jurnal pendidikan mipa susunan redaksi

221
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294 JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI Pelindung dan Penasehat Drs. H. Sudirman Ismail, M.Si. Ketua STKIP Taman Siswa Bima Dr. Ibnu Khaldun, M.Si. Pelaksana Harian STKIP Taman Siswa Bima Penganggung Jawab Syarifuddin, S.Pd., M.Pd. Ketua LPPM STKIP Taman Siswa Bima Ketua Penyunting Mariamah, M.Pd. Sekretaris Penyunting Asriyadin, M.Pd. Penyunting Pelaksana Syarifuddin.S.Si, M.Pd. Yus’iran, M.Pd. Muliana, M.Pd. Muliansani, M.Kom Penyunting Ahli (Mitra Bestari) Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc., Ph.D. Universitas Negeri Malang Prof. Dr. Agil Alidrus, M.Pd. Universitas Mataram Dr. Amran Amir, M.Pd. STKIP Bima Dr. Syahruddin, M.Si. Bendahara Nanang Diana, M.Pd. Alamat Redaksi Redaksi Jurnal Pendidikan MIPA LPPM STKIP Taman Siswa Bima Jln. Lintas Bima Tente Palibelo. Tlp (0374) 42891 Email: [email protected] Jurnal Pendidikan MIPA STKIP Taman Siswa Bima, terbit 2 kali setahun dengan edisi Januari Juni dan Juli - Desember. Sebagai media informasi, pemikiran dan hasil penelitian yang berkaitan dengan pendidikan Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam.

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

JURNAL PENDIDIKAN MIPA

SUSUNAN REDAKSI

Pelindung dan Penasehat

Drs. H. Sudirman Ismail, M.Si. Ketua STKIP Taman Siswa Bima

Dr. Ibnu Khaldun, M.Si. Pelaksana Harian STKIP Taman Siswa Bima

Penganggung Jawab

Syarifuddin, S.Pd., M.Pd. Ketua LPPM STKIP Taman Siswa Bima

Ketua Penyunting

Mariamah, M.Pd.

Sekretaris Penyunting

Asriyadin, M.Pd.

Penyunting Pelaksana

Syarifuddin.S.Si, M.Pd.

Yus’iran, M.Pd.

Muliana, M.Pd.

Muliansani, M.Kom

Penyunting Ahli (Mitra Bestari)

Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc., Ph.D. Universitas Negeri Malang

Prof. Dr. Agil Alidrus, M.Pd. Universitas Mataram

Dr. Amran Amir, M.Pd. STKIP Bima

Dr. Syahruddin, M.Si.

Bendahara

Nanang Diana, M.Pd.

Alamat Redaksi

Redaksi Jurnal Pendidikan MIPA

LPPM STKIP Taman Siswa Bima

Jln. Lintas Bima – Tente Palibelo. Tlp (0374) 42891

Email: [email protected]

Jurnal Pendidikan MIPA STKIP Taman Siswa Bima, terbit 2 kali setahun dengan

edisi Januari – Juni dan Juli - Desember. Sebagai media informasi, pemikiran dan

hasil penelitian yang berkaitan dengan pendidikan Matematika dan ilmu

Pengetahuan Alam.

Page 2: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

JURNAL PENDIDIKAN MIPA

Volume 4 No 2, Juli-Desember 2014

ISSN : 2088-0294

DAFTAR ISI

PENERAPAN METODE PENEMUAN TERBIMBING

DALAM PEMBELAJARAN PERSEGI PANJANG

Sudarsono, Dosen matematika STKIP Bima

1 – 12

PENGEMBANGAN KURIKULUM MATEMATIKA SEKOLAH

Syarifudin, Dosen Pendidikan Matematika STKIP TS Bima

PENERAPAN METODE INQUIRI DALAM MENINGKATKAN

PEMAHAMAN KONSEP HIMPUNAN PADA SUB POKOK

BAHASAN HIMPUNAN BAGIAN PADA SISWA KELAS VII.

C SMPN 3 GERUNG TAHUN PELAJARAN 2008/2009

YULY YANTI

UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA

DENGAN PEMANFAATAN MEDIA CHARTA PADA

PEMBELAJARAN LINGKARAN DI KELAS VIII SMPN 4

BOLO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

ARIF HIDAYAD

13 – 21

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE

TEAM GAME TOURNAMENT (TGT) UNTUK

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS X

SMA NEGERI 4 KOTA BIMA TAHUN PELAJARAN 2012/2013

HAERUNNAZILLAH, MUTAWAFAQ

22 – 32

HUBUNGAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI

BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 WOHA

TAHUN PELAJARAN 2013/2014.

ANGGUN LESTARI

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA

MELALUI PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF

TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATIN (TAI) MATERI

BENTUK ALJABAR KELAS VIIIC SMP N 1 DONGGO TAHUN

PELAJARAN 2014/2015”. SKRIPSI PENDIDIKAN

MATEMATIKA

LIRMIYATI.

33 – 46

PENGARUH MOTIVASI TERHADAP PRESTASI BELAJAR

SISWA DALAM BIDANG STUDI MATEMATIKA KELAS VIII

SEMESTER GENAP SMP NEGERI 1 PARADO TAHUN

PELAJARAN 2010/2011

47 – 58

Page 3: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

KASIANTO

PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN RECIPROCAL

TEACHING PADA MATA PELAJARAN IPS EKONOMI

UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR

SISWA KELAS VII B MTsN WATAMPONE

KECAMATAN TANETE RIATTANG

KABUPATEN BONE

HERWIN

59 – 71

UPAYAPENINGKATAN PRESTASI BELAJAR FISIKA POKOK

BAHASAN BESARANMELALUI METODE

KONSTRUKTIVISME PADA SISWA KELAS VII SMP

NEGERI 2 WOHA TAHUN PELAJARAN 2012/2013

MARINI FADHUM.

72 – 89

PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DENGAN

MODEL SIKLUS BELAJAR 5E UNTUK MENINGKATKAN

AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR FISIKA KELAS VIII.C SMP

NEGERI 4 WOHA TAHUN PELAJARAN 2014/2015

NUR ISTIQAMAH, & NURMI

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TIPE

JIGSAW TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR

FISISKA SISWA KELAS VIII.B SMP NEGERI 4 MONTA

TAHUN PELAJARAN 2014/2015

AGUSTINASARI, M.PD.SI & RAHMAT HIDAYAT

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA

MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE TIPE

SCRIPT PADA SISWA KELAS VII F SMP NEGERI 1

MADAPANGGA KABUPATEN BIMA TAHUN 2014/2015

GUFRAN.M.Pd & NURWAHDANIAH

PENERAPAN MODEL PEMBELAJAN THINK TALK WRITE

(TTW) UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL

BELAJAR SISWA KELAS VIII8 SMP NEGERI I WOHA TAHUN

PELAJARAN 2014/2015

ISMIATI

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TWO

STAY TWO STRAY (TSTS) UNTUK MENINGKATKAN

PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VIII7 SMPN 1

WOHA TAHUN PELAJARAN 2014/2014.

Page 4: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

YUS’IRAN, S.SI., M.Pd. & HAJNANG.

Page 5: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

PENERAPAN METODE PENEMUAN TERBIMBING

DALAM PEMBELAJARAN PERSEGI PANJANG

Sudarsono

Dosen matematika STKIP Bima

[email protected]

Abstract

The objective of study was to discript the steps applications of guided discovery

method. This study uses participant action research based on qualitative approach. The

subject of the study is nine third level students of SD Negeri Bolo 1. The students, are

divided into: tZree clever students, tZree average students, and tZree low students. The

result of the study shows that the use of guided discovery method can train students to

read carefully, train students to think critically and creatively, increase students self

confidence, make students responsible to their job, make students fun.

Key word: guided discovery method, rectangle characteristics

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi berjalan begitu cepat. Hal

ini akan diikuti oleh derasnya arus

informasi dan perubahan yang terus

menerus dalam kehidupan. Untuk

menghadapi perubahan tersebut, dunia

pendidikan khususnya pendidikan

matematika bertujuan: (1)

mempersiapkan siswa agar sanggup

menghadapi perubahan keadaaan dalam

kehidupan dan dunia yang selalu

berkembang melalui latihan bertindak

atas dasar pemikiran logis, rasional,

kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien;

dan (2) mempersiapkan siswa agar

dapat menggunakan matematika dan

pola pikir matematika dalam kehidupan

sehari-hari dan dalam mempelajari

berbagai ilmu pengetahuan (Depdikbud,

1993:7).

Kenyataannya, pembelajaran

matematika saat ini masih jauh dari

pencapaian tujuan tersebut.

Pembelajaran matematika cenderung

pada pencapaian target kurikulum dan

menghafalkan konsep-konsep

matematika (Marpaung, 1998: 240-

241). Schoenfeld (dalam Yuwono,

2001:2) mengatakan bahwa kebanyakan

guru masih menggunakan metode

konvensional dan menggunakan buku

ajar sebagai resep yang siap saji.

Padahal pembelajaran yang demikian

ditengarai mengakibatkan siswa hanya

bekerja secara prosedural dan

memahami matematika tanpa penalaran.

Karena itu, perlu suatu upaya untuk

mengembalikan pembelajaran

matematika pada tujuan semula serta

untuk meningkatkan penalaran dan

kecerdasan siswa.

Metode penemuan merupakan

salah satu metode yang dapat

meningkatkan penalaran dan kecerdasan

siswa karena memberi kesempatan

siswa secara kritis belajar menemukan

pengetahuan dan mengkonstruksikan

fakta atau gagasan yang mereka lihat,

mereka dengar atau mereka temui.

Dengan metode penemuan, siswa

mendapatkan kesempatan menemukan

sendiri pengetahuan yang sedang

dipelajari. Untuk memperoleh

pengetahuan, siswa melakukan aktivitas

baik secara intelektual maupun fisik,

sehingga pembelajarannya bersifat

“learning by doing”.

Page 6: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

Paeru (1987:153) berpendapat

bahwa dengan metode penemuan siswa

akan mempunyai kemampuan berpikir

kritis, kemampuan menerapkan suatu

konsep ke dalam situasi lain,

kemampuan menarik kesimpulan secara

tepat, pembentukan kebiasaan belajar

mandiri dan sebagainya. Hudojo

(1983:21-23) msembilaMbahkan bahwa

keuntungan utama metode penemuan

adalah mengajak siswa berpikir dan

belajar bagaimana belajar itu serta

mengurangi perasaan bosan dalam

belajar matematika.

Pemilihan materi geometri

(khususnya sifat-sifat persegi panjang)

untuk diajarkan dengan metode

penemuan terbimbing didasarkan alasan

bahwa pembelajaran geometri mampu

melatih siswa berpikir logis

(Ruseffendi,1988: 188). Tetapi, hasil

pembelajaran geometri selama ini

belum melatih siswa berpikir kritis,

bahkan dalam beberapa kasus

menghasilkan hafalan. Karena itu,

metode penemuan terbimbing yang

berdasarkan pendekatan induktif dapat

digunakan pada geometri yang

berkembang antara lain secara empiris

induktif.

Penelitian ini bertujuan untuk

memperoleh gambaran langkah-langkah

penerapan metode penemuan

terbimbing dalam pembelajaran persegi

panjang pada siswa kelas V SD Negeri

Bolo 1.

METODE

Penelitian ini dilaksanakan di SD

Negeri Bolo 1. Subjek penelitian

sebanyak sembilan siswa kelas V yang

dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

KA, KS, dan KB.

Pendekatan yang digunakan

adalah pendekatan kualitatif dengan

jenis penelitian tindakan partisipan.

Dalam penelitian ini, peneliti menyusun

kerangka pelaksanaan metode

penemuan terbimbing sebelum

memberikan tindakan berupa

pembelajaran persegi panjang. Sebagai

instrumen utama dalam penelitian ini,

peneliti bertindak sebagai pengamat,

pewawancara, dan pemberi tindakan.

Data dikumpulkan dengan

menggunakan teknik tes, wawancara,

observasi, dan pencatatan kegiatan

lapangan. Data yang dikumpulkan

adalah sebagai berikut.

1. Jawaban siswa pada tes prasyarat,

tes awal, LKS, latihan, dan tes

akhir.

2. Transkrip wawancara peneliti

dengan subjek penelitian.

3. Hasil pengamatan aktivitas guru dan

siswa.

4. Hasil catatan lapangan.

Data yang terkumpul diperiksa

dengan teknik triangulasi. Teknik

triangulasi yang digunakan adalah: (1)

membandingkan dan mengecek ulang

data dari metode yang berbeda yaitu

membandingkan data hasil pekerjaan

siswa dengan hasil wawancara, hasil

pengamatan, dan hasil catatan lapangan;

dan (2) membandingkan data dari

sumber yang berbeda pada metode yang

sama yaitu membandingkan data hasil

pengamatan peneliti dengan hasil

pengamatan guru kelas V dan teman

sejawat. Selanjutnya, data dianalisis

dengan teknik analisis data kualitatif

yang dikembangkan oleh Miles dan

Huberman (1991:18), yaitu mereduksi

data, menyajikan data, dan menarik

kesimpulan serta verifikasi.

Penelitian dilakukan dalam dua

tahap, yaitu pendahuluan dan tindakan.

Kegiatan pada tahap pendahuluan

adalah: (a) mengadakan pertemuan awal

dengan kepala sekolah dan guru kelas

V, (b) melaksanakan tes awal, (c)

melakukan pembelajaran materi

prasyarat, dan (d) menentukan sembilan

subjek penelitian.

Tahap tindakan terbagi dalam 4

bagian, yaitu: (a) perencanaan, (b)

pelaksanakan tindakan, (c) pemantauan,

Page 7: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

dan (d) refleksi. Pada bagian

perencanaan dilakukan kegiatan (1)

menyusun rancangan pembelajaran

dengan metode penemuan terbimbing,

(2) menyusun lembar kerja siswa (LKS)

(3) menyusun soal-soal latihan dan

evaluasi , (4) menyusun lembar

observasi.

HASIL PENELITIAN

1. Tahap Pendahuluan (Pra

Tindakan)

Sebelum melakukan tindakan,

peneliti melaksanakan tes awal dan

wawancara dengan guru kelas V di SD

Negeri Bolo 1. Hasil wawancara

menunjukkan bahwa: (a) guru

menganggap materi aritmetika lebih

mudah diajarkan dari pada materi

geometri; (b) guru melaksanakan

pembelajaran matematika dengan

memberikan contoh penyelesaian soal

disertai latihan; dan (c) materi prasyarat

yang pernah dipelajari siswa adalah: (1)

pengukuran panjang dalam satuan

centimeter, (2) pengertian sudut siku-

siku, (3) macam-macam segitiga, (4)

pengertian sejajar, (5) pengertian

diagonal, dan (5) pengertian kongruen.

Jawaban siswa pada tes awal

memberikan informasi berikut ini.

a. Siswa telah mempelajari materi

prasyarat, tetapi pemahaman siswa

kurang baik dan belum memadai

sebagai bekal mengikuti

pembelajaran dengan metode

penemuan terbimbing.

b. Pada umumnya siswa mengenal

gambar persegi panjang dan persegi

yang letaknya sisi-sisinya tegak,

sedangkan yang letak sisi-sinya

miring kurang dipahami.

c. Siswa tidak dapat menyebutkan ciri-

ciri persegi panjang dan persegi.

Hasil tes di atas menunjukkan

bahwa siswa kurang memahami materi

prasyarat sehingga belum dapat

mengikuti pembelajaran sifat-sifat

persegi panjang dengan metode

penemuan terbimbing. Karena itu,

peneliti melaksanakan pembelajaran

materi prasyarat. Pembelajaran

prasyarat dilaksanakan tiga kali.

2. Tahap Tindakan

a. Pelaksanaan Tindakan Siklus 1

Pada siklus 1, peneliti

memberikan tindakan berupa

pembelajaran persegi panjang dengan

metode penemuan terbimbing.

Pembelajaran siklus 1 diawali guru

dengan menanyakan materi prasyarat

yang berkaitan dengan sifat-sifat persegi

panjang yaitu: sudut siku-siku, segitiga

siku-siku, sisi, diagonal, kesejajaran

sisi, sisi berhadapan/berdekatan, dan

kongruensi bangun. Selanjutnya, guru

mengemukakan topik pembelajaran

yaitu sifat-sifat persegi panjang. Guru

memotivasi siswa dengan mengatakan

“Mengapa bangun persegi panjang

harus kita pelajari? (diam sejenak

menunggu jawaban siswa, tetapi tidak

ada siswa yang menjawab). Di sekitar

kita banyak terdapat benda-benda yang

berbentuk persegi panjang. Kalau kita

mengenalnya dengan baik, maka kita

dapat memanfaatkannya Karena itulah,

hari ini kita akan membicarakan sifat-

sifat persegi panjang”. Setelah itu, guru

menanyakan apakah di dalam kelas

terdapat benda yang memiliki bentuk

persegi panjang. Tr menjawab “ada”

dan menunjuk papan tulis. Guru

menanyakan kepada siswa lain

“Bagaimana pendapat kalian dengan

jawaban Tr tadi? Apa ada yang tidak

setuju atau punya jawaban lain”. Mb

menanggapi pertanyaan guru dengan

membenarkan jawaban Tr, sedangkan

PI memberikan contoh lain yaitu

jendela.

Kegiatan berikutnya, guru

membagikan satu kantong plastik yang

berisi benda tiruan (model) persegi

panjang dan meminta siswa

memisahkan bangun persegi panjang

dari bangun-bangun lain. Siswa tampak

senang memilah-milahkan model

Page 8: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

persegi panjang dan dapat mengerjakan

tugas ini dengan baik. Kemudian guru

membagikan selembar kertas yang

berisi gambar bangun datar dan

meminta siswa memilih gambar yang

merupakan bangun persegi panjang.

Siswa menyebutkan gambar persegi

panjang secara bergantian. Pada

kegiatan ini, tidak ada siswa yang salah

menunjukkan gambar bangun persegi

panjang.

Kegiatan dilanjutkan dengan

meminta siswa mengambil salah satu

model persegi panjang kemudian

menjiplaknya di kertas kosong yang

telah dibagikan guru. Semua siswa

menggambar bangun persegi panjang

dengan posisi horizontal. Tidak ada

siswa yang menggambar persegi

panjang dengan letak sisi-sisinya

miring. Guru menunjukkan satu per satu

gambar siswa kepada semua siswa dan

menanyakan apakah gambar yang

dibuat temannya merupakan gambar

persegi panjang. Kadang-kadang guru

memiringkan kertas agar gambar

persegi panjang tampak dalam posisi

miring. Ketika melihat gambar persegi

panjang dalam posisi miring, siswa

memperhatikan gambar agak lama

sebelum menjawab bahwa gambar

tersebut adalah persegi panjang.

Setelah siswa memahami gambar

persegi panjang dalam berbagai posisi,

guru menanyakan “Ciri-ciri atau sifat-

sifat apa saja yang dimiliki bangun

persegi panjang?”. PI mengatakan

bahwa persegi panjang adalah bangun

yang dua sisinya sama panjang. Guru

menanggapi jawaban PI dengan

menunjukkan gambar jajar genjang dan

menanyakan apakah itu persegi

panjang. PI dan siswa yang lain

mengatakan “bukan”. Kemudian guru

menanyakan kembali, “Jadi persegi

panjang itu yang bagaimana?”

Siswa mulai mendiskusikan

pertanyaan guru dengan teman yang

duduk di dekatnya. Setelah 5 menit

berlalu dan belum ada siswa yang dapat

menjawab pertanyaan, guru mengatakan

bahwa ia mempunyai sebuah buku

cerita (yang dimaksud adalah LKS)

tentang bangun persegi panjang. Untuk

mengenal persegi panjang secara

mendalam, siswa dipersilakan membaca

dan mengisi teka-teki (pertanyaan) pada

buku cerita yang akan dibagikan.

Guru membagikan LKS dan

memberi kesempatan siswa

mengerjakan soal-soal dalam LKS

secara individual. Model LKS kali ini

berbeda dengan yang biasa digunakan,

sehingga siswa harus membaca setiap

bagian dengan teliti. Supaya dapat

menjawab pertanyaan, siswa harus

melakukan aktivitas, misalnya:

mengamati, mengukur atau

membandingkan.

Berdasarkan jawaban siswa pada

LKS individual diperoleh informasi

bahwa hampir semua siswa mengalami

kesulitan menemukan sifat-sifat persegi

panjang. Ada siswa yang dapat

menemukan satu atau dua sifat saja

tetapi ada pula yang sama sekali tidak

dapat menemukan sifat persegi panjang.

Kegagalan ini disebabkan siswa

kesulitan menyimpulkan hubungan

antara 2 jawaban.

Pembelajaran dilanjutkan dengan

kegiatan mengisi LKS secara

kelompok. Sebelum kegiatan kelompok,

guru menjelaskan cara membuat

kesimpulan supaya siswa dapat

menemukan sifat-sifat persegi panjang.

Pengamatan terhadap kegiatan

kelompok menunjukkan bahwa: (a) KA

(Tr, PI, Zr) bekerja sama dengan baik

dalam menyelesaikan tugas kelompok;

(b) pada KS, Vr kurang berpartisipasi,

sedangkan Yn dan Mb bekerja sama

dengan baik; dan (c) pada KB, Mf

berusaha mendominasi semua kegiatan,

Ar lebih suka mencari kesibukan

sendiri, dan Dn berusaha berpartisipasi

untuk menyelesaikan tugas kelompok.

Dengan kondisi yang demikian, peneliti

membantu KB membuat pembagian

tugas pada anggota kelompok dan lebih

Page 9: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

banyak meluangkan waktu untuk

mengamati, memperhatikan, dan

memotivasi KB.

Setelah siswa selesai mengisi

LKS secara kelompok, kegiatan belajar

dilanjutkan dengan pembelajaran

klasikal yaitu membahas hasil kerja

kelompok. Guru meminta siswa

menjawab pertanyaan dalam LKS

secara bergantian. Dalam diskusi kelas,

tampak siswa masih kesulitan

menemukan sifat-sifat persegi panjang.

Karena itu, jawaban yang merupakan

sifat-sifat persegi panjang dituliskan

guru di papan tulis kemudian siswa

menuliskan di buku catatan.

Sampai akhir pembelajaran,

siswa tampak masih kesulitan

menemukan sifat-sifat persegi panjang.

Karena itu peneliti mengadakan

wawancara untuk mengetahui kesulitan

siswa dalam menemukan sifat-sifat

persegi panjang. Wawancara

dilaksanakan secara individual di luar

kegiatan pembelajaran. Wawancara

dimulai dengan menanyakan kembali

pertanyaan yang dijawab salah oleh

siswa. Apabila pada suatu bagian

(misalnya bagian A3) tidak terdapat

kesalahan, maka guru menanyakan cara

siswa mendapatkan jawaban tersebut.

Apabila siswa kesulitan menjawab

pertanyaan (terutama pada penemuan

sifat-sifat persegi panjang), guru

memberikan bimbingan melalui tanya

jawab dan bukan memberitahukan

jawaban secara langsung (mendikte).

Jadi, untuk mengetahui sifat-sifat

persegi panjang, siswa harus

menemukannya sendiri.

Selama mengamati kegiatan

pengisian LKS dan pemberian

bimbingan individual, peneliti melihat

beberapa kekurangan dalam

penyusunan LKS. Karena itu perlu

dilakukan perbaikan pada LKS materi

persegi panjang dan digunakan sebagai

acuan dalam penyusunan LKS materi

persegi.

Hasil pengamatan menunjukkan

bahwa pada awal pembelajaran guru

sering melihat siswa yang mencoba

bekerja sama atau mencocokkan

jawaban dengan siswa lain atau yang

dianggap pandai di kelas. Tetapi pada

akhir pembelajaran tampak bahwa

siswa-siswa tersebut mulai percaya akan

kemampuannya sendiri. Siswa lebih

senang mengerjakan sesuai dengan

kemampuannya. Selama pembelajaran

mereka tampak senang dan seolah-olah

tugas-tugas yang demikian banyaknya

tidak membuat mereka bosan.

b. Pelaksanaan Tindakan Siklus 2

Siklus 2 merupakan

pembelajaran persegi dengan metode

penemuan terbimbing. Pembelajaran

siklus 2 diawali dengan menanyakan

kembali sifat-sifat persegi panjang.

Guru mengatakan bahwa hari ini akan

dipelajari bangun datar persegi dengan

cara seperti pada pembelajaran persegi

panjang. Guru juga menjelaskan

pengertian bangun segitiga sama kaki,

segitiga sama sisi, dan segitiga

sembarang.

Setelah itu, guru mengatakan

bahwa siswa telah mengenal bangun

persegi sejak kelas I dan benda-benda

yang memiliki bentuk persegi terdapat

di sekitar siswa. Yang akan dilakukan

hari ini adalah mencari sifat-sifatnya.

Karena itu, kegiatan yang akan

dilakukan sama seperti mencari sifat-

sifat persegi panjang. Guru

melanjutkan dengan pertanyaan apakah

ada yang dapat menyebutkan contoh

benda yang berbentuk persegi yang

terdapat di dalam kelas. Siswa melihat

sekelilingnya lalu PI menunjuk dan

menjawab “ubin”. Pandangan semua

siswa tertuju pada benda yang ditunjuk

PI, kemudian Dn berkomentar “O iya

Bu”.

Kegiatan berikutnya, guru

membagikan satu kantong plastik yang

berisi benda tiruan persegi panjang dan

menanyakan berapa banyak bangun

Page 10: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

persegi yang terdapat pada kantong

tersebut. Siswa mengeluarkan benda-

benda tiruan itu kemudian memilah-

milahkan benda-benda yang berbentuk

persegi. Setelah semua benda berbentuk

persegi terkumpul menjadi satu, siswa

menunjukkan kepada guru. Semua

siswa dapat mengelompokkan bangun

persegi dengan benar. Selanjutnya guru

membagikan selembar kertas yang

berisi gambar-gambar bangun datar dan

meminta siswa menyebutkan gambar

yang merupakan bangun persegi. Siswa

menyebutkan gambar persegi secara

bergantian dan guru selalu menanyakan

kebenaran jawaban siswa kepada siswa

yang lain. Pada kegiatan ini, tidak ada

siswa yang salah menunjukkan gambar

bangun persegi.

Kegiatan dilanjutkan dengan

guru meminta siswa mengambil salah

satu benda tiruan berbentuk persegi

kemudian menjiplaknya pada kertas

kosong yang telah disediakan guru.

Semua siswa menggambar bangun

persegi dengan posisi yang lebih

bervariasi. Beberapa siswa menggambar

persegi lebih dari satu dengan posisi

yang lebih artistik. Setelah semua

gambar yang dibuat siswa terkumpul,

guru menunjukkan satu per satu gambar

tersebut kepada semua siswa dan

menanyakan apakah gambar yang

dibuat temannya sudah benar.

Selanjutnya, guru meminta siswa

menggambil sebuah benda tiruan

persegi panjang dan sebuah persegi.

Siswa diminta mengamati dan

membandingkan kedua benda tersebut.

Berdasarkan pengamatannya, Zr

mengatakan bahwa sisi persegi panjang

ada yang lebih panjang, sedangkan sisi-

sisi persegi sama panjang. Vr

mengatakan bahwa persegi dan persegi

panjang mempunyai 4 sudut siku-siku.

Setelah itu guru membagikan

LKS untuk dikerjakan secara individual.

Pengisian LKS materi persegi lebih

cepat daripada yang direncanakan,

sehingga pembelajaran dilanjutkan

dengan pengisian LKS secara

kelompok. Pengisian LKS secara

kelompok juga dilakukan dengan cepat

oleh semua kelompok. Masing-masing

kelompok dapat bekerja sama dengan

baik dalam menyelesaikan tugas

kelompok dan tidak tampak adanya

siswa yang mendominasi atau pasif

dalam kegiatan kelompok. Masing-

masing anggota kelompok mengerti dan

bertanggung jawab terhadap tugas

tersebut. Setelah siswa selesai mengisi

LKS secara kelompok, kegiatan

dilanjutkan dengan pembelajaran

klasikal yaitu membahas hasil kerja

kelompok. Pada pembelajaran klasikal,

siswa dapat berinteraksi dan

mengkomunikasikan hasil kerja

kelompok dengan baik. Kesimpulan

akhir dituliskan siswa secara secara

bergantian di papan tulis kemudian

disalin di buku catatan masing-masing.

PEMBAHASAN

Tahap Pendahuluan (Sebelum

Tindakan)

Hasil tes awal menunjukkan

bahwa secara umum siswa kurang

memahami materi prasyarat. Hal ini

ditunjukkan antara lain siswa: (1) tidak

mengenali gambar sudut siku-siku

dalam posisi miring, (2) mengetahui

besar sudut siku-siku adalah 900 tetapi

tidak mengetahui alat pengukur besar

sudut, (3) tidak dapat mengukur sudut,

(4) menentukan sisi-sisi yang sama

panjang dengan cara melihat (tidak

mengukur), dan (5) menentukan sudut

siku-siku dengan cara melihat.

Kurangnya pemahaman siswa

tersebut disebabkan siswa mempelajari

materi dengan cara menerima informasi

(penjelasan guru) kemudian menghafal.

Cara yang demikian mengakibatkan: (a)

siswa siswa tidak terbiasa/trampil

melakukan aktivitas ilmiah seperti

mengukur dan membandingkan; dan (2)

materi yang dipelajari cepat dilupakan.

Seperti pendapat Ausubel (Hudojo,

1988:62) bahwa belajar dengan

Page 11: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

menghafal akan membuat siswa tidak

dapat mengaitkan informasi yang

diperoleh ke dalam struktur

kognitiYnya, sehingga informasi itu

tidak dapat diendapkan dan siswa hanya

dapat mengingat fakta-fakta yang

sederhana.

Pembelajaran Siklus 1

Pada awal kegiatan, semua siswa

dapat menemukan bangun persegi

panjang di antara sekumpulan bangun

datar lain. Keberhasilan ini dipengaruhi

penggunaan benda-benda tiruan dari

kertas asturo dan gambar berwarna-

warni. Penggunaan alat bantu

menyebabkan kegiatan siswa berbeda

dengan pada pembelajaran

konvensional yang jarang menggunakan

alat-alat konkret dan memaksa siswa

untuk mendengarkan ceramah guru.

Dengan alat-alat tersebut, siswa dapat

melakukan aktivitas belajar yang lebih

bervariasi, misalnya: mengamati,

memilih, dan memindahkan. Kegiatan

yang bervariasi akan mengurangi

kebosanan dan membuat siswa senang

serta bersemangat untuk belajar.

Sehubungan dengan hal ini, Sudjana

(1990:2) mengatakan bahwa

penggunaan alat bantu/media

pembelajaran dapat membuat

pembelajaran menjadi lebih menarik

sehingga menumbuhkan motivasi

belajar dan metode mengajar lebih

bervariasi sehingga siswa tidak bosan.

Selanjutnya, siswa menjiplak

model persegi panjang dengan posisi

yang sama (horizontal). Selain itu,

siswa sulit mengenali gambar persegi

panjang dalam posisi miring. Hal ini

menunjukkan bahwa pada pembelajaran

sebelumnya siswa kurang mendapatkan

contoh yang bervariasi. Contoh-contoh

yang diberikan bersifat monoton,

sehingga dalam pikiran siswa terbentuk

pengertian yang belum utuh. Siswa

menganggap persegi panjang hanya

seperti yang dicontohkan guru (yang

letaknya horizontal). Karena itu,

contoh-contoh yang disajikan

hendaknya lebih bervariasi sehingga

membentuk pengertian yang lebih luas

dan mewadahi konsep persegi panjang

yang sesungguhnya.

Kegiatan inti pembelajaran

penemuan dimulai dengan pemberian

masalah dalam bentuk LKS. Beberapa

kesalahan menjawab pertanyaan

pengarah disebabkan siswa kurang

teliti, belum memahami maksud LKS,

atau belum memahami materi prasyarat

dengan baik. Kesalahan Dn menjawab

pertanyaan tentang sisi yang

berhadapan/berdekatan disebabkan ia

belum memahami materi tersebut

sampai akhir pembelajaran prasyarat.

Hal ini seperti dikemukakan Hudojo

(1990:4) bahwa mempelajari konsep B

yang mendasarkan pada konsep A,

seseorang perlu memahami konsep A

lebih dahulu.

Yn dan Ar kurang teliti

membaca petunjuk, sehingga beberapa

jawaban pertanyaan pengarah tidak

sesuai dengan yang diharapkan.

Kesalahan Dn disebabkan kurang

memahami maksud pertanyaan, tetapi ia

tidak berusaha menanyakannya kepada

guru. Kesalahan Yn dan Ar

menunjukkan bahwa siswa belum

terbiasa dengan budaya membaca.

Budaya membaca tidak dapat

berkembang dengan baik karena

terpasung oleh perintah-perintah yang

diberikan secara lisan melalui

penggunaan metode ceramah yang terus

menerus. Kesalahan Dn disebabkan

oleh dominasi guru pada penggunaan

metode ceramah. Pada pembelajaran

dengan metode ceramah, guru aktif

memberi penjelasan sedangkan siswa

bersikap pasif yaitu mendengarkan dan

mengingat (menghafal).

Pada umumnya kegagalan siswa

dalam menemuan sifat-sifat persegi

panjang berpangkal pada kesulitan

membuat kesimpulan atau mencari

hubungan dua masalah. Siswa belum

mengerti cara membuat kesimpulan.

Page 12: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

Hal ini disebabkan siswa terbiasa

menerima informasi yang sudah jadi

dari guru dan hanya menirukan

langkah-langkah penyelesaian soal

seperti yang dicontohkan guru.

Pembelajaran semacam ini akan

mengarahkan siswa bekerja secara

mekanik, sekedar mengingat tanpa

adanya pengertian. Hal ini sesuai

dengan pendapat Schoenfeld (dalam

Yuwono, 2001:2) yang mengatakan

bahwa penggunaan buku ajar sebagai

resep yang siap disajikan kepada

siswanya ditenggarai mengakibatkan

siswa hanya bekerja secara prosedural

dan memahami matematika tanpa

penalaran.

Pada akhir kegiatan klasikal,

bimbingan diberikan secara individual

sesuai dengan kesulitan yang dialami

siswa. Siswa-siswa KA lebih cepat

memahami bimbingan yang diberikan,

sedangkan siswa-siswa KB memerlukan

bimbingan yang lebih banyak. Bell

(1981:511) mengatakan bahwa siswa

berbakat dapat membuat penemuan

matematika dengan sedikit bantuan dari

guru, tetapi siswa yang lambat belajar

memerlukan petunjuk langsung atau

intervensi guru yang lebih banyak.

Pelaksanaan bimbingan

individual kepada sembilan siswa

memerlukan waktu yang cukup banyak.

Dengan demikian, penggunaan metode

ini secara terus menerus di sekolah

umum yang rata-rata mempunyai empat

puluh siswa dengan kemampuan yang

heterogen akan memakan waktu yang

cukup banyak dan belum tentu siswa

dan guru tetap bersemangat. Ausubel

(dalam Bell, 1981:132) berpendapat

bahwa pembelajaran penemuan adalah

strategi yang tidak efisien dan tidak

dapat digunakan sering-sering di

sekolah. Marks (1988:19)

msembilaMbahkan bahwa tidak semua

materi matematika dapat dikuasai

dengan metode penemuan. Jika

mungkin, tidak tersedia waktu yang

cukup untuk menggunakan metode

secara eksklusif. Hudojo (1984:7)

mengatakan kekurangan metode

penemuan yaitu: (1) memerlukan waktu

yang cukup banyak dan belum dapat

dipastikan siswa akan tetap bersemangat

menemukan; dan (2) tidak semua guru

mempunyai semangat menggunakan

metode ini, terutama yang pekerjaannya

“sarat muatan”.

Pada akhir pembelajaran

diadakan evaluasi. Hasil evaluasi dan

wawancara menunjukkan bahwa siswa

dapat: (1) menemukan sifat-sifat persegi

panjang; (2) menunjukkan bangun

persegi panjang dan bukan persegi

panjang disertai alasan; dan (3)

menyelesaikan soal cerita. Soal cerita

merupakan soal yang paling sulit di

antara semua tes yang diberikan.

Walaupun demikian, kebanyakan siswa

dapat mengerjakan soal tersebut dengan

baik dan tiga siswa (Tr, Mb, Ar) dapat

mengerjakan tes 6 ini tanpa kesalahan.

Ketiganya secara berturut-turut

mewakili KA, KS, dan KB. Hal ini

menunjukkan bahwa pembelajaran

dengan metode penemuan membantu

pengembangan sifat ilmiah sehingga

siswa dapat mentransfer

pengetahuannya ke dalam berbagai

konteks. Seperti dikatakan Hudojo

(1984:7), keuntungan penerapan metode

penemuan antara lain: memungkinkan

pengembangan sifat ilmiah dan terbukti

bahwa siswa yang memperoleh

pengetahuan melalui metode ini lebih

mampu menstransfer pengetahuannya

ke berbagai konteks.

Pembelajaran Siklus 2

Pada pembelajaran persegi,

siswa menjiplak bangun persegi secara

bervariasi, ada yang letak sisi-sisinya

tegak dan ada pula yang miring, ada

pula yang menjiplak lebih dari satu

bangun dan disusun sedemikian rupa

sehingga menyerupai sebuah hiasan.

Hal ini menunjukkan bahwa siswa lebih

kreatif menanggapi tugas yang

diberikan guru dan menerapkan

Page 13: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

pengetahuannya untuk kepentingan

sehari-hari. Sehubungan dengan hal

tersebut, Hudojo (1984:7) mengatakan

bahwa salah satu keuntungan metode

penemuan adalah siswa lebih mampu

menstransfer pengetahuannya ke

berbagai konteks. Paeru (1987:153)

juga sependapat bahwa metode

penemuan dapat membekali siswa

dengan kemampuan berpikir kritis dan

kemampuan menerapkan suatu konsep

ke dalam situasi lain.

Ketika guru menugasi siswa

mengamati dan membandingkan

bangun persegi panjang dan persegi, Zr

dan Vr dapat menyimpulkan perbedaan

dan persamaan keduanya dengan tepat.

Kemampuan Zr dan Vr ini dipengaruhi

oleh pengalaman belajar yang lalu

dalam penemuan sifat-sifat persegi

panjang. Hal ini sesuai dengan pendapat

Bruner (dalam Amin, 1987:133-134)

bahwa belajar penemuan dapat

membantu siswa menggunakan daya

ingat dan transfer pada situasi-situasi

proses belajar yang baru. Dalam hal

ketepatan membuat kesimpulan Paeru

(1987:153) berpendapat bahwa dengan

metode penemuan siswa akan

mempunyai kemampuan berpikir kritis

dan kemampuan menarik kesimpulan

secara tepat.

Selama mengerjakan LKS, siswa

lebih santai dan menyiapkan sendiri

alat-alat yang diperlukan. Siswa dapat

mengorganisasikan dan bertanggung

jawab terhadap kegiatan belajarnya

sendiri. Sebagaimana dikemukakan

Prawironegoro (1980:5-6), belajar

penemuan melatih siswa lebih banyak

belajar sendiri. Jadi siswa melibatkan

“aku”-nya dan memotivasi diri sendiri

untuk belajar.

Selain itu, tidak ada siswa yang

menanyakan atau mendiskusikan

jawabannya dengan siswa lain karena

mereka percaya pada kemampuannya

sendiri. Rasa percaya diri, terutama bagi

siswa berkemampuan rendah, dapat

memacu semangat belajar sehingga

siswa dapat berprestasi lebih baik.

Siswa juga tampak senang ketika

mengerjakan LKS. Bahkan ada siswa

yang mengerjakan LKS sambil

bersenandung. Biggs (dalam Orton,

1993:89) mengatakan bahwa metode

penemuan merupakan cara terbaik

memberi kesenangan nyata anak kepada

matematika.

Jawaban siswa pada LKS

individual dan kelompok menunjukkan

bahwa semua siswa dapat menemukan

sifat-sifat persegi. Demikian juga dalam

presentasi hasil kerja kelompok, siswa

lebih aktif mengemukakan pendapat

dengan disertai alasan, sehingga guru

tidak perlu lagi membantu siswa

merumuskan kesimpulan. Kondisi ini

menunjukkan bahwa siswa dapat

mengerti dan memahami langkah-

langkah pembelajaran yang harus

mereka lakukan. Banyaknya hambatan

pada pembelajaran siklus 1 disebabkan

karena siswa belum terbiasa dengan

pembelajaran penemuan. Paeru (1987),

Chotimah (1995), dan Perdata (2002)

mengatakan bahwa salah satu faktor

yang diduga menjadi penyebab

kegagalan pembelajaran penemuan pada

penelitian mereka adalah siswa belum

terbiasa dengan metode penemuan.

Secara umum, pembelajaran

dengan metode penemuan memerlukan

waktu yang relatif lama. Pada penelitian

ini, pembelajaran siklus 2 berlangsung

lebih cepat daripada pembelajaran

siklus 1 karena siswa telah memahami

maksud pertanyaan-pertanyaan dalam

LKS dan langkah-langkah penemuan.

Seperti dikemukakan Hudojo (1990:3)

bahwa penggunaan metode penemuan

ini hanya sulit pada permulaannya,

tetapi selanjutnya dapat membantu

siswa belajar lebih cepat menemukan

sendiri apa yang tidak diketahui.

Pada akhir pembelajaran siklus 2

diberikan latihan dan tes akhir. Selama

mengerjakan latihan dan evaluasi, siswa

tampak senang dan tidak menganggap

tugas tersebut sebagai beban berat.

Page 14: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

Siswa mengerjakan soal dengan cara

mereka sendiri, menyiapkan alat-alat

yang diperlukan, mengerjakan soal

sambil bersenandung. Tidak tampak ada

siswa yang berusaha menanyakan atau

mendiskusikan jawaban. Siswa percaya

bahwa mereka mampu menyelesaikan

soal-soal tersebut tanpa bantuan orang

lain (temannya). Hal ini menunjukkan

bahwa penggunaan metode penemuan

tidak hanya dapat membangun

pemahaman suatu pengetahuan secara

bermakna, melainkan dapat membangun

dan msembilaMbah kepercayaan diri

siswa dan mendidik siswa bertanggung

jawab atas tugas mereka sendiri.

Hasil evaluasi dan wawancara

menunjukkan bahwa semua siswa

dapat: (1) menemukan sifat-sifat

persegi; (2) menunjukkan bangun

persegi panjang dan bukan persegi

panjang disertai alasan; (3)

menyelesaikan soal cerita. Soal cerita

berkaitan dengan penerapan

pengetahuan tentang sifat persegi

sebagai pemecah masalah dalam

kehidupan sehari-hari. Kemampuan

siswa menyelesaikan soal cerita

menunjukkan bahwa mereka dapat

menggunakan pengetahuannya untuk

mengatasi masalah yang dihadapinya.

Hal ini sesuai pendapat Hirdjan (dalam

Paeru, 1987:36) bahwa keuntungan

metode penemuan adalah agar siswa

kelak di kemudian hari tabah

menghadapi persoalan yang baru di

dalam masyarakat dan mampu

memecahkan sendiri atau menemukan

sendiri penyelesaiannya.

KESIMPULAN

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa penggunaan metode penemuan

terbimbing: (a) melatih siswa membaca

dengan teliti, (b) melatih siswa berpikir

kritis dan kreatif; (c) meningkatkan rasa

percaya diri siswa; (e) membuat siswa

bertanggung jawab terhadap tugasnya;

dan (f) memberikan kesenangan kepada

siswa.

Pembelajaran persegi panjang

dilakukan dengan langkah-langkah: (1)

guru menanyakan pengertian materi

prasyarat; (2) siswa mengamati dan

mencari benda di sekitarnya yang

berbentuk persegi panjang; (3) siswa

memilahkan bangun persegi panjang

dari sekumpulan model bangun datar;

(4) siswa menunjukkan gambar persegi

panjang di antara gambar bangun datar;

(5) siswa menjiplak salah satu model

persegi panjang; (6) guru menunjukkan

hasil jiplakan siswa dengan berbagai

posisi; (7) guru menanyakan sifat-sifat

persegi panjang; (8) guru memberikan

LKS untuk dikerjakan secara individual;

(9) guru memberikan LKS untuk

dikerjakan secara kelompok; (10) siswa

mempresentasikan hasil kerja kelompok

dalam forum kelas; dan (11) guru

memberikan bimbingan secara

individual kepada siswa sesuai dengan

tingkat kesulitan yang dialami siswa.

Langkah-langkah pembelajaran

sifat-sifat persegi hampir sama dengan

pembelajaran sifat-sifat persegi panjang.

Perbedaanya terletak pada: (a) langkah

1, guru mengingat kembali sifat-sifat

persegi panjang dan memperkenalkan

segitiga sama kaki, segitiga sama sisi,

dan segitiga sembarang; (b) langkah 7,

siswa mengamati dan membandingkan

model bangun persegi panjang dan

persegi untuk mencari persamaan atau

perbedaannya; dan (c) langkah 11 tidak

diperlukan lagi.

Inti pembelajaran penemuan

terbimbing adalah penggunaan LKS

yang memungkinkan siswa melakukan

penemuan. Adapun alur penemuan

dalam LKS adalah sebagai berikut: (1)

mengamati gambar persegi panjang, (2)

mencacah banyak sisi, (3) mengukur

panjang sisi, (4) menentukan letak sisi,

(5) menentukan kesejajaran sisi-sisinya,

(6) menyimpulkan hubungan antara

letak dan panjang sisinya, (6)

Page 15: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

menyimpulkan hubungan antara letak

dan kesejajaran sisinya, (7) mencacah

banyak sudut, (8) menentukan jenis

sudut, (9) menyimpulkan hubungan

antara banyak dan jenis sudut, (10)

mencacah banyak diagonal, (11)

menentukan panjang diagonal, (12)

menyimpulkan hubungan antara banyak

dan panjang diagonalnya, (13)

memotong persegi panjang pada salah

satu diagonalnya, (14) menentukan

nama bangun hasil pemotongan

tersebut, (15) menentukan kongruensi

kedua bangun hasil pemotongan, dan

(16) menyimpulkan hasil kegiatan

pemotongan sampai pada bentuk dan

ukuran bangun yang dihasilkan.

Langkah kesembilan tidak dilakukan

pada penemuan sifat-sifat persegi.

DAFTAR RUJUKAN

Amin, Moh. 1987. Mengajarkan Ilmu

Pengetahuan Alam dengan

Menggunakan Metode

“Discovery” dan “Inquiry”.

Jakarta: Depdikbud-Dirjen

Dikti.

Bell, Vrederick H. 1981. Teaching and

Learning Mathematic (In

Secondary Schools). Iowa: Wm.

C. Brown Company Publishers.

Chotimah, Siti. 1995. Pengaruh

Penggunaan Metode Penemuan

Terbimbing dalam Mengajar

Matematika terhadap Hasil

Belajar Peserta Didik SMU

Negeri 2 Kabupaten Lumajang.

Skripsi tidak diterbitkan.

Malang: FPMIPA IKIP Malang

Depdikbud. 1993. Kurikulum

Pendidikan Dasar-GBPP SD

Mata Pelajaran Matematika.

Jakarta: P3G-Depdikbud.

Hudojo, Herman. 1983. Teori Dasar

Belajar Mengajar Matematika.

Jakarta: Dirjen Dikti - P2LPTK.

Hudojo, Herman. 1984. Metode

Mengajar Matematika. Jakarta:

Depdikbud-Dirjen Dikti.

Hudojo, Herman. 1988. Mengajar

Belajar Matematika. Jakarta:

Depdikbud.

Hudojo, Herman. 1990. Strategi

Mengajar Belajar Matematika.

Malang: IKIP Malang.

Marks, John L. Hiatt, Arthur A. dan

Neufeld, Evelyn M. 1988.

Metode Pengajaran Matematika

untuk Sekolah Dasar. Alih

Bahasa: Ir. Bambang Sumantri.

Jakarta: Erlangga.

Marpaung, Y. 1998. Pendekatan Sosio

Kultual dalam Pembelajaran

Matematika dan Sains.

Pendidikan Sains yang

Humanistik (hlm. 239-264).

Yogyakarta: Kanisius.

Miles, Mathew B. and Huberman, A.

Michael. Analisis Data

Kualitatif. diterjemahkan oleh

Tjetjep Rohendi Rohidi. 1992.

Jakarta: Penerbit UI.

Paeru, Ahmad Daud. 1987. Eksperimen

Metode Penemuan dan

Ekspositori dalam Mengajarkan

Komposisi Transformasi di

Kelas II Ilmu-Ilmu Fisika di

SMA Negeri Kodya Ujung

Pandang. Tesis tidak diterbitkan.

Malang: Program Pasca Sarjana

IKIP Malang.

Orton, Anthony. 1993. Learning

Mathematics: Issues, Theory,

and Classroom Practice. New

York: Cassel.

Page 16: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

Perdata, Ida Bagus Ketut. 2002. Studi

Komparasi tentang Efektivitas

Metode Penemuan dan Metode

Ekspositori serta Pengaruh

Metode Penemuan terhadap

Minat dan Motivasi Siswa dalam

Belajar Matematika di Kelas I

Cawu I SMU Negeri 7

Denpasar. Tesis tidak

diterbitkan. Malang: Program

Pasca Sarjana Universitas Negeri

Malang.

Prawironegoro, Pratiknyo. 1980.

Metode Penemuan untuk Bidang

Studi Matematika. Jakarta: P3G

Pdan K.

Sudjana, Nana dan Rivai, Ahmad. 1990.

Media Pengajaran. Bandung:

Rineka Cipta

Russeffendy, E.T. 1988. Pengantar

kepada Membantu Guru

Mengembangkan Kompetensinya

dalam Pengajaran Matematika

untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

Yuwono, Ipung, 2001. RME (Realistics

Mathematics Educations) dan

Hasil Studi Awal

Implementasinya di SLTP.

Makalah disampaikan dalam

Seminar Nasional Realistic

Mathematics Education. Jurusan

Matematika-FMIPA UNESA.

Surabaya, 24 Februari.

Page 17: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

PENGEMBANGAN KURIKULUM MATEMATIKA SEKOLAH

Syarifudin

Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Taman Siswa Bima

[email protected]

Abstrak

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan

bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

belajar mengajar untuk mencapai tujuan tertentu. Sejalan dengan perubahan jaman,

maka kurikulum yang digunakan harus dikembangakan sesuai dengan perubahan jaman.

Sejalan dengan itu, pada dasarnya pengembangan kurikulum ialah mengarahkan

kurikulum sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan karena adanya berbagai

pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dari dalam sendiri, dengan

harapan agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik.

Akhirnya, perlu kita sadari lebih mendalam bahwa ke depan, jajaran pengelola

pendidikan matematika menghadapi tantangan yang semakin besar dan berat karena

berbagai tuntutan (globalisasi, rea informasi dan demokratisasi kependidikan). Jika kita

tidak ingin terisolasi dari pergaulan dunia tidak ada kata lain, kualitas SDM perlu terus

menerus kita tingkatkan, ini berarti mutu penguasaan matematika dikalangan generasi

mendatang harus dapat sejajar dengan negara maju, dan ini artinya kerja kita harus

semakin efisien dan efektif.

Kata Kunci: Pengembangan, Kurikulum Matematika

A. Pendahuluan

Di negara kita, kurikulum disusun

secara nasional. Setiap sekolah, pada

jenjang dan jenis yang sama

mengunakan kurikulum nasional yang

sama. Kurikulum Sekolah Dasar

misalnya, disusun untuk digunakan

untuk oleh semua SD di seluh

Indonesia. Begitupun kurikulum SMP,

SMA, SMK, dan sekolah-sekolah lain

juga mengunakan kurikulum nasional

yang berlaku untuk semua sekolah jenis

pada tingkat yang sama. Demikian pula

dengan kurikulum matematika sekolah

yang disusun secara nasional. Karena

Indonesia sudah mengunakan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP), maka kurikulum yang disusun

secara nasional itu bisa disesuaikan

dengan kondisi sekolah masing-masing.

Pemerintah hanya memberikan rambu-

rambu penyusunan atau pengembangan.

B. Pengertian Kurikulum

Kurikulum adalah seperangkat

rencana dan pengaturan mengenai

tujuan, isi dan bahan pelajaran serta

cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan belajar

mengajar untuk mencapai tujuan

tertentu (BSNP,2006). Sedangkan

menurut UU No. 2 Tahun 2000 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional

menggambarkan bahwa kurikulum

disusun untuk mewujudkan tujuan

pendidikan nasional dengan

memperhatikan tahap perkembangan

siswa dan kesesuaiannya dengan

lingkungan, kebutuhan pembangunan

nasional, perkembangan iptek serta

jenjang masing-masing satuan

pendidikan.

Pembahasan mengenai kurikulum

dapat ditelaah dari tiga sudut pandang.

Pandangan pertama, berhubungan

dengan aspek teori dan terlukis dalam

kurikulum berdasarkan apa yang

tercantum dalam dokumen tertulis.

Page 18: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

Kurikulum sekolah dalam dokumen

tertulis atau dikenal dengan istilah

intended curriculum memuat tiga hal,

yaitu (1) dokumen yang memuat garis-

garis besar pokok bahasan (SI), (2)

dokumen yang memuat panduan

pelaksanaan pembelajaran, dan (3)

dokumen buku yang memuat panduan

penilaian hasil belajar siswa.

Kurikulum dalam pandangan

kedua tercermin dalam proses

pembelajaran yang dilaksanakan oleh

guru di kelas atau dikenal dengan istilah

implemented curriculum.Kurikulum

dalam pandangan kedua ini pada

hakekatnya adalah pelaksanaan kegiatan

belajar mengajar termasuk pelaksanaan

penilaian hasil belajar siswa oleh guru.

Sedangkan pandangan ketiga yang

dikenal performanced curriculum

adalah kurikulum yang tercermin dalam

belajar yang dicapai siswa pada akhir

satuan waktu pembelajaran, mulai dari

satuan terkecil yaitu Rencana

Pelakasanaan Pembelajaran (RPP)

sampai dengan satuan terbesar yaitu

satu jenjang pendidikan. Sejalan dengan

ketiga pandangan tersebut maka kualitas

pendidikan matematika pada tiap

jenjang pendidikan dapat ditinjau dari

kualitas kurikulum tertulis dan

relevansinnya dengan pelaksanaan

kurikulum oleh guru, dan hasil belajar

yang dicapai oleh siswa. Kurikulum

dalam dokumen tertulis pada umumnya

disusun oleh para pakar bidang studi,

guru bidang studi yang sejenis yang

telah berpengalaman serta pihak lain

yang berwenang. Betapapun tingginya

kualitas kurikulum dalam dokumen

tertulis tanpa implementasi kurikulum

yang ditampilkan oleh guru dengan

baik, maka kualitas pendidikan yang

tinggi sulit terwujud. Upaya untuk

meningkatkan kualitas pendidikan

memerlukan pembahasan yang saling

terkait mengenai ketiga pandangan

kurikulum di atas. Pada saat ini titik

tolak pandangan pada pengkajian

kurikulum tertulis yang tertuang dalam

dokumen Standar Isi (SI), dengan

asumsi bahwa jika SI sudah memadai

dan relevan dari aspek pedagogik,

sequensinya sesuai perkembangan

mental anak, serta mampu

mengakomodir perkembangan iptek

menjadi dasar yang tepat untuk

melakukan implementasi kurikulum di

tingkat satuan pendidikan terutama pada

upaya penyiapan pembekalan

penguasaan proses pembelajaran

matematika oleh guru.

Mengacu pada pembahasan di

atas, fokus pembahasan kurikulum

dapat ditelaah dari tiga aspek, yaitu

Intended Curriculum, Implemented

Curriculum, dan Attained Curriculum.

Secara garis besar kaitan antara ketiga

aspek kurikulum tersebut tergambar

dalam diagram berikut:

Aspek pertama, Intended

Curriculum merupakan muatan dalam

dokumen tertulis yang tercermin dalam

pedoman kurikulum atau SI, Silabus,

RPP, dan buku teks untuk tiap jenjang

satuan pendidikan. Di negara kita,

Intended Curriculum mengandung dua

macam muatan yang bersifat nasional

(Kurikulum Nasional) dan ditetapkan

oleh Mendiknas dan yang bersifat lokal

yang ditetapkan oleh daerah

berdasarkan kondisi dan kebutuhan

daerah yang bersangkutan. Evaluasi

Page 19: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

mutu pendidikan pada satu jenjang

pendidikan tertentu dapat dilaksanakan

melalui analisis terhadap Intended

Curriculum atau dokumen tertulis

kurikulum pada jenjang yang

bersangkutan.

Aspek kedua, Implemented

Curriculum merupakan kurikulum yang

berlangsung di kelas atau tergambar

dalam kegiatan belajar-mengajar yang

dilaksanakan oleh guru. Dengan kata

lain, Implemented Curriculum

berhubungan dengan kenyataan apa

yang terjadi di kelas atau apa yang

diajarkan guru dan bagaimana cara guru

mengerjakannya.

Aspek ketiga, Attained

Curriculum merupakan kurikulum yang

tercermin dalam hasil belajar siswa baik

bersifat kognitif, afeksi, maupun

psikomotor. Penilaian hasil belajar oleh

pendidik menggunakan berbagai teknik

penilaian berupa tes, observasi,

penugasan perseorangan atau kelompok,

dan bentuk lain yang sesuai dengan

karakteristik kompetensi dan tingkat

perkembangan peserta didik.

Perancangan strategi penilaian oleh

pendidik dilakukan pada saat

penyusunan silabus yang penjabarannya

merupakan bagian dari rencana

pelaksanaan pembelajaran (RPP).

Perlu diketahui bahwa pada

prinsipnya kurikulum sebagaimana

yang dituangkan dalam SI terbuka

peluang untuk mengalami perubahan.

Sejarah perubahan dalam

perkembangan kurikulum kita terlihat

pada perubahan dan penyempurnaan

GBPP 1994 yang melahirkan suplemen

GBPP tahun 1999. Penyesuaian dan

penyempurnaan tersebut didasarkan

pada hasil kajian, penelitian, dan

masukan dari lapangan serta masukan

instansi terkait.

Perubahan dokumen kurikulum dapat

dilakukan dengan cara sebagai berikut

(Suherman, 2003: 69):

1. Membuang pokok bahasan yang

kurang esensial atau kurang

relevan,

2. Menunda pembahasan pada

kelas yang lebih tinggi dan

sebaliknya,

3. Menjadikan materi wajib

menjadi pengayaan dan

sebaliknya,

4. Menambah materi esensial yang

diperlukan,

5. Menata urutan dan distribusi

pokok bahasan, dan

6. Menyempurnakan redaksi

kalimat yang dianggap kurang

jelas.

Secara umum, keberadaan

kurikulum menggambarkan suatu

rencana tentang jenis pengalaman-

pengalaman belajar yang diharapkan

dapat diperoleh peserta didik selama

mengikuti pendidikan di suatu lembaga

pendidikan atau sekolah tertentu. Sosok

rencana itu bisa bermacam-macam,

sesuai dengan pengertian kurikulum

yang dipegang oleh penyusun rencana

itu. Pengertian kurikulum dapat

dikategori ke dalam tiga kelompok,

yaitu: (1) kurikulum diartikan sebagai

rencana pelajaran, (2) kurikulum

diartikan sebagai pengalaman belajar,

dan (3) kurikulum diartikan sebagi

rencana belajar. Kelompok pertama

mengartikan kurikulum sebagai rencana

pelajaran atau bahan-bahan pelajaran

yang harus dipelajari peserta didik

selama mengikuti pendidikan di suatu

sekolah atau perguruan tinggi tertentu,

sebagai syarat untuk memperoleh

ijazah. Kelompok kedua mengartikan

kurikulum sebagai seluruh pengalaman

belajar peserta didik yang diperoleh

selama mengikuti pendidikan di suatu

sekolah tertentu, baik diperoleh dari

dalam maupun dari luar gedung sekolah

itu, atas tanggung jawab sekolah yang

bersangkutan. Kelompok ketiga

mengartikan kurikulum sebagai rencana

belajar di suatu sekolah yang disusun

Page 20: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

dengan mempertimbangkan teori-teori

psikologi, baik psikologi belajar

maupun psikologi perkembangan

sebagai dasar penyusunannya.

C. Kebijakan Kurikulum Nasional

Secara kronologis dalam sejarah

Indonesia merdeka, pendidikan nasional

kita telah mengunakan bebarapa

kurikulum. Dimulai pada awal

kemerdekaan, kita mengunakan

kurikulum gabungan antara peninggalan

pemerintah Hindia Belanda dan

pendudukan Jepang. Kurikulum

nasional indonesia yang pertama adalah

kurikulum 1947 yang disebut kurikulum

pendidikan di Indonesia, yang

sebenarnya masih banyak dipengaruhi

kurikulum Belanda abad ke-19.

Selanjutnya kurikulum 1964 yang

diterapkan untuk membntuk pendidikan

yang berwatak indonesia untuk

menganti sistem pendidikan

peninggalan kolonial Belanda.

Kurikulum sekolah lanjutan tahun 1964

sangat bercorak politis-idiologis yang

didasarkan atas doktrin demokrasi

terpimpin Sukarno. Selanjutnya terjadi

perubahan politik yang sangat besar

setelah peristiwa G30 S PKI, yaitu

perubahan dari rezim Soekarno ke Orde

Baru-nya Suharto. Kurikulum tahun

1969 mengubah corak kurikulum 1964

tanpa mengurangi prinsip-prinsip

Pancasila. Pendidikan bertujuan untuk

membentuk manusia Pancasila dan

membantu dalam modernisasi ekonomi.

Kurikulum 1969 ini mengurangi isi

politik dan idiologi dari kurikulum

sebelumnya serta penambahan titik

berat pada prinsip pancasila.

Didasari lulusan sekolah lanjut

kejuruan (seperti ST dan SMEP)

memerlukan pengetahuan yang

memadai untuk ke duni kerja. Satu jenis

kurikulum, satu jenis jadwal pelajaran,

dan satu isi jenis mata pelajaran yang

seragam bukan merupakan persiapan

yang terbaik bagi setiap murid.

Baedasarkan persoalan tersebut,

kurikulum 1975 diperkenalkan dengan

suatu konsep mengenai tujuan tiap

tangkat dan jenis sekolah. Kurikulum

tahun 1975 ini merupakan kurikulum

yang berorentasi kepada tujian

(Nasutioan, 2003). Di dalam kurikulum

ini digunakan suatu sistem pendekatan

dan perhatian lebih dari sebelumnya

yang ditunjukkan pada urutan langkah-

langkah dalam seluruh proses, mulai

dari perumusan isi sampai ke metode

yang diterapkan di sekolah (Beeby,

1982).

Kurikulum 1984 merupakan

kurikulum yang sangat sentralistik.

Pemerintah pusat telah menentukan

mata pelajaran yang harus diajarkan

pada setiap jenjang sekolah hingga

pembangian jam pelajaran untuk setiap

mata pelajaran tersebutbut dan

penambahan mata pelajaran tertentu

sebagai misi pemerintah yang harus

diembah oleh sekolah.

Kurikulum 1994 dipersiapkan

dengan dukungan dana yang memadai

dari pemerintah. Dari segi isi dan

sturkturnya tidak banyak berbeda

dengan kurikulum 1984. Dalam

kebijakan kurikulum 1994 ini,

pemerinta membagi kurikulum menjadi

dua yaitu kurikulum inti (80 % dari

keseluruhan isi kurikulum) dan 20 %

sisanya untuk kurikulum muatan lokal.

Dalam pelaksanaan kurikulum

1994 ini mendapat banyak kritikan dari

masyarakat. Memang kurikulum ini

disusun sangat idealistik. Untuk

mencapai tujuan pendidikan nasional

yang dijabarka dalam tujuan

instruksional umum setiap mata

pelajaran, dan tujuan instruksional

khusus untuk setiap pokok bahasan,

materi pelajaran disusun secara padat

dan kurang memperhatikan kemampuan

anak didik. Banyak kritikan yang

dilontarkan bahwa kurikulum 1994 ini

tidak relevan dengan kemampuan anak.

Memperhatikan krikan tersebut,

pemerintah pada tahun 1999 merevisi

kurikulum 1994, dengan memberikan

Page 21: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

suplemen GBPP. Pada dasarnya revisi

yang dilakukan hanya mengatur urutan

materi, menghilangkan topik-topik yang

tidak relevan atau memasukan ke dalam

materi pengayaan, dan

menyederhanakan materi-materi yang

sulit.

Kurikulum berbasis kompetensi

(KBK) mulai diberlakukan tahun 2004

secara terbatas. KBK adalah kebijakan

baru pemerintah dalam bidang

kurikulum untuk mengantisipasi

perubahan global yang sedang terjadi.

Bangsa indonesia harus mempersiapkan

diri dalam persaingan global kalua tidak

ingin tertinggal oleh bangsa lain. Di

dalam KBK ditekankan bahwa

pendidikan harus memberikan

kompetensi yang memadai kepada

peserta didik untuk menghadapi

tantangan global. Untuk mengahdapi

tantangan tersebut, dituntut sumberdaya

yang handal dan mampu berkopetensi

secara global, sehingga diperlukan

keterampilan tinggi yang melibatkan

pemikiran kritis, sistematis, logis, kretif,

dan kemauan bekerjasama yang efektif

(Pusat Kurikulum 2001).

Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) diberlakukan mulai

tahun ajaran 2006/2007. Berbeda

dengan kurikulum sebelumnya, KTSP

disusun oleh satuan pendidikan masing-

masing. KTSP yang merupakan

penyempurnaan dari kurikulum 2004

(KBK) adalah kurikulum operasional

yang disusun dan dilaksanakan oleh

masing-masing satuan

pendidikan/sekolah. KTSP

dikembangkan berdasarkan prinsip-

prinsip sebagai berikut.

Berpusat pada potensi,

perkembangan, kebutuhan, dan

kepentingan pesertadidik dan

lingkungan.

Beragam dan terpadu.

Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,teknologi dan

seni.

Relevan dengan kebutuhan

kehidupan.

Menyeluruh dan berkesinambungan.

Belajar sepanjang hayat.

Seimbang antara kepentingan

nasional dan kepentingan daerah.

Selain itu, KTSP disusun dengan

memperhatikan acuan operasional

sebagai berikut.

Peningkatan iman dan takwa serta

akhlak mulia

Peningkatan potensi, kecerdasan

dan minat sesuai dengan tingkat

perkembangan dan kemampuan

peserta didik

Keragaman potensi dan

karakteristik daerah dan

lingkungan

Tunuttan pembangunan daerah

dan nasional

Tuntutan dunia kerja

Perkembangan ilmu pengetahuan,

teknoligi, dan seni

Agama

Dinamika perkembangan global

Persatuan nasional dan nilai-nilai

kebangsaan

Kondisi social budaya masyarakat

setempat

Kesetaraan gender

Karakteristik satuan pendidikan

D. Perencanaan dan Pengembangan

Kurikulum

Sebagaimana telah didefinisikan

di atas kebijakan kurikulum nasional

berkaitan dengan perencanaan dan

pengembangan kurikulum. Berikut ini diuraikan tentang pendekatan teoritis

tentang perencanaan dan pengembangan

kurikulum.

Marsh dan Willis berpendapat

bahwa di dalam perencanaan kurikulum

dikenal tiga macam pendekatan, yaitu

pendekantan rational-linier dari Tyler,

pendekatan deliberatif dari Walker, dan

pendekatan artistik dari Eisner, (dalam

Hadi,1995:96-98).

Page 22: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

Menurut pandangan Ralph W.

Tyler terdapat empat pertanyaan besar

dalam pembuatan kurikulum, yaitu

dalam menetukan tujuan, pengalaman

belajar, mengelolah pengalaman belajar,

dan evaluasi. Keempat pertanyaan

tersebut dapat dijawab sistematik, tetapi

Tyler berkeyakinan, hanya apabila

dianjukan secara berurutan, untuk

menjawa pertnyaan yang ada

dibelakang harus dijawab terlebih

dahulu pertanyaan yang mendahuluinya.

Oleh karena itu pendekatan ini

dinamakan Rational-linier.

Pendekatan deliberatif dari

Walker berusaha secara tepat

menggambarkan apa yang

sesungguhnya terjadi dalam

perencanaan kurikulum. Walker

beranggapan bahwa perencanaan dan

pengembangan kurikulum akan

memberikan hasilyang lebih baik

apabila mereka yang terlibat memahami

kompleksitas proses tersebut. Walker

mengidentifikasi tiga fase dalam

perencanaan yang disebut “platfrom”,

“deliberation”, dan “desing.”

Elliot W. Eisner mengambarkan

realitas sosial dapat dinegosiasikan,

dibentuk, bersifat subyektif, dan

bertingkat; ia menetapkan bahwa

terdapat berbagai cara bagi individu

untuk membangun makna. Dengan

demikian, ia memandang bahwa setiap

orang yang membuat keputusan tentang

kurikulum seperti seorang seniman yang

memilih diantara beragam cara yang

takterbatas yang menggambarkan

pandangannya mengenai realitas, dalam

merespon bagaimana setiap siswa

menyesuaikan pandangannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa kemajuan

kehidupan menuntut tersedianya

pendidikan berkualitas sesuai dengan

kebutuhan dan tuntutan zaman.

Sehingga orang-arang jaman sekarang

membutuhkan pendidikan yang mampu

memberikan pengetahuan dan

keterampilan yang dapat menjamin

mereka mampu bertahan hidup dalam

dunia yang sangat kompetitif ini.

Pendidikan di tanah air, khususnya sitim

persekolahan seharusnya mampu

menyediakan pendidikan dengan

spesifikasi tersebut.

E. Pengembangan Kurikulum

Matematika

1) Pengertian Pengembangan

Kurikulum

Pada dasarnya pengembangan

kurikulum ialah mengarahkan

kurikulum sekarang ke tujuan

pendidikan yang diharapkan karena

adanya berbagai pengaruh yang sifatnya

positif yang datangnya dari luar atau

dari dalam sendiri, dengan harapan agar

peserta didik dapat menghadapi masa

depannya dengan baik.

Model-model pengembangan

kurikulum perlu dikaji oleh para jajaran

kependidikan di daerah agar memiliki

pemahaman visi dan misi lebih baik,

lebih inovatif dan lebih berwawasan ke

depan. Dengan kata lain, model-model

pengembangan haruslah berorientasi

pada tujuan. Terdapat empat pertanyaan

yang harus dijawab untuk

mengembangkan kurikulum yang

mengacu pada tujuan sebagai berikut :

Tujuan pendidikan apa yang harus

dicapai?

Pengalaman belajar apa yang harus diberikan untuk mencapai

tujuan?

Bagaimana pengalaman belajar diorganisasikan secara efektif?

Bagaimana dapat ditentukan bahwa tujuan pendidikan dapat

dicapai?

2) Perkembangan Kurikulum

Matematika Sekolah

Perkembangan kurikulum

matematika sekolah, khususnya ditinjau

dari implementasi dan aspek teori

belajar yang melandasinya, merupakan

faktor yang sangat menarik dalam

pembicaraan matematika. Hal ini dapat

Page 23: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

dipahami sebab perubahan-perubahan

yang terjadi dalam proses pembelajaran

matematika sekolah tidak terlepas dari

adanya perubahan pandangan tentang

hakekat matematika dan belajar

matematika. Sebagai akibatnya, tidaklah

mengherankan apabila terjadi

perubahan kurikulum, maka berubah

pulalah proses pembelajaran di dalam

kelas.

Sejak tahun 1968, Indonesia telah

terjadi beberapa kali perubahan

kurikulum matematika sekolah.

Berdasarkan tahun terjadinya perubahan

untuk tiap kurikulum matematika, maka

munculllah nama-nama kurikulum

berikut : Kurikulum 1968, Kurikulum

1975, Kurikulum 1984, Kurikulum

1996, dan Kurikulum 1999. Selain itu,

sebelum muncul Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP), pada tahun

2002 telah disusun sebuah kurikulum

yang disebut Kurikulum Berbasis

Kompetensi.

Berdasarkan literatur yang ada,

ciri pembelajaran matematika pada

Kurikulum 1968 antara lain :

a. Dalam pembelajaran geometri,

penekanan lebih diberikan pada

ketrampilan berhitung, misalnya

menghitung luas bangun geometri

datar atau volume bangun geometri

ruang, bukan pada pengertian

bagaimana rumus-rumus untuk

melakukan perhitungan tersebut

diperoleh ( Ruseffendi, 1985 : 33)

b. Lebih mengutamakan hafalan yang

sifatnya mekanis daripada

pengertian (Ruseffendi, 1979 : 2)

c. Program berhitung kurang

memperhatikan aspek kontinuitas

dengan materi pada jenjang

berikutnya, serta kurang terkait

dengan dunia luar (Ruseffendi,

1979 : 4)

d. Penyajian materi kurang

memberrikan peluang untuk

tumbuhnya motivasi serta rasa

ingin tahu anak (Ruseffendi, 1979 :

5)

Pada tahun 1975, terjadi

perubahan yang sangat besar dalam

pengajaran matematika di Indonesia

yang ditandai dengan dimasukkannya

matematika modern ke dalam

kurikulum 1975. Menurut Ruseffendi

(1975 : 12-14), matematika modern

memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Terdapat topik baru yang

diperkenalkan yaitu himpunan,

geometri bidang dan ruang,

statistika dan probabilitas, relasi,

sistem numerasi kuno dan

penulisan lambang bilangan non

desimal. Selain itu diperkenalkan

pula konsep-konsep baru seperti

penggunaan himpunan, pendekatan

pengajaran matematika secara

spiral, dan pengajaran geometri

dimulai dengan lengkungan.

b. Terjadi pergeseran dari pengajaran

yang lebih menekankan pada

hafalan ke pengajaran yang

mengutamakan pengertian.

c. Soal-soal yang diberikan lebih

diutamakan yang bersifat

pemecahan masalah daripada yang

rutin.

d. Ada kesinambungan dalam

penyajian bahan ajar antara sekolah

dasar dan sekolah lanjutan.

e. Terdapat penekanan kepada

struktur

f. Program pengajaran pada

matematika modern lebih

memperhatikan adanya

keberagaman antar siswa

g. Terdapat upaya-upaya penggunaan

istilah yang lebih tepat

h. Ada pergeseran dari pengajaran

yang berpusat pada guru ke

pengajaran yang lebih berpusat

pada siswa

i. Sebagai akibat dari pengajaran

yang lebih berpusat pada siswa,

maka metode mengajar yang lebih

banyak digunakan adalah

penemuan dan pemecahan masalah

dengan teknik diskusi.

Page 24: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

j. Terdapat upaya agar pengajaran

matematika dilakukan dengan cara

yang menarik, misalnya melalui

permainan, teka-teki, atau kegiatan

lapangan.

Berdasarkan ciri-ciri pengajaran

matematika modern di atas, maka teori

belajar yang dipergunakan lebih bersifat

campuran. Hal ini sesuai dengan

pendapat Ruseffendi (1988 : 178) yang

menyatakan bahwa teori belajar

mengajar yang dipergunakan pada saat

itu adalah campuran antara teori

pengaitan dari Thorndike, aliran

psikologi perkembangan seperti teori

Piaget, serta aliran tingkah laku dari

Skinner dan Gagne. Namun demikian,

Ruseffendi selanjutnya menambahkan

bahwa teori yang lebih dominan

digunakan adalah aliran psikologi

perkembangan seperti dari Piaget dan

Bruner sebab yang menjadi sentral

pengajaran matematika adalah

pemecahan masalah.

Perubahan dari Kurikulum 1975

ke Kurikulum 1984 sebenarnya tidak

terlalu banyak baik dari sisi materi

maupun cara pengajarannya. Perbedaan

utama dengan kurikulum sebelumnya,

pada Kurikulum 1984 ini materi

pengenalan komputer mulai diberikan.

Menurut Ruseffendi (1988 : 102),

dimasukkannya materi komputer ke

dalam kurikulum matematika sekolah

merupakan suatu langkah maju. Hal ini

dapat difahami, karena penggunaan

alat-alat canggih seperti komputer dan

kalkulator dapat memungkinkan siswa

untuk melakukan kegiatan eksplorasi

dalam proses belajar matematika

mereka baik dengan menggunakan pola-

pola bilangan maupun grafik.

Jika dilihat dari ciri-cirinya yang

tidak jauh berbeda dengan kurikulum

sebelumnya, maka teori belajar yang

digunakan pada pengajaran matematika

kurikulum 1984 ini juga lebih bersifat

campuran antara teori pengaitan, aliran

psikologi perkembangan, dan aliran

tingkah laku.

Pada tahun 1994 terjadi lagi

perubahan terhadap kurikulum

pendidikan sekolah mulai tingkat SD

sampai SMU. Pada bidang matematika,

terdapat beberapa perubahan baik dari

sisi materi maupun pengajarannya.

Yang menjadi bahan kajian inti untuk

matematika sekolah dasar adalah :

aritmetika (berhitung), pengantar

aljabar, geometri, pengukuran, dan

kajian data (statistika). Pada kurikulum

matematika SD ini, terdapat penekanan

khusus pada penguasaan bilangan

(number sense) termasuk di dalamnya

berhitung. Untuk SLTP, bahan kajian

intinya mencakup: aritmetika, aljabar,

geometri, peluang, dan statistika. Materi

matematika untuk SMU terdapat sedikit

perubahan yakni dimasukkannya

pengenalan teori graf yang merupakan

bagian dari matematika diskrit.

Pada tahun 2002, Pusat

Kurikulum mengeluarkan dokumen

kurikulum baru yang disebut Kurikulum

Berbasis Kompetensi. Beberapa ciri

penting dari kurikulum antara lain :

a. Karena kurikulum ini

dikembangkan berdasarkan

kompetensi tertentu, maka

kurikulum 2002 dinamakan

Kurikulum Berbasis Kompetensi

b. Berpusat pada anak sebagai

pengembang pengetahuan

c. Terdapat penekanan pada

pengembangan kemampuan

pemecahan masalah, kemampuan

berpikir logis, kritis, dan kreatif,

serta kemampuan

mengkomunikasikan gagasan

secara matematik

d. Cakupan materi untuk sekolah

dasar meliputi : bilangan, geometri

dan pengukuran, pengolahan data,

pemecahan masalah, serta

penalaran dan komunikasi

e. Cakupan materi SLTP : bilangan,

aljabar, geometri dan pengukuran

peluang dan statistika, pemecahan

masalah serta penalaran dan

komunikasi

Page 25: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

f. Cakupan materi SMU : aljabar,

geometri dan pengukuran

trigonometri, peluang, statistika,

kalkulus, logika matematika,

pemecahan masalah, penalaran dan

komunikasi.

g. Kurikulum berbasis kompetensi ini

secara garis besar mencakup tiga

komponen yaitu kompetensi dasar,

materi pokok, dan indikator

pencapaian hasil belajar

h. Kemampuan pemecahan masalah

serta penalaran dan komunikasi

bukan merupakan pokok bahasan

tersendiri melainkan harus dicapai

melalui proses belajar dengan

mengintegrasikan topik-topik

tertentu yang sesuai.

3) Pengembangan Kurikulum

Matematika

Pengembangan kurikulum di

Indonesia mengacu pada tujuan

pendidikan nasional. Secara umum

sistim pendidikan nasional diharapkan

dapat membangun kehidupan

intelektual bangsa dan membentuk

manusia Indonesia seutuhnya, yaitu

manusia yang beriman yang kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berilmu dan

terampil, sehat jasmani dan rohani,

cermat dan jujur, dan bertanggung

jawab terhadap bangsa dan negara.

Di Indonesia biasanya kurikulum

dipandang sebagai dokumen tertulis

yang yang berisi tentang tujuan

pendidikan mulai dari tujuan nasional

hingga penjabaran dalam tujuan

instruksional umum dan khusus.

Kurikulum juga mencakup strategi

untuk mencapai tujuan pendidikan

nasional seperti yang disebutkan di atas.

Konten kurikulum dibagi menjadi dua,

yaitu materi yang diterapkan oleh

pemerintah pusat atau kurikulum inti

dan muatan lokal yang disesuaikan

dengan kebutuhan masing-masing

daerah.

Kurikulum matematika sekolah

yang dikembangkan oleh pemerintah

biasanya mengikuti perkembangan yang

terjadi dalam bidang pendidikan. Ketika

“matematika baru” atau “matematika

modern” menjadi gerakan yang

mendominasi pemikiran pendidikan

matematika di seluruh dunia,

pemerintah kita menerapkan kurikulum

1975 yang meletakkan titik berat

pengajaran matematika pada konsep

matematika modern tersebut. Konsep

logika dan himpunan dikembangkan

dalam penyusunan materi pelajaran

matematika. Dengan pendekatan logika

dan himpunan tersebut diharapkan

pengajaran matematika di sekolah

mampu mengembangkan kemampuan

nalar dan matematika siswa. Pada saat

kecendrungan pendidikan matematika

di negara-negara lain lebih menekankan

pada pendekatan pemecahan masalah,

penyelidikan yang diperluas, dan

mengakui serta mendorong konstruksi

sendiri oleh siswa pengetahuan dan

konsep matematikanya dari Clarke,

Clarke dan Sillivan (dalam Hadi, 1996:

101), maka kurikulum kita menekankan

pada kemampuan berpikir logis dan

mengembangkan sikap dan

keterampilan dalam aplikasi

matematika, sebagaimana terlihat pada

kurikulum 1994.

Sebuah kurikulum dapat

dinyatakan dalam bentuk kongkret.

Berdasarkan konsepsi yang

dikembangkan oleh Goodlad mengenai

representasi kurikulum, van, den Akker

(1998) membedakan representasi

kurikulum sebagi berikut:

Kurikulum ideal, yaitu

representasi kurikulum yang

mengambarkan visi dan harapan

penggagas kurikulum yang

dinyatakan dalam dokumen

tertulis.

Kurikulum formal, yaitu dokumen kongkrit dari materi kurikulum,

seperti diuraiakan dalam buku

siswa dan petunjuk guru.

Kurikulum yang dirasakan, yaitu kurikulum sebagaimana yang

Page 26: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

ditafsirkan oleh pemakainya

(khususnya guru).

Kurikulum operasional, yaitu

kurikulum yang direalisasikan

dalam proses pembelajaran yang

sesungguhnya.

Kurikulum yang dialami, yaitu kurikulum yang dialami oleh

peserta didik atau siswa.

Kurikulum yang dicapai, yaitu prestasi belajar siswa.

Pembahasan mengenai

pengembangan kurikulum dapat

diwakili oleh representasi tersebut, yang

umumnya dipusatkan pada kurikulum

formal dan operasional. Umumnya kita

memandang kurikulum sebagai materi

pelajaran yang harus disampaikan oleh

guru kepada siswanya, yaitu materi

yang sudah dinyatakan dalam dokumen

tercetak (kurikulum formal). Kurikulum

formal ini diawali oleh GBPP (Garis-

garis Besar Program Pengajaran), buku

siswa, dan buku petunjuk guru.

Penetapan dan pengembangan

kurikulum dilakukan oleh pemerintah

melalu Pusat Kurikulum (Puskur).

Pada dasarnya GBPP memuat

petunjuk tentang materi minimal yang

harus dipelajari oleh seluruh siswa

dalam rangka mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. Namun, guru dapat

memberikan matri pengayaan untuk

siswa-siswa yang pandai. Sementara

untuk siswa-siswa yang lambat dapat

diberikan pengajaran remidial. Soal-soal

ujian pada tingkat lokal, propinsi dan

nasional mangacu pada materi minimal

dam GBPP.

Dalam menyampaikan materi

pelajaran, GBPP menyarankan agar

guru memilih starategi yang dapat

melibatkan siswa secara aktif dalam

belajar baik secara mental, fisik,

maupun sosial. Supaya siswa terlibat

aktif dalam pelajaran, guru disarankan

memberikan soal-soal yang bersifat

divergen, yaitu soal yang mempunyai

kemungkinan jawaban. Guru juga

didorong untuk mengembangkan

pendekatan pemecahan masalah.

