kajian pastoral terhadap alasan penolakan mutasi oleh ......kajian pastoral terhadap alasan...
TRANSCRIPT
i
Kajian Pastoral Terhadap Alasan Penolakan Mutasi Oleh Pendeta GMIT Diklasis Kupang
Tengah
Oleh
Frik Daut Lisnahan
712011017
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas: Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk gelar Serjana Sains Teologi (S.Si-Teol)
Program Studi Ilmu Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2019
ii
v
vi
vii
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa,
kerena kasih yang anugerah-Nya yang begitu melimpah dalam kehidupan penulis.
Secara khusus, penulis mengucapkan syukur karena tentunan dan penyertaan-Nya
yang tidak pernah berhenti bagi penulis menjalani masa pendidikan di Fakultas
Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) sehingga pada akhirnya
penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan tugas Akhir dengan baik.
Tugas Akhir ini di tulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mencapai gelar Serjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). tugas Akhir ini di
susun dengan harapan karya tulis ini dapat membantu sinode GMIT terkhusunya
Klasis Kupang Tengah, yang mana menjadi tempat penelitian penulis, untuk lebih
memahami tentang persoalan yang terjadi di GMIT, Klasis Kupang Tengah.
Penulis juga berharap tugas Akhir ini dapat berguna di kemudian hari guna
sebagai referensi atau sekedar menambah pengetahuan para pendeta GMIT,
mengenai persoalan Terhadap Alasan Penolakan Mutasi Oleh Pendeta Diklasis
Kupang Tengah. Dalam seluruh rangkaian penulisan ini, penulis menyadari bahwa
penulis ini, jauh dari kesempurnaan sehingga di perlukan kritik dan saran agar
penulis juga dapat terus di kembangkan menjadi lebih baik.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBARAN PENGESAHAN.............................................................................. ii
PENYETAAN TIDAK PLAGIAT ....................................................................... iii
PENYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ...................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian ................................... 5
1.3 Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
1.4 Metode Penelitian ........................................................................ 6
1.5 Rancangan Sistematika Penulisan .................................................. 7
2. LANDASAN TEORI ..................................................................................... 8
2.1 Pandangan Teologis GMIT .......................................................... 8
2.2 Panggilan Sebagai Pendeta .......................................................... 9
2.3 Pendeta Dalam Jebatan Gereja................................................... 10
2.4 Perkembangan Konsep Mutasi Dalam GMIT ............................ 11
2.5 Peraturan Pokok GMIT Tentang Jebatan Dan Kekaryawan ...... 12
2.6 Pandangan Konsep Mutasi Menurut Calvinisme ....................... 13
2.7 Konseling Pastoral ..................................................................... 18
2.8 Tujuan Pastoral .......................................................................... 20
x
2.9 Fungsi Pastoral ........................................................................... 21
3. Hasil Penelitian .............................................................................................. 26
3.1 Gambaran Hasil Penelitian ........................................................ 26
3.2 Deskripsi Konsep Mutasi ........................................................... 30
3.3 Makna Konsep Mutasi Bagi Pendeta ......................................... 32
3.4 Faktor-Faktor yang Memperhambat Konsep Mutasi GMIT ...... 33
4. ANAlISA ....................................................................................................... 34
4.1 Makna Konsep Mutasi Bagi Pendeta GMIT .............................. 35
4.2 Faktor-Faktor yang Memperhambat Konsep Mutasi GMIT ...... 36
5. Kesimpulan Dan Rekomendasi ..................................................................... 37
5.1 Kesimpulan ................................................................................ 37
5.2 Rekomendasi Fakultas ............................................................... 38
5.3 Rekomendasi Sinode GMIT ...................................................... 38
5.4 Daftar Pustaka ............................................................................ 40
ABSTRAK
xi
Kajian Pastoral Terhadap Alasan Penolakan Mutasi Oleh Pendeta GMIT
Diklasis Kupang Tengah.
Tugas dan fungsi pendeta sebagai pelayan firman yang terpanggil dan
sudah terdidik secara teologis, pendeta melakukan tugas sebagai fungsiologis
pastoral. Fungsi ini sudah termasuk memipin kebaktian, berkhotbah, melayani
sakramen, melayani kelompok maupun individu- individu serta mewakili jemaat
untuk gereja dan dunia. Sinode GMIT memiliki tugas sebagai wadah untuk
melaksanakan proses penempatan dan mutasi pendeta di gereja-gereja.
Istilah mutasi dilaksanakan dalam rangka penghayatan terhadap panggilan
batin dalam melaksanakan panggilan gereja. Dalam pengertian demikian, mutasi
dipahami sebagai sarana pembinaan panggilan, sehingga pendeta yang
dimutasikan dapat dipindahkan antar jemaat atau klasis. Mutasi adalah suatu
perubahan posisi, jabatan, dan tempat pekerjaan, yang dilakukan baik secara
horizontal maupu vertical (promosi atau demosi) di dalam suatu organisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan faktor-faktor penyebab
terhadap alasan para pendeta yang menolak dimutasikan. Adapun dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisa
deskriptif. Penelitian ini dilakukan di GMIT, Klasis Kupang tengah, Kota
Kupang, Provinis Nusa Tengarah Timur. Toeri yang digunakan ialah Aart M. Ven
Beek, tentang pendampingan pastoral. Menurut Ven Beek, Konseling merupakan
suatu alat pembaharuan melalui, warga gereja dan dalam kehidupan masyarakat.
dari penelitian ini ditemukan bahwa ada faktor-faktor penyebab sehingga para
pendeta Klasis Kupang Tengah menolak unutk dimutasikan, seperti faktor,
kdekatan, faktor keluarga, faktor senior, junior, dan pendeta yang berstatus
emeritus. Faktor-faktor ini yang sangat menghambat proses mutasi yang telah
diterapkan oleh sinode GMIT dari dulu sampai saat ini.
Kata Kunci: Mutasi, Konseling Pastoral.
1
BAGIAN I
Kajian Pastoral Terhadap Alasan Penolakan Mutasi Oleh
Pendeta GMIT Diklasis Kupang Tengah
Frik Daut lisnahan
(712011017)
1. Latar belakang
Tugas dan fungsi pendeta sebagai pelayan firman yang terpanggil dan sudah
terdidik secara teologis, pendeta melakukan banyak tugas yang diketahui sebagai
fungsiologis pastoral. Fungsi-fungsi ini sudah termasuk memimpin kebaktian,
berkhotbah, melayani sakramen, melayani kelompok maupun individu-individu
serta mewakili jemaat untuk gereja dan dunia. Pendeta dalam melakukan
tanggungjawab memiliki tugas untuk mengawasi serta sebagai administrator.1
Pendeta dalam panggilan pelayanannya memiliki 2 bidang tugas yakni: Tugas
Pelayanan dan Tugas Organisasi atau Administrator. Pada tahapan awal kedua
tugas ini sama-sama penting untuk dijalankan sebagai seorang pendeta. Tugas
administrator bagi seorang pendeta sangatlah penting karena mengembangkan
hubungan antar kelompok. Pendeta secara komprehensif akan menjalankan tugas
pelayanan dan organisasi gereja. Dalam menjalankan tugas pelayanan dan
organisasi pendeta akan dibantu oleh majelis jemaat, dengan tujuan
mempermudah segala proses pelayanan. Secara ringkas seorang pendeta harus
bersikap fleksibel dalam berbagai peran filosofis adminitrasinya. Kinerja
pelayanan harus dinilai secara objektif oleh pendeta, mampu membangun relasi
dengan warga gereja dan sedapat mungkin memberikan perubahan positif dalam
pelayanan.
Dalam tugas panggilannya pendeta memiliki tanggungjawab yaitu:2
Melayani sebagai pelayanan utama dan pemimpin jemaat. Memperlengkapi
anggota untuk melayani satu sama lain dan melayani semua orang. Merencanakan
dan memimpin kebaktian, memberitakan Firman Allah, melayani sakramen,
1 Walz Edgar, Bagimana mengelola Gereja Anda (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006), 7.
2 Walz Edgar, Bagimana mengelola Gereja Anda, Pedoman Bagi Pendeta Dan Pangurus Awam
(,Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2008), 11-12.
2
melayani jemaat, kelompok, maupun individu, serta mewakili jemaat bagi gereja
dan dunia. Melayani sebagai penilik (konsultasn) bagi organis dan pemimpin
musik, pengurus sekolah minggu, serta berbagai bagian dan organisasi dalam
gereja, termasuk di sini sekolah Kristen yang berada di bahwa pengawasan kepala
sekolah. Melayani sebagai anggota penasihat semua kelompok resmi dalam
jemaat. Memegang data kegiatan resmi gereja, perubahan keanggotaan,
perkawinan, kematian, pembatisan, konfirmasi dan komunikasi. Mengawasi
pekerjaan sekretaris kantor gereja.
Urian di atas memberikan gambaran bahwa terdapat standar khusus yang
harus dipenuhi oleh seseorang, sebelum ditabiskan menjadi pendeta. Tidak saja
standar akademik tetapi juga komitmen pelayanan, memiliki ketaatan dan mampu
menjadi teladan, serta memiliki disiplin hidup di tengah jemaat. Seorang pendeta
GMIT, idealnya harus memiliki kemampuan untuk memjadi seorang pemimpin
yang beriman, berhikmat, memiliki pengatahuan, kejujuran kerendahan hati, serta
selalu meneladani Kristus dalam pelayanan. Pendeta sebagai seorang pemimpin
harus memiliki tanggungjawab sebagai pimpinan yang berjiwa mempersatukan,
mampu menjadi teladan, mampu memelihara hubungan yang manusiawi,
memiliki etos kerja yang berorentasi pada tujuan dan sasaran pelayanan.
Kewajiban tersebut memberikan arah kepada pendeta untuk melaksanakan
panggilannya secara bertanggungjawab untuk mencapai hasil kerja yang baik dan
maksimal.
Tugas wewenang dan tangung jawab pendeta menurut peraturan Pokok GMIT
tentang Jabatan dan kekeryawaan (2010) adalah:3
Pertmata, pendeta berwewenang untuk, melayani firman Allah dan sakramen,
menggembalakan umat dan melaksanakan perkunjungan rumah tangga, melayani
peneguhan sidi dan pemberkatan nikah, menahbiskan pejabat gereja,
memperhadapkan karyawan gereja, badan pengurus, badan pembantu pelayanan,
dan unit pembantu pelayanan, menjadi ketua majelis jemaat dan memakamkan
orang mati. Kedua tugas pendeta adalah melaksanakan panca pelayanan GMIT,
yaitu pelayanan koinonia (persekutuan jemaat), diakonia (pelayanan kasih),
3 Elisabeth E. Y. Meza: tesis, Pendeta dan Penelitian Kinerja, Suatu Studi Terhadap Respons
Pendeta di Gereja Masihi Injili Di Timor Terhadap Penelaian Kinerja Pendeta GMIT, ( Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana, 2013), 4-5.
3
marturia (pengajaran), liturgia (tata ibadah) dan oikonomia (penataan kerumah
tanggaan). Ketiga pendeta mempertanggungjawabkan pelayanannya kepada
Tuhan melalui majelis di masing-masing lingkup di mana yang bersangkutan
melayani.
Berdasarkan pemaparan tugas dan tanggungjawab pendeta yang telah
dipaparkan di atas, maka seorang pendeta harus siap untuk ditempatkan dalam
wilayah pelayanan di mana saja. Penempatan pendeta merupakan cara untuk dapat
mengelola gereja, dan diharapkan gereja dapat berkembang secara signifikan.
Seorang pendeta dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin gereja dan
organisasi memerlukan bekal pengetahuan yang cukup dengan tujuan agar dalam
menjalankan tugas dan pelayanan dapat dikelola dengan baik. Pendeta juga
memiliki peran sebagai motivator untuk memberikan penguatan bagi jemaat.
Pengetahuan dan kecakapan pendeta harus memadai agar gaya kepemimpinannya
berhasil. Anggota jemaat bahkan senang bahwa pendeta yang memegang kendali.
Gereja yang sudah lama berdiri biasanya sudah memeliki tradisi memiliki pendeta
yang memimpin.4
Sinode GMIT memiliki tugas sebagai wadah untuk melaksanakan proses
penempatan dan mutasi pendeta di gereja-gereja. Istilah mutasi dilaksanakan
dalam rangka penghayatan terhadap panggilan batin dalam melaksanakan
panggilan gereja. Dalam pengertian demikian, mutasi dipahami sebagai sarana
pembinaan panggilan, sehingga pendeta yang dimutasikan dapat dipindahkan
antar jemaat atau klasis. Mutasi adalah suatu perubahan posisi, jabatan, dan
tempat pekerjaan, yang dilakukan baik secara horizontal maupu vertical (promosi
atau demosi) di dalam suatu organisasi. Selanjutnya mutasi adalah salah satu dari
tindak lanjut yang dilakukan dari hasil penilaian prestasi karyawan, karena dengan
penilaian prestasi ini akan diketahui kecakapan karyawan itu dalam
menyelesaikan uraian pekerjaan, yang dibebankan kepadanya. Mutasi yang
dilaksanakan harus berdasarakan indeks prestasi yang dapat dicapai oleh
karwayan GMIT, (pendeta). Pelaksanaan mutasi diharapakan memberikan hasil
pekerjaan dan alat-alat kerja yang cocok bagi karwayan GMIT, sehingga ia dapat
bekerja efisien dan efektif pada jabatan tersebut. Dasar mutasi sendiri termasuk
4 Wals Edgar, Mengelola Gereja, 194.
4
dalam fungsi pengembangan karyawan, karena tujuannya adalah untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dalam lembaga organisasi GMIT.5
Berangkat dari perspriktif ini maka mutasi adalah suatu kewajiban bagi karyawan
GMIT dalam menggenapi tugas panggilannya menjadi seseorang pelayan
(pendeta).
