kajian tokoh perkembangan dan pembaharuan pendidikan islam (al ghazali dan hasyim asy’ari) - pps...
DESCRIPTION
KAJIAN TOKOH PERKEMBANGAN DAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM (AL GHAZALI DAN HASYIM ASY’ARI) REVISI MAKALAHDiajukan sebagai Tugas pada Mata Kuliah “Sejarah Peradaban Islam” Dosen : Dr. H. ASMAWI, M.AgOleh : MASRUKIN NIM : 2841104050 SEMESTER : 2APROGRAM PASCA SARJANASEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)TULUNGAGUNG Juli 2011BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pendidikan adalah proses yang bertumpu pada tujuan. Pendidikan yang dimaksud adalah usaha untuk melestarikan dan mengalihkan sTRANSCRIPT
KAJIAN TOKOH PERKEMBANGAN DAN PEMBAHARUAN
PENDIDIKAN ISLAM
(AL GHAZALI DAN HASYIM ASY’ARI)
REVISI MAKALAHDiajukan sebagai Tugas
pada Mata Kuliah “Sejarah Peradaban Islam”
Dosen :
Dr. H. ASMAWI, M.Ag
Oleh :
MASRUKIN
NIM : 2841104050
SEMESTER : 2A
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
TULUNGAGUNG
Juli 2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan adalah proses yang bertumpu pada tujuan. Pendidikan yang dimaksud
adalah usaha untuk melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai
kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Jadi pendidikan Islam
itu tidak hanya memperhatikan satu aspek saja, tetapi segala aspek yang ada, meliputi aspek
jasmani, rohani dan aspek akal pikiran serta aspek akhlaq. Oleh karena itu setiap proses
pendidikan yang akan dilaksanakan harus memperhatikan beberapa hal.
Harapan tercapainya sebuah keberhasilan dalam suatu aktifitas pendidikan Islam dalam
mencapai tujuan yang dirumuskan, banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor
tujuan, faktor pendidik, faktor anak didik, faktor alat dan metode, dan faktor lingkungan.1
Di antara kelima faktor tersebut tidak bisa lepas satu sama lain, di dalam prosesnya
saling berkaitan erat sehingga membentuk satu sistem yang saling mempengaruhi. Lebih lanjut
Hj. Melly Sri Sulastri menjelaskan bahwa: Pendidikan perlu diartikan sebagai upaya sadar
mengembangkan seluruh potensi keperibadian individu manusia untuk menjadi khalifah di
muka bumi, guna mencapai kehidupan pribadi sebagai Nafsun Thaibun warabbun ghaffur,
kehidupan keluarga yang Ahlun thaiyibun warabbun Ghafur, kehidupan masyarakat
sebagai Qoryatun Thaibatun wararabbun ghafur serta kehidupan bernegara sebagai
Baldatun thaibatun warabbun ghafurr. Gambaran ini akan terjadi jika acuan pendidikan
adalah pendidikan al-akhlak al-karimah dengan pembinaan amar ma 'ruf nahi munkar.2
Dari penjelasan di atas itulah maka pendidikan Islam menjadi suatu tuntutan dan
kebutuhan mutlak umat manusia dan bertujuan sebagai berikut:
a. Untuk menyelamatkan anak-anak, dari ancaman dan hilang sebagai korban hawa
nafsu para orang tua terhadap kebendaan, sistem materialiatis non humanistis,
pemberian kebebasan yang berlebihan dan pemanjaan.
b. Untuk menyelamatkan anak-anak, di lingkungan bangsa-bangsa sedang
berkembang dan lemah dari ketundukan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada
kedhaliman dan penjajahan.
1 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta Bumi Aksara, 1995), 222 Depag, Mimbar Pendidikan, 58
2
Semua itu akan tercapai dengan pendidikan Islam yang menanamkan kemuliaan dan
perasaan terhornat ke dalam jiwa manusia, bahkan kesungguhan untuk mencapainya.
Pendidikan Islam memegang peranan yang amat penting dan strategis dalam rangka
mengaktualisasikan ajaran-ajaran, nilai-nilai luhur dan mensosialisasikan serta
mentransformasikan nilai-nilai itu dalam dunia pendidikan, yang selanjutnya akan
dimanifestasikan oleh peserta didik pada kontek dialektika kehidupan, untuk membentuk
insan kamil.
Dalam kerangka aktualisasi pendidikan islam disini akan dibahas pemikiran dua
orang tokoh yang ada pada zaman yang berbeda. Pertama adalah tokoh pendidikan agama
Islam pada era Keemasan Islam dimasa bani Abbasiyah yang samapi hari ini menjadi acuan
sebagaian besar umat Islam di Indonesia yaitu Imam Al Ghazali. Kemudian yang kedua
adalah tokoh pendidikan Agama Islam era modern (abad XIX) yaitu K.H Hasim As’ari.
B. Rumusan masalah
Dalam makalah ini akan dibahas tentang :
a. Bagaimana Konsep pendidikan menurut Imam Al Ghazali?
b. Bagaimana Konsep Pendidikan menurut K.H Hasim As’ari?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Al-Ghazali
1. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama Lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali
dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M.
Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota
itu. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan
kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan
pendididikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-
Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan
ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-
mampunya.
Dimasa kanak-kanak Imam Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhaammad Ar-
Radzikani di Thus kemudian belajar kepada abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya
ia kembali ke Thus lagi. Kemudian Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar
kepada seorang ahli agama kenamaan dimasanya, yaitu Al-Juwaini, Imam Al-Haramain
(W.478 H/1085 M). Dari beliau ini dia belajar Ilmu Kalam, Ilmu Ushul dan Ilmu
Pengetahuan agama lainnya. 3
Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan para
intlektual dihadapan Nidzam Al-Mulk membawa kemenangan baginya. Hal ini tidak
lain berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu penegetahuannya, kefasihan
lidahnya dan kejituan argumentasinya. Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat
kehebatan beliau ini dan berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas
yang didirikannya di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484/1091 M.
Ditengah-tengah kesibukannya mengajar di Bahgdad beliau masih sempat
mengarang sejumlah kitab seperti : Al Basith, Al Wasith, Al-wajiz, Khulasah Ilmu Fiqh,
Almunqil fi Ilm Al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma’khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar,
Tashin al Ma’akhidz dan Al-Mabadi’ wa al-Ghayat fi fann al-Khalaf. Namun kesibukan
3 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (RajaGrafindo Persada, 2000) hal. 8
4
dalam karang mengarang ini tidaklah mengganggu perhatian beliau terhadap Ilmu
Metafisika dan beliau selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenek moyang
di mana belum ada seorang pun yang memeperdebatkan soal kebenarannya atau
menggali asal usul dari timbulnya adat istiadat tersebut .
