiranya perlu dipahami beberapa faktor penting
yang perlu mendapat perhatian sehingga aparat
penegak hukum dapat menegakkan aturan-aturan
hukum di bidang kesehatan dan sekaligus dapat
melindungi pasien dan profesi kesehatan itu
sendiri. Penegakan hukum di bidang kesehatan
dipengaruhi oleh tiga unsur penting, yaitu :
a. Aturan hukum yang mengatur mengenai
profesi kesehatan.
b. Aparat penegak hukum
c. Institusi hukum
Dalam menjaga kesehatan tentu seringkali
ditemukan beberapa tindakan-tindakan yang
mengancam kesehatan tersebut dapat berupa
kesengajaan, kelalaian, ataupun kecelakaan.Hal-
hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai
malpraktek yang lebih ditekankan kepada tindak
pidana malpraktek.Didalam UU Kesehatan tidak
dicantumkan pengertian tentang Malpraktek,
namun didalam Ketentuan Pidana pada Bab XX
diatur didalam Pasal 190 UU.No.36 tahun 2009.
Pembentukan perundang-undang- an di
bidang pelayanan kesehatan diperlukan, hal ini
dilakukan supaya tindak pidana malpraktek dapat
dij erat dengan ketentuan yang tegas.Motif yang
ada pada pembentuk perundang-undangan untuk
menyusun peraturan-peraturan mengenai bidang-
bidang kehidupan tertentu sangat bervariasi.
Demikian pula halnya dengan dorongan-dorongan
untuk menyusun perundang-undangan pelayanan
kesehatan.
Landasan landasannya adalah antara lain,
sebagai berikut ( W .B.van der Mijn, 1982:15,
dan seterusnya) dalam (Soekanto,1987) :
a. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa
keahlian.
b. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian
tertentu.
c. Kebutuhan akan keterarahan (doelmatigheid).
d. Kebutuhan akan pengendalian biaya.
e. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat
untuk menentukan kepentingannya dan
identifikasi kewajiban pemerintah.
f. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum.
g. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi
para ahli.
h. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi
pihak ketiga.
2. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek
Menurut KUHP
Dalam hal tindak pidana malpraktik tidak
diatur dengan jelas dalam KUHP karena
pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat
dari perbuatan malpraktek tersebut.
Pada pasal 360 ayat 1 dan ayat 2 KUHP serta
pasal 361 KUHP dalam (Soesilo,2007)
Pasal 360 KUHP
Ayat 1 : “Barangsiapa karena kesalahannya
menyebabkan orang luka berat dihukum dengan
penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman
kurungan selama-lamanya satu tahun”.
Ayat 2 : “Barangsiapa karena kesalahannya
menyebabkan orang lukasedemikian rupa
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
41
sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau
tidak dapat menjalankan jabatannya atau
pekerjaannya sementara, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan
atau hukuman kurungan selama- lamanya enam
bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya
Rp.4.500,-
Pada pasal 360 KUHP memiliki perbedaan
dengan pasal 359 KUHP, yakni pada pasal 359
KUHP dijelaskan akibat dari perbuatan yang
menyebabkan “kematian” orang sedangkan dalam
pasal 360 KUHP adalah :
a. Luka berat
Di dalam pasal 90 KUHP dijelaskan mengenai
luka berat atau luka parah yakni :
1) Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap
akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat
mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau
sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh
kembali dengan sempurna dan tidak
mendatangkan bahaya maut itu bukan luka
berat.
2) Terus menerus tidak cakap lagi melakukan
jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat
sementara saja bolehnya tidak cakap
melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka
berat. Penyanyi misalnya jika rusak
kerongkongannya, sehingga tidak dapat
menyanyi selama-lamanya itu masuk luka
berat.
3) Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu
pancaindera.
4) Verminking atau cacat sehingga jelek rupanya.
5) Verlamming (lumpuh) artinya tidak bisa
menggerakkan anggota badannya.
6) Pikirannya terganggu melebihi empat minggu.
7) Menggugurkan atau membunuh bakal anak
kandungan ibu.
8) Luka yang menyebabkan jatuh sakit (ziek)
atau terhalang pekerjaan sehari-hari.
3. Faktor Penyebab Tindak Pidana
Malpraktek
Jangkauan hukum medik menyangkut
berbagai cabang hukum. Hukum Perdata, Hukum
Pidana, Tata Usaha Negara, di samping disiplin,
dan juga etik. Untuk mengetahui apa yang
dimaksudkan dengan kecelakaan medik harus kita
melihat kepada literatur hukum pidana. Menurut
Jonkers suatu kesalahan (schuld) mengandung
4(empat) unsur, yaitu :
a. Bahwa tindakan itu bertentangan dengan
hukum, (wederrrech-telijkheid),
b. Bahwa akibatnya sebenarnya dapat
dibayangkan sebelumnya, (voorzien-
baarheid),
c. Akibat itu sebenarnya dapat dicegah atau
dihindarkan, (vermijdbaarheid),
d. Sehingga timbulnya akibat itu dapat
dipersalahkan kepada si pelaku
(verwijtbaarheid) (Guwandi,2008).
Dari uraian Jonkers di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa suatu peristiwa yang tidak
mengandung keempat unsur tadi, bukanlah
kesalahan (negligence, schuld), dengan perkataan
lain termasuk kecelakaan. Dalam hubungan
tenaga medis dan pasien, seorang tenaga medis
hanya wajib berusaha sedapat mungkin untuk
menyembuhkan pasiennya
(Inspanningsverbintenis) dengan mempergunakan
segala ilmu, pengetahuan, kepandaian,
pengalaman yang dimiliki serta perhatian. Namun
ia sama sekali tidak dapat memberikan jaminan
akan penyembuhannya.
Kecelakaan medik tersebut tidaklah terjadi
begitu saja, ada beberapa hal yang menjadi
faktor-faktor terj adinya kecelakaan medik yang
lazim disebut juga dengan tindak pidana
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
42
malpraktek. Perbuatan kecelakaan medik ataupun
tindak pidana malpraktek tersebut dapat
disebabkan oleh 5 faktor:
a. Faktor kelalaian (culpa).
Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua
macam.Pertama, “kealpaan
perbuatan”.Maksudnya ialah apabila hanya
dengan melakukan perbuatannya itu sudah
merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak
perlu melihat akibat yang ti mbul dari
perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan
Pasal 205 KUHP. Kedua, “ kealpaan akibat”.
Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu
peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu
sendiri sudah menimbulkan akibat yang
dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat
atau matinya orang lain seperti yang diatur
dalam Pasal 359,360,361 KUHP.
Dapat disimpulkan bahwa kealpaan itu paling
tidak memuat tiga unsur.
1) Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya
diperbuat menurut hukum tertulis maupun
tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah
melakukan suatu perbuatan (termasuk tidka
berbuat) yang melawan hukum)
2) Pelaku telah berlaku kurang hati-hati,
ceroboh, dan kurang berpikir panjang.
3) Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh
karenanya pelaku harus bertanggung jawab
atas akibat perbuatannya tersebut
(Guwandi,2009).
Perbedaan malpraktek dan Kelalaian
(Negligence)
Malpraktek tidak sama dengan kelalaian.
Kelalaian termasuk dalam arti malpraktek, tetapi
di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur
kelalaian. Jika dilihat beberapa defenisi di bawah
ini ternyata bahwa :malpractise mempunyai
pengertian yang lebih luas daripada negligence.
Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah
malpraktek juga mencakup tindakan-tindakan
yang dilakukan dengan sengaja (intentional,
dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang;
sedangkan arti negligence lebih berintikan
ketidaksengaj aan (culpa), kurang hati-hati, tak
acuh, tak peduli, di samping akibat yang
ditimbulkan pun bukan merupakan tujuannya.
Perbedaan yang lebih jelas tampak kalau kita
melihat pada motif tindakan yang dilakukan,
yaitu :
a. Pada malpraktek ( sempit) : tindakannya
dilakukan dengan sadar, dan tuj uan tindakan
memang sudah terarah kepada akibat yang
hendak ditimbulkan, walaupun ia mengetahui
atau seharusnya mengetahui bahwa ti
ndakannya itu bertentangan dengan hukum
yang berlaku, sedangkan
b. Pada kelalaian : tidak ada motif atau pun tuj
uan untuk menimbulkan akibat yang terj adi.
Akibatnya yang ti mbul disebabkan karena
adanya kelalaian yang sebenarnya terj adi
diluar kehendaknya
b. Faktor kesengajaan.
Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum
pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari :
1) Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi :
a) Kesengajaan dengan maksud, yakni di mana
akibat dari perbuatan itu diharapkan ti mbul,
atau agar peristiwa pidan itu sendiri terj adi;
b) Kesengajaan dengan kesadaran sebagai
suatu keharusan atau kepastian bahwa
akibat dari perbuatan itu sendiri akan
terjadi, atau dengan kesadaran sebagai suatu
kemungkinan saja.
c) Kesengajaan bersyarat (dolus eventualis).
Kesengajaan bersyarat di sini diartikan
sebagai perbuatan yang dilakuakan dengan
sengaja dan diketahui akibatnya, yaitu yang
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
43
mengarah pada suatu kesadaran bahwa
akibat yang dilarang kemungkinan besar
terjadi.
c. Faktor Kesalahpahaman (Dwaling)
Dwaling atau kesalahpahaman atau kekeliruan
terbagi dalam :
1) Kesalah pahaman yang Sebenarnya
(Feitelijke Dwaling)
Yaitu kesalahpahaman mengenai salah
satu unsur dari delik yang menyebabkan
opzet terhadap unsur-unsur tersebut harus
dianggap sebagai tidak ada (eror facti).
Tidak terpenuhinya salah satu unsur
delik ini akan menyebabkan suatu ti ndak
pidana akan dinyatakan tidak terbukti dengan
dasar hukum kesalah pahaman mengenai
salah satu unsur delik juga disebut kesalah
pahaman yang meniadakan pidana. Eror facti
non nocet atau ignorance of the fact excuse,
ignorance of the law ares not excuse.
2) Kesalahpahaman Mengenai Hukum (Rechts
Dwaling)
d. Faktor Kekeliruan Penilaian Klinis (Non-
neglicent clinical error of judgment)
Di dalam bidang yang kompleks seperti
pengobatan jarang terjadi kesepakatan bulat atau
pendapat mengenai terapi yang cocok terhadap
suatu situasi medis khusus. Ilmu kedokteran
adalah suatu seni dan sains (art and science) di
samping teknologi yang dimatangkan oleh
pengalaman. Maka bisa saja cara pendekatan
terhadap suatu penyakit berlainan bagi dokter
yang satu dan yang lain. Namun tetap harus
berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
e. Faktor Contributory negligence.
Pada umumnya contributory negligence
dipakai untuk menguraikan setiap sikap tindak
yang tidak wajar dari pihak pasien, sehingga
megakibatkan cedera pada diri pasien itu sendiri,
tak pedui apakah pada pihak dokter atau perawat
juga ada kelalaiannya atau tidak. Kadang-kadang
ada juga kasus di mana ada kesalahan pasien, dan
juga terdapat kesalahan pada dokter atau
perawatnya.
Seorang pasien yang dewasa dan bermental
sehat tentu sewajarnya akan mentaati nasehat
dokternya agar bisa lekas sembuh. Hal ini dapat
diharapkan dari seorang pasien yang normal dan
bertindak secara wajar. Namun kadangkala
karena kesalahan pasien, entah disengaja atau
mungkin juga tidak, ada sikap tindak pasien yang
tidak mentaati nasehat dokter, sehingga tambah
memperburuk keadaannya sendiri. Dalam hal ini
maka pasien yang menuntut dokternya, dapat
dibuktikan balik bahwa terdapat contributory
negligence dari pihak pasien itu sendiri.
Keadaan di mana ajaran- ajaran contributory
negligence banyak dikaitkan umummnya
menyangkut : sikap tindak yang tidak mentaati
nasehat dokter, seperti pulang-paksa, tidak
kembali lagi untuk follow up, atau tidak mentaati
instruksi lain dari dokternya.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan masalah dalam bab terdahulu, maka
dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebijakan formulasi perlindungan hukum bagi
korban tindak pidana bidang medis dalam
hukum pidana positif di Indonesia saat ini
dilakukan dengan mengenakan sanksi bagi
pelaku tindak pidana berdasarkan KUH
Pidana, UU No. No. 23 Tahun 1992 tentang
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
44
Kesehatan, juga UU. No. 29 Tahun 2004,
tentang Praktek Kedokteran dan peraturan-
peraturan pendukung yang berlaku, ternyata
dalam pelaksanaannya masih terdapat
kelemahan baik dalam perumusan tindak
pidana, perumusan pertanggungjawaban
pidana, serta perumusan pidana dan
pemidanaannya.
2. Perumusan tindak pidana bidang medis
walaupun telah dirumuskan beberapa
perbuatan yang diusahakan untuk dicegah
dan dilarang, akan tetapi rumusan delik
materil dalam UU No.29 Tahun 2004 tentang
Kesehatan mengandung kelemahan dalam
upaya memberikari perlindungan hukum.
Agar tidak menjadi korban tindak pidana,
karena instrumen hukum pidana baru dapat
diterapkan setelah timbul akibat berupa cacat
fisik bahkan atau kematian kepada korban
yang tentunya akan sangat merugikan korban
dan keluarganya, dan bukan hanya untuk saat
ini, akan tetapi sepanjang hidup keluarga
korban, baik waktu dan material. Dalam hal
ini korban mengalami kerugian juga
penderitaan, yang sudah barang tentu
memerlukan perlindungan hukum pidana
yang optimal.
3. Perumusan pertanggungjawaban tindak
pidana dibidang medis ini bisa memiliki
subyek hukum perseorangan maupun
korporasi, di mana dalam hukum pidana
positif saat ini belum ada aturan yang
seragam dan konsisten. Peru ndang-undangan
di bidang medis yang ada dewasa ini
menjadikan korporasi sebagai subjek hukum
pidana, namun UU yang bersangkutan tidak
membuat ketentuan pidana atau
pertanggungjawaban pidana untuk korporasi.
(UU No. 23 Tahun 1992), dan bahkan dalam
KUH Pidana positif sebagai induk peraturan
hukum pidana, korporasi tidak dijadikan
subjek tindak pidana. Hal ini tentunya tidak
memberikan perlindungan dan rasa adil bagi
korban tindak pidana bidang medis
(malpraktek). Di samping itu dalam UU
No.23 Tahun 1992 sistem
pertanggungjawaban pidana berdasarkan
kesalahan (liability based on fault) menjadi
kendala dalarn pembuktian delik-delik tindak
pidana dan pembuktian kesalahan pada
subyek hukum khususnya pada korporasi.
Saran
Bagi tenaga kesehatan baik dokter, bidan,
perawat dan tenaga kesehatan lainnya hendaknya
memahami, dan patuh menjalankan standar
operasional dan prosedur tindakan medis yang
akan dilakukan. Selanjutnya jangan pernah
menyepelehkan suatu tindakan medis sekecil
apapun, terlebih lagi dengan mengabaikan suatu
tindakan medis yang karena menganggap bahwa
orang lain (pasien) telah memahami tindakan
medis tersebut dan dapat melakukannya secara
mandiri sesungguhnya tanpa disadari hal tersebut
akhirnya dapat berakibat fatal
DAFTAR PUSTAKA
Budianto.Kasus Malpraktek Antara Penegakan
Hukum Dengan Rasa Keadilan
Masyarakat.Medicinus.Vol. 3 No. 1
Februari 2009 – Mei 2009
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud,
Jakarta, 1990 Cetakan ke 3, hal, 551
Guwandi,J ,Hukum dan Dokter, Sagung
Seto,Jakarta,2008,halaman : 60.
Guwandi,J, Kelalaian Medik, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990, halaman : 10.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
45
J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law),
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2004, hal. 24.
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
POLITEIA, Bogor, 2007, halaman : 248.
Soerjono Soekanto,dkk, Pengantar Hukum
Kesehatan, Remadja Karya, Bandung,
1987, halaman : 33.
Walter G. Alton Jr., LL.B.2005. Malpractice: A
Trial Lawyer‟s Advice for Physicians
(How to Avoid, How to win), Little, Brown and Company, Boston, hal 30–32.
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,
Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 43.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
46
DISIPLIN KERJA KARYAWAN
UMMI KHOIROH
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya
ABSTRAK
Sudah menjadi rahasia umum Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Negara tercinta ini menjadi sorotan dalam
masalah disiplin. Sebenarnya pemerintah juga sudah mengantisipasi berbagai keluhan masyarakat yang
berhubungan dengan disiplin, diantaranya dengan membuat banyak peraturan yang harus ditaati oleh seluruh
PNS dalam rangka menegakkan disiplin, tetapi berbagai macam peraturan tersebut belum mampu
meningkatkan disiplin kerja PNS. Untuk mengkondisikan karyawan agar senantiasa bersikap disiplin, maka
terdapat beberapa prinsip kedisplinan diantaranya pendisiplinan dilakukan secara pribadi, bersifat membangun,
pendisiplinan haruslah dilakukan oleh atasan langsung dan keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan.
ABSTRACT
It is common knowledge Civil Servants (PNS) in this beloved country into the spotlight in a matter of
discipline. Actually, the government also has to anticipate public complaints relating to discipline, including
by making a lot of rules that must be obeyed by all civil servants in order to enforce discipline, but a wide
variety of these regulations have not been able to increase civil servants working discipline. To condition
employees to always be disciplined, then there are some principles of discipline disciplining them done in
private, constructive, discipline must be conducted by the immediate supervisor and fairness in discipline is
needed.
Keywords : PNS, discipline, principles of discipline
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
47
P E N D A H U L U A N
Sudah menjadi rahasia umum Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di Negara tercinta ini menjadi
sorotan dalam masalah disiplin, masyarakat
banyak menyaksikan di televisi bagaimana PNS
di kejar-kejar oleh Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) karena meninggalkan tempat tugas
dan berada di pusat perbelanjaan tanpa izin atau
sepengatahuan atasanya.
Demikian pula ketika masyarakat
menguruskan sesuatu yang berhubungan dengan
birokrasi sudah pasti merasa malas karena
pelayanan yang kurang baik dari para aparatur
pemerintah, padahal kita semua tahu apabila PNS
itu digaji dari uang rakyat, dan sudah semestinya
mengabdi dan menjadi pelayan masyarakat, akan
tetapi dalam pelaksanaannya PNS bekerja seolah-
olah instansi tempatnya bekerja adalah milik
keluarganya sehingga kurang disiplin dalam
bekerja.
Sebenarnya pemerintah juga sudah
mengantisipasi berbagai keluhan masyarakat yang
berhubungan dengan disiplin, diantaranya dengan
membuat banyak peraturan yang harus ditaati
oleh seluruh PNS dalam rangka menegakkan
disiplin, tetapi berbagai macam peraturan tersebut
belum mampu meningkatkan disiplin kerja PNS,
bahkan pemerintah juga telah memberikan
berbagai macam penghargaan kepada PNS yang
memiliki kinerja baik, tapi tetap belum mampu
secara signifikan meningkatkan disiplin dalam
bekerja.
Pemerintah saat ini sedang giat-giatnya
melakukan reformasi birokrasi di semua bidang,
tidak terkecuali di lingkungan Dinas Kesehatan,
reformasi birokrasi tidak bisa ditawar-tawar lagi
karena sudah menjadi tuntutan masyarakat saat
ini seiring dengan berubahnya paradigma
kehidupan.
salah satu upaya reformasi birokrasi adalah
dengan melakukan pemberian TPP untuk
memberikan semangat lebih kepada PNS agar
lebih giat lagi dalam bekerja.
Salah satu kebijakan lain yang dilakukan
pemerintah adalah dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 53 tahun 2010 tentang
Disiplin PNS, peraturan tersebut merupakan
pengganti dari PP Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Disiplin PNS. Namun demikian disiplin kerja
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kepribadian
PNS itu sendiri tapi juga ada faktor lingkungan,
terutama lingkungan social yang juga ikut
menentukan terbentuknya disiplin pada diri
karyawan dalam hal ini PNS.
Dengan terbitnya peraturan disiplin yang
baru, banyak PNS yang merasa ”terusik”
terutama bagi mereka yang berada di lingkup
jabatan fungsional, padahal mereka juga sama
PNS sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Dan berikut ini adalah beberapa penjelasan
tentang disiplin PNS yang tertuan dalam PP No.
53 Tahun 2010, mudah-mudahan dapat lebih
memahami dan memaknai disiplin kerja, karena
dengan adanya peraturan disiplin banyak PNS
yang ”takut” dengan mesin daftar hadir finger
print, padahal sesuai dengan sumpah PNS apabila
bekerja akan patuh dan taat terhadap peraturan
yang ditetapkan pemerintah. Data finger print
PNS di Dinkes Kabupaten Gresik Oktober-
Desember tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Data finger print PNS di Dinkes
Kabupaten Gresik Oktober-Desember tahun 2013
Jumlah
PNS
Kehadiran Rerata
Okt Nov Des
73 82% 85% 92 % 86,33%
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
48
LANDASAN TEORI
1. Pengertian Disiplin
Disiplin kerja karyawan sangat penting bagi
suatu organisasi dalam rangka mewujudkan
tujuan organisasi. Tanpa disiplin kerja karyawan
yang baik sulit bagi suatu organisasi mencapai
hasil yang optimal. Disiplin yang baik
mencerminkan besarnya tanggung jawab
seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan
kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja,
semangat kerja dan terwujudnya tujuan
organisasi.