Sekalipun tujuan mutasi adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
baik dalam organisasi dan pelayanan GMIT, tidak jarang terdapat hambatan dalam
proses mutasi. Banyak pendeta yang enggan dimutasikan dengan berbagai
pertimbangan dan kondisi. Padahal sebelum ditahbiskan sebagai pendeta, tentu
setiap calon pendeta telah memiliki komitmen siap dan melaksanakan tugas di
manapun ditempatkan. Penulis tertarik untuk mengkajinya dari segi pastoral,
melihat salah satu tugas pendeta adalah fungsiologis pastoral. Aart Van Breek
memaparkan pastoral merupakan “proses pertolongan yang pada hakekatnya
adalah hubungan psikologis antara seorang penolong dengan seorang atau dengan
beberapa orang yang ditolongnya dengan maksud meringankan penderitaan dari
yang ditolong. Sementara bahasa pastoral berasal dari bahasa latin yang artinya:
“gembala” (pastor). Seorang pastor (pastoral adalah kata sifat dari pastor) adalah
seseorang bersifat seperti gembala, yang bersedia merawat, memelihara,
melindungi dan menolong orang lain.6
Konseling pastoral dapat membantu pembaharuan semangat gereja baik secara
pribadi maupun hubungan antara kelompok manusia. Jadi konseling menjadi
suatu alat pembaharuan dan alat perdamaian yang mambantu menyembuhkan
keterasingan orang dari diri sendiri, warga gereja, kehidupan di masyarakat serta
dari hubungan dengan Allah yang memberikan kegerakan dan pertumbuhan.
Konseling pastoral dapat menjadi alat penyembuhan dan pertumbuhan dengan
membantu orang mengembangkan apa yang paling sulit dicapai dalam periode
masa kini, hubungan yang sulit dengan orang lain, rasa sakit, kamampuannya,
kehampaan, keutuhannya, harapan dan keputusannya yang tercampur secara unik.
5http://pengertianmenuruhli.blogspot.co.id/2013/06/pengertian-mutasi-dan-pemberhentian.html ,
diakses pada tanggal 22 februari 2017. 6 Aart. Van Beek, (konseling pastoral), Semarang, Satya Wacana, 1987
5
Sebagai konselor pendeta membutuhkan pengertian tentang dirinya yang
berkaitan dengan citra, peran, fungsi, dan tujuan sebagai konselor.7
Beranjak dari fenomena yang telah dipaparkan, maka dapat digambarkan
konsep mutasi yang diterapkan oleh sinode GMIT di Klasis Kupang Tangah,
masih mendapatkan hambatan dan kendala bagi para pendeta yang menjalankan
proses mutasi tersebut. Keengganan para pendeta untuk dimutasikan seakan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya dari dalam diri. Tugas pendeta
sebagai seorang konselor seakan belum tersampaikan secara maksimal, karena
secara pribadi masih membatasi diri pada wilayah pelayanan tertentu.
Berdasarkan latar belakang ini, maka penulis tertarik untuk meneliti dengan judul
tulisan: “Kajian Pastoral Terhadap Alasan Penolakan Mutasi Oleh Pendeta GMIT
Di Klasis Kupang Tengah”
2. Rumusan masalah dan tujuan Penelitian
Rumusan pertanyaan penelitian bagimana alasan terhadap penolakan mutasi
oleh pendeta GMIT di klasis Kupang Tengah di tinjau dari sudut pandang
pastoral? Sejalan dengan rumusan masalah yang telah paparkan maka adapun
tujuan penelitan yaitu mendeskripsikan dan menganalisa terhadap alasan
penolakan mutasi oleh pendeta GMIT di Klasis Kupang Tengah setelah masa
periode berakhir di tinjau dari sudut pandang pastoral?
3. Menfaat penelitian
Sekiranya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
perubahan cara pandang dalam menghargai suatu nilai aturan yang terkandung
dalam suatu bidang organisasi gereja, terkhususnya bagi sinode GMIT. Penulis
juga berharap melalui penelitian ini akan lebih menambah dan memperkaya
wawasan para pendeta dalam memakai mutasi sebagai proses dalam melengkapi
tugas panggilan menjadi seorang pelayan, (pendeta). Melalui penelitian ini
diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya referensi bagi
Fakultas Teologi (UKSW) di bidang organisasi gereja, sebagai calon pekerja
gereja penulis berharap bisa menerapkan makna mutasi ini dalam dunia
pelayanan.
7 Aart M. Van Beek, Konseling Pastoral ( Semarang: Satya Wacana 1987)
6
4. Metode penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode deskriptif-analitis yakni
penelitian yang diharapkan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan
untuk memecahakan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia, melakukan
interpretasi dan menganalisis secara mendalam dan memberikan rekomendasi
bagi keperluan masa yang akan datang.8 Penulis akan mendeskripsikan dan
menganalisis alasan-alasan pendeta yang enggan melakukan mutasi di jajaran
Gereja Masehi Injil Di Timor, dikaji dari sosio pastoral. Jenis penelitian ini adalah
penelitian kaulitatif yakni suatu penelitain yang memberikan gambaran terhadap
fenomena yang diteliti tersebut.9 Teknik pengumpulan data berupa wawancara
yang dilakukan ialah pengamatan terhadap alasan-alasan pendeta yang tidak mau
melakukan mutasi di GMIT, dengan kurung waktu 14 hari (2 minggu). Informen
yang akan diwawancarai untuk mendukung penelitian ini ialah alasan-alasan
pendeta yang tidak mau melakukan mutasi di GMIT. Adapun dalam pemelihan
sampel mengunakan Snowball sampling,10
dimana dalam teknik pengumpulan
sampel dari jumlah kecil sampai jumlahnya besar dikarenakan teknik ini jika data
informasi yang dikumpulkan masih terasa belum lengkap, masih bias bergulir
kepada informasi yang lain. Pelengkapan informen ini digunakanlah teknik
purposive sampling. Menurut Sugiyono purposive sampling adalah teknik
pengambilan data dengan pertimbangan tertentu.11
Misalnya orang yang diminta
informan adalah orang yang dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan
dan memiliki pengaruh ditempat penelitian.
Lokasi yang dipilih adalah salah satu klasis yang berada di GMIT yaitu klasis
Kupang Tengah, penulis memilih lokasi tersebut disebabkan beberapa factor,
pertama karena sebagian pendeta telah menetap atau bertempat tinggal diklasis
Kupang Tengah, kedua dikarenakan suami dan istri pendeta telah bekerja tetap
diklasis Kupang Tengah, ketiga sebagian pendeta yang berada diklasis Kupang
Tengah ada beberapa yang mengalami ketidak adilan dari dalam proses mutasi
tersebut, keempat lokasi dari tempat penelitian ini juga tidak terlalu jauh dari
8 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009). 89
9 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif Unuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba
Humanika, 2012) 10
Sugiyono, Metode, Penelitian Kombinasi (Bandung: penerbit Alfabeta, 2012), 127 11
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2013), 218-219
7
pusat Kota Kupang, sehingga sangat membantu si peneliti dalam pengambilan
data.
5. Rancangan sistematika penulisan
Penulisan jurnal ini terdiri dari lima bab, yaitu bab satu terdapat pendahuluan,
uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
lokasi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua akan dikaji dari teori Aart
M. Ven Beek, tentang pendampingan pastoral. Konseling merupakan suatu alat
pembaharuan melalui, warga gereja dan dalam kehidupan masyarakat. Bab tiga
tentang temuan hasil penelitian yang meliputi deskripsi terhadap alasan-alasan
pendeta yang enggan dimutasikan diklasis Kupang Tengah. Bab empat tentang
pembahasan dan analisa yang terdiri dari alasan-alasan pendeta yang enggan
dimutasikan diklasis Kupang Tengah, dalam realitas di lapangan dan
perkembangan terus terjadi dalam mempengaruhi proses mutasi yang di terapkan
oleh sinodeal GMIT. Bab lima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan
berupa temuan-temuan terhadap hasil penelitian, dan saran yang berupa
kontribusi-kontribus untuk penelitian berikutnya.
8
BAGIAN II
LANDASAN TEORI
1. Pandangan teologi GMIT
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sebagai sebuah lembaga, terus menata
kehidupan kelembagaannya dari waktu ke waktu. Kelembagaan GMIT yang
memancarkan kelembagaan gereja, umumnya dipahami dari dua aspek, yakni
gereja sebagai organisme dan gereja sebagai organisasi.12
Organisme berarti
makhluk hidup dengan anggota-anggota yang bekerja secara bersama-sama.
Makhluk hidup disini berarti suatu keberadaan yang mempunyai kehidupan. Baik
manusia, binatang serta tumbuh-tumbuhan, termasuk dalam kategori makhluk
hidup. Istilah organisme digunakan karena gereja adalah sesuatu yang hidup.
Tetapi perlu diingat bahwa arti gereja yang hidup bukanlah jenis kehidupan yang
dijalani oleh manusia alamiah (natural man). Dalam bahasa Yunani, ada tiga kata
yang dipakai untuk menjelaskan hidup. Pertama, bios, yang berarti suatu jenis
kehidupan dengan makna yang umum. Tuhan Yesus menggunakan kata ini ketika
memberi komentar mengenai persembahan seorang janda. Kedua, psuche, yang
berarti jenis hidup jiwa manusia. Ketiga, zoe, yang berarti jenis hidup Allah.
Gereja adalah orang-orang yang sedang belajar menjalani hidup (zoe), dan
bertumbuh menjadi manusia yang menjadikan Allah sebagai prototype oleh
kekuatan transformasi hidup (zoe). Jadi, organisme yang dimaksud adalah
manusia dengan hidup zoe.
Otoritas atau wewenang suatu "kotak" tertentu semata-mata tergantung
posisinya di dalam struktur organisasi. Pelayanan seseorang juga tergantung
posisinya di dalam struktur organisasi. Bukan saja otoritas dan tugas pelayanan,
tetapi kemuliaan serta berkat-berkat yang lainnya juga sangat tergantung posisinya
di dalam struktur. Pemimpin organisme ini sangat berbeda dengan pemimpin
organisasi, karena jenis otoritas dan fokusnya berbeda. Otoritas pemimpin
organisme berasal dari hidup zoe, sedangkan otoritas pemimpin organisasi berasal
dari posisinya di dalam struktur. Kepemimpinan organisasi sangat mengutamakan
12
Peraturan oragnisasi – Administarsi dan sistem komunikasi – informasi Gereja Masehi Injili di
Timor. bag. Pengantar, Hal. 1
9
atau berfokus pada kemampuan untuk melakukan perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan, sementara itu kepemimpinan organisme berfokus
pada membangun hubungan dalam konteks hidup zoe. Dengan demikian maka
gereja bertumbuh dalam hidup zoe, artinya gereja menjadi semakin dekat serta
mengenal hidup zoe yang adalah Kristus itu sendiri. Kepemimpinan organisasi
adalah goal oriented atau people oriented sementara itu kepemimpinan organisme
adalah Christ oriented.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa sebagai sebuah lembaga GMIT
menggunakan sistem presbiterial sinodal. Sistem seperti ini menggambarkan
dinamisnya sebuah lembaga yang menjaga persekutuan, mampu menciptakan
keutuhan dalam perbedaan paradigma yang bertolak dari kasih Yesus Kristus
sebagai landasan. GMIT bermaksud agar pengelolalaan pelayanannya berdasarkan
pada pengakuan atas pemerintahan Kristus (Kristokrasi) dan dalam ranah
kepemimpinan nampak dari kehadiran para presbiter sebagai perutusan dari
jemaat-jemaat baik dalam persidangan maupun dalam menempati jabatan
gerejawi (pelayanan/organisasi). Serta dalam menerapkan sistem atau prinsip
seperti ini, sidang merupakan kata kunci bagi kebersamaan dalam mencari dan
menemukan kehendak Allah.13
2. Panggilan Sebagai pendeta
Menurut Alkitab, nabi adalah orang yang dipanggil untuk menjadi mulut
Allah, artinya orang yang dipanggil menjadi nabi itu dijadikan alat Allah untuk
berfirman kepada umat-Nya (Kel. 4:16; bnd. Yer. 20:7-9) memaparkan bahwa
Yeremia dipenuhi oleh Firman Allah, sehingga jikalau ia bermaksud membandel,
Firman itu menjadi seperti api yang menyala-nyala di dalam hatinya.14
Para nabi
dalam perjanjian lama ialah orang-orang yang secara unik dipanggil oleh Allah
dan secara supranatural diberikan berita dari Allah untukdisampaikan kepada
jemaat mula-mula. Melalui nabi, Allah menyampaikan firman-Nya, lewat bibir
dan tulisan para nabi. Nubuat yang dilakukan nabi pada saat itu, berkaitan dengan
perdiksi dari hal-hal yang akan datang. Nubuat yang dilakukan oleh nabi ialah
nasihat dari Allah. Para nabi dikuasi oleh Roh Kudus, sehingga apa yang
13
Peraturan oragnisasi Bab II. Pasal 6 tentang sistem pemerintahan. Hal. 10 14
Hadiwijono, hal. 324-325
10
dikatakan mereka merupakan firman Allah. Oleh sebab itu berita-berita nubuat
sering diawali dengan pernyataan, “Demikianlah Firman Allah”. Nabi adalah
salah satu perpanjangan tangan Allah untuk pembaharu agama orang Israel dan
mereka mengajak orang-orang untuk beribadah dengan benar dan taat kepada
Allah.