Kitab pertama beliau karang setelah kembali ke Baghdad ialah kitab Al-
Munqidz Al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai salah satu
buku refrensi yang penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan pengetahuan
tentang kehidupan Imam Ghazali.
Demikianlah yang dapat kita amati mengenai sejarah kehidupan Imam Ghazali
dalam siklus purna yang berhenti di tempat semula Beliau dilahirkan di Thus dan
kemabali ke Thus lagi setelah belaiau melakukan pengembaraan dan akhirnya
meninggal kehidupan ilmiah sebagai pengajar dan penasihat diakhirinya sebagai guru
dan penasihat pula.
Dari uraian tersebut diatas, dapat diketahui dengan jelas bahwa Al-Ghazali
tergolong ulama yang taat berpegang pada Al-Qur’an Al-Sunnah, taat menjalankan
agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari berbagai
pengetahuan umum seperti ilmu Kalam, filsafat, Fiqih, Tasawuf dan sebagainya, namun
pada akhirnya ia lebih tertarik kepada fiqih dan Tasawuf.
2. Konsep Pendidikan
Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam Al-Ghazali dapat diketahui antara
lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan
berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan,
kurikulum, metode, pendidik, peserta didik, evaluasi, berikut ini:
a. Tujuan
Tujuan pendidikan Al-Ghazali pada hakikatnya adalah “bagaimana seeorang itu
bisa mendekatkan diri kepada Allah”, yakni sesuai dengan yang terdapat dalam
Al-Qur’an surat AZ-Dzariat 56 Allah berfirman :
artinya :“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat
atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan
5
baru terealisasi dalam sebuah kegiatan, bila ia memahami secara benar filsafat
yang mendasarinya.
Dalam Ihya Ulumuddin Al-Ghazali merumuskan tentang tujuan
pendidikan ada tiga yaitu:
1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan
itu saja. Al-Ghazali mengatakan:
“Apabila engkau mengadakan penyelidikan /penalaran terhadap ilmu
pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu
mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri”4
Dari perkataan tersebut jelas bahwa Al-Ghazali mencurahkan tenaga
dan pikirannya terhadap ilmu pengetahuan yang mengandung kelezatan
intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan roh ilmiah, sehingga Al-
Ghazali, sangat menganjurkan kepada pencari ilmu agar menjadi orang yang
cerdas, pandai berpikir, dapat menggunakan akal secara optimal agar dapat
menguasai pengetahuan itu tersebut.
2) Tujuan utama pendidikan adalah pembentuk akhlak
Al-Ghazali mengatakan :
“Tujuan murid mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang,
adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”.
Dari peryataan diatas, dengan jelas menerangkan bahwa Al-Ghazali
menghendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan
kepribadian yang kuat, merupakan tujuan dari pendidikan bagi kalangan
manusia muslim, karena akhlak adalah asfek fundamental dalam kehidupan
seseorang, masyarakat maupun suatu Negara.
Peran motif pada hakikatnya yang harus difungsikan agar manusia bisa
membedakan antara nilai baik dan buruk, benar dan salah, dalam eksistensi
akhlak, al-Ghazali menjelaskan sebagaimana nasihat yang disampaikan terhadap
murid tercintanya melalui kitab Ayyuh al-Walad yang meliputi:
Pertama, berakidah yang benar, tanpa dicampuri bid’ah.
Kedua, bertobat dengan tulus, dan tidak mengulang lagi perbuatan hina
(dosa) itu.
4 Imam Al-Ghazali, Ihya’Ulumuddin, (Jakarta C.V. Bintang Pelajar, 1981) Juz I,13
6
Ketiga, meminta keridhaan dari musuh-musuhmu sehingga tidak ada lagi
hak orang lain yang masih tertinggal padamu.
Keempat, mempelajari ilmu syariah, sekedar yang dibutuhkan untuk
melaksanakan perintah-perintah Allah. Juga pengetahuan tentang akhirat
yang dengannya kau dapat selamat.5
3) Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagian dunia dan akhiraat.
Al-Ghazali mengatakan :
“Dan sungguhnya engkau mengetahui bahwa hasil pengetahuan adalah
mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan
berhampiran dengan ketinggian malaikat, demikian itu diakhirat.Adapun
didunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh pemerintahan, bagi pinpinan
Negara dan penghormatan menurut kebiasaanya.”
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Al-Ghazali sangat memperthatikan
kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sehingga tercipta kebahagian bersama
didunia dan akhirat . Selain itu juga Al-Ghazali mengatakan, soerang muslim
tidak boleh hanya memandang satu sisi saja dunia atau akhirat saja, tetapi
haruslah memperhatikan keduanya . Jadi menurut Al-Ghazali ruang lingkup
pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim pada khususnya, tidak
sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau akhirat saja, akan tetapi
harus mencakup kebahagian dunia dan akhirat.
Berangkat dari penjelasan tersebut Al-Ghazali merumuskan tujuan pendidikan
Islam kepada tiga aspek yaitu:
a) Aspek keilmuan, yang mengantarkan agar senang berpikir,
menggalakkan penelitian, dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
b) Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia,
berbudi pekerti luhur dan teampil dan berkepribadian kuat.
c) Aspek ketuhanan, yang mengantarkan manusia beragama mendapat
agar dapat mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
5Al-Ghazali. Ayyuh al-Walad…,27
7
Dari rumusan tujuan pendidikan diatas dapat diambil sebuah
pemahaman bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali
adalah :”Tujuan pendidikan Islam adalah menyiapkan generasi-generasi
yang cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan akhirat, sehingga
terciptanya kebahagiaan bersama dunia akhirat”. Tujuan pendidikaan
tersebut senada dengan tujuan pendidikan Indonesia yang terdapat dalam
UU SIKDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 adalah: “Mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.6
Hal yang senada juga terdapat dalam buku “Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam” oleh Abuddin Nata yaitu tujuan akhir dari pendidikan menurut
Al-Ghazali adalah :
Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat .
b. Kurikulum
Berbicara tentang kurikulum dalam konsep pendidikan Al-Ghazali terkait dengan
konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Al-Ghazali sangat intens dalam
membahas tentang ilmu. Menurutnya, ilmu dan amal merupakan satu mata rantai
ibarat setali mata uang yang dengannya manusia dapat selamat ataupun binasa.
