kajian perubahan penggunaan lahan untuk … · penataan pola ruang kawasan ... untuk menyusun...
TRANSCRIPT
KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
UNTUK ARAHAN PENATAAN POLA RUANG KAWASAN
HUTAN PRODUKSI GEDONG WANI PROVINSI LAMPUNG
ARIYADI AGUSTIONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Kajian Perubahan
Penggunaan Lahan Untuk Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi
Gedong Wani Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
ARIYADI AGUSTIONO
NIM A156120354
RINGKASAN
ARIYADI AGUSTIONO. Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Arahan
Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Provinsi Lampung.
Dibimbing oleh SANTUN R.P SITORUS dan HARIADI KARTODIHARDJO.
Berdasarkan UU No 41/1999 tentang kehutanan, fungsi utama hutan
produksi adalah memproduksi hasil hutan, baik kayu, non kayu maupun jasa lingkungan. Akan tetapi, hal ini tidak ditemui pada kawasan hutan produksi Gedong Wani Provinsi Lampung, karena kawasan ini telah berkembang menjadi desa definitif dengan penggunaan lahan berupa pemukiman, ladang dan perkebunan sehingga kawasan hutan tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan desa dalam kawasan hutan, menganalisis penggunaan lahan dan perubahannya pada periode tahun 2000-2013, menganalisis besarnya pengaruh faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan terhadap perubahan penggunaan lahan dalam kawasan hutan, memprediksi penggunaan lahan dalam kurun waktu 13 tahun ke depan dan merumuskan arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan agar berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Penelitian dilakukan di kawasan hutan produksi Gedong Wani yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Timur. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) untuk analisis perkembangan desa digunakan analisis skalogram,(2) analisis penggunaan lahan melalui interpretasi Citra Satelit Landsat TM. 5 tahun 2000 dan TM 8 Tahun 2013, sedangkan analisis perubahan penggunaan lahan melalui operasi tumpang susun (overlay) dengan bantuan Sistem Informasi Geografi (SIG), (3) prediksi penggunaan lahan dengan pendekatan model spasial Cellular Automata, (4) untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan ditinjau dari aspek fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan menggunakan regresi logistic binner dan (5) untuk menyusun arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi dengan sintesis analisis penggunaan lahan dan perkembangan desa serta mempertimbangkan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan menurut UU No 41/1999.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 39 desa di kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan tingkat perkembangan paling tinggi pada tahun 2011 yaitu desa Jati Baru kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan. Perubahan penggunaan lahan periode tahun 2000 ke 2013 adalah peningkatan luas perkebunan rakyat dan area terbangun, serta penurunan luas ladang dan hutan. Ditinjau dari aspek fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan, faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang dan area terbangun adalah kebijakan penggunaan kawasan hutan dan pertambahan jumlah penduduk. Peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan banyak terjadi pada lahan yang telah dibebani izin resmi penggunaan kawasan hutan untuk industri dan lahan yang telah dibebani hak izin tukar menukar kawasan hutan untuk pengembangan kota baru Lampung serta lahan-lahan yang belum dibebani hak/izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, sedangkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat banyak terjadi pada jenis tanah Ultisol. Prediksi penggunaan lahan tahun 2026
berdasarkan asumsi perilaku perubahan penggunaan lahan pada periode tahun sebelumnya, menunjukkan peningkatan luas perkebunan rakyat dan area terbangun serta penurunan luas ladang dan hutan.
Arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi adalah dengan mengatur penggunaan lahan existing sesuai mekanisme pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi menurut UU No 41/1999 yaitu menambah luas tegakan hutan melalui rehabilitasi lahan pada tipe penggunaan lahan ladang dan perkebunan rakyat melalui mekanisme pemanfaatan kawasan hutan dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolan kawasan hutan, serta melokalisir penggunaan lahan untuk area terbangun sebagai area tidak efektif produksi hasil hutan. Prioritas pembangunan kehutanan diarahkan pada antisipasi untuk mengurangi efek penyebaran (spread effect) perkembangan wilayah yang relatif tinggi terhadap wilayah sekitarnya, utamanya pada kecamatan Tanjung Bintang dan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan.
Kata kunci: arahan, desa, kawasan hutan produksi, penggunaan lahan,
prediksi
SUMMARY
ARIYADI AGUSTIONO. Study of Land-use change for referral of spatial
pattern arrangement in the Gedong Wani Production Forest Area, Lampung
Province. Supervised by SANTUN R.P SITORUS and HARIADI
KARTODIHARDJO.
According to Law No. 41/1999 regarding Forestry, production forest has
principal function of producing timber forest products, non- timber and other
environment services. However, it is not found in the Gedong Wani production
forest area Lampung province, as the region has grown to become the definitive
rural land uses such as residential, farm and forest plantations that do not function
as intended. This study aims : (1) to analyze the development of the village in a
forest area, (2) to analyze land use and land use changes in the period 2000-
2013, (3) to analyze influence of physical factors of land, demography and forest
land use policies on land use change in forest area, (4) to predict landuse within a
period of 13 years ahead and (5) to formulate policy directives of spatial patterns
arrangement of forest area in order to function as intended.
The study was conducted in Gedong Wani production forests area in South
Lampung and East Lampung regencies. The method was used as follow : (1) to
analyze of rural development using schallogram analysis, (2) to analyze land use
through interpretation of satellite imagery Landsat 5 TM in 2000 and Landsat 8
TM In 2013, landuse changed analysis through overlay with Geographic
Information Systems (GIS), (3) landuse prediction with Cellular Automata
approach, (4) to analyze physical aspects of the land , demography and landuse
forest policies that influence land use through regression logistic Binner, (5) to
formulate refferal of spatial patterns arrangement of forest production area
through synthesis of land-use and rural development analysis with consider of
utilization and using of forest area according to Act No. 41/1999.
The results showed that there were 39 villages in GedongWani production
forest area with the highest growth rate in 2011 found in Jati Baru village
Tanjung Bintang districts South Lampung regency. Land-use change between
2000 and 2013 show an increase in smallholder plantation and built up area,
conversely, a decrease in extent of dry land cultivation and forests. In terms of the
physical aspects of the land, demography and landuse forest policy, the factors
that influence land use change into dry land cultivation and built up area are land-
use forest policy and addition of number of people. Land -use change posibility
occurs on land that has borrow-use permits of forest area for industrial and land
rights that have been change of forest land for development of the new city of
Lampung as well as lands that have not allocated the rights / permits and forest
use, while the chances of a change in land use to smallholder plantations occur on
Ultisol soil type. Prediction of land use in year of 2026 based on the assumption
of behavioral changes in land use in the periode of previous years, showed an
increase in smallholder plantations and built-up area, and decrease in dry land
cultivation and forest area.
Policy directives of spatial patterns arrangement of production forests is to
regulate the use of existing land use and the use of appropriate mechanisms of
production forest area according to Act No. 41/1999 which adds forest area
through rehabilitation in dry land cultivation and smallholder plantations with
community-based forest management mechanisms, as well as localizing land use
of built up area for an area established as ineffective for the current forest
production, and gradually build up collaboration for the ultimate goal to be
achieved. Furthermore, forestry development priorities aimed to anticipatien for
reducing the relative high spread effect of regional growth to the surrounding
areas, primarily in the Tanjung Bintang and Jati Agung districts, South Lampung
regency.
Keywords: direction, forest production, land use, prediction, village
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
UNTUK ARAHAN PENATAAN POLA RUANG KAWASAN
HUTAN PRODUKSI GEDONG WANI PROVINSI LAMPUNG
ARIYADI AGUSTIONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Widiatmaka, DAA
Judul Tesis : Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Arahan
Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani
Provinsi Lampung
Nama : Ariyadi Agustiono
NIM : A156120354
Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Ketua
Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS
Anggota
Diketahui Oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 4 Maret 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis
Nama NIM
Kajian Perubahan Penggunaan Laban Untuk Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Provinsi Lampung Ariyadi Agustiono A156120354
Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua Anggota
Diketahui Oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
- -Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Tanggal Ujian: 4 Maret 2014 Tanggal Lulus: 2 7 M A R 20 14
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 sampai dengan November 2013 ini adalah
penggunaan lahan di kawasan hutan produksi, dengan judul Kajian Perubahan
Penggunaan Lahan untuk Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi
Gedong Wani Provinsi Lampung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Santun R.P Sitorus
dan Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS selaku komisi pembimbing,
Bapak Dr Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi pembimbing serta Ibu
Dr Dra Khursatul Munibah, MSc selaku moderator ujian tesis. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada seluruh staf pengajar dan staf administrasi serta
rekan-rekan program studi ilmu perencanaan wilayah Institut Pertanian Bogor
atas ilmu, pelayanan dan semangat serta motivasinya. Kepada Pusbindiklatren
Bappenas diucapkan terimakasih atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Kehutanan
Provinsi Lampung dan Kepala UPTD KPH Gedong Wani beserta staf yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, ibu mertua, istri dan anak-anakku, serta seluruh keluarga, atas
doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Maret 2014
Ariyadi Agustiono
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN v
PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitiaan 4 Ruang Lingkup Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
Penataan Ruang 5 Hirarki Wilayah 6 Evaluasi Penggunaan dan Penutupan Lahan (Land Use dan Land
Cover) 6 Kawasan Hutan Produksi Dalam Pola Pemanfaatan Ruang 7 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya 8 Prediksi Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan 9 Kesesuaian Lahan 10
METODE PENELITIAN 11
Kerangka Pemikiran 11
Lokasi Dan Waktu Penelitian 13
Bahan dan Alat 14
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data 14
Metode dan Teknik Analisis Data 15
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 25
Sejarah Kelompok Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani 25 Tata Ruang Wilayah 26 Administrasi 27 Kependudukan 27 Mata Pencaharian 28
Karakteristik Fisik Wilayah 29
HASIL DAN PEMBAHASAN 32
Perkembangan Wilayah 32
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Produksi
Gedong Wani Tahun 2000 dan Tahun 2013 37
Analisis Pengaruh Faktor Fisik Lahan, Demografi dan Kebijakan
Penggunaan Kawasan Hutan Terhadap Perubahan Penggunaan
Lahan 43
Prediksi Penggunaan Lahan 48
ii
Arahan dan Skenario Kebijakan Penataan Pola Ruang Kawasan
Hutan Produksi Gedong Wani 53
SIMPULAN DAN SARAN 62 Simpulan 62 Saran 63
DAFTAR PUSTAKA 64
LAMPIRAN 68
RIWAYAT HIDUP 76
iii
DAFTAR TABEL
1. Matrik hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data,
teknik analisis dan keluaran pada setiap tahapan penelitian 16
2. Contoh matriks transformasi perubahan penggunaan lahan 19
3. Variabel bebas yang digunakan dalam model regresi logistik 20
4. Skoring kelas lereng 21
5. Skoring kelas jenis tanah 22
6. Skoring intensitas hujan 22
7. Kriteria kesesuaian lahan untuk ladang 23
8. Kriteria kesesuaian lahan untuk perkebunan rakyat 23
9. Jumlah penduduk dan keluarga pada kecamatan dalam kawasan hutan
produksi Gedong Wani 28
10. Ketinggian tempat (mdpl) pada kelompok kawasan hutan produksi
Gedong Wani 29
11. Kemiringan lereng di kawasan hutan produksi Gedong Wani. 29
12. Jenis tanah pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani 31
13. Nilai indek perkembangan desa dan penentuan hirarki wilayah 32
14. Jumlah desa pada setiap kecamatan berdasarkan tingkat hirarki 33
15. Perubahan hirarki desa tahun 2003 / 2011 36
16. Penggunaan/penutupan lahan di kawasan hutan produksi Gedong
Wani 38
17. Perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong
Wani dari tahun 2000 ke tahun 2013 40
18. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi
perkebunan rakyat 44
19. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi
area terbangun 46
20. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi
ladang 47
21. Luas lahan sesuai (S) dan tidak sesuai (N) pada berbagai tipe
penggunaan lahan 49
22. Prediksi penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani
tahun 2026 52
23. Keterkaiatan penggunaan lahan dengan fungsi dan peruntukan
kawasan hutan produksi 57
iv
DAFTAR GAMBAR
1. Bagan alir kerangka pemikiran 12
2. Tahapan alur penelitian 13
3. Lokasi penelitian 14
4. Diagram alir model Cellular Automata 24
5. Peta administrasi kawasan hutan produksi Gedong Wani. 27
6. Perubahan jumlah keluarga petani tahun 2003 dan 2011 di wilayah
kawasan hutan produksi Gedong Wani 28
7. Peta ketinggian tempat kelompok kawasan hutan produksi Gedong
Wani. 30
8. Peta kelas lereng tempat kelompok kawasan hutan produksi
Gedong Wani. 30
9. Peta jenis tanah tingkat ordo pada kelompok kawasan hutan
produksi Gedong Wani 31
10. Peta hirarki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong
Wani tahun 2003 35
11. Peta hirarki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong
Wani tahun 2011 35
12. Luas penggunaan/penutupan lahan pada kelompok kawasan hutan
produksi Gedong Wani tahun 2000 dan 2013. 38
13. Pola perubahan penggunaan 41
14. Peta penggunaan /penutupan lahan kelompok kawasan hutan
produksi Gedong Wani tahun 2000 42
15. Peta penggunaan /penutupan lahan kelompok kawasan hutan
produksi Gedong Wani tahun 2013 42
16. Kesesuaian lahan (a) area terbangun, (b) hutan, (c) ladang, (d)
perkebunan rakyat serta lokasi (e) perkebunan PTPN dan (f) tubuh
air. 50
17. Hasil validasi model prediksi penggunaan lahan pada berbagai
iterasi 51
18. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan
produksi Gedong Wani tahun 2000, 2013 dan 2026 52
19. Peta prediksi penggunaan lahan tahun 2026 52
21. Mekanisme pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi
berdasarkan UU No 41 tahun 1999 dan peraturan turunannya. 56
22. Peta arahan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani 61
v
DAFTAR LAMPIRAN
1. Data analisis skalogram pada data podes 2003 68
2. Data analisis skalogram pada data podes 2011 69
3. Citra landsat tahun 2000 dan 2013 70
4. Titik koordinat hasil referensi cek lapangan dan cek pada peta bing
map 71
5. Hasil analisis regresi logistik binner. 74
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia mempertahankan hidupnya dengan melakukan aktifitas
pemanfaatkan sumberdaya alam yang memiliki kecenderungan membentuk pola
dan struktur yang berdimensi ruang dan waktu. Pola pemanfaatan ruang
dicerminkan oleh gambaran percampuran atau keterkaitan spasial antar
sumberdaya dan pemanfaatannya. Pemanfaatan sumberdaya yang tersedia pada
ruang bersifat dinamis. Akan tetapi dinamika pemanfaatan ruang tidak selalu
mengarah pada optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang ada, hal ini terutama
disebabkan oleh terus meningkatnya kebutuhan ruang sejalan dengan
perkembangan kegiatan budidaya sementara keberadaan ruang bersifat terbatas.
Pola pemanfaatan ruang wilayah meliputi arahan pengelolaan kawasan lindung,
arahan pengelolaan kawasan budidaya, kawasan perkotaan dan perdesaan serta
kawasan prioritas.
Penetapan kawasan hutan1 merupakan salah satu cakupan dalam arahan
pola ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pada arahan tata ruang
kawasan hutan mempunyai fungsi khusus yaitu berfungsi lindung, konservasi, dan
untuk pendukung kehidupan serta segala ekosistemnya disamping juga sebagai
kawasan budidaya yang menghasilkan produk kehutanan yang dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan pengolahan kayu serta hasil
hutan non kayu. Peruntukan ruang kawasan budidaya pada kawasan hutan
meliputi hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP) dan hutan
produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Kawasan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok memproduksi hasil hutan2 (UU Nomor 41 tahun 1999). Dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRTM/M/2007 tentang pedoman dan
kriteria teknis kawasan budidaya, fungsi hutan produksi adalah : penghasil kayu
dan bukan kayu, daerah resapan air hujan untuk kawasan disekitarnya, membuka
penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat dan sumber pemasukan
dana bagi pemerintah daerah dalam bentuk dana bagi hasil.
Melihat manfaat yang begitu besar ini maka peran ganda manfaat kawasan
hutan produksi dapat berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun manfaat
untuk menjaga daya dukung lingkungan. Namun demikian keberadaan seluruh
manfaat dan fungsi kawasan hutan terletak pada berdirinya tegakan (standing
stock). Secara ekonomi manfaat dari penebangan kayu memberi peran 5% - 7%
dari seluruh manfaat hutan (Darusman 1999, Simangunsong 2003 dalam
Kartodihardjo, 2004). Fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan justru
1 Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Putusan MK Perkara Nomor 45
tentang pengujian konstitusionalitas pasal 1 ayat 3 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan)
2 Hasil hutan adalah komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat
nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. (Penjelasan
UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan)
2
memberi peran lebih besar yaitu antara 93% - 95% . Dengan demikian keberadaan
hutan bukan hanya terkait manfaat bagi pemilik dan/atau pengelola, tetapi juga
bagi masyarakat sekitar, wilayah, nasional dan global.
Kawasan hutan merupakan sumberdaya bersama (common pool resource)
yang secara de-jure keberadaannya dikuasai oleh Negara, akan tetapi secara de-
facto mempunyai sifat open acces yang berarti bahwa sifat sumberdaya ini
seolah-olah tanpa pemilik. Akibatnya banyak lahan kawasan hutan di Indonesia
dimanfaatkan secara illegal sehingga fungsi kawasan hutan tidak sesuai dengan
peruntukannya.
Laju deforestasi kawasan hutan tahun 2011 di Indonesia sebesar
478 618.1 ha/tahun (Kementrian Kehutanan, 2012) Besarnya laju kerusakan ini
mengindikasikan banyak kawasan hutan mengalami degradasi fungsi. Hal ini
menunjukkan lemahnya pengelolaan kawasan hutan negara di lapangan (de facto
open access) yang secara jelas menjadi penyebab berbagai kelemahan dan
kegagalan pembangunan kehutanan. Menyadari kelemahan tersebut Pemerintah
Pusat (Kementerian Kehutanan) bersama Pemerintah Daerah membentuk unit
pengelolaan kawasan hutan yang kemudian disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH). Salah satu KPH yang telah dibentuk adalah KPH Produksi Gedong Wani3
yang berada di Provinsi Lampung. KPH ini diberi otoritas melakukan pengelolaan
mulai dari penataan, perencanaan pengelolaan, rehabilitasi dan reklamasi,
penegakan hukum termasuk perlindungan dan pengamanan hutan serta
mengembangkan investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan
lestari di kawasan hutan produksi Gedong Wani.
Kawasan hutan produksi Gedong Wani secara administrasi terletak di
Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Timur dengan luas 30 243
ha (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2012). Tutupan lahan pada kawasan
hutan produksi Gedong Wani berdasarkan interpretasi Citra Landsat Tahun 2009
75.6 % adalah pertanian lahan kering, 13.6% pertanian lahan kering bercampur
semak, 9.2% pemukiman dan sisanya adalah semak belukar dan perkebunan
(Kementerian Kehutanan, 2011a).
Keberadaan pemukiman dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani
merupakan suatu daerah administrasi desa definitif. Jumlah desa definitif di
kawasan hutan produksi ini sebanyak 38 desa yang tersebar di 11 Kecamatan pada
2 Kabupaten yaitu Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Timur
(Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2012). Selain statusnya definitif, desa
dalam kawasan hutan Gedong Wani juga dilengkapi jenis fasilitas pelayanan baik
ekonomi, sosial maupun pendidikan yang jumlahnya terus meningkat dari tahun
ke tahun. Sehingga desa ini berkembang seperti halnya desa desa lainnya diluar
kawasan hutan.
Fenomena penggunaan lahan di KHP Gedong Wani merupakan bentuk
pertentangan antara aspek hukum dan aspek ekonomi. Dari aspek hukum status
lahan (land status) kawasan hutan produksi Gedong Wani merupakan wilayah
yang dikuasai oleh negara sehingga segala bentuk pemanfaatan dan penggunaan
ruang dalam kawasan tersebut harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
3 KPHP Gedong Wani ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.427/Menhut-
II/2011 tanggal 27 Juli 2011 seluas ± 30 243 ha. Landasan pembentukan organissasi KPHP
Gedong Wani di tingkat Pemerintah Daerah ditetapkan berdasarkan Peraturan Gubernur
Lampung Nomor 27 tahun 2010 tanggal 6 Agustus 2010
3
Sedangkan, dari aspek ekonomi pemanfaatan sumberdaya lahan dalam kawasan
hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dalam bentuk penggunaan
lahan untuk pemukiman beserta segala sarana prasarananya dan penggunaan
lahan untuk aktifitas budidaya pertanian non kehutanan yang belum sesuai
dengan aturan main dalam kebijakan kehutanan. Disamping itu kebutuhan
Pemerintah Daerah Provinsi Lampung yang mengusulkan pengalokasian ruang
dalam kawasan hutan melalui usulan perubahan peruntukan lahan secara parsial
kawasan hutan produksi Gedong Wani untuk pengembangan Kota Baru Lampung,
menjadi tantangan bagi pengelola KHP Gedong Wani untuk merencanakan
kawasan hutan agar dapat kembali berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Keterlanjuran pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak
sesuai dengan fungsi dan peruntukan merupakan realitas yang ada di KHP
Gedong Wani. Untuk itu, kajian perkembangan wilayah dan penggunaan lahan
dengan berbagai proses perubahannya sangat diperlukan sebagai titik tolak dalam
perencanaan kebijakan penataan kawasan hutan. Berbagai teknik analisis seperti
teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (SIG) dapat digunakan
untuk memberikan gambaran penggunaan lahan beserta perubahannya bahkan
meramalkan (forecasting) penggunaan lahan pada masa yang akan datang.
Selanjutnya, berpedoman pada peraturan perundang-undangan, hasil kajian
penggunaan lahan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengendalikan
pemanfaatan dan penggunaan lahan (pola ruang) di kawasan hutan produksi
Gedong Wani.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang menjadi fokus penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Belum diketahuinya secara kuantitatif tingkat perkembangan desa-desa dalam
kawasan hutan produksi terkait dengan jumlah dan jenis fasilitas yang
dimiliki.
2. Belum diketahunyai trend penggunaan lahan secara kuantitatif di kawasan
hutan produksi Gedong Wani dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
3. Belum diketahuinya besarnya pengaruh faktor fisik lahan, demografi dan
kebijakan penggunaan kawasan hutan terhadap perubahan penggunaan lahan
dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani.
4. Belum diketahuinya prediksi penggunaan lahan di masa yang akan datang
pada kawasan hutan produksi Gedong Wani berdasarkan asumsi prilaku
perubahan penggunaan lahan periode 10 tahun terakhir.
5. Belum adanya arahan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong
Wani yang mengarah pada fungsi dan peruntukan kawasan hutan sesuai
ketentuan.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, disusun pertanyaan penelitian
(research question) sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan wilayah desa-desa dalam kawasan hutan produksi
Gedong Wani?
2. Bagaimana penggunaan lahan dan perbahannya di kawasan hutan produksi
Gedong Wani dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (tahun 2000 dan 2013)?
4
3. Ditinjau dari aspek fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan
hutan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap terjadinya perubahan
penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani?
4. Bagaimana prediksi penggunaan lahan pada masa yang akan datang
berdasarkan asumsi perilaku perubahan penggunaan lahan pada kawasan
hutan produksi Gedong Wani?
