jurnal kulit fny

Upload: david-r

Post on 01-Mar-2016

28 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB ITINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISIKusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1 Pola penularan belum diketahui secara pasti walaupun saluran nafas atas merupakan tempat masuk kuman yang paling banyak.2

B. EPIDEMIOLOGIPenyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai saat ini belum terlalu jelas.1Kusta terdapat di mana-mana, terutam Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonomi rendah. Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar negara atau wilayah endemis.1Indonesia termasuk 1 dari 9 negara dengan endemisitas kusta tertinggi di dunia menurut WHO sekaligus menjadi peringkat ke-3 penderita kusta terbanyak setelah India dan Brazil. Pada tahun 2009, prevalensi penyakit kusta di Indonesia tercatat sebesar 21.026 kasus (0,91 per 10.000) dan berhasil memenuhi kriteria eliminasi kusta yaitu 1 per 10.000 penduduk. Angka prevalensi kusta tersebut menurun pada tahun 2010 menjadi 20,329 kasus (0,86 per 10.000).3

C. ETIOLOGIKuman penyebab adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. M.Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram positif. 1 selain itu, kuman ini biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemiki pada binatang armadilo.4

D. PATOGENESIS 4Meskipun cara masuk M.Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang sering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M.Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.M.Leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M.Leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langerhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi, akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya.Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.Leprae, di samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.

E. KLASIFIKASITujuan klasifikasi adalah :5,61. Untuk menentukan regimen pengobatan, prognosis, dan komplikasi2. Untuk perencanaan operasional, misalnya menemukan pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologis tinggi sebagai target utama pengobatan3. Untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.

Jenis klasifikasi yang umum : 4A. Klasifikasi internasional : Klasifikasi Madrid (1953) : Indeterminate (I) Tuberkuloid (T) Borderline Dimorphous (B) Lepromatosa (L)B. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley-Jopling (1962) : Tuberkuloid (TT) Borderline tuberculoid (BT) Mid-Borderline (BB) Borderline Lempromatous (BL) Lepromatosa (LL)C. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta : Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988) : Pausibasilar (PB)Hanya kusta tipe I, TT, dan sebagian bear BT dengan BTA negatif menurut kriteria Ridley-Joping atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid. Multibasilar (MB)Termasuk kusta tipe LL, BL, BB, dan sebagian BT menurut kriterai Ridley-Joping atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.F. MANIFESTASI KLINIS

Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO 1,4PBMB

1. Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi, infiltrat, plak eritem, nodus)2. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi / kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena) 1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris Hilangnya sensasi yang jelas

Hanya satu cabang saraf > 5 lesi Distribusi lebih simetris Hilangnya sensasi kurang jelas Banyak cabang saraf

Tabel 2. Gambaran klinis tipe PB 6KarakteristikTuberkuloid (TT)Borderline Tuberculoid (BT)Indeterminate(I)

LesiTipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

SensibilitasBTAPada lesi kulitTes Lepromin

Makula atau makula dibatasi infiltratSatu atau beberapa

Terlokalisasi dan asimetrisKering,skuama

Hilang

NegatifPositif kuat (+3)Makula dibatasi infiltrat atau infiltrat sajaSatu dengan lesi satelitAsimetris

Kering, skuama

Hilang

Negatif atau +1Positif (+2)

Makula

Satu atau beberapa Bervariasi

Dapat halus agak berkilatAgak terganggu

Biasanya negatif Meragukan (+1)

Tabel 3. Gambaran Klinis tipe MB 6KarakteristikLepramatosa (LL)Borderline Lepramatous (BL)Mid-Borderline(BB)

LesiTipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

SensibilitasBTAPada lesi kulitPada hembusan hidungTes Lepromin

Makula, infiltrat difus, papul, nodus

Banyak, distribusi luas, praktis tidak ada kulit yang sehatSimetris

Halus, berkilat

Tidak terganggu

Banyak (globi)Banyak (globi)

