jurnal pettarani election review
TRANSCRIPT
i Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
JURNAL PETTARANI ELECTION REVIEW
Volume 1 Nomor 1 Mei 2020
DEWAN REDAKSI
Mitra Bestari (peer review)
Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H
Dr. Romi Librayanto, S.H, M.H
Dr. Mansyur Radjab, M.Si
Penasehat Pembina
Drs. H. L. Arumahi, M.H.
Dr. Adnan Jamal, S.H., M.H. Amrayadi, S.H.
Asradi, S.E. M.H.
Azry Yusuf, SH., MH. Hasmaniar Bachrun, S.Pi
Drs. Saiful Jihad, M. Ag.
Penanggung Jawab Redaktur
Sudirman Rahim, SE, MM Nurmalawati Pulubuhu, S.IP
Penyunting/ editor Desain grafis
Abdi, S.H. Hasryiadin, S.Kom
Fotografer Sekretariat
Chaidir Pratama, S.sos Hertaslin, S.H
Nuzri Isla, S.T Irwan Surya Dermawan S.M
ii Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
PENGANTAR REDAKSI
Sebagai sebuah siklus berkala yang dilakukan dalam negara Demokrasi, penyelenggaraan Pemilu
Demokratis pasca reformasi tahun 1998 yang dilaksanakan pertama kali pada tahun 1999 dan Pemilihan
Kepala daerah pada tahun 2005 hingga yang terakhir Pemilu Serentak tahun 2019, telah terjadi berbagai
dinamika dan perkembangan, hal ini menjadikan Pemilu / Pemilihan sesuatu yang dinamis dan menarik
untuk selalu dibahas.
Jurnal Pettarani Election Review mencoba mengangkat berbagai tema dalam pelaksanaan Pemilu/
Pemilihan, Pada Volume 1 Nomor 1 Mei 2020 menyuguhkan 8 karya yang membahas persoalan seputar
Pemilu dan Pemilihan.
Artikel pertama berjudul “Perbandingan Penanganan Pelanggaran Administrasi Antara Pemilu Dan
Pemilihan” Anas Malik dalam artikel ini membahas Perbedaan durasi waktu penanganan, untuk Pemilu
7 hari sedangkan untuk Pemilihan 3 hari; Perbedaan metode penanganan, dimana dalam Pemilu,
penanganannya di Bawaslu RI, Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan mekanisme adjudikasi dan
melahirkan produk Putusan Bawaslu, sedangkan dalam Pemilihan penanganan laporan oleh Bawaslu
Provinsi atau Kabupaten/Kota bahkan hingga Panwascam dan Pengawas Kelurahan/Desa (PKD) dengan
produk Rekomendasi kepada KPU Provinsi/Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti; Terdapat perbedaan
dari segi konsekuensi oleh KPU berjenjang jika tidak melaksanakan rekomendasi atau Putusan
Pelanggaran Administrasi Bawaslu.
Artikel kedua berjudul “Analisis Hukum Pencalonan Anggota Dpd Berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/Puu-Xvi/2018”. Ambar Sidik dalam artikel ini membahas ratio decidendi Putusan
MK nomor 30/PUU-XVI/2018 dan akibat hukum Putusan MK nomor 30/PUU-XVI/2018.
Artiel ketiga berjudul “Analisis Hukum Terhadap Nomenklatur Putusan Bawaslu Dalam Penyelesaian
Sengketa Proses Pemilu”. Muh. Alan Saputra D dalam artikel ini membahas nomenklatur yang
diterbitkan bawaslu pada penyelesaian sengketa proses pemilu. Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilu menyebutkan bahwa bawaslu mengeluarkan “putusan”. Sementara, putusan
sesungguhnya adalah produk hukum yang hanya diterbitkan oleh hakim (pengadilan), dan bawaslu
bukanlah suatu badan peradilan. Hal ini penting dilakukan karena setiap istilah yang berbeda
mempunyai penafsiran dan akibat hukumnya masing-masing.
Artikel keempat berjudul “Urgensi Pendidikan Politik Dalam Menciptakan Pemilu Damai Di Sulawesi
Selatan (Pendekatan Sosiologi Politik)”. Askar Nur dalam artikel ini membahas tentang urgensi dari
pendidikan politik dalam upaya menciptakan situasi dan kondisi damai dalam prosesi pemilihan umum
(Pemilu) di Sulawesi Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan
metode kualitatif dan pendekatan sosiologi politik Maurice Duverger.
Artikel kelima berjudul “ Mendorong Transparansi Informasi Calon Kepala Daerah Berbasis Web
Dalam Rangka Mewujudkan Pemilih Yang Cerdas Dan Meminimalisir Penyebaran Hoaks Menjelang
Pilkada”. Dermawan Indar Jaya dan Aurelia Vanessa dalam artikel ini membahas terkait partisipasi
masyarakat berperan penting dalam proses pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh
rakyat. Oleh karena itu, dalam memilih calon pemimpin kepala daerah, sebagai pemilih yang cerdas,
masyarakat seharusnya dapat terlebih dahulu mencari tahu informasi mengenai pasangan calon kepala
daerah yang akan berlaga memperebutkan kursi politik daerah. Namun, di era digitalisasi informasi ini,
penyebaran hoaks nyatanya sangat deras dan tak terbendung. Apalagi mendekati pemilihan kepala
daerah, banyaknya info-info yang tidak akurat dan berpotensi hoaks bertebaran di jagad internet
Artikel keenam berjudul “Peran Penting Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda Dalam
Meminimalisasi Penyalahgunaan Hak Suara Pemilih Pemula Di Indonesia”. Muhammad Aswar
Basri dan Reza Matulatan dalam artikel ini membahas pemilih pemula yang akan berpartisipasi dalam
pemilihan umum merupakan sasaran yang rentan untuk penyogokan dan intervensi hak suara oleh
iii Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
beberapa oknum atau pihak yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, dalam menjawab tantangan
tersebut maka diperlukan peran bawaslu dan berbagai elemen terkait dalam memberikan pendidikan
politik. Tulisan ini akan menjelaskan tentang seberapa penting peran pendidikan politik untuk generasi
muda dan keterkaitannya dengan pemilih pemula.
Artikel ketujuh berjudul “Election (E-Vote For Regional Head's Selection In Red Zone): Upaya
Optimalisasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Di Masa New Normal”. Andi Annisyah Tenri
Sanna dan Muthia Ayu Pratiwi dalam artikel ini membahas terkait pemerintah merencanakan untuk
kembali melaksanakan pemilihan kepala daerah seperti biasanya.Namun, hal ini tentu cenderung kurang
dapat diaplikasikan jika melihat situasi saat ini yakni negara Indonesia yang masih berjuang melawan
virus COVID-19. Di era new normal ini masih terdapat 32 daerah yang ditetapkan sebagai zona merah
atau wilayah dengan angka kenaikan kasus COVID-19 yang tinggi.
Artikel kedelapan berjudul “Cegal Disparitas Dan Perpecahan Masyarakat Dengan Restrukturisasi
Pengaturan Lembaga Survei Dalam Pemilihan Umum”. Sardiil Mutaalif, Muhammad Amyusril
Baramirdin dan Nur Aulia Mentari dalam artikel ini terkait istilah perhitungan cepat atau dalam istilah
lain dikenal dengan quict count. Hasil yang diperoleh dari perhitungan cepat oleh beberapa lembaga
survei nyatanya tidak berbeda dari real count atau perhitungan resmi yang dilakukan oleh komisi
pemilihan umum sehingga dipercaya oleh banyak kalangan. Polemik terkait lembaga survei dalam hal
perhitungan cepat sempat memuncak pada pemilihan 2014 yang lalu.
Redaksi berharap semoga edisi Jurnal Pettarani Election Review Volume 1 Nomor 1 Mei 2020 dapat
menyajikan tulisan yang menginspirasi dan bermanfaat dalam bidang keilmuan. Kami juga berharap
sejumlah artikel yang dihadirkan mampu mendorong diskusi dan penelitian lanjutan.
Selamat membaca!
iv Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Pettarani Election Review
Daftar Isi
Anas Malik 1-16
Perbandingan Penanganan Pelanggaran Administrasi Antara Pemilu Dan Pemilihan
Ambar Sidik 17-32
Analisis Hukum Pencalonan Anggota DPD Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/Puu-Xvi/2018
Muh. Alan Saputra D. 33-48
Analisis Hukum Terhadap Nomenklatur Putusan Bawaslu Dalam Penyelesaian Sengketa
Proses Pemilu
Askar Nur 49-66
Urgensi Pendidikan Politik Dalam Menciptakan Pemilu Damai Di Sulawesi Selatan
(Pendekatan Sosiologi Politik)
Dermawan Indar Jaya, Aurelia Vanessa 67-82
Mendorong Transparansi Informasi Calon Kepala Daerah Berbasis Web Dalam Rangka
Mewujudkan Pemilih Yang Cerdas Dan Meminimalisir Penyebaran Hoaks Menjelang
PILKADA
Muhammad Aswar Basri, Reza Matulatan 83-96
Peran Penting Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda Dalam Meminimalisasi
Penyalahgunaan Hak Suara Pemilih Pemula Di Indonesia
Andi Annisyah Tenri Sanna, Muthia Ayu Pratiwi 97-112
Election (E-Vote For Regional Head's Selection In Red Zone): Upaya Optimalisasi
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Di Masa New Normal
Sardiil Mutaalif, Muhammad Amyusril Baramirdin Nur Aulia Mentari 113-125
Cegal Disparitas Dan Perpecahan Masyarakat Dengan Restrukturisasi Pengaturan
Lembaga Survei Dalam Pemilihan Umum
Opini / Artikel yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi
Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan.
1 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
PERBANDINGAN PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI
ANTARA PEMILU DAN PEMILIHAN
COMPARISON OF ADMINISTRATIVE VIOLATION HANDLING BETWEEN
ELECTION AND REGIONAL ELECTION
Anas Malik
Staf Bawaslu Provinsi Sulsel
Jl. AP. Pettarani 98A,
Makassar
E-mail:
Abstract
Handling administrative violations in Law number 7 of 2017 concerning Elections and Law number 1
of 2015 as last amended by Perppu Number 2 of 2020 concerning the Election of Governors, Regents
and Mayors is one form of authority of Bawaslu, Bawaslu Province, Bawaslu District / City, Subdistrict
Panwas and Village Panwas. These two regulations have several differences regarding the procedures
for handling administrative violations, namely the difference in the duration of handling time, for the
Election 7 days while for the Regional Election 3 days; The difference in handling methods, in which
in the Election, the handling at Bawaslu RI, Province and Regency / City with the adjudication
mechanism and producing the Bawaslu decision product, while in Regional Election the handling of
reports by Provincial or District / City Bawaslu even up to Panwascam and Village Supervisors (PKD)
with recommendation products to Provincial / Regency / City of KPU for follow up; There are
differences in terms of consequences by the tiered KPU if it does not implement recommendations or
decisions on tiered Bawaslu Administrative Violations, namely in the case that the Provincial KPU,
Regency / City KPU, PPK, PPS, or election participants do not follow up on recommendations or
decisions of Provincial Bawaslu and / or Regency / City Panwas, Provincial Bawaslu and / or Regency
/ Municipal Panwas will be given sanctions with oral warnings or written warnings and even criminal
sanctions; There are administrative decisions corrections for elections, while there are no corrections
for recommendations in Regional elections; as well as the output of the results of the handling of
Bawaslu Administration in the Election in the form of a decision, while in the Regional Election the
form of a recommendation. This paper uses normative legal research methods accompanied by
prescriptions related to ideal actions that should be taken. The results of this study indicate several
similarities and in particular the fundamental differences in the handling of administrative violations
by Bawaslu in election contestations (legislative and presidential) and election regional contestations
(governors, regents and mayors)
Keywords: Administrative Violations, Elections, Regional Elections
Abstrak
Penanganan pelanggaran administrasi pada Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan
Undang-undang nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2 Tahun
2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan salah satu bentuk kewenangan
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kab/Kota, Panwas Kecamatan dan Panwas Kelurahan dan Desa.
Kedua regulasi ini mempunyai beberapa perbedaan terkait prosedur Penanganan pelanggaran
administrasi yaitu diantaranya Perbedaan durasi waktu penanganan, untuk Pemilu 7 hari sedangkan
untuk Pemilihan 3 hari; Perbedaan metode penanganan, dimana dalam Pemilu, penanganannya di
Bawaslu RI, Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan mekanisme adjudikasi dan melahirkan produk
Putusan Bawaslu, sedangkan dalam Pemilihan penanganan laporan oleh Bawaslu Provinsi atau
Kabupaten/Kota bahkan hingga Panwascam dan Pengawas Kelurahan/Desa (PKD) dengan produk
Rekomendasi kepada KPU Provinsi/Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti; Terdapat perbedaan dari
2 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
segi konsekuensi oleh KPU berjenjang jika tidak melaksanakan rekomendasi atau Putusan Pelanggaran
Administrasi Bawaslu berjenjang yaitu dalam hal KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, atau
peserta Pemilihan tidak menindaklanjuti rekomendasi atau putusan Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas
Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota akan diberikan sanksi peringatan
lisan atau peringatan tertulis dan bahkan sanksi pidana; Terdapat Koreksi putusan Administrasi untuk
Pemilu, sedangkan tidak ada koreksi untuk rekomendasi di Pemilihan; serta Output hasil penanganan
Administrasi Bawaslu di Pemilu berbentuk putusan, sementara di Pemilihan berbentuk rekomendasi.
Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang disertai dengan preskriptif terkait
tindakan ideal yang seharusnya dilakukan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terkait beberapa
persamaan dan khususnya perbedaan mendasar penanganan pelanggaran Administrasi oleh Bawaslu
dalam kontestasi Pemilu (legisltif dan presiden) dan kontestasi Pemilihan (Gubernur, Bupati dan
Walikota).
Kata Kunci : Pelanggaran Administrasi, Pemilu, Pemilihan
1. Pendahuluan
Pelanggaran administrasi adalah
pelanggaran terhadap mekanisme, prosedur
dan tata cara pelaksanaan tugas,
kewenangan di semua tahapan Pemilihan.
Secara umum penanganan tindak lanjut
rekomendasi Bawaslu dan jajarannya oleh
KPU Provinsi/ Kabupaten/ Kota melalui
tahap, pencermatan isi rekomendasi,
klarifikasi, penyusunan kronologis dan
telaahan, penetapan keputusan hingga
pengumuman keputusan kepada publik dan
pelaporan.
Pelanggaran administrasi pemilihan,
yaitu pelanggaran yang meliputi tata cara,
prosedur, dan mekanisme yang berkaitan
dengan administrasi dalam setiap tahapan
penyelenggaraan pemilihan diluar tindak
pidana pemilihan dan pelanggaran kode
etik penyelenggara pemilihan. Bentuk
pelanggaran administrasi misalnya, data
pemilih ganda, ketidaksesuaian jumlah
DPT kecamatan dengan rekap kabupaten,
kesalahan prosedur penghitungan suara,
dan lainnya.
Jika menemukan bentuk pelanggaran
tersebut atau sejenisnya masyarakat dapat
melaporkan/mengadukan ke panwas yang
kemudian diteruskan kepada KPU, KPU
Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota untuk
diselesaikan.
Penegakan hukum pemilu pada
pelanggaran Administrasi harus
diidentifikasi dengan mengetahui
penggolongan masalah hukum pemilu.
Selain itu juga harus dipahami tentang alur
penyelesaian pelanggaran Administrasi
serta lembaga yang menanganinya. Melalui
penegakan hukum pemilu yang merupakan
mekanisme hukum untuk menegakkan hak
pilih warga negara (memilih dan dipilih),
baik melalui mekanisme pidana,
Administrasi, maupun Penyelesaian
Sengketa.
Penanganan pelanggaran administrasi
Pemilihan Serentak 2020 berbeda dengan
3 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
mekanisme penanganan dalam Pemilu
2019. Dasar hukum penanganan
pelanggaran administrasi Pemilu mengacu
pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, sedangkan untuk
Pemilihan Serentak Tahun 2020 mengacu
pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015
sebagaimana diubah terakhir dengan
Perppu Nomor 2 Tahun 2020.
Mekanisme, tata cara dan prosedur
pelaksanaan setiap tahapan dan bekerja
sesuai regulasi serta kode etik
penyelenggara Pemilu dan Pemilihan. Hal
tersebut sangat beralasan karena jika tidak
demikian maka akan melahirkan persoalan
hukum baik pelanggaran administrasi
maupun kode etik penyelenggara Pemilu.
Wajib hukumnya, bagi setiap
penyelenggara Pemilu menjalankan tugas
berpedoman pada regulasi teknis
pelaksanaan tahapan dan pedoman kode
etik serta perilaku. Penanganan pelanggaran
administrasi pun harus kita laksanakan
sesuai kewenangan yang diberikan
peraturan perundang-undangan.
1.1. Dasar Kewenangan Bawaslu dalam
Penanganan Pelanggaran
Administrasi Pemilu
Menurut Pasal 73 ayat (2) UU 15/2011
tentang Penyelenggaraan Pemilu, lembaga
yang bertugas mengawasi penyelenggaraan
Pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu). Meski demikian sebagai upaya
menjaga kualitas Pemilihan, masyarakat
selaku pemegang hak pilih juga perlu turut
menjadi pengawas dalam pelaksanaan
Pemilihan. Lantaran dalam prosedur
penanganan pelanggaran pemilihan, baik
Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota,
Panwas Kecamatan, Pengawas Pemilihan
Lapangan (PPL), dan Pengawas TPS
bertugas menerima laporan pelanggaran
dari pemilih, pemantau pemilihan, dan
peserta pemilihan (pasangan calon).
1.2. Dasar Kewenangan Bawaslu
dalam Penanganan Pelanggaran
Administrasi Pemilihan
Jenis pelanggaran yang dapat dilaporkan
sebagaimana Pasal 135 ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana
diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2
Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota meliputi pelanggaran
kode etik penyelenggara pemilihan,
pelanggaran administrasi pemilihan,
sengketa pemilihan, dan tindak pidana
pemilihan. Masing-masing jenis
pelanggaran tersebut memiliki substansi
dan prosedur penanganan yang berbeda.
Oleh karena itu agar dapat turut berperan
mengawasi penyelenggaraan Pemilihan
masyarakat harus mengenal dan memahami
jenis-jenis pelanggaran Pemilihan tersebut.
1.3. Syarat Formil dan Materil
4 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Dalam penanganan dugaan pelanggaran
administrasi, baik dalam pemilu maupun
pemilihan menggunakan syarat minimal
penerimaan laporan ataupun temuan dalam
lingkup pemenhan syarat formil dan
materil.
1. Syarat formil untuk penanganan
pelanggaran Admiistrasi Pemilu dan
pemilihan yaitu pihak yang berhak
melaporkan, waktu pelaporan tidak
melebihi ketentuan batas waktu; dan
keabsahan Laporan Dugaan
Pelanggaran yang meliputi kesesuaian
tanda tangan dalam formulir laporan
dugaan pelanggaran dengan kartu
identitas; dan tanggal dan waktu
Pelaporan.
2. Syarat materil berupa identitas Pelapor,
nama dan alamat terlapor, peristiwa
dan uraian kejadian, waktu dan tempat
peristiwa terjadi, saksi-saksi yang
mengetahui peristiwa tersebut dan
barang bukti yang mungkin diperoleh
atau diketahui..
3. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian Yuridis
Normatif, yakni metode yang berdasarkan
bahan hukum utama dengan cara menelaah
teori-teori, konsep-konsep, asas-asas
hukum serta peraturan perundangundangan
yang berhubungan dengan penelitian ini.
b. Jenis Bahan Hukum
1) Bahan Hukum Primer yaitu Peraturan
Perundang-undangan antara lain:
Undang-Undang 1 Tahun 2015
sebagaimana diubah terakhir dengan
Perppu Nomor 2 Tahun 2020,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2020, Peraturan Komisi Pemilihan
Umum (PKPU) dan Peraturan Badan
Pengawas Pemilu (PERBAWASLU)
sebagai bahan yang berkaitan dengan
pembahasan masalah dalam
penelitian ini.
2) Bahan Hukum Sekunder, yang
memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-
buku teks yang ditulis oleh para ahli
hukum yang berpengaruh pada jurnal-
jurnal hukum, pendapat para sarjana,
dan yurisprudensi yang berkaitan
dengan permasalahan dalam
penelitian ini. Bahan hukum sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini
terkait dengan permasalahan yang
dikaji yaitu berasal dari penjelasan
Undang-undang, buku-buku literatur,
artikel, internet dan pendapat para
ahli. Bahan Hukum Tersier yaitu
Bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder seperti
kamus, ensiklopedia, indeks
kumulatif dan lain-lainnya. Bahan
5 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
hukum tersier yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi kamus hukum,
kamus besar bahasa Indonesia, kamus
bahasa inggris indonesia dan black’s
Law Dictionary.
4. Perspektif Teori
4.1. Teori Pemilu
Pemilu menurut Joseph Scumpeter
adalah salah satu yang utama dari sebuah
demokrasi merupakan suatu konsepsi salah
satu konsepsi modern yang menempatkan
penyenggaraan pemilih umum yang bebas
dan berkala sebagai kriteria utama bagi
sebuah sistem politik agar dapat disebutkan
sebagai sebuah demokrasi. Pemilu
merupakan suatu pecerminan dari sistem
demokrasi, dengan dilakukannya pemilu
dianggap dapat menyuarakan suara rakyat
yang sesungguhnya.
Di negara-negara yang demokratis,
pemilihan umum merupakan alat untuk
memberikan kesempatan kepada rakyat
untuk ikut serta mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah dan sistem
politik yang berlaku, oleh sebab pemberian
suara pada saat pemilihan umum
merupakan bentuk partisipasi politik rakyat.
Pemilu merupakan cara yang paling kuat
bagi rakyat untuk partisipasi dalam
demokrasi pewakilan modern. Joko
Prihatmoko mengutip dalam Journal of
Democracy , bahwa pemilu disebut
“bermakna” apabila memenuhi krikeria,
yaiutu keterbukaan, ketepatan, keektifan.
Sebagai salah satu sarana demokrasis.
Pemilihan umum merupakan salah satu
bentuk pendidikan politik yang terbuka dan
bersifat massal, sehingga diharapkan dapat
berfungsi dalam proses pendewasaan dan
pencerdasan pemahaman politik
masyarakat. Melalui pemilu akan terwujud
suatu inflastruktur dan mekanisme
demokrasi serta membangkitkan kesadaran
masyarakat mengenai demokrasi.
Masyarakat di harapkan pula dapat
memahami bahwa fungsi pemilu itu adalah
sarana untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat, keabsahan pemerintah, dan
pergantian pemerintah secara teratur.
Pemilu juga merupakan ajang perebutan
kekuasaan yang sah dalam demokrasi.
Melalui pemilu rakyat mendapatkan
kedaulatan yang sepenuhnya. Suara
terbesar dari rakyat lah yang akan
menentukan pihak mana yang boleh
memegang kekuasaan. Namun justru
disanalah dilema demokrasi. Ia menjunjung
tinggi suara terbanyak, namun
meminggirkan pihak minoritas. Pemilu
merupakan wahana kompetisi yang
mengharuskan adanya pemenang di atas
pihak yang kalah. Namun pada dasarnya,
ada tiga tujuan dari pemilu.
1) Pertama, sebagai mekanisme untuk
menyeleksi para pemimpin
pemerintahan dan alternatif kebijakan
umum. Dalam demokrasi, kedaulatan
6 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
rakyat sangat dijunjung tinggi sehingga
dikenal spirit dari, oleh dan untuk
rakyat. Dalam sistem demokrasi
perwakilan rakyat memiliki kedaulatan
penuh akan tetapi pelaksanaan
dilakukan oleh wakil-wakilnya melalui
lembaga perwakilan atau parlemen.
Wakil rakyat tidak bisa sembarang
orang. Seseorang yang memilik
otoritas ekonomi atau kultural sangat
kuat pun tidak layak menjadi wakul
rakyat tanpa moralitas, integritas dan
akuntabilitas yang memadai. Karena
itu diselenggarakan pemilihan umum
sebagai mekanisme penyeleksi dan
pendelegasian kedaulatan kepada
orang atau partai.
2) Kedua, pemilu juga merupakan
mekanisme memindahkan konflik
kepentingan dari masyarakat kepada
badan-badan perwakilan rakyat melalui
wakil-wakil yang terpilih atau partai
yang memenangkan kursi sehingga
intergrasi atau kesatuan masyarakat
tetap terjamin. Manfaat pemilu ini
berkaitan dengan asumsi bahwa
masyarakat memiliki kepentingan yang
berbeda-beda dan bahkan saling
bertentangan, dan pertentangan itu
semestinya diselesaikan melalui proses
musyawarah.
3) Ketiga, pemilu merupaka sarana
memobilisasi, menggerakan atau
menggalang dukungan rakyat
terhadapat proses politik. Hal yang
terakhir ini semakin urgen, karena
belakangan masyarakat mengalami
semacam alienasi dari proses
mengambilan kebijakan. Atau, ada
jarak yang lebar antara proses
pengambilan kebijakan dan
kepentingan elit dengan aspirasi
ditingkat akar rumput yang setiap saat
bisa mendorong ketidakpercayaan
terhadap partai politik dan pemerintah.
4.2.Teori Pengawasan
Menurut George R. Tery mengartikan
pengawasan sebagai mendeterminasi apa
yang telah dilaksanakan, artinya
mengevaluasi prestasi kerja dan apabila
perlu, dengan menerapkan tindakan-
tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan
sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan.
Pengawasan menurut T. Hani Handoko
adalah proses untuk menjamin bahwa
tujuan tujuan organisasi dan manajemen
tercapai dimana hubungan yang sangat erat
antara perencanaan dan pengawasan.
Sementara menurut Siagian menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan pengawasan
adalah proses pengamatan daripada
pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi
untuk menjamin agar supaya semua
pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan
sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya.
7 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Menurut Donnelly yang
mengelompokkan pengawasan menjadi 3
tipe pengawasan yaitu :
1) Pengawasan Pendahuluan
(Preliminary Control);
Pengawasan pendahuluan (preliminary
control), yakni pengawasan yang terjadi
sebelum kerja dilakukan. Dimana
pengawasan pendahuluan bisa
menghilangkan penyimpangan penting
pada kerja yang diinginkan, yang
dihasilkan sebelum penyimpangan
tersebut terjadi. Pengawasan
pendahuluan juga mencakup segala
upaya manajerial untuk memperbesar
kemungkinan hasil aktual akan
berdekatan hasilnya dibandingkan
dengan hasil-hasil yang direncanakan.
Memusatkan perhatian pada masalah
mencegah timbulnya deviasi-deviasi
pada kualitas serta kuantitas sumber-
sumber daya yang digunakan pada
organisasi-organisasi. Sumber daya ini
harus memenuhi syarat-syarat
pekerjaan yang ditetapkan oleh struktur
organisasi yang bersangkutan.
Diharapkan dengan manajemen akan
menciptakan kebijakan dan prosedur
serta aturan yang ditujukan untuk
menghilangkan perilaku yang
menyebabkan hasil kerja yang tidak
diinginkan. Dengan demikian, maka
kebijakan merupakan pedoman yang
baik untuk tindakan masa mendatang.
Pengawasan pendahuluan meliputi;
Pengawasan pendahuluan sumber daya
manusia, Pengawasan pendahuluan
bahan-bahan, Pengawasan pendahuluan
modal dan Pengawasan pendahuluan
sumber-sumber daya financial.
2) Pengawasan Pada Saat Kerja
Berlangsung (Cocurrent Control);
Pengawasan pada saat kerja
berlangsung (concurrent control)
adalah Pengawasan yang terjadi ketika
pekerjaan dilaksanakan. Memonitor
pekerjaan yang berlangsung untuk
memastikan bahwa sasaran telah
dicapai. Concurrent control terutama
terdiri dari tindakan para supervisor
yang mengarahkan pekerjaan para
bawahan mereka. Direction
berhubungan dengan tindakan-tindakan
para manajer sewaktu mereka berupaya
untuk mengajarkan kepada para
bawahan mereka bagaimana cara
penerapan metode serta prosedur yang
tepat dan mengawasi pekerjaan mereka
agar pekerjaan dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
3) Pengawasan Feed Back (Feed Back
Control);
Pengawasan Feed Back (feed back
control) yaitu pengawasan dengan
mengukur hasil dari suatu kegiatan
yang telah dilaksanakan, guna
mengukur penyimpangan yang
mungkin terjadi atau tidak sesuai
8 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
dengan standar. Pengawasan yang
dipusatkan pada kinerja organisasional
dimasa lalu. Tindakan korektif
ditujukan ke arah proses pembelian
sumber daya atau operasi aktual. Sifat
kas dari metode pengawasan feed back
(umpan balik) adalah bahwa
dipusatkan perhatian pada hasil-hasil
historikal, sebagai landasan untuk
mengoreksi tindakan-tindakan masa
mendatang.
Menurut Badruddin pengawasan
merupakan salah satu dari empat fungsi
manajemen, sebagaimana berikut ini, yaitu:
fungsi perencanaan (Planning), fungsi
pengorganisasian (Organizing), fungsi
pelaksanaan (Actuating) dan fungsi
pengawasan (Controlling).
Pengawasan merupakan salah satu fungsi
penting dalam fungsi manajemen. Hal
dikarenakan tanpa pengawasan, fungsi yang
lain tidak akan berjalan secara efisien,
efektif dan maksimal. Boleh dikatakan
bahwa masing-masing fungsi manajemen
tersebut merupakan satu kesatuan yang
menyeluruh dan sistemik, sehingga saling
mempengaruhi dan ketergantungan satu
sama lain.
Pengawasan juga merupakan suatu cara
agar tujuan dapat tercapai dengan baik.
Biasanya teori pengawasan dalam
manajemen dipakai oleh banyak
perusahaan-perusahaan untuk mencapai
tujuannya.
Dalam penelitian ini konsep pengawasan
digunakan bukan sebuah perusahaan tetapi
sebuah lembaga yang melakukan
pengawasan pemilu yakni Bawaslu.
Meskipun banyak para ahli membangun
teori pengawasan dalam perusahaan-
perusahaan, namun dalam hal ini
pengawasan berlaku pada level teori untuk
menganalisis penelitian ini.
Kemudian banyak para ahli yang
mengungkapkan tentang pengawasan
seperti Mathis dan Jackson , yang
menjelaskan bahwa pengawasan
merupakan cara untuk memantau kinerja
agar tercapai tujuan organisasi. Dengan
cara, sikap, sistem dan ruang lingkup
organisasi. Definisi ini sangat terpaku pada
pengawasan sebuah perusahaan.
Menurut Harahap bahwa pengawasan
merupakan suatu cara yang digunakan
seorang atasan untuk mengawasi anak
buahnya. Sama halnya dengan Simbolon ,
pengawasan merupakan hal penting dimana
pimpinan atau manajer ingin mengevaluasi
hasil pekerjaan stafnya. Dessler,
menyatakan juga bahwa pengawasan
merupakan sebuah tindakan untuk
mengoreksi terhadap hal-hal yang
dilakukan.
Pendapat para ahli diatas cenderung
kepada pengawasan terhadap perusahaan,
9 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
tentu berbeda dengan pengawasan yang
dimaksudkan dalam penelitian ini.
Pengawasan Pemilu oleh Bawaslu
bertujuan untuk mendeteksi potensi
kerawanan pemilu, mencegah terjadinya
pelanggaran, dan memastikan tidak
terjadinya pelanggaran melalui pengawasan
melekat dan menindak setiap pelanggaran
yang terjadi serta menyelesaikan sengketa
yang terjadi dalam proses penyelenggaraan
tahapan pemilu. Demikian pula jika
dikaitakan pada teori manajemen, Bawaslu
sebagai sebuah organisasi dimana
didalamya terdapat orang-orang
didalamnya untuk bekerjasama untuk
mencapai tujuan, memastikan seluruh
tahapan berjalan sesuai dengan
administrasinya, melakukan koreksi
terhadap setiap kesalahan dan
penyimpangan yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemilu serta
merekomendasikan pemberian sanksi
sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan bagi setiap pelaku pelanggaran
proses pemilu.
5. Hasil dan Pembahasan
Pelanggaran Administrasi Pemilu dan
Pemilihan yang merupakan kewenangan
Badan Pengawas Pemilihan Umum adalah
dua hal yang berbeda, dimana keduanya
merupakan sebuah kontestasi Pemilu yang
berdasar pada undang-undang nomor 7
tahun 2017 dan Kontestasi Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota pada
Undang-undang nomor 1 tahun 2015
sebagaiamana sebagaimana diubah terakhir
dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2020.
Beberapa perbedaan tersebut diantaranya:
1. Perbedaan durasi waktu penanganan
Perbedaan durasi penanganan dugaan
pelanggaran administrasi berdasarkan UU
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
dengan UU Nomor 1 Tahun 2015
sebagaimana diubah terakhir dengan
Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
atau yang biasa disebut UU Pemilihan.
Dalam Pasal 134 ayat (5) UU Pemilihan,
dalam hal laporan pelanggaran pemilihan
sebagaimana dimaksud ayat (2) telah dikaji
dan terbukti kebenarannya oleh Bawaslu,
Bawaslu tingkat provinsi, Panitia Pengawas
(Panwas) tingkat kabupaten/kota, Panwas
Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan
(PPL), dan Pengawas TPS wajib
menindaklanjuti laporan paling lama 3
(tiga) hari setelah laporan diterima.
Sedangkan, lanjutnya, dalam 454 ayat
(2) UU Pemilu ditegaskan, temuan dan
laporan pelanggaran pemilu sebagaimana
dimaksud ayat (5) dan ayat (6) yang telah
dikaji dan terbukti kebenarannya wajib
ditindaklanjuti oleh Bawaslu, Bawaslu
tingkat provinsi, Panwas tingkat
kabupaten/kota, Panwas Kecamatan, PPL,
10 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
dan Pengawas TPS paling lama 7 (tujuh)
hari setelah laporan diterima.
Jadi jelas ada perbedaan durasi waktu
penanganan dugaan pelanggaran
administrasi antara UU Pemilu dengan UU
Pemilihan. Durasi waktu penanganan
dugaan pelanggaran administrasi juga
terdapat perbedaan tafsir. Dalam Pasal 1
angka 28 UU Pemilihan, yang dimaksud
hari adalah berdasarkan hitungan kalender.
Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan MK Nomor 155/PUU-XIII/2015
dan Nomor 31/PUU-XVI/2018
menjelaskan hari adalah berdasarkan hari
kerja. Jadi, penjelasan hari pun juga ada
perbedaan.
Perlu diketahui, berdasarkan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana
diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2
Tahun 2020 pada Pasal 10 poin B1
dinyatakan KPU dalam penyelenggaraan
pemilihan wajib melaksanakan dengan
segera rekomendasi dan/atau putusan
Bawaslu mengenai sanksi administrasi
pemilihan (Pemilihan). Pasal 139 Ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015
sebagaimana diubah terakhir dengan
Perppu Nomor 2 Tahun 2020disebutkan
KPU Provinsi dan/atau KPU
Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti
rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau
Panwaslu (saat ini bernama Bawaslu)
Kabupaten/Kota dan pada Ayat (3)
disebutkan KPU Provinsi dan/atau KPU
Kabupaten/Kota menyelesaikan
pelanggaran administrasi Pemilihan
berdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi
dan/atau Panwaslu (Bawaslu) Kabupaten/
Kota sesuai dengan tingkatannya.
Masa bagi KPU Provinsi dan/atau KPU
Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus
pelanggaran administrasi paling lama 7
(tujuh) hari sejak rekomendasi Bawaslu
Provinsi dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota
diterima. Apabila KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, PPK, PPS, atau peserta
pemilihan tidak menindaklanjuti
rekomendasi Bawaslu Provinsi atau
Bawaslu Kabupaten/Kota, akan diberikan
sanksi peringatan lisan atau peringatan
tertulis.
2. Perbedaan metode penanganan
Dalam Pemilu, penanganannya di
Bawaslu RI, Provinsi dan Kabupaten/Kota
dengan mekanisme adjudikasi dan
melahirkan produk Putusan Bawaslu.
Sedangkan dalam Pemilihan penanganan
laporan oleh Bawaslu Provinsi atau
Kabupaten/Kota bahkan hingga
Panwascam dan Pengawas Kelurahan/Desa
(PKD) dengan produk Rekomendasi kepada
KPU Provinsi/Kabupaten/Kota untuk
ditindaklanjuti.
Pelanggaran administrasi adalah
pelanggaran terhadap mekanisme, prosedur
dan tata cara pelaksanaan tugas,
kewenangan di semua tahapan Pemilihan.
11 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Secara umum penanganan tindak lanjut
rekomendasi Bawaslu dan jajarannya oleh
KPU Provinsi/ Kabupaten/ Kota melalui
tahap, pencermatan isi rekomendasi,
klarifikasi, penyusunan kronologis dan
telaahan, penetapan keputusan hingga
pengumuman keputusan kepada publik dan
pelaporan.
UU Pemilu 7/2017 yang menjadi dasar
pileg dan pilpres, semua produknya adalah
putusan, lewat ajudikasi. Tetapi ranah
pelanggaran administrasi Pemilihan ini
melalui mekanisme klarifikasi dan kajian
yang hasilnya adalah rekomendasi
(berdasarkan Undang-undang Nomor 1
Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir
dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2020).
Bawaslu adalah lembaga yang
berwenang menangani dan menilai ada
tidaknya pelanggaran pemilihan atas
temuan atau laporan masyarakat dengan
mekanisme Perbawaslu (Peraturan
Bawaslu) Nomor 8 Tahun 2020 tentang
Penanganan Pelanggaran Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil
Walikota.
Rekomendasi yang dikeluarkan
Bawaslu, lanjutnya, telah melalui tahap
klarifikasi dan kajian untuk memastikan
kebenaran formil maupun materiil atas
objek pelanggaran adminitrasi terpenuhi.
“Sehingga rekomendasi sebagaimana
norma UU Undang-undang Nomor 1 Tahun
2015 sebagaimana diubah terakhir dengan
Perppu Nomor 2 Tahun 2020 bersifat
mengikat, maka wajib ditindaklanjuti.
Terkait fungsi penangan pelanggaran
Bawaslu punya kewenangan dua hal, yaitu
pelanggaran yang sifatnya administratif dan
pidana. Ketika penanganan pelanggaran
administratif, Bawaslu pada hasilnya di
dalam Pemilihan ini berupa rekomendasi
kepada KPU maupun peserta. Hukumnya
wajib untuk ditindaklanjuti meskipun bukan
putusan.
3. Konsekuensi KPU jika tidak
melaksanakan rekomendasi atau
Putusan Pelanggaran Administrasi
Bawaslu
Dalam hal KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/ Kota, PPK, PPS, atau peserta
Pemilihan tidak menindaklanjuti
rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau
Panwas Kabupaten/ Kota, Bawaslu Provinsi
dan/atau Panwas Kabupaten/Kota
memberikan sanksi peringatan lisan atau
peringatan tertulis.
Terkait sanksi, disebutkan dalam Pasal
141 dalam hal KPU Kabupaten/Kota dan
jajaran dibawahnya PPK hingga PPS tidak
menindaklanjuti rekomendasi Panwas
Kabupaten/Kota, Panwas Kabupaten/Kota
hanya dapat memberikan sanksi peringatan
lisan atau peringatan tertulis. Terlihat secara
Undang-Undang belum diatur secara tegas
terkait sanksi.
