jurnal pendidikan mipa susunan redaksi
TRANSCRIPT
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
JURNAL PENDIDIKAN MIPA
SUSUNAN REDAKSI
Pelindung dan Penasehat
Drs. H. Sudirman Ismail, M.Si. Ketua STKIP Taman Siswa Bima
Dr. Ibnu Khaldun, M.Si. Pelaksana Harian STKIP Taman Siswa Bima
Penganggung Jawab
Syarifuddin, S.Pd., M.Pd. Ketua LPPM STKIP Taman Siswa Bima
Ketua Penyunting
Mariamah, M.Pd.
Sekretaris Penyunting
Asriyadin, M.Pd.
Penyunting Pelaksana
Syarifuddin.S.Si, M.Pd.
Yus’iran, M.Pd.
Muliana, M.Pd.
Muliansani, M.Kom
Penyunting Ahli (Mitra Bestari)
Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc., Ph.D. Universitas Negeri Malang
Prof. Dr. Agil Alidrus, M.Pd. Universitas Mataram
Dr. Amran Amir, M.Pd. STKIP Bima
Dr. Syahruddin, M.Si.
Bendahara
Nanang Diana, M.Pd.
Alamat Redaksi
Redaksi Jurnal Pendidikan MIPA
LPPM STKIP Taman Siswa Bima
Jln. Lintas Bima – Tente Palibelo. Tlp (0374) 42891
Email: [email protected]
Jurnal Pendidikan MIPA STKIP Taman Siswa Bima, terbit 2 kali setahun dengan
edisi Januari – Juni dan Juli - Desember. Sebagai media informasi, pemikiran dan
hasil penelitian yang berkaitan dengan pendidikan Matematika dan ilmu
Pengetahuan Alam.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
JURNAL PENDIDIKAN MIPA
Volume 4 No 2, Juli-Desember 2014
ISSN : 2088-0294
DAFTAR ISI
PENERAPAN METODE PENEMUAN TERBIMBING
DALAM PEMBELAJARAN PERSEGI PANJANG
Sudarsono, Dosen matematika STKIP Bima
1 – 12
PENGEMBANGAN KURIKULUM MATEMATIKA SEKOLAH
Syarifudin, Dosen Pendidikan Matematika STKIP TS Bima
PENERAPAN METODE INQUIRI DALAM MENINGKATKAN
PEMAHAMAN KONSEP HIMPUNAN PADA SUB POKOK
BAHASAN HIMPUNAN BAGIAN PADA SISWA KELAS VII.
C SMPN 3 GERUNG TAHUN PELAJARAN 2008/2009
YULY YANTI
UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA
DENGAN PEMANFAATAN MEDIA CHARTA PADA
PEMBELAJARAN LINGKARAN DI KELAS VIII SMPN 4
BOLO TAHUN PELAJARAN 2010/2011
ARIF HIDAYAD
13 – 21
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
TEAM GAME TOURNAMENT (TGT) UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS X
SMA NEGERI 4 KOTA BIMA TAHUN PELAJARAN 2012/2013
HAERUNNAZILLAH, MUTAWAFAQ
22 – 32
HUBUNGAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI
BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 WOHA
TAHUN PELAJARAN 2013/2014.
ANGGUN LESTARI
UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA
MELALUI PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATIN (TAI) MATERI
BENTUK ALJABAR KELAS VIIIC SMP N 1 DONGGO TAHUN
PELAJARAN 2014/2015”. SKRIPSI PENDIDIKAN
MATEMATIKA
LIRMIYATI.
33 – 46
PENGARUH MOTIVASI TERHADAP PRESTASI BELAJAR
SISWA DALAM BIDANG STUDI MATEMATIKA KELAS VIII
SEMESTER GENAP SMP NEGERI 1 PARADO TAHUN
PELAJARAN 2010/2011
47 – 58
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
KASIANTO
PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN RECIPROCAL
TEACHING PADA MATA PELAJARAN IPS EKONOMI
UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR
SISWA KELAS VII B MTsN WATAMPONE
KECAMATAN TANETE RIATTANG
KABUPATEN BONE
HERWIN
59 – 71
UPAYAPENINGKATAN PRESTASI BELAJAR FISIKA POKOK
BAHASAN BESARANMELALUI METODE
KONSTRUKTIVISME PADA SISWA KELAS VII SMP
NEGERI 2 WOHA TAHUN PELAJARAN 2012/2013
MARINI FADHUM.
72 – 89
PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DENGAN
MODEL SIKLUS BELAJAR 5E UNTUK MENINGKATKAN
AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR FISIKA KELAS VIII.C SMP
NEGERI 4 WOHA TAHUN PELAJARAN 2014/2015
NUR ISTIQAMAH, & NURMI
EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TIPE
JIGSAW TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR
FISISKA SISWA KELAS VIII.B SMP NEGERI 4 MONTA
TAHUN PELAJARAN 2014/2015
AGUSTINASARI, M.PD.SI & RAHMAT HIDAYAT
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA
MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE TIPE
SCRIPT PADA SISWA KELAS VII F SMP NEGERI 1
MADAPANGGA KABUPATEN BIMA TAHUN 2014/2015
GUFRAN.M.Pd & NURWAHDANIAH
PENERAPAN MODEL PEMBELAJAN THINK TALK WRITE
(TTW) UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL
BELAJAR SISWA KELAS VIII8 SMP NEGERI I WOHA TAHUN
PELAJARAN 2014/2015
ISMIATI
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TWO
STAY TWO STRAY (TSTS) UNTUK MENINGKATKAN
PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VIII7 SMPN 1
WOHA TAHUN PELAJARAN 2014/2014.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
YUS’IRAN, S.SI., M.Pd. & HAJNANG.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
PENERAPAN METODE PENEMUAN TERBIMBING
DALAM PEMBELAJARAN PERSEGI PANJANG
Sudarsono
Dosen matematika STKIP Bima
Abstract
The objective of study was to discript the steps applications of guided discovery
method. This study uses participant action research based on qualitative approach. The
subject of the study is nine third level students of SD Negeri Bolo 1. The students, are
divided into: tZree clever students, tZree average students, and tZree low students. The
result of the study shows that the use of guided discovery method can train students to
read carefully, train students to think critically and creatively, increase students self
confidence, make students responsible to their job, make students fun.
Key word: guided discovery method, rectangle characteristics
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi berjalan begitu cepat. Hal
ini akan diikuti oleh derasnya arus
informasi dan perubahan yang terus
menerus dalam kehidupan. Untuk
menghadapi perubahan tersebut, dunia
pendidikan khususnya pendidikan
matematika bertujuan: (1)
mempersiapkan siswa agar sanggup
menghadapi perubahan keadaaan dalam
kehidupan dan dunia yang selalu
berkembang melalui latihan bertindak
atas dasar pemikiran logis, rasional,
kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien;
dan (2) mempersiapkan siswa agar
dapat menggunakan matematika dan
pola pikir matematika dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan (Depdikbud,
1993:7).
Kenyataannya, pembelajaran
matematika saat ini masih jauh dari
pencapaian tujuan tersebut.
Pembelajaran matematika cenderung
pada pencapaian target kurikulum dan
menghafalkan konsep-konsep
matematika (Marpaung, 1998: 240-
241). Schoenfeld (dalam Yuwono,
2001:2) mengatakan bahwa kebanyakan
guru masih menggunakan metode
konvensional dan menggunakan buku
ajar sebagai resep yang siap saji.
Padahal pembelajaran yang demikian
ditengarai mengakibatkan siswa hanya
bekerja secara prosedural dan
memahami matematika tanpa penalaran.
Karena itu, perlu suatu upaya untuk
mengembalikan pembelajaran
matematika pada tujuan semula serta
untuk meningkatkan penalaran dan
kecerdasan siswa.
Metode penemuan merupakan
salah satu metode yang dapat
meningkatkan penalaran dan kecerdasan
siswa karena memberi kesempatan
siswa secara kritis belajar menemukan
pengetahuan dan mengkonstruksikan
fakta atau gagasan yang mereka lihat,
mereka dengar atau mereka temui.
Dengan metode penemuan, siswa
mendapatkan kesempatan menemukan
sendiri pengetahuan yang sedang
dipelajari. Untuk memperoleh
pengetahuan, siswa melakukan aktivitas
baik secara intelektual maupun fisik,
sehingga pembelajarannya bersifat
“learning by doing”.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
Paeru (1987:153) berpendapat
bahwa dengan metode penemuan siswa
akan mempunyai kemampuan berpikir
kritis, kemampuan menerapkan suatu
konsep ke dalam situasi lain,
kemampuan menarik kesimpulan secara
tepat, pembentukan kebiasaan belajar
mandiri dan sebagainya. Hudojo
(1983:21-23) msembilaMbahkan bahwa
keuntungan utama metode penemuan
adalah mengajak siswa berpikir dan
belajar bagaimana belajar itu serta
mengurangi perasaan bosan dalam
belajar matematika.
Pemilihan materi geometri
(khususnya sifat-sifat persegi panjang)
untuk diajarkan dengan metode
penemuan terbimbing didasarkan alasan
bahwa pembelajaran geometri mampu
melatih siswa berpikir logis
(Ruseffendi,1988: 188). Tetapi, hasil
pembelajaran geometri selama ini
belum melatih siswa berpikir kritis,
bahkan dalam beberapa kasus
menghasilkan hafalan. Karena itu,
metode penemuan terbimbing yang
berdasarkan pendekatan induktif dapat
digunakan pada geometri yang
berkembang antara lain secara empiris
induktif.
Penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran langkah-langkah
penerapan metode penemuan
terbimbing dalam pembelajaran persegi
panjang pada siswa kelas V SD Negeri
Bolo 1.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan di SD
Negeri Bolo 1. Subjek penelitian
sebanyak sembilan siswa kelas V yang
dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
KA, KS, dan KB.
Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif dengan
jenis penelitian tindakan partisipan.
Dalam penelitian ini, peneliti menyusun
kerangka pelaksanaan metode
penemuan terbimbing sebelum
memberikan tindakan berupa
pembelajaran persegi panjang. Sebagai
instrumen utama dalam penelitian ini,
peneliti bertindak sebagai pengamat,
pewawancara, dan pemberi tindakan.
Data dikumpulkan dengan
menggunakan teknik tes, wawancara,
observasi, dan pencatatan kegiatan
lapangan. Data yang dikumpulkan
adalah sebagai berikut.
1. Jawaban siswa pada tes prasyarat,
tes awal, LKS, latihan, dan tes
akhir.
2. Transkrip wawancara peneliti
dengan subjek penelitian.
3. Hasil pengamatan aktivitas guru dan
siswa.
4. Hasil catatan lapangan.
Data yang terkumpul diperiksa
dengan teknik triangulasi. Teknik
triangulasi yang digunakan adalah: (1)
membandingkan dan mengecek ulang
data dari metode yang berbeda yaitu
membandingkan data hasil pekerjaan
siswa dengan hasil wawancara, hasil
pengamatan, dan hasil catatan lapangan;
dan (2) membandingkan data dari
sumber yang berbeda pada metode yang
sama yaitu membandingkan data hasil
pengamatan peneliti dengan hasil
pengamatan guru kelas V dan teman
sejawat. Selanjutnya, data dianalisis
dengan teknik analisis data kualitatif
yang dikembangkan oleh Miles dan
Huberman (1991:18), yaitu mereduksi
data, menyajikan data, dan menarik
kesimpulan serta verifikasi.
Penelitian dilakukan dalam dua
tahap, yaitu pendahuluan dan tindakan.
Kegiatan pada tahap pendahuluan
adalah: (a) mengadakan pertemuan awal
dengan kepala sekolah dan guru kelas
V, (b) melaksanakan tes awal, (c)
melakukan pembelajaran materi
prasyarat, dan (d) menentukan sembilan
subjek penelitian.
Tahap tindakan terbagi dalam 4
bagian, yaitu: (a) perencanaan, (b)
pelaksanakan tindakan, (c) pemantauan,
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
dan (d) refleksi. Pada bagian
perencanaan dilakukan kegiatan (1)
menyusun rancangan pembelajaran
dengan metode penemuan terbimbing,
(2) menyusun lembar kerja siswa (LKS)
(3) menyusun soal-soal latihan dan
evaluasi , (4) menyusun lembar
observasi.
HASIL PENELITIAN
1. Tahap Pendahuluan (Pra
Tindakan)
Sebelum melakukan tindakan,
peneliti melaksanakan tes awal dan
wawancara dengan guru kelas V di SD
Negeri Bolo 1. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa: (a) guru
menganggap materi aritmetika lebih
mudah diajarkan dari pada materi
geometri; (b) guru melaksanakan
pembelajaran matematika dengan
memberikan contoh penyelesaian soal
disertai latihan; dan (c) materi prasyarat
yang pernah dipelajari siswa adalah: (1)
pengukuran panjang dalam satuan
centimeter, (2) pengertian sudut siku-
siku, (3) macam-macam segitiga, (4)
pengertian sejajar, (5) pengertian
diagonal, dan (5) pengertian kongruen.
Jawaban siswa pada tes awal
memberikan informasi berikut ini.
a. Siswa telah mempelajari materi
prasyarat, tetapi pemahaman siswa
kurang baik dan belum memadai
sebagai bekal mengikuti
pembelajaran dengan metode
penemuan terbimbing.
b. Pada umumnya siswa mengenal
gambar persegi panjang dan persegi
yang letaknya sisi-sisinya tegak,
sedangkan yang letak sisi-sinya
miring kurang dipahami.
c. Siswa tidak dapat menyebutkan ciri-
ciri persegi panjang dan persegi.
Hasil tes di atas menunjukkan
bahwa siswa kurang memahami materi
prasyarat sehingga belum dapat
mengikuti pembelajaran sifat-sifat
persegi panjang dengan metode
penemuan terbimbing. Karena itu,
peneliti melaksanakan pembelajaran
materi prasyarat. Pembelajaran
prasyarat dilaksanakan tiga kali.
2. Tahap Tindakan
a. Pelaksanaan Tindakan Siklus 1
Pada siklus 1, peneliti
memberikan tindakan berupa
pembelajaran persegi panjang dengan
metode penemuan terbimbing.
Pembelajaran siklus 1 diawali guru
dengan menanyakan materi prasyarat
yang berkaitan dengan sifat-sifat persegi
panjang yaitu: sudut siku-siku, segitiga
siku-siku, sisi, diagonal, kesejajaran
sisi, sisi berhadapan/berdekatan, dan
kongruensi bangun. Selanjutnya, guru
mengemukakan topik pembelajaran
yaitu sifat-sifat persegi panjang. Guru
memotivasi siswa dengan mengatakan
“Mengapa bangun persegi panjang
harus kita pelajari? (diam sejenak
menunggu jawaban siswa, tetapi tidak
ada siswa yang menjawab). Di sekitar
kita banyak terdapat benda-benda yang
berbentuk persegi panjang. Kalau kita
mengenalnya dengan baik, maka kita
dapat memanfaatkannya Karena itulah,
hari ini kita akan membicarakan sifat-
sifat persegi panjang”. Setelah itu, guru
menanyakan apakah di dalam kelas
terdapat benda yang memiliki bentuk
persegi panjang. Tr menjawab “ada”
dan menunjuk papan tulis. Guru
menanyakan kepada siswa lain
“Bagaimana pendapat kalian dengan
jawaban Tr tadi? Apa ada yang tidak
setuju atau punya jawaban lain”. Mb
menanggapi pertanyaan guru dengan
membenarkan jawaban Tr, sedangkan
PI memberikan contoh lain yaitu
jendela.
Kegiatan berikutnya, guru
membagikan satu kantong plastik yang
berisi benda tiruan (model) persegi
panjang dan meminta siswa
memisahkan bangun persegi panjang
dari bangun-bangun lain. Siswa tampak
senang memilah-milahkan model
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
persegi panjang dan dapat mengerjakan
tugas ini dengan baik. Kemudian guru
membagikan selembar kertas yang
berisi gambar bangun datar dan
meminta siswa memilih gambar yang
merupakan bangun persegi panjang.
Siswa menyebutkan gambar persegi
panjang secara bergantian. Pada
kegiatan ini, tidak ada siswa yang salah
menunjukkan gambar bangun persegi
panjang.
Kegiatan dilanjutkan dengan
meminta siswa mengambil salah satu
model persegi panjang kemudian
menjiplaknya di kertas kosong yang
telah dibagikan guru. Semua siswa
menggambar bangun persegi panjang
dengan posisi horizontal. Tidak ada
siswa yang menggambar persegi
panjang dengan letak sisi-sisinya
miring. Guru menunjukkan satu per satu
gambar siswa kepada semua siswa dan
menanyakan apakah gambar yang
dibuat temannya merupakan gambar
persegi panjang. Kadang-kadang guru
memiringkan kertas agar gambar
persegi panjang tampak dalam posisi
miring. Ketika melihat gambar persegi
panjang dalam posisi miring, siswa
memperhatikan gambar agak lama
sebelum menjawab bahwa gambar
tersebut adalah persegi panjang.
Setelah siswa memahami gambar
persegi panjang dalam berbagai posisi,
guru menanyakan “Ciri-ciri atau sifat-
sifat apa saja yang dimiliki bangun
persegi panjang?”. PI mengatakan
bahwa persegi panjang adalah bangun
yang dua sisinya sama panjang. Guru
menanggapi jawaban PI dengan
menunjukkan gambar jajar genjang dan
menanyakan apakah itu persegi
panjang. PI dan siswa yang lain
mengatakan “bukan”. Kemudian guru
menanyakan kembali, “Jadi persegi
panjang itu yang bagaimana?”
Siswa mulai mendiskusikan
pertanyaan guru dengan teman yang
duduk di dekatnya. Setelah 5 menit
berlalu dan belum ada siswa yang dapat
menjawab pertanyaan, guru mengatakan
bahwa ia mempunyai sebuah buku
cerita (yang dimaksud adalah LKS)
tentang bangun persegi panjang. Untuk
mengenal persegi panjang secara
mendalam, siswa dipersilakan membaca
dan mengisi teka-teki (pertanyaan) pada
buku cerita yang akan dibagikan.
Guru membagikan LKS dan
memberi kesempatan siswa
mengerjakan soal-soal dalam LKS
secara individual. Model LKS kali ini
berbeda dengan yang biasa digunakan,
sehingga siswa harus membaca setiap
bagian dengan teliti. Supaya dapat
menjawab pertanyaan, siswa harus
melakukan aktivitas, misalnya:
mengamati, mengukur atau
membandingkan.
Berdasarkan jawaban siswa pada
LKS individual diperoleh informasi
bahwa hampir semua siswa mengalami
kesulitan menemukan sifat-sifat persegi
panjang. Ada siswa yang dapat
menemukan satu atau dua sifat saja
tetapi ada pula yang sama sekali tidak
dapat menemukan sifat persegi panjang.
Kegagalan ini disebabkan siswa
kesulitan menyimpulkan hubungan
antara 2 jawaban.
Pembelajaran dilanjutkan dengan
kegiatan mengisi LKS secara
kelompok. Sebelum kegiatan kelompok,
guru menjelaskan cara membuat
kesimpulan supaya siswa dapat
menemukan sifat-sifat persegi panjang.
Pengamatan terhadap kegiatan
kelompok menunjukkan bahwa: (a) KA
(Tr, PI, Zr) bekerja sama dengan baik
dalam menyelesaikan tugas kelompok;
(b) pada KS, Vr kurang berpartisipasi,
sedangkan Yn dan Mb bekerja sama
dengan baik; dan (c) pada KB, Mf
berusaha mendominasi semua kegiatan,
Ar lebih suka mencari kesibukan
sendiri, dan Dn berusaha berpartisipasi
untuk menyelesaikan tugas kelompok.
Dengan kondisi yang demikian, peneliti
membantu KB membuat pembagian
tugas pada anggota kelompok dan lebih
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
banyak meluangkan waktu untuk
mengamati, memperhatikan, dan
memotivasi KB.
Setelah siswa selesai mengisi
LKS secara kelompok, kegiatan belajar
dilanjutkan dengan pembelajaran
klasikal yaitu membahas hasil kerja
kelompok. Guru meminta siswa
menjawab pertanyaan dalam LKS
secara bergantian. Dalam diskusi kelas,
tampak siswa masih kesulitan
menemukan sifat-sifat persegi panjang.
Karena itu, jawaban yang merupakan
sifat-sifat persegi panjang dituliskan
guru di papan tulis kemudian siswa
menuliskan di buku catatan.
Sampai akhir pembelajaran,
siswa tampak masih kesulitan
menemukan sifat-sifat persegi panjang.
Karena itu peneliti mengadakan
wawancara untuk mengetahui kesulitan
siswa dalam menemukan sifat-sifat
persegi panjang. Wawancara
dilaksanakan secara individual di luar
kegiatan pembelajaran. Wawancara
dimulai dengan menanyakan kembali
pertanyaan yang dijawab salah oleh
siswa. Apabila pada suatu bagian
(misalnya bagian A3) tidak terdapat
kesalahan, maka guru menanyakan cara
siswa mendapatkan jawaban tersebut.
Apabila siswa kesulitan menjawab
pertanyaan (terutama pada penemuan
sifat-sifat persegi panjang), guru
memberikan bimbingan melalui tanya
jawab dan bukan memberitahukan
jawaban secara langsung (mendikte).
Jadi, untuk mengetahui sifat-sifat
persegi panjang, siswa harus
menemukannya sendiri.
Selama mengamati kegiatan
pengisian LKS dan pemberian
bimbingan individual, peneliti melihat
beberapa kekurangan dalam
penyusunan LKS. Karena itu perlu
dilakukan perbaikan pada LKS materi
persegi panjang dan digunakan sebagai
acuan dalam penyusunan LKS materi
persegi.
Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa pada awal pembelajaran guru
sering melihat siswa yang mencoba
bekerja sama atau mencocokkan
jawaban dengan siswa lain atau yang
dianggap pandai di kelas. Tetapi pada
akhir pembelajaran tampak bahwa
siswa-siswa tersebut mulai percaya akan
kemampuannya sendiri. Siswa lebih
senang mengerjakan sesuai dengan
kemampuannya. Selama pembelajaran
mereka tampak senang dan seolah-olah
tugas-tugas yang demikian banyaknya
tidak membuat mereka bosan.
b. Pelaksanaan Tindakan Siklus 2
Siklus 2 merupakan
pembelajaran persegi dengan metode
penemuan terbimbing. Pembelajaran
siklus 2 diawali dengan menanyakan
kembali sifat-sifat persegi panjang.
Guru mengatakan bahwa hari ini akan
dipelajari bangun datar persegi dengan
cara seperti pada pembelajaran persegi
panjang. Guru juga menjelaskan
pengertian bangun segitiga sama kaki,
segitiga sama sisi, dan segitiga
sembarang.
Setelah itu, guru mengatakan
bahwa siswa telah mengenal bangun
persegi sejak kelas I dan benda-benda
yang memiliki bentuk persegi terdapat
di sekitar siswa. Yang akan dilakukan
hari ini adalah mencari sifat-sifatnya.
Karena itu, kegiatan yang akan
dilakukan sama seperti mencari sifat-
sifat persegi panjang. Guru
melanjutkan dengan pertanyaan apakah
ada yang dapat menyebutkan contoh
benda yang berbentuk persegi yang
terdapat di dalam kelas. Siswa melihat
sekelilingnya lalu PI menunjuk dan
menjawab “ubin”. Pandangan semua
siswa tertuju pada benda yang ditunjuk
PI, kemudian Dn berkomentar “O iya
Bu”.
Kegiatan berikutnya, guru
membagikan satu kantong plastik yang
berisi benda tiruan persegi panjang dan
menanyakan berapa banyak bangun
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
persegi yang terdapat pada kantong
tersebut. Siswa mengeluarkan benda-
benda tiruan itu kemudian memilah-
milahkan benda-benda yang berbentuk
persegi. Setelah semua benda berbentuk
persegi terkumpul menjadi satu, siswa
menunjukkan kepada guru. Semua
siswa dapat mengelompokkan bangun
persegi dengan benar. Selanjutnya guru
membagikan selembar kertas yang
berisi gambar-gambar bangun datar dan
meminta siswa menyebutkan gambar
yang merupakan bangun persegi. Siswa
menyebutkan gambar persegi secara
bergantian dan guru selalu menanyakan
kebenaran jawaban siswa kepada siswa
yang lain. Pada kegiatan ini, tidak ada
siswa yang salah menunjukkan gambar
bangun persegi.
Kegiatan dilanjutkan dengan
guru meminta siswa mengambil salah
satu benda tiruan berbentuk persegi
kemudian menjiplaknya pada kertas
kosong yang telah disediakan guru.
Semua siswa menggambar bangun
persegi dengan posisi yang lebih
bervariasi. Beberapa siswa menggambar
persegi lebih dari satu dengan posisi
yang lebih artistik. Setelah semua
gambar yang dibuat siswa terkumpul,
guru menunjukkan satu per satu gambar
tersebut kepada semua siswa dan
menanyakan apakah gambar yang
dibuat temannya sudah benar.
Selanjutnya, guru meminta siswa
menggambil sebuah benda tiruan
persegi panjang dan sebuah persegi.
Siswa diminta mengamati dan
membandingkan kedua benda tersebut.
Berdasarkan pengamatannya, Zr
mengatakan bahwa sisi persegi panjang
ada yang lebih panjang, sedangkan sisi-
sisi persegi sama panjang. Vr
mengatakan bahwa persegi dan persegi
panjang mempunyai 4 sudut siku-siku.
Setelah itu guru membagikan
LKS untuk dikerjakan secara individual.
Pengisian LKS materi persegi lebih
cepat daripada yang direncanakan,
sehingga pembelajaran dilanjutkan
dengan pengisian LKS secara
kelompok. Pengisian LKS secara
kelompok juga dilakukan dengan cepat
oleh semua kelompok. Masing-masing
kelompok dapat bekerja sama dengan
baik dalam menyelesaikan tugas
kelompok dan tidak tampak adanya
siswa yang mendominasi atau pasif
dalam kegiatan kelompok. Masing-
masing anggota kelompok mengerti dan
bertanggung jawab terhadap tugas
tersebut. Setelah siswa selesai mengisi
LKS secara kelompok, kegiatan
dilanjutkan dengan pembelajaran
klasikal yaitu membahas hasil kerja
kelompok. Pada pembelajaran klasikal,
siswa dapat berinteraksi dan
mengkomunikasikan hasil kerja
kelompok dengan baik. Kesimpulan
akhir dituliskan siswa secara secara
bergantian di papan tulis kemudian
disalin di buku catatan masing-masing.
PEMBAHASAN
Tahap Pendahuluan (Sebelum
Tindakan)
Hasil tes awal menunjukkan
bahwa secara umum siswa kurang
memahami materi prasyarat. Hal ini
ditunjukkan antara lain siswa: (1) tidak
mengenali gambar sudut siku-siku
dalam posisi miring, (2) mengetahui
besar sudut siku-siku adalah 900 tetapi
tidak mengetahui alat pengukur besar
sudut, (3) tidak dapat mengukur sudut,
(4) menentukan sisi-sisi yang sama
panjang dengan cara melihat (tidak
mengukur), dan (5) menentukan sudut
siku-siku dengan cara melihat.
Kurangnya pemahaman siswa
tersebut disebabkan siswa mempelajari
materi dengan cara menerima informasi
(penjelasan guru) kemudian menghafal.
Cara yang demikian mengakibatkan: (a)
siswa siswa tidak terbiasa/trampil
melakukan aktivitas ilmiah seperti
mengukur dan membandingkan; dan (2)
materi yang dipelajari cepat dilupakan.
Seperti pendapat Ausubel (Hudojo,
1988:62) bahwa belajar dengan
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
menghafal akan membuat siswa tidak
dapat mengaitkan informasi yang
diperoleh ke dalam struktur
kognitiYnya, sehingga informasi itu
tidak dapat diendapkan dan siswa hanya
dapat mengingat fakta-fakta yang
sederhana.
Pembelajaran Siklus 1
Pada awal kegiatan, semua siswa
dapat menemukan bangun persegi
panjang di antara sekumpulan bangun
datar lain. Keberhasilan ini dipengaruhi
penggunaan benda-benda tiruan dari
kertas asturo dan gambar berwarna-
warni. Penggunaan alat bantu
menyebabkan kegiatan siswa berbeda
dengan pada pembelajaran
konvensional yang jarang menggunakan
alat-alat konkret dan memaksa siswa
untuk mendengarkan ceramah guru.
Dengan alat-alat tersebut, siswa dapat
melakukan aktivitas belajar yang lebih
bervariasi, misalnya: mengamati,
memilih, dan memindahkan. Kegiatan
yang bervariasi akan mengurangi
kebosanan dan membuat siswa senang
serta bersemangat untuk belajar.
Sehubungan dengan hal ini, Sudjana
(1990:2) mengatakan bahwa
penggunaan alat bantu/media
pembelajaran dapat membuat
pembelajaran menjadi lebih menarik
sehingga menumbuhkan motivasi
belajar dan metode mengajar lebih
bervariasi sehingga siswa tidak bosan.
Selanjutnya, siswa menjiplak
model persegi panjang dengan posisi
yang sama (horizontal). Selain itu,
siswa sulit mengenali gambar persegi
panjang dalam posisi miring. Hal ini
menunjukkan bahwa pada pembelajaran
sebelumnya siswa kurang mendapatkan
contoh yang bervariasi. Contoh-contoh
yang diberikan bersifat monoton,
sehingga dalam pikiran siswa terbentuk
pengertian yang belum utuh. Siswa
menganggap persegi panjang hanya
seperti yang dicontohkan guru (yang
letaknya horizontal). Karena itu,
contoh-contoh yang disajikan
hendaknya lebih bervariasi sehingga
membentuk pengertian yang lebih luas
dan mewadahi konsep persegi panjang
yang sesungguhnya.
Kegiatan inti pembelajaran
penemuan dimulai dengan pemberian
masalah dalam bentuk LKS. Beberapa
kesalahan menjawab pertanyaan
pengarah disebabkan siswa kurang
teliti, belum memahami maksud LKS,
atau belum memahami materi prasyarat
dengan baik. Kesalahan Dn menjawab
pertanyaan tentang sisi yang
berhadapan/berdekatan disebabkan ia
belum memahami materi tersebut
sampai akhir pembelajaran prasyarat.
Hal ini seperti dikemukakan Hudojo
(1990:4) bahwa mempelajari konsep B
yang mendasarkan pada konsep A,
seseorang perlu memahami konsep A
lebih dahulu.
Yn dan Ar kurang teliti
membaca petunjuk, sehingga beberapa
jawaban pertanyaan pengarah tidak
sesuai dengan yang diharapkan.
Kesalahan Dn disebabkan kurang
memahami maksud pertanyaan, tetapi ia
tidak berusaha menanyakannya kepada
guru. Kesalahan Yn dan Ar
menunjukkan bahwa siswa belum
terbiasa dengan budaya membaca.
Budaya membaca tidak dapat
berkembang dengan baik karena
terpasung oleh perintah-perintah yang
diberikan secara lisan melalui
penggunaan metode ceramah yang terus
menerus. Kesalahan Dn disebabkan
oleh dominasi guru pada penggunaan
metode ceramah. Pada pembelajaran
dengan metode ceramah, guru aktif
memberi penjelasan sedangkan siswa
bersikap pasif yaitu mendengarkan dan
mengingat (menghafal).
Pada umumnya kegagalan siswa
dalam menemuan sifat-sifat persegi
panjang berpangkal pada kesulitan
membuat kesimpulan atau mencari
hubungan dua masalah. Siswa belum
mengerti cara membuat kesimpulan.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
Hal ini disebabkan siswa terbiasa
menerima informasi yang sudah jadi
dari guru dan hanya menirukan
langkah-langkah penyelesaian soal
seperti yang dicontohkan guru.
Pembelajaran semacam ini akan
mengarahkan siswa bekerja secara
mekanik, sekedar mengingat tanpa
adanya pengertian. Hal ini sesuai
dengan pendapat Schoenfeld (dalam
Yuwono, 2001:2) yang mengatakan
bahwa penggunaan buku ajar sebagai
resep yang siap disajikan kepada
siswanya ditenggarai mengakibatkan
siswa hanya bekerja secara prosedural
dan memahami matematika tanpa
penalaran.
Pada akhir kegiatan klasikal,
bimbingan diberikan secara individual
sesuai dengan kesulitan yang dialami
siswa. Siswa-siswa KA lebih cepat
memahami bimbingan yang diberikan,
sedangkan siswa-siswa KB memerlukan
bimbingan yang lebih banyak. Bell
(1981:511) mengatakan bahwa siswa
berbakat dapat membuat penemuan
matematika dengan sedikit bantuan dari
guru, tetapi siswa yang lambat belajar
memerlukan petunjuk langsung atau
intervensi guru yang lebih banyak.
Pelaksanaan bimbingan
individual kepada sembilan siswa
memerlukan waktu yang cukup banyak.
Dengan demikian, penggunaan metode
ini secara terus menerus di sekolah
umum yang rata-rata mempunyai empat
puluh siswa dengan kemampuan yang
heterogen akan memakan waktu yang
cukup banyak dan belum tentu siswa
dan guru tetap bersemangat. Ausubel
(dalam Bell, 1981:132) berpendapat
bahwa pembelajaran penemuan adalah
strategi yang tidak efisien dan tidak
dapat digunakan sering-sering di
sekolah. Marks (1988:19)
msembilaMbahkan bahwa tidak semua
materi matematika dapat dikuasai
dengan metode penemuan. Jika
mungkin, tidak tersedia waktu yang
cukup untuk menggunakan metode
secara eksklusif. Hudojo (1984:7)
mengatakan kekurangan metode
penemuan yaitu: (1) memerlukan waktu
yang cukup banyak dan belum dapat
dipastikan siswa akan tetap bersemangat
menemukan; dan (2) tidak semua guru
mempunyai semangat menggunakan
metode ini, terutama yang pekerjaannya
“sarat muatan”.
Pada akhir pembelajaran
diadakan evaluasi. Hasil evaluasi dan
wawancara menunjukkan bahwa siswa
dapat: (1) menemukan sifat-sifat persegi
panjang; (2) menunjukkan bangun
persegi panjang dan bukan persegi
panjang disertai alasan; dan (3)
menyelesaikan soal cerita. Soal cerita
merupakan soal yang paling sulit di
antara semua tes yang diberikan.
Walaupun demikian, kebanyakan siswa
dapat mengerjakan soal tersebut dengan
baik dan tiga siswa (Tr, Mb, Ar) dapat
mengerjakan tes 6 ini tanpa kesalahan.
Ketiganya secara berturut-turut
mewakili KA, KS, dan KB. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran
dengan metode penemuan membantu
pengembangan sifat ilmiah sehingga
siswa dapat mentransfer
pengetahuannya ke dalam berbagai
konteks. Seperti dikatakan Hudojo
(1984:7), keuntungan penerapan metode
penemuan antara lain: memungkinkan
pengembangan sifat ilmiah dan terbukti
bahwa siswa yang memperoleh
pengetahuan melalui metode ini lebih
mampu menstransfer pengetahuannya
ke berbagai konteks.
Pembelajaran Siklus 2
Pada pembelajaran persegi,
siswa menjiplak bangun persegi secara
bervariasi, ada yang letak sisi-sisinya
tegak dan ada pula yang miring, ada
pula yang menjiplak lebih dari satu
bangun dan disusun sedemikian rupa
sehingga menyerupai sebuah hiasan.
Hal ini menunjukkan bahwa siswa lebih
kreatif menanggapi tugas yang
diberikan guru dan menerapkan
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
pengetahuannya untuk kepentingan
sehari-hari. Sehubungan dengan hal
tersebut, Hudojo (1984:7) mengatakan
bahwa salah satu keuntungan metode
penemuan adalah siswa lebih mampu
menstransfer pengetahuannya ke
berbagai konteks. Paeru (1987:153)
juga sependapat bahwa metode
penemuan dapat membekali siswa
dengan kemampuan berpikir kritis dan
kemampuan menerapkan suatu konsep
ke dalam situasi lain.
Ketika guru menugasi siswa
mengamati dan membandingkan
bangun persegi panjang dan persegi, Zr
dan Vr dapat menyimpulkan perbedaan
dan persamaan keduanya dengan tepat.
Kemampuan Zr dan Vr ini dipengaruhi
oleh pengalaman belajar yang lalu
dalam penemuan sifat-sifat persegi
panjang. Hal ini sesuai dengan pendapat
Bruner (dalam Amin, 1987:133-134)
bahwa belajar penemuan dapat
membantu siswa menggunakan daya
ingat dan transfer pada situasi-situasi
proses belajar yang baru. Dalam hal
ketepatan membuat kesimpulan Paeru
(1987:153) berpendapat bahwa dengan
metode penemuan siswa akan
mempunyai kemampuan berpikir kritis
dan kemampuan menarik kesimpulan
secara tepat.
Selama mengerjakan LKS, siswa
lebih santai dan menyiapkan sendiri
alat-alat yang diperlukan. Siswa dapat
mengorganisasikan dan bertanggung
jawab terhadap kegiatan belajarnya
sendiri. Sebagaimana dikemukakan
Prawironegoro (1980:5-6), belajar
penemuan melatih siswa lebih banyak
belajar sendiri. Jadi siswa melibatkan
“aku”-nya dan memotivasi diri sendiri
untuk belajar.
Selain itu, tidak ada siswa yang
menanyakan atau mendiskusikan
jawabannya dengan siswa lain karena
mereka percaya pada kemampuannya
sendiri. Rasa percaya diri, terutama bagi
siswa berkemampuan rendah, dapat
memacu semangat belajar sehingga
siswa dapat berprestasi lebih baik.
Siswa juga tampak senang ketika
mengerjakan LKS. Bahkan ada siswa
yang mengerjakan LKS sambil
bersenandung. Biggs (dalam Orton,
1993:89) mengatakan bahwa metode
penemuan merupakan cara terbaik
memberi kesenangan nyata anak kepada
matematika.
Jawaban siswa pada LKS
individual dan kelompok menunjukkan
bahwa semua siswa dapat menemukan
sifat-sifat persegi. Demikian juga dalam
presentasi hasil kerja kelompok, siswa
lebih aktif mengemukakan pendapat
dengan disertai alasan, sehingga guru
tidak perlu lagi membantu siswa
merumuskan kesimpulan. Kondisi ini
menunjukkan bahwa siswa dapat
mengerti dan memahami langkah-
langkah pembelajaran yang harus
mereka lakukan. Banyaknya hambatan
pada pembelajaran siklus 1 disebabkan
karena siswa belum terbiasa dengan
pembelajaran penemuan. Paeru (1987),
Chotimah (1995), dan Perdata (2002)
mengatakan bahwa salah satu faktor
yang diduga menjadi penyebab
kegagalan pembelajaran penemuan pada
penelitian mereka adalah siswa belum
terbiasa dengan metode penemuan.
Secara umum, pembelajaran
dengan metode penemuan memerlukan
waktu yang relatif lama. Pada penelitian
ini, pembelajaran siklus 2 berlangsung
lebih cepat daripada pembelajaran
siklus 1 karena siswa telah memahami
maksud pertanyaan-pertanyaan dalam
LKS dan langkah-langkah penemuan.
Seperti dikemukakan Hudojo (1990:3)
bahwa penggunaan metode penemuan
ini hanya sulit pada permulaannya,
tetapi selanjutnya dapat membantu
siswa belajar lebih cepat menemukan
sendiri apa yang tidak diketahui.
Pada akhir pembelajaran siklus 2
diberikan latihan dan tes akhir. Selama
mengerjakan latihan dan evaluasi, siswa
tampak senang dan tidak menganggap
tugas tersebut sebagai beban berat.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
Siswa mengerjakan soal dengan cara
mereka sendiri, menyiapkan alat-alat
yang diperlukan, mengerjakan soal
sambil bersenandung. Tidak tampak ada
siswa yang berusaha menanyakan atau
mendiskusikan jawaban. Siswa percaya
bahwa mereka mampu menyelesaikan
soal-soal tersebut tanpa bantuan orang
lain (temannya). Hal ini menunjukkan
bahwa penggunaan metode penemuan
tidak hanya dapat membangun
pemahaman suatu pengetahuan secara
bermakna, melainkan dapat membangun
dan msembilaMbah kepercayaan diri
siswa dan mendidik siswa bertanggung
jawab atas tugas mereka sendiri.
Hasil evaluasi dan wawancara
menunjukkan bahwa semua siswa
dapat: (1) menemukan sifat-sifat
persegi; (2) menunjukkan bangun
persegi panjang dan bukan persegi
panjang disertai alasan; (3)
menyelesaikan soal cerita. Soal cerita
berkaitan dengan penerapan
pengetahuan tentang sifat persegi
sebagai pemecah masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Kemampuan
siswa menyelesaikan soal cerita
menunjukkan bahwa mereka dapat
menggunakan pengetahuannya untuk
mengatasi masalah yang dihadapinya.
Hal ini sesuai pendapat Hirdjan (dalam
Paeru, 1987:36) bahwa keuntungan
metode penemuan adalah agar siswa
kelak di kemudian hari tabah
menghadapi persoalan yang baru di
dalam masyarakat dan mampu
memecahkan sendiri atau menemukan
sendiri penyelesaiannya.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan metode penemuan
terbimbing: (a) melatih siswa membaca
dengan teliti, (b) melatih siswa berpikir
kritis dan kreatif; (c) meningkatkan rasa
percaya diri siswa; (e) membuat siswa
bertanggung jawab terhadap tugasnya;
dan (f) memberikan kesenangan kepada
siswa.
Pembelajaran persegi panjang
dilakukan dengan langkah-langkah: (1)
guru menanyakan pengertian materi
prasyarat; (2) siswa mengamati dan
mencari benda di sekitarnya yang
berbentuk persegi panjang; (3) siswa
memilahkan bangun persegi panjang
dari sekumpulan model bangun datar;
(4) siswa menunjukkan gambar persegi
panjang di antara gambar bangun datar;
(5) siswa menjiplak salah satu model
persegi panjang; (6) guru menunjukkan
hasil jiplakan siswa dengan berbagai
posisi; (7) guru menanyakan sifat-sifat
persegi panjang; (8) guru memberikan
LKS untuk dikerjakan secara individual;
(9) guru memberikan LKS untuk
dikerjakan secara kelompok; (10) siswa
mempresentasikan hasil kerja kelompok
dalam forum kelas; dan (11) guru
memberikan bimbingan secara
individual kepada siswa sesuai dengan
tingkat kesulitan yang dialami siswa.
Langkah-langkah pembelajaran
sifat-sifat persegi hampir sama dengan
pembelajaran sifat-sifat persegi panjang.
Perbedaanya terletak pada: (a) langkah
1, guru mengingat kembali sifat-sifat
persegi panjang dan memperkenalkan
segitiga sama kaki, segitiga sama sisi,
dan segitiga sembarang; (b) langkah 7,
siswa mengamati dan membandingkan
model bangun persegi panjang dan
persegi untuk mencari persamaan atau
perbedaannya; dan (c) langkah 11 tidak
diperlukan lagi.
Inti pembelajaran penemuan
terbimbing adalah penggunaan LKS
yang memungkinkan siswa melakukan
penemuan. Adapun alur penemuan
dalam LKS adalah sebagai berikut: (1)
mengamati gambar persegi panjang, (2)
mencacah banyak sisi, (3) mengukur
panjang sisi, (4) menentukan letak sisi,
(5) menentukan kesejajaran sisi-sisinya,
(6) menyimpulkan hubungan antara
letak dan panjang sisinya, (6)
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
menyimpulkan hubungan antara letak
dan kesejajaran sisinya, (7) mencacah
banyak sudut, (8) menentukan jenis
sudut, (9) menyimpulkan hubungan
antara banyak dan jenis sudut, (10)
mencacah banyak diagonal, (11)
menentukan panjang diagonal, (12)
menyimpulkan hubungan antara banyak
dan panjang diagonalnya, (13)
memotong persegi panjang pada salah
satu diagonalnya, (14) menentukan
nama bangun hasil pemotongan
tersebut, (15) menentukan kongruensi
kedua bangun hasil pemotongan, dan
(16) menyimpulkan hasil kegiatan
pemotongan sampai pada bentuk dan
ukuran bangun yang dihasilkan.
Langkah kesembilan tidak dilakukan
pada penemuan sifat-sifat persegi.
DAFTAR RUJUKAN
Amin, Moh. 1987. Mengajarkan Ilmu
Pengetahuan Alam dengan
Menggunakan Metode
“Discovery” dan “Inquiry”.
Jakarta: Depdikbud-Dirjen
Dikti.
Bell, Vrederick H. 1981. Teaching and
Learning Mathematic (In
Secondary Schools). Iowa: Wm.
C. Brown Company Publishers.
Chotimah, Siti. 1995. Pengaruh
Penggunaan Metode Penemuan
Terbimbing dalam Mengajar
Matematika terhadap Hasil
Belajar Peserta Didik SMU
Negeri 2 Kabupaten Lumajang.
Skripsi tidak diterbitkan.
Malang: FPMIPA IKIP Malang
Depdikbud. 1993. Kurikulum
Pendidikan Dasar-GBPP SD
Mata Pelajaran Matematika.
Jakarta: P3G-Depdikbud.
Hudojo, Herman. 1983. Teori Dasar
Belajar Mengajar Matematika.
Jakarta: Dirjen Dikti - P2LPTK.
Hudojo, Herman. 1984. Metode
Mengajar Matematika. Jakarta:
Depdikbud-Dirjen Dikti.
Hudojo, Herman. 1988. Mengajar
Belajar Matematika. Jakarta:
Depdikbud.
Hudojo, Herman. 1990. Strategi
Mengajar Belajar Matematika.
Malang: IKIP Malang.
Marks, John L. Hiatt, Arthur A. dan
Neufeld, Evelyn M. 1988.
Metode Pengajaran Matematika
untuk Sekolah Dasar. Alih
Bahasa: Ir. Bambang Sumantri.
Jakarta: Erlangga.
Marpaung, Y. 1998. Pendekatan Sosio
Kultual dalam Pembelajaran
Matematika dan Sains.
Pendidikan Sains yang
Humanistik (hlm. 239-264).
Yogyakarta: Kanisius.
Miles, Mathew B. and Huberman, A.
Michael. Analisis Data
Kualitatif. diterjemahkan oleh
Tjetjep Rohendi Rohidi. 1992.
Jakarta: Penerbit UI.
Paeru, Ahmad Daud. 1987. Eksperimen
Metode Penemuan dan
Ekspositori dalam Mengajarkan
Komposisi Transformasi di
Kelas II Ilmu-Ilmu Fisika di
SMA Negeri Kodya Ujung
Pandang. Tesis tidak diterbitkan.
Malang: Program Pasca Sarjana
IKIP Malang.
Orton, Anthony. 1993. Learning
Mathematics: Issues, Theory,
and Classroom Practice. New
York: Cassel.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
Perdata, Ida Bagus Ketut. 2002. Studi
Komparasi tentang Efektivitas
Metode Penemuan dan Metode
Ekspositori serta Pengaruh
Metode Penemuan terhadap
Minat dan Motivasi Siswa dalam
Belajar Matematika di Kelas I
Cawu I SMU Negeri 7
Denpasar. Tesis tidak
diterbitkan. Malang: Program
Pasca Sarjana Universitas Negeri
Malang.
Prawironegoro, Pratiknyo. 1980.
Metode Penemuan untuk Bidang
Studi Matematika. Jakarta: P3G
Pdan K.
Sudjana, Nana dan Rivai, Ahmad. 1990.
Media Pengajaran. Bandung:
Rineka Cipta
Russeffendy, E.T. 1988. Pengantar
kepada Membantu Guru
Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika
untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Yuwono, Ipung, 2001. RME (Realistics
Mathematics Educations) dan
Hasil Studi Awal
Implementasinya di SLTP.
Makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional Realistic
Mathematics Education. Jurusan
Matematika-FMIPA UNESA.
Surabaya, 24 Februari.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
PENGEMBANGAN KURIKULUM MATEMATIKA SEKOLAH
Syarifudin
Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Taman Siswa Bima
Abstrak
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
belajar mengajar untuk mencapai tujuan tertentu. Sejalan dengan perubahan jaman,
maka kurikulum yang digunakan harus dikembangakan sesuai dengan perubahan jaman.
Sejalan dengan itu, pada dasarnya pengembangan kurikulum ialah mengarahkan
kurikulum sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan karena adanya berbagai
pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dari dalam sendiri, dengan
harapan agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik.
Akhirnya, perlu kita sadari lebih mendalam bahwa ke depan, jajaran pengelola
pendidikan matematika menghadapi tantangan yang semakin besar dan berat karena
berbagai tuntutan (globalisasi, rea informasi dan demokratisasi kependidikan). Jika kita
tidak ingin terisolasi dari pergaulan dunia tidak ada kata lain, kualitas SDM perlu terus
menerus kita tingkatkan, ini berarti mutu penguasaan matematika dikalangan generasi
mendatang harus dapat sejajar dengan negara maju, dan ini artinya kerja kita harus
semakin efisien dan efektif.
Kata Kunci: Pengembangan, Kurikulum Matematika
A. Pendahuluan
Di negara kita, kurikulum disusun
secara nasional. Setiap sekolah, pada
jenjang dan jenis yang sama
mengunakan kurikulum nasional yang
sama. Kurikulum Sekolah Dasar
misalnya, disusun untuk digunakan
untuk oleh semua SD di seluh
Indonesia. Begitupun kurikulum SMP,
SMA, SMK, dan sekolah-sekolah lain
juga mengunakan kurikulum nasional
yang berlaku untuk semua sekolah jenis
pada tingkat yang sama. Demikian pula
dengan kurikulum matematika sekolah
yang disusun secara nasional. Karena
Indonesia sudah mengunakan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), maka kurikulum yang disusun
secara nasional itu bisa disesuaikan
dengan kondisi sekolah masing-masing.
Pemerintah hanya memberikan rambu-
rambu penyusunan atau pengembangan.
B. Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar untuk mencapai tujuan
tertentu (BSNP,2006). Sedangkan
menurut UU No. 2 Tahun 2000 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional
menggambarkan bahwa kurikulum
disusun untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional dengan
memperhatikan tahap perkembangan
siswa dan kesesuaiannya dengan
lingkungan, kebutuhan pembangunan
nasional, perkembangan iptek serta
jenjang masing-masing satuan
pendidikan.
Pembahasan mengenai kurikulum
dapat ditelaah dari tiga sudut pandang.
Pandangan pertama, berhubungan
dengan aspek teori dan terlukis dalam
kurikulum berdasarkan apa yang
tercantum dalam dokumen tertulis.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
Kurikulum sekolah dalam dokumen
tertulis atau dikenal dengan istilah
intended curriculum memuat tiga hal,
yaitu (1) dokumen yang memuat garis-
garis besar pokok bahasan (SI), (2)
dokumen yang memuat panduan
pelaksanaan pembelajaran, dan (3)
dokumen buku yang memuat panduan
penilaian hasil belajar siswa.
Kurikulum dalam pandangan
kedua tercermin dalam proses
pembelajaran yang dilaksanakan oleh
guru di kelas atau dikenal dengan istilah
implemented curriculum.Kurikulum
dalam pandangan kedua ini pada
hakekatnya adalah pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar termasuk pelaksanaan
penilaian hasil belajar siswa oleh guru.
Sedangkan pandangan ketiga yang
dikenal performanced curriculum
adalah kurikulum yang tercermin dalam
belajar yang dicapai siswa pada akhir
satuan waktu pembelajaran, mulai dari
satuan terkecil yaitu Rencana
Pelakasanaan Pembelajaran (RPP)
sampai dengan satuan terbesar yaitu
satu jenjang pendidikan. Sejalan dengan
ketiga pandangan tersebut maka kualitas
pendidikan matematika pada tiap
jenjang pendidikan dapat ditinjau dari
kualitas kurikulum tertulis dan
relevansinnya dengan pelaksanaan
kurikulum oleh guru, dan hasil belajar
yang dicapai oleh siswa. Kurikulum
dalam dokumen tertulis pada umumnya
disusun oleh para pakar bidang studi,
guru bidang studi yang sejenis yang
telah berpengalaman serta pihak lain
yang berwenang. Betapapun tingginya
kualitas kurikulum dalam dokumen
tertulis tanpa implementasi kurikulum
yang ditampilkan oleh guru dengan
baik, maka kualitas pendidikan yang
tinggi sulit terwujud. Upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan
memerlukan pembahasan yang saling
terkait mengenai ketiga pandangan
kurikulum di atas. Pada saat ini titik
tolak pandangan pada pengkajian
kurikulum tertulis yang tertuang dalam
dokumen Standar Isi (SI), dengan
asumsi bahwa jika SI sudah memadai
dan relevan dari aspek pedagogik,
sequensinya sesuai perkembangan
mental anak, serta mampu
mengakomodir perkembangan iptek
menjadi dasar yang tepat untuk
melakukan implementasi kurikulum di
tingkat satuan pendidikan terutama pada
upaya penyiapan pembekalan
penguasaan proses pembelajaran
matematika oleh guru.
Mengacu pada pembahasan di
atas, fokus pembahasan kurikulum
dapat ditelaah dari tiga aspek, yaitu
Intended Curriculum, Implemented
Curriculum, dan Attained Curriculum.
Secara garis besar kaitan antara ketiga
aspek kurikulum tersebut tergambar
dalam diagram berikut:
Aspek pertama, Intended
Curriculum merupakan muatan dalam
dokumen tertulis yang tercermin dalam
pedoman kurikulum atau SI, Silabus,
RPP, dan buku teks untuk tiap jenjang
satuan pendidikan. Di negara kita,
Intended Curriculum mengandung dua
macam muatan yang bersifat nasional
(Kurikulum Nasional) dan ditetapkan
oleh Mendiknas dan yang bersifat lokal
yang ditetapkan oleh daerah
berdasarkan kondisi dan kebutuhan
daerah yang bersangkutan. Evaluasi
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
mutu pendidikan pada satu jenjang
pendidikan tertentu dapat dilaksanakan
melalui analisis terhadap Intended
Curriculum atau dokumen tertulis
kurikulum pada jenjang yang
bersangkutan.
Aspek kedua, Implemented
Curriculum merupakan kurikulum yang
berlangsung di kelas atau tergambar
dalam kegiatan belajar-mengajar yang
dilaksanakan oleh guru. Dengan kata
lain, Implemented Curriculum
berhubungan dengan kenyataan apa
yang terjadi di kelas atau apa yang
diajarkan guru dan bagaimana cara guru
mengerjakannya.
Aspek ketiga, Attained
Curriculum merupakan kurikulum yang
tercermin dalam hasil belajar siswa baik
bersifat kognitif, afeksi, maupun
psikomotor. Penilaian hasil belajar oleh
pendidik menggunakan berbagai teknik
penilaian berupa tes, observasi,
penugasan perseorangan atau kelompok,
dan bentuk lain yang sesuai dengan
karakteristik kompetensi dan tingkat
perkembangan peserta didik.
Perancangan strategi penilaian oleh
pendidik dilakukan pada saat
penyusunan silabus yang penjabarannya
merupakan bagian dari rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Perlu diketahui bahwa pada
prinsipnya kurikulum sebagaimana
yang dituangkan dalam SI terbuka
peluang untuk mengalami perubahan.
Sejarah perubahan dalam
perkembangan kurikulum kita terlihat
pada perubahan dan penyempurnaan
GBPP 1994 yang melahirkan suplemen
GBPP tahun 1999. Penyesuaian dan
penyempurnaan tersebut didasarkan
pada hasil kajian, penelitian, dan
masukan dari lapangan serta masukan
instansi terkait.
Perubahan dokumen kurikulum dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Suherman, 2003: 69):
1. Membuang pokok bahasan yang
kurang esensial atau kurang
relevan,
2. Menunda pembahasan pada
kelas yang lebih tinggi dan
sebaliknya,
3. Menjadikan materi wajib
menjadi pengayaan dan
sebaliknya,
4. Menambah materi esensial yang
diperlukan,
5. Menata urutan dan distribusi
pokok bahasan, dan
6. Menyempurnakan redaksi
kalimat yang dianggap kurang
jelas.
Secara umum, keberadaan
kurikulum menggambarkan suatu
rencana tentang jenis pengalaman-
pengalaman belajar yang diharapkan
dapat diperoleh peserta didik selama
mengikuti pendidikan di suatu lembaga
pendidikan atau sekolah tertentu. Sosok
rencana itu bisa bermacam-macam,
sesuai dengan pengertian kurikulum
yang dipegang oleh penyusun rencana
itu. Pengertian kurikulum dapat
dikategori ke dalam tiga kelompok,
yaitu: (1) kurikulum diartikan sebagai
rencana pelajaran, (2) kurikulum
diartikan sebagai pengalaman belajar,
dan (3) kurikulum diartikan sebagi
rencana belajar. Kelompok pertama
mengartikan kurikulum sebagai rencana
pelajaran atau bahan-bahan pelajaran
yang harus dipelajari peserta didik
selama mengikuti pendidikan di suatu
sekolah atau perguruan tinggi tertentu,
sebagai syarat untuk memperoleh
ijazah. Kelompok kedua mengartikan
kurikulum sebagai seluruh pengalaman
belajar peserta didik yang diperoleh
selama mengikuti pendidikan di suatu
sekolah tertentu, baik diperoleh dari
dalam maupun dari luar gedung sekolah
itu, atas tanggung jawab sekolah yang
bersangkutan. Kelompok ketiga
mengartikan kurikulum sebagai rencana
belajar di suatu sekolah yang disusun
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
dengan mempertimbangkan teori-teori
psikologi, baik psikologi belajar
maupun psikologi perkembangan
sebagai dasar penyusunannya.
C. Kebijakan Kurikulum Nasional
Secara kronologis dalam sejarah
Indonesia merdeka, pendidikan nasional
kita telah mengunakan bebarapa
kurikulum. Dimulai pada awal
kemerdekaan, kita mengunakan
kurikulum gabungan antara peninggalan
pemerintah Hindia Belanda dan
pendudukan Jepang. Kurikulum
nasional indonesia yang pertama adalah
kurikulum 1947 yang disebut kurikulum
pendidikan di Indonesia, yang
sebenarnya masih banyak dipengaruhi
kurikulum Belanda abad ke-19.
Selanjutnya kurikulum 1964 yang
diterapkan untuk membntuk pendidikan
yang berwatak indonesia untuk
menganti sistem pendidikan
peninggalan kolonial Belanda.
Kurikulum sekolah lanjutan tahun 1964
sangat bercorak politis-idiologis yang
didasarkan atas doktrin demokrasi
terpimpin Sukarno. Selanjutnya terjadi
perubahan politik yang sangat besar
setelah peristiwa G30 S PKI, yaitu
perubahan dari rezim Soekarno ke Orde
Baru-nya Suharto. Kurikulum tahun
1969 mengubah corak kurikulum 1964
tanpa mengurangi prinsip-prinsip
Pancasila. Pendidikan bertujuan untuk
membentuk manusia Pancasila dan
membantu dalam modernisasi ekonomi.
Kurikulum 1969 ini mengurangi isi
politik dan idiologi dari kurikulum
sebelumnya serta penambahan titik
berat pada prinsip pancasila.
Didasari lulusan sekolah lanjut
kejuruan (seperti ST dan SMEP)
memerlukan pengetahuan yang
memadai untuk ke duni kerja. Satu jenis
kurikulum, satu jenis jadwal pelajaran,
dan satu isi jenis mata pelajaran yang
seragam bukan merupakan persiapan
yang terbaik bagi setiap murid.
Baedasarkan persoalan tersebut,
kurikulum 1975 diperkenalkan dengan
suatu konsep mengenai tujuan tiap
tangkat dan jenis sekolah. Kurikulum
tahun 1975 ini merupakan kurikulum
yang berorentasi kepada tujian
(Nasutioan, 2003). Di dalam kurikulum
ini digunakan suatu sistem pendekatan
dan perhatian lebih dari sebelumnya
yang ditunjukkan pada urutan langkah-
langkah dalam seluruh proses, mulai
dari perumusan isi sampai ke metode
yang diterapkan di sekolah (Beeby,
1982).
Kurikulum 1984 merupakan
kurikulum yang sangat sentralistik.
Pemerintah pusat telah menentukan
mata pelajaran yang harus diajarkan
pada setiap jenjang sekolah hingga
pembangian jam pelajaran untuk setiap
mata pelajaran tersebutbut dan
penambahan mata pelajaran tertentu
sebagai misi pemerintah yang harus
diembah oleh sekolah.
Kurikulum 1994 dipersiapkan
dengan dukungan dana yang memadai
dari pemerintah. Dari segi isi dan
sturkturnya tidak banyak berbeda
dengan kurikulum 1984. Dalam
kebijakan kurikulum 1994 ini,
pemerinta membagi kurikulum menjadi
dua yaitu kurikulum inti (80 % dari
keseluruhan isi kurikulum) dan 20 %
sisanya untuk kurikulum muatan lokal.
Dalam pelaksanaan kurikulum
1994 ini mendapat banyak kritikan dari
masyarakat. Memang kurikulum ini
disusun sangat idealistik. Untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional
yang dijabarka dalam tujuan
instruksional umum setiap mata
pelajaran, dan tujuan instruksional
khusus untuk setiap pokok bahasan,
materi pelajaran disusun secara padat
dan kurang memperhatikan kemampuan
anak didik. Banyak kritikan yang
dilontarkan bahwa kurikulum 1994 ini
tidak relevan dengan kemampuan anak.
Memperhatikan krikan tersebut,
pemerintah pada tahun 1999 merevisi
kurikulum 1994, dengan memberikan
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
suplemen GBPP. Pada dasarnya revisi
yang dilakukan hanya mengatur urutan
materi, menghilangkan topik-topik yang
tidak relevan atau memasukan ke dalam
materi pengayaan, dan
menyederhanakan materi-materi yang
sulit.
Kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) mulai diberlakukan tahun 2004
secara terbatas. KBK adalah kebijakan
baru pemerintah dalam bidang
kurikulum untuk mengantisipasi
perubahan global yang sedang terjadi.
Bangsa indonesia harus mempersiapkan
diri dalam persaingan global kalua tidak
ingin tertinggal oleh bangsa lain. Di
dalam KBK ditekankan bahwa
pendidikan harus memberikan
kompetensi yang memadai kepada
peserta didik untuk menghadapi
tantangan global. Untuk mengahdapi
tantangan tersebut, dituntut sumberdaya
yang handal dan mampu berkopetensi
secara global, sehingga diperlukan
keterampilan tinggi yang melibatkan
pemikiran kritis, sistematis, logis, kretif,
dan kemauan bekerjasama yang efektif
(Pusat Kurikulum 2001).
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) diberlakukan mulai
tahun ajaran 2006/2007. Berbeda
dengan kurikulum sebelumnya, KTSP
disusun oleh satuan pendidikan masing-
masing. KTSP yang merupakan
penyempurnaan dari kurikulum 2004
(KBK) adalah kurikulum operasional
yang disusun dan dilaksanakan oleh
masing-masing satuan
pendidikan/sekolah. KTSP
dikembangkan berdasarkan prinsip-
prinsip sebagai berikut.
Berpusat pada potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan pesertadidik dan
lingkungan.
Beragam dan terpadu.
Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,teknologi dan
seni.
Relevan dengan kebutuhan
kehidupan.
Menyeluruh dan berkesinambungan.
Belajar sepanjang hayat.
Seimbang antara kepentingan
nasional dan kepentingan daerah.
Selain itu, KTSP disusun dengan
memperhatikan acuan operasional
sebagai berikut.
Peningkatan iman dan takwa serta
akhlak mulia
Peningkatan potensi, kecerdasan
dan minat sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kemampuan
peserta didik
Keragaman potensi dan
karakteristik daerah dan
lingkungan
Tunuttan pembangunan daerah
dan nasional
Tuntutan dunia kerja
Perkembangan ilmu pengetahuan,
teknoligi, dan seni
Agama
Dinamika perkembangan global
Persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan
Kondisi social budaya masyarakat
setempat
Kesetaraan gender
Karakteristik satuan pendidikan
D. Perencanaan dan Pengembangan
Kurikulum
Sebagaimana telah didefinisikan
di atas kebijakan kurikulum nasional
berkaitan dengan perencanaan dan
pengembangan kurikulum. Berikut ini diuraikan tentang pendekatan teoritis
tentang perencanaan dan pengembangan
kurikulum.
Marsh dan Willis berpendapat
bahwa di dalam perencanaan kurikulum
dikenal tiga macam pendekatan, yaitu
pendekantan rational-linier dari Tyler,
pendekatan deliberatif dari Walker, dan
pendekatan artistik dari Eisner, (dalam
Hadi,1995:96-98).
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
Menurut pandangan Ralph W.
Tyler terdapat empat pertanyaan besar
dalam pembuatan kurikulum, yaitu
dalam menetukan tujuan, pengalaman
belajar, mengelolah pengalaman belajar,
dan evaluasi. Keempat pertanyaan
tersebut dapat dijawab sistematik, tetapi
Tyler berkeyakinan, hanya apabila
dianjukan secara berurutan, untuk
menjawa pertnyaan yang ada
dibelakang harus dijawab terlebih
dahulu pertanyaan yang mendahuluinya.
Oleh karena itu pendekatan ini
dinamakan Rational-linier.
Pendekatan deliberatif dari
Walker berusaha secara tepat
menggambarkan apa yang
sesungguhnya terjadi dalam
perencanaan kurikulum. Walker
beranggapan bahwa perencanaan dan
pengembangan kurikulum akan
memberikan hasilyang lebih baik
apabila mereka yang terlibat memahami
kompleksitas proses tersebut. Walker
mengidentifikasi tiga fase dalam
perencanaan yang disebut “platfrom”,
“deliberation”, dan “desing.”
Elliot W. Eisner mengambarkan
realitas sosial dapat dinegosiasikan,
dibentuk, bersifat subyektif, dan
bertingkat; ia menetapkan bahwa
terdapat berbagai cara bagi individu
untuk membangun makna. Dengan
demikian, ia memandang bahwa setiap
orang yang membuat keputusan tentang
kurikulum seperti seorang seniman yang
memilih diantara beragam cara yang
takterbatas yang menggambarkan
pandangannya mengenai realitas, dalam
merespon bagaimana setiap siswa
menyesuaikan pandangannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kemajuan
kehidupan menuntut tersedianya
pendidikan berkualitas sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan zaman.
Sehingga orang-arang jaman sekarang
membutuhkan pendidikan yang mampu
memberikan pengetahuan dan
keterampilan yang dapat menjamin
mereka mampu bertahan hidup dalam
dunia yang sangat kompetitif ini.
Pendidikan di tanah air, khususnya sitim
persekolahan seharusnya mampu
menyediakan pendidikan dengan
spesifikasi tersebut.
E. Pengembangan Kurikulum
Matematika
1) Pengertian Pengembangan
Kurikulum
Pada dasarnya pengembangan
kurikulum ialah mengarahkan
kurikulum sekarang ke tujuan
pendidikan yang diharapkan karena
adanya berbagai pengaruh yang sifatnya
positif yang datangnya dari luar atau
dari dalam sendiri, dengan harapan agar
peserta didik dapat menghadapi masa
depannya dengan baik.
Model-model pengembangan
kurikulum perlu dikaji oleh para jajaran
kependidikan di daerah agar memiliki
pemahaman visi dan misi lebih baik,
lebih inovatif dan lebih berwawasan ke
depan. Dengan kata lain, model-model
pengembangan haruslah berorientasi
pada tujuan. Terdapat empat pertanyaan
yang harus dijawab untuk
mengembangkan kurikulum yang
mengacu pada tujuan sebagai berikut :
Tujuan pendidikan apa yang harus
dicapai?
Pengalaman belajar apa yang harus diberikan untuk mencapai
tujuan?
Bagaimana pengalaman belajar diorganisasikan secara efektif?
Bagaimana dapat ditentukan bahwa tujuan pendidikan dapat
dicapai?
2) Perkembangan Kurikulum
Matematika Sekolah
Perkembangan kurikulum
matematika sekolah, khususnya ditinjau
dari implementasi dan aspek teori
belajar yang melandasinya, merupakan
faktor yang sangat menarik dalam
pembicaraan matematika. Hal ini dapat
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
dipahami sebab perubahan-perubahan
yang terjadi dalam proses pembelajaran
matematika sekolah tidak terlepas dari
adanya perubahan pandangan tentang
hakekat matematika dan belajar
matematika. Sebagai akibatnya, tidaklah
mengherankan apabila terjadi
perubahan kurikulum, maka berubah
pulalah proses pembelajaran di dalam
kelas.
Sejak tahun 1968, Indonesia telah
terjadi beberapa kali perubahan
kurikulum matematika sekolah.
Berdasarkan tahun terjadinya perubahan
untuk tiap kurikulum matematika, maka
munculllah nama-nama kurikulum
berikut : Kurikulum 1968, Kurikulum
1975, Kurikulum 1984, Kurikulum
1996, dan Kurikulum 1999. Selain itu,
sebelum muncul Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), pada tahun
2002 telah disusun sebuah kurikulum
yang disebut Kurikulum Berbasis
Kompetensi.
Berdasarkan literatur yang ada,
ciri pembelajaran matematika pada
Kurikulum 1968 antara lain :
a. Dalam pembelajaran geometri,
penekanan lebih diberikan pada
ketrampilan berhitung, misalnya
menghitung luas bangun geometri
datar atau volume bangun geometri
ruang, bukan pada pengertian
bagaimana rumus-rumus untuk
melakukan perhitungan tersebut
diperoleh ( Ruseffendi, 1985 : 33)
b. Lebih mengutamakan hafalan yang
sifatnya mekanis daripada
pengertian (Ruseffendi, 1979 : 2)
c. Program berhitung kurang
memperhatikan aspek kontinuitas
dengan materi pada jenjang
berikutnya, serta kurang terkait
dengan dunia luar (Ruseffendi,
1979 : 4)
d. Penyajian materi kurang
memberrikan peluang untuk
tumbuhnya motivasi serta rasa
ingin tahu anak (Ruseffendi, 1979 :
5)
Pada tahun 1975, terjadi
perubahan yang sangat besar dalam
pengajaran matematika di Indonesia
yang ditandai dengan dimasukkannya
matematika modern ke dalam
kurikulum 1975. Menurut Ruseffendi
(1975 : 12-14), matematika modern
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Terdapat topik baru yang
diperkenalkan yaitu himpunan,
geometri bidang dan ruang,
statistika dan probabilitas, relasi,
sistem numerasi kuno dan
penulisan lambang bilangan non
desimal. Selain itu diperkenalkan
pula konsep-konsep baru seperti
penggunaan himpunan, pendekatan
pengajaran matematika secara
spiral, dan pengajaran geometri
dimulai dengan lengkungan.
b. Terjadi pergeseran dari pengajaran
yang lebih menekankan pada
hafalan ke pengajaran yang
mengutamakan pengertian.
c. Soal-soal yang diberikan lebih
diutamakan yang bersifat
pemecahan masalah daripada yang
rutin.
d. Ada kesinambungan dalam
penyajian bahan ajar antara sekolah
dasar dan sekolah lanjutan.
e. Terdapat penekanan kepada
struktur
f. Program pengajaran pada
matematika modern lebih
memperhatikan adanya
keberagaman antar siswa
g. Terdapat upaya-upaya penggunaan
istilah yang lebih tepat
h. Ada pergeseran dari pengajaran
yang berpusat pada guru ke
pengajaran yang lebih berpusat
pada siswa
i. Sebagai akibat dari pengajaran
yang lebih berpusat pada siswa,
maka metode mengajar yang lebih
banyak digunakan adalah
penemuan dan pemecahan masalah
dengan teknik diskusi.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
j. Terdapat upaya agar pengajaran
matematika dilakukan dengan cara
yang menarik, misalnya melalui
permainan, teka-teki, atau kegiatan
lapangan.
Berdasarkan ciri-ciri pengajaran
matematika modern di atas, maka teori
belajar yang dipergunakan lebih bersifat
campuran. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ruseffendi (1988 : 178) yang
menyatakan bahwa teori belajar
mengajar yang dipergunakan pada saat
itu adalah campuran antara teori
pengaitan dari Thorndike, aliran
psikologi perkembangan seperti teori
Piaget, serta aliran tingkah laku dari
Skinner dan Gagne. Namun demikian,
Ruseffendi selanjutnya menambahkan
bahwa teori yang lebih dominan
digunakan adalah aliran psikologi
perkembangan seperti dari Piaget dan
Bruner sebab yang menjadi sentral
pengajaran matematika adalah
pemecahan masalah.
Perubahan dari Kurikulum 1975
ke Kurikulum 1984 sebenarnya tidak
terlalu banyak baik dari sisi materi
maupun cara pengajarannya. Perbedaan
utama dengan kurikulum sebelumnya,
pada Kurikulum 1984 ini materi
pengenalan komputer mulai diberikan.
Menurut Ruseffendi (1988 : 102),
dimasukkannya materi komputer ke
dalam kurikulum matematika sekolah
merupakan suatu langkah maju. Hal ini
dapat difahami, karena penggunaan
alat-alat canggih seperti komputer dan
kalkulator dapat memungkinkan siswa
untuk melakukan kegiatan eksplorasi
dalam proses belajar matematika
mereka baik dengan menggunakan pola-
pola bilangan maupun grafik.
Jika dilihat dari ciri-cirinya yang
tidak jauh berbeda dengan kurikulum
sebelumnya, maka teori belajar yang
digunakan pada pengajaran matematika
kurikulum 1984 ini juga lebih bersifat
campuran antara teori pengaitan, aliran
psikologi perkembangan, dan aliran
tingkah laku.
Pada tahun 1994 terjadi lagi
perubahan terhadap kurikulum
pendidikan sekolah mulai tingkat SD
sampai SMU. Pada bidang matematika,
terdapat beberapa perubahan baik dari
sisi materi maupun pengajarannya.
Yang menjadi bahan kajian inti untuk
matematika sekolah dasar adalah :
aritmetika (berhitung), pengantar
aljabar, geometri, pengukuran, dan
kajian data (statistika). Pada kurikulum
matematika SD ini, terdapat penekanan
khusus pada penguasaan bilangan
(number sense) termasuk di dalamnya
berhitung. Untuk SLTP, bahan kajian
intinya mencakup: aritmetika, aljabar,
geometri, peluang, dan statistika. Materi
matematika untuk SMU terdapat sedikit
perubahan yakni dimasukkannya
pengenalan teori graf yang merupakan
bagian dari matematika diskrit.
Pada tahun 2002, Pusat
Kurikulum mengeluarkan dokumen
kurikulum baru yang disebut Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Beberapa ciri
penting dari kurikulum antara lain :
a. Karena kurikulum ini
dikembangkan berdasarkan
kompetensi tertentu, maka
kurikulum 2002 dinamakan
Kurikulum Berbasis Kompetensi
b. Berpusat pada anak sebagai
pengembang pengetahuan
c. Terdapat penekanan pada
pengembangan kemampuan
pemecahan masalah, kemampuan
berpikir logis, kritis, dan kreatif,
serta kemampuan
mengkomunikasikan gagasan
secara matematik
d. Cakupan materi untuk sekolah
dasar meliputi : bilangan, geometri
dan pengukuran, pengolahan data,
pemecahan masalah, serta
penalaran dan komunikasi
e. Cakupan materi SLTP : bilangan,
aljabar, geometri dan pengukuran
peluang dan statistika, pemecahan
masalah serta penalaran dan
komunikasi
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
f. Cakupan materi SMU : aljabar,
geometri dan pengukuran
trigonometri, peluang, statistika,
kalkulus, logika matematika,
pemecahan masalah, penalaran dan
komunikasi.
g. Kurikulum berbasis kompetensi ini
secara garis besar mencakup tiga
komponen yaitu kompetensi dasar,
materi pokok, dan indikator
pencapaian hasil belajar
h. Kemampuan pemecahan masalah
serta penalaran dan komunikasi
bukan merupakan pokok bahasan
tersendiri melainkan harus dicapai
melalui proses belajar dengan
mengintegrasikan topik-topik
tertentu yang sesuai.
3) Pengembangan Kurikulum
Matematika
Pengembangan kurikulum di
Indonesia mengacu pada tujuan
pendidikan nasional. Secara umum
sistim pendidikan nasional diharapkan
dapat membangun kehidupan
intelektual bangsa dan membentuk
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman yang kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berilmu dan
terampil, sehat jasmani dan rohani,
cermat dan jujur, dan bertanggung
jawab terhadap bangsa dan negara.
Di Indonesia biasanya kurikulum
dipandang sebagai dokumen tertulis
yang yang berisi tentang tujuan
pendidikan mulai dari tujuan nasional
hingga penjabaran dalam tujuan
instruksional umum dan khusus.
Kurikulum juga mencakup strategi
untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional seperti yang disebutkan di atas.
Konten kurikulum dibagi menjadi dua,
yaitu materi yang diterapkan oleh
pemerintah pusat atau kurikulum inti
dan muatan lokal yang disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing
daerah.
Kurikulum matematika sekolah
yang dikembangkan oleh pemerintah
biasanya mengikuti perkembangan yang
terjadi dalam bidang pendidikan. Ketika
“matematika baru” atau “matematika
modern” menjadi gerakan yang
mendominasi pemikiran pendidikan
matematika di seluruh dunia,
pemerintah kita menerapkan kurikulum
1975 yang meletakkan titik berat
pengajaran matematika pada konsep
matematika modern tersebut. Konsep
logika dan himpunan dikembangkan
dalam penyusunan materi pelajaran
matematika. Dengan pendekatan logika
dan himpunan tersebut diharapkan
pengajaran matematika di sekolah
mampu mengembangkan kemampuan
nalar dan matematika siswa. Pada saat
kecendrungan pendidikan matematika
di negara-negara lain lebih menekankan
pada pendekatan pemecahan masalah,
penyelidikan yang diperluas, dan
mengakui serta mendorong konstruksi
sendiri oleh siswa pengetahuan dan
konsep matematikanya dari Clarke,
Clarke dan Sillivan (dalam Hadi, 1996:
101), maka kurikulum kita menekankan
pada kemampuan berpikir logis dan
mengembangkan sikap dan
keterampilan dalam aplikasi
matematika, sebagaimana terlihat pada
kurikulum 1994.
Sebuah kurikulum dapat
dinyatakan dalam bentuk kongkret.
Berdasarkan konsepsi yang
dikembangkan oleh Goodlad mengenai
representasi kurikulum, van, den Akker
(1998) membedakan representasi
kurikulum sebagi berikut:
Kurikulum ideal, yaitu
representasi kurikulum yang
mengambarkan visi dan harapan
penggagas kurikulum yang
dinyatakan dalam dokumen
tertulis.
Kurikulum formal, yaitu dokumen kongkrit dari materi kurikulum,
seperti diuraiakan dalam buku
siswa dan petunjuk guru.
Kurikulum yang dirasakan, yaitu kurikulum sebagaimana yang
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
ditafsirkan oleh pemakainya
(khususnya guru).
Kurikulum operasional, yaitu
kurikulum yang direalisasikan
dalam proses pembelajaran yang
sesungguhnya.
Kurikulum yang dialami, yaitu kurikulum yang dialami oleh
peserta didik atau siswa.
Kurikulum yang dicapai, yaitu prestasi belajar siswa.
Pembahasan mengenai
pengembangan kurikulum dapat
diwakili oleh representasi tersebut, yang
umumnya dipusatkan pada kurikulum
formal dan operasional. Umumnya kita
memandang kurikulum sebagai materi
pelajaran yang harus disampaikan oleh
guru kepada siswanya, yaitu materi
yang sudah dinyatakan dalam dokumen
tercetak (kurikulum formal). Kurikulum
formal ini diawali oleh GBPP (Garis-
garis Besar Program Pengajaran), buku
siswa, dan buku petunjuk guru.
Penetapan dan pengembangan
kurikulum dilakukan oleh pemerintah
melalu Pusat Kurikulum (Puskur).
Pada dasarnya GBPP memuat
petunjuk tentang materi minimal yang
harus dipelajari oleh seluruh siswa
dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Namun, guru dapat
memberikan matri pengayaan untuk
siswa-siswa yang pandai. Sementara
untuk siswa-siswa yang lambat dapat
diberikan pengajaran remidial. Soal-soal
ujian pada tingkat lokal, propinsi dan
nasional mangacu pada materi minimal
dam GBPP.
Dalam menyampaikan materi
pelajaran, GBPP menyarankan agar
guru memilih starategi yang dapat
melibatkan siswa secara aktif dalam
belajar baik secara mental, fisik,
maupun sosial. Supaya siswa terlibat
aktif dalam pelajaran, guru disarankan
memberikan soal-soal yang bersifat
divergen, yaitu soal yang mempunyai
kemungkinan jawaban. Guru juga
didorong untuk mengembangkan
pendekatan pemecahan masalah.
Pengajaran matematika harus sejalan
dengan ciri-ciri konsep matematika dan
sesuai dengan tingkat kemampuan
siswa. Ini bararti harus ada kesesuaian
antara pengajaran yang menekankan
penguasaan materi dan kemampuan
penyelesaian masalah. Pengajaran harus
dimulai dari hal-hal kongkret ke yang
abstrak, dari yang mudah ke yang sukar,
dan dari yang sederhana ke yang
kompleks. Jika diperlukan guru dapat
mengajarkan kembali matri-mati yang
sukar untuk meningkatkan pemahaman
siswa (Depdikbud, 1994).
