kampung warsambin lokasi penelitian -...
TRANSCRIPT
53
Bab Empat
Kampung Warsambin
Lokasi Penelitian
Pengantar
Perjalanan 1 jam 40 menit adalah jarak tempuh yang harus
dilalui ketika penulis berangkat dari Kota Waisai ke lokasi penelitian di
Kampung Warsambin, Distrik Teluk Mayalibit. Jarak tempuh itu jika
penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan disaat
cuaca cerah.Tetapi jarak tempuh bisa menjadi lebih lama ketika
perjalanan dilakukan dibawah guyuran hujan. Hal ini disebabkan
kondisi jalan dari Waisai ke Warsambin bukanlah jalan aspal seperti di
Kota Waisai. Kondisi jalan masih terbuat dari tumpukan sirtu (batu
kerikil) sehingga ketika hujan beberapa kondisi jalan sangat licin dan
berbahaya. Kondisi jalan sirtu ini pun tidak sampai di Kampung
Warsambin, melainkan hanya seperempat perjalanan. Sisanya kondisi
jalan adalah tumpukan tanah dan bebatuan besar yang cukup tajam
namun tetap masih bisa dilewati baik kendaraan roda 4 dan roda 2.
Namun ketika melihat pada saat awal pemekaran Kabupaten
Raja Ampat, tidak ada akses dengan menggunakan kendaraan darat jika
ingin ke Teluk Mayalibit. Satu-satunya cara jika ingin ke Teluk
Mayalibit adalah melalui laut. Semenjak dilakukan mega proyek Trans-
Waigeo, akses jalan mulai dibangun pada tahun 2009 untuk
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
54
menghubungkan Teluk Mayalibit dengan kota Waisai. Pembukaan
akses Trans-Waigeo ini akhirnya secara langsung memberikan dampak
kepada masyarakat di Teluk Mayalibit. Perubahan ini akan penulis
sampaikan pada sub-bab selanjutnya. Yang menjadi pengalaman
penulis dalam perjalanan ketika menuju ke lokasi penelitian adalah
siapapun yang hendak melakukan perjalanan ini, harus mempersiapkan
mental dan keberanian seperti yang penulis alami.
Namun perjalanan yang cukup menegangkan tersebut rasanya
lenyap seketika saat mata ini memandang sebuah pereng putih di
Gunung Nok yang menjadi tanda bahwa penulis telah sampai di
Kampung Warsambin, Distrik Teluk Mayalibit.
Gambar 4.1. Pemandangan Pintu Masuk Teluk Mayalibit
(Sumber A.F. Binter)
Panorama ciri khas perkampungan mulai terasa ketika
memasuki Kampung ini. Karakter wilayah pesisir merupakan ciri khas
yang tidak terlepas dari keberadaan kampung Warsambin. Rumah
panggung yang dibangun dengan menancapkan kaki-kaki rumah di
pinggiran pantai, katinting dan body58 masyarakat ditambatkan di
58
Katinting sebutan masyarakat lokal di Raja Ampat untuk perahu kecil.Dan untuk
menjalankannya menggunakan dayung oleh tenaga manusia. Sedangkan body
sebutan masyarakat lokal di Raja Ampat untuk perahu yang berukuran lebih besar.
Dan menggunakan mesin untuk menggerakkannya. Body pun terbagi dalam 2
jenis, yaitu yang terbuat dari kayu dan fiber. Kebanyakan yang dimiliki masyarakat
adalah dari kayu, sedangkan yang terbuat dari fiber biasanya dimiliki oleh instansi
pemerintahan yang bertugas di Kampung-Kampung pedalaman. Seperti Camat,
Dokter/Mantri yang bertugas di Puskesmas.
Kampung Warsambin Lokasi Penelitian
55
pinggiran pantai, dan beberapa tambak ikan untuk penyimpanan
sementara ikan hasil tangkapan masyarakat.
Gambar 4.2. Kondisi Kampung Warsambin
(Sumber A.F. Binter)
Gambar 4.3. Body Fiber milik masyarakat yang sedang ditambatkan
(Sumber A.F. Binter)
Kampung Warsambin adalah ibu kota distrik Teluk Mayalibit
dan kampung pertama yang akan kita temui ketika ingin berkunjung di
Teluk Mayalibit. Sebagai ibu kota distrik, Warsambin cukup
berkembang dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya yang
berada di wilayah administratif distrik Teluk Mayalibit. Dalam
perkembangannya terjadi perubahan-perubahan pada perilaku
masyarakatnya. Bab ini akan mendeskripsikan tentang kampung
Warsambin, mulai dari sejarah pembentukan kampung sampai kondisi
Warsambin kekinian.
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
56
Sejarah Kampung Warsambin Agus, seorang bapak dengan perawakan berbadan kurus dan
pendek adalah seorang tokoh masyarakat Teluk Mayalibit yang
terkenal asal kampung Warsambin. Diusianya yang tak lagi muda,
beliau masih tampak bersemangat dalam menjalani aktifitasnya.
