jurnal kesling

7

Click here to load reader

Upload: dian-ayuningtyas

Post on 08-Aug-2015

137 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal kesling

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

1

STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI INDONESIA DITINJAU DARI KONSEP CRADLE TO GRAVE

Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad

Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif- BAPETEN, Jakarta

ABSTRAK STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI INDONESIA DITINJAU DARI

KONSEP CRADLE TO GRAVE. Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia terutama di bidang Industri, kesehatan, dan penelitian telah memberikan kontribusi terhadap timbulan limbah radioaktif di Indonesia. Pengelolaan limbah radioaktif diatur secara terpisah dari pengelolaan limbah B3 atau limbah lainnya, akan tetapi konsep pengelolaan limbah B3 dengan Cradle to Grave yaitu pengawasan terhadap limbah sejak ditimbulkan sampai dengan dikubur dapat dipraktekkan dalam pengelolaan limbah radioaktif. Metode penyusunan makalah ini melalui studi literatur, dengan tahapan inventarisasi literatur, pemahaman literatur dan analisis terhadap literatur. Implementasi konsep Cradle to Grave dilakukan melalui pengawasan terhadap dokumen pengiriman limbah radioaktif yang dibuat rangkap 6, penghasil limbah radioaktif menyimpan lembar ke-6 dan menyerahkan lembar ke-5 ke Badan Pengawas serta memberikan lembar ke 1, 2, 3, dan 4 ke pengangkut, pengangkut menyimpan lembar ke 4 dan menyerahkan lembar ke 1,2, dan 3 ke pengola/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif, pengelola limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif mengirimkan lembar ke 1 ke penghasil limbah radioaktif, lembar ke 2 ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan menyimpan lembar ke 3. Dengan pendekatan Cradle to Grave maka perjalanan dan tanggungjawab terhadap limbah radioaktif dapat tertelusur sehingga kegiatan pengelolaan limbah radioaktif memberikan jaminan terhadap lingkungan hidup. Keberhasilan pelaksanaan konsep Cradle to Grave sangat ditentukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat mentaati semua ketentuan selama pengelolaan limbah radioaktif.

Kata kunci : limbah radioaktif, cradle to grave, dokumen

ABSTRACT

STRATEGY OF RADIOACTIVE WASTE MANAGEMENT IN INDONESIA; CRADLE TO GRAVE CONCEPT. The use of nuclear energy especially in industry, medicine, and research has given contribution to radioactive waste generation in Indonesia. Radioactive waste management should be regulated separately from hazardous waste management or other wastes. However, hazardous waste management concept stated by cradle to grave is monitoring to waste since generation until disposal. The concept can be applied for radioactive waste. Methode of this paper throught literature study, literature understanding and analysis. The cradle to grave concept can be appied by monitoring to radioactive waste transportation document. Amount of the document is six copies, generator save the 6th copy and give the 5th copy to regulatory body and the rest to transporter and waste organizer or origin country of radioactive source. Radioactive waste organizer or origin country of radioactive source send the 1st copy to generator, the 2nd to regulatory body and save the 3rd copy. The approach of cradle to grave concept provides information regarding the responsible parties and the transportation process of radioactive waste in order to ensure the environment quality. The success of cradle to grave concept implementation depends on stakeholders compliance to all regulations during radioactive waste management.

Keywords : Radioactive Waste, Cradle to Grave, Document

PENDAHULUAN Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia di bidang industri, kesehatan dan penelitian semakin berkembang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, teknologi, pengetahuan, budaya, dll dan telah terbukti secara nyata memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat Indonesia. Di bidang kesehatan, tenaga nuklir berperan dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan masyarakat antara lain untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian. Pemanfaatan tenaga nukir pada sektor industri

Page 2: jurnal kesling

Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad : Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia ditinjau dari Konsep Cradle To Grave

2

secara langsung berperan dalam meningkatkan mutu dan laju produksi termasuk industri pertambangan yang merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Efisiensi proses produksi yang tidak akan pernah mencapai 100 % berdampak dihasilkannya limbah padat, cair, gas yang harus dikelola dengan bijaksana, artinya bahwa pengelolaan limbah tersebut mampu mengoptimalkan tuntutan kepentingan dari berbagai pihak terkait, terutama kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup. Mengingat kompleksnya permasalahan limbah maka sebelum terbentuknya limbah hendaknya dilakukan tindakan-tindakan yang berorientasi pada upaya meminimalkan terjadinya limbah yang dapat dilakukan melalui seleksi bahan baku, rekayasa proses dan penerapan prinsip reuse, recycle serta recovery.