5. Arahan kebijakan penggunaan lahan seperti apa yang dapat
direkomendasikan agar perubahan penggunaan lahan ke depan mengarah
pada terbentuknya pola ruang yang sesuai dengan fungsi dan peruntukan
kawasan hutan?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menyusun arahan kebijakan penataan pola
ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani berdasarkan kajian fisik lahan,
perkembangan wilayah dan peraturan perundang-undangan. Tujuan antara adalah
sebagai berikut:
1. Menganalisis tingkat perkembangan desa-desa dalam kawasan hutan produksi
Gedong Wani.
2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan pada kawasan hutan produksi
Gedong Wani tahun 2000 dan tahun 2013
3. Menganalisis besarnya pengaruh faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan
penggunaan kawasan hutan terhadap perubahan penggunaan lahan.
4. Memprediksi penggunaan lahan dalam kurun waktu 13 tahun ke depan
dengan menggunakan pendekatan model spasial.
5. Merumuskan arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi
Gedong Wani sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya.
Manfaat Penelitiaan
Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah khususnya
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan Pemerintah Pusat dalam hal ini
Kementerian Kehutanan dalam menyusun rencana tata ruang kawasan hutan
produksi Gedong Wani.
2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan bahan pustaka bagi penelitian-
penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan penekanan pada kajian aspek
fisik penggunaan lahan, perkembangan wilayah, dan kebijakan pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan produksi untuk tujuan memberikan arahan kebijakan
penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani yang sesuai dengan
5
fungsi dan peruntukannya. Oleh karena itu, batasan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Aspek fisik lahan yang dikaji meliputi penggunaan lahan melalui interpretasi
Citra Satelit resolusi rendah hingga menengah (Landsat TM 5 dan TM 8)
serta unsur-unsur fisik lahan untuk menentukan kelas kesesuaian lahan pada
setiap tipe tutupan/penggunaan lahan.
2. Aspek tingkat perkembangan wilayah dianalisis melalui jumlah dan jenis
fasilitas yang dimiliki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong
Wani.
3. Aspek kebijakan dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi tetap (HP)
TINJAUAN PUSTAKA
Penataan Ruang
Penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif atas kehidupan sosial
dan lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Secara
lebih spesifik, penataan ruang dilakukan sebagai : (1) Optimasi pemanfaatan
sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna
terpenuhinya efisiensi dan produktifitas, (2) Alat dan wujud distribusi sumberdaya
guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, serta (3)
Menjaga keberlanjutan (sustainability) pembangunan. Selain itu, tujuan penataan
ruang adalah upaya (4) menciptakan rasa aman dan (5) kenyamanan ruang
(Rustiadi et al. 2011)
Selanjutnya menurut Rustiadi et al. (2011) proses penataan ruang
mempunyai landasan-landasan penting yang perlu diperhatikan sebagai falsafah
yakni (1) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk
melakukan perubahan atau upaya mencegah terjadinya perubahan yang tidak
diinginkan; (2)menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa
sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan), (3)
disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk
mengimplementasikan perencanaan yang disusun, (4) upaya melakukan
perubahan yang lebih baik secara terencana (5) sebagai suatu sistem yang meliputi
kegiatan perencanaan, implementasi dan pengendalian pemanfaatan ruang dan (6)
dilakukan jika dikehendaki adanya perubahan struktur dan pola pemanfaatan
ruang, artinya tidak dilakukan tanpa sebab atau kehendak.
Optimasi penataan ruang kawasan hutan dilakukan berdasarkan
pertimbangan daya dukung, potensi, kebutuhan kayu dan kebutuhan non kayu,
resiko lingkungan dan DAS Prioritas. Pemanfaatan ruang kawasan hutan optimal
dicirikan oleh : memenuhi berbagai kebutuhan terhadap hasil hutan, memecahkan
masalah sosial dan lingkungan, dan melestarikan sumberdaya hutan (P4W, 2006)
Penelitian Damai (2006) di wilayah pesisir kota Bandar Lampung
memberikan arahan peruntukan ruang yang komprehensif bagi wilayah pesisir
6
Kota Bandar Lampung adalah meliputi ruang bagi pembenahan kawasan
perkotaan yang telah terbangun seluas 1 337 ha; ruang pengembangan pemukiman
dan prasarana wilayah seluas 1 250 ha; ruang penyangga seluas 1 037 ha; serta
perairan pelabuhan seluas 3 167 ha; perikanan tangkap tradisional seluas 1 510 ha
dan wisata seluas 195 ha.
Hirarki Wilayah
Wilayah didefinisikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu
dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi.
Hirarki suatu wilayah sangat terkait dengan hirarki fasilitas kepentingan umum di
masing-masing wilayah. Hirarki wilayah dapat membantu untuk menentukan
fasilitas apa yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing wilayah.
Fasilitas kepentingan umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi juga
kapasitas pelayanan dan kualitasnya. Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di
seluruh wilayah, tetapi kapasitas dan kualitas layanannya harus berbeda. Makin
maju suatu wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga makin
luas wilayah pengaruhnya (Tarigan 2005).
Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa secara teoritis hirarki wilayah
sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah
yangditunjukkanoleh kapasitas secara totalitas yang tidak terbatas infrastruktur
fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta
kapasitas perekonomiannya.
Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam
penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan
prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan
infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari (1) jumlah sarana pelayanan
(2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana pelayanan
(Rustiadi et al. 2011)
Hasil penelitian Muiz (2009) di Kabupaten Sukabumi dengan
menggunakan analisis skalogram dihasilkan hirarki desa pada setiap kecamatan
pada tahun 2006 yaitu desa dengan tingkat hirarki I adalah desa-desa dengan
tingkat perkembangan tinggi memiliki Indek Perkembangan Desa (IPD) > 128.7
sebanyak 26 desa dan terdapat pada 20 kecamatan. Desa dengan hirarki II yaitu
desa-desa yang memiliki tingkat perkembangan sedang dengan tingkat IPD antara
89.5 sampai 128.67 sebanyak 107 desa dan tersebar di semua kecamatan di
kabupaten Sukabumi kecuali kecamatan Bantargadung, Cidahu, Curugkembar,
Parakansalak dan Waluran. Desa dengan tingkat hirarki III yaitu desa-desa yang
memiliki tingkat perkembangan rendah, dengan IPD <89.75 adalah desa-desa
yang paling banyak jumlahnya di kabupaten Sukabumi.
Evaluasi Penggunaan dan Penutupan Lahan (Land Use dan Land Cover)
Definisi mengenai penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land
cover) pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan keadaan
fisik permukaan bumi. Liliesand dan Kiefer (1993) mendefinisikan penggunaan
7
lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan
penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi
lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut.
Sebagai contoh penggunaan lahan untuk permukiman yang terdiri dari atas
permukiman, rerumputan dan pepohonan.
Menurut Rustiadi et al. (2011) penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat
memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu tetapi sebenarnya memiliki
pengertian yang berbeda. Penggunaan lahan menyangkut aktifitas pemanfaatan
lahan oleh manusia, sedangkan penutupan lahan lebih bernuansa fisik.
Evaluasi pemanfaatan ruang aktual (eksisting) yang meliputi penggunaan
lahan dan penutupan lahan), diperlukan untuk menggambarkan kondisi fisik
wilayah secara aktual. Informasi pemanfaatan ruang aktual akan sangat membantu
dalam analisis potensi fisik suatu wilayah secara utuh. Untuk itu diperlukan alat
bantu yang mampu memberikan gambaran tutupan lahan secara luas, cepat,
konsisten dan terkini (up to date) yaitu citra satelit dengan alat analisisnya Sistem
Informasi Geografi (SIG).
Dari hasil interpretasi citra dan analisis GIS diperoleh hubungan antara data
atribut dan data spasial yang dapat ditampilkan secara bersamaan, sehingga
memudahkan evaluasi pemanfaatan ruang aktual. Hasil analisis SIG memberikan
berbagai informasi sumberdaya hutan, kawasan terbangun (built up), perairan
umum, kawasan kritis dan sebagainya. Berdasarkan hasil evaluasi, maka dapat
dilakukan berbagai analisis untuk perencanaan wilayah dan analisis kebijakan
pengembangan.
Kawasan Hutan Produksi Dalam Pola Pemanfaatan Ruang
Dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang
definisi pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
fungsi budidaya. Selanjutnya menurut Rustiadi et al. (2011) konsep pola
pemanfaatan ruang wilayah menunjukkan bentuk hubungan antar berbagai
aspek sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sosial
budaya, ekonomi, teknologi, informasi, administrasi, pertahanan keamanan,
fungsi lindung budidaya dan estetika lingkungan dimensi ruang dan waktu yang
dalam kesatuan secara utuh menyeluruh serta berkualitas membentuk tata ruang.
Adapun yang menjadi dasar dalam pertimbangan pemanfaatan ruang wilayah
adalah perkembangan wilayah, kebijakan pembangunan, potensi unggulan,
optimalisasi ruang untuk kegiatan, kapasitas serta daya dukung sumberdaya. Pola
pemanfaatan ruang wilayah meliputi arahan pengelolaan kawasan lindung, arahan
pengelolaan kawasan budidaya, kawasan perkotaan dan perdesaan serta kawasan
prioritas.
Peruntukan ruang kawasan budidaya merupakan pola pemanfaatan ruang
untuk aktifitas budidaya, baik pertanian maupun non pertanian. Peruntukan ruang
kawasan budidaya antara lain meliputi (1) Kawasan hutan produksi, yang terdiri
dari hutan produksi tetap (HP), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi
yang dapat di konversi (HPK), (2) Kawasan pertanian meliputi kawasan pertanian
pangan lahan kering, kawasan pertanian pangan lahan basah, kawasan
8
perkebunan, kawasan perikanan dan kawasan peternakan. (3) Kawasan
pemukiman, meliputi kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan
fungsi utama sebagai tempat tinggal. Kawasan perkotaan, kawasan yang
mempunyai fungsi sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial ekonomi budaya, dengan
tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/
PRT/M/2007 tentang pedoman kriteria teknis kawasan budidaya dijelaskan bahwa
fungsi utama kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan hutan produksi
mempunyai fungsi antara lain (1) penghasil kayu dan bukan kayu; (2) sebagai
daerah resapan air hujan untuk kawasan sekitarnya; (3) membantu penyediaan
lapangan kerja bagi masyarakat setempat (4) sumber pemasukan dana bagi
Pemerintah Daerah (dana bagi hasil) sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah.
Dalam hal pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi, radius atau
jarak yang diperbolehkan untuk melakukan penebangan pohon di kawasan hutan
produksi adalah :(a). > 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; (b)
>200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; (c)
> 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; (d) > 50 (lima puluh) meter dari
kiri kanan tepi anak sungai; > 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang dan >
130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi
pantai.
Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses
perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat
bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan konsekuensi logis dari
adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi
masyarakat yang sedang berkembang, baik untuk tujuan komersial maupun
industri. Kim et al. (2002) memandang perubahan penggunaan lahan sebagai
suatu sistem dimana penambahan populasi beberapa spesies biasanya
menyebabkan kerusakan spesies lainnya.
Barlowe (1986) menyatakan bahwa dalam menentukan penggunaan lahan
terdapat tiga faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu: faktor fisik lahan,
faktor ekonomi dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor kondisi sosial dan
budaya masyarakat setempat juga akan mempengaruhi pola penggunaan lahan.
Bila dicermati secara seksama faktor utama penyebab perubahan penggunaan
lahan adalah jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk berarti
pertambahan terhadap jumlah makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan
oleh sumber daya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat
dengan adanya pertambahan penduduk. Demikian pula permintaan terhadap hasil
non- pertanian, kebutuhan perumahan dan sarana prasarana. Peningkatan
pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan material ini cenderung
menyebabkan persaingan penggunaan lahan.
Mc.Neil et al. (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendorong
perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi, dan budaya.
9
Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan.
Pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan
faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di
suatu wilayah merupakan cerminan upaya manusia dalam memanfaatkan dan
mengelola sumberdaya lahan yang akan memberikan pengaruh terhadap manusia
itu sendiri dan kondisi lingkungannya.
Penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya faktor-faktor
(driving factors) seperti: faktor demografi (tekanan penduduk), faktor ekonomi
(pertumbuhan ekonomi), teknologi, policy (kebijakan), institusi, budaya dan
biofisik. Analisis perubahan penggunaan lahan mencari penyebab (driver)
perubahan land use dan dampak (lingkungan dan sosio ekonomi) dari perubahan
land use. Munibah (2008) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian adalah bentuk lahan, kemiringan
lereng, jenis tanah, curah hujan, jarak dari jalan raya dan mata pencaharian
masyarakat.
Dalam menentukan besarnya peluang faktor yang berpengaruh terhadap
perubahan penggunaan lahan dapat menggunakan analisis regresi logistik binner.
Analisis ini mengkaji hubungan pengaruh peubah-peubah penjelas (X) terhadap
peubah respon (Y) melalui persamaan matetamis dimana peubah penjelasnya
dapat berupa peubah kategorik maupun numerik. Dengan kata lain, analisis
regresi logistik merupakan suatu teknik untuk menerangkan peluang kejadian
tertentu dari kategori peubah respon. Salah satu ukuran asosiasi (ukuran keeratan
hubungan antar peubah kategorik) yang dapat diperoleh melalui analisis regresi
logistik adalah odd ratio (rasio odd). Odd sendiri dapat diartikan sebagai rasio
peluang kejadian sukses dengan kejadian tidak sukses dari peubah respon.
Adapun rasio odd mengindikasikan besarnya peluang, dalam kaitannya dengan
nilai odd, munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan
kelompok lainnya (Firdaus, et al. 2011).
Prediksi Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan
Untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan pada masa yang akan datang
perlu dilakukan peramalan (forecasting) terhadap lahan berdasarkan
penggunaannya saat ini. Analisis terhadap citra satelit pada berbagai titik tahun
dapat menggambarkan trend perubahan penggunaan lahan. Munibah (2008)
menyatakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk meramalkan/memprediksi
kondisi penggunaan lahan berdasarkan trend perubahan penggunaan lahan adalah
permodelan dengan pendekatan model Cellular Automata (CA).
Model Cellular Automata pertama kali diperkenalkan oleh Ulam dan Von
Neumann pada tahun 1940-an yaitu untuk membuat kerangka kerja formal
(formal framework) untuk meneliti perilaku sistem yang kompleks (Munibah,
2008). Model ini merupakan permodelan spasial dinamik yang beroperasi dalam
ruang dengan data raster dimana nilai data raster berbentuk diskrit (Purnomo,
2012).
Cellular automata memiliki karakteristik spasial berdasarkan sel yang
perubahannya tergantung pada sel-sel tetangganya. Sel-sel tersebut akan hidup
jika tiga atau lebih dari sel tetangganya hidup dan akan mati /berubah jika tiga
10
atau lebih sel tetangganya juga mati/berubah. Komponen utama Cellular
Automata adalah sel (cell), state, aturan dan fungsi perubahan (transition rule of
transition function) dan ketetanggaan (Chen et al.2002). Skenario perubahan
penggunaan lahan pada setiap piksel tergantung pada kesesuaian lahannya,
penggunaan lahan periode sebelumnya dan lahan tetangganya.
Hasil penelitian Hesaki (2012) di Cagar Biosfer Cibodas untuk prediksi
penggunaan lahan pada tahun 2023 dengan menggunakan model Cellular
Automata dinyatakan bahwa penggunaan lahan/penutupan lahan di Cagar Biosfer
adalah kebun campuran sebesar 34.34%, hutan 30.97%, pemukiman 23.39%
sawah 11.14%, edelweiss 0.08%, rumput/semak belukar 0.05% dan tubuh air
0.03%. Hasil prediksi ini menunjukkan adanya perambahan pada zona inti karena
terdapat penggunaan lahan selain hutan yang bertambah luasnya pada zona inti.
Kesesuaian Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan
sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Inti evaluasi kesesuaian lahan
adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan
yang diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan
yang akan digunakan (Sitorus 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)
Dalam sistem FAO (1976) klasifikasi kesesuaian lahan dibagi menjadi 4
(empat) kategori yaitu ordo, kelas, sub-kelas dan unit. Ordo, menunjukkan
apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Ordo
dibagi menjadi dua yaitu ordo S (Sesuai) dan N (Tidak Sesuai). Lahan pada ordo
S adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas
untuk suatu tujuan yang sedang dipertimbangkan. Sementara lahan yang termasuk
ordo N adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga
mencegah penggunaannya untuk tujuan tertentu. Lahan tidak sesuai karena
adanya berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-
batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil
dari biaya yang dikeluarkan).
Kelas menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan dan merupakan
pembagian lebih lanjut dari masing-masing ordo. Kelas diberi nomor urut yang
ditulis dibelakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang
makin jelek bila makin tinggi nomornya. Ada tiga kelas dari ordo tanah yang
sesuai yaitu S1 (Sangat Sesuai/ highly suitable), S2 (Cukup Sesuai/moderately
suitable), dan S3 (Sesuai Marginal/marginally suitable). Lahan pada kelas S1
adalah lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang
diberikan, atau mempunyai pembatas yang tidak berpengaruh nyata terhadap
kenaikan masukan yang diberikan. Lahan kelas S2 adalah lahan yang mempunyai
pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan
yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan
meningkatkan masukan yang diperlukan. Selanjutnya kelas S3 berarti lahan
mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat
pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan meningkatkan masukan yang
11
diberikan dan akan mengurangi produksi. Ordo Tidak Sesuai ada dua kelas yaitu
N1 (Tidak Sesuai Saat Ini/ currently not suitable) dan N2 (Tidak Sesuai
Permanen/permanentaly not suitable). Lahan dengan kelas N1 mempunyai
pembatas-pembatas yang besar, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, dengan
biaya yang tinggi. Keadaan pembatas yang besar, sehingga mencegah penggunaan
yang lestari dalam jangka panjang. Lahan pada kelas N2 merupakan lahan yang
tidak sesuai untuk selamanya yaitu lahan yang mempunyai pembatas permanen .
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Peruntukan kawasan untuk fungsi tertentu dalam rencana tata ruang
seharusnya diikuti oleh pemanfaatan/penggunaan lahan yang mengarah pada
tujuan dari rencana tata ruang itu sendiri. Tata ruang merupakan landasan
sekaligus sasaran pembangunan wilayah (Tarigan, 2005). Perkembangan wilayah
menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan wilayah. Perkembangan
wilayah pada kawasan yang tidak sesuai dengan tujuan peruntukannya akan
menjadi ancaman keberhasilan pembangunan kawasan yang fungsi dan
peruntukannya telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Kawasan hutan produksi Gedong Wani di Provinsi Lampung adalah salah
satu kawasan hutan yang telah dilakukan proses penetapan sebagai hutan tetap
melalui pengukuhan kawasan hutan serta termasuk dalam penetapkan kawasan
budidaya hutan produksi pada rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP)
Lampung tahun 2009-2029 (Perda Provinsi Lampung Nomor 01 Tahun 2010).
Berdasarkan UU No 41/1999 tentang kehutanan fungsi hutan produksi adalah
untuk memproduksi hasil hutan baik kayu maupun non kayu, penyedia lapangan
kerja serta jasa lingkungan.
Penggunaan lahan kawasan hutan produksi Gedong Wani untuk aktifitas
non kehutanan seperti pemukiman dan pertanian lahan kering menyebabkan
kawasan hutan tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Aktifitas non
kehutanan yang berkembang juga diikuti dengan perkembangan wilayah desa-
desa definitif dalam kawasan hutan. Hal ini akibat dari tidak berjalannya produk
kebijakan dan peraturan di lapangan. Selain itu, kurangnya informasi yang cukup
tentang penggunaan lahan bagi pemegang kebijakan menyebabkan kawasan
hutan dalam kondisi terbuka (open access) yang memudahkan siapapun untuk
memanfaatkan dan menggunakan lahan tanpa kontrol.
Untuk menata kembali pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi
Gedong Wani diperlukan informasi penggunaan lahan lebih spesifik pada kondisi
aktual maupun kondisi penggunaan lahan periode sebelumnya yang dapat
ditampilkan secara spasial. Selain itu, desa-desa definitif yang ada perlu dikaji
untuk mengetahui sejauhmana tingkat perkembangannya dalam kawasan hutan.
Hal ini menjadi titik tolak dalam penataan pola ruang pada kawasan hutan untuk
mencapai tujuan akhir yang diharapkan.
12
Untuk menganalisis perkembangan desa digunakan pendekatan
ketersediaan jumlah dan jenis fasilitas yang ada pada wilayah administrasi desa.
Sedangkan penggunaan lahan dan perubahannya dapat dianalisis dengan
memanfaatkan teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi. Kajian
perubahan penggunaan lahan/penutupan lahan pada periode tertentu dapat
memberikan informasi perilaku perubahan penggunaan lahan. Melalui pendekatan
model spasial, berdasarkan perilaku perubahan penggunaan lahannya dapat
dilakukan prediksi penggunaan lahan pada masa yang akan datang.
Selanjutnya dengan mempertimbangkan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang ada, hasil analisis dan kajian dalam penelitian ini
disintesiskan untuk menyusun arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan
hutan produksi Gedong Wani agar dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Bagan alir kerangka pemikiran tertera pada Gambar 1 dan tahapan alur penelitian
pada Gambar 2
Kawasan Hutan Produksi
Penggunaan Lahan dan Perubahannya
Pola Perubahan Penggunaan Lahan
Identifikasi Perkembangan
Wilayah Desa
Prediksi Penggunaan Lahan
Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi
Gedong Wani
Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran
Perkembangan desa dalam
kawasan hutan
Penggunaan lahan kawasan
hutan tidak sesuai dengan
fungsi dan peruntukan
Fungsi dan peruntukan sesuai UU No 41/1999
Fakta
Titik
tolak
Arah Kajian Kebijakan Pemanfaatan Dan Penggunaan
Kawasan Hutan Sesuai Peraturan Perundang-Undangan
Kondisi Aktual
Tujuan
13
Lokasi Dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian adalah di kelompok kawasan hutan produksi Gedong
Wani dengan posisi geografis 1000 15’ -100
0 35’ Bujur Timur (BT) dan 05
010’-
05035’ Lintang Selatan (LS) dengan luas wilayah 30 243 ha yang secara
Interpretasi dan
Klasifikasi
Peta Penggunaan
Lahan
Tahun 2000 dan
2013
Deteksi
Perubahan
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan
penggunaan lahan ditinjau dari aspek fisik , demografi
dan kebijakan penggunaan kawasan hutan
Prediksi Penggunaan Lahan
pada masa yang Akan Datang
Atribut
Regresi Logistik Binner
Hirarki Desa
Dalam Kawasan
Hutan
Matrik Transformasi
Perubahan
Peta Kesesuaian
Lahan
Indeks
Perkembangan
Desa
Analisis
Skalogram
Citra Landsat
Tahun 2000-
2013
Analisis Cellular Automata
Peta Administrasi, Peta
Batas Kawasan Hutan
Produksi, Peta
Tanah, Kelerengan , Peta
Elevasi. Curah Hujan
Metode
Matching
Peta ijin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan, Dan
Tukar-menukar Kawasan
Hutan
Kebijakan Pemanfaatandan
Penggunaan Kawasan Hutan
Produksi
Pengumpulan Data
Data Podes
Tahun 2003
dan 2011
Kebijakan
Kehutanan
Kebijakan
Tata Ruang
Kajian
Kebijakan
Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan
Produksi Gedong Wani
Gambar 2. Tahapan alur penelitian
14
administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung
Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai dengan November
2013, mulai dari penyusunan proposal, pengambilan data di lapangan, pengolahan
data dan penulisasn Tesis. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Cira Landsat tahun
2000 dan 2013, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), Peta SRTM, peta RTRW
(Rencana Tata Ruang Wilayah) Provinsi Lampung, peta administrasi desa
kabupaten Lampung Timur dan kabupaten Lampung Selatan, peta satuan lahan
dan tanah, peta lereng, peta batas kelompok kawasan hutan produksi Gedong
Wani, data Podes tahun 2003 dan 2011 Kabupaten Lampung Timur dan Lampung
Selatan serta dokumen dan peraturan yang berkaitan dengan perencanaan wilayah
dilokasi penelitian.
