kajian strategi penguatan klaster untuk mendukung pasokan
TRANSCRIPT
WORKING PAPER
KAJIAN STRATEGI PENGUATAN KLASTER UNTUK MENDUKUNG PASOKAN KOMODITAS
VOLATILE FOODS
Yunita Resmi Sari Noviarsano Manullang
Nurchair Farliani Melia Oktarina
Fauzan Rahman Akhmad Jaeroni Chaikal Nuryakin Hamdan Bintara
2015
WP/8/2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis
dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia.
1
KAJIAN STRATEGI PENGUATAN KLASTER UNTUK MENDUKUNG PASOKAN KOMODITAS VOLATILE FOODS
Yunita Resmi Sari, Noviarsano Manullang, Nurchair Farliani, Melia Oktarina, Fauzan Rahman, Akhmad Jaeroni, Chaikal Nuryakin,
Hamdan Bintara
Abstrak
Penyumbang utama inflasi berasal dari komoditas volatile foods yang pergerakan harganya sangat dipengaruhi oleh faktor musim. Pasokan komoditas bahan pangan tersebut dipengaruhi oleh gangguan produksi, distribusi, atau kebijakan pemerintah. Gangguan pada produksi menyebabkan pasokan komoditas yang tidak mencukupi jumlah permintaan. Program pengembangan klaster menjadi bentuk keikutsertaan Bank Indonesia untuk menjaga sisi penawaran untuk menjaga pergerakan harga kelompok bahan makanan. Kehadiran klaster diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dari komoditas dengan mengelola klaster menggunakan pendekatan rantai nilai (value chain). Kajian dilakukan untuk mengetahui
dan meningkatkan peran klaster dalam mendukung pasokan dan mengendalikan harga komoditas volatile foods. Kajian dilakukan di klaster
dua komoditas di enam daerah, yaitu tiga daerah untuk komoditi cabai (Kabupaten Jember-Jawa Timur, Kabupaten Minahasa-Sulawesi Utara, dan Kabupaten Tanah Datar-Sumatera Barat) dan tiga daerah untuk komoditi bawang merah (Kabupaten Majalengka-Jawa Barat, Kota Palangkaraya-Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Simalungun-Sumatera Utara). Kajian ini menggunakan beberapa alat analisis, yaitu wawancara mendalam dengan stakeholders klaster, analytical hierarchy process (AHP), dan analisis SWOT. Secara nasional terjadi surplus produksi cabai terhadap konsumsi. Namun, sulit memanfaatkan kondisi surplus di tingkat nasional untuk stabilitas harga di daerah pusat konsumsi karena cabai bersifat perishable,
sedangkan preferensi konsumsi terhadap cabai dalam bentuk segar. Gejolak harga cabai lebih ditentukan oleh jauhnya lokasi produsen dan konsumen dan faktor musiman permintaan. Pembentukan harga rata-rata nasional cabai relatif didorong oleh fundamental current production dan consumption yang sifatnya mingguan bahkan harian. Untuk komoditas bawang merah, secara nasional mengalami surplus, tetapi masih terjadi lonjakan harga pada waktu tertentu. Hal itu disebabkan sentra produksi bawang merah relatif tidak merata dan hanya berpusat di Jawa dan NTB. Selain itu, permintaan bawang merah relatif tidak memiliki lonjakan musiman yang tinggi jika dibandingkan dengan cabai.
Key word : volatile foods, harga pangan
JEL Classification : Q00, Q11
2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bank Indonesia memiliki tugas untuk memenuhi target atau sasaran inflasi,
sebagaimana tertuang pada Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun
2004. Dalam melaksanaan tugas tersebut, Bank Indonesia berkoordinasi dengan
Pemerintah.
Berdasarkan data perbandingan target dan aktual inflasi tahun 2010 s.d. 2015
(Bank Indonesia, 2015), secara umum terdapat deviasi antara target inflasi yang
telah ditetapkan dan inflasi yang terjadi. Tabel 1 menunjukkan data inflasi yang
ditargetkan beserta inflasi aktual dari 2010 s.d. 2015.
Tabel 1. Perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi
Tahun Target Inflasi Inflasi Aktual
(%, yoy)
2010 5+1% 6,96
2011 5+1% 3,79
2012 4.5+1% 4,30
2013 4.5+1% 8,38
2014* 4.5+1% 8,36
2015* 4+1% 3,35
Sumber: Bank Indonesia, 2015
Keterangan: *) berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012
tanggal 30 April 2012
Adanya kesenjangan antara target dan inflasi aktual memicu Bank Indonesia
untuk terus menyempurnakan instrumen pengendalian inflasi. Formulasi kebijakan
moneter yang tepat dibutuhkan untuk mengendalikan inflasi ke level yang
diinginkan.
Secara historis, penyumbang utama inflasi berasal dari komoditas volatile
foods yang pergerakan harganya sangat dipengaruhi oleh faktor musim. Tekanan
pergerakan harga pada kelompok volatile foods lebih dipicu oleh supply shocks,
sedangkan permintaan komoditas cenderung stabil karena merupakan kebutuhan
pokok (Prastowo, Nugroho dkk., 2008).
3
Sisi penawaran pada komoditas bahan pangan tersebut dipengaruhi, baik
oleh gangguan produksi, distribusi, maupun kebijakan pemerintah. Gangguan pada
produksi menyebabkan pasokan komoditas yang tidak mencukupi permintaan.
Produksi komoditas sangat tergantung pada cuaca. Komoditas bahan pangan juga
mempunyai sifat perishable (mudah rusak). Efisiensi kegiatan distribusi dipengaruhi
oleh panjang mata rantai distribusi dan margin keuntungan yang ditetapkan oleh
setiap mata rantai distribusi serta kondisi sektor transportasi. Gangguan terhadap
kegiatan distribusi dapat memicu kelangkaan komoditas. Sementara itu, kebijakan
pemerintah dalam hal penetapan harga (administered prices) untuk komoditas,
seperti BBM, tarif listrik, dan tarif angkutan dapat menggerakkan harga komoditas,
khususnya komoditas perishable serta dapat mempengaruhi ekspektasi inflasi
masyarakat.
Program pengembangan klaster menjadi bentuk keikutsertaan Bank
Indonesia dalam menjaga sisi penawaran. Pendekatan klaster merupakan suatu
kegiatan pengelompokan industri inti yang saling terkait, baik industri pendukung,
infrastruktur, jasa penunjang, insfrastruktur informasi dan teknologi, sumber daya
alam, maupun lembaga terkait (PRES, 2013). Kehadiran klaster diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas dari komoditas dengan mengelola klaster dengan
pendekatan value chain (rantai nilai). Hasil penguatan peran klaster diharapkan
mampu mendukung peningkatan pasokan komoditas di daerah. Peningkatan
pasokan diharapkan menjaga kestabilan harga komoditas. Dalam jangka panjang,
diharapkan sumbangan inflasi dari komoditas volatile foods dapat lebih terkendali.
Program klaster diawali oleh Bank Indonesia sejak tahun 2007. Hingga akhir
2015 Bank Indonesia telah mengembangkan lebih dari 100 klaster di hampir semua
Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia. Komoditas yang didukung meliputi
komoditas di sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, dan industri
pengolahan. Pengembangan klaster sejak tahun 2014 difokuskan pada klaster
komoditas yang mendukung ketahanan pangan yang berkontribusi dalam inflasi
atau produk unggulan yang memiliki kontribusi dalam perekonomian. Berdasarkan
data komoditas kelompok volatile foods, lima komoditas utama penyumbang
terbesar inflasi dalam lima tahun terakhir adalah beras, bawang merah, cabai
merah, daging sapi, dan bawang putih (DKEM BI, 2014).
4
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
Dalam rangka meningkatkan peran klaster untuk mendukung pasokan dan
pengendalian harga komoditas volatile foods, dilakukan kajian mengenai strategi
guna menguatkan peran klaster dalam mendukung ketersediaan pasokan
komoditas dengan share tertinggi terhadap inflasi.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan kajian ini adalah
(1) menganalisis kondisi dan peran klaster dalam mendukung pasokan komoditas
volatile foods sebagai upaya pengendalian harga; dan
(2) merekomendasi strategi penguatan klaster dalam rangka mendukung pasokan
komoditas volatile foods sebagai upaya pengendalian harga.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inflasi
Terjadinya peningkatan tingkat harga pada level agregat dalam perekonomian
secara terus menerus merupakan definisi inflasi berdasarkan Blanchard (2004).
Dengan mengacu pada teori ekonomi Neo-Keynesian dalam Gordon (1997), salah
satu pendekatan determinan inflasi di Indonesia dapat dijelaskan melalui konsep
inflasi penawaran (cost-push inflation) atau lazim disebut supply-shock inflation,
yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan pada biaya produksi atau biaya
pengadaan barang dan jasa. Adanya guncangan pada penawaran (cost push shock)
akan bertransmisi melalui rantai produksi dan akan mempengaruhi harga jual
barang (Bloch, 2004).
BPS memublikasikan pengelompokan inflasi yang disebut disagregasi inflasi,
yang terdiri atas inflasi inti, inflasi administered price, dan inflasi volatile food. Inflasi
inti (core inflation) adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya
dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum (faktor-faktor fundamental
seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan permintaan dan penawaran
agregat) yang akan berdampak pada perubahan harga-harga secara umum dan lebih
bersifat permanen dan persistent. Inflasi administered (administered price) adalah
inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya secara umum diatur
pemerintah. Adapun inflasi volatile foods yaitu inflasi yang dominan dipengaruhi
oleh kejutan (shocks ) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan
alam, faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik, atau perkembangan
harga komoditas pangan internasional (BPS).
2.2 Permasalahan Komoditas Cabai dan Bawang Merah
Cabai dan bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran penting
dan bernilai ekonomis tinggi di Indonesia. Cabai memiliki sifat mudah rusak
(perishable) dan musiman (seasonal) yang bergantung pada iklim yang membuat
cabai tidak dapat ditanam dan dipanen sepanjang tahun. Sifat musiman inilah yang
menyebabkan komoditas ini berlimpah pada musim panen sehingga harga jualnya
merosot, sedangkan harga cabai melonjak ketika pasokannya terbatas.
6
Bawang merah memiliki permasalahan pada sumber daya, teknologi
pemilihan lahan serta alih fungsi lahan. Beberapa lahan di sentra produksi di Jawa,
khususnya Cirebon, telah mengalami degradasi hara. Kurang optimalnya sarana
produksi yang mencakup varietas bibit, pupuk, serta penyiraman turut menambah
kurang optimalnya produksi bawang merah.
Permasalahan di off-farm yang sering terjadi adalah adanya hambatan
transportasi dan distribusi, seperti kerusakan jalan dan gangguan penyeberangan
antarpulau. Produk di sentra produksi tidak dapat segera dikirim ke daerah
pemasaran sehingga terjadi penumpukan hasil yang mengakibatkan turunnya
harga di tingkat produsen serta meningkatnya kerugian akibat sebagian komoditas
mengalami kerusakan. Selain itu, para petani merugi karena harga yang diterima
petani dikendalikan oleh para pedagang yang memiliki kekuatan besar.
Berdasarkan karakteristiknya, bawang merah dan cabai tergolong dalam
komoditas volatile foods yang sering menjadi kontributor utama penyebab inflasi
volatile foods.
2.3 Klaster
Klaster adalah beberapa perusahaan secara bersamaan bersaing dan
berkolaborasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (Porter, 1990 dalam Boja,
2011). Keberadaan klaster akan membawa dampak dan hasil positif, seperti
mengurangi biaya, waktu, dan transportasi. Juga terdapat konsentrasi tenaga kerja
yang telah terspesialisasi dan kemudahan pertukaran informasi (Marshall 1890 dan
Krugman 1991 dalam Boja 2011).
Porter (1998) dalam Kuah (2002) menyebutkan bahwa klaster secara tidak
langsung mampu mempengaruhi kompetisi dan menciptakan keunggulan
kompetitif, melalui peningkatan produktivitas perusahaan yang berbasis klaster,
inovasi yang lebih terarah dan peningkatan kecepatan inovasi dalam mendukung
pertumbuhan produktivitas, serta dorongan terbentuknya bisnis baru yang
nantinya akan mengembangkan dan memperkuat klaster serta memberi umpan
balik yang positif. Selain itu, Kuah (2002) juga menyimpulkan bahwa klaster akan
membawa eksternalitas positif dari sisi konsumen. Dengan letak perusahaan yang
berdekatan satu sama lain, pelanggan potensial dapat mengurangi biaya pencarian
dalam rangka membandingkan harga dan kualitas. Dalam hal ini, reputasi dari
7
klaster, baik dari segi kualitas maupun inovasi yang akan membuat konsumen
menjadi seorang pelanggan.
Tabel 2. Cost and Benefit Analysis of Locating in Cluster
SISI PERMINTAAN SISI PENAWARAN
MANFAAT 1. Kedekatan dengan konsumen 2. Mengurangi biaya pencarian
dari konsumen 3. Eksternalitas informasi 4. Reputasi
1. Efek spillover pengetahuan 2. Tenaga kerja yang
terspesialisasi 3. Keuntungan infrastruktur
4. Eksternalitas informasi
BIAYA Kompetisi di pasar output Kompetisi di pasar input (lahan dan tenaga kerja)
Sumber: Swann et al. (1998) dalam Kuah (2002)
Solvell (2008) dan Sovell et al. (2003) dalam Boja (2011) mencoba
mendefinisikan model klaster yang berbeda. Klaster di sini dibangun di sekitar para
pelaku yang keputusan dan tindakannya mempengaruhi perkembangan klaster.
Para pelaku klaster yang dimaksud adalah pemerintah (baik pusat maupun lokal),
sistem keuangan, sistem pendidikan dan penelitian, usaha kecil dan menengah
(baik publik maupun privat), lembaga nonpemerintah, serta saluran media.
Sumber: Solvell (2008) dalam Boja (2011)
Gambar 1. Model Klaster Faktor
Klaster juga merupakan bentuk jaringan yang terbentuk berdasarkan lokasi
geografis. Kedekatan antarperusahaan dan antarlembaga memastikan kesamaan
ClusterGovernment and Public Structure
Business Environment
MediaEducation and
Research
Organization for Promotion
and Collaboration
Financial System
8
tertentu sehingga mampu meningkatkan frekuensi dan dampak positif dari
komunikasi dan interaksi. Di Indonesia klaster secara alamiah terbentuk dari
aktivitas tradisional dari komunitas lokal yang secara spesifik memproduksi
komoditas tertentu. Berdasarkan keuntungan komparatif dari produk yang dibuat,
pelaku usaha dapat memanfaatkan kelebihan barang mentah dan tenaga kerja lokal
yang tersedia untuk lebih berkembang, sebagai contoh beberapa pengusaha batik
yang bergabung dengan klaster-klaster di beberapa daerah di pulau Jawa
(Tambunan, 2006). Selain itu, pengelompokan produsen furnitur rotan di desa
Tegalwangi, Jawa Barat mempu menciptakan satelit-satelit kegiatan industri skala
kecil di desa tetangga (Smyth, 1992 dalam Tambunan, 2006). Produsen furnitur
kayu di Jepara, Jawa Tengah yang membentuk klaster furnitur telah tumbuh dari
tahun 1980 dan mampu mentransformasi kota tersebut menjadi pusat komersial
yang berkembang (Schiller dan Martin-Schiller, 1997 dalam Tambunan, 2006).
PRES (2013) menyebutkan bahwa permasalahan klaster, antara lain, adalah
keterbatasan modal, sumber daya manusia, pemanfaatan kredit yang tidak sesuai,
dan keterbatasan infrastruktur. Keberhasilan pengembangan ekonomi berdasarkan
klaster perlu didukung pihak pengambil kebijakan yang terkait. Pemerintah
bukanlah satu-satunya pemain kunci dalam pengembangan klaster, tetapi
pemerintah memiliki peran penting. Peran yang dimaksud dalam kesuksesan
pengembangan klaster, antara lain, adalah pengambilan kebijakan yang
mendukung kebijakan ekonomi (pendidikan, pasar tenaga kerja, dan peraturan
persaingan), menjadi fasilitator, serta kebijakan pengaturan subsidi (Ketels dan
Memedovic, 2008).
9
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup
Penelitian ini mencakup hal-hal sebagai berikut.
1. Literature review tentang inflasi, terutama yang diakibatkan oleh volatile foods.
Faktor yang mempengaruhi harga volatile foods, antara lain ialah pola distribusi
dan struktur pasar dari komoditas volatile foods; kebijakan dan strategi
pemerintah terkait, terutama komoditas volatile foods; serta perkembangan impor
komoditas volatile foods.
2. Klaster yang akan dikaji adalah klaster ketahanan pangan untuk komoditas
volatile foods, yaitu komoditas cabai dan bawang merah.
3. Kajian akan difokuskan pada sampel klaster yang mewakili wilayah komoditi
cabai merah atau bawang merah. Wilayah yang dipilih juga mewakili daerah yang
merupakan sentra produksi ataupun bukan merupakan sentra produksi
komoditas cabai dan bawang merah.
4. Analisis strategi penguatan klaster mencakup antara lain:
(a) analisis karakter inflasi di daerah sampel, terutama komoditi cabai dan
bawang merah, antara lain pola dan penyebabnya yang dikaitkan dengan
pasokan komoditi tersebut di KPw BI sampel;
(b) analisis kondisi klaster di daerah sampel, antara lain, meliputi (i) aspek
produksi (jumlah produksi, ketersediaan bahan baku, dan teknologi yang
dipakai) dan aspek pasar (distribusi dalam/luar klaster, pemasaran produk,
persaingan, dan peluang pasar); (ii) pengaruh atau dampak klaster terhadap
harga komoditas; (iii) kebijakan dan program terkait di daerah KPw BI sampel;
dan (iv) aspek lingkungan eksternal meliputi sosial dan ekonomi, kebijakan
pemerintah, serta kondisi infrastruktur dan sarana transportasi; dan
(c) identifikasi kendala dan kondisi yang tidak mendukung yang dihadapi di tiap-
tiap KPw BI sampel, identifikasi kondisi yang mendukung peningkatan
pasokan komoditas di dalam klaster (FGD), identifikasi strategi dan upaya
penguatan yang dilakukan (SWOT), serta peran klaster dalam strategi
tersebut. Setelah itu, dilakukan pemilihan atau penyusunan prioritas
dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur (AHP).
10
Gambar 2. Diagram Alur Proses Strategi Penguatan Klaster
3.2 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Data primer diperoleh dari penyebaran kuesioner, wawancara mendalam, dan
pelaksanaan focus group discussion (FGD) dengan stakeholders, antara lain KPw
BI pelaksana program klaster, tenaga ahli klaster, pelaku klaster a.l. petani,
petugas pendamping/PPL, tokoh klaster terkait, dan akademisi. FGD bertujuan
untuk memperoleh masukan ataupun informasi mengenai aspek produksi
(jumlah produksi, ketersediaan bahan baku, dan teknologi yang dipakai) dan
aspek pasar (distribusi dalam/luar klaster, pemasaran produk, persaingan dan
peluang pasar), pengaruh atau dampak klaster terhadap harga komoditas, aspek
lingkungan eksternal meliputi sosial dan ekonomi, kebijakan pemerintah, serta
informasi-informasi lain yang mendukung tercapainya tujuan penelitian.
b. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, data dan informasi dari data internal
Bank Indonesia, stakeholders pelaksana program klaster, kementerian/ dinas
terkait, pihak swasta, lembaga, dll.
Sementara, metode analisis antara lain terdiri atas
a. SWOT (strength-weakness–opportunity-threat) untuk mengidentifikasi berbagai
faktor secara sistematis guna merumuskan strategi penguatan klaster. Analisis
ini didasarkan pada hubungan atau interaksi antara unsur-unsur internal di
dalam kondisi klaster, yang meliputi kekuatan dan kelemahan, terhadap unsur-
unsur eksternal di luar kondisi klaster yaitu meliputi peluang dan ancaman.
b. Analisis strategi penguatan yang perlu dilakukan untuk tiap-tiap kondisi klaster
(sentra atau nonsentra). Hal itu dapat dilakukan berdasarkan rekomendasi para
ahli dengan menggunakan metode analytic hierarchy process (AHP) atau
menggunakan metode lain yang sesuai.
