karakteristik alterasi dan mineralisasi bijih besi …
TRANSCRIPT
KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI BIJIH
BESI DAERAH PAKKE KECAMATAN BONTOCANI
KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN
CHARACTERISTICS ALTERATION AND MINERALIZATION OF IRON
ORE AT PAKKE AREA, BONTOCANI SUBDISTRICT
BONE REGENCY SOUTH SULAWESI
HARWAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2018
ii
KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI BIJIH
BESI DAERAH PAKKE KECAMATAN BONTOCANI
KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Geologi
Disusun dan diajukan oleh
HARWAN
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2018
TESIS
KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI BIJIH BESI DAERAH
PAKKE KECAMATAN BONTOCANI KABUPATEN BONE
SULAVI'ESI SELATAN
Disusun dan diajukan oleh
HARWANNomor Pokok P3000216004
telah dipertahankan didepqn Panitia Ujian Tesis
Pada,,tanggal, 13 Agustus 2018
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat,,'1,.'l i':.,|:,.i'
lil,fDr. lr, lrzal Nur. MT
Ketua
t-BDf. Eng. Adi Maulana. ST.. M.Phit
Anggota
Teknik
;
n,
sgarffi
,Tt:r
{lrA
(i'1
.:i:j I;*-) .d-s't[Y.t
StudiTeknik Geologi
iv
PERNYATAAN KEASLIAN PROPOSAL TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Harwan
Nomor Mahasiswa : P3000216004
Program Studi : Magister Geologi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Gowa,
Yang Menyatakan
Harwan
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis dengan judul
“Karakteristik Alterasi dan Mineralisasi Bijih Besi Daerah Bontocani dan
Sekitarnya”, dapat diselesaikan
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan rasa hormat
dan terima kasih kepada Dr. Ir. Irzal Nur, M.T selaku Pembimbing Utama
dan Dr.Eng. Adi Maulana, S.T., M.Phil. selaku Pembimbing Pendamping,
atas segala curahan ilmu, saran pemikiran, motivasi dan nasehatnya
sehingga tesis ini dapat terseleaikan tepat pada waktunya. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Dr. Adi Tonggiroh, S.T., M.T selaku Ketua
Program Studi Magister Geologi dan Dr.Eng. Asri Jaya HS, ST., M.T selaku
Ketua Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam rangka
pengumpulan informasi mengenai permasalahan terkait penelitian ini,
Bapak dan Ibu dosen Departemen Geologi Universitas Hasanuddin yang
telah memberikan bimbingannya, Staf Departemen Geologi Universitas
Hasanuddin, ucapan terima kasih kepada kedua orang tua penulis atas
segala dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama menjalani
pendidikan dan penelitian, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, atas segala bantuan dan motivasi yang diberikan selama ini.
vi
Akhir kata, semoga penyusunan proposal ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca, khususnya bagi penulis. Amin.
Gowa, Juli 2018 Penulis,
Harwan NIM. P3000216004
ix
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN TUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN iv
PRAKATA v
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Batasan Masalah 4
D. Tujuan Penelitian 5
E. Manfaat Penelitian 5
F. Peneliti Terdahulu 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 7
A. Kondisi Geologi 7
B. Endapan Skan 12
C. Mineralogi dan Alterasi Skarn 13
D. Tipe Endapan Skarn 18
E. Mineral-mineral Pembawa Bijih Besi 19
F. Tekstur Bijih 26
x
BAB III. METODE PENELITIAN 33
A. Rancangan Penelitian 33
B. Lokasi dan Kesampaian Daerah 34
C. Alat dan Bahan 35
D. Pengumpulan Data 36
E. Teknik Pengambilan Data 37
F. Analisis Laboratorim 38
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 39
A. Litologi Daerah Penelitian 39
B. Tipe Alterasi 42
C. Mineral Bijih 46
D. Tekstur Bijih 47
E. Paragenesis 51
F. Paragenesis Daerah Penelitian 64
G. Mineralisasi 66
H. Geokimia 70
I. Kadar Bijih 75
J. Tipe Endapan Skarn 76
BAB V. PENUTUP 78
A. Kesimpulan 78
B. Saran 79
DAFTAR PUSTAKA 80
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Mineralogi endapan skarn 17 2 Urutan pembentukan mineral alterasi 46 3
Hasil pengamatan mineral bijih dengan tekstur pada sayatan poles
47
4 Tahapan pembentukan mineral bijih pada daerah
penelitian 66
5 Hasil Analisis XRF 71
4 Hasil Analisis ICP-OES/MS 71 7 Tahap pembentukan mineral alterasi dan bijih pada
daerah Pakke Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone
77
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Peta Geologi Regional daerah Bontocani pada Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai (modifikasi dari Sukamto dan Supriatna, 1982; Mulana et al, 2015)
10
2 Tahapan pembentukan skarn berdasarkan fungsi
waktu dan suhu; 1. Kalsit, diopsid; 2. Kalsit, diopsid, wollastonit, vesuvianit, grossular; 3. Andradit, diopsid, hedenbergite, epidot; 4. Kuarsa, kalkopirit, scheelite; 5. Amphibole, kalsit, epidot, kuarsa; 6. Zeolit
15
3 Tahapan pembentukan skarn; (1) Tahap isokimia
dengan perkembangan hornfels dan dimulainya reaksi skarn pada batuan karbonat; (2) Tahap metasomasime dengan perkembangan exoskarn dan endoskarn; (3) Tahap retrograde dimana pembentukan mineral-mineral hydrous dan mineral sulfida
16
4 Mineral Goetit 20 5 Mineral Limonit 21 6 Mineral Hematit 23 7 Mineral Magnetit 24 8 Mineral Ilmenit 25 9 Peta Tunjuk Lokasi Penelitian 35
10 Peta Stasiun Pengambilan Sampel 37
11 Bagan Alir Penelitian 40
12 a. Foto sampel bijih besi stasiun 9; b. Kenampakan singkapan bijih besi dengan Batugamping pada stasiun 9; c. Foto sampel bijih besi stasiun 1; d. Kenampakan singkapan stasiun 1
42
xiii
13 Fotomikrograf sayatan batuan ST.10.PA yang memperlihatkan kehadiran mineral garnet (Gr), epidot (Ep) dan kalsit (Ca).
43
14 a. Difraktogram XRD stasiun 2 (ST.2.P)
memperlihatkan kehadiran mineral garnet dan mineral grup piroksinoid wollastonit; b. Difraktogram XRD stasiun 8 memperlihatkan kehadiran mineral grup garnet andradit; c. Difraktogram XRD stasiun 9 memperlihatkan kehadiran mineral grup piroksi diopsid
44
15 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
tekstur intergrowth antara magnetit (Mag) dan manganit (Mn)
48
16 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
tektstur granular antara magnetit (Mag) dan manganit (Mn).
49
17 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
tekstur replacement. a. Replacement mineral magnetit oleh hematit; b. Replacement mineral manganit oleh pirolusit; c. Replacement mineral magnetit oleh kalkopirit; d. Replacement mineral manganit oleh kalkopirit.
50
18 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
tekstur open space filling. a. Mineral azurit mengisi pori pada mineral magnetit; b. Mineral goetit mengisi pori dan rekahan pada mineral magnetit dan manganit
51
19 Fotomikrograf sayatan poles (ST.1.P) yang
memperlihatkan urutan paragenisis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, azurit, bornit dan goetit.
52
20 Fotomikrograf sayatan poles (ST.2.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, siderit, manganit, hematit, kalkopirit, galena dan goetit.
53
21 Fotomikrograf sayatan poles (ST.3.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih 55
xiv
berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, azurit dan goetit.
22 Fotomikrograf sayatan poles (ST.4.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, hematit, kalkopirit, pirit, arsenopirit dan goetit.
56
23 Fotomikrograf sayatan poles (ST.5.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, azurit dan goetit.
57
24 Fotomikrograf sayatan poles (ST.6.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, franklinit, manganit, pirolusit, kalkopirit dan goetit.
59
25 Fotomikrograf sayatan poles (ST.8.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, kalkopirit, pirit, hematit dan goetit.
60
26 Fotomikrograf sayatan poles (ST.9.P.A) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit azurit dan goetit..
62
27 Fotomikrograf sayatan poles (ST.10.P.A) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, hematit, pirit dan goetit.
63
28 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih pada daerah penelitian.
65
29 Peta sebaran endapan bijih besi 67
30 a. Foto sampel mineralisasi bijih besi. b. foto lokasi pengambilan sampel. c. peta lokasi pengambilan sampel.
68
31 Difraktogram XRD memperlihatkan kehadiran
mineral bijih besi dan mangan, serta mineral sulfida. 69
xv
a. Analisis XRD stasiun 1; b. analisis XRD stasiun 4; c. Analisis XRD stasiun 10.
32 Grafik perbandingan Fe2O3, SiO2 dan MnO 70
33 Diagram garis isocon perbandingan sampel ST.7.P (BB) dan ST.10.P.A (BG).
74
34 Histogram menampilkan unsur-unsur yang
mengalami pengayaan 74
35 Perubahan komposisi unsur-unsur sampel sampel
ST.7.P (BB) dan ST.10.P.A (BG). 75
36 Grafik Pebandingan Kadar Fe dan Mn pada daerah
penelitian 76
37 Ilustrasi tahapan pembentukan endapan skarn pada
daerah penelitian 78
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Lampiran A. Analisisi Megaskopis 84 2 Lampiran B. Analisisi Petrografi 97 3
Lampiran C. Analisisi mineragrafi 103
4 Lampiran D. Analisisi X-Ray Diffractions 133 5 Lampiran E. Analisis X-Ray Fluoresence 146 6 Lampiran F. Peta 157
vii
ABSTRAK
HARWAN. Karaktersistik Alterasi dan Mineralisasi Bijih Besi Daerah Pakke
Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (dibimbing oleh
Irzal Nur dan Adi Maulana).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tipe alterasi dan karaktersitik
mineralisasi, tekstur, paragenesis bijih besi serta menentukan tipe endapan
bijih besi di daerah Pakke Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone,
Sulawesi Selatan.
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara random dengan
sampel berupa batuan dan mineralisasi bijih. Sampel batuan dianalisis
dengan menggunakan analisis petrografi, analisis mineragrafi, XRD, XRF
ICP-OES dan ICP-MS.
Hasil penelitian menunjukkan Host-rock endapan bijih besi di daerah Pakke
yaitu batuan karbonat. Tipe alterasi yang berkembang di daerah penelitian
yaitu alterasi skarn, yang dicirikan oleh kehadiran mineral garnet, epidot,
diopsid dan wollastonit. Tahap pembentukan mineral alterasi dimulai dari
tahap isokimia (600oC), tahap metasomatisme (600-400oC) dan tahap
retrograde (400-200o). Karakteristik mineralisasi yang terbentuk
memperlihatkan kehadiran bijih besi pada batuan karbonat dimana mineral
pembawa bijih berupa magnetit dan hematit. Mineral bijih besi berasosiasi
dengan mineral bijih mangan. Urutan pembentukan mineral bijih pada
daerah penelitian dimulai dari magnetit, siderit, franklinit, manganit, pirolusit,
hematit, galena, kalkopirit, pirit, azurit dan goetit. Kadar bijih besi pada
daerah penelitian yaitu sekitar 37,6-38,5%. Sedangkan mineral asosiasi
bijih besi yaitu bijih mangan memiliki kadar sekitar 2,4-3,1%. Tipe endapan
pada daerah penelitian yaitu endapan skarn. Dimana endapan skarn pada
daerah penelitian terbentuk pada lingkungan oksidasi.
viii
ABSTRACT
HARWAN. The Characteristics of Alteration and Mineralization of Iron Ore at Pakke Area, Bontocani Subdistrict, Bone Regency, South Sulawesi (supervised by Irzal Nur and Adi Mulana)
This research aimed (1) to determine the types of alteration and characteristics of mineralization, texture, paragenesis of iron ore; (2) to determine the types the iron ore at Pakke Area, Bontocani Subdistrict, Bone Regency, South Sulawesi Province.
The research sample collection was conducted randomly and the samples were in the form of rocks and the mineralization of iron ore. The rock samples were analyzed using the petrography analysis, mineragraphy analysis, XRD, XRF, and ICP-OES/MS.
The research results indicated that the Host-rock of iron ore at Pakke Area was Carbonate Rocks. The alteration type developing in the research area was the skarn alteration type, which is characterized by the presence of minerals garnet, epidot, diopsid, and wollastonite. The formation alternation mineral was started from the isochemical process (600oC), the metasomatism process (600-400oC), and the retrograde process (400-200o). The formation of the mineralization showed the presence of iron ore with the help of carbonate in which the garrier of iron ore in the form of magnetit and hematite. The iron mineral was associated with the mangan ore mineral. The sequences of the formation of iron ore of mineral at the research area started from magnetite, siderite, franklinite, manganite, pyrolusite, hematite, galena, chalcopyrite, pyrite, azurite and goetite. The content of iron ore at the research area was about 37,6-38,5%, while the mineral associate of iron was the mangan which had the content of about 2,4-3,1%. The deposits type at the research area was the skarn deposits, where the skarn deposits would developing around the oxidation of the surroundings.