12 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
4. Koreksi putusan Administrasi untuk
Pemilu, tidak ada koreksi untuk
rekomendasi di Pemilihan
Terhadap hasil penanganan pelanggaran
Administrasi Pemilu oleh Bawaslu Kab/
Kota, pihak yang merasa dirugikan dapat
melakukan upaya koreksi ke Bawaslu
provinsi, begitupun untuk hasil penanganan
pelanggaran Administrasi Pemilu oleh
Bawaslu provinsi, pihak yang merasa
dirugikan dapat melakukan upaya koreksi
ke Bawaslu Republik Indonesia. Upaya
koreksi tersebut akan diputus paling lama
14 (empat belas) hari sejak pengajuan
koreksi.
Sementara hasil penanganan pelanggaran
administrasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kab/Kota pada Pemilihan, tidak dikenal
adanya upaya koreksi sehingga hasil dari
rekomendasi Bawaslu tersebut menjadi
upaya terakhir untuk para pihak.
Terkait tindak lanjut rekomendasi oleh
KPU Kabupaten/ Kota mengenai
penanganan pelanggaran administrasi,
selanjutnya diatur dalam Peraturan KPU
berdasarkan undang-undang Pemilihan. Hal
ini berpotensi kontrol Bawaslu terkait
penerusan pelanggaran akan lemah,
mengingat sikap profesional dan integritas
antar lembaga akan dijaga. Disamping
sanksi yang lemah bila KPU Kabupaten/
Kota tidak menindaklanjuti rekomendasi
tersebut.
Sementara Dalam hal KPU Provinsi,
KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS, atau
peserta Pemilihan tidak menindaklanjuti
putusan Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas
Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi
dan/atau Panwas Kabupaten/Kota dalam
pelanggaran administrasi makan akan
diberikan sanksi pidana oleh Undang-
undang Pemilu.
Dalam Undang-Undang Pemilu No 7
tahun 2017, Pada Pasal 101, Pasal 103, dan
Pasal 104 terkait dengan tugas, wewenang,
dan kewajiban Bawaslu Kabupaten/Kota,
disebutkan dengan tegas ranah pengawasan
dan penindakan pelanggaran pemilu ada di
Bawaslu Kabupaten/ Kota. Hal ini terdapat
dalam Pasal 101 disebutkan Bawaslu
Kabupaten/ Kota bertugas melakukan
pencegahan dan penindakan di wilayah
kabupaten/ kota terhadap pelanggaran
administrasi pemilu dan sengketa pemilu.
Dalam Pasal 102 disebutkan Tugas
Bawaslu Kabupaten/ Kota Dalam
melakukan penindakan pelanggaran Pemilu
diantaranya adalah menginvestigasi
informasi awal atas dugaan pelanggaran
Pemilu di wilayah kabupaten/kota,
memeriksa dan mengkaji dugaan
pelanggaran Pemilu di wilayah kabupaten/
kota, memeriksa, mengkaji, dan memutus
pelanggaran administrasi Pemilu, dan
merekomendasikan tindak lanjut
pengawasan atas pelanggaran Pemilu di
13 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
wilayah kabupaten/kota kepada Bawaslu
melalui Bawaslu Provinsi.
Dalam Pasal 103 disebutkan wewenang
Bawaslu Kabupaten/ Kota diantaranya,
menerima dan menindaklanjuti laporan
yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai Pemilu,
memeriksa dan mengkaji pelanggaran
Pemilu di wilayah kabupaten/kota serta
merekomendasikan hasil pemeriksaan dan
pengkajiannya kepada pihak-pihak yang
diatur dalam Undang-Undang, dan meminta
bahan keterangan yang dibutuhkan kepada
pihak terkait dalam rangka pencegahan dan
penindakan pelanggaran Pemilu dan
sengketa proses Pemilu di wilayah
kabupaten/kota.
Terkait melakukan penindakan
pelanggaran pemilu, Bawaslu diberi
kewenangan untuk menindak lanjuti
informasi awal baik informasi lisan,
dan/atau informasi tertulis sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (1)
Peraturan Badan Pengawas Pemilu
(Perbawaslu) Nomor 7 Tahun 2018 Tentang
Penanganan Temuan dan Laporan
Pelanggaran Pemilihan Umum. Perlu
disampaikan Perbawaslu Nomor 7 Tahun
2018 adalah amana Pasal 455 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, dimana Bawaslu
Republik Indonesia perlu menetapkan
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan
Umum tentang Penangananan Temuan dan
Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.
Selanjutnya Hasil Investigasi atas
informasi awal yang dilakuakn oleh
Bawaslu, atas dugaan pelanggaran pemilu
tersebut dijadikan Temuan Bawaslu. Secara
yuridis, pengertian wewenang adalah
kemampuan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum. Atas dasar wewenang
tersebut Bawaslu Kota Bengkulu
berdasarkan aturan sudah menjalankan
wewenangnya dalam penindakan
pelanggaran pemilihan umum.
5. Output hasil penanganan
Administrasi Bawaslu di Pemilu
berbentuk putusan, sementara di
Pemilihan berbentuk rekomendasi
Terhadap output penanganan
pelanggaran Administrasi Pemilu oleh
Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kab/ Kota akan mengeluarkan produk
hukum berupa putusan Bawaslu, Bawaslu
Provinsi dan Bawaslu Kab/ Kota,
sedangkan Terhadap output penanganan
pelanggaran Administrasi Pemilihan oleh
Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kab/Kota akan mengeluarkan produk
hukum berupa rekomendasi Bawaslu,
Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/ Kota
kepada para pihak.
14 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
6. Simpulan
1. Persamaan Penanganan pelanggaran
administrasi pada Undang-undang
nomor 7 tahun 2017 dan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana
diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2
Tahun 2020 yaitu a) Persamaan
kewenangan dimana Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, Bawaslu Kab/Kota, Panwas
Kecamatan dan Panwas Kelurahan dan
Desa berwenang untuk memproses
pelanggaran Administrasi yang terjadi
dalam Pemilu dan Pemilihan; dan b)
Persamaan ketentuan syarat formil dan
materil dugaan pelanggaran yaitu dalam
penanganan dugaan pelanggaran
administrasi, baik dalam pemilu maupun
pemilihan menggunakan syarat mnimal
penerimaan laporan ataupun temuan
dalam lingkup pemenhan syarat formil
dan materil.
2. Perbedaan Penanganan pelanggaran
administrasi pada Undang-undang
nomor 7 tahun 2017 dan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2015
sebagaimana diubah terakhir dengan
Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yaitu a)
Perbedaan durasi waktu penanganan,
untuk Pemilu 7 hari sedangkan untuk
Pemilihan 3 hari; b) Perbedaan metode
penanganan. Dalam Pemilu,
penanganannya di Bawaslu RI,
Provinsi dan Kabupaten/ Kota dengan
mekanisme adjudikasi dan melahirkan
produk Putusan Bawaslu. Sedangkan
dalam Pemilihan penanganan laporan
oleh Bawaslu Provinsi atau Kabupaten/
Kota bahkan hingga Panwascam dan
Pengawas Kelurahan/ Desa (PKD)
dengan produk Rekomendasi kepada
KPU Provinsi/ Kabupaten/ Kota untuk
ditindaklanjuti; c) Konsekuensi KPU
jika tidak melaksanakan rekomendasi
atau Putusan Pelanggaran Administrasi
Bawaslu. Dalam hal KPU Provinsi,
KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS, atau
peserta Pemilihan tidak
menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu
Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/
Kota, Bawaslu Provinsi dan/atau
Panwas Kabupaten/Kota memberikan
sanksi peringatan lisan atau peringatan
tertulis; d) Terdapat Koreksi putusan
Administrasi untuk Pemilu, sedangkan
tidak ada koreksi untuk rekomendasi di
Pemilihan; e) Output hasil penanganan
Administrasi Bawaslu di Pemilu
berbentuk putusan, sementara di
Pemilihan berbentuk rekomendasi.
15 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Badruddin, 2015. Dasar-dasar Manajemen. Penerbit AlfabeT. Bandung.
Damang Averros. 2018. https://www.negarahukum.com/ Diakses pada Tanggal 18 Oktober
2020, 09.00 WITA.
Donnelly. 2011. “Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses”. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
Handoko, T Hani. 2011, Manajemen dan Sumber Daya Manusia, Liberty. Yogyakarta.
Mahmud Marzuki, P. (2010). Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana.
Mathis, R.L. & J.H. Jackson. 2017. “Human Resource Management: Manajemen Sumber Daya
Manusia”. Terjemahan Dian Angelia. Salemba Empat. Jakarta.
Moh Mahfud MD.( 2012) Evaluasi Pemilukada dalam Perspektif Demokrasi dan Hukum
Dalam Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia, , Jakarta : Konstitusi Press.
Prihatmoko, Joko J. 2008. “Mendemokratiskan Pemilu”. Pustaka Belajar. Yogyakarta.
R.Terry, George. 2012. “Prinsip-Prinsip Manajemen”. Bumi Aksara. Jakarta.
Scumpeter. Joseph. 2013. “Capitalism, Socialsm, and Democracy”, New Nork: Jarper.
Siagian, S.P. 2010. “Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Management)
Suatu Pendekatan Mikro”. Cetakan Kedua Penerbit Djambatan. Jakarta.
Simbolon, Maringan Masry. 2014. “Dasar-dasar dan Administrasi Manajemen”. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Sofyan, Harahap. 2010. “Sistem Pengawasan Manajemen”. Penerbit Quantum. Jakarta.
Sudijono, Sastroatmodjo. 2005. “Perilaku Politik”, Semarang: IKIP, Semarang Press.
16 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Surbakti, Ramlan. 2012. “Memahami Ilmu Politik”. Grasindo. Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2
Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Penanganan Temuan dan
Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.
Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penanganan Pelanggaran
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan
Wakil Walikota.
17 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
ANALISIS HUKUM PENCALONAN ANGGOTA DPD BERDASARKAN PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XVI/2018
LEGAL ANALYSIS OF DPD NOMINATION BASED ON CONSTITUTIONAL COURT
DECESION NUMBER 30/PUU-XVI/2018
Ambar Sidik
Sekertariat Pengawas Pemilu
Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar
Jalan Sabutung Baru No 2
Email:
Abstract
This study aims to analyze the decident ratio and the legal consequences of the MK Decision number
30/PUU-XVI/2018. This study uses a normative legal research type. The results indicate: (1) Decidendi
Ratio on the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 which stipulates the amar to
fulfill all petitioners and stipulates the phrase "other jobs" in Article 182 letter “i” of the Election Law
must also be interpreted as including the management (functionaries) of political parties are as follows
that the DPD Institution must return according to the original intent and original meaning of the
formation of the DPD which independent from the elements of political parties, providing checks and
balances between the DPD and the DPR. To prevent the occurrence of double representation in legal
policy making, if the DPD also includes political parties in the nomination for DPD members and to
maintain the progress balances and national economic in accordance with Article 33 Paragraph (4) of
the Constitution. 2) The legal implications of the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-
XVI/2018, namely PKPU Revision Number 26 of 2018 on PKPU Number 14 of 2018 which adds Article
60A regarding the submission of resignation letters for candidates for DPD members as managers
(functionaries) of political parties. Canceling a DPD member candidate who has not submitted a
resignation letter as a political party administrator (functionary).
Keywords: Regional Representative Council; Elections; Political parties.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ratio decidendi Putusan MK nomor 30/PUU-XVI/2018 dan
akibat hukum Putusan MK nomor 30/PUU-XVI/2018. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian
hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Ratio Decidendi atas Putusan MK Nomor 30/PUU-
XVI/2018 yang menetapkan amar untuk memenuhi seluruh permohonan pemohon dan menetapkan
frasa “pekerjaan lain” pada Pasal 182 Huruf l UU Pemilu harus dimaknai pula termasuk pengurus
(fungsionaris) partai politik adalah sebagai berikut bahwa Lembaga DPD harus kembali sesuai original
intent dan original meaning pembentukan DPD yang terlepas dari unsur partai politik, memberikan
check and balance antara DPD dan DPR agar tercipta keseimbangan dalam menyalurkan aspirasi daerah
dan aspirasi partai politik. Untuk mencegah terjadinya double representation dalam pengambilan
kebijakan hukum, jika DPD juga mencakup partai politik dalam bursa pencalonan anggota DPD dan
untuk menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sesuai dengan Pasal 33 Ayat
(4) UUD 1945, sehingga dibutuhkan keterwakilan DPD di parlemen sebagai perwakilan daerah agar
menyeimbangkan keterwakilan DPR sebagai perwakilan partai politik. 2) Implikasi hukum Putusan MK
Nomor 30/PUU-XVI/2018 yaitu Revisi PKPU Nomor 26 Tahun 2018 atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018
yang menambahkan Pasal 60A terkait pengajuan surat pengunduran diri calon anggota DPD sebagai
18 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
pengurus (fungsionaris) partai politik. Membatalkan calon anggota DPD yang tidak mengajukan surat
pengunduran diri sebagai pengurus (fungsionaris) partai politik.
Kata Kunci: Dewan Perwakilan Daerah; Pemilu; Partai Politik.
1. Pendahuluan
Menurut Laica Marzuki (2005)
perubahan UUD 1945 tak terlepas dari
hadirnya Dewan Perwakilan Daerah
(selanjuntnya disingkat DPD) yang secara
mendasar telah mengubah sistem
ketatanegaraan Indonesia mulai dari sistem
ketatanegaraan dengan prinsip supremasi
MPR menjadi sistem ketatanegaraan
dengan prinsip supremasi Konstitusi.
Peningkatan dari aspirasi daerah dapat
terwujud apabila peran DPD dapat
terakomodasi dalam pengambilan
keputusan politik di tingkat nasional.
Dalam artian kebijakan legislasi atau
pembentukan undang-undang yang
berkaitan langsung dengan kepentingan
daerah. Hal ini bermaksud bahwa DPD
dirancang sebagai kekuatan dalam
mengimbangi DPR sebagai lembaga yang
diberi kekuasaan membentuk undang-
undang bersama Presiden seperti tertuang
UUD 1945.
Meski DPD dapat mengambil kebijakan
dalam pembentukan undang-undang yang
berhubungan langsung dengan kepentingan
daerah, namun DPD tidak boleh menjadi
sarana akomodasi dan kompromi kekuatan
politik yang merupakan wujud dari
representasi politik seperti DPR dan
Presiden yang meski sama-sama dipilih
oleh rakyat tetapi pengisian jabatannya
melalui pengusulan dilakukan melalui
sarana partai politik. Dalam hal ini
keberadaan DPD diharpkan dapat
mengimbangi kekuatan yang dimaksud.
Maka untuk mengisi jabatan dari anggota
DPD harus berasal dari luar partai politik.
Anggota DPD dirancang haruslah berasal
dari tokoh daerah yang sangat memahami
dan memiliki kemampuan untuk
menyuarakan serta memperjuangkan
kebutuhan daerahnya dalam pengambilan
keputusan politik nasional berkaitan
langsung dengan kepentingan daerah,
terkhusus dalam proses pembentukan
undang-undang (Bidaya, J. 2012). Bahwa
atas dasar itulah dibutuhkan calon-calon
anggota DPD yang benar-benar mampu
menyerap aspirasi rakyat didaerah dan
memiliki indepedensi tanpa intervensi
kepentingan politik manapun.
Namun yang menjadi persoalan pada
konteks pencalonan anggota DPD terdapat
frasa ketidakjelasan atas salah syarat
pencalonan anggota DPD yang mana dalam
UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu)
19 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
pada Pasal 182 huruf I , yang diantaranya
menyatakan: bersedia untuk tidak
berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat, notaris, pejabat pembuat akta
tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara
serta Pekerjaan Lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan
tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPD sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
Pasal 182 UU Pemilu tidak menegaskan
pelarangan bagi pengurus partai politik
untuk mencalonkan diri sebagai calon
anggota DPD. Bahwa frasa pekerjaan lain
sebagaimana termuat dalam huruf i dalam
pasal a quo menimbulkan suatu
ketidakjelasan frasa yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan
tugas, wewenang, dan hak anggota DPD.
Selain itu dalam penafsiran otentik UU
Pemilu pun terhadap pasal ini dinyatakan
cukup jelas. Bahwa kehadiran pasal ini
kemudian membuka ruang kemungkinan
pencalonan anggota DPD yang berasal dari
partai politik. Sementara yang menjadi
harapan awal adalah adanya DPD yang
bebas dari campur tangan partai politik,
yang dapat menjadikan DPD sebagai
pondasi demokrasi lokal dan salah satu
tumpuan bagi aspirasi rakyat daerah.
Bahwa permasalahan ini kemudian
diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk
dilakukan uji materil terhadap
ketidakjelasan dan ketidaktegasan norma
tersebut. Hasil uji materil pasal melalui
Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 MK
menyatakan: frasa pekerjaan lain dalam
pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak dimaknai mencakup pula
pengurus (fungsionaris) partai politik.
Bahwa atas dasar ini kemudian
memuculkan suatu probematika hukum
dimana sebelum adanya pengujian tentang
frasa ketidakjelasan pada norma in casu
telah banyak calon anggota DPD yang
sekaligus merupakan pengurus partai
politik, sehingga menimbulkan masalah
terkait akibat hukum Putusan MK Nomor
30/PUU-XVI/2018 terhadap subjek hukum
yang telah mendaftar sebagai calon anggota
DPD. Hal ini terbukti pada tahun 2018,
adalah Oesman Sapta Odang (OSO) yang
merupakan ketua umum dari partai politik
Hanura mencalonkan dirinya sebagai
anggota DPD pada Pemilu 2019, dan telah
menjadi Daftar Calon Tetap (DCT) untuk
pemilihan anggota DPD. Lalu bagaimakah
status hukum dari pencalonan OSO pasca
keluarnya putusan MK a quo? Namun
sebelum memasuki pembahasan tersebut,
perlu pula dikasi terlebi dahulu apa yang
menjadi ratio decidendi (alasan putusan)
sehingga MK menetapkan demikian dalam
putusannya.
20 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian
hukum normatif yang mengkaji hukum
sebagai norma atau kaidah yang berlaku
dalam masyarakat dan menjadi acuan
perilaku setiap orang. Norma hukum yang
berlaku itu berupa norma hukum positif
tertulis bentukan lembaga perundang-
undangan, kodifikasi, undang-undang,
peraturan pemerintah, norma hukum tertulis
bentukan lembaga peradilan (judge made
law), atau norma hukum tertulis buatan
pihak-pihak yang berkepentingan
(Muhammad, A. 2004, hlm. 52).
Penulis menggunakan bahan hukum
primer berupa Putusan Nomor 30/PUU-
XVI/2018 dan juga peraturan perundangan
lainnya, serta bahan hukum sekunder
berupa buku-buku hukum, jurnal, makalah
dan hasil seminar yang berkaitan dan dapat
mengarahkan pada jawaban atas
permasalahan yang diajukan. Pengumpulan
bahan dilakukan dengan melakukan
pencatatan data secara langsung dari
dokumen yang isinya berkaitan dengan
masalah penelitian. Selanjutnya bahan
tersebut dianalisis dengan menggunakan
metode kualitatif. Hasil yang diperoleh
dipaparkan secara deskriptif, yaitu dengan
menguraikan, menjelaskan, dan
menggambarkan sesuai dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
3. Perspektif Teori
3.1.Kedudukan Dewan Perwakilan
Daerah
Kelembagaan negara atau alat-alat
perlengkapan merupakan salah satu
komponen yang harus diatur dalam sebuah
hukum yang disebut konstitusi.
Sebagaimana diajukan Sri Soemantri
Martosoewignjo (2002) bahwa apabila
mempelajari konstitusi-konstitusi yang ada
di dunia, di dalamnya selalu dapat
ditemukan adanya pengaturan tiga
kelompok materi muatan, yaitu:
a. Adanya pengaturan tentang
perlindungan hak asasi manusia dan
warganegara;
b. Adanya pengaturan tentang susunan
ketatanegaraan suatu Negara yang
mendasar, dan;
c. Adanya pembatasan dan pembagian
tugas-tugas ketatanegaraan yang
mendasar.
Dalam pada itu, yang dimaksud dengan
susunan ketatanegaraan yang mendasar
ialah ditetapkannya alat-alat perlengkapan
negara dalam konstitusi. Di Negara
Republik Indonesia, hal itu terdiri Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Presiden dan
Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Badan
Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi. Salah satu
perubahan penting setelah dilakukannya
amandemen terhadap Undang-Undang
21 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Dasar 1945 adalah perubahan terhadap
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945. Menurut I
Dewa Palguna (2003), dengan perubahan
tersebut bukan saja berarti tidak lagi ada
Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam
keanggotaan MPR serta tidak adanya lagi
anggota MPR yang diangkat tetapi juga
dibentuknya sebuah badan baru yang
bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
DPD perlu diatur lebih rinci dalam
peraturan perundang-undangan yang
derajatnya lebih rendah dari konstitusi,
seperti undang-undang tentang susunan dan
kedudukan DPD (Soemantri. S, 2003, hlm.
8). Sementara mengenai tugas dan
wewenang DPD telah daitur dalam Pasal
249 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. DPD diharapkan mampu
menjamin dan menampung perwakilan
kepentingan daerah-daerah secara
memadai, serta memperjuangkan aspirasi
dan kepentingan daerah dalam lembaga
legislatif. Bukan berarti dengan cara seperti
itu kepentingan nasional akan dikurangi,
karena bagaimanapun DPD RI adalah
lembaga negara yang bersifat nasional,
sebagaimana juga DPR RI. Hanya saja
mekanisme pemilihannya dan persyaratan
pencalonan anggotanya lebih banyak
dikaitkan dengan daerah, bukan penduduk.
Sedangkan dasar pertimbangan politis
kehadiran DPD RI adalah memperkuat
ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, meneguhkan
persatuan dan semangat kebangsaan
seluruh daerah dalam forum yang
mempertemukan pelbagai latar persoalan
kedaerahan, meningkatkan agregasi dan
akomodasi aspirasi serta kepentingan
daerah-daerah dalam perumusan kebijakan
nasional; serta mendrong percepatan
demokrasi, pembangunan dan kemajuan
daerah secara berkeadilan, kesetaraan dan
berkesinambungan (MPR RI, 2001).
3.2.Mahkamah Konstitusi
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman,
fungsi konstitusional yang dimiliki oleh
MK adalah fungsi peradilan untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Di dalam
Penjelasan Umum UU MK disebutkan
bahwa tugas dan fungsi MK adalah
menangani perkara ketatanegaraan atau
perkara konstitusional tertentu dalam
rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab
sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi. Selain itu, A. Mukhtie Fadjar
(2006, hlm. 199) mengungkapkan bahwa
keberadaan MK juga dimaksudkan sebagai
koreksi terhadap pengalaman
ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir
ganda atas konstitusi.
Dalam kajian ilmu hukum
ketatanegaraan, keberadaan Mahkamah
22 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Konstitusi diidealkan sebagai lembaga
pengawal konstitusi (the guardian of the
constitution). Menurut Jimly Asshiddiqie,
Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang
diadopsikan dalam UUD 1945 memiliki
dua fungsi ideal yaitu; Pertama, dia
dikonstruksi sebagai pengawal konstitusi.
Sebagai pengawal konstitusi dia berfungsi
untuk menjamin, mendorong,
mengarahkan, membimbing, serta
memastikan bahwa UUD 1945 dijalankan
dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara
negara dan subjek hukum konstitusi lainnya
seperti warga negara, supaya nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya dijalankan
dengan benar dan bertanggungjawab.
Kedua, dia juga harus bertindak sebagai
penafsir konstitusi (the sole interpreter of
the constitution), sebab Mahkamah
Konstitusi dikonstruksikan sebagai
lembaga tertinggi, satu-satunya penafsir
resmi UUD 1945. Melalui fungsinya yang
kedua ini Mahkamah Konstitusi berfungsi
untuk menutupi segala kelemahan dan/atau
kekurangan yang terdapat di dalam UUD
1945 (Soimin & Mashuriyanto, 2013).
Hukum acara pengujian Undang-
Undang di Mahkamah Konstitusi pada
dasarnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
pengujian formil dan materiil. Hal ini sesuai
dengan teori pengujian (toetsing) Undang-
Undang yang menurut Jimly Asshiddiqie
(2006), dibedakan antara materiele toetsing
dan formele toetsing. Kedua bentuk
pengujian tersebut dibedakan dengan istilah
pembentukan Undang-Undang dan materi
muatan Undang-Undang. Jika pengujian
Undang-Undang dilakukan atas materinya
maka pengujian tersebut merupakan
pengujian materiil yang dapat
mengakibatkan dibatalkannya sebagian
materi Undang-Undang yang bersangkutan,
sedangkan jika pengujian Undang-Undang
dilakukan terhadap proses pembentukannya
maka pengujian demikian disebut
pengujian formil.
3.3.Partai Politik
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik menyebutkan bahwa
Partai Politik adalah organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Partai memainkan peran penghubung
yang sangat strategis antara proses-proses
pemerintahan dengan warga negara.
Banyak yang mendapat bahwa partai
politiklah yang sebetulnya menentukan
demokrasi, seperti dikatakan oleh
Schattscheider (1942), “Political parties
23 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
created democracy”. Karena itu, partai
merupakan pilar yang sangat penting untuk
diperkuat derajat pelembagaannya (the
degree of institutionalization) dalam setiap
sistem politik yang demokratis. Bahkan,
oleh Schattscheider di katakan pula,
“Modern democracy is unthinkable save in
terms of the parties”. Namun demikian,
banyak juga pandangan politik kritis dan
bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang
paling serius di antaranya menyatakan
bahwa partai politik itu sebenarnya tidak
lebih daripada kendaraan politik bagi
sekelompok elite yang berkuasa atau
berniat memuaskan nafsu birahi
kekuasaannya sendiri.
Oleh karena itu, sistem kepartaian yang
baik sangat menentukan bekerjanya sistem
ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks
and balances dalam arti yang luas.
Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-
fungsi kelembagaan negara itu sesuai
prinsip checks and balances berdasarkan
konstitusi juga sangat menentukan kualitas
sistem kepartaian dan mekanisme
demokrasi yang dikembangkan di suatu
negara. Semua ini tentu berkaitan erat
dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan
kultur berpikir bebas dalam kehidupan
bermasyarakat. Tradisi berpikir atau
kebebasan berpikir itu pada gilirannya
mempengaruhi tumbuh-berkembangnya
prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan
berkumpul dalam dinamika kehidupan
masyarakat demokratis yang bersangkutan
(Budiarjo. M, 1999).
Partai politiklah yang bertindak sebagai
perantara dalam proses- proses
pengambilan keputusan bernegara, yang
menghubungkan antara warga negara
dengan institusi-institusi kenegaraan.
Menurut Robert Michels dalam bukunya,
“Political Parties, A Sociological Study of
the Oligarchical Tendencies of Modern
Democracy”, “…organisasi…merupakan
satu-satunya sarana ekonomi atau politik
untuk membentuk kemauan kolektif.”
3.4.Pemilihan Umum
Negara Republik Indonesia adalah
negara kesatuan berbentuk republik yang
menjalankan pemerintahan dalam bentuk
demokrasi. UUD 1945 yang merupakan
Konstitusi Negara Republik Indonesia
mengatur masalah pemilihan umum dalam
Bab VII B Tentang Pemilihan Umum Pasal
22 E sebagai hasil amandemen ketiga UUD
1945 tahun 2001. Secara lengkap, bunyi
pasal 22 E tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali;
b. Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c. Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah Partai Politik;
24 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
d. Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan;
e. Pemilihan umum diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri;
f. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan
umum diatur dengan undang-undang.
Pada zaman moderen ini Pemilu
menempati posisi penting karena terkait
dengan beberapa hal. Pertama, Pemilu
menjadi mekanisme terpenting bagi
keberlangsungan demokrasi perwakilan.
Kedua, Pemilu menjadi indikator negara
demokrasi. Ketiga, Pemilu penting
dibicarakan juga terkait dengan implikasi-
implikasi yang luas dari Pemilu
(Pamungkas. S, 2009). Pemilu mempunyai
fungsi sebagai (1) sarana legitimasi politik,
(2) sarana perwakilan politik, (3) sebagai
mekanisme pergantian elit penguasa, dan
(4) sebagai sarana pendidikan politik bagi
rakyat. Sedangkan fungsi pemilu, menurut
Abdul Bari Azed (2000) ada tiga, yaitu
pertama memungkinkan terjadinya
pergantian pemerintah secara damai dan
tertib, kedua, kemungkinan lembaga negara
berfungsi sesuai dengan maksud Undang-
Undang Dasar 1945, dan ketiga, untuk
melaksanakan hak-hak asasi warga negara.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1.Ratio Decidendi Putusan MK Nomor
30/PUU-XVI/2018
Pasal 182 huruf i menetapkan bahwa
perseorangan keanggotaan DPD harus
memenuhi persyaratan yaitu “bersedia
untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat, notaris, pejabat pembuat
akta tanah, dan/atau tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Namun tidak adanya penjelasan terhadap
frasa “pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan
tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPD” dalam pasal tersebut menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi calon anggota
DPD dari yang sekaligus pengurus partai
politik apabila diperbolehkan menjadi calon
anggota DPD. Hal ini terbukti pada tahun
2018, pada pemilu anggota DPD, Oesman
Sapta Odang (OSO) yang merupakan ketua
umum dari partai politik Hanura,
mencalonkan dirinya sebagai anggota DPD
pada Pemilu 2019, dan telah menjadi Daftar
Calon Tetap (DCT) untuk pemilihan
anggota DPD pra-terbitnya Putusan MK
Nomor 30/PUU-XVI/2018.
Akan tetapi dengan hadirnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-
XVI/2018, OSO kemudian dikeluarkan
daftar calon tetap oleh KPU. Sebab yang
25 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
bersangkutan masih aktif sebagai pengurus
partai politik dan belum menyerahkan surat
pengunduran diri sebagai pengurus partai
politik tersebut. Dikeluarkannya OSO dari
DCT mengacu pada Putusan MK atas
permohonan judicial review oleh
Muhammad Hafidz, yang dalam amar
putusannya menetapkan bahwa: Frasa
“pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf i
UU Pemilu bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
memgikat secara bersyarat sepanjang tidak
dimaknai mencakup pula pengurus
(fungsionaris) partai politik;
Dalam ratio decidendi pada putusan a
quo, pertimbangan hukum mahkamah,
apabila calon anggota DPD yang
merupakan perseorangan, juga memiliki
aktifitas sebagai pengurus partai politik,
menimbulkan benturan kepentingan yang
tidak terhindarkan sehingga akan
mengubah original intent pembentukan
DPD sebagai representasi daerah.
Kepentingan daerah dan kepentingan
partai politik adalah dua hal yang berbeda.
Kepentingan partai politik ini berkaitan
langsung dalam agenda yang ada dalam
partai politik dalam jangka pendek, yang
bergantung apakah ia mendukung
pemerintah aau sebaliknya yang membuat
hal tersebut berbenturan. Benturan
dikarenakan adanya dua hal. Pertama, soal
posisi politik terhadap pemerintah yang
dianggap penting oleh daerahnya belum
tentu tidak dianggap penting oleh partai
politik karena ketidasesuaian dengan posisi
politik pada partai yang bersangkutan.
Kedua, persoalan kepentingan politik dan
ekonomi lokal, yang biasanya sudah
diambil oleh para elit lokal yang tergambar
dalam partai politik. sebagaimana dapat
diperjuangkan untuk daerahnya
memungkinkan menimbulkan rintangan
bagi partai politiknya atau menutup akses
ekonomi tertentu.
Sementara pertimbangan mahkamah
dalam putusan a quo dilihat dari desain
konstitusi pembentukan DPD, Mahkamah
berpandangan hukum bahwa:
1. DPD merupakan representasi daerah
(territorial representation) yang
membawa dan memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan daerah dalam
kerangka kepentingan nasional,
sebagai imbangan atas dasar prinsip
“checks and balances” terhadap DPR
yang merupakan representasi politik
(political representation) dari aspirasi
dan kepentingan politik partai-partai
politik dalam kerangka kepentingan
nasional;
2. Keberadaan DPR dan DPD dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang
seluruh anggotanya menjadi anggota
MPR bukanlah berarti bahwa sistem
perwakilan Indonesia menganut sistem
perwakilan bikameral, melainkan
26 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
sebagai gambaran tentang sistem
perwakilan yang khas Indonesia;
3. Meskipun kewenangan konstitusional
DPD terbatas, namun dari seluruh
kewenangannya di bidang legislasi,
anggaran, pengawasan, dan
pertimbangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 22D UUD 1945,
kesemuanya terkait dan berorientasi
kepada kepentingan daerah yang harus
diperjuangkan secara nasional
berdasarkan postulat keseimbangan
antara kepentingan nasional dan
kepentingan daerah;
4. Bahwa sebagai representasi daerah dari
setiap provinsi, anggota DPD dipilih
melalui Pemilu dari setiap provinsi
dengan jumlah yang sama, berdasarkan
pencalonan secara perseorangan,
bukan melalui Partai, sebagai peserta
Pemilu.
Selain dari itu, Mahkamah Konstitusi
juga menilai dari segi hakikatnya, DPD
dibentuk sebagai representasi dari aspirasi
daerah dalam ikut serta menjadi bagian dari
pengambilan keputusan politik nasional
yang berkaitan dengan kepentingan daerah.
Kemudian pertimbangan Mahkamah
selanjutnya juga mengacu pada salah satu
penambahan ayat dalam Pasal 33 UUD
1945 ditambahkan frasa “serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”, sebagaimana
termaktub dalam Pasal 33 ayat (4) UUD
1945. Sehingga, untuk menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional dan daerah maka
dibutuhkan adanya keterwalian daerah di
parlemen melalui DPD untuk mengimbangi
keterwakilan partai politik. Keseimbangan
lembaga DPD dan DPR untuk mencegah
terjadinya pertentangan Pasal 20 ayat (1)
UUD 1945 yang telah disetujui sebelumnya
dalam perubahan tahap pertama UUD 1945,
berlaku secara tegas menyatakan kekuasaan
membentuk undang-undang ada di tangan
DPR. Artinya, pembentukan lembaga
perwakilan yang sifatnya bikameral ditolak.
Hal ini kemudian akan mencegah adanya
benturan antara Pasal 20 Ayat (1) dan Pasal
22D UUD 1945.
Pertimbangan lain adalah mengacu pada
proses pembahasan dalam merumuskan
terbentuknya lembaga DPD oleh Panitia Ad
Hoc I Badan Pekerja MPR, yang desain
keanggotaan DPD diharapkan berasal dari
tokoh daerah yang sangat memahami
kebutuhan dan menyuarakan sera
memperjuangkan kebutuhan daerahnya
dalam pengambilan keputusan politik
nasional yang berkaitan langsung dengan
kepentingan daerah, terkhusus dalam proses
pembentukan undang-undang.
Secara rasional, kita menilai bahwa
pertimbang-pertambangan mahkamah
tersebut memiliki landasan konseptual yang
kuat, misalnya terkait fungsi-fungsi ideal
27 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
politik yang jika kita telusuri secara
mendalam, bahkan untuk demokrasi yang
telah matang-pun, partai politik belum tentu
mampu merepresentasikan seluruh aspirasi
rakyat Indonesia. Hal inilah yang
menyebabkan hadirnya calon-calon
perwakilan yang sifatnya independen.
Dalam analisa lainnya dalam persyaratan
anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus
ataupun berasal dari pengurus partai politik
adalah untuk mencegah terjadinya
perwakilan ganda yang dapat
mengakibatkan distorsi partai politik dalam
pengambilan keputusan, apalagi keputusan
politik seperti perubahan UUD 1945. Pasal
2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa
MPR terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah. Selain itu menurut
Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR memiliki
kewenangan mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar. Maka jika dilihat
anggota DPD bisa jadi berasal dari
pengurus partai politik, dalam artian akan
menimbulkan perwakilan ganda dalam
keanggotaan MPR. secara tidak langsung
hal ini telah mengubah desain
ketatanegaraan yang membuat MPR
sebagai representasi dari perwakilan politik
dan perwakilan daerah.
Pertimbangan-pertimbangan di atas
menjadi penting untuk menegaskan bahwa
perseorangan warga negara Indonesia yang
mencalonkan diri sebagai anggota DPD
tidak boleh merangkap sebagai pengurus
partai politik sehingga Pasal 182 huruf l UU
Pemilu harus dimaknai sebagaimana
tertuang dalam amar Putusan ini.
4.2.Akibat Hukum Putusan MK Nomor
30/PUU-XVI/2018
Jika kita meninjau UU Pemilu pada pasal
yang dilakukan judicial review berdasarkan
Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018
yaitu Pasal 182 huruf l, pasca-terbitnya
putusan tersebut tidak merubah redaksi
pasalnya atau terjadi penambahan pasal
pada UU Pemilu. Ini dikarenakan
Mahkamah Konstitusi dalam menguji
Undang-Undang terhadap UUD 1945,
hanyalah bersifat negative legislator, yaitu
membatalkan norma pasal Undang-Undang
yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal
ini sejalan dengan apa yang disampaikan
Moh. Mahfud MD (2012) bahwa “negative
legislator dapat diartikan sebagai tindakan
Mahkamah Konstitusi yang dapat
membatalkan norma dalam judicial review
undang-undang terhadap UUD 1945 atau
membiarkan norma yang diberlakukan oleh
lembaga legislatif tetap berlaku dengan
menggunakan original intent UUD 1945
sebagai tolak ukurnya, sementara positive
legislator adalah lembaga (merujuk pada
lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat DPR dan Pemerintah) yang
28 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
memiliki kewenangan untuk membuat
norma”.
Dalam salah satu amar putusan MK
Nomor 30/PUU-XVI/2018 berbunyi Frasa
“pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum bertolak
belakang dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum megikat
secara bersyarat selama tidak dimaknai
mencakup pada pengurus (fungsionaris)
partai politik. Artinya, frasa “pekerjaan
lain” pada Pasal 182 huruf l UU Pemilu
tersebut, harus mencakup pula pengurus
partai politik, jika tidak demikian maka
norma pasal tersebut dikatakan
inkonstitusional. Konsekuensi logisnya,
dianggap tidak mengikat secara hukum.
Implikasi hukum lain yang timbul adalah
terjadinya revisi Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) terkait
pencalonan anggota DPD. Dengan
diterbitkannya PKPU Nomor 26 Tahun
2018 tentang Perubahan Kedua PKPU
Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan
Perseorangan Calon Peserta Pemilihan
Umum Anggota DPD. Diantara Pasal 60
dan 61 ditambahkan Pasal 60A yang
berkaitan dengan syarat pengunduran diri
dari partai politik untuk calon perseorangan
anggota DPD.
Pasal 60A menetapkan :
(1) Pemenuhan persyaratan perseorangan
peserta Pemilu menjadi bakal calon
Anggota DPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (1) huruf p,
termasuk tidak dalam kedudukannya
sebagai pengurus partai politik tingkat
pusat, pengurus partai politik tingkat
daerah provinsi dan pengurus partai
politik tingkat daerah kabupaten/kota.
(2) Bakal calon Anggota DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mengundurkan diri dari
kedudukannya sebagai pengurus partai
politik sebelum masa pendaftaran
calon Anggota DPD.
(3) Bakal calon Anggota DPD yang telah
memenuhi syarat calon atau belum
memenuhi syarat calon dan sedang
dalam proses perbaikan syarat calon atau
sedang dilakukan verifikasi syarat calon,
dapat tetap menjadi bakal calon Anggota
DPD dengan wajib menyampaikan:
a. surat pengunduran diri sebagai
pengurus partai politik yang bernilai
hukum dan tidak dapat ditarik
kembali, yang ditandatangani oleh
bakal calon Anggota DPD yang
bersangkutan dan dibubuhi materai
cukup; dan
b. keputusan pimpinan partai politik
sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga partai
politik, tentang pemberhentian
bakal calon Anggota DPD yang
29 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
bersangkutan sebagai pengurus
partai politik.