Pengajaran matematika harus sejalan

dengan ciri-ciri konsep matematika dan

sesuai dengan tingkat kemampuan

siswa. Ini bararti harus ada kesesuaian

antara pengajaran yang menekankan

penguasaan materi dan kemampuan

penyelesaian masalah. Pengajaran harus

dimulai dari hal-hal kongkret ke yang

abstrak, dari yang mudah ke yang sukar,

dan dari yang sederhana ke yang

kompleks. Jika diperlukan guru dapat

mengajarkan kembali matri-mati yang

sukar untuk meningkatkan pemahaman

siswa (Depdikbud, 1994).

Selain dari apa yang telah

ditetapkan pada GBPP di atas, berikut

ini adalah topik-topik materi

matematika yang perlu dipelajari oleh

siswa pada masa mendatang, sehingga

siswa dapat mengatasi kehidupan di

masa era informatika yang meliputi

antara lain:

1) Dasar-dasar matematika, pola

berpikir matematika yang logis,

kritis dan sistematis

2) Penekanan pembelajaran

matematika untuk SD adalah pada

penguasaan ketrampilan dasar

matematika, termasuk ketrampilan

berhitung, dengan mengembangkan

pemahaman konsep dan

ketrampilan operasi hitung serta

penerapannya dalan kehidupan

sehari-hari. Agar siswa SD tidak

merasa jenuh belajar matematika

perlu dikembangkan berbagai

variasi metodologi termasuk

metode penemuan, metode

permainan dan pemecahan masalah.

Pembelalajaran matematika yang

bersifat out door activity perlu

dikembangkan di dalam

pelaksanaan kegiatan belajar

mengajar di SD dan SMP untuk

meningkatkan daya tarik siswa

terhadap pelajaran matematika.

3) Sasaran pembelajaran matematika

SD meliputi :

Page 27: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

a. Pembentukan ketrampilan

menerapkan matematika dalam

kehidupan sehari-hari dan dalam

mempelajari ilmu lain.

Misalnya:

Kemampuan melakukan

pengerjaan hitung dasar

Kemampuan menggunakan

algoritma

b. Penataan nalar logis dan rasional

Misalnya kemampuan

menggunakan sifat-sifat

sederhana dalam menyelesaikan

soal

c. Pembentukan sifat kritis, cermat

dan jujur

Misal :

Kemampuan mengenali dan

menyususn suatu pola

Kemampuan menunjukkan

bangun datar dan ruang

Kemampuan melakukan

pengukuran

Kemampuan mengumpulkan

data, mengola, menyajikan

dan membaca data

Kemampuan memecahkan

masalah

4) Bagian matematika yang sangat

diperlukan pada era informatiika

untuk sekolah menengah adalah

a. Logika matematika, matematika

diskrit seperti relasi, fungsi,

pola-pola matematika dengan

semesta diskrit

b. Pola-pola matematis, network,

kombinatorik merupakan bagian

yang penting untuk

pembentukan pemikiran yang

matang dalam perencanaan dan

pelaksanaan kinerja yang

semakin dituntut

kekompleksitasan berpikir

c. Topik geometri, baik dimensi

dua, dimensi tiga maupun

geometri analitik dan geometri

transpormasi sangat diperlukan

untuk meningkatkan pola

berpikir deduktif dan memiliki

daya tanggap keruangan yang

tajam untuk keperluan

perencanaan berbagai rancang

bangun dan tata ruang yang

semakin kompleks

d. Topik probabilitas dan statistika

sangat diperlukan untuk

membangun pemikiran yang

bersifat variatif dan ilmiah

dalam menentukan pengambilan

keputusan secara akurat.

Sebagai bahan banding untuk

mengembangkan kurikulum matematika

sekolah yang akan datang, berikut ini

kami sarikan kecenderungan pendidikan

matematika tahun 1988 - 2016 (kelas 4

SD – 3 SMU) yang berupa dua belas

Kompetensi Esensial Matematika

sebagai berikut :

1. Pemecahan masalah

Pemecahan masalah adalah

penerapan pengetahuan yang telah

dimiliki pada situasi yang tidak

biasa (rutin). Salah satu cara adalah

berupa soal cerita, tetapi siswa

harus dihadapkan pada masalah non

teks. Pemecahan masalah ini

memuat : menempatkan

pertanyaan, menganalisis situasi,

mentranslasikan hasil, melukiskan

hasil, menggambar diagram, dan

menggunakan cara coba-coba.

Siswa harus melihat solusi

alternatif, harus dipilih pengalaman

dengan lebih dari satu solusi

tunggal.

2. Pengkomunikasian ide-ide

matematis

Siswa harus belajar bahasa dan

lambang matematika. Misalnya

harus tahu nilai tempat dan notasi

keilmuan. Meraka harus belajar

menerima ide-ide matematis

melalui pendengaran, penglihatan

dan visualisasian. Mereka harus

mampu menyajikan ide-ide

matematis dengan bicara, tulisan,

gambar diagram dan grafik. Mereka

harus mampu mendiskusikan

matematikan dan mengajukan

pertanyaan tentang matematika.

Page 28: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

3. Penalaran matematis secara bebas

tentang ide-ide matematis.

Meraka harus mampu

mengidentifikasi pola dan

memperluaskannya dan

menggunakan pengalaman dan

pengamatan untuk membuat

dugaan (kesimpulan tentatif).

Mereka harus belajar menggunakan

contoh penyanggah untuk

menggugurkan konjektur, dan harus

belajar menggunakan model, fakta

yang diketahui dan argumen logis

untuk memvalidasi konjektur.

Mereka harus mampu membedakan

antara argumen yang valid dan

yang tidak valid.

4. Penerapan matematika dalam

kehidupan sehari-hari

Siswa harus disemangati untuk

memahami situasi sehari-hari,

menerjemahkannya ke dalam

representatif matematis (grafik,

tabel, diagram, atau ekspresi

matematis/fungsi-relasi), proses

matematis, dan

menginterprestasikan hasil dalam

arah situasi semula. Mereka harus

mampu menyelesaiakan rasio,

proporsi, persen, variasi/langsung,

dan masalah invers. Bukan saja

siswa harus melihat bagaimana

matematika tumbuh dari sekitar

kita.

5. Menjaga penalaran suatu hasil

Dalam memecahkan masalah harus

menyatakan jalan-nalar suatu solusi

atau konjektur dalam kaitannya

dengan soal aslinya. Siswa harus

mengembangkan makna bilangan

untuk menentukan apakah hasil

kalkulasinya bernalar dalam

kaitannya dengan bilangan awalnya

dan operasi-operasi di masyarakat,

kemampuan ini menjadi lebih

penting daripada sebelumnya.

6. Estimasi

Siswa harus mampu menarik secara

cepat kalkulasi terdekat dengan

melalui mencongak aritmetis dan

berbagai teknik komputasi. Apabila

komputasi diperlukan dalam setting

atau konsumen, estimasi dapat

digunakan untuk memeriksa

jawaban bernalar, menguji

konjektur, atau membuat

keputusan. Siswa harus menguasai

teknik estimasi sederhana seperti

pengukuran panjang, luas, volum

dan berat. Siswa harus mampu

menetapkan apakah hasil tertentu

tepat untuk suatu tujuan ke depan

segera.

7. Ketrampilan komputasi yang sesuai

Siswa harus diberi fasilitas yang

memadai untuk menggunakan

penjumlahan, pengurangan,

perkalian dan pembagian dengan

bilangan bulat dan desimal. Kini,

komputasi panjang dan ruwet harus

dilakukan dengan kalkulator atau

komputer. Pengetahuan tentang

fakta bilangan tunggal adalah

esensial dan cara mencongak

sangatlah bernilai (misalnya, 12 x 6

= 72). Dalam belajar menerapkan

komputasi, siswa harus mempunyai

pilihan dalam memilih metode

komputasi yang sesuai apakah

mencongak, algoritma atau alat-alat

komputasi. Selanjutnya, melalui

situasi sehari-hari muncul

keinginan untuk mengenali dan

komputasi sederhana dengan

pecahan persoalan. Lagipula

kemampuan mengenali

menggunakan dan mengestimasi

dengan persen harus pula

dikembangkan dan dijaga.

8. Berpikir secara aljabar.

Siswa harus belajar menggunakan

variabel atau huruf untuk

menyajikan besaran-besaran

matematis atau ekspresi (persamaan

atau rumus) mereka harus

menyajikan fungsi matematis

dalam kaitannya dengan

penggunaan tabel, grafik dan

persamaan. Mereka harus paham

dan menggunakan dengan benar

Page 29: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

bilangan-bilangan positif dan

negatif, urutan dan operasi, rumus-

rumus, persamaan dan

ketidaksamaan. Mereka harus

memahami cara bagaimana satu

persamaan berubah dengan

kaitannya yang lain.

9. Pengukuran

Siswa harus belajar konsep dasar

pengukuran melalui pengalaman

kongkrit. Mereka harus mampu

mengukur jarak, berat, waktu,

kapasitas, sudut dan suhu. Mereka

harus belajar menghitung keliling

sederhana, luas dan volum. Mereka

harus mampu melakukan

pengukuran baik dalam sistematis

dan sistem yang yang digunakan

masyarakat umum dengan

menggunakan alat-alat yang sesuai

dalam tingkat ketepatan tertentu.

10. Geometri

Siswa harus memahami konsep

geometri yang diperlukan untuk

berfungsi secara efektif dalam

dunia dimensi tiga. Mereka harus

memiliki pengetahuan atau konsep-

konsep seperti jajaran,

ketegaklurusan, kongruen,

kesebangunan dan simetri. Siswa

harus tahu sifat-sifat dari gambar

bidang dan keruangan sederhana.

Siswa harus mampu meragakan dan

mengatakan bagaimana obyek-

obyek disekitarnya berpindah

dengan menggunakan term-term

bergeser, meluncur dan berputar.

Geometri harus dieksplorasi dalam

setting yang melibatkan pemecahan

masalah dan pengukuran.

11. Statistika

Siswa harus merencanakan dan

mengambil koleksi dan

mengorganisasikan data untuk

menjawab pertanyaan dalam

kehidupan sehari-hari. Siswa harus

tahu bagaimana menyusun,

membaca, dan menarik kesimpulan

dari tabel sederhana, peta, diagram

dan grafik. Mereka harus mampu

menyajikan data secara numerik

seperti ukuran tendensi central dan

ukuran penyimpangan. Siswa harus

tahu representasi statistika yang

benar dan yang salah pakai.

12. Probabilitas

Siswa harus tahu notasi sederhana

suatu probabilitas untuk

menetapkan kelayakan dari

kejadian mendatang. Mereka harus

mengidentifikasi situasi dimana

kejadian yang lalu tidak ada

pengaruhnya di masa yang akan

datang. Mereka harus menjadi biasa

bagaimana matematika digunakan

untuk membantu membuat prediksi

seperti hasil pemilihan umum,

bisnis, ramalan cuaca dan hasil olah

raga. Mereka harus tahu bagaimana

probabilitas diterapkan dalam hasil

riset dan pembuatan keputusan.

Untuk kelas 1 sampai kelas 3 SD

tekanan pembelajaran matematika

adalah pada pengenalan lingkungan

yang berkaiatan dengan kuantitas serta

pengenalan lambang bilangan cacah dan

operasinya dengan menggunakan

metode permainan. Dasar teori

pembelajaran yang digunakan terutama

dari teori perkembangan kognitif yang

dikemukakan oleh J. Piaget. Untuk anak

kelas 1 sampai kelas 3 SD, ciri utama

yang menonjol adalah “what the truth is

they see”.

Akhirnya, perlu kita sadari lebih

mendalam bahwa ke depan, jajaran

pengelola pendidikan matematika

menghadapi tantangan yang semakin

besar dan berat karena berbagai tuntutan

(globalisasi, rea informasi dan

demokratisasi kependidikan). Jika kita

tidak ingin terisolasi dari pergaulan

dunia tidak ada kata lain, kualitas SDM

perlu terus menerus kita tingkatkan, ini

berarti mutu penguasaan matematika

dikalangan generasi mendatang harus

dapat sejajar dengan negara maju, dan

ini artinya kerja kita harus semakin

efisien dan efektif.

Daftar Rujukan

Page 30: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294

Ali, Muhammad, 2005. Pengembangan

Kurikulum Di Sekolah.

Bandung: Sinar Baru

Algensindo

Hadi, Sutarto, 2005. Pendidikan

Matematika Realistik dan

Implementasinya. Banjarmasin:

Tulip.

Hudojo, Herman, 2005. Pengembangan

Kurikulum dan Pembelajaran

Matematika. Malang: UM Press.

Muslich, Masnur, 2009, Dasar

Pemahaman dan Pengembangan

KTSP. Jakarta: Bumi Aksara

Page 31: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

PENERAPAN METODE INQUIRI DALAM MENINGKATKAN

PEMAHAMAN KONSEP HIMPUNAN PADA SUB POKOK BAHASAN

HIMPUNAN BAGIAN PADA SISWA KELAS VII. C SMPN 3 GERUNG

YULY YANTI

Guru Matematika SMPN Gerung Mataram

ABSTRAK

Penerapan suatu metode dalam pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting.

Jika tidak sesuai maka siswa tidak akan belajar sebaik-baiknya karena tidak adanya

daya tarik baginya. Dalam pembelajaran guru dituntut memperhatikan metode

mengajar yang digunakan. Meningkatnya prestasi belajar siswa tergantung pada

kemampuan guru dalam memilih metode pengajaran yang sesuai dengan bahan yang

diajarkan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mencari metode mengajar yang

mampu mengajak siswa lebih aktif dalam kegiatan belajar serta melatih siswa untuk

banyak belajar sendiri. Dengan memperhatikan hal tersebut maka pada penelitian ini

dicoba menerapkan metode inquiri dalam menanamkan konsep himpunan pada sup

pokok bahasan himpunan bagian. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu

Apakah penerapan metode inquiri dapat meningatkan pemahan siswa pada konsep

himpunan sub pokok bahasan himpunan bagian siswa kelas VII.C SMPN 3 Gerung

Tahun Ajaran 2008/2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan

pemahaman dan aktifitas belajar siswa kelas VII.C SMPN 3 Gerung dengan

menerapkan metode inquiri pada sub pokok bahasan himpunan bagian tahun ajaran

2008/2009. Adapun tempat penelitian dilakukan di SMPN 3 Gerung Lombok Barat

yang dilaksanakan pada tanggal 10 Februari sampai dengan 28 Februari 2009. Hasil

penelitian ini berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Penelitian ini terdiri dari dua

siklus, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari siklus ke siklus mengalami

peningkatan. Hal ini terbukti dari persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus I

mencapai 78,94% dengan kategori siswa cukup aktif sedangkan pada siklus II

mencapai 94,74 dengan kategori siswa aktif. Dari data yang diperoleh maka dapat

disimpulkan bahwa penerapan metode inquiri dapat meningkatkan pemahaman siswa

atau menuntaskan belajar siswa serta aktifitas belajar siswa tergolong aktif.

Kata Kunci : Penerapan Metode Inquiri

Page 32: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF METHOD of INQUIRY IN INCREASING

UNDERSTANDING CONCEPT OF HIMPUNAN AT SUB TOPIC

HIMPUNAN BAGIAN FOR STUDENT CLASS OF VII.C SMPN 3 GERUNG

ABSTRACT

Implementation of method in study have role which of vital imortance. Otherwise

according to hence student will not learn as good as ad for him for no fascination him

for hims. In study of theacher claimed to pay attention method teach which used. The

increasing of achievement learn student depend on ability of teacher in choosing

instruction method matching with taugh materials. One of effort taken searching

method teach capable to invite more active student in activit learn and also train

student to self-studying many paid attention mentioned hence at this research is tried

to implementation method of inquiry in increasing understanding concept of

himpunan at sub topic himpunan bagian for student class of VII.C Gerung School

year 2008/2009. This formula reseach internal issue that is do whit imlementation of

method of inquiry can improve the understanding of hitting wide if trilateral for class

studen of VII.C SMPN 3 Gerung Lombok West school year 2008/2009. Intention of

this research is to improve and understanding of aktifitas learn class student of VII.C

SMPN 3 Gerung Lombok West with implementation method of inquiry in increasing

understanding concept of himpunan at sub topic himpunan bagian for student class of

VII.C Gerung School year 2008/2009. As for research place executed SMPN 3

Gerung Lombok West on 5 Februari 2009 up to 10 March 2009. This research result

in the form of quantitative data and data qualitatif. This research consist of two cycle,

result of research indicate that from cycle if cycle natural of improvement. This

matter is proven from complete percentage learn student cycle of I tired 78,94% with

active enough student category while cycle of II tired 94,74% with active student

category. Of obtained data hence can be caoncluded that implementation of method

of inquiry can improve the understanding of student or complete learn student and

also aktifitas learn student pertained active.

Key Word : Applying Of Method Of Inquiry

Page 33: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

PENDAHULUAN

Upaya pemerintah untuk

mewujudkan tujuan pendidikan di

Indonesia dengan mengadakan

pembaharuan sistem pendidikan

Nasional diantaranya pembaharuan

dan penghapusan diskriminasi antara

pendidikan yang dikelola masyarakat,

serta perbedaan antara pendidikan

keagamaan dan pendidikan umum.

Pembaharuan sistem pendidikan

nasional dilakukan untuk

memperbaharui visi, misi dan strategi

pembangunan pendidikan nasional.

Pendidikan nasional mempunyai visi

terwujudnya sistem pendidikan

sebagai pranata sosial yang kuat dan

berwibawa untuk memberdayakan

semua warga negara Indonesia

berkembang menjadi manusia yang

berkualitas sehingga mampu dan

proaktif menjawab tantangan zaman

yang selalu berubah (Anonim, 2006)

Pendidikan memerlukan

berbagai ilmu untuk dapat

menyelamatinya lebih jauh. Persoalan

yang umum dijumpai dalam

pendidikan mencakup beberapa faktor,

yaitu faktor tujuan, anak didik,

pendidik, alat-alat atau fasilitas dan

faktor lingkungan. Beberapa ilmu

pembantu dapat memberikan bahan-

bahan untuk memahami masing-

masing faktor dengan lebih detail yang

salah satunya termasuk ilmu biologi

yang identik dengan lingkungan siswa

(Suwarno, 2006)

Belajar merupakan suatu proses

yang menimbulkan terjadinya suatu

perubahan atau pembaharuan dalam

tingkah laku atau kecakapan. Berhasil

atau tidaknya proses pendidikan atau

kegiatan belajar mengajar banyak

dipengaruhi oleh berbagai faktor

diantaranya : (1) Kemampuan guru

dalam memberikan pelajaran termasuk

di dalamnya penggunaan alat bantu

dan pemilihan metode yang tepat serta

pendekatan yang dipergunakan di

dalam mengajar, (2) Kemampuan guru

dalam disiplin pribadi anak secara

langsung akan memberikan

pengalaman yang kongkrit serta

motivasi belajar untuk mempertinggi

daya serap dan keinginan siswa untuk

menjadi biasa di dalam mengikuti

kegiatan pembelajaran.

Pembelajaran IPA masih

didominasi oleh penggunaan metode

ceramah dan kegiatannya lebih

berpusat pada guru. Aktivitas siswa

dapat dikatakan hanya mendengarkan

penjelasan guru dan mencatat hal-hal

yang dianggap penting. Guru

menjelaskan IPA lainnya sebatas

produk dan sedikit proses. Salah satu

penyebabnya adalah padatnya materi

yang harus dibahas dan diselesaikan

berdasarkan kurikulum yang berlaku.

Padahal dalam pembahasan IPA tidak

cukup hanya menekankan pada

produk, tetapi yang lebih penting

adalah proses untuk membuktikan atau

mendapatkan suatu teori atau hukum

(Bambang, 1998).

Berdasarkan hasil observasi awal

(20 Maret 2009) dan wawancara

dengan guru kelas VII.C mata

pelajaran IPA Biologi (Misban, S.Pd)

SMPN 4 Praya mengatakan bahwa

guru masih menerapkan pembelajaran

konvensional atau tradisional yang

masih diterapkan dari zaman dahulu

seperti metode ceramah, penugasan

dan latihan. Pembelajaran

konvensional adalah pembelajaran

Page 34: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

yang dilaksanakan di kelas secara

langsung, dalam pembelajaran ini

siswa cendrung bersikap pasif,

sedangkan guru cendrung berperan

dominan (Hamalik, 2003).

Di sisi lain guru masih banyak

menggunakan metode belajar yang

belum mengaktifkan siswa secara

penuh, salah satunya adalah metode

ceramah. Dari hasil ulangan yang

diperoleh siswa kelas VII.A sampai

dengan VII.C SMP Negeri 4 Praya

semester I tahun ajaran 2008/2009

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1: Nilai rata-rata hasil

ulangan mata pelajaran Biologi

Semester I siswa kelas VII A sampai

dengan VII C SMPN 4 Praya Tahun

Pelajaran 2008/2009

Kelas Nilai rata-rata

Ketuntasan Klasikal

Maksimum

VII.A

VII.B

VII.C

6,7

6,6

5,3

6,5

6,5

6,5

Sumber : Daftar nilai rata-

rata hasil ulangan pada mata pelajaran

IPA Biologi semester I siswa kelas VII

SMPN 4 Praya Tahun Pelajaran

2008/2009 (Dikutip tanggal, 20 Maret

2009)

Dari data di atas dapat

diperhatikan bahwa nilai rata-rata

siswa masih sangat rendah. Untuk itu

sudah sepatutnya hal ini mendapatkan

perhatian yang serius. Salah satu upaya

yang dilakukan adalah mencari

pendekatan yang baik dalam mengajar

yang mampu mengajak siswa lebih

aktif dalam kegiatan belajar serta

melatih siswa untuk banyak belajar

secara berkelompok (kooperatif).

Dalam mengajarkan suatu mata

pelajaran misalnya pelajaran biologi

dibutuhkan strategi, pendekatan dan

model belajar mengajar yang sesuai,

oleh karena itu guru hendaknya

memilih metode yang tepat guna

mempermudah pencapaian tujuan

pembelajaran yang telah dirumuskan

(Djamarah, 2002).

Team Game Turnament (TGT)

merupakan jenis pembelajaran yang

berkaitan dengan STAD (Student-

Teams-Achivement-Division) dimana

dalam pembelajaran ini siswa belajar

dalam kelompok-kelompok kecil yang

beranggotakan 4-5 orang yang

mempunyai kemampuan dan latar

belakang yang berbeda untuk

mencapai ketuntasan belajar. Dalam

Team Game Turnament (TGT) siswa

memainkan permainan dengan anggota

team lain untuk memperoleh tambahan

poin pada skor team mereka.

Permainan disusun dari pernyataan-

pernyataan yang relevan dengan

pelajaran yang dirancang untuk

mengetes pengetahuan yang diperoleh

siswa dari penyampaian pelajaran di

kelas dan kegiatan-kegiatan kelompok.

Permainan itu dimainkan pada meja-

meja turnamen. Setiap meja turnamen

dapat diisi oleh wakil-wakil kelompok

yang berbeda namun yang memiliki

kemampuan yang setara (Robert,

1998).

Permainan itu berupa

pertanyaan-pertanyaan yang ditulis

pada kartu-kartu yang diberi angka.

Tiap-tiap siswa akan mengambil

sebuah kartu yang diberi angka dan

berusaha menjawab pertanyaan yang

Page 35: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

sesuai dengan angka tersebut.

Turnamen ini memungkinkan bagi

siswa dari semua tingkat untuk

menyumbangkan dengan maksimal

bagi skor-skor kelompoknya agar

mereka berusaha dengan maksimal.

Penerapan model pembelajaran

kooperatif tipe Team Game Turnament

(TGT) dilaksanakan dalam beberapa

tahap seperti :

a. Tahap Persiapan

Pada tahap ini materi model

pembelajarn kooperatif Team

Game Turnament (TGT)

dirancang sedemikian rupa untuk

pembelajaran secara kelompok.

Sebelum menyajikan materi

pembelajaran dibuat lembar

kegiatan dan lembar jawaban yang

dipelajari oleh siswa-siswa dalam

kelompok-kelompok.

b. Menetapkan siswa dalam

kelompok-kelompok kooperatif

Kelompok-kelompok dalam

kooperatif model TGT

beranggotakan 4 sampai dengan 5

orang yang terdiri dari siswa

pandai, sedang dan kurang. Selain

itu guru juga mempertimbangkan

kriteria heterogensinya. Beberapa

petunjuk dalam menentukan

kelompok-kelompok kooperatif

seperti berikut ini:

a. Merangking siswa

b. Menentukan jumlah kelompok

c. Membagi siswa dalam kelompok

d. Menyiapkan siswa untuk belajar

kooperatif

e. Jadwal kegiatan

Kegiatan pembelajaran

kooperatif terdiri dari 5 tahap kegiatan

beruntun yaitu: penyajian materi, kerja

kelompok, kegiatan kelompok,

permainan tim, evaluasi dan

penghargaan kelompok.

c. Penyajian materi

Kegiatan pembelajaran model

TGT dimulai dengan penyajian

material pelajaran yang ditekankan

pada hal-hal sebagai berikut:

a. Pendahuluan

Menekankan pada apa yang akan

dipelajari siswa dalam

kelompok dan

menginformasikan mengapa

hal itu penting. Informasi

tersebut ditujukan untuk

memotivasi rasa ingin tahu

siswa tentang konsep-konsep

yang mereka pelajari.

b. Pengembangan

Mengembangkan materi

pembelajaran sesuai dengan

apa yang akan dipelajari dalam

kelompok.

Pembelajaran kooperatif

menekankan bahwa belajar

adalah memahami makna dan

bukan menghafal.

Sering mengontrol pemahaman

siswa dengan memberikan

pertanyaan-pertanyaan.

Memberikan penjelasan

mengapa jawaban dari

pertanyaa itu benar atau salah.

Beralih pada konsep lain, jika

siswa sudah memahami

masalahnya (Robert, 1998)

c. Latihan terbimbing

i. Menyuruh siswa mengerjakan

soal-soal atau memberikan

jawaban-jawaban dari

pertanyaan yang akan

diberikan.

ii. Memanggil siswa secara acak

untuk menjawab atau

Page 36: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

menyelesaikan soal supaya

mempersiapkan diri sebaik-

baiknya.

iii. Pemberian tugas tidak boleh

menyita waktu terlalu lama

dan langsung diberikan

umpan balik (Robert, 1998)

d. Kegiatan kelompok

Kegiatan kelompok, guru

membagikan LKS kepada

setiap kelompok sebagai bahan

yang akan dipelajari siswa. Di

samping untuk mempelajari

konsep-konsep materi pelajaran

LKS juga digunakan untuk

melatih keterampilan dalam

pembelajaran kooperatif

terhadap siswa. Dalam kerja

kelompok, setiap siswa

mengerjakan tugas secara

mandiri dan selanjutnya saling

mencocokkan jawaban dengan

teman sekelompok siswa

masing-masing. Jika ada

seseorang anggota yang belum

memahami, maka teman-teman

sekelompoknya bertanggung

jawab untuk menjelaskan.

Jika ada pertanyaan sebaiknya

menyatakan kepada semua anggota

kelompok terlebih dahulu sebelum

menanyakan kepada guru. Dalam

kegiatan guru yang memonitor

kegiatan masing-masing kelompok dan

terlibat jika diperlukan.

Sebelum memulai belajar dalam

kelompok hendaknya guru

menetapkan kelompok dalam

kooperatif berikut ini:

a. Siswa mempunyai tanggung

jawab untuk memastikan teman

kelompoknya telah mempelajari

pelajaran.

b. Tidak seorangpun siswa selesai

belajar sebelum anggota

kelompok menguasai materi

pelajaran.

c. Meminta bantuan pada teman satu

kelompok sebelum meminta

bantuan guru dan dalam satu

kelompok harus saling berbicara

sopan.

e. Permainan team

Setelah diadakan kegiatan

kelompok dan siswa sudah belajar

dengan tuntas, maka kegiatan

selanjutnya adalah permainan tim

untuk memperoleh tambahan poin

skor tim. Masing-masing siswa

memainkan permainan dengan

anggota tim lain, permainan ini

dilakukan dalam tahap berikut:

a. Tiap-tiap kelompok memilih

perwakilan kelompok yang

dianggap memiliki kemampuan

yang lebih.

b. Tiap-tiap wakil kelompok

menempati meja turnamen yang

telah disediakan.

c. Tiap-tiap siswa dari wakil

kelompok yang diberi angka dan

berusaha untuk menjawab

pertanyaan tersebut.

d. Skor yang diperoleh siswa ini

merupakan skor kelompok.

f. Evaluasi

Masing-masing siklus disediakan

evaluasi yang dilaksanakan selama

45 menit dengan jumlah soal 5

nomor Essay. Evaluasi dikerjakan

secara mandiri dan siswa harus

menunjukkan apa yang telah

dipelajari secara individu selama

bekerja dalam kelompok. Hasil

evaluasi digunakan sebagai hasil

perkembangan individu.

Page 37: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

g. Penghargaan kelompok

Dalam memberikan penghargaan

terhadap prestasi kelompok terdapat

tiga tingkatan penghargaan:

a. Kelompok baik (good team)

b. Kelompok hebat (great team)

c. Kelompok super (super team)

Aktivitas berasal dari kata aktiv

yang artinya giat, bergerak terus

(Santoso, 2006). Sedangkan aktivitas

belajar berasal dari kata aktif dan

belajar yang artinya suatu aktivitas

geraknya aktivitas dalam kegiatan

belajar mengajar. Bila siswa telah

memiliki aktivitas yang tinggi, maka

guru akan lebih senang mengajar dan

suasana mengajar lebih baik. Dalam

proses belajar mengajar, sangat perlu

adanya Aktivitas siswa, karena akan

mempengaruhi situasi belajar di

samping itu kesungguhan siswa sangat

menentukan berhasil atau tidaknya

kegiatan belajar mengajar (Hamalik,

2003)

Proses belajar adalah perbuatan

yang sangat kompleks. Proses yang

berlangsung dalam otak manusia.

Sampai sekarang belum ditemukan

perumusan yang paling tepat. Setiap

tingkah laku meliputi aspek

(jasmaniah) dan aspek fungsional

(rohaniah). Jadi setiap tingkah laku

sudah tentu mengandung kedua aspek

itu yang satu sama lain saling

berinteraksi dan saling mempengaruhi

(Hamalik,2003)

Curiculum Guiding Comittee of the

Winsconsin Cooperative education

Planning Program telah

mengadakan klasifikasi tentang

kegiatan-kegiatan belajar sebagai

berikut :

a. Kegiatan penyelidikan, mambaca,

wawancara, mendengarkan radio,

menonton TV dan alat-alat elektro

lainnya

b. Kegiatan penyajian, laporan panel

and round table discussion,

mempertunjukkan visual aid,

membuat grafik dan chart

c. Kegiatan latihan mekanis,

digunakan bila kelompok menemui

kesulitan sehingga perlu diadakan

ulangan-ulangan dan latihan-

latihan.

d. Kegiatan apresiasi, mendengarkan

musik, membaca, menyaksikan

gambar (Hamalik, 2003).

METODE PENELITIAN

Adapun jenis penelitian ini adalah

Penelitian Tindakan Kelas (Clasroom

Action Research). Secara singkat

Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

adalah suatu pencermatan terhadap

kegiatan belajar berupa sebuah

tindakan, yang sengaja dimunculkan

dan terjadi dalam sebuah kelas secara

bersama (Suharsimi, 2007)

Berdasarkan pendapat di atas

dapat dikatakan bahwa Penelitian

Tindakan Kelas (PTK) adalah suatu

penelitian yang lebih berfokus pada

kelas atau pada proses belajar

mengajar yang terjadi di kelas, dengan

pembelajaran kooperatif tipe Team

Game Turnament (TGT) dalam

meningkatkan aktivitas belajar dan

pencapaian KKM Kelas VII.C pada

mata pelajaran biologi di SMP Negeri

4 Praya Tahun Pelajaran 2009/2010.

Pendekatan penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

Page 38: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

pendekatan penelitian kuantitatif dan

pendekatan penelitian kualitatif.

Pendekatan kualitatif merupakan

pendekatan penelitian yang

menghasilkan data deskriptif yang

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang–orang dan prilaku yang dapat

diamati (Moleong, 2006). Sedangkan

pendekatan kuantitatif bertujuan untuk

membuktikan teori, menunjukkan

pengaruh antar variabel dan membuat

prediksi. Pendapat lain juga

mengatakan bahwa pendekatan

kuantitatif adalah pendekatan yang

dapat memperoleh data dalam bentuk

jumlah dituangkan untuk menerangkan

suatu kejelasan dari angka-angka atau

perbandingan dari beberapa gambaran

sehingga memperoleh gambaran baru

kemudian dijelaskan kembali dalam

bentuk kalimat atau uraian (Suharsimi,

2006)

Rancangan penelitian ini

dilakukan dengan beberapa siklus

kegiatan dengan indikatornya adalah

tercapainya ketuntasan penelitian ini

direncanakan dengan beberapa siklus

yang tiap-tiap siklus terdiri atas

beberapa tahap seperti tahap

perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap

observasi, tahap evaluasi dan tahap

refleksi.

Instrumen penelitian adalah

alat pada waktu peneliti menggunakan

suatu metode (Suharsimi, 1998).

Adapun instrumen yang digunakan

dalam penelitian ini adalah : Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran, Tes

Evaluasi, Lembar observasi

Analisis Data Pengelolaan data merupakan

satu langkah yang sangat penting

dalam kegiatan penelitian bila

kesimpulan yang akan diteliti dapat

dipertanggung jawabkan data yang di

analisis. Adapun analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah:

Data Kriteria Ketuntasan Minimal

Kriteria pencapai ketuntasan belajar

siswa

Untuk mempermudah analisis setiap

indikator, perlu dibuat skalah penilaian

seperti pada tabel di bawah ini : Aspek yang

dianalisis

Kriteria dan skala penilaian

Kompleksitas Tinggi

< 65

Sedang

65-79

Rendah

80-100

Daya dukung Tinggi

80-100

Sedang

65-79

Rendah

< 65

Intake Siswa Tinggi

80-100

Sedang

65-79

Rendah

< 65

Berdasarkan tabel di atas dapat

dihapahami bahwa dalam menentukan

kriteria ketuntasan minimal itu dapat

menggunakan tabel dengan kriteria

dan skala penilaian masing-masing.

Menentukan Kriteria Ketuntasan

Minimal .Untuk menentukan kriteria

ketuntasan minimal dari hasil tes siswa

maka dapat menggunakan rumus :

KKM = P

Ji

Keterangan :

KKM : Kriteria Ketuntasan Minimal

P :Jumlah Pengetahuan tiap-tiap pencapaian ketuntasan belajar siswa

Ji : Jumlah Indikator per KD (Arsip

SMPN 4 Praya, 2009)

Data Aktivitas belajar

Page 39: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Data Aktivitas Guru

Setiap prilaku guru pada penelitian ini,

penilainnya berdasarkan kriteria

berikut :

a. Skor 4 diberikan jika 3 deskriptor

nampak

b. Skor 3 diberikan jika 2 deskriptor

nampak

c. Skor 2 diberikan jika 1 deskriptor

nampak

d. Skor 1 diberikan jika tidak ada

deskriptor nampak

Kriteria untuk menentukan aktifitas

guru sebagai berikut :

Tabel 2 : Pedoman Skor Standar

Aktivitas Guru A > MI + 1,5 SDI Sangat aktif

MI + 0,5 SDI < A < MI +

1,5 SDI

Aktif

MI – 1,5 SDI < A < MI +

0, 5 SDI

Cukup aktif

MI – 1,5 SDI < A < MI –

0,5 SDI

Kurang aktif

A < MI – 1,5 SDI Sangat kurang

aktif

Menentukan MI dan SDI

MI = ½ x (skor tertinggi + skor

terendah)

SDI = 1/6 x (skor tertinggi + skor

terendah)

Keterangan : MI = Mean ideal

SDI = Standar deviasi

ideal

(Nurkencana, 1990)

Data aktivitas belajar siswa

Setiap indikator perilaku siswa

pada penelitian ini cara penskoranya

berdasarkan aturan berikut :

1. Skor 4 diberikan jika 3 deskriptor

nampak

2. Skor 3 diberikan jika 2 deskriptor

nampak

3. Skor 2 diberikan jika 1 deskriptor

nampak

4. Skor 1 diberikan jika tidak ada

deskriptor nampak

Skor maksimal ideal (SMI)

merupakan skor tertinggi aktivitas

siswa yang didapat apabila semua

deskriptor yang diamati nampak yaitu

skor 4 untuk menilai kategori aktivitas

siswa, ditentukan terlebih dahulu MI

dan SDI.

Tabel 3 : Pedoman Skor Standar

Aktivitas Belajar Siswa

Interval Kategori

A > Mi + 1,5 SDi Sangat aktif

Mi + 1,5 SDi < A < Mi + 1,5 SDi Aktif

Mi – 1,5 Sdi < A < Mi + 0, 5 SDi Cukup aktif

Mi – 1,5 Sdi < A < Mi – 0,5 SDi Kurang aktif

A < Mi – 1,5 SDi Sangat kurang

aktif

HASIL PENELITIAN

Penelitian tindakan kelas ini

dilakukan untuk mengetahui

peningkatan keaktifan belajar dan

pencapaian KKM Kelas pada mata

pelajaran IPA Biologi pada siswa kelas

VII.C SMP Negeri 4 Praya tahun

pelajaran 2008/2009 dengan

menerapkan Pendekatan Team Game

Turnament (TGT). Penelitian ini

dilaksanakan dengan dua siklus, yang

dimulai dari tanggal 14 Mei– 20 Juni

2009.

Data-data diperoleh dari hasil

evaluasi dan hasil observasi pada

setiap siklus yang telah direncanakan.

Data yang diperoleh berupa data

kuantitatif dari hasil evaluasi dan data

kualitatif yang diperoleh dari hasil

Page 40: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

observasi. Data kuantitatif yang

diperoleh dari hasil evaluasi akan

memberikan jawaban mengenai

berhasil atau tidaknya proses

Pendekatan pada mata pelajaran IPA

Biologi dengan menggunakan

pendekatan Team Game Turnament

(TGT) yang diukur dengan

peningkatan keaktifan belajar dan

pencapaian KKM kelas secara

klasikal. Data kualitatif diperoleh dari

hasil observasi yang akan memberikan

gambaran tentang kegiatan guru dan

siswa selama proses belajar mengajar.

Data Siklus I

1. Hasil Observasi Aktivitas Siswa

Berdasarkan hasil analisis lembar

observasi aktifitas belajar siswa

diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4.1 : Hasil analisis lembar

observasi aktifitas belajar siswa

dan kategori aktifitas siswa dalam

Pendekatan Analisis Hasil Jumlah Kategori

Skor tertinggi 28

Aktif

Skor terendah 7

Mean Ideal (MI) 17,5

Standar Deviasi

Ideal (SDI)

5,8

Jumlah skor

aktifitas belajar

24

Inteval 20,24 < A <

26,25

Berdasarkan tabel 04 di atas dapat

dilihat dari interval jumlah seluruh

skor aktifitas belajar siswa

sebanyak 24 yang terdapat pada

interval 20,24 < A < 26,25 dengan

kategori aktif.

Yang menjadi kekurangan-kekurangan

yang muncul pada siklus I adalah:

- Sebagian siswa masih ada yang

tidak serius dalam mengikuti

pelajaran dan malu bertanya sama

teman sekelompoknya maupun

kepada guru.

- Pada saat diskusi masih ada

sebagian siswa yang tidak

menanggapi dengan baik apa yang

dijelaskan oleh guru dan teman-

temanya

- Siswa masih kesulitan

mengilustrasikan beberapa bentuk

pertanyaan yang dibuat oleh guru

dalam bentuk cerita.

2. Hasil Observasi Aktivitas Guru

Berdasarkan hasil analisis lembar

observasi aktifitas guru diperoleh

data sebagai berikut :

Tabel 4.2 : Hasil analisis lembar

observasi aktifitas guru dan

kategori aktifitas guru dalam

Pendekatan

Analisis Hasil Jumlah Kategori

Skor tertinggi 28

Cukup

Aktif

Skor terendah 7

Mean Ideal (MI) 17,5

Standar Deviasi

Ideal (SDI)

5,8

Jumlah skor aktifitas

belajar

20

Inteval 14,60 < A <

20,40

Berdasarkan hasil analisis

lembar observasi aktifitas guru di

atas dengan jumlah skor 20 yang

pada interval 14,60 < A < 20,40

dengan kategori cukup aktif. Hasil

analisis secara terperinci tentang

Page 41: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

observasi aktivitas guru dapat

dilihat dari lampiran 8

Hasil analisis secara terperinci

tentang observasi aktivitas guru

dapat dilihat dari lampiran 8.

Memperhatikan data pada tabel 4.2

tersebut maka kekurangan-

kekurangan yang muncul pada

siklus adalah sebagai berikut:

- Guru tidak menyiapkan materi

secara matang

- Guru kurang optimal dalam

menyampaikan tujuan Pendekatan

- Guru tidak menyiapkan segala

perencanaan proses belajar

mengajar

- Guru masih terfokus pada

kelompok-kelompok tertentu

- Interaksi belajar mengajar selalu

monoton dan satu arah.

b. Hasil Evaluasi

Setelah melakukan proses

belajar mengajar sebanyak dua

pertemuan maka pada pertemuan

ketiga guru memberikan soal-soal

evaluasi kepada siswa. Evaluasi

berlangsung selama 1 jam

Pendekatan. Bentuk soal evaluasi

adalah soal essay sebanyak 5 butir

soal untuk dikerjakan secara

individu. Masing-masing siswa

dapat satu lembar soal. Jawaban

siswa kemudian diperiksa dengan

skor maksimal 100 jika semua

jawaban siswa benar dan skor

minimal 0 jika siswa tidak

menjawab sama sekali. Melalui

analisis evaluasi belajar nilai rata-

rata siswa dan ketuntasan belajar

siswa dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 4.3 Data Hasil Evaluasi Belajar

Siswa Siklus I kelas V SDN 16

Mataram Tahun Pelajaran

2008/2009

No Keterangan Jumlah

1 Banyak siswa 40

2 Skor tertinggi 90

3 Skor terendah 55

4 Skor total 2810

5 Nilai rata-rata 70,25

6 Banyak siswa

yang tuntas

33

7 Persentase

ketuntasan

82,50%

Dari tabel 4.3 di atas dapat

dilihat bahwa persentase ketuntasan

belajar klasikal pada siklus I belum

mencapai standar minimal 85% dan

penggolongan aktivitas belajar

siswa dengan kategori aktif. Hasil

analisis secara rinci tentang hasil

evaluasi belajar siswa siklus I dapat

dilihat pada lampiran 7. Dari tabel

di atas dapat juga dijelaskan bahwa

ada 7 orang siswa yang tidak tuntas

secara individu pada siklus I ini.

Pada pertemuan siklus berikutnya

akan diberikan bimbingan dan

perhatian khusus di kelas ketika

proses belajar mengajar

berlangsung di samping itu juga

guru memberikan upaya dalam

mengendalikan kendala yang

dihadapi atau penyebab lain yang

dialami oleh 7 orang siswa tersebut.

Karena penelitian pada siklus I

belum mencapai ketuntasan belajar

klasikal, maka peneliti

merencanakan tindakan perbaikan

pada siklus II.

Persentase ketuntasan belajar mengajar

82,50% ini menunjukkan bahwa

ketuntasan dilihat dari hasil

Page 42: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

evaluasi pada siklus I masih belum

mencapai hasil yang diharapkan.

Adapun kekurangan-kekurangan

yang ditemukan pada siklus ini

akan diperbaiki pada siklus kedua

diantaranya:

a. Guru masih terfokus pada

kelompok-kelompok tertentu dan

kelompok yang lain masih bersifat

kurang aktif

b. Guru masih kurang dalam

memberikan motivasi kepada siswa

yang kurang aktif untuk berani

maju mengerjakan tugas di depan

kelas

c. Antusias siswa dalam Pendekatan

masih kurang karena masih banyak

siswa yang terpengaruh situasi di

dalam kelas

d. Pada saat mengerjakan LKS masih

banyak siswa-siswi yang belum

begitu paham dengan materi yang

telah diajarkan.

Data Hasil Penelitian Siklus II

1) Hasil Observasi Aktivitas Siswa

Berdasarkan hasil analisis lembar

observasi aktifitas belajar siswa

diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 4 : Hasil analisis lembar

observasi aktifitas belajar siswa dan

kategori aktifitas siswa dalam

Pendekatan Analisis Hasil Jumlah Kate

gori

Skor tertinggi 28

Aktif

Skor terendah 7

Mean Ideal (MI) 17,5

Standar Deviasi

Ideal (SDI)

5,8

Jumlah skor aktifitas

belajar

26

Inteval 20,24 < A < 26,25

Berdasarkan tabel 4 di atas dapat

dilihat dari interval jumlah seluruh

skor aktifitas belajar siswa

sebanyak 26 yang terdapat pada

interval 20,24 < A < 26,25 dengan

kategori aktif.

2) Hasil Observasi Aktivitas Guru

Dari hasil observasi aktifitas guru

pada siklus II diperoleh skor

aktifitas guru sebesar 26 dengan

kategori aktif berdasarkan tabel 04

a. Hasil Evaluasi

Setelah melakukan kegiatan

Pendekatan sebanyak dua kali

pertemuan, maka pada pertemuan

ketiga guru memberikan evaluasi

kepada siswa. Evaluasi berlangsung

selama 1 jam pelajaran. Bentuk soal

evaluasi adalah essay sebanyak 5

butir soal untuk dikerjakan secara

individu. Masing-masing siswa

mendapatkan satu lembar soal.

Jawaban siswa kemudian diperiksa

dengan skor maksimal 100 jika

semua jawaban siswa benar dan

skor minimal 0 jika siswa tidak

menjawab sama sekali. Melalui

analisis evaluasi belajar nilai rata-

rata siswa dan ketuntasan belajar

siswa dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 5 Data Hasil Evaluasi Belajar

Siswa Siklus II kelas V SDN 16

Mataram Tahun Pelajaran

2008/2009 No Keterangan Jumlah

1 Banyak siswa 40

2 Skor tertinggi 100

3 Skor terendah 50

4 Skor total 3370

5 Nilai rata-rata 84,25

6 Banyak siswa yang tuntas 38

7 Persentase ketuntasan 95%

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 5

di atas terlihat bahwa ketuntasan

Page 43: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

belajar secara klasikal sudah

mencapai dari target 85%, ini

berarti proses Pendekatan pada

siklus II sudah dikatakan berhasil

atau tuntas. Hasil analisis secara

rinci tentang data hasil evaluasi

belajar siswa siklus II dapat dilihat

pada lampiran 20. Walaupun

hasilnya telah tuntas tetapi untuk

siswa yang belum tuntas masih

diberikan remedial sehingga siswa

mencapai ketuntasan belajar ideal.

Dilihat dari hasil yang

diperoleh pada siklus II dikatakan

telah tuntas karena telah mencapai

ketuntasan belajar yang diharapkan

menurut kurikulum yaitu 85%

(Nurkencana dalam Slavin Kurnia,

2006 : 37).

Dengan demikian Pendekatan

dengan menerapkan Pendekatan

Matematika Realistik (PMR) lebih

efektif digunakan dalam

meningkatkan prestasi belajar siswa

dalam menyelesaikan soal cerita

bentuk pecahan siswa kelas V SDN

16 Mataram.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data

tiap-tiap siklus, terlihat bahwa hasil

dari siklus ke siklus mengalami

peningkatan. Pada siklus I,

menunjukkan bahwa nilai rata-rata

siswa sebesar 70,25 dengan

prosentase ketuntasan 82,50%. Ini

berarti ketuntasan belajar siswa

belum tercapai sesuai dengan

ketuntasan belajar menurut standar

yang telah ditetapkan. Hal ini

disebabkan oleh kurangnya

kesiapan siswa dalam mengikuti

proses Pendekatan dengan

menerapakan Pendekatan

Matematika Realistik (PMR), yang

dikarenakan model Pendekatan ini

merupakan model Pendekatan yang

baru yang belum begitu dikenal

oleh para guru dan siswa, perhatian

siswa dalam kegiatan Pendekatan

belum terfokus, saat diskusi masih

banyak siswa yang belum mau

menanggapi pendapat dari

temannya, dan siswa belum bisa

membuat kesimpulan dari hasil

diskusi, sehingga tingkat

penyerapan siswa terhadap materi

yang diberikan belum optimal,

akibatnya keaktifan dalam belajar

tidak tercapai.

Hasil ini belum mencapai

ketuntasan belajar klasikal yang

diharapkan yaitu 85% atau lebih

dan kategori aktivitas belajar siswa

“aktif”. Menurut hasil diskusi

peneliti dengan observer dan

setelah dilakukan refleksi, hal ini

disebabkan kurangnya bimbingan

dan pengarahan guru secara merata

kepada kelompok maupun individu

pada saat mengerjakan soal-soal

latihan dan Lembar Kerja Siswa

sehingga siswa belum tuntas atau

kurang terdeteksi. Untuk mengatasi

hal tersebut, khusus kepada siswa

yang belum mencapai ketuntasan,

peneliti mengadakan remedial

dalam bentuk tindakan khusus dan

bimbingan mengenai cara-cara

menyelesaikan soal-soal latihan

yang belum dikuasai.

Karena ketuntasan belajar pada

siklus I belum tercapai, maka

kegiatan tindakan dilanjutkan ke

siklus II dengan perbaikan-

perbaikan seperti yang disarankan

oleh observer, di samping itu juga

Page 44: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

melakukan pendekatan dan

bimbingan khusus, pemberian tugas

terbimbing pada saat siswa

melakukan latihan.

Berdasarkan hal tersebut maka

tidak mampunya siswa menjawab

soal dikarenakan siswa belum

menyerap konsep (soal cerita

bentuk pecahan) yang telah

diajarkan. Untuk mengatasi

banyaknya kekurangan–kekurangan

selama pelaksanaan siklus I guru

melakukan perbaikan-perbaikan

dalam Pendekatan pada siswa

berikutnya dan meningkatkan hal-

hal yang dianggap kurang. Untuk

itu guru berupaya meningkatkan

ketertiban siswa dan

membangkitkan respon siswa dalam

proses Pendekatan sesuai dengan

refleksi pada siklus I, maka pada

siklus II dilakukan tindakan yang

merupakan penyempurnaan dan

perbaikan terhadap kekurangan-

kekurangan yang muncul pada

siklus I.

Berdasarkan hasil analisis pada

siklus II menunjukkan bahwa nilai

rata-rata sebesar 84, 25 dengan

prosentase ketuntasan belajar siswa

sebesar 95%. Ini berarti ketuntasan

belajar siswa telah sesuai dengan

ketuntasan yang telah ditetapkan.

Hal ini disebabkan karena persiapan

siswa dalam mengikuti proses

Pendekatan dengan menggunakan

model Pendekatan Matematika

Realistik (PMR) sudah sangat baik,

suasana Pendekatan berjalan

dengan baik, perhatian siswa sudah

mulai terfokus, saat diskusi siswa

sudah banyak yang mau

menanggapi pendapat dari

temannya dan siswa sudah mulai

bisa membuat kesimpulan dari hasil

diskusi. Karena tujuan dari

penelitian sudah tercapai dan

kegiatan Pendekatan sesuai dengan

rencana dan harapan, maka siklus

penelitian diakhiri.

Penerapan Pendekatan

Matematika Realistik (PMR)

diperoleh informasi bahwa model

Pendekatan Matematika Realistik

bisa meningkatkan prestasi belajar

siswa karena dengan model

Pendekatan tersebut siswa

mempunyai kesempatan untuk

berdiskusi dengan teman-temanya

dan membiasakan diri untuk

bertanya ketika proses belajar

mengajar berlangsung bahkan guru

selalu memberikan gambaran-

gambaran yang riil sesuai dengan

materi yang akan diajarkan

sehingga siswa selalu terbawa ke

suasana sehari-hari mereka masing-

masing.

Dari pengalaman yang

diperoleh peneliti di lapangan

selama melakukan penelitian,

dengan menerapkan model

Pendekatan PMR dalam Pendekatan

matematika dalam menyelesaikan

soal cerita bentuk pecahan dapat

melibatkan siswa berperan aktif dan

melibatkan segenap kemampuan

yang dimiliki siswa sehingga dapat

meningkatkan prestasi belajar

siswa.

Hal ini sesuai dengan teori

yang mengatakan bahwa bila anak

belajar matematika terpisah dari

pengalaman mereka sehari-hari

maka akan cepat lupa dan tidak

Page 45: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

dapat mengaplikasikan matematika.

Guru dalam Pendekatannya di kelas

tidak mengaitkan dengan skema

yang telah dimiliki oleh siswa dan

siswa kurang diberikan kesempata

untuk menemukan kembali dan

mengkonstruksikan sendiri ide-ide

matematika. Mengaitkan

pengalaman kehidupan nyata anak

dengan ide-ide matematika dalam

Pendekatan di kelas penting

dilakukan agar Pendekatan

bermakna (Soedjaji, dkk, 2000

dalam

hhtp/darsusianto.blogspot.com/200

7/08/matematika-realistik/html).

Sedangkan pendapat lain

mengatakan Pendekatan

Matematika Realistik memberikan

kesempatan kepada siswa untuk

menemukan kembali dan

mengkonstuksi konsep-konsep

matematika berdasarkan pada

masalah realistik yang diberikan

oleh guru. Situasi realistik dalam

masalah memungkinkan siswa

menggunakan cara-cara informal

untuk menyelesaikan masalah.

Cara-cara informal siswa yang

merupakan produksi siswa

memegang peranan penting dalam

penemuan kembali dan

mengkonstruksikan konsep. Hal ini

berarti informasi yang diberikan

kepada siswa telah dikaitkan

dengan skema (jaringan

representasi) anak. Melalui

interaksi kelas keterkaitan skema

anak akan menjadi lebih kuat

sehingga pengertian siswa tentang

konsep yang mereka konstruksi

sendiri menjadi kuat. Karena itu,

perubahan persepsi guru tentang

mengajar perlu dilakukan bila ingin

mengimplementasikan pendekatan

matematika realistik

(http/www.ex.ac./telematics/T3/Mat

hs/acrarol.htm)

Dengan demikian, Pendekatan

Matematika Realistik akan

mempunyai kontribusi yang sangat

tinggi dengan pengertian siswa.

Sedangkan guru hanya sebagai

fasilitator dan motivator, sehingga

memerlukan paradigma yang

berbeda tentang bagaimana siswa

belajar, bagaimana guru mengajar,

dan apa yang dipelajari oleh siswa

dengan paradigma Pendekatan

matematika selama ini. Karena itu,

perubahan persepsi guru tentang

mengajar perlu dilakukan bila ingin

mengimplementasikan pendekatan

matematika realistik.

Hal di atas sesuai dengan

keutamaan Pendekatan dengan

masalah yang mendasar dalam

pendidikan di Indonesia adalah

masih rendahnya prestasi siswa

dalam belajar matematika.

Beberapa laporan menyebutkan

faktor penyebabnya, antara lain

kurangnya kualitas materi

Pendekatan, matode pengajaran

yang mekanistik serta buruknya

sistem penilaian. Salah satu

pendekatan yang menjanjikan dapat

mengurangi masalah tersebut

adalah Pendekatan Matematika

Realistik di Indonesia dikenel

dengan istilah Pendekatan

Matematika Realistik Indonesia

(PMRI).

Hal ini menunjukkan bahwa

penerapan pendekatan Matematika

Page 46: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Realistik (PMR) dalam

menyelesaikan soal cerita bentuk

pecahan dapat meningkatkan

aktivitas dan prestasi belajar siswa

kelas V SDN 16 Mataram tahun

pelajaran 2008/2009

PENUTUP

Dari hasil penelitian dan

pembahasan dapat disimpulkan

bahwa penerapan pembelajaran

kooperatif tipe STAD dapat

meningkatkan prestasi belajar siswa

pada mata pelajaran IPS Ekonomi,

hal ini ditunjukkan dengan adanya

peningkatan persentase ketuntasan

belajar klasikal tiap-tiap siklus.

Pada siklus I nilai rata-rata sebesar

71,29 sedangkan persentase

ketuntasan sebesar 77, 42 dengan

kategori “baik”. Sedangkan pada

siklus II meningkat dengan nilai

rata-rata sebesar 76,45 dengan

persentase ketuntasan sebesar 93,55

dengan kategori “Baik sekali”. Ini

berarti telah mencapai target ideal

85% dari jumlah siswa dalam

kelas mengalami peningkatan

prestasi. Jumlah siswa yang tuntas

secara individual sebanyak 29

orang dari 31 orang siswa. Selain

itu, pendekatan pembelajaran

kooperatif juga dapat melibatkan

siswa secara aktif ini dapat dilihat

dari peningkatan nilai skor rata-rata

aktivitas siswa dari siklus I ke

siklus II yaitu dari 5,33 menjadi

7,33 yang dikategorikan “lebih

aktif” dari setiap pertemuan dalam

mengerjakan pekerjaannya masing-

masing, mengolah informasi,

menyimpulkan materi yang telah

dijelaskan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Undang-Undang No.

20 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Jakarta

: Depdiknas

Anonim, 2004. Cooperative Learning,

Jakarta : PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia

_______, 2007. Cooperative Learning,

Jakarta : PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia

Bambang, 1998, Proses Belajar

Mengajar IPA di Sekolah, Jakarta

: Rineka Cipta

Dimyati dan Mudjiono, 2006.

Efektivitas pembelajaran pada

SMP, Jakarta : Rineka Cipta

Depdiknas, 2008. Laporan Hasil

Evaluasi Belajar MI/SD, di

sampaikan pada Work Shop Kelas

Atas, PAKEM 1 B, Learnign

Assistance Program For Islamic

School (LAPIS) PGMI : Mataram

Dirjen Menejmen Pendidikan Dasar

dan Menengah, 2008, Penetapan

Kriteria Ketuntasan Minimal

(KKM). Jakarta : Depdiknas,

Direktorat Pendidikan Sekolah

Menangah Atas.

Hamalik, O, 2003. Pendekatan Baru

Strategi Belajar Mengajar

Page 47: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Berdasarkan CBSA, Bandung :

Sinar Algensindo

Ibrahim, 2000. Pembelajaran

Kooperatif. Surabaya :

Universitas Negeri Surabaya

Isjoni, 2007. Cooperative Learning,

Bandung : Alfabeta

Lie, A, 2002. Cooperative Learning,

Jakarta : PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia

Moleong, J. L, 2006. Metodelogi

Penelitian Kualitatif.

Bandung : Remaja

Rosdakarya

Mudjiono, 2006. Belajar dan proses

belajar mengajar, Jakarta :

Usaha Nasional

Nurkencana, 1990. Evaluasi Hasil

Belajar, Surabay : Usaha

Nasional

Nana, S, 2004. Dasar-Dasar Proses

Belajar Mengajar, Bandung

: Sinar Baru Algensindo

Slavin, E. R, 1998. Cooperative

Learning, Proyek Pendidikan

Guru Sekolah Dasar :

Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi,

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1997/1998

Slameto, 1999. Belajar dan Faktor-

Faktor Yang Mempengaruhi.

Jakarta : Rineka Cipta.

Santoso, A, 2006. Kamus Lengkat

Bahasa Indonesia untuk SD,

SLTP, SMU dan UMUM.

Surabaya : Alumni

Suharsimi, A, 2007. Penelitian

Tindakan Kelas, Bumi

Aksara:Jakarta

______,2006. Prosedur Penelitian

Suatu Pendekatan Praktek,

Rineka Cipta : Jakarta

_______,1998. Prosedur Penelitian

Suatu Pendekatan Praktek,

Rineka Cipta:Jakarta

_______,2002. Prosedur Penelitian

Suatu Pendekatan Praktek,

Rineka Cipta:Jakarta

Suwarno, W, 2006. Dasar-Dasar Ilmu

Pendidikan, Jogjakarta : Ar-

Ruzs

Page 48: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA DENGAN

PEMANFAATAN MEDIA CHARTA PADA PEMBELAJARAN

LINGKARAN DI KELAS VIII SMPN 4 BOLO TAHUN PELAJARAN

2010/2011

ARIF HIDAYAD

Dosen STKIP Taman Siswa Bima

ABSTRAK

Kata Kunci: Media Charta, Lingkaran, dan Prestasi Belajar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah dengan

pemanfaatan media charta dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada

pembelajaran lingkaran di kelas VIII SMPN 4 Bolo tahun pelajaran

2010/2011. Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di SMPN 4 Bolo

dengan melibatkan siswa kelas VIII1 tahun ajaran 2010/2011 dengan subjek

penelitian sebanyak 30 orang siswa. Subjek dalam penelitian ini diambil

langsung dengan melihat kemampuan siswa yang heterogen yakni di kelas

VIII1 dari 7 kelas yang sudah ada.

Untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa dilakukan

evaluasi dengan memberikan tes soal essay yang terdiri dari 4 soal pada

pembelajaran lingkaran setiap akhir pertemuan. Evaluasi ini dilakukan

sebanyak dua kali yaitu pada akhir siklus I dan pada akhir siklus II. Hal ini

dilakukan karena pada siklus I siswa belum mencapai ketuntasan yang

diharapkan baik secara individu maupun klasikal.

Keberhasilan penelitian ini apabila pencapaian prestasi belajar siswa

dengan ketentuan minimal 85% siswa mencapai nilai ≥65 pada saat

evaluasi dilakukan. Dengan demikian untuk mencapai ketuntasan yang

diharapkan, maka siswa harus dapat menjawab 3 soal dengan benar dari 4

soal yang diberikan. Peningkatan prestasi belajar siswa pada pembelajaran

lingkaran dapat dilihat dari peningkatan porsentase dari siklus I ke siklus II.

Hasil analisis data menunjukan bahwa porsentase peningkatan

prestasi belajar siswa dilihat dari nilai rata-rata siswa pada siklus I ke siklus

II menunjukan peningkatan yaitu dari 6.13 menjadi 7.00, serta ketuntasan

klasikal pada siklus I ke siklus II yaitu dari 33.3% menjadi 86.6%.

Berdasarkan analisis ini, maka untuk memperbaiki tingkat

pemahaman belajar siswa adalah melalui pemberian materi yang sederhana

Page 49: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

ke materi yang kompleks. Artinya guru matematika harus menanamkan

pemahaman konsep dasar kepada siswa sehingga siswa tidak kesulitan

mempelajari materi-materi berikutnya dan pemanfaatan media charta

merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

PENDAHULUAN

Pendidkan di sekolah

merupakan pendidikan formal yang

diselenggarakan melalui proses

belajar mengajar yaitu suatu proses

menterjemahkan dan

mentransformasikan nilai-nilai yang

terdapat dalam kurikulum kepada

siswa melalui interaksi belajar

mengajar sehingga menghasilkan

anak yang aktif, ulet dan rajin. Untuk

mewujudkan tuntutan kurikulum

tersebut tidaklah mudah dan tidak

semua siswa dapat mengikuti proses

belajar mengajar dengan baik.

Matematika sebagai salah

satu disiplin ilmu yang diajarkan

disekolah, dipilih guna

menumbuhkembangkan kemampuan

dan membentuk pribadi siswa serta

menyesuaikan terhadap

perkembangan IPTEK. Fungsi

matematika sekolah adalah sebagai

salah satu unsur masukan

instrumental yang memiliki objek

dasar abstrak dan berlandaskan

kebenaran konsistensi. Dalam sistim

proses belajar mengajar, guru

hendaknya memiliki dan

menggunakan strategi yang

melibatkan siswa aktif dalam belajar,

baik secara mental, fisik maupun

sosial (Depdikbud, 1999: 1-3).

Media merupakan alat bantu

dalam pengajaran. Penggunaan

media sangat memberikan pengaruh

terhadap aktivitas dan semangat

siswa dalam proses belajar mengajar. Penggunaan media sangat

dipengaruhi berbagai macam media

seperti penggunaan media charta

yang sering kali dimanfaatkan

melalui bagan dan gambar oleh guru

dalam mengajar, khususnya dalam

pelajaran matematika. Rahadi (2004)

dalam (Muhtar, 2009: 2)

mengatakan bahwa “Media Charta

merupakan penyajian ide-ide atau

konsep yang sulit sehingga lebih

mudah dicerna siswa”. Dalam

kenyataanya bahwa media charta

digunakan guru dalam

menyampaikan materi dalam

subpokok bahasan tertentu. Dengan

penggunaan media charta siswa

diharapkan agar mampu lebih cepat

memahami materi yang disampaikan

oleh guru, seperti materi subpokok

lingkaran pada pelajaran matematika

kelas VIII SMP ini.

Media Charta dalam

penggunaannya adalah menggunakan

gambar dalam penyampaiannya.

Bagi siswa, hal ini setidaknya dapat

menarik minat dan perhatiannya

dengan memperhatikan gambar-

gambar bahkan dapat mengkaji dan

menganalisa serta menyimpulkan apa

yang dilihat dan apa yang didengar

sebagai bahan belajarnya. Lewat

kesempatan itulah, siswa dapat

membuka pikiran untuk memahami

lebih dalam tentang pelajaran

matematika, dan untuk meraih

prestasi belajar dapat terus

dilakukannya. Siswa yang kritis

dapat membandingkan antara

penjelasan dengan gambar dan penjelasan secara teoritis oleh guru

dalam proses pembelajaran.

Page 50: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Dari hasil observasi yang

dilaksanakan di SMPN 4 Bolo dan

hasil wawancara dengan guru mata

pelajaran matematika yang mengajar

di SMPN 4 Bolo tersebut, didapatkan

bahwa kesulitan-kesulitan belajar

yang dialami siswa pada

pembelajaran lingkaran adalah siswa

masih kesulitan dalam membedakan

apa itu jari-jari dan diameter pada

lingkaran serta masih bingung dalam

membedakan luas daerah dan

keliling lingkaran terutama pada

soal-soal latihan yang berbentuk soal

cerita. Hal ini terlihat pada hasil

ulangan harian siswa kelas VIII1 s/d

VIII4 tahun pelajaran 2009/2010

untuk materi lingkaran belum

mencapai ketuntasan belajar minimal

≥65 atau porsentase rata-ratanya

masih kurang dari 85%

(Depdiknas:1995). Pada kelas VIII1

dari 40 orang jumlah siswa, banyak

siswa yang belum memenuhi nilai

≥65 adalah sebanyak 32 orang siswa

dan terletak pada angka porsentase

ketuntasan klasikal sebesar 20%. Di

kelas VIII2 dari 38 orang siswa,

banyak siswa yang belum memenuhi

nilai ≥65 sebanyak 20 orang siswa

dan menunjukan angka ketuntasan

pada 47,4%. Begitu pula yang terjadi

pada kelas VIII3 dan VIII4, yaitu dari

39 orang siswa, yang belum

memenuhi nilai ≥65 adalah sebanyak

16 orang di kelas VIII3 dan sebanyak

15 orang di kelas VIII4 serta terletak

pada porsentase ketuntasan sebesar

59.9% dan 61.5%. Oleh karena itu,

dengan melihat ketuntasan klasikal

masing-masing kelas yang masih

jauh dari standar ketuntasan yang

diharapkan maka perlu diberikan perlakuan untuk meningkatkan

ketuntasan belajar minimal yang

diharapkan yaitu sebesar 85%. Dan

guru juga harus memberikan peranan

penting dalam pencapaian ketuntasan

yang diharapkan tersebut, yaitu

dengan penyampaian materi yang

tidak bersifat monoton. Dengan kata

lain, guru harus pandai dalam

memilih metode pengajaran yang

sesuai dengan materi yang akan

disampaikan.

1. Hakikat

Pembelajaran Matematika dan

Hubungannya dengan Prestasi

Belajar

Dalam belajar

matematika, siswa bukan hanya

sekedar dituntut untuk mengetahui

simbol-simbol dan menghafal aturan-

aturan atau rumus-rumus tersebut. Ini

sesuai dengan pendapat

(Hudoyo,1979:34) yang mengatakan

bahwa misalnya seorang siswa ingat

rumus-rumus atau aturan-aturan,

karenanya ia dapat memanipulasi

simbol-simbol. Jika aturan-aturan ini

tidak diikuti pengertian yang

mendasari ide-ide tersebut, maka

kerja yang dilakukan itu bukanlah

jenis aktivitas berfikir, melainkan

suatu latihan yang merupakan

hafalan belaka. Sedangkan seperti

yang kita ketahui bersama bahwa

belajar matematika bukan kegiatan

menghafal tetapi belajar matematika

sebenarnya untuk mendapatkan

pengertian hubungan dan simbol dan

kemudian mengaplikasikan konsep-

konsep yang dihasilkan ke situasi

yang nyata.

Dalam pembelajaran

matematika sangat diperlukan

pemanfaatan media sebagai alat

untuk menyampaikan materi.

Dimana, matematika itu sendiri adalah ilmu tentang logika mengenai

bentuk, susunan, besaran dan

konsep-konsep yang berhubungan

Page 51: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

dengan jumlah yang banyak dan

timbul karena pikiran manusia yang

berhubungan dengan ide, proses dan

penalaran.

Kata media berasal dari

bahasa latin yaitu merupakan bentuk

jamak dari kata “medium” yang

secara harafiah berarti perantara atau

pengantar. Dengan demikian media

merupakan wacana penyalur

informasi belajar atau penyalur pesan

(Djamarah dan Zaen, 1997:34).

Secara lebih khusus,

pengertian media dalam proses

belajar mengajar cenderung diartikan

sebagai alat grafis, photografis atau

elektronis untuk menangkap,

memproses dan menyusun kembali

informasi visual atau verbal. Media

adalah bahan yang dapat memotivasi

siswa untuk belajar (Sastrowijoyo,

1991;12).

Natawijaya (1979) dalam

( Muhtar, 2009: 8) menyatakan

bahwa media charta adalah suatu

penyajian bergambar untuk

mendapatkan sejumlah besar

informasi, menunjukan suatu

perkembangan obyek, lembaga,

orang, keluarga dan dilihat dari sudut

ruang dan waktu. Pendapat diatas

dapat dikatakan bahwa media charta

adalah media yang berupa gambar

yang digunakan guru dalam proses

belajar mengajar dengan tujuan

untuk dapat menarik minat siswa

pada saat guru menerangkan materi

kepada siswa.

Sedangkan menurut

Sudjana dan Rivai (1992) dalam (

Muhtar 2009: 10) mengemukakan

manfaat media charta dalam proses

belajar mengajar antara lain: a) Pengajaran akan lebih menarik

perhatian siswa sehingga dapat

menumbuhkan motivasi belajar

b) Bahan pengajaran akan lebih jelas

maknanya sehingga dapat lebih

mudah dipahami oleh siswa dalam

mengemukakannya, menguasai

dan mencapai tujuan pengajaran

c) Metode pengajaran akan lebih

bervariasi, tidak semata-mata

komunikasi verbal melalui

peraturan kata-kata oleh guru,

sehingga siswa tidak bosan dan

guru tidak kehabisan tenaga

apalagi kalau guru berhalangan

untuk mengajar pada saat jam

pelajarannya.

d) Siswa dapat lebih banyak

melakukan kegiatan belajar, sebab

tidak hanya mendengarkan uraian

guru, tetapi juga mereka dapat

melakukan aktivitas lain seperti

mengamati, melakukan,

mendemonstrasikan,

menerangkan dan lain-lain.

Berdasarkan beberapa

pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa hakekat pembelajaran

matematika merupakan aktivitas

berfikir dimana rumus-rumus dalam

matematika itu bukan hanya untuk

dihafal saja, namun siswa itu harus

mengerti bagaimana proses di

dapatnya rumus tersebut melalui

penerapan media charta, sehingga

siswa dapat mengerti akan aturan-

aturan atau rumus-rumus yang ada

dalam matematika itu sehingga dapat

dipergunakan untuk memecahkan

soal dan dapat diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari dalam rangka

meningkatkan prestasi belajar.

Prestasi belajar merupakan hasil dari

belajar. Karena hasil bukan saja

berupa pengetahuan tetapi juga

berupa keterampilan kerja, sejauh mana siswa mampu menerapkan

pengetahuannya dalam kehidupan

sehari-hari dan menunjukan sikap

Page 52: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

dan perubahan tingkah laku ke arah

yang positif.

METODELOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah

penelitian tindakan kelas (Classroom

Action Research), yang pada

hakekatnya dilakukan dengan tujuan

untuk memperbaiki kualitas proses

dan hasil belajar sekelompok peserta

didik

( Mulyasa, 2009: 10).

Perbaikan dilakukan secara

bertahap dan terus menerus selama

kegiatan penelitian dilakukan. Oleh

karena itu dalam PTK dikenal

adanya siklus pelaksanaan berupa:

tahap perencanaan, pelaksanaan

tindakan, evaluasi dan refleksi

(Mulyasa, 2009: 70-71).

Penelitian Tindakan Kelas

(PTK) ini dilaksanakan di SMPN 4

Bolo desa Tambe kecamatan Bolo.

Penelitian ini dilaksanakan selama 1

bulan yaitu dari tanggal 11 Januari

2011 sampai dengan 11 Februari

2011.

Subjek dalam penelitian ini

adalah siswa kelas VIII1 yang

berjumlah sebanyak 30 orang siswa.

Pemilihan subjek penelitian

dilakukan dengan melihat langsung

kemampuan siswa yang heterogen

dari 7 kelas yang ada.

Jenis penelitian ini adalah

penelitian tindakan kelas, maka

langkah-langkah penelitian tindakan

kelas dengan tahapan sebagai

berikut:

1. Siklus I

a) Tahapan Perencanaan

1) Mengembangkan skenario

pembelajaran dengan memperhatikan indikator-

indikator hasil belajar.

2) Mengembangkan Lembar Kerja

Siswa (LKS)

3) Menyusun alat evaluasi hasil

belajar sesuai dengan indikator.

4) Mengembangkan pedoman atau

instrument yang digunakan dalam

siklus PTK.

5) Merencanakan analisa hasil tes

b) Tahapan Pelaksanaan

Tindakan

Pelaksanaan tindakan pada

siklus I dengan subpokok bahasan

lingkaran dilakukan sebanyak 4 kali

pertemuan dengan rincian, yang

mana pada pertemuan pertama dan

kedua untuk kegiatan pembelajaran

dan pertemuan ketiga dan keempat

untuk kegiatan tes hasil belajar

siswa. Tahap-tahap yang dilakukan

adalah:

1) Mengajukan beberapa masalah

kepada siswa

2) Membagikan lembar kerja siswa

pada kelompok-kelompok yang

telah dibentuk

3) Melaksanakan pembelajaran tatap

muka dengan berpedoman pada

skenario pembelajaran

c) Melaksanakan observasi

selama proses

pembelajaran berlangsung.

d) Tahapan Evaluasi

Pada pertemuan selanjutnya,

guru mengadakan evaluasi hasil

belajar untuk mengetahui

pemahaman atau penguasaan siswa

terhadap materi maupun konsep yang

telah dipelajari. Setelah itu guru

manganalisis tes untuk mengetahui

permasalahan yang belum dipahami.

e) Tahapan Refleksi

Refleksi dilakukan

berdasarkan hasil observasi terhadap prilaku siswa dan guru. Untuk

mengetahui hasil belajar siswa

dilakukan evaluasi hasil belajar.

Page 53: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Adanya kekurangan atau hambatan

selama mengikuti proses

pembelajaran, selanjutnya dilakukan

langkah-langkah perbaikan untuk

proses pembelajaran pada siklus II.

2. Siklus II

Pada siklus II prinsipnya

sama pada pelaksanaan siklus

I. Untuk penyempurnaan

permasalahan yang dihadapi

pada siklus I akan diperbaiki

pada siklus II.

a) Tahap Perencanaan

1) Membuat skenario

pembelajaran

2) Menyiapkan Lembar

Kerja Siswa (LKS)

3) Menyiapkan lembar

observasi

4) Membuat tes hasil

belajar.

b) Tahap Pelaksanaan

Tindakan

Pelaksanaan tindakan

pada siklus II dengan

subpokok bahasan

lingkaran dilakukan

sebanyak dua kali

pertemuan dengan rincian

pertemuan pertama untuk

kegiatan pembelajaran

sedangkan pertemuan

kedua untuk mengetahui

hasil belajar siswa dengan

memberi tes evaluasi.

Tahapan yang dilakukan

adalah:

1) Mengajukan masalah pada siswa

2) Membagikan LKS pada tiap-tiap

kelompok yang telah dibentuk

3) Melaksanakan pembelajaran tatap

muka dengan berpedoman pada

skenario pembelajaran 4) Melaksanakan observasi selama

proses pembelajaran berlangsung

dengan mengamati aktivitas guru

dan siswa.

c) Tahap Evaluasi

Seperti halnya pada siklus I,

kegiatan evaluasi hasil belajar

dilaksanakan pada akhir tindakan.

Tes yang diberikan dalam bentuk

essay dan dikerjakan secara

individu. Kemudian guru

menganalisis hasil akhir untuk

mengetahui tingkat penguasaan

siswa terhadap materi yang telah

dipelajarinya.

d) Tahap Refleksi

Refleksi dilakukan

berdasarkan hasil observasi

terhadap perilaku siswa dan guru.

Adanya kekurangan atau hambatan

selama mengikuti proses

pembelajaran selanjutnya dilakukan

langkah-langkah perbaikan dan

penyempurnaan untuk pelaksanaan

proses pembelajaran pada siklus

selanjutnya.

Data yang dikumpulkan

dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan:

1) Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi adalah

pengumpulan data yang

dilakukan dengan pencatatan

dokumen. Pencatatan

dokumen adalah mencari data

mengenai hal-hal atau

variabel yang berupa catatan,

transkrip dan surat kabar,

majalah, notulen rapat, leger,

agenda serta sebagainya

(Arikunto, 2006: 231).

Pendapat di atas,

dapat dikatakan bahwa

dokumentasi adalah

pencatatan yang berupa catatan, transkrip dan surat

kabar, majalah, notulen rapat,

Page 54: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

leger, agenda, buku rapor

ataupun hasil tes.

2) Teknik tes

Sedangkan data mengenai

hasil belajar siswa

dikumpulkan dengan

memberikan tes pada siswa.

Untuk instrumen yang

digunakan dalam

pengumpulan data ini adalah

tes hasil belajar yang berupa

essai yang terdiri dari 4 soal.

Tes ini diberikan bertujuan

untuk mengetahui

peningkatan prestasi belajar

siswa secara signifikan.

Hasil belajar yang diperoleh

siswa melalui pemberian tes,

dianalisis secara deskriptif

kualitatif dengan mencari

ketuntasan belajar siswa

digunakan kriteria sebagai

berikut:

a) Ketuntasan individu, setiap

siswa dalam proses belajar

mengajar dikatakan tuntas

secara individu terhadap

materi pelajaran yang

disajikan apabila siswa

mampu memperoleh nilai ≥

65 (Depdiknas, 1995).

b) Ketuntasan belajar dihitung

dengan menggunakan

(Depdiknas, 1995):

KB = 𝑋

𝑍 x 100 %

Keterangan:

KB = Ketuntasan

klasikal

x = Jumlah siswa

yang memperoleh nilai ≥ 65

z = Jumlah siswa

Sesuai dengan teknik

penilaian, kelas dikatakan

tuntas secara klasikal

terhadap materi pelajaran

yang disajikan jika

ketuntasan belajar mencapai

85 %.

Untuk mengetahui

keberhasilan siswa dalam

mengikuti pembelajaran

maka ketuntasan belajar

minimal 85 % siswa

mencapai nilai ≥ 65.

Diberikan kepada siswa 4

soal dan masing-masing soal

diberikan bobot 25, berarti

siswa harus dapat mejawab 3

soal dengan benar dari 4 soal

yang diberikan.

Yang menjadi indikator

keberhasilan penelitian ini

adalah pencapaian prestasi

belajar siswa dengan ketentuan

apabila minimal

85 % atau lebih siswa dikelas

mencapai nilai 65 pada saat

evaluasi, yang akan terlihat pada

hasil evaluasi.

Dengan demikian

pemanfaatan Media Charta pada

penelitian ini akan berhenti,

apabila 85 % siswa mencapai

prestasi belajar ≥ 65.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Hasil Observasi

Data hasil penelitian ini

meliputi hasil pengamatan aktifitas

siswa, hasil pengamatan aktifitas

guru, dan hasil ketuntasan siswa

secara individu dan klasikal.

Kegiatan observasi ini dilakukan

pada setiap kali pertemuan kecuali

pada saat ujian. Observasi ini

dilaksanakan oleh dua orang

pengamat untuk mengamati aktifitas

siswa, dan guru selama kegiatan

Page 55: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

belajar mengajar berlangsung seperti

yang tersaji pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Persentase Aktifitas

Belajar Siswa

Pertem

uan

Juml

ah

siswa

(org)

Frekue

nsi

(org)

Persent

ase

(%)

Kateg

ori

P1 30 18 41-60 Cukup

Aktif

P2 30 17 41-60 Cukup

Aktif

P3 30 24 61-80 Aktif

P4 30 25 61-80 Aktif

(Sumber: Data primer diolah

tahun 2011)

Berdasarkan tabel 1 diatas,

dapat diketahui bahwa hasil

observasi pada pertemuan pertama

diperoleh persentase aktifitas siswa

menunjukan angka yang berada pada

kategori cukup aktif dengan

persentase terletak pada 41% s/d

60%. Pada pertemuan kedua

persentase aktifitas siswa tidak

menunjukan peningkatan yakni

masih terletak pada kategori cukup

aktif. Pada pertemuan ketiga,

persentase aktifitas menunjukan

angka peningkatan dari cukup aktif

menjadi aktif, hal ini dibuktikan oleh

persentase aktifitas terletak antara

61% s/d 80%. Sedangkan pada

pertemuan keempat persentase

aktifitas siswa masih dalam kategori

aktif yaitu terletak pada 61% s/d

80%.

Tabel 2. Persentase Aktifitas

Mengajar Guru Siklus I dan Siklus II

Perte

muan Siklus I

Perte

muan Siklus

II

Perse

ntase P(%)

J

umlah

i

tem

S

kor

tota

l

J

umlah

Item

S

kor

Tota

l

S

iklus

I

S

iklus

II

7 2

3 7

2

5

8

2.14

8

9.28

(Sumber: Data primer diolah

tahun 2011) Berdasarkan tabel 2 di atas,

terlihat bahwa persentase aktifitas

mengajar guru pada siklus I sebesar

82,14% dan terletak pada MI+1 SDI

s/d < MI +2 SDI dan masuk dalam

kategori aktif seperti terlihat pada

lampiran. Sedangkan pada siklus II

persentase aktifitas mengajar guru

menunjukan angka peningkatan

sebesar 7.14% yaitu dari 82.14%

menjadi 89.28% dan terletak pada

MI+1 SDI s/d < MI +2 SDI dan

masuk dalam kategori aktif seperti

terlihat pada lampiran 13 dan

lampiran 14.

Data Hasil Tes

Data hasil tes diberikan dan

diperoleh setelah pembelajaran

selesai. Tes tersebut dilaksanakan

dua kali yaitu pada siklus I dan pada

siklus II. Tes siklus I dilaksanakan

pada hari Rabu, tanggal 26 Januari

2011 dan tes pada siklus II pada hari

rabu, tanggal 2 Februari 2011. Hasil

tes tersebut terlihat pada tabel di

bawah ini:

Tabel 3. Porsentase ketuntasan

individu pada siklus I

Nilai Frekuens

i (org)

Porsentas

e (%)

Kategor

i

40-51

52-64

65-76

77-88

89-100

11

9

6

3

1

36.7

30.0

20.0

10.0

3.33

Tidak

tuntas

Tidak

tuntas

Tuntas

Tuntas

Tuntas

Jumlah 30 100 %

(Sumber: Data primer diolah

tahun 2011)

Dari tabel 3 di atas, terlihat

bahwa siswa yang memperoleh nilai

40 s/d 51 adalah sebanyak 11 orang

siswa dan terletak pada angka

porsentase 36.7%. Sedangkan siswa

yang mendapat nilai 52 s/d 64 adalah

sebanyak 9 orang siswa dan terletak

pada porsentase 30.0%. Oleh karena itu, jumlah siswa yang dikategorikan

tidak tuntas sebanyak 20 orang siswa

Page 56: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

dan jumlah porsentasenya sebesar

66.7%. Sedangkan siswa yang

dikategorikan tuntas adalah sebanyak

10 orang siswa dengan memperoleh

nilai 65 s/d 100 dan jumlah

porsentasenya terletak pada angka

33.3%.

