kata pengantar - forda · kata pengantar i intisari ii daftar singkatan iii daftar istilah iv...
TRANSCRIPT
i
KAT A PENGANT AR
Plot STREK merupakan plot penelitian permanen yang hingga kini telah berumur
seperempat abad (25 tahun) menjadi salah satu aset penting bagi Badan Litbang
dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebagai wahana
bagi berbagai tinjauan dan kajian bagi ilmu pengetahuan khususnya kehutanan
dan mampu sebagai jawaban bagi beberapa asumsi yang digunakan dalam
pengelolaan hutan alam produksi lestari sebelumnya. Hal ini menjadi salah satu
bentuk dukungan BLI untuk berperan serta dalam menghadapi isu-isu strategis
yang berkaitan dengan pengelolaan hutan alam produksi lestari khususnya dan
hutan alam pada umumnya.
Dengan keunggulan karakteristik dan ketersediaan data dari hasil monitoring
dan pengukuran ulang plot STREK yang bersifat jangka panjang, memungkinkan
untuk dilakukan berbagai kajian dan evaluasi bagi bentuk pengelolaan hutan
alam produksi. Status riset 25 tahun plot STREK sangat penting sebagai fakta
ilmiah dalam pemutakhiran informasi yang mencakup pemantauan dan penilaian
kondisi tegakan hutan alam produksi setelah penebangan yang mencakup
beberapa aspek sekaligus. Dan perlunya alih transformasi bentuk-bentuk kajian
ilmiah tersebut menjadi bentuk yang lebih implementatif
Sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dalam pengelolaan hutan alam produksi
yang mendukung sistem sertifikasi, dalam kajian buku ini berupaya untuk
meninjau bentuk hutan setelah penebangan berdasarkan aspek produktivitas &
ekologi konservasi. Dengan harapan, dapat teridentifikasinya bahan evaluasi
untuk pengelolaan hutan alam produksi terutama dalam penilaian kemampuan
pemulihan tegakan dalam rangka penyusunan kebijakan teknis untuk
peningkatan produktivitas hutan alam produksi yang lestari. Masukan, kritik dan
saran dari para nara sumber menjadi sangat peting terutama dalam meninjau
kebutuhan formulasi untuk redesain plot STREK kedepan sebagai media kajian
yang mempunyai nilai novelties bagi ilmu pengetahuan dan mampu bernilai lebih
implementatif bagi kebutuhan pengguna.
Semoga buku ini dapat bermanfaat.
Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK Dr. Ir. Henry Bastaman, MES
ii
STATUS R ISET 25 T AH UN PLOT STREK
Dr. Farida Herry Susanty
Intisari
Buku ini menguraikan sejarah pembangunan plot STREK, proses kerjasama yang terjadi serta pengelolaannya hingga kini. Desain awal dan hasil-hasil kajian plot STREK yang telah diperoleh (manfaat). Teknik pengumpulan data di lapangan dan bentuk pengorganisasian data mempunyai struktur database yang bersifat permanen dan temporer yang mencakup data tegakan dan plot. Pendekatan Analisis menguraikan beberapa perangkat yang digunakan dalam analisis data. Status riset plot STREK mencakup beberapa aspek kajian. Model Struktur Tegakan pada hutan bekas tebangan baik dengan atau tanpa perlakuan pembebasan tegakan serta hutan primer. Pendekatan umum berdasarkan kerapatan tegakan dan bidang dasar tegakan yang lebih lanjut dilakukan berdasarkan penggelompokkan jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae. Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan hutan alam setelah penebangan dan setelah pembebasan akan sangat bervariasi berdasarkan kelompok jenis. Perhitungan riap individu dan tegakan dengan pendekatan diameter pohon dan bidang dasar tegakan secara periodik. Kuantifikasi ekologis jenis meliputi: bentuk keragaman jenis, dominansi jenis, kekayaan jenis, kemerataan sebaran jenis dan model sebaran spasial jenis. Pendekatan diamensi statis dan dinamis dilakukan dalam rangka menyusun keragaan karakteristik biometrik tegakan dalam rangka menyusun formulasi penilaian pemulihan tegakan hutan setelah penebangan. Pendekatan ragam variabel penyusun karakteristik tegakan dilakukan berdasarkan identifikasi variabel penting dan menyusun formulasinya sebagai komponen utama penilaian pemulihan tegakan hutan alam bekas penebangan berdasarkan multi dimensi kuantitatif.
Intisari topik yang
disampaikan dalam kajian status riset 25
tahun Plot STREK
ii
STATUS R ISET 25 T AH UN PLOT STREK
Dr. Farida Herry Susanty
Intisari
Buku ini menguraikan sejarah pembangunan plot STREK, proses kerjasama yang terjadi serta pengelolaannya hingga kini. Desain awal dan hasil-hasil kajian plot STREK yang telah diperoleh (manfaat). Teknik pengumpulan data di lapangan dan bentuk pengorganisasian data mempunyai struktur database yang bersifat permanen dan temporer yang mencakup data tegakan dan plot. Pendekatan Analisis menguraikan beberapa perangkat yang digunakan dalam analisis data. Status riset plot STREK mencakup beberapa aspek kajian. Model Struktur Tegakan pada hutan bekas tebangan baik dengan atau tanpa perlakuan pembebasan tegakan serta hutan primer. Pendekatan umum berdasarkan kerapatan tegakan dan bidang dasar tegakan yang lebih lanjut dilakukan berdasarkan penggelompokkan jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae. Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan hutan alam setelah penebangan dan setelah pembebasan akan sangat bervariasi berdasarkan kelompok jenis. Perhitungan riap individu dan tegakan dengan pendekatan diameter pohon dan bidang dasar tegakan secara periodik. Kuantifikasi ekologis jenis meliputi: bentuk keragaman jenis, dominansi jenis, kekayaan jenis, kemerataan sebaran jenis dan model sebaran spasial jenis. Pendekatan diamensi statis dan dinamis dilakukan dalam rangka menyusun keragaan karakteristik biometrik tegakan dalam rangka menyusun formulasi penilaian pemulihan tegakan hutan setelah penebangan. Pendekatan ragam variabel penyusun karakteristik tegakan dilakukan berdasarkan identifikasi variabel penting dan menyusun formulasinya sebagai komponen utama penilaian pemulihan tegakan hutan alam bekas penebangan berdasarkan multi dimensi kuantitatif.
Intisari topik yang
disampaikan dalam kajian status riset 25
tahun Plot STREK
iii
DAFTAR SINGKATAN
BD : Bidang dasar
CNV : Konvensional
CTR : Kontrol
D : Dipterocarpaceae
D-s : Dipterocarpaceae non Shorea
E : Indeks kemerataan jenis (Evenness) Pielou J’
H’ : Indeks keanekaragaman jenis Shannon
HBT : Hutan bekas tebangan
HP : Hutan primer
HSP : Hutan setelah pembebasan
I : Ingrowth
IM : Indeks Morisita
IS : Indeks similarity
J : Jumlah jenis
K : Kerapatan
KHDTK : Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus
KKB : Keragaan karakteristik biometrik
M : Mortalitas
N1 : Kelimpahan jenis
nD : Non Dipterocarpaceae
P : Pembebasan
PPB : Pembebasan pohon binaan
PS : Pembebasan sistematik
R1 : Indeks kekayaan jenis (Richness) Margallef
rBD : Riap diameter tegakan rataan periodik
rD : Riap diameter individu rataan periodik
RIL 50 : Reduced Impact Logging 50 cm
RIL 60 : Reduced Impact Logging 60 cm
S : Shorea spp.
SD : Standar deviasi
SE : Standar error
SJ : Semua jenis
iii
DAFTAR SINGKATAN
BD : Bidang dasar
CNV : Konvensional
CTR : Kontrol
D : Dipterocarpaceae
D-s : Dipterocarpaceae non Shorea
E : Indeks kemerataan jenis (Evenness) Pielou J’
H’ : Indeks keanekaragaman jenis Shannon
HBT : Hutan bekas tebangan
HP : Hutan primer
HSP : Hutan setelah pembebasan
I : Ingrowth
IM : Indeks Morisita
IS : Indeks similarity
J : Jumlah jenis
K : Kerapatan
KHDTK : Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus
KKB : Keragaan karakteristik biometrik
M : Mortalitas
N1 : Kelimpahan jenis
nD : Non Dipterocarpaceae
P : Pembebasan
PPB : Pembebasan pohon binaan
PS : Pembebasan sistematik
R1 : Indeks kekayaan jenis (Richness) Margallef
rBD : Riap diameter tegakan rataan periodik
rD : Riap diameter individu rataan periodik
RIL 50 : Reduced Impact Logging 50 cm
RIL 60 : Reduced Impact Logging 60 cm
S : Shorea spp.
SD : Standar deviasi
SE : Standar error
SJ : Semua jenis
iv
DAFTAR ISTILAH
CNV : Penebangan konvensional (CNV) yaitu kegiatan penebangan dengan limit diameter 60 cm berdasarkan pengalaman para penebang
CTR : Plot tanpa perlakuan (kontrol)
Ingrowth : besarnya pertambahan pohon per hektar pada kelas diameter terkecil pengukuran selama periode waktu tertentu (2 tahun)
Mortalitas : banyaknya pohon yang mati pada satuan luas per hektar dalam periode waktu tertentu (2 tahun)
PPB : Pembebasan berdasarkan persaingan tajuk terhadap pohon binaan yaitu mematikan pohon jenis non komersial yang berdiameter ≥20 cm, yang merupakan penyaing di sekitar pohon jenis komersial (radius ±10 m). Sedangkan pohon non komersial berdiameter ≥40 cm dipertahankan. Pembebasan dilakukan dengan peracunan menggunakan Garlon/DMA dengan maksimal 35% dari total luas bidang dasar
PS : Pembebasan tegakan secara sistematis yang dilakukan pada semua pohon non komersial berdiameter ≥20 cm dengan dilakukan peracunan menggunakan Garlon/DMA. Rata-rata tegakan yang dimatikan tidak lebih dari 35% total luas bidang dasar.
RIL 50 : Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 50) yaitu pemungutan kayu dengan limit diameter 50 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta dilakukan pengawasan penebangan
RIL 60 : Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 60) yaitu pemungutan kayu dengan limit diameter 60 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta dilakukan pengawasan penebangan.
KKB : Keragaan karakteristik biometrik sebagai formulasi dan suatu pendekatan kuantitatif untuk penilaian pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan yang berbasis multi aspek
iv
DAFTAR ISTILAH
CNV : Penebangan konvensional (CNV) yaitu kegiatan penebangan dengan limit diameter 60 cm berdasarkan pengalaman para penebang
CTR : Plot tanpa perlakuan (kontrol)
Ingrowth : besarnya pertambahan pohon per hektar pada kelas diameter terkecil pengukuran selama periode waktu tertentu (2 tahun)
Mortalitas : banyaknya pohon yang mati pada satuan luas per hektar dalam periode waktu tertentu (2 tahun)
PPB : Pembebasan berdasarkan persaingan tajuk terhadap pohon binaan yaitu mematikan pohon jenis non komersial yang berdiameter ≥20 cm, yang merupakan penyaing di sekitar pohon jenis komersial (radius ±10 m). Sedangkan pohon non komersial berdiameter ≥40 cm dipertahankan. Pembebasan dilakukan dengan peracunan menggunakan Garlon/DMA dengan maksimal 35% dari total luas bidang dasar
PS : Pembebasan tegakan secara sistematis yang dilakukan pada semua pohon non komersial berdiameter ≥20 cm dengan dilakukan peracunan menggunakan Garlon/DMA. Rata-rata tegakan yang dimatikan tidak lebih dari 35% total luas bidang dasar.
RIL 50 : Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 50) yaitu pemungutan kayu dengan limit diameter 50 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta dilakukan pengawasan penebangan
RIL 60 : Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 60) yaitu pemungutan kayu dengan limit diameter 60 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta dilakukan pengawasan penebangan.
KKB : Keragaan karakteristik biometrik sebagai formulasi dan suatu pendekatan kuantitatif untuk penilaian pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan yang berbasis multi aspek
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
INTISARI ii
DAFTAR SINGKATAN iii
DAFTAR ISTILAH iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR TABEL xii
1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Kerangka Pikir 2
1.3. Ruang Lingkup, Tujuan dan Output 4
2 KEADAAN UMUM LOKASI 6
2.1. Risalah Plot STREK 6
2.2. Letak dan Aksesibiltas 8
2.3. Iklim dan Hidrologi 9
2.4. Topografi dan Kondisi Tanah 9
2.5. Vegetasi, Satwa dan Penutupan Lahan 10
2.6. Kondisi Sosial dan Ekonomi 11
2.7. Sarana dan Prasarana 12
3 DESAIN PLOT DAN KARAKTERISTIK DATA 13
3.1. Desain Plot STREK 13
3.2. Struktur dan Organisasi Data 16
3.3. Karakteristik Data 17
4 PENDEKATAN DAN KOMPONEN ANALISIS 19
4.1. Pendekatan Analisis Status Riset 19
4.2. Model Struktur Tegakan 20
4.3. Mortalitas dan Ingrowth 24
4.4. Riap Individu dan Tegakan 25
4.5. Analisis Kantitatif Ekologis 26
4.6. Formulasi Penilaian Pemulihan Tegakan Hutan 29
5 DINAMIKA STRUKTUR TEGAKAN 30
5.1. Tegakan Hutan Setelah Penebangan 31
5.2. Tegakan Hutan Setelah Pembebasan 35
5.3. Model Struktur Tegakan 39
6 MORTALITAS DAN ALIH TUMBUH (INGROWTH) 62
6.1. Mortalitas Tegakan 63
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
INTISARI ii
DAFTAR SINGKATAN iii
DAFTAR ISTILAH iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR TABEL xii
1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Kerangka Pikir 2
1.3. Ruang Lingkup, Tujuan dan Output 4
2 KEADAAN UMUM LOKASI 6
2.1. Risalah Plot STREK 6
2.2. Letak dan Aksesibiltas 8
2.3. Iklim dan Hidrologi 9
2.4. Topografi dan Kondisi Tanah 9
2.5. Vegetasi, Satwa dan Penutupan Lahan 10
2.6. Kondisi Sosial dan Ekonomi 11
2.7. Sarana dan Prasarana 12
3 DESAIN PLOT DAN KARAKTERISTIK DATA 13
3.1. Desain Plot STREK 13
3.2. Struktur dan Organisasi Data 16
3.3. Karakteristik Data 17
4 PENDEKATAN DAN KOMPONEN ANALISIS 19
4.1. Pendekatan Analisis Status Riset 19
4.2. Model Struktur Tegakan 20
4.3. Mortalitas dan Ingrowth 24
4.4. Riap Individu dan Tegakan 25
4.5. Analisis Kantitatif Ekologis 26
4.6. Formulasi Penilaian Pemulihan Tegakan Hutan 29
5 DINAMIKA STRUKTUR TEGAKAN 30
5.1. Tegakan Hutan Setelah Penebangan 31
5.2. Tegakan Hutan Setelah Pembebasan 35
5.3. Model Struktur Tegakan 39
6 MORTALITAS DAN ALIH TUMBUH (INGROWTH) 62
6.1. Mortalitas Tegakan 63
vi
DAFTAR ISI (lanjutan)
6.2. Alih Tumbuh (Ingrowth) Tegakan 71
6.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Mortalitas dan Ingrowth
78
7 RIAP PERIODIK TEGAKAN HUTAN 86
7.1. Riap Individu Periodik 87
7.2. Riap Tegakan Periodik 93
7.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Riap Individu dan Tegakan
99
8 DIMENSI KUANTITATIF EKOLOGI TEGAKAN 110
8.1. Komposisi Jenis 111
8.2. Indeks Nilai Penting Jenis 114
8.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kelimpahan Jenis (N1) 123
8.4. Indeks Kekayaan Jenis Margaleff (R1) 126
8.5. Indeks Kemerataan Jenis Pielou J ‘ (E) 127
8.6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) 129
8.7. Pola Sebaran Spasial Kelompok Jenis (IM) 130
9 FORMULASI PENILAIAN PEMULIHAN TEGAKAN 134
9.1. Keragaan Karakteristik Biometrik (KKB) 134
9.2. Formulasi Penilaian Pemulihan 136
9.3. Komponen Utama Penilaian Pemulihan 141
10 PENUTUP 143
DAFTAR PUSTAKA 145
vi
DAFTAR ISI (lanjutan)
6.2. Alih Tumbuh (Ingrowth) Tegakan 71
6.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Mortalitas dan Ingrowth
78
7 RIAP PERIODIK TEGAKAN HUTAN 86
7.1. Riap Individu Periodik 87
7.2. Riap Tegakan Periodik 93
7.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Riap Individu dan Tegakan
99
8 DIMENSI KUANTITATIF EKOLOGI TEGAKAN 110
8.1. Komposisi Jenis 111
8.2. Indeks Nilai Penting Jenis 114
8.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kelimpahan Jenis (N1) 123
8.4. Indeks Kekayaan Jenis Margaleff (R1) 126
8.5. Indeks Kemerataan Jenis Pielou J ‘ (E) 127
8.6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) 129
8.7. Pola Sebaran Spasial Kelompok Jenis (IM) 130
9 FORMULASI PENILAIAN PEMULIHAN TEGAKAN 134
9.1. Keragaan Karakteristik Biometrik (KKB) 134
9.2. Formulasi Penilaian Pemulihan 136
9.3. Komponen Utama Penilaian Pemulihan 141
10 PENUTUP 143
DAFTAR PUSTAKA 145
vii
DAFTAR GAMBAR
1. Alur Pikir Penyusunan Status Riset 4
2. Lokasi KHDTK HP Labanan di Kalimantan Timur, Indonesia 7
3. Peta Situasi KHDTK HP Labanan 8
4. Distribusi Plot pada RKL-1 Plot STREK di Labanan 14
5. Distribusi Plot pada RKL-4 Plot STREK di Labanan 15
6. Desain plot penelitian permanen STREK 16
7. Pendekatan Analisis Status Riset Plot STREK 19
8. Kondisi tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk semua jenis berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1) 32
9. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 33
10. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 34
11. Kondisi tegakan dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1) 36
12. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 37
13. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 38
14. Perbandingan model struktur tegakan untuk semua jenis pada (a) RIL 50; (b) RIL 60; (c) penebangan konvensional dan (d) hutan primer 39
15. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 41
16. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 42
17. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 43
vii
DAFTAR GAMBAR
1. Alur Pikir Penyusunan Status Riset 4
2. Lokasi KHDTK HP Labanan di Kalimantan Timur, Indonesia 7
3. Peta Situasi KHDTK HP Labanan 8
4. Distribusi Plot pada RKL-1 Plot STREK di Labanan 14
5. Distribusi Plot pada RKL-4 Plot STREK di Labanan 15
6. Desain plot penelitian permanen STREK 16
7. Pendekatan Analisis Status Riset Plot STREK 19
8. Kondisi tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk semua jenis berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1) 32
9. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 33
10. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 34
11. Kondisi tegakan dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1) 36
12. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 37
13. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 38
14. Perbandingan model struktur tegakan untuk semua jenis pada (a) RIL 50; (b) RIL 60; (c) penebangan konvensional dan (d) hutan primer 39
15. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 41
16. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 42
17. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 43
viii
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
18. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 44
19. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 45
20. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 46
21. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 47
22. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 48
23. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 49
24 Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 50
25. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 51
26. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 52
27 Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 53
28. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 54
viii
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
18. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 44
19. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 45
20. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 46
21. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 47
22. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 48
23. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 49
24 Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 50
25. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 51
26. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 52
27 Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 53
28. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 54
ix
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
29. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 55
30. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 55
31. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 56
32. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 56
33. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar tegakan berdasarkan kelompok jenis 59
34. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar berdasakan kelompok jenis 60
35. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda 65
36. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 66
37. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 67
38. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 68
39. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 69
40. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda 72
ix
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
29. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 55
30. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 55
31. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 56
32. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 56
33. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar tegakan berdasarkan kelompok jenis 59
34. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar berdasakan kelompok jenis 60
35. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda 65
36. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 66
37. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 67
38. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 68
39. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 69
40. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda 72
x
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
41. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 73
42. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 74
43. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 75
44. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 76
45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 81
46. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan setelah pembebasan (HSP) dan kondisi kontrol (tanpa perlakuan) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 83
47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer 100
48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer 102
49. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol) 106
50. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol) 107
x
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
41. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 73
42. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 74
43. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 75
44. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 76
45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 81
46. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan setelah pembebasan (HSP) dan kondisi kontrol (tanpa perlakuan) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 83
47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer 100
48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer 102
49. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol) 106
50. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol) 107
xi
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
51. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik RIL 50 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 115
52 Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik RIL 60 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 116
53. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik konvensional pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 117
54. Sepuluh jenis dominan berdasarkan indeks nilai penting tertinggi pada hutan primer pada kondisi (a) awal pengukuran (b) 1 tahun pengukuran dan (c) 23 tahun pengukuran 118
55. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan sistematis pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan 120
56. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan berbasis pohon binaan pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan 121
57. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan pada kondisi (a) 11 tahun setelah penebangan (b) 13 tahun setelah penebangan dan (c) 35 tahun setelah pembebasan 122
58. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah penebangan 138
59. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan 140
60. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan 142
xi
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
51. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik RIL 50 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 115
52 Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik RIL 60 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 116
53. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik konvensional pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 117
54. Sepuluh jenis dominan berdasarkan indeks nilai penting tertinggi pada hutan primer pada kondisi (a) awal pengukuran (b) 1 tahun pengukuran dan (c) 23 tahun pengukuran 118
55. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan sistematis pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan 120
56. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan berbasis pohon binaan pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan 121
57. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan pada kondisi (a) 11 tahun setelah penebangan (b) 13 tahun setelah penebangan dan (c) 35 tahun setelah pembebasan 122
58. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah penebangan 138
59. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan 140
60. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan 142
xii
DAFTAR TABEL
1 . Kondisi dan sebaran kelas kelerengan di KHDTK Labanan 10 2. Jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan 10 3. Kondisi dan sebaran tutupan lahan di KHDTK HP Labanan
tahun 2014 11 4. Persentase penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar Labanan 12 5. Risalah Perlakuan Plot STREK 15 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK 17 7. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah
penebangan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 58
8. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 58
9. Risalah intensitas penebangan pada plot penelitian 64 10. Laju kematian (mortalitas) tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua
jenis 70 11. Laju ingrowth tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis 77 12. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah
penebangan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 79
13. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 80
14. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK untuk semua jenis 88
15. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae 89
16. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis non Dipterocarpaceae 89
17. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Shorea spp. 90
18. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea
91
19. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk semua jenis
94
xii
DAFTAR TABEL
1 . Kondisi dan sebaran kelas kelerengan di KHDTK Labanan 10 2. Jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan 10 3. Kondisi dan sebaran tutupan lahan di KHDTK HP Labanan
tahun 2014 11 4. Persentase penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar Labanan 12 5. Risalah Perlakuan Plot STREK 15 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK 17 7. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah
penebangan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 58
8. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 58
9. Risalah intensitas penebangan pada plot penelitian 64 10. Laju kematian (mortalitas) tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua
jenis 70 11. Laju ingrowth tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis 77 12. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah
penebangan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 79
13. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 80
14. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK untuk semua jenis 88
15. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae 89
16. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis non Dipterocarpaceae 89
17. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Shorea spp. 90
18. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea
91
19. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk semua jenis
94
xiii
DAFTAR TABEL (lanjutan)
20. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae 95
21. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae 96
22. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Shorea spp. 97
23. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea 98
24. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 100
25. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 102
26. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 104
27. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 105
28. Famili penyusun vegetasi tegakan hutan pada Plot STREK 111 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK 112 30. Rekapitulasi jumlah jenis pada plot STREK setelah penebangan
dan pembebasan 113
31. Indeks keanekaragaman jenis (H’) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan
124
32. Kelimpahan jumlah jenis (N1) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan
125
33. Indeks kekayaan jenis (R1) pada plot penelitian berdasarkan teknik penebangan dan teknik pembebasan
126
34. Indeks kemerataan jenis (E) pada plot STREK setelah penebangan dan setelah pembebasan 128
35. Indeks kesamaan komunitas (ISn) pada kondisi awal tegakan dan tegakan setelah penebangan dan pembebasan 129
36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK 130
xiii
DAFTAR TABEL (lanjutan)
20. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae 95
21. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae 96
22. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Shorea spp. 97
23. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea 98
24. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 100
25. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 102
26. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 104
27. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 105
28. Famili penyusun vegetasi tegakan hutan pada Plot STREK 111 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK 112 30. Rekapitulasi jumlah jenis pada plot STREK setelah penebangan
dan pembebasan 113
31. Indeks keanekaragaman jenis (H’) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan
124
32. Kelimpahan jumlah jenis (N1) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan
125
33. Indeks kekayaan jenis (R1) pada plot penelitian berdasarkan teknik penebangan dan teknik pembebasan
126
34. Indeks kemerataan jenis (E) pada plot STREK setelah penebangan dan setelah pembebasan 128
35. Indeks kesamaan komunitas (ISn) pada kondisi awal tegakan dan tegakan setelah penebangan dan pembebasan 129
36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK 130
xiv
DAFTAR TABEL (lanjutan)
37. Pola sebaran spasial kelompok jenis non Dipterocarpaceae pada plot STREK 131
38. Pola sebaran spasial kelompok jenis Shorea spp. pada plot STREK 132
39. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea pada plot STREK 132
40. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan 137
41. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah pembebasan 139
xiv
DAFTAR TABEL (lanjutan)
37. Pola sebaran spasial kelompok jenis non Dipterocarpaceae pada plot STREK 131
38. Pola sebaran spasial kelompok jenis Shorea spp. pada plot STREK 132
39. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea pada plot STREK 132
40. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan 137
41. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah pembebasan 139
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1.1.
Hutan hujan tropika dataran rendah merupakan hutan alam dengan karakteristik
tegakan yang khas dengan keragaman jenis yang terbesar di dunia (Richards 1964;
Whitmore 1990), tingkat perkembangan dan variasi dimensi tegakan (Prodan 1968). Tingkat
keragaman jenis suatu vegetasi merupakan hasil dari proses ekofisiologis yang dinamis yaitu
mempunyai korelasi dengan kondisi iklim setempat, kondisi hara, rentang toleransi jenis,
faktor biogeografi atau sebaran jenis dan variasi kondisi ekologi hutan (Lee et al. 2002).
Hutan tropika dataran rendah di Asia Tenggara didominasi oleh famili Dipterocarpaceae
sehingga sering disebut sebagai hutan Dipterocarpaceae campuran (Richards 1964; Whitmore
1990) atau hutan Dipterocarpaceae (Ashton 1982). Hutan Dipterocarpaceae campuran di wilayah
Malesia Barat merupakan tipe hutan tropis paling produktif berdasarkan nilai kayunya
(FAO 2001). Di Indonesia, famili Dipterocarpaceae mempunyai kontribusi terbesar (lebih dari
25%) sebagai kayu komersial hutan alam dengan volume antara 50-100 m3 ha-1 terutama
untuk wilayah hutan di Kalimantan (Nicholson1979; Pinard dan Putz 1996; Sist et al.1998
diacu dalam Sist et al. 2003).
Pengelolaan hutan hujan tropika yang sangat beragam memerlukan pengetahuan
dan keahlian tentang karakteristik dan dinamika tegakan hutan. Variasi karakteristik tegakan
akan menimbulkan tantangan dalam pengelolaan hutan hujan tropika sekaligus resiko yang
menyangkut segi teknis, produksi, ekonomi dan keseimbangan ekologis yang beragam
(Baker et al. 1987; Whitmore 1990). Kegiatan penebangan hutan menyebabkan penurunan
kuantitas famili Dipterocarpaceae, sehingga metode pengaturan hasil sangat penting untuk
kelestarian produksi maupun aspek konservasi. Ragam kondisi hutan primer dan hutan
bekas tebangan menunjukkan perbedaan struktur, komposisi jenis dan nilai potensi (Ishida
et al. 2005), serta variasi kerapatan tegakan, laju kematian (mortalitas) dan laju alih tumbuh
(ingrowth) (Lewis et al. 2004). Hutan bekas tebangan mempunyai variasi dalam struktur,
kerapatan tegakan, laju kematian dan laju ingrowth. Aspek-aspek tersebut merupakan
variabel input utama dalam berbagai analisis populasi tegakan hutan dan dalam
mendeskripsikan dinamika hutan tropis (Swaine et al. 1987; Hartshorn 1990; Phillips dan
Gentry 1994; Phillips et al. 1994; Phillips 1996; Phillips et al. 2004 diacu dalam Lewis et al.
2004). Pemulihan pertumbuhan tegakan hutan akan berjalan seiring waktu (Smith dan
Nichols 2005), dengan pertumbuhan tegakan yang beragam, sehingga lamanya waktu
pemulihan akan beragam, tergantung pada tingkat kerusakan hutan dan daya dukung
lingkungannya (Muhdin et al. 2008). Sistem tebang pilih yang diterapkan masih memberikan
pertimbangan yang minimal terhadap aspek ekologi terutama dalam perkembangan
regenerasi setelah penebangan (Sist et al. 2003).
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1.1.
Hutan hujan tropika dataran rendah merupakan hutan alam dengan karakteristik
tegakan yang khas dengan keragaman jenis yang terbesar di dunia (Richards 1964;
Whitmore 1990), tingkat perkembangan dan variasi dimensi tegakan (Prodan 1968). Tingkat
keragaman jenis suatu vegetasi merupakan hasil dari proses ekofisiologis yang dinamis yaitu
mempunyai korelasi dengan kondisi iklim setempat, kondisi hara, rentang toleransi jenis,
faktor biogeografi atau sebaran jenis dan variasi kondisi ekologi hutan (Lee et al. 2002).
Hutan tropika dataran rendah di Asia Tenggara didominasi oleh famili Dipterocarpaceae
sehingga sering disebut sebagai hutan Dipterocarpaceae campuran (Richards 1964; Whitmore
1990) atau hutan Dipterocarpaceae (Ashton 1982). Hutan Dipterocarpaceae campuran di wilayah
Malesia Barat merupakan tipe hutan tropis paling produktif berdasarkan nilai kayunya
(FAO 2001). Di Indonesia, famili Dipterocarpaceae mempunyai kontribusi terbesar (lebih dari
25%) sebagai kayu komersial hutan alam dengan volume antara 50-100 m3 ha-1 terutama
untuk wilayah hutan di Kalimantan (Nicholson1979; Pinard dan Putz 1996; Sist et al.1998
diacu dalam Sist et al. 2003).
Pengelolaan hutan hujan tropika yang sangat beragam memerlukan pengetahuan
dan keahlian tentang karakteristik dan dinamika tegakan hutan. Variasi karakteristik tegakan
akan menimbulkan tantangan dalam pengelolaan hutan hujan tropika sekaligus resiko yang
menyangkut segi teknis, produksi, ekonomi dan keseimbangan ekologis yang beragam
(Baker et al. 1987; Whitmore 1990). Kegiatan penebangan hutan menyebabkan penurunan
kuantitas famili Dipterocarpaceae, sehingga metode pengaturan hasil sangat penting untuk
kelestarian produksi maupun aspek konservasi. Ragam kondisi hutan primer dan hutan
bekas tebangan menunjukkan perbedaan struktur, komposisi jenis dan nilai potensi (Ishida
et al. 2005), serta variasi kerapatan tegakan, laju kematian (mortalitas) dan laju alih tumbuh
(ingrowth) (Lewis et al. 2004). Hutan bekas tebangan mempunyai variasi dalam struktur,
kerapatan tegakan, laju kematian dan laju ingrowth. Aspek-aspek tersebut merupakan
variabel input utama dalam berbagai analisis populasi tegakan hutan dan dalam
mendeskripsikan dinamika hutan tropis (Swaine et al. 1987; Hartshorn 1990; Phillips dan
Gentry 1994; Phillips et al. 1994; Phillips 1996; Phillips et al. 2004 diacu dalam Lewis et al.
2004). Pemulihan pertumbuhan tegakan hutan akan berjalan seiring waktu (Smith dan
Nichols 2005), dengan pertumbuhan tegakan yang beragam, sehingga lamanya waktu
pemulihan akan beragam, tergantung pada tingkat kerusakan hutan dan daya dukung
lingkungannya (Muhdin et al. 2008). Sistem tebang pilih yang diterapkan masih memberikan
pertimbangan yang minimal terhadap aspek ekologi terutama dalam perkembangan
regenerasi setelah penebangan (Sist et al. 2003).
2
Menurut Chertov et al. (2005), adanya paradigma baru dalam mencapai pengelolaan
hutan yang lestari membutuhkan prediksi pertumbuhan tegakan hutan yang efektif dengan
melibatkan aspek dinamika karakteristik ekologi. Salah satu pendekatan kuantitatif dalam
mempelajari kondisi pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan adalah dengan
tinjauan karakteristik biometrik. Prodan (1968) menyatakan bahwa karakteristik biometrik
hutan merupakan pendekatan kuantitatif yang mempelajari sifat atau ciri-ciri tegakan hutan
dalam ukuran (metrik) untuk suatu dimensi biologi spesifik sebagai identitas pengenal (skala
rasio dan interval). Dalam pengelolaan hutan terutama aspek perencanaan, model-model
kuantitatif diperlukan untuk meningkatkan nilai akurasi dan validitas dalam mencapai
pengelolaan yang berkelanjutan (Phillips et al. 2002). Penilaian kuantitatif berdasarkan
sampling floristik umumnya ditujukan dalam konteks perencanaan dan interpretasi
penelitian ekologi yang sangat penting dalam konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani
dan Parthasarathy 2006). Untuk menurunkan adanya gap antara kegiatan eksploitasi hutan
dan upaya konservasi yang diperlukan untuk hutan alam, maka diperlukan informasi yang
lebih banyak tentang biologi dan ekologi, sebagai dasar ilmiah dalam kebijakan manajemen
hutan yang efektif (Naito et al. 2008).
Pembangunan dan monitoring Plot STREK (Silvicultural Tehnique for the Regeneration
of Logged Over Forest in East Kalimantan) merupakan salah satu upaya untuk memperoleh
informasi karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah penebangan dengan berbagai
kondisi dan perlakuan sebagai input teknik silvikultur. Tujuan utama pada pembangunan
awal plot STREK adalah untuk memperoleh informasi teknik silvikultur dan aturan
pengelolaan hutan produksi yang sesuai dengan kondisi setempat maupun yang mempunyai
karakteristik sejenis sehingga pengelolaan hutan dapat direncanakan dengan baik dan lestari.
Rekomendasi yang dihasilkan dari tujuan tersebut adalah:
a) Memberikan kontribusi dalam evaluasi sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia);
b) Menilai dampak dari teknik Reduced Impact Logging terhadap tegakan hutan;
c) Evaluasi teknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi tegakan hutan setelah
penebangan dalam rangka peningkatan produktifitas hutan.
Manfaat yang telah diberikan berupa masukan dalam beberapa kebijakan teknis terkait
alternatif teknik silvikultur dari hasil penelitian maupun pengalaman teknis di lapangan.
Kerangka Pikir 1.2.
Sebagian besar penelitian awal dalam biometrik hutan terutama pemodelan
pertumbuhan hutan ditujukan pada hutan tanaman atau hutan temperate, yang tidak
mempunyai kompleksitas seperti pada hutan tropis (Vanclay 2003). Perkembangan
pemodelan dinamika hutan dalam berbagai studi kuantitatif sering mengalami hambatan
heterogenitas dan kompleksitas terhadap hutan itu sendiri (berupa keragaman tegakan dan
2
Menurut Chertov et al. (2005), adanya paradigma baru dalam mencapai pengelolaan
hutan yang lestari membutuhkan prediksi pertumbuhan tegakan hutan yang efektif dengan
melibatkan aspek dinamika karakteristik ekologi. Salah satu pendekatan kuantitatif dalam
mempelajari kondisi pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan adalah dengan
tinjauan karakteristik biometrik. Prodan (1968) menyatakan bahwa karakteristik biometrik
hutan merupakan pendekatan kuantitatif yang mempelajari sifat atau ciri-ciri tegakan hutan
dalam ukuran (metrik) untuk suatu dimensi biologi spesifik sebagai identitas pengenal (skala
rasio dan interval). Dalam pengelolaan hutan terutama aspek perencanaan, model-model
kuantitatif diperlukan untuk meningkatkan nilai akurasi dan validitas dalam mencapai
pengelolaan yang berkelanjutan (Phillips et al. 2002). Penilaian kuantitatif berdasarkan
sampling floristik umumnya ditujukan dalam konteks perencanaan dan interpretasi
penelitian ekologi yang sangat penting dalam konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani
dan Parthasarathy 2006). Untuk menurunkan adanya gap antara kegiatan eksploitasi hutan
dan upaya konservasi yang diperlukan untuk hutan alam, maka diperlukan informasi yang
lebih banyak tentang biologi dan ekologi, sebagai dasar ilmiah dalam kebijakan manajemen
hutan yang efektif (Naito et al. 2008).