Keywords: paragenesis, alteration, mineralization, iron ore.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bijih besi merupakan salah satu ore (bijih) yang memiliki nilai
komoditas cukup tinggi. Bijih besi dapat dimanfaatkan untuk berbagai
macam keperluan, mulai dari pembuatan keperluan rumah tangga hingga
campuran untuk peralatan berbasis teknologi canggih. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dan
meningkatnya kebutuhan akan logam dasar pada awal milenium ketiga,
membuat permintaan dunia industri terhadap mineral logam seperti besi
(Fe) akhir-akhir ini meningkat tajam. Terutama pasokan industri baja untuk
negara-negara maju seperti Cina dan Jepang. Hal ini terlihat dari
banyaknya perusahaan pertambangan yang melakukan eksplorasi daerah
baru untuk mencari cadangan iron deposits di beberapa tempat, khususnya
Indonesia (Ishlah, 2014). Salah satu daerah di Indonesia dengan potensi
sumberdaya logam yang melimpah yaitu Kabupaten Bone Provinsi
Sulawesi Selatan.
Di daerah Lappadata, Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone dijumpai
mineralisasi sulfida tipe urat yang berasosiasi dengan endapan besi
manganis sekunder (hematit dann mangan) yang menerus ke utara dari
daerah Biru area. Urat-urat kuarsa-sulfida ini memenetrasi host rock
2
batugamping dalam bentuk fissure filling, pada arah yang sama dengan
arah zona bijih besi manganis tersebut. Seri urat ini bersifat diskontinyu dan
berkemiringan terjal dengan tebal < 5 m, dan terdiri atas diseminasi,
gelembung kecil (blebs), dan veinlets galena yang mengandung perak, pirit,
arsenopirit, magnetit, serta sedikit kalkopirit dan pirrhotit. Galena juga
terbentuk sebagai lensa-lensa dan urat-urat pendek. Mineral gangue yang
dominan adalah kuarsa dan karbonat (Nur et al., 2017).
Di bagian selatan Kabupaten Bone daerah Bontocani, Kabupaten
Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Bijih besi di daerah ini ditemukan berupa
bongkah-bongkah bijih besi magnetit dan hematit yang berasosiasi dengan
intrusi granodiorit dan pegmatit granodiorit (Utoyo, 2008).
Penelitian tentang bijih besi di Kecamatani Bontocani telah dilakukan
Widi et al (2007), di daerah Tanjung dan Pakke. Daerah Tanjung terletak
dibagian selatan dan daerah Pakke terletak dibagian utara. Genesa
mineralisasi pada kedua daerah memiliki perbedaan yang sangat signifikan.
Tipe mineralisasi di daerah Tanjung dijumpai secara spesifik kelompok
mineral silika-karbonat seperti garnet, piroksin dan epidot. Sedangkan
untuk kelompok mineral bijih dijumpai magnetit yang berasosiasi dengan
garnet di dalam batuan beku diorit. Daerah Tanjung menunjukkan
kandungan Fe lebih dari 60% dengan kandungan silika kurang dari 5%.
Sedangkan tipe mineralisasi di daerah Pakke yang berada 5 km timur laut
daerah Tanjung menunjukan pola mineralisasi yang sangat berbeda. Di
daerah ini dijumpai mineralisasi yang terjadi di batuan karbonat yang
3
membentuk zona bijih dengan arah mineralisasi timur laut-barat daya.
Kelompok mineral bijih pada daerah ini terdiri dari hematit, magnetit dan
mineral pembawa bijih mangan dibeberapa lokasi. Kandungan Fe di daerah
Pakke kurang dari 40% dan kandungan silika lebih dari 23%.
Penelitian detail tentang bijih besi masih sangat kurang sehingga perlu
dilakukan kajian mengenai keberadaan dan tipe endapan bijih besi yang
ada di Kabupaten Bone khususnya di daerah Bontocani yang meliputi
karakteristik, diagenesa dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka diharapkan penulis dapat memahami
kondisi endapan bijih besi daerah Bontocani terutama proses alterasi dan
mineralisasi secara rinci pada endapan bijih besi di daerah Pakke
Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan.
B. Rumusan Masalah
Sebagai salah satu usaha untuk melakukan studi mineralisasi pada
daerah Pakke Kecamatan Bontocani, dilakukan penyelidikan mineralogi
bijih dan kelimpahannya. Karakteristik mineralogi ini akan memberikan
indikasi dari suatu jenis endapan yang kemudian akan dapat memberi
petunjuk dan arahan eksplorasi daerah ini.
Penyelidikan mineralogi juga adalah hal yang penting dan merupakan
aspek yang perlu dalam melengkapi dari studi pra-kelayakan maupun
kontrol kualitas dalam langkah optimisasi pengolahan. Hasil analisis
mineralogi harus dipertimbangkan untuk kepentingan proses pengolahan
4
sehingga dapat ditentukan metode pengolahan yang tepat dan optimum
(Gasparrini, 1993). Permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut:
1. Menentukan jenis batuan host-rock endapan bijih besi pada daerah
penelitian berdasarkan analisis petrografi dan geokimia.
2. Menjelaskan apa tipe alterasi yang terjadi di daerah Pakke dengan
melakukan analisis himpunan mineral alterasi.
3. Menjelaskan karakteristik mineralisasi endapan bijih besi pada daerah
Pakke berdasarkan analisis mineragrafi dan analisis geokimia mineral.
4. Menjelaskan kadar bijih besi yang terdapat pada derah penelitian
berdasarkan analisis geokimia
5. Menjelaskan karakteristik endapan bijih besi daerah penelitian dengan
menyimpulkan hasil analisis petrografi, mineragrafi dan geokimia.
C. Batasan Masalah
Batasan penelitian yang akan diuraikan dalam penelitian ini yaitu
untuk mengetahui tipe alterasi dan mineralisasi yang terdapat di daerah
Pakke Kecamatan Bontocani ditinjau dari analisis yaitu:
1. Aspek-aspek yang berhubungan dengan terjadinya proses alterasi.
2. Prospeksi dan tipe mineralisasi sehingga dapat dibuat rekonstruksi
model mineralisasi di daerah penelitian.
3. Model genetik endapan bijih besi daerah penelitian.
5
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan-rumusan permasalahan yang dikemukakan
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan jenis batuan host-rock endapan bijih besi daerah
penelitian.
2. Mengetahui tipe alterasi yang terdapat pada daerah penelitian
berdasarkan himpunan mineral ubahan proses alterasi dan
karakteristik endapan bijih besi.
3. Mengetahui karakteristik mineralisasi endapan bijih besi pada daerah
penelitian.
4. Menjelaskan paragenesis mineral bijih pada daerah penelitian.
5. Mengetahui kadar bijih besi pada daerah penelitian.
6. Menjelaskan tipe genetik endapan bijih besi pada daerah penelitian.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi karakteristik alterasi dan mineralisasi daerah
penelitian.
2. Memberikan informasi tipe endapan bijih besi daerah penelitian.
3. Memberikan informasi untuk kepentingan kegiatan eksplorasi dan
pengolahan endapan bijih besi.
6
4. Memberikan informasi untuk pengembangan ilmu geologi mengenai
alterasi dan mineralisisi terkhusus untuk bijih besi.
F. Peneliti Terdahulu
1. van Leeuwen (1981), melakukan penelitian tentang geologi baratdaya
Sulawesi khususnya daerah Biru.
2. Rab Sukamto dan Sam Supriatna (1982), melakukan pemetaan
geologi regional berskala 1 : 250.000 di daerah Sulawesi Selatan
terkhusus peta lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai.
3. Bambang Nugroho Widi, Bambang Pardiarto dan Mulyana (2007),
melakukan penelitian tentang mineralisasi endapan bijih besi daerah
Bontocani Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.
4. Harry Utoyo (2008), melakukan penelitian tentang prospeksi bijih besi
di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.
5. Theo M. van Leeuwen dan Peter E. Pieters (2011), melakukan
penelitian tentang endapan mineral di Pulau Sulawesi.
6. Winda, Herianto, dan Untung Sukamto (2015), melakukan
penyelidikan geomagnet untuk pendugaan bijih besi PT. Berkah Alam
Semesta di Desa Bana Kecamatan Bontocani.
7. Irzal Nur, Ulva Ria Irfan, Asran Ilyas, dan Fauzi Syaiful Adam,
melakukan penelitian tentang karakterisasi mineralogi pada prospek
mineralisasi sulfida tipe urat di daerah Lappadata, Kabupaten Bone,
Sulawesi Selatan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kondisi Geologi
Sulawesi Baratdaya terletak pada bagian selatan Mandala Barat
Sulawesi. Berdasarkan keadaan morfologi dan dan tektoniknya, oleh van
Leeuwen (1979), fisiografi Sulawasi Baratdaya ini dibagi atas dua jajaran
pegunungan yang memanjang berarah relatif Utara–Selatan yang diberi
nama Pegunungan Bone. Kedua jajaran pegunungan tersebut menyatu di
ujung Selatan dari jazirah Baratdaya ini membentuk bentang alam gunung
yang didominasi oleh Gunung Lompobattang. Sedangkan daerah antara
kedua pegunungan ini adalah lembah Sungai Walanae yang membentuk
struktur Graben, dikenal dengan nama depresi Walanae. Struktur ini
merupakan bentukan dari zona sesar Walanae yang berarah relatif
Baratlaut–Tenggara.
Batuan tua yang masih dapat diketahui kedudukan stratigrafi dan
tektonikanya adalah sedimen flych Formasi Balangbaru dan Formasi
Marada; bagian bawah tidak selaras menindih satuan yang lebih tua dan
bagian atasnya ditindih tidak selaras oleh batuan yang lebih muda. Batuan
yang lebih tua merupakan masa yang terimbrikasi melalui sejumlah sesar
sungkup, terbreksikan, tergerus dan sebagian tercampur menjadi melange.
Oleh karena itu, komplek batuan ini dinamakan Komplek Tektonik
8
Bantimala. Berdasarkan himpunan batuannya diduga Formasi Balangbaru
dan Formasi Marada itu merupakan endapan lereng di dalam sistem busur-
palung pada zaman Kapur Akhir. Gejala ini menunjukkan, bahwa melange
di Daerah Bantimala terjadi sebelum Kapur Akhir.
Kegiatan gunungapi bawah laut dimulai pada Kala Paleosen, yang
hasil erupsinya terlihat di timur Bantimala dan di daerah Barru (Lembar
Ujungpandang, Benteng dan Sinjai). Pada Kala Eosen Awal, rupanya
daerah di barat berupa tepi daratan yang dicirikan oleh endapan darat serta
batubara di dalam Formasi Malawa; sedangkan di daerah timur, berupa
cekungan laut dangkal tempat pengendapan batuan klastika bersisipan
karbonat Formasi Salo Kalupang. Pengendapan Formasi Malawa
kemungkinan hanya berlangsung selama Eosen Awal, sedangkan Formasi
Salo Kalupang berlangsung sampai Oligosen Akhir.
Di barat diendapkan batuan karbonat yang sangat tebal dan luas sejak
Eosen Akhir sampai Miosen Awal. Gejala ini menandakan bahwa selama
waktu itu terjadi paparan laut dangkal yang luas, yang berangsur-angsur
menurun sejalan dengan adanya pengendapan. Proses tektonik di bagian
barat ini berlangsung sampai Miosen Awal, sedangkan di bagian timur
kegiatan gunungapi sudah mulai lagi selama Miosen Awal, yang diwakili
oleh Batuan Gunungapi Kalamiseng dan Soppeng (Tmkv dan Tmsv).
Akhir dari kegiatan gunungapi pada Kala Miosen Awal diikuti oleh
kegiatan tektonik yang menyebabkan terjadinya permulaan terban
Walanae. Terban Walanae ini memanjang dari utara ke selatan lengan
9
Sulawesi bagian Barat sehingga struktur sesar ini sangat berpengaruh
terhadap struktur geologi sekitarnya. Proses tektonik ini juga yang
menyebabkan terbentuknya cekungan tempat pembentukan Formasi
Walanae. Peristiwa ini berlangsung sejak awal Miosen Tengah dan
menurun perlahan selama proses sedimentasi hingga Kala Pliosen
(Sukamto dan Supriatna, 1982).
Sesar utama yang berarah utara – baratlaut terjadi sejak Miosen
Tengah dan tumbuh sampai Post-Pliosen. Adanya perlipatan besar yang
berarah hampir sejajar dengan sesar utama diperkirakan terbentuk
sehubungan dengan adanya tekanan mendatar berarah kira-kira timur–
barat pada kala sebelum Pliosen Atas. Tekanan ini pula menyebabkan
adanya sesar sungkup lokal yang mensesarkan batuan Kapur Atas di
daerah Bantimala ke atas batuan Tersier. Perlipatan dan pensesaran yang
relatif lebih kecil di bagian timur Lembah Walanae dan di bagian barat
pegunungan barat, yang berarah baratlaut-tenggara, kemungkinan besar
terjadi akibat gerakan mendatar ke kanan sepanjang sesar besar.
