kajian pengelolaan hutan kemenyan (styrax sp.) di
TRANSCRIPT
KAJIAN PENGELOLAAN HUTAN KEMENYAN (Styrax sp.)
DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI
SUMATERA UTARA
MARUARI SITOMPUL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) Di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2011
Maruari Sitompul NRP E151080061
ABSTRACT
MARUARI SITOMPUL. Studi on Incence (Styrax sp.) Forest Management at Humbang Hasundutan Regency, North Sumatra Province. Under direction of LETI SUNDAWATI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Incense gum as non timber forest product has high economic value and used as raw material for perfumes, pharmaceuticals, cosmetics, soaps and ciggaret industry. The incense forest need to be developed to increase farmer’s income. The purpose of this study is to identify social, economic and ecological aspect, to identify incense forest management problems and to formulate strategies for developing incence forest management. The research was conducted in Simarigung and Sampean Villages, Humbang Hasundutan Regency, North Sumatra Province from May to August 2010. Incense forest management is a part of culture and local people knowledge. Incense forest has social, economic and ecological benefits. In average, farmers acquired income Rp 13,233,500/year (60.69% of total income) from incence. Result of SWOT analysis shows that to develop the incense forest, it is needed to reduce internal weakness and use or optimize opportunity throught strategies such as: intensify extension activities, forming farmer groups and/or cooperative, supervision of the incense gum marketing system, intensive farming system and the use of incense superior seedlings. Keywords: incence forest, non timber forest product, management, strategy, incomes
RINGKASAN
MARUARI SITOMPUL. Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Getah kemenyan sebagai hasil hutan bukan kayu memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Namun sampai saat ini masih banyak permasalahan-permasalahan yang dialami petani kemenyan. Selain sistem pengelolaannya yang masih bersifat tradisional dan belum banyak disentuh oleh upaya-upaya pengembangan, dalam hal pemasaran petani sering kali kurang menikmati hasil dari penjualan getah kemenyan. Tujuan penelitian ini yang pertama, yaitu mengkaji aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya dari pengelolaan hutan kemenyan dijawab melalui analisa deskriftif. Sedangkan tujuan kedua dan ketiga, yaitu menganalisis permasalahan-permasalahan dan merumuskan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. Penelitian dilaksanakan di Desa Simarigung dan Desa Sampean, Kec. Dolok Sanggul, Kab. Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara pada pertengahan Bulan Mei sampai Agustus 2010. Bentuk data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan wawancara, observasi langsung serta melalui studi pustaka. Jumlah petani kemenyan yang dijadikan sebagai responden sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 orang dari Desa Simarigung dan 30 orang dari Desa Sampean serta 14 orang informan kunci. Bentuk kearifan lokal nyata dapat dilihat dari pengelolaan hutan kemenyan. Petani mengetahui dan meyakini bahwa tidak semua pohon dapat disadap secara bersamaan. Kesalahan dalam memilih pohon konsekuensinya adalah hasil panen tidak maksimal bahkan terkadang pohon tersebut tidak mengeluarkan getah. Kebiasaan petani yang lain dan telah menjadi bagian dari pengelolaan hutan kemenyan bahwa sebelum melakukan penyadapan, harus terlebih dahulu melakukan pembersihan kulit batang yang dalam istilah lokal disebut dengan “mangguris”. Petani memiliki motivasi dan persepsi yang positif terhadap hutan kemenyan. Petani menyadari betul hutan kemenyan bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian tetapi lebih dari itu, keberadaan hutan kemenyan juga memberikan manfaat-manfaat ekologi dalam menjaga kualitas lingkungan. Pada kedua desa lokasi penelitian penggunaan lahan oleh masyarakat diperuntukkan sebagai tempat tinggal beserta pekarangannya, fasilitas umum, kebun, sebagian kecil sawah dan hutan termasuk di dalamnya hutan kemenyan. Rata-rata responden memiliki lahan seluas 1,31 ha dan untuk hutan kemenyan seluas 0,95 ha. Dalam satu hektarnya rata-rata petani kemenyan memiliki tanaman menghasilkan (TM) sebanyak 728 batang dengan produksi sebanyak 174 kg/ha/tahun. Petani responden memperoleh penghasilan rata-rata
sebesar Rp 21.641.900 dan sebesar Rp 13.233.600 (60,69%) diperoleh dari hasil penjualan getah kemenyan. Letak hutan kemenyan yang pada umumnya di daerah perbukitan menjadi penyangga terhadap daerah di bawahnya dan sekaligus menjadi daerah tangkapan air (catchment area). Hutan kemenyan sangat berperan dalam menjaga ketersediaan air bersih bagi masyarakat yang berdomisili disekitarnya. Sebagai tegakan hutan, tanaman kemenyan juga memiliki fungsi ekologi dalam menahan laju erosi oleh air hujan, mengendalikan banjir dan longsor. Disamping itu hutan kemenyan berperan dalam membentuk iklim mikro disekitarnya dan menjadi tempat tinggal atau habitat makro dan mikro organisme lainnya. Dengan menggabungkan nilai selisih antara kekuatan (strength) terhadap kelemahan (weakness). serta peluang (opportunity) terhadap ancaman (threat) pada diagram SWOT maka diketahui situasi pengelolaan hutan kemenyan berada pada sel ketiga. Dari sisi eksternal memiliki peluang namun dari sisi internal memiliki kelemahan, sehingga strategi yang direkomendasikan adalah mereduksi kelemahan-kelemahan internal untuk dapat mempergunakan, mengoptimalkan dan merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround oriented strategy). Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain: (1) mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dari dinas kehutanan terhadap petani kemenyan, (2) membentuk kelompok tani dan/atau koperasi di tingkat desa untuk menghindari spekulasi harga yang dilakukan oleh para agen pengumpul, (3) pengawasan terhadap sistem pemasaran getah kemenyan oleh pemerintah daerah untuk menghindari praktek-praktek monopoli, (4) pengelolaan hutan kemenyan dilakukan dengan sistem budidaya intensif dan (5) penggunaan bibit tanaman kemenyan unggul untuk meningkatkan produktivitas. Kata kunci: hutan kemenyan, hasil hutan bukan kayu, pengelolaan, strategi, penghasilan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN PENGELOLAAN HUTAN KEMENYAN (Styrax sp.) DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI
SUMATERA UTARA
MARUARI SITOMPUL
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS
Judul : Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten
Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.
Nama : Maruari Sitompul
NRP : E.151080061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Pengelolaan Hutan
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 02 Februari 2011 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih dan rahmat-Nya yang selalu menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pemilihan judul tesis “Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi sumatera Utara” berangkat dari kerinduan dan keprihatinan atas kondisi hutan yang semakin lama semakin terdegradasi. Begitu juga dengan kondisi masyarakat yang berdomisili disekitar hutan yang semakin lama semakin terpinggirkan.
Melalui tesis ini, penulis mencoba mengangkat kearifan lokal masyarakat di Sumatera Utara dalam mengelola hutan kemenyan yang sebenarnya memiliki prospek dalam meningkatkan kesejahteraan petani pengelolanya sekaligus menjamin terpeliharanya hutan secara lestari. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini memberi manfaat bagi kita semua.
Bogor, Februari 2011
Maruari Sitompul
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang sangat berperan dalam penyelesaian
tesis ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan beliau-beliau mustahil tesis ini
akan selesai. Oleh karena itu dengan tulus ikhlas penulis ingin menyampaikan
rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan,
pengarahan dan dukungan kepada penulis, khususnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S., selaku Dekan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, M.S., selaku Ketua Mayor Ilmu
Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
3. Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M. Sc. F, selaku Pembimbing Pertama dengan
segala kesabaran, perhatian dan kemurahan hatinya untuk membimbing
penulis dalam penyusunan tesis ini.
4. Bapakr Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M. Sc. F, selaku Pembimbing Kedua
atas segala kesabaran dan kemurahan hatinya dalam memberikan tambahan
ilmu yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
5. Bapakr Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS., selaku Dosen Penguji atas segala
masukannya yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
6. Bapak/ Ibu Dosen dan seluruh Civitas Akademika Mayor Ilmu Pengelolaan
Hutan yang selalu memberikan pelayanan ilmu pengetahuan kepada penulis.
7. Kedua orangtuaku Guntur Sitompul dan Erika Batubara serta seluruh keluarga
atas dukungan semangat dan doanya.
8. Keluarga Ir. Bungaran Sinaga, M.Si dan Lisbeth Simanjuntak beserta seluruh
keluarga atas dukungan semangat dan doanya.
9. Teristimewa buat istriku tercinta Rumondang Sri Gunawan Sinaga, S. Hut, M.
Si dan anakku tersayang Jonathan AB Sitompul atas kesetian, kesabaran dan
dukungan doanya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas belajar ini.
10. Pemerintah Kabupaten Dairi yang telah memberikan kesempatan
melaksanakan tugas belajar serta seluruh rekan-rekan kerja di Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kab. Dairi atas dukungannya.
11. Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kab. Humbang Hasundutan,
terutama Saudara Maju H.O. Manik, S. Hut. dan Togu P. Sinurat, SP atas
bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan.
12. Masyarakat Desa Simarigung dan Desa Sampean Kecamatan Dolok Sanggul,
Kab. Humbang Hasundutan, khususnya kepada Kepala Desa dan Petani
Kemenyan atas kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan.
13. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, khususnya angkatan 2008 yang selalu memberikan
semangat dan juga atas kebersamaannya selama melaksanakan tugas belajar.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumbul pada tanggal 21 September 2010 dari
pasangan Guntur Sitompul dan Erika Batubara. Penulis merupakan anak keenam
dari tujuh bersaudara.
Untuk jenjang pendidikan SD dan SLTP, penulis menyelesaikannya di
Sumbul sedangkan sekolah menengah umum diselesaikan di Medan, tepatnya di
SMU Negeri 14 Medan. Setelah tamat dari sekolah menegah umum, penulis
melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara, Jurusan Kehutanan. Pada
saat kuliah, penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan untuk ditekuni dan
selesai pada tahun 2004. Pada tahun 2008 penulis memperoleh tugas belajar dari
Pemerintah Kabupaten Dairi untuk mengikuti program magister di Institut
Pertanian Bogor, Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan.
Pada tahun 2006, penulis diterima jadi PNS di Pemerintahan Kabupaten
Dairi dan ditempatkan sebagai staf di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.
Dairi, hingga sekarang. Penulis menikah pada tahun 2008 dengan Rumondang
S.G. Sinaga dan telah dikaruniai satu anak, Jonathan AB. Sitompul.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... x
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 5
1.5 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 9
2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ............................................... 9
2.2. Hutan Kemenyan .......................................................................... 11
2.2.1. Budidaya Tanaman Kemenyan ............................................ 11
2.2.2. Potensi dan Peluang Pasar Kemenyan ................................. 13
2.2.3. Pemanfaatan dan Pengolahan Kemenyan ............................ 15
2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ...................................... 17
2.3.1. Hutan Desa ........................................................................... 17
2.3.2. Hutan Kemasyarakatan ........................................................ 19
2.3.3. Hutan Rakyat ....................................................................... 21
2.4. Perumusan Strategi Pengembangan dengan Analisis SWOT ....... 23
2.5. Analisa Finansial Kelayakan Usaha .............................................. 26
III. METODOLOGI ................................................................................... 27
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 27
3.2. Data dan Metode Pengolahan Data ............................................... 27
3.3. Penentuan Responden ................................................................... 28
3.4. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data .................................. 29
3.5. Definisi Operasional ..................................................................... 32
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ...................................... 35
4.1. Kondisi Geografis ......................................................................... 35
4.2. Kondisi Demografi ........................................................................ 36
4.3. Kondisi Hutan ............................................................................... 37
4.4. Penyebaran Hutan Kemenyan ....................................................... 38
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 39
5.1. Aspek Sosial Pengelolaan Hutan Kemenyan ................................ 39
5.1.1. Karakteristik Petani Responden ........................................... 39
5.1.2. Status Kepemilikan Lahan ................................................... 43
5.1.3. Bertani Kemenyan sebagai Budaya dan Kearifan Lokal ..... 44
5.1.4. Motivasi dan Persepsi Petani terhadap Hutan Kemenyan ... 46
5.2. Aspek Ekonomi Pengelolaan Hutan Kemenyan ........................... 47
5.2.1. Pendapatan Petani responden ............................................... 47
5.2.2. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Pengelolaan Hutan
kemenyan ............................................................................. 49
5.2.3. Produktivitas Petani dan Hutan Kemenyan ......................... 50
5.2.4. Pemasaran Getah Kemenyan ............................................... 51
5.3. Aspek Ekologi Pengelolaan Hutan Kemenyan ............................. 52
5.4. Faktor Internal dan Ekternal Pengelolaan Hutan Kemenyan ........ 56
5.4.1. Unsur Kekuatan (Strenght) .................................................. 56
5.4.2. Unsur Kelemahan (Weakness) ............................................. 59
5.4.3. Unsur Peluang (Oppurtunity) ............................................... 61
5.4.4. Unsur Ancaman (Threath) ................................................... 63
5.5. Diagram SWOT Pengelolaan Hutan Kemenyan ........................... 66
5.6. Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Kemenyan ............... 67
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 71
6.1. Kesimpulan ................................................................................... 71
6.2. Saran ............................................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 73
LAMPIRAN ................................................................................................. 77
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Luas dan produksi kemenyan di Sumatera Utara tahun 2005 ................... 14
2. Standar lokal kualitas kemenyan............................................................... 16
3. Standar mutu berdasarkan sifat fisik dan kimia kemenyan....................... 17
4. Matrik Swot .............................................................................................. 26
5. Nama kecamatan beserta luasannya di Kabupaten Humbahas ................. 35
6. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan .......... 37
7. Sebaran tanaman kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan .......... 38
8. Sebaran petani responden berdasarkan usia .............................................. 39
9. Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan ...................... 40
10. Luas rata-rata pemilikan lahan petani responden .................................... 42
11. Sebaran petani responden berdasarkan kepemilikan luas kebun
kemenyan ................................................................................................ 43
12. Sebaran petani responden berdasarkan persepsi terhadap hutan
kemenyan ................................................................................................ 46
13. Sebaran petani responden berdasarkan pendapatan ................................ 47
14. Pendapatan rata-rata petani responden berdasarkan desa ....................... 47
15. Persentase pendapatan petani dari hutan kemenyan terhadap
pendapatan total ...................................................................................... 48
16. Analisa finansial pengelolaan hutan kemenyan per satuan hektar
selama 50 tahun ....................................................................................... 49
17. Unsur kekuatan dan nilai pengaruhnya ................................................... 58
18. Unsur kelemahan dan nilai pengaruhnya ................................................ 60
19. Unsur peluang dan nilai pengaruhnya ..................................................... 62
20. Unsur ancaman dan nilai pengaruhnya ................................................... 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian ................................................................. 7
2. Diagram SWOT ........................................................................................ 24
3. Rantai pemasaran getah kemenyan ........................................................... 52
4. Sketsa tata letak hutan kemenyan berdasarkan topografi ......................... 53
5. Hutan kemenyan produktif pada masa istirahat (a) dan masa panen (b) .. 55
6. Diagram SWOT strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ... 67
7. Matrik SWOT strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ...... 70
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Karakteristik petani kemenyan ................................................................. 77
2. Karakteristik pemilikan lahan ................................................................... 78
3. Produktivitas kemenyan ............................................................................ 79
4. Sumber pendapatan rumah tangga petani responden ................................ 80
5. Biaya pengelolaan budidaya kemenyan (Rp/Tahun) ................................ 81
6. Analisis finansial kelayakan usaha pengelolaan hutan kemenyan ............ 82
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki hutan tropis yang di dalamnya terkandung kekayaan
alam yang melimpah. Pernyataan ini bukan hanya diakui oleh bangsa Indonesia
saja, bangsa-bangsa lain di dunia juga setuju dengan klaim ini bahkan menyebut
hutan tropis Indonesia sebagai mega biodiversity. Sebutan ini diberikan
berdasarkan fakta sebenarnya bahwa Indonesia memiliki luas hutan tropis terbesar
ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (Republic Demokratic Congo) dimana di
dalamnya terkandung keanekaragaman hayati (Dephut 2007).
Kekayaan alam yang terkandung di dalam hutan Indonesia seharusnya
dapat diandalkan sebagai modal pembangunan untuk mewujudkan masyarakat
yang sejahtera, adil dan makmur. Sejak Indonesia merdeka hutan sudah
dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan, namun kenyataanya masih banyak
warga Indonesia yang tinggal di sekitar atau berdekatan dengan hutan hidup di
bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2010 sebanyak 64,23% penduduk miskin
tinggal di pedesaan (Hamzirwan 2010) yang umumnya berdekatan dengan hutan.
Dengan laju perusakan hutan yang mencapai 1,08 juta ha per tahun pada tiga
tahun terakhir (Kemenhut 2010) sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya hutan
yang berpaham antroposentris (Keraf 2006) dan timbulnya berbagai konflik di
daerah akibat dari terpinggirkannya masyarakat lokal semakin memperjelas
bahwa ada yang kurang dengan sistem pengelolaan hutan.
Era baru pengelolaan hutan di Indonesia dimulai sejak diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menggantikan
Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967. Selain mengakui
keberadaan hutan hak dan memberi kesempatan kepada masyarakat dalam
pengelolaan hutan, juga memandang bahwa hutan sebagai sumberdaya memiliki
multi fungsi, memuat multi kepentingan serta menghasilkan multi produk. Hasil
hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu produk hutan yang memiliki
keunggulan dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. Secara
ekonomis HHBK memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun memiliki
nilai ekonomi tinggi namun pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK
selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan
kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.
Untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksi hasil hutan
bukan kayu ini pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait upaya
pengembangan hasil hutan bukan kayu dimaksud. Dengan pengembangan hasil
hutan bukan kayu baik yang berasal dari kawasan hutan maupun luar kawasan
hutan melalui kebijakan pengembangan HHBK diharapkan mampu mengurangi
ketergantungan pada hasil hutan kayu, meningkatkan pendapatan masyarakat
sekitar hutan dari HHBK serta menumbuhkan kesadaran memelihara kawasan
hutan, meningkatkan devisa sektor kehutanan bukan kayu dan terciptanya
lapangan kerja baru di sektor kehutanan yang berasal dari komoditas HHBK
(Dephut 2009). Selain itu dengan pengembangan hasil hutan bukan kayu ini
diharapkan terjadinya optimalisasi pemanfaatan HHBK, yang meliputi jumlah
jenis, bentuk dan tahap pengolahan serta mutunya dan terjadinya optimalisasi
potensi daerah dalam pengembangan HHBK sebagai alternatif sumber pangan,
sumber bahan obat-obatan, penghasil serat, penghasil getah-getahan dan lainnya
yang dapat meningkatkan ekonomi lokal dan nasional.
Sejalan dengan adanya upaya pemerintah pusat dalam mengembangkan
HHBK, pemerintah daerah mendukung program tersebut dengan menggali semua
potensi yang ada untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya. Humbang
Hasundutan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara,
memiliki potensi sumberdaya alam untuk dikembangkan sebagai salah satu sentra
produksi hasil hutan bukan kayu yaitu kemenyan. Kemenyan adalah sejenis getah
yang dihasilkan oleh pohon kemenyan (Styrax spp) melalui proses penyadapan.
Sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu getah kemenyan dapat diolah dan
dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.35/Menhut/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, kemenyan
ditetapkan sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati yang masuk
dalam kelompok resin.