Dengan ilmu dan amal pula diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya.
Dalam hal tersebut Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan kepada tiga
bagian yaitu:
1. Ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu –ilmu
pengetahuan yang tidak ada manfaatnya, baik dunia maupun akhirat, seperti
ilmu sihir, ilmu nujum, dan ilmu ramalan Dalam pandangannya Al-Ghazali
6 Zainuddin Dkk,Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali (,Jakarta Bumi Aksara 1991), 43-49
8
menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang
menimbulkan mudharat (kesusahan).
2. Ilmu-ilmu terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat
kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang
berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa seta ilmu yang menjadi
bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya,
ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada
kepada Allah dan melakukan suatu yang diridhainya, serta dapat membekali
hidunya di akhirat.
3. Ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit dan tercela jika
dipelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara
mendalam dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrautan antara
keyakinan dan keraguan, serta dapat membawa kekafiran, seperti ilmu
filsafat.Namun mengenai illmu filsafat Al-Ghazali membagi menjadi ilmu
matematika,ilmu logika, ilmu ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu
etika.7
Melihat dari klasifikasi ilmu yang diberikan Al-Ghazali, bahwa ilmu yang
paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya. Sehingga dalam
menyusun kurikulum pelajaran Al-Ghazali memberikan perhatian khusus
pada ilmu-ilmu agama dan etika.Tetapi juga tidak meninggalkan ilmu yang
menanamkan keahlian, namun memberikan ketentuan sesuai dengan
kebutuhan.
c. Metode
Mengingat pendidikan sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang
erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid, Al-Ghazali dalam tulisan-
tulisannya banyak mengulas tentang hubungan yang mengikat antara keduanya.
Menurutnya hubungan antara guru dan murid sangat menentukan keberhasilan
sebuah pendidikan selain akan memberikan rasa tenteram bagi murid terhadap
gurunya.
7 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2003),88-90
9
Pekerjaan mengajar dalam pandangan Al-Ghazali adalah pekerjaan yang
paling mulia sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti
dikemukakannya: “Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia,
dan bagian tubuh yang paling berharga adalah hatinya”. Adapun guru adalah
orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyepurnakan serta
menyucikan hati, hingga hati itu menjadi dekat kepada Allah SWT.8
Oleh karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua
sudut pandang, pertama ia mengajarkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ibadah
kepada Allah, dan kedua menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka
bumi. Dikatakan khalifah Allah, karena Allah telah membukakan hati seorang
‘alim dengan ilmu, yang mana dengan itu pula seorang ‘alim menampilkan
identitasnya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi selain sebagai
perantara antara hamba dengan makhluk-Nya. Dalam mendekatkan diri kepada
Allah, menggiringnya kepada surga tempat tinggal abadi.
Al-Ghazali menganjurkan agar seorang guru bertindak sebagai seorang
ayah dari seorang muridnya. Bahkan dalam pandangannya hak guru atas
muridnya lebih besar dibandingkan hak orang tua terhadap anaknya. Ayah adalah
sebab dari lahirnya wujud yang fana, sedangkan guru merupakan sebab bagi
lahirnya wujud yang abadi.
Karena guru menunjukkan jalan yang dapat mendekatkannya kepada Allah
baik guru agama maupun guru umum. Kesucian hati seorang guru juga menjadi
prioritas utama, karena seorang guru bagi murid ibarat bayangan kayu. Bayangan
tidak mungkin lurus bila kayunya bengkok.
Prinsip metodologi pendidik modern selalu menunjukkan aspek berganda.
Satu aspek menunjukkan proses anak belajar dan aspek menunjukkan guru
mengajar dan mendidik. Tidak itu saja bahkan berbeda orangnya maka berbeda
pula metode yang digunakan dan yang dimunculkannya.
Tidak terlepas dari itu sebagai tokoh pendidikan Islam, Al-Ghazali pun
mempunyai metode tersendiri dalam menyampaikan pelajaran kepada anak
8 Ibid, 94
10
didiknya. Perhatian Al-Ghazali tentang metode ini lebih ditujukan pada metode
khusus bagi pelajaran agama untuk anak-anak.
Filosof besar ini menangatakan perlunya memilih metode yang tepat dan
sejalan dengan sasaran pendidikan. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu
dalam beberapa himpunan, bagian-bagian, dan cabang-cabangnya. Berdasarkan
hadis Nabi saw., “Sampaikan ilmu sesuai dengan kadar kemampuan akal”, Al-
Ghazali menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai dengan
tabiatnya, sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti
“memberi daging kepada anak kecil
Adapun metode yang diguanakan oleh Al-Ghazali adalah metode
keteladanan bagi mental anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifata-
sifat pada diri mereka. Maksudnya adalah memberikan contoh secara perbuatan.
Hal tersebut sesuai dengan prinsif-prinsif guru yang baik.
Untuk melakukan hal tersebut Al-Ghazali memberikan asas-asas metode
dalam mengajar dan mendidik yang sangat perlu diperhatikan oleh seorang guru
dalam mengajar, yaitu:
a) Memperhatikan daya pikir anak
Al-Ghazali mengatakan: Seorang guru hendaklah dapat memperkirakan
daya pemahaman muridnya dan jangan diberikan pelajaran yang belum sampai
akal pikirannya, sehingga ia akan lari pelajaran atau tumpul otaknya”9
Maksudnya adalah seorang guru harus paham dan tahu mana murid yang cerdas
dan lemah pemahamannya dan yang mudah menangkap pelajaran serta
kemampuan murid dalam menerima pelajaran yang disampaikan juga mana
pelajaran yang pas dan cocok untuk diajarkan sesuai dengan kondisi dan daya
pikir anak tersebut.
Hal tersebut perlu diperhatikan agar pelajaran yang disampaikan tersebut
bisa dipamami anak tersebut, dicerna serta diterapkan dalam kehidupannya
sehari-hari, sehingga membawa manfaat dalam dirinya.
b) Menerangkan pelajaran dengan sejelas-jelasnya.
9 Zainuddin Dkk,Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali…., 78
11
“Seorang anak yang masih rendah tingkat berpikirnya, hendaklah diberikan
pelajaran dengan keterangan yang jelas dan pantas baginya. Dan janganlah
disebutkan padanya bahwa dibalik keterangan ini masih ada keterangan atau
pembahasan yang lebih mendalam yang tidak disampaikan padanya “
Maksudnya adalah sorang guru dalam memberikan penjelasan ketika
menyampaikan pelajaran haruslah dengan penjelasan yang jelas dan terperinci
tanpa ada yang disembunikan dari nya. Hal tersebut sangat diperlukan sebab
setiap anak yang didik itu berbeda kecerdasannya dan pemahannya .Selain itu
untuk menghindarkan kesalahan dalam mengamalkan pelajaran yang telah
dipelajarinya.
c) Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yangkongkrit kepada yang abstrak.