Bidang radioekologi saat ini banyak menarik perhatian para pecinta lingkungan, terutama berkaitan dengan masalah limbah radioaktif. Limbah radioaktif selama ini tidak pernah dibuang ke lingkungan secara sembarangan karena telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku secara internasional [1].

Pengaturan limbah radioaktif dan paparan radiasi secara internasional ditetapkan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dan juga oleh International Commission on Radiological Protection (ICRP) [1]. Sedangkan di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh BAPETEN juga memperhatikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya [2].

Pada dasarnya tingkat bahaya limbah radioaktif tidak berbeda dengan limbah berbahaya lainnya, yang membedakan adalah penyebab dan mekanisme terjadinya interaksi dengan target. Karakteristik bahaya dari limbah radioaktif adalah memancarkan radiasi yang dapat mengionisasi atau merusak target sehingga menjadi tidak stabil/disfungsi, sedangkan karakteristik bahaya dari limbah B3 antara lain: mudah meledak, mudak terbakar, beracun, reaktif, menyebabkan infeksi dan bersifat korosif [3].

Dalam pengelolaan limbah B3 dikenal konsep Cradle to Grave yaitu pengawasan terhadap limbah B3 dari sejak dihasilkan hingga penanganan akhir. Makalah ini akan membahas implementasi dari sistem pengelolaan limbah dengan konsep Cradle to Grave untuk limbah radioaktif dengan treatment dari setiap fase akan menyesuaikan dengan karakteristik limbah radioaktif.

BAHAN DAN METODE Penyusunan makalah ini dilakukan melalui studi literatur dengan tahapan inventarisasi safety standard mengenai pengelolaan limbah radioaktif yang dipublikasikan oleh IAEA, peraturan perundang-undangan nasional dan pustaka ilmiah lainnya untuk dipahami dan dianalisis guna merumuskan konsep ilmiah yang dituangkan dalam bentuk makalah. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Limbah Radioaktif

Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir dan fasilitas pemanfaatan zat radioaktif, yang tidak dapat digunakan lagi. Limbah radioaktif berdasarkan bentuk fisiknya terdiri dari limbah radioaktif padat, cair dan gas. Limbah cair dibedakan menjadi aqueous dan organik, sedangkan limbah padat dibedakan menjadi tekompaksi - tidak terkompaksi dan terbakar – tidak terbakar.

1. Limbah Radioaktif Cair

Pada fasilitas produksi radioisotop, limbah radioaktif cair dihasilkan dari proses pelindihan atau pendinginan material, dalam jumlah kecil akan mengandung pengotor yang bersifat radioaktif sehingga bersifat aktif. Di bidang kesehatan, limbah radioaktif cair antara lain hasil ekskresi pasien yang mendapat terapi atau diagnostik kedokteran nuklir. Zat radioaktif yang digunakan pada umumnya berumur paro pendek (100 < hari), misalnya 125I, 131I, 99mTc, 32P, dll sehingga cepat mencapai kondisi stabil. Fasilitas penelitian di bidang kesehatan juga memberikan kontribusi limbah radioaktif cair melalui hasil ekskresi binatang percobaan. Dengan umur paro sangat pendek, maka penanganan limbah radioaktif tersebut dilakukan dengan menampung sementara sebelum dilepas ke badan air.

Limbah radioaktif cair untuk jenis organik kebanyakan diproduksi oleh fasilitas penelitian, yang dapat terdiri dari: minyak pompa vakum, pelumas, dan larutan sintilasi. Zat radioaktif yang terkandung pada umumnya 3H dan sebagian kecil 14C, 125I dan 35S.

Dalam pengelolaan limbah cair tersebut harus diperhitungkan pula aktivitas konsentrasi zat radioaktif yang digunakan, terutama jika zat radioaktif yang digunakan untuk tujuan penandaan

Page 3: jurnal kesling

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565

3

umumnya mempunyai konsentrasi aktivitas sangat tinggi sehingga harus dipisahkan dengan zat radioaktif yang mempunyai konsentrasi aktivitas rendah.