Bekerja sebagai nelayan dalam waktu tertentu sekaligus juga menjadi
petani beliau menghidupi keluarganya. Ditengah aktifitas yang
dilakukan beliau, penulis mendapatkan kesempatan untuk berbincang-
bincang tentang sejarah Kampung Warsambin. Sebagai saksi hidup,
beliau dengan fasih dan lancar menceritakan bagaimana kampung
Warsambin terbentuk. Perbincangan yang sangat hangat, dapat
dirasakan ketika beliau memanggil penulis dengan sebutan anak.
Terkadang tawa menghiasi setiap perbincangan kami, tentu tetap
ditemani beberapa buah pinang, sirih dan kapur serta rokok sebagai
makanan ringan menemani obrolan kami.
Gambar 4.4. Penulis bersama salah satu narasumber
(Sumber A.F. Binter)
Pertanyaan pertama dari penulis tentang bagaimana awal mula
Kampung Warsambin ini terbentuk, sepertinya membangunkan
kembali memori Agus pada tahun 1970-an dimasa mudanya.
“Sa lahir tahun 1953 dan besar di Kampung lama Lensok”
begitu ujar Agus memulai menjawab pertanyaan penulis. “Sa masih
ingat sekitar tahun 70-an pemerintah pernah menyelenggarakan
program yang disebut pembangunan Kampung Gaya Baru, dan waktu
itu torang yang ada di kampung Lensok diminta pindah ke tempat yang
Kampung Warsambin Lokasi Penelitian
57
pemerintah dorang buat” lanjut Agus.59 Ketika menulis kembali isi
wawancara ini, penulis kemudian mencoba untuk mencari informasi
tentang program pemerintah seperti yang dimaksudkan oleh Agus
dalam wawancara. Kemudian penulis menemukan dokumen ini disalah
satu situs resmi milik Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Pusat60 :
“P3KT yang mulai disiapkan sejak tahun 1970-an, terus diperluas pelaksanaannya ke seluruh wilayah Indonesia. Dimulai dengan P3KT generasi pertama, yaitu program perbaikan kampung (Urban I). Kemudian generasi kedua, berupa proyek pembangunan perkotaan gaya lama (Urban II, Bandung, Medan, Urban III, Urban IV dan Urban V). Disusul generasi ketiga, yaitu program pembangunan perkotaan untuk melancarkan P3KT secara nasional (tidak terbatas pada proyek dengan bantuan luar negeri, tetapi juga proyek APBN dan APBD). Lantas generasi keempat dengan proyek pembangunan perkotaan gaya baru (Surabaya, East Java Bali, Kalimantan, Sulawesi Irian Jaya, Bali tahap kedua, Sumatera dan Jawa Barat, Botabek, JUDP I,II dan III). Akhirnya, generasi kelima berupa program sektor pembangunan perkotaan yang ditandai dengan pinjaman Urban Sector Loan pada tahun 1987. Persiapan semua proyek P3KT melibatkan konsultan luar dan dalam negeri. Hal ini menjadi pendorong kuat bagi peran konsultan untuk membantu pemerintah dalam penataan ruang.”
P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu) adalah
sebuah program pemerintah pusat pada era pemerintahan orde baru
tahun 1970-1990. Program ini dibawah pengawasan dan pelaksana
Kementerian Pekerjaan Umum yang bertujuan untuk menata kembali
tata ruang kota di daerah-daerah guna memperpendek rentang kendali
pemerintahan. Program ini dilakukan dengan cara memindahkan
penduduk yang berada di pedalaman ke daerah yang lebih mudah di
jangkau. Dan kampung Warsambin adalah satu kampung bentukan
59
Wawancara dengan Agus, Sabtu, 17 Januari 2015, Pukul. 15.00 WIT. 60
Sumber : http://penataanruang.pu.go.id/taru/sejarah/BAB4.6footer.pdf
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
58
dari program tersebut yang saat itu dikenal dengan program Kampung
Gaya Baru.
Jika dilihat secara geografis memang perpindahan masyarakat
dari Kampung lama yang bernama Lensok ke kampung Warsambin
sangat beralasan.
Gambar 4.5. Peta Pulau Waigeo
Pada gambar peta di atas memang kampung Lensok sudah tidak
tercantum di distrik Teluk Mayalibit. Letak kampung Lensok itu tepat
berdampingan dengan kampung Kalitoko yang jaraknya memang lebih
masuk ke dalam teluk. Sehingga memang sangat beralasan dalam
program Kampung Gaya Baru masyarakat dari Lensok dipindahkan
lebih dekat dengan pintu masuk Teluk Mayalibit.
“Tepat pada tahun 1973, torang dapa suruh pindah dari kampung Lensok ke kampung yang sekarang tong sebut Warsambin itu. Sa ingat persis dulu kepala kampung itu Bapa Lambert Metansan asli orang teluk suku Maya. Dia yang bawa torang semua pindah kesini. Tempo itu juga bukan torang sendiri dari Lensok saja, tapi ada juga masyarakat dari kampung Mumes yang datang juga ikut tinggal sama torang di Warsambin. Saat itu kepala kampung Mumes, bapa Lambert pu anak mantu, jadi pace bilang sudah kam datang juga tinggal deng katong disini saja.” Cerita Agus.61
61 Wawancara dengan Agus, Sabtu, 17 Januari 2015, Pukul. 15.00 WIT.
Kampung Warsambin Lokasi Penelitian
59
Dari cerita yang disampaikan Agus, itu berarti kampung
Warsambin adalah kampung baru yang berisi penduduk dari 2
kampung yaitu kampung Lensok dan Mumes. Namun ada perbedaan
dari 2 kampung asal ini. Masyarakat dari kampung Lensok seluruhnya
pindah ke Warsambin, tetapi kampung Mumes tidak seluruh
masyarakatnya pindah, ada yang memilih untuk menetap di Mumes.
