karakteristik bahasa keluarga muda berdasarkan …
TRANSCRIPT
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
1 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
Info Artikel
Diterima : 6 Agustus2018
Disetujui : 9 Desember 2018
Dipublikasikan : Januari 2018
KARAKTERISTIK BAHASA KELUARGA MUDA
BERDASARKAN PERBEDAAN GENDER
DI KECAMATAN TUNJUNGAN KABUPATEN BLORA
Inna Washila Kurnianingsih
SMK Negeri 1 Blora, Blora, Indonesia
Posel : [email protected]
Abstract : Language characteristics in young families cannot be separated from social situations and
social interactions that exist in society. Apart from that, there are gender of language
users who influence the choice of language used. The aim of this study is to analyze the
characteristics of the language used in the interaction of young families in Tujungan
district, Blora Regency and analyze what factors influenced other than gender differences.
The data collection method used is the refer method. The data analysis method used is the
extralingual equivalent method. Based on the results of data analysis, the language
characteristics of young families in Tunjungan district, Blora Regency can be seen based
on the gender differences which can be characterized into male and female speakers. Male
language characteristics are based more on masculine traits, which are more aggressive,
master of speech, brave, and fierce. The characteristics of female language are less
assertive, unclear expression use figurative words more often), and careful in saying
something. Factors that influence language choice in young family interactions other than
gender differences are ethics / social norms, level of familiarity, speech situation, speech
topic, and location of speech.
Keywords: language choice, young family, gender
Abstrak : Karakteristik bahasa dalam keluarga muda tidak dapat terlepas dari situasi sosial dan
interaksi sosial di masyarakat. Terlepas dari hal itu, terdapat gender pengguna bahasa yang
turut memengaruhi pilihan bahasa yang digunakan. Tujuan penelitian ini untuk
menganalisis karakteristik bahasa yang digunakan dalam interaksi keluarga muda di
Kecamatan Tujungan Kabupaten Blora dan menganalisis apa saja faktor pengaruh selain
faktor perbedaan gender. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan ekstralingual. Berdasarkan
hasil analisis data, karakteristik bahasa keluarga muda berdasarkan perbedaan gender di
Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora dapat dilihat berdasarkan karakteristik penutur
laki-laki dan perempuan. Karakteristik bahasa laki-laki lebih didasarkan pada sifat
maskulin, yaitu lebih agresif, menguasai pembicaraan, berani, dan garang. Adapun
karakteristik bahasa perempuan bersifat kurang tegas, tidak mengutarakan secara jelas
(lebih sering memakai kata kiasan), dan berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu. Faktor
yang memengaruhi pilihan bahasa dalam interaksi keluarga muda selain faktor perbedaan
gender adalah etika/norma sosial, tingkat keakraban, situasi tutur, topik tuturan, dan lokasi
tuturan.
Kata Kunci : pilihan bahasa, gender, keluarga muda.
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
2 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
Pendahuluan
Keberadaan bahasa merupakan
kelebihan yang dimiliki manusia dibanding
dengan makhluk lain yang ada di dunia.
Bahasa merupakan hasil konsensus bersama
antarmanusia yang kini menduduki peran
penting dalam bagian kehidupan manusia.
Sebagai hasil konsensus bersama atau hasil
karya yang dihasilkan, bahasa dapat
dikategorikan sebagai unsur kebudayaan yang
bersifat universal. Artinya, bahasa merupakan
unsur kebudayaan yang pasti dapat ditemukan
di semua daerah, baik yang di pedesaan kecil
terpencil maupun di perkotaan yang besar dan
kompleks (Koentjaraningrat, 1994:2). Bahasa
juga dipandang sebagai sistem sosial dan
sistem komunikasi yang merupakan bagian
dari masyarakat dan kebudayaan (Greenberg
dalam Suwito, 1985:2).
Sebagai bagian masyarakat, manusia
ditakdirkan lahir sebagai makhluk sosial.
Manusia senantiasa membutuhkan manusia
lain untuk memenuhi kebutuhan sosialnya.
Interaksi sosial yang terjadi antarmanusia
secara tidak langsung juga akan berpengaruh
terhadap keberadaan bahasa. Hal ini terjadi
karena kegiatan tersebut akan melibatkan
beberapa orang dengan latar belakang bahasa
yang berbeda, sehingga akan menimbulkan
adanya interaksi bahasa dan mendorong
terjadinya variasi dalam pemakaian bahasa.
Hal ini pula yang pada akhirnya mendorong
manusia untuk melakukan suatu pilihan
bahasa. Dalam kehidupan, pilihan bahasa juga
dipandang sebagai peristiwa sosial yang
berkembang di masyarakat.
Pilihan bahasa merupakan sesuatu
yang dipandang sebagai masalah yang
dihadapi masyarakat yang tinggal di antara
interaksi dua bahasa atau lebih. Dengan
adanya interaksi dua bahasa atau lebih yang
ada di masyarakat, hal ini akan mendorong
manusia untuk menentukan sikap bahasa.
Terdapat tiga jenis pemakaian bahasa yang
dikaji dalam sosiolinguistik, yaitu alih kode,
campur kode, dan variasi dalam bahasa yang
sama (Sumarsono, 2004:201).
Alih kode merupakan gejala peralihan
pemakaian bahasa sebagai akibat adanya
perubahan situasi tutur. Campur kode
merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa
yang terjadi akibat penutur bahasa
menyelipkan unsur bahasa lain ketika sedang
memakai bahasa tertentu. Variasi dalam
bahasa yang sama merupakan jenis pilihan
bahasa yang menentukan adanya sikap bahasa
pada seseorang. Ketiga pilihan bahasa
tersebut dapat dianggap mudah ditentukan
dan dapat juga diaggap sukar ditentukan. Hal
ini terjadi karena batasan di antara pilihan
bahasa tersebut seringkali berubah menjadi
kabur.
Untuk menganalisis pilihan bahasa
yang dipakai manusia, gaya bahasa menjadi
unsur yang penting keberadaannya. Keraf
(2007:113) menyatakan bahwa gaya bahasa
merupakan cara untuk mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.
Dengan demikian, akan ditemukan perbedaan
antara gaya pilihan bahasa laki-laki dan
perempuan. Perbedaan tersebut bukan hanya
sebatas akibat perbedaan kelamin saja,
melainkan terdapat gender atau konsep sosial
yang membedakan antara peran laki-laki dan
perempuan yang memberikan sekat perbedaan
yang lebih kompleks.
Perbedaan gender pengguna bahasa
merupakan salah satu faktor yang menarik
perhatian. Bagaimana bisa suatu gender
memengaruhi pilihan bahasa cukup menarik
untuk diteliti. Apalagi dalam kehidupan
banyak isu berkembang mengenai
diskriminasi gender yang ada di masyarakat.
Banyak orang beranggapan bahwa gender dan
sex itu sama dan didefinisikan sebagai
perbedaan jenis kelamin. Namun, pendapat
tersebut sebenarnya tidak tepat. Menurut
Handayani (2008:4)sex adalah pembagian
jenis kelamin secara biologis, melekat pada
jenis kelamin tertentu. Hal ini berarti bahwa
sex hanya membedakan antara jenis kelamin
laki-laki dan perempuan yang secara kodrati
masing-masing memiliki fungsi organisme
yang berbeda.