Berdasarkan Dalam Peta Geologi Lembar Ujung Pandang, Benteng,
dan Sinjai (Sukamto dan Supriatna, 1982) diketahui bahwa batuan yang
menyusun daerah penelitian dan sekitarnya terdiri dari Batuan Gunungapi
Langi (Tpv), Formasi Tonasa (Temt), Granodiorit (gd),
10
Gambar 1. Peta Geologi Regional daerah Bontocani pada Lembar
Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai (modifikasi dari Sukamto dan Supriatna, 1982; Maulana et al, 2015)
Batuan Gunungapi Langi (Tpv); ini memiliki ketebalan sekitar 400 m,
ditindih tidak selaras oleh batugamping Formasi Tonasa berumur Eosen,
dan diterobos oleh batuan granodiorit (gd). Hasil penarikan umur
berdasarkan sifat radioaktif dari contoh tufa dari bagian bawah batuan
menghasilkan umur 63 juta tahun atau Paleosen.
Formasi Tonasa (Temt); batugamping, sebagian berlapis dan
sebagian pejal, koral, bioklastika dan kalkarenit, dengan sisipan napal
globigerina. Formasi ini tebalnya ±1750 m, tidak selaras menindih Batuan
Gunungapi Langi (Tpv) dan ditindih oleh Formasi Camba (Tmc); di
beberapa tempat diterobos oleh retas, sill dan stock bersusunan basal
11
dengan diorit, berkembang baik di sekitar Tonasa pada daerah Lembar
Pangkajene dan Watampone Bagian Barat (Sukamto dan Supriatna, 1982).
Granodiorit (gd); terobosan granodiorit, batuannya berwarna kelabu
muda, di bawah mikroskop terlihat adanya felspar, kuarsa, biotit, sedikit
piroksin dan hornblende, dengan mineral pengiring zirkon, apatit dan
magnetit; mengandung senolit bersifat diorit, diterobos retas aplit, sebagian
yang lebih bersifat diorit dan mengalami kaolinisasi. Batuan terobosan ini
tersingkap di sekitar daerah Biru, menerobos batuan dari Formasi Marada
(Km) dan Batuan Gunungapi Terpropilitkan (Tpv), tetapi tidak ada kontak
dengan batugamping Formasi Tonasa (Temt). Umur berdasarkan sifat
radioaktif dari contoh granodiorit yang menghasilkan umur 19 - 2 juta tahun
diinterpretasikan terobosan batuan ini berlagsung pada Kala Miosen Awal.
Formasi Camba (Tmcv): batuan sedimen laut berselingan dengan
batuan gunungapi, batupasir tufaan berselingan dengan tufa batupasir dan
batulempung ; bersisipan napal, batugamping , konglomerat dan breksi
gunungapi. dan batubara. Formasi ini adalah lanjutan dari Formasi Camba
yang terletak di Lembar Pangkajene dan Bagian Barat Watampone sebelah
utaranya kira-kira 4.250 m tebalnya, diterobos oleh retas basal piroksen
setebal antara ½ - 30 m, dan membentuk bukit-bukit memanjang Lapisan
batupasir kompak (10 - 75 cm) dengan sisipan batupasir tufa (1 - 2 cm) dan
konglomerat berkomponen basal dan andesit, yang tersingkap di Pulau
Salayar diperkirakan termasuk satuan Tmc.
12
Basal (b): terobosan basal berupa retas, sill dan stok, bertekstur porfiri
dengan fenokris piroksen kasar mencapai ukuran lebih dan 1 cm, berwarna
kelabu tua kehitaman dan kehijauan; sebagian dicirikan oleh struktur kekar
meniang, beberapa di antaranya mempunyai tekstur gabro. Terobosan
basal di sekitar Jeneberang berupa kelompok retas yang mempunyai arah
kira-kira radier memusat ke Baturape dan Cindako, sedangkan yang di
sebelah utara Jeneponto berupa stok.
B. Endapan Skarn
Istilah skarn berasal dari Swedia yang pada awalnya digunakan untuk
menjelaskan asosiasi antara batuan yang berkomposisi calc-sillcate dan
endapan bijih besi. Sebagian besar penulis modern mengadopsi usulan
Einaudi et al ,1981 untuk menggunakan skarn dan endapan skarn sebagai
penjelasan istilah berdasarkan kandungan mineraloginya, diluar dari
implikasi genetiknya .
Skarn adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu batuan
yang didominasi oleh mineral-mineral calc-silica yang terbentuk oleh proses
penggantian atau replacement dari batuan yang bersifat karbonat selama
proses metamorfisme atau akibat adanya kontak dengan proses
metasomatisme yang berasal dari suatu intrusi batuan beku (Meinert, dkk.
2005; Pirajno, 2009).
Skarn merupakan batuan yang tersusun oleh silikat Ca-Fe-Mg-Mn
yang terbentuk oleh penggantian batuan kaya karbonat selama proses
13
metamorfisme regional ataupun kontak dan metasomatisme (Einaudi et al.,
1981), sebagai respon pada intrusi batuan beku dari bermacam-macam
komposisi. Tidak semua skarn memiliki mineralisasi yang ekonomis,
karenanya ada yang disebut endapan skarn untuk memerikan skarn yang
berasosiasi dengan mineral-mineral ekonomis.
Proses terjadinya skarn melibatkan proses metamorfisme kontak yang
bertemperatur tinggi. Magma yang kaya akan silika menginstrusi batuan
sedimen yang kaya akan karbonat seperti batugamping. Daerah atau zona
yang dekat dengan intrusi tersebut akan mengalami proses pembakaran
(baked) dan terjadi proses metamorfisme kontak yang selanjutnya akan
terjadi penambahan unsur-unsur penyusun dari magma kedalam
batugamping (metasomatisme), terutama penambahan unsur silika dan
kalsium dan pengurangan unsur pada batugamping. Unsur silika dan
kalsium tersebut akan bergabung untuk membentuk mineral-mineral yang
kaya akan calcium silica pada temperatur yang tinggi (Pirajno, 2009).
C. Mineralogi dan Alterasi Skarn
Identifikasi dan klasifikasi dari endapan skarn adalah berdasarkan
mineraloginya. Walaupun beberapa mineral-mineral skarn adalah tipe-tipe
mineral pembentuk batuan, mineral-mineral yang lain sebagian besar
memiliki variasi komposisi yang dapat memberikan informasi lapangan
yang signifikan tentang lingkungan formasinya (Maulana, 2017). Ciri
mineralogi dari masing-masing jenis skarn secara umum terbagi menjadi
dua yaitu:
14
1. Skarn prograde yang terbentuk pada suhu tinggi, umumnya dijumpai
mineral-mineral bersuhu tinggi, seperti garnet, klinopiroksen, biotit,
humit, montiselit dan sebagainya.
2. Skarn retrograde yang terbentuk pada suhu rendah, umumnya
tersusun oleh mineral-mineral serpentin, amfibol, tremolit, epidot,
klorit, kalsit dan sebagainya.
Gambaran tentang mineralogi dan endapan skarn dapat dilihat pada
tabel 1. Secara mineralogi, kumpulan mineral Ca-Si yang dijumpai
dibedakan menjadi anhydrous dan hydrous mineral. Endapan bijih skarn
terbentuk akibat kontak antara batuan sumber dengan batuan karbonat.
Zona ini sangat dipengaruhi oleh komposisi batuan yang kaya akan
kandungan mineral karbonat. Pada kondisi yang kurang akan air, zona ini
dicirikan oleh pembentukan mineral garnet, klinopiroksin, dan wollastonit
serta mineral magnetit dalam jumlah yang cukup besar, sedangkan pada
kondisi yang kaya akan air, zona ini dicirikan oleh mineral klorit, tremolit-
aktinolit dan kalsit dn larutan hidrotermal. Garnet-piroksen-karbonat adalah
kumpulan yang paling umum dijumpai pada batuan induk karbonat. Amfibol
umumnya hadir pada skarn sebagai mineral tahap akhir yang menutupi
mineral-mineral tahap awal. Aktinolit (CaFe) dan tremolit (CaMg) adalah
mineral amfibol yang paling umumhadir pada skarn. Jenis piroksin yang
sering hadir adalah diopsid (CaMg) dan hedenbergit (CaFe) (Pirajno, 2009).
Alterasi pada endapan skarn terbentuk pada fluida yang mempunyai
salinitas tinggi dengan suhu tinggi (sekitar 300o-700oC). Proses
15
pembentukan skarn akibat urutan kejadian isokimia-metasomatisme-
retrograsi dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Isokimia merupakan transfer panas antara larutan magma dengan
dengan batuan samping, prosesnya H2O dilepas dari intrusi dan CO2
dari batuan samping yang karbonat. Proses ini sangat dipengaruhi
oleh temperatur, komposisi, dan tekstur host rock.
2. Metasomatisme, pada tahap ini tejadi eksolusi larutan magma ke
batuan samping yang karbonatan sehingga terbentuk kristalisasi pada
celah-celah atau rekahan yang dilewati larutan magma.
3. Retrogradasi merupakan tahap ketika larutan magma sisa telah
menyebar pada batuan samping dan mencapai zona kontak dengan
water falk sehingga air tanah turun dan bercampur dengan larutan.
Gambar 2. Tahapan pembentukan skarn berdasarkan fungsi waktu dan
suhu; 1. Kalsit, diopsid; 2. Kalsit, diopsid, wollastonit, vesuvianit, grossular; 3. Andradit, diopsid, hedenbergite, epidot; 4. Kuarsa, kalkopirit, scheelite; 5. Amphibole, kalsit, epidot, kuarsa; 6. Zeolit (Pirajno, 2009).
16
Gambar 3. Tahapan pembentukan skarn; (1) Tahap isokimia dengan
perkembangan hornfels dan dimulainya reaksi skarn pada batuan karbonat; (2) Tahap metasomasime dengan perkembangan exoskarn dan endoskarn; (3) Tahap retrograde dimana pembentukan mineral-mineral hydrous dan mineral sulfida (Pirajno, 2009).
17
Tabel 1. Mineralogi endapan skarn (Meinert et. al, 2005)
18
D. Tipe Endapan Skarn
Skarn dapat dibagi berdasarkan beberapa kriteria diantaranya
berdasarkan skala, batuan asal (protolith) yang terubah dan logam yang
dikandungnnya. Berdasarkan skala, endapan skarn dibagi menjadi dua
yaitu (Einaudi, 1981).
1. Reaction skarn dicirikan dengan penyebaran yang tidak luas,
umumnya berikisar dari mm sampai dengan cm dan sering disebut
dengan local exchange skarn yang terbentuk dari proses high grade
regional metamorphism pada kontak antara serpih dan batugamping
2. Replacement skarn umumnya memiliki penyebaran yang luas,
berkisar antara 1 m sampai dengan ratusan meter dan sering disebut
dengan bijih skarn karena menghasilkan mineralisasi yang terbentuk
dari adanya proses infiltrasi dari larutan yang berasal dari intrusi
batuan beku.
Berdasarkan batuan asalnya (protolith) skarn dibagi menjadi exoskarn
dan endoskarn (Pirajno, 2009).
1. Exoskarn digunakan untuk menjelaskan protolith yang terubah berasal
dari batuan sedimen terutama batuan karbonat, sedangkan endoskarn
digunakan untuk menjelaskan protolith yang terubah berasal dari
batuan beku intrusive atau batuan yang bersifat aluminous lainnya.
2. Exoskarn umumnya lebih berkembang daripada endoskarn dan
banyak mengandung mineral bijih. Exoskarn sendiri dapat dibagi
menjadi 2, yaitu exoskarn yang dijumpai pada batuan yang bersifat
19
dolomitik yang kaya akan Mg dengan mineral-mineral penciri seperti
forsterik, serpentinit, dan biasa disebut magnesian skarn, dan
exoskarn yang dijumpai pada batuan yang kaya akan karbonat dan
Ca dengan mineral penciri berupa andradite, hedenbergite, dan biasa
disebut dengan calcic skarn.
E. Mineral-mineral Pembawa Bijih Besi
Barton dan Skinner (1979) menyebut endapan mineral (mineral
deposits) merupakan konsentrasi suatu mineral pada kerak bumi, terbentuk
secara alami serta pada daerah yang terbatas. Jadi apapun macam
mineralnya, dan bagaimana proses terkonsentrasinya, semuanya disebut
endapan mineral. Jika mineral-mineral yang terkonsentrasi mengandung
bahan atau material yang bernilai bagi manusia serta layak untuk
ditambang, maka endapan tersebut secara kusus disebut endapan bijih (ore
deposits) (Edwards dan Atkinson 1986, Guilbert dan Park 1986). Ore atau
bijih diartikan sebagai kumpulan batuan mineral yang mengandung logam
bernilai ekonomis yang konsentrasinya lebih tinggi daripada konsentrasi
rata-rata pada kerak bumi sehingga dapat diambil nilai ekonomisnya.
(Evans, 1993).
