kajian yuridis penyelesaian sengketa lingkungan hidup di .../kajian... · sukarela dan hanya...

101
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta OLEH ERLINA SEPTIYANINGRUM NIM : E. 0006120 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA Penulisan Hukum ( Skripsi )

Upload: lamtuong

Post on 12-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

OLEH ERLINA SEPTIYANINGRUM

NIM : E. 0006120

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA

Penulisan Hukum

( Skripsi )

Page 2: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

2

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN

LINGKUNGAN DI INDONESIA

Disusun Oleh :

ERLINA SEPTIYANINGRUM

NIM : E. 0006120

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dosen Pembimbing

Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H, M.M

NIP. 197210082005012001

PENGESAHAN PENGUJI

Page 3: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

3

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI

LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN

LINGKUNGAN DI INDONESIA

Oleh : Erlina Septiyaningrum

NIM. E0006120

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada : Hari : Kamis Tanggal : 25 Maret 2010

DEWAN PENGUJI

1. Pius Tri Wahyudi, S.H, M.Si : …………………………… Ketua 2. Waluyo, S.H, M.Si : ..…………………………… Sekretaris 3. Dr. I Gusti Ayu KRH, S.H, M.M : ……………………………

Anggota

Mengetahui Dekan,

Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 196109301986011001

PERNYATAAN

Page 4: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

4

Nama : Erlina Septiyaningrum

NIM : E0006120

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) yang

berjudul: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA

LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA

MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG

BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA adalah betul-betul karya

sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi

tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari

terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi

akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya

peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 16 Maret 2010

Yang membuat pernyataan

Erlina Septiyaningrum NIM. E0006120

Page 5: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

5

ABSTRAK

Erlina Septiyaningrum, 2010. KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Intervensi terhadap lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melaksanakan kegiatan pembangunan secara berkelanjutan. Tetapi, beberapa pelaku pembangunan masih melaksanakan kegiatan pembangunan dengan tidak berkelanjutan. Hal ini antara lain menyebabkan terjadinya kasus pencemaran dan perusakan lingkungan yang merupakan condisio sine quanon terjadinya sengketa lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat memberikan jawaban keadilan ditengah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia, kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan solusinya, serta penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan jenis dan sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan sumber penelitian dilakukan dengan teknik riset kepustakaan dan teknik analisis sumber penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik berfikir deduksi dan interpretasi (gramatikal).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak yang bersifat sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan ditempuh berdasarkan kesepakatan para pihak dengan arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsultasi, penilaian ahli). Akan tetapi, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia jika ditinjau dari pengaturannya masih memiliki beberapa kelemahan. Meskipun demikian, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagai bagian inheren dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia masih mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia.

Kata Kunci: penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Page 6: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

6

ABSTRACT Erlina Septiyaningrum, 2010. A JURIDICAL REVIEW ON THE SETTLEMENT OF LIVING ENVIRONMENT DISPUTE OUTSIDE THE COURT AS AN ATTEMPT OF REALIZING THE SUSTAINABLE, ENVIRONMENT-ORIENTED DEVELOPMENT IN INDONESIA. Law Faculty of Sebelas Maret University.

Intervention to the environment in the implementation of development is

inevitable. Such problems can be addressed by implementing a sustainable development activity. However, many developers still implement unsustainable development practice. It results in the pollution case and environmental destruction constituting condisio sine quanon evoking the environmental dispute. The settlement of environmental dispute outside the court can give the justice response amid the public’s distrust against the judicature institution. For that reason, in this study, the researcher examines and answers the problems about the settlement of environmental dispute outside the court in Indonesia, the weakness of the environmental dispute settlement outside the court and the solution, as well as the environmental dispute settlement in realizing a sustainable, environment-oriented development. This study belongs to a normative law research that is prescriptive in nature with statutory approach. This research employed the secondary type and research source consisting of primary and secondary law materials. Technique of collecting research sources employed was literary research and technique of analyzing data used was deductive and interpretative thinking techniques.

The result of research shows that based on the provision in Acts No. 32 of

2009, No. 30 of 1999, and Governmental Regulation Number 54 of 2000, the settlement of living environment dispute outside the court is the parties’ voluntary choice and it only applies to the dispute included in the civil area. The environment dispute settlement outside the court is taken based on an agreement among the parties with arbitration or alternative dispute settlement (conciliation, negotiation, mediation, consultation, expert judgment). However, the environment dispute settlement outside the court in Indonesia, viewed from the regulation, still has some weaknesses. Nevertheless, the environment dispute settlement outside the court inherent to the policy of living environment protection and management in Indonesia still supports the sustainable, environment-oriented development in Indonesia.

Keywords: the environment dispute settlement outside the court, the sustainable,

environment-oriented development

Page 7: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

7

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dimana hanya dengan rahmat dan ridho-

Nya, penulisan hukum (skripsi) ini dapat penulis selesaikan. Penulisan hukum ini

membahas mengenai penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia ditinjau dari

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian

Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dalam kaitannya dengan

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Dengan terselesainya

penulisan hukum, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Allah SWT, atas kasih dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan hukum ini. Tiada daya dan upaya kecuali atas kekuatan dan ijin

dari-Nya.

2. Mama, Papa, dan Elisa Hermawati (kakak), terima kasih untuk doa, kekuatan,

dan dorongan yang selalu diberikan.

3. Rohmat Subekti, S.H. atas setiap kesetiaan, kesabaran, dan pengertian yang

menenangkan.

4. Bapak Mohammad Jamin S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS

dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS.

5. Ibu I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H.,M.M. selaku Dosen

pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga penulisan hukum ini

dapat terselesaikan dengan baik.

6. Bapak Mohammad Rustamaji, S.H, M.H, Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H,

M.Hum, Ibu Anjar Si CN, S.H, M.Hum, dan Bapak Moelyanto,S.H, M.H yang

telah banyak membekali penulis dengan ketrampilan menulis.

Page 8: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

8

7. Bapak Suranto, S.H, Bapak Joko Sugiyatno, dan Ibu Barsedyani yang telah

banyak memberikan pengetahuan non-akademik bagi penulis.

8. Bapak Prasetyo Hadi P, S.H, M.S yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk menjadi asisten dosen dan seluruh Dosen di Fakultas Hukum

UNS yang telah membekali penulis dengan ilmu hukum dan menanamkan

kecintaan penulis terhadap hukum.

9. Sulistyo Probo Winahyo, Diana Dewi Kusumaningrum, Fatmawati Nurul

Handayani Kusuma Wardani, Galih Ahmad, Hermawan Fathoni, dan Rofi

Farih, sahabat yang dengan komitmen selalu memberikan cinta, keceriaan, dan

harapan.

10. Erika Rovita Maharani, Pratami Wahyudya Ningsih, Dian Rachma Fitria, dan

Hanifah Endah Setyowati yang telah menggoreskan kenangan indah selama

penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum UNS.

11. Amel, Sinta, Corry, Radit, Anna, Fera, Seto, Rohmadi, Andri, AW, Ita, Mbak

Nana, Mbak Athina, Mas Irawan, Chandra, Wisnu, Adel, Ayu, Giska, Ririn,

Beta, dan seluruh keluarga besar BEM serta KSP ”Principium” Fakultas

Hukum UNS yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih

untuk pendewasaan dan ilmu keorganisasian.

12. Staff Perpustakaan Fakultas Hukum UNS dan Perpustakaan Pusat UNS atas

keramahan dan bantuannya.

Surakarta, 18 Maret 2010

Penulis

Page 9: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

9

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI HALAMAN PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………… 1 B. Perumusan Masalah…………………………………………….. 6 C. Tujuan Penelitian………………………………………………... 6 D. Manfaat Penelitian……………………………………………..... 7 E. Metode Penelitian……………………………………………….. 7 F. Sistematika Skripsi…………………………………………….... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori………………………………………………….. 14

1. Tinjauan Tentang Lingkungan Hidup a. Pengertian Lingkungan Hidup…….…………………….. 14 b. Hubungan Lingkungan Hidup dengan Manusia ………

2. Tinjauan Tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup a. Tinjauan tentang Pencemaran Lingkungan Hidup

1) Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup .....…….. 17 2) Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan Hidup.………… 17 3) Baku Mutu Lingkungan Hidup……………..……….. 18

b. Tinjauan tentang Perusakan Lingkungan Hidup 1) Pengertian Perusakan Lingkungan Hidup .....………. 19 2) Jenis-Jenis Perusakan Lingkungan Hidup.…………… 20 3) Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup ……….. 21

3. Tinjauan Tentang Sengketa Lingkungan Hidup a. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup………………… 23 b. Pihak-Pihak dalam Sengketa Lingkungan Hidup............... 24

4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa a. Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Peradilan

(Litigasi)............................................................................. b. Penyelesaian Sengketa di Luar Lembaga Peradilan (Non-

Litigasi).............................................................................. 5. Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan yang

Berwawasan Lingkungan a. Pengertian Pembangunan ................................................ b. Pengertian Pembangunan Berkelanjutan yang

Berwawasan Lingkungan ................................................

15

26

29

35

35

Page 10: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

10

c. Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan ................................................

B. Kerangka Pemikiran…………………………………………… 42 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pembahasan……………………………………………………..... 44 1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan

di Indonesia …………………………………………………...

2. Kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan solusinya …………………………………….

3. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ……………………………………...

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………….... 82 B. Saran…………………………………………………………….. 83

DAFTAR GAMBAR DAFTAR PUSTAKA

65

56 74

44

38

Page 11: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

11

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Intervensi Pembangunan terhadap lingkungan

Gambar 2. Kerangka Berfikir

Gambar 3. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Gambar 4. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Gambar 5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dengan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

Gambar 6. Pilihan Penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000

Page 12: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakekatnya, dalam hidupnya manusia akan selalu berusaha untuk

meningkatkan kesejahteraannya. Upaya yang dilakukan oleh manusia untuk

meningkatkan kesejahteraannya tersebut antara lain adalah dengan

memanfaatkan sumber-sumber yang disediakan oleh alam untuk kegiatan

pembangunan. Pembangunan adalah upaya secara sadar memanfaatkan

lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia dan

meningkatkan kesejahterannya (Soekarman Moesa, 2002: 6). Dengan

demikian, lingkungan hidup merupakan bagian mutlak dalam kegiatan

pembangunan.

Seiring dengan semakin berkembangnya peradaban manusia, ilmu

pengetahuan dan teknologi mulai dikembangkan guna mendukung

pelaksanaan pembangunan. Sejak ilmu pengetahuan dan teknologi berat secara

efektif digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan membangun

industri-industri berat untuk memenuhi kebutuhan manusia, alam secara

drastis telah terganggu keseimbangannya (Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra,

2003: 177). Jika dibiarkan, pembangunan yang diharapkan dapat

meningkatkan kesejahteraan manusia justru akan menurunkannya karena

lingkungan tidak lagi mampu mendukung kehidupan yang sehat (Imam

Supardi, 2003: 216).

Intervensi terhadap lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan

memang tidak dapat dihindari. Tetapi, permasalahan tersebut dapat

diselesaikan dengan melaksanakan kegiatan pembangunan secara

berkelanjutan. Dengan pembangunan berkelanjutan, daya dukung lingkungan

terhadap kegiatan pembangunan akan tetap terjaga sehingga peningkatan

Page 13: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

13

kesejahteraan sebagai hasil kegiatan pembangunan tidak hanya akan dirasakan

oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi masa depan.

Pembangunan merupakan intervensi terhadap lingkungan yang mengganggu keseimbangan lingkungan dan membawanya ke keseimbangan baru yang terletak pada kualitas lebih tinggi (b, c, d). Dengan demikian pembangunan membawa lingkungan ke arah kualitas yang lebih tinggi seperti yang digambarkan oleh garis e. Dalam usaha ini harus dijaga agar kemampuan lingkungan untuk mendukung tingkat hidup yang lebih tinggi tidak rusak sehingga tidak terjadi keambrukan seperti yang digambarkan oleh garis f. Pembangunan harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Otto Soemarwoto, 2003: 16).

Komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia tercermin dalam dua

bentuk pengakuan terhadap konstitusionalisasi norma hukum lingkungan.

Pertama, mengakui subjective rights dalam pengelolaan lingkungan

sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, pengakuan bahwa elemen

berwawasan lingkungan merupakan elemen penting dalam perekonomian

nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jimly Asshiddiqie, 2009: vi).

1

2

3

Waktu (t)

Kualitas lingkungan (Q)

a

d

c

b

Gambar 1. Intervensi Pembangunan terhadap lingkungan

f

e

Page 14: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

14

Ketentuan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa: ”Perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional”. Berdasarkan ketentuan tersebut, walaupun tidak secara

jelas menekankan pembangunan berkelanjutan sebagai arah dan pola

pembangunan, namun ketentuan pasal tesebut dapat ditafsirkan memberi arah

pembangunan ekonomi yang didasarkan pada konsep pembangunan

berkelanjutan (Jimly Asshiddiqie, 2009: vii). Realitasnya, beberapa pelaku

kegiatan pembangunan masih melaksanakan kegiatan pembangunan dengan

tidak berkelanjutan. Hal ini antara lain terwujud dengan masih terjadinya

kasus pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai dampak negatif

pembangunan.

Ketentuan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengakui bahwa: ”setiap orang berhak hidup sejahtera

lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Ketentuan

tersebut dipertegas kembali dalam Ketentuan Pasal 65 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup yang mengatur bahwa: ”Setiap orang berhak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”.

Diakuinya hak tersebut dalam konstitusi dan undang-undang menempatkan

hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian

dari hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum (Peter Mahmud Marzuki,

2008: 163). Dengan demikian, setiap orang yang merasa haknya terlanggar

karena kegiatan pembangunan yang mencemari dan merusak lingkungan dapat

melakukan tuntutan sehingga lahir sengketa lingkungan.

Tuntutan atas pelanggaran hak setiap orang atas lingkungan hidup

yang baik dan sehat dalam kasus sengketa lingkungan tidak hanya berupa

Page 15: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

15

tuntutan pemberian ganti kerugian, tetapi juga berupa tindakan-tindakan

tertentu untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Hal ini terkait dengan

lingkungan hidup sebagai bagian mutlak dalam kehidupan manusia (N.H.T.

Siahaan, 2004: 2). Dalam pembangunan, tuntutan masyarakat tersebut akan

turut menguntungkan kegiatan pembangunan karena dengan perbaikan kondisi

lingkungan, pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Tidak ada

pembangunan berkelanjutan tanpa lingkungan hidup sebagai unsur utamanya

(Jimly Asshiddiqie, 2009: 134). Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis

agar penyelesaian sengketa lingkungan tidak hanya dapat mengakomodir

kepentingan para pihak yang bersengketa tetapi juga lingkungan hidup

sehingga pembangunan berkelanjutan dapat terwujud.

Setiap orang yang merasa dilanggar haknya dapat menggunakan

lembaga formal untuk membantu memperoleh haknya (Peter Mahmud

Marzuki, 2008: 163). Lembaga formal tersebut tidak hanya berupa lembaga

peradilan, tetapi juga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sebagai

sarana penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Lahirnya

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa serta Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000

tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan

Hidup di Luar Pengadilan menempatkan arbitrase dan alternatif penyelesaian

sengketa sebagai sarana penyelesaian sengketa yang telah diakui eksistensinya

di Indonesia. Keberadaan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa

sebagai sarana penyelesaian sengketa di luar pengadilan semakin diperkuat

eksistensinya dalam Ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang

mengatur bahwa: ”Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh

melalui pengadilan atau di luar pengadilan”.

Penyelesaian sengketa dengan melalui pengadilan atau yang lazim

disebut sebagai penyelesaian sengketa secara litigasi bersifat pertentangan

antar para pihak (Adi Sulistiyono, 2006: 4). Penyelesaian sengketa melalui

Page 16: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

16

jalur litigasi dalam perkembangannya mulai kehilangan kepercayaan dari

masyarakat karena dianggap tidak netral atau memihak. Hal ini terus

berkembang seiring dengan mafia peradilan yang sudah berurat dan berakar,

bergerak secara sistemik dan terorganisir di Indonesia (Juanda Kartawidjaya,

2009: 1). Minimnya kepercayaan publik terhadap litigasi dapat digambarkan

dari hasil jejak pendapat berbagai media masa, diantaranya yang dilakukan

oleh harian Kompas. Terkait dengan putusan pengadilan, hasil jejak pendapat

tersebut menunjukkan bahwa 45,3% responden menilai bahwa putusan

pengadilan berdasarkan pada pertimbangan uang, 30,5% menilai karena

pertimbangan politik dan hanya 9.3% responden yang masih percaya bahwa

putusan pengadilan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan hukum

(R. Ginting, 2009: 3).

Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat

memberikan jawaban keadilan ditengah minimnya kepercayaan masyarakat

terhadap lembaga peradilan. Di samping itu, penyelesaian sengketa di luar

pengadilan juga memberikan keuntungan bagi pengusaha dengan terjaganya

kerahasiaan sehingga nama baik perusahaan tidak akan tercemar dan bagi

pemerintah dengan berkurangnya beban perkara pada lembaga peradilan.

Berlatar dari hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam

mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa

Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Peradilan dalam

penelitian yang berjudul: ”Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa

Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai Upaya Mewujudkan

Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan di

Indonesia”.

Page 17: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

17

B. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas agar permasalahan yang ada nanti dapat dibahas

secara lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka penting

bagi peneliti untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas. Adapun

perumusan masalah dalam penelitian ini yang dirumuskan penulis adalah:

1. Bagaimana penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di

Indonesia?

2. Apakah kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar

pengadilan di Indonesia dan solusinya?

3. Apakah penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat

mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Mengetahui penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar

pengadilan di Indonesia.

b. Mengetahui kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di

luar pengadilan di Indonesia dan solusinya.

c. Mengetahui penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti di bidang

ilmu hukum yang dalam hal ini lingkup hukum administrasi negara,

khususnya hukum lingkungan.

b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di

bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Page 18: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

18

c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah peneliti peroleh

agar dapat memberi manfaat bagi peneliti sendiri pada khususnya dan

masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada

umumnya dan hukum lingkungan pada khususnya.

b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam

pembangunan hukum nasional di bidang lingkungan hidup.

c. Menambah referensi keilmiahan bagi pihak-pihak yang concern

terhadap lingkungan hidup.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi wahana bagi peneliti untuk mengembangkan penalaran,

membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan

penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan

pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang

mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan

suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam

gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2006: 43). Metodologi

merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada dalam suatu penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 2006: 43). Adapun

Page 19: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

19

Metode yang peneliti pergunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai

berikut.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif atau doktrinal. Penelitian yang peneliti lakukan

merupakan penelitian hukum normatif dengan melakukan analisis terhadap

undang-undang, khususnya yang terkait dengan penyelesaian sengketa

lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga

Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di

Luar Pengadilan.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat penelitian preskriptif , yaitu suatu penelitian

yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus

dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu (Soerjono Soekanto,

2006: 10). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan saran-saran untuk

mengatasi permasalahan-permasalahan terkait dengan penyelesaian

sengketa lingkungan di luar pengadilan yang terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa

Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan

sebagai dasar pijakan penyelesaian sengketa lingkungan di luar

pengadilan.

Page 20: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

20

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan (approach) yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan perundang-undangan. Menurut Peter Mahmud

Marzuki, pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 94). Dalam

penelitian ini, pendekatan perundang-undangan dilakukan terhadap

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa

Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.

4. Jenis Sumber Penelitian

Jenis sumber penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah sumber penelitian sekunder. Sumber penelitian sekunder adalah

sumber penelitian yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,

hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya

(Soerjono Soekanto, 2006: 12). Sumber-sumber penelitian dalam hukum

dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-

bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder (Peter Mahmud

Marzuki, 2006: 141).

a. Bahan-bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah:

1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Page 21: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

21

3) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga

Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Lingkungan Hidup di Luar

Pengadilan.

b. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini

berupa:

1) Jurnal.

2) Buku.

3) Makalah.

4) Artikel internet.

5. Teknik Pengumpulan Sumber Penelitian

Teknik pengumpulan sumber penelitian yang peneliti pergunakan

adalah teknik riset kepustakaan (library research). Riset pustaka dilakukan

dengan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh sumber

penelitiannya. Riset pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahan-

bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan

(Mestika Zed, 2004: 1-2). Riset pustaka ini peneliti lakukan dengan

mengumpulkan, membaca, mencatat, serta mengolah bahan-bahan

penelitian terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan di luar

pengadilan dan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

6. Teknik Analisis Sumber Penelitian

Teknik analisis sumber penelitian yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah teknik berfikir deduksi dan interpretasi (gramatikal).

Deduksi artinya berfikir dari umum (premis mayor) ke khusus (premis

minor) (Sudikno Mertokusumo, 2003: 176).

Teknik berfikir deduksi dilakukan peneliti dengan berfikir dari

premis mayor bahwa lingkungan hidup merupakan unsur utama dalam

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Sebagai premis

minor, peneliti akan mengkaji apakan penyelesaian sengketa lingkungan

Page 22: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

22

hidup di luar pengadilan dapat dipergunakan sebagai sarana untuk

mendesak pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan memperbaiki

kondisi lingkungan. Dengan cara berfikir dari premis mayor ke premis

minor tersebut, peneliti akan sampai pada suatu simpulan apakah

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan turut mendorong

terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

atau tidak.

Teknik berfikir deduksi yang dilakukan oleh peneliti di dukung

dengan interpretasi gramatikal. Interpretasi gramatikal merupakan cara

penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui

makna ketentuan Undang-Undang dengan menguraikannya menurut

bahasa, susun kata, atau bunyinya (Sudikno Mertokusumo, 2003: 171).

Dalam penelitian ini peneliti akan menafsirkan ketentuan tentang

penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 dengan

menguraikannya menurut bahasa, susun kata, atau bunyinya untuk

mengetahui makna dari ketentuan peraturan perundangan tersebut.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun dalam

penulisan hukum (skripsi) ini adalah sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN

Bab pendahuluan mencakup latar belakang permasalahan

yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skipsi.

Page 23: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini peneliti akan menguraikan landasan teori atau

memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-

literatur yang peneliti gunakan tentang hal-hal yang berkaitan

dengan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka teori tersebut

mencakup:

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Lingkungan Hidup

a. Pengertian lingkungan hidup

b. Hubungan manusia dengan lingkungan hidup

2. Tinjauan tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan

Hidup

a. Tinjauan tentang pencemaran lingkungan hidup

1) Pengertian pencemaran lingkungan hidup

2) Jenis-jenis pencemaran lingkungan hidup

3) Baku mutu lingkungan hidup

b. Tinjauan tentang perusakan lingkungan hidup

1) Pengertian perusakan lingkungan hidup

2) Jenis-jenis perusakan lingkungan hidup

3) Kriteria Baku kerusakan lingkungan hidup

3. Tinjauan tentang Sengketa Lingkungan Hidup

a. Pengertian sengketa lingkungan hidup

b. Pihak-pihak dalam sengketa lingkungan hidup

4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa

a. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui lembaga

peradilan (litigasi)

b. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar lembaga

peradilan (non-litigasi)

Page 24: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

24

5. Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan yang

Berwawasan Lingkungan

a. Pengertian pembangunan

b. Pengertian pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan

c. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan

B. Kerangka Pemikiran

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini peneliti akan menjawab rumusan masalah

sebagai berikut.

1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di

Indonesia.

2. Kelemahan Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar

pengadilan di Indonesia dan solusinya.

3. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan

dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini peneliti akan memberikan kesimpulan dari

hasil penelitian dan pembahasan serta memberikan saran-saran

terhadap beberapa kekurangan yang menurut peneliti perlu

diperbaiki.

DAFTAR PUSTAKA

Page 25: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Lingkungan Hidup

a. Pengertian Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah suatu sistem kompleks yang berada

di luar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

organisme (Prabang Setyono, 2008: 1). Lingkungan hidup adalah

semua benda, daya, dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau

ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat

mempengaruhi hidupnya (N.H.T Siahaan, 2004: 4). Adapun ketentuan

dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi

lingkungan hidup sebagai: ”kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang

mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan

kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.

Berdasarkan definisi tersebut dapat ditegaskan bahwa

lingkungan hidup merupakan bagian mutlak dalam kehidupan

manusia. Manusia dan lingkungan hidup memiliki hubungan yang

bersifat timbal balik. Terlebih manusia mencari makan dan minum

serta memenuhi kebutuhan lainnya dari ketersediaan sumber-sumber

yang diberikan oleh lingkungan hidup dan kekayaan alam sebagai

sumber utama dan terpenting bagi pemenuhan kebutuhannya (N.H.T

Siahaan, 2004: 2-3).

Lingkungan hidup yang memiliki posisi penting dalam

kehidupan manusia, oleh karena itu dalam Konstitusi Negara Kesatuan

Page 26: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

26

Republik Indonesia, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di

integrasikan sebagai salah satu bagian dari hak asasi setiap manusia.

Hal tesebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

berbunyi: ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat

serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

b. Hubungan Manusia dengan Lingkungan Hidup

Manusia memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungan.

Setiap bentuk aktivitas yang dilakukan oleh manusia akan

mempengaruhi lingkungan. Demikian juga manusia yang dalam setiap

aktivitasnya akan selalu dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan

hidup merupakan bagian mutlak dari kehidupan manusia (N.H.T.

Siahaan, 2004: 2).

Manusia mendapatkan usur-unsur yang diperlukan dalam

hidupnya dari lingkungan. Semakin tinggi kebudayaan manusia, makin

beraneka ragam kebutuhan hidupnya. Makin besar jumlah kebutuhan

hidupnya yang diambil dari lingkungan maka semakin besar pula

perhatian manusia terhadap lingkungan. Perhatian dan pengaruh

manusia terhadap lingkungan makin meningkat pada zaman teknologi

maju. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi

lingkungan hidup binaan. Eksploitasi sumber daya alam semakin

meningkat untuk memenuhi bahan dasar industri. Sebaliknya, hasil

sampingan dari industri berupa asap dan limbah mulai menurunkan

kualitas lingkungan hidup. Kegiatan manusia tersebut dapat

mengakibatkan bermacam-macam gejala, baik positif maupun negatif

terhadap lingkungan hidup (Imam Supardi, 2003: 73).

Page 27: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

27

1) Peran manusia yang negatif terhadap lingkungan hidup adalah:

a) Berkurangnya persediaan sumber daya alam karena eksploitasi

secara terus-menerus.

b) Punahnya species tertentu yang merupakan sumber plasma

nutfah.

c) Berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang

menjadi ekosistem binaan yang labil karena terus memerlukan

energi.

d) Berubahnya profil permukaan bumi yang dapat mengganggu

kestabilan tanah.

e) Masuknya energi dan limbah bahan/senyawa lain ke dalam

lingkungan yang menimbulkan pencemaran air, udara, dan

tanah yang akan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan

hidup.

2) Peran manusia yang positif terhadap lingkungan hidup adalah:

a) Melakukan eksploitasi sumber daya alam secara tetap dan tetap

serta bijaksana terutama dalam pemakaian sumber daya alam

yang tidak terbaharui.

b) Mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga

kelestarian keanekaragaman jenis flora dan fauna serta

mencegah terjadinya bahaya banjir.

c) Melakukan proses daur ulang serta pengelolaan limbah agar

kadar bahan pencemar yang terbuang ke lingkungan tidak

melampaui ambang batas.

d) Melakukan sistem pertanian secara tumpang sari atas

multikultur untuk menjaga kesuburan tanah. Untuk tanah

pertanian miring dibuat terasiring guna mencegah derasnya

erosi serta hanyutnya lapisan tanah yang mengandung unsur

humus.

Page 28: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

28

e) Membuat peraturan, organisasi, perundang-undangan untuk

melindungi dan mencegah lingkungan dari kerusakan, serta

melestarikan aneka jenis satwa dan makhluk hidup yang ada.

2. Tinjauan tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup

a. Tinjauan tentang Pencemaran Lingkungan Hidup

1) Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup

Ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup memberikan definisi pencemaran lingkungan hidup sebagai

”masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,

dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan

manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang

telah ditetapkan”.

2) Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan Hidup

Jenis-jenis pencemaran yang dapat digolongkan dalam

degradasi lingkungan fisik adalah (Prabang Setyono, 2008: 36-37):

a) Pencemaran Air

Sumber pencemaran air adalah pergelandangan kota

(urban dwelles) yang membuang sampah dimana mereka

berada, pembuangan kotoran dari pabrik dan industri, penghuni

kota dengan sampah-sampahnya dan kotoran hasil cucian

(detergen dan sebagainya). Pencemaran melalui air berbahaya

karena di dalam air yang tercemar dikandung bakteri, virus, dan

bahan-bahan kimiawi yang berbahaya.

b) Pencemaran Udara

Sumber-sumber pencemaran udara adalah kendaraan

bermotor yang banyak memadati jalanan kota, emisi atau

kotoran melalui asap pabrik, kepadatan penduduk dan

Page 29: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

29

pembakaran sampah, pembukaan daerah melalui tebang dan

bakar yang mengakibatkan uudara dipenuhi dengan carbon

monoxide, nitrogen oxide, dan sulfat oxide.

c) Pencemaran Suara

Suara yang dikategorikan sebagai pencemaran dan

dapat merusak telinga adalah suara-suara yang melebihi 75

decibel. Pencemaran suara dapat mengakibatkan terganggunya

saraf dan konsentrasi kerja. Suara-suara yang sudah mencapai

145 decibel dan secara terus-menerus di dengar dapat

menimbulkan rasa sakit.

3) Baku Mutu Lingkungan Hidup

Tidak seluruh bentuk aktivitas manusia terhadap

lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai pencemaran

lingkungan hidup. Hanya bentuk-bentuk aktivitas manusia yang

melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan saja

yang dapat dikatakan sebagai pencemaran lingkungan hidup. Pasal

20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan

bahwa baku mutu lingkungan hidup merupakan ukuran untuk

menentuan terjadi atau tidaknya pencemaran lingkungan hidup.

Ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup memberikan definisi baku mutu lingkungan hidup sebagai,

”ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau

komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang

ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu

sebagai unsur lingkungan hidup”.

Page 30: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

30

Adapun baku mutu lingkungan hidup meliputi (Pasal 20 ayat (2) dan penjelasannya): a. Baku mutu air, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk

hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.

b. Baku mutu air limbah, yaitu ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimesukkan ke media air.

c. Baku mutu air laut, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.

d. Baku mutu udara ambien, ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam udara ambien.

e. Baku mutu emisi, yaitu ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.

f. Baku mutu gangguan, yaitu ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan.

g. Baku mutu lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

b. Tinjauan tentang Perusakan Lingkungan Hidup

1) Pengertian Perusakan Lingkungan Hidup

Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

memberikan definisi kerusakan lingkungan hidup sebagai

”perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik,

kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria

baku lingkungan hidup”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 16

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ditegaskan bahwa

perusakan lingkungan hidup adalah ”tindakan orang yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap

sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga

melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.

Page 31: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

31

Berdasarkan kedua definisi tentang kerusakan dan

perusakan lingkungan hidup tersebut, dapat dipahami adanya

perbedaan yang signifikan antara kerusakan dan perusakan

lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup mencakup segala

bentuk perubahan terhadap lingkungan, baik yang terjadi karena

alam maupun karena aktifitas manusia. Sedangkan kerusakan

lingkungan hidup lebih menekankan pada aspek ”tindakan orang”

yang menimbulkan perubahan terhadap lingkungan. Pembedaan

tersebut perlu ditekankan karena keduanya akan menimbulkan

impikasi yuridis yang berbeda.

2) Jenis-Jenis Perusakan Lingkungan Hidup

Berdasarkan definisi kerusakan lingkungan hidup

sebagaimana telah diuraikan dapat ditegaskan bahwa pada

prinsipnya, kerusakan lingkungan hidup terjadi akibat adanya

”perubahan” lingkungan hidup. Perubahan lingkungan hidup dapat

terjadi karena aktivitas alam atau manusia. Perubahan lingkungan

hidup yang terjadi akibat aktivitas manusia cenderung diartikan

sebagai perusakan lingkungan, sedangkan perubahan yang terjadi

akibat aktivitas alam cenderung diartikan sebagai kerusakan

lingkungan.

Perubahan lingkungan yang terjadi secara alamiah akibat

aktivitas alam dapat bersifat revolusioner, seperti letusan gunung

api, badai, topan, gempa bumi, dan lain-lain, atau dapat pula

bersifat evolusioner, selektif, dan seimbang. Perubahan lingkungan

yang terjadi secara alamiah, hampir tidak mengakibatkan

perubahan yang sama sekali mengakibatkan hancurnya ekologi

global (Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003: 176).

