kata pengantarsatudata.semarangkota.go.id/adm/file/20170919083753... · 2017-09-19 · kata...

45

Upload: duongdung

Post on 08-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kata Pengantar

Dengan Rahmat Allah SWT, kita bersyukur atas penerbitan Publikasi

”Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang

Tahun 2015”.

Bahasan pada publikasi ini memuat gambaran tingkat ketimpangan

pendapatan dan pola konsumsi penduduk di Kota Semarang. Untuk keperluan

tersebut, selain menggunakan hasil survei tahun 2015 juga dilengkapi dengan data

lain yang terkait dengan pokok bahasan.

Publikasi ini terwujud berkat kerjasama antara Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Kota Semarang dengan Badan Pusat Statistik Kota

Semarang.

Kami telah mengupayakan untuk menyajikan publikasi ini sebaik-baiknya,

namun disadari mungkin masih terdapat kekurangan, untuk itu tanggapan serta

saran-saran dari semua pihak sangat diharapkan.

Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan

pembangunan di Kota Semarang.

KEPALA BAPPEDA

KOTA SEMARANG

T T D

BAMBANG HARYONO

Pembina Utama Muda

NIP. 19580410 198603 1 010

Semarang, 2016

KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK

KOTA SEMARANG

T T D

ENDANG RETNO SRI SUBIYANDANI, S.Si

Pembina Tk. I

NIP. 19641023 198802 2 001

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 ii

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ..................................................................................................... i

Daftar Isi .............................................................................................................. ii

Daftar Gambar ..................................................................................................... iv

Daftar Tabel ......................................................................................................... v

BAB I Pendahuluan

1.1. Latar belakang ........................................................................... 2

1.2. Tujuan ........................................................................................ 3

1.3. Sistematika Penulisan ................................................................ 3

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Teori Pareto ............................................................................... 5

2.2. Indeks Theil dan Indeks-L ......................................................... 6

2.3. Teori Gini Ratio ........................................................................ 7

2.4. Kriteria Bank Dunia .................................................................. 10

BAB III Metodologi

3.1. Sumber Data .............................................................................. 13

3.2. Konsep dan Definisi .................................................................. 13

3.3. Teknik Analisis ......................................................................... 14

BAB IV Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Kota Semarang

4.1. Gambaran Umum Perekonomian Kota Semarang

Tahun 2011 – 2015 .................................................................... 18

4.2. Pola Konsumsi Rumahtangga ................................................... 21

4.3. Kesenjangan Distribusi Pendapatan .......................................... 28

a. Koefisien Gini ....................................................................... 28

b. Relatif Ineqauality (Kriteria Bank Dunia) ............................ 33

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 iii

BAB V Penutup

5.1 Kesimpulan ................................................................................ 38

5.2. Saran .......................................................................................... 39

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kota Semarang Atas Dasar

Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2010 ................... 20

Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Kota Semarang

Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010 .......... 21

Gambar 3. Prosentase Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang ..... 23

Gambar 4. Rata-rata Pendapatan Per-kapita Sebulan Dirinci Menurut

Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2015 ............................ 25

Gambar 5. Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 .............. 26

Gambar 6. Koefisien Gini Kota Semarang Tahun 2015 ............................... 28

Gambar 7. Perkembangan dan Level Gini Ratio Kota Semarang

Tahun 2011 – 2015 ...................................................................... 30

Gambar 8. Perbandingan Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi

Jawa Tengah Tahun 2011 – 2015 ................................................ 33

Gambar 9. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan

Kriteria bank Dunia Tahun 2015 ................................................. 36

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah) Kota Semarang

Tahun 2011 – 2015 ............................................................................ 19

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto

Tahun 2011 – 2015 ............................................................................ 19

Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita (Rupiah)

Tahun 2011 – 2015 ............................................................................ 20

Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran perkapita Sebulan dan Komposisi

Konsumsi Penduduk Kota Semarang .................................................. 22

Tabel 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk Kota

Semarang Tahun 2015 ....................................................................... 27

Tabel 6. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2011 – 2015 ............................................................................ 29

Tabel 7. Peringkat Gini Ratio Kab./Kota di wilayah Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2011 – 2015 ............................................................... 31

Tabel 8. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan

Kriteria Bank Dunia Tahun 2011 – 2015 ........................................... 34

BAB I PENDAHULUAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 1

BAB I

BAB I PENDAHULUAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 2

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengetahui keadaan

perekonomian di suatu wilayah, adalah pertumbuhan ekonomi dengan melihat

pertumbuhan PDRB. Secara lebih rinci sering pula diulas faktor-faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Menurut Sukirno, pertumbuhan Ekonomi

adalah suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu

perekonomian dalam satu tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Karena pendapatan regional adalah nilai dari seluruh produk yang dihasilkan oleh

seluruh pelaku ekonomi dalam suatu wilayah, maka besar atau kecilnya pendapatan

regional dapat dilihat sebagai gambaran tentang tingkat kesejahteraan masyarakat di

wilayah yang bersangkutan. Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang hanya

diukur dengan pendapatan regional belum tentu berkorelasi positif dengan

kesejahteraan masyarakatnya atau dapat dikatakan bahwa besarnya tingkat

pertumbuhan ekonomi, tidak memberikan gambaran bahwa seluruh penduduk yang

ada di wilayah tersebut meningkat kesejahteraannya. Sangat mungkin terjadi, ekonomi

meningkat pesat tetapi jumlah penduduk miskin juga meningkat.

