kabupaten agam, sumatra barat, kemarin. kebutuhan pupuk ... filebesan dari china. untuk kelas atas...

1
E KONOMI NASIONAL JUMAT, 13 MEI 2011 MARCHELO P EMERINTAH diminta tidak buru-buru me- realisasikan pemba- ngunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Tanah Air. Sebaliknya, rencana pembangunan PLTN itu perlu dievaluasi dan dikaji ulang mengingat adanya potensi risiko yang tinggi karena In- donesia termasuk daerah yang rawan gempa. Hal itu mengemuka dalam Seminar PLTN di Indonesia: Aspek Kesejahteraan dan Kese- lamatan, yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, kemarin. Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi, setidaknya ada tiga hal yang menjadi pertimbang- an sebelum merealisasikan pembangunan PLTN. Ketiga pertimbangan itu ialah wilayah Indonesia yang rawan gempa, faktor keamanan di dalam ne- geri terkait masalah terorisme, dan ketersediaan bahan baku uranium. Tentunya masih segar da- lam ingatan kita akibat yang ditim bulkan dari ledakan reaktor nuklir di Jepang be- berapa waktu lalu. ‘Negeri Sakura’ mengalami krisis nuklir akibat gempa bumi yang merusak instalasi PLTN di Fukushima. Bencana itu tidak hanya ber- dampak kepada Jepang, tapi juga telah membuat negara- negara di dunia berpikir kem- bali tentang keberadaan nuklir mereka. Selain gempa bumi, untuk Indonesia, ancaman kedua ber- asal dari aksi terorisme. Hingga saat ini, kegiatan terorisme di Tanah Air belum dapat dire- dam sepenuhnya sehingga menimbulkan kekhawatiran dapat menyerang instalasi PLTN. Hal terakhir yang perlu diperhatikan pemerintah, kata Rinaldy, adalah beban biaya yang harus dipikul masyarakat untuk mengimpor bahan baku uranium. “Dari ketiga pertimbangan itu, maka harga investasi PLTN akan semakin mahal karena tingkat keamanan yang diper- lukan lebih tinggi,” imbuh- nya. Alternatif terakhir Sementara itu, Kepala Lem- baga Riset dan Pengembang- an Manajemen Institut Bisnis Nusantara Iwan Kurniawan berpendapat, pemerintah lebih baik memprioritaskan pengem- bangan energi terbarukan dahulu daripada mengelola PLTN. Apalagi potensi sumber energi terbarukan di Indonesia cukup besar. “Kenapa tidak kita priori- taskan pengembangan energi terbarukan dulu? PLTN bukan berarti tidak boleh, tapi sabar saja dulu,” kata Iwan. Menurutnya, PLTN sebaik- nya baru diaplikasikan setelah semua energi lainnya sudah optimal digunakan. Bahkan, lanjutnya, Indonesia lebih baik terlambat menggunakan PLTN daripada harus terlalu cepat. “Kalau semua potensi (energi) sudah digali, strategi- nya akan jadi lebih bagus da- lam jangka panjang. Mungkin ini (pembangunan PLTN) akan terjadi pada tahun 2040 atau 2050. Tapi menurut saya lebih baik terlambat daripada terlalu cepat,” ujarnya. Ia menambahkan, jika dilihat dari cadangan bahan baku PLTN, uranium di Indonesia hanya sebanyak 53 ribu ton. Jumlah tersebut diperkirakan hanya bisa menyokong lima PLTN berkapasitas 1.000 Mw dengan waktu operasi 25 ta- hun. Adapun masa waktu operasi PLTN sendiri mencapai 60 tahun. “Indonesia tidak memiliki uranium yang cukup untuk ope rasi PLTN hingga 50-60 tahun. Jadi harus dipikirkan kembali,” cetusnya. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah berpikir secara ma- tang sebelum merealisasikan pembangunan PLTN di Tanah Air. (E-4) marchelo @mediaindoneisia.com Rawan Gempa PLTN tidak Tepat Indonesia tidak memiliki uranium yang cukup untuk operasi PLTN hingga 50-60 tahun. KEMENTERIAN Perdagangan dalam empat bulan pertama 2011 mencatat adanya lonjakan impor alas kaki sebesar 43,47% ketimbang periode yang sama tahun lalu, senilai US$42,12 juta. Lonjakan itu disebabkan minimnya industri komponen bahan baku alas kaki. “Beberapa bahan baku produksi sepatu kita memang impor, beberapa seperti sol tertentu, label, atau kancing, dan sebagainya,” ujar Direktur Industri Tekstil dan Aneka Ke- menterian Perindustrian Budi Irmawan, di Jakarta, kemarin. Dia mengakui, industri kom- ponen alas kaki di Tanah Air masih belum berkembang. Walaupun ada peningkatan investasi, masih baru. Karena itu, belum siap memenuhi kebutuhan pasar yang ada. Setidaknya lima perusahaan Taiwan dan Korea Selatan berkomitmen untuk mena- namkan modal US$500 juta di Indonesia. Budi menduga itu ada hubungannya dengan kenai- kan impor alas kaki. Impor tersebut merupakan impor alas kaki untuk segmen kalang- an bawah yang produksinya dibuat masif dengan kualitas tak terlalu baik. “Kami tidak tahu persisnya berapa, tapi yang jelas banyak di antaranya ilegal juga dan umumnya merupakan rem- besan dari China. Untuk kelas atas belum ada impornya.” China memang tercatat seba- gai eksportir alas kaki terbesar ke Indonesia. Namun, menurut Budi, produksi dalam negeri untuk kelas yang sama sudah mulai tumbuh. Industri lokal sudah mampu memproduksi barang lebih bagus dan mu- rah. Namun, kendalanya pada masalah kecepatan produksi. Alhasil, sampai saat ini pasar alas kaki kelas bawah masih dikuasai produk China. Se- baliknya, industri lokal lebih menguasai pasar alas kaki kelas menengah. Kendati begitu, Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan, kenaikan im- por sepatu lebih disebabkan penguatan rupiah atas dolar Amerika Serikat. “Karena kurs dolar melemah terhadap ru- piah, impor jadi lebih esien daripada produksi sendiri,” imbuhnya. Meski begitu, dia mengakui pasar alas kaki Indonesia yang besar memang belum tertutupi produsen lokal. Saat ini, pangsa pasar produk alas kaki lokal dan asing masih 50%-50%. Akan tetapi, dia mengingatkan jika impor ter- us meningkat, pangsa pasar produk lokal akan terkikis. “Apalagi industri alas kaki na- sional stagnan,” tambah Eddy. (*/E-5) PEMERINTAH menawarkan dua badan penyelenggara ja- minan sosial (BPJS) yang akan dibentuk dalam jangka pendek dan panjang. Dari dua badan itu, BPJS kesehatan dan tenaga kerja akan diprioritaskan untuk dibentuk. “Jika RUU BPJS sudah di- setujui, BPJS yang pertama yakni jangka pendek, untuk kesehatan, kecelakaan kerja, dan untuk kematian. BPJS yang kedua, nanti akan lebih jangka panjang seperti pensiun dan jaminan hari tua,” kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, kemarin. Dia menerangkan, pemerin- tah akan menyiapkan dana Rp2 triliun untuk BPJS kesehatan. Prioritas BPJS kesehatan ini karena dianggap bisa langsung dirasakan masyarakat. “Akan tetapi, untuk jaga skal, kita tidak bisa langsung semua (BPJS), kita mulai dengan ke- sehatan,” sebutnya. Di rapat Pansus RUU BPJS yang dihadiri tujuh menteri itu, Agus memahami saat ini sudah ada jaminan kesehatan bagi masyarakat alias jamkesmas. Namun, dia menjanjikan ke- duanya tidak akan bertabrakan atau tumpang tindih. Jamkes- mas akan didorong sebagai bantuan sosial, sedangkan BPJS akan diarahkan menjadi asuransi sosial. Lebih jauh, ia menyatakan nantinya BPJS akan dikelola badan hukum yang mengguna- kan prinsip-prinsip wali ama- nah. Di dalamnya juga akan melebur empat BUMN yang biasa menangani asuransi, yakni Askes, Asabri, Jamsostek, dan Taspen. “Askes yang paling bisa kita lihat, tapi hanya untuk PNS (pegawai negeri sipil), SJSN kan bukan hanya untuk