(4) Surat pernyataan pengunduran diri
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a disampaikan kepada KPU
melalui KPU Provinsi/KIP Aceh paling
lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan
DCS Anggota DPD.
(5) Keputusan pimpinan partai politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b, disampaikan kepada KPU
melalui KPU Provinsi/KIP Aceh paling
lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan
DCT Anggota DPD.
(6) Dalam hal surat pernyataan
pengunduran diri dan keputusan
pimpinan partai politik tidak
disampaikan pada masa sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5),
bakal calon Anggota DPD dinyatakan
tidak memenuhi syarat dan namanya
tidak dicantumkan dalam DCS
Anggota DPD atau DCT Anggota
DPD.
Implikasi hukum terhadap calon anggota
DPD yang tidak mengudurkan diri dari
fungsionaris partai politik adalah tidak
dimasukkaN sebagai Daftar Calon
Sementara (DCS) apalagi sebagai Daftar
Calon Tetap (DCT) untuk bursa pencalonan
keanggotaan DPD. Hal inilah yang terjadi
pada Ketua Umum Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura), OSO, saat mendaftarkan
diri dalam bursa calon anggota DPD pada
Pemilu 2019 yang lalu.
Hal ini bermula ketika OSO mendaftar
sebagai anggota DPD pada pemilu 2019.
KPU kemudian menetapkan Daftar Calon
Tetap (DCT) calon anggota DPD pada surat
keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-
Kpt/06/KPU/IX/2018 pada 20 September
2018 yang telah diubah dengan Keputusan
KPU Nomor 1174/PL/01.4-
Kpt/06/IX/2018. Melalui perubahan
keputusan tersebut, beberapa calon anggota
DPD dicoret dari Daftar Calon Tetap
(DCT), termasuk nama OSO yang saat itu
mencalonkan sebagai anggota DPD.
Tidak sepakat dengan keputusan KPU
yang menurutnya Putusan MK Nomor
30/PUU-XVI/2018 tersebut berlaku surut,
karena penetapan Daftar Calon Tetap
(DCT) oleh KPU terbit sebelum putusan
MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 tersebut
terbit. Osman Sapta Odang kemudian
menajukan judicial review Peraturan KPU
Nomor 26 Tahun 2018 di Mahkamah
Agung dan melakukan gugatan atas Putusan
KPU di Peradilan tata Usaha Negara
(PTUN). Mahkamah Agung kemudian
mengeluarkan Putusan Nomor
65P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa
Pasal 60A dalam Peraturan KPU Nomor 26
Tahun 2018 tersebut tidak sah dan batal
demi hukum dengan pertimbangan bahwa
Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018
tidak berlaku surut.
30 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Hal ini berkaitan dengan Pasal 58 UU
Mahkamah Konstitusi yang menetapkan
bahwa “Undang-udang yang diuji oleh
Mahkamah Konstitusi tetap berlaku,
sebelum ada putusan yang menyatakan
bahwa undang- undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.” Norma yang termuat dalam Pasal 58
UU Mahkamah Konstitusi tersebut
dimaknai menjadi dua pengertian. Pertama,
bahwa berlaku prinsip presumption of
contitutionality dalam pengujian
konstitusionalitas undang-undang dalam
artian dalam undang-undang harus tidak
bertentangan dengan Konstitusi selama
belum ada putusan pengadilan, yang
berkekuatan hukum tetap dan menyatakan
bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Konstitusi. Kedua,
bahwa sebagaimana prinsip umum yang
berlaku dalam perundangan satu undang-
undang yang dibuat oleh pembentuk
undang-undang (positive legislature)
berlaku prospektif. Hal itu juga berlaku
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
sehingga dalam putusan Mahkamah
menjadi berlaku prospektif.
Pada faktanya, KPU tetap melaksanakan
kebijakan berdasarkan Putusan MK Nomor
30/PUU-XVI/2018, dengan surat keputusan
KPU memberikan jangka waktu kepada
para bakal calon anggota DPD yang masih
menjadi pengurus (fungsionaris) partai
politik untuk mengundurkan diri terlebih
dahulu. Olehnya itu, 200 (dua ratus) calon
anggota DPD yang mematuhi Putusan MK
tersebut mengundurkan diri sebagai
pengurus (fungsionaris) partai politik.
Oleh karena OSO tidak mengajukan
surat pengunduran diri sampai pada batas
waktu yang ditetapkan oleh KPU, KPU
kemudian mencoret namanya dari daftar
calon anggota DPD. Bahkan KPU
melakukan kelonggaran lagi dengan
melayangkan surat kepada OSO pada
tanggal 8 Desember 2018 untuk
memberikan tambahan waktu sampai pada
tanggal 21 Desember 2018. Akan tetapi
samai pada tanggal tersebut yang
bersangkutan tetap tidak memberikan surat
penguduran dirinya dari Partai Hanura.
Konsekuensi logisnya adalah, pada tanggal
22 Desember 2018 KPU tetap tidak
melakukan perubahan Surat Keputusan
Daftar Calon Tetap (DCT) calon anggota
DPD, sehingga OSO tetap tidak tercantum
dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota
DPD.
5. Simpulan
Ratio Decidendi atas Putusan MK
Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang
menetapkan amar untuk memenuhi seluruh
permohonan pemohon dan menetapkan
frasa “pekerjaan lain” pada Pasal 182 Huruf
l UU Pemilu harus dimaknai pula termasuk
pengurus (fungsionaris) partai politik
31 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
adalah sebagai berikut bahwa Lembaga
DPD harus kembali sesuai original intent
dan original meaning pembentukan DPD
yang terlepas dari unsur partai politik,
memberikan check and balance antara DPD
dan DPR agar tercipta keseimbangan dalam
menyalurkan aspirasi daerah dan aspirasi
partai politik, Untuk mencegah terjadinya
double representation dalam pengambilan
kebijakan hukum, jika DPD juga mencakup
partai politik dalam bursa pencalonan
anggota DPD dan untuk menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional sesuai dengan Pasal 33
Ayat (4) UUD 1945, sehingga dibutuhkan
keterwakilan DPD di parlemen sebagai
perwakilan daerah agar menyeimbangkan
keterwakilan DPR sebagai perwakilan
partai politik.
Implikasi hukum Putusan MK Nomor
30/PUU-XVI/2018 yaitu Revisi PKPU
Nomor 26 Tahun 2018 atas PKPU Nomor
14 Tahun 2018 yang menambahkan Pasal
60A terkait pengajuan surat pengunduran
diri calon anggota DPD sebagai pengurus
(fungsionaris) partai politik. Membatalkan
calon anggota DPD yang tidak mengajukan
surat pengunduran diri sebagai pengurus
(fungsionaris) partai politik.
32 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, J. (2006). Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta, Konstitusi Perss.
Azed, A.B. (editor). (2000). Sistem-sistem Pemilihan Umum. Depok, Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Fadjar, A.M. (2006). Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MK RI.
Mahfud, M.MD. (2012). Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu. Jakarta, Rajawali Perss.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (2001). Buku Keempat Jilid 2 A: Risalah
Rapat Komisi A Ke-2 (Lanjutan) s/d Ke-5 Tanggal 6 November s/d 8 November 2001. Jakarta,
Sekretariat Jenderal MPR RI.
Muhammad, A. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti.
Palguna, I.D.G. (2003). Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah. Jakarta, Sekretariat
Jenderal MPR.
Pamungkas, S. (2009). Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan
Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gajah Mada.
Soemantri, S. (2002). Undang-Undang Dasar 1945 dan Aspek-aspek Perubahannya. Bandung,
Unpad Press.
______ (2003). Perihal Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan. Jakarta,
Sekretariat Jenderal MPR RI.
Soimin dan Mashuriyanto, (2013). Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta, UII Press.
Artikel Jurnal
Bidaya, J. (2012). Kewenangan DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Menurut UUD 1945. Jurnal
Media Bina Ilmiah, Vol. 6, No. 6.
Marzuki, L. (2005). Keberadaan DPD dan Kaitannya dalam Pembentukan UndangUndang. Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 2, No. 3.
33 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
ANALISIS HUKUM TERHADAP NOMENKLATUR PUTUSAN BAWASLU
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILU
LEGAL ANALYSIS OF THE NOMENCLATURE OF BAWASLU'S DECISION IN
ELECTION PROCESS DISPUTE RESOLUTION
Muh. Alan Saputra D.
DPP Kesatuan Mahasiswa Nusantara
Alamat: Jl Perintis Kemerdekaan III, BTN Antara, Blok D 11, No. 1.
Email:
Abstract
This study was initiated aimed at examining the legal status of products issued by Bawaslu on dispute
resolution in the electoral process. Law Number 7 of 2017 concerning Elections states that the Bawaslu
issues a "decision". Meanwhile, verdicts are actually legal products issued only by judges (courts), and
Bawaslu is not a judicial body. This is important because every different term has its own interpretation
and legal consequences. This research is a normative research. Data is collected through research of
library materials in the form of laws and regulations, books, journals and other scientific works related
to this research topic. The analysis was carried out using a statutory approach. The results showed that
the use of the term "decision" to refer to Bawaslu's decisions regarding the dispute resolution of the
election process is incompatible with the character of Bawaslu in the Indonesian constitutional structure
as a public administrative body. So the correct term to describe Bawaslu's decisions is "decision".
Keywords: Bawaslu Decision; Election Process Disputes; Law Number 7 of 2017 Concerning Elections.
Abstrak
Studi ini dimulai bertujuan untuk meneliti nomenklatur yang diterbitkan bawaslu pada penyelesaian
sengketa proses pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu menyebutkan bahwa
bawaslu mengeluarkan “putusan”. Sementara, putusan sesungguhnya adalah produk hukum yang hanya
diterbitkan oleh hakim (pengadilan), dan bawaslu bukanlah suatu badan peradilan. Hal ini penting
dilakukan karena setiap istilah yang berbeda mempunyai penafsiran dan akibat hukumnya masing-
masing. Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Data dikumpulkan melalui penelitian bahan
pustaka baik berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal dan karya ilmiah lain yang
berhubungan dengan topik penelitian ini. Analisis dilakukan dengan pendekatan undang-undang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan istilah “putusan” untuk menyebut ketetapan Bawaslu
terkait penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan hal yang tidak sesuai dengan karakter Bawaslu
dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sebagai badan adminitrasi publik. Maka istilah yang tepat
untuk menyebut ketetapan Bawaslu adalah “keputusan”.
Kata Kunci: Putusan Bawaslu; Sengketa Proses Pemilu; Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilu.
1. Pendahuluan
Demokrasi Indonesia pasca amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 telah
mulaimenunjukkan perubahan. Bila
sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan
memilih presiden dan wakil presiden oleh
MPR, pasca amandemen kekuasaan
tersebut beralih ke tangan rakyat
(Muhammad Zulfan Hakim, 2008).
34 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Perwujudan kedaulatan rakyat ini
dilaksanakan melalui Pemilu. Jimly
Asshidiqie (2017) memberikan
pendapatnya mengenai fungsi
penyelenggaraan pemilu yaitu:
a. untuk memungkinkan terjadinya
peralihan kepemimpinan
pemerintahan secara tertib dan damai,
b. untuk memungkinkan terjadinya
pergantian pejabat yang akan
mewakili kepentingan rakyat di
lembaga perwakilan,
c. untuk melaksanakan prinsip
kedaulatan rakyat, dan
d. untuk melaksanakan prinsip hak-hak
asasi warga Negara.
Di Indonesia, pengaturan mengenai
Pemilu dapat dilihat pada Pasal 22E UUD
NRI 1945.1 Rumusan pasal tersebut sebagai
berikut:
(1) Pemilihan umum dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil setiap lima
tahun sekali.***
(2) Pemilihan umum diselenggarakan
untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan
wakil presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.***
(3) Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan
1 UUD NRI 1945 amandemen ketiga
2Pasal 1 angka 7 (tujuh) UU Pemilu
berbunyi: “Penyelenggara Pemilu adalah
lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang
terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan
Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan
Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah partai
politik.***
(4) Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan.***
(5) Pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri.***
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan
undang-undang.***
Salah satu hal mendasar terkait
kepemiluan yang diatur dalam pasal di atas
yaitu mengenai penyelenggara pemilu.
Keberadaan penyelenggara pemilu menjadi
sangat penting karena lembaga ini adalah
semacam kaki dan tangan negara dalam
melaksanakan pemilu. Lembaga inilah yang
melaksanakan tahapan demi tahapan
pemilu. Maka jelas penguatan lembaga
pemilu sangat dibutuhkan demi
penyelenggaraan pemilu yang lancar dan
demokratis.
Di dalam UU Pemilu, lembaga
penyelenggara pemilu yang dimaksud yaitu
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP).2 Secara sinergis ketiga lembaga
Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan
fungsi Penyelenggara Pemilu untuk memiilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan
35 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
ini bekerja sebagai satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilu untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.
Adapun sub fungsinya yaitu KPU sebagai
pelaksana tahapan demi tahapan pemilu,
Bawaslu sebagai pengawas pemilu dan
DKPP sebagai lembaga yang menangani
masalah pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu.
Bila kita mencermati rumusan Pasal 93
undang-undang ini, dalam menjalankan
fungsi pengawasannya Bawaslu bertugas
antara lain melakukan pencegahan dan
penindakan terhadap pelanggaran pemilu
dan sengketa proses pemilu3. Adapun yang
dimaksud sengketa proses pemilu, Pasal
466 menjelaskan sebagai berikut:
“Sengketa proses pemilu meliputi sengketa
yang terjadi terjadi antar- Peserta Pemilu
dan sengketa Peserta Pemilu dengan
Penyelenggara Pemilu sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan
KPU Provinsi, dan keputusan
Kabupaten/Kota”.
Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung
oleh rakyat.”
3 Pasal 93 huruf b UU Pemilu: Bawaslu
bertugas melakukan pencegahan dan
Pasal 468 dan Pasal 469 menjelaskan
bahwa Bawaslu berwenang melakukan
tindakan penyelesaian apabila terjadi
sengketa proses pemilu seperti dijelaskan di
atas. Penulis menemukan terdapat
permasalah terkait nomenklatur yang
digunakan untuk menyebut produk yang
dikeluarkan Bawaslu terkait penyelesaian
sengketa proses ini. Bahwa jika mengacu
pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 Tentang Administrasi Pemeritahan,
proses penyelesaian yang dilakukan oleh
Bawaslu merupakan upaya adminstratif.
Maka dapat dimengerti bahwa produk
hukum yang diterbitkan atas itu adalah
berupa keputusan administrasi/ tata usaha
Negara. Namun, Pasal 468 dan Pasal 469
UU Pemilu secara konsisten justru
menggunakan frasa “putusan Bawaslu”.
Artinya, UU Pemilu menganggap Bawaslu
sebagai lembaga peradilan. Hal ini
menambah deretan masalah dalam regulasi
kepemiluan kita. Sebab sebagaimana kita
tahu, Bawaslu merupakan lembaga mandiri
yang tidak berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Sehingga dengan
demikian, seharusnya produk hukum
Bawaslu tidak dapat dianggap sebagai
putusan lembaga peradilan.
penindakan terhadap (1) pelanggaran pemilu,
dan (2) sengketa proses pemilu.
36 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
2. Metode Penelitian
Penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara
sistematis, metodologis, dan konsisten
(Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011,
hlm. 1). Di dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode normatif, yaitu
mengkaji hukum sebagai norma atau kaidah
yang hidup dalam masyarakat dan menjadi
standar dan pedoman bagi setiap orang
dalam berperilaku. Penelitian normatif
dikenal juga sebagai penelitian doktrinal.
Dalam pengretian Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji (2011) penelitian doktrinal
adalah penelitian yang memberikan
penjelasan sistematis aturan yang mengatur
suatu kategori hukum teretentu,
menganalisis hubungan antar peraturan,
menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin
memprediksi bangunan masa depan.
Adapun pendekatan yang dipakai adalah
pendekatan perundang-undangan (statute
approach). Pendekatan ini dipilih karena
penulis hendak melakukan telaah terhadap
UU Pemilu dan peraturan terkait laiinya
mengenai kedudukan KPU terhadap
putusan Bawaslu dalam penyelesaian
sengketa proses Pemilu.
Oleh karena penelitian ini merupakan
penelitian normatif/doktrinal, maka penulis
menggunakan bahan data sekunder, yaitu
bahan hokum primer berupa Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu dan juga peraturan perundangan
lainnya. Penulis juga menggunakan bahan
hukum sekunder berupa buku-buku hukum,
jurnal, makalah dan hasil seminar terkait
yang dapat mengarahkan pada jawaban atas
permasalahan yang dikemukakan.
Pengumpulan bahan dilakukan dengan
melakukan pencatatan data secara langsung
dari dokumen yang isinya berkaitan dengan
masalah penelitian. Selanjutnya bahan
tersebut dianalisis dengan menggunakan
metode kualitatif. Hasil yang diperoleh
dipaparkan secara deskriptif, yaitu dengan
menguraikan, menjelaskan, dan
menggambarkan sesuai dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
3. Perspektif Teori
3.1.Pengertian Pemilu
Pasal 1 ayat (1) UU Pemilu menjelaskan
pengertian pemilu sebagai sarana memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden serta untuk
memilih anggora Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, jujur dan adil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan katentuan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Menurut Dahlan
Thaib dan Sri Hastuti (2009, hlm. 98)
pemilu adalah suatu proses pergantian
kekuasaan secara damai yang dilakukan
37 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
secara berkala sesuai dengan prinsip-
prinsip yang digariskan kontitusi.
Menurut G.J. Wolhoff sebagaimana
disarikan Fajlurahman Jurdi (2018) dalam
Pengantar Hukum Pemilihan Umum,
pemilu adalah mekanisme dalam demokrasi
tidak langsung untuk memilih wakil rakyat
yang akan menjalankan pemerintahan, di
mana para wakil rakyat tersebut
menjalankan amanat pemerintahan
berdasarkan mandat dari rakyat, oleh
karena tidak memungkinkan seluruh rakyat
terlibat secara langsung dalam
pemerintahan.
Dari penjabaran di atas dapat kita tarik
satu kesamaan pendirian para ahli bahwa
pemilu adalah sarana legitimatif
pelimpahan kekuasaan Negara kepada
wakilnya-wakilnya untuk menjalankan
pemerintahan Negara itu. Parulian Donald,
meskipun mengatakan bahwa pemilu
bukanlah segal-galanya menyangkut
demokrasi, juga tetap mengakui pemilu
sebagai sarana pelaksanaan asas demokrasi
yang memiliki arti penting dalam dinamika
Negara demokrasi.
Bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri
pemilu merupakan cara paling masuk akal
untuk menentukan pemerintahan yang
benar-benar merupakan representasi dari
kehendak rakyat. Hanya melalui pemilu lah
kehendak untuk membentuk jajaran
pemerintahan yang bekerja untuk dan atas
nama rakyat dapat diwujudkan.
3.2.Bawaslu sebagai Penyelenggara
Pemilu
Membahas mengenai penyelenggara
pemilu –dalam hal ini di Indonesia, artinya
kita menjabarkan isi Pasal 22E Ayat (5)
UUD NRI 1945 “Pemilihan Umum
diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri”. Dalam rumusan pasal
tersebut, terdapat klausula “komisi
pemilihan umum”. Terhadap pengertian
klausula tersebut, Lukman Hakim
Syaifuddin (Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan) dalam proses amandemen
ketiga UUD NRI 1945 berpendapat:
“Ayat (5) ini menurut saya memang
mendasar adanya kalimat yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri. Jadi Tim
Ahli hanya terbatas pada Pemilu
diselenggarakan oleh komisi pemilihan
umum dan Komisi Pemilihan Umumnya
ini dengan huruf besar, seakan-akan
sudah menunjuk intitusi tertentu.
Padahal Undang-Undang Dasar ini
sebaiknya tidak langsung menunjuk
institusi”. (Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2010, hlm. 455-456)
Serupa dengan pernyataan Lukman,
Jimly Asshidiqie (2006, hlm. 234 – 235)
mengatakan:
“Dalam Pasal 22E UUD 1945 sendiri,
nama lembaga penyelenggara pemilu itu
tidak diharuskan bernama Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Itu sebabnya
38 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
dalam rumusan Pasal 22E UUD 1945 itu,
perkataan komisi pemilihan umum
ditulis huruf kecil. Artinya, komisi
pemilihan umum yang disebut dalam
Pasal 22E bukanlah nama, melainkan
perkataan umum untuk menyebut
lembaga penyelenggara pemilu itu.”
Dari dua pendapat ahli di atas dapat kita
simpulkan bahwa komisi pemilihan umum
yang dimaksud dalam konstitusi bukanlah
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sebagaimana yang kita kenal sekarang,
melainkan berupa sebuah penegasan akan
fungsi lembaga penyelenggara pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri. Berdasarkan penafsiran ini, UU
Pemilu kemudian menetapkan tiga lembaga
yang secara sinergis bekerja sama
menyelenggarakan pemilu di Indonesia,
yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sebagai pelaksana pemilu, Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang
bertugas mengawasi pelaksaan pemilu
tersebut dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai
lembaga yang bertugas menangani masalah
kode etik penyelenggara pemilu.4
Sebagaimana amanat kontitusi Pasal 22E
ayat (5) bahwa pemilu diselenggarakan oleh
lembaga yang bersifat nasional, tetap dan
4 Pasal 1 Ayat (7) UU Pemilu berbunyi:
“Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang
menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas
Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas
Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi
mandiri. Oleh karena hal ini, keberadaan
lembaga pengawas pemilu yang awalnya
merupakan sub fungsi bagian dari KPU,
melalui UU No 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu dibentuklah sebuah
lembaga mandiri di luar struktur KPU yang
juga bersifat nasional dan permanen. Di
tahun 2011, pemerintah melakukan
penguatan terhadap posisi Bawaslu melalui
UU No 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu. Dengan berlakunya
UU Penyelenggara Pemilu yang baru ini,
maka struktur Bawaslu yang awalnya hanya
ada pada tingkat pusat, kini diturunkan
sampai pada tingkat provinsi.
Tahun 2019, karena pelaksanaan pemilu
Indonesia dilakukan serentak antara
pemilu presiden dan pemilu legislative,
maka diadakan lagi pembaruan UU Pemilu.
Melalui UU No 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum, struktur Bawaslu
kemudian dirampungkan sampai pada
tingkat kabupaten/kota sebagaimana
struktur KPU. Adapun tugas Bawaslu
menurut Pasal 93 UU Pemilu terbaru ini
sebagai berikut:
1. Menyusun standar tata laksana
pengawasan Penyelenggaraan Pemilu
Penyelenggara Pemilu untuk memiilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.”
39 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
untuk pengawas Pemilu di setiap
tingkatan;
2. Melakukan pencegahan dan
penindakan terhadap:
1. pelanggaran Pemilu; dan
2. sengketa proses Pemilu;
3. Mengawasi persiapan
Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri
atas:
1. perencanaan dan penetapan
jadwal tahapan Pemilu;
2. perencanaan pengadaan logistik
oleh KPU;
3. sosialisasi Penyelenggaraan
Pemilu; dan
4. pelaksanaan persiapan lainnya
dalam Penyelenggaraan Pemilu
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
4. Mengawasi pelaksanaan tahapan
Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri
atas:
1. pemutakhiran data pemilih dan
penetapan daftar pemilih
sementara serta daftar pemilih
tetap;
2. penataan dan penetapan daerah
pemilihan DPRD
kabupaten/kota;
3. penetapan Peserta Pemilu;
4. pencalonan sampai dengan
penetapan Pasangan Calon,
calon anggota DPR, calon
anggota DPD, dan calon
anggota DPRD sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan;
5. Pelaksanaan dan dana kampanye;
6. Pengadaan logistik Pemilu dan
pendistribusiannya;
7. Pelaksanaan pemungutan suara
dan penghitungan suara hasil
Pemilu di TPS;
8. \Pergerakan surat suara, berita
acara penghitungan suara, dan
sertifikat hasil penghihrngan
suara dari tingkat TPS sampai
ke PPK;
9. rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara di PPK, KPU
Kabupaten/Kota, KPU
Provinsi, dan KPU;
10. pelaksanaan penghitungan dan
pemungutan suara ulang,
Pemilu lanjutan, dan Pemilu
susulan; dan
11. penetapan hasil Pemilu;
5. Mencegah terjadinya praktik politik
uang;
6. Mengawasi netralitas aparatur sipil
negara, netralitas anggota Tentara
Nasional Indonesia, dan netralitas
anggota Kepolisian Republik
Indonesia;
7. Mengawasi pelaksanaan
putusan/keputusan, yang terdiri atas:
1. putusan DKPP;
40 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
2. putusan pengadilan mengenai
pelanggaran dan sengketa
Pemilu;
3. putusan/keputusan Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu
kabupaten/ Kota;
4. keputusan KPU, KPU Provinsi,
dan KPU l(abupaten/Kota; dan
5. keputusan pejabat yang
berwenang atas pelanggaran
netralitas aparahrr sipil negara,
netralitas anggota Tentara
Nasional Indonesia, dan
netrditas anggota Kepolisian
Republik Indonesia;
8. Menyampaikan dugaan pelanggaran
kode etik Penyelenggara Pemilu
kepada DKPP;
9. Menyampaikan dugaan tindak pidana
Pemilu kepada Gakkumdu;
10. Mengelola, memelihara, dan merawat
arsip serta melaksanakan
penyusutannya berdasarkan jadwal
retensi arsip sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan;
11. Mengevaluasi pengawasan Pemilu;
12. Mengawasi pelaksanaan Peraturan
KPU; dan
13. Melaksanakan tugas lain sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3.3. Sengketa Proses Pemilu
Menurut Winardi (2007), sengketa
adalah pertentangan atau konflik yang
terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai
hubungan atau kepentingan yang sama atas
suatu objek kepemilikan, yang
menimbulkan akibat hukum antara satu
dengan yang lain. Disini Winardi
menjelaskan bahwa sengketa dapat terjadi
pada individu maupun kelompok-kelompok
yang berselisih mengnai satu objek
kepentingan yang sama, yang mana objek
tersebut menimbulkan akibat hukum bagi
mereka. Senada dengan itu, Takdir
Rahmadi (2011) menjelaskan bahwa
konflik atau sengketa merupakan situasi
dan kondisi dimana orang-orang saling
mengalami perselisihan yang bersifat
faktual maupun perselisihan-perselisihan
yang terjadi dalam persepsi mereka saja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 466 UU
Pemilu, Sengketa proses pemilu meliputi
sengketa yang terjadi terjadi antar- Peserta
Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu
dengan Penyelenggara Pemilu sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan KPU,
keputusan KPU Provinsi, dan keputusan
Kabupaten/Kota. Selanjutnya Pasal 1 angka
8 PERMA 5/2017 memberikan penjelasan
lebih rinci tentang sengketa proses pemilu
yaitu sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha Negara pemilihan umum antara
partai politik calon Peserta Pemilu atau
41 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten/Kota, atau bakal
Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden yang tidak lolos verifikasi dengan
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota.
Terhadap sengketa proses pemilu ini,
ada dua lembaga Negara yang diberikan
kewenangan oleh UU Pemilu untuk
menyelesaikannya; yaitu Bawaslu dan
PTUN. Adapun langkah penyelesaian yang
dapat ditempuh melalui Bawaslu adalah
mediasi dan adjudikasi. Selanjutnya,
apabila para pihak merasa keberatan dengan
putusan Bawaslu, maka dapat mengajukan
upaya hukum ke PTUN.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1.Sengketa Proses Pemilu sebagai
Sengketa Tata Usaha Negara
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Jo. Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2009 (selanjutnya
disebut UU Peratun) memberikan
pengertian mengenai Sengketa Tata Usaha
Negara yaitu sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di
pusat maupun di daerah sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dari pengertian Sengketa Tata Usaha
Negara menurut UU Peraturan di atas, dapat
ditarik beberapa unsur yang terdapat dalam
Sengketa Tata Usaha Negara yaitu:
1. Sengketa yang timbul dalam bidang
TUN;
2. Antara orang atau badan hukum
perdata dengan Badan atau Pejabat
TUN;
3. Sebagai akibat dikeluarkannya
KTUN, termasuk sengketa
kepegawaian, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(Yusrizal, 2015)
Terkait jenis sengketa ini, ada beberapa
bentuk penyelesaian yang dapat ditempuh.
Salah satunya adalah upaya administratif.
Ketentuan mengenai upaya administratif
termuat dalam Pasal 48 UU Peratun:
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara sengketa tata
usaha Negara tertentu, maka sengketa
Tata Usaha Negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia.
42 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
(2) Pengadilan baru berwenang
memeriksa, memutus, dan
menyelesai-kan sengketa Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah
digunakan.
Penjelasan Pasal 48 UU ini menerangkan
sebagai berikut:
(1) Upaya administratif adalah suatu
prosedur yang dapat ditempuh oleh
seorang atau badan hukum perdata
apabila ia tidak puas terhadap suatu
Keputusan Tata Usaha Negara,
Prosedur tersebut dilaksanakan di
lingkungan pemerintahan sendiri dan
terdiri atas dua bentuk. Dalam hal
penyelesaian-nya itu harus dilakukan
oleh instansi atasan atau instansi lain
dari yang mengeluarkan keputusan
yang bersangkutan, maka prosedur
tersebut dinamakan “banding
administratif”.
Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata
Usaha Negara tersebut harus dilakukan
sendiri oleh badan atau pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan keputusan itu,
maka prosedur yang ditempuh tersebut
disebut “keberatan”.
(2) Apabila seluruh prosedur dan
kesempatan tersebut pada penjelasan
ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang
ber-sangkutan masih tetap belum
merasa puas, maka barulah
persoalannya dapat digugat dan
diajukan ke Pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 48 di atas,
dapat kita tarik beberapa kesimpulan
mengenai upaya admintratif ini:
1. Upaya administratif merupakan upaya
pertama yang dapat ditempuh terhadap
penyelesaian sengketa tata usaha
Negara di luar pengadilan;
2. Terdapat frasa “sengketa tata usaha
tertentu” dalam Pasal 48 ayat (1),
artinya tidak semua sengketa tata usaha
Negara dapat diselesaikan melalui
upaya adminitratif, melainkan hanya
sengeta tata usaha Negara tertentu;
3. Ada dua jenis prosedur dalam upaya
administratif; keberatan dan banding.
4. PTUN baru mempunyai wewenang
untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha
Negara, jika keberatan dan banding
administratif telah dilalui namun tidak
menghasilkan keputusan yang
memuaskan pihak yang bersangkutan.
4.2. Produk Hukum yang
Dikeluarkan Bawaslu pada
Penyelesaian Sengeketa Proses Pemilu
Menurut Bakhrul Amal (2019),
penegakan hukum Pemilu terkait dengan
sengketa proses Pemilu ditangani oleh
Lembaga Negara Badan Pengawas Pemilu
43 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
(Bawaslu). Hal ini sesuai dengan prinsip
pembentukan Bawaslu yang merupakan
lembaga Negara dengan tujuan
meningkatkan fungsi pengawasan terhadap
tahapan demi tahapan pemilu. Untuk
menunjang pelaksanaan fungsi tersebut,
UU Pemilu memberikan kewenangan yang
cukup besar kepada lembaga ini salah
satunya untuk memutus penyelesaian
sengketa proses pemilu. Ketentuan terkait
hal tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal
berikut:
➢ Pasal 95 huruf d. Bawaslu berwenang
menerima, memeriksa, memediasi atau
mengadjudikasi, dan memutus
penyelesaian sengketa proses pemilu;
➢ Pasal 468 Ayat (1). Bawaslu, Bawaslu
Propinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota
berwenang menyelesaikan sengketa
proses pemilu.
Pada prinsipnya sengketa proses pemilu
dapat dikategorikan sebagai sengketa tata
usaha Negara, sebab sengketa ini lahir
sebagai akibat dikeluarkannya suatu
keputusan tata usaha Negara (dalam hal ini
keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota). Terhadap keputusan
tersebut, para calon ataupun bakal calon
peserta pemilu yang merasa dirugikan dapat
mengajukan gugatan kepada Bawaslu
sesuai dengan tingkatan pencalonannya
masing-masing. Setelah menerima dan
memeriksa permohonan, Bawaslu
kemudian mempertemukan pihak pemohon
dengan KPU untuk melakukan
musyawarah. Apabila dari proses tersebut
tidak berujung pada hasil yang disepakati
kedua pihak, maka Bawaslu menggelar
sidang adjudikasi. Di dalam sidang
adjudikasi ini, prosesnya berjalan relatif
sama meskipun tidak persis dengan sidang
sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga
peradilan umumnya. Ada majelis sidang,
ada pembacaan isi permohonan, jawaban
termohon, proses pembuktian oleh para
pihak, para pihak dapat pula mengajukan
saksi dan ahli, sampai pada dikeluarkannya
putusan penyelesaian oleh majelis sidang.
Teknis beracara di Bawaslu ini diatur
tersendiri dalam Peraturan Bawaslu.
Adapun yang menjadi perhatian penulis
dalam pokok bahasan ini adalah mengenai
jenis produk hukum yang dihasilkan
Bawaslu. Dalam UU Pemilu dan Peraturan
Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 Tentang
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses
Pemilihan Umum sampai dengan tiga kali
perubahannya (perubahan pertama dengan
Perbawaslu No 27 Tahun 2018, perubahan
kedua dengan Perbawaslu No 18 Tahun
2018, dan perubahan ketiga dengan
Perbawaslu Nomor 5 Tahun 2019) secara
konsisten menggunakan istilah “putusan”
untuk menyebut produk hukum yang
dihasilkan Bawaslu. Hal mana yang
menurut penulis tidak sesuai dengan
44 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
karakter Bawaslu sebagai lembaga
adminitrasi pemerintahan. Artinya Bawaslu
tidak berwenang menjatuhkan vonis kepada
lembaga administrasi pemerintahan
lainnya. Ditambah, proses adjudikasi
Bawaslu tidak dilakukan oleh hakim yang
terverifikasi kualitasnya menangani
peradilan. Melainkan oleh majelis sidang
yang dibentuk oleh dan dari anggota
Bawaslu sendiri yang dalam perekrutannya
sama sekali tidak mensyaratkan kualifikasi
seorang akademisi atau praktisi hukum.
Bila mengacu pada UU Peratun dan juga
UU Administrasi Pemerintahan, jelas
bahwa proses penyelesaian sengketa proses
pemilu yang dilakukan Bawaslu merupakan
upaya administratif. Yaitu suatu prosedur
yang dapat ditempuh oleh seorang atau
badan hukum perdata apabila ia tidak puas
terhadap suatu Keputusan Tata Usaha
Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di
lingkungan pemerintahan sendiri. Dalam
kasus ini, proses adjudikasi dilaksanakan di
lingkungan pemerintahan pemilu, yaitu
oleh Bawaslu. Penyelesaian semacam ini
oleh Pasal 48 Ayat (1) UU Peratun
dinamakan “banding admintratif”. Dalam
hal banding admintratif tersebut
dikabulkan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib menetapkan
5Pasal 78 ayat (1) UU Administrasi
Pemerintahan
keputusan sesuai dengan permohonan
banding.5
Ketidaktepatan penggunaan istilah ini
tidak dapat dianggap sepele. Pasalnya,
setiap peristilahan mengandung penafsiran
dan akibat hukumnya masing-masing.
Apabila produk hukum yang ditetapkan
Bawaslu dipaksakan tetap disebut sebagai
putusan, maka implikasi pertamanya adalah
status Bawaslu dianggap/ disamakan
dengan lembaga peradilan. Sehingga
terhadap putusannya tersebut, dapat
dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PTTUN).
Kenyataanya, Pasal 469 Ayat (2) UU
Pemilu menyebutkan bahwa dalam hal para
pihak menerima putusan Bawaslu terkait
penyelesaian sengketa proses pemilu maka
dapat mengajukan upaya hukum kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Itupun, yang dijadikan objek sengketa di
PTUN bukanlah Putusan Bawaslu,
melainkan kembali lagi ke Keputusan
KPU.6 Sehingga dapat dimengerti bahwa
proses sidang di PTUN bukanlah sidang
banding, melainkan sidang pertama/ biasa.
Di titik ini, pada saat yang sama UU Pemilu
juga tidak menganggap Bawaslu sebagai
lembaga peradilan.
6Pasal 1 angka 11 Perma 5/2017
45 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Ketidakjelasan peristilahan ini seakan ini
“menyalakan lampu merah” kepada semua
pihak bagaimana pengaturan kepemiluan
kita masih jauh dari nilai sempurna.
Semangat integrasi regulasi kepemiluan
yang didorong oleh pelaksanaan pemilu
serentak ke dalam satu undang-undang
(baca: UU Pemilu) rupanya belum mampu
dibersamakan dengan peningkatan kualitas
regulasi yang semakin baik. Beberapa
kewenangan baru yang diberikan kepada
Bawaslu oleh beberapa pihak justru
dianggap sebagai semacam “proyek
eksperimen” melalui undang-undang
sembari terus meramu posisi dan wewenang
apakah yang paling tepat bagi Bawaslu.
Pembentukan Bawaslu pada prinsipnya
dilakukan dengan tujuan meningkatkan
fungsi pengawasan pemilu dalam rangka
mewujudkan pemilu yang benar-benar
demokratis bagi seluruh rakyat
sebagaimana cita-cita konstitusi. Dalam
pengertian yang substantif, keberadaan
lembaga pengawas ini sebenarnya telah
lama dikenal di Indonesia, bahkan sejak
sebelum masa reformasi. Pada saat itu
nama pertama yang digunakan untuk
menyebut lembaga ini adalah Panitia
Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu
yang secara struktural berada di bawah
KPU. Panitia pengawas ini hanya bertugas
sebagai “mata” KPU di lapangan. Adapun
jika ditemukan adanya pelanggaran
pemilu, maka akan dilaporkan ke KPU
untuk selanjutnya ditangani oleh KPU
sendiri. Fakta sejarah membuktikan hal
tersebut sangat sulit -jika tidak ingin
dikatakan mustahil- mewujudkan pemilu
yang berkeadilan.
Adapun keberadaan pengawas pemilu
dengan nama Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) sebagai lembaga yang
melakukan fungsi pengawasan dalam
pelaksanaan pemilu pertama kali
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu (selanjutnya disebut UU 22/2007).
Meskipun undang-undang ini sudah
menetapkan Bawaslu sebagai lembaga
negara yang sifatnya permanen, namun
ketidakmandirian Bawaslu sebagai lembaga
pengawas terhadap KPU belum banyak
berubah. Mekanisme pengangkatan
anggota Bawaslu dimulai dari tahap seleksi
yang tim seleksinya masih dibentuk oleh
KPU. Atas alasan inilah, lima orang
anggota Bawaslu pada tahun 2010
kemudian mengajukan uji materi terhadap
sebagian pasal dalam UU 22/2007.
Hasilnya MK mengabulkan sebagian
permohonan tersebut melalui Putusan MK
No. 11/PUU-VIII/2010. Pada bagian
Pertimbangan Hukum putusan ini
dijelaskan sebagai berikut:
Klausula “suatu komisi pemilihan
umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk
46 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
kepada sebuah nama istitusi, akan tetapi
menunjuk kepada fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Dengan demikian, menurut Mahkamah,
fungsi penyelenggaraan pemilihan
umum tidak hanya dilaksanakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan
tetapi termasuk juga lembaga pengawas
pemilihan umum dalam hal ini Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai
satu kesatuan fungsi penyelenggaraan
pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap dan mandiri.