Alat yang digunakan adalah Receiver GPS, Kamera Digital dan seperangkat
komputer yang dilengkapi dengan software : ArcGIS 9.3.1, ERDAS Imagine 9.1,
Idrisi Selva, SPSS 16 serta Microsoft Excel.
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer meliputi :
(1) Interpretasi penutupan/penggunaan lahan dari data penginderaan jauh (Citra
Landsat TM 5 tahun 2000 dan Citra Landsat TM 8 tahun 2013), interpretasi
kemiringan lereng dan elevasi dari peta Shuttle Radar Topographic Mission
Gambar 3. Lokasi penelitian
15
(SRTM), data spasial jarak terhadap jalan raya dan pemetaan kesesuaian lahan
serta (2) pengamatan lapangan untuk verifikasi penggunaan lahan.
Data sekunder untuk data fisik lahan meliputi peta satuan lahan dan tanah
dari peta satuan lahan dan tanah lembar Tanjung Karang Sumatera proyek LREP
(Land Resource Evaluation and Planning), peta ijin penggunaan kawasan hutan,
dan peta curah hujan. Data sekunder untuk data sosial meliputi jumlah penduduk,
jumlah jenis dan fasilitas desa, mata pencaharian dengan sumber data potensi
desa (PODES) tahun 2003 dan 2011 serta data kecamatan dalam angka. Matrik
hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis, dan keluaran
yang diharapkan tertera pada Tabel 1.
Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis Perkembangan Wilayah Desa-Desa dalam Kawasan Hutan Produksi
Penentuan perkembangan wilayah didekati dengan indeks perkembangan dan
hirarki wilayah dengan menggunakan analisis skalogram. Analisis dilakukan pada
unit wilayah desa. Input data yang digunakan adalah data podes tahun 2003 dan
tahun 2011 dengan parameter yang diukur jumlah dan jenis fasilitas serta jarak
terdekat untuk mengakses fasilitas tersebut. Hasil analisis digambarkan pada peta
administrasi dimana kawasan hutan produksi Gedong Wani berada untuk
dianalisis secara spasial.
Prosedur kerja analisis skalogram adalah sebagai berikut (Panuju, et al.
2010):
a. Memilih variabel yang digunakan sebagai penyusun indeks hirarki. Dalam
pemilihan ini, variabel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu variabel positif
(Kelompok A) dan variabel negatif (Kelompok B). Variabel positif adalah
variabel yang semakin besar nilainya mencirikan wilayah dengan tingkat
perkembangan lebih tinggi. Sebaliknya, variabel negatif adalah variabel yang
semakin besar nilainya mencirikan hirarki atau tingkat perkembangan yang
lebih rendah. Contoh kelompok A adalah jumlah fasilitas sedangkan contoh
kelompok B adalah variabel jarak menuju fasilitas, waktu tempuh dan ongkos
tempuh ke fasilitas tertentu.
b. Menyusun matriks data dalam sheet yang berbeda
c. Menghitung indeks fasilitas per 1000 penduduk pada kelompok A
d. Menghitung Invers Indeks data pada kelompok B dengan menggunakan
persamaan Bij =1/Xij, dimana Bij adalah indeks invers data sedangkan Xij
adalah nilai data wilayah I variabel ke j
e. Menghitung bobot indeks penciri untuk variabel kelompok A dengan
persamaan Iij= Xijn/Xij αj, dimana i=1,2,….,n menunjukkan jumlah wilayah
dan j=1,2,…,p menunjukkan jumlah variabel penciri. Data ini untuk
menghitung nilai minimum dan standar deviasi untuk kebutuhan tahapan
berikutnya.
No Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Keluaran
1
Analisis tingkat perkembangan
desa-desa dalam kawasan
hutan
Data jumlah dan jenis
fasilitas
Data jumlah penduduk
data aksesibilitas
(Data Podes tahun 2003
dan tahun 2011)
BPS, P4W IPB, BPS
Provinsi Lampung
Analisis Skalogram - Hirarki desa dalam
kawasan hutan
- Indeks perkembangan
desa
2 Analisis perubahan
penggunaan lahan dalam
kawasan hutan
Citra landsat Tahun
2000 dan 2013, Peta
batas kawasan hutan
produksi Gedong Wani
Biotrop, EarthExplorer
USGS, Planologi
Kementerian Kehutanan
Teknik interpretasi citra
dengan metode klasifikasi
tidak terbimbing dan
interpretasi visual
Overlay SIG
- Peta penggunaan
lahan
- Matrik perubahan
penggunaan lahan
3 Analisis pengaruh faktor fisik
lahan, demografi dan
kebijakan penggunaan
kawasan hutan terhadap
perubahan penggunaan lahan
Keluaran tujuan 1 dan
2, peta tanah, peta
lereng, peta jarak dari
jalan, peta jumlah
penduduk, peta pinjam
pakai dan tukar menukar
kawasan hutan
- Keluaran tujuan 1 dan 2
- Balai Besar Penelitian
Sumberdaya Lahan
Kementan,
- Dinas Kehutanan
Provinsi Lampung.
Overlay
Regresi Logistik
Faktor-faktor yang
diduga berpengaruh
terhadap perubahan
penggunaan lahan.
4 Prediksi penggunaan lahan
selama 13 tahun mendatang
Peta kesesuaian lahan
dan matrik tranformasi
perubahan penggunaan
lahan
- Keluaran tujuan 2
- Peta Kesesuaian Lahan.
Simulasi Model Cellular
Automata
Overlay
Peta prediksi
penggunaan lahan 13
tahun kedepan
5 Merumuskan arahan kebijakan
penataan pola ruang kawasan
hutan produksi Gedong Wani
Keluaran tujuan 3,
Keluaran tujuan 4,
Kebijakan-
kebijakan/Peraturan
Perundang-undangan
- Kementerian Kehutanan
- Dinas Kehutanan
Provinsi Lampung,
Bappeda Provinsi
Lampung
- Sintesis keluaran tujuan
3 dan tujuan 4 dengan
kebijakan peraturan
perundang-perundangan
- Overlay SIG
Arahan dan skenario
kebijakan penataan pola
ruang kawasan hutan
produksi Gedong Wani.
Tabel 1. Matrik hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran pada setiap tahapan penelitian
17
f. Melakukan pembakuan indeks untuk seluruh variabel termasuk variabel
kelompok A dan kelompok B, sehingga hasil akhir adalah indeks baku yang
diperoleh dari persamaan berikut:
Kij = (Xij-min(Xj)
Sj
Kij adalah nilai baku indeks hirarki untuk wilayah ke-i dan ciri ke-j, Iij adalah
nilai bobot indeks penciri untuk wilayah ke-i dan ciri ke-j, min (Xj) adalah
nilai minimum indeks pada ciri ke-j, dan Sj adalah standar deviasi.
g. Mengkelaskan wilayah. Hirarki wilayah dalam hal ini dibagi menjadi 3 yaitu
tinggi, sedang dan rendah. Untuk menyusun kelas hirarki dari indeks baku ini
maka terlebih dahulu dicari parameter-parameter rataan Xj dan standar
deviasi. Wilayah dengan Hirarki I (Tingkat perkembangan tinggi) adalah
wilayah-wilayah yang nilai jumlah indeks bakunya paling tidak sama dengan
nilai rataan ditambah dengan standar deviasi. Wilayah berhirarki II adalah
wilayah dengan nilai hirarki paling tidak sama dengan nilai rataan indeksnya.
Wilayah berhirarki III adalah wilayah dengan nilai indeks hirarki kurang dari
nilai rataan indeks diseluruh wilayah.
Hirarki 1 ƩKij> Rataan (Kij) + Stdev (Kij)
Hirarki 2 Rataan (Kij)<ƩKij < Rataan (Kij) + Stdev (Kij)
Hirarki 3 ƩKij < Rataan (Kij).
Analisis Penggunaan Lahan dan Deteksi Perubahan
Tahapan yang digunakan pada interpretasi citra landsat tahun 2000 dan
tahun 2013 untuk mengklasifikasikan penutupan/penggunaan lahan di kawasan
hutan produksi Gedong Wani adalah sebagai berikut:
a. Pemotongan Batas Area Penelitian
Pemotongan batas area penelitian diperlukan untuk melakukan clip citra
landsat untuk memperoleh wilayah yang akan dianalisis, yaitu kawasan hutan
produksi Gedong Wani.
b. Rektifikasi Citra
Citra Landsat terlebih dahulu dilakukan rektifikasi/koreksi geometri agar
posisinya sesuai dengan posisi objek di permukaan bumi.
c. Klasifikasi Penutupan/Penggunaan Lahan
Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan
metode klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) yaitu
klasifikasi citra satelit yang secara otomatis diputuskan oleh komputer
dengan tidak menggunakan training set area atau campur tangan operator
dalam pengelompokan gugus-gugus spektral. Campur tangan operator baru
dilakukan setelah gugus spektral terbentuk, yaitu menandai tiap gugus
sebagai objek tertentu (Danoedoro, 2012).
18
Kombinasi band yang digunakan adalah band 5,4,3 (RGB) pada citra landsat
TM 5 tahun 2000 dan kombinasi band 6,5,4 (RGB) pada citra landsat TM 8.
Kombinasi band ini memberikan rona natural colour yang menampakan
informasi terbaik dalam identifikasi penutupan lahan.
Dalam penentuan identifikasi objek, pertimbangan kenampakan objek
(klasifikasi manual) secara visual digunakan sebagai pertimbangan/alat bantu
dalam identifikasi hasil klasifikasi tidak terbimbing. Hasil interpretasi ini
hanya dapat membedakan tiga tipe penutupan lahan yaitu tutupan lahan
bervegetasi, lahan terbuka dan tubuh air. Karena pada dasarnya klasifikasi
multispectral secara langsung hanya dapat diterapkan untuk pemetaan
penutupan lahan (land cover), dan bukan penggunaan lahan (land use). Aspek
penggunaan lahan diturunkan dari informasi penutup lahannya dengan cara
melalui pemasukan informasi bantu atau ancillary data (Donoedoro, 2012).
Dengan informasi bantu dari data RTRW, peta-peta tematik kehutanan, citra
SPOT tahun 2010, Bing Map dan ground cek lapangan serta informasi dari
petugas di lapangan dan masyarakat, maka dari tiga tipe penutupan lahan
tersebut diturunkan ke dalam enam tipe penggunaan lahan yaitu area
terbangun, hutan, perkebunan rakyat, ladang, perkebunan PTPN dan tubuh
air. Hasil interpretasi citra landsat kemudian digunakan sebagai peta
penutupan/penggunaan lahan tahun 2000 dan 2013 pada skala 1 : 50.000.
Pengertian dari enam tipe penggunaan lahan tersebut sebagian mengacu
pada sistem standar nasional Indonesia (SNI) nomor 7645 tahun 2010
tentang klasifikasi penutupan lahan dan sebagian yang lain penggunaan
istilah dan pengertiannya dimodifikasi untuk memperjelas batasan antara
satu tipe penggunaan lahan dengan tipe penggunaan lahan yang lainnya.
Area terbangun dicirikan oleh adanya subtitusi penutup lahan yang bersifat
alami atau semi alami oleh penutup lahan yang bersifat artificial dan biasanya
kedap air. Dalam interpretasi yang termasuk kategori area terbangun adalah
pemukiman dan jaringan jalan.
Untuk hutan dicirikan dengan liputan vegetasi dominan dan tekstur agak
kasar, bentuk tekstur hutan pada lokasi penelitian mirip dengan bentuk
tekstur perkebunan PTPN, untuk itu informasi bantu dari petugas lapangan
dan masyarakat digunakan untuk memutuskan suatu tipe penggunaan lahan
termasuk hutan atau kebun.
Tipe penggunaan lahan untuk ladang merupakan area yang digunakan untuk
kegiatan pertanian dengan jenis tanaman semusim di lahan kering. Dalam
interpretasi ini, adanya masa bera pada ladang sehingga menyebabkan area
terbuka dan ketidakmampuan interpreter mengidentifikasi penggunaan lahan
untuk tanaman padi sawah tadah hujan maka area terbuka dan pertanian
sawah tadah hujan termasuk dalam kategori ladang.
Perkebunan adalah lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa
pergantian tanaman selama 2 tahun. Ada dua tipe perkebunan di lokasi
penelitian yaitu perkebunan PTPN dan perkebunan rakyat. Perkebunan PTPN
adalah perkebunan yang diusahakan oleh PTPN, batas area ini merupakan
area konflik tumpang tindih antara kehutanan dengan PTPN, informasi bantu
dari instansi kehutanan digunakan untuk memutuskan tipe penggunaan lahan
19
perkebunan PTPN. Perkebunan rakyat adalah perkebunan yang diusahakan
oleh rakyat, dalam interpretasi lokasi perkebunan rakyat bersifat menyebar
bercampur dengan pemukiman dan ladang. Selanjutnya, untuk tipe
penggunaan lahan tubuh air dicirikan dengan penampakan perairan.
Kategori tubuh air dalam penelitian ini adalah sungai, rawa, waduk dan atau
genangan air.
Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara tumpang
susun (overlay) peta penggunaan lahan tahun 2000 dengan peta penggunaan lahan
tahun 2013. Analisis perubahan penggunaan lahan menghasilkan matriks
transformasi perubahan penggunaan lahan dengan contoh matriks ditampilkan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Contoh matriks transformasi perubahan penggunaan lahan
Tipe
Penutupan/Penggunaan Lahan
Tahun t1
Jumlah
Tah
un
t0
Area
Terbangun Hutan
Ladan
g
Perkebuna
n PTPN
Perkebuna
n Rakyat
Tubuh
Air
Area Terbangun
Area
Terbangun t0
Hutan
Hutan t0
Ladang
Ladang t0
Perkebunan PTP
Perkebunan
PTPN t0
Perkebunan
Rakyat
Perkebunan
Rakyat t0
Tubuh Air
Tubuh Air t0
Jumlah Area
Terbangun t1 Hutan
t1 Ladan
g t1 Perkebunan PTPN t1
Perkebuna
n Rakyat
t1
Tubuh Air t1
Keterangan:
Analisis Pengaruh Faktor Fisik Lahan, Demografi dan Kebijakan Penggunaan
Kawasan Hutan Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan
Analisis pengaruh faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan
kawasan hutan terhadap perubahan penggunaan lahan didekati dengan
persamaan regresi logistic biner (logit model). Data hasil peta perubahan
penggunaan lahan di-overlay dengan faktor-faktor yang diduga berpengaruh
terhadap perubahan penggunaan lahan (Tabel 3.). Perubahan tipe penggunaan
lahan ke tipe penggunaan lahan lainnya dicari peluang perubahannya dengan
persamaan umum logit model yaitu:
Dimana :
P(i/r) peluang lahan i berubah menjadi lahan r dalam hal ini perubahan
penggunaan lahan (Pi/r) yang dianalisis adalah:
a). Perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat
P (i/r) = e
[b0r + Ʃ bjr Xj]
1 + e[b0r + Ʃ bjr Xj]
: tidak berubah : berubah
20
Nilai 0, bila tidak terjadi perubahan lahan ke perkebunan rakyat
Nilai 1, bila terjadi perubahan penggunaan lahan ke perkebunan rakyat
b).Perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun
Nilai 0, bila tidak terjadi perubahan penggunaan lahan menjadi area
terbangun
Nilai 1, bila terjadi perubahan penggunaan lahan menjadi area
terbangun
c). Perubahan penggunaan lahan menjadi ladang
Nilai 0, bila tidak teradi perubahan penggunaan lahan ke ladang
Nilai 1, bila terjadi perubahan penggunaan lahan menjadi ladang
b0 Intersept untuk perubahan menjadi penggunaan lahan r
bj r parameter koefisien variabel ke-j untuk perubahan menjadi penggunaan r
r penggunaan lahan jenis ke-1, ke-2,….dan ke-n
Xj variabel bebas faktor penyebab ke-1, ke-2…..ke-n
Tabel 3. Variabel bebas yang digunakan dalam model regresi logistik
Variabel Bebas (X) Variabel Bebas (X)
Kelerengan (%)
Perubahan Hirarki
Wilayah
0% - 3% Hirarki 1 ke 2*
3% - 8% Hirarki 1 ke 3
8% - 15% Hirarki 2 ke 1
15% - 17%* Hirarki 2 ke 2
Hirarki 2 ke 3
Jenis Tanah Hirarki 3 ke 1
Inceptisol* Hirarki 3 ke 2
Ultisol Hirarki 3 ke 3
Jarak dari jalan (m)
Pertambahan Jumlah
Penduduk (Jiwa)
0-250 380 – 1096* (rendah)
250-500 1 097 – 1 813 (sedang)
500-1000 1 814-2 530 (tinggi)
1000-2000
2 531 – 3 247 (sangat
tinggi)
2000-4000 * Kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
HGU Perkebunan PTPN*
Belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan
Pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan Izin resmi penggunaan kawasan hutan untuk
industri
Pinjam pakai kawasan hutan ke pendidikan
Tukar menukar kawasan hutan
*Kontrol
21
Pembuatan Peta Kesesuaian Lahan
Peta kesesuaian lahan yang dibuat sesuai dengan tipe peggunaan lahan hasil
interpretasi citra satelit yaitu area terbangun, hutan, ladang, perkebunan PTPN,
perkebunan rakyat dan tubuh air. Adapun kelas kesesuaian lahan yang digunakan
hanya dua, yaitu sesuai (S) dan tidak sesuai (N).
Parameter yang digunakan untuk analisis kesesuaian area terbangun
mengacu kriteria kesesuaian lahan untuk tempat tinggal (gedung) dalam
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dengan kriteria kesesuaian lahan yang
digunakan hanya mempertimbangkan lereng dan banjir. Kemiringan lereng 0-8%,
kemiringan 8-15% adalah sesuai (S) sedangkan kemiringan di atas 15% tidak
sesuai (N). Selanjutnya, terkait dengan banjir, lahan yang tanpa banjir adalah
sesuai (S) untuk pemukiman sedangkan lahan jarang-sering banjir termasuk
kategori tidak sesuai (N) untuk pemukiman.
Kesesuaian untuk tipe penggunaan lahan hutan mengacu pada Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/1981 tentang Kriteria dan Tata
Cara Penetapan Hutan Produksi. Walaupun lokasi penelitian sudah ditetapkan
sebagai kawasan hutan produksi tetap, akan tetapi evaluasi lahan berdasarkan
ketentuan peraturan tersebut digunakan untuk melihat relevansi antara peraturan
dengan kesesuaian lahan aktualnya sebagai kawasan hutan yang mempunyai
fungsi budidaya untuk pengembangan hutan tanaman.
Kriteria fisik kesesuaian untuk hutan produksi memperhatikan dan
memperhitungkan lereng (kemiringan) lapangan, jenis tanah dan intensitas hujan.
Untuk keperluan penilaian fisik wilayah, setiap parameter tersebut dibedakan
dalam 5 tingkatan (kelas) yang diuraikan dengan tingkat kepekaannya terhadap
erosi. Skoring fisik wilayah ditentukan oleh total nilai kelas ketiga parameter
setelah nilai kelas parameter dikalikan dengan bobot 20 untuk parameter lereng,
bobot 15 untuk parameter jenis tanah dan bobot 10 untuk parameter intensitas
hujan. Parameter skoring untuk kesesuaian hutan ditunjukkan pada Tabel 4.,
Tabel 5. dan Tabel 6.
Berdasarkan hasil penjumlahan skoring ketiga parameter tersebut suatu
wilayah dinyatakan sesuai untuk hutan produksi tetap apabila mempunyai nilai
skoring <125, hutan produksi terbatas dengan nilai skoring 125 – 175 dan hutan
lindung dengan nilai skoring > 175.
Tabel 4. Skoring kelas lereng
Kelas
Lereng
Kisaran
Lereng (%) Keterangan Hasil Nilai Kelas x Bobot
1 0 - 8 datar 20
2 >8 - 15 landai 40
3 >15 - 25 agak curam 60
4 >25 - 45 curam 80
5 > 45 sangat curam 100
Sumber : Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/1981
22
Tabel 5. Skoring kelas jenis tanah
Kelas
Tanah Kelompok Jenis Tanah
Kepekaan Terhadap
Erosi
Hasil Nilai
Kelas x
Bobot
1 Aluvial. Tanah glei, planosol, hidromorf
kelabu, Laterit air tanah
tidak peka 15
2 Latosol agak peka 30
3 Brown forest soil, Non calcic kurang peka 45
4 Andosol, Lateritic Grumusol, Podsolik peka 60
5 Regosol, Litosol, Organosol, Rendzina sangat peka 75
Sumber : Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/1981
Tabel 6 Skoring intensitas hujan
Kelas
Intensitas
Hujan
Kisaran Curah Hujan Keterangan Hasil Nilai
Kelas x Bobot
1 8 -13.6 sangat rendah 10
2 >13.6 – 20.7 rendah 20
3 >20.7 – 27.7 sedang 30
4 >27.7 – 34.8 tinggi 40
5 > 34.8 sangat tinggi 50
Sumber : Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/1981
Parameter yang digunakan untuk kesesuaian penggunaan lahan ladang
mengacu pada kriteria kesesuaian lahan pertanian tanaman pangan lahan kering
dalam hal ini karena di lokasi penelitian banyak dijumpai tanaman ubi kayu
(Manihot esculenta) maka pendekatan parameter kesesuaian lahannya
menggunakan kesesuaian ubi kayu. Kriteria kesesuaian lahan untuk ladang
ditunjukkan pada Tabel 7.
Parameter kesesuaian lahan untuk tipe penutupan lahan perkebunan rakyat
mengacu pada kriteria kesesuaian lahan tanaman tahunan sebagaimana tertera
pada Tabel 8. Parameter untuk kriteria kesesuaian lahan tubuh air berdasarkan
asumsi bahwa kesesuaiannya mengikuti penggunaan lahan aktualnya. Pembuatan
peta kesesuaian lahan tiap tipe penggunaan lahan di kawasan hutan produksi
Gedong Wani dilakukan dengan metode matching dengan menumpangsusunkan
(overlay) peta-peta tematik sesuai dengan parameter yang ada.
