jurnal lektur

188

Upload: adikurnia

Post on 24-Jun-2015

1.146 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal lektur
Page 2: jurnal lektur

i

Jurnal Lektur Keagamaan

Vol. 7, No. 1, Tahun 2009/No. Akreditasi: 48/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006

Daftar Isi Kajian Naskah, Sejarah, dan Arkeologi

Teks, Islam dan Sejarah: Setali Tiga Uang Fuad Jabali 1 — 20

Perang dan Damai di Aceh: Kajian Manuskrip Aceh Tentang Konflik dan Solusinya

Fakhriati 21 — 52 Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali: Sebuah Penelusuran Awal

Asep Saefullah dan M. Adib Misbachul Islam 53 — 90 Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua dalam Naskah-Naskah Tarekat Syattariyah di Minangkabau

Pramono dan Bahren 91 — 108 Peran Penting Pernaskahan dan Benda Khazanah Keislaman Lainnya dalam Kajian Arkeologi Islam di Indonesia

Agus Aris Munandar 109 — 132 Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara

Irmawati M-Johan 133 — 146

Tokoh

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse, and His Work Collection

Usep Abdul Matin 147 — 164

Telaah Buku

Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Tinjauan Buku “Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks”, karya Oman Fathurahman

Uka Tjandrasasmita 165 — 174

ISSN 1693-7139

Page 3: jurnal lektur

ii

Jurnal Lektur Keagamaan

Vol. 7, No. 1, Tahun 2009/No. Akreditasi: 48/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006

PEMBINA M Atho Mudzhar

PEMIMPIN UMUM

Maidir Harun

REDAKTUR AHLI (MITRA BESTARI)

Uka Tjandrasasmita (UIN Syahid Jakarta); Nabilah Lubis (UIN Syahid Jakarta); Abdul Hadi WM (Universitas Paramadina); Achadiati Ikram (Universitas Indonesia); Badri Yatim (UIN Syahid Jakarta); Oman Fathurahman (UIN Syahid Jakarta); Tommy Christomy (Universitas Indonesia); Titik Pudjiastuti (Universitas Indonesia); Sudarnoto Abdul Hakim (UIN Syahid Jakarta)

PEMIMPIN REDAKSI

Asep Saefullah

SEKRETARIS REDAKSI Masmedia Pinem

DEWAN REDAKSI E. Badri Yunardi, Harisun Arsyad, Ahmad Rahman, Muchlis, Andi Bahruddin Malik, Dazrizal, M. Syatibi, AH, Ali Akbar, Muchlis M. Hanafi, Ridwan Bustamam, Munawiroh

TATA USAHA Ibnu Hasyir, Nurman Kholis, Muhammad Salim, Ida Swidaningsih, Umi Kulsum

ALAMAT REDAKSI

Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI Gedung Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta 13560 Telp./Faks. (021) 87794220 E-mail: [email protected]

*

Kulit depan: Naskah MS Serangan 01, h. 56, milik H. Baharuddin, Kampung Serangan, Denpasar, Bali; dan Halaman Awal Naskah Hiyakaye milik Syik Jah Amut, Geulumpang

Miyeunk, Pidie, Aceh. *

Berdasarkan SK Kepala LIPI No. 1563/D/2006 tanggal 18 Desember 2006,

Jurnal Lektur Keagamaan telah terakreditasi A

ISSN 1693-7139

Page 4: jurnal lektur

iii

Pengantar Redaksi Sejak tahun 2008, Jurnal Lektur Keagamaan telah memperluas wilayah cakupannya yang disesuaikan dengan tugas dan fungsi Puslitbang Lektur Keagamaan. Cakupan tersebut meliputi Kajian Naskah Klasik, Kajian Lektur Kontemporer, Khazanah Budaya Keagamaan, Arkeologi dan Sejarah, Obituari/Tokoh, Telaah Doku-men, dan Telaah Buku/Kitab serta materi yang berkaitan dengan kebijakan.

Pada Nomor ini, redaksi menampilkan delapan tulisan. Tulisan pertama menyajikan tentang Islam, teks dan sejarah. Tulisan ini menjelaskan hubungan yang erat antara Islam sebagai sebuah sistem nilai, teks dimana sistem nilai itu diekspresikan, dan sejarah (ruang dan waktu) sebagai konteks dimana sistem nilai itu diturunkan dalam teks. Islam, teks dan sejarah adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara garis besar, teks-teks yang lahir dalam dunia Islam, setidaknya dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yaitu: 1) teks-teks yang dilahirkan oleh kalangan skripturalis/fundamentalis, dan 2) teks-teks yang dilahirkan oleh kalangan esensialis. Golongan pertama lebih menekankan teks dan cenderung menghasilkan teks yang stabil, sedangkan golongan kedua lebih pada konteks tetapi teks yang dihasilkannya cenderung labil. Di sinilah kejelian seorang filolog diuji; kepada kelompok mana teks itu dihubungkan. Sampai batas tertentu, membaca teks-teks dari Timur Tengah nampaknya lebih ‘mudah’ dibanding mem-baca dokumen sejenis di Indonesia.

Pada tulisan kedua diulas mengenai perang dan damai di Aceh melalui kajian atas manuskrip Aceh tentang konflik dan solusinya. Aceh adalah sebuah daerah yang memiliki penduduk yang kehi-dupan mereka cukup berfluktuatif. Perang dan damai telah mewar-nai daerah ini sepanjang sejarahnya. Konflik internal maupun eksternal telah terjadi dalam periode-periode yang berbeda. Salah satu sumber yang sangat penting digunakan untuk mengkaji sejarah kehidupan orang Aceh adalah naskah kuno yang menjadi tulisan

Page 5: jurnal lektur

iv

mereka sendiri, karena di dalamnya mengandung informasi asli tentang Aceh, dan menjelaskan sikap dan tingkah laku orang Aceh secara langsung. Karenanya, generasi sekarang dapat membaca dan memahami langsung tentang tulisan orang Aceh yang menjadi sumber utama. Makalah ini mencoba menemukan dan menganalisa sumber-sumber primer ini dalam hubungannya dengan perang dan damai yang terjadi dalam sejarah kehidupan orang Aceh, mulai dari abad ke-17 hingga abad ke-20 M. Pertanyaan utama yang perlu dibahas adalah bagaimana cara orang Aceh mengatasi konflik da-lam kehidupan mereka, dan bagaimana karater serta sikap mereka pada masa lalu.

Tulisan ketiga menyajikan hasil penelusuran awal tentang bebe-rapa aspek kodikologi naskah keagamaan Islam di Provinsi Bali. Tulisan ini merupakan hasil penelusuran naskah keagamaan Islam di Bali tahun 2008 yang lalu. Naskah yang ditemukan sebanyak 38 buah dengan perincian sebagai berikut: 1) Naskah keagamaan berbahan kertas sebanyak 12 naskah; 2) Naskah lontar sebanyak 12 naskah; dan 3) Naskah Al-Qur’an sebanyak 14 naskah. Kondisi naskah keagamaan Islam di Bali pada umumnya sangat mempri-hatinkan, tidak terawat dan kurang mendapat perhatian. Sebagian besar naskah sudah rusak, dan bahkan tidak utuh lagi. Dari aspek kodikologi, dapat dicatat beberapa hal: 1) bahan yang digunakan beragam, yaitu dluang, kertas Eropa, kertas modern bergaris, dan lontar; 2) Bahasa dan aksara yang digunakan meliputi Arab, Melayu (Jawi), Bugis, dan Bali; 3) Waktu penyalinan antara abad ke-17–19 M, dan yang tertua tahun 1035 H/1625 M; 4) Isi naskah antara lain mencakup fikih, tasawuf, tauhid, doa, wirid, dan obat-obatan, bahasa (nahwu-saraf), Al-Qur’an, dan geguritan (cerita).

Tulisan keempat tentang kepemimpinan Islam di kalangan Kaum Tua dalam naskah-naskah Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Tulisan ini berupaya memberikan penafsiran atas naskah-naskah lokal di Minangkabau, khususnya terkait dengan Tarekat Syattariyah. Secara kultural, naskah-naskah tersebut memiliki arti penting kare-na berkaitan dengan kebutuhan keagamaan sehari-hari bagi para pengikut Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Bagi para penganut tarekat Syattariyah, mengetahui riwayat guru adalah sebuah keharu-san karena bermakna penghormatan kepada guru, adab kepada guru, untuk kemudian menjadi teladan bagi kehidupannya. Para

Page 6: jurnal lektur

v

ulama pemimpin Kaum Tua berperan tidak hanya di bidang ke-agamaan, tetapi juga di bidang sosial-budaya dan politik. Suaranya didengar, tingkah lakunya diikuti; sebagai penerang di dunia bahkan sampai di akhirat. Mereka dihormati, riwayat dan ajarannya ditulis dan disebarkan.

Dua tulisan lain selanjutnya membahas hubungan naskah dengan arkeologi. Tulisan pertama menyajikan peran penting pernaskahan dan benda khazanah keislaman lainnya dalam kajian arkeologi Islam di Indonesia. Tulisan ini membahas tentang posisi penting data tertulis, khususnya naskah klasik keagamaan (Islam) dalam studi arkeologi religi (Islam). Peranan data dari sumber tertulis dalam kajian arkeologi Islam antara lain sebagai berikut: (a) Pendukung kajian terhadap data artefaktual; (b) Memperluas pemahaman tentang kedudukan dan peranan artefak dalam masyarakat sezaman; (c) Data dari sumber tertulis dapat menjadi dasar penelitian dan kerangka acuan kajian arkeologi Islam; dan (d) Memperkaya interpretasi untuk dapat mengembangkan historiografi.

Sedangkan tulisan kedua membahas peran arkeologi dalam kajian Islam Nusantara. Tulisan ini menjelaskan bagaimana peran arkeologi dalam kajian Islam di Nusantara dan hal-hal apa saja yang menjadi kajian arkeologi. Selain itu, dikemukakan pula berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini yang berkait dengan Islam di Nusantara.

Selanjutnya adalah tulisan tentang tokoh, yaitu K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950). Tulisan ini membahas wacana keagamaan dan karya-karya K.H. Ahmad Sanusi. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama (Skr. Puslitbang Lektur Keagamaan) Badan Litbang dan Diklat, Departmen Agama RI tahun 1986, K.H. Ahmad Sanusi telah menulis selama hidupnya 480 karya tulis. Namun, sebagian besar dari karyanya tidak tersimpan di satu tempat, bahkan sulit ditemukan. Dalam kesulitan itu, ditemukan kurang lebih seratus dua puluh dua (122) karya K.H. Ahmad Sanusi. Tulisan ini bertujuan untuk berbagi pendapat tentang siapa K.H. Ahmad Sanusi itu, dan apa saja kiranya buku-buku yang telah beliau tulis.

Tulisan terakhir merupakan telaah buku yang judul “Tarekat Syattariyah di Minangkabau Teks dan Konteks”, karya Oman Fathurahman. Buku ini merupakan hasil kajian filologi dengan

Page 7: jurnal lektur

vi

pendekatan sejarah sosial-intelektual yang masih jarang dilakukan di antara ahli filologi pribumi. Pembahasan dalam buku telah meng-alami perluasan dengan tambahan analisis terhadap representasi naskah Sunda “versi Kuningan” dan dua naskah Jawa “versi Cirebon” dan “versi Girilaya”. Uraian yang didasarkan pada nas-kah-naskah Syattariyah Minangkabau, menggambarkan adanya per-bedaan paham antara Tarekat Syattariyah dengan Tarekat Naqsya-bandiyah. Tarekat Syattariyah dianggap oleh kelompok masyarakat penganut Tarekat Naqsyabandiyah mengajarkan hal-hal wujudiyah. Padahal, kenyataannya, Tarekat Syattariyah yang diajarkan Syekh Burhanuddin Ulakan sampai masa berikutnya bersikap lumer.

Terakhir, redaksi mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Lukman Hakim—Staf Ahli pada Jurnal Penamas, Balai Litbang Agama, Jakarta—yang telah menerjemahkan semua abstrak ke dalam bahasa Inggris, dan kepada Usep Abdul Matin—Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—atas kontribusinya mengedit abstrak berbahasa Inggris.

Demikian, selamat membaca, dan semoga bermanfaat.

Redaksi

Page 8: jurnal lektur

vii

Para Penulis Agus Aris Munandar adalah Staf Pengajar Program Studi Arkeologi Indonesia, Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Manajer Penelitian dan Pengabdian Masyarakat FIB UI (2008—sekarang). Menyelesaikan pendidikan S1 (Sarjana Sastra, bidang Arkeologi) dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, lulus tahun 1984 dengan judul Skripsi “Beberapa Data Historis dari Parasasti Mula-Malurung”. S2 (Magister Humaniora), Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, lulus tahun 1990 dengan judul tesis “Kegiatan Keagamaan di Gunung Pawitra: Gunung Suci di Jawa Timur Abad ke-14--15”. S3 (Doktor Arkeologi), Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), lulus tahun 1999 dengan judul disertasi “Pelebahan: Upaya Pemberian Makna para Puri-puri Bali abad ke-14—19”. Ia dapat dihubungi di Jalan Garuda IV Blok D.8/30, Sawangan Permai, Sawangan Depok 16519. No. (021) 98284951, Ponsel 0816 1447887, atau e-mail: [email protected] Asep Saefullah lahir di Kuningan, Jawa Barat, 18 Oktober 1971, adalah Peneliti di Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. Ia menyelesaikan S1 pada Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam IAIN (skr. UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1997, dan S2 di perguruang tinggi yang sama tahun 2000 pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam. Tahun 2006, mengikuti International Course on the Handling and Cataloguing of Islamic Manuscripts, di Kuala Lumpur Malaysia. Tahun 2007 mengikuti Diklat Penelitian Naskah Keagamaan, Departemen Agama RI, Jakarta. Karya-karyanya antara lain “Ibnul Muqaffa, Konstitusionalis Pertama yang Prosais”, Pelita, Jakarta 1993; “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal, Jakarta” Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 5, No. 1, 2007, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya pada Abad Pertengahan, (terj.) karya Joel L. Kraemer (Bandung: Mizan, 2003), Mukjizat Sabar, (terj.) karya Tallal Alie Turfe (Bandung: Mizania, 2006), dan lain-lain. M. Adib Misbachul Islam menyelesaikan studi S1 di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN (skr. UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2001, dan S 2 di Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun 2005. Saat ini Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah menjadi fasilitator pada Pelatihan Filologi Nasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Naskah Nusantara (YANASSA) bekerja sama dengan The Toyota Foundation dan PPIM UIN Jakarta, 11-25 Juli 2004. Pada

Page 9: jurnal lektur

viii

bulan Maret-April 2006, selama tiga minggu mengikuti International Course in the Handling and Cataloguing of Islamic Manuscripts di Kuala Lumpur, Malaysia, yang diselenggarakan oleh al-Furqan Islamic Heritage Foundation, London, bekerja sama dengan International Islamic University Malaysia (IIUM). Karya tulisnya antara lain, “Relasi Tuhan dan Alam: Pandangan Sufistik Syaikh Yusuf Makassar dalam Naskah Sirr al-Asrar”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 3, No. 1, 2005; “Menguak Sufisme Tuang Rappang”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol 6, No. 2, 2008. Fuad Jabali, dosen di Fakultas Adab dan Humaniora dan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mendapatkan gelar Doktor dengan predikat Dean Honour List dari Institute of Islamic Studies, McGill University (1999), MA dalam Islamic Societies and Cultures dari School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London (1992), dan Sarjana dalam bidang Sejarah dan Peradaban Islam dari Fakultas Adab IAIN (sekarang Fakultas Adab dan Humaniora UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1989). Minat keilmuannya terfokus pada dua hal: (1) Tradisi Islam klasik, dan (2) Bagaimana tradisi Islam klasik tersebut digunakan atau disalahgunakan oleh masyarakat Muslim kontemporer untuk menjustifikasi posisi/aliran keberagamaan mereka. Di antara karya-karya tulisnya adalah IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia (Co-editor Jamhari), Jakarta: Logos, 2002; Islam in Indonesia: Islamic Studies and Social Transformation (Co-editor Jamhari), Montreal-Jakarta: ICIHEP, 2002; The Comnpanions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments, Leiden: E. J. Brill, 2003; Benturan Peradaban: Sikap Islamis Indonesia Terhadap Amerika Serikat (Co-author), Jakarta: Nalar, 2005; “Membangun Pesantren di Ranah Sunda: Belajar dari Darul Arqam” dalam Jajat Burhanuddin and Dina Afrianty, Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan Islam di Indonesia (Making Modern Muslims: Map of Islamic Education in Indonesia), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006; Riaz Hasan, Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim (co-translator), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Selain mengajar, dia adalah Deputi Direktur Bidang Akademik Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Editor Studia Islamika, International Journal for South East Asian Islam; Konsultan Projek Kerjasama Luar Negeri (Indonesia-Canada Social Equity Project), Departemen Agama. Irmawati M-Johan sejak tahun 1981-sekarang menjadi dosen di Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Menjadi Sekretaris Departemen Arkeologi FIB UI sejak 2004-2007, Sejak 2007 hingga sekarang menjadi Ketua Departemen Arkeologi dan Ketua Program Pascasarjana Departemen Arkeologi FIB UI. Usep Abdul Matin memperoleh gelar MA di bidang Kajian Islam dari Duke University pada tanggal 26 Mei 2008 di Amerika Serikat dan satu lagi dari Leiden University di Belanda (cum laude) pada tanggal 22 Februari 2001. The Foreign Fulbright Grant telah memberikan beasiswa kepadanya untuk program S2 di Duke, sedangkan The Asian Foundation for Research and Consultancy

Page 10: jurnal lektur

ix

(AFRC) representative for Islamic Studies (INIS) memberikan beasiswa kepadanya untuk program S2 di Leiden. Beliau memperoleh Sarjana Agama (S.Ag.) di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Februari 1996 (cum laude). Beliau sekarang dosen dan sekertaris jurusan untuk program SPI FAH UIN Jakarta. Ia termasuk penulis yang produktif dan pernah menjadi chief editor UIN News dalam bahasa Inggris dari 2005 sampai 2008, serta perna menjadi staff rektor UIN Jakarta. Lebih dari itu, tulisannya dalam bahasa Inggris yang berjudul “Suicide Bombing: A Sociological Approach to 9/11” sudah diterbitkan oleh Penerbit Mitra dalam Sociologi: Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam (September 2008: 270-284). Tulisan-tulisannya yang lain dalam bahasa Inggris juga sudah dimuat di koran The Jakarta Post, seperti “Theorizing the 9/11 atrocity: Its ubiquitous persistence” (09/15/2008), “We are religious but also corrupt” (08/14/2008), dan “Terrorists ignore God, life to pursue heaven” (01/24/2006). Fakhriati lahir di Pidie, Aceh, 14 Juni 1970, menyelesaikan studi S1 di IAIN Ar-Raniry jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah pada tahun 1993, S2 di Leiden University pada tahun 1998, dan S3 di Universitas Indonesia jurusan Filologi pada tahun 2007. Tahun 1994, mengikuti program pembibitan calon dosen IAIN se-Indonesia di Jakarta. Sejak tahun 1995 mengajar di IAIN Ar-Raniry dan mulai tahun 1998 mengajar di IAIN Sumatera Utara. Pada tahun 2008 bergabung di UIN Jakarta dan tahun 2009 bulan juni mulai aktif di Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Sejak S2 sampai sekarang, penelitian tertuju pada naskah-naskah kuno khususnya naskah Aceh. Dalam tahun ini, dua penelitian telah dilakukan; yaitu Identifying and Preserving Acehnese Manuscripts Located in Pidie and Aceh Besar didanai oleh British Library, dan Katalog Naskah Awe Geutah bekerjasama dengan Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Selain itu, untuk tahun ini buku yang telah terbit adalah Menelusuri Tarekat Syattariyah di Aceh lewat Naskah. Pramono lahir di Medan 12 Desember 1979. Menamatkan studi Strata 1 (S1) di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Andalas. Strata dua (S2) pada Program Studi Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Bali. Saat ini menjadi dosen dan peneliti di Universitas Andalas Padang. Berbagai tulisan ilmiah dan esainya pernah di muat di beberapa jurnal dan terbitan lokal Sumatra Barat. Bahren lahir di Padang 06 Pebruari 1979. Menamatkan studi Strata Sat (S1) di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Andalas. Saat ini menjadi dosen dan peneliti di Universitas Andalas. Tulisan ilmiah populernya pernah di muat di beberapa surat kabar lokal Sumatra Barat dan Riau. Uka Tjandrasasmita lahir di Subang, Kuningan, Jawa Barat pada 8 Oktober 1930. Kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), Jurusan Ilmu

Page 11: jurnal lektur

x

Purbakala dan Sejarah Kuno, selesai tahun 1960. Memperoleh gelar Doktor H.C. dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1998. Di antara jabatan yang pernah didudukinya adalah Kepala Dinas Arkeologi Islam pada Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Departemen P dan K (1986-1974); Direktur Sejarah dan Purbakala Departemen P dan K (1974-1979); Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen P dan K (1979-1990). Pernah menjadi anggota (mewakili pemerintah RI) International Commission for the Preservation of Islamic Cultural Haritage (OKI) tahun 1982-1990, konsultan The Project of Cultural Tourism Development in Central Java and Yogyakarta (UNESCO) tahun 1992, dan lain-lain. Saat ini, di samping sebagai dosen tetap di Universitas Pakuan Bogor, juga sebagai dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

Page 12: jurnal lektur

xi

Ketentuan Pengiriman Tulisan

Jurnal Lektur Keagamaan terbit dua kali setahun. Redaksi menerima tulisan mengenai kelekturan, antara lain tentang naskah klasik, literatur kontemporer, dan khazanah budaya keagamaan.

Tulisan dapat berupa ringkasan hasil penelitian, artikel setara hasil penelitian, kajian tokoh (obituari) maupun telaah kitab atau tinjauan buku.

Panjang tulisan antara 15-25 halaman kuarto 1,5 spasi, font Times New Roman 12, dan diserahkan dalam bentuk print out dan file dalam format Microsoft Word.

Tulisan wajib memperhatikan kaidah-kaidah penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berlaku serta menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Dalam hal penggunaan transliterasi Arab-Latin, penulis hendaknya berpedoman pada Pedoman Transliterasi Arab-Latin SKB Dua Menteri, Menteri Agama RI Nomor 158 tahun 1987 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0543 b/u/1987 tentang Pedoman Transliterasi Arab–Latin.

Sumber rujukan menggunakan footnote (catatan kaki) yang ditulis seperti contoh berikut: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 109; dan Daftar Pustaka ditulis: Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Penulis harap menyertakan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris, kata kunci, biodata singkat dalam bentuk esai, dan alamat lengkap.

Page 13: jurnal lektur

xii

Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksud tulisan. Dan, tulisan yang dimuat tidak selalu mencerminkan pandangan Redaksi.

Tulisan dapat dikirimkan melalui e-mail: [email protected]

Atau melalui pos ke alamat:

Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, Gedung Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta 13560 Telp./Faks. (021) 87794220

Bagi lembaga yang ingin mendapatkan jurnal ini dapat menghubungi alamat di atas.

Page 14: jurnal lektur

xiii

Judul-judul untuk back cover

Teks, Islam dan Sejarah: Setali Tiga Uang Fuad Jabali

Perang dan Damai di Aceh: Kajian Manuskrip Aceh Tentang Konflik dan Solusinya

Fakhriati Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali:

Sebuah Penelusuran Awal Asep Saefullah dan M. Adib Misbachul Islam

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua dalam Naskah-Naskah Tarekat Syattariyah di Minangkabau

Pramono dan Bahren

Peran Penting Pernaskahan dan Benda Khazanah Keislaman Lainnya dalam Kajian Arkeologi Islam di Indonesia

Agus Aris Munandar

Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara Irmawati M-Johan

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse, and His Work Collection

Usep Abdul Matin Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Tinjauan Buku “Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks”, karya Oman

Fathurahman Uka Tjandrasasmita

Page 15: jurnal lektur

Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

1

Islam, Teks dan Sejarah: Setali Tiga Uang*

Fuad Jabali UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Teks dan Islam

Teks menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ajaran-ajaran utama Islam ada dalam bentuk teks, yaitu Al-Qur’an dan hadis. Orang-orang Islam sangat bangga menyebut dirinya

* Tulisan ini semula merupakan Makalah yang disampaikan pada Simposium

Internasional Pernaskahan Nusantara VIII, Wisma Syahida UIN Jakarta, 26-28 Juli 2004. Revisi terakhir 14 Juni 2009.

This paper describes a strong relationship between Islam as a value system, the text as an expression of system, and history as both time and space contexts of the textual system value. This paper explains that Islam, text, and history are interconnected each other. This paper classifies text into two catagories. The first category refers to the fact that the scripturalists or fundamentalists produce text. The second category would be: the essentialists make the text. The former group stresses the importance of the text and tend to make it stable. The latter group creates the context. In other word, this second group make the text unstable. This category challenges philologist to investigate. In this regard, the Islamic texts, which are written in Arabic by scholars of the Middle East, are easy to read as they provide complete information of an issue that we look for. In contrast, the Islamic texts, which are written in Indonesian by Indonesian scholars, are incomplete. For example, the biographical texts in Arabic offer information of diverse people. For this reason, Indonesian philologists are to trace such complete biography in Indonesian literature.

Kata kunci: Al-Qur’an, hadis, teks, konteks, filologi, skripturalis,

esensialis

Page 16: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

2

sebagai Ahlul Kitab ‘orang-orang yang sangat menghormati kitab’ atau, secara sederhana, ‘masyarakat teks’. Al-Qur’an juga menyebut para pengikut agama lain, terutama Yahudi dan Kristen, sebagai Ahlul Kitab karena, sebagai halnya umat Islam, mereka juga menjadikan teks (kitab suci) sebagai pusat dari kesadaran beragama mereka.

Bagi Ahlul Kitab, dunia langit hanya bisa diketahui lewat teks yang dibawa oleh para Nabi. Teks adalah dal (‘yang menunjuk’, signifier) dari madlul (‘yang ditunjuk’, signified), yaitu makna abadi yang ada di dalam diri Tuhan. Bagi orang Islam, setiap kata atau kalimat yang ada dalam Al-Qur’an disebut ayat atau ‘tanda.’ Tanda dari suatu makna abadi. Memang benar bahwa makna abadi itu bisa diketahui lewat ciptaan Tuhan, seperti gunung dan langit (benda-benda ciptaan ini juga disebut ayat atau, percisnya, ayah kauniyah ‘tanda-tanda alam’), tetapi ayat yang paling utama adalah teks Al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa tanpa teks ini tidak ada Islam dan masyarakat Muslim.

Masyarakat Islam sebagai masyarakat yang eksistensinya ber-gantung pada teks diperkuat oleh hadis. Al-Qur’an, yang jumlah ayatnya hanya sekitar 6600, bukanlah sebuah teks yang bisa menjelaskan semua realitas atau ajaran dengan sangat detil. Kalau tidak jelas, kemana mereka harus mencari kejelasan? Berbagai jawaban dikemukakan. Ada yang merujuk pada tradisi atau konteks lokal sebagai penjelas, seperti yang nampak pada mazhab Maliki (yang sangat mementingkan tradisi dan praktek lokal Madinah), ada yang merujuk pada akal, seperti yang ada dalam mazhab Hanafi; ada juga yang merujuk pada ijma’, yaitu kesepakatan masyarakat Muslim dalam memahami teks, seperti yang dikembangkan oleh Syafi’i; ada juga yang merujuk pada catatan dari kata-kata dan perbuatan Nabi yang kemudian disebut hadis. Rujukan-rujukan tadi—yaitu tradisi lokal, akal, ijma’ dan hadis—sama-sama dipakai oleh masyarakat Muslim secara bervariasi dalam tingkat yang berbeda-beda. Tetapi ketika hadis dibukukan pada abad ke 3 H/9 M, maka hadis, terutama yang dikumpulkan oleh Bukhari dan Muslim, menjadi rujukan utama setelah Al-Qur’an. Hadis kini menjadi teks terpeting kedua setelah Al-Qur’an.

Kalau teks menempati posisi yang demikian penting dalam Islam, maka wajar kalau ada kecenderungan untuk melihat keislaman

Page 17: jurnal lektur

Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

3

seseorang lewat kedekatannya (atau kejauhannya) dengan teks. Semakin dekat dianggap semakin saleh, semakin jauh semakin sesat. Kelompok rasionalis dikritik dengan tajam, bahkan pernah disebut kafir, karena menggunakan teks hadis dengan sangat minimal ketika menafsirkan teks Al-Qur’an. Kelompok pendukung hadis (ahl al-hadits) menyebut diri mereka sendiri sebagai umat yang terbaik (khair ummah) karena keteguhannya dalam mengikuti dan memegang teks hadis.

Penghormatan yang demikian tinggi pada teks Al-Qur’an dan hadis menjadi landasan yang kuat bagi masyarakat Muslim untuk memproduk banyak sekali teks. Teks menjadi media yang sangat penting dalam memahami Al-Qur’an dan hadis. Pemahaman masya-rakat Muslim terhadap Al-Qur’an dan hadis tersebut dituangkan dalam bentuk teks yang jumlahnya tak terhingga. Banyak sekali teks yang sudah musnah, yang hanya diketahui lewat kutipan-kutipan atau resensi yang ditulis belakangan. Dalam kajian sejarah, misalnya, buku karya al-Tabari (wafat th. 310 H / 923 M), Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The History of al-Tabari dalam 39 jilid atas sponsor UNESCO), sangat penting karena dia banyak mengutip karya-karya yang ditulis oleh sejarawan sebelumnya, yang hidup pada abad ke-2 H/8 M dan ke-3 H/9 M, yang sudah hilang. 1 Buku al-Fihrist karya Ibn al-Nadim, seorang penjual buku di Baghdad pada abad ke-4 H/10 M, juga penting karena di dalamnya ada resensi buku-buku yang beredar di dunia Islam, terutama di Baghdad, pada masa itu yang juga sebagian sudah hilang. Walaupun demikian banyak sekali teks-teks yang berhasil diselamatkan yang kini tersebar di berbagai negara, terutama di Timur Tengah dan Eropa (termasuk Turki), menanti sentuhan tangan filolog.

Bagi masyarakat Muslim, teks-teks tersebut adalah warisan yang sangat berharga, namun sikap mereka terhadap teks-teks tersebut berbeda tergantung pada cara mereka memandang. Ada masyakat Muslim yang membatasi penghormatan mereka pada Al-Qur’an

1 Untuk mendapatkan gambaran tentang jumlah dan jenis buku yang diproduk masyarakat Muslim yang sudah hilang tetapi dikutip secara meluas lihat Carl Brockelmann, Geschichte der arabischen Litteratur (Leiden: Brill, 1937-42, 1943-1949), 2 jilid dan 3 jilid supplement; Fuat Sezgin, Gerschichte des arabischen Schrifttums (Leiden: Brill, 1967 - ), 9 jilid.

Page 18: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

4

dan hadis, sementara kelompok lainnya melebarkan penghormatan tersebut kepada teks-teks di luar keduanya. Buku yang ditulis oleh seorang Sufi besar, misalnya, bisa jadi mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang hampir sama dengan Al-Qur’an dan hadis. Bagi kelompok masyarakat lain, buku-buku yang ditiulis para pendiri mazhablah yang harus dihormati dan diikuti, kalau perlu secara literal. Sementara kelompok lain menantangnya.

Di Indonesia, Muhammadiyah dan NU merepresentasikan kedua kecenderungan tersebut. Bagi Muhammadiyah, teks-teks selain Al-Qur’an dan hadis sifatnya relatif, tidak mengikat dan, bahkan terkadang, tidak mesti dibaca. Sebagian mereka berpendapat bahwa keberadaan teks-teks di luar Al-Qur’an dan hadis tadi menjadi benteng penghalang bagi umat Islam untuk memasuki kedua sum-ber ini. Kalangan Muhammadiyah, dalam memecahkan masalah-masalah kontemporer, adalah pembaca teks Al-Qur’an yang paling tekun dan juga paling tidak sabar. Semua persoalan segera dicari dalam teks Al-Qur’an. Sebaliknya NU. Mereka adalah kelompok yang sangat menghormati teks-teks di luar Al-Qur’an dan hadis. Mereka membaca Al-Qur’an dan hadis melalui teks-teks lain yang tersusun secara hirarkhis. Berbeda dengan Muhammadiyah, yang segera memasuki teks Al-Qur’an dan hadis, NU menjawab setiap pertanyaan dengan cara terlebih dahulu memasuki teks-teks yang diwariskan ulama-ulama sebelumnya. Dalam fatwa-fatwa NU, teks-teks ini sangat dominan, bahkan tidak jarang teks Al-Qur’an-nya sendiri tidak dirujuk. NU lebih terbiasa dengan teks dibanding Muhammadiyah. Dikenalkan dengan keragaman teks sejak dini, anak-anak NU bisa menjadi “filolog” yang potensial.

Teks dan Transmisi Islam

Kalau teks dan Islam berhubungan demikian erat, walupun tingkatannya berbeda-beda dari satu kelompok ke kelompok lain, maka sudah sewajarnya kalau teks juga memegang peranan penting dalam transmisi Islam. Islam dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, diwariskan lewat teks. Perbedaan pemahaman terhadap Islam, atau perbedaan warna Islam, sebagian besar akan bergantung pada perbedaan teks yang diwariskan. Mengapa orang-orang meng-anut mazhab Syafi’i, karena bisa jadi awalnya mereka hanya diperkenalkan kepada teks dari mazhab ini saja. Demikian juga

Page 19: jurnal lektur

Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

5

dalam sufisme dan teologi. Perbedaan teks, untuk mengungkap-kannya secara sederhana, telah melahirkan perbedaan kelompok beragama.

Bahwa teks memegang peranan kunci dalam penyebaran Islam juga bisa dilihat di dalam lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyebaran Islam, yaitu pesantren. Kegiatan pesantren (terutama di pesantren salaf yang belum terkena modernisasi) terpusat pada kajian teks yang terkenal dengan ‘kitab kuning’. Mayoritas pesantren di Indonesia, terutama di Jawa, sampai sekarang masih mempertahankan ciri khas ini. Perbedaan ciri khas pesantren ditentutkan oleh perbedaan jenis teks yang dikaji, seperti tafsir, nahwu dan hadis.

Dalam kajian teks tersebut, pimpinan pesantren atau kiai memainkan peranan kunci. Dalam tradisi sorogan, seorang kiai akan membaca teks tertentu di hadapan santri-santrinya. Teks inilah yang akan menjadi modal utama santri-santri tersebut ketika kelak keluar dari pesantren. Hubungan antara teks, kiai dan santri tersebut sedemikian penting sehingga di kalangan pesantren ada semacam keyakinan bahwa “Barang siapa yang membaca teks tanpa guru, maka gurunya adalah setan.” Dengan kata lain, tidak ada teks tanpa kiai dan, sebaliknya, tidak ada kiai tanpa teks. Tidak mungkin santri belajar Islam tanpa teks dan tanpa kiai.

Di dunia Islam secara keseluruhan hubungan antara teks dengan ulama dalam transmisi Islam bukanlah hal yang istimewa. Hubungan murid-guru dibangun di atas teks. Guru akan mengajarkan teks tertentu kepeda murid-muridnya dan ketika muridnya sudah dipandang mampu, sang guru akan memberikan ijazah, atau semacam lisensi, kepada sang murid untuk mengajarkan teks tersebut. Dan, demikian seterusnya. Rentetan pengijazahan dari satu guru ke murid yang lain ini biasanya dicatat di awal teks dalam bentuk silsilah.

Filologi di Kalangan Ulama

Ketika mesin cetak belum ditemukan, transmisi teks dilakukan secara manual. Artinya, kalau ada yang ingin memiliki buku, maka dia harus menyalinnya sendiri atau meminta orang lain untuk melakukannya. Kita mengenal ada beberapa orang yang persis bekerja sebagai penyalin buku dan menjadikannya sebagai sumber

Page 20: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

6

penghidupan. Tetapi bisa jadi, karena jarangnya orang yang bisa menulis, ada saat-saat dimana para penyalin menjadi sangat sibuk sehingga terbuka untuk melakukan kesalahan. Hisyam bisa dengan mudah tertulis Hasyim2 atau, mungkin karena penulisnya ngantuk, Dam b. Rabi’ah menjadi Adam b. Rabi’ah 3 dan Aqram menjadi Arqam.4

Faktor-faktor lain bisa membuat kesalahan tersebut semakin sering dilakukan. Pertama, teknologi yang sangat terbatas. Tidak ada komputer, listrik, telepon, dan AC pada masa itu. Menyalin buku menjadi perkerjaan yang bisa jadi tidak nyaman. Kualitas penerangan yang kurang membuat mata cepat lelah. Iklim yang demikian panas membatasi orang untuk bekerja maksimal. Kedua, stabilitas sosial politik pada masa itu tidak sebaik seperti sekarang. Para penyalin ikut menjadi korban peperangan. Paling tidak kon-sentrasi mereka terganggu. Ketiga, faktor perkembangan bahasa. Bahasa Arab pada masa itu adalah bahasa Arab yang masih dalam proses perkembangan. Gigi dan titik belum dipakai secara konsisten sehingga sulit dibedakan mana ba, ta dan £a, misalnya. Perbedaan baca di antara para penyalin menjadi hal yang tak terelakkan. Teks yang dihasilkan menjadi bebeda antara satu dengan yang lainnya.

Keempat, faktor idiologis juga berperan penting dalam per-ubahan teks. Dikatakan bahwa Asy’ab b Ummu Humaidah lahir pada tahun 9 H/630 M atau pada masa Nabi. Ini menurut informasi dari Abu al-Faraj. Tetapi, menurut informasi lain dari beberapa jalur yang berbeda, yang menurut Ibn Hajar (wafat 852 H/1449 M) lebih kuat, dia ternyata lahir pada saat ‘Usman terbunuh (yaitu tahun 35 H/656 M). 5 Perubahan tanggal lahir itu bisa jadi karena kelalaian penulis atau penyalin teks, tetapi bisa jadi juga lebih dari itu. Menjadi orang yang dilahirkan pada masa Nabi jauh lebih penting dari orang yang dilahirkan pada masa ‘Usman. Bukankah Nabi pernah menyampaikan bahwa masa yang terbaik adalah masa Nabi itu sendiri kemudian masa sesudahnya kemudian masa

2 Ibn Sa’d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar al-Sadir, n.t), 4:386. 3 Ibn Sa’d, Tabaqat, 4:343. 4 Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah (Beirut: Dar al-

Kitab al-‘Arabi, n.d.), 1:125. 5 Ibn Hajar, al-Isabah, 1:130.

Page 21: jurnal lektur

Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

7

sesudahnya? 6 Lahir pada masa Nabi bukan hanya penting karena dia lahir pada masa yang terbaik tetapi juga, dalam periwayatan hadis, dia menjadi mungkin bisa bertemu dengan sahabat-sahabat besar bahkan bisa meriwayatkan hadis dari mereka.

Kalau keragaman teks tidak bisa dihindarkan, maka pada da-sarnya setiap ulama pada masa itu adalah seorang filolog. Dia mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan yang kebenarannya sangat bergantung pada ketepatan teks dan kebenaran membacanya. Dia adalah tempat bertanya masyarakat, menjadi pusat produksi dan reproduksi ilmu, pusat verifikasi teks, dan bisa jadi masyarakat awam meyakini bahwa masuk surga atau tidaknya mereka akan bergantung kepada para ulama ini. Para ulama, dengan demikian, harus sangat hati-hati dalam memilih dan membaca teks. Berbagai versi harus dibaca dan dibandingkan, mana di antara teks-teks yang ada itu yang paling bisa dipercaya.

Kajian antarteks menjadi suatu keniscayaan. Kita mengenal dalam hadis, misalnya, adanya ‘kutub al-sittah’ atau ‘buku yang enam’ dan ‘kutub al-arba’ah’ atau ‘buku yang empat.’ Suatu hadis yang ditemukan dalam keenam buku hadis lebih kuat dari pada hadis yang hanya ditemukan dalam empat buku hadis. Dalam hadis juga dikenal dengan ‘rawahu al-syaikhan’’ atau ‘diriwayatkan oleh dua orang syaikh’, yaitu Bukhari dan Muslim. Istilah-istilah ini hanya mungkin kalau kajian antarteks sudah berkembang kuat. Adalah juga kehendak untuk mendapatkan teks yang benar-benar bersih para ulama mengembangkan berbagai disiplin ilmu. Sebut saja misalnya jarh wa al-ta‘dil dan rijal al-hadits, yaitu suatu disiplin ilmu yang dikembangkan untuk menilai kualitas informasi dan akurasi teks berdasar pada penilaian kritis terhadap orang-orang yang terlibat dalam transmisi informasi dan teks tersebut.

Lewat kajian antarteks, informasi yang ada dalam satu buku dicek di buku yang lain. Muhammad b. Ishak (wafat 150 H/767 M) dan Muhammad b. ‘Umar (wafat 207 H/822 M) menulis buku tentang orang-orang yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia) (hijrah Nabi yang pertama), dan memasukkan nama ‘Ayyasy b. Abi Rabiah ke dalam daftar orang-orang yang ikut hijrah tersebut. Ibn

6 Al-Bukhari, Sahih (Cairo: Maktabat ‘Abd al-Hamid Ahmad Hanafi, tt.), 1:

8, 9; 3: 171; 8: 91, 141-2.

Page 22: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

8

Sa‘d (wafat 230 H/845 M) lalu mengecek nama tersebut di buku yang ditulis oleh Musa b. ‘Uqbah (wafat 141 H/758 M) dan Abu Ma’syar (wafat 170 H/786 M), dan nama ‘Ayyash ternyata tidak ada. 7 Dengan cara yang sama (kali ini membandingkan teks yang ditulis oleh Musa b. ‘Uqbah, Muhammad b. Ishaq dan Muhammad b. ‘Umar), Ibn Sa’d juga menemukan bahwa Musa b. ‘Uqbah melakukan kesalahan penulisan nama, yang semestinya al-Aswad b. Naufal b. Khuwailid ditulis menjadi Naufal b. Khuwailid. Ibn Sa’d juga tahu bahwa nama ini tidak muncul dalam buku Abu Ma’syar.8

Skripturalis/Fundamentalis dan Filolog

Di atas dikatakan bahwa Al-Qur’an dan hadis sebagai teks kunci telah melahirkan banyak teks. Teks satu dengan teks yang lainnya ini terhubungkan dengan seorang figur dan silsilah (geneologi). Ada geneologi guru dan ada geneologi teks, dan kualitasnya berbeda-beda. Buku yang diwariskan lewat guru A-B-C misalnya lebih baik daripada buku yang diwariskan lewat A-B-D.

Tekanan yang demikian besar terhadap geneologi mengisyarat-kan bahwa dalam transmisi teks tersebut ada sesuatu yang stabil, yang harus dijaga keasliannya. Prinsip ini sangat menolong bagi filolog sebab sekali dia mampu mengidentifikasi apa ‘yang stabil’ atau apa ‘yang harus senantiasa dijaga keasliannya’ tersebut maka dia akan mudah membaca teks yang sangat korup sekalipun. ‘Yang stabil’ akan selalu ditemui dalam berbagai teks. Memang benar bahwa ‘apa yang stabil’ jenis dan kadarnya akan berbeda-beda dari satu kelompok ke kelompok lain. Tetapi, sekali ditemukan dalam satu kelompok tertentu, maka filolog akan terbantu dalam membaca teks yang ditulis atau menjadi ciri dari kelompok tersebut.

Di dunia Islam, baik masa lalu maupun sekarang, dikenal adanya dua kelompok besar: skripturalis atau fundamentalis dan esensialis. Kelompok skripturalis adalah mereka yang berkeyakinan bahwa (1) Islam adalah agama yang sempurna dan jelas yang mengatur semua aspek kehidupan kita dan, oleh karena itu, tidak diperlukan adanya penafsiran ulang; (2) Memang masyarakat selalu

7 Ibn Sa’d, Tabaqat, 4:383. 8 Ibn Sa’d, Tabaqat, 4:379.

Page 23: jurnal lektur

Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

9

berubah-ubah, tetapi perubahan itu harus senantiasa dicocokkan dengan Al-Qur’an dan hadis, bukan Al-Qur’an dan hadis yang harus dicocokkan dengan perubahan masyarakat; (3) Al-Qur’an dan hadis adalah sumber utama Islam dan semua persoalan harus benar-benar sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis; (4) Akal dan tradisi lokal sifatnya nisbi dan, oleh karena itu, tidak bisa dipakai sebagai sumber nilai; (5) Masa Nabi dan para sahabatnya adalah masa yang paling sempurna yang harus dijadikan model bagi setiap masya-rakat Muslim kapan pun dan dimana pun.

Pandangan kelompok esensialis berbeda sama sekali dengan pandangan kelompok ini. Mereka percaya bahwa (1) Islam memang agama sempurna tetapi kesempurnaannya bersifat minimal dan untuk memaksimalkannya diperlukan usaha dan pikiran masyarakat Muslim, (2) Masyarakat selalu berubah-ubah dan oleh karena itu Islam harus dilihat secara dinamis, (3) Al-Qur’an dan hadis adalah kebenaran yang diekspresikan dalam ruang dan waktu tertentu dan oleh karena itu harus dilihat konteksnya, (4) Akal dan tradisi lokal harus dipakai sebagai sumber yang berharga dalam formulasi hukum dan ajaran Islam, (5) Masa Nabi dan para sahabatnya adalah masa yang paling sempurna untuk zamannya dan tidak boleh dipahami secara literal.

Perbedaan pandangan di antara kedua kelompok di atas mela-hirkan teks yang sama sekali berbeda sifatnya. Teks di kalangan skripturalis relatif stabil. Karena Islam dipandang sempurna, karena Al-Qur’an dan hadis dianggap selesai, dan karena masa Nabi dan sahabatnya dipandang ideal, maka yang ditemukan dalam teks yang diproduk oleh kelompok ini adalah potongan-potongan informasi yang diambil dari Al-Qur’an, hadis dan sirah (perjalanan hidup) Nabi dalam jumlah besar. Akibat dari tekanan terhadap penafsiran dan tradisi lokal yang begitu besar, maka unsur baru dalam teks menjadi minimal. Walaupun ditulis dalam waktu dan tempat yang berbeda, bisa diasumsikan bahwa teks di kalangan kelompok ini relatif sama. Kutipan-kutipan Al-Qur’an, hadis dan sirah Nabi dan para sahabatnya akan dominan dan setiap ketidakjelasan yang ada dalam teks yang korup bisa segera diisi oleh filolog dengan mem-baca teks standard (Al-Qur’an, hadis dan sirah Nabi).

Kalau kadar stabililitas dalam teks-teks tradiosionalis sangat tinggi, maka teks yang diproduk oleh kalangan esensialis sangat

Page 24: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

10

labil. Dia lebih beragam baik di tingkat kelompok maupun individu. Mu’tazilah, kelompom rasional Muslim yang terkenal dalam seja-rah Islam, misalnya, terdiri dari banyak sub kelompok yang berbeda satu sama lain, dan pada sub kelompok tersebut perbedaan antar individu sangat kentara. Masing-masing mereka melihat Islam, Al-Qur’an dan hadis serta sirah Nabi sebagai suatu teks yang sangat terbuka. Berbeda dengan kalangan skripturalis, yang memandang makna sebagai ‘sesuatu yang diberikan oleh teks’, kalangan rasio-nal memandang makna lebih sebagai ‘sesuatu yang harus dicari dan diberikan oleh pembaca’. Membaca bukanlah proses menerima teks secara pasif, tetapi lebih merupakan proses intrograsi yang sangat cair, dimana pembaca dan teks bisa ditempatkan secara sejajar dan oleh karena itu dialog antara teks dan pembaca menjadi sangat intens. Hasil dari dialog itu adalah warisan teks yang sangat dinamis dan beragam.

Sesunggunya kalangan skripturalis/fundamentalis telah membuat pekerjaan filolog lebih mudah. Filolog yang ingin cepat selesai diusulkan untuk tidak memilih teks-teks yang ditulis oleh kalangan rasionalis.

Studi Kasus: Membaca Dokumen Ikrar Abad ke-14 di Jerusalem

Disebutkan di atas bahwa salah satu cara membaca teks yang sudah korup adalah dengan cara menggunakan teks yang sudah established sebagai patokan. Tentu saja Al-Qur’an dan hadis adalah teks Islam yang paling stabil. Tidak terlalu sulit untuk mentranskrip naskah Al-Qur’an atau hadis, atau teks yang mengadung banyak sekali kutipan Al-Qur’an dan hadis. Teks berikutnya yang relatif lebih mudah digarap adalah teks yang ditulis oleh kelompok sriptu-ralis atau fundamentalis. Dibanding teks yang ditulis kalangan esensialis, teks yang mereka buat relatif lebih mapan dan lebih seragam dari satu periode ke periode lain dan dari satu tempat ke tempat lain sehingga lebih mudah dibandingkan.

Prinsip yang sama bisa dipakai untuk membaca teks-teks Islam pada umumnya. Teks-teks Islam bisa diklasifikasi ke dalam lima kelompok besar: 1) sejarah, 2) teologi, 3) sufisme, 4) filsafat dan 5) hukum. Di antara kelima kelompok tadi, yang paling tegas dan rinci adalah hukum. Hukum Islam diformulasikan dan dirumuskan oleh para ulama sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kebi-

Page 25: jurnal lektur

Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

11

ngungan dan mudah diikuti. Hukum cenderung rinci dan kaku. Orang-orang skripturalis dan fundamentalis cenderung menekankan pentingnya aspek hukum ini sehingga mereka dikenal dengan ‘legal minded Muslims’. Tidak heran kalau, seperti halnya buku-buku yang ditulis oleh kalangan fundamentalis, teks yang ditulis oleh kalangan ahli hukum juga lebih stabil, homogen dan rinci. Bagi filolog, ini adalah berita baik. Teks yang mereka dapatkan akan lebih mudah ditranskrip.

Dua contoh teks akan dikemukakan di sini untuk menunjukkan: (1) bahwa Islam (seperti halnya agama lain) sangat instrumental dalam melahirkan teks, (2) teks yang ditulis oleh ahli hukum relatif lebih mudah dibaca karena lebih stabil.

Al-Qur’an menegaskan perlunya catatan dalam transaksi:

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendikte-kannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktu-nya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah/2:282)

Kalau bagian pertama tulisan ini menegaskan hubungan antara

Islam dengan teks pada level yang lebih besar, maka ayat ini (yang sengaja dikutip secara keseluruhan) contoh yang baik bagaimana

Page 26: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

12

hubungan Islam dengan teks tersebut juga bekerja pada level yang lebih kecil dan detil: Al-Qur’an meminta penganutnya untuk melakukan transaksi secara tertulis.

Memang benar, di dalam hukum Islam tradisional, kesaksian lisan lebih penting dari kesaksian tulis, tetapi para ahli hukum Islam memberikan perhatian yang serius terhadap cara membuat dan menggunakan dokumen-dokumen tertulis untuk kepentingan hukum. Mereka mengembangkan satu jenis literatur yang disebut syurut, yaitu sejenis manual yang bisa dijadikan pegangan bagi para notaris dalam melakukan fungsinya. Ia berisi berbagai jenis kontrak yang bisa dipilih oleh para notaris sesuai dengan kebutuhan. Kontrak-kontrak tersebut sebetulnya lebih berupa sebuah blanko atau formulir yang dibuat sedetil mungkin sehingga semua syarat dan tuntutan syariah Islam bisa dipenuhi. Yang dilakukan oleh para notaris adalah memilih mana di antara blanko-blanko tersebut yang cocok dengan kasus yang dia hadapi dan mengisi bagian-bagian kosong yang sudah disediakan dan meminta dua saksi untuk menandatanganinya (seperti tuntutan ayat Al-Qur’an di atas).9 Salah satu blanko kontrak yang dibuat para ahli hukum Islam dalam buku-buku syurut tersebut adalah blanko untuk membuat ikrar, 10 yaitu suatu bentuk pengakuan atau pernyataan yang dibuat oleh seseorang yang secara hukum mengikat bagi orang tersebut. Dalam manual syurut tersebut para ahli hukum lalu merinci dengan detil apa syarat-syarat membuat ikrar dan kata-kata apa saja yang harus dicantumkan dalam dokumen oleh si pembuat ikrar. Oleh karena itu, bentuk dan isi ikrar relatif stabil.

