kantung tulang _a4_ revisi 2

69
KANTUNG TULANG bungarampai tentang badan jasmani Y.M. Bhikkhu Khantipalo BUDDHIST PUBLICATION SOCIETY KANDY SRILANKA NOT FOR SALE TIDAK UNTUK DIJUAL GIRIMAṄGALÂRAM KEMLOKO – TRAWAS - MOJOKERTA 2011

Upload: chandra-hartanto

Post on 11-Dec-2015

32 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Tulang

TRANSCRIPT

Page 1: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

KANTUNG TULANG bungarampai tentang badan jasmani

Y.M. Bhikkhu Khantipalo BUDDHIST PUBLICATION SOCIETY

KANDY SRILANKA

NOT FOR SALE TIDAK UNTUK DIJUAL

GIRIMAṄGALÂRAM KEMLOKO – TRAWAS - MOJOKERTA

2011

Page 2: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Judul asli: BAG OF BONES A Miscellany on the Body Penulis asli: Yang Mulia Bhikkhu Khantipalo Terbitan 1980 Buddhist Publication Society P.O. Box 61 54, Sangharaja Mawatha Kandy, Sri Lanka The Wheel Publication No. 271/272 Penerjemah: Dharmasurya Bhûmi Mahathera & Muljadi Nataprawira

Page 3: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2
Page 4: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

KATA PENGANTAR DARI PENERJEMAH

Karya Yang Mulia Khantipalo ini disediakan bagi mereka yang hendak berlatih meditasi secara serius dengan menggunakan objek perenungan badan jasmani.

Meditasi dengan menggunakan objek perenungan seperti yang diajarkan oleh Yang Mulia Khantipalo ini secara berangsur-angsur akan membawa kita kepada kemampuan melihat objek secara jelas tanpa kecenderungan untuk menikmatinya. Kemampuan ini sangat membantu pikiran untuk tidak melekat. Ketidak-melekatan merupakan kebebasan di mana setiap ketidak-melekatan yang tercapai akan membuat pikiran semakin bersih dan memberi kesempatan kepada kita untuk lebih banyak terlepas dari kemelekatan.

Sebagaimana diutarakan oleh Yang Mulia Khantipalo di dalam pengantarnya, buku ini lebih banyak ditujukan kepada mereka yang telah mampu berlatih meditasi secara tekun dan bersungguh-sungguh. Dalam semangat yang sama, kami telah berusaha, di dalam batas kemampuan kami, untuk menyampaikan seteliti mungkin buah-buah pemikiran beliau melalui terjemahan ini. Beberapa penyesuaian bentuk kalimat, sehubungan dengan perbedaan kaidah dan gaya antar bahasa, terpaksa kami lakukan demi kejelasan penyampaian gagasan dalam bahasa Indonesia – dengan upaya yang keras untuk tidak menyimpang dari gagasan orisinal beliau. Kendati demikian kami menyadari bahwa pasti saja terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penerjemahan ini dan kiranya akan merupakan kebaikan bagi pembaca untuk mengabarkannya kepada kami.

Dalam kebahagiaan berbagi manfaat dari buku yang berisi pelajaran dan dorongan untuk mengenal kebenaran ini, kami menyampaikan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Buddhist Publication Society, Kandy, Sri Langka yang telah mengijinkan kami untuk menerjemahkan buku ini guna pendistribusian secara cuma-cuma.

Semoga kebahagiaan dalam jangka waktu yang sangat panjang akan menjadi milik semua yang membantu pekerjaan ini. Semoga mereka berhasil mendapatkan semua yang diharapkannya di jalan yang benar. Semoga Buddha, Dhamma dan Sangha melindungi para siswa dari penderitaan batin dan jasmani. Semoga semua mara menjauhinya. Semoga sīla, samādhi dan paññā tertanam di dalam diri mereka hingga tercapainya Nibbāna

Semoga semua makhluk berbahagia

Dharmasurya Bhûmi Trawas, 24 April 2011

Page 5: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

“Para Bhikkhu, Ketiadaan-Kematian tidak akan dicapai oleh mereka yang tidak menegakkan perhatian murni atas badan jasmani; Ketiadaan-Kematian niscaya dicapai oleh mereka yang menegakkan perhatian murni atas badan jasmani.” (A. i, 45) “Kerangka tulang yang terkemas dalam bungkusan kulit ...” (M.82)

Page 6: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Singkatan M. Majjhima-nikāya A. Aṅguttara-nikāya S. Saṁyutta-nikāya B.M. Bacaan Minor (dan Ilustrator) – Khuddaka-pātha

Page 7: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

PENGANTAR Badan jasmani dianggap sebagai 'aku' yang paling jelas, sesuatu yang saya pandang sebagai bagian dari diriku yang paling nyata. Maka terbentuklah pelbagai pandangan tentang badan jasmani, semuanya mengalami distorsi hingga tingkat tertentu, yang menghalangi timbulnya pengetahuan tentang badan jasmani sebagaimana adanya. Buku ini merupakan bungarampai kecil yang menceritakan badan jasmani dalam berbagai cara, dan menyajikan materi yang, apabila direnungkan oleh penyelidik Dhamma yang berkesungguhan dan tulus, akhirnya akan membuahkan pengertian yang bermanfaat dan, dengan demikian, kebebasan dari banyak nafsu dan kecemasan yang berpusat pada badan jasmani.

Nafsu-nafsu keinginan akan pelbagai kesenangan, di mana badan jasmani berfungsi sebagai instrumennya (meskipun di jantung-pikiranlah nafsu-nafsu itu berdiam), membangkitkan dan memperkuat keserakahan dari semua jenis, atas makanan (berupa kerakusan, penerjemah) atau sex (berupa nafsu seksual, penerjemah) misalnya. Keserakahan, yang acapkali diikuti oleh perasaan-perasaan yang menyenangkan dan karenanya diinginkan, memerlukan obat yang agak pahit untuk melawannya: karena itu dihidangkan di sini artikel-artikel tentang ketidak-menarikan badan jasmani, keluruhan dan kematiannya – semua perkara yang tidak menyenangkan. Sebagian, yang mengenai ketidak-menarikan badan jasmani, bagaikan obat yang hanya perlu dikonsumsi ketika penyakit kerakusan-nafsu seksual sedang aktif, dan setelahnya mungkin tidak lagi diperlukan. Penting untuk memahami hal ini, dan untuk tidak membentuk kesan yang salah bahwa Sang Buddha menganjurkan agar semua kecantikan dipandang sebagai hal yang menjijikkan. Namun ada buku mengenai kecantikan yang memerangi keserakahan di dalam hati orang itu sendiri dan membuahkan makin dan makin banyak komplikasi dan kesukaran.

Pelbagai kecemasan berpusat di sekitar keluruhan-penuaan, penyakit dan kematian. Hal-

hal itu tidak dapat diatasi dengan berpura-pura seakan-akan hal-hal itu tidak ada, bagaikan burung unta yang dikatakan membenamkan kepalanya ke dalam pasir ketika dihampiri musuh-musuhnya. Hanya dengan secara tegas menghadapi ciri-ciri kehidupan yang tak terelakkan ini orang bisa mendapatkan pandangan terang dan pembebasan dari kecemasan.

Ajaran Sang Buddha tentang perenungan atas badan jasmani ditujukan kepada mereka

yang mampu, melalui corak-kehidupan mereka, mempraktikkannya. Pengertian ini berlaku untuk para bhikkhu dan bhikkhuni, serta umat awam yang berbakti. Para bhikkhu dan bhikkhuni telah memperoleh perenungan ini dari Guru-guru mereka pada waktu kepergian mereka meninggalkan rumah menuju kehidupan tanpa-rumah, dan mereka memerlukan obat semacam itu untuk memerangi nafsu, yang bersifat merusak terhadap Kehidupan Suci selibat. Umat awam yang menegakkan Lima Sīla memandang kepuasan dengan pasangan hidup mereka sebagai bagian yang penting dari praktik (latihan) mereka. Sex merupakan

Page 8: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

bagian yang alami dari kehidupan mereka namun tetap harus dikendalikan dan dijaga di dalam batas-batas Sīla Ketiga. Jika tidak, betapa banyak kesulitan akan terjadi! Namun beberapa dari mereka mungkin mengharapkan kehidupan tanpa kasih sayang seksual, dan ini tidak dapat dilaksanakan di dalam jalan Dhamma dengan mengabaikan daya (kekuatan) perangsang seksual, atau dengan menekannya. Hanya dengan perhatian murni atasnyalah ia bisa diatasi. Aspek perhatian murni yang diperlukan untuk itu merupakan pokok, atau lebih merupakan pokok-pokok yang saling bertautan dari buku ini.

Di dalam dunia sekarang, manusia menjadi sasaran bombardemen sensualitas yang

dilancarkan melalui media massa. Sex digunakan teristimewa sebagai umpan penjualan, dan sebagai perangsang pengalaman panca indra. Apabila pencecaran ini diteruskan, kekotoran-kekotoran batin, khususnya nafsu seksual, kerakusan dan kemelekatan, pasti menguat. Maka setelah ini terjadi, yang dihasilkan bukanlah bertambahnya kebahagiaan, melainkan sekedar peningkatan dukkha, penderitaan, persoalan dan pelbagai kesukaran. Obat untuk menanggulangi kegemaran yang berlebihan dan rangsangan yang berlebihan semacam itu tersedia di dalam buku ini.

Dikatakan bahwa pelajaran meditasi ini merupakan suatu yang unik pada Ajaran Buddha

dan bahwa di tempat lain tidak secara jelas diajarkan. Ini tidak mengherankan karena kita mengetahui bahwa keinginan kadang-kadang diterima sebagai sesuatu yang “alamiah”. Selama keinginan dipandang sebagai sesuatu yang “alamiah”, artinya, merupakan karakteristik yang tak terpisahkan dari sifat-dasar atau diri sesorang, tidak banyak yang bisa dilakukan terhadapnya. Namun Sang Buddha telah mengurai keinginan atas yang sehat (mempraktikkan Dhamma, misalnya) dan yang tak sehat, seperti kerakusan dan nafsu seksual. Mereka pun mungkin tidak mencolok, seperti pada kasus meditator yang serakah akan kebahagiaan, atau penglihatan-penglihatan, dan melekat pada hal-hal semacam itu. Sang Buddha telah menyediakan obat untuk semua keinginan yang tak sehat, dan bersesuaian dengan berbagai cara hidup kita, kita dapat menggunakannya untuk menjalani pengobatan secara parsial atau keseluruhan.

Apabila perhatian sangat banyak tercurahkan pada sensualitas, kemudaan dan

kecantikan sebagaimana yang kita jumpai pada masa sekarang, sisi-sisi gelap kehidupan terkesampingkan dan pelbagai upaya, yang tak pernah berhasil, dilakukan untuk menyembunyikannya. Mereka yang mencoba melakukan hal itu tidak akan senang dengan latihan-latihan perenungan atas badan jasmani yang terkandung di dalam Ajaran Buddha. Hal-hal semacam itu terlihat abnormal dan tak wajar bagi mereka. Namun hal-hal itu juga merupakan bagian dari kehidupan ini dan tidak boleh diabaikan. Dan apabila upaya dilakukan untuk mengabaikan hal yang tidak menyenangkan tentang badan jasmani, cepat atau lambat, seseorang akan terguncang karena sentakan kenyataan atas hal-hal ini. Guncangan semacam itu tidak menyenangkan. Daripada memungkirinya hingga seseorang dipaksa untuk

Page 9: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

mengetahui sisi-sisi yang tidak menyenangkan dari badan jasmani, akan lebih baik apabila ia secara berangsur-angsur memperkenalkan pengetahuan ini kepada emosinya.

Dalam semangat inilah KANTUNG TULANG diterbitkan. Sayangnya, sebagai satu buku

semata ia tak dapat memberikan petuah yang bersifat pribadi atas masalah-masalah yang bersifat khusus. Ia hanya dapat menawarkan beberapa garis pedoman yang bersifat umum kepada mereka yang berminat untuk menaklukkan kerakusan dan nafsu seksual mereka. Peringatan: meditasi atas ketidak-menarikan badan jasmani bisa berdaya-kerja sangat keras dan hanya boleh dilakukan secara berhati-hati dan tidak berlebihan apabila seseorang tidak memiliki hubungan pribadi dengan seorang Guru meditasi Buddhis. Jika ketakutan dan kegelisahan, atau keadaan-keadaan emosional tak sehat ekstrem lainnya muncul setelah mempraktikkan meditasi tersebut, maka lebih baik menghentikannya dan beralih ke meditasi Cinta-kasih (mettā) atau Perenungan tentang Buddha (Buddhanussati).

Buku ini, karenanya, tidak terlalu banyak ditujukan kepada pemula dalam Buddhisme

namun lebih banyak ditujukan kepada mereka yang telah berlatih selama beberapa waktu. Semoga buku ini membangkitkan semangat banyak orang untuk mempraktikkan Dhamma secara lebih tekun dan bersungguh-sungguh!

Terjemahan-terjemahan yang tanpa nama penerjemah merupakan hasil rangkuman

penulis. Dan semua renungan, dialog dan syair lainnya juga merupakan hasil karyanya, dan ditulis ketika terpikir olehnya, sebagian besar di Pertapaan Hutan Y.M. Nyanaponika Mahathera di luar Kandy. Perkenankan juga saya di sini menyampaikan penghargaan kepada beliau atas kebaikannya dalam memberikan saran dan bantuan hingga tercetaknya rangkuman ini.

BHIKKHU KHANTIPALO

WAT BUDDHA-DHAMMA Forest Meditation Centre Ten Mile Hollow Wiseman’s Ferry. N.S.W. 2255 Australia

Page 10: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

KANTUNG TULANG

1 “O, para Bhikkhu, ada suatu dhamma, yang apabila dikembangkan dan terus dilatih, akan

menuntun ke pengertian yang luhur atas hal yang mutlak perlu, ke manfaat (hal baik) yang luhur, ke kebebasan mulia dari perbudakan (nafsu), ke perhatian mulia dan kesadaran penuh, ke pencapaian pengetahuan dan pandangan terang, ke kebahagiaan yang tak kunjung padam di sini dan sekarang, ke realisasi hasil dari pandangan benar dan pembebasan. Dhamma apakah itu? Ialah perhatian murni (kesadaran penuh) atas badan jasmani.

(A. I. 43, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli)

2

Faedah Perhatian Murni atas Badan Jasmani

1. Siswa menaklukkan ketidak-sukaan dan kesukaan, 2. Dan juga rasa cemas dan takut. 3. Selain itu, siswa dapat menahan rasa dingin dan panas, lapar dan haus, hal-hal yang

menyusahkan di dunia, kata-kata kasar dan perasaan-perasaan yang menyakitkan. 4. Siswa meraih keempat jhana, 5. Dan kemampuan adikodrati, 6. Unsur telinga dewa (daya dengar yang melampaui batas duniawi), 7. Pengetahuan akan pikiran orang lain, 8. Dan akan semua kehidupan lalu seseorang, 9. Dan di samping itu, melihat bagaimana makhluk-makhluk muncul dan mati seiring

kamma mereka. 10. Akhirnya, siswa memasuki kedua pelepasan (dari batin dan dengan kebijaksanaan)*,

dan semua noda (āsava) terhapus.

(M. 119, Perhatian Murni atas Badan Jasmani) * Kayagata-sati Sutta: “Melalui pemusnahan kekotoran-kekotoran batin, ia berdiam di dalam kelepasan-kesadaran dan kelepasan-pandangan terang (kebijaksanaan) di mana ia bebas

Page 11: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

dari kekotoran, setelah mengetahui dan membuat kedua kelepasan itu terang bagi dirinya sendiri persis di sini dan pada saat ini juga. Penerjemah.

3

“Setelah mengembangkan dan terus menerus melatih perhatian murni atas badan jasmani, ia menjangkau segala dhamma (keadaan-keadaan mental) bermanfaat yang ada yang mengikuti pengertian benar (vijjā).

“Bagaikan seseorang yang membentang pikirannya hingga mencakup samudra yang

luas telah menjangkau sungai mana pun yang mengalir ke samudra itu, demikian pula, seorang siswa yang telah mengembangkan dan terus menerus melatih pehatian murni atas badan jasmani telah menjangkau segala dhamma bermanfaat yang ada yang mengikuti pengertian benar.”