PNS. Jamsostek ke depannya juga bisa digabung jadi BPJS, selama ini Jamsostek hanya cover pekerja formal, nantinya akan diperluas untuk formal dan miskin,” ungkapnya. RUU BPJS merupakan ama- nah dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam rapat yang dihadiri hanya 19 anggota pansus dari Komisi IX DPR tersebut, sempat dipertanyakan tentang hilangnya 143 poin dari 263 poin di daftar inven- taris masalah (DIM). Menurut Agus, hal itu karena banyak poin yang diajukan sudah ada dalam UU SJSN. “Penghapus- an 143 DIM yang diajukan DPR karena DIM itu terkait langsung dengan UU SJSN. Bukankah, BPJS itu turunan dari SJSN,” tukasnya. Pemerintah juga menyetujui RUU BPJS bersifat penetapan dan pengaturan. Selain seba- gai jaminan bagi masyarakat, itu juga agar BPJS nantinya dikelola dengan baik. “Jangan sampai sistem jaminan sosial ini jadi beban, seperti di negara- negara maju,” pungkasnya. (FD/E-5) BADAN Pelaksana Hulu Mi- nyak dan Gas (BP Migas) dini- lai tidak konsisten terhadap PT Pertamina. Hal itu terlihat dari pernyataan BP Migas yang ber- tolak belakang dengan realisasi pencapaian Pertamina. Demikian diungkapkan Direktur Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batu- bara di Jakarta, kemarin. Ia mengatakan salah satu ketidakkonsistenan itu terlihat saat proses perpanjangan Blok West Madura Offshore. Saat itu BP Migas menyatakan meragu- kan kinerja Pertamina. “Ini aneh. Diragukan, tapi kenapa ada surat BP Migas yang meng- apresiasi kinerja Pertamina,” kata Marwan. Ketidakkonsistenan lainnya, lanjutnya, ditunjukkan BP Migas saat menyatakan laju pengurasan minyak Pertamina hanya 4,5%. Padahal, pencapai- an pengurasan BUMN migas itu sudah mencapai 7,4%. Sesuai surat BP Migas nomor 0147/BPB0000/2011/S1, pada 2010 produksi minyak Pertam- ina EP mencapai 128.882 barel per hari (bph) atau 100,69% dari target APBN 2010 sebesar 128.000 bph. Pencapaian produksi itu 2,8% di atas realisasi produksi 2009 sebesar 125.365 bph. Kare- na pencapaian itu, BP Migas memberi apresiasi melalui surat yang ditandatangani Deputi Pengendalian Operasi BP Migas Budi Indianto pada 8 Februari 2011. Sementara itu, anggota Komi- si VII DPR M Romahurmuziy menilai, selama lima tahun terakhir, Pertamina EP men- catat kenaikan produksi yang signikan. “Pertamina menjadi satu-satunya kontraktor yang mengalami kenaikan produksi,” katanya. Ia juga mengapresiasi laju pengurasan Pertamina EP yang sudah di atas 7%. Secara terpisah, Manajer Humas Pertamina EP Agus Amperianto menyampai- kan pihaknya mencatat hasil produksi minyak yang melam- paui target dari enam lapang- annya pada Mei 2011, yang terdiri dari lapangan Rantau, Lirik, Bunyu, Sangasanga, Ta- rakan, dan Tambun. Lapangan Rantau berhasil memproduksi 2.861 bph atau 117% dari target, Lirik menca- pai 2.375 bph atau 106% dari target, dan Bunyu mencapai 6.249 bph atau 135% dari target. (ML/Ant/E-4) Industri Komponen Minim Impor Sepatu Melonjak Pemerintah Tawarkan Dua Bentuk BPJS BP Migas tidak Konsisten terhadap Pertamina 14 Namun, untuk jaga fiskal, kita tidak bisa langsung semua (BPJS), kita mulai dengan kesehatan.” Agus Martowardojo Menteri Keuangan KEBUTUHAN PUPUK: Petani menyebar pupuk urea di lahan persawahannya di Jorong, Pasanehan, Nagari Lasi, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, kemarin. Kebutuhan pupuk urea bersubsidi di Sumatra Barat setiap bulan rata-rata mencapai 5.000 ton. ANTARA/ARIF PRIBADI SEPATU IMPOR: Pembeli memilih sepatu impor di Kebayoran, Jakarta, beberapa waktu lalu. MI/PANCA SYURKANI