“Seorang guru jangan lah meninggalkan nasehat sedikitpun, yang demikian
ituadalah melarangnya mempelajari ilmu pengetahuan pada tingkat sebelum
berhak pada tinggkat itu, dan mempelajari ilmu pengetahuan yang tersembunyi
(abstrak) sebelum menguasai ilmu yang kongkrit.
Maksudnya adalah dalam mengajarkan ilmu pengetahuan harus lah dimulai
dari ilmu yang kongkrit baru menuju ilmu yang abstrak. Atau dimulai dari
pelajaran yang mudah baru menuju pelajaran yang sulit, umum kepada yang
khusus, global ke yang terperinci, dari yang dasar kepada yanga bercabang .
Hal tersebut dilakukan adalah untuk menghindarkan ketidak pahaman anak
dalam memahami pelajaran yang dipelajarinya, dan menghindari mendangkal
nya otak dan melemahkan pikirannya serta mengaburkan pemahamannya.
d) Mengajarkan ilmu dengan cara ber angsur-angsur.
“Seorang guru yang mengajar satu pak pelajaran hendaklah memberikan
kesempatan pada murid-muridnya utuk mempelajari pelajaran yang lainnya. Dan
apabila guru mengajar beberapa ak pelajaran, maka hendaknya ia memelihara
kemajuan muridnya dengan cara berangsur-angsur dan setingkat demi setingkat.”
Maksudnya adalah seorang guru dalam mengajar harus memperhatikan
kemampuan pemikiran dan kesediaan muridnya dalam menerima pelajaran serta
dalam memerikan pelajaran tersebut dengan cara berangsur-angsur bukan
sekaligus dengan memperhatikan hal tersebut.
12
e) Memberikan latihan-latihan.
Akhir dari segala proses pembelajaran yang diberikan oleh guru dalam
mengajar adalah memberikan latihan kepada muridnya. Hal tersebut bertujuan
adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan dan pemahaman pelajaran yang
diampaikan. Latihan tersebut bisa berupa dengan pertanyaan dan pengamalan
tulisan dan non tulisan
f) Melindungi anak dari pergaulan bebas (buruk).
Pokok dari pendidikan adalah menjaga dan melindungi anak dari pergaulan-
pergaulan yang buruk. Sehingga Al-Ghazali memberikan perhatian besar tentang
pergaulan anak-anak sebab sangat mempunyai pengaruh yang sangat doniman
perkembangan anak. Oleh karena itu seorang guru harus bisa mengontrol
pergaulan anak-anak didiknya agar terhindar dari pergaulan yang buruk.
g) Memberikan pengertian dan nasihat-nasihat
Nasehat perlu diberikan kepada siswa dengan tujuan agar mereka bisa
berjalan sesua dengan tuntunan agama, dan menghindar kan dari kenakanlan dan
maksiat. Selain itu adalah untuk memperteguh keyakinannya kepa Allah ta’ala
dan apa yang dipelajarinya.
Dengan demikian metodologi pengajaran dan pendidikan sangat diperlukan
baik dewsa ini juga, agar pendidikan anak tersebut terarah dan membuahkan
hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan pendidikan.10
d. Pendidik
Berbicara tentang pendidik Al-Ghazali menggunakan istilah pendidik
dengan berbagai kata seperti, al-Mu’allim (guru), al-Mudarris (pengajar), al-
Muaddib (pendidik ) dan al-Walid (orang tua).
Pendidik adalah orang yang diberi tugas untuk memberikan pengetahuann
kepada peserta didik agar menjadi orang berilmu pengetahuan dan ber akhlak
mulia serta bertanggung jawab. Oleh karena itu Al-Ghazali memberikan ketentuan
bahwa seorang pendidik itu adalah orang yang cerdas dan sempurna akalnya, juga
yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya.
Selain dari itu seorang guru /pendidik haruslah memiliki sifat-sifat seperti :
10 Zainuddin Dkk,Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali….,80-82
13
1) Harus mempunyai sifat kasih sayang.
Sifat ini sangat penting bagi seorang pendidik sebab dengan sifat tersebut
dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tentram pada diri murid terhadap
gurunya. Hasilnya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk
menguasai ilmu yang diajkarkan oleh seorang guru.
Selain dari itu seorang pendidik juga harus bisa menjadi pengganti orang
tua anak didiknya, yakni mencintai anak didiknya seperti anaknya
sendiri.Sehingga hubungan antara guru dengan anak didiknya, seperti hubungan
naluriah antara orang tua dengan anaknya menjadi harmonis dan akan
mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan dan dan
pendidikannya, dan menjauhi perkataan yang kotor, perkataan yang kasar, muka
masam, dan lain yang akan menggagu pemikirannya dalam belajar.
2) Ikhlas
Menurut Al-Ghazali seorang guru atau pendidik adalah orang yang
mempunyai keikhlasan yang tingi serta kesabaran. Sehingga seorang pendidik
dalam memberikan pelajaran terhadap anak didiknya tidak boleh menuntut upah
atas apa yang ia ajarkan terhadap anak didiknya.dan seogianya seorang
pendidikan meniru Rasulullah SAW, mengajar ilmu hanya karena Allah,
sehingga dengan mengajar tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Demikian pula dengan seorang guru atau pendidik tidak dibenarkan minta
dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterimakasih kepada
muridnya atau memberikan imbalan kepada muridnya apabila berhasil membina
mentalnya.
3) Menjadi teladan bagi anak didik.
Al-Ghazali mengatakan “Seorang guru mengamalkan ilmunya, dan
menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan Karena sesungguhnya ilmu itu
dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata
kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala lebih banyak”.
Dari perkatan Al-Ghazali tersebut seorang pendidik tidak hanya pandai
berbicara dihadapan anak didiknya tetapi harus bisa memberikan contoh pada
anak didiknya.
14
4) Menjadi pengarah bagi anak didik.
Selain dari contoh teladan bagi anak didik sorang pendidik harus bisa
menjadi pengarah bagi anak didiknya. Dan seorang pendidik tidak boleh
membiarkan anak didiknya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi, sebelum ia
menguasai pelajaran yang sebelumnya. Serta tidak boleh membiarkan muridnya
lalai kepada Allah .
