kajian: delik penghinaan presiden bangkit dari...
TRANSCRIPT
Kajian:
Delik Penghinaan Presiden “Bangkit dari
Kubur?”
Dewan Mahasiswa Justicia
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
2018
A. Pendahuluan
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang
sedang dalam proses perumusan pada saat kajian ringkas ini ditulis menuai banyak kontroversi.
Dimulai dari pasal penghinaan presiden yang kembali dirumuskan sampai delik tentang
korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang
terpisah sebagaimana yang terdapat pada hukum positif Indonesia sekarang ini (14/06/2018).
Tulisan ini akan secara spesifik membahas mengenai pasal penghinaan presiden. Pada tahun
2006 Mahkamah Konstitusi (MK) pernah mencabut pasal penghinaan presiden yang terdapat
dalam KUHP yang berlaku sekarang ini. Lebih tepatnya dengan putusan No. 013-022/PUU-
IV/2006 di mana dalam putusan tersebut seluruh permohonan pemohon dikabulkan
sepenuhnya sehinggal pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP hasil konkordasi dari wetboek von
strafrecht (WVS) dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat. Lebih lagi oleh berbagai pihak
pasal tersebut dinilai sebagai pasal karet sehingga akan berimplikasi pada terciptanya
ketidakpastian hukum, hal ini tidak terlepas dari kekosongan pengaturan mengenai tindakan
seperti apa yang dapat dikategorikan atau memenuhi unsur menghina dalam pasal tersebut dan
juga mengaca pada kasus-kasus ketidakadilan yang terjadi akibat kekosongan pengaturan
tersebut contohnya pada kasus yang menimpa Eggi Sudjana pada tahun 2006. Tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk menunjukan sikap mendukung atau tidak mendukung dirumuskannya
pasal tersebut dalam RUU KUHP melainkan lebih mengarah pada mengkaji pasal tersebut dari
sisi historis, rumusan delik, dan keabsahan perumusah pasal secara formil.
B. Historis
Sudah menjadi rahasia umum bahwa permasalahan pasal penghinaan presiden bukan barang
baru dalam sistem hukum Indonesia. Dalam KUHP yang sekarang berlaku pun (KUHP hasil
konkordasi dari WVS Belanda) terdapat rumusan pasal penghinaan presiden lebih tepatnya pada
pasal 134, 136bis, dan 137. Pasal-pasal ini pun menuai kontroversi dengan alasan yang kurang
lebih sama dengan kontroversi yang terjadi sekarang. Tetapi seperti yang telah dinyatakan
secara eksplisit dalam pendahuluan. Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan putusan yang
menyatakan pasal-pasal bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena
dinilai tidak konstitusional. Hal tersebut menimbulkan tanda tanya besar di benak banyak orang
ketika pasal penghinaan presiden kembali dirumuskan kedalam RUUKUHP. Melihat dari
sejarahnya, pasal tersebut merupakan hasil konkordasi dari pasal penghinaan penguasa belanda
yang terdapat dalam WVS. KUHP sekarang berasal dari konkordasi wvs dengan beberapa
perubahan yang dinyatakan melalui beberapa Undang-undang, salah satunya pasal 134, 136bis,
dan 137 di mana kata “presiden dan wakil presiden” digunakan untuk menggantikan penguasa
belanda yang dalam hal ini berarti Ratu atau Gubernur Jenderal dan penguasa belanda di
daerah-daerah Hindia Belanda.1 Memang pasal 111 wvs belanda merumuskan hal yang serupa
dengan pasal 134 KUHP. Tentu hal tersebut sangatlah wajar mengingat Belanda merupakan
simbol sebuah negara di mana negara akan selalu melekat pada raja atau ratunya. Sehingga
harus selalu dihormati dan dilindungi dengan cara apapun. Melihat dari argumen tersebut, tidak
dapat dipungkiri bahwa merumuskan pasal khusus mengenai penghinaan pemimpin belanda
tersebut merupakan salah satu cara yang sangat wajar untuk menjaga kehormatan dan
melindungi diri serta martabat pemimpin tersebut karena dengan argumen yang sama dapat
disimpulkan bahwa dalam negara kerajaan kehormatan pemimpin sama dengan kehormatan
negara tersebut. Tetapi dalam hal ini pun terdapat pembatasan. Mengutip pendapat Prof.