Positif kuat (+3)Makula, plak, papul

Banyak, tapi kulit sehat masih ada

Cenderung simetrisHalus, berkilat

Sedikit berkurang

BanyakBiasanya tidak adaNegatifPapul, lesi berbentuk kubah, lesi punched-outBeberapa kulit sehat (+)

AsimetrisSedikit berkilat, beberapa lesi keringBerkurang

Agak banyakTidak ada

Biasanya negatif, dapat juga (+)

Gambaran klinis organ tubuh lain yang dapat diserang : 41. Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan2. Hidung : epistaksis, hidung pelana3. Tulang dan sendi : absorbsi, mutilasi, artritis4. Lidah : ulkus, nodus5. Laring : suara parau6. Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi7. Kelenjar limfe : limfadenitis8. Rambut : alopesia, madarosis9. Ginjal : glomerulonefritis, amiloidosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial

Sama halnya pada kulit, M.Leprae tumbuh optimum pada suhu 30C.Kuman ini lebih sering menyerang saraf tepi yang terletak superfisial dengan suhu yang relatif lebih dingin. Saraf tepi yang dapat terserang akan menunjukkan berbagai kelainan, yaitu : 4 N. Fasialis : lagoftalmus, mulut mencong N. Trigeminus : anestesi kornea N. Aurikularis magnus N. Radialis : tangan lunglai (drop wrist) N. Ulnaris : anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari IV N. Medianus : anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I,II,III, dan sebagian jari IV. Kerusakan N. Ulnaris dan medianus menyebabkan jaring kiting (clow toes) dan tangan cakar (claw hand). N. Peroneus komunis : kaki semper (drop foot) N. Tibialis posterior : mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes)

Manifestasi penyakit yang menunjukkan bahwa penyakit kusta masih aktif adalah : 7 Kulit : lesi membesar, jumlah bertambah, ulserasi, eritematosa, infiltrat atau nodus Saraf : nyeri, gangguan fungsi bertambah, jumlah saraf yang terkena bertambah

Tanda sisa penyakit kusta adalah : 5 Kulit : atrofi, keriput, non-repigmentasi, dan bulu hilang Saraf : mati rasa persisten, paralisis, kontraktur, dan atrofi otot

G. DIAGNOSISDepartemen Kesehatan RI (2006), diagnosis penyakit krusta ditetapkan dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama penyakit kusta yaitu : 4a. Bercak pada kulit yang mengalami mati rasa, bercak dapat berwarna putih (hipopigmentasi) atau berwarna merah (eritematosa), penebalan kulit (plak infiltrat), atau berupa nodul-nodul. Mati rasa dapat terjadi terhadap rasa raba, suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau sebagian,b. Penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan gangguan pada fungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami mati rasa, saraf motorik mengalami kelemahan otot dan kelumpuhan, dan gangguan pada saraf otonom berupa kulit kering dan retak-retak,c. Pemeriksaan hapusan jaringan kulit yang dihasilkan yaitu bakteri tahan asam (BTA) positif.

Pemeriksaan pasien :1. Anamnesa Keluhan pasien Riwayat kontak dengan penderita Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi2. Tes fungsi saraf Tes sensoris (raba, nyeri, suhu) Tes otonom (tes Gunawan/pensil tinta, tes pilocarpin) Tes motoris (Voluntary Muscle Test, VMT)3. Pemeriksaan bakterioskopiKegunaan : 61. Membantu menentukan diagnosis penyakit2. Membantu menentukan klasifikasi (tipe) penyakit kusta sebelum pengobatan3. Membantu menilai respon pengobatan pada pasien MB4. Menentukan end point pengobatan pada pasien MB5. Menentukan prognosisKetentuan untuk pengambilan sediaan : 41. Sediaan diambil di kulit yang paling aktif2. Pada pemeriksaan ulangan, sebaiknya diambil di lesi yang sama dan bila perlu, ditambah dengan lesi yang baru muncul3. Tempat yang paling sering diambil untuk sediaan hapus jaringan bagi pemeriksaan M.Leprae adalah : Cuping telinga Lengan Punggung Bokong Paha4. Jumlah pengambilan sediaan hapus jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu : Cuping telinga kiri Cuping telinga kanan Bercak yang paling aktif5. Sediaan hapus jaringan kulit harus dilakukan pada : Semua orang yang dicurigai menderita kusta Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau tersangka kuman kebal (resisten) terhadap obat Semua pasien MB tiap setahun sekali