Page 32: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

32

Perubahan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas manusia

saat ini masih merupakan faktor pengubah lingkungan yang sangat

mengkhawatirkan. Perubahan tersebut antara lain terjadi karena

pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol dan tidak

seimbang dengan peningkatan kualitas atau kemampuan dalam

mengelola sumber daya (Zoer’aini Djamal Irwan, 2005: 3). Dalam

upaya meningkatkan kesejahteraan, manusia melakukan berbagai

kegiatan. Akan tetapi karena minimnya kualitas dan kemampuan

dalam mengelola sumber daya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan

menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Sejak ilmu pengetahuan dan teknologi berat secara efektif

digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan

membangun industri-industri berat untuk memenuhi kebutuhan

manusia, alam secara drastis telah terganggu keseimbangannya

(Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003: 177). Kegiatan-kegiatan

yang telah dilakukan oleh manusia yang mengakibatkan

lingkungan dalam kondisi krisis antara lain adalah kegiatan

pertambangan, perusakan hutan, kegiatan industri yang tidak

berwawasan lingkungan, dan perilaku masyarakat yang membabi

buta (Sudarsono, 2007: 1).

3) Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup

Dalam kasus pencemaran lingkungan, tidak seluruh

bentuk aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungan hidup

merupakan pencemaran lingkungan hidup. Demikian pula dalam

perusakan lingkungan. Hanya aktivitas manusia yang

menimbulkan akibat tertentu yang melampaui kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup yang telah ditetapkan saja yang dapat

dikategorikan sebagai perusakan lingkungan hidup. Ketentuan

dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Page 33: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

33

tentang Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

memberikan definisi kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

sebagai ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati

lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup

untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.

Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi

kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan

akibat perubahan iklim (Pasal 21 ayat (2)).

Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi (Pasal 21 ayat (3)):

a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa. Sedangkan yang dimaksud dengan kriteria baku kerusakan tanah untuk prduksi biomassa adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat diteggang berkaitan dengan kegiatan prduksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budidaya dan hutan.

b. kriteria baku kerusakan terumbu karang, yaitu ukuran batas perubahan fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.

c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan, yaitu pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

d. kriteria baku kerusakan mangrove e. kriteria baku kerusakan padang lamun f. kriteria baku kerusakan gambut g. kriteria baku kerusakan karst h. dan kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada parameter, antara lain (Pasal 21 ayat (4): a. kenaikan temperatur

Page 34: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

34

b. kenaikan permukaan air laut c. badai, dan/atau d. kekeringan

3. Tinjauan Tentang Sengketa Lingkungan Hidup

a. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup

Sengketa lingkungan merupakan species dari genus sengketa

yang bermuatan konflik maupun kontroversi di bidang lingkungan.

Ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan

definisi sengketa lingkungan hidup adalah “perselisihan antara dua

pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau

telah berdampak pada lingkungan hidup”.

Dampak terhadap lingkungan merupakan pengaruh perubahan

pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/kegiatan

(Pasal 1 angka 26). Pembangunan merupakan kegiatan yang dilakukan

oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Di samping

menghasilkan produk yang dapat meningkatkan kualitas hidup

manusia pada khususnya, pembangunan juga mengakibatkan dampak

negatif berupa pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan karena

limbah (Imam Supardi, 2003: 165). Dapat dikatakan bahwa dampak

terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1

angka 25 merujuk pada pencemaran atau kerusakan lingkungan

sebagai akibat pembangunan. Dari pengertian sengketa lingkungan

tersebut, sengketa lingkungan di format sebagai akibat in concreto

keberadaan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Tanpa adanya

pencemaran dan perusakan lingkungan, tidak ada sengketa lingkungan.

Sengketa lahir dari adanya pencemaran dan kerusakan

lingkungan, sehingga pencemaran dan kerusakan lingkungan

merupakan conditio sine quanon bagi timbulnya sengketa lingkungan

Page 35: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

35

(Suparto Wijoyo, 1999: 6). Dapat pula dikatakan bahwa pencemaran

dan kerusakan lingkungan jika ditinjau dari teori conditio sine qua non

merupakan syarat-syarat terjadinya sengketa lingkungan yang jika

tidak dipenuhi tidak akan terjadi pencemaran dan kerusakan

lingkungan (Moeljatno, 2002: 92).

Suatu sengketa tidak hanya mengenai perselisihan pihak-pihak

ansich, tetapi perselisihan yang mengandung dan melahirkan tuntutan

(gugatan). Dari uraian tersebut dapat ditarik unsur-unsur dalam

sengketa lingkungan hidup, yaitu (Pius Tri Wahyudi, 2010):

1) Sengketa lingkungan hidup merupakan perselisihan antara dua

pihak atau lebih akibat pencemaran dan perusakan lingkungan

hidup.

2) Sengketa lingkungan hidup pada hakekatnya merupakan

perselisihan hak (subjective rights) yang melahirkan gugatan

3) Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagai sebab

timbulnya sengketa lingkungan meliputi pencemaran dan

perusakan lingkungan yang aktual dan potensial.

b. Pihak-Pihak dalam Sengketa Lingkungan Hidup

Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan yang

melibatkan dua pihak atau lebih. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 25

Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akan tetapi, dalam ketentuan

Undang-Undang tersebut secara lebih lanjut, tidak ditemukan

pengaturan mengenai siapa yang dimaksud dengan para pihak.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga

Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di

Luar Pengadilan sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang

tersebut dalam Pasal 1 angka 7 memberikan pengaturan bahwa yang

dimaksud dengan para pihak adalah ”subyek hukum, baik menurut

Page 36: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

36

hukum perdata maupun hukum pubilk yang bersengketa di bidang

lingkungan hidup”.

Subyek hukum adalah pembawa hak dan kewajiban. Manusia

sebagai pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak ia lahir dan berakhir

sejak ia meninggal. Subyek hukum dalam hukum perdata merujuk

pada istilah ”orang” atau ”persoon” yang terdiri dari (Amiek

Sumindriyatmi, dkk, 2005: 25):

1) Manusia (natuurlijk persoon)

2) Badan hukum (rechtspersoon)

Indonesia sebagai negara hukum mengakui setiap orang

sebagai manusia, artinya bahwa setiap orang diakui sebagai subyek

hukum. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 27 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa ”segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada pengecualiannya” (Amiek Sumindriyatmi, dkk, 2005:

25). Artinya, dalam kasus sengketa lingkungan setiap orang (baik

manusia maupun badan hukum) baik yang merasa dirugikan atas

terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup maupun

pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup berkedudukan

sebagai pihak dalam sengketa lingkungan. Dalam bahasa hukum,

pihak-pihak tersebut dapat dikonfigurasikan sebagai pelaku

pencemaran atau perusakan dan korban pencemaran atau perusakan

(Waluyo, 2006: 57).

4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa

Upaya penyelesaian sengketa dalam bidang perdata dapat ditempuh

melalui lembaga peradilan maupun di luar lembaga peradilan sesuai

dengan kesepakatan para pihak.

Page 37: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

37

a. Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan (litigasi)

Metode penyelesaian sengketa paling konvensional adalah

litigasi (proses pengadilan). Penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi

untuk mendapatkan keadilan menggunakan pendekatan melalui sistem

perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan

(coercion) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu

keputusan win-lose sollution bagi pihak-pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi ini bersifat pertentangan

antara para pihak. Proses litigasi selalu menghasilkan bentuk

penyelesaian yang menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang

(a winner) dan pihak yang lain sebagai kalah (a loser) (Adi

Sulistiyono, 2006: 4).

Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dimulai dengan

pengajuan gugatan penggugat ke Pengadilan Negeri. Setelah itu,

sebelum dilaksanakan proses pemeriksaan, penyelesaian perkara

perdata diawali dengan upaya mendamaikan para pihak yang

dilakukan oleh hakim. Jika upaya mendamaikan tersebut berhasil,

maka dibuatlah perjanjian perdamaian yang diajukan ke sidang

pengadilan (acte van vergelijk) dimana para pihak wajib mentaati dan

memenuhi perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut berkekuatan sebagai

putusan hakim yang tidak dapat dilakukan upaya hukum (Marianna

Sutadi, 2004: 27). Apabila upaya pendamaian tersebut tidak berhasil,

maka ditempuh proses pemeriksaan perkara perdata. Proses

pemeriksaan perkara pasca dilakukannya upaya perdamaian adalah

pembacaan gugatan dan diberi kesempatan kepada penggugat untuk

merubah atau mencabut gugatannya kalau dikehendaki. Tahap

selanjutnya penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawaban

tergugat. Setelah itu, penggugat diberi kesempatan untuk replik

penggugat dan diikuti dengan tergugat yang mengajukan duplik

tergugat. Setelah tahap tersebut, penggugat dan tergugat masing-

Page 38: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

38

masing diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti untuk

kemudian ke dua belah pihak diberi kesempatan untuk mengajukan

kesimpulan sebelum majelis hakim akhirnya menjatuhkan putusan.

Apabila para pihak tidak tidak menerima putusan hakim Pengadilan

Negeri, maka para pihak dapat menempuh upaya hukum banding,

kasasi, dan peninjauan kembali. Tetapi apabila para pihak menerima

putusan tersebut, maka selanjutnya akan dilaksanakan eksekusi

(Amiek Sumindriyatmi, dkk, 2005: 74).

Jalur litigasi yang mengandalkan perangkat lembaga peradilan

sebagai institusinya telah mewabah penggunaannya selaras dengan

semakin derasnya infiltrasi hukum modern disetiap penjuru dunia.

Dalam konstelasi sistem hukum modern keberadaan lembaga peradilan

diantaranya mengemban tugas menyelesaikan sengketa untuk

menegakkan rule of law. Keberadaan pengadilan yang dimaksudkan

sebagai sarana fasilitatif untuk menegakkan wibawa hukum dengan

jalan memberikan akses keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat

sengketa. Akan tetapi di dalam perkembangannya, penyelesaian

sengketa dengan jalur litigasi dihinggapi formalitas yang berlebihan,

tidak efektif dan efisien, mahal, perilaku hakim yang memihak, dan

putusan hakim yang seringkali mengecewakan pencari keadilan (Adi

Sulistiyono, 2006: 6-7). Proses peradilan menuai banyak kritik yang

menujukkan pada kelemahan-kelemahan sistem peradilan, yaitu

(Emmy Yuhassarie, dkk, 2004: xix):

1) Waktu

Proses persidangan yang berlarut-larut atau terlalu lama dan

menempatkan suatu keputusan yang benar-benar final dan

mengikat (karena ”hak” para pihak untuk mengajukan banding,

kasasi, peninjauan kembali, bantahan, dan lain-lain). Waktu tidak

bisa di kontrol oleh para pihak.

Page 39: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

39

2) Biaya mahal

Biaya pengadilan di beberapa negara dianggap mahal

(khusunya bagi masyarakat pedalaman, hal ini ditambah dengan

biaya transportasi). Hal ini ditambah dngan sistem peradilan yang

mempunyai prosedur yang bertingkat-tingkat. Mahalnya biaya

tersebut ditambah dengan biaya pengacara.

3) Adversary

Proses beracara dalam pengadilan memaksa para pihak untuk

saling menyerang.

4) Prosedur yang ketat

Dengan adanya prsedur beracara yang rigid, kadangkala

menghilangkan keluwesan para pihak untuk mencari inovasi

alternatif-alternatif penyelesaian. Seringkali kepentingan

sebenarnya dari pihak yang bersengketa tidak tercermin dalam

gugatan/tuntutan yang diajukan.

5) Lawyer Oriented

Karena sistem prosedua yang kompleks dalam peradilan,

maka hanya pihak yang mempunyai keahlian saja yang dapat

beracara di pengadilan. Oleh karena itu, pihak yang bersengketa

banyak mendelegasikan semuanya kepada pengacaranya, dimana

acapkali pengacara tidak mengerti benar-benar kepentingan klien.

6) Win-lose sollution

Sistem peradilan pada nilai benar atau salah.

7) Hubungan putus

Dengan adanya sistem win-lose maka (untuk kasus perdata

atau bisnis) hubungan para pihak menjadi putus.

8) Memicu konflik baru

Karena untuk menyelamatkan muka dan telah terputusnya

hubungan, hal tersebut dapat memicu konflik lagi.

Page 40: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

40

b. Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan (non-litigasi)

Mekanisme penyelesaian sengketa di banyak negara, termasuk

Indonesia, kini telah berkembang khususnya di bidang keperdataan.

Perkembangan ini terdorong oleh kenyataan bahwa pada umumnya

penyelesaian sengketa melalui pengadilan (court system)

membutuhkan biaya yang sangat besar dan birokrasi pengadilan yang

sangat rumit (N.H.T Siahaan, 2004: 330-331). Litigation is a difficult,

time consuming, and costly process that must comply with complex

procedural rules (Henry R Cheeseman, 2000: 42). The use of court

system to resolve businnes and other dispute can take years and cost

thousand, if not millions, of dollars in legal fees and expenses. In

commercial litigation, the normal bussines operations of the parties

are often disrupted. (Henry R Cheeseman, 2000: 62).

Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan atau

Alternative Dispute Resolution (Selanjutnya disebut ADR) merupakan

ekspresi responsif (dissatisfication) terhadap penyelesaian sengketa

melalui proses litigasi yang konfrontatif dan zwaarwichtig (bertele-

tele). Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya

minat dan perhatian terhadap ADR, yaitu: pertama, perlunya

menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih fleksibel

dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang bersengketa; kedua,

untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian

sengketa; ketiga, memperluas akses mencapai atau mewujudkan

keadilan sehingga setiap sengketa yang memiliki ciri-ciri tersendiri

yang terkadang tidak sesuai dengan bentuk penyelesaian yang satu,

akan cocok dengan bentuk penyelesaian yang lain. Para pihak dapat

memilih ketentuan yang terbaik (Suparto Wijoyo, 1999: 92-93).

ADR merupakan salah satu sarana peningkatan akses kepada

keadilan. ADR dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu

Page 41: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

41

permasalahan keluar dari sistem formal pengadilan kepada suatu forum

yang lebih murah, cepat, dekat, dan tidak mengintimidasi. Keberadaan

ADR sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan.

di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de

Rechtsvordering (RV) dan Net Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBG). Semula ADR diatur

dalam pasal 615 s/d 651 RV. Dengan diundangkannya Undang-undang

Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, maka ketentuan-ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku

(Abd. Rahmad, 2010).

Terdapat beberapa pendapat mengenai ADR. Pertama, ADR

adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam

konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat

berupa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi,

konsiliasi, dan lain-lain. Kedua, ADR adalah forum penyelesaian

sengketa di luar pengadilan dan arbitrase. Hal ini mengingat

penyelesaian sengketa melalui ADR tidak dilakukan oleh pihak ketiga.

Sedangkan dalam forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim

atau arbiter) mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. ADR

disini hanya terbatas pada teknik penyelesaian sengketa yang bersifat

kooperatif, seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi, serta

teknik-teknik penyelesaian sengketa kooperatif lainnya. Ketiga, ADR

adalah seluruh penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan

tetapi juga tidak terbatas pada arbitrase, negosiasi, dan sebagainya.

Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan APS termasuk juga

penyelesaian sengketa yang diatur oleh peraturan perundang-

undangan, tetapi berada di luar pengadilan, seperti Badan Penyelesaian

Sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),

dan sebagainya.

Page 42: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

42

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa secara implisit menganut paham

bahwa arbitrase merupakan hal yang berbeda dengan Alternatif

Penyelesaian Ssengketa sehingga judul undang-undang tersebut adalah

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Wicipto Setiadi,

2010). Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun

1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut,

penyelesaian sengketa di luar pengadilan (ADR) dapat diuraikan

sebagai berikut.

1) Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pengertian alternatif penyelesaian sengketa telah

diperkenalkan sebagai suatu institusi atau lembaga yang dipilih

para pihak yang mengikat apabila timbul beda pendapat atau

sengketa (Suyud Margono, 2004: 107). Alternatif penyelesaian

sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda

pendapat melaui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu

penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,

mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa).

a) Konsultasi

Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal

antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan

pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan

pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan

dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada keharusan bagi

klien untuk mengikuti pendapat yang disampaikan konsultan.