Mardjono Reksodiputro dalam kesaksian ahlinya yang mengutip pendapat Noyon-Langemeijer
berpendapat “Apa yang, untuk orang lain tidak dapat dianggap sebagai penghinaan, juga bukan
penghinaan untuk Raja”.2
C. Rumusan Delik
Penting untuk disadari terlebih dahulu bahwa RUU yang menjadi dasar untuk pembuatan
kajian ini adalah RUU KUHP per 9 april. Sehingga besar kemungkinan saat kajian ini
dikeluarkan rumusan pasal yang menjadi acuan sudah berubah total atau rumusan yang tadinya
hanya menjadi alternatif menjadi rumusan pasal yang sebenarnya atau bahkan bisa saja
rumusan delik penghinaan presiden tidak jadi dimasukan. Dikarenakan suatu rancangan
undang-undang bersifat sangat cair. Cair dalam artian, besar kemungkinan terjadi perubahan
dalam rumusan pasal yang bersangkutan. Hal tersebut akan sangat bergantung dengan
dinamika politik hukum yang sedang terjadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa bagaimapun suatu
Undang-Undang merupakan produk politik.
Berdasarkan RUU KUHP per 9 april 2018 pasal penghinaan presiden yaitu pasal 238 dan 239
dirumuskan sebagai berikut. Pasal 238 ayat (1) berbunyi:
1 Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006, hal.24 2 Ibid, hal.42
“Setiap Orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.”3
dan ayat (2) pasal yang bersangkutan berbunyi:
“Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”4
dengan alternatif yang dikeluarkan per 2 april 2018 sebagai berikut. Untuk ayat (1)
“Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan
martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”5
dan ayat (2)
“Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan
aduan.”6
serta terdapat usulan untuk ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut:
“Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh kuasa
Presiden atau Wakil Presiden.”7
Melihat rumusan deliknya (tanpa memandang alternatif rumusan delik) maka jelas bahwa
sejatinya rumusan delik ini merupakan delik biasa atau gewone delict. Menurut Prof. Eddy
dalam bukunya prinsip-prinsip hukum pidana. Hal yang menjadi pembeda utama delik biasa
atau gewone delict dengan delik aduan atau klacht delict adalah bahwa dalam delik aduan
maka perlu adanya pengaduan untuk memproses perkara tersebut lebih lanjut.8 Delik tersebut
akan menjadi delik aduan jika secara eksplisit syarat tersebut dirumuskan dalam pasal
sebagaimana tertulis dalam pasal 25 ayat (2) RUU KUHP per 9 april yang menyatakan:
3 Pasal 238 ayat (1) Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana per 9 april 2018 4 Pasal 238 ayat (2) Ibid. 5 Alternatif pasal 238 ayat (1) Ibid. 6 Alternatif pasal 238 ayat (2) Ibid. 7 Usual pasal 238 ayat (3) Ibid. 8 Hiarej, Eddy. (2016). Prinsip-prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, Hal. 145
“Tindak Pidana aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditentukan secara
tegas dalam Undang-Undang.”9
Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada usulan pasal 238 ayat (2) dan (3) yang telah dituliskan
di atas. Di mana mensyaratkan pelaku kejahatan hanya dapat dituntut jika terdapat pengaduan
dan pada ayat (3) pengaduan tersebut dapat dilaksanakan oleh kuasa presiden atau wakil
presiden. Hal ini berimplikasi pada diperbolehkannya orang lain atas nama presiden atau wakil
presiden untuk mengadukan kejahatan yang terjadi jika dan hanya jika mendapatkan kuasa oleh
pihak yang bersangkutan. Dapat disimpulkan pula dengan adanya eksistensi ayat tersebut
berarti pasal 28 RUU KUHP tidak berlaku. Sedangkan pasal 26 dan 27 RUU KUHP yang
memperbolehkan aduan dilakukan oleh orang lain selain orang yang bersangkutan jika
memenuhi persyaratan yang disyaratkan oleh pasal bersangkutan sedari awal tidak mungkin
berlaku. Hal ini dikarenakan tidaklah mungkin seorang presiden belum berusia 16 tahun
sebagaimana pengecualian orang yang mengadu seperti yang diatur dalam pasal 26 dan
tidaklah mungkin seorang presiden berada di bawah pengampuan sebagaimana pengecualian
orang yang dapat mengadu seperti yang diatur dalam pasal 27.