Menurut Jayusman (1997) ada dua jenis kemenyan yang tersebar di
Sumatera Utara, yaitu kemenyan toba (Styrax sumatrana J.J.SM) dan kamenyan
durame (Styrax benzoin). Kedua jenis tanaman kemenyan ini termasuk Ordo
Ebenales, Family Styraceae dan Genus Styrax. Sebaran hutan kemenyan di
Sumatera Utara pada tahun 2007, Kabupaten Tapanuli Utara memiliki luas
tanaman kemenyan yang terluas yaitu kurang lebih 16.359 ha, sementara
Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki hutan kemenyan kurang lebih seluas
5.593 ha. Berbanding lurus dengan luasan tanaman kemenyan yang dimiliki,
Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan juga merupakan dua
kabupaten yang paling banyak memproduksi getah kemenyan. Pada tahun yang
sama, Tapanuli Utara memproduksi sebanyak 3.634,12 ton dan Humbang
Hasundutan sebanyak 1.403,23 ton (BPS Provinsi Sumatera Utara 2008).
Berdasarkan luasan dan jumlah produksi, Kabupaten Tapanuli Utara dan
Humbang Hasundutan merupakan dua kabupaten yang potensial untuk dijadikan
sebagai sentra produksi dan pengembangan tanaman kemenyan di Provinsi
Sumatera Utara.
Di Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri yang merupakan salah satu
daerah pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara, sebaran tanaman kemenyan
ditemukan pada 6 kecamatan dari 10 kecamatan. Kecamatan Dolok Sanggul
merupakan kecamatan yang memiliki hutan dan atau kebun kemenyan paling luas,
yaitu 1.618,5 ha diikuti Kecamatan Sijamapolang dengan luasan 1.150 ha (BPS
Kab. Humbahas 2009). Masyarakat di daerah ini sudah sejak lama mengenal dan
mengusahakan kemenyan sebagai sumber mata pencaharian. Menurut Affandi
(2003) pemanfaatan kemenyan sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan
sudah berlangsung sejak abab ke-17 dan dampak dari perdagangan kemenyan
tersebut telah nyata dirasakan oleh para petani dan pedagang lokal. Melalui
pengelolaan hutan kemenyan telah mampu memberikan kontribusi yang besar
terhadap ekonomi rumah tangga petani kemenyan, yaitu sebesar 70%-75%
(Simanjuntak 2000, diacu dalam Nurrochmat 2001). Namun sampai saat ini
pengelolaan dan pengolahan kemenyan oleh masyarakat masih bersifat tradisional
dan belum banyak disentuh oleh upaya-upaya pengembangan.
Melihat ketersediaan sumberdaya yang ada, hutan kemenyan ini memiliki
potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sarana meningkatkan
pendapatan petani kemenyan secara langsung dan meningkatkan perekonomian
pedesaan secara tidak langsung. Selain sebagai sumber pendapatan, melalui
pengelolaan hutan kemenyan dapat dijadikan sebagai sarana dalam melestarikan
hutan melalui pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka
mengembangkan dan meningkatkan manfaat dari hutan kemenyan di Kabupaten
Humbang Hasundutan ini diperlukan penelitian-penelitian baik dari aspek ekologi
maupun sosial-ekonomi petani pengelolanya.
1.2. Perumusan Masalah
Pengelolaan hutan kemenyan yang terdapat di Kabupaten Humbang
Hasundutan merupakan kearifan lokal masyarakat yang diwariskan secara turun
temurun dan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Kearifan ini
muncul sebagai bagian dari cara masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya
alam yang ada guna memenuhi kebutuhan hidup. Dengan keberadaan atau
eksistensinya bertahan sampai sekarang merupakan bukti bahwa sistem
pengelolaan hutan kemenyan ini selain memiliki manfaat ekologi dan nilai-nilai
sosial, juga mememiliki potensi dan prospek yang baik bila dilihat dari aspek
ekonomi untuk dikembangkan ke depan.
Namun sampai saat ini masih banyak permasalahan-permasalahan yang
dialami masyarakat. Selain sistem pengelolaannya yang masih bersifat tradisional
dan belum banyak disentuh oleh upaya-upaya pengembangan, dalam hal
pemasaran petani sering kali kurang menikmati hasil dari penjualan getah
kemenyan karena menerima margin keuntungan yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan pelaku pasar (pedagang pengumpul). Selain karena posisi
tawar yang rendah, informasi harga dan pasar yang kurang menjadi penyebabnya.
Disamping itu harga getah kemenyan sering mengalami fluktuasi terutama
menjelang dan sesudah hari raya besar keagamaan (Jayusman 1997).
Apabila pengelolaan hutan kemenyan berhasil ditingkatkan dan
dikembangkan yang ditandai dengan peningkatan kuantitas dan kualitas getah
kemenyan serta didukung harga penjualan yang baik akan memberikan dampak
positif khususnya terhadap petani kemenyan. Selain akan mengalami peningkatan
pendapatan secara langsung bagi petani kemenyan, dampak yang lebih luas adalah
terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan perekonomian
daerah. Kondisi kondusif seperti ini pada akhirnya akan menambah keinginan
masyarakat untuk mengembangkan tanaman kemenyan sebagai sumber mata
pencaharian. Sejalan dengan hal di atas, melalui pengelolaan hutan kemenyan
akan mampu menciptakan kelestarian hutan berbasis masyarakat sesuai dengan
visi dan misi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan kemenyan yang lebih baik
dan memberikan manfaat yang lebih optimal baik terhadap sosial, ekonomi dan
ekologinya, melalui kajian ini, ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dan
dijadikan sebagai permasalahan penelitian, antara lain:
1. Bagaimana kondisi pengelolaan hutan kemenyan yang ada sekarang?
2. Apa permasalahan yang dihadapi petani dalam pengelolaan hutan kemenyan
saat ini?
3. Bagaimana upaya meningkatkan manfaat hutan kemenyan terhadap sosial,
ekonomi dan ekologi petani kemenyan?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Mengkaji aspek sosial, ekonomi dan ekologi dari pengelolaan hutan
kemenyan.
2. Menganalisa permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan hutan kemenyan.
3. Merumuskan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.
1.4. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberikan manfaat-manfaat
penelitian sebagai berikut:
1. Memberikan masukan bagi Pemerintah Kabupaten dalam mengembangkan
potensi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup
berdampingan langsung dengan kawasan hutan.
2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan usaha
di bidang budidaya tanaman kemenyan dan menjadi referensi bagi pihak-
pihak yang ingin mengkaji lebih dalam upaya pengembangan kemenyan.
1.5. Kerangka Pemikiran
Sistem pengelolaan hutan kemenyaan yang terjadi sekarang, mulai dari
penanaman (regenerasi tanaman), pemeliharaan (perawatan), pemanenan getah,
pengolahan getah pasca panen hingga pemasaran dikaji informasinya secara
menyeluruh berdasarkan aspek sosial, ekonomi dan ekologi baik dari petani
kemenyan maupun para stake holder yang terlibat, seperti instansi pemerintah,
swasta, akademisi, tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.
Seluruh informasi yang meliputi aspek ekologi (manfaat hutan kemenyan
terhadap tanah, air dan udara), ekonomi dan sosial ini dikelompokkan menjadi
kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan
ancaman (threats). Tentunya kekuatan dan peluang yang dimiliki menjadi faktor
pendukung pengembangan pengelolaan hutan kemenyan dan sebaliknya
kelemahan dan ancaman tentunya menjadi faktor penghambat dalam upaya-upaya
pengembangan.
Dengan menggunakan analisis SWOT diperoleh bagaimana rumusan strategi
pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ke depan dengan cara
mengoptimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan
ancaman. Dengan mempergunakan kerangka kekuatan dan kelemahan faktor
internal serta peluang dan ancaman dari faktor eksternal dari sistem pengelolaan
hutan kemenyan, menyediakan sebuah cara yang sangat sederhana untuk
mengkaji strategi terbaik yang dapat diterapkan dalam mengembangkan
pengelolaan hutan kemenyan kea rah yan lebih baik. Secara diagram, kerangka
pemikiran penelitian dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
KEKUATAN PELUANG
KELEMAHAN ANCAMAN
ANALISIS SWOT
STRATEGI PENGEMBANGAN
Pengelolaan Hutan Kemenyan
Aspek Ekonomi Aspek Sosial Aspek Ekologi
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Hutan tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi hutan juga menghasilkan
aneka ragam benda hayati lainnya berupa hasil hutan bukan kayu antara lain
bambu, rotan, buah-buahan, rumput-rumputan, jamur-jamuran, tumbuhan obat,
getah-getahan, madu, satwa liar, satwa elok, serta sumber plasma nuftah. Selain
itu hutan juga menghasilkan jasa lingkungan berupa pengatur hidrologis,
pembersih udara, jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan serta jasa perburuan
(Supriadi 2003).
Sesuai dengan Permenhut Nomor 35 Tahun 2007 tentang hasil hutan
bukan kayu, bahwa yang dimaksud dengan hasil hutan bukan kayu yang
selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani
beserta produk turunan dan budidaya
kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hasil hutan bukan kayu yang terdapat di
Indonesia terbagi menjadi HHBK nabati dan HHBK hewani dan masing-masing
kelompok dibagi lagi, seperti yang diuraikan berikut ini:
1. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati, yaitu meliputi semua hasil bukan
kayu dan turunannya yang berasal dari tumbuhan dan tanaman dan yang
termasuk ke dalam kelompok ini antara lain:
a. Kelompok resin, antara lain damar, gaharu, kemenyan, pinus, kapur barus;
b. Kelompok minyak atsiri, antara lain cendana, kayu putih, kenanga;
c. Kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan, antara lain buah merah,
rebung bambu, durian;
d. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah, antara lain kayu kuning,
jelutung, perca;
e. Kelompok tumbuhan obat-obatan dan tanaman hias, antara lain akar
wangi, brotowali, anggrek hutan;
f. Kelompok palma dan bambu, antara lain rotan manau, rotan tohiti;
g. Kelompok alkaloid antara lain kina.
h. Kelompok lainnya, antara lain nipah, pandan, purun.
2. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) hewani, yaitu meliputi semua hasil bukan
kayu dan turunannya yang berasal dari hewan dan yang termasuk dalam
kelompok ini antara lain:
a. Kelompok hewan buru (babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya).
b. Kelompok hewan hasil penangkaran (arwana, kupu-kupu, rusa, buaya).
c. Kelompok hasil hewan (sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat
sutera, lebah madu).
HHBK dalam pemanfaatannya memiliki beberapa keunggulan dibanding
hasil hutan kayu, sehingga HHBK memiliki prospek yang besar dalam
pengembangannya. Pemanfaatan HHBK tidak menimbulkan kerusakan yang
besar terhadap hutan dibandingkan dengan pemanfaatan kayu. Pada umumnya
pemanenan HHBK tidak dilakukan dengan menebang pohon melainkan dengan
cara yang ramah lingkungan seperti dengan cara penyadapan, pemetikan,
pemangkasan, pemungutan. Pemanfaatan HHBK dilakukan oleh masyarakat
secara luas dan membutuhkan modal kecil sampai menengah. Dengan demikian
pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan usaha
pemanfaatannya dapat dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat. Teknologi
yang digunakan untuk memanfaatkan dan mengolah HHBK adalah teknologi
sederhana sampai menengah. Bagian yang dimanfaatkan adalah daun, kulit, getah,
bunga, biji, kayu, batang, buah dan akar cabutan. Dengan demikian pemanfaatan
HHBK tidak menimbulkan kerusakan ekosistem hutan (Dephut 2009).
Pemanfaatan HHBK memiliki potensi cukup besar untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pemanfaatan HHBK
saat ini masih terkendala beberapa faktor antara lain skala pemanfaatan HHBK
masih rendah, dilakukan dalam skala kecil oleh petani, terbatasnya modal petani
untuk mengembangkan HHBK, data dan informasi HHBK belum tersedia, pola
pengembangan HHBK belum terfokus pada komoditas tertentu sehingga upaya
pengembangan belum dilakukan secara intensif. Pemanfaatan HHBK masih
bertumpu pada pemungutan dan belum berbasis pada budidaya sehingga
kelestarian hasil HHBK belum terjamin. Di samping itu pemanfaatan HHBK
belum didukung regulasi dan kewenangan yang jelas. Untuk mengembangkan
HHBK agar lebih intensif maka kebijakan dan strategi pengembangan dilakukan
secara selektif terhadap jenis tertentu yang ditetapkan melalui penetapan jenis
unggulan dilakukan pada sentra wilayah tertentu. Permasalahan yang terkait
dengan produk HHBK yang saat ini mendesak untuk diperhatikan secara serius
adalah terjadinya penurunan potensi sebagai akibat adanya pemanfaatan dan
belum dikuasainya teknologi budi daya yang tepat. Hal ini menyebabkan
rendahnya kemampuan produk HHBK untuk memasok kebutuhan masyarakat,
baik permintaan dari dalam maupun luar negeri (Dephut 2009).
2.2. Hutan Kemenyan
2.2.1. Budidaya Kemenyan
Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut/2007 tentang
Hasil Hutan Bukan Kayu, menetapkan bahwa kemenyan masuk dalam kategori
hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati kelompok resin. Pada kelompok resin ini
ada dua komoditi selain kemenyan, yaitu damar dan gaharu. Getah kemenyan
diperoleh dari pohon kemenyan (Styrax spp) dengan cara penyadapan. Pohon
kemenyan berukuran sedang sampai besar, diameter antara 20-30 cm dan tinggi
mencapai 20-30 meter. Batangnya lurus, percabangannya sedikit dan kulit
batangnya berwarna coklat kemerah-merahan. Tanaman kemenyan berdaun
tunggal, tersusun spiral, dan berbentuk oval, yaitu bulat memanjang dan ujungnya
meruncing. Buah kemenyan berbentuk bulat, dan lonjong (agak gepeng) dan di
dalamnya terdapat biji berwarna coklat (Sasmuko 2003).
Tempat tumbuh tanaman kemenyan bervariasi, mulai dari dataran rendah
sampai dataran tinggi, yaitu pada ketinggian tempat 60-2.100 meter dari
permukaan laut. Tanaman kemenyan tidak memerlukan persyaratan tempat
tumbuh yang istimewa. Tanaman ini dapat tumbuh pada jenis-jenis tanah:
podsolik, andosol, lotosol, dan regosol. Kemenyan juga dapat tumbuh pada
berbagai asosiasi lainnya, mulai dari tanah yang bertekstur berat sampai ringan,
dan tanah yang kurang subur sampai yang subur. Selain itu, tanaman ini juga
dapat tumbuh pada tanah yang berporositas tinggi, yaitu yang mudah meneruskan
atau meresapkan air.
Tanaman Kemenyan termasuk jenis tanaman setengah toleran. Anakan
kemenyan memerlukan naungan sinar matahari dan setelah dewasa, pohon
kemenyan memerlukan sinar matahari penuh. Selain itu, untuk pertumbuhan
optimal kemenyan memerlukan curah hujan yang cukup tinggi, dan intensitas
merata sepanjang tahun (Sasmuko 2003).
Budidaya tanaman kemenyan diawali dengan pengambilan benih
kemenyan dari pohon induknya. Kriteria pohon induk kemenyan adalah : bergetah
banyak dan berkualitas baik; bebas hama dan penyakit; berbatang lurus dan
silindris; bertajuk normal dan baik; serta bercabang sedikit dan berbatang bebas
cabang relatif tinggi. Buah kemenyan yang dipilih untuk benih adalah yang masak
dan berwarna coklat tua.
Pembuatan bibit kemenyan dilakukan dengan cara: persemaian dan
cabutan anakan dari permudaan alam. Cara lainnya, yaitu: stump, stek dan kultur
jaringan masih dalam tahap penelitian pihak-pihak terkait. Persemaian merupakan
cara yang mudah dilakukan. Awalnya benih kemenyan ditabur pada bedeng tabur.
Setelah berkecambah, kemudian dipindahkan pada polybag dan dipelihara sampai
bibitnya siap tanam di lapangan. Sebelum penanaman bibit kemenyan, terlebih
dahulu dilakukan persiapan lapangan, yaitu membuat jalur tanam dan lubang
tanam. Jarak tanamnya disesuaikan dengan kondisi tanah dan kelerengan
lahannya. Karena setengah toleran, anakan kemenyan yang ditanam di tempat
terbuka harus diberi naungan. Anakan kemenyan bisa juga ditanam di bawah
pohon lainnya, misalnya di bawah pohon durian dan kaliandra
Menurut Sasmuko (2003), pohon kemenyan yang berdiameter lebih
kurang 20 cm sudah bisa disadap kemenyannya. Sebelum penyadapan
kemenyannya, terlebih dahulu tumbuhan di sekitar pohonnya dibersihkan telebih
dahulu dengan parang. Begitu juga tumbuhan yang melekat pada kulit pohonnya,
dibersihkan dengan “guris”. Penyadapan kemenyan dilakukan pada bagian pohon
yang berada di bawah bagian tajuk yang berdaun hijau muda dan rindang. Mula-
mula kulit ditakik (dicongkel sampai sedikit terangkat, dan tidak sampai lepas)
dengan “panuktuk” alat pemukul, lalu, permukaan kulit ini dipukul-pukul dengan
gagang “panuktuk” sebesar lingkaran lubang penyadapan yang diharapkan.
Setelah 2-3 bulan, umumnya dalam takikan ini sudah terdapat kemenyan, dengan
menggunakan “agat” alat pemanen, kulit (yang menutup) takikan dibuka untuk
mengambil kemenyan dari lubang takikan.
Pemeliharaan tanaman kemenyan yang biasa dilakukan adalah:
penyiangan, pendangiran, penyulaman, pemupukan, penjarangan, dan
perlindungan tanaman dari hama dan penyakit. Kegiatan ini dilakukan pada tahun
pertama, kedua dan ketiga. Penjarangan pohon pelindung perlu dilakukan secara
bertahap untuk memberi ruang tumbuh lebih luas kepada tanaman kemenyan, agar
memperoleh banyak sinar matahari. Kemenyan hasil sadapan yang masih
bercampur aduk dengan kulit pohon kemenyan, selanjutnya disortir menjadi
empat golongan, yaitu: mata kasar, mata kacang/mata halus, “jurur” dan “tahir”.
Golongan pertama harganya lebih mahal dan golongan selanjutnya lebih murah.
Selain itu, dikenal juga kemenyan tampangan, yaitu kemenyan yang dicampur
dengan damar. Pengolahannya melalui pemanasan, pencampuran dan pencetakan.
Perbandingan campurannya disesuaikan dengan permintaan konsumen/pembeli
(Sasmuko 2003).
2.2.2. Potensi dan Peluang Pasar Kemenyan di Sumatera Utara
Sebelumnya telah disampaikan bahwa Sumatera Utara memiliki dua jenis
kemenyan yang telah dikenal, yaitu Styrax sumatrana ”J.J.SM” atau yang dikenal
dengan nama kemenyan toba dan Styrax benzoin “DRYAND” yang dikenal dengan
nama kemenyan durame. Secara umum kedua jenis tersebut dibedakan
berdasarkan aroma yaitu getah kemenyan toba beraroma lebih tajam dibandingkan
dengan kemenyan durame. Secara botani kedua jenis tersebut juga dapat
dibedakan dari bentuk dan ukuran daun serta buahnya. Kemenyan durame
mempunyai ukuran daun lebih besar dan berbentuk bulat memanjang (oblongus).
Di antara kedua jenis ini, kemenyan toba lebih banyak diproduksi oleh masyarakat
karena harga jualnya di pasar lokal lebih tinggi (Sasmuko 1998).