Dengan dasar putusan MK di atas,
kemudian terbitlah Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara
Pemilu sebagai pengganti undang-undang
sebelumnya. Melalui undang-undang ini
Bawaslu ditetapkan sebagai lembaga
pengawas pemilu yang mandiri dari
lembaga manapun. Penguatan posisi dan
wewenang Bawaslu terus berlanjut hingga
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilu.
Ditilik dari sisi hintoris, sangat wajar jika
kemudian undang-undang kepemiluan yang
terbaru memberikan kewenangan kepada
Bawaslu salah satunya untuk memutus
penyelesaian sengketa proses pemilu.
Namun, kewenangan tersebut tidak mesti
dilakukan melalui forum adjudikasi
sehingga menghasilkan sebuah putusan.
Penyelesaian sengketa tersebut dapat saja
dilakukan dalam rapat kajian seperti diatur
sebelumnya. Para pihak juga tetap dapat
diberikan keluasan untuk membela diri,
termasuk untuk menghadirkan saksi dan
ahli. Sebab menurut hemat penulis, forum
adjudikasi inilah satu-satunya yang
menyebabkan para perumus UU Pemilu
tidak menyadari kesalahan penggunaan
istilah putusan dan keputusan. Jika dilihat
dari sifat normanya, antara putusan dan
keputusan memang tidaklah berbeda, yakni
sama-sama bersifat individual dan konkrit.
Perbedaannya hanya pada karakter lembaga
yang mengeluarkan, apakah lembaga
eksekutif atau lembaga yudikatif.
Dalam praktek kelembagaan Negara
dewasa ini, memang tidak dapat dipungkiri
telah berkembang jenis kelembagaan baru
yang memiliki fungsi campuran antara dua
atau tiga fungsi dasar lembaga Negara
sebagaimana mengacu pada teori trias
politica ala Montesqieu. Salah satu jenis
baru tersebut adalah lembaga kuasi
peradilan. Bawaslu dapat dikelompokkan
dalam kategori ini, karena selain bertindak
sebagai adminitrasi publik, pada saat yang
bersamaan Bawaslu juga memiliki fungsi
yudikasi seperti lembaga peradilan. Namun,
bagaimanapun pada prinsipnya keberadaan
lembaga jenis ini hanyalah bersifat semi
atau seolah-olah seperti peradilan, dan oleh
karena itu Bawaslu tidak boleh disamakan
dengan lembaga peradilan umumnya. Dan
pada kenyataannya, Bawaslu tidak berada
di bawah kekuasaan kehakiman manapun.
47 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Kembali ke kacamata yuridis, Pasal 471
Ayat (1) UU Pemilu juga sudah menyebut
secara eksplisit bahwa prosedur
penyelesaian sengketa proses pemilu di
Bawaslu merupakan upaya admintratif.7
Artinya, mengacu pada Pasal 78 Ayat (1)
UU Administrasi Pemerintahan, maka
produk hukum yang seharusnya
dikeluarkan Bawaslu terkait penyelesaian
sengketa proses pemilu ialah keputusan,
bukan putusan. Akhirnya, bagaimanapun
penulis tetap meyakini bahwa kekeliruan
peristilahan ini murni ketidaksengajaan.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dipaparkan, penulis berkesimpulan bahwa
terdapat kekeliruan pada UU Pemilu
khususnya mengenai nomenklatur yang
dihasilkan Bawaslu terkait penyelesaian
sengketa proses pemilu. Bahwa UU Pemilu
menggunakan istilah “putusan” untuk
menyebut produk yang dikeluarkan
Bawaslu, yang mana hal ini bertentangan
dengan karakter Bawaslu sebagai badan
administrasi publik dan tidak sama sekali
berada di bawah kekuasaan kehakiman
manapun. Bahwa proses penyelesaian
sengketa proses pemilu di Bawaslu
7Pengajuan gugatan atas sengketa tata
usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 470 ke pengadilan tata usaha negara,
merupakan prosedur banding administratif
terhadap keputusan KPU. Dan berdasarkan
UU Administrasi Pemerintahan, produk
hukum yang dikeluarkan oleh
badan/pejabat administrasi publik terkait
hasil banding administratif adalah
berbentuk “keputusan”, bukan “putusan”.
Maka produk hukum yang dikeluarkan
Bawaslu terkait penyelesaian sengketa
proses pemilu seharusnya adalah
“Keputusan”, bukan “Putusan”.
Setelah meneliti, membahas dan
menyimpulkan, penulis kemudian
menyodorkan pula saran terkait hasil
penelitian ini agar diadakan upaya bagi
pemerintah dan seluruh pihak terkait untuk
menertibkan penggunaan istilah
“keputusan” dan “putusan” pada seluruh
peraturan perundang-undangan Indonesia,
khususnya UU Pemilu.
dilakukan setelah upaya administratif di Bawaslu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467, Pasal 468,
dan Pasal 469 ayat (2) telah digunakan.
48 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Buku V Pemilihan Umum, 2010. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 455-456.
Dahlan Thaib, Sri Hastuti Puspitasari. 2009. Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional. Total
Media. Yogyakarta.
Fajlurrahman Jurdi. 2018. Pengantar Hukum Pemilihan Umum - Edisi Pertama. Kencana
Prenadamedia Group. Jakarta.
Jimly Asshidiqie, 2006, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. , 2017, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2011, “Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat” cetakan
ke 13, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Takdir Rahmadi, 2011, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Rajawali Pers,
Jakarta.
Winardi, 2007, Management Konflik (Konflik Perubahan dan Perkembangan) Mandar Maju, Bandung.
Yusrizal. Cetakan Pertama, 2015. Modul Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Unimal Press.
Artikel Jurnal
Bakhrul Amal, 2019, Kewenangan Mengadili Oleh Bawaslu Atas Sengketa Proses Pemilu Yang Diatur
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.3, Juli
2019
Muhammad Zulfan Hakim. 2008. Demokrasi Dalam Pilkada Di Indonesia, Jurnal Humanis UNM,
Makassar.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Undang Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminintrasi Pemerintahan;
49 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
URGENSI PENDIDIKAN POLITIK DALAM MENCIPTAKAN PEMILU
DAMAI DI SULAWESI SELATAN (PENDEKATAN SOSIOLOGI POLITIK)
THE URGENCY OF POLITICS EDUCATION IN CREATING THE
TRANQUILLITY OF GENERAL ELECTION IN SOUTH SULAWESI
(POLITICS SOCIOLOGY APPROACH)
Askar Nur
Bahasa dan Sastra Inggris, FAH – Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Jalan H.M. Yasin Limpo No. 36 Samata, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia Telepon
(0411) 841879 Faksimile (0411) 8221400
E-mail:
Abstract
This research explains about the urgency of politics education for creating calm and honestly
situation and condition in general election process in South Sulawesi. This research is descriptive
research using qualitative method and Maurice Duverger’s politics sociology approach. This
research is conducted for identifying conflict or other problem either general or district election in
South Sulawesi. After doing research process, the researcher found that variable which is able to
create calm and honestly general or district election concept is to increase learning quality to the
society as elector in this case politics education.
Keywords: Politics Education; General Election; District Election; Sociology; South Sulawesi.
Abstrak
Penelitian ini menjelaskan tentang urgensi dari pendidikan politik dalam upaya menciptakan situasi
dan kondisi damai dalam prosesi pemilihan umum (Pemilu) di Sulawesi Selatan. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan sosiologi
politik Maurice Duverger. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengidentifikasi konflik atau
permasalahan lainnya baik dalam pemilu maupun pilkada di Sulawesi Selatan. Setelah melakukan
proses penelusuran, peneliti menemukan bahwa variabel yang mampu menciptakan konsepsi pemilu
atau pilkada damai dan jujur adalah dengan meningkatkan mutu pembelajaran kepada masyarakat
selaku pemilih dalam hal ini pendidikan politik.
Kata Kunci : Pendidikan Politik, Pemilu, Pilkada, Sosiologi, Sulawesi Selatan
1. Pendahuluan
Menciptakan kestabilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat merupakan
salah satu dari beberapa tujuan ultim dari
negara. Konsepsi bernegara tidak terlepas
daripada tanggung jawab dalam
memberikan jaminan kesejahteraan kepada
seluruh masyarakat. Dalam rangka
mencapai tujuan tersebut maka dipandang
perlu dan atau dibutuhkan kehadiran sosok
pemimpin yang memiliki kapasitas dan
integritas dalam mencapai tujuan dari
walfare state. Prosesi pemilihan pemimpin
tidak terlepas daripada prinsip demokratis
sesuai amanah UUD 1945 dalam hal ini
masyarakat diberikan kebebasan dalam
50 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
memilih suatu perkara khususnya dalam hal
memilih pemimpin yang tetap
mengedepankan asas dan prinsip
demokrasi. Indonesia sebagai negara
hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi merupakan ciri khas tersendiri
sepanjang sejarah kelahirannya (Zega et al.,
2019).
Dalam proses memilih pemimpin
tentunya dibutuhkan sebuah perangkat atau
wadah tersendiri yang mampu mendukung
lahirnya sosok pemimpin berdasarkan
pilihan masyarakat. Tercatat sejak tahun
1955, Indonesia telah menyelenggarakan
pemilu (pemilihan umum) yang merupakan
proses dalam memilih seseorang untuk
menduduki posisi kepemimpinan di negeri
ini (Rohim & Wardana, 2019).
Pelaksanaan pemilu pada tahun 1955
diselenggarakan dua kali berdasarkan
amanat UU No. 7 Tahun 1953 dengan
keterangan sebagai berikut:
1) Pemilu pertama dilaksanakan pada
tanggal 29 September 1955 untuk
memilih anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Pemilihan Umum pertama diikuti
oleh 11 peserta yang terdiri dari 36
partai politik, 34 organisasi
kemasyarakatan, dan 48
perorangan.
2) Pemilihan Umum kedua dilakukan
pada 15 Desember 1955 untuk
memilih anggota-anggota Dewan
Konstituante. Pemilihan Umum
kedua diikuti oleh 91 peserta yang
terdiri dari 39 partai politik, 23
organisasi kemasyarakatan, dan 29
perorangan (Solihah, 2018).
Pemilu pada tahun 1955 menggunakan
sistem proporsional atau sistem berimbang.
Hal ini berarti bahwa kursi yang tersedia
dibagikan kepada partai politik sesuai
dengan imbangan perolehan suara yang
didapat oleh partai politik. Pada sistem ini
wilayah negara adalah daerah pemilihan
(Purba, Sivadabert, 2015). Namun, karena
wilayah negara yang terlalu luas maka
dibagikan berdasarkan daerah pemilihan
dengan membagi sejumlah kursi dengan
perbandingan jumlah penduduk.
Selanjutnya, pemilu pada tahun 1971
yang dilaksanakan pada Masa Orde Baru
berdasarkan UU No. 15 Tahun 1969.
Pemilu kedua ini diselenggarakan pada
tanggal 5 Juli 1971 (Masrizal & Sos, 2016).
Pemilu 1971 bertujuan memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan
sistem perwakilan berimbang
(proporsional) dengan stelsel daftar. Jumlah
partai politik nasional yang mengikuti
Pemilihan Umum 1971 adalah 10 partai
politik nasional. Partai politik tersebut
terdiri dari Partai Nadhalatul Ulama, Partai
Muslim Indonesia, Partai Serikat Islam
Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiiah,
Partai Nasionalis Indonesia, Partai Kristen
51 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Indonesia, Partai Katholik, Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai
Murba, dan Sekber Golongan Karya (Sair,
2016).
Hal yang sangat membedakan dengan
Pemilu 1955 adalah para pejabat negara
diharuskan bersikap netral. Namun pada
praktiknya, para pejabat pemerintah
berpihak kepada salah satu peserta pemilu
yaitu Golkar. Pembagian kursi Pemilu 1971
juga berbeda dengan Pemilu 1955, yaitu
semua kursi terbagi habis di setiap daerah
pemilihan (Sinamora, 2019).
Ketiga, pemilu pada periode 1977-1997
menggunakan sistem yang sama dengan
pemilu 1971. pemilu pada Masa Orde Baru
ini diawali pada tanggal 2 Mei 1977
(Yustiningrum et al., 2015). Pada pemilu
periode ini terjadi peleburan atau fusi
parpol peserta pemilu, sehingga hanya
diikuti oleh 3 partai politik nasional yaitu:
1) Partai Golongan Karya
2) Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang merupakan gabungan
dari Partai NU, Parmusi, Perti, dan
PSII. Baca juga artikel mengenai
sejarah Partai PPP.
3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
yang merupakan gabungan dari
PNI, Partai Katolik, Parkindo, Partai
IPKI, dan Partai Murba.
Setelah pemilu 1977, pemilu berikutnya
selalu diselenggarakan setiap 5 tahun
sekali. Hal lain yang membedakan adalah
sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih
sedikit, yaitu dua partai politik dan Golkar
(Efyanti et al., 2019). Pemilu pada periode
ini pemenangnya selalu sama, yaitu Golkar.
Keempat, pemilu 1999 yang
persiapannya tergolong singkat, tetapi
pemilu tetap dilakukan sesuai jadwal yaitu
7 Juni 1999. Pemilu 1999 merupakan
penanda pemilihan pertama pada Masa
Reformasi dan dilakukan serentak di
seluruh Indonesia. Pemilu 1999 juga
menandai kebangkitan demokrasi di
Indonesia (Liando, 2016). Hal ini terbukti
dari banyaknya jumlah peserta yang
mengikuti pemilihan, yaitu sebanyak 48
partai politik.
Cara pembagian kursi pada pemilu kali
ini tetap menggunakan sistem proporsional
dengan mengikuti varian Roget (Bashori,
2018). Hal ini berarti bahwa sebuah partai
memperoleh kursi seimbang dengan suara
yang diperolehnya di daerah pemilihan.
Namun, ada yang berbeda dengan cara
penetapan calon terpilih dibandingkan
dengan pemilu periode sebelumnya. Pada
Pemilu kali ini, calon terpilih ditetapkan
berdasarkan suara terbesar atau terbanyak
dari daerah tempat seseorang dicalonkan
(Tata et al., 2019). Hal ini berbeda dengan
sejak Pemilu 1977, pada saat itu nomor urut
pertama dalam daftar calon partai secara
otomatis terpilih apabila partai itu mendapat
kursi.
52 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Kelima, pemilu tahun 2004 dimana
masyarakat secara langsung dapat memilih
DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil
Presiden. Pemilu 2004 dilaksanakan secara
serentak pada 5 April 2004 untuk memilih
550 anggota DPR, 128 anggota DPD serta
DPRD untuk periode 2004-2009. Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden RI
dilaksanakan pada 5 Juli 2004 (Putaran I)
dan 20 September 2004 (Putaran II).
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
pada Pemilihan Umum 2004 dimenangkan
oleh Susilo Bambang Yudhoyono
(Presiden) dan Jusuf Kalla (Wakil
Presiden).
Pemilu 2004 menunjukkan kemajuan
demokrasi di Indonesia. Masyarakat dapat
memilih secara langsung dan bukan lagi
melalui anggota MPR seperti pemilu
sebelumnya. Selain itu, pemilu 2004 juga
diikuti oleh banyak partai politik peserta
pemilu. Partai peserta pemilu 2004 yakni
Partai Buruh Sosial Demokrat; Partai
Merdeka; Partai Perhimpunan Indonesia
Baru; Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan; Partai Persatuan Nahdlatul
Ummah Indonesia; Partai Patriot Pancasila;
Partai Sarikat Indonesia; Partai Persatuan
Daerah, Partai Pelopo; Partai Nasional
Indonesia Marhaenisme; Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia, dan Partai
Penegak Demokrasi Indonesia. Partai
Karya Peduli Bangsa; Partai Pelopor; Partai
Persatuan Demokrasi Kebangsaan; Partai
Damai Sejahtera; Partai Bulan Bintang;
Partai Persatuan Pembangunan; Partai
Demokrat; Partai Amanat Nasional; Partai
Kebangkitan Bangsa; Partai Keadilan
Sejahtera; Partai Bintang Reformasi; Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan; dan
Partai Golongan Karya (Suryana, 2020).
Keenam, pemilu 2009 adalah pemilihan
umum kedua setelah pemilu 2004 yang
diikuti dengan pemilihan langsung Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pasangan calon terpilih pada pemilihan
presiden dan wakil presiden adalah
pasangan yang memperoleh suara lebih dari
50% dari jumlah suara dengan sedikitinya
20% suara di setiap provinsi yang tersebar
lebih dari 50% jumlah provinsi di
Indonesia. Peserta pemilu 2009 untuk
pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD
diikuti oleh 44 partai politik, yaitu 3 partai
nasional dan 6 partai lokal Aceh. Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden pada
Pemilihan Umum 2009 dimenangkan oleh
Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden) dan
Boediono (Wakil Presiden).
Ketujuh, pemilu 2014 yang
diselenggarakan dua kali. Pemilu pertama
dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014
dengan tujuan pemilihan para anggota
legislatif. Pemilu legislatif ini bertujuan
memilih 560 anggota DPR, 132 anggota
DPD, dan anggota DPRD Provinsi maupun
DPRD Kabupaten/ Kota Se-Indonesia
untuk periode 2014-2019. Pemilu kedua
53 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
dilakukan pada tanggal 9 Juli 2014 dengan
tujuan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden (Arianto & Ali Haji, n.d.).
Pemilihan Presiden diikuti oleh dua pasang
calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu
Prabowo Subianto yang berpasangan
dengan Hatta Rajasa dan Joko Widodo yang
berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Pemilu 2014 diikuti oleh 10 partai
politik. Partai politik tersebut adalah Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai
Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), Partai Golongan Karya
(Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden pada
Pemilihan Umum 2014 dimenangkan oleh
Joko Widodo (Presiden) dan Jusuf Kalla
(Wakil Presiden).
Lebih lanjut, Indonesia kembali
menyelenggarakan pemilihan umum di
tahun 2019. Pada Pemilu 2019 ada 16 partai
politik nasional yang berpartisipasi
(Masyarakat et al., 2019). Keenam belas
partai politik nasional tersebut adalah Partai
Amanat Nasional (PAN); Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP); Partai
Demokrat; Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra); Partai Golongan Karya
(Golkar); Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura); Partai Keadilan Sejahtera (PKS);
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); Partai
Nasional Demokrat (Nasdem); Partai
Persatuan Pembangunan (PPP); Partai
Persatuan Indonesia (Perindo); Partai
Solidaritas Indonesia (PSI); Partai Beringin
Karya (Berkarya); Partai Bulan Bintang
(PBB); Partai Gerakan Perubahan
Indonesia (Garuda); dan Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia (PKPI); ditambah
4 partai politik lokal Aceh yaitu Partai
Aceh, Partai Sira, Partai Daerah Aceh, dan
Partai Nanggroe Aceh.
Pemilu 2019 diselenggarakan secara
serentak antara Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yaitu
digelar dalam satu hari yang sama tanggal
17 April 2019. Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang bertanding dalam
Pemilihan Umum Presiden 2019 adalah
pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin
dengan pasangan Prabowo Subianto dan
Sandiaga Salahuddin Uno dan
dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo
dan Ma’ruf Amin.
Sementara itu, pemilu tahun 2020 untuk
pemilihan kepala daerah akan digelar
serentak pada Desember 2020 mendatang.
Di Sulawesi Selatan khususnya terdapat
beberapa kandidat yang akan bertarung di
masing-masing daerah. Hal tersebut tentu
akan melahirkan serangkaian persaingan
dari masing-masing kandidat.
54 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Dalam konteks pemilu, salah satu tujuan
dari pemilukada adalah memilih pemimpin
yang berkualitas, namun demikian tujuan
dari pemilukada yang damai adil justru
memiliki kendala tersendiri terlebih potensi
konflik yang sering terjadi pada setiap
pelaksanaan pemilukada di Indonesia
secara umum dan di Sulawesi Selatan
khususnya. Potensi konflik pemilukada
seringkali terjadi pada masyarakat, yang
membawa gesekan pada level elit sehingga
tujuan dari pemilukada yang damai dan adil
seringkali jauh dari tujuan hadirnya
Undang-Undang tentang Pemilu.
Konflik seringkali terjadi dalam proses
interaksi antar-individu, individu dengan
kelompok, maupun kelompok dengan
kelompok yang masing-masing disebabkan
oleh perbedaan baik dalam latar belakang
interaksi, kemampuan berinteraksi, maupun
tujuan berinteraksi (Makmur, 2020). Tidak
terkecuali konflik juga terjadi pada
masyarakat Indonesia yang mempunyai
latar belakang politik, etnis, dan agama
yang berbeda. Dari latar belakang yang
beragam ini, corak konflik di Indonesia pun
juga beragam.
Dalam proses pelaksanaannya,
pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung
ternyata seringkali menyebabkan sejumlah
persoalan terkait proses pelaksanaannya
yang dinilai cenderung menghamburkan
dana rakyat termasuk dugaan money
politics, serta tidak jarang hasil pilkada
langsung itu direspon secara negatif
sehingga berbuntut kerusuhan dan
kekerasan.
Money politics, politik identitas dan
serangkaian konflik lainnya yang
mengisyaratkan tidak berjalannya konsepsi
jujur dan adil sesuai amanat UU tentang
Pemilu merupakan fenomena yang acapkali
mewarnai dunia perpolitikan di Indonesia
khususnya di Sulawesi Selatan. Hal
demikian pun menjadi penanda minimnya
pendidikan politik bagi para pemilih.
Dalam pasal 1 ayat (4) UU No. 2 Tahun
2008 tentang partai politik menyebutkan
bahwa pendidikan politik merupakan
proses pembelajaran dan pemahaman
tentang hak, kewajiban, dan tanggung
jawab setiap warga negara dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pasal ini
menjelaskan bahwa partai politik berhak
memberikan pendidikan politik kepada
setiap warga negara dan setiap warga
negara juga berhak menerima pendidikan
itu (Amruddin, 2020).
Misalnya pendidikan politik yang
diberikan oleh partai politik kepada
masyarakat, dalam hal ini memberikan
pendidikan politik secara berkala kepada
masyarakat. Dengan adanya pendidikan
politik yang diberikan oleh partai politik,
maka masyarakat mulai memahami apa itu
politik dan pendidikan politik. Dengan
adanya pendidikan politik yang diberikan,
maka masyarakat juga akan dapat
55 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
memberikan partisipasi yang tepat bagi
negaranya, seperti berpartisipasi dalam
memberikan suara pada pemilihan umum
dan terhindar dari segala konflik yang
umumnya hadir dalam kontestasi
perpolitikan (Freire et al., n.d.).
Senada dengan itu, pendidikan politik
yang simultan akan membawa pengaruh
positif kepada para masyarakat khususnya
dari segi ruang sosiologi politik. Sosiologi
politik sebagai bentuk perkawinan antara
ilmu sosiologi dan ilmu politik yang
berfokus pada masyarakat, negara dan
kekuasaan untuk melihat hubungan
masyarakat dengan lembaga-lembaga
politik, seperti sosialisasi politik, partisipasi
politik, rekrutmen politik, komunikasi
politik, konflik dan demokrasi; dan
hubungan masyarakat dengan lembaga
politik dan proses politik secara bersamaan,
seperti budaya politik dan civil society
sehingga tercipta sebuah keselarasan antara
kontestasi politik dan kesejahteraan
masyarakat sebagai fokus utama dari
produk-produk politik (Pahlevi &
Amrurobbi, 2020).
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk menggambarkan urgensi pendidikan
politik di Sulawesi Selatan sebagai upaya
untuk menciptakan pemilu jujur dan adil
melalui serangkaian masalah atau konflik
yang pernah terjadi di Sulawesi Selatan
dengan merujuk kepada pendekatan
sosiologi politik Maurice Duverger.
2. Metode Penelitian
Objek penelitian ini ialah fenomena-
fenomena tentang masalah atau konflik
pemilu yang terjadi di Sulawesi Selatan
yang mengharuskan hadirnya pendidikan
politik. Penelitian ini menggunakan teknik
pengumpulan data dokumentasi
pemberitaan masalah atau konflik pemilu
yang terjadi di Sulawesi Selatan untuk
memperoleh sumber data primer dan kajian
pustaka untuk data sekunder. Analisis
dilakukan dengan terlebih dahulu
mengelompokkan pesan berdasarkan
dokumentasi masalah atau konflik yang
terjadi di Sulawesi Selatan. Teknik analisis
penelitian menggunakan analisis sosiologi
politik Maurice Duverger. Penelitian ini
menekankan penyelesaian masalah dengan
merujuk kepada metode penelitian
kualitatif deskriptif.
3. Hasil dan Pembahasan
1. Fenomena Permasalahan Pemilu di
Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan, kasus dan polemik
seputaran pemilu bukan lagi menjadi
rahasia dalam pandangan publik. Hampir di
setiap kontestasi perpolitikan diwarnai
peristiwa baik yang sifatnya lumrah
maupun yang fatal (Asti, 2014). Selain
maraknya pesta demokrasi yang diwarnai
adegan kecurangan seperti money politics,
56 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
politik identitas dan politik dinasti juga
acapkali terjadi tindakan yang menyentuh
ranah-ranah fisikal seperti yang pernah
terjadi pasca Pemilihan Gubernur Sulawesi
Selatan tahun 2009 yang membuat kondisi
provinsi itu baik bidang keamanan dan
stabilitas politik memanas (Sasmita, 2011).
Beberapa polemik konflik di Sulawesi
Selatan selain konflik pasca Pemilihan
Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2009,
juga terdapat konflik pada sejumlah daerah.
Misalnya, konflik yang terjadi di
Kabupaten Pangkep tahun 2005 dimana
massa pada saat itu menyegel kantor KPU
(Sitepu, 2016). Hal serupa juga terjadi di
Kabupaten Toraja dan Kabupaten Soppeng
tahun 2008. Terjadi amuk massa yang
berdampak pada penyegelan kantor KPU
dan rusaknya kertas suara yang dibakar
massa. Hal ini dipicu oleh adanya
kecurigaan massa terhadap penyelenggara
pemilu yang tidak terbuka pada msyarakat
dalam penghitungan suara.
Mengurai permasalahan-permasalahan
yang dihadir sebelum dan sesudah pemilu
tersebut yang juga berefek kepada
masyarakat awam khususnya pada
kehidupan masyarakat, Maurice Duverger
dalam teori sosiologi politiknya
mengambarkan bahwa sosiologi politik
sebagai ilmu tentang kekuasaan,
pemerintahan, otoritas, komando dalam
semua masyarakat, yang bukan saja
masyarakat nasional, tetapi juga dalam
masyarakat lokal dan internasional. Jadi
dapat disimpulkan bahwa sosiologi politik
adalah disiplin ilmu yang mempelajari
antara masyarakat dan politik; hubungan
masyarakat dengan lembaga-lembaga
politik di satu sisi dan masyarakat dengan
proses politik (sosialisasi, partisipasi,
rekrutmen, komunikasi dan konflik) di sisi
lain (Yusnedi Achmad, S.H., 2019).
Sosiologi politik Duverger mencakup
struktur politik, faktor-faktor antagonis
politik, bentuk-bentuk konflik politik.
Struktur politik menjelaskan batas-batas
teritorial atau wilayah-wilayah kekuasaan,
sumber-sumber alami, dan alat-alat
teknologi yang bisa menimbulkan konflik
antar individu atau kelompok dalam
masyarakat. Faktor-faktor antagonis politik
adalah suatu sikap yang menentang atau
bertolak belakang dengan kekuasaan politik
yang menjelaskan faktor-faktor timbulnya
konflik antar individu atau kelompok dalam
kehidupan masyarakat (Vol & Sosial,
2010).
Antagonis politik sendiri terdiri dari
kepentingan individual di antaranya bakat-
bakat individual serta sebab-sebab
psikologis dan kepentingan kolektif
diantaranya ada perjuangan kelas, konflik
rasial, konflik antar kelompok horizontal,
serta konflik antara kelompok teritorial.
Bentuk-bentuk konflik politik menjelaskan
57 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
bentuk-bentuk atau wujud-wujud dari
konflik politik yang terjadi pada individu
maupun kelompok-kelompok dalam
masyarakat.
Permasalahan dalam setiap pemilu baik
pemilihan presiden dan wakil presiden
maupun pilkada akan membawa pengaruh
besar terhadap budaya yang terbangun
dalam masyarakat. Sosiologi politik
Duverger menggambarkan dampak-
dampak yang ditimbulkan oleh konflik
yang terjadi dalam prosesi pemilu maupun
pemilukada terhadap kehidupan politik
masyarakat sehingga sebuah kegelisahan
tersendiri di tubuh sosial kemasyarakatan
yang mengharuskan hadirnya wadah
pembelajaran terkait esensi dan tujuan
daripada hadirnya pemilu dan pesta-pesta
demokrasi lainnya (Amsori, 2017).
Salah satu kabupaten atau kota yang ada
di Sulawesi Selatan yang akan
menyelenggarakan pilkada pada tahun 2020
adalah Makassar. Beberapa pakar
menyebutkan bahwa pilkada 2020 di
Makassar rawan akan konflik. Hal tersebut
diutarakan pula oleh Komisioner Bawaslu
Sulsel dalam sebuah wawancara yang
dilansir di Tribun-Timur.com, setidaknya
terdapat 10 dimensi yang menjadi faktor
rawannya konflik dalam kontestasi pilkada
2020 di Makassar, di antaranya
pemasangan alat peraga yang tidak sesuai
aturan, praktik politik uang kepada pemilih
untuk memilih calon tertentu, praktik mahar
politik, penggunaan fasilitas negara dalam
kampanye oleh peserta pemilu, peserta
pemilu melakukan kampanye di luar
jadwal, politik uang pada masyarakat dalam
bentuk kegiatan sosial dalam memilih calon
tertentu, iklan kampanye di luar jadwal,
konflik antar pendukung, konflik antara
peserta dan praktik uang kepada tokoh
untuk memilih calon tertentu (Sukendar,
2017).
2. Urgensi Pendidikan Politik di
Sulawesi Selatan
Keberadaan parpol dalam suatu negara
merupakan konsekuensi dari lahirnya
sistem demokrasi perwakilan, hal ini karena
institusi partai politik memang lahir dan
berkembang guna merealisasi sistem
perwakilan ini. Di dalam sistem demokrasi
modern (baca demokrasi perwakilan), maka
parpol harus dapat memainkan peranan
penting dalam proses perwakilan tersebut.
Dengan demikian maka sekali partai itu
terbentuk atau muncul maka ia harus segera
membangun sendi-sendi yang mampu
memperkuat kelangsungan demokrasi itu
sendiri dan pemerintahan konstitusional.
Gagasan tentang partai politik dapat kita
temukan baik pada negara yang menganut
sistem politik demokratis maupun otoriter.
Dalam sistem politik demokratis gagasan
mengenai partisipasi rakyat mempunyai
58 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
dasar idiologis bahwa rakyat berhak untuk
turut menentukan siapa- siapa yang akan
menjadi pemimpin yang nantinya akan
menentukan kebijakan umum. Sementara di
negara yang menganut faham otoriter
gagasan partisipasi rakyat dilandasi oleh
pandangan elit politiknya bahwa rakyat
perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai
stabilitas yang langgeng, dan untuk
mencapai hal itu parpol merupakan alat
yang baik.
Beragam definisi tentang Partai Politik
yang dikemukakan oleh para pakar
berdasarkan perspektifnya masing-masing
(Santoso, 2013). Secara umum Partai
Politik merupakan suatu organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut ketentuan Pasal 11 UU Nomor
2 tahun 2008 fungsi partai politik adalah
melakukan;
1) Pendidikan politik bagi anggota dan
masyarakat luas agar menjadi warga
negara Indonesia yang sadar akan
hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
2) Penciptaan iklim yang kondusif
bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan
masyarakat;
3) Penyerap, penghimpun, dan
penyalur aspirasi politik masyarakat
dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan negara;
4) Partisipasi politik warga negara
Indonesia; dan
5) Rekrutmen politik dalam proses
pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan
memperhatikan kesetaraan dan
keadilan gender.
Secara normatif pendidikan politik oleh
partai politik, baru mulai dicantumkan
dalam UU parpol sejak era reformasi
melalui UU Nomor 3 Tahun 1999 jo UU
Nomor 31 Tahun 2002 dan UU Nomor 2
Tahun 2008. Sementara pada masa Orde
Baru melalui UU Nomor 3 Tahun 1975 jo
UU Nomor 3 Tahun 1985 fungsi
pendidikan politik tidak dibebankan pada
parpol namun dilaksanakan oleh
pemerintah. UU Nomor 2 Tahun 2008
menjadi undang-undang pertama yang
secara spesifik mengamanatkan perlunya
59 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
pendidikan politik dengan memperhatikan
keadilan dan kesetaraan gender yang
ditujukan untuk meningkatkan kesadaran
akan hak dan kewajiban, meningkatkan
partisipasi politik dan inisiatif warga
negara, serta meningkatkan kemandirian
dan kedewasaan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pendidikan politik harus terus
ditingkatkan agar terbangun karakter
bangsa yang merupakan watak atau
kepribadian bangsa Indonesia yang
terbentuk atas dasar kesepahaman bersama
terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir
dan tumbuh dalam kehidupan bangsa,
antara lain kesadaran kebangsaan, cinta
tanah air, kebersamaan, keluhuran budi
pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban
bagi kepentingan bangsa (Hemafitria,
2015).
Pendidikan politik dalam undang-
undang ini didefinisikan sebagai proses
pembelajaran dan pemahaman tentang hak,
kewajiban, dan tanggung jawab setiap
warga negara dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Komitmen ini lebih
dipertegas dalam Bab ke VIII Pasal 31
dengan menyatakan, bahwa:
1) Partai Politik melakukan pendidikan
politik bagi masyarakat sesuai dengan
ruang lingkup tanggung jawabnya
dengan memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender dengan tujuan antara
lain:
a) Meningkatkan kesadaran hak dan
kewajiban masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
b) Meningkatkan partisipasi politik
dan inisiatif masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; dan
c) Meningkatkan kemandirian,
kedewasaan, dan membangun
karakter bangsa dalam rangka
memelihara persatuan dan
kesatuan bangsa.
2) Pendidikan politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
untuk membangun etika dan budaya
politik sesuai dengan Pancasila.
Di samping itu pendidikan politik juga
menjadi kewajiban dari partai politik
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 13
huruf e yang menyatakan bahwa parpol
berkewajiban melakukan pendidikan politik
dan menyalurkan aspirasi politik
anggotanya. Berbagai fungsi partai politik
tersebut yang meliputi pendidikan politik,
stabilitas politik, partisipasi politik, seleksi
kepemimpinan dan penyalur aspirasi rakyat
belum bisa dilaksanakan secara
proporsional (Muwazah & 2011, n.d.).
60 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Urgensi pendidikan politik itu
didasarkan pada asumsi kedaulatan rakyat
yang mempunyai postulat bahwa
pemerintahan yang adil adalah, siapa yang
memperoleh kekuasaan, dia itulah yang
bertanggung jawab. Manakala rakyat
mendapat kekuasaan menurut dasar
kedaulatan rakyat, maka rakyat pulalah
yang bertanggung jawab. Menurut
Mohammad Hatta (1980), hal itu berarti,
jika rakyat tak memiliki kesadaran politik,
maka rasa tanggung jawabnya akan amat
kurang. Menurut Hatta, pemerintah dan
masyarakat sama-sama berkepentingan
adanya rakyat yang mempunyai kesadaran
politik. Karena itu, pendidikan politik harus
datang dari kedua belah pihak (Hemafitria,
2015).
Pada satu sisi, pemerintah bisa
memudahkan jalan pendidikan politik
dengan mempertinggi kecerdasan umum
rakyat; sedangkan dari masyarakat,
pendidikan politik merupakan tanggung
jawab utama bagi partai-partai politik. Bagi
masyarakat yang secara politis sudah
menjadi pemilih tradisional dengan
indikator keanggotaannya dalam parpol,
pendidikan politik tetap penting sekalipun
mungkin menjadi nomor dua sesudah
kampanye atau pemantapan kader.
Partisipasi politik mereka tidak layak
diragukan karena interes politiknya telah
terbangun.
Sementara bagi massa mengambang,
pendidikan politik akan menemukan
urgensi dan relevansinya. Massa
mengambang inilah yang harus menjadi
fokus voter education, sebab di samping
kelompok apolitik dan golput berada di
sana, kelompok ini juga paling rentan
(rawan) terhadap praktik money politics
(politik uang) (Putri, 2017). Meskipun
terdapat perbedaan definisi massa
mengambang, ada satu hal yang jelas bahwa
kelompok sasaran yang menjadi bagian
massa mengambang setidaknya terdiri dari
rakyat awam non-anggota parpol, para
wirausahawan dan profesional, pegawai
dan bekas pegawai negeri (PNS,
wredhatama, KBA dan purnawirawan),
pegawai/ karyawan swasta,
wartawan/jurnalis, serta mahasiswa dan
intelektual.
Sebagian kecil di antara mereka memang
sudah mengecap pendidikan politik lewat
beragam wahana sehingga mereka ada
memiliki kesadaran politik.akan tetapi
pengetahuan mereka tentang kondisi riel
politik justru akan meningkatkan kecuekan
dan sikap apolitiknya. Tujuan pendidikan
politik setidaknya agar para calon pemilih
yang sudah terdaftar tidak akan berubah
menjdi golput di bilik suara saat
pencoblosan/pencontrengan dalam Pemilu
(Adi Soeprapto, Susilasti DN, 2015).
61 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Urgensi pendidikan politik secara
khusus juga sangat dibutuhkan di Sulawesi
Selatan. Melalui analisis sosiologi politik
Duverger terhadap permasalahan politik di
seputaran pemilu ataupun pemilukada yang
melahirkan sebuah struktur sosial dan
politik dalam kehidupan masyarakat yang
secara tidak langsung mampu melahirkan
arena budaya baru dalam masyarakat yang
tergantung pada dinamika politik yang
dihadapi (Supriadi, 2018).
Massifnya sosialisasi tentang pendidikan
politik dalam ruang lingkup masyarakat
Sulawesi Selatan akan semakin membuat
masyarakat dewasa dalam menghadapi
dinamika politik dan juga mampu terhindar
dari praktik-praktik politik praktis. Sebagai
upaya dalam menciptakan pemilih cerdas
dan jujur maka hal yang mendasar yang
perlu dikumandangkan adalah pendidikan
politik itu sendiri. Bagi Duverger, terdapat
beberapa lembaga yang dapat difungsikan
sebagai wadah pendidikan bagi masyarakat
sehingga hal demikian mampu menciptakan
situasi dan kondisi yang tenteram
khususnya ruang sosiologi masyarakat
dalam memandang konsep perpolitikan
seperti lembaga kepemudaan dan lembaga
kebudayaan.
Minimnya pendidikan politik menjadi
pemicu mendasar dari lahirnya konflik dan
masalah-masalah baik dalam kontestasi
pemilu maupun pemilukada (Nadir &
Wardani, 2019). Keharusan bagi partai
politik dalam memberikan pendidikan
politik kepada masyarakat tentu bukanlah
variabel satu-satunya yang dapat digunakan
melainkan terdapat beberapa variabel
lainnya seperti mahasiswa yang melakukan
pembinaan di pedesaan atau dalam hal ini
pelaksanaan KKN (Kuliah Kerja Nyata)
yang menjadi ruang pengedukasian
mahasiswa terhadap masyarakat desa. Hal
tidak boleh luput dalam konsep pembinaan
tersebut adalah edukasi politik bagi
masyarakat setempat.