Kini kampung lama Lensok kini hanya berisi dusun sagu yang tidak
terurusi dan tidak berpenghuni. Perpindahan masyarakat dari Lensok
ke Warsambin ternyata juga berpengaruh pada mata pencaharian dan
kondisi sosial masyarakat yang akan dijelaskan penulis pada sub-bab
setelah ini.
Gambaran Umum Distrik Teluk Mayalibit Geografi Teluk Mayalibit
Distrik Teluk Mayalibit merupakan salah satu dari 24
distrik di Kabupaten Raja Ampat. Wilayah Teluk Mayalibit di
bagian Selatan berbatasan dengan distrik Waigeo Selatan, di bagian
Utara berbatasan dengan distrik Waigeo Utara, di bagian Barat
berbatasan dengan distrik Tiplol Mayalibit dan di bagian Timur
berbatasan dengan Waigeo Timur. Luas wilayah Teluk Mayalibit
917,05 Km². Kampung Kalitoko merupakan kampung terluas di
distrik Teluk Mayalibit (51%), sedangkan kampung yang
wilayahnya paling kecil adalah kampung Mumes (11%).
Berdasarkan topografi wilayah semua kampung di distrik Teluk
Mayalibit merupakan kampung pesisir atau berbatasan langsung
dengan laut. Keadaan tinggi air laut dari daratan pada umumnya
sekitar satu meter dari permukaan laut. Dimana letak kampung
Warsambin yang paling tinggi yaitu sekitar 3 meter. Pada
umumnya bentuk permukaan tanah kampung-kampung di distrik
ini adalah dataran. Hanya kampung Warsambin yang sebagian
kecil keadaan tanahnya adalah perbukitan yaitu 5%.62
62
BPS Kabupaten Raja Ampat, “Statistik Daerah Distrik Teluk Mayalibit 2014”, Hal 1-
2, Raja Ampat, 2014.
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
60
Pemerintahan
Distrik Teluk Mayalibit adalah distrik pemekaran dari
Waigeo Selatan. Pemekaran distrik ini berdasarkan Perda No. 3
Tahun 2006 yang terdiri dari 10 Kampung. Sekarang distrik Teluk
Mayalibit terdiri dari 4 Kampung, karena mengalami pemekaran
distrik sesuai dengan Perda No. 2 Tahun 2012. Enam kampung
yang mengalami pemekaran tersebut antara lain Arawai, Beo,
Kabilol, Go, Waifoi dan Warimak menjadi distrik sendiri yaitu
distrik Tiplol Mayalibit. Sedangkan distrik Teluk Mayalibit terdiri
dari Warsambin, Lopintol, Kalitoko dan Mumes.
Dan untuk melengkapi organisasi pemerintahan di tingkat
kampung maka disediakan aparat pemerintah sekaligus juga
pembagian wilayahnya. Di distrik Teluk Mayalibit setiap kampung
dipimpin oleh kepala kampung yang membawahi Rukun Warga
(RW) dan Rukun Tetangga (RT). Demi ketertiban dan keamanan
kampung, juga disediakan hansip pada setiap kampung bersama
dengan sarana pos keamanannya.Tapi untuk pos keamanannya
hanya terdapat di 2 kampung saja. Berikut data yang diperoleh dari
statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik kabupaten
Raja Ampat :
Tabel 4.1 Jumlah Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) di Distrik Teluk
Mayalibit63 Tahun 2013
Kampung Rukun Warga (RW) Rukun Tetangga (RT)
Warsambin 2 4 Lopintol 2 4 Kalitoko 2 2 Mumes 1 2
Jumlah 7 12
Sumber : Kantor Kelurahan
63
Sda, Hal 3, Raja Ampat 2014
Kampung Warsambin Lokasi Penelitian
61
Tabel 4.2 Jumlah Personil Hansip dan Pos Keamanan di Distrik Teluk Mayalibit64
Tahun 2013
Kampung Hansip Pos Keamanan
Warsambin 4 1 Lopintol 3 - Kalitoko 5 - Mumes 4 -
Jumlah 16 1
Sumber : Kantor Kampung
Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai
bagian dari pemerintahan, Kepala Kampung, RW, RT, maupun
hansip lebih cenderung pada persoalan-persoalan administratif.
Seperti halnya pembuatan KTP atau Kartu Keluarga. Sedangkan
jika terjadi persoalan didalam kehidupan bermasyarakat lebih
cenderung diselesaikan secara kekeluargaan ataupun memakai
pendekatan adat. Dan selama melakukan penelitian lapangan, tidak
ada gejolak yang terjadi dalam masyarakat.