Berbeda halnya dengan sex, gender
lebih sering diartikan sebagai konsep sosial
yang membedakan antara peran laki-laki dan
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
3 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
perempuan. Gender merupakan sifat yang
melekat pada kaum laki-laki dan perempuan
yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial dan
budaya antara laki-laki dan perempuan.
Bentukan sosial antara laki-laki dan
perempuan adalah perempuan dikenal sebagai
makhluk lemah lembut, cantik, sentimentil,
emosional, dan keibuan. Adapun lelaki
dianggap kuat, rasional, jantan, dan berani
(Handayani, 2008:5).
Dalam interaksi sosial yang ada di
masyarakat, seringkali perempuan menduduki
posisi kedua setelah laki-laki. Pernyataan ini
dikuatkan oleh pendapat Sumarsono
(2004:98) yang menyatakan bahwa wanita
selalu diletakkan di nomor dua dan sering
tidak dipakai dalam penelitian linguistik
karena dipengaruhi oleh sikap “hiperkorek”
yang ditakutkan dapat mengaburkan situasi
sebenarnya yang diinginkan oleh peneliti.
Perbedaan antara laki-laki dan
perempuan tersebut dapat berupa perbedaan
sikap, cara pandang, dan juga cara berbahasa
dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan
dianggap dapat menempatkan diri dalam
pembicaraan dan cenderung menggunakan
bahasa yang lebih sopan dibanding laki-laki.
Kurath (dalam Sumarsono, 2004:98)
mengemukakan:
“... they should be male because in the
Western nations women’s speech tends to be
more self-conscious and classconsious than
men’s...”
‘...mereka, yaitu responden haruslah
laki-laki karena dalam masyarakat barat tutur
wanita itu cenderung lebih sadar-diri dan
sadar-kelas daripada tutur laki-laki...’
Pendapat di atas menguatkan
anggapan bahwa memang benar terdapat
perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam pemakaian bahasa untuk
berkomunikasi.
Sebagai makhluk sosial, baik laki-laki
maupun perempuan akan menjalani fase
kehidupan berkeluarga. Keluarga merupakan
tempat pertama dan utama bagi anak untuk
membentuk kepribadian dan mencapai tugas
perkembangannya (Gerungan, 1996:6).
Keluarga adalah lingkungan awal yang
mengajarkan bahasa kepada anak sebelum
nantinya dapat belajar dari dunia luar. Bahasa
pertama yang diajarkan kepada anak biasanya
lebih dikenal sebagai bahasa daerah (bahasa
ibu). Selain lingkungan keluarga, lingkungan
tempat tinggal dan lingkungan sekolah juga
turut memberikan andil terhadap
perkembangan bahasa pada seorang anak.
Chaer (2004:204) menyatakan bahwa
lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat
tempat tinggal, dan lingkungan sekolah sangat
berperan dalam pembelajaran bahasa
seseorang. Dengan demikian, ketika anak
sudah mampu berinteraksi dengan dunia luar
dan mulai mempelajari bahasa lain, maka
anak tersebut dapat dikategorikan sebagai
dwibahasawan. Dwibahasawan merupakan
orang yang dalam interaksi sosialnya dapat
menggunakan lebih dari satu bahasa, misal
bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa
Asing (Alwasilah, 1993:144).
Sebagai seorang dwibahasawan,
masyarakat akan dihadapkan dengan
permasalahan pilihan bahasa. Pilihan bahasa
tersebut akan mendorong seseorang untuk
menentukan sikap bahasanya. Ini pula yang
dihadapi masyarakat yang tinggal di
Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora.
Sebagai dwibahasawan, masyarakat di daerah
tersebut akan dihadapkan pada pilihan bahasa
yang akan digunakan dalam interaksi sosial
dengan masyarakat lain. Terlebih masyarakat
di daerah tersebut bersifat heterogen yang
masing-masing memiliki latar belakang
kehidupan yang berbeda.
Terdapat tiga jenis pilihan bahasa yang
dapat digunakan dalam kajian sosiolinguistik.
Pertama, alih kode (code switching), artinya
gejala peralihan kode bahasa sebagai akibat
berubahnya situasi tutur (Sumarsono,
2004:202). Alih kode dapat menduduki fungsi
sosial karena alih kode berusaha
menyesuaikan pilihan pemakaian bahasa
sesuai dengan lawan tutur dalam berbicara.
Hymes (dalam Chaer, 2004:107)
menambahkan bahwa alih kode bukan hanya
berkaitan dengan peralihan antarbahasa, tetapi
juga terjadi antara ragam bahasa atau gaya-
gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
4 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan teoretis dan pendekatan
metodologis. Pendekatan teoretis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan sosiolinguistik, yaitu pendekatan
penelitian yang berkaitan dengan ilmu
penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan
masyarakat.
Pendekatan metodologis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan
deskriptif merupakan pendekatan penelitian
yang semata-mata berdasarkan pada fakta
yang ada pada penutur bahasa. Penelitian ini
tidak mempertimbangkan benar ataupun
salahnya penggunaan bahasa oleh penuturnya
(Sudaryanto, 1993:62).
Penelitian deskriptif kualitatif dalam
penelitian ini adalah prosedur penelitian
dengan hasil sajian data deskripsi berupa
wujud kode bahasa dan peran gender dalam
pemilihan bahasa pada interaksi keluarga
muda yang terdapat di Kecamatan Tunjungan
Kabupaten Blora.
Lokasi penelitian terletak di
Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora.
Kecamatan Tunjungan terbagi atas 15 desa,
yaitu desa Adirejo, Gempolrejo, Kalangan,
Kedungrejo, Kedungringin, Keser,
Nglangitan, Sambongrejo, Sitirejo, Sukorejo,
Tamanrejo, Tambahrejo, Tawangrejo,
Tunjungan, dan Tutup. Kecamatan Tunjungan
memiliki luas daerah 10.338,6 km² dan
jumlah penduduk sebanyak 43.651 jiwa.
Kecamatan Tunjungan Kabupaten
Blora dipilih karena bahasa yang digunakan
untuk berkomunikasi oleh masyarakat Blora
memiliki kekhasan tersendiri yang tidak
ditemukan di daerah lain. Kekhasan yang
dimaksud adalah kekhasan dari segi leksikal,
fonologis, dan sintaksis. Dari segi leksikal,
kekhasan bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi oleh masyarakat Blora dapat
dilihat dari adanya beberapa kata yang hanya
dijumpai di daerah Blora, misalnya kata
njongok [njɔηɔ?] ‘duduk’ dan mbalik
[mbalI?]‘pintar’.
Berdasarkan segi fonologis, kekhasan
bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi
oleh masyarakat Blora terlihat pada vokal
bahasanya. Penggunaan vokal bahasa Jawa
oleh masyarakat Blora seringkali mengalami
perubahan bunyi akhir seperti yang terlihat
pada penggunaan kosakata putih [putƐh]
‘warna putih’ dan gurih[gurƐh] ‘lezat/ gurih’.