Hasil analisis, menunjukan

bahwa frekuensi siswa yang

memperoleh nilai 65 s/d 100 adalah

sebanyak 10 orang siswa dan terletak

pada porsentase sebesar 33.33%. Hal

ini, menunjukan bahwa porsentase

ketuntasan secara klasikal pada

siklus I belum mencapai ketuntasan

yang diharapkan yaitu sebesar 85%.

Sedangkan yang tidak tuntas adalah

siswa yang memperoleh nilai 40 s/d

64 dan jumlah porsentasenya adalah

sebesar 66.7%. Sehingga porsentase

ketuntasan lebih kecil dari porsentase

ketidaktuntasan.

Sedangkan porsentase nilai

hasil belajar siswa pada siklus II

disajikan dalam bentuk tabel berikut

ini:

Tabel 4. Porsentase ketuntasan

individu pada siklus II Nilai Frekuensi

(org)

Porsentase

(%)

Kategori

60-64

65-69

70-74

75-79

80-84

85-89

90-94

95-100

4

8

11

2

4

-

-

1

13.3

26.6

36.6

6.6

13.3

-

-

3.3

Tidak

tuntas

Tuntas

Tuntas

Tuntas

Tuntas

Tuntas

Tuntas

Tuntas

Jumlah 30 100 %

(Sumber: Data primer diolah

tahun 2011)

Dari tabel 4 di atas, terlihat

bahwa banyaknya siswa yang

memperoleh nilai 60 s/d 64 adalah

sebanyak 4 orang siswa dan terletak pada porsentase sebesar 13.3% serta

dikategorikan tidak tuntas karena

belum memenuhi kriteria ketuntasan

minimal yang di standarkan

sebelumnya (≥65). Sedangkan

sebanyak 26 orang siswa

memperoleh nilai ≥65 dan porsentase

ketuntasan klasikal terletak pada

angka 86.6%. Hal ini dapat dilihat

bahwa porsentase ketuntasan lebih

besar dari porsentase

ketidaktuntasan.

Hasil analisis, menunjukan

bahwa frekuensi siswa yang

memperoleh nilai 60 s/d 64 adalah

sebanyak 4 orang siswa dan terletak

pada porsentase sebesar 13.3%. Hal

ini, menunjukan bahwa porsentase

ketidaktuntasan secara klasikal pada

siklus II menunjukan angka yang

relatif kecil dibandingkan dengan

siklus I. Sedangkan siswa yang

memperoleh nilai lebih dari 65

adalah sebanyak 26 orang siswa dan

terletak pada angka porsentase

sebesar 86.7%. Sehingga porsentase

ketuntasan lebih besar dari

porsentase ketidaktuntasan dan

melebihi dari standar ketuntasan

klasikal yang ditentukan sebelumnya

yaitu sebesar 85%. Bila dilihat

bahwa terjadi peningkatan

ketuntasan klasikal dari siklus I ke

siklus II yaitu dari 33.33% menjadi

86.7%.

Sehingga jika dibuatkan tabel

ketuntasan secara klasikal dari siklus

I ke siklus II, seperti terlihat pada

tabel berikut ini:

Tabel 5. Porsentase ketuntasan

klasikal pada siklus I dan siklus II Siklus I Siklus II

Jum

lah

sisw

a

Sis

wa

yan

g

tun

tas

Ketunt

asan

(%)

Jum

lah

Sisw

a

Sis

wa

yan

g

tun

tas

Ketunt

asan

(%)

30 10 33.3 30 26 86.6

(Sumber: Data primer diolah

tahun 2011)

Page 57: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Tabel 5 merupakan tabel

ketuntasan belajar siswa secara

klasikal setelah dilaksanakan tes dua

kali yaitu pada siklus I dan siklus II.

Pada tes siklus I jumlah siswa yang

memenuhi standar kelulusan

sebenyak 10 orang siswa dari 30

orang siswa. Sedangkan pada tes

siklus II, jumlah siswa yang

memenuhi standar kelulusan

sebenyak 26 orang siswa dari 30

orang siswa. Hal ini menunjukan ada

peningkatan dari siklus I ke siklus II

yaitu dari 33.3% menjadi 86.7%

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data

pada tabel aktifitas siswa, terlihat

pada pertemuan pertama dan kedua,

aktifitas siswa dikategorikan cukup

aktif. Sedangkan pada pertemuan

ketiga dan keempat aktifitas siswa

dikategorikan aktif. Hal ini jauh

lebih baik dibandingkan dengan

pertemuan pertama dan kedua.

Peningkatan aktifitas ini disebabkan

karena siswa sudah paham dan

mengerti terhadap penerapan media

charta pada saat pembelajaran

berlangsung dan tidak terlepas dari

peran guru yang selalu aktif pada

setiap pertemuan. Keaktifan guru ini

ditunjukan dengan persentase yang

meningkat dari siklus I ke siklus II

yaitu dari 82.14% menjadi 89.28%.

Berdasarkan analisis deskriptif

pada tabel hasil ketuntasan belajar

baik secara individu maupun

klasikal, dapat dikatakan bahwa

siswa tuntas belajarnya dan semakin

meningkat. Hal ini terbukti dari

besarnya persentase ketuntasan klasikal dalam ujian tes dari siklus I

ke siklus II adalah dari 33.3%

menjadi 86.7%. persentase ini

melebihi standar ketuntasan klasikal

yang telah ditentukan sebelumnya

yaitu sebesar 85%. Meskipun ada

beberapa siswa yang belum tuntas

belajarnya yaitu sebanyak 4 orang

siswa. Hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor, antara lain karena

siswa belum menguasai sepenuhnya

materi lingkaran yang telah

diajarkan dan siswa tersebut kurang

teliti dalam mengerjakan soal.

KESIMPULAN

Dengan memperhatikan hasil

penelitian dan analisis data yang

telah dilakukan maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa pembelajaran

dengan pemanfaatan media charta,

dilihat dari aktifitas siswa dan guru

pada siklus I dan siklus II diperoleh

hasil yang baik dan menunjukan

angka peningkatan. Hal ini ditandai

dengan meningkatnya prestasi

belajar siswa dari siklus I ke siklus II

dan persentasenya ketuntasan

klasikal dari 33.33% menjadi 86.7%.

persentase ini melebihi standar

ketuntasan yang ditentukan

sebelumnya yaitu sebesar 85%.

Tentunya hal ini, dipengaruhi oleh

tingkat keaktifan siswa dan guru

selama proses pembelajaran

berlangsung yang semakin

meningkat. Sehingga penerapan

media charta pada pembelajaran

lingkaran dapat meningkatkan

prestasi belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, 2006. Prosedur Penelitian

Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta

Page 58: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Budiningsih, Asri, 2005. Belajar dan

Pembelajaran. PT. Rineka

Cipta: Jakarta

Depdikbud, 1999. Garis-Garis besar

Program Pengajaran.

Depdikbud: Jakarta

Djamarah, S.B. 1997. Guru Dan

Anak Didik Dalam Interaksi

Edukatif. Universitas Negeri

Surabaya

Hamalik, Oemar. 2010. Kurikulum

dan Pembelajaran. Bumi

Aksara: Jakarta

Hudoyo, Herman. 1979.

Pengembangan Kurikulum

Matematika Dan

Pelaksanaan di Depan

Kelas. Usaha Nasional:

Surabaya

Kartono Kartini, 1995. Psikologi

Anak ( Psikologi

Perkembangan). Mandar

maju: Bandung

Muhtar, 2009. Pengaruh

Pemanfaatan Media Charta

Terhadap Prestasi Belajar

Siswa pada Pokok Bahasan

Sistem Reproduksi. Skripsi

tidak dipublikasikan.

Jakarta.

Mulyasa H.E, 2009. Praktik

Penelitian Tindakan Kelas.

PT. Remaja Rosdakarya:

Bandung

Nasution S, 2010. Berbagai Pendekatan dalam Proses

Belajar dan Mengajar. PT.

Bumi Aksara: Jakarta

Natawijaya R, 1979. Alat Peraga

Dan Komunikasi

Pendidikan. PT. Bunda

Karya: Jakarta

Purwanto, 1992. Psikologi

Pendidikan. Jamars: Bandung

Rahadi A, 2004. Media

Pembelajaran. Departemen

Pendidikan Nasional:

Jakarta

Riddles, 2007. Puzzle Problem. E-

Book

Roestiyah.N.K, 2000. Strategi

Belajar Mengajar. Bina Aksara:

Bandung

Sastrowijoyo, 1991. Teknologi

Pembelajaran. PT.

Paramitha: Jakarta

Sumartana, 1985. Dasar-Dasar

kependidikan. Jamars:

Bandung

Syah, Muhibbin.2010. Psikologi

Belajar. PT. Grafindo

Persada: Jakarta

Wijaya dan Rusyan, 1994.

Kemampuan Dasar Guru

Dalam Proses Belajar

Mengajar. PT. Remaja

Rosdakarya: Bandung

Yamin, Martinis, 2010. Strategi

Pembelajaran Berbasis

Kompetensi. Gaung

Persada: Jakarta

Page 59: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

http://www.

Depdiknas.go.id./jurnal/44/

Editorial.htm

Page 60: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM GAME

TOURNAMENT (TGT) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA

SISWA KELAS X SMA NEGERI 4 KOTA BIMA TAHUN PELAJARAN

2012/2013

HAERUNNAZILLAH, MUTAWAFAQ

Dosen STKIP Taman Siswa Bima

ABSTRAK

Kata-kata Kunci: Prestasi Belajar, Metode Kooperatif Tipe TGT

Banyak model pembelajaran yang bisa diterapkan oleh seorang guru dalam

kegiatan pembelajaran di sekolah, misalnya model pembelajaran kolaboratif maupun

kooperatif. Intinya bagaimana guru mampu menerapkan metode pembelajaran tersebut

terhadap beragamnya materi yang disampaikan. Salah satu model pembelajaran yang

dianggap mampu memberikan tingkat pemahaman atau daya serap siswa dalam

penyampaian materi pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif TGT (Team

Game Tournament) Dari uraian tersebut penulis merasa tertarik untuk mengadakan

penelitian ilmiah dengan judul ” Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team

Game Tournament (TGT) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas X

SMA Negeri 4 Kota Bima Tahun Pelajaran 2012/2013”.

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian Tindakan Kelas dengan subyek

penelitian adalah 35 orang siswa kelas X-8 SMA Negeri 4 Kota Bima Tahun Pelajaran

2012/2013. Prosedur pengumpulan data menggunakan tes, observasi, catatan lapangan,

dan wawancara. Teknik analisis data menggunakan metode analisis data kualitatif.

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Team Game Tournament dapat

meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas X-8 SMA Negeri 4 Kota Bima terhadap

pokok bahasan Kinematika Gerak. Hal ini dapat dilihat pada hasil yang telah dicapai

sebagai berikut: Siklus I; persentase ketuntasan belajar siswa sebesar 74,29%. Dan

terjadi peningkatan pada siklus II; Nilai ketuntasan belajar siswa sebesar 85,71%. Hasil

tersebut menunjukkan sudah tercapainya indikator penelitian yang ditetapkan, sehingga

dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Team Game

Tournamet pada pokok bahasan kinematika gerak dapat meningkatkan hasil belajar

fisika siswa kelas X-8 SMA Negeri 4 Kota Bima Tahun Pelajaran 2012/2013.

PENDAHULUAN

Perkembangan dan perubahan

yang terjadi dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara di Indonesia tidak terlepas

pengaruh global dan perubahan IPTEK.

Perubahan secara terus menerus ini

menuntut adanya perbaikan system

pendidikan nasional, terutama memacu

adanya variasi pembelajaran yang

menjadi tuntutan dasar dalam proses

pembelajaran di sekolah. Metode

sebagai bagian penting dalam upaya

pencapaian hasil belajar yang optimal.

Oleh karena itu, guru di harapkan lebih

kreatif dan inovatif dalam menerapkan

berbagai metode pembelajaran yang

telah ada sehingga dapat menarik minat

siswa terhadap pelajaran fisika dengan

tujuan untuk meningkatkan hasil belajar

yang pada akhirnya di harapkan prestasi

Page 61: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

belajar siswa meningkat sesuai dengan

tujuan pembelajaran.

Sesuai dengan kenyataan

dilapangan, meskipun sudah

menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) namun pada

umumnya proses belajar mengajar fisika

dikelas masih menggunakan metode

ceramah. Hal ini disebabkan karena

kurangnya pengetahuan guru mengenai

metode pembelajaran maupun strategi

pembelajaran yang sesuai dengan

penerapan KTSP. Sering kali proses

belajar dan hasil belajar tidak sesuai

dengan yang diharapkan. Pada

pembelajaran yang bersifat teacher

centered memberikan beberapa dampak

negatif bagi siswa diantaranya siswa

menjadi pasif, siswa menjadi kurang

kreatif dan jika mengandalkan

penjelasan dari guru saja, maka

informasi yang diterima akan sedikit.

Untuk mencapai keberhasilan

pembelajaran yang diharapkan, upaya

atau usaha yang dapat dilakukan oleh

guru adalah dengan cara memperhatikan

siswa, menguasai materi pelajaran dan

memilih model pembelajaran yang

tepat. Salah satu cara untuk

meningkatkan aktivitas belajar dan hasil

belajar adalah dengan memilih suatu

pembelajaran yang tidak membosankan

(monoton) dan mengupayakan siswa

untuk bekerja dalam suatu kelompok

belajar. Salah satu model pembelajaran

yang melibatkan siswa aktif adalah

model Pembelajaran Kooperatif

(Cooperative learning). Menurut Isjoni

(2007: 15) “Cooperative learning

berasal dari kata cooperative yang

artinya mengerjakan sesuatu secara

bersama-sama dengan saling membantu

satu satu sama lainnya sebagai satu

kelompok atau satu tim.”.

Team Game Tournament

(TGT) merupakan salah satu model

pembelajaran kooperatif yang dapat

meningkatkan aktifitas siswa dalam

belajar serta memungkinkan siswa

untuk mengembangkan pengetahuan,

kemampuan, dan keterampilannya

secara penuh atau maksimal. Pada TGT

ini siswa dapat belajar berkelompok dan

bertanding dengan suasana yang

berbeda. Sehingga diharapkan mampu

meningkatkan aktivitas belajar siswa

dan akhirnya berdampak pada

peningkatan hasil belajar siswa.

Berdasarkan wawancara

dengan siswa kelas X SMA Negeri 4

Kota Bima tahun pelajaran 2011/2012

pada hari Senin tanggal 7 Mei 2012 di

SMA Negeri 4 Kota Bima dapat

diketahui bahwa guru fisika yang

mengajar mereka belum pernah

menerapkan model pembelajaran

kooperatif tipe Team Game

Tournament. Dan sistem pembelajaran

yang dilaksanakan masih menggunakan

sistem pembelajaran konvensional yaitu

ceramah, pemberian tugas dan tanya

jawab. Hal ini menyebabkan minimnya

motivasi belajar siswa yang dikarenakan

kurangnya keterlibatan aktifitas siswa

dalam proses pembelajaran, sehingga

kebanyakan siswa cenderung pasif dan

hanya siswa-siswa tertentu saja yang

mampu menjawab pertanyaan.

Rendahnya motivasi belajar dan

aktifitas siswa tersebut berdampak pada

hasil belajar yang diperoleh siswa pada

ulangan harian pada pokok bahasan

Besaran dan Satuan kurang memuaskan

rata-rata sebesar 64,41 dengan kriteria

ketuntasan minimal 65 (Sumber Data:

SMA Negeri 4 Kota Bima tahun 2011).

Data hasil belajar siswa untuk 3 tahun

terakhir dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

Tabel 1.1 Data Hasil Belajar

siswa pada pokok Bahasan Besaran

dan Satuan Nilai Rata-rata

Ulangan Harian KKM Tahun

55,10 65 2010

Page 62: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

64,41 65 2011

57,23 65 2012

Kondisi seperti ini sepatutnya

mendapatkan penanganan yang segera.

Salah satu penanganan yang dapat

dilakukan adalah dengan mencoba

mencari strategi, model, metode atau

teknik pembelajaran yang mampu

membuat siswa senang dalam belajar,

mengaktifkan siswa dan meningkatkan

aktifitas belajar siswa sehingga mampu

meningkatkan hasil belajar siswa.

Berdasarkan hal tersebut, model

pembelajaran yang dapat membawa

kondisi demikian adalah model

pembelajaran kooperatif tipe Team

Game Tournament.

Dalam situs

(http://ipotes.wordpress.com/2008/05/1

1/) dijelaskan bahwa TGT adalah salah

satu tipe pembelajaran kooperatif yang

menempatkan siswa dalam kelompok-

kelompok belajar yang beranggotakan 5

sampai 6 orang siswa yang memiliki

kemampuan, jenis kelamin dan suku

kata atau ras yang berbeda. Guru

menyajikan materi, dan siswa bekerja

dalam kelompok mereka masing -

masing. Dalam kerja kelompok guru

memberikan LKS kepada setiap

kelompok. Tugas yang diberikan

dikerjakan bersama-sama dengan

anggota kelompoknya. Apabila ada dari

anggota kelompok yang tidak mengerti

dengan tugas yang diberikan, maka

anggota kelompok yang lain

bertanggungjawab untuk memberikan

jawaban atau menjelaskannya, sebelum

mengajukan pertanyaan tersebut kepada

guru. Akhirnya untuk memastikan

bahwa seluruh anggota kelompok telah

menguasai pelajaran, maka seluruh

siswa akan diberikan permainan

akademik. Dalam permainan akademik

siswa akan dibagi dalam meja-meja

turnamen, dimana setiap meja turnamen

terdiri dari 5 sampai 6 orang yang

merupakan wakil dari kelompoknya

masing - masing. Dalam setiap meja

permainan diusahakan agar tidak ada

peserta yang berasal dari kelompok

yang sama. Siswa dikelompokkan

dalam satu meja turnamen secara

homogen dari segi kemampuan

akademik, artinya dalam satu meja

turnamen kemampuan setiap peserta

diusahakan agar setara. Hal ini dapat

ditentukan dengan melihat nilai yang

mereka peroleh pada saat pre-test. Skor

yang diperoleh setiap peserta dalam

permainan akademik dicatat pada

lembar pencatat skor. Skor kelompok

diperoleh dengan menjumlahkan skor -

skor yang diperoleh anggota suatu

kelompok, kemudian dibagi banyaknya

anggota kelompok tersebut. Skor

kelompok ini digunakan untuk

memberikan penghargaan tim berupa

sertifikat dengan mencantumkan

predikat tertentu. Menurut Slavin

pembelajaran kooperatif tipe TGT

terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu :

tahap penyajian kelas (class

precentation), belajar dalam kelompok

(teams), permainan (games),

pertandingan (tournament), dan

perhargaan kelompok (teams

recognition).

Ciri-ciri Model Pembelajaran

Kooperatif tipe TGT

1. Siswa Bekerja Dalam Kelompok -

Kelompok Kecil

Siswa ditempatkan dalam

kelompok - kelompok belajar yang

beranggotakan 4 sampai 6 orang yang

memiliki kemampuan, jenis kelamin,

dan suku atau ras yang berbeda. Dengan

adanya heterogenitas anggota

kelompok, diharapkan dapat memotifasi

siswa untuk saling membantu antar

siswa yang berkemampuan lebih dengan

siswa yang berkemampuan kurang

dalam menguasai materi pelajaran. Hal

ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa

Page 63: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

kesadaran pada diri siswa bahwa belajar

secara kooperatif sangat menyenangkan.

2. Games Tournament

Dalam permainan ini setiap

siswa yang bersaing merupakan wakil

dari kelompoknya. Siswa yang

mewakili kelompoknya, masing -

masing ditempatkan dalam meja - meja

turnamen. Tiap meja turnamen

ditempati 5 sampai 6 orang peserta, dan

diusahakan agar tidak ada peserta yang

berasal dari kelompok yang sama.

Dalam setiap meja turnamen diusahakan

setiap peserta homogen. Permainan ini

diawali dengan memberitahukan aturan

permainan. Setelah itu permainan

dimulai dengan membagikan kartu -

kartu soal untuk bermain (kartu soal dan

kunci ditaruh terbalik di atas meja

sehingga soal dan kunci tidak terbaca).

Permainan pada tiap meja turnamen

dilakukan dengan aturan sebagai

berikut. Pertama, setiap pemain dalam

tiap meja menentukan dulu pembaca

soal dan pemain yang pertama dengan

cara undian. Kemudian pemain yang

menang undian mengambil kartu undian

yang berisi nomor soal dan diberikan

kepada pembaca soal. Pembaca soal

akan membacakan soal sesuai dengan

nomor undian yang diambil oleh

pemain. Selanjutnya soal dikerjakan

secara mandiri oleh pemain dan

penantang sesuai dengan waktu yang

telah ditentukan dalam soal. Setelah

waktu untuk mengerjakan soal selesai,

maka pemain akan membacakan hasil

pekerjaannya yang akan ditangapi oleh

penantang searah jarum jam. Setelah itu

pembaca soal akan membuka kunci

jawaban dan skor hanya diberikan

kepada pemain yang menjawab benar

atau penantang yang pertama kali

memberikan jawaban benar. Jika semua

pemain menjawab salah maka kartu

dibiarkan saja. Permainan dilanjutkan

pada kartu soal berikutnya sampai

semua kartu soal habis dibacakan,

dimana posisi pemain diputar searah

jarum jam agar setiap peserta dalam

satu meja turnamen dapat berperan

sebagai pembaca soal, pemain, dan

penantang. Disini permainan dapat

dilakukan berkali - kali dengan syarat

bahwa setiap peserta harus mempunyai

kesempatan yang sama sebagai pemain,

penantang, dan pembaca soal. Dalam

permainan ini pembaca soal hanya

bertugas untuk membaca soal dan

membuka kunci jawaban, tidak boleh

ikut menjawab atau memberikan

jawaban pada peserta lain. Setelah

semua kartu selesai terjawab, setiap

pemain dalam satu meja menghitung

jumlah kartu yang diperoleh dan

menentukan berapa poin yang diperoleh

berdasarkan tabel yang telah disediakan.

Selanjutnya setiap pemain kembali

kepada kelompok asalnya dan

melaporkan poin yang diperoleh

berdasarkan tabel yang telah disediakan.

Selanjutnya setiap pemain kembali

kepada kelompok asalnya dan

melaporkan poin yang diperoleh kepada

ketua kelompok. Ketua kelompok

memasukkan poin yang diperoleh

anggota kelompoknya pada tabel yang

telah disediakan, kemudian menentukan

kriteria penghargaan yang diterima oleh

kelompoknya.

3. Penghargaan Kelompok

Langkah pertama sebelum

memberikan penghargaan kelompok

adalah menghitung rerata skor

kelompok. Untuk memilih rerata skor

kelompok dilakukan dengan cara

menjumlahkan skor yang diperoleh oleh

masing - masing anggota kelompok

dibagi dengan dibagi dengan banyaknya

anggota kelompok. Pemberian

penghargaan didasarkan atas rata - rata

poin yang didapat oleh kelompok

tersebut. Dimana penentuan poin yang

diperoleh oleh masing - masing anggota

kelompok didasarkan pada jumlah kartu

yang diperoleh.

Page 64: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif yaitu pendekatan yang

dinyatakan dalam bentuk verbal dan

dianalisis tanpa menggunakan statistik.

Bogdan dan Taylor dalam Usman

(2008: 229) mendefinisikan metodelogi

kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati.

Jenis penelitian ini

merupakan penelitian tindakan kelas

(PTK). PTK merupakan suatu penelitian

yang mengangkat masalah-masalah

aktual yang dihadapi oleh guru

dilapangan (Usman, 2008: 217). PTK

ialah suatu penelitian yang dilakukan

secara sistematis reflektif terhadap

berbagai tindakan yang dilakukan oleh

guru yang sekaligus sabagai peneliti,

sejak disusunnya suatu perencanaan

sampai dengan penilaian terhadap

tindakan nyata di dalam kelas yang

berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk

memperbaiki kondisi pembelajaran

yang dilakukan (Usman, 2008: 219).

Tujuan penelitian tindakan kelas adalah

untuk memperbaiki dan atau

meningkatkan kualitas praktek

pembelajaran secara berkesinambungan

yang diselenggarakan oleh guru/

pengajar-penaliti itu sendiri, yang

dampaknya diharapkan tidak ada lagi

permasalahan yang mengganjal di kelas.

Pelaksanaan penelitian

tindakan kelas dilakukan melalui

beberapa siklus dimana setiap siklus

terdiri dari 4 tahap, yaitu:

a. Planing (Perencanaan)

Rencana merupakan langkah awal

guru sebelum melakukan sesuatu.

Dilakukan dengan rencana kedepan

serta fleksibel untuk menerima efek-

efek yang tak terduga. Dengan

demikian dapat mengatasi hambatan.

b. Action (Tindakan)

Merupakan penerapan dari

perencanaan yang telah dibuat dapat

dibuat suatu model pembelajaran

yang dalam hal ini adalah metode-

metode atau cara-cara agar dapat

perbedaan yang akan dilakukan oleh

peneliti dan sampel.

c. Observation (Pengamatan)

Dalam hal pengamatan agar dapat

melihat dan mendokumentasikan

pengaruh-pengaruh yang diakibatkan

oleh tindakan dalam kelas. Hasil

penelitian akan menjadi dasar

dilakukannya refleksi sehingga

pemantapan yang dilakukan harus

dapat menceritakan hal

sesungguhnya.

d. Reflection (Refleksi)

Refleksi meliputi: kegiatan analisis,

sintesis, penafsiran. menjelaskan dan

menyimpulkan. Dan hasil refleksi ini

untuk memperbaiki kinerja guru

pada pertemuan selanjutnya.

Subjek penelitian ini adalah

siswa kelas X-8 SMA Negeri 4 Kota

Bima semester ganjil tahun ajaran

2012/2013 yang berjumlah 35 orang

siswa.

Rencana Tindakan

Rencana yang akan dilaksanakan dalam

penelitian tindakan ini adalah tahap pra

tindakan dan tahap pelaksanaan

tindakan.

1. Tahap pra tindakan

Adapun langkah-langkah tiap siklus

tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut:

SIKLUS 1

1. Perencanaan a. Menyiapkan RPP untuk materi

yang akan diajarkan sesuai

dengan model pembelajaran

kooperatif tipe team game

tournament.

b. Menyiapkan LKS dengan materi

mengenai GLB.

Page 65: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

c. Menyiapkan lembar observasi

aktivitas peneliti dan siswa.

d. Menyiapkan perangkat turnamen.

e. Membentuk kelompok belajar

yang heterogen dan turnamen

yang homogen.

2. Pelaksanaan Pelaksanaan tindakan diatur sebagai

berikut:

a. Penyajian materi

Pada tahap ini peneliti bertindak

sebagai guru menyampaikan tujuan

pembelajaran kemudian

memotivasi siswa dan mengaitkan

materi ke dalam kehidupan sehari-

hari. Aktivitas yang terjadi didalam

kelas ini diamati oleh observer.

b. Belajar kelompok

Pada tahap ini guru meminta siswa

berkelompok sesuai dengan

kelompok yang telah ditentukan.

Pembagian kelompok belajar ini

disusun sedemikian rupa sehingga

terbentuk kelompok yang heterogen

dari segi kemampuan akademik.

Didalam kelompok belajar ini siswa

diberi tugas untuk mendiskusikan

masalah yang ada dalam LKS yang

telah dibagikan guru. Setelah

selesai, salah satu kelompok yang

ditunjuk oleh guru

mempresentasikan hasil diskusinya.

c. Turnamen

Pada tahap ini anggota kelompok

dikumpulkan secara homogen

berdasarkan tingkat kemampuan

akademiknya. Mereka akan

bertanding dalam satu meja

turnamen, disini mereka diuji

tentang pemahamannya terhadap

maeri yang telah dipelajari. Skor

hasil dari turnamen tersebut akan

dikumpulkan ke dalam skor

kelompok dan akan menentukan

kelompok terbaik.

d. Penghargan kelompok

Prosedur atau teknik

pengumpulan data yang digunakan

pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Tes Skor awal siswa diperoleh dari

nilai ulangan harian materi sebelumnya.

Skor awal ini digunakan untuk

membentuk kelompok belajar dan

mengetahui peningkatan hasil belajar

siswa pada siklus 1, yaitu persentase

siswa yang tuntas belajar pada data skor

awal di bandingkan dengan persentase

siswa yang tuntas belajar pada tes akhir

siklus 1. Pada penelitian ini terdapat dua

macam tes, yaitu tes turnamen dan tes

akhir siklus. Tes turnamen digunakan

untuk mengetahui pemahaman dan

meningkatkan minat siswa terhadap

materi yang telah dipelajari. Turnamen

diadakan pada setiap akhir

pembelajaran. Pada saat turnamen,

siswa diberi beberapa soal untuk

dikerjakan di lembar jawaban dan siswa

akan mendapat skor turnamen. Skor

kelompok diperoleh dengan

menjumlahkan skor turnamen setiap

anggota kelompok dalam satu kelompok

belajar dengan skor dari LKS. Skor

setiap kelompok akan diurutkan dari

yang tertinggi sampai yang terendah.

Dan tiga kelompok dengan skor

tertinggi akan mendapat penghargaan

kelompok. Tes akhir siklus

dilaksanakan dua kali, yaitu tes akhir

siklus 1 dan tes akhir siklus 2. Tes akhir

siklus digunakan untuk mengetahui

peningkatan hasil belajar fisika siswa

pada setiap siklus yaitu dengan

membandingkan persentase siswa yang

tuntas belajar pada masing-masing

siklus.

2. Observasi Observasi dilakukan untuk

mengamati kegiatan dikelas selama

pembelajaran. Kegiatan yang diamati

meliputi aktivitas peneliti dan aktivitas

siswa dalam pembelajaran. Lembar

observasi di gunakan untuk mengetahui

adanya kesesuaian antara pelaksana

Page 66: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

tindakan dan perencanaan yang telah

disusun serta untuk mengamati respon

positif siswa terhadap model

pembelajaran kooperatif tipe team game

tournament.

3. Wawancara Wawancara yang digunakan

dalam penelitian ini bersifat terbuka dan

terstruktur. Dikatakan demikian karena

subjek penelitian mengetahui secara

langsung bahwa mereka sedang

diwawancarai dan pertanyaan-

pertanyaan wawancara yang dibuat oleh

peneliti terstruktur dengan rapi.

Wawancara kepada subjek penelitian ini

dilaksanakan setelah pembelajaran

siklus 2 berakhir.

4. Catatan Lapangan

Catatan lapangan digunakan

untuk pengamatan yang berisi tentang

hal-hal yang terjadi selama

berlangsungnya pembelajaran dan

interaksi antara guru dan siswa yang

terkait dengan pembelajaran yang tidak

tercatat dalam lembar observasi.

Dengan demikian, data yang dianggap

penting tidak terlewatkan.

Teknik Analisa Data

Data yang terkumpul selanjutnya

dianalisis sesuai dengan pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu pendekatan kualitatif, maka data

yang terkumpul dalam penelitian ini

dianalisis dengan menggunakan metode

analisis data kualitatif.

1. Ketuntasan Belajar Klasikal

Untuk mengetahui

persentase ketuntasan belajar

siswa secara klasikal

menggunakan rumus:

KK=𝑛

𝑁×100%

Keterangan: KK = Ketuntasan

klasikal

n = Jumlah siswa

yang tuntas

N = Jumlah siswa

dalam kelas

2. Aktivitas Guru dan Siswa Untuk mengetahui aktivitas

guru dan siswa pada saat proses

belajar mengajar menggunakan

rumus:

A = 𝑖

𝐼 × 100%

Keterangan: A = Aktivitas

i = Indikaror

yang diperoleh

I = Indikator

keseluruhan

Indikator Keberhasilan

Adapun indikator keberhasilan

dalam setiap siklus dapat diuraikan

sebagai berikut:

a) Hasil observasi aktivitas peneliti dan

aktivitas siswa telah menunjukkan

bahwa pelaksanaan pembelajaran

sesuai dengan lembar observasi

mencapai skor rata-rata 70% dengan

taraf keberhasilan tindakan sebagai

berikut; (1) Nilai rata-rata lebih dari

80% dan kurang dari sama dengan

100% keberhasilannya sangat baik.

(2) Nilai rata-rata lebih dari 60% dan

kurang dari sama dengan 80%

keberhasilannya baik. (3) Nilai rata-

rata lebih dari 40% dan kurang dari

sama dengan 60% keberhasilannya

cukup baik. (4) Nilai rata-rata lebih

dari 20% dan kurang dari sama

dengan 40% keberhasilannya kurang

baik. (5) Nilai rata-rata lebih dari 0%

dan kurang dari sama dengan 20%

keberhasilannya tidak baik.

Taraf keberhasilan tindakan

dapat dilihat pada tabel di bawah

ini:

Tabel 2 Taraf keberhasilan

tindakan

80% < NR 100% Sangat Baik

60% NR 80% Baik

40% < NR 60% Cukup Baik

Page 67: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

20% < NR 40% Kurang Baik

0% < NR 20% Tidak Baik

b) Hasil tes akhir dari semua

subjek paling sedikit 70% dari

jumlah siswa telah memperoleh

skor rata-rata 65

c) Hasil wawancara siswa telah

memberikan informasi bahwa

siswa senang dalam mengikuti

pembelajaran dan lebih

memahami materi yang

dipelajarinya.

HASIL PENELITIAN

Berikut ini menyajikan hasil observasi

aktivitas peneliti dan aktivitas siswa.

Tabel 4.1 Hasil Observasi Aktivitas

Peneliti Pada Kegiatan Pembelajaran

Siklus 1 No Indikator Pengamat

1. Mengucapkan salam 4

2. Menertibkan suasana kelas 4

3. Menyampaikan tujuan pembelajaran 4

4. Memberi motivasi belajar siswa 3

5. Menginformasikan kegiatan yang harus dilakukan siswa 4

6. Menjelaskan materi 3

7. Membentuk kelompok belajar 4

8. Membagikan LKK kepada setiap kelompok 4

9. Meminta setiap kelompok untuk menyelesaikan tugas yang ada

pada LKK 3

10. Memantau aktivitas siswa selama pembelajaran 3

11. Memotivasi siswa untuk mengemukakan pendapat atau

pemikirannya pada saat diskusi kelompok 2

12. Memberi bantuan kepada kelompok dengan mengarahkan siswa

agar memperoleh jawaban 3

13. Menjawab pertanyaan siswa jika ada yang bertanya 3

14. Memberi pujian kepada siswa yang menjawab dengan tepat,

bertanya atau mengemukakan pendapat 2

15. Mengidentifikasi dan memotivasi siswa yang kurang aktif dalam

aktivitas belajarnya 3

16. Memberikan respon dengan segera terhadap kesulitan maupun

kemajuan siswa 3

17. Meminta kelompok umtuk melakukan presentasi secara klasikal 2

18. Memberi komentar, pertanyaan atau mengkonfrontasi jawaban

siswa 2

19. Menyimpulkan hasil belajar bersama-sama siswa 3

20. Mengucapkan salam 4

Berdasarkan hasil observasi pada

tabel 4.1, jumlah skor yang diperoleh

pengamat adalah 63 dari skor total 80,

dengan demikian presentase nilai rata-

ratanya adalah 78,75%. Berdasarkan

kriteria taraf keberhasilan kegiatan

peneliti dalam melaksanakan

pembelajaran termasuk kategori baik.

Tabel 4.2 Hasil Observasi Aktivitas

Siswa Pada Kegiatan Pembelajaran

Siklus 1 No Indikator Pengamat

1. Menjawab salam 4

2. Menciptakan suasana tenang 3

3. Menunjukkan antusias antara lain keingintahuan yang besar

tampak bersemangat, gembira dan senang 2

4. Bergabung sesuai dengan kelompok belajar masing-masing 4

5. Antusias pada saat guru membagikan LKS 2

6. Memperhatikan penjelasan guru 2

7. Memperhatikan dan memahami soal yang di berikan 3

8. Memahami dan menganalisa masalah dalam LKK melalui diskusi 3

9. Mendiskusikan dengan anggota kelompok tentang apa yang

diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal yang ada dalam LKK 4

10. Siswa berani mengajukan pertanyaan guru jika ada kesulitan 4

11. Siswa berani mengemukakan pendapat 4

12. Menghargai pendapat teman 2

13. Terlihat semangat pada saat mengikuti pembelajaran Fisika 2

14. Mengerjakan semua tugas 3

15. Berusaha mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya 3

16. Berusaha secepatnya melaporkan hasil pekerjaan 4

17. Antusias waktu diminta mempresentasikan hasil kelompok 2

18. Menanggapi hasil kerja kelompok lain 1

19. Dengan arahan guru membuat rangkuman dan kesimpulan 4

20. Menjawab salam 4

Berdasakan hasil observasi

pada tabel 4.2, jumlah skor yang

diperoleh pengamat adalah 60 dari skor

total 80, dengan demikian persentase

nilai rata-ratanya adalah 75%.

Berdasarkan kriteria taraf keberhasilan

kegiatan peneliti dalam melaksanakan

pembelajaran termasuk kategori baik.

Untuk mendapatkan informasi

yang lebih lengkap, maka peneliti juga

membuat catatan lapangan. Hasil

catatan lapangan dapat dilihat pada

tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil Catatan Lapangan

Pada Pembelajaran Siklus 1 Aktivitas Hasil Catatan Lapangan

Guru

Suara guru kurang jelas pada saat menjelaskan materi

Terlalu cepat pada saat

menjelaskan materi

Siswa

Masih ada siswa yang

enggan belajar kelompok

Siswa yang berkemampuan

rendah kurang mampu mengemukakan pendapatnya

Page 68: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Turnamen

Banyak siswa yang

kebingungan dengan aturan

turnamen

Ada siswa yang meminta bantuan jawaban kepada

temannya

Sedangkan untuk hasil tes

siklus 1 lebih jelasnya dapat dilihat pada

lampiran 11. Dari hasil tes siklus 1 ini

diketahui bahwa nilai yang diperoleh

siswa meningkat dari tes sebelum diberi

tindakan. Siswa yang mendapatkan nilai

≥ 65 sebanyak 26 siswa dari 35 siswa,

dengan demikian ketuntasan belajar

setelah melaksanakan pembelajaran

kooperatif tipe TGT adalah 74,29%

yang berarti kelas tersebut telah

mencapai ketuntasan belajar secara

klasikal. Sedangkan siswa yang

mendapatkan nilai ≤ 65 sebanyak 9

siswa, dengan demikian siswa yang

tidak tuntas adalah 25,71%

Dari hasil observasi

ditemukan beberapa masalah yang

menunjukkan bahwa proses

pelaksanaan pembelajaran kooperatif

tipe TGT masih belum memenuhi

harapan peneliti sehingga diperlukan

perbaikan pada siklus 2.

Masih kurangnya aktivitas siswa

pada saat belajar kelompok karena

tidak terbiasa dengan belajar

kelompok secara heterogen, selain

itu juga adanya siswa yang

bermasalah dengan temannya dalam

satu kelompok.

Masih kurangnya keberanian siswa

dalam mengemukakan pendapat.

Masih ada siswa yang kurang

memahami materi karena peneliti

menjelaskan terlalu cepat.

Siswa belum memahami aturan

turnamen dan masih ada yang

meminta bantuan jawaban temannya.

Adapun tindakan perbaikan yang

akan dilaksanakan oleh peneliti pada

siklus berikutnya adalah sebagai

berikut:

Memberikan motivasi kepada siswa

untuk saling bekerja sama demi

keberhasilan kelompok tanpa

memasukkan masalah individu pada

saat belajar.

Memotivasi siswa agar percaya diri

untuk mengeluarkan pendapatnya.

Menambah waktu untuk menjelaskan

materi.

Meminta siswa untuk memahami

aturan permainan dan bersikap

sportif.

Berdasarkan data-data yang

diperoleh menunjukkan bahwa aktivitas

peneliti dan siswa dalam pembelajaran

kooperatif telah mencapai kriteria

keberhasilan dalam kategori baik.

Selain itu hasil tes siswa pada akhir

siklus 1 menunjukkan bahwa 74,29%

siswa mencapai ketuntasan belajar

secara klasikal. Setelah didiskusikan

bersama guru bidang studi fisika, maka

siklus 1 tidak perlu diulang dan peneliti

dapat melanjutkan pada siklus 2.

berikut ini menyajikan hasil observasi

aktivitas peneliti dan aktivitas siswa.

Tabel 4.4 Hasil Observasi Aktivitas

Peneliti Pada Kegiatan Pembelajaran

Siklus 2 No Indikator Pengamat

1. Mengucapkan salam 4

2. Menertibkan suasana kelas 3

3. Menyampaikan tujuan pembelajaran 4

4. Memberi motivasi belajar siswa 3

5. Menginformasikan kegiatan yang harus dilakukan siswa 3

6. Menjelaskan materi 3

7. Membentuk kelompok belajar 4

8. Membagikan LKK kepada setiap kelompok 4

9. Meminta setiap kelompok untuk menyelesaikan tugas yang ada

pada LKK 4

10. Memantau aktivitas siswa selama pembelajaran 4

11. Memotivasi siswa untuk mengemukakan pendapat atau

pemikirannya pada saat diskusi kelompok 3

12. Memberi bantuan kepada kelompok dengan mengarahkan siswa

agar memperoleh jawaban 3

13. Menjawab pertanyaan siswa jika ada yang bertanya 3

14. Memberi pujian kepada siswa yang menjawab dengan tepat,

bertanya atau mengemukakan pendapat 2

15. Mengidentifikasi dan memotivasi siswa yang kurang aktif dalam

aktivitas belajarnya 4

16. Memberikan respon dengan segera terhadap kesulitan maupun

kemajuan siswa 3

17. Meminta kelompok umtuk melakukan presentasi secara klasikal 3

18. Memberi komentar, pertanyaan atau mengkonfrontasi jawaban

siswa 3

19. Menyimpulkan hasil belajar bersama-sama siswa 3

Page 69: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

20. Mengucapkan salam 4

Berdasarkan hasil observasi

pengamat pada tabel 4.4 tersebut,

jumlah skor yang diperoleh adalah 67

dari skor total 80, dengan demikian

presentase nilai rata-ratanya adalah

83,75%. Berdasarkan kriteria taraf

keberhasilan kegiatan peneliti dalam

melaksanakan pembelajaran termasuk

kategori sangat baik.

Tabel 4.5 Hasil Observasi Aktivitas

Siswa Pada Kegiatan Pembelajaran

Siklus 2

No Indikator Penga

mat

1. Menjawab salam 4

2. Menciptakan suasana tenang 2

3.

Menunjukkan antusias antara lain

keingintahuan yang besar tampak

bersemangat, gembira dan senang 3

4.

Bergabung sesuai dengan

kelompok belajar masing-masing 3

5. Antusias pada saat guru

membagikan LKK 4

6. Memperhatikan penjelasan guru 4

7. Memperhatikan dan memahami

soal yang di berikan 2

8.

Memahami dan menganalisa

masalah dalam LKK melalui

diskusi 3

9.

Mendiskusikan dengan anggota

kelompok tentang apa yang

diketahui dan apa yang ditanyakan

dari soal yang ada dalam LKK

3

10.

Siswa berani mengajukan

pertanyaan guru jika ada kesulitan 4

11. Siswa berani mengemukakan

pendapat 3

12. Menghargai pendapat teman 3

13.

Terlihat semangat pada saat

mengikuti pembelajaran Fisika 3

14. Mengerjakan semua tugas 3

15. Berusaha mengerjakan tugas

dengan sebaik-baiknya 3

16. Berusaha secepatnya melaporkan

hasil pekerjaan 3

17. Antusias waktu diminta

mempresentasikan hasil kelompok 3

18. Menanggapi hasil kerja kelompok

lain 3

19. Dengan arahan guru membuat

rangkuman dan kesimpulan 2

20. Menjawab salam 4

Berdasakan hasil observasi

pengamat pada tabel 4.5 tersebut,

jumlah skor yang diperoleh adalah 62

dari skor total 80, dengan demikian

persentase nilai rata-ratanya adalah

77,5%. Berdasarkan kriteria taraf

keberhasilan kegiatan peneliti dalam

melaksanakan pembelajaran termasuk

kategori baik.

Untuk mendapatkan

informasi yang lebih lengkap, peneliti

juga membuat catatan lapangan. Hasil

catatan lapangan dapat dilihat pada

tabel 4.6 berikut ini.

Tabel 4.6 Hasil Catatan Lapangan

Pada Pembelajaran Siklus 2 Aktivitas Hasil Catatan Lapangan

Guru Guru sudah bisa

menanggapi pertanyaan

siswa dengan baik.

Siswa Siswa sudah mulai berani untuk mengemukakan

pendapatnya.

Turnamen Siswa masih ramai pada saat bergabung dengan

kelompok turnamen

Sedangkan untuk hasil tes

siklus 2 lebih jelasnya dapat dilihat pada

lampiran 12. Dari hasil tes siklus 2 ini diketahui bahwa nilai yang diperoleh

siswa meningkat dari tes siklus 1. Siswa

yang mendapatkan nilai ≥ 65 sebanyak

30 siswa, dengan demikian ketuntasan

belajar setelah melaksanakan

pembelajaran kooperatif tipe TGT

adalah 85,71% yang berarti kelas

tersebut telah mencapai ketuntasan

belajar secara klasikal. Sedangkan siswa

yang mendapatkan nilai ≤ 65 sebanyak

5 siswa, dengan demikian siswa yang

tidak tuntas adalah 14,29%.

Dari hasil observasi dan

catatan lapangan diketahui bahwa pada

proses pelaksanaan pembelajaran

kooperatif tipe TGT siklus 2 ini sudah

mengalami peningkatan. Kekurangan-

kekurangan yang ada pada siklus 1 telah

Page 70: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

diperbaiki pada siklus 2 sehingga sudah

memenuhi harapan peneliti.

Berdasarkan data-data yang

diperoleh menunjukkan bahwa aktivitas

peneliti dan siswa dalam pembelajaran

kooperatif tipe TGT telah mencapai

kriteria keberhasilan dalam kategori

baik. Hasil tes siswa pada akhir siklus 2

meningkat menjadi 85,71% siswa

mencapai ketuntasan belajar secara

klasikal. Selain itu melihat hasil

wawancara dengan subjek penelitian

menunjukkan bahwa siswa menyukai

pembelajaran kooperatif tipe TGT

karena siswa merasa lebih memahami

materi pelajaran, bertanggung jawab

terhadap kelompoknya dan tidak bosan

karena ada turnamen serta hadiahnya.

PEMBAHASAN

Penerapan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe TGT (Team Games

Tournament)

Pembelajaran tentang

Kinematika Gerak dalam penelitian ini

dilakukan dengan menerapkan

pembelajaran kooperatif tipe TGT.

Pembelajaran kooperatif tipe TGT ini

disusun dalam dua tahap, yaitu pra

kegiatan pembelajaran dan detail

kegiatan pembelajaran yang terdiri dari

penyajian materi, belajar kelompok,

turnamen, dan penghargaan kelompok.

Penelitian yang berlangsung

selama 2 siklus ini terdiri dari 4 kali

pertemuan. Pada siklus 1, peneliti

melaksanakan pra kegiatan

pembelajaran dengan membuat lembar

observasi untuk aktivitas peneliti dan

siswa selama pembelajaran

berlangsung, menyiapkan catatan

lapangan dan Lembar Kerja Siswa I

(LKS I) yang berisi tentang materi

Gerak Lurus Beraturan. Dengan melihat

skor awal, kemudian siswa dalam satu

kelas yang sebanyak 35 siswa tersebut

dibagi menjadi 9 kelompok belajat yang

heterogen terdiri dari 4 siswa. Keempat

siswa dalam kelompok diklasifikasikan

1 siswa bekemampuan tinggi, 2 siswa

berkemampuan sedang dan 1 siswa

berkemampuan rendah. Menurut

Thompson dalam Isjoni (2007: 14),

keheterogenan tersebut bermanfaat

untuk melatih siswa agar dapat

menerima perbedaan dan bekerja sama

dengan teman yang berbeda latar

belakangnya.

Detail kegiatan pembelajaran

berlangsung pada pertemuan pertama

yaitu hari Selasa tanggal 4 September

2012 pukul 08.30-10.00 WITA dan

pertemuan kedua hari Rabu tanggal 5

September 2012 pukul 16.00-17.30

WITA.

Pada pertemuan pertama yang

berlangsung selama 90 menit, peneliti

melakukan kegiatan awal 20 menit,

dilanjutkan menyajikan materi Gerak

Lurus Beraturan selama 20 menit,

kemudian siswa berdiskusi

memecahkan masalah yang ada pada

LKS I selama 30 menit. Dalam diskusi

ini terjadi interaksi sosial siswa yang

mengalami kesulitan belajar akan

terbantu oleh teman. Selama

pembelajaran berlangsung, observasi

aktivitas peneliti dan siswa juga

dilksanakan oleh guru bidang studi.

Setelah diskusi selesai, di lanjutkan

presentasi siswa. Diakhir pertemuan,

peneliti bersama-sama siswa membuat

kesimpulan tentang materi yang telah

dibahas.

Pada pertemuan kedua,

peneliti melanjutkan pembelajaran

dengan turnamen tentang materi pada

pertemuan pertama. Kelompok

turnamen ini merupakan kelompok

homogen dalam kemampuan

akademiknya. Peneliti membagikan satu

set perangkat turnamen kepada masing-

masing kelompok. Dalam turnamen ini

yang bertanding adalah anggota

kelompok dalam satu meja turnamen

Page 71: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

bukan antar meja turnamen. Setiap

anggota turnamen berlomba

mengumpulkan skor yang nanti skor

tersebut akan disumbangkan pada

kelompok belajar dan di gabungkan

dengan nilai LKS I. Setelah kedua skor

tersebut dijumlahkan dan di rata-rata,

maka di ketahui bahwa kelompok yang

memperoleh nilai tertinggi merupakan

pemenangnya. Untuk mengetahui hasil

belajar siswa maka diadakan tes akhir

siklus 1.

Dari siklus 1 ini, di temui

beberapa hal antara lain: 1) Masih

kurangnya aktivitas siswa pada saat

belajar kelompok karena tidak terbiasa

dengan belajar kelompok secara

heterogen, selain itu juga adanya siswa

yang bermasalah dengan temannya

dalam satu kelompok, 2) Masih

kurangnya keberanian siswa dalam

mengemukakan pendapat, 3) Masih ada

siswa yang kurang memahami materi

karena peneliti menjelaskannya terlalu

cepat, 4) Siswa belum memahami

aturan turnamen dan masih ada yang

meminta bantuan jawaban kepada

temannya. Namun dari hasil observasi,

secara keseluruhan nampak bahwa

aktivitas peneliti dan siswa selama

pembelajaran tergolong baik.

Pada siklus 2, peneliti

melaksanakan pra kegiatan

pembelajaran dengan membuat lembar

observasi untuk aktivitas peneliti dan

siswa selama pembelajaran

berlangsung, menyiapkan catatan

lapangan, pedoman wawancara, angket

minat dan Lembar Kerja Siswa II (LKS

II). Yang berisi tentang materi konsep

Gerak Lurus Berubah Beraturan. Detail

kegiatan pembelajaran berlangsung

pada pertemuan ketiga yaitu hari Selasa

tanggal 11 September 2012 pukul

08.30-10.00 WITA dan pertemuan

keempat yaitu hari Rabu tanggal 12

September 2012 pukul 16.00-17.30

WITA.

Pada pertemuan ketiga yang

berlangsung selama 90 menit, peneliti

melakukan kegiatan awal 5 menit,

dilanjutkan menyajikan materi konsep

GLBB selama 25 menit, kemudian

siswa berdiskusi memecahkan masalah

yang ada pada LKK II selam 30 menit,

kali ini siswa sudah mulai aktif dan

berani mengeluarkan pendapatnya.

Selama pembelajaran berlangsung,

observasi aktivitas peneliti dan siswa

juga dilaksanakan oleh guru bidang

studi. Setelah diskusi selesai,

dilanjutkan presentasi siswa. Diakhir

pertemuan, peneliti bersama-sama siswa

membuat kesimpulan tentang materi

yang telah dibahas.

Pada pertemuan keempat,

peneliti melanjutkan pembelajaran

dengan turnamen tentang materi pada

pertemuan ketiga. Pelaksanaan

turnamen sudah mengalami peningkatan

yaitu siswa telah memahami aturan

permainan sehingga turnamen berjalan

dengan lancar. Untuk mengetahui hasil

belajar siswa maka diadakan tes akhir

siklus 2. Setelah pembelajaran berakhir,

peneliti melakukan wawancara kepada

subjek wawancara, dilanjutkan dengan

membagikan angket respon kepada

siswa kelas X-8 SMA Negeri 4 Kota

Bima.

Dari siklus 2 ini, ditemukan

beberapa hal antara lain: 1) Siswa telah

berani mengeluarkan pendapatnya, 2)

Rasa percaya diri siswa sudah

meningkat, 3) Siswa telah memahami

aturan turnamen sehingga turnamen

dapat berjalan dengan lancar, 4) Siswa

berminat dan senang dengan

pembelajaran kooperatif yang telah

dilaksanakan, 5) Dari hasil observasi,

secara keseluruhan nampak bahwa

aktivitas peneliti dan siswa selama

pembelajaran tergolong baik.

1. Hasil Belajar Fisika

Pada siklus 1 dan siklus 2

hasil analisisnya menunjukkan bahwa

Page 72: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

terjadi peningkatan hasil belajar fisika

pada materi Kinematika Gerak setelah

menggunakan pembelajaran kooperatif

tipe TGT. Sesuai dengan hasil tes siklus

1 (dapat dilihat pada lampiran 11)

nampak bahwa terjadi peningkatan hasil

belajar siswa. Pada siklus 1, siswa yang

tuntas belajar secara klasikal adalah

74,29% meningkat daripada sebelum

diberi tindakan, siswa yang tidak tuntas

25,71%. Pada siklus 2, persentase siswa

yang tuntas belajar secara klasikal

meningkat lagi menjadi 85,71%.

2. Kendala yang Dihadapi dan

Solusinya

Kendala-kendala yang dihadapi

dalam penelitian mencakup beberapa

hal yaitu:

a) Siswa masih kurang aktif dalam

belajar kelompok karena ada

masalah individu dalam kelompok.

b) Siswa masih malu-malu dalam

menyampaikan hasil diskusi

kelompoknya.

c) Ada sebagian kelompok yang kurang

memahami materi karena

penyampaian peneliti dalam

menjelaskannya terlalu cepat.

d) Ada sebagian kelompok yang

mengalami kesulitan dalam

menyelesaikan LKS.

e) Siswa belum memahami aturan

turnamen.

Adapun solusi yang diberikan

adalah sebagai berikut:

a) Peneliti memotivasi siswa agar selalu

aktif bekerjasama demi keberhasilan

kelompok.

b) Memotivasi siswa agar percaya diri

untuk mengeluarkan pendapatnya.

c) Menambah waktu untuk menjelaskan

materi.

d) Peneliti memberikan penjelasan

secukupnya kepada siswa yang

mengalami kesulitan agar

mendiskusikannya dengan

kelompoknya.

e) Meminta siswa untuk memahami

aturan permainan dan bersikap

sportif.

PENUTUP

Berdasarkan hasil kegiatan

pembelajaran fisika melalui

pembelajaran kooperatif tipe Team

Games Tournament (TGT) yang

telah dilaksanakan dua siklus, maka

dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Hasil belajar fisika siswa kelas X-8

SMA Negeri 4 Kota Bima Tahun

Pelajaran 2012/2013 setelah

menggunakan pembelajaran

kooperatif tipe TGT ternyata

meningkat. Hal ini dapat dilihat

dengan membandingkan hasil

persentase tes siswa pada akhir siklus

1 yang menunjukkan 74,29% siswa

telah tuntas belajar dan hasil

persentase tes siswa pada akhir siklus

2 yang menunjukkan 85,71% siswa

telah tuntas belajar.

2. Aktivitas siswa kelas X-8 SMA

Negeri 4 Kota Bima Tahun Pelajaran

2012/2013 setelah menggunakan

pembelajaran kooperatif tipe TGT

dapat dikatakan baik.

Page 73: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

HUBUNGAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR FISIKA

SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 WOHA TAHUN PELAJARAN 2013/2014.

ANGGUN LESTARI

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan motivasi belajar dengan

prestasi belajar fisika siswa. Hipotesis yang diajukan adalah diduga bahwa terdapat

hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar

siswa kelas VII SMP Negeri 1 Woha.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ex-post

facto, yakni melihat bentuk hubungan antara variabel-variabel yang di teliti. Metode ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan antara suatu variable dengan variabel-variabel

lain. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas vii smp negeri 1 woha

dengan jumlah sebanyak 85 siswa, dan sampel dalam penelitian ini sebanyak 85 siswa.

Instrumen penelitian yang digunakan untuk memperoleh data adalah dengan

menggunakan angket (kuesioner) dalam bentuk pilihan ganda. Pengolahan data

diakukan dengan analisis korelasi product moment. Variabel yang diteliti dalam

penelitian ini adalah motivasi belajar (x) dan prestasi belajar (y).

Hasil penelitian dengan mengunakan analisis korelasi product moment

menunjukkan bahwa nilai rhitung=0,958 berada pada arah yang positif, sedangkan uji

signifikansi kofesien korelasi menunjukkan bahwa rtabel pada taraf signifikansi 5%

sebesar 0,213 dengan demikian dapat diketahui rhitung lebih tinggi daripada rtabel pada

taraf signifikansi 5%. Jadi terdapat hubungan yang positif dan signifikansi antara

motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa smp negeri 1 woha tahun pelajaran

2013/2014.

Kata kunci : motivasi belajar, prestasi belajar

PENDAHULUAN

Pendidikan nasional bertujuan

mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada tuhan yme, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab.

Dengan adanya hal tersebut, maka

dari waktu ke waktu bidang pendidikan

haruslah tetap menjadi prioritas dan

menjadi orientasi untuk diusahakan

perwujudan sarana dan prasarananya

terutama untuk sekolah. Salah satu

tugas pokok sekolah adalah menyiapkan

siswa agar dapat mencapai

perkembangannya secara optimal.

Seorang siswa dikatakan telah mencapai

perkembangannya secara optimal

apabila siswa dapat memperoleh

pendidikan dan prestasi belajar yang

Page 74: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

sesuai dengan bakat, kemampuan dan

minat yang dimilikinya.

Kenyataan menunjukkan bahwa

disamping adanya siswa yang berhasil

secara gemilang, masih juga terdapat

siswa yang memperoleh prestasi belajar

yang kurang menggembirakan, bahkan

ada diantara mereka yang tidak naik

kelas atau tidak lulus evaluasi belajar

tahap akhir. Untuk mencapai prestasi

belajar yang baik, ada beberapa faktor

yang mempengaruhinya diantaranya

terdapat faktor dari dalam dan faktor

dari luar diri siswa. Faktor dari dalam

yaitu kesehatan, kecerdasan, perhatian,

minat dan bakat. Sedangkan faktor dari

luar diri siswa yaitu keluarga, sekolah,

disiplin, masyarakat, lingkungan

tetangga.

Belajar adalah proses perubahan

tingkah laku yang terjadi di dalam

satu situasi. Situasi belajar ini ditandai

dengan motif-motif yang ditetapkan

dan diterima oleh siswa. Terkadang

satu proses belajar tidak dapat

mencapai hasil maksimal disebabkan

karena ketiadaan kekuatan yang

mendorong (motivasi).

Belajar mengajar merupakan

suatu proses yang sangat kompleks,

karena dalam proses tersebut siswa

tidak hanya sekedar menerima dan

menyerap informasi yang disampaikan

oleh guru, tetapi siswa dapat

melibatkan diri dalam kegiatan

pembelajaran. Dari proses

pembelajaran tersebut siswa dapat

menghasilkan suatu perubahan yang

bertahap dalam dirinya, baik dalam

bidang pengetahuan, keterampilan dan

sikap. Adanya perubahan tersebut

terlihat dalam prestasi belajar yang

dihasilkan oleh siswa berdasarkan

evaluasi yang diberikan oleh guru.

Dalam proses belajar mengajar

motivasi sangat besar peranannya

terhadap prestasi belajar. Karena

dengan adanya motivasi dapat

menumbuhkan minat belajar siswa.

Bagi siswa yang memiliki motivasi

yang kuat akan mempunyai keinginan

untuk melaksanakan kegiatan belajar

mengajar. Sehingga boleh jadi siswa

yang memiliki intelegensi yang

cukup tinggi menjadi gagal karena

kekurangan motivasi, sebab hasil

belajar itu akan optimal bila terdapat

motivasi yang tepat.

Berdasarkan observasi dan

wawancara peneliti dengan kepala

sekolah dan guru-guru di smp negeri 1

woha, bahwa prestasi belajar yang

dicapai oleh siswa di sekolah tersebut

masih sangat kurang memuaskan

disebabkan oleh beberapa hal yang

salah satunya adalah kurangnya

motivasi terhadap siswa. Kenyataan ini

terlihat pada perilaku siswa yang kurang

semangat dalam proses pembelajaran

sehingga hasil belajar yang dicapai

kurang memuaskan.

Motivasi merupakan salah satu

aspek psikis yang memiliki pengaruh

terhadap pencapaian prestasi belajar.

Dalam psikologi, istilah motif sering

dibedakan dengan istilah motivasi.

Untuk lebih jelasnya apa yang

dimaksud dengan motif dan motivasi,

berikut ini penulis akan memberikan

pengertian dari kedua istilah tersebut.

Kata "motif" diartikan sebagai daya

upaya yang mendorong seseorang untuk

melakukan sesuatu. Motif dapat

dikatakan sebagai daya penggerak dari

dalam dan di dalam subyek untuk

melakukan aktivitas-aktivitas tertentu

demi mencapai suatu tujuan. Bahkan

motif dapat diartikan sebagai suatu

kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal

dari kata “motif” itu maka motivasi

dapat diartikan sebagai daya penggerak

yang telah menjadi aktif. Motif menjadi

aktif pada saat-saat tertentu. Terutama

bila kebutuhan untuk mencapai tujuan

sangat dirasakan/mendesak

(sardiman.2004:73). Sedangkan dalam

Page 75: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

kamus bahasa indonesia motivasi berarti

dorongan yang timbul pada diri

seseorang sadar atau tidak sadar untuk

melakukan sesuatu tindakan dengan

tujuan tertentu.

Beberapa pendapat para ilmuan

tentang definisi motivasi antara lain:

menurut martin dan briggs, motivasi

adalah kondisi internal dan eksternal

yang mempengaruhi bangkitnya arah

serta tetap berlangsungnya suatu

kegiatan atau tingkah laku. Good dan

brophy mendefinisikan motivasi sebagai

suatu energi penggerak, pengarah dan

memperkuat tingkah laku. Sedangkan

gagne motivasi suatu pengarah dan

memperkuat intensitas suatu tingkah

laku (wena.2008:32).

Lebih lanjut menurut mc. Donald

dalam (soemanto.1983:191) motivasi

adalah suatu perubahan tenaga di dalam

diri/pribadi seseorang yang ditandai

oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi

dalam usaha mencapai tujuan.

Berbicara tentang macam atau

jenis motivasi ini dapat dilihat dari

berbagai sudut pandang. Berikut macam

atau jenis motivasi menurut sardiman

(2004:22)

Motivasi dilihat dari dasar

pembentukannya.

1) Motif-motif bawaan

yang dimaksud dengan motif bawaan

adalah motif yang dibawa sejak lahir,

jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari.

Sebagai contoh misalnnya: dorongan

untuk makan, dorongan untuk

minum, dorongan untuk bekerja,

untuk beristirahat. Motif-motif ini

seringkali disebut motif-motif yang

disyaratkan secara biologis.

2) Motif-motif yang dipelajari

maksudnya motif-motif yang timbul

karena dipelajari. Sebagai contoh:

dorongan untuk belajar suatu cabang

ilmu pengetahuan, dorongan untuk

mengajar sesuatu di dalam

masyarakat. Motif-motif ini

seringkali disebut dengan motif-

motif yang disyaratkan secara sosial.

Sebab manusia hidup dengan sesama

manusia yang lain. Sehingga

motivasi itu terbentuk.

Motivasi jasmaniah dan rohaniah

adapun yang termasuk dalam

motivasi jasmaniah seperti refleks,

insting otomatis, nafsu. Sedangkan

yang termasuk motivasi rohaniah

adalah kemauan.

soal kemauan itu pada setiap diri

manusia terbentuk melalui empat

momen

3) Momen timbulnya alasan

sebagai contoh seorang pemuda yang

sedang giat berlatih olahraga untuk

mengikuti porseni di sekolahnya,

tetapi tiba-tiba disuruh ibunya untuk

mengantarkan seorang tamu untuk

membeli tiket karena tamu itu mau

kembali ke jakarta. Si pemuda ini

kemudian mengantarkan tamu

tersebut. Dalam hal ini si pemuda

tadi timbul alasan baru untuk

melakukan suatu kegiatan (kegiatan

mengantar). Alasan baru itu bisa

karena untuk menghormat tamu atau

mungkin keinginan untuk tidak

mengecewakan ibunya.

4) Momen pilih

momen pilih adalah keadaan pada

waktu ada alternatif-alternatif yang

mengakibatkan persaingan diantara

alternatif atau alasan-alasan itu.

Kemudian seseorang menimbang-

nimbang dari berbagai alternatif

untuk kemudian menentukan pilihan

alternatif yang akan dikerjakan.

5) Momen putusan

dalam persaingan dalam berbagai

alasan, sudah barang tentu akan

berakhir dengan dipilihnya suatu

alternatif. Satu alternatif yang dipilih

inilah yang menjadi putusan untuk

dikerjakan.

6) Momen terbentuknya kemauan

Page 76: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

kalau seseorang sudah menentukan

satu putusan untuk dikerjakan,

timbullah dorongan pada diri

seseorang untuk bertindak

melaksanakan putusan itu.

Motivasi intrinsik dan ekstrinsik

7) Motivasi intrinsik

yang dimaksud dengan motivasi

intrinsik adalah motif-motif yang

menjadi aktif atau berfungsinya tidak

perlu dirangsang dari luar, karena

dalam diri setiap individu sudah ada

dorongan untuk melakukan sesuatu.

8) Motivasi ekstrinsik

motivasi ekstriksik adalah motfi-

motif yang aktif dan berfungsinya

karena adanya perangsang dari luar.

prestasi adalah hasil dari suatu

kegiatan yang telah dikerjakan,

diciptakan baik secara individual

maupun secara kelompok.

Sedangkan belajar adalah suatu

aktivitas yang dilakukan secara sadar

untuk mendapatkan sejumlah kesan

dari bahan yang telah dipelajari.

Prestasi belajar adalah hasil yang

diperoleh berupa kesan yang

mengakibatkan perubahan-perubahan

dalam diri individual sebagai hasil

dari aktivitas dalam belajar

(djamarah,1994:19).

menurut pengertian secara

psikologi, belajar merupakan suatu

proses perubahan tingkah laku

sebagai hasil dari interaksi dengan

lingkungannya dalam memenuhi

kebutuhan dilakukan seseorang

untuk memperoleh suatu perubahan

tingkah laku yang baru secara

keseluruhan sebagai hasil

pengalamannya sendiri dalam

interaksi dengan lingkungannya

(slameto,2003).

dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa belajar adalah

suatu proses perubahan tingkah laku

yang terjadi pada diri seseorang

berkat interaksi dengan

lingkungannya yang terjadi secara

sadar, kontinyu, aktif, dan terarah

yang menyebabkan perubahan pada

pengetahuan, pemahaman dan

keterampilannya.

METODE PENELITIAN

jenis penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah

kuantitatif ex-post facto yaitu

penelitian yang dilakukan untuk

menemukan pengaruh/hubungan

antara satu variabel dengan variabel

yang lain. Hal ini sesuai dengan

pendapat sugiyono (2008:23), yang

menyatakan bahwa penelitian yang

akan melihat hubungan antara satu

variabel dengan variabel lain.

populasi adalah keseluruhan

subyek dari suatu penelitian

(arikunto,2006). Adapun yang

menjadi populasi dalam penelitian

ini adalah siswa kelas viii smp

negeri 1 woha yang berjumlah 342

siswa dengan rincian sebagaimana

tertera pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Populasi penelitian

No Kelas Jumlah siswa

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Viii.1

Viii.2

Viii.3

Viii.4

Viii.5

Viii.6

Viii.7

Viii.8

Viii.9

Viii.10

34

35

34

35

36

35

35

33

31

34

Jumlah 342

sampel adalah bagian dari

populasi. Jenis sampel yang di ambil

seharusnya mencerminkan populasi

(representative) (sugiyono, 2008:

118). Menurut riduwan (2009: 70),

bahwa apabila subyek kurang dari

100, maka lebih baik diambil

Page 77: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

semuanya. Selanjutnya jika

subyeknya besar, dapat diambil

antara 10-15% atau 20-25% atau

lebih. Dalam penelitian ini populasi

berjumlah 342 orang. Penentuan

sampel adalah 25% dari populasi.

Banyak sampel adalah 25% x 341 =

85 siswa.

adapun tekhnik pengambilan

sampel yaitu probability sampling

dengan cara propotional random

sampling. Tekhnik ini dipakai untuk

memperoleh sampel yang

proposional dari populasi siswa di

setiap kelas. Adapun jumlah populasi

dan sampel dari setiap kelas

disajikan pada tabel 2.

No. Kelas Jumlah

popul

asi*

Jumlah

sam

pel

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Viii.1

Viii.2

Viii.3

Viii.4

Viii.5

Viii.6

Viii.7

Viii.8

Viii.9

Viii.10

34

35

34

35

33

35

35

33

31

34

9

9

9

9

8

9

9

8

8

9

Jumlah 341 85

instrumen untuk mengumpulkan

data dalam penelitian ini adalah

berupa angket. Angket dalam

penelitian ini dibuat untuk

memperoleh data tentang hubungan

motivasi belajar dengan prestasi

belajar fisika siswa kelas viii smp

negeri 1 woha tahun pelajaran

2013/2014.

angket yang diberikan berupa

angket tertutup yang berbentuk skala

bertingkat dengan empat pilihan

jawaban yaitu a (sering sekali, nilai

3), b (sering, nilai 2), c (jarang, nilai

1) dan d (tidak pernah, nilai 0).

(suharsimi,2006.242)

Angket yang telah dibuat lalu

disebarkan ke responden dan dengan

uji coba dicari validitas dan

reliabilitas angket tersebut.

1. Uji validitas

Validitas butir angket ditentukan

dengan menggunakan teknik

korelasi produk momen angka

kasar dengan rumus:

Rxy =

})(}{)({

)).((

2222 YYNXXN

YXXYN

(suharsimi, 2006:72)

Keterangan:

Rxy : koefisien korelasi

antara variabel x dan variabel y,

dua variabel

yang dikorelasikan

N : banyaknya

subjek

x : jumlah skor item

y : jumlah skor total

xy : jumlah perkalian skor item dengan skor total

x2 : jumlah kuadrat skor

item

y2 : jumlah kuadrat skor total

Selanjutnya pengujian harga

koefisien korelasi itu dilakukan

dengan mengkonsultasikan ke

tabel r product moment dengan

taraf signifikan 5%. Sebuah soal

dikatakan valid jika harga rhitung

> rtabel..

2. Uji reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan

untuk mengetahui butir soal

yang dibuat reliabel atau tidak,

sehingga tiap butir soal dapat

dilakukan uji coba di tempat

lain. Untuk menghitung

reliabilitas menggunakan

program spss 16,0.

3. Uji prasyarat

A. Uji normalitas

Page 78: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Uji normalitas pada

penelitian ini akan dibantu

menggunakan program spss

16.0

B. Uji homogenitas

Uji homogenitas pada

penelitian ini akan dibantu

menggunakan program spss

16.0

4. Penentuan ktiteria distribusi

frekuensi

Penentuan kriteria

distribusi frekuensi dilakukan

untuk mengetahui frekuensi,

persentase serta ketegori dari

nilai motivasi belajar siswa,

seperti tampak pada tabel di

bawah ini:

Tabel 3. Kriteria distribusi frekuensi

No Interval Kriteria

1

2

3

4

X > mi + 1,5.sdi

Mi+1,5.sdi < x <

mi+sdi

Mi+sdi<x<mi-

1,5.sdi

X<mi-1,5.sdi

Sangat

tinggi

Tinggi

Rendah

Sangat

rendah

Setelah data terkumpul dengan

lengkap, maka dilakukan analisis

data dengan menggunakan tabel dan

menggunakan teknik\ deskriftip

prosentase sebagai berikut:

%100xN

fP

Keterangan:

P : prosentase yang dicari

F : frekuensi

N : banyaknya responden

Mencari angka korelasi dengan

rumus,

})(}{)({

)).((

2222 YYNXXN

YXXYNrxy

Keterangan :

Rxy : angka indeks .r. Produk

moment (antara variabel x dan

y)

N : jumlah responden

Xy : jumlah hasil perkalian

antara skor x dan y

x : jumlah seluruh skor x

y : jumlah seluruh skor y (suharsimi.2006:272).

Untuk mengetahui tinggi

rendahnya korelasi motivasi

belajar dengan prestasi belajar

siswa, maka digunakan tabel

interpretasi nilai r sebagai

berikut:

Tabel 4. Interpretasi nilai r

Besarnya nilai r Interpretasi

0,800 – 1,00

0,600 – 0,800

0,400 – 0,600

0,200 – 0,400

0,000 – 0,200

Tinggi

Cukup

Agak rendah

Rendah

Sangat rendah

(tak berkorelasi)

(arikunto,2006:276)

Kemudian dengan melihat tabel

nilai koefisisen korelasi "r" product

moment maka dilakukan perhitungan

seberapa besar konstribusi motivasi

belajar dengan prestasi belajar fisika

siswa, yaitu dengan menggunakan

koefisien determinasi yakni dengan cara

mengkuadratkan nilai rhitung dikalikan

dengan 100%.

Kd = r2 x 100% (sugiyono,

2008:259)

Page 79: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

hasil penelitian

Setelah data diperoleh melalui

angket yang diberikan kepada

siswa,kemudian data tersebut diolah

dalam bentuk tabel dengan

menggunakan teknik deskriptif

prosentase.

Adapun pengolahan angket pada

teknik deskriptif prosentase

menggunakan rumus:

%100xN

fP

Hasil angket dimasukkan dalam

tabulasi yang merupakan proses

mengubah data dan instrumen

pengumpul data (angket) menjadi tabel-

tabel angka (prosentase), dapat dilihat

pada tabel-tabel berikut :

Tabel 5.

Belajar setiap hari atas kemauan

sendiri

Alternatif F %

Sering sekali 22 25.9

Sering 46 54.1

Jarang 16 18.8

Tidak pernah 1 1.2

Jumlah 85 100

Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 25,9% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali belajar setiap hari atas

kemauannya sendiri, 54,1% sering,

18,8% jarang, dan 1,2% tidak

pernah.

Tabel 6

Masuk sekolah tepat pada waktunya Alternatif F %

Sering sekali 38 44.7

Sering 37 43.5

Jarang 9 10.6

Tidak pernah 1 1.2

Jumlah 85 100

Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 44,7% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali masuk sekolah tepat pada

waktunya, 43,5% sering, 10,6%

jarang, dan 1,2% tidak pernah.

Tabel 7

Siswa belajar tanpa dipaksa

oleh orang tua Alternatif F %

Sering sekali 8 9.4

Sering 10 11.8

Jarang 20 23.5

Tidak pernah 47 55.3

Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 9,4% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali belajar tanpa ada paksaan dari

orang tua, 11,8% sering, 23,5%

jarang, dan 55,3% tidak pernah.

Tabel 8

Membaca buku-buku yang ada

kaitannya dengan pelajaran fisika Alternatif F %

Sering sekali 11 12.9

Sering 46 54.1

Jarang 25 29.4

Tidak pernah 3 3.5

Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 12,9% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali membaca buku-buku yang

ada kaitannya dengan pelajaran

fisika, 54,1% sering, 29,4% jarang,

dan 3,5% tidak pernah.

Tabel 9

Menyaksikan acara televisi yang

ada kaitannya dengan pelajaran

Alternatif F %

Sering sekali 3 3.5

Sering 22 25.9

Jarang 39 45.9

Tidak pernah 21 24.7

Jumlah 85 100

Page 80: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 3,5% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali menyaksikan acara televisi

yang ada kaitannya dengan

pelajaran, 25,9% sering, 45,9%

jarang, dan 24,7% tidak pernah.

Tabel 10

Mengerjakan tugas dari guru

meskipun tugas itu sangat sulit Alternatif F %

Sering sekali 34 40.0

Sering 38 44.7

Jarang 12 14.1

Tidak pernah 1 1.2

Jumlah 85 100

Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 40% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali mengerjakan tugas meskipun

sulit, 44,7% sering, 14,1% jarang,

dan 1,2% tidak pernah.

Tabel 11

Mempertimbangkan masa lalu

untuk meraih sukses Alternatif F %

Sering sekali 23 27.1

Sering 36 42.4

Jarang 17 20.0

Tidak pernah 9 10.6

Jumlah 85 100

Berdasarkan tabel di atas, dapat

diketahui bahwa 27,1% siswa

menyatakan bahwa mereka sering sekali

mempertimbangkan masa lalu untuk

meraih sukses, 42,4% sering, 20%

jarang, dan 10,6% tidak pernah.

Tabel 12

Tidak mengabaikan tugas yang

diberikan Alternatif F %

Sering sekali 12 14.1

Sering 14 16.5

Jarang 18 21.2

Tidak pernah 41 48.2

Jumlah 85 100

Berdasarkan tabel di atas, dapat

diketahui bahwa 14,1% siswa

menyatakan bahwa mereka sering sekali

untuk tidak mengabaikan tugas yang

diberikan, 16,5% sering, 21,2% jarang,

dan 48,2% tidak pernah.

Tabel 13

Membahas bidang studi fisika

setelah pulang sekolah Alternatif F %

Sering sekali 11 12.9

Sering 26 30.6

Jarang 34 40.0

Tidak pernah 14 16.5

Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 29,9% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali membahas bidang studi fisika

setelahpulang sekolah, 30,6%

sering, 40% jarang, dan 16,5% tidak

pernah.

Tabel 14

Mempunyai kemauan yang tinggi

untuk meraih pretasi Alternatif F %

Sering sekali 37 43.5

Sering 36 42.4

Jarang 10 11.8

Tidak pernah 2 2.4

Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 43.5% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali mempunyai kemauan yang

tinggi untuk meraih sukses, 42,4%

sering, 11,8% jarang, dan 2,4%

tidak pernah.

Tabel 15

Belajar giat agar prestasinya

lebih dari teman sekelasnya Alternatif F %

Sering sekali 45 52.9

Sering 32 37.6

Jarang 7 8.2

Tidak pernah 1 1.2

Jumlah 85 100

Page 81: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 52,9% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali belajar giat agar prestasinya

lebih dari teman sekelasnya, 37,6%

sering, 8,2% jarang, dan 1,2% tidak

pernah.

Tabel 16

Bertanya sesuatu pada guru

terkait pelajaran fisika Alternatif F %

Sering sekali 10 11.8

Sering 46 54.1

Jarang 21 24.7

Tidak pernah 8 9.4

Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 11,8% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali bertanya sesuatu pada guru

terkait pelajaran fisika, 54,1%

sering, 24,7% jarang, dan 9,4%

tidak pernah.

Tabel 17

Mendapat dorongan dari teman

untuk belajar lebih semangat Alternatif F %

Sering sekali 8 9.4

Sering 28 32.9

Jarang 34 40.0

Tidak pernah 15 17.6

Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 9,4% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali mendapat dorongan dari

teman untuk belajar lebih semangat,

32,9% sering, 40% jarang, dan

17,6% tidak pernah.

Tabel 18

Menyukai arahan dari guru

meskipun untuk belajar fisika Alternatif F %

Sering sekali 21 24.7

Sering 39 45.9

Jarang 22 25.9

Tidak pernah 3 3.5

Jumlah 85 100

Berdasarkan tabel di atas,

dapat diketahui bahwa 24,7% siswa

menyatakan bahwa mereka sering

sekali menyukai arahan dari guru

meskipun untuk belajar fisika,

45,9% sering, 25,9% jarang, dan

3,5% tidak pernah.

Tabel 19

Memperbaiki cara belajar tanpa

menunggu arahan dari guru Alternatif F %

Sering sekali 16 18.8

Sering 45 52.9

Jarang 17 20.0

Tidak pernah 7 8.2

Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas, dapat

diketahui bahwa 18,8% siswa

menyatakan bahwa mereka sering sekali

memperbaiki cara belajar tanpa

menunggu arahan dari guru, 52,9%

sering, 20% jarang, dan 8,2% tidak

pernah.

Dari hasil perhitungan, ternyata

angka nilai koefisien korelasi antara

hasil angket motivasi belajar dengan

prestasi belajar siswa sebesar 0,958.

(lampiran 8)

Selanjutnya untuk mengetahui

apakah ada hubungan yang positif atau

tidak, maka rhitung dibandingkan dengan

rtabel pada taraf signifikan 5%. Nilai rtabel

pada taraf signifikan 5% untuk n=85

adalah sebesar 0,213. Dengan demikian

dapat diketahui bahwa rhitung lebih tinggi

daripada rtabel. (lampiran:10)

Dari hasil perhitungan, telah

diperoleh rxy sebesar 0,958, jika

diperhatikan maka angka indeks

korelasi yang telah diperoleh tidak

bertanda negatif. Ini berarti korelasi

antara variabel x (motivasi belajar)

dengan variabel y (prestasi belajar)

terdapat hubungan yang searah, dengan

istilah lain, terdapat korelasi yang

positif diantara kedua variabel tersebut.

Apabila dilihat dari besarnya rxy yang

diperoleh yaitu 0,958 ternyata terletak

Page 82: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

antara 0,800 – 1,00 yang tergolong

tinggi. Dengan demikian secara

sederhana dapat penulis berikan

interpretasi terhadap rxy tersebut, yaitu

terdapat korelasi positif yang signifikan

antara variabel x dan varibel y.

Pengujian hipotesis dilakukan

dengan dengan cara membandingkan

nilai rhitung dengan rtabel. Jika rhitung >

rtabel, maka ha diterima dan ho ditolak.

Sebaliknya jika rhitung < rtabel maka ha

ditolak dan ho diterima. Dari

perhitungan di atas, nilai rhitung 0,958 >

dari rtabel, 0,213 pada taraf signifikan

5% dengan n=85. Jadi dapat

disimpulkan bahwa hipotesis yang

diajukan yaitu ada hubungan antara

motivasi belajar dengan prestasi belajar

fisika, diterima.

Untuk menghitung seberapa besar

kontribusi motivasi belajar terhadap

prestasi belajar siswa smp negeri 1

woha, yaitu dengan menggunakan

koefisien determinasi yakni dengan cara

mengkuadratkan nilai rhitung dikalikan

dengan 100%.

Kd = r2 x 100%

= 0,9582 x 100%

= 0,917764x 100%

= 91,776%

Jadi dapat disimpulkan bahwa

prestasi belajar dapat diperngaruhi oleh

motivasi belajar yaitu sebesar 91,776%

dan sisanya sebesar 8,224% dipengaruhi

oleh faktor-faktor lain.

Pembahasan

Bagi siswa, motivasi ini sangat

penting karena dapat menggerakkan

perilaku siswa kearah yang positif

sehingga mampu menghadapi segala

tuntutan, kesulitan serta menanggung

resiko dalam studinya. Motivasi dapat

menentukan baik tidaknya dalam

mencapai tujuan sehingga semakin

besar motivasinya akan semakin besar

kesuksesan belajarnya.