Penduduk dan Kondisi Sosial Masyarakat
Ada hal yang memang menarik ketika penulis berkunjung
ke beberapa kampung di distrik Teluk Mayalibit. Yang menarik
adalah dari 3 kampung yaitu Warsambin, Lopintol dan Kalitoko
lebih terlihat banyak penduduk laki-laki dibandingkan perempuan.
Misalnya ketika penulis berada di Kalitoko akhir Agustus 2011,
dalam amatan penulis yang terlihat beraktifitas di luar rumah
kebanyakan penduduk laki-laki. Kebetulan ketika itu ada juga
dilaksanakan pelepasan tim pendidik dari Kapal Kalabia yang
hendak meninggalkan Kampung Kalitoko. Semua masyarakat
terlibat dalam acara pelepasan itu dengan diiring suling tambur.
Dan dalam amatan penulis dari lokasi acara tersebut berlangsung
memang jumlah laki-laki lebih banyak dibanding jumlah
perempuan.
64
Sda, Hal 3, Raja Ampat 2014
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
62
Gambar 4.6. Tarian Yosim Pancar dengan iringan musik Suling Tambur di
Kalitoko
(Sumber A.F. Binter)
Amatan penulis tersebut ternyata senada dengan data yang
dipaparkan oleh BPS Kabupaten Raja Ampat tentang jumlah
penduduk di distrik Teluk Mayalibit.
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Distrik Teluk Mayalibit65
Kampung Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Rasio
Warsambin 294 300 594 98 Lopintol 97 74 191 131,08 Kalitoko 223 161 384 138,50 Mumes 50 45 95 111,11
Jumlah 664 580 1.244 114,48
Sumber : Pendataan Potensi Kampung 2013
Pada sub-bab sebelumnya penulis menyampaikan bahwa
perpindahan masyarakat dari kampung Lensok dan Mumes ke
kampung Warsambin dalam program Kampung Gaya Baru,
ternyata memberikan perubahan besar pada kondisi sosial
masyarakat. Perubahan ini semakin nampak terlebih ketika
dibangun akses transportasi darat dari kota Waisai ke ibu kota
distrik Teluk Mayalibit yaitu kampung Warsambin.
65 BPS Kabupaten Raja Ampat, “Statistik Daerah Distrik Teluk Mayalibit 2014”, Hal 4,
Raja Ampat, 2014
Kampung Warsambin Lokasi Penelitian
63
“Sekarang mata pencaharian masyarakat itu nelayan. Padahal dulu tra ada yang nelayan, semua itu tokok sagu. Cari ikan itu hanya untuk makan setiap hari saja tapi tra jual. Karna waktu di kampung lama, Lensok, itu semua hanya hidup dari sagu saja. Dulu itu tong pu makanan pokok itu sagu yang nanti tong olah jadi papeda, sagu kering, sinole. Sisa dari tong pu hasil kebun itu yang tong pi bawa ke Sorong untuk jual akang di pasar. Tapi semenjak tong pindah ke Warsambin sini su jarang yang tokok sagu lagi, semua pi lobe ikan lema.” terang bapa Agus.66
Perubahan pertama yang terjadi dalam masyarakat adalah
berubahnya mata pencaharian masyarakat yang sebelumnya
mereka tokok sagu kini hampir semuanya menjadi nelayan. Alasan
perubahan mata pencaharian masyarakat ini karena 2 hal: yang pertama, jarak dari kampung Warsambin ke kampung lama
(Lensok) yang juga kebun sagu cukup jauh dan hanya bisa
ditempuh dengan menggunakan perahu. Yang kedua, oleh karena
alasan ekonomi yaitu hasil dari penjualan ikan lebih banyak
daripada hasil menjual sagu. Belakangan ini, alasan ekonomi adalah
motif yang paling kuat mendukung perubahan mata pencaharian
dari tokok sagu menjadi nelayan.
Perubahan selanjutnya yang terjadi dan juga dirasakan
masyarakat Kampung Warsambin adalah berubahnya konsumsi
makanan pokok dari sagu ke beras. Perubahan ini mulai dirasakan
semenjak program Kampung Gaya Baru dilaksanakan. Pada
awalnya masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai bahan makanan
pokok yang kemudian diolah menjadi olahan makanan jadi seperti
papeda, sagu kering, sinole. Namun ketika masyarakat
dipindahkan, konsumsi makanan pokok sagu mulai menjadi
berkurang dan beralih ke beras walau tidak serutin seperti
sekarang ini.
