jurnal makrozoobentos

14
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 22 Studi Kualitas Lingkungan di Sekitar Pelabuhan Bongkar Muat Nikel (Ni) dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Desa Motui Kabupaten Konawe Utara Environmental Quality Study at Nickel Mining Port and Its Relation with Community Structure of Makrozoobentos in Motui, North Konawe Wa Ode Asriani *) , Emiyarti **) , dan Ermayanti Ishak ***) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232 E-mail: * [email protected], ** [email protected], dan *** [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kualitas lingkungan perairan disekitar areal pelabuhan hasil galian tambang nikel (Ni) dan pengaruh kegiatan pertambangan terhadap biota perairan khususnya terhadap struktur komunitas makrozoobentos. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2012 di Perairan Desa Motui Kabupaten Konawe Utara. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui adanya hubungan pelabuhan pertambangan terhadap perubahan kualitas lingkungan perairan disekitar pelabuhan tersebut dan kaitannya dengan struktur komunitas makrozoobentos. Hasil pengukuran beberapa parameter menunjukan nilai: suhu berkisar 34,25-35,75 o C, kecepatan arus 0,053-0,059 m/det, kedalaman 1,52-1,96 m, kecerahan 100%, salinitas 26,75-28,75, pH air 7-8, DO 7,54-7,81 mg/l, TSS 0,9-1,13 mg/l, nikel 0,015-0,021 ppm, pH subtrat 6,10-6,20, tekstur substrat dominan pasir dan kandungan bahan organik substrat 0,16-1,05%. Makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian terdiri dari 2 kelas yakni 18 spesies kelas gastropoda dan 8 spesies kelas bivalvia. Indeks keanekaragaman diperoleh kisaran nilai antara 0,224-0,514. Indeks dominansi berkisar antara 0,535-0,814. Nilai indeks dominansi ini menunjukkan nilai dominansi yang tinggi. Kata Kunci : Struktur Komunitas, Makrozoobentos, Logam Berat Nikel (Ni) Abstract This research aimed to know the effect of environmental quality around nickel mine port and mining activity to to community structure of makrozoobentos. This research executed in from Maret-April 2012 in coastal of water territory of countryside Motui sub-province Konawe Utara. Data obtained in this research analysed descriptively to know existence of the relation of mining port to change of water territory environmental quality is around by the port and its the bearing with community structure makrozoobentos. Result of measurement some parameters shows value: temperature shifts 34,25-35,75 0 C, water current was range 0,053-0,059 m/s, depth of 1,52-1,96 m, water brightness/clarity 100%, salinity was range 26,75-28,75, pH of water was range from 7-8, DO (Dissolved Oxygen) was range from 7,54-7,81 mg/l, TSS (Total Suspendend Solid) was range from 0,9-1,13 mg/l, nickel shifts 0,015- 0,021 ppm, pH of substrate was range from 6,10-6,20, sand dominance substrate texture and substrate organic material content shifts 0,16-1,05%. Makrozoobentos found during research consisted of 2 class namely 18 class specieses gastropoda and 8 class species bivalvia. Diversity index is obtained the range of value from 0,224-0,514. Index dominansi ranges from 0,535-0,814. This dominansi index value shows value dominansi which high. Keyword : Community Structure, Makrozoobentos, Heavy metal Nickel (Ni) Pendahuluan Perairan Desa Motui yang terletak di Kecamatan Motui Kabupaten Konawe Utara merupakan daerah yang perairan pantainya dijadikan tempat penimbunan dari aktivitas pertambangan nikel. Hal pertama yang dapat dilihat akibat penimbunan ini adalah tertutupnya sedimen pantai yang tentu saja dapat mengganggu bahkan dapat menyebabkan kematian bagi organisme bentos yang hidup pada substrat baik hewan maupun tumbuhan. Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 03 No. 12 Sep 2013 (22 – 35) ISSN : 2303-3959

Upload: shafura-nida

Post on 18-Jan-2016

100 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

jurnal tentang penelitian kondisi makrozoobentos di daerah pertamangan yang membentuk sedimen di perairan

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 22

Studi Kualitas Lingkungan di Sekitar Pelabuhan Bongkar Muat Nikel (Ni) dan

Hubungannya dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Desa Motui

Kabupaten Konawe Utara

Environmental Quality Study at Nickel Mining Port and Its Relation with Community Structure of

Makrozoobentos in Motui, North Konawe

Wa Ode Asriani *), Emiyarti

**), dan Ermayanti Ishak

***)

Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo

Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232 E-mail:

*[email protected],

**[email protected], dan

*** [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kualitas lingkungan perairan disekitar areal pelabuhan hasil galian

tambang nikel (Ni) dan pengaruh kegiatan pertambangan terhadap biota perairan khususnya terhadap struktur

komunitas makrozoobentos. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2012 di Perairan Desa Motui

Kabupaten Konawe Utara. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui

adanya hubungan pelabuhan pertambangan terhadap perubahan kualitas lingkungan perairan disekitar pelabuhan

tersebut dan kaitannya dengan struktur komunitas makrozoobentos. Hasil pengukuran beberapa parameter

menunjukan nilai: suhu berkisar 34,25-35,75oC, kecepatan arus 0,053-0,059 m/det, kedalaman 1,52-1,96 m,

kecerahan 100%, salinitas 26,75-28,75, pH air 7-8, DO 7,54-7,81 mg/l, TSS 0,9-1,13 mg/l, nikel 0,015-0,021 ppm,

pH subtrat 6,10-6,20, tekstur substrat dominan pasir dan kandungan bahan organik substrat 0,16-1,05%.

Makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian terdiri dari 2 kelas yakni 18 spesies kelas gastropoda dan 8

spesies kelas bivalvia. Indeks keanekaragaman diperoleh kisaran nilai antara 0,224-0,514. Indeks dominansi

berkisar antara 0,535-0,814. Nilai indeks dominansi ini menunjukkan nilai dominansi yang tinggi.

Kata Kunci : Struktur Komunitas, Makrozoobentos, Logam Berat Nikel (Ni)

Abstract

This research aimed to know the effect of environmental quality around nickel mine port and mining activity to to

community structure of makrozoobentos. This research executed in from Maret-April 2012 in coastal of water

territory of countryside Motui sub-province Konawe Utara. Data obtained in this research analysed descriptively to

know existence of the relation of mining port to change of water territory environmental quality is around by the

port and its the bearing with community structure makrozoobentos. Result of measurement some parameters shows

value: temperature shifts 34,25-35,750C, water current was range 0,053-0,059 m/s, depth of 1,52-1,96 m, water

brightness/clarity 100%, salinity was range 26,75-28,75, pH of water was range from 7-8, DO (Dissolved Oxygen)

was range from 7,54-7,81 mg/l, TSS (Total Suspendend Solid) was range from 0,9-1,13 mg/l, nickel shifts 0,015-

0,021 ppm, pH of substrate was range from 6,10-6,20, sand dominance substrate texture and substrate organic

material content shifts 0,16-1,05%. Makrozoobentos found during research consisted of 2 class namely 18 class

specieses gastropoda and 8 class species bivalvia. Diversity index is obtained the range of value from 0,224-0,514.

Index dominansi ranges from 0,535-0,814. This dominansi index value shows value dominansi which high.

Keyword : Community Structure, Makrozoobentos, Heavy metal Nickel (Ni)

Pendahuluan

Perairan Desa Motui yang terletak di

Kecamatan Motui Kabupaten Konawe Utara

merupakan daerah yang perairan pantainya

dijadikan tempat penimbunan dari aktivitas

pertambangan nikel. Hal pertama yang dapat

dilihat akibat penimbunan ini adalah tertutupnya

sedimen pantai yang tentu saja dapat

mengganggu bahkan dapat menyebabkan

kematian bagi organisme bentos yang hidup

pada substrat baik hewan maupun tumbuhan.

Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 03 No. 12 Sep 2013 (22 – 35) ISSN : 2303-3959

Page 2: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 23

Selain itu dengan adanya aktivitas pertambangan

tersebut telah terjadi sedimentasi di daerah

muara sungai.

Salah satu lokasi penambangan nikel

yang berada di Kabupaten Konawe Utara adalah

di wilayah Desa Motui, Kecamatan Motui.

Perusahaan pertambangan nikel yang melakukan

kegiatan penambangan dan telah melakukan

beberapa kali aktifitas pengapalan hasil galian

tambang Nikel (Ni). Untuk melancarkan

kegiatan pengangkutan hasil tambang nikel,

perusahaan telah membangun fasilitas

penunjang seperti pelabuhan. Aktifitas

penimbunan bahan galian tambang disekitar

pelabuhan sebelum pengangkutan diduga dapat

menyebabkan terjadinya perubahan kualitas

lingkungan perairan di areal tersebut.

Pesisir pantai Desa Motui memiliki

keanekaragaman hayati laut, salah satu

diantaranya yaitu makrozoobentos. Bentos

adalah organisme dasar perairan yang hidup

di permukaan (epifauna) atau di dalam

(infauna) substrat dasar. Bentos terdiri dari

organisme nabati (fitobentos) dan hewani

(zoobentos) (Odum, 1993). Bentos dibagi

dalam tiga kelompok besar yaitu

makrobentos, meiobentos, dan mikrobentos.

Makrobentos adalah semua organisme

bentos yang berukuran lebih besar dari 1,0

mm, seperti moluska. Meiobentos adalah

semua organisme bentos yang berukuran

antar 0,1 mm sampai 1,0 mm, seperti

cidaria. Mikrobentos adalah organisme

bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1

mm. Makrozoobentos, terutama yang

bersifat herbivor dan detritivor, dapat

menghancurkan makrofit akuatik yang hidup

maupun yang mati dan serasah yang masuk

ke dalam perairan menjadi potongan-

potongan yang lebih kecil, sehingga

mempermudah mikroba untuk

menguraikannya menjadi nutrien bagi

produsen perairan.

Nikel adalah salah satu jenis logam

berat yang memiliki sifat toksik. Batas

maksimum kadar limbah nikel adalah 1,0

mg/l (Lee, et al., 2011). Keberadaan logam

berat nikel dalam air laut dan sedimen dapat

mengakibatkan berkurangnya organisme

makrozoobentos karena makrozoobentos

hidup di dasar perairan. Nikel juga dapat

menghambat pertumbuhan mikroorganisme,

tetapi mereka biasanya mengembangkan

perlawanan terhadap nikel setelah beberapa

saat. Ketoksikan nikel pada kehidupan

akuatik bergantung pada spesies, pH,

kesadahan dan faktor lingkungan lain.

Dari permasalahan tersebut maka

dianggap sangat penting untuk diadakan

penelitian mengenai perubahan kualitas

lingkungan perairan disekitar pelabuhan

bongkar muat nikel (Ni) dan kaitannya

dengan struktur komunitas makrozoobentos

guna menduga sejauh mana terjadinya

perubahan kualitas lingkungan setelah

perusahaan tambang nikel mulai beroperasi

serta pengaruhnya terhadap strutktur

komunitas makrozoobentos. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh kualitas lingkungan

perairan di sekitar areal pelabuhan bongkar muat

nikel (Ni) di Perairan Desa Motui Kabupaten

Konawe Utara dan untuk mengetahui pengaruh

kegiatan pertambangan terhadap biota perairan

khususnya pengaruhnya terhadap struktur

komunitas makrozoobentos.

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat

dijadikan sebagai bahan informasi ilmiah bagi

pemerintah maupun masyarakat sehubungan

dengan adanya pelabuhan hasil galian tambang

tersebut serta sebagai masukan bagi pihak

perusahaan untuk memperhatikan kondisi

lingkungan perairan di wilayah tersebut.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan

yaitu pada bulan Maret-April 2012 yang

bertempat di Perairan Desa Motui Kabupaten

Konawe Utara.

Variabel yang diamati dalam penelitian ini

terdiri dari parameter pendukung dan parameter

inti. Parameter pendukung yaitu parameter

fisika dan parameter kimia. Parameter fisika

kimia perairan dan kualitas substrat terdiri dari

suhu, kecepatan arus, kedalaman, kecerahan,

salinitas, pH air, oksigen terlarut (DO), TSS,

Page 3: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 24

tekstur substrat, pH substrat, bahan organis

substrat dan logam berat nikel (Ni). Parameter

inti yaitu parameter biologi makrozoobentos

yang terdiri dari jenis dan komposisi, kepadatan,

keanekaragaman dan dominansi.

Stasiun pengamatan ditentukan secara

sengaja atau purposive sampling. Setiap lokasi

penelitian berjarak 200 meter dan memiliki

karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini

diasumsikan untuk mewakili seluruh areal lokasi

penelitian.

1. Stasiun I : Terletak di sebelah kiri

pelabuhan, dengan karakteristik lokasi yaitu

merupakan areal pemukiman penduduk;

2. Stasiun II ; Terletak di sebelah kanan

pelabuhan dengan jarak 200 m dari

pelabuhan;

3. Stasiun III ; Terletak disebelah kanan

pelabuhan dengan jarak 200 m dari stasiun

II, dengan karakteristik lingkungan yang

alami, dimana tidak berada daerah

pemukiman penduduk.

Pengukuran parameter kualitas air dan

kualitas substrat seperti suhu, kecerahan,

kedalaman, kecepatan arus, salinitas, pH, DO,

TSS dan pH substrat dilakukan melalui

pengukuran dan pengamatan langsung di

lapangan. Pengukuran tekstur substrat, bahan

organik substrat dan logam berat nikel (Ni)

dilakukan dengan cara mengambil substrat

disetiap stasiun pengamatan. Untuk tekstur

substrat dianalisis dengan menggunakan metode

pipet, bahan organik substrat dianalisis dengan

menggunakan metode titrasi dan logam berat

nikel (Ni) dianalisis dengan menggunakan

metode AAS (Atomic Absorbtion

Spectrophotometer). Pengambilan sampel

parameter biologi (makrozoobentos) dilakukan

dengan menggunakan metode transek. Transek

yang digunakan berukuran 1 x 1 meter. Cara

pengambilan sampel dilakukan dengan

meletakkan transek secara acak pada setiap

stasiun pengamatan. Sampel makrozoobentos

disimpan pada kantung plastik berlabel dan

ditambahkan larutan formalin 7% sebagai bahan

pengawet untuk selanjutnya dilakukan

penyortiran. Setiap pengambilan sampel

dilakukan dengan 1 kali ulangan pada setiap

stasiun pengamatan.

Analisis Data

1. Kepadatan

Kepadatan merupakan jumlah individu dalam

suatu luasan tertentu. Kepadatan digunakan

untuk melihat apakah suatu tempat merupakan

habitat yang sesuai bagi organisme tertentu.

Dengan demikian bila kepadatan tersebut rendah

maka tempat tersebut tidak sesuai bagi

organisme. Untuk menghitung kepadatan

digunakan rumus yang dikemukakan oleh

Soegianto (1994):

Dimana:

Di= Kepadatan makrozoobentos jenis ke-i

(ind/m2);

ni = Jumlah individu makrozoobentos jenis ke-i

(individu);

A = Luas plot yang digunakan (m2) .

2. Keanekaragaman

Menurut Odum (1993), indeks

keanekaragaman jenis adalah indeks

keanekaragaman yang menunjukkan banyak

tidaknya jenis dan individu yang ditemukan

pada suatu perairan. Adapun persamaannya

adalah sebagai berikut:

H’ = -∑ pi log pi

Dimana :

H’ = Indeks keanekaragaman shannon-

Wienner;

Pi = Populasi jumlah individu sampel pada

spesies tersebut (ni/N);

Ni = Jumlah individu ke-I;

N = Jumlah total individu.