Berdasarkan segi sintaksis, kekhasan bahasa
yang digunakan untuk berkomunikasi oleh
masyarakat Blora dapat terlihat pada
penggunaan enklitik {-em} untuk menyatakan
kepemilikan seperti yang terlihat pada kata
omahem[omahəm] ‘rumahmu’.
Data merupakan hasil pencatatan
penelitian yang berupa kosakata maupun
kalimat yang dapat dijadikan sebagai sumber
informasi (Mahsun, 2007:18). Data dalam
penelitian ini berupa kata, frasa, kalimat yang
terdapat dalam tuturan keluarga muda di
Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora.
Sumber data dalam penelitian ini
adalah semua tuturan lisan dalam interaksi
keluarga muda di Kecamatan Tunjungan
Kabupaten Blora. Keluarga muda dipilih
karena diyakini mampu terbuka dengan dunia
luar sehingga kontak bahasa yang mereka
lakukan pun lebih bervariatif.
Pengumpulan data adalah pencatatan
peristiwa atau hal-hal yang mendukung atau
menunjang penelitian (Moleong, 2004:83).
Adapun metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode
simak. Dalam praktiknya, metode simak
terbagi atas teknik simak libat cakap, teknik
simak bebas libat cakap, teknik rekam, dan
teknik catat.Teknik simak libat cakap
digunakan untuk mendapatkan data berupa
tuturan langsung dengan cara si peneliti
terlibat langsung dalam suatu percakapan.
Teknik simak bebas libat cakap digunakan
untuk mengetahui tuturan keluarga muda di
lokasi penelitian. Teknik rekam digunakan
untuk memperkecil kemungkinan hilangnya
informasi dari penutur. Teknik rekam
dilakukan atau diatur agar tidak diketahui
oleh penutur (informan) supaya tidak
memengaruhi kewajaran tuturan.
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
5 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
Teknik catat dilakukan terhadap kata,
frasa, atau kalimat yang diutarakan oleh
anggota keluarga muda di Kecamatan
Tunjungan Kabupaten Blora. Data-data yang
diperoleh nantinya akan dicatat dalam kartu
data untuk memudahkan proses analisis yang
akan dilakukan.
Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode padan.
Metode padan merupakan metode analisis
data yang dilakukan dengan menghubung-
bandingkan antarunsur yang bersifat lingual
(Mahsun, 2007:259). Terdapat dua jenis
metode padan dalam penelitian kualitatif,
yaitu padan intralingual dan padan
ekstralingual. Padan intralingual merupakan
metode analisis dengan cara menghubung-
bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual,
baik yang terdapat dalam suatu bahasa
maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda.
Padan ekstralingual merupakan metode
analisis yang bersifat ekstralingual. Metode
ini menghubungkan masalah bahasa dengan
hal-hal yang diluar bahasa, seperti referen,
konteks tuturan: konteks sosial pemakaian
bahasa, penutur bahasa yang dipilah misalnya
berdasarkan gender, usia, kelas sosial, dan
sebagainya (Mahsun, 2007:260).
Penelitian ini menggunakan metode
padan ekstralingual untuk menganalisis
data.Peneliti memilih menggunakan metode
tersebut karena peneliti hendak menganalis
data dengan cara menghubungkan masalah
bahasa dengan hal-hal yang berada di luar
bahasa, seperti referen dan konteks sosial
pemakaian bahasa.
Dalam penelitian bahasa terdapat dua
metode penyajian data, yaitu metode formal
dan metode informal. Metode formal adalah
perumusan dengan tanda-tanda atau lambang
(Sudaryanto, 1993:145). Metode informal
adalah penyajian data dengan kata-kata.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih
menggunakan metode penelitian informal.
Hasil dan Pembahasan
Bahasa merupakan bagian dari
kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat. Tiap bahasa yang digunakan
untuk berkomunikasi masyarakat memiliki
karakteristik tersendiri. Karakter-karakter
dalam berbahasa dapat terbentuk dari kondisi
siosial masyarakat yang ada, sistem nilai
sosial yang berlaku, dan perbedaan gender
pengguna bahasa. Karakter berbahasa
seseorang dapat terbentuk karena adanya
perbedaan gender antara pengguna bahasa.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
bahasa mampu merefleksikan perbedaan
pandangan dan penilaian masyarakat atas
bahasa seperti apa yang pantas bagi laki-laki
dan perempuan. Berikut ini akan dipaparkan
perbedaan penggunaan bahasa antara laki-laki
dan perempuan yang terjadi pada interaksi
keluarga muda di Kecamatan Tunjungan
Kabupaten Blora.
Karakteristik Bahasa Laki-Laki
Bahasa merupakan alat komunikasi
massa yang mampu merekam asumsi
mengenai bagaimana seorang laki-laki
berperilaku. Terlebih dalam masyarakat yang
masih mengenal adanya sistem patriarki, yaitu
posisi laki-laki akan diletakkan menjadi lebih
tinggi dibanding posisi perempuan. Hal ini
akan melahirkan pandangan mengenai
perbedaan posisi antara laki-laki dan
perempuan yang berakibat penggunaan
bahasa di antara keduanya. Perbedaan
penggunaan bahasa yang dimaksud bukan
hanya terletak pada perbedaan suara,
pemakaian gramatika, pilihan kata, tetapi juga
mengenai cara penyampaian bahasa.
Bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan
terbukti memiliki perbedaan tersendiri,
perbedaan ini dapat terbentuk karena adanya
interaksi sosial, nilai-nilai sosial, peran sosial
yang ada, dan karena adanya budaya yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Dalam berbahasa, laki-laki lebih didasarkan
pada sifat maskulin, yaitu lebih agresif,
berani, dan garang. Adapun contoh
percakapan yang akan mewakili sifat-sifat
laki-laki dalam berbahasa akan tergambar
pada kutipan percakapan berikut ini.
(1) KONTEKS: PUNGGUH MEMBERIKAN
TANGGAPAN MENGENAI
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
6 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
PEMBERITAAN DI TELEVISI YANG
MEMUAT BERITA PERNIKAHAN
CRISTY JUSUNG
Pungguh: “ Cristy Jusung entuk bojo wong
tuwek gelem ae.”
[Crsty Jusung əntU? bojo wɔη
tuwƐ? gələm ae]
‘Cristy Jusung mendapatkan suami
tua mau saja’
Mbak Rini: “Sugeh og.”
[sugƐh ɔg]
‘soalnya kaya sih’
Pungguh : “Maune bojone sapa eh?”
[Maune bojone sɔpɔ Ɛh]
‘Tadinya suaminya siapa ya?’
Nia : “Hengki Kurniawan.”
Pungguh : “Aluwung entuk tuwek ndang
matek.”
[AluwUη əntU? tuwƐ? Ndaη
matƐ?]
‘Lebih baik dapat tua, cepat
meninggal’
MbakRini:“Ndang entuk warisan ya?
hahaha”
[Ndaη əntU? warIsan yɔ. hahaha]
‘Cepat dapat warisan ya, hahaha’
Pungguh: “Iya. Timbangane nom trus do
selingkuh rak alung tuwek-tuwek.