11
3.3 Metode Sampling
Metode pengambilan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive
sampling) dengan mempertimbangkan kondisi setiap daerah yang berbeda
karakteristik inflasi dan klasternya. Wilayah klaster yang dipilih merupakan sentra
dan nonsentra yang mampu menjaga inflasi dengan cukup stabil. Wilayah sampel
meliputi klaster di enam daerah, yaitu sebagai berikut.
1. Kabupaten Jember, Jawa Timur, yaitu klaster cabai merah yang merupakan
daerah sentra produksi.
2. Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, yaitu pengembangan klaster bawang merah
di Cirebon, Jawa Barat (daerah nonsentra).
3. Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, yaitu klaster cabai rawit yang merupakan
daerah sentra produksi.
4. Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yaitu klaster bawang merah yang baru
dikembangkan (daerah non sentra).
5. Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yaitu klaster bawang merah yang
merupakan daerah sentra produksi.
6. Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, yaitu klaster cabai yang merupakan
daerah sentra produksi.
3.4 Analytic Hierarchy Process (AHP)
Analytic hierarchy process (AHP) adalah metode pengambilan keputusan
dengan cara memecah suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke
dalam kelompok-kelompok dan mengaturnya ke dalam suatu hierarki. Metode AHP
dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan program urusan di pemerintahan.
Dalam mengisi matriks yang perlu dilakukan adalah membandingkan
pengaruh atau tingkat kepentingan elemen-elemen pada setiap level pertanyaan
dengan menggunakan nilai skala seperti yang dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
AHP dilakukan dengan membandingkan satu variabel dengan variabel lain,
misalnya adalah sebagai berikut.
a. Penilaian terhadap elemen-elemen permasalahan setiap level yang sedang diteliti
prioritasnya dalam menganalisis kondisi dan peran klaster dalam mendukung
pasokan komoditas volatile foods sebagai upaya pengendalian harga dinyatakan
secara numerik dengan skala angka 1 sampai dengan 9.
12
b. Angka-angka tersebut menunjukkan suatu perbandingan dari dua elemen
pernyataan dengan skala kuantitatif 1 sampai dengan 9. Untuk menilai
perbandingan tingkat intensitas kepentingan suatu elemen terhadap elemen yang
lain digunakan kriteria sebagai berikut.
Intensitas Kepentingan
Keterangan/Definisi Verbal
Penjelasan
1 Sama pentingnya (equal importance)
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan.
3 Sedikit lebih penting (moderate importance)
Pengalaman dan penilaian sedikit
menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya.
5 Lebih penting
(essential / strong importance)
Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya.
7 Jelas lebih penting
(very strong importance) Satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam praktik.
9 Mutlak sangat penting (extreme importance)
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.
2, 4, 6, 8 Nilai-nilai di antara dua nilai pertimbangan yang
berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara dua pilihan.
c. Dalam penilaian kepentingan relatif dua elemen, berlaku aksioma reciprocal.
Artinya adalah jika elemen i (kolom 1) diberi nilai 5 kali lebih penting dibanding
dengan elemen j, elemen j harus sama dengan 1/5 kali lebih penting dibanding
elemen i.
d. Jika elemen pada kolom 1 (sebelah kiri) lebih penting daripada elemen kolom 2
(sebelah kanan), nilai perbandingan itu diisikan pada kolom 1 dan jika sebaliknya
diisikan pada kolom 2.
Di dalam AHP dikenal sebuah istilah, yaitu inkonsistensi. Inkonsistensi
adalah nilai ketidakkonsistenan yang disebabkan oleh kesalahan perhitungan,
kurangnya informasi, kurangnya konsentrasi pada saat pengambilan data, dan
kemungkinan pada keadaan dunia nyata yang selalu berubah. AHP mengizinkan
terjadinya inkonsistensi dengan batas nilai maksimum sebesar 10%.
13
3.5 SWOT
Secara umum SWOT adalah salah satu alat untuk menganalisis lingkungan
internal atau eksternal untuk merumuskan strategi apa yang akan digunakan oleh
suatu organisasi. Namun, untuk tujuan analisis, komponen SWOT tersebut dapat
diartikan sebagai berikut.
a. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari internal klaster atau
dapat dikontrol oleh klaster.
1) Strength (kekuatan) adalah sumber (resource), skill, dan faktor-faktor lain
yang secara relatif lebih unggul yang dimiliki oleh daerah survei. Contoh:
akses permodalan atau manajemen yang baik.
2) Weakness (kelemahan) adalah keterbatasan atau kekurangan dalam
sumber, skill, dan faktor-faktor lain yang secara serius menghambat
kinerja/produktivitas klaster. Contoh: penelitian pengembangan, budaya
wirausaha.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada di luar klaster yang tidak
dapat dikontrol secara langsung oleh klaster.
1) Opportunity (kesempatan) adalah situasi dominan yang menguntungkan
yang terdapat pada lingkungan klaster. Contoh: peraturan perundang-
undangaan, dan dukungan Pemda dalam pengembangan klaster.
2) Threat (hambatan) adalah situasi dominan pada klaster yang tidak
menguntungkan untuk mempengaruhi pasokan atau stabilitas harga.
Contoh: infrastruktur yang tidak memadai dan kompetisi dengan dengan
komoditas yang lain.
Analisis SWOT ini selanjutnya akan digunakan sebagai alat bantu untuk
merumuskan strategi yang tepat terhadap penguatan klaster dalam meningkatkan
pasokan yang berdampak pada stabilisasi harga di kabupaten tersebut. Dalam
penelitian ini kuesioner SWOT berisi dua tabel utama, yaitu penilaian tentang
kondisi saat ini dan urgensi pembangunan/penanganan ke depan berkaitan dengan
permasalahan subbidang/faktor dengan lebih spesifik. Untuk itu, setiap subbidang
14
dibagi dalam dua katagori, yaitu internal (untuk mendapatkan strength dan
weakness) serta eksternal (untuk mendapatkan opportunity dan threat).
1. Penilaian skor, yaitu penilaian pada potensi maupun capaian hasil pada saat ini
serta capaian yang diharapkan pada lima tahun ke depan. Penilaian responden 1
sampai dengan 8 dengan penjelasan:
angka 1 = mutlak sangat kurang
angka 2 = amat sangat kurang
angka 3 = sangat kurang
angka 4 = kurang
angka 5 = baik
angka 6 = sangat baik
angka 7 = amat sangat baik
angka 8 = mutlak sangat baik
2. Penilaian urgensi, yaitu penilaian terhadap tingkat urgensi faktor tersebut untuk
ditangani. Penilaian ini berhubungan dengan skala prioritas di dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan yang tercermin melalui faktor-
faktor tersebut.
angka 1 = tidak urgen
angka 2 = agak urgen
angka 3 = urgen
angka 4 = sangat urgen
Hasil dari kuesioner tersebut adalah angka/kuantitatif. Setiap pertanyaan
yang dijawab oleh responden dalam bentuk skala akan dihitung sehingga diperoleh
klaster masing-masing. Tiap skala akan diformulasikan ke dalam sebuah strategi
penguatan klaster. Setelah itu, kita akan melihat kuadran hasil pengolahan dengan
menghitung jumlah setiap skor yang telah dikalikan dengan tingkat urgensinya.
Kuadran inilah yang berfungsi sebagai peta dari strategi penguatan klaster.
Selanjutnya dibuat matriks SWOT berdasarkan kekuatan dan kelemahan dengan
kesempatan dan hambatan. Berdasarkan kuadran dan matriks SWOT tersebut kita
dapat menentukan rumusan strategi penguatan klaster.
15
3.6 Dekomposisi Time Series
Untuk melakukan estimasi terhadap kebutuhan pasokan dalam
mempertahankan kestabilan harga, digunakan metode dekomposisi time series.
Metode ini sangat cocok digunakan untuk variabel atau data dengan pola
pergerakan musim yang kuat seperti pola produksi pertanian atau perkebunan yang
memiliki musim panen.
Prinsip dasar metode dekomposisi deret waktu adalah mendekomposisi
(memecah) data deret waktu menjadi beberapa pola dan mengidentifikasi tiap-tiap
komponen dari deret waktu tersebut secara terpisah. Pemisahan ini dilakukan
untuk membantu meningkatkan ketepatan peramalan dan membantu pemahaman
atas perilaku data deret waktu secara lebih baik.
Metode dekomposisi dilandasi oleh asumsi bahwa data yang ada merupakan
gabungan dari beberapa komponen,
Data = pola + tidak berpola (irregularities)
= f (tren, siklus, musiman) + kesalahan
Dalam estimasi komponen tidak berpola atau komponen acak akan diwakili
oleh residual, yaitu perbedaan dari kombinasi estimasi komponen tren, siklus, dan
musiman dengan data sebenarnya. Asumsi di atas mengandung pengertian bahwa
terdapat empat komponen yang mempengaruhi suatu deret waktu, yaitu tiga
komponen yang dapat diidentifikasi karena memiliki pola tertentu, yaitu tren, siklus,
dan musiman, serta komponen acak yang tidak dapat diprediksi karena tidak
memiliki pola yang sistematis dan mempunyai gerakan yang tidak beraturan (Awat,
1990).
Komponen tren adalah kecenderungan gerak naik atau turun pada data yang
terjadi dalam jangka panjang. Variasi musim adalah gerak naik dan turun yang
terjadi secara periodik (berulang dalam selang waktu yang sama). Komponen siklus
adalah perubahan gelombang pasang surut yang berulang kembali dalam waktu
yang cukup lama, misalnya 10 tahun, kuartal ke-20, dan lain-lain. Komponen acak
(random) adalah gerakan yang tidak teratur, terjadi secara tiba-tiba, dan sulit untuk
diramalkan. Gerakan tersebut dapat timbul sebagai akibat adanya peperangan,
bencana alam, atau krisis moneter.
Dengan asumsi multiplikatif tersebut, komponen dekomposisi dapat
direpresentasikan dengan formula
16
𝒚𝒕 = 𝑺𝒕𝒙 𝑴𝒕 𝒙 𝑻𝒕 𝒙 𝑰𝒕
Keterangan:
𝒚𝒕 : data aktual pada periode ke-t
𝑺𝒕 : komponen siklus pada periode ke-t
𝑴𝒕: komponen musiman pada periode ke-t
𝑻𝒕 : komponen tren pada periode ke-t
𝑰𝒕 : komponen acak pada periode ke-t
Estimasi berdasarkan dekomposisi akan menyisakan ketiga komponen
pertama dengan komponen acak diwakili oleh residual atau selisih antara estimasi
dengan data aktual:
𝒚𝒕 = 𝒚�̂� + 𝜺𝒕
𝒚�̂� = 𝑺𝒕 𝒙 𝑴𝒕 𝒙 𝑻𝒕
Keterangan:
𝒚𝒕 : data aktual pada periode ke-t
𝒚�̂�: data estimasi periode ke-t
𝜺𝒕: komponen eror pada periode ke-t
17
IV. HASIL PENELITIAN
Bab ini akan memberikan gambaran umum produksi, konsumsi, dan tata
niaga komoditas cabai dan bawang merah pada tingkat nasional dan daerah wilayah
survei. Perlu diperhatikan bahwa komoditas terutama cabai memiliki varietas yang
berbeda-beda. Cabai, misalnya, dapat dikelompokkan menjadi cabai merah besar,
cabai merah keriting, cabai hijau, dan cabai rawit. Analisis cabai tanpa
memperhatikan jenisnya dapat memberikan simpulan yang kurang tepat. Oleh
sebab itu, dalam penelitian diusahakan sebisa mungkin mengelompokkan
komoditas cabai berdasarkan varietas yang dikembangkan di wilayah survei. Selain
itu, akan dipaparkan pula keragaan dan analisis pada tiap-tiap klaster responden.
4.1 Produksi, Konsumsi, dan Tata Niaga
Untuk mengetahui peran klaster Bank Indonesia (BI) dalam mendukung
pasokan komoditas sebagai upaya menambah pasokan dan mengendalikan harga
di daerah klaster, terlebih dahulu dibutuhkan gambaran umum tentang permintaan
(demand) dan produksi (supply) pada tingkat nasional dan provinsi tempat
kabupaten atau kota klaster BI berada.
Data agregat nasional dibutuhkan dalam analisis kestabilan harga karena
perdagangan antarprovinsi di Indonesia semakin besar. Kestabilan harga komoditas
di suatu wilayah tergantung, antara lain, dari keberhasilan produksi di wilayah
sumber komoditas. Jika secara nasional kebutuhan komoditas lebih besar daripada
produksi nasional, kecenderungan harga komoditas tersebut akan naik, demikian
juga sebaliknya. Kestabilan harga juga sangat tergantung dari stabilitas produksi
nasional setiap bulan. Dengan demikian, gambaran pola produksi komoditas
sepanjang tahun di wilayah klaster juga perlu dikaji untuk mengetahui penyebab
gejolak harga.
Data konsumsi dalam analisis ini diperoleh dengan mengestimasi data
konsumsi rumah tangga hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS
tahun 2014, sedangkan data produksi diperoleh dari data Kementerian Pertanian,
Dinas Pertanian, dan BPS. Terdapat perbedaan data klasifikasi produksi dan
konsumsi BPS. Untuk data produksi cabai dibagi dalam dua kelompok, yaitu cabai
besar dan cabai rawit, sedangkan untuk data konsumsi terbagi menjadi tiga
18
kelompok, yaitu cabai merah, cabai hijau, dan cabai rawit. Dengan ketersediaan
data seperti itu pembahasan tentang kondisi surplus atau defisit nasional dan
provinsi, terutama Sumatera Barat dan Jawa Timur digunakan data total varietas
cabai bukan hanya cabai merah, sedangkan untuk provinsi Sulawesi Utara dapat
dikhususkan pada komoditas cabai rawit.
Karena cabai dan bawang dikonsumsi secara harian, data dengan frekuensi
bulanan sangat penting untuk mengestimasi kebutuhan aktual. Data produksi
cabai dan bawang merah telah tersedia dalam bulanan, tetapi data konsumsi yang
merupakan estimasi dari konsumsi SUSENAS hanya tersedia dalam tahunan. Oleh
karena itu, data konsumsi hanya dapat digunakan untuk memprediksi rata-rata
kebutuhan per bulan atau per tahun, tanpa memperhitungkan faktor musiman,
seperti peningkatan konsumsi pada hari raya atau hari besar.. Demikian juga
dengan data kebutuhan untuk industri yang belum tersedia, padahal jumlahnya
cukup signifikan dalam mempengaruhi harga. Dengan keterbatasan itu, penelitian
berusaha melengkapi setiap analisis dengan memasukkan faktor musiman dan
estimasi kebutuhan industri yang diambil dari berbagai literatur.
4.1.1 Cabai
Grafik 1 menunjukkan bahwa produksi cabai secara nasional lebih besar jika
dibandingkan dengan konsumsi1 atau terjadi suplus produksi yang per tahunnya
mencapai 40%–60% dari konsumsi.2 Kondisi surplus ini tidak berarti bahwa terjadi
penurunan harga sepanjang tahun di seluruh wilayah Indonesia. Jika terjadi
oversupply, harga akan turun di tingkat petani, tetapi dampaknya terhadap
konsumen akhir dipengaruhi oleh banyak hal.
1 Data konsumsi telah dibobotkan dengan estimasi kebutuhan industri yang menurut berbagai sumber sekitar 25% dari total kebutuhan. Suplus yang lebih besar terjadi untuk
cabai rawit yang bisa mencapai 60%–80% per tahun 2Studi pendahuluan Renstra Kementan 2015–2019 menyatakan surplus sebesar 50%.
19
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Grafik 1. Produksi dan Konsumsi Cabai Nasional Per Tahun 2012–2014
Gejolak harga cabai masih terus terjadi yang didorong oleh beberapa hal
berikut.
1. Pola produksi nasional memiliki karakteristik musiman yang kuat dan siklus
yang panjang (hampir satu tahun). Produksi menurun pada musim hujan, sekitar
bulan November–Februari (Grafik 2). Karakteristik itu juga terdapat pada
permintaan cabai merah, pada bulan-bulan tertentu, seperti hari raya, konsumsi
dapat meningkat 10%–20% jika dibandingkan dengan konsumsi normal. Adanya
perbedaan faktor musiman pada permintaan dan produksi mendorong
ketidakstabilan harga, misalnya saat hari raya permintaan meningkat, tetapi
produksi menurun karena musim hujan. Dengan demikian, harga cabai
ditentukan oleh fundamental current production dan consumption yang bersifat
mingguan, bahkan harian.
2. Jarak produsen (sentra produksi) ke konsumen terutama ke kota-kota besar
sebagai sentra defisit (Gambar 3) terlalu jauh. Gangguan transportasi terjadi
ketika produksi menurun, terutama pada musim hujan, akan mendorong
kenaikan harga. Selain itu, cabai bersifat perishable sehingga penyimpanan
persediaan (stok) lebih sulit dilakukan untuk merespons kenaikan permintaan,
terutama permintaan cabai segar.
3. Permintaan industri yang cukup tinggi juga akan mengurangi kemampuan
produksi untuk menahan gejolak harga dari sisi konsumsi.
954,360
1,012,879
1,074,602
991,258.65
898,189.29
983,846.83
800,000
850,000
900,000
950,000
1,000,000
1,050,000
1,100,000
2012 2013 2014
Ton
Produksi Konsumsi
20
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Grafik 2. Produksi dan Rata-Rata Konsumsi3 Cabai Merah Nasional Per Bulan Tahun 2012–2014
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Gambar 3. Peta Suplus dan Defisit Cabai Nasional Tahun 2014
3Rata-rata konsumsi per bulan diperoleh dari jumlah konsumsi per tahun dibagi 12. Hal itu menjadikan grafik rata-rata konsumsi mendatar dalam satu tahun. Kebutuhan akan data
konsumsi per bulan seperti yang telah disebutkan sebelumnya sangat penting untuk mampu
memprediksi lebih tepat kondisi surplus/defisit dalam satu bulan.
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
-
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
Jan
12
Apr
12
Ju
l 12
Okt
12
Jan
13
Apr
13
Ju
l 13
Okt
13
Jan
14
Apr
14
Ju
l 14
Okt
14
Rp
Ton
Cabai Merah
Produksi Konsumsi Harga
21
Kondisi surplus cabai juga terjadi pada provinsi wilayah klaster yang disurvei
(Gambar 3). Namun, jika diperinci berdasarkan jenis cabai, Sulawesi Utara
mengalami defisit cabai rawit (Grafik 3). Dari sisi konsumsi, konsumsi cabai per
kapita di Sumatera Barat jauh lebih tinggi (9kg/tahun/kapita) jika dibandingkan
dengan Jawa Timur (3,5kg/tahun/kapita). Akibatnya, peningkatan kebutuhan
konsumsi cabai di Sumatera Barat jauh lebih tinggi daripada Jawa Timur ketika
terjadi dampak musiman hari raya. Selain itu, produksi cabai dari kedua sentra
tersebut terserap juga oleh industri pengolahan makanan, baik industri besar (Jawa
Timur) maupun industri rumah tangga (Sumatera Barat).