Implikasi dari hal tersebut berarti jika rumusan delik tersebut tidak berubah. Maka tidak
diperlukan adanya pengaduan terlebih dahulu dari presiden, wakil presiden, atau pihak lain
yang diperbolehkan Undang-Undang untuk menindaklanjuti dugaan tindak pidana penghinaan
presiden atau wakil presiden. Sedangkan jika saat RUU KUHP ini disahkan dan diundangkan
perumus RUU KUHP memutuskan untuk menggunakan rumusan delik alternatif yang tertera
diatas, atau rumusan yang sejenis yang pada intinya membuat rumusan delik tersebut menjadi
delik aduan. Maka perlu ada pengaduan dari pihak yang bersangkutan atau pihak-pihak lain
yang diperbolehkan Undang-Undang terlebih dahulu sebelum dugaan tindak pidana
penghinaan presiden atau wakil presiden.
Mengenai hal yang selalu menjadi kontroversi sampai saat ini. Yaitu parameter yang digunakan
untuk menilai apakah suatu tindakan dapat disebut sebagai penghinaan atau tindakan seperti
apa yang memenuhi unsur penghinaan atau unsur menyerang kehormatan atau harkat dan
martabat diri presiden memang tidak disebutkan secara jelas dalam pasal yang bersangkutan.
Tetapi dapat dilihat pada bagian penjelasan pasal yang bersangkutan. Penjelasan pasal 238 ayat
(1) RUU KUHP per 2 Februari 2018 yang kurang lebih merumuskan hal yang sama. Pada
9 Pasal 25 ayat (2) Op.cit.
intinya menjelaskan bahwa penghinaan termasuk di dalamnya menista dengan surat,
memfitnah, dan menghina untuk tujuan memfitnah adalah segala tindakan di muka umum yang
menyerang harkat dan martabat presiden atau wakil presiden, dan hal tersebut dapat diukur
berdasarkan berbagai aspek yaitu agama, moral, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai
kemanusiaan/atau ham.10 Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan. Tetapi melihat dari
penjelasan pasal tersebut, memang mengurangi sifat karet dari pasal 238, yang mana besarnya
kemungkinan multitafsir pasal tersebut menjadi ketakutan atau kegelisahan banyak orang.
Parameternya adalah nilai-nilai yang hidup pada rakyat, hal ini mengembalikan kita pada
pernyataan Prof. Mardjono Reksodiputro dalam kesaksian ahlinya yang mengutip pendapat
Noyon-Langemeijer berpendapat “Apa yang, untuk orang lain tidak dapat dianggap sebagai
penghinaan, juga bukan penghinaan untuk Raja”.11 Implikasinya, jika rakyat tidak
menghendaki suatu peristiwa sebagai penghinaan maka hal tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai penhinaan. Jika dipahami secara komprehensif, seolah-olah memang pasal tersebut
memiliki parameter yang jelas dimana nilai-nilai yang terkandung dan hidup dalam rakyat
menjadi parameter tersebut. Tetapi tentunya hal ini juga akan menimbulkan masalah-masalah
dan pertanyaan-pertanyaan baru. Menurut KBBI daring rakyat berarti penduduk suatu negara.12
Akan menjadi naif jika siapapun tidak menyadari atau menolak menyadari bahwa bangsa
Indonesia yang terdiri dari sabang sampai merauke berisikan rakyat dari suku dan kebudayaan
yang berbeda-beda. Keberbedaan ini memang baik dan dapat menjadikan kita suatu bangsa
yang kuat, tetapi dalam kasus ini perbedaan dapat menjadi masalah. Perlu disadari dengan
berbedanya budaya yang ada maka nilai-nilai yang hidup juga akan berbeda. Singkatnya apa
yang baik di suatu wilayah belum tentu merupakan hal yang baik di wilayah lain atau bahkan
ekstremnya dapat merupakan suatu bentuk penghinaan di wilayah lain meskipun masih di
dalam wilayah Repubik Indonesia. Kenyataan tersebut memunculkan sebuah pertanyaan
“Nilai-nilai yang manakah yang dipakai sebagai parameter?” atau mungkin pertanyaan yang
lebih mendasar “Siapakah yang dimaksud rakyat dalam pernyataan nilai-nilai yang terkandung
didalam rakyat?”. Alih-alih menyelesaikan masalah, hal ini hanya akan membawa kita berputar
kembali ke pertanyaan awal “Seperti apa parameter yang digunakan untuk menentukan
penghinaan?” Terlepas dari permasalahan yang mungkin muncul setidak-tidaknya dapat
10 Penjelasan pasal 238 ayat (1) Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana per 2 Februari 2018 11 Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006, hal.24 12 Kemdikbud. Rakyat. KBBI online. [online] tersedia di: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/rakyat [Diakses: 14 november 2018]
dinyatakan bahwa telah ada usaha untuk memberikan parameter penilai suatu tindakan apakah
merupakan penghinaan atau bukan.