Pengertian disiplin dapat dikonotasikan
sebagai suatu hukuman, meskipun arti yang
sesungguhnya tidaklah demikian. Disiplin berasal
dari bahasa latin “Disciplina” yang berarti latihan
atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta
pengembangan tabiat. jadi sifat disiplin berkaitan
dengan pengembangan sikap yang layak terhadap
pekerjaan.
Alfred R. Lateiner dan I.S. Levine telah
memberikan definisi antara lain, disiplin
merupakan suatu kekuatan yang selalu
berkembang di tubuh para pekerja yang membuat
mereka dapat mematuhi keputusan dan peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan.
Di samping beberapa pengertian mengenai
disiplin karyawan tersebut di atas, A.S. Moenir
mengemukakan bahwa “Disiplin adalah ketaatan
yang sikapnya impersonal, tidak memakai
perasan dan tidak memakai perhitungan pamrih
atau kepentingan pribadi.
Pengertan Disiplin Kerja Menurut pendapat
Alex S. Nitisemito(1984: 199) Kedisiplinan
adalah suatu sikap tingkah laku dan perbuatan
yang sesuai dengan peraturan dari perusahaan
baik tertulis maupun tidak tertulis.
Adapun menurut peraturan disiplin
Pegawai Negeri Sipil sebagimana telah dimuat di
dalam Bab II Pasal (2) UU No.43 Tahun 1999,
ada beberapa keharusan yang harus dilaksanakan
yaitu :
a. Mentaati segala peraturan perundang-
undangan dan peraturan kedinasan yang
berlaku, serta melaksanakan perintah-perintah
kedinasan yang diberikan oleh atasan yang
berhak.
b. Melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya
serta memberikan pelayanan yang baik
terhadap masyarakat sesuai dengan bidang
tugasnya.
c. Menggunakan dan memelihara barang-barang
dinas dengan sebaik- baiknya.
d. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun
terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri
Sipil dan atasannya.
Dengan demikian, maka disiplin kerja merupakan
praktek secara nyata dari para karyawan terhadap
perangkat peraturan yang tedapat dalam suatu
organisasi. Dalam hal ini disiplin tidak hanya
dalam bentuk ketaatan saja melainkan juga
tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi,
berdasarkan pada hal tersebut diharapkan
efektifitas karyawan akan meningkat dan bersikap
serta bertingkah laku disiplin.
Di dalam buku Wawasan Kerja Aparatur
Negara disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
pengertian disipln adalah : “Sikap mental yang
tercermin dalam perbuatan, tingkah laku
perorangan, kelompok atau masyarakat berupa
kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan-
peraturan yang ditetapkan Pemerintah atau etik,
norma serta kaidah yang berlaku dalam
masyarakat”.
Selanjutnya Alfred R. Lateiner dan I.S.
Levine telah memberikan definisi antara lain,
disiplin merupakan suatu kekuatan yang selalu
berkembang di tubuh para pekerja yang membuat
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
49
mereka dapat mematuhi keputusan dan peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan
Adapun ukuran tingkat disiplin pegawai
menurut I.S. Levine,( I.S. Levine, Op. City, hal.
72.) adalah sebagai berikut :
“Apabila pegawai datang dengan teratur dan tepat
waktu, apabila mereka berpakaian serba baik dan
tepat pada pekerjaannya, apabila mereka
mempergunakan bahan-bahan dan perlengkapan
dengan hati-hati, apabila menghasilkan jumlah
dan cara kerja yang ditentukan oleh kantor atau
perusahaan, dan selesai pada waktunya.”
Berdasarkan pada pengertian tersebut di atas,
maka tolak ukur pengertian kedisiplinan kerja
karyawan adalah sebagai berikut:
a. Kepatuhan terhadap jam-jam kerja.
b. Kepatuhan terhadap instruksi dari atasan,
serta pada peraturan dan tata tertib yang
berlaku.
c. Berpakaian yang baik pada tempat kerja dan
menggunakan tanda pengenal instansi.
d. Menggunakan dan memelihara bahan-bahan
dan alat-alat perlengkapan kantor dengan
penuh hati-hati.
e. Bekerja dengan mengikuti cara-cara bekerja
yang telah ditentukan.
Kedisiplinan karyawan dapat ditegakkan
apabila peraturan-peraturan yang telah ditetapkan
itu dapat diatasi oleh sebagian besar pegawainya
dalam kenyataan, bahwa dalam suatu instansi
apabila sebagian besar pegawainya mentaati
segala peraturan yang telah ditetapkan, maka
disiplin pegawai sudah dapat ditegakkaan
2. Macam-Macam Disiplin Kerja
Ada 4 macam disiplin kerja :
a. Disiplin diri
Menurut Jasin (1996:35) adalah disiplin
yang dikembangkan atau dikontrol oleh diri
sendiri. Hal ini merupakan manifestasi atau
aktualisasi dari tanggung jawab pribadi yang
berarti mengakui dan menerima nilai-nilai yang
ada di luar dirinya. Melalui disiplin diri
karyawan-karyawan merasa bertanggung jawab
dan dapat mengatur dirinya sendiri untuk
kepentingan organisasi.
Penanaman nilai-nilai disiplin dapat
berkembang apabila didukung oleh
situasi lingkungan yang kondusif yaitu situasi
yang diwarnai perlakuan yang konsisten dari
karyawan dan pimpinan. Disiplin diri sangat
besar peranannya dalam mencapai tujuan
organisasi. Melalui disiplin diri seorang karyawan
selain menghargai dirinya sendiri juga
menghargai orang lain. Misalnya jika karyawan
mengerjakan tugas dan wewenang tanpa
pengawasan atasan, pada dasarnya karyawan
telah sadar melaksanakan tanggung jawab yang
telah dipikulnya. Hal itu berarti karyawan mampu
melaksanakan tugasnya. Pada dasarnya ia
menghargai potensi dan kemampuannya. Di sisi
lain, bagi rekan sejawat, dengan diterapkan
disiplin diri akan memperlancar kegiatan yang
bersifat kelompok, apalagi jika tugas kelompok
tersebut terkait dalam dimensi waktu, dimana
suatu proses kerja yang dipengaruhi urutan waktu
pengerjaannya.
Ketidakdisiplinan dalam suatu bidang kerja akan
menghambat bidang kerja lain.
b. Disiplin Kelompok
Kegiatan organisasi bukanlah kegiatan yang
bersifat individu selain disiplin diri masih
diperlukan disiplin kelompok. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa disiplin kelompok adalah
patut, taat dan tunduknya kelompok terhadap
peraturan, perintah dan ketentuan yang berlaku
serta mampu mengendalikan diri dari dorongan
kepentingan dalam upaya pencapaian cita-cita dan
tujuan tertentu serta memelihara stabilitas
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
50
organisasi dan menjalankan standar-standar
organisasional.
Disiplin kelompok akan tercapai jika
disiplin diri telah tumbuh dalam diri pegawai.
Artinya kelompok akan menghasilkan pekerjaan
yang optimal jika masing-masing anggota
kelompok akan memberikan andil sesuai hak dan
tanggung jawabnya. Selain itu disiplin kelompok
juga memberikan andil bagi pengembangan
disiplin diri bagi pengembangan disiplin diri.
Misalnya, jika budaya atau iklim dalam
organisasi tersebut merupakan disiplin kerja yang
tinggi, maka mau tidak mau karyawan akan
membiasakan dirinya mengikuti irama kerja
pegawai lainnya. Karyawan dibiasakan bertindak
dengan cara berdisiplin. Kebiasaan bertindak
disiplin ini merupakan awal terbentuknya
kesadaran. Kaitan antara disiplin diri dan disiplin
kelompok seperti dua sisi dari satu mata uang.
Kedua mata uang, keduanya saling melengkapi
dan manunjang, dan bersifat komplementer.
Disiplin diri tidak dapat dikembangkan secara
optimal tanpa dukungan disiplin kelompok,
sebaliknya disiplin kelompok tidak dapat
ditegakan tanpa adanya dukungan disiplin
pribadi.
c. Disiplin Preventif
Disiplin preventif adalah disiplin yang
ditujukan untuk mendorong pegawai agar
berdisplin diri dengan mentaati dan mengikuti
berbagai standar dan peraturan yang telah
ditetapkan. Menurut T. Hani Handoko Disiplin
preventif adalah kegiatan yang dilakukan untuk
mendorong para karyawan agar mengikuti
berbagai standard an aturan sehingga
penyelewengan- penyelewengan dapat dicegah.
Dengan demikian disiplin preventif
merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh
organisasi untuk menciptakan suatu sikap dan
iklim organisasi dimana semua anggota
organisasi dapat menjalankan dan mematuhi
peraturan yang telah ditetapkan atas kemauan
sendiri. Adapun fungsi dari disiplin preventif
adalah untuk mendorong disiplin diri para
pegawai sehingga mereka dapat menjaga sikap
disiplin mereka bukan karena paksaan.
d. Disiplin Korektif
Disiplin korektif merupakan disiplin yang
dimaksudkan untuk menangani pelanggaran
terhadap aturan-aturan yang berlaku dan
memperbaikinya untuk masa yang akan datang.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Prabu Mangkunegara bahwa Disiplin korektif
adalah suatu upaya untuk menggerakan pegawai
dalam menyatukan suatu peraturan dan
mengarahkan untuk tetap mematuhi peraturan
sesuai dengan pedoman yang berlaku dalam
perusahaan.
Berdasarkan pertanyaan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa disiplin korektif
merupakan suatu upaya untuk memperbaiki dan
menindak pegawai yang melakukan pelanggaran
terhadap aturan yang berlaku. Dengan kata lain
sasaran disiplin korektif adalah para pegawai
yang melanggar aturan dan diberi sanksi yang
sesuai dengan aturan yang berlaku. Disiplin
korektif ini dilakukan untuk memperbaiki
pelanggaran dan mencegah pegawai yang lain
melakukan perbuatan yang serupa dan mencegah
tidak adanya lagi pelanggaran dikemudian hari.
e. Disiplin Progresif
Disiplin progresif merupakan pemberian
hukuman yang lebih berat
terhadp pelanggaran yang berulang. Tujuannya
adalah memberikan kesempatan kepada pegawai
untuk mengambil tindakan korektif sebelum
hukuman-hukuman yang lebuh serius.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
51
Dilaksanakan disiplin progresif ini akan
memungkinkan manajemen untuk membantu
pegawai memperbaiki kesalahan. Seperti yang
dikemukakan oleh Veithzal Rivai bahwa Disiplin
progresif dirancang untuk memotivasi karyawan
agar mengoreksi kekeliruannya secara sukarela.
Contoh dari disiplin progresif adalah teguran
secara lisan oleh atasan, skorsing pekerjaan,
diturunkan pangkat atau dipecat.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Disiplin Kerja
Pada dasarnya factor yang
mempengaruhi disiplin kerja berasal dari dua
factor, yaitu factor intrinsic dan factor ekstrinsik.
Fadila Helmi (1996:37) merumuskan factor-
faktor yang mempengaruhi disiplin kerja menjadi
dua factor, yaitu factor kepribadian dan factor
lingkungan.
a. Faktor Kepribadian
Faktor yang penting dalam kepribadian
seseorang adalah system nilai yang dianut. Sistem
nilai yang dianut ini berkaitan langsung dengan
disiplin. System nilai akan terlihat dari sikap
seseorang, dimana sikap ini diharapkan akan
tersermin dlaam perilaku. Menurut kelman
(1996:35) perubahan sikap mental dalam perilaku
terdapat tiga tingkatan yaitu disiplin karena
kepatuhan, identifikasi, dan disiplin karena
internalisasi.
1) Disiplin karena kepatuhan
Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang
didasarkan atas dasar perasaan takut. Displin
kerja dalam tingkatan ini dilakukan semata
untuk mendaptkan reaksi positif dari
pimpinan atau atasan yang memilki
wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak
ada di tempat disiplin kerja tidak akan
tampak. Contohnya seorang pengendara
motor akan memakai helm jika ada polisi
saja.
2) Disiplin Karena Identifikasi
Kepatuhan terhadap aturan-aturan didasarkan
pada identifikasi adanya perasaan kekaguman
pengahargaan pada pimpinan. Pemimpin
yang kharismatik adalah figure yang
dihormati, dihargai dan sebagai pusat
identifikasi. Karyawan yang menunjukkan
disiplin terhadap aturan-aturan organisasi
bukan disebakan pada atasnya disebakan
karena kualitas profesionalnya yang tinggi
dibidangnya, jika pusat identifikasi ini tidak
ada maka disiplin kerja akan memurun,
pelanggaran meningkatkan frekuensinya.
3) Disiplin Karena Internalisasi
Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi
karyawan punya system nilai pribadi yang
menujukkan tinggi nilai-nilai kedisplinan.
Dalam taraf ini, orang dikategorikan
mempunyai disiplin diri. Misalnya: walaupun
tidak ada polisi namun pengguna motor tetap
memakai helm dan membawa sim.
b. Faktor Lingkungan
Disiplin seseorang merupakan produk
sosialisasi hasil interaksi dengan
lingkungan, terutama lingkungan social. Oleh
karena itu pembentukan disiplin tunduk pada
kaidah-kaidah proses belajar. Disiplin kerja yang
tinggi tidak muncul begitu saja tapi merupakan
suatu proses belajar terus-menerus. Proses
pembelajaran agar efektof maka pemimpin yang
merupakan agen pengubah perlu memperhatikan
prinsip-prinsip konsisisten adil bersikap positif
dan terbuka. Konsisten adalah memperlakukan
aturan secara konsisten dari waktu ke waktu.
Sekali aturan yang telah disepakati dilanggar,
maka rusaklah system aturan tersebut. Adil dalam
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
52
hal ini adlaah memperlakukan seluruh aryawan
dengan tidak membeda-bedakan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tegak
tidaknya suatu disiplin kerja dalam suatu
perusahaan. Menurut Gouzali Saydam
(1996:202), faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Besar kecilnya pemberian kompensasi
b. Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam
perusahaan
c. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat
dijadikan pegangan
d. Keberanian pimpinan dalam mengambil
tindakan
e. Ada tidaknya pengawasan pimpinan
f. Ada tidaknya perhatian kepada pada
karyawan
g. Diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang
mendukung tegaknya disiplin
4. Hal-Hal Yang Menunjang Kedisiplinan
Menurut Alex S. Nitisemito (1984:119-
123) ada beberapa hal yang dapat menunjang
keberhasilan dalam pendisiplinan karyawan yaitu:
a. Ancaman
Dalam rangka menegakkan kedisiplinan
kadang kala perlu adanya ancaman meskipun
ancaman yang diberikan tidak bertujuan untuk
menghukum, tetapi lebih bertujuan untuk
mendidik supaya bertingkah laku sesuai
dengan yang kita harapkan.
b. Kesejahteraan
Untuk menegakkan kedisiplinan maka tidak
cukup dengan ancaman saja, tetapi perlu
kesejahteraan yang cukup yaitu besarnya upah
yang mereka terima, sehingga minimal
mereka dapat hidup secara layak.
c. Ketegasan
Jangan sampai kita membiarkan suatu
pelanggaran yang kita ketahui tanpa tindakan
atau membiarkan pelanggaran tersebut
berlarut-larut tanpa tindakan yang tegas.
d. Partisipasi
Dengan jalan memasukkan unsur partisipasi
maka para karyawan akan merasa bahwa
peraturan tentang ancaman hukuman adalah
hasil persetujuan bersama.
e. Tujuan dan Kemampuan
Agar kedisiplinan dapat dilaksanakan dalam
praktek, maka kedisiplinan hendaknya dapat
menunjang tujuan perusahaan serta sesuai
dengan kemampuan dari karyawan.
f. Keteladanan Pimpinan
Mempunyai pengaruh yang sangat besar
dalam menegakkan kedisiplinan sehingga
keteladanan pimpinan harus diperhatikan.
Salah satu tugas yang paling sulit bagi
seorang atasan adalah bagaimana menegakkan
disiplin kerja secara tepat. Jika karyawan
melanggar aturan tata tertib, seperti terlalu sering
terlambat atau membolos kerja, berkelahi, tidak
jujur atau bertingkah laku lain yang dapat
merusak kelancaran kerja suatu bagian, atasan
harus turun tangan. Kesalahan semacam itu harus
dihukum dan atasan harus mengusahakan agar
tingkah laku seperti itu tidak terulang.
Ada beberapa cara menegakkan disiplin kerja
dalam suatu perusahaan:
a. Disiplin Harus Ditegakkan Seketika
Hukuman harus dijatuhkan sesegera
mungkin setelah terjadi pelanggaran Jangan
sampai terlambat, karena jika terlambat akan
kurang efektif.
b. Disiplin Harus Didahului Peringatan Dini
Dengan peringatan dini dimaksudkan bahwa
semua karyawan haruss benar-benar tahu
secara pasti tindakan-tindakan mana yang
dibenarkan dan mana yang tidak
C. Disiplin Harus Konsisten
Konsisten artinya seluruh karyawan yang
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
53
melakukan pelanggaran akan diganjar
hukuman yang sama. Jangan sampai terjadi
pengecualian, mungkin karena alasan masa
kerja telah lama, punya keterampilan yang
tinggi atau karena mempunyai hubungan
dengan atasan itu sendiri
d. Disiplin Harus Impersonal
Seorang atasan sebaiknya jangan menegakkan
disiplin dengan perasaan marah atau emosi.
Jika ada perasaan semacam ini ada baiknya
atasan menunggu beberapa menit agar rasa
marah dan emosinya reda sebelum
mendisiplinkan karyawan tersebut. Pada akhir
pembicaraan sebaiknya diberikan suatu
pengarahan yang positif guna memperkuat
jalinan
hubungan antara karyawan dan atasan
e. Disiplin Harus Setimpal
Hukuman itu setimpal artinya bahwa
hukuman itu layak dan sesuai dengan tindak
pelanggaran yang dilakukan. Tidak terlalu
ringan dan juga tidak terlalu berat. Jika
hukuman terlalu ringan, hukuman itu akan
dianggap sepele oleh pelaku pelanggaran dan
jika terlalu berat mungkin akan menimbulkan
kegelisahan dan menurunkan prestasi.
5. Penilaian Disiplin Kerja
Dalam suatu organisasai , atasan yang
bertugas untuk mengawasi, atau mengepalai
bawahan, secara sistematis melakukan penilaian
disiplin kerja dalam melaksanakan tugas-tugas
mereka.
Tujuan dari penilaian disisplin kerja menurut
Michaelr.Carrel, Norbertf, Elbert, Robert
D.Hotfield ( 1994: 349-351 ).
Evaluatition objectives, yang terdiri dari :
a. Keputusan yang berhubungan dengan
kompensasi
a. Keputusan yang berhubungan dengan
staffing
b. Melakukan penilaian terhadap proses
rekrutmen, seleksi dan penempatan.
2. Depelopment objectives, yang terdiri dari:
a. Memberikan umpan balik pada pegawai
yang bersangkutan
b. Memberikan arah pada pegawai
mengenai disiplin yang harus dicapai
dimasa yang akan dating
c. Mengidentifikasikan kebutuhan training
dan development bagi pegawai
yang dinilai tersebut
Menurut Michael Amstrong yang dialih
bahasakan oleh Sofyan Cikmat dan Harianto (
1990;175), Tujuan dari penilaian disiplin kerja
yaitu :
a. Membantu memperbaiki disiplin dengan
mengetahui kekuatan dan kelemahan, serta
dengan melakukan hal-hal yang akan
mengembangkan kekuatan dan mengatasi
kelemahan.
b. Mengenal pegawai yang berpotensi untuk
menerima tanggung jawab yang lebih besar,
sekarang atau dimasa yang akan datang.
c. Membantu dalam memutus-kan kenaikan gaji
yang seimbang antara tingkat disiplin dengan
tingkat gaji.
Bila disimpulkan, maka sebenarnya
tujuan penilaian disiplin kerja adalah “ Untuk
tujuan evaluasi ( melihat disiplin kerja masa lalu),
dan untuk tujuan pengembangan yang menitik
beratkan pada peningkatan keterampilan dan
motivasi dari pegawai untuk meningkatkan
disiplin kerja dimasa yang akan datang”.
PEMBAHASAN
Program disiplin karyawan hendaknya
disusun secara cermat berdasarkan kepada
metode-metode ilmiah yang berpedoman pada
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
54
keterampilan yang dibutuhkan perusahaan atau
organisasi saat ini maupun untuk waktu yang
akan datang. Disiplin harus bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan teknis, teoritis,
konseptual dan moral karyawan supaya prestasi
kerjanya baik dan mecapai hasil yangoptimal.
Disiplin karyawan diarsakan semakin penting
mamfaatnya, karena adanya tuntutan
pekerjaan/jabatan dan bertujuan baik untuk karier
maupun non karier karyawan baru/lama melalui
disiplin.
Disiplin juga merupakan fungsi operatif
MSDM yang terpenting karena semakin baik
disiplin karyawan, maka semakin tinggi prestasi
kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin
karyawan yang baik , sulit bagi organisasi atau
badan mencapai hasil yang optimal.
Disiplin yang baik mencerminkan besarnya
rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-
tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini
mendorong gairah kerja, semangat kerja dan
mendukung tewujudnya tujuan suatu organisasi
atau badan, karyawan dan masyarakat.
Demikian juga yang ada di Dinas Kesehatan
Kabupaten Gresik, segala upaya sudah dilakukan
untuk memperbaiki disiplin karyawan. Salah satu
wujud nyata adalah dengan diberlakukannya
finger print. Dengan harapan karyawan yang ada
lebih disiplin terhadap peraturan waktu yang
sudah ditentukan.