Pembangunan dan monitoring Plot STREK (Silvicultural Tehnique for the Regeneration
of Logged Over Forest in East Kalimantan) merupakan salah satu upaya untuk memperoleh
informasi karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah penebangan dengan berbagai
kondisi dan perlakuan sebagai input teknik silvikultur. Tujuan utama pada pembangunan
awal plot STREK adalah untuk memperoleh informasi teknik silvikultur dan aturan
pengelolaan hutan produksi yang sesuai dengan kondisi setempat maupun yang mempunyai
karakteristik sejenis sehingga pengelolaan hutan dapat direncanakan dengan baik dan lestari.
Rekomendasi yang dihasilkan dari tujuan tersebut adalah:
a) Memberikan kontribusi dalam evaluasi sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia);
b) Menilai dampak dari teknik Reduced Impact Logging terhadap tegakan hutan;
c) Evaluasi teknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi tegakan hutan setelah
penebangan dalam rangka peningkatan produktifitas hutan.
Manfaat yang telah diberikan berupa masukan dalam beberapa kebijakan teknis terkait
alternatif teknik silvikultur dari hasil penelitian maupun pengalaman teknis di lapangan.
Kerangka Pikir 1.2.
Sebagian besar penelitian awal dalam biometrik hutan terutama pemodelan
pertumbuhan hutan ditujukan pada hutan tanaman atau hutan temperate, yang tidak
mempunyai kompleksitas seperti pada hutan tropis (Vanclay 2003). Perkembangan
pemodelan dinamika hutan dalam berbagai studi kuantitatif sering mengalami hambatan
heterogenitas dan kompleksitas terhadap hutan itu sendiri (berupa keragaman tegakan dan
3
variasi kondisi) dan keterbatasan atau ketiadaan data yang bersifat jangka panjang (Vanclay
1990, 1991, 1994a, Alder 1995, 1996, Gourlet-Fleury dan Houllier 2000 diacu dalam
Kariuki et al. 2006). Begitu pula dalam studi penilaian karakteristik dimensi tegakan dengan
pendekatan spasial menunjukkan kebutuhan memperoleh data pengamatan atau
pengukuran dengan waktu yang cukup lama untuk dapat memberikan valuasi yang lebih
tepat (Gullison dan Bourque 2001; Susilawati dan Jaya 2003; Mulyanto dan Jaya 2004).
Kegiatan pemantauan (monitoring) tegakan hutan dalam rangka penilaian pemulihan hutan,
menjadi sangat penting dalam mempelajari berbagai dimensi penting yang berperan secara
simultan dan komprehensif membentuk kondisi pemulihan tegakan hutan. Dalam
pemantauan dimensi tegakan hutan alam tanah kering pada plot permanen hasil kajian
menunjukkan bahwa periode optimal pengukuran adalah 2 tahun untuk tegakan yang
dipelihara dan 3 tahun untuk tegakan yang tanpa perlakuan (Suhendang 1997).
Kajian dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan (Phillips et al. 2002; Vanclay
2003; Bunyavejchewin et al. 2003; Gourlet-Fleury et al. 2005; Bischoff et al. 2005; Mex 2005;
Hardiansyah et al. 2005; Kariuki et al. 2006; Kurinobu et al. 2006; Muhdin 2012; Setiawan
2013) menunjukkan bahwa pengetahuan karakteristik biometrik tegakan hutan alam masih
bersifat parsial, baik pada aspek produktivitas maupun ekologi konservasinya. Dalam kajian
status riset ini mencakup berbagai dimensi kuantitatif tegakan secara bersama-sama meliputi
dimensi statis (nilai kuantitatif pada suatu waktu) dan dimensi dinamis (nilai kuantitatif yang
mendeskripsikan fungsi waktu) pada variasi kondisi tegakan hutan alam produksi
berdasarkan runtun waktu (time series).
Beberapa pertanyaan yang ingin dijawab pada kajian Plot STREK setelah dibangun
25 tahun adalah:
(1) Bagaimana laju pertumbuhan pada tegakan hutan alam setelah penebangan dengan
beberapa input perlakuan pemeliharaan tegakan dan teknik penebangan yang berbeda?
(2) Bagaimana dinamika pertumbuhan tegakan hutan alam setelah penebangan dalam hal
laju rekruitmen dan kematian (mortality)?
(3) Bagaimana dampak yang dialami tegakan sepanjang pemulihan tegakan setelah
penebangan dan seberapa cepat tegakan akan pulih?
(4) Apa saja karakteristik biometrik dimensi tegakan hutan yang bersifat statis maupun
dinamis yang dapat dipergunakan sebagai penciri untuk menggambarkan
kecenderungan arah perkembangan hutan setelah penebangan?
(5) Bagaimanakah rumusan variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan?
Pertanyaan-pertanyaan ini diharapkan dapat dijawab melalui monitoring plot dari waktu ke
waktu, dengan memberikan peluang adanya kajian aspek lainnya yang dapat dipelajari dari
data monitoring tegakan hutan alam pada plot STREK. Dalam alur kajian ini dimensi
tegakan yang dimaksud meliputi (a) dimensi statis tegakan yaitu nilai kuantitatif pada suatu
waktu yang meliputi: kerapatan tegakan, bidang dasar tegakan, indeks nilai penting jenis,
3
variasi kondisi) dan keterbatasan atau ketiadaan data yang bersifat jangka panjang (Vanclay
1990, 1991, 1994a, Alder 1995, 1996, Gourlet-Fleury dan Houllier 2000 diacu dalam
Kariuki et al. 2006). Begitu pula dalam studi penilaian karakteristik dimensi tegakan dengan
pendekatan spasial menunjukkan kebutuhan memperoleh data pengamatan atau
pengukuran dengan waktu yang cukup lama untuk dapat memberikan valuasi yang lebih
tepat (Gullison dan Bourque 2001; Susilawati dan Jaya 2003; Mulyanto dan Jaya 2004).
Kegiatan pemantauan (monitoring) tegakan hutan dalam rangka penilaian pemulihan hutan,
menjadi sangat penting dalam mempelajari berbagai dimensi penting yang berperan secara
simultan dan komprehensif membentuk kondisi pemulihan tegakan hutan. Dalam
pemantauan dimensi tegakan hutan alam tanah kering pada plot permanen hasil kajian
menunjukkan bahwa periode optimal pengukuran adalah 2 tahun untuk tegakan yang
dipelihara dan 3 tahun untuk tegakan yang tanpa perlakuan (Suhendang 1997).
Kajian dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan (Phillips et al. 2002; Vanclay
2003; Bunyavejchewin et al. 2003; Gourlet-Fleury et al. 2005; Bischoff et al. 2005; Mex 2005;
Hardiansyah et al. 2005; Kariuki et al. 2006; Kurinobu et al. 2006; Muhdin 2012; Setiawan
2013) menunjukkan bahwa pengetahuan karakteristik biometrik tegakan hutan alam masih
bersifat parsial, baik pada aspek produktivitas maupun ekologi konservasinya. Dalam kajian
status riset ini mencakup berbagai dimensi kuantitatif tegakan secara bersama-sama meliputi
dimensi statis (nilai kuantitatif pada suatu waktu) dan dimensi dinamis (nilai kuantitatif yang
mendeskripsikan fungsi waktu) pada variasi kondisi tegakan hutan alam produksi
berdasarkan runtun waktu (time series).
Beberapa pertanyaan yang ingin dijawab pada kajian Plot STREK setelah dibangun
25 tahun adalah:
(1) Bagaimana laju pertumbuhan pada tegakan hutan alam setelah penebangan dengan
beberapa input perlakuan pemeliharaan tegakan dan teknik penebangan yang berbeda?
(2) Bagaimana dinamika pertumbuhan tegakan hutan alam setelah penebangan dalam hal
laju rekruitmen dan kematian (mortality)?
(3) Bagaimana dampak yang dialami tegakan sepanjang pemulihan tegakan setelah
penebangan dan seberapa cepat tegakan akan pulih?
(4) Apa saja karakteristik biometrik dimensi tegakan hutan yang bersifat statis maupun
dinamis yang dapat dipergunakan sebagai penciri untuk menggambarkan
kecenderungan arah perkembangan hutan setelah penebangan?
(5) Bagaimanakah rumusan variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan?
Pertanyaan-pertanyaan ini diharapkan dapat dijawab melalui monitoring plot dari waktu ke
waktu, dengan memberikan peluang adanya kajian aspek lainnya yang dapat dipelajari dari
data monitoring tegakan hutan alam pada plot STREK. Dalam alur kajian ini dimensi
tegakan yang dimaksud meliputi (a) dimensi statis tegakan yaitu nilai kuantitatif pada suatu
waktu yang meliputi: kerapatan tegakan, bidang dasar tegakan, indeks nilai penting jenis,
4
indeks keanekaragaman jenis, tingkat kelimpahan, indeks kekayaan jenis, indeks kemerataan,
indeks kesamaan komunitas dan pola distribusi spasial jenis, dan (b) dimensi dinamis yaitu
nilai kuantitatif yang mendeskripsikan fungsi waktu yang meliputi: riap tegakan, tingkat
kematian/mortalitas dan ingrowth). Pengetahuan keragaan karakteristik biometrik hutan alam
setelah penebangan berdasarkan variasi kondisi tegakan di areal hutan alam produksi yaitu
variasi teknik penebangan dan variasi teknik pembebasan. Kerangka pikir dalam
penyusunan status riset ini disajikan pada gambar berikut.
Gambar 1. Alur Pikir Penyusunan Status Riset
Ruang Lingkup, Tujuan dan Output 1.3.
Ruang lingkup kajian plot STREK merupakan representasi areal hutan hujan
dataran rendah tanah kering bekas tebangan di wilayah Kalimantan khususnya yang
merupakan areal hutan alam produksi dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI). Tegakan hutan didominasi oleh pohon-pohon dari famili Dipterocarpaceae
yang sering pula disebut sebagai hutan dipterokarpa campuran dataran rendah (lowland mixed
dipterocarp forest). Data yang dikumpulkan dari plot sangat bermanfaat sebagai input dalam
penyusunan strategi dan alternatif pada pemilihan teknik silvikultur dan panjang rotasi
untuk pemanenan selanjutnya. Kebutuhan data dan informasi terkini mengenai dinamika
pertumbuhan tegakan hutan alam produksi setelah penebangan secara periodik dan jangka
panjang, menjadi sangat penting baik untuk tinjauan riset maupun kebijakan.
Data & Informasi
Ragam Hutan Perencanaan dan
Pengelolaaan Hutan
Hutan Alam Produksi
Karakteristik
Biometrik
- Ragam Kondisi Hutan
- Struktur, komposisi jenis, potensi,
mortalitas, ingrowth (Lewis et al.
2004; Ishida et al. 2005)
Pengelolaan Hutan
Lestari
Penyediaan Perangkat
Manajemen Kuantitatif
Dimensi Kuantitatif
(Statis & Dinamis)
4
indeks keanekaragaman jenis, tingkat kelimpahan, indeks kekayaan jenis, indeks kemerataan,
indeks kesamaan komunitas dan pola distribusi spasial jenis, dan (b) dimensi dinamis yaitu
nilai kuantitatif yang mendeskripsikan fungsi waktu yang meliputi: riap tegakan, tingkat
kematian/mortalitas dan ingrowth). Pengetahuan keragaan karakteristik biometrik hutan alam
setelah penebangan berdasarkan variasi kondisi tegakan di areal hutan alam produksi yaitu
variasi teknik penebangan dan variasi teknik pembebasan. Kerangka pikir dalam
penyusunan status riset ini disajikan pada gambar berikut.
Gambar 1. Alur Pikir Penyusunan Status Riset
Ruang Lingkup, Tujuan dan Output 1.3.
Ruang lingkup kajian plot STREK merupakan representasi areal hutan hujan
dataran rendah tanah kering bekas tebangan di wilayah Kalimantan khususnya yang
merupakan areal hutan alam produksi dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI). Tegakan hutan didominasi oleh pohon-pohon dari famili Dipterocarpaceae
yang sering pula disebut sebagai hutan dipterokarpa campuran dataran rendah (lowland mixed
dipterocarp forest). Data yang dikumpulkan dari plot sangat bermanfaat sebagai input dalam
penyusunan strategi dan alternatif pada pemilihan teknik silvikultur dan panjang rotasi
untuk pemanenan selanjutnya. Kebutuhan data dan informasi terkini mengenai dinamika
pertumbuhan tegakan hutan alam produksi setelah penebangan secara periodik dan jangka
panjang, menjadi sangat penting baik untuk tinjauan riset maupun kebijakan.
Data & Informasi
Ragam Hutan Perencanaan dan
Pengelolaaan Hutan
Hutan Alam Produksi
Karakteristik
Biometrik
- Ragam Kondisi Hutan
- Struktur, komposisi jenis, potensi,
mortalitas, ingrowth (Lewis et al.
2004; Ishida et al. 2005)
Pengelolaan Hutan
Lestari
Penyediaan Perangkat
Manajemen Kuantitatif
Dimensi Kuantitatif
(Statis & Dinamis)
5
Tujuan penyusunan buku dari kajian Plot STREK ini adalah untuk mendapatkan
gambaran fakta ilmiah dalam mengukur tingkat keterpulihan hutan alam setelah penebangan
menuju bentuk hutan alam primer (kondisi sebelum penebangan) dengan berbagai variasi
kondisi penebangan (sebagai representasi tingkat kerusakan) dan bentuk pembebasan
(sebagai representasi input teknik silvikultur pemeliharaan tegakan hutan). Beberapa
sasaran yang dicakup dalam kajian ini meliputi hal sebagai berikut:
1) Memperoleh bentuk karakteristik dimensi statis tegakan hutan alam setelah
penebangan berdasarkan runtun waktu (time series) yang mencakup: kerapatan tegakan,
dominansi jenis, keanekaragaman jenis tegakan, kekayaan atau kelimpahan jenis,
kemerataan, kesamaan dan pola sebaran spasial jenis tegakan.
2) Memperoleh karakteristik bentuk dimensi dinamis tegakan hutan alam stelah
penebangan berdasarkan runtun waktu (time series) mencakup: model struktur tegakan,
riap/increment individu periodik, riap bidang dasar tegakan periodik, tingkat
kematian/mortality dan alih tumbuh/ingrowth.
3) Memperoleh variabel penting dalam penilaian pemulihan tegakan hutan alam setelah
penebangan yang dapat menjelaskan kecenderungan arah perkembangan struktur
tegakan menuju ke arah kondisi tegakan awal sebelum penebangan.
Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi pemutakhiran informasi penting dalam
ilmu pengetahuan kehutanan yang mencakup pemantauan dan penilaian kondisi tegakan
hutan alam setelah penebangan ditinjau dari aspek produktivitas dan ekologi konservasi.
Sehingga dapat teridentifikasi bahan evaluasi pengelolaan hutan alam produksi yang
berhubungan dengan penilaian kemampuan tegakan hutan alam untuk pulih dan menjadi
bahan pertimbangan kebijakan teknis yang diterapkan dalam peningkatan produktivitas
hutan alam berupa teknik silvikultur yang diperlukan dalam rangka pengelolaan hutan alam
produksi lestari. Dan yang tidak kalah penting adalah upaya formulasi untuk redesain plot
STREK kedepan untuk memberikan kajian yang mempunyai nilai novelties bagi ilmu
pengetahuan dan mampu bernilai lebih implementatif bagi kebutuhan pengguna.
5
Tujuan penyusunan buku dari kajian Plot STREK ini adalah untuk mendapatkan
gambaran fakta ilmiah dalam mengukur tingkat keterpulihan hutan alam setelah penebangan
menuju bentuk hutan alam primer (kondisi sebelum penebangan) dengan berbagai variasi
kondisi penebangan (sebagai representasi tingkat kerusakan) dan bentuk pembebasan
(sebagai representasi input teknik silvikultur pemeliharaan tegakan hutan). Beberapa
sasaran yang dicakup dalam kajian ini meliputi hal sebagai berikut:
1) Memperoleh bentuk karakteristik dimensi statis tegakan hutan alam setelah
penebangan berdasarkan runtun waktu (time series) yang mencakup: kerapatan tegakan,
dominansi jenis, keanekaragaman jenis tegakan, kekayaan atau kelimpahan jenis,
kemerataan, kesamaan dan pola sebaran spasial jenis tegakan.
2) Memperoleh karakteristik bentuk dimensi dinamis tegakan hutan alam stelah
penebangan berdasarkan runtun waktu (time series) mencakup: model struktur tegakan,
riap/increment individu periodik, riap bidang dasar tegakan periodik, tingkat
kematian/mortality dan alih tumbuh/ingrowth.
3) Memperoleh variabel penting dalam penilaian pemulihan tegakan hutan alam setelah
penebangan yang dapat menjelaskan kecenderungan arah perkembangan struktur
tegakan menuju ke arah kondisi tegakan awal sebelum penebangan.
Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi pemutakhiran informasi penting dalam
ilmu pengetahuan kehutanan yang mencakup pemantauan dan penilaian kondisi tegakan
hutan alam setelah penebangan ditinjau dari aspek produktivitas dan ekologi konservasi.
Sehingga dapat teridentifikasi bahan evaluasi pengelolaan hutan alam produksi yang
berhubungan dengan penilaian kemampuan tegakan hutan alam untuk pulih dan menjadi
bahan pertimbangan kebijakan teknis yang diterapkan dalam peningkatan produktivitas
hutan alam berupa teknik silvikultur yang diperlukan dalam rangka pengelolaan hutan alam
produksi lestari. Dan yang tidak kalah penting adalah upaya formulasi untuk redesain plot
STREK kedepan untuk memberikan kajian yang mempunyai nilai novelties bagi ilmu
pengetahuan dan mampu bernilai lebih implementatif bagi kebutuhan pengguna.
BAB 2
KEADAAN
UMUM LOKASI
BAB 2
KEADAAN
UMUM LOKASI
6
2 KEADAAN UMUM LOKAS I
2. 1. Risalah Plot STREK
Plot STREK berada dalam kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) hutan
penelitian (HP) Labanan, yang merupakan kawasan hutan untuk tujuan utama penelitian
dan pengembangan (UU No 41 tahun 1999). Pembangunan KHDTK HP Labanan diawali
dengan berdirinya stasiun hutan penelitian Labanan yang semula merupakan areal konsesi
IUPHHKA PT. Inhutani I Unit Labanan. Stasiun hutan penelitian tersebut merupakan
hasil proyek kerja sama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, lembaga
The Centre de Coopération Internationale en Recherce Agronomique poue le Développement(CIRAD-
Forét) Perancis dan PT Inhutani I pada September 1989 yaitu dengan pembangunan plot
STREK (Silvicultural Tehnique for the Regeneration of Logged Over Forest in East Kalimantan). Pada
awal pembangunan hutan penelitian mempunyai luas areal ± 72 ha, beserta luas hutan
penyangga (buffer zone) seluas 700 ha.
Berdasarkan dokumen kesepakatan Konferensi International Tropical Forest Action
Program (TFAT) yang diadakan di Yogyakarta, dengan berakhirnya proyek kerjasama
tersebut pada tahun 1996 maka proyek kerjasama dilanjutkan oleh Berau Forest Manegement
Project (BFMP), Uni Eropa. Sesuai SK. Menteri Kehutanan Nomor: 866/Kpts-X/1999
menyatakan kerjasama dimulai sejak 1996-2002 dengan kesepakatan Ditjen Pengusahaan
Hutan ditunjuk sebagai executing agency, sedangkan Badan Litbang Kehutanan dan PT.
Inhutani I ditunjuk sebagai participating agencies dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Ruang
lingkup kegiatan bukan hanya pada plot STREK tetapi diperluas ke aspek sosial, ekonomi
dan ekologi, dengan luas areal proyek dikembangkan menjadi 147.691 ha. Berdasarkan Peta
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Kalimantan Timur yang merupakan
lampiran Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001,
kawasan hutan Labanan berfungsi sebagai Hutan Produksi tetap dan telah dibebani Ijin
Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) an. PT. Inhutani I Unit
Labanan yang bermitra kerja dengan Perusahaan Umum Daerah PT. Hutan Sanggam
Labanan Lestari.Kerja sama dengan BFMP berakhir pada bulan Juni 2002, yang kemudian
dilanjutkan oleh Berau Forest Bridging Project (BFBP) hingga Juni 2004. Sejak Juni 2004
hingga sekarang, pengelolaan dan monitoring plot STREK dilakukan oleh Badan Litbang
Kehutanan melalui Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (dulu: Balai Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Kalimantan).
Hutan Penelitian Labanan ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 121/Menhut-
II/2007 tanggal 2 April 2007 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap seluas ±
6
2 KEADAAN UMUM LOKAS I
2. 1. Risalah Plot STREK
Plot STREK berada dalam kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) hutan
penelitian (HP) Labanan, yang merupakan kawasan hutan untuk tujuan utama penelitian
dan pengembangan (UU No 41 tahun 1999). Pembangunan KHDTK HP Labanan diawali
dengan berdirinya stasiun hutan penelitian Labanan yang semula merupakan areal konsesi
IUPHHKA PT. Inhutani I Unit Labanan. Stasiun hutan penelitian tersebut merupakan
hasil proyek kerja sama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, lembaga
The Centre de Coopération Internationale en Recherce Agronomique poue le Développement(CIRAD-
Forét) Perancis dan PT Inhutani I pada September 1989 yaitu dengan pembangunan plot
STREK (Silvicultural Tehnique for the Regeneration of Logged Over Forest in East Kalimantan). Pada
awal pembangunan hutan penelitian mempunyai luas areal ± 72 ha, beserta luas hutan
penyangga (buffer zone) seluas 700 ha.
Berdasarkan dokumen kesepakatan Konferensi International Tropical Forest Action
Program (TFAT) yang diadakan di Yogyakarta, dengan berakhirnya proyek kerjasama
tersebut pada tahun 1996 maka proyek kerjasama dilanjutkan oleh Berau Forest Manegement
Project (BFMP), Uni Eropa. Sesuai SK. Menteri Kehutanan Nomor: 866/Kpts-X/1999
menyatakan kerjasama dimulai sejak 1996-2002 dengan kesepakatan Ditjen Pengusahaan
Hutan ditunjuk sebagai executing agency, sedangkan Badan Litbang Kehutanan dan PT.
Inhutani I ditunjuk sebagai participating agencies dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Ruang
lingkup kegiatan bukan hanya pada plot STREK tetapi diperluas ke aspek sosial, ekonomi
dan ekologi, dengan luas areal proyek dikembangkan menjadi 147.691 ha. Berdasarkan Peta
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Kalimantan Timur yang merupakan
lampiran Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001,
kawasan hutan Labanan berfungsi sebagai Hutan Produksi tetap dan telah dibebani Ijin
Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) an. PT. Inhutani I Unit
Labanan yang bermitra kerja dengan Perusahaan Umum Daerah PT. Hutan Sanggam
Labanan Lestari.Kerja sama dengan BFMP berakhir pada bulan Juni 2002, yang kemudian
dilanjutkan oleh Berau Forest Bridging Project (BFBP) hingga Juni 2004. Sejak Juni 2004
hingga sekarang, pengelolaan dan monitoring plot STREK dilakukan oleh Badan Litbang
Kehutanan melalui Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (dulu: Balai Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Kalimantan).
Hutan Penelitian Labanan ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 121/Menhut-
II/2007 tanggal 2 April 2007 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap seluas ±
7
7.900 ha di Kabupaten Berau Propinsi Kalimantan Timur. Penataan batas di lapangan telah
dilakukan dan penandatangananBerita Acara Tata Batas dilakukan oleh Panitia Tata Batas
Kawasan Hutan Kabupaten Berau yang tertuang dalam Keputusan Bupati Berau Nomor
407/2007 tanggal 27 Agustus 2007 seluas 7.959,10 ha (sebagaimana Berita Acara Tata Batas
tanggal 25 Agustus 2009). Selanjutnya pemantapan kawasan melalui Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: SK. 64/Menhut-II/2012 tanggal 3 Februari 2012 tentang Penetapan
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian Labanan yang terletak di
Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur seluas 7.959,10 Hektar. Pengelolaan
KHDTK HP Labanan diserahkan kepada Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD)
sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan Nomor: SK.
90/Kpts/VIII/2007 pada tanggal 25 Mei 2007. Hingga kini, KHDTK HP Labanan
merupakan KHDTK terluas yang dimiliki Badan Litbang dan Inovasi dengan karakteristik
hutan tropika basah dengan kondisi aksesibilitas yang cukup baik.
Gambar 2. Lokasi KHDTK HP Labanan di Kalimantan Timur, Indonesia
7
7.900 ha di Kabupaten Berau Propinsi Kalimantan Timur. Penataan batas di lapangan telah
dilakukan dan penandatangananBerita Acara Tata Batas dilakukan oleh Panitia Tata Batas
Kawasan Hutan Kabupaten Berau yang tertuang dalam Keputusan Bupati Berau Nomor
407/2007 tanggal 27 Agustus 2007 seluas 7.959,10 ha (sebagaimana Berita Acara Tata Batas
tanggal 25 Agustus 2009). Selanjutnya pemantapan kawasan melalui Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: SK. 64/Menhut-II/2012 tanggal 3 Februari 2012 tentang Penetapan
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian Labanan yang terletak di
Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur seluas 7.959,10 Hektar. Pengelolaan
KHDTK HP Labanan diserahkan kepada Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD)
sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan Nomor: SK.
90/Kpts/VIII/2007 pada tanggal 25 Mei 2007. Hingga kini, KHDTK HP Labanan
merupakan KHDTK terluas yang dimiliki Badan Litbang dan Inovasi dengan karakteristik
hutan tropika basah dengan kondisi aksesibilitas yang cukup baik.
Gambar 2. Lokasi KHDTK HP Labanan di Kalimantan Timur, Indonesia
8
2.2. Letak dan Aksesibilitas
Secara geografis, KHDTK HP Labanan terletak antara 117°10'22"-117°15'35"
Bujur Timur dan 1°52'43"-1°57'34" Lintang Utara. Berdasarkan wilayah administrasi
pemerintahan, terletak di Desa Labanan dalam wilayah Kabupaten Berau Provinsi
Kalimantan Timur. Di sebelah utara, barat dan selatan KHDTK HP Labanan berbatasan
dengan wilayah konsesi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Hutan
Sanggam Labanan Lestari dan sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kuasa
Pertambangan PT. Berau Coal. Berdasarkan wilayah administrasi Kecamatan, KHDTK HP
Labanan terletak di tiga wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sambaliung, Teluk Bayur dan
Segah. Sedangkan berdasarkan wilayah Daerah Aliran Sungai, kawasan KHDTK HP
Labanan termasuk ke dalam DAS Berau, Sub DAS Segah.
Kondisi aksesibilitas menuju lokasi berjarak ±51 km dari Tanjung Redeb (ibu kota
Kabupaten Berau). Jarak darat dari kota Samarinda ke Desa Labanan ± 500 km,
dimanamenuju kawasan dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu:
• Jalur darat : Samarinda – Labanan ditempuh dalam waktu ±14 jam.
• Jalur udara : BandaraTemindung (Samarinda) - Bandara Kalimarau (Tanjung Redeb) –
dilanjutkan jalan darat ke Hutan Penelitian Labanan kurang lebih ± 2 jam.
Gambar 3. Peta Situasi KHDTK HP Labanan
8
2.2. Letak dan Aksesibilitas
Secara geografis, KHDTK HP Labanan terletak antara 117°10'22"-117°15'35"
Bujur Timur dan 1°52'43"-1°57'34" Lintang Utara. Berdasarkan wilayah administrasi
pemerintahan, terletak di Desa Labanan dalam wilayah Kabupaten Berau Provinsi
Kalimantan Timur. Di sebelah utara, barat dan selatan KHDTK HP Labanan berbatasan
dengan wilayah konsesi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Hutan
Sanggam Labanan Lestari dan sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kuasa
Pertambangan PT. Berau Coal. Berdasarkan wilayah administrasi Kecamatan, KHDTK HP
Labanan terletak di tiga wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sambaliung, Teluk Bayur dan
Segah. Sedangkan berdasarkan wilayah Daerah Aliran Sungai, kawasan KHDTK HP
Labanan termasuk ke dalam DAS Berau, Sub DAS Segah.
Kondisi aksesibilitas menuju lokasi berjarak ±51 km dari Tanjung Redeb (ibu kota
Kabupaten Berau). Jarak darat dari kota Samarinda ke Desa Labanan ± 500 km,
dimanamenuju kawasan dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu:
• Jalur darat : Samarinda – Labanan ditempuh dalam waktu ±14 jam.
• Jalur udara : BandaraTemindung (Samarinda) - Bandara Kalimarau (Tanjung Redeb) –
dilanjutkan jalan darat ke Hutan Penelitian Labanan kurang lebih ± 2 jam.
Gambar 3. Peta Situasi KHDTK HP Labanan
9
2.3. Iklim dan Hidrologi
Berdasarkan Sistem Klasifikasi Iklim Schmidt dan Ferguson (1951), tipe iklim di
kawasan KHDTK Labanan tergolong tipe iklim B (Q = 14,3 - 33,3%). Berdasarkan data
curah hujan yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandara Kalimarau
(2005), rataan hujan bulanan berkisar antara 4,9 - 140,1 mm per bulan. Curah hujan
tahunannya adalah rata-rata 2.012 mm, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
pebruari sebesar 140.1 mm dan terendah pada bulan juni sebesar 4.9 mm. Rata-rata jumlah
hari hujan per tahun mencapai 161 hari atau rata-rata tiap bulan terjadi 13 hari hujan.
Jumlah hari hujan di bawah rata-rata biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September
(Bertault dan Kadir 1998). Jeluk hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Juni,
selanjutnya meningkat pada bulan-bulan berikutnya. Jeluk hujan tertinggi terjadi pada bulan
Pebruari yang merupakan kisaran akhir musim penghujan dan awal masa pancaroba.
Sebagian kecil (4%) kawasan Labanan yaitu dibagian Selatan memperoleh hujan yang
berkisar antara 2.500 - 3.000 mm/tahun (B2PD, 2010).
Suhu udara maksimum tertinggi 35 ˚C pada bulan September dan Nopember dan
terendah 33 ˚C pada bulan Januari, sedangkan suhu udara minimum tertinggi 22 ˚C pada
bulan Mei dan Juni dan minimum terendah 21 ˚C terjadi pada bulan Februari dan Agustus
dengan temperatur rata-rata 26 ºC. Kelembaban nisbi udara rata-rata bulanan umumnya
sebesar 77%. Kelembaban nisbi udara terendah adalah 75% pada bulan September dan
tertinggi 79% pada bulan Nopember dan Desember. Dengan kelembaban tahunan rata-
rata 91% dengan kisaran rata-rata bulanan antara 89-95% dan variasi sebesar 6% (Bertault
dan Kadir 1998).
Berdasarkan Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000 dengan penajaman pada kontur dan
morfologi sungai serta Peta RTRW Kabupaten Berau skala 1:50.000, maka dapat
diidentifikasi bahwa di KHDTK Hutan Penelitian Labanan termasuk di dalam wilayah
Daerah Aliran Sungai (DAS) Segah dan DAS Kelay. Adapun anak Sungai Segah yang cukup
besar adalah Sungai Siduung. Sementara itu sungai-sungai yangterdapat dilokasi KHDTK
Hutan Penelitian Labanan dan bermuara ke Sungai Kelay adalah Sungai Tumbit, Sungai But
dan Sungai Bawan (B2PD, 2010).
2.4. Topografi dan Kondisi Tanah
Areal hutan Labanan mempunyai kelerengan dari landai (0-8%) hingga curam
(> 45%) seperti pada Tabel 1. Secara umum mempunyai topografi yang cenderung
berbukit dengan ketinggian areal hingga 500 m dpl.
9
2.3. Iklim dan Hidrologi
Berdasarkan Sistem Klasifikasi Iklim Schmidt dan Ferguson (1951), tipe iklim di
kawasan KHDTK Labanan tergolong tipe iklim B (Q = 14,3 - 33,3%). Berdasarkan data
curah hujan yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandara Kalimarau
(2005), rataan hujan bulanan berkisar antara 4,9 - 140,1 mm per bulan. Curah hujan
tahunannya adalah rata-rata 2.012 mm, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
pebruari sebesar 140.1 mm dan terendah pada bulan juni sebesar 4.9 mm. Rata-rata jumlah
hari hujan per tahun mencapai 161 hari atau rata-rata tiap bulan terjadi 13 hari hujan.
Jumlah hari hujan di bawah rata-rata biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September
(Bertault dan Kadir 1998). Jeluk hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Juni,
selanjutnya meningkat pada bulan-bulan berikutnya. Jeluk hujan tertinggi terjadi pada bulan
Pebruari yang merupakan kisaran akhir musim penghujan dan awal masa pancaroba.
Sebagian kecil (4%) kawasan Labanan yaitu dibagian Selatan memperoleh hujan yang
berkisar antara 2.500 - 3.000 mm/tahun (B2PD, 2010).
Suhu udara maksimum tertinggi 35 ˚C pada bulan September dan Nopember dan
terendah 33 ˚C pada bulan Januari, sedangkan suhu udara minimum tertinggi 22 ˚C pada
bulan Mei dan Juni dan minimum terendah 21 ˚C terjadi pada bulan Februari dan Agustus
dengan temperatur rata-rata 26 ºC. Kelembaban nisbi udara rata-rata bulanan umumnya
sebesar 77%. Kelembaban nisbi udara terendah adalah 75% pada bulan September dan
tertinggi 79% pada bulan Nopember dan Desember. Dengan kelembaban tahunan rata-
rata 91% dengan kisaran rata-rata bulanan antara 89-95% dan variasi sebesar 6% (Bertault
dan Kadir 1998).
Berdasarkan Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000 dengan penajaman pada kontur dan
morfologi sungai serta Peta RTRW Kabupaten Berau skala 1:50.000, maka dapat
diidentifikasi bahwa di KHDTK Hutan Penelitian Labanan termasuk di dalam wilayah
Daerah Aliran Sungai (DAS) Segah dan DAS Kelay. Adapun anak Sungai Segah yang cukup
besar adalah Sungai Siduung. Sementara itu sungai-sungai yangterdapat dilokasi KHDTK
Hutan Penelitian Labanan dan bermuara ke Sungai Kelay adalah Sungai Tumbit, Sungai But
dan Sungai Bawan (B2PD, 2010).
2.4. Topografi dan Kondisi Tanah
Areal hutan Labanan mempunyai kelerengan dari landai (0-8%) hingga curam
(> 45%) seperti pada Tabel 1. Secara umum mempunyai topografi yang cenderung
berbukit dengan ketinggian areal hingga 500 m dpl.
10
Tabel 1. Kondisi dan sebaran kelas kelerengan di KHDTK Labanan
No Jenis kelas kelerengan
Keadaan Luas (ha) Persentase (%)
1 0-8% Datar sampai berombak 4 599.05 57.78
2 9-15% Bergelombang 2 729.23 34.29
3 16-25% Bergelombang sampai
berbukit
509.40 6.40
4 26-40% Berbukit terjal 112.36 1.41
5 > 40% Bergunung-gunung 9.06 0. 11
Terdapat dua jenis tanah di KHDTK Labanan, yaitu jenis Dystropepts dan
Tropudults dan termasuk dalam dua formasi geologi, yaitu formasi Birang dan Latih.
Batuan dasar berupa deposit alluvial (mudstone, silstone, sandstone dan gravel) dari batuan
induk Miocene dan Pliocene. Jenis tanah dalam kawasan meliputi Podsolik merah kuning,
latosol dan litosol (B2PD 2010).