Jongkrokno ndredek-ndredek,
sentak sitik watuke njeglik.”
[iyɔ, tImbaηane nɔm trUs dɔ
səliηkuh ra? alUη tuwƐ?-tuwƐ?
jɔηkrɔ?nɔ ndrəde?-ndrədə?, sənta?
siţI? watUke njəglI?]
‘Iya, daripada suaminya muda
terus pada selingkuh, lebih baik
yang tua saja. Didorong langsung
gemetar, diteriaki sedikit langsung
batuk-batuk.
(Data 4)
Dalam bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi biasanya memiliki nilai
konotasi yang berbeda-beda, dan biasanya
laki-laki memilih berbahasa dengan
menggunakan konotasi kasar. Seperti contoh
tuturan (23) tampak bahwa penutur laki-laki
terlihat lebih berani dan agak kasar. Ini
tampak pada dialognya yang berbunyi
“Aluwung entuk tuwek ndang matek,”‘lebih
baik dapat suami tua, cepat meninggal’. Dari
kata tersebut tampak bahwa penutur memiliki
keberanian dalam berkomunikasi. Tuturan
yang dikatakan penutur dapat dikategorikan
sebagai kata-kata sumpah serapah kepada
objek yang dibicarakan. Kata lain yang juga
memberikan gambaran tentang keberanian
penutur dalam memilih kosakata yang kasar
juga tampak pada tuturan“Iyo. Timbangane
nom trus do selingkuh rak alung tuwek-tuwek.
Jongkrokno ndredek-ndredek, sentak sitik
watuke njeglik”. Meski pembicaraan yang
dilakukan oleh penutur dan mitra tutur
terdapat nilai humornya, namun tetap saja
penutur memilih menggunakan pilihan kata
yang memiliki konotasi lebih kasar seperti
yang terlihat pada kalimat “Aluwung entuk
tuwek ndang matek”, “Iyo. Timbangane nom
trus do selingkuh rak alung tuwek-tuwek.
Jongkrokno ndredek-ndredek, sentak sitik
watuke njeglik”.
Contoh kutipan lain yang juga
menunjukkan perbedaan pilihan penggunaan
bahasa yang digunakan laki-laki akan tanpak
pada kutipan berikut ini.
(2) KONTEKS: NURI MEMANGGIL PAK
SUS UNTUK IKUT BERGABUNG
DUDUK BERAMAI-RAMAI.
Nuri: “He, Pak Sus sini-sini.”
Rian: “Mriki-mriki gabung sekalian.”
[Mriki-mriki gabuη səkalian]
‘Sini-sini sekalian bergabung’
Nuri: “Pak Sus ayo rene. Ayo ning kene”
[Pak Sus ayo rene. Ayo nIη kene]
‘Pak Sus ayo kesini. Ayo di sini saja’
Atik: “Kersane nglumpuk”
[kərsane ηlumpU?]
‘Supaya berkumpul’
Nuri: “Pak Sus, tak banting lho nek gak
gelem rene.”
[pak Sus, ta? bantIη lho nƐ? Ga?
gələm rene]
‘Pak Sus, saya banting lho nanti kalau
tidak mau kesini’
(Data 37)
Pada tuturan (25) merupakan tuturan
yang dilakukan dalam interaksi keluarga
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
7 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
muda. Nuri dan Atik merupakan pasangan
keluarga muda yang usia pernikahannya
sudah memasuki tahun ke-3. Dalam interaksi
keluarga muda tersebut tampak bahwa tuturan
yang dilakukan Nuri lebih terkesan memaksa
dan tidak sabaran. Hal ini terlihat pada
tuturannya yang kembali diulang-ulang untuk
mengajak Pak Sus agar mau duduk
dengannya. Selain terkesan memaksa dan
tidak sabar, tuturan yang diucapkan Nuri juga
mengandung kosakata yang agak kasar. Ini
tampak pada tuturan Nuri ketika berkata “Pak
Sus, tak banting lho nek gak gelem rene”.
Kata “tak banting” yang diucapkan Nuri
dimaksudkan agar Pak Sus mau mengikuti
ajakan Nuri. Kata tersebut memiliki konotasi
yang kasar meskipun pada penggunaannya
Nuri memilih kata tersebut hanya sebatas
untuk bergurau terhadap Pak Sus dan bukan
berupa suatu ancaman.
Pemilihan kosakata yang cenderung
kasar dan berani tidak serta merta dilakukan
begitu saja oleh penutur. Penutur yang
memiliki hubungan sosial dengan orang-
orang yang terbiasa berbicara dengan
kosakata kasar, agresif, dan berani akan
cenderung memiliki keberanian untuk
menggunakan kosakata yang kasar pula. Ini
pula yang dialami oleh penutur dalam contoh
kutipan percakapan sebelumnya. Akibat
kontak sosial dengan masyarakat luas yang
masing-masing memiliki latar belakang
pendidikan dan sosial yang berbeda,
menjadikan penutur tidak segan
menggunakan kosakata yang cenderung kasar
dalam berkomunkasi.
Karakteristik Bahasa Perempuan Berbicara mengenai perempuan tidak
dapat terlepas dari adanya stigma yang
menyebutkan bahwa perempuan pada
dasarnya mewarisi sifat lemah lembut dan
penyayang. Dengan alasan tersebut, maka
muncul anggapan bahwa dalam berbahasa
seorang perempuan dipengaruhi kedua sifat
dasarnya tersebut. Dan benar saja, kedua sifat
dasar yang diwarisi perempuan sejak lahir
memang memberikan sumbangan mengenai
penggunaan bahasanya.
Bahasa yang digunakan perempuan
bersifat kurang tegas, tidak mengutarakan
secara jelas (lebih sering memakai kata
kiasan), dan berhati-hati dalam mengucapkan
sesuatu. Dalam berbicara, perempuan juga
lebih sering membicarakan orang lain, mudah
bersimpati, dan menceritakan hubungan
sosialnya dengan orang lain. Adapun contoh
percakapan yang akan mewakili sifat-sifat
perempuan dalam berbahasa akan tergambar
pada kutipan percakapan berikut ini.
(3) KONTEKS: MBAK ELI (SEORANG IBU
MUDA) MEMANGGIL ANAKNYA
YANG BERUSIA 2,5 TAHUN YANG
SEDANG BERMAIN DI LUAR RUMAH
Mbak Eli : “Hey Sya sini lho. Nanti nek kamu
ditemok orang lho. Ayo sini!
[Hey Sya sini lho. Nanti nƐ? Kamu
dItəmɔ? ɔraη lho. Ayo sini!]
‘Hey Sya sini lho. Nanti kalau
kamu dibawa orang lho. Ayo
sini!’
(Data 1)
Dalam percakapan di atas tampak
bahwa penutur sedang meminta anaknya yang
masih kecil untuk kembali masuk rumah.