66 Wawancara dengan Agus, Sabtu, 17 Januari 2015, Pukul. 15.00 WIT.
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
64
“Sa dari kecil itu orang tua su kasih makan sagu. Torang ini, Sa deng anak-anak pu mama, tong besar cuma dengan makan sagu yang orang tua dong ambil di kebun. Dulu tu juga dirumah itu mo makan nasi itu sangat jarang sekali. Biasa torang makan nasi itu kalau misalnya ada acara-acara besar di kampung. Misalnya acara gereja ka, acara adat, atau pesta nikah. Jadi kadang tu liat beras dalam karung di rumah jarang sekali. Semua makan sagu yang dong bikin jadi macam-macam, ada papeda, sinole, dan sagu kering. Apalagi sekarang ini? Sekarang tong liat sagu yang jarang, setiap hari su makan nasi. Mo pi ke Waisai lebih gampang to, su ada jalan darat. Jadi kapan saja mo beli beras gampang.” tukas Agus.67
Dalam wawancara bersama Agus juga terungkap bahwa,
perubahan yang terjadi pada masyarakat salah satu kontribusinya
adalah ketika Raja Ampat terbuka dan mudah diakses. Hal ini
tebukti dengan apa yang dialami oleh masyarakat di kampung
Warsambin. Ketika kampung Warsambin mulai terhubung dengan
Waisai (ibu kota kabupaten Raja Ampat), perubahan demi
perubahan mulai terjadi. Akses transportasi darat tanpa disadari
memberikan dampak bagi masyarakat Warsambin, terlebih ketika
masyarakatnya belum siap untuk menghadapi setiap perubahan
yang terjadi. Perubahan-perubahan ini bisa memberikan dampak
positif dan negatif, tergantung kearah mana perubahan itu.
Sebenarnya, jikalau mau diperhatikan lebih seksama masyarakat
kampung Warsambin masih termasuk masyarakat tradisional yang
sangat memegang teguh nilai-nilai budaya yang ada. Dialektika
agama dan budaya sangat nampak dalam pengambilan keputusan-
keputusan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat. Pemimpin adat dan pemimpin agama sangat memiliki
peran yang penting dalam kehidupan masyarakat di kampung
Warsambin. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat adalah
hasil pikiran antara pemahaman budaya dan nilai-nilai agama.
Dari nilai-nilai yang berkembang lewat pemahaman
budaya menghasilkan perilaku budaya yang kita sebut dengan
67 Wawancara dengan Agus, Sabtu, 17 Januari 2015, Pukul. 15.00 WIT.
Kampung Warsambin Lokasi Penelitian
65
kearifan lokal. Selain itu pengetahuan lokal yang berkembang di
masyarakat kampung Warsambin didapatkan dengan cara
tradisional seperti membaca fenomena-fenomena alam. Seperti
ketika ingin mengetahui apakah lautan berombak ataukah tidak?
Masyarakat di Kampung Warsambin dapat mengetahuinya dengan
melihat pohon bok (sejenis pohon pinang) yang tinggi dan biasanya
ada di puncak dataran tinggi. Ketika daun dari pohon bok menghempas kencang itu pertanda di laut sedang berombak
kencang. Sampai sekarang ini masyarakat masih hidup dengan
kearifan lokal lainnya yang terwujud dalam produk budaya lokal.
Salah satunya adalah budaya Sasi.
Potensi Kampung Warsambin
Sebagai ibu kota distrik Teluk Mayalibit tentu Kampung
Warsambin memiliki potensi yang kuat untuk menopang
pembangunan Raja Ampat. Untuk melihat potensi apa yang
dimiliki oleh Kampung Warsambin penulis hanya bisa
mendapatkannya lewat pengamatan dan pengalaman ketika berada
di tempat penelitian. Penulis mendefenisikan potensi kampung
adalah suatu daya dalam bentuk materiil dan moriil yang dapat
menunjang pembangunan di kabupaten Raja Ampat dan lebih
khususnya dapat mendatangkan kemakmuran serta kesejahteraan
bagi kemashalatan masyarakat. Dalam amatan dan pengalaman
penulis mendapatkan dua potensi yang dimiliki oleh Kampung
Warsambin. Dua potensi tersebut adalah budaya lokal dan sumber
daya alam. Berikut penulis akan mendeskripsikan potensi-potensi
yang dimiliki Kampung Warsambin:
a) Potensi Wisata Budaya Lokal
Pengalaman dalam melakukan penelitian dan hidup
bersama masyarakat Kampung Warsambin, membawa penulis pada
sebuah pengalaman yang baru. Meninggalkan sejenak hiruk-pikuk
perkotaan ternyata menjadi sebuah pengalaman pribadi yang luar
biasa. Karakteristik masyarakat perkampungan melekat dan
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
66
nampak pada perilaku masyarakat Warsambin. Memegang teguh
nilai-nilai moral yang menjadi pranata kehidupan masyarakat
merupakan sesuatu yang harus dimiliki sebagai masyarakat.
Keteguhan terhadap nilai-nilai moral ini nampak dan terlihat jelas
pada sudut pandang masyarakat untuk melihat relasi antara seorang
manusia dengan leluhur, dengan alam, serta dengan sesama
manusia. Dan juga sudut pandang dalam menyelesaikan suatu
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Demikian pula yang
terjadi dengan masyarakat di kampung Warsambin.
Budaya tradisional sangat kental masih terasakan dalam
kehidupan bermasyarakat di kampung Warsambin. Mulai dari
bagaimana mereka berelasi antar sesama bahkan bagaimana mereka
memperlakukan alam sebagai tempat mereka hidup. Yang pertama
adalah bagaimana mereka memaknai sang pencipta kehidupan dan
alam semesta. Sebelum mengetahui lebih jauh ke dalam, sebagai
informasi bagi para pembaca, pemahaman yang ada pada
masyarakat tidak lepas dari pengaruh masuknya salah satu agama
besar di dunia yaitu Kristen Protestan. Datangnya para penginjil di
kampung Warsambin, Teluk Mayalibit, ternyata memberikan
kontribusi terhadap perkembangan peradaban dan budaya
masyarakat Warsambin. Kontribusi yang paling besar dalam bagi
masyarakat adalah ketika mereka diajarkan untuk lebih
menghargai kehidupan dengan cara memaksimalkan kemampuan
yang dimilikinya untuk berbuat baik bagi sesama dan juga
bertanggungjawab terhadap alam yang sudah diberikan Tuhan bagi
mereka.