2. Limbah Radioaktif Padat

Kebanyakan limbah radioaktif padat yang dihasilkan dari fasilitas kesehatan dan laboratorium penelitian mempunyai sifat dapat terbakar, misalnya: tissue, kertas, kain, karton, sarung tangan, pakaian pelindung, masker, bangkai binatang dan material biologi lain. Sedangkan limbah radioaktif tidak dapat bakar antara lain: barang pecah belah, serpihan logam, peralatan dekontaminasi dan limbah dari fasilitas yang mengalami dekomisioning. Untuk limbah padat radioaktif sebagai akibat kontaminasi dan limbah sumber radioaktif selanjutnya dikirimkan ke PTLR-BATAN sebagai badan yang berwenang melakukan pengolahan limbah radioaktif. Sumber radioaktif yang diimpor dari negara lain dapat dikirimkan kembali ke negara tersebut sesuai dengan perjanjian.

3. Limbah Radioaktif Gas

Limbah radioaktif gas dapat dihasilkan pada aplikasi zat radioaktif terutama bidang kesehatan. Aplikasi khusus dibidang kesehatan menggunakan zat radioaktif berbentuk gas, misalnya 133Xe, 81mKr, 99mTc dan pemancar positron berumur paro pendek seperti 18F dan 11C untuk investigasi terhadap ventilasi paru-paru. Limbah radioaktif berupa hasil respirasi pasien dikendalikan dengan menempatkan pada tempat khusus untuk membatasi dispersi radioaktif ke lingkungan. Jenis zat radioaktif yang digunakan relatif tidak berbahaya karena berumur paro pendek sehingga mudah mencapai kondisi stabil [4].

4. Sumber Radioaktif Bekas

Sumber radioaktif yang sudah tidak digunakan lagi memerlukan pengkondisian dan disposal yang sesuai. Sumber radioaktif bekas dibedakan menjadi: 1) Sumber dengan umur paro ≤ 100 hari dengan aktivitas sangat tinggi. 2) Sumber dengan aktivitas rendah, misalnya untuk tujuan kalibrasi. 3) Sumber yang berpotensi memberikan bahaya kontaminasi dan kebocoran. 4) Sumber dengan umur paro >100 hari yang memiliki aktivitas tinggi maupun rendah [5].

B. Kebijakan Nasional Pengelolaan Limbah Radioaktif

Pengelololaan limbah radioaktif terdiri dari rangkaian kegiatan yang meliputi tahapan pengumpulan, pengelompokkan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau pembuangan limbah radioaktif. Pengelolaan limbah radioaktif dapat dilakukan dengan sistem sentralisasi atau desentralisasi, bergantung dengan kebijakan setiap negara.

Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia menganut sistem sentralisasi dengan Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTLR-BATAN) sebagai pihak pengelola sesuai dengan amanat UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Dalam menjalankan tugasnya, PTLR-BATAN dapat bekerja sama atau mendelegasikan BUMN, Koperasi dan swasta yang ditunjuk oleh PTLR-BATAN.

Sistem sentralisasi bukan berarti membebaskan penghasil limbah radioaktif dari kewajiban mengelola limbah radioaktif yang dihasilkannya. Penghasil limbah radioaktif berkewajiban mengumpulkan, mengelompokkan atau mengolah dan menyimpan sementara limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang sebelum dikirimkan ke PTLR-BATAN.

Terhadap sumber radioaktif bekas terdapat dua alternatif pengelolaan limbah yang boleh dilakukan oleh pemilik sumber radioaktif bekas yaitu sumber radioaktif bekas diprioritaskan untuk dapat dikirimkan kembali ke negara asal dan alternatif kedua adalah dikirimkan ke PTLR-BATAN. Prioritas yang pertama adalah upaya pemenuhan salah satu prinsp-prinsip pengelolaan limbah radioaktif yaitu tidak menjadi beban bagi generasi yang akan datang.