Sumber: BPS dan Kementan, *cabai rawit
Grafik 3. Produksi dan Konsumsi Cabai Sumatera Barat, Jawa Timur, dan
Sulawesi Utara* Tahun 2012-2014 (Ton)
22
Sumber: BPS dan Kementan
Grafik 4. Produksi Cabai Rawit (CR) dan Cabai Besar (CB) per Bulan
Sumatera Barat dan Jawa Timur Tahun 2012-2014
Grafik 4 menggambarkan perbedaan produksi cabai di Sumatera Barat dan
Jawa Timur. Jawa Timur memproduksi cabai besar hampir dua kali lipat Sumatera
Barat dan sekitar 32 kali lipat untuk cabai rawit. Sumatera Barat memiliki pola
produksi relatif stabil sepanjang tahun, sedangkan Jawa Timur memiliki pola
musiman yang kuat. Selain itu, terdapat perbedaan biaya produksi, biaya produksi
Sumatera Barat mencapai dua hingga tiga kali lipat biaya produksi Jawa Timur.
Jumlah produksi cabai rawit Jawa Timur mencapai puncaknya pada April–
Juli dan mencapai titik terendah pada Desember–Februari, sedangkan produksi
terendah cabai besar Jawa Timur adalah pada bulan Juli–Januari dan meningkat
pada bulan Februari–Juni. Dengan pola seperti itu, Jawa Timur membutuhkan
program penanaman bulan Oktober–November untuk cabai rawit dan program
penanaman musim kemarau untuk cabai besar. Kedua program itu membutuhkan
program khusus/lanjutan berupa penanganan tanaman cabai merah dan rawit
dewasa pada bulan Desember dan Januari. Di lain pihak, Sumatera Barat lebih
fokus pada usaha intensifikasi dan ekstensifikasi.4
Terdapat perbedaan tata niaga cabai merah di Sumatera Barat dan Jawa
Timur. Dari penelusuran berbagai sumber diketahui bahwa 90% produksi cabai
merah Sumatera Barat dijual ke Riau, sedangkan pasokan untuk kebutuhan
4 Produktivitas cabai sering menurun pada musim hujan karena banyaknya cabai yang
membusuk dan rentan terhadap serangan penyakit/virus.
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
Jan
-12
Mar-
12
May-1
2
Ju
l-12
Sep-1
2
Nov-1
2
Jan
-13
Mar-
13
May-1
3
Ju
l-13
Sep-1
3
Nov-1
3
Jan
-14
Mar-
14
May-1
4
Ju
l-14
Sep-1
4
Nov-1
4
Ton
CR_Sumbar CR_Jatim CB_Sumbar CB_Jatim
23
Sumatera Barat sendiri diperoleh dari Provinsi Bengkulu, Jawa, Lampung, dan
Sumatera Utara. Selain adanya permintaan industri rumah tangga, faktor tata niaga
ini merupakan salah satu sebab terjadinya gejolak harga cabai di Sumatera Barat
yang merupakan sentra produksi cabai merah. Di lain pihak, sentra cabai merah di
Jawa Timur lebih memiliki permasalahan rendahnya harga di tingkat petani jika
musim panen raya. Hal itu menegaskan pentingnya pemasaran cabai merah hasil
produksi sentra Jawa Timur.5
Dari ketiga wilayah survei hanya Sulawesi Utara yang bukan merupakan
sentra produksi karena budi daya cabai belum dilakukan secara masif dan
sistematis. Di daerah ini konsumsi cabai rawit merah jauh lebih tinggi dibandingkan
konsumsi cabai merah (18:1) sehingga budi daya difokuskan pada cabai rawit
merah. Konsumsi cabai rawit merah di Sulawesi Utara meningkat tajam pada bulan
pengucapan syukur atau paskah (Juli–Agustus) dan hari raya Natal. Dengan kondisi
defisit per tahun yang relatif stabil sebesar 3%–7% atau 300–600 ton dari konsumsi
pada tahun 2012–2014, Sulawesi Utara masih bergantung pada wilayah lain
(Gorontalo6 dan Jawa Timur) untuk pemenuhan kebutuhan cabai, terutama ketika
konsumsi melonjak tajam.
Produksi cabai rawit merah Sulawesi Utara stabil pada kisaran 9.000–9.500
ton pada tahun 2010–2013, tapi hanya mencapai 8.461 ton pada tahun 2013.
Penurunan itu terjadi akibat menurunnya luas tanam terutama di Kabupaten
Minahasa yang merupakan sentra produksi cabai rawit. Pada tahun 2014
pemerintah kabupaten Minahasa bersama BI menjalankan program Kabupaten Rica
atau Kabupaten Cabai yang berdampak pada meningkatnya luas tanam. Program
tersebut telah berhasil meningkatkan produksi cabai rawit merah Sulawesi Utara
sebesar 24,9 ton menjadi 8.486 ton pada tahun 2014. Kenaikan produksi tahun
2014 tersebut belum mampu mengantisipasi kenaikan kebutuhan konsumsi yang
mencapai 8.779 ton (10.974 ton dengan kebutuhan industri) atau naik 8,6% dari
tahun sebelumnya. Hal itu menyebabkan defisit sebesar 293 ton (2.488 ton dengan
kebutuhan industri) atau sebesar 22,7% dari kebutuhan konsumsi. Defisit tersebut
5 Sumatera Barat dan Jawa Timur sebagai sentra dan sumber cabai bagi daerah lain juga
memiliki permasalahan harga yang meningkat, terutama pada hari raya. Semakin banyak
terjadi arus informasi dan perdagangan antarwilayah akan mempengaruhi harga komoditas
di daerah sentra. 6 Beberapa sumber mengatakan bahwa cabai merah Gorontalo berasal dari Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) yang merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Utara.
Kedekatan geografis dengan Gorontalo menyebabkan tata niaga cabai kabupaten Bolsel lebih
terjalin dengan Gorontalo dibandingkan dengan kabupaten/kota di Sulawesi Utara.
24
akan menjadi sangat besar jika terjadi kenaikan konsumsi pada bulan-bulan
tertentu. Gejolak harga semakin sulit dikontrol dengan kenyataan bahwa produksi
cabai rawit merah di provinsi ini menurun pada bulan Oktober–Desember saat
kebutuhan meningkat (Grafik 5).
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Grafik 5. Produksi Cabai Rawit per Bulan Sulawesi Utara
Tahun 2012–2014 (ton)
Meskipun secara nasional surplus cabai rawit lebih besar dari surplus cabai
yang bisa mencapai 60%–80%, pola penurunan produksi pada bulan Desember
merupakan pola umum nasional produksi cabai rawit (Grafik 6). Penurunan
produksi nasional itulah yang menjadi salah satu penyebab kenaikan harga yang
sangat tinggi di Sulawesi Utara hingga mencapai Rp150.000,00/kg pada Desember
2014. Dengan demikian, program penanaman bulan September–November dan
program khusus berupa penanganan tanaman cabai dewasa pada bulan Desember
dan Januari sangat krusial untuk dilakukan.
-
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
1,800Jan
-12
Mar-
12
May-1
2
Ju
l-12
Sep-1
2
Nov-1
2
Jan
-13
Mar-
13
May-1
3
Ju
l-13
Sep-1
3
Nov-1
3
Jan
-14
Mar-
14
May-1
4
Ju
l-14
Sep-1
4
Nov-1
4
Ton
Produksi Konsumsi
25
Sumber: Kementan (diolah)
Grafik 6. Produksi dan Rata-Rata Konsumsi Cabai Rawit Nasional
Per Bulan Tahun 2012–2014
4.1.2 Bawang Merah
Grafik 7 menunjukkan bahwa produksi bawang merah secara nasional setiap
tahun selalu mengalami surplus hingga mencapai 40% dari konsumsi pada tahun
20147. Keseimbangan itu tercermin juga dengan kestabilan harga bawang pada
tingkat nasional.
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Grafik 7. Produksi dan Konsumsi Bawang Merah Nasional Tahun 2012–2014 (ton)
7Konsumsi belum memasukkan kebutuhan industri oleh sebab tidak ada sumber informasi yang valid mengenai berapa kebutuhan bawang untuk untuk industri.
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
90,000
Jan
-12
Mar-
12
May-1
2
Ju
l-12
Sep-1
2
Nov-1
2
Jan
-13
Mar-
13
May-1
3
Ju
l-13
Sep-1
3
Nov-1
3
Jan
-14
Mar-
14
May-1
4
Ju
l-14
Sep-1
4
Nov-1
4
Ton
Produksi Konsumsi
964,221 1,010,773
1,233,984
755,162
629,690 705,584
-
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
2012 2013 2014
Ton
Produksi Konsumsi
26
Harga bawang relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan harga cabai
karena beberapa faktor berikut.
1. Produksi bawang merah nasional memiliki karakteristik musiman yang kuat
(menurun pada Maret–April dan November–Desember dan meningkat pada
Januari dan Mei/Juli), tetapi memiliki periode siklus yang lebih pendek (5 dan 7
bulan) 8 . Dengan demikian, penanaman bulan September–Oktober sangat
krusial, tetapi terhambat oleh terlambatnya musim hujan. Adapun penurunan
produksi bulan Maret lebih disebabkan alih lahan untuk padi pada bulan
Januari.
2. Permintaan bawang merah relatif tidak memiliki lonjakan musiman yang tinggi
jika dibandingkan dengan cabai merah.
3. Dengan pola siklus yang lebih singkat serta daya tahan yang lebih lama (4–6
bulan), penyimpanan persediaan (stok) bawang merah lebih mudah dilakukan
untuk merespons kenaikan permintaan.
4. Pembentukan harga bawang dengan demikian relatif tidak ditentukan oleh
current production, tetapi juga oleh tata niaga dan struktur pasar.
Sumber: Kementan (diolah)
Grafik 8. Produksi, Rata-Rata Konsumsi Bawang Merah dan Harga
per Bulan Nasional Tahun 2012–2014
8 Dalam satu tahun terdapat dua siklus sedangkan cabai rawit hanya memiliki satu siklus
panjang dalam satu tahun.
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
-
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
Jan
12
Mar
12
Mei 12
Ju
l 12
Sep 1
2
Nov 1
2
Jan
13
Mar
13
Mei 13
Ju
l 13
Sep 1
3
Nov 1
3
Jan
14
Mar
14
Mei 14
Ju
l 14
Sep 1
4
Nov 1
4
Rp
Ton
Produksi Konsumsi Harga
27
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Gambar 4. Peta Surplus dan Defisit Bawang Merah Nasional Tahun 2014
Meskipun harga relatif lebih stabil, produksi bawang merah nasional
bergantung pada sentra bawang di Jawa dan NTB (Gambar 4). Terpusatnya sentra
produksi di Jawa dan NTB menimbulkan risiko apabila terjadi serangan hama atau
perubahan iklim yang dapat berdampak pada penurunan produksi. Hal itu terjadi
pada tahun 2013 saat sentra produksi bawang di Jawa mengalami penurunan
akibat cuaca ekstrim. Harga bawang merah secara nasional melonjak hingga
mencapai Rp60.000,00 yang dampak jangka panjangnya adalah naiknya harga rata-
rata tahunan dari Rp15.000,00 pada tahun 2013 menjadi di atas Rp20.000,00 pada
tahun 2014.
Dari ketiga wilayah survei (Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Kalimantan
Tengah), hanya Jawa Barat yang mengalami surplus karena Kabupaten Cirebon
merupakan salah satu sentra produksi bawang merah nasional. Adapun Sumatera
Utara dan Kalimantan Tengah mengalami defisit yang menyebabkan harga relatif
tinggi. Misalnya, tahun 2014 produksi bawang merah Sumatera Utara dan
Kalimantan Tengah berturut-turut hanya 21% dan 1% dari kebutuhan konsumsi.
Dengan defisit produksi terhadap konsumsi yang mencapai hampir 80% dan 100%,
28
inflasi bawang merah di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah teratasi oleh
meningkatnya produksi bawang merah nasional.
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Grafik 9. Produksi dan Konsumsi Bawang Merah Sumatera Utara, Jawa Barat dan Kalimantan Tengah Tahun 2012–2014 (ton)
Efisiensi produksi juga ditentukan dari pengalaman produksi. Sumatera
Utara sudah terbiasa bertanam bawang merah, tetapi tidak dengan Kalimantan
Tengah. Di Kalimantan Tengah, selain kurangnya kemampuan bertani dan
kelengkapan kelembagaan pertanian, produktivitas dan efisiensi produksi bawang
merah juga rendah sehingga harga BEP bawang merah di wilayah ini tinggi. Selain
itu, bawang merah yang ada di pasar saat ini telah dikuasai oleh bawang merah dari
Probolinggo-Jawa Timur dan Bima-NTB sehingga usaha meningkatkan produksi
bawang merah di provinsi membutuhkan usaha on-farm dan off-farm yang besar.
Selain itu, upaya meningkatkan produksi bawang merah Sumatera Utara
lebih mudah dan murah karena didukung kondisi tanah yang cocok dan petani yang
memiliki pengalaman dalam budi daya bawang merah (terutama di daerah tempat
klaster BI berada, Kabupaten Simalungun). Salah satu faktor yang harus
29
dipertimbangkan di wilayah itu adalah kompetisi penggunaan lahan produk
pertanian untuk bawang merah dan cabai merah.
4.2 Deskripsi Klaster di Wilayah Survei
4.2.1 Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat
Kelompok Tani Guguak Lagundiah berdiri sejak tahun 1998. Kekompakan
dan kerja sama yang solid menyebabkan kelompok ini masih berdiri hingga
sekarang. Anggota kelompok memiliki aturan yang harus disepakati dan dipatuhi
bersama. Salah satu nilai yang disepakati adalah bahwa jika salah satu anggota
tidak hadir dalam kegiatan kelompok (mempersiapkan lahan untuk budi daya),
anggota tersebut akan dikenai denda sebesar Rp100.000,00.
Tabel 3. Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar
Keterangan Klaster
Nama Klaster
Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar, Kelompok Tani Guguak Lagundi di Jorong Tanjuang Nagari Pandai Sikek Kecamatan X Koto KabupatenTanah Datar, Sumatera Barat
Penanggung Jawab Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri 18 Maret 1998
Tahun Mulai Klaster Desember 2014
Lokasi dan Alamat Klaster Jorong Tanjuang, Nagari Pandai Sikek , Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat
Jumlah Anggota/Petani 11 (sebelas) orang
Nama GAPOKTAN/Asosiasi GAPOKTAN Pandai Sikek
Stakeholder yang Terlibat
Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Datar, Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Barat, Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Barat
Asal Pemasok Nagari Pandai Sikek
Periode Tanam Sepanjang tahun, masa tanam 6 bulan, masa panen 20 minggu
Luas Lahan 2 hektare
Jumlah Produksi 100 kg–1.300 kg per minggu atau 5–20 ton per tahun
Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll)
Dijual kepada pedagang lokal, oleh pedagang lokal dijual ke luar Provinsi Sumatera Barat.
30
Tabel 3. (lanjutan)
Keterangan Klaster
Sumber Modal
Diawali oleh modal pribadi anggota kelompok, selanjutnya modal usaha kelompok diambil dari sisa kas yang diperuntukkan untuk modal usaha pada musim tanam/tahun berikutnya, fasilitasi kegiatan SLPHT dan demplot tanaman cabai berbentuk bantuan sarana produksi.
Status/Tanggal Akhir Program
Program sedang berjalan, berakhir Desember 2016
Kegiatan Pendampingan
Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
Cabai, Pelatihan Penguatan Kelembagaan/Kelompok, Demonstrasi Plot (Demplot) Tanaman Cabai (0,5 – 1 ha), Kunjungan Belajar Ke Laboratorium Hama Penyakit dan Klinik PHT (BPTHP) di Bukittinggi.
Kecamatan Sepuluh Koto merupakan daerah yang subur dan cukup sumber
air. Hal itu menyebabkan klaster BI dapat melakukan penanaman sepanjang tahun
dengan masa tanam selama 6 bulan dan masa panen adalah 20 minggu atau 5
bulan. Kegiatan pada tahun pertama yang dilakukan adalah memberikan
pendampingan dan pengetahuan budi daya, seperti penggunaan teknologi dan
penggunaan yang tepat atas pestisida atau pupuk buatan. Saat ini sedang dibuat
demplot tambahan seluas 1 hektare dan sebelumnya sudah dilakukan SLPHT seluas
0,5 hektare.
Dengan produksi mencapai 20 ton per tahun, klaster ini hanya mampu
meningkatkan surplus sebesar 0,09%. Terdapat surplus sebesar 21.617 ton untuk
provinsi serta 8.769 ton untuk Kabupaten Tanah Datar. Pada tahun 2014
Kabupaten Tanah Datar telah berhasil meningkatkan produksi cabai sebesar 79 ton
atau meningkatkan surplus kabupaten sebesar 436 ton dari 8.333 ton menjadi
8.769 ton sehingga efektivitas Kabupaten Tanah Datar secara keseluruhan adalah
sebesar 0,09%.
Peran klaster BI dalam kestabilan harga belum signifikan mengingat masih
tingginya gejolak harga terutama saat bulan haji atau hari raya. Pasokan lokal
Sumatera Barat berasal dari luar daerah, yaitu Sumatera Utara, Lampung, dan
Jawa sehingga jika terjadi penurunan pasokan dari Jawa dan Lampung berdampak
terhadap kenaikan harga di Sumatera Barat.
Terdapat beberapa permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan klaster
BI, yaitu sebagai berikut.
31
1. Belum terbentuknya kelembagaan seperti koperasi sehingga kelompok tani
hanya bertindak sebagai penerima harga/price taker dari pengepul.
2. Perubahan cara budi daya cabai dari nonorganik menjadi organik menjadi beban
anggota kelompok karena memerlukan usaha yang lebih besar. Saat ini masih
belum dapat diketahui hasil dari perubahan cara budi daya organik karena
belum diakukan pemanenan dari lahan demplot.
3. Peran pemerintah daerah khususnya kabupaten masih kurang sehingga
pengembangan klaster cabai masih belum berjalan secara optimal.
Hasil AHP dan SWOT
Dalam penelitian ini analisis pasokan dikelompokkan dalam tiga proses, yaitu
produksi, replikasi, dan sustainability, sedangkan stabilitas harga juga
dikelompokkan dalam tiga proses, yaitu permintaan antara, permintaan akhir, dan
konektivitas. Semua proses memiliki konsistensi yang tinggi sehingga hasil AHP dari
proses ini layak untuk diambil simpulan (Grafik 10).
Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,08
Inconsistency : 0,06
Inconsistency : 0,05
0.085
0.088
0.179
0.323
0.324
Masa Tanam
Luas Lahan
Bibit
Teknologi
Skill
Produksi
0.122
0.175
0.179
0,250
0.275
Akses Pembiayaan
Dukungan Stakeholder
Organisasi Klaster
Modal Sosial
Entrepreneurship
Replikasi
0.102
0.131
0.205
0.211
0.351
Keberlangsungan Input
Akses Keuangan
Penanganan Pasca…
Modal Sosial dan…
Akses dan Perluasan…
Sustainability
0.203
0.365
0.432
Tengkulak/Juragan/Taoke
Pengepul/Pedagang
Pedagang Besar/PasarInduk
Permintaan Antara
32
Inconsistency : 0,03
Inconsistency : 0,06
Grafik 10. Hasil AHP Klaster Cabai Tanah Datar
Hasil SWOT menyimpulkan bahwa modal sosial dan keterbukaan manajemen
klaster menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan klaster
adalah pada akses terhadap jasa pendukung, input, dan evaluasi manajemen
klaster. Di lain pihak faktor geografis, kedekatan dengan pemasok serta dukungan
stakeholders menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan klaster, sedangkan
demografi dan akses informasi masih menjadi ancaman.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberadaan tenaga kerja dan
perbaikan akses informasi terhadap harga serta kualitas sarana informasi menjadi
program yang selaras dalam meningkatkan pasokan. Lebih lanjut, akses pasar dan
jasa pendukungnya dapat menjadi solusi bagi kelemahan dan ancaman terhadap
pasokan dan stabilitas harga, baik untuk petani maupun masyarakat.
