karya tulis islami
DESCRIPTION
Optimalisasi Pendidikan Karakter Melalui “Sarbini Club” (Sarana Bina Rohani) Sebagai Upaya MencegahTRANSCRIPT
-
OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI SARBINI CLUB (Sarana Bina Rohani) SEBAGAI UPAYA MENCEGAH
KEKERASAN BERLATAR AGAMA
Oleh LUGITO
NPM. 1114121122
Email : [email protected]
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
2012
-
CHARACTER EDUCATION THROUGH OPTIMIZATION "Sarbini Club" (Spiritual Bina Sarana) AS EFFORTS TO PREVENT
RELIGIOUS VIOLENCE BACKGROUND
ABSTRACT
By LUGITO
Character education is an education that divides its focus on two things, science and the development of individual character which in this case is concerned with the attitude, behavior and thinking individuals. The emergence of various acts of violence, especially in the name of religion, and the group, causing a variety of views as if religious life in Indonesia had been in critical condition since the waning tolerance in diversity. Internal and inter-religious conflicts not stop coloring life of the nation, so the victims continued to fall. The method used in this paper is arranging library technique, this method mengidetifikasi some literature on education adopted in Lampung province in particular to increased character education based on spiritual coaching students both Muslims and non-Muslims. And search the literature and presentation of background problems of violence in the name of religion .. Methods Observations Conducted by seeing firsthand about the problems associated with the study variables and keep records of observations. Sarbini club merupakah a container based character education to teach and apply the various religious disciplines, establishment Sarbini In the club must have the solid foundation of the school so it can not be intimidated by any party. The selection board for each club to be done democratically. therefore the optimal character education through Sarbini club is expected to equip the students for the higher tolerance between religions. This is because in Sarbini club (see overview) were emphasized spiritual values and ethics to students that are expected to suppress the background especially violent religion. Key Words : Character Education, Sarbini Club, Religious Violence Background
-
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang membagi fokusnya
terhadap dua hal, yaitu ilmu pengetahuan dan pengembangan karakter
individu yang dalam hal ini lebih ditekankan kepada sikap, perilaku dan
cara berpikir individu. Pendidikan karakter sangat penting perannya dalam
membatasi langkah dan perilaku individu agar tidak melanggar norma dan
hal-hal lain yang bertentangan dengan budaya masyarakat timur.
Pendidikan karakter sangat baik jika diterapkan sejak dini dengan sasaran
anak-anak agar terbentuk pribadi yang memiliki pandangan dan ideologi
sendiri.
Semakin berkembangnya teknologi, setiap negara dituntut untuk terus
meningkatkan kualitas pendidikan agar dapat bersaing dengan negara
lain. Selain dari segi kualitas pendidikannya, negara juga dituntut
menciptakan para generasi muda yang berkarakter. Oleh karena itu
penting untuk diadakan pendidikan karakter, yaitu metode pendidikan
yang juga mengajari berperilaku.
Munculnya berbagai aksi kekerasan, khususnya yang mengatasnamakan
agama dan kelompok, menimbulkan berbagai pandangan seakan-akan
kehidupan beragama di Indonesia sudah berada dalam kondisi kritis
karena memudarnya rasa toleransi dalam kemajemukan. Konflik internal
dan lintas agama tidak henti-hentinya mewarnai kehidupan berbangsa dan
bernegara, sehingga korban pun terus berjatuhan.
Banyak pihak menyalahkan maraknya kekerasan berlatar agama ini
karena ketidakmampuan negara memberikan perlindungan terhadap hak
asasi warganya. Negara seperti membiarkan tindakan sekelompok orang
atas nama agama melakukan teror, merusak, melukai, bahkan membunuh
-
warga yang berbeda pandangan. Negara yang memiliki monopoli
kekerasan tidak menggunakan haknya untuk menegakkan hukum, tetapi
hanya menjadi penonton kebrutalan.