5) Bersikap lemah lembut.
Dalam kegiatan mengajar hendaknya seorang guru bersikap lemah
lembut dan mempunyai cara-cara yang simpatik dan halus dan tidak
menggunakan kekerasan, cacian dan makian. Selain itu seorang guru juga tidak
boleh mengekspos atau menyebarluaskan kesalahan atau aib seorang murid pada
tempat umum, karena itu dapat menyebabkan jiwa anak akan keras,
membangkan dan menentang gurunya. Dan akan mengakibatkan proses
pembelajaran tidak akan terlaksana dengan baik.
6) Dapat memahami kondisi anak didik (potensi).
Setiap murid pasti mempunyai latar belakang keluarga yang berbeda,
begitu juga dengan kemampuan yang dimilikinya antara murid yang satu dengan
yang lain. Oleh karena itu seorang guru haruslah bisa memahami perbedaan
tersebut, dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat kemampuan yang
dimilikinya. Sehingga Al-Ghazali menganjurkan memberikan batasan pelajaran
yang diberikan sesuai dengan batas kemampuan dan pemahaman muridnya. Dan
tidak memberikan pelajaran diluar kemampuan dan pemahamannya.
7) Memahami Psikologis Anak.
Perbedaan usia akan mepengaruhi tingkat kemampuan, kecerdasan dan
bakat seorang murid. Oleh karena itu seorang guru haruslah bisa memahami
kecerdasan, bakat, tabi’at serta kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat
perbedaan usianya. Sehingga memudahkan bagi guru dalam memberikan
pelajaran yang sesuai pada muridnya
8) Istiqomah konsiten dengan apa yang diucapkan.
15
Seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh pada apa yang
di ucapkanya, serta berupaya merealisasikannya dalam kehidupannya. Sehingga
Al-Ghazali mengingatkan seorang guru jangan sekali-kali melakukan sesuatu
perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diucapkanya. Sebab bila seorang
guru melakukan hal tersebut akan menghilangkan wibawanya sebagai seorang
guru11.
9) Menghormati kode etik guru
Al-Ghazali mengatakan :“Seorang guru yang memegang satu mata
pelajaran sebaiknya jangan menjelek-jelekkan mata pelajaran lainnya dihadapan
murid-muridnya.”
Maksud ucapan Al-Ghazali adalah sorang guru tidak boleh mengejek
mata pelajaran yang guru lain ajarkan dalam satu majelis tersebut walaupun guru
tesebut tidak senang dengan mata pelajaran tersebut.
10) Tidak boleh menuntut upah
Karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang
alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih
payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang
mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat
bertaqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta
dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada
muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina
mental dan jiwa.12
e. Peserta didik
Berbicara tentang Anak didik Al-Ghazali menggunakan istilah anak
dengan beberapa kata seperti dengan kata al-shoby (Kanak-kanak), al-Mutaallim
(Pelajar), dan Thalabul Ilmi(Penuntut Ilmu Pengetahuan). Oleh karena itu istilah
anak didik dapat diartikan ; anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani
dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan objek utama dalam pendidikan.
Selain dari itu peserta didik juga dapat diartikan adalah orang yang
menjalani pendidikan dan untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu kesempurnaan
11 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh……, 9812 Zainuddin Dkk,Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali….,54-55
16
insani dengan mendekatkan diri pada Allah dan kebahagian didunia dan diakhirat
maka jalan untuk mencapainya diperlukan belajar dan belajar itu juga termasuk
ibadah, juga suatu keharusan bagi peserta didik untuk menjahui sifat-sifat dan hal-
hal yang tercela, jadi peserta didik yang baik adalah peserta didik yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) Peserta didik harus bersikap rendah hati dan tidak takabbur dan menjahui
sifat-sifat yang hina (bersih jiwanya )
Al-Ghazali mengatakan kebersihan yang dimaksud adalah kebersihan
hati. Sebab bila hati tidak bersih maka ilmu yang sedang dipelajari tidak akan
bisa masuk dan bermanfaat bagi simurid.
2) Peserta didik harus menjauhkan dari persoalan –persoalan duniawi .
Al-Ghazali mengatakan soerang murid yang sedang belajar haruslah
mengurangi ketertarikannya terhadap dunia dan masalah-masalah yang
mengganggu proses belajar. Hal tersebut sesuai dengan ucapan Al-Ghazali
“Ilmu tidak akan memberikan sebagian darinya kepadamu sebelum kamu
memberikan seluruh dirimu kepadanya”
3). Peserta didik hendaknya bersikap rendah hati (tidak sombong).
Sifat rendah hati atau tawadhu’ adalah sifat yang sangat ditekan oleh Al-
Ghazali kepada seorang murid yang sedang mencari ilmu. Al-Ghazali juga
menekankan kepada seorang murid yang sedang belajar agar tidak boleh
bersikap lebih dari gurunya ,sehingga tidak mau menyerah kan segala
persoalan ilmu pada gurunya dan tidak mau mendengarkan nasehat gurunya.
Pada hal murid yang baik adalah murit yang menyerahkan permasalahn ilmu
kepada gurunya dan mendengarkan nasehat gurunya, laksana seorang pasien
yang mendengarkan arahan dokternya.
3) Peserta didik hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang saling
berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan.
Dimaksud ilmu yang saling bertentangan adalah sorang murid yang
baru tahab belajar hendaknya jangan mempelajari aliran –aliran yang berbeda,
atau ikut dalam berbagai perdebatan yang membingingkan. Karna hal tersebut
17
akan membingungkan pemahaman anak didik terhadap ilmu yang sedang
dipelajarinya.
5) Peserta didik tidak hanya mempelajari yang wajib
Seorang pelajar harus mendahulukan mempelajari ilmu pengetahuan
yang wajid dari pada yang lain. Seperti mepelajari alqur’an misalnya lebih
uatama dari pada yang lain, sebab ia menyang kut dengan ibadah yang lain
seperti sholat.
6) Peserta didik hendaknya mempelajari ilmu pengetahuan secara bertahap
Seorang murid menurut Al-Ghazali dalam mempelajari ilmu
pengetahuan adalah dengan cara bertahap. Yakni tidak mempelajari satu ilmu
pengtahuan secara sekaligus tetapi harus mempelajari ilmu tersebut secara
bertahap sesuai dengan urutan, serta memulai mempelajari ilmu-ilmu agama
terlebih dahulu baru pada mempelajari ilmu yang lain karna itulah yang lebih
utama. Dan jangan sekali- kali mempelajari satu ilmu dari yang besar ke
yang kecil, yang khusus ke yang umum sunah ke wajib dan susah ke yang
mudah tapi malah harus sebaliknya.