Jadi, konsultan hanyalah memberikan pendapat hukum

sebagaimana diminta oleh kliennya. Selanjutnya, keputusan

mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri

Page 43: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

43

oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga

diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk

penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang

bersengketa tersebut (Abd. Rahmad, 2010).

b) Negosiasi

Negosiasi adalah Penyelesaian sengketa melalui

perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa guna

mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang

dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan (Bambang

Pramudyanto, 2008: 12). In the process of negotiation,

negotiators themselves come to an agreement on a notion of

justice which will govern the disposition of the items in conflict,

and if they do not, negotiations will not be able to proceed any

further to a conclusion (I. William Zartman, 1996: 3).

c) Mediasi

Mediation is a process in which a mediator facilitates

communication and negotiation between parties to assist them

in reaching a voluntary agreement regarding their dispute

(Tiffany T. Smith, 2009: 2). Mediasi memiliki prinsip-prinsip

sebagai berikut (Marta Amnan, 2008: 10).

(1) Para pihak secara suka rela bersedia dan berkeinginan

untuk menyelesaikan sengketa secara musyawarah

dengan bantuan mediator.

(2) Mediator adalah netral dan tidak memihak, disetujui para

pihak, dan bersedia melakukan mediasi.

(3) Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat

keputusan selama perundingan, namun perlu membatu

para pihak yang bersengketa untuk mencari solusi

penyelesaian sengketanya.

(4) Para pihak berkeinginan untuk mencapai kesepakatan.

Page 44: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

44

d) Konsiliasi

Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa

(lingkungan) melalui perundingan dengan melibatkan pihak

ketiga netral untuk membantu para pihak yang bersengketa

dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat

disepakati para pihak. Bantuan pihak ketiga netral dalam

konsiliasi lazimnya bersifat pasif atau terbatas pada fungsi

prosedural, sedangkan mediator memainkan peran aktif dalam

membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa

lingkungan (Bambang Pramudyanto, 2008: 6).

e) Penilaian Ahli

Penilaian Ahli dalam alternatif penyelesaian sengketa

berupa pendapat hukum yang bersifat mengikat dari lembaga

arbitrase. Ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak

untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga

Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian

(Budhy Budiman, 2010). Pendapat arbitrase adalah pendapat

yang mengikat yang diberikan oleh suatu lembaga arbitrase

yang diajukan oleh para pihak dalam suatu kontrak terhadap

suatu masalah atau hubungan hukum tertentu dari suatu

perjanjian. Konsekuensi yuridis dari adanya pendapat ini

adalah para pihak terikat terhadap pendapat tersebut

sebagaimana keterikatan atas suatu kontrak. Jadi, apabila para

pihak melanggar pendapat tersebut sama artinya seperti

melanggar kontrak (wanprestasi) (Munir Fuady, 2003: 97).

2) Arbitrase

Arbitration is a form of ADR in which the parties choose an

impartial third party to hear and decide the dispute (Henry R

Page 45: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

45

Cheeseman, 2000: 62). Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa memberikan batasan arbitrase sebagai “cara

penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis

oleh para pihak yang bersengketa”.

Penyelesaian sengketa dengan arbitrase merupakan cara

penyelesaian sengketa yang lebih formal jika dibandingkan dengan

negosiasi, mediasi, atau konsiliasi. Arbitrase yang berarti

kekuasaan untuk menyelesaikan masalah menurut kebijaksanaan

para ahli (arbitrator) dan tidak berhenti sampai disini, akan tetapi

keputusan arbiter juga menerapkan ketentuan-ketentuan hukum

seperti yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.

Penyelesaian secara arbitrase penting karena tidak perlu

formalitas yang ketat, lebih murah, memuaskan karena ditangani

oleh arbitrator yang dipilih berdasarkan keahliannya, berproses

melalui arbitrase akan memelihara dan menjamin kerahasiaan para

pihak yang bersengketa, tepat karena setelah para pihak

bersengketa dan sengketa tersebut diselesaikan dengan arbitrase,

para pihak dapat berhubungan kembali (Hero Prahartono, 2005:

1370).

Arbitrase pada umumnya dipakai dalam lingkungan bisnis,

dan biasanya pihak yang terlibat menyepakati melalui sistem

klausul perjanjian berupa menundukkan diri (submission)

menyerahkan penyelesaian kasus yang timbul kepada pihak ketiga

yang bersifat netral yang bertindak sebagai arbitrator. Proses

peyelesaiannya dapat dilakukan dalam suatu badan tertentu sebagai

arbitral tribunal, yang di Indonesia dikenal dengan BANI (Badan

Arbitrase Nasional Indonesia). Badan arbitral tribunal diberi

Page 46: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

46

kewenangan penuh oleh para pihak yang terlibat untuk

menyelesaikan sengketa. Sifat putusannya adalah langsung/final

dan banding kepada para pihak (N.H.T Siahaan, 2004: 330-333).

5. Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan

Lingkungan

a. Pengertian Pembangunan

Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan. Mengubah

keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik (Imam Supardi, 2003:

73). Pembangunan adalah upaya secara sadar memanfaatkan

lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia

(Soekarman Moesa, 2002: 6). Pembangunan itu berhasil apabila

sasarannya tercapai dan bermanfaat bagi rakyat banyak serta apabila

masyarakat terlibat dalam proses pembangunan tersebut (Prabang

Setyono, 2008: 16).

Pembangunan bertujuan setingkat demi setingkat mengubah

keseimbangan lingkungan menuju kualitas lingkungan yang dianggap

lebih tinggi. Karena itu tidak mungkin pelaksanaan pembangunan

tidak mengganggu keseimbangan lingkungan. Dalam pembangunan,

lingkungan atau keseimbangan lingkungan tidak dapat dilestarikan.

Yang harus dilestarikan bukanlah lingkungan itu sendiri atau

keseimbangan lingkungan, melainkan kemampuan lingkungan untuk

mendukung pembangunan dan tingkat hidup yang lebih tinggi (Otto

Soemarwoto, 2003: 25-26). Keseimbangan lingkungan diubah menjadi

keseimbangan yang baru (Imam Supardi, 2003: 73).

b. Pengertian Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan

Lingkungan

Pembangunan Indonesia berorientasi pada pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yaitu pembangunan

Page 47: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

47

dengan penghematan penggunaan sumber daya dan pertimbangan jauh

ke depan (Zoer’aini Djamal Irwan, 2005: 28). Pembangunan

berkelanjutan mengandung arti lingkungan dapat mendukung

pembangunan secara terus-menerus karena tidak habisnya sumber daya

yang menjadi modal pembangunan. Modal itu sebagian berupa modal

buatan manusia seperti ilmu, teknologi, pabrik, dan prasarana

lingkungan, sebagian lagi modal itu berupa sumber daya alam, baik

yang dapat terbaharui maupun yang tidak dapat terbaharui (Otto

Soemarwoto, 2003: 14-15).

Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar

dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan

ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan

lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan

mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Terdapat tiga

hal penting yang tercakup disini, yaitu (Gatot P Soemartono, 1996:

199):

1) Pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana.

2) Pembangunan berkesinambungan sepanjang masa.

3) Peningkatan kualitas hidup.

Laporan Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan

memberikan definisi pembangunan berkelanjutan sebagai

pembangunan yang mengusahakan dipenuhinya kebutuhan yang

sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang

untuk memenuhi kebutuhan mereka (Otto Soemarwoto, 2003: 14).

Komisi Dunia Bidang Lingkungan dan Pembangunan merumuskan

konsep pokok dalam pembangunan, yaitu berorientasi pada kebutuhan

dan keterbatasan. Tujuan pembangunan tersebut harus dapat dicapai

Page 48: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

48

dengan memperhatikan enam permasalahan pokok, yaitu (Soekarman

Moesa, 2002: 6):

1) Pengendalian pertumbuhan penduduk dan kualitas sumber daya

manusia

2) pemeliharaan daya dukung lingkungan

3) pengendalian ekosistem dan jenis (species) sebagai sumber daya

bagi pembangunan

4) pengembangan industri

5) mengantisipasi krisis energi sebagai penopang utama industrialisasi

6) pengendalian pengembangan lingkungan.

Terdapat lima pokok ikhtiar yang perlu dikembangkan dengan

sungguh-sungguh untuk melaksanakan pembangunan yang

berwawasan lingkungan, yaitu (Gatot P Soemartono, 1996: 200-201):

2) Menumbuhkan sikap kerja berdasarkan kesadaran saling

membutuhkan antara satu dengan yang lain. Diperlukan sikap

kerjasama dengan semangat solidaritas antar sektor, antar daerah,

antar negara, dan antar generasi.

3) Kemampuan menyerasikan kebutuhan dan kemampuan sumber

alam dalam menghasilkan barang dan jasa. Kebutuhan manusia

yang terus meningkat perlu dikendalikan untuk disesuaikan dengan

pola penggunaan sumber alam secara bijaksana.

4) Mengembangkan sumber daya menusia agar mampu menanggapi

tantangan pembangunan tanpa merusak lingkungan.

5) Mengembangkan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat

sehingga tumbuh menjadi kesadaran berbuat.

6) Menumbuhkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang dapat

mendayagunakan dirinya untuk menggalakkan partisipasi

masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup.

Istilah pembangunan berkelanjutan (sustuinable development)

secara resmi baru dipergunakan di Indonesia pada tahun 1997, yaitu

Page 49: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

49

dengan dicantumkannya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Istiah resmi yang

dipergunakan dalam Undang-Undang ini adalah pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Adapun dalam

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar

Haluan Negara (GBHN), istilah ini dipersingkat menjadi pembangunan

berkelanjutan saja. Istilah lain yang biasa dipergunakan berkaitan

dengan ide pembangunan bekelanjutan adalah pembangunan yang

berwawasan lingkungan (Jimly Assiddiqie, 2009: 135).

Merujuk dari uraian tersebut dapat ditarik benang merah bahwa

pada hakekatnya perbedaan penggunaan istilah pembangunan

berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan, maupun pembangunan yang berwawasan lingkungan

hanya merupakan permasalahan redaksional. Kesemuanya dari istilah

tersebut pada akhirnya bermuara pada satu arti, yakni upaya sadar dan

terencana yang memadukan lingkungan, termasuk sumber dayanya,

kedalam proses pembangunan yang menjamin kemampuan,

kesejahteraan, dan mutu hidup generasi sekarang dan generasi yang

akan datang (Jimly Assiddiqie, 2009: 135).

c. Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan

Lingkungan

Menjaga kemampuan lingkungan untuk mendukung

pembangunan merupakan usaha untuk mencapai pembangunan jangka

panjang yang menyangkut jangka waktu antar generasi merupakan

bentuk pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Otto

Soemarwoto, 2003: 26). Terdapat tiga prinsip utama pembangunan

berkelanjutan, yaitu (A. Sonny Keraf, 2002: 175-180):

Page 50: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

50

1) Prinsip Demokrasi

Prinsip demokrasi menjamin agar pembangunan

dilaksanakan sebagai perwujudan kehendak bersama seluruh rakyat

demi kepentingan bersama seluruh rakyat. Terdapat beberapa

aspek penting dalam prinsip demokrasi, yaitu:

a) Agenda utama pembangunan adalah agenda rakyat demi

kepentingan rakyat. Pemerintah harus menjamin bahwa agenda

dan kebijakan pembangunan yang dilaksanakan memang

benar-benar berasal dari rakyat dan untuk kepentingan bersama

seluruh rakyat.

b) Partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan

pembangunan dan dalam mengimplementasikan kebijakan

pembangunan adalah keharusan moral dan politik.

c) Akses informasi yang jujur dan terbuka tentang agenda

pembangunan dan proses perumusan agenda pembangunan

tersebut.

d) Akuntabilitas publik tentang agenda pembangunan, proses

perumusan kebijakan pembangunan, dan implementasi

pembangunan tersebut. Agenda pembangunan berasal dari

rakyat demi kepentingan rakyat banyak, harus ada

pertanggungjawaban publik tentang sejauh mana aspirasi

rakyat di dengar, diakomodasi, dan diwujudkan serta sejauh

mana tujuan pembangunan telah benar-benar diwujudkan

dengan komitmen dan upaya serius dari semua pihak.

2) Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan pada dasarnya menjamin bahwa:

1. Semua orang dan kelompok masyarakat mempunyai peluang

yang sama untuk ikut serta dalam pembangunan dan kegiatan-

kegiatan produktif serta ikut dalam menikmati hasil-hasil

pembangunan.

Page 51: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

51

2. Distribusi beban dan manfaat secara proporsional antara semua

orang dan kelompok masyarakat sesuai dengan peran dan

kontribusinya dalam pembangunan. Dalam konteks ini berlaku

prinsip bahwa mereka yang mendapat manfaat ekonomi

terbesar dari kegiatan pembangunan harus menanggung

kerugian terbesar akibat proses pembangunan, khususnya

dibidang lingkungan hidup akibat kerusakan dan pencemaran

lingkungan hidup serta membayar secara proporsional kerugian

yang ditimbulkan termasuk proporsionalitas dalam hal lingkup

dan besarnya kerugian akibat kerusakan dan pencemaran yang

ditimbulkan.

3. Peluang yang sama bagi generasi yang akan datang untuk

memperoleh manfaat yang sama atau proporsional dari sumber

ekonomi yang ada. Oleh karena itu, sumber daya ekonomi yang

ada harus dimanfaatkan secara arif dan kerusakannya harus

dipulihkan sedemikian rupa agar menjamin bahwa generasi

yang akan datang mempunyai peluang yang sama untuk

menikmati tingkat kehidupan yang relatif sama dengan generasi

sekarang.

4. Kerugian akibat proses pembangunan yang dialami oleh

kelompok masyarakat tertentu harus bisa ditebus atau

dikompensasi secara seimbang atau proporsional baik oleh

negara maupun oleh kelompok yang menimbulkan kerugian

tersebut.

3) Prinsip Keberlanjutan

Prinsip keberlanjutan pada dasarnya menjamin bahwa:

a) Terdapat rancangan agenda pembangunan dalam dimensi

visione jangka penjang untuk melihat dampak pembangunan,

baik positif maupun negatif dalam segala aspeknya, tidak

hanya dalam dimensi jangka pendek.

Page 52: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

52

b) Memilih alternatif pembangunan yang lebih hemat sumber

daya dan mampu mensinkronkan aspek konservasi dengan

aspek kemanfaatan secara arif.

c) Menggunakan pola-pola pembangunan dan konsumsi yang

hemat energi, hemat bahan baku, dan hemat sumber daya alam.

d) Menerapkan prinsip produksi bersih dengan melakukan seleksi

yang ketat terhadap proses produksi, teknologi, bahan baku,

manajemen minimalisasi limbah dalam setiap kegiatan

pembangunan dan kegiatan kegiatan produksi ekonomi.

Page 53: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

53

B. Kerangka Berfikir

Keterangan:

Manusia dalam kehidupannya akan selalu berusaha untuk meningkatkan

kesejahteraannya. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan tersebut, manusia

Gambar 2. Kerangka Berfikir

Pembangunan

Pencemaran dan Perusakan lingkungan

Pelanggaran terhadap hak setiap orang atas lingkungan hdiup yang baik dan sehat

Sengketa Lingkungan

Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

Pembangunan Berkelanjutan yang

Berwawasan Lingkungan

Manusia

Upaya Peningkatan Kesejahteraan

- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 - Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 - Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000

Lingkungan Hidup

Kelemahan - Pasal 6 ayat (7) dan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor

30 tahun 1999 - Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 - Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan

pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 - Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009,

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

- Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000

Solusi

Page 54: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

54

melaksanakan kegiatan pembangungan. Kegiatan pembangunan dapat

memberikan dampak positif terhadap manusia berupa tercapainya kesejahteraan,

tetapi jika tidak dilaksanakan secara bijaksana, kegiatan pembangunan justru akan

merugikan manusia. Salah satu bentuk dampak negatif dari pelaksanaan

pembangunan yang merugikan manusia adalah terjadinya pencemaran dan

perusakan lingkungan yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak setiap

warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Terhadap pelanggaran

hak tersebut, masyarakat berhak untuk mengajukan tuntutan sehingga melahirkan

sengketa lingkungan. Dalam sengketa lingkungan, tuntutan korban pencemaran

dan/atau perusakan tidak hanya berupa pemberian ganti kerugian, tetapi juga

tuntutan untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Jika dikaitkan dengan

pembangunan, tuntutan masyarakat tersebut turut menguntungkan kegiatan

pembangunan karena dengan perbaikan kondisi lingkungan, pembangunan dapat

dilaksanakan secara berkelanjutan.

Minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan mendorong

masyarakat untuk lebih memilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia di atur

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian

Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Akan tetapi, dalam ketiga

peraturan perundang-undangan tersebut masih ditemukan beberapa kelemahan.

Oleh karena itu, perlu dicari solusi agar penyelesaian sengketa lingkungan hidup

di luar pengadilan di Indonesia dapat menjadi langkah strategis guna mewujudkan

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia ditengah

minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Page 55: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

55

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan di

Indonesia

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di

Indonesia tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga

Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar

Pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di

Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundangan tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut.

1. Penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berdasarkan

ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan

merupakan pilihan para pihak yang bersifat sukarela. Hal ini secara

implisit tertuang dalam ketentuan Pasal 84 ayat (1) yang mengatur bahwa:

“Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui

pengadilan atau di luar pengadilan”. Kebebasan tersebut diberikan untuk

memberikan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan para pihak yang

bersengketa (penjelasan Pasal 84 ayat (1)).

Kebebasan para pihak untuk memilih penyelesaian sengketanya di

luar lembaga peradilan bukan merupakan kebebasan mutlak. Terdapat

beberapa pembatasan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32

Page 56: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

56

Tahun 2009. Pertama penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar

pengadilan tidak dapat diterapkan terhadap tindak pidana lingkungan

hidup (Pasal 85 ayat (2)). Jadi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di

luar pengadilan hanya berlaku untuk sengketa dalam ranah perdata.

Meskipun demikian, pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup

di luar pengadilan tidak secara otomatis menutup penuntutan perkara

secara pidana. Penuntutan terhadap perkara pidana pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan tetap dapat dilakukan meskipun para pihak telah

menempuh upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan.

Kedua, dalam hal para pihak telah memilih upaya penyelesaian

sengketa lingkungan diluar pengadilan, para pihak tidak dapat secara serta

merta mengajukan penyelesaian sengketanya melalui lembaga peradilan.

Pembatasan ini tertuang dalam ketentuan Pasal 84 ayat (3) yang mengatur

bahwa: “gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya

penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak

berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa”. Artinya,

pengajuan kembali suatu sengketa lingkungan ke pengadilan mensyaratkan

adanya pernyataan tidak berhasil yang d iberikan oleh salah satu atau para

pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencegah

terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup

yang sama untuk menjamin kepastian hukum (Penjelasan Pasal 84 ayat

(3)). Berdasarkan penjelasan tersebut, pembatasan yang tertuang dalam

Pasal 84 ayat (1) tersebut memiliki dua tujuan, yakni tujuan antara dan

tujuan akhir. Mencegah lahirnya putusan yang berbeda mengenai satu

sengketa yang sama merupakan tujuan antara pembatasan tersebut untuk

mencapai tujuan akhir, yakni jaminan kepastian hukum.

Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai (Pasal 85 ayat (1)): a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;

Page 57: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

57

c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau

d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Bertumpu pada ketentuan tersebut, penyelesaian sengketa

lingkungan di luar pengadilan tidak hanya memiliki tujuan finansial, tetapi

juga tujuan nonfinansial.

Tujuan finansial terletak dalam ganti kerugian yang menekankan pada aspek monetery settlement. Tujuan nonfinansial berwujud tindakan tertentu yang sifatnya non monetary settlement terdiri atas tindakan memasang atau memperbaiki Unit Pengelolaan Limbah (UPL) sehingga limbah sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan (BML) yang ditentukan, memulihkan fungsi lingkungan, dan menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran-perusakan lingkungan (Suparto Wijoyo, 1999: 116).

Upaya pencapaian kesepakatan sebagaimana diamanatkan dalam

ketentuan Pasal 85 ayat (1) tersebut dapat dilakukan oleh para pihak

dengan negosiasi atau melibatkan pihak ketiga, baik itu mediator, arbiter,

atau pihak ketiga lainnya. Kebebasan para pihak untuk menentukan

mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan tersebut

diatur dalam Pasal 85 ayat (3) yang mengamanatkan bahwa: “Dalam

penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat

digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan

sengketa lingkungan hidup”.

Page 58: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

58

Penggunaan istilah ”dapat” dalam ketentuan tersebut memberikan

implikasi terbukanya kesempatan bagi para pihak dalam suatu sengketa

untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup yang timbul diantaranya

melalui mekanisme selain mediasi atau arbitrase sesuai kesepakatan para

pihak. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan

berdasarkan ketentuan Pasal 85 ayat (3) tersebut secara skematis dapat

digambarkan sebagai berikut.

2. Penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berdasarkan

Ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memang

tidak secara khusus mengatur mengenai penyelesaian sengketa lingkungan

di luar pengadilan. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 berkedudukan sebagai dasar pijakan penyelesaian sengketa

lingkungan hidup di luar pengadilan karena Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 secara umum mengatur mekanisme penyelesaian sengketa di

luar pengadilan.

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

mengatur 2 (dua) bentuk mekanisme penyelesaian sengketa di luar

pengadilan, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

(Pasal 85 ayat (1))

Arbitrase

Mediasi

Mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan lainnya sesuai

kesepakatan para pihak

Gambar 3. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Page 59: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

59

Penyelesaian sengketa dengan arbitrase dapat dilaksanakan dengan arbiter

tunggal atau majelis arbiter, sedangkan penyelesaian sengketa dengan

alternatif penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan cara konsultasi,

negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut secara

skematis dapat digambarkan sebagai berikut.

Dari skema tersebut, penyelesaian sengketa lingkungan dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan arbitrase

Ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 memberikan definisi arbitrase

sebagai: “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Dari definisi tersebut,

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak

Penyelesaian sengketa

lingkungan di luar pengadilan

Arbitrase (Pasal 1 angka 1)

Alternatif Penyelesaian Sengketa

(Pasal 1 angka 10)

Arbiter Tunggal (Pasal 14)

Mediasi

Majelis Arbiter (Pasal 15)

Konsiliasi

Penilaian Ahli

Konsultasi

Negosiasi

Page 60: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

60

ditempatkan sebagai syarat dilaksanakannya penyelesaian sengketa

dengan arbitrase. Oleh karena itu, kedudukan perjanjian arbitrase

dalam suatu sengketa memiliki posisi yang penting. Terutama jika

dikaitkan dengan hak para pihak untuk mengajukan kembali

penyelesaian sengketanya melalui Pengadilan.

Ketentuan Pasal 3 menegaskan bahwa: ”Pengadilan Negeri

tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah

terikat dalam perjanjian arbitrase”. Ketentuan tersebut dipertegas

kembali dalam rumusan Pasal 11 ayat (1) yang mengatur bahwa:

”Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak

untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang

termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri”. Artinya, dengan

adanya suatu perjanjian arbitrase, secara otomatis menghapuskan hak

para pihak untuk mengajukan kembali penyelesaian sengketanya ke

muka pengadilan.

Dalam kasus sengketa lingkungan, sengketa terjadi karena

adanya kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak terhadap

lingkungan. Artinya, dalam kasus sengketa lingkungan perjanjian

arbitrase tidak mungkin dibuat sebelum timbulnya sengketa.

Memperjanjikan pencemaran dan perusakan lingkungan (dampak

lingkungan) sebagai sumber sengketa lingkungan adalah hal yang tidak

logis (Sudarsono, 2007: 345).

Terhadap kondisi demikian, ketentuan Pasal 1 angka 3

memberikan kemungkinan bagi para pihak dalam suatu sengketa

lingkungan untuk mengajukan penyelesaian sengketanya melalui

arbitrase dengan mengatur bahwa perjanjian tertulis adalah: “suatu

kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu

perjanjian tertulis yang di buat para pihak sebelum timbul sengketa

atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah

Page 61: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

61

timbul sengketa”. Dari ketentuan tersebut, Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 mengakui dua bentuk perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian

arbitrase yang dibuat sebelum timbunya sengketa (kontraktual) dan

perjanjian arbitrase yang dibuat pasca timbulnya sengketa

(nonkontraktual).

Para pihak dalam suatu sengketa lingkungan tetap memiliki

kesempatan untuk memilih arbitrase sebagai sarana penyelesaian

sengketanya dengan membuat perjanjian arbitrase pasca lahirnya

sengketa lingkungan (nonkontraktual). Perjanjian tersebut harus dibuat

secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak. Dalam hal para

pihak tidak dapat menandatanganinya, maka perjanjian tersebut harus

dibuat dalam bentuk akta notaris. Perjanjian penyelesaian sengketa

diluar pengadilan harus memuat hal-hal sebagai berikut agar tidak

dinyatakan batal demi hukum (Pasal 9):

a. masalah yang dipersengketakan b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak c. nama lengkap dan tempat tinggal para arbiter atau majelis

arbiter d. tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil

keputusan e. nama lengkap sekretaris f. jangka waktu penyelesaian sengketa g. pernyataan kesediaan dari arbiter h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk

menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Pasca dibuatnya perjanjian nonkontraktual tersebut,

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan arbitrase

dapat segera dilaksanakan. Para pihak dapat memilih untuk

menyelesaikan sengketanya dengan bantuan arbiter tunggal atau

majelis arbiter.

Page 62: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

62

1) Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan

arbiter tunggal

Penyelesaian sengketa dengan arbiter tunggal diatur dalam

Pasal 14. Berdasarkan ketentuan tersebut, penyelesaian sengketa

dengan arbiter tunggal dilakukan oleh arbiter yang disepakati oleh

para pihak. Kesepakatan mengenai penunjukkan arbiter tunggal

tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14

(empat belas) hari. Jika tidak, atas permohonan dari salah satu

pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal

dengan berdasar pada daftar nama yang disampaikan oleh para

pihak atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase

dengan memperhatikan rekomendasi maupun keberatan yang

diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan.

2) Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan

mejelis arbiter

Penyelesaian sengketa dengan majelis arbiter diatur dalam

ketentuan Pasal 15. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut,

pembentukan majelis arbiter dilakukan dengan memberikan

kesempatan kepada masing-masing pihak untuk memilih satu

orang arbiter. Dengan dipilihnya dua orang arbiter oleh masing-

masing pihak, maka para arbiter memiliki wewenang untuk

memilih dan menunjuk arbiter ketiga yang akan berkedudukan

sebagai ketua majelis arbiter. Akan tetapi jika para arbiter yang

telah ditunjuk oleh para pihak dalam jangka waktu paling lama 14

(empat belas hari) tidak berhasil berhasil menunjuk arbiter ketiga,

maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan Negeri

dapat mengangkat arbiter ketiga. Terhadap pengangkatan arbiter

oleh Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak dapat diajukan upaya

pembatalan.

Page 63: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

63

Para pihak dalam suatu sengketa lingkungan memiliki

kebebasan untuk menunjuk dan mengangkat arbiter yang akan

berkedudukan sebagai arbiter tunggal maupun mejelis arbiter tersebut.

Akan tetapi, kebebasan tersebut bukan kebebasan mutlak. Ketentuan

Pasal 12 ayat (1) memberikan pembatasan bahwa pihak-pihak yang

dapat ditunjuk dan diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat

sebagai berikut.

a. cakap melakukan tindakan hukum b. berumur paling rendah 35 tahun c. tidak mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai

dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa

d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase

e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun.

Sebagaimana kebebasan yang dimiliki oleh para pihak untuk menunjuk

dan mengangkat arbiter, pihak-pihak yang dipilih sebagai arbiter turut

memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak penunjukkan

tersebut. Penerimaan atau penolakan tersebut wajib diberitahukan

secara tertulis kepada para pihak dalam jangka waktu paling lama 14

(empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukkan atau

pengangkatan. Arbiter yang telah menerima penunjukkan atau

pengangkatan tersebut tidak dapat begitu saja menarik diri dari

perundingan. Harus terdapat persetujuan para pihak setelah arbiter

yang bersangkutan mengajukan permohonan secara tertulis kepada

para pihak. Jika para pihak menerima pengunduran diri tersebut, maka

pembebasan tugas arbiter akan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan

Negeri.

Mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase dimulai

dengan penyampaian surat tuntutan dari pemohon kepada arbiter atau

majelis arbiter dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh arbiter

atau majelis arbiter.

Page 64: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

64

Dalam surat tuntutan tersebut harus memuat sekurang-

kurangnya (Pasal 38 ayat (2)):

a) nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para

pihak;

b) uraian singkat tentang sengketa dis ertai dengan lampiran bukti-

bukti; dan

c) isi tuntutan yang jelas.

Dengan diterimanya surat tuntutan dari pemohon tersebut

berdasarkan ketentuan Pasal 39, arbiter atau majelis arbiter

menyampaikan satu salinan surat tersebut kepada termohon dengan

disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan

jawaban tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari

sejak diterimanya salinan tuntutan. Dalam jawabannya tersebut,

termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan

balasan tersebut pemohon diberi kesempatan pula untuk menanggapi.

Pasca diterimanya jawaban dari termohon, arbiter atau ketua

majelis arbiter menyerahkan salinan jawaban tersebut kepada

pemohon. Penyerahan salinan tersebut disertai pula dengan perintah

agar para pihak atau kuasa mereka menghadap ke muka sidang

arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 hari sejak dikeluarkannya

perintah tersebut. Perintah untuk menghadap tersebut harus dilakukan

secara patut. Terhadap perintah mengahadap tersebut, ketidakhadiran

pemohon dan termohon memiliki implikasi yang berbeda.

Ketidakadiran pemohon pada hari yang telah ditetapkan tanpa

adanya suatu alasan yang sah membawa akibat gugurnya tuntutan.

Tetapi apabila termohon yang tidak hadir dan tidak terdapat alasan

yang sah, maka arbiter atau majelis arbiter akan melakukan panggilan

sekali lagi. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (2), dalam waktu

Page 65: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

65

paling lama 10 (sepuluh) hari sejak pemanggilan kedua diterima

termohon dan tanpa alasan yang sah termohon juga tidak hadir, maka

pemeriksaan akan dilanjutkan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan

pemohon dikabulkan untuk seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak

beralasan atau tidak berlandaskan hukum.

Kehadiran para pihak ke muka persidangan pada hari yang

telah ditetapkan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1)

dilakukan untuk mengusahakan perdamaian. Jika perdamaian tersebut

berhasil, maka arbiter atau majelis arbiter membuat suatu akta

perdamaian yang bersifat final dan mengikat bagi para pihak. Akan

tetapi jika upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, pemeriksaan

terhadap pokok perkara akan dilanjutkan.

Dengan dilanjutkannya pemeriksaan terhadap pokok perkara

tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) para pihak diberi

kesempatan terakhir untuk menjelaskan secara tertulis pendirian

masing-masing pihak serta mengajukan bukti yang dianggap perlu

untuk menguatkan pendirian dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh

arbiter atau majelis arbiter. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 49

ayat (1), arbiter atau mejelis arbiter dapat menghadirkan seorang atau

lebih saksi atau saksi ahli untuk didengar keterangannya.

Penyelesaian sengketa dengan arbitrase berdasarkan ketentuan

Pasal 48 ayat (1) harus dilakukan dalam waktu paling lama 180

(seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk.

Akan tetapi apabila diperlukan, dengan persetujuan para pihak jangka

waktu tersebut dapat diperpanjang. Berdasarkan ketentuan Pasal 33,

arbiter atau majelis arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka

waktu tugasnya apabila:

a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai satu hal tertentu

Page 66: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

66

b. sebagai akibat ditetapkannya putusan provisionil atau putusan sela lainnya

c. dianggap perlu oleh arbiter atau mejelis arbiter untuk keperluan pemeriksaan

Upaya penyelesaian sengketa dengan arbitrase tersebut

dilakukan untuk menghasilkan putusan arbitrase. Berdasarkan

ketentuan Pasal 57, putusan tersebut harus dijatuhkan dalam jangka

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemeriksaan ditutup.