Tabel 4. Hasil SWOT Klaster Cabai Tanah Datar
STRENGTH WEAKNESS
Modal sosial Akses terhadap jasa pendukung
bisnis
Produksi/operasi Ketersediaan input
Manajemen klaster—Keterbukaan Manajemen klaster (evaluasi)
OPPORTUNITY THREAT
Penjualan Akses informasi
Faktor geografis Faktor demografis
Sistem informasi manajemen klaster Faktor ekonomi
0.124
0.198
0.207
0.472
Rumah Tangga danIndustri
Keberadaan Industri
Struktur Pasar
Akses Pasar
Permintaan Akhir
0.109
0.217
0.321
0.353
Jalur Distribusi
Relasi Pedagang danPetani
Kualitas & KetersediaanInfr.
Akses Informasi
Konektivitas
33
4.2.2 Klaster Cabai Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur
Tabel 5. Klaster Cabai Jember
Keterangan Klaster
Nama Klaster Koperasi Holtikultura Lestari
Penanggung Jawab Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri Agustus 2011
Tahun Mulai Klaster 2013
Lokasi dan Alamat Klaster Kec. Wuluhan, Kabupaten Jember
Jumlah Anggota/Petani Anggota koperasi 20 orang
Nama GAPOKTAN/Asosiasi AACI (Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia)
Stakeholder yang Terlibat Dinas Pertanian, Dinas Koperasi, Universitas Muhammadiyah
Asal Pemasok Lokal Jember
Periode Tanam Sepanjang tahun, paling banyak di bulan Mei–Juni
Luas Lahan Kemitraan 125 orang
Jumlah Produksi 1.500 ton
Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll)
PT Heinz ABC, pernah dengan PT Indofood (blacklist)
Sumber Modal Koperasi Holtikultura Lestari
Kegiatan Pendampingan Pelatihan Sekolah Lapangan, bantuan krat plastik, GTCK
Melalui pendampingan yang dilakukan BI Jember, terjadi peningkatan
produksi. Produksi yang sebelumnya hanya menghasilkan 0,8 kg per batang
menjadi 1,5–2 kg per batang. Dengan produksi mencapai 1.795 ton per tahun dan
kondisi surplus sebesar 34.022 ton, klaster BI mampu meningkatkan surplus di
Kabupaten Jember sebesar 1,67%.
Setiap tahun Koperasi Lestari memasok 1.500 ton cabai ke PT Heinz ABC
yang dipasok oleh 125 mitra koperasi. Setiap petani akan memiliki kontrak dengan
jumlah dan masa tanam (bulan) yang berbeda serta harga yang sudah disepakati
dengan PT Heinz ABC. Beberapa keuntungan yang diperoleh petani melalui
kemitraan dengan Koperasi Lestari ialah (1) petani mitra akan mendapatkan
pinjaman dalam bentuk bibit dan saprodi yang dibayar pada saat panen; (2) harga
yang ditawarkan besarnya di atas biaya produksi (Rp8.000,00 per kg). Apabila
terjadi penurunan hargai cabai, PT Heinz ABC tetap akan membeli dengan harga
yang disepakati. Namun, jika harga pasar lebih tinggi dari harga kontrak, PT Heinz
ABC akan memberikan kenaikan harga sebesar 50% dari selisih harga pasar dan
harga kontrak.
34
Pada tahun 2014 dilakukan operasi pasar cabai oleh Dinas Perdagangan
yaitu pada saat terjadi kenaikan harga cabai hingga Rp30.000,00. Koperasi Lestari
diminta untuk berperan serta dalam operasi pasar tersebut dengan memasok 2 truk
yang tiap-tiap truk berisi 5 ton (total 10 ton) dengan harga jual Rp10.000,00 per kg.
Dampak adanya cabai murah yang masuk pasar secara tidak langsung menurunkan
harga cabai di Pasar Tanjung Jember.
Pada bulan Agustus tahun 2015 dilakukan gerakan tanam cabai di musim
kemarau (GTCK) yang diinisiasi oleh Kementerian Pertanian dan didukung oleh BI.
Untuk gerakan ini KPw BI Jember memberikan bantuan lahan seluas 1 hektare,
tetapi karena ingin berdampak lebih besar, koperasi sebagai pengelola klaster BI
melakukan penambahan lahan sebanyak 14 hektare sehingga menjadi 15 hektare.
Kendala terbesar dalam pelaksanaan GTCK adalah ketersediaan sumber air. Untuk
mengatasi masalah tersebut, dilakukan dengan menggunakan pompa untuk
mengairi lahan cabai. Biaya yang dihabiskan hingga panen pertama sebesar
Rp5.900,00 per batang, sangat besar jika dibandingkan biaya produksi satu musim
tanam pada umumnya (musim normal) sebesar Rp6.000,00 per batang.
Beberapa permasalahan yang dijumpai dalam klaster Cabai Jember adalah
sebagai berikut.
1. Penurunan harga yang sangat signifikan terjadi pada saat pasokan cabai
melimpah.
2. Untuk melakukan penanaman cabai dibutuhkan modal yang cukup besar
sehingga membutuhkan sumber dana dari pihak luar. Sebagai ilustrasi
dibutuhkan biaya 100 juta rupiah untuk 1 hektare luas lahan tanam.
Hasil AHP dan SWOT
Berdasarkan hasil AHP pada klaster ini, faktor terpenting dalam proses
produksi adalah skill dan teknologi. Adapun kemampuan replikasi ditentukan oleh
organisasi klaster, modal sosial, dukungan stakeholders, entreprenuership, dan
akses pembiayaan. Kekuatan organisasi klaster di Jember menjadi faktor replikasi
yang utama karena jalinan dengan industri sudah cukup lama terjalin.
Di sisi lain, akses dan perluasan pasar serta modal sosial dan jaringan
menjadi faktor utama dalam keberlanjutan pertanian klaster. Untuk klaster ini,
permintaan akhir yang terpenting adalah keberadaan industri untuk jaminan pasar,
35
sedangkan untuk konektivitas, akses informasi merupakan faktor terpenting untuk
memperoleh informasi harga ataupun hubungan dengan seluruh mitra koperasi.
Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,20
Inconsistency : 0,02
Inconsistency : 0,08
Inconsistency : 0,05 Inconsistency : 0,02
Grafik 11. Hasil AHP Klaster Cabai Jember
Hasil SWOT menyimpulkan bahwa ketersediaan input dan manajemen klaster
menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan klaster terletak
pada sistem informasi manajemen klaster serta administrasi klaster. Faktor
demografis (tenaga kerja), sistem informasi, dan kedekatan dengan pemasok
menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan klaster. Di lain pihak, geografis
dan kompetisi penggunaan lahan serta akses pasar masih menjadi ancaman bagi
petani klaster.
0.068
0.083
0.171
0.204
0.474
Luas Lahan
Bibit
Masa Tanam
Teknologi
Skill
Produksi
0.089
0.155
0.177
0.261
0.371
Akses Pembiayaan
Entrepreneurship
Dukungan Stakeholder
Modal Sosial
Organisasi Klaster
Replikasi
0.069
0.087
0.152
0.258
0.434
Keberlangsungan Input
Akses Keuangan
Penanganan Pasca…
Modal Sosial dan…
Akses dan Perluasan…
Sustainability
0,220
0,390
0,390
Tengkulak/Juragan/Taoke
Pengepul/Pedagang
Pedagang Besar/PasarInduk
Permintaan Antara
0.068
0.142
0.219
0.572
Struktur Pasar
Rumah Tangga danIndustri
Akses Pasar
Keberadaan Industri
Permintaan Akhir
0.111
0.213
0,260
0.416
Jalur Distribusi
Relasi Pedagang danPetani
Kualitas & KetersediaanInfr.
Akses Informasi
Konektivitas
36
Tabel 6.Hasil SWOT Klaster Cabai Jember
STRENGTH WEAKNESS
Ketersediaan input Sistem informasi manajemen klaster
Manajemen klaster Manajemen klaster
Pemasaran Modal sosial
OPPORTUNITY THREAT
Faktor demografis Faktor geografis
Sistem informasi manajemen klaster Faktor kompetitif
Kedekatan dengan pemasok Akses pasar
4.2.3 Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara
Pengembangan klaster cabai rawit BI di Kabupaten Minahasa dimulai pada
tahun 2014 yang bertepatan dengan penetapan Kabupaten tersebut sebagai
Kabupaten Cabai. Terdapat 5 klaster cabai rawit yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu
Tombulu, Tombariri, Tondano Selatan, Tondano Utara, dan Tompaso Barat (Tabel
7).
Tabel 7. Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa
Keterangan Klaster
Nama Klaster Klaster Cabai Kabupaten Minahasa
Penanggung Jawab Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri 2014
Tahun Mulai Klaster 2014
Lokasi dan Alamat Klaster Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara
Jumlah Anggota/Petani 85
Nama GAPOKTAN Dalam proses pembentukan
Stakeholder yang Terlibat Pemda Kabupaten Minahasa, PT. Gunung Mas Agro Lestari, serta BPN Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Minahasa
Asal Pemasok Input: lokal
Periode Tanam Agustus–Oktober dan Februari–Mei
Luas Lahan 5 hektare cabai rawit dan 5 hektare cabai merah
Jumlah Produksi 5–10 ton per tahun (cabai rawit dan merah)
Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll)
Lokal dan antar provinsi
Sumber Modal Swadaya dan bantuan BI (Program Sosial Bank Indonesia)
Status/Tanggal Akhir Program On going, berakhir pada akhir tahun 2016
Kegiatan Pendampingan Pelatihan teknis budidaya bersama PT. GMAL, edukasi keuangan, fasilitasi Sertifikasi Hak Atas Tanah (SHAT) bersama BPN
37
Bantuan BI kepada klaster berupa penyediaan saprodi dan permodalan,
bahkan pada awalnya BI menyediakan pembiayaan keseluruhan proses produksi.
Untuk penyediaan saprodi dilakukan oleh Pemda melalui PT Gunung Mas Agro
Lestari. Pengembangan klaster diawali dengan membuat demplot dengan luas 1
hektare yang dikerjakan oleh satu kelompok tani yang terdiri atas rata-rata 10
petani. Rata-rata produksi setiap demplot adalah 1 ton per tahun. Produksi cabai
rawit untuk keseluruhan demplot cabai rawit (termasuk 10 hektare demplot dari
Pemda) adalah sebanyak 15 ton.
Dengan produksi sebesar 15 ton per tahun dan defisit sebesar 2.488 ton per
tahun, klaster BI hanya menutup defisit sebesar 0,60%. Karena Kabupaten
Minahasa telah berhasil meningkatkan produksi cabai rawit sebesar 130 ton pada
tahun 2014 atau meningkatkan surplus kabupaten sebesar 319 ton dari 354 ton
menjadi 673 ton, program Kabupaten Cabai telah berhasil mengurangi defisit
produksi cabai rawit Kabupaten Minahasa sebesar 12,82%. Peran klaster BI dalam
kestabilan harga masih sangat minim karena masih tingginya gejolak harga
terutama pada bulan Desember tahun 2014. Kestabilan harga tidak hanya
dipengaruhi oleh peningkatan produksi, tetapi juga oleh penyelarasan antara pola
tanam dan faktor musiman konsumsi masyarakat.
Beberapa permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan klaster BI adalah
sebagai berikut.
1. Peran klaster BI dalam mendorong petani untuk budi daya cabai cenderung
disebabkan oleh adanya bantuan atau insentif BI dalam pembuatan demplot.
2. Jumlah anggota kelompok tani yang terlibat dalam demplot seluas 1 hektare
pada umumnya berjumlah 10 petani. Jumlah tersebut tidak efisien karena
mendorong terjadinya freerider sehingga pengembangan klaster menjadi tidak
optimal.
3. Upaya melakukan replikasi budi daya cabai masih kurang atau gagal terbentuk.
Hal itu disebabkan terlalu banyak petani yang terlibat dalam satu demplot (1
hektare) sehingga keuntungan atau hasil per petani sangat kecil. Hal tersebut
belum mendorong petani melakukan replikasi budi daya cabai.
4. Adanya indikasi kelompok tani yang tidak berada dalam satu kawasan
menyebabkan sulitnya koordinasi dalam pengembangan klaster/demplot.
38
Hasil AHP dan SWOT
Hasil kajian AHP (Grafik 12) menunjukkan bahwa seluruh proses memiliki
konsistensi yang tinggi, kecuali permintaan akhir. Oleh karena itu, hasil AHP dari
proses ini tidak valid untuk diambil simpulan. Untuk proses produksi, faktor
terpenting adalah teknologi dan keahlian. Teknologi yang dibutuhkan adalah
handtractor dan pompa air/embung. Adapun kemampuan replikasi ditentukan oleh
modal sosial, organisasi klaster, dukungan stakeholders, dan akses pembiayaan. BI
sebaiknya mampu memanfaatkan modal sosial petani (mapalus), yaitu budaya
gotong royong masyarakat Minahasa untuk melakukan replikasi klaster. Di sisi lain,
akses dan perluasan pasar serta penanganan pascapanen menjadi faktor utama
dalam keberlanjutan klaster.
Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,02
Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,04
Inconsistency : 0,38 Inconsistency : 0,03
Grafik 12. Hasil AHP Klaster Cabai Kabupaten Minahasa
0.121
0.123
0.143
0.297
0.316
Bibit
Masa Tanam
Luas Lahan
Skill
Teknologi
Produksi
0.156
0.202
0.203
0.216
0.223
Entrepreneurship
Akses Pembiayaan
Dukungan Stakeholder
Organisasi Klaster
Modal Sosial
Replikasi
0,120
0.161
0.193
0.231
0.296
Keberlangsungan Input
Akses Keuangan
Modal Sosial dan…
Penanganan Pasca…
Akses dan Perluasan…
Sustainability
0.137
0.338
0.525
Tengkulak/Juragan/Taoke
Pedagang Besar/PasarInduk
Pengepul/Pedagang
Permintaan Antara
0.115
0.247
0.273
0.365
Struktur Pasar
Akses Pasar
Keberadaan Industri
Rumah Tangga danIndustri
Permintaan Akhir
0.168
0.252
0.274
0.305
Jalur Distribusi
Relasi Pedagang danPetani
Kualitas & KetersediaanInfr.
Akses Informasi
Konektivitas
39
Tabel 8. Hasil SWOT Klaster Cabai Minahasa
STRENGTH WEAKNESS
Modal sosial Produksi/operasi
Ketersediaan input Penelitian dan pengembangan
Budaya kewirausahaan Keuangan/akuntansi
OPPORTUNITY THREAT
Kedekatan dengan pemasok Infrastruktur
Peran stakeholder Akses pasar
Akses informasi Faktor kompetitif
Hasil SWOT menyimpulkan bahwa modal sosial dan ketersediaan input
menjadi kekuatan klaster paling dominan. Di sisi lain, kelemahan klaster terletak
pada produksi, penelitian dan pengembangan, serta administrasi keuangan klaster.
Kedekatan dengan pemasok serta dukungan stakeholders menjadi peluang paling
nyata bagi pengembangan klaster. Di lain pihak, infrastruktur dan ketiadaan akses
pasar masih menjadi ancaman bagi petani klaster.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyediaan teknologi dan
infrastruktur dari stakeholders, modal sosial, atau mapalus menjadi faktor yang
selaras dalam peningkatan pasokan. Lebih lanjut, akses pasar atau toko tani dapat
menjadi solusi bagi kelemahan dan ancaman terhadap pasokan dan stabilitas harga,
baik untuk petani maupun masyarakat umumnya.
4.2.4 Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara
Kabupaten Simalungun dipilih oleh Bank Indonesia sebagai daerah
pengembangan klaster bawang merah karena memiliki kondisi geografis yang cukup
baik. Struktur tanah lokasi ini sangat baik bagi tumbuhnya bawang merah karena
memiliki karakteristik berpasir dengan sumber air yang melimpah. Lokasi
pembinaan klaster bawang merah, yaitu Kecamatan Haranggaol Horisan, dahulunya
merupakan sentra penghasil bawang merah sejak tahun 1980. Pada masa itu
bawang merah dari daerah tersebut terkenal akan rasanya yang pedas sehingga
banyak permintaan dari konsumen di Sumatera Utara. Namun, pada awal tahun
1990-an, virus tanaman menyerang seluruh area pertanian bawang merah sehingga
petani lalu beralih pada budi daya tanaman lain seperti kopi.
Dengan motivasi mengembalikan pertanian bawang merah di Kecamatan
Haranggaol Horisan, pada tahun 2012 beberapa petani mencoba melakukan budi
daya bawang merah. Kemudian pada awal tahun 2013, KPw Bank Indonesia
40
Pematang Siantar bekerja sama dengan BPTP Sumatera Utara melakukan studi
mengenai pendampingan petani bawang merah dengan membentuk klaster. Setelah
pengujian laboratorium terhadap beberapa jenis bibit bawang merah, diketahui jenis
bawang merah maja merupakan yang paling cocok untuk struktur tanah dari
kawasan ini.
Tabel 9. Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun
Keterangan Klaster
Nama Klaster Klaster Bawang Merah
Penanggung Jawab Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri 2012
Tahun Mulai Klaster 2013
Lokasi dan Alamat Klaster Kec. Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara
Jumlah Anggota/Petani 50
Nama GAPOKTAN Kelompok Tani Andalan
Stakeholder yang Terlibat BPTP Sumatera Utara
Asal Pemasok Input: Kabupaten Aipopo
Periode Tanam Juli–September dan Maret–Mei
Luas Lahan 13,9 hektare
Jumlah Produksi 20 ton
Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll)
Antarkabupaten dalam provinsi
Sumber Modal Swadaya
Status/Tanggal Akhir Program On going, berakhir pada pertengahan tahun 2016
Kegiatan Pendampingan Pelatihan teknis budidaya dan pengadaan benih, penyuluhan pupuk organik
Bank Indonesia memberikan bantuan dalam bentuk sarana produksi
pertanian dengan ketentuan maksimal 5 rante (satuan luas wilayah, 1 rante = 400
m2). BPTP secara berkala memberikan hasil diseminasi dan pelatihan kepada
petugas penyuluh lapang (PPL) untuk memberikan penyuluhan teknis kepada para
petani seperti alokasi pupuk yang tepat, masa tanam yang disesuaikan dengan
cuaca dan budi daya bibit bawang. Pada awalnya petani hanya mampu
memproduksi rata-rata 8 ton. Setelah adanya pendampingan dari Bank Indonesia
dan BPTP, petani mampu menghasilkan rata-rata 20–25 ton (panen terakhir pada
awal September 2015).
41
Meskipun mengalami peningkatan produksi, defisit bawang merah Sumatera
Utara sebesar 39.781 ton pada tahun 2014 menyebabkan produksi klaster hanya
menutupi defisit sebesar 0,06%. Selain itu, produksi bawang merah di Kabupaten
Simalungun sendiri juga mengalami defisit pada tahun tersebut.
Di sisi lain, keberadaan klaster bawang merah di Kecamatan Haranggaol
Horisan mampu menarik minat petani di luar klaster binaan Bank Indonesia untuk
ikut budi daya bawang merah. Pada awalnya Bank Indonesia hanya membina dua
kelompok tani klaster bawang merah itu. Sekarang kelompok tani sudah bertambah
menjadi delapan kelompok dan saat ini sedang proses untuk bertambah kembali
sebanyak dua kelompok baru.
Keberadaan klaster bawang merah di Kecamatan Haranggaol Horisan ini
mampu meningkatkan produksi bawang merah dari segi kuantitas dan terjadi efek
ganda (semakin banyak petani budi daya bawang merah). Namun, luas lahan tanam
semakin sempit akibat persaingan penggunaan lahan dengan komoditas pertanian
lainnya sehingga produksi bawang merah kurang maksimal. Penurunan produksi
disebabkan pula oleh faktor cuaca yang kerap berasap (pembakaran hutan) yang
berdampak pada kurangnya sinar matahari dan berkabut (terletak di dataran
tinggi).
