karakterisasi tepung jagung lokal dan mie basah jagung yang dihasilkan

151
SKRIPSI KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN Oleh HAMIGIA ZULKHAIR F24050962 2009 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Upload: annisaa-ira-wahdini

Post on 27-Nov-2015

418 views

Category:

Documents


25 download

DESCRIPTION

RINGKASANJagung merupakan salah satu komoditi lokal Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan terutama dalam upaya diversifikasi pangan. Salah satunya dengan diolah menjadi mie jagung. Varietas jagung yang digunakan merupakan varietas jagung unggulan nasional yang diharapkan mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie basah jagung. Penelitian ini berguna untuk meningkatkan nilai tambah jagung unggul nasional dan untuk menyediakan database varietas jagung lokal yang cocok untuk dijadikan mie jagung.Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu penepungan, karakterisasi tepung jagung, pembuatan mie basah jagung, analisa mie secara fisik, penambahan guar gum dan pembandingan hasil analisa mie dengan dan tanpa guar gum, serta penentuan varietas jagung lokal yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung. Penepungan jagung menggunakan metode penggilingan kering. Mie basah jagung dibuat dengan menggunakan ekstruder model MS9, Multifunctional noodle modality machine. Mie dibuat dengan menggunakan tekanan secara manual. Pengukuran besarnya tekanan yang diberikan sulit dilakukan, sehingga yang diukur adalah waktu (laju) pengisian (filing rate).Karakterisasi tepung jagung berdasarkan sifat fisiko-kimia memiliki pH 5.83 - 6.67, warna kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan (L) 87.07 - 88.81, kadar air 9.95 - 15.04% bk, kadar abu 0.55 - 0.83% bk, kadar lemak 1.62 - 1.85 % bk, kadar protein 8.96 - 9.20% bk, kadar karbohidrat 88.11 - 88.87% bk, kadar pati 71.69 - 75.70% bk, kadar amilosa 23.06 - 27.68% bk, dan kadar amilopektin 44.10 - 52.64% bk. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi 72.0 - 73.5°C, viskositas maksimum 222.50 - 462.50 BU, viskositas akhir 280 - 580 BU, breakdown viscosity 5.0 - 92.5 BU, dan setback viscosity 45.00 - 102.50 BU; water absorption capacity 1.34 - 1.69 (g/g) bk, kelarutan 5.00 - 7.92% dan swelling volume 7.53 - 9.30 (ml/g) bk.Filling rate diukur berdasarkan waktu sejak mie keluar pertama kali dari die sampai habis. Persen elongasi mie dan KPAP mie basah jagung tanpa tekanan adalah sebesar 108.46% dan 7.15%. Sedangkan dengan pemberian tekanan secara manual, persen elongasi dan KPAP sebesar 126.29% dan 5.56%. Hasil analisa ini juga didukung oleh hasil analisa mikrostruktur menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Hasil SEM menyatakan mie basah jagung dengan pemberian tekanan memiliki matriks pati yang lebih seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula lebih tinggi dibandingkan mie basah jagung tanpa tekanan. Ikatan antar granula yang kuat dapat meningkatkan nilai persen elongasi dan menurunkan KPAP. Selanjutnya pada penelitian utama, pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan pemberian tekanan secara manual.Pada penelitian utama selain dilakukan pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan pemberian tekanan secara manual juga diberikan perlakuan penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) jenis guar gum sebanyak 1%. Kemudian hasil analisa mie basah jagung tanpa penambahan guar gum dibandingkan dengan mie basah jagung dengan penambahan guar gum. Analisa sifat fisik yang dilakukan tidak hanya pada parameter mutu inti mie basah, yaitu persen elongasi dan KPAP, tetapi juga analisa tambahan yang dapat memberikan nilai tambah pada mie basah jagung, yaitu warna dan tensile strength. Analisa persen elongasi dan tensile strength juga dilakukan dalam dua metode, yaitu metode celup dan rebus. Hal ini dilakukan sesuai dengan aplikasi mie basah sebagai mie bakso (metode celup) dan mie ayam (metode rebus).Persen elongasi mie basah jagung tanpa penambahan guar gum metode celup 58.70 - 95.43% dan metode rebus 26,17 - 40.23; KPAP 5.06 - 6.92%; tensile strength metode celup 42.50 - 202.50 kgf dan metode rebus 25.50 -112.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Nilai persen elongasi dengan penambahan guar gum metode celup 81.80 - 106.245 dan metode rebus 35.28 - 61.49%; KPAP 4.23 - 4.61%; tensile strength metode celup 7

TRANSCRIPT

Page 1: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

SKRIPSI

KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Oleh HAMIGIA ZULKHAIR

F24050962

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 2: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

SKRIPSI

KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh HAMIGIA ZULKHAIR

F24050962

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 3: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH

JAGUNG YANG DIHASILKAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh HAMIGIA ZULKHAIR

F24050962

Dilahirkan pada tanggal 28 Oktober 1986

Di Solok

Tanggal lulus : 31 Juli 2009

Menyetujui,

Bogor, 31 Juli 2009

Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc Tjahja Muhandri, S.TP, MT

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Dahrul Syah

Ketua Departemen

Page 4: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Hamigia Zulkhair. F24050962. Karakterisasi Tepung Jagung Lokal dan Mie Basah Jagung yang Dihasilkan. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc dan Tjahja Muhandri, STP, MT.

RINGKASAN

Jagung merupakan salah satu komoditi lokal Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan terutama dalam upaya diversifikasi pangan. Salah satunya dengan diolah menjadi mie jagung. Varietas jagung yang digunakan merupakan varietas jagung unggulan nasional yang diharapkan mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie basah jagung. Penelitian ini berguna untuk meningkatkan nilai tambah jagung unggul nasional dan untuk menyediakan database varietas jagung lokal yang cocok untuk dijadikan mie jagung.

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu penepungan, karakterisasi tepung jagung, pembuatan mie basah jagung, analisa mie secara fisik, penambahan guar gum dan pembandingan hasil analisa mie dengan dan tanpa guar gum, serta penentuan varietas jagung lokal yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung. Penepungan jagung menggunakan metode penggilingan kering. Mie basah jagung dibuat dengan menggunakan ekstruder model MS9, Multifunctional noodle modality machine. Mie dibuat dengan menggunakan tekanan secara manual. Pengukuran besarnya tekanan yang diberikan sulit dilakukan, sehingga yang diukur adalah waktu (laju) pengisian (filing rate).

Karakterisasi tepung jagung berdasarkan sifat fisiko-kimia memiliki pH 5.83 - 6.67, warna kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan (L) 87.07 - 88.81, kadar air 9.95 - 15.04% bk, kadar abu 0.55 - 0.83% bk, kadar lemak 1.62 - 1.85 % bk, kadar protein 8.96 - 9.20% bk, kadar karbohidrat 88.11 - 88.87% bk, kadar pati 71.69 - 75.70% bk, kadar amilosa 23.06 - 27.68% bk, dan kadar amilopektin 44.10 - 52.64% bk. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi 72.0 - 73.5˚C, viskositas maksimum 222.50 - 462.50 BU, viskositas akhir 280 - 580 BU, breakdown viscosity 5.0 - 92.5 BU, dan setback viscosity 45.00 - 102.50 BU; water absorption capacity 1.34 - 1.69 (g/g) bk, kelarutan 5.00 - 7.92% dan swelling volume 7.53 - 9.30 (ml/g) bk.

Filling rate diukur berdasarkan waktu sejak mie keluar pertama kali dari die sampai habis. Persen elongasi mie dan KPAP mie basah jagung tanpa tekanan adalah sebesar 108.46% dan 7.15%. Sedangkan dengan pemberian tekanan secara manual, persen elongasi dan KPAP sebesar 126.29% dan 5.56%. Hasil analisa ini juga didukung oleh hasil analisa mikrostruktur menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Hasil SEM menyatakan mie basah jagung dengan pemberian tekanan memiliki matriks pati yang lebih seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula lebih tinggi dibandingkan mie basah jagung tanpa tekanan. Ikatan antar granula yang kuat dapat meningkatkan nilai persen elongasi dan menurunkan KPAP. Selanjutnya pada penelitian utama, pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan pemberian tekanan secara manual.

Page 5: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Pada penelitian utama selain dilakukan pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan pemberian tekanan secara manual juga diberikan perlakuan penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) jenis guar gum sebanyak 1%. Kemudian hasil analisa mie basah jagung tanpa penambahan guar gum dibandingkan dengan mie basah jagung dengan penambahan guar gum. Analisa sifat fisik yang dilakukan tidak hanya pada parameter mutu inti mie basah, yaitu persen elongasi dan KPAP, tetapi juga analisa tambahan yang dapat memberikan nilai tambah pada mie basah jagung, yaitu warna dan tensile strength. Analisa persen elongasi dan tensile strength juga dilakukan dalam dua metode, yaitu metode celup dan rebus. Hal ini dilakukan sesuai dengan aplikasi mie basah sebagai mie bakso (metode celup) dan mie ayam (metode rebus).

Persen elongasi mie basah jagung tanpa penambahan guar gum metode celup 58.70 - 95.43% dan metode rebus 26,17 - 40.23; KPAP 5.06 - 6.92%; tensile strength metode celup 42.50 - 202.50 kgf dan metode rebus 25.50 -112.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Nilai persen elongasi dengan penambahan guar gum metode celup 81.80 - 106.245 dan metode rebus 35.28 - 61.49%; KPAP 4.23 - 4.61%; tensile strength metode celup 71.00 - 252.13 kgf dan metode rebus 27.50 - 131.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa dengan penambahan guar gum dapat memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan khususnya meningkatkan hasil parameter inti dari mie basah jagung yang dihasilkan dan tensile strength. Warna mie basah jagung tidak terlalu berpengaruh terhadap penambahan guar gum. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa dengan penambahan guar gum dapat memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan khususnya pada parameter mutu persen elongasi dan KPAP.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa varietas tepung jagung terbaik yang cocok untuk dibuat menjadi mie jagung adalah varietas Lamuru. Tepung jagung varietas Lamuru menghasilkan nilai terbaik pada analisa sifat fisik yang menjadi parameter mutu inti mie basah, yaitu persen elongasi paling tinggi dan KPAP rendah. Tepung jagung varietas Lamuru akan menghasilkan mie basah jagung yang lebih baik jika dilakukan penambahan bahan tambahan pangan jenis guar gum sebanyak 1%.

Page 6: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ............................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR......................................................................................... vi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii

I. PENDAHULUAN...................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Tujuan.................................................................................................. 3

C. Manfaat................................................................................................. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 4

A. Jagung ................................................................................................. 4

1. Deskripsi dan Jenis-Jenis Tanaman Jagung .................................... 4

2. Morfologi dan Anatomi Tanaman jagung ....................................... 5

3. Komposisi Kimi Jagung .................................................................. 6

4. Jagung Varietas Unggul Nasional ................................................... 7

B. Tepung Jagung .................................................................................... 8

C. Pati Jagung .......................................................................................... 9

1. Karakteristik Pati............................................................................. 9

2. Hubungan Amilosa dan Amilopektin dengan Reologi Mie ............ 9

D. Gelatinisasi.......................................................................................... 10

1. Konsep Gelatinisasi......................................................................... 11

2. Mekanisme Gelatinisasi................................................................... 12

3. Suhu Gelatinisasi ............................................................................. 25

E. Mie Basah ........................................................................................... 13

F. Mie Basah Jagung ............................................................................... 16

G. Reologi Mie Basah.............................................................................. 18

H. Ekstrusi................................................................................................ 19

1. Ekstruder ......................................................................................... 19

2. Proses Ekstrusi................................................................................. 21

I. Scanning Electron Microscope (SEM) ............................................... 21

Page 7: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 24

A. Bahan dan Alat.................................................................................... 24

B. Metode Penelitian ............................................................................... 24

1. Penelitian Pendahuluan ................................................................... 25

2. Penelitian Utama ............................................................................. 31

C. Metode Analisa ................................................................................... 32

1. Analisa Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung.............. 32

a. Analisa pH (Derajat Keasaman)............................................... 32

b. Analisa Warna Metode Hunter.................................................. 32

c. Analisa Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992) ............. 33

d. Analisa Kadar Abu Metode Pengabuan Kering ........................ 33

e. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl................................... 34

f. Analisa Kadar Lemak, Metode Soxhlet..................................... 34

g. Analisis Kadar Karbohidrat by Difference................................ 35

h. Analisis Kadar Pati Metode Luff Schoorl ................................. 36

i. Analisis Kadar Amilosa Metode IRRI ....................................... 37

2. Analisa Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung .................. 38

a. Sifat Amilografi......................................................................... 39

b. Water Absorption Capasity (WAC).......................................... 39

c. Kelarutan ................................................................................... 40

d. Swelling Volume........................................................................ 40

3. Analisa Karakterisasi Fisik Mie Basah Jagung ............................... 40

a. Analisa Persen Elongasi Menggunakan Texture Anlyzer.......... 41

b. Pengukuran KPAP .................................................................... 41

c. Analisa Persen Elongasi dan Tensile Strength Menggunakan

Rheoner ..................................................................................... 41

d. Analisa Mikrostruktur Menggunakan SEM .............................. 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 43

A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung ...................................................... 43

B. Karakterisasi Tepung Jagung............................................................... 45

1. Analisa Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung.............. 46

a. Analisa Sifat Fisik Tepung Jagung

Page 8: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

1). Analisa pH (Derajat Keasaman) ......................................... 46

2). Analisa Warna Metode Hunter ............................................ 47

B Analisa Sifat Kimia Tepung Jagung.......................................... 48

1). Analisa Kadar Air ................................................................ 48

2). Analisa Kadar Abu .............................................................. 50

3). Analisis Kadar Protein......................................................... 51

4). Analisa Kadar Lemak .......................................................... 52

5). Analisis Kadar Karbohidrat ................................................. 53

6). Analisis Kadar Pati .............................................................. 54

7). Analisis Kadar Amilosa....................................................... 55

8). Analisa Kadar Amilopektin ................................................. 56

2. Analisa Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung .................. 57

a. Sifat Amilografi......................................................................... 57

b. Water Absorption Capacity (WAC).......................................... 60

c. Kelarutan dan Swelling Volume ................................................ 61

C. Penelitian Pendahuluan ....................................................................... 63

1. Pembuatan Mie Basah Jagung......................................................... 63

2. Justifikasi Pembuatan Mie Basah Jagung........................................ 69

D. Pembuatan Mie Basah Jagung Berdasarkan Hasil Justifikasi dan

Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Penambahan Guar Gum .... 75

1. Persen Elongasi ............................................................................. 76

a. Metode Celup............................................................................. 77

b. Metode Rebus ............................................................................ 78

2. KPAP ............................................................................................ 79

3. Tensile Strength ............................................................................ 81

4. Warna ............................................................................................ 83

E. Penentuan Varietas Jagung yang Paling Cocok Untuk Dibuat Mie

Basah Jagung ...................................................................................... 86

F. Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Mie Basah Terigu .............. 89

V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 94

A. Kesimpulan ......................................................................................... 94

B. Saran.................................................................................................... 95

Page 9: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 96

LAMPIRAN....................................................................................................... 103

Page 10: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jenis-jenis jagung dan sifatnya ........................................................... 5

Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya ............ 6

Tabel 3. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasiona; ............................................ 7

Tabel 4. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati .................................................. 12

Tabel 5. Klasifikasi mie berdasarkan kriteria dan karakteristik........................ 14

Tabel 6. Syarat mutu mie kering menurut SII 2046-90 ................................... 16

Tabel 7. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal........................................................ 20

Tabel 8. Spesifikasi JEOL 5200 SEMs……………………………………….. 22

Tabel 9. Kegunaan SEM berdasarkan signal-signal yang digunakan ...... ......... 23

Tabel 10. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan pangan

dengan metode Luff Schoorl ................................................................ 37

Tabel 11. Hasil analisa warna lima varietas tepung jagung................................ 47

Tabel 12. Sifat Amilografi lima varietas tepung jagung ..................................... 58

Tabel 13. Spesifikasi ekstruder pencetak Model MS9........................................ 64

Tabel 14. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP penelitian pendahuluan .... 69

Tabel 15. Hasil filling rate ................................................................................ 69

Tabel 16. Waktu pematangan mie....................................................................... 80

Tabel 17. Nilai a dan b lima varietas tepung jagung........................................... 85

Tabel 18 Karakterisasi sifat fisik mie basah terigu ............................................ 86

Tabel 19. Hasil karakterisasi sifat fisik mie basah jagung.................................. 86

Tabel 20. Perbandingan mie basah jagung dengan mie basah terigu.................. 91

Page 11: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Gambar jagung di ladang ................................................................ 4

Gambar 2. Mekanisme gelatinisasi pati ............................................................ 12

Gambar 3. Proses pembuatan mie jagung metode ekstrusi piston.................... 17

Gambar 4. Bermacam-macam informasi pancaran elektron SEM.................... 22

Gambar 5. Prinsip perbesaran gambar sampel SEM......................................... 23

Gambar 6. Garis besar pelaksanaan penelitian ................................................. 26

Gambar 7. Diagram alir pembuatan tepung jagung .......................................... 28

Gambar 8. Diagram alir pembuatan mie basah jagung..................................... 30

Gambar 9. Nilai pH lima varietas tepung jagung.............................................. 46

Gambar 10. Gambar lima varietas tepung jagung ukuran 100 mesh .................. 47

Gambar 11. Kadar air lima varietas tepung jagung............................................. 49

Gambar 12. Kadar abu lima varietas tepung jagung ........................................... 50

Gambar 13. Kadar protein lima varietas tepung jagung ..................................... 51

Gambar 14. Kadar lemak lima varietas tepung jagung ....................................... 53

Gambar 15 Kadar karbohidrat lima varietas tepung jagung .............................. 54

Gambar 16. Kadar air pati varietas tepung jagung............................................ 55

Gambar 17 Kadar amilosa lima varietas tepung jagung .................................. 56

Gambar 18. Kadar amilopektin lima varietas tepung jagung............................ 57

Gambar 19. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung .................................. 59

Gambar 20. WAC lima varietas tepung jagung .................................................. 60

Gambar 21. Kelarutan lima varietas tepung jagung............................................ 62

Gambar 22. Swelling volume lima varietas tepung jagung ................................ 62

Gambar 23. Gambar ekstruder pencetak Model MS9......................................... 64

Gambar 24. Gambar tepung jagung dan adonan hasil sebelum pengukusan 1... 65

Gambar 25. Gambar adonan diekstruder, untaian mie keluar dari die dan mie basah

hasil pengukusan 2........................................................................... 67

Gambar 26. Persen elongasi dan KPAP justifikasi mie basah jagung ................ 70

Gambar 27. Gambar SEM mie basah jagung tanpa dan dengan pemberian tekanan

secara manual .................................................................................. 73

Gambar 28. Persen elongasi metode celup lima varietas tepung jagung ............ 77

Page 12: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Gambar 29. Persen elongasi metode rebus lima varietas tepung jagung ............ 78

Gambar 30. KPAP lima varietas tepung jagung ................................................. 80

Gambar 31. Tensile strength metode celup lima varietas tepung jagung ........... 82

Gambar 32. Tensile strength metode rebus lima varietas tepung jagung ........... 82

Gambar 33. Tingkat kecerahan lima varietas tepung jagung.............................. 84

Gambar 34. Gambar SEM mie basah terigu ....................................................... 92

Page 13: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Gambar alat-alat yang digunakan selama penelitian..................103

Lampiran 2. Gambar mie basah jagung..........................................................107

Lampiran 3. Gambar hasil analisis SEM ..................................................... 109

Lampiran 4. Rekapitulasi hasil karakterisasi lima varietas mie basah jagung110

Lampiran 5. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan ...................................112

A.Karakterisasi tepung...............................................................112

B.Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual

dan penambahan BTP............................................................122

Lampiran 6. Hasil Uji T-test........................................................................ 111

A.Penggunaan alat analisa persen elongasi................................133

B.Mie basah jagung tanpa pembaerian tekanan dan dengan

pemberian tekanan secara manual .........................................133

Page 14: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur dan terima kasih yang tiada henti kepada Allah SWT

atas rahmat, karunia, serta berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Karakterisasi Tepung Jagung Lokal dan Mie

Basah Jagung yang Dihasilkan” dan menyelesaikan ujian skripsi dengan sangat baik. Shalawat

dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-

pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung

maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada :

1. Keluargaku tersayang, Papa H.Chairan, Mama Hj. Zurni Zaini, Da Andi Z dan ni Dewi,

Da Oki Y Z dan ni Anggi, Da Ijes dan ni Nita, ponakan-ponakanku (Rizky, Chelline, dan

Aira), Kakekku H. Zaini (Alm) dan Nenekku, keluarga besar-ku, terima kasih atas doa,

kasih sayang, nasihat, dorongan, motivasi serta dukungan moril dan materil plus spirituil

yang diberikan selama ini. Semua perjalan hidup yang telah kita lalui memberikan

pelajaran hidup dan hikmah yang sangat berharga bagi penulis.

2. Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar dan

bijaksana serta kasih sayangnya dalam membimbing dan mendukung penulis.

3. Tjahja Muhandri, STP, MT selaku Dosen Pembimbing II yang selalu sabar dan

memberikan masukan-masukan yang berguna hingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Dr. Ir. Fahim M. Taqi, DEA atas kesediaannya sebagai Dosen Penguji dan

pengarahannya selama ujian yang sangat membuka dan merubah pola pikir penulis.

5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan

ilmu yang sangat berharga dan mendukung kemajuan penulis.

6. Terimakasih buat my special editor, Jummi Waldi, atas editan ‘all about my finally

exam’, dukungan agar bisa mencapai kesukses-an yang penulis inginkan, semangat untuk

terus berjuang, ‘never give up jen and stay cool’, kesabaran, wejangan-wejangan yang

sangat bermanfaat dalam menghadapi hambatan yang ada dan dukungan spirituil yang

tak pernah habis diberikan kepada penulis. Plus buat keluarga besar Tem, mama, bapak,

Da Andi dan keluarga, Ni Emma, dan Eka. Terima kasih atas doa dan support-nya.

Page 15: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

7. Teman-teman sebimbingan sekaligus partner penelitian : Ririn, Shita dan Tami atas

bantuan ilmu, tenaga, waktu, motivasi, dan kesabaran menghadapi penulis. Terima kasih

atas kebersaman dan kekompakannya selama ini. Semoga kebersamaan dan persahabatan

ini tidak lekang oleh waktu.

8. Teman sebimbingan-ku : Glenn, kakak-kakak sebimbingan Kak Santo , Kak Yunita, Kak

Mariance, serta adik sebimbingan-ku Saiha. Terima kasih atas kebersamaan, nasehat dan

motivasinya.

9. Terima kasih kepada seluruh laboran, staf laboran dan staf ITP dan Seafast Centre. Pak

Junaedi, Pak Deni, Mas Marto, Pak Udin, Bu Rubiyah, Pak Gatot, Pak Wahid, Pak

Sobirin, Pak Yahya, Pak Rozak, Bu Antin, Mas Samsu dan staf-staf lainnya yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya dengan

penulis selama penulis kuliah dan penelitian.

10. RegineR’s tercinta dari masa ke masa (2005-2009). Mb’Neni, K’Wina, K’ Lu’lu, K’Tari,

K’Dewi, K’Wati, K’Ratih, KCepe, K’Nea, K’Desma, Teh Febri, K’Ruri, K’Astri, Hesti

dan Uyung (walaupun cm beberapa bulan), K’Ririn, Ratih, V2n, K’Nono, K’Icha, K’Ina,

K’Tin2, K’Juli, K’Mei2, K’Nining, Mb’Novi, Mb’Lina, Micha, Rahma, Sekar, Lia,

K’Ina (Medan), Mb’Rahma, Teh Emil, Irma, dan K’Rida .Terima kasih atas kebersamaan

yang tak ternilai, pelajaran-pelajaran hidup yang sangat berharga, support dan motivasi

yang tiada henti serta dukungan spirituil dan persahabatan yang telah diberikan kepada

penulis. Disini kita menjalin cerita, canda, tawa, sedih, duka dan ceria. Terkhusus buat

tim penyemangat sidang-ku yang saat-saat terakhir berdiam di Regina (Ratih, Rahma, Lia

dan Irma), terima kasih sudah mau jadi satpam belajar-ku; penyemangat disaat aq down,

lelah dan jenuh; begadang yang tiada henti di detik-detik ‘pembantaian’-ku; tim cheers

saat aq di’bantai’…semua tak akan terlupakan…thank you (unlimited) so much

girl’s……

11. Teh Mila, A’Boink, Resti, Lisna dan Linda yang telah menjadi penghuni sejati Regina.

Terima kasih atas bantuan-nya selama penulis di Regina.

12. Terima kasih buat teman-teman-ku “The Golden Generation of ITP”….Abie, Adi Woko,

Achid, Acuy, Aji, Anggun, Arya, Atus, Belinda, Bombay, Cath, Ceu2 (Sina), Dewi,

Difa, Dilla, Dion, Didot, Dita Adi, Si-Anak Kembar (Dina dan Esther), Epink, Fahmi,

Fera, Fitri, Fuad, Galih N, Galih E, Galih I, Glenn, Haris, Harist, Hesti, Icha, Ike, Ikhwan,

Page 16: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Isna, Indri, Irene, Isna, Kenchi, Marcel, Marina, Melisa, Midun, Nanda, Nina N, Nina

SR, Ola, Olo, Panji, Peye, Rika, Rino, Ririn, Riska, Riza, Septi, Shita, Suhe, Susan,

Tami, Tiwi, Tiyu, Tuti, Zaqau, Veni, Venty, Wiwi, Wahyu, Yuni, Yusi dan teman2

ITP42 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua

dukungan serta kebersamaan dan persahabatan-nya. Semoga semua ini tidak berhenti

hanya sampai kita semua lulus dari ITP.

13. Terima kasih untuk seluruh anak ITP, ITP40 (Kak Santo, Kak Angga), ITP43, ITP44

(dede dkk), include praktikan-praktikan-ku (Evse P2 dan P3). Terima kasih atas

kerjasama dan kebersamaannya.

14. Terima kasih yang tak ternilai kepada “my lepi” yang setia menemani penulis dari awal

memasuki IPB, selama menjadi mahasiswi Ilmu dan Teknologi Pangan dan menemani

serta mengantarkan penulis menjadi seorang Sarjana Teknologi Pertanian.

15. Terakhir kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak mendukung penulis selama ini. Terima kasih banyak.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh sebab itu masukan

dan kritik yang membangun selalu penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-

pihak yang membutuhkan.

Bogor, 31 Juli 2009

Penulis

Page 17: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat dan tidak

diimbangi dengan peningkatan produksi pangan menyebabkan ketahanan

pangan nasional menjadi rapuh. Padahal pangan merupakan kebutuhan dasar

yang sangat penting bagi tubuh. Pangan dibutuhkan untuk menyediakan

energi bagi tubuh agar manusia dapat menjalankan aktivitas dengan baik dan

menyediakan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Salah satu

permasalahan pangan yang ada di Indonesia adalah ketergantungan

masyarakat Indonesia akan komoditi bahan pangan tertentu misalnya beras

dan gandum. Hal inilah yang mendorong pencarian sumber pangan baru.

Pencarian sumber pangan baru difokuskan pada sumber daya lokal.

Hal ini diharapkan dapat menurunkan ketergantungan masyarakat Indonesia

terhadap sumber pangan luar negeri. Selain itu, Indonesia juga memiliki

banyak sumber pangan lokal yang belum dikembangkan dengan baik. Salah

satu sumberdaya lokal yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan

adalah jagung.

Jagung merupakan salah satu bahan pangan yang berpotensi sebagai

pengganti beras di Indonesia. Jagung telah digunakan sebagai makanan

pokok di beberapa daerah seperti di Madura dan Nusa Tenggara Barat.