Pada tanggal 19 Agustus 1974-5, di Museum Islam di al-Haram al-Syarif di al-Quds ditemukan sekitar 900 lembar kertas transaksi atau catatan pengadilan yang berasal dari abad ke-14 M di Jerusalem. Penemuan ini merupakan salah satu penemuan terpenting dokumen Islam abad pertengahan, sejajar dengan penemuan manuskrip di Geniza Cairo dan St Catherine bukit Sinai. Donald P. Little, guru besar di Institute of Islamic Studies, McGill

9 Jeanette A. Wakin, The Function of Documents in Islamic Law (New York:

University of New York Press, 1972), 10. 10 Lihat Y. Linant de Bellefonds, ‘Ikrar’ dalam The Encyclopaedia of Islam

(Leiden: E.J. Brill, New Edition).

Page 27: jurnal lektur

Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

13

University datang ke Jerusalem dengan sebuah tim untuk mendokumentasikan dan membuat mikrofilm-nya. Beberapa tahun kemudian Little menerbitkan katalog dokumen tersebut: menjelaskan isi masing-masing dokumen secara garis besar dan mengklasifikasikannya. Di antara lembaran-lembaran kertas tadi ada dokumen ikrar (yang jumlahnya sekitar 90 lembar).

Dokumen no. 289 dan no. 184 adalah dua di antara enam dokumen ikrar yang dibaca dan dianalisa oleh Huda Lutfi, salah seorang murid Little di McGill University. 11 Secara garis besar dokumen no. 289 berisi pengakuan Fatimah bt. ‘Abdullah bt. Muhammad bahwa dia tidak memiliki klaim apa-apa lagi terhadap mantan suaminya Syeikh Burhanuddin Ibrahim b. Zainuddin Rizqullah, salah seorang sufi di Khanqah al-Salahiyyah di al-Quds al-Syarif. Selain berikrar bahwa dia tidak punya hak apa-apa lagi—termasuk maskawin dan biaya pakaian, Fatimah juga mengakui bahwa mantan suaminya tersebut telah memberinya sejumlah uang untuk biaya anak selama tiga bulan setengah sesuai dengan tuntutan syariah. Ikrar ini dibuat di depan saksi pada tanggal 4 Syawal 782 (atau 2 Januari 1380) di depan dua orang saksi Ahmad al-ªaki dan Abdullah b. Sulaiman.

Dokumen 184 berisi pengakuan Fatimah bt. Fakhruddin ‘Usman b. Zainuddin ‘Umar al-Hamawiyyah, mantan suami Nasiruddin Muhammad al-Hamawi penduduk al-Quds al-Syarif, bahwa dia menerima uang perak sejumlah 375 dirham dari mantan suaminya untuk biaya ketiga anak mereka Ahmad, Salma dan Sarah, yang dibayar secara bertahap dari uang wakaf sekolah al-Salahiyyah. Ikrar ini dibuat pada tanggal 2 Ramadan 789/14 Agustus 1389) di hadapan dua orang saksi ‘Ali b. ‘Ilwi Muhammad dan Ahmad b. Muhammad al-Muwwa’ani.

Tanpa bantuan literatur syurut, dokumen-dokumen ini sangat sulit dibaca. Saya sendiri pernah ikut membaca dokumen-dokumen itu dan adakalnya saya membutuhkan lebih dari seminggu hanya untuk membaca satu baris teks dalam sebuah dokumen. Saya juga pernah meminta bantuan seorang Arab (yang kebetulan berasal dari

11 Huda Lutfi, “A Study of Six Fourteenth Century Iqrars from al-Quds

Relating to Muslim Women,” in Journal of the Economic and Social History of the Orient, 25: 246-294.

Page 28: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

14

Palestina tempat dokumen tersebut ditemukan) untuk membacanya. Dia juga tidak bisa. Saya tidak bisa membayangkan begaimana Little bisa membaca hampir 900 dokumen serupa dan menganalisa isinya satu persatu, walaupun hanya dalam garis besar. Dua minggu kemudian, baru saya tahu bahwa dalam membaca dokumen-dokumen tersebut dia sangat terbantu oleh buku syurut yang ditulis oleh al-Asyuti, Jawahir al-‘Uqud wa Mu‘in al-Qudat wa al-Syuhud, 2 jilid (Kairo, 1955). Al-Asyuti, yang hidup di Mesir pada abad 9 H/15 M, dalam buku tersebut berusaha menggambarkan praktek administrasi hukum yang berlaku pada masanya.

Seperti dijelaskan di muka, dokumen-dokumen ini pada dasarnya merupakan catatan transaksi dan peristiwa yang terjadi di Jerusalem pada abad ke-14 atau satu abad sebelum al-Asyuti menulis kitab manualnya. Pengalaman membaca dokumen-dokumen tersebut menunjukkan bahwa, walaupun terpisahkan selama satu abad dan, walaupun al-Asyuti hidup di tempat yang relatif jauh dari Jerusalem, blanko dokumen hukum yang dibuat al-Asyuti sangat cocok dengan dokumen-dokumen yang ditemukan di Jerusalem tersebut. Ini adalah isyarat bahwa memang buku-buku hukum relatif lebih stabil.

Dalam buku manualnya, al-Asyuti memberikan beberapa petun-juk tentang tata cara membuat dokumen ikrar. Antara lain, dia menyatakan bahwa dokumen harus diawali dengan basmalah (menulis ‘Bismillahir-rahmanir-rahim’) dan diakhiri dengan hamdalah (menulis ‘Alhamdu lillahi rabbil-‘alamin’). Ikrar harus dibuat dalam bentuk orang ketiga (harus aqarra kalau laki-laki dan aqarrat kalau perempuan). Nama si pengikrar harus dicantumkan dengan jelas termasuk nama bapak dan kakeknya, nama kehor-matannya dan seterusnya. Kalau dia perempuan, maka nama suaminya atau mantan suaminya harus dicantumkan. Benda atau persoalan yang diikrarkan harus dinyatakan dengan jelas (jika uang berapa jumlahnya, bagaimana membayarnya, dan seterusnya). Dokumen harus mencantumkan tanggalnya dan ditandatangani oleh dua orang saksi.

Bimbingan al-Asyuti tersebut sangat membantu ketika kita membaca dokumen ikrar tadi. Kalimat pertama, setidakjelas apa pun, pasti basmallah. Kata pertama setelah basmallah adalah aqarrat (karena yang membuat ikrar perempuan). Setelah itu pasti

Page 29: jurnal lektur

Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

15

nama orang yang membuat ikrar. Bagian berikutnya adalah yang paling sulit dibaca: persoalan atau benda yang sedang diikrarkan. Bagian akhir pasti terdiri dari tanggal, hamdallah dan nama dua saksi. Dalam menuliskan runtutan isi dokumen tersebut ada kata-kata hukum yang baku yang pasti muncul dalam ikrar, yaitu “iqraran syar’iyyan fi sihhatin minha wa salamah wa jawazi amr (ikrar yang sesuai dengan tuntunan syara’, dibuat dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan secara hukum dalam keadaan mampu melakukan transaksi).” Kedua ungkapan ini ditemukan dalam dokumen no. 289 dan 184 (dengan satu kata tambahan, yaitu tau’an [artinya, tidak dalam keadaan terpaksa] setelah syar’iyyan). Tanda tangan saksi diawali dengan “syahida ‘ala .... bi dhalik (telah bersaksi atas .... dengan hal itu).”

Walaupun al-Asyuti menegaskan bahwa setiap dokumen harus ditulis dengan tulisan yang bagus agar mudah dibaca, dokumen 289 dan 184, dan semua dokumen yang ditemukan di Jerusalem ini, ditulis dengan tulisan tangan yang sangat jelek. Mungkin harus diingat bahwa pada abad ke-14 di Jerusalem buta huruf masih tinggi. Karena tidak banyak orang yang bisa menulis, maka orang awam yang ingin menuliskan ikrarnya harus meminta bantuan orang lain. Sangat mungkin pada masa itu ada orang-orang yang memang pekerjaannya menuliskan dokumen (dengan berpedoman pada manual syurut). Mungkin karena terlalu banyak pesanan (karena jumlah yang bisa menulis sangat terbatas), para penulis itu bekerja sembarangan. Tetapi bisa juga karena sebab lain. Para penulis itu mungkin berpikir bahwa, karena orang awam itu tidak bisa membaca, pada akhirnya para penulis itu juga yang harus membacakannya di pengadilan (kalau terjadi apa-apa dan perkara-nya sampai ke pengadilan). Dengan kata lain, para penulis itu pada dasarnya menulis tidak untuk dibaca oleh orang yang memiliki dokumen tetapi untuk dibaca oleh mereka atau kawan-kawan seprofesi mereka sendiri. Untuk itu, tulisan tidak mesti bagus.

Sampai saat ini, sumber penulisan sejarah Islam Timur Tengah masih didominasi oleh buku-buku sastera (literary soursces). Para penulis buku ini menyodorkan realitas kepada kita secara subjektif. Merekalah yang memilih buat kita peristiwa apa yang akan dimunculkan, aktor mana yang akan ditonjolkan dan informasi dari siapa yang harus dipakai. Bias politik dan kultural dari para penulis

Page 30: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

16

tersebut sangat berpengaruh terhadap mutu gambar sejarah yang dimunculkan. Dalam konteks ini, dokumen bisa memberikan informasi yang sangat berharga. Berbeda dengan sumber-sumber sastera, dalam dokumen kita disodorkan data mentah. Kitalah yang menseleksi dan menafsirkan data-data tersebut. Sayangnya, tidak banyak dokumen yang tersedia dan juga tidak banyak ilmuan yang tertarik menghabiskan waktunya berminggu-minggu hanya untuk membaca dua atau tiga buah dokumen.

Selain kondisi dokumen yang biasanya sulit dibaca, ada tan-tangan lain yang harus dihadapi ilmuan kalau dia ingin menulis sejarah dengan menggunakan dokumen. Untuk mengkonstruk sebuah realitas diperlukan banyak sekali dokumen (bisa ratusan kadang ribuan lembar). Dari dua dokumen yang kita baca, ada beberapa informasi yang menarik. Misalnya tentang jumlah nafkah yang diberikan suami kepada mantan istrinya, jumlah anak yang dimiliki suatu keluarga dan model distribusi wakaf. Banyak pertanyaan bisa dikembangkan. Misalnya, berapa rata-rata anak yang dimiliki satu keluarga di Palestina pada abad ke-14? Berapa rata-rata penghasilan keluarga? Mengapa dalam dokumen no. 184 disebutkan bahwa naf-kah anak-anak dari perkawinan Fatimah dengan Nasiruddin dibayar oleh dana wakaf? Apakah karena dia miskin? Bukankah dia bergelar al-sitt al-masunah, yang mengisyaratkan bahwa dia berasal dari keluarga terpandang?

Dokumen-dokumen yang saya baca berhubungan dengan pengelolaan tanah wakaf: bagaimana dikelola, bagaimana sistem administrasinya, bagaimana sistem pembagiannya, buah-buahan atau tanaman apa saja yang ditanam, berapa kali panen dan dapat berapa kilo sekali panen, bagaimana mekanismenya kalau terjadi konflik pembagian hasil, dan seterusnya.

Dari potongan-potongan informasi yang ditemukan di setiap dokumen, setelah membaca ratusan atau ribuan dokumen, akhirnya kita bisa menulis sejarah sosial yang sangat bagus. Dibaca secara keseluruhan, dokumen Jerusalem bisa dijadikan bahan untuk meng-konstruk realitas sosial masyarakat al-Quds al-Syarif di Jerusalem. Berasal dari tempat yang sama, dan dalam rentang waktu yang panjang, kemungkinan besar akan ada nama-nama yang berkali-kali muncul sehingga kita bisa meruntut sejarah kehidupan mereka dengan baik. Mirip seperti yang dilakukan oleh S.D Goitein yang

Page 31: jurnal lektur

Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

17

menulis A Mediteranian Society: The Jewish Communities of the Arab World as Potrayed in the Documents of Cairo Geniza (Berkeley: University of California Press, 1967-78). Potongan infor-masi yang dia temukan dalam ribuan lembar dokumen, dia susun menjadi 3 jilid narasi tentang ekonomi (jilid 1), masyarakat (jilid 2), dan keluarga (jilid 3). Dalam jumlah yang sangat besar, dokumen Geniza berbahasa Yahudi yang ditulis dalam tulisan Arab. Hanya mereka yang menguasai bahasa Yahudi dan bahasa Arablah yang bisa membacanya. Ini membuat pekerjaan filolog lebih sulit lagi.

Catatan Pamungkas

Pertama, masyarakat Muslim dan, terutama, lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam memiliki peluang yang sangat besar untuk menggali manuskrip dan dokumen yang berkenaan dengan masyarakat Islam yang kini masih belum tersentuh baik yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di dalam dan di luar negeri maupun yang masih tersebar di kalangan masyarakat. Menjadi Muslim berarti mereka terhubungkan dengan relitas dan ajaran yang mendasari lahirnya teks dan dokumen. Hubungan model ini sangat penting dimiliki filolog untuk bisa menghayati dan memahami teks.

Kedua, sebuah teks harus ditempatkan dalam konteks besar yang melahirkannya. Dalam tradisi Islam, teks, mulai dari yang sangat stabil sampai ke yang sangat labil, dalam banyak hal men-cerminkan sikap atau pandangan keagamaan tertetu. Bagi seorang filolog adalah penting untuk terlebih dahulu mengidentifikasi teks dengan kelompok-kelompok keberagamaan yang ada dalam Islam. Secara umum bisa dikatakan bahwa teks yang diproduk oleh kalangan skripturalis/fundamentalis, dan dalam kadar tertentu tradisionalis, jauh lebih stabil dibanding teks yang ditulis oleh kalangan rasional. Karya-karya yang ditulis oleh para ahli hukum Islam juga relatif lebih stabil dibanding karya-karya yang ditulis para filosof atau sufi misalnya.

Ketiga, walaupun sulit, membaca dokumen di Timur Tengah nampaknya lebih ‘mudah’ dibanding membaca dokumen sejenis di Indonesia. Pengetahuan saya tentang kekayaan manuskrip Melayu sangat terbatas, tetapi saya punya kesan bahwa ada jenis-jenis literatur yang sangat membantu dalam membaca dokumen (atau

Page 32: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

18

manuskrip) yang tidak ditemukan di dalam literatur yang tumbuh di Nusantara. Misalnya, di dunia Islam Timur Tengah berkembang literatur yang berhubungan dengan biografi orang (Rijal atau Tabaqat) yang jumlahnya sangat besar dan beragam, yang disusun berdasar-kan tahun wafat, tempat tinggal, keahlian, kualitas orang, keadaan fisik, dan seterusnya; yang berhubungan dengan suku dan geneologi (kalau ingin tahu nama-nama suku yang ada di Hijaz misalnya bisa dilihat di Ibn al-Kalbi, Jamharat al-Nasab); dan yang berhubungan dengan tempat (misalnya karya Yaqut, Mu’jam al-Buldan). Literatur-literatur ini sangat menolong untuk mengidentifikasi kata-kata yang ada dalam dokumen yang sangat sulit dibaca. Dalam dokumen no. 289, ada kata ‘al-Khaliliyah.’ Jika kita ragu tentang bacaan kata ini, kita bisa melihat di buku Yaqut. Dalam bahasan tentang ‘Palestina’, kita akan menemukan nama-nama tempat dan desa yang ada di Palestina sehingga ‘gambar’ kata di dokumen itu bisa diidentifikasi. Demikian juga kalau kita kesulitan membaca kata yang ada di ujung nama orang yang ada dalam sebuah doku-men. Kemungkinan besar dia adalah nama suku orang itu. Kalau kita membaca dokumen yang ada di Hijaz, misalnya, kita bisa mencari nama daftar nama suku yang ada di wilayah ini. Tidak mudah memang, tapi tetap sangat membantu. Sayangnya literatur bantu semacam ini tidak tumbuh di Nusantara.

Keempat, kajian Islam di Timur Tengah sudah berusia lanjut. Di samping banyak sekali literatur yang diproduk oleh kalangan sarjana Muslim sendiri, baik yang hidup pada masa klasik maupun modern, sarjana-sarjana modern (baik di Barat maupun di Timur) juga banyak menghasilkan karya-karya penting dalam jumlah besar. Artinya, satu potong dokumen yang ditemukan di Musium Islam Jerusalem sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi keilmuan atau sistem informasi yang kaya dan mapan. Dikepung oleh banyak informasi, sepotong dokumen itu akhirnya tidak sendirian lagi. Bahwa model dokumen yang ditemukan dalam buku al-Asyuti ternyata sangat cocok dengan model dokumen yang ditemukan di Palestina adalah salah satu contoh yang baik bagai-mana kekayaan tradisi keilmuan bisa membantu membaca suatu kalimat dalam sebuah dokumen. Kajian Islam di Indonesia belum mencapai tahapan ini.[]

Page 33: jurnal lektur

Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

19

Daftar Pustaka

al-‘Asqalani, Ibn Hajar. T.t. al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi

Brockelmann, Carl. Geschichte der arabischen Litteratur. (Leiden: Brill, 1937-42, 1943-1949), 2 jilid dan 3 jilid supplement;

Al-Bukhari. T.t. Sahih. Kairo: Maktabat ‘Abd al-Hamid Ahmad Hanafi.

de Bellefonds, Y. Linant, ‘Ikrar’ dalam The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, New Edition.

Ibn Sa’d. T.t. Kitab al-Tabaqat al-Kubra. Beirut: Dar al-Sadir.

Lutfi, Huda, “A Study of Six Fourteenth Century Iqrars from al-Quds Relating to Muslim Women,” in Journal of the Economic and Social History of the Orient, No. 25.

Sezgin, Fuat, Geschichte des arabischen Schrifttums (Leiden: Brill, 1967 - ), 9 jilid.

Wakin, Jeanette A. 1972. The Function of Documents in Islamic Law. New York: University of New York Press.

Page 34: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

20

The Fihrist: A 10th Century A.D. Survey of Islamic Culture Pengarang : Abu 'l Faraj Muhammad ibn Ishaq al Nadim

Penerjemah (Inggris) : Bayard Dodge Penerbit : Great Books of the Islamic World, Kazi Publications

Jumlah halaman : 1149; Jilid: Hardcover

Sumber: http://islamicbookstore.com/b7581.html

Page 35: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

21

Perang dan Damai di Aceh: Kajian atas Manuskrip Aceh tenang Konflik dan Solusinya1

Fakhriati Puslitbang Lektur Keagamaan, Jakarta

Pendahuluan Sejarah Aceh adalah cerita panjang tentang perjalanan suatu

suku bangsa yang diwarnai pergolakan demi pergolakan di antara cerita kebesaran dan kejayaan yang pernah dicapainya. Letak

1 Artikel ini telah dipresentasikan pada Konferensi International tentang

Aceh and Indian Ocean Studies II Civil Conflict and Its Remedies, yang dikelola oleh Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore (NUS) bekerjasama dengan International Center for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), 23–24 Februari 2009, di Banda Aceh. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Prof. Anthony Reid, sebagai koordinator konferensi ini yang telah mengundang Penulis untuk hadir dan mempresentasikan paper ini pada konferensi tersebut.

Aceh is a region which has a number of populations with their life fluctuation. Their life had been colorized by peace and war which can be regarded as part of their life history. Internal and external conflicts were appeared in different period.

These situations have strong connection with character and behaviour of the Acehnese. Fanatic in their religion is an important factor to push to the situation. Afterward, protective to their ethnics and fatherland is another factor to motivate and to defend themselves from any other threat come from. Apart from this, the way of the Acehnese associated with the others becomes a factor to create peace in Aceh land.

One of the sources for those above life history of the Acehnese is manuscripts as their own writing. These sources become by far the most important sources since they provide the original information, behaviour and attitude from the Acehnese. Consequently, the new generation can directly read and understand on the Acehnese writings as primary sources. This paper tries to find and analyse these primary sources in relation with war and peace occurred in the life history of the Acehnese, from 17th to 20th centuries. The main question that should be answered is how the Acehnese solve their conflict in life, and what their character and behaviour were in the past.

Kata kunci: Manuskrip, Ulama, Islam, Jihad, konflik

Page 36: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

22

geografis wilayah Aceh yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia di sebelah barat, Asia Selatan serta Selat Malaka di bagian utara dan timur memberikan nilai tersendiri secara eko-nomis maupun politik bagi kerajaan-kerajaan Aceh masa lampau. Posisi wilayah yang demikian terbuka memberikan akses yang mudah untuk membangun hubungan dengan dunia luar, demikian juga kekayaan alam serta kesuburan tanahnya memberi andil besar bagi kemajuan Aceh. Masuknya para pedagang Arab dan Gujarat selain dipandang telah membawa agama sebagai pedoman hidup bagi masyarakat Aceh, kehadiran mereka juga turut mendorong semaraknya perdagangan yang memajukan perekonomian Aceh.

Puncak kejayaan Kerajaan Aceh pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, saat mana wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh me-lampaui tanah Aceh (Zainuddin, 1961:299-305), telah mampu memberikan kemakmuran dan kenyamanan tidak saja bagi masya-rakat Aceh, tetapi juga bagi masyarakat luar Aceh di bawah kekua-saannya (T. Iskandar, 1958:78). Setelah itu tiba saatnya kejayaan tersebut mengalami kemunduran seiring dengan banyaknya ancaman dari luar maupun gangguan dari dalam. Kekuatan politik peme-rintah secara perlahan mulai memudar dengan masuknya kekuatan asing. Bahkan tidak itu saja, gangguan dari kalangan internal kera-jaan juga turut menggerogoti wibawa pemerintah. Situasi ini tidak saja berdampak politis, tetapi juga mempengaruhi kinerja bidang ekonomi serta dunia pendidikan bersama hilangnya sejumlah besar intelektual agama (ulama) yang disegani dan menjadi panutan masyarakat.

Dinamika perjalanan panjang sejarah Aceh tersebut berjalan sedemikian rupa seraya semakin mempertegas karakter masyarakat Aceh yang terkenal fanatik, terbuka, ramah, tetapi keras. Pada tahap awal hubungan Aceh dengan dunia luar, khususnya dengan para pedagang Arab dan Gujarat, rakyat Aceh tidak hanya merasa berhutang budi karena para orang asing tersebut telah mendorong perkembangan perdagangan, tetapi juga karena telah mengembang-kan Islam di kalangan masyarakat Aceh yang berfungsi sebagai pedoman hidup mulai dari tingkat individu, bermasyarakat hingga bernegara. Rakyat Aceh menjadi sedemikian menyatu dengan Islam dan (tentunya) dengan dunia Arab. Berkat dorongan para ulama, dunia keilmuan maju sedemikian pesat. Hal ini semakin menambah

Page 37: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

23

hormatnya masyarakat kepada para ulama, sehingga di hampir setiap daerah kecil memiliki ulama kebanggaan tersendiri. Salah satu penghargaan mereka terhadap Islam adalah keyakinan mereka bahwa budaya Aceh adalah budaya Islam dan mereka berusaha komitmen terhadapnya. Siapa saja yang dinilai berusaha menggero-gotinya akan dicap sebagai musuh bangsa Aceh dan juga musuh Tuhan.

Salah satu kebesaran Aceh yang dapat disaksikan hingga kini adalah bahwa suku bangsa ini mampu merekam sendiri setiap tahap perkembangan yang terjadi pada dirinya, termasuk berbagai peristiwa perang dan pergolakan lainnya. Banyak dokumen dan arsip yang telah merekam kejadian-kejadian penting yang terjadi pada pada momen-momen penting masa silam. Seperti halnya Belanda dengan gigihnya melaporkan segala kejadian harian pada saat mereka berada di daerah Aceh. Dokumen dan arsip yang kaya tentang Aceh sekarang banyak yang disimpan di negeri Belanda. Namun demikian, ada sisi lain yang perlu mendapat perhatian serius dari para peneliti untuk melihat dan mengkaji lebih intensif dan detail adalah tentang karya-karya tulis yang dihasilkan dan dimiliki oleh orang Aceh sendiri. Sehingga pengalaman langsung dari setiap peristiwa yang terjadi di bumi Aceh dan sikap dari orang pribumi menghadapi dan mengatasi kejadian-kejadian yang ada dapat diketahui dengan jelas.

Salah satu karya yang menjadikan tulisan orang Aceh asli sebagai sumber primer adalah kajian Alfian Ibrahim pada tahun 1998 yang berjudul Perang di Jalan Allah. Namun kajiannya hanya berfokus kepada perang melawan Belanda. Sejauh ini belum ada karya yang menjadikan manuskrip sebagai bahan analisis dasar untuk mengkaji konflik yang terjadi di Aceh. Tulisan ini mencoba mengisi kekosongan ini dengan melihat dan menganalisis manuskrip Aceh, untuk mengetahui sikap dan prilaku orang Aceh yang tertulis dalam tulisan mereka sendiri.

Studi ini mencoba menjelajahi perjalanan sejarah Aceh dari abad ke-17 sampai abad ke-20 M. Pemilihan periode ini didasarkan atas tiga alasan; Pertama, sejauh ini banyak ditemukan manuskrip berkisar pada periode ini. Kedua, konflik internal dan eksternal mulai tumbuh dan berkepanjangan. Ketiga, Aceh dalam rentang waktu ini berada pada masa perang yang cukup panjang. Dengan

Page 38: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

24

demikian makalah ini diharapkan dapat memberi wawasan yang lebih luas dan mendalam tentang kondisi perang dan damai yang dialami langsung oleh orang Aceh pada masa lalu, dan tentang sikap mereka dalam menghadapinya untuk mencapai kedamaian.

Budaya Orang Aceh 1. Permainan dan Hiburan Rakyat

Dari sejumlah permainan rakyat yang dimiliki orang Aceh, sebagian besar di antaranya memiliki unsur heroisme. Perdebatan dan perlawanan yang mendidik para pemainnya untuk memperta-hankan dan membela diri adalah salah satu unsur yang dapat mendorong perlawanan bila mereka diganggu oleh pihak lain. Berikut beberapa permainan yang bersifat mendidik untuk bela diri dan berperang. a. Permainan meukrueng-krueng, yaitu permainan yang dilakukan

oleh kaum muda laki-laki dengan mengambil lokasi di pinggir sungai. Permainan ini terdiri dari dua kelompok–biasanya terdiri dari kaum muda dari dua kampung—yang berdiri pada sisi yang berlawanan. Dalam permainan ini, satu kelompok berusaha mendorong kelompok yang lain yang dianggap sebagai lawan untuk menjatuhkan ke tanah. Di lain pihak lawannya harus menangkap pendorong untuk dijatuhkan juga sehingga salah satu harus ada yang tidak bisa kembali ke garis pembatas awal, sehingga dinyatakan kalah. Saling dorong-mendorong ini pada akhirnya menciptakan perkelahian dan tidak boleh dibantu oleh siapa pun agar permainannya murni dan keberhasilan yang dicapai adalah atas usaha sendiri si pemain. Namun demikian, permainan ini biasanya tidak dapat dilepaskan begitu saja oleh pihak yang berwenang, karena dapat menciptakan perkelahian yang serius dan menimbulkan pepe-rangan yang lebih luas. Karena itu permainan ini harus disaksi-kan oleh para pemuka masyarakat yang sekaligus bertindak sebagai wasit untuk mencegah perkelahian (Hurgronje, Vol II, 1997:145).

b. Permaian prajuritan, yaitu permainan bentuk lain yang mendidik para pemain untuk bisa berperan menjadi prajurit dalam perang. Mereka dilengkapi dengan senjata tiruan yang dibuat dari pelepah kelapa untuk rencong dan pedang, dan bedil

Page 39: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

25

dari pelepah palem. Kemudian mereka saling mengadukan kemampuan berperang sehingga ada yang mengalah karena kelelahan.

c. Permainan meulho (bergulat). Permainan ini dilakukan dengan cara memancing lawan, yaitu dengan meletakkan daun di kepala pemain lalu dijatuhkan. Hal ini mengandung makna penghinaan telah dilakukan oleh pihak lawan, karena daun tersebut mengandung makna sesuatu yang berharga telah diletakkan di atas kepala lawan lalu dengan serta merta kepalanya ditempatkan di bawah. Kepala adalah sesuatu yang harus berada di atas bukan di bawah. Karena itu kemarahan terjadi dari pihak lawan dan keduanya mulai melakukan meulho. Pertandingan menjadi seru bila kedua belah pihak dapat melukai salah satunya dan akhirnya dapat menjatuhkan lawan (Hurgronje, Vol II, 1997:140).

d. Tarian-tarian yang dilakukan orang Aceh juga mengandung unsur heroik di dalamnya. Tarian yang cukup populer di kalangan rakyat Aceh adalah tarian seudati, rapa’i, dan saman. Tarian-tarian ini berpangkal pada praktik tarekat dalam ajaran tasawuf dan kemudian berkembang menjadi hiburan tarian yang disenangi rakyat banyak. Bila diperhatikan, isi dan gerak yang dilakukan di dalamnya, para penari dari waktu ke waktu bertambah semangat dengan isi bacaan yang semakin hangat. Dalam rapa’i, peserta yang melakukan rapa’i menggunakan senjata tajam yang pada waktu ektasi dapat melukai diri sendiri. Sedangkan dalam tari saman, peserta duduk membaca isi ratib saman, lama-kelamaan bacaan menjadi semakin cepat dan tubuh peserta mulai bergerak ke sekeliling peserta lainnya. Sementara dalam tarian seudati, pemain duduk untuk membacakan isi seudati yang semakin lama semakin cepat bacaan dan gerak mereka (Djajadiningrat, 1934:648-649; Hurgronje, Vol. II, 1997:158-184). Isi bacaan dalam setiap tarian tersebut pada umumnya mengandung doa dan ajaran akan pentingnya berperang di jalan Allah, untuk pembelaan agama dan tanah air. Dalam isi ratib rapa’i terlihat bahwa setelah dimulai dengan pujian kepada Allah dan syekh sufi, penari membaca doa memohon kepada Allah agar mereka memperoleh kemenangan dalam perang sabil.

Page 40: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

26

Ja Allah prang thabilellah – ja bantu prang thabilellah2

“Ya Allah di sana ada perang sabil kami mohon bantuan-Mu, Ya Allah untuk perang sabil”.

2. Lapisan Sosial

Masyarakat Aceh tidak dibangun di atas strata sosial berda-sarkan tingkat kemuliaan keturunan dan penghormatan kepadanya. Lapisan sosial pada masyarakat Aceh dibangun berdasarkan nostalgia kesejarahan dan berdasarkan peran mereka dalam masyarakat, yaitu; a. Masyarakat umum, mereka adalah rakyat biasa. b. Kaum hartawan (orang kaya), mereka yang memiliki banyak

harta. Mereka banyak berperan dalam hal penyumbangan dana untuk kemaslahatan sosial.

c. Kaum bangsawan (uleebalang), yaitu orang Aceh yang memiliki leluhur sultan dan uleebalang, dengan gelar teuku bagi laki-laki dan cut bagi perempuan.

d. Keturunan Nabi (habib), keturunan dari Mekah, yaitu mereka yang datang ke tanah Aceh menyebarkan Islam. Mereka dan keturunannya bergelar habib dan syarifah.

e. Kaum cendikiawan agama (ulama), mereka berasal dari rakyat biasa. Karena mereka berhasil mendapatkan ilmu agama selama merantau, maka mereka mendapat gelar teungku. Peran mereka sangat diharapkan masyarakat untuk dapat menyelesaikan masalah masyarakat dalam kaitannya dengan agama (Syamsuddin dkk, 1978:144; Sulaiman dkk, 1992:65-66; Tippe, 2000:3). Selain susunan lapisan sosial di atas, masyarakat Aceh hidup

dalam kelompok-kelompok yang disebut dengan gampong, yaitu terdiri dari beberapa keluarga inti. Dalam gampong terdapat tiga bentuk pemimpin, yaitu keuchik (kepala kampung), teungku, dan ureung tuha (tuha peut). Keuchik memiliki peran sebagai pemimpin yang memelihara akan adat, dan mengembangkan kehidupan beragama di kalangan rakyat. Sedangkan teungku berperan dalam menegakkan hukum Islam dan mengajarkan umat untuk ilmu-ilmu agama. Sementara ureung tuha adalah sekelompok orang tua yang

2 Manuskrip, Cod. Or. 8184 (1), p. 57.

Page 41: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

27

dihormati masyarakat yang berperan sebagai penasehat (Sulaiman dkk, 1992: 66-68; Raliby, 1980:43-44). Kelompok ureung tuha ini terdiri dari empat atau lebih orang pemuka masyakarat yang di dalamnya termasuk teungku yang banyak mengetahui bidang agama. Mereka menjadi tumpuan pemimpin dalam masyarakat dalam penyelesaian segala masalah yang dihadapi dalam gampong, baik peradilan, militer, maupun agama. Keputusan mereka sangat diharapkan oleh berbagai pihak, terutama oleh pemimpin gampong dan bahkan uleebalang yang memimpin nanggroe (Vleer, 1978:4-5).

Gampong kemudian tunduk kepada kelompok yang lebih besar yang disebut dengan mukim. Mukim ini dipimpin oleh seorang imuem dan qadi yang diangkat oleh uleebalang. Selanjutnya, wilayah uleebalang sendiri adalah nanggroe yang terdiri dari tiga mukim atau lebih. Ia dibantu oleh qadi nanggroe. 3 Kemudian, di atas nanggroe, terdapat kerajaan yang dipimpin oleh seorang sultan dibantu oleh seorang qadi didasarkan kepada undang-undang Aceh yang bersumber pada ajaran Islam dan berciri khas keislaman yang tinggi (Usman, 2003:45). Di antara struktur masyarakat Aceh tersebut yang masih bertahan hingga sekarang adalah gampong dan mukim, sementara yang lain sudah tidak ada lagi.

3. Agama

Islam telah masuk ke Aceh tidak lama setelah agama ini berkembang di Arab. Masuknya Islam di wilayah ini dikenal jalan damai melalui para pedagang. Kehadirannya yang selektif dan adaptif atas unsur-unsur adat istiadat yang dinilai tidak menyalahi ajaran Islam membuat masuknya agama ini cukup berhasil di Aceh. Orang Aceh telah berhasil menyatukan agama dengan adat sehingga dalam setiap adat selalu terdapat nilai-nilai keislaman. Untuk menggambarkan kesatuan agama dan adat ini, orang Aceh membuat pepatah:

3 Di samping nanggroe, terdapat sagoe di bawah pimpinan panglima sagoe

yang merupakan federasi dari beberapa nanggroe. Wewenang sagoe hanya terbatas pada kepentingan bersama antara beberapa orang uleebalang. Fungsi panglima saggoe hanya bersifat memberi masukan kepada uleeblang. Ia tidak memimpin secara otonom, dalam arti wilayahnya tetap berada di bawah kekuasaan uleebalang. Sagoe hanya dimiliki oleh daerah Aceh Besar. (Usman, 2003:45).

Page 42: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

28

adat ngon hukom lagee zat ngen sifeut

“adat dengan hukum (agama) adalah seperti zat dengan sifat”

Pepatah ini mengandung pengertian bahwa adat sebagai ciptaan manusia dan hukum Tuhan (agama) adalah dua unsur yang tidak bisa dipisahkan. Adat harus selalu beriringan dengan agama.

Dalam perjalanannya, Islam mengalami penguatan citra melam-paui adat istiadat, sehingga kemudian orang Aceh mengklaim adat mereka sebagai adat yang Islami, dalam arti segala adat istiadat berlandaskan agama. Fanatisme agama merupakan suatu tradisi yang sudah turun temurun untuk melangkah sesuai dengan ajaran agama. Mereka telah berhasil menjadikan adat dan agama sebagai pilar bagi kehidupan Aceh. Sultan dan uleebalang adalah dua unsur utama yang mendukung kehidupan adat, sedangkan ulama adalah unsur utama yang mendukung dan memperjuangkan peranan agama (Sjamsuddin, 1999:1).

4. Sikap terhadap Orang Asing

Orang Aceh memiliki sikap tersendiri dalam menghadapi orang asing yang datang ke negeri dan wilayahnya. Sikap yang pertama sekali ditunjukkan adalah sikap ramah dan berteman kepada siapa saja yang datang. Selanjutnya sikap seperti ini terus dipertahankan bila tamunya tetap berperilaku baik dan menjadi teman dalam bersosialisasi. Dalam manuskrip I‘l±m al-Muttaq³n karya Teungku Muhammad Khatib Langgien (salah seorang tokoh tasawuf abad ke-19 yang menjadi panutan masyarakat) terdapat penjelasan tentang perlunya memuliakan tamu. Bahkan berlandaskan pada sebuah hadis, ia menegaskan bahwa tidak menghormati tamu sama dengan perilaku syaitan (I‘l±m al-Muttaq³n, hlm. 18).

Para pengunjung dari berbagai negara telah datang ke Aceh dengan tujuan yang berbeda-beda. Tidak sedikit di antara peda-gang-pedagang Arab dan Gujarat yang juga telah membawa agama Islam memilih menetap di sana dan menjalin hubungan kekeluar-gaan dengan rakyat Aceh. Di antara para pendatang dari Arab dan sekitarnya terdapat ulama-ulama yang mengabdikan dirinya untuk mengajar di Aceh, seperti Syekh Muhammad Yamani yang dikenal dengan ulama Ilmu Usul, Syekh Muhammad Jailani ibn Muham-mad Hamid dari Gujarat mengajarkan Logika dan Ilmu Fikih (Ar-

Page 43: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

29

Raniri, dalam Bust±n as-Salat³n:33). Bahkan orang non-Muslim yang datang ke Aceh pun tetap disambut dengan baik. Sebaliknya, bila pendatang ingin menguasai dan dinilai merugikan Islam dan martabat bangsa Aceh, maka dengan tegas dan tidak segan-segan mereka akan bertindak menegur, memarahi atau mengusir, bahkan memerangi dan membunuhnya. Seperti halnya kedatangan orang Portugis ke Aceh pada awalnya diterima dengan baik, namun ketika gerak geriknya kelihatan sudah mencurigakan, maka orang Aceh mulai bertindak dengan tegas, yaitu menangkap mereka dan mengadili mereka (Mohammad Said, 1961:89). Kemudian, terjadi-lah perang sabil melawan Portugis. Sultan Ali Mughayat Syah bersama rakyat dan kerajaan-kerajaan pantai timur lainnya bersatu menggalang kekuatan untuk mengusir Portugis dari wilayahnya (Reid, 2005:2). Demikian juga dengan Belanda yang datang ke Aceh untuk tujuan membentuk wilayah jajahan. Mereka tidak pernah dapat hidup tenang dan aman selama di Aceh, meskipun mereka menetap di wilayah ini dalam waktu yang relatif lama. Orang Aceh selalu menentang dan melawan mereka meskipun secara kasat mata dengan persenjataan yang tidak seimbang, baik secara kelompok maupun individu. Orang Aceh dan Manuskrip 1. Budaya Tulis Baca Masyarakat Aceh pada Masa Lampau

Masyarakat Aceh pada masa lampau memiliki budaya yang tinggi dalam hal tulis baca. Hal ini ditandai dengan terdapatnya sejumlah manuskrip yang masih tersimpan baik di dalam maupun di luar negeri, yang ditempatkan di lembaga formal, informal ataupun dikoleksi dan disimpan oleh masyarakat setempat. Di dalam negeri, manuskrip Aceh tersebar di Perpustakaan Nasional, Universitas Indonesia, Pustaka Ali Hasymi, Museum Aceh, dan Dayah Tanoh Abee. Sedangkan di luar negeri, di antara lembaga yang menyimpan manuskrip Aceh adalah Perpustakan Universitas Leiden Belanda, KITLV Belanda, British Library, Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia, dan Univeristas Antar Bangsa Malaysia. Selain itu, koleksi dan simpanan individu masyarakat Aceh sendiri masih sangat banyak. Sejauh ini, penulis sudah mengidentifikasi lebih dari 400 manuskrip yang terdapat di Aceh Besar dan Pidie. Penulis bersama team peneliti Puslitbang

Page 44: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

30

Lektur Keagamaan, Balitbang dan Diklat Departemen Agama juga telah berhasil mengidentifikasi 49 manuskrip yang terdapat di Dayah Awe Geutah, Aceh Utara, dan masih banyak lagi manuskrip yang belum tersusun rapi dan teridentifikasi khususnya di dayah ini. Penulis juga sangat yakin, selain tempat-tempat yang disebutkan di atas, di kabupaten-kabupaten lain juga masih terdapat banyak manuskrip hasil karya pendahulu-pendahulu Aceh. Kondisi manuskrip rata-rata sangat memprihatinkan karena peyimpanan dan perawatan yang dilakukan masyarakat belum memenuhi standar perawatan manuskrip. Hampir semua pengoleksi dan penyimpan manuskrip tidak mengerti cara merawat manuskrip yang benar, hanya saja mereka tetap menyimpannya karena dinilai sebagai warisan yang sangat berharga bagi keberlangsungan hidup mereka.4

Adalah hal yang kurang tepat jika dikatakan bahwa orang Aceh adalah bangsa yang tidak suka menulis (Hurgronje, Vol. II, 1997:4). Demikian banyaknya ragam manuskrip baik isi maupun gaya sajiannya adalah bukti telah tumbuhnya tradisi menulis pada bangsa Aceh pada masa lampau. Keragaman gaya sajian maupun jenis tulisan sepertinya ditujukan untuk merangsang minat para pembaca untuk membaca tulisannya, surat-surat, seperti Surat Keputusan Sultan yang disebut dengan Sarakata, cerita fiksi dan non-fiksi yang biasanya dituang dalam bentuk hikayat, jimat, obat-obatan, selawatan, dan berbagai macam ilmu pengetahuan tertuang di dalam tulisan mereka. Para penulis manuskrip-manuskrip ini tidak segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk

4 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua kategori penyimpanan

manuskrip dilakukan oleh masyarakat setempat. Pertama peyimpan yang murni menyimpan karena mengangap sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai untuk kehidupan mereka. Seperti kasus di wilayah Samahani Aceh Besar, penyimpan mengangap bahwa dengan keberadaan manuskrip di rumahnya menjadikan rumahnya aman dari segala bahaya, terutama bahaya alamiyah, seperti gempa bumi. Menurut penulis, penyimpan seperti ini perlu mendapat penanganan khusus untuk dijadikan museum pribadi di rumah penyimpannya. Kedua adalah kolektor yang tujuan mengoleksi manuskripnya adalah untuk menjual kembali manuskrip yang dimilikinya. Dewasa ini, sebagian besar manuskrip dibeli oleh orang Malaysia dengan harga yang tinggi untuk disimpan di negaranya. (wawancara dengan beberapa kolektor di wilayah Pidie dan Aceh Besar). Merupakan sesuatu yang sangat prihatin bagi kita semua, mengingat sejumlah harta warisan kita dibawa ke luar negeri.

Page 45: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

31

melahirkan sebuah karya yang nantinya akan bermanfaat bagi pembacanya. Mereka menuangkan ide mereka, kemudian menulis dengan tinta yang pada umumnya menggunakan tinta hitam dan merah untuk mengungkapkan kata-kata atau hal-hal yang penting, bahkan kadang mereka tidak segan-segan mengeluarkan biaya besar untuk menulis dengan menggunakan tinta emas sekalipun, demi untuk menarik minat pembacanya. Salah satu contoh manuskrip yang ditulis dengan tinta emas adalah Surat Sultan Iskandar Muda, dan sebagian manuskrip Dala’il al-Khairat. Penulis manuskrip Dala’il al-Khairat menggunakan tinta emas untuk gambar peta Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, serta tanda-tanda yang menun-jukkan berakhirnya sebuah kalimat. Selain itu, saya juga pernah menemukan Al-Qur’an yang gambar iluminasinya ditulis dengan tinta emas.

Pada abad ke-16 dan ke-17 M, kemajuan ilmu pengetahuan ditandai dengan hadirnya tokoh-tokoh intelektual sufi, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, ar-Raniri, dan Abdurrauf al-Fansuri 5 . Tulisan-tulisan tentang mereka dan karya-karya mereka sudah banyak diterbitkan. Para peneliti menunjukkan perhatian serius dengan memperhatikan, mempelajari, dan meneliti segala aspek tentang mereka, sehingga banyak buku yang terbit sebagai hasil studi para ilmuan terhadap mereka.

Para ulama tersebut melahirkan berbagai karya yang mencakup berbagai bentuk ilmu pengetahuan dari ilmu tasawuf, ilmu fikih, ilmu filsafat, dan ilmu-ilmu lain, hingga masalah kepentingan umat secara umum. Salah satu contoh tokoh intelektual sufi yang turut mempedulikan setiap kepentingan negara dan umatnya adalah Abdurrauf al-Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh utama dalam tarekat Syattariah, karena ia yang pertama sekali menyebarkan tarekat ini kepada masyarakat di Nusantara. Selain menyebarkan ajarannya, ia peduli terhadap ilmu lain yang dibutuhkan oleh masyarakat di lingkungannya. Selain ia menulis tentang tasawuf yang berkisar seputar masalah tarekat Syattariyah, ia juga menulis karya lain seperti tafsir Al-Qur’an, yang berjudul Tarjuman al-

5 Penulis cenderung menyebutnya Abdurrauf al-Fansuri dari pada Abdurrauf Singkel, karena setelah diteliti, ternyata Abdurrauf adalah ulama yang berasal dari Fansur atau lebih dikenal dengan Barus, dan berkerja meniti karirnya di Aceh (Lihat Fakhriati, 2008).

Page 46: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

32

Mustaf³d, Mir’at at-°ull±b, dan penjelasan terhadap hadis-hadis, yang berjudul Hadis al-Arba‘in. Di samping itu, ia juga peduli dengan pemerintahan yang berkembang saat itu, ia memberi fatwa bahwa pemerintah yang berkuasa pada saat itu, yaitu Sultanah Safiyatuddin (1641-1676 M) adalah pemerintah yang sah dan benar dalam hukum Islam (Lihat Azra, 1995).

Namun demikian, pada abad-abad berikutnya, para peneliti dan ilmuwan kurang menaruh perhatian pada penulis-penulis Aceh. Sangat sedikit hasil kajian terhadap sosok ulama Aceh dan karya-karya mereka pada masa ini muncul. Pada abad ke-18, meskipun kondisi negeri pada saat itu kurang mendukung6, orang Aceh yang cinta tulis menulis terus menuangkan pikiran dan pengalamannya yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Mereka bahkan meng-gunakan kesempatan menulis untuk membakar semangat perju-angan melawan kebatilan yang mereka sebut sebagai kafee untuk memperjuangkan agama dan bangsanya.

Di antara para ulama yang telah menghasilkan karyanya pada abad ke-18 M, murid langsung dari Abdurrauf al-Fansuri, Faqih Jalaluddin dan Baba Daud. Faqih Jalaluddin telah menulis berbagai karya yang menyangkut berbagai masalah, di antara tulisannya adalah Asr±r as-Sulµk dan Manzal al-Ajl±. Sedangkan Baba Daud telah berhasil menyempurnakan karya gurunya, Tarjuman al-Mustafid dan juga menulis tentang Fikih, seperti Bid±yat al-Mujtah³d. Selanjutnya, seorang ulama hasil didikan Baba Daud yang telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagi umatnya adalah Syekh Nayyan. Ia telah membangun dayah yang sampai sekarang tetap berjaya dengan pendidikan dan penyimpanan kitab-kitab lama hasil karya para ulama Aceh dan luar Aceh, yakni Dayah Tanoh Abee (Baca manuskrip, karya Teungku Ismail tentang sejarah Syekh Nayyan).

Abad ke-19, adalah abad yang cukup menderita untuk rakyat Aceh, karena harus menghadapi penjajah Belanda. Kendati demi-kian, pada masa ini karya-karya hasil tulisan orang Aceh bukan

6 Kondisi kerajaan yang secara perlahan mulai melemah berikut masuknya

kekuatan asing yang berusaha meruntuhkan kekuatan kerajaan serta timbulnya persoalan di dalam negeri antara ulama dan uleebalang memberi pengaruh memudarnya semangat keilmuan. Perhatian lebih banyak tertuju pada usaha menghimpun kekuatan membela diri dan mengusir penjajah.

Page 47: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

33

semakin tenggelam, melainkan bangkit kembali dengan semakin banyaknya karya yang muncul dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah yang berbentuk cerita dalam bentuk hikayat yang mengajak umat untuk berperang melawan penjajah. Di antara para ulama yang gemar menulis dan cukup produktif pada masa ini adalah Teungku Khatib Langgien. Ia adalah tokoh tarekat, meski tidak merujuk ke-pada Abdurrauf al-Fansuri sebagai silsilahnya.7 Ia menulis berbagai masalah, seperti Mi’r±j as-S±lik³n yang menceritakan tentang praktik tarekat dan pemahaman filosofi tentang makna tasawuf, dan Daw±’ al-Qulµb yang menjelaskan tentang obat hati yang perlu dimiliki oleh setiap orang. 8 Selain itu, Teungku di Pulo adalah sosok yang cukup berpengaruh untuk masyarakatnya di Aceh. Karya-karyanya tidak hanya berkisar tentang tasawuf, melainkan juga ilmu-ilmu lain seperti fikih dan bahasa Arab. Ia juga menjadi Qadi untuk pemerintah yang berkuasa pada saat itu (Lihat Fakhriati 2005).

Pada abad ke-20, muncul ulama besar yang bernama Teungku Muhammad Ali Irsyad. Ia adalah salah satu penulis yang giat me-nuangkan pikirannya untuk kepentingan murid dan masyarakatnya. Ia memiliki juru tulis khusus bernama Teungku Rahman yang ber-tugas dengan setia melakukan segala perintahnya dalam menulis. Merupakan suatu kenikmatan tersendiri baginya untuk membuat buku baru sebagai hasil karyanya sendiri daripada menyalin kembali hasil para ulama di masa yang silam. Ia lebih cenderung menjadikan karya-karya pendahulunya sebagai rujukan daripada menyalin kem-bali. Salah satu karyanya adalah Fa‘lam annahu l± il±ha illall±h.

2. Peran Manuskrip bagi Masyarakat dalam Perang dan

Damai Manuskrip telah memberi daya tarik tersendiri pada masyara-

katnya. Ia telah menjadi teman setia bagi pembacanya di sepanjang masa, di samping ia juga menjadi tempat berpijak dan bertindak. Karya-karya para ulama menjadi pegangan bagi umatnya, lantunan hikayat menjadi kesenangan bagi masyarakat banyak. Bid±yat al-

7 Untuk penjelasan pergeseran silsilah yang terjadi dalam tubuh tarekat Syattariyah di Aceh, lihat Fakhriati 2008.

8 Sampai sekarang masih bisa dijumpai manuskrip-manuskripnya yang dikoleksikan oleh keturunannya, Teungku Amiruddin Hasan Meunasah Kruet Teumpeun.

Page 48: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

34

Mujtah³d, misalnya, dijadikan sebagai kitab wajib di setiap pesan-ren (dayah) bagi para pemula. Ilmu fikih yang tetuang dalam kitab tersebut kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi darah daging pelaksananya.

Di lain pihak, kesenangan mendengar hikayat di kalangan orang Aceh telah terjadi secara turun temurun. Snouck Hurgronje menya-takan bahwa hikayat adalah salah satu bentuk hiburan rohani yang disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat, baik rakyat biasa maupun para pemimpin, orang tua, muda, dan anak-anak sekalipun. (Hurgronje, Vol II, 1997:201). Para ulama dan orang yang berbakat membuat hikayat pun dengan segala senang hati menciptakan berbagai hika-yat untuk dibaca di hadapan khalayak ramai, seperti di lapangan, di meunasah, atau di perkumpulan-perkumpulan kecil di kedai kopi.