Pada kutipan tuturan tersebut tampak bahwa
seorang ibu menggunakan bahasa yang santai
dan tidak memiliki konotasi keras terhadap
anaknya. Selain itu, ibu muda ini juga
memilih menggunakan kata “ditemok” untuk
menakuti anaknya agar mau masuk ke rumah.
Dalam bahasa Indonesia, kata “ditemok”
dapat disepadankan dengan kata ‘ditemukan’.
Berbeda dengan kata “ditemok” yang
digunakan ibu muda pada tuturan tersebut
sebenarnya bukan mengacu pada makna
sebenarnya, melainkan mengacu pada kata
“diculik”. Kata “ditemok” dipilih untuk
menggantikan kata “diculik” karena penutur
menganggap mengungkapkan kata “diculik”
kepada anaknya merupakan sesuatu yang
dianggap tabu.
Dengan demikian, tuturan tersebut
membuktikan bahwa dalam berbahasa,
seorang perempuan kadang memilih
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
8 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
menggunakan kata kias (kata yang bermakna
tidak sebenarnya) untuk menghindari hal-hal
yang dianggap tabu untuk diucapkan.
Contoh kutipan lain yang juga
menunjukkan perbedaan pilihan penggunaan
bahasa yang digunakan perempuan akan
tampak pada kutipan berikut ini.
(4) KONTEKS: IBU RUMINA BERTANYA
KEPADA NIA TENTANG SEBAB NIA
YANG SUDAH PULANG KE RUMAH
LAGI
Ibu Rumina: “Lho, Mbak Nia kok sampun
nyapu di rumah, kapan
wangsule?”
[lho, Mbak Nia kɔ? sampUn
nyapu d rumah, kapan
waηsUle]
‘Lho Mbak Nia kok sudah
menyapu di rumah lagi?
Kapan pulangnya?
Nia : “Kemarin Tante.”
Ibu Rumina : “Nembe liburan apa Mbak?”
[Nəmbe liburan apa, Mbak]
‘Lagi liburan ya, Mbak?’
Nia : “Nglibur. Hahaha”
[ηlIbur. hahaha]
‘Bolos, hahaha’
(Data 10)
Dalam tuturan di atas juga ditemukan
bahwa Nia memilih menggunakan kata
“nglibur” untuk menggantikan kata “bolos”.
Kata “nglibur” dinilai memiliki nilai rasa
yang lebih tinggi daripada kata “bolos”
meskipun pada dasarnya keduanya sama-sama
berarti tidak masuk sekolah. Selain ditemukan
kata tersebut, dalam tuturan tersebut juga
tampak bahwa kedua perempuan yang terlibat
dalam tuturan menggunakan bahasa yang
sopan. Tidak ditemukan kata yang cenderung
bermakna kasar dalam tuturan tersebut. Ini
membuktikan bahwa dalam berkomunikasi
perempuan memilih menggunakan bahasa
yang lebih sopan dengan tujuan untuk
menunjukkan kesetaraan dan keharmonisan
hubungan di antara keduanya.
Berdasarkan kutipan-kutipan tuturan
yang terjadi pada interaksi keluarga muda di
Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora
tampak bahwa penutur perempuan lebih
memilih menggunakan bahasa yang memiliki
nilai rasa yang sopan dan terlihat lebih
berhati-hati untuk menjaga perasaan mitra
tuturnya. Hal ini tampak pada tuturan penutur
perempuan yang kadangkala memilih
menggunakan kata kias dalam tuturan untuk
mengungkapkan sesuatu.
Faktor yang Memengaruhi Karakteristik
Bahasa dalam Interaksi Keluarga Muda di
Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora
Selain Faktor Perbedaan Gender
Faktor sosial yang terdapat dalam
interaksi sosial masyarakat memang tidak
dapat dilepaskan dari aktivitas berbahasa.
Oleh karena itu, tidak aneh apabila dalam
kegiatan berbahasa sangat dipengaruhi oleh
latar belakang sosial penutur. Seperti halnya
yang dialami oleh masyarakat dalam keluarga
muda di Kecamatan Tunjungan Kabupaten
Blora. Selain ditentukan oleh faktor
perbedaan gender, terdapat faktor-faktor lain
yang turut memengaruhi pilihan kode
masyarakat disana. Adapun faktor lain yang
turut memengaruhi pilihan bahasa pada
peserta tutur dalam keluarga muda di
Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora
adalah etika/norma sosial, tingkat keakraban,
situasi tutur, topik tuturan, dan lokasi tuturan.
Etika/ Norma Berbahasa
Etika/ norma merupakan salah satu
faktor yang memengaruhi pilihan kode
bahasa. Etika berbahasa memegang peranan
penting dalam proses komunikasi. Etika
berbicara akan menuntun kita untuk
menentukan kode bahasa apa yang cocok
digunakan ketika berbicara dengan lawan
tutur.
Pada penelitian tentang pilihan bahasa
pada tuturan keluarga muda di Kecamatan
Tunjungan Kabupaten Blora, etika berbicara
merupakan salah satu faktor yang memiliki
pengaruh besar dalam pemilihan kode bahasa.
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
9 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
Etika/ norma berbahasa dalam bahasa Jawa
akan tampak pada pilihan kosa kata, terlebih
dalam bahasa Jawa terdapat tingkatan dalam
berbahasa. Tingkatan dalam berbahasa Jawa
yang dimaksud adalah penggunaan ragam
bahasa Jawa ngoko dan krama.
Dalam bertutur kata, masyarakat yang
memegang teguh norma dalam bahasa Jawa
akan sangat berhati-hati dalam berbahasa.
Pemilihan kosakata yang tepat akan sangat
menentukan penilaian dari mitra tutur
terhadap sikap penutur. Oleh karena itu,
kebanyakan masyarakat yang tinggal di Jawa
masih memegang teguh norma, yakni dengan
cara tetap mempertimbangkan kepada siapa
dia bertutur dan ragam bahasa apa yang
paling tepat dipilih.
Masyarakat tutur pada keluarga muda di
Kecamatan Tunjungan menganut dua kode
pilihan bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa. Bagi penutur yang memiliki
hubungan yang kurang dekat dengan mitra
tuturnya akan cenderung memilih
menggunakan bahasa Jawa ragam krama dan
bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan untuk
menunjukkan rasa menghormati kepada
lawan bicaranya. Seperti contoh percakapan
berikut ini yang terjadi antara Yuni dan
Seorang pengendara motor yang bertanya
tentang arah menuju rumah Pak Bayu.
(5) KONTEKS: YUNI MEMBERIKAN
PENJELASAN KEPADA SESEORANG
MENGENAI ARAH MENUJU RUMAH
PAK BAYU
Pengendara: “Nyuwun sewu, Mbak. Nderek
tanglet. Dalemipun Pak Bayu
meniko ingkang pundi nggih,
Mbak?”
[ῆuwUn sƐwu, Mba?. NdƐrƐ?
taηlət. Daləmipun Pa? Bayu
mənikɔ iηkaη punḍi ηgih, Mba?]
‘Permisi, Mbak. Numpang
bertanya. Rumahnya Pak Bayu itu
yang sebelah mana ya, Mbak?’