Namun begitu ternyata rata-rata kehadiran
karyawan dalam 3 bulan terakhir masih belum
menunjukkan hasil yang memuaskan karena
masih 86,33% dari yang seharusnya 100%.
Penyusun akan membahas kondisi ini dengan
mengacu kepada kompilasi 2 teori tentang
kedisiplinan yaitu teori I.S.Levine tentang salah
satu tolak ukur kedisiplinan adalah kepatuhan
terhadap jam kerja dan teori Alex S.Nitisemito
bahwa untuk menegakkan kedisiplinan tidak
cukup dengan ancaman saja tetapi perlu
kesejahteraan yang cukup yaitu besarnya upah
yang diterima karyawan sehingga minimal
karyawan dapat hidup secara layak.
Pemberlakuan finger print akan
menunjukkan bagaimana kedisiplinan waktu kerja
karyawan dan hasilnya akan menjadi bahan untuk
menilai tingkat kedisiplinan karyawan.
Penilaian disiplin ini dilakukan oleh atasan
dalam organisasi dan menjadi bahan untuk
pengam-bilan keputusan yang berhu-bungan
dengan kompensasi yaitu upah yang akan
diterima karyawan. Pemberlakuan finger print ini
adalah salah satu cara untuk mengukur tingkat
disiplin karyawan.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik
pemberian kompensasi untuk meningkatkan
kesejahteraan karyawan diwujudkan dalam
bentuk pemberian TPP disamping gaji yang
diterima setiap bulannya.
Adapun kegunaan disiplin kerja ,
berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh
William B.Werther Jr, Dan Keith Davis, ( 1996;
342 ) adalah :
1) Performance Improvement
Umpan balik pelaksanaan kerja
memungkinkan, para karyawan, manajer dan
departemen personalia dapat mengetahui
tindakan apa yang harus diambil untuk
meningkatkan disiplin kerja.
2) Compensation Adjusments
Evaluasi terhadap hasil kerja, membantu para
pengambilan keputusan untuk menentukan
kompensasi.
3) Placement Devisions
Dengan melihat disiplin kerja pegawai yang
bersangkutan dimasa lalu dapat membantu
para manajer dalam melakukan promosi,
taransfer, dan demos
4) Career Planning and Development
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
55
Umpan balik mengenai disiplin kerja, yang
dapat dijadikan pedoman untuk
mengarahkan jalur karir yang dipilih oleh
pegawai yang bersangkutan.
5) Staffing Process Deviciencis
Baik atau buruknya disiplin kerja
mencerminkan kekuatan atau kelemahan
prosedur staffing yang telah dilakukan.
6) Job Design Error
Penilaian disiplin kerja secara akurat, akan
menjamin keputusan penempatan internal
diambil tanpa diskriminasi.
KESIMPULAN
Dispilin merupakan suatu keadaan
tertentu dimana orang-orang yang tergabung
dalam organisasi tunduk pada peraturan-peraturan
yang ada dengan rasa senang hati. Kedisiplinan
harus ditegakkan dalam suatu organisasi karena
tanpa dukungan disiplin personil yang baik, maka
organisasi akan sulit dalam mewujudkan
tujuanya. Jadi dapatlah dikatakan bahwa
kedisplinan merupakan kunci keberhasilan suatu
organisasi dalam mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Disiplin yang baik mencerminkan
besarnya tanggung jawab seseorang terhadap
tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini
mendorong gairah kerja, semangat kerja dan
terwujudnya tujuan organisasi.
Disiplin kerja sangat dibutuhkan oleh
setiap karyawan sehingga perlu diketahui tolak
ukur pengertian kedisiplinan kerja karyawan
adalah kepatuhan terhadap jam kerja, kepatuhan
terhadap instruksi dari atasan, berpakaian yang
baik paada jam kerja dan menggunakan tanda
pengenal, menggunakan dan memelihara bahan
dan alat perlengkapan kantor, bekerja dengan
mengikuti cara yang telah ditentukan. Untuk
mengkondisikan karyawan agar senantiasa
bersikap disiplin, maka terdapat beberapa prinsip
kedisplinan diantaranya pendisiplinan dilakukan
secara pribadi, bersifat membangun,
pendisiplinan haruslah dilakukan oleh atasan
langsung dan keadilan dalam pendisiplinan sangat
diperlukan. Macam-macam disiplin kerja yaitu
disiplin diri, kelompok, preventif, korektif dan
progresif. Selanjutnya faktor-faktor yang
mempengaruhi disiplin kerja yaitu faktor
kepribadian dan lingkungan.
Penggunaan finger print karyawan sebagai
tolak ukur kedisiplinan waktu karyawan sehingga
atasan bisa menentukan keputusan pemberian
kompensasi untuk meningkatkan kesejahteraan
karyawan. Dan masih banyak cara lain atau
indikator lain yang bisa digunakan untuk
mengukur disiplin karyawan.
DAFTAR PUSTAKA
http://najasmileforyou.blogspot.com/2013/05/man
ajemen-sumber-daya-manusia-
disilpin.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/
38200/3/Chapter%20II.pdf
http://eprints.uny.ac.id/8771/3/BAB%202%20-
08404244003.pdf
http://wirasaputra23.blogspot.com/2013/07/pengertian-disiplin-kerja-makalah.html
file:///C:/Users/fiqril/Pictures/DISIPLIN%20KAR
YAWAN.htm
http://2frameit.blogspot.com/2011/12/definisi-
disiplin.html
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
56
Efektivitas Kinerja Teamwork dalam Pelacakan Kasus Gizi Buruk di Puskesmas
The Effectiveness of Teamwork Performance in Tracking Nutrition Issue at Primary Health Care
Vinsensius Maghi1, Ummi Khoiroh
2, Nyoman Anita Damayanti
2
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Strategi penanggulangan masalah gizi masih bersifat jangka pendek dan merupakan tindakan kuratif. Hal ini
menyebabkan tidak adanya tindak lanjut setelah suatu program selesai. Untuk menjaga stabilitas program
maka partisipasi masyarakat harus ditingkatkan melalui efektivitas teamwork dalam upaya penanggulangan
kasus gizi buruk. Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan
sedangkan Teamwork menghasilkan sinergi positif melalui usaha yang terkoordinasi. Dengan kompilasi dari
teori teamwork dan teory efektifitas, maka tim pelacakan kasus gizi buruk yang ada di puskesmas diharapkan
dapat bekerja secara lebih efektif.
ABSTRACT
The strategy for handling nutrition issues are still meant for short term and act as curative. These causes
improper follow up upon program completion. To maintain program stability would require active
participation from the community through effective teamwork in handling nutrition issue. Effectiveness is
related to as success or the achievement of objective, while teamwork will create a positive synergy through
coordinated effort. Based on the compilation of teamwork and effectiveness theory, then tracking nutrition
issue found at the primary health care can be done effectively by the team.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
57
PENDAHULUAN
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa
ditentukan oleh ketersediaan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM
yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang
kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti
empiris menunjukkan bahwa kualitas SDM
sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan
status gizi yang baik ditentukan antara lain oleh
jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Hal ini
sejalan dengan pernyataan WHO yang
menyatakan bahwa gizi adalah pilar utama dari
kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus
kehidupan.
Kesepakatan global yang dituangkan
dalam Millenium Development Goals (MDGs)
yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48
indikator. Bahkan berdasarkan penilaian Unit
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4), status
capaian MDGs Bidang Kesehatan menunjukkan
bahwa dua dari lima indikator yaitu : MDGs 1C
tentang prevalensi balita dengan berat badan
rendah / kekurangan gizi, menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) capaian penurunan
tahun 2010 mencapai (17,9%) masih sedikit di
atas target MDGs 2015 (15,5%) dan MDGs 4,
yaitu menurunkan angka kematian balita hingga
2/3 dalam kurun waktu 1990-2015, dari hasil
SDKI 2012 bahwa penurunan angka kematian
bayi, balita dan neonatal belum menunjukkan
hasil yang diharapkan. Hal ini sebagai penjabaran
menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak
balita dan menurunnya jumlah penduduk dengan
defisit energi (mengkonsumsi energi kurang dari
70% kebutuhan untuk hidup sehat).
Strategi penanggulangan masalah gizi masih
bersifat jangka pendek dan merupakan tindakan
kuratif. Hal ini menyebabkan tidak adanya tindak
lanjut setelah suatu program selesai. Untuk
menjaga sustainabilitas program maka partisipasi
masyarakat harus ditingkatkan. System kemitraan
antara puskesmas-posyandu masyarakat
(masyarakat meliputi tokoh masyarakat, LSM
local, pemerintah desa) perlu
dikembangkan.Masyarakat dan posyandu
seharusnya memiliki peranan utama dalam
penanganan masalah gizi dan kesehatan
masyarakat, sedangkan puskesmas menjalankan
fungsi sebagai mediator. Untuk itu, penulis
mencoba mengkaji masalah penjaringan kasus
gizi buruk melalui efektifitas teamwork dalam
upaya penanggulangan kasus gizi buruk.
TINJAUAN PUSTAKA
Status Gizi Balita
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat
gizi.(Almatsier, 2002). Secara umum status gizi
lebih dapat di bagi menjadi lima kategori yaitu :
status gizi lebih, status gizi baik, status gizi
sedang, status gizi kurang, status gizi buruk.
Ada berbagai cara melakukan penilaian
status gizi. Salah satunya adalah
dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal
dengan antropometri. Pengukuran antropometri
yang dapat digunakan antara lain: berat badan
(BB), panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB),
lingkar lengan atas (LILA), lingkar kepala (LK),
lingkar dada (LD), dan lapisan lemak bawah kulit
(LLBK). Namun disini pengukuran antropometri
hanya menggunakan berat badan dan panjang/
tinggi badan. Dalam penilaian status gizi,
antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang
dikaitkan dengan variable lain, seperti: berat
badan menurut umur (BB/U), panjang badan atau
tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U),
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan
lain-lain. Namun, untuk mempermudahkan dalam
penilaian status gizi terdapat grafik pertumbuhan
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
58
standar yang dikeluarkan oleh Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) tahun
2000 dengan menggunakan kurva persentil dan
World Health Organization (WHO) tahun 2005
dengan menggunakan kurva z-score. Alternatif
pengukuran lain yang paling banyak digunakan
adalah indeks BB/U, atau melakukan penilaian
dengan melihat perubahan berat badan pada saat
pengukuran dilakukan.
Teori Efektivitas
Bamard (1938:20) menyatakan bahwa
efektivitas organisasi merupakan kemahiran
dalam sasaran spesifik dari organisasi yang
bersifat objektif (“if it accomplished its specific
objective aim”). Schein dalam bukunya yang
berjudul Organizational Psychology
mendefinisikan efektivitas organisasi sebagai
kemampuan untuk bertahan, menyesuaikan diri,
memelihara diri dan juga bertumbuh, lepas dari
fungsi-fungsi tertentu yang dimiliki oleh
organisasi tersebut.
Efektivitas dapat didefinisikan dengan
empat hal yang menggambarkan tentang
efektivitas, yaitu :
1. Mengerjakan hal-hal yang benar, dimana
sesuai dengan yang seharusnya diselesaikan
sesuai dengan rencana dan aturannya.
2. Mencapai tingkat diatas pesaing, dimana
mampu menjadi yang terbaik dengan lawan
yang lain sebagai yang terbaik.
3. Membawa hasil, dimana apa yang telah
dikerjakan mampu memberi hasil yang
bermanfaat.
4. Menangani tantangan masa depan
Efektivitas pada dasarnya mengacu pada
sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan.
Efektivitas merupakan salah satu dimensi dari
produktivitas, yaitu mengarah kepada pencapaian
untuk kerja yang maksimal, yaitu pencapaian
target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas
dan waktu.
Menurut Martani dan Lubis (1987:55), ada
tiga pendekatan dalam mengukur efektivitas
organisasi, yaitu:
1. Pendekatan sumber (resource approach)
2. Pendekatan proses (process approach)
3. Pendekatan sasaran (goals approach
Teori Teamwork
Stephen dan Timothy (2008) menyatakan
teamwork adalah kelompok yang usaha-usaha
individualnya menghasilkan kinerja lebih tinggi
daripada jumlah masukan individual. Teamwork
menghasilkan sinergi positif melalui usaha yang
terkoordinasi. Hal ini memiliki pengertian bahwa
kinerja yang dicapai oleh sebuah tim lebih baik
daripada kinerja perindividu di suatu organisasi
ataupun suatu perusahaan.
Menurut Daft (2000) jenis teamwork terdiri
dari 6 (enam) jenis, yaitu:
1. Tim Formal
2. Tim Vertikal
3. Tim Horizontal
4. Tim dengan Tugas Khusus
5. Tim Mandiri
6. Tim Pemecahan Masalah
Hal yang sangat mendasar dalam mewujudkan
keutuhan sebuah tim agar dapat berkinerja dan
berdaya guna adalah dengan melakukan
perancangan tim yang baik. Pentingnya
perancangan tim yang baik diuraikan Griffin
(2004) dengan membagi ke dalam 4 (empat)
tahap perkembangan, yaitu:
1. Formng (pembentukan)
2. Storming (merebut hati)
3. Norming (pengaturan norma)
4. Performing (melaksanakan)
Selanjutnya Williams (2008) membagi ada 5
(lima) hal yang menunjukkan peranan anggota
dalam membangun kerja tim yang efektif, yaitu:
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
59
1. Para anggota mengerti dengan baik tujuan tim
2. Para anggota menyumbang keberhasilan tim
3. Para anggota berusaha mengerti sudut
pandang satu sama lain
4. Para anggota mengakui bahwa konflik adalah
hal yang normal
5. Para anggota berpartisipasi dalam keputusan
tim
Manfaat dan fungsi Teamwork bagi individu dan
tim bagi organisasi menurut Richard Y. Chang &
Mark J. Curtin (1998), yaitu:
1. Manfaat tim bagi individu
a. Pekerjaan lebih bervariasi
b. Lebih banyak kebebasan untuk membuat
dan menindaklanjuti keputusan yang benar
c. Meningkatkan kesempatan untuk
mempelajari keahlian baru
2. Manfaat tim bagi organisasi
a. Meningkatkan komitmen terhadap
keputusan yang diambil
b. Meningkatkan produktivitas tim kerja
c. Lebih fleksibel dalam operasional kerja
d. Meningkatkan rasa tanggungjawab
PEMBAHASAN
Banyak faktor yang bisa menjadi solusi
dalam penyelesaian masalah gizi buruk, namun
penulis hanya akan berkonsentrasi pada
efektifitas teamwork dalam pelacakan kasus gizi
buruk di puskesmas.
Tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan
teamwork dalam menentukan keberhasilan tujuan
program/kegiatan. Bahkan bisa dikatakan bahwa
berhasil tidaknya suatu organisi ditentukan oleh
keberadaan teamwork di dalamnya.Meskipun
membangun team work yang solid merupakan
langkah penting dalam membangun sebuah
organisasi, namun untuk menciptakannya di
tengah lingkungan kerja bukanlah perkara yang
mudah. Karena menyatukan sifat dan karakter
dari setiap individu yang berbeda menuju satu
tujuan yang sama, membutuhkan tenaga, strategi
dan waktu yang tidak sebentar.
Kerjasama dalam tim atau seringkali
diistilahkan teamwork berarti melakukan suatu
aktivitas kerja bersama lebih dari 1 orang dalam
sebuah team untuk mencapai suatu goal. Bila
diamati, setiap bentuk aktivitas terutama dalam
organisasi lebih dari 90% aktivitas itu adalah
kerjasama dan sedikit bidang yang aktivitas-nya
tidak memerlukan kerjasama. Setiap unit kerja,
bidang atau bagian umumnya memiliki tujuan
yang akan dicapai dengan format yang sudah
jelas, sehingga apabila kita perhatikan secara
lebih dalam tingkat keberhasilan masing-masing
kelompok tersebut akan sangat dipengaruhi oleh
dinamika teamwork.
Dengan kompilasi dari teori teamwork dan
teory efektifitas, maka tim pelacakan kasus gizi
buruk yang ada di puskesmas diharapkan dapat
bekerja secara efektif bila sesuai dengan teori
tersebut. Anggota tim sadar bahwa kerja mereka
dalam pelacakan kasus gizi buruk terdiri dari
anggota yang mempunyai tujuan yang sama yang
harus dicapai.
Masing-masing anggota mempunyai
tugas dan fungsi sendiri-sendiri dan harus
dilaksanakan dengan benar. Ada aturan organisasi
dalam hal ini puskesmas yang harus di patuhi.
Teamwork pelacakan kasus gizi buruk pada balita
adalah bagian dari organisasi besar puskesmas,
sehingga setiap anggota teamwork harus bisa
menyeimbangkan antara tujuan teamwork dan
tujuan organisasi puskesmas.
Sehingga penanganan kasus balita gizi buruk
melalui pelacakan dapat berjalan efektif.
KESIMPULAN
1. Teamwork merupakan kegiatan yang
dikelola dan dilakukan sekelompok orang
yang tergabung dalam satu organisasi.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
60
Teamwork dapat meningkatkan kerja sama
dan komunikasi di dalam dan di antara
bagian-bagian perusahaan. Biasanya
Teamwork beranggotakan orang-orang yang
memiliki perbedaan keahlian sehingga
dijadikan kekuatan dalam mencapai tujuan
organisasi.
2. Efektifivitas adalah tercapainya sasaran
yang telah disepakati bersama. Pada
dasarnya dikemukakan bahwa cara yang
terbaik untuk meneliti efektivitas ialah
memperhatikan secara serempak konsep
yang saling berhubungan didalamnya.
3. Teamwork pelacakan kasus gizi buruk pada
balita adalah bagian dari organisasi besar
puskesmas, sehingga setiap anggota
teamwork harus bisa menyeimbangkan
antara efektifitas teamwork dan tujuan
organisasi puskesmas. Sehingga penanganan
kasus balita gizi buruk melalui pelacakan
dapat berjalan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
berita-kedokteran-masyarakat.org/
index.php/BKM/article/view/136/61 oleh
IK Pakaya - 2012
eprints.undip.ac.id/33070/1/ZAENAB_1.pdf oleh
Z ISMAIL - 2011
eprints.undip.ac.id/23744/1/PADMI_SUPARTI.p
df oleh P SUPARTI - 2010
gizi.depkes.go.id/wp-content/.../Buku-Pedoman-
pelayanan-anakdfr.pdf
journal.uniba.ac.id/index.php/mbs/article/download/217/31 oleh K Andriani - 2013
library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/Bab%
202_240.pdf/filebagian/Modul_Gizi.pd
papers.bappenas.go.id/.../SubTema%20Pembang
unan%20SDM oleh H. Desky
repository.unhas.ac.id/.../BAB%20II%20LANDASAN%20TEORI.pdf?...
thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2009-2-00007-
AK%20Bab%202.pdf
repository.usuhttp://www.mysearchresults.com/se
arch?c=2642&t=01&q=peran%20anggot
a%20teamwork
.ac.id/bitstream/123456789/34112/4/Chapter%20
II.pdf oleh B Octarina - 2012
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26386/
3/Chapter%20II.pdf oleh GM Lubis - 2011
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30548/
3/Chapter%20II.pdf oleh TI Santoso -
2011
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
61
PENGUKURAN EFEKTIFITAS MODAL PELATIHAN DOKTER DAN
PERAWAT BERDASARKAN HUMAN CAPITAL INDEXS
MEASSURMENT MENURUT WATSON WYATT
DI IGD RSU HAJI SURABAYA TAHUN 2013
Yuddy Riswandhy Noora1, Siti Rachmawati
2, Tito Yustiawan
3
1. Mahasiswa Pascasarjana Administrasi dan kebijakan Kesehatan, 2. Bidang Diklit RSU Haji Surabaya, 3.
Departemen Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga
Alamat Korespondensi : [email protected]
ABSTRACT
Salah satu layanan unggulan Rumah Sakit Umum Haji Surabaya adalah pelayan Instalasi Gawat Darurat,
namun dalam pelaksanaannya masih sering mendapat keluhan dari pasien sehubungan dengan kualitas
pelayanan yang diberikan. Berdasarkan data pelatihan yang diikuti oleh tenaga dokter dan perawat Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Haji Surabaya, sertifikat yang dimiliki masih tidak memenuhi standar
yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 129 tahun 2008. Kondisi ini perlu dinilai apakah
efektif terhadap akuntabilitas kinerja dari Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Haji Surabaya.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan riset dokumen dan wawancara dengan tenaga dokter dan
perawat IGD. Pengolahan data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel untuk perhitungan dan
tabulasi data berdasarkan definisi operasional yang sesuai dengan dokumen yang ada. Pada hasil perhitungan,
perbandingan kondisi kompetensi dokter dan perawat yang ada saat ini dan akuntabilitas pada tahun 2013 berdasarkan human capital indexs meassurment yang di kemukakan oleh Watson Wyatt termasuk kategori
efektif. Pemenuhan standar kompetensi yang harus 100% seperti yang ada pada Peraturan Menteri Kesehatan
No. 129 Tahun 2008 membuat penilaian tidak efektif.
Keyword : human capital indexs meassurment, dokter dan perawat,efektifitas pelatihan.