Sedangkan panggilan bagi seorang pendeta adalah sebuah amanah untuk
mewartakan kabar baik bagi semua manusia pada masa kini. Panggilan sebagai
seorang pendeta merupakan perutusan rasuli yang dalam pengabdiannya menjadi
teladan atau panutan bagi jemaat. Pendeta dipanggil untuk mengabdikan diri
kepada Tuhan sebagai pemberi mandat untuk meneruskan karya Allah dalam
setiap jemaat yang dipimpin. Tentu tanggungjawab sebagai pendeta sangatlah
berat dan penuh resiko namun perlu diketahui bahwa dipanggil sebagai pendeta
tentunya telah melewati berbagai proses yang luar biasa.
Pendeta memiliki jabatan organisatoris dalam kelembagaan gereja. Jabatan
adalah pekerjaan yang ditugaskan oleh penguasa yang lebih tinggi daripada yang
melaksanakan pekerjaan itu. Adapun penguasa yang lebih tinggi di sini adalah
Tuhan Allah sendiri. Jadi jikalau karya penyelamatan Kristus dipandang dari segi
jabatan-Nya, hal itu berarti bahwa Kristus menunaikan tugas penyelamatan-Nya
itu bukan karena kemauan-Nya sendiri, bukan atas nama-Nya sendiri.
Penyelamatan yang dikerjakan adalah suatu tugas yang diberikan oleh Allah
kepada-Nya. Yesus bukan orang yang mengajarkan suatu ajaran baru, yang timbul
dari pikiran-Nya sendiri. Ia juga bukan hanya seorang yang baik, Ia juga layak
dijadikan teladan bagi manusia. Sebab Ia, karena jabatan-Nya memiliki kuasa.
Karya penyelamatan-Nya dilakukan atas nama Tuhan Allah sendiri.15
Allah dalam
kekuasaan jabatan-Nya telah menunjukkan karya besar bagi umat manusia. Hal ini
telah dibuat Allah dengan maksud untuk mendamaikan diri-Nya dengan manusia,
supaya hubungan manusia yang dulunya telah rusak karena keserakahan manusia
diperdamaiakan kembali pada hakikat awal. Allah berinkarnasi dalam jabatan
yang baru untuk dapat hidup sebagai manusia, sehingga Ia dapat menjalankan
misi penyelamatan bagi umat manusia.
2.1. Pendeta dalam Jabatan Gereja
15
Hadiwijono. Iman Kristen, 1986, cet – ke lima, hal. 322-323
11
Pendeta dalam jabatan gereja ialah sebagai penilik jemaat (Tit. 1 :5-9). Norma
yang berlaku bagi penetapan panatua atau penilik jemaat disebutkan dalam 1 Tim.
3:2-7 dan Tit. 1:5,7. Surat-surat Paulus tidak memberi keterangan yang jelas
mengenai arti jabatan ini. Yang dibicarakan hanya syarat-syarat untuk memegang
jabatan tersebut. Kewajiban penatua adalah sebagai pemimpin (1 Tim. 5 :17),
mengatur rumah Allah (Tit. 1 :7), cakap mengajar (1 Tim. 3:2), berpegang pada
perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat (Tit. 1 :9),
berkhotbah dan mengajar (1 Tim. 5 :17).16
Penulis berpandangan bahwa setelah zaman para rasul, ada dua jenis penilik
jemaat, yaitu penatua yang bersifat memerintah dan penatua yang bersifat yang
mengajar atau disebut pendeta. Jabatan pendeta dalam gereja berguna untuk
mengatur pelayanan. Pengajar atau pendeta dalam gereja, bertanggung jawab
yaitu memimpin, memberi bimbingan, serta mengatur jemaat, secara jasmani dan
rohani. Pada dasarnya jabatan pendeta dalam gereja ialah untuk melayani,
memimpin, melengkapi warga jemaat untuk tugas kesaksian, pelayanan diakonia,
penggembalaan serta memelihara keutuhan jemaat dan mengelola perbendaharaan
gereja yang ada di jemaat demi kepentingan pelayanan.
Dalam melaksanakan tugas kependetaan masa kini, pendeta tidak melayani
hanya pada satu tempat saja. GMIT dalam sistem presbiterial sinodal mencakup
wilayah tertentu yang terdiri dari beberapa gereja. Setiap pendeta yang terkait
dalam organisasi GMIT akan ditempatkan di salah satu gereja untuk
melaksanakan tugas panggilan dan pelayanannya. Apabila masa pelayanannya
selesai dalam jangka waktu peiode tertentu maka akan dimutasikan ke gereja atau
klasis lainnya dalam lingkup GMIT.
Jabatan dalam gereja tidak sama dengan jabatan dalam pemerintahan. Jabatan
gereja bukan pangkat atau derejat. Jabatan dalam gereja adalah nama yang
digunakan oleh gereja untuk orang-orang yang dipanggil dan diangkat untuk
melayani dalam jemaat. Secara prinsipil pejabat-pejabat gerejawi tidak berbeda
dengan anggota-anggota jemaat, sama-sama mereka terpanggil untuk melayani
dalam gereja. Hal yang membedakan mereka sebagai pejabat dan anggota-anggota
jemaat ialah fungsi atau tugas mereka. Jabatan gerejawi adalah suatu anugerah
16
Hadiwijono. Iman Kristen, 1986, cet – ke lima, hal 394-395
12
dari Allah. Ia tidak berdasarkan atas kebaikan atau prestasi dari mereka yang
memangkunya. Ia semata-mata berdasar atas kemurahan Allah. Dimaksudkan
berasal dari Allah, ialah dengan anugarah Roh-Nya yang kudus, Ia
memperlengkapi manusia untuk pelayanan-pelayanan dalam jamaat.
Tugas pokok dari pejabat-pejabat gereja ialah melayani dan membangun
jemaat atau seperti yang dikatakan dalam Efesus 4, “memperlengkapi orang-orang
kudus”. Karena itu pekerjaan mereka lebih banyak berlangsung di dalam dari dapa
di luar gereja. Akar-akar jabatan kita temukan dalam Kristus sebagai “Pelayan”. Ia
dipanggil oleh Allah untuk menjalankan pelayanan yang Ia tugaskan kepadaNya.
Ia menerima panggil itu dan untuk pelayanan, yang ditugaskan kepadaNya itu, Ia
menerima pengurapan Roh Kudus dari Allah. Oleh pelayanan-Nya itu jemaat ada
sebagai jemaat.17
3. Perkembangan Konsep Mutasi Dalam GMIT
Dalam peraturan organisasi-administrasi dan sistem-komunikasi informasi
GMIT menegaskan bahwa salah satu tugas dari sinode GMIT adalah mengangkat,
membina dan memberhentikan karyawan GMIT. 18
Secara organisasi dan
administrasi gereja, tugas sinode GMIT sangatlah mutlak karena diatur dalam
pertauran GMIT. Namun dalam aturan tentang mutasi karyawan di GMIT tidak
secara eksplisit dipaparkan dalam peraturan organisasi gereja. Hal ini bagi penulis
menjadi sangat lemah karena seharusnya aturan tentang mutasi perlu dibicarakan
dengan tujuan menerapkan sistem atau prinsip GMIT yaitu presbiterial sinodal.
Mutasi pendeta di tubuh GMIT harus diperhatikan dan dilakukan sesuai
dengan aturan-aturan yang ada dalam GMIT. Alasannya karena ada pendeta yang
baru melayani dua sampai tiga tahun pelayanan sudah dimutasi. Sedangkan
pendeta lain yang bertugas sampai belasan tahun tidak dimutasikan.19
Sebagian
besar pembicara yang mewakili klasis-klasis meminta agar pelaksanaan mutasi
17
Dr. J. l. Ch. Abineno, Penatuajabatannyadanpekerjaannya, BPK GunungMulia. 6-7 18
Peraturan organisasi – administrasi dan sistem komunikasi informasi GMIT periode 2015-2019.
Bab V tentang organisasi sinode. Pasal 30. Tentang Kedudukan, wewenang dan tugas majelis
sinode, poin 2 bag. C. 19
Pernyataan ini di sampaikan oleh sejumlah perwakilan Klasis saat memberi respon atas laporan
pertanggungjawaban Mejlis Sinode GMIT Periode 2011-2015. Di Auditorium Tii Langga, Rabu.
23/09/2015) malam.
13
pendeta dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di GMIT, sehingga
tidak terkesan pilih kasih atau ada “anak emas” atau “anak tiri”. Mutasi Pendeta
perlu diperhatikan dengan baik, termasuk mempertimbangkan kelangsungan
kehidupan keluarga pendeta, atau suami isteri adalah pendeta.20
Proses mutasi
yang dilakukan bagi seorang pendeta merupakan hal yang wajar, akan tetapi
diperlukan aturan yang baku untuk mengatur sistem ini menjadi lebih baik. Hal
tersebut didorong oleh adanya kenyataan bahwa dalam mutasi ada pendeta yang
tidak mau dimutasikan disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, pendeta yang
sudah memiliki keluarga (suami atau isteri) memiliki profesi yang berbeda
sehingga dalam proses mutasi perlu memperhatikan tempat kerja pendeta yang
memiliiki suami/isteri agar tidak terkesan proses mutasi memisahkan suami atau
isteri. Kedua, jikalau pendeta yang sudah berkeluarga dan keduanya adalah
pendeta maka salah satu harus di Klasis atau Sinode. Hal ini bertujuan untuk
menjaga kestabilan dalam jemaat. Ketiga, ada pendeta yang tidak mau susah di
kampung, apalagi dari awal penempatan sudah ada lobi untuk di kota. Keempat,
adanya faktor kedekatan dengan para pejabat di lingkup pemerintahan atau di
lingkup sinode.
3.1. Peraturan Pokok GMIT Tentang Jabatan Dan Kekaryawan
Konsep mutasi yang telah tercantum dalam Buku Draft peraturan pokok
GMIT tentang jabatan dan kekaryawanan. Pada pasal 77 mutasi karyawan pendeta
memuat tentang aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh pendeta GMIT
sebagai berikut:
Mutasi pendeta dilaksanakan dalam rangka penyegaran dan pengembangan
diri pendeta dan jemaat. Mutasi didahului oleh evaluasi pelayanan pendeta yang
bersangkutan. Mutasi dilaksanakan oleh Majelis Sinode berdasarkan rekomendasi
Majelis Klasis sambil terbuka pada pertimbangan pendeta yang bersangkutan dan
jemaat penerima. Periode pelayanan seorang pendeta di suatu jemaat adalah empat
(4) tahun. Demi kepentingan pelayanan gereja, Majelis Sinode dapat:
mempercepat mutasi pendeta dan memperpanjang masa pelayanan pendeta
bersakutan. Batas maksimal pelayanan seorang pendeta dalam satu jemaat adalah
20
Laporan Wartawan Pos Kupang, Jumal Hauteas. Pos Kupang.com. BA,A
14
dua periode (8 tahun), dan dalam satu klasis adalah tiga periode (12 tahun) dan
Sebelum mutasi diadakan serah terima yang didahului pengawasan dan
pemeriksaan oleh Badan Pembantu Pelayanan yang melaksanakan fungsi
pengawasan di masing-masing lingkup.21
3.2. Pandangan Konsep Mutasi Menurut Calvinisme
Belum diatur oleh Calvin adalah organisasi gereja dalam wilayah yang lebih
besar dan luas dari satu kota saja, secara regional maupun nasional. Berdasarkan
tata gereja Jenewa, gereja-gereja reformed pada sinode nasional pertama tahun
1559 di paris, mulai memperkembangkan suatu tata gereja yang tidak hanya
mengatur kehidupan jemaat setempat, tetapi juga gereja di wilayah yang lebih
luas. Pada sidang tersebut dibicarakan hal-hal yang bersifat umum dan menyakut
seluruh gereja, seperti pengakuan iman dan tata gereja serta keputusan-keputusan
lain yang mengikat semua jemaat. Demikianlah lahir tata gereja Presbiterial
Sinodal. Melalui Peranci dan Belanda, Presbiterial Sinodal di perkenalkan di
Indonesia. Tata gereja ini bertolak dari jemaat-jemaat lokal, yang membentuk
klasis-klasis dan melakukan perundingan bersama dalam sinode am. Corak tata
gereja ini adalah, di dalamnya dijaga baik hak masing-masing jemaat maupun
keseragaman seluruh gereja, tampak terjebak dalam bahaya sentralisme, seperti
terjadi dalam struktur Gereja Katolik Roma.22
Dalam tata gereja Presbiterial sinodal, jemaat setempat menjadi dasar dan titik
tolak untuk organisasi gereja di wilayah yang lebih luas. Urutan kedua kata
presbiterial dan sinodal, menyatakan bahwa gereja tersusun dari bahwa keatas.