Selain dari apa yang telah
ditetapkan pada GBPP di atas, berikut
ini adalah topik-topik materi
matematika yang perlu dipelajari oleh
siswa pada masa mendatang, sehingga
siswa dapat mengatasi kehidupan di
masa era informatika yang meliputi
antara lain:
1) Dasar-dasar matematika, pola
berpikir matematika yang logis,
kritis dan sistematis
2) Penekanan pembelajaran
matematika untuk SD adalah pada
penguasaan ketrampilan dasar
matematika, termasuk ketrampilan
berhitung, dengan mengembangkan
pemahaman konsep dan
ketrampilan operasi hitung serta
penerapannya dalan kehidupan
sehari-hari. Agar siswa SD tidak
merasa jenuh belajar matematika
perlu dikembangkan berbagai
variasi metodologi termasuk
metode penemuan, metode
permainan dan pemecahan masalah.
Pembelalajaran matematika yang
bersifat out door activity perlu
dikembangkan di dalam
pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar di SD dan SMP untuk
meningkatkan daya tarik siswa
terhadap pelajaran matematika.
3) Sasaran pembelajaran matematika
SD meliputi :
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
a. Pembentukan ketrampilan
menerapkan matematika dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam
mempelajari ilmu lain.
Misalnya:
Kemampuan melakukan
pengerjaan hitung dasar
Kemampuan menggunakan
algoritma
b. Penataan nalar logis dan rasional
Misalnya kemampuan
menggunakan sifat-sifat
sederhana dalam menyelesaikan
soal
c. Pembentukan sifat kritis, cermat
dan jujur
Misal :
Kemampuan mengenali dan
menyususn suatu pola
Kemampuan menunjukkan
bangun datar dan ruang
Kemampuan melakukan
pengukuran
Kemampuan mengumpulkan
data, mengola, menyajikan
dan membaca data
Kemampuan memecahkan
masalah
4) Bagian matematika yang sangat
diperlukan pada era informatiika
untuk sekolah menengah adalah
a. Logika matematika, matematika
diskrit seperti relasi, fungsi,
pola-pola matematika dengan
semesta diskrit
b. Pola-pola matematis, network,
kombinatorik merupakan bagian
yang penting untuk
pembentukan pemikiran yang
matang dalam perencanaan dan
pelaksanaan kinerja yang
semakin dituntut
kekompleksitasan berpikir
c. Topik geometri, baik dimensi
dua, dimensi tiga maupun
geometri analitik dan geometri
transpormasi sangat diperlukan
untuk meningkatkan pola
berpikir deduktif dan memiliki
daya tanggap keruangan yang
tajam untuk keperluan
perencanaan berbagai rancang
bangun dan tata ruang yang
semakin kompleks
d. Topik probabilitas dan statistika
sangat diperlukan untuk
membangun pemikiran yang
bersifat variatif dan ilmiah
dalam menentukan pengambilan
keputusan secara akurat.
Sebagai bahan banding untuk
mengembangkan kurikulum matematika
sekolah yang akan datang, berikut ini
kami sarikan kecenderungan pendidikan
matematika tahun 1988 - 2016 (kelas 4
SD – 3 SMU) yang berupa dua belas
Kompetensi Esensial Matematika
sebagai berikut :
1. Pemecahan masalah
Pemecahan masalah adalah
penerapan pengetahuan yang telah
dimiliki pada situasi yang tidak
biasa (rutin). Salah satu cara adalah
berupa soal cerita, tetapi siswa
harus dihadapkan pada masalah non
teks. Pemecahan masalah ini
memuat : menempatkan
pertanyaan, menganalisis situasi,
mentranslasikan hasil, melukiskan
hasil, menggambar diagram, dan
menggunakan cara coba-coba.
Siswa harus melihat solusi
alternatif, harus dipilih pengalaman
dengan lebih dari satu solusi
tunggal.
2. Pengkomunikasian ide-ide
matematis
Siswa harus belajar bahasa dan
lambang matematika. Misalnya
harus tahu nilai tempat dan notasi
keilmuan. Meraka harus belajar
menerima ide-ide matematis
melalui pendengaran, penglihatan
dan visualisasian. Mereka harus
mampu menyajikan ide-ide
matematis dengan bicara, tulisan,
gambar diagram dan grafik. Mereka
harus mampu mendiskusikan
matematikan dan mengajukan
pertanyaan tentang matematika.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
3. Penalaran matematis secara bebas
tentang ide-ide matematis.
Meraka harus mampu
mengidentifikasi pola dan
memperluaskannya dan
menggunakan pengalaman dan
pengamatan untuk membuat
dugaan (kesimpulan tentatif).
Mereka harus belajar menggunakan
contoh penyanggah untuk
menggugurkan konjektur, dan harus
belajar menggunakan model, fakta
yang diketahui dan argumen logis
untuk memvalidasi konjektur.
Mereka harus mampu membedakan
antara argumen yang valid dan
yang tidak valid.
4. Penerapan matematika dalam
kehidupan sehari-hari
Siswa harus disemangati untuk
memahami situasi sehari-hari,
menerjemahkannya ke dalam
representatif matematis (grafik,
tabel, diagram, atau ekspresi
matematis/fungsi-relasi), proses
matematis, dan
menginterprestasikan hasil dalam
arah situasi semula. Mereka harus
mampu menyelesaiakan rasio,
proporsi, persen, variasi/langsung,
dan masalah invers. Bukan saja
siswa harus melihat bagaimana
matematika tumbuh dari sekitar
kita.
5. Menjaga penalaran suatu hasil
Dalam memecahkan masalah harus
menyatakan jalan-nalar suatu solusi
atau konjektur dalam kaitannya
dengan soal aslinya. Siswa harus
mengembangkan makna bilangan
untuk menentukan apakah hasil
kalkulasinya bernalar dalam
kaitannya dengan bilangan awalnya
dan operasi-operasi di masyarakat,
kemampuan ini menjadi lebih
penting daripada sebelumnya.
6. Estimasi
Siswa harus mampu menarik secara
cepat kalkulasi terdekat dengan
melalui mencongak aritmetis dan
berbagai teknik komputasi. Apabila
komputasi diperlukan dalam setting
atau konsumen, estimasi dapat
digunakan untuk memeriksa
jawaban bernalar, menguji
konjektur, atau membuat
keputusan. Siswa harus menguasai
teknik estimasi sederhana seperti
pengukuran panjang, luas, volum
dan berat. Siswa harus mampu
menetapkan apakah hasil tertentu
tepat untuk suatu tujuan ke depan
segera.
7. Ketrampilan komputasi yang sesuai
Siswa harus diberi fasilitas yang
memadai untuk menggunakan
penjumlahan, pengurangan,
perkalian dan pembagian dengan
bilangan bulat dan desimal. Kini,
komputasi panjang dan ruwet harus
dilakukan dengan kalkulator atau
komputer. Pengetahuan tentang
fakta bilangan tunggal adalah
esensial dan cara mencongak
sangatlah bernilai (misalnya, 12 x 6
= 72). Dalam belajar menerapkan
komputasi, siswa harus mempunyai
pilihan dalam memilih metode
komputasi yang sesuai apakah
mencongak, algoritma atau alat-alat
komputasi. Selanjutnya, melalui
situasi sehari-hari muncul
keinginan untuk mengenali dan
komputasi sederhana dengan
pecahan persoalan. Lagipula
kemampuan mengenali
menggunakan dan mengestimasi
dengan persen harus pula
dikembangkan dan dijaga.
8. Berpikir secara aljabar.
Siswa harus belajar menggunakan
variabel atau huruf untuk
menyajikan besaran-besaran
matematis atau ekspresi (persamaan
atau rumus) mereka harus
menyajikan fungsi matematis
dalam kaitannya dengan
penggunaan tabel, grafik dan
persamaan. Mereka harus paham
dan menggunakan dengan benar
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
bilangan-bilangan positif dan
negatif, urutan dan operasi, rumus-
rumus, persamaan dan
ketidaksamaan. Mereka harus
memahami cara bagaimana satu
persamaan berubah dengan
kaitannya yang lain.
9. Pengukuran
Siswa harus belajar konsep dasar
pengukuran melalui pengalaman
kongkrit. Mereka harus mampu
mengukur jarak, berat, waktu,
kapasitas, sudut dan suhu. Mereka
harus belajar menghitung keliling
sederhana, luas dan volum. Mereka
harus mampu melakukan
pengukuran baik dalam sistematis
dan sistem yang yang digunakan
masyarakat umum dengan
menggunakan alat-alat yang sesuai
dalam tingkat ketepatan tertentu.
10. Geometri
Siswa harus memahami konsep
geometri yang diperlukan untuk
berfungsi secara efektif dalam
dunia dimensi tiga. Mereka harus
memiliki pengetahuan atau konsep-
konsep seperti jajaran,
ketegaklurusan, kongruen,
kesebangunan dan simetri. Siswa
harus tahu sifat-sifat dari gambar
bidang dan keruangan sederhana.
Siswa harus mampu meragakan dan
mengatakan bagaimana obyek-
obyek disekitarnya berpindah
dengan menggunakan term-term
bergeser, meluncur dan berputar.
Geometri harus dieksplorasi dalam
setting yang melibatkan pemecahan
masalah dan pengukuran.
11. Statistika
Siswa harus merencanakan dan
mengambil koleksi dan
mengorganisasikan data untuk
menjawab pertanyaan dalam
kehidupan sehari-hari. Siswa harus
tahu bagaimana menyusun,
membaca, dan menarik kesimpulan
dari tabel sederhana, peta, diagram
dan grafik. Mereka harus mampu
menyajikan data secara numerik
seperti ukuran tendensi central dan
ukuran penyimpangan. Siswa harus
tahu representasi statistika yang
benar dan yang salah pakai.
12. Probabilitas
Siswa harus tahu notasi sederhana
suatu probabilitas untuk
menetapkan kelayakan dari
kejadian mendatang. Mereka harus
mengidentifikasi situasi dimana
kejadian yang lalu tidak ada
pengaruhnya di masa yang akan
datang. Mereka harus menjadi biasa
bagaimana matematika digunakan
untuk membantu membuat prediksi
seperti hasil pemilihan umum,
bisnis, ramalan cuaca dan hasil olah
raga. Mereka harus tahu bagaimana
probabilitas diterapkan dalam hasil
riset dan pembuatan keputusan.
Untuk kelas 1 sampai kelas 3 SD
tekanan pembelajaran matematika
adalah pada pengenalan lingkungan
yang berkaiatan dengan kuantitas serta
pengenalan lambang bilangan cacah dan
operasinya dengan menggunakan
metode permainan. Dasar teori
pembelajaran yang digunakan terutama
dari teori perkembangan kognitif yang
dikemukakan oleh J. Piaget. Untuk anak
kelas 1 sampai kelas 3 SD, ciri utama
yang menonjol adalah “what the truth is
they see”.
Akhirnya, perlu kita sadari lebih
mendalam bahwa ke depan, jajaran
pengelola pendidikan matematika
menghadapi tantangan yang semakin
besar dan berat karena berbagai tuntutan
(globalisasi, rea informasi dan
demokratisasi kependidikan). Jika kita
tidak ingin terisolasi dari pergaulan
dunia tidak ada kata lain, kualitas SDM
perlu terus menerus kita tingkatkan, ini
berarti mutu penguasaan matematika
dikalangan generasi mendatang harus
dapat sejajar dengan negara maju, dan
ini artinya kerja kita harus semakin
efisien dan efektif.
Daftar Rujukan
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 2, Juni-Desember 2014 ISSN: 2088-0294
Ali, Muhammad, 2005. Pengembangan
Kurikulum Di Sekolah.
Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Hadi, Sutarto, 2005. Pendidikan
Matematika Realistik dan
Implementasinya. Banjarmasin:
Tulip.
Hudojo, Herman, 2005. Pengembangan
Kurikulum dan Pembelajaran
Matematika. Malang: UM Press.
Muslich, Masnur, 2009, Dasar
Pemahaman dan Pengembangan
KTSP. Jakarta: Bumi Aksara
PENERAPAN METODE INQUIRI DALAM MENINGKATKAN
PEMAHAMAN KONSEP HIMPUNAN PADA SUB POKOK BAHASAN
HIMPUNAN BAGIAN PADA SISWA KELAS VII. C SMPN 3 GERUNG
YULY YANTI
Guru Matematika SMPN Gerung Mataram
ABSTRAK
Penerapan suatu metode dalam pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting.
Jika tidak sesuai maka siswa tidak akan belajar sebaik-baiknya karena tidak adanya
daya tarik baginya. Dalam pembelajaran guru dituntut memperhatikan metode
mengajar yang digunakan. Meningkatnya prestasi belajar siswa tergantung pada
kemampuan guru dalam memilih metode pengajaran yang sesuai dengan bahan yang
diajarkan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mencari metode mengajar yang
mampu mengajak siswa lebih aktif dalam kegiatan belajar serta melatih siswa untuk
banyak belajar sendiri. Dengan memperhatikan hal tersebut maka pada penelitian ini
dicoba menerapkan metode inquiri dalam menanamkan konsep himpunan pada sup
pokok bahasan himpunan bagian. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu
Apakah penerapan metode inquiri dapat meningatkan pemahan siswa pada konsep
himpunan sub pokok bahasan himpunan bagian siswa kelas VII.C SMPN 3 Gerung
Tahun Ajaran 2008/2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman dan aktifitas belajar siswa kelas VII.C SMPN 3 Gerung dengan
menerapkan metode inquiri pada sub pokok bahasan himpunan bagian tahun ajaran
2008/2009. Adapun tempat penelitian dilakukan di SMPN 3 Gerung Lombok Barat
yang dilaksanakan pada tanggal 10 Februari sampai dengan 28 Februari 2009. Hasil
penelitian ini berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Penelitian ini terdiri dari dua
siklus, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari siklus ke siklus mengalami
peningkatan. Hal ini terbukti dari persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus I
mencapai 78,94% dengan kategori siswa cukup aktif sedangkan pada siklus II
mencapai 94,74 dengan kategori siswa aktif. Dari data yang diperoleh maka dapat
disimpulkan bahwa penerapan metode inquiri dapat meningkatkan pemahaman siswa
atau menuntaskan belajar siswa serta aktifitas belajar siswa tergolong aktif.
Kata Kunci : Penerapan Metode Inquiri
ABSTRACT
IMPLEMENTATION OF METHOD of INQUIRY IN INCREASING
UNDERSTANDING CONCEPT OF HIMPUNAN AT SUB TOPIC
HIMPUNAN BAGIAN FOR STUDENT CLASS OF VII.C SMPN 3 GERUNG
ABSTRACT
Implementation of method in study have role which of vital imortance. Otherwise
according to hence student will not learn as good as ad for him for no fascination him
for hims. In study of theacher claimed to pay attention method teach which used. The
increasing of achievement learn student depend on ability of teacher in choosing
instruction method matching with taugh materials. One of effort taken searching
method teach capable to invite more active student in activit learn and also train
student to self-studying many paid attention mentioned hence at this research is tried
to implementation method of inquiry in increasing understanding concept of
himpunan at sub topic himpunan bagian for student class of VII.C Gerung School
year 2008/2009. This formula reseach internal issue that is do whit imlementation of
method of inquiry can improve the understanding of hitting wide if trilateral for class
studen of VII.C SMPN 3 Gerung Lombok West school year 2008/2009. Intention of
this research is to improve and understanding of aktifitas learn class student of VII.C
SMPN 3 Gerung Lombok West with implementation method of inquiry in increasing
understanding concept of himpunan at sub topic himpunan bagian for student class of
VII.C Gerung School year 2008/2009. As for research place executed SMPN 3
Gerung Lombok West on 5 Februari 2009 up to 10 March 2009. This research result
in the form of quantitative data and data qualitatif. This research consist of two cycle,
result of research indicate that from cycle if cycle natural of improvement. This
matter is proven from complete percentage learn student cycle of I tired 78,94% with
active enough student category while cycle of II tired 94,74% with active student
category. Of obtained data hence can be caoncluded that implementation of method
of inquiry can improve the understanding of student or complete learn student and
also aktifitas learn student pertained active.
Key Word : Applying Of Method Of Inquiry
PENDAHULUAN
Upaya pemerintah untuk
mewujudkan tujuan pendidikan di
Indonesia dengan mengadakan
pembaharuan sistem pendidikan
Nasional diantaranya pembaharuan
dan penghapusan diskriminasi antara
pendidikan yang dikelola masyarakat,
serta perbedaan antara pendidikan
keagamaan dan pendidikan umum.
Pembaharuan sistem pendidikan
nasional dilakukan untuk
memperbaharui visi, misi dan strategi
pembangunan pendidikan nasional.
Pendidikan nasional mempunyai visi
terwujudnya sistem pendidikan
sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan
semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman
yang selalu berubah (Anonim, 2006)
Pendidikan memerlukan
berbagai ilmu untuk dapat
menyelamatinya lebih jauh. Persoalan
yang umum dijumpai dalam
pendidikan mencakup beberapa faktor,
yaitu faktor tujuan, anak didik,
pendidik, alat-alat atau fasilitas dan
faktor lingkungan. Beberapa ilmu
pembantu dapat memberikan bahan-
bahan untuk memahami masing-
masing faktor dengan lebih detail yang
salah satunya termasuk ilmu biologi
yang identik dengan lingkungan siswa
(Suwarno, 2006)
Belajar merupakan suatu proses
yang menimbulkan terjadinya suatu
perubahan atau pembaharuan dalam
tingkah laku atau kecakapan. Berhasil
atau tidaknya proses pendidikan atau
kegiatan belajar mengajar banyak
dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya : (1) Kemampuan guru
dalam memberikan pelajaran termasuk
di dalamnya penggunaan alat bantu
dan pemilihan metode yang tepat serta
pendekatan yang dipergunakan di
dalam mengajar, (2) Kemampuan guru
dalam disiplin pribadi anak secara
langsung akan memberikan
pengalaman yang kongkrit serta
motivasi belajar untuk mempertinggi
daya serap dan keinginan siswa untuk
menjadi biasa di dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran IPA masih
didominasi oleh penggunaan metode
ceramah dan kegiatannya lebih
berpusat pada guru. Aktivitas siswa
dapat dikatakan hanya mendengarkan
penjelasan guru dan mencatat hal-hal
yang dianggap penting. Guru
menjelaskan IPA lainnya sebatas
produk dan sedikit proses. Salah satu
penyebabnya adalah padatnya materi
yang harus dibahas dan diselesaikan
berdasarkan kurikulum yang berlaku.
Padahal dalam pembahasan IPA tidak
cukup hanya menekankan pada
produk, tetapi yang lebih penting
adalah proses untuk membuktikan atau
mendapatkan suatu teori atau hukum
(Bambang, 1998).
Berdasarkan hasil observasi awal
(20 Maret 2009) dan wawancara
dengan guru kelas VII.C mata
pelajaran IPA Biologi (Misban, S.Pd)
SMPN 4 Praya mengatakan bahwa
guru masih menerapkan pembelajaran
konvensional atau tradisional yang
masih diterapkan dari zaman dahulu
seperti metode ceramah, penugasan
dan latihan. Pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran
yang dilaksanakan di kelas secara
langsung, dalam pembelajaran ini
siswa cendrung bersikap pasif,
sedangkan guru cendrung berperan
dominan (Hamalik, 2003).
Di sisi lain guru masih banyak
menggunakan metode belajar yang
belum mengaktifkan siswa secara
penuh, salah satunya adalah metode
ceramah. Dari hasil ulangan yang
diperoleh siswa kelas VII.A sampai
dengan VII.C SMP Negeri 4 Praya
semester I tahun ajaran 2008/2009
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1: Nilai rata-rata hasil
ulangan mata pelajaran Biologi
Semester I siswa kelas VII A sampai
dengan VII C SMPN 4 Praya Tahun
Pelajaran 2008/2009
Kelas Nilai rata-rata
Ketuntasan Klasikal
Maksimum
VII.A
VII.B
VII.C
6,7
6,6
5,3
6,5
6,5
6,5
Sumber : Daftar nilai rata-
rata hasil ulangan pada mata pelajaran
IPA Biologi semester I siswa kelas VII
SMPN 4 Praya Tahun Pelajaran
2008/2009 (Dikutip tanggal, 20 Maret
2009)
Dari data di atas dapat
diperhatikan bahwa nilai rata-rata
siswa masih sangat rendah. Untuk itu
sudah sepatutnya hal ini mendapatkan
perhatian yang serius. Salah satu upaya
yang dilakukan adalah mencari
pendekatan yang baik dalam mengajar
yang mampu mengajak siswa lebih
aktif dalam kegiatan belajar serta
melatih siswa untuk banyak belajar
secara berkelompok (kooperatif).
Dalam mengajarkan suatu mata
pelajaran misalnya pelajaran biologi
dibutuhkan strategi, pendekatan dan
model belajar mengajar yang sesuai,
oleh karena itu guru hendaknya
memilih metode yang tepat guna
mempermudah pencapaian tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan
(Djamarah, 2002).
Team Game Turnament (TGT)
merupakan jenis pembelajaran yang
berkaitan dengan STAD (Student-
Teams-Achivement-Division) dimana
dalam pembelajaran ini siswa belajar
dalam kelompok-kelompok kecil yang
beranggotakan 4-5 orang yang
mempunyai kemampuan dan latar
belakang yang berbeda untuk
mencapai ketuntasan belajar. Dalam
Team Game Turnament (TGT) siswa
memainkan permainan dengan anggota
team lain untuk memperoleh tambahan
poin pada skor team mereka.
Permainan disusun dari pernyataan-
pernyataan yang relevan dengan
pelajaran yang dirancang untuk
mengetes pengetahuan yang diperoleh
siswa dari penyampaian pelajaran di
kelas dan kegiatan-kegiatan kelompok.
Permainan itu dimainkan pada meja-
meja turnamen. Setiap meja turnamen
dapat diisi oleh wakil-wakil kelompok
yang berbeda namun yang memiliki
kemampuan yang setara (Robert,
1998).
Permainan itu berupa
pertanyaan-pertanyaan yang ditulis
pada kartu-kartu yang diberi angka.
Tiap-tiap siswa akan mengambil
sebuah kartu yang diberi angka dan
berusaha menjawab pertanyaan yang
sesuai dengan angka tersebut.
Turnamen ini memungkinkan bagi
siswa dari semua tingkat untuk
menyumbangkan dengan maksimal
bagi skor-skor kelompoknya agar
mereka berusaha dengan maksimal.
Penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe Team Game Turnament
(TGT) dilaksanakan dalam beberapa
tahap seperti :
a. Tahap Persiapan
Pada tahap ini materi model
pembelajarn kooperatif Team
Game Turnament (TGT)
dirancang sedemikian rupa untuk
pembelajaran secara kelompok.
Sebelum menyajikan materi
pembelajaran dibuat lembar
kegiatan dan lembar jawaban yang
dipelajari oleh siswa-siswa dalam
kelompok-kelompok.
b. Menetapkan siswa dalam
kelompok-kelompok kooperatif
Kelompok-kelompok dalam
kooperatif model TGT
beranggotakan 4 sampai dengan 5
orang yang terdiri dari siswa
pandai, sedang dan kurang. Selain
itu guru juga mempertimbangkan
kriteria heterogensinya. Beberapa
petunjuk dalam menentukan
kelompok-kelompok kooperatif
seperti berikut ini:
a. Merangking siswa
b. Menentukan jumlah kelompok
c. Membagi siswa dalam kelompok
d. Menyiapkan siswa untuk belajar
kooperatif
e. Jadwal kegiatan
Kegiatan pembelajaran
kooperatif terdiri dari 5 tahap kegiatan
beruntun yaitu: penyajian materi, kerja
kelompok, kegiatan kelompok,
permainan tim, evaluasi dan
penghargaan kelompok.
c. Penyajian materi
Kegiatan pembelajaran model
TGT dimulai dengan penyajian
material pelajaran yang ditekankan
pada hal-hal sebagai berikut:
a. Pendahuluan
Menekankan pada apa yang akan
dipelajari siswa dalam
kelompok dan
menginformasikan mengapa
hal itu penting. Informasi
tersebut ditujukan untuk
memotivasi rasa ingin tahu
siswa tentang konsep-konsep
yang mereka pelajari.
b. Pengembangan
Mengembangkan materi
pembelajaran sesuai dengan
apa yang akan dipelajari dalam
kelompok.
Pembelajaran kooperatif
menekankan bahwa belajar
adalah memahami makna dan
bukan menghafal.
Sering mengontrol pemahaman
siswa dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan.
Memberikan penjelasan
mengapa jawaban dari
pertanyaa itu benar atau salah.
Beralih pada konsep lain, jika
siswa sudah memahami
masalahnya (Robert, 1998)
c. Latihan terbimbing
i. Menyuruh siswa mengerjakan
soal-soal atau memberikan
jawaban-jawaban dari
pertanyaan yang akan
diberikan.
ii. Memanggil siswa secara acak
untuk menjawab atau
menyelesaikan soal supaya
mempersiapkan diri sebaik-
baiknya.
iii. Pemberian tugas tidak boleh
menyita waktu terlalu lama
dan langsung diberikan
umpan balik (Robert, 1998)
d. Kegiatan kelompok
Kegiatan kelompok, guru
membagikan LKS kepada
setiap kelompok sebagai bahan
yang akan dipelajari siswa. Di
samping untuk mempelajari
konsep-konsep materi pelajaran
LKS juga digunakan untuk
melatih keterampilan dalam
pembelajaran kooperatif
terhadap siswa. Dalam kerja
kelompok, setiap siswa
mengerjakan tugas secara
mandiri dan selanjutnya saling
mencocokkan jawaban dengan
teman sekelompok siswa
masing-masing. Jika ada
seseorang anggota yang belum
memahami, maka teman-teman
sekelompoknya bertanggung
jawab untuk menjelaskan.
Jika ada pertanyaan sebaiknya
menyatakan kepada semua anggota
kelompok terlebih dahulu sebelum
menanyakan kepada guru. Dalam
kegiatan guru yang memonitor
kegiatan masing-masing kelompok dan
terlibat jika diperlukan.
Sebelum memulai belajar dalam
kelompok hendaknya guru
menetapkan kelompok dalam
kooperatif berikut ini:
a. Siswa mempunyai tanggung
jawab untuk memastikan teman
kelompoknya telah mempelajari
pelajaran.
b. Tidak seorangpun siswa selesai
belajar sebelum anggota
kelompok menguasai materi
pelajaran.
c. Meminta bantuan pada teman satu
kelompok sebelum meminta
bantuan guru dan dalam satu
kelompok harus saling berbicara
sopan.
e. Permainan team
Setelah diadakan kegiatan
kelompok dan siswa sudah belajar
dengan tuntas, maka kegiatan
selanjutnya adalah permainan tim
untuk memperoleh tambahan poin
skor tim. Masing-masing siswa
memainkan permainan dengan
anggota tim lain, permainan ini
dilakukan dalam tahap berikut:
a. Tiap-tiap kelompok memilih
perwakilan kelompok yang
dianggap memiliki kemampuan
yang lebih.
b. Tiap-tiap wakil kelompok
menempati meja turnamen yang
telah disediakan.
c. Tiap-tiap siswa dari wakil
kelompok yang diberi angka dan
berusaha untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
d. Skor yang diperoleh siswa ini
merupakan skor kelompok.
f. Evaluasi
Masing-masing siklus disediakan
evaluasi yang dilaksanakan selama
45 menit dengan jumlah soal 5
nomor Essay. Evaluasi dikerjakan
secara mandiri dan siswa harus
menunjukkan apa yang telah
dipelajari secara individu selama
bekerja dalam kelompok. Hasil
evaluasi digunakan sebagai hasil
perkembangan individu.
g. Penghargaan kelompok
Dalam memberikan penghargaan
terhadap prestasi kelompok terdapat
tiga tingkatan penghargaan:
a. Kelompok baik (good team)
b. Kelompok hebat (great team)
c. Kelompok super (super team)
Aktivitas berasal dari kata aktiv
yang artinya giat, bergerak terus
(Santoso, 2006). Sedangkan aktivitas
belajar berasal dari kata aktif dan
belajar yang artinya suatu aktivitas
geraknya aktivitas dalam kegiatan
belajar mengajar. Bila siswa telah
memiliki aktivitas yang tinggi, maka
guru akan lebih senang mengajar dan
suasana mengajar lebih baik. Dalam
proses belajar mengajar, sangat perlu
adanya Aktivitas siswa, karena akan
mempengaruhi situasi belajar di
samping itu kesungguhan siswa sangat
menentukan berhasil atau tidaknya
kegiatan belajar mengajar (Hamalik,
2003)
Proses belajar adalah perbuatan
yang sangat kompleks. Proses yang
berlangsung dalam otak manusia.
Sampai sekarang belum ditemukan
perumusan yang paling tepat. Setiap
tingkah laku meliputi aspek
(jasmaniah) dan aspek fungsional
(rohaniah). Jadi setiap tingkah laku
sudah tentu mengandung kedua aspek
itu yang satu sama lain saling
berinteraksi dan saling mempengaruhi
(Hamalik,2003)
Curiculum Guiding Comittee of the
Winsconsin Cooperative education
Planning Program telah
mengadakan klasifikasi tentang
kegiatan-kegiatan belajar sebagai
berikut :
a. Kegiatan penyelidikan, mambaca,
wawancara, mendengarkan radio,
menonton TV dan alat-alat elektro
lainnya
b. Kegiatan penyajian, laporan panel
and round table discussion,
mempertunjukkan visual aid,
membuat grafik dan chart
c. Kegiatan latihan mekanis,
digunakan bila kelompok menemui
kesulitan sehingga perlu diadakan
ulangan-ulangan dan latihan-
latihan.
d. Kegiatan apresiasi, mendengarkan
musik, membaca, menyaksikan
gambar (Hamalik, 2003).
METODE PENELITIAN
Adapun jenis penelitian ini adalah
Penelitian Tindakan Kelas (Clasroom
Action Research). Secara singkat
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
adalah suatu pencermatan terhadap
kegiatan belajar berupa sebuah
tindakan, yang sengaja dimunculkan
dan terjadi dalam sebuah kelas secara
bersama (Suharsimi, 2007)
Berdasarkan pendapat di atas
dapat dikatakan bahwa Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) adalah suatu
penelitian yang lebih berfokus pada
kelas atau pada proses belajar
mengajar yang terjadi di kelas, dengan
pembelajaran kooperatif tipe Team
Game Turnament (TGT) dalam
meningkatkan aktivitas belajar dan
pencapaian KKM Kelas VII.C pada
mata pelajaran biologi di SMP Negeri
4 Praya Tahun Pelajaran 2009/2010.
Pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan penelitian kuantitatif dan
pendekatan penelitian kualitatif.
Pendekatan kualitatif merupakan
pendekatan penelitian yang
menghasilkan data deskriptif yang
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang–orang dan prilaku yang dapat
diamati (Moleong, 2006). Sedangkan
pendekatan kuantitatif bertujuan untuk
membuktikan teori, menunjukkan
pengaruh antar variabel dan membuat
prediksi. Pendapat lain juga
mengatakan bahwa pendekatan
kuantitatif adalah pendekatan yang
dapat memperoleh data dalam bentuk
jumlah dituangkan untuk menerangkan
suatu kejelasan dari angka-angka atau
perbandingan dari beberapa gambaran
sehingga memperoleh gambaran baru
kemudian dijelaskan kembali dalam
bentuk kalimat atau uraian (Suharsimi,
2006)
Rancangan penelitian ini
dilakukan dengan beberapa siklus
kegiatan dengan indikatornya adalah
tercapainya ketuntasan penelitian ini
direncanakan dengan beberapa siklus
yang tiap-tiap siklus terdiri atas
beberapa tahap seperti tahap
perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap
observasi, tahap evaluasi dan tahap
refleksi.
Instrumen penelitian adalah
alat pada waktu peneliti menggunakan
suatu metode (Suharsimi, 1998).
Adapun instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah : Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran, Tes
Evaluasi, Lembar observasi
Analisis Data Pengelolaan data merupakan
satu langkah yang sangat penting
dalam kegiatan penelitian bila
kesimpulan yang akan diteliti dapat
dipertanggung jawabkan data yang di
analisis. Adapun analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
Data Kriteria Ketuntasan Minimal
Kriteria pencapai ketuntasan belajar
siswa
Untuk mempermudah analisis setiap
indikator, perlu dibuat skalah penilaian
seperti pada tabel di bawah ini : Aspek yang
dianalisis
Kriteria dan skala penilaian
Kompleksitas Tinggi
< 65
Sedang
65-79
Rendah
80-100
Daya dukung Tinggi
80-100
Sedang
65-79
Rendah
< 65
Intake Siswa Tinggi
80-100
Sedang
65-79
Rendah
< 65
Berdasarkan tabel di atas dapat
dihapahami bahwa dalam menentukan
kriteria ketuntasan minimal itu dapat
menggunakan tabel dengan kriteria
dan skala penilaian masing-masing.
Menentukan Kriteria Ketuntasan
Minimal .Untuk menentukan kriteria
ketuntasan minimal dari hasil tes siswa
maka dapat menggunakan rumus :
KKM = P
Ji
Keterangan :
KKM : Kriteria Ketuntasan Minimal
P :Jumlah Pengetahuan tiap-tiap pencapaian ketuntasan belajar siswa
Ji : Jumlah Indikator per KD (Arsip
SMPN 4 Praya, 2009)
Data Aktivitas belajar
Data Aktivitas Guru
Setiap prilaku guru pada penelitian ini,
penilainnya berdasarkan kriteria
berikut :
a. Skor 4 diberikan jika 3 deskriptor
nampak
b. Skor 3 diberikan jika 2 deskriptor
nampak
c. Skor 2 diberikan jika 1 deskriptor
nampak
d. Skor 1 diberikan jika tidak ada
deskriptor nampak
Kriteria untuk menentukan aktifitas
guru sebagai berikut :
Tabel 2 : Pedoman Skor Standar
Aktivitas Guru A > MI + 1,5 SDI Sangat aktif
MI + 0,5 SDI < A < MI +
1,5 SDI
Aktif
MI – 1,5 SDI < A < MI +
0, 5 SDI
Cukup aktif
MI – 1,5 SDI < A < MI –
0,5 SDI
Kurang aktif
A < MI – 1,5 SDI Sangat kurang
aktif
Menentukan MI dan SDI
MI = ½ x (skor tertinggi + skor
terendah)
SDI = 1/6 x (skor tertinggi + skor
terendah)
Keterangan : MI = Mean ideal
SDI = Standar deviasi
ideal
(Nurkencana, 1990)
Data aktivitas belajar siswa
Setiap indikator perilaku siswa
pada penelitian ini cara penskoranya
berdasarkan aturan berikut :
1. Skor 4 diberikan jika 3 deskriptor
nampak
2. Skor 3 diberikan jika 2 deskriptor
nampak
3. Skor 2 diberikan jika 1 deskriptor
nampak
4. Skor 1 diberikan jika tidak ada
deskriptor nampak
Skor maksimal ideal (SMI)
merupakan skor tertinggi aktivitas
siswa yang didapat apabila semua
deskriptor yang diamati nampak yaitu
skor 4 untuk menilai kategori aktivitas
siswa, ditentukan terlebih dahulu MI
dan SDI.
Tabel 3 : Pedoman Skor Standar
Aktivitas Belajar Siswa
Interval Kategori
A > Mi + 1,5 SDi Sangat aktif
Mi + 1,5 SDi < A < Mi + 1,5 SDi Aktif
Mi – 1,5 Sdi < A < Mi + 0, 5 SDi Cukup aktif
Mi – 1,5 Sdi < A < Mi – 0,5 SDi Kurang aktif
A < Mi – 1,5 SDi Sangat kurang
aktif
HASIL PENELITIAN
Penelitian tindakan kelas ini
dilakukan untuk mengetahui
peningkatan keaktifan belajar dan
pencapaian KKM Kelas pada mata
pelajaran IPA Biologi pada siswa kelas
VII.C SMP Negeri 4 Praya tahun
pelajaran 2008/2009 dengan
menerapkan Pendekatan Team Game
Turnament (TGT). Penelitian ini
dilaksanakan dengan dua siklus, yang
dimulai dari tanggal 14 Mei– 20 Juni
2009.
Data-data diperoleh dari hasil
evaluasi dan hasil observasi pada
setiap siklus yang telah direncanakan.
Data yang diperoleh berupa data
kuantitatif dari hasil evaluasi dan data
kualitatif yang diperoleh dari hasil
observasi. Data kuantitatif yang
diperoleh dari hasil evaluasi akan
memberikan jawaban mengenai
berhasil atau tidaknya proses
Pendekatan pada mata pelajaran IPA
Biologi dengan menggunakan
pendekatan Team Game Turnament
(TGT) yang diukur dengan
peningkatan keaktifan belajar dan
pencapaian KKM kelas secara
klasikal. Data kualitatif diperoleh dari
hasil observasi yang akan memberikan
gambaran tentang kegiatan guru dan
siswa selama proses belajar mengajar.
Data Siklus I
1. Hasil Observasi Aktivitas Siswa
Berdasarkan hasil analisis lembar
observasi aktifitas belajar siswa
diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4.1 : Hasil analisis lembar
observasi aktifitas belajar siswa
dan kategori aktifitas siswa dalam
Pendekatan Analisis Hasil Jumlah Kategori
Skor tertinggi 28
Aktif
Skor terendah 7
Mean Ideal (MI) 17,5
Standar Deviasi
Ideal (SDI)
5,8
Jumlah skor
aktifitas belajar
24
Inteval 20,24 < A <
26,25
Berdasarkan tabel 04 di atas dapat
dilihat dari interval jumlah seluruh
skor aktifitas belajar siswa
sebanyak 24 yang terdapat pada
interval 20,24 < A < 26,25 dengan
kategori aktif.
Yang menjadi kekurangan-kekurangan
yang muncul pada siklus I adalah:
- Sebagian siswa masih ada yang
tidak serius dalam mengikuti
pelajaran dan malu bertanya sama
teman sekelompoknya maupun
kepada guru.
- Pada saat diskusi masih ada
sebagian siswa yang tidak
menanggapi dengan baik apa yang
dijelaskan oleh guru dan teman-
temanya
- Siswa masih kesulitan
mengilustrasikan beberapa bentuk
pertanyaan yang dibuat oleh guru
dalam bentuk cerita.
2. Hasil Observasi Aktivitas Guru
Berdasarkan hasil analisis lembar
observasi aktifitas guru diperoleh
data sebagai berikut :
Tabel 4.2 : Hasil analisis lembar
observasi aktifitas guru dan
kategori aktifitas guru dalam
Pendekatan
Analisis Hasil Jumlah Kategori
Skor tertinggi 28
Cukup
Aktif
Skor terendah 7
Mean Ideal (MI) 17,5
Standar Deviasi
Ideal (SDI)
5,8
Jumlah skor aktifitas
belajar
20
Inteval 14,60 < A <
20,40
Berdasarkan hasil analisis
lembar observasi aktifitas guru di
atas dengan jumlah skor 20 yang
pada interval 14,60 < A < 20,40
dengan kategori cukup aktif. Hasil
analisis secara terperinci tentang
observasi aktivitas guru dapat
dilihat dari lampiran 8
Hasil analisis secara terperinci
tentang observasi aktivitas guru
dapat dilihat dari lampiran 8.
Memperhatikan data pada tabel 4.2
tersebut maka kekurangan-
kekurangan yang muncul pada
siklus adalah sebagai berikut:
- Guru tidak menyiapkan materi
secara matang
- Guru kurang optimal dalam
menyampaikan tujuan Pendekatan
- Guru tidak menyiapkan segala
perencanaan proses belajar
mengajar
- Guru masih terfokus pada
kelompok-kelompok tertentu
- Interaksi belajar mengajar selalu
monoton dan satu arah.
b. Hasil Evaluasi
Setelah melakukan proses
belajar mengajar sebanyak dua
pertemuan maka pada pertemuan
ketiga guru memberikan soal-soal
evaluasi kepada siswa. Evaluasi
berlangsung selama 1 jam
Pendekatan. Bentuk soal evaluasi
adalah soal essay sebanyak 5 butir
soal untuk dikerjakan secara
individu. Masing-masing siswa
dapat satu lembar soal. Jawaban
siswa kemudian diperiksa dengan
skor maksimal 100 jika semua
jawaban siswa benar dan skor
minimal 0 jika siswa tidak
menjawab sama sekali. Melalui
analisis evaluasi belajar nilai rata-
rata siswa dan ketuntasan belajar
siswa dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 4.3 Data Hasil Evaluasi Belajar
Siswa Siklus I kelas V SDN 16
Mataram Tahun Pelajaran
2008/2009
No Keterangan Jumlah
1 Banyak siswa 40
2 Skor tertinggi 90
3 Skor terendah 55
4 Skor total 2810
5 Nilai rata-rata 70,25
6 Banyak siswa
yang tuntas
33
7 Persentase
ketuntasan
82,50%
Dari tabel 4.3 di atas dapat
dilihat bahwa persentase ketuntasan
belajar klasikal pada siklus I belum
mencapai standar minimal 85% dan
penggolongan aktivitas belajar
siswa dengan kategori aktif. Hasil
analisis secara rinci tentang hasil
evaluasi belajar siswa siklus I dapat
dilihat pada lampiran 7. Dari tabel
di atas dapat juga dijelaskan bahwa
ada 7 orang siswa yang tidak tuntas
secara individu pada siklus I ini.
Pada pertemuan siklus berikutnya
akan diberikan bimbingan dan
perhatian khusus di kelas ketika
proses belajar mengajar
berlangsung di samping itu juga
guru memberikan upaya dalam
mengendalikan kendala yang
dihadapi atau penyebab lain yang
dialami oleh 7 orang siswa tersebut.
Karena penelitian pada siklus I
belum mencapai ketuntasan belajar
klasikal, maka peneliti
merencanakan tindakan perbaikan
pada siklus II.
Persentase ketuntasan belajar mengajar
82,50% ini menunjukkan bahwa
ketuntasan dilihat dari hasil
evaluasi pada siklus I masih belum
mencapai hasil yang diharapkan.
Adapun kekurangan-kekurangan
yang ditemukan pada siklus ini
akan diperbaiki pada siklus kedua
diantaranya:
a. Guru masih terfokus pada
kelompok-kelompok tertentu dan
kelompok yang lain masih bersifat
kurang aktif
b. Guru masih kurang dalam
memberikan motivasi kepada siswa
yang kurang aktif untuk berani
maju mengerjakan tugas di depan
kelas
c. Antusias siswa dalam Pendekatan
masih kurang karena masih banyak
siswa yang terpengaruh situasi di
dalam kelas
d. Pada saat mengerjakan LKS masih
banyak siswa-siswi yang belum
begitu paham dengan materi yang
telah diajarkan.
Data Hasil Penelitian Siklus II
1) Hasil Observasi Aktivitas Siswa
Berdasarkan hasil analisis lembar
observasi aktifitas belajar siswa
diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 4 : Hasil analisis lembar
observasi aktifitas belajar siswa dan
kategori aktifitas siswa dalam
Pendekatan Analisis Hasil Jumlah Kate
gori
Skor tertinggi 28
Aktif
Skor terendah 7
Mean Ideal (MI) 17,5
Standar Deviasi
Ideal (SDI)
5,8
Jumlah skor aktifitas
belajar
26
Inteval 20,24 < A < 26,25
Berdasarkan tabel 4 di atas dapat
dilihat dari interval jumlah seluruh
skor aktifitas belajar siswa
sebanyak 26 yang terdapat pada
interval 20,24 < A < 26,25 dengan
kategori aktif.
2) Hasil Observasi Aktivitas Guru
Dari hasil observasi aktifitas guru
pada siklus II diperoleh skor
aktifitas guru sebesar 26 dengan
kategori aktif berdasarkan tabel 04
a. Hasil Evaluasi
Setelah melakukan kegiatan
Pendekatan sebanyak dua kali
pertemuan, maka pada pertemuan
ketiga guru memberikan evaluasi
kepada siswa. Evaluasi berlangsung
selama 1 jam pelajaran. Bentuk soal
evaluasi adalah essay sebanyak 5
butir soal untuk dikerjakan secara
individu. Masing-masing siswa
mendapatkan satu lembar soal.
Jawaban siswa kemudian diperiksa
dengan skor maksimal 100 jika
semua jawaban siswa benar dan
skor minimal 0 jika siswa tidak
menjawab sama sekali. Melalui
analisis evaluasi belajar nilai rata-
rata siswa dan ketuntasan belajar
siswa dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 5 Data Hasil Evaluasi Belajar
Siswa Siklus II kelas V SDN 16
Mataram Tahun Pelajaran
2008/2009 No Keterangan Jumlah
1 Banyak siswa 40
2 Skor tertinggi 100
3 Skor terendah 50
4 Skor total 3370
5 Nilai rata-rata 84,25
6 Banyak siswa yang tuntas 38
7 Persentase ketuntasan 95%
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 5
di atas terlihat bahwa ketuntasan
belajar secara klasikal sudah
mencapai dari target 85%, ini
berarti proses Pendekatan pada
siklus II sudah dikatakan berhasil
atau tuntas. Hasil analisis secara
rinci tentang data hasil evaluasi
belajar siswa siklus II dapat dilihat
pada lampiran 20. Walaupun
hasilnya telah tuntas tetapi untuk
siswa yang belum tuntas masih
diberikan remedial sehingga siswa
mencapai ketuntasan belajar ideal.
Dilihat dari hasil yang
diperoleh pada siklus II dikatakan
telah tuntas karena telah mencapai
ketuntasan belajar yang diharapkan
menurut kurikulum yaitu 85%
(Nurkencana dalam Slavin Kurnia,
2006 : 37).
Dengan demikian Pendekatan
dengan menerapkan Pendekatan
Matematika Realistik (PMR) lebih
efektif digunakan dalam
meningkatkan prestasi belajar siswa
dalam menyelesaikan soal cerita
bentuk pecahan siswa kelas V SDN
16 Mataram.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data
tiap-tiap siklus, terlihat bahwa hasil
dari siklus ke siklus mengalami
peningkatan. Pada siklus I,
menunjukkan bahwa nilai rata-rata
siswa sebesar 70,25 dengan
prosentase ketuntasan 82,50%. Ini
berarti ketuntasan belajar siswa
belum tercapai sesuai dengan
ketuntasan belajar menurut standar
yang telah ditetapkan. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya
kesiapan siswa dalam mengikuti
proses Pendekatan dengan
menerapakan Pendekatan
Matematika Realistik (PMR), yang
dikarenakan model Pendekatan ini
merupakan model Pendekatan yang
baru yang belum begitu dikenal
oleh para guru dan siswa, perhatian
siswa dalam kegiatan Pendekatan
belum terfokus, saat diskusi masih
banyak siswa yang belum mau
menanggapi pendapat dari
temannya, dan siswa belum bisa
membuat kesimpulan dari hasil
diskusi, sehingga tingkat
penyerapan siswa terhadap materi
yang diberikan belum optimal,
akibatnya keaktifan dalam belajar
tidak tercapai.
Hasil ini belum mencapai
ketuntasan belajar klasikal yang
diharapkan yaitu 85% atau lebih
dan kategori aktivitas belajar siswa
“aktif”. Menurut hasil diskusi
peneliti dengan observer dan
setelah dilakukan refleksi, hal ini
disebabkan kurangnya bimbingan
dan pengarahan guru secara merata
kepada kelompok maupun individu
pada saat mengerjakan soal-soal
latihan dan Lembar Kerja Siswa
sehingga siswa belum tuntas atau
kurang terdeteksi. Untuk mengatasi
hal tersebut, khusus kepada siswa
yang belum mencapai ketuntasan,
peneliti mengadakan remedial
dalam bentuk tindakan khusus dan
bimbingan mengenai cara-cara
menyelesaikan soal-soal latihan
yang belum dikuasai.
Karena ketuntasan belajar pada
siklus I belum tercapai, maka
kegiatan tindakan dilanjutkan ke
siklus II dengan perbaikan-
perbaikan seperti yang disarankan
oleh observer, di samping itu juga
melakukan pendekatan dan
bimbingan khusus, pemberian tugas
terbimbing pada saat siswa
melakukan latihan.
Berdasarkan hal tersebut maka
tidak mampunya siswa menjawab
soal dikarenakan siswa belum
menyerap konsep (soal cerita
bentuk pecahan) yang telah
diajarkan. Untuk mengatasi
banyaknya kekurangan–kekurangan
selama pelaksanaan siklus I guru
melakukan perbaikan-perbaikan
dalam Pendekatan pada siswa
berikutnya dan meningkatkan hal-
hal yang dianggap kurang. Untuk
itu guru berupaya meningkatkan
ketertiban siswa dan
membangkitkan respon siswa dalam
proses Pendekatan sesuai dengan
refleksi pada siklus I, maka pada
siklus II dilakukan tindakan yang
merupakan penyempurnaan dan
perbaikan terhadap kekurangan-
kekurangan yang muncul pada
siklus I.
Berdasarkan hasil analisis pada
siklus II menunjukkan bahwa nilai
rata-rata sebesar 84, 25 dengan
prosentase ketuntasan belajar siswa
sebesar 95%. Ini berarti ketuntasan
belajar siswa telah sesuai dengan
ketuntasan yang telah ditetapkan.
Hal ini disebabkan karena persiapan
siswa dalam mengikuti proses
Pendekatan dengan menggunakan
model Pendekatan Matematika
Realistik (PMR) sudah sangat baik,
suasana Pendekatan berjalan
dengan baik, perhatian siswa sudah
mulai terfokus, saat diskusi siswa
sudah banyak yang mau
menanggapi pendapat dari
temannya dan siswa sudah mulai
bisa membuat kesimpulan dari hasil
diskusi. Karena tujuan dari
penelitian sudah tercapai dan
kegiatan Pendekatan sesuai dengan
rencana dan harapan, maka siklus
penelitian diakhiri.
Penerapan Pendekatan
Matematika Realistik (PMR)
diperoleh informasi bahwa model
Pendekatan Matematika Realistik
bisa meningkatkan prestasi belajar
siswa karena dengan model
Pendekatan tersebut siswa
mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dengan teman-temanya
dan membiasakan diri untuk
bertanya ketika proses belajar
mengajar berlangsung bahkan guru
selalu memberikan gambaran-
gambaran yang riil sesuai dengan
materi yang akan diajarkan
sehingga siswa selalu terbawa ke
suasana sehari-hari mereka masing-
masing.
Dari pengalaman yang
diperoleh peneliti di lapangan
selama melakukan penelitian,
dengan menerapkan model
Pendekatan PMR dalam Pendekatan
matematika dalam menyelesaikan
soal cerita bentuk pecahan dapat
melibatkan siswa berperan aktif dan
melibatkan segenap kemampuan
yang dimiliki siswa sehingga dapat
meningkatkan prestasi belajar
siswa.
Hal ini sesuai dengan teori
yang mengatakan bahwa bila anak
belajar matematika terpisah dari
pengalaman mereka sehari-hari
maka akan cepat lupa dan tidak
dapat mengaplikasikan matematika.
Guru dalam Pendekatannya di kelas
tidak mengaitkan dengan skema
yang telah dimiliki oleh siswa dan
siswa kurang diberikan kesempata
untuk menemukan kembali dan
mengkonstruksikan sendiri ide-ide
matematika. Mengaitkan
pengalaman kehidupan nyata anak
dengan ide-ide matematika dalam
Pendekatan di kelas penting
dilakukan agar Pendekatan
bermakna (Soedjaji, dkk, 2000
dalam
hhtp/darsusianto.blogspot.com/200
7/08/matematika-realistik/html).
Sedangkan pendapat lain
mengatakan Pendekatan
Matematika Realistik memberikan
kesempatan kepada siswa untuk
menemukan kembali dan
mengkonstuksi konsep-konsep
matematika berdasarkan pada
masalah realistik yang diberikan
oleh guru. Situasi realistik dalam
masalah memungkinkan siswa
menggunakan cara-cara informal
untuk menyelesaikan masalah.
Cara-cara informal siswa yang
merupakan produksi siswa
memegang peranan penting dalam
penemuan kembali dan
mengkonstruksikan konsep. Hal ini
berarti informasi yang diberikan
kepada siswa telah dikaitkan
dengan skema (jaringan
representasi) anak. Melalui
interaksi kelas keterkaitan skema
anak akan menjadi lebih kuat
sehingga pengertian siswa tentang
konsep yang mereka konstruksi
sendiri menjadi kuat. Karena itu,
perubahan persepsi guru tentang
mengajar perlu dilakukan bila ingin
mengimplementasikan pendekatan
matematika realistik
(http/www.ex.ac./telematics/T3/Mat
hs/acrarol.htm)
Dengan demikian, Pendekatan
Matematika Realistik akan
mempunyai kontribusi yang sangat
tinggi dengan pengertian siswa.
Sedangkan guru hanya sebagai
fasilitator dan motivator, sehingga
memerlukan paradigma yang
berbeda tentang bagaimana siswa
belajar, bagaimana guru mengajar,
dan apa yang dipelajari oleh siswa
dengan paradigma Pendekatan
matematika selama ini. Karena itu,
perubahan persepsi guru tentang
mengajar perlu dilakukan bila ingin
mengimplementasikan pendekatan
matematika realistik.
Hal di atas sesuai dengan
keutamaan Pendekatan dengan
masalah yang mendasar dalam
pendidikan di Indonesia adalah
masih rendahnya prestasi siswa
dalam belajar matematika.
Beberapa laporan menyebutkan
faktor penyebabnya, antara lain
kurangnya kualitas materi
Pendekatan, matode pengajaran
yang mekanistik serta buruknya
sistem penilaian. Salah satu
pendekatan yang menjanjikan dapat
mengurangi masalah tersebut
adalah Pendekatan Matematika
Realistik di Indonesia dikenel
dengan istilah Pendekatan
Matematika Realistik Indonesia
(PMRI).
Hal ini menunjukkan bahwa
penerapan pendekatan Matematika
Realistik (PMR) dalam
menyelesaikan soal cerita bentuk
pecahan dapat meningkatkan
aktivitas dan prestasi belajar siswa
kelas V SDN 16 Mataram tahun
pelajaran 2008/2009
PENUTUP
Dari hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan
bahwa penerapan pembelajaran
kooperatif tipe STAD dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa
pada mata pelajaran IPS Ekonomi,
hal ini ditunjukkan dengan adanya
peningkatan persentase ketuntasan
belajar klasikal tiap-tiap siklus.
Pada siklus I nilai rata-rata sebesar
71,29 sedangkan persentase
ketuntasan sebesar 77, 42 dengan
kategori “baik”. Sedangkan pada
siklus II meningkat dengan nilai
rata-rata sebesar 76,45 dengan
persentase ketuntasan sebesar 93,55
dengan kategori “Baik sekali”. Ini
berarti telah mencapai target ideal
85% dari jumlah siswa dalam
kelas mengalami peningkatan
prestasi. Jumlah siswa yang tuntas
secara individual sebanyak 29
orang dari 31 orang siswa. Selain
itu, pendekatan pembelajaran
kooperatif juga dapat melibatkan
siswa secara aktif ini dapat dilihat
dari peningkatan nilai skor rata-rata
aktivitas siswa dari siklus I ke
siklus II yaitu dari 5,33 menjadi
7,33 yang dikategorikan “lebih
aktif” dari setiap pertemuan dalam
mengerjakan pekerjaannya masing-
masing, mengolah informasi,
menyimpulkan materi yang telah
dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Undang-Undang No.
20 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Jakarta
: Depdiknas
Anonim, 2004. Cooperative Learning,
Jakarta : PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia
_______, 2007. Cooperative Learning,
Jakarta : PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia
Bambang, 1998, Proses Belajar
Mengajar IPA di Sekolah, Jakarta
: Rineka Cipta
Dimyati dan Mudjiono, 2006.
Efektivitas pembelajaran pada
SMP, Jakarta : Rineka Cipta
Depdiknas, 2008. Laporan Hasil
Evaluasi Belajar MI/SD, di
sampaikan pada Work Shop Kelas
Atas, PAKEM 1 B, Learnign
Assistance Program For Islamic
School (LAPIS) PGMI : Mataram
Dirjen Menejmen Pendidikan Dasar
dan Menengah, 2008, Penetapan
Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM). Jakarta : Depdiknas,
Direktorat Pendidikan Sekolah
Menangah Atas.
Hamalik, O, 2003. Pendekatan Baru
Strategi Belajar Mengajar
Berdasarkan CBSA, Bandung :
Sinar Algensindo
Ibrahim, 2000. Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya :
Universitas Negeri Surabaya
Isjoni, 2007. Cooperative Learning,
Bandung : Alfabeta
Lie, A, 2002. Cooperative Learning,
Jakarta : PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia
Moleong, J. L, 2006. Metodelogi
Penelitian Kualitatif.
Bandung : Remaja
Rosdakarya
Mudjiono, 2006. Belajar dan proses
belajar mengajar, Jakarta :
Usaha Nasional
Nurkencana, 1990. Evaluasi Hasil
Belajar, Surabay : Usaha
Nasional
Nana, S, 2004. Dasar-Dasar Proses
Belajar Mengajar, Bandung
: Sinar Baru Algensindo
Slavin, E. R, 1998. Cooperative
Learning, Proyek Pendidikan
Guru Sekolah Dasar :
Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997/1998
Slameto, 1999. Belajar dan Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi.
Jakarta : Rineka Cipta.
Santoso, A, 2006. Kamus Lengkat
Bahasa Indonesia untuk SD,
SLTP, SMU dan UMUM.
Surabaya : Alumni
Suharsimi, A, 2007. Penelitian
Tindakan Kelas, Bumi
Aksara:Jakarta
______,2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek,
Rineka Cipta : Jakarta
_______,1998. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek,
Rineka Cipta:Jakarta
_______,2002. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek,
Rineka Cipta:Jakarta
Suwarno, W, 2006. Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan, Jogjakarta : Ar-
Ruzs
UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA DENGAN
PEMANFAATAN MEDIA CHARTA PADA PEMBELAJARAN
LINGKARAN DI KELAS VIII SMPN 4 BOLO TAHUN PELAJARAN
2010/2011
ARIF HIDAYAD
Dosen STKIP Taman Siswa Bima
ABSTRAK
Kata Kunci: Media Charta, Lingkaran, dan Prestasi Belajar
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah dengan
pemanfaatan media charta dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada
pembelajaran lingkaran di kelas VIII SMPN 4 Bolo tahun pelajaran
2010/2011. Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di SMPN 4 Bolo
dengan melibatkan siswa kelas VIII1 tahun ajaran 2010/2011 dengan subjek
penelitian sebanyak 30 orang siswa. Subjek dalam penelitian ini diambil
langsung dengan melihat kemampuan siswa yang heterogen yakni di kelas
VIII1 dari 7 kelas yang sudah ada.
Untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa dilakukan
evaluasi dengan memberikan tes soal essay yang terdiri dari 4 soal pada
pembelajaran lingkaran setiap akhir pertemuan. Evaluasi ini dilakukan
sebanyak dua kali yaitu pada akhir siklus I dan pada akhir siklus II. Hal ini
dilakukan karena pada siklus I siswa belum mencapai ketuntasan yang
diharapkan baik secara individu maupun klasikal.
Keberhasilan penelitian ini apabila pencapaian prestasi belajar siswa
dengan ketentuan minimal 85% siswa mencapai nilai ≥65 pada saat
evaluasi dilakukan. Dengan demikian untuk mencapai ketuntasan yang
diharapkan, maka siswa harus dapat menjawab 3 soal dengan benar dari 4
soal yang diberikan. Peningkatan prestasi belajar siswa pada pembelajaran
lingkaran dapat dilihat dari peningkatan porsentase dari siklus I ke siklus II.
Hasil analisis data menunjukan bahwa porsentase peningkatan
prestasi belajar siswa dilihat dari nilai rata-rata siswa pada siklus I ke siklus
II menunjukan peningkatan yaitu dari 6.13 menjadi 7.00, serta ketuntasan
klasikal pada siklus I ke siklus II yaitu dari 33.3% menjadi 86.6%.
Berdasarkan analisis ini, maka untuk memperbaiki tingkat
pemahaman belajar siswa adalah melalui pemberian materi yang sederhana
ke materi yang kompleks. Artinya guru matematika harus menanamkan
pemahaman konsep dasar kepada siswa sehingga siswa tidak kesulitan
mempelajari materi-materi berikutnya dan pemanfaatan media charta
merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
PENDAHULUAN
Pendidkan di sekolah
merupakan pendidikan formal yang
diselenggarakan melalui proses
belajar mengajar yaitu suatu proses
menterjemahkan dan
mentransformasikan nilai-nilai yang
terdapat dalam kurikulum kepada
siswa melalui interaksi belajar
mengajar sehingga menghasilkan
anak yang aktif, ulet dan rajin. Untuk
mewujudkan tuntutan kurikulum
tersebut tidaklah mudah dan tidak
semua siswa dapat mengikuti proses
belajar mengajar dengan baik.
Matematika sebagai salah
satu disiplin ilmu yang diajarkan
disekolah, dipilih guna
menumbuhkembangkan kemampuan
dan membentuk pribadi siswa serta
menyesuaikan terhadap
perkembangan IPTEK. Fungsi
matematika sekolah adalah sebagai
salah satu unsur masukan
instrumental yang memiliki objek
dasar abstrak dan berlandaskan
kebenaran konsistensi. Dalam sistim
proses belajar mengajar, guru
hendaknya memiliki dan
menggunakan strategi yang
melibatkan siswa aktif dalam belajar,
baik secara mental, fisik maupun
sosial (Depdikbud, 1999: 1-3).
Media merupakan alat bantu
dalam pengajaran. Penggunaan
media sangat memberikan pengaruh
terhadap aktivitas dan semangat
siswa dalam proses belajar mengajar. Penggunaan media sangat
dipengaruhi berbagai macam media
seperti penggunaan media charta
yang sering kali dimanfaatkan
melalui bagan dan gambar oleh guru
dalam mengajar, khususnya dalam
pelajaran matematika. Rahadi (2004)
dalam (Muhtar, 2009: 2)
mengatakan bahwa “Media Charta
merupakan penyajian ide-ide atau
konsep yang sulit sehingga lebih
mudah dicerna siswa”. Dalam
kenyataanya bahwa media charta
digunakan guru dalam
menyampaikan materi dalam
subpokok bahasan tertentu. Dengan
penggunaan media charta siswa
diharapkan agar mampu lebih cepat
memahami materi yang disampaikan
oleh guru, seperti materi subpokok
lingkaran pada pelajaran matematika
kelas VIII SMP ini.
Media Charta dalam
penggunaannya adalah menggunakan
gambar dalam penyampaiannya.
Bagi siswa, hal ini setidaknya dapat
menarik minat dan perhatiannya
dengan memperhatikan gambar-
gambar bahkan dapat mengkaji dan
menganalisa serta menyimpulkan apa
yang dilihat dan apa yang didengar
sebagai bahan belajarnya. Lewat
kesempatan itulah, siswa dapat
membuka pikiran untuk memahami
lebih dalam tentang pelajaran
matematika, dan untuk meraih
prestasi belajar dapat terus
dilakukannya. Siswa yang kritis
dapat membandingkan antara
penjelasan dengan gambar dan penjelasan secara teoritis oleh guru
dalam proses pembelajaran.
Dari hasil observasi yang
dilaksanakan di SMPN 4 Bolo dan
hasil wawancara dengan guru mata
pelajaran matematika yang mengajar
di SMPN 4 Bolo tersebut, didapatkan
bahwa kesulitan-kesulitan belajar
yang dialami siswa pada
pembelajaran lingkaran adalah siswa
masih kesulitan dalam membedakan
apa itu jari-jari dan diameter pada
lingkaran serta masih bingung dalam
membedakan luas daerah dan
keliling lingkaran terutama pada
soal-soal latihan yang berbentuk soal
cerita. Hal ini terlihat pada hasil
ulangan harian siswa kelas VIII1 s/d
VIII4 tahun pelajaran 2009/2010
untuk materi lingkaran belum
mencapai ketuntasan belajar minimal
≥65 atau porsentase rata-ratanya
masih kurang dari 85%
(Depdiknas:1995). Pada kelas VIII1
dari 40 orang jumlah siswa, banyak
siswa yang belum memenuhi nilai
≥65 adalah sebanyak 32 orang siswa
dan terletak pada angka porsentase
ketuntasan klasikal sebesar 20%. Di
kelas VIII2 dari 38 orang siswa,
banyak siswa yang belum memenuhi
nilai ≥65 sebanyak 20 orang siswa
dan menunjukan angka ketuntasan
pada 47,4%. Begitu pula yang terjadi
pada kelas VIII3 dan VIII4, yaitu dari
39 orang siswa, yang belum
memenuhi nilai ≥65 adalah sebanyak
16 orang di kelas VIII3 dan sebanyak
15 orang di kelas VIII4 serta terletak
pada porsentase ketuntasan sebesar
59.9% dan 61.5%. Oleh karena itu,
dengan melihat ketuntasan klasikal
masing-masing kelas yang masih
jauh dari standar ketuntasan yang
diharapkan maka perlu diberikan perlakuan untuk meningkatkan
ketuntasan belajar minimal yang
diharapkan yaitu sebesar 85%. Dan
guru juga harus memberikan peranan
penting dalam pencapaian ketuntasan
yang diharapkan tersebut, yaitu
dengan penyampaian materi yang
tidak bersifat monoton. Dengan kata
lain, guru harus pandai dalam
memilih metode pengajaran yang
sesuai dengan materi yang akan
disampaikan.
1. Hakikat
Pembelajaran Matematika dan
Hubungannya dengan Prestasi
Belajar
Dalam belajar
matematika, siswa bukan hanya
sekedar dituntut untuk mengetahui
simbol-simbol dan menghafal aturan-
aturan atau rumus-rumus tersebut. Ini
sesuai dengan pendapat
(Hudoyo,1979:34) yang mengatakan
bahwa misalnya seorang siswa ingat
rumus-rumus atau aturan-aturan,
karenanya ia dapat memanipulasi
simbol-simbol. Jika aturan-aturan ini
tidak diikuti pengertian yang
mendasari ide-ide tersebut, maka
kerja yang dilakukan itu bukanlah
jenis aktivitas berfikir, melainkan
suatu latihan yang merupakan
hafalan belaka. Sedangkan seperti
yang kita ketahui bersama bahwa
belajar matematika bukan kegiatan
menghafal tetapi belajar matematika
sebenarnya untuk mendapatkan
pengertian hubungan dan simbol dan
kemudian mengaplikasikan konsep-
konsep yang dihasilkan ke situasi
yang nyata.
Dalam pembelajaran
matematika sangat diperlukan
pemanfaatan media sebagai alat
untuk menyampaikan materi.
Dimana, matematika itu sendiri adalah ilmu tentang logika mengenai
bentuk, susunan, besaran dan
konsep-konsep yang berhubungan
dengan jumlah yang banyak dan
timbul karena pikiran manusia yang
berhubungan dengan ide, proses dan
penalaran.
Kata media berasal dari
bahasa latin yaitu merupakan bentuk
jamak dari kata “medium” yang
secara harafiah berarti perantara atau
pengantar. Dengan demikian media
merupakan wacana penyalur
informasi belajar atau penyalur pesan
(Djamarah dan Zaen, 1997:34).
Secara lebih khusus,
pengertian media dalam proses
belajar mengajar cenderung diartikan
sebagai alat grafis, photografis atau
elektronis untuk menangkap,
memproses dan menyusun kembali
informasi visual atau verbal. Media
adalah bahan yang dapat memotivasi
siswa untuk belajar (Sastrowijoyo,
1991;12).
Natawijaya (1979) dalam
( Muhtar, 2009: 8) menyatakan
bahwa media charta adalah suatu
penyajian bergambar untuk
mendapatkan sejumlah besar
informasi, menunjukan suatu
perkembangan obyek, lembaga,
orang, keluarga dan dilihat dari sudut
ruang dan waktu. Pendapat diatas
dapat dikatakan bahwa media charta
adalah media yang berupa gambar
yang digunakan guru dalam proses
belajar mengajar dengan tujuan
untuk dapat menarik minat siswa
pada saat guru menerangkan materi
kepada siswa.
Sedangkan menurut
Sudjana dan Rivai (1992) dalam (
Muhtar 2009: 10) mengemukakan
manfaat media charta dalam proses
belajar mengajar antara lain: a) Pengajaran akan lebih menarik
perhatian siswa sehingga dapat
menumbuhkan motivasi belajar
b) Bahan pengajaran akan lebih jelas
maknanya sehingga dapat lebih
mudah dipahami oleh siswa dalam
mengemukakannya, menguasai
dan mencapai tujuan pengajaran
c) Metode pengajaran akan lebih
bervariasi, tidak semata-mata
komunikasi verbal melalui
peraturan kata-kata oleh guru,
sehingga siswa tidak bosan dan
guru tidak kehabisan tenaga
apalagi kalau guru berhalangan
untuk mengajar pada saat jam
pelajarannya.
d) Siswa dapat lebih banyak
melakukan kegiatan belajar, sebab
tidak hanya mendengarkan uraian
guru, tetapi juga mereka dapat
melakukan aktivitas lain seperti
mengamati, melakukan,
mendemonstrasikan,
menerangkan dan lain-lain.
Berdasarkan beberapa
pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa hakekat pembelajaran
matematika merupakan aktivitas
berfikir dimana rumus-rumus dalam
matematika itu bukan hanya untuk
dihafal saja, namun siswa itu harus
mengerti bagaimana proses di
dapatnya rumus tersebut melalui
penerapan media charta, sehingga
siswa dapat mengerti akan aturan-
aturan atau rumus-rumus yang ada
dalam matematika itu sehingga dapat
dipergunakan untuk memecahkan
soal dan dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari dalam rangka
meningkatkan prestasi belajar.
Prestasi belajar merupakan hasil dari
belajar. Karena hasil bukan saja
berupa pengetahuan tetapi juga
berupa keterampilan kerja, sejauh mana siswa mampu menerapkan
pengetahuannya dalam kehidupan
sehari-hari dan menunjukan sikap
dan perubahan tingkah laku ke arah
yang positif.
METODELOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah
penelitian tindakan kelas (Classroom
Action Research), yang pada
hakekatnya dilakukan dengan tujuan
untuk memperbaiki kualitas proses
dan hasil belajar sekelompok peserta
didik
( Mulyasa, 2009: 10).
Perbaikan dilakukan secara
bertahap dan terus menerus selama
kegiatan penelitian dilakukan. Oleh
karena itu dalam PTK dikenal
adanya siklus pelaksanaan berupa:
tahap perencanaan, pelaksanaan
tindakan, evaluasi dan refleksi
(Mulyasa, 2009: 70-71).
Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) ini dilaksanakan di SMPN 4
Bolo desa Tambe kecamatan Bolo.
Penelitian ini dilaksanakan selama 1
bulan yaitu dari tanggal 11 Januari
2011 sampai dengan 11 Februari
2011.
Subjek dalam penelitian ini
adalah siswa kelas VIII1 yang
berjumlah sebanyak 30 orang siswa.
Pemilihan subjek penelitian
dilakukan dengan melihat langsung
kemampuan siswa yang heterogen
dari 7 kelas yang ada.
Jenis penelitian ini adalah
penelitian tindakan kelas, maka
langkah-langkah penelitian tindakan
kelas dengan tahapan sebagai
berikut:
1. Siklus I
a) Tahapan Perencanaan
1) Mengembangkan skenario
pembelajaran dengan memperhatikan indikator-
indikator hasil belajar.
2) Mengembangkan Lembar Kerja
Siswa (LKS)
3) Menyusun alat evaluasi hasil
belajar sesuai dengan indikator.
4) Mengembangkan pedoman atau
instrument yang digunakan dalam
siklus PTK.
5) Merencanakan analisa hasil tes
b) Tahapan Pelaksanaan
Tindakan
Pelaksanaan tindakan pada
siklus I dengan subpokok bahasan
lingkaran dilakukan sebanyak 4 kali
pertemuan dengan rincian, yang
mana pada pertemuan pertama dan
kedua untuk kegiatan pembelajaran
dan pertemuan ketiga dan keempat
untuk kegiatan tes hasil belajar
siswa. Tahap-tahap yang dilakukan
adalah:
1) Mengajukan beberapa masalah
kepada siswa
2) Membagikan lembar kerja siswa
pada kelompok-kelompok yang
telah dibentuk
3) Melaksanakan pembelajaran tatap
muka dengan berpedoman pada
skenario pembelajaran
c) Melaksanakan observasi
selama proses
pembelajaran berlangsung.
d) Tahapan Evaluasi
Pada pertemuan selanjutnya,
guru mengadakan evaluasi hasil
belajar untuk mengetahui
pemahaman atau penguasaan siswa
terhadap materi maupun konsep yang
telah dipelajari. Setelah itu guru
manganalisis tes untuk mengetahui
permasalahan yang belum dipahami.
e) Tahapan Refleksi
Refleksi dilakukan
berdasarkan hasil observasi terhadap prilaku siswa dan guru. Untuk
mengetahui hasil belajar siswa
dilakukan evaluasi hasil belajar.
Adanya kekurangan atau hambatan
selama mengikuti proses
pembelajaran, selanjutnya dilakukan
langkah-langkah perbaikan untuk
proses pembelajaran pada siklus II.
2. Siklus II
Pada siklus II prinsipnya
sama pada pelaksanaan siklus
I. Untuk penyempurnaan
permasalahan yang dihadapi
pada siklus I akan diperbaiki
pada siklus II.
a) Tahap Perencanaan
1) Membuat skenario
pembelajaran
2) Menyiapkan Lembar
Kerja Siswa (LKS)
3) Menyiapkan lembar
observasi
4) Membuat tes hasil
belajar.
b) Tahap Pelaksanaan
Tindakan
Pelaksanaan tindakan
pada siklus II dengan
subpokok bahasan
lingkaran dilakukan
sebanyak dua kali
pertemuan dengan rincian
pertemuan pertama untuk
kegiatan pembelajaran
sedangkan pertemuan
kedua untuk mengetahui
hasil belajar siswa dengan
memberi tes evaluasi.
Tahapan yang dilakukan
adalah:
1) Mengajukan masalah pada siswa
2) Membagikan LKS pada tiap-tiap
kelompok yang telah dibentuk
3) Melaksanakan pembelajaran tatap
muka dengan berpedoman pada
skenario pembelajaran 4) Melaksanakan observasi selama
proses pembelajaran berlangsung
dengan mengamati aktivitas guru
dan siswa.
c) Tahap Evaluasi
Seperti halnya pada siklus I,
kegiatan evaluasi hasil belajar
dilaksanakan pada akhir tindakan.
Tes yang diberikan dalam bentuk
essay dan dikerjakan secara
individu. Kemudian guru
menganalisis hasil akhir untuk
mengetahui tingkat penguasaan
siswa terhadap materi yang telah
dipelajarinya.
d) Tahap Refleksi
Refleksi dilakukan
berdasarkan hasil observasi
terhadap perilaku siswa dan guru.
Adanya kekurangan atau hambatan
selama mengikuti proses
pembelajaran selanjutnya dilakukan
langkah-langkah perbaikan dan
penyempurnaan untuk pelaksanaan
proses pembelajaran pada siklus
selanjutnya.
Data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan:
1) Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi adalah
pengumpulan data yang
dilakukan dengan pencatatan
dokumen. Pencatatan
dokumen adalah mencari data
mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan,
transkrip dan surat kabar,
majalah, notulen rapat, leger,
agenda serta sebagainya
(Arikunto, 2006: 231).
Pendapat di atas,
dapat dikatakan bahwa
dokumentasi adalah
pencatatan yang berupa catatan, transkrip dan surat
kabar, majalah, notulen rapat,
leger, agenda, buku rapor
ataupun hasil tes.
2) Teknik tes
Sedangkan data mengenai
hasil belajar siswa
dikumpulkan dengan
memberikan tes pada siswa.
Untuk instrumen yang
digunakan dalam
pengumpulan data ini adalah
tes hasil belajar yang berupa
essai yang terdiri dari 4 soal.
Tes ini diberikan bertujuan
untuk mengetahui
peningkatan prestasi belajar
siswa secara signifikan.
Hasil belajar yang diperoleh
siswa melalui pemberian tes,
dianalisis secara deskriptif
kualitatif dengan mencari
ketuntasan belajar siswa
digunakan kriteria sebagai
berikut:
a) Ketuntasan individu, setiap
siswa dalam proses belajar
mengajar dikatakan tuntas
secara individu terhadap
materi pelajaran yang
disajikan apabila siswa
mampu memperoleh nilai ≥
65 (Depdiknas, 1995).
b) Ketuntasan belajar dihitung
dengan menggunakan
(Depdiknas, 1995):
KB = 𝑋
𝑍 x 100 %
Keterangan:
KB = Ketuntasan
klasikal
x = Jumlah siswa
yang memperoleh nilai ≥ 65
z = Jumlah siswa
Sesuai dengan teknik
penilaian, kelas dikatakan
tuntas secara klasikal
terhadap materi pelajaran
yang disajikan jika
ketuntasan belajar mencapai
85 %.
Untuk mengetahui
keberhasilan siswa dalam
mengikuti pembelajaran
maka ketuntasan belajar
minimal 85 % siswa
mencapai nilai ≥ 65.
Diberikan kepada siswa 4
soal dan masing-masing soal
diberikan bobot 25, berarti
siswa harus dapat mejawab 3
soal dengan benar dari 4 soal
yang diberikan.
Yang menjadi indikator
keberhasilan penelitian ini
adalah pencapaian prestasi
belajar siswa dengan ketentuan
apabila minimal
85 % atau lebih siswa dikelas
mencapai nilai 65 pada saat
evaluasi, yang akan terlihat pada
hasil evaluasi.
Dengan demikian
pemanfaatan Media Charta pada
penelitian ini akan berhenti,
apabila 85 % siswa mencapai
prestasi belajar ≥ 65.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Hasil Observasi
Data hasil penelitian ini
meliputi hasil pengamatan aktifitas
siswa, hasil pengamatan aktifitas
guru, dan hasil ketuntasan siswa
secara individu dan klasikal.
Kegiatan observasi ini dilakukan
pada setiap kali pertemuan kecuali
pada saat ujian. Observasi ini
dilaksanakan oleh dua orang
pengamat untuk mengamati aktifitas
siswa, dan guru selama kegiatan
belajar mengajar berlangsung seperti
yang tersaji pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Persentase Aktifitas
Belajar Siswa
Pertem
uan
Juml
ah
siswa
(org)
Frekue
nsi
(org)
Persent
ase
(%)
Kateg
ori
P1 30 18 41-60 Cukup
Aktif
P2 30 17 41-60 Cukup
Aktif
P3 30 24 61-80 Aktif
P4 30 25 61-80 Aktif
(Sumber: Data primer diolah
tahun 2011)
Berdasarkan tabel 1 diatas,
dapat diketahui bahwa hasil
observasi pada pertemuan pertama
diperoleh persentase aktifitas siswa
menunjukan angka yang berada pada
kategori cukup aktif dengan
persentase terletak pada 41% s/d
60%. Pada pertemuan kedua
persentase aktifitas siswa tidak
menunjukan peningkatan yakni
masih terletak pada kategori cukup
aktif. Pada pertemuan ketiga,
persentase aktifitas menunjukan
angka peningkatan dari cukup aktif
menjadi aktif, hal ini dibuktikan oleh
persentase aktifitas terletak antara
61% s/d 80%. Sedangkan pada
pertemuan keempat persentase
aktifitas siswa masih dalam kategori
aktif yaitu terletak pada 61% s/d
80%.
Tabel 2. Persentase Aktifitas
Mengajar Guru Siklus I dan Siklus II
Perte
muan Siklus I
Perte
muan Siklus
II
Perse
ntase P(%)
J
umlah
i
tem
S
kor
tota
l
J
umlah
Item
S
kor
Tota
l
S
iklus
I
S
iklus
II
7 2
3 7
2
5
8
2.14
8
9.28
(Sumber: Data primer diolah
tahun 2011) Berdasarkan tabel 2 di atas,
terlihat bahwa persentase aktifitas
mengajar guru pada siklus I sebesar
82,14% dan terletak pada MI+1 SDI
s/d < MI +2 SDI dan masuk dalam
kategori aktif seperti terlihat pada
lampiran. Sedangkan pada siklus II
persentase aktifitas mengajar guru
menunjukan angka peningkatan
sebesar 7.14% yaitu dari 82.14%
menjadi 89.28% dan terletak pada
MI+1 SDI s/d < MI +2 SDI dan
masuk dalam kategori aktif seperti
terlihat pada lampiran 13 dan
lampiran 14.
Data Hasil Tes
Data hasil tes diberikan dan
diperoleh setelah pembelajaran
selesai. Tes tersebut dilaksanakan
dua kali yaitu pada siklus I dan pada
siklus II. Tes siklus I dilaksanakan
pada hari Rabu, tanggal 26 Januari
2011 dan tes pada siklus II pada hari
rabu, tanggal 2 Februari 2011. Hasil
tes tersebut terlihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 3. Porsentase ketuntasan
individu pada siklus I
Nilai Frekuens
i (org)
Porsentas
e (%)
Kategor
i
40-51
52-64
65-76
77-88
89-100
11
9
6
3
1
36.7
30.0
20.0
10.0
3.33
Tidak
tuntas
Tidak
tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Jumlah 30 100 %
(Sumber: Data primer diolah
tahun 2011)
Dari tabel 3 di atas, terlihat
bahwa siswa yang memperoleh nilai
40 s/d 51 adalah sebanyak 11 orang
siswa dan terletak pada angka
porsentase 36.7%. Sedangkan siswa
yang mendapat nilai 52 s/d 64 adalah
sebanyak 9 orang siswa dan terletak
pada porsentase 30.0%. Oleh karena itu, jumlah siswa yang dikategorikan
tidak tuntas sebanyak 20 orang siswa
dan jumlah porsentasenya sebesar
66.7%. Sedangkan siswa yang
dikategorikan tuntas adalah sebanyak
10 orang siswa dengan memperoleh
nilai 65 s/d 100 dan jumlah
porsentasenya terletak pada angka
33.3%.
