kasus app2.docx

36
Laporan kasus APPENDISITIS AKUT oleh: Wahidun Nurhidayah, S.ked (04104705311) Pembimbing: DR. Dr. M. Alsen Arlan, Sp.B-KBD DEPARTEMEN ILMU BEDAH RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Upload: novia-khairulbaria

Post on 10-Apr-2016

243 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: kasus app2.docx

Laporan kasus

APPENDISITIS AKUT

oleh:

Wahidun Nurhidayah, S.ked

(04104705311)

Pembimbing:

DR. Dr. M. Alsen Arlan, Sp.B-KBD

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2012

Page 2: kasus app2.docx

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul

APPENDISITIS AKUT

Oleh:

Wahidun Nurhidayah

04104705311

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di

Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad

Hoesin Palembang Periode 19 Desember 2011 – 13 Februari 2012.

Palembang, Januari 2012

Pembimbing

DR. Dr. M. Alsen Arlan, Sp.B-KBD

Page 3: kasus app2.docx

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus

yang berjudul “APPENDISITIS AKUT”. Laporan Kasus merupakan salah satu

tugas saat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu

Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada DR. Dr. M. Alsen Arlan, Sp.B-

KBD selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penyusunan

laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya

laporan kasus ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan

kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan

saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi

perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi

manfaat bagi kita semua. Amin.

Palembang, Januari 2012

Penulis

Page 4: kasus app2.docx

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ……………………………………………………………. i

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………. ii

KATA PENGANTAR ……………………………………………. iii

DAFTAR ISI ……………………………………………………… iv

BAB I STATUS PASIEN

1.1 Identitas............................................................................. 1

1.2 Anamnesis......................................................................... 1

1.3 Pemeriksaan Fisik .............................................................. 2

1.4 Pemeriksaan Laboratorium.................................................. 2

1.5 Diagnosis Banding .............................................................. 3

1.6 Diagnosis Kerja .................................................................. 3

1.7 Pemeriksaan Penunjang Lain............................................... 3

1.8. Tatalaksana ......................................................................... 3

1.9 Prognosis ............................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi .................………………………….…................. 4

2.2 Fisiologi.. ……………………………………………......... 5

2.3 Insidensi……………………………………........................ 5

2.4 Etiologi ................................................................................. 6

2.5 Patogenesis ........................................................................... 6

2.6 Gambaran Klinik .................................................................. 8

2.7 Pemeriksaan Fisik ................................................................. 10

2.8 Pemeriksaan Penunjang ......................................................... 12

2.9 Diagnosis Banding ................................................................. 13

2.10 Komplikasi ............................................................................ 14

2.11 Penatalaksanaan ..................................................................... 14

2.12 Prognosis ................................................................................ 15

Page 5: kasus app2.docx

BAB III ANALISIS KASUS ................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 18

Page 6: kasus app2.docx

BAB I

STATUS PENDERITA

1.1 Identitas

Nama : Tn. A

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 19 tahun

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jalan KI Anwar Mangku Lr. Sekolah III RT 23 RW 06

kelurahan Sentosa, Kecamatan Seberang Ulu Palembang

MRS : 14 Januari 2012

Medical Record : 581420/12001749

1.2 Anamnesis

Keluhan Utama :

Nyeri perut kanan bawah

Riwayat Perjalanan Penyakit :

Lima belas jam SMRS pasien mengeluh nyeri perut di bawah pusat. Setelah

sekitar 4 jam, nyeri perut berpindah dan menetap di perut kanan bawah. Nyeri

terasa terus menerus. Pasien juga mengeluh mual (+), muntah > 3x, demam (+),

nafsu makan berkurang. BAB dan BAB normal.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat mengalami sakit yang sama sebelumnya

disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat sakit yang sama disangkal

Page 7: kasus app2.docx

1.3 Pemeriksaan Fisik

a. Status generalis:

Kesadaran : Compos mentis

Pernafasan : 22 x/menit

Nadi : 88 x/menit

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Temperatur : 37,7 °C

Kepala : Konjongtiva Pucat: -/-

Sklera Ikterik -/-

Pupil : isokor, refleks cahaya +/+

Leher : JVP (5-2) cmHg

Kelenjar-kelenjar : tidak ada pembesaran

Thorax : tidak ada kelainan

Abdomen : lihat status lokalis

Ekstremitas Superior : tidak ada kelainan

Ekstremitas Inferior : tidak ada kelainan

Genitalia : tidak ada kelaian

b. Status Lokalis

Inspeksi : Datar

Palpasi : Lemas, Nyeri tekan titik Mc Burney (+)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+)

Pemeriksaan tambahan : Rovsing Sign (+)

1.4 Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 4 Januari 2012)

Hb : 15,1 g/dl (Normal: 12-16 g/dl)

Ht : 44 vol % (Normal : 37-43 vol %)

Leukosit : 17.500/mm3 (Normal : 5.000-10.000/mm3)

LED : 52 mm/jam(Normal : <38 mm/jam)

Trombosit : 227.000/mm3 (Normal :200.000-500.000/mm3)

Page 8: kasus app2.docx

Hitung Jenis : Basofil : 0 % (0-1 %)

Eosinofil : 0 % (1-3 %)

Batang : 1 % (2-6 %)

Segmen : 90 % (50-70%)

Limfosit : 15 % (20-40 %)

Monosit : 4 % (2-8 %)

1.5 Diagnosis Banding

Appendicitis akut

Gastroenteritis akut

Batu Ureter

1.6 Diagnosis Kerja

Appendicitis Akut

1.7 Pemeriksaan Penunjang lain

USG Abdomen

Rontgen BNO

Urinalisa

Pemeriksaan Feses

1.8 Tatalaksana

- IVFD

- Antibiotik

- Appendektomi cito

1.9 Prognosis

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad functionam : Bonam

Page 9: kasus app2.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm

(kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian

proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks

berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.

Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia itu.

Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan

apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks

penggantungnya.

Gambar 1: anatomi appendiks

Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang

caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala

klinis appendicitis ditentukan oleh letak apendiks.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti

a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal

dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di

sekitar umbilicus.

Page 10: kasus app2.docx

Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri

tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi

apendiks akan mengalami gangren.

2.2 Fisiologi

Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran

lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis.

Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated

lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,

ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.

Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh

karena jkumlah jaringan limf disini kecil sekali jika dibandingkan dengan

jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

2.3 Insidensi

Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat

setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih

banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2.

Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya.

Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas.

Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara

berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara

bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat

dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya

pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada

kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan

perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki

lebih tinggi.

Page 11: kasus app2.docx

2.4 Etiologi

Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix

sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.

Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang

paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan

appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi:

1. Hiperplasia folikel lymphoid

2. Carcinoid atau tumor lainnya

3. Benda asing (pin, biji-bijian)

4. Kadang parasit

Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi

mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat

diisolasi pada pasien appendicitis yaitu:

Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob

Escherichia coli

Viridans streptococci

Pseudomonas aeruginosa

Enterococcus

Bacteroides fragilis

Peptostreptococcus micros

Bilophila species

Lactobacillus species

2.5 Patogenesis

Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas

dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan

pembentukkan abscess setelah 2-3 hari.

Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain

obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus

vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan

kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga

menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar

20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi

appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan

Page 12: kasus app2.docx

obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah

jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik

lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau

akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,

Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus

enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien

dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat

perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat

mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3

proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran,

dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress

psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis.

Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti

berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan

kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis,

khususnya pada anak-anak.

Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan

dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri

dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin

bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri.

Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis

lain.

Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk

berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi

gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan

tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan,

infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks;

diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator

inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding

appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan

teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di

Page 13: kasus app2.docx

titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa

didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri

somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum

parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada

appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic

yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan

peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter

atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih,

atau nyeri seperti terjadi retensi urine.

Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau

peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah

perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda

perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis >

14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala

sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa

perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan

risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak

adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih

memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa

pada pemeriksaan fisik.

Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering

didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum

terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis

2.6 Gambaran Klinis

Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang

pada neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan

diagnosis appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan

gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri

di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di

Page 14: kasus app2.docx

abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan

perkembangan penyakit.

Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang

terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri

dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada

periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga

merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau

pelvis.

Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala

dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan

kencing dan distensi kandung kemih.

Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah

onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi

sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang

berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain

appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau

perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis.

Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C).

Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan

appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat

menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang

atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat

menurun atau menghilang.

Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan

cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan.

Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendicitis, kecuali

pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat

perangsangan ureter.

Page 15: kasus app2.docx

Tabel 1. Gejala Appendicitis Akut8

Gejala Appendicitis AkutFrekuensi

(%)

Nyeri perut 100

Anorexia 100

Mual 90

Muntah 75

Nyeri berpindah 50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian

anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian

demam yang tidak terlalu tinggi)

50

*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

2.7 Pemeriksaan Fisik

Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,

sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:

Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ

abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi

peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.

Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri

sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi

pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari

phlegmon atau abscess.

Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi

yangterletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan

manuver ini.

Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian

gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini

menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui

Page 16: kasus app2.docx

bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah

mengalami radang atau perforasi.

Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi

yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat

dilakukan manuver ini.

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado

dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya dilakukan

Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan

Appendix dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut

dan bukan radang akut.

Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis

Manifestasi Skor

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Laboratorium Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Keterangan:

0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil

5-6 : bukan diagnosis Appendicitis

7-8 : kemungkinan besar Appendicitis

9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka

tindakan bedah sebaiknya dilakukan11.

Page 17: kasus app2.docx

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan

appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara

12.000-18.000/mm. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left)

dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah

leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.

Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan

pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria

dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.

Ultrasonografi

Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk

menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan

spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis

appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior 7 mm atau

lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix.

False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai

hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat

muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi

banyak udara yang menghalangi appendix.

CT-Scan

CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis

appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-

kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga

adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.

Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi

lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan

mengecil sehingga memberi gambaran “halo” 10.

Page 18: kasus app2.docx

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia

dan jenis kelamin

· Pada anak-anak balita

Diagnosis banding pada anak-anak balita adalah intususepsi, divertikulitis,

dan gastroenteritis akut.

Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3

tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri

divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu

pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory

mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan

adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan

appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses.

· Pada anak-anak usia sekolah

Diagnosis banding pada anak-anak usia sekolah adalah gastroenteritis,

konstipasi, infark omentum.

Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan

appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan

salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan

adanya demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-

gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat terraba

massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah

· Pada pria dewasa muda

Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s

disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat

membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien

merasa sakit pada skrotumnya.

· Pada wanita usia muda

Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak

berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory

disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya

Page 19: kasus app2.docx

bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat

dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.

· Pada usia lanjut

Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis

banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus

gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan

kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih

lambat daripada appendicitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk

dibedakan dengan appendicitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen

kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak

berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti

dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.

2.10 Komplikasi

1. Appendicular infiltrat:

Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari

Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus

halus atau usus besar.

2. Appendicular abscess:

Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix

yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau

usus besar.

3. Perforasi

4. Peritonitis

5. Syok septik

6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar

7. Gangguan peristaltik

8. Ileus

2.11 Penatalaksanaan

Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis :

Page 20: kasus app2.docx

- Puasakan

- Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk

mengurangi gejala

- Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan

menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.

- Pertimbangkan KET terutama pada wanita usia reproduksi.

- Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang

membutuhkan Laparotomy

Perawatan appendicitis tanpa operasi

- Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat

berguna untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat

intervensi operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi

mereka yang memilki resiko tinggi untuk dilakukan operasi

Rujuk ke dokter spesialis bedah.

Antibiotika preoperative

- Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan

terjadinya infeksi post opersi.

- Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative

dan anaerob

- Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.

- Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai.

Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan

Clindamycin, atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini

dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia

coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus

viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.

2.12 Prognosis

Kematian dari appendisitis di Amerika Serikat telah terus menurun dari

tingkat 9,9 per 100.000 pada tahun 1939, dengan 0,2 per 100.000 pada 1986.