Pengukuran atau evaluasi hasil pembangunan dirasa belum cukup apabila hanya

di ukur dengan pertumbuhan ekonomi melalui PDRB, diperlukan parameter lain yang

mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat terkait dengan distribusi

hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Publikasi ini memuat parameter penunjang

indikator pertumbuhan ekonomi dan akan memberikan gambaran tentang: pemerataan

pendapatan (mengukur seberapa besar kesenjangan pendapatan antar penduduk)

sekaligus melihat perubahan pola konsumsi masyarakatnya di Kota Semarang tahun

2014.

BAB I PENDAHULUAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 3

1.2. Tujuan

Publikasi ini, bertujuan untuk memberikan gambaran pemerataan pendapatan dan

pola konsumsi penduduk di Kota Semarang pada tahun 2014. Series data dari publikasi

ini diharapkan dapat menjadi bahan monitoring dan evaluasi distribusi pendapatan di

Kota Semarang.

1.3. Sistematika Penulisan

Tulisan ini disusun dalam 5 (lima) Bab, yaitu :

Bab I Pendahuluan,

Berisi latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka,

Berisi penjelasan beberapa teori tentang distribusi pendapatan.

Bab III Metodologi,

Mencakup sumber data, konsep dan definisi serta teknik analisis yang

digunakan dalam penulisan ini.

Bab IV Ketimpangan Distribusi Pendapatan Kota Semarang,

Berisi uraian ringkas tentang distribusi pendapatan dan Pola konsumsi di Kota

Semarang.

Bab V Penutup,

Berisi kesimpulan dan saran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 4

BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 5

TINJAUAN PUSTAKA

Ketimpangan distribusi pendapatan tidak terlepas atau sangat erat hubungannya

dengan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua

negara di dunia. Menurut Kuncoro (1997), kemiskinan dapat ditinjau dari 2 sisi, yaitu :

pertama, kemiskinan absolute, dimana dengan pendekatan ini di identifikasikan jumlah

penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. kedua, kemiskinan relatif,

yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan

pendapatan. Dengan kata lain, kemiskinan relatif amat erat kaitannya dengan masalah

distribusi pendapatan.

Badan Pusat Statistik dalam "Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan

2009", untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan tersebut telah muncul

beberapa teori maupun ukuran yang digunakan, antara lain :

2.1. Teori Pareto

VilfredoPareto (1897) dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan

2009 (BPS, 2009), setelah melakukan penelitian mengenai distribusi pendapatan di

Eropa, mendapatkan bentuk kurvanya (untuk setiap negara) tidaklah mengikuti

distibusi normal, tapi mengikuti perumusan sebagai berikut:

𝑨 =𝑵

𝑿𝒃

A = Jumlah penduduk yang mempunyai pendapatan lebih besar daripada X

X = Tingkat pendapatan tertentu dari keluarga atau individu yang

bersangkutan

N = Jumlah penduduk total

b = Parameter yang nilainya antara 1 dan 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 6

Berdasarkan hasil tersebut, Pareto, menyatakan bahwa akan selalu ditemui

ketimpangan dalam setiap negara, dimana kelompok penduduk yang terkaya

mendapatkan porsi yang terbanyak dari pendapatan nasional negaranya. Penemuannya

ini selanjutnya dikenal sebagai Pareto Law, yang menyatakan bahwa 20 persen

kelompok penduduk terkaya menikmati 80 % dari pendapatan nasional negaranya.

2.2. Indeks Theil dan Indeks -L

Ada sejumlah ukuran ketimpangan yang memenuhi semua kriteria bagi sebuah

ukuran ketimpangan yang baik. Diantaranya yang paling banyak digunakan adalah

Indeks Theil dan Indeks-L (ukuran deviasi log rata-rata). Kedua ukuran tersebut

masuk dalam famili ukuran ketimpangan "generalized enthropy". Rumus "generalized

enthropy" secara umum dapat ditulis sebagai berikut:

𝑮𝑬(𝜶) =𝟏

𝜶(𝜶−𝟏)[𝟏

𝒏∑ (

𝒚𝒊

�̅�)𝜶

− 𝟏𝒏𝒊=𝟏 ],

�̅� adalah rata-rata pendapatan (pengeluaran).

Nilai GE bervariasi antara 0 dan ∞ dengan 0 mewakili distribusi yang merata dan

nilai yang lebih tinggi mewakili tingkat ketimpangan yang lebih tinggi. Parameter α

dalam kelompok ukuran GE mewakili penimbang yang diberikan pada jarak antara

pendapatan pada bagian yang berbeda dari distribusi pendapatan. Untuk nilai α yang

lebih rendah, GE lebih sensitif terhadap perubahan pada ekor bawah dari distribusi

(penduduk miskin), dan untuk nilai α yang lebih tinggi GE lebih sensitif terhadap

perubahan yang berakibat pada ekor atas dari distribusi (penduduk kaya).

Nilai α yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1.

a) GE (1) disebut sebagai indeks Theil, yang dapat ditulis sebagai berikut:

GE(1) = 𝟏

𝒏∑ (

𝒚𝒊

�̅�) 𝐥𝐧 (

𝒚𝒊

�̅�) ,𝒏

𝒊=𝟏

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 7

b) GE (0), juga dikenal dengan indeks-L, disebut ukuran deviasi log rata-rata

(mean log deviation) karena ukuran tersebut memberikan standar deviasi dari

log (y):

GE(0) = 𝟏

𝒏∑ 𝐥𝐧 (

�̅�

𝒚𝒊) ,𝒏

𝒊=𝟏

2.3. Teori Gini Ratio

Koefisien gini adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk

mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus koefisien gini

adalah sebagai berikut :

𝑮 = 𝟏 −∑𝑷𝒊(𝑸𝒊 + 𝑸𝒊−𝟏)

𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎

𝒌

𝟏=𝟏

G = Gini Ratio

Pi = Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i

Qi = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i

Qi-1 = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i-1

k = Banyaknya kelas pendapatan

Oshima menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah

pola pengeluaran suatu masyarakat ada pada ketimpangan taraf rendah, sedang atau

tinggi.