23
Tabel 7. Kriteria kesesuaian lahan untuk ladang
No Parameter Sesuai (S) Tidak Sesuai (N)
1 Curah hujan rata-rata tahunan 600-5000 mm < 600 mm dan >
5000 mm
2 Jumlah bulan kering ≤ 7 > 7
3 Kedalaman efektif > 25 cm >10cm
4 Kelas besarnya butir pada
zona perakran
sangat halus,
halus,agak kasar,
agak halus, sedang
kasar
5 Batuan Permukaan < 40% ≥ 40%
6 Kemiringan lereng ≤ 16% > 16 %
7 Elevasi* ≤ 1000 mdpl > 1000 mdpl
8 Kelas drainase baik,agak terhambat,
agak cepat,sedang,
terhambat
Sangat terhambat,
cepat
9 Banjir F0, F1 F2, F3,F4
Sumber : Kriteria kelompok tanaman pangan Ubi Kayu (Djaenudin et al. 2011),
*Kriteria tanaman pangan lahan kering (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007)
Tabel 8. Kriteria kesesuaian lahan untuk perkebunan rakyat
No Parameter Sesuai (S) Tidak Sesuai (N)
1 Curah hujan rata-rata
tahunan
1250 mm-4000 mm > 4000 mm & <
1250 mm
3 Kedalaman efektif ≥ 50 m < 50 m
4 Kelas besar butir pada
zona perakaran
berliat, berdebu halus,
berlempung halus,
berdebu halus dan
kasar
berliat, berdebu
halus & kasar,
berlempung
halus dan kasar,
berpasir (bukan
kuarsa)
berskeletal
5 Batuan Permukaan < 50% ≥ 50%
6 Kemiringan lereng < 45% ≥ 45 %
7 Elevasi ≤ 1000 mdpl > 1000 mdpl
8 Kelas drainase cepat, agak cepat, baik cepat,agak cepat,
agak terhambat,
terhambat
9 Banjir F0, F1 F2, F3,F4
Sumber: Kriteria kesesuaian tanaman tahunan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007)
Prediksi Penggunaan Lahan
Prediksi penggunaan lahan dengan pendekatan model spasial perubahan
penggunaan lahan berdasarkan prilaku perubahan penggunaan lahan pada selang
24
waktu tertentu yang dilakukan dengan metode Cellular Automata (CA). Cellular
automata merupakan model yang bersifat dinamis yang mengintegrasikan dimensi
ruang dan waktu (Susilo, 2013). CA adalah suatu permodelan berbasis spasial
yang mampu memprediksi kondisi di waktu yang akan datang dari interaksi lokal
antar sel pada grid yang teratur (Manson 2001; Hand 2005), dimana sel
merepresentasikan penggunaan lahan. Aturan (rule) dibuat sebagai pertimbangan
tetangganya yang menjadi dasar perubahan penggunaan lahan. CA terdiri dari
beberapa komponen yaitu cell (piksel), state, ketetanggaan/ neighbourhood dan
transition ruler / transition function. Skenario perubahan penggunaan lahan pada
setiap piksel tergantung pada kesesuaian lahannya, penggunaan lahan periode
sebelumnya dan penggunaan lahan tetangganya. Pengaruh ketetanggaan artinya
perubahan penggunaan lahan pada suatu piksel akan dipengaruhi oleh penggunaan
lahan pada piksel tetangganya.
Proses permodelan dilakukan pada software IDRISI dengan menjalankan
modul cellular automata-Markov (CA-Markov). Modul ini diproses dengan
mengkombinasikan Modul Markov Chain yang menghasilkan Transitional
Probability dan MOLA (Multi-Objective Land Allocation) yang melakukan proses
iterasi untuk mendapatkan komposisi akhir. Transtitional probability didapat dari
modul Markov Chain dengan menumpangsusunkan penggunaan lahan pada dua
titik tahun. Diagram alir model Cellular Automata tertera pada Gambar 4.
Markov Chain
Penggunaan
Lahan t0
(Tahun 2000)
Penggunaan
Lahan t1
(Tahun 2013)
Kesesuaian
LahanCA Markov
Matrik Transitional
Probability t0 dan t1
Prediksi
Penggunaan
Lahan t1
Validasi
CA Markov
Prediksi Penggunaan Lahan 2026
Iterasi
Iterasi
Filter 5 x 5
Peta kesesuaian lahan menjadi salah satu input pada model dimana peta
memiliki dua kelas yaitu Suitable (S) dan Non suitable (N) dimana masing-
masing kelas diberi bobot yang kemudian dinormalisasi pada filter matriks dengan
Gambar 4. Diagram alir model Cellular Automata
25
ukuran yang ditentukan. Filter matriks ini sifatnya bergerak secara horizontal
atau vertikal dalam melakukan analisis ketetanggaan pada suatu peta raster.
Selanjutnya proses akan menghasilkan peta prediksi penggunaan lahan dengan
peta penggunaan lahan pada titik waktu tertentu sebagai titik awal (t0).
Kajian Kebijakan
Kajian kebijakan dilakukan dengan analisis isi (content analysis) terhadap
produk kebijakan yang telah dikeluarkan. Analisis ini merupakan sebuah teknik
mendapatkan deskripsi hubungan isi teks produk kebijakan (peraturan
perundangan dan peraturan formal lainnya) dengan fokus kajian penelitian.
Kebijakan yang dikaji adalah kebijakan yang berkaitan dengan peraturan
pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi.
Penyusunan Arahan dan Skenario Kebijakan Penataan Pola Ruang Kawasan
Hutan Produksi Gedong Wani
Penyusunan arahan dan skenario kebijakan penataan pola ruang kawasan
hutan produksi Gedong Wani dilakukan melalui sintesis terhadap analisis
perkembangan wilayah, analisis penggunaan lahan serta mempertimbangkan
mekanisme pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan berdasarkan Undang-
undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Hasil skenario dan arahan
kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani disajikan
dalam bentuk uraian deskriptif dan ditampilkan secara spasial
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Kelompok Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani
Kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani adalah kawasan hutan
produksi tetap (HP) yang merupakan pengelompokan dari 4 (empat) Register
kawasan hutan produksi tetap yaitu KHP Way Ketibung I Reg. 5; KHP Way
Ketibung II Reg. 35; KHP Way Kibang Reg 37 dan KHP Gedong Wani Reg. 40.
Kawasan hutan ini ditetapkan sejak jaman Belanda yang berlangsung antara
tahun 1933 sampai dengan 1941. Pada saat itu Lampung merupakan wilayah
keresidenan yang secara administrasi termasuk dalam provinsi Sumatera Selatan.
Penetapan dilakukan dengan keputusan (Besluit) Residen. Masing-masing
keputusan tersebut adalah: KHP Way Ketibung I Reg 5 telah ditunjuk
berdasarkan Besluit Resident Lampung District No. 308 tanggal 31 Maret 1941;
KHP Way Ketibung II Reg 35 telah ditunjuk berdasarkan Besluit Resident
Lampung District No. 99 tanggal 7 Februari 1933; KHP Way Kibang Reg 37
telah ditunjuk berdasarkan Besluit Resident Lampung District No 311 tanggal
26
31 Maret 1941 dan KHP Gedong Wani Reg 40 telah ditunjuk berdasarkan Besluit
Resident Lampung District No. 372 tanggal 12 Juni 1937.
Pada tahun 1970an Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
mengeluarkan kebijakan hak pengusahaan hutan kultur (HPHK) pada kelompok
kawasan hutan produksi Gedong Wani yang pengelolaannya diserahkan kepada 9
(sembilan) perusahaan diantaranya adalah, PT Mitsugoro, PT. Herma, PT.
Lampung Pelletezing Factory (LPF) dan PT. Jadico untuk menanam palawija
(jagung, sorgum dan singkong). Menurut Hartoyo (2013) sejak PT. Mitsugoro
bangkrut tahun 1979, mantan buruh yang bekerja di PT. Mitsugoro kemudian
diberi lahan kompensasi untuk pemukiman, dan transmigrasi lokal di bekas lahan
PT Mitsugoro dan PT Herma. Keberadaan pemukiman ini kemudian berkembang
menjadi desa-desa yang lokasinya sampai saat ini masih berstatus kawasan hutan
negara.
Kawasan hutan produksi ini ditunjuk sebagai kawasan hutan melalui
Keputusan Menteri Kehutanan nomor 67/Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991
tentang Penunjukan Areal Hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Lampung
berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan. Pada tahun 1992 dilakukan penaataan
batas luar untuk wilayah kabupaten Lampung Timur dengan pengesahan Berita
Acara Tata Batas (BATB) oleh Panitia Tata Batas tanggal 26 Maret 1996 dan
pengesahan BATB oleh Menteri Kehutanan tanggal 10 April 1997. Pada tahun
1995/1996 dilakukan penataan batas untuk wilayah kabupaten Lampung Selatan
dengan pengesahan BATB oleh Panitia Tata Batas tanggal 29 Maret 1996 dan
pengesahan BATB oleh Menteri Kehutanan tanggal 6 Oktober 1998. Selanjutnya,
pada tahun 1996, Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor 338/Kpts-
II/1996 memberikan izin hutan tanaman industri (HTI) kepada PT Dharma Hutan
Lestari (perusahaan patungan PT Inhutani V dan PT LPF). Akan tetapi, sejak
reformasi tahun 1998 perusahaan tidak dapat beroperasi akibat kawasan hutan
produksi Gedong Wani diokupasi oleh masyarakat.
Pada tahun 2000, Menteri Kehutanan dan Perkebunan kembali
mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Januari 2000
tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Provinsi Lampung
dan masih mempertahankan kawasan ini menjadi kawasan hutan produksi tetap.
Pada tahun 2010, Menteri Kehutanan menetapkan kelompok kawasan hutan
ini menjadi wilayah kelola KPHP Gedong Wani, dan pada tahun 2011
ditindaklanjuti dengan mencabut ijin HTI PT Darma Hutan Lestari melalui Surat
Keputusan Nomor 248 /Menhut-II/ 2011 tanggal 2 Mei 2011.
Tata Ruang Wilayah
Penguatan status hukum kelompok kawasan hutan produksi Gedung Wani
sebagai kawasan peruntukan budidaya kehutanan juga terdapat dalam rencana tata
ruang wilayah provinsi (RTRWP) Lampung dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten (RTRWK) Lampung Selatan dan Lampung Timur, yang masing-
masing terdapat dalam peraturan daerah provinsi Lampung nomor 1 tahun 2010
tentang tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Lampung, peraturan daerah
kabupaten Lampung Selatan nomor 12 tahun 2012 tentang tata ruang wilayah
kabupaten (RTRWK) Lampung Selatan dan Peraturan daerah kabupaten Lampung
27
Timur nomor 04 tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten
(RTRWK) Lampung Timur.
Administrasi
Kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani secara adminsitrasi
terletak di Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Lampung Selatan Provinsi
Lampung. Secara geografis kawasan ini terletak pada 105º 17’ 40” sampai
dengan 105º 32’ 35” Merdian Timur dan 05º 10’ 00” sampai dengan 05º
32’ 30” Lintang Selatan. Pada kawasan ini terdapat 39 Desa yang tersebar di
11 kecamatan. Masing-masing adalah 27 desa pada 6 kecamatan termasuk dalam
wilayah administrasi kabupaten Lampung Selatan dan 11 desa pada 5 kecamatan
termasuk dalam wilayah administrasi kabupaten Lampung Timur (Gambar 5.)
Selain itu, wilayah kawasan hutan produksi Gedong Wani merupakan
daerah hinterland dari kota Bandar Lampung, karena kecamatan Jati Agung,
Natar, Tanjung Bintang dan Merbau Mataram secara geografis posisinya
berbatasan langsung dengan kota Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi
Lampung.
Kependudukan
Jumlah penduduk yang berada pada desa-desa yang masuk dalam wilayah
kawasan hutan produksi Gedong Wani pada tahun 2003 berjumlah 132 789 jiwa
dari 31 649 keluarga dan pada tahun 2011 meningkat jumlahnya jadi 150 424
jiwa dari 40 487 keluarga (Tabel 9). Dari data tersebut menunjukkan peningkatan
Gambar 5. Peta administrasi dan jumlah penduduk di kawasan hutan
produksi Gedong Wani.
28
jumlah penduduk selama hampir 10 tahun pada kecamatan yang wilayahnya
termasuk dalam kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani sebesar 13.2 %.
Tabel 9. Jumlah penduduk dan keluarga pada kecamatan dalam kawasan hutan
produksi Gedong Wani
Kecamatan 2003 2011
Penduduk Keluarga Penduduk Keluarga
Batanghari 3 664 987 4 044 1 227
Jati Agung 21 039 5 474 22 848 6 225
Katibung 25 113 6 085 28 354 7 230
Margatiga - - 1 995 533
Merbau Mataram 9 919 2 577 12 141 3 279
Metro Kibang 6 627 1 677 7 506 2 093
Natar 6 155 2 365 6 875 1 651
Sekampung 4 279 1 138 6 687 1 947
Sekampung Udik 9 013 2 487 9 949 2 766
Tanjung Bintang dan
Tanjung Sari
46 980 8 859 50 025 13 536
132 789 31 649 150 424 40.487
Sumber : Data Podes tahun 2003 dan 2011
Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk yang dominan pada kelompok kawasan hutan
produksi Gedong Wani adalah pertanian. Dari jumlah keluarga yang ada pada
tahun 2003 sebanyak 26 404 keluarga atau 83 % merupakan keluarga petani
sedangkan pada tahun 2011 jumlah keluarga petani meningkat menjadi 29 050
keluarga atau 73 % dari jumlah keluarga pada tahun tersebut.
Perubahan persentase jumlah keluarga petani ini menunjukkan telah terjadi
perubahan mata pencaharian penduduk dari tahun 2003 ke tahun 2011 dari
pertanian ke non pertanian sebesar 10 % . Perubahan jumlah keluarga petani tahun
2003 dan 2011 ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Perubahan jumlah keluarga petani tahun 2003 dan
2011 di kawasan hutan produksi Gedong Wani
29
Karakteristik Fisik Wilayah
Iklim
Kawasan hutan produksi Gedong Wani termasuk beriklim basah dengan
curah hujan rerata tahunan berkisar antara 1966-2580 mm, dan rerata hariannya
antara 60-444 mm. Tipe hujan menurut Schmidt dan Ferguson (1951) dalam
Djaenudin (2006) termasuk B, sedangkan zona agroklimatnya menurut Oldeman et
al. (1978) dalam Djaenudin (2006) termasuk C1 dengan jumlah bulan basah antara
5 sampai 6 bulan, dan bulan keringnya < 3 bulan
Topografi
Ketinggian tempat kawasan hutan produksi Gedong Wani sebagian besar
berada pada 25 -50 mdpl dengan luasan mencapai 53.1%. Pada ketinggian 3-25
mdpl dengan luasan mencapai 15.4 % merupakan daerah sempadan sungai yang
sering mengalami genangan pada saat musim penghujan. Kemiringan lereng
kawsan hutan produksi Gedong Wani cukup bervariasi antara 0%-3% dengan
topografi datar, 3%-8% dengan topografi berombak, 8%-15% dengan topografi
bergelombang dan 15%-17% dengan topografi berbukit. Ketinggian tempat dan
kemiringan lereng kawasan hutan produksi Gedong Wani masing-masing disajikan
pada Tabel 10 dan Tabel 11, sebaran spasialnya ditampilkan pada Gambar 7 dan
Gambar 8.
Tabel 10. Ketinggian tempat (mdpl) pada kelompok kawasan hutan produksi
Gedong Wani
No Ketinggian Luas (ha) %
1 3-25 mdpl 4 648 15.4
2 25-50 mdpl 16 008 53.1
3 50-75 mdpl 4 340 14.4
4 75-100 mdpl 4 002 13.3
5 100-125 mdpl 1 002 3.3
6 125-150 mdpl 128 0.4
7 150-175 mdpl 18 0.1
Jumlah 30 146 100
Tabel 11. Kemiringan lereng pada kawasan hutan produksi Gedong Wani.
No Kelas Lereng Luas (ha) %
1 0%-3% (Datar) 26 602 88.24
2 3%-8% (Berombak) 3 423 11.36
3 8%-15% (Bergelombang) 117 0.39
4 15%-17% (Berbukit) 3 0.01
Jumlah 30 146 100.00
30
Jenis Tanah
Gambar 7. Peta ketinggian tempat kelompok kawasan hutan
produksi Gedong Wani.
Gambar 8. Peta kelas lereng kelompok kawasan hutan produksi
Gedong Wani.
31
Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah lembar Tanjung Karang Sumatera
sheet 1110, di lokasi penelitian didominasi satuan lahan grup dataran tuf masam
dan dataran. Jenis tanah yang mendominasi pada dataran tuf masam pada tingkat
Great group adalah Dystropept dan Kanhapludult, berpenampang sedang sampai
dalam, tekstur umumnya halus dan drainase baik. Kesuburan tanahnya rendah
sampai sangat rendah demikian pula kandungan bahan organiknya. Jenis tanah
Dystropept mempunyai kandungan hara yang lebih baik. Sebagian besar jenis
tanah kanhapludult mempunyai sifat fisik yang jelek disebabkan banyak terdapat
lapisan kedap air. Pada cekungan dan pelembahan (dataran rendah) dijumpai jenis
tanah Tropaquept yang berpenampang sedang, tekstur halus, dan drainase
terhambat. Jenis tanah utama yang dijumpai pada grup dataran adalah
Kanhapludult, Dystropept, Hapludult dan Tropaquepts. Karena jenisnya yang
sama maka karakterisik tanah pada group dataran ini juga hampir mirip dengan
dataran tuf masam (Dai, et al. 1989)
Jenis tanah Dystropept dan Tropaquept pada tingkat order, dalam taksonomi
tanah USDA termasuk pada order Inceptisol sedangkan jenis tanah Kanhapludult
termasuk dalam order Ultisol. Jenis tanah pada kelompok kawasan hutan produksi
Gedong Wani ditampilkan pada Tabel 12 dan sebaran spasialnya ditampilkan
pada Gambar 9.
Tabel 12. Jenis tanah pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani
No Jenis Tanah Luas (ha) %
1 Inceptisol 8 727 29%
2 Ultisol 21 420 71%
Jumlah 30 146 100%
Gambar 9. Peta jenis tanah tingkat ordo pada kelompok kawasan
hutan produksi Gedong Wani
32
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Wilayah
Perkembangan wilayah diasumsikan dengan banyaknya jumlah dan jenis
fasilitas yang ada di suatu wilayah. Asumsi ini menurut Panuju, et al. (2012)
berdasarkan bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di
suatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif terbaik
untuk komunitasnya. Daerah dengan fasilitas umum terlengkap merupakan pusat
bagi daerah di sekitarnya.
Melalui analisis skalogram akan diperoleh gambaran karakteristik
perkembangan wilayah. Penentuan tingkat hirarki wilayah berdasarkan
kelengkapan fungsi pelayanan yang dapat disediakan oleh suatu wilayah, sehingga
dapat diidentifikasi wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti dan wilayah-wilayah
hinterlandnya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah sarana dan jenis fasilitas
umum dengan kuantitas dan kualitas yang relatif paling lengkap akan menjadi
pusat pelayanan atau mempunyai hirarki yang lebih tinggi dibandingkan dengan
unit wilayah lain yang jumlah fasilitasnya lebih rendah. Tingkat perkembangan
wilayah dapat dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) pada
analisis skalogram. Semakin tinggi IPD maka semakin berkembang atau maju desa
tersebut.
Hasil identifikasi terhadap jumlah desa yang wilayahnya termasuk dalam
kawasan hutan produksi Gedong Wani sebanyak 39 desa. Dari ke-39 desa ini,
hanya 32 desa yang informasinya tercatat pada data potensi desa (PODES) tahun
2003. Sisanya sejumlah 7 desa merupakan desa-desa pemekaran yang baru
terbentuk setelah tahun 2003. Nilai indek perkembangan desa dan penentuan
hirarki wilayah ditunjukkan pada Tabel 13
Tabel 13. Nilai indek perkembangan desa dan penentuan hirarki wilayah
Uraian Tahun
2003 2011
Minimal IPD 8.13 16.73
Maksimal IPD 70.18 65.22
Rataan 31.92 27.6
Standar Deviasi 14,76 11.2
Hirarki I IPD > 61.44 IPD > 50
Hirarki II 31.92<IPD<61.44 27.6<IPD<50
Hirarki III IPD < 31.92 IPD < 27.6 Sumber : Hasil analisis Podes tahun 2003 dan Podes 2011
Hasil analisis menunjukkan nilai rataan IPD pada tahun 2003 adalah 31.92
dengan nilai IPD terendah 8.13 dan nilai IPD tertinggi 70.18. Nilai tertinggi
diperoleh Desa Talang Jawa kecamatan Merbau Mataram kabupaten Lampung
Selatan dan nilai terendah diperoleh desa Budi Lestari kecamatan Tanjung Bintang
kabupaten Lampung Selatan. Sedangkan nilai rataan IPD pada tahun 2011 adalah
33
27.6 dengan nilai tertinggi 65.23 dan nilai terendah 16.73. Desa yang menempati
nilai tertinggi adalah desa Jati Baru kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten
Lampung Selatan dan desa yang menempati nilai terendah adalah desa Gunung
Agung kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. Jumlah desa
berdasarkan hirarkinya disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Jumlah desa pada setiap kecamatan berdasarkan tingkat hirarki
Kecamatan Ʃ Desa Hirarki 1 Ʃ Desa Hirarki 2 Ʃ Desa Hirarki 3
2000 2011 2000 2011 2000 2011
Batanghari 1 2
Jati Agung 3 2 3 4
Katibung 3 2 2 3
Marga Tiga 1
Merbau Mataram 1 1 1 2 3
Metro Kibang 1 2 2
Natar 1 1
Sekampung 1 2 1
Sekampung Udik 1 1 2
Tanjung Bintang 1 1 4 5
Tanjung Sari 2 2 3 4
Jumlah 1 2 13 13 18 24
Berdasarkan Tabel 14. jumlah desa yang berhirarki I tahun 2003 dan 2011
berjumlah 1 dan 2 desa. Desa hirarki I pada tahun 2003 adalah desa Talang Jawa
kecamatan Merbau Mataram Kabupaten Lampung Selatan dan pada tahun 2011
adalah desa Jati Baru kecamatan Tanjung Bintang kabupaten Lampung Selatan
serta desa Karya Mukti kecamatan Sekampung kabupaten Lampung Timur.
Menurut Panuju, et al.(2012) wilayah yang menempati hirarki wilayah lebih tinggi
atau berhirarki I merupakan wilayah yang memiliki fasilitas terlengkap secara
relatif dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hal ini berarti bahwa pada tahun
2003 desa Talang Jawa dan tahun 2011 desa Jati Baru dan desa Karya Mukti
merupakan desa yang mengalami perkembangan wilayah yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan desa lain yang wilayahnya termasuk dalam kawasan hutan
produksi Gedong Wani. Penempatan hirarki I pada desa Talang Jawa juga
disebabkan karena jumlah penduduknya yang hanya 2% dari total penduduk
yang berada di Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani akan tetapi memiliki
jumlah dan jenis fasilitas yang paling lengkap pada tahun 2003. Hal ini berbeda
dengan desa hirarki I pada tahun 2011, desa Jati Baru yang memiliki jumlah
penduduk paling banyak yaitu 6% dari total jumlah penduduk di kawasan hutan
produksi Gedong Wani dengan jumlah dan jenis fasilitas paling lengkap. Menurut
Tarigan (2005) desa dengan hirarki wilayah paling tinggi termasuk dalam kategori
desa swasembada karena fasilitasnya yang paling lengkap dan mudah dijangkau.
Selain kelengkapan fasilitas, wilayah yang menempati hirarki wilayah
tertinggi juga dicirikan dengan adanya fasilitas penciri yang keberadaannya langka
dan berimplikasi terhadap pergerakan masyarakat untuk memperoleh layanan
34
terkait fasilitas tersebut (Panuju, et al. 2012). Fasilitas yang menjadi penciri pada
Desa Talang Jawa tahun 2003 adalah adanya fasilitas pendidikan berupa Sekolah
Menengah Umum Negeri. Fasilitas penciri desa Jati Baru tahun 2011 adalah
adanya fasilitas jasa keuangan yaitu Bank Perkreditan Rakyat dan KUD. Adanya
fasilitas penciri menunjukkan bahwa keberadaan fasilitas tersebut hanya terdapat
pada satu desa dan tidak terdapat pada desa yang lainnya.