(M. 119, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli – terevisi)

4

Pengetahuan Pandangan Terang

“Badan jasmaniku ini terdiri dari empat unsur besar, dihasilkan oleh sepasang ayah dan ibu, dibangun dari nasi dan roti, membawa sifat hakiki ketidak-kekalan, kelapukan dan keterkikisan, ketercerai-beraian dan kehancuran, dan kesadaranku ini memiliki badan jasmani ini karena didukung olehnya dan terikat dengannya.”

(M. 77, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli)

5

Nah, badan jasmani yang berbentuk materi ini terdiri dari empat unsur besar, dihasilkan oleh sepasang ibu dan ayah, dan dibangun dari nasi dan roti, membawa sifat hakiki ketidak-kekalan, kelapukan dan keterkikisan, ketercerai-beraian dan kehancuran. Ia harus dipandang

sebagai tidak kekal – sebagai (penyebab) penderitaan, sebagai penyakit – sebagai kanker, sebagai anak panah – sebagai malapetaka, sebagai kemalangan – sebagai orang asing,

Page 12: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

sebagai keluluh-lantakan – sebagai kehampaan, sebagai tanpa diri. “Dengan memandang badan jasmani secara demikian, seorang siswa membuang

nafsunya terhadap badan jasmani, kecintaannya terhadap badan jasmani, dan kebiasaannya memperlakukan badan jasmani sebagai acuannya.” *

(M. 74, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli)

* atau “kebiasaan menurut kepada badan jasmani, bergantung pada badan jasmani”.

6

Engkau hidup dengan “menurut kepada badan jasmani”? Makan ketika ia lapar, beristirahat ketika ia capai, berdandan bila perlu, kencing, berak, bekerja mencari uang – semua itu untuk apa? Untuk badan jasmani inikah? Lalu bagaimana bila kematian datang? Untuk apakah semua itu?

7 Berapa banyak waktu yang engkau habiskan untuk badan jasmanimu – untuk memberinya makan – untuk mengenakannya pakaian, untuk membersihkannya – untuk membasuhnya, untuk mempersoleknya – untuk mengendurkan ketegangannya, untuk mengistirahatkannya? Berapa banyak waktu yang engkau pergunakan untuk pikiranmu?

8 Tiga hal yang tidak pernah kita lupa kerjakan untuk badan jasmani: membersihkannya, memberinya makan, mengobatinya. Tiga hal yang biasanya kita lupa kerjakan untuk pikiran: membersihkannya (dengan kemurnian meditasi ketenangan),

Page 13: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

memberinya makan (dengan Dhamma yang baik), mengobatinya (dengan pehatian murni menyembuhkan diri kita sendiri dari penyakit

keserakahan, ketidak-sukaan dan pandangan salah, dengan obat Dhamma yang tiada taranya).

Pikiran menjadi kotor dan perlu dibersihkan, pikiran menjadi lapar dan memerlukan

makanan bergizi, dan pikiran hampir selalu dihinggapi penyakit dan memerlukan penyembuhan.

Mengapa kita sedemikian pelupanya terhadap kepentingan kita sendiri?

9

Kepuasan dan Bahaya pada Wujud (Badan Jasmani) “Apakah kepuasan dalam hal wujud (badan jasmani) itu?” “Misalkan ada seorang gadis dari kasta ksatria atau kasta brahmana atau keturunan

perumah tangga, pada usia lima belas atau enam belas tahun, tidak terlalu tinggi dan tidak juga terlalu pendek, tidak terlalu kurus dan tidak juga terlalu gemuk, tidak terlalu hitam dan tidak juga terlalu putih: Bukankah dengan demikian kecantikan dan kemolekannya tengah berada pada puncaknya?”

“Ya, Sang Bhagava.” “Nah, kesenangan dan kegembiraan yang timbul dalam ketergantungan pada kecantikan

dan kemolekan itu adalah kepuasan dalam hal wujud. “Dan apakah bahaya dalam hal wujud itu?” “Di kemudian hari seseorang mungkin melihat bahwa wanita yang sama pada usia

delapan puluh, sembilan puluh atau seratus tahun, jompo, bongkok melengkung, meringkuk, berjalan tertatih-tatih dengan bantuan tongkatnya, lemah, masa muda telah meninggalkannya, giginya tanggal, rambutnya memutih, menipis dan habis, kulitnya berkeriput, dengan anggota badan penuh bisul: Bagaimanakah kalian memandang hal ini, O, para Bhikkhu, bukankah kecantikan dan kemolekannya yang dulu itu telah hilang dan bahaya sekarang terlihat jelas?”

“Ya, Sang Bhagava.” “O, para Bhikkhu, ini adalah bahaya dalam hal wujud.”

Page 14: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

(M.13, “Maha Dukkha Khanda Sutta”, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M.

Nyanamoli) N.B. Wanita yang membaca ini mesti mengubah jenis kelamin orang tersebutdi atas.

10

Renungan atas Badan Jasmani oleh Bekas Pelacur yang Cantik, yang kemudian menjadi Arahat Bhikkhuni Ambapāli

Hitam (dulu) warna rambutku, sehitam warna lebah, bergelung pada ujungnya; seiring dengan penuaan usia, ia kini menyerupai serat rami – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran*. Harum rambutku, penuh dengan bunga bagaikan kotak parfum; seiring dengan penuaan usia, ia kini berbau bulu anjing – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Tebal bagai belukar yang terawat baik dan sedap dipandang bersama sisir, jepitan dan belahan rambut; seiring dengan penuaan usia, ia kini menjadi tipis di sana sini – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Terkepang rapi, terhias, lebat hitam diperindah dengan emas; seiring dengan penuaan usia, kepala kini menjadi botak – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Alis mataku seakan hasil lukisan indah seniman; seiring dengan penuaan usia, ia kini berkerunyut, melorot ke bawah – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Berkelap-kelip dan cemerlang bagai permata, hitam dan panjang mataku; seiring dengan penuaan usia, tiada lagi keindahan yang dulu meliputinya – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Mancung, indah dan lembut hidungku; seiring dengan penuaan usia, ia kini terjumbai – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran.

Page 15: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Indah cuping telingaku dulu, bagaikan gelang hasil kerajinan yang baik dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh; seiring dengan penuaan usia, mereka kini berkerunyut, melorot ke bawah – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Indah gigiku ketika itu, berona kuntum pisang raja, seiring dengan penuaan usia, mereka tanggal dan menguning – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Manis terdengar nyanyianku, bagai suara tekukur di hutan belukar; seiring dengan penuaan usia, suaraku kini terpatah-patah – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Dulu leherku indah, mengkilap bagai kulit kerang; seiring dengan penuaan usia, kini ia meluruh dan berlipat-lipat – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Padat berisi lenganku sehingga terlihat indah; seiring dengan penuaan usia, kini mereka lunglai bagai tumbuhan yang merambat – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Terhias dengan emas dan cincin yang terukir halus, cantik sekali tanganku; seiring dengan penuaan usia, mereka persis seperti akar-akar yang kusut dan berbelit – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Padat dan bulat buah dadaku, berdekatan satu sama lain, indah dan mempesona; kini mereka terjumbai, menggantung kempis bagai kulit kantung air yang tidak berisi air – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Kuning langsat tubuhku hingga tampak bagai lempeng emas yang dipernis dengan baik; sekarang ia terliput seluruhnya oleh keriput-keriput yang sangat halus – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Kedua pahaku indah bagai belalai gajah; seiring dengan penuaan usia, mereka kini seperti batang-batang bambu – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Elok kakiku terhiasi gelang kaki emas yang indah; seiring dengan penuaan usia, mereka kini seperti ranting wijen – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran.

Page 16: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Seakan dipenuhi bulu burung, indah sekali kakiku; seiring dengan penuaan usia, kini mereka retak dan berkeriput – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran. Begitulah gugusan ini; sekarang menjadi jompo, tempat kediaman dukkha, rumah tua dengan plesternya yang berguguran – tidak lain dari inilah kata-kata Sang Pembabar Kebenaran.

(Therigatha, 252-270) * Sang Pembabar Kebenaran (yang menuturkan kebenaran tentang ketidak-kekalan) adalah Sang Buddha.

11

“Wahai para Bhikkhu, terus renungkan keburukan yang terdapat pada badan jasmani, lihat hal yang menjijikkan pada makanan, lihat mengecewakannya semua di dunia ini, renungkan ketidak-kekalan pada semua bentukan.”

(M.50, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli)

Secara langsung ini bertentangan dengan jalan dunia yang: memandang keindahan pada

badan jasmani atau dengan cara apa saja menyembunyikan keburukannya, menggemari makanan baik lahiriah maupun batiniah, terpikat dengan (keindahan) dunia (dan melupakan sisi lainnya), dan menganggap bentukan-bentukan mental sebagai dasar bagi diri atau jiwa yang kekal.

12 Rohitassa, seorang dewa: “Sang Bhagava, apakah akhir dunia – di mana tidak ada kelahiran, penuaan dan

kematian, ataupun kelenyapan dan kemunculan kembali – bisa diketahui atau dilihat atau dicapai dengan pergi ke sana?”

Sang Buddha:

Page 17: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

“Kawan, bahwa ada akhir dunia di mana tidak ada kelahiran, penuaan dan kematian, ataupun kelenyapan dan kemunculan kembali yang bisa diketahui atau dilihat atau dicapai dengan pergi ke sana – saya tidak pernah mengatakannya. Namun tidak juga saya mengatakan bahwa ada pengakhiran penderitaan tanpa pencapaian akhir dunia. Tetapi lebih di dalam tubuh sepanjang 1,8 meter dengan persepsi-persepsi dan pikirannya inilah saya melukiskan dunia, asal-usul dunia, pengakhiran dunia, dan jalan menuju pengakhiran dunia.”

(S.II 36, A. IV. 46, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli)

13 Tumpukan dari begitu banyak kecabulan yang tengah berlangsung membawa efek yang

kita lihat, ekspresi kerakusan dan nafsu seksual yang terbuka dan meningkat. Teknik-teknik meditasi, yang dapat menyembuhkan kita dari penyakit-penyakit ini, semuanya merupakan aspek-aspek tersendiri dari perhatian murni yang berkaitan dengan badan jasmani – karena teknik-teknik itu memangkas takaran kebutuhan badan jasmani, tanpa menimbulkan kerugian pada badan jasmani, seraya menekankan pentingnya pikiran.

14 Perenungan atas ketidak-menarikan badan jasmani bukanlah meditasi yang populer.

Orang senang mencoba melepaskan diri dari kemarahan dan kebencian karena kedua hal itu menyakitkan. Ini bisa dilakukan melalui meditasi-meditasi pengembangan cinta kasih (mettā) yang terkenal itu. Namun meditasi atas sifat-dasar badan jasmani ini menumpulkan nafsu-nafsu yang berakar pada keserakahan – dan keserakahan kerapkali berkaitan dengan kesenangan. Dan bukankah melulu tentang kesenangan kehidupan ini berkisar?

Terjerat kuat oleh Māra – Pembawa Kematian dan Raja alam kenikmatan nafsu!

15 Jika badan jasmani tidak dibersihkan, ia akan mengundang lalat dan kutu yang hidup

darinya. Jika pikiran tidak dimurnikan, tetapi dipenuhi nafsu, kebencian dan khayalan, apa gerangan yang akan diundangnya ...?

Page 18: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

16 Badan jasmani ini demikian dekatnya, namun bagaikan benua yang belum dijelajahi.

Wilayah-wilayah luas di dalamnya merupakan tanah kosong. Sementara itu, kerakusan, nafsu seksual dan keinginan mendekam dengan aman di dalam rimba kebodohan.

17 Sikap manusia terhadap badan jasmani cenderung terombang-ambing di antara ekstrem

menuruti nafsu-nafsu yang berkaitan dengan badan jasmani dan ekstrem mematikan hawa nafsu.

Jalan tengah berupa perhatian murni terhadap badan jasmani tidak diketahuinya.

18 Apabila nafsu-nafsu yang berkaitan dengan kesenangan-kesenangan jasmaniah

dibiarkan, yang berarti bahwa keserakahan menguasai pikiran, tiada lain hanyalah perasaan ketidak-senangan yang kuat (aversion) yang akan muncul jika maksud dan tujuan seseorang dihalangi; tetapi apabila seseorang telah menjalankan metode disiplin-diri tertentu tanpa tuntunan kebijaksanaan (paññā), maka nafsu-nafsu yang ditindas akan melawan tidak hanya dengan menimbulkan perasaan ketidak-senangan yang kuat tetapi juga siksaan jasmaniah. Seakan badan jasmani merupakan penyebab (!), orang mendisiplinkan badan jasmaninya pada pelbagai “tata tertib” dan beragam aturan yang keras untuk, mereka pikir, mengendalikan nafsu-nafsu yang kuat. Maka perasaan ketidak-senangan yang kuat, yang lebih kurang merupakan bentuk halus dari kebencian terhadap diri sendiri, merajalela dan pelbagai penderitaan meningkat. Nafsu tidak pernah dapat dikuasai dengan cara seperti itu, dengan melulu ditindas. Satu-satunya jalan untuk menguasai nafsu ialah perhatian murni, dan berbagai latihan pada perhatian murni atas badan jasmani diperuntukkan bagi tujuan ini.

19 Sedikit sekali makhluk, dalam segala hal di dunia sensualitas ini, yang tidak menderita

karena nafsu. Itu merupakan penyakit pikiran yang berbahaya, suatu epidemi yang tanpa awal dan tanpa akhir yang terlihat bagi sebagian besar makhluk. Orang bijaksana ingin sembuh dari penyakit ini dan Sang Buddha menawarkan obatnya berupa perenungan atas ketidak-menarikan badan jasmani orang itu sendiri. Seorang siswa jangan mencoba melihat

Page 19: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

kejelekan atau yang menjijikkan pada orang lain. Ini dapat mengarah ke kebencian – bahkan walau pun tidak, itu dapat membuahkan sikap “anggur masam” * terhadap mereka. Terhadap yang lain peliharalah salah satu dari empat Keadaan Mental Luhur: cinta kasih, belas kasihan, kegembiraan simpati, atau keseimbangan, tetapi terhadap nafsu-nafsu keinginan diri semdiri, kembangkan pandangan tentang ketidak-menarikan.

* Terjemahan dari “sour grapes” yang merupakan ekspresi yang berasal dari Fabel Aesop “The Fox and the Grapes”. Ekspresi itu mengacu ke lagak, terutama kepura-puraan seakan tidak menyukai sesuatu yang tidak dimiliki atau tidak dapat dimiliki. Penerjemah.

20 Cinta kasih sejati, yang tak lain adalah mettā yang sejuk tanpa keterikatan, dan belas

kasihan atas penderitaan orang lain, tidak akan tumbuh bila orang bertautan dengan keserakahan dan nafsu jasmaniah.

21 Ketika nafsu seksual muncul di dalam pikiran, yang dengan demikian meningkatkan

pengotoran batin, menyalakan lebih banyak bara api nafsu lanjutannya, pergilah saja melihat-lihat pada toko daging dari badan jasmani ini. Adakah sesuatu yang menarik dari daging merah? Adakah yang secara khusus memikat pada tulang putih? Ataukah “isi perut” yang berbelit-belit itu menggiurkan? Nafsu seksual segera menghilang apabila badan jasmani dipandang secara demikian. Dengan mengulang-ulang latihan ini, nafsu seksual akan semakin melemah dan lebih jarang timbul.

22 “... tak seorang pun yang secara sungguh-sungguh meneliti secara menyeluruh segenap

tubuh sepanjang 1,8 meter ini, mulai dari telapak kaki ke atas, mulai dari ujung atas rambut ke bawah, dan mulai dari kulit yang meliputinya, pernah melihat bahkan atom kemurnian yang terkecil sekalipun di dalamnya seperti mutiara atau kristal atau beril atau gaharu atau cendana atau kamper atau bedak talek, dll; sebaliknya, ia tidak melihat apa pun selain berbagai jenis kotoran, yang berbau tak sedap menusuk hidung dan terlihat menjijikkan, yang terdiri dari rambut kepala, bulu badan, dan semua lainnya.”