Bijih besi dibagi menjadi beberapa golongan diantaranya golongan
oksida, sulfida dan hidroksida. Golongan oksida meliputi hematit dan
magnetit sedangkan untuk golongan sulfida seperti pirit, kalkopirit,
20
arsenopirit dan pirotit. Limonit dan goetit termasuk ke dalam golongan
hidroksida. Berikut beberapa mineral-mineral pembawa bijih besi.
a. Goetit
Goetit merupakan mineral hidroksida besi yang memiliki sistem kristal
orthorhombik berwarna kuning kecokelatan, massa jenisnya 4,3 dan tingkat
kekerasan 5,3. Goetit atau bog iron ore umumnya memiliki kadar Fe
sebesar 63% dan sulit untuk diolah secara komersial jika kadar pengotor
(Mn) lebih dari 5%. Persebaran goetit terdapat di daerah deposit bagian
bawah tanah berlumpur diantaranya di Alsace-Lorraine, Wespalia, Bohemia
dan Danau Superior serta Gunung Apalachian di wilayah Amerika Serikat
(Mottana, 1977).
Gambar 4. Mineral goetit (Zhou et al, 2017).
21
b. Limonit
Limonit atau bijih besi lumpur (bog iron ore) dengan rumus kimia
Fe2O3.nH2O merupakan kumpulan mineral yang dihasilkan dari proses
oksidasi dan hidrasi mineral besi primer. Limont ini dapat berupa stalaktit
yang berwarna coklat karst (gossan) dengan goresan coklat kekuningan. Di
permukaan tanah limonit berupa lapisan kuning cokelat atau topi besi (iron
hat) yang menutupi lapisan bijih sulfida.
Gambar 5. Mineral limonit (Lm) berasosiasi dengan covelit (Cv) (Zhou et.
al, 2017).
Di alam limonit ditemukan pada urat-urat bijih besi yang mengandung
besi primer. Di alam limonit juga berperan sebagai semen alami yang
mengikat batuan sedimen (pasir) di batuan konglomerat. Di lingkungan air
22
seperti rawa-rawa dan tanah berlumpur, limonit terbentuk melalui proses
penguapan pada mineral bijih yang dibantu bakteri-bakteri (Mottana, 1977).
c. Hematit
Hematit merupakan mineral besi golongan oksida dengan rumus kimia
Fe2O3. Hematit biasanya berbentuk tipis dan pipih. Mineral ini memiliki
permukaan yang dapat berubah warna jika sinar datang dari berbagai arah
(iridescent). Hematit berwarna kemerahan atau merah tua, abuabu gelap
dan hitam. Mineral ini memiliki tingkat kekerasan 5,5 – 6,5 dan massa
jenisnya 4,2 – 5,25. Hematit memiliki sistem kristal rhombohedral formasi
raksasa (massive formation) berbentuk kelopak mawar (iron rose).
Seringkali warna batuan dari mineralnya merah atau coklat
kemerahan, bersifat opaque dengan kilap metalik. Hematit memiliki goresan
merah cerry gelap yang mudah untuk dibedakan antara hematit, magnetit
dan ilmenit. Hematit akan larut jika mineral ini dipanaskan dengan asam
hidroklorik. Mineral ini terbentuk dari proses oksidasi yang banyak
ditemukan pada batuan beku. Daerah deposit terbesar terdapat di danau
Superior (USA), Quebec (Kanada), Venezuela, Brasil dan angola. Hematit
merupakan mineral utama pembawa logam besi (Mottana, 1977).
23
Gambar 6. Mineral hematit (Hem) yang berasosiasi dengan kuarsa (Qz)
(Zhou et al, 2017).
d. Magnetit
Magnetit atau lodestone (magnet alam) berwarna hitam dan tidak
tembus cahaya dengan rumus kimia Fe3O4. Mineral ini memiliki susunan
kristal sistem isometrik berupa oktahedron dan dodecahedron. Selain itu,
mineral ini memiliki massa jenis 5,18 dan tingkat kekerasan 5,5 – 6,5.
Mineral ini memiliki sifat fisik berupa kilap logam, ferromagnetik dan
goresan berwarna hitam.
24
Gambar 7. Mineral magnetit (Mag) berasosiasi dengan garnet (Grt)
dan kalkopirit (Ccp) (Zhou et. al, 2017).
Magnetit akan larut perlahan dengan asam hidroklorik. Magnetit juga
mengandung titanium atau chromium. Daerah deposit magnetit yaitu
berada di Norwegia, Romania, Rusia dan Afrika Selatan (Mottana, 1977).
e. Ilmenit
Ilmenit merupakan mineral golongan oksida dengan rumus kimia
FeTiO3. Mineral ini memiliki sistem kristal heksagonal dan tingkat kekerasan
5 – 6. Mineral ini juga tidak tembus cahaya dan memiliki kilap sub-logam.
Mineral ini berwarna hitam atau coklat gelap dengan goresan berwarna
hitam sampai coklat kemerahan. Ilmenit akan larut berbentuk bubuk jika
terkonsentrasi dengan asam hidroklorik. Jika dipanaskan mineral ini
cenderung bersifat magnetik atau kurang magnetik dalam kondisi dingin.
25
Karakteristik fisik bervariasi tergantung dengan jumlah magnesium dalam
solid solution. Ilmenit membentuk solid solution dengan geikelite MgTiO3.
Pada lingkungan batuan plutonik ilmenti terbentuk sebagai produk
segregasi temperatur tinggi yang juga terjadi di daerah pegmatites dan
nepheline syenittes.
Gambar 8. Mineral goetit (Zhou et. al, 2017).
Daerah konsentrasi terbesar ilmenit terletak pada pasir terutama pada
pasir laut atau batuan metamorphik seperti pada klorit. Kristal ilmenit besar
ditemukan di daerah diorit Kragero (Norwegia) sementara kristal berukuran
kecil bersinar dan berbentuk menarik ditemukan di Novara (Italia) dana
kawasan St. Gotthard (Swiss). Kristal ilmenit berukuran 2,5 cm ditemukan
di kota Orange dan Warwick (New York). Deposit terbesar di Norwegia,
India, Brasil, Kanada, Florida dan Rusia. Ilmenit merupakan bijh utama dari
titanium (Mottana, 1977).
26
F. Tekstur Bijih
Tekstur Bijih adalah hubungan antara mineral dalam suatu endapan
bijih. Dalam hal ini dapat diketahui gambaran pembentukan awal bijih,
metamorfosa, lingkungan pengendapan, kemungkinan pengolahannya,
deformasi dan pelapukan dari bijih. Hal yang perlu diperhatikan dalam
pengamatan tekstur bijih adalah banyak tekstur yang mempunyai kemiripan
penampakan tapi proses pembentukannya mungkin saja berbeda.
Untuk memperjelas tekstur bijih yang terbentuk akibat dari proses
hidrotermal maka akan diberikan tahapan yang terjadi selama
pembentukan deposit hidrotermal, berupa masuknya larutan hidrotermal
bersuhu tinggi ke dalam lingkungan yang lebih rendah sehingga terjadi
presipitasi dan terbentuk mineral awal.
Klasifikasi tekstur bijih oleh Ramdohr (1969):
a. Tekstur Bijih Berdasarkan Tinjauan Geometris
1) Butiran Tunggal
b) Zoning, yaitu kenampakan struktur yang berlapis-lapis
mengelilingi suatu inti. Zoning menunjukkan suatu pertumbuhan
yang cepat, temperatur yang rendah dan impure solution.
Diakibatkan oleh :
i. Deposisi yang ridak menerus, ditandai oleh diskointinitas
dalam struktur butiran mineral
ii. Perubahan dalam kecepatan pertumbuhan berhubungan
dengan inklusi.
27
iii. Variasi dalam komposisi lapisan yang terendapkan
c) Twinning (kembaran), Jenis-jenis kembaran antara lain akibat
pertumbuhan (growth/primary twinning), kembar inversi dan akibat
deformasi (mechanical twinning :glide twinning, translation
twinning). Kembar inversi umumnya terbentuk lurus-lurus, tidak
pararel di setiap butir dan membentuk jaringan intergrowth.
Kembar akibat deformasi biasanya ditandai oleh parting, blending,
rekahnya butiran mineral dan pemadaman bergelombang.
d) Pertumbuhan Radial, yaitu pertumbuhan yang bebas dari kristal-
kristal berbentuk kolom atau prismatik sering berupa kristal dalam
bentuk radial.
e) Struktur Mozaik, terjadi jika bidang sisi kristalnya sedikit tergeser
dari posisinya akibat tekanan yang kecil, tapi tidak sampai
menghambat pertumbuhannya. Hal ini dipengaruhi oleh adanya
bagian dengan defective orientation, inklusi yang tidak pas
dengan kisi kristal atau gangguan struktur lainnya.
f) Inklusi. Karateristik dari inklusi bergantung pada keadaan
pembentukan inklusi dan mineral induknya (mineral yang
membungkus inklusi tersebut), inklusi dapat berupa butiran
mineral yang terperangkap selama pertumbuhan mineral induk
atau berupa sisa dari mineral yang sudah terbentuk lebih dahulu
kemudian digantikan oleh mineral induk.
28
2) Intergrowth (Tumbuh Bersama)
a) Intergrowth dengan Orientasi, yaitu intergrowth yang
menunjukkan adanya kecocokan antara bidang-bidang kristal dan
mineral-mineral tersebut bergantung pada keselarasan
sederhana dari kisi-kisi dalam satu, dua, atau semua arah sebagai
contoh sumbu enam dan bentuk heksagonal kristal pentlandtit.
b) Tekstur Emulsi, distribusi merata dari butiran equigranular yang
kecil dalam massa mineral yang lebih besar, umumnya berbentuk
bundar
c) Mimerkithic/ Graphic, menunjukkan pertumbuhan yang saling
memotong (inter-penetrating) oleh adanya butiran-butiran dua
atau lebih mineral yang berbeda dalam jumlah yang seimbang.
3) Bentuk- Bentuk Agregat
a) Orintasi Acak, jenis-jenis orientasi merupakan akibat dari :
i. Bentuk butiran (misalnya bentuk oval dengan sumbu
panjangnya yang terletak pararel satu dengan lainnya.
ii. Orientasi struktur.
iii. Struktur yang berserat (fibrous).
b) Rhytmic Growth, diakibatkan oleh perubahan komposisi mineral,
perubahan komposisi kimia mineral penyusunannya, perbedaan
ukuran butir, perubahan porositas, perubahan karakter
kristalografis.
29
c) Contact Rims/ Synantetic/ Intergranular Film, dalam jumlah
banyak yang terbatas hanya sebagai pengisi batas-batas butiran
(boundary filling) dan umumnya mempunyai komposisi yang
berkaitan dengan butiran mineral di dekatnya.
d) Reaction Rims, tekstur yang hamper sama dengan contact rims,
perbedaannya adalah tekstur ini terbentuk akibat proses
replacment. Contoh Mineral A yang berbatasan dengan mineral B
dapat dipisahkan oleh suatu lapisan tipis AxBy.
b. Tekstur Menurut Genesanya
1) Tekstur presipitasi primer
a) Growth, tekstur hasil peleburan dan solutions dibagi menjadi
tekstur granular, spheroidal, porfiritik, garfik, poikilitik, zonal,
oolitik, dll.
b) Koloidal, tekstur akibat presipitasi yang terdispersi secara intensif
dalam massa batuan.
c) Sedimenter, tekstur akibat proses sedimentasi termasuk juga
alterasi yang dialami selama proses tersebut. Umumnya terdapat
keseragaman dalam arah lateral.
2) Tekstur Transformasi
a) Paramorph : transorfmasi suatu senyawa yag tidak stabil/meta
stabil ke dalam senyawa dalam bentuk yang stabil misalnya
markasit ke pirit.
30
b) Eksolusi : Terjadi pada solid solution yang mencapai keadaan
supersaturasi. Faktor yang mendukung eksolusi ini antara lain
pendinginan perlahan,campuran yang tidak merata, inklusi,
tektonik.
c) Dekomposisi : struktur berkaitan erat dengan proses eksolusi
yang mengakibatkan perubahan komposisi kimianya.
d) Replacement – metasomatisme : tekstur yang diakibatkan oleh
suatu mineral yang menempai/ menggantikan tempat dari mineral
lain yang sudah ada terlebih dahulu. Proses yang
menyebabkannya dapat berupa proses hidrotermal, metamorfosis
dan pelapukan. Secara geometris tekstur ini oleh Grigorieff (1993)
dibagi sebagai berikut :
i. Filiform, penggantian dalam bentuk jaring-jaring veinlets
halus.
ii. Cellular , hanya terdapat sedikit sisa dari penggantian
iii. Shredded, sisa penggantian dalam bentuk potongan angular,
kadang sisinya cekung
iv. Skeleton shapped, bagian dari pinggiran mineral terlihat
dalam jumlah yang banyak
v. Graphic
vi. Lattice shapped, penggantian yang mengikuti orientasi
kristalografis
vii. Zonal, umumnya sebagai hasil dari proses eksolusi
31
viii. Dendritic, mineral tergantikan sepanjang bidang belahan
ix. Cement shapped, semen intergranular telah tergantikan
secara selektif, bisanya pada batuan sedimen
e) Transformasi Thermal, perubahan struktur pada daerah kontak
dengan larutan bersuhu tinggi. Umumnya dinding bijih yang
kontak ini akan memberikan penampakan yang khusus.
f) Tekstur Oksidasi, secara umum oksidasi akan menghilangkan
senyawa sulfida, selenida, arsenik, antimony dan Sulfosalt.