Urutan ini mencerminkan bahwa jemaat setempat merupakan dasar gereja.
Disinilah manusia berjumpa dengan Allah. Apakah perjumpaan itu terwujud
tergantung, dalam pelayanan pada tingkat setempat. Keyakinan ini patut menjiwai
semua pejabat yang bekerja pada tingkat jemaat. Oleh sebab itu semua pekerja di
tingkat klasis, sinode propinsi, sinode am dilakukan demi jemaat setempat, untuk
21
Gereja Masehi Injili Di Timor. GBM, GPI dan Anggota PGI, Panitia Tetap Tata GMIT, Draft
Peraturan Pokok GMIT Tentang Jabatan Dan Kekaryawanan, ( di jemaat GMIT Elim Naibonat).
Hal 23-24 22
Jacob D. Engel, Mutasi sebagai sarana pembinaan panggilan, ( Kajian sosio-teologis terhadap
pemahaman para pendeta GPIB tentang Mutasi, Tesis, Program Pascasarjan Sosiologi Agama,
untuk memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Bidang Studi Sosiolgis Agama, Universitas
Kristen Satya Wacan. Hal 31-32
15
melancarkan dan meningkatkan pelaksanan tugasnya. Dengan itu keputusan-
keputusan yang diambil pada tingkat yang lebih tinggi, umpanya yang menyakut
kebijaksanaan gereja sebagai totalitas, harus betul-betul berakar dalam kehidupan
jemaat, muncul dari pergumulan jemaat, kemudian dijemaatkan dalam kehidupan
jemaat.
Hal yang harus dihindari bahwa apa yang diputuskan di sidang-sidang yang
lebih tinggi, jangan sampai menghalangi pelayanan pada tingkat jemaat. Gereja
yang berazaskan system presbiterial sinodal, terdiri atas jemaat-jemaat. Hal
tersebut memberikan banyak peluang, karena semakin berkembangnya jemaat,
semakin rumit organisasi gereja, semakin luas juga tugas gereja. Dengan demikian
jabatan-jabatan baru dapat diciptakan, dan dibutuhkan semakin banyak pejabat
gereja terutama pendeta ketika pemekaran jemaat terjadi. Semakin banyak jemaat
semakin tinggi, hal itu membutuhkan tenaga-tenaga pendeta yang professional
dalam bidangnya sesuai kebutuh jemaat. Demi perkembangan gereja-gereja
Calvinis dalam rangka kebersamaan jemaat-jemaat untuk pembinaan dan
pengembangan pelayanan, maka keterikatan pendeta pada satu jemaat tidak
mungkin dapat dipertahankan lagi. Dalam rangka pemeratan pembinan dan
wilayah pelayanan maka mutasi pendeta menjadi sarana untuk membina
panggilan.23
Dalam perkembangan gereja-gereja Calvinis, tugas gereja dalam dunia
modern menjadi semakin rumit dan luas, sehingga jemaat setempat tidak lagi
dapat melaksankan segala sesuatu tanpa bantuan pendeta-pendeta yang
professional atau panitia-panitia sinodal yang terdiri dari utusan-utusan atau
deputat-deputat klasis yang memiliki keahlian khusus di bidangnya masing-
masing” dengan demikian dibutuhkan pendeta-pendeta yang tidak hanya terikat
pada satu jemaat, melainkan dapat dimutasikan untuk melayani di jemaat yang
lain sesuai keahliannya dalam rangka menjawab kebutuhan jemaat. Jika hal itu
penting sekali bagi seorang pendeta dimutasikan ke jemaat lain, harus punya
alasan yang berhubungan dengan panggilan Allah bukan karena alasan pribadi.
23
Jacob D. Engel, Mutasi sebagai sarana pembinaan panggilan, ( Kajian sosio-teologis terhadap
pemahaman para pendeta GPIB tentang Mutasi, Tesis, Program Pascasarjan Sosiologi Agama,
untuk memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Bidang Studi Sosiolgis Agama, Universitas
Kristen Satya Wacan. Hal 34-35
16
Alasan pribadi tidak dapat menjadi kriteria mutasi tetapi hanya oleh panggilan,
pendeta dapat dimutasikan ke jemaat lain . mutasi membantu pendeta memenuhi
panggilan Allah untuk melayani jemaat-jemaat.
Mutasi mendidik pendeta untuk dapat di dalam panggilan, sehingga mutasi
bias menjadi sarana untuk membina dan mengembangkan panggilannya sebagai
pendeta. Dalam rangka melaksanakan tugas panggilan gereja, pemahaman
tersebut menujukan bahwa landasan teologis mutasi adalah panggilan. Karena itu
mutasi dalam gereja-gereja Calvinis dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan tugas
panggilan gereja dengan persetujuan jemaat yang mengutus dengan nasihat klasis
dan menunggu penempatan dan pemutasian pendeta, kita harus bertolak dari tata
gereja Hervormd di Belanda yang sangat berperan dalam kehidupan gereja-gereja
di Indonesia. Peraturan gereja di Negeri Belanda, menampakkan suasana
pemerintahan Negara. Pemerintah inggin mengawasi dan menguasai gereja,
melalui depertemen pendidikan, ibadah yang di control oleh Gubernur Jenderal.
Demikrian pula pemimpinan gereja di Indonesia yang di sebut Kerkbestuur di
Batavia diangkat oleh pemerintah, sama seperti di Negeri Belanda. Gereja diatur
secara sentralistis, menurut garis perintah dari atas ke bawah semua diatur diatur
dari atas ke bawah oleh pengurus gereja (Kerkbestuur) di Batavia, yang untuk
banyak hal harus berurusan dengan pemerintah colonial. Para pendeta tidak di
angkat oleh gereja, melainkan oleh pemerintah dengan status pegawai negeri, dan
ini berbeda dengan gereja di Belanda yang di angkat oleh gereja. Karena statusnya
sebagai pegawai negeri, maka pemerintalah yang memutuskan seluruh
penempatan dan pemutasian pendeta, atas asul Kerkbestuur. Gereja disamakan
dengan birokrasi yang mencirikn apart pemerintahan negera untuk urusan rohani
dengan struktur hirakhis dari pegurus pusat sampai ke jemaat-jemaat. Mutasi
pendeta dilaksanakan sebagai cara memperlihatkan ketergantungan gereja
terhadap pemerintah. Ketergantungan itu memberikan wewenang kepada
pemerintah untuk menempatkan dan memutasikan pendeta-pendeta. Dalam hal
penempatan dan pemutasikan pendeta di Batavia sebagai wilayah jajahan
pemerintahan Belanda, pemerintah berkonsultasi dengan pendeta-pendeta di
Jakarta tentang penempatan dan pemindahan pendeta. Setelah lembaga majelis
jemaat terbentuk, pemerintah berkonsulatsi dengan lembaga tersebut mengenai
17
pemutasian pendeta. Pengaruh majelis jemaat Batavia saat itu semakin kuat dan
dapat dipercaya sehingga pada abad XVIII, penempatan dan pemutasian pendeta
dipercayakan kepada majelis jemaat Batavia. 24
Ketergantungan gereja sepenuhnya kepada pemerintahan menjadi nampak
dalam hal-hal sebagai berikut:
Hak penempatan dan pemutasian pendeta dipercayakan Tuan-Tuan XVII
kepada pemerintah dan instruksi kepada Gubernur Jenderal. Pemerintah
mempertahankan hal itu, walaupun bertentangan dengan apa yang tercantum
dalam tata gereja 1624. Upaya pendeta-pendeta menentang gubernur jenderal
Maetsuycker (1652-1678) mengenai pengangkatan dan pemutasian pendeta oleh
pemerintah mengalami kegagalan. Tata gereja tahun 1643 kembali memberikan
wewenang kepada majelis jemaat untuk mengangkat pendeta-pendeta. Akan tetapi
dalam kenyataannya pemerintah tetap menempatkan dan memutasikan pendeta-
pendeta. Kebebasan gereja dibatasi dalam hal surat menyurat. Gereja-gereja di
Indonesia hanya dapat berkoresponden dengan gereja-gereja di negeri Belanda,
bila mendapat persetujuan pemerintah. Campuran tangan pemerintah dalam
bidang siplin gereja. Pemerintah menghendaki agar gereja cukup menbantu untuk
mempertahankan kesusilaan dan pengambil tindakan disiplin terhadap mereka
yang telah dikenakan hukuman oleh pengadilan. Hal tersebut mendapat
pertentangan dari pendeta-pendeta . tindakan dipandang sebagai suatu
pelanggaran, sehingga pemerintahan memutasikan pendeta-pendeta tersebut
sebagai upaya untuk memperbaharui panggilan meraka. Hal itu dimaksud untuk
memperbaiki citra pendeta, agar tidak menjadi preseden yang buruk bagi
pengembangan pelayanan jemaat.25
Gereja protestan di Indonesia bagian Timur
(GMIT) dalam peraturan pokok yang telah ditetapkan melalui persidangan sinode,
jemaat-jemaat telah memberikan wewenang penuh kepada Majelis Sinode
(GMIT) Gereja Masihi Injil Di Timor, untuk memanggil pendeta-pendetam
24
Jacob D. Engel, Mutasi sebagai sarana pembinaan panggilan, ( Kajian sosio-teologis terhadap
pemahaman para pendeta GPIB tentang Mutasi, Tesis, Program Pascasarjan Sosiologi Agama,
untuk memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Bidang Studi Sosiolgis Agama, Universitas
Kristen Satya Wacan. Hal 35-36 25
Jacob D. Engel, Mutasi sebagai sarana pembinaan panggilan, ( Kajian sosio-teologis terhadap
pemahaman para pendeta GPIB tentang Mutasi, Tesis, Program Pascasarjan Sosiologi Agama,
untuk memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Bidang Studi Sosiolgis Agama, Universitas
Kristen Satya Wacan. Hal 36
18
menempatakan dan memutasikannya serta memberhentikannya. Melalui mutasi,
maka penggilan pendeta dari Allah harus diwujudkan oleh badang pengurus
Majelis Sinode sebagai perpanjangan tangan Allah dunia terkhusunya di GMIT.
Dengan adanya konsep mutasi, Majelis Sinode bertanggungjawab atas panggilan
pendeta-pendeta dalam pelayani jemaat-jemaat. Mutasi pendeta membantu para
pendeta untuk memenuhi penggilan Allah dan melayani jemaat-jemaat secara
optimal. Mutasi menjadi sarana untuk memelihara dan mengembangkan panggilan
tersebut.
Bertolak dari pembahasan diatas, makan warisan utama GMIT dalam
melaksanakan mutasi terhadap para pendeta adalah perkembangan konsep mutasi
dalam Calvinisme. Dengan demikian perkembangan konsep mutasi dalam
Calvinisme, sebagai landasan dasar dari konsep mutasi yang telah diterapakan
oleh Sinode GMIT. Untuk memberikan uansa baru bagi para pendeta dalam
pelayanan serta untuk melatih para pendeta dalam menerima semua tugas dan
tanggung jawab yang telah gereja percayakan kepada mereka.