Diantara faktor-faktor yang bertanggung jawab adalah kemajuan dalam anestesi,

Page 21: kasus app2.docx

antibiotik, cairan intravena, dan produk darah. Faktor utama dalam kematian

adalah apakah pecah terjadi pengobatan sebelum bedah dan usia pasien. Angka

kematian keseluruhan untuk anestesi umum adalah 0,06%. Angka kematian

keseluruhan dalam apendisitis akut pecah adalah sekitar 3%-peningkatan 50 kali

lipat. Tingkat kematian appendisitis perforasi pada orang tua adalah sekitar 15%

peningkatan lima kali lipat dari tingkat keseluruhan.

Page 22: kasus app2.docx

BAB III

ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki berumur 19 tahun berinisial Tn. A datang ke RSMH

dengan keluhan nyeri perut kanan bawah.

Dari anamnesis didapatkan riwayat perjalanan penyakit yaitu lima belas

jam SMRS pasien mengeluh nyeri perut di bawah pusat. Setelah sekitar 4 jam,

nyeri perut berpindah dan menetap di perut kanan bawah. Nyeri terasa terus

menerus. Pasien juga mengeluh mual (+), muntah > 3x, demam (+), nafsu makan

berkurang. BAB dan BAB normal.

Berdasarkan pemeriksaan fisik status generalis didapatkan penderita

tampak sakit sedang, vital sign didapatkan temperatur 37,7 C sedangkan lainnya

masih dalam batas normal, pupil isokor dengan refleks cahaya semuanya positif.

Leher, KGB, paru-paru, jantung, thorax dan ekstremitas tidak ditemukan kelaian.

Pada pemeriksaan fisik di daerah abdomen didapatkan nyeri tekan titik Mc

Burney (+) yang menunjukkan karena adanya peningkatan tekanan intraluminal,

terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya

peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik

jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding

appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi

pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi

dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf

somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,

khususnya di titik Mc Burney’s. Rovsing Sign (+) hal ini menunjukkan adanya

tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan

(RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan

didapatkan leukosit meningkat sebesar 17.500/mm3. Demam disebabkan akibat

konsekuensi pelepasa mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan penilaian Alvarado

score:

Page 23: kasus app2.docx

Migration of pain : 1

Anorexia : 1

Nausea/vomiting : 1

RLQ tenderness : 2

Rebound : -

Elevated temperatur : 1

Leukocytosis : 2

Left shift : -

Total points : 8

Dari penilaian Alvarado score dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien ini

kemungkinan besar menderita Appendisitis akut.

Diagnosis banding pasien ini adalah gastroenteritis, dan batu ureter. Pada

pasien dengan gastroenteritis akut, ditandai diare, mual, muntah dan tidak ada

nyeri perut yang terlokalisir. Pada pasien ini, tidak terdapat diare dan nyeri yang

timbul terlokalisir. Sedangkan pada pasien dengan batu ureter, ditandai dengan

keluhan BAK dengan nyeri saat BAK jika batu terletak di distal ureter , dan nyeri

yang terdapat pada batu ureter adalah nyeri kolik. Pada pasien ini, nyeri yang

dirasakan adalalah nyeri yang terus menerus.

Tatalaksana pada kasus ini adalah dengan appendektomi cito, karena

appendisitis termasuk kasus kedaruratan bedah dan harus segera ditangani dalam

waktu kurang dari 48 jam.

Pada kasus ini direncanakan dilakukan ureterolithotomy. Prognosis pada

kasus ini Quo ad vitam dan quo ad functionam nya bonam.

Page 24: kasus app2.docx

DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F. Charles, The appendix in Schwartz’z Principles of Surgery 8 th

edition, McGraw-Hill’s, 2007

Prince, A Sylvia, Wilson, Lorraine M, editor Hartanto, Huriawati, Susi Natalia,

Wulansari, Pita, Mahanani, Dewi Asih, Appendisitis in Patofisiologi konsep klinis

proses-proses penyakit vol 1, 6th edition, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,

2006