Jenis tanah memiliki karakteristik tekstur lempung, lempung liat berpasir sampai
lempung berliat, dengan warna kuning kecoklatan dan struktur gumpal. Tanah ini
berkembang dari bahan induk batu pasir dan batu liat. Pengamatan pada profil tanah
pewakil bahwa jenis ini memiliki horizon penciri B argilik. Reaksi tanah jenis podsolik haplik
sangat masam dengan pH 4-4.5; KTK tanah rendah, kejenuhan basa rendah 12-18% dan
bahan organik rendah sehingga jenis tanah ini memiliki tingkat kesuburan rendah dan peka
terhadap erosi (Bertault dan Kadir 1998). Luasan dan persentase berdasarkan klasifikasi
jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan
No. Uraian Sub uraian Luas (ha) Persentase (%)
1. Jenis Tanah Dystropepts 5.374,90 67,53 Tropaquepts 2.584,20 32,47 2. Formasi Geologi Birang 1.280,54 16,09 Latih 6.678,56 83,91
2.5. Vegetasi, Satwa dan Penutupan Lahan
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan pada konsesi hutan Berau
menunjukan bahwa hutan tersebut mempunyai potensi yang cukup besar untuk jenis
komersial, terutama dari famili Dipterocarpaceae, sedangkan kehadiran jenis antar plot
pengamatan secara relatif tidak begitu berbeda. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan
jenis tersebut untuk mengembangbiakan diri, kondisi habitat, waktu serta faktor pembatas
(limiting factor) lainnya. Selain dari famili Dipterocarpaceae, jenis dominan antara lain Sapotaceae,
Meliaceae, Moraceae, Ebenaceae, Sapindaceae dan Leguminaceae (Bertault dan Kadir 1998).
10
Tabel 1. Kondisi dan sebaran kelas kelerengan di KHDTK Labanan
No Jenis kelas kelerengan
Keadaan Luas (ha) Persentase (%)
1 0-8% Datar sampai berombak 4 599.05 57.78
2 9-15% Bergelombang 2 729.23 34.29
3 16-25% Bergelombang sampai
berbukit
509.40 6.40
4 26-40% Berbukit terjal 112.36 1.41
5 > 40% Bergunung-gunung 9.06 0. 11
Terdapat dua jenis tanah di KHDTK Labanan, yaitu jenis Dystropepts dan
Tropudults dan termasuk dalam dua formasi geologi, yaitu formasi Birang dan Latih.
Batuan dasar berupa deposit alluvial (mudstone, silstone, sandstone dan gravel) dari batuan
induk Miocene dan Pliocene. Jenis tanah dalam kawasan meliputi Podsolik merah kuning,
latosol dan litosol (B2PD 2010).
Jenis tanah memiliki karakteristik tekstur lempung, lempung liat berpasir sampai
lempung berliat, dengan warna kuning kecoklatan dan struktur gumpal. Tanah ini
berkembang dari bahan induk batu pasir dan batu liat. Pengamatan pada profil tanah
pewakil bahwa jenis ini memiliki horizon penciri B argilik. Reaksi tanah jenis podsolik haplik
sangat masam dengan pH 4-4.5; KTK tanah rendah, kejenuhan basa rendah 12-18% dan
bahan organik rendah sehingga jenis tanah ini memiliki tingkat kesuburan rendah dan peka
terhadap erosi (Bertault dan Kadir 1998). Luasan dan persentase berdasarkan klasifikasi
jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan
No. Uraian Sub uraian Luas (ha) Persentase (%)
1. Jenis Tanah Dystropepts 5.374,90 67,53 Tropaquepts 2.584,20 32,47 2. Formasi Geologi Birang 1.280,54 16,09 Latih 6.678,56 83,91
2.5. Vegetasi, Satwa dan Penutupan Lahan
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan pada konsesi hutan Berau
menunjukan bahwa hutan tersebut mempunyai potensi yang cukup besar untuk jenis
komersial, terutama dari famili Dipterocarpaceae, sedangkan kehadiran jenis antar plot
pengamatan secara relatif tidak begitu berbeda. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan
jenis tersebut untuk mengembangbiakan diri, kondisi habitat, waktu serta faktor pembatas
(limiting factor) lainnya. Selain dari famili Dipterocarpaceae, jenis dominan antara lain Sapotaceae,
Meliaceae, Moraceae, Ebenaceae, Sapindaceae dan Leguminaceae (Bertault dan Kadir 1998).
11
Kondisi penutupan lahan pada areal hutan Labanan berupa hutan hujan tropika
dataran rendah yang dicirikan oleh famili Dipterocarpaceae yang didominasi jenis Shorea,
Dipterocarpus dan Vatica pada virgin forest (hutan primer). Famili lain yang banyak dijumpai
adalah Euphorbiaceae. Jenis-jenis pohon lindung antara lain Tengkawang (Shorea pinanga), Ulin
(Eusideroxylon zwagerii), Bangeris (Compasia excelsa), Jelutung (Dyera costulata) dan Durian
(Durio sp). Daerah lahan basah berupa hutan rawa hanya terdapat di sepnajang sungai
Segah dan Kelai sebagaian sungai Siduung. Daerah ini didominasi oleh jenis Perupuk
(Lophopetalum sp) dan Meranti rawa (Saridan dan Susanty 2005).
Jenis satwa yang masih dijumpai di kawasan KHDTK Hutan Penelitian Labanan
antara lain: Rusa (Cervus sp), Babi hutan (Sus barbatus), Burung Enggang (Buceros rhinoceros),
Burung Kwau (Argusianus argus), Burung Merak (Pawo Mutiacus) dan lainnya (B2PD, 2010)
Hasil interpretasi citra Landsat OLI 8 tahun 2014, tutupan lahan dapat
dikategorikan menjadi 4 kelas yaitu: kerapatan tinggi, kerapatan sedang, belukar dan lahan
terbuka. Dinamika perubahan kondisi dan sebaran tutupan lahan pada tahun 2014 (Susanty
et al. 2015) disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3. Kondisi dan sebaran tutupan lahan di KHDTK HP Labanan tahun 2014
No. Jenis Tutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
1. Belukar 165.0 2.1 2. Hutan Rawa 23.7 0.3 3. Hutan Sekunder Kerapatan Sedang 7742.0 97.3 4. Lahan Terbuka 3.7 0.0 5. Rawa 9.9 0.1 6. Semak/Alang-alang 13.6 0.2 Total 7959.1 100
2.6. Kondisi Sosial dan Ekonomi
Sebagian besar penduduk desa di sekitar hutan Labanan adalah warga transmigrasi
yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara
Barat dan masyarakat dayak lokal. Mata pencaharian umumnya bagi penduduk adalah
bertani (berladang berpindah), tetapi pemanfaatan lahan masih sangat rendah. Hal ini
disebabkan kurangnya kesuburan tanah sehingga setelah digarap pada tahun pertama
sampai tahun ketiga, hasilnya tidak mencapai seperti yang diharapkan. Akibatnya lahan
yang ditinggalkan menjadi lahan tidur, yang ditumbuhi oleh alang-alang dan semak (Susanty
et al. 2015). Selain kegiatan bertani atau berladang, masyarakat masih menyandarkan
hidupnya pada hutan untuk diambil manfaatnya baik kayu maupun non kayu, serta adanya
usaha peternakan.
11
Kondisi penutupan lahan pada areal hutan Labanan berupa hutan hujan tropika
dataran rendah yang dicirikan oleh famili Dipterocarpaceae yang didominasi jenis Shorea,
Dipterocarpus dan Vatica pada virgin forest (hutan primer). Famili lain yang banyak dijumpai
adalah Euphorbiaceae. Jenis-jenis pohon lindung antara lain Tengkawang (Shorea pinanga), Ulin
(Eusideroxylon zwagerii), Bangeris (Compasia excelsa), Jelutung (Dyera costulata) dan Durian
(Durio sp). Daerah lahan basah berupa hutan rawa hanya terdapat di sepnajang sungai
Segah dan Kelai sebagaian sungai Siduung. Daerah ini didominasi oleh jenis Perupuk
(Lophopetalum sp) dan Meranti rawa (Saridan dan Susanty 2005).
Jenis satwa yang masih dijumpai di kawasan KHDTK Hutan Penelitian Labanan
antara lain: Rusa (Cervus sp), Babi hutan (Sus barbatus), Burung Enggang (Buceros rhinoceros),
Burung Kwau (Argusianus argus), Burung Merak (Pawo Mutiacus) dan lainnya (B2PD, 2010)
Hasil interpretasi citra Landsat OLI 8 tahun 2014, tutupan lahan dapat
dikategorikan menjadi 4 kelas yaitu: kerapatan tinggi, kerapatan sedang, belukar dan lahan
terbuka. Dinamika perubahan kondisi dan sebaran tutupan lahan pada tahun 2014 (Susanty
et al. 2015) disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3. Kondisi dan sebaran tutupan lahan di KHDTK HP Labanan tahun 2014
No. Jenis Tutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
1. Belukar 165.0 2.1 2. Hutan Rawa 23.7 0.3 3. Hutan Sekunder Kerapatan Sedang 7742.0 97.3 4. Lahan Terbuka 3.7 0.0 5. Rawa 9.9 0.1 6. Semak/Alang-alang 13.6 0.2 Total 7959.1 100
2.6. Kondisi Sosial dan Ekonomi
Sebagian besar penduduk desa di sekitar hutan Labanan adalah warga transmigrasi
yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara
Barat dan masyarakat dayak lokal. Mata pencaharian umumnya bagi penduduk adalah
bertani (berladang berpindah), tetapi pemanfaatan lahan masih sangat rendah. Hal ini
disebabkan kurangnya kesuburan tanah sehingga setelah digarap pada tahun pertama
sampai tahun ketiga, hasilnya tidak mencapai seperti yang diharapkan. Akibatnya lahan
yang ditinggalkan menjadi lahan tidur, yang ditumbuhi oleh alang-alang dan semak (Susanty
et al. 2015). Selain kegiatan bertani atau berladang, masyarakat masih menyandarkan
hidupnya pada hutan untuk diambil manfaatnya baik kayu maupun non kayu, serta adanya
usaha peternakan.
12
Tabel 4. Persentase penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar Labanan
No. Penggunaan Lahan Persentase (%)
1. Padi sawah 15
2. Palawija 12
3. Padi ladang 21
4. Sayuran 10
5. Lahan tidur 42
2.7. Sarana dan Prasarana
Fasilitas yang memadai di lapangan untuk menunjang penelitian sangat diperlukan
mengingat lokasi KHDTK Labanan yang cukup jauh dari Tanjung Redeb (Ibukota
Kabupaten Berau). Fasilitas penelitian yang berada dekat dengan kawasan penelitian akan
membuat kegiatan penelitian berjalan lebih efektif dan efisien. Penyediaan dan peningkatan
sarana dan prasarana dalam rangka pengelolaan KHDTK HP Labanan yang optimal
meliputi: kantor penghubung di Tanjung redeb, koleksi herbarium, mess/rumah singgah,
persemaian, kendaraan bermotor (roda 2 dan 4) dan pemeliharaan jalan untuk kemudahan
aksesibilitas kegiatan penelitian.
12
Tabel 4. Persentase penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar Labanan
No. Penggunaan Lahan Persentase (%)
1. Padi sawah 15
2. Palawija 12
3. Padi ladang 21
4. Sayuran 10
5. Lahan tidur 42
2.7. Sarana dan Prasarana
Fasilitas yang memadai di lapangan untuk menunjang penelitian sangat diperlukan
mengingat lokasi KHDTK Labanan yang cukup jauh dari Tanjung Redeb (Ibukota
Kabupaten Berau). Fasilitas penelitian yang berada dekat dengan kawasan penelitian akan
membuat kegiatan penelitian berjalan lebih efektif dan efisien. Penyediaan dan peningkatan
sarana dan prasarana dalam rangka pengelolaan KHDTK HP Labanan yang optimal
meliputi: kantor penghubung di Tanjung redeb, koleksi herbarium, mess/rumah singgah,
persemaian, kendaraan bermotor (roda 2 dan 4) dan pemeliharaan jalan untuk kemudahan
aksesibilitas kegiatan penelitian.
BAB 3DESAIN PLOT DAN
KARAKTERISTIK DATA
BAB 3DESAIN PLOT DAN
KARAKTERISTIK DATA
13
3. DES AIN P LOT DAN KARAKTERIS TIK DATA
3.1. Desain Plot STREK
Pembangunan Plot STREK berada dalam kawasan hutan produksi sehingga desain
awal berada dalam blok Rencana Karya Lima tahunan (RKL) unit pengusahaan hutan.
Desain plot STREK berada dalam dua kegiatan utama yang terbagi dalam lokasi RKL–1
dengan total luas areal unit pengukuran 24 ha dan RKL-4 dengan total luas 48 ha.
Pembangunan plot STREK sebagai petak ukur permanen yang dipantau secara periodik
setiap 2 tahun, mempunyai tujuan awal yaitu untuk pengetahuan uji coba teknik silvikultur
dalam memperbaiki struktur tegakan hutan untuk mencapai produktivitas hutan yang
lestari. Pembangunan plot permanen dilakukan pada dua areal yang berbeda dengan 2 seri
perlakuan, yaitu uji coba teknik penebangan yang berbeda (kondisi awal berupa kawasan
hutan primer/RKL-4) dan uji coba teknik pembebasan yang berbeda (kondisi awal
merupakan areal bekas tebangan berumur 11 tahun/RKL-1).
Desain penelitian pada RKL-1, bertujuan untuk peningkatan pertumbuhan
kelompok jenis Dipterocarpaceae dan jenis kayu komersial lainnya melalui mengurangi
kompetisi antara jenis komersial dan non komersial. Metode pembebasan yaitu
menghilangkan/membuang jenis non komersial dengan teknik peracunan untuk
mengurangi kerusakan akibat tebangan. Ketentuan dasar dalam melakukan pembebasan
adalah bidang dasar yang dibuang kurang lebih 35 % dari total bidang dasar/ha dengan
pertimbangan nilai keanekaragaman hayati yang dimiliki tegakan hutan. Pertimbangan yang
tidak kalah penting adalah perlakuan yang diterapkan dapat dengan mudah diterapkan pada
areal yang luas. Risalah areal pada plot permanen STREK RKL-1 adalah merupakan areal
bekas tebangan berumur 11 tahun yang kemudian dibangun plot permanen penelitian
dengan kelompok perlakuan sebagai berikut :
a) Pembebasan tegakan secara sistematis (PS) yang dilakukan pada semua pohon non
komersial berdiameter ≥20 cm dengan dilakukan peracunan menggunakan
Garlon/DMA. Rata-rata tegakan yang dimatikan tidak lebih dari 35% total luas bidang
dasar.
b) Pembebasan berdasarkan persaingan tajuk terhadap pohon binaan (PPB) adalah
mematikan pohon jenis non komersial yang berdiameter ≥20 cm, yang merupakan
penyaing di sekitar pohon jenis komersial (radius ±10 m). Sedangkan pohon non
komersial berdiameter ≥40 cm dipertahankan. Pembebasan dilakukan dengan
peracunan menggunakan Garlon/DMA dengan maksimal 35% dari total luas bidang
dasar.
c) Plot tanpa perlakuan (kontrol).
13
3. DES AIN P LOT DAN KARAKTERIS TIK DATA
3.1. Desain Plot STREK
Pembangunan Plot STREK berada dalam kawasan hutan produksi sehingga desain
awal berada dalam blok Rencana Karya Lima tahunan (RKL) unit pengusahaan hutan.
Desain plot STREK berada dalam dua kegiatan utama yang terbagi dalam lokasi RKL–1
dengan total luas areal unit pengukuran 24 ha dan RKL-4 dengan total luas 48 ha.
Pembangunan plot STREK sebagai petak ukur permanen yang dipantau secara periodik
setiap 2 tahun, mempunyai tujuan awal yaitu untuk pengetahuan uji coba teknik silvikultur
dalam memperbaiki struktur tegakan hutan untuk mencapai produktivitas hutan yang
lestari. Pembangunan plot permanen dilakukan pada dua areal yang berbeda dengan 2 seri
perlakuan, yaitu uji coba teknik penebangan yang berbeda (kondisi awal berupa kawasan
hutan primer/RKL-4) dan uji coba teknik pembebasan yang berbeda (kondisi awal
merupakan areal bekas tebangan berumur 11 tahun/RKL-1).
Desain penelitian pada RKL-1, bertujuan untuk peningkatan pertumbuhan
kelompok jenis Dipterocarpaceae dan jenis kayu komersial lainnya melalui mengurangi
kompetisi antara jenis komersial dan non komersial. Metode pembebasan yaitu
menghilangkan/membuang jenis non komersial dengan teknik peracunan untuk
mengurangi kerusakan akibat tebangan. Ketentuan dasar dalam melakukan pembebasan
adalah bidang dasar yang dibuang kurang lebih 35 % dari total bidang dasar/ha dengan
pertimbangan nilai keanekaragaman hayati yang dimiliki tegakan hutan. Pertimbangan yang
tidak kalah penting adalah perlakuan yang diterapkan dapat dengan mudah diterapkan pada
areal yang luas. Risalah areal pada plot permanen STREK RKL-1 adalah merupakan areal
bekas tebangan berumur 11 tahun yang kemudian dibangun plot permanen penelitian
dengan kelompok perlakuan sebagai berikut :
a) Pembebasan tegakan secara sistematis (PS) yang dilakukan pada semua pohon non
komersial berdiameter ≥20 cm dengan dilakukan peracunan menggunakan
Garlon/DMA. Rata-rata tegakan yang dimatikan tidak lebih dari 35% total luas bidang
dasar.
b) Pembebasan berdasarkan persaingan tajuk terhadap pohon binaan (PPB) adalah
mematikan pohon jenis non komersial yang berdiameter ≥20 cm, yang merupakan
penyaing di sekitar pohon jenis komersial (radius ±10 m). Sedangkan pohon non
komersial berdiameter ≥40 cm dipertahankan. Pembebasan dilakukan dengan
peracunan menggunakan Garlon/DMA dengan maksimal 35% dari total luas bidang
dasar.
c) Plot tanpa perlakuan (kontrol).
14
Gambar 4. Distribusi Plot pada RKL-1 Plot STREK di Labanan
Desain penelitian pada RKL-4, bertujuan untuk membandingkan tingkat kerusakan
yang terjadi akibat teknik penebangan konvensional dan pemanenan ramah lingkungan
terhadap tegakan dan lingkungan hutan serta menilai penerapan teknik pemanenan ramah
lingkungan dalam skala operasional. Ketentuan dasar dalam desain penelitian ini adalah
pemanenan konvensional didasarkan pada pengalaman operator lapangan sedangkan
pemanenan ramah lingkungan didasarkan pada prinsip perencanaan jalan sarad, dan
pengawasan arah rebah dalam penebangan. Risalah areal plot permanen STREK RKL-4
adalah kondisi awal berupa hutan primer yang kemudian dibangun plot permanen dengan
perlakuan sebagai berikut:
a) Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 50): yaitu
pemungutan kayu dengan limit diameter 50 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada
tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta
dilakukan pengawasan penebangan.
b) Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 60): yaitu
pemungutan kayu dengan limit diameter 60 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada
tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta
dilakukan pengawasan penebangan.
c) Penebangan konvensional (CNV): yaitu kegiatan penebangan dengan limit diameter 60
cm berdasarkan pengalaman para penebang.
d) Hutan primer (kontrol).
14
Gambar 4. Distribusi Plot pada RKL-1 Plot STREK di Labanan
Desain penelitian pada RKL-4, bertujuan untuk membandingkan tingkat kerusakan
yang terjadi akibat teknik penebangan konvensional dan pemanenan ramah lingkungan
terhadap tegakan dan lingkungan hutan serta menilai penerapan teknik pemanenan ramah
lingkungan dalam skala operasional. Ketentuan dasar dalam desain penelitian ini adalah
pemanenan konvensional didasarkan pada pengalaman operator lapangan sedangkan
pemanenan ramah lingkungan didasarkan pada prinsip perencanaan jalan sarad, dan
pengawasan arah rebah dalam penebangan. Risalah areal plot permanen STREK RKL-4
adalah kondisi awal berupa hutan primer yang kemudian dibangun plot permanen dengan
perlakuan sebagai berikut:
a) Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 50): yaitu
pemungutan kayu dengan limit diameter 50 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada
tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta
dilakukan pengawasan penebangan.
b) Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 60): yaitu
pemungutan kayu dengan limit diameter 60 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada
tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta
dilakukan pengawasan penebangan.
c) Penebangan konvensional (CNV): yaitu kegiatan penebangan dengan limit diameter 60
cm berdasarkan pengalaman para penebang.
d) Hutan primer (kontrol).
15
Gambar 5. Distribusi Plot pada RKL-4 Plot STREK di Labanan
Tabel 5. Risalah Perlakuan Plot STREK
Plot
STREK
No. Plot Perlakuan
RKL-4 2, 3, 12 5, 6, 7 8, 9, 11 1, 4, 10
RIL 50 : Reduced Impact Logging dengan limit diameter 50 cm RIL 60 : Reduced Impact Logging dengan limit diameter 60 cm CNV : Penebangan konvensional dengan limit diameter 60 cm HP : Hutan primer (kontrol)
RKL-1 1, 6 2, 3 4, 5
PS : Pembebasan sistematis PPB : Pembebasan berbasis pohon binaan CTR : Tanpa perlakuan (kontrol)
Desain plot penelitian yang dibangun pada tahun 1989/1990, mempunyai bentuk
dan ukuran yang sama. Tiap plot berukuran 200 m x 200 m (4 ha) yang terbagi dalam 4
subplot dengan ukuran 100 m x 100 m (1 ha) yang disebut dengan square. Plot penelitian
STREK mencakup 7 variasi kondisi hutan alam dengan total 18 plot dan total luas unit
pengukuran adalah 72 ha.
15
Gambar 5. Distribusi Plot pada RKL-4 Plot STREK di Labanan
Tabel 5. Risalah Perlakuan Plot STREK
Plot
STREK
No. Plot Perlakuan
RKL-4 2, 3, 12 5, 6, 7 8, 9, 11 1, 4, 10
RIL 50 : Reduced Impact Logging dengan limit diameter 50 cm RIL 60 : Reduced Impact Logging dengan limit diameter 60 cm CNV : Penebangan konvensional dengan limit diameter 60 cm HP : Hutan primer (kontrol)
RKL-1 1, 6 2, 3 4, 5
PS : Pembebasan sistematis PPB : Pembebasan berbasis pohon binaan CTR : Tanpa perlakuan (kontrol)
Desain plot penelitian yang dibangun pada tahun 1989/1990, mempunyai bentuk
dan ukuran yang sama. Tiap plot berukuran 200 m x 200 m (4 ha) yang terbagi dalam 4
subplot dengan ukuran 100 m x 100 m (1 ha) yang disebut dengan square. Plot penelitian
STREK mencakup 7 variasi kondisi hutan alam dengan total 18 plot dan total luas unit
pengukuran adalah 72 ha.
16
Keterangan: Plot permanen berukuran 200 m x 200 m (4 ha) yang terbagi dalam
sub plot 100 m x 100 m (1 ha) dengan sub subplot berukuran 10 m x
10 m
Gambar 6. Desain plot penelitian permanen STREK
3.2. Struktur dan Organisasi Data
Pengumpulan data tegakan dilakukan berdasarkan kegiatan inventarisasi tegakan di
lapangan yang dilakukan secara sensus dalam plot penelitian untuk semua jenis pohon
dengan limit diameter 10 cm. Data yang dikumpulkan terbagi dalam dua bagian utama
yaitu :
(a) Tegakan tinggal meliputi data: nomor plot, nomor square, nomor pohon, nama jenis
pohon, keliling batang (setinggi dada 1.3 m atau 20 cm di atas banir), posisi dan bentuk
tajuk (Dawkins 1959 dalam Magurran 1988) serta kondisi pohon jika mati;
(b) Tegakan/pohon alih tumbuh (ingrowth) meliputi data: nomor plot, nomor square,
nomor pohon, nama jenis pohon, keliling batang (setinggi dada 1.3 m atau 20 cm di
atas banir), posisi dan bentuk tajuk (Dawkins 1959 dalam Magurran 1988) serta posisi
pohon dalam plot (x,y)
Monitoring dan pengukuran dilaksanakan secara periodik tiap dua tahun. Semua
data yang dikumpulkan dari lapangan dicatat dan dikelola dengan baik. Manajemen database
dimulai dari pengumpulan data dan informasi, pencatatan, dan disusun dalam bentuk file.
Sebelum data dianalisis, data perlu dicek tingkat akurasi dan validitasnya. Organisasi
database menggunakan program Visual FoxPro (Vfp), dengan mencakup tiga file utama
untuk menyimpan data yaitu :
200 m
PU 1
PU 2
PU 3
PU 4
PU 5 PU 6
PU 7
PU 8
PU 9
PU 10 PU 11
PU 12
PU 13
PU 14
PU 15 PU 16
PU 17
PU 18
PU 19
PU 20 PU 21
PU 22
PU 23
PU 24
PU 25
100 m
16
Keterangan: Plot permanen berukuran 200 m x 200 m (4 ha) yang terbagi dalam
sub plot 100 m x 100 m (1 ha) dengan sub subplot berukuran 10 m x
10 m
Gambar 6. Desain plot penelitian permanen STREK
3.2. Struktur dan Organisasi Data
Pengumpulan data tegakan dilakukan berdasarkan kegiatan inventarisasi tegakan di
lapangan yang dilakukan secara sensus dalam plot penelitian untuk semua jenis pohon
dengan limit diameter 10 cm. Data yang dikumpulkan terbagi dalam dua bagian utama
yaitu :
(a) Tegakan tinggal meliputi data: nomor plot, nomor square, nomor pohon, nama jenis
pohon, keliling batang (setinggi dada 1.3 m atau 20 cm di atas banir), posisi dan bentuk
tajuk (Dawkins 1959 dalam Magurran 1988) serta kondisi pohon jika mati;
(b) Tegakan/pohon alih tumbuh (ingrowth) meliputi data: nomor plot, nomor square,
nomor pohon, nama jenis pohon, keliling batang (setinggi dada 1.3 m atau 20 cm di
atas banir), posisi dan bentuk tajuk (Dawkins 1959 dalam Magurran 1988) serta posisi
pohon dalam plot (x,y)
Monitoring dan pengukuran dilaksanakan secara periodik tiap dua tahun. Semua
data yang dikumpulkan dari lapangan dicatat dan dikelola dengan baik. Manajemen database
dimulai dari pengumpulan data dan informasi, pencatatan, dan disusun dalam bentuk file.
Sebelum data dianalisis, data perlu dicek tingkat akurasi dan validitasnya. Organisasi
database menggunakan program Visual FoxPro (Vfp), dengan mencakup tiga file utama
untuk menyimpan data yaitu :
200 m
PU 1
PU 2
PU 3
PU 4
PU 5 PU 6
PU 7
PU 8
PU 9
PU 10 PU 11
PU 12
PU 13
PU 14
PU 15 PU 16
PU 17
PU 18
PU 19
PU 20 PU 21
PU 22
PU 23
PU 24
PU 25
100 m
17
• File yang pertama disebut SPECIE, memuat daftar jenis pohon yang diidentifikasi
dalam plot, termasuk pendugaan volumenya;
• File yang kedua disebut SITREE_P (File permanen) mencatat nama jenis dan
koordinat pohon pada masing-masing square. Setiap plot mempunyai File permanen
yang berbeda.
• File yang ketiga disebut SITREE_D (File dinamis), mencatat semua peubah yang
dikumpulkan selama pengukuran. Termasuk data keliling, kematian, ingrowth, posisi dan
bentuk tajuk.
3.3. Karakteristik Data
Hingga kini, telah tercatat dalam database STREK 49.959 pohon dengan diameter
10 cm keatas (meliputi 35.830 pohon hidup dan 14.129 pohon mati), dengan komposisi 671
spesies dalam 71 famili. Database ini salah satu data yang terlengkap dan yang terbesar serta
terpanjang periode pengukurannya di Indonesia. Oleh karena itu plot STREK tersebut
merupakan salah satu plot terbaik di dunia dengan ketersediaan data yang baik.
Berdasarkan klasifikasi kelompok jenis yang dicirikan oleh pola pertumbuhan dari
hasil kajian pada proyek STREK (Bertault dan Kadir 1998), maka identifikasi jenis dapat
dikelompokkan menjadi 7 kelompok jenis sebagai berikut :
Tabel 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK
No. Kelompok Jenis
Jumlah Jenis
Jenis
1 Meranti 33 Shorea pauciflora, Shorea semicuneata, Shorea smithiana, , Shorea symingtonii, Shorea xanthophylla, Shorea almon, Shorea angustifolia, Shorea faguetiana, Shorea hopeifolia, Shorea johorensis, Shorea lamellate, Shorea leprosula, etc.
2 Fast growing other
dipterocarps
13 Dryobalanops beccarii, Dryobalanops lanceolata, Hopea bracteata, Hopea cernua, Hopea dryobalanoides, Hopea mengarawan, Hopea nervosa, Hopea sangal, etc.
3 Slow growing other
dipterocarps
48 Anisoptera laevis, Cotylelobium melanoxylon, Dipterocarpus acutangulus, Dipterocarpus confertus, Dipterocarpus tempehes, Dipterocarpus verrucosus, Parashorea malaanonan, Parashorea smythiesii, Vatica nitens, Vatica rassak, etc
4 Non-dipterocarp
major commercials
34 Agathis borneensis, Eusideroxylon zwageri, Gluta renghas, Gluta wallichii, Intsia sp, Lophopetalum beccarianum, Lophopetalum javanicum, Madhuca borneensis, Madhuca valida, Palaquium beccarianum, Palaquium calophyllum, etc
17
• File yang pertama disebut SPECIE, memuat daftar jenis pohon yang diidentifikasi
dalam plot, termasuk pendugaan volumenya;
• File yang kedua disebut SITREE_P (File permanen) mencatat nama jenis dan
koordinat pohon pada masing-masing square. Setiap plot mempunyai File permanen
yang berbeda.
• File yang ketiga disebut SITREE_D (File dinamis), mencatat semua peubah yang
dikumpulkan selama pengukuran. Termasuk data keliling, kematian, ingrowth, posisi dan
bentuk tajuk.
3.3. Karakteristik Data
Hingga kini, telah tercatat dalam database STREK 49.959 pohon dengan diameter
10 cm keatas (meliputi 35.830 pohon hidup dan 14.129 pohon mati), dengan komposisi 671
spesies dalam 71 famili. Database ini salah satu data yang terlengkap dan yang terbesar serta
terpanjang periode pengukurannya di Indonesia. Oleh karena itu plot STREK tersebut
merupakan salah satu plot terbaik di dunia dengan ketersediaan data yang baik.
Berdasarkan klasifikasi kelompok jenis yang dicirikan oleh pola pertumbuhan dari
hasil kajian pada proyek STREK (Bertault dan Kadir 1998), maka identifikasi jenis dapat
dikelompokkan menjadi 7 kelompok jenis sebagai berikut :
Tabel 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK
No. Kelompok Jenis
Jumlah Jenis
Jenis
1 Meranti 33 Shorea pauciflora, Shorea semicuneata, Shorea smithiana, , Shorea symingtonii, Shorea xanthophylla, Shorea almon, Shorea angustifolia, Shorea faguetiana, Shorea hopeifolia, Shorea johorensis, Shorea lamellate, Shorea leprosula, etc.
2 Fast growing other
dipterocarps
13 Dryobalanops beccarii, Dryobalanops lanceolata, Hopea bracteata, Hopea cernua, Hopea dryobalanoides, Hopea mengarawan, Hopea nervosa, Hopea sangal, etc.
3 Slow growing other
dipterocarps
48 Anisoptera laevis, Cotylelobium melanoxylon, Dipterocarpus acutangulus, Dipterocarpus confertus, Dipterocarpus tempehes, Dipterocarpus verrucosus, Parashorea malaanonan, Parashorea smythiesii, Vatica nitens, Vatica rassak, etc
4 Non-dipterocarp
major commercials
34 Agathis borneensis, Eusideroxylon zwageri, Gluta renghas, Gluta wallichii, Intsia sp, Lophopetalum beccarianum, Lophopetalum javanicum, Madhuca borneensis, Madhuca valida, Palaquium beccarianum, Palaquium calophyllum, etc
18
Tabel 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK (Lanjutan)
5 Non-dipterocarp
minor commercials
55 Anthocephalus chinensis, Beilschmiedia argentea, Beilschmiedia dictyoneura, Calophyllum inophyllum, Canarium caudatum, Cinnamomum sp, Costanopsis fulva, Diospyros endertii, Diospyros ferruginescens, Diospyros frutescens, Litsea sp, Mezzettia leptopoda etc.
6 Protected 34 Artocarpus odoratissimus, Artocarpus sp, Artocarpus tamaran, Bombacaceae, Durio acutifolius, Dyera costulata, Dyera sp, Koompassia excelsa, Koompassia malaccensis, Nephelium cuspidatum, Nephelium maingayi, etc.
7 Non-commercials /unknown/
others
454 Adinandra borneensis, Aglaia eximia, Aglaia odoratissima, Aglaia polyandra, Aglaia sapindina, Aglaia shawiana, Irvingia sp, Ixora sp, Kailodepas sp, Kayea bornensis, Knema cinerea, Vitex pubescens, etc.
Pengukuran secara periodik pada setiap plot pada RKL-4 telah dilakukan sebanyak
11 kali pada setiap tahun genap yaitu 1990 (kondisi hutan primer), 1992 (1 tahun setelah
penebangan), 1994 (3 tahun setelah penebangan), 1996 (5 tahun setelah penebangan), 1998
(7 tahun setelah penebangan), 2000 (9 tahun setelah penebangan), 2002 (11 tahun setelah
penebangan), 2004 (13 tahun setelah penebangan), 2006 (15 tahun setelah penebangan),
2008 (17 tahun setelah penebangan) dan 2014 (23 tahun setelah penebangan). Sedangkan
pada plot RKL-1 telah dilakukan sebanyak 10 kali yaitu pada setiap tahun ganjil yaitu 1991
(kondisi awal tegakan 11 tahun setelah penebangan), 1993 (1 tahun setelah pembebasan),
1995 (3 tahun setelah pembebasan), 1997 (5 tahun setelah pembebasan), 1999 (7 tahun
setelah pembebasan), 2001 (9 tahun setelah pembebasan), 2003 (11 tahun setelah
pembebasan), 2005 (13 tahun setelah pembebasan), 2007 (15 tahun setelah pembebasan)
dan 2015 (23 tahun setelah pembebasan).
18
Tabel 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK (Lanjutan)
5 Non-dipterocarp
minor commercials
55 Anthocephalus chinensis, Beilschmiedia argentea, Beilschmiedia dictyoneura, Calophyllum inophyllum, Canarium caudatum, Cinnamomum sp, Costanopsis fulva, Diospyros endertii, Diospyros ferruginescens, Diospyros frutescens, Litsea sp, Mezzettia leptopoda etc.
6 Protected 34 Artocarpus odoratissimus, Artocarpus sp, Artocarpus tamaran, Bombacaceae, Durio acutifolius, Dyera costulata, Dyera sp, Koompassia excelsa, Koompassia malaccensis, Nephelium cuspidatum, Nephelium maingayi, etc.
7 Non-commercials /unknown/
others
454 Adinandra borneensis, Aglaia eximia, Aglaia odoratissima, Aglaia polyandra, Aglaia sapindina, Aglaia shawiana, Irvingia sp, Ixora sp, Kailodepas sp, Kayea bornensis, Knema cinerea, Vitex pubescens, etc.
Pengukuran secara periodik pada setiap plot pada RKL-4 telah dilakukan sebanyak
11 kali pada setiap tahun genap yaitu 1990 (kondisi hutan primer), 1992 (1 tahun setelah
penebangan), 1994 (3 tahun setelah penebangan), 1996 (5 tahun setelah penebangan), 1998
(7 tahun setelah penebangan), 2000 (9 tahun setelah penebangan), 2002 (11 tahun setelah
penebangan), 2004 (13 tahun setelah penebangan), 2006 (15 tahun setelah penebangan),
2008 (17 tahun setelah penebangan) dan 2014 (23 tahun setelah penebangan). Sedangkan
pada plot RKL-1 telah dilakukan sebanyak 10 kali yaitu pada setiap tahun ganjil yaitu 1991
(kondisi awal tegakan 11 tahun setelah penebangan), 1993 (1 tahun setelah pembebasan),
1995 (3 tahun setelah pembebasan), 1997 (5 tahun setelah pembebasan), 1999 (7 tahun
setelah pembebasan), 2001 (9 tahun setelah pembebasan), 2003 (11 tahun setelah
pembebasan), 2005 (13 tahun setelah pembebasan), 2007 (15 tahun setelah pembebasan)
dan 2015 (23 tahun setelah pembebasan).
BAB 4PENDEKATAN DAN
KOMPONEN ANALISIS
BAB 4PENDEKATAN DAN
KOMPONEN ANALISIS
19
4 PENDEKATAN DAN KOMPONEN ANALIS IS
4.1. Pendekatan Analisis Status Riset
Secara umum penyusunan status riset plot STREK disusun berdasarkan hasil
analisis data yang mencakup komponen karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah
penebangan dalam rangka penilaian pemulihan tegakan hutan, seperti disajikan pada bagan
berikut.