Putusan arbiter tersebut harus memuat (Pasal 54 ayat (1)):

a. kepala putusan yang berbunyi: ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

b. nama lengkap dan alamat para pihak c. uraian singkat sengketa d. pendirian para pihak e. nama lengkap dan alamat arbiter f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbiter

mengenai keseluruhan sengketa g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan

pendapat mengenai keseluruhan sengketa h. pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan

pendapat dalam majelis arbiter i. amar putusan j. tempat dan tanggal putusan k. tandatangan arbiter atau majelis arbiter

Lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase tersebut

berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1), dalam jangka waktu

maksimal 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembacaan

putusan harus sudah diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri

agar dapat dilaksanakan. Ketentuan Pasal 60 menegaskan bahwa

putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan

mengikat para pihak. Oleh karena itu, terhadap putusan arbitrase tidak

dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Meskipun demikian, pasca dilakukannya pendaftaran putusan arbiter

atau majelis arbiter ke Panitera Pengadilan Negeri, para pihak dapat

mengajukan permohonan pembatalan. Upaya pembatalan putusan

arbitrase bukan merupakan upaya hukum biasa, tetapi merupakan

Page 67: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

67

upaya hukum yang luar biasa (Munir Fuady, 2003: 106). Putusan

arbitrase tidak dapat diajukan banding hanya karena ketidakpuasan

salah satu pihak semata, tetapi karena alasan-alasan sebagai berikut.

(Pasal 70).

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan secara tertulis

kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari sejak tanggal hari penyerahan dan pendaftaran putusan

arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan

Pasal 72 ayat (3), terhadap permohonan pembatalan tersebut Ketua

Pengadilan Negeri harus sudah menjatuhkan putusan dalam waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima.

Konsekuensi hukum terhadap putusan arbitrase yang telah dibatalkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat berupa (Munir Fuady, 2003: 111): a) Batalnya seluruh atau sebagian isi putusan tersebut. Hal ini

harus ditentukan secara tegas dalam pembatalan oleh ketua pengadilan negeri.

b) Ketua pengadilan negeri dapat memutus bahwa perkara tersebut diperiksa kembali oleh: (1) arbiter yang sama; atau (2) arbiter yang berbeda; atau (3) tidak mungkin lagi diselesaikan melaui arbitrase.

Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, para pihak

dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang

memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung dalam

hal ini harus sudah menjatuhkan putusan dalam jangka waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan banding tersebut diterima.

Page 68: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

68

b. Penyelesaian Sengketa Lingkungan dengan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

Ketentuan Pasal 1 angka 10 mengatur bahwa alternatif

penyelesaian sengketa adalah: “lembaga penyelesaian sengketa atau

beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni

penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,

mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Berdasarkan ketentuan

Pasal 6, penyelesaian sengketa lingkungan dengan alternatif

penyelesaian sengketa dimulai dengan proses negosiasi antara para

pihak dalam jangka waktu maksimal 14 hari. Jika negosiasi tersebut

berhasil, maka para pihak merumuskan kesepakatan yang telah dibuat

dalam suatu kesepakatan tertulis untuk kemudian didaftarkan ke

Pengadilan Negeri. Akan tetapi jika negosiasi yang dilaksanakan oleh

para pihak tidak menghasilkan suatu kesepakatan, maka penyelesaian

sengkata dapat dilakukan dengan bantuan penasehat ahli maupun

mediator.

Mediator atau penasehat ahli yang ditunjuk oleh para pihak

dalam jangka waktu maksimal 14 hari harus sudah berhasil

mempertemukan kedua belah pihak dalam suatu kesepakatan. Jika

kesepakatan tersebut belum tercapai maka para pihak dapat

menghubungi sebuah lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk

menunjuk mediator yang akan memfasilitasi penyelesaian sengketa

para pihak. Dalam jangka waktu maksimal 7 hari lembaga alternatif

penyelesaian sengketa harus sudah menunjuk mediator dan dalam

jangka waktu maksimal 30 hari harus sudah tercapai kesepakatan yang

dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis.

Sama halnya dengan putusan arbitrase, kesepakatan tertulis

yang dibuat oleh para pihak tersebut bersifat final dan mengikat para

pihak serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka

Page 69: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

69

waktu maksimal 30 hari sejak pendaftaran. Sejak tanggal pendaftaran

tersebut, para pihak wajib melaksanakan kesepakatan tertulis tersebut

dalam jangka waktu paling lama 30 hari. Dengan demikian, dalam hal

penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan dengan alternatif

penyelesaian sengketa telah melahirkan suatu kesepakatan tertulis yang

dibuat para pihak, maka hak para pihak untuk mengajukan kembali

perkaranya ke Pengadilan Negeri menjadi gugur. Demikian pula

dengan upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.

Upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh para

pihak dengan negosiasi, konsultasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian

ahli tersebut pada hakekatnya merujuk pada satu tujuan yang sama,

yaitu tercapainya kesepakatan antara para pihak untuk menyelesaikan

sengketa yang terjadi. Oleh karena itu, jika upaya penyelesaian

sengketa yang dilakukan oleh para pihak tidak berhasil merumuskan

suatu kesepakatan, maka para pihak dapat memilih untuk

menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad

hoc.

Page 70: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

70

Penyelesaian sengketa lingkungan dengan alternatif

penyelesaian sengketa berdasarkan ketentuan Pasal 6 secara skematis

dapat digambarkan sebagai berikut.

Ketentuan dalam Pasal 6 tersebut mengatur penyelesaian

sengketa dengan negosiasi, konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau

penilaian ahli kedalam satu rangkaian. Akan tetapi, mekanisme

penyelesaian sengketa tersebut tidak harus dilaksanakan secara runut

sebagaimana dituangkan dalam Pasal 6 tersebut. Misalnya, para pihak

tanpa terlebih dahulu melakukan mediasi dengan bantuan seorang atau

lebih mediator yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dapat langsung

mengajukan penyelesaian sengketanya melalui lembaga alternatif

penyelesaian sengketa atau arbitrase.

Gambar 5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa

7 hari

14 hari

Sengketa Lingkungan

Negosiasi

bantuan penasehat ahli maupun madiator

Menghubungi lembaga alternatif penyelesaian

sengketa

arbitrase atau arbitrase ad hoc

14 hari

Menunjuk mediator bantuan

30 hari

Pengadilan Negeri

Kesepakatan Tertulis

Mediasi

Putusan Arbitrase

30 hari

30 hari

Page 71: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

71

3. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia

Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar

Pengadilan.

Peraturan Pemerintah berfungsi menyelenggarakan pengaturan

lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang secara tegas

menyebutnya atau menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan

lain dalam undang-undang yang mengatur meskipun tidak secara tegas

mengaturnya (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007 : 249). Demikian pula

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 merupakan peraturan pelaksana dari

ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang

mengamanatkan bahwa:

(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di atur dengan peraturan pemerintah.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 diundangkan dan

mulai berlaku secara efektif pada tanggal 17 Juli 2000. Pada awal

pembentukannya, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 merupakan

peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasca dikeluarkannya Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dicabut

dan dinyatakan tidak berlaku. Meskipun demikian, Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2000 masih dinyatakan berlaku sebagai peraturan

pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 karena amanat

dalam Pasal 124 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur

bahwa:

Page 72: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

72

”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum di ganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini”.

Tidak berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 84 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang secara implisit mengakui bahwa

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan merupakan pilihan

para pihak yang bersifat sukarela, ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2000 juga mengatur bahwa: “penyelesaian sengketa

lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan

bersifat sukarela”. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, dalam hal para pihak telah memilih

untuk menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan, maka gugatan

melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut

dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

menarik diri dari perundingan. Ketentuan tersebut agak berbeda dengan

ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang

mengatur bahwa gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh

apabila upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan yang

ditempuh para pihak dinyatakan tidak berhasil. Mundurnya salah satu atau

para pihak dalam penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

berdasarkan ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 tidak diakui sebagai penyebab lahirnya hak para pihak untuk

mengajukan gugatan melalui pengadilan.

Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan

ketentuan dalam Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 dilaksanakan dengan

bantuan pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan mengambil

keputusan (arbiter) maupun yang tidak memiliki kewenangan mengambil

keputusan (mediator atau pihak ketiga lainnya). Secara skematis pilihan

Page 73: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

73

penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut.

Terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan melalui

arbitrase, Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 menyatakan diri tunduk pada

ketentuan arbitrase, yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini

secara eksplisit tertuang dalam ketentuan Pasal 19 yang mengatur bahwa:

“tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase

tunduk pada ketentuan arbitrase”. Demikian halnya dengan pihak yang

dapat ditunjuk sebagai arbiter, ketentuan Pasal 14 mengamanatkan bahwa:

“anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai arbiter oleh

para pihak tunduk pada ketentuan arbitrase”. Oleh karena itu, dalam

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tidak ditemukan pengaturan mengenai

arbitrase sebagai pilihan penyelesaian sengketa lingkungan di luar

pengadilan.

Penyelesaian sengketa dengan mediasi atau pihak ketiga lainnya

dilakukan dengan bantuan seorang atau lebih mediator atau pihak ketiga

lainnya yang ditunjuk dan diterima para pihak yang bersengketa dalam

rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang tidak memiliki

kewenangan mengambil keputusan. Penyelesaian sengketa lingkungan

melalui mediasi atau pihak ketiga lainnya bermuara pada lahirnya

Penyelesaian sengketa

lingkungan di luar pengadilan

Arbitrase (Pasal 14 dan Pasal 19)

Mediasi atau Pihak Ketiga lainnya

(Pasal 15 dan Pasal 20)

Gambar 6. Pilihan Penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000

Page 74: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

74

kesepakatan tertulis di atas kertas bermaterai. Kesepakatan tersebut wajib

didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak

atau para pihak kepada Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu paling

lama 30 hari sejak ditandatanganinya kesepakatan oleh para pihak.

Kesepakatan tersebut antara lain memuat mengenai (Pasal 24 ayat (1)):

a. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; b. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga

lainnya; c. uraian singkat sengketa; d. pendirian para pihak; e. pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga

lainnya; f. isi kesepakatan; g. batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan; h. tempat pelaksanaan isi kesepakatan; i. pihak yang melaksanakan isi kesepakatan.

Terkait dengan isi, kesepakatan tersebut dapat berisi antara lain (Pasal 24

ayat (2)):

a. bentuk dan besarnya ganti rugi; dan/atau

b. melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau

terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan.

Tindakan tertentu tersebut antara lain melakukan penyelamatan dan/atau

tindakan penanggulangan dan/atau pemulihan lingkungan hidup. Tidakan

pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah timbulnya kejadian yang

sama di kemudian hari (Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf b).

Dalam upaya pencapaian kesepakatan tersebut para pihak memiliki

kebebasan untuk menunjuk mediator atau pihak ketiga lainnya dari

lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan di luar

pengadilan (selanjutnya disebut lembaga penyedia jasa) yang akan

membantu menyelesaikan sengketanya. Akan tetapi, kebebasan yang

diberikan kepada para pihak tersebut bukanlah kebebasan mutlak.

Ketentuan dalam Pasal 15 memberikan pembatasan bagi pihak-pihak yang

dapat ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga lainnya.

Page 75: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

75

”anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga lainnya oleh para pihak harus memenuhi syarat sebagai berikut. a. disetujui oleh para pihak yang bersengketa; b. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda

sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;

c. tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang besengketa;

d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak;

e. tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya”.

Pembatasan tersebut multak diperlukan untuk menjamin mediator

atau pihak ketiga lainnya bersikap netral dan tidak memihak. Tidak

dipenuhinya syarat-syarat penunjukan serta adanya keberpihakan mediator

atau pihak ketiga netral memberikan implikasi batal atau tidak sahnya

penunjukan tersebut. Akibatnya, mediator atau pihak ketiga lainnya wajib

mengundurkan diri atau para pihak atau salah satu pihak berhak

menghentikan penugasannya (Pasal 22 ayat (2)).

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di

Indonesia ditinjau dari ketiga peraturan perundangan tersebut pada intinya

mengatur bahwa:

1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan

pilihan para pihak yang bersifat sukarela.

2. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan hanya berlaku

terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata.

3. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan ditempuh

berdasarkan kesepakatan para pihak dengan arbitrase atau alternatif

penyelesaian sengketa (konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsultasi, penilaian

ahli).

Page 76: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

76

B. Kelemahan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar

Pengadilan di Indonesia dan Solusinya

Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia jika

ditinjau dari pengaturannya masih memiliki beberapa kelemahan. Bentuk-

bentuk kelemahan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.

1. Pelaksanaan kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase sebagai output dari

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sangat digantungkan

pada itikad baik para pihak

Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kelemahan penyelesaian

sengeketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Pelaksanaan putusan

arbitrase atau kesepakatan bersama sebagai output dari penyelesaian

sengketa di luar pengadilan sangat digantungkan pada itikad baik para

pihak (Abd. Rahmad, 2010). Pendaftaran putusan arbitrase atau

kesepakatan bersama kepada Pengadilan Negeri yang diwajibkan dalam

ketentuan Pasal 6 ayat (7) dan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 serta Pasal 24 ayat (5) Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000

hanya bertujuan untuk mendapatkan akta pendaftaran. Tidak sekaligus

memberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri untuk melaksanakan

eksekusi.

Permasalahan timbul bilamana output penyelesaian sengketa di

luar pengadilan tersebut berwujud kesepakatan tertulis. Ketentuan Pasal 6

ayat (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 hanya mengatur bahwa:

”kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana

dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran”. Ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,

maupun Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 belum memberikan

Page 77: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

77

pengaturan bilamana salah satu pihak tidak memiliki itikad baik untuk

melaksanakan kesepakatan tertulis yang telah dibuat oleh para pihak.

Berbeda dengan kesepakatan tertulis, terhadap putusan arbitrase

bilamana salah satu pihak tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan

putusan tersebut maka berdasarkan permohonan salah satu pihak Ketua

Pengadilan Negeri dapat memaksakan pelaksanaan (eksekusi). Meskipun

demikian, pengajuan permohonan tersebut dapat menimbulkan

permasalahan baru karena secara otomatis akan berpengaruh terhadap

jangka waktu eksekusi yang semakin mundur. Terlebih ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009, maupun Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tidak diatur

mengenai jangka waktu maksimal bagi para pihak untuk pelaksanaan

putusan arbitrase.

Permasalahan ini dapat diatasi dengan pemberian perintah

pelaksanaan eksekusi dari Pengadilan Negeri bersamaan dengan

pendaftaran kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase ke Pengadilan

Negeri. Jadi bilamana salah satu pihak tidak memiliki itikad baik untuk

melaksanakan kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase dalam suatu

jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan, Pengadilan Negeri dapat

secara langsung melakukan paksaan tanpa harus adanya prosedur

pengajuan permohonan eksekusi oleh salah satu pihak yang akan kembali

memakan waktu. Ketentuan tersebut tentu akan lebih selaras pula dengan

penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang

menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar

perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan

arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin

atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.

2. Tidak terdapat batasan yang jelas mengenai kesusilaan dan ketertiban

umum sebagai salah satu hal yang harus dinilai oleh Ketua Pengadilan

Page 78: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

78

Negeri untuk mengabulkan atau menolak permohonan eksekusi putusan

arbitrase yang diatur dalam Ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999.

Ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada

intinya mengatur bahwa dalam hal terdapat permohonan eksekusi, Ketua

Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan putusan

arbitrase harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah putusan

arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban

umum. Artinya, terdapat dua kemungkinan dalam pengajuan permohonan

eksekusi. Pertama, jika Ketua Pengadilan Negeri menilai bahwa putusan

arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban

umum maka Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan eksekusi

tersebut dan pelaksanaannya dapat segera dilakukan sesuai dengan

eksekusi putusan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kedua, jika Ketua Pengadilan Negeri menyatakan putusan arbitrase

tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 serta dianggap

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka Ketua

Pengadilan Negeri akan menolak permohonan eksekusi tersebut. Terhadap

putusan Ketua Pengadilan Negeri, baik yang menerima maupun menolak

permohonan eksekusi, tidak terbuka upaya hukum apapun.

Permasalahan timbul karena kewenangan Ketua Pengadilan Negeri

untuk memberikan perintah eksekusi yang didasarkan pada penilaian

terhadap kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal

62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak diikuti dengan parameter

atau pengaturan yang jelas dalam hal bagaimana kesusilaan dan ketertiban

umum tersebut dilanggar. Tidak terdapat batasan, pengertian, atau

penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan ketertiban umum dan

kesusilaan dalam undang-undang tersebut.

Page 79: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

79

Terkait dengan besarnya pengaruh penafsiran ketertiban umum dan

kesusilaan terhadap diterima atau tidaknya permohonan eksekusi putusan

arbitrase, maka untuk lebih menjamin kepastian hukum perlu adanya

pembatasan yang jelas terkait dengan hal ini dalam peraturan perundangan

tersebut. Tidak adanya pembatasan ketertiban umum dan kesusilaan

merupakan celah besar yang menjadi kelemahan dan dengan mudah dapat

disalahgunakan oleh para pihak yang tidak memiliki itikad baik untuk

mengingkari putusan arbitrase (Nurfaqih Irfani, 2010: 13).