7) Peserta didik hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum
menguasainya
Maksudnya adalah seorang murid yang sedang belajar sebelum
memahami ilmu yang satu jangan berpindah kepada mempelajari ilmu yang
lain. Atau sebelum waktunya mempelajari ilmu pengetahuan tersebut tidak
mempelajarinya artinya anak kelas satu jangan sekali- kali mempelajari
pelajaran kelas empat dan seterusnya.
8) Peserta didik hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yangdipelajarinya.
Menurut Al-Ghazali setiap ilmu itu memiliki kelebihan masing-masing
serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya dipelajari dengan baik.13
f. Evaluasi
Adapun tentang masalah evaluasi Al-Ghazali mengatakan, bahwa evaluasi
dilakukan adalah untuk mengetahui sejauh mana anak dapat memahami dan
mengamalkan apa yang ia pelajari. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan
13 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…..,99-101
18
Allah tehadap makhluk ciptaannya, yakni memberika evaluasi berupa ujian dan
cobaan, dengan tujuan untuk mengetahuai apakah hamba tersebut benar benar
beriman kepada Allah dalam setiap keadaan.
Al-Ghazali lebih lanjut beliau mengatakan bila evaluasi harus dilasanakan,
sesuai dengan pelajaran yang telah disampaikan oleh sang guru, baik dengan cara
lisan atau pun tulisan. Sebagai mana yang Allah lakukan pada nabi Adam yang
mengajarkan nama-nama benda, yang kemudian Allah evaluasiyang terdapat dalam
surah Al-Baqarah ayat 31-32 yang berbunyi:
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"”
“Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari
apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S:2:31-32)
Dalam hal ini Al-Ghazali memahami tentang evaluasi adalah bagai mana
sikap seorang hamba terhadap apa yang Allah berikan kepadanya termasuk ujian
dan cobaan, terhadap apa yang telah ia pelajari dari ayat-ayat Allah apakah ia
paham atau tidak, sabar atau tidak.
Selain dari itu dalam mengevaluasi yang paling utama adalah mengevaluasi
sipritualnya bukan hanya kemampuan akalnya saja. Dengan tujuan agar terdapat
keseimbangan antara teori dan prakteknya, yang akhirnya tercapai tujuan
pendidikan yang diinginkan sesuai dengan yang Allah inginkan dan bang sa
Indonesia yakni cerdas secara IQ tapi juga cerdas secara Emosional Spritualnya.14
B. Konsep Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari
1. Biografi K.H. Hasyim Asy’ari.
K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 14
Februari 1871 Masehi.15 Atau dalam kalender hijriah beliau lahir pada tanggal 24
14Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta Pustaka Firdaus, 2005),88-89 15 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/h/hasyim-asyari/index.shtml, diunduh 26 Mei 2011
19
Dzulhijjah 1287 Hijriah. Beliau adalah putra ketiga dari sebelas bersaudara
pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kelahirannya bertempat di Jombang
tepatnya di kediaman kakeknya, Kiai Ustman di Pesantren Gedang desa Tambak
Rejo.16
Masa kecil K.H. Hasyim Asy’ari tidak lepas dari kehidupan pesantren
karena beliau memang dilahirkan di lingkungan pesantren. Oleh sebab itu, beliau
melewati masa kecilnya berada di pesantren.
Pada usia lima belas tahun, remaja Hasyim meninggalkan kedua orang
tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi
santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo,
kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Semarang. Belum
puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan rihlah ilmiahnya ke
Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin
Abdul Latif yang terkenal waliyullah itu.17
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada tahun 1307 H/ 1891
M. Kiai Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di pesantren Siwalan, Panji,
Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub. Dan K.H Hasyim Asy’ari merasa
menemukan sumber pengetahuan yang diinginkan.
Hadratussyekh belajar di sana selama lima tahun. Lalu pada usia 21 tahun
dia dinikahkan dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya'qub. Ia diminta menikah
dengan putri Kiai Ya’qub karena kedalaman ilmunya.18 Pernikahan itu
dilangsungkan pada tahun 1892 M/ 1308 H.
Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat
ke Mekah guna menunaikan ibadah haji. Kesempatan di tanah suci juga digunakan
untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama
dipelajarinya, terutama ilmu hadits. Beberapa bulan kemudian, Kiai Hasyim
kembali ke Indonesia untuk mengantar mertuanya pulang.19
16 M. Ishom Hadzik, KH. M. Hasyim Asy’ari; Figur Ulama dan Pejuang Sejati, (Jombang: Pustaka Warisan Islam dan Achmady Instituty, 2007), hlm. 717 Muhamad Rifai,KH. Hasyim Asy’ari; Biografi Singkat 1871-1947. (Jogjakarta: Garasi 2009) hlm. 2118 Latiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta cet. III: LKiS, 2008), hlm. 1919 M. Ishom Hadzik, KH. M. Hasyim Asy’ari; Figur Ulama dan Pejuang Sejati…. hlm. 10
20
Kerinduan akan tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk kembali lagi
ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/ 1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah
bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai
Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha
Kuasa. Pada saat menetap di Mekah inilah, beliau benar-benar memfokuskan diri
untuk menuntut ilmu.
Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri
berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam
Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu pagi beliau berangkat
menuju Goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih sepuluh km di luar Kota Mekah, untuk
mempelajari dan menghafalkan hadits-hadits Nabi. Setiap berangkat menuju Goa
Hira’, Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin
dipelajarinya.
Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dari
mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekah, antara lain: Syekh Mahfudzh at-
Turmusi,20 Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-
Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal. Sejumlah sayyid juga menjadi
gurunya, antara lain: Sayyid Abbas Alaliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani,
Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-
Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang
saat itu menjadi mufti di Mekah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat
mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-
Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi.21
2. Konsep pendidikan
a. Pembaruan Pesantren
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan
sistem pengajaran sorogan dan weton (bandongan).22 Dalam sistem pengajaran ini,
tidak dikenal yang namanya jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan
20 Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari; Biografi Singkat 1871-1947, (Jogjakarta: Garasi, 2009), hlm. 2321 M. Ishom Hadzik, KH. M. Hasyim Asy’ari; Figur Ulama dan Pejuang Sejati….., hlm. 1122 Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari; Biografi Singkat 1871-1947,…. hlm. 46
21
bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar
pada materi pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah
Bahasa Jawa dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Materi-materi pesantren yang diberikan dari kedatangan masuk Islam sampai
awal berdirinya Tebu Ireng asih berkutat hanya pendidikan agama dan system yang
digunakan juga masih dipertahankan tradisi lama. Tetapi K.H Hasyim Asy’arilah
yang akan merubah system pendidikan dan metode pengajaran yang masih dianggap
tabu.