Bertambahnya volume akibat penambahan oksigen biasanya
diimbangi pengurangan atau penghilangan bagian lain dari
mineral seperti senyawa sulfida di atas. Hal inilah yang
memberikan ciri untuk tekstur ini.
g) Zona Sementasi, mirip dengan sementasi pada batuan sediment,
tapi yang menyebabkannya dapat berupa proses larutan sulfat
pada mineral sulfida, native metal yang mengalami presipitasi
langsung dan presipitasi bahan organik. Ditandai oleh tekstur
lateral hypogen dari material yang asalnya cair dan butiran lepas
berbentuk membundar.
3) Radioactive Haloes
Terdapat pada mineral-mineral radioaktif dan dimensi haloes tersebut
tergantung pada partikel hasil dekomposisi unsur U dan Th. Haloes ini lebih
mudah diamati pada mineral anisotrop.
32
4) Tekstur Sisa
Secara umum adalah mineral yang terbentuk pada tahapan awal dan
sudah tidak lagi berada dalam kesetimbangan (secara material, tekstural,
dan paragenetis) dengan fase berikutnya. Jadi sisa mineral awal itu dapat
terbentuk materi atau tekstur.
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan awal
dilakukan untuk mendapatkan informasi dan gambaran mengenai keadaan
geologi regional daerah penelitian. Tahap ini meliputi studi literatur, latar
belakang, rumusan masalah, maksud dan tujuan, batasan penelitian dan
administrasi.
Studi literatur dilakukan sebelum dan selama penelitian berlangsung
yang dimaksudkan untuk menentuan rancangan penelitian serta persiapan
yang menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan selama
pelakasanaannya. Tahapan ini meliputi studi tentang geologi regional
daerah penelitian, laporan atau jurnal dari peneliti terdahulu yang mencakup
daerah penelitian serta literatur-literatur geologi yang masih berkaitan
dengan batasan masalah penelitian.
Pada tahap kedua dilakukan pengambilan sampel di lapangan. Lokasi
pengambilan sampel dilakukan di daerah Pakke Kecamatan Bontocani
Kabupaten Bone. Pengambilan sampel dilakukan pada singkapan batuan
dan bijih yang dijumpai di lapangan.
34
Tahap ketiga dilakukan analisis petrografi, mineragrafi dan geokimia
dari sampel yang telah diperoleh dari lapangan. Analisis geokimia terdiri
dari XRD, XRF dan ICP-OES/MS.
Tahapan keempat yaitu menentukan tipe alterasi dan karakteristik
mineralisasi pada daerah penelitian. Setelah itu ditarik kesimpulan dari hasil
pembahasan. Tahapan ini juga merupakan tahap pembuatan tesis.
B. Lokasi dan Kesampaian Daerah
Penelitian alterasi dan mineralisasi bijih besi didasarkan pada
karakteristik petrografi, mineragrafi dan geokimia, dilakukan di daerah
Pakke Kecamtan Bontocani, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.
Secara administratif, daerah penelitian berada dalam wilayah Desa
Langi Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan .
Secara geografis dibatasi oleh 120°1’30” – 120°06’00” Bujur Timur dan
5°00’00” – 5°2’30” Lintang Selatan (Gambar 9).
Daerah penelitian dapat dijangkau dari Kota Makassar melalui jalur
darat dengan menggunakan kendaraan beroda dua maupun roda empat
selama ±5 jam dengan jarak tempuh ±240 km.
35
Gambar 9. Peta Tunjuk Lokasi Penelitian (Lampiran F)
C. Alat dan Bahan
1. Alat
Adapun peralatan yang digunakan di lapangan antara lain, yaitu:
a. Kompas geologi untuk menentukan kedudukan batuan.
b. Palu geologi untuk pengambilan comto sampel batuan.
c. GPS (Global Positioning System) untuk plotting titik dan tracking
lintasan pengamatan (navigasi dan orientasi medan).
d. Loupe dengan pembesaran 20x
e. Komparator Ukuran Butir
f. Pita Meter
g. Magnetic Pen
h. Kamera
36
i. Alat tulis menulis
j. Clipboard
k. Ransel lapangan
2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan di lapangan antara lain, yaitu:
a. Peta topografi berskala 1:25.000 yang merupakan hasil perbesaran
dari peta rupa bumi skala 1:50.000 edisi I terbitan Bakosurtanal
tahun 1991.
b. Peta geologi regional
c. Buku catatan lapangan
d. Kantong sampel
e. Larutan HCl (0,1 M)
f. Perlengkapan pribadi
D. Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan adalah tahapan yang dilakukan untuk
mendapatkan data-data yang diperlukan untuk melakukan analisis yang
terdiri dari data primer dan data penunjang lainnya yang dianggap perlu
(sekunder).
Pengumpulan data primer dilakukan untuk mendapatkan data yang
berhubungan langsung dengan objek masalah yang akan dianalisis.
37
E. Teknik Pengambilan Data
Pengambilan sampel dilakukan langsung di lapangan. Pengambilan
sampel batuan dilakukan langsung di lapangan secara acak (Random) di
setiap titik singkapan batuan dan singkapan bijih endapan bijih besi yang
dijumpai di lapangan. Setiap singkapan yang dijumpai dilapangan dilakukan
pengambilan sampel, plotting lokasi, foto dan pemberian label pada sampel.
Gambar 10. Peta Stasiun Pengambilan Sampel (Lampiran F).
F. Analisis Laboratorium
1. Analisis Petrografi
Analisis petrografi dimaksudkan untuk mengetahui jenis batuan
pembawa dan batuan samping endapan bijih besi yang terdapat di daerah
Pakke Kecamatan Bontocani. Pada analisis petrografi sampel dibuat
38
menjadi sayatan tipis dan di analisis di bawah mikroskop polarisasi Nikon
Tipe LV 100ND Pol. Preparasi sampel dilakukan di Laboratorium Preparasi
dan analisis petrografi dilakukan di Laboratorium Mineral Optik Departemen
Geologi Universitas Hasanuddin.
2. Analisis Mineragrafi
Analisis mineragrafi dimaksudkan untuk mengetahui jenis mineral
bijih, tekstur mineral bijih dan menentukan paragenesis endapan bijih yang
terjadi pada daerah penelitian. Pada analisis ini sampel dibuat menjadi
sayatan poles dan diamati dibawah mikroskop bijih Nikon Tipe LV 100ND
Pol. Preparasi sampel untuk sayatan poles dilakukan di Laboratorium
Preparasi dan analisis mineragrafi dilakukan di Laboratorium Mineral Optik
Departemen Geologi Universitas Hasanuddin.
3. Analisis XRD (X-ray Diffractions)
Pengamatan terhadap mineral dengan mikroskop terkadang
terkendala karena terbatasnya jenis mineral yang dapat diidentifikasi. Untuk
mengatasi hal tersebut digunakanlah metode analisis XRD.
Teknik ini dimaksudkan untuk menentukan mineral bijih dan mineral
alterasi yang sangat halus yang tidak dapat dilihat secara petrogafi dan
mineragrafi. Pada analisis XRD, sampel yang diperoleh dilapangan di
hancurkan menjadi bubuk halus dan selanjutnya di masukkan ke dalam alat
XRD. Preparasi dan Analisis XRD menggunakan XRD Shimadzu XRD-
7000L dilakukan di Laboratorium Geokimia Mineral Departemen Geologi
Universitas Hasanuddin.
39
4. Analisis XRF (X-Ray Fluoresence)
X-ray Fluorescence (XRF) merupakan analisis geokimia untuk
menentukan komposisi kimia unsur-unsur mayor pada batuan dan mineral
bijih pada daerah penelitian. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui
unsur mayor pada endapan bijih besi. Analisa XRF dilakukan sepenuhnya
oleh PT. Intertek Utama Services.
5. Analisis ICP-OES (inductively coupled plasma – optical
emission spectrometry) dan ICP-MS (inductively coupled
plasma–mass spectrometry)
Analisis ICP-OES digunakan untuk mengetahui persentase unsur-
unsur jejak (trace elements) dan kadar bijih besi serta logam-logam yang
berasosiasi dengan endapan bijih besi pada daerah penelitian. Kegiatan
analisis ini sepenuhnya dilakukan oleh PT. Intertek Utama Services.
40
Gambar 11. Bagan Alir Penelitian.
41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Litologi Daerah Penelitian
Litologi pada daerah penelitian diketahui dengan menggunakan
analisisi petrografi. Terdapat dua jenis sampel batuan yang diambil
dilapangan. Berdasarkan analisisi petrografi pada batuan tersebut
diperoleh jenis batuan berupa Basal Porfiri dan Wackstone. Wackstone
merupakan host-rock dari endapan bijih besi pada daerah penelitian.
1. Basal Porfiri
Sayatan batuan beku warna absorbsi abu-abu, warna interferensi
abu–abu kehitaman, tekstur kristalinitas hipokristalin, granularitas
porfiroafanitik, bentuk euhedral – subhedral, relasi inequigranular,
struktur masif, dan tekstur khusus porfiritik. Terdiri dari mineral dengan
ukuran mineral < 0,02 – 2,2 mm dan massa dasar. Komposisi mineral
berupa labradorit, piroksen, mineral opak, massa dasar (kristallit
plagioklas, kristallit piroksen dan gelas). Indeks warna 50.
2. Wackstone
Sayatan batuan sedimen karbonat warna absorbsi coklat, warna
interferensi maksimum coklat kemerahan. Tekstur batuan klastik
kasar, ukuran butir <0,02 – 1,6 mm. Komposisi material terdiri dari
grain, mud berupa mineral kalsit berukuran halus dan mineral opak.
42
Pengamatan langsung dilapangan pada daerah penelitian di dua
stasiun pengamatan yaitu ST.9 dan ST.10 (Gambar 12a) memperlihatkan
batuan karbonat kontak dengan bijih besi. Arah kontak pada batuan
karbonat dengan bijih besi yaitu N 280o E sedangkan arah penyebaran
batuan karbonat N 10o E.
Gambar 12. a. Foto sampel bijih besi stasiun 9; b. Kenampakan singkapan
bijih besi dengan Batugamping pada stasiun 9; c. Foto sampel bijih besi stasiun 1; d. Kenampakan singkapan stasiun 1.
B. Tipe Alterasi
Tipe alterasi diidentifikasi berdasarkan hasil analisis sayatan tipis dan
XRD pada sampel batuan dan mineral. Analisis XRD dilakukan pada
sembilan sampel bijih besi dan dua sampel batugamping.
43
Dari hasil analisis petrografi pada stasiun 10 (ST.10.P.A) dijumpai
kehadiran mineral garnet, epidot, dan kalsit (Gambar 13). Mineral garnet
diperkirakan terbentuk pada suhu berkisar 400-600OC (Ugurcan dan
Oyman, 2016).
Gambar 13. Fotomikrograf sayatan batuan ST.10.PA yang
memperlihatkan kehadiran mineral garnet (Gr), epidot (Ep) dan kalsit (Ca).
Analisis XRD memperlihatkan hasil yang lebih bervariasi. Dari hasil
analisis XRD dijumpai kehadiran mineral-mineral penciri utama endapan
skarn (Gambar 14) yaitu garnet (andradit), piroksin (diopsid) dan piroksinoid
(wollastonit). Diopsid merupakan mineral grup piroksin yang terbentuk pada
suhu sekitar 600oC, sedangkan wollastonit terbentuk pada suhu yang sama
tetapi dengan tekanan yang berbeda (Hawkins et, al., 2017).
44
Gambar 14. a. Difraktogram XRD stasiun 2 (ST.2.P) memperlihatkan
kehadiran mineral garnet dan mineral grup piroksinoid wollastonit; b. Difraktogram XRD stasiun 8 memperlihatkan kehadiran mineral grup garnet andradit; c. Difraktogram XRD stasiun 9 memperlihatkan kehadiran mineral grup piroksi diopsid.
45
Berdasarkan hasil analisis petrografi dan XRD maka zona alterasi
yang berkembang di daerah penelitian yaitu alterasi skarn. Dari himpunan
mineral yang diperoleh tahap alterasi dibagi menjadi tiga tahap yaitu fase
isokimia, fase metasomatisme dan tahap retrograde.
Fase isokimia merupakan tahap awal pembentukan endapan skarn.
Fase ini diawali dengan munculnya larutan magma yang menerobos batuan
samping yang bersifat karbonatan. Pada daerah penelitian batuan yang
diterobos oleh larutan adalah batugamping. Tahap isokimia sangat dikontrol
secara dominan oleh suhu tinggi. Tahap isokimia adanya rekristalisasi yang
menyebabkan terbentuknya mineral non-hidrous seperti garnet (andradit),
diposid dan wollastonit. Mineral garnet terbentuk pada suhu berkisar 400-
600OC (Ugurcan dan Oyman, 2016). Diopsid merupakan mineral grup
piroksin yang terbentuk pada suhu sekitar 600oC, sedangkan wollastonit
terbentuk pada suhu yang sama tetapi dengan tekanan yang berbeda
(Hawkins et al., 2017).