Untuk itu ditentukan kriteria sebagai berikut :

a. Ketimpangan taraf rendah, bila G < 0,35

b. Ketimpangan taraf sedang, bila G antara 0,35 - 0,5

c. Ketimpangan taraf tinggi, bila G > 0,5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 8

Nilai indeks Gini ada diantara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai Indeks Gini

menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai Indeks

Gini adalah nol maka artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi

pendapatan, sedangkan jika bernilai satu berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan

yang sempurna. Untuk publikasi resmi Indonesia oleh BPS, baik ukuran

ketidakmerataan pendapatan versi Bank Dunia maupun Indeks Gini, penghitungannya

menggunakan data pengeluaran.

Kurva Lorez

Keterangan:

- Sumbu OB menyatakan persentase jumlah penduduk

- Sumbu OD menyatakan persentase pendapatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 9

Titik K pada kurva OKLB menunjukkan 40 persen jumlah penduduk menerima

pendapatan sebesar 10 persen total pendapatan. Sedang titik M pada kurva OMNB

menggambarkan bahwa 40 persen jumlah penduduk menerima bagian pendapatan

sebesar 17 persen dari total pendapatan. Berarti distribusi pendapatan yang digambarkan

oleh kurva OMNB lebih merata dari pada distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh

kurva OKLB.

Kelemahan Gini Ratio adalah besarnya nilai gini ratio tidak bisa menjelaskan

letak ketimpangannya. Penjelasan ini dapat diilustrasikan dengan membuat kurva

OMNB yang nilai Gini Rationya dibuat sama dengan kurva OKLB. Dalam kurva (yang

diarsir) golongan bawah lebih menderita dibandingkan kurva OMNB karena persentase

yang diterima oleh 40 persen penduduk hanya 10 persen pendapatan, sedang pada kurva

OKLB 40 persen penduduk menerima bagian 17 persen dari total pendapatan. Untuk

mengatasi kelemahan ini para pakar menganjurkan agar ukuran ini dilengkapi dengan

ukuran lain seperti Kriteria Bank Dunia, sehingga diketahui keadaan penduduk kelas

bawah atau kelas atas yang timpang.

Daimon dan Thorbecke (1999-5) dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat

Kemiskinan 2009 (BPS, 2009) berpendapat bahwa penurunan ketimpangan (perbaikan

distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan bertambahnya insiden kemiskinan

kecuali jika terdapat dua aspek yang mendasari inkonsistensi tersebut.

a. Pertama, variasi distribusi pendapatan dari kelas terendah meningkat secara

drastis sebagai akibat krisis.

b. Kedua, merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan dalam

pengukuran kemiskinan dan indikator ketimpangan.

Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik misalnya:

a. Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa

jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan

berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.

b. Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size independence). Jika

penduduk berubah, ukuran ketimpangan seharusnya tidak berubah, jika kondisi

lain tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga memenuhi syarat ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 10

c. Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya,

seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan. Koefisien Gini

juga memenuhi hal ini.

d. Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari

si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Gini juga memenuhi

kriteria ini.

Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat:

a. Dapat didekomposisi

Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat didekomposisi (dipecah)

menurut kelompok penduduk atau sumber pendapatan atau dalam dimensi lain.

Indeks Gini tidak dapat didekomposisi atau tidak bersifat aditif antar kelompok.

Yakni nilai total Koefisien Gini dari suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah

nilai Indeks Gini dari sub-kelompok masyarakat (sub-group).

b. Dapat diuji secara statistik

Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan indeks antar waktu. Hal

ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval (selang)

kepercayaan umumnya dapat dibentuk.

2.4. Kriteria Bank Dunia

Bank Dunia, dalam upaya mengukur ketimpangan pendapatan, membagi

penduduk menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 40 persen penduduk berpendapatan

rendah, kelompok 40 persen penduduk berpendapatan menengah, dan kelompok 20

persen penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan ditentukan

berdasarkan besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen

penduduk berpendapatan rendah, dengan kriteria sebagai berikut:

a. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk

berpendapatan rendah lebih kecil dari 12 persen, maka dikatakan terdapat

ketimpangan pendapatan tinggi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 11

b. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk

berpendapatan rendah antara 12 persen sampai dengan 17 persen, maka

dikatakan terdapat ketimpangan pendapatan moderat/sedang/menengah.

c. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk

berpendapatan rendah lebih besar dari 17 persen, maka dikatakan terdapat

ketimpangan pendapatan rendah.

BAB III METODOLOGI

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 12

BAB III

BAB III METODOLOGI

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 13

METODOLOGI

3.1. Sumber Data

Distribusi pendapatan penduduk 2015 dihitung berdasarkan data hasil Survei

Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2015 yang pengumpulan datanya

dilakukan melalui wawancara tatap muka antara petugas survei dengan responden.

3.2. Konsep dan Definisi

Konsep dan definisi yang dipakai pada Susenas 2015 yang terkait diantaranya :

Rumah tangga

Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami

sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan

dari satu dapur dalam pengertian bahwa kebutuhan sehari-hari diurus bersama-sama

menjadi satu.