Pada awal abad 20-an yaitu sekitar 1910, produksi kemenyan Tapanuli
Utara sekitar 1.200 ton, kemudian naik menjadi sekitar 2.300 ton pada tahun 1930
dan pada tahun 1950 produksi meningkat menjadi sekitar 3.400 ton. Luas tanaman
kemenyan pada tahun 1990 adalah lebih kurang 22.793 ha. Kabupaten Tapanuli
Utara memiliki tanaman paling luas yaitu 21.119 ha dengan produksi sekitar
4.000 ton. Pada tahun 1993 luas tanaman kemenyan di Tapanuli Utara adalah
17.299 hektar dengan produksi 3.917 ton (Sasmuko 2003). Pada tahun 2007 data
luasan dan jumlah produksi hutan kemenyan di Provinsi Sumatera Utara seperti
yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Luasan dan produksi getah kemenyan di Provinsi Sumut tahun 2007
No Kabupaten Luas (ha) Produksi (ton)
1 Tapanuli Tengah 5,00 1,35
2 Tapanuli Utara 16.395,00 3.634,12
3 Toba Samosir 370,75 54,06
4 Dairi 213,00 107,29
5 Humbang Hasundutan 5.593,00 1403,23
6 Pakpak Bharat 1.501,20 860,80
Total 24.077,95 6.060,89
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara, 2008
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa Tapanuli Utara dan Humbang
Hasundutan merupakan dua kabupaten yang memiliki luasan hutan kemenyan
terbesar dan potensial untuk dikembangkan menjadi sentra produksi getah
kemenyan di Sumatera Utara. Penggunaan getah kemenyan di dalam negeri
sebagian besar untuk bahan baku industri rokok dan dupa dan pemasarannya
terutama ke pulau Jawa. Sementara untuk pemasarannya ke luar negeri antara
lain: Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Jepang UEA, Switzerland,
Perancis dan USA. Produk kemenyan yang dipasarkan biasanya kemenyan yang
sudah diolah atau kemenyan tampangan, namun ada juga dalam keadaan mentah
(Yuniandra 1998).
Getah kemenyan merupakan komoditi ekspor yang memiliki peminat di
pasar internasional. Harga dan peluang pasarnya yang cukup prospektif
seharusnya memberikan motivasi bagi berbagai pihak untuk mengembangkan
tanaman kemenyan ini. Oleh karena itu, kemenyan diharapkan dapat dijadikan
komoditi unggulan dalam pengembangan hutan rakyat dan hutan tanaman.
2.2.3. Pemanfaatan dan Pengolahan Kemenyan
Potensi kemenyan cukup besar yang tersebar di beberapa daerah penghasil
dan telah sekian lama dikenal masyarakat secara luas. Pemanfaatan kemenyan
oleh masyarakat di beberapa daerah telah menjadi sumber pendapatan mereka
terutama petani kemenyan yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Selain itu,
perdagangan kemenyan yang berlangsung sejak permulaan abad ke-17 telah
membangkitkan pergerakan perekonomian masyarakat. Dampak dari perdagangan
kemenyan tersebut telah nyata dirasakan oleh para petani dan pedagang lokal
meskipun kontribusinya bagi pemerintah daerah belum signifikan (Sasmuko
1998).
Sejak permulaan tahun 1985, perdagangan kemenyan di Tapanuli Utara
terutama di tingkat petani mengalami penurunan. Masalah ini terjadi seiring
dengan penurunan potensi kemenyan. Sistem tata niaga yang ada kurang
menguntungkan petani dan harga kemenyan menjadi tidak stabil sehingga kurang
merangsang petani untuk tetap mengusahakan kebun kemenyannya. Harga
kemenyan di tingkat petani pada waktu itu berkisar Rp. 7.000 per kg tidak
sebanding dengan biaya (cost) produksi sebesar Rp. 8.000 per kg. Kondisi ini
menyebabkan beralihnya sebagian besar petani kemenyan menjadi petani tanaman
semusim dan perkebunan. Kebun kemenyan menjadi terlantar dan sebagian telah
dikonversi untuk tanaman perkebunan. Petani yang masih bertahan adalah mereka
yang tidak memiliki pilihan usaha lain. Jumlah petani kemenyan di Tapanuli
Utara pada tahun 1990 adalah 18.098 KK sedangkan pada tahun 2001 menjadi
28.320 KK (Sasmuko 2003).
Kemenyan hanya dihasilkan dari provinsi Sumatera Utara dan sampai saat
ini belum ada daerah lain di Indonesia yang menghasilkan komoditi serupa.
Pengelolaan kemenyan di Sumatera Utara sebagai sentra produksi nasional relatif
belum dilakukan secara optimal dan cenderung mengalami penurunan potensi dan
nilai ekonomis pada dasawarsa terakhir ini. Penurunan ini mengakibatkan
berkurangnya produksi dan pendapatan petani kemenyan yang dapat mengancam
kelangkaan komoditi ini di masa yang akan datang (Sasmuko 1998).
Pengolahan kemenyan saat ini masih dilakukan secara tradisional tanpa
ada pengolahan lanjut dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas. Kemenyan
yang dipasarkan baik lokal maupun ekspor pada umumnya masih berupa bahan
mentah (raw material). Pengolahan kemenyan menjadi bentuk barang setengah
jadi (semifinal goods) atau barang jadi (final goods) berupa hasil-hasil ekstrak
sesuai dengan kandungan kimianya belum ada industri yang melakukannya di
Sumatera Utara. Pemanfaatan kemenyan yang diketahui oleh masyarakat secara
umum masih terbatas pada penggunaannya untuk industri rokok dan kegiatan
tradisional atau religius (Sasmuko 2003). Pohon kemenyan merupakan satu-
satunya jenis pohon yang menghasilkan getah yang mengandung senyawa asam
balsamat. Senyawa ini digunakan secara luas dalam industri farfum dan kosmetik.
Kegunaan getah kemenyan secara tradisional adalah sebagai bahan
pembantu dalam kegiatan-kegiatan ritual dan industri rokok. Sedangkan sebagian
besar kegunaan lainnya adalah sebagai bahan baku dalam industri antara lain
industri parfum, farmasi, obat-obatan, kosmetik, sabun, kimia dan industri
pangan. Ekstraksi kimia getah kemenyan menghasilkan tincture dan benzoin resin
yang digunakan sebagai fixative agent dalam industri parfum. Ekstraksi kemenyan
juga dapat menghasilkan beberapa senyawa kimia yang diperlukan oleh industri
farmasi, antara lain asam balsamat, asam sinamat, benzyl benzoat, sodium
benzoat, benzophenone, dan ester aromatis (Sasmuko 1995).
Perdagangan kemenyan di dalam negeri telah mengenal penggolongan
kualitas baik lokal maupun standar kualitas kemenyan nasional menurut SII.
2044-87. Kualitas lokal hanya berlaku untuk perdagangan kemenyan toba bukan
durame. Sedangkan kemenyan durame tidak terbagi dalam kelas kualitas karena
bukan komoditi utama yang diperdagangkan (Sasmuko 1995).
Tabel 2. Standar lokal kualitas kemenyan
No Kualitas Mutu
I II III IV Abu
1 Warna Putih Putih
kekuningan
Putih
kekuningan
Coklat
kemerahan Campur
2 Ukuran
(cm)
L : 3 – 4
P : 5 – 6
L : 2 – 3
P : 3 – 5
L : 1 – 2
P : 2 – 3
L : 0,5 – 1
P : 1 – 2
Bentuk
kerikil-pasir
Sumber : Sasmuko (1995)
Tabel 3. Standar mutu berdasarkan sifat fisis dan kimia kemenyan
No Kualitas Mutu
I II III IV Abu
1 Kadar Asam Balsamat (%) 33,2 32,7 25,3 21,8 20,1
2 Kadar Air (%) 1,56 1,75 2,35 2,19 2,29
3 Kadar Abu (%) 0,99 0,91 1,48 1,44 1,52
4 Kadar Kotoran (%) 2,89 3,44 12,0 11,2 12,5
5 Titik Lunak (0C) 58,9 59,3 64,3 65,7 57,8
Sumber : Sasmuko (1995)
2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan upaya dalam
membangun kerjasama sinergis antara masyarakat dan pemerintah dalam
mengelolala sumberdaya hutan. Diharapkan dari pola pengelolaan ini, masyarakat
tidak lagi merasa sebagai obyek dalam pengelolaan sumberdaya hutan melainkan
berlaku sebagai subjek. Beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan pola ini,
antara lain: mewujudkan kelestarian dan keberlanjutan fungsi hutan,
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat (dan pemerintah daerah)
setempat dalam pemanfaatan sumber daya hutan, peningkatan manfaat hutan serta
distribusi manfaat sumber daya hutan yang berkeadilan.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2007,
tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan
hutan. Pada pasal 84 disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat dapat
dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
2.3.1. Hutan Desa
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan pola hutan desa diatur
dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 49/Menhut-II/2008 tentang
Hutan Desa. Dengan Permenhut ini, tentunya hasil yang ingin dicapai adalah
peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan sekaligus pemanfaatan
sumber daya hutan secara bertanggung jawab oleh masyarakat yang memiliki
pengetahuan lokal tentang hutan dan mengerti arti penting hutan dalam kehidupan
mereka.
Dalam regulasi tentang Hutan Desa, penetapan areal kerja hutan desa
dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Walikota yang
ditembuskan kepada Gubernur. Areal kerja hutan desa sendiri merupakan hutan
lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin
pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa. Sementara itu, aspek
penentuan kriteria dilakukan oleh komponen pemerintahan, yaitu didasarkan atas
rekomendasi dari Kepala Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH) atau Kepala Dinas
Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Partisipasi masyarakat dalam penetapan areal kerja hutan desa terbatas
pada pengajuan permohonan Kepala Desa kepada Bupati/Walikota. Oleh karena
itu, pada tingkat ini diperlukan keaktifan yang tinggi dari masyarakat untuk
melakukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa. Kecil kemungkinan
bagi masyarakat untuk melewatkan potensi pemanfaatan hutan yang ada di sekitar
mereka, apalagi bagi masyarakat yang berinteraksi dengan hutan secara intensif.
Agar dapat mengelola hutan dan kelestariannya secara lebih terorganisir,
masyarakat desa perlu membentuk suatu kelompok yang memang dikhususkan
untuk pengelolaan hutan desa. Aspek yang dicakup dalam penatausahaan hutan
desa cukup luas, mulai dari tahap pengusulan penetapan areal hutan desa sampai
dengan pengelolaan hutan desa itu sendiri. Karenanya diperlukan kompetensi
yang memadai dari lembaga desa bukan hanya dalam aspek pengelolaan hutan,
tapi juga dari segi administrasi dan hukum yang terkait (Dephut 2008).
Selanjutnya dalam Dephut (2008) juga disebutkan bahwa pemerintah perlu
melakukan fasilitasi untuk melancarkan tahap-tahap pembentukan lembaga desa
dan meningkatkan kompetensinya. Kegiatan fasilitasi ini harus dimasukkan ke
dalam program kerja Dinas Kehutanan Pemerintah Daerah setempat. Pemerintah
diantaranya dapat melakukan bimbingan teknis tentang hal-hal yang mungkin
belum diketahui secara umum oleh masyarakat desa, seperti penyusunan rencana
kerja hutan desa dan pemberian informasi pasar dan modal. Masyarakat terutama
harus diberitahu tentang manfaat hutan desa dan pengelolaannya. Selain itu,
masyarakat juga perlu dibantu agar dapat menyusun Rencana Kerja Hutan Desa
(RKHD) dan Rencana Tahunan Hutan Desa (RTHD).
Manajemen hutan lestari atau Sustainable Forest Management harus
mampu mengakomodir tiga macam fungsi kelestarian, yaitu kelestarian fungsi
produksi (ekonomi), kelestarian fungsi lingkungan (ekologi) dan kelestarian
fungsi sosial, ekonomi, dan budaya bagi masyarakat setempat. Ketiga hal ini akan
diakomodir sekaligus dalam pengelolaan hutan desa. Masyarakat desa merupakan
pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya hutan, karenanya kelestarian fungsi
produksi dapat terjaga dengan mengedepankan pengelolaan hutan berdasarkan
kearifan lokal yang didukung penguasaan teknologi. Masyarakat desa bertempat
tinggal di sekitar hutan dan secara otomatis merupakan bagian dari ekosistem
hutan yang juga akan terpengaruh oleh perubahan-perubahan pada hutan,
karenanya kelestarian fungsi lingkungan dapat terjaga dengan mempertahankan
kesadaran masyarakat akan fakta tersebut.
Ujung tombak pengelolaan hutan desa berada pada masyarakat. Kearifan
lokal sangat dihargai dalam pola pengelolaan hutan desa sehingga adanya
diversifikasi pola pengelolaan hutan desa di daerah yang berbeda merupakan
suatu hal yang sangat mungkin dan ini merupakan hal yang positif. Ditambah lagi,
pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat desa sebenarnya relevan dengan
konsep konservasi hutan menurut ilmu pengetahuan modern. Kemampuan dan
kesadaran masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari ini merupakan hal
yang perlu dijaga agar tidak memudar, misalnya melalui pendidikan dan pelatihan
yang dapat dilaksanakan secara periodik dalam lembaga desa pengelola hutan.
Dengan mendorong masyarakat desa untuk mengelola hutan desa secara optimal
maka kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan juga akan terbangun
dengan sendirinya.
2.3.2. Hutan Kemasyarakatan
Untuk menguatkan posisi kebijakan ini dalam peraturan perundangan,
maka sebagai payung hukumnya dimuat dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor: P. 37/Menhut-II/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan. Dalam peraturan
perundangan ini yang dimaksud dengan Hutan kemasyarakatan adalah hutan
negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan
dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya
hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian
akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan
kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola
hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat
setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di
masyarakat. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan
secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi
hutan dan lingkungan hidup.
Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan
kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi
dengan ketentuan bahwa kawasan hutan lindung dan hutan produksi dapat
ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan belum dibebani hak atau izin
dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat
setempat. Dalam penyelenggaraan hutan kemasyarakatan adapun azas yang
dipakai adalah manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,
musyawarah-mufakat dan keadilan. Ketiga azas ini harus dipegang teguh oleh
masyarakat pengelola sebagai dasar peyelenggaraan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat dengan pola hutan kemasyarakatan.
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/Menhut-
II/2007 juga disebutkan bahwa penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dapat
dilakukan oleh masyarakat setelah memperoleh izin dari Menteri Kehutanan yang
dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan atau disingkat
dengan IUPHKm. Izin ini bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan,
dengan demikian izin yang berdurasi 35 tahun ini dilarang untuk
dipindahtangankan, diagunkan atau digunakan untuk untuk kepentingan lain di
luar rencana pengelolaan yang telah disahkan serta dilarang merubah status dan
fungsi kawasan hutan. Kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan dalam kawasan
hutan yang merupakan areal konsesi hutan kemasyarakatan seperti yang diatur
adalah pada hutan lindung, meliputi kegiatan: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan
jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu sedangkan pada hutan
produksi, meliputi kegiatan: pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan
berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,
pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan
melalui kegiatan usaha: budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya
jamur, budidaya lebah, budidaya pohon serbaguna, budidaya burung wallet,
penangkaran satwa liar dan rehabilitasi hijauan makanan ternak. Sementara
pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dan hutan produksi dapat
dilakukan melalui kegiatan usaha, seperti: pemanfaatan jasa aliran air, wisata
alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan
lingkungan atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Dalam penyelenggaraan hutan kemasyarakatan, yang menjadi kewajiban
dari masyarakat pengelola sebagai pemegang izin adalah melakukan penataan
batas areal kerja, menyusun rencana kerja, melakukan penanaman, pemeliharaan
dan pengamanan, membayar provisi sumberdaya hutan sesuai ketentuan dan
menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan kepada
pemberi izin. Sementara yang menjadi hak dari pemegang izin antara lain:
mendapat fasilitasi, memanfaatkan hasil hutan non kayu, memanfaatkan jasa
lingkungan, memanfaatkan kawasan, memungut hasil hutan kayu sedangkan
khusus untuk pemegang IUPHHK HKm berhak untuk menebang hasil hutan kayu
yang merupakan hasil penanamannya dan mendapat pelayanan dokumen sahnya
hasil hutan sesuai ketentuan.
2.3.3. Hutan Rakyat
Dalam rangka mensejahterakan masyarakat dan menjamin kelestarian
hutan Departemen Kehutanan meluncurkan program-program pelibatan
masyarakat dalam mengelola kawasan hutan negara serta di luar kawasan hutan
negara atau di tanah milik. Program kehutanan di luar kawasan hutan negara
tersebut adalah hutan rakyat yang sering disingkat dengan HR. Untuk menguatkan
payung hukumnya pemerintah telah memuat program ini ke dalam peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-
II/1997 tanggal 20 Januari 1997 bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki
oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman
kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% dan/atau pada
tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per
hektar. Hutan rakyat tumbuh atau berada pada areal lahan yang dibebani hak atas
tanah yang dalam hal ini dibebani hak milik.
Hutan rakyat sebenarnya telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu dan
terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya tetapi juga bagi
masyarakat dan lingkungannya. Awalnya keberadaan dan peran hutan rakyat
kurang dilirik, hingga ditemukan fakta bahwa kekurangan bahan baku kayu untuk
industri pertukangan dari hutan alam disuplai dari hutan rakyat (Hardjanto 2003).
Selanjutnya hutan rakyat diarahkan sebagai salah satu upaya dalam rangka
rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan saat ini hutan rakyat telah mampu
memberi manfaat sosial ekonomi seperti dalam menciptakan kesempatan kerja
dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui perdagangan kayu yang
diproduksi.
Hutan rakyat menyimpan potensi yang sangat besar dalam percaturan
pengelolaan hutan nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan dimasukkannya
hitungan potensi hasil hutan rakyat dalam penyediaan bahan baku industri
pengolahan kayu. Keyakinan tersebut semakin bertambah sejak terjadinya
penurunan potensi hutan negara, baik yang berasal dari hutan alam maupun hutan
tanaman.
Sebagaimana diketahui bahwa hutan rakyat pada umumnya diusahakan
oleh masyarakat di pedesaan, sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan
berdampak pada perekonomian desa. Manfaat ekonomi hutan rakyat secara
langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya dan secara
tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa. Pendapatan dari usaha
hutan rakyat masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan. Hal ini lebih
disebabkan karena pengusahaan hutan rakyat masih merupakan jenis usaha
sambilan dan dilakukan pada lahan-lahan marginal yang kurang produktif bila
ditanami dengan tanaman semusim.
Untuk meningkatkan peran hutan rakyat dalam perekonomian desa maka
perlu adanya intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat lebih
mampu melebarkan spektrum perannya dalam meningkatkan perekonomian
khususnya di pedesaan. Makin intensifnya pengelolaan hutan rakyat secara umum
akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi
pendapatan yang lebih luas, karena para pelaku yang terlibat dalam pengelolaan
hutan rakyat makin bertambah. Dengan terjadinya peningkatan pendapatan dari
maing-masing individu yang terlibat maka secara tidak langsung usaha hutan
rakyat ini akan mampu mendongkrak perekonomian pedesaan.
Selain hal diatas mengingat kehutanan dunia sedang mengampanyekan
peningkatan luas kawasan hutan dunia, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
dunia harus ikut berpartisipasi. Upaya yang dilakukan dikombinasikan dengan
tujuan pemerintah yang diwujudkan dalam program Hutan Rakyat. Dengan
demikian program ini dilucurkan dengan memiliki banyak ekspektasi, antara lain :
1. Sebagai sumber bahan baku industri kehutanan yang selama ini banyak
dicukupi dari hutan alam.
2. Dengan adanya hutan rakyat diharapkan mampu mengurangi tekanan
masyarakat sekitar terhadap kawasan hutan.
3. Dengan adanya hutan rakyat memberi peluang kerja bagi masyarakat.
4. Hutan rakyat diharapkan sebagai adsorbsi atau penyerap emisi gas rumah
kaca, kaitannya dengan pemanasan global (Hardjanto 2003).
2.4. Perumusan Strategi Pengembangan dengan Analisis SWOT
Dalam mengembangkan pengelolaan hutan kemenyan diperlukan upaya-
upaya atau strategi pengembangan. Untuk merumuskan dan menghasilkan strategi
dimaksud, ada beberapa cara, perangkat ataupun metode yang dapat dijadikan
pilihan termasuk salah satunya dengan menggunakan Analisis SWOT. Analisis ini
merupakan sebuah cara yang umum digunakan untuk merumuskan suatu strategi
berdasarkan faktor-faktor yang terlibat ataupun yang mempengaruhi pada suatu
rencana kegiatan. SWOT merupakan singkatan dari strengths (kekuatan),
weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang) dan threats (ancaman). Menurut
Rangkuti (2008) Analisis SWOT adalah upaya identifikasi berbagai faktor secara
sistematik untuk merumuskan strategi, berdasarkan logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan dan peluang dimana secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan dan ancaman. Sementara menurut Start dan Hovland
(2004), analisis SWOT merupakan sebuah alat perencanaan strategis yang klasik.
Dengan mempergunakan kerangka kekuatan dan kelemahan faktor internal serta
peluang dan ancaman dari faktor eksternal, menyediakan sebuah cara yang sangat
sederhana untuk mengkaji strategi terbaik yang dapat diterapkan. Analisis SWOT
didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif harus memaksimumkan
kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Dengan
bantuan analisis SWOT, perencana menjadi realistis terhadap apa yang akan
dicapai dan pada bagian mana yang harus difokuskan.
Gambar 2. Diagram SWOT (Rangkuti 2008)
Diagram SWOT merupakan perpaduan antara kekuatan dan kelemahan
(diwakili garis horizontal) dengan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal).
Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif sementara
kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Berdasarkan letak kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman pada diagram akan menentukan arah strategi
yang akan digunakan dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan
(Gambar 2). Pada diagram SWOT terdapat 4 (empat) sel sebagai hasil perpaduan
PELUANG (O)
KELEMAHAN (W) KEKUATAN (S)
ANCAMAN (T)
Sel 3 Sel 1
Sel 4 Sel 2
antara kekuatan-kelemahan dengan peluang-ancaman. Sel pertama merupakan
situasi yang sangat menguntungkan dimana pengembangan pengelolaan hutan
kemenyan memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat menggunakan peluang
yang ada. Dalam situasi seperti ini strategi yang dipakai adalah mendukung
kebijakan perkembangan yang agresif (support an aggressive strategy).
Jika posisi rencana pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada
pada sel kedua, meskipun menghadapi berbagai macam ancaman namun masih
memiliki kekuatan dari faktor internal. Strategi pengembangan yang diterapkan
dalam kondisi seperti ini adalah dengan menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (support
a diversification strategy).
Apabila posisi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada pada
sel ketiga, berarti rencana memiliki peluang yang besar, tetapi juga menghadapi
beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi pada situasi ini adalah
meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat mempergunakan,
mengoptimalkan ataupun merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround
oriented strategy). Namun apabila rencana pengembangan pengelolaan hutan
kemenyan berada pada posisi sel keempat, berarti rencana tersebut menghadapi
situasi yang tidak menguntungkan, yakni memiliki kelemahan dari sisi internal
dan menghadapi berbagai ancaman dari sisi ekternal. Dalam kondisi seperti pada
sel keempat strategi yang diterapkan fokus pada strategi bertahan (support a
defensive strategy). Masing-masing sel pada diagram SWOT memperlihatkan
kondisi atau situasi yang berbeda, sehingga untuk rencana pengembangannya
dibutuhkan strategi yang berbeda (rangkuti 2008).
Selain menggunakan diagram SWOT, Rangkuti (2008) mengemukakan
bahwa alat lain yang dapat digunakan untuk menyusun strategi pengembangan
berdasarkan faktor internal dan eksternal yang dimiliki yaitu matrik SWOT.
Berdasarkan matrik SWOT, terdapat empat alternatif strategi yang tersedia yaitu
strategi Strength-Opportunity, Weakness-Opportunity, Strength-Treaths dan
Weakness-Treaths (Tabel 4). Sama halnya dengan menggunakan diagram SWOT,
matriks SWOT menawarkan empat strategi berbeda pada empat situasi yang
berbeda pula.
Tabel 4. Matriks SWOT
Internal
Eksternal
Kekuatan
(Strength)
Kelemahan
(Weakness)
Peluang
(Opportunity) SO strategies WO strategies
Ancaman
(Treaths) ST strategies WT strategies
2.5. Analisa Finansial Kelayakan Usaha
Menurut (Gittinger 1986), untuk menganalisis kelayakan usaha ada
beberapa metode yang digunakan, antara lain: Net Present Value (NPV), Benefit
Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR).
Net Present Value (NPV) adalah analisis manfaat finansial yang
digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan dilihat dari
nilai sekarang arus kas bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai
sekarang dari jumlah investasi yang dikeluarkan. Konsep net present value
merupakan metode evaluasi investasi yang menghitung nilai bersih saat ini dari
uang masuk dan keluar dengan tingkat diskonto atau tingkat bunga yang
disyaratkan. Kriteria penilaian adalah, jika NPV>0 maka usaha yang direncanakan
dan jika NPV<0, jenis usaha yang direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan.
Metode analisa kelayakan usaha yang kedua adalah Benefit Cost Ratio
(BCR) atau Profitability index. Metode ini memprediksi kelayakan suatu proyek
dengan membandingkan nilai penerimaan bersih dengan nilai investasi. Apabila
nilai BCR lebih besar dari 1 (satu) maka rencana investasi dapat diterima,
sedangkan apabila nilai BCR lebih kecil dari 1 (satu) maka rencana investasi tidak
layak diusahakan. NPV dan BCR akan selalu konsisten.
Internal Rate of Return (IRR) dapat didefinisikan sebagai tingkat bunga
yang akan menyamakan present value cash inflow dengan jumlah initial
investment dari proyek yang sedang dinilai. Dengan kata lain, IRR adalah tingkat
bunga yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Kriteria penilaian digunakan
tingkat bunga bank. Jadi, jika IRR lebih besar dari tingkat bunga bank, maka
usaha yang direncanakan layak untuk dilaksanakan.
III. METODOLOGI
3.1. Waktu Dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi
Sumatera Utara, meliputi Desa Simarigung dan Desa Sampean yang merupakan
bagian dari Kecamatan Dolok Sanggul. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan
secara purposive, yaitu penentuan lokasi secara sengaja dengan pertimbangan
bahwa kedua desa tersebut merupakan sentra pengelolaan hutan kemenyan di
Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian dilakukan selama 3 bulan, yaitu
mulai dari pertengahan bulan Mei sampai Agustus 2010.
3.2. Data dan Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini sifatnya bukan eksperimental melainkan deskriptif
eksploratif. Oleh karena itu pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian
diperoleh dengan cara wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah
disusun sebelum penelitian, observasi langsung serta melalui studi pustaka
(Singarimbun dan Effendi 2006). Wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara bertanya jawab, sambil bertatap
muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden
dengan menggunakan alat panduan wawancara (Nazir 2005).
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan
data sekunder yang diuraikan sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan kuisioner serta dari hasil
observasi atau pengamatan langsung kegiatan-kegiatan responden di lapangan,
meliputi: identitas responden, luas kebun/hutan kemenyan yang dimiliki
responden, hasil panen persatuan waktu, penghasilan dari pengelolaan hutan
kemenyan dan juga informasi lain yang berhubungan dengan pengelolaan
hutan kemenyan.
2. Data Sekunder
Data sekunder sifatnya sebagai data pendukung dan penunjang untuk
melengkapi data primer. Data ini diperoleh melalui studi literatur ataupun
studi pustaka. Data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi geografis,
demografi keadaan sosial ekonomi masyarakat dan kajian-kajian ataupun
penelitian-penelitian terkait tanaman kemenyan. Studi pustaka ini dilakukan
pada instansi-instansi pemerintahan terkait, seperti: Badan Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Humbahas, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup
Kabupaten Humbahas, Bappeda Kabupaten Humbahas, serta Badan Penelitian
Kehutanan Aek Nauli.
3.3. Penentuan Responden
Objek dari penelitian ini adalah pengelolaan hutan kemenyan rakyat yang
ada di Kabupaten Humbahas, Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu yang
menjadi populasi sasaran penelitian ini adalah masyarakat yang terlibat dalam
pengelolaan hutan kemenyan dimaksud atau petani kemenyan. Jumlah petani
kemenyan yang dijadikan sebagai responden sebanyak 60 orang yang terdiri dari
30 orang dari Desa Simarigung dan 30 orang dari Desa Sampean. Metode
pemilihan responden dilakukan secara acak (random sampling), artinya setiap
petani kemenyan yang ada di kedua desa tersebut memiliki peluang yang sama
menjadi responden. Mengingat sistem pengelolaan hutan kemenyan di daerah ini
cenderung homogen maka pengambilan dan penentuan jumlah responden
dianggap sudah merupakan representasi dari petani pengelola hutan kemenyan
yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Selain responden dari petani kemenyan, wawancara mendalam (indepth
interview) juga dilakukan dengan informan kunci atau orang-orang yang lebih
memahami dan mengetahui tentang pengelolaan hutan kemenyan sebanyak 14
orang, yang terdiri dari 2 orang tokoh masyarakat, 2 orang kepala desa, 2 orang
pedagang pengumpul di desa, 4 orang dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan
Hidup Kab. Humbahas, 2 orang dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
serta 2 orang peneliti dari BPK Aek Nauli. Informasi atau data yang diperoleh dari
informan kunci ini melengkapi informasi-informasi yang sudah diperoleh dari
responden dan hasil studi literatur dalam melakukan analisa strategi
pengembangan pengelolaan hutan kemenyan (analisa SWOT).
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-eksploratif maka dalam
pengolahan datanya menggunakan analisis deskriptif, yaitu mendeskripsikan
secara jelas dan terperinci seluruh data yang diperoleh dari hasil penelitian sesuai
dengan fakta di lapangan. Adapun metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini untuk masing-masing tujuan adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu mengkaji aspek sosial, ekonomi dan
ekologi dari pengelolaan hutan kemenyan dijawab melalui analisis deskriptif.
Data hasil penelitian ditelaah, dianalisa dan dideskripsikan secara detail.
a. Aspek Sosial
Data diperoleh melalui wawancara, observasi lapangan dan studi literatur
untuk menggali informasi-informasi yang berkaitan dengan aspek sosial,
antara lain: umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga,
luas hutan kemenyan, hak kepemilikan (property right) lahan beserta
pohonnya serta motivasi dan persepsi responden terhadap hutan
kemenyan.
b. Aspek Ekonomi
Dalam penelitian ini aspek ekonomi yang ingin diketahui, yaitu jumlah
pendapatan petani kemenyan baik yang diperoleh dari hutan kemenyan
maupun dari sumber mata pencaharian lainnya, kontribusi pendapatan dari
hutan kemenyan terhadap pendapatan petani kemenyan secara keseluruhan
dan analisis kelayakan usaha sistem pengelolaan hutan kemenyan. Dalam
menganalisa data, unit analisa yang digunakan adalah rata-rata dari
masing-masing kelompok responden yang telah distratifikasi berdasarkan
pemilikan kebun kemenyan.
Khusus untuk menganalisis kelayakan usaha pengelolaan hutan
kemenyan menggunakan parameter Net Present Value (NPV), Benefit Cost
Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR) dengan unit analisa rata-
rata dari keseluruhan responden (tanpa stratifikasi) per satuan hektar
selama 50 tahun. Adapun formula dari masing-masing parameter seperti
yang ditampilkan di bawah ini (Gittinger 1986):
Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value)
Rasio Pendapatan dan Biaya (Benefit Cost Ratio)
∑1
∑1
Internal Rate of Return (IRR)
10
Keterangan :
NPV = Net Present Value
BCR = Benefit Cost Ratio
IRR = Internal Rate of Return
Bt = Komponen pendapatan pada tahun ke - t
Ct = Komponen biaya pada tahun ke - t
t = Umur tanaman (1,2,3… , n)
i = Suku bunga (interest rate)
n = Umur kemenyan sampai tidak produktif menghasilkan getah (n)
c. Aspek ekologi
Sebagai tegakan hutan, keberadaan hutan kemenyan memiliki peranan
dalam kelestarian lingkungan (fungsi ekologis). Kegiatan observasi
lapangan dilakukan untuk mengamati manfaat tegakan hutan kemenyan
maupun sistem pengelolaannya terhadap kelestarian tanah, air dan udara.
Persepsi masyarakat terhadap hutan kemenyan sehubungan dengan fungsi
ekologisnya juga penting untuk diketahui. Informasi ini diperoleh melalui
wawancara. Selain itu juga dilakukan studi literatur untuk melengkapi
informasi dalam mendeskripsikan secara jelas sesuai dengan kenyataan
yang ditemukan di lapangan.
2. Untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga, yaitu menganalisis permasalahan-
permasalahan dan merumuskan strategi pengembangan dalam pengelolaan
hutan kemenyan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis
SWOT berfungsi untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis
untuk merumuskan strategi suatu kegiatan. Sebagai dasar analisis ini adalah
dengan melihat kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang
(opportunity) dan ancaman (threat). Faktor-faktor tersebut diperoleh dari
berbagai informasi, literatur, wawancara dan temuan langsung di lapangan
sehingga didapatkan sejumlah faktor yang kembali disodorkan sebagai bahan
pertanyaan dalam kuisioner yang harus dijawab oleh responden dan informan
kunci sehingga didapatkan peubah-peubah yang menjadi faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.
Analisis dilakukan dalam tiga (3) tahapan pokok, yaitu tahapan identifikasi
dan pengumpulan data, tahapan analisis dan tahapan perumusan strategi.
a. Tahapan identifikasi dan pengumpulan data
Pada tahapan ini dilakukan identifikasi terhadap peubah-peubah internal
dan mengklasifikasikannya menjadi kekuatan dan kelemahan. Demikian
halnya dengan peubah-peubah eksternal, diklasifikasikan menjadi peluang
dan ancaman. Selanjutnya masing-masing peubah (kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman) dicari rating, bobot dan skornya. Pemberian rating
mulai dari nilai 1 - 4 untuk masing-masing peubah dengan pengaruh kecil,
sedang, besar dan sangat besar. Pemberian rating ini dimaksudkan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan terhadap pengelolaan
hutan kemenyan. Untuk bobot, masing-masing peubah internal maupun
eksternal dilakukan dengan memberikan nilai 1,2,3,...n (sebanyak jumlah
peubah internal maupun eksternal) berdasarkan tingkat kepentingannya
dibanding peubah lain. Sementara untuk skor diperoleh dengan
mengalikan antara nilai rating dan bobot.
b. Tahapan Analisis
Pada tahapan ini dilakukan pemaduan antara faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang
mempengaruhi pengelolaan hutan kemenyan. Alat analisis yang digunakan
adalah diagram SWOT atau diagram internal-eksternal. Dalam diagram
SWOT diperoleh titik yang merupakan perpaduan antara peubah internal
dan eksternal. Nilai pada sumbu X, merupakan nilai selisih antara skor
kekuatan dan kelemahan, sedang pada sumbu Y merupakan nilai selisih
antara skor peluang dan ancaman.
c. Tahapan perumusan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan
Tahapan perumusan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan
digunakan untuk menetapkan strategi berdasarkan kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman seperti disajikan pada matriks SWOT.
3.5. Definisi Operasional
Berikut ini disampaikan beberapa definisi untuk menghindari kesalahan
dalam mengartikan istilah yang dimaksudkan, diantaranya:
1. Umur adalah usia responden yang dihitung dari tahun lahir sampai saat
penelitian dilaksanakan dan dinyatakan dalam tahun.
2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh
oleh responden yang dinyatakan dengan pilihan tidak sekolah, sekolah dasar
(SD), SLTP, SLTA dan perguruan tinggi.
3. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah keseluruhan anggota keluarga
meliputi suami, istri, anak dan keluarga lain yang menjadi tanggungan
keluarga.
4. Luas hutan/kebun kemenyan adalah luas keseluruhan hutan/kebun kemenyan
yang diusahakan responden yang dinyatakan dalam hektar (ha).
5. Pendapatan adalah penghasilan rata-rata responden setiap bulan yang
diperoleh dari berbagai sumber yang dinyatakan dalam rupiah per bulan
(Rp/bln).
6. Pekerjaan lain adalah pekerjaan responden selain mengelola hutan kemenyan.
7. Persepsi adalah pandangan dan penilaian responden terhadap pengelolaan
hutan kemenyan.
8. Motivasi adalah dorongan dari dalam maupun dari luar untuk mewujudkan
harapan dengan adanya tindakan yang dilakukan.
9. Pengelolaan hutan kemenyan adalah kegiatan mengelola hutan kemenyan
yang berorientasi untuk menghasilkan atau memproduksi getah kemenyan
mulai dari kegiatan penanaman (regenerasi) tanaman, pemeliharaan,
pemanenan getah, pengolahan getah pasca panen sampai pemasaran.
10. Kekuatan (strenght) adalah faktor yang berasal dari dalam (internal) yang
sudah dimiliki dan dapat dioptimalkan dalam mendukung pengembangan
pengelolaan hutan kemenyan.
11. Kelemahan (weakness) adalah faktor yang berasal dari dalam (internal) yang
menjadi penghambat dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.
12. Peluang (opportunity) adalah faktor yang berasal dari luar (eksternal) yang
dapat digunakan sebagai pendukung dalam pengembangan pengelolaan hutan
kemenyan.
13. Ancaman (threat) adalah faktor yang berasal dari luar (eksternal) yang dapat
menghambat pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.
14. Strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan adalah suatu rencana
yang cermat dan sistematik terkait dengan pengembangan pengelolaan hutan
kemenyan dengan memaksimalkan semua kekuatan yang dimiliki dan
meminimalkan kelemahan serta memanfaatkan peluang yang ada dengan
mengatasi segala bentuk ancaman yang datang.
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Kondisi Geografis
Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten hasil
pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Kabupaten ini resmi terpisah dengan
kabupaten induk pada tanggal 25 Pebruari 2003 dengan diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan,
Kabupaten Pakpak Bharat, dan kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi
Sumatera Utara.
Secara geografis Kabupaten Humbang Hasundutan terletak pada 02001’ –
02020’ Lintang Utara (LU) dan 98010’ – 98038’ Bujur Timur (BT). Kabupaten ini
terletak pada bagian tengah Provinsi Sumatera Utara. Dilihat dari posisi
kabupaten lain disekitarnya, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Samosir, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah
Timur berbatasan Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Pakpak Bharat.
Tabel 5. Nama kecamatan beserta luasannya di Kabupaten Humbang Hasundutan
No Nama Kecamatan Luas Wilayah (ha) Persentase Luas (%)
1 Pakkat 38.168,00 15,16
2 Onan Ganjang 22.256,27 8,84
3 Sijamapolang 14.018,07 5,57
4 Lintong Nihuta 18.126,21 7,20
5 Paranginan 4.778,39 1,90
6 Dolok Sanggul 20.929,53 8,31
7 Pollung 32.736,46 13,00
8 Parlilitan 72.774,71 28,91
9 Tarabintang 24.251,98 9,63
10 Baktiraja 3.726,31 1,48
TOTAL 251.765,93 100,00
Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009
Luas wilayah kabupaten Humbang Hasundutan mencapai 251.765,93 ha
yang meliputi daratan dan perairan. Adapun daratan memiliki luasan 250.271,02
ha dan perairan berupa danau (bagian dari Danau Toba) seluas 149,91 ha.
Kabupaten ini terdiri dari sepuluh kecamatan dengan masing-masing luasannya
seperti pada Tabel 5. Dari sepuluh kecamatan di Kabupaten Humbang
Hasundutan, Kecamatan Parlilitan merupakan kecamatan terluas dengan luas
72.774,71 ha (28,91% dari luas total kabupaten) sedangkan kecamatan yang
memiliki luasan paling kecil adalah Kecamatan Bakti Raja dengan luas 3.726,31
ha (1,48 % dari luas total kabupaten).
Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah yang berada pada
deretan pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian berada pada kisaran antara
330 – 2.072 m di atas permukaan air laut. Topografi lahan Kabupaten Humbang
Hasundutan sendiri sangat bervariasi mulai dari datar, landai, miring dan curam.
4.2. Kondisi Demografi
Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2009
bahwa jumlah penduduk di kabupaten ini mencapai 158.070 jiwa yang terdidi
dari 34.971 kepala keluarga. Bila dibandingkan dengan luas wilayah maka
diketahui rata-rata kepadatan penduduk di kabupaten ini mencapai 63 jiwa/km2.
Dalam hal kependudukan ini, masyarakat di Kabupaten Humbang
Hasundutan termasuk daerah yang masyarakatnya heterogen, karena selain
menganut agama yang berbeda-beda juga memiliki beragam suku, yaitu Batak
Toba, Pakpak, Simalungun, Nias, Jawa, Padang dan Mandailing. Penduduk
memeluk agama seperti Islam, Kristen Protestan dan Katholik. Walaupun
penduduknya terdiri dari berbagai suku namun terbukti mereka dapat hidup
berdampingan dengan baik, jarang terjadi konflik antar suku. Justru antar suku
telah membaur satu sama lain, menjalin kekerabatan dengan perkawinan.
Kerukunan dan toleransi beragam suku ini terlihat jelas pada saat acara-acara adat,
terutama saat pesta perkawinan. Begitu juga dengan toleransi beragama diantara
masyarakat terbina dan terjaga dengan baik.
Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian
besar dari sektor pertanian termasuk di dalamnya perkebunan. Profesi lainnya
sebagai mata pencaharian masyarakat adalah pedagang, pegawai negeri sipil,
pegawai swasta, TNI/POLRI serta sebagian kecil industri/kerajinan tangan.
4.3. Kondisi Hutan
Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki kawasan hutan negara dengan
luasan 95.512,84 ha (37,9 % dari luas total kabupaten). Masing-masing kecamatan
memiliki sebaran luas serta fungsi hutan yang tidak sama. Sebaran luas kawasan
hutan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan seperti yang
ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan
No Nama Kecamatan Luas Kawasan Hutan (ha) Persentase (%)
1 Pakkat 17.100,00 17,90
2 Onan Ganjang 3.100,00 3,25
3 Sijamapolang 2.850,00 2,98
4 Lintong Nihuta 7.700,60 8,06
5 Paranginan 2.250,00 2,36
6 Dolok Sanggul 6.000,04 6,28
7 Pollung 6.062,20 6,35
8 Parlilitan 39.950,00 41,83
9 Tarabintang 8.400,00 8,79
10 Baktiraja 2.100,00 2,20
TOTAL 95.512,84 100,00
Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009
Bila ditinjau dari keberadaan luasan hutan di atas maka kabupaten ini masih
masuk dalam kategori kabupaten yang memiliki luasan hutan yang proporsional
yaitu di atas 30 % dari luas wilayahnya.
Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya didominasi oleh hutan
produksi yang mencapai 64%, diikuti hutan lindung 33% dan hutan produksi
terbatas (HPT) sebanyak 3% dari luas kawasan hutan total. Pengelolaan hutan
produksi yang ada di wilayah administrasi Kabupaten Humbang Hasundutan
sebagian besar telah melibatkan pihak swasta dengan membangun hutan tanaman
sebagai bahan baku bubur kertas (pulp).
4.4. Penyebaran Hutan Kemenyan
Potensi getah kemenyan di Sumatera Utara cukup besar yang tersebar di
beberapa kabupaten daerah penghasil dan telah sekian lama dikenal masyarakat
secara luas. Pemanfaatan kemenyan oleh masyarakat telah menjadi sumber
pendapatan mereka terutama petani kemenyan yang tinggal di sekitar kawasan
hutan.
Di Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri, menurut data dari BPS Kab.
Humbang Hasundutan (2009) tanaman kemenyan tersebar di 7 kecamatan dari
sepuluh kecamatan secara keseluruhan artinya tidak semua kecamatan memiliki
kebun kemenyan. Perbandingan sebaran luas tanaman kemenyan beserta
produksinya pada masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Sebaran tanaman kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan
No Nama Kecamatan Tanaman Kemenyan
Luas (ha) Produksi (ton)
1 Pakkat 57,00 16,53
2 Onan Ganjang 1.039,00 294,25
3 Sijamapolang 592,00 125,25
4 Lintong Nihuta 0,00 0,00
5 Paranginan 0,00 0,00
6 Dolok Sanggul 1.403,50 416,99
7 Pollung 284,00 84,21
8 Parlilitan 818,50 357,09
9 Tarabintang 27,00 10,50
10 Baktiraja 0,00 0,00
TOTAL 4.221,00 1.304,82
Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Aspek Sosial Pengelolaan Hutan Kemenyan
5.1.1. Karakteristik Petani Responden
Karakteristik petani responden diperlukan sebagai gambaran umum
keadaan petani kemenyan yang menjadi sampel dan merupakan obyek dalam
penelitian. Karakteristik petani responden yang dibahas dalam penelitian ini,
terdiri dari umur petani, tingkat pendidikan formal, jumlah anggota keluarga,
pengalaman bertani dan luas kebun kemenyan yang diusahakan.
a. Umur Petani Responden
Umur sangat erat kaitannya dengan produktivitas kerja. Oleh karena itu
sangat penting untuk mengetahui variabel ini dalam kaitannya dengan
ketersediaan tenaga kerja yang masih produktif.
Tabel 8. Sebaran petani responden berdasarkan usia
No Kelompok Umur (Tahun) Jumlah Responden (Jiwa) Peresentase (%)
1 20 – 29 2 3
2 30 – 39 16 27
3 40 – 49 19 32
4 50 – 59 16 27
5 ≥ 60 7 11
Total 60 100
Dari hasil olahan data primer diketahui bahwa umur petani kemenyan
(responden) secara keseluruhan berada pada selang umur antara 28-67 tahun
dengan umur rata-rata 46,25 tahun. Hal ini juga dapat dilihat dari Tabel 8 yang
menunjukkan bahwa umur petani kemenyan didominasi pada kelas umur 40-49
tahun, yaitu sebanyak 32%. Apabila dilihat dari rata-rata umur tersebut petani
responden masih tergolong dalam kategori usia produktif. Dari Tabel 8 juga
diketahui bahwa 30% petani responden berusia ≤ 40 tahun, bahkan sebayak 3%
berusia dibawah 30 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa pemuda masih
memiliki ketertarikan untuk mengelola hutan kemenyan. Situasi seperti ini sangat
mendukung dalam menjaga eksistensi dan pengembangan pengelolaan hutan
kemenyan ke depannya.
b. Tingkat Pendidikan Petani
Faktor pendidikan sangat penting dalam era pembangunan yang
berkelanjutan. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan cara
berpikir, berperilaku dan bertindak. Tingkat pendidikan akan sejalan dengan
kelestarian sumberdaya alam apabila disertai dengan rasa kepedulian dari
masyarakat terhadap sumberdaya alam dimaksud. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini juga melihat tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh petani
responden yang tentunya berperan dalam melaksanakan kegiatan usahataninya.
Tabel 9. Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan
No Jenjang Pendidikan Jumlah Responden (Jiwa) Persentase (%)
1 SD 30 50
2 SLTP 22 37
3 SLTA 8 13
Total 60 100
Dari Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan resonden
sudah pernah mengikuti pendidikan formal namun pada umumnya (50%) hanya
sampai pada pendidikan dasar, diikuti sekolah menengah pertama dan sekolah
menengah atas. Dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan petani responden
masih rendah.
Sama seperti keadaan di desa lain pada umumnya selain karena
keterbatasan ekonomi keluarga dan ketidakberadaan sarana pendidikan (gedung
sekolah) menjadi kendala untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Untuk
pendidikan dasar setiap desa sudah memiliki, namun untuk meneruskan ke
jenjang berikutnya, baik tingkat SLTP maupun SLTA harus ke kecamatan bahkan
harus ke ibukota kabupaten. Selain itu, apabila seseorang sudah berhasil
menempuh pendidikan lebih tinggi maka sangat jarang sekali tetap tinggal di
daerah tersebut. Pada umumnya mereka akan lebih memilih mengadu nasib
(mencari pekerjaan) di luar daerah. Situasi ini menjadikan orang-orang yang
tinggal di daerah hanya para orang tua dan orang-orang yang berpendidikan
rendah.
c. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan sangat penting
untuk diketahui yang berhubungan terhadap konstribusi pendapatan yang
diperoleh untuk kegiatan usahatani maupun untuk konsumsi rumah tangga. Di
samping itu dengan mengetahui jumlah anggota juga dapat diketahui ketersediaan
jumlah tenaga kerja dalam petani itu sendiri.
Dari olahan data diketahui bahwa jumlah anggota keluarga responden
bervariasi mulai dari 1-7 jiwa dan sebanyak 28% dari total seluruh responden
memiliki 4 anggota keluarga. Apabila dihubungkan dengan umur petani maka
diperoleh fenomena bahwa semakin tua petani memiliki jumlah anggota keluarga
yang lebih sedikit. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada saat usia tua, umumnya
keturunan mereka sudah membentuk keluarga yang baru.
e. Pengalaman Bertani
Faktor pengalaman bertani atau lama waktu petani terlibat secara langsung
dalam mengelola hutan kemenyan sangat penting untuk diketahui. Hal ini
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan penguasaan keterampilan petani
dalam mengelola kebun kemenyan. Semakin lama seorang petani terlibat
langsung maka akan semakin banyak pula pengalaman dan keterampilan dalam
memproduksi getah kemenyan.
Dari hasil penelitian di lapangan, lama pengalaman bertani para petani
kemenyan yang menjadi responden bervariasi mulai dari 10-50 tahun berbanding
lurus dengan usia petani itu sendiri. Dari keseluruhan responden, sebanyak 30%
dari responden memiliki pengalaman bertani kemenyan antara 30-39 tahun. Pada
umumnya petani sudah mulai dilibatkan dalam usahatani kemenyan pada saat usia
10 tahun (terutama anak laki-laki) untuk membantu orang tuanya pada kegiatan
pembersihan lahan dan mereka sudah mulai menyadap getah kemenyan secara
langsung pada usia 15 tahun (remaja) hingga sekarang.
f. Luas Pemilikan Lahan dan Hutan Kemenyan
Pada kedua desa lokasi penelitian penggunaan lahan oleh masyarakat
diperuntukkan sebagai tempat pemukiman beserta pekarangannya, fasilitas umum,
kebun, sebagian kecil sawah dan hutan termasuk di dalamnya hutan kemenyan.
Tiap desa memiliki beberapa dusun yang jarak antar dusun tidak terlalu jauh.
Pemukiman penduduk berjejer berhadap-hadapan mengikuti arah jalan desa.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa rata-rata responden
memiliki lahan seluas 1,31 ha yang terdiri dari rumah dan pekarangan, sawah,
kebun dan hutan kemenyan (Tabel 10). Keberadaan sawah tidak terlalu banyak,
hanya sebagian kecil masyarakat mengusahakannya di kanan-kiri sungai. Namun
untuk kebun, setiap masyarakat hampir memilikinya yang ditanami dengan kopi
dan tanaman semusim lainnya. Lahan yang diperuntukkan menjadi kebun
biasanya lahan-lahan yang berada dekat dengan pemukiman.
Tabel 10. Luas rata-rata pemilikan lahan petani responden
No Penggunaan Lahan Luas Lahan (ha)
1 Rumah (Pekarangan) 0,044
2 Sawah 0,053
3 Kebun (Ladang) 0,263
4 Hutan Kemenyan 0,950
Rata-Rata Total 1,310
Khusus untuk hutan kemenyan sendiri mayoritas masyarakat dari kedua
desa lokasi penelitian (Simarigung dan Sampean) memilikinya dengan luasan
yang beragam mulai dari 0,5 – 2 hektar. Sebaran petani responden berdasarkan
pemilikan hutan kemenyan ditampilkan pada Tabel 11. Bila dilakukan
pengelompokan berdasarkan luas kebun kemenyan, maka sebanyak 55%
responden memiliki kebun kemenyan antara 1 - 1,99 ha. Luas hutan kemenyan
yang dimiliki responden secara keseluruhan mencapai 57 hektar dan apabila
diambil rata-ratanya secara keseluruhan, masing-masing petani responden
memiliki kebun kemenyan seluas 0,95 ha.
Tabel 11. Sebaran responden berdasarkan kepemilikan luas kebun kemenyan
No Kelas Luas (ha) Jumlah Responden
(Jiwa) Persentase
(%) Total Luas
(ha) 1 < 1 22 37 11 2 1,0 – 1,99 33 55 36 3 ≥ 2 5 8 10
Total 60 100 57 Rata-rata 0,95
5.1.2. Status Kepemilikan Lahan
Untuk status kepemilikan kebun atau hutan kemenyan beserta pohon yang
tumbuh di dalamnya, masyarakat punya aturan tersendiri. Setiap desa didominasi
oleh marga tertentu. Menurut Nurrochmat (2001) aturan ini dimulai sejak
masuknya kelompok marga tertentu ke dalam suatu daerah berhutan yang belum
di tempati oleh marga lain. Tujuannya adalah untuk membangun tempat tinggal
(pemukiman) baru yang lahannya masih subur. Karena masyarakat meyakini
bahwa kawasan yang masih berhutan mampu menyediakan kebutuhan hidup.
Seiring pertambahan jumlah penduduknya dimana posisi mereka sudah
semakin kuat, mereka mengklaim bahwa lahan yang mereka buka dengan batas-
batas tertentu menjadi milik mereka termasuk tanaman kemenyan yang tumbuh di
dalamnya dan hal itu diakui oleh kelompok (marga) lain yang bertetangga dengan
mereka. Dengan demikian kebun kemenyan menjadi milik kelompok marga.
Misalnya sebagai contoh untuk Desa Simaringung dikuasai dan didominasi oleh
Marga Simamora dan untuk Desa Sampean didominasi oleh Marga Simanullang.
Hal ini diperkuat dengan petani kemenyan yang menjadi responden dari kedua
desa, dimana dari Desa Simarigung mayoritas Marga Simamora dan dari Desa
Sampean, responden mayoritas Marga Simanullang.
Pembauran antar marga terjadi melalui proses pembentukan rumah tangga
baru. Bagi masyarakat setempat (Suku Batak pada umumnya) dalam hal
pernikahan, haram hukumnya apabila menikah dengan satu marga sekalipun itu
sudah kerabat jauh. Oleh karena itu, kaum laki-laki yang sudah cukup umur akan
mencari pasangan ke daerah (marga) lain dan sebaliknya para kaum perempuan
juga akan dinikahi oleh laki-laki dari daerah lain.
Bagi mereka yang memilih tinggal di daerah asalnya ataupun di daerah
pasangannya, sebagai sumber mata pencaharian mereka mengusahakan lahan
yang diwariskan oleh orang tuanya. Proses pembauran ini sudah terjadi dari
generasi ke generasi hingga sekarang. Dalam hal pembagian warisan, para orang
tua menurunkan harta warisan kepada keturunanya tanpa membedakan anak laki-
laki atau perempuan. Sama halnya dengan kebun kemenyan sudah menjadi harta
warisan.
Untuk kebun kemenyan sendiri karena penggarapan yang dilakukan sudah
semakin intensif dan telah diwariskan secara turun temurun, maka rasa
kepemilikan secara pribadi semakin kuat. Hubungan perorangan dengan tanahnya
semakin kokoh sehingga pada akhirnya lahan tersebut diklaim sebagai tanah milik
pribadi dan bukan milik marga lagi.
Namun yang sering menjadi kekhawatiran bagi para petani kemenyan
adalah status hutan kemenyan yang mereka kuasai sejak ratusan tahun yang lalu
ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan negara. Petani merasa takut
dan khawatir bahwa dengan status ini menjadikan lahan mereka akan diambil alih
oleh negara dan mereka akan dipindahkan dari wilayah itu. Kekhawatiran ini
diperkuat dengan kehadiran pihak swasta yang diberi izin oleh pemerintah untuk
mengelola hutan. Kejadian ini sudah terjadi di beberapa desa dimana pihak swasta
sudah mulai menebangi tanaman kemenyan untuk perluasan areal penanaman
hutan tanaman industry (HTI). Pernyataan kekhawatiran ini diungkapkan oleh
beberapa petani kemenyan (responden) pada saat wawancara.
5.1.3. Bertani Kemenyan sebagai Budaya dan Kearifan Lokal
Penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di
sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal), umumnya memiliki
pengetahuan dan budaya lokal dalam mengelola sumberdaya alam sekaligus
dalam pemanfaatannya yang dipelihara dan diwariskan secara turun-temurun.
Budaya adalah suatu cara hidup meliputi keseluruhan pemikiran dan benda yang
dibuat atau diciptakan dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dalam
perkembangan sejarahnya dan diwariskan dari generasi ke generasi (Sajidiman
1999) dan kearifan lokal sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki suatu
masyarakat tertentu mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan
dengan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara
lestari. Dari pengertian ini kita dapat melihat bahwa pada dasarnya kearifan
tradisional merupakan hasil akumulasi pengetahuan berdasarkan pengamatan dan
pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus-menerus dengan
lingkungan yang ada di sekitarnya. Masing-masing kearifan lokal memiliki
karakteristik berbeda-beda yang bersumber dari pemahamannya terhadap alam
sekitar dan mengadaptasikannya dalam praktek pengelolaan sumberdaya alam
pada berbagai jenis kondisi lingkungan hidup (Affandi 2003).
Bentuk kearifan lokal yang dapat kita lihat, misalnya bagaimana
masyarakat lokal mengelola hutan. Bagi masyarakat, hutan dan segala isinya
bukanlah hanya sekedar komoditi yang dinilai dari segi ekonomi saja, melainkan
sebagai bagian dari sistem kehidupan yang mereka pegang teguh. Demikian
halnya pada pengelolaan hutan kemenyan yang sudah menjadi bagian dari budaya
dan kearifan lokal khususnya petani kemenyan di Humbang Hasundutan dan
Tapanuli pada umumnya.
Pengetahuan lokal petani dapat dilihat dalam proses penyadapan
(pelukaan). Petani mengetahui dan meyakini bahwa tidak semua pohon dapat
disadap secara bersamaan. Petani mengetahui betul pohon mana yang dapat
disadap dan mana yang belum. Kesalahan dalam memilih pohon konsekuensinya
adalah hasil panen tidak maksimal bahkan terkadang pohon tersebut tidak
mengeluarkan getah.
Masih dalam proses penyadapan, kebiasaan petani yang telah membudaya
dan menjadi bagian dari pengelolaan hutan kemenyan bahwa sebelum melakukan
penyadapan, harus terlebih dahulu melakukan pembersihan kulit batang yang
dalam istilah lokal disebut dengan “mangguris”. Pengalaman telah mengajarkan
petani bahwa tanpa melakukan pembersihan kulit batang, produksi getah menjadi
tidak maksimal.
5.1.4. Motivasi dan Persepsi Petani terhadap Hutan Kemenyan
Faktor lain dari aspek sosial yang penting dikaji adalah motivasi dan
persepsi masyarakat (petani) dalam mengelola hutan kemenyan. Bagi petani,
hutan kemenyan merupakan wujud kasih karunia Tuhan yang harus dikelola,
dijaga dan dilestarikan. Karena dari hasil hutan kemenyan mereka dapat hidup
dari generasi ke generasi. Mereka meyakini hutan kemenyan mampu memberikan
nafkah untuk melangsungkan hidup, bukan hanya bagi mereka saja tetapi juga
pada moyang mereka dahulu dan nanti kelak pada anak cucu mereka.
Dari hasil wawancara di lapangan ketika ditanya faktor apa yang menjadi
motivasi petani dalam mengelola hutan kemenyan, secara keseluruhan petani
memberikan jawaban untuk memenuhi kebutuhan keluarga (sebagai mata
pencaharian) dan sebagai upaya melanjutkan tradisi (budaya dan warisan orang
tua). Demikian juga dalam hal persepsi, dari keseluruhan responden (ketika
diwawancarai) telah menyadari betul fungsi dan manfaat hutan kemenyan bukan
hanya sumber mata pencaharian tetapi lebih dari itu, keberadaan hutan kemenyan
juga memberikan manfaat-manfaat untuk menjaga daya dukung dan kualitas
lingkungan, seperti tanah, air dan udara. Dari wawancara yang dilakukan terhadap
responden persepsi-persepsi positif masyarakat terhadap hutan kemenyan dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap hutan kemenyan
No Jenis Persepsi Jumlah
Responden (Jiwa)
Persentase
(%)
1 Sebagai sumber mata pencaharian 60 100
2 Pengatur tata air 60 100
3 Kesuburan tanah 50 83
4 Kualitas udara 60 100
5 Habitat satwa liar 50 83
5.2. Aspek Ekonomi Pengelolaan Hutan Kemenyan
5.2.1. Pendapatan Petani Responden
Ditinjau dari aspek ekonomi, kemenyan juga memberikan manfaat bagi
petani pengelolanya. Hutan kemenyan telah menjadi bagian dari sejarah hidup
yang sudah sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang menjadi sumber penghasilan.
Secara umum penghasilan petani responden bersumber dari pertanian termasuk di
dalamnya kebun kemenyan. Besar kecilnya penghasilan petani, berbanding lurus
dengan berapa luas lahan yang dimiliki dan berapa luas lahan yang mampu
diusahakan petani yang bersangkutan. Penghasilan disini adalah penghasilan kotor
seluruhnya yang diperoleh petani selama satu tahun. Pada umumnya petani
responden memperoleh penghasilan rata-rata dari hasil panen sawah, kebun dan
kemenyan sebesar Rp 21.641.900 dengan sebaran seperti pada Tabel 13.
Tabel 13. Sebaran petani responden berdasarkan pendapatan
No Penghasilan (Rp juta/tahun) Jumlah Responden (Jiwa) Persentase (%)
1 10-19 22 37
2 20-29 35 58
3 ≥ 30 3 5
Total 60 100
Bila dilakukan pengelompokan terhadap petani responden berdasarkan
desa dimana mereka tinggal, maka diketahui bahwa rata-rata pendapatan dari
petani di Desa Sampean lebih tinggi jika dibandingkan dengan penghasilan yang
diperoleh petani di Desa Simarigung (Tabel 14). Namun perbedaan yang terjadi
tidak terlalu signifikan, melihat kondisi petani di kedua desa juga hampir tidak
ditemukan perbedaan, baik dari sumber mata pencaharian, luas lahan yang diolah
dan juga cara bertani.
Tabel 14. Pendapatan rata-rata petani responden berdasarkan desa
No Nama Desa Penghasilan (Rp/Tahun)
Sawah Kebun Kemenyan Total 1 Simarigung 554.400 7.795.200 12.381.667 20.731.267 2 Sampean 772.800 7.734.400 13.901.667 22.008.867
Khusus penghasilan dari penyadapan getah kemenyan, dibahas untuk
mengetahui berapa persentase pendapatan yang diperoleh dari hutan kemenyan
dibandingkan terhadap pendapatan total selama satu tahun. Mayoritas masyarakat
yang tinggal di kedua desa masih memiliki kebun kemenyan dengan luasan yang
bervariasi mulai dari 0,5 sampai 2 hektar. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
rata-rata dalam setahun petani kemenyan memperoleh penghasilan sebesar Rp
21.641.900 dimana Rp 13.233.600 diperoleh dari hasil penjualan getah kemenyan.
Jika pendapatan dari menyadap getah kemenyan dibandingkan dengan pendapatan
secara keseluruhan maka sebesar 60,69% diperoleh dari hasil kebun kemenyan,
artinya kebun kemenyan masih memiliki andil yang besar sebagai sumber mata
pencaharian.
Besarnya pendapatan tentunya dipengaruhi oleh luas kemenyan yang
dimiliki. Oleh karena itu, dalam analisa selanjutnya, responden distratifikasi
menjadi 3 kelompok berdasarkan luas kebun kemenyan. Hal ini dilakukan untuk
melihat perbandingan pendapatan dari masing-masing strata dan sebagai hasilnya
disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Persentase pendapatan (kotor) petani dari kemenyan terhadap
pendapatan total
No
Luas
Kemenyan
(ha)
Jumlah
Responden
Rata-Rata Pendapatan (Rp/tahun) Persentase
pendapatan
(%) Sawah Kebun Kemenyan Total
1 < 1 22 1.260.000 7.069.091 8.463.636 16.792.727 50,99
2 1 - 1,99 33 366.545 7.899.455 15.649.091 23.905.091 65,61
3 ≥ 2 5 0 7.603.200 18.278.000 25.881.200 70,95
Rata-rata 60 663.300 7.564.800 13.233.500 21.641.900 60,69
Dari kedua desa yang menjadi lokasi penelitian, getah kemenyan masih
menjadi andalan petani untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, baik yang luas
lahannya dibawah 1 hektar, 1-1,99 hektar maupun 2 hektar ke atas dimana
pendapatan dari hutan kemenyan memberikan proporsi di atas 50%. Artinya
adalah lebih dari setengah penghasilan petani secara keseluruhan diperoleh dari
hasil penyadapan getah kemenyan.
Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa petani yang memiliki luas hutan
kemenyan ≥ 2 Ha tidak memiliki pendapatan dari sawah. Dengan pemilikan hutan
kemenyan dan kebun yang sedemikian luas, petani tidak punya cukup waktu dan
tenaga untuk mengelola sawah sekaligus. Selain karena keterbatasan waktu dan
tenaga, petani merasa bahwa penghasilan dari kemenyan dan kebun masih mampu
mencukupi kebutuhan keluarga mereka.
5.2.2. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Pengelolaan Hutan Kemenyan
Dalam kajian pengelolaan hutan kemenyan ini, aspek ekonomi lain yang
penting untuk diketahui, yaitu analisa kelayakan usaha dari pengelolaan hutan
kemenyan. Untuk analisa kelayakan usaha ini ada tiga (3) parameter yang
digunakan. Ketiga parameter tersebut adalah Nilai Bersih Sekarang (Net Present
Value), Rasio Pendapatan dan Biaya (Benefit Cost Ratio) dan Internal Rate of
Return (IRR). Dalam analisa finansial kelayakan usaha dilakukan dalam dua (2)
skenario, yaitu dengan memperhitungkan sewa lahan (skenario 1) dan tanpa
memperhitungkan sewa lahan (skenario 2). Nilai masing-masing parameter ini
disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Analisa finansial pengelolaan hutan kemenyan per satuan hektar selama
50 tahun
No Analisa Finansial Nilai
Skenario 1 Skenario 2 1 Net Present Value (NPV) Rp 17.226.428 Rp 24.901.670 2 Benefit Cost Ratio (BCR) 2,37 2,85 3 Internal Rate of Return (IRR) 22,6% 28,8%
Dari analisa finansial kelayakan usaha pengelolaan hutan kemenyan, untuk
nilai NPV diperoleh nilai sebesar Rp 17.226.428 dan Rp 24.901.670 pada suku
bunga (interest rate) 13%. Dari hasil analisa ini dapat disimpulkan bahwa usaha
ini layak dilaksanakan karena menghasilkan keuntungan. Begitu juga halnya
dengan analisa kelayakan usaha dengan menggunakan metode BCR. Dengan
metode ini dihasilkan indeks sebesar 2,37 pada skenario 1 dan 2,85 pada skenario
2, artinya pengelolaan hutan kemenyan ini layak dilaksanakan karena jika
dibandingkan antara penerimaan dan pengeluaran cenderung memperoleh
keuntungan. Sementara untuk IRR sebesar 22,6% (skenario 1) dan 28,8%
(skenario 2) masih jauh diatas tingkat suku bunga sekarang (13%) yang artinya
apabila seluruh modal untuk membangun hutan kemenyan ini dipinjam, maka
petani masih mampu mengembalikan pinjaman beserta bunganya sampai pada
tingkat suku bunga 22,6% (skenario 1) dan 28,8% (skenario 2). Dengan demikian
analisa finansial ini menyimpulkan bahwa pengelolaan hutan kemenyan layak
dilaksanakan.
Dengan asumsi kebun kemenyan dibangun dari awal (bukan kebun
kemenyan warisan yang siap disadap) nilai NPV yang sebesar Rp 17.226.428/ha
untuk skenario 1 dan Rp 24.901.670/ha untuk skenario 2 selama 50 (lima puluh)
tahun merupakan sesuatu yang kurang menarik (dari sisi ekonomi) untuk
diusahakan, karena keuntungan bersih yang diperoleh sangat kecil dan sangat
berbeda jauh bila dibandingkan dengan penghasilan dari usahatani kopi yang
mampu menghasilkan Rp 18.850.597/Ha/Tahun (Karo-karo, 2010) dan juga
masih jauh bila dibandingkan dengan upah minimum regional (daerah setempat),
yaitu Rp 965.000/bulan.
Untuk menjadikan pengelolaan kemenyan ini lebih kompetitif dan lebih
menarik, diperlukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan pendapatan. Upaya-
upaya dimaksud dibahas pada sub bab “Strategi Pengembangan Pengelolaan
hutan Kemenyan”.
5.2.3. Produktivitas Petani dan Hutan Kemenyan
Dalam proses pengelolaan hutan kemenyan, kegiatan yang banyak
menyita waktu petani adalah penyiapan lahan, penanaman, penyiangan,
pembersihan batang (penyadapan/pelukaan) serta pemanenan getah. Dalam proses
penyadapan, para petani seragam menggunakan cara konvensional yaitu dengan
cara penakikan membentuk luka vertikal pada batang. Produktivitas petani yang
dimaksudkan disini adalah kemampuan petani melakukan pekerjaan per satuan
hari kerja sementara produktivitas hutan kemenyan adalah jumlah produksi getah
kemenyan yang diperoleh per satuan luas per satuan waktu.
Kemampuan petani dalam melakukan penyadapan bervariasi, sekitar 10-
15 batang/orang/hari tergantung besar diameter pohon. Diameter besar akan
memiliki tingkat kesulitan menyadap yang lebih besar (Sasmuko 1996). Begitu
juga dalam kegiatan pemanenan, petani mampu mengerjakan sekitar 15-20
batang/orang/hari. Perlu diketahui bahwa tidak semua pohon dapat disadap
serentak seperti pada kebun karet, tetapi harus menyesuaikan kondisi tanaman.
Indikator yang digunakan adalah daun. Jika dalam satu pohon masih terdapat daun
muda maka penyadapan belum dapat dilakukan. Pohon ini baru dapat disadap
apabila daunnya sudah dewasa/tua.
Untuk hutan kemenyan yang diusahakan petani sekarang pada umumnya
memiliki jarak tanam 3 meter x 3 meter. Dalam satu hektarnya rata-rata petani
kemenyan memiliki tanaman menghasilkan (TM) sebanyak 728 batang selebihnya
ditumbuhi tanaman kemenyan yang belum menghasilkan dan pohon lain.
Produksi tanaman yang menghasilkan, getah mampu diproduksi sebanyak 174
kg/ha/tahun dimana rata-rata per pohonnya menghasilkan getah sebanyak 0,25 kg.
Petani menyadari bahwa telah terjadi penurunan produktivitas tanaman kemenyan
karena menurunnya kesuburan tanah. Faktor penyebab lain dari tanaman sendiri,
dimana sebagian tanaman kemenyan banyak yang sudah tua dan mati.
5.2.4. Pemasaran Getah Kemenyan
Dalam kajian ini, pemasaran getah kemenyan tidak dibahas secara detail
hanya gambaran umumnya saja. Rantai pemasaran diisi oleh pihak petani
kemenyan, agen pengumpul tingkat desa, agen pengumpul tingkat kecamatan,
agen pengumpul tingkat kabupaten dan pihak pengolah sekaligus eksportir.
Pada umumnya petani langsung menjual hasil sadapan ke pedagang
pengumpul tingkat desa. Selain karena biaya angkutan, hubungan kekeluargaan
menjadi alasan lain mengapa petani menjual langsung ke pengumpul di desa.
Namun pada saat-saat tertentu, sebagian petani ada juga yang menjual ke
pengumpul ditingkat kabupaten. Perlu diketahui Kota Dolok Sanggul merupakan
ibukota dari kecamatan merangkap ibukota kabupaten sehingga khusus untuk
Kecamatan Dolok Sanggul, agen pengumpul tingkat kecamatan merangkap agen
pengumpul di kabupaten. Pengumpul (agen) di tingkat kabupaten inilah yang
selanjutnya memasarkan ke pihak pengolah dan sekaligus eksportir yang berada di
Pulau Jawa (Jawa Tengah). Rantai pemasaran getah kemenyan mulai dari petani
sampai ke eksportir disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3. Rantai pemasaran getah kemenyan
Dalam penjualan getah kemenyan, hasil panen petani kemenyan
dikelompokkan ke dalam dua kelas yaitu kualitas pertama yang dikenal dengan
“mata kasar” dan kualitas kedua yang dikenal dengan istilah “tahir”. Pada saat
pelaksanaan penelitian ini harga getah kualitas kemenyan untuk kualitas pertama
dihargai Rp 100.000 per kilogram sedangkan untuk kualitas kedua dihargai Rp
70.000 per kilogram. Secara umum petani melakukan pengolahan getah
kemenyan terlebih dahulu sebelum dijual karena akan memperoleh harga yang
lebih tinggi. Namun pada saat tertentu karena terdesak memenuhi kebutuhan
keluarga, petani menjual langsung getah tanpa melakukan pengolahan.
5.3. Aspek Ekologi Pengelolaan Hutan Kemenyan
Hutan yang lestari diidentikkan dengan ekosistem yang masih terjaga.
Oleh karena itu sangat mudah mengenali apakah sebuah ekosistem itu sudah rusak
atau kondisinya masih terjaga. Ditinjau dari aspek ekologi dalam pengelolaan
hutan kemenyan, ada beberapa pokok penting yang menjadi keunggulan yang
mendukungnya sebagai usaha yang layak untuk dikembangkan.
Dalam pengelolaan hutan kemenyan, sumberdaya lahan cenderung tidak
berubah dari peruntukannya. Bahkan dapat dijadikan sebagai upaya untuk
Keterangan
Pengumpul Tingkat
Kecamatan
Petani Kemenyan
Pengumpul Tingkat Desa
Pengumpul Tingkat
Kabupaten
Pengolah / Eksportir
Saluran Lainnya (Secondary Line)
Saluran Utama (Main Line)
Keterangan
memperbaiki kualitas lingkungannya. Beda halnya dengan unit usaha lain yang
membutuhkan lahan, dimana cenderung akan merobah fungsi lahan yang dapat
menurunkan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pengelolaan tegakan
kemenyan dengan baik, juga memperoleh manfaat-manfaat ekologi yang sama
seperti yang diperoleh dari hutan alam. Sebagai tegakan hutan, tanaman
kemenyan memberikan peranan besar dalam menjaga keseimbangan lingkungan
di sekitarnya. Keberadaan tegakan kemenyan berpegaruh besar dalam memelihara
kualitas lingkungan.
Manfaat hutan sangat beragam mulai dari manfaat tangible yang secara
langsung dapat dinilai dan manfaat intangible. Aspek ekologi dari tegakan
kemenyan sebagai hutan merupakan manfaat intangible yang tidak semua orang
mengerti dan memahaminya. Di lapangan ditemukan bahwa pada umumnya
tegakan kemenyan berada di daerah perbukitan yang merupakan daerah
penyangga terhadap daerah di bawahnya (Gambar 4).
Gambar 4. Sketsa tata letak hutan kemenyan berdasarkan topografi
Berdasarkan persepsi responden (Tabel 12), karena letaknya di daerah
perbukitan yang merupakan bagian hulu dari sebuah sungai, bisa dipastikan
bahwa secara umum habitat tegakan kemenyan merupakan daerah tangkapan air
(catchment area). Hal ini dikemukakan oleh 100% responden di lokasi penelitian.
Fungsi ekologis tegakan kemenyan disini sangat erat kaitannya dalam hal menjaga
ketersediaan air bersih untuk mencukupi kebutuhan air bagi masyarakat yang
berdomisili disekitarnya. Seperti pada masyarakat kedua desa (lokasi penelitian),
kebutuhan air bersih diperoleh dari sumber-sumber mata air serta aliran sungai,
yang mana keberadaan hutan sangat berperan dalam menentukan kualitas maupun
kuantitasnya. Air merupakan produk penting dari hutan, dimana dalam prosesnya
merupakan bagian dari siklus hidrologi.
Dalam siklus hidrologi, air pada hakekatnya telah melalui beberapa proses
yang melibatkan tumbuhan, seperti tertahan oleh tajuk dedaunan (intersepsi),
mengalir melalui batang dan atau jatuh setelah kena dedaunan, kemudian di lantai
(tapak) hutan tertahan oleh bahan organik, dan akhirnya masuk kedalam tanah
melalui peristiwa infiltrasi dan seterusnya melalui perkolasi dan tersimpan
menjadi persedian air dalam tanah. Keseimbangan proses alami ini memberikan
dampak positif bagi lingkungannya dengan siklus air yang tertata dimana air tidak
kekurangan pada musim kemarau dan tidak berlebihan (banjir) pada musim
penghujan (Asdak 2002). Situasi ini masih terjadi pada kedua lokasi penelitian,
dimana sungai-sungai tidak berhenti mengalir sepanjang tahun.
Sebagai tegakan hutan, tanaman kemenyan juga memiliki fungsi ekologi
dalam menahan laju erosi oleh air hujan. Erosi dapat dengan mudah diidentifikasi
pada aliran sungai, dimana sungai yang airnya keruh menandakan terjadinya erosi.
Tingkat kekeruhan pada umumnya berbanding lurus dengan tingkat erosi.
Menurut Sarifuddin et.al (2004), ada tiga peranan pohon-pohonan terhadap erosi.
Pertama, Air hujan yang jatuh akan mengenai kanopi dari pohon sehingga
mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke tanah dan merubah distribusi air
melalui aliran batang pohon. Karena air hujan tidak langsung jatuh ke tanah
(terhalang kanopi pohon) maka kekuatan utama dari titik hujan telah terpecahkan.
Kedua, pohon-pohonan memberi pengaruh positif terhadap tanah dan kapasitas
infiltrasi sebab keberlanjutan sampah dari pohon menyebabkan (daun dan ranting
yang mati) tingginya kandungan humus tanah. Sebagai tambahan, kondisi iklim
mikro di bawah kanopi pohon memberi bermacam-macam pengaruh positif
terhadap organisme tanah yang mempengaruhi proses dekomposisi tanah,
kelembaban tanah dan pembentukan pori tanah. Ketiga, sampah dari pohon (daun
dan ranting yang mati yang jatuh ke permukaan tanah yang menjadi sumber
humus) dan permukaan vegetasi tanah secara langsung menghambat kekuatan
penyebab erosi dari air hujan dan aliran permukaan. Dengan menyaring percikan
pada partikel tanah, vegetasi dan serasah juga mencegah penyumbatan dari pori-
pori tanah, yang dapat mengurangi infiltrasi dan meningkatkan aliran permukaan.
Hutan kemenyan seperti terlihat pada Gambar 5 juga berperan
mempengaruhi stabilitas dan kesuburan tanah (dikemukakan 83% responden di
lokasi penelitian). Peran tumbuhan dalam kestabilan tanah bergantung pada tipe
tumbuhan dan tipe tanah. Namun terkait dengan kestabilan tanah, tumbuh-
tumbuhan memiliki peran dalam memperkuat tanah. Secara langsung keberadaan
akar-akar tumbuhan akan memperkuat tanah dan penyerapan air oleh akar
bersama unsur hara lainnya akan mengurangi kelembaban tanah, sehingga secara
tidak langsung berperan juga dalam memperkuat tanah. Peranan ini sangat terlihat
jelas pada daerah-daerah yang rawan longsor seperti pada kaki lereng. Akar
pohon-pohonan yang dalam dapat memperkuat lereng. Dalam hal kesuburan
tanah, dekomposisi biomassa tumbuhan yang sudah layu akan menjadi atau
menambah nutrisi tanah.
Gambar 5. Hutan kemenyan produktif pada masa istirahat (a) dan masa panen (b)
(a) (b)
Selain peranan ekologisnya dalam menahan laju erosi, tanaman kemenyan
sebagai tegakan hutan juga berperan dalam membentuk iklim mikro di sekitarnya
(dikemukakan 100% responden di lokasi penelitian). Fenomena ini secara jelas
dapat dirasakan dengan membandingkan daerah yang berhutan dan tidak
berhutan. Pada daerah tidak berhutan bila angin berhembus akan terasa panas,
sebaliknya pada daerah yang berhutan akan terasa sejuk. Hal ini terjadi karena
angin yang berhembus pada daerah berhutan, selain oksigen hasil fotosintesis
kadang kala juga mengandung uap air hasil evapotranspirasi.
Aspek ekologi lain dari tegakan kemenyan yang tidak kalah penting adalah
menjadi tempat tinggal atau habitat makro dan mikro organisme lainnya
(dikemukakan 83% responden di lokasi penelitian). Bukan hanya manusia saja
yang membutuhkan tempat tinggal, begitu juga dengan mahluk hidup lain seperti
burung dan mamalia (babi hutan). Dengan keberadaan hutan kemenyan maka
peluang keberlangsungan hidup mereka lebih besar.
Hal positif lain dari hutan kemenyan sebagai sumber hasil hutan bukan
kayu adalah keunggulannya dalam proses produksi dan pemanenannya
dibandingkan dengan hasil hutan kayu, dimana lebih ramah terhadap lingkungan
sekitarnya. Pada umumnya dalam memproduksi hasil hutan kayu cenderung
menimbulkan dan meninggalkan kerusakan pada tanah ataupun pada tumbuhan
disekitarnya. Beda halnya dalam memproduksi getah kemenyan, kerusakan hanya
ditimbulkan pada pohon itu sendiri (saat pelukaan) yang cenderung lebih ringan.
5.4. Faktor Internal dan Eksternal Pengelolaan Hutan Kemenyan
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa dalam pengelolaan
hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan serta faktor-faktor yang
berasal dari luar (eksternal) berupa peluang dan ancaman.
5.4.1. Unsur Kekuatan (Strength)
Peubah strategi internal berupa kekuatan (strength) yang memiliki
pengaruh terhadap pengembangan pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten
Humbang Hasundutan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 menunjukkan bahwa
peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah “pengelolaan hutan
kemenyan merupakan bagian dari budaya masyarakat” dengan nilai pengaruh
sebesar 0,780 sedangkan peubah yang memiliki nilai pengaruh terkecil adalah
“ketersediaan akses transportasi dari dan menuju desa dari kecamatan” dengan
nilai pengaruh sebesar 0,082.
Sudah sejak ratusan tahun yang lalu tanaman kemenyan mampu
diandalkan sebagai sumber mata pencaharian petani pengelolanya. Hutan
kemenyan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diusahakan,
dijaga dan dipelihara. Kepemilikan hutan kemenyan itu sendiri sudah berganti-
ganti dari satu generasi ke generasi berikutnya dan sudah menjadi harta warisan
secara turun-temurun mengikuti garis keturunan. Kebiasaan ini telah menjadi
budaya bagi petani kemenyan hingga sekarang. Karena keberadaan tanaman
kemenyan yang endemik dan khas ini mengharuskan tetap dipelihara sebagai
budaya dan kearifan lokal petani dalam melestarikan hutan kemenyan.
Getah kemenyan memiliki kandungan senyawa kimia yang bermanfaat
sebagai bahan baku industri rokok, kosmetika, parfum serta farmasi sehingga
menjadikannya sebagai komoditi yang bernilai tinggi dan diminati oleh pasar.
Permintaan bukan hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.
Indonesia yang diwakili Tapanuli pada umumya sudah terkenal sebagai
pengekspor getah kemenyan. Dalam sistem pemasarannya ke manca negara, getah
kemenyan disamakan dengan getah damar dan harganya juga mengikuti harga
getah damar (Kashio dan Johnson 2001). Namun seiring dengan berkurangnya
populasi kemenyan, ekspor getah kemenyan ke luar negeri juga mengalami
penurunan dari tahun ke tahun. Tapi paling tidak, dengan menyandang status
sebagai komoditas ekspor yang memiliki pangsa pasar menjadi suatu faktor
pendukung (kekuatan) dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.
Pengembangan hutan kemenyan (dalam hal kuantitas) salah satu syarat
yang harus dipenuhi adalah ketersediaan sumberdaya lahan untuk dijadikan
sebagai areal penanaman. Syarat ini masih terpenuhi melihat kondisi desa masih
ditemukan lahan-lahan tidur yang tidak diusahakan dan lahan-lahan terlantar yang
cukup luas. Dengan ketersediaan sumberdaya lahan ini memungkinkan untuk
memperbanyak, memperluas dan meningkatkan jumlah populasi pohon
kemenyan. Pemanfaatan lahan-lahan tidur ini sekaligus sebagai upaya
meningkatkan nilai dan produktivitas lahan tersebut.
Tabel 17. Unsur kekuatan dan nilai pengaruhnya
No. Unsur Kekuatan (Internal) Bobot Rating Skor
1 Pengelolaan hutan kemenyan merupakan bagian dari budaya masyarakat. 0,195 4 0,780
2 Getah kemenyan merupakan jenis komoditi ekspor. 0,190 3 0,570
3 Sumberdaya lahan masih tersedia (sangat luas) untuk ditanami kemenyan sebagai salah satu upaya meningkatkan produktivitas lahan. 0,148 3 0,444
4 Masyarakat memiliki motivasi dan persepsi positif yang mendukung pengelolaan hutan kemenyan 0,159 2 0,318
5 Dalam memproduksi getah kemenyan tidak menimbulkan ataupun meninggalkan residu yang dapat merusak lingkungan. 0,126 2 0,252
6 Jumlah tenaga kerja masih memenuhi. 0,100 2 0,200 7 Akses transportasi dari dan menuju desa
dari kecamatan sangat mendukung (kondisinya relatif baik). 0,082 1 0,082
TOTAL 1,000 2,646
Selain karena sudah menjadi budaya masyarakat dalam mengelola
sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, petani juga memiliki
motivasi dan persepsi positif yang mendukung pengembangan hutan kemenyan
ini. Petani sadar betul bahwa hutan kemenyan bukan saja hanya sebagai sumber
mata pencaharian bagi mereka, tetapi lebih dari itu, tegakan kemenyan sebagai
hutan memberikan manfaat lain bagi petani kemenyan yang tidak ternilai
harganya, yaitu sebagai sumber air bersih dan manfaat ekologi lainnya.
Beda halnya dengan hasil hutan kayu, dalam proses pemanenan umumnya
akan meninggalkan kerusakan pada lingkungannya paling tidak pada tumbuhan di
bawahnya. Belum lagi kerusakan yang ditimbulkan pada tanah saat melakukan
proses penyaradan dan pengangkutan ke tempat pengumpulan. Getah kemenyan
sebagai hasil hutan bukan kayu, dalam proses pemanenannya tidak meninggalkan
dampak yang merusak lingkungan. Hal ini menjadi salah satu keunggulan hasil
hutan bukan kayu dibandingkan dengan hasil hutan kayu yang menjadikannya
lebih diprioritaskan dalam pengelolaan hutan lestari ke depan.
Ketersediaan tenaga kerja merupakan persyaratan penting yang harus
dipertimbangkan. Dari kedua desa yang dijadikan sampel lokasi penelitian
diperoleh informasi bahwa tenaga kerja masih tersedia dan masih tergolong
tenaga kerja yang produktif (Tabel 8) dan proses pertumbuhan penduduk akan
selalu menyediakan tenaga kerja baru.
5.4.2. Unsur Kelemahan (Weakness)
Peubah strategi internal berupa kelemahan (weakness) yang memiliki
pengaruh terhadap pengembangan pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten
Humbang Hasundutan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 menunjukkan bahwa
peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah “kurangnya informasi pasar
yang diterima petani kemenyan” dengan nilai pengaruh sebesar 1,128 sedangkan
peubah yang memiliki nilai pengaruh terkecil adalah “sumberdaya manusia
(pendidikan) masih relatif rendah” dengan nilai pengaruh sebesar 0,254.
Kurangnya informasi pasar yang diterima petani kemenyan merupakan
kelemahan yang memiliki skor paling tinggi diantara unsur kelemahan-kelemahan
lainnya karena informasi pasar memegang peranan sangat vital bagi petani
kemenyan dalam hal proses pemasaran dan juga dalam penentuan harga. Realita
yang terjadi di lapangan bahwa kurangnya informasi pasar yang diperoleh para
petani sering dimanfaatkan oleh para pencari untung dengan bermain dalam
penentuan harga kemenyan. Hal ini juga yang menyebabkan petani tidak punya
pilihan dalam memasarkan hasil panennya. Seandainya petani memiliki jaringan
untuk memperoleh informasi pasar yang cukup, paling tidak petani punya pilihan
kapan waktunya harus menjual dan kapan waktunya untuk tidak menjual. Tidak
menjual yang dimaksud disini adalah menyimpan untuk sementara waktu sampai
memperoleh harga yang lebih baik.
Berhubungan dengan unsur kelemahan sebelumnya, fluktuasi harga
kemenyan di tingkat petani diyakini merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan berkurangnya minat petani dalam menyadap dan memproduksi
getah kemenyan. Responden menjawab bahwa fluktuasi harga getah kemenyan
sering menjadi faktor yang dapat menurunkan niat mereka mengelola tanaman
kemenyan. Pada saat tertentu, untuk kualitas pertama kadang dihargai sampai Rp
120.000 tetapi tidak jarang juga dihargai Rp 70.000 per kilogram. Harga getah
kemenyan biasanya merosot tajam menjelang dan sesudah hari besar.
Tabel 18. Unsur kelemahan dan nilai pengaruhnya
No Unsur Kelemahan (Internal) Bobot Rating Skor
1 Kurangnya informasi pasar yang diterima petani kemenyan 0,282 4 1,128
2 Harga getah kemenyan yang tidak stabil di tingkat petani. 0,197 4 0,788
3 Pengelolaan hutan/kebun kemenyan yang ada sekarang, belum disertai dengan upaya budidaya. 0,216 3 0,648
4 Waktu menghasilkan (panen) dari tanaman kemenyan membutuhkan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan komoditi lainnya seperti kopi. 0,178 3 0,534
5 Sumberdaya manusia (pendidikan) masih relatif rendah 0,127 2 0,254
TOTAL 1,000 3,352
Belum adanya upaya budidaya secara intensif dikarenakan petani merasa
bahwa alam masih mampu menopang keberlangsungan hidup tanaman kemenyan.
Dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ke depan, kelemahan ini
harus direduksi dengan merubah paradigma petani kemenyan menjadi petani yang
membudidayakan kemenyan secara intensif sama halnya seperti usaha pertanian
lainnya (tidak bergantung pada alam), dimana sudah ada proses penanaman
bahkan bila perlu dilakukan pemupukan.
Pada saat masa kejayaannya, karena harganya yang tinggi bagi para petani
getah kemenyan ibarat emas yang dapat dipanen. Seiring waktu dengan masuk
dan di perkenalkannya komoditi kopi, kemenyan bukan lagi menjadi prioritas
utama. Bahkan tidak sedikit tanaman kemenyan dikonversi dengan tanaman kopi,
terutama yang tumbuhnya dekat dengan pemukiman. Petani lebih memilih
komoditas kopi karena di samping harganya yang lumayan tinggi, faktor yang
lebih menggiurkan adalah waktu menghasilkan tanaman kopi relatif lebih singkat
jika dibandingkan dengan tanaman kemenyan. Pohon kemenyan dapat
berproduksi setelah berumur 6-7 tahun setelah ditanam, sementara tanaman kopi
hanya butuh waktu 1-2 tahun. Tidak hanya itu, getah kemenyan baru dapat
dipanen kembali 3-4 bulan setelah disadap, sementara tanaman kopi setiap
minggunya bisa dipanen selama 10-15 tahun ke depannya. Oleh karena itu hal ini
menjadi kelemahan dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ke depan.
Sumberdaya manusia yang masih relatif rendah menjadi salah satu unsur
kelemahan yang memiliki skor paling kecil dikarenakan dalam pengelolaan hutan
kemenyan relatif tidak memerlukan keterampilan yang tinggi (high skill).
Walaupun sebenarnya dalam setiap aspek kehidupan dituntut untuk memiliki
pendidikan tinggi. Namun terkhusus dalam pengelolaan hutan kemenyan, dengan
hanya bermodalkan pengetahuan dan belajar dari orang tua sudah mampu
mengelola dan mengusahakan sendiri. Tradisi menyadap getah kemenyan ini
sudah menjadi budaya dan pengetahuan lokal. Cara terbaik untuk melestarikannya
adalah dengan mewariskan ke generasi berikutnya. Bagi petani, hal ini menjadi
sesuatu kewajiban yang harus dilakukan.
5.4.3. Unsur Peluang (Oppurtunity)
Peubah strategi eksternal berupa peluang (opportunity) yang memiliki
pengaruh terhadap pengembangan pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten
Humbang Hasundutan disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 menunjukkan bahwa
peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah “Dengan pengembangan
hutan/kebun kemenyan merupakan salah satu upaya merehabilitasi lahan di
tingkat lokal dan mencegah perubahan iklim di tingkat global” dengan nilai
pengaruh sebesar 1,200 sedangkan peubah yang memiliki nilai pengaruh terkecil
adalah “dukungan kebijakan pusat dan daerah” dengan nilai pengaruh sebesar
0,386.
Pengembangan hutan kemenyan dapat dijadikan sebagai upaya
merehabilitasi lahan di tingkat lokal dan mencegah perubahan iklim di tingkat
global. Peluang ini memiliki skor tertinggi karena pengembangan hutan kemenyan
dapat dijadikan sebagai upaya dalam meningkatkan produktivitas lahan-lahan
tidur ataupun lahan-lahan terlantar. Dalam kondisi tertentu dapat juga dijadikan
sebagai upaya dalam merehabilitasi lahan-lahan kritis. Arah tujuan yang ingin
dicapai tentunya adalah perbaikan kualitas lingkungan yang dibarengi dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Sama seperti kegiatan-
kegiatan kehutanan lainnya, untuk tingkat global pengembangan hutan kemenyan
sejalan dengan upaya dunia internasional dalam meminimalisasi perubahan iklim.
Tabel 19. Unsur peluang dan nilai pengaruhnya
No Unsur Peluang (Eksternal) Bobot Rating Skor
1 Dengan pengembangan hutan/kebun kemenyan merupakan salah satu upaya merehabilitasi lahan di tingkat lokal dan mengurangi perubahan iklim. 0,300 4 1,200
2 Permintaan pasar yang terus meningkat baik dari konsumen lokal maupun luar negeri 0,279 3 0,837
3 Perkembangan IPTEKS memungkinkan untuk meningkatkan produksi getah kemenyan. 0,228 3 0,684
4 Dukungan kebijakan pemerintah daerah dan pusat dalam mengembangkan hutan/kebun kemenyan sebagai hasil hutan bukan kayu unggulan. 0,193 2 0,386
TOTAL 1,000 3,107
Getah kemenyan yang bernilai ekonomis tinggi telah diperdagangkan
sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dan telah memiliki rantai pemasaran
skala nasional bahkan sampai ke luar negeri. Di luar negeri getah kemenyan dari
Tapanuli lebih diminati karena dibandingkan dengan getah kemenyan yang
dihasilkan dari negara lain, misalnya Vietnam, Laos dan Thailand, getah yang
dihasilkan dari Tapanuli memiliki kualitas yang lebih baik (Kashio dan Johnson
2001). Oleh karena itu komoditi ini selalu memiliki pangsa dan permintaan pasar
yang terus meningkat.
Untuk meningkatkan produksi getah kemenyan salah satu cara yang dapat
ditempuh adalah dengan membudidayakan tanaman kemenyan unggul.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada saat sekarang ini memungkinkan untuk
memperoleh tanaman kemenyan unggul melalui pemuliaan pohon. Seleksi
terhadap pohon kemenyan indukan perlu dilakukan untuk menghasilkan bibit
kemenyan unggul. Bibit tanaman kemenyan unggul dapat diperoleh melalui
metode stek, stump ataupun dengan kultur jaringan (Pasaribu dan Sipayung 1999).
Tanaman kemenyan yang unggul tentunya akan menghasilkan getah yang lebih
unggul dari tanaman kemenyan biasa.
Tanggung jawab pelestarian hutan tidak pernah terlepas dari peran
pemerintah dan masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Peran pemerintah sebagai regulator tidak dapat dikesampingkan karena
pemerintah memiliki kewenangan yang memungkinkannya untuk merumuskan
dan menetapkan kebijakan pengelolaan hutan, sementara masyarakat desa sebagai
struktur sosial terdekat dengan hutan tidak bisa dilepaskan dari interaksinya
dengan hutan yang sedemikian intensif. Untuk dapat melestarikan hutan,
kolaborasi dari kedua komponen tersebut adalah mutlak. Pada saat sekarang ini
dukungan terhadap pelestarian hutan dari pemerintah pusat dan daerah terus
mengalir dalam bentuk kegiatan-kegiatan seperti program pengembangan hutan
rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan desa. Namun di Humbang Hasundutan
(dalam hal regulasi) kebijakan yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam khususnya hutan kemenyan belum ada. Peraturan Daerah atau
Peraturan Bupati yang ada sekarang ditujukan untuk pengusahaan hutan rakyat
jenis pinus yakni Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Humbahas No. 3 tahun
2005 yang diikuti dengan Peraturan Bupati No. 6 tahun 2006 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perda Nomor 3 tahun 2005 tersebut. Kebijakan seperti ini khusus
untuk kemenyan tentunya sangat diperlukan dalam mendukung pengembangan
pengelolaan hutan kemenyan ke depan.
5.4.4. Unsur Ancaman (Threath)
Peubah strategi eksternal berupa ancaman (threath) yang memiliki
pengaruh terhadap pengembangan pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten
Humbang Hasundutan (Tabel 20). Dari Tabel 20 dapat dilihat bahwa peubah yang
memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah “kurang adanya jaminan berusaha”
dengan nilai pengaruh sebesar 0,948 sedangkan peubah yang memiliki nilai
pengaruh terkecil adalah “perubahan kondisi fisik habitat kemenyan” dengan nilai
pengaruh sebesar 0,098.
Dalam menjalankan sebuah usaha, jaminan keberlangsungan usaha
menjadi sangat penting. Faktor ini yang tidak dimiliki petani dalam pengelolaan
hutan kemenyan. Jaminan ini sebenarnya dapat diperoleh apabila ada dukungan
penuh dari pihak yang berwewenang. Adanya jaminan itu maka kekhawatiran
tidak akan muncul dalam menjalankan usaha. Dengan adanya dukungan penuh
dari pihak pemerintah maka apabila di kemudian hari terjadi masalah yang tidak
menguntungkan petani, maka pemerintah menjadi pihak pertama dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut.
Pertambahan jumlah penduduk yang pesat, yang tidak diikuti dengan
pertambahan sumberdaya lahan maka yang terjadi adalah konversi lahan. Seperti
misalnya lahan pertanian akan dikonversi untuk membangun tempat tinggal
(pemukiman) baru. Begitu juga dengan lahan yang masih berhutan pada
umumnya sering dikonversi menjadi lahan pertanian baru. Contoh lain misalnya
untuk tujuan pengembangan wilayah salah satu program yang dilakukan adalah
dengan membangun prasarana jalan sebagai akses penghubung antar desa, desa
dengan kecamatan. Termasuk dalam Kabupaten Humbang Hasundutan ini sebagai
daerah pemekaran, pembukaan hutan untuk tujuan pembangunan prasarana jalan
sangat gencar dilakukan demi mengejar ketertinggalan dan keinginan untuk
menyejajarkan diri dengan kabupaten lain.
Batas-batas lahan antara kawasan hutan negara dan lahan milik
masyarakat tidak ditemukan di lapangan. Pada umumnya yang terjadi sekarang ini
adalah masyarakat mengklaim bahwa lahan yang dikelola sekarang merupakan
tanah milik mereka sementara dari pihak pemerintah menetapkan statusnya
sebagai kawasan hutan negara. Dualisme status lahan ini diperkeruh dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005
tentang Penunjukan Kawasan Hutan Negara. Masyarakat memiliki posisi yang
lemah karena lahan mereka tidak disertai dengan sertifikat yang sah.
Hadirnya pihak swasta dalam pengelolaan hutan produksi di daerah
Humbang Hasundutan telah menimbulkan keresahan bagi petani kemenyan
khususnya pada petani yang lokasi kemenyannya masuk dan/atau berbatasan
langsung dengan areal konsesi perusahaan. Dengan izin yang diberikan oleh
pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan), pihak perusahaan melakukan
perluasan areal penanaman hutan tanaman insdustri. Demi kepentingan
perusahaan, hutan kemenyan yang masuk dalam areal konsesi perusahaan
ditebangi dan diganti dengan eucalyptus sebagai bahan baku industri pulp. Situasi
seperti ini sudah terjadi dibeberapa lokasi dan berpeluang terjadi di lokasi-lokasi
lain di Humbang Hasundutan. Ancaman ini tentunya sangat merugikan petani
selain karena akan hilangnya sumber mata pencaharian ditandai dengan
menurunnya jumlah populasi kemenyan, mereka juga harus terpinggirkan (dalam
hal pengelolaan lahan).
Tabel 20. Unsur ancaman dan nilai pengaruhnya
No Unsur Ancaman (Eksternal) Bobot Rating Skor 1 Kurang adanya jaminan berusaha 0,237 4 0,948 2 Kebutuhan terhadap lahan untuk
peruntukan yang lain oleh masyarakat semakin meningkat. 0,206 3 0,618
3 Batas dan status lahan yang tidak jelas. 0,198 3 0,594 4 Perluasan hutan tanaman industri (HTI)
oleh pihak swasta. 0,150 3 0,450 5 Kebutuhan terhadap kayu yang semakin
meningkat mengakibatkan populasi pohon kemenyan jadi berkurang. 0,111 2 0,222
6 Perubahan kondisi fisik habitat kemenyan 0,098 1 0,098
TOTAL 1,000 2,930
Dengan digalakkannya pemberantasan illegal logging berimbas pada
suplai bahan baku kayu untuk pertukangan menjadi sangat berkurang. Bukan saja
harganya menjadi semakin mahal, tetapi juga sangat sulit diperoleh. Pada kondisi
seperti ini ditambah dengan desakan keperluan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, pohon kemenyan yang kualitasnya tidak kalah jauh dari jenis kayu
pertukangan diolah dan dijual. Hal ini tentunya berdampak juga terhadap
keberadaan jumlah populasi kemenyan.
Penurunan jumlah produksi getah kemenyan dari tiap batang diyakini
petani kemenyan sebagai akibat dari perubahan kondisi fisik habitat kemenyan.
Perubahan habitat yang dimaksudkan disini adalah peningkatan suhu udara
sebagai akibat dari pemanasan global. Petani kemenyan mungkin kurang bahkan
tidak mengerti apa itu fenomena pemanasan global tapi mereka sudah merasakan
dampaknya. Peningkatan suhu udara berpengaruh terhadap kualitas getah
kemenyan dimana getah yang seharusnya membentuk gumpalan pada rongga di
dalam kulit kayu (mata kasar) menjadi meleleh dan keluar ke permukaan (tahir).
Penurunan kualitas akan diikuti dengan penurunan harga. Selain karena
peningkatan suhu udara, perubahan fisik habitat tanaman kemenyan yang
dimaksudkan adalah berkurangnya kesuburan tanah. Sudah sejak berpuluh-puluh
tahun tanah menopang pertumbuhan tanaman kemenyan tanpa perlakuan
pemberian pupuk tambahan. Nutrisi tanah hanya disuplai dari dekomposisi
biomassa yang membusuk (pupuk organik). Ketika pupuk organik berupa humus
ini juga diambil petani untuk keperluan pertanian maka secara langsung akan
menurunkan kesuburan tanah. Penurunan tingkat kesuburan tanah ini tentunya
akan berdampak langsung pada penurunan kuantitas dan kualitas getah kemenyan.
5.5. Diagram SWOT Pengelolaan Hutan Kemenyan
Berdasarkan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-
faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang telah dijelaskan diatas maka diagram
SWOT dapat disusun. Nilai-nilai pengaruhnya (skor) yang sudah diketahui,
masing-masing akan dihitung selisihnya yaitu dengan cara menghitung selisih
total nilai pengaruh kekuatan terhadap kelemahan serta nilai pengaruh peluang
diselisihkan terhadap nilai ancaman.
Hasil analisa menunjukkan bahwa total nilai pengaruh peubah strategi
internal berupa unsur kekuatan adalah sebesar 2,646 dan unsur kelemahan sebesar
3,352, sehingga selisih kedua peubah internal ini diperoleh -0,706. Demikian juga
untuk peubah eksternal, diketahui bahwa nilai total pengaruh unsur peluang
adalah sebesar 3,107 dan nilai total pengaruh unsur ancaman adalah sebesar
2,930. Dengan menghitung selisih nilai total pengaruh ini maka diperoleh nilai
0,177.
Dengan menggabungkan kedua nilai selisih antara kekuatan terhadap
kelemahan serta peluang terhadap ancaman, maka diperoleh sebuah titik
koordinat, yaitu titik koordinat (-0,706 ; 0,177). Dengan menggambarkan titik
dimaksud pada Diagram SWOT maka diketahui berada pada kuadran/sel 3 seperti
pada Gambar 6. Diagram SWOT di atas menunjukkan bahwa situasi pengelolaan
hutan kemenyan berada pada kuadran/sel ketiga.
Gambar 6. Diagram SWOT strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.
Melihat situasi ini menurut (Rangkuti 2008) bahwa kondisi pengelolaan
hutan kemenyan tidak menguntungkan, walaupun dari sisi ekternal memiliki
peluang, namun dari sisi internal memiliki kelemahan. Apabila kondisi
pengelolaan hutan kemenyan di lapangan mengalami seperti situasi yang
disampaikan di atas, maka strategi yang direkomendasikan adalah meminimalkan
kelemahan-kelemahan (internal) sehingga dapat mempergunakan,
mengoptimalkan dan merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround
oriented strategy).
5.6. Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Kemenyan
Berdasarkan unsur kekuatan dan kelemahan yang dimiliki serta
memadukannya dengan unsur peluang dan ancaman seperti terlihat pada diagram
SWOT, maka ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan
pengelolaan hutan kemenyan ke depan yang melibatkan beberapa stakeholder,
seperti: petani kemenyan, pemerintah, peneliti dan pihak swasta. Strategi ini
tentunya berupaya untuk mereduksi kelemahan-kelemahan internal untuk
merebut, memanfaatkan dan mengoptimalkan peluang yang ada (weakness-
opportunity). Strategi-strategi pengembangan prioritas yang dapat dilakukan,
antara lain:
a. Mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dari dinas
kehutanan terhadap petani kemenyan. Penyuluhan akan sangat membantu
petani kemenyan dalam hal peningkatan kapasitasnya dan juga penyebaran
informasi.
b. Membentuk kelompok tani dan/atau koperasi di tingkat desa untuk
menghindari spekulasi harga yang dilakukan oleh para agen pengumpul.
Keberadaan kelompok tani dan koperasi akan banyak menguntungkan petani
kemenyan tentunya tetap dengan fasilitasi dari pemerintah.
c. Pengawasan terhadap sistem pemasaran getah kemenyan. Peran ini diemban
oleh pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan untuk menghindari
praktek-praktek monopoli dan spekulasi para pengumpul yang dapat
merugikan para petani kemenyan.
d. Pengelolaan hutan kemenyan dilakukan dengan sistem budidaya intensif untuk
meningkatkan produksi getah kemenyan serta mengkombinasikan dengan
tanaman yang tahan naungan, misalnya dengan kopi melalui sistem
agroforestri.
e. Penggunaan bibit tanaman kemenyan unggul untuk meningkatkan
produktivitas getah dan juga mempercepat usia dipanen (berproduksi).
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan pada saat sekarang ini memungkinkan
untuk melakukan pemuliaan pohon untuk menghasilkan tanaman kemenyan
yang unggul.
Selain strategi prioritas (WO) sesuai diagram SWOT, strategi-strategi
alternatif lain (SO, ST dan WT) juga harus dilakukan sebagaimana yang disajikan
pada Gambar 7. Strategi-strategi alternatif ini dilakukan bersama-sama dengan
strategi prioritas untuk mewujudkan pengelolaan hutan kemenyan yang lebih baik.
Strategi-strategi pengembangan lainnya yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Membangun dan memperluas hutan kemenyan sebagai bagian dari upaya
rehabilitasi lahan, perbaikan kualitas dan daya dukung lingkungan, dan juga
sebagai upaya melestarikan pengelolaan hutan kemenyan sebagai bagian dari
budaya dan kearifan lokal dari petani kemenyan.
b. Melakukan kajian-kajian dan penelitian-penelitian terhadap aspek-aspek
sosial, ekonomi dan sosial yang output-nya bermanfaat dalam pengembangan
hutan kemenyan. Upaya ini dapat dilakukan dengan menyediakan dana dan
menggandeng peneliti-peneliti.
c. Memperpendek daur tanaman sesuai dengan umur tanaman berproduksi
maksimal dan puncak pertambahan voume pohon, sehingga pada akhir daur
kayunya juga dapat dipanen (pola hutan rakyat).
d. Meningkatkan nilai jual getah kemenyan menjadi bahan setengah jadi ataupun
bahan jadi. Upaya ini sangat mungkin dilakukan dengan melakukan kerja
sama antara petani, pemerintah dan pihak swasta.
e. Mencari investor dan memberikan iklim investasi yang kondusif. Melihat dan
memanfaatkan peluang pasar yang ada tentunya pemerintah dapat
mempromosikan komoditi getah kemenyan untuk menggaet pihak swasta
untuk berinvestasi.
f. Pemerintah memberikan jaminan berusaha terhadap petani kemenyan dengan
memberikan payung hukum sebagai hutan desa ataupun hutan kemasyarakatan
yang sekarang lagi diprogramkan oleh Pemerintah Pusat (Kementerian
Kehutanan).
g. Membatasi dan memplot wilayah-wilayah yang dapat dikonversi untuk
peruntukan lain. Upaya ini dapat diselaraskan dengan tata ruang kabupaten
ataupun kecamatan. Tentunya yang menjadi daerah dengan fungsi lindung
sebaiknya tidak dilakukan konversi peruntukannya.
h. Memberikan dan menetapkan batas-batas antara kawasan hutan negara dan
hutan masyarakat melalui kegiatan penataan batas, sehingga konflik mengenai
status kepemilikan lahan akan mampu direduksi baik antara masyarakat
dengan pihak swasta maupun antara masyarakat dengan pemerintah.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Secara keseluruhan dari hasil penelitian ini, ada beberapa hal yang dapat
dijadikan sebagai kesimpulan, antara lain:
1. Pengelolaan hutan kemenyan merupakan bagian dari budaya dan kearifan
lokal masyarakat khususnya petani kemenyan yang diwariskan secara turun-
temurun. Dengan pemilikan kebun kemenyan rata-rata petani memperoleh
penghasilan rata-rata sebesar Rp 13.233.500/tahun (60,69% dari pendapatan
total) dan melalui analisa finansial menyimpulkan bahwa hutan kemenyan
layak diusahakan, walaupun nilai penghasilan bersih yang diperoleh sangat
rendah sehingga kurang kompetitif dibandingkan dengan usaha komoditas
lain, maka agar lebih kompetitif pengembangan hutan kemenyan perlu
dipadukan dengan tanaman semusim yang ekonomis.
2. Petani dalam mengelola hutan kemenyan menghadapi banyak permasalahan
baik dari internal maupun eksternal. Kelemahan dari sisi internal, antara lain:
kurangnya informasi pasar, harga getah kemenyan yang tidak stabil,
pengelolaan hutan kemenyan yang belum disertai dengan budidaya intensif,
waktu menghasilkan (panen) tanaman kemenyan membutuhkan waktu yang
relatif lama dan sumberdaya manusia (pendidikan) masih relatif rendah.
Sementara ancaman dari sisi eksternal, diantaranya : kurang adanya jaminan
berusaha, kebutuhan terhadap lahan untuk peruntukan yang lain semakin
meningkat, batas dan status lahan yang tidak jelas, perluasan hutan tanaman
industri (HTI) oleh pihak swasta, kebutuhan terhadap kayu yang tinggi dan
perubahan kondisi fisik habitat kemenyan.
3. Strategi pengembangan yang direkomendasikan adalah strategi meminimalkan
kelemahan-kelemahan (internal) untuk mempergunakan, mengoptimalkan dan
merebut peluang yang dimiliki (support a turnaround oriented strategy)
seperti mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dari dinas
kehutanan terhadap petani kemenyan, membentuk kelompok tani dan/atau
koperasi di tingkat desa, pengawasan terhadap sistem pemasaran getah
kemenyan, sistem budidaya intensif dengan pola agroforestri dan penggunaan
bibit tanaman kemenyan unggul.
6.2. Saran
Tegakan kemenyan yang dibudidayakan masyarakat sekarang pada
umumnya berasal dari anakan yang tumbuh secara alami yang tentunya apabila
dilihat dari segi kualitas, tentunya kurang terjamin. Untuk meningkatkan produksi
getah yang berimbas pada peningkatan penghasilan petani, dalam peremajaan
tanaman sebaiknya menggunakan bibit kemenyan unggul hasil pemuliaan pohon.
Walau membutuhkan biaya tambahan untuk membeli bibit, tetapi hasil yang akan
diperoleh ke depannya akan jauh lebih baik.
Pengelolaan hutan kemenyan ke depan masih memerlukan penelitian-
penelitian yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi getah,
misalnya penelitian untuk menghasilkan tanaman yang cepat berproduksi serta
informasi pada umur berapa tanaman kemenyan berproduksi maksimal perlu
untuk diketahui. Penelitian juga diperlukan untuk mengkaji diversifikasi produk
dari bahan-bahan yang terkandung dalam getah kemenyan.
Diperlukan peran aktif dan insentif dari pemerintah untuk mendorong dan
merangsang tumbuhnya hutan kemenyan dengan pola agroforestri yang terarah,
baik sebagai upaya pemanfaatan kawasan hutan maupun upaya rehabiltasi lahan
sehingga memberikan hasil yang optimal. Peran pemerintah juga diharapkan
dalam hal standarisasi harga getah, perbaikan mekanisme pasar, penggalian
pangsa pasar dalam negeri untuk menyerap produksi getah kemenyan serta
pembenahan dalam pengelompokan kelas mutu getah. Pengelompokan getah
sebaiknya tidak hanya berdasarkan besar butiran dan warna, tetapi juga dilihat
kandungan senyawa kimianya.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi O. 2003. Perspektif Sosiologis Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Pembangunan Kehutanan. Warta FKKM, Vol. IV No. 1, Januari 2003.
Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Jogjakarta. [BPS Kabupaten Humbang Hasundutan] Badan Pusat Statistik Kabupaten
Humbang Hasundutan. 2009. Humbang Hasundutan dalam Angka 2008. Dolok sanggul: BPS Kab. Humbang Hasundutan.
[BPS Provinsi Sumatera Utara] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.
2008. Sumatera Utara dalam Angka 2008. Medan: BPS Provinsi Sumut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007a. Instrumen Kehutanan Global. Jakarta:
Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007b. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 35
Tahun 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007c. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 37
Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 49
Tahun 2008 tentang Hutan Desa. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19
Tahun 2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Jakarta: Dephut.
Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Sutomo S dan
Mangiri K, Penerjemah. Edisi ke-2. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Economic Analysis of Agriculture Project.
Hamzirwan. 2 November 2010. Setahun Kabinet: Mewujudkan Hutan yang
Prorakyat. Kompas: 21 (kolom 1 - 6). Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat Di pulau
Jawa [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Jayusman. 1997. Kajian Sistem Pemasaran Getah Kemenyan (Styrax sp.): Studi
Kasus di Desa Simasom, Pahae Julu–Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Buletin Penelitian Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 13 Nomor 1.
Karo-karo H. 2010. Analisis Usahatani Kopi di Kecamatan Simpang Empat,
Kabupaten Karo. http://repository.usu.ac.id/123456789/7507/1/10E00068. [9 November 2010].
Kashio M, Johnson DV. 2001. Monograph on Benzoin (Balsamic Resin from
Styrax species). Bangkok: FAO Regional Office for Asia and the Pacific. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Rencana Strategis (Renstra)
Kementerian Kehutanan Tahun 2010 – 2014. Jakarta: Kemenhut. Keraf AS. 2006. Etika Lingkungan. Cetakan ke-3. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas. Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Cetakan ke-6. Bogor Selatan: Penerbit Ghalia
Indonesia. Nurrochmat DR. 2001. Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter terhadap Usaha
Kehutanan Masyarakat: Kemenyan di Tapanuli Utara. Di dalam: Darusman D, Editor. Resiliensi Kehutanan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Debut Press.
Rangkuti F. 2008. Analisa SWOT Tehnik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi
Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pasaribu BA dan Sipayung W. 1999. Petunjuk Teknis Budidaya Kemenyan
(Styrax spp). Konifera. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 2 Nomor 1.
Sajidiman. 1999. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Edisi Keempat. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Sarifuddin et al. 2004. Dampak Pembukaan Hutan terhadap Potensi Sumber
Daya Lahan dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sasmuko SA. 1995. Sifat Fisis dan Kimia Getah Kemenyan. Buletin Penelitian
Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 11 Nomor 2.
Sasmuko SA. 1996a. Pengaruh Cara Penyadapan Terhadap Produksi Getah
Kemenyan (Styrax sumatrana J.J.SM). Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 12 Nomor 2.
Sasmuko SA. 1996b. Hubungan Antara Umur Pohon dan Produksi Getah pada
Penyadapan Getah Kemenyan (Styrax sumatrana J.J.SM). Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 12 Nomor 3.
Sasmuko SA. 1998a. Pengaruh Pemberian Ethrel terhadap Produksi Getah
Kemenyan (Styrax sumatrana J.J.SM). Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 14 Nomor 1.
Sasmuko SA. 1998b. Pengolahan dan Tata Niaga Kemenyan di Sumatera Utara.
Makalah Utama Ekspose Hasil Penelitian BPK-PS. Pematang siantar. Sasmuko SA. 2003. Potensi Pengembangan Kemenyan Sebagai Komoditi Hasil
Hutan Bukan Kayu Spesifik Andalan Propinsi Sumatera Utara. Makalah Seminar Nasional Himpunan Alumni – IPB dan HAPKA Fakultas Kehutanan IPB. Wilayah Regional Sumatera. Medan.
Singarimbun M dan Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Penerbit
Pustaka LP3ES. Supriadi P. 2003. Prospek Pengelolaan Jasa Lingkungan dan Hasil Hutan bukan
Kayu dalam Mendukung Kebijakan Soft Landing Pengelolaan Hutan. Makalah Seminar Nasional Himpunan Alumni – IPB dan HAPKA Fakultas Kehutanan IPB. Wilayah Regional Sumatera. Medan.
Start D, Hovland I. 2004. Tools for Policy Impact: A Handbook for Researchers.
London: Overseas Development Institut. Yuniandra F. 1998. Pemasaran Getah Kemenyan (Styrax Spp) di Kabupaten
Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara. Di dalam: Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Bogor: Institut Pertanian Bogor dan The Ford Foundation.