Upload: lydien

Post on 04-May-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

EKONOMI NASIONAL JUMAT, 13 MEI 2011

MARCHELO

PEMERINTAH diminta tidak buru-buru me-realisasikan pemba-ngunan pembangkit

listrik tenaga nuklir (PLTN) di Tanah Air. Sebaliknya, rencana pembangunan PLTN itu perlu dievaluasi dan dikaji ulang mengingat adanya potensi risiko yang tinggi karena In-donesia termasuk daerah yang rawan gempa.

Hal itu mengemuka dalam Seminar PLTN di Indonesia: Aspek Kesejahteraan dan Kese-lamatan, yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, kemarin.

Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi, setidaknya ada tiga hal yang menjadi pertimbang-

an sebelum merealisasikan pembangunan PLTN. Ketiga pertimbangan itu ialah wilayah Indonesia yang rawan gempa, faktor keamanan di dalam ne-ge ri terkait masalah terorisme, dan ketersediaan bahan baku uranium.

Tentunya masih segar da-lam ingatan kita akibat yang ditim bulkan dari ledakan reaktor nuklir di Jepang be-berapa waktu lalu. ‘Negeri Sakura’ mengalami krisis nuklir akibat gempa bumi yang merusak ins talasi PLTN di Fukushima.

Bencana itu tidak hanya ber-dampak kepada Jepang, tapi juga telah membuat negara-negara di dunia berpikir kem-bali tentang keberadaan nuklir mereka.

Selain gempa bumi, untuk Indonesia, ancaman kedua ber-asal dari aksi terorisme. Hingga saat ini, kegiatan teroris me di Tanah Air belum dapat dire-dam sepenuhnya sehingga menimbulkan kekhawatiran dapat menyerang instalasi PLTN.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan pemerintah, kata

Rinaldy, adalah beban biaya yang harus dipikul masyarakat untuk mengimpor bahan baku uranium.

“Dari ketiga pertimbangan itu, maka harga investasi PLTN akan semakin mahal karena tingkat keamanan yang diper-lukan lebih tinggi,” imbuh-nya.

Alternatif terakhirSementara itu, Kepala Lem-

baga Riset dan Pengembang-an Manajemen Institut Bisnis Nusantara Iwan Kurniawan berpendapat, pemerintah lebih baik memprioritaskan pengem-bangan energi terbarukan dahulu daripada mengelola PLTN. Apalagi potensi sumber energi terbarukan di Indonesia cukup besar.

“Kenapa tidak kita priori-taskan pengembangan energi terbarukan dulu? PLTN bukan berarti tidak boleh, tapi sabar saja dulu,” kata Iwan.

Menurutnya, PLTN sebaik-nya baru diaplikasikan setelah semua energi lainnya sudah optimal digunakan. Bahkan, lanjutnya, Indonesia lebih baik terlambat menggunakan PLTN

daripada harus terlalu cepat. “Kalau semua potens i

( energi) sudah digali, strategi-nya akan jadi lebih bagus da-lam jangka panjang. Mungkin ini (pembangunan PLTN) akan terjadi pada tahun 2040 atau 2050. Tapi menurut saya lebih baik terlambat daripada terlalu cepat,” ujarnya.

Ia menambahkan, jika dilihat dari cadangan bahan baku PLTN, uranium di Indonesia hanya sebanyak 53 ribu ton. Jumlah tersebut diperkirakan hanya bisa menyokong lima PLTN berkapasitas 1.000 Mw dengan waktu operasi 25 ta-hun. Adapun masa waktu operasi PLTN sendiri mencapai 60 tahun.

“Indonesia tidak memiliki uranium yang cukup untuk ope rasi PLTN hingga 50-60 tahun. Jadi harus dipikirkan kembali,” cetusnya.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah berpikir secara ma-tang sebelum merealisasikan pembangunan PLTN di Tanah Air. (E-4)

[email protected]

Rawan GempaPLTN tidak Tepat

Indonesia tidak memiliki uranium yang cukup untuk operasi PLTN hingga 50-60 tahun.

KEMENTERIAN Perdagangan dalam empat bulan pertama 2011 mencatat adanya lonjakan impor alas kaki sebesar 43,47% ketimbang periode yang sama tahun lalu, senilai US$42,12 juta. Lonjakan itu disebabkan minimnya industri komponen bahan baku alas kaki.