Bila semua agama memiliki landasan yang sama, yang saling menghargai
dan memikirkan nilai kemanusiaan, maka ketika ada konflik kita tidak
duduk di meja dan kemudian berdebat dan menuduh siapa yang benar,
siapa yang salah, lalu bertanya siapa yang mesti dibunuh. Yang kita
lakukan adalah berefleksi, mencari solusi dari setiap agama, bagaimana
menyelesaikan konflik yang sedang terjadi dan kemudian mengambil
langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan bersama-sama,
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dari Undang-undang tersebut yang menarik bagi
penulis analisa adalah kata-kata yang berbunyi Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.
Inilah yang menjadi landasan hukum pendidikan karakter yang selama ini
menjadi trend disemua jenjang satuan pendidikan.
1.2 Batasan Masalah
Beradasarkan latar belakang di atas, di peroleh batasan maslah sebagai
berikut :
1. Ruang lingkup Undang-Undang (UU) Pendidikan Karakter.
2. Identifikasi input dan output Sarbini Club.
3. Ruang lingkup pemahaman kekerasan berlatar agama.
-
1.3 Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang ada dalam karya tulis ini adalah :
1. Bagaimanakah implementasi pendidikan karakter berlandaskan
pemahaman agama dan etika yang optimal?
2. Bagaimanakah proses pembentukkan Sarbini Club yang mengajarkan
pemahaman tentang agama?
3. Apakah hasil yang di harapkan dari proses penerapan Sarbini Club?
1.4 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan karya tulis ini adalah :
1. Untuk menegetahui implementasi pendidikan karakter berlandaskan
pemahaman agama dan etika yang optimal.
2. Untuk mengetahui pembentukkan Sarbini Club yang mengajarkan
pemahaman tentang agama.
3. Untuk mengetahui hasil yang dari proses penerapan Sarbini Club.
-
II. METODELOGI PENELITIAN
2.1 PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif di mana akan diuraikan dan
dianalisis permasalahan penelitian. Pendekatan yang di pergunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan pendalaman
fakta melalui pendekatan kuantitatif yang merupakan suatu paradigma
penelitian untuk mendeskripsikan peristiwa, perilaku orang atau suatu
keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan mendalam dalam bentuk
narasi.
2.2 Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Teknik ini mengidetifikasi sejumlah literature tentang pendidikan yang
diterapkan di provinsi lampung ini khususnya terhadap peningkatan
pendidikan karakter yang berbasis pada bina rohani para siswa baik
muslim maupun non muslim. Serta mencari literature dan pemaparan
permasalahan yang berlatar belakang kekerasan mengatasnamakan
agama.
b. Observasi:
Dilakukan dengan cara melihat secara langsung tentang permasalahan
yang berhubungan dengan variabel penelitian dan melakukan
pencatatan atas hasil observasi.
-
2.3 Kerangka Pelaksanaan
Adapun kerangka konseptual penelitian ini yaitu sebagai berikut
GAMBAR 1. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
2.4 Teknik Analisis Data
Di dalam penelitian ini, untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan
dan diseleksi digunakan teknik analisis data deskriptif yaitu data-data yang
telah dihimpun dan dikumpulkan baik primer maupun sekunder
selanjutnya disusun, dianalisis, diinterpretasikan untuk kemudian dapat
diambil kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang diteliti.
Teknik ini menurut Miles dan Hubermen (1992), diterapkan melalui 3 (tiga)
alur sebagai berikut :
Keberhasilan Program
Pelayanan
Kualitas
Pelayanan
Kesesuaian Antara:
1. Program dan
Kebutuhan siswa
2. Pelaksana dan
Program
Standar Pelayanan:
Kesederhanaan; kejelasan; kepastian waktu; keamanan; tanggung jawab; kelengkapan sarana dan prasarana; kedisiplinan, kesopanan
Implementasi Program bina
rohani
-
1) Reduksi data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan pemerhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan, transformasi data kasar yang
diperoleh dari referensi yang didapatkan dari . Cara mereduksinya
dengan meringkas, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-
gugus, dan menulis memo.
