juvenile angiofibroma nasofaring
TRANSCRIPT
![Page 1: Juvenile Angiofibroma Nasofaring](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022081813/54840801b4af9f6a2d8b4ddb/html5/thumbnails/1.jpg)
Chaesarani Putri 1102007067Dina Akmalia 110 2007 088
M. Arief Gunawan 110 2007 183
ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILLE
1. DEFINISI
Angiofibroma nasofaring juvenille adalah tumor jinak pembuluh darah di
nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena
mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti
ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan.1
Angiofibroma nasofaring juvenille merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak
dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Frekuensinya 1 : 5.000 – 1 : 60.000 dari
pasien THT.1,2,3 Angiofibroma terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja, umumnya
pada dekade ke-2 antara 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun.1
2. ETIOLOGI
Penyebab dari angiofibroma nasofaring belia belum dapat diketahui secara pasti.
Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Pada
dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal
dan teori ketidakseimbangan hormonal.1,4
Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi karena
pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah
oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut
merupakan matriks dari angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel
epitelial yang mendasari ruang vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa
![Page 2: Juvenile Angiofibroma Nasofaring](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022081813/54840801b4af9f6a2d8b4ddb/html5/thumbnails/2.jpg)
angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan
spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung.4,5
Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya
angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau
kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor
dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua
penderita angiofibroma nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring
dikarenakan tidak adanya kesamaan pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak
menyebabkan terjadinya hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap
hormonal.4,5
Selain dua teori di atas, ada yang berpendapat angiofibroma sebagai tumor
vaskular yang mirip dengan hemangioma. Adanya bermacam-macam bentuk pembuluh
darah yang tidak beraturan pada angiofibroma menyimpulkan bahwa tumor tersebut
diakibatkan malformasi pembuluh darah. Selain itu, ada pula yang menyatakan kemiripan
angiofibroma dengan jaringan erektil pada hidung dan menginterpretasikan angiofibroma
sebagai hamartoma akibat dari jaringan erektil kelamin yang terletak tidak pada
tempatnya. Pendapat lain mengatakan bahwa tumor ini berasal dari sel paraganglion
nonkromafin yang terdapat di bagian akhir dari arteri maksilaris.4,5
3. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelah tindakan operasi.
Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat
bervariasi tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan penyakit
gejala yang paling sering ditemukan (> 80%) adalah hidung tersumbat yang progresif
dilanjutkan dengan adanya dan epistaksis masif yang berulang. Sedangkan penderita yang
lanjut datang dengan keadaan umum yang lemah, anemia, gangguan menelan, gangguan
pernapasan karena tersumbatnya hidung dan nasofaring. Tumor juga dapat
mengakibatkan deformitas wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan proptosis
![Page 3: Juvenile Angiofibroma Nasofaring](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022081813/54840801b4af9f6a2d8b4ddb/html5/thumbnails/3.jpg)
sehingga wajah penderita angiofibroma nasofaring tampak seperti kodok, ini dikenal
dengan “wajah kodok”.1,7
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan
konsistensi kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring
biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas
ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda,
sedangkan pada penderita yang lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak
komponen fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang
ditemukan adanya ulserasi.1
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis
dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta pemeriksaan arteriografi.
Pada pemeriksaan radiologis konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral
dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda “Holman
Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fisura pterigo-
palatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring
yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.1
4. STADIUM
Sistem staging dibuat untuk menentukan perluasan tumor. Ada 2 sistem yang
paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut: 1,9
Stage IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult
Stage IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult dengan
meluas sedikitnya 1 sinus paranasal.
Stage IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila
Stage IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang orbita.
Stage IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke
intrakranial
![Page 4: Juvenile Angiofibroma Nasofaring](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022081813/54840801b4af9f6a2d8b4ddb/html5/thumbnails/4.jpg)
Stage IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas ke sinus
kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch: 1,9
Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi tulang.