Hasil AHP dan SWOT
Hasil perhitungan dari kuesioner AHP dan SWOT yang dilakukan di daerah
survei klaster bawang merah menunjukkan bahwa, dari sisi produksi, teknologi dan
skill merupakan hal paling penting bagi kelancaran proses produksi di klaster
bawang merah Kabupaten Simalungun. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi obat
tanaman yang secara berkala diberikan ke area pertanian. Kemampuan budi daya
tanaman juga merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan produksi.
Inconsistency : 0,07 Inconsistency : 0,03
0.137
0.14
0.141
0.243
0.339
Bibit
Masa Tanam
Luas Lahan
Skill
Teknologi
Produksi
0.108
0,110
0.149
0.305
0.327
Akses Pembiayaan
Entrepreneurship
Modal Sosial
Dukungan Stakeholder
Organisasi Klaster
Replikasi
42
Inconsistency : 0,06 Inconsistency : 0,003
Inconsistency : 0,08 Inconsistency : 0,05
Grafik 13. Hasil AHP Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun
Dari segi pemasaran, untuk permintaan akhir, akses pasar menjadi penting
karena di Sumatera Utara terdapat sentra terminal agribisnis (STA) yang menjadi
tempat berkumpulnya semua hasil pertanian dari berbagai daerah. Dari STA ini
pedagang-pedagang kecil akan mengambil komoditas untuk dijual di pasar-pasar
konsumsi. Peran pedagang pengepul yang mengumpulkan hasil tanaman dari petani
untuk dibawa ke STA merupakan hal yang sangat penting dalam kelancaran
distribusi.
Untuk sarana dan prasarana infrastruktur yang menjadi indikator penting
dalam konektivitas, kondisi jalan dari dan menuju klaster di kecamatan Haranggaol
Horisan memang belum cukup baik. Kondisi jalan yang sempit, terjal, dan berbukit
menyebabkan lokasi ini sulit untuk diakses.
Masalah keterjangkauan pasar merupakan isu yang penting bagi klaster
bawang merah Kabupaten Simalungun. Hal itu disebabkan lokasi pasar yang dapat
dijangkau cukup jauh dengan akses jalan yang kurang baik. Pangsa pasar juga
merupakan isu penting dalam sustainability karena adanya kebutuhan pangsa
0.099
0.16
0.183
0.219
0.339
Keberlangsungan Input
Penanganan PascaPanen
Akses Keuangan
Modal Sosial danNetworking
Akses dan PerluasanPasar
Sustainability
0.196
0.318
0.487
Tengkulak/Juragan/Taoke
Pengepul/Pedagang
Pedagang Besar/PasarInduk
Permintaan Antara
0.162
0.215
0.293
0.329
Struktur Pasar
Keberadaan Industri
Rumah Tangga danIndustri
Akses Pasar
Permintaan Akhir
0.16
0.241
0.275
0.324
Relasi Pedagang danPetani
Jalur Distribusi
Akses Informasi
Kualitas & KetersediaanInfr.
Konektivitas
43
pasar yang cukup besar di Sumatera Utara (dilihat dari konsumsinya). Hal tersebut
menjadi motivasi yang besar bagi petani untuk terus berproduksi.
Untuk indikator replikasi, organisasi klaster merupakan hal yang paling
utama yang mempengaruhi proses replikasi klaster. Organisasi klaster yang baik
dan didukung dengan modal sosial yang kuat di klaster bawang merah tersebut
mampu menarik perhatian petani lain untuk bergabung dalam kelompok-kelompok
tani baru. Selain itu, kemampuan klaster mengelola dana secara baik dari modal
yang ada mampu menjaga keberlangsungan budi daya untuk periode tanam
selanjutnya.
Dari analisis SWOT ditemukan bahwa yang menjadi kekuatan dari internal
klaster bawang merah Kabupaten Simalungun adalah modal sosial yang kuat, input,
dan kemampuan bertani dari anggota klaster. Semangat dan motivasi yang kuat dari
anggota klaster yang didukung dengan faktor historis dari Kecamatan Haranggaol
Horisan menjadi modal awal yang baik bagi berkembangnya klaster. Ketersediaan
input sangat baik dan berasal dari luar klaster, yaitu dari daerah Aipopo. Saat ini
klaster sedang mengembangkan benih bawang merah.
Kelemahan yang ada dalam klaster, antara lain, adalah (i) masih kurangnya
budaya kewirausahaan serta belum memiliki sistem informasi yang memadai; dan
(ii) belum adanya gudang yang layak untuk menyimpan dan mengeringkan bawang
merah sehingga bawang lebih cepat bertunas dan tidak dapat dijual untuk
konsumsi.
Tabel 10. Hasil SWOT Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun
STRENGTH WEAKNESS
Ketersediaan input Budaya kewirausahaan
Modal sosial Sistem informasi
Kompetensi dan keahlian Sarana penyimpanan hasil produksi
OPPORTUNITY THREAT
Faktor geografis Akses pasar
Faktor ekonomi Akses informasi
Faktor kompetitif Peran stakeholder
Faktor geografis—terutama kondisi tanah yang baik dan ketersediaan sumber
air—menjadi faktor eksternal yang mendukung kemajuan klaster. Sumber air yang
memadai membuat klaster ini dapat melakukan penanaman sepanjang tahun (tidak
terpengaruh musim kemarau). Selain itu, bawang merah yang dihasilkan oleh
44
klaster ini lebih kompetitif jika dibandingkan dengan tanaman lain di klaster yang
sama atau hasil bawang merah dari klaster lain.
4.2.5 Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat
Program Klaster BI belum bersifat masif dan masih bersifat pilot project.
Kegiatan yang dilakukan BI KPw Cirebon, antara lain, adalah pengembangan
kapasitas dan peningkatan pendapatan dan petani. Pengembangan klaster bawang
merah oleh BI mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Majalengka. Saat
ini, selain pengembangan kawasan pertanian bawang merah, pemerintah
Kabupaten Majalengka ingin masuk ke pasar terstruktur, mengembangkan produk
turunan bawang merah, serta mengatur pola tanam yang lebih baik.
Petani di Kabupaten Majalengka sudah terbiasa menyisihkan hasil panen
bawang untuk bibit pada musim tanam berikutnya. Biasanya jumlah yang disimpan
berkisar 30% dari hasil panen sehingga ketika terjadi kenaikan harga, para petani
tidak mengalami kendala dalam pengadaan bibit. Beberapa petani bawang di
Kabupaten Majalengka mengkhususkan dirinya sebagai petani penangkar atau
penyedia bibit yang seluruh hasil produksinya akan disimpan untuk dijadikan bibit
dan dijual 3–4 bulan berikutnya.
Tabel 11. Profil Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
Keterangan Klaster
Nama Klaster Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
Penanggung Jawab
Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri 2014
Tahun Mulai Klaster 2014 (secara produksi sudah dilaksanakan sejak 10 tahun silam, klaster BI baru masuk tahun 2014)
Lokasi dan Alamat Klaster
Kabupaten Majalengka (Kadipaten, Ligung, Dawuan, Cibunut, Cijurey)
Ketua Asosiasi Mudassir
Stakeholder yang Terlibat
Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, Dinas Perdagangan dan UMKM Kabupaten Majalengka
Asal Pemasok
Sudah berproduksi sendiri. Terdapat pengusaha yang menjadi distributor bawang merah dari Probolinggo. Bawang tersebut dilakukan pembersihan dan penimbangan, lalu dikirim ke Sumatera Utara
Periode Tanam Sepanjang tahun
45
Tabel 11. (lanjutan)
Keterangan Klaster
Luas Lahan Total: 30 hektare (dari 3 orang yang mengelola)
Produktivitas Dataran rendah: 12–15 ton/ha Dataran tinggi: 8–10 ton/ha
Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll)
Lokal, antar kabupaten dan provinsi
Sumber Modal Swadaya dan bantuan saprodi dari stakeholder
Status/Tanggal Akhir Program
Program masih berjalan hingga saat ini, akan diadakan program Brigade
Kegiatan Pendampingan
Pelatihan budi daya, pelatihan pengembangan produk turunan
Produksi klaster BI di Kabupaten Majalengka tahun 2014 mencapai 795 ton.
Hal itu berarti telah berkontribusi sebesar 3% terhadap surplus bawang merah di
Jawa Barat sebesar 26.516 ton. Selain itu, Kabupaten Majalengka telah
meningkatkan surplus bawang merah sebesar 6.527 ton pada tahun 2014 sehingga
Kabupaten Majalengka telah menambah surplus produksi bawang merah sebesar
3%.
Lahan yang dikelola klaster bawang merah sebesar 30 hektare dan berasal
dari lahan 3 kelompok. Kegiatan klaster BI mampu meningkatkan produktivitas
atau sumber daya manusia sehingga menginspirasi Pemda Kabupaten Majalengka
melakukan kegiatan pengembangan klaster bawang merah. Untuk menunjang
kegiatan klaster bawang merah, petani klaster telah membentuk koperasi yang
dimanfaatkan untuk melakukan simpan pinjam dan memberikan fasilitas bibit jika
petani kesulitan mencari bibit. Namun, untuk kepentingan keamanan, saat ini
koperasi masih meminta jaminan untuk pinjaman.
Hasil AHP dan SWOT
Berdasarkan hasil analisis hierarki proses, tingkat kebutuhan klaster bawang
merah Kabupaten Majalengka terhadap proses replikasi, modal sosial, organisasi
klaster, dan dukungan stakeholder memiliki tingkatan yang hampir sama.
Pengelolaaan klaster bawang merah Kabupaten Majalengka sudah baik dengan
antusiasme petani yang cukup tinggi, tetapi masih perlu ditingkatkan agar klaster
memiliki nilai tambah yang lebih besar lagi bagi anggotanya.
46
Untuk keberlangsungan usaha, perlu dikembangkan akses dan perluasan
pasar. Penanganan pascapanen lebih dibutuhkan oleh klaster bawang merah
Kabupaten Majalengka di dataran tinggi karena hanya kendaraan tertentu saja yang
dapat menjangkau klaster.
Dari sisi permintaan antara, pedagang besar sangat dibutuhkan. Majalengka
merupakan sentra bawang setelah Brebes yang berkaitan langsung dengan akses
pasar dalam segi permintaan akhir. Dua hal itu saling berkesinambungan. Akses
pasar harus lebih dimatangkan karena jika akses pasar (misalnya Pasar Kramat
Jati) telah diblok oleh pasokan dari Brebes, bawang merah Kabupaten Majalengka
akan sulit dipasarkan.
Akses informasi di Kabupaten Majalengka menjadi sangat penting, terlebih
sinyal di dataran tinggi tidak terlalu bagus sehingga menyebabkan koneksi telepon
seluler di daerah tersebut menjadi sulit. Selain harga, diperlukan informasi masa
tanam di daerah lain, khususnya di Brebes. Hal itu berguna untuk keseimbangan,
terutama pada saat tidak musim panen di Brebes karena Kabupaten Majalengka
dapat melakukan penanaman sepanjang tahun di dataran rendah atau di dataran
tinggi.
Inconsistency : 0,15 Inconsistency : 0,06
Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,04
0.1
0.101
0.102
0.251
0.447
Luas Lahan
Masa Tanam
Bibit
Teknologi
Skill
Produksi
0.147
0.147
0.221
0.242
0.246
Akses Pembiayaan
Entrepreneurship
Dukungan Stakeholder
Organisasi Klaster
Modal Sosial
Replikasi
0.088
0.126
0.139
0.235
0.412
Keberlangsungan Input
Akses Keuangan
Modal Sosial dan…
Penanganan Pasca…
Akses dan Perluasan…
Sustainability
0.144
0.231
0.625
Tengkulak/Juragan/Taoke
Pengepul/Pedagang
Pedagang Besar/PasarInduk
Permintaan Antara
47
Inconsistency : 0,09 Inconsistency : 0,05
Grafik 14. Hasil AHP Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
Berdasarkan hasil SWOT, faktor produksi, ketersediaan input, dan faktor lain
merupakan kekuatan klaster yang paling utama, sedangkan akses pasar,
manajemen klaster, dan sisi keuangan masih terbilang lemah sehingga kriteria itu
harus ditingkatkan kembali. Tantangan besar yang harus dihadapi adalah akses
informasi, pembelian, faktor kompetitif, dan sosial budaya. Keunggulan Kabupaten
Majalengka adalah memiliki faktor geografis yang terdiri atas dua dataran sehingga
penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun bersamaan dengan faktor ekonomi
dan kedekatan dengan pemasok.
Tabel 12. Hasil SWOT Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
STRENGTH WEAKNESS
Produksi Manajemen klaster
Ketersediaan input Akses pasar
Penelitian dan pengembangan Keuangan/akuntansi
OPPORTUNITY THREAT
Faktor demografis Akses informasi
Faktor ekonomi Pembelian
Faktor geografis Faktor kompetitif
4.2.6 Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah
Produksi bawang merah dari klaster di Kota Palangkaraya masih rendah
karena klaster relatif baru dan lahan yang digunakan masih terbatas (berbentuk
demplot). Produksi bawang merah yang ada saat ini masih terbatas untuk benih.
Hasil panen dari klaster bawang merah akan dijual kembali kepada dinas untuk
selanjutnya dikirim ke petani yang akan menanam bawang merah. Total produksi
bawang merah mencapai 30 ton per hektare per musim tanam dan produksinya
0.064
0.094
0.341
0.501
Keberadaan Industri
Rumah Tangga danIndustri
Struktur Pasar
Akses Pasar
Permintaan Akhir
0.186
0.205
0.298
0.311
Kualitas & KetersediaanInfr.
Jalur Distribusi
Relasi Pedagang danPetani
Akses Informasi
Konektivitas
48
belum masuk ke pasar-pasar di Kota Palangkaraya dan Kalimantan Tengah. Selama
ini, Kalimantan Tengah mengalami defisit produksi bawang merah yang cukup
besar. Kebutuhan konsumsi akan bawang merah di Kalimantan Tengah dikirim dari
Bima (NTB), Brebes (Jawa Barat), dan Probolinggo (Jawa Timur).
Tabel 13. Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya
Keterangan Klaster
Nama Klaster Klaster Bawang Merah Palangkaraya
Penanggung Jawab Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri 2013
Tahun Mulai Klaster 2013
Lokasi dan Alamat Klaster Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Jumlah Anggota/Petani 25
Nama GAPOKTAN/Asosiasi -
Stakeholder yang Terlibat
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Kalimantan Tengah, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Dinas Pertanian Kota Palangkaraya
Asal Pemasok Benih: Brebes, Bima
Periode Tanam Sepanjang tahun
Luas Lahan 4–5 hektare
Jumlah Produksi 30 ton/musim tanam
Pemasaran (Lokal, Antar Kabupaten-Provinsi, dll)
Lokal
Sumber Modal Swadaya dan bantuan saprodi dari stakeholder
Status/Tanggal Akhir Program
Bantuan fisik diminimalkan, pembinaan teknis dan nonmaterial masih berlangsung
Kegiatan Pendampingan Pelatihan budi daya, pelatihan pengolahan pascapanen, pemurnian benih, pelatihan analisis usaha tani
Jumlah produksi bawang merah dari klaster BI di Kota Palangkaraya kurang
lebih sebesar 30 ton. Hal itu berarti telah berkontribusi sebesar 0,42% untuk
menutup defisit produksi bawang merah di Kalimantan Tengah yang besarnya
mencapai 7.187 ton per tahun. Jumlah produksi bawang merah di Palangkaraya
meningkat signifikan pada tahun 2014 (123%) dari total produksi sebesar 11,06 ton
tahun sebelumnya. Walaupun telah meningkat signifikan, Kalimantan Tengah tetap
belum dapat mengimbangi kenaikan konsumsi bawang merah yang meningkat
49
11,1% pada tahun 2014. Dengan demikian, keberadaan klaster yang ada saat ini
belum mampu untuk menutup defisit produksi bawang merah.
Terdapat beberapa permasalahan/tantangan dalam upaya pengembangan
bawang merah di Kalimantan Tengah, antara lain, adalah sebagai berikut.
1. Masih terbatasnya jumlah petani yang mengembangkan bawang merah di
Kalimantan Tengah.
2. Masih terbatasnya jumlah petani di Kalimantan Tengah yang memahami teknis
budi daya bawang merah secara baik.
3. Lahan di Kalimantan Tengah merupakan lahan marginal, berpasir, dan gambut
sehingga diperlukan biaya input yang tinggi.
4. Terbatasnya aspek legalitas kepemilikan lahan oleh petani.
5. Kurangnya ketersediaan benih yang bermutu menjelang musim tanam.
6. Terbatasnya jumlah penyuluh, pengawas benih tanaman (PBT), dan petugas
pengendali organisme pengganggu tanaman (POPT) yang memahami teknis budi
daya bawang merah.
7. Belum optimalnya fungsi kelembagaan di tingkat petani.
8. Belum adanya lembaga independen atau sukarelawan yang mau mendampingi
program pengembangan bawang merah.
AHP dan SWOT
Hasil analisis hierarki proses (Grafik 15) sejalan dengan hasil wawancara
mendalam kepada masing-masing pihak. Pada proses produksi, klaster di Kota
Palangkaraya sangat membutuhkan keahlian dan kemampuan dalam budi daya
bawang merah, mulai dari penanaman hingga panen. Waktu dua tahun sejak
diperkenalkannya bawang merah kepada petani dirasakan masih belum cukup
untuk menguasai budi daya bawang merah sehingga belum mampu menangani
permasalahan secara cepat jika terjadi serangan hama dan penyakit. Teknologi
pengolahan lahan seperti penggemburan tanah masih menggunakan cangkul
sehingga hasilnya tidak optimal. Di samping itu, tidak adanya saluran irigasi
memaksa petani menggunakan sumur bor dan pompa sehingga membutuhkan
biaya lebih mahal.
Pada permintaan antara, petani lebih memilih untuk dapat langsung menjual
hasil panennya ke pedagang/pengepul daripada ke pedagang besar atau tengkulak.
Hal itu disebabkan petani belum memiliki akses ke pedagang besar. Sementara itu,
50
jika dijual kepada tengkulak, harga bawang merah akan dipermainkan atau
ditentukan sepenuhnya oleh tengkulak.
Akses ke pasar sangat penting bagi petani dalam rangka pemenuhan
permintaan akhir karena bawang merah yang dihasilkan belum menembus pasar
yang ada di Kota Palangkaraya, tetapi disalurkan kembali kepada dinas sesuai
dengan jumlah pemberian dinas. Dari segi konektivitas, terlihat bahwa akses
informasi seperti informasi harga, informasi pola tanam, dan informasi lainnya
paling dibutuhkan oleh klaster di Kota Palangkaraya.
Inconsistency : 0,12 Inconsistency : 0,34
Inconsistency : 0,05 Inconsistency : 0,004
Inconsistency : 0,10 Inconsistency : 0,09
Grafik 15. Hasil AHP Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya
0.039
0.111
0.124
0.354
0.371
Luas Lahan
Masa Tanam
Bibit
Teknologi
Skill
Produksi
0.138
0.152
0.169
0,250
0.291
Organisasi Klaster
Akses Pembiayaan
Entrepreneurship
Modal Sosial
Dukungan Stakeholder
Replikasi
0.095
0.101
0.178
0.192
0.435
Keberlangsungan Input
Akses Keuangan
Akses dan PerluasanPasar
Modal Sosial danNetworking
Penanganan PascaPanen
Sustainability
0,110
0.384
0.506
Tengkulak/Juragan/Taoke
Pedagang Besar/PasarInduk
Pengepul/Pedagang
Permintaan Antara
0,140
0,230
0,280
0,350
Keberadaan Industri
Struktur Pasar
Rumah Tangga danIndustri
Akses Pasar
Permintaan Akhir
0.142
0.214
0.278
0.365
Jalur Distribusi
Kualitas & KetersediaanInfr.