Fase Metasomatisme merupakan tahap dimana suhu larutan mulai
menurun. Pada tahap ini telah terjadi pengayaan Fe, hal ini terjadi akibat
adanya penetrasi dari larutan magmatik yang kaya akan kandungan Fe
(Pirajno, 2009). Pada daerah penelitian fase metasomatisme dicirikan
dengan munculnya mineral magnetit. Mineral magnetit terbentuk pada
sekitr 400-600oC (Ugurcan dan Oyman, 2016).
Fase Retrograde dimulai dengan terjadinya penurunan suhu secara
bertahap sehingga larutan magma mulai mendingin. Penurunan suhu ini
46
dimulai akibat adanya air meteorik yang masuk. Masuknya air meteorik
mengakibatkan terjadinya penggantian mineral yang awalnya non-hidrous
(garnet, diopsid dan wollastonit) menjadi mineral hidrous (Evans, 1993). Di
daerah penelitian fase retrograde ditandai dengan munculnya mineral
epidot dan klorit. Mineral epidot terbentuk pada suhu berkisar 272 sampai
412oC (Ugurcan, 2016).
Tabel 2. Urutan pembentukan mineral alterasi.
C. Mineral Bijih
Analisis mineragrafi pada sembilan sampel yang mengalami
mineralisasi. Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi mineral bijh yang
terdapat pada daerah penelitian. Secara mikroskopis mineral bijih yang
dijumpai yaitu magnetit, siderit, franklinit, manganit, pirolusit, hematit,
galena, kalkopirit, pirit, arsenopirit, bornit, azurit dan goetit.
47
Tabel 3. Hasil pengamatan mineral bijih dengan tekstur pada sayatan poles
D. Tekstur Bijih
Tekstur bijih diidentifikasi dengan analisis mineragrafi pada sayatan
poles. Analisis mineragrafi dilakukan pada sembilan sampel bijih. Tekstur
bijih yang diamati berupa tekstur intergrowth, tekstur replacement, tekstur
granular dan tekstur open space filling.
Tekstur intergrowth atau tumbuh bersama dapat diamati antara
mineral magnetit dan manganit (Gambar 15). Tekstur intergrowth terjadi
akibat perubahan temperatur yang tinggi serta pengaruh jenis mineral yang
48
menyebabkan penyimpangan struktur kristalografi atau dengan kata lain
susunannya tidak beraturan (Ramdhor, 1969).
Gambar 15. Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan tekstur
intergrowth antara magnetit (Mag) dan manganit (Mn)
Tekstur granular dapat diamati antara mineral magnetit dan manganit
serta pirit dan kalkopirit (Gambar 16). Tekstur granular yang teramati
mencerminkan hubungan mineral yang disebut matual boundary antara
kalkopirit dan pirit dimana butiran tidak menembus satu sama lainnya.
Tekstur granular dapat tersusun dari satu mineral atau beberapa mineral
yang terbentuk pada saat proses mineralisasi, dimana endapan mineral
terbentuk secara berasamaan (Ramdhor, 1969).
49
Gambar 16. Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan tektstur
granular antara magnetit (Mag) dan manganit (Mn).
Tekstur replacement merupakan tekstur dominan yang teramati pada
mineral bijih, yaitu replacement magnetit oleh hematit, replacement
manganit oleh pirolusit, serta replacement manganit oleh kalkopirit (Gambar
17). Secara keseluruhan, tekstur replacement dapat dijadikan acuan untuk
menentukan mineral mana yang lebih dahulu terbentuk. Dari hasil
replacement akan terbentuk batas antara mineral menjadi tidak teratur
(Craigh dan Vaughan, 1981). Seperti yang ditunjukkan pada gambar 17
menjadikan batas mineral magnetit menjadi tidak teratur akibat kehadiran
mineral hematit yang menggantikannya. Menurut Ramdhor (1969), tekstur
replacement menunjukkan pengaruh penggantian oleh mineral lain tanpa
50
adanya perubahan volume semula. Penggantian yang terjadi terhadap
suatu mineral hanya dapat sebagian mineral saja atau seluruhnya.
Gambar 17. Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan tekstur
replacement. a. Replacement mineral magnetit oleh hematit; b. Replacement mineral manganit oleh pirolusit; c. Replacement mineral magnetit oleh kalkopirit; d. Replacement mineral manganit oleh kalkopirit.
Tekstur open space filling merupakan tekstur yang penting untuk
menentukan paragenesa endapan. Tekstur open space filling terjadi akibat
adanya mineral lain yang mengisi pori atau rekahan pada mineral yang
terbentuk sebelumnya. Tekstur ini teramati pada goetit dan azurit yang
mengisi pori dan rekahan pada hampir semua mineral yang terbentuk
terlebih dahulu.
51
Gambar 18. Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan tekstur
open space filling. a. Mineral azurit mengisi pori pada mineral magnetit; b. Mineral goetit mengisi pori dan rekahan pada mineral magnetit dan manganit.
E. Paragenesis
Kriteria yang digunakan untuk mendeterminasi paragenesis mineral-
mineral hipogen dan supergen adalah bentuk individu kristal dan sifat
kontak antara butiran yang berdampingan (Craigh dan Vaughan, 1981).
Berdasarkan hasil analisis mineragrafi berupa jenis bijih dan tekstur maka
dapat diurutkan pembentukan mineral bijih.
1. Stasiun 1 (ST.1.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 1 berdasarkan analisis
mineragrafi yaitu magnetit, manganit, pirolusit, bornit, azurit dan goetit
(Gambar 19). Pada tahap awal memperlihatkan kehadiran magnetit.
Menurut Yao et al (2015), magnetit pada endapan skarn terbentuk pada
suhu sekitar 600o-400oC. Tekstur intergrowth teramati antara magnetit dan
manganit. Hal ini menunjukkan magnetit dan manganit terbentuk
bersamaan. Tahap selanjutnya memperlihatkan pirolusit menggantikan
52
manganit. Pada sayatan poles teramati bornit muncul menggantikan
magnetit dan bornit digantikan oleh azurit. Tekstur open space filling
teramati pada mineral goetit, dimana mineral goetit mengisi pori pada
semua mineral utama. Hal ini menunjukkan mineral goetit terbentuk paling
akhir.
Gambar 19. Fotomikrograf sayatan poles (ST.1.P) yang memperlihatkan
urutan paragenisis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, azurit, bornit dan goetit.
2. Stasiun 2 (ST.2.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 2 ini yaitu magnetit, siderit,
manganit, hematit, kalkopirit, galena dan goetit (Gambar 20). Urutan
pembentukan mineral bijih pada stasiun ini dimulai pada tahap awal dimulai
53
pembentukan mineral magnetit dan siderit. Hal ini dapat dilihat dari mineral
magnetit dan siderit memiliki tekstur granular.
Gambar 20. Fotomikrograf sayatan poles (ST.2.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, siderit, manganit, hematit, kalkopirit, galena dan goetit.
Mineral magnetit diperkirakan terbentuk pada suhu 600o-400oC (Yao
et al., 2015). Galena muncul bersamaan dengan manganit. Hal ini dapat
54
teramati pada sampel dimana manganit granular dengan galena. Hematit
hadir menggantikan magnetit dan manganit. Hal ini menunjukkan hematit
terbentuk setelah manganit dan magnetit. Tekstur replacement
diperlihatkan antara kalkopirit dengan manganit, dimana kalkopirit
mengganitkan manganit. Pada tahap akhir terbentuk goetit. Goetit
terbentuk mengisi rekahan dan pori mineral yang terbentuk sebelummnya.
3. Stasiun 3 (ST.3.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 3 berdasarkan analisis
mineragrafi yaitu Magnetit, manganit, pirolusit, azurit dan geotit (Gambar
21). Pada tahap awal memperlihatkan kehadiran magnetit. Menurut Yao et
al (2015), magnetit pada endapan skarn terbentuk pada suhu sekitar 600o-
400oC. Tekstur intergrowth teramati pada mineral magnetit dan manganit.
Hal ini menunjukkan magnetit dan manganit terbentuk secara bersamaan.
Tahap selanjutnya terbentuk pirolusit. Hal ini terlihat pada tekstur
replacement antara pirolusit dengan magnetit, dimana pirolusit
menggantikan magnetit. Mineral sulfida terbentuk setelah pembentukan
mineral pembawa bijih besi dan mangan. Tekstur open scace filling terlihat
pada azurit dimana azurit mengisi pori dari magnetit. Sedangkan goetit
muncul pada tahap akhir dimana goetit mengisi pori dan rekahan pada
hampir semua mineral utama.
55
Gambar 21. Fotomikrograf sayatan poles (ST.3.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, azurit dan goetit.
4. Stasiun 4 (ST.4.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun ini yaitu magnetit, manganit,
pirolusit, hematit, arsenopirit, kalkopirit, dan goetit (Gambar 22). Pada tahap
awal memperlihatkan kehadiran magnetit. Menurut Yao et al (2015),
magnetit pada endapan skarn terbentuk pada suhu sekitar 600o-400oC.
Tekstur intergrowth teramati antara magnetit dan manganit. Hal ini
menunjukkan magnetit dan manganit terbentuk bersamaan. Tahap
selanjutnya terbentuk pirolusit. Hal ini terlihat pada tekstur replacement
antara pirolusit dengan magnetit, dimana pirolusit menggantikan magnetit.
56
Hematit hadir menggantikan magnetit dan manganit. Hal ini menunjukkan
hematit terbentuk setelah manganit dan magnetit.
Gambar 22 . Fotomikrograf sayatan poles (ST.4.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, hematit, kalkopirit, pirit, arsenopirit dan goetit.
Pada tahap selanjutnya terbentuk mineral-mineral sulfida yaitu
arsenopirit dan kalkopirit. Kalkopirit memperlihatkan tekstur replacement,
57
dimana kalkopirit menggantikan hematit dan manganit. Sedangkan
arsenopirit mengganitkan manganit. Hal ini menunjukkan bahwa kalkopirit
dan arsenopirit hampir terbentuk secara bersamaan. Tekstur open space
filling teramati pada mineral goetit. Mineral goetit mengisi pori dan rekahan
hampir pada semua mineral yang terbentuk pada tahap sebelumnya. Goetit
merupakan mineral yang terbentuk pada tahap akhir.
5. Stasiun 5 (ST.5.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 5 berdasarkan hasil analisis
mineragrafi yaitu magnetit, manganit, azurit dan goetit (Gambar 23). Mineral
magnetit diperkirakan terbentuk pada suhu 600o-400oC (Yao et al., 2015).
Gambar 23. Fotomikrograf sayatan poles (ST.5.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, azurit dan goetit.
58
Tekstur intergrowth teramati pada mineral magnetit dan manganit.
Dari tekstur tersebut diperkirakan mineral magnetit terbentuk bersamaan
dengan manganit. Tahap selanjutnya terbentuk mineral sulfida berupa pirit
dan azurit. Hal ini teramati pada analisis mineragrafi yang memperlihatkan
tekstur replacement oleh pirit, dimana pirit menggantikan magnetit.
Sedangkan azurit terbentuk mengisi rekahan antara magnetit dan
manganit. Tahap akhir diperlihatkan oleh tekstur open space filling mineral
goetit. Mineral goetit mengisi pori dan rekahan mineral yang terbentuk pada
tahap sebelumnya. Sehingga diperkirakan goetit terbentuk pada tahap akhir
mineralisasi.
6. Stasiun 6 (ST.6.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 6 dari hasil analisis mineragrafi
yaitu magnetit, franklinit, manganit, pirolusit, kalkopirit, pirit dan goetit
(gambar 24). Urutan pembentukan mineral bijih pada stasiun ini dimulai
pada tahap awal dimulai pembentukan mineral magnetit dan franklinit. Hal
ini dapat dilihat dari mineral magnetit dan franklinit memiliki tekstur granular.
Mineral magnetit diperkirakan terbentuk pada suhu 600o-400oC (Yao et al.,
2015). Tekstur intergrowth dan granular teramati antara magnetit dan
manganit. Hal ini menunjukkan ada tiga mineral yang terbentuk pada tahap
pertama yaitu magnetit, franklinit dan manganit. Tekstur replacement
diperlihatkan oleh pirolusit, dimana pirolusit menggantikan manganit dan
magnetit. Sehingga menandakan bahwa pirolusit terbentuk setelah
magnetit dan manganit. Pada tahap selanjutnya terbentuk mineral sulfida
59
berupa pirit dan kalkopirit. Kalkopirit muncul menggantikan manganit dan
pirolusit, sedangkan pirit muncul menggantikan magnetit. Berdasarkan
tekstur tersebut kalkopirit dan pirit hampir terbentuk secara bersamaan.
Pada tahap akhir terbentuk goetit. Pembentukan goetit pada tahap akhir
diperlihatkan oleh tekstur open space filling dimana goetit mengisi pori dan
rekahan hampir semua mineral yang terbentuk sebelumnya.
Gambar 24. Fotomikrograf sayatan poles (ST.6.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, franklinit, manganit, pirolusit, kalkopirit dan goetit.