Anggota Rumah Tangga / Penduduk

Anggota Rumah Tangga (ART) / penduduk adalah orang yang biasanya tinggal

di suatu rumah tangga, baik yang berada di dalam rumah tangga waktu pencacahan

maupun sementara tidak ada. Yang bepergian walaupun kurang dari enam bulan

tetapi dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih, tidak

dianggap sebagai ART. Orang yang telah tinggal di rumah tangga enam bulan atau

lebih atau yang telah tinggal di dalam rumah tangga kurang dari enam bulan tetapi

berniat tinggal enam bulan atau lebih dianggap sebagai ART.

BAB III METODOLOGI

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 14

Pengeluaran

Pengeluaran rumah tangga sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan

rumah tangga untuk konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumahtangga dibedakan

menjadi dua kelompok yaitu konsumsi makanan dan bukan/non makanan (perumahan,

aneka barang dan jasa, pendidikan, kesehatan, pakaian, barang tahan lama, pajak dan

asuransi, dan keperluan untuk pesta dan upacara). Konsumsi tersebut tanpa

memperhatikan asal barang (membeli atau hasil sendiri atau pemberian) dan terbatas

pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk

konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha rumah tangga atau diberikan kepada

pihak lain.

Pendapatan

Pendapatan adalah penerimaan berupa uang maupun barang yang diterima atau

dihasilkan. Namun disadari, bahwa informasi pendapatan ini tidak seperti yang

diharapkan, dimana banyak responden cenderung memberikan informasi pendapatan

yang tidak sebenarnya. Oleh sebab itu, data pendapatan sendiri diperkirakan dari data

pengeluaran dengan asumsi bahwa pengeluaran masyarakat merupakan gambaran

dari pendapatan mereka.

3.3. Teknik Analisis

Teori atau ukuran-ukuran yang digunakan dalam tulisan ini adalah Teori Gini

Ratio dan Kriteria Bank Dunia. Sedangkan untuk data pendapatan didekati dengan data

pengeluaran (konsumsi) rumah tangga.

Gini Ratio

Angka Gini Ratio terletak antara 0 - 1 dan apabila angka ini makin mendekati 0

(nol) berarti semakin rendah tingkat ketimpangannya. Sebaliknya apabila angka ini

BAB III METODOLOGI

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 15

semakin mendekati 1 (satu) berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan (jurang

pemisah antara si kaya dan si miskin lebar).

Secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

0,00 < G < 0,35 → pemerataan tinggi / ketimpangan rendah

0,35 < G < 0,50 → pemerataan / ketimpangan sedang

G > 0,50 → pemerataan rendah / ketimpangan tinggi

Kriteria Bank Dunia

Pada prinsipnya Kriteria Bank Dunia membagi penduduk ke dalam 3 (tiga)

kelompok pendapatan yaitu 40 persen kelompok penduduk berpendapatan rendah, 40

persen kelompok penduduk berpendapatan sedang dan 20 persen kelompok

berpendapatan tinggi. Pengelompokan seperti ini pada dasarnya sama dengan

menggunakan cara desil (decile) yaitu 40 persen pertama sama dengan desil ke-4; 40

persen kedua sama dengan desil ke-8 dan 20 persen terakhir adalah desil ke-10.

Dalam menentukan besarnya desil ke-i digunakan rumus :

𝐷𝑖 = 𝑄𝑏 +(𝑛𝑖 −𝑃𝑖)

(𝑃𝑎 −𝑃𝑏)(𝑄𝑎 −𝑄𝑏)

i = 1, 2, 3, ... 10

ni = Persentase ke-i

Di = Desil ke-i

Qb = Persen kumulatif dari kelas pendapatan sebelum Di

Qa = Persen kumulatif dari kelas pendapatan sesudah Di

Pb = Persen kumulatif dari jumlah penduduk sebelum Di

Pa = Persen kumulatif dari jumlah penduduk sesudah Di

BAB III METODOLOGI

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 16

Kriteria ketimpangan diukur berdasarkan bagian pendapatan yang

diterima kelompok berpendapatan rendah. Jika bagian pendapatan yang diterima

kelompok ini:

Kurang dari 12 persen → pemerataan rendah / ketimpangan tinggi

12 persen - 17 persen → pemerataan / ketimpangan sedang

Di atas 17 persen → pemerataan tinggi / ketimpangan rendah

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 17

BAB IV

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 18

KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

KOTA SEMARANG

4.1. Gambaran Umum Perekonomian Kota Semarang Tahun 2011 – 2015

Salah satu konsekwensi dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan

adalah ketimpangan distribusi pendapatan. Dengan nilai Produk Domestik Regional

Bruto pada tahun 2015 mencapai 134,268,633.62 juta rupiah dan Pertumbuhan ekonomi

selama lima tahun ( 2011 – 2015 ) mampu tumbuh dengan rata-rata di atas 5 % (lihat

Tabel 1 dan 2) maka dapat dikatakan ekonomi makro Kota Semarang menunjukan

perkembangan yang cukup baik selama lima tahun tersebut.

Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan perekonomian kota semarang,

pendapatan masyarakat yang terlihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per

kapita juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat PDRB per kapita

pada tahun 2015 mencapai 78,929,826.93 rupiah atau 8,30% lebih tinggi dari tahun

2014 yang mencapai 72,880,505.52 rupiah.

Ketersediaan data pendapatan perkapita untuk daerah di Indonesia secara umum

dapat dikatakan tidak tersedia, oleh karena itu pengukuran kesejahteraan masyarakat

suatau wilayah umumnya didekati dengan dua pendekatan pendapatan yaitu Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita dan Pengeluaran Konsumsi Perkapita.