Hasil analisis, menunjukan
bahwa frekuensi siswa yang
memperoleh nilai 65 s/d 100 adalah
sebanyak 10 orang siswa dan terletak
pada porsentase sebesar 33.33%. Hal
ini, menunjukan bahwa porsentase
ketuntasan secara klasikal pada
siklus I belum mencapai ketuntasan
yang diharapkan yaitu sebesar 85%.
Sedangkan yang tidak tuntas adalah
siswa yang memperoleh nilai 40 s/d
64 dan jumlah porsentasenya adalah
sebesar 66.7%. Sehingga porsentase
ketuntasan lebih kecil dari porsentase
ketidaktuntasan.
Sedangkan porsentase nilai
hasil belajar siswa pada siklus II
disajikan dalam bentuk tabel berikut
ini:
Tabel 4. Porsentase ketuntasan
individu pada siklus II Nilai Frekuensi
(org)
Porsentase
(%)
Kategori
60-64
65-69
70-74
75-79
80-84
85-89
90-94
95-100
4
8
11
2
4
-
-
1
13.3
26.6
36.6
6.6
13.3
-
-
3.3
Tidak
tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Jumlah 30 100 %
(Sumber: Data primer diolah
tahun 2011)
Dari tabel 4 di atas, terlihat
bahwa banyaknya siswa yang
memperoleh nilai 60 s/d 64 adalah
sebanyak 4 orang siswa dan terletak pada porsentase sebesar 13.3% serta
dikategorikan tidak tuntas karena
belum memenuhi kriteria ketuntasan
minimal yang di standarkan
sebelumnya (≥65). Sedangkan
sebanyak 26 orang siswa
memperoleh nilai ≥65 dan porsentase
ketuntasan klasikal terletak pada
angka 86.6%. Hal ini dapat dilihat
bahwa porsentase ketuntasan lebih
besar dari porsentase
ketidaktuntasan.
Hasil analisis, menunjukan
bahwa frekuensi siswa yang
memperoleh nilai 60 s/d 64 adalah
sebanyak 4 orang siswa dan terletak
pada porsentase sebesar 13.3%. Hal
ini, menunjukan bahwa porsentase
ketidaktuntasan secara klasikal pada
siklus II menunjukan angka yang
relatif kecil dibandingkan dengan
siklus I. Sedangkan siswa yang
memperoleh nilai lebih dari 65
adalah sebanyak 26 orang siswa dan
terletak pada angka porsentase
sebesar 86.7%. Sehingga porsentase
ketuntasan lebih besar dari
porsentase ketidaktuntasan dan
melebihi dari standar ketuntasan
klasikal yang ditentukan sebelumnya
yaitu sebesar 85%. Bila dilihat
bahwa terjadi peningkatan
ketuntasan klasikal dari siklus I ke
siklus II yaitu dari 33.33% menjadi
86.7%.
Sehingga jika dibuatkan tabel
ketuntasan secara klasikal dari siklus
I ke siklus II, seperti terlihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 5. Porsentase ketuntasan
klasikal pada siklus I dan siklus II Siklus I Siklus II
Jum
lah
sisw
a
Sis
wa
yan
g
tun
tas
Ketunt
asan
(%)
Jum
lah
Sisw
a
Sis
wa
yan
g
tun
tas
Ketunt
asan
(%)
30 10 33.3 30 26 86.6
(Sumber: Data primer diolah
tahun 2011)
Tabel 5 merupakan tabel
ketuntasan belajar siswa secara
klasikal setelah dilaksanakan tes dua
kali yaitu pada siklus I dan siklus II.
Pada tes siklus I jumlah siswa yang
memenuhi standar kelulusan
sebenyak 10 orang siswa dari 30
orang siswa. Sedangkan pada tes
siklus II, jumlah siswa yang
memenuhi standar kelulusan
sebenyak 26 orang siswa dari 30
orang siswa. Hal ini menunjukan ada
peningkatan dari siklus I ke siklus II
yaitu dari 33.3% menjadi 86.7%
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data
pada tabel aktifitas siswa, terlihat
pada pertemuan pertama dan kedua,
aktifitas siswa dikategorikan cukup
aktif. Sedangkan pada pertemuan
ketiga dan keempat aktifitas siswa
dikategorikan aktif. Hal ini jauh
lebih baik dibandingkan dengan
pertemuan pertama dan kedua.
Peningkatan aktifitas ini disebabkan
karena siswa sudah paham dan
mengerti terhadap penerapan media
charta pada saat pembelajaran
berlangsung dan tidak terlepas dari
peran guru yang selalu aktif pada
setiap pertemuan. Keaktifan guru ini
ditunjukan dengan persentase yang
meningkat dari siklus I ke siklus II
yaitu dari 82.14% menjadi 89.28%.
Berdasarkan analisis deskriptif
pada tabel hasil ketuntasan belajar
baik secara individu maupun
klasikal, dapat dikatakan bahwa
siswa tuntas belajarnya dan semakin
meningkat. Hal ini terbukti dari
besarnya persentase ketuntasan klasikal dalam ujian tes dari siklus I
ke siklus II adalah dari 33.3%
menjadi 86.7%. persentase ini
melebihi standar ketuntasan klasikal
yang telah ditentukan sebelumnya
yaitu sebesar 85%. Meskipun ada
beberapa siswa yang belum tuntas
belajarnya yaitu sebanyak 4 orang
siswa. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain karena
siswa belum menguasai sepenuhnya
materi lingkaran yang telah
diajarkan dan siswa tersebut kurang
teliti dalam mengerjakan soal.
KESIMPULAN
Dengan memperhatikan hasil
penelitian dan analisis data yang
telah dilakukan maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pembelajaran
dengan pemanfaatan media charta,
dilihat dari aktifitas siswa dan guru
pada siklus I dan siklus II diperoleh
hasil yang baik dan menunjukan
angka peningkatan. Hal ini ditandai
dengan meningkatnya prestasi
belajar siswa dari siklus I ke siklus II
dan persentasenya ketuntasan
klasikal dari 33.33% menjadi 86.7%.
persentase ini melebihi standar
ketuntasan yang ditentukan
sebelumnya yaitu sebesar 85%.
Tentunya hal ini, dipengaruhi oleh
tingkat keaktifan siswa dan guru
selama proses pembelajaran
berlangsung yang semakin
meningkat. Sehingga penerapan
media charta pada pembelajaran
lingkaran dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta
Budiningsih, Asri, 2005. Belajar dan
Pembelajaran. PT. Rineka
Cipta: Jakarta
Depdikbud, 1999. Garis-Garis besar
Program Pengajaran.
Depdikbud: Jakarta
Djamarah, S.B. 1997. Guru Dan
Anak Didik Dalam Interaksi
Edukatif. Universitas Negeri
Surabaya
Hamalik, Oemar. 2010. Kurikulum
dan Pembelajaran. Bumi
Aksara: Jakarta
Hudoyo, Herman. 1979.
Pengembangan Kurikulum
Matematika Dan
Pelaksanaan di Depan
Kelas. Usaha Nasional:
Surabaya
Kartono Kartini, 1995. Psikologi
Anak ( Psikologi
Perkembangan). Mandar
maju: Bandung
Muhtar, 2009. Pengaruh
Pemanfaatan Media Charta
Terhadap Prestasi Belajar
Siswa pada Pokok Bahasan
Sistem Reproduksi. Skripsi
tidak dipublikasikan.
Jakarta.
Mulyasa H.E, 2009. Praktik
Penelitian Tindakan Kelas.
PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung
Nasution S, 2010. Berbagai Pendekatan dalam Proses
Belajar dan Mengajar. PT.
Bumi Aksara: Jakarta
Natawijaya R, 1979. Alat Peraga
Dan Komunikasi
Pendidikan. PT. Bunda
Karya: Jakarta
Purwanto, 1992. Psikologi
Pendidikan. Jamars: Bandung
Rahadi A, 2004. Media
Pembelajaran. Departemen
Pendidikan Nasional:
Jakarta
Riddles, 2007. Puzzle Problem. E-
Book
Roestiyah.N.K, 2000. Strategi
Belajar Mengajar. Bina Aksara:
Bandung
Sastrowijoyo, 1991. Teknologi
Pembelajaran. PT.
Paramitha: Jakarta
Sumartana, 1985. Dasar-Dasar
kependidikan. Jamars:
Bandung
Syah, Muhibbin.2010. Psikologi
Belajar. PT. Grafindo
Persada: Jakarta
Wijaya dan Rusyan, 1994.
Kemampuan Dasar Guru
Dalam Proses Belajar
Mengajar. PT. Remaja
Rosdakarya: Bandung
Yamin, Martinis, 2010. Strategi
Pembelajaran Berbasis
Kompetensi. Gaung
Persada: Jakarta
http://www.
Depdiknas.go.id./jurnal/44/
Editorial.htm
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM GAME
TOURNAMENT (TGT) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA
SISWA KELAS X SMA NEGERI 4 KOTA BIMA TAHUN PELAJARAN
2012/2013
HAERUNNAZILLAH, MUTAWAFAQ
Dosen STKIP Taman Siswa Bima
ABSTRAK
Kata-kata Kunci: Prestasi Belajar, Metode Kooperatif Tipe TGT
Banyak model pembelajaran yang bisa diterapkan oleh seorang guru dalam
kegiatan pembelajaran di sekolah, misalnya model pembelajaran kolaboratif maupun
kooperatif. Intinya bagaimana guru mampu menerapkan metode pembelajaran tersebut
terhadap beragamnya materi yang disampaikan. Salah satu model pembelajaran yang
dianggap mampu memberikan tingkat pemahaman atau daya serap siswa dalam
penyampaian materi pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif TGT (Team
Game Tournament) Dari uraian tersebut penulis merasa tertarik untuk mengadakan
penelitian ilmiah dengan judul ” Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team
Game Tournament (TGT) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas X
SMA Negeri 4 Kota Bima Tahun Pelajaran 2012/2013”.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian Tindakan Kelas dengan subyek
penelitian adalah 35 orang siswa kelas X-8 SMA Negeri 4 Kota Bima Tahun Pelajaran
2012/2013. Prosedur pengumpulan data menggunakan tes, observasi, catatan lapangan,
dan wawancara. Teknik analisis data menggunakan metode analisis data kualitatif.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Team Game Tournament dapat
meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas X-8 SMA Negeri 4 Kota Bima terhadap
pokok bahasan Kinematika Gerak. Hal ini dapat dilihat pada hasil yang telah dicapai
sebagai berikut: Siklus I; persentase ketuntasan belajar siswa sebesar 74,29%. Dan
terjadi peningkatan pada siklus II; Nilai ketuntasan belajar siswa sebesar 85,71%. Hasil
tersebut menunjukkan sudah tercapainya indikator penelitian yang ditetapkan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Team Game
Tournamet pada pokok bahasan kinematika gerak dapat meningkatkan hasil belajar
fisika siswa kelas X-8 SMA Negeri 4 Kota Bima Tahun Pelajaran 2012/2013.
PENDAHULUAN
Perkembangan dan perubahan
yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Indonesia tidak terlepas
pengaruh global dan perubahan IPTEK.
Perubahan secara terus menerus ini
menuntut adanya perbaikan system
pendidikan nasional, terutama memacu
adanya variasi pembelajaran yang
menjadi tuntutan dasar dalam proses
pembelajaran di sekolah. Metode
sebagai bagian penting dalam upaya
pencapaian hasil belajar yang optimal.
Oleh karena itu, guru di harapkan lebih
kreatif dan inovatif dalam menerapkan
berbagai metode pembelajaran yang
telah ada sehingga dapat menarik minat
siswa terhadap pelajaran fisika dengan
tujuan untuk meningkatkan hasil belajar
yang pada akhirnya di harapkan prestasi
belajar siswa meningkat sesuai dengan
tujuan pembelajaran.
Sesuai dengan kenyataan
dilapangan, meskipun sudah
menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) namun pada
umumnya proses belajar mengajar fisika
dikelas masih menggunakan metode
ceramah. Hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan guru mengenai
metode pembelajaran maupun strategi
pembelajaran yang sesuai dengan
penerapan KTSP. Sering kali proses
belajar dan hasil belajar tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Pada
pembelajaran yang bersifat teacher
centered memberikan beberapa dampak
negatif bagi siswa diantaranya siswa
menjadi pasif, siswa menjadi kurang
kreatif dan jika mengandalkan
penjelasan dari guru saja, maka
informasi yang diterima akan sedikit.
Untuk mencapai keberhasilan
pembelajaran yang diharapkan, upaya
atau usaha yang dapat dilakukan oleh
guru adalah dengan cara memperhatikan
siswa, menguasai materi pelajaran dan
memilih model pembelajaran yang
tepat. Salah satu cara untuk
meningkatkan aktivitas belajar dan hasil
belajar adalah dengan memilih suatu
pembelajaran yang tidak membosankan
(monoton) dan mengupayakan siswa
untuk bekerja dalam suatu kelompok
belajar. Salah satu model pembelajaran
yang melibatkan siswa aktif adalah
model Pembelajaran Kooperatif
(Cooperative learning). Menurut Isjoni
(2007: 15) “Cooperative learning
berasal dari kata cooperative yang
artinya mengerjakan sesuatu secara
bersama-sama dengan saling membantu
satu satu sama lainnya sebagai satu
kelompok atau satu tim.”.
Team Game Tournament
(TGT) merupakan salah satu model
pembelajaran kooperatif yang dapat
meningkatkan aktifitas siswa dalam
belajar serta memungkinkan siswa
untuk mengembangkan pengetahuan,
kemampuan, dan keterampilannya
secara penuh atau maksimal. Pada TGT
ini siswa dapat belajar berkelompok dan
bertanding dengan suasana yang
berbeda. Sehingga diharapkan mampu
meningkatkan aktivitas belajar siswa
dan akhirnya berdampak pada
peningkatan hasil belajar siswa.
Berdasarkan wawancara
dengan siswa kelas X SMA Negeri 4
Kota Bima tahun pelajaran 2011/2012
pada hari Senin tanggal 7 Mei 2012 di
SMA Negeri 4 Kota Bima dapat
diketahui bahwa guru fisika yang
mengajar mereka belum pernah
menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe Team Game
Tournament. Dan sistem pembelajaran
yang dilaksanakan masih menggunakan
sistem pembelajaran konvensional yaitu
ceramah, pemberian tugas dan tanya
jawab. Hal ini menyebabkan minimnya
motivasi belajar siswa yang dikarenakan
kurangnya keterlibatan aktifitas siswa
dalam proses pembelajaran, sehingga
kebanyakan siswa cenderung pasif dan
hanya siswa-siswa tertentu saja yang
mampu menjawab pertanyaan.
Rendahnya motivasi belajar dan
aktifitas siswa tersebut berdampak pada
hasil belajar yang diperoleh siswa pada
ulangan harian pada pokok bahasan
Besaran dan Satuan kurang memuaskan
rata-rata sebesar 64,41 dengan kriteria
ketuntasan minimal 65 (Sumber Data:
SMA Negeri 4 Kota Bima tahun 2011).
Data hasil belajar siswa untuk 3 tahun
terakhir dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 1.1 Data Hasil Belajar
siswa pada pokok Bahasan Besaran
dan Satuan Nilai Rata-rata
Ulangan Harian KKM Tahun
55,10 65 2010
64,41 65 2011
57,23 65 2012
Kondisi seperti ini sepatutnya
mendapatkan penanganan yang segera.
Salah satu penanganan yang dapat
dilakukan adalah dengan mencoba
mencari strategi, model, metode atau
teknik pembelajaran yang mampu
membuat siswa senang dalam belajar,
mengaktifkan siswa dan meningkatkan
aktifitas belajar siswa sehingga mampu
meningkatkan hasil belajar siswa.
Berdasarkan hal tersebut, model
pembelajaran yang dapat membawa
kondisi demikian adalah model
pembelajaran kooperatif tipe Team
Game Tournament.
Dalam situs
(http://ipotes.wordpress.com/2008/05/1
1/) dijelaskan bahwa TGT adalah salah
satu tipe pembelajaran kooperatif yang
menempatkan siswa dalam kelompok-
kelompok belajar yang beranggotakan 5
sampai 6 orang siswa yang memiliki
kemampuan, jenis kelamin dan suku
kata atau ras yang berbeda. Guru
menyajikan materi, dan siswa bekerja
dalam kelompok mereka masing -
masing. Dalam kerja kelompok guru
memberikan LKS kepada setiap
kelompok. Tugas yang diberikan
dikerjakan bersama-sama dengan
anggota kelompoknya. Apabila ada dari
anggota kelompok yang tidak mengerti
dengan tugas yang diberikan, maka
anggota kelompok yang lain
bertanggungjawab untuk memberikan
jawaban atau menjelaskannya, sebelum
mengajukan pertanyaan tersebut kepada
guru. Akhirnya untuk memastikan
bahwa seluruh anggota kelompok telah
menguasai pelajaran, maka seluruh
siswa akan diberikan permainan
akademik. Dalam permainan akademik
siswa akan dibagi dalam meja-meja
turnamen, dimana setiap meja turnamen
terdiri dari 5 sampai 6 orang yang
merupakan wakil dari kelompoknya
masing - masing. Dalam setiap meja
permainan diusahakan agar tidak ada
peserta yang berasal dari kelompok
yang sama. Siswa dikelompokkan
dalam satu meja turnamen secara
homogen dari segi kemampuan
akademik, artinya dalam satu meja
turnamen kemampuan setiap peserta
diusahakan agar setara. Hal ini dapat
ditentukan dengan melihat nilai yang
mereka peroleh pada saat pre-test. Skor
yang diperoleh setiap peserta dalam
permainan akademik dicatat pada
lembar pencatat skor. Skor kelompok
diperoleh dengan menjumlahkan skor -
skor yang diperoleh anggota suatu
kelompok, kemudian dibagi banyaknya
anggota kelompok tersebut. Skor
kelompok ini digunakan untuk
memberikan penghargaan tim berupa
sertifikat dengan mencantumkan
predikat tertentu. Menurut Slavin
pembelajaran kooperatif tipe TGT
terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu :
tahap penyajian kelas (class
precentation), belajar dalam kelompok
(teams), permainan (games),
pertandingan (tournament), dan
perhargaan kelompok (teams
recognition).
Ciri-ciri Model Pembelajaran
Kooperatif tipe TGT
1. Siswa Bekerja Dalam Kelompok -
Kelompok Kecil
Siswa ditempatkan dalam
kelompok - kelompok belajar yang
beranggotakan 4 sampai 6 orang yang
memiliki kemampuan, jenis kelamin,
dan suku atau ras yang berbeda. Dengan
adanya heterogenitas anggota
kelompok, diharapkan dapat memotifasi
siswa untuk saling membantu antar
siswa yang berkemampuan lebih dengan
siswa yang berkemampuan kurang
dalam menguasai materi pelajaran. Hal
ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa
kesadaran pada diri siswa bahwa belajar
secara kooperatif sangat menyenangkan.
2. Games Tournament
Dalam permainan ini setiap
siswa yang bersaing merupakan wakil
dari kelompoknya. Siswa yang
mewakili kelompoknya, masing -
masing ditempatkan dalam meja - meja
turnamen. Tiap meja turnamen
ditempati 5 sampai 6 orang peserta, dan
diusahakan agar tidak ada peserta yang
berasal dari kelompok yang sama.
Dalam setiap meja turnamen diusahakan
setiap peserta homogen. Permainan ini
diawali dengan memberitahukan aturan
permainan. Setelah itu permainan
dimulai dengan membagikan kartu -
kartu soal untuk bermain (kartu soal dan
kunci ditaruh terbalik di atas meja
sehingga soal dan kunci tidak terbaca).
Permainan pada tiap meja turnamen
dilakukan dengan aturan sebagai
berikut. Pertama, setiap pemain dalam
tiap meja menentukan dulu pembaca
soal dan pemain yang pertama dengan
cara undian. Kemudian pemain yang
menang undian mengambil kartu undian
yang berisi nomor soal dan diberikan
kepada pembaca soal. Pembaca soal
akan membacakan soal sesuai dengan
nomor undian yang diambil oleh
pemain. Selanjutnya soal dikerjakan
secara mandiri oleh pemain dan
penantang sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan dalam soal. Setelah
waktu untuk mengerjakan soal selesai,
maka pemain akan membacakan hasil
pekerjaannya yang akan ditangapi oleh
penantang searah jarum jam. Setelah itu
pembaca soal akan membuka kunci
jawaban dan skor hanya diberikan
kepada pemain yang menjawab benar
atau penantang yang pertama kali
memberikan jawaban benar. Jika semua
pemain menjawab salah maka kartu
dibiarkan saja. Permainan dilanjutkan
pada kartu soal berikutnya sampai
semua kartu soal habis dibacakan,
dimana posisi pemain diputar searah
jarum jam agar setiap peserta dalam
satu meja turnamen dapat berperan
sebagai pembaca soal, pemain, dan
penantang. Disini permainan dapat
dilakukan berkali - kali dengan syarat
bahwa setiap peserta harus mempunyai
kesempatan yang sama sebagai pemain,
penantang, dan pembaca soal. Dalam
permainan ini pembaca soal hanya
bertugas untuk membaca soal dan
membuka kunci jawaban, tidak boleh
ikut menjawab atau memberikan
jawaban pada peserta lain. Setelah
semua kartu selesai terjawab, setiap
pemain dalam satu meja menghitung
jumlah kartu yang diperoleh dan
menentukan berapa poin yang diperoleh
berdasarkan tabel yang telah disediakan.
Selanjutnya setiap pemain kembali
kepada kelompok asalnya dan
melaporkan poin yang diperoleh
berdasarkan tabel yang telah disediakan.
Selanjutnya setiap pemain kembali
kepada kelompok asalnya dan
melaporkan poin yang diperoleh kepada
ketua kelompok. Ketua kelompok
memasukkan poin yang diperoleh
anggota kelompoknya pada tabel yang
telah disediakan, kemudian menentukan
kriteria penghargaan yang diterima oleh
kelompoknya.
3. Penghargaan Kelompok
Langkah pertama sebelum
memberikan penghargaan kelompok
adalah menghitung rerata skor
kelompok. Untuk memilih rerata skor
kelompok dilakukan dengan cara
menjumlahkan skor yang diperoleh oleh
masing - masing anggota kelompok
dibagi dengan dibagi dengan banyaknya
anggota kelompok. Pemberian
penghargaan didasarkan atas rata - rata
poin yang didapat oleh kelompok
tersebut. Dimana penentuan poin yang
diperoleh oleh masing - masing anggota
kelompok didasarkan pada jumlah kartu
yang diperoleh.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yaitu pendekatan yang
dinyatakan dalam bentuk verbal dan
dianalisis tanpa menggunakan statistik.
Bogdan dan Taylor dalam Usman
(2008: 229) mendefinisikan metodelogi
kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.
Jenis penelitian ini
merupakan penelitian tindakan kelas
(PTK). PTK merupakan suatu penelitian
yang mengangkat masalah-masalah
aktual yang dihadapi oleh guru
dilapangan (Usman, 2008: 217). PTK
ialah suatu penelitian yang dilakukan
secara sistematis reflektif terhadap
berbagai tindakan yang dilakukan oleh
guru yang sekaligus sabagai peneliti,
sejak disusunnya suatu perencanaan
sampai dengan penilaian terhadap
tindakan nyata di dalam kelas yang
berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk
memperbaiki kondisi pembelajaran
yang dilakukan (Usman, 2008: 219).
Tujuan penelitian tindakan kelas adalah
untuk memperbaiki dan atau
meningkatkan kualitas praktek
pembelajaran secara berkesinambungan
yang diselenggarakan oleh guru/
pengajar-penaliti itu sendiri, yang
dampaknya diharapkan tidak ada lagi
permasalahan yang mengganjal di kelas.
Pelaksanaan penelitian
tindakan kelas dilakukan melalui
beberapa siklus dimana setiap siklus
terdiri dari 4 tahap, yaitu:
a. Planing (Perencanaan)
Rencana merupakan langkah awal
guru sebelum melakukan sesuatu.
Dilakukan dengan rencana kedepan
serta fleksibel untuk menerima efek-
efek yang tak terduga. Dengan
demikian dapat mengatasi hambatan.
b. Action (Tindakan)
Merupakan penerapan dari
perencanaan yang telah dibuat dapat
dibuat suatu model pembelajaran
yang dalam hal ini adalah metode-
metode atau cara-cara agar dapat
perbedaan yang akan dilakukan oleh
peneliti dan sampel.
c. Observation (Pengamatan)
Dalam hal pengamatan agar dapat
melihat dan mendokumentasikan
pengaruh-pengaruh yang diakibatkan
oleh tindakan dalam kelas. Hasil
penelitian akan menjadi dasar
dilakukannya refleksi sehingga
pemantapan yang dilakukan harus
dapat menceritakan hal
sesungguhnya.
d. Reflection (Refleksi)
Refleksi meliputi: kegiatan analisis,
sintesis, penafsiran. menjelaskan dan
menyimpulkan. Dan hasil refleksi ini
untuk memperbaiki kinerja guru
pada pertemuan selanjutnya.
Subjek penelitian ini adalah
siswa kelas X-8 SMA Negeri 4 Kota
Bima semester ganjil tahun ajaran
2012/2013 yang berjumlah 35 orang
siswa.
Rencana Tindakan
Rencana yang akan dilaksanakan dalam
penelitian tindakan ini adalah tahap pra
tindakan dan tahap pelaksanaan
tindakan.
1. Tahap pra tindakan
Adapun langkah-langkah tiap siklus
tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
SIKLUS 1
1. Perencanaan a. Menyiapkan RPP untuk materi
yang akan diajarkan sesuai
dengan model pembelajaran
kooperatif tipe team game
tournament.
b. Menyiapkan LKS dengan materi
mengenai GLB.
c. Menyiapkan lembar observasi
aktivitas peneliti dan siswa.
d. Menyiapkan perangkat turnamen.
e. Membentuk kelompok belajar
yang heterogen dan turnamen
yang homogen.
2. Pelaksanaan Pelaksanaan tindakan diatur sebagai
berikut:
a. Penyajian materi
Pada tahap ini peneliti bertindak
sebagai guru menyampaikan tujuan
pembelajaran kemudian
memotivasi siswa dan mengaitkan
materi ke dalam kehidupan sehari-
hari. Aktivitas yang terjadi didalam
kelas ini diamati oleh observer.
b. Belajar kelompok
Pada tahap ini guru meminta siswa
berkelompok sesuai dengan
kelompok yang telah ditentukan.
Pembagian kelompok belajar ini
disusun sedemikian rupa sehingga
terbentuk kelompok yang heterogen
dari segi kemampuan akademik.
Didalam kelompok belajar ini siswa
diberi tugas untuk mendiskusikan
masalah yang ada dalam LKS yang
telah dibagikan guru. Setelah
selesai, salah satu kelompok yang
ditunjuk oleh guru
mempresentasikan hasil diskusinya.
c. Turnamen
Pada tahap ini anggota kelompok
dikumpulkan secara homogen
berdasarkan tingkat kemampuan
akademiknya. Mereka akan
bertanding dalam satu meja
turnamen, disini mereka diuji
tentang pemahamannya terhadap
maeri yang telah dipelajari. Skor
hasil dari turnamen tersebut akan
dikumpulkan ke dalam skor
kelompok dan akan menentukan
kelompok terbaik.
d. Penghargan kelompok
Prosedur atau teknik
pengumpulan data yang digunakan
pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Tes Skor awal siswa diperoleh dari
nilai ulangan harian materi sebelumnya.
Skor awal ini digunakan untuk
membentuk kelompok belajar dan
mengetahui peningkatan hasil belajar
siswa pada siklus 1, yaitu persentase
siswa yang tuntas belajar pada data skor
awal di bandingkan dengan persentase
siswa yang tuntas belajar pada tes akhir
siklus 1. Pada penelitian ini terdapat dua
macam tes, yaitu tes turnamen dan tes
akhir siklus. Tes turnamen digunakan
untuk mengetahui pemahaman dan
meningkatkan minat siswa terhadap
materi yang telah dipelajari. Turnamen
diadakan pada setiap akhir
pembelajaran. Pada saat turnamen,
siswa diberi beberapa soal untuk
dikerjakan di lembar jawaban dan siswa
akan mendapat skor turnamen. Skor
kelompok diperoleh dengan
menjumlahkan skor turnamen setiap
anggota kelompok dalam satu kelompok
belajar dengan skor dari LKS. Skor
setiap kelompok akan diurutkan dari
yang tertinggi sampai yang terendah.
Dan tiga kelompok dengan skor
tertinggi akan mendapat penghargaan
kelompok. Tes akhir siklus
dilaksanakan dua kali, yaitu tes akhir
siklus 1 dan tes akhir siklus 2. Tes akhir
siklus digunakan untuk mengetahui
peningkatan hasil belajar fisika siswa
pada setiap siklus yaitu dengan
membandingkan persentase siswa yang
tuntas belajar pada masing-masing
siklus.
2. Observasi Observasi dilakukan untuk
mengamati kegiatan dikelas selama
pembelajaran. Kegiatan yang diamati
meliputi aktivitas peneliti dan aktivitas
siswa dalam pembelajaran. Lembar
observasi di gunakan untuk mengetahui
adanya kesesuaian antara pelaksana
tindakan dan perencanaan yang telah
disusun serta untuk mengamati respon
positif siswa terhadap model
pembelajaran kooperatif tipe team game
tournament.
3. Wawancara Wawancara yang digunakan
dalam penelitian ini bersifat terbuka dan
terstruktur. Dikatakan demikian karena
subjek penelitian mengetahui secara
langsung bahwa mereka sedang
diwawancarai dan pertanyaan-
pertanyaan wawancara yang dibuat oleh
peneliti terstruktur dengan rapi.
Wawancara kepada subjek penelitian ini
dilaksanakan setelah pembelajaran
siklus 2 berakhir.
4. Catatan Lapangan
Catatan lapangan digunakan
untuk pengamatan yang berisi tentang
hal-hal yang terjadi selama
berlangsungnya pembelajaran dan
interaksi antara guru dan siswa yang
terkait dengan pembelajaran yang tidak
tercatat dalam lembar observasi.
Dengan demikian, data yang dianggap
penting tidak terlewatkan.
Teknik Analisa Data
Data yang terkumpul selanjutnya
dianalisis sesuai dengan pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu pendekatan kualitatif, maka data
yang terkumpul dalam penelitian ini
dianalisis dengan menggunakan metode
analisis data kualitatif.
1. Ketuntasan Belajar Klasikal
Untuk mengetahui
persentase ketuntasan belajar
siswa secara klasikal
menggunakan rumus:
KK=𝑛
𝑁×100%
Keterangan: KK = Ketuntasan
klasikal
n = Jumlah siswa
yang tuntas
N = Jumlah siswa
dalam kelas
2. Aktivitas Guru dan Siswa Untuk mengetahui aktivitas
guru dan siswa pada saat proses
belajar mengajar menggunakan
rumus:
A = 𝑖
𝐼 × 100%
Keterangan: A = Aktivitas
i = Indikaror
yang diperoleh
I = Indikator
keseluruhan
Indikator Keberhasilan
Adapun indikator keberhasilan
dalam setiap siklus dapat diuraikan
sebagai berikut:
a) Hasil observasi aktivitas peneliti dan
aktivitas siswa telah menunjukkan
bahwa pelaksanaan pembelajaran
sesuai dengan lembar observasi
mencapai skor rata-rata 70% dengan
taraf keberhasilan tindakan sebagai
berikut; (1) Nilai rata-rata lebih dari
80% dan kurang dari sama dengan
100% keberhasilannya sangat baik.
(2) Nilai rata-rata lebih dari 60% dan
kurang dari sama dengan 80%
keberhasilannya baik. (3) Nilai rata-
rata lebih dari 40% dan kurang dari
sama dengan 60% keberhasilannya
cukup baik. (4) Nilai rata-rata lebih
dari 20% dan kurang dari sama
dengan 40% keberhasilannya kurang
baik. (5) Nilai rata-rata lebih dari 0%
dan kurang dari sama dengan 20%
keberhasilannya tidak baik.
Taraf keberhasilan tindakan
dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 2 Taraf keberhasilan
tindakan
80% < NR 100% Sangat Baik
60% NR 80% Baik
40% < NR 60% Cukup Baik
20% < NR 40% Kurang Baik
0% < NR 20% Tidak Baik
b) Hasil tes akhir dari semua
subjek paling sedikit 70% dari
jumlah siswa telah memperoleh
skor rata-rata 65
c) Hasil wawancara siswa telah
memberikan informasi bahwa
siswa senang dalam mengikuti
pembelajaran dan lebih
memahami materi yang
dipelajarinya.
HASIL PENELITIAN
Berikut ini menyajikan hasil observasi
aktivitas peneliti dan aktivitas siswa.
Tabel 4.1 Hasil Observasi Aktivitas
Peneliti Pada Kegiatan Pembelajaran
Siklus 1 No Indikator Pengamat
1. Mengucapkan salam 4
2. Menertibkan suasana kelas 4
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran 4
4. Memberi motivasi belajar siswa 3
5. Menginformasikan kegiatan yang harus dilakukan siswa 4
6. Menjelaskan materi 3
7. Membentuk kelompok belajar 4
8. Membagikan LKK kepada setiap kelompok 4
9. Meminta setiap kelompok untuk menyelesaikan tugas yang ada
pada LKK 3
10. Memantau aktivitas siswa selama pembelajaran 3
11. Memotivasi siswa untuk mengemukakan pendapat atau
pemikirannya pada saat diskusi kelompok 2
12. Memberi bantuan kepada kelompok dengan mengarahkan siswa
agar memperoleh jawaban 3
13. Menjawab pertanyaan siswa jika ada yang bertanya 3
14. Memberi pujian kepada siswa yang menjawab dengan tepat,
bertanya atau mengemukakan pendapat 2
15. Mengidentifikasi dan memotivasi siswa yang kurang aktif dalam
aktivitas belajarnya 3
16. Memberikan respon dengan segera terhadap kesulitan maupun
kemajuan siswa 3
17. Meminta kelompok umtuk melakukan presentasi secara klasikal 2
18. Memberi komentar, pertanyaan atau mengkonfrontasi jawaban
siswa 2
19. Menyimpulkan hasil belajar bersama-sama siswa 3
20. Mengucapkan salam 4
Berdasarkan hasil observasi pada
tabel 4.1, jumlah skor yang diperoleh
pengamat adalah 63 dari skor total 80,
dengan demikian presentase nilai rata-
ratanya adalah 78,75%. Berdasarkan
kriteria taraf keberhasilan kegiatan
peneliti dalam melaksanakan
pembelajaran termasuk kategori baik.
Tabel 4.2 Hasil Observasi Aktivitas
Siswa Pada Kegiatan Pembelajaran
Siklus 1 No Indikator Pengamat
1. Menjawab salam 4
2. Menciptakan suasana tenang 3
3. Menunjukkan antusias antara lain keingintahuan yang besar
tampak bersemangat, gembira dan senang 2
4. Bergabung sesuai dengan kelompok belajar masing-masing 4
5. Antusias pada saat guru membagikan LKS 2
6. Memperhatikan penjelasan guru 2
7. Memperhatikan dan memahami soal yang di berikan 3
8. Memahami dan menganalisa masalah dalam LKK melalui diskusi 3
9. Mendiskusikan dengan anggota kelompok tentang apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal yang ada dalam LKK 4
10. Siswa berani mengajukan pertanyaan guru jika ada kesulitan 4
11. Siswa berani mengemukakan pendapat 4
12. Menghargai pendapat teman 2
13. Terlihat semangat pada saat mengikuti pembelajaran Fisika 2
14. Mengerjakan semua tugas 3
15. Berusaha mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya 3
16. Berusaha secepatnya melaporkan hasil pekerjaan 4
17. Antusias waktu diminta mempresentasikan hasil kelompok 2
18. Menanggapi hasil kerja kelompok lain 1
19. Dengan arahan guru membuat rangkuman dan kesimpulan 4
20. Menjawab salam 4
Berdasakan hasil observasi
pada tabel 4.2, jumlah skor yang
diperoleh pengamat adalah 60 dari skor
total 80, dengan demikian persentase
nilai rata-ratanya adalah 75%.
Berdasarkan kriteria taraf keberhasilan
kegiatan peneliti dalam melaksanakan
pembelajaran termasuk kategori baik.
Untuk mendapatkan informasi
yang lebih lengkap, maka peneliti juga
membuat catatan lapangan. Hasil
catatan lapangan dapat dilihat pada
tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Catatan Lapangan
Pada Pembelajaran Siklus 1 Aktivitas Hasil Catatan Lapangan
Guru
Suara guru kurang jelas pada saat menjelaskan materi
Terlalu cepat pada saat
menjelaskan materi
Siswa
Masih ada siswa yang
enggan belajar kelompok
Siswa yang berkemampuan
rendah kurang mampu mengemukakan pendapatnya
Turnamen
Banyak siswa yang
kebingungan dengan aturan
turnamen
Ada siswa yang meminta bantuan jawaban kepada
temannya
Sedangkan untuk hasil tes
siklus 1 lebih jelasnya dapat dilihat pada
lampiran 11. Dari hasil tes siklus 1 ini
diketahui bahwa nilai yang diperoleh
siswa meningkat dari tes sebelum diberi
tindakan. Siswa yang mendapatkan nilai
≥ 65 sebanyak 26 siswa dari 35 siswa,
dengan demikian ketuntasan belajar
setelah melaksanakan pembelajaran
kooperatif tipe TGT adalah 74,29%
yang berarti kelas tersebut telah
mencapai ketuntasan belajar secara
klasikal. Sedangkan siswa yang
mendapatkan nilai ≤ 65 sebanyak 9
siswa, dengan demikian siswa yang
tidak tuntas adalah 25,71%
Dari hasil observasi
ditemukan beberapa masalah yang
menunjukkan bahwa proses
pelaksanaan pembelajaran kooperatif
tipe TGT masih belum memenuhi
harapan peneliti sehingga diperlukan
perbaikan pada siklus 2.
Masih kurangnya aktivitas siswa
pada saat belajar kelompok karena
tidak terbiasa dengan belajar
kelompok secara heterogen, selain
itu juga adanya siswa yang
bermasalah dengan temannya dalam
satu kelompok.
Masih kurangnya keberanian siswa
dalam mengemukakan pendapat.
Masih ada siswa yang kurang
memahami materi karena peneliti
menjelaskan terlalu cepat.
Siswa belum memahami aturan
turnamen dan masih ada yang
meminta bantuan jawaban temannya.
Adapun tindakan perbaikan yang
akan dilaksanakan oleh peneliti pada
siklus berikutnya adalah sebagai
berikut:
Memberikan motivasi kepada siswa
untuk saling bekerja sama demi
keberhasilan kelompok tanpa
memasukkan masalah individu pada
saat belajar.
Memotivasi siswa agar percaya diri
untuk mengeluarkan pendapatnya.
Menambah waktu untuk menjelaskan
materi.
Meminta siswa untuk memahami
aturan permainan dan bersikap
sportif.
Berdasarkan data-data yang
diperoleh menunjukkan bahwa aktivitas
peneliti dan siswa dalam pembelajaran
kooperatif telah mencapai kriteria
keberhasilan dalam kategori baik.
Selain itu hasil tes siswa pada akhir
siklus 1 menunjukkan bahwa 74,29%
siswa mencapai ketuntasan belajar
secara klasikal. Setelah didiskusikan
bersama guru bidang studi fisika, maka
siklus 1 tidak perlu diulang dan peneliti
dapat melanjutkan pada siklus 2.
berikut ini menyajikan hasil observasi
aktivitas peneliti dan aktivitas siswa.
Tabel 4.4 Hasil Observasi Aktivitas
Peneliti Pada Kegiatan Pembelajaran
Siklus 2 No Indikator Pengamat
1. Mengucapkan salam 4
2. Menertibkan suasana kelas 3
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran 4
4. Memberi motivasi belajar siswa 3
5. Menginformasikan kegiatan yang harus dilakukan siswa 3
6. Menjelaskan materi 3
7. Membentuk kelompok belajar 4
8. Membagikan LKK kepada setiap kelompok 4
9. Meminta setiap kelompok untuk menyelesaikan tugas yang ada
pada LKK 4
10. Memantau aktivitas siswa selama pembelajaran 4
11. Memotivasi siswa untuk mengemukakan pendapat atau
pemikirannya pada saat diskusi kelompok 3
12. Memberi bantuan kepada kelompok dengan mengarahkan siswa
agar memperoleh jawaban 3
13. Menjawab pertanyaan siswa jika ada yang bertanya 3
14. Memberi pujian kepada siswa yang menjawab dengan tepat,
bertanya atau mengemukakan pendapat 2
15. Mengidentifikasi dan memotivasi siswa yang kurang aktif dalam
aktivitas belajarnya 4
16. Memberikan respon dengan segera terhadap kesulitan maupun
kemajuan siswa 3
17. Meminta kelompok umtuk melakukan presentasi secara klasikal 3
18. Memberi komentar, pertanyaan atau mengkonfrontasi jawaban
siswa 3
19. Menyimpulkan hasil belajar bersama-sama siswa 3
20. Mengucapkan salam 4
Berdasarkan hasil observasi
pengamat pada tabel 4.4 tersebut,
jumlah skor yang diperoleh adalah 67
dari skor total 80, dengan demikian
presentase nilai rata-ratanya adalah
83,75%. Berdasarkan kriteria taraf
keberhasilan kegiatan peneliti dalam
melaksanakan pembelajaran termasuk
kategori sangat baik.
Tabel 4.5 Hasil Observasi Aktivitas
Siswa Pada Kegiatan Pembelajaran
Siklus 2
No Indikator Penga
mat
1. Menjawab salam 4
2. Menciptakan suasana tenang 2
3.
Menunjukkan antusias antara lain
keingintahuan yang besar tampak
bersemangat, gembira dan senang 3
4.
Bergabung sesuai dengan
kelompok belajar masing-masing 3
5. Antusias pada saat guru
membagikan LKK 4
6. Memperhatikan penjelasan guru 4
7. Memperhatikan dan memahami
soal yang di berikan 2
8.
Memahami dan menganalisa
masalah dalam LKK melalui
diskusi 3
9.
Mendiskusikan dengan anggota
kelompok tentang apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan
dari soal yang ada dalam LKK
3
10.
Siswa berani mengajukan
pertanyaan guru jika ada kesulitan 4
11. Siswa berani mengemukakan
pendapat 3
12. Menghargai pendapat teman 3
13.
Terlihat semangat pada saat
mengikuti pembelajaran Fisika 3
14. Mengerjakan semua tugas 3
15. Berusaha mengerjakan tugas
dengan sebaik-baiknya 3
16. Berusaha secepatnya melaporkan
hasil pekerjaan 3
17. Antusias waktu diminta
mempresentasikan hasil kelompok 3
18. Menanggapi hasil kerja kelompok
lain 3
19. Dengan arahan guru membuat
rangkuman dan kesimpulan 2
20. Menjawab salam 4
Berdasakan hasil observasi
pengamat pada tabel 4.5 tersebut,
jumlah skor yang diperoleh adalah 62
dari skor total 80, dengan demikian
persentase nilai rata-ratanya adalah
77,5%. Berdasarkan kriteria taraf
keberhasilan kegiatan peneliti dalam
melaksanakan pembelajaran termasuk
kategori baik.
Untuk mendapatkan
informasi yang lebih lengkap, peneliti
juga membuat catatan lapangan. Hasil
catatan lapangan dapat dilihat pada
tabel 4.6 berikut ini.
Tabel 4.6 Hasil Catatan Lapangan
Pada Pembelajaran Siklus 2 Aktivitas Hasil Catatan Lapangan
Guru Guru sudah bisa
menanggapi pertanyaan
siswa dengan baik.
Siswa Siswa sudah mulai berani untuk mengemukakan
pendapatnya.
Turnamen Siswa masih ramai pada saat bergabung dengan
kelompok turnamen
Sedangkan untuk hasil tes
siklus 2 lebih jelasnya dapat dilihat pada
lampiran 12. Dari hasil tes siklus 2 ini diketahui bahwa nilai yang diperoleh
siswa meningkat dari tes siklus 1. Siswa
yang mendapatkan nilai ≥ 65 sebanyak
30 siswa, dengan demikian ketuntasan
belajar setelah melaksanakan
pembelajaran kooperatif tipe TGT
adalah 85,71% yang berarti kelas
tersebut telah mencapai ketuntasan
belajar secara klasikal. Sedangkan siswa
yang mendapatkan nilai ≤ 65 sebanyak
5 siswa, dengan demikian siswa yang
tidak tuntas adalah 14,29%.
Dari hasil observasi dan
catatan lapangan diketahui bahwa pada
proses pelaksanaan pembelajaran
kooperatif tipe TGT siklus 2 ini sudah
mengalami peningkatan. Kekurangan-
kekurangan yang ada pada siklus 1 telah
diperbaiki pada siklus 2 sehingga sudah
memenuhi harapan peneliti.
Berdasarkan data-data yang
diperoleh menunjukkan bahwa aktivitas
peneliti dan siswa dalam pembelajaran
kooperatif tipe TGT telah mencapai
kriteria keberhasilan dalam kategori
baik. Hasil tes siswa pada akhir siklus 2
meningkat menjadi 85,71% siswa
mencapai ketuntasan belajar secara
klasikal. Selain itu melihat hasil
wawancara dengan subjek penelitian
menunjukkan bahwa siswa menyukai
pembelajaran kooperatif tipe TGT
karena siswa merasa lebih memahami
materi pelajaran, bertanggung jawab
terhadap kelompoknya dan tidak bosan
karena ada turnamen serta hadiahnya.
PEMBAHASAN
Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe TGT (Team Games
Tournament)
Pembelajaran tentang
Kinematika Gerak dalam penelitian ini
dilakukan dengan menerapkan
pembelajaran kooperatif tipe TGT.
Pembelajaran kooperatif tipe TGT ini
disusun dalam dua tahap, yaitu pra
kegiatan pembelajaran dan detail
kegiatan pembelajaran yang terdiri dari
penyajian materi, belajar kelompok,
turnamen, dan penghargaan kelompok.
Penelitian yang berlangsung
selama 2 siklus ini terdiri dari 4 kali
pertemuan. Pada siklus 1, peneliti
melaksanakan pra kegiatan
pembelajaran dengan membuat lembar
observasi untuk aktivitas peneliti dan
siswa selama pembelajaran
berlangsung, menyiapkan catatan
lapangan dan Lembar Kerja Siswa I
(LKS I) yang berisi tentang materi
Gerak Lurus Beraturan. Dengan melihat
skor awal, kemudian siswa dalam satu
kelas yang sebanyak 35 siswa tersebut
dibagi menjadi 9 kelompok belajat yang
heterogen terdiri dari 4 siswa. Keempat
siswa dalam kelompok diklasifikasikan
1 siswa bekemampuan tinggi, 2 siswa
berkemampuan sedang dan 1 siswa
berkemampuan rendah. Menurut
Thompson dalam Isjoni (2007: 14),
keheterogenan tersebut bermanfaat
untuk melatih siswa agar dapat
menerima perbedaan dan bekerja sama
dengan teman yang berbeda latar
belakangnya.
Detail kegiatan pembelajaran
berlangsung pada pertemuan pertama
yaitu hari Selasa tanggal 4 September
2012 pukul 08.30-10.00 WITA dan
pertemuan kedua hari Rabu tanggal 5
September 2012 pukul 16.00-17.30
WITA.
Pada pertemuan pertama yang
berlangsung selama 90 menit, peneliti
melakukan kegiatan awal 20 menit,
dilanjutkan menyajikan materi Gerak
Lurus Beraturan selama 20 menit,
kemudian siswa berdiskusi
memecahkan masalah yang ada pada
LKS I selama 30 menit. Dalam diskusi
ini terjadi interaksi sosial siswa yang
mengalami kesulitan belajar akan
terbantu oleh teman. Selama
pembelajaran berlangsung, observasi
aktivitas peneliti dan siswa juga
dilksanakan oleh guru bidang studi.
Setelah diskusi selesai, di lanjutkan
presentasi siswa. Diakhir pertemuan,
peneliti bersama-sama siswa membuat
kesimpulan tentang materi yang telah
dibahas.
Pada pertemuan kedua,
peneliti melanjutkan pembelajaran
dengan turnamen tentang materi pada
pertemuan pertama. Kelompok
turnamen ini merupakan kelompok
homogen dalam kemampuan
akademiknya. Peneliti membagikan satu
set perangkat turnamen kepada masing-
masing kelompok. Dalam turnamen ini
yang bertanding adalah anggota
kelompok dalam satu meja turnamen
bukan antar meja turnamen. Setiap
anggota turnamen berlomba
mengumpulkan skor yang nanti skor
tersebut akan disumbangkan pada
kelompok belajar dan di gabungkan
dengan nilai LKS I. Setelah kedua skor
tersebut dijumlahkan dan di rata-rata,
maka di ketahui bahwa kelompok yang
memperoleh nilai tertinggi merupakan
pemenangnya. Untuk mengetahui hasil
belajar siswa maka diadakan tes akhir
siklus 1.
Dari siklus 1 ini, di temui
beberapa hal antara lain: 1) Masih
kurangnya aktivitas siswa pada saat
belajar kelompok karena tidak terbiasa
dengan belajar kelompok secara
heterogen, selain itu juga adanya siswa
yang bermasalah dengan temannya
dalam satu kelompok, 2) Masih
kurangnya keberanian siswa dalam
mengemukakan pendapat, 3) Masih ada
siswa yang kurang memahami materi
karena peneliti menjelaskannya terlalu
cepat, 4) Siswa belum memahami
aturan turnamen dan masih ada yang
meminta bantuan jawaban kepada
temannya. Namun dari hasil observasi,
secara keseluruhan nampak bahwa
aktivitas peneliti dan siswa selama
pembelajaran tergolong baik.
Pada siklus 2, peneliti
melaksanakan pra kegiatan
pembelajaran dengan membuat lembar
observasi untuk aktivitas peneliti dan
siswa selama pembelajaran
berlangsung, menyiapkan catatan
lapangan, pedoman wawancara, angket
minat dan Lembar Kerja Siswa II (LKS
II). Yang berisi tentang materi konsep
Gerak Lurus Berubah Beraturan. Detail
kegiatan pembelajaran berlangsung
pada pertemuan ketiga yaitu hari Selasa
tanggal 11 September 2012 pukul
08.30-10.00 WITA dan pertemuan
keempat yaitu hari Rabu tanggal 12
September 2012 pukul 16.00-17.30
WITA.
Pada pertemuan ketiga yang
berlangsung selama 90 menit, peneliti
melakukan kegiatan awal 5 menit,
dilanjutkan menyajikan materi konsep
GLBB selama 25 menit, kemudian
siswa berdiskusi memecahkan masalah
yang ada pada LKK II selam 30 menit,
kali ini siswa sudah mulai aktif dan
berani mengeluarkan pendapatnya.
Selama pembelajaran berlangsung,
observasi aktivitas peneliti dan siswa
juga dilaksanakan oleh guru bidang
studi. Setelah diskusi selesai,
dilanjutkan presentasi siswa. Diakhir
pertemuan, peneliti bersama-sama siswa
membuat kesimpulan tentang materi
yang telah dibahas.
Pada pertemuan keempat,
peneliti melanjutkan pembelajaran
dengan turnamen tentang materi pada
pertemuan ketiga. Pelaksanaan
turnamen sudah mengalami peningkatan
yaitu siswa telah memahami aturan
permainan sehingga turnamen berjalan
dengan lancar. Untuk mengetahui hasil
belajar siswa maka diadakan tes akhir
siklus 2. Setelah pembelajaran berakhir,
peneliti melakukan wawancara kepada
subjek wawancara, dilanjutkan dengan
membagikan angket respon kepada
siswa kelas X-8 SMA Negeri 4 Kota
Bima.
Dari siklus 2 ini, ditemukan
beberapa hal antara lain: 1) Siswa telah
berani mengeluarkan pendapatnya, 2)
Rasa percaya diri siswa sudah
meningkat, 3) Siswa telah memahami
aturan turnamen sehingga turnamen
dapat berjalan dengan lancar, 4) Siswa
berminat dan senang dengan
pembelajaran kooperatif yang telah
dilaksanakan, 5) Dari hasil observasi,
secara keseluruhan nampak bahwa
aktivitas peneliti dan siswa selama
pembelajaran tergolong baik.
1. Hasil Belajar Fisika
Pada siklus 1 dan siklus 2
hasil analisisnya menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan hasil belajar fisika
pada materi Kinematika Gerak setelah
menggunakan pembelajaran kooperatif
tipe TGT. Sesuai dengan hasil tes siklus
1 (dapat dilihat pada lampiran 11)
nampak bahwa terjadi peningkatan hasil
belajar siswa. Pada siklus 1, siswa yang
tuntas belajar secara klasikal adalah
74,29% meningkat daripada sebelum
diberi tindakan, siswa yang tidak tuntas
25,71%. Pada siklus 2, persentase siswa
yang tuntas belajar secara klasikal
meningkat lagi menjadi 85,71%.
2. Kendala yang Dihadapi dan
Solusinya
Kendala-kendala yang dihadapi
dalam penelitian mencakup beberapa
hal yaitu:
a) Siswa masih kurang aktif dalam
belajar kelompok karena ada
masalah individu dalam kelompok.
b) Siswa masih malu-malu dalam
menyampaikan hasil diskusi
kelompoknya.
c) Ada sebagian kelompok yang kurang
memahami materi karena
penyampaian peneliti dalam
menjelaskannya terlalu cepat.
d) Ada sebagian kelompok yang
mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan LKS.
e) Siswa belum memahami aturan
turnamen.
Adapun solusi yang diberikan
adalah sebagai berikut:
a) Peneliti memotivasi siswa agar selalu
aktif bekerjasama demi keberhasilan
kelompok.
b) Memotivasi siswa agar percaya diri
untuk mengeluarkan pendapatnya.
c) Menambah waktu untuk menjelaskan
materi.
d) Peneliti memberikan penjelasan
secukupnya kepada siswa yang
mengalami kesulitan agar
mendiskusikannya dengan
kelompoknya.
e) Meminta siswa untuk memahami
aturan permainan dan bersikap
sportif.
PENUTUP
Berdasarkan hasil kegiatan
pembelajaran fisika melalui
pembelajaran kooperatif tipe Team
Games Tournament (TGT) yang
telah dilaksanakan dua siklus, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Hasil belajar fisika siswa kelas X-8
SMA Negeri 4 Kota Bima Tahun
Pelajaran 2012/2013 setelah
menggunakan pembelajaran
kooperatif tipe TGT ternyata
meningkat. Hal ini dapat dilihat
dengan membandingkan hasil
persentase tes siswa pada akhir siklus
1 yang menunjukkan 74,29% siswa
telah tuntas belajar dan hasil
persentase tes siswa pada akhir siklus
2 yang menunjukkan 85,71% siswa
telah tuntas belajar.
2. Aktivitas siswa kelas X-8 SMA
Negeri 4 Kota Bima Tahun Pelajaran
2012/2013 setelah menggunakan
pembelajaran kooperatif tipe TGT
dapat dikatakan baik.
HUBUNGAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR FISIKA
SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 WOHA TAHUN PELAJARAN 2013/2014.
ANGGUN LESTARI
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan motivasi belajar dengan
prestasi belajar fisika siswa. Hipotesis yang diajukan adalah diduga bahwa terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar
siswa kelas VII SMP Negeri 1 Woha.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ex-post
facto, yakni melihat bentuk hubungan antara variabel-variabel yang di teliti. Metode ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara suatu variable dengan variabel-variabel
lain. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas vii smp negeri 1 woha
dengan jumlah sebanyak 85 siswa, dan sampel dalam penelitian ini sebanyak 85 siswa.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk memperoleh data adalah dengan
menggunakan angket (kuesioner) dalam bentuk pilihan ganda. Pengolahan data
diakukan dengan analisis korelasi product moment. Variabel yang diteliti dalam
penelitian ini adalah motivasi belajar (x) dan prestasi belajar (y).
Hasil penelitian dengan mengunakan analisis korelasi product moment
menunjukkan bahwa nilai rhitung=0,958 berada pada arah yang positif, sedangkan uji
signifikansi kofesien korelasi menunjukkan bahwa rtabel pada taraf signifikansi 5%
sebesar 0,213 dengan demikian dapat diketahui rhitung lebih tinggi daripada rtabel pada
taraf signifikansi 5%. Jadi terdapat hubungan yang positif dan signifikansi antara
motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa smp negeri 1 woha tahun pelajaran
2013/2014.
Kata kunci : motivasi belajar, prestasi belajar
PENDAHULUAN
Pendidikan nasional bertujuan
mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada tuhan yme, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan adanya hal tersebut, maka
dari waktu ke waktu bidang pendidikan
haruslah tetap menjadi prioritas dan
menjadi orientasi untuk diusahakan
perwujudan sarana dan prasarananya
terutama untuk sekolah. Salah satu
tugas pokok sekolah adalah menyiapkan
siswa agar dapat mencapai
perkembangannya secara optimal.
Seorang siswa dikatakan telah mencapai
perkembangannya secara optimal
apabila siswa dapat memperoleh
pendidikan dan prestasi belajar yang
sesuai dengan bakat, kemampuan dan
minat yang dimilikinya.
Kenyataan menunjukkan bahwa
disamping adanya siswa yang berhasil
secara gemilang, masih juga terdapat
siswa yang memperoleh prestasi belajar
yang kurang menggembirakan, bahkan
ada diantara mereka yang tidak naik
kelas atau tidak lulus evaluasi belajar
tahap akhir. Untuk mencapai prestasi
belajar yang baik, ada beberapa faktor
yang mempengaruhinya diantaranya
terdapat faktor dari dalam dan faktor
dari luar diri siswa. Faktor dari dalam
yaitu kesehatan, kecerdasan, perhatian,
minat dan bakat. Sedangkan faktor dari
luar diri siswa yaitu keluarga, sekolah,
disiplin, masyarakat, lingkungan
tetangga.
Belajar adalah proses perubahan
tingkah laku yang terjadi di dalam
satu situasi. Situasi belajar ini ditandai
dengan motif-motif yang ditetapkan
dan diterima oleh siswa. Terkadang
satu proses belajar tidak dapat
mencapai hasil maksimal disebabkan
karena ketiadaan kekuatan yang
mendorong (motivasi).
Belajar mengajar merupakan
suatu proses yang sangat kompleks,
karena dalam proses tersebut siswa
tidak hanya sekedar menerima dan
menyerap informasi yang disampaikan
oleh guru, tetapi siswa dapat
melibatkan diri dalam kegiatan
pembelajaran. Dari proses
pembelajaran tersebut siswa dapat
menghasilkan suatu perubahan yang
bertahap dalam dirinya, baik dalam
bidang pengetahuan, keterampilan dan
sikap. Adanya perubahan tersebut
terlihat dalam prestasi belajar yang
dihasilkan oleh siswa berdasarkan
evaluasi yang diberikan oleh guru.
Dalam proses belajar mengajar
motivasi sangat besar peranannya
terhadap prestasi belajar. Karena
dengan adanya motivasi dapat
menumbuhkan minat belajar siswa.
Bagi siswa yang memiliki motivasi
yang kuat akan mempunyai keinginan
untuk melaksanakan kegiatan belajar
mengajar. Sehingga boleh jadi siswa
yang memiliki intelegensi yang
cukup tinggi menjadi gagal karena
kekurangan motivasi, sebab hasil
belajar itu akan optimal bila terdapat
motivasi yang tepat.
Berdasarkan observasi dan
wawancara peneliti dengan kepala
sekolah dan guru-guru di smp negeri 1
woha, bahwa prestasi belajar yang
dicapai oleh siswa di sekolah tersebut
masih sangat kurang memuaskan
disebabkan oleh beberapa hal yang
salah satunya adalah kurangnya
motivasi terhadap siswa. Kenyataan ini
terlihat pada perilaku siswa yang kurang
semangat dalam proses pembelajaran
sehingga hasil belajar yang dicapai
kurang memuaskan.
Motivasi merupakan salah satu
aspek psikis yang memiliki pengaruh
terhadap pencapaian prestasi belajar.
Dalam psikologi, istilah motif sering
dibedakan dengan istilah motivasi.
Untuk lebih jelasnya apa yang
dimaksud dengan motif dan motivasi,
berikut ini penulis akan memberikan
pengertian dari kedua istilah tersebut.
Kata "motif" diartikan sebagai daya
upaya yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Motif dapat
dikatakan sebagai daya penggerak dari
dalam dan di dalam subyek untuk
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu
demi mencapai suatu tujuan. Bahkan
motif dapat diartikan sebagai suatu
kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal
dari kata “motif” itu maka motivasi
dapat diartikan sebagai daya penggerak
yang telah menjadi aktif. Motif menjadi
aktif pada saat-saat tertentu. Terutama
bila kebutuhan untuk mencapai tujuan
sangat dirasakan/mendesak
(sardiman.2004:73). Sedangkan dalam
kamus bahasa indonesia motivasi berarti
dorongan yang timbul pada diri
seseorang sadar atau tidak sadar untuk
melakukan sesuatu tindakan dengan
tujuan tertentu.
Beberapa pendapat para ilmuan
tentang definisi motivasi antara lain:
menurut martin dan briggs, motivasi
adalah kondisi internal dan eksternal
yang mempengaruhi bangkitnya arah
serta tetap berlangsungnya suatu
kegiatan atau tingkah laku. Good dan
brophy mendefinisikan motivasi sebagai
suatu energi penggerak, pengarah dan
memperkuat tingkah laku. Sedangkan
gagne motivasi suatu pengarah dan
memperkuat intensitas suatu tingkah
laku (wena.2008:32).
Lebih lanjut menurut mc. Donald
dalam (soemanto.1983:191) motivasi
adalah suatu perubahan tenaga di dalam
diri/pribadi seseorang yang ditandai
oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi
dalam usaha mencapai tujuan.
Berbicara tentang macam atau
jenis motivasi ini dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang. Berikut macam
atau jenis motivasi menurut sardiman
(2004:22)
Motivasi dilihat dari dasar
pembentukannya.
1) Motif-motif bawaan
yang dimaksud dengan motif bawaan
adalah motif yang dibawa sejak lahir,
jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari.
Sebagai contoh misalnnya: dorongan
untuk makan, dorongan untuk
minum, dorongan untuk bekerja,
untuk beristirahat. Motif-motif ini
seringkali disebut motif-motif yang
disyaratkan secara biologis.
2) Motif-motif yang dipelajari
maksudnya motif-motif yang timbul
karena dipelajari. Sebagai contoh:
dorongan untuk belajar suatu cabang
ilmu pengetahuan, dorongan untuk
mengajar sesuatu di dalam
masyarakat. Motif-motif ini
seringkali disebut dengan motif-
motif yang disyaratkan secara sosial.
Sebab manusia hidup dengan sesama
manusia yang lain. Sehingga
motivasi itu terbentuk.
Motivasi jasmaniah dan rohaniah
adapun yang termasuk dalam
motivasi jasmaniah seperti refleks,
insting otomatis, nafsu. Sedangkan
yang termasuk motivasi rohaniah
adalah kemauan.
soal kemauan itu pada setiap diri
manusia terbentuk melalui empat
momen
3) Momen timbulnya alasan
sebagai contoh seorang pemuda yang
sedang giat berlatih olahraga untuk
mengikuti porseni di sekolahnya,
tetapi tiba-tiba disuruh ibunya untuk
mengantarkan seorang tamu untuk
membeli tiket karena tamu itu mau
kembali ke jakarta. Si pemuda ini
kemudian mengantarkan tamu
tersebut. Dalam hal ini si pemuda
tadi timbul alasan baru untuk
melakukan suatu kegiatan (kegiatan
mengantar). Alasan baru itu bisa
karena untuk menghormat tamu atau
mungkin keinginan untuk tidak
mengecewakan ibunya.
4) Momen pilih
momen pilih adalah keadaan pada
waktu ada alternatif-alternatif yang
mengakibatkan persaingan diantara
alternatif atau alasan-alasan itu.
Kemudian seseorang menimbang-
nimbang dari berbagai alternatif
untuk kemudian menentukan pilihan
alternatif yang akan dikerjakan.
5) Momen putusan
dalam persaingan dalam berbagai
alasan, sudah barang tentu akan
berakhir dengan dipilihnya suatu
alternatif. Satu alternatif yang dipilih
inilah yang menjadi putusan untuk
dikerjakan.
6) Momen terbentuknya kemauan
kalau seseorang sudah menentukan
satu putusan untuk dikerjakan,
timbullah dorongan pada diri
seseorang untuk bertindak
melaksanakan putusan itu.
Motivasi intrinsik dan ekstrinsik
7) Motivasi intrinsik
yang dimaksud dengan motivasi
intrinsik adalah motif-motif yang
menjadi aktif atau berfungsinya tidak
perlu dirangsang dari luar, karena
dalam diri setiap individu sudah ada
dorongan untuk melakukan sesuatu.
8) Motivasi ekstrinsik
motivasi ekstriksik adalah motfi-
motif yang aktif dan berfungsinya
karena adanya perangsang dari luar.
prestasi adalah hasil dari suatu
kegiatan yang telah dikerjakan,
diciptakan baik secara individual
maupun secara kelompok.
Sedangkan belajar adalah suatu
aktivitas yang dilakukan secara sadar
untuk mendapatkan sejumlah kesan
dari bahan yang telah dipelajari.
Prestasi belajar adalah hasil yang
diperoleh berupa kesan yang
mengakibatkan perubahan-perubahan
dalam diri individual sebagai hasil
dari aktivitas dalam belajar
(djamarah,1994:19).
menurut pengertian secara
psikologi, belajar merupakan suatu
proses perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi
kebutuhan dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara
keseluruhan sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya
(slameto,2003).
dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa belajar adalah
suatu proses perubahan tingkah laku
yang terjadi pada diri seseorang
berkat interaksi dengan
lingkungannya yang terjadi secara
sadar, kontinyu, aktif, dan terarah
yang menyebabkan perubahan pada
pengetahuan, pemahaman dan
keterampilannya.
METODE PENELITIAN
jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah
kuantitatif ex-post facto yaitu
penelitian yang dilakukan untuk
menemukan pengaruh/hubungan
antara satu variabel dengan variabel
yang lain. Hal ini sesuai dengan
pendapat sugiyono (2008:23), yang
menyatakan bahwa penelitian yang
akan melihat hubungan antara satu
variabel dengan variabel lain.
populasi adalah keseluruhan
subyek dari suatu penelitian
(arikunto,2006). Adapun yang
menjadi populasi dalam penelitian
ini adalah siswa kelas viii smp
negeri 1 woha yang berjumlah 342
siswa dengan rincian sebagaimana
tertera pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Populasi penelitian
No Kelas Jumlah siswa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Viii.1
Viii.2
Viii.3
Viii.4
Viii.5
Viii.6
Viii.7
Viii.8
Viii.9
Viii.10
34
35
34
35
36
35
35
33
31
34
Jumlah 342
sampel adalah bagian dari
populasi. Jenis sampel yang di ambil
seharusnya mencerminkan populasi
(representative) (sugiyono, 2008:
118). Menurut riduwan (2009: 70),
bahwa apabila subyek kurang dari
100, maka lebih baik diambil
semuanya. Selanjutnya jika
subyeknya besar, dapat diambil
antara 10-15% atau 20-25% atau
lebih. Dalam penelitian ini populasi
berjumlah 342 orang. Penentuan
sampel adalah 25% dari populasi.
Banyak sampel adalah 25% x 341 =
85 siswa.
adapun tekhnik pengambilan
sampel yaitu probability sampling
dengan cara propotional random
sampling. Tekhnik ini dipakai untuk
memperoleh sampel yang
proposional dari populasi siswa di
setiap kelas. Adapun jumlah populasi
dan sampel dari setiap kelas
disajikan pada tabel 2.
No. Kelas Jumlah
popul
asi*
Jumlah
sam
pel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Viii.1
Viii.2
Viii.3
Viii.4
Viii.5
Viii.6
Viii.7
Viii.8
Viii.9
Viii.10
34
35
34
35
33
35
35
33
31
34
9
9
9
9
8
9
9
8
8
9
Jumlah 341 85
instrumen untuk mengumpulkan
data dalam penelitian ini adalah
berupa angket. Angket dalam
penelitian ini dibuat untuk
memperoleh data tentang hubungan
motivasi belajar dengan prestasi
belajar fisika siswa kelas viii smp
negeri 1 woha tahun pelajaran
2013/2014.
angket yang diberikan berupa
angket tertutup yang berbentuk skala
bertingkat dengan empat pilihan
jawaban yaitu a (sering sekali, nilai
3), b (sering, nilai 2), c (jarang, nilai
1) dan d (tidak pernah, nilai 0).
(suharsimi,2006.242)
Angket yang telah dibuat lalu
disebarkan ke responden dan dengan
uji coba dicari validitas dan
reliabilitas angket tersebut.
1. Uji validitas
Validitas butir angket ditentukan
dengan menggunakan teknik
korelasi produk momen angka
kasar dengan rumus:
Rxy =
})(}{)({
)).((
2222 YYNXXN
YXXYN
(suharsimi, 2006:72)
Keterangan:
Rxy : koefisien korelasi
antara variabel x dan variabel y,
dua variabel
yang dikorelasikan
N : banyaknya
subjek
x : jumlah skor item
y : jumlah skor total
xy : jumlah perkalian skor item dengan skor total
x2 : jumlah kuadrat skor
item
y2 : jumlah kuadrat skor total
Selanjutnya pengujian harga
koefisien korelasi itu dilakukan
dengan mengkonsultasikan ke
tabel r product moment dengan
taraf signifikan 5%. Sebuah soal
dikatakan valid jika harga rhitung
> rtabel..
2. Uji reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan
untuk mengetahui butir soal
yang dibuat reliabel atau tidak,
sehingga tiap butir soal dapat
dilakukan uji coba di tempat
lain. Untuk menghitung
reliabilitas menggunakan
program spss 16,0.
3. Uji prasyarat
A. Uji normalitas
Uji normalitas pada
penelitian ini akan dibantu
menggunakan program spss
16.0
B. Uji homogenitas
Uji homogenitas pada
penelitian ini akan dibantu
menggunakan program spss
16.0
4. Penentuan ktiteria distribusi
frekuensi
Penentuan kriteria
distribusi frekuensi dilakukan
untuk mengetahui frekuensi,
persentase serta ketegori dari
nilai motivasi belajar siswa,
seperti tampak pada tabel di
bawah ini:
Tabel 3. Kriteria distribusi frekuensi
No Interval Kriteria
1
2
3
4
X > mi + 1,5.sdi
Mi+1,5.sdi < x <
mi+sdi
Mi+sdi<x<mi-
1,5.sdi
X<mi-1,5.sdi
Sangat
tinggi
Tinggi
Rendah
Sangat
rendah
Setelah data terkumpul dengan
lengkap, maka dilakukan analisis
data dengan menggunakan tabel dan
menggunakan teknik\ deskriftip
prosentase sebagai berikut:
%100xN
fP
Keterangan:
P : prosentase yang dicari
F : frekuensi
N : banyaknya responden
Mencari angka korelasi dengan
rumus,
})(}{)({
)).((
2222 YYNXXN
YXXYNrxy
Keterangan :
Rxy : angka indeks .r. Produk
moment (antara variabel x dan
y)
N : jumlah responden
Xy : jumlah hasil perkalian
antara skor x dan y
x : jumlah seluruh skor x
y : jumlah seluruh skor y (suharsimi.2006:272).
Untuk mengetahui tinggi
rendahnya korelasi motivasi
belajar dengan prestasi belajar
siswa, maka digunakan tabel
interpretasi nilai r sebagai
berikut:
Tabel 4. Interpretasi nilai r
Besarnya nilai r Interpretasi
0,800 – 1,00
0,600 – 0,800
0,400 – 0,600
0,200 – 0,400
0,000 – 0,200
Tinggi
Cukup
Agak rendah
Rendah
Sangat rendah
(tak berkorelasi)
(arikunto,2006:276)
Kemudian dengan melihat tabel
nilai koefisisen korelasi "r" product
moment maka dilakukan perhitungan
seberapa besar konstribusi motivasi
belajar dengan prestasi belajar fisika
siswa, yaitu dengan menggunakan
koefisien determinasi yakni dengan cara
mengkuadratkan nilai rhitung dikalikan
dengan 100%.
Kd = r2 x 100% (sugiyono,
2008:259)
hasil penelitian
Setelah data diperoleh melalui
angket yang diberikan kepada
siswa,kemudian data tersebut diolah
dalam bentuk tabel dengan
menggunakan teknik deskriptif
prosentase.
Adapun pengolahan angket pada
teknik deskriptif prosentase
menggunakan rumus:
%100xN
fP
Hasil angket dimasukkan dalam
tabulasi yang merupakan proses
mengubah data dan instrumen
pengumpul data (angket) menjadi tabel-
tabel angka (prosentase), dapat dilihat
pada tabel-tabel berikut :
Tabel 5.
Belajar setiap hari atas kemauan
sendiri
Alternatif F %
Sering sekali 22 25.9
Sering 46 54.1
Jarang 16 18.8
Tidak pernah 1 1.2
Jumlah 85 100
Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 25,9% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali belajar setiap hari atas
kemauannya sendiri, 54,1% sering,
18,8% jarang, dan 1,2% tidak
pernah.
Tabel 6
Masuk sekolah tepat pada waktunya Alternatif F %
Sering sekali 38 44.7
Sering 37 43.5
Jarang 9 10.6
Tidak pernah 1 1.2
Jumlah 85 100
Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 44,7% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali masuk sekolah tepat pada
waktunya, 43,5% sering, 10,6%
jarang, dan 1,2% tidak pernah.
Tabel 7
Siswa belajar tanpa dipaksa
oleh orang tua Alternatif F %
Sering sekali 8 9.4
Sering 10 11.8
Jarang 20 23.5
Tidak pernah 47 55.3
Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 9,4% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali belajar tanpa ada paksaan dari
orang tua, 11,8% sering, 23,5%
jarang, dan 55,3% tidak pernah.
Tabel 8
Membaca buku-buku yang ada
kaitannya dengan pelajaran fisika Alternatif F %
Sering sekali 11 12.9
Sering 46 54.1
Jarang 25 29.4
Tidak pernah 3 3.5
Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 12,9% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali membaca buku-buku yang
ada kaitannya dengan pelajaran
fisika, 54,1% sering, 29,4% jarang,
dan 3,5% tidak pernah.
Tabel 9
Menyaksikan acara televisi yang
ada kaitannya dengan pelajaran
Alternatif F %
Sering sekali 3 3.5
Sering 22 25.9
Jarang 39 45.9
Tidak pernah 21 24.7
Jumlah 85 100
Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 3,5% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali menyaksikan acara televisi
yang ada kaitannya dengan
pelajaran, 25,9% sering, 45,9%
jarang, dan 24,7% tidak pernah.
Tabel 10
Mengerjakan tugas dari guru
meskipun tugas itu sangat sulit Alternatif F %
Sering sekali 34 40.0
Sering 38 44.7
Jarang 12 14.1
Tidak pernah 1 1.2
Jumlah 85 100
Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 40% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali mengerjakan tugas meskipun
sulit, 44,7% sering, 14,1% jarang,
dan 1,2% tidak pernah.
Tabel 11
Mempertimbangkan masa lalu
untuk meraih sukses Alternatif F %
Sering sekali 23 27.1
Sering 36 42.4
Jarang 17 20.0
Tidak pernah 9 10.6
Jumlah 85 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat
diketahui bahwa 27,1% siswa
menyatakan bahwa mereka sering sekali
mempertimbangkan masa lalu untuk
meraih sukses, 42,4% sering, 20%
jarang, dan 10,6% tidak pernah.
Tabel 12
Tidak mengabaikan tugas yang
diberikan Alternatif F %
Sering sekali 12 14.1
Sering 14 16.5
Jarang 18 21.2
Tidak pernah 41 48.2
Jumlah 85 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat
diketahui bahwa 14,1% siswa
menyatakan bahwa mereka sering sekali
untuk tidak mengabaikan tugas yang
diberikan, 16,5% sering, 21,2% jarang,
dan 48,2% tidak pernah.
Tabel 13
Membahas bidang studi fisika
setelah pulang sekolah Alternatif F %
Sering sekali 11 12.9
Sering 26 30.6
Jarang 34 40.0
Tidak pernah 14 16.5
Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 29,9% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali membahas bidang studi fisika
setelahpulang sekolah, 30,6%
sering, 40% jarang, dan 16,5% tidak
pernah.
Tabel 14
Mempunyai kemauan yang tinggi
untuk meraih pretasi Alternatif F %
Sering sekali 37 43.5
Sering 36 42.4
Jarang 10 11.8
Tidak pernah 2 2.4
Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 43.5% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali mempunyai kemauan yang
tinggi untuk meraih sukses, 42,4%
sering, 11,8% jarang, dan 2,4%
tidak pernah.
Tabel 15
Belajar giat agar prestasinya
lebih dari teman sekelasnya Alternatif F %
Sering sekali 45 52.9
Sering 32 37.6
Jarang 7 8.2
Tidak pernah 1 1.2
Jumlah 85 100
Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 52,9% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali belajar giat agar prestasinya
lebih dari teman sekelasnya, 37,6%
sering, 8,2% jarang, dan 1,2% tidak
pernah.
Tabel 16
Bertanya sesuatu pada guru
terkait pelajaran fisika Alternatif F %
Sering sekali 10 11.8
Sering 46 54.1
Jarang 21 24.7
Tidak pernah 8 9.4
Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 11,8% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali bertanya sesuatu pada guru
terkait pelajaran fisika, 54,1%
sering, 24,7% jarang, dan 9,4%
tidak pernah.
Tabel 17
Mendapat dorongan dari teman
untuk belajar lebih semangat Alternatif F %
Sering sekali 8 9.4
Sering 28 32.9
Jarang 34 40.0
Tidak pernah 15 17.6
Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 9,4% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali mendapat dorongan dari
teman untuk belajar lebih semangat,
32,9% sering, 40% jarang, dan
17,6% tidak pernah.
Tabel 18
Menyukai arahan dari guru
meskipun untuk belajar fisika Alternatif F %
Sering sekali 21 24.7
Sering 39 45.9
Jarang 22 25.9
Tidak pernah 3 3.5
Jumlah 85 100
Berdasarkan tabel di atas,
dapat diketahui bahwa 24,7% siswa
menyatakan bahwa mereka sering
sekali menyukai arahan dari guru
meskipun untuk belajar fisika,
45,9% sering, 25,9% jarang, dan
3,5% tidak pernah.
Tabel 19
Memperbaiki cara belajar tanpa
menunggu arahan dari guru Alternatif F %
Sering sekali 16 18.8
Sering 45 52.9
Jarang 17 20.0
Tidak pernah 7 8.2
Jumlah 85 100 Berdasarkan tabel di atas, dapat
diketahui bahwa 18,8% siswa
menyatakan bahwa mereka sering sekali
memperbaiki cara belajar tanpa
menunggu arahan dari guru, 52,9%
sering, 20% jarang, dan 8,2% tidak
pernah.
Dari hasil perhitungan, ternyata
angka nilai koefisien korelasi antara
hasil angket motivasi belajar dengan
prestasi belajar siswa sebesar 0,958.
(lampiran 8)
Selanjutnya untuk mengetahui
apakah ada hubungan yang positif atau
tidak, maka rhitung dibandingkan dengan
rtabel pada taraf signifikan 5%. Nilai rtabel
pada taraf signifikan 5% untuk n=85
adalah sebesar 0,213. Dengan demikian
dapat diketahui bahwa rhitung lebih tinggi
daripada rtabel. (lampiran:10)
Dari hasil perhitungan, telah
diperoleh rxy sebesar 0,958, jika
diperhatikan maka angka indeks
korelasi yang telah diperoleh tidak
bertanda negatif. Ini berarti korelasi
antara variabel x (motivasi belajar)
dengan variabel y (prestasi belajar)
terdapat hubungan yang searah, dengan
istilah lain, terdapat korelasi yang
positif diantara kedua variabel tersebut.
Apabila dilihat dari besarnya rxy yang
diperoleh yaitu 0,958 ternyata terletak
antara 0,800 – 1,00 yang tergolong
tinggi. Dengan demikian secara
sederhana dapat penulis berikan
interpretasi terhadap rxy tersebut, yaitu
terdapat korelasi positif yang signifikan
antara variabel x dan varibel y.
Pengujian hipotesis dilakukan
dengan dengan cara membandingkan
nilai rhitung dengan rtabel. Jika rhitung >
rtabel, maka ha diterima dan ho ditolak.
Sebaliknya jika rhitung < rtabel maka ha
ditolak dan ho diterima. Dari
perhitungan di atas, nilai rhitung 0,958 >
dari rtabel, 0,213 pada taraf signifikan
5% dengan n=85. Jadi dapat
disimpulkan bahwa hipotesis yang
diajukan yaitu ada hubungan antara
motivasi belajar dengan prestasi belajar
fisika, diterima.
Untuk menghitung seberapa besar
kontribusi motivasi belajar terhadap
prestasi belajar siswa smp negeri 1
woha, yaitu dengan menggunakan
koefisien determinasi yakni dengan cara
mengkuadratkan nilai rhitung dikalikan
dengan 100%.
Kd = r2 x 100%
= 0,9582 x 100%
= 0,917764x 100%
= 91,776%
Jadi dapat disimpulkan bahwa
prestasi belajar dapat diperngaruhi oleh
motivasi belajar yaitu sebesar 91,776%
dan sisanya sebesar 8,224% dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain.
Pembahasan
Bagi siswa, motivasi ini sangat
penting karena dapat menggerakkan
perilaku siswa kearah yang positif
sehingga mampu menghadapi segala
tuntutan, kesulitan serta menanggung
resiko dalam studinya. Motivasi dapat
menentukan baik tidaknya dalam
mencapai tujuan sehingga semakin
besar motivasinya akan semakin besar
kesuksesan belajarnya.