ABSTRACT
One of the excellent services Surabaya Hajj General Hospital is a minister of Emergency Room, however in
practice they often receive complaints from patients regarding the quality of services provided. Based on
training data followed by doctors and nurses ER Surabaya Hajj General Hospital, which is owned certificate
still does not satisfy the standards according to Regulation of the Minister of Health number 129/2008. This condition needs to be assessed whether the effective performance of the accountability of the ER Surabaya
Hajj General Hospital. This research is descriptive research with approach documents and interviews to
doctors and nurses emergency room. Data processing was performed using Microsoft Excel for calculation
and tabulation of data based on the operational definition according to the documents. In the calculation, the
comparison of doctors and nurses competencies current and accountability in the year 2013 based on human
capital meassurment indexs were forward by Watson Wyattincluding the effective category. The fulfillment of
competency standards that must be 100% as that of the Minister of Health Regulation No. 129 of 2008 made
ineffective assessment.
Keywords: human capital indexs meassurment, doctors and nurses, the effectiveness of the
training
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
62
Pendahuluan
Rumah Sakit Umum Haji Surabaya
adalah rumah sakit milik pemerintah provinsi
Jawa Timur yang didirikan berkenaan peristiwa
yang menimpa para jamaah Haji Indonesia di
terowongan Mina pada tahun 1990, berdasarkan
SK Gubernur Jawa Timur nomor
188/441/KPTS/013/ 2008 tanggal 30 Desember
2008 Rumah Sakit Haji ditetapkan menjadi Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD) dan berdasarkan
SK MENKES NO 1003/MENKES/SK/10/2008
tanggal 30 Oktober 2008 RSU Haji Surabaya
berkembang menjadi RSU pendidikan tipe B.
Rumah Sakit Umum Haji Surabaya berada pada
bangunan seluas 28254,96 m2 yang terletak di
jalan Manyar Kertoadi Surabaya. Total kapasitas
kamar 239 tempat tidur dan 969 orang karyawan
baik medis maupun non medis. Saat ini RSU Haji
surabaya telah mencapai akreditasi 16 pelayanan
plus.
Pelayanan gawat darurat RSU Haji
Surabaya merupakan bagian dari pelayanan yang
diselenggarakan oleh organisasi RSU Haji
Surabaya yang meliputi upaya memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan
kesehatan individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat. Pelayanan yang diberikan Instalasi
Gawat Darurat RSU Haji Surabaya selalu ingin
memberikan pelayanan yang berkualitas, oleh
karenanya kualitas pemberi pelayanan menjadi
sangat diperhatikan.(1)
Human Capital Management adalah
penggunaan metrik untuk memandu pendekatan
untuk mengelola orang-orang yang menganggap
mereka sebagai aset dan menekankan bahwa
keunggulan kompetitif dicapai dengan investasi
strategis pada aset melalui keterlibatan karyawan
dan retensi, manajemen bakat dan belajar dan
program pembangunan. Human Capital
Management berkaitan dengan memperoleh,
menganalisis dan melaporkan data yang
menginformasikan arah manajemen pada tingkat
manajemen lini depan. Human Capital
Management menyediakan jembatan antara
sumber daya manusia dan strategi bisnis.(2)
Selama ini Human Capital Management
ini belum pernah dilakukan di RSU Haji
Surabaya. Human Capital Management ini sangat
perlu dilakukan untuk dapat memantau tingkat
efektifitas kinerja pada sebuah unit dalam rumah
sakit maupun lingkup rumah sakit sendiri.
Berdasarkan alasan tersebut maka dicoba untuk
mengukur bagaimana efektifitas pelatihan dokter
dan perawat pada Instalasi Gawat Darurat RSU
Haji Surabaya.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriftif dengan menggunakan data Instalasi
Gawat Darurat RSU Haji Surabaya yang meliputi
data pelatihan yang diikuti oleh tenaga dokter dan
perawat, akuntabilitas, jumlah pasien true
emergency dan false emergency serta indeks
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan di
Instalasi Gawat Darurat RSU Haji Surabaya pada
tahun 2013.
Subyek penelitian adalah gabungan
tenaga dokter dan perawat di Instalasi Gawat
Darurat RSU Haji Surabaya yang berjumlah 35
orang. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan program Microsoft Excel untuk
perhitungan dan tabulasi data dengan penetapan
definisi operasional yang sesuai dengan dokumen
yang ada. Perhitungan kategori human capital
indexs dilakukan dengan batasan sebagai berikut:
1. Akuntabilitas
Nilai akuntabilitas didapatkan dari
perhitungan jumlah penghasilan (revenue)
Instalasi Gawat Darurat RSU Haji Surabaya
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
63
pada tahun 2013 dibagi dengan modal yang
dikeluarkan untuk memberikan pelatihan
kepada dokter dan perawat. Penghasilan ini
meliputi penghasilan pelayanan Instalasi
Gawat Darurat RSU Haji Surabaya termasuk
pelayanan OK. Sedangkan penghasilan dari
penunjang seperti laboratorium dan rontgen
tidak dimasukkan karena pada RSU Haji
Surabaya sebagai rumah sakit pemerintah
tidak mendapat pemasukkan atau tidak ada
fee dari unit tersebut untuk Instalasi Gawat
Darurat RSU Haji Surabaya. Perhitungan
modal yang dikeluarkan terhadap 35 orang
dokter dan perawat Instalasi Gawat Darurat
RSU Haji Surabaya, jumlah dokter dan
perawat yang dilatih ATLS 9 orang, BTLS
28 orang, PPGD 28 orang dan GELS 7
orang. Biaya masing-masing perlatihan
perorang adalah ATLS Rp 3.000.000,-,
BTLS Rp. 3.000.000,-, PPGD Rp.
2.000.000,- dan GELS Rp. 2.000.000,-.
Nilai akuntabilitas Rp. 1.409.576.000 dibagi
Rp.60.300.00 dikalikan 100% = 23,37%
2. Kategori Tenaga Yang Fleksibel
Untuk kategori ini, dari 35 dokter dan
perawat ini, 1 orang dokter dan 2 orang
perawat duduk di manajemen Instalasi Gawat
Darurat RSU Haji Surabaya sehingga tidak
ikut pada shif kerja. 8 dokter dan 24 perawat
terbagi dalam 4 shift dimana 3 shift aktif
dalam shift pagi, sore dan malam dan satu
shift off. 1 kelompok shift terdiri dari 2
dokter dan 6 perawat. Sehingga perhitungan
tenaga kerja fleksibel Instalasi Gawat Darurat
RSU Haji Surabaya adalah 8 dibagi 33 dikali
100% didapatkan hasil 24,22%.
3. Retensi Keunggulan
Penetapan hasil retensi keunggulan
ditetapkan dengan dasar bahwa selama tahun
2013 Instalasi Gawat Darurat RSU Haji
Surabaya tidak ada melakukan perekrutan
tenaga dan tidak didapatkan perpindahan
karyawan sehingga keunggulan yang ada
dengan sertifikat yang dimiliki oleh tenaga
dokter dan perawat Instalasi Gawat Darurat
RSU Haji Surabaya dapat dipertahankan.
Informasi ini diperoleh dari wawancara
dengan kepala ruangan Instalasi Gawat
Darurat RSU Haji Surabaya. Berdasarkan
keterangan tersebut maka disimpulkan nilai
retensi keunggulan adalah 100%
4. Integritas komunikasi
Penetapan nilai integritas komunikasi secara
terminologi yaitu integritas komunikasi
adalah suatu proses dimana suatu sistem
dibentuk, dipelihara, dan diubah dengan
tujuan bahwa sinyal-sinyal yang dikirimkan
dan diterima dilakukan sesuai dengan aturan
dengan memperhatikan mutu yang
berlandaskan pada kejujuran. Pada penetapan
nilai integritas ini data rinci tidak didapatkan,
namun dapat dilihat dari penilaian indeks
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
yang dilakukan dokter dan perawat Instalasi
Gawat Darurat RSU Haji Surabaya. Nilai
tentang integritas komunikasi ini tidak terinci
secara nyata pada komponen hasil survey,
namun dapat menggambarkan persepsi
terhadap integritas komunikasi. Pada
pengukuran human capital indexs dokter dan
perawat Instalasi Gawat Darurat RSU Haji
Surabaya ditetapkan berdasar pada
peningkatan nilai indeks kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan Instalasi
Gawat Darurat RSU Haji Surabaya yaitu
7,0%. Nilai ini didapatkan dari peningkatan
hasil indeks kepuasan masyarakat Instalasi
Gawat Darurat tahun 2012 sebesar 69,67 %
menjadi 76,67 % pada tahun 2013.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
64
Hasil Penelitian
Scarborough dan Elias (2002)
mendefinisikan human capital (diartikan menjadi
modal sumber daya manusia) sebagai hubungan
antara praktek sumber daya manusia dan bisnis
kinerja dalam hal aset dari proses bisnis. Human
capital adalah saham kompetensi, pengetahuan,
kebiasaan, sosial dan atribut kepribadian,
termasuk kreativitas, kemampuan kognitif,
diwujudkan dalam kemampuan untuk melakukan
kerja sehingga menghasilkan nilai ekonomi.
Human capital terdiri dari modal intelektual,
sosial dan organisasi. modal intelektual diartikan
sebagai saham dan arus pengetahuan yang
tersedia bagi suatu organisasi. Modal intelektual
dianggap sebagai sumber daya tidak berwujud
yang terkait dengan orang-orang yang bersama-
sama dengan sumber daya nyata (uang dan aset
fisik), terdiri dari pasar atau total nilai bisnis.
Bontis (1998) mendifinisikan sumber
daya tidak berwujud sebagai faktor selain
keuangan dan aset fisik yang berkontribusi pada
proses nilai ekonomi. Modal sosial merupakan
elemen lain dari modal intelektual, terdiri dari
pengetahuan yang berasal dari jaringan hubungan
di dalam dan di luar organisasi, sedangkan modal
organisasi adalah dilembagakannya pengetahuan
yang dimiliki oleh sebuah organisasi yang
disimpan dalam database, manual, dll (Youndt,
2000). Nilai tambah yang orang dapat
berkontribusi untuk sebuah organisasi ditekankan
sebagai aset dan menekankan bahwa investasi
oleh organisasi pada orang akan menghasilkan
keuntungan.
Teori human capital membantu untuk
menentukan dampak dari orang-orang dalam
bisnis dan kontribusi mereka terhadap nilai
pemegang saham (organisasi), menunjukkan
bahwa praktik sumber daya manusia
menghasilkan nilai laba atas investasi,
memberikan bimbingan pada strategi sumber
daya manusia dan bisnis di masa depan, serta
memberikan data yang akan menginformasikan
strategi dan praktek yang dirancang untuk
meningkatkan efektivitas manajemen sumber
daya manusia dalam organisasi.
Tujuan utama dari HCM adalah untuk
menilai dampak dari praktik-praktik manajemen
sumber daya manusia dan kontribusi yang dibuat
oleh orang-orang untuk kinerja organisasi. Data
utama yang digunakan untuk pengukuran human
capital management adalah data tenaga kerja,
data kinerja (pembelajaran dan pengembangan
program), data perseptual (survei sikap/opini
masyarakat) dan data Kinerja lain (
keuangan, operasional dan pelanggan).(3)
Watson Wyatt (2002) menyatakan tiga
kategori utama dari praktek sumber daya manusia
yang bisa dihubungkan dengan penciptaan
peningkatan nilai pemegang saham (modal dari
organisasi), yaitu: (3)
1. Proses identifikasi langkah-langkah dan
mengumpulkan dan menganalisis informasi
yang berkaitan dengan mereka akan fokus
perhatian organisasi pada apa yang perlu
dilakukan untuk menemukan, menjaga,
mengembangkan dan membuat penggunaan
terbaik dari sumber daya manusianya.
2. Pengukuran dapat digunakan untuk memantau
kemajuan dalam mencapai tujuan strategis
sumber daya manusia dan umumnya untuk
mengevaluasi efektivitas dari praktik Human
Resource.
3. Dikategorikan dapat mengelola (efektif)
sumber daya manusia apabila hasil
pengukuran akuntabilitas 16,5 persen tenaga
kerja fleksibel 9,0 persen
retensi keunggulan 7,9 persen
integritas komunikasi 7,1 persen
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
65
Penilaian terhadap efektifitas kompetensi
yang dimiliki dokter dan perawat di Instalasi
Gawat Darurat RSU Haji Surabaya ini, dengan
menggunakan human capital indexs measurement
yang dikemukakan oleh Watson Wyatt di atas,
didapatkan hasil sebagai berikut.
Tabel 1. Perbandingan Nilai Human capital
Indexs kompetensi dokter dan perawat IGD RSU Haji Surabaya Tahun 2013
dan nilai standar Human capital Indexs
Menurut Watson Wyatt.
No Kate-Gori
Hci Menurut
Watson
Teory
Hci Igd
Rsu Haji
Sby
1 Akuntabili
tas
≥ 16,5 % 23,37 %
2 Tenaga
kerja yang
fleksibel
≥ 9,0 % 24,24%
3 keunggula
n dalam
rekrutmen
dan retensi
≥ 9,0 % 100%
4 Integritas
komunikas
i
7,1 % 7,0 %
Berdasarkan perbandingan penilaian
human capital indexs measurement menurut
Watson tersebut, didapatkan hasil perhitungan
human capital indexs pelatihan dokter dan
perawat Instalasi Gawat Darurat RSU Haji
Surabaya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
oleh Watson Wyatt disimpulkan bahwa pada
tahun 2013 efektifitas modal pelatihan yang telah
dikeluarkan terhadap penghasilan Instalasi
Gawat Darurat RSU Haji Surabaya sudah efektif.
Kesimpulan terhadap efektifitas
pelatihan dokter dan perawat Instalasi Gawat
Darurat RSU Haji Surabaya dalam
implementasinya pada pelayanan yang diberikan
juga dikuatkan dengan jumlah kategori kunjungan
pasien pada Instalasi Gawat Darurat RSU Haji
Surabaya yang didominasi false emergency yang
mencapai 80,3% dari total kunjungan. Gambaran
kunjungan pasien di Instalasi Gawat Darurat RSU
Haji Surabaya dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 1. Data Kunjungan Pasien IGD RSU
Haji Surabaya Berdasarkan Kategori True Emergency dan
False Emergency Tahun 2011-
2013 (1)
Kondisi seperti ini tidak menuntut
pemenuhan kompetensi dokter dan perawat yang
harus 100% memiliki pelatihan ATLS, BTLS,
PPGD dan GELS seperti yang diatur dalam PMK
Nomor 129 tahun 2008.(4) Persentasi pelatihan
yang dimiliki dokter dan perawat Instalasi Gawat
Darurat RSU Haji Surabaya yaitu ATLS untuk
dokter 100%, BTLS untuk dokter dan perawat
80%, PPGD untuk dokter dan perawat 80% dan
GELS untuk dokter dan perawat 20% dirasa
sudah cukup efektif karena pada dasarnya
pelatihan tersebut harus dimiliki dengan tujuan
agar dokter dan perawat kompeten untuk
menangani pasien true emergency, sedangkan
pada kasus false emergency sertifikasi tersebut
tidak terlalu dibutuhkan.
Berdasarkan hasil hasil survey yang
dilakukan oleh bidang diklit RSU Haji Surabaya,
didapatkan hasil indeks kepuasan masyarakat
terhadap pelayanan Instalasi Gawat Darurat RSU
Haji Surabaya adalah 76,67% (kategori baik).(5)
Hasil survey ini juga menunjukkan bahwa dengan
kompetensi dokter dan perawat Instalasi Gawat
Darurat RSU Haji Surabaya yang ada saat ini
sudah dapat memberikaan pelayanan kepada
masyarakat dengan kategori baik. Mengacu pada
hasil survey ini maka dapat disimpulkan bahwa
efektifitas kompetensi pelatihan dokter dan
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
66
perawat Instalasi Gawat Darurat RSU Haji
Surabaya saat ini sudah efektif.
Apabila pemenuhan standar kompetensi
pelatihan dokter dan perawat Instalasi Gawat
Darurat RSU Haji Surabaya menjadi 100% sesuai
dengan PMK 129 tahun 2008 dilakukan oleh
Instalasi Gawat Darurat RSU Haji Surabaya
berdasarkan pengukuran human capital index
diatas maka didapatkan nilai akuntabilitas hanya
15,8 % sehingga dapat dinilai tidak efektif lagi.
Pembahasan
Pemenuhan standar kompetensi masing-
masing unit pada sebuah rumah sakit merupakan
acuan yang ingin dicapai oleh seluruh rumah
sakit. Pemenuhan standar ini tentunya juga
melihat pada kebutuhan pemenuhan standar
kompetensi secara menyeluruh pada sebuah
rumah sakit. Kondisi ini yang mengharuskan
rumah sakit menentukan skala prioritas dalam
pemenuhan standar tersebut. Alokasi anggaran
yang harus benar-benar bisa mengakomodir
tujuan rumah sakit dalam pemenuhan kompetensi
tenaga kesehatan yang berkerja di rumah sakit
sangat diperlukan. Hasil akhir yang diharapkan
rumah sakit adalah penggunaan anggaran yang
efektif dalam pelaksanaan kegiatan di rumah
sakit.
Perhitungan Human Capital index
menurut Watson wyatt terhadap Instalasi Gawat
Darurat RSU Haji Surabaya tersebut diatas hanya
salah satu contoh guna menilai bagaimana tingkat
keefektifan penggunaan anggaran rumah sakit
dalam pemenuhan kompetensi tenaga kesehatan
yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat RSU Haji
Surabaya. Penilaian ini sangat baik jika dilakukan
pada seluruh unit yang ada di RSU Haji Surabaya
agar rumah sakit dapat menetapkan tingkat
efektifitas pelatihan yang diberikan rumah sakit
kepada tenaga kesehatannya terhadap pendapatan
yang dihasilkan oleh unit tersebut jika
dibandingkan dengan anggaran yang dibutuhkan
rumah sakit untuk memenuhi kompetensi tenaga
kesehatan tersebut.
Perhitungan Human Capital indexs ini
masih sangat jarang dilakukan di rumah sakit.
Perhitungan ini banyak digunakan pada
perusahaan. Pada era perdagangan bebas seperti
saat ini, rumah sakit selain berfungsi sebagai
lembaga sosial juga harus bisa menjadi sebuah
lembaga bisnis yang dapat menghasilkan profit
baik kepada pemerintah (sebagai rumah sakit
pemerintah) maupun kalangan swasta atau
pengusaha (rumah sakit swasta), Kondisi ini
mengakibatkan rumah sakit hendaknya
melakukan pengukuran efektifitas anggaran
dalam menjalankan kegiatannya. Salah satu yang
penting adalah pengukuran bagaimana tingkat
efektifitas penggunaan anggaran untuk
pemenuhan kompetensi tenaga kesehatannya
terhadap pendapatan, sehingga rumah sakit dapat
menentukan skala prioritas pemenuhan
kompetensi tersebut. Unit yang masih
memerlukan peningkatan kompetensi dan
merupakan penghasil pendapatan yang tinggi di
rumah sakit merupakan prioritas.(3)
Pada era perdagangan bebas saat ini
kehususan dalam bidang perumah sakitan
mengharuskan rumah sakit dapat menghadapi
tantangan : (6)
1. Profesionalisme
2. Liberalisasi tenaga kesehatan (tenaga
kesehatan luar negeri bebas masuk ke
Indonesia)
3. Rumah sakit harus dapat menjadi lembaga
bisnis yang kompetitif tanpa mengurangi
fungsi sosial
Yaitu :
a. Harga murah
b. Mutu ditingkatkan
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
67
c. Pelayanan yang sempurna
d. Terjangkau dapat memenuhi
kebutuhan,tuntutan, harapan dan
kepuasan pasien
4. Berubahnya budaya paternalistik yang
berfokus kepada dokter dalam hubungan
dokter dan pasien menjadi budaya kemitraan
pada pasien yang berfokus pada kepuasan
pasien dalam hubungan dokter dan pasien
5. Menerapkan konsep rumah sakit dengan
cirri:
a. Rumah sakit adalah industi jasa
b. Anggaran dari masyarakat
c. Sistem pembayaran kapitasi
d. Manajeman mutu menjadi inti kegiatan
di rumahsakit
e. Berorientasi pada konsumen
Berdasarkan kebutuhan di era
perdagangan bebas tersebut maka rumah sakit
hendaknya dapat melakukan penghematan
anggaran dengan melakukan pengukuran
keefektifan anggaran tersebut terhadap
berlangsungnya kegiatan di rumah sakit.
Penghematan yang dilakukan tersebut nantinya
akan dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi
pelayanan yang diberikan rumah sakit sehingga
rumah sakit dapat kompetitif dalam persaingan
pasar bebas.
Langkah yang dapat dilakukan adalah
pengukuran dengan menggunakan Human
Capital indexs Meassurment dari Watson Wyatt.
Pengukuran dengan menggunakan Human
Capital indexs Measument dari Watson Wyatt ini
sebagai salah satu metode menilai sumber daya
manusia yang dapat membantu manajemen dalam
pengambilan keputusan. Metode Ini dapat
membatu mengidentifikasi bagian mana yang
memerlukan bantuan manajemen secara financial
dalam kegiatannya.
Pengukuran ini penting dilakukan karena:(3)
1. Merupakan elemen kunci dari nilai pasar
rumah sakit yang ada saat ini dengan
memperkirakan nilai modal sumber daya
manusia terhadap total pendapatan
organisasi.
2. Mampu memberikan dasar untuk
perencanaan sumber daya manusia dan
untuk memantau efektivitas dan dampak
kebijakan dan praktek-praktek sumber daya
manusia yang ada.