Walaupun demikian, produk-produk pangan berbasis jagung umumnya

dikembangkan sebagai kudapan ringan (snack food) sehingga belum mampu

dikategorikan sebagai bahan pangan alternatif. Di sisi lain, dalam upaya

diversifikasi pangan perlu ada pengembangan produk asal jagung sebagai

makanan pokok. Salah satu upaya tersebut adalah pengembangan produk asal

jagung menjadi mie.

Selain itu, tingkat produksi jagung yang cukup tinggi di Indonesia

sangat mendukung program pengembangan produk asal jagung. Menurut

Anonim [a] (2009), berdasarkan BPS (2008), terjadinya peningkatan

produksi jagung pada tahun 2008 karena terdapatnya perluasan lahan untuk

penanaman jagung serta terdapatnya program-program pemerintah yang

Page 18: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

mendukung peningkatan produksi jagung di daerah-daerah Indonesia. Salah

satu contohnya adalah pencanangan Gerakan Tambahan 2 Juta Ton Jagung

(Gentaton) Produksi Indonesia yang dipelopori oleh Gorontalo

(www.gorontalo-agropolitan.com) [Januari 2009]. Hal ini juga dapat

dijadikan menjadi suatu alasan bahwa jagung dapat dijadikan sebagai bahan

pangan alternatif selain beras dan tepung terigu.

Mie merupakan produk pasta atau ekstrusi. Menurut Astawan (2002),

mie merupakan produk pangan yang dibuat dari adonan tepung terigu atau

tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan

tambahan lainnya. Dalam upaya diversifikasi pangan, mie dapat

dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena adapat

berfungsi sebagai pangan pokok. Mie merupakan produk pangan yang sering

dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai sarapan maupun

sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003).

Beberapa keunggulan mie jagung instan adalah kandungan lemaknya

yang lebih rendah dibandingkan mie terigu instan serta tidak perlunya

digunakan pewarna buatan (tartrazine) seperti halnya dalam pengolahan mie

jagung instan.

Beberapa waktu belakangan ini telah banyak dikembangkan produk

mie berbahan dasar tepung ataupun pati jagung. Teknologi pembuatan mie

jagung pun telah banyak dilakukan dengan berbagai macam modifikasi

untuk menghasilkan mie jagung dengan kualitas yang lebih baik. Data

mengenai varietas jagung hibrida yang cocok untuk dibuat mie basah jagung

telah didapatkan dari penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Muhandri

(2006) yang melakukan pembuatan mie basah jagung pada varietas P11,

P21, BISI 2, C7, NK3 dan DK3 dan Ekafitri (2009) yang melakukan

karakterisasi pada tepung jagung varietas NT10, Bisi 16, Jaya, Prima dan

Nusantara. Namun, belum ada data yang menunjukkan varietas jagung lokal

terbaik yang cocok dijadikan mie jagung. Padahal jagung lokal juga

memiliki potensi yang sama seperti halnya jagung hibrida. Oleh karena itu

perlu dilakukan karakterisasi tepung jagung berbagai varietas jagung lokal

untuk mendapatkan varietas yang cocok untuk dibuat mie jagung serta

2

Page 19: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

mengungkap sifat-sifat dari varietas jagung lokal yang cocok tersebut.

Dengan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah jagung

lokal sebagai salah satu bahan pangan alternatif pengganti beras.

B. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menemukan varietas

jagung lokal terbaik yang cocok untuk dibuat mie jagung. Secara khusus

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui karakteristik tepung berdasarkan sifat fisikokimia dan sifat

fungsional tepung jagung lokal.

2. Memperbaiki kualitas mie yang dihasilkan dengan menggunakan Bahan

Tambahan Pangan.

3. Mengetahui varietas jagung lokal yang paling cocok untuk dibuat mie

serta mengetahui pengaruh kadar amilosa-amilopektin dan proksimat dari

tepung terhadap sifat reologi mie jagung.

C. Manfaat

Diharapkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat

memberikan informasi kepada masyarakat mengenai varietas jagung lokal

yang berpotensi untuk dibuat mie sehingga dapat meningkatkan nilai tambah

jagung.

3

Page 20: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG

1. Deskripasi dan Jenis - Jenis Tanaman Jagung

Tanaman jagung (Zea mays. L.) merupakan salah satu tanaman

sumber karbohidrat. Jagung masuk dalam divisi Angiospermae, kelas

Monocotyledae, Orde Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Jagung

merupakan tanaman semusim (annual). Umumnya tanaman jagung

memiliki ketinggian antara satu sampai tiga meter. Akar jagung tergolong

akar serabut yang dapat mencapai kedalaman delapan meter meskipun

sebagian besar berada pada kisaran dua meter. (Wikipedia Indonesia,

2008).

Gambar 1. Jagung di ladang (Wikipedia, 2008)

Jagung dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain

: tinggi tempat penanamannya, umur varietas, perbenihan, serta warna dan

tipe biji. Akan tetapi, secara umum jagung dapat diklasifikasikan

berdasarkan bentuk kernelnya.

Ada enam tipe jenis jagung jika dibedakan berdasarkan bentuk

kernel, yaitu : dent, flint, flour, sweet, pop, dan pop corns. Jagung jenis

dent, dapat dicirikan dengan adanya selaput corneous, horny endosperm,

pada bagian sisi dan belakang kernel, pada bagian tengah inti jagung

lunak dan bertepung. Endosperm yang lunak akan menjulur hingga

mahkota membentuk tipe tertentu yang merupakan ciri khas jagung jenis

dent (Johnson, 1991).

Menurut Johnson (1991), jagung jenis flint memiliki bentuk agak

tebal, keras dan lapisan endospermnya seperti kaca, kecil, lunak, dengan

granula tengah. Jagung jenis pop memiliki selaput endosperm yang sangat

Page 21: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

keras dan memiliki kernel kecil dan termasuk jenis jagung yang primitif.

Jagung jenis flour memiliki endosperm yang lunak dan menembus kernel,

sangat mudah dihancurkan dan mudah ditumbuhi kapang jika ditanam di

lahan basah. Jagung flour termasuk jenis jagung yang sudah tua.

Jagung sweet merupakan jagung hasil mutasi. Jagung ini biasanya

dicampur dalam sayuran dan memiliki kadar sakarida terlarut sebesar

12% berat kering yang nilainya lebih besar dari jagung jenis lainnya yang

hanya 2-3 %. Sedangkan jagung pop corn merupakan jagung yang

memiliki kernel yang tertutup.

Tabel 1. Jenis jagung dan sifat-sifatnya Jenis jagung Sifat-sifat

Jagung gigi kuda (Zea mays identata)

Biji berbentuk gigi, pati yang keras menyelubungi pati yang lunak sepanjang tepi biji tetapi tidak sampai ujung

Jagung mutiara (Zea mays indurata)

Biji sangat keras, pati yang lunak sepenuhnya diselubungi pati yang keras, tahan terhadap serangan hama gudang.

Jagung bertepung (Zea mays amylacea)

Biji mudah dibuat tepung karena semua endosperm berisi pati yang lunak, biji mudah kering tetapi permukaannya berkerut.

Jagung berondong (Zea mays evertia)

Butir biji kecil, keras seperti jagung mutiara, pati lunak lebih sedikit

Jagung manis (Zea mays saccharata)

Kandungan pati sedikit, kulit biji tipis, endosperm bening dan dimasak biji berkerut.

Sumber : Suprapto (1998)

2. Morfologi dan Anatomi Tanaman Jagung

Menurut Effendi dan Sulistiati (1991), jagung tongkol terdiri atas

kelobot, tongkol jagung, biji jagung dan rambut. Kelobot merupakan daun

buah yang berfungsi sebagai pembungkus biji jagung. Dalam satu

tanaman jagung umumnya terdapat 12-15 lembar kelobot dan jika

tanaman jagung semakin tua maka kelobotnya akan semakin kering.

Tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk

pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Umumnya tongkol

jagung memiliki panjang antara 8-12 cm dengan 300-1000 biji jagung.

Biji jagung merupakan biji-bijian serelia terbesar dengan berat antara 250-

300 mg. Biji-biji tumbuh pada tongkol jagung dan membentuk flat. Biji

jagung berbentuk bulat dan tersusun membentuk spiral pada tongkol

jagung dengan jumlah yang selalu genap baik dari jumlah baris ataupun

5

Page 22: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

6

deret. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu

sampai hitam. Rambut merupakan tangkai putik yang panjang yang keluar

ke ujung kelobot (Suprapto, 1998).

3. Komposisi Kimia Jagung

Komposisi kimia jagung sangat bervariasi tergantung dari varietas,

cara menanam, iklim dan tingkat kematangan sehingga perlu dilakukan

seleksi untuk mendapatkan varietas jagung yang memiliki komposisi

kimia yang tepat untuk dibuat mie (Jugengheimer, 1976). Menurut

Warisno (1998) komponen terbesar dalam jagung adalah pati terutama

terletak pada bagian endosperm. Pati jagung terdiri dari amilosa dan

amilopektin, dengan jenis gula berupa sukrosa.

Lemak jagung terutama terdapat pada lembaga yaitu sekitar 85%

dari total lemak jagung (Belitz, 1999). Asam lemak penyusunnya terdiri

atas lemak jenuh palmitat dan stearat serta asam lemak tidak jenuh berupa

oleat dan linoleat. Dalam pembuatan mie jagung, bagian lembaga

dipisahkan karena lemak dapat menyebabkan ketengikan sehingga

memperpendek umur simpan mie.

Menurut Lorenz dan Karel (1991), protein utama dalam jagung

adalah glutelin atau glutenin. Protein lain dalam jagung adalah zein. Zein

merupakan protein yang tidak larut dalam air. Zein diekstrak dari gluten

jagung. Ketidaklarutan zein dalam air disebabkan karena adanya asam

amino hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin, dan juga karena kadar

rantai hidrokarbon dan gugus amida yang tinggi dibandingkan kadar

gugus asam karboksilat bebas (Johnson, 1991).

Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya Jumlah (%) Komponen

Pati Protein Lemak Serat Lain-lain Endosperm 86.4 8.0 0.8 3.2 0.4 Lembaga 8.0 18.4 33.2 14.0 26.4 Kulit 7.3 3.7 1.0 83.6 4.4 Tip cap 5.3 9.1 3.8 77.7 4.1

Sumber : Johnson (1991)

Page 23: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

4. Jagung Varietas Unggul Nasional

Menurut Syuryawati et al. (2005), Indonesia memiliki enam varietas jagung unggul, yaitu Arjuna, Bisma, Lamuru,

Sukmaraga, Srikandi Kuning dan Srikandi Putih. Penelitian ini menggunakan lima varietas jagung unggul Indonesia tersebut,

kecuali Srikandi Putih. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasional tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasional

7

Varietas Ciri-Ciri Arjuna Bisma Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning

Tahun dilepas 1980 4 September 1995 25 Februari 2000 14 Februari 2003 4 Juni 2004 Asal TC1 Early DMR (S)

C2, introduksi dari Thailand

Persilangan Pool 4 dengan bahan introduks disertai seleksi massa selama 5 tahun

Dibentuk dari 3 galur GK, 5 galur SW1, GM4, GM12, GM15, GM11, dan galur SW3.

Bahan introduksi AMATL (Asian Mildew Acid Tolerance Late), asal CIMMYT Thailand

Materi introduksi asal CIMMYT Meksiko

Biji Umumnya mutiara (flint)

Setengah mutiara (semi flint)

Mutiara (flint) Semi mutiara (semiflint) Semi mutiara, modified hard endosperm

Warna Biji Kuning, kadang-kadang terdapat 2-3 biji berwarna putih pada satu tongkol

Kuning Kuning Kuning tua Kuning

Barus Biji Lurus dan rapat Lurus dan rapat Lurus Lurus dan rapat Lurus dan rapat Bobot 1000 biji ± 272 g ± 307 g ± 275 g ± 270 g ± 275 g Rata-rata hasil 4.3 t/ha pipilan

kering 5.7 t/ha pipilan kering

5.6 t/ha pipilan kering 6.0 t/ha pipilan kering 5.4 t/ha pipilan kering

Sumber : Syuryawati et al. (2005)

Page 24: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

B. TEPUNG JAGUNG

Tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara

menggiling tepung jagung (Zea mays LINN) yang bersih dan baik (SNI 01-

3727-1995). Penggilingan jagung adalah proses penggecilan ukuran dari

endosperm dan memisahkan endosperm dari bagian kulit, lembaga dan tip

cap. Endosperma merupakan bagian keras biji jagung yang digiling

menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit

merupakan bagian biji yang harus dibuang karena memiliki kandungan

serat yang tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar.

Lembaga memiliki kandungan lemak yang tinggi sehingga harus

dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat

membuat tepung tengik. Tip cap harus dihilangkan karena dapat membuat

tepung menjadi kasar.

Penepungan jagung dapat dilakukan melalui dua proses yaitu proses

penggilingan basah dan proses penggilingan kering. Pati merupakan produk

yang dihasilkan dari penggilingan biji jagung secara basah. Sedangkan

grits, meal dan flour (tepung) merupakan produk yang dihasilkan dari

penggilinggan kering biji jagung (Inglett, 1970). Penelitian yang dilakukan

oleh Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung menggunakan metode

penggilingan kering. Penggilingan dilakukan sebanyak dua kali.

Proses penggilingan pertama merupakan penggilingan kasar dengan

menggunakan multi mill. Hasil penggilingan kasar berupa grits, kulit,

lembaga dan tip cap. Kemudian kulit, lembaga dan tip cap dipisahkan

melalui pengayakan dan perendaman. Selanjutnya, grits jagung yang

diperoleh dari penggilingan kasar dicuci dan direndam dalam air selama 3

jam. Tujuan dilakukannya perendaman adalah untuk membuat grits jagung

tidak terlalu keras sehingga memudahkan proses penggilingan grits jagung.

Penggilingan kedua yang merupakan penggilingan grits jagung

menggunakan disc mill (penggiling halus) menghasilkan tepung jagung.

Tepung jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan pengayak

berukuran 100 mesh.

8

Page 25: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan proses penepungan

jagung dengan metode penggilingan kering menggunakan disc mill sebagai

penggiling halus dan kasar dengan ukuran mesh yang berbeda. Tepung

jagung yang akan digunakan adalah tepung jagung hasil ayakan 100 mesh.

Hal ini didukung oleh Merdiyanti (2008) yang menyatakan bahwa ukuran

partikel dengan ukuran kecil lebih bagus dibandingkan dengan ukuran yang

lebih besar. Dengan ukuran tepung jagung yang makin halus tekstur mie

jagung yang akan dihasilkan juga akan semakin halus (Pratama, 2008).

C. PATI JAGUNG

1. Karakteristik Pati

Pati merupakan suatu polisakarida yang berfungsi sebagai

cadangan energi. Pati tersusun dari unit-unit glukosa dan dihasilkan

sebagai granula di dalam sebagian besar sel tanaman. Granula pati

memiliki struktur dan komposisi yang berbeda dengan dua komponen

utama yaitu amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-80%) (Cheng,

2006).

Menurut Hoseney (1998), amilosa adalah polimer linear dari

alpha-D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan alpha(1,4)-D-

glukosa, sedangkan amilopektin terdiri dari alpha-D-glukosa yang

dihubungkan dengan ikatan alpha(1,4)-D-glukosa dengan cabang ikatan

alpha(1,6)-D-glukosa pada setiap 20-25 unit amilosa.

Menurut Winarno dan Rahayu (1984), pati mempunyai sifat

dapat merefleksikan cahaya terpolaisasi sehingga dibawah mikroskop

akan terlihat hitam putih (birefringence). Pada saat granula pati pecah

sifat ini akan hilang.

2. Hubungan Amilosa dan Amilopektin Dengan Reologi Mie

Pati jagung normal memiliki kandungan amilosa sekitar 28%

merupakan pati yang baik untuk digunakan dalam produksi bihun

(Astawan, 2005). Menurut Mita (1992), pasta pati dibentuk dengan cara

pemanasan dispersi aquous di atas suhu gelatinisasi. Pasta dianggap

9

Page 26: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

bahan komposit yang terdiri dari granula yang mengembang yang

terdispersi dalam matriks polimer (Morris, 1990; Noel, Ring, dan

Whatman, 1993 dalam Chang, et al., 2003). Oleh karena itu

karakteristik dari fase terdispersi, fase kontinu dan interaksi antara

komponen sangat penting untuk mengetahui karakteristik pasta pati

(Rao,1999 dalam Chang, et al., 2003). Gelasi pasta pati selama

pendinginan dan penuaan (aging) melibatkan perubahan dalam amilosa

dan amilopektinnya (Miles, Morris, Orford dan Ring, 1987).

Selama penyimpanan dalam jangka waktu yang cukup panjang,

proses pembentukan struktur (rekristaliasi) amilopektin berperan dalam

perubahan tekstural yang diinginkan pada pangan berbasis pati (Kulp

dan Ponte, 1981 dalam Chang, et al., 2003). Laju rekristalisasi

(retrogradasi) tergantung dari beberapa variabel yaitu rasio amilosa dan

amilopektin, suhu, konsentrasi pati, dan keberadaan dan konsentrasi

dari bahan organik dan inorganik (Whistler dan Daniel, 1996 dalam

Fennema, 1996). Menurut Lie dan Kokini (1990), mempelajari sifat-

sifat reologi pati jagung amilosa tinggi (70%) dan amilopektin tinggi

(98%) dan menunjukkan pengaruh yang kuat dari pengolahan terhadap

hasil pengukuran viskositas produk.

D. GELATINISASI

1. Konsep Gelatinisasi

Molekul pati mempunyai gugus hidrofilik yang dapat menyerap

air. Bagian yang amorf dapat menyerap air dingin sampai dengan 30%,

dan dengan pemanasan daya serap air pada pati meningkat menjadi

60% (Winarno, 1980). Penyerapan air yang besar disebabkan karena

pecahnya ikatan hidrogen pada bagian yang amorf. Pada awalnya

perubahan volume dan penyerapan air masih bersifat reversible. Namun

pada suhu tertentu, pecahnya bagian amorf akan diikuti oleh pecahnya

granula. Suhu pada saat granula pecah disebut suhu gelatinisasi. Pada

saat suhu gelatinisasi tercapai maka perubahan-perubahan yang terjadi

sudah bersifat irreversible (Hoseney, 1998).

10

Page 27: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Menurut Greenwood dan Munro (1979), granula pati tidak larut

dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau air

hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat reversible jika

tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi irreversible jika

telah mencapai suhu gelatinisasi.

Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisai dapat diamati.

Mula-mula suspensi pati yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu

tertentu. Terjadinya translusi larutan pati biasanya diikuti dengan

pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air

menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antar molekul pati di

dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah

yang menyebabkan bengkaknya granula pati. Indeks refraksi butir-butir

pati yang membengkak itu mendekati indeks reflaksi air dan hal inilah

yang menyebabkan sifat transluen. Karena jumlah gugus hidroksil

dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air

sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang

awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi

dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat

bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997).

Menurut Collison (1968), perubahan-perubahan yang terjadi

selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat

birefringence, granula pati akan mengalami hidrasi dan mengambang,

molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan

berkurang yang di ikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula,

kekentalan semakin meningkat dan kejernihan pasta juga akan

meningkat. Sifat birefringence dari granula pati adalah sifat

merefleksikan cahaya terpolarisasi, apabila granula pati dilihat dibawah

mikroskop sehingga terlihat kristal gelap terang.

2. Mekanisme Gelatinisasi

Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap,

yaitu : (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan

11

Page 28: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan

bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan

ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan

granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai

kehilangan sifat birefringence dan (3) granula pecah jika cukup air dan

suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula

(Swinkels, 1985).

Mekanisme gelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)

Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)

Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak

Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula

Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel

3. Suhu Gelatinisasi

Suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence

pati mulai menghilang (BeMiller dan Whistler, 1999 dalam Fennema,

1996). Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati (Tabel 4).

Tabel 4. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (°C)

Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64

Sumber : BeMiller dan Whistler (1999) dalam Fennema (1996)

12

Page 29: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan irreversible

granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah

kehilangan sifat kristalnya. Menurut Wirakartakusumah (1981),

keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi

adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen

lain dalam media pemanasnya.

E. MIE BASAH

Mie basah merupakan produk makanan yang terbuat dari terigu

dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan

makan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Badan

Standarisasi Nasional, 1992). Mie basah memiliki kadar air maksimal 35%

(b/b). Dalam upaya diversifikasi pangan, mie dapat dikategorikan sebagai

salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan

pangan pokok.

Menurut Piyachomkwan et. al. (2001), mie dapat dibedakan

berdasarkan berbagai kriteria dan karakteristiknya. Kriteria dan karakteristik

mie tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Dalam pembuatan mie, tepung terigu berfungsi sebagai bahan

pembentuk struktur dan sumber karbohidrat serta protein. Air berfungsi

sebagai media reaksi antara karbohidrat dengan gluten, melarutkan garam,

dan membentuk sifat kekenyalan gluten. Hal tersebut dikarenakan gluten

menyerap air sebagai sehingga serat-serat gluten mengembang. Garam

dapur berguna untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air,

meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie dengan membantu reaksi

gluten dengan karbohidrat. Garam dapur juga berfungsi untuk mengikat air,

menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak

bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.

Air abu biasa digunakan dalam pembuatan mie. Air abu berfungsi

untuk memberi warna, rasa, memperkuat struktur mie, mempercepat

pembentukan gluten, meningkatkan elastisitas dan ekstensibilitas serta

menghaluskan tekstur.

13

Page 30: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Tabel 5. Klasifikasi mie berdasarkan kriteria dan karakteristik Kriteria Tipe Karakteristik

Bahan baku 1. Tepung gandum rendah - Mi Jepang (udon)

2. Tepung gandum tinggi - Mi Cina (ra-men)

3. Buckwheat (campuran) - Mi buckwheat (soba)

4. Tepung beras - Bihun

5. Pati kacang hijau - Mi transparan

6. Pati Ubi jalar

Berwarna putih dan putih krem, tekstur lunak. Kuning mengkilap, tekstur sedikit keras. Berwarna caklat atau abu-abu, cita rasa unik. Putih hingga kuning dan tidak transparan. Transparan, tekstur kompak dan solid

7. Pati lain (Kentang, Canna) Elastis dan transparan

Ukuran Mi 1. Sangat tipis (So-men) 2. Tipis (Hiya-mugi) 3. Standar (Udon)

1.0-1.2 mm 1.3-1.7 mm 2.0-3.8 mm

4. Pipih (Hira-men) 5.0-7.5 mm Pemprosesan 1. Tipe pengikat

- Protein : mi gandum - Pati pregelatinisasi : mi pati

2. Pembuatan untaian - Sheeting : So-men - Ekstrusi : Mi beras

3. Peralatan - Tangan : Tenobe so-men - Mesin : Udon

Produk 1. Mi segar tanpa dimasak 2. Mi matang (Kukus, rebus) 3. Mi rebus yang dibekukan 4. Mi kering

Sumber : Piyachomkwan et al. (2001). 5. Mi instan

Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat pengembangan

adonan dan mencegah penyerapan minyak selama penggorengan mie.

Fungsi dari zat warna adalah memberi warna khas mie sedangkan bumbu-

bumbu digunakan untuk memberi flavor tertentu.

Pembuatan mie basah terigu terdiri atas beberapa tahapan proses,

yaitu pencampuran bahan, pengadukan, pembentukan lembaran,

pemotongan, pematangan, dan pelumuran dengan minyak sawit. Proses

pencampuran bahan bertujuan untuk menghasilkan campuran yang

homogen, mencampurkan tepung dengan air dan membentuk adonan dari

jaringan gluten sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Setelah

pencampuran, dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang

perlu diperhatikan dalam proses pengadukan adalah jumlah air yang

14

Page 31: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Tahap selanjutnya

dalah pembentukan lembaran dengan tujuan menghaluskan serat gluten dan

membuat adonan menjadi lembaran (Badrudin, 1994).

Kemudian dilakukan proses pembentukan lembaran terhadap adonan

mie. Lembaran mie yang dihasilkan kemudian dipotong dengan ukuran 1-3

mm. Untaian mie yang dihasilkan kemudian dikukus agar diperoleh mie

basah matang. Proses pematangan ini bertujuan agar terjadi gelatinisasi dan

koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994).

Gelatinisasi menyebabkan pecahnya pati dan melepaskan amilosa. Amilosa

membentuk lapisan tipis pada permukaan mie sehingga memberikan

kelembutan pada mie, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi

daya rehidrasi mie.

Terakhir, untaian mie basah matang diberi minyak sawit. Proses ini

bertujuan mencegah lengketnya untaian mie dan memperbaiki penampakan

mie agar mengkilap (Mugiarti, 2001). Beberapa syarat mutu mie basah

dapat dilihat pada Tabel 6.

Menurut Hou dan Krouk (1998), warna dan tekstur merupakan

karakteristik fisik penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie

basah dan menyatakan persyaratan warna untuk mie basah matang adalah

warna kuning cerah dan tidak pudar dalam 24 jam. Sedangkan untuk

persyaratan tekstur, Hou dan Krouk (1998), mie basah matang harus

memiliki tekstur yang kenyal, elastis, tidak lengket, mudah digigit dan

memiliki tekstur yang stabil dalam air panas. Sedangkan menurut Astawan

(2005) secara fisik, diameter mie basah berkisar antara 1.5–2 mm.

15

Page 32: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Tabel 6. Syarat mutu mie basah menurut SII 2046-90 No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan :

1.1. Bau 1.2. Rasa 1.3. Warna

- - -

Normal Normal Normal

2. Kadar air % b/b 20-35 3. Kadar abu (bk) % b/b Maksimal 3 4. Kadar protein (bk) % b/b Minimal 3

5. Bahan tambahan pangan : 5.1. Boraks dan asam borat 5.2. Pewarna 5.3. Formalin

- - -

Tidak boleh ada sesuai SNI-02220 M dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88

6. Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg)

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

Maksimal 1.0

Maksimal. 10.0 Maksimal 40.0 Maksimal 0.05

7. Arsen mg/kg Maksimal 0.05 8. Cemaran mikroba

8.1. Angka Lempeng Total 8.2. E. coli 8.3. Kapang

Koloni/gram APM/gram

Koloni/gram

Maksimal 1.0 x 106

Maksimal 10 Maksimal 1.0 x 104

Sumber : Departemen Perindustrian (1990)

F. MIE BASAH JAGUNG

Mie basah jagung merupakan mie basah yang dibuat dengan

menggunakan bahan baku utama tepung jagung. Pembuatan mie basah

jagung (mie non terigu) memanfaatkan prinsip gelatinisasi pati

menggantikan fungsi protein pada mie terigu yang berguna untuk

membentuk struktur mie

Pembuatan mie basah jagung secara umum menurut Subarna et al

(1999) dalam Fahmi (2007) dapat dilihat pada Gambar 3.

Pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi

berbahan baku tepung jagung pertama kali dilakukan oleh Fahmi (2007).

Proses pembuatan mie basah jagung ini terdiri dari tahap pencampuran

bahan dan pemasakan yang terjadi selama di dalam ekstruder, pencetakan

menjadi untaian mie dan perendaman untaian mie dalam air dingin. Proses

pembuatan mie basah jagung metode ekstrusi yang dilakukan oleh Fahmi

(2007) berbeda dengan proses pembuatan mie terigu, terutama pada proses

pencampuran, pemasakan dan pencetakan adonan menjadi untaian mie.

Penelitian Fahmi (2007) menggunakan alat ekstruder pemasak (forming

16

Page 33: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-

30/C dari Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand), sedangkan pada

penelitian ini digunakan jenis ekstruder pencetak mie yang berbeda yaitu

pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle modality machine,

Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China.

Jagung kuning dipipil, direndam air biasa selama 12 jam

Disaring 60 mesh dan pati kasarnya diendapkan dan ditiriskan 10 menit

Digiling dengan Buhr Mill (gilingan batu)

Cake (pasta) pati digiling dan dibentuk pelet

Digiling dan dicetak menggunakan ekstruder piston

Mie basah

Dikukus 15 menit

Mie dikukus 15 menit

Gambar 3. Proses pembuatan mie jagung metode ekstrusi piston (Subarna et al, 1999 dalam Fahmi, 2007)

Metode calendering dilakukan pada proses pembuatan mie basah

jagung sebelum Fahmi (2007). Metode ini membutuhkan pembuatan

lembaran dengan cara melewatkan bahan baku (adonan) secara berulang-

ulang diantara dua rol logam. Setelah lembaran terbentuk, adonan dipotong

menjadi untaian mie menggunakan slitter.