Gambar 7. Pendekatan Analisis Status Riset Plot STREK
19
4 PENDEKATAN DAN KOMPONEN ANALIS IS
4.1. Pendekatan Analisis Status Riset
Secara umum penyusunan status riset plot STREK disusun berdasarkan hasil
analisis data yang mencakup komponen karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah
penebangan dalam rangka penilaian pemulihan tegakan hutan, seperti disajikan pada bagan
berikut.
Gambar 7. Pendekatan Analisis Status Riset Plot STREK
20
Perangkat analisis data dilakukan dengan menggunakan program spreadsheet, Visual
FoxPro 6.0, MATLAB ver 7.7 dan SPSS Ver10. Variasi kondisi hutan alam yang dianalisis
meliputi hutan bekas penebangan (HBT), hutan bekas pembebasan (HBP/P) dan hutan
primer (HP). Pengolahan data awal dilakukan dengan mengelompokkan jenis kedalam
kelompok Dipterocarpaceae (pada beberapa analisis dibagi dalam kelompok jenis Shorea sp.
dan Dipterocarpaceae non Shorea) dan non Dipterocarpaceae, menggunakan beberapa rumus
dasar perhitungan berikut:
1) Kerapatan (density) tegakan tinggal dengan limit diameter 10 cm (per plot)
Kerapatan (phn/ha) = plot Luas
pohonJumlah
2) Diameter (d), diperoleh dari konversi keliling sebagai berikut:
d = Kllg / π dimana: d = diameter pohon (cm)
Kllg = keliling pohon (cm)
π = konstanta (3.1415) 3) Bidang dasar (BD), diperoleh dari persamaan luas lingkaran sebagai berikut:
BD = ¼ . π . d2 dimana: BD = bidang dasar pohon (cm2)
d = diameter pohon
π = konstanta (3.1415)
4.2. Model Struktur Tegakan
Metode penyusunan model struktur tegakan meliputi pemeriksaan data (data
exploratory), pemilihan model (model selection), pengujian keabsahan (model validation) dan
penerapan model (Suhendang 1985). Model famili sebaran yang dicobakan meliputi famili
sebaran eksponensial, gamma, lognormal dan weibull.
a) Pemilihan model
Pemilihan famili sebaran yang dianggap terbaik untuk kelompok jenis yang diuji
dilakukan dengan prosedur cara kemungkinan maksimum. Tiga tahapan dalam pemilihan
model yaitu: pendugaan titik bagi parameter famili sebaran, penentuan nilai fungsi
kemungkinan maksimum dan penentuan model yang terpilih, yaitu dengan memilih model
famili sebaran yang memiliki nilai fungsi kemungkinan tertinggi diantara famili sebaran yang
dicobakan, dilakukan dengan menggunakan prosedur pembentukan model struktur tegakan
seperti yang dilakukan oleh Suhendang (1985) dalam membuat struktur tegakan hutan alam
tropika di Bengkunat, sebagai berikut :
i) Famili Sebaran Eksponensial � Bentuk :
���� � ��� �� � ��/�����,~����
20
Perangkat analisis data dilakukan dengan menggunakan program spreadsheet, Visual
FoxPro 6.0, MATLAB ver 7.7 dan SPSS Ver10. Variasi kondisi hutan alam yang dianalisis
meliputi hutan bekas penebangan (HBT), hutan bekas pembebasan (HBP/P) dan hutan
primer (HP). Pengolahan data awal dilakukan dengan mengelompokkan jenis kedalam
kelompok Dipterocarpaceae (pada beberapa analisis dibagi dalam kelompok jenis Shorea sp.
dan Dipterocarpaceae non Shorea) dan non Dipterocarpaceae, menggunakan beberapa rumus
dasar perhitungan berikut:
1) Kerapatan (density) tegakan tinggal dengan limit diameter 10 cm (per plot)
Kerapatan (phn/ha) = plot Luas
pohonJumlah
2) Diameter (d), diperoleh dari konversi keliling sebagai berikut:
d = Kllg / π dimana: d = diameter pohon (cm)
Kllg = keliling pohon (cm)
π = konstanta (3.1415) 3) Bidang dasar (BD), diperoleh dari persamaan luas lingkaran sebagai berikut:
BD = ¼ . π . d2 dimana: BD = bidang dasar pohon (cm2)
d = diameter pohon
π = konstanta (3.1415)
4.2. Model Struktur Tegakan
Metode penyusunan model struktur tegakan meliputi pemeriksaan data (data
exploratory), pemilihan model (model selection), pengujian keabsahan (model validation) dan
penerapan model (Suhendang 1985). Model famili sebaran yang dicobakan meliputi famili
sebaran eksponensial, gamma, lognormal dan weibull.
a) Pemilihan model
Pemilihan famili sebaran yang dianggap terbaik untuk kelompok jenis yang diuji
dilakukan dengan prosedur cara kemungkinan maksimum. Tiga tahapan dalam pemilihan
model yaitu: pendugaan titik bagi parameter famili sebaran, penentuan nilai fungsi
kemungkinan maksimum dan penentuan model yang terpilih, yaitu dengan memilih model
famili sebaran yang memiliki nilai fungsi kemungkinan tertinggi diantara famili sebaran yang
dicobakan, dilakukan dengan menggunakan prosedur pembentukan model struktur tegakan
seperti yang dilakukan oleh Suhendang (1985) dalam membuat struktur tegakan hutan alam
tropika di Bengkunat, sebagai berikut :
i) Famili Sebaran Eksponensial � Bentuk :
���� � ��� �� � ��/�����,~����
21
( )n
ii=1
µ̂ = 1 n ln x∑
( ) ( )1 22n
ii=1
δ̂ = 1 n ln x -µ
∑
� Pendugaan titik parameter θ :
( )n
ii=1
ˆ 1θ = x = xn ∑
� Fungsi Kemungkinan maksimumnya adalah : Log L = -n log (eθ)
ii) Famili Sebaran Gamma
� Bentuk :
���� � ���������� �� �� ���� ���,~����
� Pendugaan titik parameter α dan β :
(1/Y) (0,5000876 + 0,164885Y – 0,0544274Y2);
untuk 0 < Y ≤ 0,5772 (1/Y) (17,79728 + 11,968477Y + Y2)-1
(8,898919 + 9,05995Y + 0,9775373Y2);
untuk 0,5772 < Y ≤ 17 dimana :
nx nii=1Y = ln 1nnxii=1
∑ ∑
ˆ ˆβ = x α
� Fungsi Kemungkinan maksimumnya adalah :
( )( ) ( ) ( )n n
i=1 i=1
αLog L = - n log β Γ α + α-1 log x - x / β log ei i∑ ∑
iii) Famili Sebaran Lognormal
� Bentuk :
���� � �1/!�"√2%&�� '�1/2�()��*+ ,- ���,~��
� Pendugaan titik parameter µ dan δ : dan
� Fungsi kemungkinan maksimumnya adalah :
α̂ =
2n n
ii=1 i=1
ln xi-µlog L = - n log δ 2π - log x - 1/2 log e
δ
∑ ∑
21
( )n
ii=1
µ̂ = 1 n ln x∑
( ) ( )1 22n
ii=1
δ̂ = 1 n ln x -µ
∑
� Pendugaan titik parameter θ :
( )n
ii=1
ˆ 1θ = x = xn ∑
� Fungsi Kemungkinan maksimumnya adalah : Log L = -n log (eθ)
ii) Famili Sebaran Gamma
� Bentuk :
���� � ���������� �� �� ���� ���,~����
� Pendugaan titik parameter α dan β :
(1/Y) (0,5000876 + 0,164885Y – 0,0544274Y2);
untuk 0 < Y ≤ 0,5772 (1/Y) (17,79728 + 11,968477Y + Y2)-1
(8,898919 + 9,05995Y + 0,9775373Y2);
untuk 0,5772 < Y ≤ 17 dimana :
nx nii=1Y = ln 1nnxii=1
∑ ∑
ˆ ˆβ = x α
� Fungsi Kemungkinan maksimumnya adalah :
( )( ) ( ) ( )n n
i=1 i=1
αLog L = - n log β Γ α + α-1 log x - x / β log ei i∑ ∑
iii) Famili Sebaran Lognormal
� Bentuk :
���� � �1/!�"√2%&�� '�1/2�()��*+ ,- ���,~��
� Pendugaan titik parameter µ dan δ : dan
� Fungsi kemungkinan maksimumnya adalah :
α̂ =
2n n
ii=1 i=1
ln xi-µlog L = - n log δ 2π - log x - 1/2 log e
δ
∑ ∑
22
iv) Famili Sebaran Weibull
� Bentuk :
���� � �.� ���
.�� �� /� ���0.���,~����
� Pendugaan titik parameter α dan γ adalah :
( )
n
ii=1
ˆ1 γγ
α̂ = 1 n x ∑
dan
( )( ) ( )i
n n n
i i ii=1 i=1 i=1
γ̂ = x ln x x - 1 n ln x ∑ ∑ ∑
� Fungsi kemungkinan maksimumnya adalah:
( ) ( ) ( ) ( )n nγ γ
i ii=1 i=1
log L = n log γ α + γ-1 log x - n γ-1 log α - 1α x log e∑ ∑
Setelah keempat model tersebut dicoba, dilakukan pemilihan model dengan
prosedur sebagai berikut: suatu model acak X1, X2, ………, Xn, yang diduga menyebar
berdasarkan famili ke i (fi), dengan ciri fungsi kemungkinan maksimum L (fi ; X), maka
prosedur pemilihan modelnya adalah dengan cara:
= maksimum (ln L (fi ; X)), i = 1, 2, 3, 4
maka X ~ Fj
≠ maksimum (ln L (fi ; X)), i = 1, 2, 3, 4
maka X ~ selain Fj
dimana Fj adalah famili sebaran ke j
Apabila setiap satuan percobaan (petak contoh) telah diperoleh famili sebarannya,
maka selanjutnya dilihat kecenderungannya dalam menerima famili sebaran lainnya.
Prosedur ini diterapkan untuk setiap kelompok jenis yang diteliti. Famili sebaran yang
terbaik adalah famili yang memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi. Jika
ditemukan kasus mayoritas satuan percobaan cenderung menerima famili sebaran ke m,
sedangkan satuan percobaan yang lain menerima famili sebaran ke (m+1), maka
permasalahan ini dapat diputuskan melalui nilai fungsi kemungkinan maksimumnya.
Misalnya famili sebaran yang terpilih adalah famili sebaran ke (m+1), sedangkan famili
sebaran ke m memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum kedua terbesar yang selisihnya
dengan nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi sangat kecil sehingga dapat diabaikan.
Dengan demikian famili sebaran ke m dapat diterima sebagai famili sebaran terbaik. Apabila
persyaratan ini tidak terpenuhi, maka famili sebaran yang terpilih tetap adalah famili sebaran
yang memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi.
ln L(fi ; X)
22
iv) Famili Sebaran Weibull
� Bentuk :
���� � �.� ���
.�� �� /� ���0.���,~����
� Pendugaan titik parameter α dan γ adalah :
( )
n
ii=1
ˆ1 γγ
α̂ = 1 n x ∑
dan
( )( ) ( )i
n n n
i i ii=1 i=1 i=1
γ̂ = x ln x x - 1 n ln x ∑ ∑ ∑
� Fungsi kemungkinan maksimumnya adalah:
( ) ( ) ( ) ( )n nγ γ
i ii=1 i=1
log L = n log γ α + γ-1 log x - n γ-1 log α - 1α x log e∑ ∑
Setelah keempat model tersebut dicoba, dilakukan pemilihan model dengan
prosedur sebagai berikut: suatu model acak X1, X2, ………, Xn, yang diduga menyebar
berdasarkan famili ke i (fi), dengan ciri fungsi kemungkinan maksimum L (fi ; X), maka
prosedur pemilihan modelnya adalah dengan cara:
= maksimum (ln L (fi ; X)), i = 1, 2, 3, 4
maka X ~ Fj
≠ maksimum (ln L (fi ; X)), i = 1, 2, 3, 4
maka X ~ selain Fj
dimana Fj adalah famili sebaran ke j
Apabila setiap satuan percobaan (petak contoh) telah diperoleh famili sebarannya,
maka selanjutnya dilihat kecenderungannya dalam menerima famili sebaran lainnya.
Prosedur ini diterapkan untuk setiap kelompok jenis yang diteliti. Famili sebaran yang
terbaik adalah famili yang memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi. Jika
ditemukan kasus mayoritas satuan percobaan cenderung menerima famili sebaran ke m,
sedangkan satuan percobaan yang lain menerima famili sebaran ke (m+1), maka
permasalahan ini dapat diputuskan melalui nilai fungsi kemungkinan maksimumnya.
Misalnya famili sebaran yang terpilih adalah famili sebaran ke (m+1), sedangkan famili
sebaran ke m memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum kedua terbesar yang selisihnya
dengan nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi sangat kecil sehingga dapat diabaikan.
Dengan demikian famili sebaran ke m dapat diterima sebagai famili sebaran terbaik. Apabila
persyaratan ini tidak terpenuhi, maka famili sebaran yang terpilih tetap adalah famili sebaran
yang memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi.
ln L(fi ; X)
23
b) Pengujian Keabsahan Model
Prosedur pengujian tingkat keabsahan model famili sebaran, dicobakan untuk
seluruh setiap kelompok jenis pohon yang diikutsertakan dalam penelitian ini dengan
berdasarkan data yang diperoleh dari petak ukur gabungan dari setiap petak contoh. Suatu
model dianggap memiliki tingkat keabsahan yang tinggi jika cukup fakta adanya konsistensi
penerimaan model tersebut, yaitu jika ia diterima oleh lebih dari 60% anggota populasi yang
diselidiki untuk kelompok jenis pohon yang sama.
c) Penerapan Model
Berdasarkan model yang terpilih kemudian diterapkan untuk menentukan kerapatan
tegakan dan luas bidang dasar tegakan.
1) Penentuan kerapatan tegakan
Jika N adalah total jumlah pohon per hektar, f(x) adalah fungsi kepekatan model
sebaran terpilih, x adalah diameter pohon (cm), maka jumlah pohon per hektar
dalam kelas diameter ke-i (Ni) dengan xi adalah nilai tengah kelas diameter ke-i
diformulasikan sebagai berikut :
2
-2
( ) i
i
kx
kix
N f x dx+
= ∫ pohon per hektar
dimana k = selang kelas diameter
2) Penentuan luas bidang dasar tegakan
Jika Ni adalah jumlah pohon dalam kelas diameter ke-i, yang dihitung dengan
menggunakan model sebaran terpilih, xi adalah titik tengah kelas diameter ke-i,
maka luas bidang dasar tegakan kelas diameter ke-i diformulasikan sebagai berikut:
( )2 4i i iG x Nπ= m2/ha
Penilaian karakteristik tegakan tinggal dilakukan dengan membandingkan variasi
kondisi hutan dengan menggunakan uji beda nilai rataan (uji t) dan analisis regresi.
Persamaan regresi yang dicobakan adalah persamaan linear, polinomial, eksponensial dan
logaritma.
Y = α + βX (Linear)
Y = α + β1X + β2X2 (Polinomial/kuadratik pangkat 2)
Y = α + β1X + β2X2 + β3X
3 (Polinomial/kuadratik pangkat 3)
Y = αе βX (Eksponensial)
Y = α + β logX (Logaritma)
Pemilihan model yang paling sesuai dilakukan dengan diagram scatter technique
berdasarkan nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) tertinggi dan nilai
standar eror (SE) terkecil (Steel dan Torrie 1995).
23
b) Pengujian Keabsahan Model
Prosedur pengujian tingkat keabsahan model famili sebaran, dicobakan untuk
seluruh setiap kelompok jenis pohon yang diikutsertakan dalam penelitian ini dengan
berdasarkan data yang diperoleh dari petak ukur gabungan dari setiap petak contoh. Suatu
model dianggap memiliki tingkat keabsahan yang tinggi jika cukup fakta adanya konsistensi
penerimaan model tersebut, yaitu jika ia diterima oleh lebih dari 60% anggota populasi yang
diselidiki untuk kelompok jenis pohon yang sama.
c) Penerapan Model
Berdasarkan model yang terpilih kemudian diterapkan untuk menentukan kerapatan
tegakan dan luas bidang dasar tegakan.
1) Penentuan kerapatan tegakan
Jika N adalah total jumlah pohon per hektar, f(x) adalah fungsi kepekatan model
sebaran terpilih, x adalah diameter pohon (cm), maka jumlah pohon per hektar
dalam kelas diameter ke-i (Ni) dengan xi adalah nilai tengah kelas diameter ke-i
diformulasikan sebagai berikut :
2
-2
( ) i
i
kx
kix
N f x dx+
= ∫ pohon per hektar
dimana k = selang kelas diameter
2) Penentuan luas bidang dasar tegakan
Jika Ni adalah jumlah pohon dalam kelas diameter ke-i, yang dihitung dengan
menggunakan model sebaran terpilih, xi adalah titik tengah kelas diameter ke-i,
maka luas bidang dasar tegakan kelas diameter ke-i diformulasikan sebagai berikut:
( )2 4i i iG x Nπ= m2/ha
Penilaian karakteristik tegakan tinggal dilakukan dengan membandingkan variasi
kondisi hutan dengan menggunakan uji beda nilai rataan (uji t) dan analisis regresi.
Persamaan regresi yang dicobakan adalah persamaan linear, polinomial, eksponensial dan
logaritma.
Y = α + βX (Linear)
Y = α + β1X + β2X2 (Polinomial/kuadratik pangkat 2)
Y = α + β1X + β2X2 + β3X
3 (Polinomial/kuadratik pangkat 3)
Y = αе βX (Eksponensial)
Y = α + β logX (Logaritma)
Pemilihan model yang paling sesuai dilakukan dengan diagram scatter technique
berdasarkan nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) tertinggi dan nilai
standar eror (SE) terkecil (Steel dan Torrie 1995).
24
4.3. Mortalitas dan Ingrowth
Perhitungan tingkat kematian (mortalitas) dan alih tumbuh (ingrowth) pada tegakan
hutan bekas tebangan (HBT) dilakukan setiap periode pengukuran 2 tahun berdasarkan
jumlah batang per satuan luas dan persentase terhadap kerapatan tegakan total.
1) Mortalitas
Mortalitas (kematian) adalah banyaknya pohon yang mati pada satuan luas per hektar
dalam periode waktu tertentu (2 tahun).
)(iM = t
tM i
∆
dimana:
M(i) = Mortalitas (pohon ha-1 2tahun-1) M(i)t = jumlah pohon yang mati pada selang waktu pengukuran
(pohon ha-1) t∆ = selang waktu pengukuran (2 tahun)
Laju mortalitas menunjukkan persentase kematian yang terjadi pada satuan luas tertentu
dalam periode waktu tertentu (% ha-1 2th-1)
Mr(i) = M(i)/Nt x 100%
dimana:
Mr(i) = Laju mortalitas (% ha-1 2tahun-1)
M(i) = Mortalitas (pohon ha-1 2tahun-1)
Nt = Kerapatan tegakan awal pengukuran
2) Ingrowth
Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya pertambahan pohon per hektar pada kelas
diameter terkecil pengukuran selama periode waktu tertentu (2 tahun).
)(iI = t
tI i
∆
dimana:
I(i) = ingrowth (pohon ha-1 2tahun-1) I(i)t = jumlah pohon yang masuk dalam kelas diameter terkecil
pada selang waktu pengukuran (pohon ha-1)
t∆ = selang waktu pengukuran (2 tahun)
Laju ingrowth menunjukkan persentase alih tumbuh tegakan yang terjadi pada satuan luas
tertentu dalam periode waktu tertentu (% ha-1 2tahun-1)
Ir(i) = I(i)/Nt x 100%
dimana:
Ir(i) = Laju ingrowth (% ha-1 2th-1)
I(i) = Ingrowth (pohon ha-1 2th-1)
Nt = Kerapatan tegakan awal pengukuran
24
4.3. Mortalitas dan Ingrowth
Perhitungan tingkat kematian (mortalitas) dan alih tumbuh (ingrowth) pada tegakan
hutan bekas tebangan (HBT) dilakukan setiap periode pengukuran 2 tahun berdasarkan
jumlah batang per satuan luas dan persentase terhadap kerapatan tegakan total.
1) Mortalitas
Mortalitas (kematian) adalah banyaknya pohon yang mati pada satuan luas per hektar
dalam periode waktu tertentu (2 tahun).
)(iM = t
tM i
∆
dimana:
M(i) = Mortalitas (pohon ha-1 2tahun-1) M(i)t = jumlah pohon yang mati pada selang waktu pengukuran
(pohon ha-1) t∆ = selang waktu pengukuran (2 tahun)
Laju mortalitas menunjukkan persentase kematian yang terjadi pada satuan luas tertentu
dalam periode waktu tertentu (% ha-1 2th-1)
Mr(i) = M(i)/Nt x 100%
dimana:
Mr(i) = Laju mortalitas (% ha-1 2tahun-1)
M(i) = Mortalitas (pohon ha-1 2tahun-1)
Nt = Kerapatan tegakan awal pengukuran
2) Ingrowth
Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya pertambahan pohon per hektar pada kelas
diameter terkecil pengukuran selama periode waktu tertentu (2 tahun).
)(iI = t
tI i
∆
dimana:
I(i) = ingrowth (pohon ha-1 2tahun-1) I(i)t = jumlah pohon yang masuk dalam kelas diameter terkecil
pada selang waktu pengukuran (pohon ha-1)
t∆ = selang waktu pengukuran (2 tahun)
Laju ingrowth menunjukkan persentase alih tumbuh tegakan yang terjadi pada satuan luas
tertentu dalam periode waktu tertentu (% ha-1 2tahun-1)
Ir(i) = I(i)/Nt x 100%
dimana:
Ir(i) = Laju ingrowth (% ha-1 2th-1)
I(i) = Ingrowth (pohon ha-1 2th-1)
Nt = Kerapatan tegakan awal pengukuran
25
Korelasi antar variable tegakan dan waktu pemulihan baik terhadap mortalitas maupun
ingrowth dilakukan dengan analisis regresi dengan diagram scatter technique (Steel dan Torrie
1995).
4.4. Riap Individu dan Tegakan
Perhitungan riap periodik (periodik annual increment/PAI) adalah
pertumbuhan/pertambahan dimensi pohon setiap periode 2 tahun, dengan pendekatan
rumus perhitungan (Loetsch et al. 1973; Husch et al. 2003) berikut:
PAI = Dimensi kumulatif periodik selama n tahun
n tahun
Perhitungan riap individu tegakan berdasarkan riap diameter rataan (cm 2th-1) dalam
kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan Dipterocarpaceae
non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada masing-masing kondisi tegakan hutan
setelah penebangan dan setelah pembebasan, berdasarkan selisih 2 pengukuran dimensi
diameter dengan periode pengukuran 2 tahun dengan persamaan berikut:
rdi = do – di
dimana: rdi = riap diameter pohon (cm 2th-1)
do = diameter pengukuran awal (cm)
di = diameter pengukuran berikutnya/setiap 2 tahun (cm)
Perhitungan riap tegakan berdasarkan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1)
dalam kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan
Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada masing-masing
kondisi tegakan hutan hutan setelah penebangan dan setelah pembebasan, berdasarkan
selisih 2 pengukuran dimensi luas bidang dasar tegakan dengan periode pengukuran 2 tahun
dengan persamaan berikut:
rBDi = bdo – bdi
dimana: rBDi = riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1)
bdo = bidang dasar tegakan pengukuran awal (m2 ha-1)
bdi = bidang dasar tegakan pengukuran berikutnya/setiap
2 tahun (m2 ha-1)
Analisis data tegakan dilakukan dengan menggunakan program spreadsheet untuk
masing-masing kelompok jenis. Penilaian riap individu dan riap tegakan dikelompokkan
dalam kelompok hutan bekas tebangan dengan teknik yang berbeda dan hutan bekas
tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda dengan menggunakan analisis varians
(anova). Persamaan riap disusun berdasarkan analisis regresi hubungan jangka waktu
pengukuran terhadap masing-masing riap dengan analisis regresi dengan metode diagram
scatter technique (Steel dan Torrie 1995).
25
Korelasi antar variable tegakan dan waktu pemulihan baik terhadap mortalitas maupun
ingrowth dilakukan dengan analisis regresi dengan diagram scatter technique (Steel dan Torrie
1995).
4.4. Riap Individu dan Tegakan
Perhitungan riap periodik (periodik annual increment/PAI) adalah
pertumbuhan/pertambahan dimensi pohon setiap periode 2 tahun, dengan pendekatan
rumus perhitungan (Loetsch et al. 1973; Husch et al. 2003) berikut:
PAI = Dimensi kumulatif periodik selama n tahun
n tahun
Perhitungan riap individu tegakan berdasarkan riap diameter rataan (cm 2th-1) dalam
kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan Dipterocarpaceae
non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada masing-masing kondisi tegakan hutan
setelah penebangan dan setelah pembebasan, berdasarkan selisih 2 pengukuran dimensi
diameter dengan periode pengukuran 2 tahun dengan persamaan berikut:
rdi = do – di
dimana: rdi = riap diameter pohon (cm 2th-1)
do = diameter pengukuran awal (cm)
di = diameter pengukuran berikutnya/setiap 2 tahun (cm)
Perhitungan riap tegakan berdasarkan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1)
dalam kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan
Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada masing-masing
kondisi tegakan hutan hutan setelah penebangan dan setelah pembebasan, berdasarkan
selisih 2 pengukuran dimensi luas bidang dasar tegakan dengan periode pengukuran 2 tahun
dengan persamaan berikut:
rBDi = bdo – bdi
dimana: rBDi = riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1)
bdo = bidang dasar tegakan pengukuran awal (m2 ha-1)
bdi = bidang dasar tegakan pengukuran berikutnya/setiap
2 tahun (m2 ha-1)
Analisis data tegakan dilakukan dengan menggunakan program spreadsheet untuk
masing-masing kelompok jenis. Penilaian riap individu dan riap tegakan dikelompokkan
dalam kelompok hutan bekas tebangan dengan teknik yang berbeda dan hutan bekas
tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda dengan menggunakan analisis varians
(anova). Persamaan riap disusun berdasarkan analisis regresi hubungan jangka waktu
pengukuran terhadap masing-masing riap dengan analisis regresi dengan metode diagram
scatter technique (Steel dan Torrie 1995).
26
4.5. Analisis Kuantitatif Ekologis
1) Indeks Nilai Penting Jenis (Species Important Value Index)
Komposisi floristik dan jenis-jenis yang dominan dihitung berdasarkan analisis Indeks
Nilai Penting (INP). INP adalah nilai penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR),
Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), dengan menggunakan rumus
dikemukakan oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) yang dijabarkan sebagai
berikut:
I N D EKS N I L AI PEN T I N G ( I N P) = KR + FR + D R
dimana:
KR = 12345464)74389:46:;2)8912345464)743892(:3:<;2)89 = 100%
FR = ?32@:2)9874389:46:;2)89?32@:2)98743892(:3:<;2)89 = 100%
DR = BCD8)4)9874389:46:;2)89BCD8)4)98743892(:3:<;2)89 = 100%
2) Indeks Keanekaragaman Jenis (Species Heterogenity Index)
Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H) dari suatu komunitas tegakan ditentukan
dengan menggunakan rumus Shanon dan Wiener dalam Krebs (1989) berikut:
H’ =
−∑= N
ni
N
nin
i
log1
dimana:
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu seluruh jenis
Selanjutnya dihitung jumlah kelimpahan species dengan rumus berikut:
N 1 = E H ’
dimana:
N1 = Jumlah kelimpahan species
e = 2.71828
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
Dengan membandingkan nilai-nilai indeks keanekaragaman jenis dari suatu vegetasi
hutan dapat diketahui tingkat stabilitasnya, dimana nilai indeks keanekaragaman jenis yang
lebih tinggi menunjukan tingkat stabilitas yang lebih tinggi pula pada vegetasi hutan
tersebut.
26
4.5. Analisis Kuantitatif Ekologis
1) Indeks Nilai Penting Jenis (Species Important Value Index)
Komposisi floristik dan jenis-jenis yang dominan dihitung berdasarkan analisis Indeks
Nilai Penting (INP). INP adalah nilai penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR),
Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), dengan menggunakan rumus
dikemukakan oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) yang dijabarkan sebagai
berikut:
I N D EKS N I L AI PEN T I N G ( I N P) = KR + FR + D R
dimana:
KR = 12345464)74389:46:;2)8912345464)743892(:3:<;2)89 = 100%
FR = ?32@:2)9874389:46:;2)89?32@:2)98743892(:3:<;2)89 = 100%
DR = BCD8)4)9874389:46:;2)89BCD8)4)98743892(:3:<;2)89 = 100%
2) Indeks Keanekaragaman Jenis (Species Heterogenity Index)
Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H) dari suatu komunitas tegakan ditentukan
dengan menggunakan rumus Shanon dan Wiener dalam Krebs (1989) berikut:
H’ =
−∑= N
ni
N
nin
i
log1
dimana:
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu seluruh jenis
Selanjutnya dihitung jumlah kelimpahan species dengan rumus berikut:
N 1 = E H ’
dimana:
N1 = Jumlah kelimpahan species
e = 2.71828
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
Dengan membandingkan nilai-nilai indeks keanekaragaman jenis dari suatu vegetasi
hutan dapat diketahui tingkat stabilitasnya, dimana nilai indeks keanekaragaman jenis yang
lebih tinggi menunjukan tingkat stabilitas yang lebih tinggi pula pada vegetasi hutan
tersebut.
27
3) Indeks Kekayaan Jenis (Richness) Margallef (R1)
Perhitungan Indeks kekayaan jenis dilakukan untuk menggambarkan kelimpahan jenis
dalam suatu komunitas yang ditentukan melalui persamaan (Magurran 1988) berikut:
R 1 = E�FGH�H�
dimana: R1 = Indeks Margallef S = Jumlah jenis n = Jumlah individu seluruh jenis
Kriteria kekayaan jenis adalah tinggi jika R1 > 5.0, sedang jika R1 berkisar antara 3.5 –
5.0 dan rendah jika R1 < 3.5 (Magurran 1988).
4) Indeks Kemerataan Jenis (Evenness) Pielou J’
Indeks kemerataan jenis menunjukkan tingkat kemerataan jumlah individu per
jenis/species dalam suatu komunitas, menggunakan rumus (Magurran 1988) berikut:
E = IJ
K)�L�
dimana: E = Indeks kemerataan H’= Indeks keanekaragaman S = Jumlah jenis
Makin besar nilai E maka komposisi jenis makin merata (tidak dominan pada satu jenis
tertentu). Kriteria kemerataan jenis adalah: tinggi jika nilai E > 0.6, sedang jika nilai E
berkisar antara 0.3-0.6 dan rendah jika nilai E < 0.3 (Magurran 1988).
5) Indeks Kesamaan Komunitas (Similarity Index)
Untuk mengetahui indeks kesamaan komunitas menggunakan rumus Sorensen dalam
Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) berikut:
IS = %100
2x
ba
w
+
dimana: IS = Indeks kesamaan komunitas
w = Nilai kuantitatif yang ≤ dari jenis yang sama dalam dua komunitas a dan b a = Nilai kuantitatif pada komunitas a b = Nilai kuantitatif pada komunitas b
27
3) Indeks Kekayaan Jenis (Richness) Margallef (R1)
Perhitungan Indeks kekayaan jenis dilakukan untuk menggambarkan kelimpahan jenis
dalam suatu komunitas yang ditentukan melalui persamaan (Magurran 1988) berikut:
R 1 = E�FGH�H�
dimana: R1 = Indeks Margallef S = Jumlah jenis n = Jumlah individu seluruh jenis
Kriteria kekayaan jenis adalah tinggi jika R1 > 5.0, sedang jika R1 berkisar antara 3.5 –
5.0 dan rendah jika R1 < 3.5 (Magurran 1988).
4) Indeks Kemerataan Jenis (Evenness) Pielou J’
Indeks kemerataan jenis menunjukkan tingkat kemerataan jumlah individu per
jenis/species dalam suatu komunitas, menggunakan rumus (Magurran 1988) berikut:
E = IJ
K)�L�
dimana: E = Indeks kemerataan H’= Indeks keanekaragaman S = Jumlah jenis
Makin besar nilai E maka komposisi jenis makin merata (tidak dominan pada satu jenis
tertentu). Kriteria kemerataan jenis adalah: tinggi jika nilai E > 0.6, sedang jika nilai E
berkisar antara 0.3-0.6 dan rendah jika nilai E < 0.3 (Magurran 1988).
5) Indeks Kesamaan Komunitas (Similarity Index)
Untuk mengetahui indeks kesamaan komunitas menggunakan rumus Sorensen dalam
Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) berikut:
IS = %100
2x
ba
w
+
dimana: IS = Indeks kesamaan komunitas
w = Nilai kuantitatif yang ≤ dari jenis yang sama dalam dua komunitas a dan b a = Nilai kuantitatif pada komunitas a b = Nilai kuantitatif pada komunitas b
28
Nilai kuantitatif yang digunakan adalah nilai kerapatan jumlah pohon dan luas bidang
dasar tegakan.
6) Pola Sebaran Spasial
Untuk mengetahui pola sebaran spasial kelompok jenis (Dipterocarpaceae dan non
Dipterocarpaceae) digunakan Indeks Morishita (Id) dalam Krebs (1989) dengan persamaan
sebagai berikut:
Id = ( )
∑−∑
∑−∑
x2x
x2xn
dimana:
Id = Indeks Morisita
n = Jumlah total sampel
x = Jumlah individu pada sampel ke-i
Selanjutnya dilakukan standarisasi Indeks Morishita (Ip) dengan rumus (Smith-Gill
1975 dalam Krebs 1989) sebagai berikut:
a) Menentukan Indeks Seragam (Uniform Indeks = Mu) dan Indeks Kelompok
(Clumped Indeks = Mc) dengan persamaan sebagai berikut:
Mu = ( ) 1
2975.
−+−
∑∑
i
i
x
xnχ
Mc = ( ) 1
2025.
−+−
∑∑
i
i
x
xnχ
dimana:
= Chi Square dua arah dengan selang kepercayaan 0.975 dengan
df (n-1)
n = Jumlah plot/subplot
xi = Jumlah individu per jenis dalam plot/subplot
b) Menghitung Ip dengan menentukan persamaan yang sesuai dengan hasil
perhitungan Id, Mu dan Mc dengan ketentuan berikut:
Jika Id ≥ Mc > 1.0 maka Ip = 0.5 + 0.5�MN�OPQ�OP
Jika Mc > Id ≥ 1.0 maka Ip = 0.5� MN��OP��
Jika 1.0 > Id > Mu maka Ip = -0.5� MN��OR��
Jika 1.0 > Mu > Id maka Ip = -0.5 + 0.5�MN�OROR
Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpceae dan non Dipterocarpceae dengan
kriteria: random jika Ip = 0; mengelompok (clumped) jika Ip > 0 dan teratur (uniform) jika
Ip < 0.
28
Nilai kuantitatif yang digunakan adalah nilai kerapatan jumlah pohon dan luas bidang
dasar tegakan.
6) Pola Sebaran Spasial
Untuk mengetahui pola sebaran spasial kelompok jenis (Dipterocarpaceae dan non
Dipterocarpaceae) digunakan Indeks Morishita (Id) dalam Krebs (1989) dengan persamaan
sebagai berikut:
Id = ( )
∑−∑
∑−∑
x2x
x2xn
dimana:
Id = Indeks Morisita
n = Jumlah total sampel
x = Jumlah individu pada sampel ke-i
Selanjutnya dilakukan standarisasi Indeks Morishita (Ip) dengan rumus (Smith-Gill
1975 dalam Krebs 1989) sebagai berikut:
a) Menentukan Indeks Seragam (Uniform Indeks = Mu) dan Indeks Kelompok
(Clumped Indeks = Mc) dengan persamaan sebagai berikut:
Mu = ( ) 1
2975.
−+−
∑∑
i
i
x
xnχ
Mc = ( ) 1
2025.
−+−
∑∑
i
i
x
xnχ
dimana:
= Chi Square dua arah dengan selang kepercayaan 0.975 dengan
df (n-1)
n = Jumlah plot/subplot
xi = Jumlah individu per jenis dalam plot/subplot
b) Menghitung Ip dengan menentukan persamaan yang sesuai dengan hasil
perhitungan Id, Mu dan Mc dengan ketentuan berikut:
Jika Id ≥ Mc > 1.0 maka Ip = 0.5 + 0.5�MN�OPQ�OP
Jika Mc > Id ≥ 1.0 maka Ip = 0.5� MN��OP��
Jika 1.0 > Id > Mu maka Ip = -0.5� MN��OR��
Jika 1.0 > Mu > Id maka Ip = -0.5 + 0.5�MN�OROR
Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpceae dan non Dipterocarpceae dengan
kriteria: random jika Ip = 0; mengelompok (clumped) jika Ip > 0 dan teratur (uniform) jika
Ip < 0.