Dengan sistem pengelolaan tersebut maka ada kegiatan pemindahan atau pengangkutan limbah radioaktif dari penghasil ke PTLR-BATAN atau ke negara asal sumber radioaktif bekas. Prosedur pengiriman limbah radioaktif ke PTLR-BATAN yang sudah berlangsung hingga sekarang sebagai berikut: 1. Penghasil limbah radioaktif mengajukan persetujuan pengiriman limbah radioaktif ke Badan

Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). 2. Setelah memperoleh persetujuan dari BAPETEN, penghasil limbah radioaktif mengirimkan surat

permohonan pengelolaan limbah radioaktif ke PTLR-BATAN dengan melampirkan salinan persetujuan pengiriman dari BAPETEN tersebut. Di dalam permohonan dapat dirinci jenis pelayanan apa saja yang dikehendaki oleh penghasil limbah radioaktif (contohnya: dalam hal

Page 4: jurnal kesling

Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad : Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia ditinjau dari Konsep Cradle To Grave

4

pengangkutan penghasil limbah radioaktif dapat saja mengangkut sendiri limbahnya ke PTLR-BATAN, atau menggunakan jasa ekspedisi, atau menggunakan kendaraan angkut limbah PTLR-BATAN). Penghasil limbah radioaktif akan mendapatkan jawaban dari PTLR-BATAN tentang biaya pengelolaan sesuai dengan PP No. 77 tahun 2005 tentang Tarif Pengelolaan Limbah Radioaktif.

3. Penghasil limbah radioaktif mengirimkan limbahnya ke PTLR-BATAN, dokumen yang harus ditandatangani ke dua belah pihak adalah berita acara serah terima limbah radioaktif.

4. Penghasil limbah radioaktif menyerahkan salinan berita acara serah terima limbah radioaktif ke BAPETEN.

5. PTLR-BATAN melaporkan kegiatan pengelolaan limbahnya secara berkala (tiap semester) kepada BAPETEN sesuai dengan izin operasi yang diberikan oleh BAPETEN.

Secara skematik prosedur pengiriman limbah radioaktif tersebut disajikan dalam Gambar 1 di bawah.

Gambar 1. Skenario Pengiriman Limbah Radioaktif

Prosedur pengiriman limbah radioaktif sebagaimana dijelaskan di atas berpeluang memberikan

resiko terhadap keselamatan masyarakat dan lingkungan apabila tidak ada pengawasan selama pelaksanaan pengiriman. Dengan pengawasan harus dipastikan jenis dan mode transportasinya tidak menggunakan jasa transportasi umum atau jasa transportasi yang tidak secara khusus digunakan untuk mengangkut limbah radioaktif sehingga memunginkan limbah radioaktif tidak sampai tujuan atau sampai tujuan tetapi dengan kondisi limbah radioaktif tidak seperti kondisi pada saat berada di penghasil limbah radioaktif. Dengan hanya mengandalkan pada sistem audit limbah radioaktif melalui pelaporan berkala yang dibuat oleh PTLR-BATAN maka setiap kesalahan atau pelanggaran selama pelaksanaan pengiriman limbah radioaktif tidak dapat diketahui dengan segera.

C. Implementasi Konsep Cradle to Grave dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif

Pengawasan limbah dengan pendekatan Cradle to Grave yaitu pengawasan limbah dari sejak ditimbulkan sampai dengan di tempat pengolahan/penyimpanan/negara asal sumber radioaktif dan pada setiap fase terdapat kegiatan dengan tujuan mencegah terjadi pencemaran ke lingkungan.

Implementasi dari konsep ini melalui pengawasan terhadap jalur perjalanan limbah dari penghasil limbah sampai dengan pihak pengolah atau penyimpan sehingga keberadaan dan tanggungjawab terhadap limbah dapat diketahui. Karena kegiatan tersebut melibatkan beberapa pihak maka memerlukan pengawasan dan dokumen perjalanan yang sesuai sebagai indikator keberadaan limbah.

Salah satu tujuan pengawasan limbah radioaktif dengan pendekatan cradle to grave untuk menunjukkan perjalanan limbah radioaktif dari penghasil (industri, rumah sakit, laboratorium penelitian) sampai lokasi tujuan pengiriman limbah radioaktif melalui rangkaian perjalanan dokumen. Dalam setiap tahapan dari rangkaian perjalanan limbah radioaktif disertai dengan tindakan keselamatan terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan.