Seiring perkembangan waktu, pesantren Tebu Ireng inovasi pembelajaran.
Sistem dan metode pengajaran pun ditambah, di antaranya dengan menambah kelas
musyawarah sebagai kelas tertinggi.23
Bila sebelumnya pesantren hanya semata-mata mengajarkan Bahasa Arab dan
kitab-kitab kuning, Hadratusysyekh mencoba memasukkan pelajaran yang masih
dianggap tabu, antara lain: baca-tulis huruf latin, pidato, berorganisasi, dan
menggalakkan bacaan-bacaan tentang pengetahuan umum seperti bahasa Indonesia,
Matematika, Geografi, Sejarah di pesantrennya. Sekalipun Pesantren memang
disiapkan untuk mencetak calon ahli agama, namun bukan berarti pengetahuan lain
tidak perlu dimiliki.24 Sampai pada titik ini, Hasyim sebenarnya sudah mulai
memelopori adanya integrasi ilmu pengetahuan.
Dari pemikiran tentang kurikulum yang diberikan bahwa tidak hanya
mengajarkan kitab kuning saja tetapi juga “kitab putih” dapat dikatakan bahwa
Hasyim Asy’ari dalam pemikiranya tidak mendikotomikan keilmuan antara ilmu
agama dan ilmu umum, semuanya ilmu agama dan wajib untuk dipelajari.
Kemudian pada tahun 1916 M, K.H. Ma’shum Ali salah seorang menantu
Kiai Hasyim mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Mulai tahun itu juga, Ia pun
mulai mengubah sistem pendidikan pesantren menjadi klasikal. Di Tebuireng para
santri belajar dengan sistem kelas selama tujuh jenjang yang dibagi menjadi dua
tingkatan yang disebut siffir. Dua jenjang pertama disebut siffir awal yaitu masa
persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya, yang diajarkan
23 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 6624 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/h/hasyim-asyari/index.shtml, diunduh pada tanggal 26 Mei 2011
22
adlah dasar-dasar bahasa Arab, yang merupakan fondasi untuk memahami kitab
kuning. Dan lima tahun berikutnya disebut siffir tsani.25
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah
Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia
(Melayu), matematika, dan geografi. Lalu pada 1926, pelajaran ditambah dengan
pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah.
b. Karya dan Konsep Pendidikan
Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-
Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat
Ta’limih (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh
Pelajar selama Belajar) yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana
umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan
pada masalah pendidikan etika.26
Dalam konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari lebih banyak menekankan
pada etika. Dalam kitabnya lebih banyak menulis tentang etika daripada tentang
teori-teori yang muluk-muluk. Dan ini merupakan ciri tersendiri dalam pemikiran
beliau.
Hal-hal yang menunjukan bahwa konsep pendidikan beliau lebih menekankan
pada etika dapat terlihat dari kitabnya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim yang dalam
kitab ini tersusun menjadi delapan Bab yang semuanya berisi tentang etika, baik itu
etika seorang pelajar maupun etika pengajar.
Isi dari kitabnya karanganya adalah:
a. Keutamaan ilmu dan ulama’ dan keutamaan pembelajaran.
b. Etika peserta didik/ pelajar terhadap dirinya sendiri.
c. Etika peserta didik/ pelajar terhadap pendidik/ guru.
d. Etika peserta didik/ pelajar terhadap pelajaran dan hal-hal yang menjadi
pedoman terhadap pendidik dan teman-temanya.
25 Zuhairi Misrawi Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari….., hlm. 6726 http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-k-h-hasyim-asy%E2%80%99ari/, diunduh
pada tanggal 26 Mei 2011
23
e. Etika pendidik/guru terhadap dirinya.
f. Etika pendidik/guru terhadap pelajaran.
g. Etika pendidik/guru bersama peserta didik/ pelajar.
h. Etika menggunakan literatur yang merupakan alat belajar.27
a. Pentingnya Ilmu Pengetahuan
Sisi pendidikan yang cukup menarik perhatian dalam konsep pendidikan
K.H. Hasyim Asy’ari adalah sikapnya yang sangat mementingkan ilmu dan
pengajaran. Kekuatan dalam hal ini terlihat pada penekanannya bahwa eksistensi
ulama, sebagai orang yang memiliki ilmu, menduduki tempat yang tinggi. Karena
itu, dalam bab pertama kitab Adab al-’âlim wa al-muta’allim,
Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari di atas tampaknya mengikuti pemikiran
tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti al-Ghazali. Sebab, pemikiran K.H. Hasyim
Asy’ari ini ada kesamaan dengan yang dibuat oleh al-Ghazali, yakni ahli ilmu
lebih utama daripada ahli ibadah, dengan menyajikan alasan-alasan ayat al-Quran,
hadits, dan pendapat para ulama.
b. Etika Pelajar
Untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, KH. Hasyim Asy’ari
menyarankan kepada peserta didik untuk memperhatikan sepuluh etika yang mesti
dicamkan ketika belajar. Menurut Hasyim Asy’ari etika pelajar terhadap dirinya
sendiri, dan beliau mengatakan ada sepuluh macam itu adalah:
1. Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan.
2. Mempunyai niat yang tulus dalam rangka mencari ilmu.
3. Pandai memanfaatkan waktu saat masa muda.
4. Menerima keadaan serba penuh keterbatasan.
5. Pandai memanfaatkan waktu.
6. Menyederhanakan makan dan minum.
7. Berhati-hati (wara’).
8. Menghindari makanan yang dapat menyebabkan lambat berfikir dan malas.
9. Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan.
27 K.H. Hasyim Asy’ari, Irsyadu Sarii, Fii Jami’ Musnafat Syekh Hasyim Asy’ari, (Jombang: Maktabah Al-Turats Al-Islami), hlm. 109-110
24
10.Meninggalkan pergaulan yang merugikan n hal-hal yang kurang berfaedah 28
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada
pendidikan rohani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap
diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya.