M.Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid merupakan kuman hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Bentuk ini penting untuk dibedakan, karena bentuk hidup merupakan bentuk yang berbahaya, dapat berkembangbiak dan dapat menularkan ke orang lain.1Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai +6 menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).1+1 : 1-10 BTA dalam 100 LP+2 : 1-10 BTA dalam 10 LP+3 : 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP+4 : 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP+5 : 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP+6 : > 1000 BTA rata-rara dalam 1 LPIndeks Morfologi (IM) adalah persentasi bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan nonsolid.1Rumus :

Syarat perhitungan : Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA IB +1 tidak perlu dibuat IM nya, karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan Mulai dari IB +3 harus dihitung IM nya, sebab dengan IB +3 maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.4. Pemeriksaan histopatologisDiagnosis kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus, jika diagnosis masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis.4Gambaran histopatologis pada tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepramatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapat sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.15. Pemeriksaan SerologisBeberapa tes serologis yang dapat dilakukan pada penyakit kusta : Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), yaitu untuk mengukur titer antibodi IgG yang telah terbentuk di dalam tubuh pasien, Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay) ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick) ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)

H. PENATALAKSANAANTujuan utama program pemberantasan kusta adalah : 41. Memutus rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit,2. Mengobati dan menyembuhkan penderita,3. Mencegah timbulnya kecacatan.

A. Program MDT (Multi Drug Treatment) 1,4Program MDT dimulai tahun 1981,, yaitu ketika Kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai regimen MDT-WHO.

Obat yang termasuk dalam MDT-WHO adalah sebagai berikut : 1. Dapson (DDS, 4,4 Diamino-difenil-sulfon)Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Jadi tidak seperti kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA. Resistensi terhadap dapson timbul sebagai akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson biasanya diberikan dalam dosis tunggal yaitu 50 100 mg/hari untuk dewasa, dan 2 mg/kgBB untuk anak-anak. IB kuman penderita LL yang diobati dengan dapson akan menjadi 0 setelah 5 6 bulan pengobatan. Efek samping yang muncul adalah erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, dan methemoglobin.2. RifampisinMerupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5 15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman dalam waktu beberapa hari. Pemberian seminggu sekali dengan dosis tinggi (900 1200 mg) dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like syndrome. Pemberian 600 mg atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik.3. Klofamizin (Iamprene)Dosis sebagai antikusta adalah 50 mg/hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg/minggu. Juga bersifat antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL, dengan dosis lebih, yaitu 200 300 mg/hari, namun awitan baru bekerja setelah 2-3 minggu. Efek samping yaitu warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan karena klofamizin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan.4. ProtionamidDosis diberikan 5 -10 mg/kgBB/hari dan untuk Indonesia, obat ini jarang digunakan.

Obat alternatif yang digunakan pada penyakit kusta :1. OfloksasinDosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae sebesar 99,99%. Efek samping obat ini adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness, dan halusinasi.2. MinosiklinTermasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dibanding klaritromisin, tetapi lebih rendah dibanding rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi pada bayi dan anak-anak, kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai gangguan saluran cerna dan susunan saraf pusat.3. KlaritromisinMerupakan kelompok antibiotik makrolid dan memiliki aktivitas bakterisidal terhadap M.Leprae. pada penderita kusta tipe Lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh kuman 99% selama 28 hari dan lebih dari 99% selama 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.

Cara pemberian regimen MDT-WHO adalah sebagai berikut.a. Regimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, di bawah pengawasan, ditambah dengan dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kgBB) swakelola, selama 6 bulan,b. Regimen MB dengan lesi kulit > 5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofamizin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun,c. Regimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.

Tabel 4. Obat dan dosis regimen MDT-PBDapsonRifampisin

DewasaAnak-anak 10-14 tahun100 mg/hari50 mg/hari600 mg/bulan, diawasi450 mg/bulan, diawasi

Tabel 5. Obat dan dosis regimen MDT-MBDapsonRifampisinKlofamizin

Dewasa

Anak-anak 10-14 th100 mg/hari

50 mg/hari600 mg/bulan, diawasi

450 mg/bulan, diawasi50 mg/ hari DAN 300 mg/bulan, diawasi

50 mg/ hari DAN 150 mg/bulan, diawasi

Tabel 6. Obat dan dosis regimen MDT-PB Lesi Tunggal(dosis tunggal dan dimakan bersamaan)RifampisinOfloksasinMinosiklin

DewasaAnak-anak 10-14 th600 mg300 mg400 mg200 mg100 mg50 mg

REAKSI KUSTA 1,4Reaksi kusta merupakan interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum begitu jelas, terminologi dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Faktor pencetus yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara lain adalah : Setelah pengobatan antikusta yang intensif Infeksi rekuren Stres fisik Pembedahan Imunisasi Kehamilan Saat-saat setelah melahirkanAda 2 tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya :1. Reaksi lepra tipe 1Menurut Jopling, reaksi tipe 1 ini merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Pada reaksi ini, terjadi upgrading/reversal, apabila menuju ke arah bentuk tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS/Keseimbangan antar imunitas) atau down grading reaction, apabila menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS).Reaksi reversal paling sering dijumpai terutama pada kasus yang mendapat pengobatan, sedangkan pada down grading reaction lebih jarang dijumpai karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus yang tidak mendapat pengobatan.Meskipun secara teoritis reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, namun bentuk BB jauh lebih sering ditemui. Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal, berubah menjadi bentuk BT, dan akhirnya ke bentuk TTs, sedangkan bila terjadi down grading akan berubah menjadi bentuk BL dan akhirnya bentuk LLs.

2. Reaksi lepra tipe 2Reaksi ini dikenal dengan nama Eritema Nodosum Leprosum (ENL), yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coombs dan Gell. ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun. Terutama terjadi pada bentuk LL dan LLs dan kadang pada bentuk BL. Biasanya disertai gejalan sistemik. Baik reaksi tipe 1 dan 2 ada hubungannya dengan pemberian antikusta, hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama pengobatan, tapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi granular.

3. Reaksi lepra tipe 3 (Fenomena Lucio)Merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus, terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk tak teratur, dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, dan meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang lebih berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura, dan bula, lalu dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri.

PENATALAKSANAAN REAKSI KUSTA Prinsip pengobatan reaksi kusta adalah sebagai berikut :1. Pemberian obat antireaksi,2. Istirahat atau imobilisasi,3. Analgetik, sedatif untuk menghilangkan nyeri,4. Obat antikusta diteruskan.

Reaksi ringan1. Non-medikamentosa : istirahat, imobilisasi, berobat jalan2. Medikamentosa : Aspirin : 600 1200 mg diberikan tiap 4 jam, 4 sampai 6 kali sehari Klorokuin : 3 x 150 mg/hari Antimon : stibophen berisi 8,5 mg antimon per ml. Dosis : 2-3 ml selang-seling, dosis total tidak melebihi 30 ml. Digunakan pada reaksi tipe 2 yang ringan untuk mengatasi nyeri sendi dan tulang. Talidomid : untuk mengatasi reaksi tipe 2 agar dapat melepaskan ketergantungan pada kortikosteroid. Dosis : mula-mula diberikan 400 mg/hari sampai reaksi teratasi, lalu berangsur-angsur diturunkan sampai 50 mg/hari.

Reaksi beratRujuk ke Rumah Sakit untuk perawatan. Untuk reaksi tipe 1 dapat diberikan kortikosteroid, sedangkan untuk reaksi tipe 2 dapat diberikan klofamizin, talidomid, dan kortikosteroid dosis tunggal atau kombinasi.

Fenomena LucioRifampisin merupakan obat utama bagi pasien fenomena Lucio yang belum pernah mendapat pengobatan antikusta. Pemberian kortikosteroid seperti pada ENL. Talidomid dan klofamizin tidak efektif.

BAB 2LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN Nama:Ny. CA Umur:65 tahun Jenis Kelamin:Perempuan Pekerjaan:Petani Status:Sudah menikah Alamat:Pariaman Suku:Minangkabau

ANAMNESASeorang pasien wanita usia 65 tahun datang ke poli Dermatologi non Infeksi bagian Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 10 Maret 2015 dengan :

Keluhan Utama :Bengkak merah pada kedua lengan, kedua kaki, dan muka sejak 3 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang : Bengkak merah pada kedua lengan, kedua kaki,dan muka sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya muncul tiba-tiba bercak kemerahan bertumpuk, sebesar koin pada lengan. Bercak kemerahan pada muka awalnya sebesar biji jagung lalu membesar sebesar koin sejak 2 bulan yang lalu. Bercak kemerahan gatal (-), kadang nyeri, namun tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Demam (+) ketika bercak kemerahan muncul/ bertambah. Penurunan berat badan (+), nafsu makan berkurang (+) Bengkok pada jari kaki (+) sejak 3 bulan yang lalu Kedua kaki mati rasa (+) sejak 2 bulan yang lalu Bercak atau benjolan kemerahan di cuping telinga (-) Bercak putih yang mati rasa (-) Mata merah (-) Alis mata rontok (-) Kontak dengan orang yang memiliki kelainan seperti ini (-) Luka yang muncul tanpa disadari (-)

Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat Diabetes Mellitus (-).

Riwayat Pengobatan : Pasien pertama kali berobat ke Puskemas, mendapatkan pengobatan berupa salap dan obat minum tapi pasien tidak tahu namanya. Datang ke Puskesmas sudah 2 kali selama 3 bulan,lalu dirujuk ke RSUD Pariaman. Setelah itu pasien dirujuk ke RSUP M.Djamil

Riwayat Keluarga / Atopi : Riwayat anggota keluarga, kerabat, tetangga dengan keluhan bercak-bercak merah atau putih yang mati rasa (-) atau menderita kaki dan tangan buntung (-) Riwayat atopi/alergi (-)

Riwayat Sosial Ekonomi : Pasien adalah seorang petani Bertempat tinggal di Pariaman sejak kecil Rumah semi-permanen, hanya terdapat 4 rumah tetangga di sekitar lingkungannya

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : tidak tampak sakit Kesadaran : CMC Tekanan Darah: 120/70 mmHg Nadi : 80 x/menit Nafas : 20 x/menit Berat badan: 40 kg Tinggi badan: 150 cm Status gizi: baik Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks kornea (+/+) Hidung : tidak ada deformitas KGB: tidak terdapat pembesaran pada KBG

Status Dermatologikus Lokasi: Punggung, dada, wajah, lengan kanan dan kiri, tungkai kanan dan kiri, kaki kanan dan kiri, dan bokong kanan dan kiri Distribusi: Regional bilateral Bentuk: Tidak khas Susunan: Tidak khas Ukuran: Numular Plakat Efloresensi: Lesi di wajah: Plak eritem halus berkilat Lesi di Punggung: Makula eritem halus berkilat Lesi di dada: Plak eritem dengan skuama halus Lesi di lengan ka-ki: Plak eritem kering dengan skuama halus Lesi di tungkai ka-ki: Makula hiperpigmentasi kering Dengan skuama halus dan likenifikasi Lesi di bokong ka-ki: Makula eritem kering dengan skuama halus

Gangguan Sensibilitas Raba: hipoestesi pada lesi di wajah, punggung, kedua lengan, kedua tungkai, punggung kaki, dan bokong Tusuk: hipoestesi pada lesi di wajah, punggung, kedua lengan, kedua tungkai, punggung kaki, dan bokong Suhu: normoestesi pada semua lesi

Pemeriksaan Saraf Perifer N. Aurikularis magnus dextra dan sinistra: Tidak terdapat pembesaran N. Ulnaris: Pembesaran (+) N.Ulnaris dextra dan sinistra, nyeri (+) N. Peroneus komunis: Pembesaran (+) N.peroneus komunis sinistra, nyeri (+) N. Tibialis posterior : Tidak terdapat pembesaran

Tes Kekuatan Otot M. orbicularis oculi: 5 M. abductor digiti minimi: 5 M. interoseous dorsalis: 5 M. abductor pollicis brevis: 5 M. tibialis anterior: 5

Kelainan Lainnya Facies Leonina: tidak ada Saddle Nose: ada Madarosis : tidak ada Lagoftalmus : tidak ada Wrist drop : tidak ada Claw hand: tidak ada Kontraktur : ada Mutilasi : tidak ada Atrofi otot : tidak ada Ulkus trofik : tidak ada Dropped foot : tidak ada Xerosis kutis: ada

Status Venerologikus: tidak ditemukan kelainanKelainan selaput lendir: tidak ditemukan kelainanKelainan kulit: tidak ditemukan kelainanKelainan rambut: tidak ditemukan kelainan

PEMERIKSAAN RUTINPemeriksaan BTA dengan Ziehl-Nielsen, didapatkan Indeks Bakteri :cuping telinga kiri: +5 cuping telinga kanan: +6Lesi pada lengan kanan: +5Lesi pada lengan kiri: +4

PEMERIKSAAN ANJURAN Pemeriksaan Histopatologik : untuk memastikan gambaran klinis dan membantu menentukan klasifikasi Pemeriksaan Serologik :Tes ELISA, Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Partikel Aglutination), Mycobacterium Leprae Dipstick

RESUME Bengkak merah pada kedua lengan, kedua kaki,dan muka sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya muncul bercak kemerahan bertumpuk, sebesar koin pada lengan. Bercak kemerahan pada muka awalnya sebesar biji jagung, membesar sebesar koin sejak 2 bulan yang lalu, tidak gatal, kadang nyeri. Bengkok pada jari kaki sejak 3 bulan yang lalu dan kedua kaki mati rasa sejak 2 bulan yang lalu Status dermatologikus :-Lokasi : wajah, punggung, dada, lengan kanan dan kiri, tungkai kanan dan kiri, punggung kaki kanan dan kiri dan bokong.-Distribusi : regional bilateral, -Bentuk dan susunan : tidak khas, -Batas : tegas, -Ukuran : numular dan plakat Efloresensi: -Lesi di wajah : plak eritem halus berkilat-Lesi di punggung : makula eritem halus berkilat-Lesi di dada : plak eritem dengan skuama halus-Lesi di lengan kanan dan kiri : plak eritem kering dengan skuama halus-Lesi di tungkai dan punggung kaki kanan dan kiri : makula hiperpigmentasi kering dengan skuama halus dan likenifikasi-Lesi di bokong kanan dan kiri : makula eritem kering dengan skuama halus

DIAGNOSIS KERJA: Morbus Hansen tipe LL

DIAGNOSIS BANDING: Tinea Kruris Tinea Korporis Tinea Versikolor Lupus Vulgaris Morbus Hansen Tipe BL Reaksi Kusta Reversal (RR)