Dimulai dari pemahaman mendasar
tentang hakikat dan urgensi pemilu atau
pemilukada hingga bagaimana menjadi
pemilih yang kritis, yang mampu memilih
calon pemimpin berdasarkan gagasan
ideologis sehingga praktik-praktik
kecurangan dalam prosesi pemilu mampu
diminimalisir secara perlahan (Yusriati &
Amrizal, 2020). Konstruksi pemilu dan
pilkada yang memiliki orientasi dan prinsip
demokrasi tentu merupakan perkara yang
ideal akan tetapi perkara tersebut harus
didukung oleh segenap pemahaman dasar
terkait politik dan kaitannya terhadap
kehidupan masyarakat.
4. Simpulan
Urgensi pendidikan politik demi
menciptakan pemilu damai dan jujur
62 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
khususnya di Sulawesi Selatan merupakan
perkara dasar dan ultim. Maurice Duverger
dalam analisa sosiologi politiknya
memaparkan analisisnya tentang konstruksi
sosial-kemasyarakatan yang damai dan
tenteram dibangun berdasarkan
pemahaman terkait dunia perpolitikan.
Memahami pendidikan politik di
masyarakat merupakan hal yang sangat
menarik untuk diketahui. Karena
pendidikan politik itu merupakan suatu
proses dialogik diantara pemberi dan
penerima pesan. Melalui proses ini para
anggota masyarakat mengenal dan
mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan
simbol-simbol politik negaranya dari
berbagai pihak dalam sistem politik seperti
sekolah, pemerintah, dan partai politik.
Pendidikan politik mengajarkan masyarakat
untuk lebih mengenal sistem politik
negaranya.
Selain itu, hadirnya pendidikan politik
dalam kehidupan masyarakat pada
umumnya mampu mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam prosesi
pemilu maupun pilkada serta mampu
meminimalisir Golput. Seperti kita ketahui
bersama bahwa sebagian pemilih pemula
masih dipengaruhi ikatan emosional dan
komersial dalam menentukan pilihan
politiknya. Kecenderungan irasional dari
pemilih pemula ini hendaknya dapat
dihindari melalui pendidikan politik yang
secara intensif dilakukan pemerintah
melalui KPU, partai politik dan mahasiswa.
Pemerintah tidak bisa melepaskan tanggung
jawab pelaksanaan pendidikan politik
kepada LSM. Partai politik pun harus
mampu membuktikan komitmennya kepada
pemilih pemula hingga pemilih pemula
tidak enggan berpartisipasi dalam
kehidupan politik dan kenegaraan.
Hasil dari penelitian ini pada akhirnya
memberikan gambaran tentang penyebab
terjadinya konflik dan permasalahan
seputaran pemilu dan pilkada. Hal tersebut
dapat diantisipasi dengan melibatkan
beberapa elemen dalam masyarakat baik
KPU, Partai Politik, mahasiswa maupun
lembaga kepemudaan serta kebudayaan
dalam memberikan pendidikan politik
kepada masayarakat sebagai pemilih
sehingga dengan demikian kontestasi
perpolitikan dapat berjalan damai dan jujur
sesuai amanah UU tentang Pemilu serta
meningkatkan kedewasaan masyarakat
dalam hal pemilihan pemimpin ke
depannya.
5. Saran
Hasil penelitian ini diharapkan
kedepannya dapat dikembangkan lebih
lanjut mengingat pentingnya pendidikan
politik sebagai upaya menciptakan pemilu
dan pilkada damai dan jujur serta mampu
meningkatikan kedewasaan masyarakat
63 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
dalam memilih pemimpin. Pengembangan
yang dimaksud misalnya dapat dilakukan
dengan membahas tentang konsep
pendidikan politik sebagai upaya
mengantisipasi golput dalam konstestasi
politik yang tidak dibahas secara
komprehensif di dalam peneltian ini.
64 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
DAFTAR PUSTAKA
Adi Soeprapto, Susilasti DN, B. A. S. (2015). Komunikasi Dalam Proses Pendidikan Politik Pemilih
Pemula Dalam Pemilihan Umum 2014 di DIY. Jurnal Ilmu Komunikasi, 12(1), 39–54.
Amruddin, A. (2020). Pilkada Serentak Dan Potensi Konflik Di Sulawesi-Selatan. Jurnal Arajang, 3(1),
30–42. https://doi.org/10.31605/arajang.v3i1.584
Amsori. (2017). Penyuluhan Pendidikan Politik Bagi Pemilih Pemula Guna Meningkatkan Partisipasi
Hak Pilih Pada Pemilihan Gubernur Dki Jakarta Tahun 2017. Journal of Empowerment, 1(1).
Arianto, B., & Ali Haji, R. (n.d.). Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu. 2011,
1(1), 51–60.
Asti, I. M. (2014). Pengaruh Tayangan Indonesia Lawyers Club “Tvone” Terhadap Peningkatan
Pendidikan Politik Masyarakat Gunung Kelua Samarinda. Ejournal.Ilkom.Fisip-Unmul.Ac.Id,
2(3), 94–108. https://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2014/08/ika maya
-genap- (08-21-14-04-05-55).pdf
Bashori, K. (2018). Pendidikan Politik di Era Disrupsi. Sukma: Jurnal Pendidikan, 2(2), 287–310.
https://doi.org/10.32533/02207.2018
Efyanti, Y., Zufriani, Z., & Halim, H. (2019). Pemilihan Umum (Pemilu) Langsung di Indonesia
Perspektif Sosiologis dan Hukum Islam. Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum, 17(2), 51–
60. https://doi.org/10.32694/010770
Freire, P., Indonesia, B., Tertindas, P. K., & Pembebasan, P. (n.d.). Pendidikan berpola dialog yang
berjalur kritis-progresif digambarkan oleh Paulo Freire dalam dua bukunya yang telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Pendidikan Kaum Tertindas dan Pendidikan sebagai
Praktek Pembebasan , buku yang berisi pemikiran radikal dalam dunia pendidikan meskipun ia
sendiri tidak pernah menganggap karyanya seperti itu.
Hemafitria. (2015). Pembelajaran pkn sebagai pendidikan politik pemilih pemula. Edukasi, 13(2), 175–
189.
Liando, D. M. (2016). Pemilu Dan Partisipasi Politik Masyarakat ( Studi Pada Pemilihan Anggota
Legislatif Dan Pemilihan Presiden Dan Calon Wakil Presiden Di Kabupaten Minahasa Tahun
2014 ). Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum, 3(2), 14–28.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lppmekososbudkum/article/viewFile/17190/16738
Makmur, Z. (2020). Membangun Kesadaran Apokaliptik melalui Sastra di Masa Pandemi.
https://osf.io/preprints/utvyk/
Masrizal, O., & Sos, S. I. (2016). Gelombang Transformasi Sosial Politik Dalam Kajian Foucault dan
Coleman (Kajian Sosiologis Pergolakan Partai Lokal dan Nasional di Pilkada Aceh). Jurnal
Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi), 9(1), 35–54.
Masyarakat, P., Pedurungan, K., Politik, P., & Hukum, D. A. N. (2019). Laporan penelitian reguler.
407.
Muwazah, A. S.-J. of, & 2011, undefined. (n.d.). Urgensi Pendidikan Politik Bagi Perempuan. E-
Journal.Iainpekalongan.Ac.Id,325–333. http://e
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/7
65 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Nadir, N., & Wardani, W. Y. (2019). Membangun Pendidikan Politik Dalam Fatsun Demokrasi
Pancasila Dan Deliberative. The Journal of Society & Media, 3(1), 126.
https://doi.org/10.26740/jsm.v3n1.p126-141
Pahlevi, M. E. T., & Amrurobbi, A. A. (2020). Pendidikan Politik dalam Pencegahan Politik Uang
Melalui Gerakan Masyarakat Desa. Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS, 6(1), 141–152.
Purba, Sivadabert, A. (2015). Potret Pandangan Akademisi Di Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UGM
( JSP ) Mengenai Permasalahan Demokrasi Di Indonesia. Jurnal Politik Muda, 4(1), 1–12.
Putri, N. E. (2017). Dampak Literasi Politik Terhadap Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu. Jurnal
Agregasi : Aksi Reformasi Government Dalam Demokrasi, 5(1).
https://doi.org/10.34010/agregasi.v5i1.219
Rohim, M., & Wardana, A. (2019). Analisis Politik Milenial : Persepsi Siswa SMA Terhadap Dinamika
Politik Pada PEMILU 2019 di Indonesia. JIP (Jurnal Ilmu Pemerintahan) : Kajian Ilmu
Pemerintahan Dan Politik Daerah, 4(1), 47–63. https://doi.org/10.24905/jip.4.1.2019.47-63
Sair, A. (2016). Kampus dan Degradasi Pengetahuan Politik Mahasiswa. Jurnal Sosiologi Pendidikan
Humanis, 1(1), 9–20. https://doi.org/10.17977/um021v1i12016p009
Santoso, M. A. F. (2013). Kontribusi Etika Islam pada Pendidikan Politik: Solusi bagi Problema Civil
Society Indonesia Era Reformasi. Tsaqafah, 9(2), 225. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v9i2.51
Sasmita, S. (2011). Peran_Informasi_Politik_Terhadap_Partisi. Administratio, 1(2), 217–224.
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/38692998/abstrak.pdf?AWSAccessKeyId=
AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1555825447&Signature=6x9rqN2jNC%2FySDQ1%
2B3MOU%2BqznaQ%3D&response-content-disposition=inline%3B
filename%3dperan_Informasi_Politik_Terhadap
Sinamora, J. (2019). Menyongsong Rezim Pemilu Serentak. Jurnal RechtsVinding, 3(4), 1–18.
Sitepu, E. (2016). Peranan Partai Politik dalam Memberikan Pendidikan Politik Yang Berkarakter
Terhadap Masyarakat. Jurnal Ilmiah Research Sains, 2(1), 1–8.
Solihah, R. (2018). Peluang dan tantangan pemilu serentak 2019 dalam perspektif politik. Jurnal Ilmiah
Ilmu Pemerintahan, 3(1), 73. https://doi.org/10.14710/jiip.v3i1.3234
Sukendar, M. U. (2017). Pemilihan Presiden , Media Sosial Dan Pendidikan Politik Bagi Pemilih
Pemula. Ikon, 1(5), 1–6.
Supriadi, H. (2018). Prodi ilmu pemerintahan fisip unikom. Agresi, 6(2), 139–148.
Suryana, Y. (2020). Pengaruh Pelaksanaan Pemilihan Umum Serentak Terhadap Budaya Politik.
Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum, 29(1), 13–28.
Tata, K., Pemilu, K., Ilmu, F., Dan, S., Politik, I., & Andalas, U. (2019). NUSANTARA : Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial Pendidikan Politik Bagi Masyarakat Sebagai. 6(2), 314–328.
Vol, S., & Sosial, I. (2010). Dalam Pendidikan Politik Peran Komisi Pemilihan Umum …………… Yusuf
, A . R Peran Komisi Pemilihan Umum …………… Yusuf , A . R. 4(1), 13–16.
Yusnedi Achmad, S.H., M. H. (2019). Sosiologi Politik. 79.
https://books.google.co.id/books?id=t3uMDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=sosiologi+po
litik&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwiI89KTk7bqAhVfILcAHcnDBQYQ6AEwAXoECAYQAg#
v=onepage&q=sosiologi politik&f=false
66 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Yusriati, Y., & Amrizal, D. (2020). Efektivitas Model Pendidikan Politik Dalam Pelaksanaan Sosialisasi
Pemilu di Kabupaten Deli Serdang. Warta Dharmawangsa, 14(3), 500–507.
https://doi.org/10.46576/wdw.v14i3.831
Yustiningrum, Emilia, R., Ichwanuddin, & Wawan. (2015). Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih
pada Pemilu 2014. Jurnal Penelitian Politik. Jurnal Penelitian Politik, 12(1), 117–135.
Zega, M. A., Muda, I., Batubara, B. M., & Suharyanto, A. (2019). Pengaruh Program Rumah Pintar
Pemilu terhadap Partisipasi Politik Masyarakat pada Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota
Medan. Perspektif, 7(2), 60. https://doi.org/10.31289/perspektif.v7i2.2531
67 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
MENDORONG TRANSPARANSI INFORMASI CALON KEPALA DAERAH
BERBASIS WEB DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PEMILIH YANG CERDAS
DAN MEMINIMALISIR PENYEBARAN HOAKS MENJELANG PILKADA
ENCOURAGING TRANSPARENCY OF WEB-BASED REGIONAL HEAD
CANDIDATES IN ORDER TO CREATE SMART VOTERS AND MINIMIZE THE
SPREAD OF HOAXES AHEAD OF THE REGIONAL HEAD ELECTION
Dermawan Indar Jaya Aurelia Vanessa
Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea Indah Kec. Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi
Selatan 90245
Abstract
Direct regional head elections are a place for local political contestation by upholding democratic
values. Since becoming the direct Regional Head Election, community participation has played an
important role in the process of electing regional heads who are directly elected by the people.
Therefore, in choosing candidates for regional head leaders, as smart voters, the public should first be
able to find out information about the pairs of candidates for regional heads who will compete for
regional political seats. However, in this era of digitalization of information, the spread of hoaxes is in
fact very heavy and unstoppable. Moreover, approaching the regional head election, there is a lot of
inaccurate information and potentially hoaxes scattered on the internet. The expert staff of the Minister
of Communication and Informatics, Henri Subiakto, revealed that the trend of hoaxes via the internet
was increasing ahead of the election. Henri considered that hoaxes have now become part of politics
and cannot be separated. Therefore, this article is written to encourage transparency of information on
regional head candidate pairs in the era of digitalization of information. This article uses a qualitative
research method with a library research approach. The results of this study found that in this era of
digitalization of information, a web-based transparency of regional head candidate pair information is
needed in order to make it easier for voters to find out information on regional head candidate pairs
and minimize the spread of hoaxes ahead of the elections.
Keywords: Hoax Spread, Information on Regional Head Candidates, Information Transparency, , Smart
Voters, Web-based Information Systems
Abstrak
Pemilihan kepala daerah langsung merupakan ajang kontestasi politik lokal dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi. Sejak menjadi pilkada langsung, partisipasi masyarakat berperan penting dalam
proses pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, dalam
memilih calon pemimpin kepala daerah, sebagai pemilih yang cerdas, masyarakat seharusnya dapat
terlebih dahulu mencari tahu informasi mengenai pasangan calon kepala daerah yang akan berlaga
memperebutkan kursi politik daerah. Namun, di era digitalisasi informasi ini, penyebaran hoaks
nyatanya sangat deras dan tak terbendung. Apalagi mendekati pemilihan kepala daerah, banyaknya info-
info yang tidak akurat dan berpotensi hoaks bertebaran di jagad internet. Staf ahli Menteri Komunikasi
dan Informatika, Henri Subiakto mengungkapkan bahwa tren penyebaran hoaks melalui internet
meningkat menjelang pemilu. Henri menilai bahwasanya, hoaks kini telah menjadi bagian dari politik
dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu penulisan artikel ini dilakukan untuk mendorong adanya
68 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
transparansi informasi pasangan calon kepala daerah di era digitalisasi informasi. Artikel ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian kepustakaan (Library
Research). Hasil dari penelitian ini menemukan bahwasanya di era digitalisasi informasi ini, perlu
adanya suatu transparansi informasi pasangan calon kepala daerah yang berbasis web dalam rangka
memudahkan pemilih mengetahui informasi pasangan calon kepala daerah dan meminimalisir
penyebaran hoaks menjelang pilkada.
Kata Kunci: Informasi Calon Kepala Daerah, Pemilih Cerdas, Penyebaran Hoaks, , Sistem Informasi
berbasis web, Transparansi Informasi
1. Pendahuluan
Indonesia sejatinya telah lama
mengadopsi nilai-nilai demokrasi dalam
sistem pemerintahannya. Hal ini telah
mendarah daging dalam bangsa Indonesia
sebagai negara demokrasi. Salah satu
bentuk implementasi dari demokrasi ini
dapat kita lihat melalui sistem pemilihan
kepala daerah gubernur, bupati/walikota
yang secara langsung dipilih oleh rakyat
melalui kontestasi pilkada. Pemilihan
kepala daerah dilakukan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil dengan calon
pasangan yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik atau
perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang (Diputra,dkk, 2017).
Pemilihan kepala daerah menjadi sebuah
ajang kontestasi demokrasi lokal yang
diselenggarakan untuk memilih pemimpin
daerah baik dalam lingkup Provinsi
maupun Kabupaten/Kota. Pilkada yang
sebelumnya pada orde baru dilakukan
secara tidak langsung, yakni melalui
pengusulan oleh DPRD yang kemudian
dipilih oleh Menteri Dalam
Negeri/Presiden hingga kemudian setelah
reformasi pada tahun 2005 menjadi pilkada
langsung dengan partisipasi secara
langsung dari masyarakat untuk memilih
pemimpin daerah (Haboddin,2016).
Pergeseran prosedur pemilihan kepalah
daerah pasca reformasi benar-benar
memberikan makna demokrasi yang
sesungguhnya kepada masyarakat dalam
pemilihan kepala daerah. Dengan pilkada
langsung ini akan mengimplementasi hak-
hak konstitusional masyarakat untuk
memilih dan dipilih yang diatur dalam
UUD NRI 1945.
Amanat Undang-Undang Dasar
menentukan bahwa pemilihan kepala
daerah harus dipilih secara demokratis, hal
ini telah tercantum dalam pasal 18 ayat 4
UUD NRI 1945 yang berbunyi “Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis”.
Dalam menjalankan hak demokrasinya,
masyarakat harus menjadi pemilih yang
cerdas. Menurut Anggota Bawaslu Ratna
69 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Dewi Pettalolo, pemilih yang cerdas
merupakan pemilih yang memilih dengan
berdasarkan dipertimbangkan secara
rasional yang didasarkan pada apa yang
menjadi visi, misi dan program yang
diusung calon kepala daerah
(Bawaslu.go.id,2020). Masyarakat dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
seyogyangya harus mencari informasi
mengenai pasangan calon yang akan
menjadi pemimpin daerah. Informasi calon
kepala daerah dapat memberikan
gambaran awal terhadap pemilih terhadap
kualitas dari para calon kepala daerah.
Apalagi dengan perkembangan teknologi
yang semakin pesat, akses informasi yang
semula dilakukan secara konvensional kini
semakin mengarah ke digitalisasi
informasi. Sehingga akan memberikan
kesempatan yang lebih luas bagi
masyarakat dalam menelusuri informasi
yang perlu diketahui mengenai calon
pemimpin daerahnya.
Namun banyaknya info-info yang tidak
akurat dan berpotensi bohong (hoaks)
nyatanya bertebaran dijagad internet. Staf
ahli Menteri Komunikasi dan Informatika,
Henri Subiakto mengungkapkan bahwa
tren penyebaran hoaks melalui internet
meningkat menjelang pemilu. Henri
menilai bahwasanya, hoaks kini telah
menjadi bagian dari politik dan tidak bisa
dipisahkan (Kominfo,2019). Berdasarkan
dari permasalahan tersebut, maka artikel
ini akan membahas sedikit mengenai
bagaimana suatu sistem informasi berbasis
web dapat memberikan informasi aktual
bagi pemilih dalam pemilihan kepala
daerah di era digitalisasi informasi.
Mengingat rawannya penyebaran berita
hoaks yang berkembang mendekati pilkada
sehingga dengan adanya sebuah website
informasi tersebut diharapkan mampu
memberikan kepada masyarakat informasi
yang akurat mengenai calon kepala daerah
melalui sumber yang jelas dan terpercaya
dan dapat menjadi acuan masyarakat dalam
menentukan pilihannya.
2. Metode Penelitian
Artikel ini menggunakan metode
penelitian kualitatif, yakni penelitian
dengan berusaha mencari makna,
pemahaman, pengertian, kejadian baik
terlibat secara langsung maupun tidak
langsung yang diteliti secara menyeluruh.
Metode ini mengumpulkan data kemudian
diolah menjadi bentuk naratif. Artikel ini
menggunakan pendekatan penelitian
kepustakaan (Library Research) berupa
mengumpulkan sumber buku, jurnal,
karya tulisan, dan pada sumber-sumber
resmi lainnya. Data yang telah
dikumpulkan kemudian diolah dengan
menggunakan prinsip triangulasi, yakni
memperoleh data dari sumber lain untuk
meningkatkan ketepatan dan kebenaran
penelitian (Yusuf,2014).
70 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
3. Perspektif Teori
3.1.Pemilihan Kepala Daerah yang
Berintegritas dan Berkualitas
Pemilihan Kepala Daerah atau yang
disingkat PILKADA merupakan proses
politik yang tidak hanya sebagai
mekanisme untuk mengisi jabatan
demokratis, tetapi juga sebagai
implementasi pelaksanaan otonomi daerah
yang sesungguhnya. Sejak tahun 2005,
tepatnya pada bulan Juni, Pilkada di
Indonesia dilaksanakan secara langsung,
yakni dipilih oleh rakyat itu sendiri. Pada
tahun 2020 ini, Pilkada dilaksanakan pada
270 daerah, yang terdiri dari 9 Provinsi, 37
Kota, dan 224 Kabupaten.
Untuk menyelenggarakan Pilkada, telah
disahkan Undang – undang Nomor 6 Tahun
2020 tentang Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang – Undang Nomor 2
Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas
UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
menjadi Undang – undang.
Sebagai tolok ukur Pilkada yang
berkualitas adalah pilkada yang
berlandaskan pada asas – asas demokrasi.
Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 telah
menentukan enam asas Pilkada demokratis,
yakni langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Kemudian UU Pemilu
menambahkan dua kriteria lagi, yaitu
transparan dan akuntabel.
• Asas Langsung, yaitu rakyat sebagai
pemilih mempunyai hak untuk
memberikan suaranya secara langsung
sesuai dengan kehendak dan hati
nuraninya tanpa perantara.
• Asas Umum, yaitu pada dasarnya
semua warga negara yang memenuhi
syarat berhak mengikuti pemilu.
• Asas Bebas, yaitu setiap warga negara
berhak memilih, bebas menentukan
pilihannya tanpa tekanan dan paksaan
dari siapapun.
• Asas Rahasia, yaitu dalam memberikan
suaranya, pemilih dijamin bahwa
pilihannya tidak akan diketahuhi oleh
pihak manapun dan dengan jalan
apapun.
• Asas Jujur, yaitu dalam
penyelenggaraan pemilu, setiap
penyelenggara pemilu, aparat
pemerintah, pasangan calon, partai
politi, tim kampanye, pengawas
pemilu, pemilih, semua pihak terkait
harus bersikap dan bertindak jujur
sesuai dengan perundang – undangan.
• Asas Adil, yaitu setiap penyelenggara
pemilu dan semua pihak yang terkait
harus bersikap dan bertindak adil.
Ramlan Surbakti (dalam Hertanto,
2018:26) merumuskan pemilu yang adil
dan berintegritas dengan memadukan
71 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
electoral integrity dan electoral justice
sebagai parameter pemilu demokratis.
Menurut Surbakti, pemilu yang
berintegritas dan adil ditandai dengan 7
(tujuh) kriteria :
• Pemilu adil dan berintegritas adalah
kesetaraan antarwarga negara, baik
dalam pemungutan dan perhitungan
suara maupun alokasi kursi DPR dan
DPRD dan pembentukan daerah
pemilihan.
• Pemilu adil dan berintergritas adalah
kepastian hukum yang dirumuskan
berdasarkan asas pemilu demokratis.
• Pemilu adil dan berintegritas adalah
persaingan bebas dan adil
antarkontestan pemilu.
• Pemilu adil dan berintegritas adalah
partisipasi seluruh pemangku
kepentingan dalam seluruh rangkaian
penyelenggaraab tahap pemilu.
• Pemilu adil dan berintegritas adalah
badan penyelenggara pemilu yang
professional, independen, dan
imparsial.
• Pemilu adil dan berintegritas adalah
integritas pemungutan, penghitungan,
tabulasi dan pelaporan suara pemilu.
• Pemilu adil dan berintegritas adalah
penyelesaian sengketa pemilu yang
adil dan tepat waktu.
3.2. Sistem Informasi Berbasis Web
Sistem informasi berbasis web adalah
seperangkat komponen yang saling
berhubungan yang berfungsi untuk
mengumpulkan, memproses, menyimpan,
dan mentransferkan informasi dalam
bentuk teks, gambar, suara, dan informasi
yang dipresentasikan dalam bentuk
hypertext serta dapat diakses oleh perangkat
lunak untuk mendukung pembuatan
kegiatan dalam mencapai
tujuan(Alamsyah,2009).
Sistem informasi berbasis web ini telah
digunakan beberapa institusi pemerintah
maupun swasta. Data yang akurat, valid,
dan up to date merupakan hal penting dalam
penyelenggaraan suatu sistem informasi
guna memenuhi kebutuhan infomasi.
Kemajuan teknologi informasi yang ada
saat ini sangat membantu dalam
memberikan informasi maupun menerima
informasi dimana pun dan kapan pun
seseorang membutuhkan suatu informasi
sudah dapat diperoleh dengan cepat,
mudah, dan murah.
Penggunaan teknologi informasi telah
merambah hampir semua sendi kehidupan
manusia, adapun unsur – unsur yang
diperlukan untuk membuat sebuah website
sebagaimana dipaparkan oleh Yadi Utama
(2011:361-362) adalah sebagai berikut :
• Nama Domain, adalah alamat unik di
dunia internet yang digunakan untuk
mengidentifikasikan sebuah website,
atau dengan kata lain untuk
72 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
menemukan sebuah website pada
dunia internet.
• Rumah Tempat Website, adalah
sebagai ruangan yang terdapat dalam
harddisk tempat menyimpan berbagai
data, file, gambar, dan lain
sebagainya yang akan ditampilkan
dalam website.
• Bahasa Program, adalah bahasa yang
digunakan untuk menerjemahkan
setiap perintah dalam website pada
saat diakses.
• Desain White, hal ini menentukan
kualitas dan keindahan sebuah
website.
• Publikasi White, keberadaan situs tidak
ada gunanya dibangun tanpa
dikunjungi atau dikenal oleh
pengunjung internet. Untuk
mengenalkan situs kepada
masyarakat memerlukan apa yang
disebut publikasi atau promosi.
• Pemeliharaan website, untuk
mendukung kelanjutan dari situs
diperlukan pemeliharaan setiap tiap
waktu sesuai yang diinginkan seperti
penambahan informasi, berita, artikel,
link, gambar, dan lain sebagainya,
tanpa pemeliharaan yang baik situs
akan terkesan membosankan atau
monoton juga akan segera
ditinggalkan pengunjung.
Kelebihan dari penggunaan sistem
informasi berbasis web adalah web tersebut
mudah untuk dikembangkan, sebab pada
umumnya bahasa pemrograman yang
digunakan untuk mengembangkan aplikasi
web adalah HTML ( Hypertext Markup
Language ), PHP (Hypertext
Preprocessor), dimana bahasa
pemrograman ini pada umumnya sudah
dikuasai oleh sebagian besar web
developer, selain itu kita dapat mengakses
informasi dimana pun dan kapan pun, sebab
sistem informasi berbasis web mudah untuk
diakses, serta sistem informasi ini dapat
menyesuaikan pada berbagai devices dan
sistem operasi.
3.3. Transparansi Informasi
Sejak Tahun 1946 Majelis Umum PBB
mengadopsi Resolusi 59 (1) yang
menyatakan bahwa kebebasan informasi
adalah hak asasi yang fundamental dan
merupakan tanda dari seluruh kebebasan
yang akan menjadi titik perhatian PBB.
Oleh karena hak atas informasi kemudian
menjadi salah satu hak yang diakui secara
internasional. Dengan demikian, hak atas
informasi tidak hanya menjadi hak asasi
melainkan juga hak konstitusional rakyat
Indonesia.
Hak untuk mendapat informasi
merupakan hak yang sangat penting dan
strategis bagi warga negara. Hak ini tidak
hanya dijamin dalam kesepakatan
Internasional tetapi dijamin juga secara
73 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
tegas dalam Konstitusi Negara Republik
Indonesia. Pasal 28 F Undang – undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa : “Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, dan menyimpan
informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia”.
Kebebasan dan kemudahan untuk
memperoleh informasi merupakan sarana
kehidupan berdemokrasi. Hak atas
informasi yang merupakan hak asasi dan
hak konstitusional tidak akan efektif apabila
tidak ada keterbukaan dan kemudahan
dalam memperoleh informasi yang lebih
luas dan tidak terdistorsi, karena
keterbukaan informasi merupakan
penentuan kadar dan nilai bagi kehidupan
demokrasi. Transparansi informasi
merupakan alat bagi masyarakat untuk
mengawasi dan mengontrol setiap langkah
yang diambil oleh penyelenggara negara.
3.4.Berita Bohong (Hoaks)
Peran komunikasi dalam politik sangat
penting karena tanpa komponen
komunikasi, infrastruktur, dan
suprastruktur akan mengalami putus
hubungan sehingga mekanisme yang
harusnya dijalankan tidak berkembang
secara dinamis. Dengan memanfaatkan
komunikasi sebagai proses politik, berbagai
tatanan politik yang tidak sesuai dengan
tuntutan masyarakat akan berubah.
(Mukarom, 2016).
Seiring dengan perkembangan zaman,
proses komunikasi saat ini sudah bergeser
dari media konvensional menjadi media
cetak dan elektronik. Karena berbasis
internet, media baru ini bersifat fleksibel
dan dapat diakses di manapun sepanjang
terkoneksi dengan jaringan internet
(Simarmata, 2014). Dalam
perkembangannya, media informasi
berbasis internet ini kemudian memiliki
dampak positif dan negative. Dampak
positif dari media informasi berbasis
internet ini adalah masyarakat menjadi
lebih up to date dalam mengakses
informasi. Sedangkan, dampak negatif dari
media informasi ini adalah penyebaran
berita-berita bohong ( hoaks ) yang semakin
banyak.
Berita bohong ( hoaks ) adalah suatu
informasi yang belum tentu nilai
kebenarannya. Berita bohong merupakan
informasi yang ditambah-tambahi atau
dikurang-kurangi isi dari berita yang
sebenarnya. Adanya unsur manipulasi atau
modifikasi guna mendapat respon yang
cukup banyak dan menjadi viral. Pemicu
informasi hoaks memiliki dua motif yaitu
ekonomi dan politik. Ada situs-situs yang
memang sengaja dibuat bertujuan
mendapatkan kunjungan sebanyak
mungkin, ada pula yang bertujuan untuk
74 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
menyalurkan aspirasi politik melalui media
sosial dengan membuat kabar palsu.
(Pomounda, 2015). Hoaks mempengaruhi
setiap orang yang membaca agar orang
tersebut percaya dengan berita tersebut
seolah benar adanya (Juditha, 2018).
Berita hoaks saat ini menjadi ancaman
informasi karena efeknya yang berbahaya
dan berhubungan dengan hukum.
Hebohnya dunia maya yang diwarnai
dengan kebohongan membuat negara
mengambil tindakan tegas terhadap hal
tersebut. Masyarakat yang memiliki hak
dalam menyampaikan opini, kreatifitas, dan
lain sebagainya menjadi ruang public yang
cukup strategis untuk mendapatkan dan
menyalurkan informasi, tetap bertanggung
jawab atas ayang yang disebarkan.
Hermeneutika Paul Ricoeur, dalam
memahami dan mengidentifikasi hoaks, ada
beberapa teori yang dikemukakan oleh
Ricoceur, yakni :
• Teori Fiksasi, teori ini berfungsi
menjaga wacana dari kemusnahan.
Menurut Ricoeur jika pemaknaan teks
mau diungkap atau dipahami oleh
seorang penafsir, harus melakukan
salah satu dari dua alternatif berikut
ini : melalui jalan langsung yaitu
seorang penafsir memahami teks
secara langsung tanpa menggunakan
metodologi untuk memahami dan
menyelidiki makna yang terkandung
dalam teks. (Afandi. 2017)
• Teori Distansiasi, teori ini berfungsi
untuk menemukan makna asli dari
suatu kejadian sebelum kejadian
tersebut menjadi suatu wacana atau
teks oleh orang yang menerima dan
menyebarkannya. Dalam teori ini,
Ricoeur melatari teori ini dengan
studi bahasa yaitu bahasa wacana dan
bahasa sebagai bahasa/fakta. Bahasa
wacana merupakan bahasa yang pasif
seperti bahasa yang ada di dalam
kamus, sementara bahasa yang sesuai
bahasa/fakta merupakan bahasa yang
telah diterima oleh seseorang dalam
suatu waktu dan tempat tertentu.
(Afandi.2007 Hal-92)
4. Hasil dan Pembahasan
4.1.Urgensi Keterbukaan Informasi
Calon Kepala dan Wakil Kepala
Daerah
Menjelang pemilihan kepala daerah,
pemilih tentunya membutuhkan informasi
yang aktual mengenai para kandidat
sebelum menentukan pilihannya. Informasi
calon kepala daerah merupakan sarana bagi
pemilih dalam mengetahui lebih dalam para
calon kepala daerah dalam kontestasi
pilkada. Masyarakat tentunya memiliki hak
untuk mengetahui informasi seputar calon
pemimpin daerahnya sebelum memberikan
hak pilihnya. Dimana hak pilih tersebut
akan digunakan untuk memilih pemimpin
untuk masa lima tahun kedepan. Sehingga
akan dibutuhkan adanya transparansi
75 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
informasi mengenai para kandidat kepala
dan wakil kepala daerah.
Transparansi informasi calon kepala dan
wakil daerah tersebut tentunya dapat sangat
mempengaruhi kualitas demokrasi yang
sedang berlangsung dalam proses menuju
pemilihan kepala daerah. Hal ini karena
keterbukaan informasi kepada publik
merupakan hal yang cukup fundamental
demi terwujudnya pelaksanaan Pilkada
yang berkualitas dan berintegritas. Publik
memiliki hak dalam mengetahui informasi
calon kepala dan wakil kepala daerah, agar
publik yang sudah memenuhi syarat dalam
memilih tidak lagi salah dalam memilih
pemimpin untuk lima tahun yang akan
datang. Selain itu, keterbukaan informasi
juga merupakan amanat UU Nomor 10
tahun 2016 tentang Pilkada yang
mengemukakan bahwasanya keterbukaan
ini merupakan salah satu asas dalam
penyelenggaraan pemilu. Keterbukaan
informasi dalam pilkada ini menyangkut
regulasi, anggaran, kelembagaan,
pelaksanaan tahapan dan hasil pemilihan.
Hal ini juga diperkuat dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2018 tentang
Keterbukaan Informasi Publik Jo. Peraturan
Komisi Informasi nomor 1 tahun 2014
tentang Standar layanan dan Prosedur
Penyelesaian Sengketa Informasi Pemilu
(komisiinformasi.jabarprov.go.id, 2020).
Oleh karena itu, melalui transparansi
informasi calon kepala dan wakil kepala
daerah ini dapat menjadi sarana dalam
menyosialisasikan para kandidat calon
kepala dan wakil kepala daerah secara jujur.
Melalui keterbukaan informasi tersebut
diharapkan dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap para
calon pemimpin daerah yang mengikuti
kontestasi Pilkada. Serta diharapkan dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
menyuarakan hak pilihnya serta dapat
menghasilkan pemimpin daerah yang
sesuai dengan kehendak rakyat itu sendiri.
4.2.Informasi Calon Kepala Daerah
yang Perlu Diketahui Publik
Masyarakat memiliki hak dalam
memilih kandidat kepala daerah sesuai
pilihan masing-masing. Oleh karena itu,
masyarakat seharusnya menggunakan hak
pilihnya secara maksimal. Hal ini
dikarenakan, pilihan kepala daerah tersebut
akan berdampak pada daerah tempat tinggal
masyarakat itu sendiri apabila nantinya
terpilih kepala dan wakil kepala daerah
yang baru. Oleh karena itu, pemilih harus
cerdas dalam menyeleksi para kandidat
calon kepala daerah yakni memilih dengan
berdasarkan dipertimbangkan secara
rasional yang didasarkan pada apa yang
menjadi visi, misi dan program yang
diusung calon kepala daerah. Selain itu,
pemilih juga harus cermat dalam membaca
informasi yang beredar, dan cermat dalam
menyebarkannya. Pemilih harus senantiasa
berfikir secara kritis mengenai informasi
76 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
yang beredar, yang dapat terindikasi
sebagai berita hoaks. Dengan begitu dapat
mewujudkan pemilih yang cerdas untuk
pilkada yang berkualitas.
Masyarakat sebelum memilih pasangan
calon kepala daerah harus mulai mengenali
kandidat, rekam jejak, visi-misi dan
program kerja, partai pengusung, serta
informasi lainnya yang dapat digunakan
pemilih untuk mengetahui gambaran
kualitas para kandidat. Direktur Eksekutif
Perkumpulan untuk Pemilu Demokrasi
(Perludem) Titi Anggraini mengatakan
masyarakat yang memiliki hak pilih harus
cermat dalam menggunakan haknya secara
maksimal demi keberlangsungnan daerah
yang bakal dipimpin kepala daerah terpilih
(Hukumonline.com,2018). Hal-hal yang
perlu diketahui publik dalam memlih
kandidat kepala daerah diantaranya dengan
menelusuri visi-misi dan program kandidat
sehingga dapat mengetahui apa saja
program yang akan dijalankan selama masa
kepemimpinannya, apakah program
tersebut telah sesuai dengan permasalahan
yang banyak terjadi di daerah tersebut dan
bagaimana bentuk implementasi dari
program tersebut. Selain itu, masyarakat
juga perlu mengetahui rekam jejak dari
para kandidat. Rekam jejak kandidat perlu
diketahui oleh masyarakat sebagai bentuk
transparansi terhadap informasi calon
kepala daerah mengenai keterlibatan para
kandidat terhadap kasus korupsi maupun
kasus pidana lainnya. Dalam putusan MK
No. 4/PUU-VII/2009, meskipun telah
membatasi pencalonan mantan narapidana.
Namun, bagi mantan narapidana yang telah
5 (lima) tahun selesai menjalani hukuman
dapat mencalonkan diri kembali dengan
syarat mengungkapkan dirinya sebagai
mantan narapidana. Sehingga rekam jejak
tersebut juga perlu dilakukan adanya
transparansi agar publik benar-benar
mengetahui rekam jejak kandidat apabila
pernah terkait kasus pidana. Rekam jejak
lainnya yang juga diperlukan adalah untuk
mengetahui pengalaman para kandidat di
bidang pemerintahan dan politik. Sehingga
pemilih dapat mengetahui bagaimana
kinerja dari para kandidat sebelum
memberikan hak pilihnya.
4.3.Transparansi Informasi Calon
Kepala Daerah Berbasis Web dalam
Rangka Mewujudkan Pemilih
Cerdas dan Meminimalisir
Penyebaran Hoaks Menjelang
Pilkada
Perkembangan teknologi telah
membawa dampak yang siginifikan dalam
perubahan penyebaran informasi dari
konvensional menjadi elektronik, dalam hal
ini melalui internet. Perubahan tersebut
telah membawa dampak besar dalam
kemudahan akses informasi masyarakat.
Digitalisasi informasi menjadi alternatif
bagi masyarakat untuk menemukan
informasi secara cepat melalui gawai
77 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
telepon pintar maupun gadget lainnya.
Sehingga kecenderungan masyarakat jauh
lebih tinggi dalam mencari informasi
melalui media internet dibandingkan harus
membaca melalui media konvensional
seperti koran dan majalah. Tak terkecuali
dalam memperoleh berita, internet menjadi
media penyebaran berita tercepat karena
banyaknya jumlah penggunanya. Di
Indonesia saja, data terbaru menunjukkan
terdapat 175,4 juta pengguna internet,
belum lagi jika dihitung secara global,
sehingga melihat dari hal tersebut
menjadikan internet begitu vital dalam
kehidupan manusia saat ini.