29
4.6. Formulasi Penilaian Pemulihan Tegakan Hutan
Analisis variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan untuk
menilai pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan menggunakan pendekatan
Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) (Soemartini, 2008; Mattjik
dan Sumertajaya, 2011). Tidak ada batasan jelas untuk batas minimal persentase keragaman
yang mampu dijelaskan (Mattjik dan Sumertajaya, 2011). Dalam kajian ini dilakukan
berdasarkan koefisien keragaman minimal persentase kumulatif proporsi keragaman total
yang mampu dijelaskan >80% dan nilai eigenvalue >1. Formulasi yang disusun sebagai
berikut:
Y = ƒ Σ WiXi
dimana: Y = keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae Wi = bobot atau koefisien untuk variabel ke-i Xi = variabel ke-i (dimensi statis dan dinamis tegakan hutan /ha-1)
Untuk mencari faktor-faktor utama yang paling mempengaruhi variabel dependen
dari variabel dimensi statis dan dinamis pembentuk keragaan karakteristik biometrik
dilakukan dengan analisis faktor (Analysis Factor). Analisis faktor dilakukan untuk mereduksi
variable penyusun keragaan karakteristik penilai pemulihan tegakan hutan berdasarkan
koefisien korelasi. Analisis dilakukan menggunakan uji Bartlett’s Test of Sphericity dengan
nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin) >0.5 dan hasil perhitungan Measures of Sampling Adequacy
(msa) >0.6 (Timm, 2002; Mattjik dan Sumertajaya, 2011).
29
4.6. Formulasi Penilaian Pemulihan Tegakan Hutan
Analisis variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan untuk
menilai pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan menggunakan pendekatan
Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) (Soemartini, 2008; Mattjik
dan Sumertajaya, 2011). Tidak ada batasan jelas untuk batas minimal persentase keragaman
yang mampu dijelaskan (Mattjik dan Sumertajaya, 2011). Dalam kajian ini dilakukan
berdasarkan koefisien keragaman minimal persentase kumulatif proporsi keragaman total
yang mampu dijelaskan >80% dan nilai eigenvalue >1. Formulasi yang disusun sebagai
berikut:
Y = ƒ Σ WiXi
dimana: Y = keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae Wi = bobot atau koefisien untuk variabel ke-i Xi = variabel ke-i (dimensi statis dan dinamis tegakan hutan /ha-1)
Untuk mencari faktor-faktor utama yang paling mempengaruhi variabel dependen
dari variabel dimensi statis dan dinamis pembentuk keragaan karakteristik biometrik
dilakukan dengan analisis faktor (Analysis Factor). Analisis faktor dilakukan untuk mereduksi
variable penyusun keragaan karakteristik penilai pemulihan tegakan hutan berdasarkan
koefisien korelasi. Analisis dilakukan menggunakan uji Bartlett’s Test of Sphericity dengan
nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin) >0.5 dan hasil perhitungan Measures of Sampling Adequacy
(msa) >0.6 (Timm, 2002; Mattjik dan Sumertajaya, 2011).
BAB 5DINAMIKA
STRUKTUR TEGAKAN
BAB 5DINAMIKA
STRUKTUR TEGAKAN
30
5 DINAMIKA STRUKTUR TEGAKAN
Tegakan, hutan dataran rendah mempunyai bentuk struktur tegakan tidak seumur
(uneven aged stand) yang tersusun atas pohon-pohon dengan umur yang beragam (termasuk
jenis dan ukurannya) sehingga sulit mengenali kejelasan faktor umur secara individu atau
jenis (Husch et al. 2003). Struktur tegakan didefinisikan sebagai sebaran jumlah pohon per
satuan luas (pohon ha-1) dalam berbagai kelas diameternya (Meyer et al. 1961; UNESCO
1978; Ibie 1997), sedangkan Trunbull (1963) menggunakan istilah struktur tegakan hutan
untuk menerangkan menerangkan sebaran jumlah pohon dan luas bidang dasar per satuan
luas (pohon ha-1 dan m2 ha-1) pada berbagai kelas diameternya. Selanjutnya Richards (1964)
menerangkan struktur tegakan sebagai sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk
hutan. Oliver dan Larson (1990), menyatakan bahwa struktur tegakan sebagai keadaan
susunan tegakan berdasarkan sebaran kelas diameter dalam tingkatan (semai, pancang, tiang
dan pohon) serta lapisan tajuk dalam ruang tumbuh tegakan (vertikal dan harizontal).
Deskripsi struktur tegakan hutan seringkali digeneralisasi melalui komposisi jenis atau
klasifikasi ekologi (Stone dan Porter 1998; ANU 1999).
Dalam Suhendang (1985), diuraikan bahwa struktur tegakan hutan menyatakan
sebaran jumlah pohon pada berbagai kelas diameter. Dengan melihat bentuk struktur
tegakan yang dilukiskan dalam kurva de Lio Court atau kurva J terbalik (Davis dan Johnson
1987), menunjukkan faktor yang menentukan bentuk kurva tersebut adalah jumlah pohon,
dan sebaran kelas diameter, maka kerapatan tegakan merupakan faktor yang sangat penting
dalam mempengaruhi bagaimana struktur tegakan terbentuk. Daniel et al. (1979 diacu dalam
Suhendang 1990) mendefinisikan tegakan sebagai satuan lahan agak homogen yang dapat
dibedakan dengan jelas dari vegetasi disekitarnya oleh umur, komposisi, struktur, tempat
tumbuh atau geografi, sebagai satuan-satuan pengelolaan yang membentuk hutan.
Pertumbuhan masyarakat tumbuhan (termasuk pohon) sangat dipengaruhi oleh keadaan
tempat tumbuhnya, yaitu totalitas dari semua keadaan yang secara efektif berpengaruh
terhadap pertumbuhan masyarakat tumbuhan. Feng (1989) mengemukakan bahwa fungsi
yang digunakan untuk menggambarkan sebaran diameter antara lain adalah model
eksponensial atau model de Lio Court (Meyer 1952), gamma (Nelson 1964), lognormal (Bliss
dan Reinker 1964) dan Weibull (Bailey dan Dell 1973). Umumnya variable input struktur
diameter ditunjukkan dalam bentuk inventarisasi hutan klasik pada plot-plot sampling
(Gourlet-Fleury et al. 2005).
Pengetahuan model struktur tegakan sangat diperlukan untuk menjamin tingkat
keterandalan tertentu dalam keperluan pendugaan dimensi tegakan, dengan kelebihan
efisiensi dapat diterapkan secara luas dan memiliki akurasi tinggi (Prodan 1968). Data
mengenai dimensi tegakan sangat berguna dalam menyusun rencana pengelolaan hutan,
30
5 DINAMIKA STRUKTUR TEGAKAN
Tegakan, hutan dataran rendah mempunyai bentuk struktur tegakan tidak seumur
(uneven aged stand) yang tersusun atas pohon-pohon dengan umur yang beragam (termasuk
jenis dan ukurannya) sehingga sulit mengenali kejelasan faktor umur secara individu atau
jenis (Husch et al. 2003). Struktur tegakan didefinisikan sebagai sebaran jumlah pohon per
satuan luas (pohon ha-1) dalam berbagai kelas diameternya (Meyer et al. 1961; UNESCO
1978; Ibie 1997), sedangkan Trunbull (1963) menggunakan istilah struktur tegakan hutan
untuk menerangkan menerangkan sebaran jumlah pohon dan luas bidang dasar per satuan
luas (pohon ha-1 dan m2 ha-1) pada berbagai kelas diameternya. Selanjutnya Richards (1964)
menerangkan struktur tegakan sebagai sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk
hutan. Oliver dan Larson (1990), menyatakan bahwa struktur tegakan sebagai keadaan
susunan tegakan berdasarkan sebaran kelas diameter dalam tingkatan (semai, pancang, tiang
dan pohon) serta lapisan tajuk dalam ruang tumbuh tegakan (vertikal dan harizontal).
Deskripsi struktur tegakan hutan seringkali digeneralisasi melalui komposisi jenis atau
klasifikasi ekologi (Stone dan Porter 1998; ANU 1999).
Dalam Suhendang (1985), diuraikan bahwa struktur tegakan hutan menyatakan
sebaran jumlah pohon pada berbagai kelas diameter. Dengan melihat bentuk struktur
tegakan yang dilukiskan dalam kurva de Lio Court atau kurva J terbalik (Davis dan Johnson
1987), menunjukkan faktor yang menentukan bentuk kurva tersebut adalah jumlah pohon,
dan sebaran kelas diameter, maka kerapatan tegakan merupakan faktor yang sangat penting
dalam mempengaruhi bagaimana struktur tegakan terbentuk. Daniel et al. (1979 diacu dalam
Suhendang 1990) mendefinisikan tegakan sebagai satuan lahan agak homogen yang dapat
dibedakan dengan jelas dari vegetasi disekitarnya oleh umur, komposisi, struktur, tempat
tumbuh atau geografi, sebagai satuan-satuan pengelolaan yang membentuk hutan.
Pertumbuhan masyarakat tumbuhan (termasuk pohon) sangat dipengaruhi oleh keadaan
tempat tumbuhnya, yaitu totalitas dari semua keadaan yang secara efektif berpengaruh
terhadap pertumbuhan masyarakat tumbuhan. Feng (1989) mengemukakan bahwa fungsi
yang digunakan untuk menggambarkan sebaran diameter antara lain adalah model
eksponensial atau model de Lio Court (Meyer 1952), gamma (Nelson 1964), lognormal (Bliss
dan Reinker 1964) dan Weibull (Bailey dan Dell 1973). Umumnya variable input struktur
diameter ditunjukkan dalam bentuk inventarisasi hutan klasik pada plot-plot sampling
(Gourlet-Fleury et al. 2005).
Pengetahuan model struktur tegakan sangat diperlukan untuk menjamin tingkat
keterandalan tertentu dalam keperluan pendugaan dimensi tegakan, dengan kelebihan
efisiensi dapat diterapkan secara luas dan memiliki akurasi tinggi (Prodan 1968). Data
mengenai dimensi tegakan sangat berguna dalam menyusun rencana pengelolaan hutan,
31
disamping potensi jenis dan kualitasnya. Agar diperoleh tingkat keterandalan yang tinggi,
maka proses pendugaan dimensi tegakan harus didasarkan kepada bentuk struktur tegakan
yang terandalkan pula. Suhendang (1985) mengemukakan 5 (lima) kegunaan struktur
tegakan hutan, yaitu: penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan
luas bidang dasar tegakan, pengamatan dendrometrik, penentuan volume tegakan yang tidak
terkoreksi dan nilai komersil tegakan dan penentuan biomassa tegakan. Beberapa studi
penggunaan metode struktur tegakan terbukti memberikan efisiensi metode inventarisasi
dibandingkan dengan metode konvensional sensus pendugaan jumlah pohon, luas bidang
dasar, dan volume tegakan per hektar (Udiansyah 1994). Menurut Guldin (1991), salah satu
metode pengaturan hasil yang berhasil dikembangkan di Amerika adalah pengaturan hasil
berdasarkan struktur tegakan. Dalam manajemen hutan terutama aspek perencanaan,
pembangunan model-model sebagai quantitative tools diperlukan untuk meningkatkan akurasi
dan validitas beberapa batasan untuk mencapai pola pengelolaan hutan yang
kontinyu/lestari (Phillips et al. 2002). Struktur tegakan merupakan salah satu variable input
yang fundamental dalam berbagai analisis tegakan hutan alam yang selanjutnya
menerangkan dinamika tegakan dalam hutan tropis (Lewis et al. 2004). Pendekatan dalam
menentukan model struktur tegakan berdasarkan kerapatan dan bidang dasar tegakan hutan
bekas tebangan pada variasi kondisi dengan teknik penebangan dan teknik pembebasan
tegakan yang berbeda.
5.1. Tegakan Hutan Setelah Penebangan
Fluktuasi kondisi kerapatan (btg ha-1) dan bidang dasar (m2 ha-1) tegakan hutan alam
yang berumur 23 tahun setelah penebangan akan meningkat mendekati kondisi awal
tegakan sebelum penebangan (hutan primer) seiring jangka waktu setelah penebangan
(Gambar 8). Tingkat kerapatan tegakan hutan alam bekas tebangan telah mendekati kondisi
hutan primer pada 9 tahun setelah penebangan, sedangkan berdasarkan nilai bidang dasar
tegakan kondisi mendekati kondisi hutan primer (kontrol) pada 11 tahun setelah
penebangan. Setelah 23 tahun penebangan kondisi kerapatan dan bidang dasar tegakan
telah menjadi lebih besar dibandingkan dengan kondisi primer sebelum penebangan pada
masing-masing plot.
Pada tegakan hutan alam 17 tahun setelah penebangan mempunyai kesamaan
sebesar 66.7-77.8% dibandingkan dengan hutan primer berdasarkan tingkat kerapatan dan
luas bidang dasarnya. Sedangkan pada 23 tahun setelah penebangan mempunyai tingkat
kerapatan yang lebih tinggi berkisar 105.3 – 114.8% dibandingkan kondisi hutan primer.
Berdasarkan nilai bidang dasar tegakan, setelah 23 tahun penebangan dibandingkan kondisi
hutan primer juga telah mempunyai nilai yang lebih besar yang berkisar 105.9 – 122.3%.
31
disamping potensi jenis dan kualitasnya. Agar diperoleh tingkat keterandalan yang tinggi,
maka proses pendugaan dimensi tegakan harus didasarkan kepada bentuk struktur tegakan
yang terandalkan pula. Suhendang (1985) mengemukakan 5 (lima) kegunaan struktur
tegakan hutan, yaitu: penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan
luas bidang dasar tegakan, pengamatan dendrometrik, penentuan volume tegakan yang tidak
terkoreksi dan nilai komersil tegakan dan penentuan biomassa tegakan. Beberapa studi
penggunaan metode struktur tegakan terbukti memberikan efisiensi metode inventarisasi
dibandingkan dengan metode konvensional sensus pendugaan jumlah pohon, luas bidang
dasar, dan volume tegakan per hektar (Udiansyah 1994). Menurut Guldin (1991), salah satu
metode pengaturan hasil yang berhasil dikembangkan di Amerika adalah pengaturan hasil
berdasarkan struktur tegakan. Dalam manajemen hutan terutama aspek perencanaan,
pembangunan model-model sebagai quantitative tools diperlukan untuk meningkatkan akurasi
dan validitas beberapa batasan untuk mencapai pola pengelolaan hutan yang
kontinyu/lestari (Phillips et al. 2002). Struktur tegakan merupakan salah satu variable input
yang fundamental dalam berbagai analisis tegakan hutan alam yang selanjutnya
menerangkan dinamika tegakan dalam hutan tropis (Lewis et al. 2004). Pendekatan dalam
menentukan model struktur tegakan berdasarkan kerapatan dan bidang dasar tegakan hutan
bekas tebangan pada variasi kondisi dengan teknik penebangan dan teknik pembebasan
tegakan yang berbeda.
5.1. Tegakan Hutan Setelah Penebangan
Fluktuasi kondisi kerapatan (btg ha-1) dan bidang dasar (m2 ha-1) tegakan hutan alam
yang berumur 23 tahun setelah penebangan akan meningkat mendekati kondisi awal
tegakan sebelum penebangan (hutan primer) seiring jangka waktu setelah penebangan
(Gambar 8). Tingkat kerapatan tegakan hutan alam bekas tebangan telah mendekati kondisi
hutan primer pada 9 tahun setelah penebangan, sedangkan berdasarkan nilai bidang dasar
tegakan kondisi mendekati kondisi hutan primer (kontrol) pada 11 tahun setelah
penebangan. Setelah 23 tahun penebangan kondisi kerapatan dan bidang dasar tegakan
telah menjadi lebih besar dibandingkan dengan kondisi primer sebelum penebangan pada
masing-masing plot.
Pada tegakan hutan alam 17 tahun setelah penebangan mempunyai kesamaan
sebesar 66.7-77.8% dibandingkan dengan hutan primer berdasarkan tingkat kerapatan dan
luas bidang dasarnya. Sedangkan pada 23 tahun setelah penebangan mempunyai tingkat
kerapatan yang lebih tinggi berkisar 105.3 – 114.8% dibandingkan kondisi hutan primer.
Berdasarkan nilai bidang dasar tegakan, setelah 23 tahun penebangan dibandingkan kondisi
hutan primer juga telah mempunyai nilai yang lebih besar yang berkisar 105.9 – 122.3%.
32
Jika dibandingkan dengan kondisi sebelum penebangan, tingkat pemulihan tegakan
setelah 17 tahun cenderung positif berdasarkan tingkat kerapatan (93-102%) dan bidang
dasar tegakan (81.0-88.8%). Dan pada umur tegakan 23 tahun setelah penebangan
berdasarkan dua parameter tersebut dapat dikatakan bahwa tegakan hutan telah pulih
(kerapatan berkisar 91.8 – 103.5% dan bidang dasar berkisar (104.2 – 122.9%).
Gambar 8. Kondisi tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk semua
jenis berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1)
0
100
200
300
400
500
600
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ker
apa
tan
(btg
ha-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV60
HP
0
10
20
30
40
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Bid
an
g da
sar
(m2h
a-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50 RIL 60
CNV 60 HP
(a)
(b)
32
Jika dibandingkan dengan kondisi sebelum penebangan, tingkat pemulihan tegakan
setelah 17 tahun cenderung positif berdasarkan tingkat kerapatan (93-102%) dan bidang
dasar tegakan (81.0-88.8%). Dan pada umur tegakan 23 tahun setelah penebangan
berdasarkan dua parameter tersebut dapat dikatakan bahwa tegakan hutan telah pulih
(kerapatan berkisar 91.8 – 103.5% dan bidang dasar berkisar (104.2 – 122.9%).
Gambar 8. Kondisi tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk semua
jenis berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1)
0
100
200
300
400
500
600
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ker
apa
tan
(btg
ha-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV60
HP
0
10
20
30
40
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Bid
an
g da
sar
(m2h
a-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50 RIL 60
CNV 60 HP
(a)
(b)
33
Fluktuasi kerapatan tegakan dan bidang dasar tegakan pada plot penelitian
berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai
kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 9 dan 10).
Gambar 9. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda
berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
Tingkat kerapatan tegakan pada 17 dan 23 tahun setelah penebangan untuk
kelompok jenis Dipterocarpaceae cenderung lebih dinamis dan belum kembali pada kondisi
kerapatan dan bidang dasar tegakan awal sebelum penebangan (kerapatan 78.8-98.7% dan
bidang dasar 51.3-58.7%). Hal ini menunjukkan pula bahwa tegakan tinggal pada hutan
setalah penebangan 23 tahun masih didominansi oleh jenis-jenis non Dipterocarpaceae.
0
50
100
150
200
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ker
apa
tan
(btg
ha-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50 RIL 60 CNV HP
0
100
200
300
400
500
600
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ker
apa
tan
(btg
ha
-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50 RIL 60 CNV HP
(a)
(b)
33
Fluktuasi kerapatan tegakan dan bidang dasar tegakan pada plot penelitian
berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai
kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 9 dan 10).
Gambar 9. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda
berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
Tingkat kerapatan tegakan pada 17 dan 23 tahun setelah penebangan untuk
kelompok jenis Dipterocarpaceae cenderung lebih dinamis dan belum kembali pada kondisi
kerapatan dan bidang dasar tegakan awal sebelum penebangan (kerapatan 78.8-98.7% dan
bidang dasar 51.3-58.7%). Hal ini menunjukkan pula bahwa tegakan tinggal pada hutan
setalah penebangan 23 tahun masih didominansi oleh jenis-jenis non Dipterocarpaceae.
0
50
100
150
200
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ker
apa
tan
(btg
ha-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50 RIL 60 CNV HP
0
100
200
300
400
500
600
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ker
apa
tan
(btg
ha
-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50 RIL 60 CNV HP
(a)
(b)
34
Gambar 10. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik penebangan yang
berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non
Dipterocarpaceae
Hasil uji beda nilai rataan (uji t) kerapatan tegakan pada kondisi awal tegakan
(sebelum penebangan) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan pada semua plot
penelitian (thitung < ttab(0.05;6)). Kerapatan tegakan plot penelitian sebesar 461-647 btg ha-1
dengan rataan 531 btg ha-1, sedangkan nilai bidang dasar tegakan sebesar 19.35-31.84 m2 ha-
1 dengan rataan 23.68 m2 ha-1. Hasil penelitian Setiawan (2013) di Kalimantan Timur
menunjukkan bahwa kerapatan tegakan pada hutan dengan berbagai jangka waktu bekas
tebangan sebesar 250-511 btg ha-1, sedangkan hasil penelitian Muhdin (2012)
menunjukkan kerapatan tegakan hutan alam bekas tebangan di Kalimantan yaitu 113-607
0
10
20
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Bid
an
g da
sar
(m2 h
a-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50 RIL 60 CNV HP
0
10
20
30
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Bid
an
g da
sar
(m2h
a-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50 RIL 60 CNV HP
(a)
(b)
34
Gambar 10. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik penebangan yang
berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non
Dipterocarpaceae
Hasil uji beda nilai rataan (uji t) kerapatan tegakan pada kondisi awal tegakan
(sebelum penebangan) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan pada semua plot
penelitian (thitung < ttab(0.05;6)). Kerapatan tegakan plot penelitian sebesar 461-647 btg ha-1
dengan rataan 531 btg ha-1, sedangkan nilai bidang dasar tegakan sebesar 19.35-31.84 m2 ha-
1 dengan rataan 23.68 m2 ha-1. Hasil penelitian Setiawan (2013) di Kalimantan Timur
menunjukkan bahwa kerapatan tegakan pada hutan dengan berbagai jangka waktu bekas
tebangan sebesar 250-511 btg ha-1, sedangkan hasil penelitian Muhdin (2012)
menunjukkan kerapatan tegakan hutan alam bekas tebangan di Kalimantan yaitu 113-607
0
10
20
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Bid
an
g da
sar
(m2 h
a-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50 RIL 60 CNV HP
0
10
20
30
HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Bid
an
g da
sar
(m2h
a-1)
Jangka waktu setelah penebangan (tahun)
RIL 50 RIL 60 CNV HP
(a)
(b)
35
btg ha-1. Kondisi plot penelitian juga mendekati hasil Sist dan Ferreira (2007) di Amazon
Timur yang menunjukkan tingkat kerapatan sebelum penebangan sebesar 480±96.6 btg ha-1
dengan luas bidang dasar 28±4 m2 ha-1. Sedangkan Gourlet-Fleury et al. (2005) di French
Guiana mendapatkan nilai kerapatan tegakan yang lebih tinggi yaitu sebesar 625 btg ha-1.
Krisnawati (2001) pada berbagai variasi jangka waktu hutan setelah penebangan di
Kalimantan Tengah, menunjukkan nilai bidang dasar tegakan 16.4-26.7 m2 ha-1, sedangkan
Setiawan (2013) menunjukkan nilai bidang dasar tegakan 12.63-32.57 m2 ha-1 dan pada hutan
primer sebesar 27.80-32.57 m2 ha-1 di Muara Wahau Kalimantan Timur. Berdasarkan
tingkat kerapatan dan nilai bidang dasar tegakan, plot penelitian mempunyai tingkat
kerapatan sedang hingga tinggi untuk wilayah Kalimantan.
5.2. Tegakan Hutan Setelah Pembebasan
Hasil uji beda nilai rataan (uji t) kerapatan tegakan pada kondisi awal tegakan
(sebelum pembebasan atau hutan bekas tebangan 11 tahun) tidak mempunyai perbedaan
yang signifikan pada semua plot penelitian (thitung < ttab(0.05;6)). Fluktuasi kerapatan tegakan
plot penelitian 419-510 btg ha-1 dengan rataan 472 btg ha-1, sedangkan nilai bidang dasar
tegakan yaitu 22.66-28.20 m2 ha-1 dengan rataan 24.39 m2 ha-1.
Kerapatan tegakan setelah pembebasan dengan teknik yang berbeda sepanjang 23
tahun pengamatan mempunyai kisaran kerapatan yang mendekati kondisi awal sebelum
perlakuan yaitu 94.9-103.7%. Sedangkan fluktuasi kerapatan tegakan tanpa perlakuan
(kontrol) mempunyai kisaran yang mendekati kondisi tegakan dengan perlakuan
pembebasan yaitu 94.0-104.7% terhadap kondisi awalnya. Hal ini menunjukkan bahwa
tindakan silvikultur berupa pembebasan dengan maksimal pengurangan 35% dari bidang
dasar tegakan tidak memberikan perubahan kerapatan tegakan yang signifikan dibandingkan
kondisi awal sebelum perlakuan dan tegakan tanpa perlakuan (kontrol). Berdasarkan nilai
bidang dasar tegakan, fluktuasi tegakan dengan tindakan pembebasan berkisar 87.4-108.0%
dibandingkan kondisi awal tegakan. Sedangkan pada tegakan tanpa perlakukan mempunyai
fluktuasi nilai bidang dasar yang lebih sempit yaitu 91.7-106.7%.
Fluktuasi kerapatan dan bidang dasar tegakan dengan tindakan silvikultur berupa
teknik pembebasan yang berbeda (baik secara sistematis maupun berdasarkan pohon
binaan), disajikan pada Gambar 11 berikut.
35
btg ha-1. Kondisi plot penelitian juga mendekati hasil Sist dan Ferreira (2007) di Amazon
Timur yang menunjukkan tingkat kerapatan sebelum penebangan sebesar 480±96.6 btg ha-1
dengan luas bidang dasar 28±4 m2 ha-1. Sedangkan Gourlet-Fleury et al. (2005) di French
Guiana mendapatkan nilai kerapatan tegakan yang lebih tinggi yaitu sebesar 625 btg ha-1.
Krisnawati (2001) pada berbagai variasi jangka waktu hutan setelah penebangan di
Kalimantan Tengah, menunjukkan nilai bidang dasar tegakan 16.4-26.7 m2 ha-1, sedangkan
Setiawan (2013) menunjukkan nilai bidang dasar tegakan 12.63-32.57 m2 ha-1 dan pada hutan
primer sebesar 27.80-32.57 m2 ha-1 di Muara Wahau Kalimantan Timur. Berdasarkan
tingkat kerapatan dan nilai bidang dasar tegakan, plot penelitian mempunyai tingkat
kerapatan sedang hingga tinggi untuk wilayah Kalimantan.
5.2. Tegakan Hutan Setelah Pembebasan
Hasil uji beda nilai rataan (uji t) kerapatan tegakan pada kondisi awal tegakan
(sebelum pembebasan atau hutan bekas tebangan 11 tahun) tidak mempunyai perbedaan
yang signifikan pada semua plot penelitian (thitung < ttab(0.05;6)). Fluktuasi kerapatan tegakan
plot penelitian 419-510 btg ha-1 dengan rataan 472 btg ha-1, sedangkan nilai bidang dasar
tegakan yaitu 22.66-28.20 m2 ha-1 dengan rataan 24.39 m2 ha-1.
Kerapatan tegakan setelah pembebasan dengan teknik yang berbeda sepanjang 23
tahun pengamatan mempunyai kisaran kerapatan yang mendekati kondisi awal sebelum
perlakuan yaitu 94.9-103.7%. Sedangkan fluktuasi kerapatan tegakan tanpa perlakuan
(kontrol) mempunyai kisaran yang mendekati kondisi tegakan dengan perlakuan
pembebasan yaitu 94.0-104.7% terhadap kondisi awalnya. Hal ini menunjukkan bahwa
tindakan silvikultur berupa pembebasan dengan maksimal pengurangan 35% dari bidang
dasar tegakan tidak memberikan perubahan kerapatan tegakan yang signifikan dibandingkan
kondisi awal sebelum perlakuan dan tegakan tanpa perlakuan (kontrol). Berdasarkan nilai
bidang dasar tegakan, fluktuasi tegakan dengan tindakan pembebasan berkisar 87.4-108.0%
dibandingkan kondisi awal tegakan. Sedangkan pada tegakan tanpa perlakukan mempunyai
fluktuasi nilai bidang dasar yang lebih sempit yaitu 91.7-106.7%.
Fluktuasi kerapatan dan bidang dasar tegakan dengan tindakan silvikultur berupa
teknik pembebasan yang berbeda (baik secara sistematis maupun berdasarkan pohon
binaan), disajikan pada Gambar 11 berikut.
36
Gambar 11. Kondisi tegakan dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan (a)
kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1)
Fluktuasi kerapatan tegakan pada masing-masing plot penelitian terhadap respon
perlakuan tindakan pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae
dan non Dipterocarpaceae mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 12).
0
100
200
300
400
500
600
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ker
apa
tan
(btg
ha-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS PPB CTR
0
10
20
30
40
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Bid
an
g da
sar
(m2h
a-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS PPB CTR
(b)
(a)
36
Gambar 11. Kondisi tegakan dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan (a)
kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1)
Fluktuasi kerapatan tegakan pada masing-masing plot penelitian terhadap respon
perlakuan tindakan pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae
dan non Dipterocarpaceae mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 12).
0
100
200
300
400
500
600
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ker
apa
tan
(btg
ha-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS PPB CTR
0
10
20
30
40
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Bid
an
g da
sar
(m2h
a-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS PPB CTR
(b)
(a)
37
Gambar 12. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda
berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
Pengaruh tindakan pembebasan berdasarkan nilai kerapatan tegakan adalah pada
tahun ke-3, yang ditunjukkan dengan penurunan yang paling besar berdasarkan parameter
tegakan tersebut. Kemudian pada tahun ke-5 setelah pembebasan, tegakan akan cenderung
mempunyai tingkat kerapatan yang lebih besar dibandingkan kondisi tegakan awal sebelum
perlakuan (> 100%). Hal ini menunjukkan bahwa secara total tegakan atau semua jenis
mempunyai respon yang positif terhadap tindakan pembebasan. Teknik pembebasan yang
berbeda belum memberikan hasil yang berbeda signifikan hingga tahun ke-23 setelah
pembebasan, begitu pula jika dibandingkan dengan kondisi tegakan tanpa perlakuan (thitung <
ttab(0.05;6)).
0
50
100
150
200
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ker
apa
tan
(btg
ha-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS PPB CTR
0
100
200
300
400
500
600
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ker
apa
tan
(btg
ha-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(b)
(a)
37
Gambar 12. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda
berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
Pengaruh tindakan pembebasan berdasarkan nilai kerapatan tegakan adalah pada
tahun ke-3, yang ditunjukkan dengan penurunan yang paling besar berdasarkan parameter
tegakan tersebut. Kemudian pada tahun ke-5 setelah pembebasan, tegakan akan cenderung
mempunyai tingkat kerapatan yang lebih besar dibandingkan kondisi tegakan awal sebelum
perlakuan (> 100%). Hal ini menunjukkan bahwa secara total tegakan atau semua jenis
mempunyai respon yang positif terhadap tindakan pembebasan. Teknik pembebasan yang
berbeda belum memberikan hasil yang berbeda signifikan hingga tahun ke-23 setelah
pembebasan, begitu pula jika dibandingkan dengan kondisi tegakan tanpa perlakuan (thitung <
ttab(0.05;6)).
0
50
100
150
200
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ker
apa
tan
(btg
ha-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS PPB CTR
0
100
200
300
400
500
600
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ker
apa
tan
(btg
ha-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(b)
(a)
38
Seperti halnya tingkat kerapatan, fluktuasi nilai bidang dasar tegakan pada masing-
masing plot penelitian terhadap respon perlakuan tindakan pembebasan yang berbeda
berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai
kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 13). Pengaruh tindakan pembebasan
berdasarkan nilai bidang dasar tegakan adalah pada tahun ke-3, yang ditunjukkan dengan
penurunan yang paling besar berdasarkan parameter tegakan tersebut. Kemudian pada
tahun ke-5 setelah pembebasan, tegakan akan cenderung mempunyai tingkat bidang dasar
yang lebih besar dibandingkan kondisi tegakan awal sebelum perlakuan (> 100%).
Gambar 13. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik pembebasan yang
berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non
Dipterocarpaceae
0
10
20
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Bid
an
g da
sar
(m2h
a-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS PPB CTR
0
10
20
30
40
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Bid
an
g da
sar
(m2h
a-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS PPB CTR
(a)
(b)
38
Seperti halnya tingkat kerapatan, fluktuasi nilai bidang dasar tegakan pada masing-
masing plot penelitian terhadap respon perlakuan tindakan pembebasan yang berbeda
berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai
kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 13). Pengaruh tindakan pembebasan
berdasarkan nilai bidang dasar tegakan adalah pada tahun ke-3, yang ditunjukkan dengan
penurunan yang paling besar berdasarkan parameter tegakan tersebut. Kemudian pada
tahun ke-5 setelah pembebasan, tegakan akan cenderung mempunyai tingkat bidang dasar
yang lebih besar dibandingkan kondisi tegakan awal sebelum perlakuan (> 100%).
Gambar 13. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik pembebasan yang
berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non
Dipterocarpaceae
0
10
20
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Bid
an
g da
sar
(m2h
a-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS PPB CTR
0
10
20
30
40
HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23
Bid
an
g da
sar
(m2h
a-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS PPB CTR
(a)
(b)
39
Hasil yang sama dari penelitian di Cordoba Argentina menyatakan bahwa ada
kemiripan kerapatan pohon antara hutan bekas tebangan dengan hutan primer, tetapi hutan
bekas tebangan mempunyai nilai bidang dasar yang lebih rendah dibandingkan hutan primer
(Bonino dan Araujo 2005). Tingkat pemulihan tegakan bervariasi berdasarkan kondisi awal
tegakan, teknik penebangan yang diterapkan dan kelompok jenis vegetasi penyusun tegakan
hutan.
5.3. Model Struktur Tegakan
Penyusunan model struktur tegakan hutan Dipterocarpaceae dengan famili sebaran
eksponensial, gamma, lognormal dan weibull yang dicobakan (Gambar 14). Rekapitulasi
perhitungan struktur horizontal tegakan kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae
dan semua jenis disusun berdasarkan interval kelas diameter 5 cm. Penentuan fungsi
sebaran terpilih dilakukan berdasarkan nilai fungsi kemungkinan maksimum untuk masing-
masing kondisi tegakan dan kelompok jenis. Model famili sebaran Lognormal merupakan
model terpilih sebagai model terbaik yang dianggap dapat menerangkan struktur tegakan
kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non
Dipterocarpaceae dan semua jenis, lebih tepat dibandingkan model-model sebaran lain yang
dicobakan.
0
50
100
150
200
250
07
.512
.517
.522
.527
.532
.537
.542
.547
.552
.557
.562
.567
.572
.577
.582
.587
.592
.597
.51
02.5K
era
pata
n (
btg
ha-1)
Diameter (cm)
Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull
0
50
100
150
200
250
07.
512
.517
.522
.527
.532
.537
.542
.547
.552
.557
.562
.567
.572
.577
.582
.587
.592
.597
.510
2.5
Ker
apat
an (b
tg h
a-1)
Diameter (cm)
Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull
0
50
100
150
200
250
07
.51
2.5
17
.52
2.5
27
.53
2.5
37
.54
2.5
47
.55
2.5
57
.56
2.5
67
.57
2.5
77
.58
2.5
87
.59
2.5
97
.51
02
.5Kera
pata
n (b
tg h
a-1)
Diameter (cm)
Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull
0
50
100
150
200
250
07.5
12.5
17.5
22.5
27.5
32.5
37.5
42.5
47.5
52.5
57.5
62.5
67.5
72.5
77.5
82.5
87.5
92.5
97.5
10
2.5
Ke
rap
ata
n (b
tg h
a-1)
Diameter (cm)
Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull
Gambar 14. Perbandingan model struktur tegakan untuk semua jenis pada (a) RIL 50; (b) RIL 60; (c) penebangan konvensional dan (d) hutan primer
(a) (b)
(c) (d)
39
Hasil yang sama dari penelitian di Cordoba Argentina menyatakan bahwa ada
kemiripan kerapatan pohon antara hutan bekas tebangan dengan hutan primer, tetapi hutan
bekas tebangan mempunyai nilai bidang dasar yang lebih rendah dibandingkan hutan primer
(Bonino dan Araujo 2005). Tingkat pemulihan tegakan bervariasi berdasarkan kondisi awal
tegakan, teknik penebangan yang diterapkan dan kelompok jenis vegetasi penyusun tegakan
hutan.