Page 20: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

(B.M., iii, 4, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli)

23

Tiga Puluh Dua Bagian Badan Jasmani Latihan perhatian murni atas badan jasmani ini dapat dimulai dengan membacakan

kutipan ini: “Atas badan jasmani yang ini juga, yang, dari telapak kaki ke atas, dari pucuk kepala ke

bawah, terbungkus kulit, penuh dengan beraneka ragam kotoran, ia melakukan pengkajian dalam cara ini:

“Inilah yang terdapat pada badan jasmani ini –

Kesā - rambut kepala Lomā - bulu badan Nakhā - kuku Dantā - gigi Taco - kulit Mamsaṁ - daging Nahāru - urat Aṭṭhi - tulang Aṭṭhimiñjaṁ - sumsum tulang Vakkaṁ - ginjal Hadayaṁ - jantung Yakanaṁ - hati Kilomakaṁ - selaput lendir Pihakaṁ - limpa Papphāsaṁ - paru-paru Antaṁ - usus besar Antagunaṁ - usus halus Udariyaṁ - tenggorokan Karisaṁ - tahi Pittaṁ - empedu Semhaṁ - dahak Pubbo - nanah Lohitaṁ - darah Sedo - keringat Medo - gajih

Page 21: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Assu - air mata Vasā - lemak Khelo - ludah Siṅghānikā - ingus Lasikā - minyak persendian Muttaṁ - air kencing

(ditambah “otak di dalam tengkorak” untuk menggenapi jumlahnya menjadi 32 bagian). “Atas badan jasmani yang ini juga, yang, dari telapak kaki ke atas, dari pucuk kepala ke

bawah, terbungkus kulit, penuh dengan beraneka ragam kotoran, ia melakukan pengkajian dalam cara itu.”

(M. 10, Satipaṭṭhāna Sutta, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli)

24 Tidak ada kejijikan-terhadap-diri-sendiri yang tak sehat ataupun perasaan ketidak-

senangan yang kuat di sini, dengan sekedar melihat hal yang tidak-menarik sebagaimana adanya. Tetapi belakangan ini banyak guru (seperti Shāntideva dalam tulisannya Bodhicaryāvatāra)* telah mengarah ke ekstrem dalam masalah ini. Dalam kasus semacam itu seorang siswa harus menaruh syak bukan terhadap kenetralan yang sewajarnya berkenaan dengan badan jasmani melainkan terhadap nafsu seksual yang bejat. Nafsu seksual dapat secara cepat beralih ke perasaan ketidak-senangan yang kuat dan kebencian. * Banyak ayat di dalam Bab VIII karyanya itu yang memang “menjijikkan”.

25 Sungguh luar biasa bahwasanya lima bagian pertama pada daftar ini – “orang” yang kita

lihat – semuanya mati! Rambut kepala dan bulu badan yang hidup hanya pada akar-akarnya, kita lihat sebagai benda mati. Kuku-kuku yang kita lihat merupakan kuku-kuku mati, daging di bawahnya menyakitkan dan tersembunyi. Gigi, bagiannya yang terlihat, semuanya mati, dan akar hidupnya yang peka itu, dari waktu ke waktu, hanya memberikan pengalaman yang menyakitkan kepada kita. Kulit luar itu mati – mengerikan seandainya tidak mati, karena ia sudah cukup sensitif. Kulit hidup di bawahnya lebih menyakitkan.

Maka jika kita tergiur pada bentuk visual (badan jasmani orang lain), kita terangsang

karena impresi-impresi* dari sesuatu yang telah mati. Aneh bahwasanya kita tergiur oleh

Page 22: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

sesuatu yang mati pada bagian luarnya dan hampir mati pada bagian dalamnya! Namun, penggoda yang sesungguhnya berada di dalam pikiran kita sendiri: pikiran-pikiran berahi yang muncul di situ dan membuat mayat di depan kita tampak memikat.

Terlepas dari ini, badan jasmani yang hidup dan badan jasmani yang mati berbeda hanya pada predikatnya. Nafsu seksual tercurah hanya pada badan jasmani. Namun cinta kasih dan belas kasihan membawa kepedulian terhadap kesejahteraan batin dan jasmani manusia. * efek atau pengaruh yang dalam terhadap pikiran atau perasaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Penerjemah.

26

Sewaktu melihat seorang “manusia”, kita melihat hanya lima bagian pertama dari ketiga

puluh dua bagiannya: rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi dan kulit. Sementara rambut kepala memiliki warna dan bentuk tertentu, bulu badan ada atau tidak ada bersesuaian dengan jenis kelamin dan ras, kuku-kuku terpotong dan telah dibersihkan, gigi berona putih, mulus mengkilap dan tak satu pun yang tanggal, dan kulit tercuci bersih dan mulus tanpa parut bekas luka ataupun kerut dan membungkus daging dengan bentuk-bentuk tertentu – ketika semua kondisi ini terpenuhi, timbullah nafsu!

Tapi bagaimana dengan rambut atau bulu-bulu yang telah memutih atau telah putih pada

kepala atau badan – tipis atau jarang dan berserakan, kuku yang retak, kotor dan telah rusak, gigi yang kuning atau sebagian besar tanggal, dan kulit yang keriput dan penuh bisul? Siapakah yang akan tergiur?

27 Menatapi mayat-mayat sebagaimana dianjurkan oleh Bhadantācariya Buddhaghosa

dalam ulasannya yang berjudul “Jalan Pemurnian” tidak benar-benar tepat menuju sasaran. Seseorang harus, di dalam batinnya, menatapi mayat ini untuk secara penuh menjalaninya.

Dan ia memberikan banyak penjelasan yang terlalu rumit dalam uraian-uraiannya tentang

cara menjalani latihan aktual, yang tidak memerlukan banyak kategori dan analisis, atau hal-hal yang untuk dipelajari melalui batin. Ini berlaku untuk meditasi atas mayat maupun atas ketiga puluh dua bagian badan jasmani.

Page 23: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Pada kasus meditasi atas ketiga puluh dua bagian badan jasmani, hanya beberapa bagian saja yang diperlukan untuk ulangan dan penilikan, dan bahkan satu bagian saja sudah cukup jika pikiran seseorang berkelana. Kesederhanaan dan kelangsungan (directness) menghentikan kerancuan pandangan – dan meninggalkan pandangan-pandangan itu merupakan jalan masuk ke meditasi.

28

Meditasi atas Tulang Belulang

“Tulang belulang dalam suatu pola yang tertata dalam kedudukan ujung bertemu ujung

dengan banyak sendi, yang pembentukannya tidak bergantung pada siapa pun;

dengan otot-otot yang menjaga kesatuannya, yang terancam bahaya penuaan,

tanpa mengetahuinya sama sekali, tak ubahnya seperti wayang golek yang terbuat dari kayu

(B.M., iii 22)

29

Perenungan atas Badan Jasmani: Meditasi Tanah Pembuangan Mayat

“Sekali lagi, seorang bhikkhu merenungi badan jasmani yang sama ini seakan-akan ia

sedang menatapi sisa-sisa badan jasmani yang tercampak di atas tanah pembuangan mayat, tulang-tulang tanpa urat daging yang berserakan di segala penjuru:

di sini sepotong tulang tangan, di situ sepotong tulang kaki, di sana sepotong tulang kering, di sana sepotong tulang paha, di sana sepotong tulang pinggul, di sana sepotong tulang punggung, di sana sepotong tulang rusuk, di sana sepotong tulang dada, di sana sepotong tulang lengan, di sana sepotong tulang bahu, di sana sepotong tulang leher, di sana sepotong tulang rahang, di sana sepotong tulang gigi, di sana sepotong tulang tengkorak.

Page 24: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Badan jasmani ini juga memiliki sifat alami yang sama, ia akan menjadi seperti itu, ia tidak dikecualikan dari hal itu!

Melalui cara ini ia berdiam di dalam perenungan atas badan jasmani sebagai badan

jasmani bagian dalam, atau ia berdiam di dalam perenungan atas badan jasmani sebagai badan jasmani bagian luar atau ia berdiam di dalam perenungan atas badan jasmani sebagai badan jasmani bagian dalam dan bagian luar. Atau kalau tidak, ia berdiam di dalam perenungan atas faktor-faktor kemunculan badan jasmani, atau ia berdiam di dalam perenungan atas faktor-faktor kelenyapan badan jasmani, atau ia berdiam di dalam perenungan atas faktor-faktor kemunculan dan kelenyapan badan jasmani.

Atau kalau tidak, kesadaran perhatian-murni bahwa 'Ada sesosok badan jasmani' bisa

secara sungguh-sungguh ditegakkan di dalam dirinya hingga tingkat pengetahuan pandangan-terang dan daya ingat murni (atasnya), seraya ia berdiam di dalam kebebasan, tanpa kemelekatan terhadap apa pun di dunia ini.”

(dari M.10, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli)

30 Ketika pikiran tenang, periksalah kerangka tulang belulang ini, lihatlah kekosongannya

dan bagaimana angin mengembus melaluinya. Siapakah pemilik tulang belulang ini?

31 Konon ketika Sang Sesepuh (Mahā-tissa) dalam perjalanan dari Cetiyapabbata ke

Anurādhapura untuk pindapatta, seorang menantu perempuan dari suku tertentu, yang telah bertengkar dengan suaminya dan telah berangkat pagi-pagi dari Anurādhapura menuju rumah kerabatnya dengan berpakaian dan berdandanan bagaikan bidadari surga, melihat beliau di jalan dan tanpa kendali tertawa terbahak-bahak. (Bertanya-tanya) “Apakah itu?”, Sang Sesepuh mencari tahu dan ketika mendapatkan persepsi kejijikan di dalam tulang-tulang gigi perempuan itu, beliau mencapai kearahatan. Tetapi suaminya yang tengah mencari si istri melihat Sang Sesepuh dan bertanya: “Yang Mulia, apakah Anda tadi melihat seorang wanita?” Sang Sesepuh berkata kepadanya:

“Apakah itu seorang pria ataukah seorang wanita yang tadi lewat, saya tidak memperhatikannya; Namun semata-mata bahwa di atas jalan raya ini telah lewat sehimpunan tulang.”

Page 25: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

(Visuddhi Magga, I, 55)

32 Sebuah gundukan setinggi lebih kurang lima kaki terdiri dari tulang-belulang, tengkorak-

tengkorak, tulang-tulang tungkai dan lengan, dan tulang punggung-tulang punggung yang semuanya bercampur baur. Tiada seorang pun yang tahu ujung pangkal tulang belulang orang yang satu dan orang yang lain. Matahari yang terik telah menyengat dan memutihkan mereka, hujan yang deras telah menghantam dan mencuci mereka; sisa-sisa badan jasmani dari orang-orang miskin tak dikenal ini sedang menunggu untuk diperabukan di pekuburan Tionghoa di Bangkok. Suatu pemandangan “seri gunung” yang langka dan menghebohkan pada hari-hari ini.

33 Andaikata, pada waktu meditasi, kerangka tulang-belulang ini muncul di mata batin

seseorang namun ketika ia membuka matanya pada akhir meditasi, tulang-tulang tangan, atau bagian-bagian yang lain dari badan jasmani, masih terlihat tanpa daging penutup “yang layak”, akan betapa kagetnya seseorang dan orang-orang lainnya seandainya mereka juga bisa melihatnya. Betapa janggalnya bahwa seseorang merasa ngeri terhadap bagian tubuhnya “sendiri”!

34 Cerita

Sekali waktu ada seorang laki-laki yang mengurus sebuah rumah kaca yang ditanami

berbagai bunga teratai dan labu tropis. Pada suatu sore, udara terasa dingin dan turun hujan sehingga tamu-tamu terus berdatangan masuk untuk menghangatkan diri mereka dan mengagumi tanaman-tanaman eksotis yang terdapat di situ. Setelah menyirami tanaman dengan air yang disemprotkan dari slang, pria tersebut membungkuk untuk menutup keran. Ketika ia memasang matanya ia melihat, bukan manusia, melainkan arak-arakan jerangkong. Penglihatan itu berlangsung sekejap dan kemudian menghilang. Barangkali itu suatu petunjuk tentang jenis meditasi yang semestinya ia latih?

Page 26: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

35 “Para Bhikkhu, tulang-tulang dari satu orang saja selama perjalanan pengembaraannya

selama beribu-ribu tahun, akan membentuk suatu tumpukan, suatu timbunan, suatu gundukan setinggi Gunung Vepulla, seandainya saja ada seorang pengumpul tulang dan koleksinya itu tidak musnah.”

(Itivuttaka 17)

36 “Persis seperti bilamana suatu ruang dilingkungi oleh kayu dan tanaman merambat,

rumput dan bata akan muncul sebutan 'rumah', demikian pula, bilamana suatu ruang dilingkungi oleh tulang-tulang dan otot-otot, daging dan kulit akan muncul sebutan 'badan jasmani'.”

(M. 28, para 36, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Nyanamoli)

37 Atau seperti yang juga dikatakan oleh Guru-guru Purba: “Sembilan ratus otot di sekujur tubuh sepanjang 1,8 meter ini ditemukan, yang balutannya menjaga kesatuan kerangka tulang bagaikan tanaman merambat yang berfungsi sebagai penjaga keutuhan hubungan antar komponen bangunan.

38 Atau bagaimana dengan renungan atas badan jasmani ini? “Sebuah tumor tempat sembilan lubang* bersemayam, Terbungkus lapisan kulit yang berkeringat, Meneteskan kotoran yang menjijikkan dari setiap sisinya, Mencemari udara dengan bau busuk yang menyebar kemana-mana.”

(B.M., mengutip “Pertanyaan-pertanyaan Milinda” 74) * (Dua) mata, (dua) telinga, (dua) lubang hidung, mulut, saluran air kencing dan anus.

Page 27: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

39

Bisul Para Bhikkhu, persis seperti sebuah bisul yang telah tumbuh selama bertahun-tahun,

dengan sembilan luka yang ternganga, sembilan borok, dan apa pun yang terlepas atau keluar darinya itu kotor dan berbau busuk, ia pasti menjijikkan.

“Bisul”, O Para Bhikkhu, merupakan sebutan bagi badan jasmani yang terdiri dari empat

unsur pokok, yang dihasilkan oleh pasangan ayah dan ibu, dan tumbuh berkat nasi dan roti ini. Ia tunduk kepada ketidak-kekalan, kerusakan dan kelapukan, ketidak-sinambungan dan kehancuran, dengan sembilan luka yang ternganga, sembilan borok. Apa pun yang terlepas dan keluar darinya itu kotor dan berbau busuk, o betapa menjijikkannya.

Karena itu, O Para Bhikkhu, berpalinglah dari** badan jasmani ini.

A.IX, 15

** Pali: nibbindatha. Ini bisa juga diterjemahkan “jemu terhadap” atau “menolak” atau “jijik terhadap”. Namun tidak satu pun dari terjemahan-terjemahan ini yang membawa citarasa praktik Dhamma yang sangat halus itu; terjemahan-terjemahan itu terlalu kasar dan membawa keadaan-keadaan pikiran yang negatif atau tercemar. Kita mesti menyimak bahwa Sang Buddha itu sedang berbicara kepada para bhikkhu – artinya, kepada mereka yang mempraktikkan Dhamma purna-waktu (full time), dan seandainya kita memahami keadaan-keadaan di mana kata-kata ini diucapkan, barangkali kita akan mendapatkan pengertian bahwa bhikkhu-bhkkhu yang tengah diberi petuah itu memerlukan wejangan yang “pedas” agar dapat mengatasi keserakahan atau kemelekatan.

40 Badan jasmani manusia secara struktural sekedar merupakan sebuah cincin berongga*.

Sebuah cincin berongga yang dipanjangkan hingga menjadi silinder berongga, dengan bagian dalam yang diperpanjang lebih lanjut dan digelung; dan di atas rongga sebelah atas menyembul sebuah kepala dan di antara rongga atas dan rongga bawah menjulur anggota badan-anggota badan. Segala sesuatu lewat sedikit demi sedikit melalui cincin itu, dibantu masuk oleh sendok dan penelanan, dan dibantu keluar oleh pengejanan (pengedenan) dan kertas.”