4. Konseling Pastoral
Konseling pastoral, bukan suatu hal yang mudah. Di Indonesia akhir-akhir ini
banyak orang yang tertarik dengan istilah “Konseling Pastoral”. Sering kali di
gereja-gereja tertentu konseling pastoral dianggap sebagai obat mujarab, suatu
ilmu yang baru dan bersifat rohani. Artinya konseling pastoral pada hakekatnya
dipandang sebagai suatu proses pertolongan yang rohani. Jadi yang perpendapat
demikian menekankan istilah “pastor” dari “konseling pastoral”, artinya mereka
memusatkan perhatian pada pertolongan yang pada hakekatnya merupakan
pertolongan psikologis. Bagi orang kristiani seyogyanya upaya pertolongan
melalui konseling pastoral didasarkan dan berakar dalam tugas penggembalaan
seorang pendeta, karena tugas-tugas itu telah berkembang selama beberapa abad
dan terus berkembang sebagai reaksi terhadap tuntutan Firman Allah dan
kebutuhan-kebutuhan manusia.26
Konseling pastoral bukan hanya boleh
dijalankan oleh seorang pendeta, melainkan konseling pastoral juga bisa
26
Aart. Martin Van Beek. Konseling Pastoral, sebuah buku pegangan para penolong di Indonesia,
SATYA Wacana, Semarang. 3
19
dijalankan oleh orang yang telah belajar dan mendalami profesi tersebut, akan
tetapi fungsi seorang pendeta yang menjadi dasar untuk penggembalaan, yang
ternyata sering dijalankan oleh seorang pendeta, karena itu memang merupakan
sebagian dari kewajiban profesinya.27
Istilah counselor sudah dipakai dalam Perjanjian Lama Bahasa Inggris,
misalnya dalam 1 Tawarikh 27:32, Yonathan, saudara ayah Daud adalah seorang
“counselor. Dalam bahasa Ibarani Yo’eets, artinya penasehat. Istilah juga muncul
dalam Yesaya 9:5, dalam nubuat mengenai kedatangan Yesus. Dalam Perjanjian
Baru “counselor” paling sering timbul dalam hubungan dengan Roh Kudus,
(Bahasa Ibarani “Parakletos”, artinya penghibur). Sampai sekarang ini ada
banyak defenisi konseling yang diungkapkan para ahli sesuai sudut pandang
masing-masing. Walaupun demikian disamping perbedaan-perbedaan yang ada di
sana-sini, ditemukan ada persamaan-samaan pengertian yang dijumpai di dalam
defenisi-defenisi konseling tersebut. Misalnya, semua ahli setuju bahwa konseling
biasanya merupakan proses pertolongan psikologis yang terbatas karena usaha
pertolongan yang intens dan mendalam sudah lama menjadi bidang psikiatri
apabila sudah disertai dengan pengobatan.28
Kemudian persamaan yang lain ialah
dalam hal batas pertolongan konselor. Para ahli sependapat bahwasannya konselor
tidaklah selalu menasehati konseli, karena mereka menganggap bahwa keputusan
mengenai arah hidup konseli haruslah ditentukan sendiri oleh konseli yang
bersangkutan. Dengan demikian konselor menghargai konseli sepenuhnya, dan
menghargai kemampuan yang ada dalam diri konseli.29
Penulis berpendapat bahwa konseling pastoral ialah salah satu ilmu
pengatahuan yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia dan telah diterapkan,
terkhususnya bagi kaum kristiani. Orang kristiani memandang ilmu Konseling
Pastoral salah satu obat mujarab, dan bersifat rohani. Artinya bahwa kaum
kristiani menggap bahwa konseling pastoral adalah suatu proses pertolongan yang
pada hakekatnya merupakan pertolongan psikologis. Konseling pastoral ini biasa
27
Aart. Martin Van Beek. Konseling Pastoral, sebuah buku pegangan para penolong di Indonesia,
SATYA Wacana, Semarang. 4 28
Aart. Martin Van Beek. Konseling Pastoral, sebuah buku pegangan para penolong di Indonesia,
SATYA Wacana, Semarang. 5 29
Aart. Martin Van Beek. Konseling Pastoral, sebuah buku pegangan para penolong di Indonesia,
SATYA Wacana, Semarang. 6
20
dijalankan oleh seseorang gembala, pendeta, dan guru agama. Penulis memandang
bahwa ilmu konseling pastoral adalah alat bantu terkhususnya bagi para gembala
atau pendeta di Indonesia ini, dalam memenuhi dan pelangkapi kebutuhan-
kebutuhan para jemaat.
4.1. Tujuan Pastoral
Tujuan konseling pastoral menurut Totok S. Wiryasaputra dan Rini Handayani
dalam buku yang berjudul pengantar konseling pastoral, ada 7 tujuan dalam
konseling pastoral:
Pertama dan terutama konseling pastoral adalah konseli dapat menerima apa
yang sedang terjadi atas dirinya secara penuh dan untuh (acceptance), ini berarti
dalam dan melalui proses konseling, konselor memfasilitasi konseli sedemikian
rupa sehinga konseli bersedia dan mampu mengalami pengalaman dan perasaan-
perasaannya secara penuh dan utuh. Kedua membantu konseli berubah,
tertumbuh, dan berfungsi maksimal, tujuan ini ialah perubahan menuju
pertumbuhan, dalam proses konseling pastoral, konselor secara berkesinambungan
memfasilitasi konseli menjadi agen perubahan bagi dirinya dan lingkungannya.
Pada hakikatnya konseli adalah agen utama perubahan, dengan demikian konselor
dapat disebut sebagai mitra perubahan bagi agen perubahan utama. Ketiga
membantu konseli menciptakan komunikasi yang sehat. Ketiga ialah membantu
konseli menciptakan komunikasi yang sehat. Karena berbagai sebab, banyak
orang dalam kehidupan ini tidak mampu berkomunikasi secara sehat dengan
lingkungannya, tidak jarang komunikasi yang tidak sehat menyebabkan berbagai
persoalan baik dalam diri seseorang atau lingkungan. Keempat, membantu konseli
bertingkah laku baru, konseling pastoral dapat dipakai sebagai media untuk
menciptakan dan berlatih tingkah laku baru dan yang lebih sehat. Misalnya, kasus
orang yang rendah diri. Orang yang demikian biasanya tidak memiliki rasa humor
dan tidak dapat tertawa secara spontan dan bebas apabila keadaan memang
menuntun demikian. Kelima membantu konseli mengungkapkan diri secara penuh
dan utuh, melalui konseling pastoral konseli dibantu agar dapat dengan spontan
kreatif dan efektif mengekspresikan perasaan, keinginan dan aspirasinya, dengan
demikian konseli dapat secara penuh dan utuh mengungkapkan diri. Keenam
21
membantu konseli bertahan dalam situasi baru, tujuan konselig pastoral dalam hal
ini konseli dapat bertahan dalam kondisinya pada masa kini sebagaimana adanya
dan akhirnya menerima keadaan itu dengan lapang dada dan mengatur kembali
kehidupannya yang baru, dan yang terakhir dalam tujuan konseling pastoral ialah
membantu konseli menghilangkan gejala disfungsional, tujuannya membantu
konseli menghilangkan atau menyembuhkan gejala-gejala yang mengganggu
sebagai akibat dari krisis, mungkin juga gejala-gejala itu bersifat patologis, syukur
jikalau konseling pastoral dapat mambantu konseli menghilangkan gejala-gejala
tersebut secara tuntas30
.
Penulis berpendapang bahwa melalui ilmu konseling pastoral ini, bertujuan
untuk menolong, menyembuhkan, mengobati dan menyelesaikan masalah-
masalah social yang sedang terjadi atau yang sedang dialami oleh manusia baik
secara fisik maupun psikologisnya. Ilmu konseling pastoral salah satu saran atau
alternative bagi setiap maklhuk sosial, terkhusunya manusia, dan yang paling
penting ialah konseling pastoral ini, memudahkan para gembala, pendeta, guru
agama dan lain sebagainya, untuk dapat membantu, menopang, memelihara,
membimbing dan menolong setiap warga jemaat yang sedang mengalami
masalah-masalah yang sedang melanda kehidupannya, tidak berhenti disitu saja
konseling pastoral juga dapat membantu para pendeta yang sedang mengalami
kemimbangan, keterasingan, ketidaksejtaraan jender dalam suatu kelembangan
organisasi. Pada dasarnya ilmu konseling pastoral ini bersifat menolong dan
universal.
4.2. Fungsi Pastoral
Aart Martin Van Beek dalam bukunya yang berjudul “konseling pastoral”
sebuah buku pegangan bagi para penolong di Indonesia. Dalam buku tersebut Van
Beek telah mencantumkan 5 fungsi dari konseling pastoral sebagai berikut:
Pertam fungsi penyembuhan, konseli sering mempunyai perasaan yang belum
pernah diungkapkan. Barangkali dia pernah mengalami sautu trauma psikis seperti
kehilangan seseorang atau pernah menyaksikan suatu yang mengerikan seperti
30
Totok S. Wiryasaputra&RiniHandayani, Pengantarkonseling pastoral, AsosiasiKonselor Pastoral
Indonesia (AKPI)-Indonesia Association of pastoral Counselor (IAPC). 88-96
22
perang atau pembunuhan dan mengalami kecelakan bus. Fungsi menyembuhan
dari konseling pastoral dapat menolong konseli untuk menyembuhkan hatinya.
Tekanan batin konseli menimbulkan penyakit psikosomatis seperti colitis atau
penyakit jantungan, penyakit maag dan sebagainya. Doa yang singkat sesudah
percapakan selesai biasanya juga ikut menolong. Kedua fungsi penopang, konseli
yang menghadapi krisis psikis atau penderita yang diserang oleh rasa sakit yang
tajam sekali sulit diajak berbicara melalui percakapan yang mendalam. Pada
umumnya konselor dan konseli hanya dapat memfokus pada masalah inti.
tanggapan dari konselor adalah singkat, tepat dan menekakan perasaan konseli,
kehadiran yang baik dan berkomunikasi non-lisan dari konselor banyak menolong
sebab biasanya konseli sangat gelisah. Ketiga fungsi pembimbingan, para konseli
di Indonesia cenderung mengharapkan fungsi ini dari proses pertolongan. Mereka
ingin diberi jalan keluar, sayang sekali para konselor terlalu sering sanggup untuk
memberikan nasehat yang setengah matang, dan tidak mampu memenuhi harapan
itu, sehingga fungsi membimbing muncul dalam usah menolong konseli untuk
mengambil keputusan-keputusan mengenai kehidupan sendiri. Keputusan
mengenai profesi yang dipilih. Keempat memperbaiki hubungan, hampir semua
persoalan konseli sedikit banyak menyangkut hubungan dengan orang lain. Jikalu
hubungan itu tidak diperhatikan oleh konselor pelayanannya dapat menjadi tidak
relevan. Oleh sebab itu terkhususnya di Indonesia kita membutuhkan fungsi
konseling pastoral yang menjamin konselor ikut berkecimpung dalam
menyelesaikan ketegangan yang timbul dalam hubungan itu. Kesulitan
komunikasi biasanya merupakan persoalan yang paling mendasar. Kelima
pengasuh atau pemelihara, diharapkan bahwa konseli terus berkembang dan terus
menerus menjadi lebih dewasa di dalam menghadapi masalah-masalah hidup.
Fungsi ini sebenarnya hampir selalu dapat keluar dalam konseling. Alasannya
untuk tidak terlalu banyak menasehati konseli dan untuk menegaskan
tanggungjawab konseli dalam menolong diri sendiri. Apabila konseli tidak
membutuhkan kita lagi, kita sudah berhasil, jangan konselor menciptakan
ketergantungan konseli pada diri konselor, sebab itu hanya membuat konseli lebih
lemah.31
31
Aart. Martin Van Beek. Konseling Pastoral, sebuahbukupeganganparapenolong di Indonesia,
23
Paparan teori yang telah penulis lampirkan diatas, fungsi dari ilmu konseling
pastoral ini ialah dapat mengembalikan kepercayaan diri seseorang, hubungan
seseorang, dan lain sebagainya. Pada intinya penulis berpendapat bahwa fungsi
konseling pastoral adalah membangun kembali hubungan sosial, mengembalikan
rasa percaya diri seseorang, dapat membimbing seseorang kearah yang baru, dan
lain sebagainya.
4.3. Pandangan pastoral Dalam Perspektif Teologi
Gembalakanlah kawana domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paska,
tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau
mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat
seolah-olah kamu mau memerintahkan atas mereka yang dipercayakan kepadamu,
tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. (1 Peterus
5:2,3).
Pendampingan pastoral berhubungan dengan manusia tidak perduli macam
kepercayaannya, kedudukan sosialnya, atau prestisenya. Suatu pendampingan
yang ditujukan pada kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam segala perjalanan
hidup ini, dari seorang tukang batu sampai kepada insinyur bangunan, dari
seorang juara olahraga sampai kepada seorang cacad, dari seorang anak sekolah
dasar sampai kepada kakek-kakek dan nenek-nenek. Apakah mereka sedang
dalam keadaan kesehatan fisik yang prima atau keadaan sakit yang tidak bias
disembuhkan, dalam keadaan sukacita atau sedih, dalam keadaan yang
mengembirakan atau mengelisakan selalu ada saja kemungkinanan bahwa
layanan pastoral itu dibutuhkan.
Tanda dibutuhkan pendampingan pastoral itu dikenali melalui suatu saat dimana
tekanan dan ketegangan kehidup ini mempengaruhi tubuh dan jiwa.
Pendampingan pastoral berhubungan dengan manusia dan juga lingkungan, tetapi
memang biasanya lebih khusus dengan manusia dan lingkungan yang bermasalah.