Walaupun kedua nilai tersebut tidak menggambarkan pendapatan riil penduduk akan

tetapi secara empiris terbukti dapat memberikan gambaran pendapatan penduduk untuk

dapat menjadi indikator kesejahteraan masyarakat suatu wilayah.

Tingkat pendapatan suatu wilayah selain dari kemampuan ekonomi wilayah

tersebut juga tergantung jumlah penduduk yang bermukim di wilayah tersebut, jadi

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 19

wilayah yang mempunyai nilai PDRB tinggi belum tentu memiliki PDRB perkapita

yang tinggi bila jumlah penduduk wilayah tersebut besar jumlahnya.

Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta rupiah) Kota Semarang

Tahun Atas Dasar

Harga Berlaku

Atas Dasar

Harga Konstan 2010

Tahun 2011 91.034.098,92 86.142.966,70

Tahun 2012 99.753.672,36 91.282.029,07

Tahun 2013 108.807.145,40 96.985.402,04

Tahun 2014 *) 121.928.648,46 103.172.131,51

Tahun 2015 **) 134,268,633.62 109,141,554.19

Keterangan: *). Angka sementara

**). Angka sangat sementara

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kota Semarang

Tahun Atas Dasar

Harga Berlaku

Atas Dasar

Harga Konstan 2010

Tahun 2011 12,63 6,58

Tahun 2012 9,58 5,97

Tahun 2013 9,07 6,25

Tahun 2014 *) 12,06 6,38

Tahun 2015 **) 10,12 5,79

Keterangan: *). Angka sementara

**). Angka sangat sementara

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 20

Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kota Semarang Atas Dasar

Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010

Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita (Rupiah) Kota Semarang

Tahun Atas Dasar

Harga Berlaku

Atas Dasar

Harga Konstan 2010

Tahun 2011 57,307,817.78 54,228,750.51

Tahun 2012 61,711,130.61 56,469,141.90

Tahun 2013 66,169,341.89 58,980,135.93

Tahun 2014 *) 72,880,505.53 61,669,158.12

Tahun 2015 **) 78,929,826.94 64,158,871.30

Keterangan: *). Angka sementara

**). Angka sangat sementara

12.63

9.589.07

12.06

10.12

6.585.97 6.25 6.38

5.79

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

2011 2012 2013 2014 2015

PDRB adh Berlaku PDRB adh Konstan 2010

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 21

Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Kota Semarang Atas

Dasar Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010

4.2. Pola Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi perkapita dapat digunakan sebagai pendekatan pendapatan perkapita

sehingga informasi mengenai Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator

yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi

pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke

pengeluaran bukan makanan.

Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap

makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang

bukan makanan pada umumnya lebih tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok

penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga

peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan

makanan ,ditabung atau diinvestasikan. Dengan demikian, pola pengeluaran dapat

10.62

7.687.22

10.14

8.30

4.684.13

4.45 4.564.04

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

2011 2012 2013 2014 2015

PDRB Perkapita adh Berlaku PDRB Perkapita adh Konstan 2010

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 22

dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana

perubahan komposisinya digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan.

Secara umum pergerakan yang terjadi dari tahun 2011 ke tahun 2015 terlihat

bahwa konsumsi non makanan mendominasi struktur konsumsi penduduk Kota

Semarang, secara teoritis komposisi pola konsumsi dapat dikatakan bahwa masyarakat

Kota Semarang mengalami peningkatan kesejahteraan.

Pada tahun 2015, Komoditi ‘Perumahan dan fasilitas rumah tangga’ dan komoditi

‘Makanan dan Minuman Jadi’ mendapat porsi tertinggi masing-masing 29.63% dan

11,35% disusul ‘Aneka barang dan jasa lainnya’ 9,18 %, ‘Barang tahan lama’ 9,15%

dan Pendidikan 6,09%, sedangkan pengeluaran untuk 17 kelompok komoditas lainnya

masing-masing kurang dari 5%.

Pengeluaran perkapita kota semarang pada tahun 2015 sebesar Rp 1,297,895

terbagi sebesar Rp 437.497 (33,71%) untuk pengeluaran makanan dan Rp 860.399

(66,29%) untuk pengeluaran non makanan.

Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran Perkapita Sebulan dan Komposisi Konsumsi

Penduduk Kota Semarang

Tahun Rata-rata Pengeluaran

Per-kapita sebulan (Rp)

Persentase

Makanan Non Makanan

Tahun 2011 749.403 40,75 59,25

Tahun 2012 760.649 43,36 56,64

Tahun 2013 1.070.470 37,29 62,71

Tahun 2014 1.058.225 40,28 59,72

Tahun 2015 1,297,895 33.71 66.29

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 23

Gambar 3. Persentase Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang

Komposisi Pengeluaran kelompok komoditas Makanan sebagai berikut: sub

kelompok komoditas makanan dan minuman jadi memiliki porsi terbesar yakni sebesar

33,66 persen, selanjutnya sub kelompok komoditas padi-padian 11,99 persen, Sub

kelompok telur dan susu 9,11 persen, sub kelompok tembakau dan sirih 7,68 persen, sub

kelompok buah-buahan 7,21 persen, sub kelompok daging 6,29 persen , sub kelompok

sayuran 5,93 persen dan 7 sub kelompok komoditas yang lain masing-masing kurang

dari 5 persen.