Berdasarkan hipotesis yang

diajukan yaitu “ada pengaruh motivasi

belajar terhadap prestasi belajar siswa

smp negeri 1 woha tahun pelajaran

2013/2014”, ternyata hipotesis yang

diajukan diterima. Hal ini berdasarkan

analisis data hasil penelitian

menunjukkan bahwa dari hasil

perhitungan dengan menggunakan

rumus product moment diperoleh hasil

rhitung 0,958 > rtabel 0,213 pada taraf

signifikan 5%. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa dalam penelitian ini

ada pengaruh motivasi belajar terhadap

prestasi belajar siswa smp negeri 1

woha tahun pelajaran 2013/2014.

Sedangkan untuk mengetahui

besar sumbangan atau koefisien

determinasi motivasi belajar terhadap

prestasi belajar siswa dapat diketahui

dari hasil perhitungan dengan rumus

koefisien determinasi yaitu sebesar

91,776% dan sisanya sebesar 8,224%

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

P E N U T U P

Berdasarkan hasil pengujian

hipotesis dan pembahasan penelitian

bahwa:

1. Ada hubungan antara motivasi

belajar dengan prestasi belajar

siswa smp negeri 1 woha tahun

pelajaran 2013/2014. Hal ini

dibuktikan dari hasil analisis

data bahwa nilai rhitung sebesar

0,958 > rtabel sebesar 0,213 pada

taraf signifikan 5% dengan

n=85.

2. Besarnya sumbangan motivasi

belajar terhadap prestasi belajar

dalam penelitian ini adalah

sebesar 91,776% dan sisanya

sebesar 8,224% dipengaruhi

oleh faktor-faktor lain.

Daftar pustaka

Slameto. 2010. Belajar dan faktor-

faktor yang mempengaruhi.

Jakarta: rineka cipta.

Page 83: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

Sugiyono. 2011. Metode penlitian

kuantitatif, kualitaif dan r&d.

Bandung: alfabeta

-----------. 2008. Metode penlitian

kuantitatif, kualitaif dan r&d.

Bandung: alfabeta

-----------. 2005. Metode penlitian

kuantitatif, kualitaif dan r&d.

Bandung: alfabeta

------------. 2006. Statistika untuk

penelitian. Bandung: alfabeta

Page 84: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

1

Page 85: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA MELALUI

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED

INDIVIDUALIZATIN (TAI) MATERI BENTUK ALJABAR KELAS VIIIC

SMP N 1 DONGGO TAHUN PELAJARAN 2014/2015”.

LIRMIYATI.

Guru SMP N 1 Donggo

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Room Action

Research) yang direncanakan dalam beberapa siklus dan dilaksanakan dalam dua

siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIIIC SMP N 1 Donggo dengan

jumlah siswa 30 orang yang terdiri dari 13 orang siswa laki-laki dan 17 orang

siswa perempuan. Tiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan,

observasi, evaluasi dan refleksi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan prestasi

belajar matematika pada pokok bahasan bentuk aljabar kelas VIIIC SMP N 1

Donggo tahun pelajaran 2014 / 2015. Teknik pengumpulan data yang dilakukan

dalam penelitian ini adalah: (1) Data tentang kegiatan belajar mengajar

dikumpulkan dengan menggunakan lembar obesrvasi. (2) Prestasi belajar siswa

dikumpulkan dengan memberikan tes pada setiap akhir siklus. Ketentuan belajar

85% siswa mininmal berkategori aktif merupakan indikator yang digunakan

untuk mengetahui peningkatan yang terjadi.

Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut: Siklus I; nilai rata-rata

hasil belajar siswa 68,67 dengan persentase ketuntasan belajarnya sebesar

73,33%. Dan terjadi peningkatan pada Siklus II; nilai rata-rata hasil belajar siswa

naik 14,06 poin menjadi 82,73 dengan persentase ketuntasan belajarnya 93,33%.

Hasil tersebut menunjukan sudah tercapainya indikator penelitian yang ditetapkan,

sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

team assisted individualization dapat meningkatkan prestasi belajar siswa materi

bentuk aljabar kelas VIIIC SMP N 1 Donggo Tahun Pelajaran 2014/2015.

Kata Kunci: Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI, dan Prestasi Belajar.

PENDAHULUAN

Kualitas Sumber Daya

Manusia (SDM) salah satunya

ditentukan oleh kualitas pendidikan.

Rendahnya mutu pendidikan salah

satunya ditunjukkan oleh rendahnya

prestasi belajar yang dicapai siswa

yang dapat diartikan sebagai kurang

efektifnya proses belajar mengajar.

Rendahnya prestasi penyebabnya

dapat berasal dari minat dan motivasi

siswa untuk belajar masih kurang,

kinerja guru yang masih rendah dan

prasarana yang masih kurang

memadai.

Dalam rangka meningkatkan

prestasi belajar khususnya untuk

memacu penguasaan materi pelajaran

di jenjang SMP perlu adanya

penyempurnaan proses belajar

Page 86: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

mengajar termasuk dalam pelajaran

matematika agar diperoleh hasil yang

lebih baik. Kebehasilan

pembelajaran dalam artian

tercapainya tujuan pembelajaran

sangat tergantung pada kemampuan

guru dalam mengelola proses belajar.

Guru sebagai salah satu komponen

yang menentukan suksesnya kegiatan

pembelajaran dituntut untuk dapat

memilih dan menggunakan metode-

metode atau teknik-teknik mengajar

yang tepat dalam menyampaikan

materi atau pelajaran.

Matematika sebagai salah satu

mata pelajaran di sekolah dinilai

cukup memegang peranan penting

dalam membentuk siswa menjadi

berkualitas, karena matematika

merupakan suatu sarana berpikir

untuk mengkaji sesuatu secara logis,

kritis, rasional dan sistematis serta

melatih kemampuan peserta didik

agar terbiasa dalam memecahkan

suatu masalah yang ada di sekitarnya

sehingga dapat mengembangkan

potensi diri dan sumber daya yang

dimiliki peserta didik. Karena itu,

hendaknya pembelajaran matematika

dapat terus ditingkatkan hingga

mencapai taraf kualitas yang lebih

baik. Sebab dengan adanya

peningkatan hasil pembelajaran

matematika diharapkan dapat

berdampak positif pada peningkatan

mutu pendidikan di Indonesia.

Matematika juga diartikan

sebagai suatu ilmu yang mempelajari

tentang bagaimana cara berpikir dan

mengolah logika yang digunakan

untuk memecahkan masalah sehari-

hari. Hal ini sesuai dengan

pandangan NCTM (National Council

of Teacher of Mathematics) dalam

Erman (2003:298) yaitu, matematika

sebagai pemecahan masalah,

matematika sebagai penalaran,

matematika sebagai komunikasi,

matematika sebagai pemahaman,

matematika sebagai hubungan atau

koneksi,

Tabel.1.1 Nilai Hasil

Matematika kelas I tahun pelajaran

2013/2014 di SMP N I Donggo

N

o

K

e

l

a

s

Materi Nila

i

rata

rata

K

K

M

1

.

V

I

I

A

Bilangan bulat 5

0

6

5

Bentuk Aljabar 7

0

Persamaan

linier satu

variabel

7

0

Pertidaksamaa

n linier satu

variabel

7

0

Persamaan dan

pertidaksamaan

linear satu

variabel

6

5

Perbandingan

dan aritmetika

sosial.

7

0

2

.

V

I

I

B

Bilangan bulat 5

4

Bentuk Aljabar 6

0

Persamaan

linier satu

variabel

6

0

Page 87: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

3

Pertidaksamaa

n linier satu

variable

7

0

6

5

Persamaan dan

pertidaksamaan

linear satu

variabel

6

5

Perbandi

ngan dan

aritmetika

sosial.

7

0

3

.

V

I

I

C

Bilangan

bulat

5

5

6

5

Bentuk

Aljabar

5

0

Persamaa

n linier satu

variabel

6

0

Pertidaks

amaan liner

satu variable

6

5

Persamaa

n dan

pertidaksamaan

linear satu

variabel

6

0

Perbandi

ngan dan

aritmetika

sosial.

6

0

Sumber: Guru mata pelajaran

matematika SMP N I Donggo.

Dari data di atas terlihat

bahwa nilai rata-rata untuk kelas

VIIC sangat rendah belum mencapai

presentasi ketuntasan klasikal yang

telah ditentukan sekolah yaitu

85% dengan KKM 65.

Hasil

wawancara dengan guru Matematika

SMPN 1 Donggo bahwa pemahaman

siswa di kelas VIIC masih sangat

rendah, dalam hal ini ada beberapa

hambatan- hambatan yang perlu

diperhatikan diantaranya

Penggunaan metode pembelajaran

yang kurang bervariasi, siswa kurang

aktif belajar matematika di kelas

tersebut, siswa kurang memahami

materi yang diajarkan, siswa kurang

memperhatikan saat proses belajar

mengajar, prestasi belajar

matematika yang kurang. Untuk

dapat mengaktifkan siswa, guru perlu

merubah metode belajar yang

monoton menjadi pembelajaran yang

lebih menarik dan bervariasi. Salah

satunya adalah guru perlu

mengkombinasikan antara belajar

kelompok dan individu. Dengan

pembelajaran individu maka siswa

mau belajar dan mau mengerjakan

tugas-tugas yang diberikan pada

masing-masing siswa. Sedangkan

diskusi kelompok dimaksud untuk

mengembangkan pengertian-

pengertian yang diperoleh tiap

individu dan mendiskusikan

permasalahan yang dihadapi oleh

masing-masing siswa. Kombinasi

pembelajaran individu dan kelompok

oleh Slavin (1998:21) disebut

sebagai Team Assisted

Individualization (TAI) dimana

siswa tetap dikelompokkan tetapi

siswa belajar sesuai dengan

kemampuannya masing-masing dan

setiap anggota kelompok saling

membantu dan mengecek.

Ciri khas tipe TAI adalah

setiap siswa secara individual belajar

materi pembelajaran yang sudah

dipersiapkan oleh guru. Terjemahan

bebas dari TAI adalah Bantuan

Individual Dalam Kelompok

Page 88: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

4

(BIDAK) dengan karakteristik

bahwa tanggung jawab belajar

adalah pada siswa. Oleh karena itu

siswa harus membangun

pengetahuan tidak menerima bentuk

jadi dari guru (Driver,1980:45).

Dalam hal ini peneliti

mengambil kesimpulkan untuk

melakukan penelitian di kelas VIIC,

penelitian ini akan berlanjut di kelas

VIIIC pada semester ganjil, maka

dari itu peneliti tertarik untuk

menerapkan model pembelajaran

kooperatif tipe Team Assisted

Individualization (TAI) dalam upaya

meningkatkan prestasi belajar siswa

terutama pada materi bentuk aljabar.

Pembelajaran kooperatif tipe

TAI merupakan metode

pembelajaran dengan kelompok

heterogen yang memberikan

informasi untuk memahami suatu

konsep matematika. TAI di rancang

khusus untuk mengajarkan

matematika, sebagai usaha

merancang sebuah bentuk pengajaran

individual yang bisa menyelasaikan

masalah- masalah yang membuat

metode pengajaran individual

menjadi tidak efektif. Dalam TAI

peserta didik bekerja sama antar

kelompok dalam usaha memecahkan

masalah. Dengan demikian dapat

memberikan peluang peserta didik

yang berkemampuan rendah untuk

dapat meningkatkan kemapuannya

karena termotivasi oleh peserta didik

lain yang mempunyai kemampuan

yang lebih tinggi. Di harapkan

partisipasi peserta didik dalam

pembelajaran matematika akan

meningkatakna prestasi belajar.

Adapun TAI menurut Slavin

(2005:34) adalah sebagai berikut:

Bagaimanapun individualisasi adalah

bagian dari TAI yang membuatnya

berbeda dari STAD dan TGT. Dalam

matematika, kebanyakan konsep

berdasarkan pada konsep

sebelumnya, jika konsep awal tidak

dikuasai dikemudian hari peserta

didik akan kesulitan mempelajari

lebih lanjut, seorang peserta didik

yang tidak bisa pengurangan atau

perkalian akan tidak mampu

mengusai pembagian. Model

Pembelajaran Tipe Team Assited

Individualization (TAI) memiliki

delapan komponen sebagai berikut:

a. Placement Test

Pada langkah ini guru

memberikan tes awal (pre-

test) kepada siswa. Cara ini

bisa digantikan dengan

mencermati rata-rata nilai

harian atau nilai pada bab

sebelumnya yang diperoleh

siswa sehingga guru dapat

mengetahui kelemahan siswa

pada bidang tertentu.

b. Teams

Merupakan langkah

yang cukup penting dalam

penerapan model

pembelajaran kooperatif TAI.

Pada tahap ini guru

membentuk kelompok-

kelompok yang bersifat

heterogen yang terdiri dari 4-

5 siswa.

c. Teaching Group

Pada langkah ke dua,

guru memberikan pengajaran

selama sekitar sepuluh

sampai lima belas menit

kepada dua atau tiga

kelompok kecil siswa yang

terdiri dari siswa-siswi dari

Page 89: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

5

tim berbeda yang tingkat

pencapaian kurikulumnya

sama. Guru menggunakan

konsep pelajaran yang

spesitif yang telah di

sediakan oleh program.

d. Student Creative

Pada langkah ketiga,

guru perlu menekankan dan

menciptakan persepsi bahwa

keberhasilan setiap siswa

(individu) ditentukan oleh

keberhasilan kelompoknya.

e. Team Study

Pada tahapan team

study siswa belajar bersama

dengan mengerjakan tugas-

tugas dari LKS yang

diberikan dalam

kelompoknya. Pada tahapan

ini guru juga memberikan

bantuan secara individual

kepada siswa yang

membutuhkan, dengan

dibantu siswa-siswa yang

memiliki kemampuan

akademis bagus di dalam

kelompok tersebut yang

berperan sebagai peer

tutoring (tutor sebaya).

f. Fact test

Guru memberikan tes-

tes kecil berdasarkan fakta

yang diperoleh siswa,

misalnya dengan memberikan

kuis, dsb..

g. Team Score dan Team

Recognition

Selanjutnya guru

memberikan skor pada hasil

kerja kelompok dan

memberikan “gelar”

penghargaan terhadap

kelompok yang berhasil

secara cemerlang dan

kelompok yang dipandang

kurang berhasil dalam

menyelesaikan tugas.

Misalnya dengan menyebut

mereka sebagai “kelompok

OK”, kelompok LUAR

BIASA”, dan sebagainya.

h. Whole-Class Units

Langkah terakhir, guru

menyajikan kembali materi oleh guru

kembali diakhir bab dengan strategi

pemecahan masalah untuk seluruh

siswa di kelasnya.

Slavin (1992:35) menyatakan

bahwa secara umum pada TAI,

anggota tim bekerja pada unit

berbeda. Teman se-tim mengecek

kerjaan teman yang lain yang

memiliki perbedaan jawaban dan

saling membantu satu sama lain

dalam masalah apa saja. Tes akhir

diambil tanpa teman setim yang

membantu. Tiap minggu, guru

mentotal jumlah skor total tiap

kelompok dan memberi penghargaan

kepada kelompok yang memiliki

skor yang tertinggi.

Langkah-langkah pembelajaran

kooperatif tipe TAI menurut slavin

adalah sebagai berikut:

a. Guru menyiapkan materi bahan

ajar yang akan di selesaikan

oleh kelompok peserta didik.

b. Guru memberikan pre-test

kepada peserta didik atau

melihat rata-rata nilai harian

peserta didik agar guru

mengetahui kelemahan peserta

didik pada bidang tertentu.

c. Guru memberikan materi

secara singkat atau

menjelaskan materi- materi

Page 90: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

6

yang sulit di pahami oleh

peserta didik.

d. Guru membentuk kelompok

kecil yang heterogen.

e. Setiap kelompok mengerjakan

tugas dari guru berupa LKS

yang telah di rancang sendiri

sebelumnya dan guru

memberikan bantuan secara

individual bagi yang

memerlukannnya. Peserta

didik terlebih dahulu diberikan

kesempatan untuk

mengerjakan LKS secara

Individu baru setelah itu

berdiskusi dengan

kelompoknya.

f. Ketua kelompok melaporkan

keberhasilan kelompoknya

dengan mempresentasikan

hasil kerjanya dan siap untuk

di beri ulangan oleh guru.

g. Guru memberika post-test

untuk di kerjakan secara

individu.

h. Guru menetapkan kelompok

terbaik sampai kelompok yang

kurang berhasil (jika ada)

berdasarkan hasil koreksi.

i. Guru memberikan test formatif

sesuai dengan kompetensi

yang di tentukan.

Model pembelajaran

kooperatif tipe TAI memiliki

kelebihan dan kelemahannya

masing-masing. Hal demikian

juga dimiliki model

pembelajaran kooperatif tipe

TAI. Berikut ini adalah

kelebihan dan kelemahan

model pembelajaran

kooperatif tipe TAI.

1. Kelebihan

Meningkatkan hasil

belajar

Meningkatkan motivasi

belajar

Mengurangi perilaku yang

mengganggu dan

konflik antar pribadi

2. Kelemahan

Tidak semua mata

pelajaran cocok

diajarkan dengan model

pembelajaran kooperatif

tipe Team Assisted

Individualization (TAI).

Apabila model

pembelajaran ini

merupakan model

pembelajan yang baru

diketahui, kemungkinan

sejumlah peserta didik

bingung, sebagian

kehilangan rasa percaya

diri dan sebagian

mengganggu antar

peserta didik lain

Siswa yang kurang pandai

secara tidak langsung

akan menggantungkan

dirinya pada siswa yang

pandai

Slameto (2003: 2)

berpendapat bahwa belajar adalah

suatu proses usaha yang dilakukan

seseorang untuk memperoleh suatu

perubahan tingkah laku yang baru

secara keseluruhan sebagai hasil

pengalamannya sendiri sebagai

interaksi dalam lingkungannya.

Menurut Hilgard seorang dinamakan

telah belajar apabila ia telah dapat

melakukan sesuatu yang baru,

dimana sebelum proses belajar itu ia

tidak dapat melakukannya.

Page 91: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

7

Menurut Djamarah (1997: 23)

prestasi belajar adalah hasil yang

diperoleh berupa kesan-kesan yang

mengakibatkan perubahan dalam diri

individu sebagai hasil dari aktivitas

dalam belajar sedangkan Dirawat

(1993: 47) menjelaskan bahwa

prestasi belajar ditentukan pada apa

yang telah dicapai siswa setelah

berakhirnya suatau tahap belajar

mengajar dalam jangka waktu

tertentu.

Cangelosi (1995: 89)

menyatakan prestasi belajar adalah

tingkat kemajuan yang dicapai siswa

sehubungan dengan tujuan belajar.

Selanjutnya menurut Sutratinah

(1984: 43) menyatakan bahwa

dengan memperhatikan prestasi

belajar, kita dapat mengetahui

kedudukan siswa dalam kelas apakah

ia pandai, sedang atau kurang.

Dari beberapa pendapat di atas

dapat disimpulkan bahwa Prestasi

belajar adalah harapan bagi setiap

murid yang sedang mengikuti proses

pembelajaran di sekolah serta

harapan bagi wali murid dan guru.

b. Faktor-faktor yang

mempengaruhi prestasi belajar

Menurut Syah (1999: 130)

secara umum faktor-faktor yang

mempengaruhi prestasi belajar

adalah faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal merupakan

faktor yang berasal dari diri siswa

dan faktor psikologis seperti

intelegensi, motivasi, minat, bakat

dan sikap. Sedangkan faktor

eksternal merupakan faktor yang

berasal dari luar siswa, yang meliputi

kondisi lingkungan, guru, teman

sebaya, sarana dan prasarana yang

tersedia, keluarga dan faktor

pendekatan belajar.

Salah satu faktor

eksternal yang mempengaruhi

prestasi belajar siswa adalah faktor

guru. Dalam proses pembelajaran

guru berperan sebagai pengajar yang

bertugas mengajar dan membimbing

siswa. Guru harus dapat menerapkan

suatu metode mengajar yang dapat

memotivasi siswa untuk belajar,

sehingga dapat meningkatkan

prestasi belajar.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini

adalah penelitian tindakan kelas

(classroom action research).

Penelitian tindakan kelas

menekankan kepada kegiatan atau

tindakan yang menguji cobaan satu

ide ke dalam satu praktek atau situasi

nyata dalam skala yang mikro, yang

diharapkan kegiatan tersebut mampu

memperbaiki dan meningkatkan

kualitas proses belajar mengajar

(Riyanto, 2001: 50).

Kurt Lewin (2009:50)

menjelaskan ada 4 hal yang harus

dilakukan dalam proses penelitian

tindakan kelas yakni perencanan,

tindakan, observasi dan refleksi.

Pelaksanaan penelitian tindakan

kelas adalah proses yang terjadi

dalam suatu lingkaran yang terus-

menerus.

Perencanaan adalah proses

menentukan program perbaikan yang

berpangkat dari suatu ide gagasan

penelitian, sedangkan tindakan

adalah perlakuan yang di laksanakan

oleh peneliti sesuai dengan

Page 92: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

8

perencanaan yang telah disusun oleh

peneliti. Observasi adalah

pengamatan yang dilakukan untuk

mengetahui efektivitas tindakan atau

pengumpulan informasi tentang

berbagai kelemahan (kekurangan)

tindakan yang telah dilakukan dan

refleksi adalah kegiatan analisis

tentang hasil observasi hingga

memunculkan program atau

perencanaan baru.

Subjek penelitian ini adalah

siswa kelas VIIIC SMP N I Donggo

Tahun Pelajaran 2014 / 2015 yang

berjumlah 30 orang dan yang terdiri

dari 13 siswa laki – laki dan 17 siswa

perempuan.

Instrument penilaian adalah

alat yang dapat digunakan untuk

mengumpulkan data peneliti.

1. Lembar observasi.

Lembar observasi

adalah suatu cara

pengumpulan data dengan

pengamatan langsung.

2. Test Evaluasi

Test Evaluasi adalah

suatu proses penilaian untuk

mengambil keputusan yang

menggunakan seperangkat

hasil pengukuran dan

berpatokan kepada tujuan

yang telah dirumuskan. Soal

evaluasi yang di gunakan

berbentuk essay.

3. Lembar Kerja Siswa.

Lembar Kerja Siswa

adalah panduan siswa yang

digunakan untuk melakukan

kegiatan penyelidikan dan

pemecahan masalah.

Penelitian ini

dilaksanakan dalam beberapa siklus.

Tiap siklus dilaksanakan sesuai

dengan tujuan yang ingin dicapai

seperti pada desain yang telah dibuat.

Tiap siklus dilakukan minimal dua

kali pertemuan untuk tiap-tiap

kompetensi dasar. Namun jika

masalah yang diteliti belum tuntas

untuk tiap pencapaian kompetensi

dasar, maka tindakan penelitian

harus dilanjutkan pada siklus

berikutnya dengan prosedur yang

sama guna untuk mendapatkan hasil

yang diinginkan. Dengan demikan

banyak sedikitnya siklus tergantung

pada terselesaikannya masalah yang

dihadapi, hal ini dilakukan dengan

memperhatikan kondisi siswa,

media, sarana dan faktor-faktor yang

lain.

Secara lebih rinci prosedur

penelitian tindakan kelas yang di

laksakan dalam beberapa siklus

adalah sebagai berikut :

1. Perencanaan

Kegiatan yang dilakukan

pada tahap

perencanaan

antara lain:

a. Membuat LKS

b. Membuat Rencana Pembelajaran

(RPP)

c. Membuat lembar observasi

d. Membuat soal evaluasi

2. Pelaksanaan Tindakan

Kegiatan yang dilakukan pada

tahap ini adalah melaksanakan

semua hal yang telah

direncanakan dalam skenario

pembelajaran. Adapun langkah-

langkah pembelajaran pada

tahap ini adalah sebagai berikut:

a. Guru menyiapkan materi bahan

ajar yang akan di selesaikan oleh

kelompok peserta didik.

Page 93: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

9

b. Guru memberikan pre-test kepada

peserta didik atau melihat rata-

rata nilai harian peserta didik agar

guru mengetahui kelemahan

peserta didik pada bidang tertentu.

c. Guru memberikan materi secara

singkat atau menjelaskan materi-

materi yang sulit di pahami oleh

peserta didik.

d. Guru membentuk kelompok kecil

yang heterogen.

e. Setiap kelompok mengerjakan

tugas dari guru berupa LKS yang

telah di rancang sendiri

sebelumnya dan guru memberikan

bantuan secara individual bagi

yang memerlukannnya. Peserta

didik terlebih dahulu diberikan

kesempatan untuk mengerjakan

LKS secara Individu baru setelah

itu berdiskusi dengan

kelompoknya.

f. Ketua kelompok melaporkan

keberhasilan kelompoknya

dengan mempresentasikan hasil

kerjanya dan siap untuk di beri

ulangan oleh guru.

g. Guru memberikan post-test untuk

di kerjakan secara individu.

h. Guru menetapkan kelompok

terbaik sampai kelompok yang

kurang berhasil (jika ada)

berdasarkan hasil koreksi.

i. Guru memberikan test formatif

sesuai dengan kompetensi yang di

tentukan.

3. Observasi dan Evaluasi

Pada tahap ini

dilaksanakan proses observasi

terhadap pelaksanaan tindakan

yang sedang berlangsung untuk

melihat proses belajar mengajar,

apakah sesuai dengan skenario

yang telah dibuat. Kegiatan

observasi ini dilakukan secara

kontinyu setiap kali

pembelajaran berlangsung

dengan menggunakan lembar

observasi, dimana peneliti

(pengajar) dan siswa diobservasi

oleh guru matematika tentang

pelaksanaan kegiatan belajar

mengajar. Sedangkan evaluasi

hasil belajar dilaksanakan pada

akhir tindakan. Evaluasi

dilakukan dengan memberikan

tes dalam bentuk essay.

4 Refleksi

Refleksi adalah kegiatan

mengulang kembali apa yang

menjadi kekurangan pada siklus

sebelumnya. Adapun kegiatan

yang dilakukan pada tahap ini

adalah peneliti dan observer

menganalisa dan mendiskusikan

hasil tes dan hasil observasi

yang telah dilakukan. Analisis

hasil tes ditujukan untuk

memperbaiki proses

pembelajaran yang berkaitan

dengan penyampaian materi

pelajaran sedangkan analisis

lembar obsevasi digunakan

untuk memperbaiki kegiatan

belajar mengajar yang berkaitan

dengan pengelolaan kelas. Hasil

analisis data pada siklus I akan

digunakan sebagai acuan untuk

merencanakan siklus II dan

seterusnya.

Prosedur yang digunakan

untuk mengumpulkan data

dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1) Tes hasil belajar

Data hasil belajar siswa di

berikan tiap akhir siklus di

analisis secara kuantitatif.

Page 94: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

10

2) Lembar Observasi

Lembar observasi

dilakukan selama proses

belajar mengajar pada

setiap pertemuan di

analisis secara kuantitatif.

Komponen-komponen yang

dianalisa adalah :

1. Untuk mengetahui nilai rata-

rata kelas digunakan rumus:

R = N

X

Keterangan:

R = Nilai rata-rata kelas

∑X = Jumlah nilai yang

diperoleh siswa

N = Jumlah siswa yang ikut

tes

2. Peningkatan hasil belajar

klasikal dihitung dengan

rumus:

Keterangan :

PBH = Peningkatan hasil

belajar klasikal

X = Jumlah siswa yang

memperoleh nilai ≥

65

Z = Jumlah siswa yang

ikut tes.

Sesuai dengan

petunjuk tekhnik

penilaian kelas, dapat

dikatakan tuntas secara

klasikal apabila hasil

prestasi belajar siswa

yang tuntas secara

individu mencapai 85%.

3. Lembar Observasi Siswa

dan Guru

Lembar observasi di

gunakan untuk

mengumpulkan data

aktivitas siswa dan guru

yang diamati selama

proses belajar mengajar

berlangsung.

Skor untuk setiap

deskriptor aktivitas siswa

dan guru pada penelitian

ini mengikuti aturan

sebagai berikut:

Skor 4 diberikan jika 4 deskriptor

nampak

Skor 3 diberikan jika 3 deskriptor

nampak

Skor 2 diberikan jika 2 deskriptor

nampak

Skor 1 jik tidak ada deskriptor yang

nampak

Mengenai hasil

observasi keaktifan siswa

akan dianalisa dengan

rumus sebagai berikut:

Keterangan:

As : Skor rata-rata

aktivitas siswa

x : Skor masing-

masing indikator

i : banyaknya

indikator (Sudjana,

2005:67).

Kemudian hasil dari

aktivitas siswa diolah

dengan menentukan MI

dan SDI yang dengan

rumus sebagai berikut:

MI = (Skor tertinggi + skor

terendah)

i

xAs

Page 95: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

11

= = 2,5

SDI = =

Keterangan:

MI : Mean Ideal

SDI : Standar Deviasi

Ideal

Lembar hasil

observasi guru di analisis

dengan rumus sebagai berikut

:

Keterangan:

Ag = Aktivitas guru

x =

Masing=masing

indicator

i = Banyak

indikator

Tabel 3.2. Pedoman Konversi

Aktivitas Guru

Interval Nilai Kategori

MI + 1,5 SDI ≤

Ag 3,9

3,16

Baik

Sekali

MI + 0,5 SDI ≤

Ag < MI + 1,5

SDI

3,3

3,16

3,9

Baik

MI – 0,5 SDI ≤

Ag < MI + 0,5

SDI

2,7

3,16

3,3

Cukup

Baik

MI – 0,5 SDI ≤

Ag < MI – 0,5

SDI

2,1

3,16

2,7

Kurang

Baik

Nurkencana

(Nurhasanah,2011:37)

yang dimodifikasi.

Sebagai indikator dalam

penelitian ini adalah jika siswa

yang mendapat nilai minimal

rata-rata 65 adalah 85 % pada

tes yang diberikan pada tiap

siklus maka belajar dinyatakan

tuntas.

HASIL PENELITIAN

Siklus I

Hal-hal yang di Observasi pada

pelaksanaan tindakan siklus I adalah

cara guru mengerjakan materi

pelajaran apakah sesuai dengan

skenario pembelajaran yang telah

dibuat atau belum. Selain itu juga

dilihat aktivitas dan kreativitas siswa

dalam kegiatan pembelajaran apakah

sudah sesuai dengan skenario

pembelajaran atau belum. . Semua

aktivitas yang terlihat di catat dalam

lembar observasi sesuai indikator

yang nampak.

Tabel 4.1. Data Hasil

Observasi Aktivitas Belajar Siswa

o

Aspek yang

diamati

Siklus I

Per

temuan

1 2

1

Antusias siswa

dalam mengikuti

pelajaran

2

2

2 Interaksi siswa

dengan guru 2

2

3 Interaksi siswa

dengan siswa 2

3

4 Kerja sama dalam

kelompok 2

3

5

Aktivitas siswa

dalam diskusi

kelompok

2

3

6

Aktivitas siswa

dalam melaksanakan

pembelajaran

2 3

Page 96: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

12

7

Partsipasi siswa

dalam

menyimpulkan

materi yang dibahas

2 3

Jumlah 1

4

1

9

Rata-rata 2 2

,7

Kategori C

A

C

A

(Data Hasil

Observasi Aktivitas Siswa

Berdasarkan Lampiran)

Berdasakan tabel di atas, hasil

analisis observasi siswa pada siklus I

dapat disimpulkan bahwa aktivitas

belajar siswa pada siklus I pertemuan

pertama dengan hasil presentasi

mencapai 2 persen berkategori cukup

aktif dan pertemuan kedua hasil

presentasi mencapai 2,7 dengan

kategori cukup aktif.

Hasil observasi kegiatan guru

dicatat dalam lembar observasi

sesuai indikator

Tabel 4.2. Data Hasil

Observasi Aktivitas Guru

No

Aspek yang

diamati

Siklus

II

Pertem

uan

1 2

1

Perencanaan dan

persiapan

penyelenggaraan

pembelajaran

3

3

2 Pemberian motivasi dan

apresiasi 2

2

3 Interaksi siswa dengan

guru 3

3

4 Aktivitas guru dalam

kelas 2

3

5

Kemampuan

menciptakan suasana

kelas yang kondusif

3

3

6 Bersama-sama siswa

membuat kesimpulan 2

3

Jumlah 1

5

17

Rata-rata 2

,5

2,8

Kategori C

B

C

B

(Data Hasil Observasi

Aktivitas Guru Berdasarkan

Lampiran)

Berdasakan tabel di atas, hasil

observasi terhadap kegiatan guru

pada pertemuan pertama presentasi

mencapai 2,5 dengan kategori cukup

baik dan pada pertemuan kedua

presentasi mencapai 2,8 dengan

kategori cukup baik.

Data hasil tes pada siklus I

diperoleh setelah dilakukan evaluasi

pada siklus I. Tes dilaksanakan pada

hari senin tanggal 18 agustus 2014,

prestasi tersebut terlihat pada tabel

di bawah ini.

Tabel. 4.3. Data analisis hasil

evaluasi (tes) prestasi belajar siswa

siklus I

Hasil Tes (Evaluasi) Siklus

I

Jumlah siswa

secara keseluruhan

30

Orang

Jumlah siswa yang

mengikuti tes

30

orang

Jumlah siswa yang

tuntas

22

orang

Jumlah siswa yang

tidak tuntas

8

orang

Jumlah siswa

keseluruhan 2060

Page 97: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

13

Nilai rata-rata 68,67

Ketuntasan klasikal 73,33

%

Dari tabel di atas dapat dilihat

bahwa nilai rata-rata siswa adalah

68,67 dari 30 orang siswa yang

mengikuti tes evaluasi terdapat 22

orang siswa yang tuntas belajarnya

sedangkan yang tidak tuntas 8 orang

siswa. Persentase ketuntasan belajar

siswa adalah 73,33%. Artinya, nilai

masih < 85%. Jadi kesimpulan

bahwa pada siklus I belum mencapai

ketuntasan belajar secara klasikal.

Dengan demikian peneliti akan

melanjutkan kualitas pembelajaran

pada siklus berikutnya.

Pada tahap ini guru

menganalisa dan mengkaji data hasil

observasi dalam proses pembelajaran

pada siklus I dari observer.

Dari hasil observasi dan

evaluasi di atas maka guru yang

dibantu oleh observer terdapat

kekurangan-kekurangan pada siklus

I. adapun kekurangan-

kekurangannya adalah:

1. Guru membimbing siswa akan

tetapi tidak merata.

2. Guru belum mampu menguasai

kelas secara penuh.

3. Guru belum bisa mengatur waktu

latihan.

4. Siswa tidak memperhatikan apa

yang disampaikan oleh guru.

5. Beberapa siswa acuh tak acuh

dalam mengerjakan LKS.

6. Siswa ribut dalam proses belajar

mengajar.

7. Siswa masih ragu

mengungkapkan pendapat.

8. Siswa tidak dapat merumumuskan

masalah dalam pembahasan.

Dari hasil observasi dan

evaluasi di atas maka guru yang

dibantu oleh observer melakukan

refleksi terhadapat pelaksanaan

kegiatan pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran

kooperatif tipe Team Assited

individualization (TAI) yaitu

melakukan berbagai macam

perbaikan terhadap pembelajaran

yang diajarkan, seperti:

1. Guru selalu memberikan

semangat agar siswa berani

bertanya.

2. Guru berusaha membimbing

siswa secara keseluruhan supaya

tidak ada siswa yang merasa di

anaktirikan.

3. Guru lebih aktif dalam menarik

minat siswa untuk mau

mengeluarkan pendapatnya dan

membangun komunikasi yang

lebih dalam lagi agar tidak terjadi

mis comunication antara guru

dengan siswa tersebut.

4. Guru merencanakan alokasi agar

semua kelompok dapat

mempersentasikan hasil

kelompoknya.

Siklus II Semua aktivitas yang terlihat di

catat dalam lembar observasi sesuai

indikator yang nampak.

Tabel 4.4. Data Hasil

Observasi Aktivitas Belajar Siswa

N

o

Aspek yang diamati Siklus II

Pertemuan

1 2

1

Antusias siswa dalam

mengikuti pelajaran 3

3

2 Interaksi siswa dengan

guru 4

4

3 Interaksi siswa dengan

siswa 4

4

Page 98: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

14

4 Kerja sama dalam

kelompok 3

4

5 Aktivitas siswa dalam

diskusi kelompok 3 3

6

Aktivitas siswa dalam

melaksanakan

pembelajaran 4 3

7

Partsipasi siswa dalam

menyimpulkan materi

yang dibahas

3 4

Jumlah 24

2

5

Rata-rata 3,4

2

,7

Kategori A A

(Data Hasil

Observasi Aktivitas Siswa

Berdasarkan Lampiran)

Berdasakan tabel di atas, hasil

analisis observasi siswa pada siklus

II dapat disimpulkan bahwa aktivitas

belajar siswa pada siklus II

pertemuan pertama dengan hasil

presentasi mencapai 3,4 berkategori

aktif dan pertemuan kedua hasil

presentasi mencapai 3,5 dengan

kategori aktif.

Hasil observasi kegiatan guru

dicatat dalam lembar observasi

sesuai indikator

Tabel 4.5. Data Hasil

Observasi Aktivitas Guru

N

o

Aspek yang

diamati

Siklus

II

Perte

muan

1 2

1

Perencanaan dan

persiapan

penyelenggaraan

pembelajaran

4

4

2 Pemberian motivasi

dan apresiasi 4

4

3 Interaksi siswa

dengan guru 3

4

4 Aktivitas guru dalam

kelas 3

3

5

Kemampuan

menciptakan suasana

kelas yang kondusif

3

4

6 Bersama-sama siswa

membuat kesimpulan 4

4

Jumlah 21 23

Rata-rata 3,5 3,8

Kategori B B

(Data Hasil Observasi

Aktivitas Guru Berdasarkan

Lampiran)

Berdasakan tabel 4.5 di atas,

hasil observasi terhadap kegiatan

guru pada pertemuan pertama

presentasi mencapai 3,5 dengan

kategori baik dan pada pertemuan

kedua presentasi mencapai 3,8

dengan kategori baik.

Hasil Tes Akhir Pada Siklus II

Data hasil tes pada siklus II

setelah dilakukan evaluasi. Tes

dilaksanakan pada hari sabtu tanggal

30 Agustus 2014. Prestasi tes

tersebut terlihat pada tabel di bawah

ini:

Tabel.4.4. Data Analisis Hasil

Evaluasi (Tes) Prestasi Belajar Siswa

Siklus II Hasil Tes (Evaluasi) Siklus I

Jumlah siswa secara keseluruhan 30 Orang

Jumlah siswa yang mengikuti tes 30 orang

Jumlah skor 2482

Nilai rata-rata 82,73

Jumlah siswa yang tidak tuntas 28 orang

Persentase ketuntasan 93,33%

Hasil evaluasi siklus II

sebagaiaman terdapat pada tabel 4.4

menunjukan bahwa, persentase siswa

yang mendapat nilai 65 atau yang

tuntas belajar secara klasikal adalah

93,33% > 85%, dengan nilai rata-rata

82,73. jumlah siswa yang tuntas

adalah 30 orang siswa yang

mengikuti tes (evaluasi). Ini berarti

bahwa indikator penelitian telah

menunjukan tercapainya ketuntasan

klasikal. Hasil evaluasi juga

menunjukan tidak terdapat siswa

yang tidak tuntas. Dengan demikian

Page 99: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

15

tidak perlu adanya perbaikan secara

klasikal.

PEMBAHASAN

Berdasarkan analisa data,

pelaksanaan tindakan pada siklus I

menunjukan bahwa nilai rata-rata

hasil belajar siswa adalah 68,67

dengan persentase 73,33%. Karena

standar ketuntasan belajar klasikal

kurang dari 85% maka akan ditindak

lanjuti pada siklus berikutnya.

Ketuntasan klasikal kurang dari yang

diharapkan karena adanya

kekurangan-kekurangan dalam

proses beajar mengajar. Kekurangan-

kekurangan tersebut terlihat pada

data hasil observasi kegiatan guru

dan observasi aktivitas siswa pada

siklus I sehingga dapat diperbaiki

pada siklus II.

Diskusi pada siklus II

berjalan dengan baik. Siswa yang

sudah mengerti mau memberi

penjelasan kepada anggota

kelompoknya yang belum paham

sedangkan yang belum paham tidak

malu-malu untuk bertanya kepada

temannya. Pada siklus II ini guru

lebih banyak memberikan bimbingan

pada siswa yang nilainya kurang

pada siklus I. Pada siklus II hasil tes

belajar siswa menunjukan rata-rata

82,73 dengan standar ketuntasan

klasikal 93,33%, ini berarti target

pencapaian hasil belajar telah

tercapai.

Dari dua siklus yang dilakukan

dalam penelitian ini, menunjukan

bahwa terjadi peningkatan hasil

belajar siswa seiring dengan

peningkatan ketuntasan klasikal

sesuai karakteristik pembelajaran. Ini

berarti, bahwa dengan penerapan

model pembelajaran kooperatif tipe

Team Assisted Individualization

(TAI) pada pokok bahasan Bentuk

aljabar maka hasil belajar siswa

dapat meningkat sampai mencapai

ketuntasan dalam belajar.

Menurut Slavin (2005: 190)

Team Assisted Individualization

(TAI) dirancang untuk memperoleh

manfaat yang sangat besar dari

potensi sosialisasi yang terdapat

dalam pembelajaran kooperatif.

Team Assisted Individualization

(TAI) mengkombinasiksan

pembelajaran kooperatif dengan

pengajaran individual.

Team Assisted

Individualization (TAI) membuat

para siswa mengerjakan sebagian

besar tugas-tugas rutin yang sering

kali membelenggu para guru. Para

siswa saling memeriksa hasil kerja

mereka sembari melanjutkan

pelajaran dalam unit tersebut. Hal ini

sangat penting karena dapat segera

memberikan umpan balik yang

dibutuhkan para siswa dan segera

dapat mengidentifikasi masalah-

masalah yang sering kali dapat

ditangani dalam kelompok atau

dijawab oleh guru apabila memang

diperlukan bantuan lebih jauh

(Robert E Slavin, 2005: 191).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan selama dua siklus,

maka dapat diperoleh kesimpulan

bahwa penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe Team

Assisted Individualization (TAI)

dapat meningkatkan prestasi belajar

matematika siswa Kelas VIIIC SMP

Page 100: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

16

Negeri 1 Donggo. Terjadi perubahan

sikap siswa saat penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe Team

Assisted Individualization (TAI)

yang dilihat dari keaktifan siswa

yang mengajukan pertanyaan dan

siswa yang menjawab setiap

pertanyaan yang muncul baik dari

guru maupun dari temannya.

Meningkatnya siswa yang memberi

penjelasan kepada temannya saat

diskusi kelompok serta

meningkatnya keberanian siswa

dalam mengajukan diri mengerjakan

soal di papan tulis. Selain itu, siswa

yang melakukan kegiatan lain (ribut,

bermain, dll) dalam kegiatan belajar

mengajar mengalami penurunan.

Persentase ketuntasan belajar siswa

pada siklus I mencapai 73,33% dan

pada Siklus II mencapai 93,33%.

DAFTAR PUSTAKA

Balitbang. (2005). Depdiknas.

Klaten: Pt Intan Pariwara

Dedi Irawan. (2006). Penerapan

Kooperatif Tipe Team Assisted

Individualization Untuk

Meningkatkan Prestasi Belajar

Siswa Kelas Vii-I Smp N 9

Kota Bima Pada Pokok

Bahasan Persegi Panjang

Tahun Pelajaran 2011/2012:

Skripsi STKIP Bima. Tidak

Dipublikasikan

Dimyati, Mudjino. (2005). Belajar

dan Pembelajaran. Jakarta :

Rineka Cipta

Hamburi. (1999). Pembelajan Aktif.

Yogyakarta: Elmatera

Hijran. (2003). Belajar dan

Pembelajaran. Jakarta:Rineka

Cipta

Ibrahim. dkk. (2000). Pembelajaran

Aktif. Yogyakarta: Elmatera

Kemmis. (1988). Penelitian

Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi

Aksara

Mulyasa. (2003). Prestasi Belajar

dan Kompetensi Guru.

Surabaya: Usaha Nasional

Nurkencana, Y. (1990). Penelitian

Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi

Aksara

Pedoman Penulisan Proposal

Penelitian dan Skripsi: Stkip

Taman Siswa Bima’

Poedjiadi. (1999). Prestasi Belajar

dan Kompetensi Guru: Usaha

Nasional

Sagala. (2002). Prestasi Belajar dan

Kompetensi Guru. Surabaya:

Usaha Nasional

Sanjaya, W.(2011). Penelitian

Tindakan Kelas. Jakarta:

Kencana Predana Media Group

Sardiman. (1996). Belajar Mengajar.

Bandung: Pt Intan Pariwara

Senduk. (2003). Prestasi Belajar dan

Kompetensi Guru. Surabaya:

Usaha Nasional

Siroj. (2003). Pembelajaran Aktif.

Jakarta: Rineka Cipta

Page 101: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

17

Slavin. (2005). Cooperative

Learning. Bandung: Nusa

Media

Slavin. (1992). Konsep Strategi

Pembelajaran.

Bandung: PT Refika

Aditama.

Slavin. (2003). Belajar dan

Pembelajaran. Jakarta:

Rineka Cipta.

Suci Kurnia. (2012). Pembelajaran

Kooperatif Learning

Untuk Meningkatkan

Prestasi Belajar Siswa

Kelas 15 SMP N I

Taliwang Pada Materi

Segitiga Tahun Ajaran

2005/2006: Skripsi.

Tidak Dipublikasikan

Sutarto, Syarifuddin. (2013).

Desain Pembelajaran

Matematika. D.I

Yogyakarta: Samudera

Biru

Sukino,S. S. (2006). Matematika

Smp/Mts Kelas VIII. Surabaya:

Erlangga

Page 102: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

1

PENGARUH MOTIVASI TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA

DALAM BIDANG STUDI MATEMATIKA KELAS VIII SEMESTER

GENAP SMP NEGERI 1 PARADO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

KASIANTO

Guru SMP Negeri 1 Parado

ABSTRAK

Kata Kunci : Motivasi, dan Prestasi Belajar

Dalam suatu lembaga pendidikan, prestasi belajar merupakan indikator

yang penting untuk mengukur keberhasilan proses belajar mengajar. Akan tetapi

tidak bisa dipungkiri bahwa tinggi rendahnya prestasi siswa banyak dipengaruhi

oleh faktor-faktor lain disamping proses pengajaran itu sendiri. Motivasi adalah

daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu atau daya

penggerak dari subyek untuk melakukan suatu perbuatan dalam suatu tujuan.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah

hubungan motivasi terhadap prestasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1

Parado Tahun Pelajaran 2010/2011. Dan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

hubungan motivasi terhadap prestasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1

Parado Tahun Pelajaran 2010/2011.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP

Negeri 1 Parado Tahun Pelajaran 2010/2011 berjumlah 80 siswa dari 3 kelas.

Teknik yang digunakan dalam pengambilan sample penelitian ini adalah dengan

menggunakan proporsioanal random sampling. Untuk mengetahui jumlah sampel

yang akan diambil dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rumus Slovin

sehingga diperoleh 56 siswa yang akan digunakan sebagai sample penelitian.

Variabel dalam penelitian ini adalah motivasi sebagai variabel bebas serta pretasi

belajar sebagai variabel terikat. Teknik pengambilan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik kuesioner (angket) dan

dokumentasi .

Dengan mengacu pada perhitungan penelitian, dapat disimpulkan bahwa

hubungan motivasi terhadap prestasi belajar siswa berada pada tingkat hubungan

yang sangat kuat, karena angka indeks korelasi product moment rxy = 0,979

terletak pada rentangan (0,80 – 1.000). Jadi penelitian ini memperhatikan kadar

hubungan antara variabel X dan variabel Y. Secara statistik nilai di atas

memberikan pengertian bahwa motivasi sangat berpengaruh terhadap prestasi

belajar siswa pada taraf hubungan yang sangat kuat.

PENDAHULUAN

Page 103: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

Pendidikan merupakan hal

yang sangat penting karena

merupakan kebutuhan manusia yang

esensial. Pendidikan dapat

mengembangkan potensi yang ada

pada diri manusia, baik potensi

jasmani maupun rohani. Hal tersebut

sesuai yang diungkapkan oleh

Ramayulis bahwa tujuan umum

pendidikan harus diarahkan untuk

mencapai pertumbuhan,

keseimbangan, kepribadian, manusia

menyeluruh, melalui latihan jiwa

intelek, jiwa rasional, perasaan dan

penghayatan lahir (H. Ramayulis,

2002: 69). Dalam suatu lembaga

pendidikan, motivasi merupakan

indikator penting yang perlu

diperhatikan dalam proses belajar

mengajar untuk mengukur prestasi

belajar siswa. Rendahnya motivasi

akan berdampak pada rendahnya

prestasi belajar yang dicapai oleh

siswa.

Tantangan dunia pendidikan

pada zaman sekarang ini adalah

tantangan bagi guru di dalam

berhubungan dengan siswa dalam

proses belajar mengajar. Disini guru

diharapkan dapat membangkitkan

motivasi belajar, hasrat ingin tahu,

dan minat yang kuat pada siswanya

untuk mengikuti pelajaran di sekolah

dan partisipasi aktif di dalamnya.

Sebab semakin banyak yang aktif

termotivasi untuk belajar maka

semakin tinggi prestasi belajar yang

diperolehnya.

Faktor yang menjadi penyebab

rendahnya motivasi antara lain yaitu

kurangnya ketersediaan sumber

belajar yang mendukung

terlaksananya kegiatan proses belajar

mengajar, sumber belajar yang ada

belum memenuhi standar kebutuhan,

dan sumber belajar yang tersedia

belum dimanfaatkan secara baik

sehingga cara penyampaian materi

pengajaran oleh guru yang kurang

menarik bagi siswa sehingga

mengakibatkan:

1. Siswa bersikap acuh tak acuh

terhadap materi yang diajarkan,

menentang dan sebagainya.

2. siswa malas melakukan tugas

kegiatan belajar, seperti malas

mengerjakan PR, malas membaca,

dan lain-lain.

3. menunjukkan hasil belajar yang

rendah dibawah nilai rata-rata

baik yang peroleh secara individu

maupun secara kelompok di kelas.

4. menunjukkkan tingkah laku

sering membolos, tidak

mengerjakan tugas yang diberikan

dan sebagainya.

5. belajar jika akan menghadapi

ujian atau ulangan saja.

Dalam proses belajar mengajar

di kelas, guru harus dapat

menumbuhkan motivasi apa saja

yang ada pada diri siswa. Siswa yang

rajin tentu mempunyai daya dorong

yang kuat sehingga melakukan

belajar dengan tekun. Siswa yang

malas harus diberi rangsangan atau

dibangkitkan kemauannya yang

positif agar berbuat sesuatu untuk

dirinya, disini guru bertindak sebagai

motivator, pendorong, dan pemberi

semamgat.

Peningkatan prestasi atau

kualitas sumber daya manusia

merupakan salah satu penekanan dari

tujuan pendidikan, seperti yang

tertuang dalam Undang-undang

Sistem Pendidikan Nasional No. 20

Tahun 2003 Bab II Pasal 3 berbunyi:

Page 104: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

3

Pendidikan Nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam

rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman

dan bertaqwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab.

Gambaran di atas sangat jelas

bangsa dan umat ini membutuhkan

orang-orang yang berilmu, cakap,

kreatif dan mandiri yang sanggup

membawa Indonesia lebih maju dan

lebih bermartabat. Dalam hal ini

seorang guru dituntut mampu

menciptakan situasi belajar yang

dapat merangsang dan mendorong

siswa untuk aktif, kreatif dan

berprestasi dalam belajar. Dilain

pihak pemerintah telah

mencanangkan tiga ranah tujuan

pendidikan (pembelajaran) yang

meliputi kognitif, afektif, dan

psikomotor yang harus dimunculkan

dari sosok guru terlebih dahulu agar

diidolakan oleh para siswa dengan

kata lain guru bukan hanya sebagai

pelaku transfer of nowledge

(pemindahan pengetahuan) saja.

Menurut (Neohi Nasution,

1993: 8) motivasi adalah kondisi

psikologis yang mendorong

seseorang untuk melakukan sesuatu.

Jadi motivasi belajar adalah kondisi

psikologis yang mendorong

seseorang untuk belajar, sehingga

hasil belajar pada umumnya

meningkat.

Sehubungan dengan hal

tersebut ada tiga fungsi motivasi :

1. Mendorong manusia untuk

berbuat, jadi sebagai penggerak atau

motor yang melepaskan energi.

Motivasi dalam hal ini merupakan

motor penggerak dari setiap kegiatan

yang akan dikerjakan.

2. Menentukan arah

perbuatan, yakni ke arah tujuan yang

hendak dicapai. Dengan demikian

motivasi dapat memberikan arah dan

kegiatan yang harus dikerjakan

sesuai dengan rumusan tujuannya.

3. Menyeleksi

perbuatan, yakni menentukan

perbuatan-perbuatan apa yang harus

dikerjakan yang serasi guna

mencapai tujuan, dengan

menyisihkan perbuatan-perbuatan

yang tidak bermanfaat bagi tujuan

tersebut.

Dari pengertian di atas dapat

dipahami bahwa prestasi belajar

adalah hasil kemampuan seseorang

pada bidang tertentu dalam mencapai

tingkat kedewasaan yang langsung

dapat diukur dengan tes penilaian

berupa angka atau huruf.

Pengertian Motivasi

Motivasi berasal dari kata

Latin “movere” yang berarti

dorongan atau menggerakkan. Dalam

masalah motivasi ada istilah yang

hampir sama pengertiannya, yaitu

Motive, Driven dan Needs. Sedang

menurut Filmore Motivasi akar

katanya adalah motif. Sehingga

motivasi diartikan sebagai :

Page 105: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

4

Motivation is an energizing

condition of the organism that serves

to direct that organism to ward the

gold of a certain class. Jadi motif itu

diartikan sebagai suatu kondisi

(kekuatan/dorongan) yang

menggerakan organisme (individu)

untuk mencapai suatu tujuan tertentu

atau dengan kata lain motif itu yang

menyebabkan timbulnya semacam

kekuatan agar individu itu berbuat

bertindak atau bertingkah laku.

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa

motivasi dapat diartikan sebagai

daya penggerak yang telah aktif

dalam diri seseorang untuk

melakukan sesuatu kegiatan atau

tindakan.

Motivasi sangat diperlukan

dalam pelaksanaan aktivitas manusia

karena motivasi merupakan hal yang

dapat menyebabkan, menyalurkan

dan mendukung perilaku manusia

supaya mau bekerja giat dan antusias

untuk mencapai hasil yang optimal”

(Malayu S.P Hasibuan, 2001:141)

Menurut G.R. Terry yang

diterjemahkan oleh J Smith D.F.M

(2003:130), “Motivasi dapat

diartikan sebagai suatu usaha agar

seseorang dapat menyelesaikan

pekerjaannya dengan semangat

karena ada tujuan yang ingin

dicapai”. Manusia mempunyai

motivasi yang berbeda tergantung

dari banyaknya faktor seperti

kepribadian, ambisi, pendidikan dan

usia. Motivasi adalah suatu

perubahan energi didalam pribadi

seseorang yang ditandai dengan

timbulnya afektif atau perasaan dan

reaksi untuk mencapai tujuan (Mc.

Donald dalam Oemar Hamalik, 2003

: 106).

Menurut Syaiful Bahri

Djamarah (2000 : 114) motivasi

adalah perubahan energi dalam diri

seseorang itu berbentuk suatu

aktivitas nyata berupa kegiatan fisik,

karena seseorang mempunyai tujuan

tertentu dari aktivitasnya, maka

seseorang mempunyai motivasi yang

kuat untuk mencapainya dengan

segala upaya yang dapat dia lakukan

untuk mencapainya.

Seseorang dikatakan berhasil

dalam belajar apabila didalam

dirinya sendiri ada keinginan untuk

belajar, sebab tanpa mengerti apa

yang akan dipelajari dan tidak

memahami mengapa hal tersebut

perlu dipelajari, maka kegiatan

belajar mengajar sulit untuk

mencapai keberhasilan. Keinginan

atau dorongan inilah yang disebut

sebagai motivasi.

Dengan motivasi orang akan

terdorong untuk bekerja mencapai

sasaran dan tujuannya karena yakin

dan sadar akan kebaikan,

kepentingan dan manfaatnya. Bagi

siswa motivasi ini sangat penting

karena dapat menggerakkan perilaku

siswa kearah yang positif sehingga

mampu menghadapi segala tuntutan,

kesulitan serta menanggung resiko

dalam belajar.

Dalam kaitannya dengan

belajar, motivasi sangat erat

hubungannya dengan kebutuhan

aktualisasi diri sehingga motivasi

paling besar pengaruhnya pada

kegiatan belajar siswa yang

bertujuan untuk mencapai prestasi

tinggi. Apabila tidak ada motivasi

belajar dalam diri siswa, maka akan

menimbulkan rasa malas untuk

belajar baik dalam mengikuti proses

Page 106: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

5

belajar mengajar maupun

mengerjakan tugas-tugas individu

dari guru. Orang yang mempunyai

motivasi yang tinggi dalam belajar

maka akan timbul minat yang besar

dalam mengerjakan tugas,

membangun sikap dan kebiasaan

belajar yang sehat melalui

penyusunan jadual belajar dan

melaksanakannya dengan tekun.

Indikator dari motivasi,

yaitu:

1. Cita-cita.

Cita-cita adalah sesuatu target

yang ingin dicapai. Target ini

diartikan sebagai tujuan yang

ditetapkan dalam suatu kegiatan

yang mengandung makna bagi

seseorang. Munculnya cita-cita

seseorang disertai dengan

perkembangan akar, moral

kemauan, bahasa dan nilai-nilai

kehidupan yang juga

menimbulkan adanya

perkembangan kepribadian.

2. Kemampuan belajar.

Setiap siswa memiliki

kemampuan belajar yang berbeda.

Hal ini diukur melalui taraf

perkembangan berpikir siswa,

dimana siswa yang taraf

perkembangan berpikirnya

konkrit tidak sama dengan siswa

yang sudah sampai pada taraf

perkembangan berpikir rasional.

Siswa yang merasa dirinya

memiliki kemampuan untuk

melakukan sesuatu, maka akan

mendorong dirinya berbuat

sesuatu untuk dapat mewujudkan

tujuan yang ingin diperolehnya

dan sebaliknya yang merasa tidak

mampu akan merasa malas untuk

berbuat sesuatu.

3. Kondisi siswa.

Kondisi siswa dapat diketahui dari

kondisi fisik dan kondisi

psikologis, karena siswa adalah

makluk yang terdiri dari kesatuan

psikofisik. Kondisi fisik siswa

lebih cepat diketahui daripad

kondisi psikologis. Hal ini

dikarenakan kondisi fisik lebih

jelas menunjukkan gejalanya

daripada kondisi psikologis.

4. Kondisi lingkungan.

Kondisi lingkungan merupakan

unsur yang datang dari luar diri

siswa yaitu lingkungan keluarga,

sekolah dan masyarakat.

Lingkungan fisik sekolah, sarana

dan prasarana perlu ditata dan

dikelola agar dapat

menyenangkan dan membuat

siswa merasa nyaman untuk

belajar. Kebutuhan emosional

psikologis juga perlu mendapat

perhatian, misalnya kebutuhan

rasa aman, berprestasi, dihargai,

diakui yang harus dipenuhi agar

motivasi belajar timbul dan dapat

dipertahankan.

5. Upaya guru membelajarkan

siswa.

Upaya guru membelajarkan siswa

adalah usaha guru dalam

mempersiapkan diri untuk

membelajarkan siswa mulai dari

penguasaan materi, cara

menyampaikannya, menarik

perhatian siswa dan mengevaluasi

hasil belajar siswa. Bila upaya

guru hanya sekedar mengajar,

artinya keberhasilan guru yang

menjadi titik tolak, besar

kemungkinan siswa tidak tertarik

untuk belajar sehingga motivasi

belajar siswa menjadi melemah

Page 107: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

6

atau hilang (Max Darsono,

2000:65 ; Dimyati dan Mudjiono,

1994:90-92).

Motivasi mempunyai fungsi

yang sangat penting dalam belajar

siswa, karena motivasi akan

menentukan intensitas usaha belajar

yang dilakukan oleh siswa. Hawley

(Yusuf, 2003 : 14) menyatakan

bahwa para siswa yang memiliki

motivasi yang tinggi, belajarnya

lebih baik dibandingkan dengan para

siswa yang memiliki motivasi

rendah. Hal ini berarti siswa yang

memiliki motivasi belajar tinggi akan

tekun dalam belajar dan terus belajar

secara kontinyu tanpa mengenal

putus asa serta dapat

mengesampingkan hal-hal yang

dapat mengganggu kegiatan belajar.

Dari pendapat di atas sangat

jelas bahwa motivasi sangat penting

dalam proses belajar mengajar,

karena motivasi dapat mendorong

siswa untuk melakukan aktivitas-

aktivitas tertentu yang berhubungan

dengan kegiatan belajar mengajar.

Dalam proses belajar mengajar

tersebut diperlukan suatu upaya yang

dapat meningkatkan motivasi siswa,

sehingga siswa yang bersangkutan

dapat mencapai hasil belajar yang

optimal.

Jenis-jenis motivasi belajar,

menurut Sardiman AM (2001: 88-

90) motivasi dibagi menjadi dua tipe

atau kelompok yaitu intrinsik dan

ekstrinsik:

1. Motivasi intrinsik

Motivasi intrinsik merupakan

motif-motif yang menjadi aktif atau

berfungsinya tidak perlu dirangsang

dari luar, karena dalam diri setiap

individu sudah ada dorongan untuk

melakukan sesuatu. Contohnya

seseorang yang senang membaca

tidak usah disuruh atau

mendorongnya, ia sudah rajin

membaca buku-buku untuk

dibacanya. Yang tergolong dalam

motivasi intrinsik adalah:

a. Belajar karena ingin mengetahui

seluk-beluk masalah selengkap-

lengkapnya.

b. Belajar karena ingin menjadi

orang terdidik atau menjadi ahli

bidang studi pada penghayatan

kebutuhan dan siswa berdaya

upaya melui kegiatan belajar

untuk memenuhi kebutuhan ini

hanya dapat dipenuhi dengan

belajar giat.

2. Motivasi ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik merupakan

motif-motif yang aktif dan

berfungsinya karena adanya

perangsang dari luar. Contohnya

seseorang itu belajar, karena tahu

besok pagi ada ujian dengan harapan

akan mendapatkan nilai baik, atau

agar mendapatkan hadiah. Jadi kalau

dilihat dari segi tujuan kegiatan yang

dilakukannya, tidak secara langsung

bergayut dengan esensi apa yang

dilakukannya itu.

Menurut Syaiful Bahri

Djamarah (2000 : 117) yang

tergolong bentuk motivasi belajar

ekstrinsik antara lain:

1. Belajar demi memenuhi

kewajiban.

2. Belajar demi menghindari

hukuman yang diancam.

3. Belajar demi memperoleh hadiah

material yang dijanjikan.

4. Belajar demi meningkatkan

gengsi sosial.

Page 108: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

7

5. Belajar demi tuntutan jabatan

yang ingin dipegang atau demi

memenuhi persyaratan kenaikan

jenjang.

6. Belajar demi memperoleh pujian

dari orang yang penting.

Pentingnya motivasi bagi siswa

menurut Diimyati dan Mudjiono,

(1994: 79) adalah :

1. Menyadarkan kedudukan pada

awal belajar, proses dan hasil

akhir belajar.

2. Menginformasikan tentang usaha

belajar, bila dibanding dengan

teman sebaya sebagai ilustrasi,

terbukti kegiatan usahanya belum

memadai, maka ia berusaha

setekun mungkin agar berhasil.

3. Mengarahkan kegiatan belajar,

mengetahui bahwa dirinya belum

belajar secara efektif, maka ia

mengubah perilaku belajarnya.

4. Membesarkan semangat belajar.

5. Menyadarkan tentang adanya

perjalanan belajar dan kemudian

bekerja.

Sedang motivasi menurut peneliti

berfungsi sebagai:

1. Pendorong manusia untuk

berbuat. Motivasi dalam hal ini

merupakan motor penggerak dari

setiap kegiatan yang akan

dikerjakan.

2. Menentukan arah perbuatan, yaitu

ke arah tujuan yang hendak

dicapai, dengan demikian

motivasi dapat memberi arah dan

kegiatan yang harus dikerjakan

sesuai dengan rumusan tujuannya.

Teori-teori Motivasi

Menurut Oemar Hamalik ada

beberapa faktor yang

mempengaruhi motivasi, baik

motivasi intrinsik atau motivasi

ekstrinsik diantaranya :

1. Tingkat kesadaran siswa akan

kebutuhan yang mendorong

tingkah laku/perbuatannya dan

kesadaran atas tujuan belajar yang

hendak dicapai.

2. Sikap guru terhadap kelas, guru

yang bersikap bijak dan selalu

merangsang siswa untuk berbuat

kearah suatu tujuan yang jelas dan

bermakna bagi kelas.

3. Pengaruh kelompok siswa. Bila

pengaruh kelompok terlalu kuat

maka motivasinya lebih

cenderung ke sifat ekstrinsik.

4. Suasana kelas juga berpengaruh

terhadap muncul sifat tertentu

pada motivasi belajar siswa.

Motivasi sangat penting untuk

mencapai keberhasilan siswa dalam

belajar. Motivasi belajar merupakan

motor penggerak yang mengaktifkan

siswa untuk melibatkan diri.

Motivasi yang kuat akan membuat

siswa sanggup bekerja keras untuk

mencapai sesuatu yang menjadi

tujuannya, dan motivasi itu muncul

karena dorongan adanya kebutuhan.

Dorongan seseorang untuk belajar

menurut Maslow yang mengutip dari

Sardiman (2002:78) sebagai berikut:

1. Kebutuhan fisiologis, seperti

lapar, haus, kebutuhan untuk

istirahat dan sebagainya.

2. Kebutuhan akan keamanan, yakni

rasa aman bebas dari rasa takut

dan kecemasan.

3. Kebutuhan akan cinta kasih, rasa

diterima dalam suatu masyarakat

atau golongan (keluarga, sekolah,

kelompok).

4. Kebutuhan untuk mewujudkan

diri sendiri, yakni

Page 109: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

8

mengembangkan bakat dengan

usaha mencapai hasil dalam

bidang pengetahuan, sosial dan

pembentukan pribadi.

Dari berbagai macam

kebutuhan tersebut, ada cara untuk

merangsang motivasi belajar siswa

yang merupakan dorongan intrinsik.

Menurut Sardiman (2001: 90)

beberapa cara menumbuhkan

motivasi belajar di sekolah adalah

dengan:

1. Memberikan angka sebagai

simbol dari nilai kegiatan

belajarnya.

2. Hadiah

3. Persaingan/kompetisi baik

individu maupun kelompok.

4. Ego-invoicement, sebagai

tantangan untuk

mempertaruhkan harga diri.

5. Memberi ulangan

6. Mengetahui hasil

7. Pujian

8. Hukuman

9. Hasrat untuk belajar

10. Minat

11. Tujuan yang diakui

Prestasi Belajar

Dalam pelaksanaan proses

belajar mengajar diperlukan adanya

evaluasi yang nantinya akan

dijadikan sebagai tolok ukur

maksimal yang telah dicapai siswa

setelah melakukan kegiatan belajar

selama waktu yang telah ditentukan.

Apabila pemberian materi telah

dirasa cukup, guru dapat melakukan

tes yang hasilnya akan digunakan

sebagai ukuran dari prestasi belajar

yang bukan hanya terdiri dari nilai

mata pelajaran saja tetapi juga

mencakup nilai tingkah laku siswa

selama berlangsungnya proses

belajar mengajar.

Prestasi merupakan hasil yang

dicapai seseorang ketika

mengerjakan tugas atau kegiatan

tertentu.” Prestasi belajar adalah

penguasaan pengetahuan atau

keterampilan yang dikembangkan

oleh mata pelajaran yang lazimnya

ditunjukkan dengan nilai tes atau

angka nilai yang diberikan guru”

(Tulus Tu`u, 2004:75).

Dari pengertian diatas dapat

dipahami bahwa prestasi belajar

adalah hasil kemampuan seseorang

pada bidang tertentu dalam mencapai

tingkat kedewasaan yang langsung

dapat diukur dengan tes. Penilaian

dapat berupa angka atau huruf.

Keberhasilan siswa dalam mencapai

prestasi belajar dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu tingkat

kecerdasan yang baik, pelajaran

sesuai dengan bakat yang dimiliki,

ada minat dan perhatian yang tinggi

dalam pembelajaran, motivasi yang

baik dalam belajar, cara belajar yang

baik dan strategi pembelajaran yang

dikembangkan guru. Suasana

keluarga yang mendorong anak

untuk maju, selain itu lingkungan

sekolah yang tertib, teratur dan

disiplin merupakan pendorong dalam

proses pencapaian prestasi belajar

(Tulus Tu`u, 2004: 81).

Faktor-faktor yang mempengaruhi

prestasi belajar Menurut Merson U. Sangalang

yang dikutip oleh Tulus Tu’u

(2004:78) ada beberapa faktor yang

mempengaruhi keberhasilan siswa

dalam mencapai hasil belajar yang

baik, antara lain:

1. Faktor kecerdasan.

Page 110: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

9

Tinggi rendahnya kecerdasan

yang dimiliki siswa sangat

menentukan keberhasilannya

mencapai prestasi belajar,

termasuk prestasi-prestasi lain

yang ada pada dirinya.

2. Faktor bakat.

Bakat-bakat yang dimiliki siswa

apabila diberi kesempatan untuk

dikembangkan dalam

pembelajaran akan dapat

mencapai prestasi belajar yang

diharapkan.

3. Faktor minat dan perhatian.

Minat adalah kecenderungan yang

besar terhadap sesuatu. Perhatian

adalah melihat dan mendengar

dengan baik serta teliti terhadap

sesuatu. Apabila siswa menaruh

minat pada satu pelajaran tertentu

biasanya cenderung untuk

memperhatikannya dengan baik.

Minat dan perhatian yang tinggi

pada mata pelajaran akan

memberi dampak yang baik bagi

prestasi belajar siswa.

4. Faktor motif.

Motif selalu selalu mendasari dan

mempengaruhi setiap usaha serta

kegiatan seseorang untuk

mencapai tujuan yang diinginkan.

Apabila dalam belajar, 26 siswa

mempunyai motif yang baik dan

kuat, hal ini akan memperbesar

usaha dan kegiatannya mencapai

prestasi yang tinggi.

5. Faktor cara belajar.

Keberhasilan belajar siswa

dipengaruhi oleh cara belajar

siswa. Cara belajar yang efisien

memungkinkan mencapai prestasi

belajar yang lebih tinggi

dibandingkan dengan cara belajar

yang tidak efektif.

6. Faktor lingkungan keluarga.

Keluarga merupakan salah satu

potensi yang besar dan positif

member pengaruh pada prestasi

siswa. Terutama dalam hal

mendorong, member semangat,

dan memberi teladan yang baik

kepada anaknya.

7. Faktor sekolah.

Sekolah merupakan faktor

pendidikan yang sudah

terstruktur, memiliki sistem, dan

organisasi yang baik bagi

penanaman nilai-nilai etika,

moral, mental, spiritual, disiplin

dan ilmu pengetahuan (Tulus

Tu’u, 2004:78).

Pencapaian prestasi belajar

yang baik tidak hanya diperoleh dari

tingkat kecerdasan siswa saja, tetapi

juga didukung oleh lingkungan

keluarga dan sekolah dimana guru

dan alat belajar dijadikan sebagai

sumber belajar bagi kelancaran

proses belajar mengajar.

Keberhasilan siswa dalam mencapai

prestasi belajar dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu tingkat

kecerdasan yang baik, pelajaran

sesuai dengan bakat yang dimiliki,

ada minat dan perhatian yang tinggi

dalam pembelajaran, motivasi yang

baik dalam belajar, cara belajar yang

baik dan strategi pembelajaran yang

dikembangkan guru. Suasana

keluarga yang mendorong anak

untuk maju, selain itu lingkungan

sekolah yang tertib, teratur dan

disiplin merupakan pendorong dalam

proses pencapaian prestasi belajar

(Tulus Tu`u, 2004: 81).

Sedangkan Syah (1999:144)

secara global menjelaskan faktor–

faktor yang mempengaruhi prestasi

Page 111: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

10

belajar siswa dibagi menjadi tiga

macam, yaitu :

1. Faktor internal (faktor dari dalam

siswa), yakni keadaan/kondisi

jasmani dan rohani siswa.

2. Faktor eksternal (faktor dari luar

siswa), yakni kondisi lingkungan

di sekitar siswa.

3. Faktor pendekatan belajar

(approach to learning), yakni jenis

upaya belajar siswa yang meliputi

strategi dan metode yang

digunakan siswa untuk melakukan

kegiatan pembelajaran materi–

materi pelajaran.

Menurut Slameto (2003:

54–71) ada beberapa faktor yang

menghambat prestasi belajar

anak antara lain :

1. Faktor–faktor Intern

a. Faktor jasmaniah meliputi faktor

kesehatan, faktor cacat tubuh.

b. Faktor psikologis meliputi faktor

intelegensi, perhatian, minat,

bakat, motif, kematangan,

kesiapan.

c. Faktor kelelahan meliputi,

kelelahan jasmani, kelelahan

rohani (bersifat psikis) yaitu

kelelahan jasmani terlihat dengan

lemah lunglainya tubuh dan

kecenderungan membaringkan

tubuh, kelelahan rohani terlihat

dengan adanya kebosanan

sehingga minat belajar kurang.

2. Faktor–faktor Ekstern

a. Faktor keluarga meliputi, Cara

orang tua mendidik, relasi antar

anggota keluarga, suasana di

rumah, keadaan ekonomi

keluarga, pengertian orang tua

tentang pentingnya pendidikan,

latar belakang kebudayaan.

b. Faktor Sekolah meliputi, Metode

mengajar, kurikulum, relasi guru

dengan siswa, relasi siswa dengan

siswa, disiplin sekolah, alat

pelajaran, waktu sekolah, standart

pelajaran di atas ukuran, keadaan

gedung, metode belajar, tugas

rumah.

c. Faktor masyarakat mliputi,

Kegiatan siswa dalam masyarakat,

media massa, teman bergaul,

bentuk kehidupan masyarakat.

Jadi keberhasilan siswa

mencapai hasil belajar yang baik

dipengaruhi oleh berbagai macam

faktor. Faktor itu terdiri dari tingkat

kecerdasan yang baik, pelajaran

sesuai bakat yang dimiliki, ada minat

dan perhatian yang tinggi dalam

pembelajaran, motivasi yang baik

dalam belajar, cara belajar yang baik

dan strategi pembelajaran variatif

yang dikembangkan guru. Suasana

keluarga yang memberi dorongan

anak untuk maju. Selain itu,

lingkungan sekolah yang tertib,

teratur, disiplin, yang kondusif bagi

kegiatan kompetisi siswa dalam

pembelajaran.

Pentingnya Motivasi dalam

Meningkatkan Prestasi Belajar

Pentingnya motivasi bagi

siswa menurut Diimyati dan

Mudjiono, (1994: 79) adalah :

1. Menyadarkan kedudukan pada

awal belajar, proses dan hasil

akhir belajar.

2. Menginformasikan tentang usaha

belajar, bila dibanding dengan

teman sebaya sebagai ilustrasi,

terbukti kegiatan usahanya belum

memadai, maka ia berusaha

setekun mungkin agar berhasil.

Page 112: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

11

3. Mengarahkan kegiatan belajar,

mengetahui bahwa dirinya belum

belajar secara efektif, maka ia

mengubah perilaku belajarnya.

4. Membesarkan semangat belajar.

5. Menyadarkan tentang adanya

perjalanan belajar dan kemudian

bekerja.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat

kuantitatif, karena penelitian ini

mencari pengaruh antara dua

variabel yaitu motivasi (X) dan

Prestasi (Y).

Penelitian ini dilaksanakan di

SMP Negeri 1 Parado Kecamatan

Parado Kabupaten Bima, sekolah ini

didirikan pada bulan Juli tahun 1997

yang statusnya pada saat itu masih

kelas jauh (filiar) dengan SMP

Negeri 1 Monta tapi sekarang sudah

memiliki gedung sendiri yang cukup

repsentatif.

Populasi adalah keseluruhan

obyek penelitian (Suharsimi

Arikunto, 2002:108). Dalam

penelitian ini yang menjadi

populasinya adalah seluruh siswa

kelas VIII semester 2 SMPN 1

Parado yang berjumlah 80 orang

siswa dari 3 (tiga) kelas Tahun

Pelajaran 2010/2011.

TABEL 3.3

POPULASI PENELITIAN

No. Kelas L P Jumlah

1. VII1 10 16 26

2. VII2 13 13 26

3. VII3 12 16 28

Jumlah 35 45 80

1. Sampel

Sampel merupakan sebagian

atau wakil dari populasi yang diteliti

(Suharsimi Arikunto 2002 : 108).

Untuk mengetahui jumlah sampel

yang akan diambil dalam penelitian

ini, peneliti menggunakan rumus

Solvin Husen Umar (2002). Teknik

penentuan sampel dalam penelitian

ini adalah simple random sampling,

artinya setiap siswa memiliki

peluang yang sama untuk dijadikan

sampel karena jumlah populasinya

hanya 80 orang.

N

n =

1 + Ne2

Keterangan :

n = Jumlah Sampel

N = Jumlah Populasi

e = Tingkat Kesalahan 5%

(0,05)

Agar data yang dibutuhkan

dapat diperoleh maka diperlukan

isntrument atau alat untuk

mencarinya. Adapun instrument

yang dipergunakan yaitu

menggunakan skala Likert dengan

memberikan pertanyaan kepada

responden untuk dijawab dengan

indikator pengaruh motivasi terhadap

prestasi belajar siswa.

Sangat Setuju (SS) Skor : 5

Setuju (S) Skor : 4

Ragu-ragu (R) Skor : 3

Tidak setuju (TS) Skor : 2

Sangat Tidak Setuju (STS)Skor : 1

Validitas dan Reliabilitas

Penelitian

1. Validitas

Validitas adalah suatu ukuran

yang menunjukkan tingkatan-

tingkatan kevalidan atau kesahihan

suatu instrumen (Suharsimi

Page 113: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

12

Arikunto, 2002:144). Uji validitas

dilakukan untuk mengetahui apakah

setiap butir soal pada instrumen yang

digunakan dapat dipakai untuk

mengetahui tanggapan responden

terhadap variabel yang diteliti. Hasil

yang valid dapat diperoleh apabila

pertanyaan yang digunakan sudah

valid. Uji validitas dilakukan dengan

menggunakan rumus korelasi

product moment.

TABEL 3.4

HASIL UJI VALIDITAS

so

al

rhitung rtabel Kesimpulan

1 0,732 0,300 Valid

2 0,682 0,300 Valid

3 0,643 0,300 Valid

4 0,800 0,300 Valid

5 0,746 0,300 Valid

6 0,730 0,300 Valid

7 0,640 0,300 Valid

8 0,824 0,300 Valid

9 0,764 0,300 Valid

10 0,812 0,300 Valid

11 0,640 0,300 Valid

12 0,643 0,300 Valid

13 0,832 0,300 Valid

14 0,546 0,300 Valid

15 0,643 0,300 Valid

16 0,812 0,300 Valid

17 0,756 0,300 Valid

18 0,812 0,300 Valid

19 0,640 0,300 Valid

20 0,640 0,300 Valid

2. Reliabilitas

Reliabilitas menunjukkan pada

suatu pengertian bahwa suatu

instrument cukup dapat dipercaya

untuk digunakan sebagai alat

pengumpul data karena instrumen itu

sudah baik (Suharsimi Arikunto,

2002: 154). Dalam penelitian ini uji

reliabilitas diperoleh dengan cara

menganalisis data, sehingga dapat

disimpulkan bahwa data reliabel dan

layak digunakan untuk penelitian.

Setelah mendapatkan berbagai

macam data atau informasi dari

instrumen pengumpulan data yang

digunakan, maka langkah

selanjutnya adalah mengadakan

analisis terhadap data yang ada

tersebut. Langkah yang dilakukan

adalah dengan memberi skor

(scoring) terhadap setiap jawaban

yang diberikan oleh responden

dengan ketentuan sebagai berikut: Jika pernyataan

bersifat positif :

Jika pernyataan bersifat

negatif :

Alternatif

jawaban

Sk

or

Alternatif

jawaban

Skor

SS (Sangat

Setuju)

: 5 SS (Sangat Setuju) : 1

S (Setuju) : 4 S (Setuju) : 2

R (Ragu-ragu) : 3 R (Ragu-ragu) : 3

TS (Tidak

Setuju)

: 2 TS (Tidak Setuju) : 4

STS (Sangat

Tidak Setuju)

: 1 STS (Sangat Tidak

Setuju)

: 5

Setelah data motivasi (X) dan

prestasi belajar (Y) diketahui maka

selanjutnya kedua data tersebut

dikorelasikan dengan rumus korelasi

product moment untuk mengetahui

pengaruh motivasi terhadap prestasi.

Rumus product moment:

rxy =

Keterangan:

rxy = Koefisien

korelasi antara variabel X

dan variabel Y

N = Jumlah

responden

∑ = Jumlah skor

X = Variabel bebas

Y = Variabel

terikat

(Sugiono, 2008 .212).

PEMBAHASAN

Data yang diperoleh dalam

penelitian ini adalah meliputi dua hal

2222 )().()().(

))((.

YYNXXN

YXXYN

Page 114: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

13

karena penelitian ini mencari

pengaruh antara dua variabel. Untuk

mempermudah penganalisaan data

tersebut maka penulis membaginya

menjadi dua variabel yakni motivasi

(X) dan prestasi belajar (Y). Adapun

data motivasi (X) sebagaimana pada

lampiran 2 halaman 38, Nilai Rapor

(Y) pada lampiran 3 halaman 40,

Data Hasil Skor Tanggapan

Responden tentang motivasi (X) dan

nilai rapot (Y) pada lampiran 4

halaman 42.

Setelah melakukan analisa

terhadap data mentah hasil penelitian

untuk mencari koefisien nilai tiap

variabel, maka tahap selanjutnya

adalah memasukkan koefisien nilai

tiap variabel tersebut kedalam rumus

dalam rangka pembuatan hipotesis.

Adapun rumus yang digunakan

untuk menguji hipotesis dalam

penelitian ini adalah rumus Product

Moment angka kasar seperti yang

disajikan berikut:

Diketahui :

n = 56

∑X = 3607

∑Y = 3871

∑X2 = 233665

∑Y2 = 270323

∑ XY = 251207

Perhitungan Korelasi Product

Moment

2222 )()(

))((

yynxxn

yxxynrn

22 )3871()270323)(56()3607()233665)(56(

)3871)(3607(251207.56

r

)14984641()15138088()13010449()13085240(

1396269714067592

r

)153447)(74791(

104895r

71147645457

104895r

107128

104895r

rxy = 0,979

Analisis Data

Berdasarkan hasil penelitian

dari hasil analisis data yang

dilakukan maka dapat dijelaskan

bahwa rhitung = 0,979 dan rtabel untuk

jumlah responden penelitian (N) = 56

orang pada taraf signifikan 5%

nilainya = 0,300. Hal ini

menunjukkan bahwa nilai rhitung

product moment angka kasar lebih

besar dari nilai rtabel (rh > rt). Berarti

hipotesis penelitian (Ha) yang

diajukan diterima dan Ho ditolak,

artinya ada pengaruh motivasi

terhadap prestasi belajar siswa.