Berdasarkan hipotesis yang
diajukan yaitu “ada pengaruh motivasi
belajar terhadap prestasi belajar siswa
smp negeri 1 woha tahun pelajaran
2013/2014”, ternyata hipotesis yang
diajukan diterima. Hal ini berdasarkan
analisis data hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari hasil
perhitungan dengan menggunakan
rumus product moment diperoleh hasil
rhitung 0,958 > rtabel 0,213 pada taraf
signifikan 5%. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa dalam penelitian ini
ada pengaruh motivasi belajar terhadap
prestasi belajar siswa smp negeri 1
woha tahun pelajaran 2013/2014.
Sedangkan untuk mengetahui
besar sumbangan atau koefisien
determinasi motivasi belajar terhadap
prestasi belajar siswa dapat diketahui
dari hasil perhitungan dengan rumus
koefisien determinasi yaitu sebesar
91,776% dan sisanya sebesar 8,224%
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
P E N U T U P
Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis dan pembahasan penelitian
bahwa:
1. Ada hubungan antara motivasi
belajar dengan prestasi belajar
siswa smp negeri 1 woha tahun
pelajaran 2013/2014. Hal ini
dibuktikan dari hasil analisis
data bahwa nilai rhitung sebesar
0,958 > rtabel sebesar 0,213 pada
taraf signifikan 5% dengan
n=85.
2. Besarnya sumbangan motivasi
belajar terhadap prestasi belajar
dalam penelitian ini adalah
sebesar 91,776% dan sisanya
sebesar 8,224% dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain.
Daftar pustaka
Slameto. 2010. Belajar dan faktor-
faktor yang mempengaruhi.
Jakarta: rineka cipta.
Sugiyono. 2011. Metode penlitian
kuantitatif, kualitaif dan r&d.
Bandung: alfabeta
-----------. 2008. Metode penlitian
kuantitatif, kualitaif dan r&d.
Bandung: alfabeta
-----------. 2005. Metode penlitian
kuantitatif, kualitaif dan r&d.
Bandung: alfabeta
------------. 2006. Statistika untuk
penelitian. Bandung: alfabeta
1
2
UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA MELALUI
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED
INDIVIDUALIZATIN (TAI) MATERI BENTUK ALJABAR KELAS VIIIC
SMP N 1 DONGGO TAHUN PELAJARAN 2014/2015”.
LIRMIYATI.
Guru SMP N 1 Donggo
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Room Action
Research) yang direncanakan dalam beberapa siklus dan dilaksanakan dalam dua
siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIIIC SMP N 1 Donggo dengan
jumlah siswa 30 orang yang terdiri dari 13 orang siswa laki-laki dan 17 orang
siswa perempuan. Tiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan,
observasi, evaluasi dan refleksi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan prestasi
belajar matematika pada pokok bahasan bentuk aljabar kelas VIIIC SMP N 1
Donggo tahun pelajaran 2014 / 2015. Teknik pengumpulan data yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah: (1) Data tentang kegiatan belajar mengajar
dikumpulkan dengan menggunakan lembar obesrvasi. (2) Prestasi belajar siswa
dikumpulkan dengan memberikan tes pada setiap akhir siklus. Ketentuan belajar
85% siswa mininmal berkategori aktif merupakan indikator yang digunakan
untuk mengetahui peningkatan yang terjadi.
Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut: Siklus I; nilai rata-rata
hasil belajar siswa 68,67 dengan persentase ketuntasan belajarnya sebesar
73,33%. Dan terjadi peningkatan pada Siklus II; nilai rata-rata hasil belajar siswa
naik 14,06 poin menjadi 82,73 dengan persentase ketuntasan belajarnya 93,33%.
Hasil tersebut menunjukan sudah tercapainya indikator penelitian yang ditetapkan,
sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
team assisted individualization dapat meningkatkan prestasi belajar siswa materi
bentuk aljabar kelas VIIIC SMP N 1 Donggo Tahun Pelajaran 2014/2015.
Kata Kunci: Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI, dan Prestasi Belajar.
PENDAHULUAN
Kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) salah satunya
ditentukan oleh kualitas pendidikan.
Rendahnya mutu pendidikan salah
satunya ditunjukkan oleh rendahnya
prestasi belajar yang dicapai siswa
yang dapat diartikan sebagai kurang
efektifnya proses belajar mengajar.
Rendahnya prestasi penyebabnya
dapat berasal dari minat dan motivasi
siswa untuk belajar masih kurang,
kinerja guru yang masih rendah dan
prasarana yang masih kurang
memadai.
Dalam rangka meningkatkan
prestasi belajar khususnya untuk
memacu penguasaan materi pelajaran
di jenjang SMP perlu adanya
penyempurnaan proses belajar
2
mengajar termasuk dalam pelajaran
matematika agar diperoleh hasil yang
lebih baik. Kebehasilan
pembelajaran dalam artian
tercapainya tujuan pembelajaran
sangat tergantung pada kemampuan
guru dalam mengelola proses belajar.
Guru sebagai salah satu komponen
yang menentukan suksesnya kegiatan
pembelajaran dituntut untuk dapat
memilih dan menggunakan metode-
metode atau teknik-teknik mengajar
yang tepat dalam menyampaikan
materi atau pelajaran.
Matematika sebagai salah satu
mata pelajaran di sekolah dinilai
cukup memegang peranan penting
dalam membentuk siswa menjadi
berkualitas, karena matematika
merupakan suatu sarana berpikir
untuk mengkaji sesuatu secara logis,
kritis, rasional dan sistematis serta
melatih kemampuan peserta didik
agar terbiasa dalam memecahkan
suatu masalah yang ada di sekitarnya
sehingga dapat mengembangkan
potensi diri dan sumber daya yang
dimiliki peserta didik. Karena itu,
hendaknya pembelajaran matematika
dapat terus ditingkatkan hingga
mencapai taraf kualitas yang lebih
baik. Sebab dengan adanya
peningkatan hasil pembelajaran
matematika diharapkan dapat
berdampak positif pada peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia.
Matematika juga diartikan
sebagai suatu ilmu yang mempelajari
tentang bagaimana cara berpikir dan
mengolah logika yang digunakan
untuk memecahkan masalah sehari-
hari. Hal ini sesuai dengan
pandangan NCTM (National Council
of Teacher of Mathematics) dalam
Erman (2003:298) yaitu, matematika
sebagai pemecahan masalah,
matematika sebagai penalaran,
matematika sebagai komunikasi,
matematika sebagai pemahaman,
matematika sebagai hubungan atau
koneksi,
Tabel.1.1 Nilai Hasil
Matematika kelas I tahun pelajaran
2013/2014 di SMP N I Donggo
N
o
K
e
l
a
s
Materi Nila
i
rata
rata
K
K
M
1
.
V
I
I
A
Bilangan bulat 5
0
6
5
Bentuk Aljabar 7
0
Persamaan
linier satu
variabel
7
0
Pertidaksamaa
n linier satu
variabel
7
0
Persamaan dan
pertidaksamaan
linear satu
variabel
6
5
Perbandingan
dan aritmetika
sosial.
7
0
2
.
V
I
I
B
Bilangan bulat 5
4
Bentuk Aljabar 6
0
Persamaan
linier satu
variabel
6
0
3
Pertidaksamaa
n linier satu
variable
7
0
6
5
Persamaan dan
pertidaksamaan
linear satu
variabel
6
5
Perbandi
ngan dan
aritmetika
sosial.
7
0
3
.
V
I
I
C
Bilangan
bulat
5
5
6
5
Bentuk
Aljabar
5
0
Persamaa
n linier satu
variabel
6
0
Pertidaks
amaan liner
satu variable
6
5
Persamaa
n dan
pertidaksamaan
linear satu
variabel
6
0
Perbandi
ngan dan
aritmetika
sosial.
6
0
Sumber: Guru mata pelajaran
matematika SMP N I Donggo.
Dari data di atas terlihat
bahwa nilai rata-rata untuk kelas
VIIC sangat rendah belum mencapai
presentasi ketuntasan klasikal yang
telah ditentukan sekolah yaitu
85% dengan KKM 65.
Hasil
wawancara dengan guru Matematika
SMPN 1 Donggo bahwa pemahaman
siswa di kelas VIIC masih sangat
rendah, dalam hal ini ada beberapa
hambatan- hambatan yang perlu
diperhatikan diantaranya
Penggunaan metode pembelajaran
yang kurang bervariasi, siswa kurang
aktif belajar matematika di kelas
tersebut, siswa kurang memahami
materi yang diajarkan, siswa kurang
memperhatikan saat proses belajar
mengajar, prestasi belajar
matematika yang kurang. Untuk
dapat mengaktifkan siswa, guru perlu
merubah metode belajar yang
monoton menjadi pembelajaran yang
lebih menarik dan bervariasi. Salah
satunya adalah guru perlu
mengkombinasikan antara belajar
kelompok dan individu. Dengan
pembelajaran individu maka siswa
mau belajar dan mau mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan pada
masing-masing siswa. Sedangkan
diskusi kelompok dimaksud untuk
mengembangkan pengertian-
pengertian yang diperoleh tiap
individu dan mendiskusikan
permasalahan yang dihadapi oleh
masing-masing siswa. Kombinasi
pembelajaran individu dan kelompok
oleh Slavin (1998:21) disebut
sebagai Team Assisted
Individualization (TAI) dimana
siswa tetap dikelompokkan tetapi
siswa belajar sesuai dengan
kemampuannya masing-masing dan
setiap anggota kelompok saling
membantu dan mengecek.
Ciri khas tipe TAI adalah
setiap siswa secara individual belajar
materi pembelajaran yang sudah
dipersiapkan oleh guru. Terjemahan
bebas dari TAI adalah Bantuan
Individual Dalam Kelompok
4
(BIDAK) dengan karakteristik
bahwa tanggung jawab belajar
adalah pada siswa. Oleh karena itu
siswa harus membangun
pengetahuan tidak menerima bentuk
jadi dari guru (Driver,1980:45).
Dalam hal ini peneliti
mengambil kesimpulkan untuk
melakukan penelitian di kelas VIIC,
penelitian ini akan berlanjut di kelas
VIIIC pada semester ganjil, maka
dari itu peneliti tertarik untuk
menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe Team Assisted
Individualization (TAI) dalam upaya
meningkatkan prestasi belajar siswa
terutama pada materi bentuk aljabar.
Pembelajaran kooperatif tipe
TAI merupakan metode
pembelajaran dengan kelompok
heterogen yang memberikan
informasi untuk memahami suatu
konsep matematika. TAI di rancang
khusus untuk mengajarkan
matematika, sebagai usaha
merancang sebuah bentuk pengajaran
individual yang bisa menyelasaikan
masalah- masalah yang membuat
metode pengajaran individual
menjadi tidak efektif. Dalam TAI
peserta didik bekerja sama antar
kelompok dalam usaha memecahkan
masalah. Dengan demikian dapat
memberikan peluang peserta didik
yang berkemampuan rendah untuk
dapat meningkatkan kemapuannya
karena termotivasi oleh peserta didik
lain yang mempunyai kemampuan
yang lebih tinggi. Di harapkan
partisipasi peserta didik dalam
pembelajaran matematika akan
meningkatakna prestasi belajar.
Adapun TAI menurut Slavin
(2005:34) adalah sebagai berikut:
Bagaimanapun individualisasi adalah
bagian dari TAI yang membuatnya
berbeda dari STAD dan TGT. Dalam
matematika, kebanyakan konsep
berdasarkan pada konsep
sebelumnya, jika konsep awal tidak
dikuasai dikemudian hari peserta
didik akan kesulitan mempelajari
lebih lanjut, seorang peserta didik
yang tidak bisa pengurangan atau
perkalian akan tidak mampu
mengusai pembagian. Model
Pembelajaran Tipe Team Assited
Individualization (TAI) memiliki
delapan komponen sebagai berikut:
a. Placement Test
Pada langkah ini guru
memberikan tes awal (pre-
test) kepada siswa. Cara ini
bisa digantikan dengan
mencermati rata-rata nilai
harian atau nilai pada bab
sebelumnya yang diperoleh
siswa sehingga guru dapat
mengetahui kelemahan siswa
pada bidang tertentu.
b. Teams
Merupakan langkah
yang cukup penting dalam
penerapan model
pembelajaran kooperatif TAI.
Pada tahap ini guru
membentuk kelompok-
kelompok yang bersifat
heterogen yang terdiri dari 4-
5 siswa.
c. Teaching Group
Pada langkah ke dua,
guru memberikan pengajaran
selama sekitar sepuluh
sampai lima belas menit
kepada dua atau tiga
kelompok kecil siswa yang
terdiri dari siswa-siswi dari
5
tim berbeda yang tingkat
pencapaian kurikulumnya
sama. Guru menggunakan
konsep pelajaran yang
spesitif yang telah di
sediakan oleh program.
d. Student Creative
Pada langkah ketiga,
guru perlu menekankan dan
menciptakan persepsi bahwa
keberhasilan setiap siswa
(individu) ditentukan oleh
keberhasilan kelompoknya.
e. Team Study
Pada tahapan team
study siswa belajar bersama
dengan mengerjakan tugas-
tugas dari LKS yang
diberikan dalam
kelompoknya. Pada tahapan
ini guru juga memberikan
bantuan secara individual
kepada siswa yang
membutuhkan, dengan
dibantu siswa-siswa yang
memiliki kemampuan
akademis bagus di dalam
kelompok tersebut yang
berperan sebagai peer
tutoring (tutor sebaya).
f. Fact test
Guru memberikan tes-
tes kecil berdasarkan fakta
yang diperoleh siswa,
misalnya dengan memberikan
kuis, dsb..
g. Team Score dan Team
Recognition
Selanjutnya guru
memberikan skor pada hasil
kerja kelompok dan
memberikan “gelar”
penghargaan terhadap
kelompok yang berhasil
secara cemerlang dan
kelompok yang dipandang
kurang berhasil dalam
menyelesaikan tugas.
Misalnya dengan menyebut
mereka sebagai “kelompok
OK”, kelompok LUAR
BIASA”, dan sebagainya.
h. Whole-Class Units
Langkah terakhir, guru
menyajikan kembali materi oleh guru
kembali diakhir bab dengan strategi
pemecahan masalah untuk seluruh
siswa di kelasnya.
Slavin (1992:35) menyatakan
bahwa secara umum pada TAI,
anggota tim bekerja pada unit
berbeda. Teman se-tim mengecek
kerjaan teman yang lain yang
memiliki perbedaan jawaban dan
saling membantu satu sama lain
dalam masalah apa saja. Tes akhir
diambil tanpa teman setim yang
membantu. Tiap minggu, guru
mentotal jumlah skor total tiap
kelompok dan memberi penghargaan
kepada kelompok yang memiliki
skor yang tertinggi.
Langkah-langkah pembelajaran
kooperatif tipe TAI menurut slavin
adalah sebagai berikut:
a. Guru menyiapkan materi bahan
ajar yang akan di selesaikan
oleh kelompok peserta didik.
b. Guru memberikan pre-test
kepada peserta didik atau
melihat rata-rata nilai harian
peserta didik agar guru
mengetahui kelemahan peserta
didik pada bidang tertentu.
c. Guru memberikan materi
secara singkat atau
menjelaskan materi- materi
6
yang sulit di pahami oleh
peserta didik.
d. Guru membentuk kelompok
kecil yang heterogen.
e. Setiap kelompok mengerjakan
tugas dari guru berupa LKS
yang telah di rancang sendiri
sebelumnya dan guru
memberikan bantuan secara
individual bagi yang
memerlukannnya. Peserta
didik terlebih dahulu diberikan
kesempatan untuk
mengerjakan LKS secara
Individu baru setelah itu
berdiskusi dengan
kelompoknya.
f. Ketua kelompok melaporkan
keberhasilan kelompoknya
dengan mempresentasikan
hasil kerjanya dan siap untuk
di beri ulangan oleh guru.
g. Guru memberika post-test
untuk di kerjakan secara
individu.
h. Guru menetapkan kelompok
terbaik sampai kelompok yang
kurang berhasil (jika ada)
berdasarkan hasil koreksi.
i. Guru memberikan test formatif
sesuai dengan kompetensi
yang di tentukan.
Model pembelajaran
kooperatif tipe TAI memiliki
kelebihan dan kelemahannya
masing-masing. Hal demikian
juga dimiliki model
pembelajaran kooperatif tipe
TAI. Berikut ini adalah
kelebihan dan kelemahan
model pembelajaran
kooperatif tipe TAI.
1. Kelebihan
Meningkatkan hasil
belajar
Meningkatkan motivasi
belajar
Mengurangi perilaku yang
mengganggu dan
konflik antar pribadi
2. Kelemahan
Tidak semua mata
pelajaran cocok
diajarkan dengan model
pembelajaran kooperatif
tipe Team Assisted
Individualization (TAI).
Apabila model
pembelajaran ini
merupakan model
pembelajan yang baru
diketahui, kemungkinan
sejumlah peserta didik
bingung, sebagian
kehilangan rasa percaya
diri dan sebagian
mengganggu antar
peserta didik lain
Siswa yang kurang pandai
secara tidak langsung
akan menggantungkan
dirinya pada siswa yang
pandai
Slameto (2003: 2)
berpendapat bahwa belajar adalah
suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil
pengalamannya sendiri sebagai
interaksi dalam lingkungannya.
Menurut Hilgard seorang dinamakan
telah belajar apabila ia telah dapat
melakukan sesuatu yang baru,
dimana sebelum proses belajar itu ia
tidak dapat melakukannya.
7
Menurut Djamarah (1997: 23)
prestasi belajar adalah hasil yang
diperoleh berupa kesan-kesan yang
mengakibatkan perubahan dalam diri
individu sebagai hasil dari aktivitas
dalam belajar sedangkan Dirawat
(1993: 47) menjelaskan bahwa
prestasi belajar ditentukan pada apa
yang telah dicapai siswa setelah
berakhirnya suatau tahap belajar
mengajar dalam jangka waktu
tertentu.
Cangelosi (1995: 89)
menyatakan prestasi belajar adalah
tingkat kemajuan yang dicapai siswa
sehubungan dengan tujuan belajar.
Selanjutnya menurut Sutratinah
(1984: 43) menyatakan bahwa
dengan memperhatikan prestasi
belajar, kita dapat mengetahui
kedudukan siswa dalam kelas apakah
ia pandai, sedang atau kurang.
Dari beberapa pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa Prestasi
belajar adalah harapan bagi setiap
murid yang sedang mengikuti proses
pembelajaran di sekolah serta
harapan bagi wali murid dan guru.
b. Faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar
Menurut Syah (1999: 130)
secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar
adalah faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal merupakan
faktor yang berasal dari diri siswa
dan faktor psikologis seperti
intelegensi, motivasi, minat, bakat
dan sikap. Sedangkan faktor
eksternal merupakan faktor yang
berasal dari luar siswa, yang meliputi
kondisi lingkungan, guru, teman
sebaya, sarana dan prasarana yang
tersedia, keluarga dan faktor
pendekatan belajar.
Salah satu faktor
eksternal yang mempengaruhi
prestasi belajar siswa adalah faktor
guru. Dalam proses pembelajaran
guru berperan sebagai pengajar yang
bertugas mengajar dan membimbing
siswa. Guru harus dapat menerapkan
suatu metode mengajar yang dapat
memotivasi siswa untuk belajar,
sehingga dapat meningkatkan
prestasi belajar.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini
adalah penelitian tindakan kelas
(classroom action research).
Penelitian tindakan kelas
menekankan kepada kegiatan atau
tindakan yang menguji cobaan satu
ide ke dalam satu praktek atau situasi
nyata dalam skala yang mikro, yang
diharapkan kegiatan tersebut mampu
memperbaiki dan meningkatkan
kualitas proses belajar mengajar
(Riyanto, 2001: 50).
Kurt Lewin (2009:50)
menjelaskan ada 4 hal yang harus
dilakukan dalam proses penelitian
tindakan kelas yakni perencanan,
tindakan, observasi dan refleksi.
Pelaksanaan penelitian tindakan
kelas adalah proses yang terjadi
dalam suatu lingkaran yang terus-
menerus.
Perencanaan adalah proses
menentukan program perbaikan yang
berpangkat dari suatu ide gagasan
penelitian, sedangkan tindakan
adalah perlakuan yang di laksanakan
oleh peneliti sesuai dengan
8
perencanaan yang telah disusun oleh
peneliti. Observasi adalah
pengamatan yang dilakukan untuk
mengetahui efektivitas tindakan atau
pengumpulan informasi tentang
berbagai kelemahan (kekurangan)
tindakan yang telah dilakukan dan
refleksi adalah kegiatan analisis
tentang hasil observasi hingga
memunculkan program atau
perencanaan baru.
Subjek penelitian ini adalah
siswa kelas VIIIC SMP N I Donggo
Tahun Pelajaran 2014 / 2015 yang
berjumlah 30 orang dan yang terdiri
dari 13 siswa laki – laki dan 17 siswa
perempuan.
Instrument penilaian adalah
alat yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan data peneliti.
1. Lembar observasi.
Lembar observasi
adalah suatu cara
pengumpulan data dengan
pengamatan langsung.
2. Test Evaluasi
Test Evaluasi adalah
suatu proses penilaian untuk
mengambil keputusan yang
menggunakan seperangkat
hasil pengukuran dan
berpatokan kepada tujuan
yang telah dirumuskan. Soal
evaluasi yang di gunakan
berbentuk essay.
3. Lembar Kerja Siswa.
Lembar Kerja Siswa
adalah panduan siswa yang
digunakan untuk melakukan
kegiatan penyelidikan dan
pemecahan masalah.
Penelitian ini
dilaksanakan dalam beberapa siklus.
Tiap siklus dilaksanakan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai
seperti pada desain yang telah dibuat.
Tiap siklus dilakukan minimal dua
kali pertemuan untuk tiap-tiap
kompetensi dasar. Namun jika
masalah yang diteliti belum tuntas
untuk tiap pencapaian kompetensi
dasar, maka tindakan penelitian
harus dilanjutkan pada siklus
berikutnya dengan prosedur yang
sama guna untuk mendapatkan hasil
yang diinginkan. Dengan demikan
banyak sedikitnya siklus tergantung
pada terselesaikannya masalah yang
dihadapi, hal ini dilakukan dengan
memperhatikan kondisi siswa,
media, sarana dan faktor-faktor yang
lain.
Secara lebih rinci prosedur
penelitian tindakan kelas yang di
laksakan dalam beberapa siklus
adalah sebagai berikut :
1. Perencanaan
Kegiatan yang dilakukan
pada tahap
perencanaan
antara lain:
a. Membuat LKS
b. Membuat Rencana Pembelajaran
(RPP)
c. Membuat lembar observasi
d. Membuat soal evaluasi
2. Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan yang dilakukan pada
tahap ini adalah melaksanakan
semua hal yang telah
direncanakan dalam skenario
pembelajaran. Adapun langkah-
langkah pembelajaran pada
tahap ini adalah sebagai berikut:
a. Guru menyiapkan materi bahan
ajar yang akan di selesaikan oleh
kelompok peserta didik.
9
b. Guru memberikan pre-test kepada
peserta didik atau melihat rata-
rata nilai harian peserta didik agar
guru mengetahui kelemahan
peserta didik pada bidang tertentu.
c. Guru memberikan materi secara
singkat atau menjelaskan materi-
materi yang sulit di pahami oleh
peserta didik.
d. Guru membentuk kelompok kecil
yang heterogen.
e. Setiap kelompok mengerjakan
tugas dari guru berupa LKS yang
telah di rancang sendiri
sebelumnya dan guru memberikan
bantuan secara individual bagi
yang memerlukannnya. Peserta
didik terlebih dahulu diberikan
kesempatan untuk mengerjakan
LKS secara Individu baru setelah
itu berdiskusi dengan
kelompoknya.
f. Ketua kelompok melaporkan
keberhasilan kelompoknya
dengan mempresentasikan hasil
kerjanya dan siap untuk di beri
ulangan oleh guru.
g. Guru memberikan post-test untuk
di kerjakan secara individu.
h. Guru menetapkan kelompok
terbaik sampai kelompok yang
kurang berhasil (jika ada)
berdasarkan hasil koreksi.
i. Guru memberikan test formatif
sesuai dengan kompetensi yang di
tentukan.
3. Observasi dan Evaluasi
Pada tahap ini
dilaksanakan proses observasi
terhadap pelaksanaan tindakan
yang sedang berlangsung untuk
melihat proses belajar mengajar,
apakah sesuai dengan skenario
yang telah dibuat. Kegiatan
observasi ini dilakukan secara
kontinyu setiap kali
pembelajaran berlangsung
dengan menggunakan lembar
observasi, dimana peneliti
(pengajar) dan siswa diobservasi
oleh guru matematika tentang
pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar. Sedangkan evaluasi
hasil belajar dilaksanakan pada
akhir tindakan. Evaluasi
dilakukan dengan memberikan
tes dalam bentuk essay.
4 Refleksi
Refleksi adalah kegiatan
mengulang kembali apa yang
menjadi kekurangan pada siklus
sebelumnya. Adapun kegiatan
yang dilakukan pada tahap ini
adalah peneliti dan observer
menganalisa dan mendiskusikan
hasil tes dan hasil observasi
yang telah dilakukan. Analisis
hasil tes ditujukan untuk
memperbaiki proses
pembelajaran yang berkaitan
dengan penyampaian materi
pelajaran sedangkan analisis
lembar obsevasi digunakan
untuk memperbaiki kegiatan
belajar mengajar yang berkaitan
dengan pengelolaan kelas. Hasil
analisis data pada siklus I akan
digunakan sebagai acuan untuk
merencanakan siklus II dan
seterusnya.
Prosedur yang digunakan
untuk mengumpulkan data
dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1) Tes hasil belajar
Data hasil belajar siswa di
berikan tiap akhir siklus di
analisis secara kuantitatif.
10
2) Lembar Observasi
Lembar observasi
dilakukan selama proses
belajar mengajar pada
setiap pertemuan di
analisis secara kuantitatif.
Komponen-komponen yang
dianalisa adalah :
1. Untuk mengetahui nilai rata-
rata kelas digunakan rumus:
R = N
X
Keterangan:
R = Nilai rata-rata kelas
∑X = Jumlah nilai yang
diperoleh siswa
N = Jumlah siswa yang ikut
tes
2. Peningkatan hasil belajar
klasikal dihitung dengan
rumus:
Keterangan :
PBH = Peningkatan hasil
belajar klasikal
X = Jumlah siswa yang
memperoleh nilai ≥
65
Z = Jumlah siswa yang
ikut tes.
Sesuai dengan
petunjuk tekhnik
penilaian kelas, dapat
dikatakan tuntas secara
klasikal apabila hasil
prestasi belajar siswa
yang tuntas secara
individu mencapai 85%.
3. Lembar Observasi Siswa
dan Guru
Lembar observasi di
gunakan untuk
mengumpulkan data
aktivitas siswa dan guru
yang diamati selama
proses belajar mengajar
berlangsung.
Skor untuk setiap
deskriptor aktivitas siswa
dan guru pada penelitian
ini mengikuti aturan
sebagai berikut:
Skor 4 diberikan jika 4 deskriptor
nampak
Skor 3 diberikan jika 3 deskriptor
nampak
Skor 2 diberikan jika 2 deskriptor
nampak
Skor 1 jik tidak ada deskriptor yang
nampak
Mengenai hasil
observasi keaktifan siswa
akan dianalisa dengan
rumus sebagai berikut:
Keterangan:
As : Skor rata-rata
aktivitas siswa
x : Skor masing-
masing indikator
i : banyaknya
indikator (Sudjana,
2005:67).
Kemudian hasil dari
aktivitas siswa diolah
dengan menentukan MI
dan SDI yang dengan
rumus sebagai berikut:
MI = (Skor tertinggi + skor
terendah)
i
xAs
11
= = 2,5
SDI = =
Keterangan:
MI : Mean Ideal
SDI : Standar Deviasi
Ideal
Lembar hasil
observasi guru di analisis
dengan rumus sebagai berikut
:
Keterangan:
Ag = Aktivitas guru
x =
Masing=masing
indicator
i = Banyak
indikator
Tabel 3.2. Pedoman Konversi
Aktivitas Guru
Interval Nilai Kategori
MI + 1,5 SDI ≤
Ag 3,9
3,16
Baik
Sekali
MI + 0,5 SDI ≤
Ag < MI + 1,5
SDI
3,3
3,16
3,9
Baik
MI – 0,5 SDI ≤
Ag < MI + 0,5
SDI
2,7
3,16
3,3
Cukup
Baik
MI – 0,5 SDI ≤
Ag < MI – 0,5
SDI
2,1
3,16
2,7
Kurang
Baik
Nurkencana
(Nurhasanah,2011:37)
yang dimodifikasi.
Sebagai indikator dalam
penelitian ini adalah jika siswa
yang mendapat nilai minimal
rata-rata 65 adalah 85 % pada
tes yang diberikan pada tiap
siklus maka belajar dinyatakan
tuntas.
HASIL PENELITIAN
Siklus I
Hal-hal yang di Observasi pada
pelaksanaan tindakan siklus I adalah
cara guru mengerjakan materi
pelajaran apakah sesuai dengan
skenario pembelajaran yang telah
dibuat atau belum. Selain itu juga
dilihat aktivitas dan kreativitas siswa
dalam kegiatan pembelajaran apakah
sudah sesuai dengan skenario
pembelajaran atau belum. . Semua
aktivitas yang terlihat di catat dalam
lembar observasi sesuai indikator
yang nampak.
Tabel 4.1. Data Hasil
Observasi Aktivitas Belajar Siswa
o
Aspek yang
diamati
Siklus I
Per
temuan
1 2
1
Antusias siswa
dalam mengikuti
pelajaran
2
2
2 Interaksi siswa
dengan guru 2
2
3 Interaksi siswa
dengan siswa 2
3
4 Kerja sama dalam
kelompok 2
3
5
Aktivitas siswa
dalam diskusi
kelompok
2
3
6
Aktivitas siswa
dalam melaksanakan
pembelajaran
2 3
12
7
Partsipasi siswa
dalam
menyimpulkan
materi yang dibahas
2 3
Jumlah 1
4
1
9
Rata-rata 2 2
,7
Kategori C
A
C
A
(Data Hasil
Observasi Aktivitas Siswa
Berdasarkan Lampiran)
Berdasakan tabel di atas, hasil
analisis observasi siswa pada siklus I
dapat disimpulkan bahwa aktivitas
belajar siswa pada siklus I pertemuan
pertama dengan hasil presentasi
mencapai 2 persen berkategori cukup
aktif dan pertemuan kedua hasil
presentasi mencapai 2,7 dengan
kategori cukup aktif.
Hasil observasi kegiatan guru
dicatat dalam lembar observasi
sesuai indikator
Tabel 4.2. Data Hasil
Observasi Aktivitas Guru
No
Aspek yang
diamati
Siklus
II
Pertem
uan
1 2
1
Perencanaan dan
persiapan
penyelenggaraan
pembelajaran
3
3
2 Pemberian motivasi dan
apresiasi 2
2
3 Interaksi siswa dengan
guru 3
3
4 Aktivitas guru dalam
kelas 2
3
5
Kemampuan
menciptakan suasana
kelas yang kondusif
3
3
6 Bersama-sama siswa
membuat kesimpulan 2
3
Jumlah 1
5
17
Rata-rata 2
,5
2,8
Kategori C
B
C
B
(Data Hasil Observasi
Aktivitas Guru Berdasarkan
Lampiran)
Berdasakan tabel di atas, hasil
observasi terhadap kegiatan guru
pada pertemuan pertama presentasi
mencapai 2,5 dengan kategori cukup
baik dan pada pertemuan kedua
presentasi mencapai 2,8 dengan
kategori cukup baik.
Data hasil tes pada siklus I
diperoleh setelah dilakukan evaluasi
pada siklus I. Tes dilaksanakan pada
hari senin tanggal 18 agustus 2014,
prestasi tersebut terlihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel. 4.3. Data analisis hasil
evaluasi (tes) prestasi belajar siswa
siklus I
Hasil Tes (Evaluasi) Siklus
I
Jumlah siswa
secara keseluruhan
30
Orang
Jumlah siswa yang
mengikuti tes
30
orang
Jumlah siswa yang
tuntas
22
orang
Jumlah siswa yang
tidak tuntas
8
orang
Jumlah siswa
keseluruhan 2060
13
Nilai rata-rata 68,67
Ketuntasan klasikal 73,33
%
Dari tabel di atas dapat dilihat
bahwa nilai rata-rata siswa adalah
68,67 dari 30 orang siswa yang
mengikuti tes evaluasi terdapat 22
orang siswa yang tuntas belajarnya
sedangkan yang tidak tuntas 8 orang
siswa. Persentase ketuntasan belajar
siswa adalah 73,33%. Artinya, nilai
masih < 85%. Jadi kesimpulan
bahwa pada siklus I belum mencapai
ketuntasan belajar secara klasikal.
Dengan demikian peneliti akan
melanjutkan kualitas pembelajaran
pada siklus berikutnya.
Pada tahap ini guru
menganalisa dan mengkaji data hasil
observasi dalam proses pembelajaran
pada siklus I dari observer.
Dari hasil observasi dan
evaluasi di atas maka guru yang
dibantu oleh observer terdapat
kekurangan-kekurangan pada siklus
I. adapun kekurangan-
kekurangannya adalah:
1. Guru membimbing siswa akan
tetapi tidak merata.
2. Guru belum mampu menguasai
kelas secara penuh.
3. Guru belum bisa mengatur waktu
latihan.
4. Siswa tidak memperhatikan apa
yang disampaikan oleh guru.
5. Beberapa siswa acuh tak acuh
dalam mengerjakan LKS.
6. Siswa ribut dalam proses belajar
mengajar.
7. Siswa masih ragu
mengungkapkan pendapat.
8. Siswa tidak dapat merumumuskan
masalah dalam pembahasan.
Dari hasil observasi dan
evaluasi di atas maka guru yang
dibantu oleh observer melakukan
refleksi terhadapat pelaksanaan
kegiatan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Team Assited
individualization (TAI) yaitu
melakukan berbagai macam
perbaikan terhadap pembelajaran
yang diajarkan, seperti:
1. Guru selalu memberikan
semangat agar siswa berani
bertanya.
2. Guru berusaha membimbing
siswa secara keseluruhan supaya
tidak ada siswa yang merasa di
anaktirikan.
3. Guru lebih aktif dalam menarik
minat siswa untuk mau
mengeluarkan pendapatnya dan
membangun komunikasi yang
lebih dalam lagi agar tidak terjadi
mis comunication antara guru
dengan siswa tersebut.
4. Guru merencanakan alokasi agar
semua kelompok dapat
mempersentasikan hasil
kelompoknya.
Siklus II Semua aktivitas yang terlihat di
catat dalam lembar observasi sesuai
indikator yang nampak.
Tabel 4.4. Data Hasil
Observasi Aktivitas Belajar Siswa
N
o
Aspek yang diamati Siklus II
Pertemuan
1 2
1
Antusias siswa dalam
mengikuti pelajaran 3
3
2 Interaksi siswa dengan
guru 4
4
3 Interaksi siswa dengan
siswa 4
4
14
4 Kerja sama dalam
kelompok 3
4
5 Aktivitas siswa dalam
diskusi kelompok 3 3
6
Aktivitas siswa dalam
melaksanakan
pembelajaran 4 3
7
Partsipasi siswa dalam
menyimpulkan materi
yang dibahas
3 4
Jumlah 24
2
5
Rata-rata 3,4
2
,7
Kategori A A
(Data Hasil
Observasi Aktivitas Siswa
Berdasarkan Lampiran)
Berdasakan tabel di atas, hasil
analisis observasi siswa pada siklus
II dapat disimpulkan bahwa aktivitas
belajar siswa pada siklus II
pertemuan pertama dengan hasil
presentasi mencapai 3,4 berkategori
aktif dan pertemuan kedua hasil
presentasi mencapai 3,5 dengan
kategori aktif.
Hasil observasi kegiatan guru
dicatat dalam lembar observasi
sesuai indikator
Tabel 4.5. Data Hasil
Observasi Aktivitas Guru
N
o
Aspek yang
diamati
Siklus
II
Perte
muan
1 2
1
Perencanaan dan
persiapan
penyelenggaraan
pembelajaran
4
4
2 Pemberian motivasi
dan apresiasi 4
4
3 Interaksi siswa
dengan guru 3
4
4 Aktivitas guru dalam
kelas 3
3
5
Kemampuan
menciptakan suasana
kelas yang kondusif
3
4
6 Bersama-sama siswa
membuat kesimpulan 4
4
Jumlah 21 23
Rata-rata 3,5 3,8
Kategori B B
(Data Hasil Observasi
Aktivitas Guru Berdasarkan
Lampiran)
Berdasakan tabel 4.5 di atas,
hasil observasi terhadap kegiatan
guru pada pertemuan pertama
presentasi mencapai 3,5 dengan
kategori baik dan pada pertemuan
kedua presentasi mencapai 3,8
dengan kategori baik.
Hasil Tes Akhir Pada Siklus II
Data hasil tes pada siklus II
setelah dilakukan evaluasi. Tes
dilaksanakan pada hari sabtu tanggal
30 Agustus 2014. Prestasi tes
tersebut terlihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel.4.4. Data Analisis Hasil
Evaluasi (Tes) Prestasi Belajar Siswa
Siklus II Hasil Tes (Evaluasi) Siklus I
Jumlah siswa secara keseluruhan 30 Orang
Jumlah siswa yang mengikuti tes 30 orang
Jumlah skor 2482
Nilai rata-rata 82,73
Jumlah siswa yang tidak tuntas 28 orang
Persentase ketuntasan 93,33%
Hasil evaluasi siklus II
sebagaiaman terdapat pada tabel 4.4
menunjukan bahwa, persentase siswa
yang mendapat nilai 65 atau yang
tuntas belajar secara klasikal adalah
93,33% > 85%, dengan nilai rata-rata
82,73. jumlah siswa yang tuntas
adalah 30 orang siswa yang
mengikuti tes (evaluasi). Ini berarti
bahwa indikator penelitian telah
menunjukan tercapainya ketuntasan
klasikal. Hasil evaluasi juga
menunjukan tidak terdapat siswa
yang tidak tuntas. Dengan demikian
15
tidak perlu adanya perbaikan secara
klasikal.
PEMBAHASAN
Berdasarkan analisa data,
pelaksanaan tindakan pada siklus I
menunjukan bahwa nilai rata-rata
hasil belajar siswa adalah 68,67
dengan persentase 73,33%. Karena
standar ketuntasan belajar klasikal
kurang dari 85% maka akan ditindak
lanjuti pada siklus berikutnya.
Ketuntasan klasikal kurang dari yang
diharapkan karena adanya
kekurangan-kekurangan dalam
proses beajar mengajar. Kekurangan-
kekurangan tersebut terlihat pada
data hasil observasi kegiatan guru
dan observasi aktivitas siswa pada
siklus I sehingga dapat diperbaiki
pada siklus II.
Diskusi pada siklus II
berjalan dengan baik. Siswa yang
sudah mengerti mau memberi
penjelasan kepada anggota
kelompoknya yang belum paham
sedangkan yang belum paham tidak
malu-malu untuk bertanya kepada
temannya. Pada siklus II ini guru
lebih banyak memberikan bimbingan
pada siswa yang nilainya kurang
pada siklus I. Pada siklus II hasil tes
belajar siswa menunjukan rata-rata
82,73 dengan standar ketuntasan
klasikal 93,33%, ini berarti target
pencapaian hasil belajar telah
tercapai.
Dari dua siklus yang dilakukan
dalam penelitian ini, menunjukan
bahwa terjadi peningkatan hasil
belajar siswa seiring dengan
peningkatan ketuntasan klasikal
sesuai karakteristik pembelajaran. Ini
berarti, bahwa dengan penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe
Team Assisted Individualization
(TAI) pada pokok bahasan Bentuk
aljabar maka hasil belajar siswa
dapat meningkat sampai mencapai
ketuntasan dalam belajar.
Menurut Slavin (2005: 190)
Team Assisted Individualization
(TAI) dirancang untuk memperoleh
manfaat yang sangat besar dari
potensi sosialisasi yang terdapat
dalam pembelajaran kooperatif.
Team Assisted Individualization
(TAI) mengkombinasiksan
pembelajaran kooperatif dengan
pengajaran individual.
Team Assisted
Individualization (TAI) membuat
para siswa mengerjakan sebagian
besar tugas-tugas rutin yang sering
kali membelenggu para guru. Para
siswa saling memeriksa hasil kerja
mereka sembari melanjutkan
pelajaran dalam unit tersebut. Hal ini
sangat penting karena dapat segera
memberikan umpan balik yang
dibutuhkan para siswa dan segera
dapat mengidentifikasi masalah-
masalah yang sering kali dapat
ditangani dalam kelompok atau
dijawab oleh guru apabila memang
diperlukan bantuan lebih jauh
(Robert E Slavin, 2005: 191).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan selama dua siklus,
maka dapat diperoleh kesimpulan
bahwa penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization (TAI)
dapat meningkatkan prestasi belajar
matematika siswa Kelas VIIIC SMP
16
Negeri 1 Donggo. Terjadi perubahan
sikap siswa saat penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization (TAI)
yang dilihat dari keaktifan siswa
yang mengajukan pertanyaan dan
siswa yang menjawab setiap
pertanyaan yang muncul baik dari
guru maupun dari temannya.
Meningkatnya siswa yang memberi
penjelasan kepada temannya saat
diskusi kelompok serta
meningkatnya keberanian siswa
dalam mengajukan diri mengerjakan
soal di papan tulis. Selain itu, siswa
yang melakukan kegiatan lain (ribut,
bermain, dll) dalam kegiatan belajar
mengajar mengalami penurunan.
Persentase ketuntasan belajar siswa
pada siklus I mencapai 73,33% dan
pada Siklus II mencapai 93,33%.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang. (2005). Depdiknas.
Klaten: Pt Intan Pariwara
Dedi Irawan. (2006). Penerapan
Kooperatif Tipe Team Assisted
Individualization Untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar
Siswa Kelas Vii-I Smp N 9
Kota Bima Pada Pokok
Bahasan Persegi Panjang
Tahun Pelajaran 2011/2012:
Skripsi STKIP Bima. Tidak
Dipublikasikan
Dimyati, Mudjino. (2005). Belajar
dan Pembelajaran. Jakarta :
Rineka Cipta
Hamburi. (1999). Pembelajan Aktif.
Yogyakarta: Elmatera
Hijran. (2003). Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta:Rineka
Cipta
Ibrahim. dkk. (2000). Pembelajaran
Aktif. Yogyakarta: Elmatera
Kemmis. (1988). Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi
Aksara
Mulyasa. (2003). Prestasi Belajar
dan Kompetensi Guru.
Surabaya: Usaha Nasional
Nurkencana, Y. (1990). Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi
Aksara
Pedoman Penulisan Proposal
Penelitian dan Skripsi: Stkip
Taman Siswa Bima’
Poedjiadi. (1999). Prestasi Belajar
dan Kompetensi Guru: Usaha
Nasional
Sagala. (2002). Prestasi Belajar dan
Kompetensi Guru. Surabaya:
Usaha Nasional
Sanjaya, W.(2011). Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta:
Kencana Predana Media Group
Sardiman. (1996). Belajar Mengajar.
Bandung: Pt Intan Pariwara
Senduk. (2003). Prestasi Belajar dan
Kompetensi Guru. Surabaya:
Usaha Nasional
Siroj. (2003). Pembelajaran Aktif.
Jakarta: Rineka Cipta
17
Slavin. (2005). Cooperative
Learning. Bandung: Nusa
Media
Slavin. (1992). Konsep Strategi
Pembelajaran.
Bandung: PT Refika
Aditama.
Slavin. (2003). Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suci Kurnia. (2012). Pembelajaran
Kooperatif Learning
Untuk Meningkatkan
Prestasi Belajar Siswa
Kelas 15 SMP N I
Taliwang Pada Materi
Segitiga Tahun Ajaran
2005/2006: Skripsi.
Tidak Dipublikasikan
Sutarto, Syarifuddin. (2013).
Desain Pembelajaran
Matematika. D.I
Yogyakarta: Samudera
Biru
Sukino,S. S. (2006). Matematika
Smp/Mts Kelas VIII. Surabaya:
Erlangga
1
PENGARUH MOTIVASI TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA
DALAM BIDANG STUDI MATEMATIKA KELAS VIII SEMESTER
GENAP SMP NEGERI 1 PARADO TAHUN PELAJARAN 2010/2011
KASIANTO
Guru SMP Negeri 1 Parado
ABSTRAK
Kata Kunci : Motivasi, dan Prestasi Belajar
Dalam suatu lembaga pendidikan, prestasi belajar merupakan indikator
yang penting untuk mengukur keberhasilan proses belajar mengajar. Akan tetapi
tidak bisa dipungkiri bahwa tinggi rendahnya prestasi siswa banyak dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain disamping proses pengajaran itu sendiri. Motivasi adalah
daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu atau daya
penggerak dari subyek untuk melakukan suatu perbuatan dalam suatu tujuan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah
hubungan motivasi terhadap prestasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1
Parado Tahun Pelajaran 2010/2011. Dan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan motivasi terhadap prestasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1
Parado Tahun Pelajaran 2010/2011.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP
Negeri 1 Parado Tahun Pelajaran 2010/2011 berjumlah 80 siswa dari 3 kelas.
Teknik yang digunakan dalam pengambilan sample penelitian ini adalah dengan
menggunakan proporsioanal random sampling. Untuk mengetahui jumlah sampel
yang akan diambil dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rumus Slovin
sehingga diperoleh 56 siswa yang akan digunakan sebagai sample penelitian.
Variabel dalam penelitian ini adalah motivasi sebagai variabel bebas serta pretasi
belajar sebagai variabel terikat. Teknik pengambilan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik kuesioner (angket) dan
dokumentasi .
Dengan mengacu pada perhitungan penelitian, dapat disimpulkan bahwa
hubungan motivasi terhadap prestasi belajar siswa berada pada tingkat hubungan
yang sangat kuat, karena angka indeks korelasi product moment rxy = 0,979
terletak pada rentangan (0,80 – 1.000). Jadi penelitian ini memperhatikan kadar
hubungan antara variabel X dan variabel Y. Secara statistik nilai di atas
memberikan pengertian bahwa motivasi sangat berpengaruh terhadap prestasi
belajar siswa pada taraf hubungan yang sangat kuat.
PENDAHULUAN
2
Pendidikan merupakan hal
yang sangat penting karena
merupakan kebutuhan manusia yang
esensial. Pendidikan dapat
mengembangkan potensi yang ada
pada diri manusia, baik potensi
jasmani maupun rohani. Hal tersebut
sesuai yang diungkapkan oleh
Ramayulis bahwa tujuan umum
pendidikan harus diarahkan untuk
mencapai pertumbuhan,
keseimbangan, kepribadian, manusia
menyeluruh, melalui latihan jiwa
intelek, jiwa rasional, perasaan dan
penghayatan lahir (H. Ramayulis,
2002: 69). Dalam suatu lembaga
pendidikan, motivasi merupakan
indikator penting yang perlu
diperhatikan dalam proses belajar
mengajar untuk mengukur prestasi
belajar siswa. Rendahnya motivasi
akan berdampak pada rendahnya
prestasi belajar yang dicapai oleh
siswa.
Tantangan dunia pendidikan
pada zaman sekarang ini adalah
tantangan bagi guru di dalam
berhubungan dengan siswa dalam
proses belajar mengajar. Disini guru
diharapkan dapat membangkitkan
motivasi belajar, hasrat ingin tahu,
dan minat yang kuat pada siswanya
untuk mengikuti pelajaran di sekolah
dan partisipasi aktif di dalamnya.
Sebab semakin banyak yang aktif
termotivasi untuk belajar maka
semakin tinggi prestasi belajar yang
diperolehnya.
Faktor yang menjadi penyebab
rendahnya motivasi antara lain yaitu
kurangnya ketersediaan sumber
belajar yang mendukung
terlaksananya kegiatan proses belajar
mengajar, sumber belajar yang ada
belum memenuhi standar kebutuhan,
dan sumber belajar yang tersedia
belum dimanfaatkan secara baik
sehingga cara penyampaian materi
pengajaran oleh guru yang kurang
menarik bagi siswa sehingga
mengakibatkan:
1. Siswa bersikap acuh tak acuh
terhadap materi yang diajarkan,
menentang dan sebagainya.
2. siswa malas melakukan tugas
kegiatan belajar, seperti malas
mengerjakan PR, malas membaca,
dan lain-lain.
3. menunjukkan hasil belajar yang
rendah dibawah nilai rata-rata
baik yang peroleh secara individu
maupun secara kelompok di kelas.
4. menunjukkkan tingkah laku
sering membolos, tidak
mengerjakan tugas yang diberikan
dan sebagainya.
5. belajar jika akan menghadapi
ujian atau ulangan saja.
Dalam proses belajar mengajar
di kelas, guru harus dapat
menumbuhkan motivasi apa saja
yang ada pada diri siswa. Siswa yang
rajin tentu mempunyai daya dorong
yang kuat sehingga melakukan
belajar dengan tekun. Siswa yang
malas harus diberi rangsangan atau
dibangkitkan kemauannya yang
positif agar berbuat sesuatu untuk
dirinya, disini guru bertindak sebagai
motivator, pendorong, dan pemberi
semamgat.
Peningkatan prestasi atau
kualitas sumber daya manusia
merupakan salah satu penekanan dari
tujuan pendidikan, seperti yang
tertuang dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003 Bab II Pasal 3 berbunyi:
3
Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Gambaran di atas sangat jelas
bangsa dan umat ini membutuhkan
orang-orang yang berilmu, cakap,
kreatif dan mandiri yang sanggup
membawa Indonesia lebih maju dan
lebih bermartabat. Dalam hal ini
seorang guru dituntut mampu
menciptakan situasi belajar yang
dapat merangsang dan mendorong
siswa untuk aktif, kreatif dan
berprestasi dalam belajar. Dilain
pihak pemerintah telah
mencanangkan tiga ranah tujuan
pendidikan (pembelajaran) yang
meliputi kognitif, afektif, dan
psikomotor yang harus dimunculkan
dari sosok guru terlebih dahulu agar
diidolakan oleh para siswa dengan
kata lain guru bukan hanya sebagai
pelaku transfer of nowledge
(pemindahan pengetahuan) saja.
Menurut (Neohi Nasution,
1993: 8) motivasi adalah kondisi
psikologis yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu.
Jadi motivasi belajar adalah kondisi
psikologis yang mendorong
seseorang untuk belajar, sehingga
hasil belajar pada umumnya
meningkat.
Sehubungan dengan hal
tersebut ada tiga fungsi motivasi :
1. Mendorong manusia untuk
berbuat, jadi sebagai penggerak atau
motor yang melepaskan energi.
Motivasi dalam hal ini merupakan
motor penggerak dari setiap kegiatan
yang akan dikerjakan.
2. Menentukan arah
perbuatan, yakni ke arah tujuan yang
hendak dicapai. Dengan demikian
motivasi dapat memberikan arah dan
kegiatan yang harus dikerjakan
sesuai dengan rumusan tujuannya.
3. Menyeleksi
perbuatan, yakni menentukan
perbuatan-perbuatan apa yang harus
dikerjakan yang serasi guna
mencapai tujuan, dengan
menyisihkan perbuatan-perbuatan
yang tidak bermanfaat bagi tujuan
tersebut.
Dari pengertian di atas dapat
dipahami bahwa prestasi belajar
adalah hasil kemampuan seseorang
pada bidang tertentu dalam mencapai
tingkat kedewasaan yang langsung
dapat diukur dengan tes penilaian
berupa angka atau huruf.
Pengertian Motivasi
Motivasi berasal dari kata
Latin “movere” yang berarti
dorongan atau menggerakkan. Dalam
masalah motivasi ada istilah yang
hampir sama pengertiannya, yaitu
Motive, Driven dan Needs. Sedang
menurut Filmore Motivasi akar
katanya adalah motif. Sehingga
motivasi diartikan sebagai :
4
Motivation is an energizing
condition of the organism that serves
to direct that organism to ward the
gold of a certain class. Jadi motif itu
diartikan sebagai suatu kondisi
(kekuatan/dorongan) yang
menggerakan organisme (individu)
untuk mencapai suatu tujuan tertentu
atau dengan kata lain motif itu yang
menyebabkan timbulnya semacam
kekuatan agar individu itu berbuat
bertindak atau bertingkah laku.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa
motivasi dapat diartikan sebagai
daya penggerak yang telah aktif
dalam diri seseorang untuk
melakukan sesuatu kegiatan atau
tindakan.
Motivasi sangat diperlukan
dalam pelaksanaan aktivitas manusia
karena motivasi merupakan hal yang
dapat menyebabkan, menyalurkan
dan mendukung perilaku manusia
supaya mau bekerja giat dan antusias
untuk mencapai hasil yang optimal”
(Malayu S.P Hasibuan, 2001:141)
Menurut G.R. Terry yang
diterjemahkan oleh J Smith D.F.M
(2003:130), “Motivasi dapat
diartikan sebagai suatu usaha agar
seseorang dapat menyelesaikan
pekerjaannya dengan semangat
karena ada tujuan yang ingin
dicapai”. Manusia mempunyai
motivasi yang berbeda tergantung
dari banyaknya faktor seperti
kepribadian, ambisi, pendidikan dan
usia. Motivasi adalah suatu
perubahan energi didalam pribadi
seseorang yang ditandai dengan
timbulnya afektif atau perasaan dan
reaksi untuk mencapai tujuan (Mc.
Donald dalam Oemar Hamalik, 2003
: 106).
Menurut Syaiful Bahri
Djamarah (2000 : 114) motivasi
adalah perubahan energi dalam diri
seseorang itu berbentuk suatu
aktivitas nyata berupa kegiatan fisik,
karena seseorang mempunyai tujuan
tertentu dari aktivitasnya, maka
seseorang mempunyai motivasi yang
kuat untuk mencapainya dengan
segala upaya yang dapat dia lakukan
untuk mencapainya.
Seseorang dikatakan berhasil
dalam belajar apabila didalam
dirinya sendiri ada keinginan untuk
belajar, sebab tanpa mengerti apa
yang akan dipelajari dan tidak
memahami mengapa hal tersebut
perlu dipelajari, maka kegiatan
belajar mengajar sulit untuk
mencapai keberhasilan. Keinginan
atau dorongan inilah yang disebut
sebagai motivasi.
Dengan motivasi orang akan
terdorong untuk bekerja mencapai
sasaran dan tujuannya karena yakin
dan sadar akan kebaikan,
kepentingan dan manfaatnya. Bagi
siswa motivasi ini sangat penting
karena dapat menggerakkan perilaku
siswa kearah yang positif sehingga
mampu menghadapi segala tuntutan,
kesulitan serta menanggung resiko
dalam belajar.
Dalam kaitannya dengan
belajar, motivasi sangat erat
hubungannya dengan kebutuhan
aktualisasi diri sehingga motivasi
paling besar pengaruhnya pada
kegiatan belajar siswa yang
bertujuan untuk mencapai prestasi
tinggi. Apabila tidak ada motivasi
belajar dalam diri siswa, maka akan
menimbulkan rasa malas untuk
belajar baik dalam mengikuti proses
5
belajar mengajar maupun
mengerjakan tugas-tugas individu
dari guru. Orang yang mempunyai
motivasi yang tinggi dalam belajar
maka akan timbul minat yang besar
dalam mengerjakan tugas,
membangun sikap dan kebiasaan
belajar yang sehat melalui
penyusunan jadual belajar dan
melaksanakannya dengan tekun.
Indikator dari motivasi,
yaitu:
1. Cita-cita.
Cita-cita adalah sesuatu target
yang ingin dicapai. Target ini
diartikan sebagai tujuan yang
ditetapkan dalam suatu kegiatan
yang mengandung makna bagi
seseorang. Munculnya cita-cita
seseorang disertai dengan
perkembangan akar, moral
kemauan, bahasa dan nilai-nilai
kehidupan yang juga
menimbulkan adanya
perkembangan kepribadian.
2. Kemampuan belajar.
Setiap siswa memiliki
kemampuan belajar yang berbeda.
Hal ini diukur melalui taraf
perkembangan berpikir siswa,
dimana siswa yang taraf
perkembangan berpikirnya
konkrit tidak sama dengan siswa
yang sudah sampai pada taraf
perkembangan berpikir rasional.
Siswa yang merasa dirinya
memiliki kemampuan untuk
melakukan sesuatu, maka akan
mendorong dirinya berbuat
sesuatu untuk dapat mewujudkan
tujuan yang ingin diperolehnya
dan sebaliknya yang merasa tidak
mampu akan merasa malas untuk
berbuat sesuatu.
3. Kondisi siswa.
Kondisi siswa dapat diketahui dari
kondisi fisik dan kondisi
psikologis, karena siswa adalah
makluk yang terdiri dari kesatuan
psikofisik. Kondisi fisik siswa
lebih cepat diketahui daripad
kondisi psikologis. Hal ini
dikarenakan kondisi fisik lebih
jelas menunjukkan gejalanya
daripada kondisi psikologis.
4. Kondisi lingkungan.
Kondisi lingkungan merupakan
unsur yang datang dari luar diri
siswa yaitu lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat.
Lingkungan fisik sekolah, sarana
dan prasarana perlu ditata dan
dikelola agar dapat
menyenangkan dan membuat
siswa merasa nyaman untuk
belajar. Kebutuhan emosional
psikologis juga perlu mendapat
perhatian, misalnya kebutuhan
rasa aman, berprestasi, dihargai,
diakui yang harus dipenuhi agar
motivasi belajar timbul dan dapat
dipertahankan.
5. Upaya guru membelajarkan
siswa.
Upaya guru membelajarkan siswa
adalah usaha guru dalam
mempersiapkan diri untuk
membelajarkan siswa mulai dari
penguasaan materi, cara
menyampaikannya, menarik
perhatian siswa dan mengevaluasi
hasil belajar siswa. Bila upaya
guru hanya sekedar mengajar,
artinya keberhasilan guru yang
menjadi titik tolak, besar
kemungkinan siswa tidak tertarik
untuk belajar sehingga motivasi
belajar siswa menjadi melemah
6
atau hilang (Max Darsono,
2000:65 ; Dimyati dan Mudjiono,
1994:90-92).
Motivasi mempunyai fungsi
yang sangat penting dalam belajar
siswa, karena motivasi akan
menentukan intensitas usaha belajar
yang dilakukan oleh siswa. Hawley
(Yusuf, 2003 : 14) menyatakan
bahwa para siswa yang memiliki
motivasi yang tinggi, belajarnya
lebih baik dibandingkan dengan para
siswa yang memiliki motivasi
rendah. Hal ini berarti siswa yang
memiliki motivasi belajar tinggi akan
tekun dalam belajar dan terus belajar
secara kontinyu tanpa mengenal
putus asa serta dapat
mengesampingkan hal-hal yang
dapat mengganggu kegiatan belajar.
Dari pendapat di atas sangat
jelas bahwa motivasi sangat penting
dalam proses belajar mengajar,
karena motivasi dapat mendorong
siswa untuk melakukan aktivitas-
aktivitas tertentu yang berhubungan
dengan kegiatan belajar mengajar.
Dalam proses belajar mengajar
tersebut diperlukan suatu upaya yang
dapat meningkatkan motivasi siswa,
sehingga siswa yang bersangkutan
dapat mencapai hasil belajar yang
optimal.
Jenis-jenis motivasi belajar,
menurut Sardiman AM (2001: 88-
90) motivasi dibagi menjadi dua tipe
atau kelompok yaitu intrinsik dan
ekstrinsik:
1. Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik merupakan
motif-motif yang menjadi aktif atau
berfungsinya tidak perlu dirangsang
dari luar, karena dalam diri setiap
individu sudah ada dorongan untuk
melakukan sesuatu. Contohnya
seseorang yang senang membaca
tidak usah disuruh atau
mendorongnya, ia sudah rajin
membaca buku-buku untuk
dibacanya. Yang tergolong dalam
motivasi intrinsik adalah:
a. Belajar karena ingin mengetahui
seluk-beluk masalah selengkap-
lengkapnya.
b. Belajar karena ingin menjadi
orang terdidik atau menjadi ahli
bidang studi pada penghayatan
kebutuhan dan siswa berdaya
upaya melui kegiatan belajar
untuk memenuhi kebutuhan ini
hanya dapat dipenuhi dengan
belajar giat.
2. Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik merupakan
motif-motif yang aktif dan
berfungsinya karena adanya
perangsang dari luar. Contohnya
seseorang itu belajar, karena tahu
besok pagi ada ujian dengan harapan
akan mendapatkan nilai baik, atau
agar mendapatkan hadiah. Jadi kalau
dilihat dari segi tujuan kegiatan yang
dilakukannya, tidak secara langsung
bergayut dengan esensi apa yang
dilakukannya itu.
Menurut Syaiful Bahri
Djamarah (2000 : 117) yang
tergolong bentuk motivasi belajar
ekstrinsik antara lain:
1. Belajar demi memenuhi
kewajiban.
2. Belajar demi menghindari
hukuman yang diancam.
3. Belajar demi memperoleh hadiah
material yang dijanjikan.
4. Belajar demi meningkatkan
gengsi sosial.
7
5. Belajar demi tuntutan jabatan
yang ingin dipegang atau demi
memenuhi persyaratan kenaikan
jenjang.
6. Belajar demi memperoleh pujian
dari orang yang penting.
Pentingnya motivasi bagi siswa
menurut Diimyati dan Mudjiono,
(1994: 79) adalah :
1. Menyadarkan kedudukan pada
awal belajar, proses dan hasil
akhir belajar.
2. Menginformasikan tentang usaha
belajar, bila dibanding dengan
teman sebaya sebagai ilustrasi,
terbukti kegiatan usahanya belum
memadai, maka ia berusaha
setekun mungkin agar berhasil.
3. Mengarahkan kegiatan belajar,
mengetahui bahwa dirinya belum
belajar secara efektif, maka ia
mengubah perilaku belajarnya.
4. Membesarkan semangat belajar.
5. Menyadarkan tentang adanya
perjalanan belajar dan kemudian
bekerja.
Sedang motivasi menurut peneliti
berfungsi sebagai:
1. Pendorong manusia untuk
berbuat. Motivasi dalam hal ini
merupakan motor penggerak dari
setiap kegiatan yang akan
dikerjakan.
2. Menentukan arah perbuatan, yaitu
ke arah tujuan yang hendak
dicapai, dengan demikian
motivasi dapat memberi arah dan
kegiatan yang harus dikerjakan
sesuai dengan rumusan tujuannya.
Teori-teori Motivasi
Menurut Oemar Hamalik ada
beberapa faktor yang
mempengaruhi motivasi, baik
motivasi intrinsik atau motivasi
ekstrinsik diantaranya :
1. Tingkat kesadaran siswa akan
kebutuhan yang mendorong
tingkah laku/perbuatannya dan
kesadaran atas tujuan belajar yang
hendak dicapai.
2. Sikap guru terhadap kelas, guru
yang bersikap bijak dan selalu
merangsang siswa untuk berbuat
kearah suatu tujuan yang jelas dan
bermakna bagi kelas.
3. Pengaruh kelompok siswa. Bila
pengaruh kelompok terlalu kuat
maka motivasinya lebih
cenderung ke sifat ekstrinsik.
4. Suasana kelas juga berpengaruh
terhadap muncul sifat tertentu
pada motivasi belajar siswa.
Motivasi sangat penting untuk
mencapai keberhasilan siswa dalam
belajar. Motivasi belajar merupakan
motor penggerak yang mengaktifkan
siswa untuk melibatkan diri.
Motivasi yang kuat akan membuat
siswa sanggup bekerja keras untuk
mencapai sesuatu yang menjadi
tujuannya, dan motivasi itu muncul
karena dorongan adanya kebutuhan.
Dorongan seseorang untuk belajar
menurut Maslow yang mengutip dari
Sardiman (2002:78) sebagai berikut:
1. Kebutuhan fisiologis, seperti
lapar, haus, kebutuhan untuk
istirahat dan sebagainya.
2. Kebutuhan akan keamanan, yakni
rasa aman bebas dari rasa takut
dan kecemasan.
3. Kebutuhan akan cinta kasih, rasa
diterima dalam suatu masyarakat
atau golongan (keluarga, sekolah,
kelompok).
4. Kebutuhan untuk mewujudkan
diri sendiri, yakni
8
mengembangkan bakat dengan
usaha mencapai hasil dalam
bidang pengetahuan, sosial dan
pembentukan pribadi.
Dari berbagai macam
kebutuhan tersebut, ada cara untuk
merangsang motivasi belajar siswa
yang merupakan dorongan intrinsik.
Menurut Sardiman (2001: 90)
beberapa cara menumbuhkan
motivasi belajar di sekolah adalah
dengan:
1. Memberikan angka sebagai
simbol dari nilai kegiatan
belajarnya.
2. Hadiah
3. Persaingan/kompetisi baik
individu maupun kelompok.
4. Ego-invoicement, sebagai
tantangan untuk
mempertaruhkan harga diri.
5. Memberi ulangan
6. Mengetahui hasil
7. Pujian
8. Hukuman
9. Hasrat untuk belajar
10. Minat
11. Tujuan yang diakui
Prestasi Belajar
Dalam pelaksanaan proses
belajar mengajar diperlukan adanya
evaluasi yang nantinya akan
dijadikan sebagai tolok ukur
maksimal yang telah dicapai siswa
setelah melakukan kegiatan belajar
selama waktu yang telah ditentukan.
Apabila pemberian materi telah
dirasa cukup, guru dapat melakukan
tes yang hasilnya akan digunakan
sebagai ukuran dari prestasi belajar
yang bukan hanya terdiri dari nilai
mata pelajaran saja tetapi juga
mencakup nilai tingkah laku siswa
selama berlangsungnya proses
belajar mengajar.
Prestasi merupakan hasil yang
dicapai seseorang ketika
mengerjakan tugas atau kegiatan
tertentu.” Prestasi belajar adalah
penguasaan pengetahuan atau
keterampilan yang dikembangkan
oleh mata pelajaran yang lazimnya
ditunjukkan dengan nilai tes atau
angka nilai yang diberikan guru”
(Tulus Tu`u, 2004:75).
Dari pengertian diatas dapat
dipahami bahwa prestasi belajar
adalah hasil kemampuan seseorang
pada bidang tertentu dalam mencapai
tingkat kedewasaan yang langsung
dapat diukur dengan tes. Penilaian
dapat berupa angka atau huruf.
Keberhasilan siswa dalam mencapai
prestasi belajar dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu tingkat
kecerdasan yang baik, pelajaran
sesuai dengan bakat yang dimiliki,
ada minat dan perhatian yang tinggi
dalam pembelajaran, motivasi yang
baik dalam belajar, cara belajar yang
baik dan strategi pembelajaran yang
dikembangkan guru. Suasana
keluarga yang mendorong anak
untuk maju, selain itu lingkungan
sekolah yang tertib, teratur dan
disiplin merupakan pendorong dalam
proses pencapaian prestasi belajar
(Tulus Tu`u, 2004: 81).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar Menurut Merson U. Sangalang
yang dikutip oleh Tulus Tu’u
(2004:78) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan siswa
dalam mencapai hasil belajar yang
baik, antara lain:
1. Faktor kecerdasan.
9
Tinggi rendahnya kecerdasan
yang dimiliki siswa sangat
menentukan keberhasilannya
mencapai prestasi belajar,
termasuk prestasi-prestasi lain
yang ada pada dirinya.
2. Faktor bakat.
Bakat-bakat yang dimiliki siswa
apabila diberi kesempatan untuk
dikembangkan dalam
pembelajaran akan dapat
mencapai prestasi belajar yang
diharapkan.
3. Faktor minat dan perhatian.
Minat adalah kecenderungan yang
besar terhadap sesuatu. Perhatian
adalah melihat dan mendengar
dengan baik serta teliti terhadap
sesuatu. Apabila siswa menaruh
minat pada satu pelajaran tertentu
biasanya cenderung untuk
memperhatikannya dengan baik.
Minat dan perhatian yang tinggi
pada mata pelajaran akan
memberi dampak yang baik bagi
prestasi belajar siswa.
4. Faktor motif.
Motif selalu selalu mendasari dan
mempengaruhi setiap usaha serta
kegiatan seseorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Apabila dalam belajar, 26 siswa
mempunyai motif yang baik dan
kuat, hal ini akan memperbesar
usaha dan kegiatannya mencapai
prestasi yang tinggi.
5. Faktor cara belajar.
Keberhasilan belajar siswa
dipengaruhi oleh cara belajar
siswa. Cara belajar yang efisien
memungkinkan mencapai prestasi
belajar yang lebih tinggi
dibandingkan dengan cara belajar
yang tidak efektif.
6. Faktor lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan salah satu
potensi yang besar dan positif
member pengaruh pada prestasi
siswa. Terutama dalam hal
mendorong, member semangat,
dan memberi teladan yang baik
kepada anaknya.
7. Faktor sekolah.
Sekolah merupakan faktor
pendidikan yang sudah
terstruktur, memiliki sistem, dan
organisasi yang baik bagi
penanaman nilai-nilai etika,
moral, mental, spiritual, disiplin
dan ilmu pengetahuan (Tulus
Tu’u, 2004:78).
Pencapaian prestasi belajar
yang baik tidak hanya diperoleh dari
tingkat kecerdasan siswa saja, tetapi
juga didukung oleh lingkungan
keluarga dan sekolah dimana guru
dan alat belajar dijadikan sebagai
sumber belajar bagi kelancaran
proses belajar mengajar.
Keberhasilan siswa dalam mencapai
prestasi belajar dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu tingkat
kecerdasan yang baik, pelajaran
sesuai dengan bakat yang dimiliki,
ada minat dan perhatian yang tinggi
dalam pembelajaran, motivasi yang
baik dalam belajar, cara belajar yang
baik dan strategi pembelajaran yang
dikembangkan guru. Suasana
keluarga yang mendorong anak
untuk maju, selain itu lingkungan
sekolah yang tertib, teratur dan
disiplin merupakan pendorong dalam
proses pencapaian prestasi belajar
(Tulus Tu`u, 2004: 81).
Sedangkan Syah (1999:144)
secara global menjelaskan faktor–
faktor yang mempengaruhi prestasi
10
belajar siswa dibagi menjadi tiga
macam, yaitu :
1. Faktor internal (faktor dari dalam
siswa), yakni keadaan/kondisi
jasmani dan rohani siswa.
2. Faktor eksternal (faktor dari luar
siswa), yakni kondisi lingkungan
di sekitar siswa.
3. Faktor pendekatan belajar
(approach to learning), yakni jenis
upaya belajar siswa yang meliputi
strategi dan metode yang
digunakan siswa untuk melakukan
kegiatan pembelajaran materi–
materi pelajaran.
Menurut Slameto (2003:
54–71) ada beberapa faktor yang
menghambat prestasi belajar
anak antara lain :
1. Faktor–faktor Intern
a. Faktor jasmaniah meliputi faktor
kesehatan, faktor cacat tubuh.
b. Faktor psikologis meliputi faktor
intelegensi, perhatian, minat,
bakat, motif, kematangan,
kesiapan.
c. Faktor kelelahan meliputi,
kelelahan jasmani, kelelahan
rohani (bersifat psikis) yaitu
kelelahan jasmani terlihat dengan
lemah lunglainya tubuh dan
kecenderungan membaringkan
tubuh, kelelahan rohani terlihat
dengan adanya kebosanan
sehingga minat belajar kurang.
2. Faktor–faktor Ekstern
a. Faktor keluarga meliputi, Cara
orang tua mendidik, relasi antar
anggota keluarga, suasana di
rumah, keadaan ekonomi
keluarga, pengertian orang tua
tentang pentingnya pendidikan,
latar belakang kebudayaan.
b. Faktor Sekolah meliputi, Metode
mengajar, kurikulum, relasi guru
dengan siswa, relasi siswa dengan
siswa, disiplin sekolah, alat
pelajaran, waktu sekolah, standart
pelajaran di atas ukuran, keadaan
gedung, metode belajar, tugas
rumah.
c. Faktor masyarakat mliputi,
Kegiatan siswa dalam masyarakat,
media massa, teman bergaul,
bentuk kehidupan masyarakat.
Jadi keberhasilan siswa
mencapai hasil belajar yang baik
dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor. Faktor itu terdiri dari tingkat
kecerdasan yang baik, pelajaran
sesuai bakat yang dimiliki, ada minat
dan perhatian yang tinggi dalam
pembelajaran, motivasi yang baik
dalam belajar, cara belajar yang baik
dan strategi pembelajaran variatif
yang dikembangkan guru. Suasana
keluarga yang memberi dorongan
anak untuk maju. Selain itu,
lingkungan sekolah yang tertib,
teratur, disiplin, yang kondusif bagi
kegiatan kompetisi siswa dalam
pembelajaran.
Pentingnya Motivasi dalam
Meningkatkan Prestasi Belajar
Pentingnya motivasi bagi
siswa menurut Diimyati dan
Mudjiono, (1994: 79) adalah :
1. Menyadarkan kedudukan pada
awal belajar, proses dan hasil
akhir belajar.
2. Menginformasikan tentang usaha
belajar, bila dibanding dengan
teman sebaya sebagai ilustrasi,
terbukti kegiatan usahanya belum
memadai, maka ia berusaha
setekun mungkin agar berhasil.
11
3. Mengarahkan kegiatan belajar,
mengetahui bahwa dirinya belum
belajar secara efektif, maka ia
mengubah perilaku belajarnya.
4. Membesarkan semangat belajar.
5. Menyadarkan tentang adanya
perjalanan belajar dan kemudian
bekerja.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat
kuantitatif, karena penelitian ini
mencari pengaruh antara dua
variabel yaitu motivasi (X) dan
Prestasi (Y).
Penelitian ini dilaksanakan di
SMP Negeri 1 Parado Kecamatan
Parado Kabupaten Bima, sekolah ini
didirikan pada bulan Juli tahun 1997
yang statusnya pada saat itu masih
kelas jauh (filiar) dengan SMP
Negeri 1 Monta tapi sekarang sudah
memiliki gedung sendiri yang cukup
repsentatif.
Populasi adalah keseluruhan
obyek penelitian (Suharsimi
Arikunto, 2002:108). Dalam
penelitian ini yang menjadi
populasinya adalah seluruh siswa
kelas VIII semester 2 SMPN 1
Parado yang berjumlah 80 orang
siswa dari 3 (tiga) kelas Tahun
Pelajaran 2010/2011.
TABEL 3.3
POPULASI PENELITIAN
No. Kelas L P Jumlah
1. VII1 10 16 26
2. VII2 13 13 26
3. VII3 12 16 28
Jumlah 35 45 80
1. Sampel
Sampel merupakan sebagian
atau wakil dari populasi yang diteliti
(Suharsimi Arikunto 2002 : 108).
Untuk mengetahui jumlah sampel
yang akan diambil dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan rumus
Solvin Husen Umar (2002). Teknik
penentuan sampel dalam penelitian
ini adalah simple random sampling,
artinya setiap siswa memiliki
peluang yang sama untuk dijadikan
sampel karena jumlah populasinya
hanya 80 orang.
N
n =
1 + Ne2
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
e = Tingkat Kesalahan 5%
(0,05)
Agar data yang dibutuhkan
dapat diperoleh maka diperlukan
isntrument atau alat untuk
mencarinya. Adapun instrument
yang dipergunakan yaitu
menggunakan skala Likert dengan
memberikan pertanyaan kepada
responden untuk dijawab dengan
indikator pengaruh motivasi terhadap
prestasi belajar siswa.
Sangat Setuju (SS) Skor : 5
Setuju (S) Skor : 4
Ragu-ragu (R) Skor : 3
Tidak setuju (TS) Skor : 2
Sangat Tidak Setuju (STS)Skor : 1
Validitas dan Reliabilitas
Penelitian
1. Validitas
Validitas adalah suatu ukuran
yang menunjukkan tingkatan-
tingkatan kevalidan atau kesahihan
suatu instrumen (Suharsimi
12
Arikunto, 2002:144). Uji validitas
dilakukan untuk mengetahui apakah
setiap butir soal pada instrumen yang
digunakan dapat dipakai untuk
mengetahui tanggapan responden
terhadap variabel yang diteliti. Hasil
yang valid dapat diperoleh apabila
pertanyaan yang digunakan sudah
valid. Uji validitas dilakukan dengan
menggunakan rumus korelasi
product moment.
TABEL 3.4
HASIL UJI VALIDITAS
so
al
rhitung rtabel Kesimpulan
1 0,732 0,300 Valid
2 0,682 0,300 Valid
3 0,643 0,300 Valid
4 0,800 0,300 Valid
5 0,746 0,300 Valid
6 0,730 0,300 Valid
7 0,640 0,300 Valid
8 0,824 0,300 Valid
9 0,764 0,300 Valid
10 0,812 0,300 Valid
11 0,640 0,300 Valid
12 0,643 0,300 Valid
13 0,832 0,300 Valid
14 0,546 0,300 Valid
15 0,643 0,300 Valid
16 0,812 0,300 Valid
17 0,756 0,300 Valid
18 0,812 0,300 Valid
19 0,640 0,300 Valid
20 0,640 0,300 Valid
2. Reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan pada
suatu pengertian bahwa suatu
instrument cukup dapat dipercaya
untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data karena instrumen itu
sudah baik (Suharsimi Arikunto,
2002: 154). Dalam penelitian ini uji
reliabilitas diperoleh dengan cara
menganalisis data, sehingga dapat
disimpulkan bahwa data reliabel dan
layak digunakan untuk penelitian.
Setelah mendapatkan berbagai
macam data atau informasi dari
instrumen pengumpulan data yang
digunakan, maka langkah
selanjutnya adalah mengadakan
analisis terhadap data yang ada
tersebut. Langkah yang dilakukan
adalah dengan memberi skor
(scoring) terhadap setiap jawaban
yang diberikan oleh responden
dengan ketentuan sebagai berikut: Jika pernyataan
bersifat positif :
Jika pernyataan bersifat
negatif :
Alternatif
jawaban
Sk
or
Alternatif
jawaban
Skor
SS (Sangat
Setuju)
: 5 SS (Sangat Setuju) : 1
S (Setuju) : 4 S (Setuju) : 2
R (Ragu-ragu) : 3 R (Ragu-ragu) : 3
TS (Tidak
Setuju)
: 2 TS (Tidak Setuju) : 4
STS (Sangat
Tidak Setuju)
: 1 STS (Sangat Tidak
Setuju)
: 5
Setelah data motivasi (X) dan
prestasi belajar (Y) diketahui maka
selanjutnya kedua data tersebut
dikorelasikan dengan rumus korelasi
product moment untuk mengetahui
pengaruh motivasi terhadap prestasi.
Rumus product moment:
rxy =
Keterangan:
rxy = Koefisien
korelasi antara variabel X
dan variabel Y
N = Jumlah
responden
∑ = Jumlah skor
X = Variabel bebas
Y = Variabel
terikat
(Sugiono, 2008 .212).
PEMBAHASAN
Data yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah meliputi dua hal
2222 )().()().(
))((.
YYNXXN
YXXYN
13
karena penelitian ini mencari
pengaruh antara dua variabel. Untuk
mempermudah penganalisaan data
tersebut maka penulis membaginya
menjadi dua variabel yakni motivasi
(X) dan prestasi belajar (Y). Adapun
data motivasi (X) sebagaimana pada
lampiran 2 halaman 38, Nilai Rapor
(Y) pada lampiran 3 halaman 40,
Data Hasil Skor Tanggapan
Responden tentang motivasi (X) dan
nilai rapot (Y) pada lampiran 4
halaman 42.
Setelah melakukan analisa
terhadap data mentah hasil penelitian
untuk mencari koefisien nilai tiap
variabel, maka tahap selanjutnya
adalah memasukkan koefisien nilai
tiap variabel tersebut kedalam rumus
dalam rangka pembuatan hipotesis.
Adapun rumus yang digunakan
untuk menguji hipotesis dalam
penelitian ini adalah rumus Product
Moment angka kasar seperti yang
disajikan berikut:
Diketahui :
n = 56
∑X = 3607
∑Y = 3871
∑X2 = 233665
∑Y2 = 270323
∑ XY = 251207
Perhitungan Korelasi Product
Moment
2222 )()(
))((
yynxxn
yxxynrn
22 )3871()270323)(56()3607()233665)(56(
)3871)(3607(251207.56
r
)14984641()15138088()13010449()13085240(
1396269714067592
r
)153447)(74791(
104895r
71147645457
104895r
107128
104895r
rxy = 0,979
Analisis Data
Berdasarkan hasil penelitian
dari hasil analisis data yang
dilakukan maka dapat dijelaskan
bahwa rhitung = 0,979 dan rtabel untuk
jumlah responden penelitian (N) = 56
orang pada taraf signifikan 5%
nilainya = 0,300. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai rhitung
product moment angka kasar lebih
besar dari nilai rtabel (rh > rt). Berarti
hipotesis penelitian (Ha) yang
diajukan diterima dan Ho ditolak,
artinya ada pengaruh motivasi
terhadap prestasi belajar siswa.