Stage II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan destruksi
tulang.
Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dengan atau regio
parasellar.
Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optik dan atau fossa
pituitary.
5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien angiofibroma dapat berupa tindakan operasi, terapi
hormonal dan radioterapi. Akan tetapi dalam referat ini hanya akan di bahas mengenai
terapi hormonal pada pasien angiofibroma.
Terapi Hormonal
Terapi hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat
testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengaruh hormon berperan dalam pertumbuhan
angiofibroma nasofaring juvenil. Berdasarkan hasil penelitian Gates et al anti-androgenik
seperti flutamide ( 2-methyl-n-[4-nitro-3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide ) dapat
mengurangi pertumbuhan angiofibroma nasofaring juvenil dan penyusutan tumor hingga
44 %.3,5,10,11
Estrogen telah terbukti mengurangi ukuran dan vaskularisasi tumor, namun
memiliki efek samping feminisasi, dan resiko komplikasi kardiovaskuler.Terapi estrogen
diberikan dengan dosis 3 x 5 mg intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat
mengurangi tendensi perdarahan, memperkecil ukuran tumor 30-50% dan membuat
konsistensi tumor menjadi lebih padat. Dapat pula diberikan preparat progesteron yaitu
![Page 5: Juvenile Angiofibroma Nasofaring](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022081813/54840801b4af9f6a2d8b4ddb/html5/thumbnails/5.jpg)
dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari selama sebulan untuk meningkatkan maturasi dan
mengurangi vaskularisasi. Efek samping pemberian dietilstilbestrol adalah menurunnya
kadar testosteron plasma dan dapat terjadi atropi testis. Patterson menyarankan ethinyl
estradiol sebagai regimen alternatif dengan dosisnya 1 mg / hari selama sebulan. Menurut
hasil penelitian Patterson, estradiol lebih efektif dibandingkan stilbestrol.12
Ketergantungan angiofibroma nasofaring terhadap hormon androgen menjadikan
terapi anti androgen seperti cyproterone acetate digunakan untuk menghambat dan
menekan plasma testosteron. Terapi ini biasa diberikan pada kasus-kasus yang tumornya
sulit diangkat sebersih mungkin, seperti yang telah meluas ke intrakranial.5
DAFTAR PUSTAKA
![Page 6: Juvenile Angiofibroma Nasofaring](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022081813/54840801b4af9f6a2d8b4ddb/html5/thumbnails/6.jpg)
1. Soepardi ES, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007 ; p 188 – 190.
2. Mistry RC, Qureshi SS, Gupta S, Gupta S. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma: A
single institution study. Indian J Cancer [serial online] 2005 [cited 2011 May 24];42:35-
9. Available from: http://www.indianjcancer.com/text.asp?2005/42/1/35/15098
3. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. [updated 2009 Aug 27; cited 2011
June 1]. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm
4. Schick B, Urbschat S. New Aspects of Pathogenesis of Juvenille Angiofibroma. Hosp
Med. 2004. May; 65 (5) : 269 – 73.
5. Nongrum HB, Thakar A, Gupta G, Gupta SD. Current Concepts in Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. Head and Neck Surgery. Journal of Ent Master Class.
Year Book 2009. Vol 2 Num 1. p 88 – 95
6. Rusmarjono, Kartosoediro S. Odinofagia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung
Telinga Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-5. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2003; 173
7. Adams GL. Penyakit - Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Boeis Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : EGC, 1997; 324.
8. Gambar 1. http://www.khoomei.com/pics/pharynx.jpg
9. Gleeson M, Scott-Brown WG. Juvenille Angiofibroma. Head and Neck Tumours. 6th
Edition. 1997. p 2437 – 44.
10. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenille Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen Med
2010; 7 (4): 419 – 25.
11. Montag AG, Tretiakova M, Richardson M. Steroid Hormone Receptor Expression in
Nasopharyngeal Angiofibromas. Am J Clin Pathol 2006; 125: 832 – 37.