Sedangkan pasal 239 RUU KUHP berbunyi sebagai berikut:
“Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau
gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga
terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden
dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.”
Perbedaan mendasar antara kedua pasal selain sanksi yang diberikan dapat terlihat dengan
jelas. Di mana tindakan penghinaan akan memenuhi unsur pasal 239 jika dilakukan dengan
menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar, dan
memperdengarkan rekaman. Sehingga penghinaan harus dilakukan dengan media tertentu.
Selain itu dikarenakan tidak dirumuskan secara expressive verbis dalam pasal yang
bersangkutan dapat disimpulkan delik yang dirumuskan merupakan delik biasa bukan delik
aduan. Sehingga polisi atau instansi lain yang berwenang untuk menindaklanjuti dugaan tindak
pidana penghinaan presiden tidak diperlukan adanya pengaduan terlebih dahulu
D. Cacat formiil
Selain kekaretan pasal, keabsahan rumusan pasal tersebut juga sering dipermasalahkan banyak
pihak. Mengingat telah ada putusan MK yang menyatakan rumusan pasal penghinaan presiden
tidak konstitusional, lebih tepatnya putusan No. 013-022/PUU-IV/2006. Sehingga perlu
dibahas lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Pada prinsipnya putusan MK bersifat final and binding dimana begitu putusan dibacakan,
putusan tersebut langsung memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini dapat dilihat pada pasal
47 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. UU No. 8 tahun 2011 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan:
“Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.”13
Begitu mendapat kekuatan hukum mengikat, berarti putusan tersebut berlaku bagi semua pihak
atau dengan kata lain erga omnes. Berlakunya putusan ini bagi semua pihak berarti pihak-pihak
yang bersangkutan harus melakukan tindak lanjut terhadap putusan MK tersebut dimana dalam
hal ini berarti jika perlu adanya perubahan pasal yang bersangkutan presiden dan/atau DPR
harus segera bertindak sebagai mana yang ternyatakan pada pasal 59 ayat (2) UU No. 8 tahun
2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi:
“Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau
Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”14
Meskipun begitu seringkali hal tersebut hanya merupakan Das Sollen sedangkan berbicara
tentang Das Sein seringkali tidak ada tindakan nyata untuk mengubah pasal yang bersangkutan.
Meskipun begitu bukan berarti tidak ada tindak lanjut dari pihak terkait. Seringkali tindak
lanjut ada pada perubahan peraturan pelaksana. Hal ini memang baik karena berarti ada tindak
lanjut secara nyata, tetapi jadi menimbulkan masalah. Jika pasal yang bersangkutan tidak
berubah apakah peraturan pelaksana yang diubah sesuai dengan ketentuan pasal yang
bersangkutan? Atau menjadi masalah lagi ketika pasal yang bersangkutan dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat, berarti seharusnya tidak ada peraturan pelaksana sama
sekali karena peraturan pelaksana sejatinya merupakan pengaturan lebih lanjut untuk
melaksanakan ketentuan pasal yang bersangkutan.