5.3. Model Struktur Tegakan
Penyusunan model struktur tegakan hutan Dipterocarpaceae dengan famili sebaran
eksponensial, gamma, lognormal dan weibull yang dicobakan (Gambar 14). Rekapitulasi
perhitungan struktur horizontal tegakan kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae
dan semua jenis disusun berdasarkan interval kelas diameter 5 cm. Penentuan fungsi
sebaran terpilih dilakukan berdasarkan nilai fungsi kemungkinan maksimum untuk masing-
masing kondisi tegakan dan kelompok jenis. Model famili sebaran Lognormal merupakan
model terpilih sebagai model terbaik yang dianggap dapat menerangkan struktur tegakan
kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non
Dipterocarpaceae dan semua jenis, lebih tepat dibandingkan model-model sebaran lain yang
dicobakan.
0
50
100
150
200
250
07
.512
.517
.522
.527
.532
.537
.542
.547
.552
.557
.562
.567
.572
.577
.582
.587
.592
.597
.51
02.5K
era
pata
n (
btg
ha-1)
Diameter (cm)
Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull
0
50
100
150
200
250
07.
512
.517
.522
.527
.532
.537
.542
.547
.552
.557
.562
.567
.572
.577
.582
.587
.592
.597
.510
2.5
Ker
apat
an (b
tg h
a-1)
Diameter (cm)
Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull
0
50
100
150
200
250
07
.51
2.5
17
.52
2.5
27
.53
2.5
37
.54
2.5
47
.55
2.5
57
.56
2.5
67
.57
2.5
77
.58
2.5
87
.59
2.5
97
.51
02
.5Kera
pata
n (b
tg h
a-1)
Diameter (cm)
Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull
0
50
100
150
200
250
07.5
12.5
17.5
22.5
27.5
32.5
37.5
42.5
47.5
52.5
57.5
62.5
67.5
72.5
77.5
82.5
87.5
92.5
97.5
10
2.5
Ke
rap
ata
n (b
tg h
a-1)
Diameter (cm)
Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull
Gambar 14. Perbandingan model struktur tegakan untuk semua jenis pada (a) RIL 50; (b) RIL 60; (c) penebangan konvensional dan (d) hutan primer
(a) (b)
(c) (d)
40
Berdasarkan hasil perhitungan nilai dugaan bagi penduga titik famili sebaran
kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non
Dipterocarpaceae dan semua jenis, berikut disajikan model struktur tegakan pada masing-
masing kelompok jenis untuk tegakan hutan bekas tebangan dengan teknik RIL 50, RIL 60,
konvensional, hutan primer, pembebasan sistematik, pembebasan berdasarkan pohon
binaan dan kontrol hutan bekas tebangan untuk pembebasan. Penyusunan model struktur
tegakan berdasarkan struktur kerapatan dan bidang dasar tegakan yang masing-masing
terdiri dari 3 kelas kerapatan tegakan yaitu rendah, sedang dan tinggi (Gambar 15-28).
Pembagian kelompok atau kelas kerapatan tegakan berdasarkan tingkat kerapatan relatif
masing-masing penyusun tegakan pada tiap seri perlakuan. Untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan mempunyai kelas kerapatan rendah 61-80 btg ha-
1, kerapatan sedang 114-135 btg ha-1, tinggi 154-258 btg ha-1, pada hutan primer kerapatan
rendah 86 btg ha-1, kerapatan sedang 107 btg ha-1, tinggi 169 btg ha-1, pada hutan setelah
pembebasan kelas kerapatan rendah 53-60 btg ha-1, kerapatan sedang 90-106 btg ha-1, tinggi
134-258 btg ha-1 dan untuk plot kontrol mempunyai kerapatan rendah <39 btg ha-1,
kerapatan sedang 70 btg ha-1, tinggi >145 btg ha-1.
40
Berdasarkan hasil perhitungan nilai dugaan bagi penduga titik famili sebaran
kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non
Dipterocarpaceae dan semua jenis, berikut disajikan model struktur tegakan pada masing-
masing kelompok jenis untuk tegakan hutan bekas tebangan dengan teknik RIL 50, RIL 60,
konvensional, hutan primer, pembebasan sistematik, pembebasan berdasarkan pohon
binaan dan kontrol hutan bekas tebangan untuk pembebasan. Penyusunan model struktur
tegakan berdasarkan struktur kerapatan dan bidang dasar tegakan yang masing-masing
terdiri dari 3 kelas kerapatan tegakan yaitu rendah, sedang dan tinggi (Gambar 15-28).
Pembagian kelompok atau kelas kerapatan tegakan berdasarkan tingkat kerapatan relatif
masing-masing penyusun tegakan pada tiap seri perlakuan. Untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan mempunyai kelas kerapatan rendah 61-80 btg ha-
1, kerapatan sedang 114-135 btg ha-1, tinggi 154-258 btg ha-1, pada hutan primer kerapatan
rendah 86 btg ha-1, kerapatan sedang 107 btg ha-1, tinggi 169 btg ha-1, pada hutan setelah
pembebasan kelas kerapatan rendah 53-60 btg ha-1, kerapatan sedang 90-106 btg ha-1, tinggi
134-258 btg ha-1 dan untuk plot kontrol mempunyai kerapatan rendah <39 btg ha-1,
kerapatan sedang 70 btg ha-1, tinggi >145 btg ha-1.
41
Gambar 15. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17HBT23
(a)
(b)
(c)
41
Gambar 15. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17HBT23
(a)
(b)
(c)
42
Gambar 16. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT23
(a)
(b)
(c)
42
Gambar 16. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT23
(a)
(b)
(c)
43
Gambar 17. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23
(a)
(b)
(c)
43
Gambar 17. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23
(a)
(b)
(c)
44
Gambar 18. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1
HP3 HP5
HP7 HP9
HP11 HP13
HP15 HP17
HP23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1
HP3 HP5
HP7 HP9
HP11 HP13
HP15 HP17
HP23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1HP3 HP5
HP7 HP9HP11 HP13HP15 HP17HP23
(a)
(b)
(c)
44
Gambar 18. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1
HP3 HP5
HP7 HP9
HP11 HP13
HP15 HP17
HP23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1
HP3 HP5
HP7 HP9
HP11 HP13
HP15 HP17
HP23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1HP3 HP5
HP7 HP9HP11 HP13HP15 HP17HP23
(a)
(b)
(c)
45
Gambar 19. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
P1
P3
P5
P7
P9
P11
P13
P15
P23
(a)
(b)
(c)
45
Gambar 19. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
P1
P3
P5
P7
P9
P11
P13
P15
P23
(a)
(b)
(c)
46
Gambar 20. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
P1
P3P5
P7
P9
P11P13
P15
P23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
P1
P3
P5
P7
P9
P11
P13
P15
P23
(a)
(b)
(c)
46
Gambar 20. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
P1
P3P5
P7
P9
P11P13
P15
P23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
P1
P3
P5
P7
P9
P11
P13
P15
P23
(a)
(b)
(c)
47
Gambar 21. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
HBT13
HBT15
HBT17
HBT19
HBT21
HBT23
HBT25
HBT 27
HBT35
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
HBT13
HBT15
HBT17
HBT19
HBT21
HBT23
HBT25
HBT 27
HBT35
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
HBT13
HBT15
HBT17
HBT19
HBT21
HBT23
HBT25
HBT 27
HBT35
(a)
(b)
(c)
47
Gambar 21. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
HBT13
HBT15
HBT17
HBT19
HBT21
HBT23
HBT25
HBT 27
HBT35
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
HBT13
HBT15
HBT17
HBT19
HBT21
HBT23
HBT25
HBT 27
HBT35
0
10
20
30
40
50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11
HBT13
HBT15
HBT17
HBT19
HBT21
HBT23
HBT25
HBT 27
HBT35
(a)
(b)
(c)
48
Gambar 22. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT 23
(a)
(b)
(c)
48
Gambar 22. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT 23
(a)
(b)
(c)
49
Gambar 23. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
(a)
(b)
(c)
49
Gambar 23. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
(a)
(b)
(c)
50
Gambar 24. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT 23
(a)
(b)
(c)
50
Gambar 24. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1
HBT3 HBT5
HBT7 HBT9
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT 23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT 23
(a)
(b)
(c)
51
Gambar 25. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-
1)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1
HP3 HP5
HP7 HP9
HP11 HP13
HP15 HP17
HP23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1
HP3 HP5
HP7 HP9
HP11 HP13
HP15 HP17
HP23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1
HP3 HP5
HP7 HP9
HP11 HP13
HP15 HP17
HP23
(a)
(b)
(c)
51
Gambar 25. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-
1)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1
HP3 HP5
HP7 HP9
HP11 HP13
HP15 HP17
HP23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1
HP3 HP5
HP7 HP9
HP11 HP13
HP15 HP17
HP23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HP0 HP1
HP3 HP5
HP7 HP9
HP11 HP13
HP15 HP17
HP23
(a)
(b)
(c)
52
Gambar 26. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13P15 P23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1
P3 P5
P7 P9
P11 P13
P15 P23
(a)
(b)
(c)
52
Gambar 26. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13P15 P23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1
P3 P5
P7 P9
P11 P13
P15 P23
(a)
(b)
(c)
53
Gambar 27. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1
P3 P5
P7 P9
P11 P13
P15 P23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1
P3 P5
P7 P9
P11 P13
P15 P23
(a)
(b)
(c)
53
Gambar 27. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1
P3 P5
P7 P9
P11 P13
P15 P23
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1
P3 P5
P7 P9
P11 P13
P15 P23
(a)
(b)
(c)
54
Gambar 28. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT19 HBT21
HBT23 HBT25
HBT27 HBT35
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-
1)
Kelas diameter (cm)
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT19 HBT21
HBT23 HBT25
HBT27 HBT35
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT19 HBT21
HBT23 HBT25
HBT27 HBT35
(a)
(b)
(c)
54
Gambar 28. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan
bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT19 HBT21
HBT23 HBT25
HBT27 HBT35
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-
1)
Kelas diameter (cm)
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT19 HBT21
HBT23 HBT25
HBT27 HBT35
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Kelas diameter (cm)
HBT11 HBT13
HBT15 HBT17
HBT19 HBT21
HBT23 HBT25
HBT27 HBT35
(a)
(b)
(c)
55
Model struktur tegakan yang terbangun (struktur kerapatan dan bidang dasar)
berdasarkan family sebaran terpilih (lognormal) untuk pengelompokkan jenis (kelompok
jenis Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis) pada
hutan bekas tebangan secara umum disajikan pada Gambar 29 dan 30.
0
10
20
30
40
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Ker
apat
an (b
tg h
a-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
0
10
20
30
40
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Ker
apat
an (
btg
ha-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
0
20
40
60
80
100
120
0 5 10 15202530 35 40455055 60657075 80 859095100
Ker
apat
an (b
tg h
a-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
0
20
40
60
80
100
120
0 5 101520253035404550556065707580859095100
Ke
rapa
tan
(btg
ha-1 )
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15
Gambar 29. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan
bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
Das
ar (m
2ha
-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1
HBT3HBT5
HBT7HBT9HBT11
HBT13HBT15HBT17
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
Das
ar (m
2ha
-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
Das
ar (m
2ha
-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
Das
ar (m
2ha
-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
Gambar 30. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan
bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis
(a) (b)
(c) (d)
(a) (b)
(c) (d)
55
Model struktur tegakan yang terbangun (struktur kerapatan dan bidang dasar)
berdasarkan family sebaran terpilih (lognormal) untuk pengelompokkan jenis (kelompok
jenis Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis) pada
hutan bekas tebangan secara umum disajikan pada Gambar 29 dan 30.
0
10
20
30
40
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Ker
apat
an (b
tg h
a-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
0
10
20
30
40
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Ker
apat
an (
btg
ha-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
0
20
40
60
80
100
120
0 5 10 15202530 35 40455055 60657075 80 859095100
Ker
apat
an (b
tg h
a-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
0
20
40
60
80
100
120
0 5 101520253035404550556065707580859095100
Ke
rapa
tan
(btg
ha-1 )
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15
Gambar 29. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan
bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
Das
ar (m
2ha
-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1
HBT3HBT5
HBT7HBT9HBT11
HBT13HBT15HBT17
0
0.5
1
1.5
2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
Das
ar (m
2ha
-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
Das
ar (m
2ha
-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
Das
ar (m
2ha
-1)
Kelas Diameter (cm)
HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17
Gambar 30. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan
bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis
(a) (b)
(c) (d)
(a) (b)
(c) (d)
56
Model struktur tegakan yang terbangun (struktur kerapatan dan bidang dasar)
berdasarkan famili sebaran terpilih (lognormal) untuk kelompok jenis Shorea spp.,
Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada hutan setelah tindakan
pembebasan secara umum disajikan pada Gambar 31 dan 32.
Gambar 31. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan
bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis
Gambar 32. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan
bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis
0
5
10
15
20
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ke
rapa
tan
(btg
ha-1 )
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13
0
5
10
15
20
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Ke
rapa
tan
(btg
ha-1 )
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13
020406080
100120140160180
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Ke
rapa
tan
(btg
ha-1 )
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13
020406080
100120140160180
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Ke
rapa
tan
(btg
ha-1 )
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100Bid
ang
da
sar (
m2ha
-1)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100Bid
ang
da
sar (
m2ha
-1)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
da
sar (
m2ha
-1)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
da
sar (
m2ha
-1)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13
(a) (b)
(d) (c)
(a) (b)
(c) (d)
56
Model struktur tegakan yang terbangun (struktur kerapatan dan bidang dasar)
berdasarkan famili sebaran terpilih (lognormal) untuk kelompok jenis Shorea spp.,
Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada hutan setelah tindakan
pembebasan secara umum disajikan pada Gambar 31 dan 32.
Gambar 31. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan
bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis
Gambar 32. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan
bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis
0
5
10
15
20
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Ke
rapa
tan
(btg
ha-1 )
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13
0
5
10
15
20
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Ke
rapa
tan
(btg
ha-1 )
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13
020406080
100120140160180
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Ke
rapa
tan
(btg
ha-1 )
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13
020406080
100120140160180
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Ke
rapa
tan
(btg
ha-1 )
Kelas diameter (cm)
HBT11P1P3P5P7P9P11P13
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100Bid
ang
da
sar (
m2ha
-1)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100Bid
ang
da
sar (
m2ha
-1)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
da
sar (
m2ha
-1)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Bid
ang
da
sar (
m2ha
-1)
Kelas diameter (cm)
HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13
(a) (b)
(d) (c)
(a) (b)
(c) (d)
57
Hasil penelitian model struktur tegakan menunjukkan bahwa famili sebaran
lognormal sebagai famili sebaran terbaik diterima pada beberapa kelompok jenis di
beberapa tipe hutan antara lain Suhendang (1985) pada hutan alam hujan tropika dataran
rendah untuk kelompok jenis komersial, jenis pohon meluang dan semua jenis di
Bengkunat, Lampung, Boreel (2009) untuk kelompok jenis Torem dan non Torem di pulau
Yamdema Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Setiawan (2013) untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada hutan bekas tebangan dan hutan
primer di Muara Wahau, Kalimantan Timur.
Davis et al. (2001), menyatakan bahwa pada tahun 1898 de Lio Court pertama kali
mengemukakan hasil studinya tentang distribusi tegakan hutan tidak seumur dalam bentuk
persamaan eksponensial negatif. Bentuk matematis serupa juga dikemukakan oleh Phillip
(1998), dalam bentuk transformasi persamaan logaritmik. Roedjai (1982) diacu dalam Ibie
(1997), meneliti sebaran diameter tegakan hutan tropika basah di Gunung Meratus
Kalimantan Timur dengan menggunakan beberapa metode sebaran, yaitu: normal,
eksponensial, binomial dan beta. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa model
sebaran beta memberikan gambaran terbaik dan lebih realistis dari analisa model sebaran
lainnya. Borota (1991) diacu dalam Ibie (1997) juga menggunakan rumusan fungsi beta
untuk menggambarkan sebaran diameter pohon teoritis, untuk diameter pohon setinggi
dada dan tinggi pohon pada hutan-hutan alam tropika, antara lain di Ghana, Congo, Gabon,
dan Laos.
Suhendang (1985), dari hasil penelitiannya di Bengkunat (Lampung), mendapatkan
untuk jenis-jenis pohon damar asam dan simpur, menyebar menurut sebaran Gamma. Hasil
penelitian Mangkudisastra (1995), tentang struktur tegakan di Aceh menujukan bahwa pada
tingkat famili memiliki sebaran gamma, diterima secara konsisten. Demikian juga hasil
penelitian Udiansyah (1994), tentang penggunaan struktur tegakan dalam menduga
beberapa macam dimensi tegakan hutan tidak seumur di Kampar (Riau), mendapatkan
bahwa untuk seluruh petak percobaan menunjukkan bahwa famili sebaran lognormal
diterima secara konsisten. Jenis atau kelompok jenis dalam tegakan mempunyai karakteristik
struktur yang khas dengan dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh yang spesifik pula.
Hasil analisis regresi hubungan jangka waktu pemulihan setelah penebangan dan
hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap kerapatan dan bidang dasar tegakan,
nilai koefisien determinasi dan analisis varians disusun berdasarkan kelompok jenis
Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis
(Tabel 7 dan 8).
57
Hasil penelitian model struktur tegakan menunjukkan bahwa famili sebaran
lognormal sebagai famili sebaran terbaik diterima pada beberapa kelompok jenis di
beberapa tipe hutan antara lain Suhendang (1985) pada hutan alam hujan tropika dataran
rendah untuk kelompok jenis komersial, jenis pohon meluang dan semua jenis di
Bengkunat, Lampung, Boreel (2009) untuk kelompok jenis Torem dan non Torem di pulau
Yamdema Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Setiawan (2013) untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada hutan bekas tebangan dan hutan
primer di Muara Wahau, Kalimantan Timur.
Davis et al. (2001), menyatakan bahwa pada tahun 1898 de Lio Court pertama kali
mengemukakan hasil studinya tentang distribusi tegakan hutan tidak seumur dalam bentuk
persamaan eksponensial negatif. Bentuk matematis serupa juga dikemukakan oleh Phillip
(1998), dalam bentuk transformasi persamaan logaritmik. Roedjai (1982) diacu dalam Ibie
(1997), meneliti sebaran diameter tegakan hutan tropika basah di Gunung Meratus
Kalimantan Timur dengan menggunakan beberapa metode sebaran, yaitu: normal,
eksponensial, binomial dan beta. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa model
sebaran beta memberikan gambaran terbaik dan lebih realistis dari analisa model sebaran
lainnya. Borota (1991) diacu dalam Ibie (1997) juga menggunakan rumusan fungsi beta
untuk menggambarkan sebaran diameter pohon teoritis, untuk diameter pohon setinggi
dada dan tinggi pohon pada hutan-hutan alam tropika, antara lain di Ghana, Congo, Gabon,
dan Laos.
Suhendang (1985), dari hasil penelitiannya di Bengkunat (Lampung), mendapatkan
untuk jenis-jenis pohon damar asam dan simpur, menyebar menurut sebaran Gamma. Hasil
penelitian Mangkudisastra (1995), tentang struktur tegakan di Aceh menujukan bahwa pada
tingkat famili memiliki sebaran gamma, diterima secara konsisten. Demikian juga hasil
penelitian Udiansyah (1994), tentang penggunaan struktur tegakan dalam menduga
beberapa macam dimensi tegakan hutan tidak seumur di Kampar (Riau), mendapatkan
bahwa untuk seluruh petak percobaan menunjukkan bahwa famili sebaran lognormal
diterima secara konsisten. Jenis atau kelompok jenis dalam tegakan mempunyai karakteristik
struktur yang khas dengan dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh yang spesifik pula.
Hasil analisis regresi hubungan jangka waktu pemulihan setelah penebangan dan
hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap kerapatan dan bidang dasar tegakan,
nilai koefisien determinasi dan analisis varians disusun berdasarkan kelompok jenis
Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis
(Tabel 7 dan 8).
58
Tabel 7. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok
Jenis Fungsi (kerapatan) Fungsi (bidang dasar)
D y(K) = 81.274e0.0163x y(B) = 0.0008x3 - 0.0042x2 - 0.1182x + 6.4719
R² = 0.0624 SE = 0.1436 Pvalue=0.00 R² = 0.0340 SE = 2.2055 Pvalue=0.00
Shorea spp. y(K) = 34.299e0.0277x y(B) = 0.0003x3 + 0.0003x2 - 0.0802x + 3.2581
R² = 0.1561 SE = 0.1462 Pvalue=0.00 R² = 0.087 SE = 0.8725 Pvalue=0.00
D-s y(K) = 45.975e0.0061x y(B) = 0.0004x3 - 0.0045x2 - 0.0381x + 3.2138
R² = 0.006 SE = 0.1786 Pvalue=0.49 R² = 0.0092 SE = 1.6743 Pvalue=0.86
nD y(K) = -0.0399x3 + 0.7509x2 + 3.1094x + 279.4 y(B) = -0.0016x3 + 0.0493x2 - 0.2135x + 10.452
R² = 0.2092 SE = 54.7557 Pvalue=0.00 R² = 0.2709 SE =1.8905 Pvalue=0.00
SJ y(K) = 364.87e0.0163x y(B) = -0.0008x3 + 0.0451x2 - 0.3317x + 16.924
R² = 0.203 SE = 0.0735 Pvalue=0.00 R² = 0.1696 SE = 3.0345 Pvalue=0.00
Tabel 8. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan (x) dengan
kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok
Jenis Fungsi (kerapatan) Fungsi (bidang dasar)
D
y (K) = 0.0278x3 - 0.8661x2 + 7.8599x +
97.12 y(B) = 0.0026x3 - 0.0739x2 + 0.6064x + 10.126
R² = 0.0124 SE = 43.2192 Fhit=0.32 R² = 0.0071 SE = 3.7465 Fhit=0.27
Shorea spp.
y(K) = 0.0243x3 - 0.6343x2 + 4.9035x +
52.696 y(B) = 0.0026x3 - 0.0688x2 + 0.4887x + 5.8567
R² = 0.0136 SE = 20.0747 Fhit=0.29 R² = 0.0058 SE = 3.0665 Fhit=0.75
D-s y(K) = 42.145e0.0102x y(B) = 3.8533e0.0116x
R² = 0.0061 SE = 0.2293 Pvalue=0.00 R² = 0.0079 SE = 0.2277 Pvalue=0.00
nD y(K) = -0.089x3 + 1.7809x2 - 9.3225x + 384.44 y(B) = -0.0116x3 + 0.3097x2 - 2.3723x + 17.51
R² = 0.0072 SE = 49.3828 Fhit=0.42 R² = 0.1838 SE = 2.3277 Pvalue=0.00
SJ
y(K) = -0.0612x3 + 0.9148x2 - 1.4626x +
481.56
y(B) = -0.0033x3 + 0.1388x2 - 1.4762x +
28.057
R² = 0.0215 SE = 43.5468 Pvalue=0.00 R² = 0.0682 SE = 4.024 Pvalue=0.00
Dalam jangka waktu 23 tahun setelah penebangan, dengan pola pertumbuhan atau
pemulihan tegakan dengan bentuk eksponensial dan polinomial untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (baik Shorea spp. maupun Dipterocarpaceae non Shorea) mempunyai kecenderungan pemulihan yang lebih rendah dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Jangka waktu pemulihan berpengaruh signifikan terhadap pemulihan Dipterocarpaceae (selain Dipterocarpaceae non Shorea) dan non Dipterocarpaceae, walaupun masih memiliki hubungan yang cukup rendah. Pada Gambar 33 disajikan bentuk hubungan pemulihan tegakan hutan berdasarkan kerapatan dan bidang dasar untuk masing-masing kelompok jenis.
58
Tabel 7. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok
Jenis Fungsi (kerapatan) Fungsi (bidang dasar)
D y(K) = 81.274e0.0163x y(B) = 0.0008x3 - 0.0042x2 - 0.1182x + 6.4719
R² = 0.0624 SE = 0.1436 Pvalue=0.00 R² = 0.0340 SE = 2.2055 Pvalue=0.00
Shorea spp. y(K) = 34.299e0.0277x y(B) = 0.0003x3 + 0.0003x2 - 0.0802x + 3.2581
R² = 0.1561 SE = 0.1462 Pvalue=0.00 R² = 0.087 SE = 0.8725 Pvalue=0.00
D-s y(K) = 45.975e0.0061x y(B) = 0.0004x3 - 0.0045x2 - 0.0381x + 3.2138
R² = 0.006 SE = 0.1786 Pvalue=0.49 R² = 0.0092 SE = 1.6743 Pvalue=0.86
nD y(K) = -0.0399x3 + 0.7509x2 + 3.1094x + 279.4 y(B) = -0.0016x3 + 0.0493x2 - 0.2135x + 10.452
R² = 0.2092 SE = 54.7557 Pvalue=0.00 R² = 0.2709 SE =1.8905 Pvalue=0.00
SJ y(K) = 364.87e0.0163x y(B) = -0.0008x3 + 0.0451x2 - 0.3317x + 16.924
R² = 0.203 SE = 0.0735 Pvalue=0.00 R² = 0.1696 SE = 3.0345 Pvalue=0.00
Tabel 8. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan (x) dengan
kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok
Jenis Fungsi (kerapatan) Fungsi (bidang dasar)
D
y (K) = 0.0278x3 - 0.8661x2 + 7.8599x +
97.12 y(B) = 0.0026x3 - 0.0739x2 + 0.6064x + 10.126
R² = 0.0124 SE = 43.2192 Fhit=0.32 R² = 0.0071 SE = 3.7465 Fhit=0.27
Shorea spp.
y(K) = 0.0243x3 - 0.6343x2 + 4.9035x +
52.696 y(B) = 0.0026x3 - 0.0688x2 + 0.4887x + 5.8567
R² = 0.0136 SE = 20.0747 Fhit=0.29 R² = 0.0058 SE = 3.0665 Fhit=0.75
D-s y(K) = 42.145e0.0102x y(B) = 3.8533e0.0116x
R² = 0.0061 SE = 0.2293 Pvalue=0.00 R² = 0.0079 SE = 0.2277 Pvalue=0.00
nD y(K) = -0.089x3 + 1.7809x2 - 9.3225x + 384.44 y(B) = -0.0116x3 + 0.3097x2 - 2.3723x + 17.51
R² = 0.0072 SE = 49.3828 Fhit=0.42 R² = 0.1838 SE = 2.3277 Pvalue=0.00
SJ
y(K) = -0.0612x3 + 0.9148x2 - 1.4626x +
481.56
y(B) = -0.0033x3 + 0.1388x2 - 1.4762x +
28.057
R² = 0.0215 SE = 43.5468 Pvalue=0.00 R² = 0.0682 SE = 4.024 Pvalue=0.00
Dalam jangka waktu 23 tahun setelah penebangan, dengan pola pertumbuhan atau
pemulihan tegakan dengan bentuk eksponensial dan polinomial untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (baik Shorea spp. maupun Dipterocarpaceae non Shorea) mempunyai kecenderungan pemulihan yang lebih rendah dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Jangka waktu pemulihan berpengaruh signifikan terhadap pemulihan Dipterocarpaceae (selain Dipterocarpaceae non Shorea) dan non Dipterocarpaceae, walaupun masih memiliki hubungan yang cukup rendah. Pada Gambar 33 disajikan bentuk hubungan pemulihan tegakan hutan berdasarkan kerapatan dan bidang dasar untuk masing-masing kelompok jenis.
59
Gambar 33. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai
(a) kerapatan dan (b) bidang dasar tegakan berdasarkan kelompok jenis
Tindakan pembebasan pada tegakan sebagai bentuk input silvikultur dalam
peningkatan produktivitas hutan setelah 23 tahun akan memberikan perbedaan yang nyata
terhadap tingkat kerapatan Dipterocarpaceae non Shorea saja. Dari analisis varians dan regresi
yang dihasilkan menunjukkan bahwa tindakan pembebasan tegakan baik secara sistematik
maupun berbasis pohon binaan belum memberikan perbedaan yang sigifikan terhadap
kelompok jenis Dipterocarpaceae baik berdasarkan tingkat kerapatan maupun bidang dasar
0
100
200
300
400
500
600
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis
0
5
10
15
20
25
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis
(a)
(b)
59
Gambar 33. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai
(a) kerapatan dan (b) bidang dasar tegakan berdasarkan kelompok jenis
Tindakan pembebasan pada tegakan sebagai bentuk input silvikultur dalam
peningkatan produktivitas hutan setelah 23 tahun akan memberikan perbedaan yang nyata
terhadap tingkat kerapatan Dipterocarpaceae non Shorea saja. Dari analisis varians dan regresi
yang dihasilkan menunjukkan bahwa tindakan pembebasan tegakan baik secara sistematik
maupun berbasis pohon binaan belum memberikan perbedaan yang sigifikan terhadap
kelompok jenis Dipterocarpaceae baik berdasarkan tingkat kerapatan maupun bidang dasar
0
100
200
300
400
500
600
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ker
apat
an (
btg
ha-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis
0
5
10
15
20
25
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis
(a)
(b)
60
tegakan. Untuk kelompok non Dipterocarpaceae tindakan pembebasan tidak memberikan
perbedaan terhadap kerapatan tegakan tetapi mempunyai perbedaan terhadap nilai bidang
dasar tegakan. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai kerapatan
untuk masing-masing kelompok jenis mempunyai pola yang serupa, tetapi berbeda terhadap
nilai bidang dasar tegakan (Gambar 34). Penilaian karakteristik kelompok jenis
Dipterocarpaceae sebagai kelompok jenis komersial utama sangat penting bagi penilaian
pemulihan hutan bekas tebangan baik dengan maupun tanpa perlakuan dalam rangka
kontinuitas hasil hutan yang diambil berupa kayu.
Gambar 34. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap
nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar berdasakan kelompok jenis
0
100
200
300
400
500
600
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ker
apat
an (
btg
ha-
1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis
0
5
10
15
20
25
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-
1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis
(a)
(b)
60
tegakan. Untuk kelompok non Dipterocarpaceae tindakan pembebasan tidak memberikan
perbedaan terhadap kerapatan tegakan tetapi mempunyai perbedaan terhadap nilai bidang
dasar tegakan. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai kerapatan
untuk masing-masing kelompok jenis mempunyai pola yang serupa, tetapi berbeda terhadap
nilai bidang dasar tegakan (Gambar 34). Penilaian karakteristik kelompok jenis
Dipterocarpaceae sebagai kelompok jenis komersial utama sangat penting bagi penilaian
pemulihan hutan bekas tebangan baik dengan maupun tanpa perlakuan dalam rangka
kontinuitas hasil hutan yang diambil berupa kayu.
Gambar 34. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap
nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar berdasakan kelompok jenis
0
100
200
300
400
500
600
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ker
apat
an (
btg
ha-
1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis
0
5
10
15
20
25
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Bid
ang
das
ar (
m2
ha-
1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis
(a)
(b)
61
Komposisi jenis penyusun tegakan hutan bekas tebangan setelah 23 tahun
cenderung lebih didominansi oleh kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Pada tegakan
dengan pembebasan, kelompok jenis Dipterocarpaceae akan meningkat seiring dengan
penurunan non Dipterocarpaceae. Hal ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tegakan
merupakan fungsi ekofisiologis termasuk adanya pengaruh perlakuan yang diberikan
(Coates dan Burton 1997). Jumlah pohon dan struktur tegakan yang menggambarkan
tingkat ketersediaan tegakan pada setiap tingkat pertumbuhan tegakan, diduga berpengaruh
terhadap kemampuan regenerasi atau pertumbuhan tegakan termasuk kecepatan pemulihan
tegakan (Smith dan Nichols 2005; Muhdin 2012).
Penilaian pemulihan yang lebih spesifik pada kelompok jenis untuk mendukung
kebutuhan prediksi pertumbuhan tegakan hutan yang lebih efektif dengan melibatkan aspek
dinamika karakteristik ekologi (Chertov et al. 2005). Serta penilaian kuantitatif berdasarkan
sampling floristik yang ditujukan dalam konteks perencanaan dan interpretasi penelitian
ekologi untuk kepentingan konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani dan
Parthasarathy 2006). Sehingga dalam pengelolaan hutan terutama aspek perencanaan,
model-model kuantitatif dapat digunakan untuk meningkatkan nilai akurasi dan validitas
dalam mencapai pengelolaan yang berkelanjutan (Phillips et al. 2002).
Beberapa hal penting dalam tinjauan model struktur tegakan hutan yang terbentuk
setelah penebangan pada kajian plot STREK adalah sebagai berikut:
1) Dimensi kuantitatif tegakan hutan 23 tahun setelah penebangan akan mendekati kondisi
hutan primer berdasarkan dimensi statis tegakan (kerapatan dan bidang dasar tegakan),
tetapi masih didominasi oleh kelompok jenis non Dipterocarpaceae.
2) Dimensi kuantitatif tegakan hutan bekas tebangan 23 tahun setelah pembebasan baik
secara sistematis maupun berbasis pohon binaan belum memberikan perbedaan yang
nyata terhadap kelompok jenis Dipterocarpaceae baik berdasarkan kerapatan maupun
bidang dasar tegakan.
3) Pemulihan tegakan dan respon tindakan pembebasan berdasarkan struktur harizontal
tegakan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae akan lebih lambat dibandingkan
kelompok jenis non Dipterocarpaceae.
4) Model famili sebaran lognormal dapat digunakan untuk menerangkan struktur tegakan
kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non
Dipterocarpaceae dan semua jenis.
61
Komposisi jenis penyusun tegakan hutan bekas tebangan setelah 23 tahun
cenderung lebih didominansi oleh kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Pada tegakan
dengan pembebasan, kelompok jenis Dipterocarpaceae akan meningkat seiring dengan
penurunan non Dipterocarpaceae. Hal ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tegakan
merupakan fungsi ekofisiologis termasuk adanya pengaruh perlakuan yang diberikan
(Coates dan Burton 1997). Jumlah pohon dan struktur tegakan yang menggambarkan
tingkat ketersediaan tegakan pada setiap tingkat pertumbuhan tegakan, diduga berpengaruh
terhadap kemampuan regenerasi atau pertumbuhan tegakan termasuk kecepatan pemulihan
tegakan (Smith dan Nichols 2005; Muhdin 2012).
Penilaian pemulihan yang lebih spesifik pada kelompok jenis untuk mendukung
kebutuhan prediksi pertumbuhan tegakan hutan yang lebih efektif dengan melibatkan aspek
dinamika karakteristik ekologi (Chertov et al. 2005). Serta penilaian kuantitatif berdasarkan
sampling floristik yang ditujukan dalam konteks perencanaan dan interpretasi penelitian
ekologi untuk kepentingan konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani dan
Parthasarathy 2006). Sehingga dalam pengelolaan hutan terutama aspek perencanaan,
model-model kuantitatif dapat digunakan untuk meningkatkan nilai akurasi dan validitas
dalam mencapai pengelolaan yang berkelanjutan (Phillips et al. 2002).
Beberapa hal penting dalam tinjauan model struktur tegakan hutan yang terbentuk
setelah penebangan pada kajian plot STREK adalah sebagai berikut:
1) Dimensi kuantitatif tegakan hutan 23 tahun setelah penebangan akan mendekati kondisi
hutan primer berdasarkan dimensi statis tegakan (kerapatan dan bidang dasar tegakan),
tetapi masih didominasi oleh kelompok jenis non Dipterocarpaceae.
2) Dimensi kuantitatif tegakan hutan bekas tebangan 23 tahun setelah pembebasan baik
secara sistematis maupun berbasis pohon binaan belum memberikan perbedaan yang
nyata terhadap kelompok jenis Dipterocarpaceae baik berdasarkan kerapatan maupun
bidang dasar tegakan.
3) Pemulihan tegakan dan respon tindakan pembebasan berdasarkan struktur harizontal
tegakan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae akan lebih lambat dibandingkan
kelompok jenis non Dipterocarpaceae.
4) Model famili sebaran lognormal dapat digunakan untuk menerangkan struktur tegakan
kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non
Dipterocarpaceae dan semua jenis.