3. Proses identifikasi langkah-langkah
mengumpulkan dan menganalisis informasi
yang berkaitan dengan sumber daya manusia
yang ada di rumah sakit menjadi fokus
perhatian organisasi (rumah sakit) pada apa
yang perlu dilakukan untuk menemukan,
menjaga, mengembangkan dan membuat
penggunaan terbaik dari sumber daya
manusianya.
4. Pengukuran dapat digunakan untuk
memantau kemajuan dalam mencapai tujuan
strategis sumber daya manusia dan
mengevaluasi efektivitas dari kegiatan
pengelolaan sumber daya manusia yang ada
pada organisasi (rumah sakit).
Pada akhirnya tujuan pengukuran ini
nantinya dapat menentukan tingkat keefektifan
penggunaan anggaran di rumah sakit dalam
menunjang kegiatan yang dilakukan oleh rumah
sakit. Pengukuran yang dilakukan pada setiap
unit yang ada di rumah sakit nantinya dapat
membantu manajemen dalam mempercepat
pemenuhan kebutuhan rumah sakit terutama yang
berhubungan dengan sumber daya manusia dalam
menghadapi perdagangan bebas yang akan kita
hadapi.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
68
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil perhitungan di atas,
berdasarkan teori human capital indexs
measurement dari Watson Wyatt maka
kompetensi tenaga dokter dan perawat Instalasi
Gawat Darurat RSU Haji Surabaya berada dalam
kondisi efektif. Pemenuhan standar sesuai PMK
nomor 129 tahun 2008 yang mengharuskan
seluruh tenaga dokter 100% memiliki sertifikat
ATLS dan seluruh dokter dan perawat memiliki
sertifikat BTLS, PPGD dan GELS dinilai menjadi
tidak efektif sehingga sebaiknya pemenuhan
standar ini tidak perlu dilakukan. Kondisi
kompetensi yang dimiliki tenaga dokter dan
perawat di Istalasi Gawat Darurat RSU Haji
Surabaya yang ada saat ini sudah dapat
memberikan pelayanan yang sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan RSU Haji Surabaya.
Perbandingan pengeluaran yang dilakukan oleh
RSU Haji Surabaya dalam pemenuhan
kompetensi tenaga dokter dan perawat terhadap
penghasilan yang didapatkan oleh RSU Haji
Surabaya dari Instalasi Gawat Darurat sudah
berada pada titik optimal.
Pengukuran efektifitas dengan
menggunakan teori human capital indexs
measurement dari Watson Wyatt kiranya dapat
dilakukan tidak hanya pada Instalasi Gawat
Darurat RSU Haji Surabaya saja, namun perlu
dilakukan pengukuran pada unit yang lain yang
ada di RSU Haji Surabaya agar efektifitas
anggaran dapat dimaksimalkan. Dalam era AFTA
2015 efektifitas anggaran sangat dibutuhkan
untuk menunjang kesinambungan rumah sakit
dan kebutuhan dalam menghadapi persaingan
bebas. Pengukuran ini hendaknya dapat dilakukan
oleh RSU Haji Surabaya dalam lingkup RSU Haji
Surabaya bukan hanya Instalasi Gawat Darurat
RSU Haji Surabaya saja. Pengukuran ini
hendaknya juga dilakukan oleh rumah sakit yang
ada di Surabaya atau di Indonesia pada umumnya
agar Rumah sakit kita dapat bersaing di era pasar
bebas nanti.
DAFTAR PUSTAKA
D. Laporan akuntabilitas kinerja IGD Tahun
2013. laporan internal tahun 2013.
Surabaya: RSU Haji Surabaya; 2014.
Mondy W&RMN. Human Resource
Management New Jersey: Prentice Hall Inc;
1996.
Amstrong M. Amstrong's Handbook of Human
Resource Management practice. 11th ed. London : Kagan Page; 2009.
Diklit B. Laporan survey indeks kepuasan
masyarakat corporate RSU Haji Surabaya
2013. laporan internal tahun 2013.
Surabaya: RSU Haji Surabaya; 2014.
Medik DBP. Kepmenkes no 129 tahun 2008
Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit. [Online].; 2008 [cited 2013 july 03.
Available from: www.google.com .
MECO MMSA. AFTA 2015. [Online].; 2014
[cited 2014 september 17. Available from:
anti-remed.blogspot.com/2014/06/afta
2015.html .
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
69
SISTEM INFORMASI UNTUK PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG SUMBER
DAYA TENAGA MEDIS, PARAMEDIS, PENYULUH, DAN SUPPORT STAFF
UNTUK WILAYAH TERPENCIL DI INDONESIA
ANINDYA ASTRIANTI M., S.KM.
MAHASISWA MAGISTER ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
MINAT MANAJEMEN KESEHATAN
ABSTRACT
Human resource management is one of the important instruments for the organization in achieving its
objectives. For the government sector, the bureaucracy great responsibility in providing services to the public
must be supported by a human resources professional and competent. In this case, the quality of Indonesian
human resources ranks 53rd of various countries in the world. When compared with Singapore, Indonesia and
Malaysia have lost much because of the position of the neighboring country was at number 22. As for
Thailand ranks 44th. The focus of the government in the health sector is still in the realm of curative and rehabilitative. From the above description shows still happen disparity availability of health resources in
Indonesia. Specificity Characteristics of this remote region must create the top-level managers in both the
Ministry of Health of the Republic of Indonesia or the district health office / city policies that can be
implemented. Availability of valid data and real time, can facilitate decision-making in order to establish an
organizational goals can be achieved effectively and efficiently.
Key Word: Primary health care,
ABSTRAK
Manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu instrument penting bagi organisasi dalam mencapai
tujuannya. Bagi sektor pemerintahan, tanggung jawab besar birokrasi dalam memberi layanan kepada
masyarakat harus di dukung oleh sumber daya manusia yang professional dan kompeten.Dalam hal ini,
kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan ke-53 dari berbagai negara di dunia.Jika
dibandingkan dengan Singapura, dengan Malaysia saja Indonesia kalah jauh lantaran posisi negeri jiran itu
berada di urutan ke-22. Adapun Thailand berada di urutan ke-44.Fokus pemerintah dalam bidang kesehatan
masih dalam ranah kuratif dan rehabilitative.Dari keterangan diatas menunjukkan masih terjadi disparitas
ketersediaan sumber daya kesehatan di Indonesia. Kekhususan karakterisrik wilayah terpencil ini harus
membuat para top manager baik di level Kementrian Kesehatan Republik Indonesia atau Dinas Kesehatan
kabupaten/kota membuat kebijakan yang dapat diimplementasikan.Ketersediaan data yang valid dan real time,
dapat mempermudah pengambil keputusan. Kata utusan menetapkan sebuah keputusan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efesien.
Kunci: Primary health care
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
70
PENDAHULUAN
Manajemen sumber daya manusia
merupakan salah satu instrument penting bagi
organisasi dalam mencapai tujuannya. Bagi sektor
pemerintahan, tanggaung jawab besar birokrasi
dalam memberi layanan kepada masyarakat harus
di dukung oleh sumber daya manusia yang
professional dan kompeten. Salah satu faktor
penentu efektiftas sumber daya manusia yaitu
berkaitan dengan budaya organisasi, iklim
organisasi dan nilai manajeril yang tidak relevan
dengan perubahan yang ada di sektor publik.
Indonesia adalah salah satu negara yang
juga diukur. Posisi Indonesia masih di bawah
negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Dalam hal ini, kualitas sumber daya manusia
Indonesia berada di urutan ke-53 dari berbagai
negara di dunia.Jika dibandingkan dengan
Singapura, dengan Malaysia saja Indonesia kalah
jauh lantaran posisi negeri jiran itu berada di
urutan ke-22. Adapun Thailand berada di urutan
ke-44.Namun, Indonesia setidaknya masih lebih
baik dari Filipina, yang berada di urutan ke-66.
Tabel 1 Rekapitulasi SDM Kesehatan yang
Didayagunakan Pada Fasilitas
Kesehatan di Indonesia
No. Jenis SDM
Kesehatan
Tahun
2010 2011 2012 2013
% % % %
1 Dokter Spesialis
1.67 2.50 3.86 4.35
2 Dokter Umum 5.05 5.01 5.28 4.74
3 Dokter Gigi 1.74 1.59 1.67 1.46
4 Perawat 33.88 34.82 33.29 33.12
5 Bidan 19.26 18.28 17.85 15.31
6 Kefarmasian 3.59 3.84 4.41 5.23
7 Tenaga Kesehatan Lainnya
12.95 15.06 13.84 14.04
8 Tenaga Non Nakes
21.81 18.85 19.76 21.72
TOTAL 100 100 100 100
Sumber: Bank Data SDM Kesehatan Badan
Pengembangan dan Pemberdayaaan SDM
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013
Dari table 1.1 diperoleh gambaran
jumlah sumber daya manusia yang
didayagunakan pada fasilitas kesehatan di
Indonesia. Terjadi peningkatan setiap tahunnya
mulai 2010 sampai dengan tahun 2013 di semua
jenis sumber daya kesehatan. Namun adanya
penurunan apabila kita lihat jenis sumber daya
manusia di katagori perawat (33,29%), bidan
(17,85%), dan tenaga kesehatan lainnya (19,76%)
di tahun 2012.
Tabel 2 Rekapitulasi SDM Kesehatan di
Indonesia Berdasarkan Wilayah
No. Wilayah Jumlah (%)
1 Sumatera 235.643 26.36
2 Jawa dan Bali 436.990 48.88
3 Kep. Nusa Tenggara 35.729 4
4 Kalimantan 66.899 7.48
5 Sulawesi 84.555 9.46
6 Kep. Maluku 15.947 1.78
7 Papua 18.332 2.05
TOTAL 894.095 100
Sumber: Bank Data SDM Kesehatan Badan
Pengembangan dan Pemberdayaaan
SDM Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013
Berdasarkan Tabel 1.2 menyajikan data
yaitu persentase pesebaran sumber daya manusia
keshatan paling kecil di Kepulauan Maluku yaitu
sebersar 1,78% yang diikuti oleh Papua sebesar
2,05%. Sedangkan persentase pesebaran sumber
daya manusia kesehatan paling besar di wilayah
jawa dan bali sebesar 48,88%, hamper mencapai
separuh jumlah keseluruhan ketersedian sumber
daya manusia.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
71
Berikut adalah tujuan penelitian ini yaitu:
1. Tujuan umum dari penulisan makalah ini
adalah mengetahui seberapa besar CSR yang
dapat diberikan oleh sektor swasta dalam
rangka pembangunan jangka panjang sumber
daya tenaga kesehatan dan tenaga non
kesehatan untuk wilayah terpecil.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui keadaan kuantitas, kualitas,
dan distribusi tenaga kesehatan dan non
kesehatan di Puskesmas wilayah
terpencil.
b. Mengetahui potensi adanya kerja sama
antara pemerintah dan sektor swasta
dalam pembangunan sumber daya
manusia tenaga kesehatan dan tenaga
non kesehatan untuk wilayah terpecil.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Departemen Kesehatan RI
(2004), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di
suatu wilayah kerja, dijabarkan ke dalam 3 hal,
yaitu unit pelaksana teknis, pembangunan
kesehatan, pertanggungjawaban penyelenggaraan,
dan wilayah kerja
Perencanaan SDM baru dapat dilakukan
dengan baik dan benar jika informasi berikut ini
diperoleh (Hasibuan, 2006) yaitu job analysis,
organisasi, dan situasi persediaan tenaga kerja
Menurut Marimin, Tanjung, dan
Prabowo (2006), Sistem Informasi Sumber Daya
Manusia (SI-SDM) adalah suatu sistem yang
terdiri dari software dan hardware yang
dirancang untuk menyimpan dan memproses
semua informasi pegawai. Aplikasi SI-SDM
mempunyai peranan penting dalam menyiapkan
sumber daya manusia secara efektif dan efisien
melalui tersedianya informasi sumber daya
manusia yang cepat, lengkap, dan akurat.
Pembangunan atau pengembangan SIM-
SDM dalam suatu organisasi harus disesuaikan
dengan visi dan misi organisasi. Tujuan utama
dari pembangunan dan pengembangan SIM-SDM
haruslah dapat “memanusiakan” karyawan suatu
organisasi dengan cara memanfaatkan teknologi
informasi untuk membantu melaksanakan
aktivitas pekerjaan sehari-hari. Sebelum
mengembangkan atau mengganti sistem yang
baru, sistem lama yang ada harus dipahami dan
dikaji kekurangan dan kelebihannya (Marimin,
Tanjung, dan Prabowo, 2006).
Dalam membuat model SIM-SDM,
format umum yang digunakan sama dengan
subsistem input, database, dan subsistem output
yang telah digunakan di berbagai area fungsional
lain. Subsistem input merupakan kombinasi
standar dari pengolahan data, penelitian, dan
intelijen. Dalam banyak perusahaan, database
ditempatkan dalam penyimpanan komputer.
Subsistem output mencerminkan arus sumber
daya manusia dalam perusahaan.
Gambar 1. Model Sistem Informasi SDM
Secara teoritis, CSR dapat didefinisikan
sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan
terhadap para strategic-stakeholders-nya,
terutama pada komunitas atau masyarakat di
sekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR
memandang perusahaan sebagai agen moral.
Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah
perusahaan harus menjunjung tinggi
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
72
moralitas.Pada dasarnya belum ada definisi
tunggal tentang pengertian CSR itu sendiri
Pada akhirnya pelaksanaan CSR akan
bermanfaat bagi perusahaan, masyarakat,
pemerintah maupun bagi hubungan antara
perusahaan dan masyarakat. Manfaat CSR
bagi perusahaan antara lain sebagai penguatan
citra perusahaan, penguatan dukungan
masyarakat dan jaminan keamanan perusahaan.
Hasil survey The Millenium Poll on CSR (1999)
yang dilakukan oleh Enuironics International
(Toronto), Conference Board (New York) dan
Prince of Wales Business Leader Forum
(London) diantara 25.000 responden di 23 negara
menunjukkan bahwa dalam membentuk opini
tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa
etika bisnis, praktek terhadap karyawan, dampak
terhadap lingkungan, tangung jawab sosial
perusahaan (CSR) akan paling berperan
sedangkan bagi 40% citra perusahaan dan brand
image yang akan paling mempengaruhi kesan
mereka hanya 1/3 yang mendasari opininya atas
faktor-faktor bsnis fundamental seperti faktor
finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan
atau manajemen. Lebih lanjut, sikap konsumen
terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan
CSR adalah ingin “menghukum” (40%) dan 50%
tidak akan membeli produk dari perusahaan yang
bersangkutan dan/ atau bicara kepada orang lain
tentang kekurangan perusahaan tersebut.
PEMBAHASAN
1. Keadaan Kuantitas dan Distribusi Tenaga
Kesehatan dan Non Kesehatan di
Puskesmas Wilayah Terpencil
Keadaan kualitas dan distribusi tenaga
kesehatan dan non kesehatan di Puskesmas
seluruh Indonesia, pada tabel 1, secara total
keseluruhan terdapat grafik peningkatan jumlah
pada tahun 2011 dan 2012 yaitu sebesar 15.118
jiwa. Apabila kita melihat jenis sumber daya
kesehatan terdapat peningkatan yang signifikan
pada tahun 2010 dan 2011 pada dokter spesialis
yaitu menjadi 2,5% dan pada tahun 2012 terjadi
peningkatan kembali menjadi 3,86%.
Jika melihat dari fungsi Puskesmas yaitu
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan,
pusat pemberdayaan masyarakat, pusat pelayanan
kesehatan strata pertama, maka dapat disimpulkan
bahwa inti dari tujuan pemerintah membangun
dan mengembangkan Puskesmas yaitu pada
wilayah preventif dan promotif, tanpa
meninggalkan fungsi kuratif dan rehabilitative.
Dapat kita lihat pada tabel 1, jumlah tenaga
kesehatan lainnya terjadi penurunan yaitu dari
15,06% menjadi 13,84%. Hal ini sangat berbeda
pada jenis tenaga kesehatan yang bertugas pada
ranah kuratif dan rehabilitative. Fokus pemerintah
dalam bidang kesehatan masih dalam ranah
kuratif dan rehabilitative.
2. Disparitas Kuantiatas dan Distribusi Tenaga
Tenaga Kesehatan dan Non Kesehatan di
Puskesmas Wilayah Terpencil
Dari table 2 dapat kita peroleh bila
Kepulauan Maluku berada pada prosentase
terendah dalam jumlah sumber daya manusia
keseahatan yaitu 1,78% dan disusul oleh Papua
sebesar 2,05%. Wilayah Jawa dan Bali
menduduki posisi pertama dalam jumlah sumber
daya manusia kesehatan yaitu 48,88%.
Apabila kita lihat dalam table 1.3,
Kepulauan Maluku terdiri dari Provinsi Maluku
dan Provinsi Maluku Utara, dengan karakteristik
yang tidak jauh berbeda terdapat perbedaan
jumlah yang besar yaitu Provinsi Maluku
memiliki 9.400 jiwa (1,05%) dan Provinsi
Maluku Utara memiliki 6.547 jiwa (0,7%).
Hal ini juga terjadi di wilayah Papua,
dari table 1.3 wilayah Papua terdiri dari Provinsi
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
73
Papua Barat dan Provinsi Papua, dengan
karakteristik yang tidak jaug berbeda terdapat
perbedaan yang signifikan yaitu Provinsi Papua
Barat memiliki 5.839 jiwa (0,65%) dan Provinsi
Papua memiliki 12.493 jiwa (1,39%)
Hal ini berbeda dengan jumlah tenaga
kesehatan yang berada di Wilayah Bali dan Jawa.
Untuk wilayah Kepulauan Jawa jumlah tenaga
kesehatan berjumlah 415,284 jiwa (46,45%) dan
Provinsi Bali 21.706 jiwa (2,42%). Untuk di
Kepualaun Jawa, jumlah tenaga kesehatan
terbesar berada di Provinsi Jawa Tenggah
sebanyak 111,204 jiwa (12,43%). Dari keterangan
diatas menunjukkan masih terjadi disparitas
ketersediaan sumber daya kesehatan di Indonesia.
3. Kerja Sama Pemerintah Daerah dengan
Perusahaan yang Memiliki Corporate Social
Responsibility (CSR)
Corporate Social Responsibility (CSR)
sudah banyak dilakukan oleh organisasi berskala
nasional atau regional di Indonesi. Pemerintah
telah mengatur mekanisme CSR yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan sebagai bentuk
tanggung jawab moral kepada lingkungan
sekitarnya. Bentuk program kegiatan CSR
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekitar
sehingga manfaat program tersebut juga
dirasakan secara langsung oleh masyarakat dalam
tahap jangka pendek. Sebaiknya program CSR
yang dilakukan oleh perusahaan bersifat jangka
panjang dan melibatkan langsung masyarakat
sekitar agar program tersebut memiliki nilai lebih
di masyarakat.
CSR hanya merupakan sebuah stimulus
yang diberikan kepada masyarakat sekitar
sehingga mencapai tingkatan berdaya dalam
mengatasi masalah sosial dan non sosial di
wilayah tersebut. Diharapkan program CSR ini
akan membuat masyarakat di wilayah organisasi
tersebut dapat berdaya dan mandiri dalam
keberlangsungan program.
Berdasarkan jenis CSR, jiwa yang
dijunjung untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia di bidang kesehatan yaitu motivasi
kewargaan. Semangat yang dijunjung yaitu terjadi
pencerahan sosial dan rekonsiliasi dengan
ketertiban sosial. Misinya yaitu mencari dan
mengatasi akar masalah dengan memberikan
kontribusi kepada masyarakat. Pengelolaan yang
dilakukan bersinergi dengan kebijakan
perusahaan. Sehingga manfaat yang didapat dari
program CSR dapat dirasakan oleh perusahaan
dan masyarakat secara luas.
Pemerintah daerah dalam proses
pengembangan sumber daya manusia di bidang
kesehatan terkendala oleh keterbatasan yang
dimiliki oleh organisasi. Seorang manager yang
memiliki jiwa kepemimpinan akan memikirkan
perencanaan sumber daya manusia dalam jangka
pendek, jangka menenga, dan jangka panjang.
Dapat ditetapkan target dalam setiap jangka
waktu yang telah dilakukan, antara lain :
a. Jangka waktu pendek yaitu program yang
memberikan manfaat secara langsung oleh
kedua belah pihak. Dalam program ini terjadi
interaksi dari masyarakat dan perusahaan
serta tersedianya layanan public yang sulit
diperoleh masyarakat. Contohnya adanya
beasiswa kepada murid di jenjang sekolah
dasar. Pemerintah dapat bekerja sama dengan
perusahaan untuk melaksanakan pelatihan
guna meningkatkan kualitas sumber daya
manusia sebagai strategi awal
penanggulangan ketersediaan sumber daya
manusia di bidang kesehatan.
b. Jangka waktu menengah yaitu program CSR
yang dirancang akan menciptakan
peningkatan kemampuan seseorang. Program
CSR disesuikan dengan gerakan preventif
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
74
dan promotif agar sesuai dengan fungsi
utama Puskesmas. Dalam program tersebut
terdapat kegiatan yang berkelanjutan dan
memberikan manfaat bagi lingkungan.
Contohnya pengembangan dan
pemberdayaan murid pemantau jetik malaria
pada tingkat sekolah dasar sampai dengan
sekolah menengah ke atas. Para murid yang
menjadi juru pemantau jentik malaria akan
membentuk jejaring di wilayah lainnya.