Dengan kriteria :

H’ < 1 : Keanekaragaman rendah;

1 < H’ < 3 : Keanekaragaman sedang;

H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi.

3. Dominansi

Untuk menghitung dominansi jenis

tertentu dalam suatu komunitas makrozoobentos

digunakan indeks Dominansi Simpson

digunakan rumus yang dikemukakan oleh

(Romimohtarto dan Juwana, 2001).

∑(

)

user
None set by user
Page 4: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 25

Dimana:

D = Indeks dominansi simpson

S = Jumlah spesies makrozoobentos

ni = Jumlah individu spesies ke-i

N = Jumlah total individu keseluruhan spesies

Dengan kriteria:

D=0 dominansi rendah, artinya tidak terdapat

spesies yang mendominasi spesies lainnya

atau strktur komunitas dalam keadaan

stabil;

D=1 dominansi tinggi, artinya terdapat spesies

yang mendominasi jenis yang lainnya atau

struktur komunitas labil, karena terjadi

tekanan ekologis (stress).

Hasil

1. Keadaan Lokasi Penelitian

Kabupaten Konawe Utara dengan

ibukota Wanggudu merupakan pemekaran dari

Kabupaten Konawe, yang terbentuk berdasarkan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2007 tentang

pembentukan Kabupaten Konawe Utara di

Propinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis

Kabupaten Konawe Utara terletak di bagian

Selatan khatulistiwa, melintang dari Utara ke

Selatan antara 02o97’ dan 03

o86’ lintang Selatan,

membujur dari Barat ke Timur antara 121o49’

dan 122o49’ Bujur Timur.Luas wilayah

Kabupaten Konawe Utara yaitu 500.339 ha atau

13,38 persen dari luas wilayah Sulawesi

Tenggara. Sedangkan luas wilayah perairan laut

(termasuk Perairan Kabupaten Konawe Selatan

dan Kabupaten Konawe ) ±11.960 km2 atau

10,87 persen dari luas perairan Sulawesi

Tenggara. Kabupaten Konawe Utara terdiri dari

tujuh kecamatan yaitu Kecamatan Motui,

Lembo, Lasolo, Molawe, Asera, Langgikima

dan Wiwirano. Sebagaimana yang menjadi

lokasi penelitian ini yaitu di Perairan Desa

Motui merupakan bagian wilayah dari

Kabupaten Konawe Utara yang terletak di

Kecamatan Motui, secara administratif Desa

Motui mempunyai batas-batas wilayah sebagai

berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa

Puuwonggia

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa

Lambuluwo

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan

Bende

- Sebelah Timur berbatasan dengan Laut B

anda

Desa Motui mempunyai kondisi

topografi yang berbukit-bukit, dataran tinggi

pegunungan, lereng gunung, tipe pantai berpasir,

kawasan rawa, kawasan gambut, aliran sungai

dan bantaran sungai. Luas wilayah Desa Motui

60 Ha yang terdiri dari tanah sawa, tanah kering,

tanah basah, tanah perkebunan dan tanah hutan.

Desa Motui juga merupakan lokasi

pertambangan, dimana keadaan lingkungannya

banyak dipengaruhi oleh aktivitas tambang.

Dilihat dari aspek sosial dan ekonomi, penduduk

Desa Motui mayoritas memiliki tingkat mata

pencaharian bertani.

2. Kondisi Fisika-Kimia Perairan

Hasil pengamatan kondisi fisika-kimia perairan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel

2.

Tabel 1. Nilai rata-rata fisika-kimia perairan selama penelitian

Parameter Satuan Stasiun I Stasiun II Stasiun III

Suhu oC 34,5 34,25 35,75

Kecepatan arus m/s 0,057 0,053 0,059

Kedalaman m 1,96 1,52 1,8

Kecerahan (%) 100 100 100

Salinitas ppt 28 28,75 26,75

pH - 8 7 7

DO (Dissolved Oxygen) mg/l 7,81 7,64 7,54

TSS (Total Suspended Solid) mg/l 0,94 1,13 0,9

Page 5: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 26

Tabel 2. Nilai rata-rata parameter kualitas substrat selama penelitian

Stasiun Tekstur

Kelas BO (%) pH Nikel (Ni) Debu % Liat % Pasir %

I 0,10 0,01 99,88 Pasir 0,16 6 0,021

II 0,12 0,01 99,87 Pasir 0,46 6 0,015

III 0,09 0,01 99,90 Pasir 1,05 7 0,017

3. Struktur Komunitas Makrozoobentos

a. Komposisi dan Jenis Makrozoobentos

Komposisi relatif masing-masing kelas

makrozoobentos selama penelitian terdiri dari 2

kelas yakni kelas gastropoda dan bivalvia

dengan jumlah spesies 26 jenis. Jumlah masing-

masing spesies setiap kelas terdiri atas 18

spesies atau 69% dari kelas Gastropoda dan 8

spesies atau 31% dari kelas bivalvia. Untuk

melihat komposisi relatif masing-masing kelas

makrozoobentos di Perairan Desa Motui Selama

Penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Komposisi relatif masing-masing kelas makrozoobentos di perairan desa motui selama

penelitian

b. Kepadatan Makrozoobentos

Kepadatan organisme makrozoobentos yang

ditemukan pada setiap stasiun pengamatan

berkisar antara 16,25-24 ind/m2. Untuk melihat

rata-rata kepadatan makrozoobentos pada

masing-masing stasiun pengamatan disajikan

pada Tabel 3.

Tabel 3. Kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan

Stasiun Kepadatan Satuan

I 16 ind/m2

II 18 ind/m2

III 24 1nd/m2

c. Keanekaragaman dan Dominansi

Makrozoobentos

Keanekaragaman makrozoobentos pada

setiap stasiun pengamatan berkisar antara

0,223-0,514 dan dominansi makrozoobentos

pada setiap stasiun pengamtan berkisar

antara 0,535-0,814. Untuk melihat nilai

keanekaragaman dan dominansi pada

masing-masing stasiun pengamatan dapat

dilihat pada Tabel 4.

69%

31% Gastropoda

Bivalvia

Page 6: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 27

Tabel 4. Nilai keanekaragaman dan dominansi makrozoobentos pada masing-masing stasiun

Stasiun H' D

I 0,514 0,535

II 0,223 0,814

III 0,292 0,767

Pembahasan

1. Kondisi Fisika-Kimia Perairan

a. Suhu

Parameter fisika-kimia perairan

merupakan faktor yang sangat mempengaruhi

kehidupan dan perkembangan organisme dalam

suatu perairan. Kualitas perairan baru dapat

dikatakan baik apabila organisme tersebut dapat

melakukan pertumbuhan dan perkembangbiakan

dengan baik. Organisme perairan dapat hidup

dengan layak bila faktor-faktor yang

mempengaruhinya, seperti fisika-kimia perairan

berada dalam batas toleransi yang

dikehendakinya.Suhu merupakan parameter fisik

yang sangat mempengaruhi pola kehidupan

organisme perairan, seperti distribusi, komposisi,

kelimpahan dan mortalitas (Nybakken, 1988).

Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta

semua aktifitas biologi dan fisiologi di dalam

ekosistem sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu

mempunyai pengaruh yang besar terhadap

kelarutan oksigen di dalam air. Apabila suhu

naik maka akan mengakibatkan peningkatan

aktifitas metabolisme akuatik, sehingga

kebutuhan akan oksigen juga meningkat

(Sastrawijaya, 2000).

Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai

rata-rata suhu pada setiap stasiun berkisar antara

34,25-35,75 oC, dimana kisaran suhu tersebut

termasuk suhu yang normal. Suhu pada ketiga

stasiun tersebut relatif sama, tidak mengalami

fluktuasi, karena keadaan cuaca pada saat

pengukuran relatif sama dan jarak pengukuran

setiap stasiun juga tidak terlalu jauh, sehingga

suhu tidak mengalami perubahan yang jauh. Secara umum kisaran tersebut merupakan

kisaran yang normal bagi kehidupan

makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Suriawira (1996), bahwa batas

toleransi hewan bentos terhadap suhu tergantung

pada spesiesnya, umumnya suhu di atas 35oC

dapat menekan pertumbuhan populasi hewan

bentos.

Nilai suhu tertinggi berada pada stasiun

III, dimana stasiun ini merupakan area yang

terbuka, sehingga cahaya matahari langsung

masuk ke perairan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Barus (2004), bahwa pola suhu

ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai

faktor seperti kedalaman, intensitas cahaya

matahari, pertukaran panas antara air dengan

udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi

(penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang

tumbuh di tepi. Selain dipengaruhi oleh faktor

kerapatan vegetasi mangrove rendahnya nilai

suhu pada stasiun tersebut diduga adanya

pengaruh aliran air tawar di stasiun tersebut.

Nilai suhu tertinggi berada pada daerah dengan

vegetasi tutupan pohon yang jarang atau perairan

yang terbuka.

b. Kecepatan Arus

Secara umum yang dimaksud dengan

arus adalah gerakan massa air laut ke arah

horizontal dalam skala besar. Besar kecilnya

kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh berbagai

faktor antara lain: a) kecepatan angin, b) tahanan

dasar, c) gaya coriolis, d) perbedaan densitas, e)

gelombang, f) refraksi gelombang, g) difraksi

gelombang dan h) refleksi gelombang

(Wibisono, 2005).

Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai

rata-rata kecepatan arus pada setiap stasiun

berkisar antara 0,053-0,059 m/detik dimana arus

ini relatif cepat. Kondisi arus ini merupakan

kondisi yang normal. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Odum (1996), bahwa arus

merupakan faktor yang membatasi penyebaran

makrozoobentos, dimana kecepatan arus ini

akan mempengaruhi tipe atau ukuran subtrat

dasar perairan yang merupakan tempat hidup

bagi hewan bentos. Selanjutnya berdasarkan

penelitian Nurul dkk. (2010), menyatakan bahwa

pengukuran kecepatan arus di estuaria Kuala

Page 7: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 28

Sugihan Provinsi Sumatera Selatan pada bulan

November 2009 berkisar 0,037-0,512 m/detik,

dimana menjadi arus yang baik bagi hewan

bentos.

Perbedaan kecepatan arus pada lokasi

penelitian dengan kecepatan arus tertinggi pada

stasiun III disebabkan karena stasiun ini berada

pada daerah terbuka sehingga arus yang masuk

menjadi lebih cepat. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Odum (1993), bahwa beberapa faktor

kecepatan arus air antara lain kecepatan angin

dan kondisi perairan yang terbuka tanpa ada

peredam masa air yang masuk. Selanjutnya

berdasarkan penelitian Rosyadi (2010),

didapatkan bahwa daerah yang memiliki arus

tercepat berada pada stasiun I. Tinggi kecepatan

arus pada stasiun ini diduga karena kondisi

stasiun yang berada paling terluar atau paling

mendekati laut bebas.

c. Kedalaman

Kedalaman sangat berpengaruh terhadap

keberlangsungan hewan bentos. Kedalaman

suatu perairan akan mempengaruhi penetrasi

cahaya yang masuk sampai ke dasar perairan,

jika kedalaman perairan tersebut dangkal maka

cahaya akan masuk sampai kedasar perairan.

Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai

rata-rata kedalaman pada setiap stasiun berkisar

antara 1,52-1,96 m, ini termasuk perairan yang

dangkal dan juga merupakan habitat dari

makrozoobentos, sehingga penetrasi cahaya

sampai ke dasar perairan menyebabkan

tingginya suhu. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Nybakken (1992), bahwa semakin dangkal suatu

perairan maka cahaya yang masuk akan sampai

ke dasar menyebabkan semakin tinggi tingkat

suhunya.

Berdasarkan penelitian Rosyadi, dkk.

(2009), menyatakan bahwa yang mengambil

sampel pada kedalaman kurang dari 2 m yaitu

kisaran 0,53-1,78 m. Selanjutnya berdasarkan

penelitian Nurul dkk. (2010), menyatakan bahwa

kedalaman perairan yang terukur pada saat

penelitian berkisar antara 125-300 cm.

Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah jenis

makrozoobentos. Semakin dalam dasar suatu

perairan, semakin sedikit jumlah jenis

makrozoobentos karena hanya makrozoobentos

tertentu yang dapat beradaptasi dengan kondisi

lingkungannya (Odum, 1996).

d. Kecerahan

Kecerahan perairan dipengaruhi

langsung oleh partikel yang tersuspensi

didalamnya, semakin kurang partikel yang

tersuspensi maka kecerahan air akan semakin

tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi

cahaya semakin rendah, karena meningkatnya

kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan

untuk proses fotosintesis oleh tumbuhan air

berkurang. Oleh karena itu, secara tidak

langsung kedalaman akan mempengaruhi

pertumbuhan fauna bentos yang hidup

didalamnya. Disamping itu kedalaman suatu

perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang

dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988).

Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai

rata-rata kecerahan pada semua stasiun yaitu

100%. Ini dikarenakan kedalaman perairan

sangat dangkal sehingga cahaya matahari tembus

sampai ke dasar perairan meskipun tingkat

partikelnya cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Odum (1996), bahwa interaksi antara

faktor kekeruhan perairan dengan kedalaman

perairan akan mempengaruhi penetrasi cahaya

yang masuk ke dalam perairan, sehingga

berpengaruh langsung pada kecerahan,

selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan

fauna makrozoobentos.

e. Salinitas

Salinitas merupakan ciri khas perairan

pantai atau laut yang membedakannya dengan

air tawar. Berdasarkan perbedaan salinitas,

dikenal biota yang bersifat stenohaline dan

euryhaline. Biota yang mampu hidup pada

kisaran yang sempit disebut sebagai biota

bersifat stenohaline dan sebaliknya biota yang

mampu hidup pada kisaran luas disebut sebagai

biota euryhaline (Supriharyono, 1978).

Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai

rata-rata salinitas pada setiap stasiun berkisar

antara 26,75-28,75 ppt. Nilai kisaran salinitas

tersebut relatif sama, tidak menunjukkan

perbedaan yang jauh dan merupakan nilai

salinitas yang rendah bagi kehidupan

makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Hutabarat dan Evans (1985), bahwa

kisaran normal untuk kehidupan

makrozoobentos yaitu berkisar antara 32-37,5

ppt. Rendahnya salinitas disetiap stasiun

disebabkan karena lokasi penelitian berada pada

pesisir pantai dimana terdapat asupan air tawar

Page 8: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 29

disekitar lokasi penelitian terutama pada stasiun

I yang paling terkena dampak dari asupan air

tawar tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Nontji (2000), bahwa salinitas pada perairan

yang dekat pantai biasanya lebih rendah karena

pengaruh aliran sungai sedangkan pada daerah

dengan penguapan tinggi salinitas bisa

meningkat juga.

f. pH

pH merupakan faktor pembatas bagi

organisme yang hidup di suatu perairan.

Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau

rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup

organisme yang hidup didalamnya (Odum,

1993). Effendi (2000), menambahkan bahwa

sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap

perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar

7 – 8,5.

Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai

rata-rata pH pada setiap stasiun berkisar antara

7-8. Kisaran nilai pH di Perairan Desa Motui ini

dikatakan normal apabila dibandingkan dengan

daftar baku mutu air laut untuk biota laut

(KepMen KLH No. 51 tahun 2004) masih

memenuhi syarat yaitu 7- 8,5.