BAB 6MORTALITAS DAN
ALIH TUMBUH (INGROWTH)
BAB 6MORTALITAS DAN
ALIH TUMBUH (INGROWTH)
62
6 MORTALITAS DAN ALIH TUMBUH (INGROWTH)
Ragam kondisi hutan primer dan hutan bekas tebangan menunjukkan perbedaan
struktur, komposisi jenis dan nilai potensi (Ishida et al. 2005). Hal ini juga berpengaruh
terhadap serta variasi kerapatan tegakan, laju tingkat kematian (mortalitas) dan laju tingkat
alih tumbuh (ingrowth) dalam tegakan tersebut. Aspek-aspek tersebut merupakan input dasar
dalam berbagai analisis yang dilakukan dalam populasi hutan hujan tropika antara lain untuk
menerangkan dinamika dalam tegakan hutan (Lewis et al. 2004). Pemulihan tegakan setelah
tebangan (recovery) dalam pertumbuhan dan pembentukan kondisi tegakan terjadi sebagai
fungsi waktu (Smith dan Nichols 2005). Hutan setelah tebangan mempunyai fluktuasi
dalam dinamika tegakan, pertumbuhan dan jumlah pohon yang mati sepanjang waktu
setelah pemanenan (Mex 2005; Hardiansyah et al. 2005). Bentuk atau tingkat kematian
tegakan dapat ditentukan berdasarkan kerapatan tegakan (Kurinobu et al. 2006). Dalam
Gourlet-Fleury et al. (2005) hasil analisis dinamika tegakan setelah pemanenan jenis
Dipterocarpus guianensis di Paracou menunjukkan dampak negatif dari pemanenan yaitu
terjadinya tingkat kematian yang lebih besar daripada di hutan primer.
Kegiatan penebangan hutan akan menimbukan pengaruh terhadap kondisi
lingkungan dan struktur serta komposisi jenis tegakan yang ada. Whitmore (1984),
menyatakan bahwa peluang kerusakan terbesar terutama terjadi pada jenis pohon-pohon
yang dapat ditebang (jenis komersial). Richards (1964) menyatakan hutan primer dengan
strukturnya yang teratur, akan berubah menjadi kelompok - kelompok hutan sekunder yang
tidak teratur susunannya setelah dilakukan penebangan hutan terseleksi. Setelah penebangan,
beberapa komponen tegakan hutan akan berubah seperti struktur kanopi, komposisi jenis
dan tingkat pertumbuhan (Silva et al. 1995; Sist et al. 2003). Dinamika tegakan hutan
merupakan aspek penting sebagai pertimbangan dalam penebangan dan aspek konservasi
sumber daya hutan dalam suatu sistem pengelolaan hutan (Sokpon dan Biaou 2002; Obiri et
al. 2002 dalam Marin et al. 2005). Perlakuan atau tindakan yang berbeda akan membentuk
struktur tegakan hutan bekas tebangan yang berbeda pula, terutama dalam pola
pertumbuhan yang dihasilkan (Saridan dan Susanty 2005). Perbedaan limit diameter
tebangan yang menunjukkan tingkat atau intensitas penebangan akan meningkatkan tingkat
kerusakan pada tegakan tinggal dan pembukaan areal hutan yang lebih besar. Pemulihan
kondisi tegakan hutan mendekati kondisi tegakan awal sangat beragam tergantung pada
tingkat kerusakan hutan dan daya dukung lingkungannya (Muhdin et al. 2008).
Model pertumbuhan dan hasil merupakan salah satu perangkat manajemen kuantitatif
yang penting dalam pengaturan hasil terutama dalam siklus kedua dan selanjutnya. Kondisi
hutan bekas tebangan mempunyai variasi dalam struktur dan kerapatan tegakan, serta
tingkat atau laju kematian (mortality) dan alih tumbuh (ingrowth) dalam hutan tersebut.
62
6 MORTALITAS DAN ALIH TUMBUH (INGROWTH)
Ragam kondisi hutan primer dan hutan bekas tebangan menunjukkan perbedaan
struktur, komposisi jenis dan nilai potensi (Ishida et al. 2005). Hal ini juga berpengaruh
terhadap serta variasi kerapatan tegakan, laju tingkat kematian (mortalitas) dan laju tingkat
alih tumbuh (ingrowth) dalam tegakan tersebut. Aspek-aspek tersebut merupakan input dasar
dalam berbagai analisis yang dilakukan dalam populasi hutan hujan tropika antara lain untuk
menerangkan dinamika dalam tegakan hutan (Lewis et al. 2004). Pemulihan tegakan setelah
tebangan (recovery) dalam pertumbuhan dan pembentukan kondisi tegakan terjadi sebagai
fungsi waktu (Smith dan Nichols 2005). Hutan setelah tebangan mempunyai fluktuasi
dalam dinamika tegakan, pertumbuhan dan jumlah pohon yang mati sepanjang waktu
setelah pemanenan (Mex 2005; Hardiansyah et al. 2005). Bentuk atau tingkat kematian
tegakan dapat ditentukan berdasarkan kerapatan tegakan (Kurinobu et al. 2006). Dalam
Gourlet-Fleury et al. (2005) hasil analisis dinamika tegakan setelah pemanenan jenis
Dipterocarpus guianensis di Paracou menunjukkan dampak negatif dari pemanenan yaitu
terjadinya tingkat kematian yang lebih besar daripada di hutan primer.
Kegiatan penebangan hutan akan menimbukan pengaruh terhadap kondisi
lingkungan dan struktur serta komposisi jenis tegakan yang ada. Whitmore (1984),
menyatakan bahwa peluang kerusakan terbesar terutama terjadi pada jenis pohon-pohon
yang dapat ditebang (jenis komersial). Richards (1964) menyatakan hutan primer dengan
strukturnya yang teratur, akan berubah menjadi kelompok - kelompok hutan sekunder yang
tidak teratur susunannya setelah dilakukan penebangan hutan terseleksi. Setelah penebangan,
beberapa komponen tegakan hutan akan berubah seperti struktur kanopi, komposisi jenis
dan tingkat pertumbuhan (Silva et al. 1995; Sist et al. 2003). Dinamika tegakan hutan
merupakan aspek penting sebagai pertimbangan dalam penebangan dan aspek konservasi
sumber daya hutan dalam suatu sistem pengelolaan hutan (Sokpon dan Biaou 2002; Obiri et
al. 2002 dalam Marin et al. 2005). Perlakuan atau tindakan yang berbeda akan membentuk
struktur tegakan hutan bekas tebangan yang berbeda pula, terutama dalam pola
pertumbuhan yang dihasilkan (Saridan dan Susanty 2005). Perbedaan limit diameter
tebangan yang menunjukkan tingkat atau intensitas penebangan akan meningkatkan tingkat
kerusakan pada tegakan tinggal dan pembukaan areal hutan yang lebih besar. Pemulihan
kondisi tegakan hutan mendekati kondisi tegakan awal sangat beragam tergantung pada
tingkat kerusakan hutan dan daya dukung lingkungannya (Muhdin et al. 2008).
Model pertumbuhan dan hasil merupakan salah satu perangkat manajemen kuantitatif
yang penting dalam pengaturan hasil terutama dalam siklus kedua dan selanjutnya. Kondisi
hutan bekas tebangan mempunyai variasi dalam struktur dan kerapatan tegakan, serta
tingkat atau laju kematian (mortality) dan alih tumbuh (ingrowth) dalam hutan tersebut.
63
(Phillips et al. 2002). Menurut Simon (2007) terdapat 3 (tiga) elemen dasar untuk
pertumbuhan tegakan, yaitu tambah tumbuh (accretion), mortalitas (mortality) dan alih tumbuh
(ingrowth). Tambah tumbuh adalah pertumbuhan semua pohon yang diukur sejak awal
sampai akhir pengamatan. Mortalitas atau kematian (mortality) adalah jumlah pohon yang
mati selama periode pengamatan, sedangkan alih tumbuh (ingrowth/recruitment) merupakan
jumlah pohon baru yang masuk ke kelas pengukuran terkecil (kelas diameter terendah)
selama periode pengukuran (Davis et al. 2001).
Melalui pembangunan plot sampel permanen dalam konsesi hutan, pengumpulan
database monitoring dampak penebangan dapat dilakukan secara periodik dalam unit
pengelolaan hutan operasional. Salah satu prinsip pembangunan model pengaturan hasil
dapat dilakukan dengan menggunakan data pengukuran baik pada plot permanen maupun
temporer (Vanclay 1988). Variabel input terutama diameter-struktur tegakan dihasilkan dari
inventarisasi hutan secara klasik (Durrieu de Madron dan Forni 1997; Alder 2002 diacu
dalam Gourlet-Fleury et al. 2005). Keterbatasan informasi tingkat mortalitas seringkali
dilakukan dengan membangun model mortalitas yang dihasilkan dari korelasinya dengan
variabel tegakan yang terukur (Flewelling dan Monserud 2002). Keterbatasan data
mortalitas dan ingrowth dalam membangun model pengaturan hasil tegakan akan
menghasilkan bias dalam proyeksi kondisi tegakan. Penentuan laju mortalitas dan ingrowth
pada variasi kondisi hutan berdasarkan runtun waktu (time series) akan menunjang
penyediaan perangkat manajemen kuantitatif pengelolaan hutan.
Kondisi tegakan yang beragam akan membentuk pola keragaman terhadap respon
input tindakan atau perlakuan yang diberikan, baik berupa variasi intensitas penebangan,
teknik pembebasan maupun tindakan silvikultur lainnya. Dengan variasi karakteristik
tegakan dan kondisi hutan alam yang sebagian besar berupa bekas tebangan maka
diperlukan upaya dalam menyediakan informasi kuantitatif karakteristik tegakan dalam
perencanaan pengelolaan hutan terutama pada areal hutan bekas tebangan.
6.1. Mortalitas Tegakan
Tingkat mortalitas tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda akan
dipengaruhi oleh intensitas penebangan berdasarkan jumlah dan volume pohon yang
ditebang. Intensitas penebangan terbesar adalah teknik penebangan konvensional dengan
jumlah pohon yang ditebang 10.1 + 4.2 batang ha-1 dengan volume 107.2 + 59.6 m3 ha-1,
selanjutnya pada RIL 50 dengan intensitas penebangan 10.7 + 4.9 batang ha-1 dengan
volume 96.8 + 66.5 m3 ha-1 dan intensitas yang terendah adalah pada RIL 60 dengan
menebang 7.0 + 3.0 batang ha-1 dengan volume 56.5 + 23.3 m3 ha-1 (Sist dan Bertault 1998).
Berdasarkan laporan tersebut menunjukkan kecenderungan intensitas logging yang
meningkat secara berturut-turut adalah RIL 60, RIL 50 dan konvensional (Tabel 9).
63
(Phillips et al. 2002). Menurut Simon (2007) terdapat 3 (tiga) elemen dasar untuk
pertumbuhan tegakan, yaitu tambah tumbuh (accretion), mortalitas (mortality) dan alih tumbuh
(ingrowth). Tambah tumbuh adalah pertumbuhan semua pohon yang diukur sejak awal
sampai akhir pengamatan. Mortalitas atau kematian (mortality) adalah jumlah pohon yang
mati selama periode pengamatan, sedangkan alih tumbuh (ingrowth/recruitment) merupakan
jumlah pohon baru yang masuk ke kelas pengukuran terkecil (kelas diameter terendah)
selama periode pengukuran (Davis et al. 2001).
Melalui pembangunan plot sampel permanen dalam konsesi hutan, pengumpulan
database monitoring dampak penebangan dapat dilakukan secara periodik dalam unit
pengelolaan hutan operasional. Salah satu prinsip pembangunan model pengaturan hasil
dapat dilakukan dengan menggunakan data pengukuran baik pada plot permanen maupun
temporer (Vanclay 1988). Variabel input terutama diameter-struktur tegakan dihasilkan dari
inventarisasi hutan secara klasik (Durrieu de Madron dan Forni 1997; Alder 2002 diacu
dalam Gourlet-Fleury et al. 2005). Keterbatasan informasi tingkat mortalitas seringkali
dilakukan dengan membangun model mortalitas yang dihasilkan dari korelasinya dengan
variabel tegakan yang terukur (Flewelling dan Monserud 2002). Keterbatasan data
mortalitas dan ingrowth dalam membangun model pengaturan hasil tegakan akan
menghasilkan bias dalam proyeksi kondisi tegakan. Penentuan laju mortalitas dan ingrowth
pada variasi kondisi hutan berdasarkan runtun waktu (time series) akan menunjang
penyediaan perangkat manajemen kuantitatif pengelolaan hutan.
Kondisi tegakan yang beragam akan membentuk pola keragaman terhadap respon
input tindakan atau perlakuan yang diberikan, baik berupa variasi intensitas penebangan,
teknik pembebasan maupun tindakan silvikultur lainnya. Dengan variasi karakteristik
tegakan dan kondisi hutan alam yang sebagian besar berupa bekas tebangan maka
diperlukan upaya dalam menyediakan informasi kuantitatif karakteristik tegakan dalam
perencanaan pengelolaan hutan terutama pada areal hutan bekas tebangan.
6.1. Mortalitas Tegakan
Tingkat mortalitas tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda akan
dipengaruhi oleh intensitas penebangan berdasarkan jumlah dan volume pohon yang
ditebang. Intensitas penebangan terbesar adalah teknik penebangan konvensional dengan
jumlah pohon yang ditebang 10.1 + 4.2 batang ha-1 dengan volume 107.2 + 59.6 m3 ha-1,
selanjutnya pada RIL 50 dengan intensitas penebangan 10.7 + 4.9 batang ha-1 dengan
volume 96.8 + 66.5 m3 ha-1 dan intensitas yang terendah adalah pada RIL 60 dengan
menebang 7.0 + 3.0 batang ha-1 dengan volume 56.5 + 23.3 m3 ha-1 (Sist dan Bertault 1998).
Berdasarkan laporan tersebut menunjukkan kecenderungan intensitas logging yang
meningkat secara berturut-turut adalah RIL 60, RIL 50 dan konvensional (Tabel 9).
64
Tabel 9. Risalah intensitas penebangan pada plot penelitian
Plot Bidang dasar
(m2 ha-1) Pohon (n ha-1)
Volume
(m3 ha-1)
Volume komersial
(% tebangan)
2 (RIL50)
3 (RIL50)
12 (RIL50)
9.8 + 5.2
11.7 + 6.4
30.8 + 6.2
9.0 + 5.3
8.2 + 3.9
15.0 + 2.7
51.0 + 33.6
65.7 + 39.8
173.8 + 38.8
61.4
59.0
56.5
Rataan + SD 17.5 + 11.3 10.7 + 4.9 96.8 + 66.5 59.0 + 2.4
5 (RIL60)
6 (RIL60)
7 (RIL60)
8.3 + 5.4
10.4 + 2.4
15.4 + 7.3
4.7 + 3.3
7.7 + 1.7
8.5 + 3.1
42.6 + 23.9
57.4 + 14.5
69.6 + 26.9
54.0
50.9
45.3
Rataan + SD 11.4 + 5.8 7.0 + 3.0 56.5 + 23.3 50.1 + 4.4
8 (CNV)
9 (CNV)
11 (CNV)
22.1 + 8.9
13.3 + 2.7
17.6 + 13.3
12.2 + 5.1
8.5 + 3.7
10.5 + 4.4
126.3 + 52.5
85.8 + 26.2
109.5 + 92.3
51.2
51.2
54.0
Rataan + SD 17.7 + 9.3 10.1 + 4.2 107.2 + 59.6 52.3 + 1.6
Sumber: Sist dan Bertault (1998)
Adanya keragaman struktur dan komposisi tegakan menyebabkan tindakan
pembebasan yang dilakukan menjadi bervariasi. Tindakan pembebasan dilakukan dengan
membunuh pohon jenis non komersial dan jenis kurang dikenal dengan maksimal 35% dari
total luas bidang dasar ha-1 (Sist dan Abdurachman 1998). Pada plot penelitian dilakukan
pembebasan dengan teknik sistematis dan pembebasan berbasis pada pohon binaan.
Fluktuasi kematian (mortalitas) rataan dalam jumlah batang per hektar per 2 tahun
pada masing-masing plot penelitian dengan teknik penebangan dan pembebasan yang
berbeda hingga jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan hutan bekas tebangan
dengan teknik pembebasan dikelompokkan berdasarkan jenis Dipterocarpaceae (yang terbagi
dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis.
Tingkat kematian pohon dalam tegakan (mortalitas) untuk semua jenis pada hutan bekas
tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda dan dengan teknik pembebasan yang
berbeda akan mempunyai pola fluktuasi yang berbeda sepanjang pengukuran (Gambar 35).
Pada hutan bekas penebangan mempunyai tingkat mortalitas yang besar pada tahun ke-1
dan tahun ke-3 dibandingkan hutan primer, sedangkan pada hutan setelah pembebasan
mempunyai tingkat mortalitas yang besar pada tahun ke-1 hingga tahun ke-5 dibandingkan
kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan.
64
Tabel 9. Risalah intensitas penebangan pada plot penelitian
Plot Bidang dasar
(m2 ha-1) Pohon (n ha-1)
Volume
(m3 ha-1)
Volume komersial
(% tebangan)
2 (RIL50)
3 (RIL50)
12 (RIL50)
9.8 + 5.2
11.7 + 6.4
30.8 + 6.2
9.0 + 5.3
8.2 + 3.9
15.0 + 2.7
51.0 + 33.6
65.7 + 39.8
173.8 + 38.8
61.4
59.0
56.5
Rataan + SD 17.5 + 11.3 10.7 + 4.9 96.8 + 66.5 59.0 + 2.4
5 (RIL60)
6 (RIL60)
7 (RIL60)
8.3 + 5.4
10.4 + 2.4
15.4 + 7.3
4.7 + 3.3
7.7 + 1.7
8.5 + 3.1
42.6 + 23.9
57.4 + 14.5
69.6 + 26.9
54.0
50.9
45.3
Rataan + SD 11.4 + 5.8 7.0 + 3.0 56.5 + 23.3 50.1 + 4.4
8 (CNV)
9 (CNV)
11 (CNV)
22.1 + 8.9
13.3 + 2.7
17.6 + 13.3
12.2 + 5.1
8.5 + 3.7
10.5 + 4.4
126.3 + 52.5
85.8 + 26.2
109.5 + 92.3
51.2
51.2
54.0
Rataan + SD 17.7 + 9.3 10.1 + 4.2 107.2 + 59.6 52.3 + 1.6
Sumber: Sist dan Bertault (1998)
Adanya keragaman struktur dan komposisi tegakan menyebabkan tindakan
pembebasan yang dilakukan menjadi bervariasi. Tindakan pembebasan dilakukan dengan
membunuh pohon jenis non komersial dan jenis kurang dikenal dengan maksimal 35% dari
total luas bidang dasar ha-1 (Sist dan Abdurachman 1998). Pada plot penelitian dilakukan
pembebasan dengan teknik sistematis dan pembebasan berbasis pada pohon binaan.
Fluktuasi kematian (mortalitas) rataan dalam jumlah batang per hektar per 2 tahun
pada masing-masing plot penelitian dengan teknik penebangan dan pembebasan yang
berbeda hingga jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan hutan bekas tebangan
dengan teknik pembebasan dikelompokkan berdasarkan jenis Dipterocarpaceae (yang terbagi
dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis.
Tingkat kematian pohon dalam tegakan (mortalitas) untuk semua jenis pada hutan bekas
tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda dan dengan teknik pembebasan yang
berbeda akan mempunyai pola fluktuasi yang berbeda sepanjang pengukuran (Gambar 35).
Pada hutan bekas penebangan mempunyai tingkat mortalitas yang besar pada tahun ke-1
dan tahun ke-3 dibandingkan hutan primer, sedangkan pada hutan setelah pembebasan
mempunyai tingkat mortalitas yang besar pada tahun ke-1 hingga tahun ke-5 dibandingkan
kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan.
65
Gambar 35. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas
tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda
Pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda, kelompok jenis
non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat mortalitas yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok jenis Dipterocarpaceae (Gambar 36). Mortalitas tertinggi terjadi pada tahun ke-1
dan ke-3 setelah penebangan, kemudian mulai berimpit sejak tahun ke-5. Mortalitas terbesar
terjadi pada teknik penebangan konvensional (intensitas penebangan tertinggi) baik untuk
kelompok jenis Dipterocarpacaeae maupun non Dipterocarpacaeae.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 23
kem
atia
n (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(a)
(b)
65
Gambar 35. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas
tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda
Pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda, kelompok jenis
non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat mortalitas yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok jenis Dipterocarpaceae (Gambar 36). Mortalitas tertinggi terjadi pada tahun ke-1
dan ke-3 setelah penebangan, kemudian mulai berimpit sejak tahun ke-5. Mortalitas terbesar
terjadi pada teknik penebangan konvensional (intensitas penebangan tertinggi) baik untuk
kelompok jenis Dipterocarpacaeae maupun non Dipterocarpacaeae.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 23
kem
atia
n (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(a)
(b)
66
Gambar 36. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
Kelompok jenis Dipterocarpacaeae merupakan kelompok jenis utama komersial yang
ditebang. Untuk meninjau karakteristik mortalitas tegakan Dipterocarpaceae dibagi dalam 2
kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 37). Kelompok jenis
Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai tingkat mortalitas yang cenderung lebih besar
dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki perbedaan jika dibandingkan
dengan kondisi yang berbeda yaitu pada hutan primer. Kelompok jenis Shorea spp. lebih
berfluktuatif dengan tingkat mortalitas pada hutan bekas tebangan lebih rendah
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
(a)
(b)
66
Gambar 36. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
Kelompok jenis Dipterocarpacaeae merupakan kelompok jenis utama komersial yang
ditebang. Untuk meninjau karakteristik mortalitas tegakan Dipterocarpaceae dibagi dalam 2
kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 37). Kelompok jenis
Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai tingkat mortalitas yang cenderung lebih besar
dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki perbedaan jika dibandingkan
dengan kondisi yang berbeda yaitu pada hutan primer. Kelompok jenis Shorea spp. lebih
berfluktuatif dengan tingkat mortalitas pada hutan bekas tebangan lebih rendah
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
(a)
(b)
67
dibandingkan pada hutan primer pada tahun ke-5 hingga tahun ke-9. Sedangkan kelompok
Dipterocarpaceae non Shorea pada hutan bekas tebangan memiliki kecenderungan lebih tinggi
dibandingkan kondisi hutan primer hingga tahun ke-11.
Gambar 37. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea
Pada hutan bekas tebangan berumur 11 tahun yang diberi perlakuan atau tindakan
silvikultur berupa pembebasan teknik yang berbeda, kelompok jenis Dipterocarpaceae
mempunyai pola fluktuasi mortalitas yang berbeda dibandingkan dengan kelompok jenis
non Dipterocarpaceae sepanjang 23 tahun pengamatan (Gambar 38). Tingkat mortalitas
0
5
10
15
20
25
30
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
0
10
20
30
40
50
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
(a)
(b)
67
dibandingkan pada hutan primer pada tahun ke-5 hingga tahun ke-9. Sedangkan kelompok
Dipterocarpaceae non Shorea pada hutan bekas tebangan memiliki kecenderungan lebih tinggi
dibandingkan kondisi hutan primer hingga tahun ke-11.
Gambar 37. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea
Pada hutan bekas tebangan berumur 11 tahun yang diberi perlakuan atau tindakan
silvikultur berupa pembebasan teknik yang berbeda, kelompok jenis Dipterocarpaceae
mempunyai pola fluktuasi mortalitas yang berbeda dibandingkan dengan kelompok jenis
non Dipterocarpaceae sepanjang 23 tahun pengamatan (Gambar 38). Tingkat mortalitas
0
5
10
15
20
25
30
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
0
10
20
30
40
50
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
(a)
(b)
68
Dipterocarpaceae setelah pembebasan memiliki pola yang cenderung menyerupai kondisi pada
hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol). Sedangkan pada kelompok non
Dipterocarpaceae, tingkat mortalitas terbesar terjadi pada tahun ke-1 hingga tahun ke-5 yang
merupakan efek dari pembebasan yang dilakukan secara peracunan (kematian perlahan).
Gambar 38. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
Kelompok jenis Dipterocarpacaeae merupakan kelompok jenis utama komersial
yang dijadikan sebagai pohon binaan dalam kegiatan pembebasan tegakan setelah
penebangan. Respon tegakan Dipterocarpaceae setelah pembebasan terhadap tingkat
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
0
20
40
60
80
100
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(b)
(a)
68
Dipterocarpaceae setelah pembebasan memiliki pola yang cenderung menyerupai kondisi pada
hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol). Sedangkan pada kelompok non
Dipterocarpaceae, tingkat mortalitas terbesar terjadi pada tahun ke-1 hingga tahun ke-5 yang
merupakan efek dari pembebasan yang dilakukan secara peracunan (kematian perlahan).
Gambar 38. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
Kelompok jenis Dipterocarpacaeae merupakan kelompok jenis utama komersial
yang dijadikan sebagai pohon binaan dalam kegiatan pembebasan tegakan setelah
penebangan. Respon tegakan Dipterocarpaceae setelah pembebasan terhadap tingkat
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
0
20
40
60
80
100
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(b)
(a)
69
mortalitas dibagi dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea
(Gambar 39). Kelompok jenis Shorea spp. cenderung mempunyai tingkat mortalitas yang
lebih besar dan fluktuatif dibandingkan Dipterocarpaceae non Shorea. Mortalitas kelompok
jenis Shorea spp. pada tegakan setelah pembebasan lebih besar pada tahun ke-5 dan tahun
ke-7 dibandingkan pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Sedangkan kelompok
Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai fluktuasi mortalitas yang lebih sempit (dibawah 5 btg
ha-1 2th-1) baik pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan maupun tanpa perlakuan
(kontrol).
Gambar 39. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(b)
(a)
69
mortalitas dibagi dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea
(Gambar 39). Kelompok jenis Shorea spp. cenderung mempunyai tingkat mortalitas yang
lebih besar dan fluktuatif dibandingkan Dipterocarpaceae non Shorea. Mortalitas kelompok
jenis Shorea spp. pada tegakan setelah pembebasan lebih besar pada tahun ke-5 dan tahun
ke-7 dibandingkan pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Sedangkan kelompok
Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai fluktuasi mortalitas yang lebih sempit (dibawah 5 btg
ha-1 2th-1) baik pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan maupun tanpa perlakuan
(kontrol).
Gambar 39. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Kem
atia
n (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(b)
(a)
70
Perhitungan laju mortalitas (% ha-1 2th-1) pada masing-masing plot penelitian
dilakukan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi menjadi Shorea spp. dan
Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Laju mortalitas rataan
pada teknik penebangan yang berbeda dan setelah pembebasan menunjukkan hasil yang
berbeda (Tabel 10). Semakin tinggi tingkat intensitas penebangan akan semakin tinggi
tingkat mortalitas tegakan rataan. Pada hutan bekas tebangan tingkat mortalitas tegakan
sebesar 2.5-29.3% ha-1 2th-1. Tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada tahun ke-1 dan tahun
ke-3 setelah penebangan yang berkisar antara 6.9-40.4% ha-1 2th-1, dan menurun setelah
tahun ke-5. Pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan mempunyai tingkat mortalitas
yang berkisar antara 1.0-13.6% ha-1 2th-1, dengan tingkat mortalitas tegakan tertinggi setelah
pembebasan terjadi pada tahun ke-3 dan tahun ke-5. Pada hutan bekas tebangan 13-25
tahun mempunyai kisaran mortalitas 1.3-9.6% ha-1 2th-1 dengan rataan 4.53% ha-1 2th-1.
Sedangkan pada hutan primer mempunyai fluktuasi tingkat mortalitas untuk semua jenis
yang lebih rendah yaitu 2.0-6.0% ha-1 2th-1 dengan rataan 3.29% ha-1 2th-1.
Tabel 10. Laju kematian (mortalitas) tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis
Kondisi HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(% ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 23.7 10.9 4.3 5.8 3.0 2.9 2.7 3.4 3.3 3.4
SD 10.6 6.2 1.4 1.2 0.7 1.1 1.1 1.7 1.5 1.7
RIL60 Rataan 22.3 8.3 4.4 5.5 3.3 2.5 2.5 2.5 3.5 2.8
SD 8.1 3.5 1.1 1.3 0.9 0.8 1.1 1.3 2.0 1.3
CNV Rataan 29.3 12.8 2.8 6.8 3.3 3.6 2.8 2.9 4.3 4.4
SD 9.2 8.0 1.3 2.3 0.9 2.1 1.0 1.9 0.4 1.9
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 2.9 3.2 4.7 6.0 3.2 3.4 2.7 2.0 3.2 2.9
SD 1.0 1.3 5.1 1.8 1.2 1.5 1.5 1.4 2.0 1.9
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 3.4 13.6 6.1 9.5 4.0 7.7 3.2 6.1 8.2
SD 1.5 2.7 3.8 4.6 1.6 5.8 1.4 2.2 6.1
PPB Rataan 4.6 13.2 6.0 8.7 2.9 3.3 3.3 4.1 12.2
SD 3.2 2.8 3.6 3.3 1.0 1.0 1.2 2.4 8.6
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 3.7 4.3 2.4 9.6 4.7 3.1 3.9 4.1 11.6
SD 1.3 1.5 1.6 5.0 3.6 1.3 1.7 1.9 4.1
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Beberapa studi di Kalimantan Timur pada hutan bekas tebangan 2 tahun
mempunyai tingkat mortalitas tegakan 2.5% th-1 (Primack et al. 1985; Nguyen-The et al.
1998). Tingkat mortalitas setelah tahun ke-5 pada penelitian ini mendekati kondisi pada
70
Perhitungan laju mortalitas (% ha-1 2th-1) pada masing-masing plot penelitian
dilakukan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi menjadi Shorea spp. dan
Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Laju mortalitas rataan
pada teknik penebangan yang berbeda dan setelah pembebasan menunjukkan hasil yang
berbeda (Tabel 10). Semakin tinggi tingkat intensitas penebangan akan semakin tinggi
tingkat mortalitas tegakan rataan. Pada hutan bekas tebangan tingkat mortalitas tegakan
sebesar 2.5-29.3% ha-1 2th-1. Tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada tahun ke-1 dan tahun
ke-3 setelah penebangan yang berkisar antara 6.9-40.4% ha-1 2th-1, dan menurun setelah
tahun ke-5. Pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan mempunyai tingkat mortalitas
yang berkisar antara 1.0-13.6% ha-1 2th-1, dengan tingkat mortalitas tegakan tertinggi setelah
pembebasan terjadi pada tahun ke-3 dan tahun ke-5. Pada hutan bekas tebangan 13-25
tahun mempunyai kisaran mortalitas 1.3-9.6% ha-1 2th-1 dengan rataan 4.53% ha-1 2th-1.
Sedangkan pada hutan primer mempunyai fluktuasi tingkat mortalitas untuk semua jenis
yang lebih rendah yaitu 2.0-6.0% ha-1 2th-1 dengan rataan 3.29% ha-1 2th-1.
Tabel 10. Laju kematian (mortalitas) tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis
Kondisi HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(% ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 23.7 10.9 4.3 5.8 3.0 2.9 2.7 3.4 3.3 3.4
SD 10.6 6.2 1.4 1.2 0.7 1.1 1.1 1.7 1.5 1.7
RIL60 Rataan 22.3 8.3 4.4 5.5 3.3 2.5 2.5 2.5 3.5 2.8
SD 8.1 3.5 1.1 1.3 0.9 0.8 1.1 1.3 2.0 1.3
CNV Rataan 29.3 12.8 2.8 6.8 3.3 3.6 2.8 2.9 4.3 4.4
SD 9.2 8.0 1.3 2.3 0.9 2.1 1.0 1.9 0.4 1.9
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 2.9 3.2 4.7 6.0 3.2 3.4 2.7 2.0 3.2 2.9
SD 1.0 1.3 5.1 1.8 1.2 1.5 1.5 1.4 2.0 1.9
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 3.4 13.6 6.1 9.5 4.0 7.7 3.2 6.1 8.2
SD 1.5 2.7 3.8 4.6 1.6 5.8 1.4 2.2 6.1
PPB Rataan 4.6 13.2 6.0 8.7 2.9 3.3 3.3 4.1 12.2
SD 3.2 2.8 3.6 3.3 1.0 1.0 1.2 2.4 8.6
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 3.7 4.3 2.4 9.6 4.7 3.1 3.9 4.1 11.6
SD 1.3 1.5 1.6 5.0 3.6 1.3 1.7 1.9 4.1
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Beberapa studi di Kalimantan Timur pada hutan bekas tebangan 2 tahun
mempunyai tingkat mortalitas tegakan 2.5% th-1 (Primack et al. 1985; Nguyen-The et al.
1998). Tingkat mortalitas setelah tahun ke-5 pada penelitian ini mendekati kondisi pada
71
areal hutan bekas tebangan di Papua New Guinea dengan tingkat mortalitas yang rendah
yaitu sebesar 2.5% ha-1 th-1 (Mex 2005). Tingkat mortalitas pada plot penelitian cenderung
lebih besar dibandingkan dengan beberapa hutan Dipterocarpaceae campuran di Asia yang
mempunyai tingkat mortalitas sebesar 1.5% th-1 (Nguyen-The et al. 1998). Jika
dibandingkan dengan tipe hutan lain, hutan Dipterocarpaceae mempunyai tingkat mortalitas
lebih rendah yaitu pada hutan rawa gambut sebesar 6.13% th-1 dan hutan kerangas sebesar
4.26% th-1 (Nishimua et al. 2006). Pada tahun ke-5 hutan setelah penebangan, tingkat
mortalitas telah menurun dan mendekati tingkat mortalitas pada kondisi hutan primer.
Peningkatan mortalitas tegakan berkorelasi dengan intensitas penebangan
(penebangan konvensional lebih tinggi dibandingkan penebangan ramah lingkungan).
Beberapa faktor pembatas menjadi dasar dalam menduga perubahan yang terjadi pada
tingkat tegakan hutan antara lain intensitas penebangan, kondisi tegakan awal dan
komposisi jenis utama penyusun tegakan (Harcombe et al. 2002). Perubahan utama
fluktuasi tingkat mortalitas tegakan terjadi pada 1-3 tahun setelah penebangan dan 1-5 tahun
setelah pembebasan dengan peracunan. Menurut Kariuki et al. (2006), perubahan utama
tegakan setelah penebangan terhadap kelimpahan dan biodiveristas tegakan terjadi pada 5–
10 tahun setelah penebangan.
6.2. Alih Tumbuh (Ingrowth) Tegakan
Tingkat alih tumbuh (ingrowth/rekruitment) menunjukkan kecepatan permudaan
tingkat sapling pada berbagai kondisi tegakan tinggal hutan alam. Tingkat ingrowth tegakan
dalam jumlah batang per hektar per 2 tahun pada masing-masing plot penelitian dengan
teknik penebangan yang berbeda hingga jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan
hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda dilakukan berdasarkan
pengelompokan jenis Dipterocarpaceae (yang terbagi dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non
Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Fluktuasi ingrowth tegakan untuk semua jenis
pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda dan dengan teknik
pembebasan yang berbeda akan mempunyai pola fluktuasi yang berbeda sepanjang waktu
pengamatan dan pengukuran disajikan pada Gambar 40.
71
areal hutan bekas tebangan di Papua New Guinea dengan tingkat mortalitas yang rendah
yaitu sebesar 2.5% ha-1 th-1 (Mex 2005). Tingkat mortalitas pada plot penelitian cenderung
lebih besar dibandingkan dengan beberapa hutan Dipterocarpaceae campuran di Asia yang
mempunyai tingkat mortalitas sebesar 1.5% th-1 (Nguyen-The et al. 1998). Jika
dibandingkan dengan tipe hutan lain, hutan Dipterocarpaceae mempunyai tingkat mortalitas
lebih rendah yaitu pada hutan rawa gambut sebesar 6.13% th-1 dan hutan kerangas sebesar
4.26% th-1 (Nishimua et al. 2006). Pada tahun ke-5 hutan setelah penebangan, tingkat
mortalitas telah menurun dan mendekati tingkat mortalitas pada kondisi hutan primer.
Peningkatan mortalitas tegakan berkorelasi dengan intensitas penebangan
(penebangan konvensional lebih tinggi dibandingkan penebangan ramah lingkungan).
Beberapa faktor pembatas menjadi dasar dalam menduga perubahan yang terjadi pada
tingkat tegakan hutan antara lain intensitas penebangan, kondisi tegakan awal dan
komposisi jenis utama penyusun tegakan (Harcombe et al. 2002). Perubahan utama
fluktuasi tingkat mortalitas tegakan terjadi pada 1-3 tahun setelah penebangan dan 1-5 tahun
setelah pembebasan dengan peracunan. Menurut Kariuki et al. (2006), perubahan utama
tegakan setelah penebangan terhadap kelimpahan dan biodiveristas tegakan terjadi pada 5–
10 tahun setelah penebangan.