Keuntungan yang didapat akan langsung
dirasakan oleh pemerintah (Puskemas dan
sekolah negeri), perusahaan terkait, individu
bersangkutan, dan masyarakat.
c. Jangka waktu panjang yaitu adanya sinergi
dari pemerintah, perusahaan, dan masyarakat
dalam program CSR yang outcomenya dapat
dirasakan masyarakat. Contohnya adanya
program penjaringan siswa berprestasi yang
berminat di bidang kesehatan yang dapat
dimulai dari tingkat sekolah dasar untuk
mendapatkan beasiswa sampai dengan
pemenuhan job spesifikasi yang telah
dirancang oleh pemerintah, dalam hal ini
adalah Dinas Kesehatan setempat.
Pemerintah mendapatkan manfaat dalam
menjalin dan mendukung program CSR yang
dilaksanakan oleh pihak swasta. Tugas
menyelesaikan masalah sosial dan non sosial di
masyarakat dapat diatasi bersama dengan pihak
swasta. Tugas pemerintah untuk menciptakan
kesejahteraan bagi rakyatnya menjadi lebih
ringan dengan adanya partisipasi pihak swasta
(perusahaan) melalui kegiatan CSR.
CSR juga memberikan kontribusi positif
bagi hubungan antara perusahan dan
masyarakat. Pelaksanaan CSR diyakini dapat
meredam konflik antara perusahaan dan
masyarakat. Adanya kerja sama di antara dua
elemen tersebut akan membentuk komunikasi,
komitmen, dan sinergi untuk mengatasi masalah
yang terjadi di lingkungan.
Dalam pelaksanaannya perusahaan dapat
melakukan beberapa bentuk implementasi CSR
yaitu keterlibatan langsung, melalui yayasan atau
organisasi sosial perusahaan, bermitra dengan
pihak lain (universitas atau media massa), dan
mendukung serta terlibat dalam konsorsium.
4. Pembangunan Sistem Informasi Sumber
Daya Manusia untuk Puskemas di
Wilayah Terpencil
Pelaksanaan CSR sebagai bentuk
tanggung jawab sosial sebuah perusahaan
terhadap lingkungan sekitarnya hanyalah sebagai
dari pendekatan proses manajemen yang terdiri
dari Input, Proses, dan Output. Dalam
pelaksanaan proses dibutuhkan kualitas data input
yang valid. Guna mendukung kebutuhan
mendasar tersebut pemerintah sebaiknya
melaksanakan sistem informasi sumber daya
manusia khusus untuk Puskesmas di wilayah
terpencil. Pemerintah pusat dan Pemerintah
daerah haruslah bersinergi dalam pemenuhan
utilitas yang terjadi pada sumber daya manusia di
bidang kesehatan.
Otonomi daerah ikut berperan dalam
keadaan yang ada saat ini, dikarenakan keputusan
apapun diserahkan kembali kepada wilayah
tersebut. Utilitas sumber daya manusia di bidang
kesehatan berbanding terbalik dengan adanya
kemampuan daerah untuk memberikan gaji yang
sesuai dengan standart yang telah ditetapkan.
Disparitas ketersediaan sumber daya manusia di
bidang kesehatan Indonesia sudah besar, sehingga
kebijakan yang dipilih dan diterapkan harusnya
dapat memperkecil jurang tersebut.
Sistem informasi sumber daya manusia
untuk Puskemas di wilayah terpencil haruslah
dimanajemen sama atau bahkan lebih baik
daripada wilayah lainnya. Kekhususan
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
75
karakterisrik wilayah terpencil ini harus membuat
para top manager baik di level Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia atau Dinas
Kesehatan kabupaten/kota membuat kebijakan
yang dapat diimplementasikan. Idelanya sumber
daya manusia yang didapatkan berasal dari
penduduk lokal wilayah terpencil tersebut.
Melalui program CSR yang diberikan oleh pihak
swasata dan dilakukan bersama maka akan
tercipta program pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan dimana informasinya didapatkan dari
sistem informasi yang berjalan baik.
internal dan sumbe internal haruslah
aktif dalam menghadapi perubahan data terkait
dengan sumber daya manusia. Sehingga data
tersebut dapat berproses menjadi informasi.
Ketersediaan data yang valid dan real
time, dapat mempermudah pengambil keputusan
menetapkan sebuah keputusan agar tujuan
organisasi dapat dicapai secara efektif dan
efesien.
Quality insurance dalam pelaksanaan
sistem informasi sebaiknya memiliki indikator
yang sensitife terhadap perubahan/kerusakan
yang terjadi sehingga meminimalisir kesalahan
proses.
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014
76
PENGARUH TERAPI MENULIS EKSPRESIF TERHADAP TINGKAT KECEMASAN SISWA KELAS XII MA RUHUL AMIN YAYASAN SPMMA (SUMBER PENDIDIKAN MENTAL AGAMA
ALLAH) TURI DI DESA TURI KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN
Moh. Saifudin, M. Nur Kholidin
ABSTRAK
Remaja selalu dihadapkan pada beberapa tugas perkembangan yang secara bertahap memerlukan
persiapan psikologis maupun biologis. Individu yang tidak bisa menyesuaikan diri dan kurang bisa
mempersiapkan dirinya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik secara fisik maupun psikis tersebut
akan mengalami suatu „goncangan‟. Masalah kejiwaan yang dapat terjadi antara lain individu akan sering
diliputi kecemasan, stres bahkan sampai depresi oleh karena kecemasan yang tidak tertangani dan terus-
menerus. Oleh karena itu diperlukan penanganan serius untuk mengatasi kecemasan. Terdapat beberapa terapi
psikologis yang dapat digunakan, salah satunya adalah terapi menulis ekspresif.
Desain penelitian yang digunakan adalah Pre Eksperimen Design. Metode sampling yang digunakan
adalah Purposive Sampling. Besar sampelnya adalah 19 responden yaitu siswa kelas XII MA Ruhul Amin
Yayasan SPMAA Turi Lamongan Tahun 2014. Data diambil menggunakan kuesioner ZSAS pre dan post
intervensi terapi menulis ekspresif. Setelah ditabulasi data yang ada dianalisa menggunakan Wilcoxon Sign
Rank Test dengan tingkat kemaknaan 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat kecemasan pre intervensi adalah seluruh siswa mengalami
ansietas ringan sampai sedang atau 19 siswa (100%). Sedangkan hasil untuk tingkat kecemasan setelah
intervensi adalah Sebagian besar siswa dalam kategori normal atau tidak mengalami kecemasan atau 14 siswa
(73,7%) dan sebagian kecil siswa mengalami ansietas ringan sampai sedang atau 5 siswa (26,3%).
Hasil pengujian statistik diperoleh hasil terdapat pengaruh antara terapi menulis ekspresif terhadap
tingkat kecemasan siswa dengan nilai Z sebesar -3,472 dengan tingkat signifikan 0,000 (p <0,05).
Melihat hasil penelitian ini maka menulis ekspresif menjadi faktor penting yang harus diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari untuk menurunkan kecemasan seseorang.
Kata Kunci : Remaja, Kecemasan, Terapi Menulis Ekspresif, ZSAS
77
Pendahuluan
Masa remaja merupakan periode
peralihan antara masa kanak-kanak dan
dewasa sekaligus fase pencarian identitas diri
bagi remaja. Pada fase ini, remaja mengalami
banyak perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan, diantaranya biologis, kognitif dan
psikososial yang biasa dikenal dengan istilah
pubertas. (Sarlito Wirawan Sarwono, 2007).
Sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam
diri remaja, mereka juga dihadapkan pada
tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada
masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui,
dalam setiap fase perkembangan, termasuk
pada remaja, individu memiliki tugas-tugas
perkembangan yang harus dipenuhi sebelum
melangkah ke tugas perkembangan fase
selanjutnya. Apabila tugas-tugas tersebut
berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan
tercapai kepuasan, kebahagiaan dan
penerimaan dari lingkungan. Begitu pula
sebaliknya, apabila individu tidak bisa
menyelesaikan tugas perkembangannya
dengan baik maka individu akan mengalami
kesulitan untuk memenuhi tugas
perkembangan berikutnya. Masalahnya,
seringkali remaja mengalami kesulitan dalam
menghadapi fase ini. Terdapat banyak hal
yang dapat menghambat dan mempersulit
individu dalam menyelesaikan tugas
perkembangannya, baik itu pada tahap
remaja awal, remaja madya, maupun remaja
akhir. Hambatan tersebut muncul karena
kurang siapnya individu dalam menerima
perubahan-perubahan yang terjadi, oleh
karena adanya ketidakseimbangan antara
perubahan fisik yang sangat cepat dengan
perubahan kejiwaan yang meliputi mental
dan emosional (Dzulkifli, 2009).
Hasil riset yang dilakukan Kemdikbud
pada tahun 2012 terhadap siswa SMA
sederajat di Indonesia yang akan menghadapi
UN menunjukkan sebagian besar peserta
ujian merasa cemas. Dari hasil survei
diketahui 21% siswa merasa biasa atau tidak
cemas, 56% merasa cemas dan yang merasa
sangat cemas ada 22% (Mohammad Nuh,
2012).
Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan pada 21 November 2013 di MA
Ruhul Amin Yayasan SPMAA Turi
Lamongan ditemukan 6 dari 10 siswa
mengalami kecemasan. Sebanyak 5 siswa
mengalami cemas ringan sampai sedang,
sedangkan terdapat 1 siswa mengalami
cemas berat, dan selebihnya ditemukan 4
siswa dalam kategori normal atau tidak
mengalami kecemasan. Survei ini
menggunakan kuesioner skala Zung Self-
Rating Anxiety Scale (ZSAS) di mana subyek
diberi 20 pernyataan dan diminta untuk
memilih salah satu poin yang disediakan
(jarang sekali; kadang-kadang; beberapa kali;
sering/ hampir selalu). Skala ini
menitikberatkan pada 4 jenis manifestasi
ansietas yaitu aspek kognitif, otonomik,
motorik dan gejala sistem saraf pusat. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa masih
tingginya angka kecemasan remaja di MA
Ruhul Amin Yayasan SPMAA Turi
Lamongan.
78
Terdapat beberapa hal yang dapat
menyebabkan kecemasan. Wangmuba, 2009
menyebutkan beberapa faktor yang
mempengaruhi kecemasan seseorang
meliputi (1) Usia dan tahap perkembangan;
(2) Lingkungan; (3) Pengetahuan; (4) Peran
keluarga; (5) Emosional atau psikologis.
Pertama adalah faktor usia, umur
merupakan periode terhadap pola-pola
kehidupan yang baru, yang memegang
peranan penting dalam memenuhi tugas
perkembangan yang akan mempengaruhi
dinamika kecemasan seseorang. Kedua
adalah faktor lingkungan, lingkungan
merupakan kondisi yang ada di sekitar
manusia yang dapat mempengaruhi perilaku
yang melibatkan faktor internal maupun
faktor eksternal. Lingkungan yang kurang
kondusif akan meningkatkan resiko
kecemasaan pada seseorang. Selanjutnya
yakni faktor pengetahuan, tanpa pengetahuan
dan pengalaman yang memadai, individu
tidak akan memiliki fondasi yang kuat untuk
menghadapi masalah-masalah psikis,
termasuk kecemasan.
Faktor ke-empat yakni peran keluarga,
pola asuh yang salah, penelantaran anak dan
penyampaian informasi yang kurang edukatif
seringkali memicu remaja untuk bersikap
memberontak dan menjadi pribadi yang
kehilangan jati dirinya yang secara tidak
langsung individu akan menjadi labil dan
sering mengalami kecemasan. Yang terakhir
adalah faktor emosional, di sini jelas bahwa
selain fisik, kondisi psikis sendiri berperan
besar terlebih dengan adanya perubahan-
perubahan yang dialami pada masa pubertas
individu membutuhkan keseimbangan
emosional dan mental.
Ansietas merupakan gejala normal
pada manusia dan disebut patologis bila
gejalanya menetap dalam jangka waktu
tertentu dan mengganggu homeostasis
individu, karena itu perlu segera dihilangkan
dengan berbagai macam cara penyesuaian
(Maramis, 2005). Menurut Atkinson, dalam
Fitriani, 2010 ada dua cara untuk mengatasi
kecemasan, yaitu pertama dengan
menitikberatkan masalah, individu menilai
situasi yang dapat menimbulkan kecemasan
dan melakukan sesuatu untuk mengubah atau
menghindarinya. Kedua, dengan
menitikberatkan emosi, individu berusaha
mereduksi perasaan cemas melalui berbagai
cara dan tidak secara langsung menghadapi
masalah yang menimbulkan kecemasan itu.
Sehingga untuk mengatasi perasaan cemas
yang dapat dialami oleh siapa saja dalam
situasi tertentu, individu tersebut tentunya
mempunyai kemampuan untuk mengatasinya
sendiri.
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk
mengurangi kecemasan. Salah satunya
dengan pendekatan emosional, termasuk
dengan menulis pengalaman emosional.
Menulis pengalaman emosional atau terapi
menulis ekspresif telah menjadi kajian yang
menarik pada dua dekade belakangan ini.
King, dalam Siswanto 2006 menyebutkan
bahwa emosi positif membuat individu
merasa aman dan terpuaskan.
79
Emosi positif juga memainkan peran
penting yang membantu fungsi individu
dalam relasi sosial sehingga lebih dapat
beradaptasi. Menulis berbeda dengan
berbicara. Terapi menulis ekspresif
dipandang sebagai terapi yang memiliki
kekuatan tersendiri karena menulis adalah
suatu bentuk eksplorasi dan ekspresi area
pemikiran, emosi dan spiritual yang dapat
dijadikan sebagai suatu sarana untuk
berkomunikasi dengan diri sendiri dan
mengembangkan suatu pemikiran serta
kesadaran akan suatu peristiwa (Bolton,
2004).
Tujuan dari penelitian di atas adalah
untuk mengetahui pengaruh terapi menulis
ekspresif terhadap penurunan tingkat
kecemasan pada siswa kelas XII MA Ruhul
Amin Yayasan SPMAA Turi Lamongan.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah analitik
komparasi dengan pendekatan Pre-
Eksperimen (One-Group Pretest-Posttest
Design). Populasi penelitian ini seluruh siswa
kelas XII MA Ruhul Amin SPMAA Turi di Desa
Turi Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan
tahun 2014 sebesar 31 siswa, sedangkan
sampel penelitian adalah sebagian siswa
kelas XII MA Ruhul Amin SPMAA Turi
Lamongan yang memenuhi criteria inklusi
dengan besar sampel 19 responden.
Variabel independen penelitian ini adalah
terapi menulis ekspresif, sedangkan variabel
dependennya adalah tingkat kecemasan
siswa kelas XII MA Ruhul Amin SPMAA Turi
Lamongan. Pengumpulan data penelitian
menggunakan teknik observasi dengan
mengukur tingkat kecemasan menggunakan
kuesioner ZSAS (Zung Self-Rating Anxiety
Scale) sebelum dan setelah intervensi
menulis ekspresif. Analisis penelitian
menggunakan uji Wilcoxon Signed Test.
Hasil Penelitian 1. Data Umum 1) Karakteristik Siswa (1) Distribusi Berdasarkan Umur Tabel 1. Karakteristik Siswa Berdasarkan Umur
di MA Ruhul Amin Yayasan SPMAA
Turi di Desa Turi Kecamatan Turi
Kabupaten Lamongan Pada Tahun 2014
(2) Distribusi Berdasarkan Tempat Tinggal siswa
Tabel 2. Distribusi Siswa Berdasarkan Tempat
Tinggal di MA Ruhul Amin SPMAA
Turi di Desa Turi Kecamatan Turi
Kabupaten Lamongan Pada Tahun
2014
No Umur Frekuensi %
1 16 1 5,3
2 17 2 10,5
3 18 14 73,7
4 19 2 10,5
Jumlah 19 100
No Tempat Tinggal Frekuensi %
1 Rumah 3 15,8
2 Yayasan 16 84,2
Jumlah 19 100
80
2. Data Khusus
1) Tingkat Kecemasan Siswa Pre Intervensi
Tabel 3. Distribusi Siswa Berdasarkan
Tingkat Kecemasan pre intervensi di MA Ruhul Amin Yayasan SPMAA
Turi di Desa Turi Kecamatan Turi
Kabupaten Lamongan Pada Tahun 2014.
No Tingkat
Kecemasan
Frekuensi %
1 Normal 0 0
2 Ringan-sedang 19 100
3 Berat 0 0
4 Sangat Berat 0 0
Jumlah 19 100
2) Tingkat Kecemasan Siswa Post
Intervensi
Tabel 4. Distribusi Siswa Berdasarkan
Tingkat Ansietas post intervensi di
MA Ruhul Amin SPMAA Turi di Desa Turi Kecamatan Turi
Kabupaten Lamongan Pada Tahun
2014.
3) Tabel Silang Tingkat Kecemasan Siswa
Pre-Post Intervensi
Tabel 5. Tabel Silang Pengaruh Pre dan Post Eksperimen Terapi Menulis Ekspresif Terhadap Tingkat Kecemasan pada Siswa Kelas XII MA Ruhul Amin Yayasan SPMAA Turi Desa Turi Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan Pada Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5. di atas menunjukkan bahwa sebelum diberikan intervensi seluruh siswa mengalami kecemasan ringan sampai sedang atau 19 siswa (100%) sedangkan setelah diberikan intervensi sebagian besar siswa tidak mengalami
kecemasan atau sebesar 14 siswa (73,7%) dan
sebagian kecil siswa mengalami kecemasan
ringan sampai sedang (26,3%). Hasil uji statistik
Wilcoxon Sign Rank Test, menunjukkan nilai
signifikansi (p sign = 0,000) dimana hal ini berarti p sign < 0,05 sehingga H1 diterima artinya
terdapat pengaruh terapi menulis ekspresif
terhadap tingkat kecemasan. Pada tabel 4.3 (pre
intervensi) di atas menunjukkan bahwa dari 19
siswa, seluruh siswa mengalami ansietas ringan
sampai sedang atau 100%. Sedangkan sesudah
pemberian perlakuan menulis ekspresif sesuai
tabel 4.4 menunjukkan sebesar 14 siswa tidak
mengalami kecemasan atau sebesar 73,7%
sedangkan sisanya adalah 5 orang masih
mengalami ansietas ringan sampai sedang atau
26,3%.
Pembahasan
1. Tingkat Kecemasan Siswa Pre Intervensi
Berdasarkan tabel 3 di atas menunjukkan
bahwa dari 19 siswa (100%) semuanya
mengalami ansietas ringan sampai sedang atau
sebesar 100%. Sedangkan pada tabel 4.1
menunjukkan bahwa dari 19 siswa (100%),
sebagian besar siswa berumur 18 tahun atau
sebesar 14 siswa (73,7%) dan sisanya adalah
sebagian kecil berumur 17 tahun atau sebesar 2
siswa (10,5%), 19 tahun atau sebesar 2 siswa
(10,5%) dan 16 tahun atau sebesar 1 siswa
(5,3%). Pada tabel 4.2 menunjukkan dari 19 siswa
No Tingkat
Ansietas
Frekuensi %
1 Normal 14 73,7
2 Ringan-sedang 5 26,3
3 Berat 0 0
4 Sangat Berat 0 0
Jumlah 19 100
Karakteristik
Pre Eksperimen Post Eksperimen
No
Tingkat Kecemasan (ZSAS)
Freq % Freq %
1 Normal 0 0 14 73,7
2 Ringan- sedang
19 100 5 26,3
3 Berat 0 0 0 0
4 Sangat Berat 0 0 0 0
Jumlah 19 100 19 100
Asygmp sig 2 tailed (p) = 0.000
Z = -3,742α
81
(100%) hampir seluruhnya siswa tinggal di
Yayasan atau 16 siswa (84,2%) dan sisanya
sebagian kecil atau sebesar 3 siswa (15,8%)
tinggal di rumah.
Sesuai dengan hasil penelitian diketahui
bahwa umur siswa sebagian besar adalah 18
tahun atau sebesar 14 siswa (73,7%) sehingga
dapat dikategorikan dalam remaja lanjut (Late
Adolescent). Pada masa ini, mulai tumbuh tanda-
tanda kedewasaan antara lain adalah adanya
peningkatan minat terhadap fungsi-fungsi intelek,
egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara
kepentingan diri sendiri dengan orang lain dan
identitas seksual yang telah menetap. Namun
perlu diketahui juga bahwa semakin tinggi umur
remaja maka semakin berat pula tugas
perkembangan yang harus dijalani. Sedangkan
berdasarkan fakta di lapangan diketahui bahwa
setiap program kegiatan yang dijalankan di
SPMAA dibagi berdasarkan kelas dan umur, jenis
kelamin dan tingkat keimanan (program ABC).
Selain itu terdapat program penugasan utama
(dakwah dan penyebaran Islam) yang dilakukan
dari kota ke kota, pulau ke pulau secara
perorangan atau individu. Misalnya, santri A yang
diikutkan program penugasan tingkat pertama
harus berumur 15 ke atas dan telah menguasai
ilmu mental agama Allah (sekitar 3 tahun masa
pendidikan) untuk ditempatkan di kota kecil
terlebih dahulu sebelum ke luar pulau nantinya,
demikian tugas dilakukan secara
berkesinambungan sesuai dengan jadwal dan
tempat sasaran. Lalu secara bertahap dengan
semakin bertambahnya umur, maka visi dan misi
yang dijalankan oleh Yayasan mulai diterapkan
oleh individu. Siswa yang berumur 18 tahun
hampir seluruhnya telah menjalani program
penugasan baik di kota maupun di luar pulau
sehingga remaja sudah kenyang akan
pengalaman/ pengetahuan sosial, budaya, spiritual
dan peradaban masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya. Dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa siswa yang berumur 18 tahun
dapat mempengaruhi tingkat kecemasannya
karena semakin tinggi usia remaja maka semakin
berat pula tugas perkembangan yang harus
dilaluinya.