Hikayat-hikayat yang dibaca dengan intonasi nyanyian khas Aceh dapat memberi kesan dan pengaruh yang sangat kuat kepada para pendengarnya untuk bertindak dan bersikap seperti yang dikatakan dalam hikayat. Isi hikayat pada umumnya bersifat men-didik dan mengajari hal-hal yang bermanfaat bagi pembaca dan pendengarnya. Hikayat Prang Sabi, misalnya, telah mendorong para pembaca dan pendengarnya untuk bertindak secara langsung terjun ke lapangan mempraktikkan apa yang diceritakan dalam hikayat. Dalam peperangan melawan Belanda, misalnya, orang Aceh tidak pernah menyerah. Meskipun mereka kalah dan tidak bisa lagi melakukan penyerangan secara berkelompok, mereka masih tetap melakukan penyerangan secara individu yang dimotivasi oleh semangat prang sabi. Salah satu contoh bentuk penyerangan individual yang populer sejak tahun 1910 tersebut adalah peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pemuda Aceh terhadap tentara Belanda pada tahun 1917 di Langsa. Motivasi pembunuhan bermula dari membaca Hikayat Prang Sabi di rumahnya. (Kern Papieren, No. C. 234, p. 23-24; Kern, 1979:25-27).9

9 Perlawanan secara individu juga terjadi di tempat lain selain di Aceh. di

Pilipina misalnya, kaum Muslim Tausug melaksanakan jihad yang dikenal dengan Parrang Sabbil melawan kolonial Spanyol. Mereka melakukannya secara individu. Sebelum melakukan jihad mereka harus melaksanakan upacara mandi yang kelakukannya sama seperti mandi yang dilakukan untuk orang yang mau dikuburkan. Persiapan ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan jihad adalah orang yang akan kembali ke Hari Akhir. (Kiefer, 1973: 109-123).

Page 49: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

35

Hikayat Prang Sabi telah membangkitkan semangat jihad melawan musuh yang dianggap sebagai kafir yang merongrong Islam dan bangsa Aceh dan karenanya harus dimusnahkan. Isinya yang mengajarkan umat sesuai dengan ajaran Islam dan mengajak mereka untuk menegakkan perang adalah unsur yang mau tidak mau harus dipatuhi oleh orang yang cinta kepada agama dan bangsanya.

Selain isi manuskrip tentang ajakan untuk berperang di jalan Allah, terdapat juga isi manuskrip lainnya yang mengharap adanya suasana damai. Tidak selamanya setiap insan yang normal jiwanya di dunia ini ingin berperang, kecuali harus melaksanakannya. Cinta kedamaian adalah sesuatu yang lain yang diinginkan setiap insan. Dalam manuskrip Hikayat Prang Sabi sendiri terdapat harapan untuk mewujudkan negeri Aceh menjadi negeri yang aman dan damai.

Sabda Nabi neu yu peu Islam kafe belanda yang na tinggai dara ngen agam nak bek karam u nuraka neuboh raja lein geulanto peutimang naggro mat neraca... truh lee siat naggroe mulia (Hikayat Prang Sabi miliki Syik Jah, hlm. 33).

“Nabi bersabda agar orang Belanda yang masih tinggal di daerah Aceh diislamkan agar tidak masuk ke dalam neraka. Untuk memimpin Aceh, Nabi mengangkat raja lain yang dapat memimpin dan membina negeri Aceh... sehingga negeri Aceh menjadi mulia”.

3. Manuskrip Aceh pada Masa Kini

Manuskrip memiliki arti penting bagi generasi sekarang di Aceh. Para pemilik manuskrip–khususnya–menyimpan manuskrip sebagai sesuatu yang berharga, meskipun sebagian mereka tidak memahami isinya, bahkan tidak dapat membaca tulisan di dalamnya. Mereka mengangap manuskrip sebagai sesuatu yang dapat memberi makna mistis dalam kehidupan mereka. Dengan menyimpan manuskrip, maka kehidupan dapat berkah dan dapat terhindar dari malapetaka. Salah seorang penyimpan manuskrip, Kak Putri misalnya, memiliki keinginan menyimpan manuskrip karena ada kepercayaan dapat berlindung dari gempa bumi, sementara rumah di sekelilingnya sudah hancur berantakan, terlebih setelah sekian lama berprofesi sebagai penjual beli manuskrip dengan untung yang besar namun hasilnya tidak berkah (habis begitu saja tanpa termanfaatkan dengan baik).

Page 50: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

36

Selain itu, manuskrip juga dianggap sebagai barang warisan yang berharga dari nenek moyang mereka. Wasiat pendahulu-pen-dahulu mereka terus dipelihara dan dijaga. Syik Jah Amut misal-nya, merasa bahwa menyimpan manuskrip-manuskrip yang ia miliki sebagai warisan dari leluhurnya lebih baik daripada menyim-pan sesuatu yang berharga lainnya, seperti baju dan uang. Ia lebih mementingkan keamanan manuskrip dibandingkan dengan yang lain. Ia mendapat wasiat dari kakeknya agar tiga manuskrip yang ia miliki hendaknya selalu dibaca dan diamalkan. Ia yakin dengan kepatuhannya kepada wasiat kakeknya tersebut, ia dan keluarganya telah memperoleh hikmah, yaitu ia dan keluarganya terhindar dari serangan musuh ketika konflik Aceh terjadi, meskipun ia dan keluarga berada di tengah-tengah perang dan dikelilingi oleh pihak-pihak yang berseteru. Tidak ada satu pun dari pasukan kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha masuk ke rumahnya. Padahal rumah di sekelilingnya sudah disisir semuanya. Ia dan keluarganya berkeyakinan bahwa pengalaman tersebut adalah berkat dari me-nyimpan, membaca, dan mengamalkan manuskrip. Adapun tiga manuskrip tersebut adalah manuskrip Hiyakaye, yaitu manuskrip yang isinya dapat membuat musuh tidak dapat melihat orang yang mengamalkan isi kitab tersebut, Hikayat Prang Sabi, dan Hikayat Nuri. Ketiga-tiga manuskrip tersebut adalah manuskrip pemompa semangat untuk berjihad dan mengajarkan cara menghilangkan diri dari musuh.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada orang yang perduli terhadap manuskrip. Sering kali ketidakperdulian ini disebabkan mereka tidak dapat membaca dan memahami isinya. Pada umum-nya penduduk desa yang seperti ini tidak berani menjualnya karena takut mendapat bencana meskipun ada yang berhasrat membelinya. Sehingga mereka membiarkan manuskrip ada di rumahnya dengan menyimpan di dalam karung-karung atau peti dan meletakkan di loteng-loteng, atau mereka memindahtangankan (mereka menghin-dari istilah menjual) dengan cara barter. Bentuk-Bentuk Perang yang Terjadi di Aceh 1. Konflik Internal

Secara internal, dalam tubuh masyarakat Aceh telah terjadi beberapa kali konflik yang menelan sejumlah korban dari berbagai

Page 51: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

37

pihak. Sebelum kemerdekaan konflik telah terjadi antara ulama dan uleebalang, sesudah kemerdekaan konflik juga timbul antara mereka. Perbedaannya hanya terletak pada faktor penyebabnya.

Pada masa sebelum Belanda campur tangan ke dalam wilayah Aceh, kekuasaan sultan sudah mulai melemah. Para uleebalang mulai menunjukkan sikap tidak patuh kepada aturan-aturan sultan yang tertuang dalam sarakata. Pembagian hasil upeti yang didapat tidak dilakukan. Perilaku koruptif dengan tidak memberitahukan kepada sultan hasil pajak yang sebenarnya mulai merebak.

Pembangkangan ini ternyata disambut oleh Belanda yang ingin ikut campur ke dalam pemerintahan kerajaan Aceh. Belanda ber-usaha melenyapkan kekuasaan sultan dan mengangkat kedudukan uleebalang sebagai penguasa wilayah. Ia membagi-bagi wilayah kecil dengan penguasa uleebalang yang harus tunduk di bawah kekuasan Belanda. Di sisi lain, Belanda menekan kedudukan ulama agar tidak ikut campur dalam mengelola sistem pemerintahan. Politik saling mencurigai antara sesama atau lebih dikenal dengan politik devide at impera selalu menjadi acuan Belanda dalam usaha memperluas wilayah jajahannya.

Uleebalang pada umumnya senang dengan perlakuan Belanda tersebut sehingga ikut-ikutan untuk menekan dan menghalang-halangi gerak para ulama terutama dalam melaksanakan tugasnya menyebarkan dan melaksanakan ajaran agama. Para ulama tidak menerima tindakan demikian, sehingga konflik pun muncul ke atas permukaan. Perlawanan ulama ini digambarkan oleh Teungku Muhammad Ali sebagai berikut:

Keusalah drou hantem leumah sebab that ku’eh kafeee Ulanda Hate jih seupot beurangkajan iblih ngen syaithan di dalam dada Han jitem deunge pengajaran agama Tuhan bak Rasul Anbiya Kalam Tuhan han jitem pateh ji peusalah dum anbiya... (Sir±judd³n, h. 11). “Kesalahan diri sendiri tidak pernah nampak karena sangat jahat kafir Belanda Hatinya sudah gelap sehingga kapan saja jin dan syaitan dapat masuk ke dalam dada mereka Tidak mau mendengar pengajaran agama Tuhan pada Rasul Anbiya Mereka tidak mau mematuhi kalam Tuhan, malah menyalahkan semua para anbiya...”

Page 52: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

38

Berpegang teguh pada ajaran agama menjadi kewajiban bagi para ulama untuk mempertahankannya. Mereka mengajak pengikut-nya untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, agar selamat hidup di dunia dan akhirat.

Geutanyo bandum wahe ado bak buet Rasul ikut gata Laen bak Rasul bek ta ikot meunan patot dum peutua.. Bek tamuerakan wahe ado ngen ureung jahe aso donya Beutatakot hai ureung salek keu ureung ulok jahe donya Di ureung jahe pih jitakot keuureung salek duk lam tapa Padum-dum oreung jahe jipeujahat sabe ureung tapa Ureung yang pubuet suroh Allah jipeusalah dum ji rata Seubab hana ji sumayang wate limeung jiyu plihara Hantem jideungo firman Tuhan dalam Quran yang that mulia So na seubot nama Tuhan yanke tolan semayang gata Ureung yang na kheun kalimah tayibah yanke yang jroh taat gata (Sir±judd³n, h. 13-14). “Semua kita wahai saudara harus ikut pekerjaan Rasul Selain itu jangan ikuti karena begitulah seharusnya... jangan berteman dengan orang jahil yang suka kepada dunia takutlah hai salik kepada orang yang seperti itu orang jahil pun takut kepada orang salik yang bertapa orang yang mengikuti perintah Allah disalahkan semua karena mereka tidak salat wajib yang lima waktu tak pernah mendengar firman Tuhan dalam al-Quran mulia mereka tidak pernah mendengar firman Tuhan dalam al-Quran barangsiapa menyebut nama Tuhan dan salatlah kalian orang yang mengucap kalimah yang baik mereka itulah orang yang baik dan taat”. Pada akhir tahun 1945, yaitu setelah kemerdekaan, terjadi

kembali perang saudara antara ulama dan uleebalang yang dikenal dengan perang cumbok. Para uleebalang ingin mendapatkan kem-bali posisi di atas dalam pemerintahan sebagaimana telah mereka alami pada masa Belanda. Para ulama tidak memberi kesempatan kepada uleebalang untuk mengatur dan memerintah sementara mereka juga menginginkan kekuasaan sehingga terjadilah perang. Korban telah banyak berjatuhan dari kedua belah pihak, terutama di pihak uleebalang. Banyak di antara mereka harus lari dan pergi

Page 53: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

39

meninggalkan Aceh agar selamat dari serangan dan pembunuhan (Reid, 1979:200-204; Usman, 2003:119-124).

2. Konflik Eksternal

Perang melawan orang asing yang datang ke tanah Aceh terjadi pertama kali dengan pasukan Portugis yang ingin menguasai wila-yah Aceh. Dengan kegigihannya, Aceh mencari bantuan ke Turki untuk persiapan menghadapi mereka. Pada tahun 1509 M, pasukan Aceh di bawah komando Kuemala Hayati telah berhasil mengalah-kan Portugis yang berada di bawah pimpinan Admiral Die d’Lopez Sequeira yang berusaha menguasai wilayah Aceh Besar, Pidie, dan Pasai (Zainuddin 1961:267; Usman, 2003:115).

Kemudian perang kembali berkecamuk ketika Belanda melaku-kan agresi pertama ke wilayah Aceh pada tahun 1873. Sangat beruntung bagi orang Aceh, karena keberhasilan ada di tangan mereka dan jendral Kohler tewas terbunuh oleh rencong Aceh. Orang Aceh sangat senang atas kemenangan ini, sehingga lahir hikayat tentang tewasnya jendral Kohler. Hikayat tersebut selain menceritakan kemenangan pasukan Aceh dengan tewasnya jenderal Kohler, juga berkisah tentang peristiwa berkecamuknya peperangan serta menggambarkan bagaimana semangat juang pasukan bersama rakyat Aceh dalam perang mengusir penjajah yang menelan banyak korban di kedua belah pihak.

Perang melawan Jepang, (1942-1945) adalah perang lain yang harus dihadapi orang Aceh. Pada awalnya, Jepang menjanjikan angin surga untuk bersama orang Aceh melawan Belanda dan berada di pihak orang Aceh untuk membangun Aceh. Para pemuda Aceh direkrut untuk berada di tangga pemimpin negeri, menggantikan posisi uleebalang. Para pemuda Aceh menyambut gembira harapan yang diberikan Jepang. Mereka mengikutinya, namun mereka juga tetap waspada apa yang akan terjadi ke depan. Sehingga gerak mereka tidak lepas dari pantauan para petinggi ulama. Mereka tetap menjadikan rujukan dan membina hubungan erat dengan para ulama setempat.

Setelah merasa bahwa janji-janji Jepang hanyalah tipuan belaka, maka rakyat Aceh mulai mengerakkan seluruh kemampuannya un-tuk berperang menghadapi Jepang. Mereka melawan Jepang meski dengan senjata yang tidak sebanding sekalipun. Semangat jihad

Page 54: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

40

kembali berkobar, meski tekanan hidup lebih parah daripada yang dialami pada masa Belanda. Hikayat Prang Sabi kembali dikuman-dangkan dari berbagai tempat dan sudut untuk membakar semangat rakyat berjuang melawan Jepang sebagai kafir. Akhirnya, Jepang pergi sendiri meninggalkan Aceh setelah dikalahkan oleh Amerika dengan jatuhnya bom di Hirosima dan Nagasaki.

Pada jangka waktu perang yang singkat dengan Jepang, tidak terlihat munculnya karya-karya para ulama pada saat ini. Hal ini terjadi, kemungkinan besar karena selain masa perang melawan Jepang yang demikian singkat, juga karena seluruh kemampuan jiwa dan raga orang Aceh tercurah ke dalam perang menghadapi Jepang. Mereka hanya menggunakan kitab-kitab lama untuk dibaca dan direnungi serta diamalkan.

Kondisi-Kondisi yang Menyebabkan Perang

Dari hasil pemetaan di atas dapat dianalisis berdasarkan manu-skrip yang ada bahwa terjadinya perang di Aceh adalah karena faktor-faktor penjajahan, beda agama, dan perebutan kekuasaan.

Abdurrauf al-Fansuri adalah tokoh yang sangat kuat memper-juangkan negara melawan penjajah. Ia mengajarkan bahwa perang melawan orang kafir yang menjajah wilayah kaum Muslimin adalah wajib. Ia menyebut bahwa memerangi orang kafir adalah berbentuk perang sabil yang diridai oleh Allah. (Abdullah, 1991:131). Dalam kitab Wa¡iyyat Syeikh Abdurrauf al-Fansuri 10 terdapat ajaran Abdurrauf tentang kewajiban perang sabil. Ia mengatakan bahwa Allah melarang orang Islam untuk tunduk di bawah pemerintah kafir dan mengambil orang kafir sebagai teman. Untuk itu Allah mewajibkan umat Islam untuk melakukan perang sabil. Karena itu ia mengajak kaum Muslimin untuk bersungguh-sungguh melaksa-nakan perang sabil dan bercita-cita untuk mati syahid.

Orang Aceh sangat menghormati dan menghargai keagungan Abdurrauf al-Fansuri, sehingga ajarannya juga diamalkan. Dalam sebuah doa, terdapat semangat jihad dengan mengharapkan berkat dari Abdurrauf al-Fansuri dalam berjuang melawan Belanda.

10 Manuskrip ini disimpan di Pusat Manuskrip Melayu dengan nomor kelas

MS 1314.

Page 55: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

41

L±’il±ha’ill±h, firman Allah neuyou prang kafe. Beureukat syufa’at Nabi Muhammad bak meunang umat, beutalo kafe. Boh beudee jife bek jimeusu. Beureukat Teungku Syiah Kuala. Hatee bak puteh, iman bak teugoh. Bak Allah beh kafee Ulanda. (Manuskrip, Cod. Or. 7992 (5): 3)

“Tiada Tuhan selain Allah, firman Allah disuruh perangi kafir, berkat syafaat Nabi Muhammad agar menang umat, kalah kafir. Keluar peluru jangan bersuara. Berkat Teungku Syiah Kuala, hati harus putih bersih dan iman harus kuat. Agar Allah usir kafir Belanda”.

Selain itu, dorongan kuat dari tokoh luar Aceh juga menjadi

kondisi membangkitnya semangat orang Aceh dalam menggerak-kan perang melawan penjajah Belanda. Abdussamad al-Palembani (w. Setelah tahun 1789 M) adalah tokoh dari Palembang (Sumatera Selatan) yang telah membakar semangat jihad untuk wilayah Nusantara, khususnya Aceh. Sebagai penganut dan penyebar tarekat Samaniyyah di wilayah Nusantara, ia berjuang dengan giat melawan Belanda. Bukunya tentang kewajiban melakukan jihad bagi setiap Muslim yang sedang menghadapi musuh yang berjudul Na¡³¥ah al- Muslim³na wa Ta©kirah al-Mu’min³na f³ fa«±’il al-Ji¥±di f³ Sab³lill±h wa Kar±mah al-Muj±hid³na f³ Sab³lill±h 11 telah menjadi rujukan bagi rakyat dalam berperang. Masyarakat Aceh menggunakan buku ter-sebut sebagai pedoman mereka menulis. Salah satu manuskrip yang mengambil rujukan pada buku tersebut adalah Nasihat Ureung Meuprang dan Hikayat Prang Sabi. Karena itu, tidak heran kalau sampai sekarang manuskrip al-Palembani masih disimpan dan dikoleksi oleh orang Aceh.

Perkumpulan kaum Muslimin di Mekah juga menjadi kondisi lain untuk mendorong orang Aceh bergerak lebih radikal terhadap

11 Buku ini berisi pahala yang dicapai oleh orang yang melakukan jihad, dan

penghapusan dosa selama di dunia. Kemudian, penjelasan tentang peraturan berjihad yang terdiri dari jihad yang wajib dilakukan oleh setiap individu bila orang kafir menguasai daerah orang Muslim, dan jihad yang hanya wajib dilakukan secara berkelompok bila orang kafir masuk ke dalam wilayah mereka. Di akhir buku ini tertulis doa yang berisi permohonan kepada Allah agar Allah melindungi orang yang melakukan jihad. Kemudian dilanjutkan dengan anjuran kepada orang yang melaksankan jihad agar membaca l± ¥awla wa l± quwwata ill± bill±h tujuh kali. (Manuskrip, Cod. Or. A. 20. C).

Page 56: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

42

kaum non-Muslim. Orang Aceh yang berada di Mekah 12 menda-patkan informasi tentang kekejaman kolonial di setiap negara Muslim lainnya di dunia. Sehingga perkumpulan tersebut membuat komitmen untuk memberantas kolonial di wilayah mereka. Mereka saling mendapat dorongan untuk mencapai satu tujuan yang sama. Mereka mendengar akan kesuksesan saudara mereka dalam mem-perjuangkan negara mereka. 13 Sehingga semangat yang berapi-api mereka bawa pulang serta. Konsekwensinya mereka menciptakan gerakan melawan penjajah di daerah mereka sendiri, dan mengajak rakyatnya untuk ikut serta. Salah satu cara mereka merangkul rakyatnya adalah dengan menulis informasi yang mereka peroleh di Mekah dalam bahasa Aceh dan berbentuk hikayat, sehingga rakyat antusias membaca dan mendengarkannya.14

Manuskrip Teungku Ali Muhammad Pulo Peub yang ditulis pada abad ke-19 M adalah salah contoh manuskrip yang menarik dikaji untuk melihat kondisi yang menyebabkan terjadinya perang di Aceh. Ia, sebagai tokoh Syattariyah tidak luput mengulas sifat dan sikap uleebalang dan kafir Belanda yang menghalang-halangi kaum tarekat dalam beribadah. (Sir±judd³n, h. 8-12).

Meunan Peurintah Huleebalang dum sibarang yang peutua... Ureung salik ji peusalah menan fitnah ureng celaka (Sir±judd³n, hlm. 10) Han jibri peubut tarekat sufi seubab that dengki si celaka... Keusalah drou hantem leumah that kueh kafee Ulanda (Sir±judd³n, hlm. 11)

12 Pergi ke Mekah khususnya untuk melaksakan haji telah menjadi suatu

tradisi bagi orang Aceh khususnya dan Nusantara pada umumnya. Mereka yang memiliki cukup biaya pergi ke Mekah dan bahkan sebagian mereka menetap di sana berpuluh-puluh tahun guna menuntut ilmu agama dari para guru di tanah suci. (Bruinessen, 1990: 42-49). Teungku Muhammad Ali yang berdomisili di daerah Leungputu, misalnya, adalah seorang intelektual yang selama dua puluh tahun berada di Mekah untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Ia kemudian pulang ke Aceh dan mengabdi kepada agama dan bangsanya dengan berbagai macam cara. Di antaranya adalah dengan menuangkan ilmunya ke dalam tulisannya.

13 Lihat misalnya keberhasilan Mahdi Sudan dalam Dekmejian, 1972: 193-210: Holt, 1980: 337-347.

14 Sampai sekarang, manuskrip-manuskrip tentang hal tersebut masih disimpan oleh penduduk setempat. Salah satunya adalah simpanan Teungku Ainal Mardhiah Teupin Raya. Isi manuskrip tersebut adalah penjelasan perang yang terjadi di berbagai negara Muslim di dunia, seperti di Arab dan di Mesir. Manuskrip ini ditulis dalam bahasa Aceh dan dalam bentuk hikayat.

Page 57: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

43

“Demikian perintah uleebalang sebagai pemimpin... Orang salik disalahkan demikian bentuk fitnah orang celaka Tidak diizinkan melaksanakan tarekat sufi karena mereka sangat dengki... Kesalahan sediri tidak pernah kelihatan sangat jahat kafir Belanda” Uraian Teungku Muhammad Ali Pulo Pueb tentang ketidak-

setujuan dan sikap uleebalang terhadap ketaatan kaum tarekat dalam beribadah menunjukkan bahwa uleebalang pada masa itu telah berhasil dipandu dan didikte oleh Belanda dalam mengatur negara dan mengesampingkan para ulama. Akibatnya, hubungan ketidakharmonisan kedua pihak yang bersaudara setanah air semakin tidak terelakkan dan bahkan semakin meruncing.

Upaya-Upaya Damai

Dalam manuskrip, terdapat upaya-upaya damai yang dapat dili-hat agar setiap masyarakat dapat menikmati hidup dengan tenang dan dapat melaksanakan segala aktivitas sehari-hari demi kemajuan bangsa.

Untuk menciptakan perdamaian di kalangan masyarakat dan juga di tingkat pemerintahan, Abdurrauf al-Fansuri dengan bijak-sana menyikapi perbedaan-perbedaan pandangan antara kaum sufi yang sebelumnya telah mengarah kepada kekerasan. Ia memilih bersikap moderat dan cukup hati-hati dalam menghadapi konflik yang ada pada saat itu. Ia menulis kitab tasawuf dengan judul Tanb³h al-Masy³ yang di antara isinya adalah upaya untuk menet-ralkan pemahaman tasawuf yang telah simpangsiur pada saat itu. Di satu sisi, ia tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan penya-tuan makhluk dengan Tuhannya yang tidak ada perbedaan sama sekali. Bahkan ia sangat takut bila seseorang akan menuduhnya berada pada garis yang salah dalam tasawuf, tidak berdasarkan ajaran dari gurunya.

Bismill±hirra¥m±nirra¥³m

Q±lal faq³ru ilall±hil malikil jal³lil syaykhi ‘abdur ra’µfi anna ‘alayya wa lamma wa¡altu ila ar«il Asy³ wa k±na l³ f³h± rajulun yu¡±¥ibun³ wa yataraddadu ilayya ka£³ran wa raaytu annahu yatakallamu f³ wa¥datil wujµdi ‘ala khil±fi m± qarrarahu sayyid³ wa syaykh³l ‘±limir rabb±niyyil munfaridi f³ aw±nihi bil± £±n³ A¥mad bin Mu¥ammadil Madan³l An¡±r³yyi¡ ¢amad±n³yyisy Syah³ri bil Qusy±sy³ wa khal³fatul ‘±lamil ‘al±matil ¥ibril ba¥ril fahh±mati wahua syaykhun± Burh±nudd³ni Mul± Ibrah³m ibni ¦asanil Kµr±n³

Page 58: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

44

ra¥imanallahu bihim± wa ©±lika min ¥ay£u annar rajula lam yumayyiz baynal mur±tibi wa lam yarji’ ila taqr³ril mu¯±biqi lisyar³‘ati faakh±fu ayyunsama taqr³rur rajuli wa i‘tiq±duhu ila taqr³r³ wa i‘tiq±d³ ¥atta yukaffirun³ ba‘da waf±t³ wa ana bar³un minhu fajami‘tu h±©ihir ris±lata mustaq³nan bill±hi wa mu‘tarifan biqillatil bi«±‘ati wan na«±¥ati wa sammaytuh± bitanb³hil m±sy³ ala ¯ar³qatil qusy±syi wa faqultu bismill±hir ra¥m±nir ra¥³mi “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Syekh Abdurrauf al-Fansuri berkata: bahwa ketika saya sampai di Aceh, ada seseorang datang kepada saya berkali-kali, saya melihat ia berbicara tentang wa¥datul wujµd yang berbeda dengan apa yang telah diajarkan syekh saya Ahmad bin Mu¥ammad al-Madan³ al-An¡±r³ as-¢amad±n³ yang dikenal dengan al-Qusy±sy³ dan khalifah Alam yang luas pemahamannya yaitu syekh kami Burh±nudd³n Mul± Ibrah³m bin Hasan al-Kµr±n³ semoga Allah merahmati keduanya. Bahwa orang tersebut tidak membedakan antara tingkatan-tingkatan dan tidak merujuk kepada ketentuan syariat, saya khawatir ketentuan dan keyakinan orang tersebut dinisbahkan kepada ketentuan dan keyakinan saya, sehingga orang mengkafirkan saya setelah saya wafat, padahal saya tidak ada hubungan dengan masalah tersebut. Maka saya buat risalah ini dengan mengharap bantuan dari Allah dan menyadari akan sedikitnya perbendaharaan dan banyak kelemahan dan saya namakan buku ini dengan Tanb³hul M±sy³ ala Tar³qatil Qusy±sy³ dan saya mengucapkan Bismillahirra¥m±nirra¥³m”. (Tanbih al-Masyi yang disimpan di Tanoh Abee, h.1).

Di sisi lain, ia melarang menuduh atau mengklaim dengan

kutukan yang menyakitkan si pendengar yang mengakibatkan akan menjerumuskan diri sendiri ke dalam kata-kata yang pernah diucapkan tersebut.

Wa¥fa§ lis±naka ‘anil g³bati wa takfir fa’innahu kha¯aran ‘a§³man ‘inda rabbikal kab³r wa l± tula‘‘in akh±kal muslima fatakun minal mujrim³na yaumal qiy±mati wa l± tamda¥¥uhu ay«an fatakun minal mabgµ«³na aw mina« «±rib³na ‘unuqa akh³him. (Tanb³h al-M±sy³ versi Tanoh Abee, hlm. 32).

“Peliharalah lidahmu dari perbuatan g³bah dan mengkafirkan orang lain, karena sesungguhnya pada keduanya terdapat kesalahan besar di sisi Tuhanmu, dan jangan engkau mengutuk saudaramu yang Muslim, karena engkau akan termasuk golongan orang-orang yang berdosa pada hari kiamat, dan jangan pula engkau memujinya, karena engkau akan termasuk golongan orang yang dimurkai Allah atau golongan orang yang memenggal leher saudaranya”.

Dalam karangannya yang lain, ia juga menulis:

Dan tiadalah harus kita mengkafirkan dia, karena jikalau ada ia kafir, maka tiadalah perkataan dalamnya. Dan jikalau tiada ia kafir, niscaya kembali kata itu kepada diri kita. (Daq±’iq al-¦uruf, 392).

Page 59: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

45

Seterusnya, pada halaman yang sama, Abdurrauf al-Fansuri menjelaskan:

...dan inilah bahaya mengkafirkan itu, berlindung kiranya kita kepada Allah

dari pada kufur itu. (Daq±’iq al-¦urµf, 392). Dari ungkapan-ungkapan Abdurrauf al-Fansuri yang dituangkan

dalam tulisannya seperti tersebut di atas, maka sungguh dapat dilihat bahwa pandangan Abdurrauf al-Fansuri sangat jauh berbeda dengan pandangan ar-Raniri yang pengikut Hamzah Fansuri seba-gai pengikut wujudiyah yang sesat sehingga perlu dimusnahkan berikut kitab-kitabnya karena menurutnya mereka sudah berada pada jalan yang salah menurut agama. Sultan Iskandar Stani sangat mendukung sikap ar-Raniri, sehingga ia memerintahkan pekerja-pekerja kerajaan melakukan pembunuhan terhadap pengikut Hamzah Fansuri. Dalam kitabnya Fath al-Mubin, ar-Raniri menjelaskan:

...dan lagi kata mereka itu: al-‘alam huwa Allah, huwa al-‘alam, bahwa

alam itu Allah dan Allah itu alam. Setelah sudah demikian itu, maka disuruh raja akan mereka itu membawa tobat daripada iktikad yang kufur itu. Maka dengan beberapa kali disuruh raja akan mereka itu membawa tobat, maka sekali-kali tiada ia mau tobat, hingga berperanglah mereka itu dengan penyuruh raja. Maka disuruh oleh raja bunuh akan mereka itu, dan disuruhnya himpunkan segala kitab karangan guru mereka di tengah medan masjid yang bernama Bayt Al-Rahman. Maka disuruh oleh raja tunukan segala kitab itu.15

Pada abad selanjutnya, abad ke-18 M, tulisan Faqih Jalaluddin

Asr±r al-Sulµk juga mengandung unsur pemeliharan perdamaian dan mencegah terjadi konflik di antara pengikut tarekat yang ia dalami, yaitu dengan penguraian kata-kata sejelas mungkin dan lebih hati, sehingga tidak ada kesalahpahaman di antara pembaca.

Ketika seorang prajurit Aceh pergi ke medan perang, ia selalu mengharapkan agar dapat kembali dan bersama keluarganya lagi. Dalam salah satu manuskrip yang disimpan oleh salah seorang penduduk Pidie terdapat tulisan tentang uraian sebuah harapan dari seorang pemuda yang pergi berjihad untuk dapat kembali hidup bersama isterinya lagi. Ia sangat mengharapkan agar istrinya selalu

15 Ar-Raniri, al-Fath al-Mubin, MS dikutip dari Azra 1995:182.

Page 60: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

46

menjaga diri dan berdoa agar mereka dapat hidup bersama lagi membangun keluarga yang sakinah sepanjang hidup mereka.

Dalam masa penjajahan Belanda Teungku Id ibn Ustman masih sempat menyelesaikan tulisannya tentang bagaimana memahami tasawuf dengan benar. Menurutnya cara-cara tasawuf yang benar adalah cara pelaksanaan yang ditawarkan oleh Hamzah Fansuri. Ia sempat mendapat pengikut banyak untuk melaksanakan ajarannya. (Manuskrip Laut Makrofat Allah). Namun ajarannya ini kemudian ditentang oleh Teungku di Pulo dan kawan-kawannya. Sehingga untuk meluruskan jalan pemahaman umat, ia kemudian diusir dan bahkan dibunuh oleh masyarakat setempat. (Poerwa, 1961:16; Ishak, 1993:4). Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan rakyat dari perpecahan yang meluas akibat menyebarkan dua faham yang saling bertentangan sebagaimana yang terjadi pada masa Sultan Iskandar Tsani pada abad ke-17 M.

Karya Teungku Muhammad Ali Pulo Peub memancarkan ke-inginan untuk berdamai dengan lawannya, yaitu uleebalang dan Belanda. Kendatipun ia sangat tidak menyukai cara-cara uleebalang dan Belanda, tetapi berusaha untuk tidak secara gamblang me-nyebut perilaku uleebalang sebagai perilaku musuh yang perlu diperangi. Ia lebih memilih jalan menjauhkan diri dari ancaman mereka dan mengajak umatnya untuk tetap berada pada jalan yang benar, yaitu jalan agama yang diridai Tuhan.

Dalam tulisan Teungku Muhammad Khatib Langgien, salah seorang ulama yang cukup produktif pada masanya, dalam kitabnya Mi‘r±j as-S±lik³n menyajikan ajaran yang mengandung unsur perdamaian. Ia berusaha untuk tidak menciptakan konflik terhadap pemahaman yang berbeda dari pemikirannya yang ia tuangkan dalam tulisan. Ia menjelaskan segala hal yang menyangkut filosofi tasawuf dengan sangat hati-hati. Ia juga membuat perumpamaan-perumpamaan sebagai salah satu caranya untuk menjelaskan sesuatu yang masih kurang jelas untuk pembacanya. Seperti menjelaskan tentang perbedaan mengenal gajah dengan mengenal manusia karena berbeda bentuk dan akal, demikian juga dalam hal mengenal Tuhan tidak bisa disamakan dengan makhluknya. Dalam salah satu tulisannya ia menyebutkan:

Page 61: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

47

Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu karena mustahil dikata umpama barangsiapa mengenal ia akan gajah maka sanya ia mengenal akan manusia... (Mi‘r±j as-S±lik³n, h. 27).

Dalam menjelaskan hal-hal yang berbentuk filosofi seperti di atas, ia juga menjelaskan bahwa tingkat ini diperuntukkan kepada ahli sufi yang berada pada tingkat tinggi, dan ia memberi peringatan kepada pembacanya agar hati-hati dalam menafsirkan karena dapat menyesatkan pemahaman, seperti

...dan lagi yang demikian itu tempat tergelincir kebanyakan manusia yang tiada makrifat baginya hai salik adalah segala alam makrifat yang telah kunyatakan kepadamu ialah alam makrifat yang indah-indah dan ia yang terlebih sukar paham segala orang awam...( Mi‘r±j as-S±lik³n, h. 28).

Selanjutnya, ia juga menulis tentang obat hati, yang perlu diamalkan oleh pembacanya agar dapat hidup lebih tenang baik di dunia maupun akhirat. Sifat-sifat yang tercela dihindarkan dan sifat-sifat yang baik digunakan. Salah satu sifat yang perlu dihindarkan adalah hubb ad-dunya, karena kasih akan dunia ibu segala kejahatan (Dawa’ al-Qulµb, h. 28-29). Akibat dari sifat ini, seseorang akan terlena dengan dunianya dan tidak mau bersegera mencari bekal untuk akhirat.

Manuskrip Hiyakaye adalah sebuah manuskrip yang dikemas untuk memberi semangat hidup bagi para pembacanya. Isi manuskrip ini mengajak pembaca untuk selalu menghafal dan mengamalkan ayat-ayat tertentu agar kehidupan di dunia selamat dari kecaman apa pun, tenang dalam menjalani hidup dalam keadaan apapun.

Satu contoh lain adalah manuskrip Hikayat Abdurrahman. Manuskrip ini menguraikan cerita fiksi berjudul Hikayat Abdur-rahman. Isinya menjelaskan tentang kehidupan sebuah keluarga yang bernama Abdurrahman dan seorang anak perempuan yang salehah bernama Siti Hazanah. Kisah perjalanan hidup Siti Hazanah setelah ditinggal mati keluarganya menjadi sorotan utama dalam manuskrip ini. Ia mengalami berbagai cobaan dan penderitaan dalam liku-liku hidupnya. Ia dicaci maki, dicemohi, dijauhi dan tidak perlakukan sebagaimana karabat lain, karena tuduhan-tuduhan dari sepihak yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Mengatasi masa-lah ini, ia lebih memilih cara sabar, diam, dan hanya menyerahkan diri kepada Allah. Ia mengadakan pembelaan terhadap dirinya, bila

Page 62: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

48

ia mendapat kesempatan. Ia tidak pernah menyakiti orang lain. Akhirnya pembelaan dari pihak yang tidak diduga, yaitu dari makhluk Allah selain manusia, untuk menyatakan bahwa dia adalah orang benar dan tidak pernah bersalah. Dalam perjalanan hidupnya, akhirnya, ia mencapai tingkat sufi yang paling tinggi, yaitu makrifat Allah. Ia memperoleh kesenangan yang sangat tinggi dan selalu diidam-idamkan selama hidupnya, yaitu melihat Tuhannya. Seperti tersebut dalam teks;

Rupa po yang takalen Hate heran leumah Tuhan yankeu iman dengan makrifat Yan alamat takwa hanban. (Manuskrip Hikayat Abdurrahman, hlm. 45). “Wujud Tuhan yang terlihat Hati menjadi heran akan hadirnya Tuhan Itulah iman dengan makrifat pertanda hasil takwa yang sangat tinggi”

Penutup Catatan sejarah Aceh adalah bagian dari cerita panjang tentang

perang dan damai, di samping cerita tentang kemajuan dan kemun-durannya. Orang Aceh sesungguhnya adalah manusia-manusia yang ramah, terbuka, dan suka pada kedamaian dan ketenangan. Mereka dapat menerima kehadiran siapapun tanpa memandang ras dan agama selama ia sendiri tidak merusak hubungan baik dengan penduduk dan masyarakat Aceh. Namun, di balik keramahtamahan dan keterbukaan itu tersimpan sikap yang sangat tegas dan tidak mau tunduk atas setiap kehendak asing yang ingin menguasai atau merusak citra Aceh baik wilayah, harga diri, terlebih agamanya.

Sejarah perang Aceh selalu terkait dengan upaya mempertahan-kan wilayah, agama, dan harga diri. Untuk urusan seperti ini, orang Aceh memiliki semangat jihad atas nama agama yang sulit diredam, kecuali apa yang mereka tuju telah tercapai.

Ulama bagi masyarakat Aceh memiliki posisi sentral sebagai panutan dalam beragama, bermasyarakat, dan berjuang f³ sab³lill±h. Selain komando untuk mengusir penjajah, pada umumnya ulama yang menulis manuskrip-manuskrip Aceh mengajarkan agar men-dorong terciptanya perdamaian dalam hidup, meskipun sedang berada pada posisi menghadapi musuh. Permusuhan dan pertikaian tidak boleh diciptakan dan dimulai, tapi mempertahankan diri dan agama adalah wajib. Salah satu usaha mempertahankan diri adalah

Page 63: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

49

dengan doa-doa mujarabat, yaitu doa-doa yang ampuh untuk diba-wa kemana saja dan dapat mengalahkan segala keinginan jahat yang bertebaran di luar diri pemegang doa tersebut. Doa-doa tersebut menjadi alat pelindung bagi pemegangnya bila ia dihafal, diamalkan, dan dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Dan, ia tidak akan bermanfaat bila hanya tertulis dalam secarik kertas untuk dikantongi dan dibawa-bawa si pemegang.[]

Daftar Pustaka Azra, Azyumardi, 1995, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan. Bruinessen, Martin, 1990, “Seeking Knowledge and Merit: Indonesians on the

Hajj” dalam Ulumul Quran, Vol. II, No.5, Jakarta. Dekmejian, H. Richard dan Margaret J. Wyszomirski, 1972, ‘Charismatic

Leadership in Islam: The Mahdi Sudan’ dalam Comperative Studies in Society and Theory.

Djajadiningrat, Hoesein, 1934, Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek, Vol. 2, Batavia: Landsdrukkerij.

Fakhriati, 2005, New Light on the Life and Work of Teungku di Pulo: An Achehnese Intellectual in the Late 19th and Early 20th Centuries, Makalah dipresentasikan pada SEASREP Conference, Chiang Mai, Thailand, 8-9 Desember 2005.

-----------, 2008, Menelusuri Tarekat Syattariyah di Aceh Lewat Naskah, Jakarta: Balitbang dan Diklat Departemen Agama RI.

Holt, P. M., 1980, ‘Islamica Milleniarism and the Fulfillment of the Prophecy’ dalam The Prophecy and Milleniarism, diedit oleh Ann Williams, London.

Hurgronje, Snouck, C., 1997, Aceh: Rakyat dan adat istiadatnya, INIS. Ishak, Otto Syamsuddin, 1993, ‘Dinamika Pemikiran Keagamaan di Aceh’,

dalam Serambi Indonesia, Jum’at, 15 Januari 1993. Iskandar, Teuku, 1958, ‘De Hikayat Atjeh’ dalam BKI XXVI. Keifer, Thomas M., 1973, ‘Parrang Sabbil: Ritual Suicide among the Tausug of

Jolo’ dalam BKI, Vol. 129. Kern Papieren, No. C. 234, Bajlagen 4, Weltevreden Desember 16, 1921,

Koleksi KITLV, No. 414.

Page 64: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

50

Kern, R. A., 1979, Hasil Penyelidikan Tentang Sebab Musabab Terjadinya Pembunuhan, diterjemahkan oleh Aboe Bakar, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Poerwa, Aziz, 1961, ‘Tumbuhnya Agama Baru Indonesia’ in Sketsmasa, No. 17, Tahun IV.

Raliby, Osman, 1980, ‘Aceh, Sejarah, dan Kebudayaannya, dalam Bunga rampai tentang Aceh, Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.

Reid, Anthony, 1979, The Blood of The People: Revolution and The End of Traditional Rule in Northen Sumatra, Oxford University Press.

---------, 2007, Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Said, Mohammad, 1961, Atjeh Sepandjang Abad, Medan. Sjamsuddin, Nazaruddin, 1999, Revolusi di Serambi Mekah; Perjuangan

Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, UI Press. Syamsuddin, T., dkk, 1978, Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa

Aceh, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Sulaiman, Nasruddin, dkk, 1992, Aceh: Manusia, Masyarakat, Adat, dan

Budaya, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Tippe, Syarifudin, 2000, Aceh di Persimpangan Jalan, Jakarta: Pustaka

Cidesindo. Usman, Rani, 2003, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Vleer, A. J., 1978, Kedudukan “Tuha Peut” dalam Susunan Pemerintahan

Negeri di Aceh, alih aksara oleh Aboe Bakar, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Zainuddin, H. M., 1961, Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan, Penerbit Iskandar Muda.

Page 65: jurnal lektur

Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

51

Lampiran:

Gambar 1:

Foto Halaman Awal Naskah Hiyakaye milik Syik Jah Amut, Geulumpang Miyeunk, Pidie, Aceh

Gambar 2:

Foto Halaman Awal Naskah Teungku Khatib Langgien milik Teungku Amir Meunasah Kruet Teumpeun, Teupin Raya, Pidie, Aceh

Page 66: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

52

Gambar 2:

Foto Halaman Awal Naskah Sarakata milik Cut Manfarijah Dayah Tanoh, Teupin Raya Aceh

Page 67: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

53

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali: Sebuah Penelusuran Awal*)

Asep Saefullah dan M. Adib Misbachul Islam Puslitbang Lektur Keagamaan dan UIN Syahid, Jakarta

Pengantar

Keberadaan naskah tulisan tangan (manuskrip) di suatu wilayah, dari satu sisi dapat dianggap sebagai salah satu representasi dari lokalitas dan kekhasan wilayah bersangkutan. Dari sisi lain, ia dapat juga menjadi bukti adanya hubungan dengan wilayah lain jika ditemukan bukti-bukti lain yang menunjukkan ke arah itu. Hal ini

*) Tulisan ini semula merupakan Makalah disajikan dalam “Seminar Hasil Penelitian

Naskah Klasik Keagamaan” Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Dep. Agama, Hotel Permata Alam, Cisarua-Bogor, 22-24 Desember 2008.

This paper is a result of our research of Islamic literature in Bali in 2008. We have discovered thirty-eight manuscripts that we can classify into three categories. The fitst category refers to tweleve manuscripts made of paper. The second category is tweleve manuscripts made of palm leaf: nine of them deal with Islam, two of them about Hinduism, and one of them is difficult to read. The third category is about fourteen Qur’anic manuscripts. In regard to Islamic literature in Bali, this category is unfortunately not taken care well. Most of this category of manuscript was torn away. In terms of codicology, we can write four important things as follows. First, this Islamic manuscript uses diverse tools, like dluang, European paper, modern lined paper, and palm leaf. Second, this Islamic manuscript adopts Arabic, Malay (Jawi), Bugese, and Balinese. Third, this Islamic manuscrip was written between the seventeenth and nineteenth century, and the oldest manuscript was written in 1625 AD (1035 AH). Fourth, this manuscript includes jurisprudence, mysticism, divinity, prayer, remembrance of God, medicines, Arabic grammar, Qur’an, and story.

Kata kunci: kodikologi, kertas Eropa, dluang, lontar, Bali

Page 68: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

54

dapat ditelusuri dari berbagai informasi yang terkandung di dalam naskah itu atau dari fisik naskah.

Dalam konteks kajian keislaman di Indonesia, keberadaan naskah tersebut dapat dikaitkan dengan proses islamisasi atau perkembangan Islam yang banyak melibatkan para ulama produktif di zamannya. Dalam proses ini telah terjadi transmisi keilmuan, yang menurut Oman Fathurahman (2003: 1-2) membentuk pola dua kelompok bahasa naskah: Pertama, naskah-naskah yang ditulis da-lam bahasa Arab; dan yang kedua naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian, tidaklah menghe-rankan jika di Indonesia banyak ditemukan naskah-naskah berba-hasa Arab dan juga bahasa daerah seperti Melayu, Sunda, Jawa, Aceh, Bugis-Makassar, Bali, Batak, dan lain-lain. Sebagian naskah-naskah tersebut sudah tersimpan dengan baik di berbagai perpus-takaan dan museum, baik di dalam maupun di luar negeri, tetapi sebagian besar lagi diduga masih tersebar di tangan masyarakat. Sebagian besar naskah di luar negeri yang sudah terinventarisasi antara lain tersimpan di Malaysia, Afrika Selatan, Srilangka, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan di berbagai negeri yang lain. (Chambert-Loir dan Fathurahman: 1999).

Persoalannya, dengan demikian, adalah bagaimana kondisi nas-kah-naskah yang masih di tangan masyarakat tersebut. Masalah ini tergolong serius karena umumnya naskah-naskah tersebut kurang terawat dan sangat tua, diperkirakan ditulis pada sekitar abad ke-17-19 M dan umumnya terbuat dari kertas yang secara fisik tidak akan tahan lama. Dengan demikian, upaya penelusuran naskah-naskah di masyarakat mutlak diperlukan sebagai upaya konservasi untuk kemudian dilestarikan dan dimanfaatkan, khususnya bagi penelitian lebih lanjut atau dalam rangka mengkaji nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk merajut budaya bangsa menuju kerukunan umat beragama. Pentingnya upaya konservasi ini setidaknya disebabkan oleh dua hal: Pertama, banyaknya data penting berkaitan dengan fenomena keagamaan yang terdapat dalam naskah-naskah tersebut, dan kedua, sudah semakin rapuhnya kondisi fisik naskah-naskah tersebut seiring dengan berjalannya waktu (Bafadal dan Saefullah [Eds.], 2005: vii). Jika hal ini terus berlarut, dikhawatirkan naskah-naskah tersebut akan punah atau pindah tangan, yang pada akhirnya

Page 69: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

55

hilang juga informasi dan sumber penting tentang khazanah kebu-dayaan Indonesia.

Berdasarkan permasalahan di atas, Puslitbang Lektur Keaga-maan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI melaku-kan upaya penelusuran naskah klasik keagamaan khusus milik perorangan. Hasil temuan naskah tersebut terutama dideskripsikan dan dikaji beberapa aspek kodikologinya (istilah “kodikologi” akan dijelaskan di bawah). Buku tentang kodikologi Nusantara, terlebih naskah keagamaan, tergolong masih sedikit.1

Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini merupakan bagian dari grand design—jika dapat dikatakan demikian—prog-ram konservasi naskah klasik keagamaan Indonesia yang sedang digalakkan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan. Penelitian dilaku-kan di Provinsi Bali dan sasarannya adalah naskah-naskah keaga-maan Islam.2 Dalam makalah ini akan dibahas dua masalah berikut: 1. Seberapa banyak naskah keagamaan Islam di Provinsi Bali yang

masih berada di tangan masyarakat atau milik perorangan? 2. Dari aspek kodikologi, bagaimana kondisi naskah-naskah terse-

but dan hal-hal apa saja yang dapat diungkapkan dari temuan naskah-naskah tersebut? Adapun tujuannya, pertama, untuk mengetahui jumlah naskah

keagamaan Islam di Provinsi Bali yang masih berada di tangan masyarakat, khususnya milik perorangan, dan kedua, membuat deskripsi naskah-naskah tersebut dan mengungkapkan beberapa aspek kodikologinya serta sedapat mungkin mengungkapkan hal-hal menarik dari temuan naskah tersebut. Dari segi kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya penye-lamatan naskah keagamaan di masyarakat dan selanjutnya dapat

1 Beberapa yang dapat disebut antara lain Kodokologi Melayu di Indonesia,

karya Sri Wulan Rujiati Mulyadi (1994), Penelusuran penyalinan naskah-naskah Riau abad XIX: Sebuah Kajian kodikologi, karya Mu'jizah dan Maria Indra Rukmi (1998), Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad XIX: Naskah Algemeene Secretarie Kajian dari Segi Kodikologi, karya Maria Indra Rukmi (1997), atau beberapa tulisan berupa artikel atau tesis, seperti “Penyalinan Naskah Melayu di Palembang”, karya Maria Indra Rukmi, makalah dalam Seminar Tradisi Naskah, Lisan dan Sejarah di FIB UI (2005).

2 Pilihan ini dilakukan karena naskah-naskah lontar dipandang relatif terpelihara dengan baik.

Page 70: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

56

menjadi bahan penelitian lebih lanjut, terutama kajian terhadap isi teks dan kontekstualisasinya.

Secara metodologis, penelitian ini sebagian besar bersifat pene-litian lapangan, yakni berupa penelusuran atas naskah-naskah ke-agamaan Islam di Provinsi Bali. Data primer dalam penelitian ini berupa naskah-naskah kuno yang disimpan perorangan dan lemba-ga-lembaga sosial keagamaan Adapun naskah-naskah koleksi per-pustakaan, museum, maupun pusat dokumentasi dalam penelitian ini tidak menjadi sasaran penelusuran karena naskah-naskahnya dipandang relatif aman dan terpelihara. Penelusuran dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan naskah-naskah yang belum diinventarisasi.

Dalam menyajikan data digunakan pendekatan kodikologi.3 Secara sederhana, kodikologi dapat dikatakan sebagai ilmu kodeks (bahan tulisan tangan), yaitu ilmu yang mempelajari seluk beluk semua aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perki-raan penulis naskah (Mulyadi, 1994:2).

Dalam wilayah kajian kodikologi dikenal istilah deskripsi. Secara ringkas, deskripsi adalah upaya menjelaskan seluk-beluk naskah secara fisik. Dalam makalah ini akan disajikan pengklasifi-kasian naskah-naskah yang ditemukan di lapangan, misalnya dari segi pemilik dan tempat penyimpanan, bidang kajian (isi naskah), bahan, usia naskah, kolofon, ilustrasi dan iluminasi, dan beberapa ciri khusus yang dapat diidentifikasi. Dengan kata lain, makalah ini hanya menyajikan beberapa aspek kodikologi dari naskah-naskah keagamaan Islam yang ditemukan di Provinsi Bali.

Pernaskahan di Bali Henri Chambert-Loir dan Fathurahman (1999:51) mengatakan,

“Pulau Bali terkenal sebagai gudang sastra Jawa Kuna karena sastra Jawa yang ditulis di berbagai kerajaan beragama Hindu-Buddha di

3 Tentang kodikologi di Indonesia dapat dibaca antara lain dalam Sri Wulan

Rujiati Mulyadi, Kodikologi Melayu di Indonesia, (Depok: Fakultas Sastra UI, 1994). Ada juga buku yang sangat menarik dan relatif baru tentang kodikologi Islam, yaitu Francois Deroche, Islamic Codicology, An Introduction to the Study of Manuscripts in Arabic Script, (London: Al-Furqan Islamic Heritage Foundation, 2006), dan ada juga dalam edisi Arabnya yang terbit tahun 2005.