“Beberapa bahan baku produksi sepatu kita memang impor, beberapa seperti sol tertentu, label, atau kancing, dan sebagainya,” ujar Direktur Industri Tekstil dan Aneka Ke-menterian Perindustrian Budi Irmawan, di Jakarta, kemarin.

Dia mengakui, industri kom-ponen alas kaki di Tanah Air masih belum berkembang. Walaupun ada peningkatan investasi, masih baru. Karena itu, belum siap memenuhi kebutuhan pasar yang ada. Setidaknya lima perusahaan Taiwan dan Korea Selatan berkomitmen untuk mena-namkan modal US$500 juta di Indonesia.

Budi menduga i tu ada hubungannya dengan kenai-kan impor alas kaki. Impor tersebut merupakan impor alas kaki untuk segmen kalang-an bawah yang produksinya dibuat masif dengan kualitas tak terlalu baik.

“Kami tidak tahu persisnya berapa, tapi yang jelas banyak di antaranya ilegal juga dan umumnya merupakan rem-besan dari China. Untuk kelas atas belum ada impornya.”

China memang tercatat seba-gai eksportir alas kaki terbesar ke Indonesia. Namun, menurut Budi, produksi dalam negeri

untuk kelas yang sama sudah mulai tumbuh. Industri lokal sudah mampu memproduksi barang lebih bagus dan mu-rah. Namun, kendalanya pada masalah kecepatan produksi. Alhasil, sampai saat ini pasar alas kaki kelas bawah masih dikuasai produk China. Se-baliknya, industri lokal lebih menguasai pasar alas kaki kelas menengah.

Kendati begitu, Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan, kenaikan im-por sepatu lebih disebabkan penguatan rupiah atas dolar

Amerika Serikat. “Karena kurs dolar melemah terhadap ru-piah, impor jadi lebih efi sien daripada produksi sendiri,” imbuhnya.

Meski begitu, dia mengakui pasar alas kaki Indonesia yang besar memang belum tertutupi produsen lokal.

Saat ini, pangsa pasar produk alas kaki lokal dan asing masih 50%-50%. Akan tetapi, dia mengingatkan jika impor ter-us meningkat, pangsa pasar produk lokal akan terkikis. “Apalagi industri alas kaki na-sional stagnan,” tambah Eddy. (*/E-5)

PEMERINTAH menawarkan dua badan penyelenggara ja-minan sosial (BPJS) yang akan dibentuk dalam jangka pendek dan panjang. Dari dua badan itu, BPJS kesehatan dan tenaga kerja akan diprioritaskan untuk dibentuk.

“Jika RUU BPJS sudah di-setujui, BPJS yang pertama yakni jangka pendek, untuk kesehatan, kecelakaan kerja, dan untuk kematian. BPJS yang kedua, nanti akan lebih jangka panjang seperti pensiun dan jaminan hari tua,” kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, kemarin.

Dia menerangkan, pemerin-tah akan menyiapkan dana Rp2 triliun untuk BPJS kesehatan. Prioritas BPJS kesehatan ini karena dianggap bisa langsung dirasakan masyarakat. “Akan tetapi, untuk jaga fi skal, kita tidak bisa langsung semua (BPJS), kita mulai dengan ke-sehatan,” sebutnya.

Di rapat Pansus RUU BPJS yang dihadiri tujuh menteri itu, Agus memahami saat ini sudah ada jaminan kesehatan bagi masyarakat alias jamkesmas.

Namun, dia menjanjikan ke-duanya tidak akan bertabrakan atau tumpang tindih. Jamkes-mas akan didorong sebagai bantuan sosial, sedangkan BPJS akan diarahkan menjadi asuransi sosial.

Lebih jauh, ia menyatakan nantinya BPJS akan dikelola badan hukum yang mengguna-kan prinsip-prinsip wali ama-nah. Di dalamnya juga akan melebur empat BUMN yang biasa menangani asuransi, yakni Askes, Asabri, Jamsostek, dan Taspen.

“Askes yang paling bisa kita lihat, tapi hanya untuk PNS (pegawai negeri sipil), SJSN kan bukan hanya untuk PNS. Jamsostek ke depannya

juga bisa digabung jadi BPJS, selama ini Jamsostek hanya cover pekerja formal, nantinya akan diperluas untuk formal dan miskin,” ungkapnya.