Dengan memperhatikan kadar
hubungan antara variabel X dan
variabel Y. Secara statistik nilai di
atas memberikan pengertian bahwa
motivasi memiliki pengaruh terhadap
prestasi belajar siswa pada taraf yang
sangat kuat karena angka indeks
korelasi product moment rxy = 0,979
terletak pada rentangan (0,80 –
1,000). Sesuai tebel interpretasi
14
koefisien korelasi seperti pada tabel
di bawah ini:
TABEL 4.4
INTERPRETASI KOEFISIEN
KORELASI
Interval Tingka
t Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat
Rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Cukup
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
Sumber : (Sugiono, 2006 : 214)
PEMBAHASAN
Hasil perhitungan analisis data
menunjukkan bahwa ada pengaruh
motivasi terhadap prestasi belajar
siswa di SMP Negeri 1 Parado. Hal
ini menunjukkan bahwa besar
kecilnya perubahan prestasi belajar
siswa dipengaruhi oleh faktor
motivasi. Prestasi belajar merupakan
penguasaan pengetahuan atau
ketrampilan yang dikembangkan
oleh mata pelajaran, lazimnya
ditunjukkan dengan nilai tes atau
angka nilai yang diberikan oleh guru.
(Tulus, 2004 : 75). Prestasi
merupakan hasil yang dicapai
seseorang ketika mengerjakan tugas
atau kegiatan tertentu.
Motivasi merupakan proses
internal yang mengaktifkan,
memandu dan memelihara perilaku
seseorang secara terus menerus.
Motivasi tidak hanya penting untuk
membuat siswa melakukan aktivitas
belajar, melainkan juga menentukan
berapa banyak siswa dapat belajar
dari aktivitas yang mereka lakukan
atau informasi yang mereka hadapi.
Siswa yang termotivasi akan
menunjukkan proses kognitif yang
tinggi dalam belajar, menyerap dan
mengingat apa yang telah dipelajari.
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan maka dapat
dijelaskan bahwa hasil perhitungan
dengan menggunakan rumus product
moment bahwa rhitung = 0,979 dan
rtabel untuk jumlah responden
penelitian (N) = 56 orang, maka pada
taraf signifikan 5% nilainya = 0,300
dapat disimpulkan bahwa data
menunjukkan hasil perhitungan rh >
rt artinya Ha diterima dan Ho ditolak,
berarti ada pengaruh motivasi
terhadap prestasi belajar siswa kelas
VIII Semester Genap SMP Negeri 1
Parado Tahun Pelajaran 2010/2011.
KESIMPULAN
Ada pengaruh motivasi
terhadap prestasi belajar siswa kelas
VIII Semester Genap SMP Negeri 1
Parado Tahun Pelajaran 2010/2011,
pada tingkat hubungan yang sangat
kuat, karena angka indeks korelasi
product moment rxy = 0,979 terletak
pada rentangan (0,80 – 1,000).
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah S. Bahri, Prestasi Belajar
dan Kompetensi guru.
Usaha Nasional,
Surabaya, 1994.
Hasibuan, Melayu S.P., Manajemen
Sumber Daya
Manusia. Jakarta :
Bumi Aksara, 2001.
15
H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Kalam
Mulia, 2002), h. 69
Kartini Kartono, Mari Belajar
Meneliti. (Ahmad
Usman, 2008: 290),
Mc. Donald, Artikel (Internet)
Neohi Nasution, Psikologi Belajar.
Jakarta: PT. Granada
Pustaka Utama
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor
yang
Mempengaruhinya.
Jakarta: Rineka Cipta.
SISDIKNAS, Undang-undang
Sisdiknas RI No. 20
Tahun 2003
Suharsimi Arikunto, (Ahmad Usman,
2008: 286) Mari
Belajar Meneliti
Syah Muhibbin, Psikologi
Pendidikan Dengan
Pendekatan Baru, PT.
Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2003.
Yatim Riyanto, 2001, Metodologi
Penelitian Pendidikan,
Cetakan kedua SIC
Surabaya.
G.R. Terry. 2003. Prinsip-prinsip
Manajemen.
Terjemahan J mith D.
F. M. Jakarta: Bumi
Aksara
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000.
Psikologi Belajar.
Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Darsono, Max. 2000. Belajar dan
Pembelajaran.
Semarang: IKIP
Semarang Press
Yusuf. 2003. Motivasi Dalam
Belajar. Jakarta.
P2LPTK.
Sardiman, A.M. 2001. Interaksi dan
Motivasi Belajar
Mengajar. Jakarta:
Raja Grafindo
Dimyati dan Mudjiono. 1994.
Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta:
PT. Rineka Cipta
Tu’u, Tulus. 2004. Peran Disiplin
Pada Perilaku dan
Prestasi Siswa. Jakarta:
Grasindo
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian
Administrasi.
Bandung: CV. Alfabet
1
PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN RECIPROCAL TEACHING PADA
MATA PELAJARAN IPS EKONOMI UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI
BELAJAR SISWA KELAS VII B MTsN WATAMPONE KECAMATAN
TANETE RIATTANGN KABUPATEN BONE
HERWIN
ABSTRAK
Penerapan metode pembelajaran Reciprocal Teaching pada mata pelajaran IPS
Ekonomi untuk meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VII B MTsN
Watampone Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone. Penelitian ini
bertujuan Untuk mengetahui bagaimana peningkatan prestasi belajar siswa
melalui metode pembelajaran Reciprocal Teaching pada mata pelajaran IPS
Ekonomi siswa kelas VII B Watampone Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten
Bone Tahun pelajaran 2012/2013 terdiri dari 34 siswa, 16 perempuan dan 18
laki-laki.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, dan teknik
tes. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah mengolah data,
mengidentifikasi data, menganalisis data, dan mengumpulkan hasil pembelajaran.
Hasil penelitian, sebanyak 82.5% siswa dapat meningkatkan prestasi belajar
melalui metode Pembelajaran Reciprocal Teaching, dengan menggunakan
metode pembelajaran Reciprocal Teaching dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa karena siswa dapat bertukar pendapat dengan guru. Jika Metode
pembelajaran guru diganti dengan metode pembelajaran Reciprocal Teaching,
maka itu akan berpengaruh terhadap motivasi dan minat belajar siswa dan diikuti
dengan prestasi belajar siswa.
1
PENDAHULUAN
Salah satu masalah dalam
pembelajaran di sekolah adalah
rendahnya hasil belajar siswa.Masalah
adalah ketidaksesuaian antara harapan
dengan kenyataan,ada yang melihatnya
sebagai tidak terpenuhinya sesuatu
kebutuhan seseorang,dan ada pula yang
mengartikan sebagai sesuatu yang tidak
mengenakkan.Prayitno
(1985),memberikan batasan tentang
masalah sebagai sesuatu yang (1) tidak
disukai adanya; (2) menimbulkan
kesulitan bagi diri dan orang lain; (3)
dan adanya keinginan untuk
menghilangkannya.Masalah dapat
dialami oleh siapapun,termasuk siswa
MTsN.
Masalah yang dialami anak didik
dapat bermacam-macam menurut corak
dan ragamnya.Keragaman tersebut
dapat pula dilihat dari intensitas dan
kuantitas.Secara intensitas,masalah anak
didik dapat bergerak dari masalah yang
bersifat ringan sampai pada tingkat
yang sedang yang berupa neorosis dan
berat yang berupa psikosis.
Masalah yang dialami anak didik
tidak timbul begitu saja,tetapi ada
berbagai factor yang menyebabkan
masalah tersebut.Bila guru mampu
mengidentifikasi penyebab timbunya
masalah yang dialami anak didik,maka
ia akan mampu memberikan penangnan
dan atau pencegahan sedini
mungkin.Secara garis besar,factor-
faktor yang mempengaruhi timbulnya
masalah yang dihadapi anak didik
adalah faktor internal yaitu faktor
dari
dalam diri anak didik seperti
keadaan fisik (keadaan indra
persepsinya,perkembangan fisik dan
kesehatan anak didik),keadaan
psikologis (kurangnya kemampuan
dasar,kurangnya pengalman,kurangnya
perhatian disekolah,bakat tidak sesuai
dengan lingkungan anak didik,tidak ada
minat,sikap yang tidak sesuai dengan
hati nurani dan tidak adanya
kemauan),Sedangkan faktor eksternal
adalah faktor dari luar anak didik seperti
lingkungan keluarga (keadaan status
ekonomi,perhatian orang tua,harapan
orang tua,hubungan keluarga yang tidak
harmonis),lingkungan sekolah (kondisi
kurikulum,hubungan guru dengan
siswa,hubungan antar siswa,iklim
sekolah),lingkungan masyarakat.
Suatu konsep yang penting dalam
psikologis Gestalt adalah tentang insight
yaitu pengamatan dan pemahaman
mendadak terhadap hubungan-
hubungan antar bagian-bagian dalam
suatu situasi permasalahan. Dalam
pelaksanaan pembelajaran dengan teori
Gestalt, guru tidak memberikan
potongan-potongan atau bagian-bagian
bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan
yang utuh.
Menurut teori Gestalt perbuatan
belajar itu tidak berlangsung seketika,
tetapi berlangsung berproses kepada
hal-hal yang esensial, sehingga aktivitas
belajar itu akan menimbulkan makna
yang berarti. Sebab itu dalam proses
belajar, makin lama akan timbul suatu
pemahaman yang mendalam terhadap
materi pelajaran yang dipelajari,
manakala perhatian makin ditujukan
kepada objek yang dipelajari itu telah
mengerti dan dapat apa yang dicari.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
adalah proses penelitian yang sistematis
dan terencana melalui tindakan
perbaikan pembelajaran yang dilakukan
oleh guru di kelasnya sendiri
(Mills,Geoffrey
E,2000;Schmuck,Richard A,1997)
Guru yang professional tidak
hanya dituntut untuk menguasai materi
ajar atau mampu menyajikannya secara
tepat,tetapi juga dituntut mampu
melihat atau menilai kinerjanya
sendiri.Kemampuan ini berkaitan
dengan penelitian yang dalam konteks
2
ini ruang lingkupnya berada seputar
kelas yaitu penelitian di kelas sendiri
(Wardani,dkk 2006-1)
Salah satu kompetensi yang harus
dimiliki guru adalah mendidik,mengajar
dan melatih agar anak didiknya kelak
menjadi manusia pandai,terampil dan
berbudi luhur.Untuk dapat
melaksanakan tugas tersebut,guru
seyogyanya menguasai kemampuan
mengajarkan pengetahuan dan
keterampilan hidup,mendidik agar
menjadi manusia yang berakhlak dan
melatih para anak didiknya agar mampu
memanfaatkan pengetahuan dan
keterampilannya bagi hidupnya kelak.
Salah satu kemampuan yang harus
dimiliki guru sebagai salah satu unsur
pendidik agar mampu melaksanakan
tugas profesionalnya adalah memahami
bagaimana anak didik belajar dan
mengorganisasikan proses pembelajaran
yang mampu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak
peserta didik serta memahami tentang
bagaimana anak didik belajar.Untuk
dapat memahami proses belajar yang
terjadi pada diri anak didik guru perlu
menguasai hakekat dan konsep dasar
belajar.Dengan menguasai hakekat dan
konsep dasar belajar diharapkan guru
mampu menerapkannya dalam kegiatan
pembelajaran,karena fungsi utama
pembelajaran adalah mempasilitasi
tumbuh dan berkembangnya belajar
dalam diri peserta didik
(Winataputra,2007 : 4).
Wadah dan sarana yang paling
strategis bagi kecerdasan kahidupan
bangsa adalah pendidikan,utamanya
melalui sistem persekolahan.Bagi
bangsa kita,upaya yang dilakukan
pemerintah dalam rangka mengakses
dan mengimplementasikan tujuan
nasional tersebut adalah
menyelenggarakan sistem pendidikan
nasional yang diatur oleh undang-
undang.
Pendidikan bagi sebagian orang,
berarti berusaha membimbing anak
untuk menyerupai orang dewasa,
sebaliknya bagi Jean Piaget ( 1896 )
pendidikan berarti menghasilkan,
mencipta, sekalipun tidak banyak,
sekalipun suatu penciptaan dibatasi oleh
pembandingan dengan penciptaan yang
lain. Pandangan tersebut memberi
makna bahwa pendidikan adalah segala
situasi hidup yang mempengaruhi
pertumbuhan individu sebagai
pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan dan sepanjang
hidup. Dalam arti sempit pendidikan
adalah pengajaran yang diselenggarakan
umunya di sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal. Ilmu disebut juga
pedagogik, yang merupakan terjemahan
dari bahasa Inggris yaitu ” Pedagogics
”. Pedagogics sendiri berasal dari
bahasa Yunani yaitu ” pais ” yang
artinya anak, dan ” again ” yang artinya
membimbing. Poerbakwatja dan
Harahap ( 1982 : 254 ) mengemukakan
pedagogik mempunyai dua arti yaitu :
(1) peraktek, cara sesorang mengajar;
dan (2) ilmu pengetahuan mengenai
prinsip-prinsip dan metode mengajar,
membimbing, dan mengawasi pelajaran
yang disebut juga pendidikan.
Orang yang memberikan
bimbingan kepada anak didik disebut
pembimbing atau ” pedagog”, dalam
perkembangannya, istilah pendidikan (
pedagogy ) berarti bimbingan atau
pertolongan yang diberikan kepada anak
oleh orang dewasa secara sadar dan
bertanggung jawab. Dalam dunia
pendidikan kemudian tumbuh konsep
pendidikan seumur hidup ( lifelong
education ), yang berarti pendidikan
berlangsung sampai mati, yaitu
pendidikan berlangsung seumur hidup
dalam setiap saat selama ada pengaruh
lingkungan. Untuk memberi
pemahaman akan batasan pendidikan
berikut ini dikemukakan sejumlah
3
batasan pendidikan yang dikemukan
para ahli yaitu :
(1) Pendidikan ialah proses
pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan
pelatihan ( Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1991 ).
(2) Dalam pengertian yang sempit
pendidikan berarti perbuatan atau
proses perbuatan untuk memperoleh
pengetahuan ( McLeod, 1989 ).
(3) Pendidikan ialah segala pengalaman
belajar yang berlangsung dalam
segala lingkungan dan sepanjang
hidup serta pendidikan dapat
diartikan sebagai pengajaran yang
diselenggarakan di sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal (
Mudyahardjo, 2001:6 )
(4) Dalam pengertian yang agak luas
pendidikan diartikan sebagai sebuah
proses dengan metode-metode
tertentu sehingga orang memperoleh
pengetahuan, pemahaman, dan cara
bertingkah laku yang sesuai dengan
kebutuhan ( Muhibinsyah, 2003:10 )
(5) Pendidikan berarti tahapan
kegiatan yang bersifat kelembagaan (
seperti sekolah dan madrasah ) yang
dipergunakan untuk
menyempurnakan perkembangan
individu dalam menguasai
pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan
sebagainya ( Dictionary of
Psychology, 1972 ).
(6) Dalam arti luas pendidikan
meliputi semua perbuatan dan usaha
dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuannya, pengalamannya,
kecakapannya, dan ketrampilannya
kepada generasi muda sebagai usaha
menyiapkannya agar dapat
memenuhi fungsi hidupnya baik
jasmaniah maupun rohaniah. Artinya
pendidikan adalah usaha secara
sengaja dari orang dewasa untuk
dengan pengaruhnya meningkatkan
si anak ke kedewasaan yang selalu
diartikan mampu menimbulkan
tanggung jawab moril dari segala
perbuatannya ( Poerbakawatja dan
Harahap, 1981 ).
(7) Menurut John Dewey
pendidikan merupakan proses
pembentukan kemampuan dasar
yang fundamental, baik menyangkut
daya pikir atau daya intelektual,
maupun daya emosional atau
perasaan yang diarahkan kepada
tabiat manusia dan kepada
sesamanya.
(8) Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan
spritual keagamaan, pengenalan diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara ( UUSPN No. 20
Tahun 2003 ).
Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan
bangsa,bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa,serta
berakhlak
mulia,sehat,berilmu,cakap,kreatif
mandiri dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggung
jawab (Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003,tentang sistem
Pendidikan Nasional.
Pendidikan Taman kanak-kanak
merupakan bagian dari pendidikan
nasional bertujuan untuk memberikan
4
bekal kemampuan pribadi anggota
masyarakat,warga Negara dan anggota
umat manusia serta mempersiapkan
peserta didik dan untuk mengikuti
pendidikan dasar PP nomor 28 Tahun
1990 tentang pendidikan dasar.Tujuan
pendidikan taman kanak-kanak
tersebut,dijabarkan lagi ke dalam tujuan
kurikuler (tujuan mata pelajaran) dan
tujuan instruksional menempati posisi
kunci yang strategis dalam menciptakan
dan mengembangkan suasana belajar
yang kondusif dan menyenangkan
sehingga terjadi pembelajaran yang
efektif dan bermakna untuk
mengarahkan siswa agar mampu
mencapai hasil yang optimal.
Pendidikan selalu dapat dibedakan
menjadi teori dan praktek, teori
pendidikan adalah pengetahuan tentang
makna dan bagaimana soyogyanya
pendidikan itu dilaksanakan, sedangkan
praktek adalah tentang pelaksanaan
pendidikan secara konkretnya. Teori
pendidikan disusun seperti latar
belakang yang hakiki dan sebagai
rasional dari praktek pendidikan serta
pada dasarnya bersifat direktif. Istilah
direktif memberi makna bahwa
pendidikan itu mengarah pada tujuan
yang pada hakekatnya untuk mencapai
kesejahteraan bagi subjek
Pada dasarnya ”mengajar” adalah
membantu ( mencoba membantu )
seseorang untuk mempelajari sesuatu
dan apa yang dibutuhkan dalam belajar
itu tidak ada kontribusinya terhadap
pendidikan orang yang belajar. Artinya
mengajar pada hakekatnya suatu proses,
yakni proses mengatur, mengorganisasi
lingkungan yang ada disekitar siswa
sehingga menumbuhkan dan
mendorong siswa belajar.Hal ini akan
dapat terwujud jika dilakukan melalui
proses pengajaran dengan strategi
pelaksanaan melalui :
1. Bimbingan yaitu pemberian
bantuan,arahan,motivasi,nasihat dan
penyuluhan agar siswa mampu
mengatasi,memecahkan dan
menanggulangi masalahnya sendiri.
2. Pengajaran yaitu bentuk kegiatan
dimana terjalin hubungan interaksi
dalam proses belajar dan mengajar
antara tenaga kependidikan dengan
peserta didik.
3. Pelatihan yaitu sama dengan
pengajaran khususnya untuk
mengembangkan keterampilan
tertentu.
Menurut Langford (1978) yang
penting hubungan yang relevan
bukanlah antara pengajaran dengan
pendidikan tetapi antara pengajaran
sebagai suatu profesi dengan
pendidikan.
Indikator keberhasilan
pembelajaran adalah tingkat penguasaan
materi pelajaran oleh anak didik yang
lazimnya dinyatakan dengan
nilai.Mengacu pada konsep
tersebut,maka dapat dikatakan bahwa
hasil kegiatan pembelajaran di kelas
tempat saya mengajar kurang
berhasil,ditandai rendahnya hasil belajar
anak didik atau tingkat pemahaman
anak didik pada tema dan sub tema.Hal
ini terbukti dari 33 orang siswa 14
orang siswa mencapai tingkat
pemahaman 70 % ke atas.
Gejala yang demikian,tentu saja
tidak boleh dibiarkan terus menerus
terjadi.Saya menyadari bahwa sebagai
seorang guru yang diberi tugas dan
tanggung jawab untuk membimbing dan
mengarahkan siswa agar dapat
menguasai materi pelajaran secara
optimal,merasa terpanggil dan
berkewajiban untuk berbuat dan
bertindak mengatasi masalah tersebut
dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) sebagai suatu system kegiatan
untuk mencari dan menemukan solusi
yang tepat dalam rangka memperbaiki
pembelajaran,sehingga penguasaan
5
siswa terhadap materi pelajaran dapat
ditingkatkan.
1. Model Pembelajaran
Model pembelajaran kooperatif
adalah suatu model pembelajaran yang
dalam pelaksanaannya mengedepankan
pemanfaatan kelompok-kelompok
siswa.Prinsip yang harus dipegang
teguh dalam kaitan dengan kelompok
kooperatif adalah setiap siswa yang ada
dalam suatu kelompok harus
mempunyai tingkat kemampuan yang
heterogen (tinggi, sedang dan rendah)
dan bila perlu mereka harus berasal dari
ras, budaya, suku yang berbeda serta
mempertimbangkan kesetaraan
gender.Model pembelajaran kooperatif
bertumpu pada kooperasi (kerjasama)
saat menyelesaikan permasalahan
belajar yaitu dengan menerapkan
pengetahuan dan keterampilan sehingga
tujuan pembelajaran dapat
dicapai.Sebuah model pembelajaran
dicirikan oleh adanya struktur tugas
belajar, struktur tujuan pembelajaran
dan struktur penghargaan (reward).
Dalam kaitan dengan model
pembelajaran kooperatif, maka tentu
saja struktur tugas, struktur tujuan dan
struktur penghargaan pada model
pembelajaran ini tidak sama dengan
struktur tugas, struktur tujuan serta
struktur penghargaan model
pembelajaran yang lain.
Menurut Wina Sanjaya,
pembelajaran individual dan
pembelajaran kelompok merupakan
suatu strategi pembelajaran. Sedangkan
strategi pembelajaran menurut J.R.
David (1976) dalam Sanjaya (2006:126)
dalam dunia pendidikan strategi dapat
didefinisikan sebagai “a plan method, or
series ofactivities designed to achieves a
particular aducational goal.”.Strategi
dapat didefinisikan sebagai perencanaan
yang berisi tentang rangkaian kegiatan
yang didesain untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Menurut Wina Sanjaya (2008 :
3) dari pengertian diatas terdapat dua
hal yang harus kita cermati, pertama
strategi pembelajaran merupakan
rencana tindakan (rangkaian kegiatan)
termasuk penggunaan metode dan
pemanfaatan berbagai sumber daya atau
kekuatan dalam pembelajaran. Kedua
strategi disusun untuk mencapai tujuan
tertentu.
Sedangkan menurut Hamzah B.
Uno (2008 : 3) Strategi pembelajaran
adalah cara-cara yang akan digunakan
oleh pengajar untuk memilih kegiatan
belajar yang akan digunakan dalam
proses pembelajaran. Pemilihan tersebut
dilakukan denganmempertimbangkan
situasi dan kondisi, sumber belajar,
kebutuhan dan karakteristik peserta
didik yang dihadapi dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran tertentu.
Kemp (1995) dalam Sanjaya
(2006:126) menjelaskan bahwa strategi
pembelajaran adalah suatu kegiatan
pembelajaran yang harus dikerjakan
guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Sementara itu Dick
and Carey (1985) dalam Sanjaya
(2006:126) menjelaskan bahwa strategi
pembelajaran adalah suatu set materi
dan prosedur pembelajaran yang
digunakan secara bersama-sama untuk
menimbulkan hasilbelajarpadasiswa.
Memperhatikan beberapa pengertian
diatas, dapat disimpulkan bahwa
strategi pembelajaran merupakan
rencana yang berisi tentang prosedur,
langkah-langkah yang didesain
sedemikian rupa oleh seorang pengajar
untuk menyampaikan materi
pembelajaran sehingga akan
memudahkan peserta didik menerima
dan memahami materi pembelajaran,
sehingga dapat mencapai tujuan
pembelajaran yang diinginkan.
Definisi di atas menjelaskan
pula kepada kita bahwa pembelajaran
6
tidak dapat dilakukan secara
sembarangan, pembelajaran
memerlukan ketelitian, ketepatan dan
kecerdikan seorang pengajar dalam
memutuskan rencana-rencana apakah
yang akan dilaksanakan dalam proses
pembelajaran.
2. Penerapan Reciprocal Teaching (
pengajaran timbal-balik)
Metode pembelajaran koperatif
dapat menjadi jalan keluar dalam
mengatasi pembelajaran di MTs.
Konsep ini menempatkan guru dan
murid sebagai subyek dalam sebuah
proses pendidikan, karena pembelajaran
koperatif mampu menyediakan kondisi
yang menyebabkan siswa satu dengan
yang lainya saling aktif berinteraksi dan
terpacu untuk meningkatkan hasil
belajar. Metode ini mengedepankan
kerja-kerja dalam kelompok maupun
individu, sehingga siswa mampu
berinteraksi dan berdiskusi dengan baik.
Model pembelajaran koperatif
metode pengajaran timbal-balik
(reciprocal teaching) merupakan salah
satu tipe dari pembelajaran koperatif
yang dirancang dengan metode-metode
tertentu, sehingga siswa dapat belajar
lebih serius dan menumbuhkan rasa
tanggung jawab, kerjasama, berfikir
kritis, keaktifan dalam bertanya dan
keterlibatan dalam proses belajar.
Strategi pengajaran reciprocal teaching
adalah salah satu strategi dalam
pembelajaran kooperatif dimana dalam
pelaksanaannya, siswa dibentuk
kelompok-kelompok yang
beranggotakan 4 siswa dengan tugas
masing-masing sebagai predictor,
clarifier, questioner, dan summarizer,
dan dalam proses pembelajaranya siswa
dituntut untuk berinteraksi,
ketergantungan, dan bekerjasama
dengan kelompoknya dalam
mengerjakan tugasnya.
Pendidikan tidak dimaksud
sekadar mencetak orang yang pandai
menghafal dan berhitung, tetapi
melahirkan orang-orang berpribadi
matang. Pendidikan tidak hanya tempat
mengasah ketajaman otak, tetapi tempat
menyemai nilai-nilai dasar kehidupan
guna menggapai masa depan dan hidup
bermasyarakat.. Ekonomi sebagai ilmu
sosial berkaitan dengan cara mencari
tahu dan memahami gejala sosial secara
sistematis merupakan integral dari
kehidupan modern, bidang studi
ekonomi harus lebih dipandang sebagai
usaha untuk membantu proses
pengkonstruksian pengetahuan dan
penyadaran akan tanggung jawab siswa
tentang proses pembelajaran yang
dilakukannya, seperti cara memperoleh
informasi, mengeksperesikan dirinya,
bagaimana belajar lebih mudah dan
efektif sehingga siswa memperoleh
keterampilan berfikir dan termotivasi
untuk menggali dan mengolah informasi
serta memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Penerapan
reciprocal teaching dalam pembelajaran
ekonomi dimaksudkan agar dapat
memenuhi harapan guru, orang tua dan
pemerhati pendidikan agar siswa
memiliki motivasi belajar yang tinggi,
membentuk pemahaman yang mendasar
tentang ekonomi, serta meningkatkan
kerja sama kelompok, komunikasi, pola
berpikir kritis terhadap ilmu ekonomi.
Model pembelajaran kooperatif
tipe reciprocal teaching (pengajaran
timbal balik) dikembangkan oleh Brown
& Paliscar (1982). Pengajaran timbal
balik atau reciprocal teaching ini juga
merupakan sebuah model pembelajaran
kooperatif yang meminta siswa untuk
membentuk pasangan-pasangan saat
berpartisipasi dalam sebuah dialog
(percakapan atau diskusi) mengenai
sebuah teks (bahan bacaan). Setiap
anggota pasangan akanbergantian
membaca teks dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, menerima dan
memperoleh umpan balik
7
(feedback).Model pembelajaran tipe
reciprocal teaching ini memungkinkan
siswa untuk melatih dan menggunakan
teknik-teknik metakognitif seperti
mengklarifikasi, bertanya, memprediksi,
dan menyimpulkan.Model pembelajaran
kooperatif tipe reciprocal teaching ini
dikembangkan atas dasar bahwa siswa
dapat belajar secara efektif dari siswa
lainnya.Baca artikel yang lebih rinci
tentang model pembelajaran kooperatif
tipe reciprocal teaching (pengajaran
timbal balik).
Selain menggunakanstrategi
questioning the author
(mempertanyakan penulis), pelajaran
untuk mengajar membaca dapat pula
dilakukan dengan pengajaran timbal
balik (reciprocal teaching).Pendekatan
pengajaran timbal balik dapat
digunakan kepada siswa yang
mempunyai pemahaman rendah dalam
membaca, baik pada sekolah dasar
maupun pada sekolah lanjutan. Pada
pengajaran timbal balik guru bekerja
sama dengan kelompok-kelompok kecil
siswa.
3. IPS Ekonomi
A. Pengertian Ekonomi
Ekonomi adalah sistem aktivitas
manusia yang berhubungan dengan
produksi, distribusi, pertukaran, dan
konsumsi barang dan jasa. Kata
"ekonomi" sendiri berasal dari kata
Yunani οἶκος (oikos) yang berarti
"keluarga, rumah tangga" dan νόμος
(nomos), atau "peraturan, aturan,
hukum," dan secara garis besar
diartikan sebagai "aturan rumah tangga"
atau "manajemen rumah tangga."
Sementara yang dimaksud dengan ahli
ekonomi atau ekonom adalah orang
menggunakan konsep ekonomi dan data
dalam bekerja.Ilmu yang mempelajari
ekonomi disebut sebagai ilmu ekonomi.
Secara umum, bisa dibilang
bahwa ekonomi adalah sebuah bidang
kajian tentang pengurusan sumber daya
material individu, masyarakat, dan
negara untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup manusia.Karena
ekonomi merupakan ilmu tentang
perilaku dan tindakan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang
bervariasi dan berkembang dengan
sumber daya yang ada melalui pilihan-
pilihan kegiatan produksi, konsumsi dan
atau distribusi. Berikut ini adalah
pengertian dan definis ekonomi menurut
beberapa ahli:
a. Adam Smith Ekonomi ialah penyelidikan
tentang keadaan dan sebab adanya
kekayaan negara
b. Mill J. S Ekonomi ialah sains praktikal
tentang pengeluaran dan penagihan
c. Abraham Maslow Ekonomi adalah salah satu
bidang pengkajian yang mencoba
menyelesaikan masalah keperluan asas
kehidupan manusia melalui
penggemblengan segala sumber
ekonomi yang ada dengan berasaskan
prinsip serta teori tertentu dalam suatu
sistem ekonomi yang dianggap efektif
dan efisien
d. Hermawan Kartajaya Ekonomi adalah platform
dimana sektor industri melekat
diatasnya
e. Paul A. Samuelson Ekonomi merupakan cara-cara
yang dilakukan oleh manusia dan
kelompoknya untuk memanfaatkan
sumber-sumber yang terbatas untuk
memperoleh berbagai komoditi dan
mendistribusikannya untuk dikonsumsi
oleh masyarakat.
B. Tindakan Ekonomi
Tindakan ekonomi terdiri atas dua
aspek, yaitu :
1. Tindakan ekonomi Rasional, setiap
usaha manusia yang dilandasi oleh
pilihan yang paling
8
menguntungkan dan kenyataannya
demikian.
2. Tindakan ekonomi Irrasional, setiap
usaha manusia yang dilandasi oleh
pilihan yang paling menguntungkan
namun kenyataannya tidak demikian.
C. Motif Ekonomi
Motif ekonomi adalah alasan
ataupun tujuan seseorang sehingga
seseorang itu melakukan tindakan
ekonomi.
Motif ekonomi terbagi dalam dua
aspek:
1. Motif Intrinsik, disebut sebagai suatu
keinginan untuk melakukan tidakan
ekonomi atas kemauan sendiri.
2. Motif ekstrinsik, disebut sebagai
suatu keinginan untuk melakukan
tidakan ekonomi atas dorongan
orang lain.
Pada prakteknya terdapat beberapa
macam motif ekonomi
a. Motif memenuhi kebutuhan
b. Motif memperoleh keuntungan
c. Motif memperoleh
penghargaand
d. Motif memperoleh kekuasaan
e. Motif sosial / menolong sesame
4. PrinsipEkonomi
Prinsip ekonomi merupakan
pedoman untuk melakukan tindakan
ekonomi yang didalamnya terkandung
asas dengan pengorbanan tertentu
diperoleh hasil yang maksimal.Prinsip
ekonomi adalah dengan pengorbanan
sekecil-kecilnya untuk memperoleh
hasil tertentu, atau dengan pengorbanan
tertentu untuk memperoleh hasil
semaksimal mungkin.
4. Prestasi Pelajar
A. Pengertian Prestasi
Istilah prestasi berasal dari
bahasa Belanda yaitu prestatie,
kemudian dalam bahasa Indonesia
menjadi prestasi yang berarti hasil
usaha. Prestasi adalah hasil yang
dicapai.Prestasi adalah penguasaan
pengetahuan/keterampilan yang
dikembangkan melalui mata pelajaran,
ditunjukkan dengan nilai tes (KBBI,
2008:895).Prestasi adalah hasil dari
suatu kegiatan yang telah dikerjakan,
diciptakan, baik secara individual
maupun kelompok. Prestasi tidak akan
pernah dihasilkan tanpa suatu usaha
baik berupa pengetahuan maupun
berupa keterampilan (Qohar,2000).
Menurut Muhibbin Syah
“Prestasi adalah tingkat keberhasilan
siswa dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dalam sebuah program
(2010: 141)”. Sumadi Suryabrata
mengemukakan bahwa “Prestasi belajar
adalah nilai yang merupakan perumusan
terakhir yang dapat diberikan oleh guru
mengenai kemajuan/prestasi belajar
selama masa tertentu (2007:297)”.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh
James P. Chaplin (2002: 5) bahwa
“Prestasi belajar merupakan hasil
belajar yang telah dicapai atau hasil
keahlian dalam karya akademis yang
dinilai oleh guru/dosen, lewat tes-tes
yang dilakukan atau lewat kombinasi
kedua hal tersebut”. Hal ini
misalnya prestasi belajar mahasiswa
selama satu semester yang diukur
dengan nilai beberapa mata kuliah yang
harus ditempuh selama satu semester
tersebut, jika mahasiswa bisa
mengumpulkan nilai yang tinggi
dalam masing-masing mata kuliah dan
mengumpulkan jumlah yang tinggi atau
lebih dari yang lain berarti mahasiswa
tersebut mempunyai prestasi belajar
yang tinggi.
W.S Winkel (2004: 162)
mengemukakan bahwa “Prestasi
belajar adalah suatu bukti keberhasilan
belajar atau kemampuan seseorang
siswa dalam melakukan kegiatan
belajarnya sesuai bobot yang dicapai”.
Sejalan dengan pendapat tersebut Nana
Sudjana (2006: 3) mengemukakan
bahwa “Prestasi belajar merupakan
hasil-hasil belajar yang dicapai oleh
9
siswa dengan kriteria-kriteria
tertentu”. Sementara Nasution S.
(2000: 162) berpendapat bahwa
“Prestasi belajar adalah kesempurnaan
yang dicapai seseorang dalam berfikir,
merasa dan berbuat”. Prestasi belajar
dikatakan sempurna apabila
memenuhi tiga aspek yakni: kognitif,
afektif, dan psikomotor, sebaliknya
dikatakan prestasi belajar kurang
memuaskan jika seorang belum mampu
memenuhi target ketiga kriteria tersebut.
Prestasi adalah hasil yang telah
dicapai seseorang dalam melakukan
kegiatan. Gagne (1985:40) menyatakan
bahwa prestasi belajar dibedakan
menjadi lima aspek, yaitu : kemampuan
intelektual, strategi kognitif, informasi
verbal, sikap dan keterampilan. Menurut
Bloom dalam Suharsimi Arikunto
(1990:110) bahwa hasil belajar
dibedakan menjadi tiga aspek
yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Prestasi merupakan kecakapan
atau hasil kongkrit yang dapat dicapai
pada saat atau periode tertentu.
Berdasarkan pendapat tersebut, prestasi
dalam penelitian ini adalah hasil yang
telah dicapai siswa dalam proses
pembelajaran. Muhibbin Syah (2010:
149) berpendapat bahwa prestasi belajar
pada dasarnya merupakan hasil
belajar atau hasil penilaian yang
menyeluruh, dengan meliputi:
1. Prestasi belajar dalam bentuk
kemampuan pengetahuan dan
pengertian. Hal ini juga
meliputi: ingatan, pemahaman,
penegasan, sintesis, analisis dan
evaluasi.
2. Prestasi belajar dalam bentuk
keterampilan intelektual dan
keterampilan sosial.
3. Prestasi belajar dalam bentuk sikap
atau nilai.
Berdasarkan pengertian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa prestasi
belajar adalah hasil yang dicapai oleh
seorang pelajar/siswa yang mencakup
aspek ranah kognitif, afektif dan
psikomotoryang ditunjukkan dengan
nilai yang diberikan dosen setelah
melalui kegiatan belajar selama periode
tertentu.
1. Pengertian Belajar
Untuk memperoleh pengertian
yang objektif tentang belajar, terutama
belajar di sekolah, perlu dirumuskan
secara jelas pengertian belajar.Belajar
sudah banyak dikemukakan oleh para
ahli psikologi termasuk oleh ahli
psikologi pendidikan.
Menurut pengertian secara
psikologis (Slameto, 2003:2) belajar
merupakan suatu proses perubahan,
yaitu perubahan tingkah laku yaitu
sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, atau dengan kata
lain belajar (Hamalik, 36:2001) adalah
modifikasi atau memperteguh kelakuan
melalui pengalaman. Belajar adalah
merupakan suatu proses di mana
seseorang mendapatkan suatu
pengetahuan dan pemahaman yang
diiringi dengan latihan sebagai
penguatan yang akan membawa
seseorang kepada sebuah prilaku
berbeda dari sebelumnya, dan prilaku
tersebut bersifat tetap dan berlaku lama
dan melekat pada dirinya sehingga pada
akhirnya akan menjadi sifat dan pola
prilakunya. Perubahan terjadi karena
sikap seorang siswa yang senantiasa
berinteraksi dengan
lingkungannya.Lingkungan tempat
siswa terdiri dari lingkungan sekolah
dan lingkungan luar sekolah, di mana
siswa mendapatkan pengaruh yang
dapat menjadi suatu pengalaman bagi
dirinya dan hasilnya nanti didapat
sebagai hasil belajar.
Belajar merupakan prilaku yang
kompleks (Dimyati, 2002:38).Skinner
misalnya memandang prilaku belajar
dari segi prilaku teramati. Oleh karena
10
itu, ia mengemukakan pentingnya
program pembelajaran. Gagne
memandang kondisi internal belajar dan
kondisi eksternal belajar yang bersifat
interaktif. Rogers mengemukakan
pentingnya guru memperhatikan prinsip
pendidikan dalam belajar, dimana
pelajar memiliki kekuatan menjadi
manusia, belajar hal yang bermakna,
menjadikan bagian yang bermakna bagi
diri, bersikap terbuka, berpartisipasi dan
bertanggung jawab, belajar mengalami
kesinambungan dengan penuh
kesungguhan
Belajar juga merupakan tindak
interaksi antara pelajar dan
pembelajaran yang memiliki
tujuan.Oleh karena itu, berupa akibat
interaksi, maka belajar di dinamiskan
(Dimyati, 2002: 39).Pendinamisan
belajar terjadi oleh prilaku belajar dan
lingkungan pelajar.Dinamika pelajar
yang bersifat internal, terkait dengan
peningkatan hierarki ranah-ranah
kognitif, afektif maupun
psikomotorik.Kesemuanya itu terkait
dengan tujuan pembelajaran.
Di dalam belajar terdapat tiga masalah
pokok, yaitu :
a. Masalah mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya
belajar.
b. Masalah bagaimana belajar itu
berlangsung dan prinsip mana yang
dilaksanakan.
c. Masalah mengenai prestasi belajar.
Dua masalah pokok yang
pertama tersebut berkenaan dengan
proses belajar yang sangat berpengaruh
kepada masalah pokok yang ketiga.
Dengan demikian, bagaimana peristiwa
terjadinya proses belajar akan
menentukan prestasi belajar seseorang.
2. Hakekat Prestasi Belajar
Dalam proses belajar mengajar,
siswa mengalami suatu perubahan
dalam bidang pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, dan sikap.
Adanya perubahan ini dapat dilihat dari
prestasi belajar siswa yang dihasilkan
dari kegiatan mengerjakan soal ulangan
dan mengerjakan tugas yang diberikan
oleh guru.
Kata prestasi belajar
mengandung dua kata yaitu prestasi dan
belajar yang mempunyai arti
berbeda.Oleh karena itu, sebelum
pengertian prestasi belaja dibicarakan,
ada baiknya kedua kata itu dijelaskan
satu-persatu.
Menurut Syaiful Bahri
Djamarah (PR. Cybermedia, 2002:1)
prestasi adalah penilaian pendidikan
tentang perkembangan dan kemajuan
murid yang berkenaan dengan
penguasaan bahan pengajaran yang
disajikan kepada mereka dan nilai-nilai
yang terdapat di dalam kurikulum.
Sedangkan belajar merupakan
perubahan tingkah laku untuk mencapai
tujuan dan tidak tahu menjadi tahu atau
dapat dikatakan sebagai proses yang
menyebabkan terjadinya perubahan
tingkah laku dan kecakapan seseorang.
Selanjunya menurut Abdurrahman
Saleh (PR.Cybermedia, 2002:1)
memberikan prestasi belajar adalah
yang dicapai siswa dari mempelajari
tingkat ilmu penguasaan tertentu dengan
alat ukur berupa evaluasi yang
dinyatakan dalam bentuk angka huruf
atau angka simbol-prestasi belajar juga
dapat diartikan sebagai indikator
kualitas dan kwantitas pengetahuan
yang dikuasai anak didik dalam
memahami mata pelajaran di sekolah.
Prestasi belajar bukan hanya
semata-mata karena faktor kecerdasan
(intelegensia) siswa saja, tetapi ada
faktor lain yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar siswa tersebut. Faktor-
faktor yang dimaksud tersebut dibagi
menjadi dua yakni faktor intern dan
faktor ekstern faktor-faktor yang
dimaksud adalah seperti yang
11
dikemukakan oleh Hana Sujadna
(PR.Cybermedia, 2002: 1):
a. Faktor intern, yaitu faktor yang
terdapat dalam diri individu
itusendiri, antara lain adalah
kemampuan yang dimiliki, minat
dan motivasi serta faktor-faktor
lainnya.
b. Faktor ekstern, yaitu faktor yang
berada diluar individu diantaranya
lingkungan sekolah, lingkungan
masyarakat.
Sehubungan dengan hal
tersebut diatas, agar siswa dapat
memperoleh prestasi belajar yang
seoptimal mungkin maka siswa perlu
meningkatkan kemampuan minat dan
motivasi yang ada dalam
dirinya.demikian pula halnya dengan
faktor yang ada diluar diri siswa. Faktor
ini dapat mendorong dan menghambat
siswa dalam proses belajar. Lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat dapat
memberikan dukungan kepada siswa
didalam belajar.Di antara ketiga
lingkungan tersebut lingkungan sekolah
merupakan lingkungan yang terpenting
yang berfungsi sebagai lingkungan
kedua yang sangat mendukung dalam
mendidik anak atau siswa setelah
lingkungan utama yaitu lingkungan
keluarga.Minat siswa terdapat suatu
pelajaran bisa menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan peningkatan prestasi
belajar siswa.Minat siswa menurut
Winkel (Pr. Cybermedia, 2002: 2)
termasuk faktor yang berpengaruh pada
prestasi belajar yang termasuk faktor
ekstern.
METODE PENELITIAN
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Berdasarkan judul penelitian ini,
yakni peningkatan prestasi belajar
melalui metode pembelajaran reciprocal
teaching siswa kelas VIIb MTsN
Watampone kecamatan tanete riattang
kabupaten bone, maka penelitian ini
digolongkan ke dalam penelitian
tindakan kelas (classroom action
research). Penelitian tindakan ini
dilakukan untuk menggambarkan dan
mengamati proses belajar siswa kelas
VIIb MTsN Watampone kecamatan
tanete riattang kabupaten bone melalui
penggunaan metode pembelajaran
Reciprocal teaching. Mekanisme
pelaksanaanya dilakukan dengan dua
siklus. Setiap siklus masing-masing
dilaksanakan dengan empat tahap,
yaitu: 1). Perencanaan, 2). Tindakan, 3).
Pengamatan, Dan 4). Refleksi.
Penelitian tindakan kelas ini merupakan
salah satu upaya untuk memperbaiki
dan meningkatkan kualitas
pembelajaran serta membantu
memberdayakan guru dalam
memecahkan masalah pembelajaran di
kelas. Dengan demikian guru dapat
mengetahui secara jelas masalah-
masalah yang ada di kelas dan solusi
pemecahan dalam mengatasi masalah
tersebut.
Jenis penelitian yang digunakan
dalan penelitian ini adalah penelitian
tindakan kelas (classroom action
reseach) dengan pemaparan data
deskriptif kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif diperbolehkan dari
lembar observasi, dan lembar catatan
lapangan dalam setiap pelaksanaan
tindakan (proses pembelajaran), dan
data kuantitatif diperoleh dari tes akhir
setiap siklus.
Menurut agib (2006:13), dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan
penelitian tindakan kelas (PTK) adalah
suatu perencanaan terhadap kegiatan
yang sengaja dimunculkan, dan terjadi
dalam suatu kelas. PTK dapat
meningkatkan kinerja guru sehingga
menjadi profesional karena mampu
memperbaiki proses pembelajaran
melalui suatu kajian yang terjadi di
kelasnya.
12
Penelitian ini dilaksanakan selama
dua siklus, setiap siklus saling berkaitan
dalam hal rangkaian kegiatannya.
Artinya, bahwa pelaksanaan pada siklus
I akan dilanjutkan pada siklus II yang
merupakan pelaksanaan perbaikan dari
siklus I. Arikunto (2009: 74),
memperkenalkan empat tahap pada
masing-masing siklus yaitu :1).
Menyusun rancangan tindakan
(planning), 2). Pelaksanaan tindakan
(acting), 3). Pengamatan (observasi), 4).
Refleksi (reflecting).
Lokasi dan Subjek Penelitaian
Penelitian ini adalah penelitian
tindakan kelas yang dilaksanakan di
kelas VII B MTsN Watampone
Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten
Bone. Adapun Subjek dalam penelitian
ini yang berjumlah 33 siswa, perempuan
19 dan laki-laki 14 .
Prosedur Penelitian
Penelitian ini direncanakan
selama dua siklus, dimana setiap siklus
saling berkaitan dalam hal rangkaian
kegiatanya. Artinya bahwa pelaksanaan
pada siklus I akan dilanjutkan pada
siklus II yang merupakan pelaksanaan
perbaikan dari siklus II. Siklus I dan II
meliputi: 1). Perencanaan tindakan, 2).
Pelaksanaan tindakan, 3). Pengamatan,
dan 4). Refleksi.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data
adalah cara yang dilakukan dalam
pengumpulan data yang berhubungan
dengan penelitian ini. Arikunto (2006:
150 – 159) menyebutkan beberapa cara
teknik pengumpulan data yaitu: 1). Tes.
2). Wawancara, 4). Format Observasi,
dan 6). Dokumentasi. Namum, dalam
penelitian ini peneliti hanya memiliki 4
bulan beberapa teknik yang disebutkan
diatas yaitu: 1). Teknik observasi. Dan
2). Teknis tes.
1. Teknik observasi
Teknik observasi dilakukan
terhadap seluruh aktivitas siswa saat
pelaksanaan pembelajaran berlangsung
dengan menggunakan format observasi.
Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan
agar diperoleh data terhadap hasil
observasi dan guru dalam mengarahkan
dan mengontrol siswa serta tindakan
siswa selama proses pembelajaran
berlangsung.
2. Teknik tes
Tes dalam penelitian ini digunakan
untuk mengadakan perkiraan terhadap
intelektual siswa dengan cara
memberikan tugas dalam menjawab
pertanyaan tentang mata pelajaran IPS
Ekonomi dengan menggunakan metode
reciprocal teaching menggunakan waktu
yang telah ditentukan untuk
memperoleh data dan mengetahui
bagaimana peningkatan prestasi belajar
siswa pada mata pelajaran IPS Ekonomi
melalui metode pembelajaran reciprocal
teaching.
Teknik Analisis Data
Data pada penelitian diatas
berdasrkan data hasil format
pengamatan dan hasil Tes dari mata
pelajaran IPS Ekonomi dengan
menggunakan metode pembelajaran
reciprocal teaching pada siswa serta
data yang diperoleh dari hasil
observasi dan catatan lapangan. Data
tersebut direduksi berdasarkan pada
masalah yang diteliti, diikuti penyajian
data, dan terakhir penyimpulan atau
verifikasi. Tahap analisi itu diuraikan
sebagai berikut :
1. Mengolah data
Data yang diolah melalui observasi,
catatan lapangan, dan studi dokumentasi
dengan melakukan transkripsi hasil
observasi, penyeleksian, dan pemilihan
data. Data dikelompokkan berdasarkan
data pada tiap siklus.
13
2. Mengedentifikasi data
Data keseluruhan yang terkumpul
di seleksi dan didentifikasi berdasarkan
kelompoknya dan mengklasifikasikan
data sesuai dengan kebutuhan.
3. Menganalisi data
Penganalisis data dengan cara
mengorganisasikan informasi yang telah
direduksi. Keseluruhan data dirangkum
dan disajikan secara terpadu sesuai
siklus yang direncanakan sehingga
fokus pada pembelajaran.
4. Mengumpulkan hasil penelitian
Akhir temuan penelitian
dikumpulkan dan dilakukan kegiatan
tringulasidata atau pengujian temuan
penelitian. Keabsahan data diuji dengan
memikirkan kembali hal-hal yang telah
dilakukan dan dikemukakan melalui
tukar pendapat dengan ahli dan
pembimbing, teman sejawat, peninjauan
kembali catatan lapangan, hasil
observasi serta tringulasidengan teman
sejawat atau guru setelah selesai
pembelajaran.
Penerapan metode pembelajaran
reciprocal teaching dalam upaya
meningkatkan prestasi belajar siswa
dalam mata pelajaran IPS Ekonomi
pada siswa kelas VIIb Watampone
Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten
Bone. Dikaitkan dengan ketuntasan
belajar. Siswa yang mendapat nilai 70
keatas ≥ 75% , dan ≥ 75% siswa aktif mengikuti pembelajaran, maka
pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran Reciprocal
teaching oleh guru dinyatakan berhasil.
Kriteria Penilaian
Prestasi siswa dalam pelajaran
IPS ekonomi melalui metode
pembelajaran Reciprocal teaching,
yaitu:
1. Jawaban yang tepat
2. Keberanian siswa dalam
menjawab
3. Jumlah pertanyaan yang mampu
di jawab dengan benar
4. Waktu yang digunakan dalam
menjawab pertanyaan
5. Kecakapan dalam menjawab
Indikator keberhasilan
a. Sebanyak 75% siswa dapat
memahami materi manusia
sebagai makhluk sosial dan
makhluk ekonomi yang
bermoral.
b. Ketuntasan belajar tercapai jika
85% siswa mendapat nilai 70.
c. Untuk kriteria keaktifan siswa
mendapat nilai baik, dilihat dari
hasil penilaian instrument.
HASIL PENELITIAN
Deskripsi Siklus I dan II
Pada bab ini akan disajikan
data hasil pembelajaran IPS kelas VII B
MTsN Watampone Kacematan Tanete
Riattang Kabupaten Bone. Data
perbaikan pembelajaran pada siklus I
dan II akan ditampilkan dalam bentuk
tabel sehingga nantinya akan terlihat
hasil perbaikan pembelajaran yang telah
dilakukan oleh guru pada siklus II pada
mata pelajaran IPS.
Tabel 4.1 Data siklus I dan siklus II
pada pembelajaran IPS
NO NAMA
MATA
PELAJARAN IPS Ket
Siklus I Siklus
II
1 AHMAD 75 79
2 YUSRAN 62 80
3
AHMAD
ALFIAN UMAR 55 79
4
ERICK
PRADITYA 50 80
14
5 NASIR 55 75
6
ARJUNA
AHMAD 50 74
7
MUH.NUR
IKHSAN ASIS 70 90
8
PUTRA
RAMADHAN 72 80
9
MAHMUD
SAKIYUDDIN 60 75
10
RESKI
ARDIANSYAH 76 85
11
A.ICHLASUL
AMAL NUSUL 40 75
12
MUH.RESKI
SYAM 72 75
13 MUH.ARFAN 86 90
14
ARDIAN
SETIAWAN 55 73
15 AHMAD FAUZY 95 95
16
MUH.YUSRIL
HIDAYAT 62 75
17
AHMAD ISHAK
JAELANI 35 70
18 SYAHRUL ASIS 75 79
19 HUSNAENI 85 90
20
MAGFIRA TRI
AGUSTIANI 62 85
21 ST.RAHMANIAR 70 80
22
NUR AZIZAH
RAMADHANI 65 79
23
A.TASYA
JELITA 85 90
24
ARUMI ZAHRA
DININGRAT 70 79
25 A.APRILIAWATI 65 70
26 KURNIAH 75 75
27
A.ANDINI
PRATIWI 50 75
28 NUR AQIDAH 65 79
29 MIRNAWATI 75 80
30
FATIMAH AZ-
ZAHRAH 90 95
31
YUNI RESTIANI
SYARIF 70 90
32 MUTIA
NIRWANA 65 75
33 ZAKINAH 75 87
34 NUR HAFIFAH 72 85
Jumlah siswa : 34
67,24 79.81
Rata-Rata
Berdasarkan tabel diatas dapat
dilihat jelas perbandingan hasil belajar
siswa kelas VII B MTsN Watampone
Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten
Bone pada siklus I dan Siklus II.
Dimana siklus I Rata-rata yang
diperoleh adalah 67,24% sedangkan
pada siklus II rata-rata yang diperoleh
adalah 79,81%,setalah menggunakan
metode pembelajaran Reciprocal
Teaching.
a. Hasil belajar IPS ekonomi siswa
yang mengikuti pembelajaran
dengan metode pembelajaran
Reciprocal Teaching pada siklus I
Adapun analisis deskriptif
data hasil belajar IPS ekonomi pada
siklus I siswa kelas VIIb MTsN
Watampone kecamatan tanete
riattang kabupaten bone
Tabel 4.3 Deskriptif hasil belajar IPS
siswa kelas VIIb kacematan tanete
riattang kabupaten bone
STATISTIK
NILAI
STATISTIK
Subyek 34
Skor Ideal 100
Skor Tertinggi 95
Skor Terendah 35
Rentang Skor 60
Skor Rata-rata 64,8
Standar Deviasi 28,32
15
Jika skor hasil belajar IPS
dikelompokkan dalam 7 kategori, maka
dibuat tabel distribusi frekuensi skor
sebagai berikut:
Tabel. 4.4 Distribusi frekuensi dan
presentase skor siklus I siswa kelas
VIIb MTsN Watampone kacematan
tanete riattang kabupaten bone
No SKO
R
KATAGO
RI
FREKUEN
SI
PRESENTA
SE (%)
1 0 –
39 Gagal 1 2,94
2 40 –
59 Kurang 7 20,59
3 60 –
74 Cukup 16 47,06
4 75 –
84 Baik 6 17,65
5 85 –
100
Sangat
Baik 4 11,76
Jumlah 34 100
Berdasarkan tabel 4.3
menunjukkan bahwa hasil belajar IPS
siswa kelas VIIb MTsN Watampone
Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten
Bone yang diajarkan dengn metode
pembelajaran Reciprocal Teaching
berdasarkn sampel yang diteliti ternyata
menghasilkan skor rata-rata 64.8 dan
standar deviasi 28,32 dengan skor
maksimum 95 dan skor minimum 35 .
sementara pada tabel 4.3 terlihat bahwa
11,76% atau 4 orang siswa yang hasil
belajar IPS ekonominya berada pada
kategori yang sangat baik, 17,65% atau
6 orang siswa yang hasil belajarnya
berada pada kategori baik, 47,06% atau
16 orang siswa yang hasil belajarnya
berada pada kategori cukup, 20,59%
atau 7 orang siswa yang hasil belajarnya berada pada kategori kurang dan 2.94%
atau 1 orang siswa untuk kategori gagal.
b. Hasil belajar IPS siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan
metode pembelajaran reciprocal
teaching pada siklus II
Adapun analisis deskriptif data
hasil belajar IPS pada siklus II siswa
kelas VII MTsN Watampone kecamatan
tanete riattang kabupaten bone
Tabel 4.5 Deskriptif hasil belajar IPS
siswa kelas VIIb kacematan tanete
riattang kabupaten bone
STATISTIK NILAI
STATISTIK
Subyek 34
Skor Ideal 100
Skor Tertinggi 95
Skor Terendah 75
Rentang Skor 20
Skor Rata-rata 64.8
Standar Deviasi 32,28
Jika skor hasil belajar IPS
dikelompokkan dalam 7 kategori, maka
dibuat tabel distribusi frekuensi skor
sebagai berikut:
Tabel. 4.6 Distribusi frekuensi dan
presentase skor siklus
II siswa kelas VIIb
MTsN kecamatan
tanete riattang
kabupaten bone
No SKOR KATAGORI FREKUENSI PRESENTASE
(%)
1 0 – 39 Gagal 0 0
2 40 – 59 Kurang 0 0
3 60 – 74 Cukup 4 11,76
4 75 – 84 Baik 13 38,24
5 85 –
100 Sangat Baik 17 50
Jumlah 34 100
Berdasarkan tabel 4.5
menunjukkan bahwa hasil belajar IPS
siswa kelas VIIB MTsN Watampone
Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten
Bone yang diajarkan dengn metode
pembelajaran Reciprocal Teaching
berdasarkn sampel yang diteliti ternyata
menghasilkan skor rata-rata 64.4 dan
standar deviasi 32,28 dengan skor
maksimum 95 dan skor minimum 75.
sementara pada tabel 4.5 terlihat bahwa
50% atau 17 orang siswa yang hasil
belajar IPS ekonominya berada pada
kategori yang sangat baik, 38,24% atau
13 orang siswa yang hasil belajarnya
16
berada pada kategori baik, 11,74% atau
4 orang siswa yang hasil belajarnya
berada pada kategori cukup, dan tidak
ada siswa untuk kategori kurang dan
gagal
Tabel 4.7 Perbandingan distribusi
frekuensi dan presentase skor hasil
belajar siswa kelas VIIb Watampone
Kacematan Tanete Riattang
Kabupaten Bone Setelah Proses
pembelajaran pada siklus I dan siklus
II
No SKOR KATAGORI FREKUENSI PERSENTASE (%)
SIKLUS
I
SKILUS
II SIKLUS I
SIKLUS
II
1 0 – 39 Gagal 1 0 2,94 0
2
40 –
59 Kurang 7 0 20,59 0
3
60 –
74 Cukup 16 4 47,06 11,76
4
75 –
84 Baik 6 13 17,65 38,24
5
85 – 100
Sangat Baik 4 17 11,76 50
Jumlah 34 34 100 100 100
Berdasarkan tabel 4.6
menunjukkan bahwa hasil belajar IPS
Ekonomi kelas VII B MTsN
Watampone Kacematan Tanete Riattang
Kabupaten Bone yang diajarkan dengan
menggunakan metode pembelajaran
Reciprocal Teaching, pada siklus I
terlihat bahwa 11,76% atau 4 orang
siswa sedangkan pada siklus II 50%
atau 17 orang siswa yang hasil belajar
IPS ekonominya berada pada kategori
yang sangat baik, pada siklus I 17,65%
atau 6 orang siswa sedangkan pada
siklus II 38,24% atau 13 orang siswa
yang hasil belajarnya berada pada
kategori baik,pada siklus I 47,06% atau
16 orang siswa sedangkan pada siklus II
11,76% atau 4 orang siswa yang hasil
belajarnya berada pada kategori cukup,
pada siklus I 20,59% atau 7 orang siswa
sedangkan pada siklus II tidak ada siswa
yang hasil belajarnya berada pada
kategori kurang dan pada siklus I 2,94%
atau 1 orang siswa dan siklus II tidak
ada siswa untuk kategori gagal.
PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian Siklus I
a. Analisis
Dari hasil data yang
didapat oleh observasi, maka
proses belajar mengajar yang
telah dilakukan dapat dapat
dianalisis : proses
pembelajaran kurang lancar
karena siswa kurang
bersemangat dalam menerima
pelajaran. Disamping itu juga,
guru kurang memberikan
arahan dan motivasi kepada
siswa, serta guru tidak
menggunakan pendekatan,
strategi dan metode
pembelajaran yang variatif.
b. Sintetis
Pada siklus ini dari
proses pembelajaran yang
telah dilakukan mulai dari
perencanaan sampai pada
akhir kegiatan, ternyata
belum dapat meningkatkan
pemahaman siswa sesuai
dengan apa yang diharapkan
oleh guru. Hal ini disebabkan
karena masih adanya
kelemahan yang menjadi
rintangan dalam mencapai
peningkatan pemahaman
siswa sehingga perlu
dilakukan pembelajaran pada
siklus II selanjutnya.
c. Evaluasi
Berdasarkan hasil data,
pada proses pembelajaran
pada siklus I
ini,memperlihatkan bahwa
proses pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS)
memperlihatkan bahwa
tingkat pemahaman siswa
17
secara klasikal masih di
bawah standar,yaitu dari 16
orang siswa,nilai rata-rata
kelas 67,24, kurang dari nilai
rata-rata standar 70 ke atas.
2. Hasil Penelitian Siklus II
Hasil observasi proses
pembelajaran pada siklus II
menunjukkan hal-hal sebagai
berikut :
a. Siswa lebih aktif,hal ini
disebabkan karena guru sudah
banyak memberikan
bimbingan dan pengayaan
tambahan atau penjelasan.
b. Siswa lebih cepat menerima
materi pelajaran karena guru
telah mencoba menerapkan
metode pembelajaran
Reciprocal Teaching,media
atau alat peraga
dipersiapkan,skenario
pembelajaran telah dirancang
dengan baik,pembelajaran
menggunakan metode yang
variatif.
Refleksi terdiri dari :
1. Analisis
Setelah diadakan siklus
II yang diikuti,dengan kelas
yang dilakukan sesuai
dengan perencanaan dan
skenario pembelajaran,maka
proses pembelajaran berjalan
dengan baik dan sempurna
serta suasana kelas yang
kondusif.
2. Sintetis
Dari hasil analisis di atas
maka dapat disimpulkan
bahwa kelemahan-
kelemahan dan kekurangan
pada proses pembelajaran
siklus I telah dapat diatasi
dengan baik.Dengan kata
lain perbaikan pembelajaran
dan IPS pada kelas VIIB
MTsN Watampone
Kecamatan Tanete Riattang
Kabupaten Bone telah
berhasil meningkatkan
pemahaman siswa.
3. Evaluasi
Hasil evaluasi proses
perbaikan pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS)
kelas VIIB MTsN
Watampone Kacematan
Tanete Riattang Kabupaten
Bone dengan penerapan
metode pembelajaran
Reciprocal Teaching
membuktikan bahwa
perubahan peningkatan
pemahaman siswa pada
materi IPS yaitu rata-rata
kelas 67,24, berubah menjadi
79,81 pada siklus II
KESIMPULAN
Berdasarkan pada hasil
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang
telah dilakukan mengenai penerapan
metode pembelajaran Reciprocal
Teaching,untuk meningkatkan Prestasi
siswa kelas VII pada materi
pembelajaran IPS,maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Peningkatan prestasi siswa kelas
VII B MTsN Watampone
Kecamatan Tanete Riattang
Kabupaten Bone dalam
pembelajaran Ilmu pengetahuan
Sosial (IPS) dengan penerapan
metode pembelajaran Reciprocal
Teaching,ternyata dapat
meningkatkan prestasi siswa pada
kegiatan pembelajaran IPS.Hal ini
terlihat dari perubahan nilai rata-
rata kelas 67,24,pada siklus I
menjadi 79,81 pada siklus II.
2. Kreativitas dan pendekatan,strategi
dan metode yang variatif dalam
pembelajaran materi IPS sangat
berperan dalam meningkatkan
pemahaman siswa.
18
3. Kegiatan pembelajaran yang
bertahap sangat memungkinkan
berhasilnya peningkatan
pemahaman siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Agib, Zainal. 2006. Penelitian Tindakan
Kelas untuk Guru. Bandung:
Yrama Widya
Arikunto, Suharsimi. 2006a. Prosedur
Penelitian suatu Pendekatan
Praktik Mataram: Rineka
Cipta
Arikunto, Suharsimi, dkk. 2009b.
Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi, 2000. Manajemen
Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta
Arsyad, Azhar. 2009. Media
Pembelajaran. Jakarta:
Grafindo Persada
Bogdan, R., & Biklen, S. 1982.
qualitative research in
education, Allyn & Bacon,
Boston
Dakir, 1993.Dasar-Dasar Psikologi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Djamarah, S. B. 2002. Psikologi
Belajar, PT. Rineka Cipta, Jakarta
Guba, E.G., & Lincoln, Y.S.
1981.Effective Evaluation,
Jossey-Bass Publishers,
Sanfransisco
Hamalik, O. 2002.Perencanaan
Pengajaran Berdasarkan
Pendekatan Sistem, PT. Bumi
Aksara, Jakarta
Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi
Belajar dan Mengajar, Penerbit
Sinar Baru Algensindo,
Bandung
J.R. David. 1976. Strategi
Pembelajaran, Trenton, NJ: The
Thoughtful Education Press.
Kosasih, Andreas. 2004. Peranan
Motivasi terhadap Hasil Belajar Siswa,
Tabularasa, Vol. 2, No. 3
Laureate Education, Inc. (Executive
Producer). (1996). Building
your repertoire of teaching
strategies. Los Angeles:
Author.
Muslich, Masnur. 2009. Melaksanaka
Penelitian Tindakan Kelas itu
Mudah. Jakarta: Bumi Aksara
Mulyan, encey. 2008. Model tukar
belajar (learning exchange)
dalam prespektif pendidikan
luar sekolah. Bandung: alfabeta
Mahmudah, umi. 2008. Active learning
dalam pembelajaran bahasa
arab. Malang: UIN malang
press
Nurkancana, Wayang, 1986. Evaluasi
Pendidikan. Usaha Nasional Surabaya
Slameto, 1987.Belajar dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhinya.
Jakarta: Bina Aksara
Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 2009.
Media Pengajaran. Bandung:
Sinar Baru Argelindo
Silver, H. F., Hanson, J. R., Strong, R.
W., & Schwartz, P. B.
(1996).Teaching styles &
19
strategies. Trenton, NJ: The
Thoughtful Education Press.
Zuriah, N. 2003.Penelitian Tindakan
Bidang Pendidikan Dan Sosial,
edisi pertama, 13 ayu Media
Publishing, Malang
1
UPAYAPENINGKATAN PRESTASI BELAJAR FISIKA POKOK BAHASAN
BESARANMELALUI METODE KONSTRUKTIVISME PADA SISWA KELAS
VII SMP NEGERI 2 WOHA TAHUN PELAJARAN 2012/2013
MARINI FADHUM.
ABSTRAK
Banyak metode pembelajaran yang bisa diterapkan oleh seorang guru dalam
kegiatan pembelajaran di sekolah, misalnya metode pembelajaran kolaboratif maupun
kooperatif. Intinya bagaimana guru mampu menerapkan metode pembelajaran tersebut
terhadap beragamnya materi yang disampaikan. Salah satu metode pembelajaran yang
dianggap mampu memberikan tingkat pemahaman atau daya serap siswa dalam
penyampaian materi pembelajaran adalah metode pembelajaran konstruktivisme.Dari
uraian tersebut penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian ilmiah dengan
judul ”Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Fisika Pokok Bahasan besaranmelalui
Metode konstruktivismePada Siswa Kelas VII-2 di SMPN 2 Woha Tahun Pelajaran
2012/2013”.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian Tindakan Kelas dengan subyek
penelitian adalah 35 orang siswa kelas VII-2 SMPN 2 Woha Tahun Pelajaran
2012/2013 dan dengan menggunakan tes sebagai instrument penelitian. Sementara
prosedur pengumpulan data menggunakan observasi, dokumentasi dan tes. Teknik
anaslis data menggunakan data prestasi belajar berupa ketuntasan individu, ketuntasan
klasikal, dan nilai rata-rata kelas. Kemudian data observasi proses belajar mengajar
yang mengobservasi aktivitas guru dan siswa dalam kelas.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pembelajaran dengan
menggunakan metode konstruktivisme dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas
VII-2 di SMPN 2 Woha terhadap materi pokok bahasan besaran. Hal ini dapat
ditunjukkan dari hasil evaluasi yang telah dilaksanakan terdapat peningkatan prestasi
belajar siswa diperoleh nilai rata-rata siswa pada siklus I sebesar 55,57. Sedangkan pada
siklus II peningkatan prestasi belajar siswa yang semula nilai rata-rata 55,57kemudian
pada siklus II meningkat menjadi 67,28. Ini menunjukkan siswa berhasil dalam belajar
IPA Terpadu dengan menggunakan metode konstruktivisme. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode konstruktivisme dapat meningkatkan
prestasi belajar IPA fisika siswa kelas VII-2 SMPN 2 Woha tahun pelajaran 2012/2013.
Kata-kata Kunci: Prestasi Belajar, Metode konstruktivisme
PENDAHULUAN
Belajar merupakan tindakan
dan perilaku siswa yang kompleks.
Sebagai tindakan, maka belajar hanya
dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah
penentu terjadinya proses belajar.
Proses belajar terjadi berkat siswa
memperoleh sesuatu yang ada
dilingkungan sekitar. Lingkungan yang
dipelajari oleh siswa berupa keadaan
alam, benda-benda, hewan-hewan,
tumbuh-tumbuhan, manusia, atau hal-
hal yang dijadikan bahan belajar.
Tindakan belajar tentang suatu hal
tersebut tampak sebagai perilaku belajar
yang tampak dari luar (Dimyati dan
Mudjiono, 2009:7).
Guru sebagai tenaga
profesional harus memiliki sejumlah
kemampuan mengaplikasikan berbagai
2
teori belajar dalam bidang
pembelajaran, kemampuan memilih dan
menetapkan model mengajar yang
efisien, efektif melibatklan siswa
berpartisipasi dan kemampuan membuat
suasana belajar yang menunjang
tercapainya tujuan pembelajaran.
Pengkajian tentang faktor yang
berkaitan dengan proses pembelajaran
dikelas khususnya untuk mata pelajaran
fisika perlu dilaksanakan. Hal ini
diperlukan untuk meningkatkan hasil
belajar siswa. Mengingat selama ini
mata pelajaran fisika masih dianggap
sulit untuk dipahami oleh siswa.
Kesulitan lain yang akan timbul
adalah siswa kurang mampu berperan
aktif dalam mengemukakan ide-ide atau
gagasan dan kurang berinteraksi baik
antara siswa dan guru maupun siswa
dengan siswa. Sehingga kondisi ini
menyebabkan kemampuan berpikir
siswa tidak berkembang karena siswa
tidak dilibatkan dalam peolehan
pengetahuan.Kenyataan menunjukan
bahwa disamping adanya siswa yang
berhasil secara gemilang, masih juga
terdapat siswa yang memperoleh
prestasi belajar yang kurang
menggembirakan.
Setiap guru menghendaki
adanya hasil pelajaran yang
memuaskan, akan tetapi untuk dapat
mencapai hasil tersebut dengan baik
bukanlah hal yang mudah. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya faktor yang
mempengaruhi proses belajar dan
mengajar, terutama siswa dan guru.Oleh
karena itu sangat di perlukan usaha
bersama antara guru dan siswa agar
dapat menciptakan proses belajar
mengajar fisika yang aktif dan efektif.
Dari hasil observasi awal di
SMPN 2 Woha pada tanggal 16 Juli
2012 diperoleh data sebagai berikut: (1)
fisika merupakan mata pelajaran yang
dianggap sulit oleh sebagian besar siswa
sehingga membuat siswa kurang
berminat terhadap materi yang
disampaikan, (2) sistem pengajaran
yang dilakukan guru di SMPN 2 Woha
masih cenderung bersifat konvensional
yaitu dengan menekankan pada hafalan-
hafalan sehingga siswa cenderung lebih
cepat bosan dan tidak memiliki
keterampilan dalam berhubungan sosial.
Berdasarkan kenyataan ini dapat
disimpulkan bahwa nilai rata-rata siswa,
baik klasikal maupun individual jelas
terlihat menurun. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor yang
mempengaruhinya, yaitu diantaranya
adalah faktor guru kurang inovatif,
minat belajar siswa yang rendah serta
metode mengajar yang konvensinal.
Secara hitungan analisis yang
dilakukan oleh guru dalam mengolah
hasil belajar siswa baik dalam bentuk
tugas rumah (PR), ulangan harian dan
lebih-lebih ulangan semester genap
pada siswa kelas VIII di SMPN 2
Woha, dapat diketahui bahwa siswa
masih merasa kesulitan dalam
mengerjakan soal-soal IPA Fisika
tersebut. Hal ini dapat ditunjukkan oleh
nilai rata-rata ulangan fisika tahun
pelajaran 2011/2012 untuk materi
tentang besaran (besaran pokok dan
besaran turunan) yaitu 63,5 dengan
Kriteria Ketuntasan Minimum yaitu 65
(Sumber data: guru fisika SMPN 2
Woha).
Pada umumnya metode yang
sering di gunakan oleh guru terutama
pada guru SMPN 2 WOHA Kabupaten
Bima adalah kombinasi metode
ceramah, metode diskusi kelas, metode
tanya jawab, serta metode penugasan.
Hal ini perlu di cari strategi,metode
maupun pendekatan baru dalam proses
pembelajaran, karena pendekatan dan
strategi merupakan langkah awal untuk
mencapai kesuksesan dalam proses
belajar mengajar.Dalam pelaksanaan
pembelajaran tidak semua siswa
mencapai ketuntasan dalam belajarnya,
3
artinya ada siswa yang tidak/belum
mencapai standar kompetensi yang telah
ditetapkan sebelum proses pembelajaran
berlangsung.
Metode pembelajaran
konstruktivisme merupakan salah satu
teknik belajar mengajar yang dilakukan
oleh seorang guru di sekolah, dimana
terjadi proses interaksi antara dua atau
lebih individu yang terlibat, saling tukar
menukar pengalaman, informasi,
memecahkan masalah, dapat terjadi
juga semuanya aktif tidak ada yang
pasif ataupun sebagai pendegar saja
(Roestiah, 2001). Model pembelajaran
ini diharapkan dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa dengan cara
memberikan kesempatan pada siswa
mengemukakan pendapatnya atau
pengetahuan dibangun sendiri oleh
siswa.
Model pembelajaran
konstruktivisme adalah salah satu
pandangan tentang proses pembelajaran
yang menyatakan bahwa dalam proses
belajar (perolehan pengetahuan) diawali
dengan terjadinya konflik kognitif.
Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi
melalui pengetahuan akan dibangun
sendiri oleh anak melalui
pengalamannya dari hasil interaksi
dengan lingkungannya.
Dalam situs
(http://khumaedullahumay.blogspot.co
m/2012/06/model pembelajaran-
konstruktivisme.html) mengemukakan
siswa lebih diberi tempat ketimbang
guru,artinya dalam proses pembelajaran
siswa merupakan pusat pembelajaran
(student center). Pandangan ini
berangkat dari penelitian bahwa siswa
pada hakikatnya terus menerus
dilakukan interaksi dengan benda-benda
atau kejadian-kejadian, serta
berhubungan dengan lingkungan social
dan alam sekelilingnya. Dari hasil
interaksi tersebut, mereka memperoleh
pengalaman tertentu. Pemahaman-
pemahaman tersebut selanjutnya
dibangun sebagai pengetahuan yang
tersimpan dalam otaknya. Yang sangat
penting pada teori konstruktivisme
adalah dalam proses belajar siswalah
yang harus mendapat tekanan dan
merekalah yang harus aktif
mengembangakan pengetahuan mereka
bukannya guru ataupun orang lain.
Konstruktivisme menekankan
bahwa mengakui otomi serta
mendorong inisiatif siswa merupakan
bagian yang sangat penting dilakukan
oleh seseorang pendidik. Mereka bukan
sebagai cermin dan mencerminkan apa
yang dilakukan dan apa yang dibaca,
melainkan siswa akan mencari dan
mencoba menemukan aturan-aturan
sendiri dalam menyusun kasus yang
terjadi di dunia, bahkan tanpa diberikan
bimbingan sekalipun.
Prinsip-prinsip konstruktivisme
telah banyak digunakan dalam
pendidikan fisika . secara umum
prinsip-prinsip itu berperan sebagai
referensi dan alat refleksi kritis terhadap
pratik, pembaharuan dan perencanaan
pendidikan sains dan matematika.
Dalam“filsafat konstruktivisme dalam
pendidikan” mengemukakan beberapa
prinsip-prinsip yang sering diambel dari
konstruktivisme. Prinsip-prinsip
konstruktivisme itu adalah sebagai
berikut
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa
secara aktif
b. Tekanan dalam proses belajar
terletak pada siswa
c. Mengajar adalah membantu siswa
belajar
d. Tekanan dalam proses mengajar
lebih pada proses bukan pada hasil
akhir
e. Kurikulum menekankan pada
partisipasi siswa.
Ciri-ciri mengajar konstruktivisme
4
a. Memberi peluang kepada murid
membina pengetahuan baru melalui
penglihatan dalam dunia
sebenarnya.
b. Menggalakkan persoalan/idea yang
dimulai oleh murid dan
menggunakannya sebagai panduan
merancang pengajaran.
c. Mengambil & mendapatkan kajian
bagaimana murid belajar sesuatu
idea
d. Menggalakkan murid bertanya dan
berdialog dengan murid & guru
e. Menganggap pembelajaran sebagai
suatu proses yang sama penting
dengan hasil pembelajaran.
f. Menggalakkan proses inkuiri
murid melalui kajian dan
eksperimen.
Dalam situs
(http://istanailmu.com/archives-
2011/model-pembelajaran-
konstrukstivisme/html) tahapan model
pembelajaran konstruktivisme ada
empat tahapan yaitu :
a. Mengundang (invitation):
1. Mengamati hal-hal yang ada di
sekitar kita untuk memunculkan
keingintahuan (curiosity) terhadap
apa yang akan dipelajari.
2. Mengajukan pertanyaan yang
mengarahkan siswa pada
pemahaman terhadap objek yang
akan dipelajari.
3. Mempertimbangkan kemungkinan
tanggapan yang diberikan untuk
pertanyaan yang akan muncul.
4. Mencatat gejala yang tidak
diharapkan.
5. Mengenali situasi berdasarkan atas
persepsi siswa yang beragam.
b. Menjajaki (exploration):
1. Memberikan tugas kepada siswa
yang terpusat pada materi.
2. Bertukar pikiran atau berdiskusi agar
dapat menyatakan pendapat
(brainsorming) terhadap alternatif
yang mungkin diperoleh.
3. Mencari informasi.
4. Mencoba dengan materi (bahan
pelajaran).
5. Mengamati gejala tertentu.
6. Merancang satu model
(pembelajaran).
7. Menyimpulkan dan
mengorganisasikan data.
8. Melaksanakan strategi pemecahan
masalah.
9. Menyimpulkan sumber
(pembelajaran) yang sesuai.
10. Menelaah penyelesaian (satu
masalah) dengan guru.
11. Merancang dan memimpin
percobaan.
12. Memilih penilaian.
13. Melakukan satu debat.
14. Mengenali resiko dan akibat.
15. Mendefinisikan parameter yang
diselidiki (investigatiion).
16. Analisis data.
c. Mengajukan penjelasan dan
penyelesaian:
1. Mengkomunikasikan informasi dan
gagasan.
2. Membangun dan menjelaskan satu
model (pembelajaran).
3. Meninjau dan mengkritik kembali
satu penyelesaian.
4. Menggunakan evaluasi secara
terbuka (intip).
5. Mengumpulkan jawaban atau
penyelesaian ganda.
6. Menetapkan penutupan
(mengakhiri) secara sesuai.
7. Memadukan satu penyelesaian
dengan pengetahuan dan
pengalaman yang ada.
d. Membuat atau mengadakan
tindakan:
5
1. Membuat keputusan.
2. Menerapkan pengetahuan dan
keterampilan.
3. Mentransfer pengetahuan dan
keterampilan.
4. Membagi informasi dan gagasan.
5. Mengajukan pertanyaan baru.
6. Mengembangkan hasil dan
mengemukakan gagasan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitain yang dilaksanakan
adalah penelitian tindakan kelas.
Menurut Wiriatmadjo (2007:13)
Penelitian tindakan kelas adalah
bagaimana sekelompok guru dapat
mengorganisasikan kondisi praktek
pembelajaran mereka dan belajar dari
pengalaman mereka sendiri. Tujuan
penelitian tindakan kelas adalah untuk
memperbaiki pelaksanaan praktek
dalam proses pembelajaran, berdasarkan
refleksi mengenai hasil dari tindakan-
tindakan yang telah dilakukan oleh
peneliti.
Tahap-tahap yang dilaksanakan
dalam penelitian tindakan ini adalah
tahap pra tindakan dan tahap
pelaksanaan tindakan.
SIKLUS I
1. Perencanaan tindakan
Pada tahap ini, peneliti menyiapkan
perangkat pembelajaran yang berupa:
a. Silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP).
b. Lembar observasi pelaksanaan
pembelajaran.
c. Tes evaluasi pembelajaran (dalam
bentuk essay).
2. Tahap pelakasaan tindakan
Pelaksanaan Penelitian
Tindakan Kelas ini menggunakan 1
siklus atau lebih. Masing-masing
siklus dilaksanakan sesuai model
yang dikembangkan oleh jonh Elliot
yang terdiri dari beberapa tahap
yaitu: (a) perencanaan tindakan, (b)
pelaksanaan tindakan, (c) observasi
dan (d) refleksi
3. Observasi
Observasi dilakukan untuk
memperoleh informasi yang
mendalam tentang aktivitas guru dan
siswa mulai awal sampai akhir
pembelajaran. Observasi ini
dilaksanakan oleh peneliti dibantu
oleh teman sejawat dan guru bidang
studi. Hasil observasi dicatat dalam
lembar observasi dan catatan
lapangan yang telah disediakan oleh
peneliti. Hasil yang diperoleh
didiskusikan oleh peneliti dan
observer.