Nilai pH tertinggi berada pada stasiun I,

ini disebabkan pada stasiun ini berada pada

daerah pemukiman dimana terdapat buangan

limbah yang bersifat basa seperti limbah deterjen

sehingga pH sedkit berbeda dibandingkan

stasiun II dan III. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Odum (1993), bahwa dalam

mintakat reduksi lebih banyak dijumpai

Hidrogen Sulfida (H2S), Besi (Fe2+), Metana

(CH4) dan Ammonia (NH3) yang diikuti pula

oleh keasaman yang tinggi dan bau yang khas

dari sedimen yang bewarna kehitam-hitaman.

g. DO (Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut merupakan variabel

kimia yang mempunyai peran penting sekaligus

menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota

air (Nybakken, 1988). Oksigen terlarut

digunakan dalam degradasi bahan-bahan organik

dalam air. Tanpa adanya oksigen terlarut pada

tingkat konsentrasi tertentu, banyak organisme

akuatik tidak bisa hidup dalam air. Banyak

organisme air mati bukan diakibatkan oleh

toksisitas zat pencemar langsung, tetapi dari

kekurangan oksigen sebagai akibat dari

penguraian oksigen untuk menguraikan zat-zat

pencemar, kekurangan oksigen terjadi karena

pembusukan zat organik (Jaenuru, 2004).

Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai

rata-rata DO pada setiap stasiun berkisar antara

7,54-7,81 mg/l. Kisaran nilai DO di Perairan

Desa Motui ini tergolong baik yaitu diantara 6-8

mg/l. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Nybakken (1988), bahwa nilai DO yang berkisar

di antara 5,45 – 7,00 mg/l cukup bagi proses

kehidupan bentos. Selanjutnya Barus (2004),

menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di

perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l,

makin rendah nilai DO maka makin tinggi

tingkat pencemaran ekosistem tersebut. Perairan

dengan kandungan oksigen seperti diatas

menurut Sinambela (1994), bahwa sudah cukup

untuk memenuhi kehidupan organisme karena

kandungan oksigen terlarut di air sebanyak 2

mg/l sudah dapat menunjang kehidupan normal

asalkan tidak mengandung senyawa beracun.

h. TSS (Total Suspended Solid)

Total padatan tersuspensi adalah padatan

yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-

bahan organik dan anorganik yang dapat disaring

dengan kertas miliopore berpori-pori 0,45

mikrometer. Materi yang tersuspensi mempunyai

dampak buruk terhadap kualitas air karena

mengurangi penetrasi matahari kedalam badan

air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan

gangguan pertumbuhan bagi organisme produser

(Monoarfa 2008).

Berdasarkan Gambar 10, didapatkan

nilai rata-rata TSS pada setiap stasiun berkisar

antara 0,9-1,13mg/l. Nilai kisaran TSS tersebut

relatif sama, tidak menunjukkan perbedaan yang

jauh dan merupakan nilai TSS yang rendah bagi

kehidupan makrozoobentos. Hal ini sesuai

dengan Baku Mutu Lingkungan (2004), bahwa

nilai standar untuk TSS untuk perairan <50.

Rendahnya nilai TSS diduga karena

pada lokasi penelitian di Perairan Desa Motui

memiliki substrat yang dominan yaitu substrat

pasir, sehingga padatan tersuspensi juga rendah.

Nilai TSS yang tinggi dapat digunakan sebagai

indikator pencemaran perairan oleh berbagai

keadaan limbah. Hal ini disebabkan oleh

banyaknya senyawa-senyawa baik senyawa

organik maupun anorganik yang sukar

terdekomposisi secara biologis. Banyaknya zat-

zat organik yang tidak bisa diuraikan secara

biologis mudah diuraikan oleh reaksi kimia

dengan oksigen di dalam air (Kegley dan

Page 9: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 30

Andrews, 1997). Selanjutnya dikatakan bahwa

tingginya tingkat pencemaran bahan organik di

dalam air akan mempercepat penurunan oksigen

terlarut.

2. Parameter Kualitas Substrat

a. Tekstur Substrat

Substrat dasar perairan merupakan

faktor yang penting bagi kehidupan hewan

makrozoobentos yaitu sebagai habitat hewan

tersebut. Masing-masing spesies mempunyai

kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap

substrat (Barnes and Mann, 1994).

Berdasarkan Tabel 2, didapatkan hasil

pengukuran tekstur substrat yang di peroleh dari

tiga stasiun penelitian yaitu berupa debu, liat dan

pasir. Substrat yang dominan pada semua stasiun

penelitian memiliki yaitu pasir berkisar 99-87-

99,90%, sedangkan tekstur lainnya berupa debu

dengan kisaran 0,09-0,12% dan tekstur liat

dengan nilai 0,01% pada semua stasiun.

Tingginya tekstur substrat pasir di lokasi

penelitian dikarenakan daerah tersebut

merupakan daerah pesisir pantai. Hal ini

didiukung oleh Efriyeldi (1997), menyatakan

bahwa karakteristik sedimen mempengaruhi

distribusi, morfologi, fungsional dan tingkah

laku organisme bentos. Tipe substrat merupakan

faktor utama yang dapat mengendalikan

distribusi dan adaptasi organisme bentos serta

menentukan morfologi dan cara makan

organisme tersebut.

Tekstur substrat di Perairan Desa Motui

memiliki kandungan pasir yang lebih tinggi

daripada kandungan debu dan liat. Semua

stasiunnya memiliki tekstur yang didominasi

oleh pasir. Komposisi debu dan liat hampir sama

di setiap stasiun karena pengaruh arus relatif

menjadi lebih cepat sehingga sedimentasi

partikel suspensi halus lebih sulit terjadi. Arus

deras yang terjadi di musim hujan memiliki

kemampuan membawa partikel lebih besar

sehingga pasir mudah terbawa.

b. pH Substrat

Nilai derajat keasaman (pH) sedimen

bersama redoks potensial menunjukkan sifat

kimia substrat bagi kehidupan organisme bentik.

Romimohtarto (2003), menyatakan bahwa

ditinjau dari segala segi substrat yang miliki pH

antara 6-7 merupakan pH terbaik, suasana

biologi dan penyediaan hara umumnya berada

pada tingkat terbaik pada kisaran pH tersebut.

Berdasarkan Tabel 2, didapatkan nilai

rata-rata pH substrat pada setiap stasiun berkisar

antara 6-7. Nilai pH substrat tersebut tidak

memiliki perbedaan yang besar setiap

stasiunnya, karena kondisi substrat pada semua

stasiun didominasi oleh pasir. Kisaran pH

tersebut tergolong normal bagi kehidupan hewan

bentos. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Syafriel (2008), bahwa nilai pH 6-7 kisaran ini

cenderung bersifat asam sampai netral. Hal ini

hubungannya dengan bahan organik, tipe

substrat dan kandungan oksigen. Kisaran nilai

tersebut masih mendukung kelangsungan hidup

bagi organisme makrozoobentos. Selanjutnya

Hutabarat dan Evans (1985), menyatakan bahwa

pH substrat yang dibutuhkan oleh moluska

berkisar antara 5,7-8,4.

c. Bahan Organik Substrat

Kadar organik adalah satu hal yang

sangat berpengaruh pada kehidupan

makrozoobentos, dimana kadar organik ini

adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobentos

tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu

perairan umumnya akan mengakibatkan

meningkatnya jumlah populasi hewan bentos

dan sebagai organisme dasar, bentos menyukai

substrat yang kaya akan bahan organik. Maka

pada perairan yang kaya bahan organik,

umumnya terjadi peningkatan populasi hewan

bentos (Barnes dan Mann, 1994).