Sedangkan komposisi pengeluaran non makanan dapat dirinci sebagai berikut:

44,70 persen pengeluaran untuk sub komoditas perumahan dan fasilitas rumahtangga,

14,40 persen untuk barang tahan lama,13,85 persen untuk sub kelompok aneka barang

jasa lainnya, 9,19 persen untuk sub kelompok pendidikan, 6,38 persen untuk

pengeluaran kesehatan , 4,72 persen untuk pajak pungutan/asuransi dan sub kelompok

yang lain sebesar 3,52 persen untuk sub kelompok pakaian alas kaki dan tutup kepala

serta 3,25 persen untuk keperluan pesta dan upacara.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015

40.75 43.36 37.29 40.28

33.71

59.25 56.64 62.71 59.72

66.29

Makanan Non Makanan

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 24

Gambar 4. Rata-rata Pendapatan Per-kapita sebulan dirinci menurut

Kabupaten / Kota di Jawa Tengah Tahun 2015

Kab. Cilacap

Kab. Banyumas

Kab. Purbalingga

Kab. Banjarnegara

Kab. Kebumen

Kab. Purworejo

Kab. Wonosobo

Kab. Magelang

Kab. Boyolali

Kab. Klaten

Kab. Sukoharjo

Kab. Wonogiri

Kab. Karanganyar

Kab. Sragen

Kab. Grobogan

Kab. Blora

Kab. Rembang

Kab. Pati

Kab. Kudus

Kab. Jepara

Kab. Demak

Kab. Semarang

Kab. Temanggung

Kab. Kendal

Kab. Batang

Kab. Pekalongan

Kab. Pemalang

Kab. legal

Kab. Brebes

Kota Magelang

Kota Surakarta

Kota Salatiga

Kota Semarang

Kota Pekalongan

Kota Tegal

Prov. Jawa Tengah

665,673

719,753

649,147

551,908

554,413

609,266

635,353

535,110

733,413

719,198

760,760

591,508

718,887

820,684

535,445

556,556

668,433

758,277

729,743

626,088

636,761

730,286

627,625

758,353

580,810

627,938

597,256

621,981

605,576

880,508

1,119,756

1,137,533

1,297,895

717,215

909,152

695,856

Tahun 2015

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 25

Gambar 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk

Kota Semarang Tahun 2015

Padi-padian, 4.04 Umbi-umbian, 0.23Ikan/udang/cumi/keran

g, 1.81

Daging, 2.12

Telur dan Susu, 3.07

Sayur-sayuran, 2.00

Kacang-kacangan, 1.05

Buah-buahan, 2.43

Minyakdan Lemak, 0.86

Bahan Minuman, 1.02

Bumbu-bumbuan, 0.45

Konsumsi Lainnya,

0.69

Makanan dan Minuman Jadi, 11.35

Tembakau dan sirih, 2.59

Perumahan dan Fasilitas Rumahtangga, 29.63

Kesehatan, 4.23

Pendidikan, 6.09

Aneka Barang dan Jasa Lainnya, 9.18

Pakaian, Alas kaki dan Tutup Kepala, 2.33

Barang Tahan Lama, 9.55

Pajak, Pungutan dan Asuransi, 3.13

Keperluan Pesta dan Upacara/Kenduri, 2.16

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 26

Tabel 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk

Kota Semarang Tahun 2015

Jenis Pengeluaran

Makanan Persen

Jenis Pengeluaran Non

Makanan Persen

(1) (2) (3) (4)

Padi-padian 11.99 Perumahan dan Fasilitas

Rumah tangga 44.70

Umbi-umbian 0.69 Aneka Barang dan Jasa 29.41

Ikan / udang / cumi / kerang 5.38 - Kesehatan 6.38

Daging 6.29 - Pendidikan 9.19

Telur dan Susu 9.11 - Lainnya 13.85

Sayur-sayuran 5.93 Pakaian, Alas kaki dan

Tutup Kepala 3.52

Kacang-kacangan 3.11 Barang Tahan Lama 14.40

Buah-buahan 7.21 Pajak, Pungutan dan

Asuransi 4.72

Minyak dan Lemak 2.56 Keperluan Pesta dan

Upacara / Kenduri 3.25

Bahan Minuman 3.03

Bumbu-bumbuan 1.34

Konsumsi Lainnya 2.04

Makanan dan Minuman Jadi 33.66

Tembakau dan sirih 7.68

Total 100,00 100,00

Rata – Rata Pengeluaran

Makanan (Rp.) 437,496

Rata – Rata Pengeluaran

Non Makanan (Rp.) 860,399

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 27

4.3. Kesenjangan Distribusi Pendapatan

a. Koefisien Gini (Gini Ratio)

Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang penting

karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Tingginya

ketimpangan pendapatan atau kemiskinan relatif, berarti kebijakan pembangunan

belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu parameter yang digunakan untuk

menilai ketimpangan distribusi pendapatan. Koefisien Gini bernilai antara 0 sampai

dengan 1 yang merupakan rasio antara luas area antara kurva Lorenz dengan garis

kemerataan sempurna dengan luas area di bawah kurva Lorenz.

Gambar 6. Kurva Lorenz [ Hasil Olah Susenas 2015 Kota Semarang ]

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 28

Koefisien Gini berikut ini didasarkan data SUSENAS mengenai pengeluaran

rumah tangga di Kota Semarang tahun 2011-2015.

Selama kurun waktu 2011-2015, Koefisien gini tahun ini merupakan angka

capaian terburuk (koefisien tertinggi) sebesar 0,3300. Angka ini meningkat tajam

dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,3128.