7. Stasiun 8 (ST.8.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 8 dari hasil analisis mineragrafi
yaitu magnetit, manganit, pirolusit, hematit, kalkopirit, pirit dan goetit
(Gambar 25). Urutan pembentukan mineral bijih pada stasiun ini dimulai
60
pada tahap awal dimulai pembentukan mineral magnetit dan manganit. Hal
ini dapat dilihat dari mineral magnetit dan manganit memiliki tekstur
granular. Mineral magnetit diperkirakan terbentuk pada suhu 600o-400oC
(Yao et al., 2015).
Gambar 25. Fotomikrograf sayatan poles (ST.8.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, kalkopirit, pirit, hematit dan goetit.
61
Tekstur intergrowth dan granular teramati antara magnetit dan
manganit. Hal ini menunjukkan ada dua mineral yang terbentuk pada tahap
pertama yaitu magnetit dan manganit. Tekstur replacement diperlihatkan
oleh pirolusit dan hematit, dimana pirolusit menggantikan manganit,
sedangkan hematit mengganitkan magnetit. Sehingga menandakan bahwa
pirolusit dan hematit terbentuk setelah magnetit dan manganit. Pada tahap
selanjutnya terbentuk mineral sulfida berupa pirit dan kalkopirit. Kalkopirit
muncul menggantikan manganit dan pirolusit, sedangkan pirit muncul
menggantikan magnetit. Berdasarkan tekstur tersebut kalkopirit dan pirit
hampir terbentuk secara bersamaan. Pada tahap akhir terbentuk goetit.
Pembentukan goetit pada tahap akhir diperlihatkan oleh tekstur open space
filling dimana goetit mengisi pori dan rekahan hampir semua mineral yang
terbentuk sebelumnya.
8. Stasiun 9 (ST.9.P.A)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 9 berdasarkan analisis
mineragrafi yaitu Magnetit, manganit, pirolusit, azurit dan goetit (Gambar
26). Pada tahap awal memperlihatkan kehadiran magnetit. Menurut Yao et
al (2015), magnetit pada endapan skarn terbentuk pada suhu sekitar 600o-
400oC. Tekstur intergrowth teramati pada mineral magnetit dan manganit.
Hal ini menunjukkan magnetit dan manganit terbentuk secara bersamaan.
Tahap selanjutnya terbentuk pirolusit. Hal ini terlihat pada tekstur
replacement antara pirolusit dengan magnetit, dimana pirolusit
menggantikan magnetit. Mineral sulfida terbentuk setelah pembentukan
62
mineral pembawa bijih besi dan mangan. Tekstur open scace filling terlihat
pada azurit dimana azurit mengisi pori dari magnetit. Sedangakan goetit
muncul pada tahap akhir dimana goetit mengisi pori dan rekahan pada
hampir semua mineral utama.
Gambar 26. Fotomikrograf sayatan poles (ST.9.P.A) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit azurit dan goetit.
9. Stasiun 10 (ST.10.P.A)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 10 berdasarkan analisis
mineragrafi yaitu Magnetit, manganit, pirolusit, hematit, pirit dan goetit
(Gambar 27). Pada tahap awal memperlihatkan kehadiran magnetit.
Menurut Yao et al (2015), magnetit pada endapan skarn terbentuk pada
suhu sekitar 600o-400oC. Tekstur intergrowth teramati pada mineral
63
magnetit dan manganit. Tekstur replacement diperlihatkan oleh pirolusit dan
hematit, dimana pirolusit menggantikan manganit, sedangkan hematit
mengganitkan magnetit. Sehingga menandakan bahwa pirolusit dan
hematit terbentuk setelah magnetit dan manganit. Pada tahap selanjutnya
terbentuk mineral sulfida berupa kalkopirit. Hal ini diamati pada tekstur
replacement yang memperlihatkan kalkopirit menggantikan manganit. Pada
tahap akhir terbentuk goetit. Pembentukan goetit pada tahap akhir
diperlihatkan oleh tekstur open space filling dimana goetit mengisi pori dan
rekahan hampir semua mineral yang terbentuk sebelumnya.
Gambar 27. Fotomikrograf sayatan poles (ST.10.P.A) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, hematit, pirit dan goetit.
64
F. Paragenesis Daerah Penelitian
Berdasarkan penentuan paragenesis tiap sampel mineralisasi yang
diamati dapat ditentukan secara keseluruhan urutan pembentukan mineral
bijih pada daerah penelitian. Mineral bijih yang hadir dari analisis
mineragrafi secara keseluruhan adalah magnetit, siderit, franklinit,
manganit, pirolusit, hematit, kalkopirit, galena, kalkopirit, pirit, arsenopirit,
azurit dan goetit.
Urutan pembentukan mineral bijih berdasarkan pengamatan tekstur
(Gambar 28) diawali dengan pembentukan magnetit dan manganit dimana
magnetit dan siderit saling intergrowth. Sebagian besar magnetit tersebar
secara acak pada sampel mineralisasi. Tekstur granular teramati antara
manganit dan magnetit. hal ini menunjukkan bahwa manganit dan magnetit
terbentuk bersamaan. Tekstur replacement teramati antara pada mineral
magnetit yang digantikan oleh hematit. Pembentukan hematit selanjutnya
dilanjutkan oleh pembentukan kalkopirit dan pirit. Kalkopirit yang umumnya
hadir menggantikan hematit, manganit dan magnetit. Tekstur granular juga
teramati dibeberapa sampel yang memperlihatkan hubungan mineral
antara butiran pirit dan kalkopirit tidak menembus satu sama lain. Hal ini
menunjukkan kalkopirit dan pirit terbentuk secara bersamaan. Mineral bornit
dijumpai menggantikan pirit. Begitu pun dengan galena yang
memperlihatkan tekstur replacement terhadap hematit. Maka dapat
diperkirakan bahwa bornit hadir setelah pirit dan galena hadir setelah
hematit.
65
Gambar 28. Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan urutan
paragenesis mineral bijih pada daerah penelitian.
66
Pada tahap akhir terbentuk goetit dimana tekstur yang teramati yaitu
open space filling. Goetit hampir mengisi semua pori dan rekahan pada
semua mineral bijih yang terbentuk pada tahap sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa goetit merupakan mineral yang terbentuk paling akhir.
Berdasarkan analisis diatas, dapat diketahui tahapan pembentukan
mineral bijih pada daerah penelitinan dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 4. Tahapan pembentukan mineral bijih pada daerah penelitian
67
G. Mineralisasi
Mineralisasi pada daerah penelitian selain dengan analisis
megaskopis juga ditentukan dengan menggunakan metode mineragrafi dan
analisis XRD. Analisis mineragrafi dan XRD dilakukan pada 9 sampel bijih.
Mineralisasi yang terbentuk pada daerah penelitian berdasarkan
pengamatan lapangan dan megaskopis memperlihatkan kehadiran bijih
besi mengisi rekahan pada batuan karbonat. Arah kontak pada batuan
karbonat dengan bijih besi yaitu N 280o E sedangkan arah penyebaran
batuan karbonat N 10o E (Gambar 29), dimana mineral pembawa bijih
berupa magnetit dan hematit (Gambar 30a). Mineral bijih besi berasosiasi
dengan mineral bijih mangan. Selain mineral pembawa bijih besi dan
mangan dijumpai pula mineral sulfida disekitar mineral kuarsa.
Gambar 29. Peta sebaran endapan bijih besi.
68
Pada pengamatan sayatan poles dan analisis XRD (Gambar 31)
mineral bijih memperlihatkan kehadiran mineral pembawa bijih besi,
mangan dan mineral sulfida. Berdasarkan himpunan mineral pembawa bijih
dan alterasi tahap mineralisasi dibagi menjadi 3 tahap yaitu, Tahap
pembentukan Fe-Mn, tahap sulfida dan tahap supergen.
Gambar 30. a. foto sampel mineralisasi bijih besi. b. foto lokasi
pengambilan sampel. c. peta lokasi pengambilan sampel.
Tahap pembentukan Fe-Mn ditandai dengan kehadiran mineral
pembawa bijih besi magnetit dan hematit serta mineral pembawa bijih
mangan yaitu manganit dan pirolusit. Magnetit dan manganit terbentuk
pada suhu >550oC (Hawkins et al., 2017). Sedangkan Hematit dan pirolusit
diperkirakan terbentuk pada suhu 400-200oC (Ugurcan dan Oyman, 2016).
69
Gambar 31. Difraktogram XRD memperlihatkan kehadiran mineral bijih besi
dan mangan, serta mineral sulfida. a. Analisis XRD stasiun 1; b. analisis XRD stasiun 4; c. Analisis XRD stasiun 10.
70
Tahap pembentukan mineral sulfida ditandai dengan kehadiran
mineral-mineral sulfida yaitu arsenopirit, galena, kalkopirit, pirit. Pada tahap
ini mineral-mineral sulfida terbentuk pada suhu 160o-250oC (Mei et al.,
2015).
Tahap supergen ditandai dengan pembentukan mineral goetit.
Dimana mineral goetit merupakan hasil oksidasi dari mineral-mineral sulfida
(Mei et al., 2015).
H. Geokimia
Berdasarkan analisis XRF (Tabel. 4) keberadaan endapan bijih besi
pada daerah penelitian dapat dilihat dari senyawa Fe2O3 dengan
persentase 50,4-50,94%. Kandungan SiO2 pada daerah penelitian relatif
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bijih besi berasosiasi
dengan mineral gangue berupa kuarsa dan mineral sulfida (Gambar 32).
Gambar 32. Grafik perbandingan Fe2O3, SiO2 dan MnO
71
Tabel 5. Hasil Analisis XRF
Kode Sampel ST.7.A (BB) ST.9.P.B (B) ST.10.P.B (B) ST.10.P.A (BG)
% % % %
SiO2 51.38 13.53 14.55 0.47
TiO2 1.38 0.02 0.01 0.03
Al2O3 17.17 0.37 0.2 0.02
Fe2O3 8.53 50.94 50.4 1.66
MnO 0.166 3.048 3.669 3.318
MgO 4.49 0.07 0.15 0.14
CaO 7.39 15.14 15.22 52.51
Na2O 3.46 0.04 0.04 0.05
K2O 3.49 0.03 0.08 0.05
P2O5 0.678 0.734 0.845 0.181
Cr2O3 0.007 0.006 <0.005 0.016
S 0.003 0.020 0.031 0.005
LOI 1.4 14.8 14.2 40.6
Total 99.5 100 99.4 99.1
BB : Batuan Beku; B : Bijih: BG : Batugamping
Tabel 6. Hasil Analisis ICP-OES/MS
Kode Sampel ST.7.A (BB) ST.9P (B) ST.10P.B (B) ST.10P.A (BG)
ppm ppm ppm ppm
Al 87700 930 920 150
Ca 51800 111990 111000 368000
Cr 42 12 18 13
Cu 50 267 299 78
Fe (%) 5.91 38.5 37.6 1.15
K 27500 540 670 470
Mg 26200 890 810 840
Mn 1090 31000 24900 21100
Na 23700 310 240 210
Ni 25 19 9 1
P 2890 3140 3340 560
S <50 210 280 70
Sc 18 1 <1 <1
Ti 7940 108 10 52
V 199 28 10 4
72
Kode Sampel ST.7.A (BB) ST.9P (B) ST.10P.B (B) ST.10P.A (BG)
ppm ppm ppm ppm
Zn 85 150 4450 150
Ag 0.1 <0.1 5.2 0.7
As 4 3 243 25
Ba 1010 6 103 7
Be 2.8 1.1 0.8 <0.5
Bi 0.08 0.23 7.80 0.08
Cd 0.26 <0.05 15.8 1.15
Co 25 27 13 1
Cs 4.6 <0.1 0.2 <0.1
Ga 22 5.6 1.4 0.5
Ge 1.3 1.3 3 0.2
Hf 9 <0.1 <0.1 <0.1
In 0.06 0.08 1.65 0.11
Li 15.6 0.8 0.7 0.1
Mo 1.5 6.2 6.4 1
Nb 28.2 0.6 0.4 <0.1
Pb 22 23 2570 737
Rb 159 0.9 2.4 1.3
Re <0.05 <0.05 <0.05 <0.05
Sb 0.3 0.5 10.8 0.3
Se <1 <1 <1 <1
Sn 2.3 2 0.9 0.7
Sr 844 4 159 232
Ta 2.14 0.13 0.29 <0.05
Te <0.1 <0.1 <0.1 <0.1
Th 14.4 0.28 0.21 <0.05
Tl 0.38 <0.02 0.31 <0.02
U 3.99 0.68 2.06 1.24
W 0.5 239 8.3 1.4
Y 27.9 4.6 5 3.7
Zr 370 2 2.2 0.6
Ce 123 6.5 8.2 1.5
Dy 5.8 0.9 0.6 0.3
Er 3 0.4 0.3 0.2
Eu 2.3 0.4 0.3 0.1
Gd 7.6 1.1 0.8 0.5
Ho 1.1 0.2 0.1 <0.1
La 40.9 4 6.4 2
Lu 0.39 0.05 <0.05 <0.05
Nd 44 3.8 3.9 1.3
Pr 10.3 0.96 1.1 0.47
73
Kode Sampel ST.7.A (BB) ST.9P (B) ST.10P.B (B) ST.10P.A (BG)
ppm ppm ppm ppm
Sm 8.8 0.9 0.8 0.3
Tb 1.07 0.15 0.1 0.05
Tm 0.4 <0.1 <0.1 <0.1
Yb 2.7 0.4 0.3 0.2
BB : Batuan Beku; B : Bijih: BG : Batugamping
Kalkulasi kesetimbangan massa (mass balance) bertujuan untuk
melihat perubahan komposisi kimia, perubahan massa, dan perubahan
volume antara batuan sumber dan batuan host rock. Perbandingan ini
dengan asumsi bahwa batuan yang telah teralterasi berasal dari batuan
kontak atau batuan host rock dan batuan yang belum teralterasi berasal dari
batuan beku (intrusi). Sampel yang digunakan dalam perbandingan ini
adalah sampel dari stasiun 7 (ST.7.P) dan stasiun 10 (ST.10.P.A).