Menurut Budiyah (2004) proses pembuatan mie menggunakan

metode calendering memiliki beberapa kelemahan, yaitu perlunya proses

pengendalian suhu dan kelembaban selama proses, waktu pengolahan yang

cukup lama karena tahapan proses yang panjang, yaitu proses pencampuran

bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran,

pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran mie

dengan minyak.

17

Page 34: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Untuk itu perlu dilakukan modifikasi teknik dalam pembuatan mie

basah non terigu, salah satunya menggunakan ekstruder. Teknik

pembuatan mie jagung dengan ekstrusi piston memiliki kelebihan yaitu

proses yang lebih sederhana karena tidak memerlukan tahapan proses

sheeting dan slitting, pengulian, dan pembentukan lembaran sehingga

membutuhkan waktu produksi yang lebih singkat (Subarna et al, 1999

dalam Fahmi 2007).

G. REOLOGI MIE BASAH

Menurut Szczesniak dalam Peleg dan Bagley, 1983 Reologi adalah

ilmu tentang deformasi dan aliran bahan. Reologi pada bahan padat

merupakan hubungan antara gaya dengan perubahan bentuk, sedangkan

reologi pada bahan cair merupakan hubungan antara gaya dengan aliran.

Menurut Fahmi (2007), pada produk mie beberapa sifat reologi yang

penting di antaranya adalah kekerasan, kekenyalan dan kekuatan tarik

(tensile strength).

Kekerasan merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya

tekan yang diberikan. Sifat keras untuk menyatakan sifat benda atau produk

pangan padat yang tidak bersifat deformasi. Kekenyalan merupakan sifat

bahan elastis yang bersifat deformasi (perubahan bentuk). Kekenyalan

(elasticity) merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat

penting pada produk mie. Kekenyalan diukur menggunakan Texture

Analyzer. Alat ini akan mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai

bahan padat (mie) mengalami deformasi (Fahmi, 2007).

Tensile strength merupakan gaya yang diperlukan untuk menarik

bahan (untaian mie) hingga putus. Tensile strength menunjukkan kekuatan

elastisitas suatu bahan. Rheoner merupakan alat yang digunakan untuk

mengukur tensile strength dengan cara mengukur gaya yang diperlukan

sampai bahan (mie) putus (Szczesniak dalam Peleg dan Bagley, 1983)

18

Page 35: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

H. EKSTRUSI

1. Ekstruder

Menurut Harper (1981), ekstruder adalah alat untuk mencetak

bahan melalui proses ekstrusi. Ekstruder terdiri atas berbagai bentuk.

Bentuk yang paling sederhana adalah ekstruder tipe ram atau piston.

Ekstrusi pemasakan merupakan proses dimana bahan pangan yang

mengandung pati dan protein dimasak dan diadon menjadi adonan yang

viskos dan plastis. Panas yang digunakan dalam proses pemasakan

dapat berasal dari injeksi uap (secara langsung), dari jaket pemanas

(secara tidak langsung), dan berasal dari energi mekanik yang timbul

dari gesekan adonan selama proses ekstrusi (Harper, 1981).

Menurut Muchtadi et al. (1987), ekstruder dapat

diklasifikasikan berdasarkan sifat termodinamika, kadar air, sifat

fungsional, dan jumlah ulir. Berdasarkan sifat fungsional, ekstruder

terdiri atas pasta extruder, high-pressure forming extruder, low–shear

cooking extruder, coolet extruder, dan high–shear cooking extruder.

Secara termodinamika, ekstruder terbagi atas tiga jenis yaitu :

autogenous yaitu ekstruder yang menghasilkan panas dengan

mengkonversi energi mekanik pada aliran proses; isotermal ekstruder;

dan polythropic yaitu ekstruder yang prinsip kerjanya menggabungkan

antara autogenous ekstruder dan isotermal ekstruder dimana panas

diperoleh dari konversi energi mekanik dan dari transfer panas (Harper,

1981 dan Muchtadi et al., 1987).

Berdasarkan kadar air, ekstruder terbagi atas low moisture

extruder dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediate moisture

extruder dengan kadar air bahan 20-28%, dan high moisture extruder

dengan kadar air bahan lebih dari 28%. Berdasarkan jumlah ulirnya,

ekstruder terbagi atas ekstruder berulir ganda dan ekstruder berulir

tunggal (Harper, 1981 dan Muchtadi et al., 1987).

Ekstruder ulir ganda dapat diklasifikasikan berdasarkan arah

perputaran ulirnya, terdiri dari co-rotating screw extruder (ekstruder

dengan arah perputaran ulir yang searah) dan counter rotating screw

19

Page 36: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang berlawanan).

Ekstruder dengan ulir yang co-rotating banyak diaplikasikan dalam

proses pengolahan pangan. Beberapa kelebihan ekstruder ulir ganda

yaitu : memiliki kontrol yang lebih baik terhadap tranfer panas

dibandingkan ekstruder ulir tunggal, dapat menangani bahan pangan

yang sangat basah, lengket, dan berminyak, serta dapat menggunakan

bahan pangan dengan ukuran partikel yang bervariasi (Fellows, 1990).

Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir yang berputar pada

barel silinder. Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi :

high shear ekxtruder (untuk produk–produk sereal sarapan pagi dan

makanan ringan), medium shear extruder (untuk produk–produk semi

basah), dan low shear extruder (untuk pasta dan produk–produk

daging). Biaya investasi dan biaya operasi ekstruder berulir tunggal

lebih rendah daripada biaya ekstruder berulir ganda, selain itu tidak

dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatan ekstruder

berulir tungggal (Fellows, 1990).

Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga

kelompok yaitu Low Shear, Medium Shear, dan High Shear. Jenis-jenis

ekstruder tersebut dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal Kategori Low Shear Medium

Shear High Shear

Kadar Air Produk (%) 25 – 75 15 – 30 5 – 8 Densitas produk (g/ 100ml) 32 – 80 16 – 51 3.2 – 20 Suhu barrel maksimum (°C) 20 – 65 55 – 145 110 – 180 Tekanan barrel maksimum (kg /cm2) 6 – 63 21 – 42 42 – 84 Kecepatan ulir (rpm) 100 200 200

Snack, breakfast

cereal Produk khas

Produk pasta

daging

Roti, makanan

ternak Sumber : Smith, 1981

Ekstruder ulir tunggal paling cocok digunakan untuk

mengektrusi produk pasta. Hal dikarenakan ekstruder memiliki silinder

yang licin dan tidak mempunyai bagian yang dapat membawa padatan,

serta biasanya mempunyai bentuk geometris ulir yang konstan. Alat ini

mendekati paling mendekati ekstruder jenis isotermal karena hanya

20

Page 37: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

mengakibatkan kenaikan suhu yang paling rendah. Pemotongan cepat,

continue, alat tidak lansung (proses) cocok diaplikasikan untuk produk

pasta dan produk sosis (Muchtadi et al., 1987)

2. Proses Ekstrusi

Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang

mengkombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara

lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan

(Fellows, 1990). Menurut Harper (1981), dalam proses ekstrusi, adanya

aliran adonan disebabkan oleh pengaruh tekanan shear (σ), dimana

tekanan shear tergantung pada kecepatan ’shear’ dan viskositas bahan.

Pada aliran newtonian terjadi hubungan linear antara tekanan shear dan

kecepatan shear. Aliran seperti ini biasanya terdapat pada aliran gas.

Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer

seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaedah non-newtonian

Keuntungan proses pemasakan dengan metoda ekstrusi antara

lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas,

produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama,

pemakaian energi rendah serta mutu produk lebih tinggi karena

menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat sehingga

kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Fellows, 1990). Selain itu, produk

yang dihasilkan seragam, peralatannya mudah diotomatisasi, dan tidak

banyak limbah.

I. SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM)

SEM (Scanning Electron Microscope) merupakan alat untuk melihat

benda yang sangat kecil dalm bentuk stereo dengan skala perbesaran tinggi

(Noor, 2001). Prinsip dasar SEM ditemukan pada tahun 1930 di Jerman.

Sesudah perang dunia II, penelitian ini berlanjut di London. Kemajuan

teknologi SEM berhasil dilakukan oleh Jepang karena negara ini mampu

memproduksi SEM dengan melakukan banyak penelitian dan

perkembangan teknologi SEM. Penelitian ini menggunakan SEM keluaran

21

Page 38: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Jepang, JEOL (Jepang Electron Optical Laboratory) JSM 5200 Scanning

Microscope Multi Purpose SEMs. Untuk spesifikasi dari JEOL JSM 5200

dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Spesifikasi JEOL 5200 SEMs Resolution HV Mode

LV Mode 5.0 nm 8.0 nm

Magnification HV Mode LV Mode

x 15 to 200.000 x 15 to 50.000

Accelerating 1.2 kV Voltage 5 to 25 kV

(5 kV steps)

SEM memiliki perbesaran yang bervariasi (sekitar 10x –

1.000.000x). Menurut Noor (2001), prinsip kerja SEM terbagi dua, yaitu (1)

informasi yang didapatkan dari irradiasi pancaran elektron dan (2) prinsip

perbesaran. Apabila suatu pancaran elektron diiradiasi pada permukaan

sampel, interaksi antara pancaran elektron dan atom-atom yang dikandung

oleh sampel akan memberikan bermacam-macam informasi (Gambar 4).

Gambar 4. Bermacam-macam informasi pancaran elektron (Noor, 2001)

Apabila dilakukan scanning pada permukaan suatu sampel dengan

fokus pancaran elektron yang tepat informasi akan diperoleh dari setiap titik

scanning. Informasi ini akan dirubah kedalam bentuk signal elektrik,

dikuatkan dan disalurkan ke Cathode Ray Tube (CRT). Pada CRT,

informasi digunakan untuk mengontrol tingkatan cahaya pada titik-titik

yang bersangkutan. Informasi yang didapatkan dari permukaan sampel

ditayangkan di CRT dalam bentuk gambar. Perbesaran sampel didefinisikan

sebagai ratio dari ukuran gambar di CRT dengan ukuran pancaran elektron

yang menscanning permukaan sampel (Gambar 5).

22

Page 39: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Gambar 5. Prinsip perbesaran gambar sampel (Noor, 2001)

SEM secara umum berfungsi untuk melihat bagian permukaan dari

sampel. Signal-signal SEM bisa membawa berbagai macam informasi dan

digunakan untuk tujuan yang berbeda. Kegunaan SEM berdasarkan signal-

signal dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Kegunaan SEM berdasarkan signal-signal yang digunakan Signal Mode Operasi Tujuan SEM Secondary Electron SEI Pengamatan topografi suatu permukaan Backscattered Electron BEI Komposisi permukaan X-Ray X-Ray Analisa elemen spedimen Transmitted Electron TEI Pengamatan struktur internal Cathodoluminescence CL Pengamatan karakteristik internal Electromotive Force EBIC Pengamatan karakteristik internal Secondary Electron ECP Struktur cristaline Backscattered Electron MDI Pengamatan magnetic domain

Sumber : (Noor, 2001)

Pada penelitian ini dilakukan analisis topografi sampel sehingga

signal yang digunakan adalah Secondary Electron Immage (SEI). Jumlah

secondary electron yang dihasilkan dari suatu permukaan sampel

tergantung pada sudut pantulan pancaran elektron yang mengenai

permukaan sampel.

23

Page 40: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan

baku utama dan bahan tambahan serta bahan-bahan kimia. Bahan baku

utama yang digunakan adalah lima varietas jagung kuning lokal unggulan

nasional, yaitu varietas Srikandi kuning, Sukmaraga, Bisma, Lamuru, dan

Arjuna. Bahan-bahan tambahan yang digunakan adalah air, garam, dan guar

gum. Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan adalah bahan kimia

untuk analisa proksimat (CuSO4, K2SO4, H2SO4, H3PO3, HCl, NaOH, dan

Na2S2O3) dan analisa kadar pati (NaOH, HCl, indikator PP, KI, H2SO4, Na-

thiosulfat, dan larutan Luff-Schoorl), kadar amilosa dan amilopektin (asam

asetat, I2, NaOH, etanol, dan larutan iod).

Alat yang digunakan adalah penggiling tepung disc mill, vibrating

screen, ekstruder pencetak mie (model MS9, Multifunctional noodle

modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China),

oven, sealer, freezer, panci pengukus. Alat-alat yang digunakan dalam

analisis fisik dan kimia mi basah jagung adalah Chromameter CR 200

Minolta, Texture Analyzer (TATX-2); Brabender Amylograph, Rheoner RE-

3305, Freeze dry Yamato di Lab Bioteknologi Perikanan Fakultas Perikanan

dan Kelautan IPB, Scanning Electron Microscope JSM 5200 di Lab

Genetika Fakultas Peternakan IPB, Sealer, Freezer, spektrofotometer, gelas

piala, pipet mohr, tabung reaksi, tabung sentrifuse, labu lemak, labu kjeldahl,

oven, cawan aluminium, cawan porselen, timbangan, alat ekstraksi soxhlet,

pemanas listrik, tanur, erlenmeyer, dan alat destilasi.

B. METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu penelitian

pendahuluan dan penelitian utama.

Secara umum garis besar pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada

Gambar 6.

Page 41: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini secara umum terdiri atas beberapa

tahap, yaitu pembuatan tepung jagung, analisis karakterisasi tepung

jagung, pembuatan mie basah jagung, dan justifikasi pembuatan mie

basah jagung. Penepungan lima varietas jagung merupakan tahap

pertama yang dilakukan pada penelitian ini. Proses penepungan jagung

menggunakan teknik penepungan kering (dry milling) yang terdiri atas

beberapa proses yaitu proses pengilingan kasar, pencucian dan

pengambangan, perendaman, pengeringan grits, penggilingan halus,

pengeringan tepung, pengayakan tepung ukuran 100 mesh, dan

pengeringan tepung setelah tepung diayak.

Proses penggilingan kasar dilakukan pada jagung pipil menjadi

grits menggunakan dics mill dengan saringan 10 mesh. Proses ini

bertujuan untuk memisahkan bagian endosperma jagung dengan

lembaga, kulit dan tip cap. Setelah jagung pipil menjadi grits, grits

dicuci dengan air bersih untuk mengambangkan lembaga dan kulit ari

dari grits jagung agar bagian-bagian tersebut mudah untuk dipisahkan

dan dibuang. Hal ini dilakukan karena bagian lembaga dapat

menyebabkan tepung jagung yang dihasilkan tengik dan kulit ari

membuat tepung jagung bertekstur kasar. Setelah dicuci grits tersebut

direndam dalam air selama 3 jam. Proses perendaman ini bertujuan

memperlunak endosperma yang nantinya dapat mempermudah tahap

proses penepungan halus.

25

Page 42: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Pembuatan tepung jagung dengan metode dry milling

Lima varietas jagung lokal pipil

Pembuatan mie jagung dengan teknik ekstrusi

Karakterisasi sifat fungsional : ▪ Sifat amilografi ▪ Water Absorption capacity ▪ Kelarutan dan Swelling volume

Karakterisasi sifat fisiko kimia : ▪ Proksimat ▪ Kadar amilosa ▪ Kadar pati ▪ pH ▪ Warna

Analisa : * Elongasi * KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)

Uji hipotesis pengaruh tekanan pada tahap pengekstrusian bahan terhadap karakterisasi mie yang dihasilkan

Pembuatan mie jagung dengan teknik ekstrusi dengan memberikan tekanan saat pengekstrusian bahan

Penentuan tepung jagung lokal yang paling berpotensi untuk dibuat mie jagung

Analisa : * Elongasi dan KPAP * Tensile Strength * Warna

Dibandingkan hasil analisa mie basah jagung dengan BTP dan tanpa BTP

Peningkatan mutu mie jagung dengan penambahan Guar Gum 1%

Analisa : * Elongasi dan KPAP * Tensile Strength * Warna

Analisa : * Filling rate * Elongasi * KPAP * Scanning Electron Microscope (SEM)

Gambar 6. Garis besar pelaksanaan penelitian

26

Page 43: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Kemudian, grits jagung dikeringkan menggunakan sinar matahari

hingga kadar airnya mencapai ± 35% dan saat dirasa grits tidak terlalu

basah dan tidak terlalu kering. Pengukuran kadar air dilakukan dengan

cara memegang grits dan grits tersebut tidak begitu lengket dengan

tangan. Hal ini dilakukan agar proses penggilingan menjadi lebih

efisien sehingga rendemen yang dihasilkan pun lebih tinggi. Jika kadar

air grits terlalu tinggi, grits jagung mudah lengket dalam mesin

penggiling, akibatnya rendemen tepung menjadi lebih rendah dan

mudah tengik jika dilakukan penyimpanan. Dan jika kadar airnya

terlalu rendah, rendemen hasil penggilingannya pun juga rendah.

Selanjutnya dilakukan proses penepungan halus menggunakan disc mill

dengan saringan berukuran 48 mesh. Tahapan ini bertujuan untuk

memperhalus ukuran jagung menjadi tepung.

Tepung jagung yang dihasilkan kemudian dikeringkan

menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam hingga kadar air tepung ±

35%. Kemudian tepung diayak menggunakan vibrating screen dengan

ukuran ayakan 100 mesh. Menurut Pratama (2008) ukuran tepung

jagung yang dianjurkan untuk membuat mie basah jagung yaitu ukuran

100 mesh karena akan menghasilkan mie dengan tekstur yang lebih

halus dibandingkan ukuran 80 mesh. Terakhir tepung jagung

dikeringkan menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam untuk

mengurangi jumlah air bebas pada tepung jagung sehingga dapat

memperpanjang umur simpan tepung. Kemudian tepung jagung

dikemas plastik PP ukuran 200 gram dan disimpan dalam freezer.

Kemudian dilakukan tahap kedua dari penelitian pendahuluan,

yaitu analisa pada tepung jagung yang dihasilkan. Analisa yang

dilakukan mencakup analisa sifat fisiko-kimia dan sifat fungsional dari

tepung jagung. Analisa ini dilakukan untuk mengkarakterisasi tepung

jagung yang dihasilkan.

Analisa sifat fisiko-kimia meliputi analisa pH, warna, analisa

proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar

karbohidrat), kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin.

27

Page 44: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Sedangkan analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat

amilografi, water absorption capacity, kelarutan dan swelling volume.

Tahapan proses penepungan jagung pipil dapat dilihat pada

Gambar 7.

Pengeringan dengan oven pada suhu 50oC selama 2 jam

Pengayakan menggunakan vibrating screen dengan saringan 100 mesh

Pembuangan cairan dan penjemuran grits jagung sampai grits tidak terlalu basah

Penggilingan dengan disc mill dengan saringan berukuran 48 mesh

Jagung dibersihkan dari biji cacat dan kontaminan lainnya

Pengeringan dengan oven pada suhu 50oC selama 2 jam

Pengambangan jagung menggunakan air suhu normal untuk membuang kulit ari dan lembaga

Penggilingan I menggunakan disc mill dengan saringan 10 mesh

Tepung jagung kasar

Perendaman grits selama 3 jam

Grits jagung

Pengemasan dengan plastik PP tiap 200 g, diberi silika gel dan disimpan di freezer

Gambar 7. Diagram alir pembuatan tepung jagung (Fahmi, 2007 dengan modifikasi)

Tahap ketiga dari penelitian pendahuluan adalah pembuatan mie

basah menggunakan metode ekstrusi. Proses pembuatan mie basah

jagung dengan metode ekstrusi terdiri atas beberapa proses, yaitu

proses penimbangan bahan, pencampuran, pengadonan, pembentukan

lembaran secara manual, pengukusan pertama (pengukusan adonan),

pencetakan mie dengan ekstruder, dan pengukusan kedua (pengukusan

mie).

28

Page 45: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Pertama-tama dilakukan proses penimbangan bahan-bahan

pembuatan mie basah jagung yang meliputi basis tepung jagung 100 g,

NaCl 2% (2 g), dan penambahan air hingga mencapai 70% basis kadar

air tepung. Selanjutnya dilakukan pencampuran dan pengadonan bahan

yang bertujuan mendapatkan adonan yang homogen dan meratakan

distribusi air ke dalam tepung sehingga tidak membentuk gumpalan.

Pencampuran air dan garam dilakukan dengan cara melarutkan garam

terlebih dahulu dalam air yang akan ditambahkan. Serta pengadonan

dilakukan dengan cara penambahan larutan garam sedikit demi sedikit

ke dalam tepung jagung. Hal ini agar tidak terbentuk gumpalan tepung.

Jika air yang ditambahkan lansung sekaligus dibutuhkan waktu

pengadonan yang lebih lama agar gumpalan tepung tidak terbentuk,

sehingga distribusi air di dalam adonan lebih merata.

Adonan kemudian dibentuk lembaran dengan menggunakan roll

kayu sampai ketebalan adonan sekitar ± 0.5 cm. Hal ini bertujuan untuk

meratakan distribusi panas yang diterima adonan saat proses

pengukusan pertama. Proses pengukusan akan membuat adonan

mengalami proses gelatinisasi sebagian sehingga adonan mudah dicetak

menjadi untaian mie. Proses gelatinisasi pati sebagian dapat membuat

tekstur adonan menjadi lebih lunak, kohesif, dan elastis. Pati yang

tergelatinasi pada proses ini akan berperan membentuk matriks

pengikat berupa massa elastic-cohesive sehingga adonan dapat dicetak

menjadi mie.

Setelah pengukusan pertama, adonan dimasukkan kedalam

ekstruder tipe MS9 Multy-Function Noodle Machine Operation.

Adonan akan keluar melalui die ekstruder khusus untuk mie. Mie yang

dihasilkan kemudian dikukus (pengukusan kedua) untuk

menyempurnakan proses gelatinasi sehingga diperoleh mie basah

jagung dengan tekstur yang lebih baik. Tahapan pembuatan mie basah

jagung dapat dilihat pada Gambar 8.

29

Page 46: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Mie basah jagung

Air sampai kadar air tepung basis kering 70%

NaCl (2%)

Pencampuran dan pengadukan hingga NaCl larut

Pembuatan lembaran secara manual dengan ketebalan ± 0,5 cm

Pengukusan adonan selama15

Pencetakan menggunakan

Pengukusan mie selama 15 menit

Mixing

Tepung

Gambar 8. Diagram alir pembuatan mie basah jagung

Mie basah yang dihasilkan kemudian dianalisa secara fisik, yaitu

meliputi analisa elongasi dan KPAP (Kehilangan Padatan Akibat

Pemasakan).

Tahap terakhir pada penelitian pendahuluan ini yaitu

dilakukannya justifikasi pembuatan mie basah jagung. Justifikasi yang

dilakukan yaitu dengan meningkatkan jumlah bahan baku menjadi dua

kali lipat menjadi 200g tepung jagung dan memberikan tekanan secara

manual pada saat pembuatan mie. Kemudian diukur filling rate dari

mie. Filling rate yaitu menghitung waktu keluar mie sejak pertama kali

keluar dari die hingga adonan tepung habis dari dalam ekstruder.

Selanjutnya mie yang dihasilkan di analisa secara fisik (analisa

elongasi dan KPAP) dan SEM (Scanning Electron Microscope).

30

Page 47: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

2. Penelitian Utama

Penelitian utama mencakup tahap perbaikan teknis mie jagung

mentah hasil dari penelitian pendahuluan, yaitu pembuatan mie basah

jagung berdasarkan hasil justifikasi. Hal ini dilakukan untuk

memperbaiki kualitas mie jagung mentah yang dihasilkan sebelumnya.

Tindakan teknis yang dilakukan mencakup pemberian tekanan secara

manual pada saat pembuatan mie dengan menghitung waktu keluarnya

mie dari die ekstruder sampai semua adonan dalam ekstruder habis

(filling rate) dan penggunaan BTP (Bahan Tambahan Pangan) untuk

memperbaiki kualitas mie basah jagung yang dihasilkan. Kemudian mie

basah jagung yang dihasilkan dianalisa kembali elongasi, tensile

strength, KPAP,dan warna untuk mengkarakterisasi mie basah jagung

yang dihasilkan.

Hal yang sama juga dilakukan pada mie basah jagung yang

ditambahkan BTP. BTP yang ditambahkan berfungsi untuk

meningkatkan kualitas mie yang dihasilkan. BTP yang digunakan

adalah jenis guar gum. Pemilihan guar gum sebagai BTP berdasarkan

pada penelitian Fadlillah (2005) yang menyatakan bahwa pemakaian

konsentrasi guar gum yang semakin tinggi akan menghasilkan persen

elongasi yang juga semakin tinggi.

Penambahan guar gum pada penelitian ini akan dilakukan pada

taraf 1% sesuai dengan konsentrasi guar gum yang paling berpengaruh

terhadap parameter mutu inti mie basah jagung. Selanjutnya mie basah

jagung dengan BTP akan dilakukan analisa sifat reologi mie (elongasi

dan tensile strength), KPAP dan warna. Terakhir dilakukan

pembandingan hasil analisa mie basah jagung tanpa BTP dan dengan

BTP serta membandingkan hasil analisis dengan hasil analisis mie

basah terigu komersial. Dari hasil analisa terakhir inilah nantinya

ditentukan varietas tepung jagung lokal yang paling baik untuk dibuat

mie jagung. Hasil analisa yang terbaik merupakan hasil analisa yang

memiliki nilai sama atau lebih bagus dibandingkan mie basah terigu

komersial.

31

Page 48: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

C. METODE ANALISA

1. Analisa Karakterisasi Fisiko-kimia Tepung Jagung

Analisa karakterisasi fisik yang dilakukan meliputi analisa pH dan

warna. Sedangkan analisa karakterisasi kimia yang dilakukan meliputi

analisa proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat

(penentuan kadar karbohidrat menggunakan perhitungan by difference),

kadar pati, kadar amilosa dan kadar amilopektin. Penentuan kadar

amilopektin menggunakan perhitungan selisih kadar pati dan kadar

amilosa.

a. pH (Derajat keasaman)

pH diukur dengan membuat suspensi tepung sebesar 10%,

kemudian pH diukur dengan menggunakan alat pH meter yang telah

dikalibrasi.

b. Analisa Warna Menggunakan Metode Hunter (Hutching, 1994)

Sampel ditempatkan pada wadah yang transparan. Pengukuran

menggunakan Chromameter CR 200 Minolta. Pengukuran

menghasilkan nilai Y, x dan y. Nilai ini kemudian dikonversi ke

dalam skala Hunter L a b. Untuk mendapatkan derajat Hunter

dilakukan dua kali proses konversi. L menyatakan parameter

kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). a

menggambarkan warna kromatik merah hijau dan b warna kromatik

kuning biru.

Cara Perhitungan :

• Konversi pertama :

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

yxYX

Y = Lightness

( )⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ +−=

yyx

YZ1

32

Page 49: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

• Konversi kedua :

21

10 YL =

( )2

1

02.1 5.17

Y

YXa −= ( )

21

847.0 0.7

Y

ZYb −=

c. Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam

desikator, kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 2 gram dimasukkan

ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya

dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100oC selama kurang lebih 16-24

jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isi

didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar air

ditentukan dengan rumus :

( ) ( ) %100.% ×−−

=c

bacbbAirKadar

( ) ( ) %100.% ×−−−

=ba

backbAirKadar

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir(g) b = berat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

d. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600oC,

kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g

sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen.

Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai

tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur

listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu

berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, dan

ditimbang.

( ) ( ) %100.% ×−−

=c

bacbbAbuKadar

( ) ( )( )( ) %100

. 100. .% ×

−=

bbAirKadarbbAbuKadarbbAbuKadar

33

Page 50: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)

e. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCL

0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 g ditimbang dan diletakkan ke

dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian tambahkan 0.9 g K2SO4, 40 mg

HgO dan 2 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg.

Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih.

Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas

dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Gas

NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh 5

ml H3BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator

(campuran 2 bagian merah metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian

methylene blue 0.2% dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian

dititrasi dengan HCL 0.02 N yang sudah distandarisasi hingga terjadi

perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko

dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti pada

penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan

rumus :

( )samplemg

HCLNblancoHCLmlsampleHCLmlKadarN

100007.14 % ×××−=

( ) ( )25.6%.% Konversi FaktorNbb oteinrP Kadar ×=

( ) ( )( )( ) %100

.ir 100. r .% r ×

−=

bbAKadarbboteinPKadarkboteinPKadar

f. Kadar lemak metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven

bersuhu 100-110oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 g, dibungkus

dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet)

yang telah berisi pelarut heksana.

34

Page 51: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Refluks dilakukan 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada dalam

labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil

ekstrusi dipanaskan dalam suhu 100oC hingga beratnya konstan,

didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

( ) %100.% ×−

=c

babbLemakKadar

( ) ( )( )( ) %100

.ir 100. .% ×

−=

bbaKadarbbLemakKadarbbLemakKadar

Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g) c = berat sampel awal (g)

g. Kadar Karbohidrat by Difference (AOAC, 1995)

( ) ( )LAPkb arbohidratK Kadar ++×= %100.%

Keterangan : P = kadar protein (% b.k) A = abu (% b.k) L = kadar lemak (% b.k)

h. Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et.al., 1997)

Pembuatan larutan Luff Schoorl

Sebanyak 25 g CuSO4.5H2O sejauh mungkin bebas besi,

dilarutkan dalam 100 ml air, 50 g asam sitrat dilarutkan dalam 50

ml air dan 388 g soda murni (Na2CO3.10H2O) dilarutkan dalam

300-400 ml air mendidih. Larutan asam sitrat dituangkan dalam

larutan soda sambil digojog hati-hati. Selanjutnya, ditambahkan

larutan CuSO4. Sesudah dingin ditambahkan air sampai 1 L. Bila

terjadi kekeruhan, didiamkan kemudian disaring.

Penentuan sakarosa

Sebanyak 50 ml filtrat bebas Pb dari larutan, masukkan ke

dalam erlenmeyer, kemudian ditambah dengan 25 ml akuades dan

10 ml HCl 30% (berat jenis 1.15). Panaskan di atas penagas air

pada suhu 67-70oC selama 10 menit. Kemudian didinginkan cepat-

sepat sampai suhu 20oC. Netralkan dengan NaOH 45%, kemudian

35

Page 52: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

diencerkan sampai volume tertentu sehingga 25 ml larutan

mengandung 15-60 mg gula reduksi.

Diambil 25 ml larutan dan dimasukkan dalam erlenmeyer,

ditambah 25 ml larutan Luff Schoorl dan dibuat pula percobaan

blanko yaitu 25 ml larutan Luff Schoorl ditambah dengan akuades

25 ml.

Setelah ditambah beberapa butir batu didih, Erlenmeyer

dihubungkan dengan pendingin balik, kemudian dididihkan.

Diusahakan 2 menit sudah mendidih. Pendidihan larutan

dipertahankan selama 10 menit. Setelah dingin, tambahkan KI

20% dan dengan hati-hati tambahkan 25 ml H2SO4 26.5%.

Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan Na-

thiosulfat 0.1 N memeakai indikator pati sebanyak 2-3 ml. Untuk

memperjelas perubahan warna pada akhir titrasi, pati ditambahkan

pada saat titrasi hampir berakhir.

Perhitungan kadar pati

Dengan mengetahui selisih antara titrasi blanko dan titrasi

contoh, kadar gula reduksi setelah inversi (setelah dihidrolisa

dengan HCl 30%) dalam bahan dapat dicari dengan menggunakan

Tabel 7. Selisih kadar gula reduksi sesudah inversi dengan

sebelum inversi dikalikan 0.9 merupakan kadar pati dalam bahan.

36

Page 53: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Tabel 10. Penentuan Glukosa, Fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan pangan dengan metode Luff Schoorl

Glukosa, fruktosa, dan gula invert Mg C6H12O6

ml 0.1 N Na-thiosulfat

∆ 1 2.4 2.4 2 4.8 2.4 3 7.2 2.5 4 9.7 2.5 5 12.2 2.5 6 14.7 2.5 7 17.2 2.6 8 19.8 2.6 9 22.4 2.6

10 25.0 2.6 11 27.6 2.7 12 30.3 2.7 13 33.0 2.7 14 35.7 2.8 15 38.5 2.8 16 41.3 2.9 17 44.2 2.9 18 47.1 2.9 19 50.0 3.0 20 53.0 3.0 21 56.0 3.1 22 59.1 3.1 23 62.2 - 24 - -

i. Kadar Amilosa, metode IRRI (AOAC, 1995)

Pembuatan kurva standar

Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan 1 ml

etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tahap selanjutnya adalah

pemanasan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk

gel. Gel yang terbentuk akan dipindahkan ke dalam labu takar 100

ml dan ditepatkan sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan

ke dalam labu takar 100 ml. Kedalam masing-masing labu takar

tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing

0.2; 0.4;.0.6; 0.8 dan 1.0 ml, lalu ditambahkan larutan iod

sebanyak 2 ml. Tahap selanjutnya adalah pegukuran intensitas

warna biri yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang

gelombang 625 nm.

37

Page 54: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Penetapan sampel

Ditimbang sampel sebanyak 100 mg dalam bentuk tepung

kemudian ditambahkan dengan 1 ml etanol 96% dan 95 ml NaOH

1 N. Selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selma 10 menit

sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk dipindahkan ke dalam

labu takar 100 ml, kemudian dikocok dan ditepatkan sampai tanda

tera dengan akuades. Tahap selanjutnya adalah larutan tersebut

dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100

ml, ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod.

Kemudian ditepatkan sampai tanda tera dengan air, dikocok dan

didiamkan selamam 20 menit. Tahap selanjutnya adalah

pengukuran intensitas warna yang terbentuk dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.

( ) %100100

100.% ×−

×××

=kab

vFpakb Amilosa Kadar

Keterangan : a = konsentrasi amilosa dari kurva standar Fp = faktor pengenceran ka = kadar air b = berat sampel v = volume mula-mula

2. Analisa Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung

Analisa karakterisasi sifat fungsional tepung jagung terdiri atas

analisa sifat amilografi tepung jagung menggunakan Brabender

Amilograf untuk mengetahui sifat gelatinisasi tepung jagung, analisa

Water Absorption Capacity metode Sathe dan Salunke (1981), analisa

Kelarutan dan Swelling volume (Collado, L.S dan H. Corke, 1998).

38

Page 55: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

a. Sifat Amilografi

Buret diberi 450 ml air akuades. Sampel sebanyak 45 gram

dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer kemudian dilarutkan dengan

sebagian air akuades hingga terbentuk suspensi. Suspensi dimasukkan

ke dalam bowl amilograph dan sisa akuades digunakan untuk

membilas buret kemudian dimasukkan ke dalam bowl amilograph.

Suhu awal diatur dengan termoregulator pada suhu 30 oC kemudian

di-switch pengatur suhu berada di bawah posisi 97oC dan mesin

amilograph dinyalakan sehingga bowl amilograph berputar serta

dipanaskan dengan menggunakan air. Kemudian pasang pena pencatat

pada skala kertas amilogram. Mesin amilograph dimatikan ketika

pasta mencapai suhu 95oC. Perhitungan analisis amilograph dilakukan

dengan rumus :

Suhu awal gelatinisasi = suhu pada saat kurva mulai naik

Suhu pada puncak gelatinisasi = suhu pada saat viskositas

maksimum dicapai

(kurva mencapai puncak)

Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan berikut =

Suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5 menit)

Viskositas maksimum = pada puncak gelatinisasi

dinyatakan dalam Amilograph

atau Brabender Unit

b. Water Absorption Capacity (Metode Sathe dan Salunke, 1981)

Absorbsi air ditentukan dengan cara sentrifugasi. Satu g contoh

dicampur dengan 10 ml akuades, diaduk 30 detik. Kemudian

campuran didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Selanjutnya

campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama

30 menit. Absorbsi air dinyatakan dalam g/g (bk) dan dihitung dengan

rumus :

39

Page 56: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

cbaairAbsorbsi −

=

Keterangan : a = bobot air mula- mula b = bobot supernatan c = bobot sampel

c. Kelarutan (Modifikasi Perez et. al., 1999)

Suspensi pati disiapkan yaitu 0.5 g sampel dicampur dengan 50

ml akuades dalam labu erlenmeyer 100 ml. Tempatkan sampel pada

penangas air pada suhu 90oC selama 2 jam dengan pengadukan

kontinyu. Dari suspensi tersebut diambil 30 ml larutan yang jernih

kemudian diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya.

Cawan petri dikeringkan pada oven bersuhu 100oC hingga bobotnya

tetap, kemudian dihitung kenaikan bobotnya.

( )mlg

ml

30 5.0

100 50Awal PetriCawan Bobot Akhir PetriCawan Bobot %Kelarutan

×

××−=

d. Swelling volume (Collado, L.S dan H. Corke, 1998)

Penghitungan swelling volume dimulai dengan menimbang

sampel sebanyak 0.35 g di dalam tabung reaksi bertutup. Kemudian

ditambahkan 12.5 ml akuades. Diamkan campuran selama 5 menit di

suhu ruang. Selanjutnya campuran bahan dimasukkan ke dalam

waterbath bersuhu 92.5oC selama 30 menit sambil sesekali di aduk.

Kemudian sampel didinginkan dalam air es selama 1 menit. Diamkan

campuran selama 5 menit pada suhu ruang. Selanjutnya sampel

disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 15 menit. Timbang

berat gel yang dihasilkan dan kemudian gel dikeringkan untuk

mendapatkan volume gel per berat kering.

3. Analisa Fisik Mie Basah Jagung

Analisa fisik mie jagung meliputi analisa persen elongasi

menggunakan Texture Analyzer TAXT-2 pada penelitian pendahuluan

dan menggunakan Rheoner RE-3305 pada justifikasi dan penelitian

utama, analisa tensile strength menggunakan Rheoner RE-3305, analisa

40

Page 57: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

warna metode Hunter (Hutching, 1994), dan analisa cooking loss atau

Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) menggunakan metode

Oh et al. (1985).

a. Analisis Persen Elongasi menggunakan Texture Analyzer

Sampel dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm

dan kecepatan probe 0,3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan

rumus :

( ) %1002

3.0×

×=

cmscm s Sample Putus WaktuElongasi Persen

b. Pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)

(Oh et al., 1985)

Penentuan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)

dilakukan dengan cara merebus 5 gram mie dalam 150 ml air. Setelah

mencapai waktu optimum perebusan, mie ditiriskan dan disiram air,

kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mie kemudian

ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100oC sampai beratnya

konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus

berikut:

( ) %1001

−−

=Contoh Air Kadar Awal Berat

nDikeringka Setelah SampleBeratKPAP

c. Analisis Persen Elongasi dan Tensile Strength menggunakan

Rheoner

Pada pengukuran elastisitas dan tensile strength digunakan

probe yang dapat menjepit kedua ujung mie. Beban yang digunakan

0.2 volt, test speed 1 mm/s, dan chart speed 40 mm/menit. Sampel

mie basah yang telah diberi perlakuan pencelupan sebanyak tiga kali

dan perendaman diletakkan di probe dan dijepit pada kedua

ujungnya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan

antara kekuatan (kgf) dan waktu (s).

41

Page 58: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Cara perhitungan :

• Persen Elongasi

a = setengah jarak antar kedua ujung

penjepit (mm),

dimana a = 1.05 mm

b = lebar kurva (mm) x 1.5

c = (a2 + b2)1/2 mm

ΔL = (2 x c) – 21 mm

% elongasi = (ΔL/21) x 100%

a

bc

• Tensile Strength

Menghitung jumlah kotak yang dilewati oleh chart pada saat

chart mencapai puncak tertinggi sebelum chart turun (puncak

chart saat mie putus ketika mie diberikan gaya). Kemudian jumlah

kotak dikalikan dengan kekuatan saat beban 0.2 volt.

Kekuatan 1 kotak chart saat 0.2 volt = 4 kgf.

d. Analisa mikrostruktur menggunakan Scanning Electon

Microscope (SEM) (Noor, 2001)

Sebelum dilakukan analisis menggunakan SEM, sampel harus

dipersiapkan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan SEM tidak bisa

digunakan pada sampel dengan kadar air > 5%. Untuk itu, mie basah

jagung yang akan dianalisis didehidrasi dengan metode freeze drying.

Sampel difreeze drying menggunakan Freeze Dry Yamato dengan

suhu (-76) oC. Sampel yang sudah kering di potong ± 1-3 mm.

Sampel di letakkan di atas di atas stap yang sudah ditempeli dengan

carbon double tape. Kemudian sampel dicoating dengan emas

menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat.

Setelah sampel dicoating, sampel diletakkan di dalam kolom

tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Kemudian dilakukan

pengamatan mikrostruktur dari mie dengan perbesaran 2000x dan

3500x.

42

Page 59: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung

Pembuatan tepung jagung dilakukan pada jagung pipil lima varietas

jagung unggulan nasional, yaitu varietas jagung Srikandi Kuning, Bisma,

Sukmaraga, Lamuru dan Arjuna. Jagung pipil ini didapatkan dari Balai Pusat

Penelitian Serelia, Maros, Sulawesi Selatan. Proses penepungan yang

dilakukukan merupakan modifikasi proses penepungan yang telah dilakukan

pada penelitian Fahmi (2007). Teknik penepungan yang digunakan adalah

teknik penepungan kering (dry process). Teknik penepungan kering ini

terdiri atas beberapa tahap proses, yaitu proses pengilingan kasar, pencucian

dan pengambangan, perendaman, pengeringan grits, penggilingan halus,

pengeringan tepung, pengayakan tepung ukuran 100 mesh, dan pengeringan

tepung setelah tepung diayak.

Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan melakukan proses

penggilingan kasar pada jagung pipil. Proses penggilingan kasar ini

menggunakan dics mill dengan saringan 10 mesh sehingga menghasilkan

grits jagung. Grits jagung yang dihasilkan dari proses penggilingan kasar ini

masih bercampur dengan kotoran, lembaga, kulit dan tip cap. Komponen-

komponen yang masih bercampur dengan grits ini merupakan komponen

yang tidak diinginkan terdapat pada grits jagung.

Untuk memisahkan komponen yang tidak diinginkan ini dilakukan

proses pencucian. Grits dicuci dengan air bersih sehingga komponen-

komponen yang tidak diinginkan tersebut mengambang sehingga

memudahkan proses pemisahan. Selama proses pencucian juga dilakukan

proses pengadukan agar komponen-komponen yang tidak diinginkan

tersebut tidak mengendap dalam tumpukan grits. Proses pencucian ini

bertujuan untuk memisahkan grits (bagian endosperm jagung) dengan bagian

lembaga, kulit, tip cap serta kotoran yang dapat menjadi sumber

kontaminasi.

Page 60: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Bagian lembaga jagung harus dibuang karena bagian ini dapat

menyebabkan tepung jagung yang dihasilkan menjadi cepat tengik akibat

reaksi oksidasi lemak karena kandungan lemaknya yang tinggi (Hoseney,

1998). Bagian kulit ari dan tip cap harus dibuang karena dapat menyebabkan

tepung jagung memiliki tekstur yang kasar. Setelah proses pencucian, grits

jagung kemudian direndam selama 3 jam. Proses perendaman ini berfungsi

untuk memperlunak jaringan endosperm jagung sehingga memudahkan

proses penggilingan selanjutnya.

Kemudian, grits jagung dikeringkan menggunakan sinar matahari

hingga kadar airnya mencapai ± 35% dan saat dirasa grits tidak terlalu basah

dan tidak terlalu kering. Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara

memegang grits dan grits tersebut tidak begitu lengket dengan tangan. Hal

ini dilakukan agar proses penggilingan menjadi lebih efisien sehingga

rendemen yang dihasilkan pun lebih tinggi. Selanjutnya dilakukan proses

penepungan halus menggunakan disc mill dengan saringan berukuran 48

mesh. Tahapan ini bertujuan untuk memperhalus ukuran jagung menjadi

tepung. Tepung jagung yang dihasilkan ini masih merupakan tepung jagung

kasar.

Tepung jagung yang dihasilkan kemudian dikeringkan

menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam. Kemudian tepung diayak

menggunakan vibrating screen dengan ukuran ayakan 100 mesh. Ukuran

100 mesh ini dipilih berdasarkan penelitian Pratama (2008) yang meyatakan

bahwa ukuran tepung jagung yang dianjurkan untuk membuat mie basah

jagung adalah ukuran 100 mesh karena akan menghasilkan mie dengan

tekstur yang lebih halus dibandingkan ukuran 80 mesh. Terakhir tepung

jagung dikeringkan menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam untuk

mengurangi jumlah air bebas pada tepung jagung sehingga dapat

memperpanjang umur simpan tepung. Kemudian tepung jagung dikemas

plastik PP ukuran 200 gram dan disimpan dalam freezer.

Pembuatan tepung jagung menggunakan teknik penggilingan kering

pertama kali dilakukan oleh Juniawati (2003). Pada teknik ini dilakukan

penggilingan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama menggunakan

44

Page 61: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

hammer mill. Kemudian dilakukan perendaman dan pencucian pada hasil

penggilingan untuk memisahkan bagian endosperma jagung (grits) dengan

kulit, lembaga dan tip cap. Perendaman bertujuan untuk melunakkan

endosperm jagung agar mudah dihancurkan pada penggilingan kedua.

Penggilingan kedua menggunakan disc mill yang bertujuan untuk

menghaluskan grits jagung menjadi tepung jagung. Grits jagung terlebih

dahulu dikeringkan sehingga diperoleh kadar air ± 35%. Jika kadar air terlalu

tinggi maka bahan akan menempel pada disc mill sehingga dapat

menimbulkan kemcetan pada alat. Sedangkan jika kadar air terlalu rendah,

endosperma akan kembali menjadi keras sehingga sulit untuk ditepungkan.

Kedua hal tersebut mengakibatkan rendemen tepung jagung menjadi rendah.

Agar ukuran tepung jagung seragam dilakukan proses pengayakan

menggunakan saringan berukuran 100 mesh. Menurut Suprapto (1998),

penggilingan kering (dry process) umumnya banyak dilakukan dalam skala

besar.

Menurut Hoseney (1998), pada prinsipnya penggilingan biji jagung

menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperma dari

bagian biji yang lain, seperti lembaga, kulit (perikarp), dan tip cap. Bagian

endosperma merupakan bagian yang akan dibuat menjadi tepung jagung. Hal

ini dikarenakan bagian ini memiliki kandungan pati yang paling tinggi.

B. Karakterisasi Tepung Jagung

Analisa karakterisasi tepung jagung yang dilakukan mencakup analisa

sifat fisiko-kimia dan dan sifat fungsional dari tepung jagung. Analisa sifat

fisiko-kimia meliputi analisa pH, warna, analisa proksimat (kadar air, abu,

protein, lemak dan karbohidrat), kadar pati, amilosa, dan amilopektin.

Sedangkan analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat

amilografi, water absorption capacity, kelarutan dan swelling volume.

45

Page 62: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

1. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung

Analisa yang dilakukan yaitu analisa sifat fisik dan sifat kimia

tepung jagung. Analisa sifat fisik meliputi analisa pH dan warna. Analisa

sifat kimia meliputi analisa proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan

karbohidrat), kadar pati, amilosa dan amilopektin.

a. Analisa Sifat Fisik Tepung Jagung

1). pH

Hasil analisa pH dapat dilihat pada Gambar 9. Dari gambar

tersebut dapat dilihat bahwa pH tepung jagung Srikandi Kuning

5.83, Bisma 5.85, Sukmaraga 5.90, Lamuru 6.67 dan Arjuna 5.80.

dari hasil analisa pH tersebut dapat diketahui bahwa nilai pH

tepung jagung yang didapatkan ini masuk ke dalam range pH

optimum pembentukan gel, karena menurut Manullang (1993) pH

pembentukan gel optimum pada pH 4 - 7. Jika pH terlalu tinggi,

pembentukan gel akan cepat tercapai, tapi akan cepat turun lagi.

Jika pH terlalu rendah terbentuknya gel akan lambat dan bila

pemanasan dilanjutkan, viskositasnya tidak berubah. Pada pH

optimum ini pembetukan gel cenderung lambat, tetapi bila

pemanasan diteruskan viskositas tidak berubah.

Gambar 9. Nilai pH lima varietas tepung jagung Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil

analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan

46

Page 63: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf

signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap pH yang

dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai pH

yang berbeda (Lampiran 5A.1).

2). Warna

Analisis warna yang dilakukan menggunakan metode Hunter

dimana pengukurannya dilakukan dengan menggunakan alat

Chromameter CR 200 Minolta. Hasil pengukuran yang dihasilkan

berupa nilai Y, x dan y. Nilai ini kemudian dikonversi ke dalam

skala Hunter L a b. Untuk mendapatkan derajat Hunter dilakukan

dua kali proses konversi (Hutching, 1994). Nilai L menyatakan

parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih).

Nilai a menggambarkan warna kromatik merah hijau dan b warna

kromatik kuning biru. Hasil analisa warna tepung jagung dapat

dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil analisa warna lima varietas tepung jagung Varietas

Sifat Fisik Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna

L 88.81 87.86 87.07 88.14 88.74

a 0.40 1.18 0.68 1.15 0.73 Warna

b 26.18 26.96 25.43 26.07 25.88

Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa varietas tepung jagung

memiliki nilai L yang cenderung sama. Nilai L yang cenderung

sama menyebabkan tidak terlihatnya signifikansi perbedaan tingkat

kecerahan tepung jagung. Hal ini dapat dibuktikan dengan gambar

tepung jagung pada Gambar 10.

Gambar 10. Lima varietas tepung jagung ukuran 100 mesh

47

Page 64: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Tepung jagung Bisma memiliki nilai a dan b paling tinggi

dibandingkan varietas tepung jagung lainnya. Tepung jagung

Bisma memiliki nilai a sebesar +1.81 dan nilai b +26.96. Ini berarti

tepung jagung Bisma memiliki warna kromatik kuning kemerahan.

Warna kuning tepung jagung ini berasal dari pigmen xantofil yang

terdapat pada biji jagung.

Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.

Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut

Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi

5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan

[Lampiran 5A.2(a)], berpengaruh nyata terhadap nilai a dan b

[Lampiran 5A.2(b dan c)] yang dihasilkan. Artinya, perbedaan

varietas akan menghasilkan tingkat kecerahan yang cenderung

sama dengan tingkat warna kuning kemerahan yang berbeda.

b. Analisa Sifat Kimia Tepung Jagung

Analisa sifat kimia tepung jagung meliputi analisa proksimat

(kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), kadar pati, amilosa

dan amilopektin.

1) Kadar Air

Penentuan kadar air dalam suatu bahan pangan sangat

diperlukan karena akan mempengaruhi daya simpan bahan pangan

tersebut. Proses penyimpanan ataupun lama dari waktu pemanenan

sampai bahan diolah menjadi suatu produk sangat mempengaruhi

kadar air dari tepung. Makin tinggi kadar air dari suatu bahan maka

makin tinggi kemungkinan bahan tersebut untuk mengalami

kerusakan. Kerusakan bahan seperti tepung lebih terutama

disebabkan oleh kapang dan berbagai jenis kutu (Syarief dan Halid,

1993).

Daya simpan suatu bahan pangan dapat diperpanjang dengan

cara menghilangkan sebagian air yang terdapat pada bahan pangan

48

Page 65: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

tersebut sampai mencapai kadar air tertentu. Salah satu cara

memperpanjang daya simpan tepung adalah dengan pengeringan.

Menurut Fardiaz (1989), pengeringan pada tepung dapat

mengurangi kadar air tepung sampai batas tertentu sehingga

pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan

pada tepung dapat dihambat. Batas kadar air minimum dimana

mikroba masih dapat tumbuh adalah 14 - 15% (bb).

Gambar 11. Kadar air lima varietas tepung jagung

Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa kadar air tepung jagung

kelima varietas jagung yang diujikan memiliki nilai berkisar antara

9.95 - 15.04% (bk). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air yang

terdapat pada beberapa varietas tepung jagung belum memenuhi

syarat SNI tepung jagung (SNI 01-3727-1995) yaitu maksimum

10%. Namun, kadar air ini masih masuk dalam batas kadar air

minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14 - 15%

b/b (Fardiaz, 1989). Untuk menjaga agar tepung jagung tidak

mengalami kerusakan, tepung jagung disimpan di dalam freezer

suhu -20°C dan diberi silika gel sampai digunakan dalam

penelitian.

Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil

analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan

uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf

signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar air yang

49

Page 66: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan kadar

air yang berbeda (Lampiran 5A.3).

2) Kadar Abu

Kadar abu secara kasar menggambarkan kandungan mineral

dalam suatu bahan pangan. Kadar abu merupakan sisa-sisa setelah

bahan dibakar sehingga bebas karbon. Mineral merupakan zat

organik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses

pembakaran. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan, umur

bahan dan lain-lain. Secara kuantitatif , kadar abu yang terdapat

pada suatu bahan berasal dari mineral-mineral dalam bahan yang

masih segar, pemakaian pupuk dan dapat juga berasal dari

kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan. Umumnya,

semakin tinggi nilai kadar abu maka semakin besar kandungan

mineral dari suatu bahan pangan.

Gambar 12. Kadar abu lima varietas tepung jagung

Dari Gambar 12 dapat diketahui bahwa tepung jagung yang

dianalisa memiliki kadar abu berkisar antara 0.59 - 0.83% (bk). Hal

ini sesuai dengan persyaratan tepung jagung menurut SNI tepung

jagung (SNI 01-3727-1995) yaitu maksimum 1.5%.

Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.

Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut

Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi

5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu yang

50

Page 67: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai

kadar abu yang cenderung sama (Lampiran 5A.4).

3) Kadar Protein

Kadar protein dalam tepung jagung bukan merupakan syarat

mutu tepung dalam SNI tepung jagung. Namun, keberadaannya

dalam tepung dapat melengkapi nilai gizinya. Protein utama dari

tepung jagung adalah protein jenis zein. Kadar protein dihitung

dengan cara menghitung kadar nitrogen (N) dalam bahan pangan

menggunakan metode Kjeldahl.

Gambar 13. Kadar protein lima varietas tepung jagung

Dari Gambar 13 diketahui bahwa kadar protein tepung

jagung berkisar antara 8.96 - 9.22 % (bk). Kandungan protein

dalam tepung sangat penting untuk melengkapi nilai gizinya. Oleh

karena itu kandungan protein tepung diharapkan setinggi mungkin.

Akan tetapi kadar protein juga tidak boleh terlalu tinggi karena

protein dapat membentuk lapisan yang melingkupi pati sehingga

membutuhkan lebih banyak energi untuk gelatinisasi pati.

(BeMiller dan Whistler, 1996 dalam Fennema, 1996). Hal ini akan

berdampak pada peningkatan suhu gelatinisasi dan mempengaruhi

proses pembuatan mie basah jagung yang sangat bergantung pada

proses gelatinisasi pati.

51

Page 68: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.

Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut

Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi

5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang

dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai

kadar protein yang cenderung sama (Lampiran 5A.5).

4) Kadar Lemak

Analisa kadar lemak yang dilakukan menggunakan metode

ekstraksi soxhlet. Kadar lemak yang dianalisa merupakan kadar

lemak kasar karena tidak hanya lemak yang terhidrolisa tetapi juga

lilin, fosfolipid, sterol, hormon, minyak atsiri dan pigmen.

Menurut BeMiller dan Whistler (1996) dalam Fennema

(1996), kadar lemak yang tinggi dapat menganggu proses

gelatinisasi, sebab lemak mampu membuat kompleks dengan

amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari granula pati.