Dengan memperhatikan kadar

hubungan antara variabel X dan

variabel Y. Secara statistik nilai di

atas memberikan pengertian bahwa

motivasi memiliki pengaruh terhadap

prestasi belajar siswa pada taraf yang

sangat kuat karena angka indeks

korelasi product moment rxy = 0,979

terletak pada rentangan (0,80 –

1,000). Sesuai tebel interpretasi

Page 115: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

14

koefisien korelasi seperti pada tabel

di bawah ini:

TABEL 4.4

INTERPRETASI KOEFISIEN

KORELASI

Interval Tingka

t Hubungan

0,00 – 0,199 Sangat

Rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Cukup

0,60 – 0,799 Kuat

0,80 – 1,000 Sangat Kuat

Sumber : (Sugiono, 2006 : 214)

PEMBAHASAN

Hasil perhitungan analisis data

menunjukkan bahwa ada pengaruh

motivasi terhadap prestasi belajar

siswa di SMP Negeri 1 Parado. Hal

ini menunjukkan bahwa besar

kecilnya perubahan prestasi belajar

siswa dipengaruhi oleh faktor

motivasi. Prestasi belajar merupakan

penguasaan pengetahuan atau

ketrampilan yang dikembangkan

oleh mata pelajaran, lazimnya

ditunjukkan dengan nilai tes atau

angka nilai yang diberikan oleh guru.

(Tulus, 2004 : 75). Prestasi

merupakan hasil yang dicapai

seseorang ketika mengerjakan tugas

atau kegiatan tertentu.

Motivasi merupakan proses

internal yang mengaktifkan,

memandu dan memelihara perilaku

seseorang secara terus menerus.

Motivasi tidak hanya penting untuk

membuat siswa melakukan aktivitas

belajar, melainkan juga menentukan

berapa banyak siswa dapat belajar

dari aktivitas yang mereka lakukan

atau informasi yang mereka hadapi.

Siswa yang termotivasi akan

menunjukkan proses kognitif yang

tinggi dalam belajar, menyerap dan

mengingat apa yang telah dipelajari.

Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan maka dapat

dijelaskan bahwa hasil perhitungan

dengan menggunakan rumus product

moment bahwa rhitung = 0,979 dan

rtabel untuk jumlah responden

penelitian (N) = 56 orang, maka pada

taraf signifikan 5% nilainya = 0,300

dapat disimpulkan bahwa data

menunjukkan hasil perhitungan rh >

rt artinya Ha diterima dan Ho ditolak,

berarti ada pengaruh motivasi

terhadap prestasi belajar siswa kelas

VIII Semester Genap SMP Negeri 1

Parado Tahun Pelajaran 2010/2011.

KESIMPULAN

Ada pengaruh motivasi

terhadap prestasi belajar siswa kelas

VIII Semester Genap SMP Negeri 1

Parado Tahun Pelajaran 2010/2011,

pada tingkat hubungan yang sangat

kuat, karena angka indeks korelasi

product moment rxy = 0,979 terletak

pada rentangan (0,80 – 1,000).

DAFTAR PUSTAKA

Djamarah S. Bahri, Prestasi Belajar

dan Kompetensi guru.

Usaha Nasional,

Surabaya, 1994.

Hasibuan, Melayu S.P., Manajemen

Sumber Daya

Manusia. Jakarta :

Bumi Aksara, 2001.

Page 116: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

15

H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan

Islam (Jakarta: Kalam

Mulia, 2002), h. 69

Kartini Kartono, Mari Belajar

Meneliti. (Ahmad

Usman, 2008: 290),

Mc. Donald, Artikel (Internet)

Neohi Nasution, Psikologi Belajar.

Jakarta: PT. Granada

Pustaka Utama

Slameto, Belajar dan Faktor-faktor

yang

Mempengaruhinya.

Jakarta: Rineka Cipta.

SISDIKNAS, Undang-undang

Sisdiknas RI No. 20

Tahun 2003

Suharsimi Arikunto, (Ahmad Usman,

2008: 286) Mari

Belajar Meneliti

Syah Muhibbin, Psikologi

Pendidikan Dengan

Pendekatan Baru, PT.

Remaja Rosdakarya,

Bandung, 2003.

Yatim Riyanto, 2001, Metodologi

Penelitian Pendidikan,

Cetakan kedua SIC

Surabaya.

G.R. Terry. 2003. Prinsip-prinsip

Manajemen.

Terjemahan J mith D.

F. M. Jakarta: Bumi

Aksara

Djamarah, Syaiful Bahri. 2000.

Psikologi Belajar.

Jakarta: PT. Rineka

Cipta

Darsono, Max. 2000. Belajar dan

Pembelajaran.

Semarang: IKIP

Semarang Press

Yusuf. 2003. Motivasi Dalam

Belajar. Jakarta.

P2LPTK.

Sardiman, A.M. 2001. Interaksi dan

Motivasi Belajar

Mengajar. Jakarta:

Raja Grafindo

Dimyati dan Mudjiono. 1994.

Belajar dan

Pembelajaran. Jakarta:

PT. Rineka Cipta

Tu’u, Tulus. 2004. Peran Disiplin

Pada Perilaku dan

Prestasi Siswa. Jakarta:

Grasindo

Sugiyono. 2002. Metode Penelitian

Administrasi.

Bandung: CV. Alfabet

Page 117: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

1

PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN RECIPROCAL TEACHING PADA

MATA PELAJARAN IPS EKONOMI UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI

BELAJAR SISWA KELAS VII B MTsN WATAMPONE KECAMATAN

TANETE RIATTANGN KABUPATEN BONE

HERWIN

ABSTRAK

Penerapan metode pembelajaran Reciprocal Teaching pada mata pelajaran IPS

Ekonomi untuk meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VII B MTsN

Watampone Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone. Penelitian ini

bertujuan Untuk mengetahui bagaimana peningkatan prestasi belajar siswa

melalui metode pembelajaran Reciprocal Teaching pada mata pelajaran IPS

Ekonomi siswa kelas VII B Watampone Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten

Bone Tahun pelajaran 2012/2013 terdiri dari 34 siswa, 16 perempuan dan 18

laki-laki.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, dan teknik

tes. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah mengolah data,

mengidentifikasi data, menganalisis data, dan mengumpulkan hasil pembelajaran.

Hasil penelitian, sebanyak 82.5% siswa dapat meningkatkan prestasi belajar

melalui metode Pembelajaran Reciprocal Teaching, dengan menggunakan

metode pembelajaran Reciprocal Teaching dapat meningkatkan prestasi belajar

siswa karena siswa dapat bertukar pendapat dengan guru. Jika Metode

pembelajaran guru diganti dengan metode pembelajaran Reciprocal Teaching,

maka itu akan berpengaruh terhadap motivasi dan minat belajar siswa dan diikuti

dengan prestasi belajar siswa.

Page 118: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

1

PENDAHULUAN

Salah satu masalah dalam

pembelajaran di sekolah adalah

rendahnya hasil belajar siswa.Masalah

adalah ketidaksesuaian antara harapan

dengan kenyataan,ada yang melihatnya

sebagai tidak terpenuhinya sesuatu

kebutuhan seseorang,dan ada pula yang

mengartikan sebagai sesuatu yang tidak

mengenakkan.Prayitno

(1985),memberikan batasan tentang

masalah sebagai sesuatu yang (1) tidak

disukai adanya; (2) menimbulkan

kesulitan bagi diri dan orang lain; (3)

dan adanya keinginan untuk

menghilangkannya.Masalah dapat

dialami oleh siapapun,termasuk siswa

MTsN.

Masalah yang dialami anak didik

dapat bermacam-macam menurut corak

dan ragamnya.Keragaman tersebut

dapat pula dilihat dari intensitas dan

kuantitas.Secara intensitas,masalah anak

didik dapat bergerak dari masalah yang

bersifat ringan sampai pada tingkat

yang sedang yang berupa neorosis dan

berat yang berupa psikosis.

Masalah yang dialami anak didik

tidak timbul begitu saja,tetapi ada

berbagai factor yang menyebabkan

masalah tersebut.Bila guru mampu

mengidentifikasi penyebab timbunya

masalah yang dialami anak didik,maka

ia akan mampu memberikan penangnan

dan atau pencegahan sedini

mungkin.Secara garis besar,factor-

faktor yang mempengaruhi timbulnya

masalah yang dihadapi anak didik

adalah faktor internal yaitu faktor

dari

dalam diri anak didik seperti

keadaan fisik (keadaan indra

persepsinya,perkembangan fisik dan

kesehatan anak didik),keadaan

psikologis (kurangnya kemampuan

dasar,kurangnya pengalman,kurangnya

perhatian disekolah,bakat tidak sesuai

dengan lingkungan anak didik,tidak ada

minat,sikap yang tidak sesuai dengan

hati nurani dan tidak adanya

kemauan),Sedangkan faktor eksternal

adalah faktor dari luar anak didik seperti

lingkungan keluarga (keadaan status

ekonomi,perhatian orang tua,harapan

orang tua,hubungan keluarga yang tidak

harmonis),lingkungan sekolah (kondisi

kurikulum,hubungan guru dengan

siswa,hubungan antar siswa,iklim

sekolah),lingkungan masyarakat.

Suatu konsep yang penting dalam

psikologis Gestalt adalah tentang insight

yaitu pengamatan dan pemahaman

mendadak terhadap hubungan-

hubungan antar bagian-bagian dalam

suatu situasi permasalahan. Dalam

pelaksanaan pembelajaran dengan teori

Gestalt, guru tidak memberikan

potongan-potongan atau bagian-bagian

bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan

yang utuh.

Menurut teori Gestalt perbuatan

belajar itu tidak berlangsung seketika,

tetapi berlangsung berproses kepada

hal-hal yang esensial, sehingga aktivitas

belajar itu akan menimbulkan makna

yang berarti. Sebab itu dalam proses

belajar, makin lama akan timbul suatu

pemahaman yang mendalam terhadap

materi pelajaran yang dipelajari,

manakala perhatian makin ditujukan

kepada objek yang dipelajari itu telah

mengerti dan dapat apa yang dicari.

Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

adalah proses penelitian yang sistematis

dan terencana melalui tindakan

perbaikan pembelajaran yang dilakukan

oleh guru di kelasnya sendiri

(Mills,Geoffrey

E,2000;Schmuck,Richard A,1997)

Guru yang professional tidak

hanya dituntut untuk menguasai materi

ajar atau mampu menyajikannya secara

tepat,tetapi juga dituntut mampu

melihat atau menilai kinerjanya

sendiri.Kemampuan ini berkaitan

dengan penelitian yang dalam konteks

Page 119: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

ini ruang lingkupnya berada seputar

kelas yaitu penelitian di kelas sendiri

(Wardani,dkk 2006-1)

Salah satu kompetensi yang harus

dimiliki guru adalah mendidik,mengajar

dan melatih agar anak didiknya kelak

menjadi manusia pandai,terampil dan

berbudi luhur.Untuk dapat

melaksanakan tugas tersebut,guru

seyogyanya menguasai kemampuan

mengajarkan pengetahuan dan

keterampilan hidup,mendidik agar

menjadi manusia yang berakhlak dan

melatih para anak didiknya agar mampu

memanfaatkan pengetahuan dan

keterampilannya bagi hidupnya kelak.

Salah satu kemampuan yang harus

dimiliki guru sebagai salah satu unsur

pendidik agar mampu melaksanakan

tugas profesionalnya adalah memahami

bagaimana anak didik belajar dan

mengorganisasikan proses pembelajaran

yang mampu mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak

peserta didik serta memahami tentang

bagaimana anak didik belajar.Untuk

dapat memahami proses belajar yang

terjadi pada diri anak didik guru perlu

menguasai hakekat dan konsep dasar

belajar.Dengan menguasai hakekat dan

konsep dasar belajar diharapkan guru

mampu menerapkannya dalam kegiatan

pembelajaran,karena fungsi utama

pembelajaran adalah mempasilitasi

tumbuh dan berkembangnya belajar

dalam diri peserta didik

(Winataputra,2007 : 4).

Wadah dan sarana yang paling

strategis bagi kecerdasan kahidupan

bangsa adalah pendidikan,utamanya

melalui sistem persekolahan.Bagi

bangsa kita,upaya yang dilakukan

pemerintah dalam rangka mengakses

dan mengimplementasikan tujuan

nasional tersebut adalah

menyelenggarakan sistem pendidikan

nasional yang diatur oleh undang-

undang.

Pendidikan bagi sebagian orang,

berarti berusaha membimbing anak

untuk menyerupai orang dewasa,

sebaliknya bagi Jean Piaget ( 1896 )

pendidikan berarti menghasilkan,

mencipta, sekalipun tidak banyak,

sekalipun suatu penciptaan dibatasi oleh

pembandingan dengan penciptaan yang

lain. Pandangan tersebut memberi

makna bahwa pendidikan adalah segala

situasi hidup yang mempengaruhi

pertumbuhan individu sebagai

pengalaman belajar yang berlangsung

dalam segala lingkungan dan sepanjang

hidup. Dalam arti sempit pendidikan

adalah pengajaran yang diselenggarakan

umunya di sekolah sebagai lembaga

pendidikan formal. Ilmu disebut juga

pedagogik, yang merupakan terjemahan

dari bahasa Inggris yaitu ” Pedagogics

”. Pedagogics sendiri berasal dari

bahasa Yunani yaitu ” pais ” yang

artinya anak, dan ” again ” yang artinya

membimbing. Poerbakwatja dan

Harahap ( 1982 : 254 ) mengemukakan

pedagogik mempunyai dua arti yaitu :

(1) peraktek, cara sesorang mengajar;

dan (2) ilmu pengetahuan mengenai

prinsip-prinsip dan metode mengajar,

membimbing, dan mengawasi pelajaran

yang disebut juga pendidikan.

Orang yang memberikan

bimbingan kepada anak didik disebut

pembimbing atau ” pedagog”, dalam

perkembangannya, istilah pendidikan (

pedagogy ) berarti bimbingan atau

pertolongan yang diberikan kepada anak

oleh orang dewasa secara sadar dan

bertanggung jawab. Dalam dunia

pendidikan kemudian tumbuh konsep

pendidikan seumur hidup ( lifelong

education ), yang berarti pendidikan

berlangsung sampai mati, yaitu

pendidikan berlangsung seumur hidup

dalam setiap saat selama ada pengaruh

lingkungan. Untuk memberi

pemahaman akan batasan pendidikan

berikut ini dikemukakan sejumlah

Page 120: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

3

batasan pendidikan yang dikemukan

para ahli yaitu :

(1) Pendidikan ialah proses

pengubahan sikap dan tata laku

seseorang atau kelompok orang

dalam usaha mendewasakan manusia

melalui upaya pengajaran dan

pelatihan ( Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 1991 ).

(2) Dalam pengertian yang sempit

pendidikan berarti perbuatan atau

proses perbuatan untuk memperoleh

pengetahuan ( McLeod, 1989 ).

(3) Pendidikan ialah segala pengalaman

belajar yang berlangsung dalam

segala lingkungan dan sepanjang

hidup serta pendidikan dapat

diartikan sebagai pengajaran yang

diselenggarakan di sekolah sebagai

lembaga pendidikan formal (

Mudyahardjo, 2001:6 )

(4) Dalam pengertian yang agak luas

pendidikan diartikan sebagai sebuah

proses dengan metode-metode

tertentu sehingga orang memperoleh

pengetahuan, pemahaman, dan cara

bertingkah laku yang sesuai dengan

kebutuhan ( Muhibinsyah, 2003:10 )

(5) Pendidikan berarti tahapan

kegiatan yang bersifat kelembagaan (

seperti sekolah dan madrasah ) yang

dipergunakan untuk

menyempurnakan perkembangan

individu dalam menguasai

pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan

sebagainya ( Dictionary of

Psychology, 1972 ).

(6) Dalam arti luas pendidikan

meliputi semua perbuatan dan usaha

dari generasi tua untuk mengalihkan

pengetahuannya, pengalamannya,

kecakapannya, dan ketrampilannya

kepada generasi muda sebagai usaha

menyiapkannya agar dapat

memenuhi fungsi hidupnya baik

jasmaniah maupun rohaniah. Artinya

pendidikan adalah usaha secara

sengaja dari orang dewasa untuk

dengan pengaruhnya meningkatkan

si anak ke kedewasaan yang selalu

diartikan mampu menimbulkan

tanggung jawab moril dari segala

perbuatannya ( Poerbakawatja dan

Harahap, 1981 ).

(7) Menurut John Dewey

pendidikan merupakan proses

pembentukan kemampuan dasar

yang fundamental, baik menyangkut

daya pikir atau daya intelektual,

maupun daya emosional atau

perasaan yang diarahkan kepada

tabiat manusia dan kepada

sesamanya.

(8) Pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan

spritual keagamaan, pengenalan diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta ketrampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara ( UUSPN No. 20

Tahun 2003 ).

Pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan

bangsa,bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa,serta

berakhlak

mulia,sehat,berilmu,cakap,kreatif

mandiri dan menjadi warga Negara

yang demokratis serta bertanggung

jawab (Undang-undang Nomor 20

Tahun 2003,tentang sistem

Pendidikan Nasional.

Pendidikan Taman kanak-kanak

merupakan bagian dari pendidikan

nasional bertujuan untuk memberikan

Page 121: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

4

bekal kemampuan pribadi anggota

masyarakat,warga Negara dan anggota

umat manusia serta mempersiapkan

peserta didik dan untuk mengikuti

pendidikan dasar PP nomor 28 Tahun

1990 tentang pendidikan dasar.Tujuan

pendidikan taman kanak-kanak

tersebut,dijabarkan lagi ke dalam tujuan

kurikuler (tujuan mata pelajaran) dan

tujuan instruksional menempati posisi

kunci yang strategis dalam menciptakan

dan mengembangkan suasana belajar

yang kondusif dan menyenangkan

sehingga terjadi pembelajaran yang

efektif dan bermakna untuk

mengarahkan siswa agar mampu

mencapai hasil yang optimal.

Pendidikan selalu dapat dibedakan

menjadi teori dan praktek, teori

pendidikan adalah pengetahuan tentang

makna dan bagaimana soyogyanya

pendidikan itu dilaksanakan, sedangkan

praktek adalah tentang pelaksanaan

pendidikan secara konkretnya. Teori

pendidikan disusun seperti latar

belakang yang hakiki dan sebagai

rasional dari praktek pendidikan serta

pada dasarnya bersifat direktif. Istilah

direktif memberi makna bahwa

pendidikan itu mengarah pada tujuan

yang pada hakekatnya untuk mencapai

kesejahteraan bagi subjek

Pada dasarnya ”mengajar” adalah

membantu ( mencoba membantu )

seseorang untuk mempelajari sesuatu

dan apa yang dibutuhkan dalam belajar

itu tidak ada kontribusinya terhadap

pendidikan orang yang belajar. Artinya

mengajar pada hakekatnya suatu proses,

yakni proses mengatur, mengorganisasi

lingkungan yang ada disekitar siswa

sehingga menumbuhkan dan

mendorong siswa belajar.Hal ini akan

dapat terwujud jika dilakukan melalui

proses pengajaran dengan strategi

pelaksanaan melalui :

1. Bimbingan yaitu pemberian

bantuan,arahan,motivasi,nasihat dan

penyuluhan agar siswa mampu

mengatasi,memecahkan dan

menanggulangi masalahnya sendiri.

2. Pengajaran yaitu bentuk kegiatan

dimana terjalin hubungan interaksi

dalam proses belajar dan mengajar

antara tenaga kependidikan dengan

peserta didik.

3. Pelatihan yaitu sama dengan

pengajaran khususnya untuk

mengembangkan keterampilan

tertentu.

Menurut Langford (1978) yang

penting hubungan yang relevan

bukanlah antara pengajaran dengan

pendidikan tetapi antara pengajaran

sebagai suatu profesi dengan

pendidikan.

Indikator keberhasilan

pembelajaran adalah tingkat penguasaan

materi pelajaran oleh anak didik yang

lazimnya dinyatakan dengan

nilai.Mengacu pada konsep

tersebut,maka dapat dikatakan bahwa

hasil kegiatan pembelajaran di kelas

tempat saya mengajar kurang

berhasil,ditandai rendahnya hasil belajar

anak didik atau tingkat pemahaman

anak didik pada tema dan sub tema.Hal

ini terbukti dari 33 orang siswa 14

orang siswa mencapai tingkat

pemahaman 70 % ke atas.

Gejala yang demikian,tentu saja

tidak boleh dibiarkan terus menerus

terjadi.Saya menyadari bahwa sebagai

seorang guru yang diberi tugas dan

tanggung jawab untuk membimbing dan

mengarahkan siswa agar dapat

menguasai materi pelajaran secara

optimal,merasa terpanggil dan

berkewajiban untuk berbuat dan

bertindak mengatasi masalah tersebut

dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas

(PTK) sebagai suatu system kegiatan

untuk mencari dan menemukan solusi

yang tepat dalam rangka memperbaiki

pembelajaran,sehingga penguasaan

Page 122: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

5

siswa terhadap materi pelajaran dapat

ditingkatkan.

1. Model Pembelajaran

Model pembelajaran kooperatif

adalah suatu model pembelajaran yang

dalam pelaksanaannya mengedepankan

pemanfaatan kelompok-kelompok

siswa.Prinsip yang harus dipegang

teguh dalam kaitan dengan kelompok

kooperatif adalah setiap siswa yang ada

dalam suatu kelompok harus

mempunyai tingkat kemampuan yang

heterogen (tinggi, sedang dan rendah)

dan bila perlu mereka harus berasal dari

ras, budaya, suku yang berbeda serta

mempertimbangkan kesetaraan

gender.Model pembelajaran kooperatif

bertumpu pada kooperasi (kerjasama)

saat menyelesaikan permasalahan

belajar yaitu dengan menerapkan

pengetahuan dan keterampilan sehingga

tujuan pembelajaran dapat

dicapai.Sebuah model pembelajaran

dicirikan oleh adanya struktur tugas

belajar, struktur tujuan pembelajaran

dan struktur penghargaan (reward).

Dalam kaitan dengan model

pembelajaran kooperatif, maka tentu

saja struktur tugas, struktur tujuan dan

struktur penghargaan pada model

pembelajaran ini tidak sama dengan

struktur tugas, struktur tujuan serta

struktur penghargaan model

pembelajaran yang lain.

Menurut Wina Sanjaya,

pembelajaran individual dan

pembelajaran kelompok merupakan

suatu strategi pembelajaran. Sedangkan

strategi pembelajaran menurut J.R.

David (1976) dalam Sanjaya (2006:126)

dalam dunia pendidikan strategi dapat

didefinisikan sebagai “a plan method, or

series ofactivities designed to achieves a

particular aducational goal.”.Strategi

dapat didefinisikan sebagai perencanaan

yang berisi tentang rangkaian kegiatan

yang didesain untuk mencapai tujuan

pendidikan tertentu.

Menurut Wina Sanjaya (2008 :

3) dari pengertian diatas terdapat dua

hal yang harus kita cermati, pertama

strategi pembelajaran merupakan

rencana tindakan (rangkaian kegiatan)

termasuk penggunaan metode dan

pemanfaatan berbagai sumber daya atau

kekuatan dalam pembelajaran. Kedua

strategi disusun untuk mencapai tujuan

tertentu.

Sedangkan menurut Hamzah B.

Uno (2008 : 3) Strategi pembelajaran

adalah cara-cara yang akan digunakan

oleh pengajar untuk memilih kegiatan

belajar yang akan digunakan dalam

proses pembelajaran. Pemilihan tersebut

dilakukan denganmempertimbangkan

situasi dan kondisi, sumber belajar,

kebutuhan dan karakteristik peserta

didik yang dihadapi dalam rangka

mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

Kemp (1995) dalam Sanjaya

(2006:126) menjelaskan bahwa strategi

pembelajaran adalah suatu kegiatan

pembelajaran yang harus dikerjakan

guru dan siswa agar tujuan

pembelajaran dapat dicapai secara

efektif dan efisien. Sementara itu Dick

and Carey (1985) dalam Sanjaya

(2006:126) menjelaskan bahwa strategi

pembelajaran adalah suatu set materi

dan prosedur pembelajaran yang

digunakan secara bersama-sama untuk

menimbulkan hasilbelajarpadasiswa.

Memperhatikan beberapa pengertian

diatas, dapat disimpulkan bahwa

strategi pembelajaran merupakan

rencana yang berisi tentang prosedur,

langkah-langkah yang didesain

sedemikian rupa oleh seorang pengajar

untuk menyampaikan materi

pembelajaran sehingga akan

memudahkan peserta didik menerima

dan memahami materi pembelajaran,

sehingga dapat mencapai tujuan

pembelajaran yang diinginkan.

Definisi di atas menjelaskan

pula kepada kita bahwa pembelajaran

Page 123: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

6

tidak dapat dilakukan secara

sembarangan, pembelajaran

memerlukan ketelitian, ketepatan dan

kecerdikan seorang pengajar dalam

memutuskan rencana-rencana apakah

yang akan dilaksanakan dalam proses

pembelajaran.

2. Penerapan Reciprocal Teaching (

pengajaran timbal-balik)

Metode pembelajaran koperatif

dapat menjadi jalan keluar dalam

mengatasi pembelajaran di MTs.

Konsep ini menempatkan guru dan

murid sebagai subyek dalam sebuah

proses pendidikan, karena pembelajaran

koperatif mampu menyediakan kondisi

yang menyebabkan siswa satu dengan

yang lainya saling aktif berinteraksi dan

terpacu untuk meningkatkan hasil

belajar. Metode ini mengedepankan

kerja-kerja dalam kelompok maupun

individu, sehingga siswa mampu

berinteraksi dan berdiskusi dengan baik.

Model pembelajaran koperatif

metode pengajaran timbal-balik

(reciprocal teaching) merupakan salah

satu tipe dari pembelajaran koperatif

yang dirancang dengan metode-metode

tertentu, sehingga siswa dapat belajar

lebih serius dan menumbuhkan rasa

tanggung jawab, kerjasama, berfikir

kritis, keaktifan dalam bertanya dan

keterlibatan dalam proses belajar.

Strategi pengajaran reciprocal teaching

adalah salah satu strategi dalam

pembelajaran kooperatif dimana dalam

pelaksanaannya, siswa dibentuk

kelompok-kelompok yang

beranggotakan 4 siswa dengan tugas

masing-masing sebagai predictor,

clarifier, questioner, dan summarizer,

dan dalam proses pembelajaranya siswa

dituntut untuk berinteraksi,

ketergantungan, dan bekerjasama

dengan kelompoknya dalam

mengerjakan tugasnya.

Pendidikan tidak dimaksud

sekadar mencetak orang yang pandai

menghafal dan berhitung, tetapi

melahirkan orang-orang berpribadi

matang. Pendidikan tidak hanya tempat

mengasah ketajaman otak, tetapi tempat

menyemai nilai-nilai dasar kehidupan

guna menggapai masa depan dan hidup

bermasyarakat.. Ekonomi sebagai ilmu

sosial berkaitan dengan cara mencari

tahu dan memahami gejala sosial secara

sistematis merupakan integral dari

kehidupan modern, bidang studi

ekonomi harus lebih dipandang sebagai

usaha untuk membantu proses

pengkonstruksian pengetahuan dan

penyadaran akan tanggung jawab siswa

tentang proses pembelajaran yang

dilakukannya, seperti cara memperoleh

informasi, mengeksperesikan dirinya,

bagaimana belajar lebih mudah dan

efektif sehingga siswa memperoleh

keterampilan berfikir dan termotivasi

untuk menggali dan mengolah informasi

serta memecahkan masalah dalam

kehidupan sehari-hari. Penerapan

reciprocal teaching dalam pembelajaran

ekonomi dimaksudkan agar dapat

memenuhi harapan guru, orang tua dan

pemerhati pendidikan agar siswa

memiliki motivasi belajar yang tinggi,

membentuk pemahaman yang mendasar

tentang ekonomi, serta meningkatkan

kerja sama kelompok, komunikasi, pola

berpikir kritis terhadap ilmu ekonomi.

Model pembelajaran kooperatif

tipe reciprocal teaching (pengajaran

timbal balik) dikembangkan oleh Brown

& Paliscar (1982). Pengajaran timbal

balik atau reciprocal teaching ini juga

merupakan sebuah model pembelajaran

kooperatif yang meminta siswa untuk

membentuk pasangan-pasangan saat

berpartisipasi dalam sebuah dialog

(percakapan atau diskusi) mengenai

sebuah teks (bahan bacaan). Setiap

anggota pasangan akanbergantian

membaca teks dan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan, menerima dan

memperoleh umpan balik

Page 124: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

7

(feedback).Model pembelajaran tipe

reciprocal teaching ini memungkinkan

siswa untuk melatih dan menggunakan

teknik-teknik metakognitif seperti

mengklarifikasi, bertanya, memprediksi,

dan menyimpulkan.Model pembelajaran

kooperatif tipe reciprocal teaching ini

dikembangkan atas dasar bahwa siswa

dapat belajar secara efektif dari siswa

lainnya.Baca artikel yang lebih rinci

tentang model pembelajaran kooperatif

tipe reciprocal teaching (pengajaran

timbal balik).

Selain menggunakanstrategi

questioning the author

(mempertanyakan penulis), pelajaran

untuk mengajar membaca dapat pula

dilakukan dengan pengajaran timbal

balik (reciprocal teaching).Pendekatan

pengajaran timbal balik dapat

digunakan kepada siswa yang

mempunyai pemahaman rendah dalam

membaca, baik pada sekolah dasar

maupun pada sekolah lanjutan. Pada

pengajaran timbal balik guru bekerja

sama dengan kelompok-kelompok kecil

siswa.

3. IPS Ekonomi

A. Pengertian Ekonomi

Ekonomi adalah sistem aktivitas

manusia yang berhubungan dengan

produksi, distribusi, pertukaran, dan

konsumsi barang dan jasa. Kata

"ekonomi" sendiri berasal dari kata

Yunani οἶκος (oikos) yang berarti

"keluarga, rumah tangga" dan νόμος

(nomos), atau "peraturan, aturan,

hukum," dan secara garis besar

diartikan sebagai "aturan rumah tangga"

atau "manajemen rumah tangga."

Sementara yang dimaksud dengan ahli

ekonomi atau ekonom adalah orang

menggunakan konsep ekonomi dan data

dalam bekerja.Ilmu yang mempelajari

ekonomi disebut sebagai ilmu ekonomi.

Secara umum, bisa dibilang

bahwa ekonomi adalah sebuah bidang

kajian tentang pengurusan sumber daya

material individu, masyarakat, dan

negara untuk meningkatkan

kesejahteraan hidup manusia.Karena

ekonomi merupakan ilmu tentang

perilaku dan tindakan manusia untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya yang

bervariasi dan berkembang dengan

sumber daya yang ada melalui pilihan-

pilihan kegiatan produksi, konsumsi dan

atau distribusi. Berikut ini adalah

pengertian dan definis ekonomi menurut

beberapa ahli:

a. Adam Smith Ekonomi ialah penyelidikan

tentang keadaan dan sebab adanya

kekayaan negara

b. Mill J. S Ekonomi ialah sains praktikal

tentang pengeluaran dan penagihan

c. Abraham Maslow Ekonomi adalah salah satu

bidang pengkajian yang mencoba

menyelesaikan masalah keperluan asas

kehidupan manusia melalui

penggemblengan segala sumber

ekonomi yang ada dengan berasaskan

prinsip serta teori tertentu dalam suatu

sistem ekonomi yang dianggap efektif

dan efisien

d. Hermawan Kartajaya Ekonomi adalah platform

dimana sektor industri melekat

diatasnya

e. Paul A. Samuelson Ekonomi merupakan cara-cara

yang dilakukan oleh manusia dan

kelompoknya untuk memanfaatkan

sumber-sumber yang terbatas untuk

memperoleh berbagai komoditi dan

mendistribusikannya untuk dikonsumsi

oleh masyarakat.

B. Tindakan Ekonomi

Tindakan ekonomi terdiri atas dua

aspek, yaitu :

1. Tindakan ekonomi Rasional, setiap

usaha manusia yang dilandasi oleh

pilihan yang paling

Page 125: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

8

menguntungkan dan kenyataannya

demikian.

2. Tindakan ekonomi Irrasional, setiap

usaha manusia yang dilandasi oleh

pilihan yang paling menguntungkan

namun kenyataannya tidak demikian.

C. Motif Ekonomi

Motif ekonomi adalah alasan

ataupun tujuan seseorang sehingga

seseorang itu melakukan tindakan

ekonomi.

Motif ekonomi terbagi dalam dua

aspek:

1. Motif Intrinsik, disebut sebagai suatu

keinginan untuk melakukan tidakan

ekonomi atas kemauan sendiri.

2. Motif ekstrinsik, disebut sebagai

suatu keinginan untuk melakukan

tidakan ekonomi atas dorongan

orang lain.

Pada prakteknya terdapat beberapa

macam motif ekonomi

a. Motif memenuhi kebutuhan

b. Motif memperoleh keuntungan

c. Motif memperoleh

penghargaand

d. Motif memperoleh kekuasaan

e. Motif sosial / menolong sesame

4. PrinsipEkonomi

Prinsip ekonomi merupakan

pedoman untuk melakukan tindakan

ekonomi yang didalamnya terkandung

asas dengan pengorbanan tertentu

diperoleh hasil yang maksimal.Prinsip

ekonomi adalah dengan pengorbanan

sekecil-kecilnya untuk memperoleh

hasil tertentu, atau dengan pengorbanan

tertentu untuk memperoleh hasil

semaksimal mungkin.

4. Prestasi Pelajar

A. Pengertian Prestasi

Istilah prestasi berasal dari

bahasa Belanda yaitu prestatie,

kemudian dalam bahasa Indonesia

menjadi prestasi yang berarti hasil

usaha. Prestasi adalah hasil yang

dicapai.Prestasi adalah penguasaan

pengetahuan/keterampilan yang

dikembangkan melalui mata pelajaran,

ditunjukkan dengan nilai tes (KBBI,

2008:895).Prestasi adalah hasil dari

suatu kegiatan yang telah dikerjakan,

diciptakan, baik secara individual

maupun kelompok. Prestasi tidak akan

pernah dihasilkan tanpa suatu usaha

baik berupa pengetahuan maupun

berupa keterampilan (Qohar,2000).

Menurut Muhibbin Syah

“Prestasi adalah tingkat keberhasilan

siswa dalam mencapai tujuan yang

telah ditetapkan dalam sebuah program

(2010: 141)”. Sumadi Suryabrata

mengemukakan bahwa “Prestasi belajar

adalah nilai yang merupakan perumusan

terakhir yang dapat diberikan oleh guru

mengenai kemajuan/prestasi belajar

selama masa tertentu (2007:297)”.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh

James P. Chaplin (2002: 5) bahwa

“Prestasi belajar merupakan hasil

belajar yang telah dicapai atau hasil

keahlian dalam karya akademis yang

dinilai oleh guru/dosen, lewat tes-tes

yang dilakukan atau lewat kombinasi

kedua hal tersebut”. Hal ini

misalnya prestasi belajar mahasiswa

selama satu semester yang diukur

dengan nilai beberapa mata kuliah yang

harus ditempuh selama satu semester

tersebut, jika mahasiswa bisa

mengumpulkan nilai yang tinggi

dalam masing-masing mata kuliah dan

mengumpulkan jumlah yang tinggi atau

lebih dari yang lain berarti mahasiswa

tersebut mempunyai prestasi belajar

yang tinggi.

W.S Winkel (2004: 162)

mengemukakan bahwa “Prestasi

belajar adalah suatu bukti keberhasilan

belajar atau kemampuan seseorang

siswa dalam melakukan kegiatan

belajarnya sesuai bobot yang dicapai”.

Sejalan dengan pendapat tersebut Nana

Sudjana (2006: 3) mengemukakan

bahwa “Prestasi belajar merupakan

hasil-hasil belajar yang dicapai oleh

Page 126: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

9

siswa dengan kriteria-kriteria

tertentu”. Sementara Nasution S.

(2000: 162) berpendapat bahwa

“Prestasi belajar adalah kesempurnaan

yang dicapai seseorang dalam berfikir,

merasa dan berbuat”. Prestasi belajar

dikatakan sempurna apabila

memenuhi tiga aspek yakni: kognitif,

afektif, dan psikomotor, sebaliknya

dikatakan prestasi belajar kurang

memuaskan jika seorang belum mampu

memenuhi target ketiga kriteria tersebut.

Prestasi adalah hasil yang telah

dicapai seseorang dalam melakukan

kegiatan. Gagne (1985:40) menyatakan

bahwa prestasi belajar dibedakan

menjadi lima aspek, yaitu : kemampuan

intelektual, strategi kognitif, informasi

verbal, sikap dan keterampilan. Menurut

Bloom dalam Suharsimi Arikunto

(1990:110) bahwa hasil belajar

dibedakan menjadi tiga aspek

yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Prestasi merupakan kecakapan

atau hasil kongkrit yang dapat dicapai

pada saat atau periode tertentu.

Berdasarkan pendapat tersebut, prestasi

dalam penelitian ini adalah hasil yang

telah dicapai siswa dalam proses

pembelajaran. Muhibbin Syah (2010:

149) berpendapat bahwa prestasi belajar

pada dasarnya merupakan hasil

belajar atau hasil penilaian yang

menyeluruh, dengan meliputi:

1. Prestasi belajar dalam bentuk

kemampuan pengetahuan dan

pengertian. Hal ini juga

meliputi: ingatan, pemahaman,

penegasan, sintesis, analisis dan

evaluasi.

2. Prestasi belajar dalam bentuk

keterampilan intelektual dan

keterampilan sosial.

3. Prestasi belajar dalam bentuk sikap

atau nilai.

Berdasarkan pengertian tersebut,

dapat disimpulkan bahwa prestasi

belajar adalah hasil yang dicapai oleh

seorang pelajar/siswa yang mencakup

aspek ranah kognitif, afektif dan

psikomotoryang ditunjukkan dengan

nilai yang diberikan dosen setelah

melalui kegiatan belajar selama periode

tertentu.

1. Pengertian Belajar

Untuk memperoleh pengertian

yang objektif tentang belajar, terutama

belajar di sekolah, perlu dirumuskan

secara jelas pengertian belajar.Belajar

sudah banyak dikemukakan oleh para

ahli psikologi termasuk oleh ahli

psikologi pendidikan.

Menurut pengertian secara

psikologis (Slameto, 2003:2) belajar

merupakan suatu proses perubahan,

yaitu perubahan tingkah laku yaitu

sebagai hasil dari interaksi dengan

lingkungannya dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya, atau dengan kata

lain belajar (Hamalik, 36:2001) adalah

modifikasi atau memperteguh kelakuan

melalui pengalaman. Belajar adalah

merupakan suatu proses di mana

seseorang mendapatkan suatu

pengetahuan dan pemahaman yang

diiringi dengan latihan sebagai

penguatan yang akan membawa

seseorang kepada sebuah prilaku

berbeda dari sebelumnya, dan prilaku

tersebut bersifat tetap dan berlaku lama

dan melekat pada dirinya sehingga pada

akhirnya akan menjadi sifat dan pola

prilakunya. Perubahan terjadi karena

sikap seorang siswa yang senantiasa

berinteraksi dengan

lingkungannya.Lingkungan tempat

siswa terdiri dari lingkungan sekolah

dan lingkungan luar sekolah, di mana

siswa mendapatkan pengaruh yang

dapat menjadi suatu pengalaman bagi

dirinya dan hasilnya nanti didapat

sebagai hasil belajar.

Belajar merupakan prilaku yang

kompleks (Dimyati, 2002:38).Skinner

misalnya memandang prilaku belajar

dari segi prilaku teramati. Oleh karena

Page 127: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

10

itu, ia mengemukakan pentingnya

program pembelajaran. Gagne

memandang kondisi internal belajar dan

kondisi eksternal belajar yang bersifat

interaktif. Rogers mengemukakan

pentingnya guru memperhatikan prinsip

pendidikan dalam belajar, dimana

pelajar memiliki kekuatan menjadi

manusia, belajar hal yang bermakna,

menjadikan bagian yang bermakna bagi

diri, bersikap terbuka, berpartisipasi dan

bertanggung jawab, belajar mengalami

kesinambungan dengan penuh

kesungguhan

Belajar juga merupakan tindak

interaksi antara pelajar dan

pembelajaran yang memiliki

tujuan.Oleh karena itu, berupa akibat

interaksi, maka belajar di dinamiskan

(Dimyati, 2002: 39).Pendinamisan

belajar terjadi oleh prilaku belajar dan

lingkungan pelajar.Dinamika pelajar

yang bersifat internal, terkait dengan

peningkatan hierarki ranah-ranah

kognitif, afektif maupun

psikomotorik.Kesemuanya itu terkait

dengan tujuan pembelajaran.

Di dalam belajar terdapat tiga masalah

pokok, yaitu :

a. Masalah mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi terjadinya

belajar.

b. Masalah bagaimana belajar itu

berlangsung dan prinsip mana yang

dilaksanakan.

c. Masalah mengenai prestasi belajar.

Dua masalah pokok yang

pertama tersebut berkenaan dengan

proses belajar yang sangat berpengaruh

kepada masalah pokok yang ketiga.

Dengan demikian, bagaimana peristiwa

terjadinya proses belajar akan

menentukan prestasi belajar seseorang.

2. Hakekat Prestasi Belajar

Dalam proses belajar mengajar,

siswa mengalami suatu perubahan

dalam bidang pengetahuan,

pemahaman, keterampilan, dan sikap.

Adanya perubahan ini dapat dilihat dari

prestasi belajar siswa yang dihasilkan

dari kegiatan mengerjakan soal ulangan

dan mengerjakan tugas yang diberikan

oleh guru.

Kata prestasi belajar

mengandung dua kata yaitu prestasi dan

belajar yang mempunyai arti

berbeda.Oleh karena itu, sebelum

pengertian prestasi belaja dibicarakan,

ada baiknya kedua kata itu dijelaskan

satu-persatu.

Menurut Syaiful Bahri

Djamarah (PR. Cybermedia, 2002:1)

prestasi adalah penilaian pendidikan

tentang perkembangan dan kemajuan

murid yang berkenaan dengan

penguasaan bahan pengajaran yang

disajikan kepada mereka dan nilai-nilai

yang terdapat di dalam kurikulum.

Sedangkan belajar merupakan

perubahan tingkah laku untuk mencapai

tujuan dan tidak tahu menjadi tahu atau

dapat dikatakan sebagai proses yang

menyebabkan terjadinya perubahan

tingkah laku dan kecakapan seseorang.

Selanjunya menurut Abdurrahman

Saleh (PR.Cybermedia, 2002:1)

memberikan prestasi belajar adalah

yang dicapai siswa dari mempelajari

tingkat ilmu penguasaan tertentu dengan

alat ukur berupa evaluasi yang

dinyatakan dalam bentuk angka huruf

atau angka simbol-prestasi belajar juga

dapat diartikan sebagai indikator

kualitas dan kwantitas pengetahuan

yang dikuasai anak didik dalam

memahami mata pelajaran di sekolah.

Prestasi belajar bukan hanya

semata-mata karena faktor kecerdasan

(intelegensia) siswa saja, tetapi ada

faktor lain yang dapat mempengaruhi

prestasi belajar siswa tersebut. Faktor-

faktor yang dimaksud tersebut dibagi

menjadi dua yakni faktor intern dan

faktor ekstern faktor-faktor yang

dimaksud adalah seperti yang

Page 128: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

11

dikemukakan oleh Hana Sujadna

(PR.Cybermedia, 2002: 1):

a. Faktor intern, yaitu faktor yang

terdapat dalam diri individu

itusendiri, antara lain adalah

kemampuan yang dimiliki, minat

dan motivasi serta faktor-faktor

lainnya.

b. Faktor ekstern, yaitu faktor yang

berada diluar individu diantaranya

lingkungan sekolah, lingkungan

masyarakat.

Sehubungan dengan hal

tersebut diatas, agar siswa dapat

memperoleh prestasi belajar yang

seoptimal mungkin maka siswa perlu

meningkatkan kemampuan minat dan

motivasi yang ada dalam

dirinya.demikian pula halnya dengan

faktor yang ada diluar diri siswa. Faktor

ini dapat mendorong dan menghambat

siswa dalam proses belajar. Lingkungan

keluarga, sekolah dan masyarakat dapat

memberikan dukungan kepada siswa

didalam belajar.Di antara ketiga

lingkungan tersebut lingkungan sekolah

merupakan lingkungan yang terpenting

yang berfungsi sebagai lingkungan

kedua yang sangat mendukung dalam

mendidik anak atau siswa setelah

lingkungan utama yaitu lingkungan

keluarga.Minat siswa terdapat suatu

pelajaran bisa menjadi salah satu faktor

yang menyebabkan peningkatan prestasi

belajar siswa.Minat siswa menurut

Winkel (Pr. Cybermedia, 2002: 2)

termasuk faktor yang berpengaruh pada

prestasi belajar yang termasuk faktor

ekstern.

METODE PENELITIAN

Pendekatan dan Jenis Penelitian

Berdasarkan judul penelitian ini,

yakni peningkatan prestasi belajar

melalui metode pembelajaran reciprocal

teaching siswa kelas VIIb MTsN

Watampone kecamatan tanete riattang

kabupaten bone, maka penelitian ini

digolongkan ke dalam penelitian

tindakan kelas (classroom action

research). Penelitian tindakan ini

dilakukan untuk menggambarkan dan

mengamati proses belajar siswa kelas

VIIb MTsN Watampone kecamatan

tanete riattang kabupaten bone melalui

penggunaan metode pembelajaran

Reciprocal teaching. Mekanisme

pelaksanaanya dilakukan dengan dua

siklus. Setiap siklus masing-masing

dilaksanakan dengan empat tahap,

yaitu: 1). Perencanaan, 2). Tindakan, 3).

Pengamatan, Dan 4). Refleksi.

Penelitian tindakan kelas ini merupakan

salah satu upaya untuk memperbaiki

dan meningkatkan kualitas

pembelajaran serta membantu

memberdayakan guru dalam

memecahkan masalah pembelajaran di

kelas. Dengan demikian guru dapat

mengetahui secara jelas masalah-

masalah yang ada di kelas dan solusi

pemecahan dalam mengatasi masalah

tersebut.

Jenis penelitian yang digunakan

dalan penelitian ini adalah penelitian

tindakan kelas (classroom action

reseach) dengan pemaparan data

deskriptif kualitatif dan data kuantitatif.

Data kualitatif diperbolehkan dari

lembar observasi, dan lembar catatan

lapangan dalam setiap pelaksanaan

tindakan (proses pembelajaran), dan

data kuantitatif diperoleh dari tes akhir

setiap siklus.

Menurut agib (2006:13), dikatakan

bahwa yang dimaksud dengan

penelitian tindakan kelas (PTK) adalah

suatu perencanaan terhadap kegiatan

yang sengaja dimunculkan, dan terjadi

dalam suatu kelas. PTK dapat

meningkatkan kinerja guru sehingga

menjadi profesional karena mampu

memperbaiki proses pembelajaran

melalui suatu kajian yang terjadi di

kelasnya.

Page 129: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

12

Penelitian ini dilaksanakan selama

dua siklus, setiap siklus saling berkaitan

dalam hal rangkaian kegiatannya.

Artinya, bahwa pelaksanaan pada siklus

I akan dilanjutkan pada siklus II yang

merupakan pelaksanaan perbaikan dari

siklus I. Arikunto (2009: 74),

memperkenalkan empat tahap pada

masing-masing siklus yaitu :1).

Menyusun rancangan tindakan

(planning), 2). Pelaksanaan tindakan

(acting), 3). Pengamatan (observasi), 4).

Refleksi (reflecting).

Lokasi dan Subjek Penelitaian

Penelitian ini adalah penelitian

tindakan kelas yang dilaksanakan di

kelas VII B MTsN Watampone

Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten

Bone. Adapun Subjek dalam penelitian

ini yang berjumlah 33 siswa, perempuan

19 dan laki-laki 14 .

Prosedur Penelitian

Penelitian ini direncanakan

selama dua siklus, dimana setiap siklus

saling berkaitan dalam hal rangkaian

kegiatanya. Artinya bahwa pelaksanaan

pada siklus I akan dilanjutkan pada

siklus II yang merupakan pelaksanaan

perbaikan dari siklus II. Siklus I dan II

meliputi: 1). Perencanaan tindakan, 2).

Pelaksanaan tindakan, 3). Pengamatan,

dan 4). Refleksi.

Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data

adalah cara yang dilakukan dalam

pengumpulan data yang berhubungan

dengan penelitian ini. Arikunto (2006:

150 – 159) menyebutkan beberapa cara

teknik pengumpulan data yaitu: 1). Tes.

2). Wawancara, 4). Format Observasi,

dan 6). Dokumentasi. Namum, dalam

penelitian ini peneliti hanya memiliki 4

bulan beberapa teknik yang disebutkan

diatas yaitu: 1). Teknik observasi. Dan

2). Teknis tes.

1. Teknik observasi

Teknik observasi dilakukan

terhadap seluruh aktivitas siswa saat

pelaksanaan pembelajaran berlangsung

dengan menggunakan format observasi.

Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan

agar diperoleh data terhadap hasil

observasi dan guru dalam mengarahkan

dan mengontrol siswa serta tindakan

siswa selama proses pembelajaran

berlangsung.

2. Teknik tes

Tes dalam penelitian ini digunakan

untuk mengadakan perkiraan terhadap

intelektual siswa dengan cara

memberikan tugas dalam menjawab

pertanyaan tentang mata pelajaran IPS

Ekonomi dengan menggunakan metode

reciprocal teaching menggunakan waktu

yang telah ditentukan untuk

memperoleh data dan mengetahui

bagaimana peningkatan prestasi belajar

siswa pada mata pelajaran IPS Ekonomi

melalui metode pembelajaran reciprocal

teaching.

Teknik Analisis Data

Data pada penelitian diatas

berdasrkan data hasil format

pengamatan dan hasil Tes dari mata

pelajaran IPS Ekonomi dengan

menggunakan metode pembelajaran

reciprocal teaching pada siswa serta

data yang diperoleh dari hasil

observasi dan catatan lapangan. Data

tersebut direduksi berdasarkan pada

masalah yang diteliti, diikuti penyajian

data, dan terakhir penyimpulan atau

verifikasi. Tahap analisi itu diuraikan

sebagai berikut :

1. Mengolah data

Data yang diolah melalui observasi,

catatan lapangan, dan studi dokumentasi

dengan melakukan transkripsi hasil

observasi, penyeleksian, dan pemilihan

data. Data dikelompokkan berdasarkan

data pada tiap siklus.

Page 130: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

13

2. Mengedentifikasi data

Data keseluruhan yang terkumpul

di seleksi dan didentifikasi berdasarkan

kelompoknya dan mengklasifikasikan

data sesuai dengan kebutuhan.

3. Menganalisi data

Penganalisis data dengan cara

mengorganisasikan informasi yang telah

direduksi. Keseluruhan data dirangkum

dan disajikan secara terpadu sesuai

siklus yang direncanakan sehingga

fokus pada pembelajaran.

4. Mengumpulkan hasil penelitian

Akhir temuan penelitian

dikumpulkan dan dilakukan kegiatan

tringulasidata atau pengujian temuan

penelitian. Keabsahan data diuji dengan

memikirkan kembali hal-hal yang telah

dilakukan dan dikemukakan melalui

tukar pendapat dengan ahli dan

pembimbing, teman sejawat, peninjauan

kembali catatan lapangan, hasil

observasi serta tringulasidengan teman

sejawat atau guru setelah selesai

pembelajaran.

Penerapan metode pembelajaran

reciprocal teaching dalam upaya

meningkatkan prestasi belajar siswa

dalam mata pelajaran IPS Ekonomi

pada siswa kelas VIIb Watampone

Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten

Bone. Dikaitkan dengan ketuntasan

belajar. Siswa yang mendapat nilai 70

keatas ≥ 75% , dan ≥ 75% siswa aktif mengikuti pembelajaran, maka

pembelajaran dengan menggunakan

model pembelajaran Reciprocal

teaching oleh guru dinyatakan berhasil.

Kriteria Penilaian

Prestasi siswa dalam pelajaran

IPS ekonomi melalui metode

pembelajaran Reciprocal teaching,

yaitu:

1. Jawaban yang tepat

2. Keberanian siswa dalam

menjawab

3. Jumlah pertanyaan yang mampu

di jawab dengan benar

4. Waktu yang digunakan dalam

menjawab pertanyaan

5. Kecakapan dalam menjawab

Indikator keberhasilan

a. Sebanyak 75% siswa dapat

memahami materi manusia

sebagai makhluk sosial dan

makhluk ekonomi yang

bermoral.

b. Ketuntasan belajar tercapai jika

85% siswa mendapat nilai 70.

c. Untuk kriteria keaktifan siswa

mendapat nilai baik, dilihat dari

hasil penilaian instrument.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Siklus I dan II

Pada bab ini akan disajikan

data hasil pembelajaran IPS kelas VII B

MTsN Watampone Kacematan Tanete

Riattang Kabupaten Bone. Data

perbaikan pembelajaran pada siklus I

dan II akan ditampilkan dalam bentuk

tabel sehingga nantinya akan terlihat

hasil perbaikan pembelajaran yang telah

dilakukan oleh guru pada siklus II pada

mata pelajaran IPS.

Tabel 4.1 Data siklus I dan siklus II

pada pembelajaran IPS

NO NAMA

MATA

PELAJARAN IPS Ket

Siklus I Siklus

II

1 AHMAD 75 79

2 YUSRAN 62 80

3

AHMAD

ALFIAN UMAR 55 79

4

ERICK

PRADITYA 50 80

Page 131: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

14

5 NASIR 55 75

6

ARJUNA

AHMAD 50 74

7

MUH.NUR

IKHSAN ASIS 70 90

8

PUTRA

RAMADHAN 72 80

9

MAHMUD

SAKIYUDDIN 60 75

10

RESKI

ARDIANSYAH 76 85

11

A.ICHLASUL

AMAL NUSUL 40 75

12

MUH.RESKI

SYAM 72 75

13 MUH.ARFAN 86 90

14

ARDIAN

SETIAWAN 55 73

15 AHMAD FAUZY 95 95

16

MUH.YUSRIL

HIDAYAT 62 75

17

AHMAD ISHAK

JAELANI 35 70

18 SYAHRUL ASIS 75 79

19 HUSNAENI 85 90

20

MAGFIRA TRI

AGUSTIANI 62 85

21 ST.RAHMANIAR 70 80

22

NUR AZIZAH

RAMADHANI 65 79

23

A.TASYA

JELITA 85 90

24

ARUMI ZAHRA

DININGRAT 70 79

25 A.APRILIAWATI 65 70

26 KURNIAH 75 75

27

A.ANDINI

PRATIWI 50 75

28 NUR AQIDAH 65 79

29 MIRNAWATI 75 80

30

FATIMAH AZ-

ZAHRAH 90 95

31

YUNI RESTIANI

SYARIF 70 90

32 MUTIA

NIRWANA 65 75

33 ZAKINAH 75 87

34 NUR HAFIFAH 72 85

Jumlah siswa : 34

67,24 79.81

Rata-Rata

Berdasarkan tabel diatas dapat

dilihat jelas perbandingan hasil belajar

siswa kelas VII B MTsN Watampone

Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten

Bone pada siklus I dan Siklus II.

Dimana siklus I Rata-rata yang

diperoleh adalah 67,24% sedangkan

pada siklus II rata-rata yang diperoleh

adalah 79,81%,setalah menggunakan

metode pembelajaran Reciprocal

Teaching.

a. Hasil belajar IPS ekonomi siswa

yang mengikuti pembelajaran

dengan metode pembelajaran

Reciprocal Teaching pada siklus I

Adapun analisis deskriptif

data hasil belajar IPS ekonomi pada

siklus I siswa kelas VIIb MTsN

Watampone kecamatan tanete

riattang kabupaten bone

Tabel 4.3 Deskriptif hasil belajar IPS

siswa kelas VIIb kacematan tanete

riattang kabupaten bone

STATISTIK

NILAI

STATISTIK

Subyek 34

Skor Ideal 100

Skor Tertinggi 95

Skor Terendah 35

Rentang Skor 60

Skor Rata-rata 64,8

Standar Deviasi 28,32

Page 132: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

15

Jika skor hasil belajar IPS

dikelompokkan dalam 7 kategori, maka

dibuat tabel distribusi frekuensi skor

sebagai berikut:

Tabel. 4.4 Distribusi frekuensi dan

presentase skor siklus I siswa kelas

VIIb MTsN Watampone kacematan

tanete riattang kabupaten bone

No SKO

R

KATAGO

RI

FREKUEN

SI

PRESENTA

SE (%)

1 0 –

39 Gagal 1 2,94

2 40 –

59 Kurang 7 20,59

3 60 –

74 Cukup 16 47,06

4 75 –

84 Baik 6 17,65

5 85 –

100

Sangat

Baik 4 11,76

Jumlah 34 100

Berdasarkan tabel 4.3

menunjukkan bahwa hasil belajar IPS

siswa kelas VIIb MTsN Watampone

Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten

Bone yang diajarkan dengn metode

pembelajaran Reciprocal Teaching

berdasarkn sampel yang diteliti ternyata

menghasilkan skor rata-rata 64.8 dan

standar deviasi 28,32 dengan skor

maksimum 95 dan skor minimum 35 .

sementara pada tabel 4.3 terlihat bahwa

11,76% atau 4 orang siswa yang hasil

belajar IPS ekonominya berada pada

kategori yang sangat baik, 17,65% atau

6 orang siswa yang hasil belajarnya

berada pada kategori baik, 47,06% atau

16 orang siswa yang hasil belajarnya

berada pada kategori cukup, 20,59%

atau 7 orang siswa yang hasil belajarnya berada pada kategori kurang dan 2.94%

atau 1 orang siswa untuk kategori gagal.

b. Hasil belajar IPS siswa yang

mengikuti pembelajaran dengan

metode pembelajaran reciprocal

teaching pada siklus II

Adapun analisis deskriptif data

hasil belajar IPS pada siklus II siswa

kelas VII MTsN Watampone kecamatan

tanete riattang kabupaten bone

Tabel 4.5 Deskriptif hasil belajar IPS

siswa kelas VIIb kacematan tanete

riattang kabupaten bone

STATISTIK NILAI

STATISTIK

Subyek 34

Skor Ideal 100

Skor Tertinggi 95

Skor Terendah 75

Rentang Skor 20

Skor Rata-rata 64.8

Standar Deviasi 32,28

Jika skor hasil belajar IPS

dikelompokkan dalam 7 kategori, maka

dibuat tabel distribusi frekuensi skor

sebagai berikut:

Tabel. 4.6 Distribusi frekuensi dan

presentase skor siklus

II siswa kelas VIIb

MTsN kecamatan

tanete riattang

kabupaten bone

No SKOR KATAGORI FREKUENSI PRESENTASE

(%)

1 0 – 39 Gagal 0 0

2 40 – 59 Kurang 0 0

3 60 – 74 Cukup 4 11,76

4 75 – 84 Baik 13 38,24

5 85 –

100 Sangat Baik 17 50

Jumlah 34 100

Berdasarkan tabel 4.5

menunjukkan bahwa hasil belajar IPS

siswa kelas VIIB MTsN Watampone

Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten

Bone yang diajarkan dengn metode

pembelajaran Reciprocal Teaching

berdasarkn sampel yang diteliti ternyata

menghasilkan skor rata-rata 64.4 dan

standar deviasi 32,28 dengan skor

maksimum 95 dan skor minimum 75.

sementara pada tabel 4.5 terlihat bahwa

50% atau 17 orang siswa yang hasil

belajar IPS ekonominya berada pada

kategori yang sangat baik, 38,24% atau

13 orang siswa yang hasil belajarnya

Page 133: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

16

berada pada kategori baik, 11,74% atau

4 orang siswa yang hasil belajarnya

berada pada kategori cukup, dan tidak

ada siswa untuk kategori kurang dan

gagal

Tabel 4.7 Perbandingan distribusi

frekuensi dan presentase skor hasil

belajar siswa kelas VIIb Watampone

Kacematan Tanete Riattang

Kabupaten Bone Setelah Proses

pembelajaran pada siklus I dan siklus

II

No SKOR KATAGORI FREKUENSI PERSENTASE (%)

SIKLUS

I

SKILUS

II SIKLUS I

SIKLUS

II

1 0 – 39 Gagal 1 0 2,94 0

2

40 –

59 Kurang 7 0 20,59 0

3

60 –

74 Cukup 16 4 47,06 11,76

4

75 –

84 Baik 6 13 17,65 38,24

5

85 – 100

Sangat Baik 4 17 11,76 50

Jumlah 34 34 100 100 100

Berdasarkan tabel 4.6

menunjukkan bahwa hasil belajar IPS

Ekonomi kelas VII B MTsN

Watampone Kacematan Tanete Riattang

Kabupaten Bone yang diajarkan dengan

menggunakan metode pembelajaran

Reciprocal Teaching, pada siklus I

terlihat bahwa 11,76% atau 4 orang

siswa sedangkan pada siklus II 50%

atau 17 orang siswa yang hasil belajar

IPS ekonominya berada pada kategori

yang sangat baik, pada siklus I 17,65%

atau 6 orang siswa sedangkan pada

siklus II 38,24% atau 13 orang siswa

yang hasil belajarnya berada pada

kategori baik,pada siklus I 47,06% atau

16 orang siswa sedangkan pada siklus II

11,76% atau 4 orang siswa yang hasil

belajarnya berada pada kategori cukup,

pada siklus I 20,59% atau 7 orang siswa

sedangkan pada siklus II tidak ada siswa

yang hasil belajarnya berada pada

kategori kurang dan pada siklus I 2,94%

atau 1 orang siswa dan siklus II tidak

ada siswa untuk kategori gagal.

PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian Siklus I

a. Analisis

Dari hasil data yang

didapat oleh observasi, maka

proses belajar mengajar yang

telah dilakukan dapat dapat

dianalisis : proses

pembelajaran kurang lancar

karena siswa kurang

bersemangat dalam menerima

pelajaran. Disamping itu juga,

guru kurang memberikan

arahan dan motivasi kepada

siswa, serta guru tidak

menggunakan pendekatan,

strategi dan metode

pembelajaran yang variatif.

b. Sintetis

Pada siklus ini dari

proses pembelajaran yang

telah dilakukan mulai dari

perencanaan sampai pada

akhir kegiatan, ternyata

belum dapat meningkatkan

pemahaman siswa sesuai

dengan apa yang diharapkan

oleh guru. Hal ini disebabkan

karena masih adanya

kelemahan yang menjadi

rintangan dalam mencapai

peningkatan pemahaman

siswa sehingga perlu

dilakukan pembelajaran pada

siklus II selanjutnya.

c. Evaluasi

Berdasarkan hasil data,

pada proses pembelajaran

pada siklus I

ini,memperlihatkan bahwa

proses pembelajaran Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS)

memperlihatkan bahwa

tingkat pemahaman siswa

Page 134: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

17

secara klasikal masih di

bawah standar,yaitu dari 16

orang siswa,nilai rata-rata

kelas 67,24, kurang dari nilai

rata-rata standar 70 ke atas.

2. Hasil Penelitian Siklus II

Hasil observasi proses

pembelajaran pada siklus II

menunjukkan hal-hal sebagai

berikut :

a. Siswa lebih aktif,hal ini

disebabkan karena guru sudah

banyak memberikan

bimbingan dan pengayaan

tambahan atau penjelasan.

b. Siswa lebih cepat menerima

materi pelajaran karena guru

telah mencoba menerapkan

metode pembelajaran

Reciprocal Teaching,media

atau alat peraga

dipersiapkan,skenario

pembelajaran telah dirancang

dengan baik,pembelajaran

menggunakan metode yang

variatif.

Refleksi terdiri dari :

1. Analisis

Setelah diadakan siklus

II yang diikuti,dengan kelas

yang dilakukan sesuai

dengan perencanaan dan

skenario pembelajaran,maka

proses pembelajaran berjalan

dengan baik dan sempurna

serta suasana kelas yang

kondusif.

2. Sintetis

Dari hasil analisis di atas

maka dapat disimpulkan

bahwa kelemahan-

kelemahan dan kekurangan

pada proses pembelajaran

siklus I telah dapat diatasi

dengan baik.Dengan kata

lain perbaikan pembelajaran

dan IPS pada kelas VIIB

MTsN Watampone

Kecamatan Tanete Riattang

Kabupaten Bone telah

berhasil meningkatkan

pemahaman siswa.

3. Evaluasi

Hasil evaluasi proses

perbaikan pembelajaran Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS)

kelas VIIB MTsN

Watampone Kacematan

Tanete Riattang Kabupaten

Bone dengan penerapan

metode pembelajaran

Reciprocal Teaching

membuktikan bahwa

perubahan peningkatan

pemahaman siswa pada

materi IPS yaitu rata-rata

kelas 67,24, berubah menjadi

79,81 pada siklus II

KESIMPULAN

Berdasarkan pada hasil

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang

telah dilakukan mengenai penerapan

metode pembelajaran Reciprocal

Teaching,untuk meningkatkan Prestasi

siswa kelas VII pada materi

pembelajaran IPS,maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

1. Peningkatan prestasi siswa kelas

VII B MTsN Watampone

Kecamatan Tanete Riattang

Kabupaten Bone dalam

pembelajaran Ilmu pengetahuan

Sosial (IPS) dengan penerapan

metode pembelajaran Reciprocal

Teaching,ternyata dapat

meningkatkan prestasi siswa pada

kegiatan pembelajaran IPS.Hal ini

terlihat dari perubahan nilai rata-

rata kelas 67,24,pada siklus I

menjadi 79,81 pada siklus II.

2. Kreativitas dan pendekatan,strategi

dan metode yang variatif dalam

pembelajaran materi IPS sangat

berperan dalam meningkatkan

pemahaman siswa.

Page 135: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

18

3. Kegiatan pembelajaran yang

bertahap sangat memungkinkan

berhasilnya peningkatan

pemahaman siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Agib, Zainal. 2006. Penelitian Tindakan

Kelas untuk Guru. Bandung:

Yrama Widya

Arikunto, Suharsimi. 2006a. Prosedur

Penelitian suatu Pendekatan

Praktik Mataram: Rineka

Cipta

Arikunto, Suharsimi, dkk. 2009b.

Penelitian Tindakan Kelas.

Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto, Suharsimi, 2000. Manajemen

Penelitian. Jakarta: Rineka

Cipta

Arsyad, Azhar. 2009. Media

Pembelajaran. Jakarta:

Grafindo Persada

Bogdan, R., & Biklen, S. 1982.

qualitative research in

education, Allyn & Bacon,

Boston

Dakir, 1993.Dasar-Dasar Psikologi,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Djamarah, S. B. 2002. Psikologi

Belajar, PT. Rineka Cipta, Jakarta

Guba, E.G., & Lincoln, Y.S.

1981.Effective Evaluation,

Jossey-Bass Publishers,

Sanfransisco

Hamalik, O. 2002.Perencanaan

Pengajaran Berdasarkan

Pendekatan Sistem, PT. Bumi

Aksara, Jakarta

Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi

Belajar dan Mengajar, Penerbit

Sinar Baru Algensindo,

Bandung

J.R. David. 1976. Strategi

Pembelajaran, Trenton, NJ: The

Thoughtful Education Press.

Kosasih, Andreas. 2004. Peranan

Motivasi terhadap Hasil Belajar Siswa,

Tabularasa, Vol. 2, No. 3

Laureate Education, Inc. (Executive

Producer). (1996). Building

your repertoire of teaching

strategies. Los Angeles:

Author.

Muslich, Masnur. 2009. Melaksanaka

Penelitian Tindakan Kelas itu

Mudah. Jakarta: Bumi Aksara

Mulyan, encey. 2008. Model tukar

belajar (learning exchange)

dalam prespektif pendidikan

luar sekolah. Bandung: alfabeta

Mahmudah, umi. 2008. Active learning

dalam pembelajaran bahasa

arab. Malang: UIN malang

press

Nurkancana, Wayang, 1986. Evaluasi

Pendidikan. Usaha Nasional Surabaya

Slameto, 1987.Belajar dan Faktor-

faktor yang Mempengaruhinya.

Jakarta: Bina Aksara

Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 2009.

Media Pengajaran. Bandung:

Sinar Baru Argelindo

Silver, H. F., Hanson, J. R., Strong, R.

W., & Schwartz, P. B.

(1996).Teaching styles &

Page 136: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

19

strategies. Trenton, NJ: The

Thoughtful Education Press.

Zuriah, N. 2003.Penelitian Tindakan

Bidang Pendidikan Dan Sosial,

edisi pertama, 13 ayu Media

Publishing, Malang

Page 137: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

1

UPAYAPENINGKATAN PRESTASI BELAJAR FISIKA POKOK BAHASAN

BESARANMELALUI METODE KONSTRUKTIVISME PADA SISWA KELAS

VII SMP NEGERI 2 WOHA TAHUN PELAJARAN 2012/2013

MARINI FADHUM.

ABSTRAK

Banyak metode pembelajaran yang bisa diterapkan oleh seorang guru dalam

kegiatan pembelajaran di sekolah, misalnya metode pembelajaran kolaboratif maupun

kooperatif. Intinya bagaimana guru mampu menerapkan metode pembelajaran tersebut

terhadap beragamnya materi yang disampaikan. Salah satu metode pembelajaran yang

dianggap mampu memberikan tingkat pemahaman atau daya serap siswa dalam

penyampaian materi pembelajaran adalah metode pembelajaran konstruktivisme.Dari

uraian tersebut penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian ilmiah dengan

judul ”Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Fisika Pokok Bahasan besaranmelalui

Metode konstruktivismePada Siswa Kelas VII-2 di SMPN 2 Woha Tahun Pelajaran

2012/2013”.

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian Tindakan Kelas dengan subyek

penelitian adalah 35 orang siswa kelas VII-2 SMPN 2 Woha Tahun Pelajaran

2012/2013 dan dengan menggunakan tes sebagai instrument penelitian. Sementara

prosedur pengumpulan data menggunakan observasi, dokumentasi dan tes. Teknik

anaslis data menggunakan data prestasi belajar berupa ketuntasan individu, ketuntasan

klasikal, dan nilai rata-rata kelas. Kemudian data observasi proses belajar mengajar

yang mengobservasi aktivitas guru dan siswa dalam kelas.

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pembelajaran dengan

menggunakan metode konstruktivisme dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas

VII-2 di SMPN 2 Woha terhadap materi pokok bahasan besaran. Hal ini dapat

ditunjukkan dari hasil evaluasi yang telah dilaksanakan terdapat peningkatan prestasi

belajar siswa diperoleh nilai rata-rata siswa pada siklus I sebesar 55,57. Sedangkan pada

siklus II peningkatan prestasi belajar siswa yang semula nilai rata-rata 55,57kemudian

pada siklus II meningkat menjadi 67,28. Ini menunjukkan siswa berhasil dalam belajar

IPA Terpadu dengan menggunakan metode konstruktivisme. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode konstruktivisme dapat meningkatkan

prestasi belajar IPA fisika siswa kelas VII-2 SMPN 2 Woha tahun pelajaran 2012/2013.

Kata-kata Kunci: Prestasi Belajar, Metode konstruktivisme

PENDAHULUAN

Belajar merupakan tindakan

dan perilaku siswa yang kompleks.

Sebagai tindakan, maka belajar hanya

dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah

penentu terjadinya proses belajar.

Proses belajar terjadi berkat siswa

memperoleh sesuatu yang ada

dilingkungan sekitar. Lingkungan yang

dipelajari oleh siswa berupa keadaan

alam, benda-benda, hewan-hewan,

tumbuh-tumbuhan, manusia, atau hal-

hal yang dijadikan bahan belajar.

Tindakan belajar tentang suatu hal

tersebut tampak sebagai perilaku belajar

yang tampak dari luar (Dimyati dan

Mudjiono, 2009:7).

Guru sebagai tenaga

profesional harus memiliki sejumlah

kemampuan mengaplikasikan berbagai

Page 138: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

teori belajar dalam bidang

pembelajaran, kemampuan memilih dan

menetapkan model mengajar yang

efisien, efektif melibatklan siswa

berpartisipasi dan kemampuan membuat

suasana belajar yang menunjang

tercapainya tujuan pembelajaran.

Pengkajian tentang faktor yang

berkaitan dengan proses pembelajaran

dikelas khususnya untuk mata pelajaran

fisika perlu dilaksanakan. Hal ini

diperlukan untuk meningkatkan hasil

belajar siswa. Mengingat selama ini

mata pelajaran fisika masih dianggap

sulit untuk dipahami oleh siswa.

Kesulitan lain yang akan timbul

adalah siswa kurang mampu berperan

aktif dalam mengemukakan ide-ide atau

gagasan dan kurang berinteraksi baik

antara siswa dan guru maupun siswa

dengan siswa. Sehingga kondisi ini

menyebabkan kemampuan berpikir

siswa tidak berkembang karena siswa

tidak dilibatkan dalam peolehan

pengetahuan.Kenyataan menunjukan

bahwa disamping adanya siswa yang

berhasil secara gemilang, masih juga

terdapat siswa yang memperoleh

prestasi belajar yang kurang

menggembirakan.

Setiap guru menghendaki

adanya hasil pelajaran yang

memuaskan, akan tetapi untuk dapat

mencapai hasil tersebut dengan baik

bukanlah hal yang mudah. Hal ini

disebabkan oleh banyaknya faktor yang

mempengaruhi proses belajar dan

mengajar, terutama siswa dan guru.Oleh

karena itu sangat di perlukan usaha

bersama antara guru dan siswa agar

dapat menciptakan proses belajar

mengajar fisika yang aktif dan efektif.

Dari hasil observasi awal di

SMPN 2 Woha pada tanggal 16 Juli

2012 diperoleh data sebagai berikut: (1)

fisika merupakan mata pelajaran yang

dianggap sulit oleh sebagian besar siswa

sehingga membuat siswa kurang

berminat terhadap materi yang

disampaikan, (2) sistem pengajaran

yang dilakukan guru di SMPN 2 Woha

masih cenderung bersifat konvensional

yaitu dengan menekankan pada hafalan-

hafalan sehingga siswa cenderung lebih

cepat bosan dan tidak memiliki

keterampilan dalam berhubungan sosial.

Berdasarkan kenyataan ini dapat

disimpulkan bahwa nilai rata-rata siswa,

baik klasikal maupun individual jelas

terlihat menurun. Hal ini disebabkan

oleh beberapa faktor yang

mempengaruhinya, yaitu diantaranya

adalah faktor guru kurang inovatif,

minat belajar siswa yang rendah serta

metode mengajar yang konvensinal.

Secara hitungan analisis yang

dilakukan oleh guru dalam mengolah

hasil belajar siswa baik dalam bentuk

tugas rumah (PR), ulangan harian dan

lebih-lebih ulangan semester genap

pada siswa kelas VIII di SMPN 2

Woha, dapat diketahui bahwa siswa

masih merasa kesulitan dalam

mengerjakan soal-soal IPA Fisika

tersebut. Hal ini dapat ditunjukkan oleh

nilai rata-rata ulangan fisika tahun

pelajaran 2011/2012 untuk materi

tentang besaran (besaran pokok dan

besaran turunan) yaitu 63,5 dengan

Kriteria Ketuntasan Minimum yaitu 65

(Sumber data: guru fisika SMPN 2

Woha).

Pada umumnya metode yang

sering di gunakan oleh guru terutama

pada guru SMPN 2 WOHA Kabupaten

Bima adalah kombinasi metode

ceramah, metode diskusi kelas, metode

tanya jawab, serta metode penugasan.

Hal ini perlu di cari strategi,metode

maupun pendekatan baru dalam proses

pembelajaran, karena pendekatan dan

strategi merupakan langkah awal untuk

mencapai kesuksesan dalam proses

belajar mengajar.Dalam pelaksanaan

pembelajaran tidak semua siswa

mencapai ketuntasan dalam belajarnya,

Page 139: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

3

artinya ada siswa yang tidak/belum

mencapai standar kompetensi yang telah

ditetapkan sebelum proses pembelajaran

berlangsung.

Metode pembelajaran

konstruktivisme merupakan salah satu

teknik belajar mengajar yang dilakukan

oleh seorang guru di sekolah, dimana

terjadi proses interaksi antara dua atau

lebih individu yang terlibat, saling tukar

menukar pengalaman, informasi,

memecahkan masalah, dapat terjadi

juga semuanya aktif tidak ada yang

pasif ataupun sebagai pendegar saja

(Roestiah, 2001). Model pembelajaran

ini diharapkan dapat meningkatkan

prestasi belajar siswa dengan cara

memberikan kesempatan pada siswa

mengemukakan pendapatnya atau

pengetahuan dibangun sendiri oleh

siswa.

Model pembelajaran

konstruktivisme adalah salah satu

pandangan tentang proses pembelajaran

yang menyatakan bahwa dalam proses

belajar (perolehan pengetahuan) diawali

dengan terjadinya konflik kognitif.

Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi

melalui pengetahuan akan dibangun

sendiri oleh anak melalui

pengalamannya dari hasil interaksi

dengan lingkungannya.

Dalam situs

(http://khumaedullahumay.blogspot.co

m/2012/06/model pembelajaran-

konstruktivisme.html) mengemukakan

siswa lebih diberi tempat ketimbang

guru,artinya dalam proses pembelajaran

siswa merupakan pusat pembelajaran

(student center). Pandangan ini

berangkat dari penelitian bahwa siswa

pada hakikatnya terus menerus

dilakukan interaksi dengan benda-benda

atau kejadian-kejadian, serta

berhubungan dengan lingkungan social

dan alam sekelilingnya. Dari hasil

interaksi tersebut, mereka memperoleh

pengalaman tertentu. Pemahaman-

pemahaman tersebut selanjutnya

dibangun sebagai pengetahuan yang

tersimpan dalam otaknya. Yang sangat

penting pada teori konstruktivisme

adalah dalam proses belajar siswalah

yang harus mendapat tekanan dan

merekalah yang harus aktif

mengembangakan pengetahuan mereka

bukannya guru ataupun orang lain.

Konstruktivisme menekankan

bahwa mengakui otomi serta

mendorong inisiatif siswa merupakan

bagian yang sangat penting dilakukan

oleh seseorang pendidik. Mereka bukan

sebagai cermin dan mencerminkan apa

yang dilakukan dan apa yang dibaca,

melainkan siswa akan mencari dan

mencoba menemukan aturan-aturan

sendiri dalam menyusun kasus yang

terjadi di dunia, bahkan tanpa diberikan

bimbingan sekalipun.

Prinsip-prinsip konstruktivisme

telah banyak digunakan dalam

pendidikan fisika . secara umum

prinsip-prinsip itu berperan sebagai

referensi dan alat refleksi kritis terhadap

pratik, pembaharuan dan perencanaan

pendidikan sains dan matematika.

Dalam“filsafat konstruktivisme dalam

pendidikan” mengemukakan beberapa

prinsip-prinsip yang sering diambel dari

konstruktivisme. Prinsip-prinsip

konstruktivisme itu adalah sebagai

berikut

a. Pengetahuan dibangun oleh siswa

secara aktif

b. Tekanan dalam proses belajar

terletak pada siswa

c. Mengajar adalah membantu siswa

belajar

d. Tekanan dalam proses mengajar

lebih pada proses bukan pada hasil

akhir

e. Kurikulum menekankan pada

partisipasi siswa.

Ciri-ciri mengajar konstruktivisme

Page 140: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

4

a. Memberi peluang kepada murid

membina pengetahuan baru melalui

penglihatan dalam dunia

sebenarnya.

b. Menggalakkan persoalan/idea yang

dimulai oleh murid dan

menggunakannya sebagai panduan

merancang pengajaran.

c. Mengambil & mendapatkan kajian

bagaimana murid belajar sesuatu

idea

d. Menggalakkan murid bertanya dan

berdialog dengan murid & guru

e. Menganggap pembelajaran sebagai

suatu proses yang sama penting

dengan hasil pembelajaran.

f. Menggalakkan proses inkuiri

murid melalui kajian dan

eksperimen.

Dalam situs

(http://istanailmu.com/archives-

2011/model-pembelajaran-

konstrukstivisme/html) tahapan model

pembelajaran konstruktivisme ada

empat tahapan yaitu :

a. Mengundang (invitation):

1. Mengamati hal-hal yang ada di

sekitar kita untuk memunculkan

keingintahuan (curiosity) terhadap

apa yang akan dipelajari.

2. Mengajukan pertanyaan yang

mengarahkan siswa pada

pemahaman terhadap objek yang

akan dipelajari.

3. Mempertimbangkan kemungkinan

tanggapan yang diberikan untuk

pertanyaan yang akan muncul.

4. Mencatat gejala yang tidak

diharapkan.

5. Mengenali situasi berdasarkan atas

persepsi siswa yang beragam.

b. Menjajaki (exploration):

1. Memberikan tugas kepada siswa

yang terpusat pada materi.

2. Bertukar pikiran atau berdiskusi agar

dapat menyatakan pendapat

(brainsorming) terhadap alternatif

yang mungkin diperoleh.

3. Mencari informasi.

4. Mencoba dengan materi (bahan

pelajaran).

5. Mengamati gejala tertentu.

6. Merancang satu model

(pembelajaran).

7. Menyimpulkan dan

mengorganisasikan data.

8. Melaksanakan strategi pemecahan

masalah.

9. Menyimpulkan sumber

(pembelajaran) yang sesuai.

10. Menelaah penyelesaian (satu

masalah) dengan guru.

11. Merancang dan memimpin

percobaan.

12. Memilih penilaian.

13. Melakukan satu debat.

14. Mengenali resiko dan akibat.

15. Mendefinisikan parameter yang

diselidiki (investigatiion).

16. Analisis data.

c. Mengajukan penjelasan dan

penyelesaian:

1. Mengkomunikasikan informasi dan

gagasan.

2. Membangun dan menjelaskan satu

model (pembelajaran).

3. Meninjau dan mengkritik kembali

satu penyelesaian.

4. Menggunakan evaluasi secara

terbuka (intip).

5. Mengumpulkan jawaban atau

penyelesaian ganda.

6. Menetapkan penutupan

(mengakhiri) secara sesuai.

7. Memadukan satu penyelesaian

dengan pengetahuan dan

pengalaman yang ada.

d. Membuat atau mengadakan

tindakan:

Page 141: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

5

1. Membuat keputusan.

2. Menerapkan pengetahuan dan

keterampilan.

3. Mentransfer pengetahuan dan

keterampilan.

4. Membagi informasi dan gagasan.

5. Mengajukan pertanyaan baru.

6. Mengembangkan hasil dan

mengemukakan gagasan.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitain yang dilaksanakan

adalah penelitian tindakan kelas.

Menurut Wiriatmadjo (2007:13)

Penelitian tindakan kelas adalah

bagaimana sekelompok guru dapat

mengorganisasikan kondisi praktek

pembelajaran mereka dan belajar dari

pengalaman mereka sendiri. Tujuan

penelitian tindakan kelas adalah untuk

memperbaiki pelaksanaan praktek

dalam proses pembelajaran, berdasarkan

refleksi mengenai hasil dari tindakan-

tindakan yang telah dilakukan oleh

peneliti.

Tahap-tahap yang dilaksanakan

dalam penelitian tindakan ini adalah

tahap pra tindakan dan tahap

pelaksanaan tindakan.

SIKLUS I

1. Perencanaan tindakan

Pada tahap ini, peneliti menyiapkan

perangkat pembelajaran yang berupa:

a. Silabus dan rencana pelaksanaan

pembelajaran (RPP).

b. Lembar observasi pelaksanaan

pembelajaran.

c. Tes evaluasi pembelajaran (dalam

bentuk essay).

2. Tahap pelakasaan tindakan

Pelaksanaan Penelitian

Tindakan Kelas ini menggunakan 1

siklus atau lebih. Masing-masing

siklus dilaksanakan sesuai model

yang dikembangkan oleh jonh Elliot

yang terdiri dari beberapa tahap

yaitu: (a) perencanaan tindakan, (b)

pelaksanaan tindakan, (c) observasi

dan (d) refleksi

3. Observasi

Observasi dilakukan untuk

memperoleh informasi yang

mendalam tentang aktivitas guru dan

siswa mulai awal sampai akhir

pembelajaran. Observasi ini

dilaksanakan oleh peneliti dibantu

oleh teman sejawat dan guru bidang

studi. Hasil observasi dicatat dalam

lembar observasi dan catatan

lapangan yang telah disediakan oleh

peneliti. Hasil yang diperoleh

didiskusikan oleh peneliti dan

observer.