D. Perjalanan Limbah Radioaktif

Dokumen perjalanan pengiriman limbah radioaktif dibuat rangkap 6, dengan mekanisme sebagai berikut: penghasil limbah radioaktif menyimpan lembar ke 6 dan menyerahkan lembar ke-5 ke Badan Pengawas serta memberikan lembar ke 1, 2, 3, dan 4 ke pengangkut, pengangkut menyimpan lembar ke- 4 dan menyerahkan lembar ke 1,2, dan 3 ke pengelola/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif, pengelola limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif mengirimkan lembar ke 1 ke penghasil limbah radioaktif, lembar ke 2 ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan menyimpan lembar ke 3. Diagram alir dari proses perjalanan limbah radioaktif dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:

5

PTLR-BATAN

1/4

2 Penghasil Limbah

Radioaktif

BAPETEN

3

Page 5: jurnal kesling

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565

5

Gambar 2 .Pengelolaan Limbah Radioaktif dengan Pendekatan Cradle to Grave

Dengan demikian, Badan Pengawas dan penghasil limbah dapat melacak perjalanan limbah

radioaktif dari penghasil (cradle) ke lokasi tujuan (grave), yaitu pihak pengolah limbah radioaktif/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif untuk kegiatan reexport sumber radioaktif bekas. Pada setiap fase perjalanan limbah, setiap pihak mempunyai kewajiban dan peran penting dalam mendukung sistem pengelolaan limbah radioaktif yang dijelaskan berikut:

6. Penghasil Limbah Radioaktif

Sebelum limbah radioaktif dikirimkan, penghasil limbah berkewajiban melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkannya dengan tujuan meminimalisasi volume, kompleksitas, biaya dan resiko. Pengelolaan yang dilakukan meliputi mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah dan menyimpan sementara. Pengumpulan dan pengelompokkan limbah berdasarkan aktivitas, waktu paro, jenis radiasi, bentuk fisik-dan kimia, sifat racun dan asal limbah radioaktif atau mengolah limbahnya apabila memiliki fasilitas pengolahan

Limbah padat dipisahkan menjadi dapat terbakar - tidak dapat terbakar, terkompaksi – tidak terkompaksi, aktivitas rendah dan tinggi, umur paro panjang dan pendek, serta jenis radiasi. Limbah tersebut ditempatkan pada lokasi khusus yang diberi tanda bahaya radiasi sehingga hanya petugas tertentu yang dapat masuk ke ruangan.

Limbah cair yang berupa sisa zat radioaktif dan limbah cair hasil samping kegiatan dekontaminasi yang memiliki aktivitas tinggi atau umur paro panjang ditempatkan secara terpisah dengan limbah aktivitas rendah atau umur paro pendek. Untuk limbah cair hasil ekskresi atau hasil kegiatan mandi dan cuci disalurkan secara terpisah dengan saluran grey water dan disalurkan ke tempat penampungan sementara untuk mengetahui dosis paparan radiasi yang ditimbulkan, limbah radioaktif tersebut dapat di lepaskan ke badan air apabila memenuhi persyaratan pelepasan. Limbah berbentuk gas sangat jarang terjadi. Seperti yang telah disampaikan di muka untuk mengendalikan limbah radioaktif berbentuk gas, maka sumber penghasil limbah ditempatkan pada tempat khusus sehingga gas tidak mudah keluar ke lingkungan. Gas dapat di lepaskan ke lingkungan setelah memenuhi persyaratan pelepasan.

Penghasil limbah wajib memberikan informasi dengan lengkap dan benar secara tertulis (dalam manifes dokumen) kepada pengangkut tentang identitas limbah, bahaya radiasi, dan sifat bahaya lain yang mungkin terjadi dan cara penanggulangannya. Penghasil limbah juga berkewajiban memberikan tanda, label, atau plakat pada kendaraan angkutan.

2. Pengangkut

Pengangkut merupakan mata rantai yang sangat penting dalam sistem ini dan bertanggungjawab atas keselamatan pengangkutan limbah sejak menerima dari penghasil sampai kepada penerima. Apabila terjadi kerusakan/kecelakaan selama pengangkutan, pengangkut harus memberitahukan kepada Badan Pengawas dan Penghasil. Saat ini pengangkutan limbah radioaktif hanya boleh

copy-1

Penghasil (copy-6)

Pengangkut (copy-4)

Pengolah /Penyimpan

/negara asal sumber (reexport) (copy-3)

Badan Pengawas copy-5

copy-2

Page 6: jurnal kesling

Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad : Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia ditinjau dari Konsep Cradle To Grave

6

dilakukan oleh pihak-pihak yang telah mempunyai izin pemanfaatan dari BAPETEN dalam bentuk persetujuan pengangkutan.