Tabel 6. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah

Tahun Kota Semarang Jawa Tengah

Tahun 2011 0,3545 0,3462

Tahun 2012 0,3518 0,3554

Tahun 2013 0,3514 0,3900

Tahun 2014 0,3807 0,3729

Tahun 2015 0,3300 0,3800

Peringkat dari indeks gini disusun menurut wilayah yang memiliki ketimpangan

terendah (rangking 1) hingga wilayah yang memiliki ketimpangan tertinggi (rangking

terakhir). pada tahun 2015, Kota Semarang menempati rangking ke 11 dari 35

kabupaten/ kota di jawa tengah. Rentang waktu 2010 hingga 2014, peringkat capaian

koefisien gini tidak menunjukkan trend tertentu, Namun selama kurun waktu tersebut

wilayah Kota Semarang masuk dalam kategori 10 besar dengan ketimpangan tertinggi

kecuali pada tahun ini. Jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan seperti kota tegal,

kota magelang, kota pekalongan dan kota salatiga, maka Indeks Gini Kota Semarang

masih berada diatas Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Pekalongan dan

berada dibawah Kota Tegal.

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 29

Gambar 7. Perkembangan dan Level Gini Kota Semarang

Tahun 2011 – 2015

Koefisien Gini pada level wilayah provinsi selalu lebih tinggi dari kota semarang

pada tiga tahun terakhir, sedangkan pada 2010 dan 2011 tercatat level provinsi memiliki

nilai ketimpangan lebih rendah dibanding Kota Semarang. Keterbandingan indeks gini

level provinsi terhadap Kota Semarang dilihat menurut kategori ketimpangan rendah

(<0,35), sedang(0,35 – 0,5) atau tinggi (>0,5) , maka pada 5 tahun terakhir indeks gini

Kota Semarang terkategori ketimpangan sedang kecuali tahun 2010 dan 2014, sedangkan

pada level provinsi, termasuk kategori ketimpangan rendah pada kurun waktu 2010

hingga 2011 selebihnya terkategori sebagai ketimpangan sedang.

0.3545 0.3518 0.35140.3807

0.3300

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

2011 2012 2013 2014 2015

Perkembangan dan Level Gini Kota Semarang

TINGGI

RENDAH

SEDANG

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 30

Tabel 7. Peringkat Nilai Gini Ratio Kabupaten / Kota di wilayah

Provinsi Jawa Tengah

Kabupaten/Kota

Rangking

Tahun

2011

Rangking

Tahun

2012

Rangking

Tahun

2013

Rangking

Tahun

2014

Rangking

Tahun

2015

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 Kab. Cilacap 7 31 20 14 15

2 Kab. Banyumas 18 30 11 34 35

3 Kab. Purbalingga 11 8 5 8 16

4 Kab. Banjarnegara 16 33 16 16 10

5 Kab. Kebumen 20 5 1 4 5

6 Kab. Purworejo 5 18 33 28 20

7 Kab. Wonosobo 32 19 24 13 31

8 Kab. Magelang 10 20 17 12 30

9 Kab. Boyolali 34 34 6 19 21

10 Kab. Klaten 14 21 27 15 24

11 Kab. Sukoharjo 24 22 26 29 25

12 Kab. Wonogiri 8 23 15 27 7

13 Kab. Karanganyar 35 14 28 26 17

14 Kab. Sragen 29 27 14 21 32

15 Kab. Grobogan 25 24 22 24 3

16 Kab. Blora 33 35 34 17 22

17 Kab. Rembang 13 9 18 1 6

18 Kab. Pati 3 3 8 11 26

19 Kab. Kudus 17 25 30 10 18

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 31

Kabupaten/Kota

Rangking

Tahun

2011

Rangking

Tahun

2012

Rangking

Tahun

2013

Rangking

Tahun

2014

Rangking

Tahun

2015

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

20 Kab. Jepara 26 15 7 2 11

21 Kab. Demak 19 16 10 9 1

22 Kab. Semarang 28 6 9 22 12

23 Kab. Temanggung 22 26 32 20 33

24 Kab. Kendal 27 10 23 18 27

25 Kab. Batang 4 4 3 23 2

26 Kab. Pekalongan 2 2 4 6 8

27 Kab. Pemalang 1 1 2 3 9

28 Kab. Tegal 6 11 13 30 13

29 Kab. Brebes 9 7 12 5 4

30 Kota Magelang 31 17 29 31 23

31 Kota Surakarta 30 28 31 33 28

32 Kota Salatiga 21 32 35 35 34

33 Kota Semarang 23 29 25 32 19

34 Kota Pekalongan 12 12 21 25 14

35 Kota Tegal 15 13 19 7 29

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 32

Gambar 8. Perbandingan Koefisien Gini Kota Semarang dan

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 – 2015

b. Relatif Inequality (Kriteria Bank Dunia)

Pola distribusi pendapatan masyarakat yang didasarkan pada hasil perhitungan

indeks gini hanya bisa menggambarkan tingkat pemerataan pendapatan secara umum,

tetapi belum menjelaskan besarnya porsi yang diterima oleh kelompok berpendapatan

rendah/miskin dari keseluruhan pendapatan wilayah. Dengan menggunakan ukuran yang

dikembangkan oleh Pusat Penelitian Bank Dunia dan Lembaga Studi Pembangunan

Universitas Sussex, kita akan mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai masalah

ketidakadilan (inequality) melalui indikator yang disebut relative inequality atau biasa

disebut dengan kriteria Bank Dunia. Relative Inequality diartikan sebagai ketimpangan

dalam distribusi pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan masyarakat.