Berkenaan dengan hal tersebut. Sejatinya rumusan pasal yang telah dinyatakan oleh MK
sebagai pasal yang tidak konstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka
tidak dapat dirumuskan kembali. Perlu diingat yang diuji oleh MK adalah muatan pasal atau
kaidah serta norma yang terkandung dalam pasal tersebut. Sehingga ketika dinyatakan tidak
konstitusional maka kaidah atau norma yang terkandung dalam pasal tersebut tidak
konstitusional, konsekuensinya adalah meskipun dirumuskan kembali, norma tersebut akan
13 Pasal 47 UU No. 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi jo. UU No. 8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 14 Pasal 59 Ibid.
tetap tidak konstitusional sehingga seharusnya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
karena putusan MK bersifat final and binding. Meskipun demikian seringkali ditemukan
rumusan pasal yang dinyatakan tidak konstitusional oleh MK dirumuskan kembali. Berkaitan
dengan hal ini MK tidak bisa memberikan sanksi apapun untuk menindak lanjutinya karena
memang tidak ada pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut. Hal ini mengindikasikan
kelemahan MK secara eksekutorial. Menurut Aminoto, dosen Tata Negara Fakultas Hukum
UGM, hal ini yang seringkali membuat antar instansi pemerintah (dalam arti luas) tidak
konsisten dan tidak memiliki sinergisitas yang baik. Hal tersebut juga yang mungkin menjadi
dasar perubahan pasal 60 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimana UU
No. 8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menambahkan ketentuan jika terdapat materi muatan UUD NRI 1945
yang menjadi alasan berbeda maka rumusan pasal atau materi muatan pasal yang pernah diuji
dapat diujikan kembali. Hal tersebut dapat terlihat dari pasal 60 ayat (2) UU No. 8 tahun 2011
yang menyatakan
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi
muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dijadikan dasar pengujian berbeda.”15
Dimana ayat (1) menyatakan:
“Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang
telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.”16
Pada pasal 60 UU No. 23 tahun 2004 tentang MK tidak terdapat ketentuan ayat (2) sebagai
mana yang terdapat dalam pasal 60 UU No.8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-
undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu dalam UU No. 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga memberikan ketentuan yang
tegas bahwa rumusan materi muatan yang diatur Undang-Undang harus berisikan tindak lanjut
dari putusan Mahkamah Konstitusi. Lebih tepatnya dapat dilihat pada pasal 10 ayat (1) huruf
d yang menyatakan:
15 Pasal 60 ayat (2) UU No. 8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 16 Pasal 60 ayat (1) Ibid.
“tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi”17
Maksud dari tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi dapat kita lihat pada bagian
penjelasan pasal terkait. Dalam penjelasan pasal, secara implisit dapat kita ambil kesimpulan
bahwa materi muatan pasal yang menurut putusan Mahkamah Konstitusi secara tegas tidak
konstitusional tidak dapat dirumuskan kembali.
Kembali menurut Aminoto jika dipaksakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dari Undang-Undang yang telah dicabut tidak dapat dirumuskan kembali, maka ketidak
konsisten antar lembaga pemerintah (dalam arti luas) akan sering terjadi, sehingga akan
menjadi tidak efektif dan memunculkan masalah baru. Oleh karena itu dapat disimpulkan pula
jika alasan yang menjadi latar belakang pengujian berbeda maka materi muatan tersebut dapat
diujikan kembali, maka jika yang menjadi alasan perumusan berbeda maka materi muatan yang
sudah dinyatakan tidak konstitusional dapat dirumuskan kembali.