Page 71: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

57

Jawa Tengah dan Jawa Timur antara abad ke-10 dan ke-15, dan yang hampir punah setelah kedatangan agama Islam, masih berlanjut di Bali, bahkan hidup sampai kini.” Pernyataan ini terbukti dengan adanya sejumlah lembaga seperti museum dan perguruan tinggi di wilayah ini yang memiliki ribuan koleksi naskah. Lembaga-lem-baga tersebut antara lain Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Denpasar mengoleksi sekitar 1.416 naskah, Museum Negeri Provinsi Bali, Denpasar menyimpan 266 naskah, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar memiliki 148 naskah, Kirtiya Liefrinck-van der Tuuk (Gedong Kirtiya), Singaraja memiliki tidak kurang dari 3000 nas-kah, Fakultas Sastra Universitas Udayana mempunyai 740 naskah, dan Balai Penelitian Bahasa, Denpasar mempunyai 156 naskah, serta Balai Arkeologi Denpasar juga menyimpan tiga naskah (Chambert-Loir dan Fathurahman, 1999:54-60; terutama berdasarkan Katalog Lontar yang Tersimpan pada Instansi Pemerintah dan Swasta yang diterbitkan oleh Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali, tahun 1998). Jumlah ini belum termasuk naskah yang tersimpan pada koleksi pribadi yang diduga masih ribuan jumlahnya, terutama di puri (kediaman keluarga keturunan raja), griya (kediaman kelu-arga brahmana), dan kalangan ‘profesional’ (pemangku, dalang, balian usada atau orang-orang terdidik) (Chambert-Loir dan Fathurahman, 1999:56). Hampir seluruh naskah tersebut ditulis di atas bahan lontar sehingga sering pula disebut naskah lontar.

Di tengah “samudra koleksi naskah lontar” tersebut, di daerah-daerah tertentu di Bali ditemukan sejumlah naskah keagamaan Islam dan Mushaf Al-Qur’an kuno. Beberapa di antaranya ditulis di atas bahan dluang (kertas dari kulis kayu). Pada bulan Oktober 2008 yang lalu kami melakukan penelusuran ke pelosok-polosok pulau dewata ini. Kami menemukan 24 naskah keagamaan Islam yang terdiri atas 12 naskah ditulis di atas dluang, kertas Eropa, maupun kertas bergaris modern, dan 12 naskah lontar (naskah lontar berben-tuk geguritan; 9 naskah berisi cerita tentang tokoh Islam dan ajaran moral Islam, 2 cerita Hindu, dan 1 tidak terbaca). Di samping itu, ditemukan pula 14 Mushaf Al-Qur’an kuno, termasuk satu Mushaf ditulis di atas dluang. Naskah-naskah tersebut tersebar di beberapa kabupaten di Bali, antara lain Denpasar, Buleleng, Jembrana, dan

Page 72: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

58

Karang Asem. Dengan demikian, jumlah naskah yang kami temukan sebanyak 38 naskah.

Perlu disebutkan bahwa dalam penelusuran naskah keagamaan Islam di Bali, kami melakukan kontak dengan pihak yang dipan-dang otoritatif dalam bidang keagamaan, yaitu Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali. Kami mendapatkan informasi awal, baik dari pejabat maupun pegawai Departemen Agama Provinsi Bali tentang lokasi-lokasi dan orang-orang yang diduga menyimpan dan atau mempunyai naskah keagamaan Islam.4

Lokasi-lokasi yang selanjutnya didatangi adalah: Kampung Bugis Kepaon Denpasar dengan Masjid Al-Muhajirin; Masjid Agung Jami’ Singaraja Buleleng; Pesantren Al-Hidayah Bedugul; Pegayaman Singaraja Buleleng; Masjid Asy-Syuhada Kampung Bugis Serangan Denpasar; Kampung Islam Buitan Sidemen Karang Asem; Kampung Islam Gelgel; dan Masjid Baitul Qadim, Loloan Timur, Negara, Jembrana. Temuan Naskah dan Tempat Penyimpanannya

Naskah keagamaan Islam di Bali yang berhasil ditelusuri terdiri atas naskah pelajaran agama, seperti fikih, tasawuf, wirid dan doa, dan juga obat-obatan yang disertai doa-doa, serta hikayat yang terutama ditulis di atas bahan lontar yang disebut geguritan. Di samping itu ditemukan juga naskah-naskah Al-Qur’an kuno yang sejauh ini belum pernah didata.

Sebagaimana disebutkan, hasil penelusuran di lapangan ditemu-kan 38 naskah, termasuk 14 naskah Al-Qur’an. Berikut temuan naskah berdasarkan lokasi atau tempat ditemukannya naskah.

4 Beberapa informan awal yang kami datangi di Kanwil Departemen Agama

Provinsi Bali adalah Ketut Ariawan, SH, Kasubag Umum, Drs. Ida Bagus Nyana, Staf Urusan Agama Hindu. Mereka menyarankan kami mendatangi Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Gedong Kirtya-Singaraja-Buleleng, Karang Asem-Tradisi Tulis Lontar, Budakeling, Gianyar, dan Bangli. Informan lain Drs. H. Musta’in, Kabid Bimas Islam & P. Haji, Drs. H. M. Soleh, Kabid. Pendidikan Islam dan Pemberdayaan Masjid. Selanjutnya kami mendapat banyak informasi dari Drs. H. Ghufron, Kasi. Penamas. Wawancara, 28 Oktober 2008. Selanjutnya penelusuran dilakukan sampai dengan 2 Nopember 2008.

Page 73: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

59

1. Denpasar Di Kampung Bugis Serangan, Denpasar ditemukan 3 (tiga)

naskah milik H. Burhanuddin, dekat Masjid Asy-Syuhada, dua di antaranya beraksara dan berbahasa Bugis, dan 1 (satu) Al-Qur’an Kuno milik Bapak Marjui.5 Di Kampung Bugis Kepaon, Denpasar ditemukan 6 (enam) naskah milik H. Musthafa Amin, dan 1 (satu) naskah Al-Qur’an kuno di Masjid Al-Muhajirin.6 Di Masjid Al-Mu’awanatul Khairiyah Kampung Bugis Suwung, Denpasar, masing-masing satu naskah Al-Qur’an. 7

Di samping itu, di Yayasan An-Nur, Denpasar, ditemukan 12 naskah lontar. Menurut informasi salah seorang ustadz di PP al-Hidayah, Bedugul,8 naskah lontar yang tersimpan di Yayasan An-Nur, pada awalnya merupakan koleksi Prof. Dr. Shaleh Saidi, salah seorang Guru Besar di Universitas Udayana, Bali. Meski sudah tersimpan di Perpustakaan Yayasan, naskah-naskah lontar tersebut belum dikaji secara kodikologis9. Oleh karena itu, dalam laporan penelitian ini naskah-naskah lontar koleksi Yayasan Masjid An-Nur penting untuk didata dan disampaikan. 2. Buleleng

Wilayah yang didatangi di Buleleng meliputi Pegayaman, Singaraja, dan Kampung Jawa. Di Pegayaman, Kampung Islam di pedalaman dekat Singaraja ditemukan 3 (tiga) naskah milik Drs. Suharto. Di sini ditemukan pula 1 (satu) Al-Qur’an kuno milik I

5 Naskah ini telah diteliti oleh E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno

dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1, 2007. h. 1-18. 6 Mushaf ini sangat tidak terawat. Kondisinya tidak lengkap lagi, dan

ditumpuk dengan Al-Qur’an lain cetakan zaman sekarang. Tetapi, mushaf ini sangat menarik terutama dari segi iluminasinya yang indah dan, merujuk identifikasi Annabel Teh Gallop (2004) termasuk tipe Pantai Timur Melayu, Pattani atau Trengganu.

7 Kedua naskah ini juga sudah diteliti oleh E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1, 2007. h. 1-18. Sebelumnya, naskah ini disimpan di rumah H. Husen Abdul Jabbar. Wawancara dengan beliau pada 2 November 2008 di Loloan Timur.

8 Hadiman, Wawancara, 29 Oktober 2008, di Bedugul. 9 Semua naskah lontar koleksi Yayasan an-Nur hanya disebutkan judulnya,

dan beberapa di antaranya dijelaskan juga ukuran lontarnya.

Page 74: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

60

Wayan Ma’ruf.10 Di Singaraja, ditemukan banyak naskah Al-Qur’an kuno, yaitu di Masjid Agung Jami’. Di masjid ini ditemukan 8 (delapan) Al-Qur’an kuno (satu satu di antaranya merupakan litograf yang iluminasinya diberi pewarnaan). Di Kampung Jawa, tidak jauh dari Masjid Agung Singaraja, ditemukan 1 (satu) Al-Qur’an Kuno milik Bapak M. Zen Usman. Mushaf ini sangat menarik, karena selain ditulis pada bahan dluang, Al-Qur’an kuno ini masih lengkap, ditulis dengan khat Naskhi yang indah, dan yang terpenting mempunyai kolofon yang sangat tua, yaitu tahun 1035 H, sekitar 1625 M. 11 Sementara di Bedugul, antara Denpasar-Singaraja, menurut Hadiman, Gunawan, Syarifuddin, dan Agus, 12 konon ada naskah semacam Barzanji, tapi tidak berhasil ditemukan karena pemiliknya tidak ada di tempat dan tidak berhasil dijumpai. 3. Jembrana

Di Masjid Bait al-Qadim, Loloan Timur, Negara, Jembrana, ditemukan satu buah naskah Al-Qur’an. Naskah Al-Qur’an ini konon merupakan wakaf dari Encik Ya’qub dari Trengganu.13

10 Menurut Bapak Drs. H. Muchlis Sanusi, Lurah Kampung Bugis dan juga

Ketua Ta’mir Masjid Agung Singaraja, dan beberapa Pengurus Masjid, antara lain H. Abdurrahman Alawi, H. Abdurrahman Said, H. Hasyim Zaki, dan H. Hidayat, bahwa masjid ini sering didatangi wartawan dari berbagai media massa dan meliput salah satu Al-Qur’an kuno di sana, yang dipandang mushaf tertua di Buleleng. Akan tetapi, sejauh ini koleksi lain yang tersimpan di dalam lemari kaca belum pernah dilihat, yang ternyata seluruhnya Al-Qur’an kuno sebanyak tujuh mushaf, sehingga seluruhnya ada delapan Al-Qur’an kuno. Wawancara, 30 Oktober 2008 di Masjid Agung Singaraja.

11 Bunyi kolofon tersebut: “tamma al-qur’±n f³ yaum al-kh±mis min syahr al-mu¥arram f³ hil±li i¥d± wa ‘isyr³na ba‘da alfi sanah khamsin wa £al±£µna al-hijrah an-nabawiyyah “ (Al-Qur’an ini selesai [ditulis] pada hari Kamis dari bulan Muharram pada malam dua puluh satu pada tahun seribu tiga puluh lima [21 Muharram 1035] Hijrah Nabi).

12 Para ustadz di Pesantren Al-Hidayah, Bedugul, Wawancara, 29 Oktober 2008.

13 Naskah ini juga sudah diteliti oleh E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1, 2007. h. 1-18. Sebelumnya, naskah ini disimpan di rumah H. Husen Abdul Jabbar. Wawancara dengan beliau pada 2 November 2008 di Loloan Timur.

Page 75: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

61

4. Karang Asem Di Karang Asem, peneliti hanya mendatangi Kampung Islam

Buitan—sebuah kampung kecil yang hanya berpenduduk 25 kelu-arga. Konon di sini pernah ada naskah beraksara Bugis, tetapi karena sudah hancur, naskah-naskah tersebut dibuang. Naskah yang tersisa adalah kitab-kitab cetakan sekitar tahun 1300-an Hijriah, antara lain:

1) Kitab Sabil al-Muhtadin karya Syaikh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari, jilid 1 dan 2, dan di tepinya ada Kitab Sirat al-Mustaqim, tentang ilmu fikih karangan Nuruddin Al-Raniri (diterbitkan di Mekah, al-Matba’ah al-Miriyah al-Ka’inah, 1321 H/1903 M);

2) Kumpulan kitab dalam satu bundel terdiri dari empat kitab, a) Kitab Miftah al-Jannah tentang Usuluddin karangan Muhammad Tayyib bin Mas’ud al-Banjari, b) Kitab Usul al-Tahqiq juga tentang Usuluddin, c) Kitab Mau’i§ah li al-N±s tentang tata cara sembahyang, dan f) Kitab Tajwid al-Qur’an, pengarang ketiga kitab ini tidak disebutkan; dan pada pias halaman ada Hamisy Kitab Asrar al-Dini, (diterbitkan di Mesir, Maktabah al-Kutub al-Arabiyyah al-Kubra, t.t.);

3) Kitab Siraj al-Huda karangan Muhammad Zain al-Din bin Muhammad Badawi al-Sumbawa’i, Syarah atas Matan Umm al-Barahin karya Sanusi; dan di piasnya ada Hamisy Risalah Diya al-Murid, terjemahan Dawud bin Abdullah Fatani, Cet. Ke-6 (diterbitkan di Mekah, al-Matba’ah al-Miriyah al-Ka’inah, 1320 H/1902 M).

Ada yang menarik dari kitab-kitab ini, yaitu catatan pemiliknya, antara lain pada sampul dalam Kitab Siraj al-Huda terdapat tulisan, “Haza al-Kitab ini yang empunya Bapak Abd al-Rahman negeri Bali, Karangsem,14 Kampung Biutan As-Salam15 adanya”. Teks ini juga terdapat pada Kitab Sabil al-Muhtadin Juz I. Catatan kedua pada Daftar Isi Kitab Miftah al-Jannah, h. 44, berbunyi, “Tanda keterangan haza al-haq 16 Pak Muhammad Sa’id bin Mukhammad Ali Kusamba, Kampung Islam Pasuruan, dan membeli pada bulan Ramadan tanggal 15 hari Ahad pada tahun Zai Hijrah Nabi

14 Teks aslinya: kaf-ra-ng-syin-mim, bisa jadi maksudnya Karang Asem? 15 Sebagian orang Bali menyebut “Kampung Islam” dengan bunyi ucapan

yang terdengar adalah “Kampung Selam”. Teks dalam kitab ini juga bertuliskan “al-salam” (السالم), tapi bisa jadi dibaca “Selam”, yang maksudnya “Islam” seba-gaimana kebiasaan sebagian orang Bali, atau bias juga tetap dibaca “as-Salam” sebagaimana bahasa Arab.

16 Kata “¥aq” kadang diartikan “kepunyaan”, jadi “ha©a al-¥aq..” bisa diartikan “ini kepunyaan…”

Page 76: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

62

Sallallahu ‘alaihi wa sallam 1334 H”. Tahun 1334 H adalah sekitar tahun 1915 M.

Nama-nama di atas, menurut Abdullah, 17 salah seorang yang dituakan di Buitan, adalah para leluhurnya, dan sebagian keluarga di sana, selain berasal dari Bugis, juga berasal dari Madura. Jika demikian, bisa jadi Kitab Miftah al-Jannah khususnya dibeli di Pasuruan.

Bidang Kajian (Isi Naskah)

Dilihat dari segi bidang kajiannya, kandungan isi naskah-naskah keislaman di Bali setidaknya meliputi: Fikih, Tasawuf, Tauhid, doa, wirid, obat-obatan, tata bahasa Arab (nashwu-saraf), Al-Qur’an, dan geguritan (cerita). 1. Fikih: Dalam bidang fikih hanya ditemukan satu naskah, yaitu

“Kitab Nikah” milik H. Musthafa Amin (MA 01), dan ini pun bagian pertama dari kumpulan teks lain yang berisi tentang obat-obatan disertai doa dan wirid.

2. Tasawuf/Akhlak: Naskah dalam bidang ini ada empat, yaitu Khazinah al-Asrar serta satu naskah beraksara dan berbahasa Bugis milik H. Burhanuddin. Dua naskah lainnya milik H. Musthafa Amin, no. MA 03 dan MA 04 yang dalam teksnya tidak disebutkan judulnya. Naskah MA 04 ditulis dalam buku Letjes.

3. Tauhid/Teologi: Dalam bidang ini ada empat naskah, satu naskah milik H. Musthafa Amin, antara lain berisi tanya jawab tentang Uluhiyah (ketuhanan), satu naskah beraksara dan berbahasa Bugis milik H. Burhanuddin, dan dua naskah lainnya milik Drs. Suharto di Pegayaman, yang berisi tentang sifat-sifat Allah, wajib, mustahil, dan jaiz (satu dari dua naskah milik Drs. Suharto juga berisi teks lain yang berisi masalah fikih, milsanya tentang taharah [bersuci], tetapi naskah ini sudah bercerai berai dan tidak berjilid).

4. Wirid, Doa, dan Obat-obatan: Naskah yang berisi doa, wirid, dan obat-obatan, juga berisi wifiq, terdapat dua naskah, yaitu milik H. Musthafa Amin, nomor MA 05 dan MA 06. Dalam

17 Wawancara, Kampung Islam Buitan, Karang Asem, 2 November 2008.

Page 77: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

63

naskah MA 01 juga terdapat naskah jenis ini, yang terletak setelah “Kitab al-Nikah”.

5. Bahasa: Dalam bidang bahasa ditemukan satu buah naskah tanpa judul, milik Drs. Suharto, Pegayaman, ditulis di atas dluang, berisi tentang morfologi bahasa Arab atau ilmu sharaf.

6. Al-Qur’an: Meskipun naskah Al-Qur’an tidak sepenuhnya menjadi sasaran dalam penelitian ini, tetapi temuan ini penting karena banyak naskah baru yang ditemukan. Dari 14 naskah Al-Qur’an yang ditemukan, 11 di antaranya belum pernah diin-ventarisasi. Ke-14 naskah tersebut adalah delapan naskah Al-Qur’an di Masjid Agung Jami’ Singaraja, satu naskah di Kampung Jawa Singaraja, satu naskah di Pegayaman, dan satu naskah di Masjid Muhajirin Kapaon Denpasar, satu naskah di Masjid Al-Mu’awanatul Khairiyah Kampung Bugis Suwung, Denpasar, satu naskah milik Bapak Marjui, Kampung Serangan Denpasar, dan satu naskah di Masjid Bait al-Qodim Loloan Timur.

7. Geguritan: Sebagaimana yang dikenal secara luas oleh masya-rakat, Bali memang identik dengan Hindu, dan karenanya tradisi pernaskahan di sana pun dengan sendirinya juga tidak dapat dilepaskan dari Hindu. Meskipun demikian, hasil pene-litian lapangan terhadap naskah-naskah lontar di Bali berhasil memberikan informasi lain terkait dengan tradisi pernaskahan di Pulau Dewata tersebut. Ini dapat dilihat dari beberapa naskah lontar yang ditemukan di lapangan. Dari 12 naskah lontar yang berhasil ditemukan, dan semuanya dalam bentuk geguritan,18 sembilan di antaranya menunjukkan adanya pengaruh Islam dalam tradisi kesusastraan Bali. Berikut ini gambaran mengenai isi 1119 naskah lontar yang berhasil ditemukan:

18 Geguritan adalah karya sastra Bali yang dibangun di atas pupuh.

Sementara itu, pupuh diikat oleh beberapa kaidah yang mencakup: banyaknya baris dalam tiap bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan bunyi akhir tiap-tiap baris (Agastia, t.t.: 155).

19 Dari 12 naskah lontar, ada satu naskah yang tidak dapat dibaca. Pembacaan naskah lontar oleh Made Suparta, dosen pada Program Studi Jawa, FIB Universitas Indonesia.

Page 78: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

64

a. Cerita Islam

1). Pepalihan Gama Selam Bali. Teks ini menceritakan proses islamisasi di Bali.

2). Geguritan Semaun. Teks ini berisi cerita mengenai tokoh heroik yang bernama Sema’un pada masa-masa awal islamisasi

3). Geguritan Bagendhali. Teks ini menceritakan tokoh Bagendhali yang sangat sakti, beserta dua saudaranya: Bagenda Sulaiman dan Bagendha Alah.

4). Kidung Tuwan Semeru. Teks ini berisi cerita tentang kehidupan Nabi. 5). Geguritan Krama Selam. Tidak banyak berbeda dengan teks

Pepalihan Gama Selam, teks ini juga berisi cerita tentang proses islamisasi di Bali.

6). Geguritan Siti Badariyah. Teks ini tentang kehidupan keluarga kerajaan di negeri Arab.

7). Geguritan Amir Hamzah. Teks ini berisi cerita tentang peran Amir Hamzah dalam proses islamisasi di Nusantara.

8). Geguritan Jayengrana. Teks ini menceritakan sosok pahlawan muslim dalam melawan raja kafir. Di samping itu, teks ini juga banyak mengandung ajaran moral dan etika Islam.

9). Geguritan Jimat Teks ini berisi mistik Islam.

b. Cerita Hindu

1). Geguritan Sebun Bangkung. Teks ini berisi filsafat moral Hindu yang disampaikan secara naratif.

2). Geguritan Pan Bongkling. Teks ini berisi konsep dharma dalam agama Hindu.

Gambaran isi naskah lontar di atas secara jelas memperli-hatkan adanya pengaruh Islam dalam tradisi kesusastraan Bali, meskipun kapan dan dari mana awal mula masuknya pengaruh Islam tersebut masih perlu diteliti lebih jauh lagi, sebab deskripsi kodikologis terhadap naskah-naskah lontar di atas menunjukkan bahwa naskah-naskah lontar tersebut memang masih muda. Yang menarik, semua kolofon20 yang terdapat dalam naskah lontar itu menginformasikan adanya tahun penyalinan yang sama, yakni 1923 isaka atau 2001.

20 Dari 12 naskah lontar di atas, empat di antaranya tidak bertanggal, yaitu:

Geguritan Siti Badariyah, Geguritan Amir Hamzah, geguritan Jayengrana, dan satu naskah yang tidak dapat diidentifikasi baik judul maupun isinya karena kondisi fisiknya yang sudah lapuk.

Page 79: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

65

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Islam di Bali

1. Kondisi Naskah Naskah keagamaan Islam di Bali kurang mendapat perhatian,

tidak seperti naskah lontar yang, di samping telah banyak dikaji, juga terdokumentasi dengan baik sebagaimana dijelaskan di atas. Naskah-naskah keagamaan Islam yang ditemukan pada masyarakat umumnya tidak terpelihara dan bahkan tak terperhatikan sama sekali, seperti Al-Qur’an kuno di Masjid Al-Muhajirin Kepaon. Kondisi naskah lontar di Yayasan An-Nur memang mendapatkan perawatan, tetapi naskah-naskah lontar itu termasuk baru, karena sebagian di antaranya disalin ulang pada tahun 2000-an.

Naskah-naskah yang ditemukan di rumah H. Musthafa Amin, di Kepaon Denpasar, dari enam naskah yang dimilikinya, ada empat naskah yang relatif terbaca, tetapi hampir semuanya tidak ada yang lengkap. Satu buah naskah berlubang dimakan rayap dan satu lagi tinggal setengahnya. Demikian juga di Kampung Bugis Serangan, dari empat naskah yang ditemukan, satu naskah di antaranya dari bahan kertas modern bergaris, tetapi tidak utuh. Di Pegayaman pun demikian, empat naskah yang ditemukan sudah lapuk semua; satu naskah tercerai berai, satu naskah Al-Qur’an tidak lengkap lagi dan tengahnya berlubang dimakan serangga, dan dua naskah lainnya yang ditulis di atas dluang telah robek, terutama pada halaman belakang.

Kondisi naskah di Masjid Singaraja dan milik M. Zen Usman relatif baik. Meskipun telah disimpan dalam kotak kayu khusus, seperti mushaf kuno milik M. Zen Usman, dan di dalam lemari kaca, seperti mushaf koleksi Masjid Singaraja, di dalam tempat penyimpanan naskah itu tidak terlihat ada bahan penangkal serang-ga, seperti cengkih atau kapur barus. Sebagian besar mushaf itu juga tidak lengkap dan banyak lembarannya yang sudah terlepas, kecuali mushaf yang diduga ditulis oleh Gusti Ngurah Ketut Jelantik Selagi, salah seorang keturunan Raja Buleleng yang masuk Islam (MAJS/NQ/01), 21 dan mushaf milik M. Zen Usman yang lengkap dan kondisinya bagus.

21 Wawancara dengan Drs. Muhlis Sanusi, Lurah Kampung Islam, Singaraja,

Buleleng, 30 Oktober 2008. Hadir pula beberapa pengurus Ta’mir Masjid Agung yang lain, yaitu H. Abdurrahman Alawi, H. Hasyim Zaki, dan H. Hidayat.

Page 80: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

66

2. Bahan Bahan yang digunakan untuk menulis naskah-naskah keagama-

an Islam di Bali dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis: a) Dluang, b) Kertas Eropa, c) Kertas modern bergaris, dan d) lontar. Dari 38 naskah, terdapat tiga naskah yang ditulis di atas dluang, yaitu: dua naskah milik Drs. Suharto di Pegayaman dan satu mushaf Al-Qur’an, lengkap 30 juz, milik M. Zen Usman di Kampung Jawa Singaraja. Sebagian besar naskah lainnya ditulis di atas kertas Eropa. Beberapa cap kertas (watermark) dan cap tandingan (countermark) yang berhasil diidentifikasi antara lain kelompok Crescent, Pro Patria, Britania, dan Horn (tertera angka tahun 1825 pada mushaf di Masjid al-Muhajirin, Kepaon). Naskah yang ditulis di atas kertas Eropa berjumlah tujuh naskah.

Naskah ditulis di atas kertas modern bergaris (Letjes) ada dua, yaitu milik H. Musthafa Amin di Kepaon (MA 04) dan H. Burha-nuddin di Serangan, keduanya di Denpasar, serta satu naskah lain ditulis di atas kertas bergaris bukan Letjes milik H. Musthafa Amin. Bahan lontar digunakan untuk menyalin 12 naskah geguritan; 11 naskah menggunakan bahasa dan aksara Bali, dan satu naskah menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Bali. Semua naskah lontar tersebut milik Yayasan An-Nur, Denpasar. 3. Usia Naskah

Dilihat berdasarkan usia naskah, naskah Al-Qur’an dari Kam-pung Jawa, milik M. Zen Usman termasuk naskah yang paling tua, bahkan ia merupakan naskah Al-Qur’an tertua ketiga di Asia Tenggara. Berdasarkan kolofonnya, mushaf ini selesai ditulis pada malam Ahad, 21 Muharram 1035 H atau sekitar tahun 1625 M. 22 Naskah-naskah lain pada umumnya ditulis pada abad ke-13 H atau sekitar abad ke-18-19 M. Misalnya naskah Kitab Al-Nikah dan Obat-obatan (MA 01) milik H. Musthafa Amin menyebutkan angka

22 Mushaf tertua konon mushaf nomor MS 12716 koleksi William Marsden

di Perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London, berangka tahun Jumadil Awwal 993/1585 dan kedua adalah mushaf dari Ternate, Maluku Utara, yang ditulis oleh Al-Faqih al- Salih Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah Al-Adni, pada 7 Zulqa’dah 1005 H/1597 M. (Bafadal dan Anwar, 2005: vii-viii)

Page 81: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

67

tahun 1287 H/1870 M dan 1288 H/1871 M. Kolofon yang agak tua terdapat pada naskah Al-Qur’an MAJS/NQ/03 koleksi Masjid Agung Jami’ Singaraja, yaitu bulan Zulqa’dah 1265 H/1848 M. Demikian juga dilihat dari kertas Eropa yang digunakan. Kertas Eropa yang memiliki cap kertas pada kelompok Pro Patria, Britania, Horn, atau Crescent, pada umumnya diproduksi antara pertengahan abad ke-17 M sampai abad ke-19 M. Misalnya, dari daftar cap kertas yang disusun Heawood diketahui bahwa kertas dengan cap kertas kelom-pok Pro Patria diproduksi pertengahan abad ke-17 M (Heawood, 1986: 145-146). Cap kertas yang terlihat pada naskah MA 03 yang termasuk kelompok Names dengan cap kertas berupa: tulisan nama I Pigoizard, menurut Heawood (1986:140), diproduksi sekitar tahun 1737 atau sesudahnya. 4. Bahasa dan Aksara

Naskah-naskah keagamaan Islam di Bali setidaknya mengguna-kan empat aksara dan empat bahasa. Aksara yang digunakan adalah Arab, Jawi, Bugis, dan Bali, sedangkan bahasanya adalah Arab, Melayu, Bugis, dan Bali. Selain Al-Qur’an yang berjumlah 14 naskah, naskah berbahasa Arab hanya dua, yaitu naskah tentang morfologi Arab (saraf) dan sifat-sifat Allah dari Pegayaman. Nas-kah yang menggunakan aksara dan bahasa Bugis ada dua, yaitu milik H. Burhanuddin, Serangan Denpasar. Sementara aksara dan bahasa Bali hanya digunakan pada 12 naskah lontar koleksi Yaya-san An-Nur. Selebihnya, atau sekitar delapan naskah lainnya meng-gunakan bahasa Melayu dengan aksara Jawi. Tentang istilah Jawi, dalam naskah MA 02 disebut “bahasa Jawi”, misalnya ketika mengartikan kata “uluhiyah” dan “ilah” pada h. 10r-10v disebutkan demikian, “… dan arti uluhiyah pada bahasa Jawi ketuhanan dan arti Ilah pada bahasa Jawi Tuhan…” 5. Kolofon

Dari 38 naskah yang diinventarisasi, tidak banyak ditemukan naskah yang mempunyai kolofon. Setidaknya ada enam naskah yang berkolofon, dan dalam naskah MA 01 milik H. Musthafa Amin terdapat dua kolofon.

Page 82: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

68

Pada naskah MA 01, yang terdiri dari beberapa teks, h. 33v bagian akhir teks pertama terdapat nama kitab, yakni “Kitab Nikah” dan waktu penyalinannya. Bunyi kolofon tersebut sebagai berikut:

Haza [al-]Kitab al-Nikah [ter] Hijrah al-Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam seribu dua ratus delapan puluh tujuh (1287) pada tahun Ba alif(?) pada malam ahad waktu jim(?) pada pukul delapan pada delapan hari bulan Rabi’ al-Awwal pada ketika itulah hamba Pa Abdul A’raf sudah selesai menyuruh ini kitab di dalam negeri Badung Bali Badung adanya Kampung Kepaon 1287

Tamma wa sallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam

Pada teks kedua h. 41v, kolofonnya berbunyi:

Telah mengambil ijazah faqir a-haqir ila Allah Ta’ala Haji Hasan ibn al-Marhum al-Haj Muhammad Amin al-Din Palimbangi akan mengamalkan laqad ja’akum serta doa yang kemudian kepada Syaikhuna wa ustazuna wa wasilatuna ila Allah Ta’ala al-Arif bi Allah sayyidi al-Syaikh Muhammad Azhari ibn al-Mukarram al-Marhum Kemas Muhammad Haji Abdullah Palimbangi Nafa’ana Allah bi barakatihi wa barakat ‘ulumihi. Amin 1288 H di Ampenan Syahr [al-]Shafar.

Agak sulit menghubungkan kedua kolofon yang terdapat dalam

satu naskah ini. Kolofon pertama menyebutkan tempat penulisan di negeri Badung, Kampung Kepaon, Bali, sedangkan kolofon kedua menyebutkan Ampenan, yang bisa dipastikan di Palembang sebab yang mengambil ijazah untuk amalan dalam teks ini adalah Haji Hasan Palimbangi, orang Palembang. Satu hal yang dapat diduga adalah telah terjadi hubungan antara Palembang dan Bali sekitar tahun 1287-1288 H/1870-1871 M.

Nama Kepaon juga disebut dalam naskah MA 02. Naskah ini tergolong masih baik karena tulisannya dapat dibaca, walaupun jilidnya sudah lepas. Dalam kolofonnya disebutkan bahwa teks ditulis oleh Haji Dawud, Badung, Kepaon, di Pabeyan. Berikut bunyi kutipan kolofon pada h. 10v:

“…tammat, namanya orang menyurat ini Haji Dawud dari negeri Badung Kepaon tatkala menyurat ini di negeri Pabeyan rumah bapak Tayid23 tamat al-kalam”

23 Ba-pa-alif ta-alif-ya-dal (بفأ تايد)

Page 83: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

69

Kolofon lain ditemukan dalam mushaf Kuno nomor MAJS/NQ/03 koleksi Masjid Agung Jami’ Singaraja. Letak kolofon ini di pias halaman bagian akhir mushaf setelah Surah al-Nas dan sebelum doa khatm Al-Qur’an. Dalam kolofonnya, mushaf ini disebutkan selesai ditulis oleh Haji Muhammad Ja’far pada waktu duha hari Rabu bulan Zulqa’dah 1265 H/1848 M. Kolofon ini ditulis dalam bahasa Arab. Berikut ini kutipan kolofon:

“kana al-farag al-kha¯¯ ¥ajj Mu¥ammad Ja‘far yauma arba‘ wa f³ waqti a«-«u¥± f³ syahri ©i al-qa‘dah f³ sanah alfi taqw³m £al±£24 hijrah an-nab³ 1265 “

Penting dicatat, bahwa di Bali ditemukan juga kolofon yang menyebutkan angka yang sangat tua, 1035 H/1625 M, yakni pada Mushaf milik Zain Usman, Kampung Jawa Singaraja. Pada kolo-fonnya disebutkan, mushaf ini ditulis oleh Abd Shafiyyuddin pada hari Kamis tanggal 21 Muharram 1035 H. Kolofon ini juga ditulis dalam bahasa Arab, bunyinya demikian:

“tamma al-qur’±n f³ yaum al-kh±mis min syahr al-mu¥arram f³ hil±li i¥d± wa ‘isyr³na ba‘da alfi sanah khamsin wa £al±£µna al-hijrah an-nabawiyyah “

Pada naskah Litrograf beraksara Bugis milik H. Burhanuddin, Serangan, ditemukan angka tahun 1373 H/1885 M pada halaman sampul. Angka tahun ini menerangkan selesainya pencetakan naskah. Selain itu disebutkan pula nama dan tempat percetakan serta pemilik percetakannya; percetakan at-Taufiq milik Haji Muhammad Abduh, Pare-pare, dalam bahasa Arab yang berbunyi sebagai berikut:

“tubi‘a bima¯ba‘ah al-Tauf³q li ¡±¥ibih± al-¥±jj Mu¥ammad ‘Abduh pepajah bi Pare-pare 1373”

6. Penjilidan

Aspek lain dalam kodikologi adalah bagian penjilidan. Dari segi penjilidan, kondisi naskah-naskah Bali beragam; ada yang masih baik, ada yang sudah lapuk, dan ada juga yang sudah terlepas dari

24 sanah alfi taqw³m £al±£, bisa jadi berarti tahun seribu masuk ratusan

ketiga, artinya 1200-an lebih, dan angka tahun yang tertulis adalah 1265 H, sama dengan 1848 M.

Page 84: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

70

ikatan kuras naskah.25 Bahkan sebagian di antaranya lepas jilidan-nya, seperti yang terlihat pada satu mushaf di Masjid asy-Syuhada, Loloan Timur, dan satu mushaf di masjid al-Muhajirin, Kepaon. Pada dua mushaf ini, jilidan aslinya sudah tidak ada, namun untuk mushaf koleksi masjid asy-Syuhada sudah diganti dengan sampul dari kertas karton.

Dari segi bahan sampul, naskah-naskah Bali cukup bervariasi; ada yang bahan sampulnya terbuat dari kulit, dan ada juga yang terbuat dari karton. Selain naskah mushaf, kebanyakan bahan sampul naskahnya adalah kertas karton tipis. Adapun untuk naskah mushaf, hampir semua bahan sampulnya terbuat dari kulit tebal dengan motif floral serta menggunakan amplop. 26 Naskah lain adalah yang ditulis di atas kertas bergaris dalam buku Letjes dengan sampul kertas berwarna biru khas Letjes. 7. Kaligrafi

Selain naskah lontar, seluruh naskah ditulis dalam aksara Arab dan Jawi. Oleh karena itu, menarik juga untuk dilihat model-model tulisannya atau yang lazim disebut kaligrafi. Naskah-naskah Al-Qur’an umumnya menggunakan jenis kaligrafi atau khat Naskhi, walaupun masih sangat sederhana dan belum dapat dikatakan stan-dar. 27 Berbeda dengan yang lainnya, Mushaf dari Kampung Jawa Singaraja sudah menggunakan khat Naskhi yang indah dan mende-kati standar apalagi jika dilihat masa penulisannya—walaupun belum menggunakan pena khat untuk membentuk tipis-tebalnya huruf—, yaitu tahun 1035 H/1625 M (Gambar 01). Pada masa ini, khususnya di Nusantara, belum banyak ditemukan naskah yang

25 Kuras adalah istilah yang mengacu pada sejumlah lembar kertas/perkamen

yang dilipat dan dijahit untuk kepentingan penjilidan (Francois Deroche, 2005: 122).

26 Sampul seperti ini banyak ditemukan di Nusantara, misalnya beberapa naskah di Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal TMII Jakarta (Saefullah, 2007: 47).

27 Kaligrafi Arab standar dalam bahasa Arab disebut Al-Kha¯¯ al-Mansµb mempunyai tiga alat ukur, yaitu: Alif, titik belah ketupat, dan lingkaran. Pena yang digunakan biasanya dimiringkan mata penanya sehingga ketika ditarik menyamping miring kanan ke bawah akan membentuk titik belah ketupat ( ). Tinggi alif pada jenis Naskhi standar, misalnya, lima titik belah ketupat. Rumusan ini diciptakan oleh Ibnu Muqlah (Sirojuddin, 1992:86-99)

Page 85: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

71

disalin dengan khat Naskhi yang indah, bahkan untuk naskah keagamaan lainnya digunakan Khat Farisi atau Riq’ah, baik yang cenderung ke Naskhi maupun Farisi.

Jika dikelompokkan ke dalam jenis-jenis khat, maka naskah-naskah yang ditemukan dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis khat, yaitu Naskhi, Farisi, dan Riq’ah. Jenis Naskhi yang ditemukan memang sangat sederhana, misalnya naskah dari Pegayaman, tipis tebal goresan aksaranya sudah nampak dan memperlihatkan bentuk Naskhi yang cukup indah (Gambar 02). Sementara jenis Khat Riq’ah yang biasanya tipis-tipis dan condong ke kiri ditemukan dalam banyak naskah. Namun demikian, sapuan pada beberapa huruf, khususnya sin dan kaf memperlihatkan gaya Farisi. Akan tetapi secara umum dapat dikatakan Riq’ah, khususnya naskah MA 06 (Gambar 03). Jenis Farisi misalnya ditemukan pada Naskah MA 03 dari Kepaon. Karakter tulisannya condong ke kanan dan sapuan-sapuan pada sin dan gigi ba, ta, £a, atau ya, yang agak meliuk-liuk dan memanjang, walaupun masih sederhana dan ada kesan Riq’ah karena sebagian hurufnya condong ke kanan (Gambar 04). 8. Ilustrasi dan Iluminasi

Ilustrasi adalah sebuah gambar atau hiasan yang ada hubungan-nya dengan teks, dan biasanya digunakan untuk memberikan penje-lasan lebih lengkap dari teks bersangkutan. Sedangkan iluminasi, yang berasal dari kata illumination, yang berarti menerangi, biasa-nya lebih berfungsi sebagai hiasan, dan tidak berkaitan langsung dengan teks. Dalam naskah-naskah keagamaan Islam di Bali tidak ditemukan iluminasi, kecuali dalam naskah Al-Qur’an. Ilustrasi yang ditemukan pun hanya sedikit. a. Ilustrasi

Ilustrasi terdapat pada naskah tasawuf dan masalah doa, wirid, dan wifiq. Dalam naskah MA 03, h. 11r, terdapat ilustrasi tentang sifat-sifat Allah berdasarkan kalimat L± Il±ha Ill± All±h yang dibagi ke dalam empat kategori “L±”, “Il±ha”, “Ill±”, dan “All±h” (Gambar 05). Pada naskah MA 04, h. 17v, kata “Il±h” diletakkan dalam kotak belah ketupat dan segi empat, dan di sekelilingnya terdapat penje-lasan sehingga membentuk semacam concept map (peta konsep),

Page 86: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

72

terkait dengan ilmu ma’rifah, dan disebut juga nama-nama malaikat, sahabat, dan lain-lain (Gambar 06).

Pada naskah Serangan 01 yang berbahasa dan beraksara Bugis, tentang tasawuf, terdapat ilustrasi lafa§ al-jal±lah, kata “All±h”, yang diletakkan dalam blok hitam. Ada dua blok yang semuanya berisi kata “All±h”, dan di atas-bawahnya terdapat penjelasan yang diduga terkait dengan zikir (Gambar 07).

Contoh ilustrasi terakhir adalah tentang wifiq. 28 Dalam naskah wirid dan doa MA 05, h. 12v-13r, terdapat simbol-simbol yang diletakkan dalam bingkai garis, misalnya kata “Allah” dan “Muhammad” dalam satu kotak, kata “Muhammad” dan “Ilah”, kalimat L± Il±ha ill± All±h Mu¥ammad Rasµl Allah”, masing-masing dalam satu kotak, dan simbol-simbol huruf hijaiah yang dirangkai sedemikian rupa dan diletakkan dalam satu kotak (Gambar 08). b. Iluminasi

Iluminasi hanya ditemukan dalam naskah-naskah Al-Qur’an. Meskipun naskah Al-Qur’an terkadang dikhususkan dalam klasi-fikasi kajian naskah klasik, tetapi karena pentingnya temuan ini, dan juga dapat dikaji secara kodikologis, hasilnya disajikan di sini. Iluminasi dalam mushaf-mushaf kuno yang ditemukan di Bali sangat luar biasa. Desain hiasan yang menurut identifikasi Annabel Teh Gallop (2004) sebagai tipe Aceh, Sulawesi, Pantai Timur Semenanjung Melayu atau Pattani dan Trengganu, dan Jawa, ditemukan di Bali. Bahkan satu mushaf di Masjid Agung Singaraja (MAJS/NQ/01) sangat khas, unik, dan menarik, yakni iluminasi dalam bentuk arabesk (pola geometris yang disalin bersilangan) dari kalimat L± Il±ha ill± All±h Mu¥ammad Rasµl Allah sebagai bingkai hiasan yang mengelilingi bidang teks ayat-ayat Al-Qur’an, yang terdapat pada bagian tengah mushaf.

Karakter kedaerahan iluminasi dapat juga dilihat dari penem-patan halaman berhias pada awal, tengah, atau akhir; ada perbedaan kedaerahan yang konsisten dan mencolok. Dalam hal penempatan

28 Wifiq: suatu formula yang terdiri atas susunan bilangan atau angka Arab

tertentu yang mengandung rahasia-rahasia spiritual. Bagi yang mempercayainya, pengetahuan mengenai formula tersebut merupakan hikmah ilahiyah.

Page 87: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

73

iluminasi tengah: Aceh selalu bagian tengah Al-Qur’an, yaitu awal juz 16 atau bagian tengah Surah al-Kahf; Pantai Timur Melayu biasanya pada permulaan juz 15 atau awal Surah al-Isra’; dan di Jawa hampir selalu ditemukan pada permulaan surah al-Kahf (Gallop, 2004: 132). Penempatan ini dapat ditemukan pula pada mushaf-mushaf Bali. Di bawah ini akan diuraikan secara singkat keempat tipe atau desain hiasan tersebut.

1). Tipe Aceh dan Istimewa: Iluminasi Kalimat L± Il±ha Ill±

All±h Mu¥ammad Rasµl All±h Di Masjid Jami’ Agung Singaraja terdapat mushaf, kode

MAJS/NQ/0129 yang sejauh pengetahuan kami memiliki keistime-waan yang luar biasa, yakni iluminasi bagian tengah. Rangkaian dari kalimat L± Il±ha Ill± All±h Mu¥ammad Rasµl All±h yang didekor sedemikian rupa sehingga menciptakan bingkai hiasan berbentuk arabesq yang mengelilingi teks ayat Al-Qur’an. Belum lagi desain hiasannya dan motif pewarnaannya yang memiliki unsur-unsur daerah lain, yaitu Sulawesi dan Aceh. Demikian juga dengan bahannya, meskipun berupa kertas Eropa tetapi berdasarkan cap kertas (water mark)-nya yang termasuk kelompok Cressent, adalah kertas yang umumnya digunakan di Afrika, “paper used by Denham in Africa” (Heawood, 1986: 85). 30

29 Tebal naskah 682 halaman, setiap halaman terdiri atas 14 baris, kecuali

halaman awal yang terdiri atas 7 baris. Naskah berukuran 27 X 21 cm, sementara ukuran teksnya adalah 18 X 14, 5 cm. Pada naskah ini terdapat bingkai teks berupa tiga buah garis tipis berwarna hitam dan merah. Sampul naskah berukuran 33,5 X22 cm yang terbuat dari kulit berwarna merah maron dengan motif floral. Bagian dalam sampul naskah dilapisi kain saten. Sampul naskah memakai tutup (plop). Teks ditulis dengan menggunakan khat naskhi. Tinta yang digunakan berwarna hitam. Pada bagian tertentu, seperti kepala surah, awal juz, atau tanda baca, digunakan tinta berwarna merah. Pada halaman pelindung terdapat catatan yang tertulis: “h±©a al-waqf mu¡¥af masjid jam³‘”. Menurut keterangan pengurus takmir masjid, naskah mushaf ini ditulis oleh Gusti Ngurah Ketut Jelantik Selagi, salah seorang keturunan Raja Buleleng yang masuk Islam.

30 Tentang bahan kertas yang biasanya digunakan di Afrika, mengapa dapat sampai ke Bali, dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa orang-orang Bugis pada masa lalu telah banyak bermukim di Bali. Bahkan, desa di mana Masjid Agung Singaraja berada pun bernama Kampung Bugis. Wawancara dengan H. Hasan (penduduk setempat), H. Hasyim Zaki, dan H. Abdurrahman Alawi (Pengurus Ta’mir Masjid), 30 Oktober 2008.

Page 88: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

74

Merujuk pada identifikasi yang pernah dibuat Annabel Teh Gallop (2004) tentang ragam hias mushaf, salah satu mushaf Al-Qur’an di Masjid Jami’ Agung Singaraja memiliki unsur-unsur yang umumnya terdapat di Aceh dan Sulawesi. Ciri kedaerahan pada umumnya dapat dilihat pada pola, pewarnaan dan detail hiasan bingkai (Gallop, 2004: 129). Iluminasi mushaf Aceh mudah dike-nali dengan “garis bingkai vertikal, yang mengapit bidang teks pada masing-masing halaman, memanjang ke atas dan ke bawah, dan miring ke dalam pada ujung atas dan bawah. Di ketiga sisi luar bidang teks, ada garis melengkung sampai ke tepi, sementara lengkungan pada sisi vertikal diapit oleh dua ‘sayap’ kecil, yang dapat berbentuk sulur lembut yang tipis ataupun berukuran lebih besar. Segi empat berhias di sekitar bidang teks sering diisi dengan sulur ikal warna putih, dan di bagian-bagian tertentu sering terdapat motif jalinan. Sepasang bingkai berhias dari Aceh ini dicirikan dengan pewarnaan yang kuat, namun terbatas, terutama merah, kuning dan hitam. Warna dasar keempat dalam naskah beriluminasi dari Aceh adalah warna putih, namun menampilkan latar belakang kertas itu sendiri, yang memang berwarna putih.

Desain seperti diuraikan di atas jelas sekali terlihat pada ilumi-nasi bagian awal mushaf ini (MAJS/NQ/01).31 Sedangkan iluminasi yang istimewa terdapat pada bagian tengah mushaf, di satu sisi memperlihatkan pola Aceh dengan “sepasang garis tegak kiri-kanan”, tetapi di bagian kiri dan kanan garis tegak tersebut terdapat bentuk segitiga, yang dekat ke Sulawesi, walaupun tidak terlalu jelas sebab salah satu ciri kedaerahan iluminasi Sulawesi adalah garis lurus. Dari segi teks ayat pada bagian tengah yang berilu-minasi, mushaf ini sama dengan mushaf-mushaf dari Aceh yang selalu menempatkan awal juz 16 atau bagian tengah Surah al-Kahf, dan mushaf ini menempatkan awal juz 16. Segi empat berhias di sekitar bidang teks pada pola Aceh yang sering diisi dengan sulur

31 Bagaimana pola Aceh terdapat dalam mushaf ini? Berdasarkan keterangan pengurus Ta’mir masjid dan penduduk setempat, bahwa di wilayah ini pernah kedatangan orang-orang dari Aceh, hanya saja tidak diketahui siapa dan kapan hal itu terjadi. Akan tetapi, jejaknya bisa ditemukan bahwa salah seorang pengurus ta’mir masjid sendiri, Bapak H. Hasyim Zaki, adalah seorang Muslim Bali yang memiliki darah Aceh. Menurut kakaknya, H. Hasan, leluhur mereka ada yang berasal dari Aceh. Wawancara dengan H. Hasan (penduduk setempat), H. Hasyim Zaki, dan H. Abdurrahman Alawi (Pengurus Ta’mir Masjid), 30 Oktober 2008.

Page 89: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

75

ikal warna putih, dan di bagian-bagian tertentu sering terdapat motif jalinan, dalam mushaf MAJS/NQ/01, berupa jalinan kalimat L± Il±ha Ill± All±h Mu¥ammad Rasµl All±h yang membentuk pola arabesq dan sedikit motif floral. Warna yang dominan adalah merah dan hitam (Gambar 09 dan 10; bandingkan dengan Gambar 10a).

2). Tipe Sulawesi Tipe Sulawesi ditemukan pada mushaf dari Pegayaman, milik

Bapak I Wayan Ma’ruf. Mushaf ini sudah tidak lengkap lagi dan sebagian besar sudah dimakan serangga. Akan tetapi, dari iluminasi yang masih bisa dilihat pada bagian awal dan bagian tengah, desain-nya sama dengan desain yang umumnya ditemukan di Sulawesi, yakni dua bingkai yang diletakkan secara berhadapan dengan ciri khas garis-garis tegak. Iluminasi hiasan mushaf dari Sulawesi yang menurut Gallop (2005) “Sulawesi Diaspora”, bercirikan bentuk-bentuk geometris yang kuat, yakni garis-garis vertikal, horizontal dan diagonal, dan tidak memiliki garis-garis lengkung bergelom-bang. Dua buah garis vertikal di kiri-kanan paling luar, dua bidang empat persegi panjang yang mengapit teks ayat, dua bidang persegi panjang di atas membingkai kepala surah dan di bawah mem-bingkai keterangan surah, dan keduanya mengapit teks ayat di atas dan di bawah, segitiga di tengah bagian pinggir menghadap keluar, dan beberapa bentuk setengah lingkaran di atas, bawah, dan pinggir luar bingkai. Sedikit berbeda, bahwa di bagian luar bingkai pada mushaf Pegayaman ini, bukan segi tiga tetapi lengkungan-lengkungan yang membentuk semi segitiga yang di dalamnya dihiasai desain floral dengan pewarnaan merah, hitam, dan kuning, di samping putih yang merupakan warna dasar kertas. Di bagian akhir mushaf, masih terdapat surah Al-Fatihah yang diletakkan dalam bingkai berhias melengkapi sepasang hiasan akhir mushaf (Gambar 11; Gambar 12, bandingkan dengan Gambar 12a).

3). Tipe Pantai Timur Semenanjung Malaya Ciri khas iluminasi mushaf dari Pantai Timur Semenanjung

Malaya adalah “Lengkungan luar bingkai berhias sering ditutup dengan rangkaian ‘ombak-ombak’ atau ‘dedaunan’ kecil”, misalnya dari Pattani dan Trengganu (Gallop, 2004:130). Iluminasi mushaf dari Pattani bercirikan, “lengkungan pada bingkai berhias kadang-

Page 90: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

76

kadang terdiri dari dua ombak yang saling berpautan yang ditutup dengan semacam kubah”. Sementara Trengganu lebih bercirikan pembatas beriluminasi yang memenuhi tepi luar kertas. “Dari pem-batas luar ini banyak garis atau sulur kecil mengarah ke dalam seakan-akan bertemu dengan ‘ombak-ombak’ yang muncul dari lengkungan, menimbulkan efek ‘stalagnit-stalaktit’. Ketika garis-garis dan ombak disepuh, secara keseluruhan efeknya adalah pancaran emas yang cemerlang. Pewarnaan hiasan bingkai Pantai Timur lebih luas daripada yang ditemukan di Aceh, meliputi warna-warna muda seperti biru dan hijau maupun warna-warna tua yang lebih menggetarkan, dan emas sering digunakan” (Gallop, 2004:130).