Berdasarkan Tabel 2, didapatkan nilai

rata-rata kandungan bahan organik substrat pada

setiap stasiun berkisar antara 0,16-1,05%. Bahan

organik substrat tertinggi berada pada stasiun III

yaitu 1,05 %, sedangkan nilai bahan organik

substrat terendah berada pada stasiun I yaitu 0,16

%. Secara keseluruhan nilai bahan organik

substrat yang didapatkan dari ketiga stasiun

penelitian di Perairan Desa Motui ini tergolong

rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wa Iba

(1999), bahwa tipe substrat berpasir memiliki

kandungan oksigen yang tinggi karena memiliki

pori-pori yang cukup besar sehingga

memudahkan percampuran intensif dengan air

yang ada diatasnya jika dibandingkan dengan

tipe substrat yang lebih halus namun substrat

berpasir memiliki kandungan bahan organik

yang sangat rendah atau bahkan tidak ada. Hal

ini didukung oleh pernyataan Nybakken (1992),

bahwa substrat berpasir tidak banyak

Page 10: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 31

mengandung bahan organik dimana bahan

organik tersebut hanyut terbawa arus air.

Bahan organik yang rendah dipengaruhi

oleh substrat dasar atau partikel substrat itu

sendiri. Substrat dasar yang dengan partikel

kasar memiliki kandungan bahan organik yang

rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ita &

Wibowo (2009), bahwa adanya perbedaan

ukuran partikel sedimen memiliki hubungan

dengan kandungan bahan organik, dimana

perairan dengan sedimen yang halus memiliki

presentase bahan organik yang tinggi karean

kondisi perairan yang tenang yang

memungkinkan pengendapan sedimen lumpur

yang diikuti oleh akumulasi bahan-bahan

organik dasar perairan, sedangkan sedimen yang

kasar memiliki kandungan organik yang rendah

karena partikel yang lebih kasar susah untuk

mengendap.

d. Logam Berat Nikel (Ni)

Kontaminasi logam berat dilingkungan

merupakan masalah besar dunia saat ini.

Persoalan spesifik logam berat di lingkungan

terutama karena akumulasinya sampai pada

rantai makanan dan keberadaannya di alam, serta

meningkatnya sejumlah logam berat yang

menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara,

dan air. Proses industri dan urbanisasi

memegang peranan penting terhadap

peningkatan kontaminasi tersebut (Effendi,

2003).

Berdasarkan Tabel 2, didapatkan nilai

rata-rata logam berat (nikel) pada setiap stasiun

berkisar antara 0,015-0,021 ppm. Nilai logam

berat pada setiap stasiun relatif sama atau tidak

memiliki perbedaan yang jauh dan kandungan

logam beratnya tergolong normal. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Effendi (2003), bahwa kadar

Ni pada perairan laut berkisar antara 0.005 –

0.007 mg/l dan untuk melindungi kehidupan

organisme akuatik, kadar Ni sebaiknya tidak

melebihi 0.025 mg/l.

Nilai logam berat tertinggi berada pada

stasiun I dikarenakan pada stasiun II terdapat

lokasi pertambangan sehingga unsur logam yang

jatuh keperairan tidak langsung mengendap

melainkan terbawa oleh arus kearah stasiun I.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibisono

(2005), bahwa distribusi unsur partikel yang

terdapat diperairan dipengaruhi oleh keadaan

arus yang membawa partikel kecil seperti unsur

logam.

3. Struktur Komunitas Makrozoobentos

a. Komposisi dan Jenis Makrozoobentos

Jenis makrozoobentos yang ditemukan

di 3 stasiun pengamatan terdiri dari 2 kelas yakni

kelas Gastropoda dan Bivalvia dengan jumlah

spesies 26 jenis. Jumlah masing-masing spesies

setiap kelas terdiri atas 18 spesies dari kelas

Gastropoda dan 8 spesies dari kelas Bivalvia.

Adapun komposisi relatif dari masing-masing

kelas makrozoobentos di Perairan Desa Motui

adalah 69 % (Gastropoda) dan 31 % (Bivalvia).

Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa

komposisi jenis kelas Gastropoda menempati

tingkat tertinggi dibandingkan dengan kelas

bivalvia. Hal ini erat kaitannya dengan

kemampuan adaptasi yang baik oleh kelas

Gastropoda pada semua tipe substrat. Seperti

yang dinyatakan oleh Barnes (1987) dalam

Irawati (2001) bahwa gastropoda telah

melakukan adaptasi sangat ekstensif terhadap

kehidupan pada semua bentuk dasar laut dan

kehidupan pelagis, demikian juga pada perairan

tawar dan daratan. Lebih lanjut dikatakan bahwa

luasnya penyebaran dan bervariasinya kondisi

habitat gastropoda disebabkan oleh kemampuan

adaptasinya yang tinggi terhadap berbagai jenis

lingkungan.

Dari hasil penelitian terhadap organisme

makrozoobentos, dari seluruh stasiun

pengamatan ada yang memiliki kesamaan jenis

makrozoobentosnya. Jenis-jenis makrozoobentos

yang sering dijumpai pada setiap stasiun yaitu

kelas gatropoda dengan jenis yang mendominasi

yaitu Elaphrocancha javacensis. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian Rosyadi, dkk. (2009),

menyatakan bahwa organisme yang dominan

pada suatu lokasi tercemar merupakan

organisme indikator yang memiliki daya

toleransi yang besar terhadap perubahan kualitas

air, sehingga jenis tersebut cenderung

ditemukan pada setiap pengamatan, dari setiap

stasiun pengamatan dan perulangannya.

b. Kepadatan Makrozoobentos

Kepadatan makrozoobentos

didefinisikan sebagai jumlah individu

makrozoobentos dalam suatu areal tertentu

biasanya dalam satuan meter kuadrat (Soegianto,

1994).

Berdasarkan Tabel 3, diperoleh

kepadatan organisme makrozoobentos yang

ditemukan pada setiap stasiun pengamatan

Page 11: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 32

berkisar antara 16-24 ind/m2. Diantara ke-3

stasiun pengamatan, stasiun III memiliki nilai

kepadatan makrozoobentos yang tertinggi dan

kepadatan terendah terdapat pada stasiun I.

Berdasarkan Lampiran 4, bahwa pada

stasiun I, II dan III spesies dengan kepadatan

tertinggi berada pada jenis Elaphrocancha

javacensis dengan kepadatan masing-masing

yaitu 12, 16 dan 21 ind/m2, sedangkan kepadatan

terendah berada pada beberapa jenis seperti

Corbicula javanica, Corbicula rivalis, Hiatula

chinensis, Cyclotus discoideus, Mactra grandis,

Fragum unedo, Fragum fragum, Terebra

succincta, Septifer bilocularis dan lain-lain yaitu

0,25 ind/m2.

Spesies Elaphrocancha javacensis

merupakan spesies yang paling dominan diantara

spesies lain, ini dikarenakan spesies

Elaphrocancha javacensis memiliki toleransi

yang besar terhadap kondisi lingkungan

bersubstrat pasir. Hal ini sesuai dengan

penelitian Heryanto (2008), menyatakan bahwa

Elophroconcha lebih cocok hidup pada substrat

berpasir sehingga kepadatannya lebih tinggi

daripada jenis yang lain.

c. Keanekaragaman dan Dominansi

Makrozoobentos

Indeks keanekaragaman (H')

makrozoobentos sering digunakan untuk

menduga kondisi suatu lingkungan berdasarkan

komponen biologisnya. Sedangkan indeks

dominansi jenis (D) makrozoobentos digunakan

untuk menghitung adanya spesies tertentu yang

mendominasi suatu komunitas makrozoobentos.

Dengan melihat besarnya nilai indeks tersebut

dapat diduga tingkat kestabilan suatu lingkungan

perairan. Kondisi lingkungan suatu perairan

dikatakan masih baik (stabil) apabila diperoleh

nilai indeks keanekaragaman tinggi serta indeks

dominansi rendah. (Emiyarti, 2004).