Relasi Pedagang danPetani
Akses Informasi
Konektivitas
51
Berdasarkan hasil analisis SWOT pada Tabel 14, terlihat masih banyak
kelemahan yang harus diperbaiki dalam kegiatan pengembangan klaster bawang
merah di Kota Palangkaraya, seperti manajemen klaster, modal sosial, dan
produksi/budi daya. Hal itu disebabkan usaha budi daya bawang merah merupakan
sesuatu yang baru dalam dunia pertanian Kalimantan Tengah sehingga harus
didukung dari segala arah untuk menunjang proses kegiatan produksi bawang
merah.
Tantangan atau ancaman besar yang dihadapi adalah akses pasar karena
bawang merah produksi Kalimantan Tengah belum banyak dikenal. Tantangan
lainnya ialah kurangnya akses informasi dan adanya faktor sosio-demo-geografis
yang belum mendukung. Peran stakeholder yang baik dari berbagai pihak di
Kalimantan Tengah diharapkan akan mampu mengatasi tantangan-tantangan yang
ada.
Tabel 14. Hasil SWOT Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya
STRENGTH WEAKNESS
Ketersediaan input Manajemen klaster
Penelitian dan pengembangan Modal sosial
Kompetensi dan keahlian Produksi/budidaya
OPPORTUNITY THREAT
Peran stakeholder Akses pasar
Faktor ekonomi Akses informasi
Faktor kompetitif Faktor demografi
4.3 Tata Niaga Cabai dan Bawang Merah
CABAI
Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar
Umumnya petani di Kabupaten Tanah Datar menjual kepada pengepul
karena sudah terjalin hubungan yang lama. Hasil panen langsung diambil oleh
pengepul di lokasi lahan mereka. Untuk petani klaster BI, pengepul akan menerima
seluruh hasil panennya meskipun stok di pengepul sudah banyak. Pengepul akan
menjual cabai dengan margin keuntungan Rp4.000,00–Rp5.000,00/kg. Pengepul
tidak melakukan penyimpanan/stok cabai dari petani, semua cabai yang tiba
langsung dibagi sesuai dengan pesanan dari Riau dan sisanya dijual di pasar lokal.
52
Lokasi pengepul adalah di Pasar Padang Luar dengan jumlah pengepul yang
sejenis sebanyak delapan orang. Jumlah barang yang dikirim berkisar 2–5 ton per
hari. Setiap hari sebanyak 40–50 orang petani menjual cabai kepada pengepul,
tetapi saat sepi hanya sekitar 25 orang petani per hari. Untuk komoditas cabai,
setiap 50 kg cabai yang diterima akan mengalami susut 1–2 kg yang disebabkan
faktor fisik (cabai patah/jelek). Harga cabai yang diterima dari petani umumnya
bagus hingga panen ke-8, setelah itu pengepul akan memberikan harga lebih rendah
karena kualitas setelah panen ke-8 lebih rendah.
Klaster Cabai Kabupaten Jember
Pemasaran cabai di Kabupaten Jember tidak mengalami kendala karena
produksi klaster akan diserap oleh PT Heinz ABC berdasarkan kontrak yang telah
disepakati. Setiap tahun Koperasi Mitra Lestari sebagai pengelola klaster memasok
cabai sebanyak 1.500 ton.
Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa
Perdagangan cabai rawit di pasar kota Manado yang merupakan sentra
konsumsi cabai rawit di Sulawesi Utara dikuasai oleh satu pedagang besar. Bahkan,
pengepul yang berhubungan langsung dengan petani juga dianggap merupakan kaki
tangan dari pedagang besar tersebut. Pedagang besar ini menguasai pasokan
antarwilayah yang masuk ke Manado, terutama dari Gorontalo. Dengan menguasai
pasar dari petani sampai konsumen akhir serta menguasai perdagangan
antardaerah, pedagang besar tersebut memiliki kekuatan monopoli dalam
perdagangan cabai di Manado yang berimplikasi pada kemampuan mengatur harga
dengan mengatur pasokan.
Karena cabai bersifat perishable, kekuatan pedagang besar bergantung pada
tingkat kompetisi pelaku pasar. Untuk itu, pemerintah dan BI perlu mendorong
perbaikan tata niaga cabai rawit di tingkat petani, misalnya dengan mendirikan toko
tani dan koperasi.
Jalur Pemasaran/Penjualan Cabai:
1. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Tanah Datar
Petani Pengepul Riau/Pengecer
53
2. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Kabupaten Jember
Petani Mitra Koperasi Industri (PT Heinz ABC)
3. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa
Petani Pengumpul/Pedagang Besar Pengecer Konsumen
BAWANG MERAH
Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun
Kabupaten Simalungun dikenal luas dengan hasil pertanian, khususnya
produk hortikultura karena lokasinya yang berada di dataran tinggi. Salah satu
komoditas unggulan yang dihasilkan adalah bawang merah yang di antaranya
dihasilkan oleh para petani binaan KPw Bank Indonesia Pematangsiantar di
Kecamatan Haranggaol Horisan.
Bawang merah yang dihasilkan setiap panen akan dikumpulkan oleh
pengepul lokal untuk dibawa ke STA (sub-terminal agribisnis) Saribu Dolok yang
khusus buka pada hari pasar (pekan), yaitu hari Rabu. Pada hari pasar tersebut
banyak pedagang dan pengepul yang datang dari berbagai daerah yang menjual atau
membeli hasil pertanian, termasuk di antaranya bawang merah dari Kecamatan
Haranggaol Horisan. Sementara itu, di Pematangsiantar, STA serupa bernama STA
Parluasan, buka pada hari pasar (pekan), yaitu hari Senin dan Kamis. Pengepul
mendatangkan komoditas bawang merah dari daerah-daerah di Sumatera Utara
serta dari Jawa. Pedagang pengecer tidak hanya dari Pematangsiantar saja, tetapi
juga berasal dari Medan dan berbagai daerah di Sumatera Utara lainnya. Peran
penting pengepul yang mengumpulkan komoditas dari petani dan menjualnya di
STA akan lebih baik dan terorganisasi jika diwadahi dalam koperasi sehingga
mampu menaikkan nilai tukar petani di STA.
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
Klaster bawang merah Kabupaten Majalengka menjual hasil panennya
kepada pengepul yang juga merupakan bagian dari klaster untuk selanjutnya
dibawa kepada pedagang besar di kabupaten yang sama. Pedagang besar akan
mendistribusikan cabai sesuai dengan wilayah yang menjadi pasarnya, seperti pasar
induk, pasar modern, atau eksportir sebagai berikut.
54
1. PD Medal Rahayu
a. Pasar Induk Caringin dengan permintaan 10 ton/hari
b. Supermarket dengan permintaan 7 ton/minggu
2. MJ Sukasari Kaler
PT Alamanda Sejati (dijual ke Singapura) dengan permintaan 2 ton/minggu
Klaster Bawang Merah Palangkaraya
Bawang merah yang ada di Kota Palangkaraya berasal dari Bima, NTB, dan
Brebes. Bawang tersebut masuk melalui pelabuhan di Kalimantan Selatan (Trisakti),
lalu dikirim ke Palangkaraya melalui jalur darat dan langsung masuk ke pasar besar
di Palangkaraya. Pasar besar di Palangkaraya memiliki tiga orang pengepul besar
yang mendistribusikan bawang merah ke pedagang kecil untuk dijajakan kepada
konsumen. Pengepul memiliki koneksi dengan pengirim bawang merah, sebagian
merupakan keluarganya sendiri.
Beberapa pedagang yang tidak memiliki hubungan dengan pengepul akan
mendatangkan sendiri bawang merah dengan menggunakan truk dan menjualnya
langsung di tempat dengan harga yang lebih murah. Bawang merah yang dijual
merupakan hasil campuran bawang dari berbagai varietas serta belum disortir. Di
pasar Kota Palangkaraya belum ada bawang merah yang merupakan produksi lokal
Kota Palangkaraya sendiri karena petani klaster masih menjual bawang merah ke
dinas pertanian sebagai bibit.
Jalur Pemasaran/Penjualan Bawang Merah:
1. Jalur Pemasaran di Kabupaten Simalungun
Petani STA Simalungun Pengecer Konsumen
2. Jalur Pemasaran di Kabupaten Majalengka, alternatifnya adalah sebagai berikut.
a. Petani Konsumen
b. Petani Pengumpul Besar Pengecer Konsumen
c. Petani Pengumpul Kecil Pengumpul Besar Pengecer Konsumen
d. Petani Pengepul Pedagang Besar Kabupaten Pedagang Besar
provinsi/Antarpropinsi Pasar Induk Konsumen
e. Petani Pengepul Supermarket di Bandung
3. Jalur Pemasaran di Palangkaraya
55
a. Petani Palangkaraya Dinas Pertanian
b. Petani Bima, Brebes Pengumpul Kecil Pengumpul Besar Pengepul
Palangkaraya Pengecer Konsumen
4.4 Estimasi Pasokan Klaster untuk Pengendalian Harga
Dekomposisi Pola Produksi
Data estimasi produksi komoditas cabai rawit, cabai besar, cabai total, dan
bawang merah berdasarkan metode dekomposisi dapat dilihat pada Grafik 16,
Grafik 17, dan Grafik 18. Kebutuhan klaster untuk menambah produksi ketika
produksi mengalami musim yang menurun atau di bawah trend.
Grafik 16. Peran Klaster Cabai Rawit untuk Mempengaruhi Pasokan
Pada tahun 2016 klaster harus menambah produksi cabai rawit sebanyak
70.816 ton yang tersebar pada bulan Januari–April dan September–Desember.
Kebutuhan terbesar adalah pada bulan Desember, Januari, dan Februari yang
masing-masing membutuhkan sekitar 15.000 ton (estimasi produksi di bawah garis
trend).
Tabel 15. Kebutuhan Pasokan Cabai Rawit Tahun 2016
100,000
110,000
120,000
130,000
140,000
150,000
160,000
Jan
-16
Feb-1
6
Mar-
16
Apr-
16
May-1
6
Ju
n-1
6
Ju
l-16
Au
g-1
6
Sep-1
6
Oct-
16
Nov-1
6
Dec-1
6
Ton
Cabai Rawit
56
Bulan Tambahan Produksi (Ton)
Jan 14.789
Feb 14.907
Mar 9.958
Apr 2.473
Sep 1.788
Okt 5.844
Nov 6.005
Des 15.052
Total 70.816
Grafik 17. Peran Klaster Cabai Besar untuk Mempengaruhi Pasokan
Grafik 17 menunjukkan bahwa klaster harus menambah produksi cabai
besar sebanyak 96.816 ton pada tahun 2016 yang tersebar pada bulan Januari,
Agustus, dan Oktober–Desember. Kebutuhan terbesar cabai adalah pada bulan
November–Desember yang mencapai 25.000 ton lebih.
Tabel 16. Kebutuhan Pasokan Cabai Besar Tahun 2016
Bulan Tambahan Produksi (Ton)
Jan 8.676
Agus 9.540
Sep 7.759
Okt 17.981
Nov 25.543
Des 26.726
Total 96.225
Tabel 16 menampilkan estimasi kebutuhan cabai secara agregat yang
merupakan penjumlahan antara estimasi kebutuhan cabai rawit dan cabai besar
150,000
160,000
170,000
180,000
190,000
200,000
210,000
Ton
Cabai Besar
57
tahun 2016. Secara total dibutuhkan pasokan cabai sebesar 167.041 ton, yaitu
70.816 ton untuk cabai rawit dan 96.225 ton untuk cabai besar. Estimasi
kebutuhan terbesar berada pada bulan Januari (23.465 ton), November (31.548 ton),
dan Desember (41.778 ton).
Tabel 17. Kebutuhan Pasokan Cabai Tahun 2016
Bulan Cabai Rawit Cabai Besar Cabai Total
Jan 8.676 14.789 23.465
Feb - 14.907 14.907
Mar - 9.958 9.958
Apr - 2.473 2.473
Agus 9.540 - 9.540
Sep 7.759 1.788 9.547
Okt 17.981 5.844 23.825
Nov 25.543 6.005 31.548
Des 26.726 15.052 41.778
Total 96.225 70.816 167.041
Grafik 18. Peran klaster Bawang Merah untuk mempengaruhi pasokan
Untuk komoditas bawang merah pada tahun 2016 klaster harus menambah
produksi bawang merah sebanyak 350.623 ton yang tersebar pada bulan Februari–
Mei dan September–Desember. Kebutuhan terbesar bawang merah adalah pada
bulan Februari–Maret dan November–Desember.
150,000
170,000
190,000
210,000
230,000
250,000
270,000
290,000
310,000
Jan
-16
Feb-1
6
Mar-
16
Apr-
16
May-1
6
Ju
n-1
6
Ju
l-16
Au
g-1
6
Sep-1
6
Oct-
16
Nov-1
6
Dec-1
6
Ton
Bawang Merah
58
Tabel 18. Kebutuhan Pasokan Bawang Merah Tahun 2016
Bulan Tambahan Produksi (Ton)
Feb 40.047
Mar 51.240
Apr 24.597
Mei 22.603
Sep 4.029
Okt 110
Nov 61.622
Des 36.704
Total 350.842
4.5 Efektivitas Wilayah Klaster
Hasil survei menunjukkan bahwa klaster telah memberikan kontribusi
terhadap pasokan cabai dan bawang merah di tingkat Provinsi dan Kabupaten.
Namun, karena produksi klaster masih minim, efektivitas klaster untuk mendukung
pasokan komoditi cabai dan bawang merah dinilai masih rendah. Hal itu
ditunjukkan pada Tabel 18, yaitu bahwa nilai efektivitas klaster masih berada di
bawah 3%.
Tabel 19. Efektivitas Klaster
Wilayah Survei
Komoditas
Produksi Provinsi
Konsumsi Provinsi
Surplus/Defisit
Produksi Klaster
Peningkatan Surplus
Kabupaten/ Kota Klaster
Efektivitas Klaster
A B C = A-B D E (D/C) x 100
Klaster Cabai
Tanah Datar
Cabai
Keriting 66.797 45.180 21.617 20 436 0,09
Klaster Cabai Jember
Cabai Merah
238.820 131.634 107.186 1.795 34.022 1,67
Klaster Cabai Minahasa
Cabai Rawit
8.486 10.974 (2.488) 15 319 0,60
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
Bawang Merah
130.082 103.566 26.516 795 6.527 3,00
Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya
Bawang Merah
125 7.312 (7.187) 30 -39 0,42
Secara umum klaster binaan Bank Indonesia mampu mendorong
peningkatan kapasitas dan produksi dari klaster masing-masing. Besarnya
59
peningkatan produksi dapat mencapai 1,5 kali lipat dari produksi
normal. Berdasarkan tabel di atas, empat klaster memiliki nilai efektivitas positif
yang berarti memberikan kontribusi terhadap surplus dan mengurangi defisit, yaitu
(i) Klaster Cabai Tanah Datar, (ii) Klaster Cabai Jember, (iii) Klaster Cabai Minahasa,
dan (iv) Klaster Bawang Merah Majalengka. Sementara itu, dua klaster lainnya
masih bernilai negatif, yaitu klaster Bawang Merah Simalungun dan Klaster Bawang
Merah Palangkaraya. Penyebab nilai negatif tiap-tiap klaster tersebut adalah
berkurangnya produksi bawang merah di Kabupaten Simalungun dan peningkatan
konsumsi yang tinggi di Kota Palangkaraya.
60
V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Simpulan
Komoditas cabai terdiri atas berbagai varietas yang masing-masing memiliki
karakteristik pola produksi dan konsumsi sendiri. Setiap tahun surplus cabai besar
mencapai 40%–50% dan cabai rawit 60%–80% di tingkat nasional. Namun, kondisi
surplus tidak lantas berdampak pada penurunan harga karena pembentukan harga
cabai rata-rata nasional relatif didorong oleh fundamental current production dan
consumption yang bersifat mingguan bahkan harian.
Permintaan cabai memiliki karakteristik musiman yang kuat, dalam arti pada
bulan-bulan tertentu seperti hari raya, konsumsi dapat meningkat 10%–20% jika
dibandingkan dengan konsumsi normal. Pola produksi nasional juga memiliki
karakteristik musiman yang kuat dan siklus yang panjang (hampir satu tahun),
tetapi produksi menurun pada musim hujan, yaitu sekitar bulan November–
Februari. Perbedaan faktor musiman pada permintaan dan produksi semakin
mendorong ketidakstabilan harga. Gejolak harga juga dipengaruhi oleh distribusi
sentra produksi yang berbeda dengan distribusi pusat konsumsi, yaitu kota-kota
besar. Di sisi lain, sifat perishable cabai merah serta preferensi konsumsi terhadap
cabai segar menyebabkan sulit memanfaatkan kondisi surplus pada tingkat
nasional untuk stabilitas harga di daerah pusat konsumsi.
Produksi bawang merah nasional memiliki karakteristik musiman yang kuat
(menurun pada Februari–Maret dan November–Desember; meningkat pada Januari
dan Mei/Juli), tetapi memiliki periode siklus yang lebih pendek (5 dan 7 bulan).
Sementara itu, dari sisi permintaan, bawang merah relatif tidak memiliki lonjakan
musiman yang tinggi jika dibandingkan dengan cabai merah. Secara nasional
bawang merah memiliki surplus rata-rata mencapai di atas 40% setiap tahun.
Peran current supply-demand kurang fundamental dalam pembentukan
harga bawang merah nasional karena bawang merah relatif lebih tahan lama (4–6
bulan) dan dapat disimpan sehingga pembentukan harga bawang dengan demikian
relatif tidak ditentukan oleh current production, tetapi dipengaruhi oleh tata niaga
dan struktur pasar. Produksi bawang nasional bergantung pada sentra bawang
nasional, yaitu Jawa dan NTB. Hal itu menjadikan sangat pentingnya peningkatan
dan keberlanjutan produksi bawang pada sentra produksi tersebut.
61
Dari hasil AHP dapat disimpulkan beberapa faktor yang menentukan
keberhasilan klaster dalam mempengaruhi pasokan, yaitu (1) produksi yang
ditunjang oleh skill yang baik dan penguasaan teknologi dalam pengolahan atau
budi daya; (2) replikasi yang dilakukan melalui organisasi klaster yang baik
(misalnya koperasi) serta modal sosial yang kuat di dalam klaster atau kelompok
(nilai-nilai gotong royong, rasa kebersamaan, dan kepemilikan bersama); (3)
sustainability dengan memfasilitasi akses dan perluasan pasar untuk menyerap
hasil produksi, modal sosial, serta networking yang dimiliki klaster; (4) permintaan
antara dengan menjalin kerja sama dengan pengepul lokal; (5) permintaan akhir
dapat dilakukan melalui kerja sama dengan industri berdasarkan kontrak untuk
menjamin harga dan kepastian pasar; dan (6) konektivitas melalui penyediaan
informasi terkait harga, akses permodalan, serta kualitas dan ketersediaan
infrastruktur (jalan, listrik, dan saluran irigasi).
Tabel 20. Rangkuman AHP
Produksi Replikasi Sustainability Permintaan
Antara Permintaan
Akhir Konektivitas
Skill
Teknologi
Organisasi Klaster
Modal Sosial
Akses dan Perluasan
Pasar
Modal Sosial dan Networking
Pedagang Besar/
Pasar Induk
Pengepul/ Pedagang
Akses Pasar
Keberadaan Industri
Akses Informasi
Kualitas dan Ketersediaan Infrastruktur
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa secara umum kekuatan klaster
bersumber dari modal sosial yang kuat, manajemen klaster yang terbuka terhadap
informasi dan hal yang baru, serta ketersediaan input yang mencukupi. Sementara
itu, kelemahan klaster terletak pada aspek kelembagaan yang belum terbentuk
sehingga mempunyai posisi tawar yang rendah. Akibatnya, klaster berjalan
berdasarkan kebiasaan yang sudah ada tanpa adanya manajemen yang memadai.
Hal itu erat kaitannya dengan klaster yang belum mempunyai jiwa wirausaha dan
memiliki visi sama dengan pengelola klaster.