Pola hiasan pada Al-Qur’an kuno dari Masjid Al-Muhajirin Kepaon Denpasar32 memperlihatkan tipe Pantai Timur Semenanjung Malaya. Dua buah bingkai diletakkan secara berhadapan di halaman kiri-kanan, dan bingkai kedua halaman tersebut disatukan dalam bingkai luar. Lengkungan-lengkungan dan riak-riak gelombang ter-gambar dengan jelas dalam mushaf ini, yakni di atas-bawah dan pinggir bingkai teks ayat. Bingkai teks ayat berupa empat persegi panjang agak lebar mengelilingi bidang teks dan diisi dengan hiasan bermotif daun dan dipadukan dengan lengkungan setengah ling-karan. Pewarnaannya terdiri atas merah, merah muda, hijau, hitam, dan kuning emas, di samping warna putih yang merupakan warna dasar kertas (Gambar 13, bandingkan dengan Gambar 13a).

4). Tipe Jawa dan Mushaf Tertua Ketiga di Nusantara: Tahun

1035 H/1625 M Mushaf lain yang menarik, unik, dan luar biasa adalah mushaf

yang ditemukan di Kampung Jawa Singaraja milik M. Zen

32 Naskah ini berukuran 30 X 19 cm, ukuran teksnya 19, 5 X 11, 5 cm. Bingkai

teks berupa tiga buah garis tipis berwarna hitam dan merah. Penomoran halaman tidak ada. Di beberapa halaman verso terdapat kata alihan. Sampul naskah sudah tidak ada. Alas naskah yang digunakan adalah kertas Eropa. Dalam kertas ini terlihat adanya garis bayang tebal dan garis tipis. Jarak garis tebal pertama sampai ke-6 13 cm. Jumlah garis tipis dalam 1 cm 9 buah. Selain itu, dalam kertas terdapat angka 1825. Teks ditulis dengan menggunakan khat Naskhi. Tinta yang digunakan berwarna hitam. Teks ditulis dengan menggunakan garis panduan yang ditekan. Secara umum, naskah sudah lapuk dan tidak lengkap. Teks yang masih ada dimulai bagian tengah surat al-Baqarah dan berakhir pada surah al-Naba, awal Juz ke-30 (juz ‘amma)

Page 91: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

77

Usman. 33 Dikatakan demikian karena beberapa alasan: Pertama, mushaf ini ditulis di atas dluang. Alas tulis dari bahan dasar kulit kayu ini pada umumnya tergolong tua karena kertas ini umumnya telah ada sebelum kertas Eropa masuk ke Nusantara. Kedua, naskah ini memiliki kolofon yang menunjukkan waktu penyalinannya pada Kamis, 21 Muharram 1035 H (23 Oktober 1625 M), sebuah masa yang tua, oleh Abd al-Sufi al-Din, dan kolofonnya dalam bahasa Arab, yang berbunyi: “tamma al-qur’±n f³ yaum al-kh±mis min syahr al-mu¥arram f³ hil±li i¥d± wa ‘isyr³na ba‘da alfi sanah khamsin wa £al±£µna al-hijrah an-nabawiyyah “. Ketiga, dari segi kaligrafinya, mushaf ini memperlihatkan goresan seorang khattat (ahli kaligrafi) Arab dengan khat Naskhi yang indah walaupun tidak dengan kalam khat yang tipis-tebal, dan untuk kepala surah masih berupa Sulus sederhana. Keempat, iluminasinya memperli-hatkan unsur Jawa, jika merujuk identifikasi Gallop (2004), tetapi lengkungan-lengkungan yang mengelilingi teks ayat lazim ditemukan di Turki Usmani.

Iluminasi pada mushaf ini terdapat pada bagian awal yang membingkai Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah. Desain hiasan ini menunjukkan salah satu karakter khas Jawa, yakni pada pewarnaan yang cenderung menggunakan warna biru (Gallop, 2004: 130). Bidang teks ayat diapit di kiri-kanan oleh blok empat persegi panjang yang dihiasi dengan pola arabesq, dan di atas-bawahnya diapit juga oleh blok empat persegi panjang; blok atas membingkai nama surah Al-Fatihah, dan blok bawah mengbingkai keterangan surah. Sementara itu, di tiga sisinya, atas-bawah dan pinggir, terdapat segi tiga yang juga berhiaskan bentuk arabesq. Selanjutnya, kedua bingkai yang berhadapan pada dua halaman kiri-kanan ini disatukan oleh bingkai garis yang memotong setiap ujung segitiga pada setiap sisinya. Bagian dalam bingkai ini pun

33 Secara umum, mushaf ini masih baik; hanya beberapa halaman yang tampak

lapuk. Mushaf ini berukuran 24 X 16 cm, dan ukuran teksnya adalah 16 X 11 cm. bingkai teks berupa tiga buah garis berwarna hitam. Tebal naskah 769 halaman yang terdiri atas 754 halaman isi. Sampulnya terbuat dari kulit berwarna coklat motif floral. Tulisan rapi dan jelas. Teks ditulis dengan menggunakan khat Naskhi. Jumlah baris setiap halaman 13, kecuali halaman awal yang terdiri atas 7 baris dan halaman akhir yang terdiri atas 10 baris. Tinta yang digunakan berwarna hitam. Untuk bagian yang berisi keterangan awal surah tinta dan awal juz digunakan berwarna merah.

Page 92: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

78

diberi hiasan berbentuk arabesq yang dipadukan dengan pola dedaunan (Gambar 14, bandingkan dengan Gambar 14a).

Pemiliknya tidak mengetahui secara pasti asal usul mushaf ini kecuali bahwa ia mendapatkannya dari orang tuanya dan konon telah dimilikinya secara turun temurun. Namun demikian, kebera-daan mushaf ini di sebuah tempat yang disebut Kampung Jawa, bisa diduga bahwa asal-usulnya berkaitan dengan Pulau Jawa, terutama dari beberapa unsur yang terdapat pada pola hiasannya. Lebih dari itu, mushaf ini menambah koleksi dan informasi mushaf tertua di Nusantara, yakni ditulis pada Kamis, 21 Muharram 1035 H/1625 M (Gambar 15). Setidaknya mushaf ini menjadi mushaf tertua ketiga setelah Mushaf kode MS 12716 di University of London yang ditulis Jumadil Awwal 993/1585 dan mushaf dari Ternate yang ditulis pada 7 Zulqa’dah 1005 H/1597 M (Bafadal dan Anwar, 2005: vii-viii).

Penutup 1. Kesimpulan

a. Penelusuran awal naskah-naskah keagamaan Islam di Bali berhasil menemukan 38 naskah yang tersebar di berbagai daerah di pulau Dewata ini. Dari 38 naskah tersebut, 35 di antaranya merupakan naskah keagamaan Islam. Walaupun jumlahnya tidak begitu signifikan dibandingkan dengan nas-kah non keislaman yang biasanya ditulis di atas lontar, keber-adaan 35 naskah keislaman itu dapat menunjukkan mata rantai Islamisasi di Indonesia dan jaringan keilmuan dan keulamaan Islam Nusantara, misalnya tentang nama tokoh al-Haj Muhammad Amin al-Din Palimbangi dan Muhammad Sa’id bin Muhammad Ali Kusamba, atau tempat, seperti Palembang dan Pasuruan, serta iluminasi mushaf yang memperlihatkan empat tipe Aceh, Sulawesi, Pantai Timur Malaya, dan Jawa.

b. 1) Kondisi naskah keagamaan Islam di Bali pada umumnya sangat memprihatinkan, tidak terawat dan kurang men-dapat perhatian. Sebagian besar naskah sudah rusak, dan bahkan tidak utuh lagi.

Page 93: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

79

2. Dari aspek kodikologi, dapat dicatat beberapa hal: a) bahan yang digunakan beragam, yaitu dluang, kertas Eropa, kertas bergaris modern, dan lontar; b) Bahasa dan aksara yang digunakan meliputi Arab, Melayu (Jawi), Bugis, dan Bali; c) Waktu penyalinan antara abad ke-17–19 M, dan yang tertua tahun 1035 H/1625 M; 4) Isi naskah antara lain mencakup fikih, tasawuf, tauhid, doa, wirid, dan obat-obatan, bahasa (nahwu-saraf), Al-Qur’an, dan geguritan (cerita).

2. Rekomendasi

a. Kondisi naskah keagamaan Islam di Bali yang mempriha-tikan perlu mendapatkan perhatian serius dan perlu segera dilakukan upaya konservasi lebih lanjut, antara lain dengan penelusuran naskah dan digitalisasi.

b. Keberadaan naskah keagamaan Islam di Bali yang tersebar di berbagai kabupaten memungkinkan masih ada naskah-naskah lain yang belum tersentuh sehingga penelusuran lebih lanjut perlu segera dilakukan.

c. Analisis terhadap isi teks dan penjelasannya secara konteks-tual perlu diteliti lebih lanjut, setidaknya untuk melihat bagaimana hubungan Islam-Hindu di Bali, dan bagaimana posisi Bali dalam proses Islamisasi maupun dalam jaringan transmisi keilmuan dalam Dunia Islam.Lebih dari itu, adanya naskah lontar yang mengandung unsur keislaman membuktikan bahwa hubungan antarumat beragama, khu-susnya Islam-Hindu di Bali terjalin dengan baik, dan untuk itu perlu pembuktian melalui penelitian secara lebih mendalam. Wa All±h a‘lam…[]

Page 94: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

80

Daftar Pustaka

Agastia, Ada Bagus Gede. tanpa tahun. “Jenis-jenis ‘Naskah Bali’” dalam Soedarsono (Ed), Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tatakrama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bafadal, Fadhal AR, dan Anwar, Rosehan. 2005. Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.

Bafadal, Fadhal AR, dan Saefullah, Asep (Eds.). 2005. Naskah Klasik Keagamaan Nusantara 1. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.

Chambert-Loir, Henri & Fathurahman, Oman. 1999. Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Ecole francaise d’Extreme-Orient-Yayasan Obor Indonesia

Deroche, Francois. 2006. Islamic Codicology, An Introduction to the Study of Manuscripts in Arabic Script. London: Al-Furqan Islamic Heritage Foundation. Edisi bahasa Arab diteritkan tahun 2005 oleh penerbit yang sama dengan judul al-Madkhal ila ‘Ilm al-Kitab al-Makhtut bi al-Harf al-‘Arabi, diterjemahkan ke Bahasa Arab oleh Ayman Fuad Sayyid.

Fathurahman, Oman. 2003. “Pentingnya Memelihara, Melestarikan, dan Memanfaatkan Khazanah Naskah Islam: Sebuah Refleksi”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 1, No. 1. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h. 1-10.

Gallop, Annabel Teh. 2004. “Seni Mushaf di Asia Tenggara”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 2, No. 2. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h. 121-143.

Gallop, Annabel Teh. 2005. “Islamic Manuscript art of Southeast Asia”, dalam James Bennett (Ed.), Crescent Moon: Islamic Art & Civilisation in Southeast Asia, Adelaide: Art Gallery of South Australia. h. 156-183.

Heawood, Edward. 1986. Watermarks: Mainly of the 17th and 18th Centuries. Hilversum: The Paper Publications Society. Cet. V.

Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok: Fakultas Sastra UI.

Kumar, Ann dan McGlynn, John H. 1996. Illuminations, The Writing Traditions of Indonesia. The Lontar Foundation, Jakarta, Weatherhill Inc., New York dan Tokyo.

Rukmi, Maria Indra. 1997. Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad XIX: Naskah Algemeene Secretarie Kajian dari Segi Kodikologi, Depok: Fakultas Sastra UI.

Rukmi, Maria Indra. 2005. “Penyalinan Naskah Melayu di Palembang”, makalah dalam Seminar Tradisi Naskah, Lisan dan Sejarah di FIB UI , Depok.

Page 95: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

81

Saefullah, Asep. 2007. “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal Jakarta”, dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 5, No. 1. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h. 39-62.

Sirojuddin AR. 1992. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Multi Kreasi Singgasana.

Yunardi, E. Badri. 2007. “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h. 1-18.

Informan:

1. Ketut Ariawan, SH, Kasubag Umum, Kanwil Dep. Agama Prov. Bali 2. Drs. Ida Bagus Nyana, Staf Urusan Agama Hindu, Kanwil Dep. Agama

Prov. Bali 3. Drs. H. Musta’in, Kabid Bimas Islam & P. Haji, Kanwil Dep. Agama Prov.

Bali 4. Drs. H. M. Soleh, Kabid. Pendidikan Islam dan Pemberdayaan Masjid,

Kanwil Dep. Agama Prov. Bali 5. Drs. H. Ghufron, Kasi. Penamas, Kanwil Dep. Agama Prov. Bali (No. 1-5) Wawancara di ruang kerja masing-masing pada 28 Oktober 2008. 6. H. Husen Abdul Jabbar, Wawancara pada 2 Nopember 2008 di Loloan

Timur. 7. Drs. H. Muchlis Sanusi, Lurah Kampung Bugis dan juga Ketua Ta’mir

Masjid Agung Singaraja, 8. H. Abdurrahman Alawi, Ketua Dewan Penasehat MUI Singaraja. 9. H. Abdurrahman Said, Ketua MUI Singaraja 10. H. Hasyim Zaki, Pengurus Harian Masjid Agung Jami’ Singaraja 11. H. Hidayat, Sekretaris MUI Sngaraja (No. 7-11) Wawancara, secara terpisah pada 29-30 Desember 2008 di

Masjid Agung Singaraja maupun di kantor MUI Singaraja. 12. Hadiman, Syafruddin, Gunawan, dan Agus, para ustadz di Pesantren Al-

Hidayah, Bedugul, Wawancara, 29 Oktober 2008. 13. Abdullah, yang dituakan di Kampung Islam Buitan, Karang Asem,

Wawancara, 2 Nopember 2008. 14. H. Hasan, penduduk Singaraja yang bekerja di Denpasar, Wawancara, 30

Oktober 2008.

Page 96: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

82

Lampiran:

1. Contoh Deskripsi Naskah Milik Musthafa al-Amin, Denpasar

Fk/Bali Kitab Nikah, Obat-obatan, Wirid dan Doa

MA 01 Bhs. Arab dan Melayu Aks. Arab dan Jawi Prosa 98 hlm. 19 baris/hlm. 24x16 cm Kertas Eropa

Naskah ini merupakan kumpulan teks yang terdiri atas beberapa bidang

kajian. Tebal naskah 98 halaman (49 lembar) dengan jumlah baris 19 per halaman. Jarak antarbaris di setiap halaman 7 mm. Naskah berukuran 24 X 16 cm, sementara ukuran teksnya adalah 19 X 11 cm. Naskah sudah tidak bersampul dan bagian awal teks yang berisi Kitab Nikah sudah tidak lengkap. Sepertinya bagian awal teks dimulai dari “Had al-Qa©af”, yakni pembahasan tentang tuduhan suami bahwa istrinya berzina. Adapun bunyi kalimat pertama (1r) adalah sebagai berikut:

Terpelihara dirinya daripada had ta-waw-kaf-sin karena jikalau ia tia(da) mau bersumpah maka dipukul ia delapan puluh kali demikian lagi disuruh bersumpah istrinya di atas mimbar lima kali supaya terpelihara ia daripada had zina maka apabila sudah bersumpah keduanya jatuhlah talaknya itu talak bain kubra …

Alas naskah yang digunakan adalah kertas Eropa. Akan tetapi cap kertas hanya terlihat sebagian. Setelah dicocokkan dengan daftar cap kertas yang disusun oleh Heawood (1986), tampaknya cap kertas ini mirip dengan contoh no. 860, yang termasuk kelompok Crescent. Menurut Heawood (1986: 84), kertas dengan cap kertas nomor tersebut tidak bertanggal, namun dimungkinkan diproduksi pada masa modern.

Teks ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu dan aksara Jawi dengan menggunakan garis panduan yang ditekan. Tinta yang digunakan berwarna hitam, sementara rubrikasi berwarna merah.

Sebagaimana disebutkan, naskah ini merupakan kumpulan teks, yang terdiri atas: 1. Halaman 1r-33v: Teks kitab nikah; dalam kolofon teks ini disebutkan “Kitab

Nikah”. Bunyi kolofon tersebut sebagai berikut: Haza [al-]Kitab al-Nikah [ter] Hijrah al-Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam seribu

dua ratus delapan puluh tujuh (1287) pada tahun Ba alif(?) pada malam ahad waktu jim(?) pada pukul delapan pada delapan hari bulan Rabi’ al-Awwal pada ketika itulah hamba Pa Abdul A’raf sudah selesai menyuruh ini kitab di dalam negeri Badung Bali Badung adanya Kampung Kepaon 1287.

Tamma wa sallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam.

2. Halaman 33v-41v: Teks obat-obatan, tetapi tidak disebutkan judulnya. Kalimat pertama teks ini berbunyi:

Sebagai lagi (obat) supaya bincar(?) buang air seni ambil limau nipis tiga biji ditaruh gula batu maka embunkan pagi2 minum insya Allah ‘afiyah berturut-turut tiga pagi.

Page 97: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

83

Kalimat terakhir berbunyi: Telah mengambil ijazah faqir a-haqir ila Allah Ta’ala Haji Hasan ibn al-Marhum

al-Haj Muhammad Amin al-Din Palembangi akan mengamalkan laqad ja’akum serta doa yang kemudian kepada Syaikhuna wa ustazuna wa wasilatuna ila Allah Ta’ala al-Arif bi Allah sayyidi al-Syaikh Muhammad Azhari ibn al-Mukarram al-Marhum Kemas Muhammad Haji Abdullah Palimbangi Nafa’ana Allah bi barakatihi wa barakat ‘ulumihi. Amin 1288 H di Ampenan Syahr [al-]Shafar.

3. Halaman 41v-47r: Teks berisi berbagai macam masalah, antara lain kitab waris, wirid dan doa, penanggalan, dan teks khutbah nikah.

4. Halaman 47v-48v: Teks Li °³bat Aqli al-Ins±n.

Pemilik Naskah: H. Musthofa Amin, Kampung Bugis, Kepaon, Denpasar, Bali. 2. Contoh Deskripsi Naskah Lontar Milik Yayasan An-Nur, Denpasar

Gg/Bali Pepalihan Gama Selam Bali

YN 02 Bhs. Bali Aks. Bali Puisi 9 lempir 4 baris/lempir 40,5 x 3,5 cm Lontar

Berdasarkan informasi di luar teks, naskah ini berjudul Pepalihan Gama

Selam Bali. Tebal naskah 9 lempir dengan jumlah baris 4 per lempir. Jarak antarbaris tiap lempir adalah 0,5 cm. Naskah berukuran 40,5 X 3,5 cm, sedangkan ukuran teksnya adalah 34 X 2, 5 cm. Pias kanan berukuran 3 cm, pias kiri berukuran 3 cm. Naskah di tempatkan dalam kotak yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat. Ukuran kotak tempat menyimpan naskah ini adalah 46 X 8,5 cm.

Teks ditulis di atas lontar dengan menggunakan bahasa dan aksara Bali. Tinta yang digunakan berwarna hitam. Di bawah setiap baris teks terdapat garis panduan tipis berwarna hitam. Teks dibagi dalam dua kolom. Kondisi lontar masih baik. Tulisan tampak rapi dan jelas. Teks ini berisi cerita proses islamisasi di Bali.

Pemilik naskah: Yayasan An-Nur, Denpasar

Page 98: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

84

Lampiran II: Gambar-Gambar A. Beberapa Jenis Kaligrafi B. Ilustrasi

Gambar 01: Khat Naskhi pada Mushaf kuno dari Kampung Jawa, Singaraja

Gambar 02: Khat Naskhi pada naskah tauhid dari Pegayaman Singaraja, milik Drs. Suharto

Gambar 03: Khat Riq’ah pada MS MA 06, milik H. Musthafa Amin, Kepaon,

Denpasar

Gambar 04: Khat Farisi MS MA 01, koleksi H. Musthafa Amin, Kepaon,

Denpasar

Gambar 05: MS MA 03, h. 11r. naskah koleksi H. Musthafa Amin,

Kepaon, Denpasar

Gambar 06: MS MA 04, h. 17v. naskah koleksi H. Musthafa Amin,

Kepaon, Denpasar

Page 99: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

85

C. Iluminasi pada Mushaf

Gambar 07: MS Serangan 01, h. 56, milik H. Baharuddin,

Kp. Serangan, Denpasar.

Gambar 08: MS MA 03, h. 12v-13r. naskah milik

H. Musthafa Amin, Kepaon, Denpasar

Gambar 09: MS MAJS/NQ/01. Iluminasi halaman awal pada Mushaf Kuno

koleksi Masjid Jami’ Agung Singaraja

Page 100: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

86

Gambar 10: MS MAJS/NQ/01. Iluminasi halaman tengah pada Mushaf Kuno

koleksi Masjid Jami’ Agung Singaraja

Gambar 10a: Tipe Iluminasi mushaf halaman tengah dari Aceh., koleksi Perpustakaan Nasional

Jakarta, dalam Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h 46 dan 87.

Page 101: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

87

Gambar 11: Iluminasi bagian akhir pada mushaf kuno dari

Pegayaman, milik I Wayan Ma’ruf; pada di halaman kiri terdapat surah Al-Fatihah.

Gambar 12: Iluminasi bagian awal pada

mushaf kuno dari Pegayaman, milik I Wayan Ma’ruf.

Tampak tidak utuh lagi kerena dimakan serangga.

Gambar 12a:

Tipe Iluminasi halaman tengah tipe Sulawesi juga terdapat pada Tafsir Al-Qur’an, sepertinya Tafsir Jalalain. Koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta,

dalam Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h. 59

Page 102: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

88

Gambar 13: Iluminasi bagian tengah pada mushaf kuno dari Masjid Al-Muhajirin, Kepaon, Denpasar.

Gambar 13a:

Tipe Iluminasi mushaf seperti ini umum ditemukan di Pantai Timur Semenanjung Malaya, tetapi Al-Qur’an ini berasal dari Cirebon; Iluminasi ini terdapat pada again awal surah al-

Fatihah dan awal al-Baqarah. Al-Qur’an kuno koleksi Museum Sri Baduga, Bandung, Jawa Barat, dalam Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h. 114

Page 103: jurnal lektur

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

89

Gambar 14: Iluminasi bagian awal pada mushaf kuno dari Kp. Jawa Singaraja, milik H. Zen Usman.

Gambar 14a: Tipe Iluminasi mushaf halaman tengah dari Jawa. Mushaf disalin di Surakarta pada

1797-1798 M oleh Ki Atmaparwita, koleksi Widya Budaya, Kraton Yogyakarta, dalam Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h. 35

Page 104: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

90

Gambar 15:

Kolofon pada mushaf kuno dari Kampung Jawa, Singaraja, milik H. Zen Usman. Ditulis di atas dluang, pada Kamis, 21

Muharram 1035 H/1625 M oleh Abd al-Shufi al-Din

Page 105: jurnal lektur

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

91

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua dalam Naskah-Naskah Tarekat Syattariyah di Minangkabau

Pramono dan Bahren Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang

Pendahuluan

Minangkabau merupakan suku bangsa di Indonesia yang men-diami sebagian besar wilayah Provinsi Sumatera Barat. Etnis ini memiliki karakteristik yang unik, dalam hal hubungannya antara sosio-kultural dan Islam, dibandingkan suku bangsa-suku bangsa yang lain di Indonesia. Keunikan tersebut tampak pada penyatuan antara adat dan agama Islam. Oleh karena itu, topik mengenai hubungan sosial-kultural dan Islam di Minangkabau tetap menarik untuk didiskusikan.

This article focus on discussing efforts to intreprate local Islam manu-scripts of Minangkabau, particularly the order of Syattariyah in Minangkabau. The manuscripts are culturally important that is related to the daily religious needs of the disciples of the order of Syattariyah in Minangkabau. This is related to the beliefs that to know about the guru, to posses the book, or to listen to the stories about the ulama, the guru of the order of Syattariyah are essential. The ideological perspective is influenced by the surau teaching system based on the doctrines and books of the teachers. By means of social context analyses of the texts, it is found that one way to reflect the disciples’ respect for the guru(-s) has been done through writing the biography of the respective teachers and understanding their teaching. Because the guru is considered holy man, his story can not be written in Latin texts, otherwise it will be considered blasphemy or haram.

Kata Kunci: Surau, Manuskrip, Tarekat Syattariyah, Minangkabau

Page 106: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

92

Dalam konteks hubungannya dengan Islam, diketahui bahwa pada awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20, di Minangkabau timbul dua macam aliran keagamaan, yaitu Kaum Tua dan Kaum Muda. Akan tetapi, sekarang ini kedua istilah tersebut mungkin su-dah terasa asing dalam pendengaran kita. Sedang istilah yang ba-nyak dipakai sekarang ini adalah “Kaum Tradisional” untuk Kaum Tua dan “Kaum Modernis” untuk Kaum Muda.

Dalam praktik pengamalan ajaran Islam, Kaum Tua di Minang-kabau memiliki empat kriteria atau hakikat. Pertama, dalam bidang aqidah, mereka adalah penganut aliran Ahlu Sunah wal Jama’ah. Kedua, dalam bidang syari’ah, mereka menganut mazhab Imam Syafi’i semata-mata. Ketiga, mereka membenarkan dan merasa berke-wajiban untuk mempertahankan aliran-aliran tarekat yang mu’tabarah (sah dan boleh diamalkan, menurut penilaian mereka). Keempat, mereka ingin tetap mempertahankan tradisi, adat kebiasaan yang telah melekat dalam berbagai macam amalan keagamaan (Latief, 1988: 135).

Paham keagamaan tersebut berbeda dengan paham keagamaan yang diyakini oleh kalangan Kaum Muda. Para ulama golongan ini memiliki pandangan bahwa hanya Alquran dan hadits Nabi yang sahihlah yang benar. Oleh karena itu, kedua sumber itulah yang boleh dijadikan pedoman umat Islam dalam menjalankan praktik-praktik keagamaannya. Golongan ini juga berpendapat bahwa tidak ada ulama, termasuk para ulama mazhab sekali pun, yang luput dari kekeliruan, dan oleh karenanya pandangan keagamaannya tidak dapat diikuti secara mutlak. Apalagi, Tuhan telah menganugerah-kan akal kepada setiap manusia untuk dapat berijtihad setiap saat (Fathurahman, 2003: 99).

Perbedaan-perbedaan dalam berbagai amalan dan perilaku keaga-maan di antara kedua kelompok itu hingga sekarang masih tetap ada. Organisasi-organisasi serta lembaga-lembaga pendidikan agama yang didirikan oleh masing-masingnya pun masih ada. Hal ini menun-jukkan bahwa perbedaan pendapat antara kedua golongan itu masih tetap hidup dan berpengaruh dalam masyarakat Minangkabau.

Akan tetapi, bukan masalah perbedaan itu yang akan diulas da-lam tulisan ini. Persoalan lain yang menarik dan kurang mendapat perhatian adalah persoalan pola kepemimpinan Kaum Tua. Pem-

Page 107: jurnal lektur

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

93

bicaraan akan difokuskan pada peran pemimpin Kaum Tua dan bentuk penghormatan terhadap mereka. Peranan Ulama Pemimpin Kaum Tua

Bagi masyarakat Minangkabau, “menjadi orang Minang berarti menjadi Muslim”. Jika ada orang Minang yang tidak memeluk, atau keluar dari, agama Islam misalnya, maka secara sosial mereka dapat dikucilkan. Dengan demikian, dari waktu ke waktu, masyara-kat Minang berusaha menyesuaikan adat dan tradisi kemasyarakat-annya dengan Islam. Upaya penyesuaian berbagai nilai Islam de-ngan adat di kalangan masyarakat Minangkabau ini tampaknya te-lah dimulai sejak orang Minang menerima Islam sebagai agamanya (Hamka, 1984: 138). Persesuaian Islam dengan adat tersebut awal-nya terjadi secara bertahap, ketika Islam mulai masuk dari wilayah pesisir (rantau) ke daerah pedalaman (darek). Dalam kosa-kata Mi-nang, masuknya Islam dari wilayah rantau ke darek ini digambar-kan dalam pepatah: syarak mandaki, adaik manurun ‘syarak men-daki, adat menurun’, atau seperti yang ditulis Yusuf (2004: 4), ada-ik dibao turun, syarak dibao naik ‘adat dibawa turun, syarak diba-wa naik’.

Kondisi seperti itu mempengaruhi masyarakat Minangkabau tentang persepsinya terhadap sosok ulama. Ulama bagi mereka ti-dak hanya penerang masa hidup di dunia, tetapi juga penyelamat untuk kehidupan di akhirat. Dalam perjalanan sejarahnya, sosok ulama Minangkabau, khususnya ulama pemimpin Kaum Tua tidak hanya memiliki peran keagamaan saja. Akan tetapi, ulama pemim-pin Kaum Tua di Minangkabau juga berperan di bidang sosial-bu-daya dan politik. Besarnya peran ulama pemimpin Kaum Tua di Minangkabau sempat mendapat perhatian khusus oleh pemerintah Belanda pada masa penjajahan.

Pada masa penjajahan, pemerintah Belanda mengerahkan bebe-rapa orang sarjananya untuk mengadakan penelitian tentang tarekat yang ada di Sumatera Barat. Salah seorang di antaranya adalah Ph. S. Van Ronkel. Ronkel (dalam Latief, 1988: 210) antara lain me-nyebutkan dalam laporannya pada tahun 1916 bahwa, bahaya dari aliran-aliran tarekat bukanlah terletak pada unsur fanatismenya, me-lainkan terletak pada kepatuhan yang mutlak dari para anggotanya kepada pada syekh yang memang menuntut kepatuhan itu sebagai

Page 108: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

94

haknya. Khusus mengenai kaum Syattariyah, ia menyebutkan bah-wa para pemimpin tarekat Syattariyah itu biasanya adalah orang-orang yang tangguh pengetahuannya, menjadi lawan bagi setiap aliran lainnya, suka mengejar-ngejar kekuasaan. Dengan demikian, tidak jarang merupakan sesuatu yang amat berbahaya bagi pemerin-tahan Belanda. Apabila terdapat kejadian-kejadian tertentu yang mereka cetuskan, dapat mengganggu kelancaran pemerintahan Be-landa nantinya.

Dengan adanya ancaman tersebut, kemudian pemerintah Belan-da membuat strategi khusus untuk mengantisipasi potensi perla-wanan dari kaum tarekat di Sumatera Barat. Dalam konteks ini, se-tidaknya ada dua strategi yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Pertama, mengadakan pengawasan yang ketat terhadap segala ak-tivitas yang dilakukan oleh kaum tarekat (Syattariyah). Dalam hal ini pemerintah Belanda menempatkan seorang pengawas kelas tiga yang punya latar belakang ilmu budaya. Belanda menempatkan se-orang posthouder di Ulakan sejak tahun 1844 (Suryadi, 2004: 117 dan 92).

Kedua, dengan mendekati, membujuk dan memuji-muji para guru tarekat, dengan harapan agar mereka lebih memusatkan perha-tian pada aktivitas kesufian, menjauhi urusan dunia. Dengan demi-kian, semangat jihad mereka yang sering menggangu kolonial akan dapat diredam. Sedang tokoh-tokoh tarekat yang dianggap berbaha-ya dan tidak mempan dibujuk, lalu diusir dari daerah ini atau di-bunuh dengan berbagai cara yang licik (Latief, 1988: 213-214).

Untuk kasus pusat tarekat Syattariyah di Ulakan Pariman, agak-nya strategi Belanda ini berhasil. Hal ini dapat dicermati pada paroh pertama abad ke-19, di mana banyak pengikut tarekat Syattariyah di Ulakan Pariaman terpengaruh oleh gerakan pembaharu Islam di Su-matera Barat. Golongan penganut tarekat Syattariyah yang terpe-ngaruh oleh ide-ide pembaharuan itu karena tidak puas dengan ula-ma Ulakan yang dinilai tidak memiliki komitmen untuk memerangi Belanda. Apalagi dalam kenyataanya Ulakan sebagai salah satu pu-sat tarekat Syattariyah tidak pernah benar-benar menunjukkan pe-nentangannya atau setidaknya bersikap tegas terhadap Belanda yang dianggap kafir. Boleh jadi karena sifat tarekat Syattariyah (di Ulakan) yang suka pada harmoni, menyebabkan mereka cenderung menghindari konfrontasi dengan Belanda (Suryadi, 2004: 117).

Page 109: jurnal lektur

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

95

Dalam konteks itu, menarik jika dilihat dengan perspektif post-kolonial. Di mana, perspektif postkolonial mencoba mengungkap akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Akibat-akibat yang ditimbulkan lebih bersifat sebagai degradasi mentalitas dibandingkan dengan kerusakan material. Oleh karena itulah, aki-bat-akibat yang dimaksud tidak berhenti secara serta merta setelah kolonialisme berakhir, melainkan berlangsung sampai sekarang, bahkan mungkin puluhan atau ratusan tahun (Ratna, dkk., 2006: 74). Politik Belanda terhadap ulama tarekat Syattariyah di Ulakan, Padang Pariaman dengan cara memberikan penghargaan dan ba-nyak pujian telah membuat mereka bersikap kompromi dengan Be-landa. Secara mentalitas berbekas hingga hari ini, misalnya kekuat-an Golkar yang telah mampu mendekati para ulama itu untuk ber-afiliasi ke dalam partai tersebut. Hal ini akan diterangkan lebih jauh di bagian selanjutnya.

Kondisi di atas sangat berbeda dengan ulama-ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang. Di wilayah ini Belanda men-dapat perlawanan yang tajam dari mereka. Gambaran perlawanan ulama tarekat Syattariyah tersebut dapat ditemui dalam naskah Se-jarah Surau Baru dan naskah Sejarah Syekh Paseban karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib.

Dalam naskah Sejarah Syekh Surau Baru misalnya, diceritakan tentang pemberontakan rakyat Koto Tangah dan Pauh, Padang ke-pada Belanda di bawah pimpinan Pakih Mudo. Pakih Mudo adalah murid Syekh Surau Baru yang diutus untuk mengislamkan rakyat Pauh, Lubuk Begalung dan sekitarnya. Ketika rakyat Koto Tangah dan Pauh, Padang berperang dengan Belanda yang dibantu oleh orang Kota Padang, maka Pakih Mudo mengomando rakyat Koto Tangah dan Pauh dalam peperangan itu.

Peperangan itu menyebabkan Syekh Surau Baru ditawan Belan-da. Penawanan itu dilaksanakan dengan alasan bahwa Pakih Mudo adalah murid Syekh Surau Baru. Perang terjadi atas komando dan dorongan Syekh Surau Baru. Dalam masa tawanan itulah Syekh Su-rau Baru wafat dan tidak ada lagi yang melawan Belanda hingga ratusan tahun kemudian, yakni perlawanan ke Belanda yang di-namakan Perang Paderi yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Kisah ini dapat ditemukan dalam kutipan teks berikut ini.

Page 110: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

96

Beginilah riwayat ringkas perjalanan hidup beliau Tuan Syekh Surau Baru yang telah mengislamkan Koto Tangah, Pauh, dan sekitarnya. Juga be-liaulah, Syekh Surau Baru yang mula-mula melawan penjajah Belanda yang akan menginjakkan telapak kakinya di Pantai Minangkabau pada tahun 1658 Masehi (1076 Hijrat) yang bermaksud menjajah Minangkabau... ter-jadi berkali-kali peperangan di Pauh dan Koto Tangah antara rakyat dengan tentara Belanda yang dibantu oleh laskar Padang yang telah takluk di bawah kekuasaan kompeni Belanda. Setelah Syekh Surau Baru wafat ditawan kompeni Belanda barulah habis perlawanan rakyat terhadap kompeni Belan-da. Maka amanlah Belanda di Padang sampai 170 tahun kemudian barulah ada kembali perlawanan terhadap Belanda yang (di)kepalai oleh Tuanku Imam Bonjol yang dinamai Perang Paderi mulai tahun 1803 berakhir tahun 1837 (al-Khatib, t.t.: 51-52).

Selain Syekh Surau Baru, perlawanan terhadap Belanda juga di-

lakukan oleh ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang yaitu, Syekh Paseban. Perlawanan Syekh Paseban. pada waktu itu adalah dengan tidak bersedia membayar pajak kepada pemerintahan Belanda di Kota Padang. Oleh karena perbuatannya tersebut, ia di-tangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Selain itu, pernah suatu ka-li Belanda dengan taktiknya akan memberikan penghargaan kepada Syekh Paseban. Penghargaan tersebut berupa bintang jasa yang oleh Belanda dikatakan bahwa Syekh Paseban berhak menerima ka-rena ia adalah ulama besar yang telah banyak berjasa bagi kaum-nya. Akan tetapi, penghargaan itu ditolak oleh Syekh Paseban. “Yang akan memberi saya bintang adalah Tuhan, tidak Belanda, “kata Syekh Paseban (al-Khatib, 2001: 29, 34).

Dalam konteks perlawanan tersebut, dalam naskah Sejarah Ringkas Syekh Paseben Asyattari Rahimahullah Taala Anhu, penu-lisnya kembali menegaskan tentang kepahlawanan Syekh Surau Ba-ru. Dalam salah satu bagian teks disebutkan bahwa, Syekh Paseban selalu mengadakan ziarah ke makam Syekh Surau Baru di Batu-singka, Air Dingin, Koto Tangah, Padang. Ziarah tersebut ia laku-kan karena, (kedua) adalah di suatu makam Syekh Muhammad Nat-sir (Syekh Surau Baru). Syekh Surau Baru ini adalah orang Kota Panjang, Kota Tengah, Padang. Beliau sama pergi menuntut ilmu dengan Syekh Burhanuddin ke Aceh kepada Syekh Abdurrauf (Syekh Kuala). Beliaulah, Syekh Surau Baru inilah yang meng-islamkan Negeri Kota Tengah, Pauh, Lubuk Bagalung (Negeri yang dua puluh) dan Negri Padang. (ketiga) Jasa beliau Syekh Surau Ba-

Page 111: jurnal lektur

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

97

ru, beliaulah yang mulanya melawan Belanda di Minangkabau ini, 170 tahun (seratus tujuh puluh tahun) sebelum Tuanku Imam Bon-jol. Syekh Surau Baru melawan Belanda waktu Belanda akan men-jejakkan kakinya di Pantai Padang sedangkan Tuanku Imam Bonjol mengusir Belanda yang telah menduduki Minangkabau. Itu perbe-daan perjuangan Syekh Surau Baru dengan Syekh Paseban. Beliau Syekh Surau Baru dapat ditawan Belanda dimasukkannya ke dalam rajam dan wafat di situ dan Tuanku Imam Bonjol ditawan Belanda dibuangnya ke Manado dan wafat di situ (al-Khatib, 2001: 39).

Agaknya penulis naskah ingin mempertegas bahwa Syekh Su-rau Baru, ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang adalah benar-benar berjiwa pahlawan. Hal ini juga sekaligus mempertegas bahwa ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang selain orang alim juga anti penjajah. Oleh karenanya, pengikutnya harus menghormatinya, agar beroleh berkah.

Setelah Indonesia merdeka, Wakil Presiden Republik Indonesia, M. Hatta, memaklumatkan agar menumbuhkan berbagai organisasi dan partai. Hal ini untuk menolak tudingan Belanda bahwa Indone-sia bukanlah negera yang sah. Setelah adanya maklumat ini, maka banyaklah lahir parta-partai di negeri ini, termasuk juga di Suma-tera Barat (Nasution, 2002: 899). Salah satu organisasi sosial yang berikutnya menjadi sebuah partai di Sumatera Barat adalah Persa-tuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).

Pada awalnya, Perti adalah organisasi sosial yang didirikan pa-da tanggal 5 Mei 1930 di Candung, Bukittinggi. Pendirinya adalah para ulama yang terdiri dari Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung, Syekh Muhammad Abbas al-Kadi Bukittinggi, Syekh Muhammad Jamil Jaho Padangpanjang dan Syekh Abdul Wahid Tabekgadang. Perti mengikuti aliran Ahlul Sunnah wal Jamaah dalam itikad dan mazhab Syafi’i dalam syariat dan ibadat. Sejak 22 Nopember orga-nisasi sosial ini berubah menjadi partai politik dengan nama Partai Politik Islam Perti (Nasution, 2002: 899).

Kondisi seperti itu juga ikut mempengaruhi pandangan ideolo-gis tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang. Dalam naskah oto-biografi Sejarah Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib dise-butkan bahwa, menjelang Pemilihan Umum pertama 1955, pendu-duk Koto Tangah sudah tujuh puluh lima persen masuk ke dalam Partai Islam Perti. Hal ini dikarenakan ulama-ulama yang berwiba-

Page 112: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

98

wa—termasuk Imam Maulana Abdul manaf Amin al-Khatib—tare-kat Syattariyah di Koto Tangah telah masuk ke dalam partai itu (al-Khatib, 2002: 47).

Dalam konteks kepartaian tersebut, Imam Maulana Abdul Ma-naf Amin al-Khatib pernah giat memperjuangkan Partai Islam Perti di Koto Tangah, Padang. Menurut penuturannya, pada waktu men-jelang Pemilihan Umum pertama 1955, ia giat mengampanyekan Partai Islam Perti. Poster-poster dan simbol-simbol partai ia buat sendiri dan dengan biaya sendiri. Tidak hanya itu, ia juga menem-pelkan poster-poster itu di berbagai tempat di Koto Tangah, Padang yang dilakukannya sendiri. Hal ini ia lakukan tidak lain karena me-nginginkan pilihan penduduk Koto Tangah, Padang tidak salah, yakni partai Islam yang sesuai dengan paham tarekat Syattariyah. Hal ini memang terlihat agak berlebihan, padahal ia bukanlah pe-ngurus atau pejabat dalam tubuh Partai Islam Perti itu.

Hal itu dimungkinkan karena Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib benar-benar terhimbau oleh anjuran pemerintah pa-da waktu itu. Pada waktu itu pemerintah melalui Wakil Presiden Muhammad Hatta menganjurkan bahwa setiap warga masyarakat untuk masuk ke dalam salah satu partai. Jika tidak masuk ke dalam salah satu partai, maka orang tualang ‘orang lepas, orang yang tan-pa ikatan sebuah sistem aturan (pemerintah)’ namanya, dan peme-rintah tidak menjamin keamanan orang seperti itu.

Oleh karena itu, dengan banyak pertimbangan dan dari hasil pengamatan Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, Partai Islam Perti-lah yang sesuai dengan paham tarekat Syattariyah. Dalam hal ini ia mengatakan bahwa:

“...setelah saya selidiki beberapa partai Islam seperti Masyumi, Nah«atul Ulama, Partai Sarikat Islam, dan Partai Islam Perti, maka jatuhlah pilihan saya kepada Perti. Sebab partai ini berdasarkan mazhab Syafi’i dan beritikad ahlu sunah waljamaah” (al-Khatib, 2002: 6).

Menarik dikemukakan bahwa, menjelang Pemilihan Umum per-

tama tahun 1955—saat di mana masing-masing partai gencar ber-kampanye mencari dukungan—terjadi ketegangan hubungan antara Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib dengan Angku Ta-laok akibat perbedaan pilihan partai di antara mereka (al-Khatib, 2002: 47-57). Di satu sisi, Angku Talaok bergabung dengan Partai

Page 113: jurnal lektur

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

99

Islam Indonesia (PII), sementara di sisi lain, Imam Maulana Abdul Manaf Amin menjadi anggota Partai Islam Perti. Pada awal tahun 1950-an, Angku Talaok pernah diminta oleh para penganut tarekat Syattariyah di Batang Kabung dan sekitarnya untuk membantu me-ngajar di beberapa surau mereka. Saat itu, yang telah lebih dahulu mengajar di surau Batang Kabung, dan beberapa surau lain di se-kelilingnya, adalah Imam Maulana Abdul Manaf Amin.

Polemik tentang partai juga dialami oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib di era Orde Baru. Ia pernah bersilang pen-dapat dengan Angku Inyik Adam, khalifah tarekat Syattariyah dari Syekh Paseban, yang sebetulnya merupakan kawan seperguruan Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib sendiri ketika belajar dengan Syekh Paseban. Saat itu, Angku Inyik Adam mengajaknya untuk masuk ke dalam Partai Golkar, agar mudah mendapat ban-tuan dari pemerintah untuk renovasi makam Syekh Surau Baru di Batusingka, Koto Tangah, Padang. Akan tetapi, ajakan itu ditolak oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin. Dalam hal ini menarik di-simak penolakan ajakan untuk masuk ke partai Golkar oleh Angku Inyik Adam berikut ini:

“Begini Inyik, adapun Beliau ini (Syekh Surau Baru–pen.) bukan orang

partai, bukan pula ziarah bersama ini (bersyafar) tidak atas nama partai. Bersyafar ini adalah atas nama kaum muslimin, tidak dihitung partainya... Kalau saya masuk Golkar berarti ziarah bersama (bersyafar) ini tentu Syafar orang Golkar kata orang” (al-Khatib, 2002: 63).

Penting dikemukakan di sini bahwa, banyak dan bahkan sebagi-

an besar pengikut tarekat Syattariyah di Sumatera Barat yang ma-suk ke partai Gokar setelah Perti kembali berstatus organisasi non-politik. Perti mengalami perpecahan di dalam tubuh organisasinya dengan adanya pro dan kontra terhadap gagasan Nasakom yang di-cetuskan oleh Soekarno. Kemelut yang kurang terbenahi ini sangat merugikan bagi tujuan semula organisasi. Pengelolaan bidang pen-didikan dan dakwah seolah-olah terlupakan kalau tidak dapat dika-takan terabaikan sama sekali. Maka pada tahun 1969, Syekh Sulai-man ar-Rasuli, pendiri organisasi ini yang masih hidup pada waktu itu, mendekritkan agar kembali kepada khitah semula, yaitu status nonpolitik, bergerak di bidang sosial. Dekrit ini hanya diterima oleh sebagian saja yang dipimpin oleh putranya K.H. Burhanuddin ar-

Page 114: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

100

Rasuli, dan kemudian dalam menyalurkan aspirasi politiknya berga-bung dengan Golkar.

Berbagai argumen muncul dari ulama-ulama tarekat Syattariyah yang bergabung ke dalam partai Golkar. Bagi orang awam, menurut mereka pilihan guru kepada Golkar adalah petunjuk Allah yang ha-rus diterima. Bagi yang sedikit maju dan cerdas, mereka mengaju-kan dalil, daripada kita menumpang kapal kecil lebik baik naik ka-pal besar, yakni Golkar. Ada lagi alasan ulama bahwa merubah dan memperbaiki dari dalam jauh lebih mudah daripada memperbaiki dari luar. Dengan masuk ke dalam Golkar, menurut mereka, akan lebih mudah untuk memberikan pelajaran tarekat kepada orang-orang yang berada di dalam Golkar, yang banyak sekuler dan ber-campur agamanya (Samad, 2003: 266).

Akan tetapi, ada juga ulama tarekat Syattariyah yang dengan te-gas menolak bergabung dengan Golkar. Misalnya, almarhum Tuan-ku Salif dari Sungai Sarik, Padang Pariaman yang lama mengajar di Batang Kabung, Koto Tangah, Padang. Menurut ulama ini, ulama yang mencampuradukkan diri dengan politik itu adalah khianat pa-da tugas keulamaannya (Samad, 2003: 268). Sangat dimungkinkan bahwa Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib yang juga me-nolak ajakan masuk ke Golkar karena terpengaruh sikap Tuanku Salif ini. Hal ini jika dikaitkan dengan kecenderungan pendapat ula-ma dalam tarekat Syattariyah yang besar pengaruhnya terhadap si-kap kaumnya.

Penghormatan terhadap Ulama Pemimpin Kaum Tua

Di kalangan Kaum Tua di Minangkabau, penghormatan kepada ulama-ulama pemimpin mereka terlihat pada gelar-gelar yang dibe-rikan, misalnya sebutan Tuanku, Inyiek, Syekh dan Maulana. Ben-tuk penghargaan yang lain terlihat juga dalam pelestarian cita-cita dan perjuangan ulama terdahulu, penulisan riwayat hidupnya, pe-nyebaran buku-buku hasil karyanya. Bentuk penghargaan yang ter-akhir ini sangat menarik dan penting untuk dijelaskan.

Dalam konteks penghargaan ulama pemimpin Minangkabau da-lam bentuk penulisan riwayat hidupnya dan penyebaran buku-buku hasil karyanya banyak ditemukan di Minangkabau. Salah satu ben-tuk penghargaan itu adalah naskah-naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib. Ia banyak menulis sejarah para

Page 115: jurnal lektur

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

101

syekh dan ajaran-ajarannya. Dalam teks yang terdapat dalam ham-pir seluruh naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib menempatkan guru sebagai orang yang harus dihormati. Dengan menulis sejarah guru atau syekh, maka akan mendapat ber-kah dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

“...sudah jelas oleh kita bahwa Nabi kita Muhammad S.M menyuruh kita menghormati dan memuliakan ulama. Begitu pula ikan-ikan dalam laut, yang kesimpulannya penghuni langit dan bumi menghormati ulama. Tentu kita lebih menghormati ulama dari pada mereka. Mudah-mudahan dengan menulis sejarah beliau, Syekh Paseban ini, maka saya termasuk orang yang dianjurkan Nabi tadi, yaitu orang yang menghormati dan memuliakan ulama dan mudah-mudahan Allah memberi berkat atas usaha saya. Amin, amin ya rabbil ‘alamin. Saya yang menulis adalah salah seorang dari murid beliau yang bernama Haji Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib. Batang Kabung, Padang” (al-Khatib, 2001: 12-13).

Ajaran guru adalah sesuatu yang benar dan tidak boleh diban-

tah. Jika ada golongan lain mengkritik ajaran guru, maka harus di-luruskan. Berikut ini dapat dilihat gambaran tentang bantahan ter-hadap kritikan dari pihak luar.

“...dengan adanya ketiga buku sejarah ini dapatlah saudara-saudara yang menjadi pengikut dan pencinta Syekh Abdurrauf dan Syekh Burhanuddin mengetahui bagaimana beliau-beliau ini mengembangkan agama Islam dan dapat kejelasan apakah mazhab beliau, apakah bilangan yang beliau pakai untuk menentukan tanggal satu hari bulan Arab. Sebab, akhir-akhir ini ba-nyak pula keluar di surat-surat kabar dan majalah-majalah yang memutar-balikkan sejarah beliau yang berdua ini yang jauh berbeda dengan yang dalam buku ini. Tidak surat-surat kabar dan majalah saja yang memutar-balikkan sejarah beliau-beliau ini. Tetapi juga guru-guru tarekat kampung memutarbalikkan pula sejarah Syekh Abdurrauf dan sejarah Syekh Burhan-uddin, supaya tarekatnya diterima oleh orang kampung yang buta ilmu pengetahuan agama. Demikianlah supaya kita berhati-hati menerima sejarah dan menerima tarekat dari guru tarekat, jangan asal dimasuki saja” (al-Kha-tib, 1936: 5).

Perlu dijelaskan di sini bahwa, yang dimaksud dengan “ketiga

buku sejarah ini” dalam kutipan di atas oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib adalah teks sejarah Syekh Abdurrauf, Syekh Burhanuddin, dan Syekh Surau Baru. Penulisnya mengharapkan

Page 116: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

102

bahwa dengan adanya ketiga sejarah syekh tersebut, maka pengikut tarekat Syattariyah akan memahami bagaimana ketiganya beramal ibadah, bagaimana mereka menentukan awal bulan Arab, dan se-terusnya.

Oleh karena suatu paham tidak sesuai atau berlainan dengan fat-wa guru yang diterimanya, maka tidak boleh mengikut paham ter-sebut, paham gurulah yang benar. Misalnya, sebagian besar peng-ikut tarekat Syattariyah tidak akan salat Jumat apabila khutbah di-laksanakan tidak menggunakan bahasa Arab. Mereka tidak akan ikut salat tarawih di bulan Ramadan, jika salatnya dilakukan seba-nyak sebelas rakaat, karena menurut fatwa gurunya yang benar ada-lah mengerjakan salat tarawih itu dua puluh tiga rakaat. Untuk me-nentukan awal bulan Ramadan dilakukan dengan ru’yah (melihat bulan) terlebih dahulu, walaupun pemerintah telah mengumumkan awal memasuki puasa Ramadan.