Yuni : “Niki sakmeniko njenengan lurus
mawon, Pak. Mangke wonten
masjid, lha ngajengipun masjid
pas meniko dalemipun Pak
Bayu.”
[NikI sakmənikɔ njənəηan lurus
mawɔn, Pa?. Maηke wɔntən
MasjId, lha ηajəηipun MasjId pas
mənikɔ daləmipun Pak Bayu.”
‘Dari sini Bapak lurus saja. Nanti
ada Masjid, nah tepat di depan
Masjid itu rumah Pak Bayu.’
Pengendara : “Oh, Nggih mpun, Mbak. Matur
suwun.”
[oh, ηgih mpUn, Mbak. Matur
suwun.]
‘Oh, iya, Mbak. Terimakasih.’
(Data 29)
Pada tuturan (29) tampak bahwa
penutur dan mitra tutur sama-sama
menggunakan bahasa Jawa ragam krama
untuk berkomunikasi. Ini terjadi karena
penutur dan mitra tutur tidak saling mengenal
dan belum pernah bertemu sebelumnya.
Untuk menunjukkan rasa menghormati dan
menghargai kepada lawan bicaranya, maka
baik penutur maupun mitra tutur memilih
untuk menggunakan bahasa Jawa ragam
krama.
Tuturan bermula ketika ada seorang
pengendara yang berhenti dan kemudian
bertanya kepada Yuni dengan berkata
“Nyuwun sewu, Mbak. Nderek tanglet.
Dalemipun Pak Bayu meniko ingkang pundi
nggih, Mbak?”. Berdasarkan tuturan tersebut
tampak bahwa dari sisi pengendara sudah
memulai menggunakan bahasa Jawaragam
krama karena hubungannya yang sama sekali
tidak akrab dengan Yuni dan untuk
menunjukkan rasa hormatnya maka
pengendara memilih menggunakan bahasa
Jawa ragam krama untuk bertanya.
Menanggapi hal tersebut, Yuni pun
menggunakan bahasa Jawa ragam krama
untuk menjawab dengan berkata “Niki
sakmeniko njenengan lurus mawon, Pak.
Mangke wonten masjid, lha ngajengipun
masjid pas meniko dalemipun Pak Bayu”.
Dengan demikian, tampak bahwa Yuni dan
pengendara sama-sama memilih
menggunakan bahasa Jawa ragam krama
dengan alasan untuk menjaga etika kesopanan
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
10 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
ketika berbicara dengan orang yang belum
dikenal ataupun dengan orang yang kurang
akrab.
Berdasarkan ilustrasi yang ada, dapat
diambil simpulan bahwa etika atau norma
dalam berbicara dapat memengaruhi
seseorang untuk melakukan pilihan kode
bahasa. Etika berperan untuk menuntun
penutur atau mitra tutur untuk mengambil
sikap dalam bertutur pada mitra tuturnya.
Tingkat Keakraban
Tingkat keakraban merupakan salah
satu faktor yang turut memengaruhi pilihan
kode bahasa seseorang. Tingkat keakraban
masing-masing orang yang berbeda akan
menetukan pilihan kode bahasa apa yang tepat
digunakan untuk berkomunikasi. Pilihan
bahasa yang dipilih oleh penutur dan mitra
tutur yang sudah memiliki hubungan akrab
dengan mitra tutur yang kurang akrab akan
berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena
dalam bertutur dengan mitra tutur yang
kurang akrab, penutur akan lebih berhati-hati
dalam memilih kode bahasa maupun kosakata
yang digunakan dalam berkomunikasi.
Berbeda ketika penutur berkomunikasi
dengan mitra tutur yang sudah akrab, penutur
akan lebih leluasa menggunakan kode bahasa.
Perbedaan pada bentuk tuturan dengan
kondisi penutur yang sudah akrab dan belum
akrab dengan mitra tuturnya akan tergambar
pada dua percakapan berikut ini.
(6) KONTEKS: TONO BERCERITA
KEPADA JOKO MENGENAI
KEINGINANNYA UNTUK
MEMANCING DI WADUK GRENENG.
Tono: “Sibuk terus, Dhe. Gak kober mancing
ngeneki lho.”
[Sibuk tərUs, Dhe. Ga? kɔbər mancIη
ηeneki lho]
‘Sibuk terus, Dhe. Sampai tidak
sempat mancing’
Joko : “Sug minggu mangkat piye, Dhe?
Tak melok mancing.”
[Sug miηgu maηkat piye, Dhe. Ta?
Melɔ? mancIη]
‘Bagaimana kalau besuk hari minggu
berangkat memancing, Dhe? Nanti aku
ikut.’
Tono: “Iya, Dhe. Mangkat. Liyane kandani.”
[iyɔ, Dhe. Maηkat. Liyane kanḍani]
‘Iya, Dhe, setuju kalau besuk
berangkat mancing. Jangan lupa yang
lain diajak juga.’
Joko: “Gampang iku.”
[Gampaη iku]
‘Gampang itu.’
(Data 19)
Tuturan di atas merupakan tuturan yang
terjadi dalam interaksi bahasa keluarga muda.
Hal Ini terjadi karena mitra tutur Tono adalah
Joko yang merupakan anggota keluarga
muda. Dalam percakapan tersebut tampak
bahwa percakapan yang dilakukan oleh Tono
dan Joko sama-sama menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko. Pemilihan bahasa Jawa
ragam ngoko ini terjadi karena hubungan
antara Tono dan Joko sudah sangat akrab.
Maka dari itu, untuk berkomunikasi mereka
memilih menggunakan bahasa Jawa ragam
ngoko. Selain ditandai dari penggunaan
bahasa Jawa ragam ngoko, bentuk keakraban
mereka juga ditunjukkan dengan sapaan
“Dhe” kepada mitra tuturnya. Kata “Dhe”
dalam bahasa Jawa merupakan bentuk
sederhana dari kata “Pak Dhe” yang berarti
‘paman’. Namun, khusus dalam percakapan
antara Tono dan Joko, kata “Dhe” yang
dimaksud bukanlah merujuk pada bentuk
“Pak Dhe” melainkan merupakan sapaan
akrab untuk temannya.
Berdasaskan ilustrasi yang telah
dipaparkan, dapat diambil simpulan bahwa
tingkat keakraban seseorang turut
memengaruhi pilihan bahasa dalam
berkomunikasi. Percakapan antara seorang
yang sudah akrab dengan mitra tuturnya akan
tampak lebih lepas dan tidak canggung dalam
memilih kosakata dalam berbicara. Berbeda
dengan percakapan antara seseorang yang
belum begitu akrab dengan mitra tuturnya.
Dalam percakapan tersebut akan terlihat
adanya batasan-batasan tertentu yang
membuat penutur dan mitra tutur harus
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
11 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
berhati-hati dalam melakukan pilihan bahasa
dan melakuan pemilihan kosakata dalam
berbicara.
Situasi Tutur
Situasi tuturan merupakan kondisi yang
melatarbelakangi terjadinya suatu tuturan.
Dalam interaksi berbahasa keluarga muda di
Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora
terdapat dua situasi tutur antara penutur dan
mitra tutur. Situasi tutur yang dimaksud
adalah situasi formal dan situasi non formal.
Untuk memberikan gambaran mengenai
pengaruh situasi tutur terhadap pilihan kode
bahasa, maka dapat dilihat pada contoh
tuturan berikut ini.
(7) KONTEKS: LIANTO MEMBERIKAN
ARAHAN MENGENAI KEGIATAN
KERJA BAKTI YANG AKAN
DILAKUKAN
Lianto :“Assalamualaikumsalam
Warohmatullahi Wabarokatuuh.
Terimakasih atas kehadiran Bapak dan Ibu
semua dalam acara rapat bulanan yang
telah rutin kita lakukan. Langsung saja
pokok bahasan kita malam ini adalah
mengenai agenda bersih-bersih kampung
seperti yang telah rutin kita lakukan tiap
bulannya nggih Pak/ Bu. Nah, untuk
agenda bersih-bersih kita kali ini akan
dimulai dari depan rumah Mas Irfan ngih
Pak. Nanti kita bersihkan itu selokan-
selokan agar podasi-pondasi di selokan itu
tudak mudah rusak. Walau bagaimanapun
bangunan yang sudah diusahakan desa kan
harus kita rawat ya Pak/ Bu...”
(Data 30)
Lianto merupakan seorang ketua RT
yang memiliki usia 25 tahun. Lianto adalah
seorang anggota keluarga muda karena tahun
lalu dia telah melangsungkan pernikahanya.
Oleh karena keadaan tersebut, maka interaksi
tutur yang dilakukan lianto dapat digolongkan
dalam interaksi tutur keluarga muda. Pada
tuturan yang dilakukan Lianto tampak bahwa
penutur menggunakan bahasa Indonesia untuk
bertutur. Hal ini dilakukan karena penutur
tengah memimpin rapat dengan warga.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tuturan tersebut terjadi pada sitauasi formal.
Dalam situasi formal, pak RT memilih untuk
menggunakan bahasa Indonesia dibanding
bahasa Jawa. Hal ini dilakukan untuk menjaga
kondisi atau suasana rapat agar tetap
terkendali. Selain alasan tersebut, orang-orang
memang sering membedakan pola pilihan
bahasa yang digunakannya. Dalam situasi
formal, masyarakat lebih senang
menggunakan kode bahasa Indonesia,
sedangkan pada situasi non formal
masyarakat memilih untuk menggunakan
bahasa Jawa.
Berdasarkan contoh ilustrasi yang telah
dipaparkan, tampak bahwa perbedaan situasi
tutur dapat mendorong seseorang untuk
melakukan pilihan kode bahasa. Pemakaian
kode bahasa dalam situasi formal akan
berbeda dengan pilihan kode bahasa pada
situasi tidak formal. Pilihan bahasa pada
situasi tidak formal lebih bebas, luwes, dan
tidak terikat pada aturan baku. Berbeda
dengan pilihan bahasa dalam situasi formal
yang lebih terkesan kaku dan lebih terikat
pada aturan baku.
Topik Tuturan Perubahan topik pembicaraan juga
dapat memberikan pengaruh terhadap pilihan
bahasa seseorang. Perubahan topik ketika
sedang bertuturkata akan membuat penutur
dihadapkan pada suatu pilihan. Apakah
nantinya penutur akan tetap mempertahankan
kode dasar yang dipakai dalam berkomunikasi
dengan mitra tuturnya ataupun memilih untuk
menggunakan kode lain yang berbeda dengan
kode sebelumnya.
Seperti yang tergambar pada contoh-
contoh tuturan berikut ini. Akan dipaparkan
sebuah tuturan yang didalamnya terdapat
perubahan kode bahasa yang disebabkan oleh
adanya perubahan topik pembicaraan.
(8) KONTEKS: ATIK BERCERITA
KEPADA YUNI MENGENAI MURID
YANG MENJENGUK SUAMINYA
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
12 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
KETIKA SEDANG DIRAWAT DI
RUMAH SAKIT
Atik: “Aku ning kana (RS) ya ngono, sak
anane jajan tak kon mangani muride
pak’e.”
[Aku nIη kɔnɔ (RS) yɔ ηono, sa? ɔnɔne
jajan ta? kɔn maηani muride pa?e]
‘Kemarin ketika sedang di Rumah
sakit juga begitu. Ada makanan apa
saja saya tawarkan ke muridnya
bapak’
Yuni: “Lho do mriki pripun?”
[Lho ḍɔ mriki pripUn?]
‘Lho pada datang ke sini?’
Atik: “Rono. Do marani ning rumah sakit.
Alah rasane kudu ndang tak jak balik
wae. Pas lagi diperiksa dokter aku
langsung ngomong “Alah Dok, udah
sehat gini Dok. Boleh pulang ya ,
Dok?”, tapi malah jarene, “Lho ya
belum boleh, harus menunggu 24 jam
dulu”, kata dokter.Aku wis kudu ora
betah ae rasane. Ketoke rak wis mari
ngono eh. Ternyata iseh urung oleh
balik.”
[Rɔnɔ. ḍɔ marani nIη rumah sakIt. Alah
rasane kudu ndaη ta? Ja? balƐ? Wae pas
lagi di periksa dɔkter aku laηsUη ηɔmɔη
“Alah Dok, Udah sehat gini, Dok.
Boleh pulang ya, Dok?”, tapi malah
jarene, “Lhɔ ya belum boleh, harus
menunggu 24 Jam dulu”, kata dokter.
Aku wIs kudu ɔra bətah ae rasane.
ketɔke ra? wIs mari ηono eh. tərῆata
iseh uruη oleh balik.]
‘Kesana. Datang ke rumah sakit.
Aduh rasanya itu ingin segera saya ajak
pulang saja. ketika ada dokter yang
periksa itu saya langsung minta izin
“sepertinya sudah sehat begini, Dok.
Sudah boleh pulang ya, Dok?”, tapi
ternyata dokternya malah bilang, “Lho
ya belum boleh, harus menunggu 24
jam dulu”, kata dokter. Saya itu
sebenarnya sudah tidak betah disana.
Kelihatannya kan sudah sembuh begitu,
tapi ternyata tetap belum boleh pulang.’
(Data 35)
Pada ilustrasi (35) tampak bahwa
tuturan Atik mengalami perubahan topik.
Awalnya Atik menceritakan tentang murid-
murid suaminya yang datang ke rumah sakit
untuk menjenguk. Selanjutnya Atik pindah
topik dan bercerita tentang dirinya yang tidak
tahan berlama-lama di rumah sakit. Dan
setelah itu pindah topik lagi untuk
menceritakan percakapannya dengan dokter
ketika di rumah sakit.
Pada peralihan topik pertama ke topik
kedua tampak bahwa Atik tetap
mempertahankan pilihan kode pertama.
Peralihan kode bahasa mulai terlihat ketika
Atik bercerita tentang percapannya dengan
dokter ketika di rumah sakit. Ini tampak pada
tuturan Atik yang berbunyi “Pas lagi
diperiksa dokter aku langsung ngomong
“Alah Dok, udah sehat gini Dok. Boleh
pulang ya , Dok?”, tapi malah jarene, “Lho
ya belum boleh, harus menunggu 24 jam
dulu”, kata dokter.Aku wis kudu ora betah ae
rasane. Ketoke rak wis mari ngono eh.
Ternyata iseh urung oleh balik”.Atik memilih
bercerita manggunakan bahasa Indonesia
ketika bercerita tentang dialognya dengan
dokter. Dengan demikian ilustrasi pada
tuturan ini menunjukkan bahwa pergantian
topik tuturan akan mempenaruhi perubahan
pilihan bahasa seseorang.
Lokasi Tuturan
Lokasi tuturan merupakan tempat
dimana suatu tuturan itu terjadi. Lokasi
tuturan adalah salah satu faktor yang turut
memengaruhi penyebab terjadinya pilihan
bahasa. Dalam praktiknya, disadari ataupun
tidak, penutur akan secara serta merta
menyenyuaikan pilihan kode bahasa dengan
lokasi tempat dimana ia melakukan tindak
tutur. Misalkan saja, tuturan seseorang yang
sedang berada di pasar akan berbeda dengan
tuturan seseorang yang sedang berada di
Masjid. Hal ini bisa saja terjadi karena setiap
manusia pasti memiliki naluri untuk
melakukan penyesuaian diri dengan tempat
yang didatangi. Begitupun dengan
penggunaan bahasa di tempat-tempat tertentu,
secara langsung seseorang akan
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
13 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
menyesuaikan pilihan kode bahasanya dengan
tempat yang sedang mereka singgahi. Berikut
ini contoh tuturan untuk memperjelas
gambaran mengenai lokasi tuturan yang dapat
memengaruhi pilihan bahasa seseorang.
(9) KONTEKS: YUNITA, YATI, DAN NIA
SEDANG BERBINCANG MENGENAI
KELANGKAAN BENSIN YANG ADA
DI DAERAH TUNJUNGAN.
Yati: “Ndek bengi antri neh gak nduk
bensine?”
[ndƐ? bəηI antrI nƐh ga? ndU?
bƐnsine]
‘tadi malam beli bensinnya antre dulu
tidak’
Nia: “Telas mbah, mpun telas.”
[Təlas Mbah, mpUn təlas]
‘Habis Nek, sudah habis,
Yati: “Lha ya, Pak ne Mut ora nganti antre.
Biasane pakne Kiki gelem antrI, saiki
wonge emoh.”
[Lha yɔ, Pak ne Mut ɔra ηantI antre.
Biasane Pakne Kiki gələm antre, saikI
wɔηe əmɔh]
‘Iya, bapaknya Mut tidak sampai ikut
antre. Biasanya kan yang antre
bensin bapaknya kiki, sekarang
sudah tidak mau.’
Yunita : “Ora sido mundak kok.”
[ora sidɔ munda? kɔ?]
‘Tidak jadi naik kok.’
Yati :“Gak sido?”
[ga? sIdɔ]
‘Tidak jadi’
Nia : “Dereng sios mundak.”
[DƐrƐη siɔs munda?]
‘Belum jadi naik’
Yunita : “Lha ya, marai iseh simpang siur.”
[Lha yo, marai isƐh simpaη siur]
‘Lha iya, soalnya masih simpang siur’
(Data 37)
Dalam percakapan (37) tampak bahwa
penutur dan mitra tutur sama-sama
menggunakan bahasa Jawa untuk
berkomunikasi. Hal ini dilakukan karena
penutur dan mitra tutur sama-sama terbiasa
menggunakan bahasa Jawa untuk
berkomunikasi sehari-hari. Selain untuk
alasan kepraktisan, pilihan menggunakan
bahasa Jawa juga dipengaruhi oleh lokasi
terjadinya tuturan. Pasar merupakan tempat
bertemunya banyak orang dan sebagian orang
yang berinteraksi di pasar menggunakan
bahasa Jawa. Oleh karena itu, penutur dan
mitra tutur memilih menggunakan bahasa
Jawa dalam tuturan mereka.
Tuturan yang dilakukan oleh Yunita,
Nia, dan Yati dapat dikategorikan sebagai
interaksi keluarga muda karena dalam tuturan
tersebut melibatkan Yunita yang merupakan
seorang perempuan berusia 23 tahun yang
sudah menikah. Dengan demikian, interaksi
tutur yang dilakukan Yunita dapat
dikategorikan sebagai interaksi tutur anggota
keluarga muda.
Berdasarkan ilustrasi yang dipaparkan,
tampak bahwa lokasi turut memengaruhi
pilihan bahasa yang digunakan penutur.
Pilihan bahasa penutur akan berbeda
disesuaikan dengan dimana tempat mereka
sedang bertutur kata.
Simpulan
Karakteristik bahasa keluarga muda
berdasarkan perbedaan gender di Kecamatan
TunjunganKabupaten Blora dapat dilihat dari
karakteristik penutur laki-laki dan perempuan.
Karakteristik bahasa laki-laki lebih didasarkan
pada sifat maskulin, yaitu lebih agresif,
menguasai pembicaraan, berani, dan garang.
Adapun karakteristik bahasa perempuan
bersifat kurang tegas, tidak mengutarakan
secara jelas (lebih sering memakai kata
kiasan), dan berhati-hati dalam mengucapkan
sesuatu. Selain itu, perempuan juga lebih
sering membicarakan orang lain, mudah
bersimpati, dan menceritakan hubungan
sosialnya dengan orang lain.
Faktor yang memengaruhi pemilihan
bahasa dalam interaksi keluarga muda di
Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora
selain faktor perbedaan gender adalah
etika/norma sosial, tingkat keakraban, situasi
tutur, topik tuturan, dan lokasi tuturan.
Volume 1, Nomor 1, Januari 2019
ISSN 2655-3031 (P)
ISSN 2655-7851 (O)
14 http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra
Berdasarkan simpulan yang telah
dipaparkan, peneliti menyarankan kepada
pemerhati bahasa untuk melakukan penelitian
lanjutan karena fenomena kebahasaan yang
terjadi di Kecamatan Tunjungan Kabupaten
Blora cukup unik. Selain itu terdapat beberapa
kosakata khas yang hanya dapat ditemukan
pada tuturan masyarakat yang tinggal di
Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora.
Dengan demikian, penelitian lanjutan sangat
disarankan untuk dilakukan.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Pengantar
Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina.
2004.Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Gerungan, W. A. 1996. Psikologi Sosial.
Bandung. Eresco.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2008.
Konsep dan Teknik Penelitian Gender.
Malang: UMM press.
Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus
Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa:
Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Moleong, Lexy. 2004. Metodoligi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik
Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan Secara Linguistik.
Yogyakarta: Duta Wacana.
Sumarsono. 2004. Sosiolinguistik.
Yogyakarta. SABDA Lembaga Studi
Agama dan Perdamaian Kerjasama
Pustaka Pelajar.
Suwito. 1985. Sosiolinguistik Pengantar
Awal. Solo: Henary Offset.