4. Refleksi
Dari hasil observasi
diperoleh informasi tentang
kelebihan dan kekurangan pada
kegiatan siklus 2, hasil refleksi ini
digunakan sebagai acuan oleh
peneliti untuk merevisi kesalahan-
kesalahan yang terjadi. Pada
akhirnya peneliti membandingkan
data dari siklus 1 dan siklus 2 untuk
mengetahui keberhasilan tindakan
yang diberikan kepada siswa.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang
dilakukan dalam penelitian ini
digunakan teknik yaitu:
1. Dokumentasi digunakan untuk
memperoleh data siswa yang
menjadi objek, data ini berupa
daftar nama-nama siswa kelas
VII.2 semester ganjil SMP Negeri
2 Woha tahun pelajaran
2012/2013.
2. Tes
Bahan tertulis yang
digunakan untuk mengukur
kemampuan siswa dalam
memahami pelajaran yang
diberikan. Dalam penelitin ini tes
digunakan untuk mengukur
6
peningkatan prestasi belajar
siswa.
3. Observasi
Observasi ini diamati
langsung oleh peneliti dan
pengamat. Peneliti dapat melihat
dan mangamati secara langsung
perilaku siswa selama kegiatan
mengajar.
Teknik Analisis Data
1. Data Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah hasil yang
dicapai seorang individu setelah
mengalami proses belajar dalam waktu
tertentu. Prestasi belajar dinyatakan
dengan nilai atau skor setelah
mengerjakan suatu tugas atau tes untuk
mengetahui puncak dari prestasi belajar
siswa. Hasil tes dianalisis atau diolah
dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
a. Ketuntasan Individu
Setiap siswa dalam proses belajar
mengajar dinyatakan tuntas secara
individu apabila siswa mampu
memperoleh nilai ≥ 65 sebagai Standar
Ketuntasan Minimal (KKM).
b. Ketuntasan Klasikal
Data tes hasil belajar siswa
dianalisis dengan menggunakan analisis
Ketuntasan Minimal 85% dengan rumus
ketuntasan klasikal sebagai berikut:
X
KK = x 100%
Z
Keterangan :
KK = Ketuntasan Klasikal
X = Jumlah siswa yang memperoleh
nilai ≥ 65
Z = Jumlah siswa keseluruhan
Sumber: (Sudjana, 2008:77) dalam Sri
Susanti
c. Nilai Rata-Rata Kelas
Untuk mengetahui nilai rata-
rata kelas digunakan rumus:
∑X
M =
N
Keterangan:
M = Nilai rata-rata kelas
∑X = Jumlah nilai yang diperoleh siswa
N = Banyaknya siswa yang ikut
tes (Nurkencana, 1990:30)
Ketuntasan belajar tercapai jika ≥
85% memperoleh skor minimal 65 yang
akan terlihat pada tiap-tiap evaluasi
tiap-tiap siklus.
2. Standar skor penilaian observasi
(pengamatan)
Standar skor penilaian tersebut
dipergunakan untuk memberikan
nilai terhadap objek yang diamati
yaitu proses pelaksanaan model
pembelajaran konstruktivisme .
1. Observasi siswa, akan dianalis untuk
mengetahui keberhasilan model
konstruktivisme, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut
AS = ∑𝑋
𝑖.𝑛
Keterangan:
AS = Aktivitas Siswa
∑X = Skor masing-masing indikator
i = Banyaknya indikator
n = Jumlah seluruh siswa
Kemudian hasil aktivitas siswa
dibandingkan dengan hasil dari MI
dan SDI dengan rumus berikut:
MI = (skor tertinggi + skor
terendah)
SDI = 1
6 ( skor tertinggi – skor
terendah )
keterangan
MI = Mean ideal
SDI = Standar deviasi ideal
2. Observasi guru, Penilaian aktivitas
guru dilakukan secara langsung
selama proses belajar mengajar.
Adapun indikator untuk setiap
7
aktivitas guru dianalisis dengan
kriteria penilaian sebagai berikut:
BS (Baik Sekali) : Jika semua (3)
deskriptor yang nampak
B (Baik) : Jika 2 deskriptor
yang nampak
C (Cukup) : Jika 1 deskriptor
yang nampak
K (Kurang) : Jika tidak ada
deskriptor yang Nampak
HASIL PENELITIAN
Observasi dan Evaluasi
Setelah pelaksanaan tindakan,
langkah selanjutnya adalah melakuakan
observasi dan evaluasi terhadap prestasi
siswa. Tes evaluasi dilaksanakan pada
akhir pertemuan tindakan yaitu pada 30
menit terakhir jam pelajaran dengan
jumlah soal sebanyak 5 soal uraian.
Berdasarkan data prestasi belajar siklus
I (lampiran 9) diperoleh nilai rata-rata
kelas sebesar 55,57 dengan ketuntasan
klasikal 74,28 %, siswa yang mendapat
nilai ≥65 sebanyak 26 siswa dan yang
mendapat nilai dibawah 65 sebanyak 9
siswa. Hal ini menunjukkan bahwa
prestasi belajar siswa pada siklus I
belum memenuhi indikator keberhasilan
yang diinginkan dalam penelitian ini.
Adapun aktivitas siswa selama
pembelajaran siklus I yang diamati oleh
guru fisika sebagai pengamat, cara
belajar siswa dengan model
pembelajaran konstruktivisme terlihat
baik. Hal ini dapat dilihat pada hasil
obeservasi aktivitas siswa siklus I,
lembar observasi aktivitas siswa pada
siklus I dapat dilihat pada 12. Namun
aktivitas siswa pada siklus I perlu
diadakan monitoring lebih intensif agar
siswa tidak telalu banyak main-main
pada saat mengikuti proses belajar
mengajar.
Refleksi
Mengacu pada hasil evaluasi yang
dilakuakan pada siklus I dan
berdasarkan hasil diskusi dengan
guru fisika, perlu dilakukan beberapa
perbaikan sehingga diharapkan
dalam pelaksanaan siklus II terdapat
peningkatan prestasi belajar siswa.
Permasalahan yang harus diperbaiki
pada siklus II adalah antara lain:
a) Penjelasan tentang materi besaran
khususnya meteri besaran pokok dan
besaran turunan harus dijelaskan
secara perlahan dan jelas.
b) Membangkitkan semangat siswa
untuk mau mencoba menjawab
pertanyaan yang telah diajukan oleh
peneliti. Agar siswa lebih termotivasi
terhadap materi yang telah disajikan.
c) Memotivasi siswa untuk
membiasakan siswa aktif dalam
segala permasalahan yang ditemui
dalam kehidupan sehari-hari.
1. Pelaksanaan siklus II
Materi yang akan dipelajari
pada siklus II masih pada materi pokok
besaran (besaran pokok dan besaran
turunan) hanya saja perlu mengadakan
perbaikan yang dirasa masih kurang
dari siklus I. Pelaksanaan siklus II sama
dengan pelaksanaan siklus I yang
meliputi tahap perencanaan,
pelaksanaan tindakan, observasi dan
evaluasi, dan refleksi.
Setelah pelaksanaan
tindakan, langkah selanjutnya adalah
melakuakan observasi dan evaluasi
terhadap prestasi siswa. Tes evaluasi
dilaksanakan pada akhir pertemuan
tindakan yaitu pada 1 jam pelajaran
terakhir dari 3 jam pelajaran yang
tersedia dengan jumlah soal sebanyak 5
soal uraian. Berdasarkan data prestasi
belajar siswa pada siklus II (lampiran
10) diperoleh nilai rata-rata kelas
sebesar 74,28 dengan ketuntasan belajar
secara klasikal sebesar 94,28, siswa
yang mendapat nilai ≥65 sebanyak 33
siswa dan yang mendapat nilai dibawah
65 sebanyak 2 siswa. hal ini
menunjukkan bahwa prestasi belajar
8
siswa pada siklus II telah memenuhi
indikator keberhasilan yang diinginkan
dalam penelitian ini.
Adapun aktivitas siswa selama
pembelajaran siklus II yang diamati
oleh guru fisika sebagai pengamat, cara
belajar siswa dengan model
konstruktivisme terlihat sangat baik.
Hal ini dapat dilihat pada lembar
observasi aktivitas siswa siklus II pada
lampiran 13.
PEMBAHASAN
1. Pelaksanaan Pembelajaran
dengan Menggunakan Metode
konstruktivisme
Proses perencanaan kegiatan
pembelajaran dalam menggunakan
metode konstruktivisme untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa,
dilakukan sebanyak 2 siklus dengan 2
kali pertemuan, dilalui dalam 4 tahap
yaitu: tahap perencanaan, pelaksaan,
observasi atau pengamatan dan tahap
refleksi.
Pada siklus pertama, peneliti
membuat perencanaan secara
sistematika yang di sesuaikan dengan
kegiatan yang akan dilakukan pada
proses pembelajaran secara efektif dan
efisien. Pada tahap ini, tidak ada
masalah dalam perumusan perencanaan
tindakan (RPP). Jadwal jam pertemuan
sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan
pembelajaran. Pada siklus kedua,
peneliti membuat rancangan desain
pembelajaran untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang ada pada
siklus pertam
2. Hasil Tes Prestasi
Pembelajaran
Setelah pelaksanaan
tindakan selesai, peneliti mengadakan
tes siklus yang dilaksanakan pada akhir
tindakan. Pada pembelajaran siklus I
hasil rata-rata tes yang diperoleh siswa
sebesar 55,57 dengan ketuntasan
klasikal 74,28%. Meskipun belum
mencapai hasil yang ditetapkan namun
dalam hal ini peneliti cukup bangga
karena jumlah siswa yang tuntas lebih
banyak dari jumlah siswa yang tidak
tuntas. Kemudian pada tes pembelajaran
siklus II, hasil prestasi yang dicapai
mencapai rata-rata 76,28 dengan
ketuntasan klasikal 94,28%. Dengan
hasil ini dapat diketahui bahwa
penerapan model Pembelajaran
Berdasarkan uraian di atas dapat
digambarkan tentang perbandingan
persentase ketercapaian aktivitas siswa
antara pembelajaran siklus I dan siklus
II pada bagan berikut:
3. Kendala yang Dihadapi Pada
Siklus I
Kendala yang dihadapi dalam
penelitian mencakup beberapa hal
yaitu:
1. Siswa kurang antusias dalam
mengerjakan soal, dan mereka
cenderung takut salah dalam
mengerjakan soal.
2. kekurangan rasa ingin tahu
mereka terhadap meteri yang
akan diberikan serta minimnya
pertanyaan yang diajukan.
3. Beberapa siswa sangat sulit
menerima pelajaran.
4. Solusi dan Pemecahan Siklus I
1. Memotivasi siswa agar lebih
berani mengungkapkan
gagasannya.
2. Memotivasi siswa untuk
membiasakan siswa aktif
0
20
40
60
80
100
Siklus I Siklus II
Rata-rata
Klasikal
9
dalam segala permasalahan
yang ditemui dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Menjelaskan dengan
perlahan tentang materi yang
diajarkan
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa penerapan model
pembelajaran konstruktivisme dapat
meningkatkan prestasi belajar fisika
materi pokok besaran siswa kelas VII-2
SMP Negeri 2 Woha Tahun Pelajaran
2012/2013. Hal ini dapat diketahui dari
nilai prestasi belajar siswa siklus I
dengan rata-rata kelas sebesar 55,57 dan
ketuntasan klasikal sebesar 74,28 %.
Sedangkan nilai prestasi belajar siswa
pada siklus II dengan rata-rata sebesar
76,28 dan ketuntasan klasikal sebesar
94,28%. Ini menandakan bahwa model
pembelajaran konstruktivisme dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa
kelas VII-2 SMP Negeri 2 Woha untuk
mata pelajaran fisika.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi,2006 . Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik.Jakarta; Rineka Cipta
Dimyati dan Mudjiyono. 2009. Belajar
dan Pembelajaran .jakarta:
Rineka Cipta Kencana Prenada
Media
Djamarah .Syaiful Bahri.1994.Prestasi
Belajar dan Kompetensi Guru.
Surabaya; Usaha Nasional
(http://fisikasma-
online.blogspot.com/2010/03/model-
pembelajaran-konstruktivisme.html)
(http://khumaedullahumay.blogspot.co
m/2012/06/model-pembelajaran-
konstruktivisme.html)
Nurhalifah (2010) .Penerapan Model
Pembelajaran Konstruktivisme
Terhadap Prestasi Belajar
Fisika siswa kelas VIII SMP N 1
MONTA Tahun Pelajaran
2010/2011.
Prof . Dr . Sugiyono .2011. Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif
dan R dan D.cetakan ke-13.
Bandung; Alfabeta
Usman, Ahmad, 2008. Mari Belajar
Meneliti, genta press,
Yogyakarta
Wiriatmadja. R. 2007.Metode
Penelitian Tindakan
Kelas.Cetakan Keempat Jakarta
PT Remaja Rosdakarya
10
PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DENGAN MODEL SIKLUS
BELAJAR 5E UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR
FISIKA KELAS VIII.C SMP NEGERI 4 WOHA TAHUN PELAJARAN 2014/2015
NUR ISTIQAMAH, & NURMI
Dosen STKIP Taman Siswa Bima
ABSTRAK
Kata Kunci : Pembelajaran Konstruktivisme, Model Siklus Belajar 5E, Aktivitas dan
Hasil Belajar
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) peningkatan aktivitas belajar,
2) hasil belajar Fisika pada pokok bahasan gaya siswa kelas VIII.C SMP Negeri 4 Woha
tahun pelajaran 2014/2015
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Room Action
Research) yang direncanakan dalam beberapa siklus dan dilaksanakan dalam dua siklus.
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII.C SMP Negeri 4 Woha dengan jumlah
siswa 19 orang. Tiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi,
evaluasi, dan refleksi. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah: (1). Data tentang kegiatan belajar mengajar dikumpulkan dengan menggunakan
lembar observasi.(2). Hasil belajar siswa dikumpulkan dengan memberikan tes pada
setiap akhir siklus. Ketuntasan belajar tercapai jika KB ≥ 85% siswa mencapai nilai
minimal 65.
Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut: Siklus I nilai rata-rata hasil
belajar siswa 67,05% dan diperoleh ketuntasan belajar sebesar 62,06 %dan aktivitas
siswa adalah sebesar 36,84% yang tergolong pada kategori Sedang. Siklus II nilai rata-
rata hasil belajar siswa naik menjadi 71,57% dengan persentase ketuntasan belajarnya
89,65 % dan aktivitas belajar siswa naik menjadi 89,47 % yang tergolong pada katagori
aktif. Hasil tersebut menunjukkan sudah tercapainya indikator penelitian yang
ditetapkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konstruktivisme dengan
model siklus belajar 5E dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada
pokok bahasan gaya siswa kelas VIII C SMP Negeri 4 Woha Tahun Pelajaran
2014/2015.
PENDAHULUAN
Di era globalisasi sekarang ini,
mata pelajaran fisika memegang
peranan penting. Dengan bantuan fisika,
semua ilmu pengetahuan menjadi lebih
sempurna. Oleh karena itu, pelajaran
fisika diajarkan mulai pendidikan
menengah bahkan sampai perguruan
tinggi. Selain itu, fisika mendapat
prioritas utama untuk dikembangkan
karena fisika merupakan sarana untuk
memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
Fisika itu sulit, begitu kesan yang
sering beredar di antara sebagian besar
siswa dari sekolah menengah pertama
hingga menengah atas, bahkan
mahasiswapun sering memiliki kesan
serupa. Kesan ini diyakini sebagai salah
satu penyebab kurangnya minat
2
sebagian besar siswa pada pelajaran
fisika. Selain itu, para guru juga
berkecendrungan menggunakan strategi
pembelajaran konvensional yang
dikenal dengan istilah seperti:
pembelajaran berpusat pada guru
(teacher centered approach),
pembelajaran langsung (direct
intruction), pembelajaran deduktif
(deductive teaching), ceramah
(axpository teaching) maupun whole
class instruction (Tran Vui dalam
Irzani, 2007: 3).
Pendekatan-pendekatan seperti
inilah yang menyebabkan kadar
keaktifan dan hasil belajar siswa
menjadi rendah dan kadangkala siswa
menjadi bosan. SMP Negeri 4 Woha
sebagai sekolah yang cukup memadai
dilihat dari segi sarana dan prasarana
untuk menunjang proses belajar
mengajar yang baik, masih memerlukan
penggunaan pendekatan pembelajaran
yang dapat berpengaruh pada
peningkatan belajar siswa.
Berdasarkan hasil pengamatan di
SMP Negeri 4 Woha bulan September
2013 menemukan beberapa kendala
antara lain : khususnya dengan guru
mata pelajaran fisika, bahwa penerapan
pendekatan konstruktivisme dengan
model siklus belajar belum pernah
diterapkan akan tetapi guru cenderung
menggunakan metode ceramah,
sehingga pembelajaran siswa masih
tergolong pasif, siswa hanya mendengar
dan mencatat apa yang disampaikan
guru tanpa mengerti lebih dahulu materi
yang disampaikan. Sehingga hal
tersebut berdampak kepada keragu-
raguan siswa dalam mengajukan
pertanyaan seputar materi yang
disampaikan, dalam hal ini tentu
mengakibatkan siswa kurang tertarik
untuk mengulang pelajaran yang
didapatkan di sekolah. Selain itu, materi
yang diajarkan jarang dikaitkan dalam
kehidupan nyata, sehingga siswa sering
beranggapan kalau materi yang
diajarkan itu tidak berguna dalam
keseharian, akhirnya siswa kurang
berperan aktif dan hasil belajar siswa
tergolong sangat rendah. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dari tabel nilai
rata-rata ujian siswa pada pokok
bahasan besaran dan satuan dengan
kriteria ketuntasan maksimal (KKM)
63.
Tabel 1.1 : Nilai rata-rata ujian
siswa kelas VIII. Semester ganjil SMP
Negeri 4 Woha tahun
pelajaran 2013/2014.
Kelas Jumlah
sisw
a
Nilai
rata-
rata
Jumlah
sisw
a
tunta
s
Ketuntasan
klasikal
Keterangan
VIIIA
2
3
63,5
2
1
2
5
2,17%
Tidak
tuntas
VIIIB
2
0
64,6
5
1
1
5
5%
Tidak
tuntas
VIIIC 1
9
56,3
3
9 4
7,5%
Tidak
tuntas
Berdasarkan data tersebut
menunjukkan nilai pada mata pelajaran
fisika memiliki ketuntasan klasikal
masih kurang, sementara siswa
dikatakan tuntas belajar jika proposi
jawaban benar siswa 63, dan suatu
kelas dikatakan tuntas ketuntasan
klasikal apabila mendapat nilai 85%.
Pendekatan konstruktivisme salah
satu pendekatan yang memungkinkan
tingginya aktivitas siswa serta
pentingnya membangun sendiri
pengetahuan siswa dalam belajar yakni
menemukan masalah-masalah nyata
dalam kehidupan sehari-hari, dibentuk
dan dikembangkan oleh siswa sebagai
titik awalpembelajaran fisika untuk
menunjukan bahwa fisika sebenarnya
dekat dengan kehidupan sehari-hari,
lewat keterlibatan aktif proses belajar
mengajar (Trianto,2007:106).
Model pembelajaran yang
dilandasikonstruktivisme yaitu model
siklus belajar 5E merupakan salah satu
model yang berpusat pada pelajar
3
(student centered) yang perlu
dikedepankan, karena dapat
menciptakan kesempatan untuk
memberikan pengalaman fisik, interaksi
sosial dan regulasi sendiri pada siswa,
Nuryani (Sutarno, 2003: 156). Adanya
pendekatan pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan siswa merupakan
salah satu langkah yang dapat dilakukan
oleh guru dalam upaya mempengaruhi
pemahaman siswa untuk dapat
mencapai secara klasikal. Penggunaan
pendekatan konstruktivisme dengan
model siklus belajar merupakan metode
yang tepat untuk mengatasi kesulitan
siswa dalam belajar fisika. Oleh karena
itu dilakukan mengadakan penelitian
yang berjudul ” Penerapan
Pembelajaran Konstruktivisme Dengan
Model Siklus Belajar 5 E
1. Pengertian Pembelajaran
Konstruktivisme
Pembelajaran konstruktivisme
menekankan pada pemikiran bahwa
pengetahuan dibangun oleh siswa
sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas
(sempit). Pengetahuan bukan
seperangkat fakta-fakta, konsep atau
kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Siswa harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dan mengambil makna
dari pengalaman nyata. Esensi dari teori
konstruktivisme adalah ide bahwa siswa
harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi
kompleks kesituasi lain dan apabila
dikehendaki, informasi itu menjadi
milik mereka sendiri.
Pembelajaran konstruktivisme
meningkatkan kemampuan berpikir,
kreatif dan kritis. Melatih siswa berfikir
kritis untuk menyelesaikan masalah,
menemukan ide dan mengambil
keputusan. Hal ini dapat dilihat pada
aktivitas-aktivitas berikut a)
pembelajaran berpusat pada siswa, b)
Aktivitas belajar berdasarkan ‘hands on
and minds on’, c) Siswa dapat
mengemukakan pendapatnya tentang
suatu konsep, d) Siswa belajar dan
bekerja kelompok e ) Siswa
mengaplikasikan pengetahuannya dalam
menyelesaikan masalah (Sukardi, 2005:
26-27).
Menurut Mulyasa (2002: 160),
pembelajaran konsrtuktivisme
memperlihatkan bahwa pembelajaran
merupakan suatu proses aktif dalam
membuat sebuah pengalaman menjadi
masuk akal, dan proses ini sangat
dipengaruhi oleh apa yang diketahui
orang sebelumnya. Oleh karena itu
dalam setiap kegiatan pembelajaran
guru harus memperoleh atau sampai
pada kesamaan pemahaman dengan
siswa. Dalam konstruktivisme,
pembelajaran melibatkan pertukaran
fikiran dan interpretasi.Wacana
penyusaian pikiran ini dapat dilakukan
antara siswa dengan guru atau antara
sesama siswa.
Dalam Budiningsih (2004: 53)
dijelaskan bahwa menurut pandangan
konstruktivisme, belajar merupakan
suatu proses pembentukan pengetahuan.
Pembentukan ini harus selalu dilakukan
oleh siswa, mereka harus melakukan
kegiatan, aktif berpikir, menyusun
konsep dan memberi makna tentang
hal-hal yang sedang dipelajari.
Paradigma konstruktivisme memandang
siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal tersebut
masih sangat sederhana atau tidak
sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya
diterima dan dijadikan dasar
pembelajaran dan bimbingan.
Pembelajaran yang berlangsung
selama ini banyak berpijak pada teori
pembelajaran konvensional. Dimana
guru mendominasi kegiatan
pembelajaran melalui metode ceramah,
dengan harapan siswa dapat
memahaminya dan memberi respon
sesuai dengan materi yang di
4
ceramahkan. Berbeda dengan bentuk
pembelajaran di atas, pembelajaran
konstruktivisme membantu siswa
mentransformasi informasi baru.
Transformasi terjadi dengan
menghasilkan pengetahuan baru yang
selanjutnya akan membentuk srtuktur
kognitif baru.
Berdasarkan beberapa pandangan
di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih
terfokus pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka
dan bukan pula keputusan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah
diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Dengan kata lain, siswa lebih
diutamakan untuk mengkonstruksi
sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
Secara rinci perbedaan karakteristik
pembelajaran konvensional dan
pembelajaran konstruktivisme adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.1 perbedaan karakteristik
pembelajaran konvensional
dan pembelajaran
konstruktivisme
No Pembelajaran
konvensional
Pembelajaran
konstruktivisme
1. Kurikulum disajikan
dari bagian-bagian
menuju keseluruhan
dengan menekankan
pada keterampilan-
keterampilan dasar.
Kurikulum disajikan
mulai dari keseluruhan
menuju kebagian-
bagian dan lebih
mendekatkan pada
konsep-konsep yang
lebih luas.
2. Pembelajaran sangat
taat kepada kurikulum
yang telah ditetapkan.
Pembelajaran lebih
menghargai pada
pemunculan pertanyaan
dan ide-ide siswa.
3. Kegiatan kurikuler
lebih banyak
mengandalkan buku teks dan buku kerja.
Kegiatan kurikuler
lebih banyak
mengandalkan pada sumber-sumber data
primer dan manipulasi
bahan.
4. Siswa dipandang
sebagai ”kertas
kosong” yang dapat
digoresi informasi.
Siswa dipandang sebagi
pemikir-pemikir yang
dapat memunculkan
teori-teori tentang
dirinya.
5. Penilaian hasil belajar
atau pengetahuan siswa
dipandang sebagai
bagian dari
pembelajaran dan
biasanya dilakukan
pada akhir pelajaran
dengan cara testing.
Pengukuran proses dan
hasil belajar siswa
terjalin dalam kesatuan
kegiatan pembelajaran,
dengan cara guru
mengamati hal-hal yang
sedang dilakukan siswa
serta melalui tugas-
tugas pekerjaan.
6. Siswa-siswa biasanya
bekerja sendiri, tanpa
ada group process
dalam belajar.
Siswa-siswa banyak
belajar dan bekerja
dalam group process.
(Budiningsih,2004: 57).
Menurut Nuryani dalam Sutarno
(2003) dikenal beberapa model
pembelajaran yang dilandasi
konstruktivisme yaitu model siklus
belajar 5E, model pembelajaran
generatif (generative learning model),
model CLIS (Children Learning In
Science). Masing-masing model
tersebut memiliki kekhasan tersendiri,
tetapi semuanya mengembangkan
kemampuan struktur kognitif untuk
membangun pengetahuan sendiri
melalui berpikir rasional. Kekhasan
model tersebut tampak pada tahapan
(fase) kegiatan pembelajaran yang
dilakukan. Perbandingan fase-fase dari
model-model tersebut dirangkum pada
Tabel di bawah ini:
Tabel 2.2 Fase-fase pembelajaran pada
kelompok model pembelajaran
konstruktivisme. Model Fase-Fase Pembelajaran
I II III IV V
Siklus
Belajar
Ekspl
orasi
Pengen
alan
konsep
Penerapa
n konsep
- -
Pembela
jaran
Generati
f
Persia
pan
Fokus Tantanga
n
Apli
kasi
-
Pembela
jaran
Interakti
f
Persia
pan
Eksplor
asi
Pertanya
an Siswa
Refl
eksi
-
CLIS Orien
tasi
Elisitas
i
Restruktu
risasi
Apli
kasi
Refle
ksi
Pembela
jaran
koopera
tif
Orien
tasi
Elisitas
i
Restruktu
risasi
Apli
kasi
Refle
ksi
2. Kelebihan dan Kekurangan
5
a. Kelebihan menurut mok song sang
dalam Sukemo (2006: 5-6)
Adapun kelebihan pembelajaran
konstruktivisme sebagai berikut: 1).
Guru sebagai penolong,
pemudahcara dan perancang, 2).
Menerapkan nilai kooperatif dan
kolaboratif dalam diri murid, 3).
Tidak menggunakan kaedah atau
teknik tradisi seperti, arahan,
menghafal, dan mengingat, 4).
Penguasaan teknik lisan dan buku
lisan.
b. Kekurangan menurut mok song sang
dalam Sukemo (2006: 5-6)
Selain kelebihan, pembelajaran
konstruktivisme mempunyai
kelemahan yang tersendiri yaitu: 1).
siswa tidak dapat mengasimilasikan
dan menyusun ide saintifik baru, 2)
Ketidaksediaan murid untuk
merancang strategi berfikir dan
menilai sendiri teori pengajaran
berdasarkan pengalaman sendiri,
murid terpaksa mengenal ide-ide
alternatif dan memeriksa secara kritis
sebelum mereka memahaminya.
3. Langkah-langkah kon
truktivisme
Adapun langkah-langkah
penerapan pembelajaran
konstruktivisme menurut Aqib
(2002:20) yaitu:
a. Guru mendorong munculnya diskusi
terhadap pengetahuan baru yang
telah dimiliki siswa sebelumnya.
b. Memotivasi untuk berpikir dengan
cara mengaitkan materi yang
sebelumnya dengan materi yang
akan di sampaikan dan melakukan
pemecahan masalah berdasarkan
lebih dari satu jawaban yang benar.
c. Melibatkan siswa dalam aktivitas
belajar seperti main peran, simulasi,
debat dan pemberian penjelasan
kepada teman.
d. Memanfaatkan keterampilan berpikir
kritis dengan menganalisis,
membandingkan, generalisasi,
memprediksi dan mengajukan
hipotesi masalah yang sedang
dibahas.
e. Guru menjelaskan kaitan informasi
baru dengan pengalaman pribadi
siswa atau kepengetahuan yang telah
dimiliki siswa.
f. Guru menggunakan segala informasi
yang diperoleh pada situasi baru.
g. Lakukan penilaian dengan berbagai
cara.
Pengertian Model Siklus Belajar 5E
Siklus Belajar 5E adalah suatu
kerangka konseptual yang digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan
proses pembelajaran yang berpusat pada
pebelajar (student centered). Siklus
belajar merupakan rangkaian tahap-
tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi
sedemikian rupa sehingga pebelajar
dapat menguasai kompetensi-
kompetensi yang harus dicapai dalam
pembelajaran dengan jalan berperanan
aktif. (Dasna, 2005:32)
Model siklus belajar termasuk
kependekatan konsrtuktivisme karena
siswa sendiri yang mengkonstruksi
pemahamannya. Terdapat tiga macam
model siklus belajar yaitu:
a. Siklus belajar deskriptif, pada model
ini siswa menemukan dan
mendeskripsikan apa yang telah
siswa dapatkan.
b. Siklus belajar emprikal-abduktif,
pada siswa juga menemukan sesuatu
dengan mengeksplorasi, tetapi telah
melangkah lebih jauh, yaitu dengan
menciptakan sebab-sebab yang
mungkin ada pada pola tersebut.
c. Siklus belajar hipotetikal-deduktif,
siswa mengemukakan pertanyaan-
pertanyaan sebab musabab yang
dapat menimbulkan beberapa macam
penjelasan (Adi,2009:1).
1. Kelebihandan Kekurangan Menurut Mok Song Sang dalam
Sukemo, 2006:5-6).
6
a. Kelebihan
Dilihat dari dimensi
guru, penerapan strategi ini
memperluas wawasan dan
meningkatkan kreativitas
guru dalam merancang
kegiatan pembelajaran.
Sedangkan ditinjau dari
dimensi pebelajar, penerapan
startegi ini memberi
kelebihan sebagai berikut:
1) Meningkatkan motivasi
belajar karena pebelajar
dilibatkan secara aktif
dalam proses
pembelajaran.
2) Membantu
mengembangkan sikap
ilmiah pebelajar.
3) Pembelajaran menjadi
lebih bermakna.
b. Kekurangan
Adapun kekurangan
penerapan strategi ini yang
harus selalu diantisipasi
diperkirakan sebagai berikut:
1) Efektivitas pembelajaran
rendah, jika guru kurang
menguasai materi dan
langkah-langkah
pembelajaran.
2) Menuntut kesungguhan
dan kreativitas guru
dalam merancang dan
melaksanakan proses
pembelajaran.
3) Memerlukan pengelolaan
kelas yang lebih
terencana dan
terorganisasi.
4) Memerlukan waktu dan
tenaga yang lebih banyak
dalam menyusun
rencana dalam
melaksanakan
pembelajaran.
(Cohen dan Clough
dalam Soebagio,
2000:163).
2. Langkah-Langkah Model
Siklus Belajar 5E
Siklus belajar pada
mulanya terdiri dari fase-fase
eksplorasi (exploration),
pengenalan konsep (concept
introduction), dan aplikasi
konsep (concept application).
Menurut Dasna (2005: 23) ada 5
fase dalam siklus belajar yaitu :
a. Fase pendahuluan
(engagement), kegiatan pada
fase ini bertujuan untuk
mendapatkan perhatian
siswa, mendorong
kemampuan berfikir, dan
membantu siswa mengakses
pengetahuan awal yang telah
dimilikinya.
b. Fase eksplorasi
(exploration), pada fase ini
siswa diberi kesempatan
untuk bekerja, baik secara
mandiri maupun secara
kelompok tanpa instruksi
langsung dari guru.
c. Fase penjelasan
(explaination), kegiatan pada
fase ini bertujuan untuk
melengkapi atau
menyempurnakan dan
mengembangkan konsep
yang diperoleh siswa. Guru
akan menjelaskan konsep
yang dipahaminya dengan
kata-katanya sendiri,
menunjukkan contoh yang
berhubungan dengan konsep
untuk melengkapi
penjelasannya, serta bisa
memperkenalkan istilah-
istilah baru yang belum
diketahui siswa.
d. Fase penerapan konsep
(elaboration), kegiatan fase
ini mengarahkan siswa
7
menerapkan konsep-konsep
yang telah dipahami dan
keterampilan yang dimiliki
pada situasi baru. Fase ini
bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman
siswa tentang apa yang telah
mereka ketahui.
e. Fase evaluasi (evaluation),
dimana pada kegiatan fase
ini ada dua hal yang ingin
diketahui yaitu pengalaman
belajar yang telah diperoleh
siswa dan refleksi untuk
melakukan siklus lebih
lanjut.
Pada tahap eksplorasi, pebelajar
diberi kesempatan untuk memanfaatkan
panca inderanya semaksimal mungkin
dalam berinteraksi dengan lingkungan
melalui kegiatan-kegiatan seperti
praktikum, menganalisis artikel,
mendiskusikan fenomena alam,
mengamati fenomena alam atau
perilaku sosial, dan lain-lain. Dari
kegiatan ini diharapkan timbul
ketidakseimbangan dalam struktur
mentalnya (cognitive disequilibrium)
yang ditandai dengan munculnya
pertanyaan-pertanyaan yang mengarah
pada berkembangnya daya nalar tingkat
tinggi (high level reasoning) yang
diawali dengan kata-kata seperti
mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005:
25).
Munculnya pertanyaan-
pertanyaan tersebut sekaligus
merupakan indikator kesiapan siswa
untuk menempuh fase berikutnya, fase
pengenalan konsep. Pada fase ini
diharapkan terjadi proses menuju
kesetimbangan antara konsep-konsep
yang telah dimiliki pebelajar dengan
konsep-konsep yang baru dipelajari
melalui kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan daya nalar seperti
menelaah sumber pustaka dan
berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar
mengenal istilah-istilah yang berkaitan
dengan konsep-konsep baru yang
sedang dipelajari. Pada fase terakhir,
yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak
menerapkan pemahaman konsepnya
melalui kegiatan-kegiatan seperti
problem solving (menyelesaikan
problem-problem nyata yang berkaitan)
atau melakukan percobaan lebih lanjut.
Penerapan konsep dapat
meningkatkan pemahaman konsep dan
motivasi belajar, karena pebelajar
mengetahui penerapan nyata dari
konsep yang mereka pelajari.
Implementasi siklus belajar dalam
pembelajaran menempatkan guru
sebagai fasilitator yang mengelola
berlangsungnya fase-fase tersebut mulai
dari perencanaan (terutama
pengembangan perangkat
pembelajaran), Pelaksanaan (terutama
pemberian pertanyaan-pertanyaan
arahan dan proses pembimbingan)
sampai evaluasi. Implementasi siklus
belajar biasanya diukur melalui
observasi proses dan pemberian tes. Jika
ternyata hasil dan kualitas pembelajaran
tersebut ternyata belum memuaskan,
maka dapat dilakukan siklus berikutnya
yang pelaksanaanya harus lebih baik
dibanding siklus sebelumnya dengan
cara mengantisipasi kelemahan-
kelemahan siklus sebelumnya, sampai
hasilnya memuaskan.
Siklus belajar tiga fase saat ini
telah dikembangkan dan disempurnakan
menjadi lima fase dan enam fase,
ditambahkan tahap engagement
sebelum exploration dan ditambahkan
pula tahap evaluation pada bagian akhir
siklus. Pada model ini tahap concept
introduction dan concept application
masing-masing diistilahkan menjadi
explaination dan elaboration. Karena
itu siklus belajar lima fase sering
dijuluki siklus belajar 5E (Engagement,
Exploration, Explaination, Elaboration
8
dan Evaluation) (Lorsbach, 2002:173).
Pada model siklus enam, ditambahkan
tahap identifikasi tujuan pembelajaran
pada awal kegiatan (Johnston dalam
Iskandar, 2005). Tahap engagement
bertujuan mempersiapkan diri pebelajar
agar terkondisi dalam menempuh fase
berikutnya dengan jalan mengeksplorasi
pengetahuan awal dan ide-ide mereka
serta untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya miskonsepsi pada
pembelajaran sebelumnya.
Dalam fase engagement ini minat
keingintahuan pebelajar tentang topik
yang akan diajarkan berusaha
dibangkitkan. Pada fase ini pula
pebelajar diajak membuat prediksi-
prediksi tentang fenomena yang akan
dipelajari dan dibuktikan dalam tahap
eksplorasi. Pada fase exploration, siswa
diberi kesempatan untuk bekerja sama
dalam kelompok-kelompok kecil tanpa
pengajaran langsung dari guru untuk
menguji prediksi, melakukan dan
mencatat pengamatan serta ide-ide
melalui kegiatan-kegiatan seperti
praktikum dan telaah literatur. Pada
explaination, guru harus mendorong
siswa untuk menjelaskan kensep dengan
kalimat mereka sendiri, meminta bukti
dan klarifikasi dari penjelasan mereka
dan mengarahkan kegiatan diskusi.
Pada tahap ini pebelajar menemukan
istilah-istilah dari konsep yang
dipelajari.
Pada fase elaboration (extention),
siswa menerapkan konsep dan
keterampilan dalam situasi baru melalui
kegiatan-kegiatan seperti praktikum
lanjutan dan problem solving. Pada
tahap akhir evaluation, dilakukan
evaluasi terhadap fase-fase sebelumnya
dan juga evaluasi terhadap pengetahuan,
pemahaman konsep, atau kompetensi
pebelajar melalui problem solving
dalam konteks baru yang kadang-
kadang mendorong pebelajar
melakukan investigasi lebih lanjut.
Berdasarkan tahapan-tahapan dalam
metode pembelajaran bersiklus seperti
dipaparkan di atas, diharapkan siswa
tidak hanya mendengar keterangan guru
tetapi dapat berperan aktif untuk
menggali dan memperkaya pemahaman
mereka terhadap konsep-konsep yang
dipelajari. Berdasarkan uraian di atas,
model siklus dapat diimplementasikan
dalam pembelajaran bidang-bidang
sains maupun sosial (Rahayu, 2005:
43).
Pengembangan fase-fase siklus
belajar dari tiga fase menjadi lima atau
enam fasepun masih tetap
berkorespondensi dengan mental
functioning dari piaget. Fase
engagement dalam siklus belajar 5E
termasuk dalam proses asimilasi,
sedangkan fase evaluation masih
merupakan proses organisasi.
Walaupun fase-fase siklus belajar
dapat dijelaskan dengan teori Piaget,
siklus belajar juga pada dasarnya lahir
dari paradigma konstruktivisme belajar
yang lain termasuk teori
konstruktivisme sosial Vygostky dan
teori belajar bermakna Ausubel ( Dasna,
2005: 38).
Implementasi siklus belajar dalam
pembelajaran sesuai dengan pandangan
konstruktivisme yaitu:
1). Siswa belajar secara aktif. Siswa
mempelajari materi secara bermakna
dengan bekerja dan berpikir.
Pengetahuan dikonstruksi dari
pengalaman siswa.
2). Informasi baru dikaitkan dengan
skema yang telah dimiliki siswa.
Informasi baru yang dimiliki siswa
berasal dari interpretasi individu.
3). Orientasi pembelajaran adalah
investigasi dan penemuan yang
merupakan pemecahan masalah
(Hudojo, 2001:60).
Dengan demikian proses
pembelajaran bukan lagi sekedar
transfer pengetahuan dari guru ke siswa,
9
seperti dalam falsafah behaviorisme,
tetapi merupakan proses pemerolehan
konsep yang beroreantasi pada
keterlibatan siswa secara aktif dan
langsung. Proses pembelajaran
demikian akan lebih bermakna dan
menjadikan skema dalam diri pebelajar
menjadi pengetahuan fungsional yang
setiap saat dapat diorganisasi oleh
pebelajar untuk menyelasaikan
masalah-masalah yang dihadapi.
Dengan adanya pendekatan siklus
belajar dapat menciptakan kesempatan
untuk memberikan pengalaman fisik,
interaksi sosial dan regulasi sendiri pada
siswa. Dengan kata lain guru dapat
menciptakan pengalaman-pengalaman
belajar yang mengintegrasikan ketiga
tahap yang berperan dalam proses
pembentukan konsep. Tahap eksplorasi
memberikan pengalaman fisik dan
interaksi sosial yang dapat mendorong
siswa untuk bertanya tentang pemikiran
mereka sendiri. Pengalaman fisik juga
akan membantu menumbuhkan
gagasan-gagasan baru dan membimbing
siswa untuk menemukan jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dari tahap eksplorasi dan
pengenalan konsep. Selanjutnya tahap
penerapan konsep, memberikan
kesempatan kepada siswa untuk
menemukan penerapan konsep sendiri
dalam konteks yang baru (Jufri, 2000:
22).
Aktivitas Belajar Dalam diri masing-masing siswa
terdapat “prinsip aktif” yakni keinginan
berbuat dan bekerja sendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut, sistem
pembelajaran dewasa ini sangat
menekankan pada pendayagunaan asas
aktivitas (keaktifan) dalam proses
belajar dan pembelajaran untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Aktivitas belajar menurut Hamalik
(2002: 170) adalah suatu proses atau
kegiatan yang dilakukan untuk
mencapai pengetahuan, keterampilan,
nilai dan sikap. Oleh karena itu, guru
yang bertindak sebagai fasilitator dan
mediator dalam pembelajaran
hendaknya mampu menciptakan
pembelajaran yang dapat mengikut
sertakan siswa secara aktif baik individu
maupun kelompok dalam kegiatan
pembelajaran.
Menurut Djamarah (2002: 38-
45), ada beberapa aktivitas belajar
yaitu sebagai berikut:
1. Mendengarkan, adalah salah satu
aktivitas belajar. Setiap orang yang
belajar disekolah pasti aktivitasnya
mendengarkan ketika seorang guru
menggunakan metode ceramah,
maka setiap siswa harus mendengar
apa yang pendidik sampaikan.
2. Memandang, adalah mengarahkan
penglihatan ke suatu objek.
Aktivitas memandang dalam arti
belajar adalah aktivitas memandang
yang bertujuan sesuai dengan
kebutuhan untuk mengadakan
perubahan tingkah laku yang
positif.
3. Meraba, membau, dan
mencincipi/mengecap adalah indera
manusia yang dapat dijadikan
sebagai alat untuk kepentingan
belajar. Artinya aktivitas meraba,
membau, mengecap dapat
memeberikan kesempatan bagi
seseorang untuk belajar.
4. Menulis dan mencatat, merupakan
kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan dari aktivitas belajar.
Mencatat yang termasuk sebagai
aktivitas belajar adalah apabila
dalam mencatat itu orang
menyadari kebutuhan dan
tujuannya serta menggunakan
seperangkat tertentu agar catatan itu
nantinya berguna bagi pencapaian
tujuan belajar.
5. Membaca adalah aktivitas yang
banyak dilakukan di sekolah dan
10
perguruan tinggi. Membaca disini
tidak mesti membaca buku belaka,
tetapi juga membaca majalah,
koran, tabloit, jurnal-jurnal hasil
penelitian, catatan hasil belajar atau
kuliah dan hal-hal lainnya yang
berhubungan dengan kebutuhan
studi.
6. Membuat ikhtisar atau ringkasan
atau menggarisbawahi, dapat
membantu dalam hal mengingat
atau mencari kembali materi dalam
buku untuk masa-masa yang akan
datang.
7. Mengamati tabel-tabel, diagram-
diagram dan bagan-bagan
merupakan suatu yang sangat perlu
bagi seseorang dalam mempelajari
materi yang relevan. Demikian pula
gambar-gambar, peta-peta dan lain-
lain dan dapat menjadi bahan
ilustratif yang membantu
pemahaman seseorang tentang
suatu hal.
8. Menyusun paper atau kertas kerja,
dalam menyusun paper harus
sistematis dan metodologis, artinya
menggunakan metode-metode
tertentu dalam penggarapannya.
Sistematis artinya menggunakan
kerangka berpikir yang logis dalam
kronologis.
9. Mengingat, adalah gejala
psikologis. Ingatan itu sendiri
adalah kemampuan jiwa untuk
memasukkan (learning),
menyimpan (relention), dan
menimbulkan kembali
(remembering) hal-hal yang telah
lampau. Jadi mengenai ingatan itu
sendiri ada tiga fungsi yaitu
memasukkan, menyimpan dan
mengangkat lembali kealam sadar.
10. Berpikir adalah, termasuk aktivitas
belajar. Dengan berpikir orang
memperoleh penemuan baru,
setidak-tidaknya orang menjadi
tahu tentang hubungan antar
sesuatu.
11. Latihan atau praktek, adalah konsep
belajar yang menghendaki adanya
penyatuan usaha mendapatkan
kesan-kesan dengan cara berbuat.
Dalam hal ini belajar sambil
berbuat adalah termasuk latihan.
Adapun penggunaan asas
aktivitas belajar dalam pembelajaran
seperti yang diungkapkan oleh
Hamalik (2001: 175) antara lain:
1. Para siswa mencari pengalaman
sendiri dan langsung mengalami
sendiri.
2. Berbuat sendiri akan
mengembangkan seluruh aspek
pribadi siswa secara integral.
3. Memupuk kerjasama yang harmonis
dikalangan siswa.
4. Para siswa bekerja menurut minat
dan kemampuan sendiri.
5. Memupuk disiplin kelas secara wajar
dan suasana belajar menjadi
demokratis.
6. Mempererat hubungan sekolah dan
masyarakat, dan hubungan antara
orang tua dengan guru.
7. Pengajaran diselenggarakan secara
realistis dan konkret sehingga
mengembangkan pemahaman dan
berpikir kritis serta menghindari
verbalistik.
8. Pengajaran di sekolah menjadi hidup
sebagaimana aktivitas dalam
kehidupan di masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa aktivitas
belajar merupakan kegiatan atau
perilaku yang terjadi selama proses
belajar mengajar. Kegiatan-kegiatan
yang dimaksud adalah kegiatan
yang mengarah pada proses belajar
seperti bertanya, mengajukan
pendapat, mengerjakan tugas-tugas,
dapat menjawab pertanyaan guru
dan bisa bekerja sama dengan siswa
11
lain, serta tanggung jawab terhadap
tugas yang diberikan.
Hasil Belajar
1. Pengertian hasil belajar
Kegiatan belajar adalah
segala aktivitas yang dilakukan
dengan sengaja oleh peserta didik
untuk mencapai tujuan belajar.
Tujuan belajar berkaitan dengan
perubahan-perubahan
tingkahlaku peserta didik yang
meliputi aspek-aspek
pengetahuan, keterampilan,
sikap, nilai-nilai dan aspirasi
(Sudjana, 2000: 96).
Menurut bahtiar (2010: 24)
Hasil belajar adalah suatu
kemampuan yang berupa
keterampilan dan perilaku baru
sebagai akibat dari latihan atau
pengalaman. Menurut Soedijarto
dalam Bahtiar (2010: 24)
mendefinisikan hasil belajar
sebagai tingkat penguasaan suatu
pengetahuan yang dicapai oleh
siswa dalam mengikuti program
belajar mengajar sesuai dengan
tujuan pendidikan yang
ditetapkan.
Berdasarkan pendapat di
atas dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa hasil belajar
adalah perolehan dari suatu usaha
yang dilakukan dengan berbagai
proses sehingga memberi
perubahan dalam diri seseorang
kearah yang lebih positif yang
dapat dinilai dari sikap dan
tingkah lakunya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
penelitian tindakan kelas (PTK)
yakni penelitian tindakan (action
research) yang dilakukan di kelas
dengan tujuan
memperbaiki/meningkatkan mutu
praktik pembelajaran
(Suhardjono,2008: 5E). Tujuan
utama penelitian tindakan kelas
(PTK) adalah untuk meningkatkan
mutu proses dan hasil pembelajaran,
mengatasi masalah pembelajaran,
meningkatkan profesionalisme
akademik dan menumbuhkan
budaya akademik (Suhardjono,
2008: 61).
Kehadiran peneliti dalam
penelitian ini sangat diperlukan
karena peneliti bertindak sebagai
perencana tindakan pengumpul data,
penganalisis data dan pelapor hasil
penelitian.Peneliti mutlak hadir
selama kegiatan penelitian
berlangsung. Peneliti juga dalam
penelitian ini bertindak sebagai
pengajar dan menjadi pengamat
adalah teman sejawat.
Sebagai subjek dalam
penelitian ini adalah siswa kelas
VIII.C SMP Negeri 4 Woha tahun
pelajaran 2014/2015, dengan
jumlah 19 siswa.
Tabel 3.1 : subyek
penelitian pada siswa kelas VIII.C
Laki-laki Perempuan
13 6
Rancangan Penelitian
Ada beberapa para ahli yang
mengemukakan rancangan
penelitian tindakan kelas (PTK)
terdiri atas rangkaian yang
dilakukan dalam siklus berulang
(Arikunto, 2008: 52).
Daur ulang dalam penelitian
tindakan kelas (PTK) diawali
dengan perencanaan tindakan
(planning), penerapan tindakan
(action), mengobservasi dan
mengevaluasi proses dan hasil
tindakan (observation and
evaluation), dan melakukan refleksi
12
(reflecting), dan seterusnya sampai
perbaikan atau peningkatan yang
diharapkan tercapai (kriteria
keberhasilan),
Tehnik Pengumpulan Data 1. Data observasi
Data observasi ini memuat
kegiatan pembelajaran untuk
setiap konsep yang di kaji, yang
berisi lembar RPP dan lembar
aktivitas siswa. Dalam lembar
RPP memuat tentang rencana
pembelajaran yang disusun oleh
guru sebelum melaksanakan
proses belajar mengajar,
sedangkan aktivitas siswa yaitu
tentang kegiatan-kegiatan siswa
dalam melaksanakan proses
belajar mengajar.
2. Data hasil tes
Data hasil belajar siswa
diperoleh dengan cara
memberikan tes evaluasi yang
diberikan pada akhir materi dan
dilakukan pada setiap akhir
siklus, tujuannya yaitu untuk
mengetahui peningkatan hasil
belajar siswa.
Instrumen Penelitian
Suharsimi Arikunto (2006:
160) menerangkan bahwa penelitian
adalah alat/fasilitas yang digunakan
oleh peneliti dalam dalam
mengumpulkan data agar pekerjaan
lebih mudah dan hasilnya lebih
baik’dalam arti lebih cermat lengkap
dan sistematik sehingga lebih
mudah diolah. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari:
1. Lembar Observasi
a). Aktivitas guru
Dimana lembar observasi ini
memuat kegiatan
pembelajaran untuk setiap
fase dalam pembelajaran 5E.
b). Aktivitas siswa
Siswa berperan sebagai
subjek yang menerima
materi besaran dan satuan
dan menerima tes.
2. Soal Tes
Untuk mengetahui hasil
belajar siswa digunakan
instrumen berupa tes. Jenis tes
yang digunakan adalah pilihan
ganda yang terdiri dari 15 soal.
Soal yang digunakan dalam
penelitian ini diambil dari soal
yang telah terstandar (beberapa
buku paket).
Analasis Data 1. Data hasil Observasi
a. Standar Skor penilaian
observasi
Standar skor penilaian
tersebut dipergunakan untuk
memberikan nilai terhadap
objek yang diamati yaitu:
Pedoman penilaian
pelaksanaan pembelajaran
menggunakan skor penilaian
observasi dengan skala 1-4,
seperti disajikan dalam tabel
berikut:
Tabel 3.2. kriteria skor penilaian
pelaksanaan pembelajaran
Kategori Bobot
skor
Sangat tepat 4
Tepat 3
Kurang tepat 2
Sangat tidak tepat 1
Sumber : (Endang, 2008 dalam Burhan,
2013: 35)
b. Pengolahan skor penilaian
observasi
Pedoman penilaian
pelaksanaan pembelajaran.
Setelah diperoleh skor
penilaian pelaksanaan
13
pembelajaran maka di hitung
untuk menentukan kualitas
pelaksanaan pembelajaran.
Perhitungan tersebut dengan
menggunakan rumus:
N = ∑ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 x 100%
Keterangan : N = Skor nilai yang diperoleh
guru/siswa.
Skor perolehan = Skor yang diperoleh dari sejumlah
indikator yang muncul/nampak dari observasi.
Skor maksimal = Jumlah skor keseluruhan dari
indicator yang ditetapkan.
Adapun skala penilaian (%) dan kriteria
yang digunakan sebagai berikut:
Tabel 3.3. kriteria skor penilaian (%)
pelaksanaan pembelajaran
2. Data Hasil Belajar
Sebelum dianalisis,
terlebih dahulu dicari ketuntasan
belajar siswa, kemudian
dianalisis secara kuantitatif.
a) Ketuntasan Individu
Setiap siswa dalam proses belajar
mengajar dinyatakan tuntas secara
individu apabila siswa mampu
memperoleh nilai ≥ 63 sebagai
standar ketuntasan belajar minimal
yang diterapkan oleh sekolah tempat
penelitian diadakan.
b) Ketuntasan Klasikal
Indikator keberhasilan penelitian ini
adalah ketuntasan belajar dengan
rumus sebagai berikut:
𝐾𝐾 =𝑃
𝑁𝑋100%
Keterangan: KK = Ketuntasan belajar
P = Banyaknya siswa yang
memperoleh nilai ≥ 63
N = Banyaknya siswa
Ketuntasan belajar tercapai jika KK ≥
85% siswa yang mencapai
nilai≥ 63.
Indikator Keberhasilan
Adapun yang menjadi
indikator keberhasilan penelitian
tindakan ini adalah pencapaian
aktivitas belajar siswa dengan
ketentuan sebagai berikut:
a) Keberhasilan penelitian ini
dilihat dari peningkatan hasil
belajar siswa. Berdasarkan
pada teknik analisa data,
maka dapat disimpulkan
bahwa indikator
keberhasilan ketuntasan
belajar dalam penelitian ini
didasarkan pada kriteria
ketuntasan minimal (KKM)
yaitu nilai tes/hasil belajar
siswa 63 dan ketuntasan
klasikalnya mencapai 85%.
b) Keberhasilan penelitian ini
dilihat dari aktivitas belajar
siswa. Penelitian dikatakan
berhasil apabila aktivitas
siswa secara klasikal
minimal berkategori aktif
dan aktivitas guru
berkategori baik selama
proses pembelajaran.
HASIL PENELITIAN
SIKLUS I
Siklus I dilakasanakan 3 kali
pertemuan, pada pertemuan pertama
hari Senin, 25 Agustus 2014 jam 07.00-
09.00 WIB. Materi yang akan dijarkan
pada siklus I adalah materi gaya, yang
meliputi tahap perencanaan (planning),
tindakan (action), pengamatan
(observation) dan refleksi (reflection).
Dengan menggunakan Lembar
Observasi proses belajar dan
berdasarkan catatan lapangan diperoleh
data bahwa proses belajar siklus 1
berdasarkan 5 tahapan dalam siklus
belajar 5E (Engagement, Exploration,
Nilai
(%)
Kriteria
92-100 Sangat baik
75-91 Baik
50-74 Cukup baik
25-49 Kurang baik
00-24 Tidak baik
14
Explanation, Elaboration, Evaluation).
Seperti telihat pada tabel 4.1 berikut ini
:
Tabel 4.1 : Observasi
siswa siklus belajar 5E
No Sub Variebel Nilai
rata-rata
1 Engagement
(Pendahuluan)
50,87%
2 Exploration
(Penggalian)
50,87%
3 Explanation
(Penjelasan)
55,26%
4 Elaboration
(Aplikasi)
45,26%
5 Evaluation
(Evaluasi)
36,84%
∑Nilai rata-rata 49,86%
(a) Data Keterlaksanaan Proses
Pembelajaran
Data keterlaksanaan pembelajaran
berisikan kegiatan selama proses belajar
mengajar. Guru fisika selaku pengamat,
memberikan penilaian terhadap cara
mengajar. Lembar observasi guru dapat
dilihat pada, lampiran 7, halaman 94.
Guru Fisika memberikan tanda chek list
(√) dan skor jika sesuai dengan format
observasi yang telah dibuat. Hasil
tersebut dihitung dalam bentuk
persentasi. Berdasarkan hasil observasi
yang diperoleh dari lembar observasi
guru adalah sebagai berikut: Nilai rata-
rata aktivitas yang dilakukan oleh guru
selama proses belajar mengajar adalah
79,35%.
Tabel 4.2 : Observasi keterlaksanaan
aktivitas guru No Aspek yang diamati Skor porsentase
1 Pra pembelajaran 13 1,3
2 Kegiatan inti 56 44,8
3 Penutup 4 0,4
Jumlah 73 46,7
∑ nilai ketelaksanaan 79,35%
(b) Hasil Belajar
Hasil belajar siswa dapat
diketahui berdasarkan tes prestasi
belajar pada akhir tiap siklusnya. Tes
hasil belajar dilakukan 1 kali pada akhir
tiap siklus dan sebelum tes siklus
pertama data nilai berdasarkan
dokumentasi nilai yang didapatkan dari
guru fisika. Tes akhir stiap siklusnya
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh
mana kemampuan siswa terhadap
materi yang diajarkan. Hasil tes prestasi
belajar siswa dapat dilihat pada,
lampiran 13: halaman 106, analisis hasil
evaluasi yang diperoleh pada siklus I
dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Analisi hasil evaluasi siklus
I No. Aspek yang diamati Keterangan
1. Nilai tertinggi 90
2. Nilai terendah 50
3. Jumlah nilai 1290
4. Rata-rata kelas 67,89
5. Jumlah siswa yang tuntas 12
6. Jumlah siswa yang tidak tuntas 7
7. Persentase ketuntasan 63,15%
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat
dilihat bahwa rata-rata skor siswa
adalah 67,89 dengan persentase
ketuntasan klasikal yaitu 63,15%
Artinya belum memenuhi indikator
kerja karena indikator kerja yang
ditetapkan adalah rata-rata skor siswa ≥
65 dengan ketuntasan klasikal ≥ 85 %.
Refleksi pada siklus I berdasarkan
catatan observasi oleh peneliti dan guru
fisika adalah secara umum tujuan
pembelajaran hampir tercapai. Pada
pertemuan pertama masih tampak siswa
yang kurang memperhatikan (ramai),
kurang tekun dan kurang disiplin,
kurang kerja sama dalam kelompok.
serta kurang menghargai pendapat
teman dalam timnya, kurang merespon
pertanyaan guru. Pada pertemuan II
siswa sudah mulai nampak kinerjanya
meningkat kearah lebih baik, hal ini
dapat dilihat dari keantusiasan siswa
15
untuk berusaha memberikan hasil yang
terbaik bagi kelompoknya. Setiap siswa
sudah kelihatan bertanggung jawab
akan tetapi saat berdiskusi masih ada
siswa yang berbicara dan masih
kurangnya kerjasama dalam belajar
kelompok karena belum terbiasa dalam
belajar kelompok secara heterogen
Hal yang belum memuaskan pada
siklus I ini yaitu, semua siswa belum
mampu bekerja sama dengan baik antar
anggota kelompoknya, kurang
menghargai pendapat temannya dan
nilai rata-rata tes yang dilaksanakan di
akhir siklus I masih belum mencapai
hasil yang diharapkan.
Pada siklus I secara umum proses
belajar siswa dalam proses
pembelajaran fisika masih kurang dan
belum memuaskan, karena target proses
belajar siswa adalah >85 % belum
tercapai. Sesuai dengan tujuan
penelitian ini adalah untuk
meningkatkan aktivitas belajar siswa,
maka untuk mencapainya perlu
dilanjutkan penelitian ini ke siklus II.
Proses belajar siswa selama dalam
proses pembelajaran belum memenuhi
kriteria artinya siswa belum beraktifitas
secara maksimal. Untuk mengantisipasi
ini di siklus II diupayakan semua
perangkat sudah disiapkan semaksimal
mungkin.
Pembelajaran dengan
menggunakan model siklus belajar 5E,
pada siklus I belum bisa meningkatkan
hasil belajar siswa yang sesuai dengan
criteria yang diharapkan. Hal ini dapat
dilihat dari hasil test prestasi belajar di
akhir siklus 1 artinya dengan
menggunkan model pembelajaran siklus
belajar 5E belum bisa meningkatkan
hasil belajar fisika siswa.
Pada siklus I secara umum hasil
belajar siswa belum memuaskan. Target
ketuntasan belajar masih kurang dari
85%. Karena nilai rata-rata hasil belajar
belum mencapai standar yang
ditetapkan, artinya siswa belum
memahami konsep materi yang
diajarkan dengan baik, sehingga pada
siklus II diupayakan pemahaman
konsep materi ajar yang lebih baik dari
pada siklus I, sehingga bisa meningkat
hasil belajar siswa.
SIKLUS II
Dari data yang diperoleh bahwa
taraf keberhasilan aktivitas siswa
selama proses pembelajaran mengalami
peningkatan dan sudah sesuai dengan
tujuan penelitian sebelumnya, seperti
telihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4.4 : Observasi
siswa Learning Cycle 5E No Sub Variebel Nilai rata-rata
1 Engagement
(Pendahuluan)
73,68%
2 Exploration
(Penggalian)
64,91%
3 Explanation
(Penjelasan)
80,26%
4 Elaboration (Aplikasi) 72,63%
5 Evaluation (Evaluasi) 89,47%
∑Nilai rata-rata 71,74%
Lembar observasi guru berisikan
kegiatan selama proses belajar
mengajar. Guru fisika selaku pengamat,
memberikan penilaian terhadap cara
mengajar. Lembar observasi guru dapat
dilihat pada lampiran. Guru Fisika
memberikan tanda chek list (√) jika
sesuai dengan format observasi yang
telah dibuat. Hasil tersebut dihitung
dalam bentuk persentase. Adapun hasil
yang diperoleh dari lembar observasi
guru pada siklus II dapat dilihat pada
lampiran 10, hal. 100.
Berdasarkan hasil observasi yang
dilkukan pengamat terhadap aktivitas
yang dilakukan selama proses belajar
mengajar, skor yang yang didapat
adalah 92,39% untuk aktivitas guru
selama proses pembelajaran. Hal ini
menunjukkan bahwa aktivitas
berdasarkan kriteria taraf keberhasilan
pembelajaran termasuk meningkat. Dari
hasil yang diperoleh, dapat memberikan
16
kesimpulan bahwa aktivitas peneliti
sudah sesuai dengan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran.
Hasil Belajar
Hasil belajar siswa dapat
diketahui dengan tes akhir belajar. Tes
hasil belajar siklus II dilakukan di akhir
proses belajar pada siklus II. Tes akhir
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh
mana kemampuan siswa terhadap
materi yang diajarkan. Hasil tes belajar
siswa dapat dilihat pada, lampiran 13:
halaman 106. Data hasil tes belajar
siswa dapat adalah sebagai berikut:
Tabel 4.5 Analisi hasil evaluasi siklus
II
No. Aspek yang diamati Keteranga
n
1. Nilai tertinggi 100
2. Nilai terendah 60
3. Jumlah nilai 1550
4. Rata-rata kelas 81,58
5. Jumlah siswa yang tuntas 17
6. Jumlah siswa yang tidak
tuntas 2
7. Persentase ketuntasan 89,65%
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat
dilihat bahwa rata-rata skor siswa
adalah 71,57 dengan persentase
ketuntasan klasikal yaitu 89,69% dari
jumlah siswa keseluruhan 19 orang. Hal
ini berarti indikator kerja yang telah
ditetapkan tercapai dan penelitian
dihentikan
1. Refleksi
Pembelajaran pada siklus II,
sudah mengalami peningkatan
dibandingkan dari Siklus I. Berdasarkan
temuan pada siklus II, ditemukan
adanya peningkatan pelaksanaan
pembelajaran diiringi peningkatannya
keaktifan siswa dalam proses belajar
mengajar. Hal ini dapat terlihat dari
semakin banyaknya siswa yang mau
bertanya atau mengemukakan
pendapatnya serta aktif dalam diskusi.
Hal ini terlihat dari pertanyaan dan
tanggapan yang muncul dari siswa,
relevan dengan materi dan pada saat
presentasi kelompok, siswa tampak
cukup menguasai materi dan munculnya
pertanyaan-pertanyaan. Dalam siklus II
ini diperlukan kerja keras guru dalam
memotivasi siswa sesuai perannya
sebagai motivator dan sebagai
fasilitator, antara lain mengadakan
pendekatan dan bimbingan secara
maksimal terhadap masing-masing
kelompok, serta penguasaan konsep
pembelajaran yang lebih maksimal.
Pada siklusi II, secara umum
tujuan pembelajaran tercapai. Sehingga
model pembelajaran siklus belajar 5E,
dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Hal ini bisa dilihat dari lembar
observasi yang dilakukan sebagai
berikut:
a. Nilai observasi proses belajar siswa
dari hasil pengamatan tersebut,
peneliti menyimpukan bahwa, proses
belajar siswa pada siklus II selama
proses pembelejaran sudah tercapai
dengan baik, terlihat dengan adanya
peningkatan proses belajar antara
siklus I dan Siklus II.
b. Hasil pengamatan yang di lakukan
guru fisika, terhadap aktivitas yang
dilakukan peneliti selama proses
pembelajaran pada siklus II sudah
baik hal ini dapat dilihat dari adanya
peningkatan dari Siklus I dan Siklus
II sesuai dengan grafik sebagai
berikut :
c. Prestasi belajar yang dilakukan
diakhir siklus II, nilai rata-rata siswa
mencapai 71,57 dan ketuntasan
belajar mencapai 89,65%. Hal ini
menunjukkan bahwa pada siklus II
ketuntasan belajar siswa kelas VIII.C
sudah tercapai.
Berdasarkan uraian temuan
penelitian di atas, dapat memberikan
kesimpulan bahwa pembelajaran fisika
17
di kelas VIII.C pada pokok bahasan
Gaya, dengan mengunakan model
pembelajaran siklus belajar 5E, dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
PEMBAHASAN
1. Keterlaksanaan proses
pembelajaran siklus I dan II
Proses pembelajaran pada siklus I
dapat dilihat dari hasi observasi yang
dilakukan guru fisika selaku pengamat.
Pengamatan ini dilaksanakan selama
proses kegiatan pembelajaran
berlangsung. Proses pembelajaran yang
dicapai pada siklus I adalah 79,35%.
Artinya aktivitas obsever sebagai guru,
sudah cukup baik akan tetapi masih
perlu adanya perbaikan karena ada
beberapa catatan dalam proses
pembelajaran hal ini disebabkan peneliti
belum terbiasa dengan model
pembelajaran yang diterapkan,
kurangnya penguasaan kelas saat
pembagian kelompok dan kurangnya
penguasaan materi ajar yang diberikan.
Pada pembelajaran siklus II terdapat
peningkatan keterlaksanaan proses
pembelajaran. Hasil yang dicapai pada
sikulus II mencapai 92,39%.
Peningkatan disebabkan karena
melakukan perbaikan-perbaikan
diantaranya adalah: (1) obsever
melakukan pendekatan dan bimbingan
yang maksimal ke setiap kelompok, (2)
penguasaan konsep pembelajaran yang
lebih matang, (3) sudah mengerti
dengan model yang diterapkan pada
proses pembelajaran, (4) Memberikan
pertanyaan kembali kepada siswa agar
tidak terjadi miskonsepsi saat proses
pembelajaran.
2. Observasi Belajar Siswa Siklus
I dan II
Model pembelajaran
konstruktiviseme dengan melalui siklus
belajar 5E memiliki lima tahapan
pembelajaran. Dalam pelaksanaannya
terdapat peningkatan proses
pembelajaran dari siklus I dan siklus II
yakni: Pada fase Engagement
(Pendahuluan) terdapat peningkatan
22,81% siswa yang aktif dikarenakan
pada siklus yang ke 2 guru memberikan
penjelasan dengan jelas terhadap proses
pembelajaran yang akan dilakukan, fase
Exploration (Penggalian)
peningkatannya adalah 13,81% guru
membimbing tiap – tiap kelompok saat
praktikum, fase Explanation
(Penjelasan) dengan peningkatan
25,00% guru memberikan penjelasan
serta penegasan saat diskusi
berlangsung, fase Elaboration
(Aplikasi) meningkat 27,37% karena
guru memberikan penjelasan saat siswa
memberi contoh pengaplikasian dalam
kehidupan sehari - hari, fase Evaluation
(Evaluasi) terdapat peningkatan
sebanyak 52,63% karena guru mengajak
siswa berkomunikasi dalam
merefleksikan pelaksanaan
pembelajaran sehingga menghasilkan
kesimpulan.
Hal ini ditemukan karena adanya
peningkatan pelaksanaan pembelajaran
yang diiringi peningkatannya keaktifan
siswa dalam proses belajar mengajar.
Hal ini dapat terlihat dari semakin
banyaknya siswa yang mau bertanya
atau mengemukakan pendapatnya serta
aktif dalam diskusi. Proses serta hasil
belajar siswa dapat meningkat
dikarenakan perbaikan . peneliti pada
siklus ke-II berdasarkan keadaan
lapangan pada siklus I antara lain :
a) Pada siklus ke dua membagi
kelompok dan memberikan alur
belajar yang dilakukan serta
menanyakan apakah mereka sudah
mengerti apa yang dimak sudan
peneliti untuk menghindari suasana
yang ramai.
b) Setelah memberikan pertanyaan
mengembalikan kepada siswa agar
terjadi komunikasi dalam
pembelajaran.
18
c) Memberikan penegasan kembali
tentang kebenaran jawaban yang
telah diutarakan siswa
3. Hasil Belajar
Sebelum penelitian dilaksanakan,
terlebih dahulu mengadakan
pengamatan terhadap hasil ulangan
harian pada bab sebelumnya.
Berdasarkan observasi awal yang
diperoleh data bahwa nilai rata-rata
kelas rendah, karena nilai rata-rata yang
diperoleh dari 19 siswa kelas VIII.C
SMP Negeri 4 Woha mencapai 65,94.
Hasil observasi awal ini digunakan
sebagai bahan pertimbangan dan
informasi hasil tes pembelajaran siklus
I.
a) Pada siklus I nilai ketuntasan klasikal
siswa 62,06% kurangnya nilai
ketuntasan minimum siswa dari
standar yang telah ditentukan ini
disebabkan oleh penggunaan
pendekatan yang baru dalam
pembelajaran tersebut sehingga
siswa masih belum terbiasa dan
merasa asing. Setelah mulai terbiasa
belajar dengan model dapat
meningkat belajar siswa, hal ini
terlihat dari nilai ketuntasan
minimum siswa setelah dilakukannya
tes hasil belajar diakhir siklus II yang
mencapai 89,65%.
b) Pada siklus I siswa yang memenuhi
ketuntasan belajar masih 62,06% hal
ini disebabkan masih ada siswa yang
agak lama beradaptasi dengan model
pembelajaran yang diterapkan,
namun diakhir siklus II siswa yang
memenuhi ketuntasan belajar
berjumlah 17 siswa atau 89,65%.
Peningkatan hasil belajar siswa
ini disebabkan oleh beberapa
hal, diantaranya sebagai berikut:
1. Melalui model pembelajaran siklus
belajar 5E saat proses pembelajaran,
membatu siswa untuk memahami
konsep materi ajar dengan cepat,
karena siswa yang sudah mengerti
membantu tim anggotanya yang
belum mengerti.
2. Proses pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran
tersebut, tidak lagi “Teacher Centre
Learning” tetapi “Student Centre
Learning”. Sehingga pada proses
pembelajaran siswalah yang berperan
aktif dalam belajar dan siswa bisa
menemukan konsep sendiri.
3. Dengan menggunakan model
pembelajaran ini, dapat melatih
siswa untuk bekerjasama dengan
temannya. Sehingga kesulitan siswa
dalam belajar bisa teratasi.
PENUTUP
Berdasarkan rumusan masalah
dan hipotesis dalam penelitian,
dapat disimpulkan bahwa:
1. Pembelajaran konstruktivisme
dengan model siklus belajar
dapat meningkatkan aktivitas
belajar fisika siswa kelas VIII.C
SMP Negeri 4 Woha tahun
pelajaran 2014-2015, dilihat dari
aktivitas siswa pada tiap
pertemuan mengalami
peningkatan sebesar 52,63%.
2. Pembelajaran konstruktivisme
dengan model siklus belajar
dapat meningkatkan hasil belajar
fisika siswa kelas VIII.C SMP
Negeri 4 Woha tahun pelajaran
2014-2015, dilihat dari
ketuntasan individu dan
ketuntasan klasikalnya, dengan
nilai rata-rata siswa 71,57
dengan persentasi ketuntasan
89,65%.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.
19
Arikunto, Suharsimi. 2008. Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Aqib Zainal. 2003. Profesionalisme
Guru Dalam
Pembelajaran.Surabaya:
Penerbit Insan Cendikia.
Bahtiar. 2010. Strategi Belajar
Mengajar Sains (IPA) Fisika: Belum
Diterbitkan
Budianingsih, A. 2004. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
Dasna. 2005. Kajian Implementasi
Modul Model Siklus Belajar
Dalam Pembelajaran Kimia.
Makalah Seminar Nasional
dan Pembelajarannya.
FMIPA UM-Dirjen Dikti 5
September 2005.
Dimyanti dan Mudjiono. 2009. Belajar
dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
Djamarah. 1994. Prestasi Belajar dan
Kompetensi Guru. Surabaya:
Usaha Nasional.
Djamarah. 2002. Psikologi Belajar.
Jakarta : Rineka Cipta.
Hamalik. 2001. Kurikulum Dan
Pembelajaran. Jakarta : Bumi
Aksara.
Hamalik. 2002. Psikologi Belajar.
Jakarta : PT. BumiAksara.
Hamalik. 2008. Kurikulum dan
Pembelajaran. Jakatra: Bumi
Aksara.
Hudojo, H. 2001. Pembelajaran
Menurut Pandangan
Konstruktivisme.
MakalahSemlokKonstruktivis
mesebagaiRangkaianKegiata
n Piloting JICA.FMIPA
UM.9 Juli 2001.
IrawatidanYuhan. 2006. Akurasi Fisika
untuk Kelas X Semester I: PT
SinergiPustaka Indonesia.
Irzani. 2007. Strategi Belajar Mengajar
Matematika. Bantul: Media
Grafindo Press.
Iskandar, S.M. 2005. Perkembangan
dan Penelitian Daur Belajar.
Makalah Semlok
Pembelajaran Berbasis
Konstruktivis. Jurusan Kimia
UM.Juni 2005.
Jufri,W. 2000. Paradigma
Pembelajaran Biologi di
Sekolah Menengah Mataram:
Universitas Mataram.
Kanginan, M. 2006. Fisika untuk SMA
Kelas X. Jakarta:
PenerbitErlangga.
Lorsbach, A. W. 2002. The Learning
Cycle as A tool for Planning
Science Instruction. Di unduh
dari(http://www.coe.ilstu.edu/
scienceed/lorsbach/257lrcy.ht
ml).Pada tanggal 10 Maret
2014.
Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Bandung:
remajaRosdaKarya.
Mufrihun. 2006. Penerapan Pendekatan
Konstruktivis Menggunakan
Model Siklus Belajar untuk
Meningkatkan Hasil Belaja
rFisika Siswa Kelas VII
Semester II SMP N 2
Mataram Tahun Ajaran
20
2005/2006. FPMIPA
Universitas Mataram.
Rahayu, S., Prayitno.2005. Penggunaan
Strategi Pembelajaran
Learning Cycle-Cooperative
Learning 5E (LCC-
5E).Makalah Seminar
Nasional MIPA dan
Pembelajarannya. FMIPA
UM – Dirjen Dikti
Depdiknas. 5 September
2005.
Riduwan.2004. Belajar Mudah untuk
Guru-Karyawan dan Peneliti
Pemula. Bandung: Alfabeta.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-
Faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sudirman. 2003. Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar. Jakarta:
PT. Grafindo Persada.
Sudjana, N. 2000.Dasar-Dasar Proses
Belajar Mengajar. Bandung:
PT Sinar Baru Algensindo.
Suhardjono. 2008. Metodelogi
Penelitian Pedidikan. Jakarta
: Rineka Cipta
Sukardi, A.2005. Aplikasi Teori
Pembelajaran
Konstruktivisme Dalam
Bentuk Perisian Multi Media
Bertajum Sistem
Perundangan Di Malaysia.
Diunduh
darihttp://tutor.commy/tutor/d
unia.asp.dunia pendidikan.
Pada tanggal 20 Maret 2014.
Sukemo. 2006. Ilmu Pendidikan
Konstruktivis. Diunduh
darihttp://sukemo.com/menuj
u-ke/kelemahan-teori-
konstruktivisme. Padatanggal
20Maret 2014.
Supardi. 2008. Penelitian Tindakan
Kelas. Surabaya: Usaha
Nasional
Sutarno. 2003.Perpustakaan dan
Masyarakat. Jakarta :Yayasan
Obor Indonesia.
Triaonto. 2007. Model Pembelajaran
Terpadu dalam Teori dan
Praktek. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher.
Usman, Uzer. 2007. Menjadi Guru
Profesional. Bandung:
Remaja Rosdakarya Offset.
Wilujeng, Asri Kanti. 2005.
Meningkatkan Prestasi
Belajar Matematika siswa
Kelas II Semester II Madrasa
Aliyah Negeri Pasuruan
Menggunakan Pembelajaran
kooperatif Model Jigsaw.
Skripsi tidak diterbitakan.
Malang. Universitas Negeri
Malang.
2
EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TIPE JIGSAW
TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR FISISKA SISWA KELAS
VIII.B SMP NEGERI 4 MONTA TAHUN PELAJARAN 2014/2015
AGUSTINASARI, M.Pd.Si & RAHMAT HIDAYAT
Dosen Fisika STKIP Taman Siswa Bima
ABSTRAK
Kata Kunci : Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw, dan Prestasi Belajar
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Room Action
Research) yang direncanakan dalam beberapa siklus dan dilaksanakan dalam dua siklus.
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII B SMP Negeri 4 Monta dengan jumlah
siswa 27 orang. Tiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi,
evaluasi, dan refleksi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar
Fisika pada pokok bahasan gaya siswa kelas VIII B SMP Negeri 4 Monta tahun
pelajaran 2014/2015. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah: (1). Data tentang kegiatan belajar mengajar dikumpulkan dengan menggunakan
lembar observasi.(2). Hasil belajar siswa dikumpulkan dengan memberikan tes pada
setiap akhir siklus. Ketuntasan belajar tercapai jika KK ≥ 85,18 % siswa mencapai nilai
minimal 65.
Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut: Siklus I nilai rata-rata hasil
belajar siswa 65,88 dan diperoleh ketuntasan klasikal belajar sebesar 55,55% dan
aktivitas siswa adalah sebesar 8,5% yang tergolong pada kategori cukup aktif. Siklus II
nilai rata-rata hasil belajar siswa naik menjadi 72,92% dengan persentase ketuntasan
klasikal 85,18 % dan aktivitas belajar siswa naik menjadi 11,5% yang tergolong pada
katagori aktif. Hasil tersebut menunjukkan sudah tercapainya indikator penelitian yang
ditetapkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan gaya siswa kelas VIII B
SMP Negeri 4 Monta Tahun Pelajaran 2014/2015.
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dari waktu ke waktu
semakin pesat, arus globalisasi semakin
hebat. Akibat kedua fenomena ini antara
lain memunculkan persaingan dalam
berbagai bidang kehidupan terutama
lapangan pekerjaan. Untuk menghadapi
tantangan berat ini dibutuhkan sumber
daya manusia yang berkualitas. Untuk
mencetak sumber daya manusia yang
berkualitas diperlukan adanya mutu
pendidikan (Darsono, 2000: 1).
Sains adalah hasil kegiatan
manusia berupa pengetahuan,
pengalaman melalui proses ilmiah.
Tujuan pembelajaran Sains khususnya
fisika adalah pembelajaran yang
diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang
mendorong siswa belajar aktif baik
fisik, mental intelektual, maupun sosial
untuk memahami konsep-konsep fisika.
Dalam pelajaran fisika banyak dibahas
teori dan hal-hal yang bersifat abstrak
sehinga memerlukan kemampuan
penalaran yang tinggi dalam
2
pemecahannya, yang menuntut siswa
untuk berpikir kreatif. Dalam berpikir
kreatif, siswa harus punya keterampilan
dan kecakapan yang mencakup
kemampuan penalaran, komunikasi dan
pemecahan masalah.
Kebanyakan siswa juga
menganggap bahwa mata pelajaran
Fisika merupakan mata pelajaran
kurang disenangi bahkan ada yang tidak
menyenangi dengan alasan Fisika
mengerikkan dan membosankan. Sering
kita dengar Fisika merupakan pelajaran
yang penuh dengan rumus-rumus yang
harus dihafal dan teori-teori yang
membosankan. Rasa kurang senangnya
siswa pada pelajaran fisika inilah yang
sekarang banyak terjadi di sekolah-
sekolah baik setelah negeri maupun
sekolah swasta di Indonesia sehingga
dalam proses belajar mengajar siswa
tidak termotivasi untuk belajar Fisika.
Akibatnya berdampak dengan prestasi
belajar siswa yang kurang maksimal.
Hal itu juga yang terjadi di SMP Negeri
4 Monta Kabupaten Bima.
Berdasarkan observasi awal di
SMP Negeri 4 Monta Kelas VIIIB
diperoleh data tentang nilai rata-rata
ulangan harian siswa kelas VIIIB pada
pokok bahasan Cahaya adalah 59,65
dengan nilai KKM 65. Dalam proses
pembelajaran Fisika di SMP Negeri 4
Monta Kelas VIIIB dijumpai fakta
bahwa model pembelajaran yang
dominan adalah model konvensional
yaitu ceramah yang mempunyai ciri-
ciri:
1. Berpusat pada guru, dimana guru
sebagai subjek yang aktif dan siswa
sebagai objek yang pasif dan
diperlakukan tidak menjadi bagian
dari realita dunia yang diajarkan
kepada mereka.