Berdasarkan data dari Hootsuite (We
Are Sosial), Pengguna internet di Indonesia
kian tahun semakin meningkat. Data
menunjukkan setidaknya terdapat 175,4
juta pengguna internet di Indonesia. Hal ini
meningkat dibandingkan pada tahun
sebelumnya, dengan kenaikan sejumlah
17% atau 25 juta pengguna internet di
Indonesia. Berdasarkan pada total populasi
Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa,
berarti telah terdapat 64% dari penduduk
Indonesia yang merasakan akses terhadap
internet. Berarti sudah lebih dari separuh
polulasi masyarakat Indonesia yang telah
mengakses internet. Berdasarkan data
tersebut, presentase pengguna internet
berusia 16 hingga 64 tahun yang memiliki
jenis perangkat diantaranya mobile phone
(96%), smartphone (94%), non-smartphone
mobile phone (21%), laptop atau komputer
dekstop (66%), tablet (23%), konsol game
(16%), hingga virtual reality device (5,1%)
(Detik.com, 2020).
Melihat dari tingginya angka pengguna
internet di Indonesia tersebut, sehingga
membuat penyebaran informasi melalui
internet dapat menyebar dengan sangat
cepat dalam rentan waktu yang singkat.
Sehingga internet ini merupakan media
penyebaran informasi yang sangat efektif.
Oleh karena kecepatan dan
keefektivitasannya tersebut membuat
internet banyak digunakan oleh orang-
orang untuk menyebarluaskan sebuah
informasi demi tujuan tertentu. Hal ini
tentunya menimbulkan rasa kekhawatiran
akan informasi yang beredar melalui jagad
internet tersebut. Kekhawatiran tersebut
terkait maraknya kasus penyebaran hoaks
yang beredar subur di jagad internet. Berita
hoaks sering digunakan oleh sekelompok
ornang untuk menggiring opini masyarakat
sesuai arahan dan keinginan si penyebar
hoaks. Hal yang lebih mengkhawatirkan
lagi, berita hoaks ini dapat menyebarkan
kebencian terhadap pihak yang diberitakan
dalam hoaks tersebut. Apalagi jika telah
menyebar hingga menjadi berita yang viral.
Berita hoaks ini dapat menjatuhkan pihak-
pihak yang ditujukannya dalam masyarakat.
Tren penyebaran hoaks ini juga sering
meningkat menjelang pemilu maupun
pemilihan kepala daerah. Hal ini
78 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
diungkapkan oleh Staf ahli Menteri
Komunikasi dan Informatika Henri
Subiakto, bahwasanya tren penyebaran
hoaks melalui internet meningkat
menjelang pemilu. Henri menilai
bahwasanya, hoaks kini telah menjadi
bagian dari politik dan tidak bisa dipisahkan
(Kominfo,2019). Sehingga penyebaran
hoaks ini berpotensi mengancam nilai-nilai
jujur dan adil dalam proses pemilu maupun
pilkada.
Berdasarkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Aminah dan Novita Sari
(2019) yang mengkaji mengenai
penyebaran berita hoaks menjelang pemilu
2019, menemukan bahwasanya peredaran
berita hoaks di internet menjelang pemilu
dapat menimbulkan efek negatif terkhusus
pada pemilih pemula dalam mengakses
informasi terkait pemilu. Pertama,
penyebaran berita hoaks di internet
berdampak pada sulitnya pemilih dalam
menentukan kebenaran berita yang tersebar,
apalagi jika telah disebarkan ratusan kali
yang menyulitkan menentukan benar atau
tidaknya informasi tersebut sehingga dapat
menyulitkan dalam menyaring informasi
yang ada. Kedua, membuat mudah
terprovokasi. Terlihat bahwasanya
informasi yang dibagikan melalui media
sosial internet berpotensi menimbulkan
provokasi, apalagi bagi orang-orang yang
malas untuk berfikir kritis, hingga
fanatisme terhadap satu kandidat yang
menimbulkan pudarnya sikap kritis akan
informasi yang dibagikan. Ketiga,
menimbulkan rasa mudah membenci.
Informasi terindikasi hoaks banyak beredar
di internet yang mengunggulkan salah satu
pasangan calon dan menjelekkan pasangan
calon yang lainnya. Hal ini dapat
menimbulkan rasa benci terhadap pasangan
calon yang dijelekkan tersebut. keempat,
menimbulkan perubahan pilihan/dukungan.
Salah satu yang menimbulkan perubahan
penentuan pilihan dalam pemilu adalah
informasi yang tidak benar dari kandidat
sehingga memberikan citra buruk dan tidak
sesuai dengan pandangan pemilih dan
membuat perubahan pilihan/dukungan
terhadap kandidat yang sebelumnya akan
dipilih.
Melihat dari rawannya penyebaran berita
hoaks serta ujaran kebencian menjelang
pemilu dan pilkada tersebut, maka perlu
untuk dilakukan keterbukaan informasi dari
calon kepala dan wakil kepala daerah
berbasis web untuk memberikan akses
informasi yang aktual dan terpercaya
terhadap pemilih mengenai calon kepala
dan wakil kepala daerah. Melalui website
tersebut, juga dapat memuat mengenai
klarifikasi terhadap hoaks yang beredar
dalam masyarakat berkaitan dengan
masing-masing calon kepala daerah.
Sehingga melalui website tersebut, pemilih
dapat lebih leluasa dalam menentukan
pilihan dengan melihat data-data rekam
79 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
jejak para kandidat dan dapat membaca
klarifikasi hoaks yang beredar di msyarakat
menyangkut para kandidat. Dalam
implementasi website tersebut, tentunya
diperlukan lembaga yang berkompeten dan
netral dalam pemilihan kepala daerah
sehingga informasi yang disampaikan
benar-benar faktual dan terpercaya. Dalam
hal ini Komisi Pemilihan Umum sebagai
lembaga yang berwenang dalam
memberikan informasi-informasi terkait
pelaksanaan pemilu dapat menjadi lembaga
yang mengelola website tersebut dalam
rangka menjamin kebenaran dari informasi
tersebut. KPU dapat memberikan informasi
secara transparan mengenai informasi para
kandidat calon kepala daerah yang dapat
menjadi penunjang pemilih dalam
menentukan pilihannya. Sehingga dengan
adanya website informasi tersebut dapat
menjadi wadah bagi masyarakat untuk
mencari tahu fakta-fakta para kandidat
untuk dapat menjadi pedoman dalam
memilih pemimpin daerah dan dapat
menyaring informasi-informasi yang
berpotensi hoaks yang banyak bertebaran di
internet.
5. Simpulan
Dalam memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat
terhadap akses informasi calon kepala
daerah yang faktual dan terpercaya di era
digitalisasi informasi, maka dipelukan
adanya transparansi informasi melalui
sistem informasi berbasis web sebagai
upaya untuk memberikan keleluasaan
terhadap pemilih dalam mengetahui
informasi dari para kandidat pemimpin
daerah serta menghindari informasi hoaks
yang banyak bertebaran melalui media
internet mengenai informasi calon kepala
daerah. Dalam pengimplementasiannya,
pengelolaan sistem informasi berbasis web
tersebut diperlukan peran lembaga KPU
sebagai lembaga yang berwenang
memberikan informasi terkait pemilihan
kepala daerah sehingga dapat menjamin
transparansi dan kebenaran informasi
tersebut.
80 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Afandi, Abdullah Khozin.( 2007). Hermeneutika (Surabaya: Alpha)
Haboddin, Muhtar. (2016). Dinamika Pilkada dan Demokrasi Lokal di Indonesia.Malang:Ub
Press
Mukarom, Zaenal (2016), Komunikasi Politik (Bandung: Pustaka Setia)
Yusuf, Muri. (2014). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
gabungan.(Jakarta:Kencana)
Jurnal
Aminah, dan Novita Sary. (2019). Dampak Hoax di Media Sosial Facebook terhadap Pemilih
Pemula.Jurnal Komunikasi Global.Vol. 8 (1). Hlm. 56-59
Aliamsyah, M. (2009). Pemanfaatan Sistem Informasi Bagi Perancangan Peraturan Perundang-
Undangan, Jurnal Legislasi Indonesia.
Juditha, Christiany. (2018) Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya,
Jurnal Pekommas, Vol. 3(1), hlm. 31-44.
Diputra, I Gede Aristana,dkk.(2017). Transparansi dan Akuntabilitas Penggunaan Anggaran
Hibah Pilkada dan Laporan Dana Kampanye Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Bangli Tahun
2015 (Studi Kasus Pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bangli. e-Journal S1 Ak
Universitas Pendidikan Ganesha.Vol.8 (2),hlm. 3
Hertanto (2018). Mendorong Pemilu 2019 Bekualitas dan Berintegritas Di Provinsi Lampung.
Jurnal Analisis Sosial Politik. Hlm. 25-26
Kosasih, Ade (2017). Menakar Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara Demokratis. Jurnal
Pemerintahan dan Politik Islam. hlm. 41
Pomounda, Ika. (2015).Perlindungan Hukum Bagi Korban Penipuan Melalui Media Elektronik
(Suatu Pendekatan Viktimologi), Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 3 (4)
Simarmata, Salvatore (2014). Media Baru, Ruang Publik Baru, dan Transformasi Komunikasi
Politik di Indonesia, Interact, Vol. 3(2) , hlm. 18–36.
Utama, Yadi (2010). Sistem Informasi Berbasis Web Jurusan Sistem Informasi Fakultas Ilmu
Komputer Universitas Sriwijaya. Jurnal Sistem Informasi . hlm. 360-361
81 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Internet
Hidayat, Rofiq. (2018, Juni 26). Panduan Memilih Pasangan Calon Kepala Daerah.Diakses
dari https://search.hukumonline.com/berita/baca/lt5b320148cd371/panduan-memilih-pasangan-calon-
kepala-daerah?page=all
Faisal, Ijang. (2020, Agustus 15). Pilkada 2020 dan Keterbukaan Informasi Publik. Diakses
dari http://komisiinformasi.jabarprov.go.id/pilkada-2020-dan-keterbukaan-informasi-publik/
Haryanto, Agus Tri. (2020, Februari 20). Riset: Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia.
Diakses dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-
indonesia
Karti, Christina. (2020, Februari 18). Perguruan Tinggi Diharapkan Jadi Institusi yang
Lahirkan Pemilih Cerdas. Diakses dari https://www.bawaslu.go.id/id/berita/perguruan-tinggi-
diharapkan-jadi-institusi-yang-lahirkan-pemilih-cerdas
83 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
PERAN PENTING PENDIDIKAN POLITIK BAGI GENERASI MUDA DALAM
MEMINIMALISASI PENYALAHGUNAAN HAK SUARA PEMILIH PEMULA DI
INDONESIA
THE SIGNIFICANT ROLES OF POLITICAL EDUCATION IN MINIMIZING THE
SUFFRAGE MISAPPLICATION OF BEGINNER VOTERS IN INDONESIA
Muhammad Aswar Basri
Reza Matulatan
Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10, Tamalanrea Indah, Kec. Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi
Selatan 90245
E-mail: [email protected]
Abstract
Suffrage or the voting right is the right held by the community to vote referred to in the context of democratic country. The legal basis that guarantees the existence and validity of this voting right is the fourth principle of Pancasila as a philosophical foundation and Article 27 Paragraph (1), Article 28D Paragraph (3), Article 28E Paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia as a constitutional basis, which proves that this right is truly recognized and protected by the state. Suffrage is also part of human rights, and it is specifically regulated in Act No. 39 of 1999 regarding Human Rights. However, this article will explain that beginner voters who will participate in general elections are a vulnerable target for bribery and voting rights intervention by some irresponsible individuals or parties. For this reason, in responding to these challenges, the role of Bawaslu and many related elements in providing political education are needed. This article will explain how important the role of political education is for the younger generation and to its relationship with beginner voters. The research method used is the normative legal research supported by a political concept approach. Finally, the expected outcome is that the political education for the beginner voters can be maximized in Indonesia.
Keywords: Political Education, Young Generation, General Election, Beginner Voters
Abstrak
Hak suara atau hak pilih merupakan hak yang dimiliki oleh masyarakat untuk memilih yang dirujukkan
pada konteks negara demokrasi. Adapun dasar hukum yang menjamin eksistensi dan keberlakuan dari
hak suara ini adalah sila keempat Pansacila sebagai landasan filosofis, serta Pasal 27 Ayat (1), Pasal
28D Ayat (3), Pasal 28E Ayat(3) UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional, yang membuktikan
bahwa hak ini benar-benar diakui keberadaannya dan dilindungi oleh negara. Hak suara juga
merupakan bagian dari hak asasi manusia sehingga diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Namun, dalam tulisan ini akan menjelaskan bahwa
pemilih pemula yang akan berpartisipasi dalam pemilihan umum merupakan sasaran yang rentan untuk
penyogokan dan intervensi hak suara oleh beberapa oknum atau pihak yang tidak bertanggung jawab.
Untuk itu, dalam menjawab tantangan tersebut maka diperlukan peran bawaslu dan berbagai elemen
terkait dalam memberikan pendidikan politik. Tulisan ini akan menjelaskan tentang seberapa penting
peran pendidikan politik untuk generasi muda dan keterkaitannya dengan pemilih pemula. Adapun
metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang didukung dengan
pendekatan konsep politik. Kemudian luaran yang diharapkan adalah agar pendidikan politik bagi
pemilih pemula dapat dimasifkan di Indonesia.
Kata Kunci : Generasi Muda; Pemilihan Umum; Pemilih Pemula; Pendidikan Politik; Pendidikan Politik
84 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
1. Pendahuluan
Secara umum pemilihan umum lahir dari
konsepsi dan gagasan besar Demokrasi
yang berarti merujuk John Locke dan
Rousseau, keterjaminan kebebasan,
keadilan dan kesetaraan bagi individu
dalam segala bidang. Dalam demokrasi, ada
nilai-nilai partisipatif dan kedaulatan yang
dijunjung tinggi dan harus dijalankan oleh
warga negara dan instrumen negara baik
pada level legislatif, yudikatif maupun
eksekutif. Hubungan antara warga negara
dan negara meskipun masih berjarak namun
dapat difasilitasi oleh berbagai lembaga dan
elemen masyarakat karena adanya
kebebasan bagi semua pihak untuk ikut
serta secara aktif dalam pembangunan
nasional baik pembangunan politik maupun
bidangbidang lainnya.
Pemilihan umum ternyata telah menjadi
suatu jembatan dalam menentukan
bagaimana pemerintahan dapat dibentuk
secara demokratis. Rakyat menjadi penentu
dalam memilih pemimpin maupun
wakilnya yang kemudian akan
mengarahkan perjalanan bangsa. Pemilihan
umum menjadi seperti transmission of belt,
sehingga kekuasaan yang berasal dari
rakyat dapat berubah menjadi kekuasaan
negara yang kemudian menjelma dalam
bentuk wewenang-wewenang pemerintah
untuk memerintah dan mengatur rakyat.
Dalam sistem politik, pemilihan umum
bermakna sebagai saran penghubung antara
infrastruktur politik dengan suprastruktur
politik, sehingga memungkinkan
terciptanya pemerintahan dari oleh dan
untuk rakyat. Kemudian dari pemaparan
tersebut kita tidak dapat menafikkan bahwa
pemilih pemula memiliki peran penting
dalam menyukseskan pemilu, karena pada
pemilu di tahun 2019 saja angkanya sudah
mencapai lima juta jiwa, yang artinya akan
ada lima juta suara yang akan memengaruhi
hasil akhir dari pemilihan umum.
Untuk memaksimalkan hal tersebut,
maka diperlukan optimalisasi berupa
pendidikan politik agar dapat menangkal
hal-hal yang tidak diinginkan. Menurut
Kartini Kartono, pendidikan politik
merupakan upaya pendidikan yang
disengaja dan sistematis untuk membentuk
individu agar mampu menjadi partisipan
yang bertanggung jawab secara etis/moral
dalam pencapaian tujuan politik.
Pendidikan politik ini kemudian memiliki
tujuan di antaranya:
1. Membuat masyarakat sebagai pemilih
mampu memahami situasi sosial politik
penuh konflik;
2. Berani bersikap tegas memberikan
kritik membangun terhadap kondisi
masyarakat yang mantap;
3. Aktivitasnya diarahkan pada proses
demokratisasi individu atau
perorangan, dan demokratisasi semua
lembaga kemasyarakatan serta
lembaga negara;
85 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
4. Sanggup memperjuangkan
kepentingan dan ideologi tertentu,
khususnya yang berkolerasi dengan
keamanan dan kesejahteraan hidup
bersama.
5. Mengupayakan peranan insani dari
setiap individu sebagai warga negara
(melaksanakan realisasi diri/aktualisasi
diri dari dimensi sosialnya);
6. Mengembangkan semua bakat dan
kemampuan insani yang terdidik dari
berbagai aspek (aspek kognitif,
wawasan, kritis, sikap positif,
keterampilan politik);
7. Agar orang bisa aktif berpartisipasi
dalam proses politik, demi
pembangunan diri, masyarakat sekitar,
bangsa, dan negara.
Namun, peran penting dari hak suara
pemilih pemula saat ini masih belum dapat
dimaksimalkan. Hal ini dikarenakan oleh
salah satu faktornya yaitu hak suara dari
pemilih pemula rentan untuk diintervensi
dan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab dan pihak-pihak
yang sengaja ingin mengedepankan
kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Pemilih pemula dalam hal ini generasi
muda biasanya tidak mengikuti kata hatinya
dalam menentukan pilihan terhadap wakil
rakyat. Tanpa pengetahuan dasar terkait
politik menyebabkan mereka rentan untuk
dipengaruhi baik dengan cara diberi
penghasutan, sogokan, serangan fajar, dan
lain-lain agar menuruti perintah untuk
memilih calon tertentu.
Peristiwa-peristiwa yang seperti
dijelaskan sebelumnya pada dasarnya
mampu mencederai prinsip negara
demokrasi yang dianut di Indonesia.
Terlebih lagi jika di dalamnya mengandung
unsur ancaman atau paksaan dari pihak-
pihak tertentu yang jelas hal tersebut
bertentangan dengan hak asasi manusia.
Dengan demikian hal ini menjadi tantangan
tersendiri untuk negara Indonesia.
Untuk menjawab tantangan tersebut,
maka penulis akan mengupas secara tajam
terkait peran penting pendidikan politik
dengan sasarannya yakni generasi muda
yang akan berperan aktif sebagai pemilih
pemula baik pada pemilihan kepala daerah
secara serentak maupun pemilihan langsung
di tahun 2024 mendatang. Penulis juga akan
menyajikan mekanisme seperti apa yang
tepat guna dalam implementasi pendidikan
politik bagi pemilih pemula.
1.1. Subbab
• Alasan Diperlukannya Pendidikan
Politik di Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan negara demokrasi. Karena itu
segala praktek penyelenggaraan kekuasaan
negara haruslah berdasarkan pada kehendak
rakyat. Secara eksplisit landasan
konstitusional penyelenggaraan kekuasan
negara secara demokratis tertuang dalam
pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang telah
86 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
diamandemen. Dalam pasal tersebut secara
jelas dinyatakan bahwa “Kedaulatan
Negara berada Ditangan Rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang Undang
Dasar”. Dengan demikian, segala
pengambilan keputusan politik haruslah
bersumber pada kehendak rakyat. Bagi
pemilih pemula, pendidikan politik harus
menjadi urgensi yang dapat menjangkau
mereka untuk memberikan pemahaman
yang efisien tentang sucinya melaksanakan
kehendak diri sebagai bagian dari rakyat
dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi
tanpa hambatan. Hal ini disebabkan
manusia merupakan tonggak penggerak
arah kebijakan politik dan pemerintahan di
Indonesia, untuk itu pendidikan politik ini
memiliki peran dalam mengarahkan mereka
untuk tetap berada pada koridor arah dan
kebijakan politik dan pemerintahan yang
beriringan dengan apa yang dijelaskan
dalam batang tubuh konstitusi dan
berkesesuaian dengan tujuan dan cita-cita
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Permasalahan Penyalahgunaan Hak
Suara Pemilih Pemula
Pada dasarnya pemilih pemula
merupakan mereka yang akan memasuki
usia memilih dan akan menggunakan hak
pilihnya untuk pertama kali dalam pemilu.
Perlu ditekankan pada frasa pertama kali
dalam pemilu yang merujuk pada
rentannya pemilih pemula untuk tidak
menggunakan hak suaranya secara
maksimal. Adapun yang mampu
menyebabkan hal tersebut adalah hal-hal
yang berbau money politic, intervensi hak
suara dari pihak-pihak tertentu terlebih jika
didalamnya mengandung unsur ancaman
atau paksaan, serta mereka yang kurang
memahami pentingnya budaya politik
dalam mewujudkan prinsip demokrasi yang
ideal.
• Agen yang Berperan Aktif dalam
Pendidikan Politik
Secara sosiologis, peran agen terhadap
pelaksanaan partisipasi politik generasi
muda belum berjalan secara baik.
Selanjutnya, pendidikan politik generasi
muda belum memberi dampak yang
signifikan terhadap pelaksanaan partisipasi
politik. Untuk itu, pihak yang harus
berperan aktif dan memberi sinergi dalam
memberikan pendidikan politik adalah:
a. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Bawaslu merupakan lembaga
penyelenggara Pemilu yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di
seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Terkait landasan
hukumnya, Bawaslu diatur dalam bab
IV Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum.
b. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
87 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
KPU merupakan lembaga negara yang
berfungsi secara efektif dan mampu
memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang
jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu
yang jujur dan adil tersebut merupakan
faktor penting bagi terpilihnya wakil
rakyat yang lebih berkualitas, dan
mampu menyuarakan aspirasi rakyat.
Sebagai anggota KPU, integritas moral
sebagai pelaksana pemilu sangat
penting, selain menjadi motor
penggerak KPU juga membuat KPU
lebih kredibel di mata masyarakat
karena didukung oleh personal yang
jujur dan adil.
c. Ilmuwan di Bidang Politik
Ilmuwan politik merupakan orang yang
aktif dalam mempelajari alokasi dan
transfer kekuasaan dalam pembuatan
keputusan, peran dan sistem
pemerintahan termasuk pemerintah dan
organisasi internasional, perilaku
politik dan kebijakan publik. Ilmuwan
politik dapat terlihat bekerja di
pemerintahan atau memberikan
pelayanan publik.
• Sasaran Pendidikan Politik
Sasaran yang dimaksud oleh penulis
adalah generasi muda yang akan
berpartisipasi sebagai pemilih pemula baik
dalam Pilkada serentak maupun Pemilu.
Adapun syarat dan kriteria yang harus
dipenuhi adalah:
- Warga Negara Indonesia,
- Warga yang telah genap berusia tujuh
belas tahun,
- Terdaftar sebagai pemilih di DPT,
- Tidak sedang terganggu
jiwa/ingatannya,
- Tidak sedang dicabut hak pilihnya
berdasarkan keputusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
• Mekanisme Pendidikan Politik yang
Ideal
Pendidikan politik tentunya tidak akan
terlaksana tanpa adanya penyelenggaraan
yang dilakukan secara konkret di lapangan
atau di tengahtengah masyarakat. Menurut
Kuntowijoyo, mengemukakan tentang
bentuk pendidikan politik, yakni
(1) Pendidikan politik formal yakni
pendidikan politik yang
diselenggarakan melalui indoktrinasi,
(2) Pendidikan politik yang dilakukan
secara nonformal, seperti melalui
pertukaran pendidikan melalui mimbar
bebas.
Bentuk pendidikan politik yang
dilakukan secara formal dapat berupa
melakukan edukasi dan seminar di sekolah-
sekolah menengah atas, dengan siswa yang
akan menjadi pemilih pemula yang
merupakan pastisipator dalam kegiatan
tersebut. Dan untuk mereka yang tidak
dalam lingkup pendidikan formal tetap
88 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
dapat dijangkau dengan cara pendidikan
politik secara informal. Adapun yang
menjadi fasilitator dalam hal ini adalah
Bawaslu, KPU, dan Ilmuwan Politik yang
saling bersinergi dan bekerja sama.
Kemudian jika hal tersebut dimasifkan,
jelas akan memberikan solusi terhadap
permasalahan-permasalahan terkait hak
suara pemilih pemula.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh
penulis adalah penelitian hukum normatif.
Penulis mengategorikan ke dalam
penelitian normatif karena substansi dari
tulisan ini berdasar pada analisis terkait
norma hukum yang berlaku dalam Pemilu
maupun Pilkada. Selanjutnya, penulis juga
menggunakan pendekatan konsep politik
untuk menjabarkan sasaran dan mekanisme
yang akurat dalam tulisan ini. Penulis juga
mengaitkan antara konsep dan teori yang
kemudian disusun secara sistematis agar
keterkaitan antara setiap variabel yang
dibahas dalam tulisan ini dapat
dijapaparkan dengan saksama.
3. Perspektif Teori
3.1. Konsep Budaya Politik Demokratis
Budaya politik biasanya berpusat pada
imajinasi/mindset (pikiran dan perasaan)
pada basis individu, yang merupakan dasar
semua tingkah laku politik masyarakat.
Sementara sistem nilai yang hidup di
masyarakat adalah merupakan variable
penting bagi pembentukannya yang
merupakan refleksi terhadap orientasi,
sikap dan perilaku politik masyarakat dalam
merespons setiap objek dan proses politik
yang sedang berjalan sebab nilai tersebut
adalah sebuah kebajikan bagi masyarakat
tersebut. Budaya Politik pada hakikatnya
merupakan lingkungan psikologis dimana
kegiatan-kegiatan politik berlangsung dan
memberikan rasionalisasi untuk dapat
memberikan penolakan atau penerimaan
sejumlah nilai dan norma yang lain. Dalam
kondisi masyarakat Indonesia yang
majemuk, maka kesediaan bangsa untuk
dapat meningkatkan integrasi politik hanya
dapat dimaknai ketika masyarakat bersedia
untuk mempersempit gerakan ikatan-ikatan
primordial yang dicapai melalaui tindakan
sadar, sukarela yang bersumber dari
berbagai komponen masyarakat yang ada.
Jika ditinjau dari budaya politik secara
demokratis yang berlaku di Indonesia, maka
kita menganut budaya politik yang lebih ke
arah partisipan. Di mana masyarakat sudah
memulai melibatkan diri secara intensif
dalam berbagai kegiatan politik yang
berlangsung.Menurut Nazaruddin
Sjamsuddin, pada dasarnya sebuah proses
yang baik akan tercipta dalam kultur yang
lebih baik jika dapat melibatkan tahap
penyerasian antara budaya politik lokal
dengan struktur politik nasional, atau
penataan berbagai struktur politik bangsa
senantiasa mengambil keberagaman
89 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
karakter budaya politik local yang baik
(indegienus local) sehingga dapat
mengurangi resistensi penolakan di
masyarakat.
3.2. Penyalahgunaan Hak Suara
Penyalahgunaan hak suara yang
dimaksud oleh penulis dalam hal ini adalah
segalah bentuk intervensi baik yang
melibatkan unsur money politic ataupun
tidak yang mampu mencederai hak suara
seseorang serta ketika yang perbuatan yang
diatur dalam Pasal 510 -511 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang
ditujukan kepada setiap individu yang resmi
berstatus sebagai pemilih pemula, adapun
penjelasan dari pasal terkait adalah:
Pasal 510
“Setiap orang yang dengan sengaja
menyebabkan orang lain kehilangan
hak pilihnya dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh
empatjuta rupiah). “
Pasal 511
“Setiap orang yang dengan kekerasan,
dengan ancaman kekerasan, atau
dengan menggunakan kekuasaan
yang ada padanya pada saat
pendaftaran Pemilih menghalangi
seseorang untuk terdaftar sebagai
Pemilih dalam Pemilu menurut
Undang-Undang ini dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enamjuta rupiah).”
3.3. Pendidikan Politik
Al-Khumaisi dalam tesis magister-nya
mendefinisikan pendidikan politik sebagai
upaya formal maupun nonformal yang
dicurahkan untuk membantu pada generasi
dan pemuda agar bisa berpikir merdeka
tentang hukum dan kekuasaan, memberikan
penyadaran kepada mereka tentang
persoalan-persoalan kontemporer regional,
nasional maupun internasional dengan
tujuan untuk membentuk dan
menumbuhkan pengetahuan, nilai, dan
organisasi yang menjamin peningkatan
partisipasi politik individu, bingkai falsafah
masyarakat, tujuan-tujuan dan
kemaslahatannya. Dalam buku Political
Education (Patricia) diterangkan bahwa
beberapa argumentasi untuk mendukung
adanya pendidikan politik pada awal
perkembangannya, antara lain
dikemukakan oleh berikut ini:
1. Nicolas Haines, dalam bukunya Person
to Person dia mengajukan pertanyaan
"ada berapa orang dalam masyarakat kita
yang mengetahui bahwa pendidikan
mereka itu dapat membantu membentuk
pikiran mereka tentang isu-isu penting
yang ada di luar bidang mereka? Berapa
banyak orang yang berpendidikan amat
yakin akan perannya yang besar dalam
90 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
kehidupan politik dan sosial? Dalam
pandangan Haines, adanya spesialisasi di
pendidikan tinggi membuat orang
menjadi kurang kompeten dalam bidang
yang ada di luar spesialisasi mereka
sehingga apabila mereka bukan
spesialisasi politik akan membatasi diri
dalam minat kegiatan politik. Akan
tetapi, ternyata masyarakat modern
sangat bergantung pada kelas menengah
berpendidikan yang sedang tumbuh.
Dalam sistem demokrasi setiap orang
harus berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan politik, akan tetapi proses
pendidikan tidak mempersiapkan kelas
profesional untuk kegiatan partisipasi
tersebut.
2. Robert Stradling memberikan bukti
bahwa ternyata lulusan persekolahan
tidak mengetahui masalah politik.
3. Robert Dunn menyatakan bahwa
pendidikan politik di persekolahan
memiliki tempat yang sah dalam
kurikulum sekolah karena pengetahuan
politik merupakan salah satu syarat
mutlak menjadikan warga negara yang
dewasa.
4. Hasil dan Pembahasan
Kenyaataan bahwa negara terbentuk dari
hubungan-hubungan politik membawa
dampak terjadinya proses politik sepanjang
kelangsungan hidup negara. Karena
itu,proses politik yang terjadi baik bentuk
maupun intensitas tidak mungkin dihindari
setiap warga dalam negara. Setiap warga
negara pasti akan berhubungan atau
bersinggungan dengan proses politik, entah
itu disukai atau atau tidak disukai. Ini
menunjukan betapa proses politik memiliki
dampak yang signifikan terhadap
kehidupan setiap warga dalam negara. Oleh
karena itu, udah seyogianya setiap warga
dalam negara untuk mengambil bagian atau
berpartisipasi dalam setiap proses politik
yang terjadi. Sebaliknya Jika warga negara
tidak mengambil bagian dalam proses
politik yang terjadi maka kepentingan
politiknya sebagai warga negara akan
terabaikan.
Di Negara Demokrasi partisipasi politik
warga negara berangkat dari pemahaman
bahwa kedaulatan negara berasal dari
rakyat. Karena itu dalam implementasinya
segala pengambilan keputusan politik harus
melibatkan peran serta rakyat di dalamnya.
Hal tersebut bertujuan agar setiap kebijakan
politik yang nanti dihasilkan benar-benar
merepresentasikan kepentingan rakyat.
Telah dijelaskan di awal bahwa negara
dengan budaya politik demokratis
merupakan negara yang rakyatnya berperan
aktif dalam proses politik dan pesta
demokrasi yang kemudian disebut budaya
politik partisipan. Dalam analisis politik
modern partisipasi politik merupakan suatu
masalah penting, dan akhir-akhir ini banyak
91 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
dipelajari terutama dalam hubungan dengan
negara-negara berkembang. Pada awalnya
mengenai partisipasi politik memfokuskan
diri padapartai politik sebagai pelaku
utama, tetapi dengan berkembangnya
demokrasi banyak muncul kelompok
masyarakat yang juga ingin memengaruhi
proses pengambilan keputusan. Hal
tersebutlah yang dimaksud oleh penulis
sebagai bentuk penyalahgunaan hak suara
di mana pemilih pemula merupakan objek
yang rentan. Ketidaktahuan mereka akan
eksistensi dan nilai luhur dari penggunaan
hak suara membuat para pihak yang tidak
bertanggungjawab dan atas kepentingan
golongan tertentu mengincar generasi muda
ini.
Pada dasarnya perbuatan tersebut sangat
ditentang secara hukum dan HAM,
ditambah lagi bahwa hak suara sangat
dilindungi dan dijamin oleh konstitusi.
Mengapa hak suara khususnya bagi yang
dimiliki oleh pemilih pemula sagat
dilindungi oleh konstitusi? Jawabannya
karena pemilih pemula tersebut memiliki
peranan yang sangat signifikan terhadap
partisipasi politik kedepannya. Adapun
kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai
partisipasi politik ketika menunjukkan
berbagai bentuk dan identitas. orang yang
merupakan generasi muda yang tercederai
atau disalahgunakan hak suaranya dapat
dikategorikan sebagai orang yang
mengikuti kegiatan politik secara tidak
intensif, yaitu kegiatan yang biasanya tidak
berdasarkan prakarsa sendiri. Ketika
peristiwa tersebut terjadi, maka akan
membahayakan keutuhan konsep
demokrasi yang kemudian jika dibudayakan
akan berdampak pada lemahnya daya pilih
dan pemikiran selektif masyarakat dalam
memilih wakil rakyat.
Dalam sejarah demokrasi Indonesia,
perkembangan demokrasi telah mengalami
pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia khususnya generasi
muda adalah bagaimana meningkatkan
kehidupan ekonomi dan membangun
kehidupan sosial politik yang demokratis
dalam masyarakat. Pada variabel
kehidupan ekonomi ini biasanya menjadi
faktor utama generasi mudah dengan rentan
menerima sogokan prapemilu/prapilkada.
Kebutuhan akan materi di usia muda
merupakan penyebab mengapa mereka
dengan mudah dapat terjebak masuk ke
dalam segala sesuatu dengan unsur money
politik. Jelas masalah ini berkisar pada
penyusunan suatu sistem politik dengan
menghindarkan prinsip diktator perorangan
ataupun partai.
Dalam menjawab tantangan-tantangan di
atas, maka diperlukan sebuah regulasi yang
disebut sebagai pendidikan politik yang
harus disinergikan secara masif dengan
melibatkan berbagai elemen terkait yang
92 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
mampu bekerja sama dalam melaksanakan
pendidikan politik ini kepada sasaran yang
tepat yakni pemilih pemula. Adapun yang
perlu dilakukan adalah dengan
mengindahkn beberapa hal yang mengarah
pada pendidikan politik itu sendiri, di
antaranya:
a. Dengan mengandalkan pengaruh
keluarga
Pengaruh keluarga baik yang langsung
maupun yang tidak langsung yang
merupakan struktur sosialisasi pertama
yang dialami seseorang-sangat kuat dan
kekal. Yang paling jelas pengaruh dari
keluarga ini adalah dalam pembentukan
sikap terhadap wewenang kekuasaan
(authority). Keluarga biasanya membuat
keputusan bersama, dan bagi si anak
keputusan yang dibuat itu bisa otoritatif,
dalam arti keengganan untuk mematuhinya
dapat mengundang hukuman.pengalaman
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
keluarga dapat meningkatkan perasaan
kompetensi si anak, memberinya
kecakapan-kecakapan untuk melakukan
interaksi politik,serta membuatnya lebih
mungkin berpartisipasi dengan aktif dalam
sistem politik sesudah menjadi dewasa.
keluarga juga membentuk sikap-sikap
politik masa depan dengan menempatkan
individu dalam dalam dunia
kemasyarakatan luas; dengan membentuk
ikatan-ikatan ethnis, linguistis, religius, dan
kelas sosialnya; dengan memperkuat nilai-
nilai dan prestasi kulturil dan
pendidikannya; dan dengan mengarahkan
aspirasi-aspirasi pekerjaan dan
ekonomisnya.
b. Dengan melibatkan lingkungan sekolah
dan lingkungan pergaulan
Orang yang terpelajar lebih sadar akan
pengaruh pemerintah terhadap kehidupan
mereka, lebih memperhatikan kehidupan
politik, memperoleh lebih banyak informasi
tentang proses-proses politik,dan lebih
kompeten dalam tingkah laku politiknya.
Untuk itu, sekolah harus memberi
pengetahuan kepada kaum muda tentang
dunia politik dan peranan mereka
didalamnya karena sekolah memberi
pandangan yang lebih kongkrit tentang
lembaga lembaga politik dan hubungan-
hubungan politik.
Meskipun sekolah dan keluarga
merupakan sarana yang paling jelasterlibat
dalam proses sosialisasi, ada juga beberapa
unit sosial lain yang bisa membentuk sikap-
sikap politik sesorang. Salah satunya adalah
kelompok pergaulan yang setiap individu
dalam kelompok itu menyesuaikan
pendapatnya dengan teman temannya
mungkin karena ia menyukai atau
menghormati mereka, atau mungkin pula
karena ia ingin sama dengan mereka. Jadi
kelompok pergaulan itu mensosialisasikan
93 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
anggota-anggotanya dengan cara
mendorong atau mendesak mereka untuk
menyesuaikan diri terhadap sikap-sikap
atau tingkah laku yang dianut oleh
kelompok itu. Seseorang mungkin menjadi
tertarik pada politik, atau mulai mengikuti
peristiwa-peristiwa politik karena teman-
temannya berbuat begitu.
c. Peran serta lingkungan pekerjaan
Pekerjaan dan organisasi-organisasi
formil maupun non formil yang dibentuk
berdasarkan lingkungan pekerjaan itu,
seperti serikat buruh, klub sosial, dan yang
yang semacam itu juga merupakan saluran
komunikasi informasi dan keyakinan yang
jelas. Individu-individu
mengidentifikasikan diri dengan suatu
kelompok tertentu, seperti serikat buruh,
dan menggunakan kelompok itu sebagai
“penyuluh”(reference)dalam kehidupan
politik. Mereka mejadi sensitif terhadap
norma-norma kelompok itu dan menilai
tindakan-tindakannya berdasar apa yang
paling baik bagi kelompok itu.
d. Interaksi Politik secara langsung
Tidak peduli betapa positif pandangan
terhadap sistem politik yang telah
ditanamkan oleh keluarga atau sekolah
tetapi bila seseorang diabaikan oleh
partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan
tanpa ditolong, dan dipaksa masuk wajib
militer, pandangannya terhadap dunia
politik sangat mungkin berubah. Partai
politik, kampanye pemilihan umum, krisis-
krisis politik luar negeri dan perang, dan
daya tanggap badan-badan pemerintah
terhadap tuntutantuntutan individu dan
kelompok-kelompok dapat mempengaruhi
kesetiaan dan kesediaan mereka untuk
mematuhi hukum.
Untuk mendukung pola pendidikan
politik tersebut harus pula didukung dengan
pendidikan politik yang langsung
melibatkan lembaga negara. Adapun
lembaga negara yang dimaksud ialah Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Kemudian
Ilmuwan yang menggeluti bidang ilmu
politik juga perlu dilibatkan untuk terjun
langsung dalam menerapkan pendidikan
politik bagi generasi muda sebagai pemilih
pemula dengan mengedepankan
mekanismes sebagai berikut:
a. Pendidikan politik formal yakni
pendidikan politik yang
diselenggarakan melalui indoktrinasi,
b. Pendidikan politik yang dilakukan
secara nonformal, seperti melalu
pertukaran pendidikan melalui mimbar
bebas yang dapat menjangkau mereka
yang tidak mampu mengenyam
pendidikan formal.