Dan yang sangat mencolok dari Hasyim Asy’ari adalah penanaman nilai prinsip
yang fundamental sehingga kelak bisa menjadi panutan semua orang.
c. Etika pelajar terhadap guru
Kiai Hasyim memberikan gambaran etika pelajar terhadap gurunya
diantaranya adalah: Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru,
memilih guru yang mengerti benar tentang syari’at, dan bisa dipercaya kemahiran
ilmunya, penuntut ilmu hendaknya patuh dan taat kepada gurunya, memilih guru
yang wara’, mengikuti jejak guru, memuliakan dan memperhatikan hak guru,
bersabar terdapat kekerasan guru, berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta
izin lebih dulu, duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru, berbicara dengan
sopan dan lembut dengan guru, dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela
pembicaraannya, gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.29
Etika pelajar dan guru seperti yang diungkap K.H. Hasyim Asy’ari sangat
langka sekarang ini, malah sekarang seorang guru menjadi bahan tertawaan para
pelajar. Pemikiran Kiai Hasyim sangat maju bagaimana misalnya seorang pelajar
harus bisa memilih guru yang professional.
Banyak sekali sekarang yang bermasalah bukanlah satu sisi tapi dari berbagai
sisi yang perlu dikaji, tidak hanya pelajar saja yang ditekankan tetapi lingkungan
yang kondusif juga perlu diwujudkan.
d. Etika pelajar terhadap pelajaran.
Ada beberapa tawaran dari Kiai Hasyim dalam etika pelajar terhadap
pelajaran yang diterimanya atau juga yang akan dipelajari yaitu: memperhatikan ilmu
yang bersifat fardhu ‘ain, penuntut ilmu hendaknya selalu melaksanakan sesuatu yang
telah diwajibkan dengan belajar Al-Qur’an, memahami tafsirnya dan semua ilmu-
ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para
ulama, mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya,
28 K.H. Hasyim Asy’ari, Irsyadu Sarii, Fii Jami’ Musnafat Syekh Hasyim Asy’ari…., hlm. 2429 Ibid., hlm. 29-43
25
senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu, bila terdapat hal-hal yang belum
dipahami hendaknya ditanyakan, pancangkan cita-cita yang tinggi, kemanapun pergi
dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan, pelajari pelajaran yang telah
dipelajari dengan continue (istiqamah), tanamkan rasa antusias dalam belajar.30
Tawaran dari Kiai Hasyim adalah sangatlah maju pada zamanya karena
seorang pelajar diharapkan dalam belajar mampu melakukan dialogis dengan guru
sehingga ada komunikasi dua arah. Sehingga akan memunculkan suasana belajar
yang bersifat dinamis, konstruktif, dan dialogis. Jika ada sesuatu yang tidak
dimengerti segera ditanyakan tetapi juga dengan menggunakan etika.
e. Etika Pendidik/ Guru
1) Etika pendidik terhadap dirinya sendiri.
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik, peserta didik mesti memilih dan
mengikuti pendidik yang baik pula. Dalam hal ini, perlu adanya batasan atau karakteristik
pendidik yang baik. Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh
seorang pendidik islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi pendidik/ para
guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh
guru ataupun calon guru. Yaitu:
1. Selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun,
bagaimanapun dan dimanapun.
2. Mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun
baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
3. Mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
4. Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.
5. Tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga
dikatakan rendah hati.
6. Khusyu dalam segala ibadahnya.
7. Selalu berpedoman kepada hukum Allah dalam segala hal.
8. Tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.
9. Tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
10. Zuhud, dalam segala hal.
30 Ibid., hlm. 43-54
26
11. Menghindari pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.
12. Menghindari tempat-tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
13. Selalu menghidupkan syiar islam.
14. Menegakkan sunnah Rasul.
15. Menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
16. Bergaul dengan sesame manusia secara ramah.
17. Menyucikan jiwa.
18. Selalu berusaha mempertajam ilmunya dan terbuka baik saran maupun kritik.
19. Selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
20. Meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.31
Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidik
yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik
mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga,
karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.
2) Etika pendidik dalam mengajar
Dalam pemikiranya, Kiai Hasyim menyebutkan setidaknya ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan seorang pendidik dalam mengajar diantaranya, jangan mengajarkan hal-
hal yang syubhat, mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian,berniat
beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a, biasakan membaca untuk
menambah ilmu, menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa, jangan sekali-
kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah, usahakan tampilan ramah,
lemah lembut, dan tidak sombong, mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai
dengan profesional yang dimiliki, menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik
bandel, bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan, memberikan
kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya agar
tahu apa yang dimaksudkan, beri anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum
dipahaminya.32
Terlihat juga betapa beliau sangat memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan
seorang guru. Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan, tetapi
juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak wangi. Agaknya pemikiran Hasyim
31 Ibid., hlm. 55-7032 Ibid., hlm. 71-80
27
Asy’ari juga sangat maju dibandingkan zamannya, ia menawarkan agar pendidik bersikap
terbuka, dan memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek,
dengan memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan menyampaikan berbagai
persoalan di hadapan guru.
3) Etika pendidik bersama murid
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang pendidik terhadap pelajar
diantaranya adalah berniat mendidik dan menyebarkan ilmu, menghindari ketidak ikhlasan,
mempergunakan metode yang mudah dipahami anak, memperhatikan kemampuan anak
didik, tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain, bersikap
terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’, membantu memecahkan masalah-masalah anak
didik, bila ada anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.33
Kalau sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika membahas tentang
tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Namun kali ini gagasan-gagasan yang
dilontarkan beliau berkaitan dengan etika guru bersama murid menunjukkan
keprofesionalnya dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang
dilontarkannya tentang kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi
profesional.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru perlu
memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan memberi motivasi serta latihan-
latihan yang bersifat membantu murid-muridnya memahami pelajaran. Selain itu, guru juga
harus memahami murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara
individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi murid, mengarahkan murid pada
minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus bersikap arif.
Jelas pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu pendidikan
maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang beredar dan dikaji secara luas belum
tersebar, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikiran beliau patut
untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan.
f. Etika terhadap buku, alat pelajaran dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya
Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa
disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap buku dan alat-alat
33 Ibid., hlm. 81-95
28
pendidikan. Bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu
diperhatikan.
Di antara etika tersebut adalah: menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki
buku, merelakan dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya
bagi peminjam menjaga barang pinjamannya. Memeriksa dahulu bila membeli dan
meminjamnya, bila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalnya dengan
basmalah, sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah
dan shalawat Nabi.34
34 Ibid., hlm. 95-101
29