Selain umur, terdapat beberapa faktor lain
yang dapat mempengaruhi kecemasan siswa yaitu
lingkungan (tempat tinggal). Berdasarkan fakta
diketahui bahwa hampir seluruhnya siswa tinggal
di Yayasan yang tentunya membuat aktivitas
siswa berbeda dengan di rumah. Di Yayasan ini
terdapat kegiatan keseharian yang wajib
dilakukan, kegiatan ini secara umum bersifat
dicipliner dan semi militer namun Islami, dimulai
dari bangun pagi (02.00 dini hari), sebelumnya
tiap ketua kelompok harus memeriksa dan
mengabsen anggotanya yang hadir (terdapat
hukuman khusus bagi siswa yang tidak hadir atau
terlambat), siswa wajib melakukan shalat
Tahajjud berjama‟ah dan shalat sunnah lain lalu
dilanjutkan shalat Shubuh. Setelah itu siswa
diwajibkan mengikuti pengajian dan membaca
Al-qur‟an sampai matahari menjelang dilanjutkan
dengan shalat Dzuha bejama‟ah. Setelah itu siswa
dikumpulkan ditengah lapangan layaknya tentara
militer dan tiap anggota kelompok melapor
kepada pembina sesuai dengan kelengkapan
anggotanya, bila terdapat satu anggota belum
hadir atau terlambat maka satu kelompok tersebut
belum diberikan ijin untuk sarapan pagi sampai
hukuman siswa tersebut selesai. Kegiatan di siang
hari antara lain bercocok tanam, bekerja dan
bersekolah sesuai umur dan status. Selain itu
terdapat kegiatan lain antara lain puasa sunnah
Senin-Kamis dan puasa Dawud.
Berbagai kegiatan religius tersebut dilakukan
lagi di petang hari sampai menjelang tidur
(sekitar pukul 10.00). Di sini jelas secara tidak
82
langsung tempat tinggal dapat membuat peran
keluarga menjadi sangat terbatas dan dapat dilihat
bahwa lingkungan sangat mempengaruhi kondisi
mental individu yang dapat meningkatkan
kecemasan. Selain faktor tersebut, pengetahuan
juga dapat mempengaruhi kondisi mental
individu. Secara umum, siswa kelas XII dianggap
menguasai materi pendidikan pokok ditambah
lagi pengetahuan agama yang disisipkan pada tiap
pelajaran dan kegiatan dapat menambah wawasan
siswa dalam aspek kognitif dan kehidupan secara
umum sehingga dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan siswa luas dianggap kurang
berpengaruh untuk meningkatkan kacemasan
individu.
Sesuai dengan teori Wangmuba, 2009 di atas
semakin memperkuat bahwa umur (tahap
perkembangan), lingkungan (tempat tinggal),
peran keluarga, pengetahuan (yang kurang) dan
kondisi psikologis merupakan faktor penting yang
dapat mempengaruhi kecemasan remaja. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa antara remaja
selalu identik dengan kecemasan begitu pula
sebaliknya (saling mempengaruhi satu sama lain).
2. Tingkat Kecemasan Siswa Post Intervensi
Pada tabel 4. menunjukkan dari 19 siswa
yang telah diberikan intervensi menulis ekspresif,
sebagian besar siswa tidak mengalami kecemasan
atau sebesar 14 siswa (73,7%) dan sebagian kecil
masih mengalami kecemasan ringan sampai
sedang (25-24) atau sebesar 5 siswa (26,3%).
Kecemasan merupakan periode singkat
perasaan gugup atau takut yang dialami seseorang
ketika dihadapkan pada pengalaman yang sulit
dalam kehidupan (Greenperger & Padesky,
2004). Selain karena faktor umur, lingkungan dan
kondisi emosional yang labil, kecemasan juga
dapat timbul dari pengalaman yang sulit dalam
kehidupan. Namun hal tersebut justru dapat
dibalik atau kecemasannya dapat menurun bila
apa yang dirasakan, pengalaman yang diingat
tersebut dituangkan dalam tulisan yang dikenal
dengan menulis ekspresif.
Menulis berbeda dengan berbicara. Menulis
memiliki kekuatan tersendiri karena menulis
adalah suatu bentuk eksplorasi dan ekspresi area
pemikiran, emosi dan spiritual yang dapat
dijadikan sebagai suatu sarana untuk
berkomunikasi dengan diri sendiri dan
mengembangkan suatu pemikiran serta kesadaran
akan suatu peristiwa (Bolton, 2004). Tindakan
menulis merupakan kerja otak bagian kiri, yang
bersifat analitis dan rasional. Ketika otak kiri
sedang aktif, otak kanan menjadi bebas untuk
berkreasi, menjadi intuitif dan merasakan,
sehingga menulis memindahkan hambatan mental
dan memungkinkan orang untuk menggunakan
semua kekuatan otak untuk memahami diri
sendiri, orang lain dan dunia sekitar dengan lebih
baik. Beberapa keuntungan menulis, seperti
mengklarifikasi pikiran-pikiran dan perasaan-
perasaan mengetahui diri sendiri dengan lebih
baik, menurunkan tekanan karena menulis
mengenai kemarahan, kesedihan dan emosi lain
yang menyakitkan, serta membantu melepaskan
intensitas perasaan-perasaan tersebut,
memecahkan masalah dengan lebih efektif karena
umumnya masalah dapat dipecahkan melalui otak
kiri, tetapi kadang-kadang hanya dapat ditemukan
dengan menggunakan otak kanan yang bersifat
kreatif dan intuitif. Selain itu CBT (Cognitive
Behaviour Therapy) diketahui sebagai terapi yang
memfokuskan individu/ pasien untuk melihat
dirinya sendiri dengan cara yang berbeda. Dengan
menulis pengalaman emosional, individu dapat
menggali sisi kepribadian positive yang selama
ini tersembunyi atau dihalangi oleh mindset yang
keliru dengan sendirinya melalui pikiran yang
83
dituliskan atau ungkapan-ungkapan emosional
(Siswanto, 2007).
Sesuai dengan fakta yang didapat bahwa
sebagian besar siswa tidak mengalami kecemasan
atau sebesar 14 siswa (73,7%) setelah dilakukan
terapi menulis ekspresif kurang lebih satu jam
(sesuai petunjuk). Menulis ekspresif dapat
menggali potensi negatif dari perasaan yang
memberikan pemahaman baru terhadap beberapa
persepsi yang ada dalam pikiran individu
sehingga memungkinkan individu mampu
menguasai mekanisme koping yang digunakan
untuk mengurangi tingkat kecemasan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa menulis
ekspresif secara efektif mempunyai pengaruh
dalam menurunkan kecemasan remaja.
3. Pengaruh Terapi Menulis Ekspresif terhadap
Tingkat Kecemasan Pada Siswa
Sesuai tabel 4. terdapat perbedaan ansietas
sebelum dan sesudah diberikan intervensi, di
mana dari 19 siswa sebelum intervensi semua
responden mengalami ansietas ringan sampai
sedang atau 100%, setelah diberi perlakuan
menulis ekspresif sebagian besar siswa tidak
mengalami kecemasan atau sebesar 14 siswa
(73,7%) dan sisanya sebagian kecil siswa
mengalami ansietas ringan sampai sedang (25-44)
atau sebesar 5 siswa (26,3%.).
Berdasarkan data yang didapat bahwa
sebagian besar siswa sebelum diberikan
intervensi adalah mengalami ansietas ringan
sampai sedang. Ansietas ringan dapat dilihat dari
perasaan individu bahwa ada sesuatu yang
berbeda dan membutuhkan perhatian khusus.
Stimulasi sensori meningkat dan membantu
individu memfokuskan perhatian untuk belajar,
menyelesaikan masalah, berpikir, bertindak,
merasakan dan melindungi dirinya sendiri. Pada
tingkat ansietas ini individu dapat memproses
informasi, belajar dan menyelesaikan masalah.
Pada kenyataannya, tingkat ansietas ini
memotivasi pembelajaran dan perubahan
perilaku. Selain ansietas ringan, siswa juga ada
yang mengalami ansietas sedang. Ansietas sedang
merupakan perasaan yang mengganggu bahwa
ada sesuatu yang benar-benar berbeda, individu
menjadi gugup atau agitasi. Pada tingkat ansietas
ini individu dapat memproses informasi, belajar
dan menyelesaikan masalah. Ketrampilan kognitif
masih mendominasi tingkat ansietas ini (Stuart
Gail W, 2006).
Terapi menulis adalah suatu aktivitas
menulis yang mencerminkan refleksi dan ekspresi
klien baik itu karena inisiatif sendiri atau sugesti
dari seorang terapis atau peneliti (Wright, 2004).
Pusat dari terapi menulis lebih pada proses
selama menulis daripada hasil dari menulis itu
sendiri sehingga penting bahwa menulis adalah
suatu aktivitas yang personal, bebas kritik dan
bebas dari aturan bahasa seperti tata bahasa,
sintaksis dan bentuk (Bolton, 2004).
Penelitian ini dilakukan di alam terbuka
(Ruang Gazzebo) dengan tujuan kenyamanan dan
keheningan sehingga memungkinkan siswa untuk
dapat memaksimalkan indranya terhadap apa
yang peneliti sampaikan. Pada penelitian ini
peneliti menyiapkan beberapa instrumen
diantaranya 19 buku tulis, 19 bolpoin dan
instrumen pengukur ZSAS (Zung Scale Anxiety
Scale) sebanyak 2 x 19 lembar kuesioner. Agar
berjalan maksimal, dalam melakukan terapi ini
terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan
siswa. Setelah mengisi kuesioner ZSAS (sebelum
intervensi), peneliti memastikan bahwa situasi
tempat terapi tenang dan nyaman. Tahap pertama
adalah melakukan terapi meditasi, memposisikan
siswa berbaris rapi dengan kaki duduk menyilang
dan tubuh badan tegap. Selanjutnya siswa diminta
untuk memejamkan mata sekitar 15 menit, selama
84
itu pula peneliti mulai mengarahkan siswa untuk
menulis secara ekspresif dengan tujuan awal
untuk merilekskan tubuh dan pikiran individu
(membacakan panduan sesuai teori).
Tahap kedua setelah membuka mata, siswa
dipersilahkan untuk menulis pengalaman
emosional sesuai petunjuk (dilakukan sekitar 45
menit). Saat menulis, hal yang penting adalah
adanya perubahan ekspresi wajah dan hasil dari
tulisan itu sendiri (secara obsevatif peneliti
mendapati terdapat beberapa siswa menghabiskan
waktu untuk menulis lebih dari waktu ketentuan).
Setelah terapi selesai siswa diberikan waktu
istirahat dan diminta mengisi kuesioner yang
kedua.
Berdasarkan data diketahui bahwa tingkat
kecemasan siswa sebelum intervensi dari 19
siswa seluruhnya atau sebesar 19 siswa (100%)
mengalami ansietas ringan sampai sedang
dibandingkan dengan tingkat kecemasan post
intervensi yakni sebagian besar 14 siswa (73,7%)
dalam kategori normal atau tidak mengalami
kecemasan dan sebagian kecil hanya 5 siswa
(26,3%) menunjukkan bahwa terapi menulis
ekspresif mempunyai peran efektif dalam
menurunkan kecemasan remaja. Berdasarkan
hasil uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test,
menunjukkan nilai signifikansi (p sign = 0,000)
dimana hal ini berarti p sign < 0,05 sehingga H1
diterima artinya terdapat pengaruh terapi menulis
ekspresif terhadap tingkat kecemasan yang
dialami siswa kelas XII MA Ruhul Amin. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh antara terapi menulis ekspresif terhadap
tingkat kecemasan pada siswa kelas XII MA
Ruhul Amin Yayasan SPMAA Turi Lamongan.
Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan
1) Seluruh siswa kelas XII MA Ruhul Amin
Yayasan SPMAA Turi Lamongan sebelum
diberikan intervensi mengalami ansietas
ringan sampai sedang.
2) Sebagian besar siswa kelas XII MA Ruhul
Amin Yayasan SPMAA Turi Lamongan
setelah diberikan intervensi adalah tidak
mengalami kecemasan (normal) dan sebagian
kecil mengalami ansietas ringan sampai
sedang.
3) Terdapat pengaruh terapi menulis ekspresif
terhadap tingkat kecemasan pada siswa kelas
XII MA Ruhul Amin Yayasan SPMAA Turi
Lamongan.
2. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka
peneliti dapat memberikan beberapa saran sebagai
berikut:
1) Bagi Keperawatan
Hendaknya perawat dapat menerapkan
konsep menulis ekspresif dalam memberikan
pelayanan keperawatan psikologis kepada pasien
2) Bagi Yayasan
Hendaknya Yayasan atau pengurus lebih
dapat menerapkan terapi menulis ekspresif
sebagai alternatif dalam menurunkan kecemasan
dalam kegiatan sehari-hari kepada siswa-
siswanya di lapangan
3) Bagi Pendidikan
Hendaknya lembaga dan pendidik lebih dapat
memasukkan konsep menulis ekspresif dalam
kegiatan belajar mengajar pada siswa-siswanya
4) Bagi Remaja
Hendaknya remaja dapat menerapkan terapi
menulis ekspresif sebagai alternatif dalam
menurunkan kecemasan atau masalah kejiwaan
sehari-hari.
5) Peneliti Lain
85
Untuk lebih cermat dan lebih baik dalam
melakukan penelitian khususnya tentang
pengaruh terapi menulis ekspresif terhadap
tingkat kecemasan. Selain untuk kecemasan,
menulis ekspresif juga dapat memberikan
pengaruh terhadap masalah mental yang lain.
Daftar Pustaka
A. Aziz Alimul Hidayat. (2007). Riset
Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah.
Jakarta: Salemba Medika.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT
Rineke Cipta.
Asmita, Davit. (2013). Psikoterapi.
http://davitsasmita.blogspot.com/
2013/03/psikoterapi.html. Diakses : 26
November 2013
Hurlock, Elizabeth. (2004). Psikologi
Perkembangan.Edisi keempat Jakarta :
Erlangga.
Iyus Yosep. (2010). Keperawatan Jiwa. Bandung:
Refika Aditama.
Junaidi. (2012). Desain Penelitian Pra
Eksperimen. http://samoke2012.
wordpress.com/2012/09/28/desain-
penelitian-pra-eksperimen/. Diakses : 4
Desember 2014
Lia. (2013). Remaja dan Pubertas.
http://liahardianti.wordpress.com/ 2013/01/26/remaja-dan-pubertas/. Diakses :
9 November 2013.
Na‟im, N.J. (2010). Hubungan Dukungan
Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Ibu
Primipara Menghadapi Persalinan di
Puskesmas Pamulang Kota Tangerang
Selatan. Jakarta: Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Edisi. Rev. Jakarta :
PT Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep & Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.
Russicko (2001). Masalah Kesehatan Mental
Remaja. http://www.remaja .asp.com.
Diakses : 6 November 2013.
Rosyidi, Imron. (2009). Mengenal Terapi
Kognitif. http://www.imron46.blogspot.com.
Diakses : 13 November 2013
Sarwono, Sarlito (2007). Psikologi Remaja.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Siswanto. (2007). Kesehatan Mental: Konsep,
Cakupan dan Perkembangannya. Jakarta:
Andi Publisher
Soetjiningsih (2004). Tumbuh Kembang Remaja
dan Permasalahannya. Jakarta: CV. Agung
Seka
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan.
Bandung: Alfabeta
Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Stuart Gail W (2006). Buku Saku Keperawatan
Jiwa. Jakarta: EGC
Susanti, F. K. (2008). Menuju Akil Balig. Jakarta:
Sunda Kelapa Pustaka
Susilowati, T.G., & Hasanat, N. Pengaruh Terapi
Menulis Pengalaman Emosional terhadap
Penurunan Depresi pada Mahasiswa Tahun
Pertama di Universitas Gadjah Mada.
http://www.terapimenulispdf.com. Diakses :
11 November 2013.
Yusuf, S., Nurihsan, J. (2007). Teori
Kepribadian. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
86
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK
STIMULASI PERSEPSI HALUSINASI TERHADAP KEMAMPUAN
PASIEN SKIZOFRENIA DALAM MENGONTROL HALUSINASI
DI RUANG FLAMBOYAN RUMAH SAKIT JIWA MENUR
SURABAYA
Dya Sustrami, Sri Sundari
Staf Dosen Stikes Hang Tuah Surabaya
ABSTRACT
Group Activity stimulation therapy is the client's perception perceives the stimulus provided by trained
or experienced stimulus. The goal is to help control hallucinations in schizophrenic patients. The purpose of the study to analyze the effectiveness of group therapy activity stimulation hallucinatory perception of the
ability of schizophrenia patients to control hallucinations. Pre-experimental research design with the design of
one group pretest-posttest.
The population of schizophrenia patients with hallucinations in Flamboyan Room Mental Hospital Menur
Surabaya.Teknik probability sampling sampling by 8 patients who met the inclusion criteria on the date of
December 13 to 17, 2013. Direct observation data collection.
Data were analyzed with the Cochran Q test. The results of the study there was a difference in the
patient's ability to recognize and rebuke hallucinations, before and after stimulation perception Therapy
Group Activity hallucinations. Cochran's Q statistic test showed p value = 0.000 <α = 0.05 means statistically
no difference level of ability before and after stimulation perception Therapy Group Activity hallucinations.
The implication of this research is the perception stimulation therapy group activity is great hallucinations in patients with schizophrenia nursing problems hallucinations changes in sensory perception.
Key words : Therapy Group Activity stimulation perception hallucinations, Schizophrenia
ABSTRAK Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi adalah klien dilatih mempersepsikan stimulus yang
disediakan atau stimulus yang pernah dialami. Tujuannya membantu pasien skizofrenia dalam mengontrol
halusinasi. Tujuan penelitian untuk menganalisis efektifitas Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi
halusinasi terhadap kemampuan pasien skizofrenia dalam mengontrol halusinasi.
Desain penelitian pre eksperimental dengan rancangan one group pretest-postest. Populasi pasien
skizofrenia dengan halusinasi di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.Teknik sampling
Probability sampling sebanyak 8 pasien yang memenuhi kriteria inklusi pada tanggal 13 – 17 Desember 2013.
Pengumpulan data observasi langsung. Data dianalisa dengan uji Q Cochran.
Hasil penelitian ada perbedaan kemampuan pasien dalam mengenal dan menghardik halusinasi,
sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi. Uji statistik Q
Cochran menunjukkan nilai p value = 0,000 < α = 0,05 artinya secara statistik ada perbedaan tingkat
kemampuan sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi. Implikasi penelitian ini adalah Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi sangat bagus
dilakukan pada pasien skizofrenia dengan masalah keperawatan perubahan persepsi sensori halusinasi.
Kata kunci : Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi, pasien skizofrenia
87
Pendahuluan
Halusinasi sering diidentifikasikan
dengan skizofrenia karena seluruh pasien
skizofrenia 70% diantaranya mengalami
halusinasi. Halusinasi adalah salah satu gangguan
jiwa dimana pasien mengalami perubahan
persepsi sensori tentang suatu obyek, gambaran
dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya
rangsangan dari luar meliputi suara dan sistem
penginderaan (Fitria, N., 2009 : 49-50).
Gangguan-gangguan halusinasi pada pasien
skizofrenia yang sering terjadi adalah pasien
bicara sendiri, mata melihat kekanan-kekiri,
sering tersenyum sendiri dan sering mendengar
suara-suara. Pasien halusinasi terkadang tiba-tiba
melakukan perilaku kekerasan seperti mengamuk
dan memukul orang yang tidak dikenal
dilingkungan sekitar sehingga orang-orang yang
tidak tahu apa-apa menjadi korban dari persepsi
halusinasi yang dirasakan. Terapi aktifitas
kelompok merupakan salah satu terapi modalitas
yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien
yang mempunyai masalah keperawatan yang
sama. Aktifitas digunakan sebagai terapi dan
kelompok digunakan sebagai target asuhan. Di
dalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang
saling bergantung, saling membutuhkan, dan
menjadi laboratorium tempat klien berlatih
perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki
perilaku lama yang maladaptif (Keliat, B.A dan
Akemat, 2012 : 1).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
2010 ada 11,6% penduduk Indonesia yang
berusia diatas 15 tahun mengalami gangguan
mental atau berkisar 19 juta penduduk (Post,
2012). Hasil laporan periode bulan Januari
sampai bulan September 2013, pasien yang
dirawat di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Jiwa
Menur Surabaya, dari 272 pasien yang dirawat
terdapat 128 pasien mengalami gangguan
persepsi sensori: halusinasi, 118 pasien perilaku
kekerasan, 16 pasien menarik diri, 8 pasien
waham dan 2 pasien harga diri rendah.
Halusinasi terjadi sebagai respons
metabolisme terhadap stres yang menyebabkan
terlepasnya zat halusinogenik neurotik
(buffofenon dan dimethytransferase). Halusinasi
juga merupakan respons pertahanan ego untuk
melawan rangsangan dari luar yang mengancam
dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.