94 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
5. Simpulan
Hak suara adalah hak yang sangat
penting dalam dunia politik khususnya bagi
generasi muda sebagai pemilih pemula.
Dalam penerapannya dalam masyarakat,
sangat banyak terjadi penyalahgunaan hak
suara oleh pemilih pemula baik dalam
bentuk penyogokan maupun intevensi
berbau money politic yang dilakukan oleh
oknum yang tidak bertanggung jawab, yang
biasanya disertai dengan unsur ancaman
dan paksaan. Perbuatan tersebut sangat
ditentang secara hukum dan HAM,
ditambah lagi hak suara sangat dilindungi
dan dijamin oleh konstitusi berdasarkan UU
Nomor 7 Tahun 2017. Langkah yang dapat
diambil untuk meminimalisir hal tersebut
adalah dengan adanya pendidikan politik
bagi generasi muda khususnya bagi pemilih
pemula. Adanya pendidikan politik yang
ditujukan kepada pemili pemula bertujuan
untuk memberikan pemahaman yang
efisien mengenai pemenuhan kehendak
dalam memaksimalkan hak suaranya dan
sekaligus menjadi tonggak penggerak
kebijakan politik dan pemerintahan
Indonesia.
Dalam kasus terjadinya penyalahgunaan
hak suara oleh pemilih pemula, disebabkan
oleh beberapa faktor. Faktor utama dari
penyalahgunaan hak suara adalah faktor
ekonomi. Kebutuhan akan materi di usia
muda sekarang ini yang menyebabkan
pemilih pemula sekarang ini mudah
terjebak dalam hasutan money politic.
Namin, perlu diingatkan bahwa output dari
penyalahgunaan hak suara oleh pemilih
pemula nantinya akan memberikan hasil
yang baik bagi kehidupan negara. Oleh
karena itu, diperlukan sebuah regulasi yaitu
pendidikan politik yang harus disinergikan
secara massif kepada generasi muda
pemilih pemula dengan melibatkan
beberapa elemen utama seperti pengaruh
keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan
pergaulan, lingkungan pekerjaan, serta
interaksi politik secara langsung. Elemen-
elemen tersebut merupakan elemen yang
mampu bekerka sama dalam mewujudkan
pendidikan politik bagi pemilih pemula.
Adapun badan lembaga negara yang
dilibatkan untuk mendukung pola
pendidikan politik ini yaitu Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi
Pemilihan Umum (KPU), dan Ilmuwan
yang menggeluti bidang ilmu politik.
Pendidikan politik ini nantinya dapat
dijalankan dengan dua mekanisme yaitu
pendidikan politik formal dan pendidikan
politik informal. Dengan adanya
pendidikan politik bagi pemilih pemula
dapat menjadi tonggak utama bagi
pemaksimalan hak suara rakyat dan
menjadi penunjuk arah bagi kebijakan
politik dan pemerintahan Indonesia yang
baik dan benar.
95 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Budiardjo, Miriam. (2015). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Charda, Ujang. (2018). Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Depok: Rajawali Pers
Ramadhanil, Fadli, dkk. (2019). Perlindungan Hak Memilih Warga Negara di Pemilu 2019 dan
Keterwakilan Perempuan di Lembaga Penyelenggara Pemilu. Jakarta: Perkumpulan untuk
Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan Dukungan Kedutaan Besar Belanda.
Jurnal
Alamsyah, N. M. (2010). Budaya Politik dan Iklim Demokrasi di Indonesia. JURNAL ACADEMICA
Fisip Untad, 2(2), hlm. 413-425.
Bachtiar, F. R. (2014). Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi Sebagai Refresentasi. Jurnal Politik
Profetik, 3(1), hlm. 1-17
Pasaribu, T., Sumadinata, S., Muradi. (2018). Penerapan Pemilu Berintegritas dan Jaminan Kesetaraan
Hak Politik dalam Pendaftaran Pemilih: Studi Kasus Pilkada Samosir 2015. Jurnal Wacana
Politik, 3(2), hlm. 121-128.
Saputra, R. (2017). Partisipasi Politik Pemilih Pemula pada Pemilihan Presiden di Kecamatan Mandau
Kabupaten Bengkalis Tahun 2014. JOM FISIP, 4(1), hlm. 1-12.
Sugianto, B. (2017). Analisis Yuridis Penerapan dan Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu Menurut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Jurnal Al-Adl’, IX(3), hlm. 295-318.
Website
A ffandi, Indrus & Karim Suryadi. Teori dan Konsep dalam Konteks Pendidikan Politik. Diakses pada
tanggan 5 November 2020 pukul 04.23 dari http://repository.ut.ac.id/4009/1/PKNI4423-
M1.pdf
Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
97 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
ELECTION (E-VOTE FOR REGIONAL HEAD'S SELECTION IN RED ZONE):
UPAYA OPTIMALISASI PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI
MASA NEW NORMAL
ELECTION (E-VOTE FOR REGIONAL HEAD'S SELECTION IN RED ZONE):
OPTIMIZING EFFORT ON IMPLEMENTATION
OF REGIONAL HEAD ELECTIONS IN NEW NORMAL
Andi Annisyah Tenri Sanna
Muthia Ayu Pratiwi
Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Jl. Perintis Kemerdekaan KM.10, Tamalanrea Indah, Kec. Tamalanrea, Kota
Makassar, Sulawesi Selatan 90245
E-mail:
Abstract
The implementation of regional head elections is a sacred event in the context of the leadership relay
in regions in Indonesia. Indonesia always carry out regional head elections directly and
simultaneously. This year, the government plans to resume holding regional head elections as usual.
However, it tends to be less applicable consider the current situation, that Indonesia still struggling
against COVID-19 virus. There are still 32 areas designated as red zones or areas with a high rate of
increase of COVID-19 cases. The purpose of this writing is to provide a solution to carry out regional
head elections online as a step to suppress the growth of COVID-19 cases in these red zone areas.
Research method in this paper is to use normative and empirical research methods, namely describing
regulations related to regional head elections and implementation and connecting people's desires and
how ideally regional head elections are held in red zone areas. The results of this study indicate that
there is a significant desire from the citizens to postpone the regional head elections in this 2020 and
there are some areas that are red zones. The solution is that Election Supervisory Agency must
completed the tools to support health protocols, ensure education on how the regional head elections
would be and proclaim an e-vote for regional head's selection in red zone (Election), an online voting
mechanism in the red zone area. Thus, the implementation of regional head elections in the middle of
era new normal will run optimally.
Keywords : Election Supervisory Agency; E-Vote For Regional Head’s Selection In Red Zone
(Election); New Normal; Red Zone; Regional Head Elections.
Abstrak
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah menjadi ajang sakral dalam rangka estafet kepemimpinan di
daerah-daerah di Indonesia. Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia melaksanakan pemilihan kepala
daerah secara langsung dan serentak.Di tahun ini, pemerintah merencanakan untuk kembali
melaksanakan pemilihan kepala daerah seperti biasanya.Namun, hal ini tentu cenderung kurang dapat
diaplikasikan jika melihat situasi saat ini yakni negara Indonesia yang masih berjuang melawan virus
COVID-19. Di era new normal ini masih terdapat 32 daerah yang ditetapkan sebagai zona merah atau
wilayah dengan angka kenaikan kasus COVID-19 yang tinggi.Maka tujuan dari penulisan ini adalah
memberikan solusi untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara daring sebagai langkah
menekan pertumbuhan kasus COVID-19 di daerah-daerah zona merah tersebut.Dengan demikian
metode penelitian dalam tulisan ini yakni menggunakan metode penelitian normatif dan empiris yakni
menjabarkan regulasi-regulasi terkait pemilihan kepala daerah dan pelaksanaan serta mengaitkan antara
keinginan masyarakat dan bagaimana idealnya pemilihan kepala daerah dilaksanakan di daerah zona
98 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
merah.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat keinginan yang signifikan dari masyarakat
agar pelaksanaan pemilihan kepala daerah ditunda di tahun 2020 ini dan masih terdapat beberapa daerah
yang merupakan zona merah. Solusinya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara
harus lebih mengoptimalisasi kelengkapan alat untuk menunjang protokol kesehatan dan memasifkan
edukasi awal mengenai akan bagaimana pelaksanaan pemilihan kepala daerah nantinya serta
mencanangkan e-vote for regional head’s selection in red zone (Election) yang merupakan mekanisme
pemilihan secara daring di wilayah zona merah. Dengan demikian pelaksanaan pemilihan kepala daerah
di tengah masa new normal ini akan berjalan secara optimal dan dapat menekan pertumbuhan kasus
COVID-19.
Kata Kunci : Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu); E-Vote For Regional Head’s Selection In Red Zone
(Election); New Normal; Pemilihan Kepala Daerah; Zona Merah.
1. Pendahuluan
Konsep demokrasi menempatkan
kedaulatan tertinggi berada di tangan
rakyat, begitulah amanat konstitusi yang
menginginkan seluruh warga Negara
berperan serta secara aktif dalam memilih
pemimpin. Dalam Undang–Undang Dasar
1945 Pasal 1 Ayat (2), yang berbunyi:
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang–undang
dasar”, kaidah undang–undang
menerangkan jika praktik kedaulatan
diterjemahkan dalam bentuk partisipasi
rakyat dalam pemilihan langsung di
berbagai level pemerintahan, mulai dari
memilih pemimpin negara, pemimpin
daerah, hingga memilih anggota perwakilan
rakyat.
Sebagai suatu sistem politik, demokrasi
telah menempati stratum teratas yang
diterima oleh banyak negara karena dalam
hal ini dianggap mampu untuk mengatur
dan menyelesaikan persoalan hubungan
sistem dan politik, baik yang melibatkan
kepentingan hubungan antar individu dalam
bermasyarakat, hubungan antar masyarakat,
masyarakat dan negara maupun antar
negara lain. Sebagai sebuah konsep,
demokrasi memiliki makna luas dan
mengandung banyak elemen yang
kompleks. Demokrasi adalah suatu metode
politik, sebuah mekanisme untuk memilih
pemimpin politik. Warga negara diberi
kesempatan untuk memilih salah satu
diantara pemimpin-pemimpin politik yang
bersaing meraih suara (David, 1989).
Kemampuan untuk memilih diantara
pemimpin-pemimpin politik pada masa
pemilihan inilah yang disebut demokrasi.
Dalam praktik ketatanegaraan dewasa
ini, partisipasi dalam konsep kedaulatan
rakyat diterjemahkan dalam bentuk praktik
demokrasi langsung (direct democracy)
yang benar–benar memposisikan
masyarakat secara total dalam proses
penentuan seorang pimpinan pemerintahan
dalam berbagai tingkatan. Ajang
pelaksanaan demokrasi langsung dapat
terlihat dari pesta demokrasi di level
99 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
pemerintahan lokal atau daerah, disitulah
masyarakat diajak berpartisipasi langsung
untuk menentukan masa depan di
daerahnya masing-masing (Simamora,
2011). Dalam pemilihan kepala daerah
secara langsung ini telah berlangsung sejak
tahun 2005, yang didasarkan pada
ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 dengan
berlandaskan pada ketentuan Pasal 18 ayat
(4) UUD NRI 1945 yang menentukan
bahwa Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis. Apabila
dicermati, sesunggunnya konteks dipilih
secara demokratis yang ada pada ketentuan
Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tersebut
tidak menegaskan keharusan bahwa
Gubernur, Bupati dan Walikota harus
dipilih melalui suatu pemilihan yang
dilaksanakan secara langsung.
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah secara langsung yang akan
dilaksanakan serentak di tengah kondisi
new normal (era kebiasaan baru) telah
diatur dalam Instrumen dalam pemilihan
kepala daerah dijelaskan dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
saat ini layak untuk dipertimbangkan
kembali. Pemilihan secara langsung saat ini
tentu memiliki tingkat resiko yang cukup
tinggi. Hal ini akan sangat berdampak
buruk, mengingat jumlah kasus penyebaran
COVID-19 masih terus mengalami
peningkatan.Di sisi lainpendidikan politik
terhadap masyarakat terbatasi dengan
pandemi saat ini. Padahal I Gede Hendra
Juliana, yang menjadi pemantik Indonesian
Controlling Community (ICC)
menyebutkan kekhawatirannya jika
penyelenggara tidak melakukan sosialisasi
dan edukasi terhadap warga terkait prosedur
serta tata cara pemilihan di musim pandemi,
tentu hal ini bisa menjadikan penyebaran
COVID-19 akan semakin masif. Selain itu,
pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
di tengah pandemi ini juga akan
menyebabkan naiknya anggaran Pilkada
karena setiap TPS pasti membutuhkan Alat
Kesehatan (Alkes) seperti Alat Pelindung
Diri (APD). Ketua Komisi II DPR Ahmad
Doli Kurnia Tandjung mengatakan, dari
sekian nominal angka anggaran yang
diajukan KPU, Bawaslu dan DKPP adalah
80 hingga 90 persen itu untuk alat kesehatan
yang dibutuhkan. Selain itu, penambahan
jumlah TPS yang mencapai sekitar 690
TPS, ada aturan pembatasan jumlah pemilih
per TPS, dari 800 orang dikurangi menjadi
500 orang per TPS akan koheren dengan
peningkatan anggaran. Permasalahan-
100 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
permasalahan tersebut menjadikan perlu
inovasi pemilihan kepala daerah yang
konstitusional tanpa menegasikan
kesehatan masyarakat di era pandemi saat
ini.
2. Metode Penelitian
Metode pada artikel ini menggunakan
jenis penelitian empiris yang didukung
dengan pendekatan penelitian berupa studi-
studi empiris untuk menemukan teori-teori
mengenai proses terjadinya dan mengenai
proses bekerjanya hukum di dalam
masyarakat. Kajian empiris memandang
hukum sebagai kenyataan yang mencakup
kenyataan sosial, kultur. Penelitian empiris
atau hukum sosiologis, data yang diteliti
terlebih dahulu adalah data sekunder yang
dilanjutkan dengan penelitian terhadap data
primer lapangan atau terhadap masyarakat
(Soerjono Soekanto).
Pengumpulan data dalam studi pustaka
ini dilakukan penelitian dengan cara
mempelajari dan mengumpulkan data yang
berhubungan dengan objek penelitian.
Data-data tersebut diperoleh dari buku-
buku kepustakaan, peraturan perundang-
undangan, browsing internet, dan dokumen-
dokumen lainnya. Dalam hal ini peneliti
mencari buku-buku yang dibutuhkan.
Penelitian hukum empiris, yang
digunakan oleh Soetandyo
Wignyosoebroto, yaitu penelitian doktrinal
dan penelitian non-doktrinal. Perbedaan
yang tampak pada hukum normatif ialah
pada sisi peristilahan, bukan pada sisi
substansi. Pertama, Penelitian hukum
empiris, hukum dikonsepsikan sebagai
sebuah gejala sosial yang dipengaruhi oleh
variabel-variabel sosial lainnya dan
sekaligus merupakan determinan
mempengaruhi perilaku individu atau
kelompok masyarakat kearah perilaku yang
lebih diinginkan. Kedua, Menekankan pada
langkah-langkah observasi dengan model
analisis empiric-kuantitatif. Ketiga,
Menjadikan data primer sebagai data dasar
penelitian, karena data primer yang dapat
menggambarkan perilaku individu atau
kelompok sebagai sasaran penelitian dalam
penelitian hukum empiris. Keempat,
Mengutamakan teknik probability
sampling.
3. Perspektif Teori
3.1 Konsep Demokrasi di Indonesia
Demokrasi adalah sebuah bentuk
pemerintahan oleh rakyat.Jika dirunut
secara historis, konsep demokrasi awalnya
dikemukakan oleh Socrates. Kemudian,
Plato memberikan kritik terhadap
demokrasi di Athena yang dipandangnya
sebagai sebuah kemerosotan akibat
kekalahan kota dalam perang melawan
Sparta dan pembusukan korlaitas
kepemimpinan. Di Athena, demokrasi
berarti pemerintahan oleh mayoritas kaum
miskin. Plato mengungkapkan bahwa
101 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
hukum tidak akan dihormati, tetapi akan
dilihat sebagai serangan terhadap
kebebasan rakyat, menimbulkan tirani,
kekacauan dan memberi jalan bagi
pemerintahan yang diktator. Solusi yang
ditawarkan oleh Plato adalah menganjurkan
pemerintahan oleh orang yang bijak, terlatih
dan terpelajar. Pemikiran Plato kemudian
dikembangkan oleh muridnya, Aristoteles
mengembangkan pendapat Plato dengan
memperdebatkan ruang bagi pengaruh
rakyat misalnya dalam pembuatan undang-
undang. Aliran pemikiran baru tentang
demokrasi yang berdasarkan pada
masyarakat modern tidak pernah muncul
hinggga abad ke-19 sampai pada masa
Rennaisance. Pada jaman Rennaisance
tersebut kemudian mulai terbentuk konteks
pembangunan masyarakat industrialis-
kapitalis-modern. Di jaman tersebut mulai
terdapat sumbangan pemikiran dalam
perdebatan tentang demokrasi yang tujuan
pokoknya adalah gambaran mengenai
wajah demokrasi dalam konteks modern.
Pengertian demokrasi secara sempit
dirumuskan oleh Joseph Schumpeter
sebagaimana dikutip dalam Held yang
menyatakan bahwa: demokrasi secara
sederhana merupakan sebuah metode
politik, sebuah mekanisme untuk memilih
pemimpin politik. Warga negara diberikan
kesempatan untuk memilih salah satu di
antara pemimpin-pemimpin politik yang
bersaing meraih suara.Di antara pemilihan,
keputusan dibuat oleh politisi.Pada
pemilihan berikutnya, warga negara dapat
mengganti wakil yang mereka pilih
sebelumnya. Kemampuan untuk memilih di
antara pemimpinpemimpin politik pada
masa pemilihan inilah yang disebut dengan
demokrasi. Singkatnya, Schumpeter hendak
menjelaskan bahwa metode demokratis
adalah penataan kelembagaan untuk sampai
pada keputusan politik di mana individu
meraih kekuasaan untuk mengambil
keputusan melalui perjuangan kompetitif
untuk meraih suara.
Demokrasi yang berasal dari Yunani
“demos” yang berarti “rakyat”
menekankan bahwa sesungguhnya
kekuasaan kekuasaan dalam demokrasi
adalah berada di tangan rakyat. Dari
pemaknaan yang sama dan karenanya
universal, demokrasi substansial telah
memberikan daya pikat normatif yaitu
dalam demokrasi harusnya berkembang
nilai kesetaraan, keragaman, penghormatan
atas perbedaan, kemanusiaan, kebebasan,
tanggungjawab, kebersamaan, dan
sebagainya. Di sisi lain, sebagai suatu
sistem politik, demokrasi juga mengalami
perkembangan dalam implementasinya.
Banyak model demokrasi hadir dan
semuanya tidak terlepas dari ragam
perspektif pemaknaan demokrasi
substansial. Demokrasi berkembang dalam
berbagai model antara lain terkait dengan
kreativitas para aktor politik di berbagai
102 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
tempat dalam mendesain praktik demokrasi
prosedural sebagai kultur, sejarah dan
kepentingan.
Landasan filosofis yuridis yang
mendasari dinamika perdebatan Pilkada
adalah bunyi Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah
dipilih secara demokratis.
3.2 Dasar Juridis Pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah, pada dasarnya merupakan
konsekuensi pergeseran konsep otonomi
daerah, berikut diajukan tinjauan hukum
tentang pemilihan kepala daerah menurut
peraturan perundang-undangan, baik
menurut undang-undang maupun aturan
pelaksananya.Gagasan pemilihan Kepala
Daerah secara langsung lahir dari keinginan
agar Kepala Daerah yang terpilih benar-
benar representatif. Artinya seorang
Gurbenur atau Bupati misalnya, terpilih
atau dipilih bukan hasil rekayasa politik
atau produk “kongkalikong”, yang pada
akhirnya Kepala Daerah bukanlah hasil
keinginan rakyat yang sebenarnya.
Pemilihan Kepala Daerah secara sederhana
dapat dikatakan sebagai penyeleksian
rakyat terhadap tokoh-tokoh yang
mencalonkan diri sebagai kepada daerah,
baik Gubernur ataupun Walikota (Adhani,
2019).
Berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa
Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
Dalam undang-undang ini, Pilkada
(Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah) belum dimasukkan dalam
rezim Pemilihan Umum (Pemilu). Pilkada
pertama kali diselenggarakan pada bulan
Juni 2005. Peraturan lain yang terkait
dengan Pilkada adalah:
a. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan Atas UndangUndang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi
UndangUndang;
c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
103 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Pengangkatan dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2005 tentang Perbahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
f. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020
tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang 1 tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1
tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota.
Pilkada diselenggarakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi
oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum
(Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu
Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh
Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh
Komisi Independen Pemilihan (KIP)
dengan diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Dalam melaksanakan tugasnya pun juga,
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
menyampaikan laporan penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah kepada DPRD.Dalam mengawasi
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia
pengawas pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang keanggotaannya
terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan,
perguruan tinggi, pers, dan tokoh
masyarakat. Anggota panitia pengawas
berjumlah lima orang untuk provinsi, lima
orang untuk kabupaten/kota dan tiga orang
untuk kecamatan.
Pemantauan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah dapat
dilakukan oleh pemantau pemilihan yang
meliputi lembaga swadaya masyarakat, dan
badan hukum dalam negeri yang harus
mendaftarkan, dan memperoleh akreditasi
dari KPUD, tetapi harus memenuhi
persyaratan yang meliputi:
a. bersifat independen; dan
b. mempunyai sumber dana yang jelas.
Selain itu, pemantau pemilihan wajib
menyampaikan laporan hasil
pemantauannya kepada KPUD paling
lambat tujuh hari setelah pelantikan kepala
daerah dan wakil kepala daerah terpilih.
Pemantau pemilihan wajib mematuhi segala
peraturan perundang-undangan. Pemantau
pemilihan yang tidak memenuhi kewajiban
dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan
dicabut haknya sebagai pemantau
pemilihan dan/atau dikenai sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan.
104 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
3.3 Konsep New Normal
New normal merupakan sebuah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan
kondisi yang berbeda dengan kondisi
sebelumnya yang pada akhirnya akan
menjadi suatu hal lumrah yang baru. New
normal hadir untuk memastikan respons
berbagai aspek dalam masyarakat yang
dimulai dari makro, meso, dan mikro dan
efisiensi adaptasi terhadap perubahan yang
terjadi. Hal ini akan memastikan kesiapan
masyarakat dalam membangun kembali
apa yang telah dibuat rubuh oleh suatu krisis
maupun pandemi dengan kondisi yang lebih
kuat (Buheji & Ahmed, 2020). Sebenarnya,
new normal merupakan istilah yang telah
digunakan jauh sebelum terjadinya
COVID-19, yang dimana istilah tersebut
muncul pada sektor ekonomi setelah
terjadinya krisis ekonomi (Davis, 2009).
Kendati begitu, dalam konteks pandemi,
new normal juga diartikan sebagai
perubahan yang terjadi pada perilaku
manusia yang akan terjadi pada pasca
pandemi COVID-19, dimana manusia akan
cenderung lebih membatasi sentuhan fisik
dan juga akan cenderung lebih berjauhan
dengan sesama (Griffith, 2020).
Wiku Adisasmita selaku Ketua Tim Pakar
Gugus Tugas Percepatan Penanganan
COVID-19 menegaskan bahwa masyarakat
harus merubah pola hidup serta perilaku
menjadi lebih sehat setiap hari agar dapat
meminimalisir transmisi penyakit COVID-
19 sampai ditemukannya vaksin yang tepat
(WHO, 2020). Dalam segi infrasturktur
teknologi informasi dan komunikasi,
daerah-daerah yang memiliki infrastruktur
informasi yang lebih maju, akan lebih
mudah dalam mendistribusikan informasi
mengenai dampak penyebaran COVID-19
terutama karena adanya media sosial yang
sudah disisipkan fitur untuk memantau
perkambangan kasus COVID-19 di dunia
dan juga Indonesia (Sampurno,
Kusumandyoko, & Islam, 2020).
Selain itu, penambahan kasus COVID-
19 yang semakin melonjak setiap harinya
juga akan menjadi hambatan pada sektor
kesehatan. New normal memang seiring
pula dengan penerapan protokol kesehatan
pada kehidupan sehari-hari penduduk
Indonesia, namun ketaatan terhadap
protokol tersebut tidak dapat dijamin, atau
dengan kata lain, akan terdapat penduduk
Indonesia yang mengabaikan protokol
kesehatan tersebut dan daripadanya akan
menambahkan jumlah kasus COVID-19
yang akan menjadikan berbagai daerah
menjadi zona merah dan dapat berpotensi
pada timbulnya second wave.
3.4 Teori Kesejahteraan Rakyat
Membangun negara kesejahteraan,
menjadi obsesi banyak negara baru
terutama di Asia yang merdeka setelah
Perang Dunia II. Beberapa negara seperti
Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura,
105 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
telah cukup berhasil membangun negara
kesejahteraannya (Triwibowo & Bahagio,
2006:xvii). Demikian pula, negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
1945, didesain sebagai Negara
Kesejahteraan (welfare state). Menurut
Pierson (2007:9), kata kesejahteraan
(welfare) di dalamnya paling tidak
mengandung tiga subklasifikasi, yakni: (1)
Social welfare, yang mengacu kepada
penerimaan kolektif kesejahteraan; (2)
Economic welfare, yang mengacu kepada
jaminan keamanan melalui pasar atau
ekonomi formal; dan (3) State welfare, yang
mengacu kepada jaminan pelayanan
kesejahteraan sosial melalui agen dari
negara.
Konsep kesejahteraan dikembangkan
menjadi lebih luas dibandingan sekedar
mengukur aspek pendapatan
nominal.Kesejahteraan adalah standard
living, wellbeing, welfare, dan quality of
life. Kesejahteraan sebagai kualitas
kepuasan hidup yang bertujuan untuk
mengukur posisi anggota masyarakat dalam
membangun keseimbangan hidup
mencakup antara lain, (a) kesejahteraan
materi, (b) kesejahteraan bermasyarakat, (c)
kesejahteraan emosi, (d) keamanan
(Brudeseth, 2015).
Ukuran lainnya kesejahteraan adalah
proporsi pengeluaran untuk
pangan.Kesejahteraan merupakan
pencerminan dari kualitas hidup manusia
(quality of human life), yaitu suatu keadaan
ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta
terealisasikannya nilai-nilai hidup. Istilah
kesehatan sosial keluarga dan kesejahteraan
sosial keluarga bagi keluarga yang dapat
melahirkan individu dengan pertumbuhan
dan perkembangan yang baik.
Pada kondisi new normal COVID-19
tidak hanya berdampak terhadap sektor
kesehatan publik, tetapi juga banyak sektor
lain mulai dari ekonomi, pendidikan,
budaya, sosial, politik, hingga
pemerintahan. Secara khusus dalam bidang
politik, menurut Kennedy & Suhendarto
(2020), pandemi COVID-19 telah
mengakibatkan pemilihan kepala daerah
(pilkada) 2020 mengalami penurunan
tingkat kesejahteraan masyarakat. Pew
Research Center di Amerika Serikat baru-
baru ini juga menunjukkan bahwa di tengah
dominannya isu krisis kesehatan ternyata
publik masih lebih concern terhadap
masalah ekonomi. Bahkan, isu ekonomi dan
kesehatan mengalahkan isu terkait politik.
Pandemi COVID-19 telah membuat
masyarakat dan sistem politik berada pada
tingkat stress yang tinggi. Kondisi ini rentan
memicu konflik horizontal.Krisis ekonomi
akibat COVID-19 bisa menjadi benih
gejolak sosial di daerah. Belum lagi,
sebagai imbas dari pilkada, kalangan elite
politik seringkali mengeksploitasi kondisi
tersebut demi kepentingan kekuasaan. Hal
106 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
ini yang membuktikan tingkat
kesejahteraan masyarakat tergolong rendah.
4. Hasil dan Pembahasan
Ditemukannya 60 orang bakal calon
kepala daerah yang positif terpapar
COVID-19 menjadi indikasi awal
(kompas.com, 2020). Calon kepala daerah
yang terpapar ini berasal dari 21 provinsi
dari 32 provinsi yang akan menggelar
Pilkada Serentak. Data ini disampaikan
langsung oleh Ketua KPU RI, Arief
Budiman pada Rapat Kerja Komisi II
dengan Menteri Dalam Negeri, KPU,
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) pada 10 September 2020. Selain
itu, tahapan pilkada mulai dari pendaftaran
calon telah menyebabkan terjadinya
kerumunan massa, ditambah lagi dengan
bakal calon yang seringkali mengabaikan
protokol kesehatan. Ratusan bakal calon
kepala daerah terindikasi melanggar aturan
protokol kesehatan COVID-19, seperti
membawa massa, berkumpul, dan
melakukan arak-arakan saat mendaftar ke
KPU, seperti yang terjadi di Kota Surabaya.
Munculnya klaster baru dalam dua minggu
pasca-proses, menjadi tidak terhindarkan.
Tidak hanya itu, Pilkada Serentak 2020
juga diprediksi akan mengalami degradasi
kualitas yang disebabkan oleh turunnya
angka partisipasi masyarakat sebagaimana
yang dilansir dalam Tempo, bahwasanya
pada jajak pendapat yang digelar tempo.co
pada 21-28 September 2020, dari 1.445
responden, sebanyak 1.294 orang atau
89,55 persen setuju Pilkada 2020 ditunda
(Tempo.co, 2020). Partisipasi masyarakat
menurun sebagai dampak pandemi yang
menimbulkan kekhawatiran dalam diri
masyarakat apabila ingin ikut berpartisipasi
dalam setiap tahapan atau proses Pilkada,
termasuk dalam menyalurkan hak pilihnya
di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada
hari pelaksanaan Pilkada Serentak.
Setidaknya ada 3 perubahan mendasar
yang diatur dalam Perppu No. 2 Tahun
2020, Pertama, Pasal 120 yang menyatakan
faktor bencana non-alam sebagai alasan
penundaan rangkaian pilkada. Kedua, Pasal
122 A berkenaan dengan penundaan dan
penetapan pilkada lanjutan ditetapkan
berdasarkan kesepakatan Pemerintah, DPR
RI, dan KPU. Ketiga, Pasal 201A pilkada
yang pada awalnya akan dilaksanakan pada
bulan September 2020 ditunda dan akan
diselenggarakan pada bulan Desember
2020, dengan alasan bencana non-alam
pandemi COVID-19. Apabila pada bulan
Desember 2020 pilkada belum dapat
dilakukan, maka bisa ditunda kembali
sesuai ketentuan yang tercantum pada Pasal
122A. Namun demikian, menurut Yang dan
Ren (2020), Pasal 201A Perppu No. 2
Tahun 2020 sebagai open legal
policy (kebijakan hukum terbuka) masih
107 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
memungkinkan terjadinya perubahan, yakni
penundaan kembali pilkada lanjutan apabila
situasi pandemi COVID-19 belum mereda.
Dalam penyelenggaraan pilkada, kita
dapat belajar dari negara-negara yang
sukses menyelenggarakan pemilu di tengah
pandemi. Terhitung sejak 21 Februari 2020
hingga 7 Mei 2020 terdapat sembilan
negara yang telah menyelenggarakan
pemilu, diantaranya adalah Singapura,
Jerman, Prancis, Mongolia, dan Korea
Selatan (International Institute for
Democracy and Electoral Assistance,
2020). Setiap negara memiliki mekanisme
dan tata cara tersendiri yang diterapkan
selama pandemi. Ada yang melaksanakan
pemilihan dengan protokol kesehatan
COVID-19 secara ketat, pemilihan lewat
kantor pos atau elektronik, ada juga yang
memakai teknologi termasuk saat
rekapitulasi suara. Bahkan ada negara yang
membuat tempat pemungutan suara khusus
untuk kelompok usia rentan 60 tahun ke
atas. Sementara Indonesia memilih untuk
menggunakan protokol kesehatan.
Kematangan mekanisme, ketersediaan
APD, ketersediaan dan ketercukupan
anggaran demi suksesnya penyelenggaraan
pemilihan, serta berbagai antisipasi apabila
dibutuhkan, harus dipersiapkan dengan
matang. Negara benar-benar harus hadir
dalam menjamin kesuksesan pilkada dan
keselamatan warga negara dengan harapan
proses penyelenggaraan dari awal hingga
pemungutan suara dapat berjalan dengan
lancar dan sukses, serta masyarakat juga
tetap aman dari COVID-19. Selanjutnya,
Bawaslu sebagai representasi
penyelenggara pemilu perlu untuk
melakukan sosialisasi kepada masyarakat
mengenai bagaimana mekanisme
pelaksanaan Pilkada serentak 2020 nantinya
yang tidak akan seperti Pilkada sebelumnya
dan tentunya mengedepankan protokol
kesehatan. Sehingga dengan adanya
pengetatan protokol kesehatan dalam
pelaksanaan Pilkada, tentu Pilkada dapat
dilaksanakan secara optimal.
Di sisi lain, fakta bahwasanya masih
terdapat beberapa daerah di Indonesia yang
tergolong rawan untuk diadakan Pilkada
atau disebut zona merah menjadi tanggung
jawab besar bagi pemerintah untuk
kemudian mencanangkan mekanisme lain
dalam pelaksanaan Pilkada. Walau
tergolong sedikit, yakni sebanyak 32
kabupaten atau kota (Kompas.com, 2020)
atau hanya 6,2% dari total kabupaten atau
kota yang ada di Indonesia, namun sistem
zonasi ini sangat mencerminkan bagaimana
penurunan kasus di daerah tersebut (CNN
Indonesia, 2020), sehingga semakin sedikit
angka penurunan kasus atau sederhananya
selalu meningkatnya kasus di daerah
tersebutlah yang menjadi dasar
ditetapkannya daerah tersebut sebagai zona
108 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
merah. Hal ini mengindikasikan bahwa
akan menjadi suatu hal yang riskan ketika
pelaksanaan Pilkada dilaksanakan secara
langsung atau luring di daerah tersebut.
Sehingga sistem E-Vote atau pemilihan
secara daring menjadi solusi yang solutif
untuk menjawab hal tersebut. Sistem ini
tidak semerta-merta diterapkan tanpa
adanya edukasi awal, melainkan terlebih
dahulu dimasifkan melalui media penyiaran
yang ada bahwasanya pelaksanaan Pilkada
untuk zona merah akan dilaksanakan secara
daring, dalam hal ini tentu melibatkan peran
besar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
dan Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo) yang
berkoordinasi dengan stasiun televisi, radio,
serta melakukan pengadaan iklan-iklan di
aplikasi seperti You Tube, Spotify, serta
Netflix, hal ini dilakukan agar mencapai
penyebaran informasi yang lebih masif
mengingat telah menurunnya minat
masyarakat untuk menonton televisi
konvensional dan mendengarkan radio,
Pemerintah Daerah setempat juga akan
memasifkan informasi mengenai hal ini.
Kemudian, dalam tahap pendaftaran,
calon pemilih akan mengisi pada format
pendaftaran yang ada di dalam web yang
telah disediakan, akan ada kewajiban bagi
calon pemilih untuk menulis nama lengkap,
nomor telepon serta mengunggah dokumen
pindaian Kartu Keluarga serta Kartu Tanda
Penduduk mereka, untuk menjamin
keaslian dokumen tersebut serta menjaga
kerahasiaan informasi, tahapan pendaftaran
ini juga melibatkan Bawaslu berkoordinasi
dengan Direktorat Jenderal Kependudukan
dan Pencatatan Sipil dan Badan Siber dan
Sandi Negara.
Dalam proses pelaksanaan, akan
dikirimkan kode tertentu ke nomor telepon
pemilih yang telah mereka tulis di laman
pendaftaran, kode ini bersifat rahasia dan
hanya satu kali pakai, sehingga tidak akan
ada penyalahgunaan hak suara dalam proses
E-Vote ini. Bersamaan dengan dikirimkan
kode tersebut, dikirimkan pula tautan untuk
mengakses web pemilihan. Di dalam web
nantinya hanya akan berisi foto pasangan
calon Kepala Daerah dan Wakil Kepada
Daerah yang dapat diklik untuk dipilih.
Setelahnya, akan terdapat tulisan bahwa
pemilih telah memilih pasangan calon
nomor tersebut dan tidak akan ada pilihan
untuk kembali, hanya akan terdapat pilihan
‘OK’ dan pemilih akan kembali ke tampilan
pesan di gawai mereka, pesan yang
memberikan tautan untuk mengakses web
tersebut. tentunya, tahap ini pun diawasi
oleh Bawaslu. Setelah semua proses
tersebut terlaksana, Bawaslu yang
kemudian akan menyimpan hasil perolehan
suara untuk kemudian ditindaklanjuti dalam
proses perhitungan suara.
109 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Mekanisme tersebut tentu akan efektif
untuk mengurangi potensi penyebaran
COVID-19 dan tentunya langkah ini
tidaklah inkonstitusional mengingat hak
untuk memperoleh kehidupan yang sehat
juga merupakan hak konstitusional warga
negara, selain itu mekanisme ini juga tidak
berkontradiksi dengan tujuan pelaksanaan
Pilkada mengingat salah satu penentu
Pilkada Serentak 2020 adalah lahirnya
pemimpin-pemimpin yang berkualitas, adil,
bijaksana, dan demokratis pasca COVID-
19. Ini tentu menjadi harapan kita semua,
pemimpin-pemimpin baru yang nanti
diharapkan akan mampu bekerjasama serta
berkolaborasi dengan pemerintah pusat agar
membawa masyarakat keluar dari krisis
akibat COVID-19, sehingga kita bisa keluar
dari tantangan dan tampil menjadi bangsa
pemenang serta mencapai Indonesia maju.
5. Simpulan
Sebagai negara demokrasi, Indonesia
akan tetap mengadakan pemilihan kepala
daerah untuk melanjutkan atau menggilir
kepemimpinan di daerah di Indonesia.
Penyelenggaran pemilihan kepada daerah
sebelumnya telah mengimplementasi
penjunjungan atas hak rakyat dalam
memilih kepala daerahnya. Namun, di era
new normal ini, masih terdapat 32 wilayah
yang ditetapkan sebagai wilayah zona
merah.Hal inilah yang menjadi tantangan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah di
tahun 2020 ini. Pemerintah dihadapkan oleh
dua pilihan yang tentunya harus sama-sama
diutamakan; kedemokratisan dan
keselamatan masyarakat. Di sisi lain, proses
ini harus tetap berjalan untuk keberlanjutan
pemerintahan daerah. Namun di sisi lain,
hal ini tentu akan memperparah kondisi di
wilayah zona merah, karena salah satu
indikator wilayah ditetapkan sebagai
wilayah zona merah yakni tingginya angka
kenaikan kasus COVID-19
Penjaminan akan dua hal tersebut
menjadi fokus utama untuk saat ini, dengan
memanfaatkan kecanggihan teknologi yang
ada dan mengerahkan sistem pengawasan
yang baik, tentunya proses pemilihan
kepala daerah di wilyah zona merah dapat
dilaksanakan secara daring. Untuk itu,
penulis menawarkan solusi yaitu E-Vote for
Regional Head’s Selection in Red Zone
(ELECTION) yang dijalankan melalui
tahap persiapan, pendaftaran, pelaksanaan
dengan melibatkan elemen-elemen yang
memiliki kompetensi dalam aspek-aspek
pada tahapan tersebut.