RUU BPJS merupakan ama-nah dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam rapat yang dihadiri hanya 19 anggota pansus dari Komisi IX DPR tersebut, sempat dipertanyakan tentang hilangnya 143 poin dari 263 poin di daftar inven-taris masalah (DIM). Menurut Agus, hal itu karena banyak poin yang diajukan sudah ada dalam UU SJSN. “Penghapus-an 143 DIM yang diajukan DPR karena DIM itu terkait langsung dengan UU SJSN. Bukankah, BPJS itu turunan dari SJSN,” tukasnya.

Pemerintah juga menyetujui RUU BPJS bersifat penetapan dan pengaturan. Selain seba-gai jaminan bagi masyarakat, itu juga agar BPJS nantinya dikelola dengan baik. “Jangan sampai sistem jaminan sosial ini jadi beban, seperti di negara-negara maju,” pungkasnya. (FD/E-5)

BADAN Pelaksana Hulu Mi-nyak dan Gas (BP Migas) dini-lai tidak konsisten terhadap PT Pertamina. Hal itu terlihat dari pernyataan BP Migas yang ber-tolak belakang dengan realisasi pencapaian Pertamina.

Demikian diungkapkan Direktur Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batu-bara di Jakarta, kemarin.

Ia mengatakan salah satu ketidakkonsistenan itu terlihat saat proses perpanjangan Blok West Madura Offshore. Saat itu BP Migas menyatakan meragu-kan kinerja Pertamina. “Ini aneh. Diragukan, tapi kenapa ada surat BP Migas yang meng-apresiasi kinerja Pertamina,” kata Marwan.

Ketidakkonsistenan lainnya, lanjutnya, ditunjukkan BP Migas saat menyatakan laju

pengurasan minyak Pertamina hanya 4,5%. Padahal, pencapai-an pengurasan BUMN migas itu sudah mencapai 7,4%.

Sesuai surat BP Migas nomor 0147/BPB0000/2011/S1, pada 2010 produksi minyak Pertam-ina EP mencapai 128.882 barel per hari (bph) atau 100,69% dari target APBN 2010 sebesar 128.000 bph.

Pencapaian produksi itu 2,8% di atas realisasi produksi 2009 sebesar 125.365 bph. Kare-na pencapaian itu, BP Migas memberi apresiasi melalui surat yang ditandatangani Deputi Pengendalian Operasi BP Migas Budi Indianto pada 8 Februari 2011.

Sementara itu, anggota Komi-si VII DPR M Romahurmuziy menilai, selama lima tahun terakhir, Pertamina EP men-

catat kenaikan produksi yang signifi kan. “Pertamina menjadi satu-satunya kontraktor yang mengalami kenaikan produksi,” katanya. Ia juga mengapresiasi laju pengurasan Pertamina EP yang sudah di atas 7%.

Secara terpisah, Manajer Humas Pertamina EP Agus Amperianto menyampai-kan pihaknya mencatat hasil produksi minyak yang melam-paui target dari enam lapang-annya pada Mei 2011, yang terdiri dari lapangan Rantau, Lirik, Bunyu, Sangasanga, Ta-rakan, dan Tambun.

Lapang an Rantau berhasil memproduksi 2.861 bph atau 117% dari target, Lirik menca-pai 2.375 bph atau 106% dari target, dan Bunyu mencapai 6.249 bph atau 135% dari target. (ML/Ant/E-4)

Industri Komponen Minim Impor Sepatu Melonjak

Pemerintah TawarkanDua Bentuk BPJS

BP Migas tidak Konsistenterhadap Pertamina

14

Namun, untuk jaga fiskal, kita tidak

bisa langsung semua (BPJS), kita mulai dengan kesehatan.”

Agus MartowardojoMenteri Keuangan

KEBUTUHAN PUPUK: Petani menyebar pupuk urea di lahan persawahannya di Jorong, Pasanehan, Nagari Lasi, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, kemarin. Kebutuhan pupuk urea bersubsidi di Sumatra Barat setiap bulan rata-rata mencapai 5.000 ton.

ANTARA/ARIF PRIBADI

SEPATU IMPOR: Pembeli memilih sepatu impor di Kebayoran, Jakarta, beberapa waktu lalu.

MI/PANCA SYURKANI