Lemak dapat menganggu proses gelatinisasi dengan cara sebagian

besar lemak akan diserap oleh permukaan granula sehingga

terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik di sekeliling

granula. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air

oleh granula. Hal ini akan menyebabkan kekentalan dan kelekatan

pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya

pengembangan granula dan menyebabkan terjadi peningkatan suhu

gelatinisasi. Dengan mengetahui kadar lemak pada tepung maka

akan memudahkan dalam penentuan tujuan dan pembuatan produk,

khususnya mie basah jagung yang proses pembuatannya sangat

tergantung pada proses gelatinisasi pati.

52

Page 69: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Gambar 14. Kadar lemak lima varietas tepung jagung

Dari hasil analisa pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa kadar

lemak kelima varietas tepung jagung cukup rendah yaitu berkisar

antara 1.62 - 1.85 % (bk). Varietas jagung Lamuru memiliki kadar

lemak paling rendah dibandingkan varietas jagung lainnya.

Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.

Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut

Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi

5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak yang

dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai

kadar lemak yang cenderung sama (Lampiran 5A.4).

5) Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat dihitung dengan metode by difference.

Kadar karbohidrat yang didapatkan dari hasil perhitungan ini

merupakan kadar karbohidrat kasar. Dari hasil analisa diketahui

bahwa kadar karbohidrat kelima varietas tepung jagung berkisar

antara 88.11 - 88.87% (bk). Tepung jagung varietas Lamuru

memiliki kadar karbohidrat paling tinggi yaitu 88.87% (bk). Hasil

analisa karbohidrat dapat dilihat pada Gambar 15.

53

Page 70: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Gambar 15. Kadar karbohidrat lima varietas tepung jagung

Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap

hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate

dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada

taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap

kadar karbohidrat yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas

akan menghasilkan nilai kadar karbohidrat yang cenderung sama

(Lampiran 5A.7).

6) Kadar Pati

Kadar pati merupakan kriteria mutu terpenting tepung baik

sebagai bahan pangan maupun non pangan. Menurut Thomas dan

Atwell (1999) dalam Soh et al., (2006), komposisi pati merupakan

faktor penting yang menetukan tekstur dan karakteristik dari

produk. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar pati kelima

varietas tepung jagung berkisar antara 71.69 - 75.70% (bk). Kadar

pati yang dihasilkan ini cukup tinggi sehingga sangat membantu

dalam proses gelatinisasi saat pembuatan mie basah jagung.

Tepung jagung varietas Bisma memiliki kadar pati paling tinggi

dibandingkan keempat varietas tepung jagung lainnya, yaitu

sebesar 75.50 % (bk). Hasil analisa pati dapat dilihat pada Gambar

16.

54

Page 71: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Gambar 16. Kadar pati lima varietas tepung jagung

Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.

Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut

Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi

5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar pati yang dihasilkan.

Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar pati

yang berbeda (Lampiran 5A.8).

7) Kadar Amilosa

Analisa kadar amilosa yaitu menghitung banyaknya amilosa

yang terdapat dalam granula pati. Amilosa sangat berperan dalam

proses gelatinisasi dan jumlah amilosa yang cukup tinggi dalam

granula pati dapat meningkatkan karakteristik dari pasta pati (Soh

et al., 2006). Pati yang memiliki amilosa yang tinggi yang tinggi

mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena

jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga

membutuhkan energi yang tidak terlalu besar untuk gelatinisasi.

55

Page 72: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Gambar 17. Kadar amilosa lima varietas tepung jagung

Dari Gambar 17. dapat dilihat bahwa kadar amilosa kelima

varietas tepung jagung berkisar antara 23.06 - 27.68% (bk).

Menurut Soh et al. (2006) kandungan amilosa dalam pati dapat

meningkatkan elastisitas dan kekuatan tarik dari pasta pati dan

meningkatkan daya serap air (WAC), menurunkan tingkat

kelarutan dan swelling volume tepung. Dalam pembuatan pasta

pati, tepung diharapkan memiliki kadar amilosa minimum sebesar

25% untuk menghasilkan mie dengan karakteristik fisik yang baik

(Galvez et al., 1994 dalam Collado dan Corke, 1998).

Selanjutnya dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil

analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan

uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf

signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar amilosa

yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan

kadar amilosa yang berbeda (Lampiran 5A.9).

8) Kadar Amilopektin

Kadar amilopektin didaptkan dari selisih kadar pati dan

amilosa. Dari Gambar 18 dapat diketahui bahwa kadar amilopektin

kelima varietas tepung jagung berkisar antara 44.10 - 52.64% (bk).

Kadar amilopektin pada tepung yang akan digunakan sebagai

bahan baku pembuatan mie diharapkan memiliki nilai yang

cenderung rendah. Hal ini dikarenakan amilopektin menyebabkan

56

Page 73: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

terjadinya kristalisasi pati sehingga dapat meningkatkan suhu

gelatinisasi (Grant et al., 2000 dalam Soh et al., 2006).

Gambar 18. Kadar amilopektin lima varietas tepung jagung

Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.

Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut

Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi

5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar amilopektin

yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan

nilai kadar amilopektin yang sama (Lampiran 5A.10).

2. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung

Analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat

amilografi, water absorption capacity (WAC), kelarutan dan swelling

volume.

a. Sifat Amilografi

Sifat gelatinisasi tepung diperoleh dengan analisa menggunakan

Visco Amylograph Brabender. Prinsip kerjanya yaitu menaikkan suhu

suspensi tepung 1.5°C tiap menit dan mencatat perubahan viskositas

yang terjadi pada suspensi tepung tersebut. Sifat amilografi yang

penting untuk diamati adalah suhu gelatinisasi awal, viskositas

maksimum, breakdown viscosity, setback viscosity dan viskositas

akhir. Suhu gelatinisasi awal adalah suhu dimana viskositas mulai

57

Page 74: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

naik. Nilainya didapat dengan cara mengalikan kecepatan suhu

(1.5°C/menit) dengan waktu gelatinisasi (menit) ditambah dengan

suhu awal proses pemanasan (30°C).

Pemanasan yang diberikan secara terus menerus menyebabkan

peningkatan viskositas suspensi. Hal ini ditunjukkan dengan kurva

yang menaik. Peningkatan viskositas terjadi karena granula pati

mengembang akibat menyerap air (pasting). Pemanasan terus

berlanjut sampai pada suhu 95° dan pada suatu titik tertentu akan

terjadi penurunan viskositas secara drastis yang disebabkan oleh

lepasnya molekul amilosa dari pati. Fenomena ini disebut shear

thinning (Hoseney, 1998).

Viskositas maksimum adalah viskositas tertinggi dimana granula

sudah mulai pecah. Break down viscosity adalah selisih antara

viskositas balik dan viskositas maksimum. Setback viscocity adalah

selisih antara viskositas akhir dengan viskositas balik dimana telah

terjadi retrogradasi. Suhu gelatinisasi akhir adalah suhu dimana

viskositas mencapai titik tertinggi. Suhu gelatinisasi akhir berguna

untuk melihat viskositas akhir (viskositas tertinggi).

Tabel 12. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung

Sifat Amilografi Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna

Suhu Awal Gelatinisasi (°C) 73.5 72.0 72.0 73.5 73.5

Viskositas Maksimum (BU) 462.5 222.5 285.0 250.0 200.0

Viskositas Akhir (BU) 580.0 350.0 422.5 340.0 280.0

Breakdown Viscocity (BU) 92.5 5.0 25.0 15.0 20.0

Setback Viscocity (BU) 47.5 97.5 102.5 65.0 45.0

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa kelima varietas tepung jagung

memiliki suhu gelatinisasi awal sebesar 72 - 73.5°C. Ini berarti pada

range suhu inilah tepung jagung akan mulai tergelatinisasi dan

terbentuk adonan yang elastis dan kohesif yang dapat dicetak menjadi

untaian mie ketika keluar dari die ekstruder. Jika digunakan suhu

58

Page 75: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

dibawah suhu awal gelatinisasi maka akan terbentuk adonan yang

kurang elastis dan menghasilkan untaian mie yang permukaan

teksturnya kasar dan mudah patah ketika melalui pencetakan pada

ekstruder karena belum mengalami gelatinisasi (Hatorangan, 2007).

F E

DCB

A

Keterangan :

A : Suhu awal gelatinisasi D : Viskositas setelah holding suhu 95°C

B : Viskositas maksimum E : Viskositas saat suhu 50°C

C : Viskositas saat holding suhu 95°C F : Viskositas setelah suhu 50°C (V.akhir)

Gambar 19. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung

Viskositas maksimum lima tepung jagung berkisar antara 200.0 -

462.5 BU dan Viskositas akhir berkisar antara 280.0 – 580.0 BU.

Viskositas maksimum terjadi pada saat range suhu 80 – 90°C (dilihat

dari Gambar 19). Hal ini berarti saat suhu adonan berkisar antara 80 –

90°C terjadi proses peleburan granula pati, amilosa keluar, sehingga

terbentuk matriks yang seragam yang dapat meningkatkan kekuatan

ikatan antar granula. Viskositas akhir berarti viskositas pati saat

proses gelatinisasi sudah sempurna.

Breakdown viscosity lima varietas jagung berkisar antara 5.0 -

92.5 BU dan setback viscosity sebesar 45.0 - 102.5 BU. Breakdown

59

Page 76: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

viscosity menggambarkan tingkat kestabilan pasta pati terhadap proses

pemanasan dan setback viscosity menggambarkan tingkat

kecenderungan proses retrogradasi pasta pati. Semakin besar nilai

breakdown viscosity dan setback viscosity maka pasta pati tersebut

akan semakin stabil terhadap pemanasan dan semakin tinggi tingkat

kecenderungan mengalami retrogradasi. Retrogradasi yang terlalu

tinggi tidak diharapkan karena menyebabkan produk yang dihasilkan

cepat mengalami kekerasan dan kering.

b. Water Absorption Capasity (WAC)

Water absorption capacity digunakan untuk mengukur besanya

kemampuan tepung untuk menyerap air. Kemampuan ini sangat

dipengaruhi oleh komposisi granula. Struktur granula pada masing-

masing tepung juga sangat menentukan nilai yang terukur. Hasil

analisa WAC dapat dilihat pada Gambar 20.

WAC dari tepung perlu diperhatikan sebab banyaknya air yang

ditambahkan pada tepung akan mempengaruhi sifat-sifat fisik dari

tepung. Menurut Kulp (1975), air yang terserap dalam molekul

disebabkan oleh granula secara fisik maupun terikat secara

intramolekular.

Gambar 20. Water absorption capacity lima varietas tepung jagung

60

Page 77: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa WAC berkisar antara

1.34-1.69 g/g (bk). Varietas Bisma memiliki nilai WAC paling tinggi

yaitu 1.69 g/g (bk) dan varietas Srikandi Kuning memiliki nilai WAC

paling rendah yaitu 1.34 g/g (bk). Hal ini disebabkan lebih tingginya

kandungan amilosa pada varietas Bisma dibandingkan Srikandi

Kuning. Menurut Soh, et al. (2006), kandungan amilosa yang tinggi

dapat membantu penyerapan air pada granula.

Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.

Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut

Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi

5% varietas berpengaruh nyata terhadap nilai WAC yang dihasilkan.

Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai WAC yang

berbeda (Lampiran 5A.11).

c. Kelarutan dan Swelling Volume

Kelarutan merupakan bobot tepung yang terlarut dan dapat diukur

dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah larutan

supernatan. Swelling volume merupakan kenaikan volume tepung

selama mengalami pengembangan di dalam air.

Setiap jenis tepung memiliki pola karakteristik kelarutan dan

swelling volume yang berbeda. Menurut Leach (1965) di dalam

Wurzburg (1965), sifat pengembangan sangat bergantung pada

kekuatan dan sifat alami antar molekul dalam granula, yang juga

sangat bergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat dalam

granula. Berbagai faktor yang menentukan daya ikat tersebut adalah

(1) perbandingan amilosa dengan amilopektin, (2) bobot molekul dari

fraksi-fraksi tersebut, (3) distribusi bobot molekul, (4) derajat

percabangan, dan (5) panjang dari cabang molekula amilopektin

terluar yang dapat berperan dalam kumpulan ikatan.

Komponen non-karbohidrat yang secara alami terdapat dalam

pati juga mempengaruhi daya ikat. Keberadaan zat lain dalam pati

juga mempengaruhi swelling volume. Tingginya kandungan lemak

61

Page 78: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

dalam tepung dapat menurunkan nilai swelling volume. Menurut

Moorthy (1985) dalam Balagopalan et al (1988) perbedaan varietas,

faktor lingkungan dan usia tanaman itu sendiri juga dapat

mempengaruhi swelling volume dan kelarutan dari tepung jagung.

Gambar 21. Kelarutan lima varietas tepung jagung

Gambar 22. Swelling volume lima varietas tepung jagung

Suhu juga merupakan salah satu faktor yang turut menetukan

besarnya nilai kelarutan. Semakin tinggi suhu maka kelarutan akan

semakin meningkat. Analisa kelarutan dilakukan pada suhu 90°C dan

swelling volume pada suhu 92.5°C. Dari hasil analisa pada Gambar

21 dan Gambar 22 dapat dilihat bahwa nilai kelarutan kelima varietas

tepung jagung berkisar antara 5.00 - 7.92 % dan swelling volume

sebesar 7.53 - 9.30 ml/g (bk).

62

Page 79: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Nilai kelarutan dan swelling volume paling tinggi dimiliki oleh

tepung jagung varietas Srikandi Kuning dan paling rendah dimiliki

oleh tepung jagung varietas Bisma. Nilai kelarutan dan swelling

volume juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa didalam bahan

pangan. Semakin tinggi kandungan amilosa menyebabkan rendahnya

tingkat swelling dan kelarutan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh

molekul-molekulnya yang linear sehingga memperkuat jaringan

internalnya (Leach, 1965 dalam Wurzburg, 1965).

Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil

analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji

lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf

signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kelarutan

(Lampiran 5A.13) dan tidak berpengaruh nyata tehadap swelling

volume (Lampiran 5A.12) yang dihasilkan. Artinya, perbedaan

varietas akan menghasilkan nilai kelarutan yang berbeda dan swelling

volume yang cenderung sama.

C. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini secara umum terdiri atas beberapa tahap,

yaitu pembuatan tepung jagung, analisis karakterisasi tepung jagung,

pembuatan mie basah jagung, dan justifikasi pembuatan mie basah jagung.

1. Pembuatan Mie Basah Jagung

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan mie basah jagung

menggunakan ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle

modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China.

Spesifikasi dari ekstruder pencetak ini dapat dilihat pada Tabel 13.

63

Page 80: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Tabel 13. Spesifikasi ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional Noodle Modality Machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China.

Model MS9 Production capacity 9 kg/h Rating input Power 1.5 Kw Power 1.1 Kw Dimension 600x330x430 mm Net Weight 60 kg Voltage 220 V Frequensi 50 Hz Series no VA 5000 Date 2005

Gambar 23. Ekstruder pencetak mie Model MS9 Pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi

sudah pernah dilakukan sebelumnya, seperti pada penelitian Subarna et al.

(1999) melakukan teknik pembuatatn mie jagung dengan ekstrusi piston

atau ram dan teknik pembuatan mie dengan sistem ektrusi ulir oleh

Waniska et al. (2000). Menurut Waniska et al. (2000) keuntungan dari

proses pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi ini

adalah proses lebih sederhana, tidak perlu tahapan sheeting dan slitting,

pengulian, dan pembentukan lembaran sehingga waktu proses yang

dibutuhkan lebih singkat.  Hal ini dikarenakan pembuatan mie basah

jagung menggunakan teknik calendaring memerlukan waktu pengolahan

yang cukup lama, karena tahapan prosesnya panjang yaitu pencampuran

bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran,

pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran

mie dg minyak (Budiyah,2004).

64

Page 81: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Proses pembuatan mie basah jagung ini terdiri atas beberapa

tahap, yaitu penimbangan bahan, pengadukan, pembuatan lembaran,

pengukusan pertama, pencetakan adonan menggunakan ekstruder, dan

pengukusan kedua. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pembuatan

mie basah jagung basis 100 gram tepung jagung. Tahap penimbangan

bahan dilakukan penimbangan 100 gram tepung jagung, 2% garam dapur

basis tepung jagung (2 gram) dan air sampai kadar air adonan 70% basis

tepung jagung. Penambahan air sampai kadar air adonan 70% basis

tepung jagung ini didapatkan dari hasil optimasi pembuatan mie basah

jagung yang dilakukan oleh Pratama (2008). Garam dilarutkan ke dalam

air dan dicampur sedikit demi sedikit ke dalam tepung. Hal ini dilakukan

agar distribusi larutan merata ke dalam adonan dan mencegah

terbentuknya gumpalan-gumpalan tepung yang akan menyebabkan tidak

meratanya proses gelatinisasi pati nantinya. Selanjutnya adonan dibentuk

lembaran menggunakan plastik jenis HDPE dengan ketebalan ± 0.5 cm

menggunakan roll pengepres. (a) (b)

Gambar 24. (a) tepung jagung sebelum ditambahkan larutan garam, dan (b) lembaran adonan sebelum dikukus

Kemudian dilakukan proses pengukusan terhadap adonan.

Kukusan yang digunakan merupakan kukusan rumah tangga karena

penelitian yang dilakukan masih skala laboratorium. Pengukusan

dilakukan pada suhu uap air 90 – 100°C. Proses pengukusan adonan

bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi. Pati tergelatinisasi

berfungsi sebagai bahan pengikat dalam proses pembentukan untaian mie.

Hal ini dikarenakan tepung jagung tidak memiliki protein gluten seperti

65

Page 82: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

halnya tepung terigu. Tepung jagung memiliki protein zein dan glutelin

(zeanin) yang tidak bisa membentuk massa yang lunak, elastis dan kohesif

jika diadon dengan air. Hal berbeda terjadi saat tepung terigu yang

memiliki protein gluten saat diadon dengan air, maka akan membentuk

massa yang lunak, elastis dan kohesif namun tidak lengket dan mudah

dicetak ke dalam bentuk lembaran.

Pengukusan pertama (pengukusan adonan) bertujuan agar tepung

mengalami gelatinisasi sebagian. Jika gelatinisasi pati sempurna maka

adonan akan lengket dan sulit dicetak. Pada proses ini diharapkan adonan

berada dalam kisaran suhu gelatinisasinya. Jika adonan berada dibawah

kisaran suhu gelatinisasinya, mutu untaian mie kurang bagus, sehingga

untaian mie mudah putus. Menurut Pratama (2008) pengukusan selama 15

menit sudah cukup untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif

dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam

bentuk untaian mie.

Adonan yang telah mengalami gelatinisasi sebagian ini kemudian

lansung dimasukkan ke dalam ekstruder untuk dicetak menjadi untaian

mie. Pembentukan untaian mie harus dilakukan selagi panas karena

proses gelatinisasi sebagian (tidak mencapai suhu puncak gelatinisasi)

pada adonan menyebabkan pengembangan granula pati bersifat reversible

(bolak-balik) sehingga pati yang sebelumnya telah tergelatinisasi

mengalami rekristalisasi. Fenomena ini disebut retrogradasi.

Kemudian lansung dilakukan proses pengukusan kedua pada

untaian mie yang dihasilkan. Hal ini mencegah terjadinya retrogradasi

yang menyebabkan untaian mie menjadi keras dan kering. Pengukusan

kedua ini juga dilakukan selama 15 menit. Pada pengukusan kedua ini

terjadi proses gelatinisasi secara sempurna. Menurut Harper (1981), pada

proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur

granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan

menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati.

Ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Granula

hanya mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks

66

Page 83: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

amilopektin yang membentuk gel. Setelah dingin, amilosa akan

membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula

meningkat. Menurut Kim et al. (1996) kandungan amilosa yang cukup

tinggi merupakan salah satu hal yang diharapkan dalam pembuatan mie

non terigu karena dapat memiliki daya ikat antar granula yang lebih kuat.

(a) (b) (c)

Gambar 25. (a) adonan dalam ekstruder dengan pemberian tekanan secara manual (normal)

(b) untaian mie keluar dari ekstruder, dan (c) mie basah jagung matang (setelah pengukusan kedua).

Hasil dari pengukusan kedua berupa untaian mie basah jagung

yang siap untuk dianalisis. Proses pembuatan mie basah jagung ini

memerlukan dua kali tahap pengukusan. Hal ini didukung oleh penelitian

Subarna et al. (1999) dan Waniska et al. (2000) yang menyatakan bahwa

dalam pembuatan mie basah jagung diperlukan tahap pemasakan.

Ditegaskan juga oleh Pagani (1985), untuk membuat produk

pasta dari bahan non konvensional seperti dari tepung jagung atau dari

campuran tepung terigu dan tepung non terigu diperlukan beberapa

bentuk penyesuaian, antara lain dapat dilakukan dengan:

1. Meningkatkan sifat fungsional komponen selain protein dan tepung

pensubstitusi, dalam hal ini pati dari tepung yang bersangkutan.

2. Menambahkan protein dari sumber lain yang dapat membentuk gluten;

dan

3. Menambahkan zat tambahan yang dapat bereaksi dengan pati dan dapat

mencegah pembengkakan pati tersebut selama pemasakan, misalnya

67

Page 84: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

dengan menggunakan mono- dan digliserida dari asam-asam lemak yang

membentuk kompleks dengan amilosa dan mencegah keluarnya pati dari

produk ke dalam air yang digunakan untuk memasak.

Pembuatan produk pasta dari tepung campuran diperlukan

penyesuaian terhadap proses pengolahannya, seperti meningkatkan

temperatur adonan (Ruiter, 1978). Penyesuaian tersebut bisa dilakukan

dengan menambahkan air yang suhunya tinggi untuk melakukan

pregelatinisasi terhadap tepung atau dengan menambahkan pati yang telah

terpregelatinisasi. Untuk bahan baku yang mengandung sedikit protein

seperti jagung, atau yang sama sekali tidak mengandung protein,

pembuatan produk pasta harus dilakukan dengan merangsang

pembentukan struktur yang khusus dari patinya. Hal ini dapat dilakukan

dengan perlakuan pemanasan pada suhu tinggi terhadap adonan yang

dimaksudkan untuk menggelatinisasi pati yang terkandung di dalam

tepung.

Analisis mie basah jagung dilakukan pada dua parameter mutu

penting mie basah yaitu persen elongasi dan KPAP (Kehilangan Padatan

Akibat Pemasakan). Sebenarnya pengukuran karakteristik mie basah

belum memiliki standar yang digunakan secara universal karena produk

mie yang tersebar luas dan punya ciri khas yang berbeda-beda tiap negara

(Kruger, 1996). Namun, analisis yang dilakukan ini didukung oleh Hou

dan Krouk (1998) yang menyatakan bahwa karakteristik fisik yang

terpenting dari mie basah adalah elongasi dan KPAP. Mie basah jagung

yang dinyatakan sebagai mie basah jagung yang bermutu baik memiliki

persen elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah.

Analisa persen elongasi pada penelitian pendahuluan ini

menggunakan Texture Analyzer TATX-2. Hasil analisa persen elongasi

dan KPAP kelima varietas mie basah jagung dapat dilihat pada Tabel 14.

68

Page 85: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Tabel 14. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP lima varietas mie basah jagung

No. Varietas Jagung Rata-rata % Elongasi ± SD Rata-rata KPAP ± SD (%)

1 Srikandi Kuning 83.46 ± 5.86 7.88 ± 1.64

2 Bisma 88.82 ± 5.12 6.28 ± 0.35 3 Sukmaraga 111.17 ± 7.98 2.89 ± 1.76 4 Lamuru 105.32 ± 22.57 5.69 ± 0.71 5 Arjuna 104.85 ± 8.70 4.61 ± 0.14

Berdasarkan data tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai standar

deviasi untuk kedua parameter mutu cukup tinggi. Variasi ini

diperkirakan terjadi akibat basis bahan baku yang digunakan terlalu

sedikit (100 g) dan adanya parameter proses yang tidak terkontrol, yaitu

tekanan. Oleh sebab itulah dilakukannya justifikasi proses pembuatan mie

basah jagung dengan menggunakan bahan baku yang lebih banyak dan

memberikan tekanan secara manual.

2. Justifikasi Pembuatan Mie Basah Jagung

Justifikasi proses pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan

menaikkan basis bahan baku menjadi dua kali lipat lebih banyak dari

penelitian pendahuluan, yaitu 200 gram tepung jagung, 2% garam dapur

(4 gram) dan jumlah air yang ditambah hingga kadar air tepung mencapai

70%. Selain itu juga dilakukan pemberian tekanan secara manual

menggunakan sebuah balok kayu selama adonan berada dalam ekstruder.

Pengukuran besarnya tekanan yang diberikan sulit dilakukan, sehingga

yang diukur adalah waktu (laju) pengisian (fiiling rate).

Filling rate diukur dengan cara menghitung waktu keluar mie

yang pertama dari die hingga adonan tepung habis di dalam ekstruder.

Perlakuan tekanan dilakukan pada tepung jagung varietas NT10. Hasil

pengukuran filling rate dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil filling rate

Ulangan Dengan Tekanan Tanpa Tekanan (Normal) 1 2 menit 30 detik 2 menit 50 detik 2 2 menit 35 detik 2 menit 53 detik 3 2 menit 35 detik 2 menit 52 detik

Rata-Rata 2 menit 33 detik 2 menit 51 detik

69

Page 86: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Berdasarkan Tabel 15. dapat kita ketahui bahwa pemberian

tekanan secara manual dapat mempersingkat waktu filling rate. Kecepatan

berbanding terbalik dengan waktu. Semakin cepat mie keluar dari die

maka semakin singkat waktu filling rate yang dihasilkan. Hal ini

didukung oleh penelitian Fahmi (2007) yang menyatakan bahwa kualitas

mie basah jagung dengan teknologi ekstrusi yang paling baik adalah mie

yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm dibandingkan dengan

kecepatan ulir 110 dan 120 rpm. Mie basah jagung yang dihasilkan

dengan kecepatan ulir 130 rpm memiliki persen elongasi yang tinggi dan

KPAP yang rendah.

Nilai persen elongasi pada justifikasi dan penelitian selanjutnya

tidak menggunakan Texture Analyzer TATX-2 tetapi menggunakan

Rheoner. Hal ini dikarenakan Texture Analyzer yang ada tidak bisa

digunakan. Akan tetapi, agar hasil yang didapatkan tidak rancu, dilakukan

beberapa kali analisis sampel yang sama dengan penelitian pendahuluan

menggunakan Rheoner. Dari hasil yang didapatkan dilakukan uji t-test

menggunakan data analysis pada Microsoft Excel. Dari hasil uji ini

didapatkan hasil bahwa nilai persen elongasi hasil TATX-2 tidak berbeda

nyata dengan nilai persen elongasi menggunakan Rheoner pada taraf

signifikansi 5% (Lampiran 6A). Sehingga pergantian alat analisis tidak

berpengaruh nyata pada hasil analisis yang didapatkan.

Hasil analisa persen elongasi dan KPAP dapat dilihat pada

Gambar 26.

Gambar 26. Persen elongasi dan KPAP justifikasi mie basah jagung

70

Page 87: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Dari Gambar 25. dapat kita ketahui bahwa mie basah jagung yang

dihasilkan dengan perlakuan tekanan memberikan nilai persen elongasi

yang lebih tinggi dan KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie basah

jagung tanpa perlakuan tekanan.

Kemudian dilakukan juga uji pengaruh tekanan terhadap hasil

analisa KPAP dan persen elongasi. Uji yang dilakukan menggunakan data

analysis dengan Microsoft Excel. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa

pada taraf signifikansi 5% tekanan berpengaruh nyata terhadap kelarutan

nilai KPAP dan persen elongasi yang dihasilkan. Artinya, perbedaan

tekanan akan menghasilkan KPAP dan persen elongasi yang berbeda

(Lampiran 6B).