Budaya yang adalah hasil cipta, rasa dan karsa, menjadi
potensi yang besar dimiliki oleh masyarakat Kampung Warsambin.
Budaya ini selain dilaksanakan untuk menjaga kestabilan akan
kehidupan, juga agar manusia dapat hidup akur dengan alamnya.
Selain itu budaya yang dibalut dengan cerita-cerita sejarah tempo
dulu dan menyisakan jejak cerita berupa situs-situs khusus
merupakan daya tarik tersendiri untuk dinikmati. Misalnya sebuah
pulau kecil tak berpenghuni yang digunakan sebagai makam para
leluhur.
Kampung Warsambin Lokasi Penelitian
67
Gambar 4.7. Makam Leluhur Di Teluk Mayalibit
(Sumber A.F. Binter)
Selain itu terdapat budaya lokal yang biasa disebut budaya
Sasi. Budaya Sasi adalah pelarangan ambil hasil alam baik yang di
darat dan di laut berdasarkan dengan kesepakatan bersama
masyarakat atau keputusan pemilik hak lahan serta diberlakukan
dalam waktu tertentu. Sasi dalam pelaksanaannya secara substansi
sama dengan proses yang kita sebut dengan konservasi. Dimana
ketika Sasi dilakukan, sama dengan memberikan kesempatan bagi
makhluk hidup seperti tumbuhan dan ikan di laut untuk
bertumbuh dan berkembang. Pelaksanaan Sasi di era sekarang ini
menarik untuk diikuti terlebih ketika semua pemerintahan sedang
berbicara tentang sustainable development (pembangunan
berkelanjutan). Inilah potensi budaya lokal yang kemudian
nantinya bisa diangkat sebagai wisata budaya lokal dari kampung
Warsambin.
b) Potensi Sumber Daya Alam
Seperti yang sudah dijelaskan diatas mengenai geografis
kampung Warsambin memiliki karakteristik masyarakat pesisir
pantai, tentu potensi sumber daya alamnya adalah laut. Ditambah
lagi kampung Warsambin letaknya di pintu masuk Teluk Mayalibit
tempat dimana pertemuan arus antara air dibeberapa aliran sungai
yang terdapat di Teluk Mayalibit dan aliran air laut ketika pasang,
mengakibatkan teluk dipenuhi oleh berbagai spesies ikan. Salah
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
68
satu spesies ikan yang paling banyak ditangkap nelayan dari
kampung Warsambin adalah ikan Lema (Ikan Kembung). Dalam
wawancara penulis bersama salah seorang pengepul ikan asal
Makassar yang berdomisili di Waisai Daeng Agus68, beliau
mengungkapkan bahwa dalam semalam seorang nelayan bisa
menangkap ikan Lema 800-1000 ekor. Dan dijual ke pengepul
seharga Rp. 1000,-/ekor. Ini belum termasuk jenis ikan lain yang
ditangkap oleh nelayan untuk dijual. Selain itu Kampung yang
terletak di Teluk Mayalibit ini ternyata menyimpan puluhan
spesies ikan langka dari ribuan spesies ikan yang hanya terdapat di
perairan Teluk Mayalibit. Ribuan spesies ikan inilah yang menjadi
potensi sumber daya alam laut yang bukan dilihat dari sisi
ekonomis, melainkan juga ditinjau dari kekanekaragaman hayati.
Daya tarik inilah yang mampu mendatangkan ilmuwan dari
seluruh belahan dunia untuk meneliti dibidang perikanan.
Hanya laut saja kah? Tentu tidak. Sekalipun sebagian besar
warga Kampung Warsambin adalah nelayan. Tetapi ketika musim
angin selatan mulai berhembus, kebanyakan warga beralih untuk
berkebun. Mengapa demikian? Pada musim angin selatan bagi
masyarakat di Raja Ampat, itu saat dimana perahu ditambatkan,
karena gelombang di laut mencapai tinggi maksimum dan tidak
disarankan untuk mencari ikan. Potensi yang terdapat di darat pun
bisa menjadi lahan pencarian sementara ketika gelombang di laut
sedang bergelora. Walaupun warga mengakui hasilnya tidak
seberapa karena mereka lebih fokus pada hasil di laut yang secara
hitung-hitungan ekonomi lebih menguntungkan. Itu berbicara
lahan kebun olahan warga, tetapi ketika berbicara hasil hutan
maka jelas Kampung Warsambin juga memiliki potensi hasil hutan
yang tidak sedikit.