Selanjutnya desa yang termasuk dalam hirarki II atau desa dengan tingkat
perkembangan sedang pada tahun 2003 dan 2011 masing-masing berjumlah 13
desa. Lokasi desa desa ini menyebar dan tidak selalu berdampingan dengan desa
desa yang mempunyai hirarki I. Bahkan sebagian besar desa yang termasuk hirarki
II posisinya dikelilingi oleh desa dengan hirarki III. Dalam konsep wilayah nodal
kondisi seperti ini menurut Rustiadi, et al. ( 2011) menunjukkan adanya
hubungan fungsional antara subwilayah dan inti. Suatu wilayah dapat mempunyai
beberapa inti dengan hirarki tertentu. Sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih
tinggi merupakan pusat bagi beberapa sub wilayah inti yang mempunyai hirarki
yang lebih rendah. Oleh karena itu, desa dengan hirarki II merupakan pusat
pelayanan bagi wilayah sekitarnya yang hirarkinya lebih rendah. Dari sisi
perkembangan wilayah, desa dengan hirarki II mempunyai tingkat perkembangan
dan fasilitas relatif sedang artinya jumlah dan jenis fasilitasnya relatif lebih rendah
dibandingkan dengan desa yang berhirarki I dan relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan desa yang berhirarki III.
Desa dengan hirarki III pada tahun 2003 dan 2011 masing-masing sebanyak
18 desa dan 24 desa. Desa – desa ini merupakan desa dengan tingkat
perkembangan relatif rendah karena nilai Indek perkembangan desa di bawah
rataan nilai IPD. Menurut Tarigan (2005) desa dengan fasilitas yang minim dan
tidak mudah dalam menjangkau fasilitas tersebut termasuk kategori desa swadaya.
Adanya fasilitas penciri yang tidak dimiliki desa lain pada desa dalam hirarki III,
biasanya tidak terlalu berimplikasi pada pergerakan masyarakat untuk memperoleh
layanan fasilitas tersebut. Dengan demikian desa hirarki III merupakan wilayah
yang terlayani oleh desa lain yang hirarkinya lebih tinggi atau dengan kata lain
merupakan wilayah hinterland dari wilayah yang lainnya. Sebaran hirarki wilayah
desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani ditampilkan pada Gambar
10 dan Gambar 11. Perubahan hirarki wilayah disajikan pada Tabel 15.
Perubahan hirarki wilayah pada desa-desa dalam kawasan hutan produksi
Gedong Wani tahun 2003 dan 2011. Terdapat 16 desa mengalami perubahan
hirarki wilayah masing masing adalah perubahan hirarki 1 ke hirarki 2 sejumlah 1
desa, hirarki 2 ke hirarki 3 sejumlah 8 desa, hirarki 3 ke hirarki 1 sejumlah 2 desa
dan hirarki 3 ke hirarki 2 sejumlah 5 desa. Sejumlah 22 desa hirarkinya tetap
masing-masing adalah desa dengan hirarki 2 yang tetap menjadi hirarki 2
sejumlah 7 desa dan hirarki 3 yang tetap menjadi hirarki 3 sejumlah 15 desa,
sedangkan 1 desa yaitu desa Tri Sinar kecamatan Marga Tiga pada tahun 2003
tidak ada data. Namun demikian desa Tri Sinar untuk kepentingan analisis
selanjutnya diasumsikan merupakan desa dengan hirarki 3 pada tahun 2003.
Adanya perubahan hirarki wilayah menunjukkan adanya keterlibatan pemerintah
dalam menyediakan fasilitas dan peran masyarakat sehingga terjadi perubahan
status desa. Menurut Tarigan (2005) peningkatan status desa erat kaitannya dengan
pertumbuhan ekonomi di desa tersebut.
35
Gambar 11. Peta hirarki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong
Wani tahun 2011
Gambar 10. Peta hirarki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong
Wani tahun 2003
36
Tabel 15. Perubahan hirarki desa tahun 2003 / 2011
Kecamatan Desa
Hirarki Perubahan
Hirarki Tahun 2003 Tahun 2011
Merbau Mataram Talang Jawa Hirarki 1 Hirarki 2 1 Ke 2
Batanghari Buana Sakti Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2
Sekampung Udik Gunung Agung Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3
Tanjung Bintang Jati Indah Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3
Jati Agung Margo Lestari Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3
Tanjung Sari Mulyo Sari Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3
Katibung Neglasari Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2
Batanghari Purwodadi Mekar Hirarki 23 Hirarki 2 2 Ke 2
Jati Agung Sidoharjo Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2
Tanjung Bintang Srikaton Hirarki 22 Hirarki 3 2 Ke 3
Natar Sukadamai Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2
Jati Agung Sumber Jaya Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2
Katibung Tanjungagung Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3
Katibung Tanjungratu Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2
Merbau Mataram Triharjo Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3
Tanjung Sari Wonodadi Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3
Tanjung Bintang Budi Lestari Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Tanjung Bintang Jatibaru Hirarki 3 Hirarki 1 3 Ke 1
Metro Kibang Jaya Asri Hirarki 34 Hirarki 3 3 Ke 3
Jati Agung Karang Rejo Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Sekampung Karya Mukti Hirarki 3 Hirarki 1 3 Ke 1
Tanjung Sari Kertosari Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Tanjung Sari Malang Sari Hirarki 35 Hirarki 2 3 Ke 2
Metro Kibang Margo Jaya Hirarki 3 Hirarki 2 3 Ke 2
Metro Kibang Margo Sari Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Sekampung Mekar Mukti Hirarki 31 Hirarki 2 3 Ke 2
Sekampung Mekar Mulya Hirarki 31 Hirarki 2 3 Ke 2
Merbau Mataram Panca Tunggal Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Tanjung Sari Purwodadi Dalam Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Jati Agung Purwotani Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Tanjung Sari Sidomukti Hirarki 3 Hirarki 2 3 Ke 2
Merbau Mataram Sinar Karya Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Tanjung Bintang Sinar Ogan Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Jati Agung Sinar Rejeki Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Sekampung Udik Sindang Anom Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Katibung Tanjungan Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Katibung Trans Tanjungan Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Tanjung Bintang Trimulyo Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3
Marga Tiga Tri Sinar
Hirarki 3 No Data
1,2,3,4
adalah desa-desa pemekaran yang datanya belum tercantum dalam Podes 2003. 1
Pemekaran
dari desa Karya Mukti; 2Pemekaran dari Desa Jati Indah;
3Pemekaran dari desa Buana Sakti;
4Pemekaran dari Desa Marga Jaya dan 5 Pemekaran dari desa Kertosari.
37
Perubahan hirarki wilayah pada 39 desa dalam 10 tahun terakhir menjadi
indikasi perkembangan wilayah desa di kawasan hutan produksi Gedong Wani,
yang tidak sesuai dengan tujuan peruntukan kawasan hutan. Secara Nasional desa
yang berada dalam kawasan hutan berjumlah 19.420 desa (BPS, 2007,2009).
Desa-desa tersebut menjadikan kawasan hutan sebagai lahan tanaman pangan dan
lahan perkebunan. Keberadaan desa yang terus berkembang dalam kawasan hutan
menurut Kartodihardjo (2008) disebabakan legalitas desa yang telah ditetapkan
oleh Kementerian Dalam Negeri belum ditetapkan legalitasnya terkait dengan
kawasan hutan negara yang ditempatinya. Selanjutnya Kartodihardjo (2012)
menyatakan bahwa keberadaan desa dalam kawasan hutan meskipun berdasarkan
hukum positif dianggap melanggar hukum, namun dalam kenyataannya secara
sosial politik, tidak ada perlakuan apapun dan oleh karena itu dari waktu kewaktu
terus berkembang. Perkembangan desa dapat menimbulkan konflik atau ancaman
kerusakan sumberdaya hutan, maupun dari sisi masyarakat, mereka tidak
mendapat legalitas akses secara jelas terhadap manfaat hutan negara.
Untuk itu, perkembangan wilayah desa dalam kawasan hutan perlu
diantisipasi agar tidak menimbulkan efek penyebaran (spread effect) terhadap
wilayah desa sekitarnya. Menurut Tarigan (2005) desa yang berkembang
kemungkinan akan mendorong desa tetangganya untuk berkembang, karena
adanya keterkaitan kegiatan antar desa.
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Produksi Gedong
Wani Tahun 2000 dan Tahun 2013
Penggunaan lahan dan penutupan lahan pada hakekatnya berbeda walaupun
sama-sama menggambarkan keadaan fisik lahan. Penggunaan lahan berhubungan
dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan penutupan lahan
lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa
mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lilisand, et al.
1993). Perubahan penggunaan lahan adalah fenomena kompleks, yang
merefleksikan interaksi antara manusia dengan lingkungannya (Munroe et al.
2007).
Interpretasi penggunaan/penutupan lahan pada kawasan hutan produksi
Gedong Wani terdiri dari 6 (enam) kelas yaitu area terbangun, hutan, perkebunan
rakyat, perkebunan PTPN, ladang dan tubuh air. Area terbangun sesuai dengan
cirinya dalam interpretasi adalah pemukiman dan jalan. Hutan yang dimaksud
dalam interpretasi adalah hutan tanaman yang pernah dibangun oleh PT. Darmala
Hutan Lesari (PT DHL). Untuk perkebunan rakyat adalah tanaman perkebunan
yang ditanam oleh masyarakat, di lapangan banyak dijumpai tanaman karet dan
kelapa sawit. Perkebunan PTPN merupakan tanaman perkebunan yang diusahakan
oleh PTPN dalam hal ini merupakan area tumpang tindih yang batasnya sudah
dipetakan oleh instansi kehutanan, sehingga interpretasinya mengacu pada batas
yang ada. Untuk ladang merupakan lahan terbuka, atau lahan-lahan yang ditanami
tanaman pangan lahan kering termasuk sawah tadah hujan. Pegertian tubuh air
pada interpretasi merupakan genangan air, sungai, waduk ataupun rawa. Luas
setiap tipe penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani periode
tahun 2000 dan 2013 disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 12.
38
Tabel 16. Penggunaan/penutupan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani
Penggunaan
Lahan
Tahun 2000 Tahun 2013 Perubahan
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
Area Terbangun 2 943 9.8 3 245 10.8 302 1
Hutan 1 155 3.8 34 0.1 -1 121 3,7
Ladang 12 798 42.5 11 092 36.8 -1 706 5.7
Perkebunan PTPN 192 0.6 192 0.6 0 0
Perkebunan
Rakyat 11 181 37.1 13 670 45.3 2 489 8.3
Tubuh Air 1 876 6.2 1 913 6.3 37 0.1
Jumlah 30 146 100 30 146 100
Tabel 16 dan Gambar 12 menunjukkan bahwa penggunaan/penutupan lahan
terbesar pada tahun 2000 adalah ladang dengan luasan 12 798 ha atau 42.5% dari
total luas kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani.
Penggunaan/Penutupan lahan terbesar kedua pada tahun 2000 adalah perkebunan
rakyat dengan luas 11 181 ha atau 37.1 %. Penggunaan/penutupan lahan terbesar
tahun 2013 didominasi oleh penggunaan lahan perkebunan rakyat seluas 13 670
ha atau 45.3% dan kemudian ikuti oleh penggunaan lahan ladang dengan luas
11 092 ha atau 36.8% .
Luas area terbangun menempati urutan ketiga yaitu seluas 2 943 ha pada
tahun 2000 dan meningkat jumlahnya menjadi 3 245 ha pada tahun 2013. Luas
hutan yang seharusnya menjadi penggunaan/penutupan lahan dominan di kawasan
hutan produksi Gedong Wani justru menunjukkan jumlah luas yang minimal yaitu
hanya 1 115 ha atau 3.8 % pada tahun 2000 dan jumlahnya menurun menjadi 34
ha atau 0.1 % pada tahun 2013.
Penurunan luas hutan sebesar 1121 ha hingga hanya menjadi 34 ha,
menunjukkan bahwa hutan tanaman yang di bangun oleh PT. DHL pada tahun
1996 tidak terkelola dengan baik, sehingga dijarah oleh masyarakat. Menurut
Kusworo (2000) pembabatan hutan tanaman oleh masyarakat berlangsung sejak
reformasi bergulir tahun 1997/1998. Masyarakat beranggapan bahwa adanya
hutan tanaman industri yang dikelola PT. DHL telah merampas lahan-lahan
garapan masyarakat desa–desa di kawasan hutan produksi Gedong Wani
Gambar 12. Luas penggunaan/penutupan lahan pada kelompok
kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000
dan 2013.
39
diantaranya adalah desa Sinar Rejeki, Sidorejo, Karanganyar (Karang Rejo),
Sumber Jaya, Sukadamai, Marga Jaya, Karya Mukti dan Trisinar
Penggunaan lahan area terbangun mengalami kenaikan luasan hingga 302
ha menunjukkan bahwa kebutuhan area terbangun meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk di kawasan hutan produksi Gedong Wani yaitu dari
jumlah penduduk pada tahun 2003 sebesar 132 789 jiwa menjadi 150 424 jiwa
pada tahun 2011. Menurut Munibah, et al. (2010) semakin meningkatnya jumlah
penduduk, berdampak pada semakin tingginya aktifitas manusia terhadap lahan.
Peningkatan penduduk memiliki konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi
yang menuntut kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, infrastruktur dan
jasa (Munibah, 2008). Bertambahnya luas area terbangun hingga mencapai luas
3245 ha merupakan hasil konversi hutan seluas 25 ha, ladang 105 ha, perkebunan
rakyat 167 ha dan tubuh air seluas 6 ha
Pengurangan luas ladang sebesar 1 706 ha, menunjukkan adanya peralihan
penggunaan lahan untuk budidaya tanaman pangan menjadi penggunaan lahan
untuk kegiatan budidaya lainnya. Masyarakat di kawasan hutan produksi Gedong
Wani banyak beralih menanam tanaman perkebunan pada ladang garapannya
untuk komoditas jenis karet dan sawit, karena komoditas ini dianggap lebih
menguntungkan secara ekonomi dan mudah dalam perawatannya. Perubahan
penggunaan lahan menjadi ladang merupakan hasil konversi hutan seluas 591 ha,
perkebunan rakyat 3 790 ha dan tubuh air 492 ha.
Perkebunan PTPN tidak mengalami perubahan luas dan tetap konstan seluas
192 ha. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan PTPN dikelola dengan baik,
sehingga walaupun lokasinya merupakan bagian dari kawasan hutan produksi
Gedong Wani akan tetapi masyarakat mengakui bahwa kawasan ini merupakan
wilayah kelola perkebunan PTPN. Konsistensi luasan perkebunan PTPN ditengah
perebutan penggunaan ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani menjadi
suatu bukti bahwa pengelolaan kawasan ditingkat lapangan menjadi hal yang
penting bagi keberlanjutan suatu kawasan yang peruntukannya sudah ditetapkan.
Peningkatan luas pada perkebunan rakyat seluas 2 489 ha atau 8.3% dari
luas kawasan hutan produksi Gedong Wani menunjukkan bahwa komoditas
perkebunan dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis. Harga karet dan
sawit yang relatif tinggi dan pasar yang mudah menjadi daya tarik masyarakat
untuk mengembangkan komoditas tersebut di kawasan hutan produksi Gedong
Wani. Hal ini tidak berlaku untuk pengembangan tanaman kayu-kayuan,
masyarakat enggan melaksanakan budidaya tanaman kayu-kayuan karena
prosedur administrasi pemanenan kayu dalam kawasan hutan dianggap sulit oleh
masyarakat. Disamping itu, penanaman kayu dianggap tidak memberikan hasil
harian seperti halnya karet dan sawit. Bertambahnya luas perkebunan rakyat
merupakan hasil konversi hutan seluas 474 ha, ladang 6 040 ha serta tubuh air
seluas 583 ha.
Luas tubuh air relatif konstan yaitu sekitar 6.2% dari luas kawasan. Di
kawasan hutan produksi Gedong Wani banyak dijumpai sungai diantaranya sungai
Way Galih, Way Kandis dan Way Katibung, semua sungai ini bermuara di sungai
Way Sekampung. Perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2013 disajiakan pada
Tabel 17. Pola dan sebaran spasialnya ditunjukkan pada Gambar 13, 14 dan 15.
40
Tabel 17. Perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong
Wani dari tahun 2000 ke tahun 2013
Perubahan
Penggunaan Lahan
Tahun 2000-2013 (ha)
Area
Terbangun Hutan Ladang
Perkebunan
PTPN
Perkebunan
Rakyat
Tubuh
Air
Jumlah Tahun
2000
Area Terbangun 2 943
2 943
Hutan 25 34 591
474 32 1 155
Ladang 105
6 219
6 040 435 12 798
Perkebunan PTPN
192
192
Perkebunan Rakyat 167
3 790
6 574 651 11 181
Tubuh Air 6
492
583 795 1 876
Jumlah Tahun 2013 3 245 34 11 092 192 13 670 1 913 30 146
Dari gambaran pola perubahan penggunaan lahan pada Gambar 13 dapat
dilihat bahwa penggunaan lahan area terbangun seluas 2 943 ha tahun 2000 tidak
mengalami perubahan ke penggunaan lahan lainnya. Area terbangun berupa
pemukiman dan sarana-prasarana umum investasi pembangunan (public capital
investement) seperti jaringan jalan, sekolahan, kantor-kantor pemerintahan,
jaringan listrik dan sebagainya bersifat kaku atau rigid yaitu sekali dibangun akan
sulit diubah atau dipindahkan letaknya. Selain itu, ditinjau dari keterkaitan land
rent, area pemukiman mempunyai land rent yang lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan lahan lainnya. Menurut Rustiadi et al. (2011) bahwa hukum
pasar akan mengarah pada penggunaan lahan dengan land rent tertinggi dan sifat
pergeseran penggunaan lahan berlangsung secara searah serta bersifat irreversible
(tidak dapat balik). Dalam hal ini, lahan pertanian yang telah digunakan untuk
pembangunan pemukiman dan sarana-prasarana fisik hampir tidak mungkin
untuk berubah kembali menjadi penggunaan lahan pertanian.
Penggunan lahan yang juga tidak mengalami fluktuasi perubahan adalah
perkebunan PTPN. Perkebunan PTPN merupakan perkebunan yang dikelola oleh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi Hak Guna Usaha (HGU).
Menurut UU No 5/1960 HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara guna usaha pertanian, perikanan atau peternakan
dalam jangka 35 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun. Adanya
kewajiban dan prasyarat yang harus dipenuhi oleh pemegang izin HGU untuk
melaksanakan usaha sesuai dengan peruntukan izin, mengusahakan sendiri tanah
HGU dengan baik, memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan
sumberdaya, dan tidak menelantarkan lahan menjadi pedoman bagi pemegang izin
untuk mengelola lahannya dengan sebaik mungkin. Adanya pengelolaan yang
baik pada lahan HGU perkebunan PTPN berdampak pada legitimasi/pengakuan
dari masyarakat, sehingga perkebunan ini dapat bertahan dalam luasannya sesuai
dengan fungsinya sebagai area perkebunan.
Ladang
12 798 HaTubuh Air
Ladang
Perkebunan
Rakyat
Area
Terbangun
6 219 ha
20132000
435 ha
a
Perkebunan
Rakyat
11 181 Ha
Perkebunan
Rakyat
Ladang
Tubuh Air
Area
Terbangun
2000 2013
6 040 ha
105 ha
6 574 ha
3 790 ha
651 ha
167 ha
b
Area
Terbangun
Area
Terbangun
2 943 Ha
2 943 ha
20132000
Hutan
1 155 Ha
Ladang
Perkebunan
Rakyat
Tubuh Air
Area
Terbangun
2013
591 ha
32 ha
25 ha
d
Tubuh Air
1 876 HaLadang
Tubuh Air
Perkebunan
Rakyat
Area
Terbangun
795 ha
20132000
492 ha
c
583 ha
36 ha
2000
Perkebunan
PTPN
Perkebunan
PTPN
192 Ha
192 ha
20132000474 ha
Hutan34 ha
e f
Gambar 13. Pola perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000 - 2013
42
Gambar 14. Peta penggunaan/penutupan lahan kelompok kawasan
hutan produksi Gedong Wani tahun 2000
Gambar 15. Peta penggunaan/penutupan lahan kelompok kawasan
hutan produksi Gedong Wani tahun 2013
43
Analisis Pengaruh Faktor Fisik Lahan, Demografi dan Kebijakan
Penggunaan Kawasan Hutan Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan merupakan suatu proses perubahan
penggunaan lahan ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat sementara
maupun permanen, hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan
dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang
berkembang, baik untuk tujuan komersil maupun industri. Menurut McNeil et al.
(1998) faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik,
ekonomi, demografi dan budaya. Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan
hutan menjadi lahan pertanian menurut Munibah (2008) adalah bentuk lahan,
kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, jarak dari jalan raya dan mata
pencaharian masyarakat.
Dalam menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap perubahan
penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani periode tahun 2000-
2013 digunakan faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan
hutan. Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis adalah perubahan penggunaan
lahan menjadi lahan perkebunan rakyat, areal terbangun dan ladang. Analisis
dilakukan dengan regresi logistik binner, dengan variabel tak bebas berupa
perubahan penggunaan lahan dan variabel bebas yang digunakan sesuai dengan
faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan yaitu
perubahan hirarki wilayah, kebijakan pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan,
jarak dari jalan, pertambahan jumlah penduduk, kelas lereng dan jenis tanah.
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari masing-masing
variabel bebas terhadap perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi
Gedong Wani.
Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan
menjadi perkebunan rakyat di kawasan hutan produksi Gedong Wani
Hasil analisis hubungan perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan
rakyat di kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan regresi logistik
menunjukkan bahwa nilai Omnibus test pada taraf nyata 5% sebesar 0.000, yang
artinya model signifikan secara statistik
Berdasarkan nilai odds ratio, secara umum ada 1 variabel bebas yang diduga
berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat,
yaitu jenis tanah. Jenis tanah Ultisol merupakan jenis tanah mempunyai peluang
sebesar 1.23 kali lebih besar dibandingkan dengan jenis tanah Inceptisol. Hal ini
berarti bahwa kejadian perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat
pada periode tahun 2000 sampai dengan 2013 di kawasan hutan produksi Gedong
Wani banyak terjadi pada jenis tanah Ultisol. Menurut Hardjowigeno (1993) jenis
tanah Ultisol merupakan tanah tua yang penggunaannya sebaiknya dihutankan
atau untuk perkebunan dengan tanaman tahunan karena jenis tanah ini telah
mengalami pencucian unsur hara. Tanah Ultisol hanya mampu memberikan hasil
produksi untuk sistem pertanian ladang pada tahun pertama, selama unsur-unsur
hara dipermukaan tanah yang terkumpul melalui proses biocycle belum habis.
Reaksi tanah yang masam, kejenuhan basa rendah, kadar Al yang tinggi, kadar
44
unsur hara yang rendah merupakan penghambat utama untuk pertanian tanaman
pangan. Oleh karena itu penggunaan untuk hutan (tanaman tahunan) atau
perkebunan dapat mempertahankan kesuburan tanah karena proses recycling.
Hasil lengkap analisis regresi logistik disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi
perkebunan rakyat
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)= Odd
Rasio
Jenis_Tanah Ultisol .21 .10 4.61 1 .03* 1.23
Jumlah_Penduduk 1.25 3 .74
Jumlah_Penduduk 1097-1813 -.06 .15 .15 1 .70 .95
Jumlah_Penduduk 1814-2530 -.11 .14 .61 1 .44 .90
Jumlah_Penduduk 2531-3247 -.14 .13 1.14 1 .29 .87
Kelas_Lereng 6.43 3 .09
Kelas_Lereng 0-3% -1.10 .69 2.58 1 .11 .33
Kelas_Lereng 3-8% -.96 .69 1.94 1 .16 .38
Kelas_Lereng 8-15% -.69 .72 .92 1 .34 .50
Hirarki_Wilayah 5.74 5 .33
Hirarki_Wilayah 2 ke 2 -.12 .24 .28 1 .60 .88
Hirarki_Wilayah 2 ke 3 -.26 .22 1.42 1 .23 .77
Hirarki_Wilayah 3 ke 1 .00 .25 .00 1 .99 1.00
Hirarki_Wilayah 3 ke 2 -.27 .25 1.15 1 .28 .77
Hirarki_Wilayah 3 ke 3 -.30 .22 1.86 1 .17 .75
Kebijakan pemanfaatan Kawasan
Kehutanan
32.48 5 .00
Kebijakan izin resmi untuk industri -.08 .43 .03 1 .86 .92
Kebijakan pinjam pakai untuk
pertambangan -.33 .46 .52 1 .47 .72
Kebijakan pinjam pakai untuk
pendidikan dan penelitian .42 .47 .80 1 .37 1.52
Kebijakan tukar menukar untuk
pengembangan kota baru Lampung -1.11 .45 6.15 1 .01 .33
Belum ada izin pemanfaatan kawasan
hutan .40 .33 1.51 1 .22 1.49
Jarak_dari_jalan 11.55 4 .02
Jarak_dari_jalan 0-250 m -.26 .27 .93 1 .33 .77
Jarak_dari_jalan 250 - 500 m -.11 .27 .16 1 .69 .90
Jarak_dari_jalan 500 – 1000 m .03 .27 .01 1 .93 1.03
Jarak_dari_jalan 1000-2000 m .19 .27 .49 1 .49 1.21
Constant .23 .83 .08 1 .78 1.26
*) Taraf nyata α = 5%
45
Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan
menjadi area terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani
Hasil analisis hubungan perubahan penggunaan lahan menjadi area
terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan regresi logistik
menunjukkan bahwa nilai Omnibus test pada taraf nyata 5% sebesar 0.000, yang
artinya model signifikan secara statistik. Berdasarkan nilai Nagelkerke R Square
sebesar 0.111 dapat diketahui bahwa 11.1% variasi dari perubahan penggunaan
lahan menjadi area terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani dapat
dijelaskan oleh variabel bebas yang digunakan dalam analisis atau dengan kata
lain 88.9% variasi dari perubahan penggunaan lahan menjadi areal terbangun di
kawasan hutan produksi Gedong Wani dijelaskan oleh faktor lain. Hasil lengkap
analisis regresi logistik disajikan pada Tabel 19.
Berdasarkan nilai odds ratio, ditunjukkan bahwa secara umum ada 2
variabel bebas yang dinyatakan berpengaruh terhadap perubahan penggunaan
lahan menjadi area terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani, yaitu
pertambahan jumlah penduduk dan kebijakan kehutanan. Variabel bebas lainnya
tidak berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun
di kawasan hutan produksi Gedong Wani.
Variabel kebijakan izin resmi penggunaan kawasan untuk industri atau
pabrik, tukar menukar kawasan untuk pengembangan kota baru Lampung dan
variabel belum ada kebijakan izin pemanfaatan kawasan hutan berpengaruh nyata
terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun di kawasan hutan
produksi Gedong Wani, dengan peluang 8.34 kali, 7.69 kali dan 5.21 kali lebih
besar dibandingkan dengan peluang HGU perkebunan. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa penggunaan kawasan hutan untuk sektor non kehutanan memang
digunakan untuk pembangunan fisik industri pabrik tapioka yang berada di
kecamatan Jati Agung oleh PT Darma Agrindo dan di kecamatan Katibung oleh
PT. Langgeng Cakra Lestari.
Kebijakan tukar menukar kawasan hutan untuk pembangunan kota baru
Lampung dapat dijelaskan pada saat ini telah dan sedang dilaksanakan
pembangunan infrastruktur jalan dan kantor pemerintahan. Untuk variabel belum
ada kebijakan pemanfaatan kawasan hutan secara spasial penggunaan lahan
kawasan yang belum berizin mempunyai luas yang paling dominan dimana
pemanfaatannya untuk area terbangun sebesar 9.8% pada tahun 2000 dan
meningkat jumlahnya menjadi 10.8% pada tahun 2013.
Variabel pertambahan jumlah penduduk sangat tinggi sebesar 2531-3247
jiwa berpengaruh nyata terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi area
terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani, dengan peluang 2.43 kali
lebih besar dibandingkan dengan peluang pertambahan jumlah penduduk rendah
sebesar 380-1096 jiwa. Hal ini diduga pertambahan penduduk akan meningkatkan
kebutuhan terhadap perumahan, sehingga pertambahan penduduk paling tinggi di
kawasan hutan produksi Gedong Wani berimplikasi terhadap perubahan
penggunaan lahan untuk area terbangun menjadi lebih banyak dari tahun
sebelumnya.
46
Tabel 19. Faktor yang diduga berpengaruh perubahan lahan menjadi area
terbangun
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) =
Odd rasio
Jenis_Tanah Ultisol .13 .15 .75 1 .39 1.13
Jumlah_Penduduk 31.98 3 .00
Jumlah_Penduduk 1097-1813 -.17 .27 .42 1 .52 .84
Jumlah_Penduduk 1814-2530 .40 .25 2.52 1 .11 1.49
Jumlah_Penduduk 2531-3247 .89 .23 15.53 1 .00* 2.43
Kelas_Lereng 6.63 3 .09
Kelas_Lereng 0-3% 19.76 1.33 .00 1 1.00 3.83
Kelas_Lereng 3-8% 19.54 1.33 .00 1 1.00 3.06
Kelas_Lereng 8-15% 18.46 1.33 .00 1 1.00 1.04
Hirarki_Wilayah 18.10 5 .00
Hirarki_Wilayah 2 ke 2 -.63 .30 4.50 1 .03 .53
Hirarki_Wilayah 2 ke 3 -.35 .27 1.67 1 .20 .71
Hirarki_Wilayah 3 ke 1 -1.22 .38 10.06 1 .00 .30
Hirarki_Wilayah 3 ke 2 -1.09 .35 9.77 1 .00 .34
Hirarki_Wilayah 3 ke 3 -.66 .26 6.20 1 .01 .52
Kebijakan penggunaan
Kawasan Hutan
13.83 5 .02
Kebijakan izin resmi untuk
industri 2.12 .68 9.77 1 .00* 8.34
Kebijakan pinjam pakai untuk
pertambangan -17.59 4.62 .01 1 1.00 .00
Kebijakan pinjam pakai untuk
pendidikan dan penelitian .59 .80 .55 1 .46 1.80
Kebijakan tukar menukar untuk
pengembangan kota baru
Lampung
2.04 .71 8.35 1 .00* 7.69
Belum ada izin pemanfaatan
kawasan hutan 1.65 .61 7.35 1 .01* 5.21
Jarak_dari_jalan 44.74 4 .00
Jarak_dari_jalan 0-250 m 1.01 .55 3.31 1 .07 2.73
Jarak_dari_jalan 250 - 500 m .49 .56 .77 1 .38 1.63
Jarak_dari_jalan 500 – 1000 m .23 .56 .17 1 .68 1.26
Jarak_dari_jalan 1000-2000 m -.74 .61 1.50 1 .22 .48
Constant -23.81 1.33 .00 1 1.00 .00
*) Taraf nyata α = 5%
Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan
menjadi ladang di kawasan hutan produksi Gedong Wani
Hasil analisis hubungan perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di
kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan regresi logistik menunjukkan
bahwa nilai Omnibus test pada taraf nyata 5% sebesar 0.000, yang artinya model
47
signifikan secara statistik. Berdasarkan nilai Nagelkerke R Square sebesar 0.111
dapat diketahui bahwa 11.1% variasi dari perubahan penggunaan lahan menjadi
ladang di kawasan hutan produksi Gedong Wani dapat dijelaskan oleh variabel
bebas yang digunakan dalam analisis atau dengan kata lain 88.9% variasi dari
perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di kawasan hutan produksi Gedong
Wani dijelaskan oleh faktor lain. Hasil lengkap analisis regresi logistik disajikan
pada Tabel 20.
Tabel 20. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi
ladang
*) Taraf nyata α = 5%
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) =
Ood Rasio
Jenis_Tanah Ultisol .13 .15 .75 1 .39 1.13
Jumlah_Penduduk 31.98 3 .00
Jumlah_Penduduk 1097-1813 -.17 .27 .42 1 .52 .84
Jumlah_Penduduk 1814-2530 .40 .25 2.52 1 .11 1.49
Jumlah_Penduduk 2531-3247 .89 .23 15.53 1 .00* 2.43
Kelas_Lereng 6.63 3 .09
Kelas_Lereng 0-3% 19.76 1.33 .00 1 1.00 3.83
Kelas_Lereng 3-8% 19.54 1.33 .00 1 1.00 3.06
Kelas_Lereng 8-15% 18.46 1.33 .00 1 1.00 1.04
Hirarki_Wilayah 18.10 5 .00
Hirarki_Wilayah 2 ke 2 -.63 .30 4.50 1 .03 .53
Hirarki_Wilayah 2 ke 3 -.35 .27 1.67 1 .20 .71
Hirarki_Wilayah 3 ke 1 -1.22 .38 10.06 1 .00 .30
Hirarki_Wilayah 3 ke 2 -1.09 .35 9.77 1 .00 .34
Hirarki_Wilayah 3 ke 3 -.66 .26 6.20 1 .01 .52
Kebijakan penggunaan Kawasan
Kehutanan
13.83 5 .02
Kebijakan izin resmi untuk industri 2.12 .68 9.77 1 .00* 8.34
Kebijakan pinjam pakai untuk
pertambangan -17.59 4.62 .01 1 1.00 .00
Kebijakan pinjam pakai untuk
pendidikan dan penelitian .59 .80 .55 1 .46 1.80
Kebijakan tukar menukar untuk
pengembangan kota baru Lampung 2.04 .71 8.35 1 .00* 7.69
Belum ada izin pemanfaatan
kawasan hutan 1.65 .61 7.35 1 .01* 5.21
Jarak_dari_jalan 44.74 4 .00
Jarak_dari_jalan 0-250 m 1.01 .55 3.31 1 .07 2.73
Jarak_dari_jalan 250 - 500 m .49 .56 .77 1 .38 1.63
Jarak_dari_jalan 500 – 1000 m .23 .56 .17 1 .68 1.26
Jarak_dari_jalan 1000-2000 m -.74 .61 1.50 1 .22 .48
Constant -23.81 1.33 .00 1 1.00 .00
48
Berdasarkan nilai odds ratio, ditunjukkan bahwa secara umum ada 2
variabel bebas yang dinyatakan berpengaruh terhadap perubahan penggunaan
lahan menjadi ladang di kawasan hutan produksi Gedong Wani, yaitu kebijakan
penggunaan kawasan hutan dan pertambahan jumlah penduduk. Variabel bebas
kebijakan yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi
ladang adalah pinjam pakai kawasan untuk industri atau pabrik, tukar menukar
kawasan untuk pengembangan kota baru Lampung dan belum ada kebijakan izin
penggunaan kawasan hutan. Variabel bebas pertambahan jumlah penduduk yang
berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang adalah
pertambahan jumlah penduduk sangat tinggi sebesar 2531-3247 jiwa.
Variabel kebijakan izin resmi penggunaan kawasan hutan untuk industri
atau pabrik, tukar menukar kawasan hutan untuk pengembangan kota baru
Lampung dan variabel belum ada izin pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan
berpengaruh nyata terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di
kawasan hutan produksi Gedong Wani, dengan peluang 8.34 kali, 7.69 kali dan
5.21 kali lebih besar dibandingkan dengan peluang HGU perkebunan. Hal ini
diduga pada variabel kebijakan izin resmi penggunaan kawasan hutan untuk
industri atau pabrik, penggunaan lahannya tidak hanya dimanfaatkan untuk
pembangunan fisik pabrik/industri akan tetapi juga dimanfaatkan untuk area
terbuka sebagai bagian dari proses produksi seperti area penjemuran produk atau
lahan-lahan parkir kendaraan yang dalam interpretasi citra landsat teridentifikasi
sebagai area terbuka atau ladang.
Untuk variabel kebijakan tukar-menukar kawasan menjadi kota baru
Lampung, saat ini area yang sudah di land clearing sebagian besar masih
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk ladang tanaman singkong. Variabel belum
ada kebijakan izin pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan secara spasial
penggunaan lahan kawasan yang belum berizin mempunyai luas yang paling
dominan yaitu pada tahun 2000 penggunaan lahan untuk ladang sebesar 48.5 %
dari luas kawasan dan pada tahun 2013 jumlahnya menurun menjadi 36.8%.
Variabel pertambahan jumlah penduduk sangat tinggi sebesar 2531-3247 jiwa
berpengaruh nyata terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di
kawasan hutan produksi Gedong Wani, dengan peluang 2.43 kali lebih besar
dibandingkan dengan peluang pertambahan jumlah penduduk rendah sebesar 380-
1096 jiwa. Hal ini diduga pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan
kebutuhan lahan untuk bercocok tanam tanaman pangan. Pertumbuhan penduduk
paling besar berada di kecamatan Tanjung Bintang dan Tanjung Sari, pada kedua
kecamatan ini banyak dijumpai tanaman padi sawah tadah hujan yang dalam
interpretasi citra landsat kurang dapat dibedakan dengan lahan terbuka lainnya
sehingga tanaman padi sawah tadah hujan termasuk dalam kategori penggunaan
lahan untuk ladang.
Prediksi Penggunaan Lahan
Prediksi penggunaan lahan dilakukan berdasarkan perilaku perubahan
penggunaan lahan pada periode 2000 dan 2013. Sebagai referensi dalam
pengalokasian suatu penggunaan lahan digunakan peta kesesuaian lahan.
49
Kesesuaian lahan merupakan bentuk evaluasi lahan yaitu suatu proses penilaian
sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan
atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan
atau arahan penggunan lahan sesuai dengan keperluan.
Kajian kesesuaian lahan berdasarkan karakteristik fisik lahan
Pada penelitian ini, evaluasi penggunaan lahan berdasarkan pada
karakteristik fisik lahan yaitu : iklim, kedalaman efektif, tekstur tanah, batuan
permukaan, kemiringan lereng, elevasi, drainase dan banjir. Selain unsur fisik
evaluasi penggunaan lahan juga berdasarkan pada peraturan yang berlaku. Tipe
penggunaan lahan yang dievaluasi adalah area terbangun, hutan, ladang,
perkebunan PTPN, perkebunan rakyat dan tubuh air.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan bahwa lahan yang sesuai (S)
untuk tipe penggunaan lahan area terbangun, hutan, ladang, perkebunan PTPN,
perkebunan rakyat dan tubuh air berkisar antara 1 -100% dan lahan yang tidak
sesuai (N) berkisar antara 0-99 %. Luas lahan sesuai (S) dan tidak sesuai (N) pada
berbagai tipe penggunaan lahanditunjukkanpada Tabel 21. Peta kesesuaian lahan
disajikan pada Gambar 16.
Tabel 21. Luas lahan sesuai (S) dan tidak sesuai (N) pada berbagai tipe
penggunaan lahan
Lahan yang tidak sesuai (N) untuk area terbangun seluas 1 621 Ha karena
adanya faktor pembatas kelas lereng dan banjir. Faktor pembatas kelas lereng
>15% dengan topografi berbukit tidak layak untuk area terbangun karena
berpotensi longsor. Banjir dengan genangan relatif lama dapat merusak struktur
bangunan.
Kesesuaian untuk tipe penggunaan lahan hutan menunjukkan bahwa
kawasan ini 100% sesuai (S) untuk hutan. Hasil penjumlahan skoring pada 3
parameter kriteria fisik kesesuaian untuk hutan produksi yaitu lereng (kemiringan)
lapangan, jenis tanah dan intensitas hujan mempunyai nilai skoring < 125 yang
artinya lahan ini sesuai untuk kawasan hutan produksi tetap.
Tipe Penggunaan
Lahan
N S Jumlah
(ha) ha % ha %
Area terbangun 1 621 5% 28 526 95% 30 146
Hutan - 0% 30 146 100% 30 146
Ladang 1 504 5% 28 643 95% 30 146
Perkebunan PTPN 29 955 99% 192 1% 30 146
Perkebunan Rakyat 5 635 19% 24 511 81% 30 146
Tubuh Air 26 371 87% 3 775 13% 30 146
50
Lahan yang tidak sesuai (N) untuk ladang karena adanya faktor pembatas
yaitu banjir, dan kelerengan. Lahan dengan banjir (F2,F3 dan F4) tidak cocok
untuk ladang karena terlalu lamanya genangan air. Faktor pembatas kelerengan
berada pada kelerengan 15 -17% dengan kondisi topografi berbukit tidak cocok
untuk ladang karena berpotensi erosi.
Lahan yang tidak sesuai (N) untuk perkebunan rakyat seluas 19% karena
adanya faktor pembatas drainase, dan banjir. Faktor pembatas drainase terhambat
kurang cocok untuk perkebunan tanaman tahunan karena sering jenuh air dan
kekurangan oksigen. Faktor pembatas banjir, menunjukkan lamanya genangan
yang dapat mengakibatkan busuknya akar tanaman perkebunan.
Untuk perkebunan PTPN diasumsikan bahwa lahan yang sesuai (S) hanya
pada lokasi kondisi eksistingnya yaitu sebesar 1% dari total luas kawasan hutan
Gambar 16. Kesesuaian lahan (a) Area terbangun, (b) Hutan, (c) Ladang
dan (d) Perkebunan Rakyat, serta lokasi (e) Perkebunan
PTPN dan (f) Tubuh Air.
(
a)
(
b)
(
c)
(
d)
(f) (e) (d)
(a) (b) (c)
51
produksi Gedong Wani. Kesesuaian lahan untuk tubuh air diasumsikan dari hasil
interpretasi Citra landsat yang menunjukkan tipe penggunaan lahan tubuh air.
Lahan yang sesuai (S) untuk tubuh air seluas 13% dari luas kawasan hutan
produksi Gedung Wani merupakan sungai atau anak-anak sungai serta genangan
rawa.
Prediksi penggunaan lahan
Prediksi perubahan penggunaan lahan ditujukan untuk mengestimasi
penggunaan lahan pada tahun 2026. Penggunaan lahan tahun 2000 digunakan
untuk memprediksi penggunaan lahan tahun 2013 dengan memanfaatkan matriks
TPM 2000-2013, alokasi penggunaan lahan, moving filter dan berbagai jumlah iterasi
selanjutnya digunakan untuk simulasi perubahan. Hasil prediksi penggunaan
lahan tahun 2013 kemudian divalidasi dengan menggunakan peta penggunaan
lahan hasil interpretasi citra landsat tahun 2013. Keluaran dari hasil validasi
adalah nilai kappa, dengan nilai kappa yang semakin tinggi berarti semakin tinggi
pula tingkat ketepatan penggunaan lahan hasil simulasi.
Nilai kappa terbesar diperoleh pada iterasi ke-30 dengan nilai kappa sebesar
73.24% dan merupakan titik terjadinya break of slope. Menurut Munibah (2008)
break of slope adalah titik dimana terjadi perubahan penggunaan lahan yang
nyata dan paling efektif untuk menjadi pewakil jumlah iterasi yang digunakan
untuk simulasi penggunaan lahan untuk tahun berikutnya. Hasil validasi prediksi
penggunaan lahan dengan berbagai iterasi dan nilai kappa ditampilkan pada
Gambar 17.
Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2026 diperoleh penggunaan lahan
perkebunan rakyat seluas 46 % dari luas wilayah kawasan hutan produksi
Gedong Wani. Selanjutnya adalah ladang seluas 35 %, area terbangun seluas
11.8%, tubuh air seluas 6.6%, perkebunan PTPN seluas 0.6 % dan hutan seluas
0.01%. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2026 ditampilkan pada Tabel 22.
Kecenderungan perubahan penggunaan lahan tahun 2000, 2013 dan prediksi 2026
ditampilkan pada Gambar 18 dan sebaran spasialnya ditampilkan pada Gambar
19.
Gambar 17. Hasil validasi model prediksi penggunaan
lahan pada berbagai iterasi
52
Tabel 22. Prediksi penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani
tahun 2026
Penggunaan Lahan Tahun 2000 Tahun 2013 Tahun 2026
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas
(ha)
%
Area Terbangun 2 943 9.8 3 245 10.8 3 547 11.8
Hutan 1 155 3.8 34 0.1 2 0.01
Ladang 12 798 42.5 11 092 36.8 10 539 35.0
Perkebunan PTPN 192 0.6 192 0.6 192 0.6
Perkebunan Rakyat 11 181 37.1 13 670 45.3 13 875 46.0
Tubuh Air 1 876 6.2 1 913 6.3 1 991 6.6
Jumlah 30 146 100 30 146 100 30 146 100
Gambar 18. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan di kawasan
hutan produksi Gedong Wani tahun 2000, 2013 dan 2026
Gambar 19. Peta prediksi penggunaan lahan tahun 2026
53
Kecenderungan perubahan penggunaan lahan dan prediksinya pada masa
yang akan datang menunjukan penurunan tegakan hutan yang sangat tajam di
kawasan hutan produksi Gedong Wani, disisi lain terjadi peningkatan tipe
penggunaan lahan perkebunan rakyat dan area terbangun. Kecenderungan
perubahan penggunaan lahan yang terjadi tidak mengarah pada terbentuknya pola
ruang yang sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan produksi, hal ini
mengancam keberlanjutan kawasan hutan yang telah ditetapkan. Untuk itu,
diperlukan arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan yang dapat
mengembalikan kawasan hutan produksi sesuai fungsi dan peruntukannya.
Arahan dan Skenario Kebijakan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan
Produksi Gedong Wani
Berdasarkan analisis perkembangan wilayah dan kajian perubahan
penggunaan lahan, kebijakan pembangunan kehutanan diarahkan pada antisipasi
untuk mengurangi efek penyebaran (spread effect) perkembangan wilayah yang
relatif tinggi terhadap wilayah disekitarnya. Wilayah yang berkembang di
kawasan hutan produksi dengan tingkat perkembangan tinggi pada tahun 2011
berada di kecamatan Tanjung Bintang, tingginya perkembangan wilayah yang
juga diikuti besarnya jumlah penduduk menjadi faktor yang berpengaruh
terhadap penggunaan lahan menjadi ladang dan area terbangun. .
Selain kecamatan Tanjung Bintang, wilayah yang juga menjadi prioritas
pembangunan kehutanan untuk mengurangi dampak perkembangan wilayah
adalah kecamatan Jati Agung, karena kecamatan ini mempunyai proporsi luas
terbesar pada kawasan hutan produksi yaitu sebesar 35%, walaupun
perkembangan wilayah desa-desa di kecamatan Jati Agung relatif sedang dan
rendah pada tahun 2011 akan tetapi potensi wilayah ini untuk berkembang lebih
tinggi sangat besar, akibat pembangunan kota baru Lampung. Kebijakan
penggunaan kawasan hutan melalui mekanime tukar menukar kawasan untuk
pembangunan kota baru Lampung menjadi faktor yang berpengaruh terhadap
perubahan penggunaan lahan menjadi ladang dan area terbangun. Ladang dan area
terbangun merupakan penggunaan lahan yang tidak mendukung pada fungsi
pokok kawasan hutan.
Perubahan penggunaan lahan menjadi ladang dan area terbangun juga
dipengaruhi oleh belum adanya izin pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan.
Lahan yang belum dibebani hak/izin ini mempunyai luas paling besar yaitu 94%
dari luas kawasan hutan. Penggunaan lahan ini perlu diatur atau ditata sesuai
dengan mekanisme yang ada. Dalam menata dan mengatur
pemanfaatan/penggunaan lahan kawasan hutan agar sesuai dengan tujuan yang
diinginkan maka proses perencanaan harus dilakukan. Menurut Sirozujilam
(2007) perencanaan merupakan penyusunan tindakan yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan.
Selanjutnya Sadyohutomo (2008), menyatakan bahwa untuk mencapai suatu
tujuan dalam proses perencanaan paling tidak dibutuhkan 3 unsur pokok tahapan
kegiatan yang harus dilalui yaitu titik tolak, tujuan dan arah. Titik tolak,
merupakan kondisi awal dari mana kita berpijak di dalam menyusun suatu
rencana dan sekaligus nantinya menjadi landasan awal utuk melaksanakan
54
rencana tersebut. Titik tolak perencanaan tata ruang, adalah fakta wilayah kini
(existing condition) dalam hal ini penggunaan lahan dan perkembangan wilayah
merupakan titik tolak dalam perencanaanan tata ruang di kawasan hutan produksi
Gedong Wani. Tujuan, adalah sesuatu keadaan yang ingin dicapai di masa yang
akan datang. Kondisi ruang yang diinginkan dalam rencana tata ruang kawasan
hutan produksi Gedong Wani adalah kesesuaiannya antara penggunaan lahan
dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Arah merupakan pedoman untuk
mencapai rencana dengan cara yang legal, efisien dan terjangkau oleh pelaksana.
Pedoman dapat bersifat normatif, antara lain adalah nilai sosial masyarakat dan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan tahapan perencanaan tata ruang, maka dalam merencanakan
tata ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani agar sesuai dengan tujuan yang
diinginkan masih diperlukan satu kajian yang menjadi arah dan pedoman dalam
mencapai tujuan berdasarkan kondisi aktual yang ada. Pedoman yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan adalah kebijakan terkait pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan produksi.
Kajian kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi
Kawasan hutan merupakan wilayah tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah sebagai kawasan hutan tetap. Akibat dari penetapan ini maka segala
aktifitas terkait dengan penggunaan lahan di dalam kawasan hutan mengandung
konsekuensi hukum (aturan). Terkait dengan kebijakan pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan produksi ada beberapa aturan yang menjadi pedoman
agar pemanfaatan dan penggunaan kawasan sesuai aturan main yang berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang no 41 tahun 1999 tentang kehutanan, bahwa
pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan
jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu. Dalam hal ini sesuai arahan rencana kehutanan
tingkat nasional (RKTN) 2011-2030 mengarahkan pemanfaatan kawasan hutan
produksi untuk pengusahaan hutan skala besar dengan skema hak pengusahaan
hutan tanaman, hak pengusahaan hutan alam dan hak pengusahaan restorasi
ekosistem. Pemanfaatan kawasan hutan produksi untuk pengusahaan hutan skala
kecil dengan skema hutan tanaman rakyat (HTR), hutan kemasyarakatan (HKm)
dan hutan desa (HD).
Selain pemanfaatan untuk sektor kehutanan, kawasan hutan juga digunakan
untuk keperluan sektor non kehutanan. Penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan
hutan produksi dan hutan lindung tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan
(UU 41 tahun 1999). Untuk kepentingan non kehutanan penggunaan kawasan
hutan dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan (perubahan
peruntukan) serta melalui mekanisme izin pinjam pakai (RKTN 2011-2030)
Ketentuan terkait perubahan peruntukan kawasan hutan diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2010 jo Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 10 tahun 2010
tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Berdasarkan
peraturan ini yang dimaksud dengan perubahan peruntukan kawasan hutan adalah
perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Perubahan peruntukan
55
dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika
pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada
optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan
berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan yang cukup dan sebaran yang
proporsional. Perubahan peruntukan kawasan hutan (pelepasan kawasan) hanya
dapat dilakukan pada hutan produksi konversi (HPK).
Terkait dengan kawasan hutan produksi tetap seperti kawasan hutan
produksi Gedong Wani maka perubahan peruntukan kawasan hutan dapat
dilakukan secara parsial melalui mekanisme tukar menukar kawasan hutan.
Ketentuan kegiatan tukar menukar kawasan hutan hanya dilakukan untuk
pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen, menghilangkan
enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan dan memperbaiki
batas kawasan hutan. Ketentuan lain terkait dengan lahan pengganti yang
dipertukarkan dilakukan dengan ratio 1:2 dalam hal luas kawasan hutan kurang
dari 30 % dari luas provinsi.
Ketentuan pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam peraturan pemerintah
Nomor 24 tahun 2010 tentang penggunaan kawasan hutan jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah
nomor 24 tahun 2010 dan Permenhut P.18/2011 yang telah diubah sebanyak dua
kali yaitu Permenhut P.38/2012 dan Permenhut P.14/2013. Izin pinjam pakai
memiliki pengertian izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan.
Penggunaan kawasan hutan dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan
hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan. Secara ringkas ketentuan pemanfaatan dan penggunaan
kawasan hutan produksi disajikan pada Gambar 21.
Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan termasuk dalam kategori perusakan hutan.
Menurut Undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan yang termasuk perusakan hutan adalah
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan tidak sah. Pembalakan liar adalah
pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi, sedangkan
penggunaan kawasan hutan tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan
di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin
Menteri.
Dalam hal penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan secara tidak sah
sebagaimana terjadi di dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani maka
menurut undang-undang ini harus dikembalikan kepada pemerintah untuk
dihutankan kembali sesuai dengan fungsinya. Selama proses pemulihan kawasan
hutan, kebun dapat dimanfaatkan paling lama 1 (satu) daur yaitu jangka waktu
sejak penanaman sampai dengan tanaman secara ekonomis tidak produktif. Untuk
pemanfaatan kebun dalam kawasan hutan, pemerintah dapat memberikan
penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara yang memiliki kompetensi
kegiatan pengelolaan perkebunan untuk mengelola kebun.
UU NO 41
TAHUN 1999
Pemanfaatan
Kawasan Hutan
Penggunaan
Kawasan Hutan
Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu
Pemanfaatan Hasil
Hutan Non Kayu
Pemanfaatan Jasa
Lingkungan
Industri Kehutanan
Sekala Besar (RKTN
2011-2030)
Industri Kehutanan
Skala Kecil (RKTN
2011-2030)
Sektor
Kehutanan
Sektor Non
Kehutanan
Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman
Hak Pengusahaan
Hutan Alam
Tukar Menukar Kawasan
Hutan PP No 10/2010, PP No
60/2012
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
PP No 24/2010,PP No 61/2012,
Permenhut P.18/
2011,Permenhut P.38/2012,
Permenhut P.14/2013
Restorasi Ekosistem
Hutan Tanaman
Rakyat
Hutan
Kemasyarakatan
Hutan Desa
Pemanfaatan
Kawasan Hutan
Sesuai Fungsi Dan
Peruntukan Kawasan
Hutan Produksi
Rehabilitasi (RKTN
2011-2030)
Gambar 21. Mekanisme pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi berdasarkan UU No 41 tahun 1999
dan peraturan turunannya.
57
Arahan skenario penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani
Dalam penyusunan arahan penataan pola ruang mempertimbangkan
keterkaitan penggunaan lahan dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan serta
kebijakan terkait pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi
berdasarkan UU no 41/1999, khusus penggunaan lahan perkebunan rakyat juga
mempertimbangkan UU no 18/2013. Keterkaitan penggunaan lahan dalam
kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan fungsi dan peruntukan kawasan
hutan disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Keterkaiatan penggunaan lahan dengan fungsi dan peruntukan
kawasan hutan produksi
Penggunaan
Lahan
Fungsi Kawasan Hutan Produksi
Sesuai
Peruntukan Penghasil
Kayu
Hasil
Non
Kayu
Penyedia
Lapangan
Kerja
Jasa
Lingkungan
Lainnya
Hutan √ √ √ √ √
Ladang - - √ - -
Perkebunan
Rakyat* √ √ √ √ -
Perkebunan
PTPN* √ √ √ √ -
Area Terbangun
-
Tubuh Air - - - √ √
Keterangan : √ = Sesuai - = Tidak Sesuai
* = Komoditas tanaman karet
Berdasarkan Tabel 23. dan kebijakan pemanfaatan/penggunaan lahan dalam
kawasan hutan produksi, perumusan alternatif kebijakan penggunaan lahan pada
kawasan hutan produksi Gedong Wani sehingga mengarah pada terbentuknya
pola ruang yang sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan produksi
adalah sebagai berikut:
1. Hutan
Penggunaan lahan untuk hutan memenuhi fungsi dan peruntukan kawasan
hutan produksi. Kebijakan yang perlu dilakukan adalah mempertahankan
tegakan hutan yang ada saat ini yaitu sekitar 34 ha dan menambah luas
tegakan hutan dengan merehabilitasi tipe penggunaan lahan lainnya. Arahan
mekanisme pemanfaatan kawasan yang dapat diterapkan adalah dengan
pengusahaan hutan skala besar atau pengusahaan hutan skala kecil.
2. Ladang
Penggunaan lahan untuk ladang pada kawasan hutan produksi tidak memenuhi
fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Arahan kebijakan pemanfaatan kawasan
hutan yang dapat diterapkan pada tipe penggunaan lahan ladang adalah
melakukan rehabilitasi lahan dengan tanaman kehutanan atau pembangunan
58
hutan tanaman. Skema yang dapat diterapkan adalah dengan pengusahaan
hutan skala besar melalui pembangunan hutan tanaman industri atau
pengusahaan hutan skala kecil melalui skema hutan tanaman rakyat, hutan
kemasyarakatan atau hutan desa. Pembangunan hutan tanaman pada
penggunaan lahan ladang dapat dilakukan dengan sistem tumpang sari agar
masyarakat masih dapat memperoleh manfaat ekonomi sebelum tanaman
kehutanan berproduksi.
3. Perkebunan Rakyat
Penggunaan lahan kawasan hutan untuk perkebunan rakyat dapat memenuhi
fungsi kawasan hutan tetapi tidak sesuai dengan peruntukan kawasan hutan.
Penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan rakyat saat ini tidak sesuai
mekanisme peraturan perundang-undangan dan menurut UU No 18/2013
termasuk dalam kategori perusakan hutan. Terkait dengan perkebunan
merupakan bentuk perusakan hutan, terdapat kontradiksi antara maksud UU
no.18/2013 dengan hasil kajian penggunaan lahan perkebunan rakyat di lokasi
penelitian.
Hasil kajian perubahan penggunaan lahan menunjukan bahwa perubahan
penggunaan lahan dalam periode tahun 2000-2013 cenderung pada
peningkatan perkebunan rakyat sebesar 8.3%. Perubahan ini merupakan hasil
konversi ladang seluas 6 040 ha atau 20% dari luasan kawasan hutan
produksi Gedong Wani dan konversi hutan tanaman seluas 474 ha atau 1.6%
dari luas kawasan hutan produksi Gedong Wani. Selain itu, perubahan
penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat di kawasan hutan produksi
Gedong Wani banyak terjadi pada jenis tanah Ultisol. Tanah Ultisol
merupakan tanah tua dan miskin hara sehingga memiliki kesuburan yang
rendah, oleh karena itu untuk mempertahankan kesuburannya penggunaan
tanah ini disarankan ditanami tanaman hutan atau perkebunan (tanaman
tahunan). Pemanfaatan tanah ultisol oleh masyarakat untuk pengembangan
tanaman tahunan perkebunan menunjukan bahwa masyarakat di kawasan hutan
produksi Gedong Wani telah memahami kondisi lahan sehingga
memperlakukan lahan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya.
Berdasarkan hasil kajian tersebut, maka tidak semua perkebunan rakyat di
lokasi penelitian merupakan bentuk perusakan hutan, sebagian besar justru
merupakan bentuk perbaikan atas penggunaan lahan seperti ladang yang
diindikasikan cenderung dapat meningkatkan degradasi lahan. Bahkan, pada
pengembangan jenis komoditas tertentu misalnya jenis tanaman karet dapat
mempunyai fungsi yang hampir mirip dengan fungsi hutan tanaman.
Akan tetapi, sebagai pedoman dalam menyusun arahan kebijakan terkait
dengan penggunaan lahan perkebunan rakyat harus tetap mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan UU No 18/2013,
kebijakan terkait perkebunan yang tidak sah dalam kawasan hutan adalah
dikembalikan kepada Pemerintah untuk dihutankan kembali sesuai dengan
fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Selama proses pemulihan perkebunan
menjadi hutan, kebun masih dapat dimanfaatkan paling lama 1 (satu) daur
yaitu jangka waktu sejak penanaman sampai dengan tanaman tidak produktif
secara ekonomi. Dalam pemanfaatan kebun rakyat, Pemerintah dapat
menugaskan BUMN yang memiliki kompetensi pada pengelolaan perkebunan.
59
4. Perkebunan PTPN
Penggunaan lahan untuk perkebunan PTPN dapat memenuhi fungsi kawasan
hutan produksi tetapi tidak sesuai dengan peruntukan kawasan hutan.
Kebijakan terkait perkebunan PTPN adalah pemanfaatan kebun paling lama 1
daur hingga tanaman tidak produktif secara ekonomi. Area ini kemudian dapat
dihutankan kembali. Akan tetapi, apabila area perkebunan masih dipertahankan
sebagai wilayah kelola dari perkebunan PTPN maka harus dilakukan
perubahan peruntukan kawasan hutan melalui mekanisme tukar menukar
kawasan hutan.
5. Area Terbangun
Penggunaan lahan untuk area terbangun tidak dapat memenuhi fungsi kawasan
hutan dan tidak sesuai dengan peruntukan kawasan hutan. Kebijakan area
terbangun mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
- Lokasi area terbangun berada pada kawasan hutan produksi tetap, sehingga
tidak mungkin ada pelepasan kawasan hutan.
- Hal yang mungkin dapat dilakukan untuk perubahan fungsi dan
peruntukan kawasan hutan adalah dengan mekanisme tukar-menukar
kawasan hutan.
- Mekanisme tukar menukar kawasan hutan terkait pemukiman memenuhi
ketentuan kegiatan diluar sektor kehutanan yang bersifat permanen, akan
tetapi apabila kebijakan ini diterapkan akan menimbulkan enclave pada
kawasan hutan dan menyebabkan kawasan hutan produksi Gedong Wani
menjadi terfragmentasi. Hal ini disebabkan keadaan pemukiman dalam
kawasan hutan menyebar (dispersed) dengan pola memanjang (linier)
yang berorientasi pada jalan utama sehingga membagi kawasan hutan
menjadi beberapa bagian. Apabila terjadi enclave akibat tukar menukar
kawasan hutan akan berdampak pada ketidakkompakan kawasan hutan
yang dapat menimbulkan inefisiensi pengelolaan.
- Mekanisme tukar-menukar mensyaratkan adanya lahan pengganti dengan
ratio 1:2, artinya dengan kondisi aktual penggunaan lahan saat ini sekitar
3 245 ha area terbangun yang ada di kawasan hutan, maka diperlukan
lahan seluas 6495 ha harus tersedia di luar kawasan hutan sebagai
pengganti kawasan hutan yang dipertukarkan. Penyediaan lahan seluas ini
akan sangat sulit ditemukan di Provinsi Lampung apalagi jika beban
penyediaan lahan pengganti tersebut dibebankan pada masyarakat.
- Dari berbagai pertimbangan ini maka mekanisme tukar-menukar kawasan
hutan untuk area terbangun sulit dilakukan.
- Untuk itu, belum adanya strategi generik terkait dengan persoalan area
terbangun dalam kawasan hutan, beberapa strategi yang mungkin dapat
diadopsi dari Kartodihardjo et al. (2011) terkait arahan strategis
menangani konflik tenurial berat dalam kawasan hutan dapat digunakan
untuk arahan kebijakan penggunaan lahan area terbangun yaitu:
melokalisir seluruh area konflik tenurial berat dalam hal ini adalah area
terbangun menjadi daerah tidak efektif produksi sebagai kebijakan transisi
dan secara bertahap membangun kolaborasi untuk mencapai tujuan akhir.
Mengembangkan tata ruang mikro bersama masyarakat untuk memperkuat
60
norma pemanfaatan masing-masing fungsi ruang yang disepakati
masyarakat sebagai kawasan hutan. Merekomendasikan penyelesaian hak
melalui mekanisme revisi tata ruang pada area terbangun yang tidak
mungkin dipertahankan sebagai kawasan hutan.
Intervensi kebijakan terkait penggunaan lahan eksisting, pada kawasan
hutan agar kembali berfungsi sesuai peruntukannya hanya dimungkinkan dengan
melakukan penanaman tanaman kehutanan pada dua tipe penggunaan lahan yaitu
ladang dan perkebunan rakyat yang luasannya saat ini adalah 82,1% . Terdapat
dua mekanisme untuk pemanfaatan kawasan hutan produksi yaitu pengusahaan
hutan sekala besar (koorporasi) dan pengusahaan hutan skala kecil (masyarakat)
Dengan mempertimbangkan perilaku perubahan penggunaan lahan yang
mencermikan sikap masyarakat dalam interaksinya terhadap lahan kawasan hutan
maka pengembangan hutan tanaman skala besar (korporasi) tidak relevan
diterapkan di kawasan hutan produksi Gedong Wani. Hal ini terkait dengan
besarnya klaim lahan kawasan hutan oleh masyarakat dan resistensi masyarakat
terhadap hutan tanaman industri. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka
pengusahaan hutan skala kecil berbasis masyarakat adalah hal yang sangat
mungkin dapat diterapkan dalam pemanfaatan kawasan hutan produksi Gedong
Wani.
Skenario arahan penggunaan lahan (penataan pola ruang) kawasan hutan
produksi Gedong Wani sebagaimana ditunjukan Gambar 22 adalah sebagai
berikut:
1. Hutan
Skenario arahan penggunaan lahan untuk hutan adalah mempertahankan
luasnya pada kondisi eksisting yaitu 34 ha untuk tetap dipertahankan sebagai
tegakan hutan.
2. Ladang
Skenario arahan penggunaan lahan untuk ladang pada kondisi eksisting (di
luar lahan yang diubah peruntukannya melalui tukar menukar kawasan hutan)
direhabilitasi dengan tanaman kayu-kayuan jenis cepat tumbuh (fast growing
species) melalui mekanisme yang ada. Rehabilitasi ladang dengan
mempertimbangkan kesesuaian lahan untuk tanaman tahunan akan dapat
menambah pemanfaatan kawasan menjadi tegakan hutan tanaman seluas
7756 ha atau 25.75% . Adanya faktor pembatas drainase yang terhambat dan
lamanya genangan banjir menyebabkan 2 251 ha atau sekitar 7.4% ladang
tidak sesuai untuk tanaman tahunan secara umum. Oleh karena itu, pada
lokasi ini diarahkan untuk ditanami tanaman kehutanan yang mempunyai
tingkat toleransi terhadap kedua faktor pembatas kesesuaian lahan tanaman
tahunan.
3. Perkebunan Rakyat
Skenario arahan penggunaan lahan untuk perkebunan rakyat seluas 45.33 %
dapat tetap dimanfaatkan sebagai kebun sesuai mekanisme yang ada paling
lama 1 daur sampai dengan tanaman perkebunan tidak produktif secara
ekonomi. Apabila diasumsikan satu daur tanaman perkebunan berumur 20-25
tahun, berdasarkan kajian perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2013
61
seluas 6 574 ha atau 22 % lahan kawasan hutan merupakan perkebunan
rakyat yang dibangun sebelum tahun 2000 dan tidak mengalami perubahan
penggunaan lahan sampai dengan tahun 2013. Hal ini berarti sampai dengan
saat ini tanaman perkebunan rakyat tersebut telah mencapai umur > 13 tahun,
untuk itu diprediksi 10 tahun ke depan umur tanaman perkebunan mengalami
1 daur produksi, sehingga perkebunan rakyat baru dapat direhabilitasi dengan
tanaman kehutanan sekitar tahun 2023. Sisanya, seluas 7 095 ha atau 23.3 %
perkebunan rakyat dibangun setelah tahun 2000 hingga tahun 2013, yang
berarti bahwa tanaman perkebunan saat ini berumur < 13 tahun, sehingga
masa produksinya diperkirakan masih sekitar 15-20 tahun lagi, artinya
perkebunan rakyat ini baru dapat direhabilitasi menjadi tegakan hutan sekitar
tahun 2030.
Gambar 22. Peta arahan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani
62
4. Perkebunan PTPN
Skenario arahan penggunaan lahan untuk perkebunan PTPN seluas 192 ha
atau 0.64 % diarahkan untuk tetap dapat dimanfaatkan sebagai kebun paling
lama 1 daur sampai dengan tanaman perkebunan PTPN tidak produktif
secara ekonomi. Kemudian, dapat dihutankan kembali dan menjadi bagian
dari kawasan hutan produksi Gedong Wani.
5. Area Terbangun
Skenario arahan penggunaan lahan untuk area terbangun (diluar lahan area
terbangun yang menjadi bagian pembangunan kota baru Lampung) seluas
3186 ha atau 10.57 % sebagai area tidak efektif produksi hasil hutan.
Penggunaan lahan ini harus dibatasi, sehingga tidak semakin bertambah
luasnya.
Tubuh air seluas 1 847 ha atau 6.13 % diarahkan untuk tetap dipertahankan
sebagai tubuh air. Selain itu, sekitar 4.03 % luas kawasan hutan produksi Gedong
Wani telah dilepaskan secara parsial melalui mekanisme izin tukar menukar
kawasan hutan untuk pembangunan kota baru Lampung.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh simpulan
sebagai berikut:
1. Tingkat perkembangan desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani
tahun 2003 dan 2011 masing-masing adalah desa dengan tingkat
perkembangan tinggi berjumlah 1 dan 2 desa. Desa dengan tingkat
perkembangan sedang masing-masing berjumlah 13 desa dan desa dengan
tingkat perkembangan rendah masing-masing berjumlah 18 dan 24 desa. Desa
Jati Baru Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan
merupakan desa dengan tingkat perkembangan paling tinggi tahun 2011.
2. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2000 ke 2013 di kawasan hutan
produksi Gedong Wani menunjukkan luas tegakan hutan berkurang sebesar
3.1%. Penurunan luas tegakan hutan dari 3.2% menjadi 0.1% dan ladang dari
42.6% menjadi 36.8%. Peningkatan luas terjadi pada perkebunan rakyat yaitu
dari 37.1% menjadi 45.3% dan area terbangun dari 9.8% menjadi 10.8%.
Penggunaan lahan perkebunan PTPN dan tubuh air relatif tetap.
3. Ditinjau dari aspek fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan
hutan, peluang terbesar terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi area
terbangun dan ladang adalah pada wilayah dengan pertambahan jumlah
63
penduduk sangat tinggi, atau pada wilayah yang terdapat izin resmi
penggunaan kawasan hutan untuk industri, atau pada wilayah yang terdapat
kebijakan tukar menukar kawasan hutan, dan atau pada wilayah yang belum
ada izin pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan. Perubahan penggunaan
lahan menjadi perkebunan rakyat banyak terjadi pada jenis tanah Ultisol .