3. Syarat-syarat pengangkatan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya

yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 dan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000

masih kurang jelas ratio legis-nya.

Pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan

putusan atau tidak dalam suatu sengketa memiliki peran yang besar dalam

tercapainya kesepakatan yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.

Terlebih dalam arbitrase dimana pihak ketiga mempunyai kewenangan

untuk menjatuhkan putusan yang bersifat final, berkekuatan hukum tetap

dan mengikat para pihak (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999). Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan

ketentuan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tidak

hanya bertujuan untuk mengasilkan kesepakatan atau putusan yang

mengakomodir kepentingan para pihak tetapi juga kepentingan

lingkungan.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya

pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif

terhadap lingkungan.

Page 80: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

80

Dengan demikian, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

dapat mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan di Indonesia. Tindakan perbaikan terhadap

lingkungan disertai dengan tindakan pencegahan agar pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan serta dampak negatif terhadap lingkungan

tidak terjadi lagi, sehingga daya dukung lingkungan terhadap pelaksanaan

pembangunan dapat tetap terlestarikan. Pembangunan berkelanjutan dapat

diwujudkan. Agar penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal

85 ayat (1) tersebut, maka dibutuhkan pihak ketiga yang benar-benar

memiliki kompetensi dalam bidang lingkungan hidup. Penyelesaian

sengketa dengan pihak ketiga yang tidak memiliki kompetensi dalam

bidang lingkungan hidup hanya akan menghasilkan kesepakatan yang

menguntungkan para pihak yang bersengketa, tanpa memperhatikan

kepentingan lingkungan.

Terkait dengan hal tersebut, ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa:

Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat: a. cakap melakukan tindakan hukum; b. berumur paling rendah 35 tahun; c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda

sampai denganderajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;

d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atasputusan arbitrase; dan

e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui lembaga

penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan

akan dilaksanakan oleh anggota dari lembaga penyedia jasa tersebut.

Lembaga penyedia jasa tersebut dapat merupakan lembaga penyedia jasa

yang dibentuk oleh masyarakat atau pemerintah. Untuk lembaga penyedia

Page 81: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

81

jasa yang dibentuk oleh masyarakat, ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 mengatur bahwa:

Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut. a. cakap melakukan tindakan hukum b. berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan dan

paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya

c. memiliki pengalaman serta aktif dibidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya.

d. Memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan

Sedangkan untuk menjadi anggota dari lembaga penyedia jasa yang

dibentuk pemerintah, syarat-syarat untuk menjadi anggota lembaga

penyedia jasa yang dibentuk masyarakat tersebut berlaku seluruhnya dan

ditambah syarat tidak adanya keberatan dari masyarakat.

Permasalahannya adalah penentuan kriteria memiliki pengalaman

serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15

(lima belas) tahun untuk arbiter dan 5 (lima) tahun untuk mediator tidak

jelas dihitung darimana serta apakah hal itu berlangsung secara terus

menerus atau tidak (Slamet Hariyanto, 2010). Seharusnya kriteria

semacam itu diatur secara lebih rinci sehingga dapat lebih memberikan

jaminan kepastian hukum. Terlebih pihak ketiga memiliki peran besar

dalam upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan agar

kesepakatan atau putusan yang dibuat tidak hanya menguntungkan para

pihak yang bersengketa, tetapi juga mengakomodir kepentingan

lingkungan.

4. Terdapat celah hukum dalam ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun

2000 serta pertentangan antara ketentuan tersebut dengan ketentuan

Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Page 82: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

82

Ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 mengatur bahwa: ”gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh

apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih

dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang

bersengketa”. Ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun

2000 mengatur bahwa: ”dalam hal para pihak telah memilih upaya

penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan

melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut

dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak

yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa

menarik diri dari perundingan”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat ditarik dua hal yang

mendasari lahirnya hak para pihak untuk mengajukan kembali

penyelesaian sengketanya kepada pengadilan, yaitu:

1. upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dinyatakan

tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang

bersengketa; atau

2. salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari

perundingan.

Terkait dengan hak para pihak tersebut, terdapat beberapa hal yang

dapat menjadi kelemahan dalam upaya penyelesaian sengketa lingkungan

di luar pengadilan. Terlebih apabila salah satu pihak dalam sengketa

memiliki itikad buruk, misalnya berniat mengulur waktu untuk

memulihkan kondisi lingkungan dan memberikan ganti rugi kepada

korban pencemaran dan/atau perusakan. Pertama, dalam ketentuan tersebut

tidak terdapat parameter yang jelas dalam hal bagaimana suatu upaya

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat dikatakan tidak

berhasil. Hal ini dapat menimbulkan masalah bilamana salah satu pihak

sudah mengetahui indikasi akan kalah (dalam penyelesaian sengketa

dengan arbitrase yang bersifat win-lose sollution).

Page 83: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

83

Kedua, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun

2000 yang me-legal-kan pengajuan kembali sengketa lingkungan ke muka

persidangan karena salah satu pihak menarik diri dari perundingan tersebut

semakin memberikan celah atau mempermudah salah satu pihak yang

memiliki itikad buruk untuk mengajukan kembali penyelesaian

sengketanya melalui lembaga peradilan. Terlebih ketentuan dalam Pasal 3

Peraturan Pemerintah tersebut tidak mensyaratkan pernyataan

pengunduran diri tersebut harus dibuat secara tertulis.

Pernyataan tertulis tentang tidak berhasilnya penyelesaian sengketa

lingkungan di luar pengadilan sebagai syarat pengajuan kembali

penyelesaian sengketa ke muka persidangan menurut penulis lebih efektif

dipergunakan karena lebih menjamin kepastian hukum. Pernyataan tidak

berhasil yang dibuat secara tertulis tersebut harus dilampirkan dalam

gugatan pengadilan (N.H.T Siahaan, 2009: 315). Hal ini sebagai upaya

untuk mencegah lahirnya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa

lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum.

Ketiga, ketentuan tersebut jika ditinjau dari ketentuan Pasal 3 dan

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 terdapat pertentangan.

Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menegaskan

bahwa: ”Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa

para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Ketentuan

tersebut dipertegas kembali dengan ketentuan Pasal 11 yang mengatur

bahwa:

(1) Adanya suatu perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Page 84: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

84

Hal-hal tertentu yang diamanatkan dalam Pasal 11 ayat (2) tersebut antara

lain berupa kewenangan pengadilan untuk menentukan arbiter yang akan

membantu menyelesaikan sengketa lingkungan di luar pengadilan dalam

hal tidak terdapat kesepakatan para pihak dalam penunjukkan arbiter

tunggal atau para arbiter dalam penunjukkan ketua majelis arbiter. Selain

itu pengadilan negeri memiliki kewenangan untuk ikut campur tangan

terkait dengan eksekusi putusan arbitrase.

Artinya, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

mengatur bahwa kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa

lingkungan di luar pengadilan yang dituangkan dalam suatu perjanjian

arbitrase telah menggugurkan hak para pihak untuk mengajukan kembali

sengketanya kepada lembaga peradilan. Jika para pihak telah memilih

untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui proses di luar pengadilan,

maka para pihak tidak lagi dapat memilih penyelesaian melalui pengadilan

(Gunawan Widjaja, 2002: 31). Inkonsistensi dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2000 jelas terlihat karena melalui ketentuan dalam Pasal

14 dan Pasal 19, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 telah

menyatakan diri tunduk pada ketentuan tentang arbitrase (Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999).

Menurut Fuller sebagaimana dikutip oleh Satjipto Raharjo, tidak

boleh terdapat aturan yang saling bertentangan merupakan salah satu asas

yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan perundangan. Apabila tidak

dipenuhi maka gagalah hukum disebut sebagai hukum (Satjipto Raharjo,

2006: 136). Oleh karena itu, revisi terhadap peraturan perundangan yang

terkait dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan

melakukan penyesuaian antara peraturan perundangan yang satu dengan

peraturan perundangan yang menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan.

Tujuannya untuk meniadakan pertentangan antara peraturan perundangan

yang bermuara pada lemahnya kepastian hukum.

Page 85: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

85

5. Ketentuan mengenai batal atau tidak sahnya penunjukan mediator atau

pihak ketiga lainnya dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 54

Tahun 2000 kurang jelas implikasi yuridisnya.

Keberpihakan mediator dalam proses penyelesaian sengketa dapat

mengakibatkan penunjukan mediator atau pihak ketiga tersebut tidak sah

atau batal. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 bahwa:

Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukkan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan: a. mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukkan keberpihakan,

dan/atau b. mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan syarat-

syarat yang seharusnya dipenuhi. Ketentuan Pasal 22 ayat (2) mengatur bahwa: ”dalam hal mediator atau pihak ketiga lainnya memenuhi alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka: a. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri,

atau b. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan

penugasannya. Pengaturan tersebut berlaku bila para pihak menempuh

penyelesaian sengketa melalui mediasi atau pihak ketiga lainnya. Jika para

pihak menempuh penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka

berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

para pihak dapat mengajukan tuntutan hak ingkar. Hal yang perlu

ditegaskan dalam ketentuan tersebut adalah mengenai batal atau tidak

sahnya penunjukan mediator atau pihak ketiga, batal demi hukum atau

dapat dibatalkan (Gunawan Widjaja, 2002: 35). Hal ini penting karena

keduanya memiliki implikasi yuridis yang berbeda. Dapat dibatalkan

memiliki implikasi penyelesaian sengketa yang telah ditempuh para pihak

tetap dianggap terjadi jika para pihak tidak membatalkannya. Sedangkan

batal demi hukum memiliki implikasi penyelesaian sengketa yang telah

ditempuh dianggap tidak pernah ada.

Page 86: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

86

C. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dalam

Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan

Lingkungan

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di

Indonesia memang masih memiliki beberapa kelemahan. Tetapi kelemahan

tersebut tidak menjadikan penyelesaian sengketa lingkungan di luar

pengadilan tidak mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagai bagian

inheren dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di

Indonesia turut berperan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan

yang berwawasan lingkungan.

Prinsip keadilan dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan pada dasarnya menjamin bahwa (A. Sony Keraf, 2002: 178-179):

5. Semua orang dan kelompok masyarakat mempunyai peluang yang sama untuk ikut serta dalam pembangunan dan kegiatan-kegiatan produktif serta ikut dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.

6. Pihak yang mendapat manfaat ekonomi terbesar dari kegiatan pembangunan harus menanggung kerugian terbesar akibat proses pembangunan.

7. Dalam dibidang lingkungan hidup, pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup wajib membayar secara proporsional kerugian yang ditimbulkan.

8. Peluang yang sama bagi generasi yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sama atau proporsional dari sumber ekonomi yang ada.

9. Kerugian akibat proses pembangunan yang dialami oleh kelompok masyarakat tertentu harus bisa ditebus atau dikompensasi secara seimbang atau proporsional baik oleh negara maupun oleh kelompok yang menimbulkan kerugian tersebut.

Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat

dipergunakan sebagai sarana untuk mewujudkan prinsip-prinsip tersebut

secara lebih efektif. Kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase sebagai output

dari penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat dipergunakan

sebagai sarana bagi korban pencemaran atau perusakan untuk menekan pihak

Page 87: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

87

yang mendapat manfaat ekonomi terbesar dari kegiatan pembangunan (dalam

hal ini pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan) untuk menanggung

kerugian terbesar akibat proses pembangunan, antara lain dengan memberikan

ganti kerugian secara proporsional kerugian yang ditimbulkan, melakukan

rehabilitasi terhadap lingkungan, mencegah terjadinya pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan kembali, dan lain-lain. Tujuannya, agar generasi

sekarang maupun generasi yang akan datang mendapatkan manfaat yang sama

dari sumber ekonomi yang ada sehingga pembangunan dapat berkelanjutan.

Hal ini selaras pula dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia

sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia dan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009.

Di Indonesia penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

dapat diselesaikan dengan arbitrase, konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi,

atau penilaian ahli. Meskipun demikian, penyelesaian sengketa lingkungan di

Indonesia sering diselesaikan dengan cara negosiasi atau mediasi (Bambang

Pramudyanto, 2008: 6). Beberapa contoh kasus sengketa lingkungan yang

diselesaikan dengan mediasi adalah:

1. Sengketa antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah

(selanjutnya disebut KKL) di Kabupaten Karanganyar.

Sengketa antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah

lahir karena adanya dugaan telah terjadinya suatu peristiwa pencemaran

dan/atau kerusakan yang diakibatkan oleh keberadaan PT Palur Raya.

Dugaan adanya pencemaran dan/atau perusakan tersebut dibuktikan

dengan (Waluyo, 2006: 47):

a. air sumur penduduk mengalami kekeringan hingga kedalaman 20 meter;

Page 88: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

88

b. hasil panen pertanian merosot tajam baik dari segia kualitas maupun kuantitas terutama disebelah barat pabrik atau tempat pembuangan limbah padat;

c. tanah mengalami kerusakan akibat resapan limbah padat dan cair yang dibuang oleh PT Palur Raya;

d. Sungai mengalami pendangkalan akibat kandungan dalam limbah cair dan padat;

e. kualitas udara disekitar pabrik sangat buruk; f. bau (odor) akibat pembuangan limbah padat menimbulkan gangguan

kenyamanan pada masyarakat disekitar pabrik; g. seringnya terjadi kerusakan jalan umum yang membelah pabrik akibat

lalu lalang truk-truk yang mengangkut barang yang keluar masuk PT Palur Raya.

Terhadap sengketa tersebut, para pihak memilih untuk

menyelesaikan sengketanya melalui mediasi. Mediasi antara PT Palur

Raya dan KKL tersebut dimulai pada tanggal 10 Juli 2000 dan berakhir

pada tanggal 22 Juli 2000. Pelaksanaan mediasi tersebut memberikan hasil

berupa kesepakatan mediasi yang pada intinya berisi (Kesepakatan

Mediasi antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah):

a. PT Palur Raya wajib menghilangkan polusi udara berupa bau busuk

yang menyengat sebagai akibat limbah yang dihasilkan.

b. PT Palur Raya wajib menghentikan pencemaran dan perusakan

terhadap air baik terhadap air sungai, air tanah, air sumur, dan sawah

serta lahan-lahan pertanian yang berlokasi di dekat PT Palur Raya

dengan menaati ketentuan ambang batas baku mutu lingkungan hidup.

c. PT Palur Raya wajib menghilangkan pencemaran udara yang berupa

asap-asap dan gas beracun yang membahayakan kesehatan manusia

dan dan makhluk hidup lainnya sebagai akibat atau bersumber dari

limbah yang dihasilkan dengan menaati ketentuan ambang batas baku

mutu lingkungan hidup.

d. PT Palur Raya wajib melaksanakan rehabilitasi terhadap komponen

lingkungan hidup yang tercemar dan rusak sebagai akibat limbah yang

dihasilkan.

Page 89: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

89

e. PT Palur Raya wajib memberikan ganti rugi baik materiil maupun

imateriil kepada korban yang secara langsung dan nyata mengalami

kerugian sebagai akibat dari limbah yang dihasilkan.

f. PT Palur Raya memberikan ijin kepada korban untuk berkoordinasi

dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten

Karanganyar untuk melakukan kontrol dan monitoring terhadap

limbah yang dihasilkan PT Palur Raya.

g. PT Palur Raya wajib memberikan laporan secara tertulis berupa

dokumen Upaya Pengolahan Lingkungan dan Upaya Pengelolaan

Lingkungan) kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Kabupaten Karanganyar dengan tembusan kepada KKL setiap 3 (tiga)

bulan sekali selama PT Palur Raya berproduksi.

Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Pihak PT Palur Raya dan

KKL sepakat untuk membentuk tim independen yang akan bertugas

menghitung dan membuktikan seberapa besar dan jauh kerusakan yang

ditimbulkan oleh PT Palur Raya (Ratri Nugroho, 2003: 74). Hasil

penelitian dari tim idependen tersebut akhirnya menimbulkan

permasalahan kembali karena PT Palur Raya hanya sanggup membayar

ganti kerugian sebesar Rp. 1.100.000.000,00 (satu milyar saratus juta

rupiah). Padahal perhitungan tim independen menunjukkan angka Rp.

7.299.569.706,00 (tujuh milyar dua ratus sembilan puluh sembilan juta

lima ratus enam puluh sembilan ribu tujuh ratu enam rupiah) sebagai ganti

kerugian dan biaya rehabilitasi terhadap lingkungan. Meskipun demikian,

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan yang dilaksanakan

oleh PT Palur Raya dan KKL tersebut dapat dikatakan berhasil karena atas

prakarsa dari Menteri Negara Lingkungan Hidup, permasalahan tersebut

dapat diatasi karena berdasarkan kesepakatan tanggal 1 April 2002 pihak

korban bersedia untuk menerimanya ganti rugi tersebut (Waluyo, 2006:

50).

Page 90: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

90

2. Sengketa antara PT Indo Acidatama Chemical Industri (selanjutnya

disebut PT. IACI) dengan dengan sebagian masyarakat petani di Desa

Sroyo dan Kemiri, Kabupaten Karanganyar.

Sengketa antara PT. IACI dan masyarakat yang terjadi tahun 1999-

2000 dilatarbelakangi oleh adanya dugaan pencemaran lingkungan yang

diakibatkan oleh limbah cair yang dihasilkan oleh PT IACI. Dugaan

adanya pencemaran tersebut oleh masyarakat disekitar perusahaan

dibuktikan dengan (Waluyo, 2006: 47):

a. keruhnya (warna coklat pekat) air sungai sroyo; b. timbul gejala gatal-gatal yang dirasakan oleh sebagian

masyarakat yang menggunakan sungai sebagai tempat kebutuhan mereka sehari-hari, misalnya pencari pasir dan peternak;

c. perubahan warna air pada sumur milik penduduk di sekitar perusahaan;

d. terjadinya penurunan permukaan air sumur penduduk di sekitar pabrik terutama waktu musim kemarau;

e. timbulnya bau busuk yang menyengat; f. meningkatnya korosifitas/pengeroposan; g. penurunan secara drastis hasil produksi pertanian dari petani

yang lahannya dialiri limbah cair dari perusahaan.

Penyelesaian sengketa tersebut dilaksanakan para pihak dengan

membentuk tim pengendalian limbah PT IACI yang beranggotakan

sembilan orang dan dikenal dengan nama tim sembilan. Anggota-

anggotanya mewakili pihak perusahaan, pihak korban, dan pihak ketiga

netral (Waluyo, 2006: 48). Sebagai hasilnya, PT IACI dalam forum Tim

sembilan bersedia mengganti kerugian dan mengakui telah menyebabkan

pencemaran yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Selanjutnya

ditunjuk lembaga HIALI (Himpunan Ahli Lingkungan) Surakarta untuk

menghitung besarnya kerugian dan kewajiban yang harus dibayar

perusahaan (PiusTri Wahyudi, 2010).

3. Kasus pencemaran Sungai Sambong di Batang antara PT Indonesia Miki

Industries dan masyarakat sekitar.

Page 91: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

91

Sengketa antara PT Indonesia Miki Industries dan masyarakat yang

menjadi korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan diselesaikan

melalui mediasi selama 1 (satu) tahun 27 (dua puluh tujuh) hari.

Penyelesaian sengketa tersebut mencapai hasil sebagai berikut (Bambang

Pramudyanto, 2008: 26).

a. PT Indonesia Miki Industries menyerahkan bantuan/dana sebesar Rp 53.925.000,00 (lima puluh tiga juta sembilan ratus dua puluh lima ribu rupiah) kepada 328 (tiga ratus dua puluh delapan) orang warga melalui Bupati yang akan digunakan untuk meningkatkan pengembangan usaha.

b. Kasus Sungai Sambong dianggap sudah selesai dan masyarakat tidak akan menuntut kembali.

c. PT Indonesia Miki Industries Group bersedia mengolah limbahnya sesuai dengan baku mutu limbah yang ditetapkan.

d. Pengaturan bantuan atau dana dari PT Indonesia Miki Industries Group kepada masyarakat semua pihak sepakat untuk menyerahkan sepunuhnya kepada Bupati Batang.

e. Untuk jangka waktu 6 (enam) bulan sejak ditandatangani kesepakatan ini akan dilakukan pemantauan oleh PT Indonesia Miki Industries Group, Pemerintah Daerah dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pusat. Mekanisme pemantauan ditetapkan oleh Bapedal Pusat.

f. Setelah 6 (enam) bulan dari ditanda tanganinya kesepakatan ini akan dilakukan evaluasi bersama.

Dari contoh-contoh kasus tersebut dapat dipaparkan bahwa hasil

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan tidak hanya

mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa, tetapi juga

kepentingan lingkungan. Hal ini telah sejalan dengan ketentuan Pasal 58 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur bahwa:

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya

pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap

lingkungan.

Jika ditinjau dari konsep pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

Page 92: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

92

mampu mengembalikan kemampuan lingkungan untuk mendukung

pelaksanaan pembangunan dan tingkat hidup yang lebih tinggi karena adanya

perbaikan terhadap kondisi lingkungan. Akhirnya, aspek lingkungan hidup

dalam pembangunan berkelanjutan akan terpenuhi. Dengan adanya perbaikan

terhadap kondisi lingkungan, maka kemampuan lingkungan untuk mendukung

pelaksanaan pembangunan akan tetap terjaga sehingga hasil dari pelaksanaan

pembangunan tidak hanya akan dinikmati oleh generasi sekarang, tetapi juga

generasi masa depan. Di samping itu, penyelesaian sengketa lingkungan di

luar pengadilan dapat dipergunakan sebagai alternatif yang dapat ditempuh

masyarakat ditengah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga

peradilan untuk menuntut haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan dalam pembangunan berkelanjutan

yang berwawasan lingkungan.

Akan tetapi, jika dikaji dari segi peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan

masih memiliki beberapa kelemahan sebagaimana telah dipaparkan dalam

pembahasan sebelumnya. Dalam contoh kasus yang telah dipaparkan,

kelemahan tersebut antara lain tercermin dalam tindakan PT Palur Raya yang

mengingkari hasil penelitian tim independen dan berbuntut pada tindakan PT

Palur Raya yang menggugat tim independen melalui Pengadilan Negeri

Yogyakarta (Ratri Nugroho, 2003: 76). Meskipun sengketa tersebut akhirnya

dapat diselesaikan dengan prakarsa Kementrian Lingkungan Hidup, tetapi hal

ini tentu akan kembali memakan waktu.

Menyikapi permasalahan tersebut, perlu segera diambil tindakan tegas

dan nyata dari pemerintah dengan melakukan revisi terhadap peraturan

perundangan yang terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan di luar

pengadilan sebagai wujud komitmen pemerintah melaksanakan pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Terlebih sumber daya alam dan

lingkungan tidak pernah terlepas dari berbagai kepentingan, seperti

kepentingan negara, pemilik modal, rakyat, maupun lingkungan sendiri dan

Page 93: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

93

perebutan kepentingan ini selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai

pihak yang dikalahkan (I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, 2006: 72).

Kelemahan-kelemahan yang telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya

hendaknya dijadikan bahan pertimbangan revisi sehingga ke depannya

pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat tertata

secara lebih sistematis, komprehensif, dan aplikatif sehingga akan lebih

mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan di Indonesia.

Page 94: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

94

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia

tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000

tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa

Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan

hidup di luar pengadilan di Indonesia ditinjau dari ketiga peraturan

perundangan tersebut pada intinya mengatur bahwa:

a. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan

pilihan para pihak yang bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam

Ketentuan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000.

b. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan hanya

berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata

sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Pasal 84 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009.

c. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan ditempuh

berdasarkan kesepakatan para pihak dengan arbitrase atau alternatif

penyelesaian sengketa (konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsultasi,

penilaian ahli) sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 85

ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Pasal 14, 15, 19, dan

Pasal 20, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, dan Pasal 1

angka 1 serta Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999.

Page 95: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

95

2. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia jika

ditinjau dari pengaturannya masih memiliki beberapa kelemahan, yakni:

a. Pelaksanaan putusan arbitrase atau

kesepakatan tertulis sebagai output dari penyelesaian sengketa

lingkungan di luar pengadilan sangat digantungkan pada itikad baik

para pihak.

b. Tidak terdapat batasan yang jelas mengenai kesusilaan dan ketertiban

umum sebagai salah satu hal yang harus dinilai oleh Ketua Pengadilan

Negeri untuk mengabulkan atau menolak permohonan eksekusi

putusan arbitrase.

c. Syarat-syarat pengangkatan arbiter atau mediator atau pihak ketiga

lainnya yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 dan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54

Tahun 2000 masih kurang jelas ratio legis-nya.

d. Terdapat celah hukum dalam ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2000 serta pertentangan antara ketentuan tersebut

dengan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999.

e. Ketentuan mengenai batal atau tidak sahnya penunjukan mediator atau

pihak ketiga lainnya dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 54

Tahun 2000 kurang jelas implikasi yuridisnya.

3. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagai bagian

inheren dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di

Indonesia mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan.

Page 96: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

96

B. Saran

1. Perlu segera diambil tindakan tegas dan nyata dari pemerintah dengan

melakukan revisi terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sebagai wujud

komitmen pemerintah melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan.

2. Kelemahan-kelemahan yang telah dipaparkan dalam pembahasan

sebelumnya hendaknya dijadikan bahan pertimbangan revisi sehingga ke

depannya pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

dapat tertata secara lebih sistematis, komprehensif, dan aplikatif sehingga

akan lebih mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan di Indonesia.

Page 97: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

97

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A Sonny Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.

Adi Sulistiyono. 2006. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia. Surakarta: UNS-Press.

Amiek Sumindriyatmi, dkk. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Surakarta:

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Gatot P Soemartono. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika. Gunawan Widjaja. 2002. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada. Henry R Cheeseman, 2000. The Legal and Regulatory Environment

(Contemporary Perspectives in Business). United States : Prentice-Hall, Inc.

Imam Supardi. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Bandung: PT.

Alumni. Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution (Nuansa Hijau Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem.

Bandung: CV. Mandar Maju. Maria Farida Indriati Soeprapto. 2007. Ilmu Perundang-Undangan (Jenis,

Fungsi, dan Materi Muatan). Kanisius: Yogyakarta. Mestika Zed. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia. Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Munir Fuady. 2003. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bisnis). Bandung: Pt Citra Aditya Bakti.

Page 98: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

98

N.H.T Siahaan. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga.

. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam.

Otto Soemarwoto. 2003. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Yogyakarta: Gajahmada University Press. Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group. . 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana. Prabang Setyono. 2008. Cakrawala Memahami Lingkungan. Surakarta: UNS

Press. Satjipto Raharjo. 2006. Hukum dalam Jagad Ketertiban. Jakarta: UKI Press. Soekarman Moesa. 2002. Ilmu Lingkungan: Ekosistem, Manusia, dan

Pembangunan Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press.

Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Sudarsono. 2007. Negeriku Menuai Bencana Ekologi Mengabaikan Norma

Agama, Adat dan Hukum (Reposisi dan Revitalisasi Penegakan Hukum Lingkungan antara Harapan, Impian, dan Kenyataan. Yogyakarta: Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa.

. 2007. Mengedalikan Dampak Pemanasan Global dengan Kearifan

Lingkungan. Yogyakarta: Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa.

Sudikno Mertokusumo, 2003. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).

Yogyakarta: Liberty Suparto Wijoyo, 1999. Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Surabaya:

Airlangga University Press. Suyud Margono. 2004. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase.

Jakarta: Ghalia Indonesia. Zoer’aini Djamal Irwan, 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan

Kota. Jakarta : Bumi Aksara.

Page 99: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

99

B. Peraturan Perundangan

Kesepakatan Mediasi antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Peradilan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

C. Majalah atau Jurnal

Hero Prahartono. 2005. “Penyelesaian Sengketa Perusahaan Multinasional melalui Arbitrase”. Majalah Hukum Yustisia. Tahun XVII Edisi 68. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani. 2006. “Krisis Air, Illegal Logging, dan

Penegakan Hukum Lingkungan”. Yustisia Jurnal Hukum. Tahun XVII Edisi 69. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

I William Zartman. 1996. “Negotiation As A Search For Justice”.

International Negotiation Journal. Vol. 1, No. 1.

Tiffany T. Smith. 2009. “Mediating Culture: Is Mediation an Appropriate Forum for Employment Discrimination Claims Despite Cultural Differences?”. Ohio State Journal on Dispute Resolution. Volume 7, Issue 1.

Waluyo. 2006. “Identifikasi Penyebab dan Pola Penyelesaian Sengketa

Lingkungan di Wilayah Kabupaten Karanganyar”. Yustisia Jurnal Hukum. Tahun XVII Edisi 69. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Page 100: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

100

D. Makalah

Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni. 2008. ”Hukum Kontrak”. Makalah. Disampaikan pada perkuliahan hukum kontrak di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Bambang Pramudyanto. 2008. “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup

dengan Cara Negosiasi”. Makalah. Disampaikan pada pendidikan dan pelatihan alternative penyelesaian sengketa lingkungan (APS) di Serpong, pada tanggal, 17 sampai 21 November 2008.

Emmy Yuhassarie, dkk. 2004. “Mediasi dan Access to Justice”. Makalah.

Disampaikan dalam rangkaian lokakarya terbatas masalah-masalah kepailitan dan wawasan hukum bisnis lainnya, pada 17-18 Februari 2004 di Jakarta.

Juanda Kartawidjaya. 2009. ”Gerakan Aktif Ati Korupsi Versus Mafia

Peradilan”. Makalah. Disampaikan pada seminar akademik BEM FH UNS, pada tanggal 15 Desember 2009.

Marianna Sutadi. 2004. “Pendayagunaan Perdamaian menurut Pasal 130

HIR/154 R.Bg dan Potensinya dalam Mewujudkan Keadilan yang Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan”. Makalah. Disampaikan dalam rangkaian lokakarya terbatas masalah-masalah kepailitan dan wawasan hukum bisnis lainnya, pada 17-18 Februari 2004 di Jakarta.

Marta Amnan. 2008. “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan

Menggunakan Pihak ke Tiga Netral”. Makalah. Disampaikan pada pendidikan dan pelatihan alternative penyelesaian sengketa lingkungan (APS) di Serpong, pada tanggal, 17 sampai 21 November 2008.

R. Ginting. 2009. ”Mafia Peradilan sebagai Kejahatan Sistemik”. Makalah.

Disampaikan pada seminar akademik BEM FH UNS, pada tanggal 15 Desember 2009.

E. Hasil Penelitian

Ratri Nugroho. 2003. ”Studi Pelaksanaan Mediasi pada Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup antara PT Palur Raya dengan sebagian Masyarakat Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar”. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Page 101: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI .../Kajian... · sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. ... penulis menjalani perkuliahan

101

F. Internet

Abd. Rahmad. Peranan Alternative Dispute Resulution dalam Penyelesaian Perkara Perdata. http://padang-today.com/index.php?today=article&j=2&id=155> [6 Feb 2010 pukul 02:15 WIB].

Budhy Budiman. Penyelesaian Sengketa Perdata melalui Lembaga Arbitrase

(Kajian terhadap Praktek Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). http://isrard.multiply.com/journal/item/2/lembaga_arbitrase> [10 Feb 2010 17:46 WIB].

Nurfaqih Irfani. Beberapa Permasalahan yang Timbul dalam Praktik

Arbitrase di Indonesia (Kritisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). http://irfaninurfaqih.files.wordpress.com/2009/06/aps2-published.pdf> [10 Feb 2010 17:18 WIB]

Pan Mohamad Faiz. Klausul Arbitrase dan Pengadilan (Kemungkinan

Diajukannya PerkaraDengan Klausul Arbitrase Ke Muka Pengadilan.) .http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/klausul-arbitrase-dan-pengadilan_18.html> [9 Februari 2010 pukul 15:52 WIB].

Pius Tri Wahyudi. Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Luar Pengadilan di

Wilayah Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo. http://www.scribd.com/doc/12969535/e010201> [9 Februari 2010 pukul 15:34 WIB].

Slamet Hariyanto. Menggagas Revisi UU Nomor 30 Tahun 1999 .

http://slamethariyanto.wordpress.com/2008/12/20/menggagas-revisi-uu-nomor-30-tahun-1999-bagian-ii-habis/> [2 Feb 2010 pukul 18:32 WIB].

Wicipto Setiadi. 2010. Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute

Resolution (ADR). http://www.legalitas.org/?q=node/21> [19 Feb 2010 pukul 08:14 WIB].