Beberapa tahap terjadinya halusinasi adalah
Tahap I (Non psikotik) dengan ciri pasien
mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah,
dan ketakutan. Tetapi pikiran dan pengalaman
sensorik masih ada dalam kontrol kesadaran.
Biasanya pasien tersenyum atau tertawa sendiri.
Menggerakkan bibir tanpa suara. Pergerakan mata
yang cepat, respon verbal lambat, diam,
berkonsentrasi. Tahap II (Non psikotik), pasien
bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat
kecemasan berat. Karakteristik yang muncul,
mulai merasa kehilangan kontrol, menarik diri
dari orang lain, perhatian terhadap lingkungan
menurun. Tahap III (Psikotik) pasien biasanya
tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat
kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat
ditolak lagi. Perilaku yang muncul: pasien
menuruti perintah halusinasi, sulit berhubungan
dengan orang lain, perhatian terhadap lingkungan
sedikit atau sesaat. Tahap IV (Psikotik) pasien
sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan
biasanya pasien terlihat panik. Perilaku yang
muncul pada pasien halusinasi adalah resiko
tinggi mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.Tidak mampu merespons rangsangan
yang ada. Timbulnya perubahan persepsi sensori
halusinasi biasanya diawali dengan seseorang
yang menarik diri dari lingkungannya karena
1
88
orang tersebut menilai dirinya rendah (Fitria, N. ,
2012 : 56-58).
Terapi aktifitas kelompok stimulasi
persepsi: halusinasi merupakan upaya untuk
membantu pasien dalam mengontrol halusinasi.
Pasien dilatih mempersepsikan stimulus yang
disediakan atau stimulus yang pernah dialami.
Kemampuan persepsi pasien dievaluasi dan
ditingkatkan pada tiap sesi. Dengan proses ini
diharapkan respons pasien terhadap berbagai
stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektifitas
pelaksanaan Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi
persepsi: halusinasi dengan kemampuan pasien
mengontrol halusinasi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi kemampuan pasien
mengontrol halusinasi sebelum dilakukan
Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi:
halusinasi.
b. Mengidentifikasi kemampuan pasien
mengontrol halusinasi sesudah dilakukan
Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi:
halusinasi.
c. Menganalisis efektifitas Terapi Aktifitas
Kelompok stimulasi persepsi: halusinasi
dengan kemampuan pasien mengontrol
halusinasi.
Metodologi Penelitian
Desain penelitian untuk menganalisa
hubungan pelaksanaan TAK stimulasi persepsi
halusinasi terhadap kemampuan pasien
skizofrenia dalam mengontrol halusinasi di
Ruang Flamboyan RS Jiwa Menur Surabaya
adalah dengan menggunakan desain pre
eksperimental dengan rancangan one group
pretest-postest. Rancangan ini tidak ada
kelompok pembanding (kontrol) tetapi paling
tidak sudah dilakukan observasi pertama (pretest)
yang memungkinkan peneliti dapat menguji
perubahan yang terjadi setelah adanya
eksperimen.
Populasi dalam penelitian ini adalah
pasien skizofrenia dengan halusinasi di Ruang
Flamboyan RS Jiwa Menur Surabaya yang
berjumlah 9. Sampel dalam penelitian ini adalah
pasien skizofrenia dengan halusinasi di Ruang
Flamboyan RS Jiwa Menur Surabaya, yang
memenuhi kriteria inklusi, berdasarkan
perhitungan besar sampel menggunakan rumus
Deskriptif: Teknik sampling dalam penelitian ini
yaitu Probability sampling dengan menggunakan
Random sampling. Pemilihan sampel dengan
Random sampling adalah pengambilan sampel
dilakukan secara acak. Cara ini dipakai jika
anggota populasi dianggap homogen.
Variabel penelitian ada dua yaitu variabel
independen dan dependen. Variabel independent
dalam penelitian ini adalah pelaksanaan TAK
stimulasi persepsi halusinasi. Variabel dependent
dalam penelitian ini adalah kemampuan pasien
skizofrenia dalam mengenal dan mengontrol
halusinasi dengan cara menghardik.
Instrumen yang digunakan pada penelitian
ini adalah lembar observasi kemampuan pasien
skizofrenia dalam mengontrol halusinasi sebelum
dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi dan
observasi kemampuan pasien skizofrenia dalam
mengontrol halusinasi sesudah dilakukan TAK
stimulasi persepsi halusinasi.
Hasil Penelitian
1. Kemampuan pasien dalam mengontrol
halusinasi sebelum dilakukan TAK Stimulasi
Persepsi Halusinasi
N
o
Variabel
Frekuensi Total
Mampu Tidak
mampu
Jumla
h
%
Juml
ah
(oran
%
Juml
ah
(oran
%
89
g) g)
a
Kemampu
an
mengenal
halusinasi
3 37,
5
5 62,5 8 10
0
b
Kemampu
an
menghardi
k
halusinasi
1 12,
5
7 87,5 8 10
0
2. Kemampuan pasien dalam mengontrol
halusinasi setelah dilakukan TAK
Stimulasi Persepsi Halusinasi
a. Hari Pertama TAK
N
o
Variabel
Frekwensi Total
Mampu Tidak
mampu
Juml
ah
%
Jumla
h
(orang
)
%
Jumla
h
(orang
)
%
a Kemampua
n mengenal
halusinasi
4 50 4 50 8 10
0
b Kemampua
n
menghardik
halusinasi
1 12
,5
7 87,
5
8 10
0
b. Hari kedua TAK
N
o
Variabel
Frekuensi Total
Mampu Tidak
mampu
Juml
ah
%
Jumla
h
(orang
)
% Jumla
h
(oran
g)
%
a Kemampu
an
mengenal
halusinasi
6 75 2 25 8 100
b Kemampu
an
menghard
ik
halusinasi
5 62,5 3 37
,5
8 100
c. Hari Ketiga TAK
N
o
Variabel
Frekuensi total
Mampu Tidak
mampu
Juml
ah
%
Juml
ah
(oran
g)
%
Jumla
h
(oran
g)
%
a Kemampua
n
mengenal
halusinasi
7 87,
5
1 12,
5
8 100
b Kemampua
n
menghardi
k
halusinasi
6 75 2 25 8 100
d. Hari Keempat TAK
N
o
Variabel
Frekuensi Total
Mampu Tidak
Mampu
Jumla
h
%
Jumla
h
(oran
g)
%
Jumla
h
(oran
g)
%
a Kemampuan
mengenal
halusinasi
8 10
0
0 0 8 10
0
b Kemampuan
menghardik
halusinasi
7 87,
5
1 12,
5
8 10
0
e. Hari Kelima TAK
N
o
Variabel
Frekuensi Total
Mampu Tidak
Mampu
Jumla
h
%
Juml
ah
(oran
g)
%
Jumla
h
(oran
g)
%
a Kemampu
an
mengenal
halusinasi
8 10
0
0 0 8 100
b Kemampu
an
menghardi
k
halusinasi
8 10
0
0 0 8 100
3. Efektifitas Terapi Aktifitas Kelompok
stimulasi persepsi halusinasi
No
Variabel
Parameter P
value
TidakMampu Mampu
0,000
Jumlah
Prosentase
Jumlah
Prosentase
1 Kemampuan mengenal halusinasi
5 62,5 3 37,5
2 Kemampuan menghardik halusinasi
7 87,5 1 12,5
3 Kemampuan hari 1 (mengenal halusinasi)
4 50 4 50
4 Kemampuan hari 1
(menghardik halusinasi)
7 87,5 1 12,5
5 Kemampuan hari 2 (mengenal halusinasi)
2 25 6 75
6 Kemampuan hari 2
(menghardik halusinasi)
3 37,5 5 62,5
7 Kemampuan hari 3 (mengenal halusinasi)
1 12,5 7 87,5
8 Kemampuan hari 3 (menghardik halusinasi)
2 25 6 75
9 Kemampuan hari 4 (mengenal halusinasi)
0 0 8 100
10
Kemampuan hari 4 (menghardik halusinasi)
1 12,5 7 87,5
1
1
Kemampuan hari 5 (mengenal
halusinasi)
0 0 8 100
12
Kemampuan hari 5 (menghardik halusinasi)
0 0 8 100
90
Pembahasan
1. Kemampuan pasien mengontrol halusinasi
sebelum dilakukan Terapi Aktifitas
Kelompok Stimulasi Persepsi Halusinasi
Kemampuan pasien dalam mengontrol
halusinasi pada 8 pasien dari data pada tabel 5.2
menunjukkan sejumlah 5 pasien tidak mampu
mengenal halusinasi (62,5%) dan 3 pasien
mampu mengenal halusinasi (37,5%). Sedangkan
kemampuan pasien menghardik halusinasi
menunjukkan sejumlah 7 pasien tidak mampu
menghardik halusinasi (87,5%) dan 1 pasien
mampu menghardik halusinasi (12,5%). Sehingga
bisa diambil kesimpulan bahwa lebih dari 50%
pasien tidak mampu mengenal halusinasi dan
tidak mampu menghardik halusinasi.
Berdasarkan data yang didapatkan dari
observasi dan wawancara, pasien tidak mampu
mengenal halusinasi dan pasien juga tidak mampu
mengontrol halusinasi. Bila pasien tidak bisa
mengenal halusinasi dan tidak bisa mengontrol
halusinasi akan mengakibatkan dampak negatif
bagi diri pasien sendiri, orang lain dan
lingkungan. Tergantung halusinasi dari pasien,
bisa halusinasi pendengaran maupun halusinasi
penglihatan. Contohnya bila pasien mengalami
halusinasi pendengaran yang isinya menyuruh
memukul, bila pasien tidak mampu mengontrol
halusinasi maka akan menuruti perintah
halusinasi dan pasien bisa memukul orang yang
didekatnya.
Halusinasi adalah salah satu gejala
gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan persepsi sensori, seperti merasakan
sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penghiduan.
Halusinasi bisa juga diartikan sebagai persepsi
sensori tentang suatu obyek, gambaran dan
pikiran yang sering terjadi tanpa adanya
rangsangan dari luar meliputi semus sistem
penginderaan yaitu pendengaran, penglihatan,
penciuman, perabaan, atau pengecapan
(Fitria,N,2009:49).
2. Kemampuan pasien mengontrol halusinasi
sesudah dilakukan Terapi Aktifitas
Kelompok Stimulasi Persepsi Halusinasi
Data pada tabel 5.3 menunjukkan
kemampuan pasien mengenal halusinasi dan
kemampuan pasien menghardik halusinasi pada
pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi
hari pertama sejumlah 4 pasien tidak mampu
mengenal halusinasi (50%) dan 4 pasien mampu
mengenal halusinasi (50%). 7 pasien tidak
mampu menghardik halusinasi (87,5%) dan 1
pasien mampu menghardik halusinasi (12,5%).
Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi
hari kedua menunjukkan sejumlah 2 pasien tidak
mampu mengenal halusinasi (25%) dan 6 pasien
mampu mengenal halusinasi (75%). Kemampuan
pasien menghardik halusinasi 3 pasien tidak
mampu menghardik halusinasi (37,5%) dan 5
pasien mampu menghardik halusinasi (62,5%).
Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi
hari ketiga menunjukkan sejumlah 1 pasien tidak
mampu mengenal halusinasi(12,5%) dan 7 pasien
mampu mengenal halusinasi (87,5%).
Kemampuan pasien menghardik halusinasi 2
pasien tidak mampu menghardik (25%) dan 6
pasien mampu menghardik halusinasi (75%).
Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi
hari keempat menunjukkan sejumlah 8 pasien
mampu mengenal halusinsi (100%). Kemampuan
pasien menghardik halusinasi 1 pasien tidak
mampu (12,5%) dan 7 pasien mampu menghardik
(87,5%). Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi
halusinasi hari kelima menujukkan sejumlah 8
pasien mampu mengenal halusinasi (100%) dan 8
pasien mampu menghardik halusinasi (100%).
Dari data hasil pelaksanaan TAK
stimulasi persepsi halusinasi mulai hari pertama
91
sampai hari kelima dapat diambil kesimpulan
bahwa pelaksanaan TAK sangat efektif dalam
membantu pasien mengenal halusinasi dan
mengontrol halusinasi. Hasil evaluasi dari
pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi,
menunjukkan bahwa dari TAK hari pertama ke
TAK hari kedua kemampuan pasien dalam
mengenal halusinasi ada peningkatan 25% yaitu
dari 4 pasien yang mampu menjadi 6 pasien yang
mampu. TAK hari kedua ke TAK hari ketiga ada
peningkatan 12,5% yaitu dari 6 pasien yang
mampu mengenal halusinasi menjadi 7 pasien
yang mampu. TAK hari ketiga ke TAK hari
keempat ada peningkatan 12,5% yaitu dari 7
pasien yang mampu mengenal halusinasi menjadi
8 pasien yang mampu. Hari keempat sebanyak 8
pasien sudah mampu mengenal halusinasi yaitu
100%. Kemampuan pasien dalam menghardik
halusinasi hari pertama TAK ke TAK hari kedua
ada peningkatan 50% yaitu dari 1 pasien yang
mampu menghardik halusinasi menjadi 5 pasien
yang mampu. TAK hari kedua ke TAK hari
ketiga ada peningkatan 12,5% yaitu dari 5 pasien
yang mampu menghardik halusinasi menjadi 6
pasien yang mampu. TAK hari ketiga ke TAK
hari keempat ada peningkatan 12,5% yaitu dari 6
pasien yang mampu menghardik halusinasi
menjadi 7 pasien yang mampu. TAK hari
keempat ke TAK hari kelima ada peningkatan
12,5% yaitu dari 7 pasien yang mampu
menghardik halusinasi menjadi 8 pasien yang
mampu. Hari kelima sebanyak 8 pasien sudah
mampu menghardik halusinasi yaitu 100%.
Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi
halusinasi harus dikembangkan dalam asuhan
keperawatan pasien skizofrenia dengan masalah
keperawatan halusinasi sehingga pasien bisa
mengenal halusinasi dan bisa mengontrol
halusinasi salah satunya dengan cara menghardik
halusinasi. Jika pasien mampu mengontrol
halusinasi maka pasien tidak akan menimbulkan
dampak negatif bagi diri pasien, orang lain
maupun lingkungan.
Kemampuan pasien dalam mengontrol
halusinasi bisa kendalikan dengan Terapi
Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi.
TAK stimulasi persepsi adalah klien dilatih
mempersepsikan stimulus yang disediakan atau
stimulus yang pernah dialami. Kemampuan
persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada
tiap sesi. Dengan proses ini diharapkan respons
klien terhadap berbagai stimulus dalam
kehidupan menjadi adaptif (Keliat,B.A &
Akemat, 2012:13). TAK stimulasi persepsi
halusinasi dibagi menjadi lima sesi yaitu sesi 1
mengenal halusinasi, sesi 2 mengontrol halusinasi
dengan menghardik, sesi 3 mengontrol halusinasi
dengan melakukan kegiatan, sesi 4 mengontrol
halusinasi dengan bercakap-cakap, sesi 5
mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.
3. Analisis efektifitas Terapi Aktifitas
Kelompok stimulasi persepsi halusinasi
dengan kemampuan pasien mengontrol
halusinasi
Dari hasil penelitian didapatkan
perbedaan kemampuan pasien dalam mengontrol
halusinasi dari sebelum dilakukan TAK stimulasi
persepsi halusinasi kemampuan mengenal
halusinasi pasien mampu 37,5% dan pasien tidak
mampu 62,5% dan kemampuan menghardik
halusinasi pasien mampu 12,5% dan pasien tidak
mampu 87,5%. Sesudah dilakukan TAK stimulasi
persepsi halusinasi dari hari pertama sampai hari
kelima kemampuan pasien mengontrol
hasilusinasi bisa 100%. Hasil uji statistik Q
Cochran menunjukkan nilai p value = 0,000 < α =
0,05 artinya secara statistik ada perbedaan
tingkat kemampuan sebelum dilakukan dan
sesudah dilakukan TAK stimulasi persepsi
halusinasi.
92
Dalam pelaksanaan TAK stimulasi
persepsi halusinasi ada beberapa hal yang harus
disiapkan antara lain memilih pasien sesuai
kriteria inklusi yaitu pasien dengan perubahan
persepsi sensori: halusinasi, membuat kontrak
dengan pasien, mempersiapkan alat dan tempat
pertemuan. Menjelaskan kegiatan yang akan
dilakukan yaitu mengenal suara-suara yang di
dengar (halusinasi) tentang isinya, waktu
terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan pasien
saat terjadi halusinasi. Menjelaskan tujuan
kegiatan yaitu dengan latihan satu cara
mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
halusinasi. Menjelaskan aturan main, yaitu jika
ada pasien yang ingin meninggalkan kelompok
harus ijin pada terapis, lama kegiatan 45 menit,
setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai
selesai.
Kegiatan TAK stimulasi persepsi
halusinasi baik sekali untuk mendorong pasien
bergaul dengan orang lain, pasien lain, perawat
dan dokter. Maksudnya supaya pasien tidak
mengasingkan diri lagi, karena bila pasien
menarik diri dapat menyebabkan hal yang tidak
baik, contohnya bisa menyebabkan halusinasi
(Maramis, W.E & Albert, A.M, 2009:278). TAK
juga bisa melatih kemamdirian pasien,
(contohnya dengan melatih ketrampilan hidup
sehari-hari). Memberikan perawatan yang positif
dan tanpa stigma diperlukan bagi pasien yang
akan kembali berhubungan dengan tim perawat
agar mematuhi perawatan (Katona, C. Claudia, C
& Marry, R, 2012:21).
Tujuan dari Terapi Aktifitas Kelompok
stimulasi persepsi halusinasi yaitu sesi 1
mengenal halusinasi, tujuan: klien dapat
mengenal halusinasi, klien mengenal waktu
terjadinya halusinasi, klien mengenal situasi
terjadinya halusinasi, klien mengenal perasaannya
pada saat terjadi halusinasi. Sesi 2 mengontrol
halusinasi dengan menghardik, tujuan: klien dapat
menjelaskan cara yang selama ini dilakukan
untuk mengatasi halusinasi, klien dapat
memahami cara menghardik halusinasi, klien
dapat memperagakan cara menghardik halusinasi
(Keliat,B.A dan Akemat, 2012:80-97).
Simpulan
Hasil penelitian yang telah dilakukan
di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya pada tanggal 13-18 Desember 2013,
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Kemampuan pasien dalam mengontrol
halusinasi sebelum dilakukan Terapi
Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi
halusinasi sebagian besar pasien tidak
mampu mengenal halusinasi dan tidak
mampu menghardik halusinasi.
2. Kemampuan pasien dalam mengontrol
halusinasi setelah dilakukan Terapi Aktifitas
Kelompok stimulasi persepsi halusinasi
semuanya mampu mengenal dan
menghardik halusinasi.
3. Ada perbedaan kemampuan pasien dalam
mengontrol halusinasi sebelum dilakukan
dan sesudah dilakukan TAK stimulasi
persepsi halusinasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ariyoso. (2009). Statistik 4 Life Beta,
htpp://statistik 4 life.blogspot.com/2009/12/ uji mann
whitney u.html, diunduh tanggal 30
Oktober 2013 jam 21.15 WIB.
Azizah,L.M. (2011). Keperawatan Jiwa Aplikasi
Praktik Klinik, Edisi Pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Dahlan, M.S. (2012). Statistik Untuk Kedokteran
Dan Kesehatan, Cetakan Kedua.Jakarta:
Salemba Medika
93
Dahlan, M.S. (2013). Statistik Untuk Kedokteran
Dan Kesehatan, Edisi 5. Jakarta:
Salemba Medika
Direja, A.H.S. (2011). Buku Ajar Asuhan
Keperawatan Jiwa, Cetakan I.
Yogyakarta: Nuha Medika
Fitria, N. (2012). Prinsip Dasar dan Aplikasi
Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan
Keperawatan, Cetakan Keempat.
Jakarta: Salemba Medika
Hastono, S.P. (2007). Basic Data Analysis for
Health Research Training. Jakarta:
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
Keliat, B.A, Ria, U.P & Novy H.C.D. (2006).
Proses Keperawatan Jiwa, Edisi 2.
Jakarta: EGC
Keliat, B.A & Akemat. (2010). Model Praktik
Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
EGC
Keliat, B.A dan Akemat. (2012). Keperawatan Jiwa Terapi Aktifitas Kelompok. Jakarta:
EGC
Katona, C. Claudia, C & Marry, R. (2012). At a
Glance Psikiatri, Edisi Keempat. Jakarta:
Erlangga
Mahajudin, M.S et al. (2004). Pedoman
Diagnosis Dan Terapi, Edisi III.
Maramis, W.F & Albert, A.M (2009). Catatan
Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press
Nursalam, (2013). Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika
Setiadi. (2013). Konsep dan Praktik Penulisan
Riset Keperawatan, Edisi 2. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Stuart, G.W. (2007). Buku Saku Keperawatan
Jiwa, Edisi 5. Jakarta: EGC
Sugiyono. (2006). Metode Penelitian
Administrasi,Cetakan ke 14.Bandung:
ALFABETA
Suliswati, et al. (2012). Konsep Dasar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Surabaya: SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
Syarif, Y.S. (2009). Halusinasi Auditori
Pendengaran Salah Satu Gejala
Skizofrenia,
htpp://13306002.blogspot.com/2009/05/
halusinasi auditori pendengaran. html,
diunduh tanggal 30 Oktober 2013 jam
05.15 WIB.
Videbeck, S.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan
Jiwa, Cetakan I. Jakarta: EGC