110 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hani Adhani. (2019). Sengketa Pilkada: Penyelesaian dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Depok: RajaGrafindo Persada.
Irwansyah., Ahsan, Y. (2020). Penelitian Hukum: Pilihan Metode & Praktik Penulisan Artikel.
Yogyakarta: Mirra Buana Media.
Jurnal
Arifulloh, A. (2016). Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis Damai dan Bermartabat.Jurnal
Pembaharuan Hukum.3 (3), hlm.301-311. http://dx.doi.org/10.26532/iph.v3i3.1376.
Irawan, B. (2007). Perkembangan Demokrasi di Negara Indonesia.Jurnal Hukum dan Dinamika
Masyarakat.5 (1), hlm.54-64.http://203.89.29.50/index.php/hdm/article/viewFile/312/364.
Sukmana, O. (2016). Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan (Welfare State).Jurnal Sospol, 2 (1)
Hlm. 103-122.http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sospol/article/view/4759/4900.
Internet
Arista Rmadhani, B. (2020, September). Pilkada Saat Pandemi COVID-19, Pengamat: e-Voting Bisa
Jadi Solusi. Diakses dari https://jateng.suara.com/read/2020/09/23/073024/pilkada-saat-
pandemi-covid-19-pengamat-e-voting-bisa-jadi-solusi?page=all.
Fajar, WH. (2020, Mei).Mengenal Konsep New Normal.Diakses dari
https://indonesia.go.id/ragam/komoditas/ekonomi/mengenal-konsep-new-normal.
Gustav Rizal, J. (2020, Oktober). 32 Daerah di Indonesia Berstatus Zona Merah COVID-19, Mana Saja?.
Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/23/183100165/32-daerah-di-
indonesia-berstatus-zona-merah-covid-19-mana-saja-?page=all.
Hayat, Nurul. (2020, September).Pakar: "E-voting" belum bisa dilakukan pada Pilkada 2020. Diakses
dari https://www.antaranews.com/berita/1742057/pakar-e-voting-belum-bisa-dilakukan-pada-
pilkada-2020.
Herlan, U. (2020, Juni).Benarkah Pilkada 2020 di Era New Normal Sangat Beresiko?.Diakses dari
https://jurnalsukabumi.com/2020/06/14/benarkah-pilkada-2020-di-era-new-normal-sangat-
beresiko/.
111 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Imandiar, Y. (2020, Oktober).Ketua MPR Ingin Pilkada & Pemilu Pakai e-Voting buat Cegah
Kericuhan.Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-5219714/ketua-mpr-ingin-pilkada--
pemilu-pakai-e-voting-buat-cegah-kericuhan.
Kholis, N. (2020, September).Pilkada Serentak 2020: Antara Demokrasi dan Kesehatan Publik. Diakses
dari http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-sains-kebijakan/1417-pilkada-
serentak-2020-antara-demokrasi-dan-kesehatan-publik.
Novellno, A. (2020, Juli).Syarat Daerah Ditetapkan Zona Merah Corona di Indonesia.Diakses dari
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200727201252-20-529522/syarat-daerah-
ditetapkan-zona-merah-corona-di-indonesia.
Puspa Sari, H. (2020, Juni).Komisi II: Penambahan Anggaran Pilkada Untuk Pengadaan Alat Kesehatan.
Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/06/04/18234741/komisi-ii-penambahan-
anggaran-pilkada-untuk-pengadaan-alat-kesehatan?page=all.
Prima, E. (2020, September) Masyarakat Dukung Pilkada Serentak 2020 Ditunda. Diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1391188/masyarakat-dukung-pilkada-serentak-2020-ditunda.
Romelt. (2020, Agustus). Pilkada Masa New Normal, Harapan dan Tantangan. Diakses dari
https://fixpadang.pikiran-rakyat.com/padang/pr-40687816/pilkada-masa-new-normal-harapan-
dan-tantangan.
Salim, A. (2020, September). BPPT: Gunakan e-voting untuk Pilkada 2020 agar aman dari COVID-19.
Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1748225/bppt-gunakan-e-voting-untuk-
pilkada-2020-agar-aman-dari-covid-19.
Sumarlin, A,W. (2020, Oktober). Pilkada dan Kesejahteraan Pascapandemi.Diakses dari
https://investor.id/opinion/pilkada-dan-kesejahteraan-pascapandemi.
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang 1 tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
112 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Sumber Lain
Noor, M.A, 2009, Pengkajian Hukum Tentang Pemilihan Kepala Daerah. Laporan Akhir, Diakses dari
https://bphn.go.id/data/documents/pkj_pilkada.pdf.
113 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
CEGAL DISPARITAS DAN PERPECAHAN MASYARAKAT DENGAN RESTRUKTURISASI
PENGATURAN LEMBAGA SURVEI DALAM PEMILIHAN UMUM
DECIDING THE DISPARITY AND DIVISION OF SOCIETY BY RESTRUCTURING
THE ARRANGEMENTS OF SURVEY AGENCIES IN THE GENERAL ELECTION
Sardiil Mutaalif
Muhammad Amyusril Baramirdin
Nur Aulia Mentari
Universitas Hasanuddin, Makassar
Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10, Tamalanrea Indah, Kec. Tamalanrea Indah, Kota Makasssar,
Sulawesi Selatan 90245
E-mail:
Abstract
Today's elections and elections are familiar with the term quick calculation or in other terms known
as quict count.The results obtained from the rapid calculation by some survey agencies are not
different from the real count or official calculations conducted by the electoral commission so that
it is trusted by many circles. Polemics related to survey institutions in terms of rapid calculations
peaked in the last 2014 election. Because there are several survey institutions that contrast with
each other, others win joko widodo and jusuf kalla and some others figure prabowo and hatta rajasa
pairs.Responding to the polemic through PKPU is standardized in terms of rapid calculation in
2018. However, another problem later arose because PKPU only regulates sanctions and
regulations for registered survey agencies and does not regulate sanctions on survey agencies that
perform quick calculations even if they are not registered with the KPU.The unregistered survey
institution then announces the results of its calculations which are in stark contrast to the results of
accredited survey institutions and KPU calculations. The sanction stipulated to the jurdil agency is
only limited to administrative sanctions in the form of site blocking, this sanction has not been
basically regulated in PKPU so it is considered indesolute in cracking down on the survey
institutions abal-abal. This article is written in normative method that examines regulations related
to rapid calculation and survey institutions in Election Commission Regulation No. 10/2018.
Keywords: elections, Quick count, survey agencies
Abstrak
Pelaksaan pemilu dan pilkada dewasa ini telah mengenal istilah perhitungan cepat atau dalam istilah
lain dikenal dengan quict count. Hasil yang diperoleh dari perhitungan cepat oleh beberapa lembaga
survei nyatanya tidak berbeda dari real count atau perhitungan resmi yang dilakukan oleh komisi
pemilihan umum sehingga dipercaya oleh banyak kalangan. Polemik terkait lembaga survei dalam hal
perhitungan cepat sempat memuncak pada pemilihan 2014 yang lalu. Pasalnya terdapat beberapa
lembaga survei yang hasil kontras satu sama lain, beberapa yang lain memenangkan pasangan Joko
Widodo dan Jusuf Kalla dan beberapa yang lain memenangkabn pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa.
Menanggapi polemik tersebut melalui PKPU dilakukan standarisasi dalam hal perhitungan cepat pada
tahun 2018. Namun masalah lain kemudian muncul karena PKPU hanya mengatur sanksi dan regulasi
bagi lembaga survei yang terdaftar dan tidak mengatur sanksi pada lembaga survei yang melakukan
perhitungan cepat meskipun tidak terdaftar di KPU. Lembaga survei yang tidak terdaftar tersebut
kemudian mengumumkan hasil perhitungannya yang nyatanya sangat kontras dengan hasil dari
114 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
lembaga survei yang terakreditasi dan perhitungan KPU. Sanksi yang diberikan kepada lembaga jurdil
hanya sebatas sanksi administrasi berupa pemblokiran situs, sanksi inipun pada dasarnya belum diatur
di PKPU sehingga dinilai tidak tegas dalam menindak lembaga survei abal-abal. Tulisan ini ditulis
dengan metode normatif yang mengkaji peraturan terkait perhitungan cepat dan lembaga survei dalam
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2018.
Kata Kunci : Pemilu, Perhitungan Cepat, Survei.
1. Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara dari
sekian banyak negara di dunia yang
menggunakan paham demokrasi dengan
Pancasila sebagai dasar bergeraknya suatu
demokrasi. Prof Sukamto Notonagoro
bahwa Demokrasi Pancasila adalah
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dan permusyawaratan dan
perwakilan. Yang ber-ketuhanan Yang
Maha Esa, yang ber-kemanusiaan adil dan
beradab, yang mempersatukan Indonesia,
dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Prinsip Demokrasi Pancasila
menempatkan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi yang mana Pemilihan
Umum (Pemilu) merupakan sarana untuk
melaksanakan kedaulatan tersebut. Pemilu
di negara Indonesia bermula sejak tahun
1955 yang kemudian telah mengalami
perubahan dari segi substansi hingga
prosedural selama beberapa dekade hingga
pada titik puncak pada tahun 1999 pasca
orde baru yang mulai memasuki sistem
pemilihan umum yang berkedaulatan rakyat
dilaksanakan langsung oleh rakyat.
Pergantian presiden ke-2 bapak Soeharto
menuju presiden ke-3, Pak B.J Habibie
yang menandai awal mulanya peran rakyat
sebagai bagian dari demokrasi Pancasila di
Indonesia menjadi sangat sentral.
Perkembangan berkemajuan dari Pemilu di
Indonesia tidak hanya berhenti pada saat
partisipasi rakyat pertama kali dibuka pasca
reformasi, pada pemilu tahun 2004, pemilu
ini kemudian menjadi bukti dari kemajuan
demokrasi sejarah Indonesia dalam
mewujudkan partisipasi dalam
penyelengggaraan, bahwa orang sipil
berhak mengemukakan suara baik dalam
pandangan, sistem usulan atau
partisipasinya dalam pemilu yang ditandai
oleh pemilihan presiden dan wakil Presiden
secara langsung untuk pertama kali sejak
kemerdekaan Indonesia. (Fahmi, Khairul,
2011).
Pemilu yang berkembang dan
bertumbuh hingga sampai pada tahap ini,
merupakan salah satu tolak ukur yang
penting untuk menilai keberhasilan
demokrasi di suatu Negara. Semakin baik
penyelenggaraan pemilu menunjukkan
115 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
semakin baik pula pelaksanaan demokrasi
suatu negara.8
Ikhtiar yang diperlukan demi
mewujudkan demokrasi yang baik melalui
pemilu secara gambaran kasar diawali
dengan dasar persiapan yang matang
(kampanye) kemudian dilanjutkan pada
tahap proses pelaksanaan pemilihan
(Pemilu) dan disempurnakan melalui
penyelesaian yang sesuai dengan
kesepakatan rakyat yang berkedaulatan
(perhitungan suara). Ketiga tahapan yang
telah disebutkan di atas seringkali menemui
problematika yang berujung pada
perpecahan dan tidak menggambarkan
sikap demokrasi yang baik nan positif.
Salah satunya adalah ketika memasuki
proses akhir dari suatu pemilu yaitu
perhitungan suara.Perhitungan suara dalam
tahap akhir pemilu, berkembang bukan
hanya pada perhitungan manual yang
memakan waktu dan biaya yang sangat
lama dan tidak murah harganya, namun
dikenal melalui perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi sehingga melahirkan
sebuah metode perhitungan cepat atau yang
sering kita kenal sebagai Quick count.
Negara Indonesia juga menggunakan
metode ini dimulai pada era tahun 1990-an.
8 ”Demokrasi yang baik terlihat baik kalau kualitas
Pemilu juga semakin baik” (Hamdan Zoelva dalam
seminar Nasional penyelesaian Perkara PHPU
Metode Quick count sebenarnya sudah
dilaksanakan sejak pemilu 1997 dan pemilu
1999 oleh LP3ES. Sayangnya, tidak terlalu
dipublikasikan secara besar-besaran
hasilnya. Seiring berjalannya waktu, teknik
yang digunakan dalam Quick count
semakin berkembang. hitung cepat (Quick
count) pertama kali dilakukan oleh
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
untuk mengetahui hasil pemilu tahun
1997(Ardiyanti handrini,2013). Hasil
hitung cepat yang dilakukan cukup sukses
untuk memperkirakan hasil pemilu di DKI
Jakarta yang sayangnya tidak
dipublikasikan akibat kondisi keamanan.
Pada pemilu tahun 1999, LP3ES kembali
melakukan hitung cepat dan dengan
spektakuler mampu memprediksi hasil
pemilu di Pulau Jawa dan Provinsi NTB.
Kemudian memasuki tahun 2004, LP3ES
melakukan kerjasama dengan National
Democratic Institute for International
Affairs (NDI) melakukan hitung cepat
pemilu dan secara luar biasa mampu
memprediksi pemenang pemilu termasuk
urutan pemenang pemilu. Keberhasilan
suatu pelaksanaan hitung cepat pemilu,
Legislatif di Hotel Inna Grand Bali Beach, Selasa 8
April 2014)
116 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
menurut (Sumargo, 2015) ditentukan
beberapa faktor, yakni:
Perhitungan Suara Cepat (Quick count)
atau juga dikenal sebagai Tabulasi Suara
Paralel (Parallel Vote Tabulation)
merupakan salah satu metode yang
digunakan untuk memantau proses
pemungutan suara pada pemilihan umum.
Quick count merupakan sebuah proses
pengumpulan data dan informasi oleh
ratusan bahkan ribuan relawan melalui
pemantauan langsung saat pemungutan dan
perhitungan suara di seluruh tempat
pemungutan suara (TPS) yang ada. Quick
count bukanlah sebuah opini dan tidak
menanyakan pada pemilih siapa dan
bagaimana mereka memilih, melainkan
berdasarkan fakta karena data diambil
langsung di TPS sehingga datanya pun lebih
dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu Menurut Pasal 1 Butir 10
Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013,
Penghitungan Cepat (Quick count) hasil
pemilu adalah kegiatan penghitungan suara
secara cepat dengan menggunakan
teknologi informasi, atau berdasarkan
metodologi tertentu. Berbeda dengan survei
perilaku pemilih, survei pra-pilkada atau
survei exit poll, hitung cepat memberikan
gambaran dan akurasi yang lebih tinggi,
karena hitung cepat menghitung hasil
pemilu langsung dari TPS target, bukan
berdasarkan persepsi atau pengakuan
responden.
Quick count sebagai suatu cara untuk
mengetahui lebih cepat siapa yang menang
atau kalah dalam pemilu pada hakikatnya
lahir dari kebutuhan untuk menjaga agar
penghitungan suara pemilu tidak dilakukan
dengan cara-cara yang curang. Metode ini
bertujuan menjaga suara pemilih dan
membantu agar proses pemilu berjalan
secara jujur dan adil. Quick count
mempunyai fungsi utama sebagai alat
kontrol terhadap penyelenggara pemilu dan
memperkirakan perolehan suara pemilu.
Sebagai alat kontrol, Quick count mampu
mendeteksi dan melaporkan penyimpangan
atau mengungkapkan kecurangan.
Quick count dilakukan dengan
menggunakan metode-metode penelitian
yang benar, sahih, beretika, terbuka untuk
diperiksa akuntabilitasnya, netral dalam
pengertian mengedepankan kebenaran
nilai-nilai ilmiah. Dengan penghitungan
cepat (Quick count) maka mampu
memenuhi keingintahuan segera publik atas
hasil pemilu. Keberhasilan Quick count dan
exit poll sangat dipengaruhi oleh teknik
penarikan sampel yang baik dan keakuratan
serta presisi dari hitungan yang dihasilkan.
Sehingga dengan demikian proses
penghitungan cepat (Quick count) dapat
menimbulkan banyak perbedaan pendapat
117 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
dan perbedaan hasil berupa angka terhadap
penghitungan suara pada pemilihan umum.
Dewasa ini, standarisasi dari indikator
perhitungan cepat (Quick count) yang di
tuangkan dalam bentuk Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 tahun
2018 telah mengatur beberapa hal mulai
dengan
Polemik dari fenomena quick count
berasal dari lembaga survey yang tidak
mendaftarkan diri ke KPU tetapi tetap
mempublikasi hasil perhitungannya, yang
pada beberapa kasus hasilnya kontras
dengan lembaga survey yang terdaftar di
KPU yang pada akhirnya menyebabkan
kekacauan dan suasana yang tidak kondusif
di masyarakat. Sayangnya sanksi untuk
pelanggaran semacam itu belum diatur
secara tegas dalam PKPU Nomor 10 Tahun
2018 sehingga pelanggaran semacam ini
akan berpotensi terulang. Kasus yang paling
hangat yakni terjadi pada pemilu 2019
adalah ketika lembaga survey Jurdil
melalui hasil perhitungan cepatnya
menyatakan pasangan Prabowo dan
Sandiaga Uno Memperoleh suara sekitar 60
persen. Hal ini kemudian sangat kontras
dengan perhitungan suara di lembaga survei
yang terdaftar di KPU. Menanggapi
masalah tersebut pemerintah melalui
kominfo hanya memblokir situs dari Jurdil
yang dalam hal ini merupakan sanksi
administrasi yang meskipun ini adalah
diskresi dari pemerintah sebab hal ini belum
diatur. Penulis melihat sanksi yang hanya
sebatas berupa sanksi administrasi kurang
tegas dan efektif sebab perhitungan cepat
yang abal-abal dan tidak terdaftar sangat
mengganggu stabilitas masyarakat.
Oleh karenanya, perlu penormaan yang
mengatur secara tegas dan terang terkait
lembaga survei yang meskipun tidak
terdaftar di KPU kemudian tetap
melakukan perhitungan cepat dan
mempublikasi datanya yang pada akhirnya
tidak bisa dipertanggungjawabkan untuk
diberikan sanksi tegas dan pengaturan yang
jelas.
Penormaan ini kemudian sebagai bentuk
ikhtiar untuk menjaga kondusifitas pasca
pemilihan agar tidak ada saling tuding
menuding yang menyebabkan kekacauan
dan perselisihan.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah
penelitian hukum normative-empiris.
Termasuk dalam penelitian normative -
empirik dikarenakan penelitian ini
dilakukan dengan cara menganalisis norma
hukum terkait dengan lembaga survei hasil
pemilu kemudian di dukung oleh data data
empirik. Penelitian ini juga akan
menganalisis norma, konsep ataupun teori
sistematis, juga akan mengaitkan hubungan
antara ketentuan ketentuan tersebut.
118 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
3. Perspektif Teori
3.1. Konsep Lembaga Survei
Dalam era politik modern kehadiran
lembaga survei memiliki peran strategis
bagi seorang politisi maupun partai politik.
Arti penting lembaga survei dalam transisi
demokrasi karena prinsip keterwakilan
(representativeness) dan keilmiahannya
(scientificness) adalah unsur utama dalam
merumuskan sebuah keputusan dan
kebijakan yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat. Hasil survei juga kerap
digunakan oleh politisi untuk mengukur
tingkat elektabilitas dan opini publik terkait
citra partainya maupun citra politisi itu
sendiri. Oleh karena itu, sulit terpisahkan
antara politik dan lembaga survei. Suatu
proses politik akan lebih terukur dan
objektif dengan keterlibatan lembaga survei
di dalamnya, namun lembaga survei juga
harus berada pada jalur yang terkontrol agar
keberadaannya bukan justru merusak
tatanan demokrasi.
Lembaga survei pada dasarnya lebih
bertujuan idealis, seperti yang dilakukan
oleh Yayasan Pengembang Demokrasi
Indonesia (YPDI). Lembaga ini mendapat
pembantuan dana dari donor Jepang untuk
memonitor pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi Indonesia. Dari
tujuan itu kemudian, berdiri sebuah
Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada
tahun 2003 yang dikembangkan untuk
menjalankan survei pendapat umum yang
akhir akhir tahun 2012 hingga tahun tahun
berikutnya dianggap sebagai perintis
dengan standar ideal. Tumbuh dan
berkembangnya lembaga survei beriringan
dengan perkembangan demokrasi dan
dinamika politik yang terjadi.
3.2.Konsep Pemilu
Pengisian lembaga perwakilan dalam
praktek ketatanegaraan lazimnya
dilaksanakan melalui Pemilihan Umum.
Pasca perubahan amandemen UUD 1945,
semua anggota lembaga perwakilan dan
bahkan presiden serta Kepala Daerah
dipilih dengan mekanisme Pemilihan
Umum. Pemilihan umum menjadi agenda
yang diselenggarakan secara berkala di
Indonesia. Ibnu Tricahyo (2009:6),
mendefinisikan Pemilihan Umum sebagai
berikut:”Secara universal Pemilihan Umum
adalah instrumen mewujudkan kedaulatan
rakyat yang bermaksud membentuk
pemerintahan yang absah serta sarana
mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
rakyat”. Definisi di atas menjelaskan bahwa
pemilihan umum merupakan instrumen
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat,
membentuk pemerintahan yang sah serta
sebagai sarana mengartikulasi aspirasi dan
kepentingan rakyat.Negara Indonesia
mengikutsertakan rakyatnya dalam rangka
penyelenggaraan negara.Kedaulatan rakyat
dijalankan oleh wakil rakyat yang duduk
119 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
dalam parlemen dengan sistem perwakilan
(representative democracy) atau demokrasi
tidak langsung (indirect democracy).
Wakil-wakil rakyat ditentukan sendiri oleh
rakyat melalui 9 Pemilu (general election)
secara berkala agar dapat memperjuangkan
aspirasi rakyat. Soedarsono (2005:1).
Mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan pemilihan umum adalah syarat
minimal bagi adanya demokrasi dan
diselenggarakan dengan tujuan memilih
wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk
membentuk pemerintahan demokratis”.
Penjelasan di atas menyebutkan bahwa
pemilihan umum merupakan syarat
minimal adanya demokrasi yang bertujuan
memilih wakil-wakil rakyat, wakil daerah,
presiden untuk membentuk pemerintahan
demokratis. Kedaulatan rakyat dijalankan
oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di
dalam lembaga perwakilan. Kedaulatan
rakyat atas penyelenggaraan pemerintahan
dijalankan oleh presiden dan Kepala Daerah
yang juga dipilih secara langsung. Anggota
legislatif maupun Presiden dan Kepala
Daerah karena telah dipilih secara langsung,
maka semuanya merupakan wakil-wakil
rakyat yang menjalankan fungsi kekuasaan
masing-masing. Kedudukan dan fungsi
wakil rakyat dalam siklus ketatanegaraan
yang begitu penting dan agar wakil-wakil
rakyat benarbenar bertindak atas nama
rakyat, maka wakil rakyat tersebut harus
ditentukan sendiri olehrakyat, yaitu melalui
pemilihan umum. Menurut Jimly
Asshidiqqie (2006:169-171)pentingnya
penyelenggaraan Pemilihan Umum secara
berkala tersebut dikarenakan beberapa
sebab diantaranya sebagai berikut:
a. pendapat atau aspirasi rakyat
cenderung berubah dari waktu ke
waktu;
b. kondisi kehidupan masyarakat yang
dapat juga berubah;
c. pertambahan penduduk dan rakyat
dewasa yang dapat menggunakan
hak pilihnya;
d. guna menjamin regulasi
kepemimpinan baik dalam cabang
eksekutif dan legislatif.
Berdasarkan pernyataan di atas
bahwa beberapa sebab pentingnya
pemilihan umum diantaranya adalah
aspirasi rakyat cenderung berubah, kondisi
kehidupan rakyat berubah, pertambahan
penduduk dan regulasi
kepemimpinan.Pemilihan umum menjadi
sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat.
Kondisi kehidupan rakyat yang cenderung
berubah memerlukan adanya mekanisme
yang mewadahi dan mengaturnya yaitu
melalui proses pemilihan umum. Setiap
penduduk dan rakyat Indonesia yang telah
dewasa memiliki hak untuk menggunakan
hak pilihnya dalam pemilihan umum.
Regulasi kepemimpinan baik cabang
120 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
eksekutif maupun legislatif akan terlaksana
secara berkala dengan adanya pemilihan
umum.
3.3.Konsep Quick count
Perhitungan Suara Cepat (Quick count)
atau juga dikenal sebagai Tabulasi Suara
Paralel (Parallel Vote Tabulation)
merupakan salah satu metode yang
digunakan untuk memantau proses
pemungutan suara pada pemilihan umum.
Quick count merupakan sebuah proses
pengumpulan data dan informasi oleh
ratusan bahkan ribuan relawan melalui
pemantauan langsung saat pemungutan dan
perhitungan suara di seluruh tempat
pemungutan suara (TPS) yang ada. Quick
count bukanlah sebuah opini dan tidak
menanyakan pada pemilih siapa dan
bagaimana mereka memilih, melainkan
berdasarkan fakta karena data diambil
langsung di TPS sehingga datanya pun lebih
dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu Menurut Pasal 1 Butir 10
Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013,
Penghitungan Cepat (Quick count) hasil
pemilu adalah kegiatan penghitungan suara
secara cepat dengan menggunakan
teknologi informasi, atau berdasarkan
metodologi tertentu. Berbeda dengan survei
perilaku pemilih, survei pra-pilkada atau
survei exit poll, hitung cepat memberikan
gambaran dan akurasi yang lebih tinggi,
karena hitung cepat menghitung hasil
pemilu langsung dari TPS target, bukan
berdasarkan persepsi atau pengakuan
responden. Selain itu, hitung cepat bisa
menerapkan teknik sampling probabilitas
sehingga hasilnya jauh lebih akurat dan
dapat mencerminkan populasi secara tepat
Indonesia.
Metode pengumpulan data secara
komprehensif (data dari semua TPS)
dengan menggunakan relawan-relawan dari
kandidat masing-masing. Selain itu, karena
Quick count merupakan prediksi hasil
pemilu berdasarkan fakta bukan
berdasarkan opini, oleh karena itu ia tidak
sama dengan jajak pendapat terhadap
pemilih yang baru saja mencoblos atau yang
biasa disebut exit poll. Untuk
kepentingan quick count, ribuan relawan
ditugaskan untuk mengamati dan
mengawasi pemilu secara langsung demi
memperoleh informasi yang diperlukan.
Mereka mencatat ke dalam formulir yang
telah disediakan mengenai informasi proses
pencoblosan dan penghitungan suara di
TPS yang diamati, termasuk perolehan
suara masing-masing kandidat. Setelah
selesai mereka akan menyampaikan
temuan-temuannya ke pusat data (data
center). Data yang diperoleh dapat menjadi
data alternatif terhadap penghitungan yang
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Quick count dapat memperkirakan
121 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
perolehan suara Pemilu secara cepat
sehingga dapat memverifikasi hasil resmi
KPU. Lebih jauh quick count mampu
mendeteksi dan melaporkan penyimpangan,
atau mengungkapkan kecurangan. Banyak
contoh membuktikan Quick count dapat
membangun kepercayaan atas kinerja
penyelenggara pemilu dan memberikan
legitimasi terhadap proses pemilu.
Quick count sebagai suatu cara untuk
mengetahui lebih cepat siapa yang menag
atau kalah dalam pemilu pada hakikatnya
lahir dari kebutuhan untuk menjaga agar
penghitungan suara pemilu tidak dilakukan
dengan cara-cara yang curang. Metode ini
bertujuan , menjaga suara pemilih dan
membantu agar proses pemilu berjalan
secara jujur dan adil. Metode ini mulai
dikenal di Negara-negara yang baru
membangun demokrasi pada era tahun
1980-an, misalnya di negara Eropa Timur
dan Afrika. Quick count atau penghitungan
cepat dalam catatan di Asia Tenggara
pertama dilakukan pada tahun 1986 di
Pemilu Philipina. Sebuah LSM yang
bernama NAMFREL melaksanakan PVT
(parallel vote tabulation) yaitu pencatatan
atau penabulasian secara paralel hasil
penghitungan suara pemilu (kismiantini,
2007).
Keberhasilan suatu pelaksanaan hitung
cepat pemilu, menurut (Sumargo, 2015)
ditentukan beberapa faktor, yakni:
1. Syarat yang harus dimiliki lembaga
penyelenggara hitung cepat, mulai dari
akses TPS; kredibilitas dan
independensi; jaringan relawan; dan
dukungan perangkat komunikasi data;
2. Pelatihan yang diterima oleh seluruh
elemen baik dalam mekanisme
pengumpulan data, metode
pengumpulan data, hingga pengolahan
data;
3. Quality Control meliputi validasi hasil
perolehan data, baik validitas data yang
diterima maupun validitas tata cara
pengumpulan data.
Secara teknis, pelaksanaan hitung
cepat yang dilakukan oleh lembaga survei,
dalam hal ini LSI, dilakukan dengan :
1. Penentuan jumlah TPS yang akan
diamati
2. Pemilihan TPS yang akan diamati
3. Manajemen data (pengamatan, 4.
pencatatan, dan analisa data)
4. Publikasi hasil hitung cepat
Sehingga jika diamati dari tahapan
di atas, maka pemilihan TPS yang akan
diamati dan manajemen data menjadi hal
yang sangat krusial dalam pelaksanaan
hitung cepat hasil pemilu sebagai salah satu
wujud penelitian lapangan Quick count
dilakukan dengan menggunakan metode-
metode penelitian yang benar, sahih,
beretika, terbuka untuk diperiksa
akuntabilitasnya, netral dalam pengertian
mengedepankan kebenaran nilai-nilai
ilmiah.
122 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
Secara umum (kismiantini, 2007),
terdapat 2 (dua) jenis pengambilan sampel
yang dikenal dalam ilmu statistika, yakni:
1. Sampel Stratifikasi (Stratified Random
Sampling).
Sampel stratifikasi merupakan
teknik penarikan sampel dengan sampling
unit yang dikelompokkan menjadi beberapa
strata (kelompok). Kelebihan penggunaan
metode sampel stratifikasi adalah
kemudahan analisis yang dapat disajikan
baik secara keseluruhan, per strata, ataupun
perbandingan antar strata. (scheaffer RI,
mendenhall W & ott L, 1990).
2. Sampel Klaster (Cluster Sampling)
Sedangkan sampel klaster adalah sampel
peluang dengan masing-masing unit sampel
(Sampling Unit) adalah kumpulan atau
klaster dari elemen. Elemen diartikan
sebagai objek dimana pengukuran
dilakukan. Cara pengambilan sampel pada
sampel klaster dilakukan dengan
pembagian populasi kedalam beberapa
klaster yang kemudian dari klaster tersebut
akan dipilih secara acak sub-klaster yang
akan diambil seluruh elemennya. (scheaffer
RI, mendenhall W & ott L, 1990).
Quick count mempunyai fungsi utama
sebagai alat kontrol terhadap penyelenggara
pemilu dan memperkirakan perolehan suara
pemilu. Sebagai alat kontrol, quick count
mampu mendeteksi dan melaporkan
penyimpangan atau mengungkapkan
kecurangan. Banyak sampel membuktikan
quick count dapat membangun kepercayaan
atas kinerja penyelenggara pemilu dan
memberikan legitimasi terhadap proses
pemilu. Kegiatan pengumpulan data dengan
quick count seringkali diikuti oleh kegiatan
exit poll. Exit poll sangat berguna dalam
mengetahui kecenderungan pemilih. Proses
perhitungan suara oleh lembaga resmi
seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU),
meskipun memakai sistem teknologi
informasi yang canggih dan berbiaya mahal
namun kenyataannya sangat lamban. Hasil
kasar perhitungan suara baru dapat
diketahui dua minggu setelah perhitungan
suara. Sementara perhitungan resmi baru
dapat dilakukan satu bulan setelah
pemungutan suara. Dengan penghitungan
cepat (quick count) maka mampu
memenuhi keingintahuan segera publik atas
hasil pemilu. Keberhasilan quick count dan
exit poll sangat dipengaruhi oleh teknik
penarikan sampel yang baik dan keakuratan
serta presisi dari hitungan yang dihasilkan.
4. Hasil dan Pembahasan
Berbicara mengenai standar atau
metodologi yang harus dilakukan setiap
lembaga survei diantaranya adalah
menentukan sample, harus mewakili
karakter suara di daerah tersebut. Biasanya,
penentuan sample menggunakan metode
random sampling. Apabila menentukan
123 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
mekanisme sampling sudah ditentukan,
barulah ditetapkan data yang ingin diambil.
Daerah mana saja yang dijadikan sampling,
dalam hal ini yang dijadikan sumber data
adalah Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Biasanya jumlah sampling yang diambil
oleh lembaga survei lazimnya adalah 2.000
TPS, bahkan ada juga yang mengambil
sample hingga 4000 TPS. Penentuan jumlah
sampel ini tergantung dari berapa besar
mergin error yang ingin diambil. semakin
banyak sample, maka mergin errornya akan
semakin kecil.
Setelah itu barulah mekanisme tabulasi
atau pengumpulan data, setiap lembaga
servei harus membuka proses tabulasi
kepada publik. media pengiriman data dari
sumber data dilapangan ke pusat
perhitungan haruslah bisa
dipertanggungjawabkan. Setiap proses
input data harus disertai verifikasi, cek dan
ricek ke sumber lapangan. Hal ini untuk
mencegah data yang dinput agar tidak salah.
Dengan metodologi yang sudah baku, setiap
lembaga survei akan dijaga kredibilitasnya,
jika menyalahi maka akan dikeluarkan.
Hadirnya lembaga survei kemungkinan
didorong kepentingan politik yang beragam
pemilu, misalnya guna memenangkan
kandidat presiden tertentu sehingga survei
abal-abal pun dikeluarkan demi
mempengaruhi sikap pemilih yang masih
mengambangan. Padahal makna
sesuangguhhnya penelitian atau survei itu
adalah bagaimana melihat pendapat atau
opini publik yang sesungguhnya di
masyarakat. Maka dari itu objektifitas
survei perlu didorong aspek etika bagi
lembaga survei. Aspek etika ini diharapkan
dapat menghindari adanya manipulasi hasil
survei untuk kepentingan tertentu atau
pesanan tertentu. Tentunya yang membatasi
adalah aturan-aturan tertulis tapi juga harus
dibarengi dengan etika.
Lembaga Survei tentunya harus
diakreditasi. Akreditasi adalah sangat
penting demi menghasilkan publikasi yang
kredibel. Lembaga survei memberikan
suatu informasi yang penting, terkait
polling parpol, pemilu. Maka Lembaga
survei juga harus terdaftar, lembaga survei
yang terdaftar berarti lembaga yang sudah
diverifikasi oleh KPU serta memenuhi
syarat sebagai lembaga jajak pendapat dan
hitung cepat pemilu. Dalam proses
verifikasi, lembaga survei harus memenuhi
persyaratan antara lain melaporkan sumber
dana yang digunakan dalam kegiatan survei
guna menjamin lembaga itu independen.
Kemudian, lembaga itu juga harus
memberikan informasi lengkap mengenai
metodologi survei serta melaporkan seluruh
personelnya yang akan melakukan survei.
Sementara untuk penayangan hitung
cepat hasil pemilu, lembaga survei haruslah
124 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
mematuhi perundang-undangan dimana
hasil dari hitung cepat itu disampaikan
kepada publik dua jam setelah kegiatan
pemungutan dan perhitungan suara
berakhir. pada pemilu 2019 lembaga yang
terdaftar sekitar 40 lembaga, di luar dari 40
lembaga yang sudah terdaftar dilarang
melakukan survei atau hitung cepat yang
dipublikasikan ke publik, karena menurut
undang-undang, lembaga survei harus
mendaftar terlebih dahulu ke KPU. Selain
itu jika ada selain 40 lembaga survei itu
merilis maka itu merupakan pelanggaran.
Untuk menanggapi persoalan lembaga
survei yang tidak terdaftar di KPU dan tetap
melakukan perhitungan cepat dan
mengumumkan hasilnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan akan diberikan
sanksi tegas melalui penormaan dalam
revisi PKPU nantinya.
5. Simpulan
Berdasarakan uraian pada hasil dan
pembahasan diatas, maka penulis dapat
menarik suatu kesimpulan bahwa
pengaturan dalam bentuk norma terhadap
semua lembaga survei harus dilakukan
untuk mencegah dan menindak tegas
lembaga survei yang abal-abal dan
mengancam stabilitas masyarakat.
Lembaga Survei tentunya harus
diakreditasi. Akreditasi adalah sangat
penting demi menghasilkan publikasi yang
kredibel. Lembaga survei memberikan
suatu informasi yang penting, terkait
polling parpol, pemilu. Maka Lembaga
survei juga harus terdaftar, lembaga survei
yang terdaftar berarti lembaga yang sudah
diverifikasi oleh KPU serta memenuhi
syarat sebagai lembaga jajak pendapat dan
hitung cepat pemilu. Sementara untuk
penayangan hitung cepat hasil pemilu,
lembaga survei haruslah mematuhi
perundang-undangan dimana hasil dari
hitung cepat itu disampaikan kepada publik
dua jam setelah kegiatan pemungutan dan
perhitungan suara berakhir. Sehingga
dengan demikian standarisasi terhadap
lembaga survei dalam melakukan Quick
count terhadap hasil pemilihan umum
memeng sangat perlu dan harus dilakukan
oleh pemerintah dalam rangka
meningkatkan kualitas dan kredibilitas dari
lembaga survei yang ada. Selain itu, terkait
hasil pemilihan umum juga akan
mengurangi perbedaan jumlah dari setiap
lembaga survei terhadap hasil pemilihan
umum.
Ini bukan merupakan pengendalian
lembaga survei melainkan upaya untuk
mengawasi lembaga survei agar
melaksanakan perhitungan cepat yang dapat
dipertanggung jawabkan.
125 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020
DAFTAR PUSTAKA
Wawan Sobari. 2014. Elektabilitas Dan Mitos Pemilih Rasional: Debat Hasil-Hasil Riset Opini
Menjelang Pemilu 2014. Jurnal Penelitian Politik. Volume 10 No. 1.
------------------ 2004. JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA Kinerja Lembaga Jajak
Pendapat dalam Meramal Hasil Pemilu 1999 dan 2004. Lembaga Survey Indonesia (LSI)
Andi Muhammad Abdi, Iqbal Sultan, Hasrullah. 2014. Pendapat Politisi Terhadap Kredibilitas
Lembaga Survei Tentang Elektabilitasnya Dalam Pemilihan Legislatif Dprd Sulsel 2014.
Jurnal Komunikasi KAREBA. Vol. 3 No. 4.
Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.Hum. 2009. Tinjauan Tentang Mekanisme Penyelesaian Perselisihan
Hasil Pemilu Anggota Dpr, Dpd Dan Dprd Berdasarkan Peraturan Mk No. 16 Tahun 2009.
Jurnal Kontitusi. Vol. II No. 1
RMOLBanten. 2019. Sahihkah Hasil Quick Count Pemilu 2019 Dari Lembaga Survei?. di akses dari
https://www.rmolbanten.com/read/2019/05/07/8121/Sahihkah-Hasil-Quick-Count-Pemilu-
2019-Dari-Lembaga-Survei-
RMOL.ID. 2014. Perlu Standarisasi dan Etika Untuk Hindari Hasil Survei Abal-abal. di akses dari
https://rmol.id/amp/2014/07/09/162998/https-rmol-id-read-2014-07-09-162998
Ghita Intan. 2019. Dituduh Tukang Bohong, Lembaga Survei Ungkap Data dan Metodologi Quick
Count. di akses dari https://www.voaindonesia.com/amp/dituduh-tukang-bohong-lembaga-
survei-ungkap-data-dan-metodologi-quick-count/4885243.html
------------. Lingkaran Survei Indonesia. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lingkaran_Survei_Indonesia