4. Refleksi

Dari hasil observasi

diperoleh informasi tentang

kelebihan dan kekurangan pada

kegiatan siklus 2, hasil refleksi ini

digunakan sebagai acuan oleh

peneliti untuk merevisi kesalahan-

kesalahan yang terjadi. Pada

akhirnya peneliti membandingkan

data dari siklus 1 dan siklus 2 untuk

mengetahui keberhasilan tindakan

yang diberikan kepada siswa.

Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang

dilakukan dalam penelitian ini

digunakan teknik yaitu:

1. Dokumentasi digunakan untuk

memperoleh data siswa yang

menjadi objek, data ini berupa

daftar nama-nama siswa kelas

VII.2 semester ganjil SMP Negeri

2 Woha tahun pelajaran

2012/2013.

2. Tes

Bahan tertulis yang

digunakan untuk mengukur

kemampuan siswa dalam

memahami pelajaran yang

diberikan. Dalam penelitin ini tes

digunakan untuk mengukur

Page 142: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

6

peningkatan prestasi belajar

siswa.

3. Observasi

Observasi ini diamati

langsung oleh peneliti dan

pengamat. Peneliti dapat melihat

dan mangamati secara langsung

perilaku siswa selama kegiatan

mengajar.

Teknik Analisis Data

1. Data Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah hasil yang

dicapai seorang individu setelah

mengalami proses belajar dalam waktu

tertentu. Prestasi belajar dinyatakan

dengan nilai atau skor setelah

mengerjakan suatu tugas atau tes untuk

mengetahui puncak dari prestasi belajar

siswa. Hasil tes dianalisis atau diolah

dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

a. Ketuntasan Individu

Setiap siswa dalam proses belajar

mengajar dinyatakan tuntas secara

individu apabila siswa mampu

memperoleh nilai ≥ 65 sebagai Standar

Ketuntasan Minimal (KKM).

b. Ketuntasan Klasikal

Data tes hasil belajar siswa

dianalisis dengan menggunakan analisis

Ketuntasan Minimal 85% dengan rumus

ketuntasan klasikal sebagai berikut:

X

KK = x 100%

Z

Keterangan :

KK = Ketuntasan Klasikal

X = Jumlah siswa yang memperoleh

nilai ≥ 65

Z = Jumlah siswa keseluruhan

Sumber: (Sudjana, 2008:77) dalam Sri

Susanti

c. Nilai Rata-Rata Kelas

Untuk mengetahui nilai rata-

rata kelas digunakan rumus:

∑X

M =

N

Keterangan:

M = Nilai rata-rata kelas

∑X = Jumlah nilai yang diperoleh siswa

N = Banyaknya siswa yang ikut

tes (Nurkencana, 1990:30)

Ketuntasan belajar tercapai jika ≥

85% memperoleh skor minimal 65 yang

akan terlihat pada tiap-tiap evaluasi

tiap-tiap siklus.

2. Standar skor penilaian observasi

(pengamatan)

Standar skor penilaian tersebut

dipergunakan untuk memberikan

nilai terhadap objek yang diamati

yaitu proses pelaksanaan model

pembelajaran konstruktivisme .

1. Observasi siswa, akan dianalis untuk

mengetahui keberhasilan model

konstruktivisme, dengan

menggunakan rumus sebagai berikut

AS = ∑𝑋

𝑖.𝑛

Keterangan:

AS = Aktivitas Siswa

∑X = Skor masing-masing indikator

i = Banyaknya indikator

n = Jumlah seluruh siswa

Kemudian hasil aktivitas siswa

dibandingkan dengan hasil dari MI

dan SDI dengan rumus berikut:

MI = (skor tertinggi + skor

terendah)

SDI = 1

6 ( skor tertinggi – skor

terendah )

keterangan

MI = Mean ideal

SDI = Standar deviasi ideal

2. Observasi guru, Penilaian aktivitas

guru dilakukan secara langsung

selama proses belajar mengajar.

Adapun indikator untuk setiap

Page 143: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

7

aktivitas guru dianalisis dengan

kriteria penilaian sebagai berikut:

BS (Baik Sekali) : Jika semua (3)

deskriptor yang nampak

B (Baik) : Jika 2 deskriptor

yang nampak

C (Cukup) : Jika 1 deskriptor

yang nampak

K (Kurang) : Jika tidak ada

deskriptor yang Nampak

HASIL PENELITIAN

Observasi dan Evaluasi

Setelah pelaksanaan tindakan,

langkah selanjutnya adalah melakuakan

observasi dan evaluasi terhadap prestasi

siswa. Tes evaluasi dilaksanakan pada

akhir pertemuan tindakan yaitu pada 30

menit terakhir jam pelajaran dengan

jumlah soal sebanyak 5 soal uraian.

Berdasarkan data prestasi belajar siklus

I (lampiran 9) diperoleh nilai rata-rata

kelas sebesar 55,57 dengan ketuntasan

klasikal 74,28 %, siswa yang mendapat

nilai ≥65 sebanyak 26 siswa dan yang

mendapat nilai dibawah 65 sebanyak 9

siswa. Hal ini menunjukkan bahwa

prestasi belajar siswa pada siklus I

belum memenuhi indikator keberhasilan

yang diinginkan dalam penelitian ini.

Adapun aktivitas siswa selama

pembelajaran siklus I yang diamati oleh

guru fisika sebagai pengamat, cara

belajar siswa dengan model

pembelajaran konstruktivisme terlihat

baik. Hal ini dapat dilihat pada hasil

obeservasi aktivitas siswa siklus I,

lembar observasi aktivitas siswa pada

siklus I dapat dilihat pada 12. Namun

aktivitas siswa pada siklus I perlu

diadakan monitoring lebih intensif agar

siswa tidak telalu banyak main-main

pada saat mengikuti proses belajar

mengajar.

Refleksi

Mengacu pada hasil evaluasi yang

dilakuakan pada siklus I dan

berdasarkan hasil diskusi dengan

guru fisika, perlu dilakukan beberapa

perbaikan sehingga diharapkan

dalam pelaksanaan siklus II terdapat

peningkatan prestasi belajar siswa.

Permasalahan yang harus diperbaiki

pada siklus II adalah antara lain:

a) Penjelasan tentang materi besaran

khususnya meteri besaran pokok dan

besaran turunan harus dijelaskan

secara perlahan dan jelas.

b) Membangkitkan semangat siswa

untuk mau mencoba menjawab

pertanyaan yang telah diajukan oleh

peneliti. Agar siswa lebih termotivasi

terhadap materi yang telah disajikan.

c) Memotivasi siswa untuk

membiasakan siswa aktif dalam

segala permasalahan yang ditemui

dalam kehidupan sehari-hari.

1. Pelaksanaan siklus II

Materi yang akan dipelajari

pada siklus II masih pada materi pokok

besaran (besaran pokok dan besaran

turunan) hanya saja perlu mengadakan

perbaikan yang dirasa masih kurang

dari siklus I. Pelaksanaan siklus II sama

dengan pelaksanaan siklus I yang

meliputi tahap perencanaan,

pelaksanaan tindakan, observasi dan

evaluasi, dan refleksi.

Setelah pelaksanaan

tindakan, langkah selanjutnya adalah

melakuakan observasi dan evaluasi

terhadap prestasi siswa. Tes evaluasi

dilaksanakan pada akhir pertemuan

tindakan yaitu pada 1 jam pelajaran

terakhir dari 3 jam pelajaran yang

tersedia dengan jumlah soal sebanyak 5

soal uraian. Berdasarkan data prestasi

belajar siswa pada siklus II (lampiran

10) diperoleh nilai rata-rata kelas

sebesar 74,28 dengan ketuntasan belajar

secara klasikal sebesar 94,28, siswa

yang mendapat nilai ≥65 sebanyak 33

siswa dan yang mendapat nilai dibawah

65 sebanyak 2 siswa. hal ini

menunjukkan bahwa prestasi belajar

Page 144: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

8

siswa pada siklus II telah memenuhi

indikator keberhasilan yang diinginkan

dalam penelitian ini.

Adapun aktivitas siswa selama

pembelajaran siklus II yang diamati

oleh guru fisika sebagai pengamat, cara

belajar siswa dengan model

konstruktivisme terlihat sangat baik.

Hal ini dapat dilihat pada lembar

observasi aktivitas siswa siklus II pada

lampiran 13.

PEMBAHASAN

1. Pelaksanaan Pembelajaran

dengan Menggunakan Metode

konstruktivisme

Proses perencanaan kegiatan

pembelajaran dalam menggunakan

metode konstruktivisme untuk

meningkatkan prestasi belajar siswa,

dilakukan sebanyak 2 siklus dengan 2

kali pertemuan, dilalui dalam 4 tahap

yaitu: tahap perencanaan, pelaksaan,

observasi atau pengamatan dan tahap

refleksi.

Pada siklus pertama, peneliti

membuat perencanaan secara

sistematika yang di sesuaikan dengan

kegiatan yang akan dilakukan pada

proses pembelajaran secara efektif dan

efisien. Pada tahap ini, tidak ada

masalah dalam perumusan perencanaan

tindakan (RPP). Jadwal jam pertemuan

sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan

pembelajaran. Pada siklus kedua,

peneliti membuat rancangan desain

pembelajaran untuk memperbaiki

kekurangan-kekurangan yang ada pada

siklus pertam

2. Hasil Tes Prestasi

Pembelajaran

Setelah pelaksanaan

tindakan selesai, peneliti mengadakan

tes siklus yang dilaksanakan pada akhir

tindakan. Pada pembelajaran siklus I

hasil rata-rata tes yang diperoleh siswa

sebesar 55,57 dengan ketuntasan

klasikal 74,28%. Meskipun belum

mencapai hasil yang ditetapkan namun

dalam hal ini peneliti cukup bangga

karena jumlah siswa yang tuntas lebih

banyak dari jumlah siswa yang tidak

tuntas. Kemudian pada tes pembelajaran

siklus II, hasil prestasi yang dicapai

mencapai rata-rata 76,28 dengan

ketuntasan klasikal 94,28%. Dengan

hasil ini dapat diketahui bahwa

penerapan model Pembelajaran

Berdasarkan uraian di atas dapat

digambarkan tentang perbandingan

persentase ketercapaian aktivitas siswa

antara pembelajaran siklus I dan siklus

II pada bagan berikut:

3. Kendala yang Dihadapi Pada

Siklus I

Kendala yang dihadapi dalam

penelitian mencakup beberapa hal

yaitu:

1. Siswa kurang antusias dalam

mengerjakan soal, dan mereka

cenderung takut salah dalam

mengerjakan soal.

2. kekurangan rasa ingin tahu

mereka terhadap meteri yang

akan diberikan serta minimnya

pertanyaan yang diajukan.

3. Beberapa siswa sangat sulit

menerima pelajaran.

4. Solusi dan Pemecahan Siklus I

1. Memotivasi siswa agar lebih

berani mengungkapkan

gagasannya.

2. Memotivasi siswa untuk

membiasakan siswa aktif

0

20

40

60

80

100

Siklus I Siklus II

Rata-rata

Klasikal

Page 145: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

9

dalam segala permasalahan

yang ditemui dalam

kehidupan sehari-hari.

3. Menjelaskan dengan

perlahan tentang materi yang

diajarkan

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat

disimpulkan bahwa penerapan model

pembelajaran konstruktivisme dapat

meningkatkan prestasi belajar fisika

materi pokok besaran siswa kelas VII-2

SMP Negeri 2 Woha Tahun Pelajaran

2012/2013. Hal ini dapat diketahui dari

nilai prestasi belajar siswa siklus I

dengan rata-rata kelas sebesar 55,57 dan

ketuntasan klasikal sebesar 74,28 %.

Sedangkan nilai prestasi belajar siswa

pada siklus II dengan rata-rata sebesar

76,28 dan ketuntasan klasikal sebesar

94,28%. Ini menandakan bahwa model

pembelajaran konstruktivisme dapat

meningkatkan prestasi belajar siswa

kelas VII-2 SMP Negeri 2 Woha untuk

mata pelajaran fisika.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto Suharsimi,2006 . Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan

Praktik.Jakarta; Rineka Cipta

Dimyati dan Mudjiyono. 2009. Belajar

dan Pembelajaran .jakarta:

Rineka Cipta Kencana Prenada

Media

Djamarah .Syaiful Bahri.1994.Prestasi

Belajar dan Kompetensi Guru.

Surabaya; Usaha Nasional

(http://fisikasma-

online.blogspot.com/2010/03/model-

pembelajaran-konstruktivisme.html)

(http://khumaedullahumay.blogspot.co

m/2012/06/model-pembelajaran-

konstruktivisme.html)

Nurhalifah (2010) .Penerapan Model

Pembelajaran Konstruktivisme

Terhadap Prestasi Belajar

Fisika siswa kelas VIII SMP N 1

MONTA Tahun Pelajaran

2010/2011.

Prof . Dr . Sugiyono .2011. Metode

Penelitian Kuantitatif Kualitatif

dan R dan D.cetakan ke-13.

Bandung; Alfabeta

Usman, Ahmad, 2008. Mari Belajar

Meneliti, genta press,

Yogyakarta

Wiriatmadja. R. 2007.Metode

Penelitian Tindakan

Kelas.Cetakan Keempat Jakarta

PT Remaja Rosdakarya

Page 146: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

10

PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DENGAN MODEL SIKLUS

BELAJAR 5E UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR

FISIKA KELAS VIII.C SMP NEGERI 4 WOHA TAHUN PELAJARAN 2014/2015

NUR ISTIQAMAH, & NURMI

Dosen STKIP Taman Siswa Bima

ABSTRAK

Kata Kunci : Pembelajaran Konstruktivisme, Model Siklus Belajar 5E, Aktivitas dan

Hasil Belajar

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) peningkatan aktivitas belajar,

2) hasil belajar Fisika pada pokok bahasan gaya siswa kelas VIII.C SMP Negeri 4 Woha

tahun pelajaran 2014/2015

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Room Action

Research) yang direncanakan dalam beberapa siklus dan dilaksanakan dalam dua siklus.

Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII.C SMP Negeri 4 Woha dengan jumlah

siswa 19 orang. Tiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi,

evaluasi, dan refleksi. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah: (1). Data tentang kegiatan belajar mengajar dikumpulkan dengan menggunakan

lembar observasi.(2). Hasil belajar siswa dikumpulkan dengan memberikan tes pada

setiap akhir siklus. Ketuntasan belajar tercapai jika KB ≥ 85% siswa mencapai nilai

minimal 65.

Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut: Siklus I nilai rata-rata hasil

belajar siswa 67,05% dan diperoleh ketuntasan belajar sebesar 62,06 %dan aktivitas

siswa adalah sebesar 36,84% yang tergolong pada kategori Sedang. Siklus II nilai rata-

rata hasil belajar siswa naik menjadi 71,57% dengan persentase ketuntasan belajarnya

89,65 % dan aktivitas belajar siswa naik menjadi 89,47 % yang tergolong pada katagori

aktif. Hasil tersebut menunjukkan sudah tercapainya indikator penelitian yang

ditetapkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konstruktivisme dengan

model siklus belajar 5E dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada

pokok bahasan gaya siswa kelas VIII C SMP Negeri 4 Woha Tahun Pelajaran

2014/2015.

PENDAHULUAN

Di era globalisasi sekarang ini,

mata pelajaran fisika memegang

peranan penting. Dengan bantuan fisika,

semua ilmu pengetahuan menjadi lebih

sempurna. Oleh karena itu, pelajaran

fisika diajarkan mulai pendidikan

menengah bahkan sampai perguruan

tinggi. Selain itu, fisika mendapat

prioritas utama untuk dikembangkan

karena fisika merupakan sarana untuk

memecahkan masalah dalam kehidupan

sehari-hari.

Fisika itu sulit, begitu kesan yang

sering beredar di antara sebagian besar

siswa dari sekolah menengah pertama

hingga menengah atas, bahkan

mahasiswapun sering memiliki kesan

serupa. Kesan ini diyakini sebagai salah

satu penyebab kurangnya minat

Page 147: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

sebagian besar siswa pada pelajaran

fisika. Selain itu, para guru juga

berkecendrungan menggunakan strategi

pembelajaran konvensional yang

dikenal dengan istilah seperti:

pembelajaran berpusat pada guru

(teacher centered approach),

pembelajaran langsung (direct

intruction), pembelajaran deduktif

(deductive teaching), ceramah

(axpository teaching) maupun whole

class instruction (Tran Vui dalam

Irzani, 2007: 3).

Pendekatan-pendekatan seperti

inilah yang menyebabkan kadar

keaktifan dan hasil belajar siswa

menjadi rendah dan kadangkala siswa

menjadi bosan. SMP Negeri 4 Woha

sebagai sekolah yang cukup memadai

dilihat dari segi sarana dan prasarana

untuk menunjang proses belajar

mengajar yang baik, masih memerlukan

penggunaan pendekatan pembelajaran

yang dapat berpengaruh pada

peningkatan belajar siswa.

Berdasarkan hasil pengamatan di

SMP Negeri 4 Woha bulan September

2013 menemukan beberapa kendala

antara lain : khususnya dengan guru

mata pelajaran fisika, bahwa penerapan

pendekatan konstruktivisme dengan

model siklus belajar belum pernah

diterapkan akan tetapi guru cenderung

menggunakan metode ceramah,

sehingga pembelajaran siswa masih

tergolong pasif, siswa hanya mendengar

dan mencatat apa yang disampaikan

guru tanpa mengerti lebih dahulu materi

yang disampaikan. Sehingga hal

tersebut berdampak kepada keragu-

raguan siswa dalam mengajukan

pertanyaan seputar materi yang

disampaikan, dalam hal ini tentu

mengakibatkan siswa kurang tertarik

untuk mengulang pelajaran yang

didapatkan di sekolah. Selain itu, materi

yang diajarkan jarang dikaitkan dalam

kehidupan nyata, sehingga siswa sering

beranggapan kalau materi yang

diajarkan itu tidak berguna dalam

keseharian, akhirnya siswa kurang

berperan aktif dan hasil belajar siswa

tergolong sangat rendah. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat dari tabel nilai

rata-rata ujian siswa pada pokok

bahasan besaran dan satuan dengan

kriteria ketuntasan maksimal (KKM)

63.

Tabel 1.1 : Nilai rata-rata ujian

siswa kelas VIII. Semester ganjil SMP

Negeri 4 Woha tahun

pelajaran 2013/2014.

Kelas Jumlah

sisw

a

Nilai

rata-

rata

Jumlah

sisw

a

tunta

s

Ketuntasan

klasikal

Keterangan

VIIIA

2

3

63,5

2

1

2

5

2,17%

Tidak

tuntas

VIIIB

2

0

64,6

5

1

1

5

5%

Tidak

tuntas

VIIIC 1

9

56,3

3

9 4

7,5%

Tidak

tuntas

Berdasarkan data tersebut

menunjukkan nilai pada mata pelajaran

fisika memiliki ketuntasan klasikal

masih kurang, sementara siswa

dikatakan tuntas belajar jika proposi

jawaban benar siswa 63, dan suatu

kelas dikatakan tuntas ketuntasan

klasikal apabila mendapat nilai 85%.

Pendekatan konstruktivisme salah

satu pendekatan yang memungkinkan

tingginya aktivitas siswa serta

pentingnya membangun sendiri

pengetahuan siswa dalam belajar yakni

menemukan masalah-masalah nyata

dalam kehidupan sehari-hari, dibentuk

dan dikembangkan oleh siswa sebagai

titik awalpembelajaran fisika untuk

menunjukan bahwa fisika sebenarnya

dekat dengan kehidupan sehari-hari,

lewat keterlibatan aktif proses belajar

mengajar (Trianto,2007:106).

Model pembelajaran yang

dilandasikonstruktivisme yaitu model

siklus belajar 5E merupakan salah satu

model yang berpusat pada pelajar

Page 148: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

3

(student centered) yang perlu

dikedepankan, karena dapat

menciptakan kesempatan untuk

memberikan pengalaman fisik, interaksi

sosial dan regulasi sendiri pada siswa,

Nuryani (Sutarno, 2003: 156). Adanya

pendekatan pembelajaran yang sesuai

dengan kebutuhan siswa merupakan

salah satu langkah yang dapat dilakukan

oleh guru dalam upaya mempengaruhi

pemahaman siswa untuk dapat

mencapai secara klasikal. Penggunaan

pendekatan konstruktivisme dengan

model siklus belajar merupakan metode

yang tepat untuk mengatasi kesulitan

siswa dalam belajar fisika. Oleh karena

itu dilakukan mengadakan penelitian

yang berjudul ” Penerapan

Pembelajaran Konstruktivisme Dengan

Model Siklus Belajar 5 E

1. Pengertian Pembelajaran

Konstruktivisme

Pembelajaran konstruktivisme

menekankan pada pemikiran bahwa

pengetahuan dibangun oleh siswa

sedikit demi sedikit, yang hasilnya

diperluas melalui konteks yang terbatas

(sempit). Pengetahuan bukan

seperangkat fakta-fakta, konsep atau

kaidah yang siap untuk diambil dan

diingat. Siswa harus mengkonstruksi

pengetahuan itu dan mengambil makna

dari pengalaman nyata. Esensi dari teori

konstruktivisme adalah ide bahwa siswa

harus menemukan dan

mentransformasikan suatu informasi

kompleks kesituasi lain dan apabila

dikehendaki, informasi itu menjadi

milik mereka sendiri.

Pembelajaran konstruktivisme

meningkatkan kemampuan berpikir,

kreatif dan kritis. Melatih siswa berfikir

kritis untuk menyelesaikan masalah,

menemukan ide dan mengambil

keputusan. Hal ini dapat dilihat pada

aktivitas-aktivitas berikut a)

pembelajaran berpusat pada siswa, b)

Aktivitas belajar berdasarkan ‘hands on

and minds on’, c) Siswa dapat

mengemukakan pendapatnya tentang

suatu konsep, d) Siswa belajar dan

bekerja kelompok e ) Siswa

mengaplikasikan pengetahuannya dalam

menyelesaikan masalah (Sukardi, 2005:

26-27).

Menurut Mulyasa (2002: 160),

pembelajaran konsrtuktivisme

memperlihatkan bahwa pembelajaran

merupakan suatu proses aktif dalam

membuat sebuah pengalaman menjadi

masuk akal, dan proses ini sangat

dipengaruhi oleh apa yang diketahui

orang sebelumnya. Oleh karena itu

dalam setiap kegiatan pembelajaran

guru harus memperoleh atau sampai

pada kesamaan pemahaman dengan

siswa. Dalam konstruktivisme,

pembelajaran melibatkan pertukaran

fikiran dan interpretasi.Wacana

penyusaian pikiran ini dapat dilakukan

antara siswa dengan guru atau antara

sesama siswa.

Dalam Budiningsih (2004: 53)

dijelaskan bahwa menurut pandangan

konstruktivisme, belajar merupakan

suatu proses pembentukan pengetahuan.

Pembentukan ini harus selalu dilakukan

oleh siswa, mereka harus melakukan

kegiatan, aktif berpikir, menyusun

konsep dan memberi makna tentang

hal-hal yang sedang dipelajari.

Paradigma konstruktivisme memandang

siswa sebagai pribadi yang sudah

memiliki kemampuan awal tersebut

masih sangat sederhana atau tidak

sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya

diterima dan dijadikan dasar

pembelajaran dan bimbingan.

Pembelajaran yang berlangsung

selama ini banyak berpijak pada teori

pembelajaran konvensional. Dimana

guru mendominasi kegiatan

pembelajaran melalui metode ceramah,

dengan harapan siswa dapat

memahaminya dan memberi respon

sesuai dengan materi yang di

Page 149: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

4

ceramahkan. Berbeda dengan bentuk

pembelajaran di atas, pembelajaran

konstruktivisme membantu siswa

mentransformasi informasi baru.

Transformasi terjadi dengan

menghasilkan pengetahuan baru yang

selanjutnya akan membentuk srtuktur

kognitif baru.

Berdasarkan beberapa pandangan

di atas dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran yang mengacu kepada

teori belajar konstruktivisme lebih

terfokus pada kesuksesan siswa dalam

mengorganisasikan pengalaman mereka

dan bukan pula keputusan siswa dalam

refleksi atas apa yang telah

diperintahkan dan dilakukan oleh guru.

Dengan kata lain, siswa lebih

diutamakan untuk mengkonstruksi

sendiri pengetahuan mereka melalui

asimilasi dan akomodasi.

Secara rinci perbedaan karakteristik

pembelajaran konvensional dan

pembelajaran konstruktivisme adalah

sebagai berikut:

Tabel 2.1 perbedaan karakteristik

pembelajaran konvensional

dan pembelajaran

konstruktivisme

No Pembelajaran

konvensional

Pembelajaran

konstruktivisme

1. Kurikulum disajikan

dari bagian-bagian

menuju keseluruhan

dengan menekankan

pada keterampilan-

keterampilan dasar.

Kurikulum disajikan

mulai dari keseluruhan

menuju kebagian-

bagian dan lebih

mendekatkan pada

konsep-konsep yang

lebih luas.

2. Pembelajaran sangat

taat kepada kurikulum

yang telah ditetapkan.

Pembelajaran lebih

menghargai pada

pemunculan pertanyaan

dan ide-ide siswa.

3. Kegiatan kurikuler

lebih banyak

mengandalkan buku teks dan buku kerja.

Kegiatan kurikuler

lebih banyak

mengandalkan pada sumber-sumber data

primer dan manipulasi

bahan.

4. Siswa dipandang

sebagai ”kertas

kosong” yang dapat

digoresi informasi.

Siswa dipandang sebagi

pemikir-pemikir yang

dapat memunculkan

teori-teori tentang

dirinya.

5. Penilaian hasil belajar

atau pengetahuan siswa

dipandang sebagai

bagian dari

pembelajaran dan

biasanya dilakukan

pada akhir pelajaran

dengan cara testing.

Pengukuran proses dan

hasil belajar siswa

terjalin dalam kesatuan

kegiatan pembelajaran,

dengan cara guru

mengamati hal-hal yang

sedang dilakukan siswa

serta melalui tugas-

tugas pekerjaan.

6. Siswa-siswa biasanya

bekerja sendiri, tanpa

ada group process

dalam belajar.

Siswa-siswa banyak

belajar dan bekerja

dalam group process.

(Budiningsih,2004: 57).

Menurut Nuryani dalam Sutarno

(2003) dikenal beberapa model

pembelajaran yang dilandasi

konstruktivisme yaitu model siklus

belajar 5E, model pembelajaran

generatif (generative learning model),

model CLIS (Children Learning In

Science). Masing-masing model

tersebut memiliki kekhasan tersendiri,

tetapi semuanya mengembangkan

kemampuan struktur kognitif untuk

membangun pengetahuan sendiri

melalui berpikir rasional. Kekhasan

model tersebut tampak pada tahapan

(fase) kegiatan pembelajaran yang

dilakukan. Perbandingan fase-fase dari

model-model tersebut dirangkum pada

Tabel di bawah ini:

Tabel 2.2 Fase-fase pembelajaran pada

kelompok model pembelajaran

konstruktivisme. Model Fase-Fase Pembelajaran

I II III IV V

Siklus

Belajar

Ekspl

orasi

Pengen

alan

konsep

Penerapa

n konsep

- -

Pembela

jaran

Generati

f

Persia

pan

Fokus Tantanga

n

Apli

kasi

-

Pembela

jaran

Interakti

f

Persia

pan

Eksplor

asi

Pertanya

an Siswa

Refl

eksi

-

CLIS Orien

tasi

Elisitas

i

Restruktu

risasi

Apli

kasi

Refle

ksi

Pembela

jaran

koopera

tif

Orien

tasi

Elisitas

i

Restruktu

risasi

Apli

kasi

Refle

ksi

2. Kelebihan dan Kekurangan

Page 150: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

5

a. Kelebihan menurut mok song sang

dalam Sukemo (2006: 5-6)

Adapun kelebihan pembelajaran

konstruktivisme sebagai berikut: 1).

Guru sebagai penolong,

pemudahcara dan perancang, 2).

Menerapkan nilai kooperatif dan

kolaboratif dalam diri murid, 3).

Tidak menggunakan kaedah atau

teknik tradisi seperti, arahan,

menghafal, dan mengingat, 4).

Penguasaan teknik lisan dan buku

lisan.

b. Kekurangan menurut mok song sang

dalam Sukemo (2006: 5-6)

Selain kelebihan, pembelajaran

konstruktivisme mempunyai

kelemahan yang tersendiri yaitu: 1).

siswa tidak dapat mengasimilasikan

dan menyusun ide saintifik baru, 2)

Ketidaksediaan murid untuk

merancang strategi berfikir dan

menilai sendiri teori pengajaran

berdasarkan pengalaman sendiri,

murid terpaksa mengenal ide-ide

alternatif dan memeriksa secara kritis

sebelum mereka memahaminya.

3. Langkah-langkah kon

truktivisme

Adapun langkah-langkah

penerapan pembelajaran

konstruktivisme menurut Aqib

(2002:20) yaitu:

a. Guru mendorong munculnya diskusi

terhadap pengetahuan baru yang

telah dimiliki siswa sebelumnya.

b. Memotivasi untuk berpikir dengan

cara mengaitkan materi yang

sebelumnya dengan materi yang

akan di sampaikan dan melakukan

pemecahan masalah berdasarkan

lebih dari satu jawaban yang benar.

c. Melibatkan siswa dalam aktivitas

belajar seperti main peran, simulasi,

debat dan pemberian penjelasan

kepada teman.

d. Memanfaatkan keterampilan berpikir

kritis dengan menganalisis,

membandingkan, generalisasi,

memprediksi dan mengajukan

hipotesi masalah yang sedang

dibahas.

e. Guru menjelaskan kaitan informasi

baru dengan pengalaman pribadi

siswa atau kepengetahuan yang telah

dimiliki siswa.

f. Guru menggunakan segala informasi

yang diperoleh pada situasi baru.

g. Lakukan penilaian dengan berbagai

cara.

Pengertian Model Siklus Belajar 5E

Siklus Belajar 5E adalah suatu

kerangka konseptual yang digunakan

sebagai pedoman dalam melakukan

proses pembelajaran yang berpusat pada

pebelajar (student centered). Siklus

belajar merupakan rangkaian tahap-

tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi

sedemikian rupa sehingga pebelajar

dapat menguasai kompetensi-

kompetensi yang harus dicapai dalam

pembelajaran dengan jalan berperanan

aktif. (Dasna, 2005:32)

Model siklus belajar termasuk

kependekatan konsrtuktivisme karena

siswa sendiri yang mengkonstruksi

pemahamannya. Terdapat tiga macam

model siklus belajar yaitu:

a. Siklus belajar deskriptif, pada model

ini siswa menemukan dan

mendeskripsikan apa yang telah

siswa dapatkan.

b. Siklus belajar emprikal-abduktif,

pada siswa juga menemukan sesuatu

dengan mengeksplorasi, tetapi telah

melangkah lebih jauh, yaitu dengan

menciptakan sebab-sebab yang

mungkin ada pada pola tersebut.

c. Siklus belajar hipotetikal-deduktif,

siswa mengemukakan pertanyaan-

pertanyaan sebab musabab yang

dapat menimbulkan beberapa macam

penjelasan (Adi,2009:1).

1. Kelebihandan Kekurangan Menurut Mok Song Sang dalam

Sukemo, 2006:5-6).

Page 151: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

6

a. Kelebihan

Dilihat dari dimensi

guru, penerapan strategi ini

memperluas wawasan dan

meningkatkan kreativitas

guru dalam merancang

kegiatan pembelajaran.

Sedangkan ditinjau dari

dimensi pebelajar, penerapan

startegi ini memberi

kelebihan sebagai berikut:

1) Meningkatkan motivasi

belajar karena pebelajar

dilibatkan secara aktif

dalam proses

pembelajaran.

2) Membantu

mengembangkan sikap

ilmiah pebelajar.

3) Pembelajaran menjadi

lebih bermakna.

b. Kekurangan

Adapun kekurangan

penerapan strategi ini yang

harus selalu diantisipasi

diperkirakan sebagai berikut:

1) Efektivitas pembelajaran

rendah, jika guru kurang

menguasai materi dan

langkah-langkah

pembelajaran.

2) Menuntut kesungguhan

dan kreativitas guru

dalam merancang dan

melaksanakan proses

pembelajaran.

3) Memerlukan pengelolaan

kelas yang lebih

terencana dan

terorganisasi.

4) Memerlukan waktu dan

tenaga yang lebih banyak

dalam menyusun

rencana dalam

melaksanakan

pembelajaran.

(Cohen dan Clough

dalam Soebagio,

2000:163).

2. Langkah-Langkah Model

Siklus Belajar 5E

Siklus belajar pada

mulanya terdiri dari fase-fase

eksplorasi (exploration),

pengenalan konsep (concept

introduction), dan aplikasi

konsep (concept application).

Menurut Dasna (2005: 23) ada 5

fase dalam siklus belajar yaitu :

a. Fase pendahuluan

(engagement), kegiatan pada

fase ini bertujuan untuk

mendapatkan perhatian

siswa, mendorong

kemampuan berfikir, dan

membantu siswa mengakses

pengetahuan awal yang telah

dimilikinya.

b. Fase eksplorasi

(exploration), pada fase ini

siswa diberi kesempatan

untuk bekerja, baik secara

mandiri maupun secara

kelompok tanpa instruksi

langsung dari guru.

c. Fase penjelasan

(explaination), kegiatan pada

fase ini bertujuan untuk

melengkapi atau

menyempurnakan dan

mengembangkan konsep

yang diperoleh siswa. Guru

akan menjelaskan konsep

yang dipahaminya dengan

kata-katanya sendiri,

menunjukkan contoh yang

berhubungan dengan konsep

untuk melengkapi

penjelasannya, serta bisa

memperkenalkan istilah-

istilah baru yang belum

diketahui siswa.

d. Fase penerapan konsep

(elaboration), kegiatan fase

ini mengarahkan siswa

Page 152: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

7

menerapkan konsep-konsep

yang telah dipahami dan

keterampilan yang dimiliki

pada situasi baru. Fase ini

bertujuan untuk

meningkatkan pemahaman

siswa tentang apa yang telah

mereka ketahui.

e. Fase evaluasi (evaluation),

dimana pada kegiatan fase

ini ada dua hal yang ingin

diketahui yaitu pengalaman

belajar yang telah diperoleh

siswa dan refleksi untuk

melakukan siklus lebih

lanjut.

Pada tahap eksplorasi, pebelajar

diberi kesempatan untuk memanfaatkan

panca inderanya semaksimal mungkin

dalam berinteraksi dengan lingkungan

melalui kegiatan-kegiatan seperti

praktikum, menganalisis artikel,

mendiskusikan fenomena alam,

mengamati fenomena alam atau

perilaku sosial, dan lain-lain. Dari

kegiatan ini diharapkan timbul

ketidakseimbangan dalam struktur

mentalnya (cognitive disequilibrium)

yang ditandai dengan munculnya

pertanyaan-pertanyaan yang mengarah

pada berkembangnya daya nalar tingkat

tinggi (high level reasoning) yang

diawali dengan kata-kata seperti

mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005:

25).

Munculnya pertanyaan-

pertanyaan tersebut sekaligus

merupakan indikator kesiapan siswa

untuk menempuh fase berikutnya, fase

pengenalan konsep. Pada fase ini

diharapkan terjadi proses menuju

kesetimbangan antara konsep-konsep

yang telah dimiliki pebelajar dengan

konsep-konsep yang baru dipelajari

melalui kegiatan-kegiatan yang

membutuhkan daya nalar seperti

menelaah sumber pustaka dan

berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar

mengenal istilah-istilah yang berkaitan

dengan konsep-konsep baru yang

sedang dipelajari. Pada fase terakhir,

yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak

menerapkan pemahaman konsepnya

melalui kegiatan-kegiatan seperti

problem solving (menyelesaikan

problem-problem nyata yang berkaitan)

atau melakukan percobaan lebih lanjut.

Penerapan konsep dapat

meningkatkan pemahaman konsep dan

motivasi belajar, karena pebelajar

mengetahui penerapan nyata dari

konsep yang mereka pelajari.

Implementasi siklus belajar dalam

pembelajaran menempatkan guru

sebagai fasilitator yang mengelola

berlangsungnya fase-fase tersebut mulai

dari perencanaan (terutama

pengembangan perangkat

pembelajaran), Pelaksanaan (terutama

pemberian pertanyaan-pertanyaan

arahan dan proses pembimbingan)

sampai evaluasi. Implementasi siklus

belajar biasanya diukur melalui

observasi proses dan pemberian tes. Jika

ternyata hasil dan kualitas pembelajaran

tersebut ternyata belum memuaskan,

maka dapat dilakukan siklus berikutnya

yang pelaksanaanya harus lebih baik

dibanding siklus sebelumnya dengan

cara mengantisipasi kelemahan-

kelemahan siklus sebelumnya, sampai

hasilnya memuaskan.

Siklus belajar tiga fase saat ini

telah dikembangkan dan disempurnakan

menjadi lima fase dan enam fase,

ditambahkan tahap engagement

sebelum exploration dan ditambahkan

pula tahap evaluation pada bagian akhir

siklus. Pada model ini tahap concept

introduction dan concept application

masing-masing diistilahkan menjadi

explaination dan elaboration. Karena

itu siklus belajar lima fase sering

dijuluki siklus belajar 5E (Engagement,

Exploration, Explaination, Elaboration

Page 153: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

8

dan Evaluation) (Lorsbach, 2002:173).

Pada model siklus enam, ditambahkan

tahap identifikasi tujuan pembelajaran

pada awal kegiatan (Johnston dalam

Iskandar, 2005). Tahap engagement

bertujuan mempersiapkan diri pebelajar

agar terkondisi dalam menempuh fase

berikutnya dengan jalan mengeksplorasi

pengetahuan awal dan ide-ide mereka

serta untuk mengetahui kemungkinan

terjadinya miskonsepsi pada

pembelajaran sebelumnya.

Dalam fase engagement ini minat

keingintahuan pebelajar tentang topik

yang akan diajarkan berusaha

dibangkitkan. Pada fase ini pula

pebelajar diajak membuat prediksi-

prediksi tentang fenomena yang akan

dipelajari dan dibuktikan dalam tahap

eksplorasi. Pada fase exploration, siswa

diberi kesempatan untuk bekerja sama

dalam kelompok-kelompok kecil tanpa

pengajaran langsung dari guru untuk

menguji prediksi, melakukan dan

mencatat pengamatan serta ide-ide

melalui kegiatan-kegiatan seperti

praktikum dan telaah literatur. Pada

explaination, guru harus mendorong

siswa untuk menjelaskan kensep dengan

kalimat mereka sendiri, meminta bukti

dan klarifikasi dari penjelasan mereka

dan mengarahkan kegiatan diskusi.

Pada tahap ini pebelajar menemukan

istilah-istilah dari konsep yang

dipelajari.

Pada fase elaboration (extention),

siswa menerapkan konsep dan

keterampilan dalam situasi baru melalui

kegiatan-kegiatan seperti praktikum

lanjutan dan problem solving. Pada

tahap akhir evaluation, dilakukan

evaluasi terhadap fase-fase sebelumnya

dan juga evaluasi terhadap pengetahuan,

pemahaman konsep, atau kompetensi

pebelajar melalui problem solving

dalam konteks baru yang kadang-

kadang mendorong pebelajar

melakukan investigasi lebih lanjut.

Berdasarkan tahapan-tahapan dalam

metode pembelajaran bersiklus seperti

dipaparkan di atas, diharapkan siswa

tidak hanya mendengar keterangan guru

tetapi dapat berperan aktif untuk

menggali dan memperkaya pemahaman

mereka terhadap konsep-konsep yang

dipelajari. Berdasarkan uraian di atas,

model siklus dapat diimplementasikan

dalam pembelajaran bidang-bidang

sains maupun sosial (Rahayu, 2005:

43).

Pengembangan fase-fase siklus

belajar dari tiga fase menjadi lima atau

enam fasepun masih tetap

berkorespondensi dengan mental

functioning dari piaget. Fase

engagement dalam siklus belajar 5E

termasuk dalam proses asimilasi,

sedangkan fase evaluation masih

merupakan proses organisasi.

Walaupun fase-fase siklus belajar

dapat dijelaskan dengan teori Piaget,

siklus belajar juga pada dasarnya lahir

dari paradigma konstruktivisme belajar

yang lain termasuk teori

konstruktivisme sosial Vygostky dan

teori belajar bermakna Ausubel ( Dasna,

2005: 38).

Implementasi siklus belajar dalam

pembelajaran sesuai dengan pandangan

konstruktivisme yaitu:

1). Siswa belajar secara aktif. Siswa

mempelajari materi secara bermakna

dengan bekerja dan berpikir.

Pengetahuan dikonstruksi dari

pengalaman siswa.

2). Informasi baru dikaitkan dengan

skema yang telah dimiliki siswa.

Informasi baru yang dimiliki siswa

berasal dari interpretasi individu.

3). Orientasi pembelajaran adalah

investigasi dan penemuan yang

merupakan pemecahan masalah

(Hudojo, 2001:60).

Dengan demikian proses

pembelajaran bukan lagi sekedar

transfer pengetahuan dari guru ke siswa,

Page 154: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

9

seperti dalam falsafah behaviorisme,

tetapi merupakan proses pemerolehan

konsep yang beroreantasi pada

keterlibatan siswa secara aktif dan

langsung. Proses pembelajaran

demikian akan lebih bermakna dan

menjadikan skema dalam diri pebelajar

menjadi pengetahuan fungsional yang

setiap saat dapat diorganisasi oleh

pebelajar untuk menyelasaikan

masalah-masalah yang dihadapi.

Dengan adanya pendekatan siklus

belajar dapat menciptakan kesempatan

untuk memberikan pengalaman fisik,

interaksi sosial dan regulasi sendiri pada

siswa. Dengan kata lain guru dapat

menciptakan pengalaman-pengalaman

belajar yang mengintegrasikan ketiga

tahap yang berperan dalam proses

pembentukan konsep. Tahap eksplorasi

memberikan pengalaman fisik dan

interaksi sosial yang dapat mendorong

siswa untuk bertanya tentang pemikiran

mereka sendiri. Pengalaman fisik juga

akan membantu menumbuhkan

gagasan-gagasan baru dan membimbing

siswa untuk menemukan jawaban

terhadap pertanyaan-pertanyaan yang

muncul dari tahap eksplorasi dan

pengenalan konsep. Selanjutnya tahap

penerapan konsep, memberikan

kesempatan kepada siswa untuk

menemukan penerapan konsep sendiri

dalam konteks yang baru (Jufri, 2000:

22).

Aktivitas Belajar Dalam diri masing-masing siswa

terdapat “prinsip aktif” yakni keinginan

berbuat dan bekerja sendiri.

Sehubungan dengan hal tersebut, sistem

pembelajaran dewasa ini sangat

menekankan pada pendayagunaan asas

aktivitas (keaktifan) dalam proses

belajar dan pembelajaran untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Aktivitas belajar menurut Hamalik

(2002: 170) adalah suatu proses atau

kegiatan yang dilakukan untuk

mencapai pengetahuan, keterampilan,

nilai dan sikap. Oleh karena itu, guru

yang bertindak sebagai fasilitator dan

mediator dalam pembelajaran

hendaknya mampu menciptakan

pembelajaran yang dapat mengikut

sertakan siswa secara aktif baik individu

maupun kelompok dalam kegiatan

pembelajaran.

Menurut Djamarah (2002: 38-

45), ada beberapa aktivitas belajar

yaitu sebagai berikut:

1. Mendengarkan, adalah salah satu

aktivitas belajar. Setiap orang yang

belajar disekolah pasti aktivitasnya

mendengarkan ketika seorang guru

menggunakan metode ceramah,

maka setiap siswa harus mendengar

apa yang pendidik sampaikan.

2. Memandang, adalah mengarahkan

penglihatan ke suatu objek.

Aktivitas memandang dalam arti

belajar adalah aktivitas memandang

yang bertujuan sesuai dengan

kebutuhan untuk mengadakan

perubahan tingkah laku yang

positif.

3. Meraba, membau, dan

mencincipi/mengecap adalah indera

manusia yang dapat dijadikan

sebagai alat untuk kepentingan

belajar. Artinya aktivitas meraba,

membau, mengecap dapat

memeberikan kesempatan bagi

seseorang untuk belajar.

4. Menulis dan mencatat, merupakan

kegiatan yang tidak dapat

dipisahkan dari aktivitas belajar.

Mencatat yang termasuk sebagai

aktivitas belajar adalah apabila

dalam mencatat itu orang

menyadari kebutuhan dan

tujuannya serta menggunakan

seperangkat tertentu agar catatan itu

nantinya berguna bagi pencapaian

tujuan belajar.

5. Membaca adalah aktivitas yang

banyak dilakukan di sekolah dan

Page 155: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

10

perguruan tinggi. Membaca disini

tidak mesti membaca buku belaka,

tetapi juga membaca majalah,

koran, tabloit, jurnal-jurnal hasil

penelitian, catatan hasil belajar atau

kuliah dan hal-hal lainnya yang

berhubungan dengan kebutuhan

studi.

6. Membuat ikhtisar atau ringkasan

atau menggarisbawahi, dapat

membantu dalam hal mengingat

atau mencari kembali materi dalam

buku untuk masa-masa yang akan

datang.

7. Mengamati tabel-tabel, diagram-

diagram dan bagan-bagan

merupakan suatu yang sangat perlu

bagi seseorang dalam mempelajari

materi yang relevan. Demikian pula

gambar-gambar, peta-peta dan lain-

lain dan dapat menjadi bahan

ilustratif yang membantu

pemahaman seseorang tentang

suatu hal.

8. Menyusun paper atau kertas kerja,

dalam menyusun paper harus

sistematis dan metodologis, artinya

menggunakan metode-metode

tertentu dalam penggarapannya.

Sistematis artinya menggunakan

kerangka berpikir yang logis dalam

kronologis.

9. Mengingat, adalah gejala

psikologis. Ingatan itu sendiri

adalah kemampuan jiwa untuk

memasukkan (learning),

menyimpan (relention), dan

menimbulkan kembali

(remembering) hal-hal yang telah

lampau. Jadi mengenai ingatan itu

sendiri ada tiga fungsi yaitu

memasukkan, menyimpan dan

mengangkat lembali kealam sadar.

10. Berpikir adalah, termasuk aktivitas

belajar. Dengan berpikir orang

memperoleh penemuan baru,

setidak-tidaknya orang menjadi

tahu tentang hubungan antar

sesuatu.

11. Latihan atau praktek, adalah konsep

belajar yang menghendaki adanya

penyatuan usaha mendapatkan

kesan-kesan dengan cara berbuat.

Dalam hal ini belajar sambil

berbuat adalah termasuk latihan.

Adapun penggunaan asas

aktivitas belajar dalam pembelajaran

seperti yang diungkapkan oleh

Hamalik (2001: 175) antara lain:

1. Para siswa mencari pengalaman

sendiri dan langsung mengalami

sendiri.

2. Berbuat sendiri akan

mengembangkan seluruh aspek

pribadi siswa secara integral.

3. Memupuk kerjasama yang harmonis

dikalangan siswa.

4. Para siswa bekerja menurut minat

dan kemampuan sendiri.

5. Memupuk disiplin kelas secara wajar

dan suasana belajar menjadi

demokratis.

6. Mempererat hubungan sekolah dan

masyarakat, dan hubungan antara

orang tua dengan guru.

7. Pengajaran diselenggarakan secara

realistis dan konkret sehingga

mengembangkan pemahaman dan

berpikir kritis serta menghindari

verbalistik.

8. Pengajaran di sekolah menjadi hidup

sebagaimana aktivitas dalam

kehidupan di masyarakat.

Berdasarkan pendapat di atas

dapat disimpulkan bahwa aktivitas

belajar merupakan kegiatan atau

perilaku yang terjadi selama proses

belajar mengajar. Kegiatan-kegiatan

yang dimaksud adalah kegiatan

yang mengarah pada proses belajar

seperti bertanya, mengajukan

pendapat, mengerjakan tugas-tugas,

dapat menjawab pertanyaan guru

dan bisa bekerja sama dengan siswa

Page 156: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

11

lain, serta tanggung jawab terhadap

tugas yang diberikan.

Hasil Belajar

1. Pengertian hasil belajar

Kegiatan belajar adalah

segala aktivitas yang dilakukan

dengan sengaja oleh peserta didik

untuk mencapai tujuan belajar.

Tujuan belajar berkaitan dengan

perubahan-perubahan

tingkahlaku peserta didik yang

meliputi aspek-aspek

pengetahuan, keterampilan,

sikap, nilai-nilai dan aspirasi

(Sudjana, 2000: 96).

Menurut bahtiar (2010: 24)

Hasil belajar adalah suatu

kemampuan yang berupa

keterampilan dan perilaku baru

sebagai akibat dari latihan atau

pengalaman. Menurut Soedijarto

dalam Bahtiar (2010: 24)

mendefinisikan hasil belajar

sebagai tingkat penguasaan suatu

pengetahuan yang dicapai oleh

siswa dalam mengikuti program

belajar mengajar sesuai dengan

tujuan pendidikan yang

ditetapkan.

Berdasarkan pendapat di

atas dapat ditarik sebuah

kesimpulan bahwa hasil belajar

adalah perolehan dari suatu usaha

yang dilakukan dengan berbagai

proses sehingga memberi

perubahan dalam diri seseorang

kearah yang lebih positif yang

dapat dinilai dari sikap dan

tingkah lakunya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan

penelitian tindakan kelas (PTK)

yakni penelitian tindakan (action

research) yang dilakukan di kelas

dengan tujuan

memperbaiki/meningkatkan mutu

praktik pembelajaran

(Suhardjono,2008: 5E). Tujuan

utama penelitian tindakan kelas

(PTK) adalah untuk meningkatkan

mutu proses dan hasil pembelajaran,

mengatasi masalah pembelajaran,

meningkatkan profesionalisme

akademik dan menumbuhkan

budaya akademik (Suhardjono,

2008: 61).

Kehadiran peneliti dalam

penelitian ini sangat diperlukan

karena peneliti bertindak sebagai

perencana tindakan pengumpul data,

penganalisis data dan pelapor hasil

penelitian.Peneliti mutlak hadir

selama kegiatan penelitian

berlangsung. Peneliti juga dalam

penelitian ini bertindak sebagai

pengajar dan menjadi pengamat

adalah teman sejawat.

Sebagai subjek dalam

penelitian ini adalah siswa kelas

VIII.C SMP Negeri 4 Woha tahun

pelajaran 2014/2015, dengan

jumlah 19 siswa.

Tabel 3.1 : subyek

penelitian pada siswa kelas VIII.C

Laki-laki Perempuan

13 6

Rancangan Penelitian

Ada beberapa para ahli yang

mengemukakan rancangan

penelitian tindakan kelas (PTK)

terdiri atas rangkaian yang

dilakukan dalam siklus berulang

(Arikunto, 2008: 52).

Daur ulang dalam penelitian

tindakan kelas (PTK) diawali

dengan perencanaan tindakan

(planning), penerapan tindakan

(action), mengobservasi dan

mengevaluasi proses dan hasil

tindakan (observation and

evaluation), dan melakukan refleksi

Page 157: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

12

(reflecting), dan seterusnya sampai

perbaikan atau peningkatan yang

diharapkan tercapai (kriteria

keberhasilan),

Tehnik Pengumpulan Data 1. Data observasi

Data observasi ini memuat

kegiatan pembelajaran untuk

setiap konsep yang di kaji, yang

berisi lembar RPP dan lembar

aktivitas siswa. Dalam lembar

RPP memuat tentang rencana

pembelajaran yang disusun oleh

guru sebelum melaksanakan

proses belajar mengajar,

sedangkan aktivitas siswa yaitu

tentang kegiatan-kegiatan siswa

dalam melaksanakan proses

belajar mengajar.

2. Data hasil tes

Data hasil belajar siswa

diperoleh dengan cara

memberikan tes evaluasi yang

diberikan pada akhir materi dan

dilakukan pada setiap akhir

siklus, tujuannya yaitu untuk

mengetahui peningkatan hasil

belajar siswa.

Instrumen Penelitian

Suharsimi Arikunto (2006:

160) menerangkan bahwa penelitian

adalah alat/fasilitas yang digunakan

oleh peneliti dalam dalam

mengumpulkan data agar pekerjaan

lebih mudah dan hasilnya lebih

baik’dalam arti lebih cermat lengkap

dan sistematik sehingga lebih

mudah diolah. Instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini

terdiri dari:

1. Lembar Observasi

a). Aktivitas guru

Dimana lembar observasi ini

memuat kegiatan

pembelajaran untuk setiap

fase dalam pembelajaran 5E.

b). Aktivitas siswa

Siswa berperan sebagai

subjek yang menerima

materi besaran dan satuan

dan menerima tes.

2. Soal Tes

Untuk mengetahui hasil

belajar siswa digunakan

instrumen berupa tes. Jenis tes

yang digunakan adalah pilihan

ganda yang terdiri dari 15 soal.

Soal yang digunakan dalam

penelitian ini diambil dari soal

yang telah terstandar (beberapa

buku paket).

Analasis Data 1. Data hasil Observasi

a. Standar Skor penilaian

observasi

Standar skor penilaian

tersebut dipergunakan untuk

memberikan nilai terhadap

objek yang diamati yaitu:

Pedoman penilaian

pelaksanaan pembelajaran

menggunakan skor penilaian

observasi dengan skala 1-4,

seperti disajikan dalam tabel

berikut:

Tabel 3.2. kriteria skor penilaian

pelaksanaan pembelajaran

Kategori Bobot

skor

Sangat tepat 4

Tepat 3

Kurang tepat 2

Sangat tidak tepat 1

Sumber : (Endang, 2008 dalam Burhan,

2013: 35)

b. Pengolahan skor penilaian

observasi

Pedoman penilaian

pelaksanaan pembelajaran.

Setelah diperoleh skor

penilaian pelaksanaan

Page 158: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

13

pembelajaran maka di hitung

untuk menentukan kualitas

pelaksanaan pembelajaran.

Perhitungan tersebut dengan

menggunakan rumus:

N = ∑ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛

𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 x 100%

Keterangan : N = Skor nilai yang diperoleh

guru/siswa.

Skor perolehan = Skor yang diperoleh dari sejumlah

indikator yang muncul/nampak dari observasi.

Skor maksimal = Jumlah skor keseluruhan dari

indicator yang ditetapkan.

Adapun skala penilaian (%) dan kriteria

yang digunakan sebagai berikut:

Tabel 3.3. kriteria skor penilaian (%)

pelaksanaan pembelajaran

2. Data Hasil Belajar

Sebelum dianalisis,

terlebih dahulu dicari ketuntasan

belajar siswa, kemudian

dianalisis secara kuantitatif.

a) Ketuntasan Individu

Setiap siswa dalam proses belajar

mengajar dinyatakan tuntas secara

individu apabila siswa mampu

memperoleh nilai ≥ 63 sebagai

standar ketuntasan belajar minimal

yang diterapkan oleh sekolah tempat

penelitian diadakan.

b) Ketuntasan Klasikal

Indikator keberhasilan penelitian ini

adalah ketuntasan belajar dengan

rumus sebagai berikut:

𝐾𝐾 =𝑃

𝑁𝑋100%

Keterangan: KK = Ketuntasan belajar

P = Banyaknya siswa yang

memperoleh nilai ≥ 63

N = Banyaknya siswa

Ketuntasan belajar tercapai jika KK ≥

85% siswa yang mencapai

nilai≥ 63.

Indikator Keberhasilan

Adapun yang menjadi

indikator keberhasilan penelitian

tindakan ini adalah pencapaian

aktivitas belajar siswa dengan

ketentuan sebagai berikut:

a) Keberhasilan penelitian ini

dilihat dari peningkatan hasil

belajar siswa. Berdasarkan

pada teknik analisa data,

maka dapat disimpulkan

bahwa indikator

keberhasilan ketuntasan

belajar dalam penelitian ini

didasarkan pada kriteria

ketuntasan minimal (KKM)

yaitu nilai tes/hasil belajar

siswa 63 dan ketuntasan

klasikalnya mencapai 85%.

b) Keberhasilan penelitian ini

dilihat dari aktivitas belajar

siswa. Penelitian dikatakan

berhasil apabila aktivitas

siswa secara klasikal

minimal berkategori aktif

dan aktivitas guru

berkategori baik selama

proses pembelajaran.

HASIL PENELITIAN

SIKLUS I

Siklus I dilakasanakan 3 kali

pertemuan, pada pertemuan pertama

hari Senin, 25 Agustus 2014 jam 07.00-

09.00 WIB. Materi yang akan dijarkan

pada siklus I adalah materi gaya, yang

meliputi tahap perencanaan (planning),

tindakan (action), pengamatan

(observation) dan refleksi (reflection).

Dengan menggunakan Lembar

Observasi proses belajar dan

berdasarkan catatan lapangan diperoleh

data bahwa proses belajar siklus 1

berdasarkan 5 tahapan dalam siklus

belajar 5E (Engagement, Exploration,

Nilai

(%)

Kriteria

92-100 Sangat baik

75-91 Baik

50-74 Cukup baik

25-49 Kurang baik

00-24 Tidak baik

Page 159: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

14

Explanation, Elaboration, Evaluation).

Seperti telihat pada tabel 4.1 berikut ini

:

Tabel 4.1 : Observasi

siswa siklus belajar 5E

No Sub Variebel Nilai

rata-rata

1 Engagement

(Pendahuluan)

50,87%

2 Exploration

(Penggalian)

50,87%

3 Explanation

(Penjelasan)

55,26%

4 Elaboration

(Aplikasi)

45,26%

5 Evaluation

(Evaluasi)

36,84%

∑Nilai rata-rata 49,86%

(a) Data Keterlaksanaan Proses

Pembelajaran

Data keterlaksanaan pembelajaran

berisikan kegiatan selama proses belajar

mengajar. Guru fisika selaku pengamat,

memberikan penilaian terhadap cara

mengajar. Lembar observasi guru dapat

dilihat pada, lampiran 7, halaman 94.

Guru Fisika memberikan tanda chek list

(√) dan skor jika sesuai dengan format

observasi yang telah dibuat. Hasil

tersebut dihitung dalam bentuk

persentasi. Berdasarkan hasil observasi

yang diperoleh dari lembar observasi

guru adalah sebagai berikut: Nilai rata-

rata aktivitas yang dilakukan oleh guru

selama proses belajar mengajar adalah

79,35%.

Tabel 4.2 : Observasi keterlaksanaan

aktivitas guru No Aspek yang diamati Skor porsentase

1 Pra pembelajaran 13 1,3

2 Kegiatan inti 56 44,8

3 Penutup 4 0,4

Jumlah 73 46,7

∑ nilai ketelaksanaan 79,35%

(b) Hasil Belajar

Hasil belajar siswa dapat

diketahui berdasarkan tes prestasi

belajar pada akhir tiap siklusnya. Tes

hasil belajar dilakukan 1 kali pada akhir

tiap siklus dan sebelum tes siklus

pertama data nilai berdasarkan

dokumentasi nilai yang didapatkan dari

guru fisika. Tes akhir stiap siklusnya

dimaksudkan untuk mengetahui sejauh

mana kemampuan siswa terhadap

materi yang diajarkan. Hasil tes prestasi

belajar siswa dapat dilihat pada,

lampiran 13: halaman 106, analisis hasil

evaluasi yang diperoleh pada siklus I

dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Analisi hasil evaluasi siklus

I No. Aspek yang diamati Keterangan

1. Nilai tertinggi 90

2. Nilai terendah 50

3. Jumlah nilai 1290

4. Rata-rata kelas 67,89

5. Jumlah siswa yang tuntas 12

6. Jumlah siswa yang tidak tuntas 7

7. Persentase ketuntasan 63,15%

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat

dilihat bahwa rata-rata skor siswa

adalah 67,89 dengan persentase

ketuntasan klasikal yaitu 63,15%

Artinya belum memenuhi indikator

kerja karena indikator kerja yang

ditetapkan adalah rata-rata skor siswa ≥

65 dengan ketuntasan klasikal ≥ 85 %.

Refleksi pada siklus I berdasarkan

catatan observasi oleh peneliti dan guru

fisika adalah secara umum tujuan

pembelajaran hampir tercapai. Pada

pertemuan pertama masih tampak siswa

yang kurang memperhatikan (ramai),

kurang tekun dan kurang disiplin,

kurang kerja sama dalam kelompok.

serta kurang menghargai pendapat

teman dalam timnya, kurang merespon

pertanyaan guru. Pada pertemuan II

siswa sudah mulai nampak kinerjanya

meningkat kearah lebih baik, hal ini

dapat dilihat dari keantusiasan siswa

Page 160: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

15

untuk berusaha memberikan hasil yang

terbaik bagi kelompoknya. Setiap siswa

sudah kelihatan bertanggung jawab

akan tetapi saat berdiskusi masih ada

siswa yang berbicara dan masih

kurangnya kerjasama dalam belajar

kelompok karena belum terbiasa dalam

belajar kelompok secara heterogen

Hal yang belum memuaskan pada

siklus I ini yaitu, semua siswa belum

mampu bekerja sama dengan baik antar

anggota kelompoknya, kurang

menghargai pendapat temannya dan

nilai rata-rata tes yang dilaksanakan di

akhir siklus I masih belum mencapai

hasil yang diharapkan.

Pada siklus I secara umum proses

belajar siswa dalam proses

pembelajaran fisika masih kurang dan

belum memuaskan, karena target proses

belajar siswa adalah >85 % belum

tercapai. Sesuai dengan tujuan

penelitian ini adalah untuk

meningkatkan aktivitas belajar siswa,

maka untuk mencapainya perlu

dilanjutkan penelitian ini ke siklus II.

Proses belajar siswa selama dalam

proses pembelajaran belum memenuhi

kriteria artinya siswa belum beraktifitas

secara maksimal. Untuk mengantisipasi

ini di siklus II diupayakan semua

perangkat sudah disiapkan semaksimal

mungkin.

Pembelajaran dengan

menggunakan model siklus belajar 5E,

pada siklus I belum bisa meningkatkan

hasil belajar siswa yang sesuai dengan

criteria yang diharapkan. Hal ini dapat

dilihat dari hasil test prestasi belajar di

akhir siklus 1 artinya dengan

menggunkan model pembelajaran siklus

belajar 5E belum bisa meningkatkan

hasil belajar fisika siswa.

Pada siklus I secara umum hasil

belajar siswa belum memuaskan. Target

ketuntasan belajar masih kurang dari

85%. Karena nilai rata-rata hasil belajar

belum mencapai standar yang

ditetapkan, artinya siswa belum

memahami konsep materi yang

diajarkan dengan baik, sehingga pada

siklus II diupayakan pemahaman

konsep materi ajar yang lebih baik dari

pada siklus I, sehingga bisa meningkat

hasil belajar siswa.

SIKLUS II

Dari data yang diperoleh bahwa

taraf keberhasilan aktivitas siswa

selama proses pembelajaran mengalami

peningkatan dan sudah sesuai dengan

tujuan penelitian sebelumnya, seperti

telihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.4 : Observasi

siswa Learning Cycle 5E No Sub Variebel Nilai rata-rata

1 Engagement

(Pendahuluan)

73,68%

2 Exploration

(Penggalian)

64,91%

3 Explanation

(Penjelasan)

80,26%

4 Elaboration (Aplikasi) 72,63%

5 Evaluation (Evaluasi) 89,47%

∑Nilai rata-rata 71,74%

Lembar observasi guru berisikan

kegiatan selama proses belajar

mengajar. Guru fisika selaku pengamat,

memberikan penilaian terhadap cara

mengajar. Lembar observasi guru dapat

dilihat pada lampiran. Guru Fisika

memberikan tanda chek list (√) jika

sesuai dengan format observasi yang

telah dibuat. Hasil tersebut dihitung

dalam bentuk persentase. Adapun hasil

yang diperoleh dari lembar observasi

guru pada siklus II dapat dilihat pada

lampiran 10, hal. 100.

Berdasarkan hasil observasi yang

dilkukan pengamat terhadap aktivitas

yang dilakukan selama proses belajar

mengajar, skor yang yang didapat

adalah 92,39% untuk aktivitas guru

selama proses pembelajaran. Hal ini

menunjukkan bahwa aktivitas

berdasarkan kriteria taraf keberhasilan

pembelajaran termasuk meningkat. Dari

hasil yang diperoleh, dapat memberikan

Page 161: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

16

kesimpulan bahwa aktivitas peneliti

sudah sesuai dengan Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran.

Hasil Belajar

Hasil belajar siswa dapat

diketahui dengan tes akhir belajar. Tes

hasil belajar siklus II dilakukan di akhir

proses belajar pada siklus II. Tes akhir

dimaksudkan untuk mengetahui sejauh

mana kemampuan siswa terhadap

materi yang diajarkan. Hasil tes belajar

siswa dapat dilihat pada, lampiran 13:

halaman 106. Data hasil tes belajar

siswa dapat adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5 Analisi hasil evaluasi siklus

II

No. Aspek yang diamati Keteranga

n

1. Nilai tertinggi 100

2. Nilai terendah 60

3. Jumlah nilai 1550

4. Rata-rata kelas 81,58

5. Jumlah siswa yang tuntas 17

6. Jumlah siswa yang tidak

tuntas 2

7. Persentase ketuntasan 89,65%

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat

dilihat bahwa rata-rata skor siswa

adalah 71,57 dengan persentase

ketuntasan klasikal yaitu 89,69% dari

jumlah siswa keseluruhan 19 orang. Hal

ini berarti indikator kerja yang telah

ditetapkan tercapai dan penelitian

dihentikan

1. Refleksi

Pembelajaran pada siklus II,

sudah mengalami peningkatan

dibandingkan dari Siklus I. Berdasarkan

temuan pada siklus II, ditemukan

adanya peningkatan pelaksanaan

pembelajaran diiringi peningkatannya

keaktifan siswa dalam proses belajar

mengajar. Hal ini dapat terlihat dari

semakin banyaknya siswa yang mau

bertanya atau mengemukakan

pendapatnya serta aktif dalam diskusi.

Hal ini terlihat dari pertanyaan dan

tanggapan yang muncul dari siswa,

relevan dengan materi dan pada saat

presentasi kelompok, siswa tampak

cukup menguasai materi dan munculnya

pertanyaan-pertanyaan. Dalam siklus II

ini diperlukan kerja keras guru dalam

memotivasi siswa sesuai perannya

sebagai motivator dan sebagai

fasilitator, antara lain mengadakan

pendekatan dan bimbingan secara

maksimal terhadap masing-masing

kelompok, serta penguasaan konsep

pembelajaran yang lebih maksimal.

Pada siklusi II, secara umum

tujuan pembelajaran tercapai. Sehingga

model pembelajaran siklus belajar 5E,

dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Hal ini bisa dilihat dari lembar

observasi yang dilakukan sebagai

berikut:

a. Nilai observasi proses belajar siswa

dari hasil pengamatan tersebut,

peneliti menyimpukan bahwa, proses

belajar siswa pada siklus II selama

proses pembelejaran sudah tercapai

dengan baik, terlihat dengan adanya

peningkatan proses belajar antara

siklus I dan Siklus II.

b. Hasil pengamatan yang di lakukan

guru fisika, terhadap aktivitas yang

dilakukan peneliti selama proses

pembelajaran pada siklus II sudah

baik hal ini dapat dilihat dari adanya

peningkatan dari Siklus I dan Siklus

II sesuai dengan grafik sebagai

berikut :

c. Prestasi belajar yang dilakukan

diakhir siklus II, nilai rata-rata siswa

mencapai 71,57 dan ketuntasan

belajar mencapai 89,65%. Hal ini

menunjukkan bahwa pada siklus II

ketuntasan belajar siswa kelas VIII.C

sudah tercapai.

Berdasarkan uraian temuan

penelitian di atas, dapat memberikan

kesimpulan bahwa pembelajaran fisika

Page 162: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

17

di kelas VIII.C pada pokok bahasan

Gaya, dengan mengunakan model

pembelajaran siklus belajar 5E, dapat

meningkatkan hasil belajar siswa.

PEMBAHASAN

1. Keterlaksanaan proses

pembelajaran siklus I dan II

Proses pembelajaran pada siklus I

dapat dilihat dari hasi observasi yang

dilakukan guru fisika selaku pengamat.

Pengamatan ini dilaksanakan selama

proses kegiatan pembelajaran

berlangsung. Proses pembelajaran yang

dicapai pada siklus I adalah 79,35%.

Artinya aktivitas obsever sebagai guru,

sudah cukup baik akan tetapi masih

perlu adanya perbaikan karena ada

beberapa catatan dalam proses

pembelajaran hal ini disebabkan peneliti

belum terbiasa dengan model

pembelajaran yang diterapkan,

kurangnya penguasaan kelas saat

pembagian kelompok dan kurangnya

penguasaan materi ajar yang diberikan.

Pada pembelajaran siklus II terdapat

peningkatan keterlaksanaan proses

pembelajaran. Hasil yang dicapai pada

sikulus II mencapai 92,39%.

Peningkatan disebabkan karena

melakukan perbaikan-perbaikan

diantaranya adalah: (1) obsever

melakukan pendekatan dan bimbingan

yang maksimal ke setiap kelompok, (2)

penguasaan konsep pembelajaran yang

lebih matang, (3) sudah mengerti

dengan model yang diterapkan pada

proses pembelajaran, (4) Memberikan

pertanyaan kembali kepada siswa agar

tidak terjadi miskonsepsi saat proses

pembelajaran.

2. Observasi Belajar Siswa Siklus

I dan II

Model pembelajaran

konstruktiviseme dengan melalui siklus

belajar 5E memiliki lima tahapan

pembelajaran. Dalam pelaksanaannya

terdapat peningkatan proses

pembelajaran dari siklus I dan siklus II

yakni: Pada fase Engagement

(Pendahuluan) terdapat peningkatan

22,81% siswa yang aktif dikarenakan

pada siklus yang ke 2 guru memberikan

penjelasan dengan jelas terhadap proses

pembelajaran yang akan dilakukan, fase

Exploration (Penggalian)

peningkatannya adalah 13,81% guru

membimbing tiap – tiap kelompok saat

praktikum, fase Explanation

(Penjelasan) dengan peningkatan

25,00% guru memberikan penjelasan

serta penegasan saat diskusi

berlangsung, fase Elaboration

(Aplikasi) meningkat 27,37% karena

guru memberikan penjelasan saat siswa

memberi contoh pengaplikasian dalam

kehidupan sehari - hari, fase Evaluation

(Evaluasi) terdapat peningkatan

sebanyak 52,63% karena guru mengajak

siswa berkomunikasi dalam

merefleksikan pelaksanaan

pembelajaran sehingga menghasilkan

kesimpulan.

Hal ini ditemukan karena adanya

peningkatan pelaksanaan pembelajaran

yang diiringi peningkatannya keaktifan

siswa dalam proses belajar mengajar.

Hal ini dapat terlihat dari semakin

banyaknya siswa yang mau bertanya

atau mengemukakan pendapatnya serta

aktif dalam diskusi. Proses serta hasil

belajar siswa dapat meningkat

dikarenakan perbaikan . peneliti pada

siklus ke-II berdasarkan keadaan

lapangan pada siklus I antara lain :

a) Pada siklus ke dua membagi

kelompok dan memberikan alur

belajar yang dilakukan serta

menanyakan apakah mereka sudah

mengerti apa yang dimak sudan

peneliti untuk menghindari suasana

yang ramai.

b) Setelah memberikan pertanyaan

mengembalikan kepada siswa agar

terjadi komunikasi dalam

pembelajaran.

Page 163: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

18

c) Memberikan penegasan kembali

tentang kebenaran jawaban yang

telah diutarakan siswa

3. Hasil Belajar

Sebelum penelitian dilaksanakan,

terlebih dahulu mengadakan

pengamatan terhadap hasil ulangan

harian pada bab sebelumnya.

Berdasarkan observasi awal yang

diperoleh data bahwa nilai rata-rata

kelas rendah, karena nilai rata-rata yang

diperoleh dari 19 siswa kelas VIII.C

SMP Negeri 4 Woha mencapai 65,94.

Hasil observasi awal ini digunakan

sebagai bahan pertimbangan dan

informasi hasil tes pembelajaran siklus

I.

a) Pada siklus I nilai ketuntasan klasikal

siswa 62,06% kurangnya nilai

ketuntasan minimum siswa dari

standar yang telah ditentukan ini

disebabkan oleh penggunaan

pendekatan yang baru dalam

pembelajaran tersebut sehingga

siswa masih belum terbiasa dan

merasa asing. Setelah mulai terbiasa

belajar dengan model dapat

meningkat belajar siswa, hal ini

terlihat dari nilai ketuntasan

minimum siswa setelah dilakukannya

tes hasil belajar diakhir siklus II yang

mencapai 89,65%.

b) Pada siklus I siswa yang memenuhi

ketuntasan belajar masih 62,06% hal

ini disebabkan masih ada siswa yang

agak lama beradaptasi dengan model

pembelajaran yang diterapkan,

namun diakhir siklus II siswa yang

memenuhi ketuntasan belajar

berjumlah 17 siswa atau 89,65%.

Peningkatan hasil belajar siswa

ini disebabkan oleh beberapa

hal, diantaranya sebagai berikut:

1. Melalui model pembelajaran siklus

belajar 5E saat proses pembelajaran,

membatu siswa untuk memahami

konsep materi ajar dengan cepat,

karena siswa yang sudah mengerti

membantu tim anggotanya yang

belum mengerti.

2. Proses pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran

tersebut, tidak lagi “Teacher Centre

Learning” tetapi “Student Centre

Learning”. Sehingga pada proses

pembelajaran siswalah yang berperan

aktif dalam belajar dan siswa bisa

menemukan konsep sendiri.

3. Dengan menggunakan model

pembelajaran ini, dapat melatih

siswa untuk bekerjasama dengan

temannya. Sehingga kesulitan siswa

dalam belajar bisa teratasi.

PENUTUP

Berdasarkan rumusan masalah

dan hipotesis dalam penelitian,

dapat disimpulkan bahwa:

1. Pembelajaran konstruktivisme

dengan model siklus belajar

dapat meningkatkan aktivitas

belajar fisika siswa kelas VIII.C

SMP Negeri 4 Woha tahun

pelajaran 2014-2015, dilihat dari

aktivitas siswa pada tiap

pertemuan mengalami

peningkatan sebesar 52,63%.

2. Pembelajaran konstruktivisme

dengan model siklus belajar

dapat meningkatkan hasil belajar

fisika siswa kelas VIII.C SMP

Negeri 4 Woha tahun pelajaran

2014-2015, dilihat dari

ketuntasan individu dan

ketuntasan klasikalnya, dengan

nilai rata-rata siswa 71,57

dengan persentasi ketuntasan

89,65%.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek. Jakarta: Rineka

Cipta.

Page 164: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

19

Arikunto, Suharsimi. 2008. Penelitian

Tindakan Kelas. Jakarta: PT

Bumi Aksara.

Aqib Zainal. 2003. Profesionalisme

Guru Dalam

Pembelajaran.Surabaya:

Penerbit Insan Cendikia.

Bahtiar. 2010. Strategi Belajar

Mengajar Sains (IPA) Fisika: Belum

Diterbitkan

Budianingsih, A. 2004. Belajar dan

Pembelajaran. Jakarta:

Rineka Cipta.

Dasna. 2005. Kajian Implementasi

Modul Model Siklus Belajar

Dalam Pembelajaran Kimia.

Makalah Seminar Nasional

dan Pembelajarannya.

FMIPA UM-Dirjen Dikti 5

September 2005.

Dimyanti dan Mudjiono. 2009. Belajar

dan Pembelajaran. Jakarta:

Rineka Cipta.

Djamarah. 1994. Prestasi Belajar dan

Kompetensi Guru. Surabaya:

Usaha Nasional.

Djamarah. 2002. Psikologi Belajar.

Jakarta : Rineka Cipta.

Hamalik. 2001. Kurikulum Dan

Pembelajaran. Jakarta : Bumi

Aksara.

Hamalik. 2002. Psikologi Belajar.

Jakarta : PT. BumiAksara.

Hamalik. 2008. Kurikulum dan

Pembelajaran. Jakatra: Bumi

Aksara.

Hudojo, H. 2001. Pembelajaran

Menurut Pandangan

Konstruktivisme.

MakalahSemlokKonstruktivis

mesebagaiRangkaianKegiata

n Piloting JICA.FMIPA

UM.9 Juli 2001.

IrawatidanYuhan. 2006. Akurasi Fisika

untuk Kelas X Semester I: PT

SinergiPustaka Indonesia.

Irzani. 2007. Strategi Belajar Mengajar

Matematika. Bantul: Media

Grafindo Press.

Iskandar, S.M. 2005. Perkembangan

dan Penelitian Daur Belajar.

Makalah Semlok

Pembelajaran Berbasis

Konstruktivis. Jurusan Kimia

UM.Juni 2005.

Jufri,W. 2000. Paradigma

Pembelajaran Biologi di

Sekolah Menengah Mataram:

Universitas Mataram.

Kanginan, M. 2006. Fisika untuk SMA

Kelas X. Jakarta:

PenerbitErlangga.

Lorsbach, A. W. 2002. The Learning

Cycle as A tool for Planning

Science Instruction. Di unduh

dari(http://www.coe.ilstu.edu/

scienceed/lorsbach/257lrcy.ht

ml).Pada tanggal 10 Maret

2014.

Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Bandung:

remajaRosdaKarya.

Mufrihun. 2006. Penerapan Pendekatan

Konstruktivis Menggunakan

Model Siklus Belajar untuk

Meningkatkan Hasil Belaja

rFisika Siswa Kelas VII

Semester II SMP N 2

Mataram Tahun Ajaran

Page 165: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

20

2005/2006. FPMIPA

Universitas Mataram.

Rahayu, S., Prayitno.2005. Penggunaan

Strategi Pembelajaran

Learning Cycle-Cooperative

Learning 5E (LCC-

5E).Makalah Seminar

Nasional MIPA dan

Pembelajarannya. FMIPA

UM – Dirjen Dikti

Depdiknas. 5 September

2005.

Riduwan.2004. Belajar Mudah untuk

Guru-Karyawan dan Peneliti

Pemula. Bandung: Alfabeta.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-

Faktor yang

Mempengaruhinya. Jakarta:

Rineka Cipta.

Sudirman. 2003. Interaksi dan Motivasi

Belajar Mengajar. Jakarta:

PT. Grafindo Persada.

Sudjana, N. 2000.Dasar-Dasar Proses

Belajar Mengajar. Bandung:

PT Sinar Baru Algensindo.

Suhardjono. 2008. Metodelogi

Penelitian Pedidikan. Jakarta

: Rineka Cipta

Sukardi, A.2005. Aplikasi Teori

Pembelajaran

Konstruktivisme Dalam

Bentuk Perisian Multi Media

Bertajum Sistem

Perundangan Di Malaysia.

Diunduh

darihttp://tutor.commy/tutor/d

unia.asp.dunia pendidikan.

Pada tanggal 20 Maret 2014.

Sukemo. 2006. Ilmu Pendidikan

Konstruktivis. Diunduh

darihttp://sukemo.com/menuj

u-ke/kelemahan-teori-

konstruktivisme. Padatanggal

20Maret 2014.

Supardi. 2008. Penelitian Tindakan

Kelas. Surabaya: Usaha

Nasional

Sutarno. 2003.Perpustakaan dan

Masyarakat. Jakarta :Yayasan

Obor Indonesia.

Triaonto. 2007. Model Pembelajaran

Terpadu dalam Teori dan

Praktek. Jakarta: Prestasi

Pustaka Publisher.

Usman, Uzer. 2007. Menjadi Guru

Profesional. Bandung:

Remaja Rosdakarya Offset.

Wilujeng, Asri Kanti. 2005.

Meningkatkan Prestasi

Belajar Matematika siswa

Kelas II Semester II Madrasa

Aliyah Negeri Pasuruan

Menggunakan Pembelajaran

kooperatif Model Jigsaw.

Skripsi tidak diterbitakan.

Malang. Universitas Negeri

Malang.

Page 166: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TIPE JIGSAW

TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR FISISKA SISWA KELAS

VIII.B SMP NEGERI 4 MONTA TAHUN PELAJARAN 2014/2015

AGUSTINASARI, M.Pd.Si & RAHMAT HIDAYAT

Dosen Fisika STKIP Taman Siswa Bima

ABSTRAK

Kata Kunci : Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw, dan Prestasi Belajar

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Room Action

Research) yang direncanakan dalam beberapa siklus dan dilaksanakan dalam dua siklus.

Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII B SMP Negeri 4 Monta dengan jumlah

siswa 27 orang. Tiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi,

evaluasi, dan refleksi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar

Fisika pada pokok bahasan gaya siswa kelas VIII B SMP Negeri 4 Monta tahun

pelajaran 2014/2015. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah: (1). Data tentang kegiatan belajar mengajar dikumpulkan dengan menggunakan

lembar observasi.(2). Hasil belajar siswa dikumpulkan dengan memberikan tes pada

setiap akhir siklus. Ketuntasan belajar tercapai jika KK ≥ 85,18 % siswa mencapai nilai

minimal 65.

Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut: Siklus I nilai rata-rata hasil

belajar siswa 65,88 dan diperoleh ketuntasan klasikal belajar sebesar 55,55% dan

aktivitas siswa adalah sebesar 8,5% yang tergolong pada kategori cukup aktif. Siklus II

nilai rata-rata hasil belajar siswa naik menjadi 72,92% dengan persentase ketuntasan

klasikal 85,18 % dan aktivitas belajar siswa naik menjadi 11,5% yang tergolong pada

katagori aktif. Hasil tersebut menunjukkan sudah tercapainya indikator penelitian yang

ditetapkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw

dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan gaya siswa kelas VIII B

SMP Negeri 4 Monta Tahun Pelajaran 2014/2015.

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi dari waktu ke waktu

semakin pesat, arus globalisasi semakin

hebat. Akibat kedua fenomena ini antara

lain memunculkan persaingan dalam

berbagai bidang kehidupan terutama

lapangan pekerjaan. Untuk menghadapi

tantangan berat ini dibutuhkan sumber

daya manusia yang berkualitas. Untuk

mencetak sumber daya manusia yang

berkualitas diperlukan adanya mutu

pendidikan (Darsono, 2000: 1).

Sains adalah hasil kegiatan

manusia berupa pengetahuan,

pengalaman melalui proses ilmiah.

Tujuan pembelajaran Sains khususnya

fisika adalah pembelajaran yang

diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang

mendorong siswa belajar aktif baik

fisik, mental intelektual, maupun sosial

untuk memahami konsep-konsep fisika.

Dalam pelajaran fisika banyak dibahas

teori dan hal-hal yang bersifat abstrak

sehinga memerlukan kemampuan

penalaran yang tinggi dalam

Page 167: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

pemecahannya, yang menuntut siswa

untuk berpikir kreatif. Dalam berpikir

kreatif, siswa harus punya keterampilan

dan kecakapan yang mencakup

kemampuan penalaran, komunikasi dan

pemecahan masalah.

Kebanyakan siswa juga

menganggap bahwa mata pelajaran

Fisika merupakan mata pelajaran

kurang disenangi bahkan ada yang tidak

menyenangi dengan alasan Fisika

mengerikkan dan membosankan. Sering

kita dengar Fisika merupakan pelajaran

yang penuh dengan rumus-rumus yang

harus dihafal dan teori-teori yang

membosankan. Rasa kurang senangnya

siswa pada pelajaran fisika inilah yang

sekarang banyak terjadi di sekolah-

sekolah baik setelah negeri maupun

sekolah swasta di Indonesia sehingga

dalam proses belajar mengajar siswa

tidak termotivasi untuk belajar Fisika.