2) Penyajian data
Penyajian data dicantumkan dalam bentuk studi kasus secara deskriptif
tentang kondisi pendidikan karakter yang berbasis bina rohani dan
etika. Data tersebut dicantumkan dalam bentuk data kualitatif mengenai
kondisi yang umum terjadi di pendidikan Indonesia.
3) Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Penarikan kesimpulan adalah kegiatan mencari arti, mencatat
keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi, yang
mungkin alur sebab akibat, dan proposisi.
-
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil studi kasus (Sampling Problem)
Berhadapan dengan konflik-konflik kekerasan berlatar belakang agama,
agama-agama perlu terus memperkuat kesadaran untuk membangun
landasan yang sama, yakni menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai titik
tolak agar konflik tidak terus membara dan semakin banyak manusia yang
menjadi korban hanya karena persoalan perbedaan agama, demikian kata
Gunnar Stalsett, ketua Dewan Para Pemimpin Agama Eropa (European
Council of Religious Leaders) di Jakarta kemarin.
Stalsett yang berbicara dalam dialog bertajuk Hubungan Antara Dialog
Antaragama dan Kebebasan Beragama di Centre for Dialog and
Cooperation among Civilizations (CDCC) dan dihadiri sejumlah duta
besar, pimpinan agama, aktivis dan akademisi mengatakan, konflik
antaragama di seluruh dunia tidak akan berakhir selama agama-agama
masih terus tidak menyadari landasan bersama tersebut, tetapi reaktif
dalam menghadapi konflik dan kemudian membalas setiap bentuk
kekerasan dengan kekerasan pula.
Bila semua agama memiliki landasan yang sama, yang saling
menghargai dan memikirkan nilai kemanusiaan, maka ketika ada konflik
kita tidak duduk di meja dan kemudian berdebat dan menuduh siapa yang
benar, siapa yang salah, lalu bertanya siapa yang mesti dibunuh. Yang
kita lakukan adalah berefleksi, mencari solusi dari setiap agama,
bagaimana menyelesaikan konflik yang sedang terjadi dan kemudian
mengambil langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan bersama-sama,
kata Stalsett yang juga Anggota Komite Penghargaan Nobel Perdamaian
(Noble Peace Prize Committee).
-
Ia menilai, umumnya konflik antaragama tidak dipicu oleh persoalan
ajaran setiap agama, tetapi lebih banyak karena persoalan lain dalam
kehidupan bersama, namun agama kemudian dibawa-bawa dan seolah-
olah menjadi faktor utama penyebab konflik. Hal ini tentu saja menjadi
salah satu permasalahan yang serius, karena dengan kata lain seperti
pepatah mengatakan menjadi kambing hitam, padahal belum ditel;usuri
kebenaranya.
Dimana-mana seringkali terjadi, penyebab konflik bersumber pada
masalah ekonomi, sosial, politik, namun agama kemudian dibawa-bawa.
Karena itu, misalnya ada istilah perang antara dunia Barat dan Islam,
seolah-olah ada perang abadi antara Islam dengan Barat, yang
diidentikkan dengan penganut agama Kristen. Padahal, penyebab
sebenarnya adalah masalah politik dan ekonomi, katanya.
Untuk meredam konflik, jelasnya, pemimpin agama di seluruh dunia perlu
terus menjalin dialog dengan pengikut agama lain, dalam berbagai bentuk.
Stalsett juga menilai, pendidikan selalu menjadi sarana efektif dalam
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang menunjang realisasi
keharmonisan relasi antaragama.
Pendidikan agama sangat berperan penting, baik yang formal maupun
yang informal. Apa yang dipelajari seseorang dari pendidikan agamanya
akan sangat mempengaruhi cara pandanganya terhadap agamanya
sendiri, agama orang lain dan hal itu akan mempengaruhi praksisnya,
jelas warga Norwegia ini. Din Syamsuddin, ketua Forum Perdamaian
Dunia (World Peace Forum) mengatakan, selain relasi antaragama, hal
yang juga sangat penting adalah relasi intra-agama.
Sebagai contoh, dalam agama Islam sendiri, dengan begitu banyaknya
organisasi, ada banyak hal yang berbeda dalam ajaran. Karena itu dialog
intra-agama sendiri juga penting. Kalau relasi intra-agama belum ditata
-
dengan baik, maka berhadapan dengan agama lain pun pasti terjadi
konflik, kata Syamsuddin, yang juga ketua umum PP Muhamadiyah,
organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia. Syamsuddin yang juga
ketua CDCC mengatakan, bila semua agama bisa menjalin relasi yang
harmonis dan di dalam masing-masing agama juga tidak terjadi
perpecahan, maka semua agama bisa bersama-sama menciptakan
musuh bersama.
Musuh kita bukan lagi agama lain, tetapi kemiskinan, diskriminasi,
pelanggaran HAM dan semua bentuk kejahatan, kata Presiden Asia
Committee on Religions for Peace ini. Sementara itu, Theophilus Bela,
sekertaris jenderal Indonesian Committee Religion for Peace mengatakan,
dalam relasi antaragama, hal yang juga perlu diberi perhatian serius
adalah keberadaan kelompok-kelompok garis keras.
Kita yang berada di ruang diskusi seperti ini tentu bisa dengan mudah
menjalin relasi yang harmoni dan mungkin bisa dengan mudah juga
mewujudkan kemanusiaan sebagai basis bersama. Namun, yang sering
menjadi persoalan adalah kaum radikal yang memotori aksi kekerasan
dimana-mana. Mereka ada di setiap agama, katanya. Karena itu,
menurutnya, pemimpin agama-agama yang moderat perlu merangkul
kelompok-kelompok garis keras.
Tantangan setiap agama, bagaimana menghadapi mereka. Kelompok
radikal jumlahnya kecil tapi mereka mampu menyebar kebencian sampai
kemana-mana, bahkan bisa mempengauhi seluruh dunia. Lihat saja
dengan fenomena film Innocence of Muslims beberapa waktu lalu dan
juga aksi pembakaran Alquran oleh Pendeta Terry Jones di Amerika
Serikat, tegasnya.
(http://indonesia.ucanews.com, 2012)
http://indonesia.ucanews.com/
-
3.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil studi kasus beserta relevansi materi penelitian dan
analisis, dapat di kelompokkan berdasarkan analisis materi sebagai
berikut :
1. Bina rohani sejak dini
Sumber: Zubaidah Djohar. 25 November 2011.
Disadari atau tidak, kita kini hidup dalam budaya kekerasan (the
culture of violence). Dikatakan demikian, karena masyarakat kita di
tingkat lokal, regional dan bahkan global, individu dan komunal telah
secara turun temurun menggunakan cara hidup yang bernuansa
kekerasan. Artinya, cara hidup dengan kekerasan dalam menjalani
kehidupan terus tumbuh dan berkembang, berasimilasi dan
membentuk perilaku kekerasan individu dan kelompok, sehingga
menjadi tatanan kehidupan. Secara realitas, kita telah menjadi individu
dan kelompok masyarakat yang terbiasa hidup dalam pola atau
tatanan masyarakat yang setiap hari dihadapkan dengan aksi
kekerasan. Kekerasan yang tumbuh dan berkembang tersebut hadir
dalam semua bentuk verbal dan non verbal.
Secara verbal, kekerasan terwujud dalam sebuah kata, kalimat atau
ungkapan-ungkapan kasar yang keluar dari mulut seseorang, maupun
kelompok orang yang menyebabkan timbulnya rasa sakit pada orang
atau kelompok orang yang dikasari. Sementara kekerasan non verbal
yang menyakitkan itu adalah tindakan seseorang yang dilakukan
secara fisik seperti menampar, menendang, memukul, dan membunuh
dengan senjata dan sebagainya. Nah, semua bentuk kekerasan
tersebut, kini semakin marak terjadi di dalam kehidupan kita di
Indonesia, baik di keluarga, sekolah, masyarakat dan juga di level
Negara. Kekerasan itu bisa terjadi kapan saja dan dilakukan oleh siapa
-
saja. Kadangkala, kita tidak menyadari kalau kita sudah melakukan
tindak kekerasan terhadap seseorang.
Aksi-aksi kekerasan yang berlatar belakang agama, juga sering
memilih tindak kekekarasan sebagai jalan penyelesaian masalah.
Kelompok-kelompok pemeluk agama yang katanya fundamentalis,
memilih aksi radikal lewat aksi kekerasan, melakukan penyerangan,
pengrusakan dan bahkan pengeboman seperti apa yang terjadi
terhadap hotel J.W Mariot di Jakarta, Pengoboman Bali, dan lain-lain.
Ini adalah indicator yang membuktikan berkembangnya budaya
kekerasan di tengah masyarakat kita dan masyarakat global saat ini.
Pendek kata, kita kini semakin didorong masuk ke dalam budaya
kekerasan yang lebih dalam dan semakin dalam.
Yang menjadi pertanyaan besar bagi kita semua yaitu bagaimana
menghentikan kekerasan yang sudah membudaya di tengah
masyarakat kita? Hal ini memang sulit untuk dijawab . hal yang paling
taktis dan ideal dilakukan yaitu mengubah paradigma sedini mungkin.
Seperti kata pepatah bahwa belajar ketika kecil bagai mengukir
diatas batu akan tetapi jika belajar di waktu tua bagaikan mengukir
diatas air.
Dengan menggali akar kekerasan tersebut, akan ditemukan faktor-
faktor utama dan sekunder, internal dan eksternal dari berkembangnya
budaya kekerasan di dalam masyarakat kita. Bukan hanya itu, dengan
cara ini pula akan ditemukan strategi untuk meredam berkembangnya
budaya kekerasan, serta menentukan dan membagi tanggung jawab
masing-masing para pihak secara holistic dan terpadu dengan saling
bersinergi. Tentu saja tidak mudah, karena untuk mewujudkan upaya
yang sinergis, tripusat pendidikan, keluarga, sekolah dan masyarakat
serta media harus segera direkat.
-
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa paradigma itu dibentuk dari
kecil melalui lingkungan baik tingkat keluarga maupun disekolah. Sesuai
dengan pecanagan pendidikan yang mewajibkan 12 tahun atau setingkat
dengan sekolah menengah atas. Pola pikir yang sehat haruslah
ditanamkan sejak dini sehingga dikemudian hari resiko terjadi kekerasan
terutama yang berlatar agama bisa di minimalisir.
Masa remaja yang identik dengan pelajar adalah suatu masa transisi dari
masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dimana remaja merasa bukan
kanak kanak lagi, tetapi mereka belum mampu mengemban tugas
sebagai orang dewasa. Karena itu, remaja berada di antara suasana
ketergantungan (dependency) dan ketidaktergantungan (interdependency)
sehingga tingkah lakunya cenderung labil serta tidak mampu
menyesuaikan diri secara sempurna terhadap lingkungannya.
Masa ini dikenal sebagai masa manusia mencari jati diri. Pencarian
tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan
keegoannya. Yang dinamakan kelompok tidak hanya lima atau sepuluh
orang saja. Satu sekolah pun bisa dinamakan kelompok. Kalau kelompok
sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam ikatan batin antara
sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya. Maka tidak
heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah
berbicara.
Pada fase ini, remaja termasuk kelompok yang rentan melakukan
berbagai perilaku negatif secara kolektif ( group deviation ). Mereka patuh
pada norma kelompoknya atau teman bergaulnya yang sangat kuat dan
biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku.
Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat
pengaruh pergaulan atau teman. Kesatuan dan persatuan kelompok dapat
memaksa seseorang untuk ikut dalam kejahatan kelompok, supaya
jangan disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah letak bahayanya bagi
perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan dalam
kelompok sebaya adalah nilai yang negatif. Berlatar belakang masalah ini
-
maka konsep Sarbini Club memang harus lebih ditingkatkan sehingga
berdampak pada peningkatan nilai etika dan rohani masing masing
siswa.
Sarbini Club akan sangat efektif jika diterapkan di institusi pendidikan
terutama tingkat pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas. .
selama ini Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan yang mapan
disinyalir kurang memberikan pendidikan moral dan etika pada para
siswanya. Selama ini, ajaran-ajaran yang ditekankan di sekolah melulu
soal pelajaran akademis dalam satuan teori-soal, seperti matematika,
fisika, sejarah, dan seterusnya. Kalau pun ada mata pelajaran moral atau
agama, ia hanya direduksi sebatas pelajaran yang diajarkan sekadar teori.
Didalam Penelitian Malik (2002) mengungkapkan bahwa salah satu faktor
yang melatarbelakangi terjadinya tawuran pelajar adalah krisis moral yang
tengah melanda remaja. Padahal moral adalah modal yang paling penting
sebagai tameng bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya.
Sehingga, pencegahan tawuran dapat dilakukan secara efektif dengan
memberikan pendidikan moral kepada pelajar melalui pembinaan agama
melalui metode yang tepat. Hal ini juga berpeluang menimbulkan
kekerasan berlatar agama di kemudian hari.
Mengapa kita mengarahkan solusi kepada perbaikan moral ? karena
hanya dengan moral yang baik, seseorang tetap akan berperilaku baik
secara konsisten, meskipun tanpa kehadiran pengawas, guru atau orang
lain di sekitarnya. Maka dengan pendidikan moral secara intensif
merupakan suatu upaya yang efektif untuk mendidik para pelajar secara
sadar dan konsisten mau menghindari tawuran.
Proses pendidikan yang seperti ini diharapkan bisa mencetak generasi
muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus
bisa membawa peserta didik ke arah kedewasaan, kemandirian dan
tanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berakhlak mulia,
-
berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada
keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.
Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan sumber
daya alam yang kita miliki dan dihargai di dunia internasional. Kalau perlu
bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga
negara lain tidak seenaknya mendikte bangsa ini dalam berbagai bidang
kehidupan (http://www.rumahrohis.com, 2012)
Didalam permasalahan kekerasan berlatar agama yang telah disebutkan
diatas haruslah di carikan alternative penyelesaian. Disini untuk merubah
pola piker haruslah sejak dini , salah satunya bisa diawali dari tingkat
pendidikan dasar disekolah. Disini saya mengajukan konsep terapan yang
ideal dan dapat diterapkan di dalam pendidikan karakter yang berbasis
nilai dan etika yaitu dengan konsep yang saya beri nama sarbini club (
sarana bina rohani) .
Akan tetapi jika penanganan hanya bertumpu pada tenaga pengajar saja
maka akan tidak optimal. Hal ini disebabkan oleh hubungan yang
terkadang menjadi pembatas didalam penciptaan pelajaran yang ramah.
Oleh karena itu didalam konsep Sarbini Club ini diberikan tutor yang
lebih friendly. Pembinaan rohani ini akan di amanahkan oleh masing
masing tutor untuk setiap agama . jikasiswa yang beragama islam bias
membentuk halakoh ( lingkaran belajar Alquran ) dan pendalaman tentang
toleransi keragaman agama. Begitu pula di dalam agama non islam
diajarkan tentang kerohanian menurut agama mereka masing masing.
.
http://www.rumahrohis.com/
-
2. Gambaran dari sarbini club
Adapun gambaran sarbini clup yaitu sebagai berikut :
Sarbini club merupakah sebuah wadah berlandaskan pendidikan karakter
yang mengajarkan dan menerapkan berbagai macam disiplin ilmu
mengenai keagamaan. Dalam wadah ini, setiap individu (umum) yang
berpartisipasi dan berkontrisbusi akan di bina dan didik sesuai dengan
ideology dan keyakinan masing-masing oleh tim pengajar yang di
sesuaikan oleh sekolah / pendidikan formal (mulai dari SD-Sederajat
sampai SMA Se-derajat). Adapun isi materi atau disiplin ilmu yang akan di
tularkan adalah bagaimana kita sebagai manusia pada sejatinya harus
saling memahami dan menghargai hubungan antar agama serta mengatur
berbagai macam tingkah laku kita yang secara relevan akan berkaitan
dengan persoalan keagamaan, dan hasil yang di harapkan adalah remaja
atau anak bangsa akan cenderung menghindari atau meminimalisir
tindakan ketidaksesuaian antar agama yang biasa di wujudkan oleh
tindakan kekerasan yang banyak merugikan orang lain.
3. Teknis pembentukan sarbini club
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Indonesia ini tidak akan
berjalan jika tidak dipaksa . hal ini pertama memang harus dilakukan untuk
mendorong agar sarbi club ini bias berjalan dengan baik dan dapat diikuti
oleh semua siswa . hal yang harus dilakukan yaitu Dijadikan kegiatan
wajib keagamaan untuk masing masing agama dengan dewan Pembina
dan penasehat masing masing.
Didalam pembentukan sarbini club haruslah mendapat landasan yang
kuat dari pihak sekolah sehingga tidak dapat di intimidasi oleh pihak
manapun juga. Pemilihan pengurus untuk masing masing club harus
dilakukan secara demokrasi harapanya bias menekan tindakan KKN .
-
Gambar 2. Alur terbentuknya sarbini club
Dari diagram alir diatas dapat kita lihat bahwa sekema yang
dituangkan sudah menghendaki standar operasional program yang
berbasis demokratis dan ditekankan pada nilai etika dan pengurangan
praktek kkn dan penyimpangan yang lainya. Dengan terbentuknya
sarbini club ini diharapkan bias menekan segala macam tindakan
kekerasan terutama kekerasan yang berlatar agama. Hal ini juga
diperkuat dengan visi misi dari sarbini club itu sendiri haruslah sesuai
dengan undang undang yang berlaku.
4. Sarbini Club Vs Kekerasan Berlatar Agama
Pada dasarnya kekerasan berlatar agama bias timbul dari masalah yang
cukup sederhana seperti dibawah ini.
skriptualisme-ideologis.
Salah satu kecenderungan Islam radikalis adalah skriptualis atau literalis
dalam menafsirkan teks-teks agama. Mereka cenderung menolak studi
kritis teks-teks agama seperti hermeunetika, yakni kajian yang berangkat
dari tradisi filsafat bahasa yang mengasumsikan bahwa Alquran harus
proposal sarbini club
di acc kepala sekolah
dibuat surat kerja
peresmian pemilihan pengurus
-
dipahami, ditafsirkan, dikaji, dan didialogkan untuk menafsirkan realitas
sosial. Akibat menolak penafsiran secara hermeunetika ini, mereka
terjebak dalam penafsiran harfiah yang menjadikan teks kitab suci sebagai
legitimasi atau justifikasi tindak kekerasan. Di satu sisi, teks agama
(Alquran) bisa menjadi petunjuk berharga dan sumber kedamaian. Namun
di sisi lain, teks agama bisa dijadikan dalih untuk melakukan tindak
kekerasan atas nama jihad.
Kedua, respons terhadap modernisasi.
Bagi penganut Islam radikal, modernisasi sering disalahpahami. Mereka
menganggap modernisasi sebagai sesuatu yang membahayakan ajaran
dan identitas Islam karena berasal dari Barat. Mereka tidak memedulikan
wacana modernisasi secara komprehensif (baik/buruk, benar/salah,
manfaat/tidak manfaat). Mereka berpikir segala sesuatu yang datang dari
Barat harus ditolak tanpa memilah dan memilih manfaat serta
mudaratnya. Penulis prolifik, Karen Armstrong, pernah mengatakan
gerakan fundamentalisme/radikalisme berhubungan erat dengan
modernitas. Radikalisme tak bisa lepas dari pengaruh rasionalisme Barat,
karena menguraikan tak satu hal pun, termasuk agama, yang tidak
berubah. Agama tak pernah luput dari modernisasi.
Ketiga, pengaruh kapitalisme global.
Meski kapitalisme gobal telah menciptakan kesejahteraan dan
kecanggihan teknologi, sistem ini juga menciptakan ancaman serius
terhadap nilai-nilai sosial, budaya, tak terkecuali kepercayaan.
Kelompok Islam radikal menganggap kapitalisme adalah agenda Barat
nonislami yang dipaksakan pada masyarakat muslim. Mereka berasumsi
sistem ekonomi kapitalisme adalah biang keladi dan penyebab krisis
ekonomi dunia dan umat Islam. Oleh kerena itu, mereka berpikiran harus
ada sistem ekonomi pengganti kapitalisme, yaitu sistem ekonomi Islam.
-
Tentu untuk menopang semua ini perlu penerapan syariat Islam oleh
negara.
Beranjak dari masalah tersebut diatas yang justru menitik beratkan pada
radikalisme . oleh karena itu dengan optimalnya pendidikan karakter
melalui sarbini club ini diharapkan mampu membekali para murid untuk
semakin tinggi toleransi antar agama. Hal ini dikarenakan di sarbini club (
lihat gambaran umum) di tekankan nilai rohani dan etika untuk murid
sehingga diharapkan mampu menekan kekerasan khusunya yang
berlatar agama. (Sumber : Lampost 07 Oktober 2011)
-
IV. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari karya tulis ini yaitu sebagai berikut :
1. Implementasi pendidikan berkarakter mampu meningkatkan
pemahaman murid tentang toleransi antar agama dan nilai etika murid
sehingga berdampak pada minimalisir kekerasan berlatar agama.
2. Mekanisme pembentukan sarbini club menekankan pembelajaran
yang berbasis agama dan nilai etika sehingga dapat menambah nilai
toleransi antar agama.
3. Penerapan sarbini club sangat optimal dalam meningkatkan
pemahaman toleransi agama dengan menekankan pada nilai etika dan
bina rohani.
-
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.(n.d).http://edukasi.kompasiana.com/ . Anonim. (n.d).2011.http://kabepiilampungcom.wordpress.com. Drs. H. Tayar Yusuf, dkk. (n.d) 1995. Metodologi Pengajaran Agama Dan Bahasa Arab. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Drs. H. Momon Herdiyanto, Mainstreaming. (n.d). 2001. Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum (artikel), Media Pembinaan No. 06/XXVIII Sepetember 2001.
Ghazali, Ihya ulumuddiin, Beirut. (n.d) 2011.Membangun jati diri bangsa,
Jurnal Yayasan jati diri bangsa, Gramedia, Jakarta.
Kamus besar bahasa Indonesia 2010.
Kekerasan berlatar agama, (n.d) .2011. http://www.rimanews.com/read/. Kemanusiann harus di utamakan.(n.d). http://indonesia.ucanews.com/2012/10/11/kemanusiaan-harus-diutamakan-dalam-menghadapi-konflik-antaragama/ . M. Athiyah Al Abrasyi .1970.Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Saleh, Abdul Rahman. (n.d). 2000. Pendidikan Agama Dan Keagamaan Visi, Misi dan Aksi, PT Gema Windu Pancaperkasa, Jakarta. Suriyana, Neti, (n.d).2011. membentuk Karakter bangsa, Uranus, Bekasi.
http://edukasi.kompasiana.com/http://indonesia.ucanews.com/2012/10/11/kemanusiaan-harus-diutamakan-dalam-menghadapi-konflik-antaragama/http://indonesia.ucanews.com/2012/10/11/kemanusiaan-harus-diutamakan-dalam-menghadapi-konflik-antaragama/