Kondisi geografis yang mendukung menjadi peluang sehingga budi daya
komoditas dapat dilakukan sepanjang tahun. Di sisi lain, sulitnya akses pasar
menjadi ancaman keberlangsungan klaster karena hasil panen lazimnya dijual
kepada pengepul sehingga harga ditentukan oleh pengepul.
62
5.2 Rekomendasi
Peningkatan Pasokan dan Stabilitas Harga Cabai dan Bawang Merah
Untuk meningkatkan pasokan cabai merah, perlu dilakukan intensifikasi dan
ekstensifikasi melalui program pengembangan pertanian kawasan. Untuk itu,
updating terhadap data kelompok tani dan gabungan kelompok tani perlu dilakukan
yang dikelompokkan berdasarkan kawasan. Selain itu, untuk meningkatkan
kualitas, diperlukan pengembangan bibit tahan hama virus, terutama pada musim
hujan serta sarana penyimpanan cabai merah nasional.
Dalam rangka mendorong kestabilan harga, perlu antara lain dilakukan
beberapa hal berikut.
1. Menyelaraskan pola tanam sepanjang tahun untuk menjamin ketersediaan
pasokan, khususnya pada musim kemarau.
2. Memperbaiki tata niaga dan jalur distribusi agar lebih efisien dan terjaga.
3. Diversifikasi konsumsi kepada cabai bumbu kering dan cabai olahan.
4. Mendorong terjalinnya kerja sama antar provinsi sentra produksi dengan
provinsi sentra konsumsi yang bertujuan menyelaraskan pasokan dan
permintaan untuk kestabilan harga.
5. Menyediakan data kebutuhan komoditas rumah tangga nasional per bulan,
terutama bulan-bulan hari raya yang sangat krusial untuk dilakukan prakiraan
berapa peningkatan permintaan pada saat tersebut.
Sama halnya dengan cabai, untuk meningkatkan pasokan bawang merah
diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi melalui program pengembangan
pertanian kawasan. Pengembangan bibit yang tahan hama dan bebas penyakit juga
penting. Selain itu, untuk mengantisipasi ketidakpastian perubahan iklim di
sentra-sentra produksi bawang merah, dapat dilakukan penyediaan sarana dan
prasarana sumber air pada lahan tadah hujan di bulan September–Oktober atau
pengembangan teknologi rumah kaca untuk lahan tadah hujan pada penanaman
pada bulan Januari untuk kebutuhan Maret. Kontinuitas stok juga dapat dijaga
dengan menciptakan dan menyediakan teknologi penyimpanan bawang hingga
mencapai enam bulan menyimpan panen raya (bulan Juli–Agustus) sehingga dapat
memenuhi kebutuhan pada bulan November–Maret.
63
Adapun rekomendasi untuk mendorong kestabilan harga bawang merah
antara lain adalah:
1. memperbaiki tata niaga dan jalur distribusi agar lebih efisien dan terjaga;
2. mendorong terjalinnya kerjasama antar provinsi sentra produksi dengan provinsi
sentra konsumsi yang bertujuan menyelaraskan pasokan dan permintaan untuk
kestabilan harga; dan
3. memasok dari daerah lain secara terkendali dan sesuai kebutuhan.
Rekomendasi Penguatan Klaster Secara Umum
Dalam melakukan penguatan peran klaster secara umum, upaya yang dapat
dilakukan antara lain adalah:
1. mengembangan dan meningkatan skill budi daya serta memanfaatkan teknologi
melalui pendampingan dan demplot;
2. meningkatan status dan menguatkan kelembagaan klaster sehingga klaster
memiliki daya tawar yang lebih tinggi;
3. menguatkan modal sosial klaster sehingga klaster memiliki kesamaan nilai, visi,
dan tujuan sehingga dapat dipahami dan diimplementasikan seluruh anggota;
4. memerlukan adanya akses pasar serta jejaring (networking) sehingga klaster
dapat menciptakan atau menghubungkannya dengan pasar baru agar produksi
dapat terserap oleh pasar, bahkan ke depannya diharapkan bermitra dengan
industri;
5. meningkatkan infrasruktur utama seperti akses jalan, irigasi, dan ketersediaan
informasi yang difasilitasi oleh stakeholders terkait antara lain Bank Indonesia,
Dinas Pertanian, Dinas PU, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan; dan
6. memberikan bantuan saprodi pada saat terjadi kondisi iklim ekstrim yang
memerlukan penanganan khusus sehingga dapat menjamin keberlanjutan
usaha petani.
64
DAFTAR REFERENSI
Boja, Catlin. 2011. Clusters Models, Faktors, and Characteristics. International Journal of Economic Practices and Theories, Vol 1, No.1.
FMC working paper dalam buku Conference Theme Paper – Changing Paradigms of Cluster Development.
Kuah, Adrian TH. 2002. Cluster Theory and the Small Business. Journal of Research in Marketing and Entrepreneurship: Volume Four, Issue 3. UK.
Ketels, Christian HM dan Olga Memedovic. 2008. From Clusters to Cluster-Based
Economic Development. International Journal Technological Learning, Innovation and Development, Vol 1, No.3.
Tambunan, Tulus. 2006. Development of Small and Medium Scale Industry Clusters in Indonesia. Kadin Indonesia-Jetro.
PRES. 2013. Pemetaan dan Pendalaman Klaster Komoditas Unggulan Daerah dan Komoditas Penyumbang Inflasi.
Saptana, Nur Khoiriyah Agustin dan Ahmad Makky Ar-Rozi. Kinerja Produksi dan Harga Komoditas Cabai Merah.
65
Lampiran 1
Klaster Komoditas Karakteristik Produksi Kebutuhan Vs. Produksi Pasokan: Prod - EX + IM Harga Konsumen
Kabupaten Jember
Cabai Merah Besar
Sentra Surplus Surplus Surplus Rp 10.000,-
Industri besar Ekpor ke Jakarta dan lainnya
Turun jika panen raya
Kabupaten Tanah Datar
Cabai Merah
Sentra Seimbang Defisit Seimbang Rp 25.000,-
Sudah biasa budi daya
Produksi cabai Padang
Vs. konsumsi cabai Jawa
Membeli/memasok cabai
Jawa dari Bengkulu dan Lampung
Naik jika terdapat
permasalahan produksi
90% dijual ke Riau
Kabupaten Minahasa
Cabai rawit merah
Non-Sentra Seimbang Seimbang Surplus Harga naik
Sudah biasa budidaya namun banyak tidak berupa pertanian sistematis dan masif
Defisit besar saat Natal bulan Desember
Membeli/memasok dari Gorontalo dan Surabaya
Harga normal Rp25.000,00.
Bulan Desember: Rp100.000,00 s.d.
Rp150.000,00
Tidak stabil sepanjang tahun terutama bulan kemarau
Kabupaten Majalengka
Bawang merah
Sentra Besar Suplus Harga stabil/turun
Sudah biasa budi daya Dijual ke Bandung Rp11.000,00 s.d. Rp16.000,00
Kota Palangkaraya
Bawang merah Non-Sentra Sangat kecil Defisit besar Seimbang Harga stabil
Pertanian bawang tidak ada sebelumnya
Mmbeli/memasok dari Brebes dan Bima
Rp20.000,00 s.d. Rp30.000,00
Kabupaten Simalungun
Bawang Merah Non-Sentra Kecil Defisit Seimbang Harga stabil
Sepuluh tahun berhenti budi
daya bawang
Membeli/memasok dari
Brebes Rp23.000,00 s.d.
Rp28.000,00
Turun ketika panen besar ditambah dengan
pasokan dari Jawa yang melimpah.
66
Lampiran 2. Deskripsi Wilayah
1. Kabupaten Tanah Datar
Kecamatan Sepuluh Koto merupakan sentra pertanian cabai merah dengan luas
lahan 1.027 hektare dan produksi 6.054 ton (2013), setara dengan 55% produksi cabai
merah di Kabupaten Tanah Datar. Telah terjadi peningkatan produksi sebesar 4% atau
397 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Kontribusi Kabupaten Tanah Datar terhadap
total produksi Sumatera Barat adalah sebesar 17%. Petani di wilayah itu telah turun-
temurun bertani cabai sehingga secara skill bertani sudah dianggap mumpuni.
Tabel 21. Produksi dan Konsumsi9 Kabupaten Tanah Datar dan
Provinsi Sumatera Barat 2012–2014 (ton)
Tahun Produksi Konsumsi
Sumatera Barat
Tanah Datar
Sumatera Barat
Tanah Datar
2012 65.104 7.842 44.286 2.758
2013 68.101 11.001 43.669 2.668
2014 66.797 11.398 45.181 2.629
2. Kabupaten Jember
Kabupaten Jember merupakan salah satu sentra cabai di Jawa Timur yang
menyumbang 13% dari total produksi seluruh Jawa Timur. Jawa Timur sendiri
berkontribusi terhadap produksi cabai nasional sebesar 18%. Pada tahun 2013 terjadi
penurunan produksi cabai di Jawa Timur sebesar 4% dan penurunan hingga 50% di
Jember yang diakibatkan faktor cuaca ekstrim yang berdampak terhadap gagal panen.
Pada tahun 2014 kondisi produksi kembali meningkat yang berdampak pada surplus
hingga 37.000 ton.
Klaster cabai di Jember dikelola oleh Koperasi Hortikultura Lestari yang berdiri
pada tahun 2011. Sebelum terbentuk menjadi koperasi, Koperasi Lestari masih
berbentuk kelompok usaha yang menjadi subpemasok ke PT Heinz ABC hingga tahun
9 Konsumsi di sini adalah konsumsi rumah tangga atau belum memasukkan kebutuhan
industri dan benih. Kebutuhan konsumsi di luar rumah tangga diestimasi sebesar 20 persen
dari kebutuhan rumah tangga sehingga estimasi kebutuhan total adalah 1,25 x konsumsi
rumah tangga.
67
2011. Untuk bisa memasok secara langsung ke PT Heinz ABC, kelompok tersebut
harus berbentuk lembaga resmi.
Tabel 22. Produksi dan Konsumsi Kabupaten Jember dan
Provinsi Jawa Timur 2012–2014 (ton)
Tahun
Produksi Konsumsi
Jawa Timur
Jember Jawa Timur
Jember
2012 343.710 25.821 137.649 7.649
2013 329.177 10.553 119.033 6.757
2014 349.842 45.744 131.635 7.946
3. Kabupaten Minahasa
Kabupaten Minahasa menjadi sentra produksi cabai rawit bagi Provinsi Sulawesi
Utara dengan kontribusi mencapai 25% dari total produksi. Kabupaten Minahasa
mengalami surplus produksi cabai hampir mencapai 673 ton sehingga menjadikan
kabupaten tersebut strategis dalam pemenuhan kebutuhan cabai rawit di Sulawesi
Utara. Produksi cabai Kabupaten Minahasa pada tahun 2014 meningkat sebesar 130
ton atau sekitar 9,5% dari tahun sebelumnya. Hal itu mengindikasikan adanya
keberhasilan dengan ditetapkannya Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten Cabai
meskipun hasil produksi tersebut belum optimal. Pemilihan Kabupaten Minahasa
sebagai lokasi klaster Bank Indonesia sudah sangat tepat jika bertujuan untuk
meningkatkan produksi. Penanaman cabai rawit sudah biasa dilakukan masyarakat
Kabupaten Minahasa pada level rumah tangga, tetapi usaha bertani cabai hanya
dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Tabel 23. Produksi dan Konsumsi Kabupaten Minahasa dan
Provinsi Sulawesi Utara 2012–2014 (Ton)
Tahun
Produksi Konsumsi
Minahasa Sulawesi
Utara Minahasa Manado
Sulawesi Utara
2012 1.455 9.656 1.479,43 1.912,49 9.031,56
2013 1.710 8.461 1.355,66 1.320,74 8.063,10
2014 2.156 8.486 1.482,91 1.400,50 8.779,12
Sumber: Susenas, BPS, dan Dinas Pertanian Kabupaten Minahasa
68
4. Kabupaten Simalungun
Sejak tahun 2011 konsumsi bawang merah di Sumatera Utara cenderung
meningkat meskipun sempat turun pada tahun 2013. Produksi bawang merah
Sumatera Utara sempat menembus 14.156 ton per tahun pada tahun 2012, tetapi tidak
dapat memenuhi kebutuhan penduduk Sumatera Utara. Terdapat beberapa sentra
penghasil bawang merah di Sumatera Utara, seperti daerah Batubara, Aipopo,
Kabupaten Simalungun, dan Toba-Samosir. Kabupaten Simalungun merupakan salah
satu penghasil bawang merah terbesar di Sumatera Utara walaupun sejak tahun 2011
mengalami penurunan produksi. Penurunan paling tinggi terjadi pada tahun 2013,
yaitu terjadi penurunan produksi bawang merah sebesar hampir 40%.
Tabel 24. Konsumsi dan Produksi Bawang Merah Sumatera Utara
5. Kabupaten Majalengka
Kondisi geografis lahan di Kabupaten Majalengka terdiri dari dua wilayah, yakni
wilayah dataran rendah dan tinggi. Kondisi itu memungkinkan Kabupaten Majalengka
dapat melakukan budi daya bawang merah sepanjang tahun. Penanaman bawang
merah di dataran tinggi memerlukan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan
penanaman di dataran rendah, mulai dari biaya input, perawatan, hingga pascapanen.
Sementara itu, dari sisi produktivitas, hasil panen yang telah dicapai dataran rendah
sebesar 12–15 ton/hektare dan dataran tinggi sebesar 8–10 ton/hektare.
Sebagian besar produksi bawang merah Kabupaten Majalengka dibawa ke luar
daerah untuk memasok pasar di Jawa Barat, Jakarta, dan daerah lainnya.
Berdasarkan Tabel 24 produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun
2013 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2012, kemudian
meningkat lagi pada tahun 2015. Harga bawang merah pada tahun 2013 bersifat
fluktuatif tinggi dan berimbas pada penurunan konsumsi bawang merah.
Tabel 25. Produksi dan Konsumsi Kabupaten Majalengka dan
Tahun
Konsumsi Produksi
Simalungun Pematang Siantar
Sumatera Utara
Simalungun Sumatera
Utara
2011 2.802 795 41.273 5.915 12.449
2012 2.818 684 42.088 5.750 14.156
2013 2.762 669 38.056 1.868 8.305
2014 2.952 648 41.383 1.602 7.810
69
Provinsi Jawa Barat 2012–2014
Tahun Produksi (Ton) Konsumsi
Jawa Barat Majalengka Jawa Barat
2012 115.896 1.805 102.743
2013 115.585 1.467 76.875
2014 130.082 1.547 90.057
Sumber: Susenas, BPS, dan Pusat Data Pertanian Kementrian Pertanian
6. Kota Palangkaraya
Kalimantan Tengah berpenduduk 2.384.700 jiwa dengan luas wilayah mencapai
153.564 km2 yang sebagian di antaranya (30%) masuk dalam kategori lahan marginal
berpasir dan bergambut. Lahan gambut pada awalnya tidak dimungkinkan untuk
ditanami bawang merah. Akan tetapi, semenjak tahun 2012 Bank Indonesia KPw
Provinsi Kalimantan Tengah bersama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Kalimantan Tengah melakukan uji coba penanaman bawang merah dan berhasil
dengan baik. Pada tahun 2013 hal tersebut ditindaklanjuti dengan upaya
pengembangannya ketika musim kemarau. Hasil panen menunjukkan produktivitas
sebesar 27,3 ton/hektare berat basah pada lahan pasir kuarsa dan sebesar 12,8
ton/hektare pada lahan gambut.
Pengembangan usaha tani bawang merah dilakukan dengan mengacu pada
roadmap yang yang telah dibuat atas kesepakatan bersama Bank Indonesia, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), serta dinas terkait mulai tahun 2016–2020.
Pengembangan tersebut lebih diarahkan pada upaya memproduksi bawang merah
untuk kebutuhan konsumsi yang dapat langsung diserap oleh pasar lokal atau
nasional. Ke depan diharapkan bahwa pengembangan bawang merah di Kalimantan
Tengah bisa memberi kontribusi pada penekanan laju inflasi serta pemenuhan
kebutuhan benih di wilayah sekitar.
Tabel 26. Produksi dan Konsumsi Kota Palangkaraya dan
Provinsi Kalimantan Tengah 2012–2014 (ton)
Tahun Produksi Konsumsi
Kalimantan Tengah Palangkaraya Kalimantan Tengah
2012 1,00 637,27 6.455,40
2013 56,00 476,66 5.632,84
2014 125,00 529,40 6.357,66
Sumber: Susenas, BPS, dan Pusat Data Pertanian Kementrian Pertanian
Lampiran 3. Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan Wilayah Klaster
70
Simpulan
Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar
Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster cabai Kabupaten
Tanah Datar.
1. Dengan pendampingan BI terjadi perubahan dalam klaster, yaitu mengolah tanah
menjadi lebih baik karena tidak terlalu banyak menggunakan pupuk kimia dan
karena perbaikan teknik budi daya.
2. Peningkatan produksi dengan adanya pendampingan BI belum dapat terlihat
karena belum ada hasil panen dari lahan sekolah lapangan (SL). Produktivitas baru
dapat terlihat setelah 1 masa tanam dan panen. Jika produktivitas cabai meningkat
signifikan diharapkan petani sekitar akan turut mengubah cara budi daya.
3. Dari hasil wawancara, Pemda cenderung memberikan bantuan kepada kelompok
yang sudah bekerja sama dengan Dinas Pertanian. Kelompok tani tersebut
mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian karena memperoleh prestasi, yaitu
petani terbaik nomor 1 se-Kabupaten Tanah Datar dan nomor 3 terbaik se-
Sumatera Barat.
4. Bantuan sulit diberikan oleh Dinas Pertanian berupa alat yang permanen seperti
tandon air karena lahan kelompok merupakan lahan sewa.
5. Teknik bertani secara organik yang dikenalkan pada SL dirasakan cukup berat bagi
anggota kelompok karena waktu pengolahan lahan yang lebih lama.
6. Bibit yang digunakan adalah bibit lokal yang sudah ada secara turun-temurun.
Pernah dicoba menggunakan bibit baru, tetapi tidak bisa dipanen karena sampai
dengan umur hampir panen, tanaman tersebut tidak berbunga yang tentunya tidak
menghasilkan cabai.
7. Berdasarkan hasil AHP, skill dan teknologi merupakan faktor yang paling penting
jika akan meningkatkan produktivitas di klaster cabai Kabupaten Tanah Datar, di
samping kuatnya modal sosial yang menjadi faktor utama dalam melakukan
replikasi klaster. Selain itu, untuk konektivitas, faktor yang paling penting adalah
akses informasi.
8. Hasil SWOT menyimpulkan bahwa untuk klaster cabai Kabupaten Tanah Datar,
modal sosial dan ketersediaan input menjadi kekuatan klaster paling dominan,
sedangkan kelemahan klaster terletak pada akses terhadap jasa pendukung. Di sisi
lain, klaster ini memiliki peluang dari faktor geografis, sedangkan faktor demografi
dan akses informasi masih menjadi ancaman bagi petani klaster.
71
Klaster Cabai Kabupaten Jember
Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster cabai Kabupaten
Jember.
1. Cara bertani di Kabupaten Jember sudah terstruktur dengan baik. Hal itu terlihat
dengan pemilik lahan/modal bertindak sebagai manajer dan menyerahkan semua
urusan teknis pekerjaan kepada tenaga kerja yang dibayar harian. Kepemimpinan
dan manajerial yang baik dan andal dibutuhkan untuk mengelola sistem seperti ini.
2. Pendampingan BI telah berdampak pada peningkatan produktivitas, yaitu dari 0,8
kg per batang menjadi 1,5–2 kg per batang. Dampak itu juga dirasakan para petani
nonklaster yang lahannya berdampingan dengan lahan petani klaster.
3. Pada tahun 2013 terjadi kemarau basah, yaitu hujan sepanjang tahun yang
berdampak pada anjloknya produksi cabai di Kabupaten Jember hingga 50%.