Akibatnya berdampak dengan prestasi

belajar siswa yang kurang maksimal.

Hal itu juga yang terjadi di SMP Negeri

4 Monta Kabupaten Bima.

Berdasarkan observasi awal di

SMP Negeri 4 Monta Kelas VIIIB

diperoleh data tentang nilai rata-rata

ulangan harian siswa kelas VIIIB pada

pokok bahasan Cahaya adalah 59,65

dengan nilai KKM 65. Dalam proses

pembelajaran Fisika di SMP Negeri 4

Monta Kelas VIIIB dijumpai fakta

bahwa model pembelajaran yang

dominan adalah model konvensional

yaitu ceramah yang mempunyai ciri-

ciri:

1. Berpusat pada guru, dimana guru

sebagai subjek yang aktif dan siswa

sebagai objek yang pasif dan

diperlakukan tidak menjadi bagian

dari realita dunia yang diajarkan

kepada mereka.

2. Bersifat informatif , kurang

variatif, dan monoton.

Model seperti ini menyebabkan

penumpukan informasi atau konsep

saja. Namun tetap saja model ini sering

digunakan karena alasan lebih efesien

dalam proses pembelajaran. Hal itu

terbukti dengan penelitian dari Ardhana,

dari hasil survei terhadap beberapa SMP

di Buleleng (Bali) dan Kota Malang

menemukan bahwa 80% guru

menyatakan paling sering

menggunakan metode ceramah untuk

pembelajaran sains, sedangkan dari

pandangan siswa, 90% menyampaikan

bahwa gurunya mengajar dengan cara

menerangkan. Terkait dengan temuan

ini, kegiatan mengajar yang dilakukan

oleh para guru tersebut merupakan

aktivitas menyimpan informasi dalam

pikiran siswa yang pasif dan dianggap

kosong. Siswa hanya menerima

informasi verbal dari buku-buku dan

guru atau ahli. Ardhana, 2004

Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) menghendaki

situasi belajar yang alamiah, yaitu siswa

belajar dengan sungguh-sungguh

dengan cara mengalami dan

menemukan sendiri pengalaman

belajarnya. Ketika siswa belajar ilmu

alam, maka yang dipelajari adalah ilmu

alam sekitar yang dekat dengan

kehidupan siswa. Situasi pembelajaran

sebaiknya dapat menyajikan fenomena

dunia nyata, masalah yang autentik dan

bermakna yang dapat menantang siswa

untuk memecahkannya.

Model pembelajaran kooperatif

tipe jigsaw merupakan salah satu tipe

pembelajaran yang kooperatif dan

fleksibel. Pembelajaran tipe jigsaw

didesain untuk meningkatkan rasa

tanggung jawab siswa terhadap

pembelajaran sendiri dan pembelajaran

orang lain. Siswa tidak hanya

mempelajari materi yang diberikan,

tetapi mereka juga harus siap

memberikan dan mengajarkan materi

tersebut kepada anggota kelompok yang

lain. Dengan demikian, siswa saling

tergantung satu dengan yang lainnya

Page 168: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

3

dan harus bekerja sama secara

kooperatif untuk mempelajari materi

yang ditugaskan.

1. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif pada

dasarnya merupakan pembelajaran yang

memberikan kesempatan siswa untuk

belajar bersama dalam kelompok kecil

dimana masing-masing anggota

bertanggung jawab terhadap

keberhasilan individu dan kelompok

untuk mempelajari suatu topik tertentu.

Melalui pembelajaran ini, siswa tidak

hanya dituntut untuk berusaha secara

individu dalam mencapai kesuksesan

belajar, melainkan siswa bekerja sama

dalam kelompoknya dan bertanggung

jawab untuk mencapai kesuksesan

kelompok.

Abdurrahman dan Bintoro

(Nurhadi, dkk, 2004 : 61) mengatakan

bahwa pembelajaran kooperatif adalah

pembelajaran yang secara sadar dan

sistematis mengembangkan interaksi

yang silih asah, silih asih, silih asuh

antara sesama siswa sebagai latihan

hidup dalam masyarakat nyata.

Pendapat ini menegaskan bahwa

pembelajaran kooperatif itu dapat

menciptakan interaksi, menyadari

perbedaan, dan kebutuhan manusia

sebagai makhluk sosial. Hal ini

didukung pula oleh Holubech yang

menyatakan pengajaran kooperatif

(Cooperative Learning) memerlukan

pendekatan pengajaran memulai

penggunaan kelompok kecil siswa

untuk bekerja sama dalam

memaksimalkan kondisi belajar dalam

mencapai tujuan belajar. (Nurhadi, dkk,

2004 : 60)

Menurut Slavin (Nur Asma, 2006:

45) “Cooperative learning method

share idea that student work tosether to

learn and are responsiblefor one

anothers learning as well as their own”

yang artinya bahwa dalam pembelajaran

kooperatif, siswa belajar bersama,

saling menyumbang fikiran dan

tanggung jawab terhadap pencapaian

hasil belajar secara individu maupun

kelompok. Belajar kooperatif

menekankan kerja sama yang aktif

untuk menyelesaikan suatu masalah.

Anggota kelompok dalam pembelajaran

kooperatif diusahakan heterogen

(berbeda) berdasarkan kemampuan

akademik, jenis kelamin dan latar

belakang sosial dan dilakukan dalam

kelompok-kelompok kecil yang terdiri

dari empat sampai lima orang dengan

tujuan agar interaksi siswa dalam

kelompoknya lebih makimal dan

efektif.

Sedangkan menurut Vygotsky

(Susilo, 2008: 20), aktivitas kolaboratif

yang ada pada siswa akan mendukung

pertumbuhan mereka, karena siswa

yang seusia lebih senang bekerja

dengan teman yang satu dengan teman

yang lain, permodelan dalam perilaku

kelompok kolaborasi lebih maju dari

pada penampilan mereka sebagai

individu. Selain itu Vygotsky

menekankan sebaiknya siswa belajar

memulai interaksi dengan orang dewasa

dan teman sebaya yang lebih mampu.

Interaksi sosial ini memacu

terbentuknya ide baru dan memperkaya

pengembangan intelektual siswa.

Menurut Ibrahim, dkk (2000: 7-

90) Tujuan penting pembelajaran

kooperatif yaitu: (1) hasil belajar

akademik, (2) penerimaan terhadap

keagamaan, dan (3) ketrampilan sosial.

Tujuan penting pertama adalah

pembelajaran kooperatif dapat

memberikan keuntungan baik pada

siswa kelompok bawah maupun

kelompok atas yang bekerja sama

menyelesaikan tugas-tugas

akademiknya. Tujuan penting kedua

ialah penerimaan yang luas terhadap

orang yang berbeda menurut ras,

budaya, kelas sosial, kemampuan

Page 169: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

4

maupun ketidakmampuan,

pembelajaran kooperatif memberikan

peluang kepada siswa yang berbeda

latar belakang dan kondisi untuk

bekerja saling bergantung satu sama

lain atas tugas-tugas bersama, dan

memulai pengunaan struktur

penghargaan kooperatif, belajar untuk

menghargai satu sama lain. Tujuan

penting ketiga ialah untuk mengerjakan

kepada siswa ketrampilan kerja sama

dan kolaborasi. Ketrampilan ini amat

penting untuk dimiliki dalam

masyarakat dimana banyak kerja orang

dewasa sebagai besar dilakukan dalam

organisasi yang saling bergantung satu

sama lain dan dimana masyarakat

secara budaya semakin beragam.

Sedangkan menurut Jarolimerk &

Park (isjoni, 2007 : 24) mengatakan

keunggulan yang diperoleh dalam

pembelajaran kooperatif adalah (1)

saling ketergantungan positif, (2)

adanya pengakuan dalam merespon

perbedaan individu, (3) siswa dilibatkan

dalam perencanaan dan pengelolaan

kelas, (4) suasana kelas yang rileks dan

menyenangkan, (5) terjalinnya

hubungan yang hangat dan bersahabat

antara siswa dengan guru, (6) memiliki

banyak kesempatan untuk

mengekspresikan pengalaman emosi

yang menyenangkan. Sementara

menurut Ibrahim, dkk (2000: 06) unsur-

unsur dasar dalam pembelajaran

kooperatif adalah sebagai berikut :

a) Siswa dalam kelompoknya haruslah

beranggapan bahwa mereka

“Sehidup sepenanggungan

bersama”

b) Siswa bertanggung jawab atas

segala sesuatu di dalam

kelompoknya, seperti mereka

sendiri.

c) Siswa haruslah melihat bahwa

semua anggota di dalam

kelompoknya memiliki tujuan yang

sama.

d) Siswa haruslah membagi tugas dan

tanggung jawab yang sama diantara

anggota kelompoknya.

e) Siswa akan dikenakan evaluasi atau

diberikan hadiah atau penghargaan

yang juga akan dikenakan untuk

semua anggota kelompok.

f) Siswa berbagi kepemimpinan dan

mereka membutuhkan ketrampilan

untuk belajar bersama selama

proses belajarnya.

g) Siswa diminta mempertanggung

jawabkan secara individual untuk

materi yang ditangani dalam

kelompok.

Penggunaan pembelajaran

kooperatif adalah suatu proses yang

membutuhkan partisipasi dan kerja

sama dalam kelompok. Pembelajaran

kooperatif dapat meningkatkan belajar

siswa menuju belajar yang lebih baik,

sikap tolong-menolong dalam beberapa

prilaku sosial. Keberhasilan belajar dari

kelompok tergantung pada kemampuan

dan aktivitas anggota kelompok, baik

secara individual, maupun secara

berkelompok.

2. Pembelajaran Kooperatif Tipe

Jigsaw

Elliot Aronson dan teman-

temannya di Universitas Texas menguji

dan mengembangkan pembelajaran

kooperatif model jigsaw kemudian

diadaptasi oleh Slavin dan teman-

temannya di Universitas Johr Hopkins

(Ibrahim, dkk, 2000 : 21).

Penerapan model jigsaw dalam

proses pembelajaran, siswa dibagi

berkelompok 5-6 anggota kelompok

belajar heterogen. Materi pembelajaran

disajikan kepada siswa dalam bentuk

teks. Setiap anggota kelompok

bertanggung jawab mempelajari sub

topik tertentu, siswa yang mendapat

tanggung jawab sama berkumpul dalam

suatu kelompok ahli, selanjutnya

anggota kelompok ahli kembali

Page 170: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

5

kekelompok asal dan mengajarkan apa

yang telah dipelajari dan didiskusikan

dalam kelompok ahli untuk diajarkan

kepada teman sekelompoknya.

Secara operasional, langkah-

langkah dalam penerapan belajar

kooperatif tipe jigsaw adalah sebagai

berikut:

a. Pembentukan kelompok asal

Kelas dibagi menjadi kelompok-

kelompok, diupayakan 5-6 siswa.

Ditinjau dari kemampuan

kognitifnya, diupayakan keanggotaan

kelompok bersifat heterogen.

b. Guru menyajikan materi dan soal

yang perlu di pahami oleh semua

kelompok asal. Perlu diketahui

bahwa tugas-tugas ini bertujuan

menantapkan dan mengembangkan

pemahaman siswa.

c. Diskusi Kelompok Asal

Masing-masing anggota

kelompok asal melaksanakan diskusi

terhadap materi yang dipegang dan

mengerjakan soalnya.

d. Pembentukan kelompok ahli

Pada tahap ini, masing-masing

kelompok asal berdiskusi untuk

menetapkan wakil dari kelompoknya

untuk menjadi ahli terhadap sub

topik tertentu.

e. Diskusi kelompok ahli

Para ahli dari masing-masing

kelompok membentuk suatu

kelompok ahli dan melaksanakan

diskusi terhadap sub topik yang akan

menjadi keahliannya. Mereka tidak

berdiskusi untuk menyelesaikan sub

topik diluar keahliannya.

f. Diskusi kelompok asal

Pada tahap ini, para ahli kembali

pada kelompok asalnya dan

memberikan penjelasan tentang

subtopik yang menjadi keahliannya

dan mendengarkan penjelaskan ahli-

ahli lainnya sehingga secara

komulatif semua anggota nantinya

mengusai semua tugas yang

diberikan kepada kelompok asal

dengan baik.

g. Pemberian tugas

Pada tahap ini, pemberi tugas

dapat berupa tugas kelompok atau

tugas individu. Melalui tugas ini

akan diperoleh skor.

h. Pemberian penghargaan kelompok

Skor dari masing-masing

kelompok asal saling dibandingkan

untuk menentukan kelompok asal

mana yang paling berhasil.

Selanjutnya, kelompok asal yang

paling berhasil akan menerima

penghargaan. Penghargaan asal yang

paling berhasil akan menerima

penghargaan. Penghargaan kelompok

didasarkan pada skor peningkatan

individu. Skor peningkatan individu

merupakan pemberian kesempatan

bagi setiap siswa untuk meraih

prestasi maksimal dan melakukan

sesuatu yang terbaik untuk dirinya

sendiri dan untuk kelompoknya.

Setiap siswa diberikan poin

perkembangan yang ditentukan

berdasarkan selisih skor dasar

(dokumentasi guru) dengan skor tes

terakhir. Dengan cara ini setiap siswa

memiliki kesempatan yang sama

untuk menyumbangkan skor

maksimal bagi kelompoknya.

Kriteria poin perkembangan dapat

dilihat pada tabel 2.1.

Tebel 2.1 : Perhitungan Nilai

Perkembangan Skor peserta didik Poin

perk

emba

ngan

Lebih dari sepuluh poin di bawah skor

dasar

10 poin hingga 1 poin di bawah skor dasar

Skor dasar sampai 10 poin di atasnya

Lebih 10 poin di atas skor dasar

Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor

awal)

5

10

20

30

30

Langkah berikutnya adalah pemberian

penghargaan kepada kelompok.

Penghargaan kelompok diberikan

Page 171: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

6

berdasarkan poin perkembangan

kelompok yang diperoleh. Untuk

menentukan skor perkembangan

kelompok digunakan rumus:

AdaYangKelompokAnggotaJumlah

AnggotaanPerkembangPoinTotalJumlahNk

Sumber : Slavin 1995:85 (Nur Asma

2006)

Berdasarkan poin perkembangan

yang diperoleh terdapat tiga tingkat

penghargaan, sesuai pada table di

bawah ini.

Tebel 2.3 Tingkat Penghargaan

Kelompok Skor peserta didik Poin

perkembangan

5 < x ≤ 15

15 < x ≤ 25

25 < x ≤ 30

Baik

Hebat

Super

3. Prestasi Belajar

a. Pengertian Prestasi Belajar

Menurut Usman (Hidayat, 2013:

19) menjelaskan tentang pengertian

belajar sebagai berikut : (1) belajar

dapat diartikan sebagai perubahan

tingkah laku pada diri individu berkat

adanya interaksi antara individu dengan

individu dan individu dengan

lingkungan sehingga mereka mampu

berinteraksi dengan lingkungannya, (2)

Ernest R. Hilgard dalam bukunya To

Psychology mengemukakan : belajar

adalah suatu proses dimana ditimbulkan

atau diubahnya suatu kegiatan karena

mereaksi suatu keadaan, (3) H.C.

Witherintonm dalam bukunya

Education Psyhologi mengemukakan:

bahwa belajar adalah suatu perubahan

di dalam kepribadian yang menyatakan

diri sebagai suatu pola baru dari reaksi

yang berupa kecakapan, sikap, dan

kebiasaan atau suatu pengertian.

Berdasarkan beberapa pengertian

di atas menunjukkan bahwa belajar

adalah suatu proses perubahan tingkah

laku atau kecakapan manusia.

Perubahan tingkah laku ini bukan

disebabkan oleh proses pertumbuhan

yang bersifat fisiologi atau proses

kematangan, perubahan yang terjadi

karena dapat berupa perubahan-

perubahan dalam kebiasaan, kecakapan,

atau melalui aspek pengetahuan, sikap

dan ketrampilan. Kegiatan belajar

merupakan kegiatan yang paling pokok

dalam keseluruhan proses pendidikan,

mengandung arti bahwa berhasil

tidaknya pencapaian tujuan pendidikan

banyak bergantung pada bagaimana

proses belajar yang dialami siswa.

Menurut usman (Hidayat, 2013:

21) dijelaskan bahwa prestasi adalah

hasil yang telah dicapai siswa yang

dilakukan melalui tes prestasi belajar,

yang bertujuan untuk memperoleh

gambaran tentang daya serap siswa,

untuk menetapkan tingkat prestasi atau

tingkat keberhasilan belajar siswa

terhadap satuan bahasan, sehingga dapat

disimpulkan bahwa prestasi belajar

adalah hasil yang dicapai siswa dalam

bentuk lain atau skor yang merupakan

penilaian pengetahuan dan pemahaman

terhadap ilmu yang dipelajari.

b. Faktor-faktor yang

mempengaruhi prestasi

belajar.

Menurut Usman (Hidayat 2013:

20) faktor-faktor yang mempengaruhi

prestasi belajar ada dua yaitu: (1) faktor

yang berasal dari diri sendiri (internal)

yang terdiri dari faktor jasmani

(fisiologi), faktor psikologi dan faktor

kematangan fisik maupun psikis, (2)

faktor yang berasal dari luar diri

(eksternal) yang terdiri dari faktor

sosial, faktor budaya, faktor lingkungan

fisik dan faktor lingkungan spiritual

atau keagamaan.

4. Efektivitas Pembelajaran

Fisika

Page 172: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

7

Efektivitas merupakan suatu

kondisi dimana tujuan instruksional

yang telah ditentukan dalam suatu

pembelajaran tercapai. Sehingga perlu

adanya beberapa indikator yang bisa

dipakai untuk menetapkan

kefektivitasan suatu pembelajaran hasil

belajar siswa adalah indikator dari

tingkat penguasaan siswa terhadap

materi pembelajaran yang diberikan

kepadanya. Semakin tinggi tingkat

penguasaan siswa terhadap suatu pokok

bahasan menandakan semakin baik

tingkat ketuntasan belajar siswa yang

bersangkutan. Di dalam dunia

pendidikan di Negara kita efektivitas

dalam pembelajaran dikaitkan dengan

ketuntasan belajar. Ketuntasan secara

kelas (klasikal) dianggap tercapai jika

minimal 85% atau 65 KKM harus

dicapai (Mulyasa, 2006: 27).

Sedangkan Diamond (Nizar,

2005: 26) mengatakan bahwa

keefektivan pembelajaran tidak hanya

diukur dengan presentase saja. Suatu

pembelajaran dikatakan efektif bisa

saja diukur dengan indikator siswa yang

gagal makin berkurang dan hasil tes

siswa terhadap fisika meningkat.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilaksanakan

adalah penelitian tindakan kelas.

Menurut Wiriatmadjo (2007: 13)

penelitian tindakan kelas adalah

bagaimana sekelompok guru dapat

mengorganisasikan kondisi praktek

pembelajaran mereka dan belajar dari

pengalaman mereka sendiri. Tujuan

penelitian tindakan kelas adalah untuk

memperbaiki pelaksanaan dalam proses

pembelajaran.

Pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan

deskriptif kualitatif yaitu pendekatan

yang dinyatakan dalam bentuk verbal

dan dianalisis tanpa menggunakan

perhitungan statistika. Data

dikumpulkan dalam bentuk kata-kata

Menurut Bogdan dan Tailor (Moleong,

2004: 3) mendefinisikan penelitian

kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati, pendekatan ini diarahkan pada

latar dan individu tersebut secara

menyeluruh.

Menurut Moleong (2006: 6),

penelitian kualitatif adalah penelitian

yang dimaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialimi oleh

subjek penelitian, misalnya perilaku,

persepsi, motivasi, tindakan dan lain-

lain secara menyeluruh dan dengan cara

deskriptif dalam bentuk kata-kata dan

bahasa pada suatu konteks khusus yang

dialami dan dengan memanfaatkan

berbagai metode alamiah. Jadi dapat

disimpulkan bahwa pendekatan

kualitatif merupakan pendekatan

penelitian yang memberikan deskripsi

tentang apa yang dialami subjek

penelitian berupa kata-kata atau tulisan

bukan dalam statistika.

Pelaksanaan penelitian tindakan

kelas dilakukan melalui beberapa siklus

dimana setiap siklus terdiri dari 4

tahap, yaitu:

a. Perencanaan

Rencana merupakan langkah

awal guru sebelum melakukan

sesuatu. Dilakukan dengan

rencana kedepan serta

fleksibel untuk menerima

efek-efek yang tak terduga.

Dengan demikian dapat

mengatasi hambatan.

b. Tindakan

Tindakan ini merupakan

penerapan dari perencanaan

yang telah dibuat yang dapat

berupa suatu implementasi

model pembelajaran yang

dalam hal ini adalah

Page 173: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

8

pembelajaran model probing -

promting untuk memperbaiki

atau menyempurnakan model

yang sedang dijalankan.

Tindakan ini akan dilakukan

oleh peneliti dan sample.

c. Observasi (Pengamatan)

Dalam hal pengamatan agar

dapat melihat dan

mendokumentasikan

pengaruh-pengaruh yang

diakibatkan oleh tindakan

dalam kelas. Hasil penelitian

akan menjadi dasar

dilakukannya refleksi sehingga

pemantapan yang dilakukan

harus dapat menceritakan hal

sesungguhnya.

d. Refleksi

Refleksi meliputi: kegiatan

analisi, sintesis, penafsiran

(penginterpersian),

menjelaskan dan

menyimpulkan. Dan hasil

refleksi ini untuk memperbaiki

kinerja guru pada pertemuan

selanjutnya.

Subjek penelitian ini adalah

siswa kelas VIIIB SMPN 4 Monta

Tahun ajaran 2014 /2015 yang

berjumlah 27 orang.

Instrumen Penelitian.

Istrumen ini disusun sesuai

dengan tujuan yang diharapkan

dalam penelitian. Instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Lembar Observasi.

Observasi dilakukan untuk

mengamati kegiatan di kelas

selama pembelajaran. Dalam

observasi ini peneliti melakukan

pengamatan pada hal yang

sekecil-kecilnya. Observasi juga

untuk megamati kesesuaian

antara pelaksanaan tindakan dan

perencanaan yang telah di susun,

serta mengamati aktivitas peneliti

dan siswa selama proses kegiatan

pembelajaran pada materi

cahaya.

2. Soal Tes.

Dalam hal ini peneliti

untuk mendapatkan hasil prestasi

belajar siswa menggunakan soal

tes, dimana terdiri dari beberapa

soal pelihan ganda pada tiap

akhir siklus.

Teknik Pengumpulan Data

1. Studi Dokumentasi

Teknik dokumentasi ini

digunakan untuk memperoleh

data tentang prestasi belajar

sebelum siklus, yaitu diperoleh

melalui data dokumentasi

sekolah.

2. Tes prestasi belajar

Data yang diperoleh

melalui tes prestasi belajar ini

adalah prestasi belajar siswa

dalam mata pelajaran fisika.

Instrumen yang digunakan

adalah tes prestasi belajar. Tes

prestasi belajar ini terdiri atas

dua yaitu tes prestasi belajar

pada tiap siklus pada akhir

pertemuan.

3. Observasi

Data yang diperoleh

melalui teknik observasi ini

adalah data tentang

keterlaksanaan proses

pembelajaran dan data tentang

aktivitas siswa. Dalam observasi

ini digunakan instrumen

pedoman lembar aktivitas guru

dan lembar aktivitas siswa di

kelas. Observasi tiap

pelaksanaan pembelajaran pada

setiap siklus.

Teknik Analisis Data

Page 174: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

9

Setiap tindakan dikatakan

berhasil apabila memenuhi dua

kriteria keberhasilan yaitu

keberhasilan proses dan kriteria

keberhasilan hasil.

1. Data Tes Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah

hasil yang dicapai seorang

individu setelah mengalami

proses belajar dalam waktu

tertentu. Prestasi belajar

dinyatakan dengan nilai atau

skor setelah mengerjakan suatu

tugas atau tes untuk mengetahui

puncak dari prestasi belajar

siswa. Hasil tes dianalisis atau

diolah dengan menggunakan

rumus sebagai berikut :

a. Ketuntasan individu

Setiap siswa dalam

proses belajar mengajar

dinyatakan tuntas secara

individu apabila mampu

memperoleh nilai ≥ 65 sebagai standar kriteria

ketuntasan minimal (KKM).

b. Ketuntasan klasikal

Data tes hasi prestasi

belajar siswa dianalisis

dengan menggunakan

analisis kriteria ketuntasan

klasikal ≥ 85%, dengan ketuntasan klasikal sebagai

berikut :

KK = X

Z x 100%

Keterangan :

KK = ketuntasan klasikal

X = jumlah siswa yang

memperolah nilai ≥ 65 Z = jumlah siswa keseluruhan

(sudjana dalam suryati, 2012: 37)

2. Kriteria Keberhasilan Proses

Pembelajaran

Kriteria keberhasilan

proses belajar ditentukan dengan

menggunakan 2 (dua) jenis

yaitu:

a) Aktivitas belajar siswa

Hasil observasi

aktivitas siswa akan

dianalisa dengan

menggunakan rumus sebagai

berikut :

AS = ∑𝑋

𝑖.𝑛

Keterangan :

AS = Aktivitas siswa

∑X = Skor masing-masing indikator

i = Banyaknya indicator

n = jumlah seluruh siswa

Kemudian hasil aktivitas siswa

dibandingakn dengan hasil dari MI dan

SDi dengan rumus :

MI = 1

2 (skor tertinggi + skor terendah)

SDi= 1

3 (skor tertinggi – skor terendah)

Keterangan :

MI = mean ideal

SDi= standar deviasi ideal

Tebel 3.1 : indikator kategori siswa

dalam belajar Interval Kategori

MI + 1,5 SDI ≤ AS Sangat Aktif

MI + 0,5 SDI ≤ AS < MI + 1,5 SDI Aktif

MI – 0,5 SDI ≤ 𝐴𝑆 < MI + 0,5 SDI Cukup Aktif

MI – 1,5 SDI ≤ AS < MI – 0,5 SDI Kurang Aktif

AS < MI – 1,5 SDI Sangat kurang Aktif

Sumber (Subaryati, 1997: 20 dalam Sri

komalasari, 2012: 31).

b) Data aktivitas guru

Penilaian aktivitas guru

dilakukan melalui observasi

langsung dimana seorang

guru yang mengajar

diobservasi langsung oleh

observer dan observer

berada bersama-sama guru-

guru dan siswa dikelas.

Sedangakan data mengenai

aktivitas guru diambil

Page 175: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

10

dengan menggunakan

lembar observasi.

Analisis data aktivitas

guru menggunakan Mi

(mean ideal) dan SDi

(standar deviasi ideal)

Mi = 1

2 x (skor maximal

+ skor minimum)

SDi = 1

3 x Mi

Data tentang aktivitas

belajar siswa pada penelitian

ini dianalisis secara

deskriptif kualitatif dengan

menggunakan skor 1 dan 0,

jumlah yang diamati adalah

4 indikator dengan skor

masing-masing indicator

adalah 3. Berdasarkan hasil

obervasi yang dilakukan,

skor maximal adalah 12 dan

skor minimal 0, maka

diperoleh Mi = 6 Sdi =2.

Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan dalam

penelitian tindakan ini adalah

apabila pencapaian prestasi dan

aktivitas belajar siswa memiliki

ketuntasan sebagai berikut:

1. Adanya peningkatan prestasi

belajar siswa pada setiap siklus

yang akan terlihat dari hasil

evaluasi

2. Ketuntasan klasikal bila siswa

mencapai nilai ≥ 65 sebesar 85%

3. Aktivitas belajar siswa minimal

berkategori aktif.

HASIL ENELITIAN Pada proses belajar mengajar di

kelas, guru melaksanakan kegiatan

mengajar sesuai rencana pelaksanaan

pembelajaran yang telah direncanakan.

Berdasarkan hasil lembar observasi

kegiatan guru, data aktivitas guru dalam

melaksanakan kegiatan pembelajaran

adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1 Ringkasan hasil observasi

kegiatan guru siklus I

Indikator

Siklus I

Pertemuan

I

Pertemuan

II

1. Persiapan

penyelenggaraan

kegiatan

pembelajaran dan

pemberian apersepsi

2 3

2. Kegiatan guru dalam

memimpin diskusi

2 3

3. Kegiatan guru dalam

memberikan umpan

balik terhadap hasil

diskusi

1 2

4. Kegiatan guru dalam

mengakhiri

pembelajaran

2 2

Total skor aktivitas siswa 7 10

Kategori aktivitas siswa Cukup

Aktif Aktif

Rata-rata skor aktivitas 8,5

Kategori aktif Cukup Aktif

Dari hasil observasi kegiatan

siswa pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa

rata-rata aktivitas belajar siswa pada

siklus I adalah 8,5 dengan kategori

cukup aktif.

Berdasarkan hasil lembar

observasi kegiatan guru (lampiran),

terdapat beberapa kekurangan pada

pelaksanaan pembelajaran siklus I,

yaitu:

(a) Guru kurang bisa mengelola kelas

sehingga mengakibatkan suasana

pembelajaran tidak teratur dan masih

ada siswa yang ribut.

(b) Dalam menunjuk kelompok siswa

yang presentasi, guru cenderung

memilih kelompok siswa yang aktif

dalam kegiatan diskusi.

(c) Guru tidak pernah meminta

tanggapan dari kelompok lain setelah

presentasi dilaksanakan.

(d) Pada tahap penutup, guru tidak

memberikan kesempatan kepada

siswa untuk menarik kesimpulan

terhadap materi yang diajarkan.

1. Aktivitas kegiatan siswa

Page 176: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

11

Berdasarkan hasil observasi

yang dilakukan oleh observer, data

aktivitas siswa dalam mengikuti proses

pembelajaran adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2 Ringkasan hasil observasi

kegiatan siswa siklus I

Indikator

Siklus I

Pertemuan

I

Pertemuan

II

1. Kesiapan siswa

dalam menerima

pelajaran

2 2

2. Interaksi siswa

dengan guru

dalam proses

pembelajaran

2 2

3. Keaktifan siswa

dalam

berdiskusi

2 2

4. Kemampuan siswa

dalam

menyampaikan

pendapat pada

saat presentasi

kelompok

1 2

5. Partisipasi siswa

dalam

menyimpulkan

kegiatan

pembelajaran

1 1

Total skor aktivitas

siswa 8 9

Kategori aktivitas

siswa Cukup Aktif Aktif

Rata-rata skor

aktivitas 8,5

Kategori aktif Cukup Aktif

Dari hasil

observasi kegiatan siswa

pada tabel 4.2 dapat

dilihat bahwa rata-rata

aktivitas belajar siswa

pada siklus I adalah 8,5

dengan kategori cukup

aktif.

Berdasarkan hasil

pengamatan peneliti dan

hasil observasi kegiatan

siswa (lampiran) bahwa

pembelajaran pada siklus

I masih terdapat

beberapa kekurangan.

Adapun kekurangan-

kekurangannya, yaitu:

a. Kegiatan pembelajaran tidak optimal

karena masih ada beberapa siswa

yang melakukan kegiatan lain pada

saat proses pembelajaran sehingga

menyebabkan suasana kelas menjadi

ribut.

b. Kurangnya kerjasama dan siswa

yang pintar lebih mendominasi

kegiata diskusi kelompok.

c. Pada tahap penerapan, masih

terdapat siswa yang menyalin

jawaban teman yang pintar.

d. Siswa masih kurang berani dalam

menyampaikan pendapat atau

tanggapan setelah kelompok lain

mempresentasikan hasil diskusinya

maupun pada saat menarik

kesimpulan pada akhir pembelajaran.

2. Evaluasi

Evaluasi terhadap siklus I dilaksanakan

dengan memberikan tes dalam

bentuk plihan ganda sebanyak 10

soal (lampiran). analisis hasil

evaluasi yang diperoleh pada siklus I

dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Analisi hasil evaluasi siklus

I No. Aspek yang diamati Keterangan

1. Nilai tertinggi 80

2. Nilai terendah 50

3. Jumlah nilai 1779

4. Rata-rata kelas 65,89

5. Jumlah siswa yang tuntas 15

6. Jumlah siswa yang tidak

tuntas 12

7. Persentase ketuntasan 53,56%

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat

bahwa rata-rata skor siswa adalah 65,89

dengan persentase ketuntasan klasikal

yaitu 53,56% Artinya belum memenuhi

indikator kerja karena indikator kerja

yang ditetapkan adalah rata-rata skor

siswa ≥ 65 dengan ketuntasan klasikal ≥

85 %.

3. Refleksi

Pada pelaksanaan proses

pembelajaran siklus I masih banyak

terdapat kekurangannya, sehingga perlu

diperbaiki pada siklus II. Adapun

langkah-langkah perbaikan yang akan

dilakukan pada siklus II, antara lain:

Page 177: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

12

(a) Perbaikan untuk guru

o Agar proses pembelajaran lebih

optimal, guru langsung menunjuk

dan mengajukan pertanyaan

mengenai materi yang diajarkan

kepada siswa yang ribut.

o Guru memotivasi siswa tentang

pentingnya bekerja sama dalam

kelompok dan tidak hanya

mengandalkan siswa yang pintar.

o Guru menghimbau dan memotovasi

siswa untuk berani mengungkapkan

pendapatnya.

(b) Perbaikan untuk siswa

o Agar dapat mengoptimalkan

kegiatan pembelajaran siswa tidak

boleh melakukan kegiatan lain pada

saat proses pembelajaran

berlangsung.

o Siswa harus bekerja sama dalam

menyelesaikan kegiatan

kelompoknya.

o Siswa harus berani untuk

mengungkapkan pendapatnya.

Pada proses pembelajaran siklus

II, guru berusaha maksimal dalam

memperbaiki kekurangan yang ada pada

siklus sebelumnya. Hal ini bisa dilihat

dari data hasil observasi yang proses

pembelajaran siklus II (lampiran) yang

menunjukkan adanya peningkatan

pelaksanaan tindakan dari siklus I.

Walaupun masih terdapat beberapa

siswa yang melakukan aktivitas lain

pada saat pembelajaran berlangsung.

Hal ini berarti pengelolaan kelasnya

masih kurang dapat dilihat pada tabel

4.4.

Tabel 4.4 Ringkasan hasil observasi

kegiatan guru siklus II

Indikator

Siklus II

Pertemuan

I

Pertemuan

II

1. Persiapan

penyelenggaraan

kegiatan

pembelajaran dan

pemberian

apersepsi

3 3

2. Kegiatan guru dalam

memimpin

diskusi

3 3

3. Kegiatan guru dalam

memberikan

umpan balik

terhadap hasil

diskusi

2 2

4. Kegiatan guru dalam

mengakhiri

pembelajaran

3 3

Total skor aktivitas

siswa 11 11

Kategori aktivitas siswa Cukup

Aktif Aktif

Rata-rata skor

aktivitas 11,0

Kategori aktif Aktif

i. Observasi kegiatan siswa

Data hasil

observasi aktivitas siswa

pada proses

pembelajaran siklus II

dapat dilihat pada tabel

4.3

Tabel 4.5 Ringkasan

hasil observasi kegiatan

siswa siklus II

Indikator

Siklus II

Pertemuan

I

Pertemuan

II

1. Kesiapan siswa

dalam menerima

pelajaran

2 2

2. Interaksi siswa

dengan guru

dalam proses

pembelajaran

3 3

3. Keaktifan siswa

dalam berdiskusi 2 2

4. Kemampuan siswa

dalam

menyampaikan

pendapat pada

saat presentasi

kelompok

2 2

5. Partisipasi siswa

dalam

menyimpulkan

kegiatan

pembelajaran

2 3

Total skor aktivitas

siswa 11 12

Kategori aktivitas siswa Aktif

Sangat

Aktif

Rata-rata skor

aktivitas 11,5

Kategori aktif Sangat Aktif

Berdasarkan data hasil observasi

aktivitas siswa (lampiran 30 dan 31)

tabel 4.5 dapat dilihat bahwa rata-rata

aktivitas belajar siswa pada siklus II

adalah 11,5 dengan kategori sangat

aktif. Hal ini berarti bahwa aktivitas

Page 178: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

13

belajar siswa mengalami peningkatan

dari siklus sebelumnya.

ii. Evaluasi.

Evaluasi pada

siklus II dilaksanakan

dengan memberikan tes

dalam bentuk piliha

ganda sebanyak 15 soal

(lampiran). Analisis hasil

evaluasi yang diperoleh

pada siklus II sebanyak

23 siswa dari 27 siswa

dengan ketuntasan

klasikal 85,19 %. Hal ini

lebih jelasnya bisa lihat

pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.6 Analisi hasil

evaluasi siklus II No. Aspek yang diamati Keterangan

1. Nilai tertinggi 80

2. Nilai terendah 50

3. Jumlah nilai 1969

4. Rata-rata kelas 72,92

5. Jumlah siswa yang tuntas 23

6. Jumlah siswa yang tidak tuntas 4

7. Persentase ketuntasan 85,19%

Berdasarkan tabel 4.6 dapat

dilihat bahwa rata-rata skor siswa

adalah 72,92 dengan persentase

ketuntasan klasikal yaitu 85,19% dari

jumlah siswa keselurhan 27 orang. Hal

ini berarti indikator kerja yang telah

ditetapkan tercapai dan penelitian

dihentikan.

b. Refleksi

Hasil evaluasi

pada siklus II mengalami

peningkatan. Peningkatan

nilai rata-rata kelas dari

siklus sebelumnya sebesar

72,92 dengan persentase

ketuntasan klasikal

meningkat sebesar 85,19%,

sedangkan aktivitas belajar

siswa adalah 11,5 dengan

kategori sangat aktif.

Peningkatan ini

menunjukkan bahwa

indikator kerja telah tercapai.

Namum proses pembelajaran

pada siklus II masih terdapat

kekurangannya antara lain :

masih terdapat siswa yang

melakukan aktivitas lain

pada saat proses

pembelajaran berlangsung

dan keaktifan siswa dalam

mengungkap pendapatnya

masih kurang.

PEMBAHASAN

Penerapan Pembelajaran

Kooperatif Tipe Jigsaw

Pada pembelajaran siklus 1

proses pelaksanaan

pembelajaran sudah mencapai

kriteria yang diharapkan. Hal ini

diperoleh dari hasil observasi

pengamat yang dilakukan

selama proses pembelajaran

berlangsung dari aktivitas siswa

di kelas, rata-rata prosentase

aktivitas siswa di kelas pada

siklus 1 adalah cukup aktif

dengan 8,5%. Pada

pembelajaran siklus 2 terdapat

adanya peningkatan dengan

kategori aktif yaitu 11,0%,

peningkatan ini didebabkan

karena siswa sudah lebih

mengerti tentang model

pembelajaran kooperatif jigsaw

dan lebih aktif untuk menjawab

dan mengajukan pertanyaan

kepada temannya, sehingga

proses belajar mengajar

dirasakan cukup menyenangkan.

Berdasarkan uraian di atas

digambarkan tentang

perbandingan prosentase

aktivitas siswa di kelas dalam

penerapan pembelajaran

Page 179: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

14

kooperatif model jigsaw antara

pembelajaran pada siklus 1 dan

siklus 2 pada bagan berikut:

Bagan 5.1 Grafik prosentase

aktivitas siswa di

kelas dalam

penerapan

pembelajaran

kooperatif model

jigsaw

Sebelum penelitian

dilaksanakan, terlebih dahulu

peneliti mengadakan

pengamatan terhadap hasil

ulangan pada bab sebelumnya

yaitu gaya. Berdasarkan

observasi awal yang diperoleh

peneliti mendapatkan data

bahwa nilai rata-rata kelas

rendah, karena nilai rata-rata

yang diperoleh dari 27 siswa

kelas VIII.B SMP Negeri 4

Monta mencapai 63,77 dengan

jumlah siswa yang tuntas 14

siswa atau 3,14%. Hasil

observasi awal ini digunakan

sebagai bahan pertimbangan dan

informasi hasil tes pembelajaran

siklus 1.

Dengan adanya model

pembelajaran kooperatif tipe

Jigsaw pada siklus I peningkatan

hasil belajar siswa mencapai

64,7% dengan nilai rata-rata

72.06 dan 15 siswa

menunjukkan ketuntasan lebih

baik dari kondisi awal sebelum

penelitian, yang hanya 15 siswa

atau 55,56% yang mencapai

ketuntasan. Pada siklus 2 hasil

belajar siswa semakin

meningkat yaitu menjadi

85.19% dengan nilai rata-rata

75.24 dan 23 siswa yang

mencapai ketuntasan belajar.

Berdasarkan uraian di

atas dapat digambarkan tentang

perbandingan prosentase prestasi

belajar siswa:

Bagan 5.2 Grafik Rata-

rata Nilai

penerapan

pembelajara

n Kooperatif

tipe Jigsaw

Oleh karena itu, dapat

disimpulkan bahwa penerapan

pembelajaran kooperatif tipe

Jigsaw dapat meningkatkan

prestasi belajar siswa. Penerapan

pembelajaran kooperatif tipel

Jigsaw dikatakan efektif karena

prestasil belajar siswa

meningkat.

PENUTUP

0

2

4

6

8

10

12

Siklus I Siklus II

Aktvitas Siswa

AktvitasSiswa

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Siklus I Siklus II

Prestasi

Prestasi

Page 180: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

15

Berdasarkan hasil kegiatan

pembelajaran fisika melalui

pembelajaran kooperatif yang telah

dilaksanakan dua siklus, maka dapat

diambil kesimpulan: Penerapan

model pembelajaran kooperatif tipe

Jigsaw dapat meningkatkan prestasi

belajar siswa. Hal ini ditunjukan

dengan nilai ketuntasan klasikal

pada siklus II sebesar 85,19%

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, 2004. Hasil Survei Terhadap

Beberapa SMP di Buleleng (bali)

dan Kota Malang.

(http://pekanilmiah.blogspot.com

/2012/07/pend-fis-016-

perbedaan-prestasi-belajar.html,

di akses pada tanggal 29 April

2014 jam: 11.30 Wita)

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur

Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara

Arikunto, Suharsimi. 1999. Dasar-

Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:

Bumi Aksara

Darsono, Max. 2000. Belajar dan

Pembelajaran. Semarang: IKIP

Semarang Press

Depdiknas Dirjen Pendidikan Dasar dan

Menengah Direktorat

Pendidikan Lanjutan Pertama

Handayanto, S.K. 2003.strategi

Pembelajaran Fisika. Malang. Jurusan

Fisika.

Fakultas MIPA Universitas

Negeri Malang.

Hidayat. 2013. Pengaruh Menggunakan

Model Pembelajaran Problem

Based Learning Terhadap

Peningkatan Prestasi Belajar

Siswa Pokok Bahasan Arus

Listrik dan Hambatan Listrik

pada SMAN 1 Hu’u Kelas XI

Tahun Ajaran 2013/2014.

Bima. STKIP Taman Siswa

Bima

Ibrahim, Muslimin. 2000. Pembelajaran

Kooperatif. Surabaya:

Universitas Negei Surabaya

Isjoni. 2007.Cooperative Learning

Efetifitas Pembelajaran

Kelompok.Bandung.

Alfabet

Mangunwiyoto, Widagdo. 2000. Pokok-

Pokok Fisika SLTP Jakarta: Erlangga

Mulyasa. 2004. Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya

Mulyani. 2013. Penerapan Model

Pembelajaran Langsung (Direct

Instruction) Dengan Pendekatan

Kontekstual Untuk

Meningkatkan Prestasi Belajar

Siswa Kelas VIIID SMPN 1

Woha Tahun Ajaran 2013/2014.

Bima : STKIP Taman Siswa

Bima

Moleong, Lexy,J. 2004. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Remaja

Rosdakarya.

Moleong, Lexy,J. 2006. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Remaja

Rosdakarya.

Nur, Asma. 2006. Model Pembelajaran

Kooperatif. Jakarta. Depdiknas.

Nurhadi. 2004. Kontekstual dan

Penerapan Dalam KBK. Malang :

Universitas Negeri

Page 181: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

16

Malang.

Nizar, A. 2004. Efektifitas Pendekatan

Realistik Mathematik Education (RME)

pada

Pembelajaran Permutasi dan

kombinasi di kelas II_G SMA

laboratorium. Skripsi tidak

diterbitkan. Malang. Universitas

Negeri Malang.

Slavin, Robert E. 1995. Cooperative

Learning. Boston: Allyn Bacon

Susilo, Herawati. 2008. Penelitian

Tindakan kelas. Banyumedia.

Suryati. 2012. Peningkatan Prestasi

Belajar Fisika Pokok Bahasan

Gaya Dengan Meningkatkan

Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe Group Investigation pada

Siswa Kelas VIII-A SMP Negeri

4 Woha Tahun Pelajaran

2012/2013. Bima. STKIP

Taman Siswa Bima.

Suyitno, Hadi. 2008. Perbedaan

Prestasi Belajar Fisika antara

siswa yang menggunakan

Metode Pembelajaran

Kooperatif Model STAD dengan

Model Jigsaw pada Materi

Pokok Energi dan Daya Listrik

Di Kelas IX SMP Hasanuddin

Wajak. Skripsi tidak diterbitkan.

Malang. Universitas Kanjuruhan

Malang.

Wiriatmadjo. 2007. Metode penelitian

naturalistik Kualitatif. Bandung.

Tarsito.

Wilujeng. 2005. Model Pembelajaran

kooperatif tipe Jigsaw..

(http://Darwin.jigsaw.blog.com

di akses tanggal 23 Mei 2014

jam 12.00 Wita). Bima. Warnet

Fadil

Page 182: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA MELALUI MODEL

PEMBELAJARAN COOPERATIVE TIPE SCRIPT PADA SISWA KELAS VII

F SMP NEGERI 1 MADAPANGGA KABUPATEN BIMA TAHUN 2014/2015

GUFRAN.M.Pd & NURWAHDANIAH

Dosen STKIP Taman Siswa Bima

I

ABSTRAK

Kata kunci : Hasil Belajar, Model Pembelajaran Cooperative Tipe Script

Fisika penting dan keberadaannya sangat diperlukan, sehingga upaya kita

selanjutnya adalah bagaimana agar fisika itu dapat dipelajari, diketahui, dan dipahami

sampai akhirnya dapat diterapkan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari dalam

bentuk yang paling sederhana sekalipun. Berdasarkan permasalahan diatas, dapat di

identifikasi masalah sebagai berikut:Minat siswa terhadap pembelajaran fisika masih

kurang, Rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran fisika, Cara mengajar guru

yang menggunakan model ceramah sehingga membuat kejenuhan bagi siswa. Adapun

batasan masalah berdasarkan permasalahan di atas adalah rendahnya hasil belajar siswa

pada mata pelajaran fisika.Cara mengajar guru masih menggunakan metode ceramah

sehingga membuat kejenuhan bagi siswa. Rumusan masalah : Apakah hasil belajar

fisika siswa kelas VII F SMP Negeri 1 Madapangga dapat ditingkatkan melalui

penerapan model Cooperative Tipe Script ?. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui peningkatan hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran

Cooperative Tipe Script fisika siswa kelas VII F SMP Negeri 1 Madapangga Kabupaten

Bima pada tahun ajaran 2014/2015.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research)

yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang berusaha menjelaskan atau memaparkan

keadaan berdasarkan fakta yang ada. Penelitian di lakukan di SMP Negeri 1

Madapangga jalan Cabang Dena, Kecamatan Madapangga No. 5 dan penelitian ini akan

di lakukan selama sebulan. subyek penelitian adalah siswa kelas VII F dengan jumlah

siswa ada 30 orang. Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan dengan

menggunakan dua siklus dengan tahapan prosedur (1) tahap persiapan, (2) tahap

pelaksanaan, (3) tahap releksi. Cara pengambilan data: Test dan dokumentasi. Data tes

hasil belajar siswa dianalisis dengan menggunakan analisis ketuntasan hasil belajar

klasikal minimal 85% dengan rumus ketuntasan klasikal

PENDAHULUAN

Berkembangnya ilmu pengetahuan

dan teknologi mempengaruhi segala

aspek kehidupan manusia terutama pola

pikirnya yang mulai mengalami

perubahan. Hal ini tampak pada

perubahan pola pikir anak-anak remaja

sekarang ini terutama pandangan

mereka mengenai pentingnya

pendidikan. Pendidikan merupakan

usaha manusia dalam mengembangkan

potensi dirinya melalui proses

pembelajaran. (Bahtiar, 2009: 24).

Usaha pemerintah dalam

meningkatkan kualitas pendidikan,

dalam hal ini departemen pendidikan

nasional memberikan perhatian pada

lembaga pendidikan dasar pada

pendidikan tinggi. Aktualisasi dari

usaha pemerintah dapat dilihat dari

berbagai segi seperti halnya

pembangunan dan perbaikan sarana dan

prasarana pendidikan, peningkatan

Page 183: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

pengetahuan, tenaga pengetahuan,

tenaga kependidikan, penyesuaian

kurikulum dan lain sebagainya. (Sulia.

2008 : 36).

Kemajuan Ilmu pengetahuan tidak

lepas dari perkembangan kehidupan

masyarakat dewasa ini yang senantiasa

ingin berkembang dan lebih maju,

semua ini dasar berlangsungnya

pembangunan khususnya dunia

pendidikan. Oleh karena itu Ilmu

pengetahuan dan teknologi harus

senantiasa selaras dengan pendidikan.

(Slameto. 2003 : 57).

Perkembangan Ilmu pengetahuan

dan teknologi mendorong masyarakat

untuk meningkatkan mutu dan kualitas

pendidikan yang dimilikinya.

Sehubungan hal tersebut, masyarakat

mengembangkan potensi pada setiap

jenjang pendidikan. Fisika merupakan

kerangka dasar dari ilmu pengetahuan

dan teknologi, maka fisika salah satu

cabang ilmu pengetahuan.

Fisika penting dan keberadaannya

sangat diperlukan, sehingga upaya kita

selanjutnya adalah bagaimana agar

fisika itu dapat dipelajari, diketahui, dan

dipahami sampai akhirnya dapat

diterapkan oleh semua orang dalam

kehidupan sehari-hari dalam bentuk

yang paling sederhana sekalipun.

Namun kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa hasil belajar siswa

dalam mata pelajaran fisika masih

belum menggembirakan. Berdasarkan

hasil wawncara penulis dengan guru

mata pelajaran fisika yang bertindak

sebagai observator di SMP Negeri 1

Madapangga, ditemukan bahwa cara

mengajar guru yang bervariasi rata-rata

interaksi dan minat siswa terhadap mata

pelajaran fisika masih kurang. Adapun

data nilai rata-rata siswa kelas VII oleh

karena itu guru tidak berhenti mencari

model pembelajaran untuk memperbaiki

masalah rendahnya prestasi belajar

siswa pada mata pelajaran fisika.

Hal ini sesuai dengan observasi awal peneliti di lapangan menunjukan bahwa nilai

siswa rata-rata rendah.

Tabel 01. Nilai rata-rata siswa kelas VII SMPN 1 Madapangga

No

Tahun

Pelajaran

Kelas

KKM

Rata-rata Tidak

Tuntas

Tuntas

Persentase

Ketuntasa

n

Persentase

Tidak Tuntas

1 2012/2013 VII A 60 65 15 orang 22 orang 75 % 25 %

2 2012/2013 VIIB 60 70 14 orang 22 orang 76 % 24 %

3 2012/2013 VII C 60 60 18 orang 19 orang 55,5 % 40,5 %

4 2012/2013 VII D 60 55 17 orang 18 orang 53,3 % 46,7 %

5 2012/2013 VII E 60 55,5 18 orang 17 orang 47 % 53 %

6 2012/2013 VII F 60 65 22 orang 14 orang 25,7 % 74,3 %

7 2012/2013 VII G 60 60 17 orang 18 orang 54,5 % 44,5 %

8 2012/2013 VII H 60 65 18 orang 19 orang 55,5 % 44,5 %

9 2012/2013 VII I 60 65 15 orang 21 orang 75 % 25 %

10 2012/2013 VII J 60 70 16 orang 20 orang 74 % 26 %

(Data hasil raport siswa)

Berbagai usaha telah dilakukan

oleh guru untuk meningkatkan prestasi

belajar fisika siswa. Namun pada

akhirnya kita sadari bahwa hasil belajar

siswa dapat meningkat jika siswa dapat

termotivasi dengan giat untuk belajar.

Sehingga salah satu upaya yang perlu

dilakukan oleh guru adalah menerapkan

metode yang sesuai dengan kebutuhan

siswa sehingga ada motivasi belajar dan

memberikan semangat dan dukungan

agar keyakinan siswa tertanam dalam

dirinya bahwa ia bisa meningkatkan

hasil belajarnya karena potensi diri yang

Page 184: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

ia miliki dan lingkungan sekitarnya

yang mendukung.

Dari permasalahan diatas, peneliti

memilih solusi dengan menerapakan

model pembelajaran cooperative tipe

script, karena model pembelajaran ini

sangat sesuai dengan karakteristik siswa

di SMP Negeri 1 Madapangga

Kabupaten Bima.

Adapun yang menjadi kelebihan

dari model pembelajaran cooperative

tipe script adalah : model belajar siswa

bekerja berpasangan dan secara lisan

mengiktisarkan bagian-bagian dari

materi yang dipelajari, dalam artian

model pembelajaran yang

membelajarkan siswa untuk aktif dalam

setiap kegiatan belajar.

model pembelajaran cooperative

tipe script memiliki kelebihan sebagai

berikut : Melatih pendengaran,

ketelitian / kecermatan untuk siswa,

setiap siswa mendapat peran dalam

setiap pembelajaran, melatih

mengungkapkan kesalahan orang lain

dengan lisan.

1. Hasil Pembelajaran Fisika

Para ahli memberikan

keleluasaan tentang pembelajaran yang

dikemukakan oleh Dick dan Carey

(2005: 11). “pembelajaran adalah

sebagai rangkaian peristiwa atau

kegiatan yang di sampaikan secara

terstruktur dan terencana dengan

menggunakan sebuah atau beberapa

jenis media”. Dalam proses secara

implisit terdapat kegiatan memilih,

menetapkan dan mengembangkan

metode untuk mencapai hasil

pembelajaran yang diinginkan

sedangkan menurut Gagne (1986: 75)

pembelajaran adalah serangkaian

aktivitas yang sengaja di ciptakan

dengan maksud untuk memudahkan

terjadinya proses belajar.

Gagne dan kawan-kawan dalam

Richey (2005: 23) mengatakan bahwa

pembelajaran adalah proses yang

sengaja di rancang untuk menciptakan

terjadinya aktivitas belajar dalam diri

individu. Dengan kata lain,

pembelajaran merupakan sesuatu hal

yang bersifat eksternal dan sengaja di

rancang untuk mendukung terjadinya

proses belajar internal dalam diri

individu.

Cara yang baik untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran

adalah cara yang dapat membuat siswa

tidak sekedar mengetahui tapi mampu

mencari sendiri apa yang harus ia

pelajari. Untuk itu sebagai guru

seharusnya mempunyai metode

pembelajaran yang berkualitas.

Seperti hal dengan materi

pembelajaran fisika yang membutuhkan

cara pendekatan mengajar, hal ini cukup

beralasan karena kenyataan

menunjukkan bahwa mata pelajaran

fisika di SMP masih banyak siswa yang

menganggap materi pelajaran rumit dan

sulit untuk dipelajari. Hal ini dapat

memberikan pengaruh yang buruk

terhadap hasil belajar fisika. Untuk

mengantisipasi hal tersebut mata

pelajaran fisika sebaiknya disajikan

dalam menggunakan metode yang tepat

2. Penerapan Model

Cooperative Tipe Script

Dalam Proses Pembelajaran.

Langkah-langkah

model pembelajaran

Cooperative Tipe Script

(Dansereau, 1985)

1. Guru membagi peserta didik untuk

berpasangan

2. Guru membagikan wacana/materi

tiap peserta didik untuk dibaca dan

membuat ringkasan

3. Guru dan peserta didik menetapkan

siapa yang pertama berperan sebagai

pembicara dan siapa yang berperan

sebagai pendengar

4. Pembicara membacakan

ringkasannya selengkap mungkin,

dengan memasukkan ide-ide pokok

Page 185: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

3

dalam ringkasannya sementara

pendengar:

Menyimak/mengoreksi/menunujukkan ide-ide pokok yang kurang

lengkap

Membantu

mengingatkan/menghafal ide-ide

pokok dengan menghubungkan

materi sebelumnya atau dengan

materi lainnya 5. Bertukar peran, yang semula sebagai

pembicara ditukar menjadi

pendengar dan sebaliknya. Serta

lakukan seperti tersebut di atas

6. Guru dan peserta didik menyusun

kesimpulan

Modifikasi langkah-langkah

model pembelajaran

Cooperative Tipe Script :

1. Guru menulis topik pembelajaran

2. Guru menulis tujuan pembelajaran

3. Guru membagi peserta didik

dalam 2 tipe kelompok yaitu A

dan B. Masing-masing kelompok

dalam tiap tipe beranggotakan 4

orang (A-1= 4 orang, A-2 = 4

orang dst, B-1= 4, B-2 = 4 orang,

dst)

4. Masing-masing kelompok tipe A

dan B mengerjakan kegiatan yang

berbeda (Tipe A mengerjakan

LKPD 1, Tipe B mengerjakan

LKPD 2)

5. Guru memasangkan 1 peserta

didik dari kelompok tipe A

dengan 1 peserta didik dari

kelompok tipe B

6. Guru dan peserta didik

menetapkan siapa yang pertama

berperan sebagai pembicara dan

siapa yang berperan sebagai

pendengar

7. Seorang peserta didik bertugas

sebagai pembicara, yaitu

menyampaikan tugas dan hasil

tugasnya dan seorang peserta

didik sebagai pendengar

8. Bertukar peran, yang semula

sebagi pembicara berperan

sebagai pendengar dan yang

semula sebagai pendengar

berperan sebagai pembicara

9. Guru meminta salah satu

pasangan untuk

memperesentasikan hasil

kegiatannya

10. Diskusi kelas

11. Guru memberikan penguatan pada

hasil diskusi

12. Guru membimbing peserta didik

menyusun kesimpulan

Kelebihan model

cooperative tipe script:

Adapun kelebihan penggunaan

model cooperative tipe script

ini adalah : Melatih

pendengaran, ketelitian /

kecermatan. Setiap siswa

mendapat peran. Melatih

mengungkapkan kesalahan

orang lain dengan lisan.

Kekurangan model

cooperative tipe script:

Penggunaan model cooperative

tipe script ini juga mempunyai

kekurangan sebagai berikut:

hanya dilakukan dua orang

(tidak melibatkan seluruh kelas

sehingga koreksi hanya sebatas

pada dua orang tersebut).

3. Hasil Belajar Fisika.

Hasil belajar adalah istilah

yang digunakan untuk mengukur

tingkat keberhasilan seseorang

yang akan dicapai setelah seseorang

melakukan usaha tertentu. Dalam

kamus bahasa indonesia, hasil

berarti sesuatu yang telah dicapai

dan telah dilakukan atau dikerjakan

sebelumnya. Pengertian hasil

belajar dikemukakan oleh Sudjana

dalam Ariyani (2006: 9) bahwa

hasil belajar adalah kemampuan-

kemampuan yang di miliki siswa

setelah ia menerima pengalaman

Page 186: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

4

belajaranya. Hasil belajar

merupakan hal yang penting yang

akan di jadikan sebagai tolak ukur

sejauh mana keberhasilan

seseorang siswa dalam belajar.

Selanjutnya menurut

Gagne dan Driscoll dalam

Djamarah (2000: 126)

mengemukakan hasil hasil belajar

adalah kemampuan-kemampuan

yang dimiliki siswa akibat

perbuatan belajar yang dapat

diamati melalui penampilan siswa

(leartner’ performance). Pengertian

hasil belajar menurut Purwanto

(2011: 54)

“Hasil belajar adalah

perubahan perilakuyang terjadi

setelah mengikuti proses belajar

mengajar sesuaian dengan tujuan

pendidikan.Manusia mempunyai

potensi perilaku kejiwaan yang

dapat di didik dan diubah

perilakunya yang meliputi domain

kognitif, afektif dan psikomotorik”

Dari beberapa pengertian

belajar di atas jelas terlihat bahwa

hasil belajar tidak lain adalah

kemampuan-kemampuan yang

dimiliki oleh siswa sebagai hasil

pembelajaran yang diamati melalui

penampilan siswa dengan

menggunakan tes sebagai alat ukur

hasil belajar fisika.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan

penelitian tindakan kelas

(Classroom Action Research) yang

bersifat deskriptif, yaitu penelitian

yang berusaha menjelaskan atau

memaparkan keadaan berdasarkan

fakta yang ada. Penelitian

merupakan alat pemprosesan ilmu

pengetahuan, dan alat tersebut

haruslahlah berjalan dengan cepat

dan berkelanjutan supaya dapat

menghasilkan hasil yang cukup

banyak serta berkesinambungan

untuk di masyarakatkan. Dengan

kata lain, penelitian pada

hakikatnya merupakan suatu usaha

untuk menjembatani dunia

konseptual dengan dunia empiris

(Balian Edward, 1983:7).

Dalam penelitian ini, yang

menjadi subyek penelitian adalah

siswa kelas VII F dengan jumlah

siswa ada 30 orang. Laki 15 orang

dan perempuan 15 orang pada

tahun ajaran 2014/2015.

Mengingat penelitian ini

adalah penelitian tindakan kelas

(PTK), maka kehadiran dan peran

peneliti dalam penelitian ini adalah

sebagai Pengajar dengan

menggunakan model pembelajaran

Kooperatif tipe Script dengan

bantuan observer atau guru mata

pelajaran.

Penelitian tindakan kelas ini

akan dilaksanakan dengan prosedur

(1) tahap persiapan, (2) tahap

pelaksanaan, (3) tahap releksi.

Secara rinci tiap siklus dijabarkan

sebagai berikut:

1. Siklus I.

a. Tahap perencanaan.

1) Menyusun Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP)

2) Membuat silabus

3) Menyusun soal test tiap siklus

4) Membuat LKS

5) Membuat materi yang akan

diajarkan dikelas yang menjadi

subyek penelitian.

6) Membagi siswa untuk

berpasangan.

b. Tahap pelaksanaan Tindakan.

1) melakukan proses

pembelajaran sesuai dengan

Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP)

2) Memantau keaktifan siswa

dalam proses belajar mengajar

Page 187: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

5

berdasarkan pedoman

observasi.

c. Tahap Refleksi.

Hasil belajar yang di

peroleh siswa dikumpulkan dan

dianalisis. Dari hasil analisis

tersebut dilakukan refleksi yaitu

bagian mana yang perlu diperbaiki

dan dikembangkan dengan tetap

memperhatikan hasil pada setiap

pertemuan dan dilakukan diskusi

hasil refleksi dengan guru mata

pelajaran fisika. Hasil refleksi pada

siklus I digunakan sebagai acuan

untuk melaksanakan siklus

berikutnya.

2. Siklus II.

Kegiatan siklus II relatif

sama dengan siklus I dengan

mengadakan perbaikan dan

menyempurnakan sesuai dengan

kebutuhan dilapangan. Secara rinci

hal-hal yang dilakukan dalam siklus

ini adalah sebagai berikut:

a. Tahap perncanaan.

Untuk tahap ini,

dirumuskan perencanaan siklus II

sesuai dengan pelaksanaan siklus

I dengan menambah atau

mengurangi bagian yang dianggap

kurang sempurna berdasarkan

hasil refleksi pada siklus I.

b. Tahap pelaksanaan tindakan.

Tindakan pada siklus II

dilakukan dengan melanjutkan

langkah-langkah siklus I

disesuaikan dengan perencanaan

untuk siklus II.

c. Tahap Refleksi.

Pada tahap refleksi siklus

ini, pada dasarnya sama dengan apa

yang dilakukan pada siklus I. pada

tahap ini siswa diberikan

kesempatan untuk memberikan

tanggapannya terhadap proses

pembelajaran fisika bekerja

berpasangan dan bergantian. Hasil

analisis yang diperoleh dari tahap

observasi secara kualitatif maupun

kuantitatif menjadi dasar

dilakukannya releksi terhadap

kegiatan tindakan yang telah

dilakukan.

Cara pengambilan data :

1. Test

Test (evaluasi) adalah

merupakan teknik pengumpulan

data yang di lakukan dengan

memberikan soal untuk di jawab

oleh responden, guna untuk

mengetahui tingkat pemahaman

siswa terhadap materi yang di

ajarkan dengan di perlakukan

oleh guru dalam menggunakan

model pembelajaran cooperative

tipe script dalam melakukan

proses belajar mengajar pada

mata pelajaran IPA Fisika.

2. Dokumentasi

Model dokumentasi

dalam penelitian ini adalah suatu

cara pengumpulan data yang di

peroleh dari dokumen,

keterangan, arsip dan catatan

hasil yang berupa tulisan pada

SMP N 1 Madapangga.

Teknik Analisis Data

1. Analisis Hasil Belajar Siswa

Data tes hasil belajar

siswa dianalisis dengan

menggunakan analisis

ketuntasan hasil belajar klasikal

minimal 85% dengan rumus

ketuntasan klasikal adalah:

KK = 𝑋

𝑍 x 100%

(Purwanto, 2002:112).

Dengan, KK = Ketuntasan

Klasikal

X = Jumlah siswa yang

memperoleh nilai ≥ 65

Z = Jumlah siswa

Sesuai dengan penilaian,

siswa dikatakan tuntas secara

klasikal terhadap materi yang

Page 188: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

6

disajikan jika mencapai 85%

(Sudjana, 2008:81).

Indikator Keberhasilan

Untuk menentukan

indikator keberhasilan dalam

penelitian ini adalah apabila nilai

hasil belajar siswa berdasarkan

kriteria ketuntasan minimal (KKM)

mencapai nilai ≥ 65 dari 85% siswa

sesuai yang telah ditentukan, maka

penerapaan model pembelajaran

kooperatif tipe script dapat

meningkatkan hasil belajar fisika

siswa kelas VII F SMP Negeri 1

Madapangga.

HASIL PENELITIAN

Data mengenai hasil

belajar siswa pada setiap siklus

yang di dapat dari hasil test

dengan menggunakan model

pembelajaran CTS, secara

sederhana dapat dilihat dalam

bentuk tabel di bawah ini :

Tabel. Hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran CTS

Siklus I

Jumlah siswa 30

Kategori tidak

tuntas

Jumlah siswa yang tuntas 21

Jumlah siswa yang tidak tuntas 9

Porsentase ketuntasan 70

Total skor 1922

Rata-rata 66

Nilai tertinggi 80

Nilai terendah 36

Siklus II

Jumlah siswa 30

Kategori tuntas

Jumlah siswa yang tuntas 27

Jumlah siswa yang tidak tuntas 3

Porsentase ketuntasan 90

Total skor 2114

Rata-rata 70,46

Nilai tertinggi 80

Nilai terendah 48

Data selengkapnya mengenai nilai

siswa dalam belajar dengan

menggunakan model pembelajaran CTS

dapat dilihat pada halaman lampiran.

Berdasarkan uaraian di atas dapat

digambarkan tentang perbandingan

persentase ketercapaian pelaksanaan

pembelajaran antara pembelajaran

siklus 1 dan siklus II pada bagan

berikut:

Grafik 5.1 Ketercapaian proses

pembelajaran

Sedangkan untuk aktivitas siswa

selama proses pembelajaran terdiri dari

keaktifan siswa siswa selama diskusi

kelompok. Berdasarkan uraian di atas

dapat digambarkan perbandingan hasil

tes awal, tes akhir pembelajaran siklus I

dan tes akhir pembelajaran siklus II

sebagai berikut:

40 50 60 70 80 90 100

siklus I siklus II

Hasil Test

Test

70,04 %

90 %

Page 189: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

Grafik hasil belajar siswa berdasarkan

nilai rata-rata

PEMBAHASAN HASIL

PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian di

lapangan, tentang peningkatan hasil

belajar fisika melalui model

pembelajaran CTS didapatkan bahwa,

pada pembelajaran siklus 1

keterlaksanaan pembelajaran sudah

mencapai kriteria yang di harapkan.

Pencapaian kriteria ini juga didukung

oleh diskusi antara peneliti dan

pengamat pada saat pra pelaksanaan

penelitian. Terlihat bahwa proses

keterlaksanaan pembelajaran siklus I

mencapai 70 % yang berarti kriterianya

baik, Pada pembelajaran siklus II

terdapat adanya peningkatan pencapaian

keberhasilan yaitu 90 % dan berada

pada kreteria sangat baik. Peningkatan

ini diperoleh karena guru sudah

menyampaikan semua materi yang

disajikan dan memberikan pertanyaan

lisan untuk mengetahui pemahaman

siswa terhadap materi yang telah

dipelajari .

Pada siklus I nilai rata- rata yang

diperoleh 70 % , nilai ini diperoleh

karena pada siklus I siswa belum aktif

dalam diskusinya dan tidak mencatat

hal-hal yang penting yang terkait

dengan demostrasi dan experimen dan

pertanyaan-pertanyaan yang ada di LKS

dan pada saat diskusi kelompok siswa

masih telihat kurang bekerjasama

dengan baik dengan anggota

kelompoknya, belum bisa menghargai

pendapat temannya. Tetapi secara

keseluruhan diskusi kelompok sudah

bisa berjalan lancar, meskipun ada

kendala-kendala tersebut. Sedangkan

pada siklus II, aktivitas siswa sudah

mulai menunjukkan peningkatan. Hal

ini dapat dilihat dari nilai rata-rata yang

dicapai yaitu 90 % untuk keaktifan

siswa selama diskusi kelompok.

Peningkatan hasil ini disebabkan karena

siswa sudah aktif dalam diskusi

kelompok, dan mencatat hal-hal yang

penting yang terkait dengan demostrasi

dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di

LKS dan penelitipun juga memberikan

pengarahan dan bimbingan kepada

siswa. Sehingga kekurangan-

kekurangan pada siklus I bisa diperbaiki

di siklus II.

Perkembangan Ilmu pengetahuan

dan teknologi mendorong masyarakat

untuk meningkatkan mutu dan kualitas

pendidikan yang dimilikinya.

Sehubungan hal tersebut, masyarakat

mengembangkan potensi pada setiap

jenjang pendidikan. Fisika merupakan

kerangka dasar dari ilmu pengetahuan

dan teknologi, maka fisika salah satu

cabang ilmu pengetahuan.

Fisika penting dan keberadaannya

sangat diperlukan, sehingga upaya kita

selanjutnya adalah bagaimana agar

fisika itu dapat dipelajari, diketahui, dan

dipahami sampai akhirnya dapat

diterapkan oleh semua orang dalam

kehidupan sehari-hari dalam bentuk

yang paling sederhana sekalipun.

Usaha pemerintah dalam

meningkatkan kualitas pendidikan,

dalam hal ini departemen pendidikan

nasional memberikan perhatian pada

lembaga pendidikan dasar pada

pendidikan tinggi. Aktualisasi dari

usaha pemerintah dapat dilihat dari

berbagai segi seperti halnya

pembangunan dan perbaikan sarana dan

prasarana pendidikan, peningkatan

0

20

40

60

80

100

Nilai awal siklus I siklus II

70 %

90 %

58,81 %

Page 190: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

3

pengetahuan, tenaga pengetahuan,

tenaga kependidikan, penyesuaian

kurikulum dan lain sebagainya. (Sulia.

2008 : 36).

Secara deskriptif mengajar

diartikan sebagai proses penyampaian

informasi atau pengalaman dari guru

kepada siswa. Proses penyampaian itu

dapat diartikan dengan menanamkan

ilmu pengetahuan seperti yang

dikemukakan Fakhruddin (2009: 38)

bahwa mengajar merupakan suatu

perbuatan atau pekerjaan yang besifat

unik, tetapi sederhana. Dikatakan unik

karena hal itu berkenaan dengan

manusia yang belajar, yakni siswa, dan

yang mengajar, yakni guru, dan

berkaitan erat dengan manusia di dalam

masyarakat yang semuanya menunjukan

keunikan. Di katakana sederhana karena

mengajar di laksanakan dalam wilayah

praktis pada kehidupan sehari-hari, agar

mudah di hayati oleh siapa saja

sedangkan menurut Gagne dalam

Fakhruddin (2009: 66-67) mengajar

merupakan bagian dari pembelajaran

dimana guru lebih ditekankan

bagaimana merancang berbagai sumber

dan fasilitas yang tersedia untuk

digunakan atau di manfaatkan siswa

dalam mempelajari sesuatu.

Dalam mengajar terjadi interaksi

atau hubungan situasi timbal balik

antara siswa dengan guru antar sesama

siswa dalam proses pembelajaran.

Proses pembelajaran ditandai oleh

komponen-komponen yang saling

mempengaruhi yakni tujuan

intruksional yang ingin dicapai dalam

materi yang diajarkan oleh guru.

Cara yang baik untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran

adalah cara yang dapat membuat siswa

tidak sekedar mengetahui tapi mampu

mencari sendiri apa yang harus ia

pelajari. Untuk itu sebagai guru

seharusnya mempunyai metode

pembelajaran yang berkualitas.

Seperti hal dengan materi

pembelajaran fisika yang membutuhkan

cara pendekatan mengajar, hal ini cukup

beralasan karena kenyataan

menunjukkan bahwa mata pelajaran

fisika di SMP masih banyak siswa yang

menganggap materi pelajaran rumit dan

sulit untuk dipelajari. Hal ini dapat

memberikan pengaruh yang buruk

terhadap hasil belajar fisika. Untuk

mengantisipasi hal tersebut mata

pelajaran fisika sebaiknya disajikan

dalam menggunakan metode yang tepat

Adapun kelebihan penggunaan

model CTS ini adalah : Melatih

pendengaran, ketelitian / kecermatan.

Setiap siswa mendapat peran. Melatih

mengungkapkan kesalahan orang lain

dengan lisan.

Penggunaan model CTS ini juga

mempunyai kekurangan sebagai

berikut: hanya dilakukan dua orang

(tidak melibatkan seluruh kelas

sehingga koreksi hanya sebatas pada

dua orang tersebut).

1.Prestasi belajar

Berdasarkan data yang

diperoleh dari sekolah, hasil tes

sebelum tindakan berdasarkan

ketuntasan nilai yang diperoleh

oleh 30 siswa mencapai 90 % atau

27 siswa yang tuntas dan 3 siswa

tidak tuntas, Hasil tes ini juga

akan digunakan sebagai bahan

pertimbangan dan informasi

terhadap hasil tes akhir

pembelajaran siklus I dan siklus

II. Dengan adanya pembelajaran

model pembelajaran CTS pada

siklus 1 terdapat adanya

peningkatan hasil belajar siswa

diukur dari tes yang diperoleh.

Pada pembelajaran siklus I hasil

ketuntasan tes yang diperoleh

siswa sebesar 70 %. Peningkatan

ini diperoleh karena sudah

memahami materi yang diberikan

oleh guru dengan ini menunjukan

Page 191: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

4

hasil belajar sudah mengalami

peningkatan dari nilai pada pra

tindakan yang hasil rata-rata

mencapai 66 %. Pada tes akhir

pembelajaran siklus II hasil hasil

yang dicapai mencapai 90 %.

Dengan hasil ini diperoleh

informasi bahwa model

pembelajaran yang dilaksanakan

berhasil mencapai kreteria yang

tetapkan.

2. Kendala yang Dihadapi Pada

Siklus I

Kendala yang dihadapi dalam

penelitian mencakup beberapa hal yaitu:

4. Permasalahan yang diberikan

peneliti masih sulit dipahami

oleh siswa.

5. Pada saat guru menjelaskan

pembelajaran, terkadang siswa

nakal di belakang.

6. Siswa berkemampuan rendah

dan sedang kurang termotivasi.

Mereka masih malu-malu

mengungkapkan pendapatnya

sehingga didominasi siswa yang

berkemampuan sedang dan

tinggi.

3. Solusi dan Pemecahan Siklus I

4. Peneliti menyampaikan

permasalahan dengan sebaik

mungkin agar dapat diterima

siswa oleh siswa.

5. Peneliti mewajibkan agar semua

siswa dapat menjelaskan hasil

kerjanya.

6. Peneliti memotivasi siswa untuk

aktif dalam pembelajaran.

PENUTUP

Berdasarkan paparan data

dan hasil temuan yang dilakukan

oleh peneliti, diperoleh sebagai

berikut :

Upaya meningkatkan hasil belajar

fisika melalui model pembelajaran

dengan menggunakan model

pembelajaran CTS pada siswa

kelas VIIF SMPN 1 Madapangga

dapat meningkatkan hasil belajar.

di lihat dari ketuntasan klasikal dari

siklus I 70 % sedangkan pada siklus

II naik menjadi 90%. Melebihi dari

criteria yang tentukan 85 %.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. 2009. Penelitian Tindakan

Kelas. Jakarta: Bumi Aksara

Arifuddin. 2010. Peningkatan Hasil

Belajar Siswa Dengan

Menggunakan Metode

Pembelajaran Kooperative

Script Kelas VII SMPN 1

Monta. Hal 55

Aryani. 2006. Pembelajaran

Fisika.Makasar: Genta

Buana

Budiningsih. 2005. Belajar dan

Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta

Bahtiar, Dasar-Dasar Komunikasi dan

Keterampilan Mengajar

(Jakarta: Rineka Cipta,

2009),

Dick, Carey. 2005. Cooprative

Learning Metode. Jakarta: Rineka Cipta

Djamarah, Syaiful Bahri 2005. Prestasi

Belajar Dan Kompetensi

Guru. Jakarta:

Usaha Nasional

Dansereau. 1985. Cooperative Tipe

Skript. Bandung. Rineka

Cipta

Edward. Balian. 1983. Penelitian

Tindakan Kelas. Jakarta:

Depdiknas

Fakruddin. 2009. Pembelajaran

Kooperative Script. Bandung : Rineka

Cipta

Gagnet. 1986. Problem Of Learning.

Jakarta:Rineka Cipta.

Gagne dkk.2005. Media Belajar Fisika.

Makasar : Genta Press.

Purwanto.2010. Prinsip-Prinsip dan

Teknik Evaluasi P

Page 192: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

5

engajaran. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil

Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Putra Selayar. Peningkatan Hasil

Belajar IPA Melalui Model

Pembelajaran Kooperative

Script Pada Siswa Kelas VII

SMP Muhammadiyah IDI

Tello Baru Kecamatan

Panakukang Kota Makasar.

Hal.54

Rustam. 2011. Model Desain Sistem

Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat

Sulia, Fisika SMA Untuk SMP/MTs (

Jakarta: Erlangga,2008)

Sudjana, N. 2008. Penelitian Hasil

Proses Belajar Mengajar.

Bandung: Remaja

Rosdakarya

Sagala. 2012. Konsep dan Makna

Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

Suprijono. 2012. Cooprative Learning.

Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Slameto, 2003. Belajar dan Factor-

faktor Yang Mempengaruhi.

Jakarta, Rineka Cipta

Page 193: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

PENERAPAN MODEL PEMBELAJAN THINK TALK WRITE (TTW) UNTUK

MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VIII8

SMP NEGERI I WOHA TAHUN PELAJARAN 2014/2015

ISMIATI

ABSTRAK

Kata-kata kunci: think talk write (TTW), Aktivitas, Hasil Belajar.

Pembelajaran sains merupakan pembelajaran yang lebij mengutamakan proses

dari pada hasil. Pembelajaran think talk write (TTW) adalah salah satu model

pembelajaran yang didalamnya terdapat kegiatan-kegiatan berpikir, berdiskusi,

membaca. Berfikir (think), siswa diberi kesempatan untuk memikirkan materi atau

menjawab pertanyaan-pertanyaan- pertanyaan yang diajukan oleh guru berupa lembar

kerja dan dilakukan secara individu , berdiskusi, (Talk), setelah diorganisasikan dalam

kelompok, siswa diarahkan untuk terlibat secara aktif dalam berdiskusi

kelompokmengenai lembar kerja yang telah disediakan, interaksi pada tahap ini di

harapkan siswa dapat saling bebagi jawaban dan pendapat dengan anggota kelompok

masing-masing. Menulis(write), pada tahap ini siswa di minta untk menulis dengan

pemikiran sendiri hasil dari belajar dan diskusi kelompok yang di perolehnya.

Penilitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa

kelas VIII8 SMP N egeri 1 Woha melalui pembelajaran TTW. Penilitian ini

menggunakan penilitian tindakan kelas (PTK) yang dilakukan 2 siklus. Teknik analisis

Data terdiri dari data hasil belajar, Data aktivitas guru dan siswa dengan indikator

keberhasilan aktivitas belajar minimal berkategori aktif dan siswa memperoleh nilai ≥

66,6 sebanyak 85% . penilitian di lakukan pada semester ganjil tahun ajaran 2014/2015

di kelas VIII8 dengan siswa yang berjumlah 31 orang.

Berdasarkan analisis hasil penilitian rata-rata aktivitas guru 2,71 dengan

kategori cukup aktif sedangkan padas siklus II nilai rata-rata skor 3,24 berkategori aktif.

Nilai rata-rata skor aktivitas siswa pada siklus I adalah 2.40 dengan kategori cukup aktif

dan pada siklus II 3.15 dengan kategori aktif ini bisa dikatakan bahwa aktivitas giri dan

siswa meningkat. Dari hasil belajar siswa pada siklus I7.19% sedangkan pada siklus II

93.00% ini bias dikatakan bahwa hasil belajar siswa meningkat.

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penelitian think talk wrire

(TTW) dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar fisika siswa kelas VIII8 SMP

Negeri 1 Woha.

PENDAHULUAN Belajar merupakan peristiwa

sehari-hari di sekolah. Belajar

merupakan hal yang kompleks. Menurut

Hamalik (2005: 9) Kompleksitas belajar

tersebut dapat dipandang dari dua

subjek, yaitu dari siswa dan guru. Dari

segi siswa, belajar dialami sebagai suatu

proses. Siswa mengalami proses mental

dalam menghadapi bahan belajar.

Unsur-unsur yang juga bertalian dengan

proses belajar mengajar yaitu: (1)

Siswa, dengan segala karakteristiknya

yang terus berusaha mengembangkan

dirinya seoptimal mungkin melalui

berbagai kegiatan belajar, (2) Tujuan,

yang diharapkan tercapai setelah adanya

kegiatan belajar-mengajar, (3) Guru,

Page 194: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

selalu mengusahakan terciptanya situasi

yang tepat (mengajar) sehingga

memungkinkan terjadinya proses

pengalaman belajar.

Dewasan ini makna dan hakikat

belajar sering kali hanya di artikan

sebagai penerimaan informasi dari

sumber informasi. Akibatnya guru

masih memaknai kegiatan belajar

mengajar sebagai kegiatan

memindahkan informasi dari guru atau

buku ke siswa. Selain itu, penilaian

kelas oleh guru lebih dititik beratkan

pada aspek kognitif dibanding proses

dalam pencapaian suatu kompetensi.

Model pembelajaran konvensional

merupakan pengajaran yang biasa di

terapkan dalam kegiatan belajar

mengajar (KBM) pada siswa kelas VIII8

SMP Negeri 1 Woha. Dari hasil

observasi, pengajaran ini lebih menitik

beratkan proses pembelajaran pada

guru.

Salah satu dampak dari

penggunaan model pembelajar

konvensional, keterlibatan guru yang

cenderung mendominasi KBM,

menjadikan aktivitas belajar siswa

berkurang dan berakibatkan

menurunkan kemampuan berpikir

siswa, karna pemahaman konsep oleh

siswa diperoleh melalui transfer

informasi dari guru. Akibat lain yang

dapat diamati adalah lemahnya

interaksi dalam KBM baik antar siswa

di kelas VIII8 SMP Negeri 1 Woha

maupun antar siswa dengan guru fisika

mereka. Siswa jarang berdiskusi dengan

siswa lainnya dalam menghadapi

masalah fisika, dan hampir tidak berani

mengajukan pertanyaan jika ada

ketidakjelasan materi yang di

sampaikan guru. Ketidak pahaman

siswa akan konsep Fisika, membuat

siswa kurang mampu mengekspresikan

kemampuannya dalam komunikasi

tertulis. Prakteknya siswa cenderung

menuliskan semua hal yang dituliskan

guru dipapan tulis tanpa memahami

makna yang terkandung dari simbol-

simbol yang di tuliskan terlebih dahulu.