3. Pengolah/Penyimpan/negara asal sumber radioaktif (reexport)

Pengolahan dan penyimpanan limbah radioaktif saat ini dilakukan secara terpadu di PTLR-BATAN meskipun dalam menjalankan tugasnya, Badan Pelaksana sebetulnya dapat menunjuk dan/atau bekerja sama dengan BUMN, swasta dan Koperasi. Sehingga sampai saat ini pihak pengolah atau penyimpan limbah radioaktif hanya PTLR-BATAN. Pihak pengolah/penyimpan /negara asal sumber radioaktif berkewajiban memeriksa kesesuaian limbah yang diserahkan oleh pengangkut dengan kualifikasi limbah sebagaimana tercantum dalam dokumen pengiriman limbah. Apabila terdapat ketidaksesuaian maka pihak pengolah/penyimpan/negara asal sumber radioaktif wajib memberitahukan ke Badan Pengawas dan penghasil limbah guna investigasi lebih lanjut. Namun apabila limbah radioaktif yang diterima oleh pengolah sudah sesuai dengan dokumen pengiriman limbah maka pihak pengolah/penyimpan dapat melakukan pengolahan/penyimpanan limbah radioaktif dengan teknologi yang sesuai. Sedangkan negara asal sumber radioaktif dapat melakukan penanganan sumber radioaktif bekas yang diterimanya sesuai dengan kebijakan pengelolaan limbah radioaktif negara tersebut.

Pengolahan limbah radioaktif yang dilakukan oleh pihak pengolah dimaksudkan untuk mereduksi volume limbah dan mengurangi paparan radiasi dari limbah radioaktif agar tidak membahayakan manusia dan lingkungan sehingga dosis radiasi yang diterima oleh pekerja akibat adanya limbah tersebut tidak akan melebihi ketentuan dosis tahunan yang telah ditetapkan.

Jenis pengolahan limbah radioaktif berbentuk padat yang telah dipraktekkan, antara lain: kompaksi, insenerasi dan imobilisasi tetapi tidak berlaku untuk sumber radioaktif bekas.

a. Kompaksi:

Limbah padat yang akan dikompaksi harus memenuhi persyaratan: 1. Tidak mengandung limbah yang bersifat destruktif terhadap bungkusan limbah 2. Tidak mengandung limbah bersifat infektan 3. Tidak mengakibatkan tekanan pada kointainer yang menyebabkan pelepas gas atau

kontaminan 4. Tidak mengandung cairan untuk menghindari kebocoran pada bungkusan limbah 5. Tidak mengandung bubuk aktif yang dapat mengkontaminasi 6. Tidak mengandung bahan kimia reaktif

b. Insenerasi:

Limbah radioaktif padat yang diolah dengan insenerator harus memperhatikan hal-hal berikut: a) Tidak menimbulkan tekanan yang dapat menyebabkan pelepasan tak terkendali b) Tidak mengandung bahan beracun yang mudah menguap c) Kadar air diatur untuk menghasilkan pembakaran sempurna d) Dilakukan pengolahan lanjutan terhadap residu e) Bahan yang bersifat lembab dikendalikan f) Dilengkapi dengan pengendali debu

c. Imobilisasi:

Imobilisasi terhadap limbah padat bertujuan mencegah pergerakan/sebaran limbah padat ke lingkungan. Limbah padat yang diimobilisasi adalah konsentrat evaporasi, abu insenerator, limbah padat hasil pengkompaksian. Imobilisasi menggunakan bahan pengikat seperti semen, zeolit, bentonit, dll.

Terdapat beberapa jenis pengolahan limbah cair, pemilihan jenis pengolahan bergantung pada pertimbangan keselamatan, teknis dan keuangan. Selain itu juga bergantung pH dan kandungan partikel padat, garam, dan asam. Pengolahan limbah cair antara lain: presipitasi, evaporasi, ion exchange, insenerasi (limbah cair organik), pengolahan tersebut akan menghasilkan limbah cair sekunder yang harus dikendalikan.