(“Buku Catatan Seorang Pemikir” oleh Y.M. Nyanamoli, 240, Maret '56)

Page 28: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

*

41

Hikayat: Seorang wanita yang sedang berahi mendatangi seorang bhikkhu dan menelanjangi

dirinya sendiri. Bhikkhu tersebut, tanpa menunjukkan keterkejutan sama sekali, berkata – “Sekarang tanggalkan kulitmu.”

42 “Kecantikan hanyalah sebatas kulit – betapa benarnya pepatah ini. Siapa yang

mengingini tubuh cantik tanpa kulit? Betapa rapuhnya kulit, namun betapa kuatnya nafsu berahi!

43 Pandangan lain atas badan jasmani: “Sesosok badan jasmani yang ditampali dengan kepingan-kepingan daging Sembilan kali seratus keping bila dihitung seluruhnya, Tempat pelbagai jenis kawanan cacing* berlomba Untuk berbagi tempat pada timbunan sampah yang membusuk untuk kediaman mereka.”

Page 29: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

* “Cacing” berarti bukan hanya cacing parasitis, melainkan semua parasit lainnya, baik yang terlihat atau pun yang berukuran mikroskopis, yang menempati badan jasmani ini sebagai rumah mereka.

44 Atas subjek ini kita mendapatkan pula pelajaran: “Tentang berbagi badan jasmani dengan banyak pihak: Badan jasmani ini didiami secara

bersama-sama oleh banyak pihak. Pertama, ia didiami oleh delapan puluh rumpun cacing (parasit). Di situ juga, terdapat makhluk-makhluk yang hidup dengan bergantung pada kulit luar, kulit dalam, daging, urat daging, tulang, sumsum, yang hidup dari benda-benda ini. Dan di situ mereka lahir, tumbuh, menjadi tua dan mati, berak dan kencing; dan badan jasmani ini merupakan kampung halaman tempat mereka dilahirkan, rumah sakit mereka, tanah pembuangan mayat mereka, kakus umum mereka dan tempat kencing mereka. Dan badan jasmani ini pun dapat tergiring menuju kematian akibat gangguan cacing-cacing ini. Dan sebagaimana ia didiami secara bersama-sama oleh delapan puluh rumpun cacing, ia juga didiami secara bersama-sama oleh beratus-ratus penyakit dalam. Ia juga bisa menjadi sasaran pelbagai penyebab kematian yang berada di luar dirinya seperti ular, kalajengking dan berbagai jenis ancaman lainnya.

(Visuddhi Magga, Bab VII, 25)

45

Sutta tentang Kemenangan

(Sang Buddha): Baik berjalan atau pun berdiri, duduk, berbaring, menekuk atau merentang: itu adalah gerak badan jasmani. Badan jasmani ini terangkai oleh tulang-tulang dan otot-otot, ditampal dengan selaput dan daging, dan ditutupi dengan kulit – tidak nampak keadaan yang sebenarnya. Berisi usus, dengan perut yang berisi gumpalan hati dan kandung kemih, dengan jantung, dan juga paru-paru, dengan ginjal dan juga limpa, dengan ingus dan air liur, dan dengan gajih serta keringat, dengan darah dan minyak persendian, dengan empedu dan lemak kulit; Lalu melalui sembilan parit kotoran mengalir tanpa henti darinya: Kotoran mata melalui mata, kotoran kuping melalui telinga,

Page 30: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

ingus melalui hidung, dan dari mulut air empedu dimuntahkan, dan dimuntahkan juga dahak / lendir, dan dari badan keluar keringat dan kotoran. Dan kemudian kepalanya yang berongga itu dijejali otak; Dipimpin oleh ketidaktahuan si bodoh berpikir semuanya itu indah. Namun ketika ia terbaring mati, membengkak dan mebiru pucat kelabu, dicampakkan ke tanah pembuangan mayat, bahkan sanak keluarga pun tak mempedulikannya. Anjing-anjing memakannya, tidak ketinggalan anjing hutan, serigala dan ulat, gagak dan burung hering juga memakannya, dan juga sembarang makhluk hidup lainnya. Bijaksanalah bhikkhu di dunia ini yang setelah mendengar kata-kata Sang Buddha, memahami sepenuhnya badan jasmani secara benar dan memandangnya sebagaimana adanya, (dengan merenungkan): sebagaimana (badan jasmani yang hidup) ini, demikian pula (mayat) itu (pernah), sebagaimana (mayat) itu (sekarang), demikian pula (badan jasmani ) ini (pasti akan) – Maka terhadap badan jasmani ini, di dalam dan di luar, buanglah semua nafsu. Bhikkhu yang demikian bijaksana itu, yang membuang nafsu keinginan dan berahi di dunia ini, mencapai keadaan tanpa kematian, ketenteraman, Nibbāna, keadaan tanpa perubahan. Manja adat-kelakuan benda berkaki-dua yang menjijikkan dan berbau busuk ini, meski terisi dengan berbagai jenis kotoran menjijikkan yang mengalir keluar di sana sini: Ia yang dengan badan jasmani seperti itu memiliki pikiran yang mengagungkan dirinya, atau mungkin memandang rendah orang lain – apalah lagi kalau ini bukan kebutaan?

(Sutta-Nipāta, Vijaya Sutta, ayat 193-206)

46

Ayat-ayat Dhammapada tentang Badan Jasmani

41. Aduh, tak akan lama lagi, badan jasmani ini akan tergeletak di sini, di atas tanah! Dibuang, tanpa kesadaran dan tak berguna bagaikan sepotong kayu rapuh. 46. Setelah mengenal badan jasmani yang seperti buih ini dan memahami sepenuhnya

sifat alaminya yang bagai-fatamorgana itu, dengan melumpuhkan tipu-daya Māra, yang tersembunyi di balik bunga kepalsuan,

seseorang dapat terbebas dari cengkeraman raja kematian. 147. Lihatlah badan jasmani yang indah ini,

Page 31: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

sebuah kumpulan sumber duka nestapa, suatu rakitan dari pelbagai komponen, meminta banyak perhatian dan perawatan namun menyengsarakan, tanpa sesuatu pun yang tak berubah, tanpa sesuatu pun yang bertahan lama. 148. Telah tua renta badan jasmani ini, sarang penyakit dan amat rapuh; sebentar lagi, gumpalan kotoran yang menjijikkan ini akan hancur luluh – sungguh, kehidupan berujung pada kematian. 149. Tulang belulang yang berwarna pirang keabu-abuan ini berserakan bagaikan buah labu-buah labu yang dicampakkan di musin gugur, kesenangan apakah yang bisa dinikmati dalam memandangi mereka? 150. Kota ini dibangun dari tulang-belulang ditampal dengan daging dan darah; di dalamnya tersimpan proses keluruhan dan kematian dan juga keangkuhan serta kedengkian. 151. Bahkan kereta kerajaan yang mewah sekali pun melapuk; badan jasmani ini pun menuju kelapukan; namun Dhamma yang diajarkan Sang Bhagavā tidak melapuk; demikian Sang Bhagavā menyampaikan ini demi kebaikan. 293. Tetapi mereka yang selalu melatih dengan baik perhatian murni atas badan jasmani, tidak pernah melakukan yang seharusnya tidak dilakukan dan selalu melakukan yang seharusnya dilakukan; berperhatian murni, berpandangan terang, pengotoran-pengotoran karena eksistensi mereka berakhir. 299. Sepenuhnya sadar dan penuh kewaspadaan selalu Sāvakā* Gotama, yang siang malam tanpa henti menegakkan perhatian murni atas badan jasmani. * Siswa, secara harafiah “yang mendengarkan”.

Page 32: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

47

Dua Pasang Ayat tentang Perenungan atas Kecantikan dan Ketidak-menarikan 7. Seseorang yang hidup dengan memikirkan kecantikan, dengan daya-daya indranya yang tidak dikendalikan, yang tidak mengenal batas dalam makannya, dan yang lengah tak bersemangat, tak cukup upaya; dirinya tentu akan dihabisi Māra bagaikan pohon tak berkekuatan cukup ditumbangkan angin. 8. Seseorang yang hidup dengan merenungkan kekotoran yang menjijikkan, dengan daya-daya indranya yang terkendali dengan baik, yang benar-benar mengenal batas dalam makannya, dan yang memiliki keyakinan, menegakkan upaya; dirinya tentu tidak akan pernah dikalahkan Māra bagaikan gunung cadas yang tak dapat digoyahkan angin. 349. Seseorang yang memikirkan kecantikan, dengan pikiran-pikiran yang bergejolak dan nafsu seksual yang aktif, hasrat nafsu di dalam diri orang ini akan terus berkembang biak; orang semacam itu tentu terus memperkuat belenggu-belenggunya. 350. Namun orang yang gemar menenangkan pikirannya, yang terus mengembangkan penyadarannya atas kekotoran yang menjijikkan, tentu akan mengakhiri nafsunya; orang semacam itu akan mematahkan belenggu-belenggu Māra.

48

Ayat-ayat Arahat Kappa Thera

Penuh dengan berbagai macam kotoran, penghasil banyak benda-benda najis, secakap pangkalan timbunan sampah; sebuah tumor, sebuah borok besar yang berisi nanah dan darah; seakan bermukim di dalam lubang jamban badan jasmani mengeluarkan air

Page 33: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

dan terus mengalirkan keluar kotoran. Diikat menjadi satu oleh enam puluh urat dan ditampal dengan plester berupa daging, diselubungi secara ketat dengan kulit – tak ada harganya, badan jasmani yang terdiri dari kotoran ini. Sebuah kerangka yang terangkai dari tulang-belulang yang dijaga kesatuannya oleh tali urat-tali urat dengan berbagai sikap tubuh yang dihasilkan dari paduan hal-hal yang terkondisi. Berangkat dengan kepastian akan kematian dan berdekatan dengan Raja Kematian, namun setelah menolaknya* di sini juga, seseorang bebas pergi ke tempat mana pun yang ia kehendaki. Tertutupi ketidaktahuan dan terikat erat pada empat tambatan, [1] terjaring di dalam jala yang laten, [2] badan jasmani ini tenggelam di dalam banjir. [3] Tak lepas dari lima rintangan [4] dan karenanya, tak lepas dari pengaruh pelbagai pemikiran, disertai akar kerinduan dan terbungkus dalam kemasan khayalan – badan jasmani ini masih berlangsung, karena dorongan daya kamma, namun eksistensinya berakhir pada kehancuran. Semua jenis makhluk akan binasa. Orang-orang biasa, orang-orang bodoh yang buta, yang memandang badan jasmani mereka sebagai milik mereka, memenuhi kuburan-kuburan yang mengerikan dan merenggut kelahiran yang berulang-ulang. Mereka yang melepaskan badan jasmani** ini sebagaimana yang mesti mereka lakukan terhadap ular yang dibalur tahi hewan, yang telah membuang akar penjadian [5]

Page 34: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

akan, tanpa noda, mencapai Nibbāna.

(Theragatha, 567-576) * sebagai “aku” atau “milikku” ** melepaskan kemelekatan terhadap badan jasmani

[1] keserakahan, kedengkian, kemelekatan pada upacara, dan obsesi dengan pandangan-pandangan

dogmatis. [2] kesombongan, kebodohan, nafsu seksual, kebencian (aversion), keraguan, khayalan dan hasrat

untuk menjadi [3] antusiasme terhadap sensualitas, penjadian, pandangan-pandangan, dan kebodohan [4] nafsu sensual, kedengkian, kemalasan & kantuk, kegelisahan & kekuatiran, dan keraguan [5] akar penjadian: hasrat nafsu

(dikutip oleh penerjemah dari: Thanissaro Bhikkhu, “Kappa” © 2000-2010 – Theragatha: Verses of the Elder Monks © 2005-2010)

49

Ayat-ayat Arahat Nandaka Thera Tahu malulah wahai pemihak Māra*, yang penuh dengan bau busuk dan kotoran. Pada ragamu terdapat sembilan got yang terus mengalirkan keluar kotoran. Jangan mengangankan benda-benda onggokan ini, yang tak ada harganya sama sekali di mata Para Tathagata yang tidak menginginkan bahkan alam-alam surga, apalagi alam manusia. Namun mereka yang tolol, dungu, keliru, diselimuti kebodohan, sungguh-sungguh mengingini itu yang tersedia sebagai umpan pada perangkap Māra. Mereka yang telah membuang nafsu dan kebencian serta kebodohannya, yang sama sekali tidak menginginkan itu,

Page 35: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

telah mematahkan belenggu-belenggu mereka. Mereka tidak terikat!

(Theragatha, 279-282) * Mengapa badan jasmani disebut “pemihak Māra”? Karena badan jasmani ini tunduk

kepada segala jenis kesakitan, kerusakan, kematian, dan juga nafsu-nafsu tak sehat yang berkaitan dengan badan jasmani, seperti kerakusan atas makanan dan nafsu seksual, yang merupakan rintangan bagi pemurnian pikiran, pembuangan kekotoran batin dan penerangan sempurna.

50

Ayat-ayat Arahat Sabbakāma Thera Benda berkaki-dua yang menjijikkan ini, penuh dengan berbagai jenis kotoran yang mengalir keluar dari sana sini, memancarkan bebauan yang busuk – amat sangat disayangi. Bagaikan rusa yang terjebak oleh perangkap, bagaikan ikan yang terkail, tak beda dengan kera yang terjebak oleh ter demikianlah orang-biasa terjebak. Bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan dan pelbagai citarasa serta hal-hal yang dapat dirasakan melalui sentuhan, yang menyenangkan pikiran, merupakan lima kabel penghantar nafsu yang terdapat pada wanita.*

Mereka yang mengejar hal-hal itu – orang-orang biasa dengan pikiran yang berkobar-kobar – memenuhi kuburan-kuburan yang menakutkan dan menghimpun benih-benih kelahiran selanjutnya. Namun seseorang yang benar-benar menghindarinya seperti kaki menghindari kepala ular, dengan perhatian murni, orang semacam itu mengatasi dan

Page 36: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

terbebas dari kemelekatan terhadap dunia ini. Dengan melihat bahaya nafsu-nafsu sensual, pandangan pelepasan diperoleh, lepas dari semua nafsu hingga kebersihan tanpa noda tercapai.

(Theragatha, 453-458) * Wanita yang membaca ini harus menggantinya dengan “laki-laki”.

51

Ayat-ayat Arahat Raṭṭapāla Keluarganya mencoba untuk memerangkapnya, dengan umpan mantan istri-istrinya dan

makanan-makanan yang baik, agar kembali ke kehidupan berumah tangga, atas mana ia berkata:

“Lihatlah sebuah boneka yang dipamerkan di sini, sesosok badan jasmani yang terdiri dari pelbagai sumber penderitaan, penyakit dan banyak objek yang memerlukan perhatian, di mana tidak terdapat kestabilan. Lihatlah sebuah sosok yang dipamerkan di sini yang diberi perhiasan dan juga anting-anting. Sebuah jerangkong yang terbungkus kulit, yang mendapat pujian karena pakaiannya. Kedua kakinya dibuat indah dengan pemerah kuku dan wajahnya dipupuri bedak. Itu mungkin memperdaya seorang yang tolol, tapi tidak bagi seorang yang berupaya mencapai Pantai Seberang. Rambutnya dirias dalam jalinan berlipat-delapan dan kedua matanya diolesi krim. Itu mungkin memperdaya seorang yang tolol, tapi tidak bagi seorang yang berupaya mencapai Pantai Seberang. Sebuah badan jasmani kotor yang didandani bagian luarnya seperti pot krim yang baru dicat.

Page 37: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Itu mungkin memperdaya seorang yang tolol, tapi tidak bagi seorang yang berupaya mencapai Pantai Seberang. Pemburu rusa memasang baik-baik perangkapnya namun sang rusa melompat tidak ke perangkap itu; Kami memakan umpannya, dan berangkat pergi, membiarkan para pemburu meratap.”

(M. 82, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli)

52

Pameran “produk-produk kecantikan” yang sangat banyak baik untuk pria maupun wanita seharusnya membuat orang berpikir. Jika begitu perlunya orang memperelok badan jasmaninya, seperti apa sebenarnya badan jasmani itu?

53

Badan jasmani yang kotor ini bagaikan ombak yang tiba-tiba naik, pecah dan buyar. Badan jasmani yang kotor ini bagaikan setitik debu di tanah gurun di mana terlihat pelbagai fatamorgana.

Wijayasiri Amaratunga

54

Badan jasmani bagaikan tong bocor, yang mengalirkan keluar isinya sepanjang waktu. Tetapi tong bisa disumbat, sedangkan badan jasmani harus terus mengalirkan keluar sepanjang hidupnya.

Page 38: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

55

Sebuah tong mempunyai empat karakteristik: ia berpenampang bulat, diliputi kulit, sering dipukul dan mengeluarkan bunyi. Begitu pula, badan jasmani mempunyai empat karakteristik: ia berpenampang bulat atau hampir bulat, ia juga ditutupi kulit, sering mengalami pukulan berbagai jenis penderitaan jasmani dan batin, serta mengeluarkan bunyi, berupa bunyi-bunyian yang menunjukkan kesenangan yang tidak dapat diandalkan dan tidak kekal, dan bunyi-bunyian yang menyertai penderitaan seperti ratap tangis dan keluh kesah. Dan siapakah gerangan pemukulnya? Tidak lain dia yang bernama Nafsu.

56 Sang Buddha berkata: “Kelahiran adalah dukkha,* penyakit adalah dukkha, keluruhan adalah dukkha, kematian

adalah dukkha” – semua ini merupakan dukkha yang berkaitan dengan badan jasmani ini. Menarik bahwa setiap jenis dukkha mempunyai institusi khusus di masyarakat Barat untuk menyembunyikannya dari keadaan umum orang, yang boleh dikatakan berada “di antara” peristiwa-peristiwa ini. Kelahiran terjadi di bangsal-bangsal rumah bersalin dan panti asuhan-panti asuhan. Bagian-bagian lain dari rumah sakit yang sama mengurus “penyakit”. Untuk masalah keluruhan kita mempunyai rumah jompo-rumah jompo dan bangsal-bangsal geriatrik (ilmu kedokteran yang mempelajari tentang orang tua), sementara “kematian” mungkin terjadi di tempat-tempat semacam itu, lalu mayatnya dibawa ke kapel-kapel pengurus pemakaman, dan dijadikan objek upacara-upacara keagamaan. Hal-hal disembunyikan itu tidak sehat. Lihatlah dukkha! Lihatlah padanya!

* Penderitaan dari segala jenis, jasmani dan batin, serta penderitaan karena ketidak-kekalan

segala sesuatu

57 Apabila seseorang memikirkan betapa banyak hal menyusahkan yang merundung badan

jasmani ini, betapa mengherankan bahwasanya badan jasmani ini terus berfungsi dengan baik dan sedemikian lamanya!

Banyak, ada banyak jenis dukkha!

Page 39: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

58 Terdapat demikian banyaknya dukkha yang berkaitan dengan badan jasmani ini, yang

tak pernah terperhatikan karena pemindah-mindahan posisi. Ketika merasa lelah berjalan atau berdiri, orang duduk; ketika merasa lelah duduk, orang berdiri atau berbaring; ketika merasa cukup lama berbaring, orang bangun. Berjalan menempuh jarak yang tak terduga jauhnya merupakan dukkha. Berdiri dalam antrian yang panjang adalah dukkha. Duduk bahkan di tempat duduk yang menyenangkan selama berjam-jam merupakan dukkha. Berbaring di ranjang rumah sakit selama berhari-hari atau berminggu-minggu adalah dukkha. Dengan mengubah posisi, kita menghindari dukkha dan membuatnya kurang jelas terlihat. Tetapi apabila seseorang mulai bermeditasi, melakukan meditasi berjalan selama berjam-jam, meditasi duduk selama berjam-jam, maka dukkha jasmaniah ini dapat dirasakan dan diselidiki.

59

Perasaan Sakit dan Badan Jasmani “Para bhikkhu, orang biasa yang tidak terlatih memiliki pepatah: 'ada jurang ngarai yang

tak terbatas dalamnya di samudra besar'. Namun orang biasa yang tak terlatih itu berbicara tentang sesuatu yang tidak ada, tentang sesuatu yang tidak dapat ditemukan, yakni bahwa ada jurang ngarai yang tanpa dasar di samudra besar. Para bhikkhu, untuk melukiskan perasaan sakit jasmaniahlah isitilah 'jurang ngarai yang tanpa dasar' digunakan. Ketika seorang biasa yang tak terlatih mengalami perasaan sakit jasmaniah, ia meratap, dirundung penderitaan, mengeluh, memukuli dadanya, menangis keras, menjadi bingung dan putus asa. Karena itu, o para bhikkhu, dikatakan bahwa orang biasa yang tak terlaitih itu belum muncul dari jurang ngarai yang tanpa dasar, belum mendapatkan tempat berpijak yang kokoh.

“Tetapi, o para bhikkhu, ketika seorang Siswa Mulia yang terlatih mengalami perasaan

sakit jasmaniah, ia tidak meratap, tidak dirundung penderitaan, tidak mengeluh, tidak memukuli dadanya, tidak pula menangis keras, atau pun menjadi bingung dan putus asa. Karena itu, o para bhkkhu, dikatakan bahwa Siswa Mulia yang terlatih itu telah muncul dari jurang ngarai yang tanpa dasar dan telah mendapatkan tempat berpijak yang kokoh.”

(S. XXXVI, 4, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanaponika)

Page 40: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

60

“Wujud” (= Badan Jasmani) Ini “Mengapa orang menyebutnya 'wujud' (rūpa)? Karena mengalami perubahan wujud dari

yang baik menjadi kurang baik (ruppati) ia disebut 'wujud' (rūpa). Perubahan wujud dari yang baik menjadi kurang baik karena apa? Karena dingin dan panas, lapar dan haus, kontak dengan nyamuk, lalat, angin, sengatan matahari, dan hal-hal yang mengerikan.”

(S. XII, 79, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanaponika)

61 Seseorang dapat memainkan permainan 'kata serupa' dalam bahasa Inggris: Mengapa

dalam bahasa Inggris badan jasmani disebut body? Karena merupakan tempat kediaman (abode) seseorang, ia disebut body; atau juga karena merupakan tanda tidak baik (bodes no good), ia disebut body – meski barangkali ini agak pesimistis. Untuk mengimbanginya, seseorang dapat menggunakan etimologi sebagai berikut: Ia disebut body karena bergantung padanya bodhi ditemukan.

62

Kebutuhan Badan Jasmani sebagaimana diikhtisarkan Sang Buddha Pakaian untuk menutupinya, makanan untuk memeliharanya, tempat bernaung untuk melindunginya dari gangguan, dan obat untuk menyembuhkannya.

Bhikkhu-bhikkhu Buddhist mengingat keempat “tumpuan” ini setiap hari.

Sebuah cara untuk menghancurkan keserakahan Beberapa potong saja pakaian sederhana untuk menutupinya, makanan sehat secukupnya untuk memeliharanya, tempat bernaung kecil untuk melindunginya dari gangguan, dan obat yang sesuai untuk menyembuhkannya. Berapa setel pakaian yang dapat kamu pakai sekaligus? Berapa buah piring yang kamu perlukan untuk makan?

Page 41: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Berapa besar volume ruang yang ditempati oleh badan jasmani ini? Berapa buah tablet dan berapa banyak puyer diperlukan untuk menjaga kesehatan?

63

Keserakahan dan Badan Jasmani Lihatlah itu seperti ini: Ada lemari pakaian yang berisi banyak pakaian untuk menutupi badan jasmanimu.

Apakah semua pakaian itu diperlukan? (Ada banyak orang miskin yang tak berpakaian di dunia ini.)

Ada lemari makanan, (lemari pendingin dan pembeku?) di mana bertumpuk makanan.

Apakah segala ragam dan jumlah yang tersedia di situ diperlukan? (Ada banyak orang yang kelaparan di dunia ini.)

Ada rumah tempat tinggal dengan pelbagai perabotnya. Terlalu besarkah atau terlalu

mewahkah itu? (Ada banyak orang yang tidak punya rumah di dunia ini.) Ada lemari obat yang berisi pelbagai tablet dan krim serta serbuk. Bisakah anda

memakai semuanya? Apakah semuanya diperlukan? (Berapa banyak orang yang tidak mendapat pengobatan di dunia ini?)

64

Makan Berlebihan? Kerakusan? Maka bacalah ayat-ayat ini: Makanan dan minuman yang begitu berharganya – yang segar kering untuk dikunyah, yang lunak untuk dihirup – semuanya masuk melalui satu pintu tunggal, namun mengalir keluar melalui sembilan pintu.* Makanan dan minuman yang begitu berharganya – yang segar kering untuk dikunyah, yang lunak untuk dihirup – orang senang menyantapnya secara bersama-sama, namun mengeluarkannya secara tersembunyi. Makanan dan minuman yang begitu berharganya –

Page 42: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

yang segar kering untuk dikunyah, yang lunak untuk dihirup – orang memakannya dengan perasaan yang amat senang, dan kemudiannya membuangnya dengan perasaan jijik yang tak terucapkan. Makanan dan minuman yang begitu berharganya – yang segar kering untuk dikunyah, yang lunak untuk dihirup – cukup satu malam untuk membusukkannya.

(Visuddhi Magga, Bab XI, para. 23)

(Renungkan ini ketika makan!) * Masuk melalui mulut namun bisa keluar, sebagai berbagai jenis “kotoran”, melalui mata (2),

telinga (2), lubang hidung (2), mulut, saluran kencing, dan anus.

65

Perenungan tentang Jamban Unsur-unsur tanah dan air yang ada di dalam didesak keluar, semua makanan padat dan minuman yang dicerna itu, pada waktunya harus didesak keluar. Tak ada “perlengkapan sanitasi” mengkilap yang memperindah jamban hutanku, semua alamiah, sebuah anjungan kayu yang didirikan di atas lubang galian. Di penghujung tempat saya berjalan bolak balik secara terus menerus untuk menenangkan batin yang bergelora, dengan berbataskan pepohonan – terletak jambanku yang menyenangkan Pohon-pohon dengan lembaran-lembaran asbes pecah yang dipakukan pada batang-batang pohon – guna keleluasaan pribadi, di mana hanya pohon-pohon yang dapat melihatku, membosankan – namun dipelihara – guna melayani kebutuhan ini. Untuk naik ke jambanku setinggi enam kaki yang bergoyang bersama batang-batang pohon,

Page 43: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

dua batang kayu dipancangkan ke tanah bagaikan tangga menuju singgasana. Sebuah anjungan dengan sebuah lubang melalui mana seseorang bisa melihat ke bawah serendah sepuluh kaki ke lubang galian yang ditempeli kertas dan mengamati tahi hitam yang besar – kumbang-kumbang bekerja memendam kotoran, higienis menurut sudut pandang kita jika bukan karena suatu kelahiran yang diperuntukkan, barangkali, bagi orang yang sesat dan mesum? Akan tetapi, saya duduk dengan agung di atas sana sementara unsur-unsur air dan tanah berada di dalam tanpa saya menyatu dengan unsur-unsur air dan tanah. Selagi masih di dalam mereka kusebut “milikku”, setelah di lubang galian mereka bukan lagi aku – di manakah gerangan perubahan itu terjadi? Sungguh aneh pikiran yang mencintai wujud yang berbau busuk ini tetapi tidak menyukai bau busuk di bawah sana. Kesenangan atas aroma yang baik, kejijikan atas bau busuk dan tahi: “Aku” terdiri dari semua kesenangan dan kejijikan ini.

'Pansā (Vassa, Musim Hujan) 2515/1972

66 Makanan, yang ditata dengan baik di atas piring, menarik bagi mata dan hidung.

“Kelihatannya enak!” - “Sedap baunya!” - kata mereka. Ketika tiba di mulut, ia menarik bagi lidah dan rasa sentuhan. Mereka mengatakan “Betapa enak rasanya!” atau “Benar-benar garing!” (renyah, lembut seperti krim atau yang lainnya). Tapi muntahkanlah keluar – menarik atau tidak itu sekarang bagi mata? Keserakahan hanya bisa muncul pada kondisi-kondisi yang sesuai baginya. Dan bagaimana menariknyakah makanan yang sama yang dimuntahkan setelah beberapa jam di dalam perut? Ia menjadi semakin tidak diinginkan ketika sisa-sisanya setelah satu atau dua hari diberakkan. Tiga tahapan untuk perenungan!

Page 44: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

67

Sebagaimana diketahui pelaku meditasi, tanpa makanan badan jasmani akan menjadi

lemah, dengan banyak makanan ia menjadi berat dan terganggu: dua jenis dukkha. Satu-satunya jalan ialah bersikap sedang dalam hal makanan, yakni, dengan tidak berpantang total, yang dengan mudah bisa menjadi ekstremitas yang berupa penyiksaan-diri; juga dengan tidak makan berlebihan, yang tak lain merupakan ekstremitas lainnya berupa kesukaan atas kenikmatan jasmani.

68

Ingatkan Dirimu: Keperluan yang secara alami mesti kupenuhi ini – tidak lain hanyalah rupa berbagai unsur, artinya, pakaian-pakaian ini dan orang yang menggunakannya – hanyalah unsur-unsur, bukan suatu pribadi, bukan suatu makhluk, kosong belaka. Keperluan yang secara alami mesti kupenuhi ini – tidak lain hanyalah rupa berbagai unsur, artinya, makanan ini dan orang yang menggunakannya – hanyalah unsur-unsur, bukan suatu pribadi, bukan suatu makhluk, kosong belaka. Keperluan yang secara alami mesti kupenuhi ini – tidak lain hanyalah rupa berbagai unsur, artinya, tempat bernaung ini dan orang yang menggunakannya – hanyalah unsur-unsur, bukan suatu pribadi, bukan suatu makhluk,

Page 45: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

kosong belaka. Keperluan yang secara alami mesti kupenuhi ini – tidak lain hanyalah rupa berbagai unsur, artinya, obat ini dan orang yang menggunakannya – hanyalah unsur-unsur, bukan suatu pribadi, bukan suatu makhluk, kosong belaka.

(Diterjemahkan dari sebuah rekoleksi Pāli tradisional; Yathā paccayaṁ...”)

69

Buih Pada suatu waktu Sang Bhagavā tinggal di Ayojjhaya di tepi sungai Gangga. Di sana

Sang Bhagavā berbicara kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, andaikan sebuah buih besar sedang mengapung di atas sungai Gangga ini dan seseorang yang memiliki penglihatan baik hendak melihatnya, mengamatinya dan mengkajinya secara benar. Maka buih itu akan tampak kosong, tidak merupakan substansi yang nyata, tanpa inti – bagaimana mungkin ada inti di dalam buih?

“Demikian pula, para bhikkhu, jasmani yang mana pun, yang lampau, yang akan datang,

atau yang sekarang, yang di dalam atau yang di luar seseorang, yang kasar atau yang halus, yang berkondisi tidak baik atau yang berkondisi baik, yang jauh atau yang dekat, setelah dilihat, diamati dan dikaji secara benar oleh seorang bhikkhu, akan tampak kosong, tidak merupakan substansi yang nyata, tanpa inti – bagaimana mungkin ada inti di dalam badan jasmani? ...”

Ādicca-bandhu telah membuatnya jelas: Wujud yang dibandingkan dengan buih, Perasaan dibandingkan dengan gelembung,* Dan pencerapan dengan fatamorgana, Pikiran yang dibandingkan dengan pohon pisang, Dan kesadaran dengan tipuan sulap.

Page 46: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

(dari S. XXII, 95) * Bahasa Thai bubbulū pamā diterjemahkan “bagaikan gelombang”, gelombang sebagai

kiasan yang paling cocok untuk perasaan

70 Badan jasmani”ku”, tetapi nyamuk suka mengisap darahnya. Badan jasmani“ku”, tetapi kutu dan kuman mendapatinya sebagai tempat makan. Badan jasmani“ku”, kepinding dan tuma pun menikmatinya. Badan jasmani”ku”, yang memproduksi makanan bagi kutu-ternak. Badan jasmani”ku”, tempat cacing hidup bahagia. Badan jasmani”ku”, yang diserang oleh musuh-musuh mikroskopis. Badan jasmani”ku”, yang pasti didatangi penyakit tanpa ijin. Badan jasmani”ku”, yang tidak sehat meskipun aku menghendakinya sehat. Badan jasmani”ku”, yang semakin tua dari hari ke hari. Badan jasmani”ku”, yang meskipun aku kehendaki tetap muda, bertambah terus usianya. Badan jasmani”ku”, meluruh dan mati melawan kehendakku. Badan jasmani”ku”, dikubur atau dibakar hingga terurai menjadi unsur-unsur. Badan jasmani”ku” – bagaimana bisa? “-ku” ? Siapa pemiliknya di sini?

71

Seorang Rasionalis dan seorang Buddhis B. Milik siapakah badan jasmani itu? R. Itu milikku, tentu! B. Lebih baik berhati-hati dengan kata “tentu”. Tapi, bagaimana kamu tahu itu milikmu? R. Oh, saya melihatnya – setiap hari selama bertahun-tahun. B. Jadi, itu milikmu karena kamu melihatnya? R. Ya. Di samping itu saya merasa itu milikku. B. Baiklah. Jadi, itu sebuah alasan lain mengapa itu milikmu. Kamu merasakannya,

bukan? R. Pasti! Itu terasa sebagai aku. B. Masih ada bukti lain bahwa itu milikmu? Bagaimana dengan indra-indra lainnya? R. Saya kira kamu bisa mengatakan bahwa saya bisa mendengarnya juga. Ususku

berdeguk dan kakiku berderap. Tentu saja itu berbau sebagai aku. Rasa kecapan?

Page 47: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Oh, saya pikir itu tidak terlalu banyak membantu untuk mengenalinya. Begitulah semua indra-indra itu, dan mereka memberitahuku bahwa itu milikku.

B. Kamu lupa akan indra yang paling penting, yaitu pikiran. Pikiran selalu mengatakan kepadamu “ini badan jasmaniku” ...

R. Ya, jika kamu hendak menyatakan pikiran sebagai suatu indra. Ya, pikiran mengidentifikasikan apa yang merupakan milikku dan apa yang bukan milikku.

B. Baiklah, saya kira tidak terlalu mudah untuk mengatakan apa yang merupakan milik seseorang dan bukan miliknya.

R. Oh, itu mudah. Saya memiliki kekuasaan atas apa yang merupakan milikku – seperti rekening bankku sendiri. Saya bisa melakukan apa saja atasnya.

B. Saya melihat bahwa kamu memiliki sebuah jari yang dibalut. Tunjukkan kepada saya seberapa besar kekuasaanmu atasnya dengan menyembuhkannya seketika!

R. Tidak mungkin melakukannya, kamu tahu. Itu tidak alamiah. B. Baiklah. Kalau begitu, apa gerangan yang alamiah? Apakah kekuasaan atas sesuatu

menandakan kepemilikan? Misalnya, potongan kecil kayu mati di sana. Apakah itu diriku?

R. Oh ..., ya bukan dong! B. Tapi itu cukup alamiah, dan orang tidak bisa berbuat apa-apa untuk

menghidupkannya kembali. Ketika ia masih hidup, kehidupannya itu terkondisi oleh banyak faktor, sekarang ia mati karena faktor-faktor itu berubah. Kendati demikian, sampai sekarang kamu masih mengatakan “badan jasmaniku”!

R. Itu milikku! Itu kepunyaanku sejak aku lahir! B. Baiklah! Sekarang, badan jasmani”mu”, yang tidak bisa kamu sembuhkan –

setidaknya kamu ketahui kapan ia akan mati? R. Tidak ... (bimbang). Saya tidak mempunyai gambaran tentang itu ... tetapi ... B. Tetapi itu badan jasmanimu, dan kamu tidak bisa menyembuhkannya, tidak bisa

menghentikannya menjadi tua, tidak bisa menghentikannya menuju kematian, bahkan kamu tidak tahu kapan badan jasmani itu akan mati. Tapi masih saja itu badan jasmanimu. Seberapa besar itu merupakan milikmu?

(Hening) B. Lantas, siapa dong pemiliknya? (Hening)

Page 48: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

72

Bukan Milikmu “Para bhikkhu, badan jasmani ini bukan milikmu dan bukan juga milik orang lain. Ia mesti

dipandang sebagai hasil dari kamma, dari kehendak-kehendak dan dari kesan-kesan masa lalu. Tentang hal ini, siswa mulia yang terlatih mengikuti secara sungguh-sungguh dan secara sistematis sebab-mula yang saling bergantung pada yang lain: Ini ada, maka itu ada; dari timbulnya ini, timbullah itu; ini tidak ada, maka itu tidak ada. Itu tersirat dalam pengertian: Ketidak-tahuan mengkondisikan pembentukan-pembentukan kamma ....” (S.II. 37)

73

Otak menyatakan: “Saya bos di sini. Cepat bangun, tulang-tulang yang malas!” Keluhan keberatan dari tulang-tulang: “Saya tidak merupakan kesatuan! Saya terdiri dari

kepingan-kepingan! Tapi siapa gerangan kamu yang memerintah-merintah di sini? Yah, siapa dia? Buset! Kamilah penguasa kapling ini, jika tidak, kami yang secara keseluruhan merupakan piranti ajaib ini tidak dapat berdiri!”

Teriakan dari otot-otot: “Hai kamu, tulang-belulang, bisakah berdiri sendiri? Tanpa kami

engkau tak akan sanggup! Kau akan ambruk berkeping-keping, jerangkong yang sombong!” Bentakan dari jantung: “Hal-hal apa yang tengah kalian semua pertengkarkan? Tak

seorang pun dari kalian, termasuk Otak Tua*, yang dapat bergerak tanpa aku!” Gerutuan dari usus-usus: “Hah, jangan merasa unggul, jantung! Bagaimana kamu bisa

berfungsi tanpa kami, para pekerja yang mengirimi kamu makanan?” Tentangan keras dari ginjal: “Tanpa kami, engkau akan terbenam di dalam limbah halus!” Tawa keras dari paru-paru: “Ha, si kembar pembual, apa yang akan kamu lakukan tanpa

kami? Tak akan ada yang bisa kamu lakukan, bukan?” Jeritan dari kulit: “Jangan banyak mulut kamu semua! Saya menutupi kamu semua

sehingga kalian tidak terlihat seperti toko daging mentah!” Dan berlangsunglah terus perdebatan itu namun tetap saja tak bisa ditemukan siapa

yang merupakan bos di situ.

Page 49: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

* Otak pengambil keputusan dan pengatur pernapasan, kesadaran dan gerak fungsional

organ tubuh manusia menurut Teori Tiga Otak. Penerjemah.

74

Lubang-lubang dan Kesucian Berupa lubang kosong yang tak bisa diisi badan jasmani ini secara menyeluruh Lihatlah wujudnya – berongga dengan lubang-lubang untuk masuknya makanan dan lubang-lubang untuk keluarnya kotoran serta lubang-lubang untuk keluar dan masuknya udara sampai kepada paru-paru yang berongga, di bawahnya ada lubang pusar dan bermeter-meter pembuluh-pembuluh berongga serta liang kandung kemih yang besar. Lubang di mana-mana; beberapa indra bersembunyi di dalam lubang atau rongga – lubang-mata, lubang-hidung juga, lidah di dalam rongga mulut, rongga-rongga udara penyimpan bau. Merupakan sebuah lubang, rongga yang besar keseluruhan badan jasmani ini sama sekali kosong sama sekali hampa semua berongga sama sekali tidak berhakikat kosong . . . . . . . kosong jalan menuju menuju kesucian

75 Kita membawa kantung ketika pergi berbelanja, dan memenuhinya dengan barang-

barang yang kita ingini, setelah membayarnya dengan uang.

Page 50: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Demikian pula, kantung kulit ini kita isi penuh, seiring dengan keinginan-keinginan kita, dan kita membayarnya dengan usia tua dan kematian.

76

Khotbah tentang Anak Panah

Sang Buddha: Beginilah kehidupan bagi makhluk-makhluk – buruk dan singkat, tak diketahui tujuannya; tidak menentu dan karenanya membawa dukkha. Mereka yang terlahir pasti akan mati dan tidak ada cara untuk tidak pernah mati! Melalui pelapukan kematian datang, begitulah hukum yang berlaku bagi makhluk-makhluk. Sebagaimana atas buah yang telah masak selalu terdapat kekuatiran akan jatuhnya buah itu, demikian pula atas makhluk-makhluk yang telah lahir selalu terdapat kekuatiran akan matinya makhluk-makhluk itu. Persis seperti bejana yang terbuat dari tanah liat akan berakhir dengan kepecahan, demikian pula kehidupan akan berakhir dengan kematian. Baik yang muda maupun yang tua, baik yang bodoh maupun yang bijaksana, semua tercengkeram dalam genggaman kekuasaan kematian, karena, bagi mereka semua, kematian merupakan tujuan. Tak seorang pun – baik ayah ataupun sanak keluarga – yang dapat melindungi mereka yang tengah menemui ajalnya dan pergi ke alam yang lain Lihatlah – seraya disaksikan dan diiringi ratap tangis sanak keluarga – makhluk-makhluk satu demi satu menjelang kematiannya bagaikan sapi yang digiring ke tempat penyembelihan. Begitulah, dunia dirundung kelapukan dan kematian, maka dengan memahami sifat-dasar dunia tersebut orang bijaksana tidak berduka cita. Engkau tidak mengetahui dari mana mereka datang dan ke mana mereka pergi. Tak ada juga tujuan yang engkau lihat, maka sia-sialah ratapanmu!

Page 51: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Jika melalui ratapan – yang semata-mata menyakiti diri sendiri, sebagaimana dilakukan si dungu – bisa diperoleh manfaat, orang bijaksana akan melakukannya. Bukan melalui tangis dan dukacita, batin mencapai ketenteraman. Malah lebih banyak dukkha akan dihasilkan dan badan jasmani pun dirugikan. Orang akan menjadi pucat dan kurus – ia semata-mata merugikan dirinya sendiri. Bukan dengan cara demikian masalah kematian ditanggulangi, tak ada gunanya meratap! Dengan tidak membuang duka-cita, orang akan menuai dukkha yang lebih besar; dengan menangisi orang yang telah meninggal, ia masuk ke dalam kekuasaan kematian. Lihatlah orang-orang lain yang mengalami nasib kematian seiring kamma, begitulah makhluk-makhluk di dunia gemetar ketakutan ketika masuk ke dalam kekuasaan kematian. Bagaimana pun mereka memandangnya, pandangannya sungguh berbeda dengan itu, semata-mata begitulah perpisahan – lihatlah sifat-dasar dunia! Meski seseorang hidup selama atau bahkan lebih dari seratus tahun, pada akhirnya, ia harus dipisahkan dari sanak keluarganya dan pada saat itu ia harus meninggalkan kehidupannya. Maka setelah mendengarkan kata-kata para arahat, hentikan ratapanmu. Ketika melihat mayat (orang seharusnya berpikir): “Dia tak akan kutemui lagi.” Sebagaimana seseorang harus memadamkan api yang membakar rumah dengan air, demikian pula seorang yang bijaksana dan tabah, seorang yang bijak dalam masalah kesehatan, dengan segera mengenyahkan kesedihan yang timbul sebagaimana angin kencang meniup kapas. Seseorang yang mencari kebahagiaan mesti mencabut anak panah yang tertancap pada dirinya – ratapan-ratapan dan kerinduan-kerinduan serta duka-citanya sendiri. Dengan tercabut dan terlepasnya anak panah, batin mencapai ketenteraman, mengatasi segala duka-cita, terbebas dari duka-cita dan mencapai kebebasan.

(Salla Sutta, Sutta-Nipata, ayat 574-593)

Page 52: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

77

Khotbah tentang Usia Tua Sang Buddha: Singkat nian kehidupan ini – di dalam batas waktu seratus tahun seseorang meninggal, dan jika seseorang hidup lebih lama, ia akan mati karena kelapukan. Orang bersedih atas apa yang merupakan “miliknya”: Memang kepemilikan itu tidak kekal dan semua miliknya itu tunduk kepada proses kerusakan – lihatlah kenyataan ini dan pergilah menuju kehidupan tanpa rumah! Apa yang dimiliki ditinggalkan pada saat kematian namun masih saja orang berpikir: “itu milikku.” Dengan memahami kenyataan ini, orang bijaksana yang taat kepadaku tidak boleh membuat dirinya hina dengan memandang sesuatu sebagai “miliknya”. Sebagaimana hal-hal yang dijumpai dalam mimpi tidak terlihat oleh orang yang terjaga, demikian pula orang yang dicintai setelah meninggal tidak lagi bisa ditemui. Selagi masih hidup orang dapat dilihat dan didengar serta dipanggil dengan nama ini atau itu, namun setelah meninggal ia hanya menyisakan namanya saja. Keserakahan dalam bentuk “milikku” melanggengkan kesedihan, ratapan dan ketamakan, karena itu para bijaksana melepaskan kepemilikan dan pergi menuju Keselamatan. Tentang seorang bhikkhu yang mengasingkan diri dengan pikiran yang tidak melekat pada apa pun, semua sependapat dan mengatakan “Mestilah ia tak akan lagi puñña-bhava di alam mana pun!”

Page 53: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Dalam segala situasi orang bijaksana tidak bergantung pada apa pun, tiada apa pun yang ia pandang sebagai sesuatu yang berharga atau tidak berharga, kesedihan dan ketamakan tidak dapat mengotori dirinya, sebagaimana air tidak dapat melekat pada daun. Bagaikan daun teratai yang tak terbasahi oleh butiran air, bagaikan bunga teratai yang tidak ternodai oleh air, demikian pula, orang bijaksana tak pernah ternodai oleh apa pun yang dilihat, didengar dan dirasakannya. Sudah pasti, orang bijaksana tidak membentuk gagasan apa pun di dalam pikirannya atas apa yang terlihat, terdengar dan terasakan, tidak juga melalui cara lain ia menghendaki kesucian karena bukan saja ia tidak melekat (karena suka) tapi ia juga tidak menolak (karena tidak suka).

(Jarā Sutta, Sutta-Nipata, ayat 804-813)

78

Perenungan atas Kematian “Tidaklah pasti kehidupan ini: Yang pasti adalah kematian. Tak terelakkan kematian bagiku. Hidupku pasti berakhir dengan kematian. Hidup memang tak pasti. Tapi kematian itu pasti. Kematian itu pasti.”

(Dari cerita ulasan Dhammapada tentang putri Penenun)

79

“Segera setelah malam tiba, atau ketika malam sirna dan fajar menyingsing, seorang bhikkhu melakukan perenungan seperti ini: ‘Sungguh, terdapat banyak kemungkinan bagiku

Page 54: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

untuk mati – saya bisa digigit ular, atau disengat kalajengking atau lipan berbisa – dan dengan demikian hilanglah nyawaku. Inilah antara lain yang bisa menjadi rintangan bagiku. Atau bisa juga saya tersandung dan jatuh tersungkur, atau makanan yang kumakan tidak cocok dengan badanku. Atau air empedu, lendir dan “angin” yang tajam-menusuk bisa membuat saya sakit – dan dengan demkian saya bisa kehilangan nyawa. Juga manusia atau makhluk halus bisa menyerang saya – dan dengan demikian saya bisa kehilangan nyawa. Inilah antara lain yang bisa menjadi rintangan bagiku.' Maka bhikkhu bersangkutan harus merenungkan secara demikian: 'Masihkah ditemukan di dalam diriku faktor-faktor buruk (jahat) merugikan yang belum teratasi yang, seandainya saya akan mati siang atau malam ini, akan membawa saya kepada dukkha?' Dan setelah itu, jika ia menyadari bahwa faktor-faktor itu benar masih ada di dalam dirinya, ia harus dengan sepenuhnya mengerahkan tekad, energi, daya upaya, usaha keras, keteguhan & ketabahan hati, pemusatan perhatian, dan pikiran jernih untuk mengatasi faktor-faktor buruk yang merugikan ini.”

(A. VIII. 74, terjemahan ke bahasa Inggris menurut Y.M. Nyanatiloka pada Buddhist

Dictionary, Hal. 98)

80

Ayat-ayat Arahat Ratthapala Thera yang Ditujukan kepada Raja Koravya yang Telah Tua

Saya melihat orang-orang di dunia ini yang meskipun kaya, karena kebodohan, tidak menyisihkan sebagian dari kekayaannya yang terkumpul untuk memberi. Malah dengan penuh keserakahan mereka terus menimbun kekayaan, dengan nafsu keinginan yang tiada habisnya untuk mengejar lebih banyak kesenangan-kesenangan sensual. Seorang raja yang, melalui kekerasan, menaklukkan dunia dan bahkan menguasai daratan hingga ke tepi laut, akan tidak terpuaskan dengan pantai yang dekat dan masih mendambakan juga pantai yang lebih jauh. Sebagian besar manusia, bukan hanya raja, menghadapi kematian dengan nafsu keinginan yang tidak berkurang. Dengan rencana-rencana yang belum terselesaikan mereka meninggalkan jasadnya, dengan nafsu-nafsu keinginan yang masih belum terpuaskan di dunia ini. Sanak keluarganya meratapinya, mengacak-acak rambut mereka sendiri, seraya meraung-raung: “Aduh! Orang yang kita cintai meninggal!”, kemudian mengusung jenasahnya yang terbungkus kafan

Page 55: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

dan meletakkannya di atas tumpukan kayu api dan membakarnya. Dengan mengenakan hanya sehelai kafan, ia meninggalkan semua miliknya, dan dengan disodok sula ia terbakar. Dan setelah kematiannya, tiada seorang pun dari sanak keluarga atau teman atau mitranya yang dapat menawarkan perlindungan kepadanya. Sementara para ahli warisnya mengambil alih kekayaannya, ia harus meninggal seiring kammanya. Dan ketika ia meninggal, tiada apa pun yang dapat mengikutinya: baik anak, isitri, kekayaan ataupun tanah kerajaan. Usia panjang tidak dapat diraih dengan kekayaan, pun tidak dapat kemakmuran menangkal usia tua. Singkat benar kehidupan ini, sebagaimana dikatakan para bijaksana, tidak dijumpai kekekalan di dalamnya, yang ada hanyalah perubahan. Baik yang kaya maupun yang miskin mesti merasakan sentuhan sang Kematian, demikian pula, baik yang bodoh maupun yang bijaksana mesti merasakannya. Namun sementara si bodoh tergeletak seakan terbunuh karena kebodohannya, orang bijaksana tak akan gemetar ketika terkena sentuhan sang Kematian. Maka pengertian, yang merupakan jalan mencapai tujuan, itu lebih penting daripada kekayaan apa pun; karena mereka yang belum mencapai tujuan akan terus mengembara, dalam kebodohan, dari satu eksistensi ke eksistensi yang lain, seraya melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Karena seseorang menuju ke rahim dan alam kehidupan berikutnya, memulai lagi dengan babak kehidupan selanjutnya, maka orang lain, yang, tanpa pengertian lagi, mempercayainya, juga menuju ke rahim dan alam kehidupan berikutnya. Persis seperti perampok yang tertangkap dalam aksinya dicap sebagai penjahat karena kammanya sendiri, demikian pula orang-orang yang jahat setelah kematian, di alam kehidupan berikutnya dicap sebagai penjahat karena kamma mereka sendiri. Nafsu-nafsu keinginan atas kenikmatan indra yang memikat pikiran, manis, dengan berbagai cara mengganggu pikiran;

Page 56: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

karena melihat bahaya di dalam nafsu-nafsu keinginan atas kenikmatan indra, maka pergilah saya menempuh kehidupan tanpa rumah, O raja.

(Dari Majjhima Nikaya No. 82, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Y.M. Nyanamoli Thera)

81 “Sungguh singkat kehidupan manusia ini, terbatas, cepat berlalu, penuh dengan

kesengsaraan dan kesakitan. Kehidupan ini bagaikan tetesan embun yang lenyap segera setelah matahari terbit; bagaikan gelembung air; bagaikan garis yang ditarik di atas air; bagaikan aliran air deras yang meyeret segala sesuatu dan tak pernah berhenti; bagaikan lembu peliharaan yang menunggu-nunggu waktu penyembelihannya.”

(A.VII.70, terjemahan ringkas menurut

Y.M. Nyanatiloka pada Buddhist Dictionary, hal. 99)

82 Jika “aku” mengalami kematian ketika Kantung Tulang ini berhenti bekerja, maka

perasaan sakit benar-benar mengerikan, namun jika hanya kantung tulang ini saja yang berhenti bekerja, maka ...?

83

A. Apa yang akan mati? B. Saya yang akan mati! A. Omong kosong! B. Maksudmu? A. Badan jasmani akan mati. Kamu akan mati hanya apabila kamu mengidentifikasikan

badan jasmani sebagai dirimu. B. Suatu pemikiran yang bagus. Maka saya tidak akan mati. Saya akan hidup

selamanya. A. Bisa saja, jika itu yang kamu kehendaki. Tapi coba renungkan penderitaan, kelahiran

dan kematian, berulang kali. B. Bagaimana caranya untuk membebaskan diri darinya? A. Sebagaimana kamu tidak mengidentikkan dirimu dengan badan jasmani, maka

berusahalah untuk tidak mengidentikkan dirimu dengan pikiran.

Page 57: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

B. Wah! Mana bisa! Tidak mungkin Aku tidak mengidentikkan diri dengan pikiranku. Cuma ada satu aku.

A. Seandainya kamu melihat tiada aku, seandainya hanya ada kekosongan, dan tiada aku yang merasakannya, apa gerangan?

B. Oh!

84

Menarik bahwa semua agama memiliki kepedulian yang begitu besarnya atas badan

jasmani yang telah mati. Beraneka ragam upacara diselenggarakan mengelilingi gumpalan daging tak bernyawa yang tengah membusuk. Malah setiap agama benar-benar peduli dengan apa saja yang dipandang sebagai proses kelanjutan. Itu menunjukkan bahwa kemelekatan terhadap badan jasmani sebagai 'seseorang' itu sangat kuat.

Dan “badan jasmani yang telah mati” itu disebut “orang mati” yang merupakan lawan kata

dari “orang hidup”. Tetapi bagi seorang Buddhis, tidak ada orang mati, yang ada hanyalah mayat-mayat yang membusuk. Secara paradoksal, seseorang, apabila tidak menganut konsep personalitas, tidak pernah mati.

85 Penduduk desa di negara-negara Buddhis seringkali memiliki pengertian yang lebih baik

atas badan jasmani dan kematian badan jasmani ketimbang orang-orang Barat yang terpelajar. Penduduk desa di negara-negara Buddhis mempunyai banyak kesempatan untuk pergi ke vihara setempat, atau untuk menemui guru meditasi terdekat. Dan apa yang mereka dengar? Mereka mendengar dan mendengar lagi ucapan ANICCA, DUKKHA, ANATTA* atas semua bagian dari manusia, baik batin maupun jasmani. Dengan sering mendengarnya, pengertian itu meresap ke dalam pikiran mereka, sehingga, sekalipun mereka belum pernah menembus Tiga Ciri Eksistensi ini di dalam diri mereka sendiri, setidaknya mereka memiliki sikap menerima kebenaran itu hingga tingkat tertentu. Itu membantu mereka untuk bersikap menerima kelapukan, kesakitan, dan kematian. Dan mereka melihat handai taulan dan sanak saudara diperabukan, tidak di dalam kapel yang mewah disertai musik lembut, rona-rona kekhidmatan dan oven yang tersembunyi, tetapi di atas tumpukan kayu gelondong di dalam hutan. Begitulah pembakaran mayat – di situ tercium bau daging yang menyengat ... dan badan ini juga akan mengalami hal yang sama,

Hal-hal ini baik untuk disaksikan. Hal-hal ini merupakan pemandangan yang sehat dan membawa manfaat. Tidak ada kebohongan berupa kekhidmatan palsu, semua berlangsung sebagaimana adanya. Tanpa tédéng aling-aling.

Page 58: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

* Ketidak-kekalan, Ketidak-memuaskan, Tiada-diri

86

Orang yang hidup di lingkungan Buddhis yang telah begitu sering mendengar ajaran

tentang ANICCA, ketidak-kekalan, lebih siap untuk bersikap menerima kematian sebagai keadaan yang biasa ketimbang kebanyakan orang Barat. Usia tua, kesakitan dan kematian lebih diterima oleh orang-orang Buddhis sebagai bagian alami dari kehidupan seperti kelahiran. Orang tidak meratapi kelahiran seorang anak – meskipun itu cukup menyakitkan bagi ibu maupun anak – maka mengapa orang mesti meratapi kejadian-kejadian alami berikutnya? Orang-orang Buddhis, yang memahami Dhamma secara baik, berbicara secara wajar dan tenang tentang usia tua dan kematian mereka karena mereka telah merenungkan ANICCA atas segala sesuatu di dunia ini (dan sebarang dunia lainnya).

87 Tidak ada cara yang dapat menyamai hidup di gubuk kecil di dalam hutan tropis untuk

membuat orang menyadari bahwa begitu mudahnya badan jasmani ini mendapat berbagai macam serangan. Betapa makhluk-makhluk yang sangat kecil bisa menyusahkan jika tidak membahayakan badan jasmani ini. Penduduk kota tidak menyadari hal ini dan mungkin mudah memperoleh perasaan keamanan yang palsu. (Semua rumah-rumah kecil rapi pinggiran kota yang berjajar teratur ...)

Hal lain yang benar-benar diperlukan dalam kehidupan di hutan belantara adalah

kesadaran penuh. Kesadaran penuh atas tempat ia menginjakkan kakinya, terutama di dalam kegelapan. Dan juga seseorang tidak dapat hidup di dalam hutan tanpa cinta kasih, karena semua jenis makhluk-makhluk lain berada begitu dekat dengan dirinya, berada dekat dengan badan jasmani ini yang keselamatannya ia khawatirkan. Cinta kasih melepaskan seseorang dari kebencian-kebencian dan kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu.

88 Begitu banyak hal yang menakutkan kita – semua hal di luar sana – hantu, kegelapan,

orang yang tak dikenal, kesepian, dan sebagainya. Tetapi hal-hal yang sesungguhnya menakutkan – keadaan berbahaya batin-dan-jasmani ini – tak pernah kita lihat.

Page 59: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

89 Badan jasmani mempunyai sebuah sisi yang oleh kebanyakan orang tidak ingin diketahui

dan dimengerti. Kita hendak menyembunyikan kotoran-kotoran, bebauan, sendawa dan kentutnya, kita mengabaikan dan melupakan hal-hal itu. Namun akhirnya, ketika tergeletak tak berdaya menjelang kematian, bebauan busuk dan najis ini tidak lagi bisa disembunyikan.

90 Merupakan pelajaran yang bermanfaat jika seseorang mendapatkan kesempatan untuk

pergi ke autopsi dan melihat para dokter dan perawat menyobek sesosok mayat menjadi beberapa potong. Matanya tidak siap untuk melihat peristiwa ini sekalipun sebelumnya ia pernah melihat seorang penjual daging memotong-motong daging. Dan hidungnya bisa terserang secara keras pula oleh bau amis yang menyengat dari pembusukan jika badan jasmani yang dibedah itu telah menjadi mayat selama beberapa hari. Melihat peristiwa ini merupakan pengalaman Dhamma tertentu bagi seseorang: bahwasanya badan jasmani itu benar-benar terkondisi dan sekedar merupakan kepingan-kepingan yang membusuk. “Sebagaimana badan jasmani ini, begitulah mayat itu sebelumnya; sebagaimana mayat itu, begitulah badan jasmani ini kelak.”

91 Pelbagai rangkaian hal-ihwal yang serupa dengan sepuluh tahap kelapukan badan

jasmani berikut ini sering diilustrasikan di dalam seni Buddhis tradisional, di dalam buku-buku kuno dan pada dinding-dinding candi/vihara, sebagaimana yang banyak terlihat di Thailand. Ilustrasi-ilustrasi ini bagaikan resep-resep khusus untuk penyakit nafsu berahi:

• sesosok mayat yang membengkak (menyembuhkan dari keterikatan pada keindahan

wujud) • sesosok mayat yang menghitam atau membiru (menyembuhkan dari keterikatan

pada warna dan corak kulit) • sososok mayat yang membusuk bernanah (menyembuhkan dari keterikatan pada

bau badan dan wangi parfum) • sesosok mayat yang digerogoti binatang (menyembuhkan dari keterikatan pada

kegairahan atas tonjolan-tonjolan berdaging pada tubuh) • sesosok mayat yang telah hancur lebur/berantakan (menyembuhkan dari keterikatan

pada kelemah gemulaian anggota badan)

Page 60: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

• sesosok mayat yang berlumuran darah (menyembuhkan dari keterikatan pada keindahan dekoratif tubuh dengan pelbagai perhiasan)

• sesosok mayat yang dikerubungi belatung (menyembuhkan dari keterikatan pada badan jasmani sebagai milik seseorang)

• sesosok kerangka yang terjaga kesatuannya oleh otot-otot (menyembuhkan dari keterikatan pada struktur tulang yang baik)

• tulang-tulang yang berserakan (menyembuhkan dari keterikatan pada badan jasmani sebagai 'satu sosok')

• tulang-tulang yang membusuk dan membubuk (menyembuhkan keterikatan pada badan jasmani sebagai wujud yang kekal)

92

Badan Jasmani ini ... Mayat yang tergeletak dalam proses pembusukan ini, tanpa kesadaran, menjadi mangsa ulat dan lalat, yang telah hilang pikiran dan semangatnya, menggambarkan situasi akhir manusia. Timbul di sebuah rahim manusia, suatu tenunan hasil perkakas tenun yang bermesin nafsu sensual dan hasrat-untuk-menjadi. Jasmani tumbuh bertambah panjang bagaikan sebatang pohon, namun batin, yang terpupuk dengan nafsu-nafsu tak senonoh yang berkecamuk di dalamnya bagaikan rasa lapar yang meraung-raung, diberi makan secara berlimpah-limpah oleh pengobar nafsu indra-indra dalam pembaruan-diri yang terus menerus. Terbarui sendiri dan terhabisi sendiri, sebuah pergolakan yang terus menerus menggelegak dalam perjuangan, harapan-harapan dan kekuatiran-kekuatiran yang sia-sia, secara silih berganti dari tahun ke tahun: dari masa kanak-kanak, ke masa remaja, hingga masa dewasa, dalam kesia-siaan mencari keselamatan, dalam kesia-siaan mencoba memadamkan api melalui pemuasan hawa nafsu. Dan dari hari ke hari bersama setiap nafas,

Page 61: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

pada setiap denyut jantung bersama suatu kematian kecil, tercuri sebagian kekuatan vital badan jasmani dari sumbernya yang melemah. Secara diam-diam badan jasmani terus digangsir, hingga kemudian merasakan kepedihan-kepedihan karena kesehatan yang menurun.

(Francis Story: Dari The Buddhist Outlook)

93

Ayat-ayat Arahat Kulla Thera pada penglihatannya atas sesosok mayat

Di kawasan penyimpanan mayat, saya melihat, terdampar sesosok mayat perempuan yang terbuang di tanah pekuburan, yang tengah dikerubungi dan digerogoti oleh para belatung. Sebuah tumpukan yang busuk, Kulla, lihatlah – yang merupakan sarang penyakit, dengan najis yang keluar dan mencucur dari sana sini tempat para dungu menemukan kesenangan. Badan jasmani ini telah saya periksa secara saksama – luar dalam hampa tak berarti – dengan menggunakan kaca mata Dhamma untuk mencapai Pengetahuan dan Penglihatan. Sebagaimana badan jasmani ini sekarang, begitulah mayat itu dulu; sebagaimana mayat itu sekarang, begitulah badan jasmani ini nanti. Sebagaimana kotor badan jasmani ini, begitu pula kotor mayat itu, dan sebagaimana halnya badan jasmani ini, begitu pula halnya mayat itu. Sebagaimana halnya badan jasmani di siang hari, begitu pula halnya badan jasmani di malam hari; sebagaimana halnya di malam hari, sama halnya di siang hari. Tiada kesenangan – bahkan dari musik kuintet sekalipun – yang dapat menyamai kesenangan yang didapatkan dari penglihatan Dhamma secara benar yang menyertai pemusatan pikiran.

(Theragatha, 393-398)

Page 62: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

“Pengetahuan dan Penglihatan” – pengertian sejati (vipassanā) – yang ditembus thera ini di dalam dirinya sendiri adalah:

Yang pertama, pengertian bahwa tiada perbedaan antara badan jasmani yang masih

hidup dan yang telah mati – hanya waktulah yang membedakan. Kemudian, pengertian atas badan jasmani yang telah mati sebagai sesuatu yang sama

sekali kotor – tanpa ketertarikan (=keserakahan) ataupun kejijikan (=kebencian) atas hal ini – yang diikuti dengan penerapan pengertian ini atas badan jasmaninya sendiri.

Lalu, pengertian bahwa pada segala waktu, siang atau malam, badan jasmani memiliki

kualitas yang sama – bukan diinginkan pada waktu-waktu tertentu dan tidak diinginkan pada waktu lainnya

Thera ini telah menemukan kesenangan dalam penglihatan Dhamma secara benar yang

jauh lebih melimpah ruah ketimbang sebanyak-banyaknya kesenangan yang diperoleh dari kenikmatan-kenikmatan indra – yang sebagai contoh di sini adalah musik kuintet.

94

Penyanggah spiritual: “Semua perenungan atas mayat-mayat dan penglihatan bagian-bagian badan jasmani ini

benar-benar mengerikan. Seseorang seharusnya memandang badan jasmani sebagai vihara suci dari sang jiwa.”

Upasaka praktisi:*

“Bertentangan sekali dengan watakku untuk menatap potongan-potongan badan jasmani

ini dan melihat bahwa tidak ada sesuatu pun yang menarik pada mereka. Tetapi perilaku yang mengikuti arah watakku ini merintangi pembebasan. Mengagungkan badan jasmani sama dengan menyerahkan diri kepada jeratan nafsu keinginan akan badan jasmani.” * Umat awam Buddhis yang menegakkan lima atau delapan sīla.

Page 63: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

95

Dokter: Saya tak bisa memahamimu apabila kamu mengatakan bahwa badan jasmani itu tidak indah; bagi saya, badan jasmani merupakan alat mekanik yang sangat bagus!

Bhikkhu: Masalah yang menyertai pandangan “kebagusan badan jasmani” itu ialah bahwa

pandangan itu berdekatan dengan kegairahan (nandi) dan kegairahan atas badan jasmani merupakan nama lain dari nafsu keinginan, akar dari dukkha. Memahami ketidak-indahan badan jasmani merupakan perlawanan terhadap nafsu keinginan.

96 “Kamu salah, bung, sex itu benar-benar alami, seperti aktifitas pernafasan – sesuatu,

yang tidak bisa tidak, harus kamu lakukan. Persis seperti makan. Ia merupakan aktifitas alamiah yang indah!”

“Tidak benar! Pembandinganmu tidak tepat.” “Kenapa? Maksud kamu sex itu tidak alamiah?” “Ya, sex itu alamiah bagi orang yang hatinya dipenuhi nafsu, yang dalam hal ini adalah

nafsu seksual atau nafsu berahi. Namun nafsu berahi merupakan rintangan bagi pengembangan kesucian batin. Lagi pula pembandinganmu terhadap pernafasan dan aktifitas makan tidak tahan uji. Pernafasan merupakan aktifitas tubuh yang berlangsung secara otomatis. Tidak ada kamma baik atau kamma buruk yang dibuat karena tidak diperlukan niat guna menghasilkan keputusan untuk melakukan aktifitas bernafas!

Aktifitas makan berbeda karena meskipun diperlukan untuk menghidupi badan jasmani,

ia bertautan dengan niat, karena itu terjadi kamma. Ketika keserakahan atas makanan timbul, terjadilan kamma buruk yang buahnya akan berupa penderitaan. Tetapi apabila makanan disantap dengan perhatian murni dan sekadar demi kelangsungan hidup badan jasmani, maka terjadilah kamma baik yang terpantul dari perhatian murni.

Sex berbeda dari kedua hal ini. Tidak ada aktifitas seksual yang berlangsung tanpa nafsu

atau berahi: ini merupakan salah satu dari faktor-faktor mental yang tidak sehat – ia tak pernah bisa secara kamma merupakan hal yang menguntungkan – sehingga terjadilah kamma yang merugikan yang memiliki sifat alami mengurung pikiran di dalam hal-hal sensual.”

Page 64: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

“Itu merupakan gambaran yang terlalu kelam atas sex!” “Tidak, itu merupakan kenyataan. Tentu saja, keadaan-keadaan batin akan berubah-

ubah selagi seseorang melakukan aktifitas seksual – lebih banyak berahinya dan lebih sedikit kasih sayangnya atau lebih sedikit berahinya dan lebih banyak kasih sayangnya. Lebih banyak berahi (seperti ketika sex bersifat komersial) berarti lebih banyak kamma buruk. Lebih banyak kasih sayang, seperti antara dua orang yang memiliki ikatan kasih sayang yang kuat, berarti lebih sedikit kamma buruk dan lebih banyak kamma baik. Kamma dalam kasus yang belakangan disebut kamma yang gelap dan terang, dengan hasil yang gelap dan terang.”

97

Seorang Manichee* dan Seorang Buddhis

M. Semua itu merupakan karya Setan – badan jasmani yang kotor ini. Kami setuju denganmu, para penganut Buddhisme, tentang hal itu.

B. Benar, badan jasmani ini, apabila diselidiki, memang tidak menyenangkan, tetapi kami

tidak mengatakan bahwa itu diciptakan oleh Setan. M. Tetapi semua materi itu jahat, kotor, menyeret jiwa ke dalam kegelapan, sebagaimana

dikatakan oleh Mani, nabi kami. B. Tetapi itu bukan perkataan Sang Buddha. Materi tidak lain hanyalah unsur-unsur tanah,

air, api dan udara yang sungguh bersifat netral, tidak baik dan tidak juga jahat. Mereka membentuk badan jasmani karena kamma yang dibuat oleh para makhluk – baik kamma baik maupun kamma buruk menyebabkan pembentukan badan jasmani.

M. Tetapi kamu pasti mengakui bahwa badan jasmanimu merupakan perintang bagi

pencapaian keadaan-keadaan spiritual. Kamu harus memberinya makan dan mengistirahatkannya, mengobatinya ketika ia sakit. Karena kemalangan badan jasmanilah sang jiwa tertindih.

B. Tidak, saya tidak mengakui itu. Badan jasmani merupakan landasan dan kendaraan

untuk latihan sehingga orang harus merawatnya tanpa memanjakannya. Meski badan jasmani harus makan, tidur, kencing, berak dan terkena penyakit juga, pada saat-saat ini kita harus menegakkan perhatian murni, yang bisa dilaksanakan selama kita tidak tidur.

Page 65: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Bahkan kesulitan-kesulitan badan jasmani dapat digunakan di dalam praktik Dhamma. Dan apa kaitannya ini dengan jiwa yang tertindih?

M. Lah, itu kan aspirasi-aspirasi murni, pemikiran-pemikiran murni, keadaan-keadaan

hening kontemplasi – yang merupakan awal dari penemuan jiwa. B. Oh, kalau begitu, aspirasi-aspirasi yang tidak murni, pemikiran-pemikiran dan keadaan-

keadaan batin yang kacau balau pasti bukan jiwa! Kamu mesti menyelidiki semua keadaan mental, baik yang murni maupun yang tidak murni, baik yang tenang maupun yang kacau, dan dapati apakah ada dari antara mereka itu yang substansial dan permanen. Menurutmu, apa yang akan kamu dapati?

M. Memang, mereka mengalami perubahan. Tetapi di balik itu semua adalah jiwa yang

murni dan hening, yang kekal tak berubah. B. Tetapi, apakah kamu sudah mengalami hal ini ataukah kamu tengah sekadar

menyampaikan dogma atau kepercayaan tertentu? M. Ya, saya kira saya sudah mengalaminya. Tatkala itu orang terbebas dari kekangan

badan jasmani ini. B. Sungguh, kamu perlu mengkaji semua keadaan mental, sebagaimana saya katakan

tadi, dan badan jasmani juga, dalam sorotan yang sama. Mereka semua Anicca, Dukkha, Anattā ...

M. Apa ...? B. Maaf! Saya sangat terbiasa menggunakan kata-kata itu sehingga terlepas dari lidah

saya tanpa disadari! Mereka berarti tidak kekal, tidak memuaskan dan tanpa diri. Apabila kamu memandang mereka seperti ini, kamu tidak akan mencintai jiwa dan tidak pula membenci badan jasmani. Artinya, sebagai seorang Buddhis, kamu tidak bertaut kepada ketenangan murni dan mengidentifikasikannya sebagai jiwamu atau dirimu, tidak juga kamu menolak badan jasmani ini. Jangan menyalahkan badan jasmani yang tua dan lemah ini! Ia tidak patut disalahkan.

M. Tetapi Mani mengatakan begitu. B. Baiklah kalau begitu, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan. Siapakah yang

membuat keputusan dan melakukan pemilihan, badan jasmani ataukah pikiran?

Page 66: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

M. Tentu saja pikiran yang memutuskan. B. Lalu kenapa badan jasmani disalahkan? Ia tidak jahat, tidak juga merupakan kegelapan

materi. Badan jasmani yang tua dan lemah ini hanyalah terseret oleh keputusan-keputusan yang dibuat oleh pikiran.

M. Tetapi kalian, para Buddhis, mempraktikkan perenungan badan jasmani sebagai

kotoran. Saya pernah membaca tentang hal itu. B. Benar, tetapi itu tidak berarti bahwa badan jasmani itu jahat. Meditasi jenis itu hanyalah

untuk menghentikan kemelekatan pada keindahan badan jasmani. Itu merupakan kemelekatan di dalam pikiran orang itu sendiri. Jadi, bukan Setan atau pencipta kejahatan yang menyebabkan pikiran seseorang terus terikat pada kesenangan-kesenangan sensual. Carilah pencipta kejahatan di dalam dirimu sendiri – ia bernama kemelekatan, keserakahan, nafsu keinginan, nafsu berahi – dan kegiatannya akan terhentikan oleh perenungan atas ketidak-menarikan badan jasmani. Pencipta kebaikan ada di situ juga, pikiran yang menciptakan keadaan-keadaan mental murni, pengalaman Jhana dan sebagainya. Tetapi semua penciptaan ini menahan seseorang dalam lingkaran puñña-bhava , tahu ...!

* Agama dualisitis yang menggabungkan unsur-unsur Zoroastri, Kristen, Gnostik dan

kepercayaan-kepercayaan lain dalam teologi tentang perebutan kekuasaan kosmis antara Tuhan (terang, Tuhan, roh) dan Iblis (kegelapan, Setan, materi). Agama ini didirikan oleh Mani (nama lengkapnya Manichaeus) di Persia pada abad ke-3. Penerjemah.

98

A. Hei, bung! Kenapa kamu mencukur habis rambut dan jenggotmu? Rambut bersifat alamiah untuk dimiliki tetapi kalian, para bhikkhu, mencukurnya habis. Kita harus memeliharanya, memelihara kealamiahannya, memelihara keindahannya.

Bhikkhu: Ia dicukur habis karena dua alasan. Pertama, ia menghiasi badan jasmani ini.

Orang-orang menyukai hiasan. Itu sangat penting dalam kehidupan awam. Tetapi para bhikkhu menyukai badan jasmani tanpa dandanan, tanpa sesuatu yang menarik perhatian, agar mereka dapat benar-benar melihatnya sebagaimana adanya.

A. Wah, seperti apa sesungguhnya badan jasmani itu?

Page 67: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

B. Jika kamu menyukai badan jasmani sebagaimana adanya, “secara alamiah”, kamu mesti mencoba tidak mandi, tidak menyikat gigi atau membersihkan kuku, tidak menyisir rambut – dan sebagainya. Bahwasanya badan jasmani dan bagian-bagiannya itu hanya indah jika dibersihkan juga merupakan kenyataan “alamiah”.

A. Lalu, selain rambut menghiasi badan jasmani seperti yang kamu katakan tadi, apa

alasanmu yang lain? B. Merupakan suatu samaran, jenggot dan kumis itu – merupakan sesuatu untuk

menyembunyikan hal-hal di baliknya, suatu kedok. Apabila tidak ada rambut pada kepala dan wajahmu, kamu tidak mempunyai kedok untuk menutupi apa-apa di baliknya. Alamiahkah atau baguskah menyembunyikan pelbagai hal? Tidakkah lebih baik untuk membiarkan hal-hal itu terlihat sebagaimana adanya? Siapa gerangan yang bisa memecahkan masalah dengan menyembunyikannya? Pencukuran habis rambut dan jenggot juga melambangkan penggundulan kecongkakan dan kebanggaan diri yang mesti dilaksanakan secara terus menerus dan secara saksama sepanjang tahun-tahun latihan.

99

Kesia-siaan Kegairahan untuk bersenang-senang demi perasaan-perasaan menyenangkan yang cepat berlalu yang bertaut kepada ketidak-kekalan. Dua kantung yang berdenyut yang saling berlekatan betapa menyedihkan! Berpaut pada yang tak dapat dipegang berpaut pada keberubahan bagai berpaut pada segenggam air. Beberapa saat kebahagiaan yang didapat dalam hubungan seksual terhadap mana dunia bergairah. Ia terbakar, oleh api kegairahannya

Page 68: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

terhadap orang lain, kenapa ia tidak merasa sakit? Penderitaan mesti diredakan, dia beranggapan, dengan menyatukan dua api. Satu api tidak cukup, jika digabungkan dengan api yang lain betapa lebih-lebih lagi membakarnya? Terbakar hangus dan menyala-nyala makhluk-makhluk berlari dari satu api ke api yang lain. Api yang lain, yang lain lagi, seakan-akan api dapat dipadamkan dengan api. Padam, tiada lagi api, kedamaian nan sejuk tak ada yang mendambakannya. Mengisi tungku-tungku dengan onggokan-onggokan kayu untuk semakin membesarkan kobaran api itulah ciri khas dunia. Arus perbuatan yang menuju ke pelbagai alam neraka dan binatang api-api nafsu yang hebat membakar tanpa henti. Mengapa kita tak pernah jemu dengan kondisi terbakar ini? “Panas tapi manis” kata mereka. Bersenang-senang itu bagaikan tindakan seorang penderita kusta yang mencungkil keropeng-keropengnya untuk sedikit mengurangi rasa sakit.

Page 69: Kantung Tulang _a4_ Revisi 2

Perasaan sakit, hal-hal yang menyakitkan betapa penuhnya dengan penderitaan memang seluruh Samsara – makhluk-makhluk tidak menginginkan penderitaan dipenuhi dengan kecintaan akan kesenangan, kesenangan-kesenangan yang mengantarkannya kepada Dukkha.

100

Vihara yang Hening Di mana keheningan berkuasa, di situlah Sang Buddha bersemayam. Ia tinggal sendirian, dengan wajahNya sebagai satu-satunya wajah yang orang harus selalu melihatnya, jauh di dalam vihara yang selalu merupakan pusat dari rumah ini – Di manakah ia ditemukan? Daging sebagai dinding-dinding dan tulang-tulang sebagai balok-balok, dengan lima jendela untuk melihat dunia, sementara si dungu nan tolol berkelana menjelajahi ruang-ruang kosong; Betapa lambatnya ia menemukan vihara itu, betapa tertatih-tatihnya langkah-langkahnya yang tak pasti itu! Dengan pikiran yang kacau, bingung, ia meraba-raba mencari pintu – engsel-engselnya berkarat, lama terkunci dan tak digunakan, kayunya memuai dan memacetkan pintu yang telah lapuk itu. Kapankah dia, orang yang tolol ini, akan melihat? Kapankah dia akan melihat wajah kedamaian purbakala? Kapankah dia akan berpujabakti di vihara itu? Kapankah dia akan mengenal Jalan dan Hasil? Kapankah dia akan menemukan keheningan tempat Buddha bersemayam?

TAMAT