Menghormati guru juga diyakini berimplikasi terhadap cepatnya pemahaman ilmu yang diajarkan oleh sang guru. Jika patuh dan hormat terhadap guru, maka pemahaman ilmu akan datang dengan tidak disangka-sangka. Dalam teks sejarah Syekh Abdurrauf Sing-kil misalnya, dikisahkan tentang bagaimana bentuk penghormatan-nya kepada gurunya, Syekh Ahmad al-Qusyasyi, seperti berikuit ini:

“...tetapi pelajaran [bang] yang [berikan] diberikan oleh Syekh Ahmad Qu-syasyi hanya surah al-Baqarah saja, tidak birasak-birasak sekedar lamanya. Artinya itu-itu saja pelajaran yang diberikan oleh Syekh Ahmad al-Qu-syasyi hingga sampai kepada masa akan kembali pulang. Namun, begitu ha-ti beliau terhadap guru tidak menaruh bosan dan berkecil hati. Malahan be-liau terima hal yang demikian dengan hati yang ikhlas dan bertawakal ke-pada Allah swt. Beliau tetap hormat dan khidmat serta patuh terhadap guru beliau. Selain menuntut ilmu juga kerja beliau Syekh Abdurrauf di Madinah adalah mengembalakan unta Tuan Syekh Ahmad al-Qusyasyi tiap-tiap hari. Tambahan lagi, sebagai mengkhidmati guru beliau tetap mendukung guru dari tempat tinggalnya kepada tempat dia mengajar ilmu di Masjid Nabawi. Begitulah kerja beliau Syekh Abdurrauf tiap-tiap harinya, yaitu pagi-pagi didukung guru di hulu dari tempat tinggalnya ke tempat dia mengajar. Su-dah itu terus pergi gembala unta ke tengah padang. Begitu pula petang-pe-tangnya setelah memasukkan unta ke kandanganya maka pergi pula men-jemput guru ke mesjid, di dukung pula ke tempat tinggal beliau. Sangat pa-tuh dan sangat hormat kepada guru apa yang diperintahkannya oleh guru ti-

Page 117: jurnal lektur

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

103

dak pernah membantah dan waktu bersalam mencium tangan guru” (al-Khatib, 1936:8-9).

Dalam teks sejarah Syekh Burhanuddin juga dikisahkan tentang

bentuk penghormatan yang dilakukan kepada gurunya, Syekh Ab-durrauf Singkil, seperti berikut ini:

“Adapun kaji yang diberikan yang diberikan oleh Syekh Abdurrauf ke-

pada Burhanuddin adalah surah al-Fatihah saja tidak berasak-asak sekedar lamanya. Adapun adab dan tertib Burhanuddin kepada gurunya Syekh Ab-durrauf di dalam menuntut ilmu tidak ada ubahnya seperti adab dan tertib Syekh Abdurrauf pula terhadap gurunya, Syekh Ahmad al-Qusyasyi, yaitu mendukung guru dari tempat tinggalnya ke tempat mengajar, yaitu di mas-jid. Selain mendukung guru juga Burhanuddin menggembalakan ternak Syekh Abdurrauf, yaitu kambing tiap-tiap hari, dan lagi menggali tebat (ko-lam) ikan di sekeliling masjid. Begitulah kerja Burhanuddin selama menun-tut ilmu di Aceh dalam masa tiga puluh tahun...” (al-Khatib, 1992: 20-21).

Kedua kutipan di atas, menggambarkan sekaligus mendorong

kepatuhan murid kepada guru. Kepatuhan itu akan membawa ber-kah, sehingga pelajaran diperoleh dengan mudah dan sempurna. Di samping itu, kedua kutipan tersebut juga berpesan kepada pembaca-nya bahwa sebuah ilmu tidaklah diperoleh dengan mudah. Ia harus diperoleh dengan perjuangan yang sungguh-sungguh tidak kenal menyerah. Amanat “tidak kenal menyerah” itu senantiasa terwaris dari guru yang satu ke guru berikutnya.

Teks-teks yang terkandung dalam naskah-naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, banyak sedikitnya memper-lihatkan pandangan tentang hubungan guru-murid yang secara eks-plisit mengarahkan agar para murid dan pengikut tarekat Syattari-yah merasa (ataupun diwajibkan) mengenal riwayat syekh yang menjadi gurunya atau guru dari gurunya. Bagi para penganut tare-kat Syattariyah, mengetahui riwayat guru adalah sebuah keharusan karena itu bermakna penghormatan kepada guru, adab kepada guru, untuk kemudian menjadi suri teladan bagi kehidupannya. Oleh ka-rena itu orang berusaha untuk memiliki, membaca ataupun men-dengar orang membacakan riwayat gurunya, memuliakan guru agar mendapat syafaatnya (limpahan rahmat), agar ilmu yang didapat beroleh berkah.

Page 118: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

104

Oleh karena merasa “wajib” untuk mengetahui riwayat dan ajar-an para syekh tersebut, maka banyak kalangan penganut tarekat Syattariyah, khususnya di Koto Tangah, Padang yang ingin memili-ki naskah-naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Kha-tib. Perihal banyaknya peminat naskah-naskah karyanya itu, mena-rik untuk dipaparkan tentang sejarah teks yang menceritakan seja-rah Syekh Abdurrauf, Syekh Burhanuddin, dan Syekh Surau Baru.

Dari naskah-naskah itu jelas bahwa syekh sebagai pemimpin menjadi sentral dalam pembentukan ideologi penganut tarekat Syat-tariyah Kaum Tua) di Minangkabau. Seorang guru melalui prosesi bai’ah yang sudah dilakukan sebelumnya, sebagai sumpah setia murid kepada gurunya, dapat memperlakukan muridnya sesuai de-ngan aturan yang ditetapkan. Perintah dan larangan guru bersifat mutlak dan mengikat. Sebaliknya, murid secara sukarela harus me-nerima dan mematuhi segala bentuk aturan yang telah ditetapkan guru kepadanya. Murid tidak boleh banyak mempertanyakan ten-tang “mengapa” dan “apa sebabnya”, apalagi membantah guru. Oleh karena itu, di kalangan Syattariyah berlaku ungkapan bahwa ”seorang murid di hadapan guru ibarat sesosok mayat di tangan orang yang memandikannya” (Samad, 2003: 147-148).

Selain itu, penghormatan dan penghargaan terhadap guru, da-lam pengajian tarekat Syattariyah dilakukan atas dasar pandangan bahwa guru adalah orang yang suci dan dekat kepada Allah. Bah-kan penghormatan yang demikian masih terus berlangsung meski-pun guru yang bersangkutan telah meninggal dunia. Dalam pan-dangan mereka roh seorang syekh yang sudah meninggal masih da-pat memberikan pertolongan kepada murid-muridnya. Karena itu, mereka selalu berziarah mengunjungi makam untuk mendapatkan berkah sekaligus sebagai bukti kesetiaan terhadap guru tersebut.

Sebaliknya, kedurhakaan terhadap syekh akan menimbulkan malapetaka bagi murid-murid. Kedurhakaan terhadap syekh akan berakibat luas terhadap kehidupan murid, baik secara duniawi mau-pun setelah ia meninggal. Setidaknya menurut keyakinan mereka, ada tiga hal yang akan terjadi bagi seorang murid yang durhaka ke-pada gurunya, yaitu: 1) Allah akan menyempitkan rezekinya di du-nia; 2) Allah akan mencabut berkat ilmu yang telah dipelajarinya dari sang guru; 3) Tatkala jiwa akan berpisah dengan badan (me-

Page 119: jurnal lektur

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

105

ninggal), Allah akan mencabut iman yang ada di dada murid, se-hingga dia mati dalam keadaan tidak beriman (al-Khatib, 1992: 30). Penutup

Pertemuan Islam dengan budaya lokal Minangkabau telah men-jadikan corak kepemimpinan yang khas. Kekhasannya ini tampak pada pola kepemimpinannya, khususnya pada golongan Kaum Tua. Para ulama pemimpin Kaum Tua itu berperan tidak hanya di bidang keagamaan saja, tetapi juga di bidang sosial-budaya dan politik. Suaranya didengar, tingkah lakunya diikuti; sebagai penerang di dunia bahkan sampai di akhirat. Mereka dihormati, riwayat dan ajarannya ditulis dan disebarkan. Tulisan itu memberikan sum-bangan yang sangat berarti bagi kemajuan ummat, khususnya dalam membangun kepribadian dan moral.

Di antara sumbangannya yang dapat dicatat adalah sebagai ber-ikut ini. Pertama, riwayat dan ajarannya dijadikan rujukan untuk pengambil keputusan, tidak hanya masalah keagamaan tetapi juga masalah sosial budaya serta politik yang mereka hadapi. Kedua, penghormatan terhadap pemimpin memberikan tauladan agar murid pun harus berperilaku (beribadah) seperti sang guru: pola hidup se-derhana (zuhud)dan tidak ambisius (qan±’ah).[]

Daftar Pustaka

Fathurahman, Oman. 2003. “Tarekat Syattariyah di Dunia Melayu-Indonesia: Kajian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera Barat”. Desertasi. Depok: Pascasarjana UI.

Hamka. 1984. Islam dan adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Latief, M. Sanusi. 1988. “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”. (Disertasi S3). Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.

Nasution, Prof. Dr. H. Harun (Ketua Tim). 2002. Ensiklopedi Islam Indonesia (Jilid 3 O-Z). Jakarta : Djambatan.

Ratna, Nyoman Kutha, dkk. 2006. “Postkolonialisme Indonesia”. Laporan Penelitian. Denpasar : Program Pascasarjana Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.

Page 120: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

106

Samad, Duski. 2003. “Tradisionalisme Islam di Tengah Modernisme: Kajian Tentang Kontinuitas, Perubahan, dan Dinamika Tarekat di Minangkabau” (disertasi). Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah.

Suryadi. 2004. Syair Sunur: Teks dan Konteks Otobiografi Seorang Ulama Minangkabau Abad Ke-19. Padang : Citra Budaya.

Yusuf, M dkk. 2004. “Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau. Laporan Penelitian Kelompok Kajian Puitika Fakultas Sastra Unand.

Manuskrip

al-Khatib, Imam Maulana Abdul Manaf Amin. tt. Sejarah Ringkas Shaikh Muhammad Nasir (Syekh Surau Baru). naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.

------. 1936. Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syekh Abdurrauf (Syekh Kuala) Pengembang Agama Islam di Aceh. naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.

------. 1992. Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syekh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau. naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.

------. 2002. Kitab Riwayat Hidup Imam Maulana Abdul Manaf Amin. naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat

------. 2001. Sejarah Ringkas Syekh Paseban al-Syatari Rahimahulallahu Taala. naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.

Page 121: jurnal lektur

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

107

Lampiran:

Gambar 1:

Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib (w. 2006) dan Naskah-naskah Tulisannya

Gambar 2:

Naskah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syekh

Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam

di Daerah Minangkabau (1992: 2)

Page 122: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

108

Gambar 3:

Naskah Sejarah Ringkas Auliya’ullah al-Salihin, Syekh Abdurrauf (Syekh Kuala), Pengembang Agama Islam di Aceh (1936: 1)

Page 123: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

109

Peran Penting Pernaskahan dan Benda Khazanah Keislaman Lainnya dalam Kajian Arkeologi Islam di Indonesia *

Agus Aris Munandar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok

Pengantar Perkembangan Islam di wilayah Nusantara berdasarkan bukti

arkeologis telah terjadi sejak abad ke-11 M. Hal itu didasarkan dengan penemuan nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah di daerah Leran Gresik Jawa Timur, pada nisan itu dipahatkan angka tahun 475 H atau 1082 (Tjandrasasmita 1986: 2). Berdasarkan hal

* Tulisan ini pada mulanya merupakan makalah yang disampaikan dalam Diskusi

Pengembangan Wawasan SDM Tenaga Fungsional Puslitbang Lektur Keagamaan, 24 Februari 2009 di Ruang Sidang Badan Litbang Lektur Keagamaan, Jakarta.

This writing is studying the important position of the written data, particularly related to the Islamic classical manuscripts in Islamic archeology. The written data from the written sources in the study of Islamic archeology are as follow: (a) It functions as the supporting study toward the artefactual data; (b) To widen good understanding on the position and the role of the artefact in society at the period; (c) Data from written sources could be the basic of the research and a framework for the study of Islamic archeology; and (d) To encrich interpretation to develop historiography. The position of the written sources is getting more and more important in the stage of historiography as some parts of the archeological studies which are remain unknown can be helped by the study from the written sources. In the end, this effort will be able to open new insight and interpretation and to widen historiographical narration in order to make the study of archeology to be more and more dynamics.

Kata kunci: Arkeologi-religi, artefak, naskah, khazanah, historiografi

Page 124: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

110

itu terdapat dua kemungkinan yang mengemukan, yaitu: (1) tokoh Fatimah yang dimakamkan itu adalah orang Jawa yang telah memeluk Islam, atau (2) ia muslimah pendatang yang karena suatu sebab meninggal dan dimakamkan di Gresik. Selain nisan, dalam kajian para ahli Belanda dahulu tidak melaporkan adanya temuan serta lainnya dari situs nisan Fatimah binti Maimun. Akibatnya tidak ada lagi data yang dapat menyokong terjadinya interpretasi baru atas kasus temuan nisan Fatimah binti Maimun.

Masalah nisan Fatimah binti Maimun sebenarnya hanya salah satu contoh saja dari banyak permasalahan kajian arkeologi Islam di Indonesia.

Suatu kajian terhadap bentuk religi harus pula menjelaskan 4 hal yang berkenaan dengan eksistensi religi tersebut, yaitu: a. Historical explanations, yaitu usaha untuk menjelaskan keber-

adaan suatu agama pada suatu masa sejak agama itu mulai ada, bertahan, dan berkembang dalam tahap selanjunya.

b. Structural explanations, upaya untuk menjelaskan keberadaan suatu agama berkenaan dengan para penentu perkembangan agama, menjelaskan hal-hal penting yang menjadi dasar ter-bentuknya masyarakat pemeluk agama.

c. Causal explanations, upaya menjelaskan keadaan agama dalam masyarakat dengan mengacu kepada kondisi dan suasana ma-syarakat sebelum agama itu timbul.

d. Functional explanations, menjelaskan suatu keadaan sehingga agama tersebut mempunyai fungsi dalam masyarakat (Spiro 1977: 99—101). Keempat fokus utama kajian agama tersebut kiranya dapat

dikerjakan secara baik bilamana berkenaan dengan keadaan agama yang masih hidup di masa sekarang, yang masih ada masyarakat pemeluknya, dan dalam pertalian kekinian. Akan sukar kiranya jika keempat kajian tersebut diterapkan untuk meneliti kehidupan agama yang pernah berkembang di masa silam. Walaupun agama yang dimaksudkan itu sampai sekarang masih ada pemeluknya, namun pemeluk agama masa lalu tentu sudah tiada dan juga secara sosiologis akan berbeda kondisi mereka dengan pemeluk agama masa sekarang.

Oleh karena itu kajian keagamaan masa lalu niscaya tidak akan sempurna lengkap, pasti ada yang rumpang. Hal itu bukan karena

Page 125: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

111

ketidakmampuan peneliti menarik sintesa dan tafsiran, melainkan memang datanya yang terbatas. Data kajian perkembangan agama Islam pada tahap awalnya, tentu bertumpu kepada sumber-sumber tertulis dan data artefaktual yang bersifat fisik. Jika kedua macam data itu dalam kondisi bagus tentu akan membantu memperlancar proses kajian, tetapi seringkali kondisi data yang ada itu telah rusak sebagian, atau hilang. Begitupun dari data yang ada dan masih bertahan hingga kini belum tentu juga dapat dipergunakan dalam kajian, karena memang tidak sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan.

Dalam membahas perkembangan agama dari suatu lingkup kebudayaan, menurut disiplin antropologi sebaiknya harus memper-hatikan lima butir unsur agama yang saling berkaitan satu sama lain. Kelima butir itu selayaknya diperhatikan sesuai dengan pro-porsi data yang tersedia, tergantung pada zamannya serta kualtitas dan kuantitas data yang tersedia. Bagan yang memperlihatkan lima butir unsur religi adalah sebagai berikut:

Bagan I: Unsur-Unsur Religi

EMOSI KEAGAMAAN

SISTEM KEPERCAYAAN

UMAT AGAMAPERALATAN

RITUS & UPACARA

SISTEM RITUS & UPACARA

[Koentjaraningrat, 1980: 80—3]

Apabila dikembalikan kepada ketersediaan data sudah tentu

tidak semua butir tersebut dapat dikaji secara baik. Jika membica-rakan perkembangan agama di masa silam, tentunya yang masih dapat diamati secara langsung adalah sisa peralatan ritus dan upacara. Sistem kepercayaan yang mungkin termaktub dalam kitab-kitab keagamaan, dan sedikit tentang sistem ritus dan upacara

Page 126: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

112

yang dalam penafsirannya harus meminta bantuan analogi pada masyarakat masa kini; masih mungkin untuk dikaji. Bantuan analogi itu dilakukan dengan syarat masyarakat yang dijadikan bahan komparasi masih melaksanakan praktek keagaaman yang mirip dengan agama-agama masa silam, apabila tidak maka tiada mungkin dilakukan.

Sedangkan gambaran umat agama, apalagi emosi keaagamaan agak sukar untuk dikemukakan dan dikaji, sebab masyarakatnya telah tiada, emosi keagamaannya pun sukar digali kembali. Walau-pun demikian ahli para peminat sejarah kebudayaan harus berupaya semampunya dengan --berdasarkan data yang ada-- untuk tetap mencoba menjelaskan pula butir-butir tersebut.

Babakan Perkembangan Kebudayaan di Indonesia

Perkembangan kebudayaan Indonesia diawali dan didasari pada kebudayaan prasejarah. Tahapan prasejarah yang paling penting di Indonesia adalah masa bercocok tanam tingkat lanjut yang ber-samaan dengan berkembangnya kepandaian perundagian. Masa tersebut sangat mungkin dimulai sekitar tahun 500 SM hingga ditemukannya aksara pertama dalam prasasti di wilayah Indonesia (sekitar abad ke-4 atau 5 M).

Dalam periode tersebut mulailah terbentuk komunitas-komu-nitas yang teratur dipimpin oleh ketua kelompok. Sang pemimpin didampingi oleh seseorang yang dituakan, dianggap mempunyai banyak pengalaman, dan luas wawasannya, kepada tokoh itulah masyarakat bertanya perihal berbagai hal, fenomena alam, langkah kehidupan dan lain-lain. Kemudian terdapat masyarakat biasa yang menjadi rakyatnya. Penduduk kepulauan Indonesia masa itu telah menetap dan membentuk perkampungan, rumah-rumah mereka panggung. Kontak-kontak dengan para musafir dari India dan Cina sangat mungkin mulai terjadi di awal tarikh Masehi. Agaknya para niagawan dari India atau Cina tersebut berkunjung ke komunitas-kominitas nenek moyang bangsa Indonesia yang dapat dianggap berinteraksi. Jadi mereka tidak mungkin datang ke wilayah-wilayah yang sepi penduduknya.

Dalam kondisi peradaban masyarakat yang relatif maju seperti itulah pengaruh kebudayaan luar mulai diperkenalkan oleh para musafir India. Nenek moyang bangsa Indonesia merasa tertarik dan

Page 127: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

113

perlu untuk menerima kebudayaan dari India oleh karena itu mereka menerimanya. Hanya tiga anasir budaya saja yang sebe-narnya diterima dari kebudayaan India, yaitu (1) agama Hindu-Buddha, (2) aksara Pallava, dan (3) sistem penghitungan tahun Saka. Ketiganya benar-benar merupakan sesuatu yang baru, artinya tidak pernah dimiliki sebelumnya oleh masyarakat masa itu. Zaman berkembangnya pengaruh India dalam masyarakat Indonesia kuna lazim dinamakan dengan zaman Hindu-Buddha atau zaman Klasik Indonesia.

Berlandaskan ajaran agama Hindu-Buddha berkembanglah sistem pemerintahan kerajaan, dalam hal ini raja dianggap sebagai dewa yang menjelma ke dunia. Kemajuan arsitektur bangunan suci juga didasarkan pada kaidah keagamaan Hindu atau Buddha, dalam hal ini bentuk-bentuk arsitektur candi yang tidak pernah sama antara satu bangunan dengan lainnya (unikum), bangunan pe-tirtha-an (bangunan air suci), dan bangunan pahat batu (rock-cut) yang digarap secara baik.

Sekitar pertengahan abad ke-13 M, di wilayah Sumatra bagian utara telah berdiri kerajaan Islam pertama di Nusantara, bernama Samudra Pasai. Seraya itu di Pulau Jawa masih berdiri kerajaan Singhasari yang bercorak Hindu-Buddha, dan di bagian-bagian lain Indonesia mungkin masih dalam zaman proto-sejarah (beberapa daerah telah dicantumkan dalam kakawin Nāgarakrtāgama yang selesai digubah oleh Mpu Prapanca tahun 1365 M). Islam tidak berkembang dalam kurun waktu yang bersamaan di Nusantara, namun perkembangannya semakin merata mulai abad ke-15 M. Berdasarkan sumber-sumber tradisi dapat diketahui bahwa wilayah Indonesia Timur (Nusa Tenggara dan Maluku) menerima Islam karena upaya para mubalig dari pesantren-pesantren di Jawa Timur. Sumber tradisi juga menyebutkan adanya peranan para ulama dari wilayah Sumatra Barat yang aktif menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, dan wilayah Kalimantan Timur. Hubungan niaga yang ramai antara wilayah Indonesia barat dan timur turut mempercepat proses penyebaran agama Islam.Dalam jalur niaga tersebut turut serta para ulama penyebar Islam, bahkan niagawan itu sendiri adalah ulama penyebar Islam.

Sebelum kedatangan Islam di wilayah-wilayah tersebut telah ada komunitas-komunitas membentuk sistem pemerintahan tradi-

Page 128: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

114

Wacana Bentuk akulturasi ketika agama Islam sudah berkembang di Jawa dengan tradisi yang telah dikenal sebelumnya, antara lain terlihat pada penggunaan atap tumpang pada masjid-masjid kuna yang sebelumnya dipergunakan untuk menaungi candi-candi zaman Majapahit. Penggunaan ragam hias dari masa Hindu-Buddha seperti sulur-daun, bentuk meander, tapak dara, bunga teratai dan lainnya lagi pada kepurbakalaan Islam seperti pada bangunan cungkup makam, tubuh makam (jirat) dan juga pada nisannya. Ornamen-ornamen masa Hindu-Buddha juga masih dipertahankan di kompleks keraton Islam di Jawa.

sional yang masih bercorak tradisi perundagian. Religi yang ber-kembang pun secara hipotetis masih merupakan pemuliaan terhadap arwah nenek moyang. Dengan demikian perkembangan kebudaya-annya dapat dinyatakan dari masa prasejarah protosejarah sejarah dengan masuknya Islam, tanpa melalui sistem kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha sebagaimana halnya di Jawa.

Cukup banyak peradaban Nusantara yang mendapat pembaha-ruan dalam zaman awal perkembangan agama Islam, selain ajaran agama itu sendiri terdapat beberapa perolehan lainnya, misalnya digunakannya huruf Arab, dikenalnya tahun Hijriah, cara berpakai-an yang hampir menutup seluruh tubuh, diperkenalkannya sistem persenjataan dengan mesiu, dan terbentuknya kota-kota pelabuhan baru tempat bermukimnya masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Di beberapa wilayah Nusantara terdapat masyarakat yang sam-pai sekarang memeluk agama Islam secara taat, tanpa adanya bentuk akulturasi dengan kebudayaan yang berkembang sebelumnya.

Lain halnya di Jawa, tempat merebaknya kebudayaan Hindu-Buddha yang relatif lama, maka terdapat fenomena adanya bentuk-bentuk akulturasi antara Islam dengan tradisi yang telah dikenal dalam agama Hindu-Buddha. Walaupun demikian di Jawa juga ter-dapat daerah-daerah yang keislamannya relatif menonjol dengan sedikitnya pengaruh dari tradisi lama. Di beberapa wilayah terdapat pula masyarakat yang masih mempertahankan aspek-aspek kebuda-yaan Hindu-Buddha yang telah dipadukan dengan anasir dari agama Islam. Aspek kebudayaan hasil perpaduan tersebut dirasakan sangat dominan dalam masyarakat tertentu, sehingga hampir-hampir menutupi agama Islam yang secara resmi dipeluk dalam masya-rakat. Dalam proses dinamika kebudayaan bentuk-bentuk akulturasi tersebut sebenarnya turut memperkaya khazanah peradaban yang ada.

Page 129: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

115

Dalam bidang kesusastraan masa Islam juga cukup maju, karya sastra-karya sastra umumnya ditulis dengan aksara Arab atau aksara Jawa dengan bahasa Melayu, Jawa, dan Arab. Di Jawa selain dikenal bentuk kidung (puisi karya etnis Jawa), juga dikenal bentuk suluk yang berisikan ajaran-ajaran tasawuf, babad kisah sejarah dari sudut pandang tradisional, tentang berdirinya suatu kota, kera-jaan, peperangan, dan lain-lain. Di luar Jawa dikenal karya sastra dalam bentuk hikayat, tambo, salasilah, lontara, dan lain-lain lagi.

Hampir seluruh wilayah Nusantara mempunyai lapisan kebuda-yaan yang dipengaruhi oleh agama Islam, hanya beberapa saja yang dalam perkembangan kebudayaannya tidak mendapat pengaruh Islam, atau kalaupun ada hanya bersifat tipis saja.

Setelah pertumbuhan kebudayaan Hindu-Buddha menyusul ke-mudian masuk dan berkembangnya Islam yang berbeda-beda di tiap wilayah. Masa pertumbuhan kerajaan Islam terentang antara abad ke13 hingga 17 M, dalam masa itu banyak kerajaan Islam di kepulauan Indonesia yang silih berganti tumbuh dan berkembang. Di wilayah Jawa Tengah perkembangan Islam ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam pertamanya, yaitu Demak (sekitar tahun 1500 M) yang menurut sumber tradisi merupakan penerus kerajaan Majapahit. Akan halnya di wilayah Jawa bagian barat, masuk dan berkembangnya Islam terjadi lebih kemudian, mungkin ditandai dengan berdirinya Kesultanan Cirebon, dan jatuhnya istana Pakuwan Pajajaran sebagai ibu kota kerajaan Sunda pada sekitar tahun 1579/1580 M.

Begitupun masuknya kekuatan kolonial Belanda di wilayah-wilayah Indonesia tidak dalam periode yang sama, ada daerah yang lebih dahulu berkenalan dengan orang-orang Belanda, tetapi Bali adalah daerah terakhir yang diduduki kekuatan Belanda setelah puputam Klungkung 1906 M. Dengan demikian proses akulturasi yang terjadi antara peradaban Eropa barat yang dibawa Belanda dengan kebudayaan daerah-daerah setempat tentunya berbeda dalam hal rentang waktu dan intensitasnya. Akibatnya dapat dipahami apabila di wilayah tertentu Indonesia pengaruh kebudayaan Eropa (Belanda) jauh lebih kentara.

Dengan demikian diskusi tentang pembabakan dalam sejarah kebudayaan Indonesia merupakan hal yang agak rumit, tidak seluruh wilayah Indonesia mengalami perkembangan kebudayaan

Page 130: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

116

dalam tahap-tahap yang sama. Wilayah-wilayah tertentu mempu-nyai corak kebudayaan yang berbeda dari yang lainnya, hal itu sangat mungkin terjadi karena: 1. Sedikitnya pengaruh kebudayaan luar, pengaruh itu terjadi baru

awal abad ke-20 M. 2. Masa “pergaulan” dengan kebudayaan luar berlangsung cukup

lama. 3. Intensitas “pergaulan” yang relatif mendalam. 4. Terdapatnya etnis yang secara sadar menolak adanya pemba-

ruan akibat pergaulan dengan kebudayaan luar tersebut. Berdasarkan adanya macam perbedaan tersebut, maka garis

perkembangan kebudayaan di wilayah-wilayah Indonesia menjadi bervariasi, walaupun terdapat beberapa daerah yang memiliki per-kembangan yang hampir mirip. Sebagai contoh berikut diuraikan bagan perkembangan kebudayaan di Jawa.

Bagan II : Perkembangan Kebudayaan di Jawa

Garis tersebut akan berbeda apabila dibandingkan dengan

kebudayaan yang berkembang di Pulau Bali, sebab Bali mempu-nyai perkembangan kebudayaan yang tidak banyak dipengaruhi anasir budaya luar. Perkembangan kebudayaan di Bali terlihat dalam bagan berikut:

Bagan III : Perkembangan Kebudayaan di Bali

Apabila menelisik data sejarah dan arkeologi, maka di Pulau

Dewata masa proto-sejarahnya relatif lebih lama daripada yang berlangsung di Jawa. Pulau Bali telah disebut-sebut keberadaannya oleh berita Cina dinasti T’ang dan prasasti-prasasti di Jawa dalam abad ke-8, namun prasasti yang ditemukan di Bali sendiri baru

Page 131: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

117

dijumpai dalam tahun 835 S (913 M) dalam masa pemerintahan Sri Kesari Warmadewa (Goris 1965: 9). Begitupun di Bali tidak pernah berdiri kerajaan Islam sebagaimana di Jawa atau Sulawesi selatan, pada waktu yang bersamaan dengan tumbuh kembangnya kesul-tanan-kesultanan Islam, di Bali berkembang kerajaan-kerajaan kecil dengan latar belakang Hindu-Bali, seperti Klungkung, Karangasem, Buleleng, Mengwi dan lain-lain.

Di wilayah Maluku utara perkembangan kebudayaannya pun berbeda pula dengan daerah lainnya, secara ringkas dapat terlihat pada bagan berikut:

Bagan IV : Perkembangan Kebudayaan di Wilayah Maluku Utara

Masa protosejarah di wilayah Maluku utara agaknya berlang-sung cukup lama (antara awal tarikh Masehi hingga sekitar abad ke-14 M), ketika daerah tersebut telah dikenal dalam catatan para pendatang dan sumber-sumber tertulis etnis lain di Indonesia. Sementara itu bukti tertulis lokal yang menceritakan perihal daerah itu sendiri baru didapatkan pada paruh pertama abad ke-15 M, sebab tercatat penguasa pertama di Ternate ialah Sultan Zainal Abidin (1486-1500 M), tokoh inilah yang mengalami masa transisi dalam sistem pemerintahannya, semula dari sistem tradisional kolano ke bentuk kesultanan (Putuhena 1980: 268). Tahapan per-kembangan kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha tidak dimiliki di wilayah Maluku Utara. Masa kolonial lebih awal terjadi di daerah tersebut, karena politik perdagangan cengkeh bangsa-bangsa barat yang berebutan untuk menguasai Maluku Utara.

Sudah tentu wilayah-wilayah lainnya di Indonesia akan mempu-nyai tahapan perkembangan kebudayaan yang berbeda-beda pula, hal itulah yang sebenarnya menjadi salah satu masalah yang harus diperhatikan manakala hendak disusun suatu historiografi tentang kebudayaan. Walaupun demikian tahap perkembangan kebudayaan

(Putuhena, 1980)

Page 132: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

118

seperti itu harus dijadikan acuan kronologis demi untuk memudahkan penulisan dan agar pembicaraan tidak berkembang menjadi tidak terarah. Semua aspek kebudayaan yang ditelaah dalam suatu historiografi kebudayaan sudah sewajarnya apabila mengikuti kronologi yang dapat dianggap “seragam” sejak masa prasejarah hingga zaman Kemerdekaan. Sebab kronologi seperti itu merupakan kerangka besar yang dapat dijadikan patokan untuk penulisan sejarah kebudayaan Indonesia secara garis besar. Nilai-nilai Penting dalam Kebudayaan Indonesia

Sutan Takdir Alisjahbana (1982) pernah mengemukakan bebe-rapa diagram yang berkenaan dengan perkembangan kebudayaan di Indonesia dipandang dari segi nilai-nilai. Beberapa nilai yang dija-dikan sudut pandang adalah: (1) nilai teori, (2) nilai agama, (3) nilai seni, (4) nilai ekonomi, (5) nilai kuasa, dan (6) nilai solidaritas. Berdasarkan data yang ada, diagram perkembangan kebudayaan di wilayah Indonesia sebelum masuknya pengaruh asing (baca: India) adalah sebagai berikut:

Bagan V: Perkembangan Kebudayaan di Wilayah Indonesia sebelum

Masuknya Pengaruh Asing

Dalam diagram yang memperlihatkan masa prasejarah dan

protosejarah tersebut terlihat nilai kuasa cukup rendah bersebrangan dengan nilai solidaritas yang tinggi. Maklum masa itu rasa kebersamaan dari masyarakat manusia yang menghuni suatu permukiman sangat nyata, keputusan diambil dengan musyawarah warga, pemimpin hanya melaksanakannya saja. Nilai teori (ilmu

Page 133: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

119

pengetahuan) masih rendah, sedangkan nilai religi tinggi sebab masyarakat manusia masa itu kehidupannya masih diliputi oleh suasana religius, kebudayaan manusia berada dalam tahapan mitos. Nilai seni belum begitu berkembang, walaupun bentuk-bentuk awal berkesenian telah dirintis oleh masyarakat manusia. Gagasan berestetika sudah barangtentu telah mulai muncul, karena itu bentuk-bentuk kesenian awal yang mengandung anasir estetika telah dibuat. Nilai ekonomi pun rendah, karena manusia masa itu mungkin belum mengerti tentang konsep untung dan rugi, yang ada adalah ekonomi barter yang setara.

Diagram itu berbeda bentuknya ketika diterapkan dalam kebudayaan masa perkembangan dan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, sebab data yang tersedianya pun berbeda pula. Gambarannya sebagai berikut:

Bagan VI: Perkembangan Kebudayaan di Wilayah Indonesia pada Masa Kearajaan-Kerajaan Islam

Dalam Bagan VI diperlihatkan bahwa nilai seni tidak terlalu

berkembang, bahkan ada beberapa pembatasan berkesenian, se-dangkan nilai ekonomi pada masa perkembangan Islam di Nusan-tara cukup tinggi. Banyak niagawan Islam yang berlalu-lalang membawa barang dagangan dalam kapal-kapal niaga mereka, berla-buh di berbagai bandar antara India, Nusantara, Asia Tenggara, dan Cina selatan.

Diagram-diagram itu pada dasarnya hendak menunjukkan seca-ra visual bahwa perkembangan kebudayaan di Indonesia berbeda pada tiap periode. Oleh karena itu tiap periode dalam mempunyai

Page 134: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

120

kekhasan dan fokus perhatian yang berbeda-beda apabila hendak dituangkan dalam suatu kajian ilmu masa lalu, baik sejarah ataupun arkeologi.

Data yang sudah sewajarnya diperhatikan dalam mengkaji arkeologi-religi masa perkembangan Islam di Indonesia dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu : 1. Data arkeologis seperti bangunan masjid, mushalla, kolam

wudu, menara, sisa istana, goa pertapaan, berbagai ornamen dan sebagainya.

2. Data yang tersirat dalam berbagai sumber tertulis, misalnya dalam prasasti (piagem) karya-karya sastra, berita asing, dan lain-lain.

3. Tradisi lisan yang masih mungkin mengendap dan merupakan ingatan bersama (collective memory) dalam masyarakat baik di Jawa ataupun di Bali.

Para peneliti hendaknya mampu menggunakan ketiga macam data tersebut sesuai dengan tujuan studi, dan bangun penafsiran yang diharapkannya. Sebab tidak semua macam data itu tersedia dalam bobot yang sama, pastinya akan berbeda-beda dalam setiap masa, dan dalam setiap perkembangan masyarakat yang mengusung kebudayaan sezaman.

Arkeologi Islam Indonesia Sebagai Arkeologi-Sejarah Dalam kajian arkeologi terdapat data utama yang penting, yaitu

data kebendaan yang lazim disebut artefak. Artefak secara seder-hana dapat diberi batasan sebagai benda hasil karya manusia masa

Wacana Dalam melakukan kajian jenis data ketiga, yaitu berita tradisi lisan seringkali diabaikan. Tradisi lisan memang dipandang mutunya lebih rendah daripada kedua data lainnya, walaupun demikian tetap perlu diperhatikan mengingat di dalamnya -jika dicermati dengan baik- akan ditemukan data yang dapat menyokong sumber tertulis dan data arkeologis. Contoh data dalam bentuk tradisi lisan adalah dongeng, legenda, mitos, permainan rakyat, teka-teki, peribahasa dan lainnya. Misalnya di Cirebon terdapat legenda bahwa atap tumpang masjid Sang Cipta Rasa hanya dua; atap ketiga (puncak) dahulu hancur karena tersambar oleh tongkat Sunan Gunung Jati.

Page 135: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

121

lalu, dan bentuknya bermacam-macam sesuai dengan keperluan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebagaimana diketahui bahwa ilmu arkeologi terbagi dalam dua ranah besar, yaitu Arkeologi-Prasejarah dan Arkeologi-Sejarah (historical archaeology). Apabila kajian prasejarah sepenuhnya mempelajari artefak melalui berbagai metode untuk menelaah artefak, maka kajian arkeologi-sejarah selain bertumpu kepada kajian artefak, juga memanfaatkan data informasi sumber tertulis berbentuk prasasti, naskah-naskah kuno, piagem, berita asing dokumen, surat-surat kerajaan atau pribadi, arsip, peta kuno, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, dinamakan arkeologi sejarah yang berarti kajian arkeologi yang memanfaatkan juga sumber-sumber sejarah, yaitu berbagai berita tertulis.

Kajian arkeologi-sejarah di Indonesia meliputi masa perkem-bangan agama Hindu-Buddha dan juga masa perkembangan Islam, dan sudah barang tentu masa kolonial dan masa selanjutnya dalam era Republik Indonesia. Jadi pada prinsipnya kajian arkeologi-sejarah berada dalam periode ketika di suatu bangsa telah mengenal bukti-bukti tertulis. Walaupun telah ada bukti tertulis kajian arkeologi-sejarah tetap mendasarkan data utamanya kepada objek-objek kebendaan (artefak), lalu untuk pemahaman lebih lanjut tentang sesuatu artefak, dipergunakanlah data dari berbagai sumber tertulis sezaman yang mungkin mendukung kajian terhadap artefak.

Bagan VII: Unsur-Unsur Arkeologi Islam

Page 136: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

122

Secara prinsipil terdapat beberapa kepurbakalaan masa silam yang dapat dihubungkan dengan periode perkembangan dan kera-jaan-kerajaan Islam Nusantara. Kepurbakalaan itulah yang merupa-kan data kajian utama arkeologi Islam, untuk mengungkapkan pencapaian peradaban yang telah direngkuh oleh masyarakat pada masanya. Peninggalan khazanah keislaman itu antara lain berupa: 1. Monumen terbagi menjadi:

a. Masjid kuno. b. Gapura dan pagar keliling. c. Menara masjid. d. Cungkup makam. e. Makam dan kompleks makam. f. Istana dan bangunan-bangunan di dalamnya. g. Sistem perbentengan. h. Taman dan bangunan air. i. Tugu peringatan.

2. Artefak bergerak, terdiri dari: a. Hiasan bangunan. b. Furniture: meja, kursi. sketsel, dipan, rak, dan lain-lain. c. Senjata. d. Mimbar kayu. e. Maksurah. f. Bedug, kentongan dan waditra lainnya. g. Alat transportasi: palangka, kereta, perahu. h. Hasil seni kriya: ukiran, pahatan stilasi, wayang, topeng,

batik, tenun. i. Heraldik: panjí-panji, lambang, dan benda-benda penanda

kebesaran raja/sultan. j. Keramik asing ataupun lokal.

3.Tata Kota & Penataan Istana a. Alun-alun sebagai pusat kota. b. Jalan sebagai acuan kota. c. Penataan istana yang linear, konsentris, dan menyebar.

Dalam kajian arkeologi Islam banyak data yang berupa keben-daan, artefaktual merupakan data utama yang penting, jadi bukan-nya data tertulis. Apabila data tertulis yang digarap terlebih dahulu,

Page 137: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

123

maka kajian itu bukan lagi arkeologi, melainkan sejarah atau filologi. Dalam telah arkeologi, maka sang peneliti harus mampu mengungkapkan kehadiran data arkeologis dalam konteks sejarah kebudayaan Islam di suatu daerah dan pada suatu masa tertentu.

Kajian secara umum terhadap kepurbakalaan monumental dari masa awal perkembangan Islam dan masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dapat membawa kepada pemahaman akan: 1. Bentuk arsitektur masjid, menara, gapura, istana, makam dan

lainnya 2. Langgam arsitektur bangunan masjid, menara, gapura, istana,

dan lain-lain 3. Bahan yang digunakan pada bangunan-bangunan tersebut. 4. Kelompok pengguna yang memanfaatkan dan mengapresiasi

bangunan-bangunan tersebut. Demikianlah beberapa pemahaman umum yang mungkin diha-

silkan dalam ranah arkeologi-sejarah, apabila melakukan studi terh-adap suatu monumen. Selain pemahaman umum tersebut, terdapat pula pemahaman yang lebih khusus lagi, terutama dalam hal latar belakang pembangunan monumen dan juga beberapa keistime-waannya.

Misalnya kajian terhadap Masjid Demak, maka dapat diketahui tentang (a) bentuk arsitektur, (b) bahan, (c) sejarah dan peranannya dalam proses penyebaran Islam, (d) keistimewaannya: antara lain adanya figur bulus (kura-kura) pada dinding belakang mihrab yang berbobot angka tahun 1401 Saka; salah satu dari keempat soko gurunya merupakan tatal (serpihan kayu yang disatukan); terdapat relief yang menggambarkan sepasang “halilintar” pada daun pintu tengah masjid; adanya penggunaan tiang-tiang dengan gaya ukiran Majapahit pada serambi depan masjid.

Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon mempunyai keistimewaan sebagai berikut: 1. Sebagaimana masjid kuno lainnya, masjid ini mempunyai empat

Soko Guru 2. Dinding tembok hanya berfungsi sebagai penyekat antara ruang

dalam dan ruang serambi masjid, tidak sebagai penopang atap. 3. Pada dinding penyekat tersebut terdapat sembilan pintu rendah

(tiga pintu di sisi utara, timur, dan selatan).

Page 138: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

124

3. Pada bagian bingkai atas ceruk (ruang) mihrab terdapat orna-men yang merupakan stilasi dari bentuk kala-makara.

4. Semula di bagian depan pintu masjid yang terletak di sisi timur terdapat kolam untuk mengambil air wudlu.

Adapun kajian terhadap keraton di Jawa dapat diungkap ada-nya beberapa pengetahuan lain di luar pengetahuan utama, antara lain, yaitu: 1. Keraton umumnya terbagi ke dalam tiga penataan halaman,

yaitu halaman depan, tengah, dan belakang. 2. Bangunan-bangunan penting terdapat di halaman paling

belakang, mislanya bangunan persemayaman raja dan keluar-ganya dan bangunan induk keraton (Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon, Kasultanan di Yogjakarta dan Kasunanan di Surakarta).

3. Keraton-keraton luar Jawa umumnya berupa bangunan pang-gung dengan ukuran besar.

4. Terdapat beberapa keraton yang dikelilingi tembok benteng (Surasowan di Banten dan Kuto Besak di Palembang) Kajian terhadap pintu gerbang (gapura): (1) dapat diketahui

bahwa gapura yang berbentuk Candi Bentar (di Cirebon disebut Lawang Seketeng) selalu terletak di halaman paling depan, adapun gapura beratap (di Bali dinamakan Kori Agung, di Cirebon disebut Lawang Bledeg) terdapat di lingkungan dalam, mengarah ke daerah inti istana atau kompleks makam; (2) Kedua bentuk gapura tersebut merupakan kelanjutan bentuk-bentuk pintu gerbang yang telah dikenal dalam zaman perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha di Jawa.

Kompleks makam tokoh-tokoh yang berhubungan dengan penyebaran agama Islam (para wali) dan juga pemakaman keluarga raja, memilih dataran tinggi, bukit, atau lereng pegunungan sebagai lokasinya. Hal ini dapat diketahui berkat adanya kajian arkeologi Islam terhadap kompleks-kompleks makam yang masih ada hingga sekarang. Kompleks makam yang terletak di lokasi ketinggian antara lain adalah: 1. Kompleks makam Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung. 2. Kompleks makam Sunan Drajat di Gunung Muria. 3. Kompleks makam Sunan Bayat di Klaten. 4. Kompleks makam Sunan Giri di Gresik.

Page 139: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

125

5. Kompleks makam Imogiri di Yogjakarta. 6. Kompleks makam Sunan Sendang di Bojonegoro.

Secara konsepsi hal ini agaknya dapat dijelaskan bahwa adanya kesinambungan penghormatan kepada tempat-tempat tinggi yang dianggap sebagai tempat keramat. Dalam zaman prasejarah ada penjelasan yang menyatakan bahwa tempat-tempat tinggi adalah lokasi yang layak bagi persemayaman arwah leluhur (Parahyangan, Di-Hyang, Iyang). Konsep itu terus bertahan ketika agama Hindu-Buddha berkembang, apa lagi diperkuat dengan kepercayaan bahwa tempat tinggi adalah simbol Gunung Mahameru yang dipuncaknya bersemayam para dewa dalam Swarloka. Konsepsi itu agaknya terus bertahan ketika Islam berkembang di Tanah Jawa, oleh karena itu tokoh-tokoh yang telah wafat dimuliakan dalam kompleks makam yang terletak di ketinggian.

Kajian kepada kepurbakalaan yang berupa artefak bergerak akan membawa kepada pemahaman: 1. Bentuk dan bahan artefak bergerak. 2. Pembuat artefak tersebut, setidaknya bukan nama diri seniman,

namun nama kelompok pengrajinnya. 3. Penggunaan dalam masyarakat pendukungnya. 4. Asal gaya seni artefak tersebut.

Telaah arkeologi terhadap senjata yang dipergunakan dalam masa perkembangan Islam menghasilkan kepada bentuk-bentuk senjata tajam yang pernah digunakan masyarakat. Tentu saja di Jawa senjata yang paling populer adalah keris, keris juga dikenal di berbagai etnik lain di Nusantara dan telah banyak buku yang dihasilkan para peneliti dan peminat tentang keris. Selain keris senjata tajam lainnya misalnya tombak bermata tunggal, bermata ganda (dwisula), bermata tiga (trisula), perisai, golok, pedang, dan sebagainya

Dalam masa perkembangan Islam di Indonesia, senjata api telah pula digunakan, khususnya meriam. Maka dikenal adanya meriam buatan local seperti meriam Pancawura yang ada di keraton Kasunanan Solo, meriam Si Jagur di Museum Fatahillah, dan meriam Ki Amuk di Banten Lama. Studi terhadap berbagai meriam dari era kerajaan Islam di Nusantara di masa mendatang akan membawa kepada pengetahuan tentang sistem persenjataan berat

Page 140: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

126

dari kerajaan-kerajaan itu. Adakah jumlah meriam yang dimiliki menandakan kebesaran dan kejayaan kerajaan tersebut?

Dari masa perkembangan Islam di Jawa banyak dihasilkan karya seni, baik seni rupa ataupun seni pertunjukan. Sebenarnya dalam kesenian dapat dinyatakan sebenarnya terdapat lima unsur yang saling berkaitan sebagai berikut:

Bagan VIII: Unsur-Unsur Kesenian

Kelima unsur itu saling berkaitan dan mengisi dalam mengha-silkan suatu karya seni, jadi tidak ada satu unsurpun yang diabaikan. Dalam bagan terlihat gagasan berada di bagian tengah, karena memang gagasan itu yang mendasari keempat unsur lainnya, misal-nya antara seniman dan masyarakat harus berada dalam “satu bahasa dan satu gagasan” apabila hendak mengapresiasi suatu karya seni, jika tidak karya seni tidak mendapat penghargaan dalam masyarakat. Demikian pula dalam mengekspresikan gagasan berke-seniannya seniman harus memilih bahan/media apa yang diguna-kan, sehingga ada keterkaitan antara seniman, gagasan, media dan hasil karya seni. Keutuhan lima unsur kesenian dalam karya seni keislaman agaknya cukup diperhatikan oleh para penghasil karya seni keislaman di masa silam, terutama dalam sejarah perkem-bangan Islam di Nusantara.

Salah satu bentuk seni rupa yang sederhana namun memerlukan kecermatan adalah seni kriya. Bentuk seni kriya dalam masa per-

Page 141: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

127

kembangan Islam banyak yang bertahan hingga sekarang, contoh yang baik adalah figur-figur wayang kulit dan wayang golek Cepak gaya Cirebonan. Sebagaimana telah diketahui bahwa bentuk wayang kulit sekarang ini adalah gubahan Sunan Kali Jaga, figur wayang kulit gaya lama dari era Majapahit telah “dirombak” dan distilirisasi untuk disesuaikan dengan kaidah kesenian Islam. Wayang kulit itu lebih mirip kepada simbol-simbol yang tidak sesuai dengan figur manusia sebenarnya, dan ceritanya pun telah direkaulang untuk keperluan Islamisasi.

Seni kriya lainnya yang sering menjadi data kajian arkeologi Islam adalah pahatan kayu baik dalam bentuk relief atau ornamen lainnya. Dari lingkup kesenian Islam masa Kesultanan Cirebon dikenal adanya bentuk-bentuk pahatan kayu yang mengambil figur dewa-dewa Hindu atau tokoh wayang yang telah sangat distilasi dengan gabungan bentuk mega mendung dan juga bentuk-bentuk wadasan (karang laut). Bentuk hiasan khas Cirebon yang meru-pakan gabungan antara motif awan mendung dan batu-batu karang tersebut dikenal meluas dalam bermacam karya seni rupa, dapat dijumpai sebagai komponen hiasan keraton, Taman Sunyaragi, batik, kereta milik sultan, lukisan kaca, bahkan sebagai iluminasi pada naskah-naskah Cirebon.

Mengenai tata kota dan penataan kompleks istana terdapat kajian tersendiri dalam bidang arkeologi Islam. Penataan kota-kota Islam di Jawa agaknya mempunyai pola yang telah baku. Prototipe penataan kota Islam di Jawa itu sangat mungkin terjadi di kota Demak kuno (Adrisijanti M. Romli 2008: 19-20). Dalam penataan itu pusat kota adalah tanah lapang (alun-alun), di sisi selatannya terdapat bangunan kedaton atau istana, sisi barat alun-alun berdiri masjid agung, bagian utara terdapat pasar tempat orang berniaga, dan di tepi bagian timur alun-alun berdirilah bangunan-bangunan peradilan seperti kejaksan, dan penjara. Pola seperti ini terus diikuti oleh kota-kota kerajaan lainnya seperti Cirebon, Banten, Surakarta, dan Jogjakarta. Bahkan kota-kota kabupaten di Jawa dalam masa kolonial pun banyak yang tetap mempertahankan pola penataan pusat kota demikian.

Bangunan dalam kompleks istana umumnya digambarkan linear, dimulai dari sisi paling utara merupakan bangunan-bangunan penyongsong tamu, kemudian bangunan bagian tengah kompleks

Page 142: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

128

yang merupakan pendukung aktivitas istana, dan paling dalam adalah bangunan-bangunan utama dan tempat tinggal raja dan kerabatnya sehari-hari. Pola seperti ini terlihat di kompleks keraton Kasepuhan dan Kanoman Cirebon, keraton Surakarta dan Yogjakarta dan juga di kompleks Keraton Sumenep di Madura.

Pola penataan bangunan keraton memusat misalnya terdapat di kompleks keraton Surasowan dan keraton Kaibon, Banten Lama. Semua bangunan keraton dilingkungi tembok benteng dan semua-nya terintegrasi dalam suatu area kedaton. Adapun pola penataan menyebar atau menghadap ke sungai terjadi pada istana-istana kerajaan Islam yang terdapat di luar Jawa, misalnya di Kutai Kertanegara, Sambas, dan Pontianak.

Dalam hal khazanah naskah Islam di Nusantara, bentuk dan ragamnya sangat beraneka, begitupun juga mengenai isinya. Beri-kut data penting tentang manuskrip masa Islam:

Aksara yang digunakan antara lain: (a) Arab dan keturunannya, (b) Jawa, (c) Lampung, (d) Bugis, (e) dan lainnya. Bahasa juga beraneka, antara lain (a) Jawa, (b) Sunda, (c) Melayu, (d) Bugis, (e) dan berbagai bahasa daerah lainnya. Isi yang dikandung tentang (a) ajaran agama Islam, (b) tarikh nabi-nabi dan sahabatnya, (c) babad/sejarah tradisional (d) kisah wayang, (e) kisah binatang (f) kisah penglipur lara/jenaka (g) undang-undang, (h) obat-obatan, (i) uraian tentang mistik dan tasawuf, (j) dan lainnya. Bentuknya dalam prosa ataupun puisi dengan aturan prosodi tertentu.