Secara Historis sebagaimana yang secara singkat sudah dinyatakan dalam kajian ini, pasal
penghinaan presiden dalam KUHP yang telah dinyatakan tidak konstitusional dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat merupakan hasil dari konkordasi pasal penghinaan
penguasa belanda. Terhadap pasal penhinaan penguasa belanda, dapat dipahami dengan jelas
mengapa sangat dibutuhkan, karena belanda merupakan negara kerajaan sehingga penghinaan
terhadap penguasa tentu saja merupakan penghinaan langsung terhadap negara oleh karena itu
dapat disimpulkan pasal tersebut untuk melindungi kepala negara serta melindungi negara itu
sendiri. Hal ini disebabkan selalu melekatnya suatu entitas negara terhadap diri kepala negara
tersebut. Seperti yang telah dibahas memang dirasa kurang relevan alasan tersebut untuk
konteks Indonesia tetapi dikarenakan pasal dalam KUHP merupakan hasil konkordasi maka
begitulah adanya. Jika dilihat dalam penjelasan RUU KUHP yang melatarbelakangi
dirumuskan kembali pasal tersebut adalah janggal jika penghinaan terhadap orang biasa dengan
orang yang sudah meninggal serta penghinaan terhadap bendera/lagu kebangsaan, lambang
negara, dan yang lainnya dibedakan dan memiliki pengaturan khusus namun penghinaan
terhadap presiden selaku kepala negara dan pemerintahan di Indonesia tidak dibedakan dan
diberikan pengaturan khusus.18 Sedari awal posisi atau kedudukan presiden sudah berbeda
17 Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 18 Penjelasan pasal 238 ayat (1) Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana per 2 Februari 2018
sehingga menjadi tidak adil dan aneh jika dipermasalahkan dengan prinsip “Equality before
the law”
Dilihat dari dua alasan tersebut, latar belakang munculnya pasal penghinaan presiden berbeda
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak menjadi masalah jika pasal tersebut dirumuskan
kembali. Meskipun demikian mengenai keabsahan bahwa suatu pasal yang pernah dinyatakan
tidak konstitusional oleh putusan Mahkamah Konstitusi dapat dirumuskan kembali dengan
alasan atau semangat yang berbeda masih dan akan menjadi perdebatan lebih lanjut.
Jika diteliti lebih lanjut, pada KUHP sekarang yang mana merupakan hasil konkordasi dari
WVS Belanda. Pasal penghinaan presiden yang dinyatakan tidak konstitusional adalah pasal
penghinaan presiden yang termasuk dalam delik biasa. Menjadi pertanyaan lebih lanjut jika
perumus RUU KUHP memutuskan pada akhirnya merumuskan pasal penghinaan presiden
sebagai delik aduan, apakah pasal tersebut tetap bertentangan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi? Dilihat dari rumusannya dapat dikatakan tidak. Karena berisi materi muatan dan
rumusan delik yang berbeda dimana yang dinyatakan tidak konstitusional adalah pasal
penhinaan presiden yang merupakan delik biasa bukan delik aduan.
Dilihat sekilas, memang rasanya sistem hukum Indonesia terlihat baik. Dimana kemungkinan-
kemungkinan untuk terjadinya kekosongan hukum hampir tidak ada. Tetapi jika diteliti baik-
baik, dapat disadari bahwa ketatanegaraan Republik Indonesia masih sangat kacau dan terdapat
banyak masalah. Tidak konsistennya para pemegang kekuasaan di Indonesia dapat
menimbulkan efek bola salju dimana dari satu masalah yang terlihat kecil menjadi masalah
yang sangat besar dan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan Republik Indonesia. Oleh
karena itu sebenarnya diperlukan reformasi ketatanegaraan Republik Indonesia untuk
menjamin keberlangsungan kehidupan kenegaraan yang lebih baik lagi.
E. Penutup
Sebelum melangkah lebih lanjut perlu diingat bahwa sampai tulisan ini ditulis RUU KUHP
belum disahkan sehingga besar kemungkinan akan terdapat beberapa revisi di kemudian hari
termasuk salah satunya tidak jadinya dirumuskan pasal yang bersangkutan.
Alasan kembali dirumuskannya pasal tersebut dapat dilihat dengan jelas pada penjelasan pasal
tersebut. Pada intinya pasal tersebut kembali dirumuskan dikarenakan dirasakan janggal jika
penghinaan biasa, penginaan terhadap orang mati, penghinaan terhadap kepala negara sahabat,
penhinaan terhadap lambang negara,dan penghinaan lainnya dirumuskan secara khusus tetapi
penghinaan terhadap kepala negara sendiri tidak dirumuskan.19 Berkenaan dengan
pemberlakuan asal persamaan di hadapan hukum perlu diingat bahwa terdapat perbedaan
mendasar antara persamaan di hadapan hukum sebagai mana yang dianut oleh Indonesia
dengan kesamaan di hadapan hukum. Di mana dalam hal persamaan di hadapan hukum berarti
perlu dilihat juga latar belakang, posisi/jabatan, dan aspek lain dari orang yang bersangkutan.