Justifikasi dilanjutkan dengan melakukan analisa mikrostruktur

menggunakan SEM (Scanning Elektron Microscope). Analisa

mikrostruktur ini berguna untuk melihat kekuatan ikatan antar granula

dan keseragaman matriks amilosa setelah terjadinya proses gelatinisasi

pati secara sempurna. Analisa ini dilakukan pada sampel mie basah

jagung salah satu varietas terpilih dengan dan tanpa tekanan. Sebelum

dilakukan analisis menggunakan SEM sampel didehidrasi terlebih dahulu.

Hal ini mencegah kerusakan alat SEM yang disebabkan oleh uap air yang

dihasilkan sampel saat dianalisis dengan tekanan tinggi. Proses dehidrasi

yang dipilih adalah proses dehidrasi yang tidak merusak struktur dari

sampel, salah satu metode yang disarankan adalah metode freeze drying

(Kalab, 1983 dalam Peleg dan Bagley, 1983).

Proses freeze drying dilakukan di Laboratorium Bioteknologi

Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB.

Sampel mie basah dimasukkan ke dalam tabung khusus freeze drying.

Kemudian atur suhu (-76) oC. Mesin freeze dry di running dan alat vakum

dinyalakan. Sampel di freeze dry ± 15 jam agar sampel mencapai kadar

air maksimum 5%. Sampel yang sudah di freeze dry kemudian di simpan

dalam cawan petri yang dimasukkan ke dalam desikator. Hal ini berfungsi

untuk menjaga sampel dari kontaminasi. Menurut Noor (2001),

71

Page 88: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

kontaminasi yang terjadi pada sampel dapat mengganggu hasil analisa,

karena analisa SEM merupakan pengamatan permukaan sampel, jadi

sampel benar-benar harus dipersiapkan sebersih mungkin.

Kemudian sampel yang sudah kering di potong ± 1-3 mm. Sampel

di letakkan di atas di atas stap yang sudah ditempeli dengan carbon

double tape. Carbon double tape berfungsi untuk merekatkan sampel

pada stap dan memudahkan alat membedakan pantulan sampel dan

karbon saat stap ditembak elektron. Kemudian sampel dicoating dengan

emas menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat.

Selain berfungsi agar sampel memiliki sifat konduktif terhadap elektrik

(bagus mengantarkan elektron, karena sampel biologis tidak bagus dalam

mengantarkan elektron), coating juga berguna untuk mengurangi sampel

menerima elektrostatik dan meningkatkan jumlah secondary electron

(Noor, 2001). Hal yang terpenting dalam coating adalah membuat coating

setipis mungkin. Coating juga bisa menggunakan platinum dan karbon.

Coating dilakukan selama 4 menit. Menurut Noor (2001) dengan waktu 4

menit didapatkan ketebalan coating sebesar 300 °A.

Setelah sampel dicoating, sampel diletakkan di dalam kolom

tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Analisa SEM dilakukan

pada dua perbesaran, yaitu X2000 dan X3500. Hal ini dilakukan untuk

melihat topografi pada permukaan mie basah jagung (X2000) dan melihat

struktur granula pati setelah gelatinisasi (X3500). Hasil analisa

menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 27.

Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification

(perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang

garis yang terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang

garis yang terdapat pada gambar, yaitu 10µm dan 5µm). Nilai 20kV

merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM.

72

Page 89: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

(a) (b)

(b) (d)

20 kV X3500 20 kV X2000

DS

PDS

DS

SS

20 kV X2000 20 kV X3500

20 kV X2000 20 kV X3500

DS

(e) (f) Keterangan : (a) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual 20kV X11000 (X2000) (b) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual 20kV X9000 (X3500) (c) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual 20kV X11000

(X2000) (d) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual 20kV X9000 (X3500) (e) Mie basah jagung terigu 20kV X11000 (X2000) (f) Mie basah jagung terigu 20kV X9000 (X3500)

Gambar 27. (a) dan (b) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan manual

(c) dan (d) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan manual (e) dan (f) Mie basah terigu SS = swollen starch (pati yang mengembang); PDS = partially disintegrated starch (bagian-bagian pati yang meleleh) ; DS= disintegrated starch (pati yang meleleh).

73

Page 90: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Dari Gambar 27 dapat dilihat bahwa (a) dan (b) mie basah jagung

tanpa pemberian tekanan secara manual menghasilkan gambar

mikrostruktur yang tidak beraturan. Tidak terlihat jelas ikatan amilosa

yang terbentuk akibat melelehnya pati (Gambar 27a.). Pada Gambar 27b.

terlihat jelas bahwa antar granula amilosa yang keluar tidak membentuk

matriks yang kompak dan masih banyak pati yang belum mengalami

gelatinisasi sempurna, dimana PDS (bagian-bagian pati yang meleleh)

tidak membentuk matriks yang kompak.

Menurut Astawan (2005) proses gelatinisasi dapat menyebabkan

pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang akan memberikan

kelembutan pada pati dan pengaruhi elastisitas mie. Hal ini akan

berpengaruh pada nilai persen elongasi dan KPAP. Nilai persen elongasi

akan menjadi lebih rendah karena tidak kuatnya amilosa yang keluar

dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi, sehingga saat dilakukan

penarikan terhadap untaian mie, mie cenderung mudah putus. Nilai KPAP

akan cenderung lebih besar karena ikatan amilosa yang tidak kuat dan

kurang kompak akan cenderung mudah lepas saat dilakukan pemasakan.

Berbeda halnya dengan Gambar 27 c dan d. Pada gambar tersebut

terlihat jelas ikatan yang terbentuk akibat keluarnya amilosa saat pati

meleleh saat proses gelatinisasi terjadi. Matriks yang terbentuk cukup

kompak dan ikatannya cukup kuat. Pati yang meleleh (DS) membentuk

matriks yang cukup kompak. Hal ini akan berpengaruh pada nilai persen

elongasi dan KPAP. Nilai persen elongasi akan menjadi lebih tinggi

karena amilosa yang keluar cukup sempurna dalam mengikat pati yang

tidak tergelatinisasi sehingga saat dilakukan penarikan terhadap untaian

mie, mie tidak mudah putus. Nilai KPAP akan cenderung lebih rendah

karena ikatan amilosa yang cukup kuat dan matriks yang seragam

menyebabkan tidak begitu banyak partikel-partikel pati yang lepas saat

dilakukan pemasakan.

Hasil SEM pada Gambar 27 e dan f (mie terigu) memperlihatkan

hasil yang cenderung sama dengan Gambar 27 c dan d (mie basah jagung

dengan pemberian tekanan secara manual). Analisa SEM menggunakan

74

Page 91: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

sampel mie basah terigu memperlihatkan bentuk matriks yang kuat dan

kompak. Hal inilah yang membuat mie basah terigu memiliki nilai persen

elongasi tinggi dan nilai KPAP yang rendah.

Menurut Stanley (1987) pemberian tekanan saat membuat produk

ekstruder sangat diperlukan karena sifat penyerapan air saat proses

gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh tekanan. Tekanan menyebabkan

tekstur produk lebih porous, sehingga saat proses gelatinisasi dapat

menyerap air lebih banyak. Banyak sedikitnya air yang terserap saat

proses gelatinisasi akan mempengaruhi sempurna atau tidaknya proses

gelatinisasi. Jika air yang terserap sedikit, maka yang terjadi hanya proses

gelatinisasi sebagian (Muchtadi et al., 1987).

Hal ini mendukung data hasil karakterisasi parameter mutu inti

mie basah jagung yang dilakukan pada tahap awal justifikasi, dimana nilai

persen elongasi mie basah jagung tanpa tekanan lebih rendah dibandingan

mie basah jagung dengan tekanan, yaitu sebesar 108.46% dan 126.29%

serta nilai KPAP mie basah jagung tanpa tekanan lebih tinggi dibandingan

mie basah jagung dengan tekanan, yaitu sebesar 7.15% dan 5.56%.

Oleh karena tekanan sangat berpengaruh terhadap kualitas mie

basah jagung yang dihasilkan, maka pada penelitian utama akan

dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara

manual.

D. Pembuatan Mie Basah Jagung Berdasarkan Hasil Justifikasi dan

Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Penambahan Guar Gum

Pada penelitian utama ini dilakukan pembuatan mie basah jagung

dengan menerapkan hasil justifikasi yang telah dilakukan. Pembuatan mie

basah jagung dilakukan pada kelima varietas tepung jagung dengan

pemberian tekanan secara manual saat adonan berada dalam ekstruder. Pada

penelitian utama ini selain dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan

pemberian tekanan secara manual pada semua varietas tepung jagung juga

dilakukan penambahan BTP (Bahan Tambahan Pangan) jenis guar gum

untuk memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan.

75

Page 92: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Karakteristik fisik yang perlu diperbaiki adalah KPAP dari mie

basah jagung. Kesimpulan ini dilihat dari hasil analisa karakteristik fisik

pada penelitian pendahuluan bahwa nilai KPAP mie basah jagung cukup

tinggi. Guar gum dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Fadlillah (2005). Fadlillah (2005) menyatakan bahwa diantara guar gum,

carboxyl metil cellulose (CMC), alginat, tawas, dan campuran K2CO3 dan

Na2CO3, penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh

yang paling besar dalam mengurangi cooking loss (KPAP) mie jagung. Oleh

karena itu pada penelitian ini juga digunakan guar gum untuk mengurangi

cooking loss (KPAP).

Karakteristik fisik yang menjadi parameter mutu mie basah jagung

sama dengan parameter mutu mie basah pada penelitian pendahuluan, yaitu

persen elongasi dan KPAP. Hal ini dikarenakan menurut Hou dan Krouk

(1998), persen elongasi dan KPAP merupakan paremeter mutu inti mie

basah. Pada penelitian utama ini ditambahkan analisis tensile strength dan

warna. Analisis yang ditambahkan ini diharapkan dapat menjadi nilai tambah

dari mie basah jagung yang dihasilkan.

1. Persen Elongasi

Persen elongasi merupakan persen pertambahan panjang untaian

mie saat diberikan gaya tarik. Pada penelitian ini dilakukan dua metode

analisa pengukuran persen elongasi, yaitu dengan proses pencelupan

dalam air panas dan proses perendaman. Hal ini dilakukan berdasarkan

aplikasi mie basah, yaitu untuk mie bakso (mie basah dicelup ke dalam air

panas) dan mie ayam (mie basah direbus di dalam air panas). Proses

pencelupan dilakukan sebanyak 3 kali celupan dan proses perebusan

dilakukan sampai mie basah matang. Penentuan mie basah matang atau

tidak dilakukan dengan cara memotong untaian dan dilihat masih ada atau

tidaknya warna putih pada diameter mie. Jika masih ada warna putih pada

diameter mie, berarti mie belum matang karena masih ada pati yang

berwarna putih.

76

Page 93: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

a. Persen elongasi metode celup

Pengukuran persen elongasi metode celup dilakukan berdasarkan

pada aplikasi mie basah sebagai mie bakso. Aplikasi mie bakso, mie

basah dicelup sebanyak 2-3 kali ke dalam air panas. Untuk

keseragaman hasil, dilakukan 3 kali pencelupan mie basah ke dalam

air panas. Hasil analisa persen elongasi metode celup dapat dilihat

pada Gambar 28.

Gambar 28. Persen elongasi metode celup lima varietas tepung jagung

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa dengan penambahan guar

gum sebanyak 1%, menghasilkan persen elongasi yang lebih tinggi

dibandingkan tanpa penambahan guar gum. Hal ini dikarenakan guar

gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan

sehingga ikatan produk menjadi lebih kuat dan saat diberikan gaya

tarik pada untaian mie, mie tidak mudah putus.

Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil

analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji

lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf

signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap persen elongasi

yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai

persen elongasi yang berbeda (Lampiran 5B.1).

Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai persen elongasi

metode celup yang paling tinggi dibandingkan keempat varietas

77

Page 94: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

tepung jagung lainnya. Mie basah varietas Lamuru ini memiliki nilai

persen elongasi paling tinggi baik pada pembuatan mie basah tanpa

penambahan ataupun dengan penambahan guar gum. Nilai persen

elongasi varietas Lamuru tanpa penambahan guar gum sebesar

95.43% dan dengan penambahan guar gum sebesar 106.24%.

b. Persen elongasi metode rebus

Pengukuran persen elongasi metode rebus dilakukan berdasarkan

pada aplikasi mie basah sebagai mie ayam. Aplikasi mie ayam, mie

basah direndam sampai matang di dalam air panas. Perendaman

dilakukan umumnya berkisar antara 3 – 5 menit. Untuk keseragaman

hasil, dilakukan perendaman selama waktu pematangan yang

didapatkan pada analisa KPAP. Waktu pematangan mie adalah waktu

dimana untaian mie saat dipotong tidak memiliki bintik putih lagi.

Hasil pengukuran waktu pematang mie dapat dilihat pada Tabel 15.

Hasil analisa persen elongasi metode rebus dapat dilihat pada Gambar

29.

Gambar 29. Persen elongasi metode rebus lima varietas tepung jagung

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa dengan penambahan guar

gum sebanyak 1%, menghasilkan persen elongasi yang lebih tinggi

dibandingkan tanpa penambahan guar gum. Hal ini dikarenakan guar

gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan

78

Page 95: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

sehingga ikatan produk menjadi lebih kuat dan saat diberikan gaya

tarik pada untaian mie, mie tidak mudah putus.

Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil

analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji

lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf

signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap persen elongasi

yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai

persen elongasi yang berbeda (Lampiran 5B.2).

Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai persen elongasi

metode celup yang paling tinggi dibandingkan keempat varietas

tepung jagung lainnya. Mie basah varietas Lamuru ini memiliki nilai

persen elongasi paling tinggi baik pada pembuatan mie basah tanpa

penambahan ataupun dengan penambahan guar gum. Nilai persen

elongasi varietas Lamuru tanpa penambahan guar gum sebesar

25.09% dan dengan penambahan guar gum sebesar 61.49%.

Secara umum tingginya persen elongasi disebabkan oleh

pemberian tekanan yang lebih besar. Hal ini menyebabkan sifat

kohesif partikel-partikel pati yang bersifat sebagai pengikat saat

tergelatiniasi semakin meningkat. Gelatinisasi pati terjadi saat proses

pengukusan dan proses ini bertindak sebagai matriks pengikat pada

mie jagung menggantikan fungsi protein gluten (gliadin dan glitinin)

yang tidak terdapat pada tepung jagung, sehingga mie basah jagung

bisa dengan mudah dicetak, kohesif dan bersifat elastik(Rianto, 2006;

Soraya, 2005; dan Budiyah, 2004). Menurut Kim et al. (1996), pati

mampu menjaga struktur mie yang elastis karena amilosa yang

terdapat dalam pati mampu berikatan satu sama lain membentuk

matriks yang kuat dan seragam.

2. KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)

Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) atau cooking loss

merupakan lepasnya partikel-partikel pati dari untaian mie yang

dibuktikan dengan keruhnya air bekas masak. KPAP berpengaruh

79

Page 96: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

terhadap kehilangan energi dan kualitas mie setelah mie dimasak.

Tingginya KPAP mengakibatkan kuah mie menjadi keruh dan kental

akibat pati yang terlepas.

Penambahan guar gum sampai dengan konsentrasi tertentu dapat

menurunkan nilai KPAP karena guar gum dapat berfungsi sebagai

pengikat komponen-komponen adonan sehingga ketika mie dimasak

komponen-komponen tersebut tidak lepas. Pengukuran KPAP diawali

dengan pemasakan mie sampai mie matang (tidak memiliki bintik putih

lagi) atau yang sering disebut sebagai waktu pematangan mie. Kemudian

dilakukan pengeringan menggunakan oven pengering suhu 110°C selama

10 jam (Purwani et al., 2006).

Hasil pengukuran waktu pematangan mie dapat dilihat pada

Tabel 16. dan KPAP pada Gambar 30.

Tabel 16. Waktu pemasakan sampai mie cukup matang

Jenis Jagung Waktu

Srikandi Kuning 3 menit 10 detik Bisma 3 menit 39 detik Sukmaraga 3 menit 30 detik Lamuru 3 menit 25 detik Arjuna 3 menit 35 detik

Gambar 30. Persen KPAP lima varietas tepung jagung

Pemberian tekanan dapat meningkatkan kekompakkan antar

partikel dalam untaian mie yang dihasilkan, sehingga dapat menurunkan

80

Page 97: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

nilai KPAP. Hal inilah yang menyebabkan nilai KPAP mie basah jagung

dengan perlakuan tekanan lebih rendah dibandingkan mie basah jagung

tanpa perlakuan tekanan. Penambahan guar gum pada proses pembuatan

mie basah jagung juga dapat menurunkan nilai KPAP mie basah jagung

yang dihasilkan.

Dari Gambar 29 dapat diketahui bahwa dengan penambahan guar

gum, mie basah jagung lima varietas memiliki nilai KPAP yang cukup

kecil, berkisar antara 4.23-4.61%. Nilai ini dianggap kecil karena dari

penelitian sebelumnya, KPAP mie basah jagung >10% (Rianto, 2006).

Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil

analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji

lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi

5% varietas berpengaruh nyata terhadap KPAP yang dihasilkan. Artinya,

perbedaan varietas akan menghasilkan nilai KPAP yang berbeda

(Lampiran 5B.3).

3. Tensile Strength

Tensile strength menunjukkan kekuatan elastisitas suatu bahan.

Nilai tensile strength ditunjukkan dengan tingginya kurva elastisitas yang

dihasilkan kemudian nilainya dikonversi menjadi satuan kilo gram force

(kgf). Semakin tinggi nilai tensile strength mie menunjukkan semakin

tinggi elastisitas mie tersebut. Artinya, diperlukan kekuatan yang cukup

besar untuk membuat untaian mie putus saat dilakukan penarikkan.

Nilai tensile strength menggambarkan kemampuan maksimal mie

untuk menahan gaya tarikan dengan besaran tertentu. Nilai tensile

strength diukur dengan menghitung jumlah kotak yang dilewati oleh chart

saat pengukuran elongasi pada saat chart mencapai puncak tertinggi

sebelum chart turun (puncak chart saat mie putus ketika mie diberikan

gaya). Kemudian jumlah kotak dikalikan dengan kekuatan saat beban 0.2

volt. Kekuatan 1 kotak chart saat 0.2 volt = 4 kgf. Hal ini berarti semakin

tinggi nilai persen elongasi maka semakin tinggi pula nilai tensile strength

yang dihasilkan.

81

Page 98: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Hasil analisa tensile strength metode celup dan rebus dapat

dilihat pada Gambar 31 dan Gambar 32.

Gambar 31. Persen tensile strength metode celup lima varietas tepung

jagung

Gambar 32. Persen tensile strength metode rebus lima varietas tepung

jagung

Dari Gambar 30 dan 31 di atas diketahui bahwa mie basah jagung

pada kedua metode pengukuran persen elongasi dengan penambahan guar

gum memiliki nilai tensile strength yang lebih tinggi dibandingkan nilai

tensile strength tanpa penambahan guar gum. Hal ini sesuai dengan teori

yang menyatakan bahwa guar gum dapat meningkatkan nilai persen

elongasi dan tensile strength (Goldstein et al., 1973). Teori ini didukung

oleh penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2006) yang menyatakan

bahwa penambahan guar gum dapat meningkatkan persen elongasi dan

82

Page 99: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

tensile strength karena guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat

komponen-komponen lain dalam adonan sehingga terbentuk massa yang

lebih kompak. Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai tensile

strength yang paling tinggi baik pada mie basah dengan penambahan guar

gum ataupun tanpa penambahan guar gum.

Semakin besar nilai persen elongasi maka semakin besar tensile

strength yang dihasilkan karena dibutuhkan kekuatan yang cukup besar

untuk menarik untaian mie untuk putus,artinya semakin tinggi nilai persen

elongasi mie. Daya tahan mie akibat gaya tarik yang diberikan (kekuatan

mie saat ditarik) juga akan semakin besar, inilah yang disebut dengan

tensile strength.

Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil

analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji

lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi

5% varietas berpengaruh nyata terhadap tensile strength yang dihasilkan.

Hal ini berarti nilai tensile strength yang berbeda dikarenakan adanya

perbedaan varietas tepung jagung [Lampiran 5B(4 dan 5)].

4. Warna

Analisis warna dan tensile strength berperan sebagai nilai tambah

mie basah jagung yang dihasilkan. Analisis warna yang dilakukan

menggunakan metode Hunter dengan menggunakan alat Chromameter

CR 200 Minolta. Hasil pengukuran yang dihasilkan berupa nilai Y, x dan

y. Nilai ini kemudian dikonversi ke dalam skala Hunter L a b. Untuk

mendapatkan derajat Hunter dilakukan dua kali proses konversi

(Hutching, 1994). Nilai L menyatakan parameter kecerahan (warna

kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Nilai a menggambarkan warna

kromatik merah hijau dan b warna kromatik kuning biru. Hasil analisa

warna mie basah jagung dapat dilihat pada Gambar 32 untuk nilai L dan

Tabel 16 untuk nilai a dan b.

83

Page 100: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Gambar 33. Tingkat kecerahan lima varietas tepung jagung

Dari Gambar 32 dapat diketahui bahwa kelima mie basah jagung

menghasilkan tingkat kecerahan yang berbeda-beda. Mie basah jagung

tanpa penambahan guar gum memiliki tingkat kecerahan yang sedikit

lebih tinggi dibandingkan mie basah jagung dengan penambahan guar

gum. Dengan penambahan guar gum, tingkat kecerahan mie basah

cenderung mengalami penurunan. Akan tetapi penurunan tingkat

kecerahan mie basah jagung yang dihasilkan ini tidak begitu signifikan.

Dilihat dari hasil analisa pada Gambar 32 selisih nilai L antara mie basah

tanpa dan dengan penambahan guar gum tidak begitu besar. Tingkat

kecerahan mie basah tanpa dan dengan penambahan guar gum dimiliki

oleh mie basah jagung varietas Bisma, yaitu sebesar 56.00 dan 55.79.

Hal berbeda terjadi pada mie basah varietas Srikandi kuning dan

Arjuna. Pada kedua varietas ini, mie basah jagung dengan penambahan

guar gum mengalami kenaikan tingkat kecerahan. Akan tetapi kenaikan

yang terjadi ini juga tidak begitu signifikan.

Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil

analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji

lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi

5% varietas berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan yang

dihasilkan. Hal ini berarti nilai tingkat kecerahan yang berbeda

dikarenakan adanya perbedaan varietas tepung jagung (Lampiran 5B.6).

84

Page 101: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Tabel 17. Nilai a dan b lima varietas mie basah jagung Nilai

a b Varietas Tanpa

Guar Gum Dengan

Guar Gum Tanpa

Guar Gum Dengan

Guar Gum Srikandi Kuning -0.20 0.41 26.91 19.22 Bisma 0.32 0.53 29.84 29.54 Sukmaraga -0.47 -0.34 26.96 25.99 Lamuru 0.58 0.56 23.38 26.53 Arjuna -0.04 0.32 25.20 26.69

Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa secara umum mie basah

jagung yang dihasilkan memiliki warna kromatik kuning kemerahan.

Dengan penambahan guar gum, tingkat kuning kemerahan dari warna

kromatik mie basah jagung ada yang mengalami penurunan warna kuning

dan ada yang mengalami peningkatan warna kuning. Warna kuning ini

berasal dari pigmen xantofil yang terdapat pada tepung jagung. Pigmen

xantofil yang paling utama adalah lutein dan zeaxanthin, yaitu mencapai

90% dari total pigmen karotenoid di dalam jagung (Watson, 2003). Warna

kuning pada tepung jagung-lah yang memberikan warna kuning alami

pada produk mie basah jagung ini. Mie jagung yang berwarna kuning

merupakan keunggulan mie jagung dibandingkan mie terigu karena tidak

diperlukan lagi penambahan bahan tambahan pangan (pewarna) untuk

menghasilkan mie matang yang berwarna kuning (Fadlillah, 2005).

Menurut Kidmose et al. (2002) perlakuan panas dapat

menyebabkan kandungan karotenoid dalam bahan pangan menurun,

stabil, bahkan meningkat. Penurunan kecerahan dapat terjadi karena

degradasi pigmen oleh panas sehingga menurunkan jumlah pigmen dalam

bahan. Peningkatan kecerahan terjadi karena pemanasan dapat

menyebabkan kerusakan dinding sel, kehilangan air, dan inaktivasi enzim

sehingga meningkatkan kemapuan ekstraksi pigmen. Waktu pemanasan

yang semakin lama menyebabkan semakin banyak pigmen yang dapat

diekstrak sehingga warna menjadi lebih cerah.

85

Page 102: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

E. Penentuan Varietas Jagung yang Paling Cocok Untuk Dibuat Mie

Basah Jagung

Penentuan varietas jagung yang cocok untuk dibuat mie basah

jagung didapatkan dengan cara memilih varietas jagung yang memiliki

karakteristik terbaik. Karakteristik terbaik dicari berdasarkan standar

karakteristik terbaik mie terigu. Menurut Eastern Pearl Flours Mills (2009),

mie yang baik adalah mie yang tidak mudah putus (elastisitas tinggi). Hal ini

juga didukung oleh Anonim [b] (2009) yang menyatakan bahwa

karakteristik penting dari mie basah terigu adalah mie yang kenyal (tidak

mudah putus) dan tidak mudah lembek bila mie direbus. Mie yang tidak

mudah lembek bila direbus berarti mie memiliki tekstur yang cukup kompak

sehingga untaian mie tidak mudah melepaskan patikel-partikel amilosa saat

proses perebusan. Artinya, KPAP produk mie yang dihasilkan rendah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2006), Rianto

(2006) dan Kurniawati (2006), karakteristik mie basah terigu yang paling

utama adalah persen elongasi dan KPAP. Oleh karena itu dalam penelitian

ini penentuan varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah

jagung berdasarkan pada nilai persen elongasi dan KPAP.

Tabel 18. Karakterisasi sifat fisik mie basah terigu Mie basah terigu

KPAP (%) 10.84 Persen Elongasi (%) 98.40

Sumber : Soraya (2006), Rianto (2006), dan Kurniawati (2006)

Tabel 19. Hasil karakterisasi sifat fisik mie basah jagung

Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna

Tanpa Guar Gum

Dengan Guar Gum

Tanpa Guar Gum

Dengan Guar Gum

Tanpa Guar Gum

Dengan Guar Gum

Tanpa Guar Gum

Dengan Guar Gum

Tanpa Guar Gum

Dengan Guar Gum

KPAP (%) 6.92 4.49 5.06 4.23 6.14 4.61 5.41 4.57 6.66 4.49

Persen Elongasi

(%) 58.70 81.80 80.32 93.88 64.31 103.13 95.43 106.25 72.93 95.41

Dari Tabel 19 dapat dilihat hasil karakterisasi sifat fisik lima

varietas mie basah jagung. Hasil karakterisasi yang di-shading merupakan

hasil karakterisasi terbaik berdasarkan perbandingan nilai persen elongasi

86

Page 103: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

dan KPAP dari kelima varietas mie basah jagung dengan nilai persen

elongasi dan KPAP mie terigu yang tercantum pada Tabel 18. Dari hasil

shading dapat diketahui bahwa varietas Lamuru dan Sukmaraga merupakan

varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung. Varietas

Lamuru dan Sukmaraga yang ditambahkan guar gum saat proses pembuatan

memiliki nilai persen elongasi yang lebih tinggi dan KPAP yang lebih

rendah dibandingkan mie terigu. Nilai persen elongasi tertinggi dimiliki oleh

varietas Lamuru dengan penambahan guar gum, yaitu sebesar 106.25%. Hal

ini berarti varietas Lamuru merupakan varietas jagung yang paling cocok

untuk dibuat mie basah jagung, diikuti oleh varietas Sukmaraga. Tiga

varietas jagung lainnya, Srikandi Kuning, Bisma dan Arjuna belum cocok

dijadikan mie basah jagung karena memiliki nilai persen elongasi yang lebih

rendah dibandingkan mie terigu.

Penambahan guar gum sangat berpengaruh terhadap nilai persen

elongasi dan KPAP mie basah jagung yang dihasilkan. Dengan penambahan

guar gum sebanyak 1% dapat meningkatkan nilai persen elongasi dan

menurunkan persen KPAP mie basah.