Laut dan darat yang menyimpan potensi kekayaan sumber
daya alam yang tidak sedikit. Dibutuhkan pemahaman yang baik
dalam persoalan pemanfaatan sumber daya alam sehingga hasil
sumber daya alam bisa menjadi berguna bagi kemasahalatan orang
68
Wawancara dengan Daeng Agus, 24 Agustus 2011 Pukul 08.00 WIT
Kampung Warsambin Lokasi Penelitian
69
banyak sekaligus juga adanya kesinambungan hasil sumber daya
alamnya.
Ancaman Eksploitasi dan Kerusakan Lingkungan di
Kampung Warsambin Ketika melihat potensi sumber daya alam yang dimiliki
Kampung Warsambin, bersamaan itu pula disadari ada begitu banyak
ancaman terhadap potensi tersebut. Baik itu potensi sumber daya alam
yang ada di laut dan di darat. Secara garis besar ketika melihat ancaman
yang ada, penulis dapat menyimpulkan ancaman itu oleh karena faktor
internal dan eksternal. Berikut penulis akan memaparkan beberapa
ancaman serius selama penulis berada di lapangan.
Penebangan Hutan dari Hutan Produksi kah?
Ketika melakukan perjalanan dari ibu kota kabupaten Raja
Ampat, Waisai sampai ke tempat penelitian di Kampung
Warsambin, penulis menemukan banyak sekali tumpukan-
tumpukan papan kayu (kayu olahan) di pinggiran jalan. Tidak
hanya itu penulis juga melihat ada beberapa tumpukan kayu
gelondongan yang dibiarkan dibahu jalan. Sejenak penulis
memikirkan apakah semua kayu tebangan ini memiliki surat dan
ijin resmi ataukah tidak? Sejenak penulis menunggu disekitar
tumpukan kayu tersebut, berharap bertemu orang yang bisa
ditanyakan perihal kayu-kayu tersebut. Namun setelah ditunggu
lebih dari 1 jam, tak ada satupun orang yang nampak. Sesampainya
Kampung Warsambin, penulis mampir sejenak di kantor distrik
berharap mendapatkan informasi mengenai penebangan tersebut.
Penulis bertemu dengan salah satu seorang pegawai yang
belakangan diketahui adalah seorang Polisi Hutan yang
ditempatkan bekerja di distrik Teluk Mayalibit. Setelah
dikonfirmasi dengan PolHut tersebut, beliau juga tidak mengetahui
bahwa ada beberapa tumpukan kayu gelondongan. Sebab ketika
beliau patroli sehari sebelumnya beliau tidak menemukan seperti
yang saya sampaikan. Sambil beliau berkata : “Saya akan patroli ke
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
70
tempat yang ade bilang. Tapi kalau melihat lokasi yang ade bilang,
sepertinya daerah itu tidak boleh ada penebangan, karena masih
masuk dalam kawasan hutan lindung dan bukan hutan produksi.
Nanti saya cek ade…”.
Terlepas dari apakah kayu-kayu tersebut memiliki surat
ataukah tidak, penebangan hutan tanpa sebuah perencanaan dan
melakukan pemilahan manakah pohon yang sudah bisa ditebang
atau pohon yang tidak boleh ditebang tetaplah menjadi sebuah
ancaman yang serius bagi lingkungan. Memang harus dipahami
Raja Ampat sedang memulai membangun dan membutuhkan
sumber daya alam untuk pembangunan infrastruktur serta
meningkatkan PAD. Tetapi bukan berarti itu harus mengabaikan
ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Terlebih ketika
berhadapan dengan eksploitasi sumber daya alam yang
mengabaikan keberlangsungan sumber daya alam itu sendiri.
Ancaman yang hampir sama juga dapat dilihat ketika
terjadi pembukaan lahan baru, baik untuk pembangunan fasilitas
pemerintah, perumahan ataupun pembangunan tempat usaha.
Apakah semuanya itu dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan analisis dampak lingkungan ataukah tidak?
Rusaknya Terumbu Karang dan Ilegal Fishing
“Kalo dulu iyo, ada yang pake bom ikan deng akar bore untuk tangkap ikan. Sekarang su tra boleh lagi. Karna memang kalo deng bom lebih gampang, tong tra tunggu lama-lama. Tinggal ke laut, cari dimana karang banyak, sudah, lempar bom nanti ikan dong timbul semua” ungkap Marthinus Waropen.69
(Dahulu, ada yang menggunakan bom ikan dan akar boreuntuk tangkap ikan. Sekarang tidak boleh. Karena memang
kalau dengan bom lebih mudah, kita tidak perlu menunggu lama.
Pergi ke laut, lalu carilah dimana banyak karang, kemudian,
69 Wawancara dengan Marthinus Waropen, Kamis 1 September 2011, Pukul. 10.00
WIT.