Karena pendampingan pastoral adalah “ A Shared Compassion.” (Matius 9:36;
14:14; 15:32; 1 Peterus 5:2). Pendampinga pastoral memang setua agama, setua
sejarah keberadaan manusia. Bahkan kita bisa menelusi kembali jauh kepada
SATYA Wacana, Semarang. 10-12
24
tradisi Kristen Yahudi, sampai kepada dukun-dukun obat primitive. Boleh
dikatakan bahwa setiap kali satu orang bertindak untuk menolong orang lain, dan
motivasi menolong orang itu karena dilandasi keyakinan agamaisnya,, maka pada
saat itu pemdampingan pastoral berlangsung.32
Pendampingan pastoral tidak bisa dihayati dengan hanya belajar teknik-tekniknya
saja. Seorang harus juga mempelajari manusia yang terlibat dalam pemdampingan
pastoral dan relasi diantara mereka itu, selanjutnya karena pendampingan pastoral
itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keyakinan agamais tertentu. Maka
seorang gembala atau majelis dan orang-orang yang terlibat dalam pendampingan
pastoral harus belajar agama dengan baik, dalam hal ini Kristen sebagaimana
agama itu berfungsi di dalam dan melalui orang-orang yang terlibat dalam
pendampingan pastoral itu di dalam relasinya satu sama lain. Psikologi
mempelajari tentang tingkah-laku manusia, sedangkan agama menyediakan
pengharapan kepada manusia sebagimana mereka ada. Psikologi memutuskan
perhatiannya pada relasi antra manusia sebagaimana adanya, sedangkan agama
memberikan inspirasi dan motivasi kepada manusia untuk mengubah dan
mempelajari kondisi mereka yang berdosa. Sehinga dukunga oleh psikologi dan
agama pendeta, majelis, pekerja, pastoral bergerak ke dalam arena relasi dan
menjadi peserta aktif. Layanan pastoral memang suatu keterlibatan-keterlibatan
dalam relasi atau hubungan antara manusia.33
Penulis berpandangan bahwa Ilmu Pastoral merupakan tindakan manusiawi
untuk membangun dan mengembangkan relasi antra sesama. Dengan melihat hal
positif dari perkunjungan, maka gereja menempatkan perkunjungan pastoral ke
dalam aktivitas gerejawi untuk menjaga kesinambungan hidup gereja dengan
memperhatikan kehidupan bagi seluruh jemaat dan menempatkan semua jemaat
dalam posisi yang terpenting dalam kehidupan gereja. bertolak dari pemmbahasan
di atas, maka penulis akan membahas salah satu persoalan sosial atau isu sosial,
dalam sebuah organisasi atau sebuah lembaga mengenai “ Kajian Pastoral
32
Pdt. Prof, Dr. Mesach Kriseten, M. Th, Teologi Pastoral, Dosen Pendampingan Pastoral &
konseling, Fakultas Teologis & Program Pasca Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga, 2008. Hal 1-2 33
Pdt. Prof, Dr. Mesach Kriseten, M. Th, Teologi Pastoral, Dosen Pendampingan Pastoral &
konseling, Fakultas Teologis & Program Pasca Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga, 2008. Hal 2
25
Terhadap Alasan Penolakan Mutasi Oleh Pendeta GMIT Di Klasis Kupang
Tengah” pada bagian ke III, Jurnal ini akan Mendeskripsi Terhadap Alasan
Penolakan Mutasi Oleh Pendeta GMIT Diklasis Kupang Tengah.
26
BAGIAN III
Deskripsi Terhadap Alasan Penolakan Mutasi Oleh Pendeta GMIT
Diklasis Kupang Tengah
Warisan utama GMIT dalam proses perkembangan mutasi terhadap para
pendeta adalah perkembangan konsep mutasi dalam Calvinisme. Dapat dipahami
bahwa, praktek mutasi yang telah dilaksanakan GMIT sebagai suatu tradisi gereja
yang berlaku sampai saat ini. Pendeta GMIT di klasis Kupang Tengah memahami
tentang mutasi sebagai alat kepentingan pelayanan, penyegaran pelayanan dan
pengembangan diri, Akan tetapi dalam perkembangan mutasi di GMIT
menimbulkan banyak persoalan seputar; 1. Apa yang telah pendeta pahami
tentang konsep mutasi? 2. Atas dasar apa mutasi yang dilakukan Majelis sinode
GMIT? 3. Apa maksud dan tujuan mutasi? 4. Faktor-faktor penyebab pendeta
menolak dimutasika? 5. Apa dampak pendeta terhadap mutasi? 6. Apakah mutasi
GMIT sudah berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang ada? 7. Menurut pendeta
mutasi sejaih ini sudah berjalan dengan Adil? 8. Bagimana sikap Sinode GMIT
terhadap pendeta yang menolak dimutasikan?.
Setelah penulis melakukan penelitian lapangan di beberapa pendeta yang ada
klasis Kupang Tengah, penulis mendapatkan berbagi macam factor-faktor di
lapangan yang mempegaruhi konsep mutasi yang telah diterapkan oleh sinode
GMIT sebagai berikut:
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang penulis susun untuk mewawancarai
para responden, penulis menemukan fakta lapangan berdasarkan pertanyaan
pertama yakni apakah para pendeta memahami konsep mutasi, menurut Bapak
Pendeta Eliza J Riri,34
ada dua konsep mutasi yang telah diterapkan oleh sinode
GMIT yaitu yang pertama konsep mutasi yang telah tercantum dalam Buku Draft
peraturan pokok GMIT tentang jabatan dan kekaryawanan. Pada pasal 77 mutasi
karyawan pendeta memuat tentang aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh
pendeta GMIT sebagai berikut:
34
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Ebenhezer KolHua.
27
Mutasi pendeta dilaksanakan dalam rangka penyegaran dan pengembangan
diri pendeta dan jemaat. Mutasi didahului oleh evaluasi pelayanan pendeta yang
bersangkutan. Mutasi dilaksanakan oleh Majelis Sinode berdasarkan rekomendasi
Majelis Klasis sambil terbuka pada pertimbangan pendeta yang bersangkutan dan
jemaat penerima. Periode pelayanan seorang pendeta di suatu jemaat adalah empat
(4) tahun. Demi kepentingan pelayanan gereja, Majelis Sinode dapat:
mempercepat mutasi pendeta dan memperpanjang masa pelayanan pendeta
bersakutan. Batas maksimal pelayanan seorang pendeta dalam satu jemaat adalah
dua periode (8 tahun), dan dalam satu klasis adalah tiga periode (12 tahun).
Sebelum mutasi diadakan serah terima yang didahului pengawasan dan
pemeriksaan oleh Badan Pembantu Pelayanan yang melaksanakan fungsi
pengawasan di masing-masing lingkup.
Yang Kedua, mutasi sebenarnya baik, karena untuk kepentingan penyegaran
pelayanan bagi para pendeta sehingga terciptanya suasana pelayanan yang baik,
bersahabat dan nyaman bagi jemaat. Hal ini dimaksudkan agar pendeta dan jemaat
dapat membangun hunbungan yang baik serta memberikan efek posistif bagi
pelayanan kepada jemaat. Sedangkan ibu Pendeta Noldi Kase, S.Th35
menjelaskan
bahwa mutasi adalah metode yang baik demi menciptakan pelayanan merata bagi
para pendeta di perkotaan dan di pedesaan atau pendeta yang berada di jemaat
kecil dan jemaat yang besar dan menjawab pemerataan pelayanan bagi para
pendeta. Sedangkan menurut Ibu Pendeta Marlis Riri-Babys,36
menerangkan
bahwa konsep mutasi sebenarnya adalah untuk membantu para pendeta mengatur
pelayanan secara maksimal. Sedangkan Ibu Pendeta Soda Molek, S.Th37
menerangkan bahwa mutasi merupakan hal yang baik demi kepentingan kualitas
pelayanan serta kesiapan pendeta untuk menjalankan pelayanan demi
meningkatkan iman jemaat. Sedangkan beberapa responden memiliki jawaban
yang sama seperti yang penuli sampaikan di atas.
35
Waktu wawancara: jam 17-19, , bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Petuk. 36
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Imanuel KolHua. 37
Waktu wawancara: jam 17-19, tanggal, 28, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Kaisarea.
28
Selanjutnya untuk pertanyaan kedua yakni konsep mutasi yang diterapkan
oleh sinode GMIT. Menurut Bapak Pendeta Eliza J Riri,38
konsep mutasi idealnya
yaitu seseorang pendeta dalam satu jemaat hanya melayani selama 2 periode
dalam satu klasis, selanjutnya seorang pendeta bisa bertahan dalam satu klasis
selam 3 periode, setelah itu pendeta tersebut akan menerima dan harus menerima
proses mutasi yang telah ditetapkan dalam buku Buku Draft peraturan pokok
GMIT tentang jabatan dan kekaryawanan, pada pasal 77 tentang mutasi karyawan
pendeta. Mutasi pendeta terjadi dalam 1 tahun dilakukan selama 2 kali pada bulan
April dan Bulan Oktober. Faktor-faktor penyeba para pendeta menolak
dimutasikan ialah faktor kedekatan pendeta dengan badan pengurus di sinodeal
GMIT, sehingga dalam proses mutasi pendeta bisa melakukan pendeta untuk
melobi tempat pelayanan berikutnya. Selanjutnya faktor data yang di miliki oleh
sinodeal GMIT dari dulu sampai saat ini, data mutasi yang tercatat yaitu data
manual, sehingga dalam proses mutasi tidak berjalan dengan baik.
Menurut pendeta Eliza J Riri, S.Th39
mutasi yang diterapkan oleh sinode
GMIT sejauh ini, proses mutasi kurang berjalan dengan baik, karena masih
banyak pihak yang belum mengikuti atau taat aturan yang sudah ditetapkan oleh
sinode. Dan ada juga pendeta secara terang-terang menolak untuk dimutasikan
sehingga secara aturan meskipun melanggar namun sinode belum mampu
mengambil sikap secara tegas. Alasan bagi para pendeta yang menolak
dimutasikan yakni karena memiliki banyak kedekatan dengan petinggi sinodel
atau karena faktor keluarga, kenalan dekat.
Menurut Pendeta Eliza J.Riri,40
proses mutasi belum bisa berjalan secara adil,
karena masih banyak pekerjaan rumah yang harus diperbaiki oleh para pengurus
sinodel GMIT. Pendeta yang menolak dimutasikan akan dipanggil atau didekat
oleh badan pengurus sinode, untuk mencari tahu sebab para pendeta yang
menolak dimutasikan, bukan hanya itu saja para pendeta yang menolak
dimutasikan ada akan didekati dengan berbagai cara, salah satunya yaitu
pendekatan pastoral dari bada pengurus sinodeal.
39
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Ebenhezer KolHua. 40
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Ebenhezer KolHua.
29
Pertanyaan ketiga dari penelitian yang dilakukan oleh penulis yakni Tujuan
dari mutasi pendeta? Tujuan dari proses mutasi yang sudah ditetapkan oleh sinode
bagi semua pendeta yang ada di GMIT ialah untuk kepentingan pelayanan dan
pengembagan spritualitasi pendeta dalam tugas, tanggujawabnya. Menurut ibu
Pendeta Marlis Babys, S.Th41
, tentang konsep mutasi yakni memiliki jawaban
yang sama dengan Bapak Pendeta Eliza J Riry42
yakni ada 2 konsep mutasi yang
telah diterapkan oleh sinode GMIT yaitu konsep mutasi yang telah tercantum
dalam Buku Draft peraturan pokok GMIT tentang jabatan dan kekaryawanan.
Pada pasal 77 mutasi karyawan pendeta memuat tentang aturan-aturan yang harus
dipatuhi oleh seluruh pendeta GMIT sebagai berikut;
Mutasi pendeta dilaksanakan dalam rangka penyegaran dan pengembangan
diri pendeta dan jemaat. Mutasi didahului oleh evaluasi pelayanan pendeta yang
bersangkutan. Mutasi dilaksanakan oleh Majelis Sinode berdasarkan rekomendasi
Majelis Klasis sambil terbuka pada pertimbangan pendeta yang bersangkutan dan
jemaat penerima. Periode pelayanan seorang pendeta di suatu jemaat adalah empat
(4) tahun. Demi kepentingan pelayanan gereja, Majelis Sinode dapat:
mempercepat mutasi pendeta dan memperpanjang masa pelayanan pendeta
bersakutan. Batas maksimal pelayanan seorang pendeta dalam satu jemaat adalah
dua periode (8 tahun), dan dalam satu klasis adalah tiga periode (12 tahun).
Sebelum mutasi diadakan serah terima yang didahului pengawasan dan
pemeriksaan oleh Badan Pembantu Pelayanan yang melaksanakan fungsi
pengawasan di masing-masing lingkup.
Kedua yang dimaksud dengan konsep mutasi ideal yaitu seseorang pendeta
dalam satu mata jemaat hanya melayani selama 2 periode dalam satu klasis,
selanjutnya seorang pendeta bisa bertahan dalam satu klasis selam 3 periode,
setelah itu pendeta tersebut akan menerima dan harus melakuakn proses mutasi
yang telah ditetapkan dalam buku Buku Draft peraturan pokok GMIT tentang
jabatan dan kekaryawanan, pada pasal 77 tentang mutasi karyawan pendeta.
Mutasi pendeta terjadi dalam 1 tahun dilakukan selama 2 kali pada bulan April
dan Bulan Oktober.
41
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Imanuel KolHua. 42
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Ebenhezer KolHua.
30
Pada pertanyan ke Empat, Faktor-faktor penyebab para pendeta menolak
dimutasikan, menurut ibu pendeta Marlis Babys, S.Th,43
faktor-faktor penyebab
para pendeta yang menolak dimutasikan ialah faktor kedekatan, faktor keluarga,
faktor senior, junior, dan pendeta yang berstatus emeritus, faktor-faktor ini yang
sangat menghambat proses mutasi yang telah diterapkan oleh sinodeal GMIT dari
dulu sampai saat ini. Bukan hanya itu para pendeta yang sudah dimutasi keklasis
mata jemaat yang berbeda, akan tetapi pendeta tersebut masih saja bisa memenga
satu mata jemaat yang disukainya.
Sedangkan menurut pendeta Noldi Kase, S.Th44
faktor penyebab pendeta
menolak dimutasikan adalah karena mungkin para pendeta telah memiliki harta
benda yang banyak sehingga ketika dimutasi ada pertimbangan soal hal tersebut.
Namun sejauh ini sebagai pendeta selama bertugas belum pernah menolak untuk
dimutasi dan tidak pernah mendengar pendeta menolak untuk dimutasikan.
Selanjutnya menurut pendeta Mike Modok45
faktor pendeta menolak dimutasikan
karena soal pendidikan anak, lingkungan pergaulan anak. Namun lanjut bagi
pendeta Mike mutasi adalah hal yang baik karena memberikan ruang bagi para
pendeta untuk mengenal lebih banyak karakter jemaat.
Untuk pertanyaan kelima yakni Apa dampak dari pendeta yang menolak
dimutasikan? Dari pertanyaan ketiga ini, menurut Pendeta Noldi Kase46
dampak
dari ketika pendeta menolak untuk dimutasikan adalah secara aturan atau system
Sinodal Presbiterial ketika menolak dimutasikan berdampak pada system yang
tidak berjalan secara baik. Sedangkan menurut pendeta Eliza J Riry, sebenarnya
ada banyak pendeta yang menolak untuk dimutasikan, namun tidak dipublikasi
secara terbuka. Sehingga dari penolakan pendeta yang dimutasi pastinya memiliki
dampak yakni system tidak akan berjalan secara baik.
Dampak yang kedua soal ketidak adilan yang terjadi di organisasi GMIT serta
memiliki dampak negatif terhadap sinode GMIT. Namun sejauh ini system yang
dipakai oleh sinode GMIT mulai berjalan secara baik dan berkembang kearah
43
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Imanuel KolHua. 44
Waktu wawancara: jam 17-19, , bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Petuk. 45
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Kaisarea. 46
Waktu wawancara: jam 17-19, , bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Petuk.
31
yang lebih baik. Kalau menurut Pendeta Marlis47
dampak dari pendeta menolak
adalah pelayanan akan terhambat, serta berdampak pada matinya Roh pelayanan
dari pendeta.
Apakah mutasi GMIT sudah sesuai berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang
ada? Dari pertanyan keenam, menurut pendeta Mike Modok,48
sejauh ini mutasi
telah berjalan sesuai dengan atauran sinode GMIT, namun dalam setiap sidang
sinode akan terus dilakukan evaluasi berkaitan dengan mutasi. Mutasi memang
harus berdasarkan peraturan pokok yang ada GMIT yang bertujuan untuk
memberikan penyegaran bagi para pendeta serta meningkatkan kualitas pelayan
dalam rangka menigkatkan iman jemaat Tuhan diwilayah pelayanan GMIT.
Menurut pendeta Noldi kase,49
sejauh ini mutasi telah berjalan baik, karena
pada tahun 2017 telah dimutasikan dari Jemaat Kanaan Besmarak Ke Jemaat
Imanuel Petuk. Sehingga menurut pendeta Noldi mutasi berjalan berdasar kriteria
yang berlaku dan sesuai dengan aturan sinode GMIT. Karena ketika seorang
pendeta yang hendak dimutasi pasti akan mendapatkan Surat Keputusan dari
Sinode GMIT. Lanjut pendeta Noldi,50
hal ini menunjukkan sikap sinode GMIT
yang dapat menjalan aturan mutasi secara bijaksana demi kepentingan pelayanan.
Sedang menurut pendeta Marlis Babys51
mutasi tentunya hanya bisa dilakukan
apabila sinode GMIT memberikan perintah maka seorang pendeta harus siap
untuk pindah tugas. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa memang faktor
kedekatan seperti sahabat, keluarga menjadi hal yang dapat membuat mutasi tidak
berjalan sesuai aturan.
Apakah munurut pendeta mutasi sejauh ini sudah berjalan dengan Adil?
Menurut ibu pendeta Marlis,52
mutasi sejauh ini belum berjalan secara adil, akan
tetapi proses mutasi pada saat ini jauh lebih perkembang dan para pendeta juga
sudah mengikut aturan-aturan yang telah ditetapkan sinode GMIT. Kalau menurut
pendeta Mike53
mutasi memang sejatinya telah berjalan sesuai aturan namun
faktor keadilan ini menjadi pekerjan rumah yang besar karena belum sepenuhnya 47
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Imanuel KolHua. 48
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Kaisarea. 49
Waktu wawancara: jam 17-19, , bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Petuk 50
Waktu wawancara: jam 17-19, , bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Petuk 51
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Imanuel KolHua. 52
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Imanuel KolHua. 53
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Kaisarea.
32
menjawab pemerataan kesejahteraan pendeta di kota dan pedesaan. Sedangkan
menurut pendeta Eliza J Riry,54
kalau dibilang adil ada keadilan, namun ada juga
yang belum terpenuhi karena soal kedekatan dapat merubah segalanya. Namun
secara umum mutasi dapat diterima oleh semua pendeta, memang ada beberapa
pendeta di Timor Tengah Selatan yang sampai emeritus tidak pernah dimutasikan.
Alasannya mungkin karena pendeta tersebut merasa nyaman didesa sehingga tidak
mau untuk dimutasikan.
Pertanyan ketujuh yakni Apa yang dilakukan oleh sinode GMIT terhadap
pendeta yang menolak dimutasikan? Menurut ibu pendeta Marlis,55
mutasi itu
adalah kesadaran diri para pendeta, untuk mengembangkan diri dan lebih
mengenal banyak jemaat atau krakter jemaat, sehingga pendeta juga bisa
mendapatkan lebih banyak pengalaman dari kehidupan pelayanannya. Karena
Tujuan dari konsep mutasi yang dipahami oleh ibu pendeta Marlis Babys56
adalah
untuk penyegaran pelayanan dan pentingan pelayanan. Namun jika ada yang
menolak untuk dimutasikan mungkin alangkah lebih baik kita dapat mendengar
alasan dari pendeta tersebut. Mengapa! Karena namanya pelayanan membutuhkan
kesiapan iman, mental untuk dimutasikan. Apalagi jika mutasinya dari kota
kedesa atau dari desa ke kota. Bagi pendeta Marlis hal ini menjadi tantang
tersendiri sehingga yang paling terpenting adalah seorang pendeta tidak
mengabaikan pelayanan kepada jemaat.
Sedangkan pendeta Noldi57
yang dilakukan oleh sinode GMIT ketika seorang
pendeta menolak dimutasikan, seharusnya ada sikap tegas bagi pendeta tersebut
agar system dapat berjalan tanpa memilih kasih. Karena tugas sebagai seorang
pendeta ada dua yakni tugas pelayan kepada jemaat dan menjalankan tugas
sebagai organisasi. Untuk keduanya harus seirama agar terciptanya iklim
pelayanan yang berkualitas dalam rangka menumbuhkan iman jemaat.
Untuk pertanyaan kedelapan, Apa solusi dari para pendeta yang menolak
untuk di mutasikan? Menurut pendeta Eliza J Riry,58
Kebanyakan yang menolak
dimutasikan yaitu pendeta yang sudah tua, Pendeta yang menolak dimutasikan
54
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Ebenhezer KolHua 55
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Imanuel KolHua. 56
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Imanuel KolHua. 57
Waktu wawancara: jam 17-19, , bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Petuk 58
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Ebenhezer KolHua
33
akan didekati oleh sinode denga cara konseling pastoral, akan tetapi para pendeta
masih menolak juga dimutasikan akan di biarkan saja oleh pengurus sinode GMIT
berdasarkan pertimbagan hati nurani. Serta menjaga sikap pelayanan dari setiap
pribadi para pendeta, karena mungkin juga pendeta yang sudah tua ingin
menghabiskan masa emeritus di tempat yang aman bagi segala bentuk
pengabdiannya ketika menjadi seorang pendeta. Lanjut pendeta Eliza59
bahwa
kalau mutasi yang dilakukan oleh GMIT memang berbeda dengan GKS atau
gerelainnya di Indonesia.
Meskipun system yang dipakai oleh sinode GMIT adalah presbiterial sinodal,
namun kenyataannya yang dijalankan justru terbalik yakni Sinodal Presbiterial.
Akan tetapi oleh beberapa gereja menggangap system yang digunakan oleh sinode
GMIT dianggap berhasil dalam pelayanan. Namun menurut pendeta Noldi kase60
bahwa solusi yang paling aman adalah dari proses penyaringan menjadi
mahasiswa, vikaris bahkan menjadi pendeta harus betul-betul di saring agar para
pendeta yang bandel untuk tidak dimutasikan harus tetap di mutasi berdasarkan
sesuai dengan tata cara mutasi dari sinode GMIT. Namun sebagai seorang
pendeta, kita menyakini bahwa pelayanan yang kita lakukan adalah cara Tuhan
untuk terus membentuk seorang pendeta menjadi alat Tuhan dalam mewartakan
injil Tuhan.
59
Waktu wawancara: jam 17-19, bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Ebenhezer KolHua 60
Waktu wawancara: jam 17-19, , bulan agustus, tahun, 2018: tempat Gereja Petuk
34
BAGIAN V
Kajian Pastoral Terhadap Alasan Penolakan Mutasi Oleh Pendeta
GMIT Diklasis Kupang Tengah
Berdasarkan pengolahan data yang penulis uraikan di atas maka dapat
dilakukan analisi untuk menemukan fakta lapangan berdasarkan permasalah yang
penulis angkat yakni: “Kajian Pastoral Terhadap Alasan Penolakan Mutasi Oleh
Pendeta GMIT di Klasis Kupang Tengah”
Dari ketujuh pertanyaan yang penulis ajukan untuk para respoden yakni
pendeta di Klasis Kupang Tengah, maka penulis dapat menggambarkan situasi
berdasarkan hasil wawancara kepada pada resposden. Secara umum dapat penulis
sampaikan bahwa konsep tentang mutasi para pendeta di Sinode GMIT, Klasis
Kupang Tengah, di ketahui berdasarkan aturan Sinode GMIT tentang Mutasi
Karyawan Sinode GMIT. Yang tujuannya untuk penyegaran pelayanan bagi para
pendeta serta memberikan suasana baru dalam mengabarkan injil.
Dari segi pemahaman teologis, para pendeta GMIT memahami mutasi sebagai
saranan untuk penyegaran pelayanan bagi para pendeta serta memberikan suasana
baru dalam mengabarkan injil. Dengan demikian pemahaman para pendeta GMIT
terkhususnya di klasis Kupang tengah, secara teologis memberikan suatu
gambaran yang positif mengenai mutasi. Secara teoritis pandangan di atas
memberikan gembaran bahwa mutasi yang telah di pahami oleh para pendeta
GMIT, Klasis Kupang Tengah, ialah perkembagan konsep mutasi dalam
Calvinisme. Dalam perkembangan Calvinisme mutasi di pahami sebagai sarana
untuk mendidik dan membina pendeta agar tetap di dalam panggilannya sebagai
pejabat gereja serta melaksanakan tugas-tugas panggilan pelayanan gereja.
Dari setiap pertanyaan yang penulis uraian untuk mewawancarai para
responden dapat kita temukan bahwa jawaban responden mengetahui secara benar
konsep dan tujuan dari mutasi bagi seorang pendeta. Yakni untuk melakukan
penyegaran terhadapat pelayanan yang dilakukan oleh seorang pendeta, serta
menigkatkan kualitas pelayanan. Sedangan penolakan terhadap mutasi yang
dilakukan oleh Sinode para responden memberikan jawaban bahwa tidak
35
mengetahui pendeta mana yang menolak untuk dimutasi namun ada juga yang
menyatakan bahwa menolak mutasi memang ada namun tidak dipublikasi atau
dijadikan sebagai permasalah penting untuk dibahas karena bahwasanya ada hal
atau agenda lain yang lebih penting dari konsep mutasi. Penolakan terhadap
mutasi memang ada namun kenapa tidak dipublikasi karena ada pertimbangan
kemanusia dan menjaga keharmonisan pelayanan. Persoalan mutasi memang
intinya untuk penyegaran pelayanan, namun tentu memiliki dampak positif dan
dampak negatif.
Dari penyajian data yang penulis dapatkan, para respoden sebenarnya belum
menyampaikan kondisi sebenarnya tentang penolakan untuk di mutasi. Hal ini
sebenarnya penulis simpulkan karena para responden tidak berani untuk
menyampaikan siapa pendeta yang pernah menolak untuk dimutasikan, waktunya
kapan. Dengan demikian tentunya dari jawaban para responden dapat kita
simpulkan bahwa, responden mengetahui tentang adanya pendeta yang menolak
untuk dimutasikan karena berdasarkan pertimbangan berbagai faktor. Kondisi ini
menunjukkan bahwa penolakan mutasi memang terjadi di sinode GMIT namun
dibiarkan dan tidak dijadikan sebagai persoalan.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam lembagan organisasi gereja ditemukan
berbagi kepentingan yang berbeda, sehingga akibat dari perbedan itu dapat
memunculkan konflik sebagai suatu yang wajar. Ketika menghadapi konflik atau
persoalan yang sedang terjadi dalam suatu kelembagaan organisasi gereja, seharunya kita
harus mencari suatu solusi untuk menyelesaikan konflik tersebut, sehingga para pendeta
yang menolak untuk dimutasikan tidak semakin terpuruk oleh persoalan yang terjadi.