TERAPIa. Umum Menjelaskan mengenai penyakit (penyebab, penularan dan komplikasi) dan pengobatan pada pasien dan keluarga, serta kontrol rutin tiap bulan ke poli Kulit dan Kelamin, berobat teratur sampai dinyatakan sembuh Menjelaskan bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat resiko terjadinya luka, dan luka merupakan tempat masuknya kuman sehingga hindari luka dengan cara : memakai alas kaki saat bepergian Menjelaskan bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat resiko terjadinya luka, dan luka merupakan tempat masuknya kuman sehingga hindari luka dengan cara : memakai alas kaki saat bepergian Memberitahukan pada pasien jika terdapat reaksi samping obat segera kembali ke dokter untuk mendapat penanganan selanjutnyab. Khusus Sistemik:Regimen MDT MB untuk dewasa (dalam bentuk blister pack)Sekali Sebulan : Hari 1Rifampisin 600 mg (2 x 300mg)Dapsone (DDS) 100 mg (1 x 100mg)Klofazimin 300 mg (3 x 100 mg)Sekali sehari : Hari 2-28Klofazimin 50 mg (1x50mg)DDS 100 mg (1x100mg)Terapi MB : 12 dosis dalam 12-18 bulan Topikal : Urea 10%

PROGNOSIS : Quo Ad Sanam: dubia ad bonam Quo Ad Vitam: bonam Quo Ad Kosmetikum : dubia ad bonam Quo Ad Functionam : dubia ad malam

BAB 3DISKUSI

Telah diperiksa pasien perempuan 65 tahun dengan diagnosa Morbus hansen tipe LL. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.Dari anamnesis didapatkan bengkak merah pada kedua lengan, kedua kaki,dan muka sejak 3 bulan yang lalu, awalnya muncul bercak kemerahan bertumpuk, sebesar koin pada lengan. Bercak kemerahan pada muka awalnya sebesar biji jagung, membesar sebesar koin sejak 2 bulan yang lalu, tidak gatal, kadang nyeri. Bengkok pada jari kaki sejak 3 bulan yang lalu dan kedua kaki mati rasa sejak 2 bulan yang lalu.Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus lokasi di wajah, punggung, dada, lengan kanan dan kiri, tungkai kanan dan kiri, punggung kaki kanan dan kiri dan bokong. Distribusi regional bilateral, bentuk dan susunan tidak khas, batas tegas, ukuran numular dan plakat. khas, batas tegas, ukuran numular dan plakat. Pada wajah tampak plak eritem halus berkilat, pada punggung tampak makula eritem halus berkilat, pada dada tampak plak eritem dengan skuama halus, pada lengan kanan dan kiri tampak plak eritem kering dengan skuama halus, pada tungkai dan punggung kaki kanan dan kiri tampak makula hiperpigmentasi kering dengan skuama halus dan likenifikasi, dan pada bokong kanan dan kiri tampak makula eritem kering dengan skuama halus.Dari pemeriksaan sensibilitas didapatkan hipoestesi pada lesi. Pembesaran (+) nyeri (+) pada N.Ulnaris dextra dan sinistra serta N. Peroneus komunis sinistra. Pemeriksaan kekuatan otot tidak didapatkan kelemahan. Didapatkan kontraktur dan Xerosis Kutis. Dari penjelasan diatas sesuai dengan morbus hansen dengan tipe LL. Pada pasien dilakukan tatalaksana umum dengan memberikan edukasi mengenai penyakit (penyebab, penularan, komplikasi) dan pengobatan (kontrol teratur, efek samping obat), serta menjelaskan efek samping obat. Terapi Khusus berupa regimen MDT MB untuk dewasa dan terapi topikal Urea 10% untuk mengatasi xerosis pada lesi di tangan dan tungkai.DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 20102. Doemilah R, Faradis H, Witjaksono N. Management of Paralytic Lagophtalmus Cause By Leprosy Reaction. Jurnal Oftalmologi Indonesia. 2008; 6(3): 204-2063. Lystiawan Y. Menuju Indonesia Bebas Kusta. Buletin Perdoski.2013; 001;X: hal.24. Daili ESS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Jakarta : Badan penerbit FKUI; 20035. WHO. A Guide to Elimination Leprosy as Public Health Problem, edisi 1. Geneva: WHO, 1995.6. WHO. A Guide to Leprosy Control, edisi ke-2. Geneva: WHO, 1988.7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ditjen PPM & PLP. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan VIII. Jakarta; 1993.1