Pengolahan limbah radioaktif berbentuk gas dilakukan dengan cara pengkondisian sampai memenuhi persyaratan pelepasasan setempat sehingga gas tersebut dapat langsung dilepaskan ke atmosfer. Namun untuk gas yang mengandung partikulat radioaktif perlu dikendalikan dengan alat penyaring udara sebelum dilepaskan ke atmosfer.

Penanganan yang dapat dilakukan terhadap sumber radioaktif bekas bergantung umur paro dari sumber radioaktif tersebut. Sumber radioaktif yang memiliki umur paro pendek cukup dengan

Page 7: jurnal kesling

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565

7

menyimpan sampai aktivitasnya mencapai nilai yang sangat rendah sehingga dapat dianggap sebagai limbah non radioaktif. Untuk sumber radioaktif dengan umur paro panjang terdapat dua pilihan penanganan, yaitu dilakukan imobilisasi dalam drum logam atau tabung beton atau langsung disimpan pada tempat khusus untuk tujuan penyimpanan sementara atau penyimpanan akhir.

Penyimpanan limbah radioaktif dibedakan menjadi penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari. Penyimpanan sementara adalah penempatan limbah radioaktif sebelum penempatan tahap akhir dan penyimpanan lestari adalah penempatan akhir limbah radioaktif tingkat tinggi. Jenis limbah yang akan ditempatkan pada penempatan akhir/dibuang hanya limbah berbentuk padat. Penempatan akhir/pembuangan limbah radioaktif dengan aktivitas rendah dan umur paro pendek yang memenuhi tingkat klierens dapat diperlakukan sebagaimana pembuangan limbah non radioaktif, sedangkan limbah radioaktif dengan aktivitas tinggi dan umur paro panjang pembuangan dilakukan dalam bentuk disposal yang dibedakan menjadi disposal dekat permukaan untuk waktu paro ≤ 30 tahun dan disposal dalam formasi geologi untuk limbah radioaktif dengan waktu paro > 30 tahun.

Untuk sumber radioaktif yang diimpor dari luar negeri, sumber radioaktif bekasnya disarankan untuk dikirimkan kembali ke negara penghasil. Kebijakan ini untuk mengurangi peredaran jumlah limbah sumber radioaktif di Indonesia yang dapat menjadi beban bagi generasi yang akan datang dan jika ditinjau dari aspek finansial biaya untuk mengolah limbah tersebut lebih mahal dibandingkan mengirimkan kembali ke negara asal.

KESIMPULAN 1. Implementasi konsep cradle to grave dalam pengelolaan limbah radioaktif dilakukan dengan

menggunakan dokumen pengiriman limbah radioaktif dari penghasil ke pengolah/penyimpan/atau negara asal sumber radioaktif.

2. Dokumen pengiriman dibuat rangkap 6 dengan pola distribusi dokumen tersebut dirancang sedemikan rupa sehingga terbentuk komunikasi yang simultan antara badan pengawas, penghasil limbah radioaktif, pengangkut, dan pengolah/penyimpan/negara asal sumber radioaktif, distribusi dokumen tersebut sebagai berikut: badan pengawas menyimpan copy 2 dan 5, penghasil menyimpan copy 1 dan 6, pengangkut menyimpan copy 4, pengolah/penyimpan/negara asal sumber menyimpan copy 3.

DAFTAR PUSTAKA [1] WARDHANA, WA , Radioekologi, Andi Offset, Yogyakarta, (1996). [2] LUBIS, E, Keselamatan Lingkungan Pengelolaan Limbah Radioaktif, Jurnal Teknologi Pengelolaan

Limbah' Volume 6 No. 2 (ISSN:1410-9565), BATAN, Jakarta, (2003). [3] HARUKI, A, Pengelolaan Limbah B3, Materi Pelatihan Audit Lingkungan diselenggarkan oleh

Departmen Biologi FIMPA IPB dan Bagian PKSDM Dijten DEKDINAS, (2006), [4] IAEA, Management of Waste from the Use of Radioactive Material in Medicine, Industry,

Agriculture, Research and Education, Safety Guide No. WS-G-2.7, Vienna, (2005). [5] IAEA, Management of Radioactive Waste from the Use of Radioactive Material in Medicine,

Industry, Agriculture, Research and Education, TECDOC 1183, Vienna, (2000).