0.0000 0.1000 0.2000 0.3000 0.4000 0.5000

Th. 2011

Th. 2012

Th. 2013

Th. 2014

Th. 2015

0.3545

0.3518

0.3514

0.3807

0.3300

0.3462

0.3554

0.3900

0.3729

0.3800

Provinsi Jawa Tengah Kota Semarang

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 33

Ketimpangan distribusi pendapatan Kota Semarang berdasarkan pendekatan

Kriteria Bank Dunia, menunjukkan bahwa pada tahun 2015, 40% penduduk yang

memiliki pendapatan terendah hanya dapat menikmati 16,04 persen dari total pendapatan

seluruh penduduk, hal ini termasuk dalam kategori ketimpangan sedang, Berbeda dengan

tahun sebelumnya (2014), 40% penduduk berpendapatan terendah, dapat menikmati

17,44%, angka ini termasuk dalam kategori ketimpangan rendah.

Perekonomian kota semarang yang terus menggeliat naik secara otomatis akan

berdampak pada perubahan nominal pengeluaran perkapita, dan Kota Semarang

memiliki pendapatan perkapita tertinggi se Jawa Tengah, tetapi pada sisi yang lain hanya

16 persen saja dari pendapatan penduduk yang diterima oleh 40 persen kelompok rumah

tangga berpendapatan terendah di tahun 2015. Tingkat ketimpangan sudah seharusnya

perlu mendapat perhatian agar angka ini tidak menuju pada level yang lebih tinggi

ditahun mendatang. Bila ada keinginan untuk menurunkan proporsi penduduk miskin

dimasa depan, masalah ketimpangan distribusi pendapatan antar waktu dan antar wilayah

karena merupakan bagian dari konsekwensi pertumbuhan ekonomi disuatu wilayah yang

tidak akan pernah hilang.

Tabel 8. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan Kriteria

Bank Dunia Tahun 2011 – 2015

Tahun

Kriteria Bank Dunia

40 % Rendah 40 % Menengah 20 % Tinggi

Tahun 2011 18,15 36,27 45,58

Tahun 2012 18,24 36,16 45,60

Tahun 2013 16,08 46,68 37,24

Tahun 2014 17,44 48,48 34,07

Tahun 2015 16,04 33,53 50,43

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 34

Dengan kriteria Bank Dunia secara umum tidak terlihat adanya ketimpangan

pendapatan di Kota Semarang, hal ini ditunjukkan oleh persentase pendapatan kelompok

40% berpendapatan terendah yang berada di dibawah 17 %. Namun terjadi

kecenderungan penurunan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 ( dari 18,15 ke

16,05 ). Sejak tahun 2011 ketimpangan distribusi pendapatan di kota semarang selama

periode lima tahun terakhir cenderung meningkat, namun masih pada level yang sedang.

Untuk Kota Semarang kedua ukuran ketimpangan ini hampir tidak memperlihatkan

perbedaan yang berarti, namun Koefisien Gini cenderung fluktuatif pada level

ketimpangan pendapatan yang rendah hingga sedang. Untuk Provinsi Jawa Tengah,

ukuran koefisien gini berfluktuatif, levelnya masih dalam posisi ketimpangan rendah

namun secara perlahan bergerak pada posisi menuju ketimpangan distribusi pendapatan

sedang yang dimulai pada tahun 2011 sampai dengan 2013. Hasil pengukuran tersebut

menunjukkan ketimpangan yang tetap rendah dan berada dalam posisi yang belum

menghawatirkan, namun indikasi kecenderungannya selama periode 2011 – 2013 perlu

untuk lebih dicermati.

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 35

Gambar 9. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan

Kriteria Bank Dunia Tahun 2015

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

110.00

Kumulatif Pendapatan (persen)

16.04

33.53

50.43

40 % I (Rendah) 40 % II (Sedang) 20 % III (Tinggi)

BAB V PENUTUP

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 36

BAB V

BAB V PENUTUP

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 37

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab – bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan :

1. Koefisien gini kota semarang selama kurun waktu lima tahun terakhir (2011-

2015) mengalami fluktuasi dari posisi ketimpangan distribusi pendapatan

rendah hingga sedang. Koefisien gini tahun ini merupakan angka tertinggi

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

2. Koefisien gini provinsi jawa tengah selama kurun waktu lima tahun terakhir

(2011-2015) selalu merangkat naik dan pada 3 tahun terakhir termasuk

dalam kategori ketimpangan sedang.

3. Koefisien gini kota semarang dan provinsi jawa tengah selama kurun waktu

lima tahun terakhir (2011-2015) mengalami fase dari posisi ketimpangan

distribusi pendapatan rendah menuju ketimpangan distribusi pendapatan

sedang. Hal ini berarti terjadi kesenjangan distribusi pendapatan yang

semakin melebar.

4. Menurut kriteria bank dunia persentase pendapatan yang diterima oleh

kelompok 40% berpendapatan terendah kota semarang berada di kisaran

16 %, angka ini terkategori sebagai ketimpangan sedang.

BAB V PENUTUP

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 38

5.2. Saran-saran

1. Pertumbuhan ekonomi kota semarang yang terus meningkat tetapi tidak

diimbangi dengan kecenderungan tingkat pemerataan pendapatan yang

tinggi atau ketimpangan distribusi pendapatan yang cenderung meningkat

terutama dalam empat tahun terakhir perlu diwaspadai. Progaram-program

pengentasan kemiskinan harus terus dilanjutkan dan diperketat

pengawasannya;

2. Jumlah penduduk miskin dan kantong kemiskinan di Kota Semarang harus

mendapat perhatian khusus. Dengan memperhatikan dan memetakan potensi

sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada didaerah tersebut

akan mempercepat proses pengentasan kemiskinan yang pada akhirnya akan

memperkecil tingkat kesenjangan distribusi pendapatan.