Berdasarkan Tabel 4, hasil perhitungan

indeks keanekaragaman jenis pada setiap stasiun

pengamatan diperoleh kisaran nilai antara 0,224-

0,514. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat

pada stasiun I dan indeks keanekaragaman

terendah terdapat pada stasiun II. Terlihat nilai

indeks keanekaragaman jenis makrozoobentos di

Perairan Desa Motui berada pada kriteria rendah

yaitu dibawah 1.

Rendahnya nilai indeks keanekaragaman

spesies disetiap stasiun selain dipengaruhi oleh

sedikitnya jumlah spesies yang menyusunnya

juga disebabkan oleh adanya dominansi dari

salah satu spesies tertentu. Berdasarkan hal

tersebut diiduga bahwa terjadi persaingan atau

kompetisi dari spesies organisme

makrozoobentos sehingga ada spesies tertentu

yang mengalami tekanan dari spesies lain di

lokasi penelitian. Soegianto (1994), menyatakan

bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai

keanekaragaman jenis yang tinggi jika

komunitas disusun oleh banyaknya spesies

dengan kelimpahan spesies atau dengan kata lain

bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat

dipengaruhi oleh jumlah spesies dan jumlah total

individu masing-masing spesies pada suatu

komunitas.

Adanya perbedaan nilai indeks

keanekaragaman jenis organisme pada setiap

stasiun menunjukan bahwa kekayaan jenis dari

setiap stasiun yang ditemukan sangat bervariasi.

Keadaan ini menunjukan bahwa bervariasinya

organisme pada lokasi penelitian. Hal ini di duga

disebabkan oleh adanya pengaruh kondisi

lingkungan perairan pada setiap stasiun

penelitian tempat dimana ditemukannya

organisme makrozoobentos, dalam hal ini

perkembangan pola adaptasi organisme dalam

menempati ruang untuk perekembangbiakan dan

pertumbuhan serta persaingan untuk

mendapatkan makanan bergantung pada kondisi

lingkungan perairan, serta tekstur substrat dan

kandungan bahan organik yang terdapat dalam

substrat.

Indeks dominansi jenis makrozoobentos

digunakan untuk melihat apakah dalam suatu

komunitas terdapat jenis organisme

makrozoobentos yang dominan. Sebaliknya

apabila nilai dominansi rendah, maka tidak

terdapat adanya organisme yang dominan dalam

suatu komunitas. Efriyeldi (1997), menyatakan

bahwa pada perairan dengan spesies

makrozoobentos yang banyak, akan mempunyai

nilai indeks dominansi yang rendah dibanding

dengan jenis yang sedikit dengan catatan jumlah

masing-masing individu sama.

Nilai Indeks Dominansi jenis

makrozoobentos di Perairan Desa Motui pada

setiap stasiun berkisar antara 0,535-0,814, lebih

jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai indeks

dominansi tertinggi terdapat pada stasiun II dan

indeks dominansi terendah terdapat pada stasiun

I. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001),

menyatakan bahwa D=0 berarti dominansi

rendah, artinya tidak terdapat spesies yang

Page 12: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 33

mendominasi spesies lainnya atau struktur

komunitas dalam keadaan stabil. D=1 berarti

dominansi tinggi, artinya terdapat spesies yang

mendominasi jenis yang lainnya atau struktur

komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologis

(stress). Nilai rata-rata indeks dominansi dari

setiap stasiun menunjukkan nilai dominansi yang

tinggi.

Tingginya indeks dominansi pada

stasiun II, ini terjadi karena adanya spesies dari

jenis Elaphrocancha javacensis yang

mendominasi jumlah individu dalam komunitas

pada stasiun tersebut. Sedangkan pada stasiun

dengan nilai indeks dominansi yang rendah,

terlihat bahwa tidak adanya jenis organisme

yang mendominasi dari spesies tertentu pada

setiap stasiun dalam komunitas.

Hasil perhitungan nilai indeks dominansi

menunjukkan bahwa ada beberapa stasiun yang

jumlah individunya dalam satu spesies lebih

dominan dari spesies lain dalam komunitas.

Berdasarkan hal tersebut, diduga bahwa terjadi

persaingan atau kompetisi bagi setiap jenis

organisme makrozoobentos, sehingga ada

spesies tertentu yang mengalami tekanan dari

spesies lain, dalam hal penempatan ruang dan

persaingan untuk mendapatkan makanan. Selain

itu, kondisi lingkungan perairan termasuk

parameter fisik, kimia perairan dan karakteristik

substrat berpengaruh terhadap indeks dominansi

pada lokasi penelitian.

Bahan organik yang rendah diduga

berasal dari laut karena laut adalah daerah

yang oligotrofik (miskin bahan organik).

Kondisi tersebut diduga menjadi penyebab

tingginya indeks dominansi. Indeks

dominansi yang tinggi menunjukan adanya

tekanan ekologis yang kuat sehingga

organisme yang yang tidak mamu menahan

ekologis ini cenderung untuk menghilang

atau mencari tempat lain yang lebih sesuai,

sedangkan organisme yang mampu bertahan

hidup dan beradaptasi dengan kondisi

lingkungan tersebut akan terus menetap.

Simpulan

Kualitas lingkungan perairan di

sekitar areal pelabuhan bongkar muat nikel

(Ni) di Perairan Desa Motui Kabupaten

Konawe Utara masih berada dalam kisaran

normal dan kegiatan pertambangan di

sekitar pelabuhan bongkar muat nikel (Ni)

menyebabkan rendahnya kepadatan dan

keanekaragamanorganisme makrozoobentos.

Persantunan

Penulis menyampaikan ucapan terima

kasih kepada Prof. Dr. Ir. LM. Aslan, M.Sc

selaku dekan FPIK Unhalu yang telah

memberikan izin kepada penulis untuk

melakukan penenlitian, Emiyarti, S.Pi., M.Si dan

Ermayanti Ishak, S.Pi., M.Si atas bimbingannya

selama penelitian, Ruslaini, S.Pi., M.Pi atas

pinjaman alat penelitian serta Prof. H. La Onu

La Ola, SE. MS penasehat akademik selama

kuliah.

Daftar Pustaka

Barnes, R,S.K. & K.H.Mann. 1994.

Fundamental Of Aquatic Ecology.

Backwell Scientific Publications.

Oxford.

Barus, T.A. 1996. Metode Ekologi Untuk

Menilai Kualitas Suatu Perairan Lotik.

Program Studi Biologi USU FMIPA-

USU, Medan.

_____, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi

Tentang Ekosisitem Daratan. Program

Studi Biologi USU FMIPA. Medan.

C.K.Yap, S.M. Al-Barwani.2012. A

Comparative Study of Condition

Indices and Heavy Metals in Perna

Viridis Populations at Sebatu and

Muar, Peninsular Malaysia. Journal

Malaysian. Vol (9): 1063-1069.

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia

Jilid II. Lipi.

Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi

Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan. Kanisius.

Yogyakarta. 258 Hlm.

Efriyeldi, 1997. Struktur Komunitas

Makrozoobentos dan Keterkaitannya

dengan Karakteristik Sedimen di

Perairan Muara Sungai Banten Tengah,

Bengkalis. Tesis. Pascasarjana IPB.

Bogor.

Emiyarti. 2004. Karakteristik Fisika Kimia

Sedimen dan Hubungannya dengan

Struktur Komunitas Makrozoobentos

Page 13: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 34

di Perairan Teluk Kendari. Tesis Pasca

Sarjana. IPB, Bogor.

Ending Rochaytun, Abdul Rozak. 2007.

Pemantauan Kadar Logam Berat dalam

Sedimen di Perairan Teluk Jakarta. Vol

(11): 28-36.

Fitriana, Y.R. 2006. Keanekaragaman dan

Kemelimpahan Makrozoobentos di

Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi

Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali.

Biodiversitas 7 (1) : 67-72.