Peran aktif siswa yang kurang seiring

melemahnya motivasi dan respon siswa

untuk belajar pada akhirnya

menyebapkan rendahnya hasil belajar

siswa. Namun faktanya kondisi seperti

itulah yang terjadi di SMP Negeri 1

Woha.

Pada tabel 1.1 dapat dilihat dari

hasil ulang harian yaitu 58.30. Nilai

tersebut dibawah standar kriteria

ketuntasan minimal (KKM) yang di

tetapkan yaitu 66,6.

Tabel 1.1 data hasil ulangan harian

fisika kelas VIII3 SMP Negeri 1

Woha.

No Kelas Nilai ulangan

harian

KKM

1. VIII1 85.03

66.6

2. VIII2 83.98

3. VIII3 76.70

4. VIII4 52.00

5. VIII5 52.20

6. VIII6 52.27

7. VIII7 63.3

8. VIII8 58.30

(Sumber: guru mata pelajaran Fisika

SMP Negeri 1 Woha)

Sehubungan dengan itu, maka

upaya prosedur model pembelajaran

yang sebaiknya diterapkan adalah

model pembelajaran yang memberikan

kesempatan kepada siswa untuk

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri

sehingga siswa lebih mudah untuk

pelajaran yang diajarkan dan

mengkomunikasikan ide-idenya dalam

bentuk lisan maupun tulisan. Untuk

mengatasi permasalahan-permasalahan

tersebut, sebagai alternatif dapat

diterapkan model pembelajaran dengan

strategi TTW. Pembelajaran ini sangat

tepat dalam mengatasi permasalahan-

permasalahan di atas.

Page 195: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

3

1. Model pembelajaran TTW

a. Pengertin model pembelajaran

TTW

TTW yang diperkenalkan oleh

Huinker & Laughlin, pada dasarnya

dibangun melalui berpikir, berbicara

dan menulis. Alur kemajuan TTW

dimulai dari keterlibatan siswa dalam

berpikir/berdialog dengan dirinya

sendiri setelah proses membaca,

selanjutnya berbicara dengan membagi

ide (sharing) dengan temannya sebelum

menulis. Dalam hal ini siswa berperan

aktif dalam proses pembelajaran.

Menurut Huinker & Laughlin (1996:

81) berpikir dan berbicara/berdiskusi

merupakan langkah penting dalam

proses membawa pemahaman ke dalam

tulisan siswa. Model pembelajaran

TTW melibatkan 3 tahap penting yang

harus dikembangkan dan dilakukan

dalam pembelajaran fisika, yaitu:

1) Think (Berpikir atau Berdialog

Reflektif)

Menurut Yamin dan Ansari

(2009: 85) aktivitas berpikir dapat

dilihat dari proses membaca suatu teks

fisika kemudian membuat catatan

tentang apa yang telah dibaca. Dalam

membuat atau menulis catatan, siswa

membedakan dan mempersatukan ide

yang disajikan dalam teks bacaan,

kemudian menerjemahkan kedalam

bahasa mereka sendiri. mengamati data

dan mengenali ide yang tersirat,

menyusun konjektur, analogi,

generalisasi, menalar secara logis

menyelesaikan masalah, berkomunikasi

secara fisika, dan mengkaitkan ide

fisika dengan kegiatan intelektual

lainnya.

Berdasarkan pengertian dari

proses berpikir yang dikemukakan di

atas, maka aktivitas berpikir dalam

metode TTW terjadi pada saat siswa

membaca, menginterpretasi, dan

berdialog reflektif terhadap sejumlah

informasi dari soal atau masalah fisika

(dalam hal ini disajikan dalam LKS).

Kemudian siswa mengolah informasi

tersebut dengan cara memahami,

mengklasifikasikan, menganalisis, dan

mengkaitkannya dengan pengetahuan

yang telah dimiliki untuk memperoleh

pengertian dan membentuk

pendapatnya. Selanjutnya, siswa

berupaya untuk mencari solusi dari

masalah tersebut, mengecek kembali

kebenaranya, dan menarik kesimpulan.

Dengan kata lain, aktivitas yang

dilakukan siswa pada saat think ini

merupakan upaya untuk membangun

kemampuan representasi internal. Hasil

aktivitas mental atau representasi

internal dalam proses berpikir ini tidak

dapat dilihat dan dinilai secara kasat

mata, karena itu ada baiknya siswa

mencatat atau menandai bagian penting

dari hasil bacaan dan proses berpikirnya

terkait hal-hal yang telah dipahami

maupun yang belum dipahami. Pada

dasarnya, ketika siswa membuat atau

menulis catatan ini, siswa berupaya

membuat representasi eksternal menurut

bahasa dan pemikirannya sendiri yang

dapat meningkatkan pemahamannya

dan menjadi motivasi bagi siswa dalam

mengikuti tahap pembelajaran

selanjutnya.

2). Talk (berbicara atau Berdiskusi)

Pada tahap ini siswa diberi

kesempatan untuk merefleksikan,

menyusun, dan menguji ide-ide dalam

kegiatan diskusi kelompok. Menurut

Huinker & Laughlin (1996: 81) siswa

yang diberikan kesempatan untuk

berdiskusi dapat: (1) menghubungkan

bahasa yang mereka tahu dari

pengalaman dan latar belakang mereka

sendiri dengan bahasa fisika, (2)

menganalisis dan mensintesis ide-ide

fisika, (3) memelihara kolaborasi dan

membantu membangun komunitas

pembelajaran di kelas.

Martinis Yamin dan Ansari (2009:

86) mengutarakan talk penting dalam

Page 196: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

4

fisika karena sebagai cara utama untuk

berkomunikasi dalam fisika,

pembentukan ide (forming ideas)

melalui proses talking, meningkatkan

dan menilai kualitas berpikir karena

talking dapat membantu mengetahui

tingkat pemahaman siswa dalam belajar

fisika. Setelah siswa berpikir dan

mendokumentasikan hasilnya, tahap

yang harus dilakukan selanjutnya adalah

melatih keterampilan komunikasi siswa

melalui diskusi. Tahapan talk dalam

penelitian ini terlihat ketika siswa

melaksanakan kegiatan dalam LKS dan

menyampaikan ide yang diperolehnya

pada tahap think kepada teman-teman

diskusinya (kelompok) sehingga tujuan

pembelajaran yang diharapkan tercapai.

Diskusi yang terjadi pada tahap talk ini

merupakan sarana untuk

mengungkapkan dan merefleksikan

pikiran/ide-ide siswa. Dengan

berdiskusi siswa dapat membangun,

menyatukan, dan menguji ide atau

gagasan mereka, sehingga siswa dapat

meningkatkan pemahamannya tentang

bagaimana cara menyelesaikan masalah

tersebut.

2) Write (Menulis)

Tahap terakhir yang harus

dilakukan dalam metode pembelajaran

TTW adalah menulis. Menulis

merupakan suatu kegiatan yang

dilakukan secara sadar untuk

mengungkapkan dan merefleksikan

pemikiran. Sedangkan tahap write yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah

kegiatan siswa menuliskan kesimpulan

dari hasil kegiatan yang telah

didiskusikan pada lembar kerja yang

disediakan (LKS). Beberapa manfaat

yang dapat diperoleh siswa sebagai

hasil aktivitas menulis dikemukakan

oleh Masingila & Wisniowska (1996:

95) menyebutkan bahwa manfaat tulisan

siswa untuk guru adalah (1) sebagai

komunikasi langsung dari seluruh

anggota kelas, (2) memberikan

informasi tentang kesalahan-kesalahan,

miskonsepsi, kebiasaan berpikir, dan

keyakinan dari para siswa, (3)

memvariasikan gambaran-

gambaran/konsep siswa dari ide yang

sama, dan (4) bukti yang nyata dari

pencapaian atau prestasi siswa.

Masingila & Wisniowska (1996: 95)

juga menyebutkan bahwa menulis dapat

membantu siswa untuk

mengekspresikan pengetahuan dan

gagasan yang tersimpan agar lebih

terlihat sehingga mereka dapat melihat

dan merefleksikan pengetahuan dan

gagasan mereka. Selain itu melalui

kegiatan menulis dalam pembelajaran

fisika, siswa diharapkan dapat

memahami bahwa fisika dibangun

melalui suatu proses berpikir yang

dinamis, dan diharapkan pula dapat

memahami bahwa fisika merupakan

bahasa atau alat untuk mengungkapkan

ide (Sri Wulandari Danoebroto, 2008:

2).

b. Langkah-langkah model

pembelajaran TTW

Selanjutnya untuk merealisasikan

pembelajaran fisika dengan metode

TTW ini, maka langkah-langkah

pembelajaran diatur sebagai berikut:

1. Siswa dalam kelompok memperoleh

LKS yang berisi lembar kegiatan,

masalah fisika, dan petunjuk

pengerjaannya.

2. Siswa membaca dan memahami

masalah yang ada dalam LKS dan

membuat catatan kecil secara

individu tentang apa yang ia ketahui

dan apa yang tidak ia ketahui dalam

masalah tersebut. Ketika siswa

membuat catatan individu inilah

akan terjadi proses berpikir (think)

pada siswa. Setelah itu siswa

berusaha untuk menyelesaikan

masalah tersebut secara individu.

Kegiatan ini bertujuan agar siswa

dapat membedakan atau menyatukan

ide-ide yang terdapat pada bacaan

Page 197: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

5

untuk kemudian diterjemahkan

menurut bahasanya sendiri.

3. Siswa berdiskusi dalam suatu

kelompok membahas isi catatan yang

masing-masing dibuatnya secara

individu. Dalam hal ini akan terjadi

proses (talk) pada siswa. Pada

kegiatan ini mereka menggunakan

bahasa dan kata-kata mereka sendiri

untuk menyampaikan ide-ide fisika

dalam diskusi. Diskusi diharapkan

dapat menghasilkan solusi atas

permasalahan yang diberikan.

Diskusi akan efektif jika anggota

kelompok tidak terlalu banyak dan

terdiri dari anggota kelompok

dengan kemampuan yang heterogen.

Dalam hal ini menurut Huinker &

Lauglin (1996: 82) menyatakan

bahwa metode TTW akan efektif

ketika siswa bekerja dalam

kelompok yang heterogen yang

terdiri dari 2 sampai 6 siswa yang

bekerja untuk menjelaskan,

meringkas, dan merefleksi.

4. Dari hasil diskusi siswa merumuskan

pengetahuan secara individu berupa

jawaban atas masalah/soal (berisi

landasan dan keterkaitan konsep,

strategi, dan solusi) dalam bentuk

tulisan (write) dengan bahasanya

sendiri. Pada tulisannya siswa

menggabungkan ide-ide yang

diperolehnya melalui diskusi.

5. Kegiatan akhir pembelajaran adalah

merefleksi dan menyimpulkan atas

materi apa yang telah dipelajari.

Sebelumnya dipilih beberapa (atau

satu) orang siswa sebagai perwakilan

kelompok untuk mempresentasikan

hasil diskusi atau jawabannya,

sedangkan kelompok lain diminta

untuk memberikan tanggapan.

6. Bersama-sama dengan guru, siswa

membuat kesimpulan atas materi

yang telah dipelajari.

2. Aktivitas Belajar

Aktivitas adalah kegiatan

atau segala sesuatu yang dilakukan atau

kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik

maupun non fisik. Aktivitas tidak hanya

ditentukan oleh aktivitas fisik semata,

tetapi juga ditentukan oleh aktivitas non

fisik seperti mental, intelektual dan

emosional. Aktivitas yang dimaksudkan

di sini penekanannya adalah pada siswa,

sebab dengan adanya aktivitas siswa

dalam proses pembelajaran akan

tercipta situasi belajar aktif.

Belajar aktif adalah suatu sistem

belajar mengajar yang menekankan

aktivitas siswa secara fisik, mental

intelektual dan emosional guna

memperoleh hasil belajar yang berupa

perpaduan antara aspek kognitif, afektif,

dan psikomotor. Belajar aktif sangat

diperlukan oleh siswa untuk

mendapatkan hasil belajar yang

maksimum. Ketika siswa pasif atau

hanya menerima informasi dari guru

saja, akan timbul kecenderungan untuk

cepat melupakan apa yang telah

diberikan oleh guru, oleh karena itu

diperlukan perangkat tertentu untuk

dapat mengingatkan yang baru saja

diterima dari guru.

Proses pembelajaran yang

dilakukan di dalam kelas merupakan

aktivitas mentransformasikan

pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

Dalam kegiatan pembelajaran ini sangat

dituntut aktivitas siswa, dimana siswa

adalah subjek yang banyak melakukan

kegiatan, sedangkan guru lebih banyak

membimbing dan mengarahkan.

Menurut Hamalik (2005: 30) Aktivitas

siswa dalam kegiatan pembelajaran

dapat dilaksanakan manakala : (1)

pembelajaran yang dilakukan lebih

berpusat pada siswa, (2) guru berperan

sebagai pembimbing supaya terjadi

pengalaman dalam belajar (3) tujuan

kegiatan pembelajaran tercapai

kemampuan minimal siswa (kompetensi

dasar), (4) pengelolaan kegiatan

Page 198: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

6

pembelajaran lebih menekankan pada

kreativitas siswa, meningkatkan

kemampuan minimalnya, dan mencapai

siswa yang kreatif serta mampu

menguasai konsep-konsep, dan (5)

melakukan pengukuran secara kontinu

dalam berbagai aspek pengetahuan,

sikap, dan keterampilan.

3. Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan

suatu interaksi yang melibatkan

berbagai komponen untuk me ncapai

tujuan penelitian yang telah

dirumuskan. Hasil belajar merupakan

hasil yang dicapai seseorang berkat

adanya belajar. Dalam hubungan

dengan hasil belajar fisika maka hasil

belajar tersebut merupakan penguasaan

terhadap konsep – konsep fisika,

(Gregory A. Kimble dalam Nasrun,

2012:227). Menurut Witherington

dalam Nasrun (2012:225), dampak

pembelajaran adalah hasil belajar yang

dapat diukur, seperti yang tertuang

dalam raport, angka dalam ijazah dan

kemampuan menjawab soal.

Nasrun (2012:223)

mengemukakan bahwa Hasil Belajar

merupakan hasil akhir pengambilan

keputusan mengenai tinggi rendahnya

nilai yang diperoleh siswa selama

mengikuti proses pembelajaran. Hasil

belajar dikatakan tinggi apabila tingkat

kemampuan siswa bertambah dari hasil

sebelumnya.

Berdasarkan uraian di

atas dapat disimpulkan bahwa hasil

belajar fisika adalah perubahan tingkah

laku pada diri siswa setelah menjalani

proses pembelajaran fisika dengan

pendekatan model pembelajara think

talk write (TTW) yang dicapai dalam

bentuk perubahan pengetahuan dan

pemahaman terhadap ilmu yang

dipelajari dan ditunjukan dengan nilai

untuk mencapai tingkat pendidikan

yang telah ditetapkan.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah

penelitian tindakan kelas, (PTK) yaitu

penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan informasi bagaimana

tindakan yang tepat untuk

meningkatkan keaktifan dan prestasi

belajar siswa. Sehingga penelitian ini

difokuskan pada tindakan-tindakan

sebagai usaha untuk meningkatkan

keaktifan dan prestasi belajar siswa

dalam belajar fisika. Penelitian kelas

merupakan kegiatan pemecahan

masalah yang dimulai dari: a)

perencanaan (planning), b) pelaksanaan

(action), c) pengumpulan data

(observing), d) menganalisis

data/informasi untuk memutuskan

sejauh mana kelebihan atau kelemahan

tindakan tersebut (reflecting).

Subyek dalam penelitian ini

adalah siswa Kelas VIII8 SMP Negeri 1

Woha sebanyak 31 orang siswa ( L=15

orang dan P=16 orang)

Prosedur pelaksanaan tindakan dalam

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini

mengikuti langkah-langkah yang

disajikan pada gambar secara obrasional

tahapan masing-masing siklus

penelitian dapat dijelaskan sebagai

berikut :

Siklus penelitian tindakan kelas.

Gambar 3.1

(Arikunto,2013;17)

Page 199: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

7

Penelitian tindakan

kelas (PTK) ini dilaksanakan

dalam dua siklus dengan scenario

pembeajan yang terdidri dari tiga

tahap kegiatan yaitu:

1. Perencanaan

a. Mempersiapkan rencana pelaksanaan

pembelajaran, skenario pembelajaran

dan LKS (Secara lengkap disajikan

pada lampiran).

b. Mempersiapkan lembar kerja siswa

c. Menyiapkan lembar observasi

d. Menyusun kisi-kisi tes prestasi

belajar

2. Tahap Pelaksanaan

Peneliti bertindak sebagai guru

dalam kegiatan pembelajaran dengan

dibantu oleh dua pengamat yaitu guru

mata pelajaran fisika dan rekan peneliti

yang merupakan mahasiswa program

studi Pendidikan Fisika STKIP Taman

Siswa Bima. Berdasarkan langkah-

langkah pada model pembelajaran TTW

maka pelaksanaan kegiatan peneliti ini

adalah:

a. Pendahuluan

Pada langkah

pertama ini, guru

memberikan motivasi

dan apresiasi kepada

siswa dilanjutkan dengan

menyebutkan tujuan

pembelajaran dan

memberikan acuan yaitu

menjelaskan langkah-

langkah model

pembelajaran TTW.

b. Kegiatan Inti

1) Guru memberikan

LKS

2) Guru menjelaskan

materi secara klasikal

3) Guru menjelaskan

tentang materinya

4) Guru mengadakan

demonstrasi

5) Pada kegiatan inti ini

guru membagi tiga

tahap model

pembelajaran yaitu

Think (berpikir), Talk

(berdiskusi), dan

Write (menulis).

c. Evaluasi

Setelah siswa

diberikan kesempatan

belajar secara

berkelompok dan

berdiskusi, maka guru

memberikan tes akhir

kepada siswa dan

dikerjakan secara

individu. Tes akhir ini

untuk mengetahui

prestasi belajar dari

masing-masing siswa.

d. Pemberian hasil tes

dan pemberian

penghargaan Setelah dilakukan

tes akhir, maka guru

dapat langsung

memberikan hasilnya

pada siswa agar siswa

dapat mengetahui sejauh

mana pemahaman

mereka. Pemberitahuan

hasil tes dan pemberian

penghargaan ini untuk

mendorong siswa lebih

giat belajar.

3. Pengamatan

Pada tahap ini dilakukan

pengamatan oleh pengamat tentang

kegiatan yang berlangsung dikelas

selama siklus I dengan menggunakan

pedoman lembar observasi kegiatan

siswa yang dibuat sebelumnya.

4. Refleksi

Setelah seluruh kegiatan selesai

dilaksanakan, maka dilakukan

refleksi oleh peneliti. Refleksi

merupakan tahapan paling akhir

suatu siklus. Pada tahapan ini,

peneliti melakukan diskusi dengan

rekan peneliti (teman sejawat) untuk

Page 200: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

8

mengevaluasi kelemahan maupun

kekuatan yang ditemukan selama

siklus I berlangsung. Hasil refleksi

ini dijadikan acuan dan

pertimbangan untuk pelaksanaan

tindakan pada siklus selanjutnya.

Teknik Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini

adalah :

a. Tes

a) Untuk memperoleh data hasil belajar

siklus I diperoleh melalui tes hasil

belajar dengan melalui instrument

tes hasil belajar pada akhir siklus I.

b) Untuk memperoleh data hasil belajar

siklus II diperoleh melalui tes hasil

belajar dengan melalui instrument tes

hasil belajar pada akhir siklus II.

b. Observasi

a) Data tentang keterlaksanaan proses

belajar mengajar sesuai dengan

skenario pembelajaran diperoleh

melalui observasi terhadap

pelaksanaan pembelajaran dengan

menggunakan pedoman penilaian

kegiatan pembelajaran.

b) Untuk memperoleh data tentang

aktivitas siswa diperoleh melalui

observasi dengan menggunakan

instrument aktivitas.

c. Dokementasi

Dokumentasi di buat

sebagai pelengkap hasil

penelitian dari observasi.

Instrument Penelitian

Menurut Sugiyono (2010 : 222)

instrument penelitian adalah alat untuk

memperoleh data. Jadi instrument data

adalah suatu alat yang digunakan untuk

mengukur fenomena alam maupun

social yang diamati. Agar data yang di

peroleh sesuai dengan yang di harapkan

maka di perlukan instrument

pengumpulan data yang baik.

Sehubugan dengan penelitian ini,

Instrument yang di gunakan adalah

sebagai berikut:

1. Lembar observasi aktivitas siswa

Lembar observasi aktivitas siswa

adalah suatu alat untuk mengetahui

kegiatan belajar siswa selama

pembelajaran berlangsung.

2. Lembar observasi aktivitas guru

Lembar observasi aktivitas guru

adalah alat untuk mengetahui

kegiatan mengajar guru selama

pemebelajaran berlangsung.

3. Lembar Kerja Siswa (LKS)

Lembar kerja siswa adalah suatu

lembaran yang bertujuan untuk

menguji kemampuan berpikir siswa

4. Tes hasil belajar.

Tes hasil belajar adalah

salah satu cara yang

dilakukan oleh guru untuk

mengetahui kemampuan

siswa selama proses

pembelajaran.

Teknik Analisis Data

Sugiyono (2010: 243)

menjelaskan bahwa “analisis data

adalah proses penyederhanaan

data kedalam bentuk yang lebih

mudah dibaca dan

diinterpretasikan. Dalam proses

ini sering kali di gunakan statistik.

Salah satu fungsi statistik adalah

penyederhanaan data penelitian

yang amat besar jumlahnya

menjadi informasi yang lebih

sederhana dan lebih mudah untuk

dipahami.

1. Data Hasil Belajar

Sesuai dengan

permasalahan dan tujuan

penelitian ini maka untuk

menganalisa data yang

diperoleh dari hasil tes siswa

dipergunakan analisa hasil

evaluasi dengan menghitung

prosentase ketuntasan belajar

sehingga dapat diketahui

ketuntasan belajar siswa.

Page 201: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

9

Untuk mengetahui berapa jauh

ketuntasan belajar siswa

digunakan kriteria sebagai

berikut:

a) Nilai rata-rata kelas,

menggunakan rumus:

N

XR (Depdiknas,

2003: 30)

Keterangan: R = nilai rata-rata kelas

X = jumlah nilai yang

diperoleh

N = Jumlah siswa yang

ikut tes

b) Ketuntasan Belajar Siswa

Individu (KBSI),

menggunakan rumus:

KBSI= skor yang diperoleh siswa

skor maksimal

x100% (Depdiknas, 2003:

30)

c) Ketuntasan Belajar Siswa

Klasikal (KBSK), dihitung

dengan menggunakn rumus:

KBSI= jumlah siswa yang tuntas

jumlah keseluruhan siswa

x100% (Depdiknas, 2003:

30)

2. Data Aktivitas Pembelajaran

Kegiatan observasi

dilakukan untuk aktivitas

siswa dan guru, instrumen

yang digunakan untuk

mengumpulkan data observasi

yang berisikan deskriptif dari

indikator aktivitas siswa dan

guru yang sudah dimodifikasi

dan di amati selama proses

pembelajara.

Mengenai hasil

observasi akan dianalisa

dengan rumus sebagai berikut:

i

XA ( Depdiknas, 2012: 30)

A = skor rata-rata aktivitas siswa

X = skor masing-masing indicator

i = banyaknya indicator.

Skor untuk setiap descriptor aktivitas

siswa pada penelitian ini mengikuti

aturan sebagai berikkut:

a) Skor 4 diberikan jika 3 desktiptor

nampak

b) Skor 3 diberikan jika 2 desktiptor

nampak

c) Skor 2diberikan jika 1 desktiptornya

Nampak

d) Skor 1 diberikan jika tidak ada

diskiptor yang nampak

Menentuka nilai MI dan SDI :

MI =1

2x(nilai maksimal

− nilai minimal)

= 1

2 (4 + 1)

= 2.5

SDI =1

3xMI

= 1

3 x 2.5

= 0.83

Aktisitas belajar siswa

(Harun Rosyid 2009:214)

Pedoman Konversi Penilaian

Aktivitas Belajar Siswa Interval Interval

skor

Kriteria

siswa

As ≥ MI + 1,5 SDI As≥3.75 Sangat Aktif

MI + 0,5 SDI ≤ As<MI + 1,5 SDI

2.92

≤As< 3.75

Aktif

MI – 0,5 SDI ≤ As<MI + 0,5 SDI

2.08

≤As< 2.92

Cukup Aktif

MI – 1,5 SDI ≤ As<

MI- 0,5 SDI

1.25

≤As< 2.08

Kurang Aktif

As < MI – 1,5 SDI As< 1.25 Sangat

Kurang Aktif

Aktisitas guru

(Harun Rosyid 2009:214)

Pedoman Konversi Penilaian

Aktivitas Guru

Page 202: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

10

Interval Interval

skor

Kriteria siswa

As ≥ MI + 1,5 SDI As≥3.75 Sangat Aktif

MI + 0,5 SDI ≤ As<MI

+ 1,5 SDI

2.92

≤As< 3.75

Aktif

MI – 0,5 SDI ≤ As<MI

+ 0,5 SDI

2.08

≤As< 2.92

Cukup Aktif

MI – 1,5 SDI ≤ As< MI- 0,5 SDI

1.25

≤As< 2.08

Kurang Aktif

As < MI – 1,5 SDI As< 1.25 Sangat

Kurang Aktif

Indikator Keberhasilan

Dalam penelitian ini, indikator

keberhasilan yang hendak dicapai

meliputi :

1. Kriteria dari aktivitas belajar

siswa minimal berkategori aktif

dan mengalami peningkatan

nilai rata-rata skor untuk setiap

siklusnya.

2. Apabila siswa yang

memperoleh nilai ≥ 66.6

sebanyak 85%.

HASIL PENELITIAN Hasil observasi guru

memperlihatkan bahwa guru bertindak

sebagai fasilitator yang mengatur proses

dan hasil belajar. Aktivitas guru selama

pembelajaran berlangsung dapat

diketahui dari isian lembar observasi

yang dilakukan oleh observer. Dari hasil

observer aktivitas guru diperoleh data

sebagai berikut (data selengkapnya ada

pada lampiran 16 halaman 72):

Table 4.1 Hasil Observasi Kegiatan

Mengajar Guru Pada Siklus I

No. keterangan Siklus I

Pertemuan I Pertemuan II

1. Total skor 18 19

2. Rata-rata skor 2.57 2.71

kategori Cukup aktif Cukup aktif

Dari table 4.1 di atas dapat dilihat

bahwa nilai rata-rata skor aktivitas guru

untuk pertemuan I sebesar 2.57 yang

berada pada kategori cukup aktif dan

skor rata-rata pada pertemuan II sebesar

2.71 yang berkategori cukup aktif.

1) Data aktivitas siswa

Aktivtas siswa selama pembelajaran

berlangsung dapat diketahui dari isian

lembar observasi yang dilakukan oleh

observer. Maka semua aktivitas yang

nampak dicatat dalam lembar observasi

siswa sesuai dengan descriptor yang

nampak dan selanjutnya diolah dengan

rumus yang telah ditetapkan

sebelumnya. Dari hasil observasi

aktivitas siswa diperoleh data sebagai

berikut:

Table 4.2 Hasil Observasi Kegiatan

Belajar Siswa pada Siklus I.

No. keterangan Siklus I

Pertemuan I Pertemuan II

1. Total skor 345 448

2. Rata-rata skor 2.34 2.40

Kategori Cukup aktif Cukup aktif

Dari table 4.2 di atas menunjukan

bahwa nilai rata-rata skor aktivitas

belajar siswa pertemuan I sebasar 2.34

yang berkategori cukup aktif dan pada

pertemuan II nilai rata-rat skor aktivitas

siswa sebesar 2.40 yang berkategori

cukup aktif.

2) Hasil tes belajar siswa

Tes hasil belajar siswa dilaksanakan

pada tiap akhir siklus, guru memberikan

soal evaluasi sebanyak lima soal dalam

bentukesai yang dikerjakan dalam wakti

1x40 menit. Nilai tertinggi yang

diperoleh siswa adalah 97 dan nilai

terendah yang diperoleh adalah 60

dengan nilai rata-rata 75.12. Siswa yang

mendapat skor ≥ 96 sebanyak 2 orang

(6.00%), pada skor 86-95 sebanyak 4

orang (12.00%), pada skor 76-85

sebanyak 9 orang (29.00%), pada skor

66-75 sebanyak 8 orang (25.00%) dan

pada skor ≤65 sebanyak 8 orang

(25.00%). Hal ini menunjukan bahwa

penelitian pada siklus I belum mencapai

target. Dimana suatu kelas dianggap

tuntas secara klasikal jika telah

Page 203: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

11

mencapai 85%. Ini berarti indicator

keberhasilan belum tercapai sehingga

perlu adanya pengulangan dan

perbaikan pada siklus berikutnya.

Table 4.3 Rentang nilai siklus I Skor Frekuensi persentase Keterangan

≥96 2 6.00% Tuntas

86-95 4 12.00% Tuntas

76-85 9 29.00% Tuntas

66-75 8 25.00% Tuntas

≤65 8 25.00% Tidak tuntas

Dari table di atas dapat digambarkan

dengan grafik sebagai berikut:

Gambar 4.1 grafik persentasi hasil

belajar siswa siklus I

a. Refleksi

Berdasarkan hasil

observasi aktivitas siswa

dan guru serta hasil evaluasi

belajar siswa pada siklus I

terdapat kekurangan-

kekurangan yang harus

dilakukan tindakan

perbaikan pada siklus II.

Adapun tindakan

perbaikan yang akan

dilakukan padasiklus II

antara lain:

1. Guru menghimbau agar malam

sebelum beragkat kesekolah siswa

menyiapkan kelengkapan

beajarnya.

2. Guru senantiasa memotivasi siswa

agar tidak malu dalam

mengungkapkan pendapat atau

pertanyaan kepada guru mengenai

hal-hal yang belum dipahaminya

serta memuji setiap kerja yang

dilakukan oleh siswa.

3. Guru menghimbausiswa untuk

bekerja sama dengan kelompoknya

sehingga akan lebih mudah dalam

menemukan konsep.

4. Guru mempermudah pemahaman

awal siswa dengan memberikan

masalah yang sederhana, lalu

menaikan tinggkat kesulitan secara

bertahap dan memberikan soal yang

bervariasi.

5. Sebelum memberikan tugas

kelompok, guru menjelaskan

petunjuk yang harus dikerjakan

agar dapat membantu siswa dalam

merumuskan hasil diskusinya.

6. Guru mendekati siswa yang

pasifdan menanyakan kesulitan

yang dialaminya, sehingga siswa

merasa dihargai dan menjadi aktif.

Pada siklus II, guru sudah berusaha

melakukan kegiatan pemeblajaran

dengan memperhatikan perbaikan-

perbaikanpada siklus sebelumnya.

Kegiatan guru sudah terlaksana dengan

baik, ini terlihat dari hasil observasi

siklus II yang menunjukan bahwa

semua indicator mengajar telah

Nampak. Aktivitas guru selama

pembelajaran berlangsug dapat

diketahui dari isian lembar observasi

yang dilakukan oleh observer. Dari hasil

observer aktivitas guru diperolehdata

sebagai berikut:

Table 4.4 Hasil Observasi Kegiatan

Mengajar Guru Pada Siklus II

No. Keterangan Siklus I

Pertemuan I Pertemuan II

1. Total skor 21 24

2. Rata-rata skor 3.01 3.42

Kategori Aktif Aktif

1) Hasil observasi aktivitas

siswa

2

4

98

6.00%

12.00%

29.00%

25.00%

≥96 86-95 76-85 66-75

frekuensi persentase

Page 204: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

12

Aktivitas siswa selama pembelajaran

berlangsung dapat diketahui dari lembar

observasi yang dilakukan oleh observer.

Dari hasil observer aktivitas siswa

diperoleh data sebagai berikut:

Table 4.5 Hasil Observasi Kegiatan

belajar siswa Pada Siklus II

No. Keterangan

Siklus I

Pertemuan

I

Pertemuan

II

1. Total skor 561 587

2. Rata-rata

skor 3.01 3.15

Kategori Aktif Aktif

Dari tabel hasil observasi aktivitas

siswa siklus II diatas, dapat dilihat

bahwa skor aktivitas siswa siklus II 3.01

pada pertemuan I dan 3.15 pada

pertemuan IIdengan kategori aktif.

Dengan demikian aktivitas belajar siswa

pada siklua II mengalami peningkatan

rata-rat aktivitas belajar siswa dengan

kategori aktif dibandingkan dengan

siklus I dengan kategori cukup aktif.

2) Hasil tes hasil belajar

siswa siklus II

Tes hasil belajar siswa dilaksanakan

pada tiap akhir siklus, guru memberikan

soal evaluasi sebanyak 5 soal dalam

bentuk essay yang dikerjakan dalam

waktu 1x40 menit. Nilai tertinggi yang

diperoleh siswa adalah 99 dan nilai

terendah yang diperoleh adalah 65

dengan nilai rata-rata 82.58. Siswa yang

mendapat skor ≥ 96 sebanyak 3 orang

(9.00%), pada skor 86-95 sebanyak 8

orang (25.00%), pada skor 76-85

sebanyak 6 orang (19.00%), pada skor

66-75 sebanyak 12 orang (38.00%) dan

pada skor ≤65 sebanyak 2 orang

(6.00%). Hal ini menunjukan bahwa

penelitian pada siklus II telah mencapai

target yang diharapkan, di mana suatu

kelas dianggap tuntas secara klasikal

jika telah mencapai 85%. Ini berarti

indicator keberhasilan telah dicapai.

Table 4.6 Rentang nilai siklus II Skor Frekuensi persentase Keterangan

≥96 3 9.00% Tuntas

86-95 8 25.00% Tuntas

76-85 6 19.00% Tuntas

66-75 12 38.00% Tuntas

≤65 2 6.00% Tidak tuntas

a. Refleksi

Berdasarkan hasil analisa

observasi dan evaluasi belajar setiap

siklus, terlihat bahwa terjadi

peningkatan skor aktivitas belajar siswa

dan ketuntasan klasikal pada setiap

siklus dengan demikian indikator

keberhasilan telah tercapai. Dari hasil

refleksi siklus II dipandang sudah

sangat baik. Dapat disimpulkan bahwa

dengan menggunakan model

pembelajaran TTW dapat meningkatkan

aktivitas dan hasil belajar fisika siswa

kelas VIII8 SMP Negeri 1 Woha tahun

pelajara 2014/2015.

PEBAHASAN

Aktivitas berpikir dalam model

pembelajaran TTW terjadi pada saat

siswa membaca, menginterpretasi, dan

berdialog reflektif terhadap sejumlah

informasi dari soal atau masalah fisika

(dalam hal ini disajikan dalam LKS).

Kemudian siswa mengolah informasi

tersebut dengan cara memahami,

mengklasifikasikan, menganalisis, dan

mengkaitkannya dengan pengetahuan

yang telah dimiliki untuk memperoleh

pengertian dan membentuk

pendapatnya. Selanjutnya, siswa

berupaya untuk mencari solusi dari

masalah tersebut, mengecek kembali

kebenaranya, dan menarik kesimpulan.

Dengan kata lain, aktivitas yang

dilakukan siswa pada saat think ini

merupakan upaya untuk membangun

kemampuan representasi internal.

Tahapan talk dalam penelitian ini

terlihat ketika siswa melaksanakan

kegiatan dalam LKS dan

menyampaikan ide yang diperolehnya

Page 205: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

13

pada tahap think kepada teman-teman

diskusinya (kelompok) sehingga tujuan

pembelajaran yang diharapkan tercapai.

Diskusi yang terjadi pada tahap talk ini

merupakan sarana untuk

mengungkapkan dan merefleksikan

pikiran/ide-ide siswa. Dengan

berdiskusi siswa dapat membangun,

menyatukan, dan menguji ide atau

gagasan mereka, sehingga siswa dapat

meningkatkan pemahamannya tentang

bagaimana cara menyelesaikan masalah

tersebut. Sedangkan tahap write yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah

kegiatan siswa menuliskan kesimpulan

dari hasil kegiatan yang telah

didiskusikan pada lembar kerja yang

disediakan (LKS).

Aktivitas guru pada siklus I

meningkat dari pertemuan I sebesar

2.57 yang bekategori cukupa aktif dan

pada pertemuan II sebesar 2.71 yang

berkategori cukup aktif, sedagkan

aktivitas siswa nilai rata-rata skor pada

siklus I pertemuan I sebesar 2.34 yang

berkategori cukup aktif dan 2.40 pada

pertemuan II dengan kategori cukup

aktif. Ini menunjukan bahwa target yang

ingin dicapai belum tercapai yaitu

dimana aktivitas guru dan siswa

minimal harus barkategori baik.

Berdasarkan analisis aktivitas guru dan

siswa, terlihat bahwa masih ada

kekurangan yaitu di antaranya

antusiasme siswa dalam belajar masih

rendah dan keaktifan siswa dalam

kelompoknya juga cukup rendah.

Sehingga perlu adanya perbaikan di

siklus II. Pada siklus II terjadi

peningkatan aktivitas mengajar guru

dari rata-rata skor 3.00 pada pertemuan

I yang berkategori aktif dan 3.42 pada

pertemuan II yang berkategori aktif.

Pada aktivitas belajar siswa nilai rata-

rata skor pada pertemuan I sebesar 3.01

yang berkategori aktif dan pada

pertemuan II sebesar 3.15 yang

berkategori aktif. Hal ini menunjukan

bahwa indikator keberhasilah sudah

tercapai.

Gamabaran untuk

peningkatan aktivitas guru dan

siswa dapat dilihat dari grafik

berikut:

Gambar 4.3 grafik

peningkatan aktifitas guru dan siswa

siklus I

Dari garifik di atas menunjukan

adanya peningkatan aktivitas guru dan

siswa pada siklus II Peningkatakan yang

terjadi di sikulus II dikarenakan

kekurangan-kekuran pada siklus I sudah

diparbaiki yaitu guru senantiasa

memotivasi siswa agar tidak malu

dalam mengungkapkan pendapat atau

pertanyaan kepada guru mengenai hal-

hal yang belum dipahaminya guru

menghimbau untuk bekerja sama

dengan kelompoknya sehingga akan

lebih dalam menemukan konsep.

Sedangkan Nilai rata-rata kelas

pada siklus I adalah 75.12 dengan

persentase ketuntasan klasikal 74.19%

dan jumlah siswa yang tuntas sebanyak

23 orang dari jumlah siswa keseluhan

sebanyak 31 orang siswa. Ini

menunjukan bahwa indicator

keberhasilah belum mencapai target

dimana ketuntasan klasikal minimalnya

yang harus dicapai yaitu 85%.

Rendahnya nilai rata-rata pada siklus I ini disebabkan siswa tidak

memperhatikan dengan baik selama

proses pemebelajaran berlangsung

2.57 3

0 0

2.713.24

0 0

2.34

3.01

0 0

2.4

3.15

0 00

2

4

6

8

10

12

14

siklus I siklus II

aktivitassiswapertemuanII

Page 206: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

14

karna siswa masih terpengaruh oleh

keadaan di luar ruangan, masih ada

siswa yang belum memiliki

keterampilan mengidentifikasi jenis

permasalah yang muncul sehingga tidak

dapat menyelesaikan permasalahan

yang ada. Di samping itu, petunjuk yang

diberikan guru dalam memngerjakan

LKS kurang jelas, sehingga ada

kelompok yang menghabiskan waktu

lebih banyak dari alokasi waktu yang

tersedia pada rencana pelaksanaan

pemebelajaran dan guru juga kurang

memantau kegiatan siswa yang pasif

dalam kelompoknya masing-masing.

Kekurangan-kekurangan yang ada

diperbaiki pada siklus II. Nilai rata-rata

hasil belajar pada siklus II adalah 82.58

dengan persentase ketuntasan 93.99%

dan siswa yang tuntas sebanyak 29

orang dari jumlah keseluruhan 31 orang

siswa. Ini menunjukan bahwa indicator

keberhasilan sudah terpenuhi yaitu

ketuntasan klasikal ≥85% telah tercapai.

Berdasarkan uraian di atas dapat

digambarkan tentang perbandingan

persentasi ketercapaian pelaksanaan

pembelajaran antara pembelajaran

siklus I dan siklus II pada grafik

berikut:

Gambar 4.4 grafik perbandingan nilai

rata-rata hasil belajar siswa siklus I dan

siklus II

Dari grafik diatas terjadi

peningkatan pada siklus II karna

siswa sudah tidak asing lagi dengan

model pembelajaran TTW, sehingga

siswa mudah mengikuti pelajaran

dengan baik dan aktivitas brpikir,

berbicara dan menulis adalah salah

satu bentuk aktivitas mengajar fisika

yang member peluang pada siswa

untuk berpartisipasi aktif. Melalui

sktivitas tersebut siswa dapat

mengembangkan

kemampuannyadan menyampaikan

ide-ide fisika,jadi mendorong siswa

lebih aktif belajar. Dari situ

menimbulkan hasil belajar siswa

meningkta.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil

penelitian dan pembahasan

dapat di tarik kesimpulan bahwa

Penerapan model pembelajaran

think talk write (TTW) dapat

meningkatkan aktivitas belajar

dan hasil belajaar fisika siswa

kelas VIII8 SMP Negeri I Woha

tahun pelajaran 2014/2015.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, M. 2008. Dunia matematika :

Strategi Pembelajaran

Think-Talk-Write.

http://mellyirzal.blogspot.co

m/2008/12/strategi-

pembelajran-think-talk-

write.html : 23-12-2008.

Afi’ah A. 2010. Penerapan model

pembelajaran think talk

write (ttw) sebagai upaya

untuk meningkatkan

keaktifan dan prestasi

belajar siswa

kelas xi ipa 2 SMAN 6

Malang. Skripsi tidak di

publikasikan. Universitas

Kanjuruhan Malang

Fakultas Keguruan Dan

75.1282.58

74.19%93.00%

2329

0

20

40

60

80

100

siklus Isiklus II

rata-rata

ketuntasanklasikal

Page 207: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

15

Ilmu Pendidikan Program

Studi Pendidikan Fisika.

Arikunto, S. (2010). Prosedur

Penelitian. Jakarta: Rineka

Citra

----------------(2007). Penelitian

Tindakan Kelas. Jakarta:

Bumi Aksara

Buchari Alma. (2008). Guru

Profesional Menguasai

Metode dan Terampil

Mengajar. Bandung:

Alfabeta.

Dimyati. (2009). Belajar dan

Pembelajaran. Jakarta: Rineka

Cipta.

Hardinan. 2013. Makalah Model

Pembelajaran TTW.

http://rezaliah.blogspot.com

/2013/06/makalah-model-

pembelajaran-tipe-

think.html. 14-03-2-14.

Huinker, D., & Laughlin, C. (1996).

Talk Your Way Into Writing.

Dalam Portia C. Elliot dan

Margaret J. Kenney (Eds).

Yearbook Communication

In Mathematics, K 12 and

Beyond, Reston VA: In The

National Council Of

Teacher Of Mathematics

Inc.

Ibrahim, dkk. (2001). Pembelajaran

Kooperatif. Surabaya: University Press.

Kemmis, S., & Mc Taggart, R. (1990).

The Action Research Reader

3𝑟𝑑 .Substantially Revised . Victoria: Deatin University.

Suherman, E. 2008. Model Belajar dan

Pembelajaran Berorientasi

Kompetensi Siswa.

Http://model-belajar-dan-

pembelajaran.html : 17-09-

2008.

Sutarto, dkk. 2013. Desain

Pembelajaran Matematika.

Yogya: Samudra Biru.

Wiwin S.A 2013. Implementasi strategi

thing talk write melalui

belajar dalam kelompok

kecil dapat meningkatkan

aktivitas dan prestasi

belajar siswa pada materi

pokok lingkaran di kelas VI-

a SDN Genang Macan

Pacar Tahun 2012/2013 .

Skripsi tidak dipublikasikan.

Jurusan Pendidikan

Matematika, Fakultas

Pendidikan MIPA,

Universitas Pendidikan

Ganesha Singaraja.

Page 208: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TWO STAY TWO

STRAY (TSTS) UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR FISIKA

SISWA KELAS VIII7 SMPN 1 WOHA TAHUN PELAJARAN 2014/2014.

YUS’IRAN, S.SI., M.Pd. & HAJNANG.

ABSTRAK

Kata kunci: Model pembelajaran Kooperatif Two Stay Two Stray (TSTS) dan Prestasi

Belajar Siswa.

Melihat rendahnya prestasi belajar siswa setelah proses belajar mengajar di

SMPN I Woha dan ketuntasan belajar yang belum tercapai oleh siswa dengan kriteria

ketuntasan adalah 85% secara klasikal dan 75% secara individu, di mana diketahui

bahwa hasil ulangan pada tahun pelajaran sebelumnya masih rendah dengan nilai rata-

rata 63,3 untuk pokok bahasan gaya maka peneliti mencoba menerapkan model

pembelajaran kooperatif two stay two stray untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.

Berdasarkan analisis data hasil evaluasi belajar siswa siklus I dengan nilai rata-

rata sebesar 76 dengan persentase ketuntasan belajar 76%, sehingga menunjukkan

bahwa pada siklus I belum mencapai ketuntasan klasikal dimana dikatakan tuntas secara

klasikal apabila persentase ketuntasan klasikalnya minimal 85%. Disamping itu

berdasarkan analisis data hasil observasi aktivitas belajar siswa pada siklus I pertemuan

I terlihat bahwa skor rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 3,21 dan pada pertemua II

sebesar 3,24 dengan kategori aktif.

Setelah dilakukan tindakan perbaikan pada siklus II guru memberikan evaluasi

untuk mengetahui hasil belajar siswa. Berdasarkan analisis data hasil evaluasi belajar

siswa siklus II dengan nilai rata-rata sebesar 85,20 dan persentase ketuntasan belajar

secara klasikal sebesar 100%. Di samping itu pada siklus II pertemuan I diperoleh skor

total 633 rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 3,61 dan pertemuan II diperoleh skor

total 638 rata-rata 3,64 dengan kategori sangat aktif sehingga penelitian selesai sampai

pada siklus II. Akhirnya peneliti berkesimpulan bahwa model pembelajaran kooperatif

TSTS dapat meningkatkan prestasi belajar Fisika materi gaya pada siswa kelas VIII7

SMP Negeri I Woha Tahun pelajaran 2014/2015.

PENDAHULUAN

Upaya peningkatan kualitas

pengajar terus menerus dilakukan baik

kualitas pengajar atau kemampuan yang

dimiliki seorang guru maupun kualitas

siswa. Seorang guru dalam pendidikan

memegang peranan yang sangat

penting. Aqib (2013: 146) mengatakan

guru merupakan faktor penentu bagi

keberhasilan pendidikan. Guru

merupakan komponen instrumental

yang dengan kompetensi yang

dimilikinya mampu memanipulasi

situasi belajar menjadi situasi yang

menyenangkan, dengan orientasi

menghilangkan kejenuhan, kebosanan

dan mengatasi kesulitan belajar bagi

siswa, khususnya pada mata pelajaran

fisika sehingga dalam hal ini guru

memiliki peranan yang sangat

signifikan dalam mempengaruhi

peningkatan prestasi belajar siswa.

Berdasarkan hasil observasi dan

wawancara dengan guru mata pelajaran

fisika di SMPN 1 Woha pada tanggal 19

September 2013 diperoleh data sebagai

berikut:

Page 209: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

2

Tabel 1.1 Nilai rata-rata siswa mata

pelajararan fisika pokok bahasan gaya

kelas VIII7 SMP Negeri 1 Woha Tahun

Pelajaran 2013/2014. No Kelas Nilai rata-rata KKM

1 VIII5 52,20

66,6

2 VIII6 72,60

3 VIII7 52,8

4 VIII8 56,26

5 VIII9 75,5

6 VIII10 70,5

7 VIII11 70,25

(Sumber: Data Guru Mata Pelajaran

Fisika Kelas VIII SMPN 1 WohaTahun

Pelajaran 2013/2014).

Dari tabel di atas dapat dilihat

bahwa nilai rata-rata yang diperoleh

siswa khususnya kelas VIII7 masih

rendah yaitu belum mencapai kriteria

ketuntasan minimal yang berlaku di

SMPN 1 Woha. Hal ini terjadi

disebabkan oleh beberapa masalah yaitu

kurangnya rasa ingin tahu siswa pada

materi yang diajarkan, masih adanya

siswa yang keluar dari ruangan pada

saat guru menjelaskan materi, masih

adanya siswa yang bermain-main

dengan teman sebangkunya pada saat

guru menyampaikan materi dan

kurangnya kemampuan guru dalam

menggunakan model dalam mengajar.

Kondisi seperti ini harus

mendapat penanganan segera dimana

guru dituntut untuk lebih kreatif dalam

menerapkan model pembelajaran yang

tepat dalam proses belajar mengajar.

Salah satu model pembelajaran yang

akan diterapkan adalah model Two Stay

Two Stray (TSTS).

Model pembelajaran TSTS

memberikan kesempatan kepada siswa

untuk bekerja sama dengan teman satu

kelompoknya ataupun dengan teman

dalam kelompok lain, berinteraksi sosial

dengan membagikan hasil interaksinya

tersebut (Lie, 2008) TSTS ini akan

mengarahkan siswa untuk aktif, baik

dalam berdiskusi, tanya jawab, mencari

jawaban, menjelaskan dan juga

menyimak materi yang dijelaskan oleh

teman. Melalui model pembelajaran ini

siswa belajar melaksanakan tanggung

jawab pribadi dan kelompok serta saling

keterkaitan dengan rekan-rekan

sekelompoknya.

Model Pembelajaran TSTS (Two

Stay Two Stray) Model pembelajaran TSTS

merupakan salah satu model

pembelajaran dengan cara siswa berbagi

pengetahuan dan pengalaman dengan

kelompok lain, sintaknya dari model

pembelajaran ini adalah kerja

kelompok, dua siswa bertamu ke

kelompok lain dan dua siswa lainnya

tetap di kelompoknya untuk menerima

dua orang dari kelompok lain. Ide

utama dibalik TSTS ini adalah untuk

memotivasi siswa saling membagi

pengetahuan dan pengalaman dengan

kelompok lain dengan permasalahan

yang sama. Jadi, dari tiap-tiap

kelompok tersebut bisa mengetahui dan

mencocokan hasil kerja mereka dengan

hasil kerja kelompok lain.

Meskipun siswa belajar bersama, dari

semua kelompok dan tiap-tiap siswa

yang ada harus mengetahui masalah-

masalah dari kelompok lain.

Model pembelajaran kooperatif

TSTS ini adalah model pembelajaran

yang dapat membuat siswa membagi

pengetahuan dan pengalaman dalam

belajar dengan siswa yang lain,

sehingga keaktifan siswa dalam

pembelajaran dapat dimaksimalkan.

Kegiatan pembelajaran model TSTS

terdiri dari empat tahap yaitu:

1. Persiapan Pembelajaran

a. Materi

Materi pembelajaran

dalam belajar kooperatif

dengan menggunakan model

TSTS dirancang sedemikian

Page 210: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

3

rupa untuk pembelajaran

secara berkelompok. Sebelum

penyajian pelajaran, guru

menyiapkan RPP, lembar

evaluasi, lembar observasi

dan LKS.

b. Membagi siswa dalam

kelompok

Membagi siswa dalam

satu kelas kedalam beberapa

kelompok dengan masing-

masing anggota terdiri dari 4

atau 5 orang siswa dan setiap

anggota kelompok harus

heterogen dalam hal jenis

kelamin dan prestasi

akademik siswa.

2. Presentasi Guru

Dalam tahap ini selalu

dimulai dengan penyajian materi

oleh guru. Sebelum menyajikan

materi pelajaran, guru dapat

memulai dengan menjelaskan

tujuan pelajaran, memberikan

motivasi untuk berkooperatif,

menggali pengetahuan prasyarat

dan sebagainya. Dalam

penyajian kelas dapat digunakan

metode ceramah, tanya jawab

dan sebagainya, disesuaikan

dengan isi bahan ajar dan

kemampuan siswa.

3. Kegiatan Kelompok

Dalam kegiatan ini,

pembelajarannya menggunakan

lembar kegiatan yang berisi

tugas-tugas yang harus dipelajari

oleh tiap-tiap siswa dalam satu

kelompok. Setelah menerima

lembar kegiatan yang berisi

permasalahan-permasalahan

yang berkaitan dengan konsep

materi dan klasifikasinya, siswa

mempelajarinya dalam

kelompok kecil yaitu

mendiskusikan masalah tersebut

bersama-sama anggota

kelompoknya. Masing-masing

kelompok menyelesaikan atau

memecahkan masalah yang

diberikan dengan cara mereka

sendiri. Kemudian 2 dari 4

anggota dari masing-masing

kelompok meninggalkan

kelompoknya dan bertamu ke

kelompok yang lain secara

terpisah, sementara 2 anggota

yang ada dalam kelompok

bertugas membagikan hasil kerja

dan informasi mereka ke tamu

mereka. Setelah memperoleh

informasi 2 anggota yang mohon

diri kembali ke kelompok

masing-masing dan melaporkan

temuannya dari kelompok lain

tadi serta mancocokkan dan

membahas hasil-hasil kerja

mereka.

4. Formalisasi

Setelah belajar dalam

kelompok dan menyelesaikan

permasalahan yang diberikan,

perwakilan dari tiap-tiap

kelompok mempresentasikan

hasil diskusi kelompoknya untuk

dikomunikasikan atau

didiskusikan dengan kelompok

lainnya. Kemudian guru

membahas dan mengarahkan

siswa ke bentuk formal.

Adapun langkah-

langkah model pembelajaran

TSTS (dalam Lie, 2002: 60-61)

adalah sebagai berikut:

a) Siswa dibagi ke dalam

beberapa kelompok, masing-

masing kelompok terdiri dari

4 atau 5 orang siswa.

b) Siswa bekerja sama dalam

kelompok tersebut.

c) Setelah selesai, dua orang

dari masing-masing

kelompok bertamu ke

kelompok lain.

d) Dua orang yang tinggal

dalam kelompok bertugas

Page 211: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

4

membagikan hasil kerja dan

informasi mereka ke tamu.

e) Tamu kembali ke kelompok

mereka sendiri dan

melaporkan temuan mereka

dari kelompok lain.

f) Kelompok mencocokan dan

membahas hasil kerja

mereka.

Kelebihan dan

Kelemahan model

pembelajaran TSTS

kelebihan yang diperoleh dari

model pembelajaran TSTS

adalah sebagai berikut:

a) Dapat diterapkan pada

semua tingkatan/kelas.

b) Kecenderungan belajar

siswa menenjadi lebih

bermakna.

c) Lebih berorientasi pada

keaktifan.

d) Diharapkan siswa akan

berani mengungkapkan

pendapatnya.

e) Menambah kekompakan

dan rasa percaya diri

siswa.

f) Kemampuan berbicara

siswa dapat ditingkatkan.

g) Membantu meningkatkan

minat dan prestasi belajar

siswa.

kelemahan model

pembelajaran TSTS adalah

sebagai berikut:

a) Membutuhkan waktu yang

lama.

b) Siswa cenderung tidak

mau belajar dalam

kelompok.

c) Bagi guru membutuhkan

banyak persiapan (materi

dan tenaga).

d) Guru cenderung kesulitan

dalam mengelola kelas.

Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah sebuah

kalimat yang terdiri dari dua kata,

yakni “belajar”. Antara kata “prestasi”

dan “belajar” mempunyai arti yang

berbeda. Prestasi adalah hasil dari suatu

kegiatan yang telah dikerjakan,

diciptakan baik secara individu maupun

kelompok. Prestasi tidak akan pernah

dihasilkan selama seseorang tidak

melakukan suatu kegiatan dalam

kenyataan, untuk mendapatkan prestasi

tidak semudah yang dibayangkan, tetapi

penuh perjuangan dengan berbagai

tantangan yang harus dihadapi untuk

mencapainya. Hanya dengan keuletan

dan optimisme dirilah yang dapat

membantu untuk mencapainya.

Sedangkan belajar adalah suatu aktivitas

yang dilakukan secara sadar untuk

mendapatkan sejumlah kesan dari bahan

yang telah dipelajari. Hasil dari aktivitas

belajar terjadilah perubahan dalam diri

individu. Dengan demikian, belajar

dikatan berhasil bila telah terjadi

perubahan dalam diri individu.

Sebaliknya, bila tidak terjadi perubahan

dalam diri individu, maka belajar

dikatakan tidak berhasil ( Djamarah,

1991: 19-20).

Teori Sibernetik, belajar adalah

pengolahan informasi. Seolah-olah teori

ini mempunyai kesamaan dengan teori

kognitif yaitu mementingkan proses

belajar dari pada hasil belajar. Proses

belajar memang penting dalam teori

Sibernetik, namun yang lebih penting

lagi adalah sistem informasi yang

diproses yang akan dipelajari siswa.

Informasi inilah yang akan menentukan

proses. Bagimana proses belajar akan

berlangsung, sangat ditentukan oleh

sistem informasi yang dipelajari.

Sagala (2007: 57) menyatakan

prestasi adalah hasil yang diperoleh dari

suatu kegiatan yang dilakukan atau

dikerjakan baik secara individu maupun

kelompok. Sementara Nurkancana

(1990: 11) bahwa prestasi belajar

Page 212: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

5

merupakan hasil yang dapat dicapai

oleh seseorang setelah yang

bersangkutan mengalami proses belajar

dalam jangka waktu tertentu.

Berdasarkan teori-teori di atas

maka dapat peneliti simpulkan bahwa

Prestasi belajar adalah hasil yang

dicapai oleh seseorang setelah

melakukan suatu kegiatan yang

dilakukan baik secara individu maupun

secara kelompok. Dengan demikian

prestasi merupakan perubahan-

perubahan yang dicapai, diukur dan

dinilai yang kemudian diwujudkan

dalam angka dan pernyataan. Alat ukur

yang digunakan adalah menggunakan

tes.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah

penelitian tindakan kelas (PTK).

Penelitian tindakan kelas (PTK)

merupakan suatu penelitian yang

mengangkat masalah-masalah aktual

yang dihadapi oleh guru di lapangan

(Usman, 2008: 217), Pada PTK ini

penelitiannya dilakukan secara

sistematis terhadap berbagai aksi atau

tindakan yang dilakukan oleh guru atau

peneliti, mulai perencanaan sampai

dengan penilaian terhadap tindakan

nyata di kelas yang berupa kegiatan

belajar-mengajar untuk memperbaiki

kondisi pembelajaran yang dilakukan.

Kehadiran peneliti di sekolah

SMP Negeri I Woha adalah sebagai

guru sekaligus berperan dalam

keseluruhan proses penelitian. Peneliti

disini selain bertindak sebagai pengajar

dalam proses pembelajaran juga

pengumpul data, penganalisis, dan

pelapor hasil penelitian. Untuk

pengumpulan data yang diperlukan,

peneliti dibantu oleh guru fisika.

Subjek penelitian ini adalah siswa

kelas VIII7 semester ganjil di SMP

Negeri I Woha tahun pelajaran

2014/2015 yang berjumlah 25 orang

siswa, yang terdiri dari 12 orang siswa

laki-laki dan 13 orang siswa perempuan.

Rancangan Tindakan

Penelitian tindakan kelas

(PTK) ini dilaksanakan dua siklus

dengan skenario pembelajaran yang

terdiri dari 5 (lima) tahapan

kegiatan yaitu:

1. Tahap Perencanaan.

a) Membuat rencana

pembelajaran (RPP).

b) Menyiapkan lembar kerja

siswa (LKS).

c) Membuat lembaran evaluasi

berupa tes tulis untuk

mengetahui kemampuan

siswa dalam memahami

materi yang telah diajarkan.

d) Membuat lembar observasi

untuk mengamati aktivitas

belajar siswa dan guru dalam

proses belajar-mengajar

melalui model TSTS.

2. Tahap Pelaksanaan tindakan.

Adapun kegiatan yang

dilakukan pada tahap ini adalah

melaksanakan rencana

pembelajaran yang telah

direncanakan.

3. Tahap Observasi/Pengamatan

Selama pelaksanaan

tindakan diadakan observasi.

Dalam observasi ini akan

diamati aktivitas guru yang

nampak selama proses

pembelajaran. Semua akivitas

guru dicatat dalam lembar

observasi yang telah disiapkan

4. Evaluasi

Setelah materi selesai

diajarkan perlu diadakan

evaluasi (uji kompetensi) untuk

mengetahui sejauh mana

pengetahuan siswa dalam

memahami materi yang telah

diajarkan.

5. Refleksi

Page 213: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

6

Pada tahap ini hasil yang

diperoleh dari evaluasi belajar

siswa dikumpulkan serta

dianalisis sehingga dari hasil

tersebut peneliti dapat

merefleksi diri dengan melihat

data aktivitas pengamatan dan

evaluasi yang dicapai oleh

siswa.

Jika hasil yang diperoleh

pada pelaksanaan siklus I belum

mencapai indikator keberhasilan,

maka akan dilakukan perbaikan

pada siklus berikutnya.

Instrumen Penelitian

Menurut Ahmad Usman

(2008: 298) instrumen penelitian

adalah alat untuk memperoleh data.

Agar data yang diperoleh sesuai

yang diharapkan maka diperlukan

instrumen pengumpulan data yang

baik. Adapun instrumen yang

dipakai dalam penelitian ini adalah:

1. Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP)

Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) digunakan

sebagai panduan oleh guru agar

keterlaksanaan proses

pembelajaran sesuai yang

direncanakan.

2. Lembar Observasi Aktivitas

Belajar Siswa

Lembar observasi aktivitas

belajar siswa untuk mengetahui

kegiatan siswa selama proses

pebelajaran berlangsung.

3. Lembar Observasi Aktivitas

Guru

Lembar observasi aktivitas

guru untuk mengetahui kegiatan

guru selama proses

pembelajaran berlangsung.

4. Lembar Kerja Siswa (LKS)

Lembar kerja siswa yang

bertujuan untuk menguji

kemampuan berpikir siswa.

5. Tes Hasil Belajar

Tes hasil belajar masing-

masing 20 (dua puluh) butir soal

pilihan ganda untuk setiap

siklus.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan

untuk mengumpulkan data dalam

penelitian ini antara lain:

1. Sumber data

Sumber data dalam

penelitian ini berasal dari siswa

yang berjumlah 25 orang di

kelas VIII7 SMPN I Woha tahun

pelajaran 2014/2015.

2. Jenis Data

Jenis data pada

penelitian ini adalah data

kuantitatif dan data kualitatif

yang terdiri dari :

a. Data evaluasi hasil belajar

siswa

b. Data aktivitas siswa dan guru

3. Cara pengambilan data

Pada penelitian ini cara

pengambilan data yang

dilakukan peneliti adalah

sebagai berikut :

a. Data tentang aktivitas guru

dan siswa diperoleh dari lembar

observasi.

b. Data evaluasi hasil belajar

siswa diperoleh dengan

memberikan tes pada setiap

akhir siklus.

Teknik Analisis Data

Amiruddin dalam Ahmad Usman

(2008: 379) menjelaskan bahwa

“analisis data adalah proses

penyederhanaan data ke dalam bentuk

yang lebih mudah dibaca dan

diinterpretasikan. Dalam proses ini

sering kali digunakan statistik. Salah

satu fungsi statistik adalah

Page 214: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

7

penyederhanaan data penelitian yang

amat besar jumlahnya menjadi

informasi yang lebih sederhana dan

lebih mudah untuk dipahami.

Menganalisis data merupakan

suatu langkah yang sangat kritis dalam

penelitian. Peneliti harus memastikan

pada analisis mana yang digunakan,

apakah analisis statistik atau non

statistik. Pemilihan ini tergantung pada

jenis data yang akan dikumpulkan untuk

dianalisis (Aqib, 2006: 135). Di

samping itu, statistik membandingkan

hasil yang diperoleh dengan hasil yang

terjadi secara kebetulan, sehingga

memungkinkan peneliti untuk menguji

apakah hubungan sistematis secara

variabel-variabel penelitian, atau hanya

terjadi secara kebetulan.

Analisis data yang diperoleh dari

hasil penelitian tindakan kelas ini

adalah sebagai berikut:

1. Data aktivitas belajar siswa

Setiap indikator perilaku

siswa pada penelitian ini cara

penskorannya berdasarkan

aturan sebagai berikut:

Skor 5 diberikan jika semua

deskriptor nampak

Skor 4 diberikan jika 3

deskriptor nampak

Skor 3 diberikan jika 2

deskriptor nampak

Skor 2 diberika jika 1 deskriptor

nampak

Skor 1 diberikan jika tidak ada

deskriptor yang nampak

Data aktivitas belajar

siswa dianalisis dengan rumus

sebagai berikut:

AS = ni

x

.

Keterangan : As = aktivitas

belajar siswa

x = skor

masing-masing indikator

i =

banyaknya indikator

n =

banyaknya siswa

Skor maksimum ideal

(SMI) merupakan skor yang

tertinggi aktivitas siswa yang

didapat apabila semua deskriptor

yang diamati nampak yaitu skor

5. Untuk menilai kategori

aktivitas siswa, ditentukan

terlebih dahulu oleh MI dan

SDI, dimana MI adalah Mean

Ideal sedangkan SDI adalah

Standar Deviasi Ideal. Untuk

menentukan MI dan SDI adalah

sebagai berikut :

a. Menentukan Mean Ideal (MI)

dan Standar Deviasi Ideal

(SDI)

MI = 2

1 (skor tertinggi +

skor terendah)

SDI= 6

1 (skor tertinggi –

skor terendah)

b. Menentukan aktivitas belajar

siswa

Berdasarkan skor

standar, maka kriteria untuk

menentukan aktivitas belajar

siswa dijabarkan pada tabel

3.1 berikut:

Tabel 3.1 Pedoman Konversi

Penilaian Interval Kategori

MI + 1,5 SDI ≤ A Sangat Aktif

MI + 0,5 SDI ≤ A < MI + 1,5

SDI

Aktif

MI - 0,5 SDI ≤ A < MI + 0,5

SDI

Cukup Aktif

MI - 1,5 SDI ≤ A < MI - 0,5

SDI

Kurang Aktif

A < MI -1,5 SDI Sangat Kurang Aktif

Sumber: Arikunto dalam

Lamp M. Hatta ( 2012: 10)

2. Data Aktivitas Guru Penilaian terhadap

aktivitas guru dilakukan secara

langsung selama proses belajar

Page 215: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

8

mengajar. Adapun indikator

untuk setiap aktivitas guru

dianalisis dengan kriteria

penilaian sebagai berikut:

(a) Skor 4 diberikan jika 3

deskriptor nampak

(b) Skor 3 diberikan jika 2

deskriptor nampak

(c) Skor 2 diberikan jika 1

deskriptor nampak

(d) Skor 1 diberikan jika

deskriptor tidak nampak

Berdasarkan skor yang

diperoleh, maka dapat dianalisis

dengan rumus sebagai berikut:

Ag = i

x

Keterangan:

Ag = aktivitas guru

x = skor masing-

masing indikator

i = banyaknya

indikator

3. Data Prestasi Belajar

Untuk mengetahui

prestasi belajar siswa, hasil tes

belajar dianalisis secara

deskriptif, yaitu menentukan

skor rata-rata hasil tes belajar

siswa dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

Rumus rata-rata hasil belajar

siswa:

M = n

xi

Keterangan : M = mean

(rata-rata)

x i = skor

yang diperoleh

masing-masing siswa

n =

banyaknya siswa

Prestasi belajar siswa

dikatakan meningkat apabila

terjadi peningkatan rata-rata

skor dari rata-rata skor

sebelumnya. Indikator

keberhasilan penelitian ini

adalah tercapainya ketuntasan

belajar, dengan rumus sebagai

berikut :

KB = N

P . 100 %

Keterangan :

KB = Ketuntasan belajar

P = Banyaknya siswa

yang memperoleh nilai minimal 75.

N = Banyaknya siswa

Ketuntasan belajar

tercapai jika 85% siswa

memperoleh skor minimal 75

yang akan terlihat pada hasil

evaluasi tiap-tiap siklus.

Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan

penelitian tindakan kelas ini adalah

adanya peningkatan keaktifan dan

ketuntasan hasil belajar siswa

dengan acuan sebagai berikut:

1. Apabila prestasi belajar siswa

yang menunjukan minimal 85 %

siswa mencapai nilai 75. 2. Minimal keaktivan siswa

berkategori aktif.

HASIL PENELITIAN

Kegiatan observasi

dilakukan secara kontinyu

setiap kali pembelajaran

berlangsung dalam

pelaksanaan tindakan dengan

mengamati aktivitas belajar

siswa dan aktivitas guru.

1). Hasil observasi aktivitas

belajar siswa

Tabel 4.1 Data aktivitas

belajar siswa siklus I Sikl

us

Pertemu

an

Bany

ak

siswa

Bany

ak

item

Tot

al

skor

Rat

a-

rata

katego

ri

I

I 25 7 563 3,21 Aktif

II 25 7 568 3,24 Aktif

Berdasarkan tabel

4.1 di atas terlihat bahwa

Page 216: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

9

pada siklus I pertemuan I

diperoleh total skor 563

dengan rata-rata 3,21

berkategori aktif, dan

pada siklus I pertemuan

II diperoleh total skor

568 dengan rata-rata 3,24

berkategori aktif. Hal ini

membuktikan bahwa

aktivitas belajar siswa

pada siklus I sudah aktif.

Namun pada siklus I

belum mencapai

indikator keberhasilan

yang ingin dicapai oleh

peneliti, yaitu persentase

ketuntasan klasikalnya ≥

85 %. Hal Ini disebabkan

karena pada siklus I

masih terdapat

kekurangan-kekurangan

seperti berikut:

a). Kerja sama dan

komunikasi siswa

dalam diskusi

kelompok masih

kurang.

b) Para siswa

mempersentasikan

hasil diskusi masih

didominasi oleh satu

atau dua orang yang

berani bicara saja

sedangkan yang

lainnya hanya diam.

c) Siswa yang

berkemampuan

rendah tidak mau

bertanya kepada

temannya yang

mempunyai

kemampuan tinggi

d) Guru kurang mampu

menciptakan suasana

diskusi yang

kondusif dengan

menggunakan model

pembelajaran

kooperatif TSTS.

e). Pengaturan waktu

dan kegiatan secara

kelompok masih

kurang

2). Hasil observasi aktivitas

guru

Tabel 4.2 Data aktivitas

guru siklus I Siklu

s

Pertemua

n

Banya

k item

Total

skor

Rata-

rata

kategori

I

I 9 20 2,2 Kurang aktif

II 9 22 2,4 Cukup aktif

Selama proses

pembelajaran

berlangsung dilakukan

observasi. Dari hasil

observasi aktivitas guru

diperoleh data pada

siklus I pertemuan I total

skor 20 dan rata-rata skor

2,2 berkategori kurang

aktif, dan pada

pertemuan II total skor

22 rata-rata skor 2,4

berkategori cukup aktif.

1. Evaluasi Evaluasi dilaksanakan

pada hari selasa tanggal 19

Agustus 2014 selama 40

menit. Berdasarkan hasil

evaluasi yang telah

dilaksanakan diperoleh data

sebagaimana tercantum

dalam tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3 Hasil evaluasi prestasi belajar

siswa siklus I N

o

Keterangan Jumlah

1 Banyak siswa yang mengikuti

tes

25 orang

2 Nilai rata-rata kelas 76

3 Jumlah siswa yang tuntas 19 orang

4 Jumlah siswa yang tidak tuntas 6 orang

5 Ketuntasn klasikal 76%

Page 217: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

10

Dari Tabel 4.3 di atas

diketahui bahwa prestasi

belajar siswa dengan

menggunakan model

pembelajaran kooperatif

TSTS mengalami

peningkatan, bila

dibandingkan dengan nilai

rata-rata siswa pada materi

gaya tahun pelajaran

2013/2014 sebelum

ditererapkannya model

pembelajaran kooperatif

TSTS dengan nilai rata-rata

63,3. Setelah model

pembelajaran ini diterapkan

maka nilai rata-rata siswa

mengalami peningkatan

sebesar 76. Nilai tersebut

menunjukan bahwa rata-rata

nilai siswa mengalami

peningkatan sebesar 12,7.

Akan tetapi evaluasi prestasi

belajar siswa siklus I di atas

menunjukan bahwa

persentase ketuntasan klasikal

belum tercapai dengan

persentase 76% kurang dari

85%. Karena ketuntasan

klasikal tercapai apabila

banyaknya siswa yang tuntas

≥ 85%.

2. Refleksi

Berdasarkan analisis

data hasil belajar siswa pada

siklus I ternyata belum

memenuhi indikator

keberhasilan penelitian secara

keseluruhan maka penelitian

dilanjutkan ke siklus II,

dengan pelaksanaan pada

siklus II memperbaiki

kekurangan-kekurangan yang

muncul pada siklus I.

Perbaikan-perbaikan yang

perlu dilakukan serta

peningkatan hal-hal yang

dianggap kurang adalah

sebagai berikut:

a). Kerja sama dan

komunikasi siswa dalam

diskusi kelompok harus

di tingkatkan

b) Semua siswa harus siap

untuk mempresentasekan

hasil diskusi kelompok

masing-masing agar

tidak didominasi oleh

satu orang saja.

c) Siswa yang belum

memahami harus banyak

bertanya kepada

temannya yang sudah

paham dengan materi

yang didiskusikan.

d) Guru harus mampu

menciptakan suasana

diskusi yang kondusif

dalam menggunakan

model pembelajaran

kooperatif TSTS.

e). Pengaturan waktu dan

kegiatan secara

kelompok harus

dimaksimalkan.

2. SIKLUS II

Observasi (observation) 1). Hasil observasi aktivitas

belajar siswa.

Tabel 4.4 Data aktivitas

belajar siswa siklus II Sik

lus

Pertem

uan

Ban

yak

sisw

a

Ban

yak

item

S

k

or

to

ta

l

R

at

a-

rat

a

Kategor

i

II

I 25 7 6

3

3

3,

61

Sangat

aktif

II 25 7 6

3

8

3,

64

Sangat

aktif

Berdasarkan tabel

4.4 di atas terlihat adanya

peningkatan pada siklus

II, hal ini dapat dilihat

dari perolehan total skor

pertemuan I sebesar 633

Page 218: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

11

rata-rata sebesar 3,61 dan

pertemuan ke II dengan

total skor 638 rata-rata

3,64. Hasil ini tergolong

dalam kategori sangat

aktif. Ini berarti cara

belajar siswa dengan

diterapkannya model

pembelajaran kooperatif

TSTS dapat

meningkatkan prestasi

belajar fisika siswa kelas

VIII7.

2). Hasil observasi kegiatan

guru.

Tabel 4.5 Data aktivitas

guru siklus II Siklu

s

Pertemua

n

Banya

k item

Total

skor

Rata

-rata

Kategori

II

I 9 26 2,9 Aktif

II 9 29 3,22 Aktif

Selama proses

pembelajaran

berlangsung dilakukan

observasi. Dari hasil

observasi aktivitas guru

diperoleh data pada

siklus II pertemuan I

total skor 26 dan rata-rata

skor 2,9 berkategori

aktif, dan pada

pertemuan II total skor

29 rata-rata skor 3,22

berkategori aktif.

Berdasarkan hasil

observasi pada siklus II selama proses belajar

mengajar diperoleh data

bahwa guru sudah

melaksanakan kegiatan

mengajar sesuai dengan

rencana pembelajaran

yang sudah disiapkan.

d. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi dilaksanakan

pada hari sabtu tanggal 30

Agustus 2014 selama 40

menit. Berdasarkan hasil

evaluasi yang telah

dilaksanakan diperoleh data

sebagai berikut:

Tabel 4.6 Hasil evaluasi prestasi belajar

siswa siklus II No Keterangan Jumlah

1 Bannyaknya siswa yang

mengikuti tes

25 orang

2 Nilai rata-rata kelas 85,20

3 Jumlah siswa yang tuntas 25 orang

4 Jumlah siswa yang tidak

tuntas

-

5 Ketuntasan klasikal 100%

Berdasarkan Tabel 4.6

dapat diketahiu bahwa

prestasi belajar siswa dengan

menggunakan model

pembelajaran kooperatif

TSTS mengalami

peningkatan. Pada siklus I

nilai rata-rata siswa adalah 76

kemudian mengalami

peningkatan sebesar 9,20

dengan ketuntasan klasikal

100%. Siswa yang mendapat

nilai ≥ 75 sebanyak 25 orang.

Hal ini menunjukan bahwa

prestasi belajar siswa pada

siklu II Telah memenuhi

indikator keberhasilan.

e. Refleksi (revlection)

Pada tes evaluasi hasil

belajar siswa siklus II sudah

memenuhi indikator

keberhasilan yang telah

ditentukan sebelumnya

dimana didapat nilai rata-rata

adalah 85 dengan persentase

ketuntasan belajar klasikal

mencapai 100% dan aktivitas

belajar Fisika siswa dengan

diterapkannya model

pembelajaran kooperatif

Page 219: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

12

TSTS diperoleh kategori

aktif. Jadi penelitian ini

berhenti pada siklus II.

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan

sesuai dengan prosedur penelitian

tindakan kelas yang telah ditetapkan

sebelumnya dengan diawali pada

perencanaan, pelaksanaan tindakan,

observasi, evaluasi dan refleksi.

Pada pelaksanaan tindakan

dilaksanakan tiga kali kegiatan

pembelajaran yaitu dua kali

pertemuan untuk kegiatan

pembelajaran dan satu kali

pertemuan evaluasi melalui model

pembelajaran kooperatif TSTS pada

materi gaya.

Berdasarkan analisis data

hasil evaluasi belajar siswa siklus I

dengan nilai rata-rata sebesar 76

dengan persentase ketuntasan

belajar 76%, sehingga menunjukkan

bahwa pada siklus I belum

mencapai ketuntasan klasikal

dimana dikatakan tuntas secara

klasikal apabila persentase

ketuntasan klasikalnya minimal

85%. Disamping itu berdasarkan

analisis data hasil observasi aktivitas

belajar siswa pada siklus I

pertemuan I terlihat bahwa skor

rata-rata aktivitas belajar siswa

sebesar 3,21 dan pada pertemua II

sebesar 3,24 dengan kategori aktif.

Pada Siklus II guru

melakukan perbaikan terhadap

kekurangan yang terdapat pada

Siklus I dengan tetap menerapkan

model pembelajaran kooperatif

TSTS. Adapun tindakan yang

dilakukan untuk memperbaiki

kekurangan tersebut adalah guru

semaksimal mungkin menciptakan

suasana diskusi kelompok yang

menyenangkan dengan memberikan

beberapa pertanyaan dan

kesempatan kepada masing-masing

anggota kelompok untuk bertanya

mengenai materi-materi yang belum

dipahami, sehingga materi dapat

dipahami dan dimengerti, Di

samping itu guru harus

memperhatikan Penggunaan waktu

agar lebih efektif dan efisien. Guru

juga harus bisa meyakinkan dan

memberikan semangat kepada

semua anggota kelompok untuk

berani mencoba mempresentasikan

hasil diskusi mereka walaupun

salah.

Setelah dilakukan tindakan

perbaikan pada siklus II guru

memberikan evaluasi untuk

mengetahui hasil belajar siswa.

Berdasarkan analisis data hasil

evaluasi belajar siswa siklus II

dengan nilai rata-rata sebesar 85,20

dan persentase ketuntasan belajar

secara klasikal sebesar 100%. Di

samping itu pada siklus II

pertemuan I diperoleh skor total 633

rata-rata aktivitas belajar siswa

sebesar 3,61 dan pertemuan II

diperoleh skor total 638 rata-rata

3,64 dengan kategori sangat aktif

sehingga penelitian selesai sampai

pada siklus II. Ini membuktikan

bahwa dengan diterapkannya model

pembelajaran koopertif TSTS siswa

lebih termotivasi untuk mau bekerja

sama, berbagi ide sehingga proses

pembelajaran akan lebih aktif dan

bermakna.

Dengan demikian model

pembelajaran kooperatif TSTS

mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap prestasi belajar

Fisika. Hal ini disebabkan karena

penerapan model pembelajaran

kooperatif TSTS bisa memberikan

keleluasaan pada siswa untuk

mengembangkan dan melatih diri

untuk berani mengemukakan dan

mempertahankan ide-ide sehingga

dapat membangkitkan partisipasi

Page 220: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

13

dan semangat dalam diri siswa

untuk mengikuti pelajaran. Di

samping itu model pembelajaran

koopertif TSTS dapat

memungkinkan timbulnya kerja

sama antara siswa dengan siswa,

siswa dengan guru sehingga siswa

dan guru sama-sama aktif dan

proses pembelajaran berjalan

dengan baik.

Dalam menerapkan model

pembelajaran kooperatif TSTS

siswa akan diaktifkan dalam

pembelajaran dengan cara siswa

bekerja sama dalam kelompoknya

dan saling berbagi ide dengan teman

dalam satu kelompoknya maupun

dengan teman dalam kelompok lain.

Dengan demikian model

pembelajaran TSTS dapat

diterapkan pada materi gaya karena

dalam penelitian ini peneliti tidak

menemukan kendala yang berarti.

Akhirnya peneliti berkesimpulan

bahwa model pembelajaran

kooperati TSTS dapat meningkatkan

prestasi belajar Fisika materi gaya

pada siswa kelas VIII7 SMP Negeri

I Woha Kabupaten Bima.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan

pembahasan dari penelitian ini,

maka dapat disimpulkan bahwa

model pembelajaran kooperatif

TSTS dapat meningkatkan prestasi

belajar Fisika siswa kelas VIII7

SMPN I Woha tahun pelajaran

2014/2015. Hal ini dapat diketahui

dari nilai prestasi belajar siswa

siklus I dengan rata-rata sebesar 76

dan ketuntasan klasikal sebesar

76%, dan mengalami peningkatan

pada siklus II dengan nilai rata-rata

prestasi belajar 85,20 dan

ketuntasan klasikal menjadi 100%.

Selain itu juga dapat dilihat dari

hasil yang diperoleh melalui lembar

observasi aktivitas belajar siswa

yaitu sebesar 3,21 pada siklus I

pertemuan I dan 3,24 pada

pertemuan II yang tergolong aktif.

Pada siklus II mengalami

peningkatan sebesar 3,61 pada

pertemuan I dan 3,64 pada

pertemuan II yang tergolong sangat

aktif. Ini menandakan bahwa

penerapan model pembelajaran

kooperatif TSTS dapat

meningkatkan prestasi belajar fisika

siswa kelas VIII7 SMPN I woha

pada materi gaya tahun pelajaran

2014/2015.

DAFTAR PUSTAKA

Asma, Nur. 2006. Model Pembelajaran

Kooperatif. Penerbit

Dikti

Arikunto, Suharsimi. 2006. Penelitian

Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Aqib, Zainal. 2006. Penelitian Tindakan

Kelas. Bandung.

Yrama Widya

Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Prestasi

Belajar dan Kompetensi

Guru. Jakarta: Usaha

Nasional

Khasanah, Uswatun. 2009. Penerapan

PembelajaranKooperatif

Model Two Stay Two Stray (

DuaTinggalDuaTamu ) .

FMIPA UM Malang.

Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning.

Jakarta :

Grasindo

Nurkancana, 1990. Evaluasi hasil

Belajar. Usaha Nasional: Surabaya.

Rosjjidan, dkk. 1996. Belajar dan

Pembelajaran

Malang. IKIP

Malang

Slavin, Robert E. 1995. Cooperative

learning.

Page 221: JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI

14

Boston: Allyn

bacon

Usman, Ahmad, 2008. Mari Belajar

Meneliti. Genta Pres:

Yogyakarta