Tujuan penulisan naskah-naskah Nusantara itu antara lain untuk: 1. Pengungkapan ekspresi estetika para penggubahnya. 2. Memberikan legitimasi tentang kuasa yang dimiliki oleh para

raja, sultan, dan kaum kerabatnya. 3. Mengingat dan mengakumulasi pengetahuan tertentu yang telah

diketahui oleh penggubah atau masyarakat sekitarnya. 4. Sebagai upaya untuk menyebarkan ajaran keagamaan Islam. 5. Penyusunan kisah sejarah tradisional dengan berbagai sebutan-

nya (Babad, Hikayat, Tambo, Legenda, Sajarah).

Peranan data dari sumber tertulis dalam kajian arkeologi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:

Page 143: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

129

(a) Pendukung kajian terhadap data artefaktual Dalam hal ini data dari sumber tertulis tersebut dijadikan bahan

untuk membantu “menjelaskan” artefak dari masa perkembangan Islam. Contohnya dalam kajian arkeologi Islam ditemukan makam Islam kuno, menurut uraian penduduk adalah makam putri Champa. Dalam naskah Babad Tanah Jawi terdapat penjelasan bahwa salah seorang Raja Majapahit masa akhir telah menikah dengan putri Champa yang memeluk Islam.

(b) Memperluas pemahaman tentang kedudukan dan peranan artefak dalam masyarakat sezaman Merupakan suatu keniscayaan yang terjadi, jika kajian hanya

menyandarkan diri kepada data arkeologi, maka pemahaman pun terbatas. Dengan menelisik sumber-sumber tertulis maka diperoleh lagi pemahaman yang lebih luas tentang sesuatu artefak. Contoh: dapat dipahami bahwa di situs Trowulan peninggalan Majapahit terdapat kompleks pemakaman Islam Troloyo, sebab menurut berita Cina dalam masa kejayaan Majapahit pun telah banyak orang-orang Islam yang bermukim dan berniaga di kota itu.

(c) Data dari sumber tertulis dapat menjadi dasar penelitian dan kerangka acuan kajian arkeologi Islam Uraian dari sumber tertulis ada yang dapat dijadikan pegangan

bagi kajian arkeologi di lapangan. Temuan dari naskah dapat juga menjadi kerangka acuan yang harus dibuktikan oleh para arkeolog. Misalnya dari Babad Demak diuraikan bahwa di kota Kerajaan Demak terdapat pula kedaton tempat bersemayamnya para pe-nguasa, namun kajian arkeologi hingga sekarang masih belum dapat membuktikan di mana lokasi tepatnya kedaton tersebut, kecuali masjid agungnya yang masih berdiri megah hingga kini.

(d) Memperkaya interpretasi untuk dapat mengembangkan historiografi Kajian arkeologi-sejarah atau pun sejarah diakhiri dengan tahap

historiografi, tahapan ini sudah tentu memadukan data dari berbagai sumber. Peranan data dari sumber tertulis menjadi penting dalam tahap historiografi, karena bagian-bagian yang berdasarkan telaah arkeologi masih gelap, dapat dibantu diterangi lewat kajian dari sumber tertulis. Pada akhirnya dapat membuka interpretasi baru dan

Page 144: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

130

memperluas narasi historiografi untuk dapat dijadikan bahan diskusi lebih lanjut. Epilog

Kajian arkeologi Islam di Nusantara sudah pasti dapat dikem-bangkan lagi, memang para peneliti Belanda telah merintis kajian tersebut sejak awal abad ke-20 M, tetapi banyak temuan baru yang terus bermunculan hingga kini dan menunggu untuk dikaji. Dalam pada itu data arkeologi Islam yang terdahulu pun banyak yang masih belum dikaji secara tuntas, atau perlu dilakukan kajian ulang atau interpretasi baru. Misalnya kajian data arkeologi terhadap monumen Gunongan yang dibangun dalam masa Kesultanan Aceh telah cukup memadai, bahkan telah dipugar secara baik. Akan tetapi kajian terhadap peranan dan fungsi monumen tersebut dalam masanya masih dapat diperbincangkan lagi, mungkin terdapat makna lain yang mendalam dan bukan sekedar bangunan untuk melengkapi Taman Raja.

Dewasa ini terdapat kecenderungan masyarakat untuk memper-baiki monumen-monumen kuno Islam yang dipandang sudah lapuk atau rusak, misalnya terhadap masjid-masjid kuno, istana, makam, dan gapura. Kecenderungan meluas justru terjadi “pemugaran” terhadap masjid-masjid tua oleh masyarakat penggunanya sendiri. Dalam melakukan perbaikan atau pemugaran tersebut kerapkali kaidah keilmuan (ilmu arkeologi) diabaikan, oleh karena itu hasilnya adalah bangunan baru sama sekali tanpa menyikan unsur-unsur kunonya.

Hal ini sebenarnya merupakan permasalahan lama, para arkeolog telah membagi dua macam munumen, yaitu (a) dead monument, dan (b) living monument. Masjid kuno, istana, makam, dan monumen lainnya dari masa perkembangan Islam masih dipergu-nakan dan dirawat oleh para pendukungnya, oleh karena itu lumrah saja apabila mereka melakukan perbaikan-perbaikan, penambahan, bahkan pembangunan baru. Hal yang perlu dikemukakan kepada masyarakat pendukung living monument adalah prinsip pelestarian dan kepentingan ilmu pengetahuan yang juga harus dijaga. Kedua prinsip itu jelas harus berjalan berdampingan dengan aspek peman-faat dan aktualisasi zaman. Jadi apabila telah terjadi “pemugaran” terhadap suatu masjid kuno oleh masyarakat dengan mengabaikan

Page 145: jurnal lektur

Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

131

prinsip pelestarian dan ilmu pengetahuan, mungkin hal itu bukan akibat kesalahan masyarakat semata, hal itu terjadi karena ketidaktahuan masyarakat tentang studi arkeologi Islam.

Langkah-langkah di masa mendatang untuk memajukan kajian arkeologi Islam dan menjaga data khazanah artefak serta manuskrip keislaman lainnya, tidak hanya harus dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait. Perhatian dan apresiasi terhadap pengem-bangan arkeologi Islam itu harus juga ditularkan kepada warga masyarakat oleh siapapun yang berminat dalam arkeologi Islam, sehingga bukti-bukti masa awal perkembangan Islam di wilayah Nusantara tidak terkikis habis oleh pembangunan dan modernisasi. Jika saja hal itu terjadi, maka bangsa Indonesia telah melupakan jatidiri sejarah keislaman dan bukti-bukti kehadiran agama Islam pada awalnya, padahal dunia telah mengakui bahwa Indonesia adalah negara Islam dengan penduduk terbesar di dunia.[] Daftar Pustaka

Adrisijanti M. Romli. 2008. “Puncak-puncak Prestasi Kesultanan Demak dalam Bidang Budaya”, dalam Majalah Budaya Bende Vol.4 No.2, Desember. Halaman 18—21. Jakarta: Sekar Budaya Nusantara & FIB UI.

Alisjahbana, S. Takdir. 1982. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Dilihat dari Segi Nilai-nilai. Jakarta: Dian Rakyat.

Goris, R.. 1965. Ancient History of Bali. Denpasar: Faculty of Letters, Udayana University.

Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogjakarta: Tiara Wacana.

Putuhena, M. Shaleh A. 1980. “Sejarah Agama Islam di Ternate”, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (MISI). Maret, Jilid VIII. No. 3: 263—76. Jakarta: Bhratara.

Spiro, Melford E. 1977. “Religion: Problems of Definition and Explanation”, dalam Michael Bunton (Penyunting), Antropological Approaches to the Study of Religion. London: Tavistock Publications. Halaman 85—126.

Page 146: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

132

Tjandrasasmita, Uka. 1986. Sepintas Mengenai Peninggalan Kepurbakalaan Islam di Pesisir Utara Jawa. Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Page 147: jurnal lektur

Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

133

Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara

Irmawati M-Johan Universitas Indonesia, Depok

Pendahuluan

Tujuan dari tulisan ini adalah menjelaskan bagaimana peran arkeologi dalam kajian Islam di Nusantara dan hal-hal apa saja yang menjadi kajian arkeologi. Selain itu, akan dikemukakan pula berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini yang berkait dengan Islam di Nusantara. Sebelum lebih jauh menyampaikan apa peran arkeologi dalam kajian Islam di Nusantara, terlebih dahulu akan dijelaskan apa yang menjadi perhatian arkeologi dan apa yang sebenarnya dikaji dalam penelitian-penelitian arkeologi.

Sebagai ilmu, arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia dan masyarakat masa lalu melalui tinggalan budaya materi

This article explains about how archeology has its own role in the study of Islam in Indonesia. This article also explains the aspects that become the object of the study of archeology. In addition to that, some researches that have been conducted on Islam in Indonesia will be presented too. This archeological study tries to dismantle the history of the past humankind by using material culture. The material culture this writing means are the gravestones, the buildings of the mosque, palaces, artefacts such as the coins, porcelains and so on. Bisides that, some archeologists try to develop the study of Islamic sites as the branch or archeolgy through excavation. Some researches that have ever been conducted are dealing with Islamic epigraphy such as ancient gravestones, the building of palaces, keraton (also palace) and ancient mosques as well as Islamic sites such as the Old Banten (Banten Lama) and Lobu Tua.

Kata kunci: Arkeologi, material culture, situs, nisan, ornamen, efigrafi,

mesjid kuno, keraton

Page 148: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

134

(material culture) seperti bangunan-bangunan, alat-alat dan artefak lainnya. Colin Renfrew dan Paul Bahn (2003) menyebut arkeologi sebagai bentuk past-tense dari antropologi budaya yang juga mem-pelajari masyarakat dan kebudayaan manusia. Karena mempelajari masa lalu maka arkeologi juga merupakan bagian dari sejarah, yaitu sejarah manusia secara luas yang dimulai sejak tiga juta tahun yang lalu. Selain itu arkeologi juga merupakan bagian dari science karena menggunakan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan metode yang scientific dalam menganalisis dari penggunaan carbon dating hing-ga studi tentang residu makanan (Renfrew & Bahn, 2003: 12-3).

Dalam usahanya memahami kehidupan manusia masa lalu, arkeologi mencoba menganalisa data yang diperoleh dari peneli-tiannya untuk merekonstruksi berbagai hal. Menurut Sharer & Ashmore (2003) ada tiga hal yang direkonstruksi oleh arkeologi, yaitu sistem teknologi dan lingkungan, sistem sosial dan sistem simbol dan ideologi (Sharer & Ashmore, 2003: 456-552). Material Culture

Ada beberapa jenis material culture dari masa Islam yang menjadi perhatian para arkeolog Indonesia, antara lain nisan-kubur, bangunan masjid, bangunan istana, artefak seperti, mata uang, tembikar dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang mengembangkan kajian situs Islam sebagai kajian arkeologi melalui ekskavasi. Untuk itu kita dapat melihat selintas kajian-kajian apa yang telah dilakukan terhadap tinggalan budaya Islam. 1. Nisan Kubur

a. Epigrafi Kajian tentang nisan sudah sejak awal telah dilakukan terutama

para ahli kebangsaaan Belanda.Di mulai pada tahun 1910 yang dilakukan oleh Van Ronkel yang membaca nisan kubur Malik Ibrahim di Gresik yang mencantumkan angka tahun wafatnya yaitu 1511 M (Ronkel, 1910: 596-600; Tjandrasasmita, 1977: 108). Setelah itu, Moquette pada tahun 1912 mengkaji nisan kubur di Samudra Pasai dan nisan kubur Malik Ibrahim di Gresik yang dianggap memiliki persamaan dalam cara menuliskan huruf dan kalimat-kalimat dengan nisan Umar bin Ahmad al-Kazaruni di Cambay (Moquette, 1912: 536-548). Pendapatnya ditegaskan lagi

Page 149: jurnal lektur

Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

135

dalam penelitiannya pada tahun 1920 dan mengatakan bahwa nisan-nisan di Samudra Pasai dan Gersik berasal dari Cambay (Gujarat ) (Moquette, 1920: 44-47, Tjandrasasmita, 1977: 111).

Paul Ravaisse (1925) telah melakukan kajian tentang makam Malik Ibrahim dengan melakukan pembacaan inskripsi yang terda-pat pada nisan serta mencoba untuk “membaca” beberapa ornament lampu yang terdapat pada nisan tersebut dan mengatakannya bahwa ornament ini adalah symbol dari surat An-Nur (cahaya) (Ravaisse, 1925: 668-703).

Pada tahun 1919 Moquette menyampaikan hasil penelitiannya tentang makam tertua di Jawa yaitu Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat 495 H (1102 M) berhuruf Kufi (Moquette, 1921: 391-399; Tjandrasasmita, 1977: 111).

Pembacaan nisan-nisan yang terdapat di Samudra Pasai juga dilakukan oleh J.P Moqutte pada tahun 1913 yaitu pada nisan Sultan Malik as-Salih yang mencantumkan angka tahun wafatnya pada tahun 696 H (1297 M ) dan nisan Sultan Malik az-Zahir putra Sultan Malik as-Salih yang wafat pada tahun 726 H (1326 M). Sumbangan penelitian Moquette yang penting adalah mengidentifi-kasikan bahwa Sultan Malik As-saleh adalah Sultan pertama di Samudra Pasai yang dikaitkan dengan Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai (Moquette, 1913; Tjandrasasmita, 1977: 108). Sum-bangan J.P Moquette yang lain adalah penelitiannya tahun 1914 ke Kuta-Raja Aceh, dan menemukan makam raja-raja yang pernah memerintah Aceh seperti Sultan Ali Mughayat Syah yang wafat 936 H (1530 M), Sultan Ala’udin al-Khahar (979 H/1571 M), Sultan Ali Ri’ayat Syah (987 H/1579 M), dan lain-lain yang dikaitkan dengan sumber tertulis Kitab Bustanus-Salatin dan Tajus-Salatin (Moquette, 1914: 73,80).

Penelitian pada tahun 1955 selanjutnya di lakukan L.C. Damais tentang nisan-nisan di Troloyo, Jawa Timur. Ia membaca ulang hasil pembacaan para ahli terdahulu N.J Krom dan memberikan penafsiran baru terhadap nisan-nisan yang ada. Menurut hasil penelitiannya angka tahun yang tertua adalah 1296 S (1376 M) dan yang angka tahun termuda adalah 1533 S (1611 M). Keberadaan makam-makam ini membuktikan bahwa pada masa Majapahit yaitu pada masa kejayaan Hayam Wuruk di Jawa sudah ada orang-orang Islam yang dimakamkan dalam lingkungan yang dekat dengan

Page 150: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

136

keraton. Lebih lanjut Damais mengatakan bahwa mengingat stratifikasi sosial pada masyarakat Jawa Kuno yang sangat hiarakis maka bukanlah tidak mungkin bahwa mereka adalah keluarga istana. Peneliti terdahulu antara lain N.J. Krom yang telah meneliti nisan Trowulan enggan mengakui bahwa sudah ada orang-orang Islam yang berhak dimakamkan dekat dengan lingkungan istana pada akhir abad ke 13 Saka di Jawa. Keengganan Krom menurut Damais mungkin juga karena Nagarakartagama tidak berbicara tentang agama baru tersebut. Menurut Damais ketika mengunjungi makam Putri Cempa di Trowulan ia menemukan dua makam lain yang berprasasti, satu di antaranya dapat langsung dibaca angka tahun-nya yang berangka tahun 1290 S (1368 M). Untuk itu Damais mengatakan bahwa harus dilakukan penelitian yang sistematis tentang makam-makam kuno yang ada di Trowulan agar dapat diperoleh data baru tentang penyebaran agama Islam di Jawa Timur (Damais, 1995: 223-289; catatan kaki no.129).

Berdasarkan penelitian epigrafi pada nisan-nisan kubur dapat diketahui bahwa Sultan Malik as-Saleh adalah Sultan pertama di Samudra Pasai dan atas dasar angka tahun pula maka dapat dikatakan bahwa Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama. Hal ini merupakan data penting bagi perkembangan sejarah Islam di Indonesia (Ambary, 1988: 174)

Penelitian di Barus telah memperoleh data penting yaitu makam dari Tuhar Amisuri yang wafat pada 602 H (1203 M) memper-lihatkan bahwa makam ini lebih tua dari makam Sultan Malik as-Saleh (1297 M). Keberadaan makam ini merupakan bukti bahwa di Barus telah ada pemukiman Islam (Ambary, 1998: 57).

Penggunaan huruf Kufi hanya terdapat pada nisan-nisan yang diimport dari luar Nusantara, terutama dari Gujarat sebagaimana yang terdapat pada nisan Malik Ibrahim dan Fatimah binti Maimun. Huruf yang lebih banyak dipakai di Nusantara adalah gaya sulus atau gaya naskh (Ambary, 1998: 174).

Nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang ditulis dalam huruf Kufi ornamental yang bagian ujungnya dibentuk ikal di Leran telah dibaca oleh Paul Ravaisse memiliki penanggalan 475 H (1082 M). Nisan ini merupakan data penting bahwa di Leran pada abad ke-11 sudah terdapat masyarakat muslim yang kemungkinan merupakan masyarakat pedagang yang diterima oleh masyarakat

Page 151: jurnal lektur

Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

137

setempat yang berada di bawah kerajaan Hindu-Buddha sebelum Kadiri (Tjandrasasmita, 1993: 278).

b. Bentuk Nisan dan Ornamen Studi tentang nisan tidak hanya dilakukan berdasarkan unsur

tulisan saja, tetapi unsur bentuk dan juga ornamennya. Hasan Muarif Ambary (1984) dalam disertasinya telah melakukan peneli-tian tentang bentuk-bentuk nisan di Nusantara dan menggolongkan-nya menjadi 4 tipe yaitu tipe Demak-Troloyo, tipe Aceh, tipe Bugis Macasar dan tipe Ternate. Atas dasar tipe –tipe tersebut ditelusuri persebarannya di Nusantara dan Asia Tenggara. Tipe Aceh (bucrane) misalnya selain terdapat di Pasai dan Aceh ditemukan juga di situs kubur di Barus dan beberapa situs lain di Sumatra Barat hingga Lampung. Di Semenanjung Malaysia, Bintan, Jawa Timur (terutama pantai utara), Banten dan Yakarta. Setelah abad ke 17, bentuk nisan Aceh ditemukan di Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan. Perkembangannya dimulai dari bentuk bucrane pada abad 16-17 M, lalu berkembang bentuk persegí panjang dan silindrik pada fase ke dua abad 17M-19M (Ambary, 1998: 239-241).

Berdasarkan pendapat Paul Ravaisse tentang nisan Leran dari Fatimah binti Maimun bahwa ornamen lampu yang tergantung di dalam mihrab adalah simbol dari Surah An-Nur, maka dilakukan penelitian bahwa nisan-nisan impor seperti Malik Ibrahim, Naina Hisamuddin di Aceh, nisan papan Tinggi di Barus hampir semua memiliki ornamen ini. Di dalam peninggalan budaya materi di Nusantara motif atau jenis lampu yang tergantung dalam mihrab tidak pernah dikenal. Bentuk lampu seperti itu adalah lampu-lampu dari dunia Islam di Timur Tengah, Persia, India. Dengan demikian hal ini dapat memperkuat bahwa nisan-nisan yang memiliki ornament ini memang bukan berasal dari Nusantara (Marwoto, 1996: 1-8 ).

Pada nisan-nisan di Troloyo telah dikaji pula ornamen medalion sinar Majapahit yang disinggung pertama kali oleh Knebel yag disebutnya sebagai Cap Matahari. Menurut Damais, Medalion Sinar Majapahit mirip dengan halo pada patung-patung yang dianggap tokoh suci pada agama Kristen,. Lingkaran cahaya ini di Jawa dan Bali melingkari seluruh tubuh tokoh atau benda yang dianggap memiliki sifat supernatural (Damais, 1995: 242,243, cat. kaki no. 68: 301). Yang menarik bahwa motif surya Majapahit ini ternyata

Page 152: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

138

penggunaannya terus berlanjut pada masa-masa selanjutnya sebagai-mana kita temukan pada nisan-nisan di sepanjang pantai utara Jawa, sampai ke Madura bahkan saat ini Muhammadiah juga menggu-nakan lambang surya Majapahit.

Penelitian dalam bentuk skripsi tentang bentuk-bentuk nisan dan ornamen telah dilakukan di berbagai situs seperti Jakarta, Troloyo, Blora, Cirebon, Jasinga, Samudra Pasai, Palembang, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Brunai, dan telah menghasilkan sembilan buah skripsi Program Studi Arkeologi S1, tesis lima buah dan satu buah disertasi.

2. Masjid

Kajian tentang masjid kuno di Indonesia khususnya di Jawa mulai dilakukan pada tahun 1920, oleh N.J Krom yaitu tentang menara Kudus yang diperkirakan berasal dari abad ke 16M dan dianggap merupakan gaya bangunan peralihan dari gaya bangunan Majapahit yang mengingatkan pada bangunan candi (Krom 1920: 294-295; Tjandrasasmita 1977: 111). Setelah itu penelitian di Kudus di lanjutkan oleh J.E Jasper pada tahun 1922 yang mengkhu-suskan pada penelitian seni ukir dan seni bangunan. Berdasarkan penelitianya seni ukir dan seni bangunan di Kudus merupakan seni bangunan Jawa-Hindu Majapahit (Jasper 1922: 3-30; Tjandrasasmita, 1977: 112).

Steinmann pada tahun 1934 melakukan penelitian ornamen yang terdapat pada masjid Mantingan dan makam Ratu Kalinyamat. Menurutnya, penelitian tentang jenis tanaman sangat penting untuk mengetahui keragaman tumbuhan yang ada pada masa itu. Selain itu ia melakukan penelitian pola-pola ornamennya dan dibanding-kan dengan ornamen di candi-candi (Steinmann 1934: 89-97; Tjandrasasmita 1977: 115).

Penelitian tentang menara dan masjid kuno di Indonesia dilaku-kan oleh Dr. G.F Pijper pada tahun 1947 dan Pijper menyampaikan bahwa masjid kuno di Indonesia pada umumnya tidak memiliki menara. Menara di masjid Kudus bukan menara asalnya melainkan bagunan dari jaman Hindu yang digunakan kembali sebagai tempat kulkul. Tentang bangunan masjid kuno ia menyampaikan bahwa bentuknya mengikuti bentuk arsitektur lokal dengan beberapa ciri

Page 153: jurnal lektur

Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

139

seperti denah segi empat dan pejal, atapnya bertingkat-tingkat (Pijper, 1947: 274-283).

Tentang asal usul bangunan masjid kuno telah dibahas oleh beberapa ahli seperti H.J de Graaf yang mengatakan bahwa masjid kuno di Jawa mendapat pengaruh bentuk masjid dari Sumatera yaitu masjid Taluk di Sumatera Barat yang merupakan prototipo masjid Malabar (Graaf, 1947-48: 289). D.R. W.F Stutterheim mengajukan pendapatnya bahwa masjid kuno di Indonesia menda-pat pengaruh dari bangunan tempat menyambung ayam di Bali (Stutterheim 1935: 135-140). Pendapat Stutterheim disangkal oleh Prof Sutjipto Wiryosuparto, bentuk denah masjid Taluk adalah segi empat dan dikelilingi air sedangkan masjid Malabar denahnya persegipanjang tidak dikelilingi air, jadi berbeda dan yang sama hanya pada bentuk atap. Selanjutnya jika bagunan tempat menyam-bung ayam sebagai bangunan yang semiprofan tidak mungkin dijadikan dasar pembuatan masjid dan yang lainnya adalah tidak memiliki loteng. Sutjipto lalu mengajukan bangunan mandapa atau pendapa yang menjadi asal mula bentuk masjid kuno (Wiryosuparto 1961-62:7-8).

Penelitian di Aceh dilakukan oleh J Kreemer di Masjid Raya di Kutaraja yang menurut penelitiannya bahwa Masjid Raya itu asalnya bernama masjid Bait ar-Rahman yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636M). Masjid ini dibangun dengan bentuk yang baru pada tanggal 9 Oktober 1879 yang dibuat oleh seorang arsitek Belanda bernama Bruins (Kreemer 1920-21: 69-87; Tjandrasasmita 1977:112).

Pada perkembangan selanjutnya studi tentang masjid kuno terus dilakukan baik dalam bentuk paper ataupun skripsi kurang lebih berjumlah 23 buah di Progam studi Arkeologi UI yang mencakup masjid kuno di Palembang, Banten, Cirebon, Jakarta, Padang, Sumenep, Banyumas, Manonjaya, Taluk,dan Medan.

Atas dasar penelitian terhadap bangunan masjid kuno di Indonesia Maka dapat diketahui pola-pola bangunan seperti denah masjid, arah hadap dan pola keletakan untuk masjid Istana berada di sebelah barat alun-alun. Pada sisi barat laut terdapat mihrab yang umumnya menjadi tempat yang paling raya ornamennya, di sisi kanan mihrab terdapat mimbar yang umumnya berbentuk seperti kursi dan memiliki anak tangga. Ornamen pada bagian atas mimbar

Page 154: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

140

biasanya motif kala terkadang dengan makara. Atap masjid meru-pakan atap tumpang yang bertingkat-tingkat dalam jumlah yang ganjil. Pada masjid-masjid tertentu selain ada tempat bedug juga terdapat makam-makam raja atau tokoh-tokoh penting seperti Masjid Demak dan Masjid Banten. Bentuk bangunan masjid yang telah mengikuti gaya bangunan Timur Tengah dengan kubah di tengahnya adalah masjid-masjid yang kemudian dibanguan oleh Belanda seperti masjid Raya Aceh dan Masjid Agung Medan.

Penelitian mengenai ornamen masjid memperlihatkan bahwa masih banyak digunakan motif-motif yang berasal dari masa sebe-lum Islam seperti kala makara, sulur-suluran, antefiks dan binatang yang distilir seperti di masjid Mantingan. Ornamen-ornamen makh-luk hidup yang selama ini dianggap tidak boleh dilakukan tidak sepenuhnya dihindari sebagaimana terdapat pada Masjid Trusmi di Cirebon yang mengambarkan berbagai bentuk binatang seperti binatang anjing, ular, kambing pada soko guru dan Masjid Demak dengan tempelan porselin yang memiliki berbagai motif binatang seperti anjing dan burung dan kura-kura. Selain penggunaan motif-motif dari masa sebelum Islam dan berbagai motif binatang ternyata ditemukan pula penggunaan motif-motif Islam seperti Interlace atau yang dikenal dengan Arabesque terdapat di Masjid Sang Ciptarasa Cirebon) dan Masjid Mantingan. Motif Interlace ini bila kita amati menyebar sampai ke Madura terutama pada makam-makam kuno (Marwoto 2003:152-312).

Ornamen pada masjid-masjid di luar Jawa memperlihatkan bahwa ornamen banyak menggunakan motif-motif lokal sehingga dapat dilakukan studi yang mendalam tentang motif-motif lokal dari seluruh masjid Indonesia.

3. Keraton

Keraton atau istana merupakan pusat kota dari sebuah kerajaan. Tata letak keraton-keraton Islam di Jawa pada umumnya mengarah ke utara, seperti Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon; Keraton Surosowan di Banten. Demikian pula dengan keraton-keraton dari abad ke 18 seperti Yogyakarta dan Surakarta di arahkan ke utara. Keraton Samudera Pasai besar kemungkinan menghadap ke utara yaitu menghadap ke Selat Malaka, Keraton Banda Aceh dari masa Sultan Iskandar Muda abad ke 17 M,

Page 155: jurnal lektur

Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

141

berdasarkan berita asing diarahkan ke barat Laut, jadi hampir ke utara (Poesponegoro 1984:219).

Kompleks bangunan keraton pada umumnya memiliki tembok keliling yang memisahkan keraton dari bangunan lainnya. Bagian yang merupakan tempat tinggal raja biasa disebut “dalem”. Di Keraton Aceh, Samudra Pasai, Banten, Cirebon. Mataram dan Samboapu sebagaimana diberitakan oleh sumber tulis asing susunan halaman untuk sampai ke bagian “dalem” adalah tiga yang mengingatkan akan bangunan halaman candi dan pura di Bali (Poesponegoro, 1984: 221).

Penelitian tentang makna ruang pada situs keraton Kasepuhan yang melihat antara penempatan ruang bagi yang hidup dan yang mati memperlihatkan bahwa Cirebon memisahkan dengan tegas ruang antara yang hidup (di Keraton) dan yang mati (di Gunung Jati). Selain itu juga memperlihatkan pembagian ruang antara yang profan dan yang sakral (Johan, 2007: 238-246).

Penelitian tentang Keraton dalam bentuk skripsi di program studi S1 Arkeologi ada 11 buah, meliputi Keraton Kasepuhan, Kanoman, Yogyakarta, Maimun dan Sumenep.

Berdasarkan penelitian tentang keraton maka dapat diketahui pola tata letak keraton, bagian-bagian keraton dan fungsinya dan ornamen yang digunakan di keraton.

4. Situs-Situs Islam

a. Banten Lama Penelitian situs-situs Islam telah dilakukan di beberapa tempat

seperti: Kawasan Banten Lama, termasuk di dalamnya situs Kraton Surosowan, Situs Karang Antu, Situs Kadiri, Situs Kraton Kaibon, Situs Jembatan Rante, Situs Pamarican, Situs Pabean, dan lain-lain. Banten lama berdasarkan sumber sejarah adalah pusat kota dan bandar utama Kerajaan Banten yang berkembang sejak abad ke 16 hingga abad ke 19 M.

Kota Banten tumbuh sebagai pusat dagang dengan aneka ragam komoditas perdagangan yang didatangkan dari berbagai wilayah dan diperdagangkan di Banten. Banten juga berperan sebagai tempat perdagangan antar bangsa. Untuk itu Sartono Kartodirdjo mengkategorikan Banten sebagai emporium seperti juga Aceh, Makasar dan Mataram (lihat Untoro, 2007: 9). Hasil penelitian

Page 156: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

142

arkeologi di Banten yang dimulai pada tahun1977 antara lain adalah ditemukannya situs industri logam dan industri tembikar serta temuan barang-barang perdagangan seperti keramik Asing dari berbagai negara, mata uang cina, mata uang VOC. Selain itu memugar sisa-sisa Kraton Surosowan, Kraton Kaibon, Benteng Spelwijk, Menara Pacinan (Ambary 1998:124). Banten lama adalah satu-satunya kawasan perkotaan Islam yang tersisa hingga saat ini, penelitian arkeologis banyak menghadapi kendala terutama dengan makin penuhnya penduduk yang menempati kawasan sehingga tidak lagi dapat dikendalikan. Keadaan keraton Surosowan dan Kaibon yang telah dipugar sekarang terbengkalai.

b. Lobu Tua Pada tahun 1995 dan 1996 dilakukan penggalian di Situs Lobu

Tua dekat Barus oleh tim Indonesia Perancis dan ditemukan 600 pecahan tembikar berglasir asal Timur Dekat yang dikenal dengan “later Sgraffiato ware”. Ciri-cirinya adalah bahannya berwarna merah jambu, berslip terang berhiaskan goresan dan glasirnya percikan-percikan. Pola hiasannya buga-bunga, geometris abstrak atau kaligrafi dengan huruf kufi. Jenis “later Sgarffiato ware” Lobu Tua memiliki persamaan dengan temuan sejenis di Makran (Iran), Sohar (Oman) dan Kilwa (Tanzania) dapat dikaitkan dengan adanya kelompok perdagangan dari Oman yang bernama Ibadi. Kelompok ini Sangat berperan aktif di wilayah Teluk Persia, khususnya di Basrah dan di pesisir lautan Hindia, termasuk Makran, Aden, Bambhore dan pesisir Timur Afrika. Sumber tulisan kuno dari Timur Dekat menyebut nama Barus serta adanya pedagang dari Oman di Nusantara sekurang-kurangnya sejak abad ke 10 M. Keberadaan tembikar Sgraffiato di Lobu Tua membuktikan bahwa Labo Tua termasuk dalam jaringan perdagangan dari Teluk Persia (Perret, 2002: 157-168).

Selain temuan tembikar ditemukan pula artefak kaca yang kebanyakan dibuat dengan tehnik tiup, sebagian di udara terbuka sebagian dalam cetakan. Warna kaca sebagian besar berwarna hijau pucat, kuning pucat dan biru pucat, biru kobalt, hijau tua, coklat, merah ungu dan turkuas. Bukan merupakan kaca yang berkwalitas bagus tetapi lebih merupakan barang sehari-hari. Di duga bahwa beberapa temuan menunjukan dua daerah asal yaitu Iran dan

Page 157: jurnal lektur

Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

143

Mesopotamia, serta bagian timur Laut Tengah. Barang-barang dari Laut Tengah nampaknya diimpor sejak awal abad 11 M. Setelah direkonstruksi artefak kaca, maka dapat dikemukakan beberapa bentuk utuhnya yaitu: Karaf (botol kaca dengan bibir bulat datar) dari abad 9-10 M, Tempayan Miniatur jenis Serahi dari Timur Tengah, fungsinya belum jelas, piala silinder diduga berasal dari Iran abad 9-10 M, Serahi kecil (kaca merah jingga berhias gaya bulu) berasal dari Mesir abad 11 dan awal 12 M, Kaca berhias garis yang diukir diduga dari Iran abad ke 10 dan awal abad 11 M (Guillot, 2002: 179-195).

Penutup

Beberapa contoh penelitian arkeologi sebagaimana diuraikan di atas diharapkan dapat memberikan gambaran singkat bagaimana arkeologi memberikan makna pada material culture Islam sebagai usaha untuk memahami kehidupan dan perilaku manusia.

Contoh lain tentang penelitian epigrafi Islam yang sudah dilaku-kan juga mengungkap cukup banyak hal penting tentang raja-raja yang memerintah di kerjaan-kerajaan yang bercorak Islam yang selama ini hanya diketahui atas dasar sumber tertulis berupa naskah ataupun sebaliknya. Selain itu berdasarkan angka tahun yang terda-pat pada nisan dapat pula diketahui bilamana orang-orang Islam sudah datang dan menetap di Nusantara. Sebagaimana penemuan angka tahun Tuhar Amisuri di Barus dengan angka tahun wafatnya 1203 M, 94 tahun lebih tua dari Malik as-Saleh di Pasai. Temuan angka tahun ini bila dikaitkan dengan penelitian arkeologi di Lobu Tua Barus berupa artefak kaca dan tembikar yang diduga berasal dari abad ke 9-10 merupakan hal yang tidak mengejutkan.

Walaupun demikian penelitian tentang nisan-nisan kuno masih menyisakan banyak hal yang perlu dilakukan. Seperti yang dikata-kan Damais bahwa dari 1500 abkalts yang ada di Direktorat Sejarah dan Purbakala baru terbaca 800 abklats. Artinya masih 700 abkltas yang belum terbaca. Penelitian nisan-nisan kuna di pantai utara Jawa sebagai tempat awal Islamisasi belum secara menyeluruh dilakukan. Bagaimana perkembangan gaya tulisan dan ornamen dalam nisan-nisan kunopun belum pernah dilakukan dalam skala yang luas. Demikian pula dengan studi tentang masjid kuno dan keraton, penelitian masih dilakukan secara parsial.

Page 158: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

144

Seiring dengan perkembangan jaman maka kajian-kajian arkeologi Islam tentunya harus diperluas dengan mengembangkan isue-isue yang relevan dengan masa kini dan menggunakan pendekatan atau teori-teori baru dan yang lebih penting untuk dilakukan adalah menyampaikan hasil-hasil penelitian tentang Islam di Indonesia kepada masyarakat luas.[]

Daftar Pustaka

Ambary, Hasan Mu’arif. 1988. Menemukan Peradaban,Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Ciputat : P.T Logos Wacana Ilmu

Damais,L.C. 1955. Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Pilihan Karya L.C Damais. Jakarta:EFEO

De Graaf, H.J. 1947-1949. “De Oorsprong der Javaanse Moskee” Indonesie,tweeman delijks Tijdschrift Gewijd aan het Indonesisch Cultuurgebied,1e Jrg,NV Uirgeverij W.van Hoeve-s’ Gravenhage,hal:291-299

Guillot,Claude& Sonny Ch.Wibisono. 2002. Temuan Kaca di Lobu Tua:Tinjauan Awal.Hal:179-214, Lobu Tua Sejarah Awal Barus, ed.Claude Guillot. Jakarta: EFEO,Pusat Penelitian Arkeologi,Yayasan Obor.

Jasper,J.E. 1922. “Het Stadje Koedoes en zijn oude Kunst “NION,7e jaargang, afl.1,1922,hal:3-30.

Johan, Irmawati M. 2007. Boundedness dan Polusi pada Situs Islam Cirebon Abad XVI-XVIII, Wacana vol9 no.2 Oktober.,Hal: 238-246.

Kreemer,J. 1920-1921. “De Groote Moskee te Koeta-Radja” NION,1920-1921,vifde jaargang, hal:69-87.

Krom,N.J. 1920. Inleideng tot de Hindoe-Javaansce Kunst” S’Gravenhage, hal.294-295.

Marwoto, Irmawati. 1996. “Ornamen Mihrab dan Lampu pada beberapa Makam. Sebuah Tinjauan Simbolik”, PIA VII, Cipanas

------- 2003. Seni Dekoratif pada Bangunan di Pantai Utara Jawa Abad 15-17, Statu Masalah Penenda KeIslaman. Disertasi Program Pascasarjana FIB-UI.

Moquete, J.P. 1912. “De Datum op den grafsteen van Malik Ibrahim te Gresik” TBG 54,1912, hal:208-214

Page 159: jurnal lektur

Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

145

Moquete, J.P. 1912. “De Grafsteen te Pase en Grissee vergeleken met dergelijke Monumenten uit Hindoestan” TBG, 54,1912 hal:536-548 OV, 1912, kwt.4. hal.86

Moquete, J.P. 1914. “Verslag van mijn voorlopig onderzoek deer Mohammedaansche oudheden in Aceh en Onderhoogrigheden” OV, 1914, kwt.2 bijlage, O, hal:73,80.

Perre, Daniel & Sugeng Riyanto. 2002. Tembikar Berslip,Berhiaskan goresa dan Berglasir Percikan-Percikan Asal Timur Dekat di Lobu Tua.Tinjauan Awal.hal:157-178,Lobu Tua Sejarah Awal Barus, ed.Claude Guillot. Jakarta: EFEO,Pusat Penelitian Arkeologi,Yayasan Obor

Poesponegoro, Marwati Djuned. 1984. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III. Depbudpar. Jakarta: Balai Pustaka

Ravaisse, Paul. 1925. L’inscription coufique de Leran a’ Java, Hal:668-703. TBG 1925, Deel LXI

Renfrew, Colin& Paul Bahn. 2003. Archaeology:Theories,Method and Practice. Thames & Hudson

Ronkel, Ph.S.van. 1910. “Bij de afbeelding van het graf van Malik Ibrahim te Gresik”. TBG,52,1910,hal:596-600

Sharer, Robert&Wendy Ashmore. 2003. Archaeology Discoveryng Our Past. New York: Mc Graw Hill Company Inc.

Stutterheim,W.F. 1935. “De Islam en Zijn komst in den Archipel”, Grooningen-Batavia, hal.135-140.

Tjandrasasmita, Uka. 1977. Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan Islam di Indonesia, hal:107-135, 50 tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta: Puslit Arkenas

Tjandrasasmita, Uka. 1993. Majapahit dan kedatangan Islam Serta Prosesnya,hal:275-290. 700 Tahun Majapahit Statu Bunga Rampai. Surabaya: CV Bunga Rampai

Untoro, Heriyanti Ongkodharmo. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal. Kesultanan Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi, Jakarta: FIB.UI,komunitas Bambu.

Wirjosuparto, Sutjipto. 1961. “Sejarah Pertumbuhan Bangunan Mesjid Indonesia”, Fadjar, tahun III, no. 21, hal: 7-8

Page 160: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

146

Lampiran:

Gambar 1: Sisa reruntuhan Keraton Surosowan. Keraton seluas lebih kurang 3,5 hektar itu

merupakan kediaman para sultan Banten yang dibangun sekitar tahun 1552. Sumber: http://cetak.kompas.com

Gambar 2: Pintu gerbang timur ‘Benteng Keraton Surosowan’ Sumber: http://www.iai-banten.org/

Page 161: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

147

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse, and His Work Collection

Usep Abdul Matin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Introduction

The network of `ulam± (Muslim learned men) in Haramayn (Mecca and Medina) has been starting to exist since the sixteenth century. They came from the various corners of the Muslim world. The core of the network was the degree to which a number of the famous `ulam± came to learn and to teach in the Haramayn. In the second half of the seventeenth century, these Indonesian `ulam±--in particular from Malay--were involved in the network. They developed the nature of freedom of joining differences in theology, in jurisprudence, and in mysticism. They handed down this nature and their religious sciences to the later generation of `ulam± of

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama (Skr. Puslitbang Lektur Keagamaan) Badan Litban dan Diklat, Departmen Agama Republik Indonesia (1986), K.H. Ahmad Sanusi telah menulis selama hidupnya sekitar 480 karya tulis. Namun, sebagian besar dari karyanya tidak tersimpan di satu tempat, bahkan sulit ditemukan. Dalam kesulitan itu, penulis telah berhasil mencari dan menemukan kurang lebih seratus dua puluh dua (122) karya K.H. Ahmad Sanusi. Karena itu, tulisan ini bertujuan untuk berbagi pendadapat tentang siapa K.H. Ahmad Sanusi itu, dan apa saja kiranya buku-buku yang telah beliau tulis.

Kata kunci: Ahmad Sanusi, Sukabumi, Haramain, Islam dan negara,

syariah Islam, fatwa.

Page 162: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

148

Indonesia. Later on, this later group started establishing a Southeast Asian Connection in the beginning of the nineteenth century.1

K.H. Ahmad Sanusi’s Religio-Intellectual Discourse

In the beginning of the twentieth century, precisely 1910, a santri (religious student) from Sukabumi, West Java, K.H. Ahmad Sanusi, went to Mecca together with his wife to perform hajj (pilgrimage) and to deepen his Islamic studies under the `ulam± from Malay. During his stay in Mecca, he studied not only the religious sciences but the general ones, like physics. The religious sciences, which Sanusi studied, included the intellectual currents of the Arabic thought in the liberal age (1798 – 1939),2 such as those of Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho. In 1913, when Sanusi was still in the Haramayn, he became a member of the Party of Syarekat Islam.3 These facts signify Sanusi’s involvement in the Southeast Asian Connection.

In 1915, Sanusi went back to his home country, Indonesia, where he returned to his home town, Cantayan in Sukabumi. Here was he appointed to be the adviser of the Party of Syarekat Islam.4

1Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana &

Kekuasaan, Introd. by Taufik Abdullah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), pp. 148-149.

2M. Sipahoetar, Siapa?: Lukisan tentang Pemimpin-pemimpin, (Boenoet: “Pemerintah” Soekaboemi, 19 Februari 1940), second edition, pp. 74-75; S. Wanta, KH Ahmad Sanusi dan Perjoangannya, (Majalengka: Pengurus Besar “Persatuan Ummat Islam” Majlis Penyiaran dan Da`wah, 1991), pp. 3, and 7. I am grateful to Mr. Yosep Aspat Alamsyah, for lending me this book. The author is still alive, and was the secretary to K.H. Ahmad Sanusi, said Josep. He told me that in December 22, 2001 in his house, Gunung Jaya-Sukabumi; about the Arabic thought in the liberal age dated from 1798 to 1939, see Rijk Universiteit Leiden, Studiegids Islamologie 1998/1999, (Leiden: Rijk Universiteit Leiden, 1998), p. 54.

3See Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Kyai dan Ulama dalam Perubahan Sosial–Politik di Priangan c.a. 1900-1942, an unpublished thesis, (Amsterdam: Vrije Universiteit, 1991), pp. 58-59, 90-91.

4About Sanusi`s speech of Syarekat Islam, see his speech translated into Dutch entitled “Dit Boek Nahratoe`ddhargam (De Gebiedende Leeuwenstem) Dienende tot Wering van de Aanvallen Veragtelijke Menschen Gericht tegen de S.I.” , in Proces Verbal, which is available in the KITLV Leiden University.

Page 163: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

149

In the following year, he withdrew from this political organization5 and turned to assist his father, K.H. Abdurrahim, to teach his santris in his own pesantren (Islamic School) in Cantayan; therefore, people are used to calling it Pesantren Cantayan. Nevertheless, Sanusi was not able to break himself free from political affairs; therefore, he did not want to cooperate with the colonial Dutch government to make Indonesia independent. This political role of Sanusi was unlike the other indigenous `ulam± who supported the Dutch colonial authority; these `ulam± were the members of the Politiesche Economisch Bond (PEB) and Pekauman Corps.6 For their support, the Dutch government gave them money. In contrast, the colonial government regarded Sanusi to be their enemy. Therefore, the Dutch had often put him in jail from 1919 to 1939. According to A.M. Sipahoetar, who interviewed Sanusi face to face, during eleven years of his exile (in Indonesian, diinterner: 1928-1939), Ahmad Sanusi had been a very productive writer. During that exile, he had written two hundred (200) books both in small and big pieces (in Indonesian, 200 boekoe ketjil dan besar).7

Sanusi’s intellectual productivity is also discernible in his establishment of a pesantren at Genteng, which is also located in Sukabumi, in 1922. His students in this pesantren came not only from Sukabumi but also from outside of West Java. Hence, since 1922, he had been known as a famous religious teacher, especially in West Java, and attracted some twenty thousand (20.000) followers.8 His fame increased after he had established a religious association (in Indonesian, perkoempoelan agama), viz., al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah (A.I.I/Islamic Association) in 1931. To advocate this organization, Sanusi substituted its name with Persatuan Umat

5Mohammad Iskandar, Op. Cit., p. 91. 6S. Wanta, Loc. Cit. According to my late father, K.H. Dudu Abdullah

Hamidi, Pekauman Corps were the religious leaders who worked in the mosques in Sukabumi for benefit of the Dutch colonial government. Interview with late K.H. Dudu Abdullah Hamidi, my father, in my house in Sukabumi December 12, 2001, when he was still with me.

7.M. Sipahoetar, Loc. Cit. 8Ibid.

Page 164: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

150

Islam (PUI/The Association of Muslim Community).9 Moreover, he published a Qur`anic exegesis entitled Tamshiyyat al-Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb al-`±lamin, in October 1934. This book was famous in Indonesia i.e Java, Madura, Sumatra, Borneo, Celebes, Menado, Ambon, Flores, Bangka, Sumbawa, as well as Johor and Singapore. Sanusi published the Qur`anic verses in this Tamshiyya not only in the Arabic language but also in the Latin characters, and no one argued against this typescript.10

This explains to us why Sanusi`s fame all over Nusantara grew after the publication of his Tamshiyya in 1934. Nevertheless, the colonial government considered this book to be a threat to their power. It was also deemed by the PEB and the `ulam±s of Pekauman in Sukabumi, West Java, as a threat to their influence among their religious students (in Indonesian, santris). Such sentiment was resulted in a way that the`ulam±s of Pekauman published their legal formal opinion (fatw±) that discourages from using of the Tamshiyya by reasoning that Latin characters were prohibited from writing the Qur`anic verses. One of these `ulam± was Haji Oesman Perak from Bogor, West Java. On the basis of Perak`s fatw±, the `ulam±s of Pekauman discouraged the people from using the Tamshiyya.11 To argue against this fatw±, Sanusi depended his Tamshiyya by giving a fatw± that encouraged its use, including the advantage of the Latin characters.12

9“Ahmad Sanusi, KH.”, in Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1993),

p. 89. When Japan came to occupy Indonesia, they banned this association, see ibid.

10Muhammad Misybâh ibn Haji Syafe`i Sukabumi, Mindarat al-Islâm wa-al-Îmân, (Sukabumi: Kantor Cetak Sukabumi, 1935), pp. 1-5. I am thankful to H. Acep Zarkasih (about 80 years old) who lent me this book. He was the student of Ahmad Sanusi. I wish also to thank him for allowing me to copy his Tamsyiyyah numbered from 2 to 35, and I thank Ajengan Oyon Gunung Puyuh who allowed me to copy his Tamshiyya number 28.

11Ibid. 12Sanusi wrote this fatwâ in Malay language and Arabic characters on two

wide and long pages of paper without title and year. This fatwâ was published by Kantor Cetak al-Ittihad Sukabumi. I wish to thank to Hasan Husen Basri, and Dr. Mohammad Iskandar who were willing to give my parents the copy of the fatwâ. See also Ahmad Sanusi, Tahdîr al-Afkâr, (Sukabumi: al-Ittihâd, 1935), Vol. 1; Abdullah ibn Husain, Tażkirat al-Ikhwân bi-mâ fî Âkhir al-Zamân, (Pabuaran Sukabumi: no publisher`s name, 1955), Vol 3.

Page 165: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

151

Sanusi’s intellectual debate with the `ulam± of Pekauman in Sukabumi, West Java, is also noticeable in the case of zakat fitrah viz., tithe in rice or money paid on first day of fasting month. In this case, he gave a fatw± in 1936, which prohibited the official collectors of the tithe from collecting it forcefully from common people.13

When Japan occupied Indonesia in the beginnings of 1940s, like other Indonesian political leaders, Sanusi collaborated with Japan. This colaboration helped him strengthen Indonesian Muslim community that he established in 1934 to drive the Ducth occupation out of Indonesia. In this colaboration, he agreed with Japan to establish Pembela Tanah Air (PETA/Fatherland Protector) organization. As a result, the Japanese administrator in Indonesia appointed Sanusi to become a Japanese vice resident in Bogor, in West Java, in 1944. Sanusi was also a member of Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPKI/Committee Inspecting to Organize the Independence of Indonesia). However, due to Sanusi’s strong leaning to Islam, the Japanese administrator disqualified him from this BPUPKI. In turn, Sanusi keept encouraging PETA to drive out not only the occupation of Dutch but also that of Japan. After the Indonesian independence, he empowered Indonesian Muslim youths, in particular those who became AII members, and in general other Indonesian youths, to become soldiers of Hizbullah (Troop of God) and National Army of Indonesia (Tentara Nasional Indonesia/TNI).

Likewise, Sanusi motivated all Muslim people in West Java, in particular those who lived in Sukabumi, and unified them into Hizbullah to expel the English Nicagurkha soldiers from Indonesia. When the Nicagurkha occupied Sukabumi in West Java, Sanusi moved to Jakarta to cooperate with Muslim leaders in Jakarta to arrange a more stronger military power. In the beginning of 1950, Sanusi returned to Gunung Puyuh in Sukabumi, where he died in the same year. He left three wives and seventeen children. According to the Puslitbang Lektur of the Department of National Religious

13See his fatwâ in form of bulletin, H. Ahm. Sanoesi, “Zakat Fithrah”,

(Buitenzorg: Ang Tjio Drukkerij, s.a.), two pages. I wish to thank Mr Muflih for lending me this bulletin. His father was a close friend of Sanusi.

Page 166: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

152

Affairs in Jakarta, After he died, Sanusi left four hundred and eighty (480) pieces of works that he compiled by himself.14

These works are now scattered and difficult to discover. According to deceased Ajengan Dadun Abdul Qahar, a little brother of Ahmad Sanusi, before his death, Sanusi had given him a dying exhortation (in Sundanese: wasiat) to suppress his works on masalah-masalah furu` (cases of ethics based on different principles of Islam).15 In addition, a student of Ahmad Sanusi, Mr. Oking (about 80 years old), said to me that, in the colonial period of Indonesia, Oking had ever put some works written by Ahmad Sanusi into a bamboo in his house, then he buried them into a ground. Oking explained to me that he did so because “if the Dutch administrators found someone possessing Sanusi’s works, they would put him or her into a jail” (in Sundanese, bakal dibui).16 Perhaps, the dying exhortation of Ahmad Sanusi given to late Ajengan Dadun and the fear as felt by Mr. Oking just mentioned are the reasons of why his books are now disappearing and extremely difficult to find.