Melihat dari persoalan yang sedang terjadi di GMIT, di Klasis Kupang Tengah,
terhadap para pendeta yang menolak untuk dimutasikan, di kaji dari teoritis Pastoral
adalah suatu alat untuk menyelesaikan persoalan yang sedang di alami. Konseling
pastoral dan perkunjungan pastoral salah satu cara yang sering digunakan untuk
menemukan resolusi konflik dalam suatu lembagan organisasi gereja. pendetakan ini
biasanya di lakaukan oleh pihak sinode agar dapat menyelesaikan permasalahan sedang di
hadapi oleh anggota-anggotanya, demi tujuan kepentingan organisasi bersama. Konseling
pastoral dan perkunjungan pastoral biasanya pihak yang berkonflik bisasnya dapat
menyalurkan permasalahan yang sedang di hadapi dan bersedia di bimbing untuk
mencapai penyelesaian.
36
Tugas dan pelayanan dari konseling pastoral dan perkunjunga pastoral menurut Aart
M Van Beek merupakan sautu alat pembaharuan melalui warga gereja dan dalam
kehidupan masyarakat. konseling pastoral berfungsi sebagai penyembuhan,
penopang, pembimbingan, memperbaiki hubungan dan pengasuh atau pemelihara,
bagi sesama, tidak boleh hanya menekankan satu aspek saja, melainkan harus
memperhatikan aspek-aspek yang lainnya. Karena konseling Pastoral sebagai
sarana untuk memperbaiki hubungan yang rusak lembaga gereja dan organisasi
gereja. berhubungan dengan permasalahan yang sedang terjadi di GMIT, Klasis
Kupang Tengah, terhadap alasan penolakan mutasi pendeta, kita harus mengacu
pada 1 Petrus 5; 2-3. Melalui ayat di atas maka para gembala di peringatkan untuk
melakukan tugas dan tanggung jawab para pendeta sebagai pelayan yang mengacu
kepada Alkitab, tanpa harus mengutamakan kepentinga-kepentingan pribadi yang
sebenarnya bertentang denga Alkitab dan mengambil keuntungan bagi diri sendiri
atau mau memerintah atau berkuasa demi keinginan pribadi.
Konseling pastoral dan perkunjungan pastoral sangat di butuhkan oleh para
pendeta yang menolak dimutasikan di GMIT, Klasis Kupang Tengah, melalui
konseling pastoral dan perkunjungan pastoral para pendeta yang mengalami
persoalan tersebuat, akan mengalami pemulihan dan mengutuhkan kehidupan para
pendeta dalam segala aspek kehidupannya, yakni, fisik, social, mental, dan
spritualnya.
Dalam kenyataan penurut pandangan penulis sejauh ini sinode GMIT belum
total jalankan atau mempraktekan fungsi-fungsi pastoral pada bidang yang
masing-masing, sehingga kita bisa melihat bahwa masih ada persoalan yang
terjadi di GMIT, Klasis Kupang Tengah, tentang penolakan mutasi oleh para
pendeta. Sehingga menurut penulis sinode GMIT, harus mencari suatu solusi
dalam menyelesaikan persoalan yang sedang di hadapi para pendeta, tentang
penolakan mutasi, sehingga sinode GMIT mampu memberikan rasa aman dan
dapat menjadi tempat yang tetap untuk para pendeta dalam menyelesaikan setiap
persoalan yang ada.
37
BAGIAN V
Kesimpulan Dan Rekomendasi
KESIMPULAN
Pada bagian ini akan di paparkan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:
1. Penulis berpendangan bahwa konsep mutasi yang telah ditetapkan dalam
aturan Sinode GMIT, telah diterimah oleh semua pendeta, akan tetapi
dalam proses mutasi masih ada faktor-faktor yang menyebabkan
seseorang pendeta menolak dimutasikan.
2. Faktor-faktor yang menghambat proses mutasi di GMIT, Klasis Kupang
Tengah ialah faktor keluarga, kenalan, sehabat, senior, junior serta pendeta
yang berstatus emeritus.
3. Faktor-faktor penyebab pendeta menolak dimutasikan ialah pendeta telah
memiliki harta benda atau asset di dalam satu mata jemaat, persoalan
pendidikan anak, lingkungan pergaulan anak, serta pendeta kota tidak mau
dimutasikan ke pedesaan dan data mutasi GMIT sampai pada saat masih
system manual.
4. dampak negatif dari pendeta yang menolak dimutasikan ialah secara aturan
atau system Sinodeal Presbiterial, system ini tidak akan berjalan secara
baik, serta permasalahan ini tidak dipublikasikan secara terbuka, sehingga
system yang tidak akan berkembang dan soal ketidak adilan yang terjadi di
organisasi GMIT, juga membahwa dampak negatif terhadp Sinodeal
GMIT, serta matinya roh pelayanan dari seseorang pendeta.
5. Dampak positif dari penolakan mutasi di GMIT, Klasis Kupang Tangah
ialah ada pertimbagan kemanusian, dan menjaga keharmonsisan pelayan.
6. Sejauh ini Sinode GMIT memilih untuk tidak dipublikasi atau menjadikan
penolakan mutasi sebagai permasalah, karena ada pertimbagan
kemanusian dan menjaga keharmonisan pelayanan GMIT.
7. Pada sadarnya konsep mutasi GMIT telah tercantum pada Buku, Draft
peraturan pokok GMIT tentang jabatan dan kekaryawanan. Pada pasal 77
38
mutasi karyawan pendeta memuat tentang aturan-aturan yang harus
dipatuhi oleh seluruh pendeta GMIT.
8. Tujuan dari konsep Mutasi GMIT ialah untuk penyegarkan pelayanan bagi
para pendeta serta memberikan suasana baru dalam mengabarkan injil.
9. Sejauh ini, perkembangan konsep mutasi di GMIT, Klasis Kupang
Tengah, jauh lebih baik, di sebabkan, banyak pendeta telah mengikuti
atura-aturan yang telah di tetapkan oleh Sinodeal GMIT.
10. Penulis berpendapat bahwa, kurangnya keterbukan para pendeta GMIT,
Klasis Kupang Tengah, terkait persoalan mutasi tersebut.
11. Fungsi-fungsi konseling pastoral seperti, penyembuhan, penopang,
pembingan, memperbaiki hubungan, pengasuh atau pemelihara, yang
harus di tekankan pada saat perkunjung pastoral oleh pengurus sinode
GMIT kepada semua pendeta, sehingga para pendeta mendapatkan hak
dan keadlian yang merata.
Rekomendasi FAKULTAS
Dalam upaya mendukung tercapainya profil pekerjan gereja yang
berkulitas pada umunya, pendampingan pastoral serta konseling pastoral yang
berkompeten maka, diharapkan Fakultas Teologi Uinversitas Kristen Satya
Wacana ( UKSW), semakin terampil dan cermat dalam mendidik dan
membimbing mahasiswa/i-nya dalam mata kuliah, konseling pastoral,
pendampingan pastoral. Proses perkuliahan yang selama ini, dihimbaukan agar
lebih memperbanyak dengan praktek-praktek dan di imbangi dengan teori-teori
agar dapat memperkaya calon pekerja gereja, sebelum memasuki dunia kerja.
Saran ini bertujuan untuk mengimbangi kesenjangan yang ada antara
bangku kuliah dan lapangan, seperti yang biasa biasa kita ketahui bahwa, apa
yang kita pelajari di bangku kuliah tidak selalu sejalan dengan praktek lapangan.
Sehingga dengan ada calon pekerja gereja yang terampil dan cermat, serta
memiliki inovatif dalam menyikapi situasi-situasi sekitar dan perkembangan
zaman.
Rekomendasi SINODE GMIT
39
1. Terkhususnya bagi badan pengurus GMIT perluh diadakan pendekatan
yang lebih terhadap persoalan mutasi.
2. Pendeta juga membutuhkan pemdampingan pastoral dan Konseling
Pastoral lebih dari satu laki pertemuan, sehingga para pendeta juga merasa
ditopan dan tidak sendiri dalam menghadapi permasalah-permasalah atau
persoalan yang sedang di alaminya. Sehingga para pendeta mendapatkan
pertolong, solusi yang baik dan tepat dalam menyelesaikan persoalan
tersebut. Dengan demikian pelayanan yang ada menjadi sebuah berkat
bagi warga jemaat serta pertumbuhan iman jemaat.
3. Dalam hal ini Sinodeal GMIT harus memberikan pemahaman terhadap
para pendeta, bahwa konsep mutasi dan aturan-aturan yang telah di
tetapkan oleh Sinodeal GMIT harus di pahami dan di taati oleh para
pendeta dan karyawan GMIT, sebab hal ini mempunyai dampak bagi
system organisasi GMIT dan menjaga keharmonsisan para pendeta dalam
bidang pelayanan.
4. Bagi Sinode GMIT harus melaksanakan pendekatan kepada para pendeta
yang menolak dimutasikan, Contotnya: Pendekatan pastoral dan Konseling
pastoral.
5. Bagi Sinode GMIT harus memperhatikan data Mutasi yang Manual sejauh
ini, kerana data mutasi yang manual inilah yang menhambat proses mutasi
di GMIT.
40
DAFTAR PUSTAKA
Abineno, J. L. CH., Penatua Jabatannya Dan Pekerjaanya, ( BPK Gunung Mulia,
2008).
Aart Martin. Van Beek. D. Min., Konseling Pastoral, (Semarang: Satya Wacana,
1987).
Aart. Martin Van Beek. D. Min., Konseling Pastoral, Sebuah Buku Pegangan
Para Penolong Di Indonesia, ( SATYA Wacana, Semarang, 1987).
Elisabeth, E. Y. Mesa: Tesis, Pendeta Dan Penelitian Kinerja, Suatu Studi
Terhadap Respons Pendeta Di Gereja Masehi Injili Di Timor Terhadap
Penelaian Kinerja Pendeta GMIT, ( Salatiga Universitas Kristen Satya
Wacana, 2013).
Harun, Hadiwiyono, Dr. Iman Kristen, (Jakarta. BPK Gunung Mulia, 1986).
Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif Unutk Ilmu-ilmu Sosial, (
Jakarta, Salemba Humanika, 2012).
Jacob, Daan. Engel, Mutasi Sebagai Sarana Pembinaan Panggilan, Kajian sosio-
teologis terhadap pemahaman para pendeta GPIB tentang Mutasi,
Tesis, Program Pascasarjan Sosiologi Agama, untuk memperoleh
Gelar Magister Sains Dalam Bidang Studi Sosiolgis Agama, ( Salatiga,
Universitas Kristen Satya Wacan, 2001).
Jacob Daan Engel: Tesis, Mutasi sebagai sarana Pembinaan Panggilan.
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. 2001.
Moh, Nazir, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
Pdt. Prof, Dr. Mesach Kriseten, M. Th, Teologi Pastoral, Dosen Pendampingan
Pastoral & konseling, Fakultas Teologis & Program Pasca Sosiologi
Agama, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2008.
Peraturan Organisasi Administrasi Dan Sistem Komunikasi Informasi GMIT,
Tentang Kedudukan, Wewenang Dan Tugas Majelis Sinode, ( Periode.
2015-2019).
41
Peraturan Oragnisasi, Administarsi Dan Sistem Komunikasi, Informasi Gereja
Masehi Injili Di Timor, Pos Kupang. ( Laporan Wartwan Pos Kupang,
Jurnal Hauteas, Pos Kupang.com BA,A).
Pertanggungjawaban Majelis Sinode GMIT Periode 2011-2015, Di Auditorium
Tii Langga, Pernyataan Ini Di Sampaikan Oleh Sejumlah Perwakilan
Klasis Saat Memberi Respon Atas Laporan, Rabu, 23/09/2015, Malam).
Sinode Gereja Masehi Injili Timor (GBM GPI Dan Anggota PGI) Panitia Tetap
Tata GMIT, Draft Peraturan Pokok GMIT Tentang Jabatan Dan
Kekaryawanan, Di Jemaat GMIT Elim Naibonat, 2011.
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi, Bandung: Alfabeta, 2012.
________, Meteode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung:
Alfabeta, 2013.
Totok S. Wirayasaputra & Rini Handayani, Pengantar Konseling Pastoral,
Asosiasi Konseling Pastoral Indonesia (AKPI) Indonesia Association
Of Pastoral Counselor, (IAPC) 2013.
Walz Edgar. Bagimana Mengelola Gereja Anda, Pedoma Bagi Pendeta Dan
Pengurus Awam, Jakarta, BPK. Gunung Mulia, 2008.
________, Bagimana Mengelola Gereja Anda, Jakarta, BPK. Gunung Mulia,
2006.