Tingginya nilai persen elongasi dan rendahnya KPAP mie basah

jagung varietas Lamuru selain karena pengaruh penambahan guar gum saat

proses pembuatan mie basah jagung, juga disebabkan karena karakteristik

tepung jagung varietas Lamuru itu sendiri. Varietas ini memiliki pH tepung

yang berada dalam range PH optimum pembentukan gel saat terjadinya

proses gelatinisasi yaitu 6.67; memiliki kadar amilosa yang cukup tinggi

(>25%) yaitu 27.68%, karena Menurut Galvez et al. (1994) dalam

pembuatan pasta pati non-konvensional, tepung diharapkan memiliki kadar

amilosa minimum sebesar 25% untuk menghasilkan mie dengan

karakteristik fisik yang baik. Amilosa sangat berperan dalam proses

gelatinisasi pati, karena proses gelatinisasi menyebabkan amilosa keluar dari

granula pati dan amilosa memiliki kemampuan untuk berdisosiasi dengan

sesamanya membentuk matriks yang seragam dengan ikatan antar granula

yang cukup kuat. Kadar amilosa yang cukup tinggi juga menyebabkan

terjadinya peningkatan elastisitas dan kekuatan tarik (tensile strength) dari

87

Page 104: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

pasta pati dan meningkatkan daya serap air (WAC), serta menurunkan

tingkat kelarutan dan swelling volume tepung. Hal ini dikarenakan fraksi

amilosa yang keluar dari granula akan membentuk matriks yang seragam

sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat (Budiyah, 2004). Ikatan

antar granula yang meningkat menyebabkan elastisitas dan tensile strength

meningkat.

Jika dilihat dari suhu awal gelatinisasi, kelima varietas jagung

memiliki suhu awal gelatinisasi yang cukup rendah, sehingga tidak

membutuhkan waktu steaming yang cukup lama agar proses gelatinisasi bisa

berlansung. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi

dibandingkan pati jagung. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi 60

- 80°C dan pati jagung 63 – 72°C. Hal ini dikarenakan tepung jagung

memiliki komposisi lebih lengkap dibandingkan tepung jagung (BeMiller

dan Whistler, 1996). Nilai WAC paling tinggi, kelarutan dan swelling

volume paling rendah dimiliki oleh jagung varietas Sukmaraga.

Berdasarkan analisa tambahan yang dilakukan dapat dilihat bahwa

kelima varietas jagung yang diujikan memiliki warna yang cenderung sama,

yaitu kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan (L) yang hampir sama dna

memiliki warna kuning kemerahan. Nilai tensile strength paling tinggi

dimiliki oleh varietas Lamuru. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai

persen elongasi maka akan semakin tinggi nilai tensile strength yang

dihasilkan.

Berdasarkan pembahasan diatas dapat dinyatakan bahwa varietas

jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung adalah Lamuru,

diikuti oleh varietas Sukmaraga. Varietas Srikandi Kuning kurang cocok

dijadikan mie basah jagung karena memiliki nilai persen elongasi yang

paling rendah dan KPAP yang cukup besar. Padahal kedua parameter

tersebut merupakan parameter mutu inti mie basah. Varietas jagung tersebut

paling cocok dibuat mie basah dengan melakukan penambahan guar gum

sebanyak 1% basis tepung jagung dalam proses pembuatan mie basah

jagung. Penambahan guar gum sebanyak 1% ini untuk menghasilkan nilai

persen elongasi yang lebih tinggi dan nilai KPAP yang lebih rendah.

88

Page 105: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

F. Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Mie Basah Terigu

Mie basah jagung memiliki ciri khas (karakteristik) tersendiri yang

berbeda dengan mie terigu. Akan tetapi, karakteristik yang dimiliki ini mesti

disesuaikan dengan mie basah terigu. Hal ini dilakukan karena kebiasaan

masyarakat yang mengkonsumsi mie basah terigu sebagai makanan sehari-

hari. Untuk itulah dilakukan perbandingan mie basah jagung dengan mie

basah terigu, baik dari segi proses maupun karakteristik fisik yang dianggap

sebagai parameter mutu mie basah (persen elongasi dan KPAP).

Perbedaan utama antara mie basah jagung dengan mie basah terigu

terletak pada proses pembuatan mie. Tepung terigu memiliki protein gluten

(gliadin dan glutenin) yang punya sifat dapat membentuk massa yang

elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni. Gliadin memiliki berat

molekul yang rendah sehingga berguna untuk meningkatkan kekentalan

larutan dan glutenin bertanggung jawab terhadap sifat elastis adonan dnegan

bentuk ikatan thiol-disulfida (Slade, et al., 1989). Kemudian terbentuklah

matriks gluten yang berfungsi sebagi pengikat bagi komponen-komponen

lainnya yang berada di dalam adonan.

Berbeda halnya dengan tepung jagung. Tepung jagung tidak

memiliki protein gluten. Tepung jagung memerlukan proses gelatinisasi

yang berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen lain yang berada

dalam adonan. Oleh karena itu, dalam pembuatan mie basah jagung

diperlukan proses pengukusan agar pati dalam tepung jagung mengalami

proses gelatinisasi. Proses gelatinisasi merupakan proses kritis dalam

pembuatan mie basah jagung. Proses gelatinisasi berkaitan dengan suhu dan

waktu proses, karena suhu dan waktu proses mempengaruhi jumlah pati

yang tergelatinisasi dalam adonan. Suhu adonan diharapkan berada dalam

kisaran suhu gelatinisasinya. Jika suhu adonan berada dibawah kisaran suhu

gelatinisasinya, untaian mie akan memiliki tekstur yang kasar dan mudah

patah. Waktu proses berpengaruh karena lamanya waktu pengukusan

berguna untuk melihat pencapaian tingkat gelatinisasi yang diinginkan dari

89

Page 106: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

adonan. Tingkat gelatinisasi yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi dapat

menyebabkan karakteristik mi basah tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Warna kuning alami yang terdapat pada mie basah jagung

merupakan karakteristik khas yang dapat meningkatkan nilai tambah mie

basah jagung. Selain bukan karena penambahan bahan tambahan pangan,

warna kuning pada mie basah jagung menunjukkan bahwa masih terdapat

kandungan pigmen beta karoten pada mie. Pigmen beta karoten merupakan

senyawa provitamin A yang dapat membantu meningkatkan ketahanan tubuh

(Rianto, 2006).

Varietas mie basah jagung yang dibandingkan dengan mie basah

terigu adalah varietas Lamuru. Hal ini dikarenakan varietas ini memiliki

karakteristik terbaik berdasarkan hasil perbandingan yang terdapat pada

Tabel 19. Khususnya parameter mutu inti mie basah, nilai terbaik dimiliki

oleh varietas ini.

Persen elongasi dan KPAP dijadikan parameter mutu inti mie basah

karena kebiasaan masyarakat mengkonsumsi mie menggunakan sumpit

sehingga diharapkan mie basah tidak mudah putus, dalam arti nilai elongasi

mie basah cukup tinggi dan diharapkan kuah dari hasil perebusan mie tidak

kental akibat banyaknya partikel-partikel pati yang lepas saat dilakukan

pemasakan. Banyaknya partikel pati yang lepas saat pemasakan tidak hanya

membuat kuah mie hasil pemasakan menjadi kental akibat adanya pati, tetapi

juga menyebabkan rapuhnya untaian mie yang mengakibatkan mie basah

mudah putus. Hal ini berarti nilai KPAP mie basah diharapkan serendah

mungkin.

90

Page 107: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Tabel 20. Perbandingan mie basah jagung varietas Lamuru dengan mie basah terigu

Faktor Pembeda Mi Basah jagung Mi basah Terigu

Proses Pembuatan

Pencampuran bahan, Pengukusan 1, Pencetakan mie Pengukusan 2, Perebusan

Pencampuran bahan, Pengulian, Pencetakan mie, Perebusan

Warna Kuning Putih Celup tanpa guar gum 95.43 % 107.35%

Rebus tanpa guar gum 25.09 % 118.47%

Celup dengan guar gum 106.24 % Tidak dilakukan

Nilai Elongasi

Rebus dengan guar gum 61.49 % Tidak dilakukan

Nilai KPAP 5.41% 5.59%

Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa perbedaan proses pembuatan

kedua mie ini adalah mie basah jagung membutuhkan dua kali proses

pengukusan dan satu kali proses perebusan untuk menghasilkan mie basah

jagung matang, sedangkan mie basah terigu hanya membutuhkan proses

perebusan saja untuk menghasilkan mie basah terigu matang. Mie basah

jagung memiliki warna kuning alami yang merupakan nilai plus dari mie

basah jagung karena tidak membutuhkan bahan tambahan pangan seperti

mie basah terigu agar mie basah matang berwarna kuning.

Nilai persen elongasi mie basah jagung dengan metode celup

ataupun dengan metode rebus tanpa penambahan guar gum dan dengan

penambahan guar gum masih lebih rendah dibandingkan mie basah terigu

tanpa penambahan guar gum. Akan tetapi nilai KPAP mie basah jagung

lebih rendah dibandingkan mie basah terigu.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa elongasi dan KPAP merupakan

faktor terpenting dalam menentukan karakteristik mie. Walaupun demikian,

mie basah jagung memiliki nilai KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie

basah terigu. Karakteristik ini tentu berpengaruh terhadap eating quality

produk mi pada saat dikonsumsi.

Analisa kemudian dilanjutkan dengan analisa mikrostruktur

menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) pada mie basah terigu.

Hasil SEM dapat dilihat pada Gambar 34.

91

Page 108: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

20 kV X3500 10µm 5µm

X2000 20 kV

(a) (b) Keterangan : (a) Mie basah terigu 20kV X11000 (X2000) (b) Mie basah terigu 20kV X9000 (X3500)

Gambar 34. (a) dan (b) Foto SEM mie basah terigu

Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification

(perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang

garis yang terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang

garis yang terdapat pada gambar, yaitu 10µm dan 5µm). Nilai 20kV

merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM.

Dari Gambar 34 di atas dapat dilihat bahwa (a) dan (b) mie basah

terigu menghasilkan gambar mikrostruktur yang beraturan. Ikatan gluten

yang dihasilkan terlihat jelas (Gambar 34a.). Hal ini dikarenakan protein

gluten yang terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin berfungsi sebagai

plasticizer dan pemerekat yang dapat menginduksi sifat rheology yang

dimiliki oleh glutenin, sedangkan glutenin berfungsi untuk membentuk

visko-elastisitas tepung terigu. Glutenin bisa membentuk visko-elastisitas

karena kaya akan asam amino prolin dnegan struktur sedikit terlipat

dimana lipatan terbuka selama proses pencampuran dan pengulian

(kneading) sehingga strukur menjadi renggang dan adonan menjadi

elastis. Ini juga didukung oleh sifat protein gandum yang unik, ikatan-

ikatan serta interaksi yang terdapat di dalamnya ( Damodaran, 1996 dalam

Fennema 1996).

92

Page 109: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Inilah yang menjadi pembeda utama antara mie basah jagung

dengan mie basah terigu. Mie basah terigu memiliki mikrostruktur yang

homogen karena terbentuknya ikatan protein (gluten), sedangkan pada

mie basah jagung (Gambar 27 c dan d) memiliki mikrostruktur yang

cenderung tidak seragam dan ikatan yang terbentuk berupa ikatan antar

granula pati yang membentuk matriks yang cukup kuat. Ikatan antar

granula pati ini memiliki fungsi sama dengan gluten pada proses

pembuatan mie, yaitu sebagai pengikat komponen-komponen lain dalam

adonan mie. Hal ini didukung oleh Khoo et al. (1975) yang menyatakan

bahwa hasil SEM dapat memperlihatkan kehalusan matriks protein

dibandingkan jaringan dari granula pati.

93

Page 110: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Varietas jagung yang digunakan merupakan varietas jagung unggulan

nasional yang mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan baku

pembuatan mie basah jagung. Karakterisasi tepung jagung dilakukan pada

tepung jagung hasil penggilingan kering. Karakterisasi sifat fisiko-kimia

tepung jagung terutama pada kadar protein dan lemak tepung jagung yang

cukup rendah, dan kadar amilosa yang tinggi. Tepung jagung memiliki kadar

protein 8.92 – 9.20% (bk) dan kadar lemak 1.62 – 1.85% (bk). Hal ini berarti

protein dan lemak yang terdapat dalam tepung jagung tidak terlalu

berpengaruh dalam proses gelatinisasi pati. Jika kadar protein dan lemak

tinggi di dalam tepung, maka protein dan lemak akan membentuk lapisan

yang melingkupi pati sehingga berdampak pada peningkatan suhu

gelatinisasi.

Karakterisasi sifat fungsional terutama pada sifat amilografi untuk

mengetahui suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum, kestabilan bahan

terhadap panas dan kecenderungan bahan mengalami retrogradasi.

Proses pembuatan mie basah jagung metode ekstrusi terdiri atas

beberapa tahap, yaitu penimbangan, pencampuran, pembentukan lembaran,

pengukusan pertama, pencetakan untaian mie, dan pengukusan kedua.

Pembuatan mie basah jagung pada penelitian utama dilakukan dengan

pemberian tekanan secara manual. Pada penelitian utama ini diberi perlakuan

penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP), yaitu jenis guar gum sebanyak

1%. Analisa sifat fisik yang dilakukan tidak hanya pada parameter mutu inti

mie basah, yaitu persen elongasi dan KPAP, tetapi juga analisa tambahan

yang dapat memberikan nilai tambah pada mie basah jagung, yaitu warna

dan tensile strength. Analisa persen elongasi dan tensile strength juga

dilakukan dalam dua metode, yaitu metode celup dan rebus. Hal ini

dilakukan sesuai dengan aplikasi mie basah sebagai mie bakso (metode

celup) dan mie ayam (metode rebus).

94

Page 111: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Persen elongasi mie basah jagung tanpa penambahan guar gum

metode celup 58.70 - 95.43% dan metode rebus 26,17 - 40.23; KPAP 5.06 -

6.92%; tensile strength metode celup 42.50 - 202.50 kgf dan metode rebus

25.50 -112.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan

tingkat kecerahan cukup tinggi. Nilai persen elongasi dengan penambahan

guar gum metode celup 81.80 - 106.245 dan metode rebus 35.28 - 61.49%;

KPAP 4.23 - 4.61%; tensile strength metode celup 71.00 - 252.13 kgf dan

metode rebus 27.50 - 131.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning

kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Dari hasil analisis

tersebut diketahui bahwa dengan penambahan guar gum dapat memperbaiki

karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan khususnya meningkatkan

hasil parameter inti dari mie basah jagung yang dihasilkan (persen elongasi

dan KPAP) dan tensile strength. Warna mie basah jagung tidak terlalu

berpengaruh terhadap penambahan guar gum.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa varietas

tepung jagung terbaik yang cocok untuk dibuat menjadi mie jagung adalah

varietas Lamuru. Tepung jagung varietas Lamuru menghasilkan nilai terbaik

pada analisa sifat fisik yang menjadi parameter mutu inti mie basah, yaitu

persen elongasi paling tinggi dan KPAP rendah. Tepung jagung varietas

Lamuru akan menghasilkan mie basah jagung yang lebih baik jika dilakukan

penambahan bahan tambahan pangan jenis guar gum sebanyak 1%.

B. Saran

Mie basah jagung memiliki prospek yang cukup cerah untuk

dikembangkan dalam skala industri. Namun, proses pembuatan mie basah

jagung masih menghadapi beberapa kendala, diantaranya pada saat proses

pembentukan untaian mie dilakukan pemberian tekanan secara manual.

Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan modifikasi ekstruder.

Modifikasi yang dilakukan yaitu ekstruder memiliki pengaturan tekanan

sehingga tekanan dapat dikontrol, dan mie basah yang dihasilkan lebih

terstandar dan juga diperlukan optimasi lebih lanjut untuk proses scale-up.

95

Page 112: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Gorontalo Pelopor Gentaton Jagung di Indonesia. www.gorontalo-

agropolitan.com [24 Januari 2009]. Anonim [a]. 2009. Jagung. http//: bps.go.id. [30 Januari 2009]. Anonim [b]. 2009. Peluang Usaha Mie Basah - Bisnis&Waralaba Usaha Mie

Surabaya. www.88DB.com. [11 Juli 2009]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis, 16th Edition. AOAC International,

Gaithersburg, Maryland. Astawan, M. 2005. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2987-1992.

Mi Basah. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2891-1992.

Analisis Kadar Air. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3727-1995.

Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi kayu (Manihot esculanta Crantz) sebagai

Bahan Pembuat Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Belitz, H.D. dan Grosch, W. 1999. Food Chemistry. Spinger, Berlin. BeMiller, J.N dan Whistler, R.L. 1996. Carbohydrates. Di dalam : Fennema, O.R (ed).

Food Chemistry. 3th Edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Budiyah. 2005. Pemanfaatan Pati dan Protein Jagung (Corn Gluten Meal) dalam

Pembuatan Mi Jagung Instan. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Chang, Y.H, S.T, Lim, dan Yoo, B. 2003. Dynamic rheology corn starch-sugar

composites. Journal of Food Engineering, 64 : 521-527. Cheng. 2006. Starch Structure : Composition and Structure.

http://www.cheng.cam.ac.uk [28 Juni 2008] Collado, L.S dam Corke, H. 1998. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato

starches differing in amylose content. Elsevier : Food Chemistry 65 (1999) 339-346.

Page 113: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Collison. 1968. Swelling gelation of starch. Di dalam : Radley, J.A (ed). 1968. Starch and Its Derivatives. Chapmen and Hall Ltd. London.

Damodaran, S. 1996. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam : Fennema, O.R.

Food Chemistry. 3th Edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Departemen Perindustrian Indonesia. 1990. Standar Industri Indonesia. SII 2046-90.

Mie Basah. Departemen Perindustrian Indonesia. Jakarta. Eastern Pearl Flours Mills. 2009. Kategori tepung.

http://g6.plasa.com/~admin345/main.php?tl=ProdukEPFM&fl=produk&ctgy=produk [11 Juli 2009].

Efendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok tanam Jagung. CV Yasaguna, Jakarta. Fadlillah, H.N. 2005. Verifikasi Formulasi Mie Jagung Instan Dalam Rangka

Penggandaan Skala. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fahmi, A. 2007. Optimasi Produksi Mie Basah Berbasis Tepung Jagung Dengan

Teknologi Ekstrusi. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan I. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.

Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fellows, P.J. 1990. Food Processing Technology. Ellis Horwood. Great Britain. Galvez, F.C.F., Resurreccion, A.V.A., and Ware, G.O. 1994. Process variable

gelatinized starch moisture effect on physical properties of mungbean noodles. Journal of Food Science, 59 (386), 378-381. Di dalam : Collado, L.S dam Corke, H. 1998. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Elsevier : Food Chemistry 65 (1999) 339-346.

Goldstein, A.M, Alter, E.N., and Seaman, J.K.1973. Guar Gum. Di dalam : Whistler,

R.L (ed). Industrial Gum. Academic Press. New York. Grant, L.A., Sissons, M.J, Morre, M. K., and Batey, I. L. 2000. Effect of starches

differing in amylase content on pasta quality. Pages 629-633 in : 11th Cereal and Bread Congress and 59th Australian Cerial Chemistry Conference. M. Wootton, I.L, Batey, and C. W. Wrigley, eds. RACI : Melbourne. Di dalam : Soh, H.N, M.J. Sissons, dan Turner, M.A. 2006. Effect of starch granule size distribution and elevated amylase content on durum dough rheology and spaghetti cooking quality. AACC International, Inc. St Paul. MN.

Greenwood, C.T and DN Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam : Muchtadi T.R.,

P.Haryadi, dan Azra A.B. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

97

Page 114: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Harper, J.M. 1981. Extrusion of Foods Vol I. CRC Press. Boca Roton, Florida. Hatorangan, E.F. 2007. Pengaruh Perlakuan Konsentrasi NaCl, Kadar Air, dan

Passing terhadap Mutu Fisik Mi Basah Jagung yang Diproduksi dengan Menggunakan Ekstruder Ulir Pemasak dan Pencetak. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Honesey, R.C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology. 2nd edition.

American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Hou, G. dan Krouk, M. 1998. Asian Noodle Technology.

http://secure.aibonline.org/catalog/example/V201ss12.pdf [25 Juni 2008]. Hutching, J.B. 1994. Food Color and Appearance. 1st edition. Aspen publisher, Inc.

Gaithersburg, Maryland. Inglet, G.E (ed). 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The Avi Publishing

Company Inc. Westport, Connecticut. Johnson, L.A. 1991. Corn: Production, Processing, and Utilization. Di dalam :

Handbook of Cereal Science and Technology. Lorenz, KJ and K Karel (eds.). Marcell Dekker, Inc. New York. Basel.

Jugenheimer, R.W. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John

Willey and Sons. New York. Juniawati. 2003. Optimasi Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Kajian

Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lie, L.S dan Kokini, J.L. 1990. The effects operating conditions on the on-line

McCready, R.M. 1970. Starch and dextrin. Di dalam :. Muchtadi, T.R., P. Hariyadi, dan Azra, A.B.. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. 1987. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kalab, M. 1983. Electron Microscopy of Foods. Di dalam Peleg, M dan Bagley, E.B.

1983. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Khoo, C., Christianson, D.D., and Inglett, G.E. 1975. Scanning and transmission

microscopy of dough and bread. The Bakers Digest 49, 24-26. Di dalam : Prabhansankar, P., D. Indrani, J. Rajiv., and Rao, G.V. 2003. Scanning electron microscopic and electrophoretic studies of the baking process of south Indian parotta-an unleavened flat bread. Elsevier: Food Chemistry 82 (2003) 603-609.

Kidmose, U. Edelenbos, M., Norbaek, R. dan Chistensen, L. P. 2002. Colour Stability

in Vegetables. Di dalam : MacDougall, D.B (ed). Colour in Food Improving Quality. CRC Press. Boston

98

Page 115: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Kim, Y.S., Dennis P.W., James H.L., dan Patricia B. 1996. Suitability of Edible Bean

and Potato Starches for Starch Noodles. http://www.aaccnet.org/cerealchemistry/backissues/1996/73_302.pdf. [22 Mei 2009].

Kulp, K. 1975. Carbohydrates. Di dalam : G. Reed (ed). 1975. Enzyme in Food

Processing. Academic Press. New York. Kurniawati, R.D. 2006. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan

Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kruger, J.E. 1996. Noodle quality - what can we learn from the chemistry of bread

making? Di dalam : Kruger, J.E., R.B. Matsuo dan Dick, J.W. (eds.). Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc. St. Paul. Minnesota.

Leach, M.W. 1965. Gelatinization of Starch and Miscellaneous Organic Esters. Di

dalam : Wurzburg, O.B. 1986. Modified Starches : Properties and Uses. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.

Lorenz, K.J. dan Karel, K. 1991. Handbook of Cereal Science and Technology.

Marcell Dekker, Inc. New York. Basel. Manullang, M. 1997. Karbohidrat Pangan. Jurusan Teknologi Pangan. Fakultas

Teknologi Industri. Universitas Pelita Harapan. Jakarta. Merdiyanti, A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mie Kering dengan Memanfaatkan

Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Miles, M.J., V. Moris, P.D. Orford, dan Ring, S.G. 1985. The Role of Amylose and

Amylopectin in the Gelation and Retrogradation of Starch. Carbohydrate Research, 135:271-281.

Mita, T. 1992. Structure of potato starch pastes in the ageing process by the

measurement of their dynamics moduli. Carbohydrate Polymers, 17:269-276. Moorthy, S.N. 1985. Effect of Surfacttants on Cassava Starch Viscosity. Journal

Agricultural Food Chemistry. Di dalam : Balagopalan, C., G. Padmaja, S.K., Nanda, dan Moorthy, S.N. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.

Muchtadi, T.R., P. Hariyadi, dan Ahza, A.B. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi.

Pusat Antara Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

99

Page 116: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Muhandri, T. 2006. Karakteristik Reologi Mie Jagung dengan Ekstrusi Pencetak. Penelitian Dosen Muda. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Mugiarti. 2001. Pengaruh Penambahan Tepung Kedele terhadap Sifat Fisiko Kimia

dan Daya Terima Mie Basah (Boiled Noodles). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Noor, R.R.N. 2001. Scanning Electron Microscope. Laboratorium Pemuliaan dan

Genetika Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Oh, N. H., P. A. Seib, C.W. Deyou, dan Ward, A.B.. 1985. Noodles. Measuring the

textural caharacteristic of dry noodles. Cereal Chemistry. 60:433-437. Pagani, M.A. 1985. Pasta Product From Non-conventional Raw Material. Di dalam:

Mercier, C.H. and Centrallis, C. (eds.). Pasta and Extrution Cooked Foods. Proceeding of an international symposium. Milan, Italy.

Piyachomkwan, K et al. 2001. Development of a Standart Protokol for the Processing

of High Quality Sweet Potato Starch for Noodle Making. In Sweet Potato Post Harvest Research and Development in China. Proceedings of an International Workshop, Chengdu, 7-8 November. Bogor : International Potato Center, East, Southeast Asia Pasific Region, hlm. 140-165.

Pratama, G.G.F.S. 2008. Paket Teknologi untuk Memproduksi Mi Jagung dengan

Bahan Baku Tepung Jagung. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Purwani, E.Y, Widaningrum, R. Thahir, and Muslich. 2006. Effect of heat moisturure

treatment of sago starch on its noodle quality. Indonesian Journal of Agricultural Science 7 (1), 2006 : 8 – 14.

Rianto, B.F. 2006 Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mie Basah Berbahan Baku

Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Riyanti, E. 2009. Karakterisasi Tepung Lima Varietas Jagung Kuning Hibrida dan

Potensinya Untuk Dibuat Mie Jagung Berdasarkan Sifat Fisik dan Organoleptik. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ruiter, D. D. 1978. Composite Flours. Di dalam: Pomeranz, Y. (ed.). Advanced in

Cereal Science and Technology II. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul. Minnesota.

100

Page 117: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Sathe, S.K. & Salunke, D.K. (1981). Functional properties of the great northern bean (Phaseolus vulgaris L.) proteins: Emulsion, foaming, viscosity and gelation properties. J. Food Sc., 46, 71-81. Di dalam : Chatziantoniou, S., D. Triantafillou, and Thomareis, A.S. Functional properties of enzymatically hydrolysed soy proteins, using actinidin. International Symposium on “Functional Foods in Europe – International Developments in Science and Health Claims”.9-11 May 2007. Malta.

Slade, L., Harry, L., and Finley, J. W. 1989. Protein-Water Interaction : Water as A

Plasticizer of Gluten and Other Protein Polymers. Di dalam Phillips, R.D and Finley, J.W (eds). Protein Quality and The Effects of Processing. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel

Smith, O. B. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Food. Makalah pada

Proceeding Extruder Technology. Eight ASEAN Workshop, 14-25 Januari 1980, Bangkok.

Soh, H.N, M.J. Sissons, dan Turner, M.A. 2006. Effect of starch granule size

distribution and elevated amylase content on durum dough rheology and spaghetti cooking quality. AACC International, Inc. St Paul. Minnesota.

Soraya, A. 2005. Perancangan Proses dan Formulasi Mi Basah Jagung Berbahan

Dasar High Quality Protein Maize Varietas Srikandi Kuning Kering Panen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Stanley. 1987. Food Texture and Microstructure. Di dalam : Moskowitz, H.R. Food

Texture, Instrumental and Sensory Measurement. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel

Subarna et al. 1999. Pengembangan Bahan Baku Campuran Tepung-Tepungan

sebagai Alternatif Makanan Pokok agar Mudah Memasuki Pasar Regional/ Global. Pusar Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudaradji, S, Bambang H, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan

dan Pertanian. Edisi Keempat. Alberti, Yogakarta. Suprapto. 1998. Bertanam Jagung. Cetakan ke-18. Penebar Swadaya. Jakarta. Swinkles, J.J.M.1985.Source of Starch In Chemistry and Physics. Di dalam : V

Beyum dan JA Roels (eds). Pasta and Noodle Technology. Marcell Dekker, Inc. New York. Basel.

Syarief, R dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpan Pangan. Argan. Jakarta. Syuryawati, C., Rapar dan Zubachtirodin. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Jagung.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Serelia. Bogor.

101

Page 118: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Szczesniak, A.S. 1983. Physical Properties of Foods : What They Are and Their Relation to Other Food Properties. Di dalam Peleg, M dan Bagley, E.B. 1983. Physical Properties of Foods. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.

Thomas, D.J. dan Atwell, W.A. 1999. Starches. AACC International, Inc. St Paul.

MN. Di dalam : Soh, H.N, M.J. Sissons, dan Turner, M.A. 2006. Effect of starch granule size distribution and elevated amylase content on durum dough rheology and spaghetti cooking quality. AACC International, Inc. St Paul. Minnesota.

Waniska, RD, T Yi, J Lu, L Xue Ping, W Xu dan H.Lin. 1999. Effect of Preheating

Temperature, Moisture, and Sodium Metabisulfite Content on Quality of Noodles Prepared from Maize Flour and Meal. Journal Food Science and Technology International, 5 : 339-346.

Warisno.1998. Budidaya Jagung Hibrida.Gramedia, Jakarta Whistler dan Daniel. 1996. Carbohydrates. Di dalam Food Chemistry, Fennema, OR

(ed). Marcell Dekker Inc. New York. Basel. Wikipedia Indonesia. 2008. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/jagung [5 Mei 2008]. Winarno, F.G. 1980. Kimia Pangan. PUSBANGTEPA, Institut Pertanian Bogor.

Bogor. Winarno, F.G. dan Rahayu, T.S. 1994. Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan.

Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Garamedia. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of Stach Gelatinization and Water

Absorption in Rice. PhD Disertation. University of Wisconsin. Madison.

102

Page 119: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian No. Peralatan Spesifikasi Gambar

1. Disc mill

PILOT PLANT PAU TECO 3 Phase Induction Code AEE AO 4 Pole, INS 1 1425 RPM BS 4999 & 5000 Cont. Rating 198 BRG No. 62066303 SER No. IF 3074 50 Hz, 220 Volt, 8077 A TECO ELEC & MACH PTE, LTD Made in Singapore Kapasitas : 6.25 kg/jam

2. Pengayak (Siever)

PILOT PLANT Seafast Centre Manufactured by DALAL ENGINEERING PVT. LTD THANA Under License From WILLIAM BOULTON LTD, ENGLAND Model 66 CMS Serial No : 107 Type : Dry Motor HP : 1 Material : SS 604 Kapasitas : 5 kg/sekali pengayakan

103

Page 120: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian (Lanjutan) No. Peralatan Spesifikasi Gambar

3. Tray dryer

PILOT PLANT Seafast Centre Engineering and Equipment GmbH 6072 Dreieich – West Germany H. ORTH GmbH Masch. Bau u. Verfahrenstechnik, D-6700 Ludwigshafen Baujahr : 1981 Fabr. Nr. : 2193 / 1 Type : ITHU Nenntemperatur : 1200C Frischluftwechsel/min : 4.94 m3

Nutzraum : 2.64 m3

Gesamtdampfraum : 2.88 m3 Stromart : 3 PH ~ Spannung : 220/380 V

4 Brabender Amylograph

4 Ekstruder Pencetak Model MS9

Pilot Plant Seafast Centre Model MS9 Production capacity 9 kg/h Rating input Power 1.5 Kw Power 1.1 Kw Dimension 600x330x430 mm Net Weight 60 kg Voltage 220 V Frequensi 50 Hz Series no VA 5000 Date 2005

104

Page 121: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian (Lanjutan) No. Peralatan Spesifikasi Gambar

5 Rheoner

Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan Rheoner RE-3305

1. JEOL JFC 1100E Ino Sputtering device fine coat (untuk coating)

2. EYELA Cool Ace CA-1100 (Untuk cooling)

Volt 100 ± 10V Current max 20 A Power max 2 kVA Frequency 1 ± 50/60 Hz Ground resistance max 100Q Cooling water 2 L/min

6 Scanning Electron Microscope

3. STAVOL Matsunaga Manufacturing Co., Ltd Yakohama 233 Serial number 40701k Date of MFG 1904.7 (untuk menaikkan teganggan)

Model SVC-5KSS-K Input Votage 1φ 220 V± 15% Output Votage φ 100 V± 1% Capacity 5 kVA/ 50 A Frequency 50 / 60 Hz

105

Page 122: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian (Lanjutan)

No. Peralatan Spesifikasi Gambar

4. JEOL JSM 5200 Scanning Microscope Multi Purpose SEMs

• Resolution HV Mode 5.0nm LV Mode 8.0nm

• Magnification HV Mode x15 to 200.000 LV Mode x15 to 50.000

• Accelerating 1.2 kV Voltage 5 to 25 kV (5 kV steps)

106

Page 123: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Lampiran 2. Mie Basah Jagung

No. Varietas Tepung Jagung

Mie Basah Jagung Tanpa Guar Gum

Mie Basah Jagung dengan Guar Gum

1. Srikandi Kuning

2. Bisma

3. Sukmaraga

4. Lamuru

107

Page 124: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Lampiran 2. Mie Basah Jagung ( Lanjutan )

No. Varietas Tepung Jagung

Mie Basah Jagung Tanpa Guar Gum

Mie Basah Jagung dengan Guar Gum

5. Arjuna

108

Page 125: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Lampiran 3. Hasil analisa SEM No. Jenis Mie Basah Perbesaran 2500 (X2500) Perbesaran 3500 (X3500)

1.

Mie basah jagung tanpa

tekanan manual (Varietas Lamuru)

2.

Mie basah jagung dengan

tekanan manual (Varietas Lamuru)

3. Mie terigu

Keterangan • 20 Kv = Tegangan yang digunakan alat SEM • X2500 dan X3500 = Perbesaran yang digunakan • = magnification (perbesaran) sebenarnya.

20 kV X2000

20 kV X2000

20 kV X2000

20 kV X3500

20 kV X3500

20 kV X3500

X9000 X11000

5µm X9000

5µm X9000

5µm

10µmX11000

10µmX11000

10µm

109

Page 126: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Lampiran 4. Rekapitulasi hasil karakterisasi lima varietas mie basah jagung Varietas Produk yang

dianalisis Sifat yang

diKarakterisasi Faktor-faktor yang

diamati Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna

pH 5.83 5.85 5.90 6.67 5.80 L 88.81 87.86 87.07 88.41 88.74 a 0.41 1.18 0.68 1.15 0.73 b 26.18 26.96 25.43 26.07 25.88

Fisik Warna

°Hue 89.11 87.49 88.47 87.47 88.37 Kadar air (% bk) 15.04 15.04 12.00 9.95 12.55 Kadar abu (% bk) 0.59 0.59 0.73 0.83 0.55 Kadar protein (% bk) 9.12 9.12 9.22 9.20 8.96 Kadar lemak (% bk) 1.69 1.69 1.82 1.85 1.62 Kadar karbohidrat (% bk) 88.60 88.60 88.23 88.11 88.87

Kadar pati (% bk) 71.69 71.69 75.70 74.96 74.92 Kadar amilosa (% bk) 23.06 27.59 23.67 27.68 27.14

Kimia

Kadar amilopektin (% bk) 44.10 44.10 52.64 51.29 47.24

Suhu Awal Gelatinisasi (°C)

73.50 72.00 72.00 73.50 73.50

Viskositas Maksimum (BU)

462.50 222.50 285.00 250.00 200.00

Viskositas Akhir (BU) 580.00 350.00 422.50 340.00 280.00

Breakdown Viscocity (BU)

92.50 5.00 25.00 15.00 20.00

Amilografi

Setback Viscocity (BU)

47.50 97.50 102.50 65.00 45.00

Water Absorption Capacity (g/g)(bk) 1.34 1.34 1.69 1.45 1.43

Kelarutan (%) 7.92 7.92 5.00 6.61 5.67

Tepung Jagung

Fungsional

Swelling volume (ml/g) (bk) 9.30 9.30 7.53 8.26 7.66

Celup 58.70 80.32 64.31 95.43 72.93 Persen Elongasi (%) Rebus 26.17 32.95 40.23 25.09 29.44

KPAP (%) 6.92 5.06 6.14 5.41 6.66 Celup 42.50 46.50 195.00 202.50 45.00 Tensile

Strength (kgf) Rebus 25.50 21.50 88.13 112.50 18.50

L 51.86 56.00 51.81 51.71 49.40

Mie Basah Jagung tanpa Penambahan

Guar Gum

Fisik

Warna a -0.20 0.32 -0.47 0.58 -0.04

110

Page 127: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

b 26.91 29.84 26.96 23.38 25.20 °Hue 89.57 89.39

Lampiran 4. Rekapitulasi hasil karakterisasi lima varietas mie basah jagung (Lanjutan)

89.01 88.58 89.90 Celup 81.80 93.88 103.13 106.24 85.41 Persen

Elongasi (%) Rebus 35.28 38.94 42.71 61.49 46.64

KPAP (%) 4.49 4.23 4.61 4.57 4.49 Celup 71.00 60.50 232.50 252.13 81.00 Tensile

Strength (kgf) Rebus 34.00 27.50 103.13 131.25 31.50

L 53.59 55.79 51.14 51.10 50.58 a 0.41 0.53 -0.34 0.56 0.32 b 19.22 29.54 25.99 26.53 26.69

Mie Basah Jagung denganPenambahan

Guar Gum Fisik

Warna

°Hue 88.77 88.98 89.26 88.80 89.31 Keterangan :

= Karakterisasi terbaik = Analisis tambahan yang menjadi nilai tambah dari mie basah jagung

111

Page 128: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Lampiran 5. Hasil Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan A. Karakterisasi Tepung Jagung

Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors

Value Label N 1 Srikandi Kuning 2

Bisma 2 2 Sukmaraga 2 3

4 Lamuru 2 Varietas

Arjuna 2 5 1 Ulangan 1 5

Ulangan 2 Ulangan 2 5

1. pH

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 361.959(a) 6 60.326 61636.192 .000Varietas 1.118 4 .279 285.488 .000Ulangan .000 1 .000 .368 .577Error .004 4 .001 Total 361.962 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N 1 2 3

Arjuna 2 5.795000 Srikandi Kuning 2 5.827500 5.827500 Bisma 2 5.845000 5.845000 Sukmaraga 2 5.895000 Lamuru 2 6.672500Sig. .191 .102 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .001. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

112

Page 129: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

2. Warna a. Tingkat Kecerahan (Lightness)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon

Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 77761.646(a) 6 12960.274 52082.278 .000Varietas 4.217 4 1.054 4.237 .095Ulangan 1.116 1 1.116 4.486 .102Error .995 4 .249 Total 77762.642 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 Sukmaraga 2 87.068650 Bisma 2 87.860550 87.860550Lamuru 2 88.412700 88.412700Arjuna 2 88.743500Srikandi Kuning 2 88.812300Sig. .058 .134

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .249. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

b. Nilai a Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon

Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 7.797(a) 6 1.300 50.951 .001Varietas .885 4 .221 8.673 .030Ulangan .002 1 .002 .059 .820Error .102 4 .026 Total 7.899 10

a R Squared = .987 (Adjusted R Squared = .968)

113

Page 130: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1 2

Srikandi Kuning 2 .404950 Sukmaraga 2 .679650 Arjuna 2 .734350 .734350Lamuru 2 1.154100Bisma 2 1.183500Sig. .113 .051

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .026. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

c. Nilai b Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 6817.592(a) 6 1136.265 119955.973 .000Varietas 2.491 4 .623 65.740 .001Ulangan .021 1 .021 2.165 .215Error .038 4 .009 Total 6817.630 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 3 4 Sukmaraga 2 25.432950 Arjuna 2 25.879650 Lamuru 2 26.073600 26.073600 Srikandi Kuning 2 26.179150 Bisma 2 26.963200Sig. 1.000 .117 .339 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .009. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

114

Page 131: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

3. Kadar Air Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 1616.124(a) 6 269.354 3441.482 .000Varietas 28.130 4 7.033 89.854 .000Ulangan .064 1 .064 .815 .418Error .313 4 .078 Total 1616.437 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 3 4 Sukmaraga 2 9.953800 Bisma 2 12.004900 Lamuru 2 12.548700 Arjuna 2 13.454650 Srikandi Kuning 2 15.044500 Sig. 1.000 .124 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .078. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

4. Kadar Abu

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 4.436(a) 6 .739 248.114 .000Varietas .063 4 .016 5.259 .068Ulangan .004 1 .004 1.352 .310Error .012 4 .003 Total 4.447 10

a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .993)

115

Page 132: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Post Hoc Tests Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 3 Lamuru 2 .551450 Srikandi Kuning 2 .593350 .593350 Arjuna 2 .668050 .668050 .668050Bisma 2 .734600 .734600Sukmaraga 2 .757400Sig. .104 .064 .183

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .003. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

5. Kadar Protein

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 833.374(a) 6 138.896 650.368 .000Varietas .082 4 .021 .096 .978Ulangan .872 1 .872 4.085 .113Error .854 4 .214 Total 834.228 10

a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1

Lamuru 2 8.964450Arjuna 2 9.113150Srikandi Kuning 2 9.117200Sukmaraga 2 9.203000Bisma 2 9.220700Sig. .604

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .214. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

116

Page 133: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

6. Kadar Lemak Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square

Model 30.673(a) 6 5.112 431.327 .000Varietas .071 4 .018 1.502 .351Ulangan .016 1 .016 1.384 .305Error .047 4 .012 Total 30.721 10

a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1

Lamuru 2 1.617550Srikandi Kuning 2 1.694150Arjuna 2 1.763550Bisma 2 1.819350Sukmaraga 2 1.849800Sig. .104

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .012. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

7. Kadar Karbohidrat

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 78264.713(a) 6 13044.119 129233.394 .000Varietas .623 4 .156 1.543 .342Ulangan .997 1 .997 9.881 .035Error .404 4 .101 Total 78265.116 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

117

Page 134: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1

Sukmaraga 2 88.189750Bisma 2 88.225400Arjuna 2 88.455150Srikandi Kuning 2 88.595350Lamuru 2 88.866500Sig. .104

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .101. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

8. Kadar Pati

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 54719.124(a) 6 9119.854 28253.022 .000Varietas 24.429 4 6.107 18.920 .007Ulangan .017 1 .017 .053 .829Error 1.291 4 .323 Total 54720.415 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 Srikandi Kuning 2 71.687500 Arjuna 2 72.511050 Lamuru 2 74.921700Sukmaraga 2 74.958750Bisma 2 75.700250Sig. .221 .249

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .323. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

118

Page 135: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

9. Kadar Amilosa Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 6713.517(a) 6 1118.919 712.702 .000Varietas 41.176 4 10.294 6.557 .048Ulangan 1.959 1 1.959 1.248 .326Error 6.280 4 1.570 Total 6719.796 10

a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 3 Srikandi Kuning 2 23.059000 Sukmaraga 2 23.666950 23.666950 Arjuna 2 27.143500 27.143500Bisma 2 27.586450Lamuru 2 27.679500Sig. .653 .050 .694

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.570. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

10. Kadar Amilopektin

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 23203.468(a) 6 3867.245 1519.922 .000Varietas 37.329 4 9.332 3.668 .118Ulangan 2.344 1 2.344 .921 .392Error 10.177 4 2.544 Total 23213.645 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)

119

Page 136: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1 2

Arjuna 2 45.367600 Lamuru 2 47.242250 47.242250Bisma 2 48.113750 48.113750Srikandi Kuning 2 48.628500 48.628500Sukmaraga 2 51.291800Sig. .116 .068

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 2.544. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

11. WAC

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 21.897(a) 6 3.649 21026.012 .000Varietas .146 4 .036 210.048 .000Ulangan .000 1 .000 .067 .808Error .001 4 .000 Total 21.897 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset Varietas N

1 2 3 4 Srikandi Kuning 2 1.325250 Lamuru 2 1.429150 Sukmaraga 2 1.452350 1.452350 Arjuna 2 1.473550 Bisma 2 1.693800 Sig. 1.000 .153 .183 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

120

Page 137: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

12. Swelling volume Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 695.838(a) 6 115.973 261.313 .000Varietas 4.571 4 1.143 2.575 .191Ulangan .001 1 .001 .002 .964Error 1.775 4 .444 Total 697.613 10

a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .994) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 Lamuru 2 7.528200Bisma 2 7.656100Sukmaraga 2 8.263800Arjuna 2 8.821700Srikandi Kuning 2 9.301400Sig. .060

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .444. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

13. Kelarutan

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 409.478(a) 6 68.246 25442.730 .000Varietas 9.656 4 2.414 899.948 .000Ulangan .005 1 .005 1.849 .246Error .011 4 .003 Total 409.489 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

121

Page 138: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1 2 3 4 5

Srikandi Kuning 2 4.995950 Bisma 2 5.665400 Arjuna 2 6.427200 Sukmaraga 2 6.609850 Lamuru 2 7.917150Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .003. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

B. Mie Basah Jagung dengan Pemberian Tekanan secara Manual dan

Penambahan BTP 1. Persen Elongasi Celup

a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 56916.285(a) 6 9486.047 241.127 .000Varietas 1655.696 4 413.924 10.522 .021Ulangan .663 1 .663 .017 .903Error 157.362 4 39.340 Total 57073.646 10

a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .993)

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1 2 3

Srikandi Kuning 2 58.699400 Sukmaraga 2 64.306000 64.306000 Arjuna 2 72.928900 72.928900 Bisma 2 80.321150 80.321150 Lamuru 2 95.429650 Sig. .090 .067 .074

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 39.340. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

122

Page 139: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

b. Dengan Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 93066.740(a) 6 15511.123 566.542 .000Varietas 724.708 4 181.177 6.617 .047Ulangan 4.193 1 4.193 .153 .716Error 109.514 4 27.379 Total 93176.255 10

a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 Srikandi Kuning 2 81.795650 Bisma 2 93.879300 93.879300Arjuna 2 95.413350 95.413350Sukmaraga 2 103.129500Lamuru 2 106.245100Sig. .063 .082

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 27.379. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

2. Persen Elongasi Rebus a. Tanpa Guar Gum

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 9774.090(a) 6 1629.015 98.839 .000Varietas 298.747 4 74.687 4.532 .086Ulangan 3.482 1 3.482 .211 .670Error 65.926 4 16.481 Total 9840.016 10

a R Squared = .993 (Adjusted R Squared = .983)

123

Page 140: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1 2

Lamuru 2 25.094750 Srikandi Kuning 2 26.165900 Arjuna 2 29.441400 29.441400Bisma 2 32.952750 32.952750Sukmaraga 2 40.227150Sig. .130 .060

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 16.481. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

b. Dengan Guar Gum

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 21082.308(a) 6 3513.718 185.065 .000Varietas 822.143 4 205.536 10.825 .020Ulangan .831 1 .831 .044 .845Error 75.946 4 18.986 Total 21158.254 10

a R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .991)

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1 2

Srikandi Kuning 2 35.275000 Bisma 2 38.942750 Sukmaraga 2 42.705850 Arjuna 2 46.640300 Lamuru 2 61.487950Sig. .064 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 18.986. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

124

Page 141: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

3. KPAP a. Tanpa Guar Gum

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon

Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 369.800(a) 6 61.633 12692.236 .000Varietas 5.047 4 1.262 259.820 .000Ulangan .006 1 .006 1.205 .334Error .019 4 .005 Total 369.819 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1 2 3 4 5

Bisma 2 5.064300 Lamuru 2 5.408650 Sukmaraga 2 6.143200 Arjuna 2 6.657050 Srikandi Kuning 2 6.923950 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .005. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

b. Dengan Guar Gum

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 200.594(a) 6 33.432 5342.484 .000Varietas .175 4 .044 6.984 .043Ulangan .014 1 .014 2.213 .211Error .025 4 .006 Total 200.619 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

125

Page 142: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1 2

Bisma 2 4.228950 Srikandi Kuning 2 4.486450Arjuna 2 4.490700Lamuru 2 4.570150Sukmaraga 2 4.607100Sig. 1.000 .207

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .006. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

4. Tensile Strength Celup

a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 170053.725(a) 6 28342.288 741.459 .000Varietas 57052.600 4 14263.150 373.137 .000Ulangan 4.225 1 4.225 .111 .756Error 152.900 4 38.225 Total 170206.625 10

a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 Srikandi Kuning 2 42.500000 Arjuna 2 45.000000 Bisma 2 46.500000 Sukmaraga 2 195.000000Lamuru 2 202.500000Sig. .557 .292

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 38.225. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

126

Page 143: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

b. Dengan Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square

Model 266814.838(a) 6 44469.140 6750.534 .000Varietas 71830.125 4 17957.531 2726.001 .000Ulangan 33.306 1 33.306 5.056 .088Error 26.350 4 6.587 Total 266841.188 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1 2 3 4 5

Bisma 2 60.500000 Srikandi Kuning 2 71.000000 Arjuna 2 81.000000 Sukmaraga 2 232.500000 Lamuru 2 253.125000Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6.587. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

5. Tensile Strength Rebus

a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 43756.288(a) 6 7292.715 847.990 .000Varietas 15425.025 4 3856.256 448.402 .000Ulangan 2.256 1 2.256 .262 .635Error 34.400 4 8.600 Total 43790.688 10

a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)

127

Page 144: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1 2 3

Arjuna 2 18.500000 Bisma 2 21.500000 Srikandi Kuning 2 25.500000 Sukmaraga 2 88.125000 Lamuru 2 112.500000 Sig. .079 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8.600. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

b. Dengan Guar Gum

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 60777.350(a) 6 10129.558 351.111 .000Varietas 18385.150 4 4596.288 159.317 .000Ulangan 12.100 1 12.100 .419 .553Error 115.400 4 28.850 Total 60892.750 10

a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .995) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 3 Bisma 2 27.500000 Arjuna 2 31.500000 Srikandi Kuning 2 34.000000 Sukmaraga 2 101.250000 Lamuru 2 131.250000 Sig. .299 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 28.850. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

128

Page 145: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

6. Warna a. Tanpa Guar Gum

1). Nilai L (Tingkat Kecerahan) Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square

Model 27246.909(a) 6 4541.152 169757.302 .000Varietas 45.609 4 11.402 426.234 .000Ulangan .038 1 .038 1.413 .300Error .107 4 .027 Total 27247.016 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 3 Arjuna 2 49.395750 Lamuru 2 51.712700 Sukmaraga 2 51.809350 Srikandi Kuning 2 51.856050 Bisma 2 56.000300 Sig. 1.000 .436 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .027. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

2). Nilai a

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 1.465(a) 6 .244 1.510 .359Varietas 1.388 4 .347 2.145 .239Ulangan .063 1 .063 .392 .565Error .647 4 .162 Total 2.113 10 a R Squared = .694 (Adjusted R Squared = .234)

129

Page 146: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Post Hoc Tests Respon

Duncan Subset

Varietas N 1

Sukmaraga 2 -.467850Srikandi Kuning 2 -.202700Arjuna 2 -.044350Bisma 2 .318500Lamuru 2 .581050Sig. .063

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .162. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

3). Nilai b

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 7049.891(a) 6 1174.982 673.461 .000Varietas 45.932 4 11.483 6.582 .048Ulangan 4.023 1 4.023 2.306 .203Error 6.979 4 1.745 Total 7056.870 10

a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 Lamuru 2 23.379150 Arjuna 2 25.195850 Srikandi Kuning 2 26.910250 26.910250Sukmaraga 2 26.962100 26.962100Bisma 2 29.839600Sig. .057 .095

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.745. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

130

Page 147: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

b. Dengan Guar Gum 1). Nilai L (Tingkat Kecerahan)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon

Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 27539.870(a) 6 4589.978 26137.127 .000Varietas 39.046 4 9.762 55.586 .001Ulangan .155 1 .155 .882 .401Error .702 4 .176 Total 27540.572 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 3 Arjuna 2 50.580900 Lamuru 2 51.101450 Sukmaraga 2 51.136950 Srikandi Kuning 2 53.591950 Bisma 2 55.794150 Sig. .261 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .176. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

2). Nilai a

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon

Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 1.950(a) 6 .325 6.209 .049Varietas 1.071 4 .268 5.117 .071Ulangan .000 1 .000 .000 .984Error .209 4 .052 Total 2.159 10

a R Squared = .903 (Adjusted R Squared = .758)

131

Page 148: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 Sukmaraga 2 -.336800 Arjuna 2 .322500Srikandi Kuning 2 .413600Bisma 2 .526800Lamuru 2 .555800Sig. 1.000 .369

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .052. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

3). Nilai b

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 6666.444(a) 6 1111.074 3876.004 .000Varietas 116.918 4 29.230 101.968 .000Ulangan .001 1 .001 .003 .956Error 1.147 4 .287 Total 6667.591 10

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests

Respon Duncan

Subset Varietas N

1 2 3 Srikandi Kuning 2 19.215800 Sukmaraga 2 25.992900 Lamuru 2 26.521700 Arjuna 2 26.692200 Bisma 2 29.537600 Sig. 1.000 .268 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .287. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

132

Page 149: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

Lampiran 6. Hasil Uji t-test A. Penggunaan Alat Analisa Persen Elongasi (Texture Analyzer Dan Rheoner)

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Variable 1 Variable 2 Mean 86.140 85.105 Variance 14.365 1.140 Observations 2.000 2.000 Pooled Variance 7.752 Hypothesized Mean Difference 0.000 df 1 t Stat 0.372 P(T<=t) one-tail 0.373

2.920 t Critical one-tail P(T<=t) two-tail 0.746 t Critical two-tail 4.303

B. Mie Basah Jagung Tanpa Pemberian Tekanan dan Dengan Pemberian

Tekanan secara Manual

1. KPAP

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Variable 1 Variable 2 Mean 7.150 5.555 Variance 0.002 0.008 Observations 2.000 2.000 Pooled Variance 0.005 Hypothesized Mean Difference 0.000 df 1 t Stat 22.280 P(T<=t) one-tail 0.001

2.920 t Critical one-tail P(T<=t) two-tail 0.002 t Critical two-tail 4.303

133

Page 150: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

2. Persen Elongasi t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Variable 1 Variable 2 Mean 108.460 126.290 Variance 0.065 0.024 Observations 2.000 2.000 Pooled Variance 0.044 Hypothesized Mean Difference 0.000 df 1 t Stat -84.522 P(T<=t) one-tail 0.000

2.920 t Critical one-tail P(T<=t) two-tail 0.000 t Critical two-tail 4.303

134

Page 151: KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Hamigia Zulkhair dilahirkan pada tanggal

28 Oktober 1986 di Solok, Sumatera Barat dan merupakan anak

keempat dari pasangan H. Chairan dan Hj. Zurni Zaini. Penulis

menempuh pendidikan dasar di SDN 02 PPA Kota Solok, Sumatera

Barat (1993-1999), pendidikan menengah pertama di MTsN Koto

Baru Kab. Solok, Sumatera Barat (1999-2002), dan pendidikan

lanjutan di SMUN 1 Gn. Talang Kab. Solok, Sumatera Barat (2002-

2005).

Penulis diterima di Program Mayor Minor Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2005

melalui jalur USMI. Pada Tahun 2006 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi

Pangan. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai anggota HIMITEPA periode

2006-2008, anggota Food Processing Club divisi Fermented Food periode (2007), anggota Food

Processing Club divisi Bakery (2008), anggota Penyuluhan Keamanan Pangan untuk anak SD

(2008) dan anggota Penyuluhan Keamanan Pangan untuk pedagang dalam dan sekitar kampus

IPB darmaga (2008). Penulis pernah mengikuti Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal

(2008), Quality Management System ISO 9001:2000 (2008) dan Quality Safety Management

System ISO 22000: 2005 (2008). Penulis juga pernah menjadi asisten pratikum pada mata kuliah

Evaluasi Sensori Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2008).

Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Karakterisasi Tepung

Jagung Lokal dan Mie Basah Jagung yang Dihasilkan”, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dedi

Fardiaz, M.Sc dan Tjahja Muhandri, STP, MT.