Hasil pengolahan data geokimia dapat dilihat dalam bentuk diagram
isocon. Unsur TiO2 sebagai unsur immobile yang menghubungkan garis
isocons selama proses hidrotermal berlangsung. Perbandingan batuan
intrusi terhadap batuan host rock, pada batugamping hasil analisis
kandungan CaO dan MnO mengalami pengayaan sedangkan sebaliknya
kandungan SiO2 menurun (Gambar 33).
Pengayaan unsur MnO, CaO, S, Cu, Ca, Mn, As yang sangat
signifikan seperti yang diperlihatkan pada histogram (Gambar 34) dapat
diinterpretasikan sebagai lead. Unsur-unsur yang mengalami penurunan
jumlah (depleted) adalah unsur-unsur SiO2, MgO, Na dan K.
74
Gambar 33. Diagram garis isocon perbandingan sampel ST.7.P dan
ST.10.P.A.
Gambar 34. Histogram menampilkan unsur-unsur yang mengalami
pengayaan.
75
Gambar 35. Perubahan komposisi unsur-unsur sampel sampel ST.7.P dan
ST.10.P.A.
I. Kadar Bijih
Kadar bijih pada daerah penelitian diketahui dengan menggunakan
analisis ICP-OES/MS (Tabel 5). Sampel bijih yang dianalisis untuk
mengetahui kadar bijih yaitu pada stasiun 9 (ST.9.P.B) dan stasiun 10
(ST.10.P.B). Bijih besi pada daerah penelitian berdasarkan analisis
mineragrafi berasosiasi dengan bijih mangan. Dari hasil analisis ICP-
OES/MS diperoleh kadar bijih besi pada daerah penelitian relatif tinggi yaitu
337,6-38,5%, sedangkan untuk bijih mangan kadarnya 2,49-3,1% (Gambar
36).
76
Gambar 36. Grafik Pebandingan Kadar Fe dan Mn pada daerah penelitian.
J. Tipe Endapan Skarn
Komposisi garnet dan piroksin dalam endapan skarn sangat penting
karena variasi komposisi dapat memberikan informasi penting lingkungan
pembentukan skarn dan klasifikasi jenis skarn. (Einaudi et al., 1981).
Menurut Einaudi et al, (1981) menunjukkan bahwa garnet andradit
menunjukkan lingkungan teroksidasi. Meinert et al (2005), menyatakan
bahwa kelimpahan garnet yang lebih umum dari piroksen menunjukkan
lingkungan oksidasi.
Pada daerah penelitian komposisi mineral garnet (andradit) dan
piroksin (diopsid) sesuai dengan tipe skarn yaitu Calcic Skarn. Bijih di
77
daerah penelitian didominasi oleh magnetit dengan mineral sulfida dengan
komposisi yang rendah. Hal tersebut sesuai dengan temuan Einaudi et al
(1981), yang menyatakan bahwa skarn dengan lingkungan pembentukan
oksidasi didominasi oleh magnetit.
Tabel 7. Tahap pembentukan mineral alterasi dan mineral bijih pada daerah penelitian.
78
Gambar 37. Ilustrasi tahapan pembentukan endapan skarn pada daerah
penelitian.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Host-rock endapan bijih besi di daerah Pakke Kecamatan Bontocani
Kabupaten Bone yaitu batuan karbonat. Batuan karbonat yang
menjadi host-rock bijih besi yaitu wackstone.
2. Tipe alterasi yang berkembang di daerah penelitian yaitu alterasi
skarn, yang dicirikan oleh kehadiran mineral garnet, epidot, diopsid
dan wollastonit. Tahap pembentukan mineral alterasi dimulai dari
tahap isokimia (600oC), tahap metasomatisme (600-400oC) dan tahap
retrograde (400-200o)
3. Karakteristik mineralisasi bijih besi pada daerah penelitian
memperlihatkan bijih besi mengisi rekahan pada batuan karbonat.
Bijih besi pada daerah penelitian berasosiasi dengan bijih mangan dan
dijumpai kehadiran mineral-mineral sulfida. Mineral pembawa bijih
besi yaitu magnetit, siderit, franklinit, hematit dan goetit. Mineral
pembawa bijih mangan yaitu manganit dan pirolusit. Mineral sulfida
yang dijumpai berupa kalkopirit, pirit, bornit, galena dan azurit.
80
4. Urutan pembentukan mineral bijih pada daerah penelitian dimulai dari
magnetit, siderit, franklinit, manganit, pirolusit, hematit, galena,
kalkopirit, pirit, azurit dan goetit.
5. Kadar bijih besi pada daerah penelitian yaitu sekitar 37,6-38,5%.
Sedangkan mineral asosiasi bijih besi yaitu mangan memiliki kadar
sekitar 2,4-3,1%.
6. Tipe endapan pada daerah penelitian yaitu endapan skarn. Dimana
pada endapan skarn ini dijumpai mineral penciri yaitu garnet, diopsid
dan wollastonit. Endapan skarn pada daerah penelitian terbentuk
pada lingkungan oksidasi. Hal ini didasarkan pada mineral-mineral
penciri endapan skarn. Tipe endapan skarn pada daerah ini yaitu
calcic skarn dengan mineral pembawa bijih besi didominasi oleh
magnetit dan kehadiran mineral sulfida dengan komposisi yang
rendah.
B. Saran
Saran yang diajukan setelah melakukan penelitian yaitu perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut pada daerah penelitian untuk mengetahui model
genetik, suhu pembentukan dan jenis batuan pembawa larutan yang
membentuk endapan bijih besi pada daerah Pakke Kecamatan Bontocani
Kabupaten Bone.
81
DAFTAR PUSTAKA
Barton, P.B., Jr. and Skinner, B.J. 1979. Sulfide mineral stabilities, in Barnes, H.L., ed., Geochemistry of Hydrothermal Ore Deposits. New York: Wiley Interscience, p.278-403.
Craigh, J.R & Vaughan. 1981. Ore Microscopy and Ore Petrography. John
Wiley and Sons. USA. Einaudi, M.T., Meinert, L.D., Newberry, R.J. 1981. Skarn deposits.
Economic geology. Vol 77: 745-754. Elders, W. A., Bird, D.K., Williams, A. E. and Schiffman, P. 1982. A Model
for The Heat Source of The Cerro Prieto Magma-Hydrothermal System, Baja California. Procedings of the Fourth Symposium on The Cerro Prieto Geothermal Field. Mexico.
Edward, R., Atkinson, K. 1986. Ore Deposit Geology and its Influence on
Mineral Exploration. Springer: Netherlands. Evans, A.M. 1993. Ore Geology and Industrial Minerals, An Introduction
(3rd edition). Blackwell Science: USA. Gasparrini, C. 1993. Gold and Other Precious Metals: From Ore to Market.
Jerman: Springer-Verlag. Grigorieff, P. N. 1993. Electron Microscopy of Interfaces and Thin Buried
Layers in the InGaAs.Univesity of Bristol Guilbert, J. M. and Park, C. F. 1986. The Geology of Ore Deposits.
Waveland Press Inc: Illinois. Hawkins, T., Smith, M.P, Herrington, R.J., Maslennikov, V., Boyce, A.J.,
Jeffries, T., Creaser, R.A. 2017. The Geology and Genesis of The Iron Skarn of Turgai Belt, Northwestern Kazakhstan. Ore Geology Reviews. Vol 85: 216-246.
Idrus, A. 2014. Modul In House Training: endapan emas hidrotermal: tipe,
karakteristik dan eksplorasi. Universitas Gadja Mada. Yogyakarta. Ishlah, T. 2004. Mineral Indonesia: Dari Pasar Mineral ke Strategi
Eksplorasi. Geomagz. 48-57.
82
Ishlah, T. 2010. Potensi Bijih Besi Indonesia Dalam Kerangka Pengembangan Klaster Industri Baja. Buletin Sumberdaya Geologi: Bandung.
Maulana, A., Christy, A.G., Ellis, D. J. 2015. Petrology, Geochemistry and
Tectonic Significance of Serpentinized Ultramafic Rocks From the South Arm of Sulawesi, Indonesia. Chemie der Erde. Vol 75: 73-87.
Maulana, A. 2017. Endapan Mineral. Penerbit Ombak. Yogyakarta. 179 Hal. Marshall, D., Anglin, C. D., Mumin, H. 2004. Ore Mineral Atlas. Geological
Association of Canada, Mineral Deposits Division. Canada. Mei, W., Lu., Xinbiao., Cao, Xiaofeng., Liu, Z., Zhao, Y., Ai, Z., Tang, R.,
Abfaua, M.M. 2015. Ore genesis and hydrothermal evolution of the Huanggang skarn iron–tin polymetallic deposit, southern Great Xing'an Range: Evidence from fluid inclusions and isotope analyses. Ore Geology Reviews. Vol. 64 : 239-252.
Meinert, L.D. 1993. Skarns and Skarn Deposits, In Sheahan P. A., Cherry
M. E., Ore Deposit Models Volume II. Love Printing Services Ltd. Stittsville: Ontario. pp. 117-134.
Meinert,L.D., G.M. Dipple., Nicolescu. 2005. World Skarn Deposits.
Economic Geology 100th anniversary. Vol : 299-366. Meyer, C., dan Hemley, J.J. 1967. Wall Rock Alteration, in Geochemistry of
Hydrothermal Ore Deposit, Barnes H.L., ed., Holt, Rinehart and Winstone, p. 166-232, New York.
Mottana, A. 1977. Guide to Rocks and Minerals. Simon and Scuster’s, New
York. Pellant, C. 1992. Rocks and Minerals. Dorling Kinersley Limited. London. Pirajno, F. 2009. Hyrothermal Processes and Mineral System. Springer
Science and Business Media: Australia. Pracejus, B. 2008. The Ore Minerals Under the Microscope. Atlases in
Geoscience 3. Elsevier. Amsterdam. Ramdor, P. 1969. The Ore Minerals and Their Intergrowth. Second Edition.
Pergamon Press, Oxford. Sukamto, R. dan Supriatna, S. 1982. Peta Lembar Ujung Pandang, Benteng
dan Sinjai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi: Bandung.
83
Ugurcan, O.G., Oyman, T. 2016. Iron Mineralization and Associated Skarn
Development Around South Contact of The Ergrigoz Pluton (North Menderes Massif-Turkey). Journal of African Earth Sciences. Vol 126: 308-337.
Utoyo, H. 2008. Biijih Besi Bontocani Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.
Jurnal Sumber Daya Geologi. 18: 303 – 307. van Leeuwen, T. M. 1981. The geology of Southwest Sulawesi with special
reference to the Biru area. Spec. Publ. Nop. 2, 1981, pp.277-304. van Leeuwen, T. M., Pieters, P. E. 2011. Mineral Deposits of Sulawesi.
Proceedings of The Sulawesi Mineral Resources. Manado. MGEI‐IAGI.
Widi, B. N., Pardiarto, B., dan Mulyana. 2007. Mineralization System Of The
Iron Ore Deposits In Bontocani District And Its Adjacent Bone Regency, South Sulawesi Province. Proceeding Joint Convention Bali 2007. Center for Geological Resources, Geological Agency.
Winda, Herianto dan Sukamto, U. 2015. Penyelidikan Geomagnet untuk
Pendugaan Bijih Besi PT. Berkah Alam Semesta di Desa Bana Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Jurnal Teknologi Pertambangan. 1: 70-73.
Yao, L., Xie. G., Mao, J., Lu, Z., Zhao, C., Zheng, X., Ding, N. 2015.
Geological, geochronological, and mineralogical constraints on the genesis of the Chengchao skarn Fe deposit, Edong ore district, Middle–Lower Yangtze River Valley metallogenic belt, eastern China. Journal of Asian Earth Science. Vol. 101: 69-82.
Zhou, Z. Mao, J. Che, H. Ouyang, H. Ma, Xinghua. 2017. Metallogeny of
the Handagai skarn Fe–Cu deposit, northern Great Xing'an Range, NE China: Constraints on fluid inclusions and skarn genesis. Ore Geology Reviews. Vol. 80: 623-644.