Harimurthy, S. 2002. Tipologi Komunitas

Makrozoobentos Sebagai Bioindikator

Pencemaran Perairan di Muara Sungai

Donan, Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi.

Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.

Heryanto. 2008. Ekologi Keong di Taman

Nasional Gunung Ciremai. Bidang

Zoologi, Puslit Biologi-LIPI. Jurnal

Biologi Indonesia. 4(5). Hlm. 359-

370.

Hutabarat, S dan S M. Evans. 1985. Pengantar

Oseanografi. Penerbit Universitas

Indonesia. Jakarta.

Irawan, A. 2003. Asosiasi Makrozoobentos

Berdasarkan Letak Padang Lamun

Estuaria Bontang Kuala, Kota Bontang

Kalimantan Timur. [Tesis]. Program

Pasca Sarjana. IPB.

Irwana, 2000. Kelimpahan dan Tipe Distribusi

Makrozoobentos pada Zona Intertidal

Perairan Pomalaa Kabupaten Kolaka.

Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas

Pertanian. Universitas Haluoleo.

Kendari.

Irawati, Nur. 2001. Analisis Tingkat

Pencemaran Teluk Kendari dengan

Makrozoobentos Sebagai

Bioindikator. Skripsi. Jurusan

Perikanan, Fakultas Pertanian.

Universitas Haluoleo. Kendari. 18-

38p.

Ita. R., E. K. Wibowo. 2009. Substrat Dasar

dan Parameter Oseanografi Sebagai

Penentu Keberadaan Gastropoda dan

Bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten

Rembang. Jurusan Ilmu Kelautan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Diponegoro. 14(1). Hlm.

50-59.

Jaenuru, L. 2004. Struktur Komunitas

Makrozoobentos di Perairan Sungai

Kambu Kota Kendari. Skripsi. Jurusan

Perikanan Fakultas Pertanian.

Universitas Haluoleo. Kendari.

Kementerian Lingktrngan Hidup. 2004.

Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun

2004 tentang Baku Mutu Air Laut.

]akarta: MENKLH.

Kegley and Andrews. 1997. The Chemistry of

Water. Univ. Science Book.

California. 71 p.

Monoarfa, W., 2000. Pengelolaan Kualitas Air.

Universitas Hasanuddin. Makassar.

______ 2008. Dampak Pembangunan Bagi

Kualitas Air di Kawasan Pesisir Pantai

Losari. Universitas Hasanuddin.

Makassar.

Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut.

Pradyna Paramita. Jakarta.

Nasim Ahmad Khan, Shaliza Ibrahim,

Piarapakaran Subramaniam. 2004.

Elimination of Heavy Metals From

Wastewater Using Agricultural Wastes

as Adsorbents. Malaysian Journal of

Science (23): 43-51.

Nontji, A. 2000. Laut Nusantara. Djambatan.

Jakarta. Pp 157-171.

Nurul, R.I., Zulkifli. H., dan Hendri. H. 2010.

Struktur komunitas Makrozoobentos di

estuaria Kuala Sugihan Provinsi

Sumatera Selatan. Program Studi llmu

Kelautan Jurusan Biologi FMIPA

Universitas Sriwijaya, Indralaya.

Maspari Journa. 1(1). Hlm. 53-58.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut. Suatu

Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan

dari Marine Biology an Ecological

Approach oleh M. Eidman. PT

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

______. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan

Ekologis. Terjemahan oleh Eidman,

D.Y Bengen dan Koesbiono.

Gramedia. Jakarta.

Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi

Terjemahan. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

_______. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi

Ketiga. Universitas Gajah Mada Press.

Yogyakarta (Penerjemah Tjahjono

Samingar). Hlm. 370, 374-375, 386.

Pennak, R.W. 1978. Fresh Water Invertebrates

of United States. Second Edition. A.

Page 14: jurnal makrozoobentos

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 35

Willey Interscience Publ. John Willey

amd Sons, New York.

Rahmania, R. 2001. Analisis Kualitas Air

Dengan Bioindikator Plankton di

Sungai Wanggu Kotamadya Kendari.

Skripsi.jurusan Perikanan Fakultas

Pertanian. Universitas Haluoleo.

Kendari.

Rizky Nurul Irmawan, Hilda Zulkifli,

Muhammad Hendri. 2010. Struktur

Komunitas Makrozoobentos di

Estuaria Kuala Sugihan Provinsi

Sumatera Selatan. Maspari Journal.

Vol (01): 53-58.

Romimohtarto. K., dan S. Juwana, 2001. Biologi

Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang

Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.

Rosyadi, Nasution, S., Thamrin. 2009.

Distribusi dan Kelimpahan

Makrozoobenthos Di Sungai Singingi

Riau. PPs Universitas Riau, Pekanbaru

:3 (1). Hlm 5-10.

Sastrawijaya, T.A. 1991. Pencemaran

Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.

______, T.A. 2000. Pencemaran Lingkungan.

Edisi Kedua. Rineka Cipta. Jakarta.

Saw Ai Yin, Ahmad Ismail, Syaizwan Zahmir

Zulkifli. 2012. Heavy Metals Uptake

by Asian Swamp Eel, Monopterus

Albus From Paddy Fields of Kelautan,

Peninsular Malaysia: Perliminary

Study. Tropical Life Sciences

Research. Vol (3) No (2): 27-38.

Setyowati, Y., Iriani, A. H. Ramelan. 2012.

Pengaruh Rapat Arus Terhadap

Ketebalan dan Struktur Kristal Lapisan

Nikel Pada Tembaga. Indonesian

Journal of Applied Physics. Vol (2) No

(1): 1.

Shoedharma, D. 1994. Keanekaragaman

Makrobentos dan Hubungannya

dengan Kualitas Lingkungan Pesisir

Teluk Lampung. Jurnal Ilmu-Ilmu

Perairan dan Perikanan Indonesia. II.

Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha

Nasional Surabaya-Indonesia.

Supriharyono, 1978. Kondisi Kualitas Air di

Saluran Daerah Persawahan.

Persawahan-Pemukiman dan

Pemukiman Delta Upang Sumatera

Selatan. Fak. Pascasarjana, IPB Bogor.

Surianto, W.A., 2001. Struktur Komunitas

Makrozoobentos Sebagai Indikator

Kualitas Air Di Perairan Pantai Desa

Torekeku Kecamatan Tinanggea

Kabupaten Kendari. Skripsi. Jurusan

Perikanan. Fakultas Pertanian.

Universitas Haluoleo.

Suriawira, U. 1996. Air dalam Kehidupan dan

Lingkungan yang Sehat. Edisi 1.

Alumni. Bandung. Hlm 1-6.

Syafikri, 2008. Studi Struktur Komunitas

Bivalvia dan Gastropoda di Perairan

Muara Sungai Kerian dan Sungai

Simbat Kecamatan Kaliwungu

Kabupaten Kendal. Skripsi. Jurusan

Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan. Universitas

Diponegoro. Semarang.

Syafriel, 2008. Struktur Komunitas Dan

Komposisi Jenis Serta Penyebaran

Makrozoobentos di Kawasan Hutan

Mangrove. Skripsi. Jurusan Perikanan.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Universitas Haluoleo. Kendari.

Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan.

Grasindo Gramedia Widiarsarana

Indonesia. Jakarta. 224 hal.

Yuniar Andri S, Hadi Endrawati, Muhammad

Zainuru. 2012. Struktur Komunitas

Makrozoobentos di Perairan Morosari

Kecamatan Sayung Kabupaten Demak.

Journal of Marine Research. Vol (1)

No (2): 235-242.

Zulfandi, Muhammad Zainuru, Retno Hartati.

2012. Struktur Komunitas

Makrozoobentos di Perairan Pandasari

Kecamatan Sayung. Kabupaten

Demak. Journal of Marine Research.

Vol (1) No (1) : 62-66.