Kampung Warsambin Lokasi Penelitian
71
bomnya dilempar nanti ikan yang mati akan muncul ke
permukaan). Waropen menceritakan bagaimana perilaku nelayan
lokal melakukan penangkapan ikan yang ternyata memberikan
dampak kerusakan yang besar bagi habitat ikan. Sekalipun
dilarang, ternyata fakta dilapangan masih saja ada oknum-oknum
masyarakat yang melakukan praktek penangkapan ikan dengan
menggunakan bom ikan. Terumbu karang adalah rumah bagi ikan
untuk berkembang biak, penggunaan bom ikan tentu akan merusak
semua ekosistem laut termasuk terumbu karang. Rusaknya
terumbu karang akan jelas sangat mempengaruhi jumlah produksi
ikan. Kuantitas ikan akan berkurang seiring dengan meningkatnya
jumlah kerusakan terumbu karang. Oleh sebab itu kerusakan
terumbu karang merupakan ancaman paling besar yang dirasakan
belakangan ini.Kekhawatiran ini hampir dirasakan diseluruh
bagian kabupaten Raja Ampat termasuk kampung Warsambin di
Teluk Mayalibit.
Sepertinya sumber daya alam laut yang kaya bagaikan dua
sisi mata uang yang tidak terpisahkan dengan illegal fishing. Semakin kaya suatu wilayah perairan maka semakin rentan pula
terjadinya illegal fishing.
Siang itu, 25 Agustus 2011, langit cerah matahari
menampakan kegagahannya dengan sinar dan teriknya. Perairan di
Teluk Mayalibit sangat tenang, terlihat beberapa orang sedang
sibuk di dermaga Pos Conservation International, Side Teluk
Mayalibit. “Ade, torang mo patroli dulu. Mo ikut ka trada?” teriak
seorang diantara mereka kepada penulis. “Ok kaka sa mo ikut” sahut penulis. Speedboat dinyalakan dan bergerak menuju arah
dalam teluk. “Seharusnya tong patroli besok, tapi tadi pagi masyarakat ada yang datang ke pos kasi tau sa kalo subuh tadi ada kapal kecil satu yang masuk ke dalam. Dong tra kenal itu sapa pu kapal. Jadi ini tong mo pi cek dulu” ujar Dortheus Metansan salah
satu petugas CI.
Setelah menempuh perjalanan ± 20 menit dari Pos CI,
terlihat sebuah kapal kecil bermesin dengan cabin tertutup oleh
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
72
terpal. Lalu seorang petugas CI pun berdiri dan menuju ke
anjungan speedboat. Sambil menggunakan Binocular yang
diarahkan ke kapal kecil tersebut, sepertinya ia sedang
mengidentifikasi kapal tersebut dari kejauhan. “Itu bukan masyarakat pung kapal. Itu kapal dari luar. Dong ada buang jangkar itu. Tong merapat…” ujar dia sambil kembali ke bangku dan
mempersiapkan beberapa kertas, yang kemudian penulis ketahui
sebagai form pencatatan laporan patroli. Speedboat patroli pun
mulai merapat secara perlahan mendekati kapal kecil tersebut.
“Selamat siang…” sapa seorang petugas.
“Siang bapa…” sahut seorang diantara mereka. Terdapat 3
orang diatas kapal tersebut. Dari tampilan fisik mereka adalah
nelayan yang berasal dari luar Raja Ampat.
“Bapa dong ada keperluan apa masuk ke Teluk?” tanya
petugas selidik.
“Kita cuma numpang mi bapa, abis diluar ombak besar jadi
kita masuk sini” jawab nelayan tersebut.
“Kalau mau numpang kenapa tidak di kampung saja lebih
aman to? Kenapa harus masuk kedalam sini. Itu dong bawa apa
dalam kabin itu?” selidik petugas seperti melihat ada kejanggalan
dari nelayan ini.
“Ini kita punya ikan hasil tangkap di luar (luar teluk) bapa,
su dalam es bapa” jawab nelayan itu tapi sambil terbata-bata.
“Kami petugas dari CI yang sedang patroli disini. Bapak
memasuki zona No Take Zone, aturannya daerah sini tidak boleh
ada nelayan yang masuk untuk mencari ikan. Kami akan periksa
muatan bapak” sambil menunjuk pada cabin yang tertutup terpal
berwarna biru.
“Ah tidak ada apa-apa ji didalam mi bapa. Cuma ikan mi, yang kita tangkap di luar tadi bapa” jawab nelayan dengan suara
yang bergetar.
Terlambat, karena beberapa petugas lainnya sudah
melompat ke atas kapal tersebut dan langsung membuka cabin
yang dimaksud. Di dalam kabin tersebut memang terdapat hasil
tangkapan mereka. Namun sebagian besar hasil tangkapan tersebut
Kampung Warsambin Lokasi Penelitian
73
adalah ikan yang hidup seperti baru ditangkap. Dan ditemukan
beberapa alat pancing dan jaring yang masih basah. Para nelayan
tersebut sudah tidak bisa mengelak lagi.
“Kamorang angka jangkar dan ikut torang ke pos jaga”
bentak petugas.
Ancaman illegal fishing kini terpampang jelas di depan
mata. Setiap hari semakin bertambah potensi kehilangan ikan
dengan cara yang ilegal. Akankah kampung Warsambin dapat
menghilangkan resiko atas ancaman eksploitasi dan ancaman
kerusakan lingkungan?
Pada bab selanjutnya penulis akan menyampaikan tentang
kearifan lokal yang dimiliki masyarakat kampung Warsambin untuk
melindungi dan memelihara sumber daya laut mereka. Kearifan lokal
tersebut yang kemudian dikenal dengan Budaya Sasi yang sudah hadir
dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu.