kapital dalam masyarakat dan pengaruhnya
TRANSCRIPT
KAPITAL DALAM MASYARAKATDAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS HIDUP
(Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar di Buleleng - Bali )
DISERTASIDiajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
KETUT GEDE MUDIARTA0706222782
UNIVERSITAS INDONESIAFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI SOSIOLOGIDepok, 2010
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah dinyatakan dengan benar
Nama : Ketut Gede Mudiarta
NPM : 0706222782
Tanda Tangan :
Tanggal : 22 Nopember 2010
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
iii
HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI
Disertasi ini diajukan oleh :
Nama : Ketut Gede MudiartaNPM : 0706222782Departemen : SosiologiJudul Disertasi : KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KUALITASHIDUP (Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar diBuleleng –Bali)
Promotor
Iwan Gardono Sudjatmiko, Ph.D
Ko Promotor
Dr. Der Soz. Rochman Achwan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
iv
HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI
Disertasi ini diajukan oleh :
Nama : Ketut Gede MudiartaNPM : 0706222782Departemen : SosiologiJudul Disertasi : KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KUALITASHIDUP (Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar diBuleleng –Bali)
Promotor
Iwan Gardono Sudjatmiko, Ph.D
Ko Promotor
Dr. Der Soz. Rochman Achwan
MENGETAHUI,KETUA PROGRAM PASCASARJANA
DEPARTEMEN SOSIOLOGIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Lugina Setyawati, Ph.D.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
v
HALAMAN PENGESAHAN
Disertasi ini diajukan oleh :
Nama : Ketut Gede MudiartaNPM : 0706222782Departemen : SosiologiJudul Disertasi : KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KUALITASHIDUP (Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar diBuleleng –Bali)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagaibagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor dalambidang Sosiologi pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Promotor : Iwan Gardono Sudjatmiko, Ph.D. (.................................................)
Ko Promotor : Dr. Der Soz. Rochman Achwan (.................................................)
Tim Penguji : Prof. Paulus Wirutomo, Ph.D (Ketua) (................................)
Lidya Triana, Msi (Sekretaris) (................................)
Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang (Anggota) (................................)
Dr. Rusydi Syahra (Anggota) (................................)
Dr. Linda Darmajanti, MT (Anggota) (................................)
Lugina Setyawati, Ph.D. (Anggota) (................................)
Ditetapkan di : DepokTanggal : 22 Nopember 2010
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahaesa penulis panjatkan, karena penulis
selalu memperoleh rahmat dan limpahan karunia Nya dalam menyelesaikan
Disertasi ini tepat pada waktunya. Penulisan Disertasi ini merupakan tugas yang
sangat berat dan penting bagi upaya penulis dalam pencapaian karir akademik
tertinggi, dan memberi kebanggaan pada diri dan keluarga penulis, serta institusi
tempat penulis bekerja.
Secara umum, Disertasi ini bertujuan untuk mengetahui penguasaan kapital
dalam masyarakat dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup, ditinjau dari persepsi
masyarakat. Secara khusus, studi ini bertujuan untuk menjelaskan potensi masing-
masing jenis kapital yakni kapital sosial, kapital budaya, kapital politik, dan kapital
ekonomi dalam mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Untuk memperdalam
analisis, studi ini juga menjelaskan peran pemerintah, swasta, dan potensi komunitas
lokal dalam mempengaruhi penguasaan kapital dan kualitas hidup masyarakat. Topik
Disertasi ini secara konsisten penulis kembangkan sejak penulis menyusun Pra-
Proposal sebagai syarat masuk Program Doktor Sosiologi tahun 2007, di Universitas
Indonesia. Penyelesaian Disertasi ini tidak terlepas dari berbagai masukan bagi
pengembangan dan penyempurnaan Disertasi selama masa studi, antara lain melalui
proses pembelajaran dan perkuliahan, ujian Pra Kualifikasi, Ujian Proposal, Ujian
Seminar Hasil, dan bimbingan yang sangat berharga dan sedemikian tulus dari
Promotor dan Ko Promotor penulis, hingga pelaksanaan Ujian Prapromosi dan
Promosi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih yang sangat tulus kepada semua pihak yang secara langsung maupun
tidak langsung membantu penulis dalam penyelesaian Disertasi ini.
Pertama-tama penghargaan dan terima kasih yang sangat tulus penulis
sampaikan kepada Bapak Iwan Gardono Sudjatmiko, Ph.D selaku Promotor serta
Bapak Dr.der Soz Rochman Achwan selaku Ko Promotor, yang telah banyak
membimbing dan memberikan arahan yang mendalam serta selalu memotivasi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
vii
penulis untuk menyelesaikan Disertasi ini. Saya bangga memiliki kesempatan belajar
dan memperoleh bimbingan yang sedemikian intensif dan mendalam dari beliau.
Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak
Prof Dr. Paulus Wirutomo selaku ketua Dewan Penguji, Prof Dr. Robert M.Z.
Lawang selaku penguji internal, Bapak Dr. Rusydi Syahra dari LIPI sebagai penguji
eksternal, Bapak Dr. Iwan Tjitradjaja selaku ketua Tim Penguji Prapromosi, Ibu
Lugina Setyawati, PhD selaku anggota Dewan Penguji sekaligus Ketua Program
Doktor Sosiologi Univesitas Indonesia. Terima kasih kepada Dekan FISIP UI, Prof
Dr. Bambang Shergy Laksmono dan kepada Ketua Departemen Sosiologi, Ibu Dr.
Linda Darmajanti Ibrahim sekaligus sebagai anggota penguji, yang telah
membimbing dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh dan
menyelesaikan studi.
Pada kesempatan ini, penulis juga sangat berterima kasih dan menyampaikan
penghargaan yang tulus kepada seluruh staf pengajar Departemen Sosiologi UI
terutama kepada Bapak Prof Dr. der Soz Gumilar R Sumantri yang dalam kesibukan
beliau selaku Rektor UI, berkesempatan memberikan pencerahan dalam perkuliahan
metode kualitatif. Kepada Bapak Prof Dr. Kamanto, Ibu Dr. Meuthia Gani
Rochman, dan Ibu Dr. Rosa Diniari yang telah membimbing proses penelahaan
jurnal internasional, yang sangat bermanfaat bagi kedalaman wawasan penulis.
Selanjutnya kepada Bapak Dr. Ignas Kleden, Ibu Francisia SS Erry Seda, PhD yang
membekali pengetahuan teori-teori sosial dan Sosiologi secara mendalam, serta
Bapak Dr. Fu Xie dan Dr. Heru Prasadja yang membimbing pendalaman metode
statistik dan kuantitatif dibawah koordinasi Bapak Iwan Gardono Sudjatmiko, PhD.
Pengahargaan dan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada segenap
pengajar yang tidak penulis sebutkan satu persatu, dan juga kepada staf program
Doktor Sosiologi UI yakni Ibu Lidya Triana MSi, Pak Santoso S Sos, Mba Vidya,
Mba Rini, dan Pak Agus yang sedemikian tulus membantu penulis, dalam proses
maupun penyelesaian studi.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Kepala Badan
Litbang Pertanian dan Bapak Sekretaris Badan Litbang Pertanian, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh jenjang pendidikan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
viii
tertinggi melalui tugas belajar di Universitas Indonesia dengan biaya dari DIPA
Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Penulis juga sangat berterima kasih kepada rekan-rekan di BPTP Denpasar-
Bali, terutama kepada Ir. Nyoman Adijaya MSi dan Putu Sugiarta, SP serta kawan-
kawan yang telah banyak membantu proses pengumpulan data di lapangan.
Selanjutnya kepada rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program Doktor Sosiologi
UI angkatan 2007, pertemanan dan keakraban selama belajar serta berjuang di UI
sangat mendorong penulis dalam menyelesaikan Disertasi ini. Terima kasih teman
sekaligus sesepuh saya angkatan 2007, kandidat Doktor Bapak Marsdya (Purn)
Koesnadi Kardi dan Kang Gerry Jusuf yang telah mewarnai masa-masa studi dan
diskusi kita selama ini. Demikian juga kepada rekan-rekan lainnya yang telah
kandidat doktor: Mba Kustini, Mba Devy, Mba Waidah, Mas Trisno, Pak Ramly,
Pak Sabar Sitanggang, Mas Faizin, Mas Heru Cokro, Pak Yacob, Pak Servulus, dan
juga teman sekaligus yang saya anggap adik sendiri: Pak Iskandar. Sekali lagi terima
kasih atas kerja sama selama ini sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Semoga
teman-teman semuanya dapat segera menyusul untuk menyelesaikan studi.
Akhirnya penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada
keluarga besar, terutama orang tua, isteri (Dra. Ni Wayan Sri Agustini) dan anak-anak
(Agy dan Ama) tercinta yang sedemikian tulus selalu mendoakan, mendampingi, dan
memberikan semangat serta dukungan yang tidak terhingga selama menempuh studi
program Doktor Sosiologi di Universitas Indonesia.
Depok, 22 Nopember 2010
Penulis
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASITUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
_____________________________________________________
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Ketut Gede MudiartaNPM : 0706222782Program Studi : SosiologiFakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikJenis Karya : Disertasi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
KAPITAL DALAM MASYARAKATDAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS HIDUP
(Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar di Buleleng –Bali)
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas RoyaltiNoneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan,mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari sayaselama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagaipemilik Hak Cipta.
Demikianlah pernyataan saya ini, saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: DepokPada Tanggal: 22 Nopember 2010
Yang menyatakan,
(Ketut Gede Mudiarta)
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
x
ABSTRAK
Nama : Ketut Gede Mudiarta (0706222782)Program Studi : SosiologiJudul : KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KUALITAS HIDUP (Suatu Analisis PersepsiMasyarakat Banjar di Buleleng –Bali)
Disertasi ini bertujuan untuk menjelaskan peran kapital dalam masyarakatdan pengaruhnya terhadap kualitas hidup masyarakat (QoL), ditinjau dari persepsimasyarakat. Upaya memperdalam analisis juga dilakukan dengan membahas perantripartit pemerintah-swasta-masyarakat dalam peningkatan penguasaan kapital dankualitas hidup masyarakat agribisnis berbasis komunitas banjar. Studi inimenggunakan model desain penelitian dominan-kurang dominan, yaknimenggunakan metoda kuantitatif sebagai pendekatan utama yang didukungpendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ditetapkan pada lokasi implementasi PRIMATANI yakni program percepatan akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologipertanian di Bali, tepatnya di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak-Buleleng.
Temuan utama penelitian ini adalah: Pertama, hasil regresi dilanjutkananalisis jalur yang dilakukan menunjukkan bahwa ternyata kapital sosial merupakanfaktor yang paling dominan pengaruhnya bagi peningkatan kualitas hidup,dibandingkan jenis kapital lainya, yakni kapital budaya, politik, dan ekonomi. Kedua,lingkungan institusional berupa peraturan dan kebijakan-kebijakan formal, ataupununsur-unsur baru secara dinamis berjalan menjadi kerangka dalam mengaturtindakan ekonomi aktor atau kelompok pelaku agribisnis, berbasis banjar. Tindakanekonomi aktor, berbasis pada relasi informal yang dilandasi kepercayaan bersama,norma, dan aturan-aturan in-formal banjar yang ternyata memiliki kelenturan(fleksibilitas) yang kuat dalam mewadahi aktivitas anggotanya. Pertalian danpertautan antara lingkungan institusional dengan relasi informal yang mengikattindakan aktor dalam mengejar kepentingan-kepentingannya merupakan sebuahkerangka, yakni kerangka institusional. Pada kerangka itu, peran pemerintah-swasta-komunitas lokal, memainkan fungsi penting bagi peningkatan penguasaan kapitalsosial, budaya, politik, dan kapital ekonomi yang bermuara pada peningkatan kualitashidup komunitas agribisnis berbasis banjar. Tingginya peran kapital sosial dalampeningkatan kualitas hidup mesti didukung intervensi kebijakan dalam halpenganggaran program pembangunan yang dapat merangsang semakin tumbuh danberkembangnya jaringan sosial. Kebijakan agribisnis terutama implementasi inovasiteknologi mesti bersifat tranformatif bagi perubahan budaya dan struktur sosialmasyarakat. Pada sisi lain, investasi pembangunan ruang sosial perlu ditingkatkan,karena investasi bidang ini relatif tertinggal dibandingkan investasi dalam bidangekonomi.
Kata Kunci: kapital, masyarakat, tripartit, kualitas hidup (QoL)
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xi
ABSTRACT
Name : Ketut Gede Mudiarta ( 0706222782)Program Studi : SosiologiJudul : CAPITAL IN COMMUNITY AND ITS INFLUENCE TO THE
QUALITY OF LIFE (An Analysis of Banjar CommunitiesPerception in Buleleng, Bali)
The purpose of the research in general is to analyze the capital in communityand its influence to the quality of life (QoL), analized by the public perception. Inmore spesific way, it explains the role of government, private sector, and localcommunity in influencing capital namely social capital, cultural capital, politicalcapital, and economic capital and their influence to improve the quality of life. Thisstudy applies the dominant –less dominant design model. Main approach appliedquantitative study supported by qualitative approach. This research conducted inlocation of implementation PRIMA TANI namely program disseminationacceleration of agriculture technology innovation in Bali, precisely in Sanggalangit,District of Gerokgak-Buleleng.
The main finding in this dissertation are: First, result of regression and pathanalysis indicates that social capital is the most dominance influence for improvementof QoL, compared to other capital form. Second, in the agribussiness developmentshow that institutional environment as formal regulation and policies, integrated withinformal relationship at the messo and micro levels of individuals and theirinterpersonal ties as institutionalism mechanism. At the mechanism, the role oftripartit, plays necessary function for improvement of capital and improve the qualityof life. Domination of the role of social capital in improvement the QoL must besupported by policy intervention in the case of budgeting and development programswhich can stimulate social networks grows. Implementation of agriculturalinnovation must transformativelly for social changes, both for cultural and structural.Investation for social space need to be improved, because the invesment of this caserelatively lag than in the field of economics.
Keyword: capital, community, the role of tripartit, quality of life.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xii
DAFTAR ISIHalaman
PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAH PEMBIMBIMG DISERTASI ................ iii
HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI ............................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................. x
ABSTRACT ............................................................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xviii
I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.11.1.11.1.2
Latar Belakang .................................................................................Kualitas Hidup (QualityofLife/QoL)Masyarakat ..................................................Peran Tripartit (Pemerintah –Swasta –Masyarakat) dan DinamikaPembangunanPertanian Nasional ..............................................................................
113
1.2 Pokok Permasalahan ........................................................................ 91.3 Pernyataan Tujuan Penelitian ..................................................................................... 101.4 Signifikansi Penelitian ..................................................................... 14
1.4.1 Manfaat PenelitianSecara Akademis ....................................................................... 141.4.2 Aspek Kebijakan ........................................................................................................... 15
1.5 Pertanyaan Penelitian dan Hipotesa .............................................. 16
II. KERANGKA TEORITIS ........................................................ 18
2.12.2
2.2.12.2.22.2.32.2.4
Kerangka Pemikiran .......................................................................Tinjauan Pustaka dan Hasil Studi-studi Terdahulu ......................Teori dan Konsep Kapital dalam Kegiatan Ekonomi .................Kapital Sosial dan Pengembangan Ekonomi Wilayah...................Kapital Budaya dalam Kehidupan Masyarakat.............................Kapital Politik dalam Pengembangan Ekonomi Masyarakat .......
182020253032
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xiii
2.2.5
2.2.6
Sinerji Kapital Ekonomi, Kapital Sosial, dan PotensiSumberdaya Alamiah dalam Pengembangan Agribisnis BerbasisKomunitas .......................................................................................Peran Tripartit Pemerintah, Swasta, dan Komunitas Lokal dalamPerspektif Teori New Institutionalism ............................................
35
382.2.7 Kualitas Hidup (Quality of Life/QoL) dalam Pengembangan Agribisnis
BerbasisKomunitasBanjar........................................................................................... 542.3 Landasan Teori Studi Representasi Kapital dalam Peningkatan
Kualitas Hidup Komunitas Agribisnis Berbasis Banjar di Bali.. 67
III. METODOLOGI ............................................................................ 69
3.1 Subyek Penelitian (Populasi Penelitian) ........................................................... 703.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 733.3 Metoda Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel Penelitian... 74
3.3.1 Metoda Kuantitatif ......................................................... 743.3.2 Pengumpulan data Kualitatif ........................................... 77
3.4 Analisis Data ............................................................................... 803.5 Variabel Penelitian dan Operasionalisasi Konsep ...................... 853.6 ProsesPenelitian .............................................................................................................. 91
IV. KONSTRUKSI SOSIAL KOMUNITAS AGRIBISNISBERBASIS BANJAR DI BULELENG-BALI ........................... 101
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................................. 1014.2. Profil Demografi Masyarakat Sanggalangit ................................... 1044.3 Struktur Sosial Masyarakat ............................................................ 1064.3.1 Sistem Perekonomian Masyarakat Sanggalangit ........................... 1064.3.2 Sistem Integrasi dan Religi Masyarakat Sanggalangit ................... 1074.3.3 Sistem Stratifikasi Masyarakat ........................................................ 108
4.4 Dimensi Sejarah dan Konflik dalam Masyarakat ............................ 1104.5 Banjar dan Posisinya dalam Pemerintahan di Propinsi Bali ............ 1124.6 Fleksibilitas Banjar dalam Mewadahi Kebijakan Pembangunan
Pertanian Terpadu di Bali ................................................................ 1204.7.4.8.
Pengembangan Agribisnis Pedesaan Berbasis Banjar ....................Beberapa Isu Pokok dalam Pengembangan Agribisnis ...................
131132
V. KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN PENGARUHNYATERHADAP KUALITAS HIDUP
137
5.1. Peranan Kapital dalam Peningkatan Kualitas Hidup .................... 138
5.1.1. Kapital Sosial Memiliki Peran Penting Terhadap PeningkatanKualitas Hidup Masyarak................................................................. 144
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xiv
5.1.2. Kapital Budaya Sebagai Faktor Penunjang Kualitas HidupMasyarakat....................................................................................... 150
5.1.3. Kapital Politik dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat....... 153
5.1.4. Dominasi Peran Kapital Ekonomi dalam Peningkatan KualitasHidup .............................................................................................. 155
5.2. Diskusi Temuan Data Lapangan: Persepsi Masyarakat TentangPenguasaan Kapital dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup .. 160
VI. KAPASITAS TRIPARTIT PEMERINTAH-SWASTA-MASYARAKAT DALAM PENINGKATAN PENGUASAANKAPITAL DAN KUALITAS HIDUP (QoL) MASYARAKAT
163
6.1. Peran Tripartit Pemerintah, Swasta, dan Masyarakan MemainkanFungsi Penting Bagi Peningkatan Penguasaan Kapital...................
163
6.1.1 Kapasitas Tripartit dan Koproduksi Pemeritah, Swasta, danMasyarakat dalam Penguasaan Kapital Sosial Masyarakat .......... 168
6.1.2 Kapasitas Tripartit dan Koproduksi Pemeritah, Swasta, danMasyarakat dalam Penguasaan Kapital Budaya ........................... 170
6.1.3 Kapasitas Tripartit dan Koproduksi Pemeritah, Swasta, danMasyarakat dalam Penguasaan Kapital Politik ............................. 171
6.1.4 Kapasitas Tripartit dan Koproduksi Pemeritah, Swasta, danMasyarakat dalam Penguasaan Kapital Ekonomi ........................ 173
6.2. Integrasi Lingkungan Kebijakan Formal dan In-formal Rulesdalam Peningkatan Kualitas Hidup ................................................. 174
6.3. Keberlakuan Hipotesis (5) dan (6) : Pengaruh Peran Tripartit danKoproduksi Pemerintah-Swasta- Masyarakat Terhadap PenguasaanKapital dan Kualitas Hidup.......................................... 181
6.4 Analisis Jalur Hubungan Antar Variabel Yang MempengaurhiQoL ................................................................................................ 198
VII. DISKUSI TEMUAN PENELITIAN: IMPLIKASI TEORITISDAN IMPLIKASI METODOLOGIS .......................................... 210
7.1. Implikasi Teoritis ............................................................................. 2107.1.1. Persepsi Masyarakat Tentang Penguasaan Kapital dalam Komunitas
Agribisnis Berbasis Banjar, serta Pengaruhnya Terhadap Kualitas HidupMasyarakat. ....................................................................................................................... 210
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xv
7.1.2. Peran Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat dalam PeningkatanRepresentasi Kapital ........................................................................ 214
7.1.3. Integrasi Lingkungan Institusional Level Makro dan InformalRules di Level Mikro: Tinjauan Terhadap DimensiCoupling (Keserasian) dan Decoupling (Ketidakserasian) dalamImplementasi Prima Tani ................................................................. 215
7.1.4. Model Peningkatan Kualitas Hidup (QoL) Masyarakat .................. 2177.2. Implikasi Metodologis ..................................................................... 218
VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ........... 221
8.1. Kesimpulan ...................................................................................... 2218.2. Rekomendasi Kebijakan .................................................................. 222
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 229
LAMPIRAN .................................................................................... 235
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xvi
Daftar Tabelhalaman
2.1. MatrikPrinsip-prinsipTeoriNewInstitusional.............................................................. 463.1. Matriks Teknik Pengumpulan dan Sumber Data ............................. 783.2. Matrik Catatan Hasil Wawancara dan Observasi ............................... 803.3. Definisi Operasional Variabel dan Indikator yang Diukur ............. 853.4. Nilai Alpha Cronbach Variabel-variabel Penelitian Berdaasarkan
Data Pretest di Desa Musi, Kecamatan Gerokgak-Buleleng .......... 943.5. Nilai Alpha Cronbach Variabel-variabel Penelitian Berdasarkan
Data Hasil Survai, di Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak-Buleleng .......................................................................................... 99
4.1. Keadaan Penduduk Desa Sanggalangit Menurut TingkatPendidikan ....................................................................................... 105
4.2. Angkatan Kerja Penduduk Sanggalangit Menurut Jenis MataPencaharian ...................................................................................... 105
4.3. Perkembangan Jumlah Petani dan Kelompok Tani yangBerparisipatif dalam Prima Tani di Desa Sanggalangit 2005-2008................................................................................................... 129
4.4. Posisi Kredit Perbankan Menurut Sektor Ekonomi 2008 (Rp.Milyar), BPS, Bali. 2008 .............................................................. 135
5.1. Peran Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat MendukungPenguasaan Kapital ......................................................................... 139
5.2. Pengaruh Penguasaan Kapital yang Dipersepsikan Masyarakat,Terhadap Kualitas Hidup............................................................... 141
5.3. Tingkat Kualitas Hidup Responden........................... 142
5.4. Kepercayaan Responden terhadap OrganisasiTerkait.........................................
146
5.5. Kategori Penguasaan Kapital Sosial dalam Masyarakat .................148
5.6. Crosstab Kategori Penguasaan Kapital Sosial dengan KualitasHidup................................................................................................ 149
5.7. Kategori Skor Penguasaan Kapital Budaya.................................... 150
5.8. Crosstab Kategori Penguasaan Kapital Budaya dengan KualitasHidup ................................................................................................ 152
5.9. Kategori Skor Penguasaan Kapital Politik........................................153
5.10. Crosstab Kategori Penguasaan Kapital Politik dengan KualitasHidup ..............................................................................................
154
5.11. Kategori Skor Penguasaan Kapital Ekonomi ...............................156
5.12. Crosstab Kategori Penguasaan Kapital Ekonomi dengan KualitasHidup................................................................................................. 157
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xvii
5.13. Kategori Penguasaan Kapital dan Kualitas Hidup Responden ........ 159
6.1. Peran Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat MendukungPenguasaan Kapital .........................................................................
165
6.2. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Sosial ........................... 170
6.3. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Budaya ........................ 171
6.4. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Politik .......................... 172
6.5. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Ekonomi ...................... 174
6.6. Peran Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat MendukungPeningkatan QoL. ..........................................................................
177
6.7. Model Regresi Pengaruh Peran Pemerintah, Swasta, Masyarakat,dan Koproduksi Ketiga Unsur Itu, Terhadap Kualitas Hidup..........
179
6.8. Pengaruh Peran Tripartit dan Ko-Produksi Pemerintah, Swasta,Masyarakat, Representasi Kapital, Terhadap Kualitas HidupMasyarakat........................................................................................ 180
6.9. Peringkat Tingkat Kepentingan Indikator Kualitas Hidup .............. 2066.10 HasilRegresi Variabel Eksogen Terhadap QoLObyektif ................................. 2086.11 HasilRegresi Variabel Eksogen Terhadap QoLSubyektif .................................. 2097.1. Tahapan Analisis dan Implikasi Teori: Penguasaan Kapital dalam
Masyarakat dan sertaPengaruhnya Terhadap QoL ..............................................213
7.2. Tahapan Analisis dan Implikasi Teori Peran Tripartit danRepresentasi Kapital ....................................................................... 214
7.3. Tahapan Analisis dan Implikasi Teori ............................................ 2168.1. Matriks Rekomendasi Kebijakan ..................................................... 226
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xviii
Daftar Gambarhalaman
2.1. Kerangka Pemikiran Analisis Kapital dalam Masyarakat danPengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Komunitas AgribisnisBerbasis Banjar, Ditinjau dari PersepsiMasyarakat......................................................................................... 19
2.2. Tahapan Perkembangan Pembangunan Agribisnis(Divisualisasikan dengan menyarikan pandangan Sitorus, et.all.2001, h. 3-5)..................................................................................... 37
2.3. Model Interaksi Regulasi Formal (Level Makro) denganOrganisasi (Level Messo)), dan Individu (Level Mikro). (Nee,2005, h.56)....................................................................................... 45
2.4. Model Analisis Sajogyo (1984) mengenai KesejahteraanMasyarakat (Divisualisasikan dengan menyarikan pandanganSitorus,1999 (h. 6) dan Sajogyo, 1985, h. 229) ............................ 57
2.5. Model Analisis Kualitas Hidup (QoL) Masyarakat(Divisualisasikan dengan menyarikan pandangan Castelli, et.all.(2009) h. 111.................................................................................. 58
2.6. Model Hubungan antara Kapital Sosial, Fungsi Negara, danKesejhateraan (Dimodifikasi dari Sumber: Woolcock M, danNarayan D. 2000. Social Capital: Implication for DevelopmentTheory, Research, and Policy. The World Bank ResearchObserver. Vol.15.No.2 (Agustus 2000) p:225-249................................................................................................... 63
2.7. Keterkaitan Kapital Sosial dengan Fungsi Negara (KinerjaPemerintah) dalam Menciptakan Kesejahteraan. Sumber:Woolcock M, dan Narayan D. 2000. Social Capital: Implicationfor Development Theory, Research, and Policy. The World BankResearch Observer. Vol.15.No.2 (Agustus 2000) p:225-249 64
2.8. Model Pengukuran Kapital Sosial (Sumber: Stone W dan HughesJ. 2002. Social Capital: Empirical Meaning and MeasurementValidity. Research Papper 27, Australian Institute of FamilyStudies. Melbourne.) ....................................................................... 65
2.9.. Rincian Model Pengukuran Kapital Sosial (Sumber: Stone W danHughes J. 2002. Social Capital: Empirical Meaning andMeasurement Validity. Research Papper 27, Australian Instituteof Family Studies. Melbourne.) ...................................................... 66
3.1. Kerangka Sampling dan Ukuran Penarikan Sampel ........................ 753.2. Hubungan Represenasi Kapital dengan QoL ................................... 813.3. Diagram Hubungan Peran Tripartit dengan Penguasaan Kapital ... 823.4. Peran Tripartit dalam Peningkatan QoL ......................................... 83
3.5. Model Hipotetik Hubungan antara Peran Tripartit dan Koproduksidengan Representasi Kapital dan Kualitas Hidup (QoL).................. 84
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xix
4.1. Peta Kabupaten Buleleng, Bali dan Lokasi Penelitian ................... 1024.2. Peta Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Buleleng ............ 1034.3 Struktur Pemerintahan Desa dan Kedudukan Banjar di Bali
(Disarikan dari berbagai sumber, terutama Perda Bali No.06/1986) 1174.4. Multi Fungsi salah satu Balai Banjar di Lokasi Penelitian .............. 1214.5. Pertumbuhan Kelembagaan Pertanian di Sanggalangit................... 1305.1. Kategori Tingkat Kualitas Hidup Masyarakat................................. 1435.2. Penguasaan Kapital Sosial................................................................ 1485.3. Proporsi Penguasaan Kapital Budaya ............................................................ 151
5.4. Penguasaan Kapital Politik dalam Masyarakat................................. 1545.5. Tingkat Penguasaan Kapital Ekonomi dalam Masyarakat .............. 1576.1 Mekanisme Perencanaan Pembangunan Pertanian ......................... 1886.2 Model Hipotetik Kerangka Berpikir Analisis Jalur.......................... 1996.3 Hasil Akhir Analisi Jalur Hubugan Antar Variabel ........................ 203
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xx
OM A NO BHADRAHKRATAWO YANTU WICWATAH
BRAHMANYA BRAHMAWANDINI SARASWATI
KRIYATE KARAMANA PACCAT (Reg Wedha. I. 89.1)
Semoga semua pikiran yang baik, datangdari segala penjuruSebab pikiran dan pengertian sumber karya yangbaik....
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
1
Universitas Indonesia
BAB 1PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
1.1.1. Kualitas Hidup (Quality of Life/QoL) Masyarakat.
Fenomena sosial mengenai kondisi kualitas hidup (Quality of Life) merupakan
aspek penting dalam menganalisis kesejahteraan sosial masyarakat. Analisis mengenai
quality of life (QoL) dalam kajian sosiologis bertujuan utuk mengetahui tingkat
kesejahteraan masyarakat, yang dalam studi ini difokuskan pada komunitas banjar1 di Bali.
Menganalisis aspek kualitas hidup masyarakat (QoL) tidak dapat dipisahkan
dari pembahasan mengenai konsep kesejahteraan yang pada intinya
merupakan aspek penting dalam mengukur pertumbuhan suatu negara.
Selama beberapa waktu, Bank Dunia menggunakan tolok ukur pendapatan
perkapita (GNP) sebagai suatu ukuran pokok dari pertumbuhan suatu negara,
sehingga sedemikian fokusnya negara-negara berkembang seperti Indonesia
akhirnya terperangkap dalam orientasi kebijakan pembangunan nasional yang
sangat menekankan aspek pertumbuhan ekonomi melalui target peningkatan
pendapatan perkapita. Pada akhir dekade 1980 an mulai diterapkan tolak ukur
lain dalam memandang tingkat pertumbuhan, yakni dengan menggunakan
tolak ukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang digagas oleh United
Nations Development Program (UNDP) dan disebut sebagai Human
Development Index (HDI). HDI tidak hanya menekankan pertumbuhan suatu
negara dengan menitikberatkan pada capaian pendapatan perkapita (GNP)
melainkan menambahkannya dengan indikator lain berupa usia harapan hidup
(Expextancy of life), dan juga indikator lain berupa angka kematian bayi
1) Banjar secara sosilogis merupakan organisasi sosial tradisi sebagai wadah persekutuan hidup sosialdi Bali, yang beranggotakan sekelompok masyarakat pada suatu kesatuan wilayah tertentu, danmemiliki ikaan tradisi yang sangat kuat terutama untuk mengatur aktivitas pemeritahan, keagamaan,tugas adat, dan aktivitas lainnya termasuk kegiatan ekonomi secara umum berdasarkan kekeluargaandan kebersamaan yang dipimpijn oleh seorang atau lebih pemimpin banjar (prajuru banjar) sesuaidengan peraturan yang berlaku di banjar yang disebut awig-awig banjar. Dalam konteks administrasipemerintahan, banjar ada di bawah desa yang merupakan organisasi pemerintah terendah di bawahcamat (diadaptasi dari Pasal i PERDA Tingkat I Bali No.06/1996; Yasa 1997:20).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
2
Universitas Indonesia
(Infant Mortality Rate/IMR), angka melek huruf atau tingkat literacy dan daya
beli masyarakat. HDI pada dasarnya sejalan dengan ukuran lain dari
pertumbuhan suatu negara dalam mengukur tingkat kesejahteraan
masyarakatnya dengan menggunakan indeks mutu hidup (IMH) yang
terutama terdiri dari indikator usia harapan hidup dan angka melek huruf.
IMH dikenalkan pertama kali oleh Morris (1979) dan sampai saat ini masih
digunakan Biro Pusat Statstik (BPS) sebagai salah satu aspek pengukuran
tingkat pertumbuhan pembangunan nasional. Studi-studi mengenai QoL
umumnya banyak disponsori oleh World Bank, yang lebih difokuskan untuk mengukur
keberhasilan operasionalisasi kebijakan-kebijakan publik. Pada pekerkembangannya,
tingkat kesejahteran tidak hanya diukur berdasarkan indikator fisik, melainkan
telah mulai digagas mengenai indikator non fisik seperti peran kebijakan
negara maupun ketersediaan potensi kapital, terutama kapital sosial (Castelli,
et.all, 2009; Dasgupta, 1999).
Realitas sosial yang ada saat ini menunjukkan adanya gejala semakin
sulitnya masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidupnya, terutama
masyarakat marjinal yang sebagian besar tinggal di pedesaan, dan
kehidupannya masih sangat tergantung dari sektor pertanian. Di Indonesia,
saat ini ditengarai bahwa dinamika pembangunan dan pengembangan sektor
pertanian, termasuk didalamnya sub sektor agribisnis belum menampakkan
hasil yang memadai, serta pada beberapa wilayah bahkan cenderung
mengalami stagnasi, sehingga peningkatan kualitas hidup masyarakat petani
relatif masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Melemahnya
eksistensi pembangunan agribisnis dalam mendukung perekonomian
wilayah yang tentunya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, sesungguhnya menunjuk pada suatu masalah sosiologis yang
sangat mendasar, yaitu semakin terpinggirkannya komunitas agribisnis dalam
mendukung pembangunan sektor pertanian yang pernah sedemikian eksis. Di
Bali misalnya, sektor pertanian pernah sedemikian mendominasi kontribusi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
3
Universitas Indonesia
sektoral terhadap pendapatan daerah dan kesempatan kerja, yang diantaranya
didukung organisasi tradisi subak dan banjar yang dikenal bergerak dalam
kegiatan sektor pertanian. Akan tetapi sejak beberapa dekade terakhir hingga
saat ini, pertanian ditenggerai tak berdaya didesak arus perubahan budaya
agraris ke manufaktur dan jasa, terutama dengan pesatnya pertumbuhan sektor
pariwisata. Oleh karena itu, dinamika pembangunan saat ini lebih berorientasi
pada sinergi peran pemerintah yang didukung segenap elemen pembangunan
termasuk peran swasta dan tentunya dukungan partisipasi masyarakat.
1.1.2. Peran Tripartit (Pemerintah –Swasta –Masyarakat) dan DinamikaPembangunan Pertanian Nasional.
Pemerintah dalam hal ini Badan Litbang Pertanian khususnya dan
Departemen Pertanian pada umumnya telah berupaya untuk memfasilitasi
pembangunan pertanian nasional, termasuk didalamnya pengembangan sistem
dan usaha agribisnis yang juga merupakan program utama pembangunan
pertanian disamping program peningkatan ketahanan pangan dan program
peningkatan kesejahteraan petani (RPJM Deptan 2005-2009:45-46). Secara
implisit, senyatanya program itu dimaksudkan untuk mengembangkan sistem
dan usaha agribisnis, termasuk didalamnya aspek pemberdayaan potensi lokal
(local resource based), tentunya termasuk potensi lokal komunitas banjar di
Bali yang sebagian besar masih tergantung pada sektor pertanian. Dalam
kerangka operasional, sejak tahun 2005 telah diimplementasikan kegiatan
Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Pertanian yang
selanjutnya disebut Prima Tani. Prima Tani merupakan salah satu upaya
untuk memperkenalkan dan memasyarakatkan hasil inovasi pertanian kepada
masyarakat pengguna dalam rangka memacu adopsi inovasi di tingkat petani.
Pada dasarnya keberhasilan pembangunan melalui introduksi program
pemerintah (supra sistem) dan keberlanjutannya (sustainability) pada
komunitas agribisnis (sistem sosial) dipengaruhi oleh realitas sosial pada aras
lokal, termasuk representasi kapital dalam komunitas bersangkutan. Saat ini
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
4
Universitas Indonesia
ada kecendrungan bahwa fasilitasi pemerintah sebagai representasi “state”
belum sepenuhnya berhasil, yang antara lain disebabkan karena kurang
terintegrasinya arah kebijakan dengan kondisi wilayah. Pemanfaatan
organisasi sosial tradisi seperti subak ataupun banjar misalnya yang eksis di
Bali, belum diberdayakan secara optimal. Demikian juga halnya dengan
peran swasta dalam pembangunan pertanian, masih relatif kurang memadai
dalam hal investasinya pada sektor swasta maupun upaya pengembangan
perannya dengan pihak masyarakat, terutama perannya dalam mendukung
pelaksanaan Prima Tani.
Prima Tani pada dasarnya merupakan strategi baru dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsi Badan Litbang Pertanian. PRIMA
TANI dirancang melalui proses yang cukup panjang dan konsisten (konsep
dirancang sejak tahun 2004), serta secara kontinu dilakukan berbagai
penyempurnaan yang disesuaikan dengan perkembangan di lapangan dan
dinamika kebijakan di Departemen Pertanian. Implementasi di lapangannya
sendiri dimulai pada tahun 2005, pada 22 lokasi/desa yang meliputi 14
provinsi. Pada tahun 2006, program ini diperluas di 11 lokasi/desa pada 11
provinsi, dan pada tahun 2007 program ini dilaksanakan di 33 propinsi
tersebar di 201 lokasi/desa pada 200 kabupaten/kota, termasuk di Bali2.
Dengan demikian diharapkan beberapa target pembangunan pertanian seperti
peningkatan PDB sebesar 4,2% dan pencapaian nilai tukar petani menjadi 110
pada taun 2008, bisa diwujudkan3.
Studi ini akan menjadi menarik apa bila berhasil menjelaskan dan
memberikan implikasi kebijakan dalam mengembangkan pembangunan
2) PRIMA TANI direncanakan dan diimplementasikan secara partisipatif dengan sistem BOT (build –operate –transfer) dalam satu desa/kecamatan atau Laboratorium Agribisnis Lapangan, denganmenggunakan lima pendekatan, yaitu (i) agro-ekosistem, (ii) agribisnis, (iii) wilayah, (iv)kelembagaan, dan (v) pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Resultan dari kelima pendekatandi atas, selama 3 sampai 5 tahun, salah satunya adalah terciptanya suatu Sistem UsahataniIntensifikasi dan Diversifikasi (SUID) yang juga sesuai dengan agroekosistem (Badan LitbangPertanian, 2005)
3) Target pembangunan pertanian 2008, seperti yang dikemukakan Menteri Pertanian dalam wawancaradengan AGRO OBSERVER No.9 Tahun I. Agustus 2007.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
5
Universitas Indonesia
pertanian berbasis komunitas, melalui pemberdayaan sumber-sumber sosial
terutama kapital yang bertalian erat dengan performa kualitas hidup masyarakat.
Selama ini, sebagian besar kajian atau penelitian terdahulu mengenai kapital
yang dilakukan di Indonesia didominasi oleh analisis mengenai kapital sosial.
Itu pun masih belum ada yang memfokuskan pertalian antara peran kebijakan
negara, dukungan swasta dan masyarakat, representasi kapital, dan aspek
kualitas hidup sebagai salah satu indikator penting kesejahteraan masyarakat.
Peran negara dalam pengembangan komunitas agribisnis berbasis
banjar di Bali, dapat didekati dengan mencermati pandangan dari hasil studi
Papanek (2006) mengenai adanya peran kebijakan negara dalam mendorong
perkembangan usaha di Bali, khususnya perkembangan industri pakaian jadi
yang didukung kebijakan yang kondusif. Keberhasilan kebijakan negara itu
ditandai dengan meningkatkan jumlah pengusaha, nilai ekspor, dan jumlah
alokasi kredit bank dalam sektor itu, yang bahkan dilakukan dengan tidak
menerapkan kebijakan subsidi bagi pengusaha lokal pakaian jadi di Bali. Hal
ini dipandang sebagai refleksi peran yang semakin baik antara pemerintah
dengan swasta, selain dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap
proses pembangunan. Oleh karena itu, studi mengenai bagaimana peran
kebijakan negara, swasta dan masyarakat dalam mendukung perkembangan
usaha agribisnis di Bali juga perlu dilakukan, terutama dengan mengkaji
pertaliannya dengan representasi kapital sebagai upaya meningkatkan
peluang terjadinya peningkatan kesejahteraan komunitas agribisnis, sesuai
dengan salah satu program Departemen Pertanian yang tercantum dalam
Renstra Deptan 2004-2009.
Studi yang memfokuskan kapital dalam masyarakat dan pengaruhnya
terhadap kualitas hidup, tentunya akan lebih lengkap jika ditambahkan
analisis peran tripartit (pemerintah – swasta – masyarakat) dalam
pembangunan. Menurut Bourdieu dalam Richardson 1986, terdapat empat
jenis kapital yang menentukan posisi setiap agen (individu) yakni kapital
ekonomi, berupa tingkat kepemilikan atas kekayaan dan pendapatan,
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
6
Universitas Indonesia
kemudian kapital sosial berupa jaringan sosial, lantas kapital budaya berupa
kepemilikan atas benda-benda materiil yang menentukan juga prestise agen
atau individu, dan terakhir kapital simbolik yang lebih memberikan legitimasi
atas posisi individu. Bisa saja terjadi keragaman tingkat ketersediaan kapital
diantara individu, kelompok, atau dalam komunitas tertentu, yang didominasi
oleh kontribusi salah satu kapital yakni kapital sosial, kapital ekonomi, kapital
budaya, ataupun kapital simbolik. Aspek ini tentunya menjadi pertimbangan
tersendiri, bagi pelaksanaan studi ini yang berbeda dari hasil studi
sebelumnya, yakni dengan menekankan bagaimana peran masing-masing
kapital dalam memberi peluang bagi komunitas agribisnis untuk memperoleh
kesempatan melakukan peningkatan kesejahteraan, dengan dukungan peran
pemerintah, swasta, dan potensi komununitas lokal.
Oleh karena itu, penelitian ini akan lebih menyoroti pentingnya peran
kapital-kapital dalam implementasi suatu program pembangunan introduksi
supra system yang didukung peran kebijakan pemerintah, swasta, maupun
pemberdayaan masyarakat petani dan potensi lokalnya. Hal ini diyakini ada
pengaruhnya terhadap tingkat kesejahteraan yang diindikasikan dengan
meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Realitas ini relevan untuk dikaji,
apa lagi jika kita menyelami adanya kecendrungan semakin terdesaknya
sektor pertanian dalam pembangunan wilayah Bali. Bali sebagai wilayah
yang memiliki berbagai kekhasan dibanding wilayah lain di Indonesia,
memerlukan terobosan-terobosan baru dalam mengatasi kemandegan
pembangunan pertanian. Setidaknya, mengembangkan agribisnis dengan
memperhatikan keseimbangan (equality) pembangunan antar sektor dan
pemanfaatan sumberdaya lokal sebagai katalisator pencapaian tujuan
pembangunan ekonomi, pada akhirnya akan dapat membuka peluang
tercapainya peningkatakan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan
sumberdaya lokal salah satunya sering dicermati dengan mempertimbangkan
sistem sosial masyarakat yang menyangkut aspek struktur dan kultur
masyarakat. Pada kontkes ini, aspek struktural masyarakat di Bali umumnya
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
7
Universitas Indonesia
dikenal memiliki kekhasan dalam sistem pelapisan masyarakatnya, yakni
secara tradisional didasari sistem kasta yang hingga kini masih menjadi dasar
sistem stratifikasi sosial yang spesifik dan relatif tertutup. Sementara aspek
kultur masyarakat Bali pun memiliki kekhasan karena sedemikian kuatnya
kelekatan nilai-nilai budaya masyarakat dengan agama Hindu yang dianutnya,
dan juga sistem sosial tradisional banjar yang sangat lekat dengan kehidupan
masyarakat Bali.
Saat ini mesti disadari bahwa perhatian terhadap masalah peningkatan
kualitas hidup masyarakat masih belum menemukan pijakan yang sesuai
dengan dinamika pembangunan dan dinamika lingkungan strategis
pembangunan nasional. Hal ini tercermin dari rendahnya ranking Indonesia
dalam hal kondisi kualitas hidup masyarakatnya. Diantara beberapa lembaga
internasional yang berkompeten dalam merelease ranking kualitas hidup
negara-negara di dunia, UNDP (United Nations Development Program)4
bahkan menempatkan ranking Indonesia pada urutan ke 111 yakni di bawah
angka seratusan dari 195 negara. Diantara negara-negara ASEAN Indonesia
berada dibawah ranking Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, Filipina, dan
bahkan di bawah ranking Vietnam. Oleh karena itu studi-studi empiris
mengenai kesejahteraan yang lebih fokus pada peningkatan kualitas hidup
masyarakat relatif perlu dilakukan secara lebih intensif guna mendukung
pengambilan keputusan dalam menetapkan dan implementasi kebijakan
peningkatan kesejahteraan. Secara regional, untuk wilayah Bali ternyata
kesejahteraan masyarakatnya yang diindikasikan melalui angka Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) menempatkan Bali pada kelompok wilayah
propinsi yang memiliki angka IPM pada urutan sedang. Akan tetapi secara
nasional peringkat Bali pada tahun 2002, 2004, dan 2005 mengalami
penurunan dari perigkat 9 ke peringkat 15. Hal ini mencerminkan menurunya
perhatian dan kemauan politik dalam menerapkan kebijakan pembangunan di
4) Ranking Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2009, yang direlease UNDP perAgustus 2009 (http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_Human_Develop_Index)
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
8
Universitas Indonesia
wilayah propinsi Bali (BPS, 2009). Aspek ini sudah selayaknya dan perlu
mendapat perhatian serius mengingat adanya kecendrungan semakin
menurunnya PDRB di Bali.
Berdasar data BPS yang dituangkan pada “Statistik Indonesia Tahun
2007”, kontribusi pertanian Bali dalam PDRB selama hampir empat
dasawarsa merosot tajam dari 59,3 persen (1971), menjadi 21,5 persen (2006).
Sebaliknya penduduk yang menggantungkan hidup di sektor ini justru naik
dari 466.226 orang pada tahun 1971, menjadi 643.396 pada tahun 2006 yang
merupakan prosentase tertinggi (60,21%) dibandingkan dengan angkatan
kerja di sektor lain yakni perdagangan (14,68%), jasa (10,99%), industri
(10,89%), dan jasa kemasyarakatan (3,23%). Fakta ini bisa disejajar-
maknakan bahwa pengangguran dan kemiskinan, potensial terjadi di Bali. Jika
pertanian dipandang dari aspek fungsi dan kontribusinya terhadap PDRB
Bali, terlihat memang berkecendrungan menurun.
Pada sisi lain seringkali pembangunan sumberdaya sosial dan
dukungan lingkungan kebijakan (policy environment) yang berupa dukungan
regulasi (formal rules) dan dukungan politik pertanian masih kurang
memadai, yang mengakibatkan lemahnya persediaan sumber-sumber sosial
sehingga berdampak pada rendahnya produktivitas. Pembangunan pertanian
ataupun pengembangan agribisnis seperti abai pada kenyataan bahwa banyak
orang yang menggantungkan diri pada sektor pertanian yang tidak diimbangi
ketersediaan lahan. Dengan demikian studi ini sekali lagi ingin mendalami
pentingnya peran kapital yang diikuti peningkatan peran pemerintah-swasta-
masyarakat dalam pembangunan pertanian, sehingga penelitian ini diharapkan
dapat menjadi rintisan dalam pengembangan pertanian di Bali, sebagai salah
satu upaya dalam menigkatkan inklusi sosial dan peluang terbukanya kualitas
hidup komunitas agribisnis. Celah ini tersedia dan diamanatkan dalam UU.
No.32 tentang pemerintahan daerah yang mengamanatkan bahwa efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan
lebih memperhatikan peningkatan peluang bagi pemerintah daerah untuk
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
9
Universitas Indonesia
mengembangkan peran dengan pihak swasta maupun masyarakat setempat,
guna tercapinya tujuan pembangunan yang bermuara pada pencapaian kualitas
hidup masyarakat yang semakin meningkat.
1.2 Pokok Permasalahan.
Perkembangan terakhir mengenai pembangunan wilayah di Bali
menunjukkan gejala memudarnya sistem dan usaha agribisnis. Gejala itu
diyakini sebagai akibat dari adanya kecendrungan in-equality pengembangan
sektor-sektor pembangunan. Ketidakmerataan pengembangan antar sektor
ditunjukkan dengan timpangnya pertumbuhan sektor pertanian dan non
pertanian. Pertumbuhan sektor pertanian adalah yang terendah (2,49%)
dibandingkan sektor lainnya yang tumbuh di atas 6%5). Rendahnya
pertumbuhan sektor pertanian menegaskan adanya gejala semakin tedesaknya
komunitas agribisnis pedesaan. Memudarnya pengembangan pertanian antara
lain juga ditengarai sebagai akibat dari adanya gejala negasi gerakan sosial
dalam pengembangan agribisnis. Negasi gerakan sosial tampak dalam hal
kurang memadainya dukungan pihak swasta maupun belum optimalnya
pemberdayaan potensi lokal, dalam implementasi kebijakan pembangunan
pertanian.
Saat ini, model-model pemberdayaan masyarakat yang pernah
diimplementasikan belum sepenuhnya berhasil menggerakan sistem dan usaha
agribisnis. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya kecenderungan
untuk mempertahankan orientasi kebijakan pembangunan yang terlalu fokus
pada aspek pertumbuhan ekonomi tanpa mencermati peran yang semestinya
difasilitasi oleh negara dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Target-target
yang terukur merupakan hal yang niscaya mesti dicapai, sehingga kebijakan
pembangunan daerah di Bali cenderung mengabaikan keseimbangan antar
sektor sebagai akibat dari kurang tegasnya arah politik pertanian, bahkan
5). BPS Propinsi Bali, 2007. Tinjauan Perekonomian Bali 2007.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
10
Universitas Indonesia
terlalu fokus pada sektor tertentu khususnya pariwisata. Pada sisi lain
terdapat kecendrungan lemahnya sistem pendukung usaha agribisnis dalam
hal penciptaan akses dan kesempatan untuk penguasaan jenis kapital,
terutama kapital sosial, kapital budaya, dan kapital politik, selain kapital
ekonomi. Lemahnya dukungan lingkungan kebijakan pemerintah (policy
environment) dan belum optimalnya dukungan sektor swasta dalam
pemberdayaan potensi kelembagaan dan organisasi sosial tradisi dalam
pengembangan agribisnis, akhirnya bermuara pada rendahnya akses bagi
komunitas agribisnis dalam menguasai kapital. Selain itu ketersediaan ruang
bagi inklusi sosial dalam penguasaan kapital belum mendapat perhatian yang
memadai. Rendahnya penguasaan kapital dalam masyarakat, akan berdampak
kepada semakin stagnannya produktivitas masyarakat. Gejala ini
menyebabkan timbulnya masalah dalam hal pencapaian peningkatan kualitas
hidup masyarakat. Untuk menjawab bagaimana realita yang sesungguhnya
terkait dengan fenomena itu, maka studi ini difokuskan untuk dapat
memberikan gambaran sosial tentang penguasaan kapital dalam masyarakat
dan kualitas hidup komunitas agribisnis di pedesaan, dikaitkan dengan
integrasi lingkungan kebijakan (policy environment) dengan informal rules di
level messo maupun aktor pelaku agribisnis.
1.3 Pernyataan Tujuan Penelitian.
Mengacu pada latar belakang dan permasalahan penelitian yang telah
dikemukakan maka the purpose statement penelitian ini dimaksudkan
sebagai studi yang memusatkan analisis terhadap keterkaitan peran kapital
dalam masyarakat yang erat pertalianya dengan kebijakan negara (policy
environment), peran swasta, dan potensi lokal dan pengaruhnya terhadap
pencapaian peningkatan kualitas hidup (QoL) komunitas agribisnis berbasis
banjar di Bali. Hal ini ditengarai kuat pertalianya dengan aspek kultural
masyarakat Bali. Studi ini dilandasi teori kelembagaan baru (New
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
11
Universitas Indonesia
Institutionalism) dari Victor Nee (2005), yang mengemukakan pentingnya
integrasi kebijakan negara sebagai formal rules di level makro dengan
informal rules, yakni kelembagaan dan organisasi sosial di level messo, serta
pertaliannya dengan preferensi indigenous kelompok masyarakat ataupun
aktor di level mikro. Kebijakan dan peraturan formal dalam pengembangan
agribisnis merupakan suatu kondisi yang disebut lingkungan institusional
(institutional environment). Lingkungan institusional itu mendorong kegiatan
ekonomi dalam sistem agribisnis yang dilandasi relasi sosial, dan membentuk
perilaku ekonomi aktor atau kelompok pelaku agribisnis. Pada kondisi ideal,
perilaku ekonomi aktor didasari oleh adanya kepercayaan bersama, norma,
nilai dan pertauran-peraturan informal yang mengarahkan pelaku ekonomi
mengejar kepentingan melalui sistem dominan yang berbasis elemen formal.
Intinya, Nee (2005) mengemukakan pertautan antara lingkungan institusioanal
dengan relasi informal yang mengikat tindakan aktor dalam mengejar
keuntungannya disebut dengan kerangka institusional. Dalam kerangka
analisis keterkaitan peran tripartit pemerintah-swasta-masyarakat dengan
representasi kapital dalam masyarakat, maka studi ini juga menerapkan teori
yang dikemukakan oleh Svendsen & Svendsen (2003) tentang
“Bourdieuconomics”, yakni teori Bourdieu yang mengembangkan konsep
kapital secara lebih luas. Kapital tidak hanya mencakup kapital berbentuk
material, tetapi juga non material dalam kegiatan ekonomi.
Bourdiecomonomics terkait dengan konsep tentang ranah (field), dan habitus
dalam menganalisis praktik sosial. Hubungan antara peran negara,
representasi kapital, sistem stratifikasi sosial dan kualitas hidup masyarakat
pelaku agribisnis juga relevan dengan salah satu pandangan yang
dikemukakan oleh Castelli, et.all (2009) yang mengemukakan bahwa kualitas
hidup juga ditentukan oleh adanya hubungan antara kapital sosial, kebijakan,
dan pelayanan publik.
Studi ini merupakan penelitian yang bersifat multi level yang terfokus
pada dua tataran perhatian, yakni tataran kebijakan dan tataran operasional-
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
12
Universitas Indonesia
empiris. Pertama, dalam kerangka operasional penelitian yang dimaksudkan
untuk menjawab pertanyaan studi, maka tataran kebijakan dianalisis melalui
pengumpulan data kualitatif, dengan menggali gambaran mengenai proses
ataupun gejala mengenai integrasi lingkungan kebijakan (formal rules) yang
meliputi peraturan perundang-undangan dalam konteks pembangunan
agribisnis, informal rules dan preferensi kelompok individu anggota
komunitas agribisnis berbasis banjar serta mengkaitkanya dengan peran
swasta.
Kedua, pada tataran empiris yang lebih jauh dimaksudkan untuk
menganalisis hubungan antara kapital dalam masyarakat didukung peran
tripartit pemerintah-swasta-masyakat sebagai variabel eksogen dengan tingkat
kualitas hidup masyarakat komunitas agribisnis berbasis banjar. Peran
tripartit pemerintah-swasta-masyarakat ditentukan oleh indikator yang
meliputi peran pemerintah dalam pengembangan agribisnis yang meliputi
persepsi masyarakat terhadap: inovasi teknologi pertanian, kebijakan subsidi,
anggaran, dan dukungan politik; peran swasta mencakup investasi, dukungan
kredit usahatani, dukungan penyediaan sarana produksi, dan pemasaran yang
dikembangkan; serta peran masyarakat yang ditentukan dengan
mempertimbangkan persepsi masyarakat anggota banjar terhadap aspek
potensi banjar yang terdiri dari potensi fisik, potensi nilai-nilai, dan potensi
kepemimpinan dalam banjar, serta partisipasi masyarakat. Sedangkan
representasi kapital ditentukan berdasarkan persepsi penguasaan anggota
komunitas agribisnis terhadap: (i) kapital sosial berupa networks (jaringan
sosial) yang direpresentasikan dengan menggunakan indikator relasi
kepentingan, relasi sentimen, relasi power, dan juga adanya peran indikator
structural holes serta potensi organisasi (terutama organisasi sosial tradisi)
dalam komunitas agribisnis; (ii) Kapital budaya yang ditentukan indikator-
indikator dari dimensi manusia (embodied state) yang melekat pada aktor,
seperti halnya kasta pada masyarakat Bali; dimensi obyek, yakni berupa
karya yang dihasilkannya sebagai kekhasan aktor berdasarkan keahliannya
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
13
Universitas Indonesia
(sangging, pande, undagi, dan sebagainya yang dikenal turun temurun oleh
masyarakat Bali) dan dimensi institusional ; (iii) Kapital Politik yang terdiri
dari dominasi relasi produksi, meritokrasi, legitimasi, dan komitmen politik;
serta (iv) Kapital ekonomi yang ditentukan berdasarkan indikator penguasaan
modal finansial, daya enterpreneurship (kewirausahaan, profesionalisme, dan
keterampilan). Adapun variabel indogen atau variabel dependent yang
dipengaruhi oleh variabel-variabel lain adalah kualitas hidup (QoL) yang
ditentukan berdasarkan indikator-indikator obyektif berdasarkan pendekaan
model “Scandinivian Level of Living” yang menekankan kondisi obyektif
kualitas hidup berdasarkan pendapatan, tingkat pendidikan, status okupasi
yang dicermati melalui indikator peluang kerja dan berusaha, relasi sosial,
kemanan sosial (Noll, 2002) serta dengan mempertimbangkan pemenuhan
kebutuhan dasar manusia (basic needs approach) secara obyektif yang
meliputi: kebutuhan primer (pangan, sandang, dan papan), akses pada
pelayanan publik (ketersediaan air minum, sanitasi, dan fasilitas kesehatan
atau yang sering dinyatakan sebagai morbiditas), serta aspek partisipasi di
level komunias lokal maupun pada level politik secara nasional. Selain itu,
kualitas hidup (QoL) juga didekati dengan menganalisis indikator-indikator
persepsi aktor yang melingkupi persepsi kebahagiaan, makna hidup, kualitas
lingkungan, kualitas religius, dan persepsi mengenai mobilitas vertikal.
Selain itu QoL juga ditentukan berdasarkan indikator makro berupa angka
kematian bayi (Infant Mortality Rate/IMR) dan angka harapan hidup bayi satu
tahun. Mengacu pada perumusan masalah penelitian maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis persepsi masyarakat dalam hal penguasaan
kapital dan pengaruhnya terhadap pencapaian peningkatan
kualitas hidup komunitas agribisnis berbasis banjar.
2. Mendiskripsikan persepsi masyarakat mengenai kualitas hidup
komunitas agribisnis berbasis banjar.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
14
Universitas Indonesia
3. Menganalisis persepsi masyarakat tentang peran tripartit dan
koproduksi pemerintah-swasta-masyarakat serta pengaruhnya
terhadap peningkatan penguasaan kapital.
4. Menganalisis persepsi masyarakat tentang peran tripartit dan
kopoduksi pemerintah-swasta-masyarakat dalam peningkatan
kualitas hidup masyarakat.
1.4 Signifikansi Penelitian.
1.4.1. Manfaat PenelitianSecara Akademis
Secara umum, hasil studi ini diharapkan akan dapat memberikan
kontribusi bagi pengembangan teori sosiologi khususnya pengembangan teori-
teori “sosiologi ekonomi pertanian”yang terkait dengan representasi kapital
dalam masyarakat dan performa kualitas hidup masyarakat. Studi ini juga
diharapkan mampu menggali dan menghasilkan status terkini (state of the art)
perkembangan sosial masyarakat pedesaan terutama aspek penguasaan kapital
dan kesejahteraan masyarakat yang diindikasikan dengan kualitas hidupnya
sebagai dampak atas dinamika hubungan sosial yang melekat (embedded)
dengan struktur ekstra lokal, termasuk dalam hal ini peran negara
(pemerintah), swasta (korporasi dan pasar), serta peran masyarakat yang
ditekankan pada peran potensi komunitas lokal.
Pemikiran tentang perlunya analisis tentang peran pemerintah, swasta,
dan masyarakat dalam pembangunan, memberikan landasan pemikiran bagi
studi ini dalam menggambarkan bagaimana peran ketiga elemen
pembangunan itu berkontribusi dalam meningkatkan representasi kapital
sosial, kapital budaya, kapital politik, dan kapital ekonomi, yang bermuara
pada terjadinya peningkatan kualitas hidup (QoL) masyarakat. Selain itu,
pemikiran mengenai pentingnya integrasi lingkungan kebijakan (policy
environment) pada tataran makro dengan informal rules berupa kelembagaan
informal pada tataran messo, serta integrasinya dengan preferensi indegenus
ataupun kebutuhan individu anggota masyarakat, seperti yang dikemukakan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
15
Universitas Indonesia
oleh Nee (2005). Dengan demikian signifikansi studi ini dibidang sosiologi
ekonomi diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam hal memperkaya
konsep tentang hubungan dan integrasi peran-peran ketiga elemen
pembangunan, yakni pemerintah-swasta- masyarakat, dengan memfokuskan
analisis pada peran banjar sebagai kelembagaan lokal dapat bersinergi dengan
peran yang dimainkan pemerintah maupun swasta dalam pengembangan
agribisnis. Umumnya studi-studi terdahulu menekankan peran pemerintah
dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Akan tetapi disertasi ini ingin
mengemukakan pentingnya integrasi peran secara proporsional dan bersifat
spesifik lokasi bagi tumbuh-kembangnya keberadaan kapital-kapital dan
pertalianya dengan kualitas hidup masyarakat agribisnis di pedesaan. Lebih
lanjut, disertasi ini juga ingin mempertajam pandangan bahwa kapital fisik
dalam perspektif ekonomi tidak lagi memadai untuk menjelaskan fenomena
kualitas hidup masyarakat, tanpa membahas secara lebih detail peran kapital
sosial, kapital budaya, dan kapital simbolik (dalam studi ini disebut sebagai
kapital politik), seperti yang digagas oleh Svendsen & Svendsen (2003)
mengenai “Bourdieunomics”, yakni gagasan Bourdieu (1986) tentang
reformulasi kapital.
Selanjutnya, terdapat pemikiran lain yang melandasi studi ini berupa
temuan dari studi Castelli (2009) mengenai pentingnya peranan kebijakan
(policy context), kapital sosial, dan organisasi pelayanan publik dalam
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Pada konteks itu, studi ini ingin
menjelaskan bahwa selain kapital sosial, jenis kapital lainnya juga memainkan
peranan yang penting bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.
1.4.2. Aspek Kebijakan
Berlandaskan pengetahuan tersebut di atas diharapkan proses
perumusan kebijakan pembangunan pertanian yang lebih akurat dan
transformatif, menjadi semakin mungkin diwujudkan. Disertasi ini diharapkan
mampu memberikan signifikansinya, terutama dalam membantu pemerintah
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
16
Universitas Indonesia
pusat maupun daerah memformulasikan bentuk-bentuk intervensi kebijakan
peningkatan kapital dalam masyarakat yang bermuara pada tercapainya
peningkatan kualitas hidup masyarakat, dengan mempertimbangkan dan
mencermati sistem sosial yang spesifik lokal. Hal tersebut akan mendukung
berlangsungnya proses perencanaan dan implementasi kebijakan dan program
pembangunan pertanian yang lebih efektif dan lebih tepat sasaran. Secara
khusus, ketersediaan data dan informsi tentang model pemberdayaan
masyarakat dengan penguatan sinerji dari representasi kapital, diharapkan
dapat menjadi landasan bertolak bagi pihak-pihak yang akan menjalankan
peranan sebagai fasilitator dalam perumusan atau pelaksanaan program-
program pembangunan komunitas agribisnis dengan tetap mempertimbangkan
integrasi peran tripartit pemerintah-swasta-masyarakat.
1.5 PertanyaanPenelitiandan Hipotesis.
Mencermati sedemikian kompleksnya permasalahan pembangunan
pertanian dikaitkan dengan aspek perubahan sosial yang didasari perspektif
sosiologis yang ada, maka unit analisis pada penelitian ini dibatasi pada
komunitas petani berbasis banjar. Komunitas agribisnis di lokasi penelitian
yakni di Desa Sanggalangit-Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng saat
ini mendapat perhatian sebagai lokasi program rintisan percepatan
pemasyarakatan inovasi pertanian (PRIMA TANI) dari Badan Litbang
Pertanian, DEPTAN. Oleh karena itu, studi ini dilandasi oleh pertanyaan
penelitian (grand research question): “Apakah penguasaan kapital dalam
masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidup komunitas, dikaji dari peran
tripartit pemerintah, swasta, dan potensi komunitas lokal dalam
pengembangan agribisnis berbasis banjar, ditinjau dari persepsi
masyarakat?”. Lebih lanjut, menunjuk pada kerangka pemikiran penelitian
yang dibangun, serta berdasarkan pertanyaan pokok penelitian (grand
research question) tersebut di atas, maka pertanyaan yang lebih spesifik
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
17
Universitas Indonesia
berupa hipotesa yang disusun dalam pelaksanaan penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut :
1. Kuatnya penguasaan kapital sosial yang dipersepsikan masyarakat,
memainkan peranan yang penting bagi peningkatan kualitas hidup
(QoL) komunitas agribisnis.
2. Semakin tinggi penguasaan kapital budaya yang dipersepsikan
masyarakat, maka semakin baik juga kualitas hidup masyarakat.
3. Kuatnya kapital politik yang dipersepsikan masyarakat, akan
meningkatkan kualitas hidupnya.
4. Persepsi masyarakat tentang penguasaan kapital ekonomi sangat
menentukan tingkat kualitas hidup masyarakat.
5. Peran tripartit pemerintah-swasta-komunitas lokal yang dipersepsikan
masyarakat, memainkan fungsi penting bagi peningkatan representasi
kapital dalam komunitas agribisnis berbasis banjar.
6. Persepsi masyarakat mengenai kuatnya peran tripartit pemerintah-
swasta-komunitas lokal, akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
18
Universitas Indonesia
BAB 2
KERANGKA TEORITIS
2.1. Kerangka Pemikiran
Pada tataran empiris, kapital yang diperlukan dalam proses produksi
pertanian tidak hanya mencakup kapital yang bersifat fisik seperti
sumberdaya alam (natural capital), human capital, serta kapital finansial,
tetapi juga kapital yang bukan berwujud material. Sumberdaya material
belum cukup memadai dalam menjelaskan fenomena pembangunan, termasuk
pembangunan pertanian. Terdapat keterbatasan individu dalam penguasaan
sumber-sumber produksi berupa kapital ekonomi yang bersifat material,
terutama penguasaan sumberdaya lahan, modal finansial dan teknologi,
sehingga diperlukan upaya untuk memberdayakan potensi kapital yang lain
seperti kapital sosial, kapital budaya, dan kapital politik yang tumbuh dan
berkembang dalam setiap individu, kelompok ataupun masyarakat. Dengan
demikian, secara relatif terdapat kecendrungan penguasaan kapital-kapital
yang tersedia akan menciptakan peluang pencapaian peningkatan
kesejahteraan yang dapat diindikasikan melalui peningkatan kualitas hidup
(QoL) komunitas agribisnis berbasis banjar di Bali.
Gejala semakin meningkatnya motivasi masyarakat petani dalam
mengembangkan agribisnis, senyatanya sangat terkait dengan dukungan
ataupun peran pemerintah, swasta, dan potensi lokal yang ada. Peran tripartit
pemerintah-swasta-masyarakat dalam pembangunan, khususnya
pengembangan agribisnis diyakini memainkan peranan penting dalam
meningkatkan atau memperkuat representasi kapital dalam masyarakat.
Sementara, peningkatan penguasaan kapital dalam masyarakat akan bermuara
pada tumbuhnya peluang untuk meningkatkan kualitas hidup komunitas
agribisnis. Pada konteks kemitraan peran tripartit itu, maka aspek koproduksi
antar tiga elemen pembangunan tersebut juga memiliki kecendrungan
mendukung penguasaan kapital dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Disamping itu, integrasi kebijakan pada tataran makro berupa lingkungan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
19
Universitas Indonesia
kebijakan (policy environment) dengan informal rule di level messo, serta
pertaliannya dengan preferensi indigenous kelompok masyarakat ataupun
aktor di level mikro merupakan aspek yang cukup berperan dalam
operasionalisasi pengembangan agribisnis berbasis komunitas banjar.
KAPITALSOSIAL(SOCIAL NETWORKS ):
KAPITALBUDAYA(CULTURAL CAPITAL ):
KAPITALPOLITIK(POLTICAL CAPITAL ):
KAPITALEKONOMI(ECONOMIC CAPITAL ):
KUALITASHIDUP/QualityofLife (QoL)
- Obyektif
POTENSILOKALSWASTAPEMERINTAH
- Subyektif
KAPITAL:
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Analisis Kapital dalam Masyarakat danPengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Komunitas AgribisnisBerbasis Banjar, Ditinjau dari Persepsi Masyarakat.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
20
Universitas Indonesia
2.2. Tinjauan Pustaka dan Hasil Studi-studi Terdahulu.
2.2.1. Teori dan Konsep Kapital dalam Kegiatan Ekonomi.
Pada umumnya konsep kapital sangat dekat kaitannya dengan sistem
produksi dalam kegiatan ekonomi. Konsep kapital mulai meluas setelah
merebaknya studi-studi mengenai kapital sosial yang banyak dilakukan dan
dikaitkan dengan bidang sosial dan politik, ataupun pembangunan secara
umum, seperti yang dilakukan oleh Bourdieu, Putnam, dan Coleman, yang
dikenal sebagai penggagas utama teori kapital sosial yang dikaikan dengan
teori pilihan rasionalnya, serta pada beberapa dekade terakhir juga giat
didukung oleh studi-studi yang dilakukan World Bank. Sementara itu, dalam
studi-studi mengenai strategi nafkah rumahtangga petani di pedesaan juga
dibahas mengenai pemanfaatan sumberdaya kapital dalam strategi nafkah
komunitas petani. Salah satu hasil studi itu adalah mengenai pentingnya
pemilihan strategi nafkah yang didasari oleh rasionalisme dalam
memanfaatkan sumberdya yang tersedia. Sumberdaya itu berupa beragam
jenis kapital yakni kapital finansial, kapital fisik, kapital almiah (sumbedaya
alam), kapital manusia, dan kapital sosial. Menurut Haan (2000), kombinasi
pemanfaatan kelima jenis kapital itu akan menentukan keberhasilan strategi
nafkah rumahtangga petani, disamping adanya faktor penentu lainya seperti
peran kebijakan negara dan dinamika interkasi sistem sosial dan sistem
ekologi.
Saat ini konsep kapital semakin meluas semenjak Bourdieu (1986)
mengemukakan beberapa jenis kapital selain kapital ekonomi yang
dikemukakan dalam karyanya “The Forms of Capital”. Sering dipersepsikan
bahwa konsep kapital merujuk pada referensi ekonomi yang terbatas, yakni
belum adanya upaya untuk mempertimbangkan konsep kapital dari referensi
yang non ekonomi, seperti halnya refererensi sosiologis atau referensi ilmu
sosial pada umumnya. Demikian juga sebaliknya, konsep-konsep kapital
yang bersumber pada referensi ilmu sosial masih relatif kurang merujuk
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
21
Universitas Indonesia
kepada referensi ekonomi sehingga menimbulkan kemandegan dan
problematika konsep kapital, karena diskusi-diskusi mengenai kapital ini
cenderung mengedepankan ego disiplin yang sedemikian kukuh dalam
mempertahankan referensi masing-masing.
Diskusi mengenai status ontologis kapital dalam referensi ilmu sosial
dan sosiologi khususnya dikemukakan oleh sejumlah ahli, baik yang berlatar
belakang ekonomi maupun sosiologi. Diskusi status ontologis kapital sosial
mesti mengedepankan aspek “apanya” dari kapital sosial itu. Kemudian,
beberapa ahli juga memfokuskan untuk menentukan sumber-sumber kapital
sosial itu, atau menentukan dimana kapital sosial dapat ditemukan (Robinson
et.al, 2002 dalam Lawang 2005:9). Selain kapital sosial, saat ini berkembang
diskusi mengenai representasi bentuk-bentuk kapital lainnya seperti yang
dikemukakan oleh Bourdieu (1986). Menurutnya selain kapital ekonomi,
dalam perjuangan untuk memperoleh posisi-posisi obyektif dalam sistem
sosial maka penguasaan dan penggunaan berbagai bentuk kapital sangat
menentukan individu dalam melakukan srategi dan perjuangan meningkatkan
posisi obyektif.
Kapital dalam referensi ekonomi mempunyai fungsi penting pada
proses produksi. Hal ini senada dengan pandangan Putnam (1993) yang
mengemukakan bahwa faktor-faktor non ekonomi turut menentukan jalannya
proses produksi dan hasil akhirnya. Dalam menjelaskan konsep kapital,
Lawang (2005: 9) memaparkan mengenai bentuk-bentuk kapital dalam sistem
produksi. Untuk memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk kapital secara
sosiologis, maka studi ini akan menekankan perhatian pada konsep kapital
yang ditinjau dari fungsi produktif bentuk-bentuk kapital yang ada yaitu: (i)
kapital finansial yang dikenal dengan sebagai bentuk kapital berupa uang.
Akan tetapi dalam konsep ekonomi dan sosiologis, bentuk kapital ini
dipandang tidak dalam arti sempit itu, melainkan menganggap kapital
finansial tidak identik dengan uang, tetapi lebih dilihat sebagai simbol dan hak
yang justru menekankan aspek kapital finansial sebagai kapital dalam bentuk
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
22
Universitas Indonesia
hubungan sosial yang berfungsi mengelola kesempatan memperoleh uang atau
dana untuk menjalankan kegiatan ekonomi.; (ii) kapital fisik yang bersifat
nyata (tangible) dan dapat diukur. Kapital fisik dalam pengertian ini
merupakan bentuk kapital yang sengaja dibuat manusia untuk keperluan
tertentu dalam proses produksi; dan (iii) kapital manusia yang menunjuk pada
kemampuan yang dimiliki manusia dalam bentuk pengetahuan dan
keterampilan untuk melakukan kegiatan ekonomi.
Diskusi mengenai konsep kapital terus berkembang, hingga
menghasilkan konsep mengenai bentuk-bentuk kapital lainnya yang ikut
dipertimbangkan dalam kegiatan ekonomi. Kapital itu antara lain meliupti
kapital personal, kapital budaya, dan kapital politik. Jika merujuk kepada
pemikiran Bourdieu mengenai teori praktik sosial yang melahirkan dua
konsep utama yakni ranah (field) dan habitus, maka studi ini akan
memfokuskan bagaimana agen atau individu menguasai dan menggunakan
berbagai bentuk kapital dalam memperebutkan posisi-posisi obyektif. Pada
kerangka itu, dapat dikemukakan bahwa penguasaan dan penggunaan kapital
memiliki kecendrungan sebagai alat untuk memperoleh peningkatan kualitas
hidup. Oleh karena itu, representasi kapital dalam pengembangan komunitas
agribisnis berbasis banjar di Bali, akan didekati dengan menerapkan teori
Bourdieu tentang kapital yang meliputi kapital material dan non-material.
Pengembangan konsep kapital yang lebih luas dari pandangan sebelumnya,
seperti yang dikemukakan oleh Marx yang menekankan kapital fisik dalam
bentuk penguasaan alat produksi. Reformulasi konsep kapital oleh Bourdieu
meliputi dua aspek penting, yakni konsep kapital yang meliputi kapital non-
material seperti kapital budaya, simbolik, dan kapital sosial, disamping kapital
material berupa kapital fisik seperti alat produksi, kapital finansial, dan kapital
sumberdaya manusia. Aspek berikutnya adalah mengenai konversi atau
transformasi bentuk-bentuk kapital dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Pada
konteks ini, Bourdieu menekankan pentingnya kapital non-material dalam
kegiatan ekonomic. Keseluruhan pandangan Bourdieu mengenai reformulasi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
23
Universitas Indonesia
kapital dikenal sebagai “Bourdieuconomics” (Svendsen & Svendsen, 2003).
Menurut Bourdieu, dalam kegiatan ekonomi khususnya, kapital dipandang
sebagai strategi investasi pada level individu maupun kelompok (meso), yang
bermuara kepada munculnya fenomena the game of society, yakni permainan
atau arena perjuangan masyarakat. Pada kerangka ini, dapat dikemukakan
adanya keterkaitan “Bourdieuconomics” dengan teori ranah (field), habitus,
dan paraktik yang juga dikemukakan oleh Bourdieu. . Menurut Ritzer dan
Goodman (2003:517), pemikiran Bourdieu diawali dan diinspirasi pandangan
yang ia anggap keliru mengenai oposisi antara obyektivisme dan
subyekktivisme. Kemudian Bourdieu memusatkan perhatiannya pada
hubungan dialektika antara struktur obyektif dan fenomena subyektif. Untuk
menanggulangi dilema obyektivisme-subyektivisme, Bourdieu memusatkan
perhatiannya pada praktik yang dipandang sebagai hasil hubungan dialektika
struktur dan agen. Orientasi teoritis mengenai hal itu ia beri label sebagai
“strukturalisme konstruktivis”, “konstrukturalisme strukturalis”, atau
“strukturalisme genetis”. Pada kerangka ini, Bourdieu tidak sepaham dengan
pemikiran ekonomisme Marx yang cenderung mereduksi ranah sosial ke
dalam hubungan-hubungan ekonomi dan proses produksi dan mengabaikan
kontruksi sosial sebagai proses yang dialami aktor dalam membangun
struktur. Pada sisi lainya, Bourdieu juga kurang sependapat dengan pemikiran
Durkheim dan gagasannya mengenai fakta sosial. Pandangan ini dikritik oleh
Bourdieu karena perspektif itu terlalu menekankan kepada struktur obyektif
yang mengabaikan keagenan dan agen. Intinya, Bourdieu ingin
menjembatani subyektivisme dan obyektivisme. Orientasi itu melahirkan dua
konsep utama yang sedemikian penting bagi karya Bourdieu, yakni ranah
(field) dan habitus. Ranah merupakan relasi antar posisi obyektif dari agen
atas dasar kapital (modal) yang dikuasainya. Ketika posisi-posisi itu dicapai,
agen akan dapat berinteraksi dengan habitus. Ranah juga mecerminkan suatu
ruang atau area-area perjuangan. Pencapaian dan perjuangan memperebutkan
posisi-posisi obyektif, menurut Bourdieu sangat ditentukan oleh dua hal
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
24
Universitas Indonesia
yakni kepemilikian atau penguasaan kapital dan relasinya dengan posisi
obyektif agen lainnya (Bourdieu dalam dalam Harker, R (1990). Ranah atau
lingkungan juga ditegaskan oleh Bourdieu (Ritzer dan Goodman, 2003: 522)
sebagai semacam pasar kompetisi (the game of society) yang sangat
ditentukan oleh penguasaan dan penggunaan berbagai jenis kapital.
Bourdieu (1986) menjelaskan ada empat jenis kapital yang
menentukan posisisi obyektif agen yang meliputi (i) kapital sosial, yaitu
berupa jaringan sosial yang menurutnya untuk mempermudah agen dalam
upayanya mengakumulasikan kapital lainnya; (ii) kapital budaya yang
berdimensi manusia, yakni kapital yang embodied state , kemudian dalam
dimensi obyektif, dan berdimensi institusional; (iii) kapital ekonomi yang
merupakan kepemilikan agen terhadap kekayaan dan dalam bentuk uang; serta
(iv) kapital simbolik adalah kekuatan politik par exellence yang mempertegas
antara lain pembagian kelas sosial, ras, dan gender melalui proses labeling.
Selain itu kapital simbolik juga merupakan beragam simbol yang memberikan
legitimasi atas suatu posisi obyekif agen, cara pandang, serta tindakan agen
yang diangggap absah oleh agen lainnya.
Secara umum, kapital simbolik dapat disejajarmaknakan dengan
kapital politik yang dapat ditentukan melalui indikator ikatan moral, karisma,
meritokratik, dan dominasi (Svendsen & Svendsen, 2003). Keempat
representasi kapital itu akan sangat menentukan posisi agen untuk melakukan
interaksinya dalam habitus. Dalam kerangka itu, habitus mesti dipahami
sebagai suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah
(durable, trasposible dispotition) yang berfugsi sebagai basis generatif bagi
praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara obyektif. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa habitus tidak pernah tidak berubah (fixed) baik melalui
waktu maupun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti halnya
dengan posisi yang selalu berubah dalam ranah (field) maka disposisi juga
sama sifatya selalu berubah dalam membentuk habitus. Bourdieu juga
mengemukakan bahwa selain ranah (field), pada agen juga melekat habitus
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
25
Universitas Indonesia
yang terdiri dari berbagai disposisi yang membentuk sistem klasifikasi
(Bourdieu, 1977:214). Keseluruhan penjelasan teori Bourdieu tersebut, pada
dasarnya dapat dikaitkan dengan sistem stratifikasi sosial yang terutama
menyangkut posisi tertentu dari agen yang antara lain ditentukan oleh
penguasaan kapital dan kombinasi posisi sosial dalam ranah (field) akan
menghasilkan habitus tertentu seperti kelas-kelas sosial. Hal ini dikemukakan
juga oleh Ritzer dan Goodman (2003: 520) dengan memperhatikan
menjelaskan pemikiran Bourdieu mengenai habitus yang mencerminkan
pembagian obyektif dalam struktur kelas dan diperoleh sebagai akibat dari
lamanya posisi yang diraih. Kelas-kelas itu dipandang sebagai kumpulan
agen yang menduduki posisi-posisi serupa dan kepentingan serupa, yang
akahirnya memiliki kemungkinan untuk memproduksi praktik ataupun
tindakan agen. Dengan demikian habitus akan bervariasi atau berbeda-beda
tergantung pada manifestasi posisi individu dalam kehidupan sosial, dan akan
menggambarkan fenomena kolektif. Dalam skala yang lebih luas mengenai
bentuk kapital material dan non-material terdapat pandangan neo-kapital
yang menghubungkan orientasi mikro analisis sosiologis mengenai relasi
power dengan orientasi makro mengenai analisis ekonomi politik. Pada sisi
ini, pandangan “Bourdieuconomics” menganggap bahwa institusi formal dan
politik ekonomi sangat berperan penting dalam kegiatan ekonomi (Svendsen
& Svendsen, 2003).
2.2.2. Kapital Sosial dan Pengembangan Ekonomi Wilayah.
Salah satu jenis kapital yang akhir-akhir ini sering diteliti adalah
kapital sosial. Wolz, Reinsberg dan Fiege (2004) mengemukakan bahwa
pembangunan pertanian di negara-negara Eropa Tengah dan Timur masih belum
berhasil sebagaimana yang diharapkan. Ketidakberhasilan usahatani tidak hanya
disebabkan karena kurangnya keterampilan manajemen, dukungan pasar dan
kapital tetapi juga dukungan organisasi dan kerja sama sosial. Menurutnya
jaringan sosial sebagai kapital sosial merupakan salah satu faktor penentu
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
26
Universitas Indonesia
keberhasilan kegiatan ekonomi. Sayangnya temuan itu belum dilengkapi
penjelasan mengenai keterkaitannya dengan kualitas hidup masyarakat petani.
Temuan tersebut dipertegas oleh Vipriyanti (2007) melalui studinya
mengenai bagaimana keterkaitan antara kapital sosial dengan pembangunan
ekonomi wilayah. Salah satu temuan Vipriyanti (2007) yang cukup menarik
adalah mengenai dominannya kontibusi jaringan kerja dalam pembangunan
ekonomi wilayah, terutama dalam organisiasi sosial tradisional di Bali seperti
subak dan banjar. Akan tetapi jika dibandingkan dengan hasil penelitian
sebelumnya, ternyata kepadatan jaringan kerja di Bali relatif rendah yakni
3,19 sementara kepadatan jaringan sosial di Jambi (3,7), Jawa Tengah (6,0),
dan Nusa Tenggara Timur sebesar 6,5 (Grootaert, 1999). Mencermati temuan
Vipriyanti (2007) seperti dijelaskan di muka, bisa diketengahkan bahwa ada
kecendrungan kuatnya ikatan sosial (strongth ties) pada organisasi sosial
tradisi seperti subak maupun banjar di Bali, ternyata mampu memanfaatkan
jaringan kerja secara optimal. Penelitian itu pun masih memfokuskan
analisisnya terhadap satu jenis kapital yakni kapital sosial. Pada umumnya
studi mengenai kapital sosial relatif mengabaikan peran negara dan
kesejahteraan masyarakat, serta cenderung memfokuskan perhatian kepada
hubungan sosial antar aktor. Dengan demikian studi ini masih perlu
ditindaklanjuti dengan mengkaitkan temuannya dengan aspek kesejahteraan
masyarakat di Bali dengan mempertimbangkan aspek peran negara dalam
pengembangan agribisnis.
Konsep pengembangan agribisnis dalam studi ini dibatasi pada
pengembangan pelaku agribisnis, yakni pengembangan aktor manusia sebagai
individu anggota komunitas agribisnis berbasis komunitas. Komponen dari
aktor manusia pelaku agribisnis diarahkan kepada pengembangan empat
komponen utama yang meliputi produktivitas, inklusi sosial, kesetaraan atau
equality yang berupa akses aktor terhadap sumber-sumber pertumbuhan
sosial ekonomi, dan pemberdayaan (empowerment). Oleh karena itu, konsep
pengembangan agribisnis yang digunakan dalam studi ini lebih luas dari
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
27
Universitas Indonesia
definisi formal pengembangan agribisnis ditinjau dari konsep yang hanya
menekankan pertumbuhan ekonomi dari agibisnis itu sendiri. Pengembangan
agribisnis merupakan upaya pemerintah membangun suatu sistem atau
struktur agribisnis yang mencakup industri hulu pertanian, usaha budidaya
(on-farm), industri hilir pertanian, serta jasa-jasa pendukung yang berdaya
saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi. Definisi formal itu
memperlihatkan bahwa senyatanya pengembangan agribisnis belum
sepenuhnya berorientasi kepada aspek pengembangan aktor manusia pelaku
agribisnis.
Pengembangan manusia pelaku agribisnis sesungguhnya merujuk
kepada konsep pembangunan manusia yang mengedepankan proses pilihan-
pilihan rasional aktor pelaku agribisnis. Mencermati hal itu, studi ini salah
satunya merujuk teori pilihan rasional yang digagas oleh James S Coleman,
seperti yang telah dijelaskan di muka. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa
Coleman merupakan teoritisi pertama yang mengembangkan konsep pokok
kapital sosial sebagai salah satu jenis representasi kapital dalam kegiatan
ekonomi. Konsepnya mengenai kapital sosial terkait dengan teori pilihan
rasional yang menekankan kapital sosial sebagai nilai dari aspek struktur
sosial yang bagi aktor dapat dipergunaan sebagai sumber dari apa yang dapat
mereka gunakan untuk mencapai keinginan. Lebih lanjut, ia lebih
mengarahkan perhatian kepada keterlibatan kewajiban dan harapan, saluran
informasi, norma sosial, dan saksi efektif yang sesuai dan mendukung sikap
tertentu yang ada dalam hubungan antar manusia. Tentunya hal yang terkahir
itu dapat dikaitkan dengan jaringan sosial (Coleman, 1990) dan juga secara
spesifik Bourdieu (1986); Torkelsson (2007) bahkan menyatakan kapital
sosial sebagai network. Sementara itu, dimensi kapital sosial lainnya yakni jaringan
kerja dikemukakan oleh Dasgupta dan Serageldin (2002), yang menyatakan bahwa
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
28
Universitas Indonesia
jaringan kerja pada awalnya merupakan suatu sistem komunikasi untuk melindungi,
memelihara, danmengembangkan hubungan interpersonal.
Ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial
dalam komunitas dapat dibedakan tiga jenis jaringan sosial yaitu: (i) jaringan
interest (jaringan kepentingan), yakni hubungan sosial yang dibentuk adalah
hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan; (ii) jaringan
sentiment (jaringan emosi), yang terbentuk atas adanya hubungan-hubungan
sosial yang bermuatan emosi; dan (iii) jaringan power, yakni hubungan-
hubungan sosial yang membentuk jaringan lebih bermuatan power. Jaringan
kepentingan terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermaknsa
pada tujuan-tujuan tertentu dan khusus yang ingin diraih para aktor atau
pelakunya. Oleh karena itu tindakan dan interaksi yang terjadi dalam jaringan
tipe yang pertama selalu dievaluasi berdasarkan tujuan-tujuan relasional.
Dalam kaitan ini aktor dapat memanipulasi hubungan-hubungan emosi
maupun hubungan-hubungan power. Sedangkan jaringan power umumnya
diujukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Jaringan sosial
tipe power harus mempunyai pusat power yang terus-menerus mengkaji-ulang
performa unit-unit sosialnya dan memolakan kembali struktur sosialnya
untuk peningkatan efisiensinya. Terakhir mengenai tipe jaringan emosi
terbentuk atas hubungan sosial yang mana hubungan sosial itu sendiri menjadi
tujuan tindakan sosial, seperti dalam hubungan pertemanan, kekeluargaan
ataupun kekerabatan (Agusyanto, 2007).
Sementara itu, Dasgupta dan Serageldin (2002) menyatakan bahwa
jaringan kerja pada awalnya merupakan suatu sistem komunikasi untuk
melindungi,memelihara, dan mengembangkan hubungan interpersonal.
Mengenai jaringan kerja itu, terdapat hubungan yang sifatnya inter dan antar
organisasi dalam masyarakat yang akan mencerminkan adanya kapital sosial
yang bersifat mengikat, menyambung, dan mengait (bonding, bridging, dan
linking social capital). Kapital sosial yang mengikat (bonding) berasal dari
dalam komunitas, sementara yang bersifat menyambung (bridging) terjadi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
29
Universitas Indonesia
dari interaksi antar organisasi (kelompok), dan yang bersifat mengait (linking)
terbentuk dari hubungan formal kelembagaan seperti antara pemerintah
(pemerintah daerah) dengan komunitas (Szreter dan Woolcock, 2004 dalam
Silva, D.MJ; Harpham, T; Huttly SR; Bartolini, R; dan Penny, ME.
2007).
Menurut Woolcock dan Narayan (2000), pada dasarnya terdapat empat
perspektif kapital sosial dalam pembangunan sosial ekonomi, yakni: (i)
Network View; (ii) Commutarian View; (iii) Institutional View; dan (iv)
Synergy View. Secara ringkas, perspektif itu dikemukakan sebagai berikut:
(i) Network View: Perspektif ini memfokuskan perhatian kepada
pentingnya asosiasi baik vertikal maupun horizontal dari setiap
individu, serta hubungan didalam maupun antar organisasi.
Dihubungkan dengan sifat kapital sosial, maka perspektif ini
lebih mencermati ikatan sosial dalam organisasi, atau lebih
menaruh perhatian pada sifat bonding dan bridging dari kapital
sosial.
(ii) Commutarian View: Perspektif ini mengarahkan perhatian pada
masalah densitas atau kepadatan suatu organisasi dalam
komunitas tertentu. Menurut perspektif ini, kapital sosial dapat
dipandang sebagai organisasi sosial lokal, yang sering dijumpai
dalam bentuk asosiasi ataupun kelompok-kelompok
masyarakat.
(iii) Institutional View: Umumnya perspektif ini digunakan dalam
mencermati kapital sosial yang bersifat makro. Lebih lanjut,
perspektif institusional memandang bahwa jaringan kerja
komunitas merupakan hasil dari keadaan kelembagaan yang
ada.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
30
Universitas Indonesia
(iv) Synergy View: Perspektif ini merupakan perpaduan dari
pandangan network dan institusional. Intinya, perspektif yang
berpandangan sinergis melihat bahwa inklusi dalam
pembangunan akan tercapai jika terdapat koordinasi dan sifat
kooperatif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Penjelasan mengenai kapital sosial yang telah diuraikan di muka pada
dasarnya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bourdieu (1986) bahwa
intinya kapital sosial merupakan kapital dalam bentuk jaringan sosial.
Jaringan sosial (network) menurutnya akan mempermudah agen dalam
mengakumulasi bentuk-bentuk kapital lainnya, seperti yang dipertegas oleh
Lin (2001) dalam Akdere (2005) mengenai teori kapital sosial yang
mengemukakan bahwa kapital sosial pada intinya merupakan bentuk investasi
dalam meningkatkan relasi sosial.
2.2.3. Kapital Budaya dalam Kehidupan Masyarakat.
Kebudayaan pada hakekatnya merupakan konsep yang sedemikian
abstrak dalam mempelajari Sosiologi. Salah satu definisi yang terkait dengan
representasi kapital budaya pada kegiatan produksi mengenai kebudayaan,
dikemukakan oleh Griswold (2004: 12) yang menyatakan secara umum bahwa
kebudayaan merupakan produk manusia baik material maupun non material
seperti yang terekspresikan dalam kebiasaan maupun gagasan-gagasan dalam
kehidupan sosialnya. Kebudayaan dalam hal itu juga meruapakan obyek
yang melekat pada aktor dan itu dapat didengar, dilihat, dan diartikulasikan.
Dengan demikian, kebudayaan merujuk kepada sisi kehidupan manusia yang
ekspresif dan sangat erat pertaliannya dengan kehidupan sosial. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa antara kebudayaan dan struktur sosial tidak dapat
dipisahkan, sehingga dalam mengkaji keterkaitan antara kebudayaan dengan
kehidupan sosial masyarakat diperlukan suatu obyek kebudayaan (cultural
object) sebagai alat analisis yang akan menjelaskan pertalian antara
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
31
Universitas Indonesia
kebudayaan dan masyarakat. Secara lebih detail, Griswold (2004; 16-17)
menjelaskan keterkaitan aspek kebudayaan dengan masyarakat dalam analisis
sosiologi kebudayaan melalui yang ia sebut sebagai Cultural Diamond, yakni
bentuk hubungan antar empat komponen utama analisis hubungan antara
kebudayaan dengan masyarakat yang terdiri dari kreator, receiver, obyek
kebudayaan, dan social world. Pada bentuk cultural diamond intinya ia
ingin mejelaskan hubungan yang terjadi antara obyek kebudayaan dengan
kehidupan sosial (social world) seperti kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan
budaya. Sejalan dengan pandangan itu, Raymond Williamns dalam Syahyuti
(2006:74) juga menyatakan bahwa kebudayaan sebagai alat atau instrumen
dalam kehidupan masyarakat. Pengertian kebudayaan sebagai alat dalam
kehidupan masyarakat dapat disejajarkan maknanya menjadi sebagai suatu
bentuk kapital, seperti halnya dikemukakan oleh Bourdieu (1986).
Lebih lanjut Bourdieu (1986) mengemukakan secara rinci tiga jenis
dimensi kapital budaya yang merujuk pada keadaan (state), yakni embodied
state yakni kapital yang keadaannya mewujud pada badan agen. Secara
harfiah hal ini mengandung pengertian bahwa agen sebagai manusia
mengandung potensi kapital tersendiri, berupa kekuatan ataupun kemampuan
yang melekat pada aktor, seperti halnya kasta pada masyarakat Bali;
Berikutnya kapital budaya yang sifatnya objectified state, yakni merujuk pada
dimensi obyek, yakni berupa karya yang dihasilkannya sebagai kekhasan
aktor berdasarkan keahliannya (sangging, pande, undagi, dan sebagainya yang
dikenal turun temurun oleh masyarakat Bali). Dalam hal ini kapital budaya
bentuknya sebagai hasil karya yang has dapat dijadikan obyek oleh agen.
Beberapa bentuk kapital budaya berdimensi obyek, oleh Bourdieu
dicontohkan seperti alat-alat, atau mesin, bahkan hasil karya seperti gambar
atupun ukiran dan bangunan digolongkan dalam kategori ini. Intinya contoh-
contoh itu jelas memiliki status obyek. Benda-benda dimaksud, diciptakan
oleh manusia dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan dan membuat
hidup menjadi lebih senang karena memiliki benda-benda itu. Bentuk yang
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
32
Universitas Indonesia
ketiga adalah kapital budaya berdimensi institusional yang menunjuk kepada
keadaan dimana benda-benda itu sudah memperlihatkan entitasnya yang
sudah berbeda. Bourdie mencontohkan bentuk kapital budaya ini seperti
sistem pendidikan. Pada dasarnya ketiga bentuk kapital budaya itu tidak dapat
dianggap sebagai sesuatu yang berwujud kapital secara aktual, tetapi masih
bersifat potensial yang dapat ditransformasikan agen menjadi kapital-kapial
lainnya.
Sistem dan usaha agribisnis pun pada dasarnya tidak terlepas dari
kotribusi kapital budaya. Beberapa pandangan ahli Sosiologi Pedesaan
menyatakan kebudayaan lokal sangat mempengaruhi keberhasilan sistem dan
usaha agribisnis. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa faktor
kepemilikan alat-alat dan mesin dalam mekanisasi pertanian, sedemikian besar
kontribusinya dalam proses produksi. Selain itu kepemilikan terhadap mesin-
mesin yang modern juga meningkatkan gengsi bagi agen yang memilikinya.
Senada dengan itu, Castelli, et.all (2009) yang meneliti mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat di Inggris mengemukakan
bahwa kapital turut menentukan pencapaian kualitas hidup oleh individu.
Selain kapital sosial, dalm studi ini juga dicermati peran kapital politik dan
peran kapital budaya sebagai bentuk kapital yang intangible. Pendidikan pada
dasarnya merupakan salah satu faktor yang sangat penting pengaruhnya
terhadap penguasaan kapital budaya, dan ini dimungkinkan karena keterkaitan
faktor pendidikan dengan kapital budaya seperti yang diungkapkan Bourdieu
(1986).
2.2.4. Kapital Politik dalam Pengembangan Ekonomi Masyarakat.
Konsep politik dalam Sosiologi erat pertaliannya dan lebih operasional
dengan konsep kekuasaan, dibandingkan dengan konsep politik yang
dikaitkan dengan atau tentang negara (Duverger, 2002 dalam Dhakidae, 2002
h.17-27). Duverger (2002) mengemukakan politik erat kaitannya dengan
institusi-institusi yang berhubungan dengan kekuasaan. Pertalian antara
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
33
Universitas Indonesia
politik dan kekuasaan terutama dicermati dari aspek kekuasaan sebagai
hubungan yang mengandung otoritas yang mempengaruhi kehidupan sosial
baik dalam bentuk negara maupun komunitas-komunitas yang lebih kecil.
Terdapat dua dimensi pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan. Pertama
bilamana politik dipandang sebagai arena pertarungan dalam rangka
memperoleh dan mempertahakan kekuasaan serta mengontrolnya untuk
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, sementara masih dalam konteks ini
pihak lain akan selalu menentang dan berupaya mengambil alih kekuasaan.
Duverger (2002) dalam Dhakidae (2002) memandang bahwa kekuasaan
memungkinkan kelompok-kelompok dan individu-individu yang
menguasainya untuk mempertahankan dominasinya terhadap pihak lain yang
didalamnya terdapat kepentingan untuk mengeksploitasinya. Sedangkan
kedua, politik dipandang sebagai instrumen atau alat untuk menjaga dan
menegakkan ketertiban dan keadilan dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini
politik merupakan pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum. Konteks
yang terakhir dijelaskan, memainkan peranan integratif dari politik itu sendiri,
disamping berperan untuk memihak dan melindungi kepentingan bersama
dalam kehidupan sosial. Sifat integratif itu sendiri dijelaskan sebagai aspek
interdependensi-saling ketergantungan antara komponen-komponen,
kelompok, atau individu anggota masyarakat. Penjelasan di muka merupakan
pemikiran Duverger yang kemudian dituangkan sebagai tesis utamanya dalam
konteks sosiologi politik dengan mengemukakan bahwa politik meliputi
konflik antara individu-individu dan kelompok untuk memperoleh kekuasaan
yang dipergunakan untuk kepentingannya, serta sekaligus sebagai usaha untuk
mencapai dan menjaga kesejahteraan sosial dalam setiap kegiatan
pembangunan.
Dinamika pembangunan itu sendiri, tidak dapat dilepaskan dari pendekatan
ekonomi politik, termasuk dalam pembangunan pertanian dan khususnya
pengembangan agribisnis. Menurut Rachbini (1996) dalam Sudjana (2004),
ekonomi politik lazimnya diartikan sebagai analisis terhadap proses-proses
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
34
Universitas Indonesia
politik yang berkaitan dengan bidang ekonomi politik. Pendekatan ekonomi
politik dalam hal ini merupakan keniscayaan mengingat dalam masalah-
masalah pembangunan akan selalu menyangkut peranan pemerintah, yaitu
seberapa jauh dan dengan cara bagaimana pemerintah menjalankan model
pembangunannya. Politik secara umum dimaknai sebagai bagian terpenting
dalam hubungan antara negara dan masyarakat, yakni bagaimana hubungan
antara negara dan masyarakat dirumuskan dan selanjutnya diselenggarakan
untuk memenuhi tujuan-tujuan dari hubungan itu sendiri. Dengan demikian,
politik semestinya mengarahkan negara untuk membuka peluang dan
memberikan fasilitasi bagi seluruh anggota masyarakat dalam pemenuhan
kepentingan-kepentingan secara individual auatupun sebagai bagian dari
kehidupan sosial bernegara (Legowo, 2004)
Disisi lain politik senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk
menetapkan dan melindungi hak-hak warga negara, sehingga warga negara
tersebut dapat menerima dan mempertahankan hak-haknya. Sedangkan untuk
mendiagnosis ekonomi politik tentang kinerja atau fenomena pembangunan
dapat dilakukan dengan menggunakan tiga indikator yaitu upaya bersama
(collective actions), kelembagaan (institutions), dan ketidaksempurnaan pasar
politik (political market imperfections). Indikator pertama merujuk kepada
proses pembangunan yang melibatkan interaksi seluruh aktor; indikator
kedua menyangkut sistem nilai atau norma dalam menjaga komitmen; dan
indikator terakhir mengenai pasar politik menunjuk kepada unsur rekam jejak
(track record) aktor politik (Arifin, 2007:1). Dengan demikian, jika dikaitkan
dengan pembangunan pertanian maka keberhasilan pengembangan agribisnis
akan turut ditentukan oleh unsur politik atau kemauan politik (political will)
dari negara. Selain itu, kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam
bentuk formal rules sangat menentukan keberhasilan pembangunan pertanian.
Intinya, pada studi ini akan dikaji apakah lingkungan kebijakan yang terdiri
dari regulasi (formal rules) dan politik pertanian dapat mendukung serta
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
35
Universitas Indonesia
berperan dalam meningkatkan adopsi inovasi, atau bahkan secara tidak
langsung mempengaruhi pendapatan pelaku agribisnis.
Memandang bahwa kapital politik merupakan bagian dari suatu sistem
produksi, maka Lawang(2005: 26) mengemukakan bahwa kenyataan dan
pernyataan yang sedemikian meyakinkan dari begitu banyak ahli menyatakan
pembangunan ekonomi sangat memerlukan dukungan politik. Dalam hal ini,
pertumbuhan pembangunan ekonomi tidak terlepas dari peran kapital politik.
Pada tataran yang lebih konkrit, kapital politik antara lain meliputi institusi
formal dan kebijakan ekonomi di level makro, informal rules pada level
messo, dan pada level individu (mikro) disebutkan antara lain berupa karisma,
ikatan moral, sistem meritokratis, dan dominasi (Svendsen&Svedsen, 2003).
Pandangan ini dipertegas juga oleh Bourdieu yang menekankan pentingnya
aspek dominasi dalam relasi-relasi sosial produksi. Pemikiran itu ditekankan
juga oleh Harker (1990), yang mengemukakan bahwa dalam hal konversi
atau pertukaran bentuk kapital, maka kapital simbolik menunjukkan proses
pertukaran kapital yang paling nyata karena mengandung aspek legitimasi
dan aspek kekuasaan yang terwujud dalam bentuk basis dominasi.
2.2.5. Sinerji Kapital Ekonomi, Kapital Sosial, dan Potensi SumberdayaAlamiah dalam Pengembangan Agribisnis Berbasis Komunitas.
Dalam kerangka operasional modernisasi sistem dan usaha pertanian,
perlu mencermati potensi ekonomi wilayah, sumberdaya lokal setempat (local
resources based), yaitu berupa sumberdaya petani (kapital manusia) dan
karakteristik individu lainnya dari petani, potensi ketersediaan lahan (kapital
fisik), potensi kapital sosial, yang semuanya merupakan input penting dalam
proses produksi. Sinerji dari aspek tersebut sangat penting dalam peningkatan
efektifitas dan efisiensi proses produksi. Gejala perubahan sosial khususnya
menyangkut struktur sosial yang diakibatkan oleh proses difusi inovasi pada
hakekatnya tergantung juga kepada potensi masyarakat ataupun komunitas,
disamping kekuatan eksternal seperti misalnya yang dilakukan pemerintah
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
36
Universitas Indonesia
sebagai suprasistem suatu komunitas. Dalam hal ini intervensi dan peran
pemerintah sebagai represetasi state mesti lebih menekankan aspek
pertumbuhan pembanguan berlandaskan prinsip inklusi sosial, terutama dalam
arti tidak terjadi penumpukan akumulasi kapital dalam sebagian kecil
masyarakat, sehinga mampu meredam gejala timbulnya elitisme dalam hal
penguasaan kapital.
Menurut Sitorus (1999), bahaya elitisme agribisnis terkait dengan sifat
elitisme yang melekat pada agribisnis sebagai artikulasi cara produksi
kapitalis atau sekurang-kurangnya komersialis. Sifat elitisme juga
dimaksudkan sebagai pemihakan agribisnis pada kepentingan elit ekonomi,
yaitu para pemilik modal uang. Sehubungan dengan itu pemanfaatan
sumberdaya dan potensi lokal termasuk kapital sosial, budaya, maupun politik
diyakini dapat mereduksi peluang elitisme agribisnis. Dalam rangka
mengantisipasi bahaya elitisme agribisnis itu, maka kritik Sosiologi yang
dikemukakan oleh Sitorus, et.all (2001) sangat baik untuk dicermati. Kritik
yang disampaikan dalam laporan hasil penelitiannya mengenai Agribisnis
Berbasis Komunitas:”Sinergi Modal Ekonomi dan Modal Sosial”, diawali
dengan mengemukakan tahapan perkembangan agribisnis yang dilandasi
pemikiran dari sudut ekonomi yang terdiri dari tiga tahap. Pertama, agribisnis
berbasis sumberdaya, yaitu pembangunan agribisnis yang digerakkan leh
kelimpahan faktor poduksi (factor driven) yakni sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia berupa tenaga kerja yang unskilled labor. Tahap kedua
adalah pembangunan agribisnis yang berbasis invesatasi (investment driven)
yang padat modal dengan didukung tenaga kerja terdidik (capital intensive
and skilled-labor). Kemudian tahap yang terakhir adalah pembangunan
agribisnis yang berbasis inovasi (innovation driven) yang lebih digerakkan
oleh kemajuan teknologi serta peningkatan sumberdaya manusia terdidik
(science and skilled labor-based). Secara ringkas, visualisasi dari ketiga
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
37
Universitas Indonesia
tahapan dan alternatif pemikiran sosiologis perkembangan pembangunan
agribisis dapat dilihat pada Gambar 2.3. Visualisasi tersebut menjelaskan
bahwa tahap perkembangan agribisnis relatif didominasi oleh representasi
kapital ekonomi. Kapital ekonomi secara umum dikelompokkan kedalam
kapital finansial (modal uang), modal fisik yang bersifat tangible, seperti alat-
alat produksi pertanian, dan juga berupa kemampuan (skill) sumberdaya
manusianya.
AGRIBISNISBERBASIS
Sumberdaya
DigerakkanKelimpahan
Faktor Produksi
(Factor Driven)
TAHAP PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN AGRIBISNIS
TAHAP I
AGRIBISNISBERBASISInvestasi
DigerakkanKekuatan
Investasi danSDM terdidik
(InvestmentDriven)
TAHAP II
AGRIBISNISBERBASIS
Inovasi
Digerakkantemuan baruatau inovasi
(InnovationDriven)
TAHAP III
AGRIBISNISBERBASIS
KOMUNITAS
Digerakkan olehproses interaksi
sosial danproses kerja:
aktualisasi tigajenis modal:
modal alamiah;modal ekonomi;dan modal sosial
TAHAP IV
Tahapan dari sudut pandang EkonomiTahapan dari
Pemikiran Sosiologis
Gambar2.2.Tahapan Perkembangan Pembangunan Agribisnis(Divisualisasikan dengan menyarikan pandangan Sitorus, et.all.2001, h. 3-5).
Menurut Sitorus, et.all (2001), pada titik ini konsep ekonomi neo
klasik tentang kelembagaan sistem agribisnis tersebut dihadapkan pada suatu
kritik Sosiologi, yang berkenaan dengan adanya bahaya penyingkiran
mayoritas kaum tani. Dari sudut pandang Sosiologi, proses pembangunan
sistem agribisnis bertahapan tiga sebagaimana dirumuskan para ahli ekonomi
tersebut di atas cenderung bersifat elitis, yakni sangat tampak dalam hal
akses dan penguasaan modal fisik dan uang yang distribusinya didominasi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
38
Universitas Indonesia
oleh sebagian elit. Oleh karena itu ada tantangan bagi Sosiologi untuk
merumuskan suatu pengembangan sistem agribisnis yang bersifat melibatkan
mayoritas kaum tani sebagai subyek. Tantangan itulah yang melandasi
munculnya pemikiran tentang agribisnis berbasis komunitas. Konsep
agribisnis berbasis komunitas merujuk kepada pemikiran Juergen Habermas,
yakni agribisnis dipahami sebagai proses interaksi sosial dan proses kerja
sekaligus, dan di dalam proses tersebut teraktualisasikan representasi bentuk-
bentuk kapital, yaitu modal alamiah, modal ekonomi, dan kapital sosial, yang
jika dicermati lebih lanjut akan didapat kecendrungan perbedaan penguasaan
masing-masing kapital itu oleh aktor. Pada konteks itu, pembahasan
mengenai dukungan peran tripartit pemerintah, swasta, dan potensi lokal perlu
dicermati. Peran ketiga elemen pembangunan itu ditengarai memiliki
pertalian yang erat dengan penguasaan kapital dalam masyarakat, yang tentu
akan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat.
2.2.6. Peran Tripartit Pemerintah, Swasta, dan Komunitas Lokal dalamPerspektif Teori New Institutionalism.
Hubungan dan peran antara negara (pemerintah), korporasi (swasta),
dan masyarakat sering menjadi topik menarik dalam menganalisis teori-teori
pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini antara lain disoroti oleh
Campana (2000), yang melakukan studi tentang peran elemen-elemen
pembangunan dalam mengentaskan kemiskinan. Menurutnya, kemitraan
(partnership) antara pemerintah, swasta, dan institusi multilateral yang
berkembang dalam komunitas lokal ternyata mampu menekan angka
kemiskinan masyarakat di pedesaan Chili, melalui program-program
pembangunan pertanian yang diinisiasi pemerintah Chili. Dalam konteks
operasionalisasi program pembangunan pertanian, keterlibatan dan dukungan
lembaga swadaya masyarakat (NGO’s) sangat kental terutama melalui
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
39
Universitas Indonesia
inisiatifnya dalam mengembangkan demokratisasi proses pembangunan yang
diawali dari perencanaan dan desain program hingga kontrol terhadap
pelaksanaan pembangunan pertanian di Chili. Pemberdayaan kelompok dan
organisasi sosial di tingkat desa berhasil menguatkan hubungan antara
komunitas desa dengan pemerintah. Hubungan erat dan partisipasi
masyarakat mendukung program pemerintah sedemikian kuat terutama dalam
proses transfer teknologi, sehingga mampu meningkatkan kinerja
pembangunan pertanian di pedesaan Chili. Peran lembaga edukasi yakni
Instituto de Education Rural (IER) dalam membentuk lembaga-lembaga
pendidikan non formal di pedesaan memainkan peranan yang sangat penting
bagi peningkatan kapasitas masyarakat desa di Chili.
Hasil studi lainnya juga dikemukakan oleh Jiwa (2005) yang
mengemukakan mengenai model hubungan tripartit dalam mendukung usaha
produksi madu di Kenya. Pada intinya, Jiwa (2005) menggambarkan”Honey
Care’s Tripartite Model” sebagai sebuah strategi sinegri “win-win-win
partnership” antara pemerintah - sektor swasta - komunitas desa yang mampu
mempromosikan usaha kecil ke arah pengembangan komunitas berkelanjutan.
Pemerintah dan sektor swasta berperan dalam mobilisasi komunitas melalui
pengembangan serta pembinaan kelompok petani madu dan memfasilitasi
kredit bagi petani lebah madu. Selain itu, pemerintah menginisiasi kebijakan
alih teknologi melalui training, penyediaan informasi pasar, serta melakukan
pengembangan kelembagaan pasar lokal.
Studi tentang hubungan negara ataupun pemerintah dengan masyarakat
dalam bentuk ko-produksi juga telah dilakukan di Bali oleh Zaenuddin,
Syahra, dan Suprihadi (2007). Studi ini mengetengahkan keberhasilan Desa
Sanur, sebuah desa pariwisata di Bali mewujudkan pembangunan yang
bercirikan ko produksi. Ko produksi masyarakat Sanur ditunjukan dengan
berperannya kelembagaan sosial budaya, terutama dalam wadah organisasi
sosial desa adat. Sedangkan pemerintah juga mampu melakukan
pengakomodasian kultur dan tatanan keswadayaan masyarakat dalam
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
40
Universitas Indonesia
pembangunan (Zaenuddin, Syahra, dan Suprihadi; 2007:67). Sementara itu,
dalam pembangunan pertanian di Indonesia yang merupakan bagian dari
pembangunan sosial ekonomi nasional, peran pemerintah, swasta dan
masyarakat juga dikemukakan oleh Arifin (2005:147-148) terutama untuk
menyoroti paradigma kebijakan dan strategi revitalisasi pertanian nasional.
Menurutnya, pengembangan industrialisasi pertanian dengan menerapkan
strategi kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat adalah suatu strategi yang
baru berkembang pada beberapa waktu belakangan ini.
Lebih lanjut Arifin (2005:147-148) mengemukakan elemen pertama
dalam kemitraan tripartit adalah negara ataupun pemerintah yang merupakan
lembaga publik dengan fungsi menyelenggarakan dan menciptakan
kesejahteraan umum, yang antara lain dilakukan dengan kegiatan-kegiatan
pembangunan. Pada kerangka ini, peran pemerintah (negara) dalam falsafah
kemitraan tripartit bergeser dari yang semula sebagai penggerak utama
pembangunan, ke arah peran sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan
sosial ekonomi. Peran tersebut meliputi perumusan kebijakan, fasilitasi
infrastruktur, penyediaan dan pengembangan inovasi teknologi, dukungan
subsidi, anggaran pembangunan yang berprinsip berkeadilan dan dukungan
politik bagi pengembangan usaha pertanian. Lembaga ini memiliki kekuasaan
yang bersifat regulatif yang berperan dalam mengatur kehidupan bersama.
Dalam aspek ini, dapat dijelaskan fungsi negara sebagai pengatur elemen-
elemen pembangunan. Kedua, adalah elemen swasta atau korporasi yang
memiliki ruang gerak pada area publik melalui produksi hingga transaksi jual-
beli barang dan jasa yang berorientasi pada keuntungan. Dunia usaha ini baik
langsung maupun tidak langsung memiliki peran yang sedemikian penting
bagi pembangunan sosial ekonomi nasional. Pada perkembangan terkini,
sorotan yang relatif tajam sering tertuju pada peran dunia usaha yang dianggap
mementingkan orientasi maksimalisasi keuntungan dan melupakan falsafah
moral maupun tanggung jawab sosial. Aspek yang terakhir ini berkembang
dan sering dikaji sebagai suatu pembahasan yang memunculkan paradigma
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
41
Universitas Indonesia
baru “Corparate Social Responsibility/CSR” yang mengutamakan
keberlanjutan dan kesejahteraan sosial dalam pembangunan sosial ekonomi
nasional. Elemen Ketiga, adalah masyarakat yang berinteraksi pada ruang
publik atas dasar tata nilai dan perilaku sosial tertentu, yang saat ini tidak lagi
hanya menjadi obyek pembangunan, melaikan bergeser peranya sebagai
subyek yang menentukan pembangunan sosial ekonomi bangsa. Peran dan
hubungan simetris dari ketiga elemen pembangunan itu, merupakan prasarat
utama dalam strategi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan, seperti yang
banyak diungkapkan dalam beberapa hasil studi belakangan ini, dan disebut
sebagai koproduksi antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Ko produksi
itu sendiri pada hakekatnya merupakan suatu kondisi yang mencerminkan
adanya partispasi masyarakat termasuk dalam penyediaan barang dan
pelayanan untuk kepentingan mereka. Partisipasi masyarakat menunjukkan
bahwa masyarakat tidak hanya bersikap pasif untuk dilayani tetapi ikut
berpartisipasi dalam segala kegiatan pembangunan ekonomi, sosial, politik,
budaya, dan kepetningan lain untk kesejahteraannya (Ostrom, 1997).
Pada hakekatnya, peran pemerintah sangat penting dalam perumusan
kebijakan pengembangan usaha, hingga pada kebijakan subsidi dan
mengembangkan dukungan politik bagi berkembangnya usaha. Selain itu,
introduksi inovasi teknologi juga diperlukan dengan melakukan pendekatan
pemberdayaan potensi organisasi yang berkembang di level komunitas lokal.
Di Indonesia, peran negara dalam pelembagaan ide baru antara lain
diimplementasikan melalui program percepatan pemasyarakatan inovasi
teknologi pertanian. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
No.798/Kpts/T.210/12/94 telah dibentuk dan ditetapkan organisasi dan tata
kerja Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), sebagai lembaga
penelitian pusat yang berada di setiap propinsi, dan ditujukan untuk
mendukung pembangunan pertanian daerah dan mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya pertanian wilayah melalui percepatan alih teknologi. Hal ini
tentunya sangat erat pertaliannya dengan semangat desentralisasi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
42
Universitas Indonesia
pembangunan, bahwa desentralisasi perlu dilakukan dalam bidang penelitian
dan pengembangan teknologi pertanian dan lebih mendekatkan pelayanan
penelitian kepada masyarakat, termasuk dalam hal ini komunitas agribisnis di
Bali. Sejak terbentuknya BPTP di setiap propinsi pada tahun 1994, maka
percepatan pemasyarakatan teknologi pertanian spesifik lokasi terus
dikembangkan antara lain melalui program pengembangan sistem usaha
pertanian (SUP) berbasis potensi lokasi spesifik. Di Bali, program ini antara
lain telah relatif berhasil melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis
salak Bali yang juga memiliki dampak di daerah produsen salak di Bali, yakni
di beberapa kecamatan wilayah kabupaten Karangasem. Keberhasilan
program SUP salak Bali telah menjadikan salak Bali sebagai salah satu
komoditas unggulan propinsi Bali yang tentunya erat pertaliannya dengan
upaya peningakatan kesejahteraan petani ataupun aktor agribisnis salak di Bali
(Badan Litbang Pertanian, 2004).
Sejalan dengan dinamika perkembangan lingkungan strategis, upaya
penigkatan pelayanan penelitian terhadap masyarakat terus berkembang
hingga pada beberapa tahun terakhir, terutama sejak diimplementasikannya
program rintisan akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian
(PRIMA TANI) yang dimulai sejak 2005. Prima Tani terus berkembang
secara dinamis, baik tujuan maupun harapan yang ingin dicapai, serta jumlah
lokasi yang sesuai dengan harapan masyarakat agribisnis. Perkembangan ini
menunjukkan bahwa Prima Tani diyakini oleh berbagai komponen
(stakeholders) sebagai model pembangunan agribisnis yang berawal dari desa.
Bahkan, pelaksanaan Prima Tani ke depan dapat bersinergi dengan berbagai
program sejenis yang ada di pedesaan, baik yang diinisiasi oleh Departemen
Pertanian maupun lembaga lain, seperti halnya dengan implementasi program
nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) yang didalamnya terintegrasi
program pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) yang berlokasi di
10. 000 desa, termasuk didalamnya seluruh desa lokasi pengembangan Prima
Tani (Badan Litbang Pertanian, 2008).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
43
Universitas Indonesia
Pada tataran operasional, Prima Tani dilaksanakan dengan empat
strategi yakni, (i) menerapkan teknologi inovatif tepat guna secara partisipatif;
(ii) membangun model usaha agribisnis berbasis teknologi inovatif yang
mengintegrasikan sistem inovasi dan kelembagaan dengan sistem agribisnis;
(iii) mendorong proses difusi dan replikasi model pengembangan agribisnis;
serta (iv) mengembangkan agroindustri pedesaan berdasarkan karakteristik
agroekosistem dan kondisi sosial ekonomi setempat. Sedangkan pendekatan
yang dilakukan dalam implementasi Prima Tani adalah dengan pendekatan
Agro-ekosistem. Pendekatan ini mempertimbangkan aspek kesesuaian
kondisi bio-fisik lokasi yang meliputi sumberdaya pertanian, sebagai modal
alamiah. Berikutnya adalah melakukan pendekatan agribisnis dengan
mencermati struktur dan keterkaitan subsistem input, usahatai, pasca panen,
pengolahan, dan lembaga penunjang dalam satu sistem agribisnis. Pedekatan
lainya adalah pendekatan kelembagaan, yakni Prima Tani tidak hanya
memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu
yang berkaitan dengan input dan output, melainkan juga mencakup aspek
kultural diantaranya kebiasaan dan adat istiadat ataupun norma yang berlaku
di lokasi Prima Tani. Terakhir adalah pendekatan pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat yang menekankan pertumbuhan kemandirian aktor
agribisnis dalam memanfaatkan potensi sumberdaya pertanian, termasuk
dalam hal memberdayakan potensi kapital yang tersedia alam sistem sosialnya
(Badan Litbang Pertanian, 2008)
Sementara peran swasta lebih kurang tidak berbeda dengan yang
diperankan oleh pemerintah, yakni mendukung dan memfasilitasi kredit usaha
dan mendukung pemasaran produksi petani lebah madu (Jiwa, 2005); dan
untuk di Indonesia peran swasta sangat diperlukan dalam mendukung kredit
usahatani, seperti yang diutarakan oleh Ashari (2009). Adapun peran
masyarakat adalah melalui partisipasinya dalam pengembangan usaha dan
pengembangan organisasi lokalnya.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
44
Universitas Indonesia
Pada dasarnya, keseluruhan gambaran peran tripartit antara kebijakan
negara, swasta dan masyarakat lokal dalam pengembangan komunitas
agribisnis dapat didekati dengan penelaahan teori yang dikemukakan Nee
(2005) mengenai “New Institusionalism” atau teori mengenai kelembagaan
baru dalam kegiatan ekonomi. Secara ringkas pemikiran Nee (2005)
mengenai new institutionalism diawali dengan gagasannya untuk menjelaskan
bagaimana institusi formal berinteraksi dengan jaringan sosial (social
network) dan norma-norma sosial yang sifatnya informal dalam mengarahkan
tindakan-tindakan ekonomi. Nee (2005) mengemukakan pandangannya
mengenai pentingnya lingkungan institusi dan budaya dalam membentuk
tingkah laku ekonomi masyarakat. Ia menegaskan perlunya integrasi hub
sosial dan institusi dalam studi tingkah laku ekonomi dengan fokus pada
mekanisme yang mengatur bagaimana kombinasi formal dan (in) formal rules
memfasilitasi dan mengatur tingkah laku ekonomi serta hubungan antar
elemen pada tingkatan kausal. Konkritnya, lingkungan institusional adalah
berupa peraturan dan kebijakan-kebijakan formal, bahkan dapat berupa
gagasan ataupun unsur-unsur baru yang secara dinamis berjalan menjadi
kerangka dalam mengatur tindakan ekonomi aktor atau kelompok. Tindakan
ekonomi aktor, pada kondisi yang ideal berbasis pada relasi informal yang
dilandasi kepercayaan bersama, norma, dan aturan-aturan in-formal yang
mengarahkan tindakan ekonomi aktor dalam mengejar kepentingannya.
Pertalian dan pertautan antara lingkungan institusional dengan relasi informal
yang mengikat tindakan aktor dalam mengejar kepentingan-kepentingannya
merupakan sebuah kerangka, yakni kerangka institusional. Sebenarnya
pandangan Nee (2005) mengenai new institutionalism merupakan pemikiran
gabungan antara ekonomi institusional, teori pilihan rasional (rational choice
theory) dari Coleman, dan teori keterlekatan (embeddedness theory) yang
dikemukakan Granovetter. Oleh karena itu new institutionalism atau konsep
pelembagaan baru menelaah tentang bagaimana institusi (lembaga)
memainkan peran yang sedemikian pentingnya dalam menstrukturisasi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
45
Universitas Indonesia
transaksi-transaksi sosial maupun ekonomi dan memahami dasar norma-
norma sosial, jaringan sosial, dan kepercayaan pada lembaga atau institusi
dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang terjadi pada ekonomi modern.
Penjelasan Nee (2005) mengenai new intitutionalism pada dasarnya tidak
hanya membahas mengenai sosiologi ekonomi melainkan juga ekonomi
institusional yang baru. Pandangannya sangat kontributif dalam memahami
secara lebih baik hubungan antara individu dengan kelompok (mikro-messo)
yang menciptakan kegiatan-kegiatan ekonomi secara bersama-sama dalam
berinterkasi dengan aturan-aturan formal (formal rules) di tataran makro.
Pada konteks itu, Nee senyatanya ingin menegaskan mekanisme sosial dimana
aspek formal dan informal saling berhubungan atau berintegrasi dan menjadi
dasar bagi setiap individu dalam mencapai kepentingan ekonominya. Lebih
lanjut Nee mengemukakan pendekatan yang dikemukakan oleh Granovetter
dalam memandang jaringan sosial, yang menyatakan bahwa aktor ekonomi
bukan atom yang lepas dari konteks masyarakat, bukan pula sepenuhnya
patuh pada aturan sosial. Tingkah laku aktor melekat pada realitas relasi
sosial (concrete, on-going social relation). Dalam hal ini pandangan New
Institutionalism mengemukakan bahwa Granovetter hanya menjelaskan
proximate causes tanpa menjelaskan large/macro causes. Juga menurut Nee,
Granovetter tidak menjelaskan mengapa aktor decouple (terpisah/terlepas)
dari hubungan sosial untuk mengejar kepentingan ekonomi?. Berlandaskan
kepada kritik terhadap pendekatan New Institutional Economic dan
mencermati pandangan Garnovetter di atas, Nee mengemukakan model
institusional baru yang digambarkan seperti berikut:
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
46
Universitas Indonesia
Gambar 2.3. Model Interaksi Regulasi Formal (Level Makro) denganOrganisasi (Level Messo)), dan Individu (Level Mikro).(Nee, 2005, h.56).
Model multi level di atas menerangkan mengenai fungsi lingkungan
institusional, regulasi formal yang diterapkan oleh government (policy
environment) dalam menata hak-hak kepemilikan, menata pasar, dan
perusahaan. Model ini memandang mekanisme institusional memiliki
penyebab yang lebih dalam karena sangat menentukan insentif. Dalam
pandangan New Institusional Sosiologi Ekonomi, norma-norma yang ada
akan berinteraksi dengan formal rules dalam merealisasikan kepentingan
individu. Adapun prinsip-prinsip dasar dari New Institusional Sosiologi
Ekonomi senyatanya berada pada posisi yang menengahi pandangan neo
institusionalisme dalam analisis organsasional dan pandangan lainnya yaitu
ekonomi neo institusional, seperti yang terutuang dalam matrik berikut ini:
LingkunganInstitusional
Proses Produksi-Pasar/Organisasi
Organisasi Usaha/Non Profit
Kelompok Sosial
Individual
Mekanisme Pasar ;State Regulation
KerangkaInstitusi
TindakanKolektif
ComplianceDecouple
Monitoring;Enforcement
Incentives;Preferensi indigenous
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
47
Universitas Indonesia
Tabel 2.1. Matrik Prinsip-prinsip Teori New Institusional
KOMPONEN DESKRIPSI
Asumsi perilaku Rationality terikat dalam konteks masyarakat;Aktor didorong oleh interest, biasanya dibentukoleh beliefs (kepercayan bersama), norms dannetwork ties (ikatan dalam jaringan sosial)
Aktor Organisasi adalah aktor; individumengartikulasikan interests di dalam organisasidan network
Definisi Institusi Sistem saling terhubung antara institusi formaldan informal. Sistem ini memfasilitasi,mendorong dan mengatur tindakan ekonomi
Mekanisme Level Makro Regulasi negara (UU, Peraturan pemerintah,dll); mekanisme pasar; tindakan kolektif
Mekanisme Level Mikro Tindakan individu dalam network/ organisasi;Tindakan itu didorong oleh interest individu
Sumber: Nee dalam Smelser dan Swedberg (2005: 63)
Pandangan new institutisionalisme sesungguhnya berposisi
menengahi pemikiran teori institusional dalam analisis organisasional yang
lebih menekankan tindakan non rasional sebagai akibat dari kepercayaan
berorientasi kultural yang menunjukkan ciri lingkungan institusionalnya, serta
pada level makro diatur regulasi negara dan juga adanya isomorfis yang
koersif dan normatif. Demikian juga teori new institusioanlisme berbeda
dengan pemikiran aliran neo institusionalisme yang mengasumsikan
rasionalitas terbatas, yakni individu yang bertujuan memaksimalkan utilitas
dibatasi ketidakpastian, asimetris atau ketidakseimbangan informasi, dan
adanya kemampuan kognitif yang tidak sempurna. Oleh karena itu, teori Nee
(2005) mengenai new institutionalisme berada ditengah yang intinya
mengemukakan adanya mekanisme integrasi hubungan formal dan informal
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
48
Universitas Indonesia
pada setiap level kausal, yakni pada tataran mikro (individu), meso (kelompok
ataupun organisasi), dan tataran makro berupa lingkungan kebijakan (policy
environment), termasuk tetentunya dalam pengembangan system dan usaha
agribisnis. Gambar 2.2 merupakan visualisasi konsep Nee yang menekankan
hubungan integrasi institusi formal dan informal pada tataran makro, meso,
dan mikro. Rusaknya salah satu mekanisme integrasi akan menyebabkan
terjadinya kegagalan integrasi (decoupling), dan sebaliknya jika terjadi
harmonisasi hubungan dari level makro (lingkungan kebijakan) kepada
institusi informal, organisasi di level meso, sampai kepada tataran individu
ataupun kelompok (level mikro), maka akan terjadi insentif kesberhasilan
kegiatan ekonomi.
Mencermati hal itu, maka pemahaman terhadap teori new
institusionalism dapat dilengkapi dengan memahami secara umum teori
pilihan rasional yang digagas oleh James S Coleman (1988; 1990). Pada
dasarnya teori pilihan rasional berada dalam tataran middle range theory yang
berlandaskan kepada teori umum (grand theory), yakni tindakan rasional yang
digagas oleh Max Weber. Menurut Weber tipologi ideal tindakan sosial,
dibedakan atas (i) Tindakan Tradisional, yang merupakan tindakan sebagai
perilaku sosial karena suatu kebiasaan, (ii) Tindakan afeksional adalah
tindakan yang didasari perasaan dan emosi seperti misalnya ketertarikan
seksual; serta (iii) Tindakan yang dipandang penting oleh Weber yaitu
Tindakan Rasional yang dibedakan atas tindakan berorientasi Tujuan dan
Tindakan Rasional Berorientasi Nilai, seperti misalnya nilai religius (Roth dan
Wittich, 1978: 24-26; Johnson, 1988: 219).
Berlandaskan grand theory dari Weber mengenai rasionalitas atau lebih
spesifiknya adalah tindakan rasional, serta perspektif pilihan rasional pada
tataran middle range theory seperti yang dikemukakan oleh Coleman, maka
periode waktu terakhir ini berkembang studi-studi yang mengkaji kapital
sosial secara khusus, dan representasi kapital secara umum dari sudut pandang
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
49
Universitas Indonesia
Sosiologi Ekonomi, dikaitkan dengan pengambilan keputusan transaksi sosial
ekonomi.
Jika mengacu atau mulai dari teori tindakan rasional, maka “Setiap
actor memiliki control atas sumber-sumber tertentu dan mempunyai
kepentingan dalam sumber-sumber tertentu dan kejadian”. Pernyataan
Coleman (1988) itu mengandung beberapa komponen yakni:
Bahwa inti tindakan rasional itu adalah actor. Mengacu pada
istilah Weberian, actor atau agent yang dimaksudkan adalah
seorang subyek atau individu yang memiliki pikiran (rasio),
perasaan, dan tradisi.
Dalam masyarakat terdapat berbagai sumber-sumber tertentu,
tetapi hanya sumber tertentu saja yang dapat dikuasai oleh seorang
individu. Penguasaan ini dalam konteks kepemilikan dan
pemanfaatannya, atau bisa saja hanya sebatas pemanfaatannya
saja.
Setiap actor memiliki kepentingan yang ada pada sumber-sumber
tersebut.
Salah satu dari sumber-sumber yang tersedia atau disediakan oleh
struktur sosial, dijadikan sebagai capital oleh actor. Sejalan
dengan prinsip ekonomi, sumber yang dibuat tersedia oleh actor
itu, adalah yang dapat memenuhi kepentingannya dan dapat
dikuasainya.
Oleh karenanya, berdasarkan penjelasan di atas maka dalam tindakan
rasional ada beberapa kata kunci yang harus dikaitkan satu dengan yang
lainnya, yakni actor (yang diasumsikan rasional); pilihan dari beragam
sumber yang tersedia; penguasaan atas sumber-sumber itu oleh si actor; dan
kepentingan pribadi. Dengan demikian timbul pertanyaan mengapa Coleman
tidak mengacu kepada pemikiran Fungsionalisme Struktural dalam
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
50
Universitas Indonesia
menjelaskan teori pilihan rasional. Hal ini tidak terlepas dari kritiknya
terhadap aliran sosiologi dan aliran ekonomi, yakni dua aliran yang berupaya
menjelaskan kapital sosial hingga dekade 1980-an.
Kritik yang dikemukakan adalah mengenai cacat yang sangat fatal
bagi perkembangan teori yang tidak mempertimbangkan atau mengabaikan
actor yang memiliki dalam tanda petik “mesin tindakan”. Kritik itu
ditujukan kepada aliran sosiologi yang menganggap actor itu dibentuk oleh
lingkungan (system atau struktur), bersifat pasif, serta tidak memiliki
kekuatan dari dalam untuk menentukan tindakannya. Faktanya dalam dunia
sosial tidaklah demikian. Menurut Coleman, individu manusia bukan hanya
sekedar tempat ataupun media bagi bekerjanya suatu struktur sosial.
Sementara, terhadap aliran ekonomi Coleman mengkritik bahwa
dalam mencapai tujuannya aktor tidaklah secara bebas, bertindak secara
bebas, dan terpusat pada kepentingan diri saja. Semua itu merupakan prinsip-
prinsip pandangan utilitarianisme. Argumentasi Coleman didasari pemikiran
yang paling hakiki mengenai institusi kapitalisme yang sarat dengan
peraturan, norma, ataupun kewajiban.
Pendapat Coleman, sebenarnya dapat dikaitkan dengan pemikiran
aliran Chicago, yakni pandangan interaksionalisme simbolik yang kurang
sejalan dengan aliran fungsionalisme structural. Menurut aliran Chicago -
pandangan interaksionalisme simbolik mengemukakan bahwa struktur sosial
merupakan hasil dari interaksi sosial, dan dipertahankan oleh actor yang
terlibat dalam proses pembentukannya melalui tindakan atau interaksi sosial.
Tindakan dan interaksi sosial terjadi dalam suatu proses dinamis dan melebur
dalam hubungan interaksional itu sendiri. Oleh karenanya dapat dikemukakan
bahwa struktur sosial yang menjadi andalan (kapital) bagi individu dalam
bertindak produktif atau tidak produktif tergantung dari hubungan dinamis
antara individu dengan struktur sosial itu sendiri
Pada dasarnya rasionalitas dalam konteks ekonomi adalah sepenuhnya
rasional (wholly rational) demi kepentingan atau keuntungan individu.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
51
Universitas Indonesia
Sementara Nee (2005:57) lebih memandang konsep rasional berdasarkan
konteks masyarakat tertentu dan tertanam dalam hubungan interpersonal. Nee
mengemukakan rasionalitas yang cenderung bersifat “context-bound
rationality”. Rasionalitas yang sesuai konteks, yakni berlandaskan budaya,
agama, dan kebiasaan lokal setempat.
Pada sisi lain, Granovetter (2005) mengetengahkan gagasan mengenai
pengaruh struktur sosial terutama yang dibentuk berdasarkan jaringan sosial
(network), terhadap manfaat ekonomis khususnya menyangkut kualitas
informasi. Ia lebih lanjut menjelaskan empat prinsip utama yang melandasi
pemikiran mengenai adanya hubungan pengaruh antara jaringan sosial
(network) dengan manfaat ekonomi, yakni: (i) norma dan densitas network;
(ii) The Strength of Weak Ties yakni manfaat ekonomi, yang ternyata
cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah. Untuk hal ini ia
menjelasakan bahwa pada tataran empiris, informasi baru misalnya, akan
cenderung didapat dari kenalan baru dibandingkan dengan teman dekat yang
umumnya memiliki wawasan yang hampir sama dengan individu, dan kenalan
baru relatif membuka cakrawala dunia luar individu.; (iii) The Importance of
“Structural Holes”. Yakni adanya peran lubang structural diluar ikatan lemah
aupun ikatan kuat yang ternyata berkontribusi untuk menjembatani relasi
individu dengan pihak luar (outsider) dan (iv) The Interpenetration of
Economic and Non-Economic Action yaitu adanya kegiatan-kegiatan non
ekonomis yang dilakukan dalam kehidupan sosial individu yang ternyata
mempengaruhi tindakan ekonominya. Dalam hal ini Granovetter
menyebutnya ketertambatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi.
Pada konteks ini, Nee (2005) mengemukakan bahwa pola-pola ketertambatan
sosial (social embeddedness) bervariasi antar satu budaya dengan budaya
lainnya, dengan kata lain ketertambatan sosial yang berlaku dalam satu
budaya tertentu tidak serta merta dapat diterapkan pada budaya lain.
Pada hakekatnya, sumbangan pemikiran Granoveter dalam sosiologi
ekonomi sedemikian kuat pengaruhnya bagi perkembangan studi-studi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
52
Universitas Indonesia
empiris. Salah satu pemikirannya yang sering dirujuk adalah mengenai
jaringan sosial. Dalam membahas masalah interpenetrasi kegiatan non
ekononomi dengan kegiatan ekonomi dikemukakan mengenai bagaimana
jaringan sosial mempengaruhi produktivitas kegiatan ekonomi. Diantaranya,
ia menjelaskan mengenai bagaimana jaringan sosial berperan sebagai sumber
inovasi terkait dengan adopsinya dalam masyarakat.
Penyebaran atau diseminasi inovasi teknologi pada dasarnya
merupakan transfer teknologi dari hasil-hasil penelitian kepada user . Proses
penyebaran inovasi tentunya sangat tergantung dari beberapa hal, termasuk
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Salah satu prakondisi yang
diperlukan dalam percepatan diseminasi inovasi teknologi adalah dengan
pemanfaatan potensi sumberdaya lokal (Lionberger dan Gwin, 1991).
Disamping itu, diketahui bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi
tingkat adopsii inovasi meliputi: kondisi sosial ekonomi, karakteristik
personal yang mencakup aspek rasionalitas dan sikap terhadap perubahan
(Roling, 1988; Van den Ban, A.W dan Hawkins H.S, 1988). Menurut
Lawsons (2000:214), pengaruh inovasi teknologi dan ekonomi menyebabkan
perubahan struktur kearah tidak meratanya penguasaan sumberdaya produksi,
termasuk sumber-sumber sosial yang oleh Lin (2000) dikemukakan sebagai
Inequality sumber-sumber sosial.
Secara umum Lin (2000) membahas mengenai ketidakmerataan
(inequality) kapital sosial dengan menganalisis hambatan struktural dan
dinamika norma-norma sosial dalam interaksi masyarakat. Ia menjelaskan
masalah inequality kapital sosial berdasarkan perspektif “neo capital
theories” yakni suatu pendekatan yang memandang bahwa aktor/individu
ataupun komunitas dapat menguasai dan mengakumulasikan sumberdaya
(actor-based perspective) yang meliputi kapital fisik seperti lahan, uang, dan
alat produksi lainnya, serta kapital no fisik yang meliputi kapital sosial
maupun informasi. Proposisi yang cukup menarik ia kemukakan bahwa
ketidakmerataan sumberdaya kapital (termasuk capital sosial) akan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
53
Universitas Indonesia
menyebabkan ketidakseimbangan sosial (social inequality). Disini ia
mengemukakan definisi capital sosial sebagai investasi yang dapat
dimanfaatkan dalam mencapai hasil yang diharapkan, dan investasi itu
tertambat (embedded) dalam relasi sosial. Kapital sosial dikonsepsikan
sebagai kuantitas dan atau kualitas sumberdaya yang oleh actor (individu,
kelompok, atau komunitas) dapat diakses dan dimanfaatkan melalui posisi
atau lokasinya dalam jaringan sosial. Konsep di atas, menjelaskan bahwa
yang pertama mengandung pengertian mengenai sumber sosial capital yang
dapat diakses pada relasi sosial, sedangkan konsep yang kedua memberi
penekanan mengenai lokasi atau sumber capital sosial berada pada jaringan
sosial atau karakteristik jaringan sosial.
Pada tataran empirik, beberapa studi secara meyakinkan menemukan
bahwa sumberdaya sosial berpengaruh terhadap pencapaian hasil kegiatan
seperti pada kegiatan mencari pekerjaan, promosi, dan kegiatan memenuhi
nafkah, dan bahkan beberapa studi secara empiris juga menyatakan
sumberdaya sosial sangat berpengaruh terhadap pencapaian peningkatan
status sosial ekonomi. Lebih lanjut, Lin mengetengahkan proposisi bawa
semakin baik posisi dalam kelompok, organisasi, atau komunitas, maka
semakin baik juga peluang dalam mengakses dan memanfaatkan sumberdaya
sosial. Demikian halnya mengenai proposisi bahwa semakin kuat jaringan
sosial (semakin lemah ikatan sosial) akan berasosiasi positif dengan
sumberdaya sosial. Terakhir dikemukakan bahwa karakteristik jaringan
sosial juga berpengaruh terhadap penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya
sosial. Lin juga meyakini bahwa terdapat hambatan struktural antara lain
berupa ketidakseimbangan posisi sosial ekonomi diantara individu, yang
cenderung akan menggunakan kekuatan ikatan sosial mengikat dan faktor
kekerabatan dalam mengakses sumber-sumber sosial dalam upaya
pengembangan usaha dan peningkatan kesejahteraannya.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
54
Universitas Indonesia
2.2.7. Kualitas Hidup (Quality of Life/QoL) dalam Pengembangan Agribisnisdan Pembangunan Sosial Ekonomi Masyarakat.
Di Indonesia, perkembangan studi mengenai kesejahteraan pada
beberapa waktu terakhir ini masih relatif tertinggal jika dibandingkan pada
dekade 1980-an yang relatif marak melalui studi kemiskinan, ataupun studi
kemakmuran dan pemerataan pembangunan. Hal itu terungkap pada tulisan
Sitorus (1999) dalam mengkaji Sosiologi Kemakmuran sebagaimana yang
banyak digagas oleh Sajogyo, dalam mencurahkan perhatiannya pada analisis
masalah-masalah kemakmuran masyarakat pedesaan yang saat itu bahkan
sampai saat ini banyak tergantung pada sektor pertanian. Menurutnya,
kondisi kemakmuran (atau sebaliknya: kemiskinan) adalah hasil dari
konstruksi sosial yang bersifat struktural. Kemakmuran dalam hal ini
dipahami sebagai mutu sosial hidup yang sesungguhnya merupakan hakekat
kemakmuran. Sementara itu, studi yang relatif terkini dilakukan oleh
Castelli, et.all (2009) adalah mengenai pengaruh pelayanan publik terhadap
indikator kualitas hidup masyarakat di Inggris. Menurutnya terdapat pertalian
yang erat antara sosial kapital, kebijakan negara, dan kualitas hidup
masyarakat. Merujuk kepada temuan-temuan hasil penelitian itu, maka studi
ini akan menjadi menarik jika dapat mengungkapkan bagaimana peran
kemitaraan tripartit antara pemerintah, swasta dan masyarakat dapat
meningkatkan representasi kapital yang akan berkontribusi dalam mendorong
usaha agribisis komunitas berbasis banjar di Bali, serta bagaimana
pengaruhnya terhadap tingkat kesejahteraan pelaku agribisnis. Studi lainnya
yang erat dengan masalah kualitas hidup telah dilakukan oleh Dollar dan
Kraay (2002), yang menganalisis mengenai keberpihakan pertumbuhan
ekonomi terhadap masyarakat miskin (pro-poor growth). Menurut hasil studi
mereka, ternyata pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk memperbaiki
kondisi kehidupan masyarakat miskin tanpa distribusi pertumbuhan ekonomi
yang secara riil berupa pemerataan pendapatan. Hasil studi mereka yang
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
55
Universitas Indonesia
cukup mengejutkan adalah analisisnya mengenai pengaruh berbagai kebijakan
yang mengalokasikan belanja kesehatan dan pendidikan dalam porsi yang
besar, ternyata tidak berdampak kepada peningkatan dan pemerataan
distribusi pendapatan kepada masyarakat.
Menganalisis aspek kualitas hidup masyarakat (QoL) tidak dapat
dipisahkan dari pembahasan mengenai konsep kesejahteraan yang pada
intinya merupakan aspek penting dalam mengukur pertumbuhan suatu negara.
Selama beberapa waktu, Bank Dunia menggunakan tolok ukur pendapatan
perkapita sebagai suatu ukuran pokok dari pertumbuhan suatu negara,
sehingga sedemikian fokusnya negara-negara berkembang seperti Indonesia
akhirnya terperangkap dalam orientasi kebijakan pembangunan nasional yang
sangat menekankan aspek pertumbuhan melalui target peningkatan
pendapatan perkapita. Akhir-akhir ini mulai diterapkan tolak ukur lain dalam
memandang tingkat pertumbuhan, yakni dengan menggunakan tolak ukur
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang digagas oleh United Development
Program (UNDP) dan disebut sebagai Human Development Index (HDI).
HDI tidak hanya menekaknkan pertumbuhan suatu negara dengan
menitikberatkan ada capaian pendapatan perjapita (GNP) melainkan
menambahkannya dengan indikator lain berupa usia harapan hidup
(Expextancy of life) usia satu tahun, dan juga indikator lain berupa angka
kematian bayi (Infant Mortality Rate/IMR), angka melek hurf atau tngkat
litercy dan daya beli masyarakat. HDI pada dasarnya sejalan dengan ukuran
lain dari pertumbuhan suatu negara dalam mengukur tingkat kesejahteraan
masyarakatnya dengan menggunakan indeks mutu hidup (IMH) yang
terutama terdiri dari indikator usia harapan hidup dan angka melek huruf.
IMH dikenalkan pertama kali oleh Morris dan sampai saat ini masih
digunakan Biro Pusat Statstik (BPS) sebagai salah satu aspek pengukuran
tingkat pertumbuhan pembangunan nasional (Sajogyo, 1985).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
56
Universitas Indonesia
Unsur-unsur demografis seperti angka kematian bayi (IMR) dan juga
angka harapan hidup saat usia satu tahun dipandang beberapa kalangan cukup
memadai dalam usaha membandingkan tingkat kesejahteraan. Kedua ukuran
demografis itu, yakni IMR dan tingkat harapan hidup merupakan aspek
penting untuk menentukan ukuran kesejahteraan mengingat kedua ukuran itu
sangat sensitif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Rusli,
1996). Pada pekerkembangannya, tingkat kesejahteran tidak hanya diukur
berdarsarkan indikator fisik, melainkan telah mulai digagas mengenai
indikator non fisik seperti peran kebijakan negara maupun ketersediaan
potensi kapital, terutama kapital sosial (Castelli, et.all, 2009). Pada konteks
ini, representasi kapital dalam masyarakat tidak hanya terfokus pada kapital
ekonomi, melainkan jenis kapital lainnya yang bersifat intangible seperti
halanya kapital budaya, kapital politik, dan kapital sosial.
Di Indonesia, pandangan dan pemikiran mengenai kualitas hidup yang
umumnya disejajarkan dengan konsep kesejahteraan masyarakat sedemikian
marak dibahas saat pemerintahaan Indonesia mengimplemenasikan program
pembangunan lima tahun (Pelita), sebagai upaya untuk mengevaluasi
kebijakan ataupun program pembangunan nasional. Salah satu sosiolog yang
banyak menganalisis mengenai kesejahteraan masyarakat pedesaan adalah
Sajogyo, yang dikenal dengan pemikirannya mengenai Sosiologi
Kemakmuran atau sering disebut Sosiologi Kemiskinan (Sitorus, 1999).
Kondisi kemakmuran disepadankan dengan mutu sosial hidup yang tinggi,
dan itulah hakekat kemakmuran. Untuk mengukurnya secara kuantitatif
(obyektif) Sajogyo (1984) menganjurkan penggunaan indikator komposit
IMH-Plus (Indeks Mutu Hidup, Physical Qualiy of Life) yang terdiri dari: (i)
tingkat melek huruf yang dapat diukur dengan tingkat pendidikan sebagai
unsur penentu peluang bekerja atau berusaha yang nantinya juga ada
pertaliannya dengan status okupasi masyarakat pedesaan; (ii) tingkat kematian
bayi; (iii) tingkat harapan hidup; dan plus (iv) tingkat fertilitas.
Kesejahteraan juga harus diukur secara kualitatif yaitu ukuran makmur atau
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
57
Universitas Indonesia
miskin menurut penilaian (bias sosial budaya) masyarakat itu sendiri
(Sajogyo, 1995 dalam Sitorus, 1999). Dalam kerangka analisis sosiologisnya,
Sajogyo senantiasa merujuk pada arah kebijakan pembangunan nasional, yang
pada eranya tertuang secara formal (formal rules) dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) sebagai acuan operasionalisasi pembangunan
nasional jangka menengah. Menurutnya, pembangunan nasional termasuk
pembangunan pertanian di dalamnya harus dianalisis dengan asumsi bahwa
kondisi pemerataan masih belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, sehingga
delapan jalur pemerataan yang sangat politis sifatnya menjadi fokus perhatian
Sajogyo dalam membahas kesejahteraan masyarakat petani di pedesaan. Dua
jalur utama dari delapan jalur pemerataan yang sangat penting sebagai
pembuka jalur pemerataan pembangunan yang lainnya adalah pemerataan
peluang berusaha dan peluang bekerja yang akan menentukan jalur kecukupan
tingkat pendapatan. Oleh karena itu, pembahasan mengenai aspek okupasi
seperti yang dilakukan Sujatmiko (1996) dalam menganalisis stratifikasi sosial
masyarakat Jakarta, masih relevan dalam hal mendukung pembahasan kualitas
hidup masyarakat secara lebih komprehensif. Lebih jauh, Pendapatan
tentunya akan membuka peluang untuk meningkatkan kecukupan atau
ketersediaan pangan, sandang, dan perumahan, serta peluang memanfaatkan
faslitasi pelayanan kesehatan dan mendapatkan pendidikan yang memadai
bagi masyarakat. Dengan konteks itu, dapat dikemukakan bahwa peluang
mencapai peningkatan kesejahteraan dapat dianalisis dengan visualisasi model
analisis berikut ini (Gambar 2.4).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
58
Universitas Indonesia
Gambar 2.4. Model Analisis Sajogyo (1984) mengenai KesejahteraanMasyarakat (Divisualisasikan dengan menyarikan pandanganSitorus,1999 (h. 6) dan Sajogyo, 1985, h. 229).
Pada beberapa tahun terkahir ini, kajian-kajian mengenai kualitas
hidup masyarakat (QoL) telah menunjukkan perkembangan yang sedemikian
pesat. Salah satu pemikiran mengenai aspek kualitas hidup dikemukakan oleh
Noll (2002) yang mengutarakan bahwa kualitas hidup individu atau tingkat
rumahtangga berkorelasi dan saling terkait dengan agregasi tingkat kualitas
hidup masyarakatnya, serta merupakan implikasi dari lingkungan kebijakan
yang ada. Noll (2002) membedakan indikator-indiktor kualitas hidup yang
bersifat obyektif dan subyektif. Indikator obyektif ditekankan pada
representasi fakta sosial berupa data statistik yang terbebas dari penilaian
individu, sementara indikator subyektif merupakan perpepsi individu
mengenai realitas sosial kesejahteraannya, bahkan termasuk didalamnya
mengukur secara kualitatif unsur partisipasi individu sebagai warga negara
dan dalam proses politik demokrasi. Kedua indikator itu ada pertaliannya
dengan dua pendekatan dalam pelaksanaan sudi-studi kesejahteraan umunya
atau kualitas hidup khsususnya, yakni (i) pendekatan model “Scandinavian
Level of Living” dan pendekatan “American QoL”. Pendekatan yang pertama
lebih fokus pada kondisi obyektif kualitas hidup yang terutama dikaitkan
SistemProduksiPertanian:
•Penguasaan Lahan•Kredit•Input•Kebijakan•Teknologi
-Peluang Berusaha-Peluang Bekerja
SektorNon Pertanian
TingkatPendapatan
Tingkat PenyediaanPangan
1. Tingkat Pendidikan
Kesejahteraan(QoL ):
2.Tingkat KematianBayi
3. Harapan Hidup/ 1tahun
Kualitas Hidup(QoL):
Tingkat Morbiditi:(Frekuensi danLamanya TerkenaSakit)
PengelolaanLingkungan:(air, udara, higiene,perumahan)
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
59
Universitas Indonesia
dengan potensi suberdayanya meliputi aspek keuangan, kepemilikan,
pegetahuan, relasi sosial, keamanan sosial, serta aspek pembangunan
manusianya (IPM); serta pendekatan yang kedua lebih menekankan pada
kesejahteraan individu sebagai hasil dari kondisi sosial maupun proses yang
berkembang, dan umumnya menekankan pengukuran indikator kepuasan dan
kebahagiaan individu masyarakat. Sedangkan pada perkembangan terkahir
ini, Noll (2002 mengemukakan pendekatan lain dalam menganalisis kualitas
hidup, yakni dengan fokus pada kualitas hidup individu dan keseluruhan
proses keidupannya beserta hal yang melingkupinya berupa dimensi sosial
seperti equaility, equity, kebebasan, dan solidaritas yang didalamnya juga
terkandung aspek relasi dan kohesi sosial. Lebih lanjut Noll (2002) juga
mengemukakan bahwa tingkat kualitas hidup juga dapat dijadikan indikator
dalam memandang sustainabilitas pembangunan. Menurut Bank Dunia
sustainabilitas pembangunan mengacu kepada tingkat kesejahteraan
masyarakatnya yang terpelihara dan berlanjut hingga generasi berikutnya yang
dapat dientukan dengan keberlanjutaan penguasaan dan pemanfaatan
komponen kesejahteraan yang terdiri dari potensi kapital berupa sumberdaya
alam (natural capital), produce/man- made capital, human capital, dan sosial
kapital. Hal ini selaras dengan hasil studi yang dilakukan oleh Castelli et.all
(2009) yang menyatakan bahwa terdapat pertalian yang erat antara kapital
sosial, koteks kebijakan, dan peran pelayanan publik terhadap kualitas hidup
(QoL) satu masyarakat (Gambar 2.5).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
60
Universitas Indonesia
Gambar 2.5. Model Analisis Kualitas Hidup (QoL) Masyarakat(Divisualisasikan dengan menyarikan pandangan Castelli,et.all. (2009) h. 111.
Studi Castelli et.all (2009) yang dilakukan di Inggris pada hakekatnya
bertujuan untuk menganalisis peran kapital sosial berupa jaringan sosial (net
work) dan peran kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi tigkat QoL
masyarakat melalui peran organisasi pelayanan publik. Studi yang dilakukan
menganalisis indikator makro QoL berupa IMR, tingkat harapan hidup, dan
tingkat pendidikan yang datanya bersumber dari lembaga terkait yang
memiliki otoritas di tingkat nasional maupun local goverment. Sedangkan
indikator mikro QoL diukur berdasarkan indiktor yang ditetapkan oleh tim
peneliti yang antara lain meliputi indikator kesehatan (morbiditas), akses
transprotasi, tingkat pendidikan (life-long learning), kondisi perumahan, dan
kohesi sosial komunitas lokal. Tingkat QoL tersebut dianalisis dengan
mencermati pengaruh kapital sosial terutama jaringan sosial yang oleh Lin
(2001) dalam Akdere (2005) ditekanan pada aspek relasi sosialnya, peran
kebijakan pemerintah, dan variasi organisasi pelayanan publik. Studi itu
menyimpulkan bahwa konteks lingkungan kebijakan dan aspek lingkungan
sosial merupaan faktor yang signifikan pengaruhnya terhadap QoL. Selain
Policy Context
Social Capital
Public ServicesOrganisations
(PSOs)
Kualitas Hidup(QoL)
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
61
Universitas Indonesia
itu, tingginya ketersediaan dan pemanfaatan kapital sosial dan kuatnya
bentuk-bentuk ikatan sosial dalam komunitas akan meningkatkankan QoL
masyarakat. Pada sisi lainnya juga dikemukakan oleh Castelli et.all (2009)
bahwa kesesuaian dan integrasi kebijakan dengan berbagai jenis kegiatan
organisasi pelayanan publik akan turut meningkatkan QoL, atau juga dapat
diutarakan bahwa partnership antar organisasi dan integrasinya dengan
konteks kebijakan akan meningkakan keragaan QoL komunitas.
Diskusi mengenai konteks kebijakan pembangunan di Indonesia
semestinya dapat mencermati pandangan beberapa ahli yang mendalami teori-
teori pembangunan, antara lain dengan memperhatikan pendapat Rahardjo
(2009: 1) mengenai teori pembangunan Dunia Ketiga, karena hal ini penting
untuk menggambarkan bagaimana dinamika kebijakan pembangunan sosial
ekonomi di Indonesia yang senyatanya ditujukan untuk kesejahteraan
masyarakatnya. Menurutnya di Dunia Ketiga berkembang dua perspektif dan
pendekatan. Pertama perspektif kapitalisme pasar bebas dengan pendekatan
kapital, dan yang kedua adalah perspektif sosialis dengan pendekatan
sumberdaya manusia. Kegagalan dua perspektif itu menghasilkan perspektif
yang bersifat alternatif, yaitu aliran sosial demokrasi di dunia maju dan aliran
strukturalis di Dunia Ketiga. Di Indonesia sendiri pendekatan strukturalis
melahirkan alternatif aksiologi menuju perekonomian mandiri yang terjadi
setelah terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat dan terbangunnya
prasarana dan ketersediaan tekonologi tepat guna, tentu dengan catatan dapat
dimanfaatkan dan diberdayakan secara merata dan adil bagi masyarakat.
Sementara pendapat Damanhuri (2009: 62-68) mengemukakan bahwa
selaras dengan sumber normatif pembangunan perekonomian nasional seperti
yang tercantum dalam beberapa pasal UUD 1945, maka secara ideologis jelas
posisi kebijakan-kebijakan pembangunan yang diambil sangat dekat dengan
aliran atau mazhab sosial demokrat dengan melaksanakan model negara
kesejahteraan /MNK (Welfare State Model). Pasal-pasal UUD 1945 yang
telah diamendemen memuat dengan jelas landasan pengembangan sistem
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
62
Universitas Indonesia
ekonomi nasional, terutama pada pasal 23 ayat (2), Pasal 28 butir H ayt (1),
dan Pasal 33 yang mengamanatkan sistem ekonomi nasional dilaksanakan
bercirikan: APBN dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,
penciptaan kesempatan kerja penuh, sistem perekonomian yang berdasarkan
kekeluargaan dengan menolak free fight liberalism dalam era globalisasi
ekonomi dunia, dan melaksanakan prinsip negara kesejahteraan (wellfare
state). Model negara kesejahteraan ini sangat berhasil dalam membangun
sistem perekonomian masyarakatnya melalui beberapa ciri-ciri dari MNK
seperti berikut: (i) Adanya peranan negara yang sedemikian luas, bersih dan
kredibel ang mampu melaksanakan politik redistribusi kekayaan antara lain
melalui kebijakan pajak progresif. Ciri ini tentu erat kaitannya dengan
bagaimana suatu negara melalui pemerintahanya mampu menciptaan ruang
inklusifitas dalam pembangunannya; (ii) Terdapat kebebsan pers dan politik
yang luas dengan mekanisme pasar yang sehat, dengan melibatkan peran
swasta yang juga luas mengacu pada peraturan dan perundang-undangan yang
dijalankan secara konsekuen dan konsisten; (iii) Berkembangnya peran
masyarakat yang diindikasikan dari pentingnya peran serikat pekerja, peran
berbagai organisasi dan profesi dalam bingkai masyakat madani (civil
society); (iv) Terdapat peran penting koperasi dalam mewujudkan keadilan
ekonomi dan sosial masyarakat seperti yang ditunjukkan dalam perekonoian
di negara-negara Skandinivia yang berhasil mencapai tingkat kesejahteraan
masyarakat pada level tertinggi karena keberhasilan pengembangan
koperasinya.
Dengan gambaran dari ciri-ciri MNK tersebut di atas maka
keberhasilan negara-negara penganut MNK ternyata sangat nyata ditinjau dari
indikator pembangunan ekonomi berupa “pemerataan” pembangunan sebagai
obsesi utama dari negara-negara penganut MNK ataupun sosial demokrat
dalam mengatasi ketimpangan sosial. Masalah ketimpangan sosial senyatanya
telah menjadi fokus perhatian dalam operasionalisasi kebijakan pembangunan
disegala sektor. Salah satunya ditunjukkan dengan adanya beberapa peraturan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
63
Universitas Indonesia
perundang-undangan tentang sistem jaminan sosial seperti diundangkannya
UU No.3/1992 mengenai sistem jaminan sosial tenaga kerja, yang lebih lanjut
diikuti dengan tertbitnya PP No. 14/1993, Keppres No. 22/1993 dan PP No.
83/200. Selain itu terdapat juga sistem asuransi kesehatan yang
pelaksanaanya mengikuti Keppres No.l230/1968 dan PP No. 22/1984. Pada
sisi lainnya, juga terdapat UUPA (Undang-undang Pokok Agraria, yakni
UUPA No.5/1960, yang saat ini telah diperbaharui dengan Tap MPR No IX
tahun 2001 tenang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam)
yang dimaksudkan terutama untuk mengatur dan mereduksi ketimpangan
penguasaan lahan pertanian, mengingat sedemikian banyaknya masyarakat
yang mengantungkan nafkah dari sektor pertanian.
Dalam kerangka pelaksanaan model negara kesejahteraan, terdapat
satu hal yang perlu mendapat perhatian lebih serius dari para peminat dan
pemikir sosiologi ekonomi di Indonesia, yakni sejauh mana studi-studi
mengenai koperasi sebagai bentuk suku guru perekonomian masyarakat yang
berlandaskan kekeluargaan dapat dijadikan wadah untuk berusaha mencapai
kesejahteraan dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosiologis dan
sumberdaya lokal. Pada sisi lain, sistem kapitalisme mesti diantisipasi dengan
tetap bersandar pada kerangka ideologis perekonomian Indonesia seperti yang
diamanatkan UUD 1945. Senyatanya terdapat satu pelajaran penting untuk
dicermati mengenai kegagalan kapitalisme atau oleh Achwan (2009) disebut
sebagai superkapitalisme yang berkembang saat ini, yakni dengan munculnya
fenomena krisis keuangan global akhir-akhir ini. Superkapitalisme itu
dicirikan oleh dominasi sistem keuangan dalam menggerakkan sistem
keuangan dan sistem ekonomi dunia. Lebih lanjut diutarakan bahwa sistem
superkapitalisme juga ditandai oleh hilangnya hubungan sosial antara
pemerintah, swasta dalam hal ini pemilik saham, dan masyarakat. Pada
hakekatnya, pembangunan sosial dan pengembangan ekonomi masyarakat
bertujuan untuk meningkatkan ksejahteraan. Oleh karena itu, studi ini
dilandasi beberpa pemikiran mengenai model-model analisis yang
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
64
Universitas Indonesia
mengkaitkan kualitas hidup dengan pemberdayaan kapital sosial dan aspek
kebijakan (policy contectx), yang akan dikontekstualisasikan dengan
fenomena sosiologis di lokasi studi.
Salah satu model yang didalami sebagai landasan bagi
pengembangan model penelitian ini antara lain adalah dari pemikiran
Woolcock dan Narayan (2000). Pada dasarnya mereka sangat fokus pada
masalah bagaimana kapital sosial dapat mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat. Pada konteks itu, mereka mencoba menganalisis juga mengenai
peran pemerintah (negara) dan kapital sosial untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat seperti Gambar berikut.
Gambar.2.6. Model Hubungan antara Kapital Sosial, Fungsi Negara, danKesejahteraan (Dimodifikasi dari Sumber: Woolcock M, danNarayan D. 2000. Social Capital: Implication forDevelopment Theory, Research, and Policy. The World BankResearch Observer. Vol.15.No.2 (Agustus 2000) p:225-249
Pada dasarnya Woolcock dan Narayan (2000) mengemukakan hasil
studinya yang diinisiasi oleh World Bank seperti berikut. Menurut mereka,
kinerja pemerintah yang baik disertai dengan kapital sosial yang kuat, akan
diyakini mewujudkan kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang
baik pula. Demikian sebaliknya, kinerja pemerintah atau peran negara yang
sudah memadai tetapi tidak disertai dengan ketersediaan kapital sosial yang
KINERJA PEMERINTAH BAIK(Fungsi State )
Kapital Sosial(Jaringan Sosial)
Kesejahteraan(Social & EconomicWell -being )
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
65
Universitas Indonesia
kuat akan memimbulkan konflik-konflik sosial ekonomi ataupun ekslusi sosial
dalam mayrakat, seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.7 (Kuadran II).
Sementara pada kuadran III tampak bahwa lemahnya kapital sosial yang tidak
diikuti oleh kuatnya peran negara (kinerja pemerintah) juga akan berdampak
pada terjadinya konflik-konlik dalam masyarakat yang akan muncul ke
permukaan. Terakhir, pada kuadran IV tampak bahwa kuatnya kapital sosial
yang tidak disertai dengan peran negara yang kuat akan menimbulkan coping.
Pemikiran itu tertuang pada Gambar berikut ini.
KINERJA PEMERINTAH BAIK(Well Fuctional State)
LEMAHNYA KINERJA PEMERINTAH(Disfuctional State)
KapitalSosialTinggi
KapitalSosialRendah
EksklusiSosial
KonflikSosial
Kesejahteraan(Social & EconomicWell-being)
Coping
Gambar. 2.7. Keterkaitan Kapital Sosial dengan Fungsi Negara (KinerjaPemerintah) dalam Menciptakan Kesejahteraan. Sumber:Woolcock M, dan Narayan D. 2000. Social Capital:Implication for Development Theory, Research, and Policy.The World Bank Research Observer. Vol.15.No.2 (Agustus2000) p:225-249
Selain model-model tersebut, terdapat satu research papper dari
Australian Institute of Family Studies yang dikemukakan oleh Stone dan
Hughes (2002) yang pada intinya mengusulkan pengukuran kapital sosial
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
66
Universitas Indonesia
dengan mengkaitkannya pada determinan kapital sosial dan outcome kapital
sosial berupa kesejahteraan (Gambar 2.8)
Gambar. 2.8. Model Pengukuran Kapital Sosial (Sumber: Stone W danHughes J. 2002. Social Capital: Empirical Meaning andMeasurement Validity. Research Papper 27, AustralianInstitute of Family Studies. Melbourne.)
Secara rinci Stone dan Hughes (2002) mengusulkan pengukuran
kapital sosial itu dengan memfokuskan pada jaringan sosial khususnya
jaringan kerja dan karakteristik jaringan kerja itu sendiri. Determinan kapital
sosial dipandang sebagai sumber-sumber dari kapital sosial, sementara
outcome kapital sosial berupa kesejahteraan diukur dengan menentukan
indikator-indikator kesejahteran keluarga, kesejahteraan masyarakat,
kesejahteraan politik, dan kesejahteraan ekonomi (Gambar 2.9)
Determinan
Kapital Sosial
(Sumber--sumberkapitalsosial):
Kapital Sosial
(Jaringan Sosial):Outcome
Kapital Sosial(Kesejahteraan )
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
67
Universitas Indonesia
DeterminanKapital Sosial
(Sumber-sumberkapitalsosial):
•Karakteristikkeluarga
•Sumberdaya•Perilaku Sosial•Karekteristik
wilayah (rural,urban, tingkat sosialekonomi, proporsilocal network
•Pendidikan•Keamanan sosial
Kapital Sosial(Jaringan Sosial):
OutcomeKapital Sosial
(Kesejahteraan)
•Kesejahteraankeluarga
•Kesejahteraanmasyarakat(Kesehatan,penddidikan, toleransi,tingkat kriminalitas
•Kesejahteraan politik(Pertitisipasidemokrasi,kualitaspemerintah
•Kesejahteraanekonomi(kemakmuran,tingkat inequality)
Jaringan Kerja:
•Ikatan informal(kekeluargaan,ketetanggaan,pertemanan•Hubungan umum•Hubungan
kelembagaan
KarakteristikJaringan Kerja:
•Ukuran jaringankerja (jumlahikatan informal,jumlah tetangga,jumlah rekan kerja
•Kerapatanjaringan
Gambar 2.9. Rincian Model Pengukuran Kapital Sosial (Sumber: Stone Wdan Hughes J. 2002. Research Papper 27, AustralianInstitute of Family Studies. Melbourne.)
2.3. Landasan Teori Studi Representasi Kapital dalam Peningkatan KualitasHidup (QoL) Komunitas Agribisnis Berbasis Banjar di Bali.
Berlandaskan literature review yang dilakukan terhadap studi-studi
terdahulu, serta merujuk kepada pernyataan maksud atau tujuan (the purpose
statment) dari studi ini maka landasan utama yang mendasari studi ini adalah
tesis yang dikemukakan oleh Castelli et.all (2009) tentang keterkaitan kapital
sosial, konteks kebijakan dengan kualitas hidup masyarakat. Peningkatan
kualitas hidup ataupun kesejahteraan masyarakat secara umum, adalah salah
satu tujuan pembangunan nasional. Tujuan itu ditengarai tidak akan tercapai
jika kurang didukung pemanfataan potensi lokal dan tentunya representasi
kapital dalam masyarakat. Oleh karena itu, analisis studi ini juga sangat
relevan untuk berpegang pada teori kapital yang terutama dikemukakan oleh
Bourdieu (1986), yang dipertegas oleh Svendsen & Svendsen (2003)
mengenai “Bourdieuconomic”, yakni teori yang mengembangkan konsep
kapital secara lebih luas, tidak hanya mencakup kapital berbentuk material,
tetapi juga non-material dalam kegiatan ekonomi. Bourdiecomonomic terkait
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
68
Universitas Indonesia
dengan teori lain yang dikemukakan juga oleh Bordieu mengenai ranah
(field), dan habitus dalam menganalisis praktik sosial. Dalam hal ini, studi
lebih difokuskan untuk menganalisis strategi perjuangan agen dalam mencapai
posisi obyektif yang diinginkan, tentunya dalam ranah (field) dan habitus
yang terkait
Lebih lanjut, upaya membahas peran pemerintah, swasta, dan
masyarakat dalam peningkatan penguasaan kapital dalam masyarakat yang
bermuara pada penigkatan kualitas hidup, maka studi ini juga dilandasi teori
kelembagaan baru (new institusionalism) yang dikemukakan oleh Victor Nee
(2005). Penetapan teori ini didasari pemikiran tentang perlunya analisis
keberhasilan ataupun kegagalan supra sistem dalam mengimplementasikan
ide-ide pembangunan. Mengingat fokus analisis studi yang diarahkan pada
konteks implementasi program Prima Tani yang bermuatan akselerasi
pemasyarakatn inovasi pengembangan pertanian pedesaan, maka studi ini juga
dilandasi oleh pemikiran mengenai model pembangunan bercirikan ko-
produksi (Ostrom, 1977; Zaenuddin, Syahra, dan Suprihadi, 2007).
Teori-teori itu merupakan hasil studi yang akan diterapkan dalam
penelitian ini, dengan mempertimbangkan aspek ruang (tempat) yang
memiliki kesesuain dengan lokasi studi dan aspek waktu yang
mempertimbangkan aspek kekinian pelaksanaan studi. Oleh karena itu,
kembali ditegaskan bahwa studi ini terutama dilandasi oleh tiga pemikiran
utama yakni, pemikiran bourdieuconomic tentang kapital, pemikiran tentang
“new institutionalism” yang dikaitkan dengan ciri koproduksi implementasi
pengembangan agribisnis berbasis komunitas, dan tesis tentang keterkaitan
konteks kebijakan, kapital sosial, dan kualitas hidup masyarakat. Secara
substansial, teori yang akan diterapkan sedapatnya merefleksikan keiinginan
penulis dalam mengisi “gap” yang ada pada studi-studi sebelumnya, yakni
pengkajian terhadap beberapa aspek yang belum menjadi fokus perhatian studi
sebelumnya (Descombe, 2003: 50-51; Neuman, 2003:90-104).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
69
Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI
Studi ini menggunakan metode kuantitatif sebagai pendekatan
penelitian yang utama. Akan tetapi, dalam rangka menelusuri data secara
lebih mendalam mengenai gejala dan even yang mencakup aspek integrasi
kebijakan akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian dengan
berbagai informal rules di level messo maupun dengan level mikro, maka
studi ini juga didukung metode pengumpulan data kualitatif. Hal ini
dilakukan terutama untuk menggali pemaknaan aktor atas peran tripartit
pemerintah-swasta-masyarakat dalam pengembangan agribisnis berbasis
komunitas banjar. Disamping itu, dalam kerangka menelusuri makna aspek
kultural penguasaan dan penggunaan berbagai bentuk kapital dikaitkan
dengan sistem sosial maupun aspek kualitas hidup (QoL) komunitas
agribisnis berbasis banjar di Bali, maka pengumpulan data dan informasi yang
bersifat kualitatif dilakukan melalui penerapan in-depth interview dengan
beberapa informan kunci, serta observasi berperan serta di lokasi penelitian.
Dengan demikian, studi ini dimaksudkan sebagai studi yang mengintegrasikan
metode kuantitatif dan kualitatif (mix methods) dengan pertimbangan bahwa
penelitian ini mencakup dua tataran sebagai fokus studi, yakni tataran
kebijakan dan tataran operasional-empiris.
Integrasi metode kuantitatif dan kualitatif dalam suatu studi
belakangan ini sering menjadi pilihan yang baik dalam menjawab tujuan
penelitian, terutama semenjak Rudestam dan Newton (2000: 45)
mengemukakan empat desain penelitian dengan mengkombinasikan dua
metode kuantitatif dan kualitatif (mix methodes). Menurut mereka empat
desain tersebut memiliki fleksibilitas terutama terkait aspek waktu studi,
paradigma penelitian, dan keterbatasan penelitian. Empat desain studi yang
mengintegrasikan metode kuantitatif dan kualitatif dikemukan sebagai
berikut: (i) studi sekunsial, yakni studi yang dimulai dengan pengumpulan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
70
Universitas Indonesia
data kuantitatif yang kemudian diikuti pengumpulan data kualitatif (dan atau
bisa sebaliknya), pada waktu yang berbeda; (ii) Penelitian simultan (pararel)
yang melakukan proses pengumpulan data kualitatif maupun kuantitatif pada
saat dan waktu yang bersamaan; (iii) Studi yang berstatus equivalen, yakni
pemanfaatan metode kuantitatif dan kualitatif degan porsi penekanan yang
sama dalam memahami realitas sosial yang diteliti; dan (iv) Penelitian
dominan–kurang dominan, yakni salah satu metode yang digunakan bersifat
lebih dominan dalam menjawab tujuan penelitian berdasarkan paradigma
yang ditetapkan sebelumnya, sementara metode yang lain merupakan
pendukung atau komponen kecil dari studi yang dilakukan.
Penelitian ini merupakan “multi level study” yang menetapkan desain
studi “dominan –kurang dominan” serta menekankan metode kuantitatif
sebagai metode utama dalam upaya menjawab tujuan penelitian, dengan
berpegang terutama kepada paradigma tatanan sosial (order paradigm). Pada
konteks ini, fokus studi adalah mencermati gambaran sosial (sosiografi) selain
mempertimbangkan pentingnya dukungan pengumpulan data kualitatif.
Desain studi dominan –kurang dominan, secara sosiologis dapat lebih luas
menjelaskan sejauh mana representasi kapital dapat meningkatkan kualitas
hidup komunitas agribisnis di lokasi penelitian dengan mengkaji makna
subyektif aspek kebijakan maupun kultur yang ada dalam proses integrasi
formal rules dan informal rules, serta preferensi indigenous dalam proses
pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis komunitas banjar.
3.1 SubyekPenelitian (Populasi Penelitian).
Subyek penelitian berada pada dua tataran fokus perhatian, pertama
subyek yang merupakan aspek makro level berupa lembaga pemerintah
seperti Departemen Pertanian-Badan Litbang, Pemerintah Daerah, DPRD,
Organisasi sosial, hingga pada organisasi sosial tradisional seperti banjar
maupun organisasi tradisi lainnya yang eksis di Bali. Subyek penelitian
dalam tataran kebijakan juga mencakup komunitas lokal setempat. Penelitian
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
71
Universitas Indonesia
ini dilakukan pada komunitas agribisnis berbasis banjar di kabupaten
Buleleng. Pada studi ini komunitas dipandang sebagai suatu sistem sosial
yang relatif kecil, dan anggotanya memiliki hubungan dan keterikatan yang
relatif kuat, memiliki kepentingan bersama, serta didukung kesadaran sosial
anggota komunitas. Komunitas agribisnis berbasis banjar yang menjadi
subyek penelitian merupakan jenis komunitas yang bersifat primordial,
spasial, dan okupasional. Sifat primordial ditunjukkan dengan realitas
anggota komunias agribisnis berbasis banjar di Bali yang masih diikat oleh
persamaan agama, suku, dan hubungan kekerabatan yang relatif kuat.
Sedangkan sifat spasial komunitas ini ditunjukkan dengan adanya ikatan
kesamaan tempat tinggal berupa banjar yang merupakan wilayah tempat
tinggal di bawah desa. Selanjutnya mengenai sifat komunitas subyek
penelitian diindikasikan oleh adanya kesamaan pekerjaan, yakni sebagian
besar bekerja di bidang pertanian ataupun agribisnis.
Kedua, subyek penelitian pada tataran operasional meliputi petani dan
aktor lainnya dalam komunitas banjar. Petani pelaku agribisnis dalam
komunitas ini tergolong “peasant”dalam rumusan Shanin (1990) atau
“smallholder”dalam rumusan Netting (1993) yang memiliki ciri utama
penguasaan lahan sempit. Akan tetapi, merujuk pada pandangan Davis dan
Golberg (1957) dalam Syahyuti (2006) komunitas yang diteliti adalah
komunitas agribisnis mengingat anggotanya berkecimpung dalam kegiatan
agribisnis, yakni melakukan atau terlibat dalam kegiatan mulai dari distribusi
alat maupun bahan untuk pertanian, kegiatan produksi (on farm), pengolahan,
penyimpanan, serta distribusi komoditas pertanian dan barang-barang yang
dihasilkannya.
Gambaran lokasi penelitian, difokuskan untuk menganalisis dan
mendiskripsikan pemahaman tineliti terhadap topik studi yang dikaitkan
dengan kehidupan sosial dalam wahana banjar di Bali. Banjar merupakan
salah satu jenis pengelompokkan sosial masyarakat Bali selain
pengelompokkan sosial masyarakat atas dasar: (i) persekutuan kekerabatan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
72
Universitas Indonesia
dan kebaktian di pura yang disebut dadia, (ii) pengelompokan atas dasar
tujuan tertentu dalam kelompok sekehe, (iii) dan (iv) pengelompokan atas
dasar sistem pertanian yang enggunakan jaringan irigasi yang sama, yakni
dikenal dengan nama subak. Banjar adalah pengelompokan sosial yang
sangat umum dan telah lekat dengan kehidupa sosial maupun kehidupan
bernegara, karena banjar sangat terkait dengan wilayah adninisrasi tempat
tinggal di bawah Desa, seperti yang diatur dalam Perda No.1 Pemerintaha
Propinsi Bali, tahun 1986, dan sesuai dengan undang-undang yang mengatur
pemerintahan daerah (UU.No.5/1979; UU.No.22 dan 25 Tahun 1999
mengenai Pemerintahan Daerah). Lebih lanjut banjar dinyatakan sebagai
kesatuan hidup setempat, persekutuan hidup sosial, dan sebagai organisasi
sosial tradisional yang berfungsi mengatur kerjasama antar anggota dalam
kegiatan pemerintahan, keagamaaan, tugas adat, dan aktivitas lainnya
termasuk kegiatan ekonomi secara umum yang bercirikan kekeluargaan dan
kebersamaan. Terminologi banjar berarti deret, jajar, dan baris, yang
tercermin dari arsitektur perumahan warga banjar yang berderet secara teratur
dengan batas-batas yang jelas. Selain itu, dalam sistem pemerintahan daerah,
banjar berada dalam lingkup desa sebagai struktur pemerintahan yang terkecil
(Mitchel 1994: 193).
Adapun realitas sosial yang akan menjadi fokus studi (subject –
matter) ini terutama berpusat pada : 1) aspek penguasaan dan penggunaan
berbagai bentuk kapital, yakni kapital sosial, budaya, politik, dan kapital
ekonomi, 2) integrasi lingkungan kebijakan (formal rules) dan informal rules
di level messo serta dengan preferensi kelompok atau individu dalam
pengembangan agribisnis dan 3) keterkaitan dua aspek tersebut dengan QoL
anggota masyarakat dalam sistem banjar. Untuk memperoleh data dan
informasi di level mikro yang akan digunakan sebagai bahan analisis studi,
maka penelitian ini akan didukung dengan metode survai rumahtangga petani
pada komunitas agribisnis yang berbasis banjar. Sedangkan pada level messo,
studi ini akan didukung data dan informasi yang digali dari unit analisis
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
73
Universitas Indonesia
organisasi seperti kelurahan, organisasi petani (lembaga agribisnis), oganisasi
tradisi seperti banjar dan subak ataupun sekeha, dan lembaga terkait di tingkat
kecamatan maupun kabupaten Buleleng. Selanjutnya data yang digali dari
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian), Badan Litbang Pertanian-
Deptan, Dinas Pertanian Bali, serta stakeholders lainnya yang terkait dengan
pembangunan pertanian wilayah Bali akan digunakan untuk analisis pada
level makro. Hal ini dimaksudkan untuk dapat lebih holistik dalam
membangun pemahaman yang akan mendukung uji statistik inferensia
terhadap performa pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang dikaitkan
dengan pemberdayaan sumber-sumber sosial dalam masyarakat.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian.
Studi ini dilakukan selama tiga bulan, yang diawali dengan penelitian
pendahuluan pada September –Oktober 2009. Kegiatan pada satu bulan
pertama difokuskan untuk melakukan pretest instrumen penelitian, yang
ditujukan untuk mengetahui reliabilitas dan validitas instrumen penelitian.
Selanjutnya, kegiatan pada lebih kurang satu bulan berikutnya pada Maret
hingga awal April 2010 difokuskan untuk pengumpulan data survai dan juga
melengkapi pengumpulan data dengan in-depth interview serta melakukan
observasi lapangan. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja, yaitu di propinsi
Bali dan difokuskan pada satu desa adat di wilayah kabupaten Buleleng,
yang merepresentasikan wilayah lokasi kegiatan yang diintroduksi
pemerintah, dalam hal ini kegiatan akselerasi pemasyarakatan inovasi
teknolohgi pertanian yang dikoordinasikan Departemen Pertanian. Lokasi
penelitian adalah di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak - Kabupaten
Buleleng yang merupakan lokasi kegiatan percepatan diseminasi inovasi
teknologi pertanian (Prima Tani) yang sudah terbina sejak lebih dari tiga
tahun dan wilayah yang sudah relatif mandiri. Adapun penetapan lokasi
penelitian dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan seperti berikut:
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
74
Universitas Indonesia
a. Desa ini merupakan lokasi program pengembangan agribisnis berbasis
inovasi teknologi pertanian di Bali, yakni program Departemen Pertanian
yang ditujukan untuk akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian.
b. Kondisi pembangunan pertanian di lokasi ini, relatif kondusif untuk
mendukung penulis dalam menjawab tujuan penelitian, yakni tingginya gairah
masyarakat dalam menekuni sistem dan usaha agribisnis ditengah
perkembangan sektor lainnya yang semakin pesat.
c. Berdasarkan observasi dan wawancara pendahuluan dengan berbagai pihak,
maka lokasi penelitian cukup representatif untuk diteliti, mengingat masih ada
potensi kapital dan keterkaitannya dengan modernisasi usahatani, yang
didukung eksisnya beberapa lembaga dan organisasi sosial yang bersifat
tradisi maupun yang sudah modern, dalam menganalisis kualitas hidup
masyarakat di lokasi penelitian.
3.3. Metoda Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel Penelitian.
3.3.1 Metode Kuantitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan menerapkan metode survai yang
ditujukan untuk memperoleh data-data primer maupun sekunder yang
diperlukan sebagai bahan analisis. Data yang dikumpulkan meliputi data
potensi kapital pada level mikro (rumahtanga petani), di tingkat meso antara
lain data dari organisasi dan kelembagaan terkait dengan pengembangan
pertanian di Desa Sanggalangit, Kecamatan - Kabupaten Buleleng. Data yang
diperoleh di tingkat makro terutama dari lembaga supra sistem seperti Badan
Litbang Pertanian, Dinas Pertanian Kehutanan, dan stake holders
pembangunan pertanian di Bali. Pada level mikro, pelaksanaan survai
dilakukan terhadap petani yang dipilih melalu penarikan sampel dengan
metode multi stage sampling, yakni penarikan sampel secara bertahap seperti
berikut ini: (i) Tahap pertama, menentukan wilayah penelitian yakni lokasi
program Prima Tani yang hingga saat ini telah dilakukan pada delapan desa
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
75
Universitas Indonesia
meliputi tujuh kabupaten di wilayah Propinsi Bali; (ii) Tahap kedua,
menentukan satu wilayah desa lokasi program Prima Tani sebagai lokasi
penelitian dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang terkait dengan
topik penelitian ini, sehingga didapat lokasi Desa Sangga Langit dengan
mencermati beberapa aspek seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan
mengenai lokasi dan waktu penelitian; (iii) Tahap ketiga, menentukan
kerangka sampling dari desa lokasi terpilih. Adapun kerangka sampel
ditentukan berdasarkan populasi petani yang terdapat dalam lokasi desa
terpilih, seperti berikut ini (Gambar 3.1); (iv) Tahap keempat, melakukan
penentuan kuota sampel di desa terpilih, yakni dengan menetapkan jumlah
sampel sesuai kaidah penelitian survai.
Buleleng
Kec. Gerokgak
Desa Sanggalangit
Dalamsudi ini besaran sampel ditetapkan dengan rumus “Taro Yamane”, yakni ukuran populasi diketahui:
Nn = ------------
Nd2 + 1
N = jumlah populasid2 = presisi yang ditetapkan (sampling error)
n = Jumlah sampel
Gambar 3.1. Kerangka Sampling dan Ukuran Penarikan Sampel
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
76
Universitas Indonesia
Jumlah populasi petani pada lokasi studi adalah sebesar N, yang
diketahui dari statistik desa. Mengingat ukuran populasi diketahui, maka
ukuran contoh dapat ditentukan melalui formulasi ukuran penarikan sampel
yang dikemukakan oleh Taro Yamane seperti dikemukakan di atas.
Berdasarkan formulasi itu akan didapat ukuran sampel sebesar “n”. Merujuk
data dari monografi atau statistik desa didapat populasi komunitas agribisnis
berbasis banjar yang kemudian ditentukan sampel secara acak sederhana
secara proporsional (Agresty dan Finaly, 1986:16–21).
Populasi petani di lokasi penelitian berjumlah 658 KK (kepala keluarga
rumahtangga), didapat dari data monografi desa bersangkutan. Oleh karena
itu, dalam pelaksanaan survai rumahtangga petani komunitas agribisnis
berbasis banjar, maka sampel penelitian adalah petani yang sekaligus sebagai
anggota banjar di desa tersebut. Dengan demikian maka jumlah sampel
direncanakan sebanyak:
Penentuan jumlah sampel tersebut, sesuai dengan rumus Taro Yamane
mengenai ukuran sampel, dan juga sejalan dengan cara penentuan jumlah
sampel yang dikemukakan oleh Isaac dan Michael (Sugiyono, 2009: 69).
Mengenai penarikan jumlah sampel dalam penelitian survei, Tabachnick dan
Fidell (2001: 117) lebih detail mengemukakan bahwa jumlah sampel yang
S= N__Nd2+1
= 658/658.(0,05)2 + 1
= 658/2,645
= 248 sampel
Dimana “s” adalah ukuran besarnya sampel; “N” adalah populasi; dan “d” adalah tingkat kesalahan (5%).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
77
Universitas Indonesia
minimal dalam analisis regresi adalah 104 + m, dimana m adalah jumlah
indikator variabel independent penelitian. Mengingat jumlah sampel telah
diketahui, maka lebih lanjut ditentukan sampel secara acak sederhana dan
proporsional pada empat komunitas banjar di Desa Sanggalangit, dengan
mencermati juga pertimbangan alokasi optimum menyangkut efisiensi dan
efektifitas survai dengan memperhitungkan aspe biaya, waktu, dan akses
kepada responden (Agresty dan Finaly, 1986:16 –21). Berdasarkan kaidah
itu ditetapkanlah sampel dari Banjar Kayu Putih sebanyak 70 responden,
Banjar Tamansari 54 responden, Banjar Tukad Pule 54 responden, dan dari
banjar Wanasari sebanyak 70 responden. Selanjutnya, instrumen survai
disiapkan dengan menyusun kuesioner terstruktur. Adapun proses
pengumpulan data dibantu oleh dua orang enumerator yang juga peneliti dari
BPTP Denpasar, Bali. Sebelum pengumpulan data, peneliti berkoordinasi dan
menjelaskan instrumen dan tujuan penelitian kepada enumerator, yang
tentunya terkait dengan reliabilitas dan validitas data yang dikumpulkan
dengan menggunakan instrumen yang telah disiapkan.
3.3.2 Pengumpulan Data Kualitatif.
Selain melakukan pendekatan kuantitatif, studi ini mengunakan
pendekatan kualitatif untuk kepentingan penelusuran data secara mendalam
mengenai aspek-aspek struktural yang meliputi sistem stratifikasi sosial serta
aspek kultural yang diteliti meliputi: makna subyektif mengenai kapital dan
realitas sosial tentang kualitas hidup (QoL) dalam komunitas agribisnis
berbasis bajar di Bali. Adapun teknik pengumpulan data kualitatif akan
dilakukan dengan menerapkan strategi studi kasus melalui wawancara
mendalam kepada sumber-sumber data, yaitu informan kunci yang berasal
dari komunitas agribisnis, termasuk tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat
yaitu Lurah/Kepala Desa/Bendesa Adat, Ketua/Kelian Banjar dan Prajuru
Banjar, beserta tokoh pelaku agribisnis dalam komunitas bersangkutan.
Tidak kurang dari 5 (lima) tokoh masyarakat setempat dijadikan sebagai
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
78
Universitas Indonesia
informan kunci studi ini, serta beberapa petani pelaku agribisnis dijadikan
sebagai sumber informasi penelitian ini. Sumber data juga diupayakan berasal
dari pihak eksternal yang meliputi tokoh kunci dari Dinas Pertanian Bali (1
Informan), dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali (2
Informan), dan juga dari Departemen Pertanian (1 informan). Data kualitatif
juga dikumpulkan dari pelaksanaan analisis dokumen yang terkait.
Sedangkan pengumpulan data dan informasi mengenai dukungan politik dan
dinamika pembangunan pertanian, dilakukan wawancara mendalam dengan
key informan dari anggota legislatif di DPRD Bali (1 Informan) dan DPRD
Kabupaten Buleleng (5 Informan). Secara rinci teknik pengumpulan data
kualitatif dituangkan seperti pada Tabel berikut.
Tabel 3.1. Matriks Teknik Pengumpulan dan Sumber Data.Teknik
PengumpulanData
SumberData
KriteriaSumber Data
Cakupan/Isi Data
WawancaraMendalam
PetaniKomunitasAgribisnis
Informan yang dipilihadalah petani dan tokohmasyarakat, angotabanjar (telah tinggalmenetap sejak lahir)
Minimal telahberpengalaman sebagaipetani sejak tahun 1970
Petani yang dipilihsebagai sumber data,merupakan informankunci, dan jugabeberapa petani sebagaiinforman penunjang
Mengetahui seluk belukdan perkembanganusahatani lokal
Memahami gambarankondisi kualitas hidup(QoL) masyarakat
Makna banjarsebagai wadahpetani dalamberaktivitas
Sejarah danperkembanganusahatani
Sejarah dandinamika banjar
Moda produksiTingkat adopsi
inovasi teknologipertanian
Keragaan kapitalRelasi sosial,
relasi sinergi danrelasi koproduksi
Kondisikesehatan,lingkunganhidup, dantingkat kualitashidupmasyarakat
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
79
Universitas Indonesia
TeknikPengumpulan
Data
SumberData
KriteriaSumber Data
Cakupan/Isi Data
Pejabat atauStafDepartemenPertanian,DinasPertanian Balidankabupaten,DPRD, dandari BPTPBali
Merupakan sumber datageneralis
Berpengalaman danterlibat dalam programpengembanganagribisnis
Mengetahui dan terlibatlangsung dalam rencanaoperasional kegiatanDepartemen Pertanian
Modelpemberdayaanmasyarakat yangdikembangkan
KonsepPengembanganAgribisnis
Tujuan kegiatandan hasil yangdiharapkan
Pemanfaatanpotensi lokal
Sinergi Programdan Pemanfaatansumberdayapembangunan
Potensi banjar
Observasi KantorKelurahan/Desa
Areapertanian/usaha agb
Saranaprasaranayangtersedia
Kondisiwilayah
Terkait dengan topikstudi
Dapat memberigambaran situasi umuminteraksi dan pola relasisosial masyarakat
Representasikapital danpemanfaatannyadalam ranahagribisnis
Pola relasi sosialEven-even yang
terjadi selamastudi
Kegiatan sosialbanjar
Kegiatanorganisasi
AnalisisDokumen
MonografiDesa/Kelurahan
DatasekunderBPS danlembagalain.
Dokumen resmi denganlegalitas yang memadai(minimal dariDesa/Kelurahan)
Umur data, masihrelevan untuk bahananalisis
Keadaangeografis dandemografi
Sejarah banjardanperkembanganusaha agribinis
IMR, PDRB, dll
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
80
Universitas Indonesia
Lebih jauh, untuk mendukung pelaksanaan analisis data, maka
peneliti akan menyiapkan Field Notes (Tabel 3.2) berupa catatan hasil observasi
dan wawancara, serta menyiapkan Personal Journal (Catatan Peneliti) yakni
catatan harian, bersifat pribadi atas perasaan dan emosi peneliti yang terjadi saat
melihat dan mendengar sesuatu dalam mengamati kasus di lapangan, termasuk
situasi dan kondisi di lapangan saat observasi maupun saat melakukan
wawancara.
Tabel 3.2. Matrik Catatan Hasil Wawancara dan Observasi
Catatan Penelitian AtasProses Pengumpulan Data
(Jotted Notes)
Diskripsi HasilWawancara
Interpretasi(Catatan Inferen)
Analisis Peneliti
Hari/Tanggal: Gambaran situasi Kondisi Umum
Wliayah.. Dst
Informan:Usia:Lama tingal didesa iniPekerjaan utamaPertanyaan:.....Informan: ......
Interpretasi atashasil wawancaraapa adanya
Kaitan konsepyang digunakandengan kasus
3.4. Analisis Data.
Data yang diperoleh dari metode survai di lapangan, dianilisis secara
deskriptif melalui pengolahan statisitika deskriptif, dengan cara meringkas data
dan memberikan gambaran tentang data yang tersedia, terutama dalam hal
penyajian rata-rata (mean), frekuensi, proporsi, standar deviasi, ataupun varians
sampel, dan selanjutnya dijelaskan untuk mendukung analisis mengenai
performa sampel penelitian. Selain itu, hasil analisis data secara deskriptif juga
disajikan dalam visualisasi tabel maupun secara grafis yang ditujukan untuk
mempertajam analisis deskriptif. Sedangkan analisis statistika inferensia
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
81
Universitas Indonesia
digunakan untuk pengambilan keputusan terhadap uji hipotesa penelitian yang
telah dirumuskan dengan menggunakan parameter penduga populasi. Untuk uji
hipotesa dilakukan analisis regresi berganda (multiple regression). Studi ini
akan menguji enam hipotesa penelitian seperti tertuang dalam model analisis
berikut:
Hipotesa (1) sampai dengan (4) adalah: “Persepsi masyarakat
tentang penguasaan masing-masing jenis kapital yaitu kapital sosial (H1);
kapital budaya (H2); kapital politik (H3); dan kapital ekonomi (H4),
memainkan peranan yang penting bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat”. Model (1) berikut ini merupakan pengembangan model yang
dikemukakan oleh Castelli, et.all (2009); Woolcock & Narayan (2000); serta
Stone & Hughes (2002) yang hanya memfokuskan analisisnya pada pengaruh
kapital sosial saja, tanpa mencermati jenis kapital lainnya.
KAPITAL BUDAYA• Dimensi manusia (embodied state)• Dimensi obyek• Dimensi institusional (sistem banjar, subak)
82
Universitas Indonesia
Hipotesa (5) : “Peran tripartit pemerintah-swasta-komunitas lokal
yang dipersepsikan masyarakat, memainkan fungsi penting bagi peningkatan
representasi kapital dalam komunitas agribisnis berbasis banjar.”
Penetapan hipotesa ini adalah hasil dari penyesuaian peneliti terhadap model
yang dikemukakan oleh Castelli, et.all (2009) dengan menambahkan aspek
peran swasta dan masyarakat, selain peran pemerintah. Dalam kerangka
memperkaya analisis, peran tripartit juga ditambahkan dengan unsur
koproduksi ketiga elemen pembangunan itu, dan pengaruhnya terhadap
representasi kapital. Disamping itu juga dilakukan perluasan aspek kapital
yang tidak saja berupa kapital sosial, melainkan juga dengan tiga jenis kapital
lain yang dikemukan Bourdieu yakni kapital budaya, kapital politik, dan
kapital ekonomi. Hal ini didasari pemikiran bahwa representasi kapital dalam
masyarakat sangat relevan untuk dianalisis sebagai faktor yang mempengaruhi
QoL. (Model 2, seperti Gambar berikut ini).
83
Universitas Indonesia
Hipotesa (6): “Persepsi masyarakat mengenai kuatnya peran tripartit
pemerintah-swasta-komunitas lokal, akan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat”. Hipotesa ini dikembangkan sebagai Model (3) yang dilandasi
pemikiran Castelli et.all (2009). Beberapa aspek dimasukkan sebagai
komponen dalam model, yakni peran swasta dan peran masyarakat selain
peran pemerintah yang digambarkan Castelli sebagai policy context. Pada
analisis ini juga dicermati aspek koproduksi, yakni integrasi dan kesejajaran
peran pemerintah-swasta-masyarakat dalam pembangunan, terutama
partisipasi masyarakat dalam mendukung pengembangan agribisnis yang
diharapkan mampu mendongkrak kualitas hidup masyarakat.
84
Universitas Indonesia
Selanjutnya, masing-masing hubungan antar variabel yang tertuang
dalam hipoetsa (1) sampai dengan (6) atau dikemukakan dalam model (1)
sampai dengan model (3) diintegrasikan menjadi satu model hipotetik dalam
studi ini, yang lebih lanjut akan diuji berdasarkan analisis regresi dan path-
analisys, dengan fasilitas program aplikasi SPSS, seperti Gambar berikut.
e1
1
e2
85
Universitas Indonesia
Adapun data kualitatif dianalisis dengan melakukan reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dimaksudkan sebagai
analisis data melalui peringkasan, pengkodean, dan melakukan penelusuran
tem. Analisis data juga dilaksanakan dengan melakukan pengorganisasian data
menjadi gambaran yang koheren, serta melaksanakan upaya pencarian pola-
pola dan interpretasi berdasarkan teori ataupun setting di lapangan. Ragkaian
proses analisis data ini dilakukan sejak tahap awal penelitian, atau tidak
menunggu selesai terkumpulnya seluruh data. Sementara, untuk memperoleh
gambaran perubahan suatu realitas sosial dan bagaimana perubahan tersebut
terjadi pada kurun waktu tertentu, fokus hanya pada satu isu (satu bounded
case).
3.5. Variabel Penelitian dan Operasionalisasi Konsep.
Berdasarkan hipotesa yang telah dibangun dalam studi ini, terdapat
variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent
variable) yang akan diukur dengan instrumen penelitian berupa Kuesioner
Terstruktur. Dengan demikian perlu operasionalisasi di tataran lapang,
terutama menyangkut indikator dari setiap variabel yang akan diukur dalam
penelitian ini. Secara rinci variabel dan indikatornya untuk aras mikro yakni
rumahtangga petani dikemukakan seperti pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Definisi Operasional Variabel dan Indikator yang Diukur.
Variabel Indikator yang Diukur Keterangan
Kapital Sosial
Jaringan (Network)
Relasi kepentingan (interest) Relasi Sentimen (emosi) Relasi power Daya bonding organisai Daya bridging organisasi Daya linking organisasi
Indikator yangdigunakan disarikandari Agusyanto(2007) dan hasilpengembanganpemikiran peneliti(Pertanyaan B1
86
Universitas Indonesia
Variabel Indikator yang Diukur Keterangan
dalam KuesionerPenelitian)
Kapital Budaya Dimensi yang melekat padaaktor (embodied state)
Dimensi obyek (dalam studi inidigunakan indikator kehasankarya dari aktor)
Dimensi insitusional
Mengacu terhadappendapat Bourdieu(1986) danmodifikasi peneliti(Pertanyaan B2dalam KuesionerPenelitian)
Kapital Politik Peran Organisasi Politik Dominasi relasi produksi Meritokrasi Legitimasi
Pengembanganpemikiran penelitidari hasilpemahamanterhadap pendapatSvendsen&Svendsen(2003)(Pertanyaan B3dalam KuesionerPenelitian)
Kapital Ekonomi Kepemilikan aset produksi Kepemilikan modal uang Kewirausahaan Keterampilan/Profesionalsme
Pemahamanterhadap pendapatSvendsen&Svendsen(2003)(Pertanyaan B4dalam KuesionerPenelitian)
PeranTripartit:Pemerintah, Swasta,Masyarakat Lokal
Peran Pemerintah- Introduksi Inovasi Teknologi- Subsidi (Pem. Pusat dan
Daerah)- Kebijakan Anggaran- Dukungan Politik
Peran Swasta- Investasi- Dukungan Kedit Usahatani- Sarana Produksi- Dukungan Pemasaran
Peran Masyarakat- Pemanfaatan Unsur Fisik
Banjar
Indikator yangdigunakan adalahhasil daripemahamanterhadap pemikiranArifin (2005) dangagasan Nee (2005)dan jugadikembangkanberdasarkanpemikiran peneliti(Pertanyaan A: A1,A2, A3 dan A4dalam Kuesioner)
87
Universitas Indonesia
Variabel Indikator yang Diukur Keterangan
- Penerapan nilai-nilaiberbanjar
- Persespi kepemimpinanbanjar
- Partisipasi warga banjarKoproduksi Pemerintah-Swasta-
Masyarakat
Kualitas Hidup (QoL) QoL Obyektif:
Pendapatan Pendidikan Pemenuhan kebutuhan primer
(pangan, sandang,papan); Morbiditas
QoL Subyektif:
Peluang bekerja dan berusaha Akses pada pelayanan publik Partisipasi politik (lokal dan
nasional) Relasi Sosial Keamanan sosial Perspesi kebahagiaan Persepsi makna hidup Persepsi kualitas lingkungan Kualitas religius Persepsi mobilitas vertikal IMR*) Angka Harapan Hidup*)
Indikator yangdigunakan adalahhasil modifikasi dariCastelii et.all (2009)dan Noll (2002)*) Indeks kompositQoL yangmerupakan datasekunder dari BPS(Pertanyaan C: C1s.d C16 dalamKuesionerPenelitian)
*) Data mengenai IMR dan Angka Harapan Hidup tidak ditanyakan dalamKuesioner. Data tersebut merupakan data indikator yang bersifat komposit,maka data itu juga tidak dianalisis dalam uji statistik melainkan hanyadijelaskan sebagai data penunjang analisis QoL. Data IMR dan AngkaHarapan Hidup diperoleh dari instansi terkait.
88
Universitas Indonesia
Variabel eksogen ataupun variabel independent dalam studi ini
adalah adalah representasi kapital dalam masyarakat, yakni keberadaan
dan keragaman penguasaan kapital anggota masyarakat. Representasi
kapital ditentukan berdasarkan penguasaan anggota komunitas
agribisnis terhadap kapital yang meliputi:
1. Persepsi masyarakat atas penguasaan kapital sosial berupa
networks (jaringan sosial) yang direpresentasikan dengan
menggunakan indikator persepsi tentang relasi kepentingan,
relasi sentimen, relasi power, dan potensi organisasi (terutama
organisasi sosial tradisi) dalam komunitas agribisnis;
2. Persepsi masyarakat mengenai penguasaan kapital budaya yang
ditentukan indikator-indikator dari persepsinya atas penguasaan
kapital budaya berdimensi manusia (embodied state) yang
melekat pada aktor; berdimensi obyek, yakni berupa alat-alat
yang khas kegunaannya, termasuk kekhasan aktor yang
menciptakan alat berdasarkan keahliannya (sangging, pande,
undagi, dan sebagainya yang dikenal turun temurun oleh
masyarakat Bali) dan berdimensi institusional ;
3. Persepsi penguasaan kapital politik yang terdiri dari dominasi
relasi produksi, meritokrasi, legitimasi, dan komitmen politik;
serta
4. Kapital ekonomi yang ditentukan berdasarkan indikator
penguasaan modal finansial, daya enterpreneurship
(kewirausahaan, profesionalisme, dan keterampilan).
Variabel eksogen berikutya adalah peran tripartit pemerintah-swasta-
masyarakat serta koproduksinya dalam menentukan representasi kapital dan
pengaruhnya baik langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas hidup
masyarakat. Pada studi ini tripartit dipandang sebagai suatu sistem kerja
89
Universitas Indonesia
ditinjau dari peran-peran masing-masing elemen tersebut, dan ditentukan
berdasarkan indikator yang meliputi:
1. Persepsi masyarakat tentang peran pemerintah dalam
pengembangan agribisnis yang meliputi: pemasyarakatan
inovasi teknologi pertanian, kebijakan subsidi, anggaran, dan
dukungan kebijakan.
2. Persepsi masyarakat mengenai peran swasta yang mencakup
ukungan investasi, dukungan kredit usahatani, dukungan
penyediaan sarana produksi, dan pemasaran yang
dikembangkan.
3. Peran masyarakat yang ditentukan dengan mempertimbangkan
persepsinya tentang pemanfaatan aspek potensi banjar yang
terdiri dari potensi fisik, potensi nilai-nilai, potensi
kepemimpinan dalam banjar, serta partisipasi warga banjar
dalam setiap kegiatan banjar.
4. Ko-produksi yang merupakan kesejajaran peran ketiga elemen
tersebut dalam pembangunan, terutama diukur berdasarkan
persepsi masyarakat tentang aspek partisipasi dan kesejajaran
peran pemerintah, swasta, dan potensi banjar.
Adapun variabel indogen atau variabel dependent yang
dipengaruhi oleh variabel-variabel lain adalah kualitas hidup (QoL)
yang ditentukan berdasarkan indikator-indikator obyektif berdasarkan
pendekatan model “Scandinivian Level of Living” yang menekankan
kondisi obyektif kualitas hidup berdasarkan indikator-indikator:
1. Pendapatan, yang diukur dengan menentukan pendapatan
rumahtangga responden, dalam rupiah pertahun.
2. Tingkat pendidikan, yang diketahui dari lama waktu tempuh
(dalam tahun) pendidikan formal responden.
90
Universitas Indonesia
3. Pemenuhan kebutuhan primer, berupa tingkat kemampuan
respondnen dalam memenuhi kebutuhan dasar berupa pangan,
sandang, dan papan; dan
4. Morbiditas, yakni aspek kesehatan masyarakat yang ditentukan
berdasarkan persepsi responden mengenai kondisi
kesehatannya.
Sedangkan kualitas hidup (QoL) subyektif ditentukan
berdasarkan persepsi responden terhadap:
5. Akses pelayanan publik, yang ditentukan berdasarkan persepsi
responden atas kesempatannya memperoleh pelayanan umum
yang tersedia.
6. Peluang kerja dan berusaha, yang ditentukan dari persepsi
responden terhadap tinggi rendahnya kesempatan yang ada
dalam berusaha dan bekerja
7. Partisipasi politik, yakni perspesi masyarakat dalam
memanfaatkan hak dan kewajibannya dalam dinamika politik
baik di tingkat nasional maupun lokal.
8. Relasi sosial, diukur berdasarkan variasi bentuk dan jumlah
hubungan sosial yang berhasil dibangun oleh responden
9. Keamanan sosial yang dioperasinaliasikan dengan mengukur
persepsi responden terhadap tinggi rendahnya tingkat
keamanan sosial yang ada dalam lingkungannya.
10. Persepsi kebahagiaan, yang dioperasionalkan dengan persepsi
responden terhadap tingkat kebahagiaan yang dicapai
11. Makna hidup, yang diukur berdasarkan tinggi rendahnya
persepsi tentang makna hidup aktor dalam kehidupan sosialnya
12. Kualitas lingkungan, yang dioperasionalkan dengan persepsi
responden terhadap kualitas lingkungannya
91
Universitas Indonesia
13. Kualitas religius, diukur berdasarkan perspesi aktor mengenai
tingkat kualitas religiusnya dalam beribadah sesuai dengan
agama yang dianutnya.
14. Perspesi mobilitas vertikal, yang dioperasionalkan dengan
mengukur persepsi aktor terhadap pencapaian mobilitas
vertikalnya, baik mobilitas vertikal antar generasi (inter-
generational) dan intra-genrasional.
Selain itu QoL juga ditentukan berdasarkan indikator makro
berupa angka kematian bayi (Infant Mortality Rate/IMR) dan angka
harapan hidup bayi satu tahun yang merupakan indikator komposit
dari kualitas hidup masyarakat. Dua indikator ini tidak ditanyakan
dalam kuesioner dan tidak dianalisis dalam uji statistik, melainkan
lebih banyak dimanfaatkan untuk mendukung analisis yang akan
dialkukan dalam penelitian ini.
Sedangkan operasionalisasi variabel yang diukur untuk aras messo
ditekankan kepada pengukuran data kapital sosial yang yang ditinjau dari
aspek rasa saling percaya antara organisasi tertentu dengan organisasi lain
yang eksis, dan kepercayaan organisasi terhadap lembaga supra sistemnya.
Variabel jaringan kerja di aras messo diukur berdasarkan hubungan
organisaasi yang tertentu dengan organisasi sejenis yang ada di kelurahan itu,
hubungannya dengan organisasi sejenis di wilayah lain, hubungan organisasi
tersebut dengan organisasi tidak sejenis di wilayah penelitian, serta dengan
organisasi tidak sejenis di wilayah lain. .
3.6. Proses Penelitian.
Studi ini dilakukan melalui tiga tahapan proses penelitian yakni tahap
persiapan, penelitian lapangan, dan penulisan laporan berupa disertasi. Sejak
pertengahan bulan September hingga Oktober 2009 dilakukan tahap persiapan
92
Universitas Indonesia
antara lain berupa pengurusan surat ijin penelitian dengan fasilitasi Program
Doktor Sosiologi Universitas Indonesia untuk kelancaran pelaksanaan studi di
lokasi penelitian, yakni di Kabupaten Bulelelng, Bali. Lebih lanjut dilakukan
observasi pendahuluan mengenai kondisi lokasi penelitian yang meliputi
keadaan realitas sosial dan geografi fisik lokasi penelitian, serta melakukan
pengenalan lapang atau orientasi terhadap dinamika kehidupan masyarakat,
yang ditujukan untuk memperoleh gambaran awal atas informasi dan data
yang bersifat kualitatif. Dalam kerangka efisiensi dan efektifitas penelitian,
pada tahap ini juga dilakukan pengumpulan data kualitatif yang didasari
pedoman wawancara mendalam dan melakukan observasi atas fenomena
ataupun gejala-gejala sosial di lokasi penelitian. Sementara, untuk keperluan
pengumpulan data kuantitatif maka pada tahap persiapan ini dilakukan
orientasi lapangan yang ditujukan dalam rangka penyusunan kerangka
penarikan sampel penelitian (sampling frame), serta melakukan uji coba
terhadap instrumen penelitian yang berupa kuesioner terstruktur.
Adapun uji coba instrumen yang akan digunakan dalam pengumpulan
data kuantitatif, dilakukan di Desa Musi, Kecamatan Gerokgak-Buleleleng.
Pemilihan lokasi itu sebagai tempat uji coba didasari atas pertimbangan
kedekatan desa itu dengan lokasi penelitian, disamping yang utama adalah
pertimbangan kemiripan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya dengan lokasi
penelitian. Selain itu, peneliti juga memperoleh beberapa input dari kolega
yang berprofesi peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Denpasar –
Bali. Menurut informasi, desa Musi direncanakan oleh pemerintah propinsi
Bali, sebagai lokasi pengembangan sistem pertanian terintegrasi seperti yang
diterapkan dalam kegiatan Prima Tani di Desa Sanggalangit dan Desa Sepang,
Buleleng. Uji coba itu dimaksudkan untuk melakukan uji reliabilitas dan
validitas instumen penelitian. Reliabilitas instrumen merupakan uji statistik
yang ditujukan untuk mengetahui keterhandalan instrumen yang berarti
intrumen yang bila digunakan berapa kali untuk mengukur obyek yang sama
akan menghasilkan data yang sama. Pada uji coba ini reliabilitas instrumen
93
Universitas Indonesia
diuji dengan menggunakan Alpha Cronbach.6 Pada dasarnya terdapat
beberapa teknik dalam menguji reliabilitas instrumen, seperti teknik “test –
retest” dan teknik “split –half”. Teknik yang pertama merupakan teknik
yang mengedepankan pengulangan. Instrumen yang sama diterapkan pada
responden yang sama dan dalam periode waktu tertentu. Teknik ini memliki
beberapa kelemahan, antara lain dimungkinkannya adanya perubahan dalam
diri responden yang berakibat pada adanya perbedaan respon terhadap
intrumen yang sama, serta adanya kemungkinan responden telah lebih siap
dalam menjawab pertanyaan dan akan memungkinkan nilai yang berbeda
juga. Sementara pada teknik belah dua (split-half) sangat tergantung dari cara
mengelompokkan item-item pertanyaan dalam intrumen penelitian
(Singarimbun dan Efendi, 1986: 91; Bryman, 2004: 71-72).
Uji reliabilitas dengan melihat alpha Cronbach juga dimaksudkan untuk
melihat konsistensi internal alat ukur, yang didalamnya terdapat proses
mengeluarkan atau memperbaiki item (pertanyaan) dari alat ukur, sehingga
proses itu sekaligus merupakan proses validitas konstruks. Validitas konstruk
(construct validity) merupakan teknik untuk melihat validitas instrumen yang
bersifat nontes yang digunakan untuk mengukur sikap ataupun opini, serta
untuk melihat kesaihan instrumen untuk mengukur gejala sesuai dengan yang
didefinisikan. Dengan demikian validitas konstruk terkait dengan kesaihan
suatu instrumen yang disusun dan dikembangkan berdasarkan teori tertentu
(Sugiyono, 2009: 350).
Uji realibilitas dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS dengan
melihat Nilai Total Alpha Cronbach, yakni minimal 0,6. Selanjutnya setiap
variable ataupun indicator diuji item-item yang menjadi komponen kuesioner.
Jika nilai Cronbach's Alpha if Item Deleted bernilai lebih kecil dari nilai alpha
6) Alpha Cronbach merupakan salah satu uji reliabilitas yang paling sering digunakan jikadibandingkan dengan uji lainnya (Uyanto, SS. 2006: h.240). Sementara Bryman, 2004: h.72menyatakan bahwa “........Nowdays, most researchers use test of internal reliability known asCronbach’s Alpha.... Cronbach Alpha is a commonly used test of reliablity. It essentiallycalculates the average of all possible split-half reliablity coeficients. “
94
Universitas Indonesia
Cronbach total hasil uji, maka item-item atau pertanyaan dalam kuesioner
tersebut tetap dipertahankan untuk pelaksanaan penelitian. Selain itu, item-
item tersebut juga memiliki korelasi yang positif terhadap Corrected Item-
Total Correlation. Lebih lanjut, jika kedua hal itu tidak dipenuhi maka item-
item tersebut harus diperbaiki atau jika tidak diperlukan dapat dikeluarkan
dari daftar pertanyaan instrumen. Secara rinci, hasil analisis data untuk
menguji reliabilitas instrumen berdasarkan data hasil pretest disajikan pada
Lampiran 2. Sedangkan nilai Alpha Cronbach untuk masing-masing variabel
penelitian, disajikan pada Tabel 3.4. berikut ini.
Tabel 3.4. Nilai Alpha Cronbach Variabel-variabel Penelitian BerdaasarkanData Pretest di Desa Musi, Kecamatan Gerokgak-Buleleng
No. Variabel Nilai
Alpha Cronbach
1. Peran Pemerintah 0,778
2. Peran Swasta 0,760
3. Peran Masyarakat 0,817
4. Koproduksi 0,742
5. Kapital Sosial 0,785
6. Kapital Budaya 0,811
7. Kapital Politik 0,870
8. Kapital Ekonomi 0,816
9. Kualitas Hidup (QoL) 0,930
Berdasarkan nilai Alpha Cronbach yang didapat dari masing-masing
uji reliabilitas, maka untuk variabel peran pemerintah ternyata nilai total
Alpha Cronbachnya mencapai 0,778 yang berarti bahwa reliabilitasnya adalah
memadai (Tabel 3.4). Jika dilihat nilai Cronbach Alpha if Item Deletednya
95
Universitas Indonesia
(Tabel Lampiran 2), semua item berkorelasi positif dan terdapat beberapa item
yang memiliki nilai lebih besar dari nilai Alpha Cronbach, yakni item A1.1_1
(perbandingan inovasi saat ini dengan inovasi sebelumnya), item A1.1_6
(dapat tidaknya inovasi dicobakan pada skala kecil), A1.3_1 (perencanaan
anggaran pemerintah), dan item A1.3_5 (anggaran kerjasama –kemitraan).
Oleh karena itu kedua item –item tersebut harus diperbaiki atau dihilangkan
dari daftar pertanyaan instrumen, sehingga reliabilitas dan validitas instrumen
dipandang memadai. Pada studi ini, peneliti berupaya memperbaiki redaksi
dari pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner penelitian.
Selanjutnya, nilai Alpha Cronbach dari variabel Peran Swasta adalah
sebesar 0,760 yang berarti bahwa interumen yang digunakan untuk mengkur
variabel peran swasta adalah memadai. Akan tetapi masih terdapat beberapa
item pertanyaan ataupun pernyataan dalam intrumen yang memerlukan
perbaikan atau ditiadakan, karena memiliki nilai Alpha Cronbach yang lebih
besar dari 0,760.
Seperti yang ditunjukkan dari Tabel Lampiran 2, maka item A213
yakni mengenai penanaman investasi swasta dalam pengembangan usaha
masyarakat, item A221 (kehadiran lembaga perkreditan swasta), A224 (jenis
kredit yang ditawarkan cukup beragam), A233 (dukungan pihak swasta dalam
penyediaan sarana produksi) dan item A234 (ketersediaan sarana produksi
menentukan keberhasilan usaha masyarakat), mesti diperbaiki jika
dipertahankan dalam pelaksanaan survai.
Sementara, hasil uji reliablitas terhadap instrumen penelitian yang
digunakan untuk mengukur mengenai peran masyarakat menunjukkan hasil
yang memadai dengan Alpha Cronbach sebesar 0,817 seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 3.4. Akan tetapi, dari 22 pertanyaan terdapat
beberapa item yang mesti disempurnakan, mengingat nilai Alpha Cronbach if
Item Deleted nya lebih besar dari 0,817 Item-item tersebut adalah A325,
A333, dan , A341. Item tersebut mengandung pertanyaan ataupun
pernyataan yang dimaksudkan untuk mengungkap persepsi responden
96
Universitas Indonesia
mengenai potensi nilai-nilai berbanjar, dan unsur kepemimpinan dalam setiap
kegiatan banjarnya. Item-item tersebut mest diperbaiki ataupun dapat
ditiadakan dari instrumen penelitian ini.
Nilai Alpha Cronbach yang juga diuji dalam pra penelitian survai
adalah instrumen yang ditujukan untuk mengukur persepsi masyarakat tentang
relasi koproduksi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, dalam
pengembangan usaha agribisnis masyarakat. Berdaasrkan test statistik didapat
nilai Alpha Cronbach sebesar 0,742 yang berarti telah memadai untuk
digunakan dalam penelitian survai. Mengingat ada dua item nilai alpha
cronbach if item deleted nya di atas 0,742, maka item nomor 6 dan 7
mengenai pembagian kerja antara elemen pembanguan dan juga pertanyaan
mengenai dominasi pengaruh antara pemerintah, swasta dan masyarakat,
mesti diperbaiki atau dihilangkan dari daftar pertanyaan.
Berikutnya adalah hasil uji reliabilitas variabel kapital sosial. Nilai
Alpha Cronbach yang didapat berdasarkan uji SPSS adalah sebesar 0,785
yang mencerminkan bahwa item-item yang digunakan dalam instrumen ini
juga telah memadai, yakni nilai alpa lebih besar dari 0,6. Sedangkan dilihat
dari nilai Cronbach Alpha if Item Deletednya, semua item berkorelasi positif
dan terdapat beberapa item yang memiliki nilai lebih besar dari nilai Alpha
Cronbach, yakni item JO3, dan JO5 mengenai jumlah organisasi yang
diikuti, status keangotaanya, dan jenis kegiatan organisasi yang diikuti.
Selain itu masih terdapat item yang mesti diperbaiki yakni Bond4, Linking 5
dan LS5, dan peran KS (item mengenai jaringan orgaisasi, bonding, linking,
lubang struktur, dan peran kapital sosial. Oleh karena itu, sebelum melakukan
penelitian survai maka pertanyaan-pertanyaan tersebut disempurnakan terlebih
dahulu.
Adapun uji reliabilitas untuk variabel Kapital Budaya menunjukkan
hasil yang memuaskan. Nilai Alpha Cronbach yang didapat adalah sebesar
0,811 yang mencerminkan bahwa item-item yang digunakan dalam instrumen
97
Universitas Indonesia
ini juga telah memadai, yakni nilai alpa lebih besar dari 0,6 bahkan sedikit
lebih besar dari 0,8. Berdasarkan ouput pengolahan data uji coba instrumen
dapat dilihat nilai Cronbach Alpha if Item Deletednya, semua itemnya
berkorelasi positif dan terdapat beberapa item yang memiliki nilai lebih besar
dari nilai Alpha Cronbach, yakni item KB5 mengenai penghargaan terhadap
kepemilian benda, dan item KB6 tentang perbandingan kepemilikan alat-alt
produksi dengan anggota lannya. Oleh karena itu terdapat dua item dari
sebelas item yang harus diperbaiki atau dihilangkan dari daftar pertanyaan
instrumen, sehingga reliabilitas dan validitas instrumen dipandang memadai.
Variabel selanjutnya adalah Kapital Politik, yang berdasarkan output
SPSS uji reliabilitas menunjukkan hasil yang sangat memuaskan dengan nilai
Alpha Cronbach relatif besar yakni 0,870. Nilai ini menunjukkan bahwa dari
sebelas item yang ditanyakan kepada responden dalam instrumen ini sudah
sangat memadai. Akan tetapi hal itupun perlu dilihat berdasarkan nilai Alpha
Cronbach if Item Deleted untuk mengetahui apakah ada item yang harus
diperbaiki atau dihapus dari daftar pertanyaan. Berdasarkan output yang
didapat dari uji reliabilits ternyata nilai Cronbach Alpha if Item Deletednya,
semua itemnya berkorelasi positif dan terdapat tiga item yang memiliki nilai
lebih besar dari nilai Alpha Cronbach, yakni item KP3 (kebebasan
berkumpul dan berpendapat dalam setiap kegiatan banjar), item KP5
(ketergantungan anggota banjar terhadap perangkat banjar), dan item KP12
mengenai perspesi responden terhadap kapital politik menentukan kualitas
hidupnya. Oleh karena itu kedua item tersebut harus diperbaiki atau
dihilangkan dari daftar pertanyaan instrumen.
Kapital Ekonomi merupakan salah satu variabel yang mencerminkan
representasi kapital bagi anggota komunitas agribisnis berbasis banjar.
Variabel ini pun menunjukkan reliabilitas yang memadai, karena berdasarkan
hasil uji reliablitas dapat dilihat nilai Alpha Cronbachnya sebesar 0,816. yang
mencerminkan bahwa item-item yang digunakan dalam instrumen ini juga
98
Universitas Indonesia
telah memadai, yakni nilai alpa lebih besar dari 0,6 bahkan sedikit lebih besar
dari 0,8, yang merupakan ambang batas minimal secara umum reliabilitas
penelitian sosial. Adapun nilai Alpha Cronbach if Item Deleted nya semua
item berkorelasi positif dan terdapat beberapa item yang memiliki nilai lebih
besar dari nilai Alpha Cronbach, yakni item KE1 dan Ke4 pertanyaan
mengenai total jumlah aset dan profesionalisme responden. Oleh karena itu
terdapat dua item yang harus diperbaiki atau dihilangkan dari daftar
pertanyaan instrumen, sehingga reliabilitas dan validitas instrumen dipandang
memadai.
Sementara, variabel dependent pada studi ini adalah Kualitas Hidup
(Quality of Life/QoL) dari komunitas agribisnis berbasis banjar. Berdasarkan
uji reliabilitas yang dilakukan, ternyata nilai Alpha Cronbach untuk variabel
ini sudah sangat memadai dengan nilai 0,930 yang menunjukkan bahwa
item-item yang digunakan instrumen untuk mengukur kualitas hidup adalah
memadai. Untuk mengetahui apakah ada item yang harus diperbaiki atau
dikeluarkan dari daftar pertanyaan maka perlu dilihat nilai Cronbach Alpha if
Item Deletednya. Semua item berkorelasi positif dan terdapat beberapa item
yang memlili nilai lebih besar dari alpha cronbach yakni item pendapatan,
pemenuhan kebutuhan primer 6, layananan publik 1, keamanan sosial 1, dan
makna hidup pertanyaan nomor 5.
Lebih lanjut, proses penelitian dilanjutkan dengan memperbaiki dan
menyempurnakan redaksional dari item-item yang harus diperbaiki
berdasarkan hasil uji coba instrumen penelitian. Pada proses ini tidak
dilakukan pengeluaran item, mengingat pertimbangan pentingnya semua item-
item dimaksud. Proses selanjutnya adalah kembali melakukan uji reliabilitas
intrumen penelitian berdasarkan hasil penelitian survai. Hal ini dimaksudkan
untuk menjaga konsistensi internal alat ukur. Sementara uji validitas tidak
diperlukan mengingat proses pengeluaran ataupun penyempurnaan sebuah
item dalam instrumen penelitian sekaligus merupakan proses validitas
99
Universitas Indonesia
konstruk suatu instrumen penelitian (Neuman, 1977: 144). Oleh karena itu uji
reliablitas yang dilakukan untuk instrumen sekaligus merupakan proses untuk
melihat validitas instrumen penelitian.
Berdasarkan data hasil survai, maka hasil analisis uji reliabilitas
instrumen menunjukkan nilai yang berbeda dibandingkan hasil uji pada tahap
pretest (uji coba instrumen). Seluruh hasil uji reliabilitas instrumen penelitian
dengan data survai disajikan dalam Tabel Lampiran1. Uji terhadap peran
pemerintah meperlihatkan hasil yang memadai dengan nilai alpha Cronbach
sebesar 0,811. Beberapa item masih memiliki nilai alpha Croncabh if item
deleted di atas 0,811 yang berarti harus dikeluarkan dari instrumen. Dalam
penelitian ini hal itu tidak dilakukan karena pentingnya item-item itu untuk
tetap dimasukkan dalam analisis. Berikut ini akan dikemukakan hasil uji
SPSS tentang reliablitas masing-masing variabel penelitian, berdasarkan data
survai (Tabel 3.5).
Tabel 3.5. Nilai Alpha Cronbach Variabel-variabel Penelitian BerdasarkanData Hasil Survai, di Sanggalangit.
No. Variabel Nilai
Alpha Cronbach
1. Peran Pemerintah 0,811
2. Peran Swasta 0,832
3. Peran Masyarakat 0,817
4. Koproduksi 0,614
5. Kapital Sosial 0,870
6. Kapital Budaya 0,741
7. Kapital Politik 0,788
8. Kapital Ekonomi 0,603
9. Kualitas Hidup (QoL) 0,930
Ada pun hasil uji reliabilitas untuk variabel peran swasta juga
menunjukkan hasil yang memadai (Alpha Cronbach = 0,832). Pada variabel
100
Universitas Indonesia
ini juga masih terdapat beberapa item yang semestinya dikeluarkan dari
instrumen tetapi tetap dipertahankan mengingat pentingnya item tersebut
untuk analisis yang akan dilakukan. Uji reliabilitas untuk variabel-variabel
yang lainnya juga relatif cukup memadai dengan menunjukkan nilai alpha
Cronbach di atas 0,6. Reliabilitas untuk variabel peran masyarakat nilai
alphanya adalah 0.817. Sementara untuk ko-produksi pemerintah, swasta, dan
masyarakat nilai alpha cronbachnya adalah 0,614.
Hasil uji reliabilitas data survai untuk masing-masing kapital juga
menunjukkan hasil yang memadai dengan nilai alpha Cronbach di atas 0,6,
masing-masing adalah: kapital sosial nilainya 0,870; kapital budaya 0.741;
kapital politik 0,788, serta variabel kapital ekonomi 0,603. Sedangkan
variabel dependent yakni kualitas hidup (QoL) menunjukkan hasil yang
sangat memadai dengan nilai alpha Cronbach sebesar 0,930.
Proses selanjutnya adalah memeriksa kenormalan data hasil survai.
Sesuai dengan kaidah utama analisis data menggunakan analisis regresi, maka
uji kenormalan data hasil survai hanya dilihat pada variabel utama penelitian
ini. Mengingat analisis statistik inferensia yang digunakan dalam studi adalah
regresi yang dilanjutkan dengan path analysys, maka menurut Weisberg
(1985: 156-160) maka uji kenormalan dilakukan terhadap variabel dependen
yang utama, dalam hal ini adalah variabel indogen, yakni variabel kualitas
hidup masyarakat (QoL). Setelah dilakukan pemeriksaan kenormalan ternyata
data hasil survai tidak normal, sehingga menurut Weisberg (1985) harus
dilakukan tranformasi data dengan metoda tranformasi nilai Lon (ln) dari data
survai. Uji kenormalan yang dilakukan terhadap data survai hasil
transformasi Ln variabel kualitas hidup adalah normal dengan p-value di atas
0,05 yakni 0,073 . Uji normalitas secara lengkap dituangkan dalam
Lampiran 3.
101
Universitas Indonesia
BAB 4
KONSTRUKSI SOSIAL KOMUNITAS AGRIBISNISBERBASIS BANJAR DI BULELENG-BALI
Bab ini merupakan uraian hasil analisis mengenai dinamika
kehidupan sosial ekonomi masyarakat tineliti (subyek penelitian), yang erat
pertaliannya dengan dinamika pengembangan agribisnis pedesaan. Bagian ini
diawali dengan mendiskripsikan gambaran umum lokasi penelitian, yakni
Sanggalangit sebagai sebuah desa adat sekaligus desa admisnitratif yang tidak
terlepas dari bagian pemerintah daerah yang erat kaitannya dengan dinamika
pembangunan pada umumnya. Bagian ini selanjutnya membahas mengenai
struktur sosial masyarakat, yang diikuti dengan fokus pembahasan tentang
posisi dan peran banjar dalam pemerintahan propinsi Bali. Selanjutnya, Bab ini
membahas masalah utama yang dihadapi masyarakat pelaku agribisnis dalam
pengembangan usahanya, sehingga berdampak pada penguasaan kapital, yang
bermuara pada pencapaian kualitas hidup masyarakat. Pada konteks itu
diketengahkan uraian tentang kelenturan atau fleksibilitas sistem sosial banjar
sebagai bagian dari desa adat Sanggalangit dalam mewadahi kegiatan
pembangunan, termasuk Prima Tani sebagai suatu unsur pembangunan yang
diinisiasi pemerintah.
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Sanggalangit adalah desa dengan karakteristik wilayah pertanian yang
secara geografis terletak di daerah pinggiran pantai Bali Utara-Bali Barat.
Wilayah desa ini dilalui jalan propinsi dari arah Singaraja ibu kota Kabupaten
Buleleng menuju Gilimanuk, yakni pelabuhan laut tempat penyeberangan dari
Bali menuju Jawa. Desa Sanggalangit memiliki luas wilayah 1.950 Ha
dengan jumlah penduduk sebanyak 4 216 jiwa, atau lebih kurang 965 kepala
keluarga (KK) dengan mata pencaharian sebagian besar pada sektor
pertanian. Sementara, jarak Sanggalangit dari pusat kecamatan Gerokgak
103
Universitas Indonesia
kesan itu perlahan memudar. Di sebelah timur di sepanjang sisi kiri jalan
tampak areal ladang perkebunan jagung dan beberapa tanaman palawija
lainnya. Kesan bahwa masyarakat Sanggalangit lebih cenderung sebagai
komunitas pertanian akan lebih terasa jika kita mulai memasuki pusat desa
dan banjar-banjar di Sanggalangit. Hampir seluruh jalan desa telah diaspal,
dan disepanjang kiri dan kanan jalan desa tampak ladang-ladang pertanian
diselingi beberapa kandang ternak, terutama sapi Bali (Gambar 4.2).
104
Universitas Indonesia
Secara historis, perkembangan pertanian di Sanggalangit pada
awalnya bercirikan pertanian konvensional dengan membudidayakan tanaman
dan ternak secara subsisten untuk pemenuhan kebutuhan pokoknya. Tanaman
yang mereka usahakan adalah palawija (jagung dan kacang-kacangan),
tanaman hortikultura (mangga dan pisang) serta ternak (Sapi Bali, babi Bali
dan ayam buras). Ada pun jagung merupakan komoditas utama yang
diusahakan petani Sanggalangit sebagai sumber pangan dan sekaligus sumber
pakan bagi ternak mereka.
Gambar 4.2 juga menjelasakan bahwa desa adat Sanggalangit terdiri
dari empat (4) banjar yakni banjar Taman Sari, Banjar Wana Sari, Banjar
Kayu Putih, dan Bajar Tukad Pule. Masing-masing banjar dipimpin oleh
seorang “kelian adat” yang bertanggung jawab kepada “Bendesa Adat” selaku
pemimpin desa adat. Sanggalangit juga merupakan “Desa Dinas” yang
merupakan bagian dari struktur kepemerintahan formal dibawah kecamatan.
Dalam hal ini, Desa Sanggalangit terdiri dari 9 (sembilan) RT, yakni RT 01
dan 02 yang identik dengan banjar Kayuputih. Kemudian ada RT 3 dan RT 4
yang berada pada wilayah banjar Taman Sari. Lantas ada RT 5 dan RT 6
yang merupakan banjar Wana Sari. Sedangkan RT 7, RT 8 dan RT 9 adalah
banjar Tukad Pule. Di Banjar Tukad Pule, terdapat satu RT yakni RT 9 yang
penduduknya hampir 100% merupakan muslim (Pemeluk Agama Islam).
4.2. Profil Demografi Masyarakat Sanggalangit.
Merujuk pada realitas yang ada, sebagian besar dari 965 kepala
keluarga masyarakat Sanggalagit menggeluti bidang pertanian. Dominannya
mata pencaharian penduduk dalam sektor pertanian terkait dengan pendidikan
penduduk, khususnya kepala rumahtangga yang relatif rendah. Sebagian
besar adalah berpendidikan Sekolah Dasar (86,21%), dan hanya sekitar 18
orang yang berpendidikan diploma ataupun sarjana. Selebihnya adalah
berpendidikan SLTP dan SLA masing-masing sekitar 6,92% dan 6,18 %
(Tabel 4.1 )
105
Universitas Indonesia
106
Universitas Indonesia
4.3. Struktur Sosial Masyarakat.
Struktur sosial merupakan salah satu dimensi utama dalam mencermati
sistem sosial, disamping aspek kultural dari suatu masyarakat. Struktur
masyarakat secara umum diwarnai oleh beberapa aspek, yakni sistem
ekonomi masyarakat, sisem integrasi, sistem religi masyarakat, dan sistem
stratifikasi masyarakat. Studi ini berupaya menjelaskan aspek-aspek
tersebut untuk mendiskripsikan secara umum gambaran sosial masyarakat
Sanggalangit, sebelum masuk pada pembahasan pokok tentang penguasaan
kapital yang dipersepsikan masyarakat dan pengaruhnya terhadap kualitas
hidup masyarakat.
4.3.1. Sistem Perekonomian Masyarakat Sanggalangit.
Sejak berkembangnya desa Sanggalangit sebagai suatu sistem sosial,
sebagian besar warganya menggantungkan sistem perekonomiannya pada
sektor pertanian. Menurut data yang diperoleh dari Kantor Desa, sebagian
besar petani tergolong petani lahan sempit dengan penguasaan lahan di bawah
0,5 Ha. Rata-rata pemilikan lahan adalah 0,33 Ha, dan sebagian petani
bahkan tergolong sebagai petani tuna kisma, yakni petani penggarap. Sektor
pertanian yang menghandalkan jagung sebagai komoditas utama dan sapi
sebagai ternak utama, menampakan sistem perekonomian masyarakat yang
kurang berkembang. Tingkat produktivitas pertanian relatif rendah, sehingga
sebagian besar masyarakat tergolong miskin (Laporan BPTP Bali, 2008).
Secara struktural sistem ekonomi yang ada menyebabkan terjadinya satu
kesatuan golongan kelas ekonomi yang relatif sama. Bahkan ditinjau dari
pendapatan sebelum berkembangnya usaha agribisnis yang didukung Prima
Tani, dan tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat terkonsentrasi dalam
satu kategori, yakni kategori rendah. Lebih dari 80 % penduduknya
berpendidikan SD dan sebagian kecil sisanya berpendidikan menengah hingga
107
Universitas Indonesia
pendidikan tinggi yang hanya kurang dari 10%. Oleh karena itu, berdasarkan
sistem ekonomi yang berkembang, struktur masyarakat relatif homogen.
Gejala semakin bergeraknya perekonomian masyarakat Sanggalangit
baru terasa semenjak beberapa tahun belakangan ini. Salah satu faktor
penggerak perekonomian itu adalah dengan mulai maraknya perkembangan
lembaga-lembaga perekonomian desa. Koperasi misalnya, adalah salah satu
lembaga pendukung perekonomian masyarakat yang akhir-akir ini banyak
mendukung perekonomian masyarakat. Berbagai sumber mengemukakan
bahwa maraknya perkembangan usaha agribisnis di Sanggalangit, juga
ditengarai sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat. Perkembangan
yang relatif pesat, ditandai dengan berkembangnya usahatani jagung dan
ternak sapi sebagai dampak dari implementasi Prima Tani di Sanggalangit.
Selain Koperasi, tumbuhnya berbagai kelompok tani dan kelompok peternak
sangat mewarnai perkembangan ekonomi di Sanggalangit. Tidak dapat
diabaikan, bahwa peran lembaga perkreditan desa juga sangat menonjol dalam
mendukung usahatani yang dijalankan masyarakat. Usahatani yang semakin
hari menunjukkan kemajuan, merupakan andalan perekonomian masyarakat,
yang bukan saja sebagai sumber nafkah keluarga, melainkan sudah mulai
mengarah pada usaha yang lebih berorientasi ekonomi.
4.3.2. Sistem Integrasi dan Religi Masyarakat Sanggalangit.
Sementara itu, sistem integrasi yang menonjol di Sanggalangit adalah
adanya sistem sosial banjar yang mengikat masyarakat dalam satu kesatuan
tempat tinggal yang terikat nilai-nilai tradisi. Sistem kekerabatan merupakan
salah satu unsur yang sangat menentukan sistem integrasi masyarakat.
Kelompok kekerabatan ini terdiri dari keluarga-keluarga dalam satu klen
(clan) berdasarkan riwayat keturunannya, dan lebih lanjut membentuk satu
“dadia” yang umumnya terikat dalam satu “pura tempat pemujaan bersama”
sistem kekerabatan dimaksud. Ikatan kekerabatan memiliki suatu ikatan
sosial yang masih kuat (strong ties), solidaritas yang relatif kuat, dan dicirikan
108
Universitas Indonesia
juga oleh nama marga (farm). Hal ini masih dijaga oleh anggotanya dengan
mencantumkan “farm” nya sebagai nama depan dari seseorang anggota sistem
kekerabatan tertentu. Nama-nama farm yang menojonjo misalnya Pasek”,
“Pande”, “Sangging”, dan yang lainnya.
Struktur sosial yang menonjol dicirikan juga oleh sistem religi dalam
masyarakat. Desa Sanggalangit secara administrasi terbagi dalam empat
banjar dinas, yang terdiri dari sembilan kelompok. Sebutan “kelompok”
ternyata menurut hemat peneliti sepadan dengan istilah “tempekan” untuk
sebutan bagian wilayah banjar yang jika dipadankan dengan sistem
pemerintahan daerah adalah setingkat RT. Dari sembilan kelompok (RT),
ternyata pada satu kelompok (RT) di Sanggalangit ditemui satu kelompok
masyarakat yang memeluk agama Islam, selebihnya adalah pemeluk agama
Hindu. Secara umum struktur sosial ditinjau dari sistem religinya juga relatif
homogen. Struktur sosial masyarakat tersebut, terbaur dalam satu ikatan
sosial dalam wadah banjar, yakni organisasi tradisi yang sangat erat
pertaliannya dengan masyarakat Bali pada umumnya. Meskipun terdapat satu
kelompok pemeluk Islam, secara umum dalam kegiatan banjar mereka
berbaur dengan “kerama banjar” atau anggota banjar lainnya, yang sebagian
besar memeluk agama Hindu. Kegiatan banjar yang bersifat “pelemahan”
atau yang bersifat sosial kemasyarakatan, tetap melibatkan seluruh anggota
banjar. Tidak dibedakan anggota yang memeluk agama Islam ataupun Hindu.
Salah satu informan menuturkan bahwa setiap kegiatan gotong royong di
desa, maka seluruh “kerama banjar” akan berbaur dan bahu-membahu
menyelesaikan pekerjaan bersama, demi kepentingan bersama. Jelas tampak
sistem integrasi dalam banjar mampu menyatukan kepentingan bersama, bagi
setiap anggotanya.
4.3.3. Sistem Stratifikasi Masyarakat.
Mencermati aspek struktural masyarakat di Sanggalangit, tentunya
tidak dapat dilepaskan dari penjelasan mengenai sistem stratifikasi sosial.
109
Universitas Indonesia
Masyarakat Bali pada umumnya telah sedemikian lekat dengan sistem
stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Sistem stratifikasi ini sejatinya
menekankan aspek okupasi yang dalam studi Sosiologi dianggap sebagai
kriteria dasar dari studi stratifikasi. Dalam konteks ini, sistem stratifikasi
sosial masyarakat di Bali disusun berdasarkan jenis pekerjaan masyarakatnya,
meskipun pada kenyataannya terdapat gejala kesalahpahaman atas konsep
kasta itu sendiri. Sistem kasata sering dimaknai sebagai sistem pelapisan
sosial berdasarkan status kelahiran (bersifat generatif) yang diturunkan dari
orang tuanya, sehingga permeabilitasnya relatif tertutup. Hal ini berbeda
dengan sistem stratifikasi yang memiliki permeabilitas terbuka, seperti di
Jakarta. Sutjatmiko (1996) mengemukakan hasil studinya bahwa ternyata
permeabilitas sistem stratifkasi masyarakat Jakarta relatif terbuka dan sistem
stratifikasinya bersifat multi strata berdasar okupasi yang tentunya
bertentangan dengan pendekatan Marxist yang memandang dikotomi dalam
stratifkasi (kelas yang memiliki dan tidak memiliki alat produksi).
Pada dasarnya sistem stratifikasi kasta di Bali terdiri dari empat kelas
yakni: (i) Brahmana yang menekuni perkerjaan di bidang keagamaan, (ii)
Kastria, kelas yang lebih menekankan profesinya dibidang kepemerintahan;
(iii) Weisya, adalah golongan karya yang menekuni usaha perekonomian, dan
(iv) Sudra, sebagai kelas masyarakat yang menghandalkan kekuatan fisik dan
ketaatan dalam bekerja membantu ketiga kelas yang disebutkan sebelumnya
(Santeri dan Wiana, 1982). Masyarakat Sanggalangit secara umum memaknai
stratifikasi sosial, terutama sistem kasta hanya berupa nilai tradisi yang tetap
dijaga tetapi tidak dipandang sebagai suatu yang berperan penting dalam
mempengaruhi kegiatan sosial ekonomi masyarakat saat ini. Pada beberapa
even, stratifikasi sosial masih dianut dan dikondisikan sebagai nilai-nilai
tradisi yang diwarisi dari pendahulunya. Akan tetapi, seiring dengan
dinamika masyarakat yang dikaitkan dengan kegiatan ekonomi saat ini,
stratifikasi sosial berdasarkan kasta yang dipahami saat ini, tidak lagi menjadi
penentu keberhasilan aktor dalam menjalani kegiatan sosial ekonominya.
110
Universitas Indonesia
Menurut beberapa informan dan didukung hasil pengamatan peneliti di
lapangan, hal itu didukung beberapa fakta empiris seperti penjelasan berikut.
Bahwa sebagian besar masyarakat telah memahami konsep “kasta” yang
sesuai dengan konsep agama Hindu yang dianutnya. Jika merujuk pada
sistem kasta yang sesuai dengan konsep kasta terdahulu, maka masyarakat
Sanggalangit terdiri dari dua golongan yaitu golongan “pragusti” yang sejajar
maknanya dengan kaum “weisya” dan golongan “jaba” yang ditandai gelar
nama “Gde, Putu, Made, Nyoman, Ketut” yang sejajar maknanya dengan
kaum “Sudra”. Interaksi antar kedua golongan itu, berjalan relatif harmonis
melali hubungan kerja usahatani atau sistem agribisnis di Sanggalangit.
Dinamika masyarakat yang ditandai dengan semakin berkembangnya
demokrasi dan globalisasi, membawa masyarakat Sanggalangit tidak lagi
memandang kasta sebagai suatu sistem stratifikasi sosial yang sedemikian
kaku. Akan tetapi, sebagai warisan budaya generasi pendahulunya,
masyarakat Sanggalangit tetap menempatkan sistem kasta sebagai suatu aspek
yang harus ditaati dalam konteks agama dan juga dalam berkehidupan sosial
yang berbasis banjar.
4.4. Dimensi Sejarah dan Konflik dalam Masyarakat.
Desa Sanggalangit merupakan desa dinas sekaligus desa adat yang
penduduknya sebagian besar adalah pendatang. Sebagian besar atau lebih
60% penduduk berasal dari Desa Seraya, Kabupaten Karangasem (KW,
September 2009). Selebihnya adalah penduduk asli dan juga pendatang dari
Kecamatan Seririt yang “Ngarangin” di Sanggalangit. Ngarangin adalah
istilah untuk penduduk pendatang yang membeli ataupun mewarisi lahan
pekarangan atau tanah milik leluhurnya, yang kemudian ditempati sebagai
rumah hunian keluarganya. Sedangkan pendatang dari Seraya menempati
lahan dengan “Nerabas”. Nerabasadalah kegiatan perambahan lahan untuk
selanjutnya dihuni dan sekaligus digunakan sebagai lahan pertanian. Baik
pendatang dari daerah sekitar maupun yang datang dari Seraya, bahu-
111
Universitas Indonesia
membahu dan berinteraksi dalam kegiatan berladang, yang masih
konvensional dengan menghandalkan usaha perladangan jagung dengan
teknik budidaya seadanya. Berlandaskan budaya kedua kelompok pendatang
yang masih diwarnai oleh nilai-nilai sistem kerama banjar, seperti umumnya
masyarakat Bali, maka perkembangan desa semakin diwarnai rasa
kebersamaan. Umumnya, pendatang dari kelompok pertama yang menghuni
wilayah di Sanggalangit dengan cara “Nerabas” adalah petani yang terpaksa
meninggalkan daerah asalnya untuk mengadu nasib di tempat lain. Dalam
pandangan masyarakat Bali, hal itu dikenal dengan istilah “Ngumbara” yakni
pergi merantau untuk memperjuangkan kehidupannya. Pada konteks itu
terdapat semacam spirit untuk hidup, dilandasi rasa ingin berjuang, bertahan,
dan meningkatkan kehidupannya. Sementara kelompok pendatang yang
kedua, adalah pendatang dari daerah sekitar, terutama dari Seririt. Terkait
dengan itu, salah satu informan mengemukakan bahwa sampai saat ini
penguasaan lahan di Sanggalangit juga masih ada yang dikuasai dan dimiliki
oleh penduduk luar desa, termasuk dari Seririt. Jika dipandang dari sistem
“kasta” seperti yang dikemukakan pada subbab sebelumnya, tampak bahwa
terdapat dua ketegori dalam pelapisan sosial masyarakat, yakni pendatang
dengan “Ngumbara” adalah kaum “Sudra” sebagai pekerja dan petani,
sementara pendatang dari Seririt yang “ngarangin” di Sanggalangit adalah
kaum “Weisya” yakni kaum wiraswasta yang relatif memiliki modal berupa
lahan pertanian. Dalam perkembangan terakhir seiring dengan semakin
maraknya dinamika pembangunan, maka saat ini di Sanggalangit juga dapat
ditemui pendatang baru, bahkan ditinjau dari agamanya pun berbeda dengan
penduduk sebelumnya. Penduduk itu adalah pemeluk Islam yang tinggal di
RT 9, yang masih termasuk dalam banjar Tukad Pule, Desa Sanggalangit.
Kehadiran pendatang “kelompok ke tiga” ini lebih banyak disebabkan karena
perkembangan dermaga kapal-kapal kecil semacam pelabuhan di Desa
Telukan Bawang, yakni desa tetangga Sanggalangit yang berjarak sekitar
112
Universitas Indonesia
tujuh kilometer. Sebagian besar dari mereka adalah nelayan dan pedagang
ikan di Telukan Bawang dan berdomisili di Sanggalangit.
Gambaran struktur masyarakat Sanggalangit yang dikemukakan di
atas, ternyata tidak menimbulkan gesekan-gesekan yang berarti. Informasi
dari sumber data penelitian ini (KW, dan beberapa informan lainnya)
menyatakan bahwa wadah banjar sebagai persekutuan hidup bersama ternyata
mampu mengikat dan mempersatukan mereka. Menurut mereka, seluruh
anggota banjar baik pemeluk Hindu maupun agama lainnya, dalam seluruh
kegiatan hak dan kewajibannya sebagai anggota banjar dinas, adalah sama
dengan anggota banjar lainnya. Hak dan kewajiban akan berbeda dan diatur
oleh banjar adat dalam hal kegiatan “Parahyangan” yakni kegiatan keagamaan
dalam konteks Hindu. Kegiatan yang terutama menyangkut kegiatan
pelemahan adalah sama. Kegiatan pelemahan adalah kegiatan sosial
masyarakat seperti gotong royong, tedun atau ngayah di banjar juga sama
dengan anggota lainnya. Jadi sebenarnya “banjar” disini lebih dominan
perannya dalam kegiatan masyarakat yang bersifat keagamaan dan adat saja,
meskipun juga saat ini mulai diberdayakan pemerintah untuk mewadahi
kegiatan-kegiatan lainnya. Oleh karena itu banjar juga merupakan wadah
kesatuan hidup warga, perkumpulan sosial, ataupun organisasi sosial
tradisional yang berfungsi mengatur kerjasama antar anggota banjar dalam
kegiatan keagamaan, adat, pemerintahan, bahkan kegiatan ekonomi yang
dilandasi rasa kekeluargaan, gotong royong dan kebersamaan. Berlandaskan
nilai-nilai banjar yang kemudian dituangkan dalam awig-awig ternyata
mampu membawa kerama banjar ke arah tujuan bersama tanpa menimbulkan
konflik dalam masyarakat.
4.5. Banjar dan Posisinya dalam Pemerintahan di Propinsi Bali.
Penetapan Propinsi Bali sebagai daerah penelitian diakukan secara
sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan beberapa aspek, terutama
menyangkut dinamika pembangunan pertanian umumnya, serta
113
Universitas Indonesia
pengembangan sistem dan usaha agribisnis secara khusus yang dikaitkan
dengan kesejahteraan masyarakat. Pertimbangan utama dari pemilihan lokasi
penelitian juga didasari atas kondisi pembangunan pertanian saat ini yang
cenderung menampakkan gejala semakin terpinggirkannya pembangunan
pertanian, sebagai akibat dari semakin pesatnya pembangunan sektor lainnya,
serta kendala semakin berkurangnya tenaga kerja sektor pertanian maupun
menurunnya dukungan kualitas sumberdaya pertanian. Saat ini, Bali
menghadapi semacam dilema yang mengarah pada dualisme pandangan antara
yang menekankan pembangunan melalui pelestarian budaya dan “keajegan”
Bali sebagai kelompok inward looking, dengan pandangan kelompok yang
mementingkan peningkatan keterbukaan (kelompok outward looking) dalam
pembangunan, terutama di sektor pengembangan pariwisata. Dualisme
pandangan itu, semakin terbuka dan diwacanakan dalam berbagai kesempatan
diskusi perencanaan pembangunan maupun diekspose dalam berbagai media
cetak maupun elektronik di Bali.
Sebelum lebih lanjut memaparkan fenomena dinamika pengembangan
agribisnis yang dikaitkan dengan representasi kapital dan kualitas hidup
(Quality of Life/QoL) komunitas banjar, peneliti perlu mengemukakan
bahwa dalam studi ini salah satu teknik pengumpulan data kualitatif yang
diterapkan adalah dengan melakukan wawancara mendalam, selain observasi
lapangan di lokasi penelitian. Pemahaman dan inter-subyektifitas antara
peneliti dengan subyek penelitian (tineliti) terhadap pemaknaaan realitas
sosial antara lain saya lakukan dengan mengintegrasikan pengalaman peneliti
dengan subyek penelitian. Pengalaman peneliti dalam konteks ini meliputi
upaya mengumpulkan, mengingat, dan menafsirkan kembali pengalaman
pribadi peneliti sebagai subyek sistem sosial, dalam hal ini sistem sosial
banjar di Bali, sehingga peneliti lebih dapat memahami berbagai ragam aspek
sosial dalam komunitas banjar yang diteliti. Beberapa aspek saya yakini dapat
mempermudah dan membantu peneliti, yakni peneliti merupakan subyek
kebudayaan dari komunitas banjar, sehingga peneliti menjamin adanya
114
Universitas Indonesia
kesamaan bahasa antara peneliti dengan tineliti, sehingga dapat memperkecil
resiko kekeliruan tafsir atas upaya memahami makna tindakan sosial aktor
dalam komunitas agribisnis. Kemudian aspek tujuan, yaitu pengumpulan dan
penafsiran kembali pengalaman pribadi subyek peneliti bertujuan untuk
memahami berbagai aspek sosial dalam komunitas subyek tineliti. Terakhir
adalah aspek kegiatan, bahwa pengumpulan dan penafsiran kembali
pengalaman pribadi peneliti meliputi seluruh pengetahuan, sikap, dan
tindakan peneliti sebagai subyek sistem sosial banjar. Ketiga aspek itu sesuai
dengan kegiatan penelitian ini, mengingat studi ini dilakukan pada komunitas
banjar di Bali, sementara peneliti adalah salah seorang anggota komunitas
Banjar di Bali, mengingat peneliti lahir dan besar hingga mengenyam
pendidikan sekolah menengah pertama di Bali. Peneliti lahir di sebuah banjar
di Kabupaten Bangli (bahkan mungkin kurang lazim, dalam dokumen resmi
akte kelahiran peneliti disebutan tempat lahir di Banjar Pule, Kecamatan
Bangli), salah satu kabupeten di Bali yang lokasinya lebih kurang berkisar 79
kilo meter dari lokasi penelitian di Kabupaten Buleleng. Selepas pendidikan
sekolah menengah pertama, peneliti melanjutkan studi pada salah satu
Sekolah Mengenah Atas Negeri di Bogor, dan lebih lanjut menempuh studi di
suatu perguruan tinggi negeri di Bogor, dan hingga saat ini menetap di Bogor.
Meskipun demikian, peneliti masih terikat sebagai anggota salah satu
komunitas banjar di Bali, dan pada setiap kesempatan yang ada selalu
berkunjung ke lokasi banjar peneliti, terutama dalam memenuhi kepentingan
ber”adat” dan berkehidupan agama Hindu di Bali. Pengalaman pribadi
sebagai salah satu anggota banjar secara keseluruhan memudahkan peneliti
untuk memahami kehidupan komunitas banjar di Bali. Dengan demikian
peneliti tidak mesti belajar terlalu keras untuk memahami sistem sosial banjar,
mengingat sebagian besar hal-hal itu telah terinternalisasi dalam diri peneliti,
sehingga peneliti meyakini bahwa pemahaman atas realitas sosial subyek
penelitian akan menjadi valid, karena saya sebagai peneliti sekaligus
merupakan “instrumen” dalam studi mengenai dinamika pembangunan
115
Universitas Indonesia
pertanian, khususya pengembangan agribisnis berbasis banjar dan
pengaruhnya terhadap QoL.
Dinamika pembangunan di Bali tidak terlepas dari keberadaan banjar
sebagai organisasi tradisional yang sedemikian eksis pada hampir seluruh
wilayah di Bali. Banjar sebagai unit organisasi tradisional sedemikian dikenal
dan melekat, diakui, dihargai dan ditaati sebagai wadah berkehidupan sosial
oleh masyarakat Bali, hingga hampir seluruh aktivitas aktor komunitas banjar
sangat diwarnai oleh keberadan banjar itu sendiri. Setiap warga banjar sangat
tergantung dengan banjarnya, yang erat pertaliannya dengan adat dan agama
Hindu yang dianut masyarakat Bali. Berikut ini adalah hasil wawancara
mendalam dengan informan penelitian, yang intinya mengemukakan
sedemikian tingginya ikatan warga dengan banjarnya.
“Sejak baru lahir hingga saatnya nanti pergi ke karang wayah (meninggal dunia),
seseorang warga banjar akan selalu terikat dalam kehidupan adat dan agama Hindu
Bali. Sejak berabad-abad yang silam hingga saat ini, ikatan sosial dan solidaritas
komunitas banjar di Bali dikenal sedemikian kuatnya mempengaruhi segala
aktivitas anggotanya, bahkan banjar sering kali merupakan bagian dari
pembangunan masyarakat”, demikian penjelasan beberapa warga (informan)
dalam satu kesempatan wawancara (KW dan KS, September 2009). Lebih lanjut
juga dijelaskan bahwa: “Banjar merupakan organisasi tradisi masyarakat
Bali pada umumnya, meskipun terdapat sedikit perbedaan antar
“banjar” di beberapa daerah di Bali sejalan dengan dinamika
perkembangan jaman. Tetapi pada dasarnya banjar merupakan
perkumpulan atau wadah masyarakat Bali dalam melaksanakan
kegiatan: (i) kegiatan yang terkait dengan Parahyangan, yaitu kegiatan
yang terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan yang dilandasi
Agama Hindu; (ii) kegiatan Pelemahan, yakni aktivitas masyarakat
Bali yang terkait dengan berwilayah (administrasi pemerintahan); serta
(iii) aktivitas Pawongan, kegiatan yang berhubungan dengan
116
Universitas Indonesia
kemasyarakatan. Kegiatan pertama sangat kental dengan nuansa
Hindu dan kegiatan kedua maupun ketiga merupakan kegiatan yang
kental dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat” demikian
pengungkapan salah satu tokoh masyarakat di lokasi penelitian yang
peneliti catat dalam field notes dan personal journal dalam wawancara
pendahuluan penelitian ini.
Pada dasarnya banjar berada di bawah desa, yakni banjar adat di
bawah keberadaan bendesa desa adat, sementara banjar dinas setingkat Rukun
Warga/RW berada di bawah pemerintahan desa. Seseuai dengan Undang-
Undang RI Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang lebih lanjt mengaur tetang
pemerintahan desa, maka desa berhak mengatur rumahtangganya sendiri.
Sementara itu, pada tahun 1981 terbitlah Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri No.5/1981) tentang pembentukan dusun dalam desa, atau
lingkungan dalam kelurahan), maka dusun atau lingkungan yang dimaksud
untuk wilayah pemerintahan desa di Bali adalah banjar, seperti yang diatur
dalam PERDA Bali Nomor 06 Tahun 1986. Sejatinya, sebelum perundang-
undangan mengenai pemerintahan desa ataupun kelurahan dan perangkat di
bawahnya terbit, banjar sudah ada dan dikenal masyarakat Bali sejak
berabad-abad yang lampau (Gambar 4.3).
117
Universitas Indonesia
PemerintahKabupaten-Kabupaten
PemerintahPropinsi Bali
Kecamatan
Desa Dinas/Kelurahan
Banjar Dinas/Dusun
Desa Adat
Banjar Adat Banjar Adat
Desa Adat
Anggota KomunitasBanjar (Kerama Banjar) Garis Koordinasi: ------
Garis Komando _____
Gambar. 4.3. Struktur Pemerintahan Desa dan Kedudukan Banjar di Bali(Disarikan dari berbagai sumber, terutama Perda BaliNo.06/1986)
Pengakuan dan eksistensi banjar sebagai unsur pembangunan semakin
meningkat, bahkan terdapat kesan semakin pentingnya peran banjar dalam
pembangunan dikuatkan dengan terbitnya PERDA Bali No.06/1986 yang juga
mengatur kedudukan, fungsi, dan peran Desa Adat sebagai kesatuan hukum
adat di Bali. Sebelumnya, terdapat peraturan perundang-undangan (PERDA
Bali No.18/Kesra.II/C.119/1979) yang mengatur mengenai adanya Majelis
Pembina Lembaga Adat (MPLA) yang berfungsi melakukan penataan,
pembinaan, dan pengembangan terhadap organisasi kemasyarakatan
khususnya desa dan banjar adat mulai dari tingkat propinsi, kabupaten, hingga
kecamatan.
118
Universitas Indonesia
Dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahaan yang terkait dengan
dinamika pembangunan nasional, maka banjar berperan secara partisipatif.
Berdasar bekal semangat “ngayah” yang identik dengan sifat
kegotongroyongan dan bhakti terhadap Tuhan berdasar nilai-nilai dan potensi
banjar yang ada, sifat kemandirian, keswadayaan, kebersamaan, dan ikatan
tradisi yang kuat, maka banjar tampak interaktif dalam dinamika
pembangunan.
“Rasa semangat berbanjar bagi kami ‘kerama banjar’ (warga) banjar
terus dipertahankan dan ditingkatkan, seiring dengan semakin
tingginya penghargaan yang diterima sebagai tanda keberhasilan
banjar kami mendukung segala kegiatan pembangunan. Ini kelihatan
saat dalam berbagai lomba desa ataupun lomba kelompok usahatani
kami disini, baik ditingkat kabupaten maupun propinsi, sering
diperhitungkan”. Pernyataan ini peneliti catat dari hasil percakapan
kami secara spontan dalam kesempatan bertemu dengan beberapa
petani anggota banjar, baik dalam pertemuan informal di lahan
pertanian, di rumahnya, serta dalam kesempatan formal pertemuan
kelompok (Hasil Wawancara, September 2009)
Prestise dan penumbuhan rasa semangat berbanjar tampak memiliki
kecendrungan yang semakin meningkat dengan adanya tantangan dari luar,
seperti halnya dalam mengikuti berbagai lomba yang diselenggarakan
lembaga tertentu dalam lingkup pemerintah propinsi maupun kabupaten.
Lomba desa yang masih secara berkesinambungan diselenggarakan juga dapat
digunakan sebagai instrumen untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan
ataupun kegagalan desa adat dan desa dinas dalam membangunan, sekaligus
dapat menggambarkan kemampuan banjar menggerakkan potensinya,
partisipasi anggota komunitasnya, interaksi, maupun ko-aksi warga banjar.
Hal ini tidak terlepas dari pengamatan peneliti selama pelaksanaan penelitian.
119
Universitas Indonesia
Pada konteks penyelenggaraan pemerintahan desa yang didalamnya
terkandung potensi dan peran banjar, terdapat satu fenomena yang berbeda
dengan kebanyakan desa dan banjar di Bali, yakni mengenai homogenitas
anggota komunitas yang ditinjau dari sudut agama yang dipeluknya. Aspek
ini perlu ditekankan mengingat sepanjang pengetahuan peneliti, umumnya
banjar-banjar di Bali anggotanya adalah pemeluk Hindu. Pada satu
kesempatan wawancara dengan informan, ternyata dilokasi penelitian ada
banjar yang beranggotakan dari pemeluk agama lain.
“Dalam hal ini, Desa Sanggalangit terdiri dari 9 (sembilan) RT, yakni
RT 01 dan 02 yang identik dengan banjar Kayuputih. Kemudian ada
RT 3 dan RT 4 yang juga adalah banjar Taman Sari. Lantas ada RT 5
dan RT 6 yang merupakan banjar Wana Sari. Sedangkan RT 7, RT 8
dan RT 9 adalah banjar Tukad Pule. Di banjar Tukad Pule, satu RT
yakni RT 9 adalah RT yang penduduknya adalah hampir 100%
merupakan muslim (Pemeluk Agama Islam)”,demikian penjelasan
informan (KW, September 2009) dalam kesempatan wawancara
dengan peneliti.
Selain mengenai identitas keagamaan yang dipeluk oleh anggotanya,
ternyata masyarakat di Sanggalangit mengenal istilah “RT” (Rukun Tetangga)
yang sering dijumpai pada komunitas masyarakat di luar Bali, terutama di
Jawa. Meskipun demikian, menurut pengamatan dan penjelasan beberapa
informan, semangat berbanjar masih tetap terjaga meskipun partisipasi warga
banjar non Hindu hanya terfokus pada aktivitas banjar yang bersifat
“pelemahan” atau kegiatan-kegiatan administrasi kepemrintahan, gotong
royong, dan aktivitas lain dalam kehidupan sosial ekonomi warga, disamping
aktivitas banjar yang bersifat “pewongan” yang terkait dengan hubungan antar
manusia, yakni aktor anggota komunitas banjar. Khusus untuk aktivitas
120
Universitas Indonesia
banjar yang sifatnya “keparahyangan” yakni aktivitas yang terkait keagamaan
dan adat, maka hanya didukung oleh warga banjar yang beragama Hindu.
Dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan dan partisipasi pembangunan,
tidak tampak dan belum ada gesekan yang berarti, termasuk dalam
mendukung program pembangunan sektor pertanian, khususnya
pengembangan sistem dan usaha agribisnis pedesaan di Bali.
4.6. Fleksibilitas Banjar dalam Mewadahi Kebijakan PembangunanPertanian Terpadu di Bali.
Pemberdayaan potensi banjar dalam pembangunan pertanian di Bali
sering dijadikan pertimbangan utama, mengingat banjar memiliki
kecendrungan sebagai organisasi tradisi masyarakat Bali yang bersifat lentur
atau fleksibel mewadahi segala aktivitas warganya, yang masih lekat dengan
nilai-nilai dan semangat tradisinya. Pada kerangka itu, beberapa aspek yang
menjadi fokus perhatian secara umum meliputi unsur potensi fisik banjar,
unsur nilai banjar, kepemimpinan dalam banjar, dan sumberdaya manusia
banjar. Unsur fisik banjar pada hakekatnya merupakan sarana fisik yang
mendukung segala kegiatan banjar. Berdasarkan pengamatan, hampir semua
banjar di Bali memiliki balai banjar, yang merupakan wahana bertemunya
warga banjar maupun dalam mewadahi segala aktivitas dari aktivitas
keagamaan, sosial, budaya, hingga aktivitas ekonomi warga banjar. Pada
lokasi penelitian yakni di Desa Sanggalangit-Kecamatan Grokgak juga
tampak sedemikian penting dan strategisnya fungsi balai banjar bagi
kelancaran kegiatan banjar. Fungsi yang utama dan dimana pun di seluruh
Bali, masih menggunakan balai banjar sebagai tempat “paruman banjar”,
yakni acara rapat atau musyawarah bagi seluruh anggota banjar yang wajib
diikuti oleh segenap pengarep banjar, dan diadakan setiap satu bulan sekali
(35 hari). Terkadang balai banjar juga dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi
seperti tempat pelelangan hasil produksi pertanian yang dimiliki banjar, serta
juga terkadang untuk kegiatan formal yang difasilitasi pihak luar banjar,
122
Universitas Indonesia
lain seperti “kulkul” yang menjadi alat komunikasi bagi warga banjar dengan
banjar.
Unsur berikutnya adalah nilai-nilai banjar yang diyakini setiap
anggota banjar (kerama banjar) sebagai pedoman berperilaku dalam
kehidupan berbanjar. Nilai-nilai itu berlandaskan “Catur Dresta” yakni
empat ketentuan yang mendasari seluruh kegiatan berbanjar dan terdiri dari:
(i) Kuna Dresta, sebagai nilai-nlai yang diwarisi dan bersumber dari leluhur;
(ii) Loka Dresta, yang merupakan nilai-nilai universal yang juga diakui oleh
negara maupun dunia secara umum; (iii) Desa Dresta adalah ketentuan-
ketentuan yang bersumber dari tradisi lokal setempat, yang tentunya berbeda
antar satu banjar dengan banjar lainnya; dan (iv) Sastra Dresta, sebagai
ketentuan-ketentuan yang bersumber dari sastra-sastra ilmu pengetahuan suci
ataupun dari kitab suci. Seperti umumnya banjar-banjar di Bali, empat
ketentuan itulah yang mendasari “Awig-awig”, yakni sejenis peraturan
perundang-undangan atau anggaran dasar dan rumahtangga banjar, yang
menjadi dasar hukum utama kehidupan berbanjar. Dalam “awig-awig” banjar
secara rigid ditemukan beberapa aturan mengenai keanggotaan banjar,
kewajiban anggota banjar yang disebut “tetegenan” , hak anggota yang
dikenal dengan sebutan “kepatutan”. Menurut sumber yang peneliti hubungi
untuk konteks ini, nilai-nilai tersebut senyatanya dapat dikelompokkan
menjadi tiga ciri nilai yang terdiri dari niali kebersamaan, nilai kebaktian
(terkait dengan hubungan anggota banjar dengan agama), serta nilai kesatuan.
Ketiga nilai itulah yang peneliti amati sebagai gambaran nilai-nilai komunitas
agribisnis berbasis banjar yang dapat menjelaskan bagaimana semangat warga
banjar dalam mempertahankan identitas banjar, disamping adanya keinginan
untuk terus memajukan banjarnya secara adaptif dan fleksibel terhadap
perubahan-perubahan jaman, terutama pada era globalisasi ini.
Unsur kepemimpinan banjar merupakan hal yang juga perlu
dipertimbangkan dalam kegiatan-kegiatan membangun banjar. Pemimpin
utama di banjar adalah “kelian banjar”, yang secara harfiah berarti orang yang
123
Universitas Indonesia
dianggap pemimpin dan dituakan (dalam bahasa Bali, kelian berasal dari kata
“kelih” yang berarti tua). Akan tetapi saat ini maknanya sudah bergeser,
yakni pemimpin banjar “kelian” sudah ditentukan atau dipilih secara
demokratis dan menjabat dalam beberapa periode tertentu, menurut awig-awig
yang berlaku. Selain kelian banjar, unsur kepemimpinan banjar terdiri dari
“sinoman” yang tugasnya membantu kelian dalam berbagai aktivitas banjar,
terutama dalam memberikan “arah-arah” atau informasi bagi anggota banjar.
Selain itu struktur kepemimpinan banjar dilengkapi dengan “prajuru banjar”
yang membantu aktivitas banjar menurut seksi-seksi tertentu. Contohnya
adalah “Undagi” yang membantu kegiatan pembangunan sarana fisik banjar,
atau ada juga yang disebut “pemangku” yang bertangung jawab atas kegiatan
keagamaan di Pura desa. Unsur kepemimpinan banjar sangat strategis dalam
pengelolaan banjar yang meliputi manajemen perencanaan, pendelegasian
tugas, koordinasi, maupun kontrol atas kehidupan berbanjar. Dalam struktur
kepemerintahan, banjar juga berperan dalam hubungan struktural vertikal,
yakni ke atas berhubungan dengan desa adat dan desa dinas bahkan sampai ke
pusat. Sedangkan ke bawah adalah hubungannya dengan anggota banjar.
Selain itu unsur kepemimpinan banajr juga menentukan bagaimana hubungan
horizontal yang tercermin dalam hubungan banjar dengan banjar lainnya
dalam satu desa. Pada konteks ini, peneliti memaknai adanya aspek
pendelegasian, koordinasi, dan interaksi pengurus dengan anggota banjar
dalam dua hal, yaitu: (i) dalam hal mengelola aspirasi menjadi suatu gerakan
warga banjar dalam membangun banjar; dan (ii) dalam hal menerima pesan-
pesan pembangunan yang selanjutnya dimusyawarahkan dalam “paruman
banjar” serta memutuskan tindakannya.Di luar itu, kepemimpinan banjar
juga diwarnai oleh adanya tokoh-tokoh banjar yang peneliti sebut sebagai
agen pembaharuan, terutama dalam konteks pengembangan agribisnis di
lokasi penelitian. Toko-tokoh itu relatif muda dengan visi yang relatif luas
dan mampu beradaptasi dengan dinamika pembangunan. Beberapa informan
dalam studi ini, dapat digolongkan sebagai pemimpin pembaharu yang dapat
124
Universitas Indonesia
memadukan potensi banjar dengan dinamika pembangunan desanya. Aktor-
aktor itulah yang dalam pengamatan peneliti memegang peranan yang sangat
penting dalam menerima inisiasi program ataupun kebijakan ekternal banjar,
yang kemudian dengan polanya mampu menarik partisipasi warga banjar
lainnya untuk lebih berpartisipasi dan turut terlibat dalam pengembangan
agribisnis.
Unsur banjar yang juga penting adalah sumberdaya manusia yakni
seluruh anggota banjar. Sumberdaya manusia banjar dipandang dari aspek
bagaimana mereka bertindak sebagai anggota banjar, dan juga bagaimana
mereka memenuhi kebutuhan hidupnya, yang menunjukkan sejauh mana
kualitas hidup mereka. Unsur manusia banjar sangat penting dijadikan
pertimbangan dalam perencanaan hingga operasionalisasi program dan
kegiatan pembangunan, mengingat pembangunan dalam hal ini
pengembangan agribisnis pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan
kualitas hidup sumberdaya manusia, yang diindikasikan dengan bagaimana
mereka memenuhi kebutuhan fisiologis dan biologis akan kecukupan pangan,
sandang, dan papan; kebutuhan akan rasa aman; kebutuhan berkehidupan
sosial dalam menjalin hubungan sosial; kebutuhan akan eksistensi diri; serta
kebutuhan akan aktualisasi diri dalam kehidupan berbanjar.
Oleh karena itu pengembangan agribisnis pedesaan di Bali tidak terlepas dari
pertimbangan-pertimbangan pemanfaatan dan pemberdayaan unsur-unsur pembangunan
yang tersedia di banjar. Unsur fisik, nilai-nilai berbanjar, serta unsur kepemimpinan banjar
adalah aspek sosial di tataran messo yang mesti dicermati dalam proses pengembangan
agribisnis. Bagaimana lingkungan kebijakan (policy environment) mengintegrasikan
aturan-aturan formal (formal rules) dalam hal kebijakan pengembangan agribisnis di level
makro, meliputi kebijakan dan regulasi pengembangan agribisnis yang dirumuskan oleh
pemerintah pusat, dalam hal ini oleh Departemen Pertanian. Selanjutnya, secara lebih riil
pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten melalui lembaga dan instansi terkait, masih
pada tataran makro dapat mensinkronkan kebijakan hingga sesuai dan terintegrasi dengan
125
Universitas Indonesia
unsur-unsur banjar yang telah disinggung di muka. Hal ini mencerminkan adanya
integrasi antara unsur-unsur baru dalam perencana pembangunan desa melalui
pengembangan agribisnis dengan kebiasaan-kebiasaan sosial yang ada. Mengenai aspek
perencanaan dan pelaksanaan pengembangan agribisnis di Buleleng, beberapa pejabat di
wilayah pemerintahan kabupaten mengemukakan pendapatnya pada saat peneliti secara
singkatmenemuinya.
“Jika adik dari Deptan, tentunya mengerti bagaimana BPTP Bali
bersama Dinas terkait pembangunan pertanian bahu membahu
merancang kegiatan (..seperti Prima Tani di Sanggalangit), dan terus
dikembangkan di daerah lain, terutama daerah-daerah yang masih
relatif tertinggal (seperti di desa Musi-Gerokgak), sehingga pendapatan
mereka diharapkan dapat ditingkatkan sejalan dengan pengembangan
usaha yang didasari teknologi inovatif yang terus berkembang,
dukungan kelembagaan petani berdasarkan organisasi sosial tradisi
yang telah ada, yakni banjar, subak, maupun pemberdayaan sekeha-
sekeha di desa, yang tentunya tidak mengabaikan kebutuhan petani”
(Hasil Wawancara dengan GA dan S, September 2009).
Pernyataan tersebut di atas selaras dengan salah satu pendapat
informan, yakni petani anggota banjar di Sanggalangit yang menyebutkan
bahwa setiap rencana kegiatan yang dilakukan didesanya umumnya diketahui
dari banjar, melalui pertemuan (paruman) banjar. Berikut adalah hasil
wawancara dengan informan AR (September 2009)
“Bagusnya lagi Pak, rencana kegiatannya secara terbuka disampaikan
kepada kita, umumnya dari pertemuan di Banjar dan di kelompok. Ini
yang membuat kami merasa diajak, dibantu juga, dan dibina sesuai
kemampuan kami disini dan juga sesuai kebutuhan kami. ... Tentunya
126
Universitas Indonesia
semangat menjadi meningkat, dan perlahan frustasi berubah menjadi
harapan,-optimisme”.
Penjelasan itu mencerminkan bagaimana pemerintah sebenarnya telah
melakukan berbagai kegiatan pembangunan salah satunya adalah dengan
mengintegrasikan kebijakan pengembangan agribisnis dan relasi informal di
level messo dalam hal ini “banjar”, maupun dengan mempertimbangkan
kebutuhan aktor petani di level mikro. Pada kasus operasionalisasi program
Prima Tani ataupun program terpadu lainnya, memang pendekatan kebijakan
pengembangan program tetap dari atas (top-down), dengan inisiasi suatu
kegiatan. Meskipun demikian, seperti yang tertuang dalam petunjuk teknis
pelaksanaan Prima Tani, maka setiap kegiatan dan juga penentuan lokasi
kegiatan di suatu desa ditetapkan dengan suatu mekanisme formal di
lingkungan kebijakan. Diawali dengan kegiatan orientasi lokasi, identifikasi
masalah, potensi lokal, serta melakukan pendekatan partisipatif terhadap
masyarakat, barulah kemudian ditetapkan rencana kegiatan dan lokasi
kegiatan. Sekiranya masyarakat petani menerima dan berpartisipasi dalam
Prima Tani, maka tahap awal itu dilanjutkan dengan rencana lain yang tetap
fokus pada pengembangan agribisnis berbasis inovasi teknologi dan
pengembangan kelembagaan berbasis komunitas, hingga tahap tertentu
sejalan dengan rencana holistik pengembangan agribisnis pedesaan. Proses
keberlanjutan Prima Tani terus terjaga seiring dengan semakin bertambahnya
jumlah stakeholders yang berpartisipasi, terutama dari pemerintah daerah
maupun pihak swasta., serta keterlibatan petani dalam mendukung
pengembangan usahataninya. Keterlibatan petani mulai dari awal, yakni
tahapa perencanaan kegiatan merupakan elemen penting dalam mencapai
keberhasilan kegiatan. Oleh karena itu menurut informan dari BPTP Bali,
proses perencanaan kegiatan merupakan tahapan yang penting dan
menentukan keberhasilan dan keberlanjutan kegiatan, yang jelas bertujuan
untuk mengembangkan potensi lokal masyarakat. Dalam kerangka
127
Universitas Indonesia
operasional, kita mengenal mekanisme perencaaan pembangunan yang diatur
dalam UU No. 25 Tahun 2004 mengenai Perencanaan Pembangunan
Nasional, yakni mulai dari pelaksanaan Musrenbang (Musyawarah
Perencanaan Pembangunan) mulai dari perencanaan ditngkat kecamatan
hingga di level nasional. Pelaksansaan musyawarah perencanaan
pembangunan juga melibatkan masyarakat desa, yang selanjutnya dibahas di
itngkat kecamatan. Pada konteks ini perlu dikemukakan satu petikan
wawancara dengan anggota DPRD Bali seperti berikut.
“Secara normatif dan terkesan formalitas saja, Ya tentu dilakukan.
Tetapi apakah substansi dan maksud mekanisme perencanaan itu
tercapai. “Saya kemukakan secara resmi pada forum di DPR Propinsi
bahwa kesesuaian antara potensi, keinginan, dan kebutuhan riil
masyarakat petani harus diperhatikan. Demikian juga aspek sosial
budaya masyarakat mesti disinkronkan dengan kebijakan yang
direncanakan”. Demikian pernyataan informan (WKS) pada
kesempatan wawancara dengan peneliti (10 Oktober 2009), ketika
ditanyakan mengenai bagaimana mekanisme perencanaan yang dikenal
melalui musyawarah perencaaan pembangunan daerah
(Musrenbangda) dilakukan oleh segenap unsur perencanaan termasuk
keterlibatan masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Desa di lokasi penelitian,
keterlibatan masyarakat relatif menunjukkan peningkatan. Masyarakat sudah
mulai menunjukkan antusiasmenya dalam proses pengusulan kegiatan, yang
didasari kepentingan bersama. Petikan wawancara yang mendukung
pernyataan di atas adalah seperti berikut:
“Secara umum kami beserta perangkat desa selalu menggali aspirasi
warga tentang rencana dan kebutuhan yang perlu difasilitasi
pemerintah desa. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan relatif
128
Universitas Indonesia
luas Pak. Hal ini penting karena dalam setiap pertemuan perencanaan
pembangunan di kecamatan selalu didasarai atas aspirasi warga”
(Kades, Maret 2010)
Berjalannya mekanisme perencanaan dari bawah, meskipun belum
optimal dijelaskan lebih lanjut oleh informan dengan memberikan contoh
keberhasilan rencana pembangunan sarana desa, penunjang kegiatan bersama.
Salah satu yang dicontohkan adalah berkembangnya Pos Kesehatan
Masyarakat Desa, yang menurut pengamatan peneliti juga relatif berkembang
dan aksesnya cukup merata bagi warga Sanggalangit. Selain itu, usulan
kegiatan non fisik, juga banyak disampaikan oleh warga masyarakat desa.
Adapun contoh yang dikemukakannya adalah mengenai pengembangan
lembaga perkreditan desa (LPD). Kantor lembaga ini terletak disebelah kantor
kepala desa. Dalam pengamatan peneliti, pemberdayaan lembaga ini cukup
memadai, dan mendapat dukungan dari warga desa. Usulan kegiatan yang
sangat menonjol adalah dalam bidang pengembangan agribisnis.
Pengembangan agribisnis yang didukung pelaksanaan Prima Tani di
Sanggalangit, relatif mampu memberikan kontribusi kepada semakin
berkembangnya usahatani masyarakat yang didukung inovasi teknologi dan
kelembagaan agribisnis pedesaan. Gejala berkembangnya kelompok-
kelompok tani dan kelompok peternakan merupakan buah pengembangan
kelembagaan Prima Tani. Kelompok-kelompok itu pun semakin berkembang
jumlahnya maupun kualitas pengelolaanya. Saat ini kelompok-kelompok tani
dan ternak di Sannggalangit juga tumbuh menjadi organisasi petani yang lebih
besar dan kompleks dengan terbentuknya gabungan kelompok tani
(Gapoktan). Hal ini peneliti cermati sebagai suatu proses sebagai akibat
adanya fleksibilitas banjar dalam menerima unsur-unsur yang bersifat
kebaruan. Contohnya adalah perkembangan kelompok tani yang sedemikian
cepat, menunjukkan bahwa banjar dapat menerima unsur-unsur pembangunan
129
Universitas Indonesia
seperti tumbuhnya kelompok dan gabungan kelompok tani dalam mendukung
pengembangan agribisnis.
Dalam pelaksanaan kegiatan Prima Tani, aspek pengembangan
kelembagaan khususnya pengembangan kelompok tani menunjukkan
peningkatan yang luar biasa. Jumlah petani yang berpartisipasi dan terlibat
dalam pengembangan kelompok-kelompok tani-ternak di Desa Sanggalangit
dari tahun ke tahun terus bertambah. Tahun 2005 sebanyak 64 orang petani
mulai tergabung ke dalam 3 kelompok tani. Tahun berikutnya 2006 sudah
tercatat 212 orang yang tergabung ke dalam 8 kelompok tani. Selanjutnya
tahun 2007 kelompok tani sudah berkembang menjadi 16 kelompok.
Selanjutnya ke enam belas kelompok tani di Desa Sanggalangit tergabung ke
dalam Gabungan Kelompok Tani “Sangga Dharma Satwa” yang
beranggotakan 314 petani. Bahkan gabungan kelompok tani tersebut diikuti
juga oleh 3 kelompok tani di Desa Musi, yakni desa tetangga Sanggalangit.
Sampai tahun 2008 tercata 19 kelompok dengan jumlah 420 petani dengan 3
kelompok di Desa Musi (Tabel 4.3).
Tabel 4.3.Perkembangan Jumlah Petani dan Kelompok Tani yangBerparisipatif dalam Prima Tani di Desa Sanggalangit 2005-2008
Tahun JumlahKelompok
Jumlah PetaniTerlibat
Peningkatan JumlahPetani dibandingkanTahun Sebelumnya
2005 3 64 -2006 8 203 1392007 19 350 2112008 19 420 70
Sumber: Dokumen Laporan Tahunan Prima Tani, BPTP Bali, 2008
131
Universitas Indonesia
4.7. Pengembangan Agribisnis Pedesaan Berbasis Banjar.
Saat ini pendekatan kebijakan pembangunan yang bersifat top-down
banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Akan tetapi, kritik tersebut
tidak sepenuhnya berlaku dalam pengembangan agribisnis berbasis
komunitas, seperti halnya yang dimplemntasikan di Bali, yakni salah satunya
adalah di Desa Sanggalangit. Inisiasi kebijakan, dan kegiatan yang muncul
dari pemerintah melalui Departemen Pertanian disinkronkan dengan
kebijakan pemerintah daerah, dengan memcermati potensi lokal ternyata
relatif berhasil. Hal ini diindikasikan antara lain dengan keberhasilan
komunitas agribisnis di Desa Sanggalangit dalam meningkatkan produktivitas
usahataninya, sehingga mampu meningkatkan pendapatan rata-rata petani
komunitas agribisnis berbasis banjar hingga mencapai sekitar 250 –300
persen per tahun. Laporan perkembangan Prima Tani oleh BPTP Bali yang
didasari hasil Farm Record Keeping (FRK) menunjukkan terjadinya
peningkatan pendapatan yang cukup tinggi yaitu dari RP. 1.526.775,- pada
awal tahun 2005 menjadi Rp. 2.312.873,- pada akhir tahun 2005 selanjutnya
menjadi Rp. 3.373.299 pada akhir tahun 2006, dan meningkat menjadi Rp
5.823.437 pada akhir tahun 2008. Dengan demikian telah terjadi peningkatan
sebesar 281,42 % dibandingkan awal kegiatan Prima Tani7. Peningkatan
rata-rata pendapatan petani di Sanggalangit disebabkan karena setelah
kegiatan Prima Tani dintroduksikan ternyata petani dapat melakukan kegiatan
usahataninya sepanjang tahun, berbeda dengan sebelum Prima Tani yang
mengalami paceklik saat musim kemarau. Selain itu, terdapat faktor lain yang
mempengaruhi peningkatan pendapatan, yakni diversifikasi usahatani yang
tidak lagi monokultur melainkan dengan pengusahaan komoditas lain, dan
pengolahan pasca panen produk pertaian. Selain pendapatan, sebagian besar
informasi yang diperoleh menyebutkan terjadinya perubahan yang cukup
berarti dalam hal pengembangan agribisnis sebagai dampak dari inovasi
7 Data dari Laporan Prima Tani Sanggalangit 2008 (BPTP Bali)
132
Universitas Indonesia
kelembagaan yang dikembangkan dalam kegiatan Prima Tani. Berbagai
kelembagaan dan organisasi pendukung usaha agribisis tumbuh dan
berkembang progresif, hingga diyakini mampu merubah perilaku dan tindakan
petani anggota komunitas agribisnis dalam membangun jaringan sosial, serta
dalam hal memanfaatkan berbagai jenis kapital untuk mencapai peningkatan
kualitas hidupnya. Meskipun demikian, keberhasilan tersebut tidak terlepas
dari adanya upaya peningkatan peran pemerintah, swasta, dan masyarakat
dalam mengatasi beberapa kendala dan tantangan berupa masalah mendasar
yang ada di Sanggalangit.
4.8. Beberapa Isu Pokok dalam Pengembangan Agribisnis
Pada dasarnya pengembangan agribisnis tidak cukup hanya
berlandaskan kelimpahan sumberdaya faktor poduksi yang tersedia (factor
driven) yakni sumberdaya alam dan sumberdaya manusia berupa tenaga kerja
yang unskilled labor, melainkan mesti didukung inovasi (innovation driven)
yang lebih digerakkan oleh kemajuan teknologi serta peningkatan sumberdaya
manusia terdidik (science and skilled labor-based) dalam menerapkan
teknologi pertanian dan memanfaatkan kelembagaan yang ada. Oleh karena
itu ada tantangan bagi Sosiologi untuk merumuskan suatu pengembangan
sistem agribisnis yang melibatkan mayoritas kaum tani sebagai subyek.
Upaya pengembangan sistem dan usaha agribisnis di Bali juga tidak terlepas
dari segala permasalahan, seperti yang terungkap berikut ini:
“Saat ini Bali secara umum menghadapi permasalahan pembangunan
pertanian seperti: (i) masalah penguasaan lahan petani yang relatif
sempit; (ii) in-efisiesi dalam pengelolaan manajemen agribisnis; (iii)
kurang terfokus pada komoditas ungulan lokal; (iv) timpangnya harga
133
Universitas Indonesia
produk yang dihasilkan; (v) dan lemahnya integrasi vertikal.
Menurutnya, saat ini terdapat fenomena semakin terdesaknya upaya
pengembangan agribisnis yang diindikasikan oleh rendahnya investasi
sektor pertanian dibangkan dengan sektor lainnya. Informan
menyebutkan bahwa pada tahun 2000 an ini, investasi sektor pertanian
hanya 0,37%, sangat timpang dengan investasi sektor pariwisata yang
sedemikian tinggi pada kisaran 94%, dan sisanya 5,63% investasi
sektor industri. Hal ini juga ditunjukkan oleh rendahnya kredit
pertanian yang hanya sebesar 6,2% dibandingkan kredi sektor lain
yang mencapai 37,4% untuk sektor jasa, industri (34,2%);
Perdagangan 14,4%, dan kucuran kredit sektor lain yang mencapai
7,8% dari total investasi sebesar Rp.320 Triliun”. Hal itu diungkapkan
salah satu informan (NA) dalam satu kesempatan wawancara di kantor
BPTP Denpasar (19 September 2009).
Senyatanya, sumberdaya pembangunan pertanian di Bali relatif
potensial untuk diberdayakan. Propinsi Bali memiliki luas 5.632,86 km2 atau
0,29 % dari luas wilayah Indonesia, berpenduduk sekitar 2,9 juta jiwa, dan
dari jumlah tersebut lebih kurang 49,4 % bermata pencaharian sebagai petani.
Tingginya angkatan kerja yang bermatapencaharian petani dan juga masalahn
kepadatan penduduk di Bali yang tinggi, praktis menimbulkan isu yang klasik
yakni masalah kepemilikan lahan sempit. Selain itu, keberadaan lahan
pertanian semakin menyempit karena beralih fungsi, sehingga semakin
mempersulit usaha peningkatan produksi pertanian, khususnya pangan.
Permasalaha serupa juga terjadi di Desa Sanggalangit.
Sanggalangit merupakan daerah kering yang sangat minus dan
merupakan wilayah pertanian yang sangat marjinal, yakni rendahnya curah
hujan tahunan. Keadaan ini juga ditambah dengan belum adanya sistem
134
Universitas Indonesia
irigasi yang memadai. Ditinjau dari struktur tanah, menurut berbagai sumber
dan juga pernyataan dari penanggung jawab program Prima Tani Bali,
struktur lahan pertanian di Sanggalangit relatif kurang mendukung kegiatan
usahatani. Keadaan itu menyebabkan timbulnya keputusasaan masyarakat
petani Sanggalangit yang sebagian besar petani pendatang dari luar Buleleng
(dari Karangasem dan Kelungkung). Masalah yang paling mendasar, sesuai
dengan pengamatan peneliti dan juga penjelasan dari beberapa informan dan
sumber informasi dari BPTP Bali adalah ketersedian air irigasi. Pada setiap
musim kemarau, praktis ketersediaan air tidak dapat mmenuhi kebutuhan
usahatani. Kegiatan budidaya jagung sebagai komoditas utama petani di
Sanggalangit tentunya tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu terjadilah
paceklik sumber pangan maupun pakan, karena jagung adalah bahan pangan
utama masyarakat di Sanggalangit, selain sumber pakan bagi ternak sapi.
Pada masa-masa seperti itu, masyarakat sangat merasakan kesulitan dalam
menjalani hidup. Situasi dan kondisi alam ditambah dengan permasalahan
seperti yang peneliti kemukakan di atas, merupakan gambaran kualitas hidup
masyarakat petani di Sanggalangit, sebelum Prima Tani sebagai program
Departemen Pertanian diintroduksikan di Sanggalangit.
Masalah lain yang seringkali dianggap sebagai isu klasik dalam
pembangunan pertanian kita adalah masih rendahnya dukungan investasi dan
kredit usaha pertanian. Data pada dokumen “Bali Membangun 2008”(BPS
Bali, 2008) mengenai posisi kredit perbankan menurut sektor menggambarkan
rendahnya kredi yang disalurkan bagi usahatani. Total kredit perbankan
untuk seluruh sektor ekonomi adalah Rp.11,146 Triliun, dan hanya Rp.360,57
Milyar atau 3,23% yang teralokasikan untuk kredit pertanian.
135
Universitas Indonesia
Tabel.4.4. Posisi Kredit Perbankan Menurut Sektor Ekonomi 2008 (Rp.Milyar), BPS, Bali. 2008
Pertanian Tam-bang
Industri Listrik,Gas,danAir
Kons-truksi
Perda-gangan,Hotel,Restoran
Trans-portasi
Jasa Lain-lain
BankUmum
341,22 6,58 511,14 14,17 415,59 6.281,55 99,35 666,69 1 042,83
BPR 19,36 - 25,08 - - 845,77 189,82 696.935
Sumber: BPS Bali, 2008. Data Bali Membangun 2008.
Rendahnya alokasi kredit untuk sektor pertanian saat ini menjadi
perhatian berbagai pihak stakeholders pembangunan pertanian. Salah satu
upaya untuk mendorong peningkatan alokasi kredit pertanian, antara lain
dilakukan dengan membahas rancangan peraturan daerah, oleh DPRD
Propinsi Bali. Berikut adalah petikan wawancara mendalam dengan anggota
legislatif dari DPRD Buleleng.
“Kalau ini sudah kami perjuangkan dan di DPRD Propinsi sedang
dibahas mengenai masalah “Penjaminan Kredit Pertanian”.
Bahkan sudah dibentuk Pansusnya. Sementara untuk di Buleleng
sudah kami perjuangkan mengenai jaminan kredit tanpa anggunan
dari pemerintah berupa KTA (Kredit Tanpa Agunan) yang kami
yakini sedikit banyak akan berguna mengembangkan modal usaha
masyarakat. Tentu saja masyarakat petani tidak terlalu
menghandalkan kredit dan punya sedikit modal lahan lalu dijual
untuk keperluan di luar usahatani. ...... Lebih lanjut dikemukakan:
Modal lahan juga kan perlu di jaga, jangan tergoda oleh harga
tanah yang terus meningkat lalu dialihkan masyarakat atau
136
Universitas Indonesia
dijual.... ini sama saja dengan isitilah sekarang yang sering jadi
anekdot di Bali: “Orang Bali banyak jual tanah untuk beli
bakso,.... Orang Jawa jual bakso unt beli tanah”.... ini mudah-
mudahan bisa memacu masyarakat kita terus menjaga modal
tanahnya. Tidak bermaksud mengalihkan ke modal lainnya tapi
akhirnya ludes untuk gaya hidup konsumtif saja dan
menghandalkan kreditan saja... (W, Anggota DPRD Buleleng.
Maret 2010).
Uraian hasil wawancara dengan informan tersebut mencerminkan
adanya perhatian dan kemauan politik pemerintah maupun legislatif untuk
mendukung pembangunan pertanian melalui regulasi sistem kredit pertanian.
Tentunya, fasilitas kredit untuk petani yang usahanya bersakala kecil harus
didukung skim kredit yang sesuai dengan kebutuhan, serta menciptakan ruang
aksesibilitas kredit yang luas bagi masyarakat.
137
Universitas Indonesia
BAB 5.
KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN PENGARUHNYATERHADAP KUALITAS HIDUP
Bab ini pada hakekatnya menjelaskan hasil pengujian hipotesis bahwa
penguasaan kapital yang dipersepsikan masyarakat, memainkan peran penting
bagi peningkatan kualitas hidup. Seara rinci hipotesa itu dituangkan ke dalam
hipotesis (1) sampai dengan hipotesis (4), yakni menguji bahwa kuatnya
penguasaan kapital sosial yang dipersepsikan masyarakat akan meningkatkan
kualitas hidup masyarakat (Hipotesis 1). Berikutnya hipotesis (2) yang
menyatakan bahwa persepsi masyarakat tentang penguasaan kapital budaya
berpengaruh terhadap tingkat kualitas hidup masyarakat; Hipotesa (3)
mengenai adanya kecendrungan kuatnya penguasaan kapital politik yang
dipersepsikan masyarakat akan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat, dan
Hipotesa (4) yakni semakin kuat penguasaan kapital ekonomi yang
dipersepsikan masyarakat maka semakin tinggi juga kualitas hidup
masyarakat. Selain itu, bagian disertasi ini juga membahas gambaran sosial
masyarakat atas tingkat penguasaan kapital dan pertaliannya dengan kualitas
hidup, yang dijelaskan secara deskriptif.
Landasan berpikir peneliti mengenai adanya peran yang penting dari
representasi kapital sosial, budaya, politik, dan kapital ekonomi didasari
pandangan Castelli, et.all (2009); Woolcock dan Narayan (2000), serta
pemikiran Stone dan Hughes (2002) yang mengemukakan adanya pengaruh
yang kuat dari kapital terutama kapital sosial terhadap kualitas hidup
masyarakat. Pada studi ini peneliti melakukan penyesuaian (customize) atas
model hipotetik yang dikemukakan para peneliti di atas, terutama dengan
menambahkan fokus perhatian pada bentuk kapital lainnya disamping kapital
sosial, seperti pengaruh kapital budaya, politik dan ekonomi terhadap kualitas
hidup yang dipersepsikan oleh masyarakat di Sanggalangit.
138
Universitas Indonesia
5.1. Peranan Kapital dalam Peningkatan Kualitas Hidup.
Bagian ini diawali dengan menampilkan temuan penelitian mengenai
persepsi responden tentang peran masing-masing jenis kapital, terhadap
peningkatan kualitas hidup. Secara diskriptif, peran masing-masing jenis
kapital terhadap kualitas hidup masyarakat diperoleh dengan menghitung rata-
rata persentase yang dipersepsikan responden (Tabel 5.1). Temuan penelitian
ini mengungkapkan bahwa kapital ekonomi dipersepsikan sebagai jenis
kapital yang paling berpengaruh terahadap kualitas hidup masyarakat
(35,45%), dan sedikit dibawahnya adalah kapital sosial (33,25%), disusul
angka yang hampir sama pada kisaran 15% adalah peran kapital budaya dan
politik. Kapital ekonomi yang secara lugas diartikan oleh masyarakat
Sanggalangit sebagai modal uang dan kepemilikan aset ataupun kekayaan
material, memang masih mendominasi persepsi responden dalam
memandang peran kapital ekonomi sebagai faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup. Bagaimanapun juga modal ekonomi berupa “uang” dan
keterampilan sangat penting dalam memperoleh kesempatan pendidikan,
kesehatan, maupun menjaga lingkungannya, serta dalam hal memperoleh
kesempatan kerja. Saat ini “uang adalah segalanya”. Anggapan itu sangat
umum berlaku di Sanggalangit. Meskipun demikian, masyarakat tidak serta
merta mendewakan uang dan kekayaannya karena nilai-nilai kebersamaan
diantara mereka sedemikian kental. Solidaritas, hubungan kekerabatan,
ketatanggaan dan pertemanan antar aktor lebih menonjol dibandingkan
dengan rasa ingin maju sendiri, terutama dalam memperoleh kesempatan
mengakumulasi kekayaan material. Nilai atau prinsip “apang pada payu”
yang dipegang masyarakat Sanggalangit menimbulkan kesan adanya ikatan
moral yang sedemikian kuat. Sebagian aktor merasa “lek payu pedidi” atau
sungkan untuk menonjolkan kekayaan fisik dan hanya igin maju sendiri, suatu
nilai kebersamaan yang ditangkap peneliti dalam beberapa even-even yang
terjadi dalam pergaulan keseharian komunitas agribisnis di Sanggalangit.
Rumah-rumah tempat tinggal mereka misalnya, tidak menampakkan
139
Universitas Indonesia
perbedaan yang mencolok. Gambaran itu, sekilas memberikan kesan bahwa
masyarakat di Sanggalangit cenderung tidak menunjukkan perbedaan dalam
hal penguasaan kapital fisik. Jika ditinjau dari keadaan fisik lingkungan
rumah, maka berdasarkan hasil pengamatan peneliti tampak bahwa
penguasaan kapital ekonomi relatif merata dalam kisaran menengah bawah.
Tabel 5.1. Persepsi Responden Mengenai Peran Masing-masing Jenis KapitalTerhadap Peningkatan Kualitas Hidup masyarakat.
Jenis Kapital Peran Terahadap Peningkatan Kualitas Hidup (%)
1. Kapital Sosial2. Kapital Budaya3. Kapital Politik4. Kapital Ekonomi
Jumlah
33,2515,3715,9335,45
100,00
Dalam berbagai even yang peneliti rekam di lapangan, nilai-nilai
kebersamaan antar aktor sedemikian menonjol. Interaksi antar aktor mengalir
sesuai kejadian. Hal ini terekam saat mereka mengikuti beberapa pertemuan
banjar, baik yang bersifat internal maupun pertemuan yang menghadirkan
pihak eksternal banjar. Setiap acara pertemuan yang sifatnya formal dengan
pihak luar, berlangsung dengan “model” yang sama, seperti halnya mereka
bertemu dalam membahas suatu rencana di “banjar”nya. Beberapa even yang
terekam melalui pengamatan peneliti, memberikan makna yang sama. Pada
dasarnya, nilai-nilai berbanjar begitu dominan mewarnai setiap kegiatan aktor
anggota komunitas ini. Relasi sosial yang terjadi antar aktor, maupun dengan
pihak luar banjar terjadi atas dasar kepentingan aktor, maupun atas dasar rasa
kekeluargaan yang telah tertanam dalam nilai-nilai masyarakat Sanggalangit.
Mereka menyebutnya dengan istilah saling menjaga sikap “menyama braya”
dan “mekantenan”. Kedua istilah itu sangat terkait dengan makna jaringan
sosial. Nilia-nilai “menyama braya” adalah acuan aktor anggota banjar dalam
140
Universitas Indonesia
menjalin persaudaraan, bahkan termasuk menganggap setiap aktor lainnya
adalah saudara. Sedangkan “mekantenan” adalah nilai yang diacu untuk
menjaga dan mengembangkan sikap maupun perilaku dalam menjalin
pertemanan dengan saling percaya dan menghormati antar aktor.
Pada sisi lain, even-even itu pun menunjukkan juga gambaran sekilas
penguasaan kapital budaya dalam masyarakat. Dalam keseharian, terutama
yang diamati saat mereka berkumpul dalam suatu kegiatan banjar, setiap
aktor menunjukkan kekhasannya. Cara aktor dalam berbusana misalnya,
terlihat ada beberapa yang menonjol. Kain sarung dan kemeja atau kaos putih
adalah aktor yang memiliki kemampuan sebagai pemuka agama atau disebut
“pemangku”. Sedangkan aktor yang berpenampilan agak rapi dengan
dilengkapi aksesoris pulpen di saku kemejanya dan juga tidak ketinggalan
“HP” di genggamannya, menunjukkan jika aktor itu ternyata salah satu petani
kooperator program-program pengembangan agribisnis di Sanggalangit.
Sementara gambaran penguasaan kapital politik dalam masyarakat, sekilas
juga terekam dalam setiap even pertemuan banjar. Dalam setiap “sangkepan”
atau rapat banjar, beberapa aktor yang tampil dan duduk di barisan depan
menunjukkan mereka aktor-aktor banjar yang memiliki legitimasi dari aktor
lainya, sebagai orang-orang yang sedikit berbeda dengan aktor lainnya,
biasanya dalam hal status sosial. Keluarga mantan perbekel (kepala desa),
aktor yang mantan “kelian” banjar, juga terlihat dengan agak mudah untuk
dibedakan. Gambaran itu, merupakan data lapangan yang secara umum
menjadi bekal bagi peneliti untuk mengungkapkan lebih rinci penguasaan
kapital dalam masyarakat.
Sekilas gambaran yang memberikan potret keadaan penguasaan
kapital dalam masyarakat agribisnis di Sanggalangit, perlu didukung dengan
analisis kuantitatif gambaran sosial (sosiografis) masyarakat. Oleh karena itu,
untuk menganalisis peran masing-masing jenis kapital dalam mempengaruhi
kualitas hidup masyarakat dilakukan uji regresi berganda, berdasarkan data
lapangan yang dikumpulkan melalui saurvai. Variabel independennya adalah
141
Universitas Indonesia
empat jenis kapital yang berupa perspesi responden terhadap penguasaan
kapital, dan variabel dependen adalah kualitas hidup masyarakat. Hasil uji
regresi dikemukakan seperti tampak pada Tabel 5.2 berikut ini.
Tabel 5.2. Pengaruh Penguasaan Kapital yang Dipersepsikan Masyarakat,Terhadap Kualitas Hidup.
142
Universitas Indonesia
hidup yang bersifat subyektif ditentukan berdasarkan persepsi masyarakat
terhadap kondisi sosial ekonomi individu yang antara lain meliputi persepsi
tentang peluang bekerja (okupasi), akses pelayanan, partisipasi politik, relasi
sosial, keamanan sosial, persepsi kebahagiaan, makna hidup, kualitas
lingkungan, kualitas beragama, serta persepsi masyarakat mengenai mobilitas
vertikal. Berdasarkan skor persepsi masyarakat mengenai faktor-faktor yang
menentukan kualitas hidupnya, maka studi ini berupaya menganalisis tingkat
kualitas hidup masyarakat di Sanggalangit dengan menyusun kategori kualitas
hidup masyarakat. Jika dikategorikan berdasarkan skor persepsi responden
mengenai tingkat kualitas hidupnya, maka didapat tabel frekuensi seperti
berikut (Tabel 5.3) Kualitas hidup berada pada tingkat menengah bawah dan
menengah atas, dari empat kategori yang disusun peneneliti (rendah,
menengah bawah, menengah atas, dan tinggi).
Tabel 5.3. Tingkat Kualitas Hidup Responden.
Kategori Jumlah Persentase (%)
Menengah BawahMenengah Atas
54194
21,8078,20
Total 248 100
Keadaan tingkat kualitas hidup responden tergambar seperti pada diagram pie
dibawah ini (Gambar 5.1). Ternyata tingkat kualitas hidup responden tidak
ada yang masuk dalam kategori tinggi maupun rendah, semuanya terkonsentrasi
pada tingkat menengah bawah (21,8%) dan tingkat menengah atas (78,2%).
144
Universitas Indonesia
“banjar” terasa kental mewarnai kehidupan sosial ekonomi masyarakat
Sanggalangit. Gejala ini memberikan makna bahwa dalam masyarakat yang
kurang potensi penguasaan kapital ekonominya, diduga dapat didongkrak oleh
jenis kapital lainnya, yang tentunya berupa kapital non material seperti kapital
sosial, budaya, dan kapital politik.
5.1.1. Kapital Sosial Memiliki Peran Penting Terhadap Peningkatan KualitasHidup Masyarakat.
Tabel 5.2 di atas menjelaskan bahwa peran kapital sosial sangat
penting bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dengan demikian, maka
Hipotesa (1) yakni “Kuatnya penguasaan kapital sosial yang dipersepsikan
masyarakat, memainkan peranan penting bagi peningkatan kualitas hidup
(QoL) komunitas agribisnis” dapat diterima. Kapital sosial yang oleh
informan dipahami sebagai hubungan sosial, sangat mendukung atau menurut
penulis lebih tepatnya sangat mendongkrak setiap kegiatan ekonomi
masyarakat, terutama dalam konteks usahatani masyarakat di Sanggalangit.
Sebagai salah satu contoh, dalam sistem “kadas” ternak sapi, ternyata aspek
kepercayaan tentu menjadi pertimbangan utama dalam kesepakatan sistem
“kadas” yakni sistem bagi hasil usaha ternak sapi bagi pihak pemilik maupun
pihak pengadas (pemelihara sapi). Demikian pula dalam sistem bagi hasil
antara pemilik lahan dan penggarap pada sistem usahataninya. Temuan
penelitian dari hasil wawancara mendalam dan pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa kapital sosial cukup besar perannya dalam
meningkatkan usahatani seseorang. Dalam memperoleh kesempatan
peningkatan pendapatan, maka modal sosial sangat besar pengaruhnya. Untuk
memperoleh kesempatan fasilitas kesehatan juga demikian. Hubungan baik
aktor dengan petugas KB misalnya sangat membantu memudahkan akses
memperoleh pelayanan kesehatan ataupun memperoleh kesempatan berobat
jika ada keluarga mereka yang sakit. Sedangkan kapital politik secara
145
Universitas Indonesia
relatif masih dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat Sanggalangit.
Meskipun demikian, jika dicermati dari hasil regresi tentang pengaruh
kapital politik yang dipersepsikan masyarakat terhadap kualitas hidup,
ternyata menunjukkan dominasi yang cukup tinggi, yakni 0,290. Kapital
politik menempati dominasi pengaruh yang penting setelah kapital sosial.
Adapun modal budaya masyarakat disini relatif merata. Pemanfaatan modal
ini kurang nyata kelihatannya dalam mendukung usaha agribisnisnya.
Apalagi untuk memperoleh peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidupnya.
Artinya dibandingkan dengan modal sosial, politik, dan modal ekonomi,
maka modal modal budaya diperspespikan relatif rendah pengaruhnya bagi
peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Pada dasaranya studi ini meyakini adanya kecendrungan pengaruh
yang kuat penguasaan kapital sosial terhadap kualitas hidup masyarakat.
Dalam konteks ini, kapital sosial lebih dipandang sebagai bentuk kapital yang
berupa jaringan sosial yang dirintis dan dijaga aktor dalam mendukung
kegiatan sosial dan ekonominya. Jaringan sosial dimaksud, ditentukan oleh
beberpa indikator berupa bentuk hubugan sosial ataupun relasi sosial
berdasarkan kepentingan (interes), relasi sentimen yang umumnya terbentuk
atas dasar hubungan ketetanggaan, kekerabatan, aaupun pertemanan.
Disamping itu, jaringan sosial juga dapat terbentuk karena adanya relasi
power antar aktor, dan juga jaringan yang dibina atas kerja sama dan interaksi
aktor dengan organisasi baik organisasi sosial teradisi maupun organisasi dan
lembaga yang bersifat formal. Hal itu menunjukkan bahwa kapital sosial
tidak terbatas pada sistem sosial banjar, tetapi dapat melintasi banjar dalam
membangun hubungan ekonomi dengan aktor ataupun kelompok di luar
banjar. Hubungan antar aktor yang melintasi banjar merupakan salah satu
bentuk pengembangan jaringan sosial, yang tentunya akan cenderung
meningkatkan penguasaan kapital oleh aktor.
Jaringan sosial merupakan kapital sosial yang relatif sangat
berkembang di lokasi penelitian. Dalam konteks ini, unsur kapital sosial
146
Universitas Indonesia
berupa jaringan sosial tampak sangat kuat terutama jika ditinjau dari
kepercayaan responden terhadap organisasi sosial sedemikian memadai (Tabel
5.4). Rata-rata responden sangat mempercayai organisasi sosial maupun
lembaga pemerintahan yang ada dan terkait dengan kegiatan sosial
ekonominya. Kepercayaan terhadap kelompok tani, Bank, klinik pertanian
dan lembaga penyuluhan sangat tinggi. Dengan kata lain, masyarakat sangat
mempercayai organisasi tersebut. Hanya satu jenis organisasi yang kurang
mendapat keprcayaan, yakni organisasi Partai Politik.
Tabel 5.4. Kepercayaan Responden terhadap Organisasi Terkait.
No. Organisasi Sosial Skor (Skala 1-5)1.2.34.5.6.7.8.9.1011.12.13.14.
Kelompok taniLembaga PengajianLembaga kreditKarang tarunaBankDewan gereja/MesjidLembaga PenyuluhanKlinik PertanianDinas PertanianKeluruhanKecamatanPemdaDeptanParpol
4,534,003.903,904,014,044,004,013,883,923,903,863,912,55
Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan, pola relasi aktor juga
masih terjaga dalam membentuk dan membina jaringan sosial yang didasari
nilai-nilai berbanjar. Kapital sosial yang terbentuk berdasarkan ikatan sosial
yang kuat dan bersifat mengikat dalam komunitas banjar menyebabkan
tumbuhnya bonding social capital. Sedangkan kapital sosial yang bersifat
bridging tergambar dari pola relasi aktor dengan organisasi yang dipercayai
147
Universitas Indonesia
seperti tersebut di atas, terus berkembang dan tumbuh sejalan dengan dinamika
kegiatan sosial ekonomi aktor. Adapun kapital sosial yang bersifat linking
ditemui pada pola relasi aktor anggota komunitas banjar dalam membina dan
melakukan relasi sosial dengan lembaga pemerintah. Pada kerangka itu, sesuai
dengan Tabel 5.4 kepercayaan masyarakat terhadap organisasi berupa instansi
pemerintah seperti Bank dan Dinas Pertanian, relatif inggi yang ditunjukkan
dengan skor kepercayaan di atas nilai 3 dari skala 1 sampai degan 5.
Sementara, masyarakat petani anggota komunitas banjar di lokasi penelitian
juga sering memanfaatkan kehadiran agen sosial dari luar komunitasnya
(structural hole), yang secara sosiologis merupakan lubang-lubang struktur
yang dimanfaatkan aktor untuk memperoleh informasi.
Berdasarkan skor penguasaan kapital yang didapat dari data survai
peneliti juga mencermati kategori pengusaan kapital sosial dengan menyusun
tabel frekuensi skor penguasaan kapital sosial. Pada studi ini terdapat 41 item
pertanyaan untuk mengukur skor kapital sosial dengan kemungkinan nilai
masing-masing item adalah 1 sampai dengan 5, sehingga skor terendah adalah
41 dan tertinggi adalah 205. Jika dikategorikan akan tersusun 4 kelompok
yakni: (1). Skor rendah (adalah 41–82)
(2) Skor menengah bawah (83–124)
(3) Skor menengah atas (125–166)
(4) Skor tinggi ( > 167 )
Dengan demikian jika dilakukan transform recode (kode ulang) dalam
aplikasi program SPSS dari data yang ada, maka diperoleh tabel frekuensi
yang menggambarkan persepsi masyarakat terhadap penguasaan kapital sosial
seperti berikut (Tabel 5.5).
148
Universitas Indonesia
Tabel 5.5 . Kategori Penguasaan Kapital Sosial dalam Masyarakat
149
Universitas Indonesia
Kategori penguasaan kapital sosial yang dipersepsikan responden
memiliki pertalian yang erat dengan kategori kualitas hidupnya. Hal ini dapat
dicermati dengan menyusun tabel frekuensi silang yang dapat menunjukkan
hubungan antara kategori penguasaan kapital sosial dengan kualitas hidup,
seperti tampak pada Tabel 5.6 berikut ini.
Tabel 5.6. Crosstab Kategori Penguasaan Kapital Sosial dengan KualitasHidup.
150
Universitas Indonesia
5.1.2. Kapital Budaya Sebagai Faktor Penunjang Kualitas Hidup Masyarakat.
Hasil analisis regresi yang tertuang pada Tabel 5.2 juga menunjukkan
bahwa kapital budaya memiliki pengaruh langsung terhadap peningkatan
kualitas hidup masyarakat. Nilai p-value hasil regresi sederhana sebesar
0,011 adalah lebih kecil dari nilai signifikan 0,05. Dengan demikian
Hipotesa (2) yakni “Semakin tinggi penguasaan kapital budaya yang
dipersepsikan masyarakat, maka semakin baik juga kualitas hidup
masyarakat” dapat diterima.
Kapital budaya yang ditentukan oleh dimensi yang melekat pada aktor
(embodied state), dimensi obyek (dalam studi ini digunakan indikator
kekhasan karya dari aktor), dan dimensi insitusional masih relatif perlu
ditingkatkan. Berdasarkan data lapangan, ditemukan gambaran sosial yang
sangat menonjol mengenai rendahnya kapital budaya berdimensi
institusional. Hal itu ditunjukkan dengan rendahnya tingkat pendidikan yang
sebagian besar hanya memiliki ijazah sekolah dasar dan menengah pertama.
Meskipun demikian, jika disusun tabel frekuensi penguasaan kapital budaya
sesuai data hasil survai, maka didapat kategori seperti tertuang dalam Tabel
5.7. berikut ini.
Tabel 5.7. Kategori Skor Penguasaan Kapital Budaya.
151
Universitas Indonesia
Tabel di atas divisualisasikan dalam bentuk diagram Pie (Gambar 5.3)
yang menunjukkan bahwa hanya terdapat tiga kategori dari empat kategori
yang disusun peneliti berdasarkan interval skor penguasaan kapital budaya.
Kategori penguasaan kapital budaya ternyata terkonsentrasi pada kelompok
menengah atas sebesar 61,7%. Hanya sebagian kecil yang masuk dalam
kategori tinggi, yakni 11,7% dan juga pada kategori rendah sebesar 0,4%
(Gambar 5.3).
Gambar 5.3 . Proporsi Penguasaan Kapital Budaya
Penguasaan kapital budaya yang dipersepsikan responden, lebih lanjut
dianalis secara deskriptif dengan menyusun tabel frekuensi silang terhadap
kategori kualitas hidupnya. Tabel silang tersebut akan menjelaskan pertalian
antara kategori penguasaan kapital budaya dengan kategori kualitas hidupnya
(Tabel 5.8).
152
Universitas Indonesia
Tabel 5.8. Crosstab Kategori Penguasaan Kapital Budaya dengan KualitasHidup
153
Universitas Indonesia
5.1.3. Kapital Politik dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat.
Kapital politik memiliki pengaruh langsung sebesar 0,290 yang
berarti ada hubungan pengaruh yang relatif tinggi terhadap kualitas hidup.
Nilai p-value yang diperoleh dari hasil regresi (Tabel 5.2) adalah 0,000 atau
di bawah level of significant (0,01). Dengan demikian persepsi masyarakat
terhadap penguasaan kapital politiknya sangat nyata pengaruhnya bagi
kualitas hidup masyarakat. Sedangkan dalam kerangka uji hipotesis
(Hipotesis 3), maka berdasarkan hasil regresi hipotesa ini dapat diterima, atau
semakin kuat penguasaan kapital politik yang dipersepsikan masyarakat, maka
semakin tinggi kualitas hidup masyarakat.
Jika disusun tabel frekuensi penguasaan kapital politik sesuai data
hasil survai, maka didapat kategori seperti tertuang dalam Tabel 5.9 berikut
ini.
Tabel 5.9. Kategori Skor Penguasaan Kapital Politik.
155
Universitas Indonesia
Analisis diskriptif dengan menggunakan uji Chi-Square untuk
menjelaskan lebih lanjut Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa ada hubungan
yang erat (p-value 0,000) antara kategori penguasaan kapital politik dengan
kategori kualitas hidup responden. Demikian juga dengan nilai Cramer’s V
dan nilai uji Sommer’s d menunjukkan p-value sebesar 0,000. Temuan data
lapangan ini, memberikan penjelasan lebih lanjut, bahwa responden yang
mempersepsikan penguasaan kapital politiknya dalam kategori menengah
bawah (62 responden) ternyata sebagian besar (58,1%) termasuk kategori
kualitas hidup menengah bawah. Demikian juga sebaliknya, ternyata sebagian
besar (87,1 %) yang kategori penguasaan kapital politiknya tinggi berada pada
kategori kualitas hidup menengah atas. Oleh karena itu, uji deskriptif di atas
memberikan gambaran bahwa kategori penguasaan kapital pokitik
berhubungan dengan kategori kualitas hidup responden.
5.1.4. Dominasi Peran Kapital Ekonomi dalam Peningkatan Kualitas Hidup.
Hasil analisis regresi seperti tertuang pada Tabel 5.2. menunjukkan
bahwa kapital ekonomi memiliki pengaruh langsung yang sangat nyata
terhadap QoL sebesar 0, 187. Secara umum peranan kapital ekonomi
dipandang sebagai jenis kapital yang penting perannya bagi penigkatan
kualitas hidup masyarakat, selain kapital sosial dan kapital politik. Pada
bagian awal Bab ini juga telah diuraikan persepsi responden yang
menyatakan masih dominannya peran kapital ekonomi terhadap tingkat
kualitas hidup masyarakat. Seperti dibahas dalam beberapa sumber, kapital
ekonomi merupakan kapital yang bersifat tangible berbentuk fisik dan modal
finansial berupa uang dan aset fisik lainnya, tanpa melihat aspek non fisik dari
kapital ekonomi itu sendiri, sehingga umumnya dianggap kapital yang sangat
menentukan segi-segi kehidupan masyarakat, termasuk dalam peningkatan
kualitas hidup mayarakat. Pengujian hipotesis (4), bahwa kapital ekonomi
memainkan fungsi penting bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat seperti
156
Universitas Indonesia
tertuang pada Tabel 5.2 menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (p-value
adalah 0,000), sehingga hipotesa (4) mengenai kuatnya pengaruh kapital
ekonomi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat, dapat diterima.
Untuk menggambarkan distribusi responden tentang persepsi
penguasaan kapital ekonomi, maka disusun tabel frekuensi kategori
penguasaan kapital ekonomi seperti pada Tabel 5.11 . Sesuai data hasil
survai, maka didapat kategori seperti tertuang dalam Tabel 5.11 berikut ini.
Tabel 5.11. Kategori Skor Penguasaan Kapital Ekonomi.
158
Universitas Indonesia
Tabel silang di atas memberikan penjelasan deskriptif bahwa
responden yang persepsi penguasaan kapital ekonominya tinggi ternyata
seluruhnya (100,0%) termasuk dalam kategori kualitas hidup menengah atas.
Demikian halnya dengan responden yang kategorinya berada pada
penguasaan kapital ekonomi menengah atas, 97,6% termasuk kategori kualitas
hidup menengah atas, dan hanya 2,4% yang masukkategori kualitas hidup
memengah bawah. Temuan penelitian ini kurang mendukung kecendrungan
adanya hubungan antara kategori penguasaan kapital ekonomi dengan
kategori kualitas hidup responden. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji Chi
Square dengan p-value sebesar 0,000. Uji statistik lain seperti Cramer’ V
maupun Pearson R yang juga melihat hubungan antara dua kategori itu,
menunjukkan hasil yang sama, yakni adanya kecendrungan pertalian yang erat
antara kategori penguasaan kapital ekonomi yang dipesepsikan responden
dengan kategori kualitas hidupnya.
Bagian akhir dari sub bab ini akan menjelaskan secara deskriptif,
hubungan antara kategori-kategori penguasaan keempat jenis kapital dan
kategori kualitas hidup responden. Secara umum, crosstab (Tabel 5.13)
menggambarkan penguasaan responden terhadap jenis-jenis kapital yang
secara sederhana dikategorikan menjadi dua, yakni kategori menengah bawah
dan menengah atas. Jika dicermati, pada baris pertama dari tabel di atas dapat
dikemukakan bahwa terdapat 43 responden yang termasuk dalam kategori
penguasaan kapital menengah bawah. Jumlah tersebut terdiri dari 34 (79,1%)
yang termasuk kategori kualitas hidup menengah bawah, dan sisanya 9
(20,9%) termasuk kategori kualitas hidup menengah atas. Dengan demikian,
tampak bahwa rendahnya penguasaan kapital akan cenderung berhubungan
dengan rendahnya kualitas hidup responden. Demikian halnya dengan
penjelasan setiap baris dan kolom dalam Tabel 5.13 secara prosentase baris
dapat menjelaskan bahwa terdapat keterkaitan antara kategori penguasaan
kapital dengan kategori kualitas hidup responden.
159
Universitas Indonesia
160
Universitas Indonesia
5.2. Diskusi Temuan Data Lapangan: Persepsi Masyarakat TentangPenguasaan Kapital dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup.
Analisis regresi yang dilakukan memberikan hasil bahwa kapital
sosial merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya yakni 0,423
diantara empat jenis kapital yang memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup.
Dalam konteks ini kapital sosial mampu mendongkrak kualitas hidup
masyarakat Sanggalangit. Kapital politik adalah menyusul dominasi kapital
sosial, dengan nilai beta terstandarisasi sebesar 0,290, kemudian kapital
ekonomi dengan dominasi pengaruh sebesar 0,197, dan yang terendah adalah
dominasi pengaruh kapital budaya sebesar 0,104. Dalam pandangan
Bourdieu (1986) yang ditegaskan juga oleh Svendsen dan Sevendsen (2003),
hal itu mencerminkan adanya konversi jenis kapital sosial menjadi jenis
kapital lainnya dalam mencapai peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kapital sosial sedemikian pentingnya bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat Sanggalangit. Hal ini berbeda dengan perspektif Bourdieu yang
memandang bahwa kapital budaya merupakan jenis kapital yang sangat
penting dalam masyarakat. Kebudayaan masyarakat Bali memang relatif
terkenal sangat tinggi dalam menunjang setiap aktivitas sosial ekonomi
masyarakat Bali. Akan tetapi, jika dipandang dari aspek tingkat pendidikan
ternyata penguasaan kapital budaya masyarakat Sanggalangit relatif rendah.
Sementara kapital politik dalam masyarakat juga relatif rendah yang antara
lain ditunjukkan oleh rendahnya akses masyarakat pada organisasi politik, dan
rendahnya partisipasi politik masyarakat. Pada sisi lain, penguasaan kapital
ekonomi juga relatif rendah. Akan tetapi, temuan penelitian menunjukkan
bahwa kualitas hidup masyarakat sebagian besar berada pada kisaran
menengah. Hal ini ditengarai sebagai akibat dari tingginya penguasaan
kapital sosial dalam masyarakat Sanggalangit. Relasi antar aktor dalam
maupun dengan pihak di luar banjar selalu dibangun dan terpelihara sebagai
jaringan sosial yang dimanfaatkan aktor menjadi kapital sosial. Jaringan
161
Universitas Indonesia
sosial yang dilandasi relasi sentimen berupa jaringan kekerabatan, maupun
relasi interes berlandaskan kepentingan bersama, mampu dimanfaatkan aktor
sebagai pendukung kegiatan ekonominya. Jaringan sosial sebagai kapital juga
mampu dimanfaatkan aktor dalam memperoleh informasi tentang dinamika
pembangunan yang erat pertaliannya dengan pengembangan usahanya.
Informasi yang diperoleh dalam jaringan sosial sering tanpa ataupun disadari
aktor dapat meningkatkan akses aktor terhadap pasar, bahkan akses kredit atau
modal finansial mendukung usahataninya. Gejala itu secara umum dapat
menggambarkan bahwa kapital sosial mampu dikonversikan oleh aktor
menjadi bentuk kapital lain, terutama dalam bentuk kapital ekonomi yang
mendukung pengembangan usaha agribisnisnya.
Mencermati penguasaan kapital dalam dinamika kehidupan sosial
ekonomi masyarakat, maka di Sanggalangit penguasaan kapital oleh aktor
relatif terdistribusi dengan cukup merata. Menurut hasil wawancara
mendalam yang dilakukan terhadap beberapa informan kunci, ternyata
persaingan ataupun kompetisi dalam memperoleh dan menguasai kapital tidak
terlalu mengemuka. Hal ini tercermin dalam petikan wawancara mendalam
seperti berikut:
“Saya kira tidak terlalu bersainglah, adem-adem saja. Bahkan sering
kita menghandalkan istilah “apang pada payu” (istilah untuk saling
berbagi saling membantu). Kalau modal ekonomi ya memang sangat
tampak sekali perbedaan setiap warga dilihat dari pemilikan lahan
pertanian dan juga keadaan rumah, atau mungkin kekayaan secara
umum. Bapak bisa keliling melihat situasi itu. Kalau modal budaya
saya kira pastilah berguna sekali untuk kehidupan kita. Saya baru tahu
mengenai ini. Tapi saya kira ini seperti bawaan lahir ya.... Oleh karena
itu mungkin kalau modal budaya kan susah kita tingkatkan,.....
Mengenai modal politik, ini pastinya tidak semua warga dapat
memanfaatkan, paling-paling sebagian kecil saja yang bisa
memanfaatkan modal itu.... kalau yang lain kan sedikit
162
Universitas Indonesia
kesempatannya. Tetapi saya kira, akhir-akhir ini kesempatan untuk
itu sudah semakin baik (Informan NI, Maret 2010).
Mendalami pola persaingan penguasaan kapital pada masyarakat
tineliti, dapat dijelaskan bahwa nilai-nilai kebersamaan dengan prinsip “apang
pada payu” masih dipegang oleh sebagian besar masyarakat. Hubungan
kekerabatan dan perasaan senasib membawa mereka saling menghargai dan
bekerja sama saling membantu, dalam peningkatan usahatani mereka. Secara
eksplisit juga diungkapkan oleh beberapa informan kunci studi ini, bahwa
masalah rezeki yang identik dengan penguasaan kapital ekonomi sudah di
atur oleh Hyang Widhi –Tuhan Yang Mahaesa (NI, Maret 2010). Mereka
mengisitilahkannya dengan tidak perlu berebut, karena dalam kehidupan ini
semua sudah ada porsinya. Terkait dengan itu, hasil pengamatan peneliti
menunjukkan bahwa hubungan sosial yang terjadi dalam tindakan ekonomi
aktor melakoni usahatani mereka, berjalan dengan cair. Pada konteks itu,
setiap aktor berupaya membangun semangat kebersamaan dalam
pengembangan usaha agribisnisnya yang dilandasi semangat ingin maju
bersama-sama.
Ihktisar dari pembahasan persepsi masyarakat tentang peran masing-
masing kapital terhadap kualitas hidup, adalah bahwa seluruh jenis kapital
sangat penting bagi peningkatan kualitas hidup. Kapital ekonomi tidak
menjadi satu-satunya kapital yang mempengaruhi kualitas hidup. Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa kapital sosial, kapital budaya, dan kapital
politik, memainkan fungsi penting bagi peningkaan kualitas hidup. Dengan
demikian, studi ini akan menarik dan menjadi lebih lengkap jika berupaya
menganalisis faktor-faktor yang menentukan penguasaan kapital dalam
masyarakat, yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Pada kerangka itu, bagian selanjutnya dari Disertasi ini akan mengungkapkan
peran tripartit: pemerintah, swasta, dan masyarakat maupun koproduksinya
dalam mendukung penguasaan kapital dan kualitas hidup masyarakat.
163
Universitas Indonesia
BAB 6
KAPASITAS TRIPARTIT PEMERINTAH-SWASTA-MASYARAKATDALAM PENINGKATAN PENGUASAAN KAPITAL DAN
KUALITAS HIDUP (QoL) MASYARAKAT
Temuan penelitian mengenai peran masing-masing jenis kapital seperti
telah dikemukakan pada Bab 5 disertasi ini, akan lebih mendalam jika
dilengkapi dengan pembahasan peran elemen-elemen pembangunan, dalam
meningkatkan penguasaan kapital dan kualitas hidup masyarakat. Oleh
karena itu, bagian ini dimaksudkan untuk mejelaskan peran elemen-elemen
pembangunan, yang selanjutnya disebut peran tripartit: pemerintah-swasta-
masyarakat lokal, dalam meningkatkan penguasaan kapital yang bermuara
pada terjadinya peningkatan kualitas hidup masyarakat. Pembahasan tentang
hal itu dikemukakan dengan melakukan uji hipotesis (5) yakni “Peran
tripartit pemerintah-swasta-komunitas lokal yang dipersepsikan masyarakat,
memainkan fungsi penting bagi peningkatan representasi kapital dalam
komunitas agribisnis berbasis banjar”; serta uji hipotesis (6) yaitu “Persepsi
masyarakat mengenai kuatnya peran tripartit pemerintah-swasta-komunitas
lokal, akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat”. Berikutnya, pada
Bab ini juga akan dijelaskan hasil analisis jalur (path analysis) dari model
hipotetik hubungan antar faktor-faktor yang memengaruhi kualitas hidup
komunitas agribisnis..
6.1 Peran Tripartit Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat Memainkan FungsiPenting Bagi Peningkatan Penguasaan Kapital.
Pembahasan mengenai peran pemerintah, swasta dan masyarakat
senyatanya telah banyak disinggung dalam bagian depan Disertasi ini, yakni
pada saat melakukan literature review maupun mencermati hasil temuan
studi-studi terdahulu. Pada bagian ini juga ingin dijelaskan kembali secara
ringkas bagaimana peran masing-masing kekuatan tripartit tersebut dalam
164
Universitas Indonesia
operasionalisasi pembangunan, hingga mengkaji juga pola hubungan dan
dominasi peran elemen-elemen pembangunan tersebut, terutama dalam
pengembangan agribisnis di pedesaan yang sangat erat kaitanya dengan upaya
peningkatan kesejahteran masyarakat. Saat ini, secara umum peran
pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan agribisnis sering
dikaitkan dengan kebijakan dan strategi revitalisasi pertanian nasional.
Berbagai diskusi dan kajian ilmiah pengembangan industrialisasi pertanian
dengan menerapkan strategi kemitraan tripartit pemerintah-swasta-masyarakat
terus mengemuka sejalan dengan pemikiran mengenai bagaimana ko-produksi
antar ketiga elemen itu bersinergi mendukung pengembangan agribisnis untuk
ketahanan pangan nasional dan muara yang dituju adalah peningkatan
kesejahteraan masyarakat petani ataupun pelaku agribisis.
Elemen pertama dalam kemitraan tripartit adalah negara ataupun
pemerintah yang merupakan lembaga publik dengan fungsi
menyelenggarakan dan menciptakan kesejahteraan umum, yang antara lain
dilakukan dengan kegiatan-kegiatan pembangunan. Pada kerangka ini, peran
pemerintah (negara) dalam falsafah kemitraan tripartit bergeser dari yang
semula sebagai penggerak utama pembangunan, ke arah peran sebagai
fasilitator dan dinamisator pembangunan sosial ekonomi. Peran tersebut
meliputi perumusan kebijakan, fasilitasi infrastruktur, penyediaan dan
pengembangan inovasi teknologi, dukungan subsidi, anggaran pembangunan
dan dukungan politik.
Berikutnya elemen yang kedua, adalah elemen swasta atau korporasi
yang memiliki ruang gerak pada area publik melalui produksi hingga transaksi
jual-beli barang dan jasa yang berorientasi pada keuntungan. Dunia usaha ini
baik langsung maupun tidak langsung memiliki peran yang sedemikian
penting bagi pembangunan sosial ekonomi nasional. Sedangkan elemen
ketiga, adalah masyarakat yang berinteraksi pada ruang publik atas dasar tata
nilai dan perilaku sosial tertentu, yang saat ini tidak lagi hanya menjadi obyek
pembangunan, melainkan bergeser peranya sebagai subyek yang menentukan
165
Universitas Indonesia
pembangunan sosial ekonomi nasional. Peran dan hubungan simetris dari
ketiga elemen pembangunan itu, merupakan prasarat utama dalam strategi
pencapaian tujuan-tujuan pembangunan, seperti yang banyak diungkapkan
dalam beberapa hasil studi belakangan ini, dan sering disebut sebagai bentuk
koproduksi antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Oleh karena itu,
pembahasan mengenai bagaimana ketiga elemen itu memainkan peran dan
bersinergi dalam meningkatkan penguasaan kapital masyarakat, sangat
relevan dibahas dalam studi ini.
Mengawali pembahasan peran ketiga elemen pembangunan nasional,
berikut ini dikemukakan matrik mengenai persepsi reponden penelitian ini
tentang seberapa besar peran masing-masing elemen itu dalam mendukung
dan memfasilitasi penguasaan berbagai jenis kapital, dan juga perannya bagi
peningkatan kualitas hidup masyarakat (Tabel 6.1.). Pada Tabel 6.1 .tampak
bahwa peranan pemerintah dalam mendukung penguasaan kapital relatif tidak
mendominasi, tetapi dalam prosentasenya tergambar hanya sekitar 28%.
Tabel 6. 1. Peran Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat MendukungPenguasaan Kapital.
Peran TripartitPersentasePersepsi Responden
(%)
1. Pemerintah2. Swasta3. Masyarakat
Jumlah
28,0018,4353,57.
100
Sumber: Penelitian Lapangan, 2010.
Temuan data survai ini menunjukkan tigginya peran masyarakat (53,57 %)
dalam mendukung penguasaan kapitalnya. Sedangkan dukungan swasta
166
Universitas Indonesia
dalam mendorong peningkatan penguasaan kapital masyarakat masih relatif
rendah (18,43 %) dibandingkan dengan elemen-elemen pembangunan lainnya.
Tingginya peran masyarakat dalam mendukung representasi kapital
tampak sangat dominan dalam penguasaan kapital sosial. Berdasarkan
pengamatan peneliti, jaringan sosial sebagai unsur utama kapital sosial yang
dicermati dalam studi ini terbentuk dan terpelihara oleh adanya pola relasi
sosial dan jaringan kerja yang sarat dengan jaringan interes, yakni jaringan
yang terbentuk serta terjaga karena adanya kepentingan bersama. Demikian
pula jaringan yang terbentuk sebagai akibat ikatan sentimen begitu kental
karena setiap aktor komunitas agribisnis berbasis banjar membina relasi
sosialnya atas dasar hubungan kekeluargaan, pertemanan, dan kekerabatan
antar aktor. Sementara jaringan yang terbentuk sebagai akibat relasi power
tampak antara aktor pemilik lahan pertanian dengan penggarap, yang
menunjukkan relasi sosial semacam hubungan “patron-client”. Beberapa
informan berpandangan sama dengan apa yang peneliti temukan dari hasil
pengamatan. Selain itu, potensi banjar berperan penting dalam penguasaan
kapital. Potensi banjar, seperti unsur fisik banjar berupa “balai banjar”
ataupun “pura” sangat menonjol dukungannya sebagai wahana bagi setiap
aktor anggota banjar dalam membangun dan memelihara jaringan sosialnya.
Kedua unsur fisik banjar itu, sekaligus juga berperan dalam memelihara dan
membina tumbuh kembangnya kapital budaya. Di “balai banjar” setiap warga
dapat menunjukkan eksistensinya untuk berkreasi ataupun menampakkan jati
dirinya sebagai perwujudan aktor dalam menguasai kapital budaya. Ada pun
dominasi pengaruh sebagai salah satu indikasi penguasaan kapital politik juga
sering kali diperlihatkan di “balai banjar” saat aktor mengikuti “paruman”
(pertemuan banjar). Para pemimpin banjar berinteraksi dengan warganya
dalam setiap kegiatan banjar, termasuk dalam pertemuan banjar yang rutin
diselenggarakan setiap bulan (35 hari sekali). Sedangkan peran potensi banjar
dalam penguasaan kapital ekonomi tidak terlalu menonjol. Unsur banjar
sebagai perwujudan peran masyarakat dalam penguasaan kapital juga
167
Universitas Indonesia
dudukung unsur nilai-nilai banjar, terutama nilai tradisi yang dapat
disejajarmaknakan dengan nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai kebaktian, dan
nilai kesatuan, seperti yang terungkap dalam petikan hasil wawancara dengan
informan berikut ini:
“Oleh karena itu banjar juga merupakan wadah kesatuan hidup warga,
perkumpulan sosial, ataupun organisasi sosial tradisional yang
berfungsi mengatur kerjasama antar anggota banjar dalam kegiatan
keagamaan, adat, pemerintahan, bahkan kegiatan ekonomi yang
dilandasi rasa kekeluargaan, gotong royong dan kebersamaan, serta
didukung oleh potensi fisik dan nilai-nilai banjar (potensi non fisik).
Potensi fisik banjar terdiri dari wilayah banjar, balai banjar (bangunan
tempat pertemuan dan wahana sosial lainnya), dan juga adanya balai
kulkul tempat kentongan banjar yang digunakan sebagai alat
komunikasi antara anggota dengan banjar, dan potensi banjar yang
sangat berharga adalah adanya Pura. .... Semua itu kami pelihara dan
jaga bersama karena itulah modal kami yang berharga. Dengan itu
kami terbantu untuk menjalani hidup bersama” (KW, September 2009)
Adapun pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah juga
memiliki peran yang cukup penting bagi penguasaan kapital masyarakat.
Dukungan kebijakan dan program yang sering disertai dengan bantuan
fasilitasi kegiatan, cukup efektif dalam merangsang peningkatan penguasaan
kapital dalam masyarakat. Introduksi program Prima Tani di Sanggalangit
adalah suatu realitas yang dapat dijadikan indikasi pentingnya peran
pemerintah dalam penguasaan kapital. Sebagai contoh, introduksi inovasi
teknologi pertanian dan inovasi kelembagaan usaha tani cukup menunjukkan
keberhasilan. Adopsi inovasi berdampak bagi berkembangnya sistem
agribisnis di Sanggalangit. Jumlah “embung” yakni teknologi irigasi yang
saat ini sudah mampu mendukung irigasi usahatani di Sanggalangit terus
168
Universitas Indonesia
berkembang. Bermula dari bantuan pemerintah setempat, petani secara
swadaya membangun “embung” sehingga kegiatan usahatani semakin
menjanjikan keberhasilan. Pada aspek lainnya, tumbuh kembangnya
kelompok tani dan lembaga usahatani lain seperti koperasi, relatif tumbuh
pesat. Peran pemerintah melalui fasilitasi kegiatan Prima Tani oleh BPTP
Bali yang berkoordinasi dengan instansi pemerintah daerah Buleleng,
menunjukkan keberhasilan dalam memfasilitasi pengembangan agribisnis
khususnya, dan pembangunan desa secara umum. Dampak dari kegiatan itu
sangat potensial mendukung penguasaan kapital masyarakat, baik kapital
ekonomi maupun kapital sosial, budaya, dan kapital politik. Selain itu,
partisipasi dalam bentuk kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan swasta
masih memerlukan upaya yang lebih. Peran swasta relatif masih belum
menonjol. Investasi swasta di Sanggalangit terbilang masih sangat rendah,
seperti yang diuangkapkan Kepala Desa Sanggalangit saat wawancara
mendalam dengan peneliti (Maret 2010). Berdasarkan pengamatan peneliti
dan keterangan informan, peran swasta dalam fasilitasi kredit mulai
menunjukkan peningkatan. Salah satunya ditunjukkan dengan adanya kerja
sama Bank swasta dengan lembaga perkreditan pedesaan (LPD) di
Sanggalangit. Akan tetapi, pada masa mendatang peranan swasta dalam
mendukung pengembangan agribisnis diyakini semakin meningkat, sehingga
secara tidak langsung akan memberikan kontribusi bagi masyarakat dalam
meningkatkan penguasaan kapitalnya.
6.1.1. Kapasitas Tripartit dan Koproduksi Pemeritah, Swasta, dan Masyarakatdalam Penguasaan Kapital Sosial Masyarakat.
Gejala semakin melemahnya peranan negara atau pemerintah dalam
berbagai aspek pengembangan masyarakat dan pembangunan lokal era
otonomi daerah dan juga pada masa globalisasi belakangan ini semakin nyata.
Tabel 6.1 di atas menunjukkan bahwa semakin lama peran yang dimainkan
169
Universitas Indonesia
pemerntah secara perlahan beralih kepada semakin menguatnya peran elemen
pembangunan lainnya, terutama peran masyarakat. Gejala itu membawa
implikasi yang sedemikian besar, terutama di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Pada kerangka peningkatan penguasaan kapital oleh
masyarakat, peran pemerintah juga cenderung tidak terlalu dominan.
Masyarakat secara partisipatif mulai menampakkan gejala meningkatnya
motivasi untuk mengusahakan secara mandiri penguasaan kapital dalam
menunjang kegiatan sosial ekonominya.
Diskripsi temuan peran pemerintah terhadap penguasaan kapital
komunitas agribisis seperti pada Tabel 6.1. selaras dengan hasil pengujian
regresi mengenai peran tripartit pemerintah, swasta, masyarakat dan
koproduksi tiga unsur pembangunan itu. Uji regresi menunjukkan bahwa
peran tripartit dan koproduksi tiga unsur pembangunan tersebut memiliki
pengaruh yang nyata terhadap penguasaan kapital sosial. Analisis regresi
berganda yang dilakukan dapat mejelaskan bahwa penguasaan kapital sosial
dipengaruhi oleh peran pemerintah, swasta, dan masyarakat, serta ko-produksi
ketiga unsur tersebut (Tabel 6.2). Pengaruh yang paling dominan
diperlihatkan oleh peran masyarakat dengan nilai koefisien beta standardized
sebesar 0,589 dan pengaruhnya sangat nyata yang diketahui dari nilai p-value
variabel peran masyarakat adalah 0,000 lebih kecil dari level of significant
(0,05). Berikutnya adalah peran koproduksi yang menunjukkan dominasi
pengaruh sebesar 0,186 sesuai dengan nilai koefisien beta standarized pada uji
regresi ini. Pengaruhnya juga sangat nyata (p-value bernilai 0,000).
Sedangkan peran pemerintah menunjukkan pengaruh yang juga sangat nyata
(p-value 0,007) dengan dominasi pengaruh adalah senilai 0,157 yang dapat
dilihat dari koefisien beta standarizednya. Ada pun swasta, ternyata
menunjukkan pengaruh langsung yang nyata, karena nilai p-valuenya sebesar
0,022 yang lebih besar dari level of significant (0,01) tetapi masih dibwag
level of significant 0,05.
170
Universitas Indonesia
Tabel 6.2 Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Sosial.
171
Universitas Indonesia
pemerintah dalam hal memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh kapital
budaya yang berdimensi institusional. Sebagian masyarakat masih belum
dapat mengakses jenjang pendidikan tinggi setingkat diploma, apa lagi
universitas. Data yang diperoleh dalam monografi desa menunjukkan bahwa
hanya 10% masyarakat yang mengenyam pendidikan setingkat SLA dan
Perguruan Tinggi. Demikian juga peran masyarakat belum optimal dalam
meningkatkan penguasaan kapital budaya. Masyarakat umumnya cenderung
lebih mengedepankan pengembangan jaringan sosial dan usahatani yang
ditujukan untuk meningkatkan akses penguasaan kapital ekonomi.
Tabel 6.3. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Budaya.
172
Universitas Indonesia
langsung yang sangat nyata terhadap terhadap penguasaan kapital politik yang
dipersepsikan masyarakat. Nilai p-value masing-masing unsur itu lebih kecil
dari level of significant 0,01. Dominasi pengaruh yang tertinggi adalah peran
koproduksi, disusul peran masyarakat, pemerintah, dan swasta yang
ditunjukkan dengan nilai koefisien beta standardized berturut-turut adalah
0,344, 0,194, 0,180, dan 0,152.
Tabel 6.4. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Politik.
173
Universitas Indonesia
terutama duduk sebagai “sinoman” banjar yang bertugas sebagai komunikator
antara banjar dengan anggotanya. Kedudukan itu relatif dihormati di desa dan
di banjar, sehingga memiliki nilai sebagai kapital politik aktor ang
bersangkutan. Demikian halnya peran pemerintah, tampak fasilitasi dalam
membangun dan mengembangkan partisipasi politik relatif baik. Gejala yang
umum ditunjukkan oleh peran pemerintah dalam memberikan ruang gerak
bagi setiap anggota masyarakat untuk bebas menjadi simpatisan ataupun
bahkan menjadi anggota dan pengurus salah satu organisasi massa maupun
organisasi politik. Berbagai informasi dan data yang diperoleh di lapangan
memberikan gambaran bahwa, kapital politik di Sanggalangit relatif
terdistribusi secara merata.
6.1.4. Kapasitas Tripartit dan Koproduksi Pemeritah, Swasta, dan Masyarakatdalam Penguasaan Kapital Ekonomi.
Penguasaan kapital ekonomi dalam masyarakat merupakan hal yang
paling sering dibahas selain kapital sosial yang akhir-akhir ini banyak
mendapat perhatian dari peneliti maupun akademisi. Dalam kerangka analisis
peran tripartit pemerintah-swasta-masyarakat dan ko-produksi ketiga unsur
pembangunan itu, maka studi ini juga menganalisis pengaruh variabel
independen tersebut terhadap penguasaan kapital ekonomi. Hasil uji regresi
untuk analisis pengaruh tampak seperti pada Tabel 6.5. Peran pemerintah,
dan masyarakat tidak berpengaruh langsung terhadap penguasaan kapital
ekonomi, karena masing-masing nilai p-valuenya lebih besar dari level
significant (0,05). Akan tetapi, variabel ko-produksi berpengaruh langsung
dan sangat nyata (p-value 0,000) dengan dominasi yang relatif besar yakni
0,825.
174
Universitas Indonesia
Tabel 6.5. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Ekonomi.
175
Universitas Indonesia
Pengembangan agribisnis pada saat ini lebih tertumpu dan menghandalkan
partisipasi dan kreatifitas rakyat di setiap daerah, tentunya dengan fasilitasi
yang lebih optimal dari pemerintah daerah mapun pusat yang dilakukan oleh
setiap kementerian sektoral. Tuntutan jaman juga meghendaki pergeseran
perananan masyarakat yang lebih dominan, didukung peran elemen swasta
atau korporasi yang semakin baik.
Implikasi dari uraian mengenai peran pemerintah-swasta-masyarakat
tentunya erat kaitannya dengan aspek perumusan dan operasionalisasi
kebijakan yang mestinya sudah diupayakan reorientasi kebijakan yang tidak
bersifat top-down secara kaku tetapi mengkobinasikan ataupun lebih tepatnya
mengintegrasikan “top-down policy – bottom-up planning”. Dengan
demikian perlu dicermati aspek integrasi lingkungan kebjakan (policy
environment) dan informal rules dalam setiap kegiatan pembangunan
termasuk pengembangan pertanian secara umum, dan pengembangan
agribisnis khususnya. Fokus perhatian pada aspek itu dilandasi pemikiran
bahwa kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat sangat terkait denga
pembangunan pertanian, mengingat pertanian masih merupakan sektor yang
strategis dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat,
terutama masyarakat di pedesaan. Disamping itu, pemikiran peneliti untuk
lebih memfokuskan perhatian pada aspek pengembangan agribisnis dikaitkan
dengan peran tripartit pemerintah-swasta-masyarakat serta kualitas hidup
masyarakat adalah adanya kecendrungan bahwa dari berbagai sektor ekonomi
di Indonesia, sektor pertanian merupakan sektor yang relatif sarat dengan
campur tangan pemerintah, apa lagi jika kita memandang gejala itu pada
beberapa dekade sebelum era reformasi. Bahkan seara empiris peneliti dapat
menyebutkan campur tangan pemerintah yang sedemikian besar juga dalam
hal pengembangan organisasi dan kelembagaan petani.
Perspektif sosiologis mengenai hal itu akan dapat menjelaskan
bagiamana keseimbangan peran antar pemerintah, swasta, dan masyarakat
tidak pernah terjadi era itu. Selain campur tangan dalam proses produksi
176
Universitas Indonesia
ataupun pemasaran hasil usahatani dan agribisnis, pemerintah sering
menunjukkan dominasi peran dalam hal memobilisasi suatu gerakan
peningkatan produksi pertanian khususnya pertanian tanaman pangan (mohon
dibaca: padi), yang berkecendrungan pada aspek pencapaian target-target
produksi menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, tanpa memperhatikan
dan mencermati aspek pemerataan pembangunan. Sebagian dari pembaca
masih mengingat adanya gerakan BIMAS (Bimbingan Massal), INMAS
(Intensifikasi massal), yang sarat dengan kepentingan pemerintah saat itu
mendongkrak produksi pangan, dan usahatani pada umumnya.
Konsekuensinya adalah terjadinya banyak persoalan dan kendala yang saat ini
masih kita temukan dalam dinamika pembangunan pertanian kita.
Permasalahan dan kendala pembangunan pertanian yang dihadapi
sebagian besar masyarakat akan mempengaruhi kesejahteraan mereka yang
sangat bergantung pada sektor pertanian, khususnya komunitas petani di
pedesaan. Muaranya adalah, rendahnya kualitas hidup komunitas petani, atau
masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan data survai di lapagan, ternyata saat ini sudah tampak
adanya kecendrungan bergesernya peran pemerintah dengan diiringi
peningkatan peran masyarakat dalam peningkatan kualitas hidupnya. Hal ini
dapat dilihat dalam Tabel 5.14, mengenai persepsi responden terhadap peran
tripartit pemerintah-swasta-masyarakat dalam peningkatan kualitas hiudp
masyarakat. Meskipun tampak masih relatif tinggi, akan tetapi ternyata
masyarakat sedikit lebih tinggi perannya (43,51%) dibandingkan peran
pemerintah sebesar 41,17%, sementara peran swasta relatif masih rendah
(15,24%).
177
Universitas Indonesia
Tabel 6.6. Peran Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat MendukungPeningkatan QoL.
Peran TripartitPersepsi Responden
(%)
1. Pemerintah 41,172. Swasta 15,243. Masyarakat 43,51
_______________________________________________________________
Sumber: Penelitian Lapangan, 2010.
Peran pemerintah dalam memfasilitasi pembangunan desa, khususnya
peningkatan kualitas hidup masyarakat ditunjukkan dengan berkembangnya
fasilitas umum dan infrastruktur pedesaan yang menurut pengamatan peneliti
sudah memadai. Dalam kesempatan melakukan observasi wilayah desa,
tampak bahwa jalan-jalan di desa Sanggalangit sudah beraspal. Setiap akses
kerumah warga maupun ke lahan usahatani relatif didukung jalan yang
memadai. Fasilitasi pemerintah berupa program pengembangan agribisnis,
kembali dapat dikaji perannya dalam mendukung peningkatan kualitas hidup.
Indikator berupa pemenuhan kebutuhan primer terutama pangan relatif
mengalami peningkatan. Sebelum implementasi Prima Tani, sebagian besar
warga Sanggalangit menggunakan jagung sebagai bahan pangan untuk
dicampur dengan beras. Mengenai hal ini, petikan hasil wawancara dengan
informan dapat dicermati seperti beriktu ini:
“Iyaah,..maklum Pak, dulunya makanan pokok kami memang jagung,
sekarang saja setelah hasilnya baik bisa kami jual selain untuk makan.
Masyarakat disini makan nasi bercampur jagung (peneliti pun minta
dijelaskan lebih lanjut mengenai hal itu). Mengenai campurannya
biasanya kebanyakan warga disini yang masih mampu (istilah
halusnya barangkali untuk menyebut warga yang masih berada dalam
178
Universitas Indonesia
kemiskinan) campurannya 1 beras: 3 Jagung. Sebagian masyarakat
yang sudah agak mampu campurannya 1 beras: 2 jagung. Yang sudah
mampu jarang sekarang yang makan nasi campur jagung (Saya tahu
dan mengamati kalau keluarga Pak WM termasuk mampu sehingga
ketika dulu saya kesini sempat disuguhi makan nasi tanpa nasi campur
jagung). Saat ini sih, keadaanya sudah membaik. Jarang yang makan
nasi bercamur jagung 1 beras: 3 jagung. Sebagian besar kita makan
beras sekarang. Hanya untuk kepentingan menabung, atau sekedar
iseng makan nasi campur jagung. Ini kami syukuri karena hasil
usahatani kami sudah baik, sehingga kami mampu beli beras” (WM,
Maret 2010)
Keberhasilan usaha tani yang juga dikemukakan informan, tentunya
berdampak pada pendapatan petani yang juga semakin meningkat. Gambaran
lain yang mencerminkan peran pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam
mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat di Sanggalagit adalah
adanya fasilitasi dalam membangun instalasi jaringan air minum yang
bersumber dari mata air dari Pura Taman Sari. Saat ini, seperti yang
diungkapkan Kades, jaringan air minum sudah tersedia bagi hampir seluruh
rumahtangga. Hal ini ada pertaliannya dengan kualitas lingkungan dan
tingkat kesehatan masyarakat, yang semakin membaik. Sementara itu, subsidi
pendidikan dan kesehatan juga berperan cukup nyata dalam mendukung
tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam
menjaga dan memelihara fasilitas umum maupun infra struktur desa lainnya
diperlukan partisipasi masyarakat. Nilai kebersamaan, kegotongroyongan
yang berpedoman pada prinsip “ngayah” atau berbakti pada banjar juga
diterapkan untuk membangun dan menjaga fasilitas yang telah ada, sehingga
segala fasilitas itu mampu secara berkesinambungan mendukung peningkatan
179
Universitas Indonesia
kualitas hidup bersama, masyarakat Sanggalangit. Peran swasta tidak dapat
diabaikan dalam mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kontribusi sekecil apapun, baik langsung maupun tidak langsung sangat
mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Dukungan swasta dalam
penyediaan input usahatani, serta pemasaran produk usahatani masyarakat
petani merupakan salah satu andil swasta dalam meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
Pada dasarnya sub bab ini ditujukan untuk membahas dan menguji
hipotesa (6) peneilitian ini, yakni: :”Kuatnya peran tripartit dan ko-produksi
pemerintah-swasta-masyarakat akan meningkatkan kualitas hidup
maysarakat”. Pengujian secara statisitik inferensia peran tripartit pemerintah
–swasta-masyarakat (variabel independen) terhadap kualitas hidup dilakukan
secara simultan, mengingat kualitas hidup (QoL) merupakan variabel
dependen (endogen) dan merupakan variabel utama penelitian ini.
Berdasakan hasil uji regresi didapatkan model regresi linier dengan R
square sebesar 0,694 yang berarti bahwa seluruh variabel independen dapat
menjelaskan variabel kualitas hidup sebesar 69,4%. Selebihnya (30,6%)
dijelaskan faktor-faktor lain (Tabel 6.7).
Tabel 6.7. Model Regresi Pengaruh Peran Pemerintah, Swasta, Masyarakat,dan Koproduksi Ketiga Unsur Itu, Terhadap Kualitas Hidup.
180
Universitas Indonesia
Sementara, berdasarkan hasil regresi (Tabel 6.8), ternyata variabel
perspesi masyarakat tentang peran pemerintah, swasta, dan masyarakat
berpengaruh secara langsung terhadap kualitas hidup masyarakat. Peran
pemerintah dan sawasta, bahkan memiliki pengaruh yang sangat nyata dengan
p-value 0,000 yang bernilai lebih kecil dari level of significant (0,01).
Sedangkan peran masyarakat berpengaruh nyata secara langsung terhadap
kualitas hidup dengan p-value 0,036. Hasil uji juga menunjukkan tidak
adanya pengaruh secara langsung variabel ko-produksi terhadap kualitas
hidup. Pengaruh yang paling besar diperlihatkan oleh peran pemerintah
(0,231), kemudian Swasta 0,151 dan terakhir adalah peran masyarakat yang
memiliki dominasi pengaruh senilai -0,113 sesuai dengan nilai koefisien
beta standardized.
Tabel. 6.8. Pengaruh Peran Tripartit dan Ko-Produksi Pemerintah, Swasta,Masyarakat, Representasi Kapital, Terhadap Kualitas HidupMasyarakat.
181
Universitas Indonesia
6.3. Keberlakuan Hipotesis (5) dan (6) : Pengaruh Peran Tripartit danKoproduksi Pemerintah-Swasta- Masyarakat Terhadap PenguasaanKapital dan Kualitas Hidup.
Hubungan dan peran antara negara (pemerintah), korporasi (swasta),
dan masyarakat sering menjadi topik menarik dalam menganalisis teori-teori
pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Pembahasan mengenai peran
pemerintah, swasta dan masyarakat yang pada sebagian besar studi-studi
belakangan ini disebut sebagai hubungan tripartit, senyatanya melihat
bagaimana peran masing-masing kekuatan tripartit tersebut dalam
pembangunan, hingga mengkaji juga pola hubungan dan dominasi peran
elemen-elemen pembangunan tersebut. Arifin (2005:147-148)
mengemukakan negara ataupun pemerintah merupakan lembaga publik
dengan fungsi menyelenggarakan dan menciptakan kesejahteraan umum,
yang antara lain dilakukan dengan kegiatan-kegiatan pembangunan. Pada
kerangka ini, peran pemerintah (negara) dalam falsafah kemitraan tripartit
bergeser dari yang semula sebagai penggerak utama pembangunan, ke arah
peran sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan sosial ekonomi. Peran
tersebut meliputi perumusan kebijakan, fasilitasi infrastruktur, penyediaan dan
pengembangan inovasi teknologi, dukungan subsidi, anggaran pembangunan
yang berprinsip berkeadilan dan dukungan politik bagi pengembangan usaha
pertanian. Lembaga ini memiliki kekuasaan yang bersifat regulatif yang
berperan dalam mengatur kehidupan bersama. Dalam aspek ini, dapat
dijelaskan fungsi negara sebagai pengatur elemen-elemen pembangunan.
Sedangkan sektor swasta atau korporasi yang memiliki ruang gerak pada area
publik melalui produksi hingga transaksi jual-beli barang dan jasa yang
berorientasi pada keuntungan. Dunia usaha ini baik langsung maupun tidak
langsung memiliki peran yang sedemikian penting bagi pembangunan sosial
ekonomi nasional. Pada perkembangan terkini, sorotan yang relaif tajam
sering tertuju pada peran dunia usaha yang dianggap mementingkan orientasi
182
Universitas Indonesia
maksimalisasi keuntungan dan melupakan falsafah moral maupun tanggung
jawab sosial. Sementara, peran masyarakat yang berinteraksi pada ruang
publik atas dasar tata nilai dan perilaku sosial tertentu juga tidak dapat
diabaikan dan diakini memegang peranan pening dalam pembangunan, yang
saat ini tidak lagi hanya menjadi obyek pembangunan, melaikan bergeser
peranya sebagai subyek pembangunan sosial ekonomi bangsa. Peran dan
hubungan simteris dari ketiga elemen pembangunan itu, merupakan salah satu
prasarat utama dalam strategi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan, seperti
yang banyak diungkapkan dalam beberapa hasil studi belakangan ini, dan
disebut sebagai koproduksi antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, ternyata peran tripartit dan ko-
produksi berpengaruh nyata terhadap penguasaan kapital. Integrasi kebijakan
formal dan in-formal rule dalam upaya peningkatan penguasaan kapital dan
kualitas hidup menunjukkan hasil yang cukup memadai. Pemikiran mengenai
adanya kecendrungan peran tripartit dan ko-produksi dalam peningkatan
kapital maupun kualitas hidup dilandasi oleh hasil temuan penelitian Castelli,
ett.all (2009) yang menyataan adanya peran penting aspek kebijakan (policy
contect) dan kapital sosial dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Peneliti melakukan penyesuaian dan pengembangan temuan itu dengan
membahas peran tripartit dan koproduksi ketiga elemen pembangunan itu, dan
pengaruhnya terhadap representasi kapital. Selain itu, dalam penelitian ini
tidak hanya memfokuskan perhatian pada kapital sosial saja, melainkan juga
dengan tiga jenis kapital lain yang dikemukan Bourdieu (1986) yakni kapital
budaya, kapital politik, dan kapital ekonomi. Hal ini didasari pemikiran
bahwa representasi kapital dalam masyarakat sangat relevan untuk dianalisis
sebagai faktor yang mempengaruhi kualitas hidup (QoL) masyarakat.
Uji hipotesis (5) mengenai kuatnya pengaruh peran tripartit dan ko-
produksi pemerintah-swasta-masyarakat lokal terhadap penguasaan kapital,
ternyata dapat dibuktikan pada studi ini. Hal itu mengandung arti bahwa studi
ini berhasil menambah komponen analisis, yakni tidak hanya konteks
183
Universitas Indonesia
kebijakan pemerintah yang mempengaruhi penguasaan kapital sosial,
melainkan diperlukan peran elemen lain dalam pembangunan, yaitu peran
swasta dan masyarakat serta ko-produksi antar ketiga elemen itu.
Peran pemerintah berupa dukungan inovasi dalam operasionalisasi
program pembangunan, dalam hal ini pegembangan agribisnis ternyata sangat
diperlukan untuk mendukung pengembangan usaha yang bermuara pada
terjadinya akumulasi peningkatan penguasaan kapital dalam masyarakat.
Indikator lainnya dari peran pemerintah adalah kebijakan subsidi yang juga
masih sedemikian penting untuk merangsang kegiatan ekonomi masyarakat,
selain perlunya dukungan kebijakan anggaran yang sensitif terhadap
kebutuhan masyarakat. Dukungan politik ternyata masih diperlukan dalam
rangka menjaga stabilitas usaha ekonomi masyarakat. Hal ini dikuatkan oleh
pendapat beberapa komponen pembangunan di daerah seperti yang terungkap
dari petikan wawancara mendalam dengan anggota DPR Kabupaten Buleleng
sebagai berikut:
“Kita selalu mendorong pemerintah daerah dan mendukung kebijakan
anggaran yang pro terhadap kebutuhan petani. Tahun berjalan bisa
dibayangkan, APBD hanya 780 M. 580 M adalah jenis belanja
pegawai. Kita harus menigkatkan lagi pemenuhan untuk pembangunan
daerah, terutama pertanian kita yang semakin mengenaskan. Saya bisa
tambahkan..... Pertanian semakin mengenaskan (Bahkan beliau
menyampaikan bahwa sudah menulis di salah satu media surat kabar
lokal dengan topik itu)..... maksud saya agar pemerintah lebih fokus
lagi pada pertanian. Dulu pengembangan anggur relatif baik, tapi
pemasaran kurang, perstisida naik harganya, begitu juga pupuk.
Akhirnya petani kembali ke pertanian yang konvensional hanya
mengusahakan padi dan jagung lagi, yang nota benenya kurang
berorientasi pada peningkaan pendapatannya. Pajak lahan pertaian
184
Universitas Indonesia
juga terus meningkat. Ini sudah kami usulkan kepemerintah agar
untuk lahan pertanian pajaknya bisa dibijaksanai... tetapi ini urusan
Kementerian Keuangan... Pusat lagilah urusannya. Bayangkan pajak
saja bisa 1 juta per tahuan per ha, kemudian ditambah iuran subak
3000 rp per are pertahun atau sekitar 300 ribu... Berat jugalah untuk
petani kita. Ini yang kami perjuangkan sekarang” (Bapak S, Anggota
DPR Buleleng, Maret 2010).
Petikan pendapat dari anggota legislatif di daerah penelitian dapat
menggambarkan makna bahwa dukungan politik pihak eksternal masyarakat
petani relatif baik, terutama dukungan politik dari anggota legislatif.
Kebijakan anggaran juga disinggung hingga masalah subsidi pajak untuk
lahan pertanian yang menurut masyarakat perlu disesuaikan dengan
reorientasi kebijakan perpajakan. Sementara, dari petikan wawancara di atas
tampak bahwa peran swasta masih relatif kurang, sehingga perlu
ditingkatkan, terutama dengan upaya pengembangan kemitraan usaha, baik
yang difasilitasi pemerintah maupun inisiatif masyarakat. Peran yang
dimainkan swasta bagi peningkatan kapital masyarakat antara lain adalah
adanya dukungan investasi dan permodalan. Selain itu dukungan penyediaan
sarana produksi dan pemasaran hasil usahatani juga masih belum seperti yang
diharapkan masyarakat. Kepentingan bisnis dan orientasi keuntungan masih
mendominasi kepentingan swasta, sehingga untuk mendukung pengembangan
usahatani yang diharapkan bermuara pada peningkatan penguasaan kapital
dan kualitas hidup masih memerlukan peningkatan. Ini pun terungkap dari
hasil pengamatan (observasi) peneliti, yang melihat rendahnya dukungan
swasta, terutama diindikasikan oleh kondisi di lapangan yang relatif jauh dari
jangkauan kegiatan bisnis ekonomi yang dilakukan swasta. Petikan
wawancara dengan salah satu informan juga menggambarkan keadaan itu
seperti berikut:
185
Universitas Indonesia
“Betul memang, swasta kita harapkan mau lebih meningkatkan
kerjasamanya. Tapi memang relatif belum berkembang mengingat
mungkin mereka memandang kecilnya peluang bisnis di desa kami.
Mereka kan melihat peluang, dimana kami di sini kan dominan
masyarakatnya petani. Hanya saja untuk mengelola sumberdaya alam
mereka ada yang berminat untuk pengembangan air minum” (Kepala
Desa, 24 Maret 2010).
Pada sisi lainnya, peranan masyarakat sangat dominan dalam
mendukung penguasaan kapital, terutama tampak sekali dari hasil observasi
lapang adalah adanya kecendrungan meningkanya penguasaan kapital sosial
dalam masyarakat yang terdistribusi secara merata. Penguasaan kapital,
dalam hal ini yang banyak ditentukan dari pola jaringan sosial masyarakat
sangat tampak dari kuatnya relasi kepentingan (interes), relasi sentimen
hubungan kekeluargaan, dan relasi power dalam komunitas banjar. Pola relasi
sedemikian tampak terpola dalam masyarakat, yakni berdasarkan hubungan
kekerabatan, hubugan kekeluargaan, dan yang banyak peneliti amati adalah
relasi antar petani pelaku agribinis yang relatif “seumuran”. Lebih lanjut,
prinsip atau nilai “apang pada payu” atau agar semua bisa berjalan sama-
sama yang ada dalam komunitas banjar di Bali, sangat kental nuansanya.
Peran masyarakat dan potensi lokal relatif kuat hubungannya dengan
penguasaan kapital. Lingkungan fisik komunitas banjar dan potensi fisik
banjar memiliki pertalian yang sangat erat dengan representasi kapital.
Berdasarkan pengamatan peneliti, unsur fisik banjar teryata dapat mewadahi
berbagai kegiatan sosial dan ekonomi menunjang penguasaan kapital warga
banjar. Balai banjar sebagai salah satu unusur fisik banjar dapat dimanfaatkan
oleh warga banjar sebagai wahana bertemu dan membina relasi sosial mereka,
disamping dapat juga berfungsi sebagai media untuk menerima informasi dari
dalam maupun luar banjar. Pura, merupakan salah satu unsur yang sangat
186
Universitas Indonesia
penting bagi warga banjar. Tempat suci bagi umat Hindhu tersebut salah
satunya berfungsi sebagai tempat “mesilakrama” saling berbagi dan bertemu
membina keakraban antar warga. Sementara nilai-nilai berbanjar secara
konsisten relatif masih dijaga dan dianut sebagai penuntun segi-segi
kehidupan sosial berbanjar, yang secara tertulis juga dituangkan dalam “awig-
awig” banjar. Nilai-nilai berbanjar secara fleksibel juga dapat menerima
berbagai nilai lain dari luar banjar, tentu dengan berbagai proses adaptasi
sosial. Hal itu sering peneliti temukan dalam kegiatan sosial ekonomi warga.
Sebagai contoh, dalam suatu kesempatan sosialisasi kegiatan sistem pertanian
terintegrasi yang dilaksanakan pemerintah propinsi di lokasi penelitian,
tampak sekali para petani yang sekaligus warga banjar tampak masih
mengedepankan nilai-nilai berbanjar yang diantaranya ditunjukkan dengan
cara mereka menerima “tamu” dari propinsi dan pemerintah kabupaten, cara
mereka berbicara dan menyampaikan pendapat dalam kegiatan dimaksud,
serta perilaku yang masih kental diwarnai nilai-nilai berbanjar. Sementara itu,
berdasarkan pegamatan peneliti dalam kegiatan yang sama juga menemukan
adanya peran kepemimpinan banjar yang erat kaitannya dengan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan itu. Pemimpin banjar maupun para tokoh banjar
yang tidak berada dalam struktur kepemimpinan banjar (prajuru banjar)
terlihat sangat berperan dalam menarik partisipasi warga banjar.
Adapun Uji hipotesis (6) mengenai kuatnya pengaruh peran tripartit
pemerintah-swasta-masyarakat lokal terhadap kualitas hidup masyarakat juga
terbukti dapat diterima. Peran masing-masing unsur pembangunan dalam
menunjang kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat akan memerlukan
dukungan berupa fasilitasi, dukungan inovasi, kebijakan anggaran dan
dukugan politik, disamping dengan memperhatikan unsur pelayanan publik
dan peningkatan akses masyarakat terhadap sarana prasarana umum. Pada sisi
lainnya peran swasta dalam mendukung peningkatan kualitas hidup masih
sangat diperlukan terutama dalam melakukan investasi usaha yang tetap
memperhatikan tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Sedangkan peran
187
Universitas Indonesia
masyarakat tentunya masih terus harus ditingkatkan dengan memelihara
potensi fisik lingkungan komunitas banjar, dan tetap mejaga nilai-nilai tradisi
mendukung peningkatan kualitas hidup sesama warga banjar, ditunjang oleh
semakin berkembangnya kepemimpinan banjar dan partisipasi masyarakat
dalam setiap kegiatan banjar.
Keberlakuan hipotesa (5) dan (6) dari studi ini erat pertaliannya
dengan terintegrasinya lingkungan kebijakan yang diinisiasi pemerintah di
level makro dengan informal rules di level messo dan mikro, khususnya
dalam konteks pengembangan agribisnis di pedesaan. Mekanisme
perencanaan kebijakan dan program telah menunjukkan kesesuaian dengan
kondisi indegenous lokal setempat yang salah satunya tercermin dalam
operasionalisasi program Primatani di lokasi penelitian. Pada konteks ini
peneliti mencoba mencermati implementasi Primatani di lokasi penelitian
yang pada intinya berupa model pengembangan agribisnis pedesaan berbasis
komunitas lokal. Dalam kerangka teori institusional baru (new
institutionalism) yang digagas Nee (2005) ternyata implementasi program
Primatani merupakan sebuah terobosan pemerintah yang masih memerlukan
dukungan pihak swasta dan masyarakat lokal dalam hal pengembangan
agribisnis berbasis inovasi teknologi usahatani. Pada konteks itu terdapat
suatu rasionalitas yang terikat pada setting yang dibentuk oleh adat, jaringan
sosial, norma, dan kepercayaan masyarakat, dalam hal ini komunitas banjar
yang sedemikian lekat dengan kehidupan sosial masyarakat di Bali.
Mekanisme perencanaan pembangunan seperti tampak pada Gambar
6.1 cukup memadai untuk menjelaskan bagaimana pemerintah berupaya
mengintegrasikan aturan-aturan formal berupa kebijakan formal di level
makro (lingkungan kebijakan atau lingkungan instiusioal) dengan in formal
rule di level mikro, yakni pada aktor ataupun kelompok tani di lokasi
penelitian. Peraturan-peraturan dan kebijakan formal yang harus diacu dalam
pembangunan pertanian tetap menjadi pertimbangan utama dalam
mengintegrasikan kebijakan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat
188
Universitas Indonesia
(komponen masyarakat) agrbisnis pedesaan. Pada sisi yang lain, aktor pelaku
agribisnis di pedesaan berperilaku ekonomi berbasis pada kepercayaan
bersama, nilai-nilai yang dalam studi ini adalah nilai-nilai berbanjar, serta
norma yang berlaku pada tataran lokal mengarahkan aktor pelaku agribisnis
yang sekaligus sebagai anggota komunitas banjar dalam mengejar
kepentingan mereka melalui sistem dominan yang berbasis pada elemen
formal. Keterkaitan atau integrasi antara lingkungan kebijakan dengan relasi
informal yang mengikat aktor dalam mengejar keuntungannya disebutkan
sebagai kerangka institusional. Gambaran kondisi itu, analog dengan
penjelasan salah satu informan kunci di lingkungan Departemen Pertanian,
yang mengemukakan proses perencanaan dan operasionalissi suatu program
ataupun kegiatan pembangunan pertanian.
KebijakanDeptanProgramPemb.Pertanian
Kebijakan &ProgramSubSektor Pertanian
Institusi Pertanian
PEMDA
Musyawarah Perencanaan:-Nasional
- Propinsi; Kab/Kota
Kebijakan NasionalKebijakan Regional
Kebijakan Operasional
LEGISLATIF
KomponenMasyarakat
RENCANAKERJA
PENYUSUNAN ANGGARAN PEMBANGUNAN
OPERASIONALISASI
EVALUASIKEGIATAN
PEMBAHASANKEGIATAN
UMPANBALIK
Gambar 6.1. Mekanisme Perencanaan Pembangunan PertanianSumber: Hasil Wawancara Dengan Salah Satu Informan di Deptan (2009)
189
Universitas Indonesia
Pada kerangka kegiatan agribisnis pedesaan, lingkungan institusioal
dalam bentuk kebijakan formal pembangunan pertanian secara dinamis dan
kontekstual berlangsung menjadi kerangka dalam mengarahkan tindakan
ekonomi petani warga banjar. Dalam kerangka implementasi program
Primatani di Sanggalangit, lingkungan institusional itu mampu memfasilitasi
terbentuk dan terdistribusinya struktur insentif, dalam hal ini berupa
penguasaan kapital dan peningkatan kualitas hidup aktor pelaku agribisnis.
Dengan demikian lingkungan institusional tersebut mampu bertahan dan
berjalan sebagai basis yang mengarahkan tindakan ekonomi aktor ataupun
kelompok yang dalam hal ini ditemukan dalam bentuk kelompok tani–ternak
di lokasi penelitian. Akan tetapi, jika lingkungan institusioanl tidak dapat
menghasilkan dan menjaga struktur insentif akan terjadi apa yang disebut Nee
sebagai decoupling atau ketidakserasian lingkungan intitusional dengan
informal rule di level makro. Sementara, sesuai dengan hasil observasi dan
wawancara mendalam dengan informan kunci di lokasi penelitian, sejak
implementasi Primatani hingga saat ini tampak masih terus berlangsung
adanya gejala terintegrasinya lingkungan institusional dengan relasi informal
yang mengarahkan tindakan pelaku ekonomi, yakni para petani anggota
banjar. Proses keberlangsungan integrasi formal –informal rules tersebut,
ditunjukkan dari temuan penelitian seperti berikut ini.
Bahwa Proses inisiasi Prima Tani pada lokasi penelitian, seperti
halnya pada seluruh lokasi Prima Tani di Indonesia diawali dengan
identifikasi masalah dan potensi pengembangan agribisinis. Hal ini dilakukan
dengan melakukan pemahaman pedesaan (lokasi) secara partisipaif
(Partcipatory Rural Appraisal/PRA) yang mengandung makna adanya
keterlibatan masyarakat lokal terutama petani, dalam merencanakan rancang
bangun pengembangan agribisnis pedesaan. Tahapan berikutnya adalah
menentukan dan mengimplementasikan teknologi dan kelembagaan pertanian
yang sesuai dengan kebutuhan ataupun masalah yang ada, dengan melibatkan
190
Universitas Indonesia
partisipasi oleh semua stakeholders yakni petani, penyuluh, peneliti,
pemerintah daerah, dan swasta8. Dalam proses perencanan dan pelaksanaan
Prima Tani dilakukan empat pendekatan meliputi (i) pendekatan agro-
ekosistem yang memperhatikan kesesuaian pengembangan agribisnis dengan
kondisi bio-fisik; (ii) pendekatan agribisnis itu sendiri dengan memperhatikan
struktur dan keterkaitan sub-sistem penyediaan input, usahatani (on farm),
pascapanen dan pengolahan hasil produksi, pemasaran, dan kelembagaan
penunjang dalam satu sistem agribisnis, (iii) pendekatan kelembagaan yang
berarti bahwa pelaksanan Prima Tani tidak hanya memperhatikan keberadaan
dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan
input dan output, tetapi juga mencakup modal sosial, norma, dan auran yang
berlaku di lokasi pengembangan, (iv) pendekatan pemberdayaan masyarakat
secara partisipatif menekankan perlunya penumbuhan kemandirian aktor
petani dalam memanfaatkan potensi sumber daya pedesaan atau potensi
banjar, dalam konteks studi ini.
Pada kasus Primatani di Sanggalangit entry point kegiatan adalah
implementasi teknologi embung, mengingat masalah ketersedian sumberdaya
air dan jaringan irigasi yang tidak memadai. Hal ini selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh informan kunci studi ini seperti berikut:
“Prima Tani merupakan kegiatan semacam laboratorium lapangnya
peneliti dari BPTP Bali. Kegiatan ini awalnya diarahkan untuk
membangkitkan gairah bertani anggota masyarakat. Diawali
dengan pengembangan teknologi “embung” maka ketersediaan air
bagi budidaya pertanian dan ternak terutama di musim kemarau
menjadi semakin membaik. Pembuatan embung dilakukan bahu
membahu antara pemerintah kecamatan, desa, aparat dinas terkait,
8 Disarikan dari hasil wawancara mendalam dan Laporan Kegiatan Prima Tani , BPTP 2008.
191
Universitas Indonesia
dan tentu dari petugas BPTP. Selanjutnya dilakukan musyawarah
untuk menentukan jenis usaha agribisnis yang sesuai, yang akhirnya
ditetapkan usaha agribisnis terpadu yakni usaha pertanian
dipadukan dengan ternak sapi, dan lebih diarahkan kepada pertanian
organik. Prima Tani juga memperkenalkan pola kelompok dan
pembentukan lembaga petani yang ditujukan untuk wadah
koordinasi dan komunikasi dalam kegiatan agribisnis, dan juga
untuk mengembangkan jaringan usaha dengan pihak luar desa.
Perlahan sejak beberapa tahun terakhir anggota masyarakat mulai
merasakan dampak dari inovasi yang dikembangkan di desa ini.
Produktivitas usahataninya semakin meningkat, usaha ternak sapi
yang bermula dari bantuan kredit lunak menjadi salah satu sumber
pendapatan yang sebelumnya tidak ada. Usaha ternak ternyata juga
menghasilkan pupuk organik dengan mengunakan teknologi
sederhana mampu menghasilkan pupuk organik yang dikelola
secara kelompok. Bahkan produksi pupuk organik cukup
menjajikan dengan datangnya permintaan yang meningkat dari
waktu ke waktu oleh beberapa relasi dari luar desa, bahkan luar
kecamatan. Pembuatan pupuk organik ini dikelola secara kelompok
dengan memanfaatkan limbah pertanian dan limbah ternak melalui
teknologi fermentasi sederhana seperti yang diinisasi oleh BPTP,
dan hasilnya dibagi dalam setiap periode waktu tertentu untuk
menambah pendapaan dan modal petani. Sungguh-sungguh hal
yang luar biasa, yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh
masyarakat disini (KW, September 2009).
Menurut penjelasan penanggung jawab Prima Tani di Sanggalangit,
saat ini sudah terbangun 63 embung terdiri dari 41 embung besar dan 22
embung kecil yang mampu mengatasi permasalahan utama ketersedian air
192
Universitas Indonesia
untuk usahatani. Oleh karena itu, masalah kesulitan kegiatan budidaya di
musim kemarau dapat diatasi, sehingga kegiatan usahatani berlangsung
sepanjang tahun. Gairah petani semakin meningkat seiring dengan lancarnya
pasokan air bagi kegiatan usahataninya. Bermula dari sinilah kemudian ide-
ide untuk lebih meningkatkan skala usahatani masyarakat terus meluas.
Budidaya jagung tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pangan, pakan,
ataupun pendapatan mereka. Ide untuk melakukan diversifikasi usaha terus
diupayakan petani, sehingga tuntuan atas inovasi teknologi pertanian juga
meningkat. Seperti yang diungkapkan oleh petani, dalam perjalanan kegiatan
Prima Tani sudah sedemikian banyak teknologi yang diadopsi, meliputi
teknologi budidaya, teknologi pasca panen, dan tidak ketinggalan inovasi
kelembagaan.
Inovasi yang sangat menonjol dan diyakini petani sangat berperan
membantu peningkatan pendapatan mereka adalah penerapan inovasi yang
diiisiasi BPTP berupa sistem pertanian terintegrasi, yakni inovasi “Cropp
Livestock System” yang mengintegrasikan usaha tani dengan ternak sapi.
Sistem ini juga dirasakan petani sangat menunjang kelestarian lingkungan
mengingat salah satu output dari sistem ini adalah pupuk organisk yang
diprodusi dengan sistem fermentasi. Produk berupa pupuk ini, menurut
pengamatan peneliti sangat membantu menambah pendapatan petani, di luar
komoditas utama yang diusahakan.
Inovasi kelembagan juga relatif berperan dalam mendukung kegiatan
agribisnis masyarakat. Salah satu yang menonjol disamping pesatnya
pertumbuhan kelompok tani, juga terjadi gejala semakin meningkatnya ragam
kelembagaan pendukung pengembangan agribisis di Sanggalangit. Koperasi
ternak “Dharma Satwa” sebagai contoh, telah menunjukkan peningkatan
performa usaha di bidang penyaluran input produksi ternak sapi, dan juga
penyaluran pupuk organik yang diproduksi kelompok-kelompok tani di
193
Universitas Indonesia
Sanggalangit. Menurut informasi dari salah satu anggotanya yang ditemui
dalam satu kesempatan mengutarakan bahwa sisa hasil usaha koperasi itu
cukup untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak terduga, atau disimpan di
LPD (Lembaga Perkreditan Desa) yang berlokasi di sebelah kantor desa.
Tumbuh dan berkembangnya kelembagaan usahatani seperti kelompok
tani, lembaga simpan pinjam, dan juga koperasi, secara tidak langsung
meningkakan aktivitas masyarakat petani. Interaksi dengan pihak luar baik
dari anggota biasa ataupun pengurus kelompok-kelompok itu, menjadi
semakin terjalin. Demikian pula relasi sosial antar anggota kelompok juga
menjadi semakin kuat. Pengalaman peneliti saat mendampingi Tim Kerja dari
Komisi IV DPR RI pada bulan Juni 2007 juga dapat diungkapkan dalam
bagian ini, terutama menyangkut apresiasi anggota legislatif Komisi IV DPR
RI, yang sedemikian tinggi terhadap kemajuan perkembagan pembangunan
agribisnis di Sanggalangit. Pengembangan agribisnis seperti diuraikan
dimuka, berdampak pada terjadinya perubahan representasi kapital dan juga
kualitas hidup masyarakat. Sebelum Prima Tani dilaksanakan di
Sanggalangit, rata-rata pendapatan petani sangat rendah. Penguasaan kapital
ekonomi berupa aset sumberdaya ekonomi rata-rata juga rendah. Akan tetapi
saat ini sudah mulai menunjukkan peningkatan disamping adanya dukungan
penguasaan bentuk kapital lainnya, seperti kapital sosial, budaya, dan kapital
politik. Menurut pengamatan peneliti, kapital sosial merupakan bentuk
representasi kapital yang menonjol di Sanggalangit. Uangkapan salah satu
informan studi ini (KS, Maret 2010) yang mengatakan bahwa “makentanan”
adalah modal kita hidup saya maknai dengan pengertian bahwa pertemanan,
relasi, dan interkasi dengan aktor lain akan menambah network kita. Hal itu
tercermin dari sedemikian mengalirnya pola relasi sosial yang ada di dalam
masyarakat petani komunitas banjar, maupun dalam menerima pihak luar.
Dalam satu kesempatan acara ramah tamah dengan beberapa warga
masyarakat, peneliti dapat merasakan kentalnya pola relasi sosial antar warga
masyarakat banjar di Sanggalangit. Pentingnya network yang dibangun
194
Universitas Indonesia
berlandaskan hubungan pertemanan, kenalan jauh, dan interaksi dengan aktor
lain diyakini informan (KW) bermanfaat bagi dirinya dengan mengemukakan
seperti berikut.
“Baru terasa manfaat relasi dan hubungan baik antar tetangga, maupun
dengan kenalan jauh dari luar desa seperti kalangan aparat pemerintah,
tokoh-tokoh politik, dan relasi dari kalangan usaha. Semakin
berkembang relasi saya, maka saya merasakan semakin yakin
melakoni usaha agribisnis saya (Hal ini dirasakan setelah aktif
berpartisipasi dalam kegiatan kelompok tani-ternak). Bahkan dengan
kunjungan Bapak-bapak termasuk dari Pusat, saya rasakan sangat
membantu usaha saya (digambarkan pengalamannya mengenai
sulitnya mengendalikan penyakit yang menyerang usahatani
mangganya, dan dengan mengenal seorang Doktor bidang penyakit
tanaman, ternyata saya mendapatkan resep dan obat dari Bapak itu,
dan sampai sekarang usaha tani mangga saya tidak mendapat kendala
yang berarti, hubungan baik kami pun terus terjaga)”. Hasil
Wawancara dengan KW (4 Oktober 2009).
Berdasarkan pengamatan peneliti, secara riil peningkatan jumlah
maupun kualitas kelembagaan maupun organisasi dalam pengembangan
agribisnis telah menunjukkan eksistensinya, yakni tidak hanya didirikan
secara formal untuk vakum tanpa kegiatan. Terdapat beberapa kegiatan yang
masih peneliti temui, termasuk dalam hal bagaimana kelompok tani masih
secara konsisten dan berkelanjutan merumuskan rencana pengembangan
usaha tani kelompok, kemudian juga merumuskan perencanaan dan
koordinasi dengan lembaga lainya seperti dengan dinas-dinas terkait maupun
dengan koperasi yang menunjang aspek permodalan usaha maupun pemasaran
hasil produksi usahatani kelompok maupun aktor. Akan tetapi pengembangan
agribisnis melalui akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian,
195
Universitas Indonesia
belum sepenuhnya berhasil meningkatkan representasi kapital budaya maupun
kapital politik dalam komunitas agribisnis berbasis banjar. Hal ini terungkap
dalam kesempatan wawancara mendalam kami dengan informan di
Sanggalangit, seperti yang dijelaskan berikut ini.
“Modal budaya masyarakat disini relatif merata, tidak ada yang
menonjol. Pemanfaatan modal ini kurang nyata kelihatannya dalam
kehidupan sosial kita. Memang tampak bagi beberapa kalangan seperti
pemangku (pemimpin agama dan penanggung jawab pura tertentu),
pendeta masih dipandang dan mendapat sedikit kesempatan yang lebih
baik dalam memperoleh fasilitas pendidikan, kesehatan, ataupun
peluang berusaha. Selain itu ada beberapa kalangan dari keluarga
bekas pejuang (maksudnya VETERAN) dan juga mantan Bendesa
adat masih dihormati dan dihargai dalam memperoleh kesempatan-
kesempatan itu”. Ungkapan KW dalam wawancara tanggal 4 Oktober
2009.
Penjelasan di atas selaras dengan pandangan Bourdieu (1986) yang
mengemukakan secara rinci dimensi kapital budaya yang merujuk pada
keadaan (state), yakni embodied state yaitu kapital yang keadaannya
mewujud pada badan agen. Secara harfiah hal ini mengandung pengertian
bahwa aktor sebagai manusia mengandung potensi kapital tersendiri, berupa
kekuatan ataupun kemampuan yang melekat pada aktor, seperti halnya kasta
pada masyarakat Bali ataupun pemafaatan kapital budaya sebagai
“Pemangku” yang melekat pada aktor. Demikian juga kapial budaya yang
dimanfaatkan aktor yang kebetulan sebagai Veteran misalnya, masih jelas
dihargai oleh masyarakat setempat. Oleh karenanya, aktor-aktor tersebut
secara relatif memiliki peluang yang lebih jika dibandingkan aktor lainnya
sesama anggota komunitas banjar, dalam memperoleh akses berkehidupan
sosial. Sementara kapital budaya dalam dimensi obyektif maupun
196
Universitas Indonesia
institusional, belum begitu tampak pada komunitas agribisnis di Sanggalangit.
Jika dilihat dari data pendidikan rata-rata masyarakat Sanggalangit yang
masih relatif rendah (lebih dari 60% berpendidikan SD) , maka tentunya
representasi kapital budayanya juga relatif tidak berkembang.
Representasi kapital politik juga relatif belum berkembang, yang
diindikaskan oleh penjelasan lebih lanjut dari informan (KW, Oktober 2009),
seperti berikut ini.
“Pemanfaatan modal politik umumnya masih dimanfaatkan oleh
segelintir orang saja. Dengan kekuasaan, kepintaranya bergaul dengan
politisi, ataupun melalui status sosial yang disandangnya maka
sebagian anggota masyarakat itu dapat memanfaatkan modal
politiknya bagi peningkatan kesempatannya memeperoleh kemudahan
di segala bidang termasuk bagi peningkatan kesejahteraannya
(maksudnya kualitas hidupnya)” Demikian secara lugas KW
mengemukakan bagaimana informan itu memaknai representasi kapital
politik pada komunitas agribisnis berbasis banjar di desanya.
Hal itu sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti
misalnya yang peneliti amati bahwa kadang-kadang petugas kesehatan di
Puskesmas misalnya masih membedakan pelayanananya menurut status sosial
dan siapa yang datang berobat. Jika dari kalangan atas (maksudnya elit desa)
tentu pelayanan kesehatan yang diberikan berbeda dengan masyarakat lainnya.
Gejala itu sesuai dengan pandangan Svendsen&Svendsen ( 2003), yang
mengemukakan mengenai kapial politik yang diperoleh aktor sebagai akibat
penghargaan masyarakat terhadap karisma, ikatan moral, sistem meritokratis,
dan dominasi yang melekat pada aktor.
Selanjutnya adalah pembahasan mengenai representasi kapital
ekonomi di daerah penelitian. Menurut pengamatan maupun hasil wawancara
dengan informan maupun sumber-sumber lain di lokasi penelitian, kapital
ekonomi merupakan jenis kapital yang sangat berarti dan paling besar
197
Universitas Indonesia
kontribusinya bagi pencapaian peningkatan kualitas hidup komunitas
agribisnis. Peningkatan pendapatan yang dirasakan sebagai dampak
penerapan inovasi teknologi unggul dalam pengembangan agribisnisnya,
dirasakan telah membawa aktor kepada peningkatan kualitas hidup yang lebih
baik dibandingkan sebelum adanya program pengembangan agribisnis melalui
kegiatan Prima Tani.
“Bagaimanapun juga modal ekonomi berupa “uang” dan keterampilan
berusaha sangat penting dalam memperoleh kesempatan pendidikan,
kesehatan, maupun menjaga lingkungannya, serta dalam hal
memperoleh kesempatan kerja. Saat ini kan “uang adalah segalanya”.
Di sini pun demikian. Walaupun di desa seperti ini, uang tetap
menjadi alat yang ampuh bagi penyelesaian segala urusan. Ungkapan
informan (KW) yang diwawancarai pada 4 Oktober 2009.
Kepemilikan modal “uang” merupakan indikasi utama penguasaan
kapital ekonomi, dan diyakini sebagai sesuatu yang dianggap segalanya.
Bahkan dengan uang segala urusan dapat diselesaikan. Demikian informan
memaknai kapital ekonomi berupa “kepemilikan uang” oleh aktor dalam
komunitas agribisnis di daerah penelitian. Meskipun hal ini juga disebutkan
dalam pemikiran Svendsen & Svendsen (2003) mengenai dimensi kapital
ekonomi menurut Bourdieu (1986), tetapi kapial ekonomi itu sendiri tidak
hanya berupa kepemilikan modal uang saja, melainkan juga dibangun atas
kepemilikan aset produksi seperti sumberdaya lahan, kemudian juga dibangun
atas semangat kewirausahaan aktor, maupun keterampilan dan
profesionalisme aktor dalam menjalani kehidupan sosialnya, dalam hal ini
pada komunitas agribisnis berbasis banjar di Bali.
Ikhtisar dari keseluruhan pembahasan pada Bab ini adalah adanya
keberlakuan konsep Nee (2005) mengenai New Institutionalism. Konstruksi
198
Universitas Indonesia
sosial komunitas petani berbasis banjar di Sanggalangit diwarnai oleh
dinamika pembangunan yang diinisiasi pihak eksternal melalui pendekatan
top down–policy. Implementasi Prima Tani dalam pengembangan agribisnis
tidak terlepas dari peran lingkungan kebijakan di level makro untuk
mensinkronisasikan dengan kebijakan pemerintah daerah di level messo, serta
dengan relasi informal di level mikro. Pada konteks ini, Prima Tani sebagai
proses introduksi inovasi teknologi dan kelembagaan usahatani yang
berlandaskan formal rules berupa peraturan perundang-undangan formal
kepada relasi informal di level mikro, berhasil diterima oleh kelompok atau
aktor dalam komunitas agribisnis di Sanggalangit, yang didukung juga oleh
kelenturan (fleksibilitas) sistem banjar sebagai organisasi sosial tradisi yang
sarat dengan in-formal rules. Keberhasilan itu ditentukan oleh adanya
struktur insentif terutama bagi relasi informal dalam kegiatan Prima Tani.
Struktur insentif itu berupa inovasi teknologi dan kelembagaan yang akhirnya
bermuara pada diperolehnya keuntungan oleh relasi informal berupa
peningkatan kapital sosial, budaya, politik, dan kapital ekonomi. Oleh karena
itu Prima Tani yang cenderung bersifat top-down policy dapat menunjukkan
keberhasilannya, dan terjaga secara berkelanjutan, karena mampu secara
terus-menerus memberikan insentif bagi relasi informal di Sanggalangit.
6.4. Analisis Jalur Hubungan Antar Variabel Yang Mempengaurhi QoL
Temuan penelitian tentang pengaruh masing-masing kapital terhadap
kualitas hidup dan peran tripartit: pemerintah-swasta-masyarakat terhadap
penguasaan kapital dalam masyarakat, serta pengaruhnya terhadap kualitas
hidup telah dijelaskan pada bagian terdahulu ari Disertasi ini. Pembahasan
temuan penelitian dalam satu model hipotetik hubungan antar variabel yang
mempengaruhi kualitas hidup, diyakini akan dapat memperkaya hasil studi
ini. Oleh akrena itu, pada sub bab ini akan dibahas hasil analisis jalur (path
analysis) hubungan antar variabel penelitian. Pemikiran peneliti atas model
199
Universitas Indonesia
hubungan antar variabel penelitian ini (Gambar 6.2) dilandasi oleh beberapa
gagasan yang antara lain dikemukakan oleh Castelli, et.all (2009) mengenai
model hubungan pengaruh lingkungan kebijakan terhadap kapital sosial dan
pelayanan publik yang bermuara pada kualitas hidup masyarakat; pemikiran
Nee (2005) mengenai perlunya pendekatan kelembagaan baru (new
institutionalism), serta gagasan Bourdieu (1986) mengenai refomulasi bentuk
kapital menjadi empat jenis kapital yang erat pertaliannya dengan bagaimana
agen memperoleh dan menguasai kapital dalam rangka meningkatkan kualitas
hidupnya.
Gambar 6.2 merupakan model hipotetik hubungan antar variabel yang
menjelaskan bahwa peningkatan kualitas hidup komunitas agribisnis
merupakan muara dari adanya pengaruh variabel-variabel lain berupa
representasi kapital (kapital sosial, budaya, politik, dan ekonomi), pengaruh
posisi aktor dalam sistem straifikasi sosialnya, serta pengaruh dari adanya
peran tripartit dan ko-produksi antara elemen-elemen pembangunan yakni
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan pemikiran tersebut dilakukan
analisis regresi berganda (multiple regression), untuk melihat pengaruh
masing-masing variabel eksogen tersebut.
e1
1
e2
200
Universitas Indonesia
Model Pertama, adalah analisis regresi untuk mengetahui
pengaruh semua variabel eksogen terhadap variabel endogen, yang
dalam hal ini adalah kualitas hidup (QoL). Hasil analisis regresi
dapat dicermati sesuai tabel 6.8 yang telah disajikan pada sub bab
terdahulu Disertasi ini. Berdasarkan hasil tersebut dapat
dekemukakan bahwa keseluruhan variabel eksogen berupa peran
tripartit koproduksi pemerintah, swasta dan masyarakat,
representasi kapital dan stratifiasi sosial dapat mejelaskan variabel
endogen (kualitas hidup) sebesar 69,4% yang ditunjukkan dari nilai
R square ringkasan model regresi tersebut. Sedangkan hubungan
pengaruh setiap variabel eksogen terhadap variabel kualitas hidup
dijelaskan dari regresi yag tertuang dalam Tabel 6.8. (halaman 180)
Berdasarkan Tabel 6.8 tersebut dapat diterangkan bahwa
terdapat satu variabel eksogen yang tidak memiliki pengaruh
langsung terhadap kualitas hidup, dilihat dari nilai p-value yang
lebih besar dari level of significan (0,05), yakni variabel ko-
produksi (nilai p-value nya 0,553). Sedangkan variabel lainnya
seperti persepsi masyarakat terhadap kapital sosial, kapital p;olitik,
peran pemerintah, dan peran swasta memeliki pengaruh langsung
yang sangat nyata terhadap kualitas hidup dengan nilai p-value
0,000, lebih kecil dari level of significan sebesar 0,01. Adapun
variabel persepsi masyarakat terhadap kapital budaya, kapital
ekonoi, dan peran masyarakat memiliki peran langsung yang nyata
dengan nilai p-value masing-masing sebesar 0,040, 0,18, dan
0,036. Hasil akhir dari regresi model pertama ini menunjukkan
koefisien jalur (path coeficient) variabel kapital sosial adalah
tertinggi dengan nilai koefisien jalur 0,428, disusul peran
pemerintah 0,231; kapital politik 0,216, kapital ekonomi 0,165;
peran swasta 0,151; dan peran masyarakat -0,133. Hasil regresi
201
Universitas Indonesia
ini mengharuskan bahwa variabel yang tidak memiliki pengaruh
langsung terhadap QoL, yakni ko-produksi garis pengaruhnya
dalam model hipotetik (Gambar 6.3.) harus dihapus atau ditiadakan
dari model.
Model Regresi Kedua, mencermati pengaruh peran tripartit dan
koproduksi pemerintah-swasta-masyarakat terhadap kapital sosial.
Adapun hasil regresinya dapat dilihat pada Tabel 6.2 yang
disajikan pada sub bab terdahulu. Dari empat variabel yang
dianalisis, ternyata seluruh variabel berpengaruh langsung
terhadap kapital sosial. Keempat varibel itu dijelaskan dominasi
pengaruhnya berdasarkan nilai beta terstandarisasinya, sebagai
koefisien jalur. Besarnya nilai koefisien jalur masing-masing
variabel menjelaskan bahwa peran masyarakat memiliki dominasi
yang paling besar (0,589) disusul oleh koproduksi, peran
pemerintah, dan yang terkecil adalah dominasi pengaruh dari peran
swasta.
Model Ketiga, analisis mengenai peran tripartit dan koproduksi
pemerintah-swasta dan masyarakat terhadap kapital budaya.
Berdasarkan hasil regresi seperti tampak pada Tabel 6.3 yang telah
disajikan pada sub bab terdahulu ternyata hanya satu variabel
yang memiliki pengaruh langsung terhadap kapital budaya, yakni
peran swasta, dengan dominasi pengaruh sebesar 0,158. Tiga
variabel lainnya yang tidak berpengaruh langsung terhadap
kapitalbudaya tidak memiliki koefisien jalur dan garis
hubungannya ditiadakan dalam model hubungan antar variabel.
202
Universitas Indonesia
Model Keempat, menganalisis pengaruh peran tripartit dan ko-
produksi pemerintah, swasta, dan masyarakat terhadap kapital
politik. Hasil regresi menunjukkan bahwa seluruh variabel yakni
peran pemerintah, peran swasta, masyarakat, dan ko-produksi
memiliki pengaruh langsung terhadap kapital politik. Adapun nilai
koefisien jalur empat variabel itu masing-masing: peran
koproduksi (0,344), peran peran masyarakat (0,194) ; peran
pemerintah (0,180) dan yang terendah dominasi pengaruhnya
adalah peran swasta sebesar 0,152 (Tabel 6.4)
Model kelima, melakukan analisis pengaruh peran tripartit dan ko-
produksi pemeritah-swasta-masyarakat terhadap kapital ekonomi.
Sebagaimana analisis terhadap jenis kapital lainnya, maka hasil
regresi untuk kapital ekonomi dapat dilihat pada Tabel 6.5.
Berdasarkan Tabel 6.5 dapat dijelaskan bahwa hanya dua variabel
yakni ko-produksi dan peran swasta yang memiliki pengaruh
langsung terhadap kapital ekonomi. Oleh karena itu, dua variabel
yang tidak memiliki pengaruh langsung, garis hubungan
pengaruhnya harus dihapuskan dari model, yakni variabel peran
pemerintah dan peran masyarakat. Adapun koefisien jalur variabel
yang berpengaruh terhadap kapital ekonomi masig-masing adalah
koproduksi dengan nilai koefisien jalur 0,825 dan peran swasta
sebesar 0,085.
Hasil akhir dari analisis jalur yang dilakukan dengan uji regresi pada
model pertama hingga model kelima dituangkan sebagai model hasil analisis
jalur, seperti tampak pada Gambar (6.3).
203
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil masing-masing model regresi (model regresi 1 sampai 5)
dapat digambarkan hubungan antar variabel yang mempengaruhi kualitas
hidup seperti pada Gambar berikut:
204
Universitas Indonesia
dalam meningkatkan kualitas hidupnya, melalui pengembangan agribisnis
berbasis banjar.
Berdasarkan model hubungan antar varibel sebagai hasil dari analisis
jalur, dapat dikemukakan bahwa representasi masing-masing jenis kapital
dalam komunitas agribisnis berbasis banjar di Sanggalangit, memiliki
pengaruh yang berbeda terhadap kualitas hidup masyarakat. Pada sisi lain,
peran pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengembangan agribisnis di
Sanggalangit, menunjukkan pengaruh dengan dominasi yang berbeda,
terhadap kualitas hidup masyarakat. Hubungan antar variabel yang menentukan
kualitas hidup masyarakat, menunjukan bahwa pengaruh total masing-masing variabel
terhadap kualitas hidup adalah sebagai berikut:
Total pengaruh kapital sosial terhadap QoL adalah 0,428
Total pengaruh kapital budaya adalah 0,077
Total pengaruh kapital politik 0,216
Total pengaruh kapital ekonomi adalah 0,165
Sedangkan pengaruh total peran pemerintah adalah pengaruh langsung
sebesar 0,231 ditambahkan dengan pengaruhnya melalui kapital sosial (0,157
x 0,428), dan melalui kapital politik (0,180 x 0,216), sehingga total pengaruh
peran pemerintah sebesar 0,339
Pengaruh total peran swasta terhadap QoL didapatkan dari pengaruh langsung
sebesar 0,151 ditambah dengan pengaruh tidak langusng melalui kapital sosial
(0,099 x 0,428), melalui kapital budaya (0,158 x 0,077), melalui kapital
politik (0,152 x 0,216) dan melalui kapital ekonomi (0,085 x 0,165), sehingga
total pengaruhnya menjadi sebesar 0,252
Pengaruh total peran masyarakat adalah - 0,113 ditambah pengaruh tidak
langsung melalui kapital sosial (0,589 x 0,428) dan melalui kapital politik
(0,194 x 0,216), sehingga total pengaruh sebesar 0,181
205
Universitas Indonesia
Total pengaruh ko-produksi adalah pengaruh melalui kapital sosial (0,186 x
0,428), melalui kapital politik (0,344 x 0,216) dan melalui kapital ekonomi
(0,825 x 0,165), sehingga total pengaruhnya adalah 0,290
Kapital sosial menunjukkan dominasi pengaruh yang tertinggi (0,428) diantara
variabel-variabel eksogen yang mempengaruhi QoL. Variabel berikutnya yang
menunjukkan dominasi pengaruh yang besar adalah peran pemerintah (0,339), disusul
peran ko-produksi yang memiliki total pengaruh sebesar 0,290. Sementara dari keempat
jenis kapital yang mempengaruhi QoL, kapital budaya merupakan jenis kapital yang relatif
kurang dominan pengaruhnya terhadap kualitas hidup individu anggota komunitas
agribisnis di Sanggalangit. Pada sub bab ini juga dijelaskan bahwa hasil temuan
penelitian ini ternyata sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Castelli, et.all
(2009) yang menyatakan bahwa kapital sosial dan public service organization
(PSO) sangat berperan dalam meningkakan kualitas hidup masyarakat, selain
tentunya peran pemerintah. Akan tetapi, Castelli (2009) tidak membahas dan
mencermati jenis kapital lain selain kapial sosial, dan juga belum sepenuhnya
menyinggung aspek peran elemen pembangunan selain pemerintah, yakni
peran swasta atau korporasi dan peran masyarakat lokal dalam peningkatan
kualitas hidup masyarakat. Sementara penelitian ini relatif berhasil mencoba
melakukan penyesuaian (customize) variabel-variabel eksogen yang
mempengaruhi tingkat kualitas hidup, dengan mencermati peran swasta,
masyarakat, dan koproduksi dari tiga elemen itu, serta menambah analisis
bentuk kapital lainnya, yang dalam studi ini peneliti menyebutnya sebagai
representasi kapital.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang kualitas
hidup masyarakat, maka studi ini juga mencermati kualitas hidup obyektif dan
subyektif dalam pengertian pendekatan studi-studi kesejahteraan secara
umum, khususnya kualitas hidup masyarakat. Pendekatan yang dimaksud
adalah pendekatan model “Scandinivian of Living” yakni lebih fokus pada
kondisi obyektif kualitas hidup. Kualitas hidup obyektif yang dicermati dari
206
Universitas Indonesia
indikator obyektif seperti pendapatan, pemenuhan kebutuhan pokok (pangan,
sandang, dan papan), tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan. Sedangkan
pendekatan yang kedua adalah model “American QoL”yang menekankan
indikator-indikator kualitas hidup berdasarkan kondisi sosial individu yang
antara lain meliputi persepsi kepuasan, dan kebahagiaan individu dalam
masyarakatnya (Noll, 2002). Noll (2002) akhirnya lebih fokus pada kualitas
hidup individu dan keseluruhan proses kehidupannya beserta hal yang
melingkupinya berupa dimensi sosial. Berdasarkan enam belas indikator
kualitas hidup yang dicermati dalam studi ini, QoL obyektif ditentukan oleh
empat indikator berupa pendapatan, pendidikan, pemenuhan kebutuhan
primer, dan tingkat morbiditas. Adapun persepsi responden terhadap tingkat
pentingnya suatu faktor dalam mempengaruhi kualitas hidup, disajikan pada
Tabel 6.9 berikut ini.
Tabel 6.9. Peringkat Tingkat Kepentingan Indikator Kualitas Hidup
RankingTingkat Pentingnya Indikator
Indikator Kualitas Hidup Skor(skala 1-5)
1.2.3.4.5.6.7.8.9.
10.11.12.13.14.15.16.
Pemenuhan Kebutuhan PrimerTingkat KebahagiaanPendapatanMorbiditasKeamanan SosialOkupasiMakna HidupKualitas BeragamaPendidikanKualitas LingkunganMobilitas VertikalPelayanan PublikRelasi SosialIMRHarapan HidupPartisipasi Politik
4,944,644,574,414,214,113,523,483,443,433,292,972,482,412,121,31
207
Universitas Indonesia
Berdasarkan Tabel tersebut di atas, maka jika dikelompokkan akan
didapat lima kelompok yakni: (i) kelompok dengan skor tinggi di atas 4,5
adalah indikator yang termasuk kategori sangat penting, (ii) skor 3,50 –4,49
adalah kategori indikator penting, (iii) skor 2,5 -3,49 kategori cukup penting;
(iv) 1,50 –2,49 kategori indikator kurang penting, dan (v) skor < 1,50 adalah
kategori indikato yang tidak penting. Berdasarkan persepsi responden, maka
sesuai dengan yang tampak pada Tabel 6.9 terdapat satu indikator yang
masuk indikator tidak penting, yakni indikator partisipasi politik. Sedangkan
tiga indikator dipersepsikan sangat penting yakni indikator pemenuhan
kebutuhan primer, tingkat kebahagiaan, dan pendapatan. Selain itu, persepsi
responden terhadap pentingnya indikator obyektif seperti tingkat pemenuhan
kebuuhan pokok, pendapatan, dan kesehatan merupakan faktor yang sangat
penting bagi mereka. Oleh karena itu, studi ini secara sepintas akan
membahas pengaruh persepsi masyarakat tentang peran kapital, pemerintah,
swasta, dan masyarakat terhadap kualitas hidup obyektif.
Berdasarkan analisis regresi yang dilakukan, terlihat bahwa QoL
obyektif dipengaruhi oleh kapital sosial, kapital budaya, dan kapital politik.
Variabel lainnya tidak memiliki pengaruh langusung terhadap QoL obyektif.
Kapital sosial menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (p-value 0,000)
dengan dominasi pengaruh yang relatif besar (0,543) dibandingkan kapital
budaya dan politik. Sementara, kapital ekonomi tidak memiliki pengaruh
terhadap QoL obyektif. Adapun peran pemerintah, swasta, maupun
masyarakat, ternyata tidak berpengaruh terhadap kondisi QoL obyektif
komunitas agribisnis di Sanggalangit.
209
Universitas Indonesia
Tabel 6.11. Hasil Regresi Variabel Eksogen Terhadap QoL Subyektif
210
Universitas Indonesia
BAB 7
DISKUSI TEMUAN PENELITIAN: IMPLIKASI TEORITISDAN IMPLIKASI METODOLOGIS
7.1. Implikasi Teoritis.
Bagian disertasi ini ditujukan untuk mengemukakan diskusi tentang
temuan hasil penelitian, dikaitkan dengan relevansi teori yang diterapkan
dalam studi ini. Diskusi temuan penelitian ini diawali dengan membahas
pertalian antara penguasaan kapital dengan kualitas hidup ditinjau dari
persepsi masyarakat. Pembahasan aspek ini merupakan refleksi teori ataupun
tesis yang dikemukakan oleh Castelli et.all (2009) tentang pertalian antara
kapital khususnya kapital sosial, dengan kualitas hidup masyarakat. Dalam
konteks ini, pembahasan mengenai kapital tidak terlepas dari konsep Bourdieu
(1986), tentang reformulasi jenis-jenis kapital. Berikutnya, bagian disertasi
ini mengetengahkan kerangka analisis sebagai refleksi teori New
Institutionalism (Nee, 2005) yang juga terkait dengan tesis Castelli (2009)
tentang adanya keterkaitan konteks kebijakan (Policy context) dengan kualitas
hidup masyarakat. Kerangka analisis yang dimaksud adalah integrasi
lingkungan institusional dengan relasi informal pelaku ekonomi, yakni aktor
petani pelaku agribisnis yang bermuara pada terjadinya keserasian (coupling)
dalam penguasaan kapitalnya, yang ditengarai berpengaruh terhadap kualitas
hidup masyarakat. Bagian akhri dari sub bab ini membahas tentang temuan
penelitian berupa suatu model hubungan antar variabel yang mempengaruhi
kualitas hidup komunitas agribisnis berbasis banjar.
211
Universitas Indonesia
7.1.1 Persepsi Masyarakat Tentang Penguasaan Kapital dalam Komunitas AgribisnisBerbasisBanjar, serta PengaruhnyaTerhadapKualitas HidupMasyarakat.
Diskusi mengenai konsep kapital terus berkembang, hingga
menghasilkan konsep mengenai bentuk-bentuk kapital yang dipertimbangkan
dalam kegiatan ekonomi. Jika merujuk kepada pemikiran Bourdieu mengenai
teori praktik sosial yang melahirkan dua konsep utama yakni ranah (field) dan
habitus, maka studi ini memfokuskan perhatian kepada bagaimana agen atau
individu menguasai dan menggunakan berbagai bentuk kapital dalam
memperebutkan posisi-posisi obyektif. Pada kerangka itu, dapat dikemukakan
bahwa penguasaan dan penggunaan kapital memiliki kecendrungan sebagai
alat untuk memperoleh peningkatan kualitas hidup.
Reformulasi konsep kapital oleh Bourdieu meliputi dua aspek penting,
yakni konsep kapital yang meliputi kapital non-material seperti kapital
budaya, simbolik, dan kapital sosial, disamping kapital material berupa kapital
fisik seperti alat produksi, kapital finansial, dan kapital sumberdaya manusia.
Aspek berikutnya adalah mengenai konversi atau transformasi bentuk-bentuk
kapital dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Pada konteks ini, Bourdieu
menekankan pentingnya kapital non-material dalam kegiatan ekonomi.
Gagasan Bourdieu (1986) mengenai reformulasi bentuk kapital ke dalam
empat jenis kapital yakni kapital sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang
dikaitkan dengan konsep field (ranah) dan habitus, ternyata masih
memungkinkan untuk didiskusikan. Menurutnya, agen (aktor) cenderung
melakukan upaya dan kompetisi memperoleh dan menguasai kapital, yang
ditujukan untuk memperoleh posisi-posisi obyektif dalam ranahnya (field) dan
kemudian akan membentuk suatu habitus baru bagi kelompoknya. Pada
penelitian ini, diporoleh temuan bahwa kapital sosial relatif mendominasi
pengaruh terhadap terjadinya peningkatan kualitas hidup masyarakat
dibandingkan dengan bentuk kapital lainnya. Sementara penguasan kapital
sosial cenderung tidak diperoleh dengan persaingan yang ketat. Bahkan
kapital lainnya termasuk kapital ekonomi juga diperoleh dengan tidak
212
Universitas Indonesia
menampakkan gejala persaingan yang sedemikan ketat pula. Peneliti
memandang terjadinya persaingan dalam memperoleh dan menguasai kapital
serta dominasi suatu bentuk kapital terhadap kapital lainnya sangat tergantung
dari aspek lokalitas yang spesifik.
Lebih lanjut pada konteks refleksi temuan penelitian dan implikasinya
secara teoritis, maka perlu dikemukakan bahwa salah satu temuan yang
menarik dari studi ini adalah mengenai dominannya peranan kapital sosial
dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Kapital fisik yang cenderung
dikonotasikan sebagai kapital ekonomi tidak lagi menjadi satu-satunya bentuk
kapital yang dihandalkan masyarakat dalam mendukung kegiatan sosial dan
tindakan ekonominya. Penguasaan aktor terhadap kapital sosial, budaya, dan
politik pada skala tertentu dapat menutupi kekurangan atas penguasaan kapital
ekonomi. Sejalan dengan hasil penelitian, dalam konteks itu terdapat
temuan bahwa selain kapital sosial maka studi ini relatif mampu memberikan
kontrribusi yang original mengenai temuan adanya pengaruh kapital politik
dan kapital ekonomi yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat (Tabel
7.1).
Berdasarkan tahapan analisis yang dilakukakan dalam penelitian ini
dapat dikemukakan bahwa temuan penelitian ini mendukung hasil penelitian
sebelumnya (Vipriyanti, 2007; Castelli et.all, 2009) yang mengemukakan
bahwa kapital sosial sangat erat pertaliannya dengan kualitas hidup
masyarakat. Meskipun demikian, studi ini juga mampu menunjukkan temuan
yang menyempurnakan dan melengkapi tesis sebelumnya bahwa selain kapital
sosial yang sedemikian dominan perannya bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat, ternyata terdapat bentuk kapital lain yakni kapital budaya, kapital
politik dan ekonomi yang juga memiliki pengaruh langsung terhadap kualitas
hidup masyarakat. Sementara ini, penguasaan kapital dalam bentuk kapital
budaya, politik dan kapital ekonomi sebagai variabel eksogen yang
mempengaruhi kualitas hidup relatif belum pernah diteliti sebelumnya, Oleh
karena itu, studi ini menunjukkan adanya kontribusi original bagi
213
Universitas Indonesia
pengembangan model peningkatan kualitas hidup masyarakat yang
diharapkan dapat melengkapi ataupun dikaji dalam penelitian-penelitian
selanjutnya.
Tabel 7.1. Tahapan Analisis dan Implikasi Teori: Penguasaan Kapital dalam Masyarakatdan sertaPengaruhnya Terhadap QoL.
RESEARCHQUESTION(Hipotesis)
TESISYANGADA
KERANGKAANALISIS
DATALAPANGAN
IMPLIKASITEORI
PersepsimasyarakattentangPenguasaankapital sosialmempengaruhikualitas hidup
Kapital sosialmemilikipertalian yangerat denganpeningkatanQoL dankesejahteraanmasyarakat(Vipriyanti,2007; Castelli,2009)
PersepsimasyarakatatasPenguasaankapital-kapitalmasyarakat,akanmempengaruhikualitas hidupmasyarakat
Kapital sosialsangat mampumendongkrakkualitas hidupmasyarakat
Jaringan sosialyang terbentukatas relasisentimen,relasi power,dan relasiinteresmerupakanfaktor utamamengangkatQoL
Mempertegastesis-tesis studiterdahulu dariVipriyanti, 2007dan Castelli, 2009
Lenturnya peranbanjar sebagaiorganisasi tradisimasyarakat Balidalam mewadahikegiatanpembangunanekonomi
Semakintinggi kapitalbudaya yangdipersepsikanmasyarakat,semakin baikjuga QoLmasyarakat
Kapital budayamerupakansalah satu jeniskapital yangditengaraidapatmempengaruhikualitas hidup
Terdapatkecendrunganyang kuat,bahwa kapitalbudaya turutberperan bagipeningkatankualitas hidupmasyarakat
Menyempurnakantesis Vipriyanti(2007) maupunCastelli (2009),bahwa selainkapital sosial,terdapat kapitalbudaya yang turutberperan dalampeningkatan QoL
Persepsimasyarakattentangkuatnyakapital politikberpengaruhterhadap QoLmasyarakat
Selainkapital sosialdan budaya,kapitalpolitik turutberperandalampeingkatankesejahteraan(QoL)
Kapital politikbeperanpenting dalammeningkatkankualitas hidupmasyarakat
Menyempurnakantesis Vipriyanti(2007) maupunCastelli (2009),bahwa perlunyamencermati jeniskapital lain selainkapital sosial,untukmenganalisiskualitas hidupmasyarakat.
Semakin kuatpenguasaankapitalekonomi yangdipersepsikanmasyarakat,semakin kuat
Kapitalekonomimerupakanjenis kapitalfisik yangmemainkanperan
Kapitalekonomimerupakanjenis kapitalyang bersifatfisik, danpenting
Menyempurnakandan melengkapitesis Vipriyanti(2007) maupunCastelli (2009),bahwa selainkapital sosial
214
Universitas Indonesia
juga QoLmasyarakat
penting bagipeningkatankualitashidupmasyarakat.
perannyadalampeningkatankualitas hidupmasyarakat.
terdapat kapitalekonomi yangsangat berperandalampeningkatan QoL.
7.1.2. Peran Pemerintah,Swasta,dan MasyarakatdalamPeningkatan Representasi Kapital.
Strategi kerja sama antar pemerintah dan masyarakat ternyata mampu
merevitalisasi kapital sosial (Vipriyanti, 2007; Castelli et.all (2009). Pada
kerangka itu, studi ini melakukan analisis yang lebih luas dengan mencermati
peran pemerintah dan masyarakat yang didukung elemen swasta dalam
merevitalisasi kapital, tidak saja kapital sosial tetapi meliputi jenis kapital
lainnya (Tabel 7.2).
Tabel 7.2. Tahapan Analisis dan Implikasi Teori Peran Tripartit danRepresentasi Kapital.
RESEARCHQUESTION(Hipotesis)
TESISYANGADA
KERANGKAANALISIS
DATALAPANGAN
IMPLIKASITEORI
Apakahpersepsimasyarakattentang PeranTripartit“pemerintah-Swasta – danmasyarakat” berpengaruhterhadappeningkatanpenguasaankapital yangdipersepsikanmasyarakat
Strategi kerjasama antarapemerintah danmasyarakat(policy context)mampumerevitalisasimodal sosialdalampembangunanwilayah(Vipriyanti,2007);(Castelli, et.all2009).
Integrasikebijakan padalevel makrodengan relasiinformal dilevel mikro,memerlukandukunganswasta dalammeningkatkankapital dalammasyarakat,yang bukan sajakapital sosialtetapi meliputijenis kapitallainnya berupakapital budaya,politik, danekonomi(kebaruan daristudi ini)
Peranpemerintah,swasta,masyarakat,dan koproduksitiga elemenpembangunanitu, memainkanperan yangsangat pentingbagipenguasaankapital sosial,dan kapitalpolitik dalammasyarakat
Swastamemainkanperan pentingbagipenguasaankapital budayadalammasyarakat
Swasta dankoproduksiberperanpenting bagipenguasaankapitalekonomi dalammasyarakat.
Temuanpenelitianmendukungtesis studiterdahulu,bahwa peranpemerintahdanmasyarakatsangat kuatpengaruhnyadalammeningkakanpenguasaankapital sosialdan kapitalpolitikmasyarakat.
Studi inimemberikankontribusibahwa selainpemerintahdanmasyarakat,terdapat peranswasta yangcukuppenting.
Peran swastacukup pentingdalampeningkatan
215
Universitas Indonesia
penguasaankapital budayadan kapitalekonomidalammasyarakat
Temuan penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu, akan tetapi relatif
sudah dapat menunjukkan adanya peran swasta dalam peningkatan representasi kapital.
Peran pemerintah mulai bergeser oleh peran masyarakat maupun swasta. Persepsi
masyarakat terhadap penguasaan kapital ekonomi sangat dipengaruhi oleh persepsi
masyarakat terhadap peran swasta. Demikian juga untuk penguasaan kapital budaya,
politik, dankapital sosial.
7.1.3. Integrasi Lingkungan Institusional Level Makro dan Informal Rules diLevel Mikro: Tinjauan Terhadap Dimensi Coupling (Keserasian) danDecoupling (Ketidakserasian) dalam Implementasi Prima Tani
Keserasian (coupling) dan ketidakserasian (decoupling) merupakan sebuah
konsekuensi dari proses integrasi lingkungan institusional dengan relasi informal, dalam
implementasi Prima Tani (Program Rintisan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian). Pelaku agribisnis yang sekaligus sebagai anggota komunitas banjar
mengejar kepentingan mereka melalui sistem dominan yang berbasis pada
elemen formal. Ketika lingkungan institusional itu mampu memfasilitasi
terbentuk dan terdistribusinya struktur insentif, dalam hal ini berupa
keuntungan-keuntungan termasuk peningkatan penguasaan kapital dan
peningkatan kualitas hidup aktor pelaku agribisnis, maka lingkungan
institusional tersebut akan bertahan dan berjalan sebagai basis yang
mengarahkan tindakan ekonomi aktor ataupun kelompok yang dalam hal ini
ditemukan dalam bentuk kelompok tani–ternak di lokasi penelitian. Kondisi
ini merupaan konsekunsi yang diharapkan berupa terjadinya keserasian
(coupling)) lingkungan institusioal di level makro dengan informal rule di level
mikro yang berbasis pertaturan dan nilai-nilai kebersamaan sebagai anggota
216
Universitas Indonesia
(kerama) banjar. Akan tetapi, jika lingkungan institusioanl tidak dapat
menghasilkan dan menjaga struktur insentif akan terjadi apa yang disebut Nee
(2005) sebagai decoupling atau ketidakserasian lingkungan intitusional
dengan informal rule di level mikro. Kondisi itu memungkinkan terjadinya
pembentukan norma oposisi, yakni berupa kesepakatan, nilai, dan atuan yang
terbentuk pada aktor pelaku ekonomi dan lebih lanjut berkecendrungan
membentuk jaringan koordinasi untuk bertahan pasif, tidak taat, dan
menyimpang dari aturan formal. Umumnya norma oposisi akan terbentuk dan
muncul saat insentif yang diharapkan tidak sesuai dan tidak menguntungkan
aktor dan kelompok aktor pelaku ekonomi.
Pada konteks program Primatani yang ditujukan untuk mendukung
pengembangan agribisnis pedesaan berbasis komunitas lokal, teori Nee
mengenai kelembagaan baru tersebut masih dapat didiskusikan, tentunya
dikaitkan dengan studi yang dilakukan peneliti. Jika merunut pada pertanyaan
utama studi ini (Grand Tour Research Question) yakni bagaimana penguasaan
kapital dapat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat dikaji dari aspek peran
tripartit pemerintah dalam komunitas agribisnis, maka dapat dicermati hasil
analisis temuan penelitian ini seperti disajikan dalam Tabel 7.3 berikut.
Tabel 7.3. Tahapan Analisis dan Implikasi Teori
RESEARCHQUESTION(Hipotesis)
TESISYANGADA
KERANGKAANALISIS
DATALAPANGAN
IMPLIKASITEORI
Apakahpenguasaankapital dalammasyarakat dapatmeningkatkankualitas hidupkomunitas, dikajidari peran tripartitpemerintah,swasta,dan potensikomunitas lokaldalampengembanganagribisnis berbasisbanjar, ditinjaudari persepsimasyarakat?
Terdapatpertalian yangerat antarakapital sosialdengan tingkatkualitas hidupmasyarakat,sehinggadiperlukanrevitalisasikapital sosialmelaluikebijakanpemerintah(policycontext):Vipriyanti,
Fasilitasi perantripartit:pemerintah-swasta-masyarakatmelalui integrasikebijakan (levelmakro) denganrelasi informalpada levelmikro, sesuaidengan teoriNewInstitutionlas(Nee, 2005),dalam
Temuanpenelitiansejalan denganteori NewInstitutionalism
Terdapatvariabel lain diluar kapitalsosial, yangmempengaruhiQoL, yaknikapital budaya,politik, dankapital ekonomi
Kapital sosialmemperlihatkan
Temuanpenelitianmendukungdanmempertegasteori NewInstitutionalism (Nee,2005)
Terdapatkontribusioriginal studiini, yaknipenemuanbahwaterdapatpengaruh
217
Universitas Indonesia
2007 danCastelli, et.all2009
meningkatkankapital yangtidak hanyakapital sosialsaja, melainkanjuga kapitalbudaya, politik,dan ekonomi(kebaruan daristudi ini)
pengaruh yangpaling dominandiantara jeniskapital lainnya
yang nyatadari jeniskapitalbudaya,politik, danekonomi
Dalam kerangka itu, peneliti memandang gagasan Nee mengenai
kelembagaan baru sesuai dengan hasil temuan di lapangan. Akan tetapi Nee
belum mempertimbangkan adanya hubungan timbal balik dari level makro-meso-mikro
atau sebaliknya mikro-meso-makro. Dengan terminologi lain, Nee dalam visualisasi teori
New Institusionalsm tampak menekankan adanya hubungan satu arah, yakni hanya
menekankan hubungan integrasi institusi formal dan lingkungan kebijakan (policy
environment) ke arah institusi informal dan in-formal rules untuk selanjutnya ke arah mikro
(individu dan kelompok). Nee terlalu menegaskan pemisahan pelaku ekonomi, kelompok,
dan relasi pelaku secara tegas pada level makro-messo-dan mikro. Pada realitas sosial, hal
tersebut tidak berlangsung terpisah. Relasi pelaku di level makro dan mikro berlangsung
natural, terkondisi mengalir apa adanya untuk bersama-sama mengarah pada terjadinya
struktur insentif dan keuntngan-keuntungan yang diinginkan pelaku, dalam hal ini terjadinya
peningkata penguasaankapital dan kualitashidup masyarakat.
7.1.4. Model Peningkatan Kualitas Hidup (QoL) Masyarakat.
Salah satu model yang dicermati peneliti sebagai landasan berpikir
dalam mengemukakan model hipotetik hubungan antar faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup, adalah temuan studi yang dilakukan Castelli,
et.all (2009), mengenai keterkaitan dan hubungan pengaruh policy context
terhadap kapital sosial dan public service organization (PSO) yang bermuara
pada kualitas hidup. Menurutya tataran kebijakan yang diinisiasi pemerintah
akan mendorong peran kapial sosial dan organisasi pelayanan publik dalam
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Hal itu didasari juga oleh hasil
penelitian Vipriyanti (2007) mengenai adanya strategi kerja sama antar
pemerintah dan masyarakat akam mampu merevitalisasi kapital sosial.
218
Universitas Indonesia
Temuan penelitian ini sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh
Castelli, et.all (2009). Peran konteks kebijakan yang dalam penelitian ini
lebih luas cakupannya dari analisis Castelli, meliputi peran tripartit dan ko-
produksi pemerintah-swasta-masyarakat lokal, sedemikian penting bagi
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Disamping itu, kapital sosial ternyata
berperan sangat dominan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat,
terutama masyarakat petani pelaku agribisnis di pedesaan yang berbasis
komunitas banjar. Selain itu, kapital politik dan kapital ekonomi juga
memainkan fungsi yang cukup penting bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat. Dengan demikian peneliti dapat menyimpulakn bahwa
berdasarkan temuan di lapangan, ternyata tidak hanya kapital sosial yang
berperan mempengaruhi kualitas hidup, melainkan adanya representasi kapital
dalam bentuk lain yang turut berpengaruh bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat.
7.2. Implikasi Metodologis.
Sebagaimana dijelaskan pada kerangka pikir disertasi ini, penelitian
yang dilakukan untuk penyusunan disertasi mencakup dua tataran, yaitu
tataran kebijakan dan tataran empiris. Pada tataran kebijakan studi ini
didukung pendekatan kualitatif dengan melakukan indept interview pada
lembaga terkait seperti lingkungan kebijakan pemeritah yang meliputi lingkup
Departemen Pertanian hingga pada level BPTP (Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian) sebagai representasi lembaga penelitian dan pengembangan
pertanian di daerah, serta dinas-dinas pertanian maupun peternakan. Pada
tataran kebijakan juga dilakukan wawancara mendalam pada informan kunci
di level mikro, serta informan di lembaga legislatif (DPRD Propinsi Bali dan
DPRD Kabupaten Buleleng) dan lembaga lainnya sebagai stakeholders
pengembangan agribisnis pedesaan. Dengan demikian studi ini sangat
mempertimbangkan aspek etnografis yang mendukung analisis kuantitatif.
219
Universitas Indonesia
Pendekatan kuantitatif dilakukan dapa tataran empiris, dengan melakukan
metode survai pada pelaku agribisnis yakni petani yang sekaligus anggota
komunitas pertanian berbasis banjar. Tujuan dari penelitian yang dilakukan
pada dua tataran itu adalah untuk memperoleh data dan informasi yang lebih
lengkap mengenai gambaran sosial (sosiografi) tentang topik disertasi. Oleh
karena studi ini lebih dominan mencermati hubungan antar variabel-variabel
sosial yakni representasi kapital dan kualitas hidup yang dikaji dari peranan
tripartit dan ko-produksi pemerintah, swasta dan masyarakat lokal, ditinjau
dari persepsi masyarakat. Ke depan, studi yang sejenis diharapkan lebih
menekankan data empiris yang bersifat out there dan lebih oabyektif
menuangkan data-data kuantitatif dengan mengeksplorasi hard fact di
lapangan. Secara umum banyak penelitian sejenis yang hanya dilakukan pada
satu tataran saja, yakni sering pada tataran empiris saja. Dipandang dari
model desain penelitian studi ini menggunakan desain dominan-kurang
dominan. Pendekatan kuantitatif dominan dibandingkan dengan pendekatan
kualitatif sebagai pendukung sekaligus sebagai satu komponen kecil dari
keseluruhan proses penenlitian. Pada desain ini peneliti tetap menyajikan
penelitian dalam sebuah paradigma dominan tunggal didukung sebagian
paradigma alternatif. Keuntungan dari pendekatan desain ini adalah dalam hal
menyajikan satu gambaran paradigma secara konsisten dalam penelitian, dan
mengumpulkan data yang terbatas untuk aspek-aspek penelitian secara
mendalam.
Analisis jalur (path analysis) yang dilakukan dalam studi ini, ternyata
mendapatkan model regresi dengan nilai R Square sebesar 0,694 yang berari
bahwa variabel-variabel eksogen yang dianalisis penelitian ini mampu
menjelaskan variabel endogen, yakni variabel utama studi ini berupa kualitas
hidup masyarakat sebesar 69,4%. Selebihnya terdapat faktor-faktor lain
sebesar 30,6% yang bisa mejelaskan variabel kualitas hidup. Hal ini
mengandung implikasi metodologis berupa perlunya analisis yang berbeda
dan bersifat menyempurnakan studi ini, antar lain dengan menambahkan atau
220
Universitas Indonesia
melakukan penyesuaian terhadap variabel-variabel eksogen. Selain itu,
penerapan analisis jalur dalam penelitian ini memberikan alternatif model
peningkatan kualitas hidup dan hubungan dominasi antar fakor yang
mempengaruhi. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut dapat dilakukan pada
konteks yang berbeda, sehingga dapat melengkapi ataupun menyempurnakan
model hubungan antar variabel, dalam mempengaruhi kualitas hidup
masyarakat.
Dalam menganalisis variabel dependen yang merupakan variabel
utama dari studi ini, peneliti melakukan eksplorasi mengenai persepsi
responden dalam memandang tingkat kepentingan indikator-indikator kualitas
hidup. Implikasi dari hal itu adalah perlunya penelitian lebih lanjut yang
didasari tingkat kepentingan suatu indikator sesuai sifat dan kondisi spesifik
lokal. Aspek efektifitas dan efisiensi dalam penelitian yang
mempertimbangkan tingkat kepentingan indikator dengan mengeluarkan
indikator yang tidak penting dan fokus pada indikator-indikator yang penting
akan dapat tercapai. Selain itu, pada bagian ini perlu diungkapkan bahwa
subyek penelitian ini adalah petani pelaku agribisnis di pedesaan yang lekat
dengan tradisi kehidupan berbanjar seperti umumnya pada masyarakat Bali.
Pada penelitian-penelitian lebih lanjut, perlu digali dan dicermati subyek
penelitian masyarakat perkotaan yang relatif lebih heterogen dengan
karakteristik tindakan sosial dan ekonomi yang tentu berbeda dengan kondisi
di pedesaan.
221
Universitas Indonesia
BAB 8
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan.
Pada bagian akhir penulisan disertasi ini, akan dikemukakan beberapa
butir kesimpulan berdasarkan temuan yang diperoleh dari analisis data yang
telah dilakukan peneliti. Senyatanya kesimpulan yang diuraikan berikut ini,
sekaligus merupakan jawaban pertanyaan penelitian yang diajukan dalam
disertasi ini, yakni “Apakah penguasaan kapital dalam masyarakat dapat meningkatkan
kualitas hidup komunitas, dikaji dari peran tripartit pemerintah, swasta, dan potensi
komunitas lokal dalam pengembangan agribisnis berbasis banjar, ditinjau dari persepsi
masyarakat? Sebagaimana telah dipaparkan dalam uraian mengenai implikasi teori dari
disertasi ini, makasecara rincibeberapa kesimpulanstudi ini adalah:
1. Peran tripartit dan ko-produksi pemerintah-swasta-komunitas lokal,
memainkan fungsi penting bagi peningkatan representasi kapital
berupa penguasaan kapital sosial, budaya, politik, dan kapital
ekonomi komunitas agribisnis berbasis banjar. Peran pemerintah
berupa dukungan inovasi, kebijakan subsidi, dukungan kebijakan
anggaran yang sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, serta
dukungan politik ternyata masih memainkan peranan penting bagi
peningkatan penguasaan kapital. Pada sisi lainnya, peran swasta
dalam bentuk investasi, dukungan kredit, dukungan penyediaan
sarana prasarana produksi, dan pemasaran masih perlu ditingkatkan
mendukung penguasaan kapital. Sementara peranan masyarakat
sangat dominan dalam mendukung penguasaan kapital, terutama
dukungan potensi fisik banjar, nilai-nilai berbanjar, peran
kepemimpinan banjar, maupun partisipasi masyarakat. Peran
masyarakat lokal yang terwadahi alam sistem banjar, juga didukung
222
Universitas Indonesia
oleh kelenturan (fleksibilitas) sistem banjar dalam menerima unsur-
unsur baru yang diinisiasi pihak eksternal.
2. Kapital sosial memainkan peranan yang penting bagi peningkatan
kualitas hidup (QoL) komunitas agribisnis. Berdasarkan analisis
jalur yang dilakukan, ternyata kapital sosial merupakan faktor yang
paling dominan pengaruhnya bagi peningkatan kualitas hidup,
dibandingkan dengan variabel lainya.
3. Semakin tinggi penguasaan kapital budaya, maka semakin baik juga
kualitas hidup masyarakat. Akan tetapi, hasil akhir dari analisis
jalur mengungkapkan bahwa kapital budaya menunjukkan dominasi
pengaruh yang terendah dibandingkan jenis kapital lainnya.
4. Pengaruh kapital politik terhadap kualitas hidup masyarakat relatif
kuat, semakin kuat penguasaan aktor terhadap kapital politik maka
akan cenderung meningkatkan kualitas hidupnya.
5. Penguasaan kapital ekonomi sangat menentukan tingkat kualitas
hidup masyarakat. Terkait dengan peningkatan penguasaan kapital
ekonomi, terdapat nilai pengaruh yang sedemikian besar dari aspek
ko-produksi. Dengan demikian sinergi peran antar tiga unsur
pembangunan, yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat tidak
dapat saling mendominasi, melainkan perlu terus menjaga dan
memelihara kesejajaran peran, kemitraan, dan integrasi peran dalam
setiap kegiatan ekonomi masyarakat agribinis.
8.2. Rekomendasi Kebijakan.
Sebagaimana pemaparan mengenai permasalah dalam pembangunan
nasional khususnya pengembangan agribisnis di Indonesia, yang erat
pertaliannya dengan kesejahteraan masyarakat petani dan pelaku agribisnis,
aspek kebijakan adalah salah satu unsur yang menentukan keberhasilan
pembangunan. Berdasarkan hasil studi ini, maka mempertimbangkan
pentingnya aspek integrasi lingkungan kebijakan pada level makro dengan
223
Universitas Indonesia
kebutuhan, kepentingan, dan potensi lokal yang mencakup informal rules
yang melandasi relasi informal di level messo dan mikro, maka penelitian
Disertasi ini merekomendasikan beberapa intervensi kebijakan sesuai dengan
permasalahan yang masih ditemukan dalam implementasi program
pengembangan agribisnis. Permasalahan tentang belum optimalnya
pemberdayaan potensi lokal dalam integrasi kebijakan pengembangan
agribisnis pedesaan memerlukan intervensi kebijakan seperti berikut:
1. Kebijakan yang koordinatif dan tidak parsial sangat dibutuhkan dalam
implementasi program pembangunan, dengan mengintegrasikan
lingkungan kebijakan pada level makro dengan pelaku ekonomi di
level meso dan mikro.
2. Kebijakan pembangunan, terutama dalam konteks pengembangan
agribisnis berbasis komunitas lokal seyogyanya bersifat transformatif,
yakni kebijakan yang dapat memberikan peluang transformasi dalam
sistem sosial meliputi budaya dan struktur sosial. Lembaga terkait,
terutama Kementerian Pertanian sebagai inisiator dan fasilitator
pengembangan agribisnis pedesaan perlu melakukan intervensi
kebijakan yang dapat mendorong tumbuh-kembangnya integrasi
kebijakan pemerintah dengan relasi informasl di level desa, antara lain
melalui pemberdayaan potensi banjar baik fisik maupun non fisik
seperti pemberdayaan awig-awig banjar dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan aktor petani di level mikro.
Temuan penelitian mengenai pentingnya peran tripartit dan koproduksi
pemerintah, swasta, dan masyarakat dikaitkan dengan penguasaan kapital
dalam komunitas agribisnis, maka untuk mengatasi permasalahan tentang
rendahnya inklusi sosial dan akses masyarakat dalam penguasaan kapital,
studi ini merekomendasikan beberapa hal seperti berikut:
1. Mengingat realitas sosial, bahwa masih ditemukan adanya
ketimpangan penguasaan kapital terutama kapital ekonomi maka peran
224
Universitas Indonesia
tripartit dapat merangsang dan memfasilitasi upaya peningkatan
kapital non ekonomi pada komunitas yang penguasaan kapital
ekonominya rendah.
2. Dukungan kebijakan anggaran baik APBN maupun APBD dalam
pemberdayaan pengembangan kapital sosial, budaya, dan kapital
politik yang bersifat non fisik mesti lebih ditingkatkan sebagai
investasi pembangunan, mengingat pengembangan kapital sosial saat
ini masih relatif belum mendapat perhatian yang memadai, padahal
banyak penelitian teramasuk studi Disertasi ini menemukan bahwa
kapital sosial sangat berperan dalam menentukan kualitas hidup
masyarakat. Sementara, jika dibandingkan dengan investasi
pemerintah dalam penguasaan kapial ekonomi relatif jauh lebih besar.
Oleh karena itu perlu dipertimbangkan peningkatan anggaran
pembangunan yang ditujukan untuk memfasilitasi peningkatan kapital
sosial berupa anggaran pertemuan atau temu koordinasi antar
komponen masyarakat dan pemerintah ataupun swasta, anggaran yang
bersifat seremonial yang ditujukan untuk membuka ruang atau akses
penguasaan kapital sosial, budaya, dan kapital politik yang lebih
memadai.
3. Lingkungan kebijakan di level makro, perlu melakukan reoreintasi
kebijakan yang terfokus pada upaya peningkatan kapital sosial,
budaya, politik, dan ekonomi. Intervensi kebijakan pemerintah
diperlukan antara lain untuk peningkatan kapital sosial dengan
menciptakan ruang bagi terciptanya banyak kesempatan membangun
jaringan sosial dalam masyarakat. Peningkatan kapital budaya
memerlukan intervensi kebijakan bagi berkembangnya kelompok
profesional pedesaan, pelatihan dan penumbuhan kreatifitas dan daya
cipta masyarakat petani mendukung pengembangan agribisis pedesaan,
serta dengan intervensi kebijakan untuk memberikan ruang dan
mendukung kegiatan-kegiatan yang terkait dengan budaya lokal.
225
Universitas Indonesia
Peningkatan kapital politik dalam masyarakat memerlukan intervensi
kebijakan dari pemerintah yang dapat berupa upaya membuka ruang
yang lebih luas bagi masyarakat untuk mengakses informasi publik.
Hal ini diperlukan untuk menciptakan peningkatan power dan posisi
tawar (bargaining position) bagi petani pelaku agribisnis. Dalam hal
peingkatan kapital ekonomi, maka diperlukan intervensi kebijakan
pemerintah dalam hal fasisilitasi permodalan usahatani dan membuka
informasi yang seluas-luasnya bagi pasar komoditas agribisnis
pedesaan.
Berikutnya, temuan penelitian mengenai fungsi penting tripartit dan
ko-produksi pemerintah, swasta dan masyarakat dalam konteks permasalahan
akan rendahnya kualitas hidup masyarakat, maka penelitian Disertasi ini
merekomendasikan:
1. Kebijakan pemerintah dan sinergi perannya dengan sektor swasta
maupun masyarakat, mesti mencermati bahwa upaya peningkatan
kualitas hidup masyarakat tidak hanya terfokus pada indikator-
indkator kualitas hidup yang bersifat komposit, melainkan
mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal dan memfokuskan
perhatian pada pemenuhan indikator-indikator penting kualitas hidup,
antara lain memfasilitasi dan mendorong terciptanya ruang dan akses
untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, mencermati
bagaimana masyarakat memaknai tingkat kebahagiannya,
memfasilitasi dan mendorong terciptanya inklusi sosial dalam hal
mencapai peningkatan pendapatan, memfasilitasi dan menyediakan
fasilitas kesehatan masyarakat, dan mendorog terciptanya kesempatan
kerja yang terkait dengan okupasi.
2. Pada konteks pengembangan agribisnis pedesaan, peningkatan kualitas
hidup sangat ditentukan oleh pendapatan usahatani yang dilakukan
aktor, sehingga pada kerangka itu pemerintah dapat melakukan
226
Universitas Indonesia
reorientasi kebijakan anggaran dan kebijakan subsidi, tidak hanya
subsidi bidang pendidikan, kesehatan, melainkan yang cukup penting
adalah subsidi kebijakan dalam aspek perpajakan. Dalam hal ini pajak
lahan dan usaha agribisnis pedesaan dapat ditinjau kembali.
Secara rinci, rekomendasi kebijakan studi ini dirumuskan dalam matrik
seperti berikut ini (Tabel 8.1).
Tabel 8.1. Matrik Rekomendasi Kebijakan
No. Permasalahan Rekomendasi Kebijakan
1. Belum optimalnyapemberdayaan potensilokal dalam integrasikebijakan pada levelmakro (formal rules)dengan relasi informalpada level messo danmikro, dalampengembanganagribisnis
1. Perlu kebijakan yang koordinatif dan tidakparsial dalam implementasi programpembangunan, melalui integrasi lingkungankebijakan pada level makro dengan pelakuekonomi di level meso dan mikro.
2. Kebijakan pembangunan, terutama dalamkonteks pengembangan agribisnis berbasiskomunitas lokal seyogyanya bersifattransformatif, yakni kebijakan yang dapatmemberikan peluang transformasi sistem sosialmeliputi budaya dan struktur sosial. Lembagaterkait, terutama Kementerian Pertanian sebagaiinisiator dan fasilitator pengembangan agribisnispedesaan perlu melakukan intervensi kebijakanyang dapat mendorong tumbuh-kembangnyaintegrasi kebijakan pemerintah dengan relasiinformal di level desa, antara lain melaluipemberdayaan potensi banjar baik fisik maupunnon fisik seperti pemberdayaan awig-awigbanjar dengan tetap mempertimbangkankebutuhan aktor petani di level mikro.
2. Masih rendahnyainklusi sosial danakses masyarakatdalam penguasaankapital
1. Mengingat realitas sosial, bahwa masihditemukan adanya ketimpangan penguasaankapital terutama kapital ekonomi maka perantripartit diharapkan dapat merangsang danmemfasilitasi upaya peningkatan kapital nonekonomi pada komunitas yang penguasaankapital ekonominya rendah.
2. Dukungan kebijakan anggaran baik APBNmaupun APBD dalam pemberdayaan
227
Universitas Indonesia
No. Permasalahan Rekomendasi Kebijakan
pengembangan kapital sosial, budaya, dankapital politik yang bersifat non fisik mestilebih ditingkatkan sebagai investasipembangunan. Hal ini diperlukan mengigat jikadibandingkan dengan investasi pemerintahdalam penguasaan kapial ekonomi, makainvestasi dalam mendukung penguasaan kapitalnon ekonomi relatif jauh tertinggal. Olehkarena itu perlu dipertimbangkan peningkatananggaran pembangunan yang ditujukan untukmemfasilitasi peningkatan kapital sosial berupaanggaran pertemuan atau temu koordinasi antarkomponen masyarakat dan pemerintah ataupunswasta. Kebijakan alokasi anggaran yangbersifat seremonial yang ditujukan untukmembuka ruang atau akses penguasaan kapitalsosial, budaya, dan kapital politik yang lebihmemadai, perlu ditingkatkan.
3. Lingkungan kebijakan di level makro, perlumelakukan reoreintasi kebijakan yang terfokuspada upaya peningkatan kapital sosial, budaya,politik, dan ekonomi. Intervensi kebijakanpemerintah diperlukan antara lain untukpeningkatan penguasaan kapital-kapital:
i. Kapital sosial dengan menciptakan ruangbagi terciptanya banyak kesempatanmembangun jaringan sosial dalammasyarakat.
ii. Peningkatan kapital budaya memerlukanintervensi kebijakan bagi berkembangnyakelompok profesional pedesaan, pelatihandan penumbuhan kreatifitas dan dayacipta masyarakat petani mendukungpengembangan agribisis pedesaan, sertadengan intervensi kebijakan untukmemberikan ruang dan mendukungkegiatan-kegiatan yang terkait denganbudaya lokal.
iii. Peningkatan kapital politik dalammasyarakat memerlukan intervensikebijakan dari pemerintah yang dapatberupa upaya membuka ruang yang lebihluas bagi masyarakat untuk mengaksesinformasi publik. Hal ini diperlukanuntuk menciptakan peningkatan power
228
Universitas Indonesia
No. Permasalahan Rekomendasi Kebijakan
dan posisi tawar (bargaining position)bagi petani pelaku agribisnis.
iv. Dalam hal peingkatan kapital ekonomi,maka diperlukan intervensi kebijakanpemerintah dalam hal fasisilitasipermodalan usahatani dan membukainformasi yang seluas-luasnya bagi pasarkomoditas agribisnis pedesaan, selaindengan tetap mempertimbangkankebijakan subsidi bagi pelakuagribisnis pedesaan.
3. Stagnannya bahkanmasih rendahnyakondisi kualitashidup masyarakat
1. Intervensi kebijakan pemerintah untukpeningkatan kualitas hidup masyarakat tidakhanya terfokus pada indikator-indikator kualitashidup yang bersifat komposit, melainkanmempertimbangkan kepentingan masyarakatlokal dan memfokuskan perhatian padapemenuhan indikator-indikator penting kualitashidup, antara lain memfasilitasi dan mendorongterciptanya ruang dan akses untuk pemenuhankebutuhan dasar masyarakat, mencermatibagaimana masyarakat memaknai tingkatkebahagiannya, memfasilitasi dan mendorongterciptanya inklusi sosial dalam hal mencapaipeningkatan pendapatan, memfasilitasi danmenyediakan fasilitas kesehatan masyarakat,dan mendorog terciptanya kesempatan kerjayang terkait dengan okupasi.
2. Pada konteks pengembangan agribisnispedesaan, peningkatan kualitas hidup sangatditentukan oleh pendapatan usahatani yangdilakukan aktor, sehingga pada kerangka itupemerintah dapat melakukan reorientasikebijakan anggaran dan kebijakan subsidi, tidakhanya subsidi bidang pendidikan, kesehatan,melainkan yang cukup penting adalah subsidikebijakan dalam aspek perpajakan. Dalam halini pajak lahan dan usaha agribisnis pedesaandapat ditinjau kembali, menuju keberpihakankepada pelaku agribisnis pedesaan.
229
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Achwan, R. 2009. Sosiologi dan Krisis Keuangan Global. OPINI: HarianKOMPAS tanggal 2 April 2009.
Agresty, A and Finlay, B. 1986. Stastitical Methods for Sosial Sciences. DellenPublishing Company. San Fransisco.
Agussabti. 2002. Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan AdsopsiInovasi (Disertasi). Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Agusyanto, R. 2007. Jaringan Sosial dalam Organisasi. PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta.
Akdere, M. 2005. Sosial Capital Theory and Implications for Human RosourcesDevelepoment. Singapore Management Review. 2005: 2, 2.
Arifin, B. 2005. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan dan StrategiRevitalisasi. PT. Grasindo. Jakarta
_________ 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Ashari. 2009. Peran Perbankan Nasional dalam Pembiayaan Sektor Pertanian.Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE), Vol. 27 No. 1 (p:13-27). PusatAnalisis Kebijakan Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Rencana Strategis Badan Litbang Pertanian 2005-2009. Jakarta.
____________________. 2008. Pedoman Umum Prima Tani Terintegrasi. Jakarta.
Bendix, R dan Lipset, SM (ed). 1968. Max Weber: Class, Status, and Party.Routtledge & Kegan Paul Ltd. London
Beteille, A. 1977. Inequality Among Men. Basil Blacel & Mott Limited. Oxford.
BPS. Statistik Indonesia 2007. Jakarta.
BPS Propinsi Bali. 2008. Data Bali Membangun 2008. BPS Denpasar.
______________. 2007. Tinjauan Perekonomian Bali 2007. BPS Denpasar.
BPS Kabupaten Buleleng. 2008. Kabupaten Buleleng Dalam Angka 2008.
Bourdieu, P. 1986. The Forms of Capital dalam Richardson, JG (ed): Handbook ofTheory and Reserach for the Sociological of Educatioan. NewYork:Greenwood
__________. 1977. Outline of Theory of Practice. Translated by Richard Nice.Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
__________. 1990. dalam Harker, R (1990) ed. An Introduction to the Work ofPierre Bourdieu: The Practice Theory. Diterjemahkan oleh Maizier P.Jalasutra. Yogyakarta.
230
Universitas Indonesia
Bryman, A. 2004. Sosial Research Methods (Second Edition). Oxford UniversityPress, Inc. New York.
Campana, P. 2000. Tripartite Partnerships for Poverty Alleviation and Food Securitythrough Projects and Programmes. International Fund for AgriculturalDevelopment Latin America and The Caribbean Division. Rome.
Castelli, et. all. 2009. Exploring the Impac of Public Services on Quality of LifeIndicators. CHE Research Papaer 46. University of York. United Kingdom.
Chan, V.J.V et all. 2005. A Study on Tripartite Partnership: Benchmarking StudyFrom an International Perspective. Hongkong Policy Research Institute.Hongkong.
Charon, J.M, 1980. The Meaning of Sociology. Alfred Publishing Co. Inc.
Coleman, JS. 1988. Sosial Capital in The Creation of Human Capital. AmericanJournal of Sociology. Volume 94.
___________1990. Foundation of Sosial Theory. Cambridge MA. Belknap
Creswell. J. W. 2003. Research Design: Qualitatif, Quantitative, and MixedMethods Approaches. Sage Publication. London.
Damanhuri, D.S. 2009. Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar dalam KemelutGlobalisisasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekoonomi, Univesitas Indonesia.Jakarta.
Dasgupta P dan Serageldin I. 2002. Sosial Capital: A Multi Faceted Perspective.Worl Bank, Washington.eijer International Institute of Ecological Economics.Stochholm.
Davis, J. Dan Goldberg, R. 1957. A Concept of Agribusiness. Harvard University,Boston, USA dalam Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalamPembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT. Bina Rena Pariwara. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2005. Rencana Strategis Pembangunan Pertanian 2005-2009.Jakarta.
__________________. 2006. Pedoman Umum Prima Tani- Program Rintisan danAkselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian. Jakarta.
__________________. 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai PenggerakEkonomi Nasional. Deptan. Jakarta
Denscombe. M. 2003. Ground Rules for Good Research: A 10 Point Guide forSosial Researchers. Open University Press. Maidenhead,Philadelphia.
Dollar, D & Kraay, A. 2002. Growth is Good for The Poor. Jornal of EconomicGrotwh, 7. 2002, pp 195-225.
Duverger Maurice. 2002. The Study of Politic (Sosiologi Politik, diterjemahkanDaniel Dhakidae, 2002). PT. Raja Grafindo Jakarta.
Fukuyama F. 1995. Trust: The Sosial Virtues and the Creation of Prosperity. TheFree Press, New York.
231
Universitas Indonesia
_________ . 1999. Sosial Capital and Civil Society. The Institutes of PublicPolicy. George Mason University. International Monetary Fund.
Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. BhrataKarya Aksara. Jakarta.
Giddens, A. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-karya Marx, Durkheim, dan Weber. IU-Press. Jakarta.
Golthorpe, J. 1980. Sosial Mobility and Class Structure Modern Britai. Oxford.Clarendon.
Granovetter M. 2005. The Impact of Sosial Structure on Economic Outcomes.Journal of Economis Perspectives. Vol. 19. Number 1.
Griswold, W. 2004. Cultures and Societies in A Changing World. Pine Forge Press,an Imprint of Sage Publication, Inc. London.
Grotaert C. 1999. Sosial Capital, Houshold Welfare and Poverty in Indonesia. WorldBank Working Paper, unpublished
_________. Et.al. 2001. Sosial Capital, Household Welfare and Poverty in urkina
Haan, de L. J. 2000. Globalization, Localization and Sustainable Livehood.Sociologia Ruralis, Vol. 40. European Society for Rural Sociology.
Harker, R et all. 1990. An Introduction to The Work of Pierre Bourdieu: ThePractice Theory. The Macmillan Press Ltd: London. (Dialihbahasakan PipitMaizer), 1990. Jalasutra. Yogyakarta.
Horton, P.B dan Hunt, C.L. 1984. Sosiologi (Dialibahasakan Aminudin Sam).Penerbit Erlangga. Surabaya.
Ibrahim, Linda Darmajanti (2005: Kehidupan Berorganisasi sebagai Modal SosialKomunitas Bali). Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Jiwa, F. 2005. Honey Care Africa’s Tripartite Model: An Innovative Approach toSustainable Beekeping in Kenya. APIACTA. Kenya.
Johnson , DP. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Diindonesiakan olehRobert M.Z. Lawang). Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.
Lawang, R.M.Z. 1989. Stratifikasi Sosial di Cancar-Manggarai, Flores Barat(Disertasi). Universitas Indonesia Jakarta.
_____________. 2005. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik. (CetakanKedua). FISIP UI Press. Depok.
Lawson, T; Jones, M; dan Moores R. 2000. Advanced Sociology Through Diagrams.Oxford University Press. Oxford New York.
Legowo, A.T. 2004 dalam Binawan dan Prasetyantoko (2004). Keadilan Sosial: UpayaMencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia. Kompas Media Nusantara.Jakarta.
232
Universitas Indonesia
Lionberger, HF and Gwin, PH. 1991. Technology Transfer from Researchers toUser. University of Missouri. Missouri.
Lin, N. 2000. Inequality in Sosial Capital. Contemporary Sociology. Washington:Nov 2000. Vol. 29 p: 785, 11 pgs
_____. 2001. Sosial Capital: A Theory of Sosial Structure and Action. CambridgeUniversity Press. Cabridge.
Liu, A.Q dan Besser, T (2003). Sosial Capital and Participation in CommunityImprovement Activities by Elderly Residents in Small Town and RuralCommunities. Rural Sociology. College Station: Sep 2003. Vol 68; p: 343
Mitchell, B. 1994. Sustaianable Development at The Village Level in Bali,Indonesia. Human Ecology: An Interdisciplinary Journal. Vol. 22/3 (p. 189 –211). Plenum Press. New York.
Nee, V. 2005 dalam Smelser J. Neil and Richard Swedberg (2005). The NewInstitutionalisms in Economics and Sociology. Princeton University Press.New Jersey.
Netting, R M.C. 1993. Smallholders, Householders: Farm Families and the Ecologyof Intensive, Sustainable Agriculture. Standford University Press. California.
Neuman, W.L. 2003. Sosial Research Methods (Qualitative and QuantitativeApproachhes). Fifth Edition. Pearson Educatin, Inc. Boston New York.
Noll, H-H. 2002. Sosial Indicators and Quality of Life Research: Background,Achievemnets and Currents Trends. International Sosial Science Council.Paris.
Ostrom, E. 1997. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, andDevelopment dalam Zaenuddin, et.all. 2007. Co-Produksi dan SinergismeReformasi Hubungan Masyarakat dan Pemerintah. LIPI Press. Jakarta.
Pantoja E. 1999. Exploring the Concept of SC and Its Relevancy for Communitybased Development. Te case of Mining Areas in Orissa, India. South AsiaInfrastructure Unit, The Worl Bank.
Papanek Gustav, F. 2006. The Pribumi Enterpreneure of Bali and Central Java (orhow not to help indigenous enterprise). BIES. Vol.42. 2006
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan JangkaMenengah (RPJM) 2004-2009
Perdue, W.D. 1986. SOCIOLOGICAL THEORY: Explanation, Paradigm, andIdeology”. Mayfield Publishing Company. California.
Putnam, R. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy.Princeton University Press.
Rachbini, DJ. 1996. Ekonomi Politik: Teori, dan Perspektif baru. CIDES. Balidalam Sudjana, E. 2004. Analisis Ekonomi Politik dan Hukum LingkunganWilayah Pesisir dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan. . (Disertasi)IPBBogor.
233
Universitas Indonesia
Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Rahardjo, MD. 1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi, dan KesempatanKerja. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
___________ . 2009. Menuju Kemandirian Ekonomi Indonesia. PRISMA(Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi). Vol. 28 No.2, Oktober 2009. LP3ES.Jakarta.
Ritzer, G dan Goodman D.J, 2003. Modern Sociological Teory. Mc.Graw-Hill.
Robinson, L J. Et.al. 2002. Is Sosial Capital Really Capital? Review of SosialEconomy. Vol. LX No.1. 2002 dalam Lawang (2005).
Roling, N. 1988. Extension Science. Cambridge University Press. Cambridge.
Roth, G dan Wittich. 1978. Max Weber: Ecomony and Society. University ofCalifornia Press. Berkeley (p.24-26).
Rudestam, K.E & Newton R.R. 2001. Surviving Your Dissertation: AComprehensive Guide to Content and Process (Second Edition). SagePublication, Inc. London.
Rusli, S. 1996. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES. JakartaShanin, T. 1990. Defining Peasant. Essays Concerning Rural Societis, Explorary
Economic and Learning from Them in the Contemporary World. BasilBackwell. Cambridge.
Sajogyo, P. Sosiologi Pembangunan. Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta Bekerjasama dengan BKKBN. Jakarta.
Santeri, R dan Wiana, K. 1983. Kasta Dalam Hindu: Kesalahpahaman Berabad-abad. Yayasan Dharma Naradha. Denpasar.
Silva, D.MJ; et all. 2007. “Understanding Sources and Types of Sosial Capital inPeru “dalam Community Development Journal. Oxford: Jan 2007. Vol 12,Iss 1;p 19 pages
Singarimbun, M dan Efendi S. 1986. Metode Penelitian Survai. LP3ES. JakartaSitorus, M.T.F (1999). Bahaya Elitisme Agribisnis. Suatu Artikel dalam TROPIS
No.10. Th. I. September 1999: h.29
________________. et.all (2001). Agribisnis Berbasis Komunitas: Sinergi ModalEkonomi dan Modal Sosial. Laporan Hasil Penelitian yang diterbitkan untukPT. Sang Hyang Seri (Persero) Bali dan Pusat Kajian Agraria, LembagaPenelitian IPB. Bogor. Pustaka Wira Usaha Muda. Bogor.
234
Universitas Indonesia
______________. MTF. 1999. Menuju Sosiologi Kemakmuran: Mencari Kerangkauntuk Pemikiran Sosiologi Sajogyo. Mimbar Sosek Jurnal Sosial EkonomiPertanian. Vol.12 No. 1. IPB. Bogor
Stone W dan Hughes J. 2002. Sosial Capital: Empirical Meaning and MeasurementValidity. Research Papper 27, Australian Institute of Family Studies.Melbourne.
Sudjana, E. Analisis Ekonomi Politik dan Hukum Lingkungan Wilayah Pesisir danLautan Kota Batam Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan. DisertasiProgram Pascasarjana. IPB. Bogor.
Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta. Bandung.Sujatmiko, Iwan G. 1996. Stratifikasi dan Mobilitas Sosial: Suatu Studi Awal
Masyarakat Jakarta. Jurnal Sosiologi Indonesia (JSI). No. 1. 1996. Jakarta.Svendsen, GLH and Svendsen, GT. 2003. On The Wealth of Nation:
Bourdieuconomics and Sosial Capital. Theory and Society, Vol.32 No. 5/6,Special Issue on The Sociology Simbolic Power: In Memory of PierreBourdieu.
Tabachnick, Barbara G and Fidell, LS. 2001. Using Multivariate Statistics. (ForthEdition). Boston: Allyn and Bacon
Taylor, John G. 1989. From Modernization to Modes of Production. A Critique ofSociologist of Development and Underdevelopment. Macmillan. London.
Trigilia C. 2001. Sosial Capital & Local Development. Carlo Trigilia (University ofFlorence, Italy) European Journal of Sosial Theory 4 (4): 427-442;Copyright@2001 Sage Publications London, Thousand Oaks, CA and NewDelhi.
Torkelsson, A. 2007. Resorces, Not Capital: A Case Study of the GenderedDistribution and Productivity of Sosial Network Ties in Rural Ehtiopia. RuralSociology 72 (4). Pp 583-607)
Uyanto, SS. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Van den Ban A.W dan Hawkins, H.S. 1988. Agricultural Extension. LongmanScientific & Technical, New York.
Vipriyanti. N.U (2007). Studi Sosial Ekonomi Tentang Keterkaitan Antara ModalSosial dan Pembangunan Wilayah: Disertasi Pascasarjana IPB.Bogor.
Weisberg, S. 1985. Applied Linear Regression (Second Edition). John Willen &Sons. New York.
Wolz, A. U. Fiege and K. Reinsberg. The Role of Sosial Capital in PromotingInstitutional Changes in Transitional Agriculture. G. Van Huylenbroeck, W.Verbeke and L. Lauwers (Editors). 2004. Role of Institutions in Rural Policiesand Agricultural Markets. Elsevier B.V. Pp. 407-421.
Woolcock M, dan Narayan D. 2000. Sosial Capital: Implication for DevelopmentTheory, Research, and Policy. The World Bank Research Observer.Vol.15.No.2 (Agustus 2000) p:225-249.
235
Universitas Indonesia
L A M P I R A N
236
Lampiran 1. Instrumen Penelitian: Kuesioner dan Pedoman Wawancara Mendalam
Kuesioner untuk Survai Rumahtangga
Selama ini peran kapital untuk pencapaian peningkatan kualitas hidup (Quality of Life/
QoL) dalam pembangunan pertanian masih belum memperoleh perhatian secara memadai.
Sebenarnya peran kapital dalam arti fisik (material) seperti sumberdaya manusia, sumberdaya
alam (pertanian), ataupun sumberdaya finansial maupun kapital non fisik seperti kapital
sosial, kapital budaya, dan kapital politik sangat potensial untuk diberdayakan dalam
pembangunan, yang salah satunya ditujukan untuk mencapai peningkatan kualitas hidup
masyarakat, sebagai salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan sosial kita. Oleh karena
itu, dalam rangka mempelajari kontribusi masing-masing bentuk kapital sebagai pengaruh
dari peran tripartit ataupun koproduksi: Pemerintah, swasta, masyarakat, serta hubungannya
dengan kualitas hidup komunitas agribisnis berbasis banjar, saya mohon bantuan
Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi dan melengkapi beberapa pernyataan dan pertanyaan
dalam kuisioner ini, tentunya sesuai dengan pandangan dan kehidupan sosial bermasyarakat
yang dialami selama ini.
Kami sangat menghargai bantuan dalam memberikan jawaban atau isian dengan
sebenar-benarnya. Atas perkenaan dan waktu yang telah diluangkan, serta perhatian dari
Bapak/Ibu/Saudara sekalian, saya sampaikan terima kasih.
Jakarta, Maret 2010
Hormat Saya,
Ketut Gede Mudiarta(Mahasiswa S3 SOSIOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA)
KUESIONERREPRESENTASI KAPITAL DAN KUALITAS HIDUP MASYARAKAT
(Kajian Peran Tripartit Pemerintah-Sektor Swasta-Masyarakat dalamPengembangan Agribisnis Berbasis Komunitas)
237
Hari/Tanggal Wawancara : .............................Pewawancara/Enumerator : ..............................Nama Responden: _______________________Umur : _______________________Alamat : Banjar .................................., Desa SanggalangitPekerjaan Utama: _____________________________________________
DAFTAR PERTANYAAN (KUESIONER)
A. Peran Tripartit Pemerintah-Swasta-Komunitas Lokal
Peran Tripartit Pemerintah-Swasta-Komunitas Lokal
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
A1.A1.1.
Peran Pemerintah:Dukungan Inovasi Teknologi Pertanian
1. Inovasi tekeknologiagribisnissaat inirelatif lebihbaikdariyangsayakenalsebelumnya2. Keuntungan agribisnis yang saya peroleh dari pemanfaatan inovasi teknologi saat ini
meningkatdrastis3. Inovasiyangdiperkenalkansaat iniselarasdenganniai-nilaisosialmasyarakatdisini4. Inovasiyangdiintroduksisaat inisangatsesuaidengankebutuhanusahatanisaya5. Sayamerasamudahmengadoapsi inovasiyangdikenalkansaat ini6. Inovasidapatsayacobadalamskala usaha kecil
A.1.2 Kebijakan Subsidi1. Saya merasa Subsidi Pemerintah Pusat saat ini sesuai dengan kebutuhan2. Subsidi pemerintah daerah dibutuhkan untuk menunjang fasilitas umum3. Saya merasa subsidi pendidikan saat ini sudah relatif memadai4. Bantuan pemerintah untuk fasilitas kesehatan relatif baik5. Bantuan pemerintah untuk pengembangan usaha pertanian cukup memadai6. Sebutkan bentuk subsidi lainnya: .............................................A.1.3 Kebijakan Anggaran Pembangunan1. Saya terlibat dalam perencanaan anggaran kegiatan pembangunan2. Kebijakan anggaran pembangunan harus mempertimbangan asas keadilan3. Menurut saya anggaran pembangunan pertanian cukup memadai4. Menurut saya anggaran pengembangan kelembagaan lokal cukup memadai5. Anggaran kerjasama dalam pembangunan perlu ditingkatkan6. Saya merasa anggaran insentif pengembangan kapital masyarakat sudah
memadai
A.1.4 Kebijakan Politik1. Bagi saya, kesempatan berpolitik masyarakat disini cukup terbuka2. Pemasyarakatan kebijakan dibidang politik cukup memadai3. Saya sebagai warga bebas menentukan pilihan politiknya4. Pemerintah mendukung kegiatan politik masyarakat disini5. Kegiatan usahatani saya mendapat dukungan politik yang cukup memadai
238
Peran Tripartit Pemerintah-Swasta-Komunitas Lokal
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
A2. Peran Swasta dalam Pengembangan AgribisnisA2.1 Dukungan Investasi Swasta1. Saya merasa dukungan investasi pihak swasta mulai berkembang di desa ini2. Investasi pihak swasta penting pengaruhnya bagi pengembangan usaha saya3. Investasi pihak swasta menggairahkan pembangunan sosial ekonomi
masyarakat disini4. Menurut saya penanaman investasi pihak swasta sudah sesuai dengan
kebutuhan pembangunan sosial ekonomi desa5. Dukungan informasi permodalan dari swasta relatif memadaiA2.2. Dukungan Kredit Usahatani1. Saya merasakan pentingnya kehadiran lembaga perkreditan swasta2. Dukungan kredit usaha dari pihak swasta mulai saya rasakan3. Kredit usaha yang dikembangkan swasta cukup mudah saya akses4. Jenis kredit usahatani yang ditawarkan swasta kepada saya cukup beragam5. Kredit usahatani yang diperoleh dari pihak swasta tidak memberatkan saya
A2.3. Penyediaan Sarana Produksi Pertanian1. Saya mulai mudah mendapatkan sarana usaha dari usaha swasta dibidang
penyediaan sarana produksi pertanian2. Kehadiran usaha penyediaan sarana produksi sangat penting perannya bagi
kelancaran usahatani saya3. Saya merasa ketersediaan sarana produksi dari pihak swasta sudah memadai4. Harga sarana produksi yang dikelola swasta tidak memberatkan sayaA2.4 Pemasaran Produk1. Peran pihak swasta cukup membantu dalam pemasaran hasil produksi saya2. Saya merasakan kehadiran swasta dalam mengembangkan lembaga
pemasaran3. Dukungan pemasaran pihak swasta tidak merugikan pihak petani4. Dukungan swasta meningkatkan nilai jual hasil usahatani saya5. Pihak swasta berperan meingkatkan hubungan saya dengan pihak lain
A3. Peran Masyarakat (Komunitas Lokal)A3.1 Potensi Fisik Banjar1. Lingkungan fisik banjar, mendukung kehidupan sosial saya2. Pura Banjar adalah wadah yang baik bagi pengembangan rasa kebersamaan
saya dengan warga banjar3. Saya merasakan balai banjar adalah pusat seluruh kegiatan pembangunan
banjar4. Kulkul (kentongan) banjar adalah media informasi yang masih dihandalkan
dalam proses pembangunan5. Kekayaan fisik (aset) banjar difungsikan sebagai pendukung pencapaian
kesejahteraan warga banjarA3.2. Potensi Nilai Berbanjar1. Nilai-nilai banjar (Dresta) sebagai warisan leluhur, dapat saya manfaatkan
untuk mendukung pembangunan sosial ekonomi warga2. Nilai-nilai berbanjar merupakan modal saya dalam mencapai kesejahteraan
bersama3. Semangat kebersamaan warga banjar adalah salah satu modal saya dalam
mencapai keberhasilan
239
Peran Tripartit Pemerintah-Swasta-Komunitas Lokal
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
4. Keselarasan hubungan saya dengan Tuhan, Lingkungan, dan dengan sesamawarga merupakan landasan utama membangun bersama
5. Rasa saling percaya dan menghormati yang saya bina dengan sesama wargamerupakan nilai berbanjar untuk mencapai kesejahteraan bersama
A3.3 Kepemimpinan Banjar1. Saya merasakan tokoh-tokoh sesepuh banjar memainkan peran penting
dalam pembangunan2. Prajuru banjar (pemimpin setempat) adalah panutan warga dalam
membangun demi kesejahteraan bersama3. Bagi saya, Pempimpin setempat relatif berhasil mendukung warga banjar
dalam membangun demi pencapaian kesejahteraan bersama4. Menurut saya kepemimpinan banjar sangat menentukan keberhasilan
pembangunan5. Saya merasa Kepemimpinan banjar mampu mengambil keputusan banjar
dengkn cepat dan tepat sesuai kebutuhan bersama6. Menurut saya, pemimpin banjar cukup berhasil memajukan warga banjar
sesuai perannya masig-masingA3.4 Partisipasi Masyarakat1. Sebagai anggota banjar, saya berperan aktif dalam segala kegiatan
pembangunan2. Saya selalu merasa terpanggil untuk ikut mensukseskan segala kegiatan
pembangunan3. Keaaktifan warga banjar berperan penting dalam kesuksesan pembangunan4. Saya sebagai warga banajr warga ikut serta mengawasi kegiatan
pembangunan5. Saya sangat terbuka dengan ide-ide pembangunan6. Saya selalu taat membayar iuran berbanjarA4. Relasi Koproduksi: Pemerintah-Swasta-Masyarakat1. Partisipasi saya dihargai oleh pemerintah maupun swasta2. Saya tidak pasif sebagai penerima pelayanan pembangunan3. Dalam kegiatan pembangunan, saya sering melakukan kontrol terhadap
pemerintah dan swasta4. Saya relatif sering memberikan input-input untuk pembangunan5. Sebagai anggota masyarakat, saya menjalin hubungan baik dengan
pemerintah dan swasta6. Jika dibutuhkan saya sering menyumbang untuk kegiatan bersama7. Tidak ada dominasi pengaruh antara pemerintah, swasta, dan mayarakat
dalam kegiatan pembangunan
A.5. Mohon diisi sesuai dengan pendapat Bapak/Saudara:
Peran dari: Bagi Peningkatan PenguasaanKapital
Bagi Peningkatan KualitasHidup (QoL)
1. Peran Pemerintah2. Peran Pihak Swasta3. Peran Masyarakat
................................... %
................................... %
................................... %
................................... %
................................... %
................................... %Jumlah 100 % 100%
240
B. REPRESENTASI KAPITALB1. KAPITAL SOSIAL (Jaringan Sosial/Networks):
Item Pernyataan/Pertanyaan
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
RELASI INTEREST (Kepentingan)1 Saya berusaha menjaga hubungan baik dengan pihak pemberi pinjaman modal
2 Saya membangun hubungan sosial dengan siapapun yang membantu usaha saya3 Saya menjalin hubungan baik dengan aparat pelayanan yang membantu saya4 Saya selalu menjaga hubungan baik dengan aparat desa
5 Hubungan sosial dengan pihak luar banjar jarang saya lakukan
RELASI SENTIMEN1 Saya selalu menjaga hubungan (relasi) sosial dengan kerabat saya2 Saya membangun hubungan social dengan kenalan saya3 Hubungan ketatanggaan saya di banjar ini sangat baik
4 Hubungan pertemanan saya di banjar ini relative baik5 Saling membantu antar kerabat, saya rasakan sangat baik
RELASI POWER1 Warga masyarakat sekitar menjalin hubungan sosial dengan saya, karena mereka
memandangsayasebagai elit2 Warga disini banyak menjalin hubungan sosial dengan saya, karena saya termasuk
keluarga yang punya kedudukan tertentu3 Saya cukup berhasil membangun hubungan dengan warga banjar, karena saya
berasal dari keluarga yang disegani4 Kebanyakan warga banjar disini berusaha berhubungan baik dengan saya, karena
keluarga saya cukup berpengaruh di banjar ini.5 Saya memiliki banyak relasi, karena dalam bidang tertentu saya cukup dominan.
JARINGAN BERORGANISASI1. Jumlah keikutsertaan Bapak dalam berorganisasi:
(1) Tidak ada(2) Satu Organisasi(3) Dua Organisasi(4) Tiga Organisasi(5) Lebih dari tiga organisasi
2. Frekuensi kehadiran dalam setiap kegiatan adalah:(1) Sangat rendah(2) Rendah(3) Sedang dan biasa saja(4) Tinggi(5) Sangat tinggi(6) Tidak tahu
Alokasi waktu yang disediakan untuk organisasi dalam satu bulan terakir: (....... )3. Kedudukan Bapak dalam organisasi?
(1) Tidak tahu(2) Anggota yang tidak aktif(3) Anggota biasa(4) Pengurus biasa(5) Pengurus utama
241
4. Kondisi organisasi sosial terutama kelompok tani yang ada disini sudah relatif baik(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6)
Penjelasan lebih lanjut: _____________________________________________________________________________________________________________________
5. Jenis atau jumlah kegiatan kelompok/organisasi yang diikuti tiga bulan terakhir:(1) Tidak ada(2) 1 s.d 2 kegiatan(3) 3 s.d 4 kegiatan(4) 5 s.d 6 kegiatan(5) Lebih dari 6 kegiatan
6. Bagi saya, organisasi yang ada disini sangat penting bagi pengembangan usaha saya:
(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6) Tidak tahu
7. Mohon diisi sesuai dengan pendapat Bapak.......ORGANISASI SOSIAL
Organisasi Sosial 1. Sangat Setuju2. Setuju3. Neral4. Tidak Setuju5. Sangat Tidak Setuju
I. Daya “Bonding”
1. Setiap anggota kelompok dalam banjar ini, umumnya memilikiikatan kekeluargaan
2. Kekuatan kelompok dalam banjar dipengaruhi oleh hubunganketetanggaan antar anggota
3. Interaksi saya dengan anggota kelompok dalam banjar terjadisecara intensif
4. Hubungan saya dengan anggota kelompok dalam banjar ini seringterjadi secara tatap muka langsung
5. Setiap anggota saling mendukung dalam kegiatannya
II. Daya “Bridging”
1. Interaksi saya dengan anggota kelompok yang berbeda tingkat pendidikanumumnya jarang dilakukan
2. Hubungan kerja dengan anggota kelompok lain di luar banjar jarangdilakukan
3. Saya umumnya jarang kontak dengan anggota kelompok tani dari banjarlain
4. Kelompok saya jarang berhubungan dengan kelompok tani yangmengusahakan komoditas lain
III. Daya “Linking”1. Hubungan kelompok tani saya dengan lembaga kredit sangat intensif2. Hubungan kelompok tani saya dengan lembaga perbankan relatif baik3. Hubungan kerja sama dengan instansi pemerintah relatif baik4. Terdapat hubungan yang positif antara kelompok tani di banjar ini dengan
lembaga-lembaga politik disekitar5. Kelompok saya sering berinteraksi dengan asosiasi pengusaha pengembang
agribisnis sekitar
242
Organisasi Sosial 1. Sangat Setuju2. Setuju3. Neral4. Tidak Setuju5. Sangat Tidak Setuju
IV. Peran Lubang Struktur (Structural Hole)1. Saya merasakan adanya tokoh yang bukan anggota banjar, sangat
membantu usaha kami2. Pada umumnya kelompok dalam banjar ini terbuka bagi tokoh pembaharu
dari luar banjar3. Peran penyuluh pertanian, mantri hewan, ataupun peneliti pertanian sangat
nyata dalam membantu kegiatan agribisnis saya4. Saya mengenal beberapa pedagang pengumpul hasil usaha pertanian dari
banjar ini5. Sebutkan beberapa tokoh masyarakat dan bidangnya masing-masing yang
mendukung kegiatan usahatani Saudara.... tokoh, dalam bidang..............................
Mohon diisi (beri tanda √) untuk pertanyaan berikut, mengenai kpercayaaan Bapak terhadap organisasi atau lembaga yangBapak ketahui:
TINGKAT KEPERCAYAANNo. LEMBAGA/ORGANISASI Tidak
Percaya(1)
KurangPercaya(2)
Sedang/Cukup(3)
Percaya
(4)
SangatPercaya(5)
TidakTahu
Keterangan
i. Kelompok Tani
ii. Kelompok Pengajian
iii. Lembaga Kredit
iv. Karang Taruna
v. Bank
vi. Dewan Mesjid,Gereja
vii. Lembaga Penyuluhan
viii. Klinik Pertanian
ix. Dinas Pertanian
x. Kelurahan
xi. Kecamatan
xii. Pemerintah (Kodya,Propinsi)
xiii. Departemen Pertanianxiv. Partai Politik
8. Kapital sosial memiliki peran yang nyata dalam peningkatan kualitas hidup:(1) Tidak setuju;(2) (2) Kurang Setuju;(3) ( 3) Netral;(4) ( 4) Setuju;(5) (5) Sangat Setuju(6) (6) Tidak Tahu
B2. KAPITAL BUDAYA (Dimensi Manusia, Dimensi Obyek, dan Dimensi Institusional)
243
Item Pernyataan/Pertanyaan
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
1 Masyarakat sekitar menganggap gerak-gerik perilaku saya sangat khas , sehinggamendukung usahatani saya
2 Saya merasakan penghargaan masyarakat terhadap kemampuan potensial yangmelekat pada diri saya demikian tinggi
3 Kepemilikan saya terhadap alat-alat pertanian yang khas, sangat mendukungusahatani saya
4 Ijazah pendidikanformalsaya, sangatdihargaidalamkomunitasbanjar5 Keanggotaan saya dalam kelompok keahlian tertentu merupakan modal yang
sangat berarti6 Gelar nama famili yang saya sandang dihargai masyarakat sebagai modal yang
cukup berarti
7. Kapital Budaya memiliki peran nyata dalam penigkatan kualitas hidup(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6) Tidak tahu
B3. KAPITAL POLITIK
Item Pernyataan/Pertanyaan
7. Sangat tidakSetuju
8. Tidak Setuju9. Netral10. Setuju11. Sangat Setuju12. Tidak tahu
1 Saya merasa memiliki pengaruh penting dalam kehidupan masyarakat disini
2 Keanggotaan saya dalam organisasi poitik sangat dihargai dalamkehidupan sehari-hari
3 Dalam beberapa kegiatan, saya tergolong memiliki banyak pengikut4 Pendapat saya sering digunakan dalam kegiatan banjar5 Masyarakat menghargai jabatan atau kedudukan saya disini6 Pada beberapa kesempatan, masyarakat sekitar sering meminta nasihat
saya
7. Penguasaan Kapital politik menentukan peningkatan kualitas hidup saya:(1) Tidak setuju(2)Kurang setuju(3)Netral(4)Setuju(5)Sangat setuju(6)Tidak tahu
244
B4. KAPITAL EKONOMI:
1. Saya merasa bahwa menurut masyarakat, jumlah aset saya:
(1) Sangat rendah(2) Rendah(3) Cukup(4) Tinggi(5) Sangat tinggi
2. Masyarakat memandang saya sebagai petani maju
(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6) Tidak tahu
3.Dalam menghadapi tantangan usahatani saya bersikap:
(1) Tidak semangat(2) Kurang semangat(3) Netral(4) Mengatasi tantangan dengan semangat(5) Sangat semangat dalam mengatasi tantantangan(6) Tidak tahu
4.Dalam menjalankan usahatani, saya:
(1) Tidak terampil menerapkan inovasi baru(2) Sedikit terampil(3) Cukup terampil menerapkan inovasi baru(4) Terampil(5) Sangat terampil menerapkan inovasi baru(6) Tidak tahu
5.Dalam berusaha tani, saya bersikap:
(1) Tidak senang dengan inovasi yang baru(2) Kurang berani mencoba inovasi baru(3) Netral(4) Sering mencoba inovasi yang baru(5) Sangat sering mencoba inovasi yang baru(6) Tidak tahu
6.Saya mampu menyediakan lapangan pekerjaan sendiri
(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6) Tidak tahu
7.Kapital ekonomi berperan nyata dalam peningkatan kualitas hidup:
245
(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6) Tidak tahu
B5. Mohondiisisesuaidenganpendapat danrealitasyangada:
Berapa persen kira-kira peran masing-masing bentuk kapital di bawah ini bagi peningkatankesejahteraan (kualitas hidup) Saudara?
Jenis Kapital Perannya dalam Peingkaan Kualitas Hidup(%)
Kapital SosialKapital BudayaKapital PolitikKapital EkonomiJUMLAH 100 %
C. KUALITAS HIDUP(QoL)
Item Pernyataan/Pertanyaan
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
C1. Okupasi
1. Kesempatan kerja di wilayah tempat tinggal saya relatif luas2. Saya merasa tidak ada hambatan dalam memasuki lapangan pekerjaan3. Kesempatan kerja disekitar desa dan kecamatan banyak yang sesuai
dengan latar belakang kemampuan saya4. Kesempatan kerja masih didominasi kalangan tertentu5. Fasilitasi pemerintah dalam memasuki kesempatan kerja sudah memadai6. Akhir-akhir ini kesempatan berusaha relatif meningkat7. Peluang saya memasuki kesempatan kerja cukup besar
C2 Pendapatan:1. Pendapatan Bapak dalam satu tahun terakhir adalah:
(1) Kurang dari 2,5 juta(2) 2,5 s.d 4,9 juta(3) 5 s.d 7,5 juta(4) 7,5 s.d 10 juta(5) Lebih dari 10 jutadan berapa kira-kira pengeluaran toal selama satu bulan ...............?
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pencapaian tingkat pendapatan tersebut?Jelaskan: ____________________________________________________________
______________________________________________________________
246
Item Pernyataan/Pertanyaan
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
C3 Tingkat Pendidikan: Sebutkan berapa tahun rata-rata angota keluarga Bapak mengenyampendidikan formal? ...................................Tahun(1) Tidak tamat SD (kurang dari 6 tahun)(2) SD-SMP (6–9 tahun)(3) SMA (12 tahun)(4) Diploma (13–15 tahun)(5) Sarjana (lebih dari 15 tahun)
C4. Pemenuhan Kebutuhan Primer1 Secara umum saya mudah memenuhi kebutuhan bahan pangan bagi
keluarga2 Saya tidak kesulitas dalam memperoleh bahan makanan3 Saat ini saya merasa tidak kesulitan memenuhi kebutuhan pangan bagi
keluarga4 Saya relatif mudah menjangkau kebutuhan akan pakaian keluarga5 Kemampuan saya dalam memenuhi kebutuhan pakaian keluarga relatif
memadai6 Saya merasakan tidak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pakaian
keluarga7 Saya merasa keadaan rumah saya cukup sehat8 Dari waktu ke waktu saya memandang keadaan rumah saya semakin
layak dihuni9 Kemampuan saya akan pemenuhan kebutuhan rumah tempat tinggal
keluarga sudah memadai
C5. Akses Pelayanan Publik1 Saya sudah memperoleh pelayanan memadai yag disediakan pemerintah2 Saya mudah memperoleh fasilitas umum3 Jumlah fasilitas umum relatif banyak4 Saya merasa tenaga pelayananan di sisni cukup memadai5 Kemampuan saya menjangkau setiap pelayanan sudah memadai6 Saya sebagai warga banjar emiliki hak yang sama dalam memperoleh
pelayanan publik
C6. Partisipasi Politik1 Secara umum saya terlibat dalam proses pengambilan keputusan di desa2 Saya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga lain dalam
menentukan kebijakan banjar3 Saya bebas menentukan pilihan dalam proses pengambilan keputusan
disetiap organisasi lokal4 Perbedaan pendapat antar anggota warga banjar adalah hal yang biasa5 Saya bebas menentukan sikap berpolitik6 Saya merasa ada kebebasan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik
7 Kegiatan-kegiatan politik selama ini, bermanfaat bagi pengembangandiri saya
8 Keikutsertaan saya dalam kegiatan politik nasional sangat dihargaimasyarakat disini
247
Item Pernyataan/Pertanyaan
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
C7. Relasi Sosial
1 Hubungan sosial saya dengan anggota masyarakat disini sangat baik
2 Dari waktu ke waktu saya merasakan adanya peningkatan hubungansosial antar warga
3 Hubungan sosial saya relatif luas hingga menjalin kerja sama dalambidang usaha saya
4 Bentuk hubungan kerja sama yang saya bangun tidak terbatas hanya dalam bentukhubungan
5 Kemampuan saya merintis hubungan kerja sama cukup memadai
6 Hubungan kerja sama yang berhasil saya bina cukup banyak
C8. Keamanan Sosial
1 Saya menyadari pentingnya keamanan sosial
2 Dari waktu ke waktu saya merasakan adanya peningkatan bidangkemanan sosial
3 Dalam kehidupan sehari-hari, saya merasakan tidak ada tekanan sosialterhadap diri dan keluarga saya.
4 Secara sosial, usaha agribisnis saya disini aman tidak ada gangguan yangberarti
5 Saya sebagai anggota komunitas agribisnis di banjar ini merasa nyamandalam berusaha
6 Lingkungan sekitar saya sangat menjamin adanya keamanan sosial bagisetiap warga disini
C9. Persepsi Kebahagiaan
1 Saya merasa cukup bahagia menjalani kehidupan sosial saya2 Dari waktu ke waktu saya merasakan adanya peningkatan rasa
kebahagiaan diri3 Saya merasa bahagia karena mampu memenuhi kebutuhan keluarga sesuai ukuran
kebutuhan4 Secara sosial, keluarga saya dianggap bahagia oleh warga sekitar
5 Lingkungan sekitar mendukung pencapaian kebahagiaan keluarga saya
6 Kebahagiaan adalah tujuan hidup saya
248
Item Pernyataan/Pertanyaan
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
C10 Makna Hidup1 HidupadalahkodratdariTuhanyangharusditerimadandiperjuangkan2 Saya memaknai hidup sesuai dengan kaidah-kaidah berkehidupan sosial
dilingkungan sekitar3 Saya memaknai hidup dengan berusaha sesuai dengan kemampuan yang
saya miliki..4 Hidup damai dengan ligkungan adalah tujuan saya menjalani kehidupan
sosial.5 Hidup ini sangat berarti bagi saya
C.11 Kualitas Lingkungan
1 Lingkungan bertetangga sangat mententeramkan saya sebagai anggotabanjar
2 Saya merasa lingkungan hidup saya mendukung seluruh kegiatankeluarga
3 Alam sekitar mendukung saya mencapai kualitas hidup yang memadai4 Lingkungan sosial di banjar sangat menentukan pencapain kualitas hidup
saya5 Saya sebagai anggota komunitas agribisnis di banjar ini merasa bertanggung jawab
ataskelesarianlingkunganhidup
C12. Kualitas Beragama1 Saya sebagai anggota banjar menyadari pentingnya kehidupan
beragama2 Dari waktu ke waktu saya merasakan adanya peningkatan kualitas
beragama3 Dalam kehidupan sehari-hari, saya merasakan tidak ada tekanan sosial
dalam menjalani kewajiban beragama4 Ketaatan beragana menentukan kualitas hidup saya5 Ligkungan sekitar mendukung kegiatan agama yang saya lakukan
C13. Persepsi Mobilitas Vertikal
1 Saya merasa setiap waktu mengalami peningkatan status sosialnya2 Dibandingkan dengan orang tua, saya merasakan ada peningkatan status
bidang pekerjaan yang saya jalani3 Dibandingkan dengan sepuluh atau duapuluh tahun yang lalu, sayamerasa mengalami
peningkatandalamberusaha4 Keadaan perekonomian keluarga saya cukup meningkatn dari waktu ke
waktu5 Peningkatanusahayangsaya jalankancukupnyata
C.14. Morbiditas1. Berapa kali saudara menderita sakit dalam kurun waktu satu tahun ini?
249
(1) Lebih dari 10 kali(2) 8 sd. 10 kali(3) 6 s.d 8 kali(4) 3 s.d 5 kali(5) Kurang dari 3 kali
2. Bagaimana saudara menjangkau pelayanan kesehatan?(1) Sangat sulit mendapat pelayanan(2) Sulit mendapatkan pelayanan(3) Cukup mudah mendapatkan pelayanan(4) Mudah mendapatkan pelayanan(5) Sangat mudah mendapatkan pelayanan(6) Tidak tahu
3. Bagaimana pendapat saudara mengenai kondisi kesehatan anggota keluarga?(1) Sangat rendah(2) Rendah(3) Cukup(4) Sehat(5) Sangat sehat(6) Tidak tahu
4. Kondisi Kesehatan Keluarga:Menurut Saudara, pada kelompok yang mana keadaan kesehatan anggota keluarga Bapak?
(1)Sangat Memadai(2)Memadai(3)Cukup Memadai(4)Kurang Memadai(5)Sangat tidak Memadai(6) Tidak tahu
Jelaskan lebih lanjut .....................................................
C.15. Angka kematian bayi (IMR)*)
C.16. Angka harapan hidup umur 1 tahun*)
*) Data mengenai IMR dan Angka Harapan Hidup tidak perlu diisi, data diperoleh di instansi terkait
250
Mohon Saudara memberi skor (skala 1 s/d 5) untuk masing-masing indikator yang menentukanKualitas Hidup (QoL) masyarakat (Lihat Tabel berikut) sesuai dengan tingkatan pentingnya masing-masing indikator itu. Indikaor yang dipandang sangat penting diberi skor 5, penting diberi skor 4;cukup penting diberi skor 3; kurang penting skor 2; dan tidak penting diberi skor 1.
Indikator Kualitas HIdup Skor (1 s/d 5) Keterangan
1. Tingkat Okupasi (matapencaharian utama
2. Pendapatan3. Tingkat Pendidikan4. Pemenuhan Kebutuhan Primer5. Akses Pelayanan Publik6. Tingkat Partisipasi Politik7. Relasi Sosial8. Keamanan Sosial9. Tingkat Kebahagiaan10. Makna Hidup11. Kualitas Lingkungan12. Kualitas Beragama
(Religiusitas)13. Tingkat Mobilitas Vertikal14. Kondisi Kesehatan (Morbiditas)15. Angka Kematian Bayi16. Angka Harapan Hidup
251
PEDOMAN WAWANCARA SEBAGAI PENGARAH PENELITIANDALAM PENGUMPULAN DATA KUALITATIF.
1. Bagamaiman peran pemerintah dalam pengembangan agribisnis?2. Bagaimana peran pihak swasta selama ini?3. Apakah program itu melibatkan masyarakat anggota“Banjar”sebagai organisasi tradisi?4. Bagaimana mekanisme penetapan kebijakan program pembangunan di daerah ini?5. Bagaimana relasi koproduksi pemerintah-swasta- masyarakat dalam proses
pembangunan agribisnis?6. Bagaimana gambaran kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam
pengembangan agribisnis di desa ini?7. Bagaimana keterkaitan kebijakan pemerintah dan lingkungan aturan-aturan formal
dengan aturan-aturan informal banjar dalam pengembangan agribisnis di desa ini?8. Potensi banjar yang dapat dimanfaatkan dalam mendukung usaha agribisnis?9. Mohon penjelasan mengenai keragaan kapital sosial masyarakat anggota banjar10. Bagaimana penguasaan kapital budaya dalam masyarakat disisni?11. Apakah kapital politik relatif berkembang dalam masyarakat?12. Bagaimana pandangan Bapak mengenai keadaan kapital ekonomi masyarakat?13. Bagaimana persaingan (kompetisi) antar waga masyarakat anggota banjar dalam
menguasai kapital-kapital tersebut? Sejauhmana pertukaran antar kapital yangdilakukan setiap aktor anggota banjar disini?
14. Sejauh mana terjadinya persaingan antar aktor dalam ranah pertanian dan sistem banjar?15. Aakah kedudukan seseorang dalam sistem banjar mempengaruhi penguasaan kapital
masyarakat?16. Selain ranah pertanian dan sistem banjar, ranah apa saja yang menonjol di sini?17. Seberapa besar peran kapital sosial dalam mencapai peningkatan kualitas hidup?
(Ditanyakan juga, berapa persen (%) kira-kira perannya?)18. Bagaimana peran kapital budaya dalam meningkatakan kualitas hidup? (Kira-kira
berapa persen perannya?)19. Seberapa besar peran kapital politik dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat?
(Berapa persen perannya?)20. Bagaimana peran kapital ekonomi dalam peningkatan kualitas hidup? (Berapa persen
kira-kira peran kapital ekonomi dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat?)21. Bagaimana gambaran kesempatan kerja, dan peluang berusaha di sini?22. Bagaimana keadaan pembangunan pendidikan di sisni?23. Bagaimana keadaan kesehatan masyarakat?24. Bagaimana gambaran kualitas hidup sosial disini?25. Apakah masyarakat cukup puas dengan kualitas hidup mereka?
252
26. Sejauhmana munculnya habitus (pengelompokkan habitus-habitus aktor) sebagaikombinasi posisi sosial dan sejarah personal aktor (Asal-usul sosial, pekerjaan,pendidikan, dll)? Posisi sosial tertentu dalam ranah, mislnya orang kaya akancenderung menghasilkan habitus sendiri yang ditunjukkan dengan misalnya selera dancara makan yang berbeda dengan habitus orang misikin.
27. Bagaimana keterkaitan sistem kasta yang dikenal disini dengan munculnya habitus-habitus itu? Mohon dijelaskan juga sistem pelapisan sosial disini dan pertaliannyadengan kualitas hidup masyarakat?.
OBSERVASI LAPANGAN:
1. Keadaan umum lingkungan Desa lokasi penelitian, termasuk dinamika kehidupan sosialmasyarakat berbasis banjar
2. Pola hubungan sosial antar warga banjar3. Pola hubungan sosial banjar dengan supra sistem sosialnya4. Dinamika kehidupan berorganisasi5. Kegiatan adat dan budaya masyarakat6. Kegiatan perekonomian masyarakat7. Kesibukan pada setiap akses layanan publik8. Kondisi sarana prasarana umum9. Keunikan-keunikan lainnya, sistem sosial masyarakat berbasis Banjar
253
Lampiran 2. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Data Pretes
1. Peran PemerintahNilai Cronbach’s Alpha Peran Pemerintah.
254
2. Peran Swasta.
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Peran Swasta.
3. Peran Masyarakat.
NilaiCronbah’s Alpha if Item Deleted Masing-masing Item untuk Peran Masyarakat
255
4. Ko-produksi Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
.742 .732 7
Nilai Cronbah’s Alpha if Item Deleted Masing-masing Item untuk PeranKoproduksi
5. Variabel Kapital Sosial
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Kapital Sosial.
256
6. Variabel Kapital Budaya.
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Kapital Budaya.
7. Variabel Kapital Politik.
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Kapital Politik.
257
8. Variabel Kapital Ekonomi
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Kapital Ekonomi.
9. Alpha Variabel Stratifikasi Sosial.
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Stratifikasi.
258
10. Variabel Qol
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk QoL.
259
Lampiran 3. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Data Survai
1. Peran Pemerintah.
2. Peran Swasta.
260
3. Peran Masyarakat.
4. Peran Koproduksi Pemerintah, Swasta, Masyarakt.
261
5. Kapital Sosial.
262
6. Kapital Budaya.
7. Kapital Politik:
8. Kapital Ekonomi:
263
9. Kualitas Hidup (QoL):
264
Lampiran 4. Uji Normalitas Variabel Endogen: Kualitas Hidup (QoL)
265
Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian oleh Program Pascasarjana Sosiologi, UniversitasIndonesia dan dari Badan LINMAS Propinsi Bali).