4. Prediksi penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani pada
tahun 2026 menunjukkan bahwa luas tegakan hutan terus berkurang hingga
menjadi 0.01 %. Peningkatan luas terjadi pada penggunaan lahan perkebunan
rakyat sehingga menjadi penggunaan lahan dominan sebesar 46 %, dan area
terbangun sebesar 11.8 %, sedangkan penggunaan lahan ladang menurun
menjadi 35 %, sisanya merupakan penggunaan lahan perkebunan PTPN, dan
tubuh air.
5. Arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani adalah menambah luas tegakan hutan melalui rehabilitasi lahan pada tipe penggunaan lahan ladang dan perkebunan rakyat melalui mekanisme pemanfaatan kawasan hutan berbasis masyarakat. Rehabilitasi perkebunan rakyat dapat dilakukan setelah tanaman perkebunan tidak produktif secara ekonomi. Kemudian area terbangun dilokalisir sebagai area tidak efektif produksi hasil hutan dan dibatasi agar luasnya tidak semakin bertambah. Prioritas pembangunan kehutanan diarahkan pada antisipasi untuk mengurangi efek penyebaran (spread effect) perkembangan wilayah yang relatif tinggi terhadap wilayah sekitarnya, utamanya pada kecamatan Tanjung Bintang dan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan.
Saran
1. Dalam upaya melibatkan masyarakat untuk pengelolaan hutan produksi
Gedong Wani sehingga mengarah pada pola ruang yang sesuai dengan fungsi
dan peruntukan kawasan hutan, pemerintah disarankan agar segera
memfasilitasi terbentuknya skema pengelolaan hutan yang berbasis
masyarakat seperti hutan tanaman rakyat (HTR), hutan kemasyarakatan
(HKm) ataupun hutan desa (HD).
2. Pertimbangan faktor fisik dalam penataan kawasan hutan produksi Gedong
Wani belum cukup optimal jika tidak disertai pertimbangan faktor-faktor non
fisik. Untuk itu, disarankan perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih
komprehensif terkait dengan kawasan hutan produksi Gedong Wani.
64
DAFTAR PUSTAKA
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. 2009.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung. Bandar
Lampung: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung.
Barlowe, R.1986.Land Resources Economic: The Economic of Real Estate Fourth
Edition. Prentice Hall.Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Bupati Lampung Selatan.2012. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan
Nomor 15 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Lampung Selatan Tahun 2011-2031. Kalianda : Pemerintah Daerah
Kabupaten Lampung Selatan.
Bupati Lampung Timur.2012. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur
Nomor 04 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Lampung Timur Tahun 2011-2031. Sukadana : Pemerintah Daerah
Kabupaten Lampung Timur.
Chen J., G.Peng, H. Chungyang, L. Wei, T. Masyuki, and S. Peijun.2002.
Assessment of the urban development plant of Beijing by using a CA-
based urban growth model. International Journal of Photogrammetic
Engineering & Remote Sensing. 68(10):1063-1073
Dai, Junus., SWP, D.H., Hidayat,A., Sumulyadi., Hendra, S., Yayat, AH.,
Hermawan, A., Buurman, P., dan Balsem, T.1989. Buku Keterangan Peta
Satuan Lahan dan Tanah Lembar Tanjung Karang, Sumatera. Bogor
(ID): Proyek Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Lahan Pengelolaan
Database Tanah, Pusat Penelitian Tanah Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian
Damai, A.A.2006. Pendekatan Sistem Untuk Penataan Ruang Wilayah Pesisir
Kota Bandar Lampung [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Danoedoro, P.2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Jogjakarta (ID):
Penerbit Andi
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999,
tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan
[Dephut] Departemen Kehutanan dan [BPS] Badan Pusat Statistik.2007.
Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007. Jakarta (ID): Departemen
Kehutanan dan Badan Pusat Statistik.
[Dephut]. Departemen Kehutanan dan [BPS] Badan Pusat Statistik.2009.
Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009. Jakarta
(ID): Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik.
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.2012. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka
Panjang UPTD KPH Gedong Wani 2013-2022. Bandar Lampung: UPTD
KPH GedongWani Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
65
[Dirjen Planologi] Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.2011.Pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep, Peraturan Perundangan dan
Implementasi.Jakarta:Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Direktorat
Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan,
Kementerian Kehutanan.
[Dirjen Penataan Ruang] Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen
Pekerjaan Umum.2008. Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
41/PRT/M/2007.Jakarta:Direktorat Jenderal Penataan Ruang.
Departemen Pekerjaan Umum.
Djaenudin, D.2006. Evaluasi lahan mendukung revitalisasi pertanian studi kasus
pada tanaman kedelai di daerah Jati Agung dan Tanjung Bintang
kabupaten Lampung Selatan. J. Tanah dan Air, 1:1-9.
Djaenudin, D., Marwan, H., Subagjo, H., dan A.Hidayat.2011.Petunjuk Teknis
Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.36 Hal.
[FAO] Food and Agriculture Organitation.1976. Framework for Land Evaluation.
FAO Soil Bull. No.32.Rome
Hand, C. 2005. Simple Cellular Automata on Spreadsheet. Computer in Higher Education Economic Review 17 (1):9-13
Hardjowigeno S.1993. Evaluasi Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta (ID):
Akademika Pressindo.
Hardjowigeno S dan Widiatmaka.2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Hartoyo.2013. Resistensi petani terhadap kebijakan pembangunan kota baru
Lampung. J. Adminsitrasi Publik dan Pembangunan. 4 (1): 27-36
Hesaki, S.2012. Analisis Perubahan Penggunaan/ Penutupan Lahan di Area Cagar
Biosfer Cibodas dalam Mendukung Keberadaan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kartodihardjo,H.2004. Pengetahuan Usang Yang Belum Terpakai Akibat
Kerusakan Hutan Bagi Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat
serta Akar Masalahnya. Makalah disampaikan dalam diskusi bertema
Petani Menggugat, Mencari Keadilan dalam Negara Agraris Indonesia
yang dilaksanakan oleh Max Havelar Indonesia Foundation bekerjasama
dengan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia Jakarta 26 Agustus 2004
____________.2008. Perlindungan dan Perebutan Ruang. Apa Prioritas
Restrukturisasi Kehutanan. Makalah disampaikan pada diskusi FORCI
Fahutan IPB, 6 Desember 2008.
66
____________, Nugroho, B., dan Putro, HR.2011.Pembangunan Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep, Peraturan Perundang-undangan dan
Implementasi. Jakarta (ID): Direktorat Wilayah Pengelolaan dan
Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Dirjen Planologi
Kehutanan Kementerian Kehutanan.
____________.2012. Manajemen Perencanaan Lahan. Bahan Ajar Pelatihan
Penegakan Hukum di Bidang SDA-LH dengan Pendekatan Multi-Door.
Tesedia pada: http://www.redd-indonesia.org/images/abook_file/Buku-
Ajar-Terpadu-Pendekatan-Mutidoor.pdf
Kementerian Kehutanan.2011a. Profil KPHP Model Gedong Wani Unit XVI
(Provinsi Lampung) . Tersedia pada:
http://www.kph.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=arti
cle&id=85&Itemid=325
Kementerian Kehutanan.2011b. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor P.49/Menhut-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat
Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030. Jakarta (ID): Kementrian
Kehutanan.
Kementerian Kehutanan.2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta (ID):
Kementrian Kehutanan
Kim, SD., Mizuno, K. and Kobayashi, S.2002. Analysis of Landuse Change
System Using The Species Competition Concept. Landscape and Urban
Planning 58.181-200.0169-2046/02/$20.00 Elsevier Science B.V
Kusworo, A.2000. Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa
Kawasan Hutan di Lampung.Bogor (ID): Pustaka Latin
Liliesand, M.T., dan Kiefer, R.W.1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
(Terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Manson, MS.2001. Integrated Assessment and Projection of Land Use/Land
Cover Change in The Southern Yucaton Peninsular of Mexico. Report
and Review of International Workshop, USA 4-7 Oktober 2007. pp 56-
58
McNeil, J., Alves, D., Arizpe, L., Bykova, O., Galvin, K., Kelmelis, J., Migot
adholla, S., Morissete, P., Moss, R., Ricards, J., Riebsame, W.,
Sadowski, F., Sanderson, S., Skole, D., Tarr, J., Williams M, Yadap S,
and Young, S.1998. Toward a typology and regionalization of land cover
and land use change. Report of working Group B. Cambridge: Press
Syndicate of The University of Cambidge. pp 55-65
Muiz, A.2009.Analisa Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukabumi
[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Munibah, K.2008.Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dan Arahan
Penggunaan Lahan Berwawasan Lingkungan (Studi kasus DAS Cidanau,
Provinsi Banten). [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
67
________, Sitorus, SRP., Rustiadi, E., Gandasasmita, K., Hartisari. 2010. Dampak
Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Erosi di DAS Cidanau, Banten.
J. Tanah dan Iklim 3: 55-69
Munroe, D.K., and Muller, D.2007. Issues in spatially explicit statistical land-
use/cover change (LUCC) model: Example from western Honduras and
the Central Highlands of Vietnam”, Land Use and Policy .24: 521-530,
Elsivier
Panuju, DR.,dan Rustiadi, E.2012. Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan
Wilayah. Bogor: Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian
Bogor.
[P4W] Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB.2006.
Kajian Dinamik Penataan Ruang Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan
Presiden Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Tersedia pada:
http://werdhapura.penataanruang.net/werdhapura/admin/upload_file/UU
%20No%20%2026%20Thn%20%202007%204bbfa8e9ab69e59adce53f1
a654a7e0b.pdf.
________________________.2013.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Purnomo,H.2012. Permodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Adaptif
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: IPB Press & CIFOR
Rustiadi, E., Saefulhakim,S dan Panuju, D.R. 2011. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID) : Crestpent Press dan Yayasan
Obor Indonesia
Sadyohutomo, M.2008.Manajemen Kota dan Wilayah. Realita & Tantangan.
Jakarta (ID): Penerbit Bumi Aksara
Sirojuzilam. 2007. Perencanaan tata ruang dan perencanaan wilayah. WAHANA
HIJAU J. Perencanaan & Pengembangan Wilayah. 2(3):142-149
Sitorus, S.R.P.2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung (ID): PT. Tarsito
Susilo, B.2013. Simulasi spasial berbasis sistem informasi geografi dan cellular
automata untuk perubahan penggunaan lahan di daerah pinggiran kota
Yogyakarta. J. Bumi Lestari, 13 (2): 327-340
Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta (ID): PT. Bumi
Aksara
Veldkamp, A., and Lambin, E.F.2001.Editorial: Predicting Land-Use Change.
Agriculture, Ecosystems and Environment 85: 1-6
68
LAMPIRAN
Kecamatan Nama Desa Jumlah
Penduduk
IPD Jumlah
Jenis
Hirarki
Merbau Mataram Talang Jawa 2526 70,1753 29 Hirarki 1
Batanghari Buana Sakti 3664 54,70336 25 Hirarki 2
Sekampung Udik Gunung Agung 3452 49,53368 24 Hirarki 2
Jati Agung Margo Lestari 2113 42,54446 17 Hirarki 2
Jati Agung Sidoharjo 2197 41,99859 16 Hirarki 2
Jati Agung Sumber Jaya 3839 33,14906 18 Hirarki 2
Katibung Neglasari 3727 36,10157 18 Hirarki 2
Katibung Tanjungagung 6443 44,25673 32 Hirarki 2
Katibung Tanjungratu 6462 37,84704 19 Hirarki 2
Merbau Mataram Tri Harjo 2637 54,64044 19 Hirarki 2
Natar Sukadamai 6155 60,7711 31 Hirarki 2
Tanjung Bintang Jati Indah 3879 33,52473 17 Hirarki 2
Tanjung Bintang Mulyo Sari 3518 33,72348 18 Hirarki 2
Tanjung Bintang Wonodadi 3112 33,24957 19 Hirarki 2
Metro Kibang Margosari 1665 21,94348 13 Hirarki 3
Sekampung Karya Mukti 4279 27,88708 17 Hirarki 3
Sekampung Udik Sindang Anom 5561 20,44085 16 Hirarki 3
Jati Agung Karang Rejo 4618 15,2473 14 Hirarki 3
Jati Agung Purwotani 2681 28,10929 15 Hirarki 3
Jati Agung Sinar Rejeki 5591 29,56679 21 Hirarki 3
Katibung Tanjungan 3462 16,32977 11 Hirarki 3
Katibung Trans Tanjungan 5019 30,10164 18 Hirarki 3
Merbau Mataram Panca Tunggal 3636 14,13774 12 Hirarki 3
Merbau Mataram Sinar Karya 1120 19,09541 11 Hirarki 3
Tanjung Bintang Budi Lestari 7639 8,131427 11 Hirarki 3
Tanjung Bintang Jatibaru 3073 30,83567 17 Hirarki 3
Tanjung Bintang Kertosari 12581 17,79181 23 Hirarki 3
Tanjung Bintang Purwodadi Dalam 3596 17,56427 11 Hirarki 3
Tanjung Bintang Sidomukti 2619 28,06361 13 Hirarki 3
Tanjung Bintang Sinar Ogan 1862 28,65766 13 Hirarki 3
Tanjung Bintang Trimulyo 5101 11,65999 12 Hirarki 3
Metro Kibang Margo Jaya 4962 29,54422 21 Hirarki 3
Jumlah Jenis 32
Jumlah Unit 132.789 1021,327
Ratan 31,91647
Standar deviasi 14,76352
Lampiran 1. Data analisis skalogram pada data podes 2003
69
Nama_Kec Nama_Desa Jumlah
Penduduk
IPD Jumlah
Jenis
Hirarki
Tanjung Bintang Jatibaru 9193 65,2170 33 Hirarki 1
Sekampung Karya Mukti 2757 58,4837 22 Hirarki 1
Jati Agung Sidoharjo 2664 28,7863 17 Hirarki 2
Jati Agung Sumber Jaya 3696 28,2011 19 Hirarki 2
Katibung Neglasari 3934 31,4282 17 Hirarki 2
Katibung Tanjungratu 7315 30,4242 19 Hirarki 2
Merbau Mataram Talang Jawa 2861 47,7231 21 Hirarki 2
Natar Sukadamai 6875 47,3014 24 Hirarki 2
Tanjung Sari Malang Sari 2551 44,9276 21 Hirarki 2
Tanjung Sari Sidomukti 1922 31,0088 16 Hirarki 2
Batanghari Buana Sakti 2339 31,2919 14 Hirarki 2
Batanghari Purwodadi Mekar 1705 27,8024 14 Hirarki 2
Metro Kibang Margo Jaya 3359 31,5895 18 Hirarki 2
Sekampung Mekar Mukti 2046 31,8659 15 Hirarki 2
Sekampung Mekar Mulya 1884 31,5709 16 Hirarki 2
Jati Agung Karang Rejo 4940 16,9101 18 Hirarki 3
Jati Agung Margo Lestari 2544 19,8154 15 Hirarki 3
Jati Agung Purwotani 2257 21,6350 12 Hirarki 3
Jati Agung Sinar Rejeki 6747 23,2133 20 Hirarki 3
Katibung Tanjungagung 7854 19,3087 18 Hirarki 3
Katibung Tanjungan 3965 17,8018 12 Hirarki 3
Katibung Trans Tanjungan 5286 20,2239 17 Hirarki 3
Merbau Mataram Panca Tunggal 4029 23,0266 14 Hirarki 3
Merbau Mataram Sinar Karya 1329 24,7133 11 Hirarki 3
Merbau Mataram Triharjo 3922 24,7110 16 Hirarki 3
Tanjung Bintang Budi Lestari 3835 20,3708 14 Hirarki 3
Tanjung Bintang Jati Indah 3547 16,9982 12 Hirarki 3
Tanjung Bintang Sinar Ogan 1749 24,1442 13 Hirarki 3
Tanjung Bintang Srikaton 3287 22,2570 18 Hirarki 3
Tanjung Bintang Trimulyo 3919 20,0859 16 Hirarki 3
Tanjung Sari Kertosari 8498 26,9267 19 Hirarki 3
Tanjung Sari Mulyo Sari 3481 16,8629 14 Hirarki 3
Tanjung Sari Purwodadi Dalam 4074 17,9935 14 Hirarki 3
Tanjung Sari Wonodadi 3969 19,8213 15 Hirarki 3
Margatiga Tri Sinar 1995 24,5143 12 Hirarki 3
Metro Kibang Jaya Asri 2269 20,3982 13 Hirarki 3
Metro Kibang Margo Sari 1878 24,3818 14 Hirarki 3
Sekampung Udik Gunung Agung 3910 16,7313 12 Hirarki 3
Sekampung Udik Sindang Anom 6039 24,5844 17 Hirarki 3
Jumlah Jenis 39,0
Jumlah Unit 150.424 1075,1
Rataan 27,6
Standar Deviasi 11,2
Lampiran 2. Data analisis skalogram pada data podes 2011
70
Lampiran 3. Citra Landsat TM 5 tahun 2000 dan TM 8 tahun 2013
71
No x y Tutupan Lahan
1 535369 9420485 Perkebunan Rakyat
2 535918 9420531 Perkebunan Rakyat
3 536765 9417862 Area Terbangun
4 536839 9416482 Perkebunan Rakyat
5 536982 9417369 Area Terbangun
6 537036 9416867 Ladang
7 537083 9417405 Area Terbangun
8 537247 9418124 Ladang
9 537273 9414548 Ladang
10 537616 9415110 Ladang
11 537646 942113 Ladang
12 537728 9417153 Area Terbangun
13 537748 9419940 Perkebunan Rakyat
14 538127 9416824 Perkebunan Rakyat
15 538362 9420199 Ladang
16 538430 9414780 Area Terbangun
17 538805 9417498 Perkebunan Rakyat
18 538817 9421392 Perkebunan Rakyat
19 538917 9416710 Perkebunan Rakyat
20 539217 9416852 Ladang
21 539336 9416850 Perkebunan Rakyat
22 539589 9417188 Ladang
23 539699 9416766 Area Terbangun
24 539907 9416781 Area Terbangun
25 539978 9415846 Area Terbangun
26 539995 9416458 Ladang
27 540029 9415132 Area Terbangun
28 540077 9421112 Ladang
29 540124 9420274 Ladang
30 540289 9416931 Area Terbangun
31 540507 9417801 Area Terbangun
32 540610 9421958 Area Terbangun
33 540613 9418398 Perkebunan Rakyat
34 540840 9415306 Area Terbangun
35 541065 9417386 Area Terbangun
36 541276 9422168 Perkebunan Rakyat
37 541290 9418133 Area Terbangun
38 541411 9420263 Ladang
39 541438 9422418 Perkebunan Rakyat
40 541442 9417442 Area Terbangun
41 541530 9419810 Perkebunan Rakyat
42 541591 9422946 Ladang
43 541638 9417350 Area Terbangun
Lampiran 4. Titik koordinat hasil referensi cek lapangan dan cek pada peta bing map
72
No x y Tutupan Lahan
44 541729 9417311 Area Terbangun
45 541737 9416407 Area Terbangun
46 542057 9421116 Hutan
47 542245 9422662 Ladang
48 542271 9421259 Area Terbangun
49 542397 9420932 Hutan
50 542405 9417993 Area Terbangun
51 542424 9422220 Ladang
52 542514 9418161 Area Terbangun
53 542552 9421647 Hutan
54 542567 9417337 Ladang
55 542842 9416148 Perkebunan Rakyat
56 542951 9421380 Ladang
57 543154 9418560 Perkebunan Rakyat
58 543160 9416448 Ladang
59 543551 9422091 Ladang
60 543616 9418629 Perkebunan Rakyat
61 543653 9415628 Ladang
62 544326 9416098 Ladang
63 544378 9420462 Area Terbangun
64 544384 9420488 Area Terbangun
65 544421 9423111 Area Terbangun
66 544524 9416822 Area Terbangun
67 544657 9418858 Area Terbangun
68 544669 9421945 Ladang
69 544749 9418909 Area Terbangun
70 544775 9419354 Perkebunan Rakyat
71 544928 9414720 Area Terbangun
72 545079 9418330 Area Terbangun
73 545612 9417315 Perkebunan Rakyat
74 545991 9416007 Ladang
75 546671 9418756 Area Terbangun
76 546749 9398024 Ladang
77 546768 9418732 Area Terbangun
78 547058 9416798 Ladang
79 547091 9418554 Ladang
80 547202 9417745 Perkebunan Rakyat
81 547285 9398671 Ladang
82 547439 9415442 Ladang
83 547625 9402159 Area Terbangun
84 547631 9400409 Area Terbangun
85 547656 9418879 Perkebunan Rakyat
86 547913 9398174 Ladang
Lampiran 4. (Lanjutan)
73
No x y Tutupan Lahan
87 548428 9399883 Tubuh Air
88 548688 9416173 Ladang
89 548703 9417110 Ladang
90 548739 9418843 Area Terbangun
91 548851 9418275 Area Terbangun
92 548897 9403763 Perkebunan PTPN
93 548988 9418846 Area Terbangun
94 549617 9414472 Area Terbangun
95 549674 9399316 Area Terbangun
96 550059 9402843 Area Terbangun
97 550747 9403877 Tubuh Air
98 551130 9407149 Perkebunan PTPN
99 551598 9407703 Perkebunan Rakyat
100 551763 9413939 Area Terbangun
101 551909 9406015 Area Terbangun
102 552179 9396132 Ladang
103 552489 9400232 Area Terbangun
104 552569 9407445 Perkebunan Rakyat
105 552917 9389114 Perkebunan Rakyat
106 552959 9397565 Perkebunan Rakyat
107 553069 9397297 Perkebunan Rakyat
108 553226 9387961 Area Terbangun
109 553285 9404354 Area Terbangun
110 553292 9398781 Perkebunan Rakyat
111 553509 9405913 Area Terbangun
112 553529 9405824 Area Terbangun
113 553729 9411193 Area Terbangun
114 553820 9391724 Perkebunan Rakyat
115 553896 9404981 Area Terbangun
116 554132 9404835 Perkebunan Rakyat
117 554564 9411845 Tubuh Air
118 555854 9389332 Area Terbangun
119 556378 9410316 Perkebunan Rakyat
Lampiran 4. (Lanjutan)
74
Lampiran 5. Hasil analisis regresi logistik binner.
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Perubahan Lahan Menjadi_Area_Terbangun
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 149.523 21 .000
Block 149.523 21 .000
Model 149.523 21 .000
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 18.813 8 .016
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Perubahan Penggunaan Lahan menjadi Perkebunan Rakyat
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 80.606 21 .000
Block 80.606 21 .000
Model 80.606 21 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 3279.863a .030 .042
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter
estimates changed by less than .001.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 3.474 8 .901
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square Nagelkerke R Square
1 1639.444a .054 .111
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has
been reached. Final solution cannot be found.
75
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Perubahan Penggunaan Lahan Menjadi Ladang
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 149.523 21 .000
Block 149.523 21 .000
Model 149.523 21 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 1639.444a .054 .111
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum
iterations has been reached. Final solution cannot be found.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 18.813 8 .016
76
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabumi Lampung Utara pada
tanggal 13 Agustus 1980 sebagai anak terakhir dari pasangan
Widodo AP dan Sudarmilah. Pendidikan Sarjana ditempuh di
Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada
tahun 2004. Kesempatan melanjutkan ke program Pascasarjana
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB diperoleh
pada tahun 2012 melalui beasiswa pusat pembinaan, pendidikan
dan pelatihan perencana (Pusbindiklatren) Bappenas.
Penulis bekerja sebagai staf Dinas Kehutanan Provinsi Lampung sejak tahun
2006 ditempatkan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Inventarisasi dan Perpetaan
Hutan sampai dengan tahun 2009. Tahun 2009 sampai dengan saat ini penulis
ditempatkan pada bidang rehabilitasi dan reklamasi hutan pada instansi yang
sama.