2. Bersifat informatif , kurang
variatif, dan monoton.
Model seperti ini menyebabkan
penumpukan informasi atau konsep
saja. Namun tetap saja model ini sering
digunakan karena alasan lebih efesien
dalam proses pembelajaran. Hal itu
terbukti dengan penelitian dari Ardhana,
dari hasil survei terhadap beberapa SMP
di Buleleng (Bali) dan Kota Malang
menemukan bahwa 80% guru
menyatakan paling sering
menggunakan metode ceramah untuk
pembelajaran sains, sedangkan dari
pandangan siswa, 90% menyampaikan
bahwa gurunya mengajar dengan cara
menerangkan. Terkait dengan temuan
ini, kegiatan mengajar yang dilakukan
oleh para guru tersebut merupakan
aktivitas menyimpan informasi dalam
pikiran siswa yang pasif dan dianggap
kosong. Siswa hanya menerima
informasi verbal dari buku-buku dan
guru atau ahli. Ardhana, 2004
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) menghendaki
situasi belajar yang alamiah, yaitu siswa
belajar dengan sungguh-sungguh
dengan cara mengalami dan
menemukan sendiri pengalaman
belajarnya. Ketika siswa belajar ilmu
alam, maka yang dipelajari adalah ilmu
alam sekitar yang dekat dengan
kehidupan siswa. Situasi pembelajaran
sebaiknya dapat menyajikan fenomena
dunia nyata, masalah yang autentik dan
bermakna yang dapat menantang siswa
untuk memecahkannya.
Model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw merupakan salah satu tipe
pembelajaran yang kooperatif dan
fleksibel. Pembelajaran tipe jigsaw
didesain untuk meningkatkan rasa
tanggung jawab siswa terhadap
pembelajaran sendiri dan pembelajaran
orang lain. Siswa tidak hanya
mempelajari materi yang diberikan,
tetapi mereka juga harus siap
memberikan dan mengajarkan materi
tersebut kepada anggota kelompok yang
lain. Dengan demikian, siswa saling
tergantung satu dengan yang lainnya
3
dan harus bekerja sama secara
kooperatif untuk mempelajari materi
yang ditugaskan.
1. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif pada
dasarnya merupakan pembelajaran yang
memberikan kesempatan siswa untuk
belajar bersama dalam kelompok kecil
dimana masing-masing anggota
bertanggung jawab terhadap
keberhasilan individu dan kelompok
untuk mempelajari suatu topik tertentu.
Melalui pembelajaran ini, siswa tidak
hanya dituntut untuk berusaha secara
individu dalam mencapai kesuksesan
belajar, melainkan siswa bekerja sama
dalam kelompoknya dan bertanggung
jawab untuk mencapai kesuksesan
kelompok.
Abdurrahman dan Bintoro
(Nurhadi, dkk, 2004 : 61) mengatakan
bahwa pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang secara sadar dan
sistematis mengembangkan interaksi
yang silih asah, silih asih, silih asuh
antara sesama siswa sebagai latihan
hidup dalam masyarakat nyata.
Pendapat ini menegaskan bahwa
pembelajaran kooperatif itu dapat
menciptakan interaksi, menyadari
perbedaan, dan kebutuhan manusia
sebagai makhluk sosial. Hal ini
didukung pula oleh Holubech yang
menyatakan pengajaran kooperatif
(Cooperative Learning) memerlukan
pendekatan pengajaran memulai
penggunaan kelompok kecil siswa
untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar dalam
mencapai tujuan belajar. (Nurhadi, dkk,
2004 : 60)
Menurut Slavin (Nur Asma, 2006:
45) “Cooperative learning method
share idea that student work tosether to
learn and are responsiblefor one
anothers learning as well as their own”
yang artinya bahwa dalam pembelajaran
kooperatif, siswa belajar bersama,
saling menyumbang fikiran dan
tanggung jawab terhadap pencapaian
hasil belajar secara individu maupun
kelompok. Belajar kooperatif
menekankan kerja sama yang aktif
untuk menyelesaikan suatu masalah.
Anggota kelompok dalam pembelajaran
kooperatif diusahakan heterogen
(berbeda) berdasarkan kemampuan
akademik, jenis kelamin dan latar
belakang sosial dan dilakukan dalam
kelompok-kelompok kecil yang terdiri
dari empat sampai lima orang dengan
tujuan agar interaksi siswa dalam
kelompoknya lebih makimal dan
efektif.
Sedangkan menurut Vygotsky
(Susilo, 2008: 20), aktivitas kolaboratif
yang ada pada siswa akan mendukung
pertumbuhan mereka, karena siswa
yang seusia lebih senang bekerja
dengan teman yang satu dengan teman
yang lain, permodelan dalam perilaku
kelompok kolaborasi lebih maju dari
pada penampilan mereka sebagai
individu. Selain itu Vygotsky
menekankan sebaiknya siswa belajar
memulai interaksi dengan orang dewasa
dan teman sebaya yang lebih mampu.
Interaksi sosial ini memacu
terbentuknya ide baru dan memperkaya
pengembangan intelektual siswa.
Menurut Ibrahim, dkk (2000: 7-
90) Tujuan penting pembelajaran
kooperatif yaitu: (1) hasil belajar
akademik, (2) penerimaan terhadap
keagamaan, dan (3) ketrampilan sosial.
Tujuan penting pertama adalah
pembelajaran kooperatif dapat
memberikan keuntungan baik pada
siswa kelompok bawah maupun
kelompok atas yang bekerja sama
menyelesaikan tugas-tugas
akademiknya. Tujuan penting kedua
ialah penerimaan yang luas terhadap
orang yang berbeda menurut ras,
budaya, kelas sosial, kemampuan
4
maupun ketidakmampuan,
pembelajaran kooperatif memberikan
peluang kepada siswa yang berbeda
latar belakang dan kondisi untuk
bekerja saling bergantung satu sama
lain atas tugas-tugas bersama, dan
memulai pengunaan struktur
penghargaan kooperatif, belajar untuk
menghargai satu sama lain. Tujuan
penting ketiga ialah untuk mengerjakan
kepada siswa ketrampilan kerja sama
dan kolaborasi. Ketrampilan ini amat
penting untuk dimiliki dalam
masyarakat dimana banyak kerja orang
dewasa sebagai besar dilakukan dalam
organisasi yang saling bergantung satu
sama lain dan dimana masyarakat
secara budaya semakin beragam.
Sedangkan menurut Jarolimerk &
Park (isjoni, 2007 : 24) mengatakan
keunggulan yang diperoleh dalam
pembelajaran kooperatif adalah (1)
saling ketergantungan positif, (2)
adanya pengakuan dalam merespon
perbedaan individu, (3) siswa dilibatkan
dalam perencanaan dan pengelolaan
kelas, (4) suasana kelas yang rileks dan
menyenangkan, (5) terjalinnya
hubungan yang hangat dan bersahabat
antara siswa dengan guru, (6) memiliki
banyak kesempatan untuk
mengekspresikan pengalaman emosi
yang menyenangkan. Sementara
menurut Ibrahim, dkk (2000: 06) unsur-
unsur dasar dalam pembelajaran
kooperatif adalah sebagai berikut :
a) Siswa dalam kelompoknya haruslah
beranggapan bahwa mereka
“Sehidup sepenanggungan
bersama”
b) Siswa bertanggung jawab atas
segala sesuatu di dalam
kelompoknya, seperti mereka
sendiri.
c) Siswa haruslah melihat bahwa
semua anggota di dalam
kelompoknya memiliki tujuan yang
sama.
d) Siswa haruslah membagi tugas dan
tanggung jawab yang sama diantara
anggota kelompoknya.
e) Siswa akan dikenakan evaluasi atau
diberikan hadiah atau penghargaan
yang juga akan dikenakan untuk
semua anggota kelompok.
f) Siswa berbagi kepemimpinan dan
mereka membutuhkan ketrampilan
untuk belajar bersama selama
proses belajarnya.
g) Siswa diminta mempertanggung
jawabkan secara individual untuk
materi yang ditangani dalam
kelompok.
Penggunaan pembelajaran
kooperatif adalah suatu proses yang
membutuhkan partisipasi dan kerja
sama dalam kelompok. Pembelajaran
kooperatif dapat meningkatkan belajar
siswa menuju belajar yang lebih baik,
sikap tolong-menolong dalam beberapa
prilaku sosial. Keberhasilan belajar dari
kelompok tergantung pada kemampuan
dan aktivitas anggota kelompok, baik
secara individual, maupun secara
berkelompok.
2. Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw
Elliot Aronson dan teman-
temannya di Universitas Texas menguji
dan mengembangkan pembelajaran
kooperatif model jigsaw kemudian
diadaptasi oleh Slavin dan teman-
temannya di Universitas Johr Hopkins
(Ibrahim, dkk, 2000 : 21).
Penerapan model jigsaw dalam
proses pembelajaran, siswa dibagi
berkelompok 5-6 anggota kelompok
belajar heterogen. Materi pembelajaran
disajikan kepada siswa dalam bentuk
teks. Setiap anggota kelompok
bertanggung jawab mempelajari sub
topik tertentu, siswa yang mendapat
tanggung jawab sama berkumpul dalam
suatu kelompok ahli, selanjutnya
anggota kelompok ahli kembali
5
kekelompok asal dan mengajarkan apa
yang telah dipelajari dan didiskusikan
dalam kelompok ahli untuk diajarkan
kepada teman sekelompoknya.
Secara operasional, langkah-
langkah dalam penerapan belajar
kooperatif tipe jigsaw adalah sebagai
berikut:
a. Pembentukan kelompok asal
Kelas dibagi menjadi kelompok-
kelompok, diupayakan 5-6 siswa.
Ditinjau dari kemampuan
kognitifnya, diupayakan keanggotaan
kelompok bersifat heterogen.
b. Guru menyajikan materi dan soal
yang perlu di pahami oleh semua
kelompok asal. Perlu diketahui
bahwa tugas-tugas ini bertujuan
menantapkan dan mengembangkan
pemahaman siswa.
c. Diskusi Kelompok Asal
Masing-masing anggota
kelompok asal melaksanakan diskusi
terhadap materi yang dipegang dan
mengerjakan soalnya.
d. Pembentukan kelompok ahli
Pada tahap ini, masing-masing
kelompok asal berdiskusi untuk
menetapkan wakil dari kelompoknya
untuk menjadi ahli terhadap sub
topik tertentu.
e. Diskusi kelompok ahli
Para ahli dari masing-masing
kelompok membentuk suatu
kelompok ahli dan melaksanakan
diskusi terhadap sub topik yang akan
menjadi keahliannya. Mereka tidak
berdiskusi untuk menyelesaikan sub
topik diluar keahliannya.
f. Diskusi kelompok asal
Pada tahap ini, para ahli kembali
pada kelompok asalnya dan
memberikan penjelasan tentang
subtopik yang menjadi keahliannya
dan mendengarkan penjelaskan ahli-
ahli lainnya sehingga secara
komulatif semua anggota nantinya
mengusai semua tugas yang
diberikan kepada kelompok asal
dengan baik.
g. Pemberian tugas
Pada tahap ini, pemberi tugas
dapat berupa tugas kelompok atau
tugas individu. Melalui tugas ini
akan diperoleh skor.
h. Pemberian penghargaan kelompok
Skor dari masing-masing
kelompok asal saling dibandingkan
untuk menentukan kelompok asal
mana yang paling berhasil.
Selanjutnya, kelompok asal yang
paling berhasil akan menerima
penghargaan. Penghargaan asal yang
paling berhasil akan menerima
penghargaan. Penghargaan kelompok
didasarkan pada skor peningkatan
individu. Skor peningkatan individu
merupakan pemberian kesempatan
bagi setiap siswa untuk meraih
prestasi maksimal dan melakukan
sesuatu yang terbaik untuk dirinya
sendiri dan untuk kelompoknya.
Setiap siswa diberikan poin
perkembangan yang ditentukan
berdasarkan selisih skor dasar
(dokumentasi guru) dengan skor tes
terakhir. Dengan cara ini setiap siswa
memiliki kesempatan yang sama
untuk menyumbangkan skor
maksimal bagi kelompoknya.
Kriteria poin perkembangan dapat
dilihat pada tabel 2.1.
Tebel 2.1 : Perhitungan Nilai
Perkembangan Skor peserta didik Poin
perk
emba
ngan
Lebih dari sepuluh poin di bawah skor
dasar
10 poin hingga 1 poin di bawah skor dasar
Skor dasar sampai 10 poin di atasnya
Lebih 10 poin di atas skor dasar
Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor
awal)
5
10
20
30
30
Langkah berikutnya adalah pemberian
penghargaan kepada kelompok.
Penghargaan kelompok diberikan
6
berdasarkan poin perkembangan
kelompok yang diperoleh. Untuk
menentukan skor perkembangan
kelompok digunakan rumus:
AdaYangKelompokAnggotaJumlah
AnggotaanPerkembangPoinTotalJumlahNk
Sumber : Slavin 1995:85 (Nur Asma
2006)
Berdasarkan poin perkembangan
yang diperoleh terdapat tiga tingkat
penghargaan, sesuai pada table di
bawah ini.
Tebel 2.3 Tingkat Penghargaan
Kelompok Skor peserta didik Poin
perkembangan
5 < x ≤ 15
15 < x ≤ 25
25 < x ≤ 30
Baik
Hebat
Super
3. Prestasi Belajar
a. Pengertian Prestasi Belajar
Menurut Usman (Hidayat, 2013:
19) menjelaskan tentang pengertian
belajar sebagai berikut : (1) belajar
dapat diartikan sebagai perubahan
tingkah laku pada diri individu berkat
adanya interaksi antara individu dengan
individu dan individu dengan
lingkungan sehingga mereka mampu
berinteraksi dengan lingkungannya, (2)
Ernest R. Hilgard dalam bukunya To
Psychology mengemukakan : belajar
adalah suatu proses dimana ditimbulkan
atau diubahnya suatu kegiatan karena
mereaksi suatu keadaan, (3) H.C.
Witherintonm dalam bukunya
Education Psyhologi mengemukakan:
bahwa belajar adalah suatu perubahan
di dalam kepribadian yang menyatakan
diri sebagai suatu pola baru dari reaksi
yang berupa kecakapan, sikap, dan
kebiasaan atau suatu pengertian.
Berdasarkan beberapa pengertian
di atas menunjukkan bahwa belajar
adalah suatu proses perubahan tingkah
laku atau kecakapan manusia.
Perubahan tingkah laku ini bukan
disebabkan oleh proses pertumbuhan
yang bersifat fisiologi atau proses
kematangan, perubahan yang terjadi
karena dapat berupa perubahan-
perubahan dalam kebiasaan, kecakapan,
atau melalui aspek pengetahuan, sikap
dan ketrampilan. Kegiatan belajar
merupakan kegiatan yang paling pokok
dalam keseluruhan proses pendidikan,
mengandung arti bahwa berhasil
tidaknya pencapaian tujuan pendidikan
banyak bergantung pada bagaimana
proses belajar yang dialami siswa.
Menurut usman (Hidayat, 2013:
21) dijelaskan bahwa prestasi adalah
hasil yang telah dicapai siswa yang
dilakukan melalui tes prestasi belajar,
yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran tentang daya serap siswa,
untuk menetapkan tingkat prestasi atau
tingkat keberhasilan belajar siswa
terhadap satuan bahasan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar
adalah hasil yang dicapai siswa dalam
bentuk lain atau skor yang merupakan
penilaian pengetahuan dan pemahaman
terhadap ilmu yang dipelajari.
b. Faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi
belajar.
Menurut Usman (Hidayat 2013:
20) faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar ada dua yaitu: (1) faktor
yang berasal dari diri sendiri (internal)
yang terdiri dari faktor jasmani
(fisiologi), faktor psikologi dan faktor
kematangan fisik maupun psikis, (2)
faktor yang berasal dari luar diri
(eksternal) yang terdiri dari faktor
sosial, faktor budaya, faktor lingkungan
fisik dan faktor lingkungan spiritual
atau keagamaan.
4. Efektivitas Pembelajaran
Fisika
7
Efektivitas merupakan suatu
kondisi dimana tujuan instruksional
yang telah ditentukan dalam suatu
pembelajaran tercapai. Sehingga perlu
adanya beberapa indikator yang bisa
dipakai untuk menetapkan
kefektivitasan suatu pembelajaran hasil
belajar siswa adalah indikator dari
tingkat penguasaan siswa terhadap
materi pembelajaran yang diberikan
kepadanya. Semakin tinggi tingkat
penguasaan siswa terhadap suatu pokok
bahasan menandakan semakin baik
tingkat ketuntasan belajar siswa yang
bersangkutan. Di dalam dunia
pendidikan di Negara kita efektivitas
dalam pembelajaran dikaitkan dengan
ketuntasan belajar. Ketuntasan secara
kelas (klasikal) dianggap tercapai jika
minimal 85% atau 65 KKM harus
dicapai (Mulyasa, 2006: 27).
Sedangkan Diamond (Nizar,
2005: 26) mengatakan bahwa
keefektivan pembelajaran tidak hanya
diukur dengan presentase saja. Suatu
pembelajaran dikatakan efektif bisa
saja diukur dengan indikator siswa yang
gagal makin berkurang dan hasil tes
siswa terhadap fisika meningkat.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilaksanakan
adalah penelitian tindakan kelas.
Menurut Wiriatmadjo (2007: 13)
penelitian tindakan kelas adalah
bagaimana sekelompok guru dapat
mengorganisasikan kondisi praktek
pembelajaran mereka dan belajar dari
pengalaman mereka sendiri. Tujuan
penelitian tindakan kelas adalah untuk
memperbaiki pelaksanaan dalam proses
pembelajaran.
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriptif kualitatif yaitu pendekatan
yang dinyatakan dalam bentuk verbal
dan dianalisis tanpa menggunakan
perhitungan statistika. Data
dikumpulkan dalam bentuk kata-kata
Menurut Bogdan dan Tailor (Moleong,
2004: 3) mendefinisikan penelitian
kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati, pendekatan ini diarahkan pada
latar dan individu tersebut secara
menyeluruh.
Menurut Moleong (2006: 6),
penelitian kualitatif adalah penelitian
yang dimaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialimi oleh
subjek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan dan lain-
lain secara menyeluruh dan dengan cara
deskriptif dalam bentuk kata-kata dan
bahasa pada suatu konteks khusus yang
dialami dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pendekatan
kualitatif merupakan pendekatan
penelitian yang memberikan deskripsi
tentang apa yang dialami subjek
penelitian berupa kata-kata atau tulisan
bukan dalam statistika.
Pelaksanaan penelitian tindakan
kelas dilakukan melalui beberapa siklus
dimana setiap siklus terdiri dari 4
tahap, yaitu:
a. Perencanaan
Rencana merupakan langkah
awal guru sebelum melakukan
sesuatu. Dilakukan dengan
rencana kedepan serta
fleksibel untuk menerima
efek-efek yang tak terduga.
Dengan demikian dapat
mengatasi hambatan.
b. Tindakan
Tindakan ini merupakan
penerapan dari perencanaan
yang telah dibuat yang dapat
berupa suatu implementasi
model pembelajaran yang
dalam hal ini adalah
8
pembelajaran model probing -
promting untuk memperbaiki
atau menyempurnakan model
yang sedang dijalankan.
Tindakan ini akan dilakukan
oleh peneliti dan sample.
c. Observasi (Pengamatan)
Dalam hal pengamatan agar
dapat melihat dan
mendokumentasikan
pengaruh-pengaruh yang
diakibatkan oleh tindakan
dalam kelas. Hasil penelitian
akan menjadi dasar
dilakukannya refleksi sehingga
pemantapan yang dilakukan
harus dapat menceritakan hal
sesungguhnya.
d. Refleksi
Refleksi meliputi: kegiatan
analisi, sintesis, penafsiran
(penginterpersian),
menjelaskan dan
menyimpulkan. Dan hasil
refleksi ini untuk memperbaiki
kinerja guru pada pertemuan
selanjutnya.
Subjek penelitian ini adalah
siswa kelas VIIIB SMPN 4 Monta
Tahun ajaran 2014 /2015 yang
berjumlah 27 orang.
Instrumen Penelitian.
Istrumen ini disusun sesuai
dengan tujuan yang diharapkan
dalam penelitian. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Lembar Observasi.
Observasi dilakukan untuk
mengamati kegiatan di kelas
selama pembelajaran. Dalam
observasi ini peneliti melakukan
pengamatan pada hal yang
sekecil-kecilnya. Observasi juga
untuk megamati kesesuaian
antara pelaksanaan tindakan dan
perencanaan yang telah di susun,
serta mengamati aktivitas peneliti
dan siswa selama proses kegiatan
pembelajaran pada materi
cahaya.
2. Soal Tes.
Dalam hal ini peneliti
untuk mendapatkan hasil prestasi
belajar siswa menggunakan soal
tes, dimana terdiri dari beberapa
soal pelihan ganda pada tiap
akhir siklus.
Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Dokumentasi
Teknik dokumentasi ini
digunakan untuk memperoleh
data tentang prestasi belajar
sebelum siklus, yaitu diperoleh
melalui data dokumentasi
sekolah.
2. Tes prestasi belajar
Data yang diperoleh
melalui tes prestasi belajar ini
adalah prestasi belajar siswa
dalam mata pelajaran fisika.
Instrumen yang digunakan
adalah tes prestasi belajar. Tes
prestasi belajar ini terdiri atas
dua yaitu tes prestasi belajar
pada tiap siklus pada akhir
pertemuan.
3. Observasi
Data yang diperoleh
melalui teknik observasi ini
adalah data tentang
keterlaksanaan proses
pembelajaran dan data tentang
aktivitas siswa. Dalam observasi
ini digunakan instrumen
pedoman lembar aktivitas guru
dan lembar aktivitas siswa di
kelas. Observasi tiap
pelaksanaan pembelajaran pada
setiap siklus.
Teknik Analisis Data
9
Setiap tindakan dikatakan
berhasil apabila memenuhi dua
kriteria keberhasilan yaitu
keberhasilan proses dan kriteria
keberhasilan hasil.
1. Data Tes Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah
hasil yang dicapai seorang
individu setelah mengalami
proses belajar dalam waktu
tertentu. Prestasi belajar
dinyatakan dengan nilai atau
skor setelah mengerjakan suatu
tugas atau tes untuk mengetahui
puncak dari prestasi belajar
siswa. Hasil tes dianalisis atau
diolah dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
a. Ketuntasan individu
Setiap siswa dalam
proses belajar mengajar
dinyatakan tuntas secara
individu apabila mampu
memperoleh nilai ≥ 65 sebagai standar kriteria
ketuntasan minimal (KKM).
b. Ketuntasan klasikal
Data tes hasi prestasi
belajar siswa dianalisis
dengan menggunakan
analisis kriteria ketuntasan
klasikal ≥ 85%, dengan ketuntasan klasikal sebagai
berikut :
KK = X
Z x 100%
Keterangan :
KK = ketuntasan klasikal
X = jumlah siswa yang
memperolah nilai ≥ 65 Z = jumlah siswa keseluruhan
(sudjana dalam suryati, 2012: 37)
2. Kriteria Keberhasilan Proses
Pembelajaran
Kriteria keberhasilan
proses belajar ditentukan dengan
menggunakan 2 (dua) jenis
yaitu:
a) Aktivitas belajar siswa
Hasil observasi
aktivitas siswa akan
dianalisa dengan
menggunakan rumus sebagai
berikut :
AS = ∑𝑋
𝑖.𝑛
Keterangan :
AS = Aktivitas siswa
∑X = Skor masing-masing indikator
i = Banyaknya indicator
n = jumlah seluruh siswa
Kemudian hasil aktivitas siswa
dibandingakn dengan hasil dari MI dan
SDi dengan rumus :
MI = 1
2 (skor tertinggi + skor terendah)
SDi= 1
3 (skor tertinggi – skor terendah)
Keterangan :
MI = mean ideal
SDi= standar deviasi ideal
Tebel 3.1 : indikator kategori siswa
dalam belajar Interval Kategori
MI + 1,5 SDI ≤ AS Sangat Aktif
MI + 0,5 SDI ≤ AS < MI + 1,5 SDI Aktif
MI – 0,5 SDI ≤ 𝐴𝑆 < MI + 0,5 SDI Cukup Aktif
MI – 1,5 SDI ≤ AS < MI – 0,5 SDI Kurang Aktif
AS < MI – 1,5 SDI Sangat kurang Aktif
Sumber (Subaryati, 1997: 20 dalam Sri
komalasari, 2012: 31).
b) Data aktivitas guru
Penilaian aktivitas guru
dilakukan melalui observasi
langsung dimana seorang
guru yang mengajar
diobservasi langsung oleh
observer dan observer
berada bersama-sama guru-
guru dan siswa dikelas.
Sedangakan data mengenai
aktivitas guru diambil
10
dengan menggunakan
lembar observasi.
Analisis data aktivitas
guru menggunakan Mi
(mean ideal) dan SDi
(standar deviasi ideal)
Mi = 1
2 x (skor maximal
+ skor minimum)
SDi = 1
3 x Mi
Data tentang aktivitas
belajar siswa pada penelitian
ini dianalisis secara
deskriptif kualitatif dengan
menggunakan skor 1 dan 0,
jumlah yang diamati adalah
4 indikator dengan skor
masing-masing indicator
adalah 3. Berdasarkan hasil
obervasi yang dilakukan,
skor maximal adalah 12 dan
skor minimal 0, maka
diperoleh Mi = 6 Sdi =2.
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan dalam
penelitian tindakan ini adalah
apabila pencapaian prestasi dan
aktivitas belajar siswa memiliki
ketuntasan sebagai berikut:
1. Adanya peningkatan prestasi
belajar siswa pada setiap siklus
yang akan terlihat dari hasil
evaluasi
2. Ketuntasan klasikal bila siswa
mencapai nilai ≥ 65 sebesar 85%
3. Aktivitas belajar siswa minimal
berkategori aktif.
HASIL ENELITIAN Pada proses belajar mengajar di
kelas, guru melaksanakan kegiatan
mengajar sesuai rencana pelaksanaan
pembelajaran yang telah direncanakan.
Berdasarkan hasil lembar observasi
kegiatan guru, data aktivitas guru dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Ringkasan hasil observasi
kegiatan guru siklus I
Indikator
Siklus I
Pertemuan
I
Pertemuan
II
1. Persiapan
penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran dan
pemberian apersepsi
2 3
2. Kegiatan guru dalam
memimpin diskusi
2 3
3. Kegiatan guru dalam
memberikan umpan
balik terhadap hasil
diskusi
1 2
4. Kegiatan guru dalam
mengakhiri
pembelajaran
2 2
Total skor aktivitas siswa 7 10
Kategori aktivitas siswa Cukup
Aktif Aktif
Rata-rata skor aktivitas 8,5
Kategori aktif Cukup Aktif
Dari hasil observasi kegiatan
siswa pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa
rata-rata aktivitas belajar siswa pada
siklus I adalah 8,5 dengan kategori
cukup aktif.
Berdasarkan hasil lembar
observasi kegiatan guru (lampiran),
terdapat beberapa kekurangan pada
pelaksanaan pembelajaran siklus I,
yaitu:
(a) Guru kurang bisa mengelola kelas
sehingga mengakibatkan suasana
pembelajaran tidak teratur dan masih
ada siswa yang ribut.
(b) Dalam menunjuk kelompok siswa
yang presentasi, guru cenderung
memilih kelompok siswa yang aktif
dalam kegiatan diskusi.
(c) Guru tidak pernah meminta
tanggapan dari kelompok lain setelah
presentasi dilaksanakan.
(d) Pada tahap penutup, guru tidak
memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menarik kesimpulan
terhadap materi yang diajarkan.
1. Aktivitas kegiatan siswa
11
Berdasarkan hasil observasi
yang dilakukan oleh observer, data
aktivitas siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2 Ringkasan hasil observasi
kegiatan siswa siklus I
Indikator
Siklus I
Pertemuan
I
Pertemuan
II
1. Kesiapan siswa
dalam menerima
pelajaran
2 2
2. Interaksi siswa
dengan guru
dalam proses
pembelajaran
2 2
3. Keaktifan siswa
dalam
berdiskusi
2 2
4. Kemampuan siswa
dalam
menyampaikan
pendapat pada
saat presentasi
kelompok
1 2
5. Partisipasi siswa
dalam
menyimpulkan
kegiatan
pembelajaran
1 1
Total skor aktivitas
siswa 8 9
Kategori aktivitas
siswa Cukup Aktif Aktif
Rata-rata skor
aktivitas 8,5
Kategori aktif Cukup Aktif
Dari hasil
observasi kegiatan siswa
pada tabel 4.2 dapat
dilihat bahwa rata-rata
aktivitas belajar siswa
pada siklus I adalah 8,5
dengan kategori cukup
aktif.
Berdasarkan hasil
pengamatan peneliti dan
hasil observasi kegiatan
siswa (lampiran) bahwa
pembelajaran pada siklus
I masih terdapat
beberapa kekurangan.
Adapun kekurangan-
kekurangannya, yaitu:
a. Kegiatan pembelajaran tidak optimal
karena masih ada beberapa siswa
yang melakukan kegiatan lain pada
saat proses pembelajaran sehingga
menyebabkan suasana kelas menjadi
ribut.
b. Kurangnya kerjasama dan siswa
yang pintar lebih mendominasi
kegiata diskusi kelompok.
c. Pada tahap penerapan, masih
terdapat siswa yang menyalin
jawaban teman yang pintar.
d. Siswa masih kurang berani dalam
menyampaikan pendapat atau
tanggapan setelah kelompok lain
mempresentasikan hasil diskusinya
maupun pada saat menarik
kesimpulan pada akhir pembelajaran.
2. Evaluasi
Evaluasi terhadap siklus I dilaksanakan
dengan memberikan tes dalam
bentuk plihan ganda sebanyak 10
soal (lampiran). analisis hasil
evaluasi yang diperoleh pada siklus I
dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Analisi hasil evaluasi siklus
I No. Aspek yang diamati Keterangan
1. Nilai tertinggi 80
2. Nilai terendah 50
3. Jumlah nilai 1779
4. Rata-rata kelas 65,89
5. Jumlah siswa yang tuntas 15
6. Jumlah siswa yang tidak
tuntas 12
7. Persentase ketuntasan 53,56%
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat
bahwa rata-rata skor siswa adalah 65,89
dengan persentase ketuntasan klasikal
yaitu 53,56% Artinya belum memenuhi
indikator kerja karena indikator kerja
yang ditetapkan adalah rata-rata skor
siswa ≥ 65 dengan ketuntasan klasikal ≥
85 %.
3. Refleksi
Pada pelaksanaan proses
pembelajaran siklus I masih banyak
terdapat kekurangannya, sehingga perlu
diperbaiki pada siklus II. Adapun
langkah-langkah perbaikan yang akan
dilakukan pada siklus II, antara lain:
12
(a) Perbaikan untuk guru
o Agar proses pembelajaran lebih
optimal, guru langsung menunjuk
dan mengajukan pertanyaan
mengenai materi yang diajarkan
kepada siswa yang ribut.
o Guru memotivasi siswa tentang
pentingnya bekerja sama dalam
kelompok dan tidak hanya
mengandalkan siswa yang pintar.
o Guru menghimbau dan memotovasi
siswa untuk berani mengungkapkan
pendapatnya.
(b) Perbaikan untuk siswa
o Agar dapat mengoptimalkan
kegiatan pembelajaran siswa tidak
boleh melakukan kegiatan lain pada
saat proses pembelajaran
berlangsung.
o Siswa harus bekerja sama dalam
menyelesaikan kegiatan
kelompoknya.
o Siswa harus berani untuk
mengungkapkan pendapatnya.
Pada proses pembelajaran siklus
II, guru berusaha maksimal dalam
memperbaiki kekurangan yang ada pada
siklus sebelumnya. Hal ini bisa dilihat
dari data hasil observasi yang proses
pembelajaran siklus II (lampiran) yang
menunjukkan adanya peningkatan
pelaksanaan tindakan dari siklus I.
Walaupun masih terdapat beberapa
siswa yang melakukan aktivitas lain
pada saat pembelajaran berlangsung.
Hal ini berarti pengelolaan kelasnya
masih kurang dapat dilihat pada tabel
4.4.
Tabel 4.4 Ringkasan hasil observasi
kegiatan guru siklus II
Indikator
Siklus II
Pertemuan
I
Pertemuan
II
1. Persiapan
penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran dan
pemberian
apersepsi
3 3
2. Kegiatan guru dalam
memimpin
diskusi
3 3
3. Kegiatan guru dalam
memberikan
umpan balik
terhadap hasil
diskusi
2 2
4. Kegiatan guru dalam
mengakhiri
pembelajaran
3 3
Total skor aktivitas
siswa 11 11
Kategori aktivitas siswa Cukup
Aktif Aktif
Rata-rata skor
aktivitas 11,0
Kategori aktif Aktif
i. Observasi kegiatan siswa
Data hasil
observasi aktivitas siswa
pada proses
pembelajaran siklus II
dapat dilihat pada tabel
4.3
Tabel 4.5 Ringkasan
hasil observasi kegiatan
siswa siklus II
Indikator
Siklus II
Pertemuan
I
Pertemuan
II
1. Kesiapan siswa
dalam menerima
pelajaran
2 2
2. Interaksi siswa
dengan guru
dalam proses
pembelajaran
3 3
3. Keaktifan siswa
dalam berdiskusi 2 2
4. Kemampuan siswa
dalam
menyampaikan
pendapat pada
saat presentasi
kelompok
2 2
5. Partisipasi siswa
dalam
menyimpulkan
kegiatan
pembelajaran
2 3
Total skor aktivitas
siswa 11 12
Kategori aktivitas siswa Aktif
Sangat
Aktif
Rata-rata skor
aktivitas 11,5
Kategori aktif Sangat Aktif
Berdasarkan data hasil observasi
aktivitas siswa (lampiran 30 dan 31)
tabel 4.5 dapat dilihat bahwa rata-rata
aktivitas belajar siswa pada siklus II
adalah 11,5 dengan kategori sangat
aktif. Hal ini berarti bahwa aktivitas
13
belajar siswa mengalami peningkatan
dari siklus sebelumnya.
ii. Evaluasi.
Evaluasi pada
siklus II dilaksanakan
dengan memberikan tes
dalam bentuk piliha
ganda sebanyak 15 soal
(lampiran). Analisis hasil
evaluasi yang diperoleh
pada siklus II sebanyak
23 siswa dari 27 siswa
dengan ketuntasan
klasikal 85,19 %. Hal ini
lebih jelasnya bisa lihat
pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.6 Analisi hasil
evaluasi siklus II No. Aspek yang diamati Keterangan
1. Nilai tertinggi 80
2. Nilai terendah 50
3. Jumlah nilai 1969
4. Rata-rata kelas 72,92
5. Jumlah siswa yang tuntas 23
6. Jumlah siswa yang tidak tuntas 4
7. Persentase ketuntasan 85,19%
Berdasarkan tabel 4.6 dapat
dilihat bahwa rata-rata skor siswa
adalah 72,92 dengan persentase
ketuntasan klasikal yaitu 85,19% dari
jumlah siswa keselurhan 27 orang. Hal
ini berarti indikator kerja yang telah
ditetapkan tercapai dan penelitian
dihentikan.
b. Refleksi
Hasil evaluasi
pada siklus II mengalami
peningkatan. Peningkatan
nilai rata-rata kelas dari
siklus sebelumnya sebesar
72,92 dengan persentase
ketuntasan klasikal
meningkat sebesar 85,19%,
sedangkan aktivitas belajar
siswa adalah 11,5 dengan
kategori sangat aktif.
Peningkatan ini
menunjukkan bahwa
indikator kerja telah tercapai.
Namum proses pembelajaran
pada siklus II masih terdapat
kekurangannya antara lain :
masih terdapat siswa yang
melakukan aktivitas lain
pada saat proses
pembelajaran berlangsung
dan keaktifan siswa dalam
mengungkap pendapatnya
masih kurang.
PEMBAHASAN
Penerapan Pembelajaran
Kooperatif Tipe Jigsaw
Pada pembelajaran siklus 1
proses pelaksanaan
pembelajaran sudah mencapai
kriteria yang diharapkan. Hal ini
diperoleh dari hasil observasi
pengamat yang dilakukan
selama proses pembelajaran
berlangsung dari aktivitas siswa
di kelas, rata-rata prosentase
aktivitas siswa di kelas pada
siklus 1 adalah cukup aktif
dengan 8,5%. Pada
pembelajaran siklus 2 terdapat
adanya peningkatan dengan
kategori aktif yaitu 11,0%,
peningkatan ini didebabkan
karena siswa sudah lebih
mengerti tentang model
pembelajaran kooperatif jigsaw
dan lebih aktif untuk menjawab
dan mengajukan pertanyaan
kepada temannya, sehingga
proses belajar mengajar
dirasakan cukup menyenangkan.
Berdasarkan uraian di atas
digambarkan tentang
perbandingan prosentase
aktivitas siswa di kelas dalam
penerapan pembelajaran
14
kooperatif model jigsaw antara
pembelajaran pada siklus 1 dan
siklus 2 pada bagan berikut:
Bagan 5.1 Grafik prosentase
aktivitas siswa di
kelas dalam
penerapan
pembelajaran
kooperatif model
jigsaw
Sebelum penelitian
dilaksanakan, terlebih dahulu
peneliti mengadakan
pengamatan terhadap hasil
ulangan pada bab sebelumnya
yaitu gaya. Berdasarkan
observasi awal yang diperoleh
peneliti mendapatkan data
bahwa nilai rata-rata kelas
rendah, karena nilai rata-rata
yang diperoleh dari 27 siswa
kelas VIII.B SMP Negeri 4
Monta mencapai 63,77 dengan
jumlah siswa yang tuntas 14
siswa atau 3,14%. Hasil
observasi awal ini digunakan
sebagai bahan pertimbangan dan
informasi hasil tes pembelajaran
siklus 1.
Dengan adanya model
pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw pada siklus I peningkatan
hasil belajar siswa mencapai
64,7% dengan nilai rata-rata
72.06 dan 15 siswa
menunjukkan ketuntasan lebih
baik dari kondisi awal sebelum
penelitian, yang hanya 15 siswa
atau 55,56% yang mencapai
ketuntasan. Pada siklus 2 hasil
belajar siswa semakin
meningkat yaitu menjadi
85.19% dengan nilai rata-rata
75.24 dan 23 siswa yang
mencapai ketuntasan belajar.
Berdasarkan uraian di
atas dapat digambarkan tentang
perbandingan prosentase prestasi
belajar siswa:
Bagan 5.2 Grafik Rata-
rata Nilai
penerapan
pembelajara
n Kooperatif
tipe Jigsaw
Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa penerapan
pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa. Penerapan
pembelajaran kooperatif tipel
Jigsaw dikatakan efektif karena
prestasil belajar siswa
meningkat.
PENUTUP
0
2
4
6
8
10
12
Siklus I Siklus II
Aktvitas Siswa
AktvitasSiswa
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Siklus I Siklus II
Prestasi
Prestasi
15
Berdasarkan hasil kegiatan
pembelajaran fisika melalui
pembelajaran kooperatif yang telah
dilaksanakan dua siklus, maka dapat
diambil kesimpulan: Penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa. Hal ini ditunjukan
dengan nilai ketuntasan klasikal
pada siklus II sebesar 85,19%
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, 2004. Hasil Survei Terhadap
Beberapa SMP di Buleleng (bali)
dan Kota Malang.
(http://pekanilmiah.blogspot.com
/2012/07/pend-fis-016-
perbedaan-prestasi-belajar.html,
di akses pada tanggal 29 April
2014 jam: 11.30 Wita)
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur
Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Arikunto, Suharsimi. 1999. Dasar-
Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara
Darsono, Max. 2000. Belajar dan
Pembelajaran. Semarang: IKIP
Semarang Press
Depdiknas Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama
Handayanto, S.K. 2003.strategi
Pembelajaran Fisika. Malang. Jurusan
Fisika.
Fakultas MIPA Universitas
Negeri Malang.
Hidayat. 2013. Pengaruh Menggunakan
Model Pembelajaran Problem
Based Learning Terhadap
Peningkatan Prestasi Belajar
Siswa Pokok Bahasan Arus
Listrik dan Hambatan Listrik
pada SMAN 1 Hu’u Kelas XI
Tahun Ajaran 2013/2014.
Bima. STKIP Taman Siswa
Bima
Ibrahim, Muslimin. 2000. Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya:
Universitas Negei Surabaya
Isjoni. 2007.Cooperative Learning
Efetifitas Pembelajaran
Kelompok.Bandung.
Alfabet
Mangunwiyoto, Widagdo. 2000. Pokok-
Pokok Fisika SLTP Jakarta: Erlangga
Mulyasa. 2004. Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Mulyani. 2013. Penerapan Model
Pembelajaran Langsung (Direct
Instruction) Dengan Pendekatan
Kontekstual Untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar
Siswa Kelas VIIID SMPN 1
Woha Tahun Ajaran 2013/2014.
Bima : STKIP Taman Siswa
Bima
Moleong, Lexy,J. 2004. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Remaja
Rosdakarya.
Moleong, Lexy,J. 2006. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Remaja
Rosdakarya.
Nur, Asma. 2006. Model Pembelajaran
Kooperatif. Jakarta. Depdiknas.
Nurhadi. 2004. Kontekstual dan
Penerapan Dalam KBK. Malang :
Universitas Negeri
16
Malang.
Nizar, A. 2004. Efektifitas Pendekatan
Realistik Mathematik Education (RME)
pada
Pembelajaran Permutasi dan
kombinasi di kelas II_G SMA
laboratorium. Skripsi tidak
diterbitkan. Malang. Universitas
Negeri Malang.
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative
Learning. Boston: Allyn Bacon
Susilo, Herawati. 2008. Penelitian
Tindakan kelas. Banyumedia.
Suryati. 2012. Peningkatan Prestasi
Belajar Fisika Pokok Bahasan
Gaya Dengan Meningkatkan
Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Group Investigation pada
Siswa Kelas VIII-A SMP Negeri
4 Woha Tahun Pelajaran
2012/2013. Bima. STKIP
Taman Siswa Bima.
Suyitno, Hadi. 2008. Perbedaan
Prestasi Belajar Fisika antara
siswa yang menggunakan
Metode Pembelajaran
Kooperatif Model STAD dengan
Model Jigsaw pada Materi
Pokok Energi dan Daya Listrik
Di Kelas IX SMP Hasanuddin
Wajak. Skripsi tidak diterbitkan.
Malang. Universitas Kanjuruhan
Malang.
Wiriatmadjo. 2007. Metode penelitian
naturalistik Kualitatif. Bandung.
Tarsito.
Wilujeng. 2005. Model Pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw..
(http://Darwin.jigsaw.blog.com
di akses tanggal 23 Mei 2014
jam 12.00 Wita). Bima. Warnet
Fadil
2
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN COOPERATIVE TIPE SCRIPT PADA SISWA KELAS VII
F SMP NEGERI 1 MADAPANGGA KABUPATEN BIMA TAHUN 2014/2015
GUFRAN.M.Pd & NURWAHDANIAH
Dosen STKIP Taman Siswa Bima
I
ABSTRAK
Kata kunci : Hasil Belajar, Model Pembelajaran Cooperative Tipe Script
Fisika penting dan keberadaannya sangat diperlukan, sehingga upaya kita
selanjutnya adalah bagaimana agar fisika itu dapat dipelajari, diketahui, dan dipahami
sampai akhirnya dapat diterapkan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari dalam
bentuk yang paling sederhana sekalipun. Berdasarkan permasalahan diatas, dapat di
identifikasi masalah sebagai berikut:Minat siswa terhadap pembelajaran fisika masih
kurang, Rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran fisika, Cara mengajar guru
yang menggunakan model ceramah sehingga membuat kejenuhan bagi siswa. Adapun
batasan masalah berdasarkan permasalahan di atas adalah rendahnya hasil belajar siswa
pada mata pelajaran fisika.Cara mengajar guru masih menggunakan metode ceramah
sehingga membuat kejenuhan bagi siswa. Rumusan masalah : Apakah hasil belajar
fisika siswa kelas VII F SMP Negeri 1 Madapangga dapat ditingkatkan melalui
penerapan model Cooperative Tipe Script ?. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui peningkatan hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran
Cooperative Tipe Script fisika siswa kelas VII F SMP Negeri 1 Madapangga Kabupaten
Bima pada tahun ajaran 2014/2015.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research)
yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang berusaha menjelaskan atau memaparkan
keadaan berdasarkan fakta yang ada. Penelitian di lakukan di SMP Negeri 1
Madapangga jalan Cabang Dena, Kecamatan Madapangga No. 5 dan penelitian ini akan
di lakukan selama sebulan. subyek penelitian adalah siswa kelas VII F dengan jumlah
siswa ada 30 orang. Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan dengan
menggunakan dua siklus dengan tahapan prosedur (1) tahap persiapan, (2) tahap
pelaksanaan, (3) tahap releksi. Cara pengambilan data: Test dan dokumentasi. Data tes
hasil belajar siswa dianalisis dengan menggunakan analisis ketuntasan hasil belajar
klasikal minimal 85% dengan rumus ketuntasan klasikal
PENDAHULUAN
Berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi mempengaruhi segala
aspek kehidupan manusia terutama pola
pikirnya yang mulai mengalami
perubahan. Hal ini tampak pada
perubahan pola pikir anak-anak remaja
sekarang ini terutama pandangan
mereka mengenai pentingnya
pendidikan. Pendidikan merupakan
usaha manusia dalam mengembangkan
potensi dirinya melalui proses
pembelajaran. (Bahtiar, 2009: 24).
Usaha pemerintah dalam
meningkatkan kualitas pendidikan,
dalam hal ini departemen pendidikan
nasional memberikan perhatian pada
lembaga pendidikan dasar pada
pendidikan tinggi. Aktualisasi dari
usaha pemerintah dapat dilihat dari
berbagai segi seperti halnya
pembangunan dan perbaikan sarana dan
prasarana pendidikan, peningkatan
2
pengetahuan, tenaga pengetahuan,
tenaga kependidikan, penyesuaian
kurikulum dan lain sebagainya. (Sulia.
2008 : 36).
Kemajuan Ilmu pengetahuan tidak
lepas dari perkembangan kehidupan
masyarakat dewasa ini yang senantiasa
ingin berkembang dan lebih maju,
semua ini dasar berlangsungnya
pembangunan khususnya dunia
pendidikan. Oleh karena itu Ilmu
pengetahuan dan teknologi harus
senantiasa selaras dengan pendidikan.
(Slameto. 2003 : 57).
Perkembangan Ilmu pengetahuan
dan teknologi mendorong masyarakat
untuk meningkatkan mutu dan kualitas
pendidikan yang dimilikinya.
Sehubungan hal tersebut, masyarakat
mengembangkan potensi pada setiap
jenjang pendidikan. Fisika merupakan
kerangka dasar dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, maka fisika salah satu
cabang ilmu pengetahuan.
Fisika penting dan keberadaannya
sangat diperlukan, sehingga upaya kita
selanjutnya adalah bagaimana agar
fisika itu dapat dipelajari, diketahui, dan
dipahami sampai akhirnya dapat
diterapkan oleh semua orang dalam
kehidupan sehari-hari dalam bentuk
yang paling sederhana sekalipun.
Namun kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa hasil belajar siswa
dalam mata pelajaran fisika masih
belum menggembirakan. Berdasarkan
hasil wawncara penulis dengan guru
mata pelajaran fisika yang bertindak
sebagai observator di SMP Negeri 1
Madapangga, ditemukan bahwa cara
mengajar guru yang bervariasi rata-rata
interaksi dan minat siswa terhadap mata
pelajaran fisika masih kurang. Adapun
data nilai rata-rata siswa kelas VII oleh
karena itu guru tidak berhenti mencari
model pembelajaran untuk memperbaiki
masalah rendahnya prestasi belajar
siswa pada mata pelajaran fisika.
Hal ini sesuai dengan observasi awal peneliti di lapangan menunjukan bahwa nilai
siswa rata-rata rendah.
Tabel 01. Nilai rata-rata siswa kelas VII SMPN 1 Madapangga
No
Tahun
Pelajaran
Kelas
KKM
Rata-rata Tidak
Tuntas
Tuntas
Persentase
Ketuntasa
n
Persentase
Tidak Tuntas
1 2012/2013 VII A 60 65 15 orang 22 orang 75 % 25 %
2 2012/2013 VIIB 60 70 14 orang 22 orang 76 % 24 %
3 2012/2013 VII C 60 60 18 orang 19 orang 55,5 % 40,5 %
4 2012/2013 VII D 60 55 17 orang 18 orang 53,3 % 46,7 %
5 2012/2013 VII E 60 55,5 18 orang 17 orang 47 % 53 %
6 2012/2013 VII F 60 65 22 orang 14 orang 25,7 % 74,3 %
7 2012/2013 VII G 60 60 17 orang 18 orang 54,5 % 44,5 %
8 2012/2013 VII H 60 65 18 orang 19 orang 55,5 % 44,5 %
9 2012/2013 VII I 60 65 15 orang 21 orang 75 % 25 %
10 2012/2013 VII J 60 70 16 orang 20 orang 74 % 26 %
(Data hasil raport siswa)
Berbagai usaha telah dilakukan
oleh guru untuk meningkatkan prestasi
belajar fisika siswa. Namun pada
akhirnya kita sadari bahwa hasil belajar
siswa dapat meningkat jika siswa dapat
termotivasi dengan giat untuk belajar.
Sehingga salah satu upaya yang perlu
dilakukan oleh guru adalah menerapkan
metode yang sesuai dengan kebutuhan
siswa sehingga ada motivasi belajar dan
memberikan semangat dan dukungan
agar keyakinan siswa tertanam dalam
dirinya bahwa ia bisa meningkatkan
hasil belajarnya karena potensi diri yang
2
ia miliki dan lingkungan sekitarnya
yang mendukung.
Dari permasalahan diatas, peneliti
memilih solusi dengan menerapakan
model pembelajaran cooperative tipe
script, karena model pembelajaran ini
sangat sesuai dengan karakteristik siswa
di SMP Negeri 1 Madapangga
Kabupaten Bima.
Adapun yang menjadi kelebihan
dari model pembelajaran cooperative
tipe script adalah : model belajar siswa
bekerja berpasangan dan secara lisan
mengiktisarkan bagian-bagian dari
materi yang dipelajari, dalam artian
model pembelajaran yang
membelajarkan siswa untuk aktif dalam
setiap kegiatan belajar.
model pembelajaran cooperative
tipe script memiliki kelebihan sebagai
berikut : Melatih pendengaran,
ketelitian / kecermatan untuk siswa,
setiap siswa mendapat peran dalam
setiap pembelajaran, melatih
mengungkapkan kesalahan orang lain
dengan lisan.
1. Hasil Pembelajaran Fisika
Para ahli memberikan
keleluasaan tentang pembelajaran yang
dikemukakan oleh Dick dan Carey
(2005: 11). “pembelajaran adalah
sebagai rangkaian peristiwa atau
kegiatan yang di sampaikan secara
terstruktur dan terencana dengan
menggunakan sebuah atau beberapa
jenis media”. Dalam proses secara
implisit terdapat kegiatan memilih,
menetapkan dan mengembangkan
metode untuk mencapai hasil
pembelajaran yang diinginkan
sedangkan menurut Gagne (1986: 75)
pembelajaran adalah serangkaian
aktivitas yang sengaja di ciptakan
dengan maksud untuk memudahkan
terjadinya proses belajar.
Gagne dan kawan-kawan dalam
Richey (2005: 23) mengatakan bahwa
pembelajaran adalah proses yang
sengaja di rancang untuk menciptakan
terjadinya aktivitas belajar dalam diri
individu. Dengan kata lain,
pembelajaran merupakan sesuatu hal
yang bersifat eksternal dan sengaja di
rancang untuk mendukung terjadinya
proses belajar internal dalam diri
individu.
Cara yang baik untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran
adalah cara yang dapat membuat siswa
tidak sekedar mengetahui tapi mampu
mencari sendiri apa yang harus ia
pelajari. Untuk itu sebagai guru
seharusnya mempunyai metode
pembelajaran yang berkualitas.
Seperti hal dengan materi
pembelajaran fisika yang membutuhkan
cara pendekatan mengajar, hal ini cukup
beralasan karena kenyataan
menunjukkan bahwa mata pelajaran
fisika di SMP masih banyak siswa yang
menganggap materi pelajaran rumit dan
sulit untuk dipelajari. Hal ini dapat
memberikan pengaruh yang buruk
terhadap hasil belajar fisika. Untuk
mengantisipasi hal tersebut mata
pelajaran fisika sebaiknya disajikan
dalam menggunakan metode yang tepat
2. Penerapan Model
Cooperative Tipe Script
Dalam Proses Pembelajaran.
Langkah-langkah
model pembelajaran
Cooperative Tipe Script
(Dansereau, 1985)
1. Guru membagi peserta didik untuk
berpasangan
2. Guru membagikan wacana/materi
tiap peserta didik untuk dibaca dan
membuat ringkasan
3. Guru dan peserta didik menetapkan
siapa yang pertama berperan sebagai
pembicara dan siapa yang berperan
sebagai pendengar
4. Pembicara membacakan
ringkasannya selengkap mungkin,
dengan memasukkan ide-ide pokok
3
dalam ringkasannya sementara
pendengar:
Menyimak/mengoreksi/menunujukkan ide-ide pokok yang kurang
lengkap
Membantu
mengingatkan/menghafal ide-ide
pokok dengan menghubungkan
materi sebelumnya atau dengan
materi lainnya 5. Bertukar peran, yang semula sebagai
pembicara ditukar menjadi
pendengar dan sebaliknya. Serta
lakukan seperti tersebut di atas
6. Guru dan peserta didik menyusun
kesimpulan
Modifikasi langkah-langkah
model pembelajaran
Cooperative Tipe Script :
1. Guru menulis topik pembelajaran
2. Guru menulis tujuan pembelajaran
3. Guru membagi peserta didik
dalam 2 tipe kelompok yaitu A
dan B. Masing-masing kelompok
dalam tiap tipe beranggotakan 4
orang (A-1= 4 orang, A-2 = 4
orang dst, B-1= 4, B-2 = 4 orang,
dst)
4. Masing-masing kelompok tipe A
dan B mengerjakan kegiatan yang
berbeda (Tipe A mengerjakan
LKPD 1, Tipe B mengerjakan
LKPD 2)
5. Guru memasangkan 1 peserta
didik dari kelompok tipe A
dengan 1 peserta didik dari
kelompok tipe B
6. Guru dan peserta didik
menetapkan siapa yang pertama
berperan sebagai pembicara dan
siapa yang berperan sebagai
pendengar
7. Seorang peserta didik bertugas
sebagai pembicara, yaitu
menyampaikan tugas dan hasil
tugasnya dan seorang peserta
didik sebagai pendengar
8. Bertukar peran, yang semula
sebagi pembicara berperan
sebagai pendengar dan yang
semula sebagai pendengar
berperan sebagai pembicara
9. Guru meminta salah satu
pasangan untuk
memperesentasikan hasil
kegiatannya
10. Diskusi kelas
11. Guru memberikan penguatan pada
hasil diskusi
12. Guru membimbing peserta didik
menyusun kesimpulan
Kelebihan model
cooperative tipe script:
Adapun kelebihan penggunaan
model cooperative tipe script
ini adalah : Melatih
pendengaran, ketelitian /
kecermatan. Setiap siswa
mendapat peran. Melatih
mengungkapkan kesalahan
orang lain dengan lisan.
Kekurangan model
cooperative tipe script:
Penggunaan model cooperative
tipe script ini juga mempunyai
kekurangan sebagai berikut:
hanya dilakukan dua orang
(tidak melibatkan seluruh kelas
sehingga koreksi hanya sebatas
pada dua orang tersebut).
3. Hasil Belajar Fisika.
Hasil belajar adalah istilah
yang digunakan untuk mengukur
tingkat keberhasilan seseorang
yang akan dicapai setelah seseorang
melakukan usaha tertentu. Dalam
kamus bahasa indonesia, hasil
berarti sesuatu yang telah dicapai
dan telah dilakukan atau dikerjakan
sebelumnya. Pengertian hasil
belajar dikemukakan oleh Sudjana
dalam Ariyani (2006: 9) bahwa
hasil belajar adalah kemampuan-
kemampuan yang di miliki siswa
setelah ia menerima pengalaman
4
belajaranya. Hasil belajar
merupakan hal yang penting yang
akan di jadikan sebagai tolak ukur
sejauh mana keberhasilan
seseorang siswa dalam belajar.
Selanjutnya menurut
Gagne dan Driscoll dalam
Djamarah (2000: 126)
mengemukakan hasil hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa akibat
perbuatan belajar yang dapat
diamati melalui penampilan siswa
(leartner’ performance). Pengertian
hasil belajar menurut Purwanto
(2011: 54)
“Hasil belajar adalah
perubahan perilakuyang terjadi
setelah mengikuti proses belajar
mengajar sesuaian dengan tujuan
pendidikan.Manusia mempunyai
potensi perilaku kejiwaan yang
dapat di didik dan diubah
perilakunya yang meliputi domain
kognitif, afektif dan psikomotorik”
Dari beberapa pengertian
belajar di atas jelas terlihat bahwa
hasil belajar tidak lain adalah
kemampuan-kemampuan yang
dimiliki oleh siswa sebagai hasil
pembelajaran yang diamati melalui
penampilan siswa dengan
menggunakan tes sebagai alat ukur
hasil belajar fisika.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
penelitian tindakan kelas
(Classroom Action Research) yang
bersifat deskriptif, yaitu penelitian
yang berusaha menjelaskan atau
memaparkan keadaan berdasarkan
fakta yang ada. Penelitian
merupakan alat pemprosesan ilmu
pengetahuan, dan alat tersebut
haruslahlah berjalan dengan cepat
dan berkelanjutan supaya dapat
menghasilkan hasil yang cukup
banyak serta berkesinambungan
untuk di masyarakatkan. Dengan
kata lain, penelitian pada
hakikatnya merupakan suatu usaha
untuk menjembatani dunia
konseptual dengan dunia empiris
(Balian Edward, 1983:7).
Dalam penelitian ini, yang
menjadi subyek penelitian adalah
siswa kelas VII F dengan jumlah
siswa ada 30 orang. Laki 15 orang
dan perempuan 15 orang pada
tahun ajaran 2014/2015.
Mengingat penelitian ini
adalah penelitian tindakan kelas
(PTK), maka kehadiran dan peran
peneliti dalam penelitian ini adalah
sebagai Pengajar dengan
menggunakan model pembelajaran
Kooperatif tipe Script dengan
bantuan observer atau guru mata
pelajaran.
Penelitian tindakan kelas ini
akan dilaksanakan dengan prosedur
(1) tahap persiapan, (2) tahap
pelaksanaan, (3) tahap releksi.
Secara rinci tiap siklus dijabarkan
sebagai berikut:
1. Siklus I.
a. Tahap perencanaan.
1) Menyusun Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP)
2) Membuat silabus
3) Menyusun soal test tiap siklus
4) Membuat LKS
5) Membuat materi yang akan
diajarkan dikelas yang menjadi
subyek penelitian.
6) Membagi siswa untuk
berpasangan.
b. Tahap pelaksanaan Tindakan.
1) melakukan proses
pembelajaran sesuai dengan
Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP)
2) Memantau keaktifan siswa
dalam proses belajar mengajar
5
berdasarkan pedoman
observasi.
c. Tahap Refleksi.
Hasil belajar yang di
peroleh siswa dikumpulkan dan
dianalisis. Dari hasil analisis
tersebut dilakukan refleksi yaitu
bagian mana yang perlu diperbaiki
dan dikembangkan dengan tetap
memperhatikan hasil pada setiap
pertemuan dan dilakukan diskusi
hasil refleksi dengan guru mata
pelajaran fisika. Hasil refleksi pada
siklus I digunakan sebagai acuan
untuk melaksanakan siklus
berikutnya.
2. Siklus II.
Kegiatan siklus II relatif
sama dengan siklus I dengan
mengadakan perbaikan dan
menyempurnakan sesuai dengan
kebutuhan dilapangan. Secara rinci
hal-hal yang dilakukan dalam siklus
ini adalah sebagai berikut:
a. Tahap perncanaan.
Untuk tahap ini,
dirumuskan perencanaan siklus II
sesuai dengan pelaksanaan siklus
I dengan menambah atau
mengurangi bagian yang dianggap
kurang sempurna berdasarkan
hasil refleksi pada siklus I.
b. Tahap pelaksanaan tindakan.
Tindakan pada siklus II
dilakukan dengan melanjutkan
langkah-langkah siklus I
disesuaikan dengan perencanaan
untuk siklus II.
c. Tahap Refleksi.
Pada tahap refleksi siklus
ini, pada dasarnya sama dengan apa
yang dilakukan pada siklus I. pada
tahap ini siswa diberikan
kesempatan untuk memberikan
tanggapannya terhadap proses
pembelajaran fisika bekerja
berpasangan dan bergantian. Hasil
analisis yang diperoleh dari tahap
observasi secara kualitatif maupun
kuantitatif menjadi dasar
dilakukannya releksi terhadap
kegiatan tindakan yang telah
dilakukan.
Cara pengambilan data :
1. Test
Test (evaluasi) adalah
merupakan teknik pengumpulan
data yang di lakukan dengan
memberikan soal untuk di jawab
oleh responden, guna untuk
mengetahui tingkat pemahaman
siswa terhadap materi yang di
ajarkan dengan di perlakukan
oleh guru dalam menggunakan
model pembelajaran cooperative
tipe script dalam melakukan
proses belajar mengajar pada
mata pelajaran IPA Fisika.
2. Dokumentasi
Model dokumentasi
dalam penelitian ini adalah suatu
cara pengumpulan data yang di
peroleh dari dokumen,
keterangan, arsip dan catatan
hasil yang berupa tulisan pada
SMP N 1 Madapangga.
Teknik Analisis Data
1. Analisis Hasil Belajar Siswa
Data tes hasil belajar
siswa dianalisis dengan
menggunakan analisis
ketuntasan hasil belajar klasikal
minimal 85% dengan rumus
ketuntasan klasikal adalah:
KK = 𝑋
𝑍 x 100%
(Purwanto, 2002:112).
Dengan, KK = Ketuntasan
Klasikal
X = Jumlah siswa yang
memperoleh nilai ≥ 65
Z = Jumlah siswa
Sesuai dengan penilaian,
siswa dikatakan tuntas secara
klasikal terhadap materi yang
6
disajikan jika mencapai 85%
(Sudjana, 2008:81).
Indikator Keberhasilan
Untuk menentukan
indikator keberhasilan dalam
penelitian ini adalah apabila nilai
hasil belajar siswa berdasarkan
kriteria ketuntasan minimal (KKM)
mencapai nilai ≥ 65 dari 85% siswa
sesuai yang telah ditentukan, maka
penerapaan model pembelajaran
kooperatif tipe script dapat
meningkatkan hasil belajar fisika
siswa kelas VII F SMP Negeri 1
Madapangga.
HASIL PENELITIAN
Data mengenai hasil
belajar siswa pada setiap siklus
yang di dapat dari hasil test
dengan menggunakan model
pembelajaran CTS, secara
sederhana dapat dilihat dalam
bentuk tabel di bawah ini :
Tabel. Hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran CTS
Siklus I
Jumlah siswa 30
Kategori tidak
tuntas
Jumlah siswa yang tuntas 21
Jumlah siswa yang tidak tuntas 9
Porsentase ketuntasan 70
Total skor 1922
Rata-rata 66
Nilai tertinggi 80
Nilai terendah 36
Siklus II
Jumlah siswa 30
Kategori tuntas
Jumlah siswa yang tuntas 27
Jumlah siswa yang tidak tuntas 3
Porsentase ketuntasan 90
Total skor 2114
Rata-rata 70,46
Nilai tertinggi 80
Nilai terendah 48
Data selengkapnya mengenai nilai
siswa dalam belajar dengan
menggunakan model pembelajaran CTS
dapat dilihat pada halaman lampiran.
Berdasarkan uaraian di atas dapat
digambarkan tentang perbandingan
persentase ketercapaian pelaksanaan
pembelajaran antara pembelajaran
siklus 1 dan siklus II pada bagan
berikut:
Grafik 5.1 Ketercapaian proses
pembelajaran
Sedangkan untuk aktivitas siswa
selama proses pembelajaran terdiri dari
keaktifan siswa siswa selama diskusi
kelompok. Berdasarkan uraian di atas
dapat digambarkan perbandingan hasil
tes awal, tes akhir pembelajaran siklus I
dan tes akhir pembelajaran siklus II
sebagai berikut:
40 50 60 70 80 90 100
siklus I siklus II
Hasil Test
Test
70,04 %
90 %
2
Grafik hasil belajar siswa berdasarkan
nilai rata-rata
PEMBAHASAN HASIL
PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian di
lapangan, tentang peningkatan hasil
belajar fisika melalui model
pembelajaran CTS didapatkan bahwa,
pada pembelajaran siklus 1
keterlaksanaan pembelajaran sudah
mencapai kriteria yang di harapkan.
Pencapaian kriteria ini juga didukung
oleh diskusi antara peneliti dan
pengamat pada saat pra pelaksanaan
penelitian. Terlihat bahwa proses
keterlaksanaan pembelajaran siklus I
mencapai 70 % yang berarti kriterianya
baik, Pada pembelajaran siklus II
terdapat adanya peningkatan pencapaian
keberhasilan yaitu 90 % dan berada
pada kreteria sangat baik. Peningkatan
ini diperoleh karena guru sudah
menyampaikan semua materi yang
disajikan dan memberikan pertanyaan
lisan untuk mengetahui pemahaman
siswa terhadap materi yang telah
dipelajari .
Pada siklus I nilai rata- rata yang
diperoleh 70 % , nilai ini diperoleh
karena pada siklus I siswa belum aktif
dalam diskusinya dan tidak mencatat
hal-hal yang penting yang terkait
dengan demostrasi dan experimen dan
pertanyaan-pertanyaan yang ada di LKS
dan pada saat diskusi kelompok siswa
masih telihat kurang bekerjasama
dengan baik dengan anggota
kelompoknya, belum bisa menghargai
pendapat temannya. Tetapi secara
keseluruhan diskusi kelompok sudah
bisa berjalan lancar, meskipun ada
kendala-kendala tersebut. Sedangkan
pada siklus II, aktivitas siswa sudah
mulai menunjukkan peningkatan. Hal
ini dapat dilihat dari nilai rata-rata yang
dicapai yaitu 90 % untuk keaktifan
siswa selama diskusi kelompok.
Peningkatan hasil ini disebabkan karena
siswa sudah aktif dalam diskusi
kelompok, dan mencatat hal-hal yang
penting yang terkait dengan demostrasi
dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di
LKS dan penelitipun juga memberikan
pengarahan dan bimbingan kepada
siswa. Sehingga kekurangan-
kekurangan pada siklus I bisa diperbaiki
di siklus II.
Perkembangan Ilmu pengetahuan
dan teknologi mendorong masyarakat
untuk meningkatkan mutu dan kualitas
pendidikan yang dimilikinya.
Sehubungan hal tersebut, masyarakat
mengembangkan potensi pada setiap
jenjang pendidikan. Fisika merupakan
kerangka dasar dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, maka fisika salah satu
cabang ilmu pengetahuan.
Fisika penting dan keberadaannya
sangat diperlukan, sehingga upaya kita
selanjutnya adalah bagaimana agar
fisika itu dapat dipelajari, diketahui, dan
dipahami sampai akhirnya dapat
diterapkan oleh semua orang dalam
kehidupan sehari-hari dalam bentuk
yang paling sederhana sekalipun.
Usaha pemerintah dalam
meningkatkan kualitas pendidikan,
dalam hal ini departemen pendidikan
nasional memberikan perhatian pada
lembaga pendidikan dasar pada
pendidikan tinggi. Aktualisasi dari
usaha pemerintah dapat dilihat dari
berbagai segi seperti halnya
pembangunan dan perbaikan sarana dan
prasarana pendidikan, peningkatan
0
20
40
60
80
100
Nilai awal siklus I siklus II
70 %
90 %
58,81 %
3
pengetahuan, tenaga pengetahuan,
tenaga kependidikan, penyesuaian
kurikulum dan lain sebagainya. (Sulia.
2008 : 36).
Secara deskriptif mengajar
diartikan sebagai proses penyampaian
informasi atau pengalaman dari guru
kepada siswa. Proses penyampaian itu
dapat diartikan dengan menanamkan
ilmu pengetahuan seperti yang
dikemukakan Fakhruddin (2009: 38)
bahwa mengajar merupakan suatu
perbuatan atau pekerjaan yang besifat
unik, tetapi sederhana. Dikatakan unik
karena hal itu berkenaan dengan
manusia yang belajar, yakni siswa, dan
yang mengajar, yakni guru, dan
berkaitan erat dengan manusia di dalam
masyarakat yang semuanya menunjukan
keunikan. Di katakana sederhana karena
mengajar di laksanakan dalam wilayah
praktis pada kehidupan sehari-hari, agar
mudah di hayati oleh siapa saja
sedangkan menurut Gagne dalam
Fakhruddin (2009: 66-67) mengajar
merupakan bagian dari pembelajaran
dimana guru lebih ditekankan
bagaimana merancang berbagai sumber
dan fasilitas yang tersedia untuk
digunakan atau di manfaatkan siswa
dalam mempelajari sesuatu.
Dalam mengajar terjadi interaksi
atau hubungan situasi timbal balik
antara siswa dengan guru antar sesama
siswa dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran ditandai oleh
komponen-komponen yang saling
mempengaruhi yakni tujuan
intruksional yang ingin dicapai dalam
materi yang diajarkan oleh guru.
Cara yang baik untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran
adalah cara yang dapat membuat siswa
tidak sekedar mengetahui tapi mampu
mencari sendiri apa yang harus ia
pelajari. Untuk itu sebagai guru
seharusnya mempunyai metode
pembelajaran yang berkualitas.
Seperti hal dengan materi
pembelajaran fisika yang membutuhkan
cara pendekatan mengajar, hal ini cukup
beralasan karena kenyataan
menunjukkan bahwa mata pelajaran
fisika di SMP masih banyak siswa yang
menganggap materi pelajaran rumit dan
sulit untuk dipelajari. Hal ini dapat
memberikan pengaruh yang buruk
terhadap hasil belajar fisika. Untuk
mengantisipasi hal tersebut mata
pelajaran fisika sebaiknya disajikan
dalam menggunakan metode yang tepat
Adapun kelebihan penggunaan
model CTS ini adalah : Melatih
pendengaran, ketelitian / kecermatan.
Setiap siswa mendapat peran. Melatih
mengungkapkan kesalahan orang lain
dengan lisan.
Penggunaan model CTS ini juga
mempunyai kekurangan sebagai
berikut: hanya dilakukan dua orang
(tidak melibatkan seluruh kelas
sehingga koreksi hanya sebatas pada
dua orang tersebut).
1.Prestasi belajar
Berdasarkan data yang
diperoleh dari sekolah, hasil tes
sebelum tindakan berdasarkan
ketuntasan nilai yang diperoleh
oleh 30 siswa mencapai 90 % atau
27 siswa yang tuntas dan 3 siswa
tidak tuntas, Hasil tes ini juga
akan digunakan sebagai bahan
pertimbangan dan informasi
terhadap hasil tes akhir
pembelajaran siklus I dan siklus
II. Dengan adanya pembelajaran
model pembelajaran CTS pada
siklus 1 terdapat adanya
peningkatan hasil belajar siswa
diukur dari tes yang diperoleh.
Pada pembelajaran siklus I hasil
ketuntasan tes yang diperoleh
siswa sebesar 70 %. Peningkatan
ini diperoleh karena sudah
memahami materi yang diberikan
oleh guru dengan ini menunjukan
4
hasil belajar sudah mengalami
peningkatan dari nilai pada pra
tindakan yang hasil rata-rata
mencapai 66 %. Pada tes akhir
pembelajaran siklus II hasil hasil
yang dicapai mencapai 90 %.
Dengan hasil ini diperoleh
informasi bahwa model
pembelajaran yang dilaksanakan
berhasil mencapai kreteria yang
tetapkan.
2. Kendala yang Dihadapi Pada
Siklus I
Kendala yang dihadapi dalam
penelitian mencakup beberapa hal yaitu:
4. Permasalahan yang diberikan
peneliti masih sulit dipahami
oleh siswa.
5. Pada saat guru menjelaskan
pembelajaran, terkadang siswa
nakal di belakang.
6. Siswa berkemampuan rendah
dan sedang kurang termotivasi.
Mereka masih malu-malu
mengungkapkan pendapatnya
sehingga didominasi siswa yang
berkemampuan sedang dan
tinggi.
3. Solusi dan Pemecahan Siklus I
4. Peneliti menyampaikan
permasalahan dengan sebaik
mungkin agar dapat diterima
siswa oleh siswa.
5. Peneliti mewajibkan agar semua
siswa dapat menjelaskan hasil
kerjanya.
6. Peneliti memotivasi siswa untuk
aktif dalam pembelajaran.
PENUTUP
Berdasarkan paparan data
dan hasil temuan yang dilakukan
oleh peneliti, diperoleh sebagai
berikut :
Upaya meningkatkan hasil belajar
fisika melalui model pembelajaran
dengan menggunakan model
pembelajaran CTS pada siswa
kelas VIIF SMPN 1 Madapangga
dapat meningkatkan hasil belajar.
di lihat dari ketuntasan klasikal dari
siklus I 70 % sedangkan pada siklus
II naik menjadi 90%. Melebihi dari
criteria yang tentukan 85 %.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2009. Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: Bumi Aksara
Arifuddin. 2010. Peningkatan Hasil
Belajar Siswa Dengan
Menggunakan Metode
Pembelajaran Kooperative
Script Kelas VII SMPN 1
Monta. Hal 55
Aryani. 2006. Pembelajaran
Fisika.Makasar: Genta
Buana
Budiningsih. 2005. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta
Bahtiar, Dasar-Dasar Komunikasi dan
Keterampilan Mengajar
(Jakarta: Rineka Cipta,
2009),
Dick, Carey. 2005. Cooprative
Learning Metode. Jakarta: Rineka Cipta
Djamarah, Syaiful Bahri 2005. Prestasi
Belajar Dan Kompetensi
Guru. Jakarta:
Usaha Nasional
Dansereau. 1985. Cooperative Tipe
Skript. Bandung. Rineka
Cipta
Edward. Balian. 1983. Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta:
Depdiknas
Fakruddin. 2009. Pembelajaran
Kooperative Script. Bandung : Rineka
Cipta
Gagnet. 1986. Problem Of Learning.
Jakarta:Rineka Cipta.
Gagne dkk.2005. Media Belajar Fisika.
Makasar : Genta Press.
Purwanto.2010. Prinsip-Prinsip dan
Teknik Evaluasi P
5
engajaran. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil
Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Putra Selayar. Peningkatan Hasil
Belajar IPA Melalui Model
Pembelajaran Kooperative
Script Pada Siswa Kelas VII
SMP Muhammadiyah IDI
Tello Baru Kecamatan
Panakukang Kota Makasar.
Hal.54
Rustam. 2011. Model Desain Sistem
Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat
Sulia, Fisika SMA Untuk SMP/MTs (
Jakarta: Erlangga,2008)
Sudjana, N. 2008. Penelitian Hasil
Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Remaja
Rosdakarya
Sagala. 2012. Konsep dan Makna
Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Suprijono. 2012. Cooprative Learning.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Slameto, 2003. Belajar dan Factor-
faktor Yang Mempengaruhi.
Jakarta, Rineka Cipta
2
PENERAPAN MODEL PEMBELAJAN THINK TALK WRITE (TTW) UNTUK
MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VIII8
SMP NEGERI I WOHA TAHUN PELAJARAN 2014/2015
ISMIATI
ABSTRAK
Kata-kata kunci: think talk write (TTW), Aktivitas, Hasil Belajar.
Pembelajaran sains merupakan pembelajaran yang lebij mengutamakan proses
dari pada hasil. Pembelajaran think talk write (TTW) adalah salah satu model
pembelajaran yang didalamnya terdapat kegiatan-kegiatan berpikir, berdiskusi,
membaca. Berfikir (think), siswa diberi kesempatan untuk memikirkan materi atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan- pertanyaan yang diajukan oleh guru berupa lembar
kerja dan dilakukan secara individu , berdiskusi, (Talk), setelah diorganisasikan dalam
kelompok, siswa diarahkan untuk terlibat secara aktif dalam berdiskusi
kelompokmengenai lembar kerja yang telah disediakan, interaksi pada tahap ini di
harapkan siswa dapat saling bebagi jawaban dan pendapat dengan anggota kelompok
masing-masing. Menulis(write), pada tahap ini siswa di minta untk menulis dengan
pemikiran sendiri hasil dari belajar dan diskusi kelompok yang di perolehnya.
Penilitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa
kelas VIII8 SMP N egeri 1 Woha melalui pembelajaran TTW. Penilitian ini
menggunakan penilitian tindakan kelas (PTK) yang dilakukan 2 siklus. Teknik analisis
Data terdiri dari data hasil belajar, Data aktivitas guru dan siswa dengan indikator
keberhasilan aktivitas belajar minimal berkategori aktif dan siswa memperoleh nilai ≥
66,6 sebanyak 85% . penilitian di lakukan pada semester ganjil tahun ajaran 2014/2015
di kelas VIII8 dengan siswa yang berjumlah 31 orang.
Berdasarkan analisis hasil penilitian rata-rata aktivitas guru 2,71 dengan
kategori cukup aktif sedangkan padas siklus II nilai rata-rata skor 3,24 berkategori aktif.
Nilai rata-rata skor aktivitas siswa pada siklus I adalah 2.40 dengan kategori cukup aktif
dan pada siklus II 3.15 dengan kategori aktif ini bisa dikatakan bahwa aktivitas giri dan
siswa meningkat. Dari hasil belajar siswa pada siklus I7.19% sedangkan pada siklus II
93.00% ini bias dikatakan bahwa hasil belajar siswa meningkat.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penelitian think talk wrire
(TTW) dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar fisika siswa kelas VIII8 SMP
Negeri 1 Woha.
PENDAHULUAN Belajar merupakan peristiwa
sehari-hari di sekolah. Belajar
merupakan hal yang kompleks. Menurut
Hamalik (2005: 9) Kompleksitas belajar
tersebut dapat dipandang dari dua
subjek, yaitu dari siswa dan guru. Dari
segi siswa, belajar dialami sebagai suatu
proses. Siswa mengalami proses mental
dalam menghadapi bahan belajar.
Unsur-unsur yang juga bertalian dengan
proses belajar mengajar yaitu: (1)
Siswa, dengan segala karakteristiknya
yang terus berusaha mengembangkan
dirinya seoptimal mungkin melalui
berbagai kegiatan belajar, (2) Tujuan,
yang diharapkan tercapai setelah adanya
kegiatan belajar-mengajar, (3) Guru,
2
selalu mengusahakan terciptanya situasi
yang tepat (mengajar) sehingga
memungkinkan terjadinya proses
pengalaman belajar.
Dewasan ini makna dan hakikat
belajar sering kali hanya di artikan
sebagai penerimaan informasi dari
sumber informasi. Akibatnya guru
masih memaknai kegiatan belajar
mengajar sebagai kegiatan
memindahkan informasi dari guru atau
buku ke siswa. Selain itu, penilaian
kelas oleh guru lebih dititik beratkan
pada aspek kognitif dibanding proses
dalam pencapaian suatu kompetensi.
Model pembelajaran konvensional
merupakan pengajaran yang biasa di
terapkan dalam kegiatan belajar
mengajar (KBM) pada siswa kelas VIII8
SMP Negeri 1 Woha. Dari hasil
observasi, pengajaran ini lebih menitik
beratkan proses pembelajaran pada
guru.
Salah satu dampak dari
penggunaan model pembelajar
konvensional, keterlibatan guru yang
cenderung mendominasi KBM,
menjadikan aktivitas belajar siswa
berkurang dan berakibatkan
menurunkan kemampuan berpikir
siswa, karna pemahaman konsep oleh
siswa diperoleh melalui transfer
informasi dari guru. Akibat lain yang
dapat diamati adalah lemahnya
interaksi dalam KBM baik antar siswa
di kelas VIII8 SMP Negeri 1 Woha
maupun antar siswa dengan guru fisika
mereka. Siswa jarang berdiskusi dengan
siswa lainnya dalam menghadapi
masalah fisika, dan hampir tidak berani
mengajukan pertanyaan jika ada
ketidakjelasan materi yang di
sampaikan guru. Ketidak pahaman
siswa akan konsep Fisika, membuat
siswa kurang mampu mengekspresikan
kemampuannya dalam komunikasi
tertulis. Prakteknya siswa cenderung
menuliskan semua hal yang dituliskan
guru dipapan tulis tanpa memahami
makna yang terkandung dari simbol-
simbol yang di tuliskan terlebih dahulu.
Peran aktif siswa yang kurang seiring
melemahnya motivasi dan respon siswa
untuk belajar pada akhirnya
menyebapkan rendahnya hasil belajar
siswa. Namun faktanya kondisi seperti
itulah yang terjadi di SMP Negeri 1
Woha.
Pada tabel 1.1 dapat dilihat dari
hasil ulang harian yaitu 58.30. Nilai
tersebut dibawah standar kriteria
ketuntasan minimal (KKM) yang di
tetapkan yaitu 66,6.