However, I had been working for five years to look for Sanusi’s writings; as a result, I found about one hundred and twenty-two (122) of Sanusi’s works from some generous people.

To me, the study on Sanusi is worthy conducting. The reason is the degree to which he is a Muslim who is not only a productive writer, but also an active leader in diverse debates on religion, society, politics, and intellectualism in his time. Therefore, this article of mine may give us a portrait of his social, political, and intellectual discourse, in particular his work collection. In addition, the study on Sanusi has its significant information of the relationship between Islam and state in Sanusi’s period. It has probably connection to such link in Indonesia today. For instance, Sanusi was advocating to reinforce Islamic law in Indonesia. In

14Puslitbang Lektur Agama, Badan Litbang Agama, Op. Cit.,, pp. 31-33.

This work is in form of micro film which is available in KITLV library, Leiden University, the Netherlands.

15Interview with Ajengan Dadun in his house in Cibadak-Sukabumi, on December 20, 2001.

16Interview with Mr. Oking at his house in Cigunung-Sukabumi, December 12, 2001. When I interviewed him, he was at the age of 80.

Page 167: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

153

1998, his little brother, late Dadun Abdul Qahhar, campaigned for shari`a in Sukabumi in West Java. One of Qahhar’s students was an officer who was in charge of Cianjur regency (Bupati) in West Java, Wasidi Swastomo. This man reinforced also the Islamic law in this region (Cianjur).

K.H. Ahmad Sanusi’s Work Collection

I will mention K.H. Ahmad Sanusi`s works which I have collected so far as follows. 1. The fatw± of K.H. Ahmad Sanusi [on the use of Latin letters in

his Qur`anic Exegesis, Tamshiyya], without title and year of publication. It was published by Kantor Cetak al-Ittih±d Sukabumi.

Bulletin and Magazine: 2. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, (Batavia: Hoefd Bestuur A.I.I,

January, 1932) [four pages]. 3. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran nomor 2 di

kaloearkeun koe Hoefd Bestuur A.I.I. 1 bulan skali bulan Februari 1932 di Batavia [2 pages].

5. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran nomor 3 telat dua bulan lantaran nunggu kantor cetakna di kaloearkeun koe Hoefd Bestuur A.I.I. 1 bulan sakali bulan Februari 1932 di Batavia [2 pages].

6. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran nomor 5 tahun 1932 [four pages].

7. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran nomor 7 Oktober tahun 1932 [four pages].

8. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran al-Ittihad ka 17 Oktober 1933 no 4 [four pages].

9. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran al-Ittihad nomor 18 19 Janwari [probably, 1932, sambungan nomer 17] [four pages].

10. Without title, and without identity of publication [four pages]. 11. Al-Isy±rah f³-al-Farq bayn al-Şadaqah wa-al-Diy±fah. Hartina

Nuduhken kana Bedana antara Aya Şadaqah rejeng diy±fah dina Syara1, dinukil jisim kuring Ahmad Sanusi bin Haji `Abd al-Rahim, dicetak di kantor cetak “al-Ittih±d” Punjul Tanah

Page 168: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

154

Tinggi Senin Batavia Centrum. Maanblad Januari Februari no 30-31 1934.

12. Tafs³r Boechori dikloearken 1 boelan sekali oleh H. Ahmad Sanoesi bin Hadji Abdoerrahim, Tanah Tinggi, Senen, no 19, Jilid tahun ka I kanggi nomor 1 September 1931 September 1931, Batavia Kramat.

13. Tafs³r Bahasa Soenda Februari 1932 Tahoen ka II diterbitkan saboelan sekali oleh Hadji Ahmad Sanoesi bin Hadji Ahmad Sanoesi bin Hadji Abdurrahim Tanah Tinggi Senen no 191 Batavia Kramat Harga langganan 2 boelan f 1.20.

14. Pangadjaran [Tafsir ku, my note] Bahasa Soenda oleh H. Ahmad Sanoesi bin H. Abdurrahim T. Tinggi Senen no 191. No 23 24 Maanblad Juni (year is not clear, probably 1934, because no 29 is dated to that year).

15. Ris±lat Tahd³r al-`Aw±m min Muftaray±t Cahaya Islam Hartina Mere Inget ka sakabeh Jalma Awam Kudu Sien tina sakabeh Jijieunan Bohongna kaom Surat Kabar Cahaya Islam dikumpulken ku jisim kuring anu kacida do`ifna Haji Ahmad Sanusi ibn Haji Abd al-Rahman di Tanah Tinggi Senen nomor 191 Weltevreden Batavia Kantor Cetak Harun ibn `Ali Ibrahim 3 Pakojan Betawi Telepon 1850 [72 pages].

16. Ris±lat Tashq³q al-Awham f³-al-Radd `an al-Tugam li-n±qil³h±, Ahmad Sanusi Gang Kampung Bali Kecil 6 Tanah Abang Weltevreden Betawi, 27 Jumada al-Ula 1347, Weltevreden 8 november 1928 (Dicetak di Kantor Sayyid Yahya ibn Usman Tanah Abang).

17. Ris±lat Tashq³q al-Awham f³-al-Radd `an al-Tagam Artinya Inilah Suatu Pembelah segala Sangkaan yang Salah di dalam Menolak Tukang Menyesatkan kepada Orang-orang Bodo karangan hamba yang doif Haji Ahmad Sanusi ibn Haji `Abd al-Rahim Gunung Puyuh Sukabumi Tercetak atas usaha Sayyid `Ali al-`Idrus Kampung Bali Keramat nomor 38 Batavia, akhir Bulan Syawwal 1347 (dan Haknya menyetak pun sudah jadi miliknya) (Cetakan ketigakalinya) Tercetak di kantor cetak dan toko kitab al-Sayyid `Ali al-`Idrus Keramat 38 Batavia Centrum).

18. Fada`il Kasb al-Ikhtiy±r f³ Ilz±m Afwah al-Wu`az al-Gid±r Artinya Menyatakan segala Kelebihan Mencahari dan Berusaha

Page 169: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

155

Kehidupan di dalam […/not clear] segala Mulut si Tukang Ngajar yang selalu Menipu Orang dikeluarkan oleh hamba yang [ …/not clear] Haji Ahmad Sanusi bin Haji `Abd al-Rahim di Tanah Tinggi 191 Batavia Centrum. Tercetak diterbitkan al-Ittihad Tanah Tinggi 191 Punjul Batavia Centrum. No. 29 Maanblad December (year is not clear, probably 1934, because no 31 is dated to 1934).

From the beginning of December to the beginning of January 2002, I had copied a number works composed by Ajengan Ahmad Sanusi as follows.

There are tweleve works of Sanusi that I found from deceased Ahmad Djunaedi Ma`ruf17: 1. Kanz al-Rahmah wa-al-Lutf f³ Tafs³r Sµrat al-Kahf, (Tanah

Abang:Sayyid Yahya, s.a.). 2. Al-Tamshiyyath al-Isl±miyyah f³ Man±qib Im±m al-Sh±fi`i,

(without place of the publisher, without the name of the publisher, s.a.).

3. Tarbiyyat al-Isl±m, (Sukabumi: al-Ittih±d, s.a). 4. Tamshiyyat al-Muslimin f³ Kalami Rabb al-`Alam³n, Number 47. 5. Al-Mufhim±t fi Daf`i al-Khayal±t, (Tanah Abang-Weltevreden

Batavia: Sayyid Yahya bin `Usman, 20 Romadhan 1347). 6. Tażkirat al-Th³libin fi Bayan Sunniyat al-Talq³n, (Panarakan

Kaler-Bogor: Ikhtiyar, s.a.). 7. Al-Kalimat al-Mabniyyah f³ Qasy³dat ibn Hajjah, (Batavia

Centrum: al-Sayyid al-`Idrµs, s.a.). 8. Kit±b Mift±h al-Jannah f³ Bay±n Firqat Ahl al-Sunnah wa-al-

Jam±`ah, (without place of the publication, without the name of publisher, s.a.).

9. Shir±j al-Ażkiy±` f³ Tarjamat al-Azkiy±`, (Gunung Puyuh-Sukabumi: without the name of publisher, and s.a.).

10. Nµr al-Yaq³n f³ Mahw Madzhab al-La`³n min al-Mutanabbiyy³n wa-al-Mutabaddi`³n, (Tanah Tinggi-Senen-Batavia Centrum: al-Ittihad, s.a).

17I am grateful to my friend, Mr. Ujang Sholehuddin, for helping me find this

collection of late Ma`ruf.

Page 170: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

156

11. Lujj±m al-Gudd±r al-Qa`ilin bi-anna Abaway al-Nabiyy min Ahl al-N±r, (without place of the publication, without the name of publisher, s.a.).

12. Al-Aqw±l al-Muf³dah f³-al-Umµr al-Muwhamah, (Sukabumi: al-Ittih±d, s.a.).

There are nineteen (19) works of Sanusi that I found from Mr. Oking18: 1. Kashf al-Sa`±dah f³ Tafs³r Sµrat al-W±qi`ah, (Cibadak

Sukabumi: without the name of publisher, s.a.). 2. Al-Sh±fiyat al-W±fiyah f³ Fadh±`il Sµrat al-F±tihah, (Babakan

Sirna-Karang Tengah Cibadak-Sukabumi, no name of the publisher, nor year of the publication).

3. Al-Kaw±kib al-Durriyah fi-al-Ad`iyyah al-Nabawiyyah, (Tanah Abang: Kantor Cetak Sayyid Yahya, s.a.).

4. Ǐq±d al-himam f³ ta`l³q al-hikam 5. Min majmµ`at durµs al-`ulµm (Tanah Abang: Kantor Cetak

Sayyid Yahya, s.a), Vol. 1. 6. Al-Sh±fiyat al-w±fiyah f³ fad±`il sµrat al-F±tihah 7. Al-Kaw±kib al-Durriyyah f³ al-Ad`iyyat al-nabawiyyah (Tanah Abang: Kantor Cetak Sayyid Yahya, s.a.). 8. Tawh³d al-muslim³n wa `aq±`id al-mu`min³n (Bg [Bandung]:

Sukma Rat, s.a). 9. T³j±n al-gilm±n f³ tafs³r al-Qur’±n (Petamburan-Batavia: al-

Sayyid `Abdullah putra al-Sayyid `Ushman, s.a). 10. Hilyat al-`aql wa-al-fikr (Tanah Abang: Kantor Cetak Sayyid

Yahya, s.a). 11. Hid±yat al-siby±n f³ fad±’il sµrat tab±rak al-mulk min al-

Qur’±n (Tanah Abang: Sayyid Yahya, s.a). 12. Jawharat al-wah³d (Pekojan-Betawi: Kantor cetak sareng Toko

Buku Harun bin Ali Ibrahim, Jumad al-Awwal 1352). 13.`Tawh³d al-muslim³n wa`aq±`id al-mu`min³n (Tanah Tinggi-

Punjul-Batavia: Kantor Cetak al-Ittihad, s.a). It includes the list of Sanusi`s works.

14. Bahr al-madad f³ tarjamat ayyuh± al-walad (Vogelweg-sukabumi: no publisher, s.a).

18I thank Mr. Iskandar Sanusi for introducing me to Mr. Oking.

Page 171: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

157

15. Hilyat al-siby±n f³ bay±n sawm ramaz±n (No place of publication: no publisher`s name, s.a). This piece of work is printed in 16 combined pages.

16. Al-Muf³d (Vogelweg Sukabumi: no publisher`s name, s.a). 17. “Kabagjaan Islam”, no. 1. (no place of the publication: no

publisher`s name, s.a). 18. “Mu`±hadah Perjanjian Allah Ta`ala ka Nabi Adam”, in

“Kabagjaan Islam”, no. 2, (no place of publication: no publisher`s name, s.a).

19. “Kabagjaan Islam”, no. 3. (no place of publication: no publisher`s name, s.a).

There are nine (9) works of Sanusi that I obtained from H. Acep Zarkasyih in Sukabumi, West Java: 1. Tanw³r al-dal±m fi Furuq al-Isl±m, (Gunung Puyuh-Sukabumi:

al-Ittihad, October 1935). 2. Tafs³r Malja` al-T±lib³n, (Pekojan-Betawi: Toko Buku Harun

bin `Ali Ibrahim, 28 January 1931/9 Ramadlan 1349), Vol 1. 3. Tafs³r Malja` al-T±lib³n, (Tanah Tinggi Betawi: Kantor Cetak

Al-Ittih±d, 1 November 1931), Vol. 3. 4. Tafs³r Malja` al-T±lib³n, (Tanah Tinggi Betawi: Kantor Cetak

Al-Ittih±d, s.a.), Vol. 18. 5. “Al-Tabl³g al-Isl±m³ (Embaran Kaislaman)”, (Sukabumi: al-

Ittihad, 1935). 6. Al-mutahhir±t min al-Mukaffir±t, (Gunung Puyuh-Sukabmi, no

publisher`s name, s.a). 7. Ǐq±d al-himam f³ ta`l³q al-hikam, (Gunung Puyuh-Sukabumi:

without publisher`s name, s.a). 8. Al-Jaw±hir al-B±hiyyah f³ Adab al-Mar`ah al-Mutazawwijah,

(no place of publication, no name of publisher, and s.a.). 3rd edition. 9. Min majmµ`at durµs al-`ulµm, (Tanah Abang Weltevreden:

Sayyid Yahya, s.a.).

There is one (1) book of Sanusi that I gained from Mr. Ahmad Muflih19:

19I wish again to thank Mr. Ujang to introduce me to his father, Mr. Ahmad

Muflih.

Page 172: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

158

1. Manzµmat al-Rij±l li-Sayyid `Al³ Zayn al-`±bid³n, (Vogelweg-Gunung Puyuh-Sukabumi: no publisher, s.a.).

There are thirty-seven (37) books of Sanusi that I copied from Dr. Oman Fathurrahman20: 1. Al-Lu`lu` al-Nadlid fi Masa`il al-Tauhid, (Pekojan-Betawi: Ahl

al-Sunnah wa-al-Jam±`ah, s.a), 2nd edition. On the title-page of this work, the author mentioned that he asked the pardons of his pardons if they find his bad expressions of his words (kirang sae prak-prakannana), because the writer “just started to learn how to write to follow the footsteps of professional writers” (diajar tutulisan tuturuti ka anu tukang ngarang).

2. Malja` al-T±lib³n f³ Tafsir Kal±m Rabb al-`±lamin, (no place of publication: no name of publisher, 28 January 1931/9 Ramadhan 1349), Vol.1.

3. Tafr³h Sudµr al-Mu`minin f³ Mawlid Sayyid al-Mursal³n, (Gunung Puyuh-Sukabumi: no publisher, s.a).

4. Qal±`id al-Durar f³ Bay±n `Aqd al-Jauhar, (Tanah Abang Weltevreden: Sayyid Yahya, s.a).

5. Hilyat al-Siby±n f³ Bay±n Saum Ramad±n, (Cantayan: no publisher, s.a).

6. Tafs³r Sµrat al-Mulk: Hid±yat Qulµb al-Siby±n f³ Fad±`il Sµrat Tab±rak al-Mulk min al-Qur`±n, (Babakan Sirna: no publisher, s.a).

7. Al-Ad±wiyyah al-S±fiyah f³ Bay±n S±l±t al-H±jah wa-al-Istikh±rah wa Daf`i al-Kurb±t, (no place of publication: no year of publication, 22 Rabi` al-Awwal 1348). On the title-page of this book, the author says that he asks the pardons of his readers if they find some some mistakes in this book because the writer was still learning (anu nulisna diajar).

8. Jawharat al-Marfiyyah fi Mukhtasar Ma©hab al-Sh±fi`iyyah, (Kampung Petamburan-Tanah Abang-Betawi: Tuan Sayyid `Abd All±h bin Sayyid `U£m±n, s.a).

9. “Al-Mufid: `Ilm al-Tawh³d”, (Vogelweg 100 Sukabumi: no publisher, s.a.).

20I am once again grateful to Dr. Oman Fathurrahman for allowing me to

copy about 63 works from his collection. Thirty-seven of them are books written by Ahmad Sanusi as listed above.

Page 173: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

159

10. “Tuntunan Budi”, (Jatinegara: no publisher, s.a.), number 1, Vol. 2.

11. “Miftahoelmadad: Kaifiat Ngajarken Zoebad Ilmoe Tauhid Fiqih Tashaoef”, (De Vogelweg no 100 Soekaboemi: al-Ittihad, Mei 1936), No. 1, mandblad.

12. Tafsir Bahasa Soenda, (Tanah Tinggi-Senen Batavia Kramat: al-Ittihad, February 1932), no 191.

13. Al-Matlab al-Aśna f³-al-Asm±` al-Husna, (Gunung Puyuh-Sukabumi: no publisher, s.a.). On the title page, the author mentioned the right of the publication: Pasal (section) 11 tina undang-undang (of the law) dated to 1912 number 600. The author is Ahmad Sanusi, the scriber is al-Sayyid Muhammad bin Yahya.

14. Tawh³d al-Muslim³n wa `Aqa`id al-Mu`min³n, (Gunung Puyuh-Sukabumi: without publisher, s.a.).

15. Tafsir Boechari, (Pekojan-Betawi No. 191: Harun bin `Ali, 1 October 1931), No. 2.

16. Kashf al-Awham wa-al-Zunµn f³ Bay±n Qaulih Ta`±l± l± Yamassuhµ ill± al-Mutahharµn, (Tanah Abang Weltevrede: Sayyid Yahya, 26 Rajab 1347).

17. Tafsir Bahasa Soenda, (Senen: Pak Haji Harun bin `Ali Ibrahim, 28 August 1931), No. 8.

18. Mift±¥ al-Mad±d, (Vogelweg-Sukabumi: without publisher, s.a.), Vol. 3.

19. Tafsir Bahasa Soenda, (Tanah Tinggi-Senen No 191 Batavia Kramat: no publisher, 28 March 1931), No. 3.

20. Tafsir Bahasa Soenda, (Tanah Tinggi-Senen No 191 Batavia Kramat: no publisher, 28 May 1931/10 Muharram 1350), No. 5.

21. Tafsir Bahasa Soenda, (Senen-Batavia Centrum: Harun bin `Ali Nur, 28 July 1931), No. 7.

22. Tafsir Bahasa Soenda, (Tanah Tinggi-Senen No 191 Batavia Kramat: no publisher, without publisher, 28 April 1931), No. 4.

23. Pangajaran dengen Bahasa Soenda, (Tanah Tinggi-Senen No 191 Batavia Kramat: al-Ittihad, January-February, year III), No. 19-20, maanblad.

24. Qaw±n³n al-D³niyyah wa-al-Duny±wiyyah f³ Umµr al-Zak±h wa-al-Fitrah, (Vogelweg-Sukabumi: without publisher, s.a.).

Page 174: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

160

25. Hid±yat Qulµb al-Shiby±n f³ Fad±`il Sµrat Tab±raka al-Mulk min al-Qur`±n, (Babakan Sirna: without publisher, s.a.).

26. Tahdir al-Afk±r min al- Igtir±r bi-Żal±lat wa-Iftir±y±t Tasyfiyyat al-Afk±r, (Sukabumi: Al-Ittih±d, 1935).

27. Ris±lat Tahd³r al-`Aw±m min Muftaray±t Cahaya Islam, (Pekojan-Betawi: Harun Ibn `Ali Ibrahim, 8 Rabi`u al-Akhir 1349).

28. Sir±j al-Ummah f³ Khasy±`isy al-Jum`ah, (Pekojan-Betawi: Harun ibn `Ali Ibrahim, s.a.).

29. Tanb³h al-Hayr±n f³ Tafs³r Sµrat al-Dukh±n, (Tanah Abang: Sayyid Yahya, s.a).

30. Tamshiyyat al-Wild±n f³ Tafs³r al-Qur`±n, (no place of publisher: without the name of publisher, s.a).

31. Al-Fiqh al-Akbar Im±m Hanaf³, (Tanaha Abang Weltevreden Betawi: Sayyid Yahya bin Ustman, 16, 2, 1929/6 Ramadhan 1347).

32. Sillah al-B±sil fi-al-Darb `al± Taz±hiq al-B±til, (Tanah Abang Weltevreden: Sayyid Yahya, 24 Ramadhan 1347).

33. Ris±lat al-Jawharah al-Mardiyyah f³ Mukhtasyar al-Furµ`iyyah al-Sh±fi`iyyah, (Cantayan-Sukabumi: without publisher, s.a.).

34. Al-Suyµf al-Sy±rimah f³-al-Radd `al± al-Fat±w± al-B±tilah, (8 Rab³` al-±khir 1348/3 October 1929).

35. J±mi`u al-Durar f³ Tabd³d Awham Haji Bodor, (Tanah Tinggi Punjul 65 Batavia Kramat: al-Ittihad, [1931]).

36. Hilyat al-`Aql wa-al-Fikr f³ Bay±n Muqtaday±t al-Shirk wa-al-Fikr, (Tanah Abang: Sayyid Yahya, s.a).

37. Al-Sir±j al-Wahh±j fi-al-Isr±` wa-al-Mi`r±j, (without the place of publisher: without the publisher`s name, 20 Muharram 1348).

There are nine (9) books of Sanusi that I received from Mrs. Epon (the wife of late Haji Tamim, my grandfa). She gave them to me as a gift. This collection belonged to her late husband, Mr. Ujang Suhud. It is as follows: 1. Tafr³h sudµr al-mu`min³n f³ mawlid sayyid al-mursal³n, (Gunung

Puyuh Sukabumi: no publisher`s name, s.a.). 2. Rawdat al-`irf± f³ ma`rifat al-Qur’±n, (Sukabumi: Kutamas,

1912), Vol. 6. 3. Rawdat al-`irf± f³ ma`rifat al-Qur’±n, (Sukabumi: Kutamas,

1912), Vol. 16.

Page 175: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

161

4. Rawdat al-`irf± f³ ma`rifat al-Qur’±n, (Djl. Tjagak Tjisaat – Sukabumi: H. M. Zainal Abidin Toko kitab dan Petji Merk “Sedjati”, 1912), Vol. 30.

5. Jawharat al-mardiyyah f³ mukhtasar maż±hib al-Sh±fi`iyyah, (Tanah Abang Weltevreden Betawi: Kantor Cetak Sayyid Yahya bin `Usman, s.a.). I found the cover of this book from Mr. Uking`s collection.

6. Tafs³r malja` al-t±lib³n, (Tanah Tinggi Betawi: no publisher`s name, 10 Syawwal 1349/28 February 1931), Vol. 2.

7. Tafs³r malja` al-t±lib³n, (Tanah Tinggi Senen Keramat No. 4 Pekojan Betawi: Kantor Cetak Harun bin `Ali, 1 September 1931, tahun ka 1), Vol. 1.

8. Tafs³r malja` al-t±lib³n, (no place of publication: no publisher`s name, 28 March 1931), Vol. 3. On the last page of the book, there is a list of the people who died, and some corrections of the author of some words mentioned in previous volumes of this exegesis.

9. Tafs³r malja` al-t±lib³n, (Tanah Tinggi Senen 191 Batavia Keramat: no publisher`s name, 28 April 1931), Vol. 4. On the last page of the book there is the list of the people who just died.

There are three (3) books of Sanusi that I received from my late father, K.H. Dudu Abdullah Hamidi: 1. Tamshiyyat al-dar±r³, (De Vogelweg Sukabumi: No publisher`s

name, s.a.), 3rd edition. 2. Rawdat al-`irf± f³ ma`rifat al-Qur’±n, (no place of publication:

no publisher`s name, s.a.). This book starts from the verse al-Naba` to the verse al-N±s and ends at the Du`a` Khatm al-Qur`±n.

3. Rawdat al-`irf±n f³ ma`rifat al-Qur’±n, (no place of publication: no publisher`s name, s.a.). It contais the Quranic exegesis of the verse Al `Imr±n.

There are eleven (11) books of Sanusi that I received from Mrs. Mamih Ijong.

I write them in the Arabic script as follows: ت١المكفر من المطهرات .1 , (De Vogelweg No. 100 Sukabumi: no

publisher`s name, s.a.).

Page 176: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

162

والمعراج األسراء فى الوهاج لشراج ا .2 , (Tanah Abang Kecil No. 5: Percetakan “al-`Usmaniyyah” Sayyid Hasan bin Usman bin …, Friday, 20 Muharram 1348).

الحكم تعليق في الهمم ايقاظ .3 , (No place of the publication: no publisher`s name, s.a.).

آابكجا دنا ألسالم دار: األبدية السعادة في األسالمية الديار .2 , ” معمور انانو (Kramat 38 Jakarta: Sd. Ali Alaydroes, s.a.).

المبتدعة الفرق لطرق حيةالما السالح .3 , (Gunung Puyuh Sukabumi: no publisher`s name, 13 Jumadi al-Awwal 1361/29 Mei 2602 Nippon (1942).

الشافعية مداهب مختصر في المرضية جوهرة .4 , (No place of the publication: no publisher`s name, s.a.).

لعابدينا زين على لسيدى الرجال منظومة: .5 Ieu Nadlam Qashidah Tawassul kalawan Sakabeh Awliya` Allah, (De Vogelweg Sukabumi: Al-Ittihad, s.a.).

جيالنى القادر عبد السيد مناقب في الخاطر تفريح في المفاخر تاج .6 , Tanah Abang Weltevereden: Kantor Cetak Sayyid Yahya, 1 Rajab 1347/13 December 1928). On the last page of this book, the author warned the readers that his works entitled: 1. Tafsir Yasin (Tafrih Qulub al-Mu`minin), 2. Tafsir Dukhan (Tanbih al-Hayran), were published by Musa bin `Ali Patekwan Betawi without the author`s permission.

الواقعة سورة تفسير في السعادة آشف .7 , Babakan Sirna Sukabumi, (Tanah Abang Weltevreden: Boekhandel en Steendrukkerij Sajid Yahya, s.a.). On the back-cover title-page of this book, there is announcement of the publisher, sayyid Yahya, which says that he received anything to publish this book in a cheap cost.

المطهرون اال اليمسه تعالي قوله بيان في والظنون األوهام آشف .8 , (Tanah Abang: Kantor Cetak Sayyid Yahya, 26 Rajab 1347).

القرأن تفسير في الغلمان تيجان .9 , Cantayan Sukabumi, (Petamburan Betawi: Cetakan Sayyid `Abdullah putra Sayyid Usman, s.a.).

الزبد متن فى الصمد هداية .10 , (Gunung Puyuh Sukabumi: No publisher`s name, s.a.).

المكفرات من المطهرات .11 , (no place of the publication: No publisher`s name, s.a.). On the title-page of this book, there is a stample named by Muhammad Sanusi. He said that Tafsir Raudhat al-`Irfan is worth reading for both old people (sepuh) and teenagers (murangkalih). In addition, he prohibited the readers from reading the fake works (kitab-kitab tiruan), like al-Wajiz by

Page 177: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

163

Haji Muhammad Juwayni bin Haji `Abdurrahim Parakan Salak published by Sayyid `Ali al-`Idrusiy in the Keramat Batavia Centrum. He warned them that whoever was involved in this case would be expelled by God from Islam. Then, he qouted the prophet`s statement: “Man Gassana fa laysa minna” (whoever performed a back bitting is not from us).

There is one book of Sanusi that I found from a santri of Syams al-`Ulum in Gunung Puyuh, Sukabumi:

Misb±h al-Fal±h f³ Awrad al-Mas` wa-al-Syab±h, (Gunung Puyuh Sukabumi: no publisher`s name, s.a.).

Conclusion On the basis of the above-mentioned details, I could draw a

conclusion that KH. Ahmad Sanusi, who lived from the last nineteenth to the first twentieth century, is a prolific writer whose works are now dfficult to discover for the reason that the Dutch colonial government regarded him as a dangerous man to them; thereby prohibiting Indonesians from having and reading Sanusi’s works. He was a Sundanese reformer Muslim whose ideas were influenced very much by notorious Muslim reformers, such as Muhammad `Abduh and Jamaluddin Al-Afghani, since he traveled to the Haramayn (Mecca and Medina) to learn and to teach. On this paper, I have a good luck to find more than one hundred writings authored by Sanusi. I hope that this article inspires the readers, in particular the students of Islamic History and Civilization, to study further on Sanusi in a more deeply way. I dedicate this work to my late parents, and my grandfa who became the adjutant to the late father of K.H. Ahmad Sanusi: K.H. Abdurrahim. []

Bibliography

Alamsyah, Mr. Yosep Aspat. December 22, 2001 in his house, Gunung Jaya-Sukabumi.

Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan. Introd. by Taufik Abdullah. 1999. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Page 178: jurnal lektur

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

164

Ensiklopedi Islam. 1993. Jakarta: PT Intermasa.

Ibn Haji Syafe`i Sukabumi, Muhammad Misbah. Mindharat al-Islam wa-al-Iman. 1935. Sukabumi: Kantor Cetak Sukabumi.

Iskandar, Mohammad. Para Pengemban Amanah: Kyai dan Ulama dalam Perubahan Sosial – Politik di Priangan c.a. 1900-1942. An unpublished thesis. 1991. Amsterdam: Vrije Universiteit.

Leiden, Rijk Universiteit. Studiegids Islamologie 1998/1999. 1998 Leiden: Rijk Universiteit Leiden.

Sanusi, KH. Ahmad. Fatw±. Kantor Cetak al-Ittihad Sukabumi.

---------, Tahdîr al-Afk±r. 1935. Vol. 1. Sukabumi: al-Ittih±d. ibn Husain, Abdullah. 1955. Vol. 3. Tadhkirat al-Ikhw±n bi-m± fî ±khir al-Zam±n.

---------, [Fatw±] “Zakat Fithrah.” s.a. Buitenzorg: Ang Tjio Drukkerij.

---------, [Sanusi`s speech of Syarekat Islam] “Dit Boek Nahratoe`ddhargam (De Gebiedende Leeuwenstem) Dienende tot Wering van de Aanvallen Veragtelijke Menschen Gericht tegen de S.I.” , in Proces Verbal. KITLV. Leiden University.

Puslitbang Lektur Agama, Badan Litbang Agama. Biografi K.H. Ahmad Sanusi. 1986. Proyek Penelitian Keagamaan. Jakarta: Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama Departemen Agama. [This work is in form of micro film which is available in the KITLV library, Leiden University, The Netherlands].

Sipahoetar, M., Siapa?: Lukisan tentang Pemimpin-pemimpin. 19 Februari 1940. Second edition. Boenoet: “Pemerintah” Soekaboemi.

Wanta. KH Ahmad Sanusi dan Perjoangannya. 1991. Majalengka: Pengurus Besar “Persatuan Ummat Islam” Majlis Penyiaran dan Da`wah.

Interview:

Interview with late Ajengan Dadun in his house in Cibadak, Sukabumi, West Java, on December 20, 2001.

Interview with Mr. Oking in his house in Cigunung, Sukabumi, December 12, 2001. When I interviewed him, he was at the age of 80.

Interview with late K.H. Dudu Abdullah Hamidi, my father, in our house in Sukabumi December 12, 2001.

Page 179: jurnal lektur

Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita

165

Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Tinjauan Buku “Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks”, karya Oman Fathurahman

Uka Tjandrasasmita UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Pendahuluan

Kajian filologi dengan pendekatan sejarah sosial-intelektual masih jarang dilakukan oleh ahli filologi Indonesia. Kajian filologi semacam ini mensyaratkan para filolog untuk memperkaya wawa-sannya dengan pengetahuan tentang sejarah sosial-intelektual terse-but. Buku karya Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di

This writing is an overview of the book written by Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks. An interesting thing is that this book is a result of the philological study with the approach of socio-intellectual history which the local philologists are still rare to use. Therefore, this study is hoped to motivate other local philologist to conduct such study. The study of the book has been extended by additional analysis on the representation of the Sundanese manuscript with Kuningan version dan two other Javanese manuscripts – Cirebon version and Girilaya version. The explanation which is based on the manuscripts of the Syattariyah Minangkabau, illustrate the existing difference between the order of Syattariyah and the order of Naqsyabandiyah. The order of Syattariyah is considered by a group of Naqsyabandiyah to teach the wujudiyah (monism or unity of being), In fact, the order of Syattariyah Syekh Burhanuddin Ulakan tought in the following period was flexible. Moreover, with its seven grades teaching, it was clear that the teaching of monisme or unity of being was eliminated and the teaching was adjusted to the teaching of Islam which is based on the creed of Ahlus Sunnah wal Jamaah

Kata kunci: Filologi, tarekat Syattariyah, Burhanuddin Ulakan, Minangkabau

Page 180: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174

166

Minangkabau: Teks dan Konteks, merupakan karya yang berasal dari disertasi untuk memperoleh gelar doktor pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia tahun 2003. Buku yang akan kita tinjau ini merupakan kajian filologis dengan pendekatan sejarah sosial-intelektual. Diharapkan kehadiran buku ini dapat mendorong para ahli filologi Indonesia lainnya untuk mengadakan kajian semacam itu.

Naskah dan Pendekatan Interdisipliner

Buku karya Oman Fathurahman ini dapat dikatakan telah teruji bobot keilmiahannya karena merupakan hasil disertasi yang dinya-takan lulus dengan pujian cumlaude oleh dewan pengujinya. Cakupan pembahasan dalam buku ini sudah mengalami perluasan, tidak sebatas Minangkabau, melainkan juga analisis terhadap representasi naskah Sunda “versi Kuningan” dan dua naskah Jawa “versi Cirebon” dan “versi Girilaya”. Ketiga naskah tersebut menurut Oman Fathurahman, dipakai sebagai bahan perbandingan untuk melihat sejauh mana kekhasan dinamika dan perkembangan tarekat Syattariyah di Sumatera Barat yang tetap menjadi perhatian utamanya.

Betapa pentingnya buku karya Oman Fathurahman ini telah di-tandaskan oleh Azyumardi Azra dalam Kata Pengantarnya, ”Apre-siasi Warisan Intelektual Islam di Surau Minangkabau”. Azra mengatakan bahwa dari segi kajian naskah-naskah (manuscripts) keislaman yang tersebar di Nusantara, untuk kasus di Minangkabau (Sumatera Barat), surau merupakan pusat penulisan dan penyalinan naskah-naskah keislaman tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa surau merupakan pusat pewarisan intelektual Islam. Naskah-naskah lokal di Minangkabau menunjukkan ekspresi Islam lokal. Jika diadakan perbandingan dengan naskah-naskah yang mengandung keagamaan Islam di daerah lainnya di Nusantara atau dengan naskah-naskah Islam yang berkembang di wilayah asalnya di Tanah Arab, naskah-naskah Minangkabau memperlihatkan kekhasannya tersendiri yang menunjukkan ekpresi Islam di Indonesia di mana terdapat unsur-unsur budaya lokal.

Page 181: jurnal lektur

Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita

167

Hal yang menarik perhatian kita adalah bahwa buku Oman Fathurahman ini merupakan hasil kajian filologi dengan pendekatan sejarah sosial-intelektual yang masih jarang dilakukan di antara ahli filologi pribumi. Buku ini diharapkan mendorong para ahli filologi pribumi lainnya untuk mengadakan kajian semacam itu. Sebenar-nya kajian terhadap naskah dengan pendekatan sejarah sosio-inte-lektual telah dipelopori oleh Azyumardi Azra melalui disertasinya untuk memperoleh Ph.D. di Columbia University tahun 1992 de-ngan judul The Transmission of Islamic Reformation to Indonesia Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Disertasi yang sangat penting artinya bagi pengembangan sejarah pemikiran keagamaan ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Karyanya telah saya contoh untuk membedakan ahli-ahli filologi masa lampau yang menggunakan kajiannya dengan pende-katan sejarah-politik konvensional sempit seperti R.A. Hoesein Djajadiningrat, Hans Overbeck, A.A. Cense, bahkan H.J. de Graaf dan lain-lain (Uka Tjandrasasmita: Kajian Naskah-Naskah Klasik..., 2006: 43-52). Kecuali dapat dimanfaatkan bagi penulisan sejarah, kajian naskah dapat juga memberikan kontribusi pada kajian arkeologi. Mengenai hal ini pernah saya kemukakan dalam suatu risalah sebagai kontribusi memperingati usia ke-80 tahun R.P. Soejono, Contribution of Islamic Manuscripts for the Study of Islamic Archaeology (Uka Tjandrasasmita, 2006: 459-.471).

Mengingat naskah-naskah atau manuskrip khazanah budaya bangsa Indonesia, baik yang bernuansa keagamaan Islam maupun yang bukan, pada umumnya mengandung informasi berlimpah yang meliputi kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, adat, dan ke-budayaan bahkan perobatan, maka selayaknya filologi juga mema-kai pernaskahan itu dengan pendekatan sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Saya sendiri telah mencoba menguraikan permasalahan ini dalam buku yang baru saya sebutkan di atas. Kecuali itu, secara khusus kami juga telah menyampaikan makalah tentang bagaimana hubungannya antara Filologi dan Pendekatan Interdisipliner di

Page 182: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174

168

Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama pada tanggal 14 Nopember 2008, mengingat begitu luasnya kandungan pernaskahan kuno yang dapat dikaitkan dengan kajian berbagai ilmu. Bahkan naskah-naskah yang membicarakan hal-hal pengobatan tradisional dengan bermacam tumbuhan dapat dikaji dari segi ilmu kedokteran modern. Pribumisasi Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat

Kembali mengenai tinjauan terhadap buku karya Oman Fathu-rahman, dapat dikatakan bahwa cakupan yang dibicarakannya cukup banyak dan sangat bermanfaat bagi siapapun yang memba-canya, khususnya tentang Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Isi pokoknya dapat dibaca dalam ringkasannya yang antara lain mengemukakan tentang sumber primernya yang berdasarkan 10 judul naskah-naskah Syattariyah dari Sumatera Barat. Naskah-naskah tersebut merupakan karya tulis tiga orang ulama yaitu: Imam Maulana Abdul Manaf Amin (1922-2006), H. K. Deram (w. 2000), dan Tuanku Bagindo Abbas Ulakan. Untuk mengukur sampai dimana dinamika tarekat Syattariyah yang dibentangkan dalam naskah-naskah dari Sumatera Barat atau Minangkabau itu, Oman Fathurahman dalam penelitiannya menggunakan dua sumber Arab yaitu kitab al-Sim¥ al-Majīd sebuah karangan tasawuf Syekh A¥mad al-Qusyāsyī dan It¥āf al-ª±ki bi Syar¥ al-Tu¥fah al-Mursalah ilā Rū¥ al-Nabī karangan Ibrāhīm al-Kūrānī. Kedua ahli tasawuf ini adalah guru Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, sehingga tidak mengherankan kalau karya-karya Abdurrauf meru-juk pada kitab-kitab kedua ahli tasawuf tersebut. Karya Abdurrauf kemudian ditransmisikan kepada Syekh Burhanuddin Ulakan yang meneruskan dan mengembangkan ajaran tarekat Syattariyah di Sumatera Barat. Selanjutnya juga diturunkan kepada murid-muridnya di Minangkabau sampai pada tiga orang ahli tarekat Syattariyah abad ke-20 yang namanya telah disebut di atas dan karangannya menjadi sumber primer bagi penelitian tarekat di Sumatera Barat/Minangkabau.

Karya guru Syekh Burhanuddin Ulakan, yaitu Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuridi antaranya ialah Tanbīh al-Māsyī al-

Page 183: jurnal lektur

Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita

169

Mansūb il± °arīq al-Qusyāsyī (Pedoman bagi orang yang menem-puh tarekat al-Qusyāsyī). Kitab Abdurrauf ini sebenarnya pernah dikaji dan diterbitkan Oman Fathurahman dengan judul Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad ke-17 (Fathurahman, 1999). Persoalan yang diangkat dalam karangan tersebut ialah masalah Wujudiyah yang pada abad ke-17 menjadi ajang pertentangan antara Hamzah al-Fansuri dan muridnya as-Sumatrani, serta dianggap ajaran yang sesat oleh lawannya, yaitu Nuruddin al-Raniri sehingga atas anjurannya kitab-kitab karangan kedua ahli tasawuf Wujudiyah itu dibakar. Bila Nuruddin al-Raniri yang pada waktu itu menjadi penentang keras terhadap Wujudiyah maka Abdurrauf al-Singkili bersikap moderat yang dapat kita simak dari kitab Tanbīh al-Māsyī dan kitab-kitab lainnya.

Oman Fathurahman menyebutkan tidak kurang dari 23 buah karya Abdurrauf di bidang tasawuf, 10 buah di bidang fikih, dan satu buah di bidang tafsir. Kitab tafsirnya yang berjudul Tarjumān al-Mustafīd merupakan tafsir Al-Qur’an pertama di dunia Islam dalam bahasa Melayu. Kitab-kitab di bidang hadis yang dicatat Oman Fathurahman ada dua buah, sedangkan untuk kitab yang menjadi objek kajiannya, yaitu Tanbīh al-Māsyī, dijumpai empat salinan naskah yang disalin dalam rentang waktu berbeda. Pada bab IV, teks Tanbīh al-Māsyī yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, kata Azyumardi Azra, sayang dalam buku ini ajaran-ajaran zikir Syattariyah Abdurrauf yang terdapat dalam teks itu, khususnya mengenai amalan-amalan Syattariyah yang mengandung rumus-rumus atau simbol-simbol zikir dan cukup penting, belum mendapat porsi yang cukup memadai dalam pembahasannya karena baru diungkap secara sepintas.

Meskipun demikian, menurut pembacaan saya, hal tersebut su-dah dibahas dengan teliti dalam subjudul “Zikir Tarekat Syattariyah dalam Tanbīh al-Māsyī dan Kifāyah al-Muhtājīn” (h. 64-69 dan 70-72). Ada perbedaan antara tujuan zikir Abdurrauf dalam Tanbīh al-Māsyī yang merujuk kepada karya Syekh al-Qusyāsyī dengan Syattariyah di Sumatera Barat. Dalam naskah-naskahnya, Abdurrauf mewacanakan bahwa tujuan akhir zikir tarekat Syattariyah ialah

Page 184: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174

170

konsep fana, sedangkan dalam teks-teks di Sumatra Barat lebih banyak disebutkan bahwa, tujuan akhir zikir hanya “sekadar” untuk membersihkan jiwa agar memperoleh kedekatan dengan Tuhan dan untuk membuka rasa agar memperoleh keyakinan dan kesaksian akan hakikat dan wujud-Nya. Sikap dari para penganut tarekat Syattariyah di Sumatera Barat/Minangkabau tersebut oleh Oman dibahas berdasarkan naskah-naskah primer yang ditulis, disalin dan diwariskan oleh para guru tarekat Syattariyah dari surau sebagai skriptorium pernaskahan.

Hal lain yang juga menarik perhatian kita adalah uraian yang didasarkan pada naskah-naskah dari Minangkabau/Sumatera Barat yang mengandung gambaran adanya perbedaan paham antara tarekat Syattariyah dengan tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Syattariyah dianggap oleh kelompok masyarakat penganut tarekat Naqsyaban-diyah mengajarkan doktrin Wujudiyah yang dianggap berlebihan dan menyimpang, padahal kenyataannya tarekat Syattariyah yang diajarkan Syekh Burhanuddin Ulakan sampai masa berikutnya senantiasa mendasarkan pada prinsip-prinsip al-Quran dan Hadis Nabi. Dalam level tertentu, sejumlah naskah Minangkabau menje-laskan adanya upaya pelucutan doktrin Wujudiyah dari keseluruhan ajaran tareakat Syattariyah, dengan alasan bertentangan dengan prinsip-prinsip ahlussunnah wal-jamaah. Jelas ini merupakan bagian dari dinamika tarekat Syattariyah di Sumatera Barat, yang dalam buku ini dikemukakan pada bagian keenam (h. 111-129). Di dalamnya dibahas serta diberikan contoh pula adanya pribumisasi tarekat Syattariyah yang antara lain berwujud dalam kesenian upacara ritual kesenian yang disebut Basapa dan kesenian Salawat Dulang (h. 130-149).

Ritual Basapa ialah upacara berziarah ke makam Syekh Burha-nuddin Ulakan sebagai ulama besar tarekat Syattariyah di Sumatera Barat yang dilakukan setiap tahun pada tanggal 10 Safar. Orang yang mengikuti upacara ritual ini bukan hanya penganut tarekat Syattariyah tetapi juga penganut Islam pada umumnya. Bulan Safar tersebut dikaitkan dengan anggapan masa wafatnya Syekh Bur-hanuddin Ulakan sendiri. Ada pertanyaan yang perlu dikemukakan, yaitu apa bedanya dengan upacara tabuik yang biasanya dilakukan

Page 185: jurnal lektur

Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita

171

oleh penganut Syiah di Pariaman dan tempat lainnya? Ini bisa bersamaan atau hampir bersamaan, karena hal itu mungkin dise-babkan adanya hubungan silsilah guru-guru tarekat Syattariyah yang juga sering mencantumkan tokoh Ali bin Abu Thalib panutan utama aliran Syiah. Kecuali itu pribumisasi tarekat Syattariyah terekspresi dalam upacara kesenian Salawat Dulang, yaitu kesenian yang menggunakan antara lain dulang atau talam dengan cara dipukul-pukul sambil membacakan salawat Nabi. Menurut tradisi, pertama kalinya upacara itu dilakukan pada masa hidupnya Syekh Burhanuddin Ulakan yang pernah menyaksikan upacara kesenian di Aceh dengan menggunakan rebana. Salawat Dulang atau Salawat Talam sampai kini dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Dalam upacaya ini biasanya terdiri dari dua grup yang dilaksanakan dengan cara berdialog tentang keagamaan Islam. Selain itu disisi pula dengan khutbah, dan berbagai lagu-lagu lainnya. Demikian di antaranya pribumisasi tarekat Syattariyah di Sumatera Barat. Tarekat Syattariyah versi “Kuningan”, “Cirebon”, dan “Girilaya”

Untuk melengkapi disertasinya, sebelum diterbitkan dalam bentuk buku, Oman Fathurahman telah memperluas pembahasan tentang dinamika tarekat Syattariyah di Minangkabau melalui perbandingan dengan “versi Kuningan”, “versi Cirebon”, dan “versi Girilaya”. Berbeda dengan tarekat Syattariyah Sumatera Barat, tarekat Syattariyah ketiga versi tersebut dikatakannya, tarekat di Kuningan, Cirebon, dan Girilaya cenderung kepada tarekat Syatta-riyah Abdurrauf dari Aceh dengan tidak menolak sama sekali tasawuf Wujudiyah walaupun tetap mengajarkan Martabat Tujuh yang diterima oleh Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan) dari gurunya Abdurrauf al-Singkili. Kalau Oman Fathurahman mengambil con-toh naskah versi Kuningan, naskah yang berasal dari Kiai Maolani, penelusurannya akan semakin lengkap jika dikaitkan pula dengan ajaran tarekat Syattariyah yang semula dianut oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Karena berdasarkan pemberitaan dalam naskah, baik dari Kuningan maupun dari Mertasinga Cirebon yang ditulis pada abad 18-19 M, Sunan Gunung Jati atau Syekh

Page 186: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174

172

Syarif Hidayatullah berguru tasawuf tarekat Kubrawiyah, Naqsya-bandiyah, dan Satoriyah (Syattariyah). Masalah tarekat-tarekat ini dapat dibaca dalam Amman N. Wahyu, Sejarah Wali: Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah Mertasinga, 2005) dan (Naskah Kuningan, 2007).

Dalam naskah Kuningan lebih rinci lagi ajaran tasawuf dengan tarekat-tarekatnya terutama tarekat Syattariyah seperti disebut da-lam silsilah Mursyidnya: dari mulai Nabi Muhammad, Sayidina Ali, ke Sayidina Husein, Sayidina Zainal Abidin, Sayidina Muham-mad al-Baqir, Imam Ja’far as-Sidik, Abi Yazid al-Bisthami, Mu-hammad Magrib dan seterusnya secara turun temurun sampai pada ulama-ulama di Jawa, Cirebon dan Kuningan, sampai terakhir pada Kiai Mas Demang wedana pensiun Atmawijaya. Hal ini perlu diadakan penelitian lebih jauh, apakah ada hubungannya dengan naskah tarekat Syattariyah dari Haji Maolani-Lengkong-Kuningan-Jawa Barat yang diasingkan Pemerintah Hindia-Belanda semasa Perang Diponegoro ke Menado. Kini, makamnya ada di kompleks makam Kiai Mojo di Kampung Jawa, Kecamatan Tondano, Kabu-paten Minahasa. Oleh karena itu, masyarakat Kuningan menyebut Kiai Maolani atau Lengkong itu dengan Embah Manado.

Kecuali itu bagaimana kaitan ajaran tarekat Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan dengan yang berada di Cirebon. Sebab, menurut ce-rita, ia pernah ke Cirebon dan mengajarkan tarekat Syattariyah. Tambahan lain yang perlu dimasukkan adalah bagaimana hubungan tarekat Syattariah dengan Martabat Tujuh yang ditulis oleh Haji Hasan Mustafa, yang terkenal sebagai pujangga besar Sunda dengan banyaknya karangan mengenai adat istiadat dan lain sebagainya. Juga bagaimana kelak jika telah dipelajari tarekat Syattariyah yang diajarkan di Buton dan mungkin tempat-tempat lainnya yang sudah tentu akan memberikan gambaran yang luas sekali tentang keberadaan tarekat Syattariyah di Nusantara ini. Penutup

Hasil kajian yang telah dilakukan Oman Fathurahman melalui bukunya ini, bagaimanapun, telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan studi filologi dengan pendekatan sejarah sosio-

Page 187: jurnal lektur

Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita

173

intelektual atau pemikiran Islam karya cendekiawan Muslim masa lampau di Indonesia. Hasil kajian seperti itu akan mendorong semangat terutama bagi siapapun yang berkecimpung, baik dalam bidang filologi maupun di bidang ilmu-ilmu lainnya, terutama yang termasuk ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu-ilmu lainnya seperti kedokteran dan teknologi. Demikian pula bagi para mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di berbagai jurusan dengan bidangnya masing-masing dapat menyentuh nuraninya untuk mempelajari filologi atau pernaskahan. Lebih-lebih bagi mahasiswa-mahasiswa Fakultas Adab dan Humanaiora, baik UIN Syarif Hidayatullah atau di perguruan tinggi agama lainnya, perlu menyadari untuk mengadakan penelitian naskah-naskah yang bernuansa keagamaan. Melalui kajian semacam itu dapat diyakini betapa tingginya nilai-nilai keintelektualan para ulama kita di masa lampau yang telah me-wariskan ratusan bahkan ribuan naskah sebagai warisan khazanah budaya bangsa.

Buku karya Oman Fathurahman ini dapat semakin menegaskan bahwa naskah kuno keagamaan memiliki arti yang sangat penting untuk studi-studi keagamaan, yang tidak terbatas pada kajian filologi. Semoga buku ini mencapai tujuannya untuk menambah wawasan para pembacanya dan juga untuk memperkaya khazanah kepustkaan Indonesia pada umumnya dan kepustakaan Islam Indo-nesia pada khususnya. [] Daftar Pustaka Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII Melaacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

Chambert-Loir, Henri & Oman Fathurahman. 1999. Panduan Koleksi Naskah Naskah Indonesia Sedunia/ World Guide to Indonesian Manuscript Collections. Jakarta: E.F.E.O.-Yayasan Obor Indonesia.

Fathurahman, Oman. 1999. Tanbih Al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Jakarta dan Bandung: E.F.E.O. Centre de Jakarta. Penerbit Mizan.

Page 188: jurnal lektur

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174

174

Tjandrasasmita, Uka. 1998. Kajian Sejarah dan Arkeologi Islam di Indonesia: Pemanfaatan: Hasil Kajian Filologi. Jakarta: Pidato Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa oleh IAIN Syarif Hidayatullah.

----------. 2006. Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama R.I.

----------. 2006. “The Contribution of Islamic Manuscripts for the Study of Islamic Archaeology”. Archaeology Indonesia Perspective. R.P. Soejono’s Fest Script. Indonesian Institute for Sciences: International Center for Prehistoric and Austronesian Studies. h. 459-471

----------. 2008. “Pendekatan Interdisipliner Dalam Kajian Filologi”. Disampaikan dalam Diklat Penelitian Naskah Keagamaan Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agama RI. Tgl. 4 November.

Wahju, Amman N. 1426 H/1995 M. Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah Mertasinga).Alih aksara dan bahasa. Bandung: Penerbit Pustaka

----------. 2007. Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. (Naskah Kuningan). Alih aksara dan bahasa. Bandung: Penerbit Pustaka.