Mengingat posisi presiden dan/atau wakil presiden pada dasarnya sudah berbeda dari warga
negara biasa maka tidaklah mungkin diberikan perlakuan yang sama pula. Perbedaan posisi ini
dapat terlihat dengan jelas melalui contoh yang diberikan oleh hakim konstitusi I Dewa Gede
Palguna dan Soedarsono dalam dissenting oppinions dalam putusan MK No.013-022/PUU-
IV/2006 Bahwa dalam perspektif hukum Internasional seorang presiden dibebaskan dari
keharusan untuk menunjukan credentials ketika menghadiri perundingan untuk membahas
suatu perjanjian Internasional.20 Tentu saja pembedaan ini tidak bermaksud untuk memberikan
imunitas karena pada dasarnya tidak dikenal imunitas dalam hukum pidana dan juga bukan
untuk mengkriminalisasi pelaku kritik atau meniadakan kebebasan berekspresi sebagaimana
yang secara nyata dan jelas dinyatakan dalam penjelasan pasal 238 ayat (1).21
Hal yang selalu menjadi kontroversi selama ini, berkenaan dengan kekaretan pasal yang
bersangkutan sudah diminimalisir dengan adanya parameter yang digunakan untuk menilai
apakah suatu tindakan merupakan penghinaan atau bukan. Meskipun tidak dinyatakan secara
eksplisit jenis-jenis tindakan seperti apa saja yang disebut sebagai menghina, akal sehat
manusia seharusnya dapat membedakan dengan jelas apakah suatu tindakan merupakan
penghinaan atau tidak karena aspek-aspek yang digunakan untuk menilai sudah dinyatakan
secara jelas. Meskipun menjadi masalah karena kebudayaan masyarakat Indonesia yang
beragam sehingga apa yang baik dan yang tidak dapat sangat berbeda antar kebudayaan
tersebut. Sehingga semakin jelas bahwa pasal tersebut bukan dirumuskan untuk menghalangi
kebebasan berekspresi termasuk di dalamnya adalah dengan berdemonstrasi melainkan untuk
melindungi harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dari penghinaan yang mungkin
dilakukan oleh berbagai pihak terentu. Ditambah lagi dengan dirumuskannya pasal 238 ayat
(2) di mana tindakan yang jelas-jelas untuk kepentingan umum atau pembelaan diri tidak dapat
dikategorikan sebagai penghinaan.22 Sehingga seharusnya keberadaan pasal tersebut tidak
19 Ibid. 20 Dissenting Oppinions Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006 21 Penjelasan pasal 238 ayat (1) Op.cit. 22 Pasal 238 ayat (2) Op.cit.
perlu ditakutkan akan digunakan sebagai alat kriminalisasi oleh para penegak hukum. Hal ini
mengingat dijaminnya kebebasan berekspresi selama tidak melanggar hukum yang ada karena
perlu diingat pasal 28J UUD NRI 1945 dengan jelas mengharuskan setiap orang untuk
mengormati hak asasi orang lain dan tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang yang tentunya pembatasan dimaksudkan agar terjaminnya penghormatan hak dan
kebebasan orang lain.23
Mengenai hal-hal yang bersifat formiil. Jika rumusan pasal akhirnya ditetapkan menjadi delik
aduan maka tidak terlalu menjadi masalah. Namun akan menjadi perdebatan lebih lanjut jika
delik yang dirumuskan tetap delik biasa, meskipun terdapat ahli yang menyatakan bahwa boleh
dirumuskan kembali jika berasal dari semangat atau alasan yang berbeda.
Oleh karena itu penting bagi kita, mahasiswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
untuk terus mengawal hal ini. Bagaimanapun kita akan merasakan dampak dari pasal-pasal
yang terdapat dalam RUU KUHP ini jika nanti telah disahkan dan diundangkan. Sehingga
penting bagi kita untuk mengetahui secara komprehensif dan mendalam karena terdapat suatu
adagium Ignorante juris non excusat yang pada intinya berarti ketidaktahuan akan suatu hukum
tidak dapat menjadi alasan pemaaf.
23 Pasal 28J Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Referensi
Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Hiarej, Eddy. (2016). Prinsip-prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka
Penjelasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kemdikbud. Rakyat. KBBI online. [online] tersedia di:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/rakyat
UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
UU No. 8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
UUD NRI 1945