Tabel 1.1 data hasil ulangan harian
fisika kelas VIII3 SMP Negeri 1
Woha.
No Kelas Nilai ulangan
harian
KKM
1. VIII1 85.03
66.6
2. VIII2 83.98
3. VIII3 76.70
4. VIII4 52.00
5. VIII5 52.20
6. VIII6 52.27
7. VIII7 63.3
8. VIII8 58.30
(Sumber: guru mata pelajaran Fisika
SMP Negeri 1 Woha)
Sehubungan dengan itu, maka
upaya prosedur model pembelajaran
yang sebaiknya diterapkan adalah
model pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
sehingga siswa lebih mudah untuk
pelajaran yang diajarkan dan
mengkomunikasikan ide-idenya dalam
bentuk lisan maupun tulisan. Untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan
tersebut, sebagai alternatif dapat
diterapkan model pembelajaran dengan
strategi TTW. Pembelajaran ini sangat
tepat dalam mengatasi permasalahan-
permasalahan di atas.
3
1. Model pembelajaran TTW
a. Pengertin model pembelajaran
TTW
TTW yang diperkenalkan oleh
Huinker & Laughlin, pada dasarnya
dibangun melalui berpikir, berbicara
dan menulis. Alur kemajuan TTW
dimulai dari keterlibatan siswa dalam
berpikir/berdialog dengan dirinya
sendiri setelah proses membaca,
selanjutnya berbicara dengan membagi
ide (sharing) dengan temannya sebelum
menulis. Dalam hal ini siswa berperan
aktif dalam proses pembelajaran.
Menurut Huinker & Laughlin (1996:
81) berpikir dan berbicara/berdiskusi
merupakan langkah penting dalam
proses membawa pemahaman ke dalam
tulisan siswa. Model pembelajaran
TTW melibatkan 3 tahap penting yang
harus dikembangkan dan dilakukan
dalam pembelajaran fisika, yaitu:
1) Think (Berpikir atau Berdialog
Reflektif)
Menurut Yamin dan Ansari
(2009: 85) aktivitas berpikir dapat
dilihat dari proses membaca suatu teks
fisika kemudian membuat catatan
tentang apa yang telah dibaca. Dalam
membuat atau menulis catatan, siswa
membedakan dan mempersatukan ide
yang disajikan dalam teks bacaan,
kemudian menerjemahkan kedalam
bahasa mereka sendiri. mengamati data
dan mengenali ide yang tersirat,
menyusun konjektur, analogi,
generalisasi, menalar secara logis
menyelesaikan masalah, berkomunikasi
secara fisika, dan mengkaitkan ide
fisika dengan kegiatan intelektual
lainnya.
Berdasarkan pengertian dari
proses berpikir yang dikemukakan di
atas, maka aktivitas berpikir dalam
metode TTW terjadi pada saat siswa
membaca, menginterpretasi, dan
berdialog reflektif terhadap sejumlah
informasi dari soal atau masalah fisika
(dalam hal ini disajikan dalam LKS).
Kemudian siswa mengolah informasi
tersebut dengan cara memahami,
mengklasifikasikan, menganalisis, dan
mengkaitkannya dengan pengetahuan
yang telah dimiliki untuk memperoleh
pengertian dan membentuk
pendapatnya. Selanjutnya, siswa
berupaya untuk mencari solusi dari
masalah tersebut, mengecek kembali
kebenaranya, dan menarik kesimpulan.
Dengan kata lain, aktivitas yang
dilakukan siswa pada saat think ini
merupakan upaya untuk membangun
kemampuan representasi internal. Hasil
aktivitas mental atau representasi
internal dalam proses berpikir ini tidak
dapat dilihat dan dinilai secara kasat
mata, karena itu ada baiknya siswa
mencatat atau menandai bagian penting
dari hasil bacaan dan proses berpikirnya
terkait hal-hal yang telah dipahami
maupun yang belum dipahami. Pada
dasarnya, ketika siswa membuat atau
menulis catatan ini, siswa berupaya
membuat representasi eksternal menurut
bahasa dan pemikirannya sendiri yang
dapat meningkatkan pemahamannya
dan menjadi motivasi bagi siswa dalam
mengikuti tahap pembelajaran
selanjutnya.
2). Talk (berbicara atau Berdiskusi)
Pada tahap ini siswa diberi
kesempatan untuk merefleksikan,
menyusun, dan menguji ide-ide dalam
kegiatan diskusi kelompok. Menurut
Huinker & Laughlin (1996: 81) siswa
yang diberikan kesempatan untuk
berdiskusi dapat: (1) menghubungkan
bahasa yang mereka tahu dari
pengalaman dan latar belakang mereka
sendiri dengan bahasa fisika, (2)
menganalisis dan mensintesis ide-ide
fisika, (3) memelihara kolaborasi dan
membantu membangun komunitas
pembelajaran di kelas.
Martinis Yamin dan Ansari (2009:
86) mengutarakan talk penting dalam
4
fisika karena sebagai cara utama untuk
berkomunikasi dalam fisika,
pembentukan ide (forming ideas)
melalui proses talking, meningkatkan
dan menilai kualitas berpikir karena
talking dapat membantu mengetahui
tingkat pemahaman siswa dalam belajar
fisika. Setelah siswa berpikir dan
mendokumentasikan hasilnya, tahap
yang harus dilakukan selanjutnya adalah
melatih keterampilan komunikasi siswa
melalui diskusi. Tahapan talk dalam
penelitian ini terlihat ketika siswa
melaksanakan kegiatan dalam LKS dan
menyampaikan ide yang diperolehnya
pada tahap think kepada teman-teman
diskusinya (kelompok) sehingga tujuan
pembelajaran yang diharapkan tercapai.
Diskusi yang terjadi pada tahap talk ini
merupakan sarana untuk
mengungkapkan dan merefleksikan
pikiran/ide-ide siswa. Dengan
berdiskusi siswa dapat membangun,
menyatukan, dan menguji ide atau
gagasan mereka, sehingga siswa dapat
meningkatkan pemahamannya tentang
bagaimana cara menyelesaikan masalah
tersebut.
2) Write (Menulis)
Tahap terakhir yang harus
dilakukan dalam metode pembelajaran
TTW adalah menulis. Menulis
merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan secara sadar untuk
mengungkapkan dan merefleksikan
pemikiran. Sedangkan tahap write yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah
kegiatan siswa menuliskan kesimpulan
dari hasil kegiatan yang telah
didiskusikan pada lembar kerja yang
disediakan (LKS). Beberapa manfaat
yang dapat diperoleh siswa sebagai
hasil aktivitas menulis dikemukakan
oleh Masingila & Wisniowska (1996:
95) menyebutkan bahwa manfaat tulisan
siswa untuk guru adalah (1) sebagai
komunikasi langsung dari seluruh
anggota kelas, (2) memberikan
informasi tentang kesalahan-kesalahan,
miskonsepsi, kebiasaan berpikir, dan
keyakinan dari para siswa, (3)
memvariasikan gambaran-
gambaran/konsep siswa dari ide yang
sama, dan (4) bukti yang nyata dari
pencapaian atau prestasi siswa.
Masingila & Wisniowska (1996: 95)
juga menyebutkan bahwa menulis dapat
membantu siswa untuk
mengekspresikan pengetahuan dan
gagasan yang tersimpan agar lebih
terlihat sehingga mereka dapat melihat
dan merefleksikan pengetahuan dan
gagasan mereka. Selain itu melalui
kegiatan menulis dalam pembelajaran
fisika, siswa diharapkan dapat
memahami bahwa fisika dibangun
melalui suatu proses berpikir yang
dinamis, dan diharapkan pula dapat
memahami bahwa fisika merupakan
bahasa atau alat untuk mengungkapkan
ide (Sri Wulandari Danoebroto, 2008:
2).
b. Langkah-langkah model
pembelajaran TTW
Selanjutnya untuk merealisasikan
pembelajaran fisika dengan metode
TTW ini, maka langkah-langkah
pembelajaran diatur sebagai berikut:
1. Siswa dalam kelompok memperoleh
LKS yang berisi lembar kegiatan,
masalah fisika, dan petunjuk
pengerjaannya.
2. Siswa membaca dan memahami
masalah yang ada dalam LKS dan
membuat catatan kecil secara
individu tentang apa yang ia ketahui
dan apa yang tidak ia ketahui dalam
masalah tersebut. Ketika siswa
membuat catatan individu inilah
akan terjadi proses berpikir (think)
pada siswa. Setelah itu siswa
berusaha untuk menyelesaikan
masalah tersebut secara individu.
Kegiatan ini bertujuan agar siswa
dapat membedakan atau menyatukan
ide-ide yang terdapat pada bacaan
5
untuk kemudian diterjemahkan
menurut bahasanya sendiri.
3. Siswa berdiskusi dalam suatu
kelompok membahas isi catatan yang
masing-masing dibuatnya secara
individu. Dalam hal ini akan terjadi
proses (talk) pada siswa. Pada
kegiatan ini mereka menggunakan
bahasa dan kata-kata mereka sendiri
untuk menyampaikan ide-ide fisika
dalam diskusi. Diskusi diharapkan
dapat menghasilkan solusi atas
permasalahan yang diberikan.
Diskusi akan efektif jika anggota
kelompok tidak terlalu banyak dan
terdiri dari anggota kelompok
dengan kemampuan yang heterogen.
Dalam hal ini menurut Huinker &
Lauglin (1996: 82) menyatakan
bahwa metode TTW akan efektif
ketika siswa bekerja dalam
kelompok yang heterogen yang
terdiri dari 2 sampai 6 siswa yang
bekerja untuk menjelaskan,
meringkas, dan merefleksi.
4. Dari hasil diskusi siswa merumuskan
pengetahuan secara individu berupa
jawaban atas masalah/soal (berisi
landasan dan keterkaitan konsep,
strategi, dan solusi) dalam bentuk
tulisan (write) dengan bahasanya
sendiri. Pada tulisannya siswa
menggabungkan ide-ide yang
diperolehnya melalui diskusi.
5. Kegiatan akhir pembelajaran adalah
merefleksi dan menyimpulkan atas
materi apa yang telah dipelajari.
Sebelumnya dipilih beberapa (atau
satu) orang siswa sebagai perwakilan
kelompok untuk mempresentasikan
hasil diskusi atau jawabannya,
sedangkan kelompok lain diminta
untuk memberikan tanggapan.
6. Bersama-sama dengan guru, siswa
membuat kesimpulan atas materi
yang telah dipelajari.
2. Aktivitas Belajar
Aktivitas adalah kegiatan
atau segala sesuatu yang dilakukan atau
kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik
maupun non fisik. Aktivitas tidak hanya
ditentukan oleh aktivitas fisik semata,
tetapi juga ditentukan oleh aktivitas non
fisik seperti mental, intelektual dan
emosional. Aktivitas yang dimaksudkan
di sini penekanannya adalah pada siswa,
sebab dengan adanya aktivitas siswa
dalam proses pembelajaran akan
tercipta situasi belajar aktif.
Belajar aktif adalah suatu sistem
belajar mengajar yang menekankan
aktivitas siswa secara fisik, mental
intelektual dan emosional guna
memperoleh hasil belajar yang berupa
perpaduan antara aspek kognitif, afektif,
dan psikomotor. Belajar aktif sangat
diperlukan oleh siswa untuk
mendapatkan hasil belajar yang
maksimum. Ketika siswa pasif atau
hanya menerima informasi dari guru
saja, akan timbul kecenderungan untuk
cepat melupakan apa yang telah
diberikan oleh guru, oleh karena itu
diperlukan perangkat tertentu untuk
dapat mengingatkan yang baru saja
diterima dari guru.
Proses pembelajaran yang
dilakukan di dalam kelas merupakan
aktivitas mentransformasikan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Dalam kegiatan pembelajaran ini sangat
dituntut aktivitas siswa, dimana siswa
adalah subjek yang banyak melakukan
kegiatan, sedangkan guru lebih banyak
membimbing dan mengarahkan.
Menurut Hamalik (2005: 30) Aktivitas
siswa dalam kegiatan pembelajaran
dapat dilaksanakan manakala : (1)
pembelajaran yang dilakukan lebih
berpusat pada siswa, (2) guru berperan
sebagai pembimbing supaya terjadi
pengalaman dalam belajar (3) tujuan
kegiatan pembelajaran tercapai
kemampuan minimal siswa (kompetensi
dasar), (4) pengelolaan kegiatan
6
pembelajaran lebih menekankan pada
kreativitas siswa, meningkatkan
kemampuan minimalnya, dan mencapai
siswa yang kreatif serta mampu
menguasai konsep-konsep, dan (5)
melakukan pengukuran secara kontinu
dalam berbagai aspek pengetahuan,
sikap, dan keterampilan.
3. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan
suatu interaksi yang melibatkan
berbagai komponen untuk me ncapai
tujuan penelitian yang telah
dirumuskan. Hasil belajar merupakan
hasil yang dicapai seseorang berkat
adanya belajar. Dalam hubungan
dengan hasil belajar fisika maka hasil
belajar tersebut merupakan penguasaan
terhadap konsep – konsep fisika,
(Gregory A. Kimble dalam Nasrun,
2012:227). Menurut Witherington
dalam Nasrun (2012:225), dampak
pembelajaran adalah hasil belajar yang
dapat diukur, seperti yang tertuang
dalam raport, angka dalam ijazah dan
kemampuan menjawab soal.
Nasrun (2012:223)
mengemukakan bahwa Hasil Belajar
merupakan hasil akhir pengambilan
keputusan mengenai tinggi rendahnya
nilai yang diperoleh siswa selama
mengikuti proses pembelajaran. Hasil
belajar dikatakan tinggi apabila tingkat
kemampuan siswa bertambah dari hasil
sebelumnya.
Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar fisika adalah perubahan tingkah
laku pada diri siswa setelah menjalani
proses pembelajaran fisika dengan
pendekatan model pembelajara think
talk write (TTW) yang dicapai dalam
bentuk perubahan pengetahuan dan
pemahaman terhadap ilmu yang
dipelajari dan ditunjukan dengan nilai
untuk mencapai tingkat pendidikan
yang telah ditetapkan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah
penelitian tindakan kelas, (PTK) yaitu
penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan informasi bagaimana
tindakan yang tepat untuk
meningkatkan keaktifan dan prestasi
belajar siswa. Sehingga penelitian ini
difokuskan pada tindakan-tindakan
sebagai usaha untuk meningkatkan
keaktifan dan prestasi belajar siswa
dalam belajar fisika. Penelitian kelas
merupakan kegiatan pemecahan
masalah yang dimulai dari: a)
perencanaan (planning), b) pelaksanaan
(action), c) pengumpulan data
(observing), d) menganalisis
data/informasi untuk memutuskan
sejauh mana kelebihan atau kelemahan
tindakan tersebut (reflecting).
Subyek dalam penelitian ini
adalah siswa Kelas VIII8 SMP Negeri 1
Woha sebanyak 31 orang siswa ( L=15
orang dan P=16 orang)
Prosedur pelaksanaan tindakan dalam
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini
mengikuti langkah-langkah yang
disajikan pada gambar secara obrasional
tahapan masing-masing siklus
penelitian dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Siklus penelitian tindakan kelas.
Gambar 3.1
(Arikunto,2013;17)
7
Penelitian tindakan
kelas (PTK) ini dilaksanakan
dalam dua siklus dengan scenario
pembeajan yang terdidri dari tiga
tahap kegiatan yaitu:
1. Perencanaan
a. Mempersiapkan rencana pelaksanaan
pembelajaran, skenario pembelajaran
dan LKS (Secara lengkap disajikan
pada lampiran).
b. Mempersiapkan lembar kerja siswa
c. Menyiapkan lembar observasi
d. Menyusun kisi-kisi tes prestasi
belajar
2. Tahap Pelaksanaan
Peneliti bertindak sebagai guru
dalam kegiatan pembelajaran dengan
dibantu oleh dua pengamat yaitu guru
mata pelajaran fisika dan rekan peneliti
yang merupakan mahasiswa program
studi Pendidikan Fisika STKIP Taman
Siswa Bima. Berdasarkan langkah-
langkah pada model pembelajaran TTW
maka pelaksanaan kegiatan peneliti ini
adalah:
a. Pendahuluan
Pada langkah
pertama ini, guru
memberikan motivasi
dan apresiasi kepada
siswa dilanjutkan dengan
menyebutkan tujuan
pembelajaran dan
memberikan acuan yaitu
menjelaskan langkah-
langkah model
pembelajaran TTW.
b. Kegiatan Inti
1) Guru memberikan
LKS
2) Guru menjelaskan
materi secara klasikal
3) Guru menjelaskan
tentang materinya
4) Guru mengadakan
demonstrasi
5) Pada kegiatan inti ini
guru membagi tiga
tahap model
pembelajaran yaitu
Think (berpikir), Talk
(berdiskusi), dan
Write (menulis).
c. Evaluasi
Setelah siswa
diberikan kesempatan
belajar secara
berkelompok dan
berdiskusi, maka guru
memberikan tes akhir
kepada siswa dan
dikerjakan secara
individu. Tes akhir ini
untuk mengetahui
prestasi belajar dari
masing-masing siswa.
d. Pemberian hasil tes
dan pemberian
penghargaan Setelah dilakukan
tes akhir, maka guru
dapat langsung
memberikan hasilnya
pada siswa agar siswa
dapat mengetahui sejauh
mana pemahaman
mereka. Pemberitahuan
hasil tes dan pemberian
penghargaan ini untuk
mendorong siswa lebih
giat belajar.
3. Pengamatan
Pada tahap ini dilakukan
pengamatan oleh pengamat tentang
kegiatan yang berlangsung dikelas
selama siklus I dengan menggunakan
pedoman lembar observasi kegiatan
siswa yang dibuat sebelumnya.
4. Refleksi
Setelah seluruh kegiatan selesai
dilaksanakan, maka dilakukan
refleksi oleh peneliti. Refleksi
merupakan tahapan paling akhir
suatu siklus. Pada tahapan ini,
peneliti melakukan diskusi dengan
rekan peneliti (teman sejawat) untuk
8
mengevaluasi kelemahan maupun
kekuatan yang ditemukan selama
siklus I berlangsung. Hasil refleksi
ini dijadikan acuan dan
pertimbangan untuk pelaksanaan
tindakan pada siklus selanjutnya.
Teknik Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Tes
a) Untuk memperoleh data hasil belajar
siklus I diperoleh melalui tes hasil
belajar dengan melalui instrument
tes hasil belajar pada akhir siklus I.
b) Untuk memperoleh data hasil belajar
siklus II diperoleh melalui tes hasil
belajar dengan melalui instrument tes
hasil belajar pada akhir siklus II.
b. Observasi
a) Data tentang keterlaksanaan proses
belajar mengajar sesuai dengan
skenario pembelajaran diperoleh
melalui observasi terhadap
pelaksanaan pembelajaran dengan
menggunakan pedoman penilaian
kegiatan pembelajaran.
b) Untuk memperoleh data tentang
aktivitas siswa diperoleh melalui
observasi dengan menggunakan
instrument aktivitas.
c. Dokementasi
Dokumentasi di buat
sebagai pelengkap hasil
penelitian dari observasi.
Instrument Penelitian
Menurut Sugiyono (2010 : 222)
instrument penelitian adalah alat untuk
memperoleh data. Jadi instrument data
adalah suatu alat yang digunakan untuk
mengukur fenomena alam maupun
social yang diamati. Agar data yang di
peroleh sesuai dengan yang di harapkan
maka di perlukan instrument
pengumpulan data yang baik.
Sehubugan dengan penelitian ini,
Instrument yang di gunakan adalah
sebagai berikut:
1. Lembar observasi aktivitas siswa
Lembar observasi aktivitas siswa
adalah suatu alat untuk mengetahui
kegiatan belajar siswa selama
pembelajaran berlangsung.
2. Lembar observasi aktivitas guru
Lembar observasi aktivitas guru
adalah alat untuk mengetahui
kegiatan mengajar guru selama
pemebelajaran berlangsung.
3. Lembar Kerja Siswa (LKS)
Lembar kerja siswa adalah suatu
lembaran yang bertujuan untuk
menguji kemampuan berpikir siswa
4. Tes hasil belajar.
Tes hasil belajar adalah
salah satu cara yang
dilakukan oleh guru untuk
mengetahui kemampuan
siswa selama proses
pembelajaran.
Teknik Analisis Data
Sugiyono (2010: 243)
menjelaskan bahwa “analisis data
adalah proses penyederhanaan
data kedalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan
diinterpretasikan. Dalam proses
ini sering kali di gunakan statistik.
Salah satu fungsi statistik adalah
penyederhanaan data penelitian
yang amat besar jumlahnya
menjadi informasi yang lebih
sederhana dan lebih mudah untuk
dipahami.
1. Data Hasil Belajar
Sesuai dengan
permasalahan dan tujuan
penelitian ini maka untuk
menganalisa data yang
diperoleh dari hasil tes siswa
dipergunakan analisa hasil
evaluasi dengan menghitung
prosentase ketuntasan belajar
sehingga dapat diketahui
ketuntasan belajar siswa.
9
Untuk mengetahui berapa jauh
ketuntasan belajar siswa
digunakan kriteria sebagai
berikut:
a) Nilai rata-rata kelas,
menggunakan rumus:
N
XR (Depdiknas,
2003: 30)
Keterangan: R = nilai rata-rata kelas
X = jumlah nilai yang
diperoleh
N = Jumlah siswa yang
ikut tes
b) Ketuntasan Belajar Siswa
Individu (KBSI),
menggunakan rumus:
KBSI= skor yang diperoleh siswa
skor maksimal
x100% (Depdiknas, 2003:
30)
c) Ketuntasan Belajar Siswa
Klasikal (KBSK), dihitung
dengan menggunakn rumus:
KBSI= jumlah siswa yang tuntas
jumlah keseluruhan siswa
x100% (Depdiknas, 2003:
30)
2. Data Aktivitas Pembelajaran
Kegiatan observasi
dilakukan untuk aktivitas
siswa dan guru, instrumen
yang digunakan untuk
mengumpulkan data observasi
yang berisikan deskriptif dari
indikator aktivitas siswa dan
guru yang sudah dimodifikasi
dan di amati selama proses
pembelajara.
Mengenai hasil
observasi akan dianalisa
dengan rumus sebagai berikut:
i
XA ( Depdiknas, 2012: 30)
A = skor rata-rata aktivitas siswa
X = skor masing-masing indicator
i = banyaknya indicator.
Skor untuk setiap descriptor aktivitas
siswa pada penelitian ini mengikuti
aturan sebagai berikkut:
a) Skor 4 diberikan jika 3 desktiptor
nampak
b) Skor 3 diberikan jika 2 desktiptor
nampak
c) Skor 2diberikan jika 1 desktiptornya
Nampak
d) Skor 1 diberikan jika tidak ada
diskiptor yang nampak
Menentuka nilai MI dan SDI :
MI =1
2x(nilai maksimal
− nilai minimal)
= 1
2 (4 + 1)
= 2.5
SDI =1
3xMI
= 1
3 x 2.5
= 0.83
Aktisitas belajar siswa
(Harun Rosyid 2009:214)
Pedoman Konversi Penilaian
Aktivitas Belajar Siswa Interval Interval
skor
Kriteria
siswa
As ≥ MI + 1,5 SDI As≥3.75 Sangat Aktif
MI + 0,5 SDI ≤ As<MI + 1,5 SDI
2.92
≤As< 3.75
Aktif
MI – 0,5 SDI ≤ As<MI + 0,5 SDI
2.08
≤As< 2.92
Cukup Aktif
MI – 1,5 SDI ≤ As<
MI- 0,5 SDI
1.25
≤As< 2.08
Kurang Aktif
As < MI – 1,5 SDI As< 1.25 Sangat
Kurang Aktif
Aktisitas guru
(Harun Rosyid 2009:214)
Pedoman Konversi Penilaian
Aktivitas Guru
10
Interval Interval
skor
Kriteria siswa
As ≥ MI + 1,5 SDI As≥3.75 Sangat Aktif
MI + 0,5 SDI ≤ As<MI
+ 1,5 SDI
2.92
≤As< 3.75
Aktif
MI – 0,5 SDI ≤ As<MI
+ 0,5 SDI
2.08
≤As< 2.92
Cukup Aktif
MI – 1,5 SDI ≤ As< MI- 0,5 SDI
1.25
≤As< 2.08
Kurang Aktif
As < MI – 1,5 SDI As< 1.25 Sangat
Kurang Aktif
Indikator Keberhasilan
Dalam penelitian ini, indikator
keberhasilan yang hendak dicapai
meliputi :
1. Kriteria dari aktivitas belajar
siswa minimal berkategori aktif
dan mengalami peningkatan
nilai rata-rata skor untuk setiap
siklusnya.
2. Apabila siswa yang
memperoleh nilai ≥ 66.6
sebanyak 85%.
HASIL PENELITIAN Hasil observasi guru
memperlihatkan bahwa guru bertindak
sebagai fasilitator yang mengatur proses
dan hasil belajar. Aktivitas guru selama
pembelajaran berlangsung dapat
diketahui dari isian lembar observasi
yang dilakukan oleh observer. Dari hasil
observer aktivitas guru diperoleh data
sebagai berikut (data selengkapnya ada
pada lampiran 16 halaman 72):
Table 4.1 Hasil Observasi Kegiatan
Mengajar Guru Pada Siklus I
No. keterangan Siklus I
Pertemuan I Pertemuan II
1. Total skor 18 19
2. Rata-rata skor 2.57 2.71
kategori Cukup aktif Cukup aktif
Dari table 4.1 di atas dapat dilihat
bahwa nilai rata-rata skor aktivitas guru
untuk pertemuan I sebesar 2.57 yang
berada pada kategori cukup aktif dan
skor rata-rata pada pertemuan II sebesar
2.71 yang berkategori cukup aktif.
1) Data aktivitas siswa
Aktivtas siswa selama pembelajaran
berlangsung dapat diketahui dari isian
lembar observasi yang dilakukan oleh
observer. Maka semua aktivitas yang
nampak dicatat dalam lembar observasi
siswa sesuai dengan descriptor yang
nampak dan selanjutnya diolah dengan
rumus yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dari hasil observasi
aktivitas siswa diperoleh data sebagai
berikut:
Table 4.2 Hasil Observasi Kegiatan
Belajar Siswa pada Siklus I.
No. keterangan Siklus I
Pertemuan I Pertemuan II
1. Total skor 345 448
2. Rata-rata skor 2.34 2.40
Kategori Cukup aktif Cukup aktif
Dari table 4.2 di atas menunjukan
bahwa nilai rata-rata skor aktivitas
belajar siswa pertemuan I sebasar 2.34
yang berkategori cukup aktif dan pada
pertemuan II nilai rata-rat skor aktivitas
siswa sebesar 2.40 yang berkategori
cukup aktif.
2) Hasil tes belajar siswa
Tes hasil belajar siswa dilaksanakan
pada tiap akhir siklus, guru memberikan
soal evaluasi sebanyak lima soal dalam
bentukesai yang dikerjakan dalam wakti
1x40 menit. Nilai tertinggi yang
diperoleh siswa adalah 97 dan nilai
terendah yang diperoleh adalah 60
dengan nilai rata-rata 75.12. Siswa yang
mendapat skor ≥ 96 sebanyak 2 orang
(6.00%), pada skor 86-95 sebanyak 4
orang (12.00%), pada skor 76-85
sebanyak 9 orang (29.00%), pada skor
66-75 sebanyak 8 orang (25.00%) dan
pada skor ≤65 sebanyak 8 orang
(25.00%). Hal ini menunjukan bahwa
penelitian pada siklus I belum mencapai
target. Dimana suatu kelas dianggap
tuntas secara klasikal jika telah
11
mencapai 85%. Ini berarti indicator
keberhasilan belum tercapai sehingga
perlu adanya pengulangan dan
perbaikan pada siklus berikutnya.
Table 4.3 Rentang nilai siklus I Skor Frekuensi persentase Keterangan
≥96 2 6.00% Tuntas
86-95 4 12.00% Tuntas
76-85 9 29.00% Tuntas
66-75 8 25.00% Tuntas
≤65 8 25.00% Tidak tuntas
Dari table di atas dapat digambarkan
dengan grafik sebagai berikut:
Gambar 4.1 grafik persentasi hasil
belajar siswa siklus I
a. Refleksi
Berdasarkan hasil
observasi aktivitas siswa
dan guru serta hasil evaluasi
belajar siswa pada siklus I
terdapat kekurangan-
kekurangan yang harus
dilakukan tindakan
perbaikan pada siklus II.
Adapun tindakan
perbaikan yang akan
dilakukan padasiklus II
antara lain:
1. Guru menghimbau agar malam
sebelum beragkat kesekolah siswa
menyiapkan kelengkapan
beajarnya.
2. Guru senantiasa memotivasi siswa
agar tidak malu dalam
mengungkapkan pendapat atau
pertanyaan kepada guru mengenai
hal-hal yang belum dipahaminya
serta memuji setiap kerja yang
dilakukan oleh siswa.
3. Guru menghimbausiswa untuk
bekerja sama dengan kelompoknya
sehingga akan lebih mudah dalam
menemukan konsep.
4. Guru mempermudah pemahaman
awal siswa dengan memberikan
masalah yang sederhana, lalu
menaikan tinggkat kesulitan secara
bertahap dan memberikan soal yang
bervariasi.
5. Sebelum memberikan tugas
kelompok, guru menjelaskan
petunjuk yang harus dikerjakan
agar dapat membantu siswa dalam
merumuskan hasil diskusinya.
6. Guru mendekati siswa yang
pasifdan menanyakan kesulitan
yang dialaminya, sehingga siswa
merasa dihargai dan menjadi aktif.
Pada siklus II, guru sudah berusaha
melakukan kegiatan pemeblajaran
dengan memperhatikan perbaikan-
perbaikanpada siklus sebelumnya.
Kegiatan guru sudah terlaksana dengan
baik, ini terlihat dari hasil observasi
siklus II yang menunjukan bahwa
semua indicator mengajar telah
Nampak. Aktivitas guru selama
pembelajaran berlangsug dapat
diketahui dari isian lembar observasi
yang dilakukan oleh observer. Dari hasil
observer aktivitas guru diperolehdata
sebagai berikut:
Table 4.4 Hasil Observasi Kegiatan
Mengajar Guru Pada Siklus II
No. Keterangan Siklus I
Pertemuan I Pertemuan II
1. Total skor 21 24
2. Rata-rata skor 3.01 3.42
Kategori Aktif Aktif
1) Hasil observasi aktivitas
siswa
2
4
98
6.00%
12.00%
29.00%
25.00%
≥96 86-95 76-85 66-75
frekuensi persentase
12
Aktivitas siswa selama pembelajaran
berlangsung dapat diketahui dari lembar
observasi yang dilakukan oleh observer.
Dari hasil observer aktivitas siswa
diperoleh data sebagai berikut:
Table 4.5 Hasil Observasi Kegiatan
belajar siswa Pada Siklus II
No. Keterangan
Siklus I
Pertemuan
I
Pertemuan
II
1. Total skor 561 587
2. Rata-rata
skor 3.01 3.15
Kategori Aktif Aktif
Dari tabel hasil observasi aktivitas
siswa siklus II diatas, dapat dilihat
bahwa skor aktivitas siswa siklus II 3.01
pada pertemuan I dan 3.15 pada
pertemuan IIdengan kategori aktif.
Dengan demikian aktivitas belajar siswa
pada siklua II mengalami peningkatan
rata-rat aktivitas belajar siswa dengan
kategori aktif dibandingkan dengan
siklus I dengan kategori cukup aktif.
2) Hasil tes hasil belajar
siswa siklus II
Tes hasil belajar siswa dilaksanakan
pada tiap akhir siklus, guru memberikan
soal evaluasi sebanyak 5 soal dalam
bentuk essay yang dikerjakan dalam
waktu 1x40 menit. Nilai tertinggi yang
diperoleh siswa adalah 99 dan nilai
terendah yang diperoleh adalah 65
dengan nilai rata-rata 82.58. Siswa yang
mendapat skor ≥ 96 sebanyak 3 orang
(9.00%), pada skor 86-95 sebanyak 8
orang (25.00%), pada skor 76-85
sebanyak 6 orang (19.00%), pada skor
66-75 sebanyak 12 orang (38.00%) dan
pada skor ≤65 sebanyak 2 orang
(6.00%). Hal ini menunjukan bahwa
penelitian pada siklus II telah mencapai
target yang diharapkan, di mana suatu
kelas dianggap tuntas secara klasikal
jika telah mencapai 85%. Ini berarti
indicator keberhasilan telah dicapai.
Table 4.6 Rentang nilai siklus II Skor Frekuensi persentase Keterangan
≥96 3 9.00% Tuntas
86-95 8 25.00% Tuntas
76-85 6 19.00% Tuntas
66-75 12 38.00% Tuntas
≤65 2 6.00% Tidak tuntas
a. Refleksi
Berdasarkan hasil analisa
observasi dan evaluasi belajar setiap
siklus, terlihat bahwa terjadi
peningkatan skor aktivitas belajar siswa
dan ketuntasan klasikal pada setiap
siklus dengan demikian indikator
keberhasilan telah tercapai. Dari hasil
refleksi siklus II dipandang sudah
sangat baik. Dapat disimpulkan bahwa
dengan menggunakan model
pembelajaran TTW dapat meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar fisika siswa
kelas VIII8 SMP Negeri 1 Woha tahun
pelajara 2014/2015.
PEBAHASAN
Aktivitas berpikir dalam model
pembelajaran TTW terjadi pada saat
siswa membaca, menginterpretasi, dan
berdialog reflektif terhadap sejumlah
informasi dari soal atau masalah fisika
(dalam hal ini disajikan dalam LKS).
Kemudian siswa mengolah informasi
tersebut dengan cara memahami,
mengklasifikasikan, menganalisis, dan
mengkaitkannya dengan pengetahuan
yang telah dimiliki untuk memperoleh
pengertian dan membentuk
pendapatnya. Selanjutnya, siswa
berupaya untuk mencari solusi dari
masalah tersebut, mengecek kembali
kebenaranya, dan menarik kesimpulan.
Dengan kata lain, aktivitas yang
dilakukan siswa pada saat think ini
merupakan upaya untuk membangun
kemampuan representasi internal.
Tahapan talk dalam penelitian ini
terlihat ketika siswa melaksanakan
kegiatan dalam LKS dan
menyampaikan ide yang diperolehnya
13
pada tahap think kepada teman-teman
diskusinya (kelompok) sehingga tujuan
pembelajaran yang diharapkan tercapai.
Diskusi yang terjadi pada tahap talk ini
merupakan sarana untuk
mengungkapkan dan merefleksikan
pikiran/ide-ide siswa. Dengan
berdiskusi siswa dapat membangun,
menyatukan, dan menguji ide atau
gagasan mereka, sehingga siswa dapat
meningkatkan pemahamannya tentang
bagaimana cara menyelesaikan masalah
tersebut. Sedangkan tahap write yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah
kegiatan siswa menuliskan kesimpulan
dari hasil kegiatan yang telah
didiskusikan pada lembar kerja yang
disediakan (LKS).
Aktivitas guru pada siklus I
meningkat dari pertemuan I sebesar
2.57 yang bekategori cukupa aktif dan
pada pertemuan II sebesar 2.71 yang
berkategori cukup aktif, sedagkan
aktivitas siswa nilai rata-rata skor pada
siklus I pertemuan I sebesar 2.34 yang
berkategori cukup aktif dan 2.40 pada
pertemuan II dengan kategori cukup
aktif. Ini menunjukan bahwa target yang
ingin dicapai belum tercapai yaitu
dimana aktivitas guru dan siswa
minimal harus barkategori baik.
Berdasarkan analisis aktivitas guru dan
siswa, terlihat bahwa masih ada
kekurangan yaitu di antaranya
antusiasme siswa dalam belajar masih
rendah dan keaktifan siswa dalam
kelompoknya juga cukup rendah.
Sehingga perlu adanya perbaikan di
siklus II. Pada siklus II terjadi
peningkatan aktivitas mengajar guru
dari rata-rata skor 3.00 pada pertemuan
I yang berkategori aktif dan 3.42 pada
pertemuan II yang berkategori aktif.
Pada aktivitas belajar siswa nilai rata-
rata skor pada pertemuan I sebesar 3.01
yang berkategori aktif dan pada
pertemuan II sebesar 3.15 yang
berkategori aktif. Hal ini menunjukan
bahwa indikator keberhasilah sudah
tercapai.
Gamabaran untuk
peningkatan aktivitas guru dan
siswa dapat dilihat dari grafik
berikut:
Gambar 4.3 grafik
peningkatan aktifitas guru dan siswa
siklus I
Dari garifik di atas menunjukan
adanya peningkatan aktivitas guru dan
siswa pada siklus II Peningkatakan yang
terjadi di sikulus II dikarenakan
kekurangan-kekuran pada siklus I sudah
diparbaiki yaitu guru senantiasa
memotivasi siswa agar tidak malu
dalam mengungkapkan pendapat atau
pertanyaan kepada guru mengenai hal-
hal yang belum dipahaminya guru
menghimbau untuk bekerja sama
dengan kelompoknya sehingga akan
lebih dalam menemukan konsep.
Sedangkan Nilai rata-rata kelas
pada siklus I adalah 75.12 dengan
persentase ketuntasan klasikal 74.19%
dan jumlah siswa yang tuntas sebanyak
23 orang dari jumlah siswa keseluhan
sebanyak 31 orang siswa. Ini
menunjukan bahwa indicator
keberhasilah belum mencapai target
dimana ketuntasan klasikal minimalnya
yang harus dicapai yaitu 85%.
Rendahnya nilai rata-rata pada siklus I ini disebabkan siswa tidak
memperhatikan dengan baik selama
proses pemebelajaran berlangsung
2.57 3
0 0
2.713.24
0 0
2.34
3.01
0 0
2.4
3.15
0 00
2
4
6
8
10
12
14
siklus I siklus II
aktivitassiswapertemuanII
14
karna siswa masih terpengaruh oleh
keadaan di luar ruangan, masih ada
siswa yang belum memiliki
keterampilan mengidentifikasi jenis
permasalah yang muncul sehingga tidak
dapat menyelesaikan permasalahan
yang ada. Di samping itu, petunjuk yang
diberikan guru dalam memngerjakan
LKS kurang jelas, sehingga ada
kelompok yang menghabiskan waktu
lebih banyak dari alokasi waktu yang
tersedia pada rencana pelaksanaan
pemebelajaran dan guru juga kurang
memantau kegiatan siswa yang pasif
dalam kelompoknya masing-masing.
Kekurangan-kekurangan yang ada
diperbaiki pada siklus II. Nilai rata-rata
hasil belajar pada siklus II adalah 82.58
dengan persentase ketuntasan 93.99%
dan siswa yang tuntas sebanyak 29
orang dari jumlah keseluruhan 31 orang
siswa. Ini menunjukan bahwa indicator
keberhasilan sudah terpenuhi yaitu
ketuntasan klasikal ≥85% telah tercapai.
Berdasarkan uraian di atas dapat
digambarkan tentang perbandingan
persentasi ketercapaian pelaksanaan
pembelajaran antara pembelajaran
siklus I dan siklus II pada grafik
berikut:
Gambar 4.4 grafik perbandingan nilai
rata-rata hasil belajar siswa siklus I dan
siklus II
Dari grafik diatas terjadi
peningkatan pada siklus II karna
siswa sudah tidak asing lagi dengan
model pembelajaran TTW, sehingga
siswa mudah mengikuti pelajaran
dengan baik dan aktivitas brpikir,
berbicara dan menulis adalah salah
satu bentuk aktivitas mengajar fisika
yang member peluang pada siswa
untuk berpartisipasi aktif. Melalui
sktivitas tersebut siswa dapat
mengembangkan
kemampuannyadan menyampaikan
ide-ide fisika,jadi mendorong siswa
lebih aktif belajar. Dari situ
menimbulkan hasil belajar siswa
meningkta.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan
dapat di tarik kesimpulan bahwa
Penerapan model pembelajaran
think talk write (TTW) dapat
meningkatkan aktivitas belajar
dan hasil belajaar fisika siswa
kelas VIII8 SMP Negeri I Woha
tahun pelajaran 2014/2015.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, M. 2008. Dunia matematika :
Strategi Pembelajaran
Think-Talk-Write.
http://mellyirzal.blogspot.co
m/2008/12/strategi-
pembelajran-think-talk-
write.html : 23-12-2008.
Afi’ah A. 2010. Penerapan model
pembelajaran think talk
write (ttw) sebagai upaya
untuk meningkatkan
keaktifan dan prestasi
belajar siswa
kelas xi ipa 2 SMAN 6
Malang. Skripsi tidak di
publikasikan. Universitas
Kanjuruhan Malang
Fakultas Keguruan Dan
75.1282.58
74.19%93.00%
2329
0
20
40
60
80
100
siklus Isiklus II
rata-rata
ketuntasanklasikal
15
Ilmu Pendidikan Program
Studi Pendidikan Fisika.
Arikunto, S. (2010). Prosedur
Penelitian. Jakarta: Rineka
Citra
----------------(2007). Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta:
Bumi Aksara
Buchari Alma. (2008). Guru
Profesional Menguasai
Metode dan Terampil
Mengajar. Bandung:
Alfabeta.
Dimyati. (2009). Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka
Cipta.
Hardinan. 2013. Makalah Model
Pembelajaran TTW.
http://rezaliah.blogspot.com
/2013/06/makalah-model-
pembelajaran-tipe-
think.html. 14-03-2-14.
Huinker, D., & Laughlin, C. (1996).
Talk Your Way Into Writing.
Dalam Portia C. Elliot dan
Margaret J. Kenney (Eds).
Yearbook Communication
In Mathematics, K 12 and
Beyond, Reston VA: In The
National Council Of
Teacher Of Mathematics
Inc.
Ibrahim, dkk. (2001). Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya: University Press.
Kemmis, S., & Mc Taggart, R. (1990).
The Action Research Reader
3𝑟𝑑 .Substantially Revised . Victoria: Deatin University.
Suherman, E. 2008. Model Belajar dan
Pembelajaran Berorientasi
Kompetensi Siswa.
Http://model-belajar-dan-
pembelajaran.html : 17-09-
2008.
Sutarto, dkk. 2013. Desain
Pembelajaran Matematika.
Yogya: Samudra Biru.
Wiwin S.A 2013. Implementasi strategi
thing talk write melalui
belajar dalam kelompok
kecil dapat meningkatkan
aktivitas dan prestasi
belajar siswa pada materi
pokok lingkaran di kelas VI-
a SDN Genang Macan
Pacar Tahun 2012/2013 .
Skripsi tidak dipublikasikan.
Jurusan Pendidikan
Matematika, Fakultas
Pendidikan MIPA,
Universitas Pendidikan
Ganesha Singaraja.
2
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TWO STAY TWO
STRAY (TSTS) UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR FISIKA
SISWA KELAS VIII7 SMPN 1 WOHA TAHUN PELAJARAN 2014/2014.
YUS’IRAN, S.SI., M.Pd. & HAJNANG.
ABSTRAK
Kata kunci: Model pembelajaran Kooperatif Two Stay Two Stray (TSTS) dan Prestasi
Belajar Siswa.
Melihat rendahnya prestasi belajar siswa setelah proses belajar mengajar di
SMPN I Woha dan ketuntasan belajar yang belum tercapai oleh siswa dengan kriteria
ketuntasan adalah 85% secara klasikal dan 75% secara individu, di mana diketahui
bahwa hasil ulangan pada tahun pelajaran sebelumnya masih rendah dengan nilai rata-
rata 63,3 untuk pokok bahasan gaya maka peneliti mencoba menerapkan model
pembelajaran kooperatif two stay two stray untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.
Berdasarkan analisis data hasil evaluasi belajar siswa siklus I dengan nilai rata-
rata sebesar 76 dengan persentase ketuntasan belajar 76%, sehingga menunjukkan
bahwa pada siklus I belum mencapai ketuntasan klasikal dimana dikatakan tuntas secara
klasikal apabila persentase ketuntasan klasikalnya minimal 85%. Disamping itu
berdasarkan analisis data hasil observasi aktivitas belajar siswa pada siklus I pertemuan
I terlihat bahwa skor rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 3,21 dan pada pertemua II
sebesar 3,24 dengan kategori aktif.
Setelah dilakukan tindakan perbaikan pada siklus II guru memberikan evaluasi
untuk mengetahui hasil belajar siswa. Berdasarkan analisis data hasil evaluasi belajar
siswa siklus II dengan nilai rata-rata sebesar 85,20 dan persentase ketuntasan belajar
secara klasikal sebesar 100%. Di samping itu pada siklus II pertemuan I diperoleh skor
total 633 rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 3,61 dan pertemuan II diperoleh skor
total 638 rata-rata 3,64 dengan kategori sangat aktif sehingga penelitian selesai sampai
pada siklus II. Akhirnya peneliti berkesimpulan bahwa model pembelajaran kooperatif
TSTS dapat meningkatkan prestasi belajar Fisika materi gaya pada siswa kelas VIII7
SMP Negeri I Woha Tahun pelajaran 2014/2015.
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan kualitas
pengajar terus menerus dilakukan baik
kualitas pengajar atau kemampuan yang
dimiliki seorang guru maupun kualitas
siswa. Seorang guru dalam pendidikan
memegang peranan yang sangat
penting. Aqib (2013: 146) mengatakan
guru merupakan faktor penentu bagi
keberhasilan pendidikan. Guru
merupakan komponen instrumental
yang dengan kompetensi yang
dimilikinya mampu memanipulasi
situasi belajar menjadi situasi yang
menyenangkan, dengan orientasi
menghilangkan kejenuhan, kebosanan
dan mengatasi kesulitan belajar bagi
siswa, khususnya pada mata pelajaran
fisika sehingga dalam hal ini guru
memiliki peranan yang sangat
signifikan dalam mempengaruhi
peningkatan prestasi belajar siswa.
Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara dengan guru mata pelajaran
fisika di SMPN 1 Woha pada tanggal 19
September 2013 diperoleh data sebagai
berikut:
2
Tabel 1.1 Nilai rata-rata siswa mata
pelajararan fisika pokok bahasan gaya
kelas VIII7 SMP Negeri 1 Woha Tahun
Pelajaran 2013/2014. No Kelas Nilai rata-rata KKM
1 VIII5 52,20
66,6
2 VIII6 72,60
3 VIII7 52,8
4 VIII8 56,26
5 VIII9 75,5
6 VIII10 70,5
7 VIII11 70,25
(Sumber: Data Guru Mata Pelajaran
Fisika Kelas VIII SMPN 1 WohaTahun
Pelajaran 2013/2014).
Dari tabel di atas dapat dilihat
bahwa nilai rata-rata yang diperoleh
siswa khususnya kelas VIII7 masih
rendah yaitu belum mencapai kriteria
ketuntasan minimal yang berlaku di
SMPN 1 Woha. Hal ini terjadi
disebabkan oleh beberapa masalah yaitu
kurangnya rasa ingin tahu siswa pada
materi yang diajarkan, masih adanya
siswa yang keluar dari ruangan pada
saat guru menjelaskan materi, masih
adanya siswa yang bermain-main
dengan teman sebangkunya pada saat
guru menyampaikan materi dan
kurangnya kemampuan guru dalam
menggunakan model dalam mengajar.
Kondisi seperti ini harus
mendapat penanganan segera dimana
guru dituntut untuk lebih kreatif dalam
menerapkan model pembelajaran yang
tepat dalam proses belajar mengajar.
Salah satu model pembelajaran yang
akan diterapkan adalah model Two Stay
Two Stray (TSTS).
Model pembelajaran TSTS
memberikan kesempatan kepada siswa
untuk bekerja sama dengan teman satu
kelompoknya ataupun dengan teman
dalam kelompok lain, berinteraksi sosial
dengan membagikan hasil interaksinya
tersebut (Lie, 2008) TSTS ini akan
mengarahkan siswa untuk aktif, baik
dalam berdiskusi, tanya jawab, mencari
jawaban, menjelaskan dan juga
menyimak materi yang dijelaskan oleh
teman. Melalui model pembelajaran ini
siswa belajar melaksanakan tanggung
jawab pribadi dan kelompok serta saling
keterkaitan dengan rekan-rekan
sekelompoknya.
Model Pembelajaran TSTS (Two
Stay Two Stray) Model pembelajaran TSTS
merupakan salah satu model
pembelajaran dengan cara siswa berbagi
pengetahuan dan pengalaman dengan
kelompok lain, sintaknya dari model
pembelajaran ini adalah kerja
kelompok, dua siswa bertamu ke
kelompok lain dan dua siswa lainnya
tetap di kelompoknya untuk menerima
dua orang dari kelompok lain. Ide
utama dibalik TSTS ini adalah untuk
memotivasi siswa saling membagi
pengetahuan dan pengalaman dengan
kelompok lain dengan permasalahan
yang sama. Jadi, dari tiap-tiap
kelompok tersebut bisa mengetahui dan
mencocokan hasil kerja mereka dengan
hasil kerja kelompok lain.
Meskipun siswa belajar bersama, dari
semua kelompok dan tiap-tiap siswa
yang ada harus mengetahui masalah-
masalah dari kelompok lain.
Model pembelajaran kooperatif
TSTS ini adalah model pembelajaran
yang dapat membuat siswa membagi
pengetahuan dan pengalaman dalam
belajar dengan siswa yang lain,
sehingga keaktifan siswa dalam
pembelajaran dapat dimaksimalkan.
Kegiatan pembelajaran model TSTS
terdiri dari empat tahap yaitu:
1. Persiapan Pembelajaran
a. Materi
Materi pembelajaran
dalam belajar kooperatif
dengan menggunakan model
TSTS dirancang sedemikian
3
rupa untuk pembelajaran
secara berkelompok. Sebelum
penyajian pelajaran, guru
menyiapkan RPP, lembar
evaluasi, lembar observasi
dan LKS.
b. Membagi siswa dalam
kelompok
Membagi siswa dalam
satu kelas kedalam beberapa
kelompok dengan masing-
masing anggota terdiri dari 4
atau 5 orang siswa dan setiap
anggota kelompok harus
heterogen dalam hal jenis
kelamin dan prestasi
akademik siswa.
2. Presentasi Guru
Dalam tahap ini selalu
dimulai dengan penyajian materi
oleh guru. Sebelum menyajikan
materi pelajaran, guru dapat
memulai dengan menjelaskan
tujuan pelajaran, memberikan
motivasi untuk berkooperatif,
menggali pengetahuan prasyarat
dan sebagainya. Dalam
penyajian kelas dapat digunakan
metode ceramah, tanya jawab
dan sebagainya, disesuaikan
dengan isi bahan ajar dan
kemampuan siswa.
3. Kegiatan Kelompok
Dalam kegiatan ini,
pembelajarannya menggunakan
lembar kegiatan yang berisi
tugas-tugas yang harus dipelajari
oleh tiap-tiap siswa dalam satu
kelompok. Setelah menerima
lembar kegiatan yang berisi
permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan konsep
materi dan klasifikasinya, siswa
mempelajarinya dalam
kelompok kecil yaitu
mendiskusikan masalah tersebut
bersama-sama anggota
kelompoknya. Masing-masing
kelompok menyelesaikan atau
memecahkan masalah yang
diberikan dengan cara mereka
sendiri. Kemudian 2 dari 4
anggota dari masing-masing
kelompok meninggalkan
kelompoknya dan bertamu ke
kelompok yang lain secara
terpisah, sementara 2 anggota
yang ada dalam kelompok
bertugas membagikan hasil kerja
dan informasi mereka ke tamu
mereka. Setelah memperoleh
informasi 2 anggota yang mohon
diri kembali ke kelompok
masing-masing dan melaporkan
temuannya dari kelompok lain
tadi serta mancocokkan dan
membahas hasil-hasil kerja
mereka.
4. Formalisasi
Setelah belajar dalam
kelompok dan menyelesaikan
permasalahan yang diberikan,
perwakilan dari tiap-tiap
kelompok mempresentasikan
hasil diskusi kelompoknya untuk
dikomunikasikan atau
didiskusikan dengan kelompok
lainnya. Kemudian guru
membahas dan mengarahkan
siswa ke bentuk formal.
Adapun langkah-
langkah model pembelajaran
TSTS (dalam Lie, 2002: 60-61)
adalah sebagai berikut:
a) Siswa dibagi ke dalam
beberapa kelompok, masing-
masing kelompok terdiri dari
4 atau 5 orang siswa.
b) Siswa bekerja sama dalam
kelompok tersebut.
c) Setelah selesai, dua orang
dari masing-masing
kelompok bertamu ke
kelompok lain.
d) Dua orang yang tinggal
dalam kelompok bertugas
4
membagikan hasil kerja dan
informasi mereka ke tamu.
e) Tamu kembali ke kelompok
mereka sendiri dan
melaporkan temuan mereka
dari kelompok lain.
f) Kelompok mencocokan dan
membahas hasil kerja
mereka.
Kelebihan dan
Kelemahan model
pembelajaran TSTS
kelebihan yang diperoleh dari
model pembelajaran TSTS
adalah sebagai berikut:
a) Dapat diterapkan pada
semua tingkatan/kelas.
b) Kecenderungan belajar
siswa menenjadi lebih
bermakna.
c) Lebih berorientasi pada
keaktifan.
d) Diharapkan siswa akan
berani mengungkapkan
pendapatnya.
e) Menambah kekompakan
dan rasa percaya diri
siswa.
f) Kemampuan berbicara
siswa dapat ditingkatkan.
g) Membantu meningkatkan
minat dan prestasi belajar
siswa.
kelemahan model
pembelajaran TSTS adalah
sebagai berikut:
a) Membutuhkan waktu yang
lama.
b) Siswa cenderung tidak
mau belajar dalam
kelompok.
c) Bagi guru membutuhkan
banyak persiapan (materi
dan tenaga).
d) Guru cenderung kesulitan
dalam mengelola kelas.
Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah sebuah
kalimat yang terdiri dari dua kata,
yakni “belajar”. Antara kata “prestasi”
dan “belajar” mempunyai arti yang
berbeda. Prestasi adalah hasil dari suatu
kegiatan yang telah dikerjakan,
diciptakan baik secara individu maupun
kelompok. Prestasi tidak akan pernah
dihasilkan selama seseorang tidak
melakukan suatu kegiatan dalam
kenyataan, untuk mendapatkan prestasi
tidak semudah yang dibayangkan, tetapi
penuh perjuangan dengan berbagai
tantangan yang harus dihadapi untuk
mencapainya. Hanya dengan keuletan
dan optimisme dirilah yang dapat
membantu untuk mencapainya.
Sedangkan belajar adalah suatu aktivitas
yang dilakukan secara sadar untuk
mendapatkan sejumlah kesan dari bahan
yang telah dipelajari. Hasil dari aktivitas
belajar terjadilah perubahan dalam diri
individu. Dengan demikian, belajar
dikatan berhasil bila telah terjadi
perubahan dalam diri individu.
Sebaliknya, bila tidak terjadi perubahan
dalam diri individu, maka belajar
dikatakan tidak berhasil ( Djamarah,
1991: 19-20).
Teori Sibernetik, belajar adalah
pengolahan informasi. Seolah-olah teori
ini mempunyai kesamaan dengan teori
kognitif yaitu mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajar. Proses
belajar memang penting dalam teori
Sibernetik, namun yang lebih penting
lagi adalah sistem informasi yang
diproses yang akan dipelajari siswa.
Informasi inilah yang akan menentukan
proses. Bagimana proses belajar akan
berlangsung, sangat ditentukan oleh
sistem informasi yang dipelajari.
Sagala (2007: 57) menyatakan
prestasi adalah hasil yang diperoleh dari
suatu kegiatan yang dilakukan atau
dikerjakan baik secara individu maupun
kelompok. Sementara Nurkancana
(1990: 11) bahwa prestasi belajar
5
merupakan hasil yang dapat dicapai
oleh seseorang setelah yang
bersangkutan mengalami proses belajar
dalam jangka waktu tertentu.
Berdasarkan teori-teori di atas
maka dapat peneliti simpulkan bahwa
Prestasi belajar adalah hasil yang
dicapai oleh seseorang setelah
melakukan suatu kegiatan yang
dilakukan baik secara individu maupun
secara kelompok. Dengan demikian
prestasi merupakan perubahan-
perubahan yang dicapai, diukur dan
dinilai yang kemudian diwujudkan
dalam angka dan pernyataan. Alat ukur
yang digunakan adalah menggunakan
tes.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah
penelitian tindakan kelas (PTK).
Penelitian tindakan kelas (PTK)
merupakan suatu penelitian yang
mengangkat masalah-masalah aktual
yang dihadapi oleh guru di lapangan
(Usman, 2008: 217), Pada PTK ini
penelitiannya dilakukan secara
sistematis terhadap berbagai aksi atau
tindakan yang dilakukan oleh guru atau
peneliti, mulai perencanaan sampai
dengan penilaian terhadap tindakan
nyata di kelas yang berupa kegiatan
belajar-mengajar untuk memperbaiki
kondisi pembelajaran yang dilakukan.
Kehadiran peneliti di sekolah
SMP Negeri I Woha adalah sebagai
guru sekaligus berperan dalam
keseluruhan proses penelitian. Peneliti
disini selain bertindak sebagai pengajar
dalam proses pembelajaran juga
pengumpul data, penganalisis, dan
pelapor hasil penelitian. Untuk
pengumpulan data yang diperlukan,
peneliti dibantu oleh guru fisika.
Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas VIII7 semester ganjil di SMP
Negeri I Woha tahun pelajaran
2014/2015 yang berjumlah 25 orang
siswa, yang terdiri dari 12 orang siswa
laki-laki dan 13 orang siswa perempuan.
Rancangan Tindakan
Penelitian tindakan kelas
(PTK) ini dilaksanakan dua siklus
dengan skenario pembelajaran yang
terdiri dari 5 (lima) tahapan
kegiatan yaitu:
1. Tahap Perencanaan.
a) Membuat rencana
pembelajaran (RPP).
b) Menyiapkan lembar kerja
siswa (LKS).
c) Membuat lembaran evaluasi
berupa tes tulis untuk
mengetahui kemampuan
siswa dalam memahami
materi yang telah diajarkan.
d) Membuat lembar observasi
untuk mengamati aktivitas
belajar siswa dan guru dalam
proses belajar-mengajar
melalui model TSTS.
2. Tahap Pelaksanaan tindakan.
Adapun kegiatan yang
dilakukan pada tahap ini adalah
melaksanakan rencana
pembelajaran yang telah
direncanakan.
3. Tahap Observasi/Pengamatan
Selama pelaksanaan
tindakan diadakan observasi.
Dalam observasi ini akan
diamati aktivitas guru yang
nampak selama proses
pembelajaran. Semua akivitas
guru dicatat dalam lembar
observasi yang telah disiapkan
4. Evaluasi
Setelah materi selesai
diajarkan perlu diadakan
evaluasi (uji kompetensi) untuk
mengetahui sejauh mana
pengetahuan siswa dalam
memahami materi yang telah
diajarkan.
5. Refleksi
6
Pada tahap ini hasil yang
diperoleh dari evaluasi belajar
siswa dikumpulkan serta
dianalisis sehingga dari hasil
tersebut peneliti dapat
merefleksi diri dengan melihat
data aktivitas pengamatan dan
evaluasi yang dicapai oleh
siswa.
Jika hasil yang diperoleh
pada pelaksanaan siklus I belum
mencapai indikator keberhasilan,
maka akan dilakukan perbaikan
pada siklus berikutnya.
Instrumen Penelitian
Menurut Ahmad Usman
(2008: 298) instrumen penelitian
adalah alat untuk memperoleh data.
Agar data yang diperoleh sesuai
yang diharapkan maka diperlukan
instrumen pengumpulan data yang
baik. Adapun instrumen yang
dipakai dalam penelitian ini adalah:
1. Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP)
Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) digunakan
sebagai panduan oleh guru agar
keterlaksanaan proses
pembelajaran sesuai yang
direncanakan.
2. Lembar Observasi Aktivitas
Belajar Siswa
Lembar observasi aktivitas
belajar siswa untuk mengetahui
kegiatan siswa selama proses
pebelajaran berlangsung.
3. Lembar Observasi Aktivitas
Guru
Lembar observasi aktivitas
guru untuk mengetahui kegiatan
guru selama proses
pembelajaran berlangsung.
4. Lembar Kerja Siswa (LKS)
Lembar kerja siswa yang
bertujuan untuk menguji
kemampuan berpikir siswa.
5. Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar masing-
masing 20 (dua puluh) butir soal
pilihan ganda untuk setiap
siklus.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan
untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini antara lain:
1. Sumber data
Sumber data dalam
penelitian ini berasal dari siswa
yang berjumlah 25 orang di
kelas VIII7 SMPN I Woha tahun
pelajaran 2014/2015.
2. Jenis Data
Jenis data pada
penelitian ini adalah data
kuantitatif dan data kualitatif
yang terdiri dari :
a. Data evaluasi hasil belajar
siswa
b. Data aktivitas siswa dan guru
3. Cara pengambilan data
Pada penelitian ini cara
pengambilan data yang
dilakukan peneliti adalah
sebagai berikut :
a. Data tentang aktivitas guru
dan siswa diperoleh dari lembar
observasi.
b. Data evaluasi hasil belajar
siswa diperoleh dengan
memberikan tes pada setiap
akhir siklus.
Teknik Analisis Data
Amiruddin dalam Ahmad Usman
(2008: 379) menjelaskan bahwa
“analisis data adalah proses
penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan. Dalam proses ini
sering kali digunakan statistik. Salah
satu fungsi statistik adalah
7
penyederhanaan data penelitian yang
amat besar jumlahnya menjadi
informasi yang lebih sederhana dan
lebih mudah untuk dipahami.
Menganalisis data merupakan
suatu langkah yang sangat kritis dalam
penelitian. Peneliti harus memastikan
pada analisis mana yang digunakan,
apakah analisis statistik atau non
statistik. Pemilihan ini tergantung pada
jenis data yang akan dikumpulkan untuk
dianalisis (Aqib, 2006: 135). Di
samping itu, statistik membandingkan
hasil yang diperoleh dengan hasil yang
terjadi secara kebetulan, sehingga
memungkinkan peneliti untuk menguji
apakah hubungan sistematis secara
variabel-variabel penelitian, atau hanya
terjadi secara kebetulan.
Analisis data yang diperoleh dari
hasil penelitian tindakan kelas ini
adalah sebagai berikut:
1. Data aktivitas belajar siswa
Setiap indikator perilaku
siswa pada penelitian ini cara
penskorannya berdasarkan
aturan sebagai berikut:
Skor 5 diberikan jika semua
deskriptor nampak
Skor 4 diberikan jika 3
deskriptor nampak
Skor 3 diberikan jika 2
deskriptor nampak
Skor 2 diberika jika 1 deskriptor
nampak
Skor 1 diberikan jika tidak ada
deskriptor yang nampak
Data aktivitas belajar
siswa dianalisis dengan rumus
sebagai berikut:
AS = ni
x
.
Keterangan : As = aktivitas
belajar siswa
x = skor
masing-masing indikator
i =
banyaknya indikator
n =
banyaknya siswa
Skor maksimum ideal
(SMI) merupakan skor yang
tertinggi aktivitas siswa yang
didapat apabila semua deskriptor
yang diamati nampak yaitu skor
5. Untuk menilai kategori
aktivitas siswa, ditentukan
terlebih dahulu oleh MI dan
SDI, dimana MI adalah Mean
Ideal sedangkan SDI adalah
Standar Deviasi Ideal. Untuk
menentukan MI dan SDI adalah
sebagai berikut :
a. Menentukan Mean Ideal (MI)
dan Standar Deviasi Ideal
(SDI)
MI = 2
1 (skor tertinggi +
skor terendah)
SDI= 6
1 (skor tertinggi –
skor terendah)
b. Menentukan aktivitas belajar
siswa
Berdasarkan skor
standar, maka kriteria untuk
menentukan aktivitas belajar
siswa dijabarkan pada tabel
3.1 berikut:
Tabel 3.1 Pedoman Konversi
Penilaian Interval Kategori
MI + 1,5 SDI ≤ A Sangat Aktif
MI + 0,5 SDI ≤ A < MI + 1,5
SDI
Aktif
MI - 0,5 SDI ≤ A < MI + 0,5
SDI
Cukup Aktif
MI - 1,5 SDI ≤ A < MI - 0,5
SDI
Kurang Aktif
A < MI -1,5 SDI Sangat Kurang Aktif
Sumber: Arikunto dalam
Lamp M. Hatta ( 2012: 10)
2. Data Aktivitas Guru Penilaian terhadap
aktivitas guru dilakukan secara
langsung selama proses belajar
8
mengajar. Adapun indikator
untuk setiap aktivitas guru
dianalisis dengan kriteria
penilaian sebagai berikut:
(a) Skor 4 diberikan jika 3
deskriptor nampak
(b) Skor 3 diberikan jika 2
deskriptor nampak
(c) Skor 2 diberikan jika 1
deskriptor nampak
(d) Skor 1 diberikan jika
deskriptor tidak nampak
Berdasarkan skor yang
diperoleh, maka dapat dianalisis
dengan rumus sebagai berikut:
Ag = i
x
Keterangan:
Ag = aktivitas guru
x = skor masing-
masing indikator
i = banyaknya
indikator
3. Data Prestasi Belajar
Untuk mengetahui
prestasi belajar siswa, hasil tes
belajar dianalisis secara
deskriptif, yaitu menentukan
skor rata-rata hasil tes belajar
siswa dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Rumus rata-rata hasil belajar
siswa:
M = n
xi
Keterangan : M = mean
(rata-rata)
x i = skor
yang diperoleh
masing-masing siswa
n =
banyaknya siswa
Prestasi belajar siswa
dikatakan meningkat apabila
terjadi peningkatan rata-rata
skor dari rata-rata skor
sebelumnya. Indikator
keberhasilan penelitian ini
adalah tercapainya ketuntasan
belajar, dengan rumus sebagai
berikut :
KB = N
P . 100 %
Keterangan :
KB = Ketuntasan belajar
P = Banyaknya siswa
yang memperoleh nilai minimal 75.
N = Banyaknya siswa
Ketuntasan belajar
tercapai jika 85% siswa
memperoleh skor minimal 75
yang akan terlihat pada hasil
evaluasi tiap-tiap siklus.
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan
penelitian tindakan kelas ini adalah
adanya peningkatan keaktifan dan
ketuntasan hasil belajar siswa
dengan acuan sebagai berikut:
1. Apabila prestasi belajar siswa
yang menunjukan minimal 85 %
siswa mencapai nilai 75. 2. Minimal keaktivan siswa
berkategori aktif.
HASIL PENELITIAN
Kegiatan observasi
dilakukan secara kontinyu
setiap kali pembelajaran
berlangsung dalam
pelaksanaan tindakan dengan
mengamati aktivitas belajar
siswa dan aktivitas guru.
1). Hasil observasi aktivitas
belajar siswa
Tabel 4.1 Data aktivitas
belajar siswa siklus I Sikl
us
Pertemu
an
Bany
ak
siswa
Bany
ak
item
Tot
al
skor
Rat
a-
rata
katego
ri
I
I 25 7 563 3,21 Aktif
II 25 7 568 3,24 Aktif
Berdasarkan tabel
4.1 di atas terlihat bahwa
9
pada siklus I pertemuan I
diperoleh total skor 563
dengan rata-rata 3,21
berkategori aktif, dan
pada siklus I pertemuan
II diperoleh total skor
568 dengan rata-rata 3,24
berkategori aktif. Hal ini
membuktikan bahwa
aktivitas belajar siswa
pada siklus I sudah aktif.
Namun pada siklus I
belum mencapai
indikator keberhasilan
yang ingin dicapai oleh
peneliti, yaitu persentase
ketuntasan klasikalnya ≥
85 %. Hal Ini disebabkan
karena pada siklus I
masih terdapat
kekurangan-kekurangan
seperti berikut:
a). Kerja sama dan
komunikasi siswa
dalam diskusi
kelompok masih
kurang.
b) Para siswa
mempersentasikan
hasil diskusi masih
didominasi oleh satu
atau dua orang yang
berani bicara saja
sedangkan yang
lainnya hanya diam.
c) Siswa yang
berkemampuan
rendah tidak mau
bertanya kepada
temannya yang
mempunyai
kemampuan tinggi
d) Guru kurang mampu
menciptakan suasana
diskusi yang
kondusif dengan
menggunakan model
pembelajaran
kooperatif TSTS.
e). Pengaturan waktu
dan kegiatan secara
kelompok masih
kurang
2). Hasil observasi aktivitas
guru
Tabel 4.2 Data aktivitas
guru siklus I Siklu
s
Pertemua
n
Banya
k item
Total
skor
Rata-
rata
kategori
I
I 9 20 2,2 Kurang aktif
II 9 22 2,4 Cukup aktif
Selama proses
pembelajaran
berlangsung dilakukan
observasi. Dari hasil
observasi aktivitas guru
diperoleh data pada
siklus I pertemuan I total
skor 20 dan rata-rata skor
2,2 berkategori kurang
aktif, dan pada
pertemuan II total skor
22 rata-rata skor 2,4
berkategori cukup aktif.
1. Evaluasi Evaluasi dilaksanakan
pada hari selasa tanggal 19
Agustus 2014 selama 40
menit. Berdasarkan hasil
evaluasi yang telah
dilaksanakan diperoleh data
sebagaimana tercantum
dalam tabel 4.3 berikut:
Tabel 4.3 Hasil evaluasi prestasi belajar
siswa siklus I N
o
Keterangan Jumlah
1 Banyak siswa yang mengikuti
tes
25 orang
2 Nilai rata-rata kelas 76
3 Jumlah siswa yang tuntas 19 orang
4 Jumlah siswa yang tidak tuntas 6 orang
5 Ketuntasn klasikal 76%
10
Dari Tabel 4.3 di atas
diketahui bahwa prestasi
belajar siswa dengan
menggunakan model
pembelajaran kooperatif
TSTS mengalami
peningkatan, bila
dibandingkan dengan nilai
rata-rata siswa pada materi
gaya tahun pelajaran
2013/2014 sebelum
ditererapkannya model
pembelajaran kooperatif
TSTS dengan nilai rata-rata
63,3. Setelah model
pembelajaran ini diterapkan
maka nilai rata-rata siswa
mengalami peningkatan
sebesar 76. Nilai tersebut
menunjukan bahwa rata-rata
nilai siswa mengalami
peningkatan sebesar 12,7.
Akan tetapi evaluasi prestasi
belajar siswa siklus I di atas
menunjukan bahwa
persentase ketuntasan klasikal
belum tercapai dengan
persentase 76% kurang dari
85%. Karena ketuntasan
klasikal tercapai apabila
banyaknya siswa yang tuntas
≥ 85%.
2. Refleksi
Berdasarkan analisis
data hasil belajar siswa pada
siklus I ternyata belum
memenuhi indikator
keberhasilan penelitian secara
keseluruhan maka penelitian
dilanjutkan ke siklus II,
dengan pelaksanaan pada
siklus II memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang
muncul pada siklus I.
Perbaikan-perbaikan yang
perlu dilakukan serta
peningkatan hal-hal yang
dianggap kurang adalah
sebagai berikut:
a). Kerja sama dan
komunikasi siswa dalam
diskusi kelompok harus
di tingkatkan
b) Semua siswa harus siap
untuk mempresentasekan
hasil diskusi kelompok
masing-masing agar
tidak didominasi oleh
satu orang saja.
c) Siswa yang belum
memahami harus banyak
bertanya kepada
temannya yang sudah
paham dengan materi
yang didiskusikan.
d) Guru harus mampu
menciptakan suasana
diskusi yang kondusif
dalam menggunakan
model pembelajaran
kooperatif TSTS.
e). Pengaturan waktu dan
kegiatan secara
kelompok harus
dimaksimalkan.
2. SIKLUS II
Observasi (observation) 1). Hasil observasi aktivitas
belajar siswa.
Tabel 4.4 Data aktivitas
belajar siswa siklus II Sik
lus
Pertem
uan
Ban
yak
sisw
a
Ban
yak
item
S
k
or
to
ta
l
R
at
a-
rat
a
Kategor
i
II
I 25 7 6
3
3
3,
61
Sangat
aktif
II 25 7 6
3
8
3,
64
Sangat
aktif
Berdasarkan tabel
4.4 di atas terlihat adanya
peningkatan pada siklus
II, hal ini dapat dilihat
dari perolehan total skor
pertemuan I sebesar 633
11
rata-rata sebesar 3,61 dan
pertemuan ke II dengan
total skor 638 rata-rata
3,64. Hasil ini tergolong
dalam kategori sangat
aktif. Ini berarti cara
belajar siswa dengan
diterapkannya model
pembelajaran kooperatif
TSTS dapat
meningkatkan prestasi
belajar fisika siswa kelas
VIII7.
2). Hasil observasi kegiatan
guru.
Tabel 4.5 Data aktivitas
guru siklus II Siklu
s
Pertemua
n
Banya
k item
Total
skor
Rata
-rata
Kategori
II
I 9 26 2,9 Aktif
II 9 29 3,22 Aktif
Selama proses
pembelajaran
berlangsung dilakukan
observasi. Dari hasil
observasi aktivitas guru
diperoleh data pada
siklus II pertemuan I
total skor 26 dan rata-rata
skor 2,9 berkategori
aktif, dan pada
pertemuan II total skor
29 rata-rata skor 3,22
berkategori aktif.
Berdasarkan hasil
observasi pada siklus II selama proses belajar
mengajar diperoleh data
bahwa guru sudah
melaksanakan kegiatan
mengajar sesuai dengan
rencana pembelajaran
yang sudah disiapkan.
d. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi dilaksanakan
pada hari sabtu tanggal 30
Agustus 2014 selama 40
menit. Berdasarkan hasil
evaluasi yang telah
dilaksanakan diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel 4.6 Hasil evaluasi prestasi belajar
siswa siklus II No Keterangan Jumlah
1 Bannyaknya siswa yang
mengikuti tes
25 orang
2 Nilai rata-rata kelas 85,20
3 Jumlah siswa yang tuntas 25 orang
4 Jumlah siswa yang tidak
tuntas
-
5 Ketuntasan klasikal 100%
Berdasarkan Tabel 4.6
dapat diketahiu bahwa
prestasi belajar siswa dengan
menggunakan model
pembelajaran kooperatif
TSTS mengalami
peningkatan. Pada siklus I
nilai rata-rata siswa adalah 76
kemudian mengalami
peningkatan sebesar 9,20
dengan ketuntasan klasikal
100%. Siswa yang mendapat
nilai ≥ 75 sebanyak 25 orang.
Hal ini menunjukan bahwa
prestasi belajar siswa pada
siklu II Telah memenuhi
indikator keberhasilan.
e. Refleksi (revlection)
Pada tes evaluasi hasil
belajar siswa siklus II sudah
memenuhi indikator
keberhasilan yang telah
ditentukan sebelumnya
dimana didapat nilai rata-rata
adalah 85 dengan persentase
ketuntasan belajar klasikal
mencapai 100% dan aktivitas
belajar Fisika siswa dengan
diterapkannya model
pembelajaran kooperatif
12
TSTS diperoleh kategori
aktif. Jadi penelitian ini
berhenti pada siklus II.
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan
sesuai dengan prosedur penelitian
tindakan kelas yang telah ditetapkan
sebelumnya dengan diawali pada
perencanaan, pelaksanaan tindakan,
observasi, evaluasi dan refleksi.
Pada pelaksanaan tindakan
dilaksanakan tiga kali kegiatan
pembelajaran yaitu dua kali
pertemuan untuk kegiatan
pembelajaran dan satu kali
pertemuan evaluasi melalui model
pembelajaran kooperatif TSTS pada
materi gaya.
Berdasarkan analisis data
hasil evaluasi belajar siswa siklus I
dengan nilai rata-rata sebesar 76
dengan persentase ketuntasan
belajar 76%, sehingga menunjukkan
bahwa pada siklus I belum
mencapai ketuntasan klasikal
dimana dikatakan tuntas secara
klasikal apabila persentase
ketuntasan klasikalnya minimal
85%. Disamping itu berdasarkan
analisis data hasil observasi aktivitas
belajar siswa pada siklus I
pertemuan I terlihat bahwa skor
rata-rata aktivitas belajar siswa
sebesar 3,21 dan pada pertemua II
sebesar 3,24 dengan kategori aktif.
Pada Siklus II guru
melakukan perbaikan terhadap
kekurangan yang terdapat pada
Siklus I dengan tetap menerapkan
model pembelajaran kooperatif
TSTS. Adapun tindakan yang
dilakukan untuk memperbaiki
kekurangan tersebut adalah guru
semaksimal mungkin menciptakan
suasana diskusi kelompok yang
menyenangkan dengan memberikan
beberapa pertanyaan dan
kesempatan kepada masing-masing
anggota kelompok untuk bertanya
mengenai materi-materi yang belum
dipahami, sehingga materi dapat
dipahami dan dimengerti, Di
samping itu guru harus
memperhatikan Penggunaan waktu
agar lebih efektif dan efisien. Guru
juga harus bisa meyakinkan dan
memberikan semangat kepada
semua anggota kelompok untuk
berani mencoba mempresentasikan
hasil diskusi mereka walaupun
salah.
Setelah dilakukan tindakan
perbaikan pada siklus II guru
memberikan evaluasi untuk
mengetahui hasil belajar siswa.
Berdasarkan analisis data hasil
evaluasi belajar siswa siklus II
dengan nilai rata-rata sebesar 85,20
dan persentase ketuntasan belajar
secara klasikal sebesar 100%. Di
samping itu pada siklus II
pertemuan I diperoleh skor total 633
rata-rata aktivitas belajar siswa
sebesar 3,61 dan pertemuan II
diperoleh skor total 638 rata-rata
3,64 dengan kategori sangat aktif
sehingga penelitian selesai sampai
pada siklus II. Ini membuktikan
bahwa dengan diterapkannya model
pembelajaran koopertif TSTS siswa
lebih termotivasi untuk mau bekerja
sama, berbagi ide sehingga proses
pembelajaran akan lebih aktif dan
bermakna.
Dengan demikian model
pembelajaran kooperatif TSTS
mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap prestasi belajar
Fisika. Hal ini disebabkan karena
penerapan model pembelajaran
kooperatif TSTS bisa memberikan
keleluasaan pada siswa untuk
mengembangkan dan melatih diri
untuk berani mengemukakan dan
mempertahankan ide-ide sehingga
dapat membangkitkan partisipasi
13
dan semangat dalam diri siswa
untuk mengikuti pelajaran. Di
samping itu model pembelajaran
koopertif TSTS dapat
memungkinkan timbulnya kerja
sama antara siswa dengan siswa,
siswa dengan guru sehingga siswa
dan guru sama-sama aktif dan
proses pembelajaran berjalan
dengan baik.
Dalam menerapkan model
pembelajaran kooperatif TSTS
siswa akan diaktifkan dalam
pembelajaran dengan cara siswa
bekerja sama dalam kelompoknya
dan saling berbagi ide dengan teman
dalam satu kelompoknya maupun
dengan teman dalam kelompok lain.
Dengan demikian model
pembelajaran TSTS dapat
diterapkan pada materi gaya karena
dalam penelitian ini peneliti tidak
menemukan kendala yang berarti.
Akhirnya peneliti berkesimpulan
bahwa model pembelajaran
kooperati TSTS dapat meningkatkan
prestasi belajar Fisika materi gaya
pada siswa kelas VIII7 SMP Negeri
I Woha Kabupaten Bima.
PENUTUP
Berdasarkan hasil dan
pembahasan dari penelitian ini,
maka dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran kooperatif
TSTS dapat meningkatkan prestasi
belajar Fisika siswa kelas VIII7
SMPN I Woha tahun pelajaran
2014/2015. Hal ini dapat diketahui
dari nilai prestasi belajar siswa
siklus I dengan rata-rata sebesar 76
dan ketuntasan klasikal sebesar
76%, dan mengalami peningkatan
pada siklus II dengan nilai rata-rata
prestasi belajar 85,20 dan
ketuntasan klasikal menjadi 100%.
Selain itu juga dapat dilihat dari
hasil yang diperoleh melalui lembar
observasi aktivitas belajar siswa
yaitu sebesar 3,21 pada siklus I
pertemuan I dan 3,24 pada
pertemuan II yang tergolong aktif.
Pada siklus II mengalami
peningkatan sebesar 3,61 pada
pertemuan I dan 3,64 pada
pertemuan II yang tergolong sangat
aktif. Ini menandakan bahwa
penerapan model pembelajaran
kooperatif TSTS dapat
meningkatkan prestasi belajar fisika
siswa kelas VIII7 SMPN I woha
pada materi gaya tahun pelajaran
2014/2015.
DAFTAR PUSTAKA
Asma, Nur. 2006. Model Pembelajaran
Kooperatif. Penerbit
Dikti
Arikunto, Suharsimi. 2006. Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Aqib, Zainal. 2006. Penelitian Tindakan
Kelas. Bandung.
Yrama Widya
Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Prestasi
Belajar dan Kompetensi
Guru. Jakarta: Usaha
Nasional
Khasanah, Uswatun. 2009. Penerapan
PembelajaranKooperatif
Model Two Stay Two Stray (
DuaTinggalDuaTamu ) .
FMIPA UM Malang.
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning.
Jakarta :
Grasindo
Nurkancana, 1990. Evaluasi hasil
Belajar. Usaha Nasional: Surabaya.
Rosjjidan, dkk. 1996. Belajar dan
Pembelajaran
Malang. IKIP
Malang
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative
learning.
14
Boston: Allyn
bacon
Usman, Ahmad, 2008. Mari Belajar
Meneliti. Genta Pres:
Yogyakarta