4. Klaster dapat mempengaruhi harga melalui operasi pasar dengan menjual cabai di
bawah harga pasaran yaitu sebesar Rp10.000,00 dari harga normal Rp28.000,00
s.d. Rp30.000,00.
5. Besarnya modal awal dalam bertani cabai memerlukan modal yang cukup besar.
Hal itu tentu diperlukan akses keuangan dengan bunga yang rendah.
6. Jika melihat produksi klaster Kabupaten Jember 13% dari total produksi Jawa
Timur, perubahan pasokan yang drastis cukup mempengaruhi produksi cabai di
Jawa Timur, bahkan hingga ke daerah lain.
7. Setiap tahunnya Koperasi Lestari melakukan kontrak kerja sama dengan PT Heinz
ABC sebanyak 1.500 ton yang dibagi dalam 12 bulan. Setiap bulan Koperasi Lestari
harus dapat memenuhi pasokan sesuai dengan jumlah yang sudah disepakati.
8. Harga kontrak antara Koperasi Lestari dan PT Heinz ABC selalu di atas harga
produksi.
9. Adanya anggota kelompok yang tidak berkomitmen menyebabkan koperasi pada
tahun 2015 tidak dapat lagi memasok cabai kepada PT Indofood. Anggota koperasi
yang bermitra memilih menjual hasil panennya di pasar yang memiliki harga lebih
tinggi.
10. Wadah koperasi diperlukan untuk mendapatkan akses kerja sama dengan
perusahaan. Organisasi koperasi yang terbentuk tidak murni karena yang bermitra
dengan koperasi tidak diwajibkan menjadi anggota.
72
11. Dari analisis menggunakan AHP, kekuatan organisasi klaster di Kabupaten Jember
menjadi faktor replikasi yang utama karena kerja sama dengan industri yang sudah
cukup lama terjalin. Berbeda dengan klaster lainnya, permintaan akhir yang
terpenting dalam klaster ini adalah keberadaan industri karena seluruh hasil
produksi dijual ke industri.
12. Analisis SWOT menyimpulkan bahwa ketersediaan input menjadi kekuatan klaster
paling dominan, sedangkan kelemahan klaster adalah pada produksi. Di lain pihak
faktor demografis (tenaga kerja) menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan
klaster. Faktor geografis dan kompetisi penggunaan lahan serta akses pasar masih
menjadi ancaman bagi petani klaster.
Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa
Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster BI di Kabupaten
Minahasa.
1. Jenis petani di Kabupaten Minahasa terdiri atas petani merpati (PSPB), petani
pedati, dan petani sejati.
2. Kabupaten Minahasa menjadi sentra produksi cabai rawit di Sulawesi Utara dan
telah ditetapkan menjadi Kabupaten Rica pada tahun 2014 yang telah berhasil
meningkatkan produksi cabai rawit meskipun belum optimal.
3. Kemampuan klaster BI dalam mendorong petani untuk budi daya cabai lebih
disebabkan oleh adanya insentif swadaya BI dalam pembuatan demplot.
4. Insentif replikasi berupa keuntungan budi daya cabai masih kurang atau gagal
terbentuk. Hal itu antara lain disebabkan terlalu banyak petani yang terlibat dalam
satu demplot (satu hektare) sehingga hasil/petani boleh dibilang sangat kecil.
5. Jumlah 10 petani per hektare per demplot sangat tidak efisien dan mendorong
terjadinya free rider. Hal itu disebabkan target kepada kelompok tani yang
umumnya beranggotakan 10 petani.
6. Adanya indikasi kelompok tani tidak berada dalam satu kawasan menyebabkan
sulitnya berkoordinasi dalam pengembangan klaster/demplot.
7. Terdapat indikasi petani PSPB dan/atau petani merpati dalam klaster BI dan
program pertanian lainnya.
8. Dari penelusuran hasil AHP, selain skill, teknologi adalah hal yang paling penting
dalam pengembangan produktivitas klaster ini, terutama hand tractor dan pompa
73
air/embung. Dalam proses replikasi, modal sosial menjadi hal terpenting dari
klaster ini.
9. Setelah dilakukan analisis SWOT ditemukan bahwa modal sosial dan ketersediaan
input menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan utama
klaster adalah pada produksi. Di lain pihak, kedekatan dengan pemasok menjadi
peluang paling nyata bagi pengembangan klaster. Sementara di sisi lain,
infrastruktur dan ketiadaan akses pasar masih menjadi ancaman bagi petani
klaster.
Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun
Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster bawang merah
Kabupaten Simalungun.
1. Modal sosial dan kelembagaan di klaster Bank Indonesia Kabupaten Simalungun
sangat baik untuk modal awal pembentukan klaster.
2. Kemampuan petani sangat baik dalam budi daya karena sudah memiliki
pengetahuan budi daya bawang.
3. Kondisi geografis mendukung klaster untuk berkembang (kondisi air dan konstruksi
tanah).
4. Harga jual bawang merah yang dihasilkan berfluktuasi tergantung bagaimana
kondisi pasokan di pasar Sumatera Utara yang dipengaruhi pasokan dari Jawa dan
Bima.
5. Bawang merah yang dihasilkan di Kabupaten Simalungun sangat kompetitif karena
memiliki cita rasa yang berbeda dengan bawang merah yang dihasilkan di Jawa.
6. Peran stakeholders dan koordinasi antar-stakeholders masih sangat kurang di
Kabupaten Simalungun dalam rangka meningkatkan produksi bawang merah.
7. Teknologi dan skill merupakan hal paling penting bagi kelancaran proses produksi
di klaster bawang merah Kabupaten Simalungun berdasarkan analisis AHP.
Teknologi yang dibutuhkan terutama adalah obat untuk mencegah virus tanaman.
Untuk menunjang sustainability, dari segi pemasaran, akses pasar menjadi penting
karena di Sumatera Utara terdapat sentra terminal agribisnis yang menjadi tempat
berkumpulnya semua hasil pertanian dari berbagai daerah.
8. Hasil analisis SWOT terhadap klaster ini menunjukkan bahwa modal sosial menjadi
kekuatan. Kelemahannya terletak pada masalah penanganan pascapanen dan
sistem informasi klaster.
74
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
1. Klaster Kabupaten Majalengka merupakan replikasi dari Klaster BI di Brebes yang
produktivitasnya mulai agak menurun dan tanah yang mulai jenuh. Kabupaten
Majalengka dicanangkan akan menjadi sentra bawang selain Brebes.
2. Klaster sudah berjalan semenjak tahun 2014 dan bekerja sama dengan dinas
terkait.
3. Kondisi geografis lahan di Kabupaten Majalengka terdiri atas dua wilayah, yaitu
wilayah dataran rendah dengan produktivitas sebesar 12–15 ton/hektare dan
wilayah dataran tinggi (atas) dengan produktivitas sebesar 8–10 ton/hektare.
4. Kabupaten Majalengka selain memproduksi bawang merah sekaligus menjadi
penangkar bawang merah.
5. Benih-benih bawang merah Kabupaten Majalengka sudah bersertifikasi.
6. Faktor cuaca yang membuat bawang merah perlu banyak pengendalian pada saat
proses produksi.
7. Sudah ada program Brigade Olah Tanah untuk membantu petani, semua fasilitas
bantuan sosial akan dialihkan menjadi fasilitas barang, contohnya penyediaan
cultivator. Selain itu, terdapat juga Brigade Operasi Pengendalian Tanaman dan
Brigade Pengairan. Program ini dilakukan oleh Dinas Pertanian.
8. Kenaikan produksi disebabkan oleh upaya petani sendiri sehingga perlu dorongan
dari Pemda yang lebih besar.
9. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa skill merupakan faktor yang penting bagi
klaster ini karena kondisi geografis Kabupaten Majalengka membutuhkan
keterampilan khusus dari petani. Selain itu, akses dan perluasan pasar menjadi
hal yang harus dipikirkan bagi Kabupaten Majalengka dalam rangka
keberlangsungan petani bawang.
10. Berdasarkan hasil SWOT, produksi dan ketersediaan input merupakan kekuatan
klaster yang paling utama, sedangkan akses pasar masih terbilang lemah.
Tantangan besar yang harus dihadapi adalah akses informasi.
75
Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya
1. Budi daya bawang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dan BPTP sejak tahun
2012. Sebelum tahun 2012 produksi bawang merah di Kalimantan Tengah belum
ada.
2. Selama ini bawang merah yang ada di Kalimantan Tengah berasal dari Bima (NTB),
Brebes (Jawa Tengah), dan Probolinggo (Jawa Timur).
3. Di Kota Palangkaraya belum terbentuk klaster seperti yang ada di Kabupaten
Majalengka, yang ada masih berbentuk demplot-demplot.
4. Harga cenderung stabil pada kisaran Rp20.000,00 s.d. Rp30.000,00.
5. Produksi yang berjalan di Kota Palangkaraya masih berjalan dengan adanya
bantuan dari dinas, benih diberikan, dan hasilnya dijual kepada dinas.
6. Bawang merah untuk konsumsi belum masuk ke pasar-pasar tradisional di Kota
Palangkaraya.
7. Sudah ada roadmap pengembangan bawang merah 2016–2020 yang merupakan
hasil kesepakatan bersama antara Bank Indonesia dan dinas-dinas terkait.
8. Produksi bawang merah di Kota Palangkaraya belum mencukupi untuk konsumsi
(defisit). Hal itu disebabkan peningkatan produksi tidak dapat mengimbangi
peningkatan konsumsi bawang merah.
9. Skill dan teknologi merupakah hal yang penting terkait dengan produktivitas. Skill
petani di Palangkaraya masih tertinggal jauh daripada petani di Jawa dan
penggunaan teknologi pun masih sangat sederhana. Dalam hal replikasi, dukungan
stakeholders masih sangat diperlukan, terutama dalam proses kegiatan produksi
dalam demplot.
10. Banyak hal yang masih harus diperbaiki, seperti manajemen klaster karena bawang
merah memang menjadi sesuatu yang baru dalam dunia pertanian di Kalimantan
Tengah. Tantangan atau ancaman besar yang dihadapi petani bawang merah di
Palangkaraya adalah akses pasar.
Rekomendasi
Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar
Kabupaten Tanah Datar sebagai salah satu sentra cabai merah di Sumatera
Barat memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga kestabilan pasokan dan
harga. Berikut ini merupakan rekomendasi untuk klaster tersebut, yaitu
76
(1) meningkatkan kualitas produksi dengan menggunakan pestisida yang tepat (jenis
dan dosis);
(2) meningkatkan kelembagaan klaster menjadi lembaga formal, seperti koperasi, agar
dapat mempermudah akses dengan stakeholders terkait;
(3) menggunakan teknik penanganan pascapanen dan diversifikasi produk olahan;.
(4) mengurangi ketergantungan kepada pihak pengepul dengan membuka akses
pasar ke pihak/daerah lain;
(5) memperluas akses informasi pasar, misalnya, dengan mendirikan stasiun
agribisnis;
(6) mengatur masa tanam dengan daerah lain agar tercipta stabilitas harga dan
pasokan;
(7) membentuk wadah untuk melakukan koordinasi antarpetani dalam satu provinsi;
(8) meningkatkan peran dan fungsi dari PPL;
(9) membuka akses keuangan dengan bunga yang rendah dan persyaratan yang
mudah, seperti KKPE yang sangat membantu petani dengan suku bunga rendah;
(10) meningkatkan kemampuan pengelolaan administrasi keuangan kelompok; dan
(11) mengembalikan kesuburan tanah yang mulai jenuh dengan menggunakan
teknologi yang tepat (organik).
Klaster Cabai Kabupaten Jember
Kabupaten Jember sebagai salah satu sentra cabai merah di Jatim memiliki
peranan strategis dalam menjaga kestabilan pasokan dan harga cabai di Jawa Timur,
bahkan hingga Jakarta dan Kalimantan. Berikut ini merupakan rekomendasi untuk
klaster tersebut, yaitu
(1) memerlukan perbaikan aspek administrasi keuangan klaster ke arah yang lebih
modern dengan menggunakan aplikasi/software akuntansi;
(2) memerlukan pendampingan secara berkelanjutan, antara lain, untuk mengatasi
permasalahan dan penerapan teknologi;
(3) memerlukan akses kredit/pembiayaan yang sesuai dengan pola/siklus budi daya
cabai, misalnya angsurannya dapat dibayar setelah panen;
(4) meningkatkan koordinasi antar-stakeholders guna terciptanya sinkronisasi dalam
pemberian bantuan;
(5) memerlukan akses informasi harga; dan
77
(6) memerlukan teknologi modern untuk menghasilkan cabai yang lebih
menguntungkan dibandingkan hasil produksi komoditas lain.
Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa
Kabupaten Minahasa dapat dikatakan belum optimal dalam produksi cabai rawit
dan dalam mendorong kestabilan harga terutama pada bulan Desember. Rekomendasi
untuk optimalisasi klaster BI dan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten Cabai
adalah sebagai berikut.
1. Perbaikan targeting petani klaster dan penerima bantuan pemerintah kepada petani
sejati atau minimal petani pedati.
2. Pre-program harus dimulai dengan membarui (updating) dan memverifikasi data:
membandingkan data BP4K dan sumber data lainnya, misal data swasta.
3. Jika updating data kelompok tani tidak dimungkinkan, program pertanian tidak
ditujukan kepada kelompok tani, tetapi kepada petani kawasan dengan jumlah 3
petani/hektare yang mencakup 10 hektare atau 30 petani.
4. Jika ingin mendorong pasokan dan kestabilan harga, yang lebih potensial dilakukan
BI adalah membantu ketersediaan pompa dan embung di kabupaten sentra
produksi kepada petani sejati.
5. Subsidi modal dan teknologi tetap dibutuhkan dan dengan konsep kawasan,
efisiensi dana klaster bisa ditingkatkan, misalnya untuk penyediaan satu hand
tractor untuk 10 hektare lahan atau 3 kelompok tani kawasan.
6. Kontrak secara profesional, terutama dengan pihak swasta untuk penyediaan
saprodi.
7. Bank Indonesia harus mendorong penyediaan data, terutama kebutuhan konsumsi
per bulan khususnya data kebutuhan konsumsi pada bulan Juli–Agustus dan
Desember. Dengan data ini dapat direncanakan program atau rencana antisipasi
sebelum terjadi gejolak harga.
8. Perlu dilakukan koordinasi dan kerja sama dengan sentra cabai rawit, terutama
Brebes dan sentra lainnya di Jawa Timur selain dengan Gorontalo.
9. Kesan sosial dalam program klaster harus diminimalkan oleh pimpinan Bank
Indonesia di daerah dan pusat sehingga tujuan klaster lebih tegas dan terstruktur,
yaitu untuk meningkatkan pasokan dan kestabilan harga.
78
10. Kesejahteraan petani yang lebih besar harus diupayakan dengan jalan mendorong
akses petani ke pasar tradisional dan pasar lainnya, salah satunya dengan
membentuk toko tani.
11. Bank Indonesia sebaiknya mampu memanfaatkan mapalus sebagai modal sosial
petani Minahasa sebab mapalus merupakan bentuk budaya gotong royong
masyarakat Minahasa. Hal itu merupakan pemanfaatan jalur adat tradisional dalam
usaha mereplikasi klaster Bank Indonesia.
12. Akses pasar atau toko tani dapat menjadi solusi bagi kelemahan dan ancaman
terhadap pasokan dan stabilitas harga, baik untuk petani maupun untuk
masyarakat pada umumnya di Kabupaten Minahasa.
Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun
1. Dukungan yang kuat dari segi infrastruktur, yaitu berupa jalan sangat dibutuhkan
karena berpengaruh pada konektivitas klaster dengan pasar (koordinasi pemerintah
daerah).
2. Klaster membutuhkan penanganan pascapanen yang baik agar dapat menyimpan
bawang merah yang dihasilkan sehingga tidak mudah busuk.
3. Informasi harga yang berkembang di pasar sangat dibutuhkan sehingga tidak
merugikan petani.
4. Modal sosial yang baik (kelembagaan yang kuat) sebaiknya diwadahi dengan
koperasi agar menguntungkan, baik dari segi pemasaran hasil maupun penyediaan
input.
5. Komunikasi intensif antar-stakeholder yang terlibat dalam pengembangan bawang
merah di Kabupaten Simalungun serta koordinasi agar program-program
pengembangannya lebih terarah dan tepat sasaran sangat dibutuhkan.
6. Klaster membutuhkan teknologi obat tanaman yang secara berkala diberikan ke
area pertanian, selain juga pengembangkan wawasan yang bersifat ilmiah seperti
alokasi pupuk.
7. Meskipun ketersediaan input di klaster ini di-supply dengan baik dari daerah lain,
untuk kemandirian ke depannya dibutuhkan pengembangan bibit. Selain itu,
diperlukan juga pengembangan sistem informasi untuk menunjang modal sosial
yang sudah baik.
79
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
1. Pola tanam bawang merah harus direncanakan lebih baik.
2. Tingkat promosi bawang merah Kabupaten Majalengka perlu ditingkatkan agar
masyarakat mengenal bahwa komoditas bawang merah merupakan produk
unggulan Kabupaten Majalengka.
3. Klaster harus disosialisaikan terlebih dahulu kepada petani, bagaimana fungsi dan
peran klaster. Sosialisasi itu diperlukan agar petani tidak hanya ikut perkumpulan
jika ada kegiatan klaster karena mereka beranggapan bahwa dengan adanya
klaster, bantuan akan datang.
4. Perlu dibuat akte kepemilikan lahan bagi para petani.
5. Perlu ada kerja sama antar daerah dalam bentuk berita acara dalam rangka
pemenuhan komoditas. Jika terjadi kelangkaan bawang merah di daerah lain,
Kabupaten Majalengka dapat membantu memberikan pasokan.
6. Perlu dilakukan penelitian mengenai jenis bawang apa saja yang cocok ditanam di
tiap-tiap wilayah di Kabupaten Majalengka.
7. Pedagang besar dan strategi pemasaran yang baik sangat dibutuhkan agar produksi
yang melimpah dapat dimanfaatkan dengan baik dan menguntungkan serta tidak
kalah bersaing dengan sentra bawang di Brebes.
Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses produksi bawang merah di
lahan berpasir dan gambut.
2. Pengenalan lebih luas kepada petani apakah itu klaster, bagaimana kegiatannya,
dan apa saja yang dilakukan.
3. Pemberian pemahaman untuk mengubah pola pikir para petani agar tidak bertani
pada saat ada bantuan saja. Penumbuhan kesadaran dan pembangunan modal
sosial yang tinggi agar mampu membuat bawang merah menjadi komoditas yang
utama serta meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan petani.
4. Perlu adanya bantuan dalam pengolahan lahan, seperti cultivator dan spryer karena
semua kegiatan pengolahan lahan masih dilakukan secara manual.
5. Pemaksimalan tugas dan fungsi PPL dalam memberikan penyuluhan.
6. Petani lebih menginginkan kegiatan pelatihan yang langsung di lapangan, tidak
hanya sekadar pelatihan dalam bentuk seminar atau lokakarya (workshop).
7. Roadmap yang telah dibuat harus dilaksanakan dengan baik.
80
8. Jika bawang merah sudah tumbuh pesat di Kalimantan Tengah, langkah
selanjutnya adalah perluasan ke pasar-pasar. Selama ini bawang merah yang
tersedia di pasar merupakan kiriman dari daerah lain dan strukturnya sudah
terbentuk sejak lama. Oleh karena itu, harus dipikirkan bagaimana bawang merah
yang diproduksi lokal dapat masuk ke pasar-pasar tanpa terjadi perselisihan antara
pemain besar pemasok bawang merah dari luar daerah.
9. Pendampingan yang intensif dari klaster ini sangat dibutuhkan karena masih
berupa klaster awal, terutama pendampingan dalam pengembangan teknologi.
10. Perluasan akses pasar karena selama ini klaster lebih banyak memenuhi
permintaan dari dinas saja.