6.2. Alih Tumbuh (Ingrowth) Tegakan
Tingkat alih tumbuh (ingrowth/rekruitment) menunjukkan kecepatan permudaan
tingkat sapling pada berbagai kondisi tegakan tinggal hutan alam. Tingkat ingrowth tegakan
dalam jumlah batang per hektar per 2 tahun pada masing-masing plot penelitian dengan
teknik penebangan yang berbeda hingga jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan
hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda dilakukan berdasarkan
pengelompokan jenis Dipterocarpaceae (yang terbagi dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non
Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Fluktuasi ingrowth tegakan untuk semua jenis
pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda dan dengan teknik
pembebasan yang berbeda akan mempunyai pola fluktuasi yang berbeda sepanjang waktu
pengamatan dan pengukuran disajikan pada Gambar 40.
72
Gambar 40. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas
tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda
Seperti halnya pada tingkat mortalitas, tingkat ingrowth memiliki kecenderungan
bahwa intensitas penebangan yang tinggi akan meningkatkan tingkat ingrowth tegakan.
Penebangan dengan teknik konvensional dan penebangan ramah lingkungan dengan limit
diameter 50 cm mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan dengan teknik
penebangan ramah lingkungan dengan limit diameter 60 cm. Ingrowth pada hutan bekas
tebangan lebih tinggi dibandingkan kondisi statis hutan primer. Sedangkan hutan bekas
tebangan dengan pembebasan sistematis akan memberikan respon ingrowth yang lebih besar
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-1
2th
-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(a)
(b)
72
Gambar 40. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas
tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda
Seperti halnya pada tingkat mortalitas, tingkat ingrowth memiliki kecenderungan
bahwa intensitas penebangan yang tinggi akan meningkatkan tingkat ingrowth tegakan.
Penebangan dengan teknik konvensional dan penebangan ramah lingkungan dengan limit
diameter 50 cm mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan dengan teknik
penebangan ramah lingkungan dengan limit diameter 60 cm. Ingrowth pada hutan bekas
tebangan lebih tinggi dibandingkan kondisi statis hutan primer. Sedangkan hutan bekas
tebangan dengan pembebasan sistematis akan memberikan respon ingrowth yang lebih besar
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-1
2th
-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(a)
(b)
73
dibandingkan dengan teknik pembebasan berbasis pohon binaan. Hutan bekas tebangan
yang diberi tindakan pembebasan akan memberikan peningkatan ingrowth 2-3 kali lebih
besar dibandingkan pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Tingkat ingrowth pada
hutan bekas tebangan hingga 23 tahun dan setelah pembebasan akan cenderung lebih besar
dibandingkan kondisi kontrolnya.
Pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda, kelompok
jenis non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok jenis Dipterocarpaceae (Gambar 41).
Gambar 41. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50RIL 60CNVHP
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50RIL 60CNVHP
(b)
(a)
73
dibandingkan dengan teknik pembebasan berbasis pohon binaan. Hutan bekas tebangan
yang diberi tindakan pembebasan akan memberikan peningkatan ingrowth 2-3 kali lebih
besar dibandingkan pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Tingkat ingrowth pada
hutan bekas tebangan hingga 23 tahun dan setelah pembebasan akan cenderung lebih besar
dibandingkan kondisi kontrolnya.
Pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda, kelompok
jenis non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok jenis Dipterocarpaceae (Gambar 41).
Gambar 41. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50RIL 60CNVHP
0
20
40
60
80
100
120
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50RIL 60CNVHP
(b)
(a)
74
Kelompok jenis Dipterocarpacaeae mempunyai tingkat ingrowth kurang dari 20 btg ha-1
2th-1 sepanjang 17 tahun setelah penebangan. Karakteristik ingrowth tegakan Dipterocarpaceae
dibagi dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 42).
Kelompok jenis Shorea spp. mempunyai tingkat ingrowth yang cenderung lebih besar
dibandingkan Dipterocarpaceae non Shorea, tetapi kedua kelompok jenis ini memiliki ingrowth
yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer.
Gambar 42. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea
0
5
10
15
20
25
30
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
0
5
10
15
20
25
30
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
(b)
(a)
74
Kelompok jenis Dipterocarpacaeae mempunyai tingkat ingrowth kurang dari 20 btg ha-1
2th-1 sepanjang 17 tahun setelah penebangan. Karakteristik ingrowth tegakan Dipterocarpaceae
dibagi dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 42).
Kelompok jenis Shorea spp. mempunyai tingkat ingrowth yang cenderung lebih besar
dibandingkan Dipterocarpaceae non Shorea, tetapi kedua kelompok jenis ini memiliki ingrowth
yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer.
Gambar 42. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea
0
5
10
15
20
25
30
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
0
5
10
15
20
25
30
1 3 5 7 9 11 13 15 17 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
RIL 50
RIL 60
CNV
HP
(b)
(a)
75
Pada hutan bekas tebangan berumur 11 tahun dengan teknik pembebasan yang
berbeda, kelompok jenis non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar
dibandingkan dengan kelompok jenis Dipterocarpaceae sepanjang 23 tahun pengamatan
(Gambar 43). Respon pembebasan terhadap tingkat ingrowth mulai menurun pada tahun ke-
9 setelah pembebasan baik untuk Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae.
Gambar 43. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ingr
ow
th (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
0
20
40
60
80
100
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12t
h-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(b)
(a)
75
Pada hutan bekas tebangan berumur 11 tahun dengan teknik pembebasan yang
berbeda, kelompok jenis non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar
dibandingkan dengan kelompok jenis Dipterocarpaceae sepanjang 23 tahun pengamatan
(Gambar 43). Respon pembebasan terhadap tingkat ingrowth mulai menurun pada tahun ke-
9 setelah pembebasan baik untuk Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae.
Gambar 43. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ingr
ow
th (
btg
ha-
1 2t
h-1
)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
0
20
40
60
80
100
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12t
h-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(b)
(a)
76
Respon tegakan Dipterocarpaceae setelah pembebasan terhadap tingkat ingrowth dibagi
dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 44). Kelompok
jenis Shorea spp. cenderung mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan
Dipterocarpaceae non Shorea. Tindakan pembebasan dengan sistematik akan memberikan
efek ingrowth yang lebih besar baik untuk kelompok jenis Shorea spp. maupun Dipterocarpaceae
non Shorea sampai dengan tahun ke-9 setelah pembebasan.
Gambar 44. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12t
h-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12t
h-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(b)
(a)
76
Respon tegakan Dipterocarpaceae setelah pembebasan terhadap tingkat ingrowth dibagi
dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 44). Kelompok
jenis Shorea spp. cenderung mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan
Dipterocarpaceae non Shorea. Tindakan pembebasan dengan sistematik akan memberikan
efek ingrowth yang lebih besar baik untuk kelompok jenis Shorea spp. maupun Dipterocarpaceae
non Shorea sampai dengan tahun ke-9 setelah pembebasan.
Gambar 44. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik
pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12t
h-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 23
Ingr
owth
(b
tg h
a-12t
h-1)
Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)
PS
PPB
CTR
(b)
(a)
77
Perhitungan laju ingrowth (% ha-1 2th-1) pada masing-masing plot penelitian dilakukan
untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi menjadi Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non
Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Laju ingrowth rataan pada teknik penebangan
yang berbeda dan setelah pembebasan menunjukkan hasil yang berbeda pada berbagai
variasi kondisi (Tabel 11). Pada hutan bekas tebangan dengan teknik yang berbeda
mempunya tingkat ingrowth tegakan 1.3-21.3% ha-1 2th-1. Tingkat ingrowth pada hutan bekas
tebangan lebih tinggi sepanjang tahun pengukuran hingga tahun ke-17 setelah penebangan.
Pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan mempunyai tingkat ingrowth yang berkisar
antara 2.3–13.9% ha-1 2th-1. Tingkat ingrowth tegakan cenderung mulai menurun pada tahun
ke-9 setelah penebangan maupun setelah pembebasan. Hutan bekas tebangan tanpa
perlakuan mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan
primer (0.7-4.7% ha-1 2th-1).
Tabel 11. Laju ingrowth tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis
Kondisi HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(% ha-1 2th-1)
RIL50Rataan 1.8 9.0 21.3 14.5 8.8 2.8 3.4 6.5 0.6 1.1
SD 0.6 4.9 25.3 8.9 4.4 2.4 1.7 2.7 0.2 0.3
RIL60Rataan 2.1 6.3 9.0 10.5 7.9 1.6 3.5 9.8 0.7 0.9
SD 1.0 2.3 2.3 3.3 3.8 1.0 1.4 5.7 0.1 0.2
CNV Rataan 1.3 12.7 19.1 19.6 7.8 3.5 5.2 5.4 0.7 1.1
SD 0.6 8.5 13.4 8.2 4.8 1.2 2.6 1.9 0.2 0.2
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 2.1 3.8 3.7 4.7 2.0 1.1 1.6 4.5 0.7 0.9
SD 1.0 1.9 1.9 2.2 1.1 1.1 0.9 2.7 0.6 0.5
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 4.7 12.3 13.9 11.4 2.3 5.0 3.1 3.2 3.7
SD 2.0 4.3 4.4 1.6 0.8 2.0 1.3 1.6 1.4
PPB Rataan 4.2 8.4 9.6 10.1 5.0 3.5 2.5 2.6 2.8
SD 2.0 2.7 2.8 2.0 7.1 1.4 1.4 1.4 1.3
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 3.7 4.7 7.1 4.7 2.8 3.2 2.8 2.9 3.4
SD 2.8 2.4 2.6 1.3 3.6 2.2 2.1 1.8 2.2
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Hasil ini mendekati hasil penelitian Silva et al. (1995) yang menunjukkan bahwa
tingkat ingrowth akan meningkat pada 8 tahun pertama setelah penebangan. Ingrowth akan
meningkat tajam melalui pembukaan kanopi setelah penebangan yang memberikan ruang
tumbuh yang lebih dan akan menurun sejalan dengan kompetisi dalam tegakan (Gourlet-
Fleury et al. 2005). Berdasarkan hal yang sama, Kao dan Iida (2006) menyatakan bahwa
77
Perhitungan laju ingrowth (% ha-1 2th-1) pada masing-masing plot penelitian dilakukan
untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi menjadi Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non
Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Laju ingrowth rataan pada teknik penebangan
yang berbeda dan setelah pembebasan menunjukkan hasil yang berbeda pada berbagai
variasi kondisi (Tabel 11). Pada hutan bekas tebangan dengan teknik yang berbeda
mempunya tingkat ingrowth tegakan 1.3-21.3% ha-1 2th-1. Tingkat ingrowth pada hutan bekas
tebangan lebih tinggi sepanjang tahun pengukuran hingga tahun ke-17 setelah penebangan.
Pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan mempunyai tingkat ingrowth yang berkisar
antara 2.3–13.9% ha-1 2th-1. Tingkat ingrowth tegakan cenderung mulai menurun pada tahun
ke-9 setelah penebangan maupun setelah pembebasan. Hutan bekas tebangan tanpa
perlakuan mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan
primer (0.7-4.7% ha-1 2th-1).
Tabel 11. Laju ingrowth tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis
Kondisi HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(% ha-1 2th-1)
RIL50Rataan 1.8 9.0 21.3 14.5 8.8 2.8 3.4 6.5 0.6 1.1
SD 0.6 4.9 25.3 8.9 4.4 2.4 1.7 2.7 0.2 0.3
RIL60Rataan 2.1 6.3 9.0 10.5 7.9 1.6 3.5 9.8 0.7 0.9
SD 1.0 2.3 2.3 3.3 3.8 1.0 1.4 5.7 0.1 0.2
CNV Rataan 1.3 12.7 19.1 19.6 7.8 3.5 5.2 5.4 0.7 1.1
SD 0.6 8.5 13.4 8.2 4.8 1.2 2.6 1.9 0.2 0.2
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 2.1 3.8 3.7 4.7 2.0 1.1 1.6 4.5 0.7 0.9
SD 1.0 1.9 1.9 2.2 1.1 1.1 0.9 2.7 0.6 0.5
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 4.7 12.3 13.9 11.4 2.3 5.0 3.1 3.2 3.7
SD 2.0 4.3 4.4 1.6 0.8 2.0 1.3 1.6 1.4
PPB Rataan 4.2 8.4 9.6 10.1 5.0 3.5 2.5 2.6 2.8
SD 2.0 2.7 2.8 2.0 7.1 1.4 1.4 1.4 1.3
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 3.7 4.7 7.1 4.7 2.8 3.2 2.8 2.9 3.4
SD 2.8 2.4 2.6 1.3 3.6 2.2 2.1 1.8 2.2
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Hasil ini mendekati hasil penelitian Silva et al. (1995) yang menunjukkan bahwa
tingkat ingrowth akan meningkat pada 8 tahun pertama setelah penebangan. Ingrowth akan
meningkat tajam melalui pembukaan kanopi setelah penebangan yang memberikan ruang
tumbuh yang lebih dan akan menurun sejalan dengan kompetisi dalam tegakan (Gourlet-
Fleury et al. 2005). Berdasarkan hal yang sama, Kao dan Iida (2006) menyatakan bahwa
78
hutan bekas tebangan mempunyai tingkat ingrowth tertinggi pada 3 tahun setelah
penebangan. Hardiansyah et al. (2005), menyatakan bahwa pada umur 1 tahun setelah
tebangan di Jambi, tingkat ingrowth sebesar 0.19-2.89% th-1 dengan rataan 2.1% th-1.
Dibandingkan hasil pada penelitian ini, tingkat ingrowth cenderung lebih rendah. Kondisi
hutan primer mempunyai fluktuasi tingkat ingrowth yang relatif sempit dengan rataan 2.5%
ha-1 2th-1, dibandingkan kondisi tegakan hutan bekas tebangan dengan berbagai teknik
penebangan maupun tanpa pemberian tindakan pembebasan. Tingkat ingrowth tegakan 13
tahun setelah penebangan di Papua New Guinea mempunyai rataan 41 btg ha-1 (Mex 2005).
Tingkat ingrowth menunjukkan kecenderungan yang meningkat hingga tahun ke-9
setelah penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan. Hasil yang serupa di hutan
Amazon Brazil menunjukkan peningkatan ingrowth pada 8 tahun pertama setelah
penebangan (Silva et al. 1995). Tingginya ingrowth didorong oleh pembukaan kanopi setelah
penebangan ataupun pembebasan. Penurunan tingkat ingrowth mendekati kondisi hutan
primer atau kontrol sejak tahun ke-11 setelah penebangan maupun tahun ke-9 setelah
pembebasan bersesuaian dengan respon perubahan utama tegakan yang terjadi pada 5–10
tahun setelah penebangan atau perlakuan (Kariuki et al. 2006) serta sejalan dengan adanya
kompetisi dalam tegakan (Gourlet-Fleury et al. 2005).
6.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Mortalitas dan Ingrowth
Analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan teknik penebangan RIL50,
RIL60 dan konvensional terhadap tingkat mortalitas untuk semua kelompok jenis
(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis)
menunjukkan hasil yang tidak signifikan (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028), begitu pula terhadap
tingkat ingrowth (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028). Berdasarkan hasil analisis varians menunjukkan
bahwa perbedaan teknik penebangan tidak menunjukkan tingkat mortalitas dan ingrowth
yang berbeda nyata, sehingga dalam analisis regresi kondisi hutan bekas tebangan dengan
teknik penebangan yang berbeda dikelompokkan dalam tegakan hutan bekas tebangan.
Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap tingkat mortalitas dan
ingrowth tegakan dilakukan berdasarkan hasil analisis regresi terpilih berdasarkan nilai
koefisien determinasi tertinggi dan standar error terendah (Tabel 12).
Analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan teknik pembebasan
sistematis dan pembebasan berbasis pohon binaan pada hutan bekas tebangan 11 tahun
tidak menunjukkan hasil yang berbeda secara signifikan terhadap tingkat mortalitas untuk
semua kelompok jenis (Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non
Dipterocarpaceae dan semua jenis) (Fhit < Ftabel(0.05;12) = 4.7472), begitu pula terhadap tingkat
ingrowth (Fhit < Ftabel(0.05;12) = 4.7472). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan
bahwa perbedaan teknik pembebasan tidak menunjukkan tingkat mortalitas dan ingrowth
78
hutan bekas tebangan mempunyai tingkat ingrowth tertinggi pada 3 tahun setelah
penebangan. Hardiansyah et al. (2005), menyatakan bahwa pada umur 1 tahun setelah
tebangan di Jambi, tingkat ingrowth sebesar 0.19-2.89% th-1 dengan rataan 2.1% th-1.
Dibandingkan hasil pada penelitian ini, tingkat ingrowth cenderung lebih rendah. Kondisi
hutan primer mempunyai fluktuasi tingkat ingrowth yang relatif sempit dengan rataan 2.5%
ha-1 2th-1, dibandingkan kondisi tegakan hutan bekas tebangan dengan berbagai teknik
penebangan maupun tanpa pemberian tindakan pembebasan. Tingkat ingrowth tegakan 13
tahun setelah penebangan di Papua New Guinea mempunyai rataan 41 btg ha-1 (Mex 2005).
Tingkat ingrowth menunjukkan kecenderungan yang meningkat hingga tahun ke-9
setelah penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan. Hasil yang serupa di hutan
Amazon Brazil menunjukkan peningkatan ingrowth pada 8 tahun pertama setelah
penebangan (Silva et al. 1995). Tingginya ingrowth didorong oleh pembukaan kanopi setelah
penebangan ataupun pembebasan. Penurunan tingkat ingrowth mendekati kondisi hutan
primer atau kontrol sejak tahun ke-11 setelah penebangan maupun tahun ke-9 setelah
pembebasan bersesuaian dengan respon perubahan utama tegakan yang terjadi pada 5–10
tahun setelah penebangan atau perlakuan (Kariuki et al. 2006) serta sejalan dengan adanya
kompetisi dalam tegakan (Gourlet-Fleury et al. 2005).
6.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Mortalitas dan Ingrowth
Analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan teknik penebangan RIL50,
RIL60 dan konvensional terhadap tingkat mortalitas untuk semua kelompok jenis
(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis)
menunjukkan hasil yang tidak signifikan (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028), begitu pula terhadap
tingkat ingrowth (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028). Berdasarkan hasil analisis varians menunjukkan
bahwa perbedaan teknik penebangan tidak menunjukkan tingkat mortalitas dan ingrowth
yang berbeda nyata, sehingga dalam analisis regresi kondisi hutan bekas tebangan dengan
teknik penebangan yang berbeda dikelompokkan dalam tegakan hutan bekas tebangan.
Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap tingkat mortalitas dan
ingrowth tegakan dilakukan berdasarkan hasil analisis regresi terpilih berdasarkan nilai
koefisien determinasi tertinggi dan standar error terendah (Tabel 12).
Analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan teknik pembebasan
sistematis dan pembebasan berbasis pohon binaan pada hutan bekas tebangan 11 tahun
tidak menunjukkan hasil yang berbeda secara signifikan terhadap tingkat mortalitas untuk
semua kelompok jenis (Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non
Dipterocarpaceae dan semua jenis) (Fhit < Ftabel(0.05;12) = 4.7472), begitu pula terhadap tingkat
ingrowth (Fhit < Ftabel(0.05;12) = 4.7472). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan
bahwa perbedaan teknik pembebasan tidak menunjukkan tingkat mortalitas dan ingrowth
79
yang berbeda nyata, sehingga dalam analisis regresi untuk kedua kondisi hutan bekas
tebangan tersebut dikelompokkan dalam tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan.
Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap tingkat mortalitas dan
ingrowth tegakan dilakukan berdasarkan hasil analisis regresi terpilih berdasarkan nilai
koefisien determinasi tertinggi dan standar error terendah (Tabel 13).
Tabel 12. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok Jenis
Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HBT y(M) = -0.0395x3 + 1.2951x2 - 13.177x + 43.501
0.8020 4.8553 0.00
y(I) = 0.011x3 - 0.3676x2 + 3.2295x + 0.2946 0.2837 3.5516 0.03
HP y(M) = 0.0073x3 - 0.2272x2 + 1.8366x + 0.8951
0.4158 1.5768 0.02
y(I) = 0.0048x3 - 0.1384x2 + 1.0019x + 1.5803
0.1386 1.9415 0.03
S HBT y(M) = -0.0038x3 + 0.134x2 - 1.5231x + 6.8576
0.1564 3.3622 0.00
y(I) = 0.0048x3 - 0.1803x2 + 1.8076x - 0.3563 0.2585 2.2591 0.00
HP y(M) = 0.0073x3 - 0.2167x2 + 1.739x - 0.9504 0.3713 1.2916 0.02
y(I) = 0.0024x3 - 0.0681x2 + 0.4951x + 0.7045
0.1023 1.0123 0.04
D-s HBT y(M) = -0.0356x3 + 1.1611x2 - 11.654x + 36.644
0.8218 3.891 0.00
y(I) = 0.0062x3 - 0.1873x2 + 1.4219x + 0.6509
0.2798 1.7171 0.00
HP y(M) = -0.0095x2 + 0.0907x + 1.8562 0.4361 0.569 0.01
y(I) = 0.0024x3 - 0.0703x2 + 0.5068x + 0.8759
0.1074 1.2754 0.04
nD HBT y(M) = -0.0779x3 + 2.6842x2 - 28.4x + 101.3 0.8229 9.985 0.00
y(I) = 0.0667x3 - 2.1667x2 + 18.792x - 11.094 0.3990 14.765 0.01
HP y(M) = 0.0196x3 - 0.5982x2 + 4.8012x + 4.3734
0.3743 4.1423 0.00
y(I) = 13.873e-0.082x 0.2401 0.3393 0.01
SJ HBT y(M) = -0.1174x3 + 3.9793x2 - 41.577x + 144.81
0.8391 13.686 0.00
y(I) = 0.0778x3 - 2.5343x2 + 22.022x - 10.799 0.4049 17.288 0.02
HP y(M) = 0.0269x3 - 0.8254x2 + 6.6378x + 5.2685
0.4064 5.4744 0.03
y(I) = 17.636e-0.078x 0.2280 0.3359 0.03
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan;
HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan;
y(M) = fungsi mortalitas tegakan (btg ha-1 2 th-1);
y(I) = fungsi ingrowth tegakan (btg ha-1 2 th-1)
79
yang berbeda nyata, sehingga dalam analisis regresi untuk kedua kondisi hutan bekas
tebangan tersebut dikelompokkan dalam tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan.
Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap tingkat mortalitas dan
ingrowth tegakan dilakukan berdasarkan hasil analisis regresi terpilih berdasarkan nilai
koefisien determinasi tertinggi dan standar error terendah (Tabel 13).
Tabel 12. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok Jenis
Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HBT y(M) = -0.0395x3 + 1.2951x2 - 13.177x + 43.501
0.8020 4.8553 0.00
y(I) = 0.011x3 - 0.3676x2 + 3.2295x + 0.2946 0.2837 3.5516 0.03
HP y(M) = 0.0073x3 - 0.2272x2 + 1.8366x + 0.8951
0.4158 1.5768 0.02
y(I) = 0.0048x3 - 0.1384x2 + 1.0019x + 1.5803
0.1386 1.9415 0.03
S HBT y(M) = -0.0038x3 + 0.134x2 - 1.5231x + 6.8576
0.1564 3.3622 0.00
y(I) = 0.0048x3 - 0.1803x2 + 1.8076x - 0.3563 0.2585 2.2591 0.00
HP y(M) = 0.0073x3 - 0.2167x2 + 1.739x - 0.9504 0.3713 1.2916 0.02
y(I) = 0.0024x3 - 0.0681x2 + 0.4951x + 0.7045
0.1023 1.0123 0.04
D-s HBT y(M) = -0.0356x3 + 1.1611x2 - 11.654x + 36.644
0.8218 3.891 0.00
y(I) = 0.0062x3 - 0.1873x2 + 1.4219x + 0.6509
0.2798 1.7171 0.00
HP y(M) = -0.0095x2 + 0.0907x + 1.8562 0.4361 0.569 0.01
y(I) = 0.0024x3 - 0.0703x2 + 0.5068x + 0.8759
0.1074 1.2754 0.04
nD HBT y(M) = -0.0779x3 + 2.6842x2 - 28.4x + 101.3 0.8229 9.985 0.00
y(I) = 0.0667x3 - 2.1667x2 + 18.792x - 11.094 0.3990 14.765 0.01
HP y(M) = 0.0196x3 - 0.5982x2 + 4.8012x + 4.3734
0.3743 4.1423 0.00
y(I) = 13.873e-0.082x 0.2401 0.3393 0.01
SJ HBT y(M) = -0.1174x3 + 3.9793x2 - 41.577x + 144.81
0.8391 13.686 0.00
y(I) = 0.0778x3 - 2.5343x2 + 22.022x - 10.799 0.4049 17.288 0.02
HP y(M) = 0.0269x3 - 0.8254x2 + 6.6378x + 5.2685
0.4064 5.4744 0.03
y(I) = 17.636e-0.078x 0.2280 0.3359 0.03
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan;
HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan;
y(M) = fungsi mortalitas tegakan (btg ha-1 2 th-1);
y(I) = fungsi ingrowth tegakan (btg ha-1 2 th-1)
80
Tabel 13. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok Jenis
Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HSP y(M) = -0.1098x2 + 1.72x + 0.3871 0.2389 3.1887 0.00
y(I) = 0.0334x3 - 0.8878x2 + 5.9696x + 0.4355
0.5283 3.9312 0.00
CTR y(M) = -0.1111x2 + 1.5778x + 0.832 0.1652 3.9119 0.00
y(I) = 0.0135x3 - 0.3488x2 + 2.1398x + 2.3592
0.3159 3.3100 0.00
S HSP y(M) = -0.1054x2 + 1.5734x - 0.8311 0.2877 2.5179 0.00
y(I) = 0.018x3 - 0.486x2 + 3.3287x + 0.2345 0.5701 1.9969 0.00
CTR y(M) = -0.0853x2 + 1.2206x - 0.4157 0.2174 2.5399 0.00
y(I) = 0.0113x3 - 0.2649x2 + 1.45x + 1.5833 0.4203 1.8045 0.00
D-s HSP y(M) = -0.0015x3 + 0.0272x2 - 0.0096x + 1.5363
0.1062 1.3418 0.00
y(I) = 0.0154x3 - 0.4019x2 + 2.6408x + 0.201
0.3533 2.5239 0.00
CTR y(M) = -0.0281x2 + 0.3837x + 1.3007 0.086 1.4361 0.53
y(I) = 0.0022x3 - 0.0839x2 + 0.6898x + 0.7759
0.1864 1.6897 0.00
nD HSP y(M) = 0.147x3 - 3.3723x2 + 19.809x + 6.5487
0.3661 14.473 0.00
y(I) = 0.1864x3 - 4.4207x2 + 27.702x - 8.2534
0.7160 8.5231 0.00
CTR y(M) = -0.1786x2 + 2.3762x + 10.069 0.1468 7.1976 0.43
y(I) = 0.0551x3 - 1.3811x2 + 9.1607x + 2.4898
0.6324 4.0418 0.00
SJ HSP y(M) = 0.1428x3 - 3.4024x2 + 21.109x + 7.4218
0.3396 15.7355 0.00
y(I) = 0.2053x3 - 5.0673x2 + 32.897x - 7.4022
0.6809 12.0337 0.00
CTR y(M) = -0.0075x3 - 0.1416x2 + 3.1488x + 11.573
0.1756 10.8053 0.00
y(I) = 0.0642x3 - 1.6053x2 + 10.248x + 6.2571
0.5477 6.4754 0.01
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error;
HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer;
x = jangka waktu setelah penebangan;
y(M) = fungsi mortalitas tegakan (btg ha-1 2 th-1);
y(I) = fungsi ingrowth tegakan (btg ha-1 2 th-1)
80
Tabel 13. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok Jenis
Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HSP y(M) = -0.1098x2 + 1.72x + 0.3871 0.2389 3.1887 0.00
y(I) = 0.0334x3 - 0.8878x2 + 5.9696x + 0.4355
0.5283 3.9312 0.00
CTR y(M) = -0.1111x2 + 1.5778x + 0.832 0.1652 3.9119 0.00
y(I) = 0.0135x3 - 0.3488x2 + 2.1398x + 2.3592
0.3159 3.3100 0.00
S HSP y(M) = -0.1054x2 + 1.5734x - 0.8311 0.2877 2.5179 0.00
y(I) = 0.018x3 - 0.486x2 + 3.3287x + 0.2345 0.5701 1.9969 0.00
CTR y(M) = -0.0853x2 + 1.2206x - 0.4157 0.2174 2.5399 0.00
y(I) = 0.0113x3 - 0.2649x2 + 1.45x + 1.5833 0.4203 1.8045 0.00
D-s HSP y(M) = -0.0015x3 + 0.0272x2 - 0.0096x + 1.5363
0.1062 1.3418 0.00
y(I) = 0.0154x3 - 0.4019x2 + 2.6408x + 0.201
0.3533 2.5239 0.00
CTR y(M) = -0.0281x2 + 0.3837x + 1.3007 0.086 1.4361 0.53
y(I) = 0.0022x3 - 0.0839x2 + 0.6898x + 0.7759
0.1864 1.6897 0.00
nD HSP y(M) = 0.147x3 - 3.3723x2 + 19.809x + 6.5487
0.3661 14.473 0.00
y(I) = 0.1864x3 - 4.4207x2 + 27.702x - 8.2534
0.7160 8.5231 0.00
CTR y(M) = -0.1786x2 + 2.3762x + 10.069 0.1468 7.1976 0.43
y(I) = 0.0551x3 - 1.3811x2 + 9.1607x + 2.4898
0.6324 4.0418 0.00
SJ HSP y(M) = 0.1428x3 - 3.4024x2 + 21.109x + 7.4218
0.3396 15.7355 0.00
y(I) = 0.2053x3 - 5.0673x2 + 32.897x - 7.4022
0.6809 12.0337 0.00
CTR y(M) = -0.0075x3 - 0.1416x2 + 3.1488x + 11.573
0.1756 10.8053 0.00
y(I) = 0.0642x3 - 1.6053x2 + 10.248x + 6.2571
0.5477 6.4754 0.01
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error;
HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer;
x = jangka waktu setelah penebangan;
y(M) = fungsi mortalitas tegakan (btg ha-1 2 th-1);
y(I) = fungsi ingrowth tegakan (btg ha-1 2 th-1)
81
Jangka waktu penebangan akan mempunyai hubungan yang erat terhadap tingkat
mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae, Dipterocarpaceae non Shorea, non
Dipterocarpaceae dan semua jenis dengan bentuk polynomial (kuadratik). Sedangkan terhadap
tingkat ingrowth setelah penebangan untuk semua kelompok jenis, jangka waktu setelah
penebangan mempunyai hubungan yang kurang erat (kurang dari 50%). Hal ini
dimungkinkan bahwa hubungan penebangan terhadap mortalitas dan ingrowth sangat
signifikan pada tahun-tahun awal, kemudian akan menurun sejalan dengan kemampuan
tegakan untuk pulih (recovery).
Hasil analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan
tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan menunjukkan bahwa jangka waktu setelah
pembebasan akan mempunyai hubungan yang erat terhadap peningkatan ingrowth tegakan
pada jenis non Dipterocarpaceae dan semua jenis (> 65%), tetapi kurang signifikan terhadap
kelompok jenis lainnya (Dipterocarpaceae < 60%). Sedangkan terhadap tingkat mortalitas
tegakan, waktu setelah pembebasan tidak mempunyai hubungan yang erat untuk semua
kelompok jenis. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pembebasan yang dilakukan akan
lebih meningkatkan ingrowth untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae dan kurang efektif
terhadap peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae. Kelompok jenis non
Dipterocarpaceae mempunyai kecenderungan ingrowth yang meningkat sejalan dengan jangka
waktu tegakan setelah penebangan walaupun tanpa perlakuan (tanpa pembebasan).
Pola hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap tingkat mortalitas dan
ingrowth tegakan untuk masing-masing kelompok jenis pada kondisi hutan bekas tebangan
dan hutan primer disajikan pada Gambar 45 berikut.
Gambar 45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Mortalitas
Ingrowth
0
5
10
15
20
25
30
35
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (b
tg h
a-12t
h-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
Mortalitas
Ingrowth
0
2
4
6
8
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
HBT HP
(D) (D)
81
Jangka waktu penebangan akan mempunyai hubungan yang erat terhadap tingkat
mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae, Dipterocarpaceae non Shorea, non
Dipterocarpaceae dan semua jenis dengan bentuk polynomial (kuadratik). Sedangkan terhadap
tingkat ingrowth setelah penebangan untuk semua kelompok jenis, jangka waktu setelah
penebangan mempunyai hubungan yang kurang erat (kurang dari 50%). Hal ini
dimungkinkan bahwa hubungan penebangan terhadap mortalitas dan ingrowth sangat
signifikan pada tahun-tahun awal, kemudian akan menurun sejalan dengan kemampuan
tegakan untuk pulih (recovery).
Hasil analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan
tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan menunjukkan bahwa jangka waktu setelah
pembebasan akan mempunyai hubungan yang erat terhadap peningkatan ingrowth tegakan
pada jenis non Dipterocarpaceae dan semua jenis (> 65%), tetapi kurang signifikan terhadap
kelompok jenis lainnya (Dipterocarpaceae < 60%). Sedangkan terhadap tingkat mortalitas
tegakan, waktu setelah pembebasan tidak mempunyai hubungan yang erat untuk semua
kelompok jenis. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pembebasan yang dilakukan akan
lebih meningkatkan ingrowth untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae dan kurang efektif
terhadap peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae. Kelompok jenis non
Dipterocarpaceae mempunyai kecenderungan ingrowth yang meningkat sejalan dengan jangka
waktu tegakan setelah penebangan walaupun tanpa perlakuan (tanpa pembebasan).
Pola hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap tingkat mortalitas dan
ingrowth tegakan untuk masing-masing kelompok jenis pada kondisi hutan bekas tebangan
dan hutan primer disajikan pada Gambar 45 berikut.
Gambar 45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Mortalitas
Ingrowth
0
5
10
15
20
25
30
35
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (b
tg h
a-12t
h-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
Mortalitas
Ingrowth
0
2
4
6
8
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
HBT HP
(D) (D)
82
Gambar 45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) (Lanjutan)
Pola hubungan jangka waktu setelah pembebasan pada hutan bekas tebangan
terhadap tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan untuk masing-masing kelompok jenis pada
kondisi hutan setelah pembebasan dan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan
(kontrol) disajikan pada Gambar 46.
Mortalitas
Ingrowth
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (
btg
ha-1
2th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
Mortalitas
Ingrowth
0
4
8
12
16
20
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
Mortalitas
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (b
tg h
a-12t
h-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
Mortalitas
Ingrowth
0
5
10
15
20
25
30
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
(SJ) (SJ) HBT
HP
Ingrowth
(nD) (nD)
HBT HP
82
Gambar 45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) (Lanjutan)
Pola hubungan jangka waktu setelah pembebasan pada hutan bekas tebangan
terhadap tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan untuk masing-masing kelompok jenis pada
kondisi hutan setelah pembebasan dan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan
(kontrol) disajikan pada Gambar 46.
Mortalitas
Ingrowth
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (
btg
ha-1
2th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
Mortalitas
Ingrowth
0
4
8
12
16
20
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
Mortalitas
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (b
tg h
a-12t
h-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
Mortalitas
Ingrowth
0
5
10
15
20
25
30
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
(SJ) (SJ) HBT
HP
Ingrowth
(nD) (nD)
HBT HP
83
Gambar 46. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan setelah pembebasan
(HSP) dan kondisi kontrol (tanpa perlakuan) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Ingrowth
Mortalitas
0
5
10
15
20
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (
btg
ha-1
2th
-1)
Jangka waktu (tahun)
Ingrowth
0
5
10
15
20
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21Jangka waktu (tahun)
Mortalitas
Ingrowth
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (b
tg h
a-12t
h-1
)
Jangka waktu (tahun)
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Jangka waktu (tahun)
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (btg
ha-1
2th
-1)
Jangka waktu (tahun)
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23Jangka waktu (tahun)
HSP CTR
(D) (D)
HSP CTR (SJ) (SJ)
HSP CTR
(nD) (nD)
Mortalitas
Mortalitas
Mortalitas
Mortalitas
Ingrowth
Ingrowth
Ingrowth
83
Gambar 46. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan setelah pembebasan
(HSP) dan kondisi kontrol (tanpa perlakuan) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Ingrowth
Mortalitas
0
5
10
15
20
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (
btg
ha-1
2th
-1)
Jangka waktu (tahun)
Ingrowth
0
5
10
15
20
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21Jangka waktu (tahun)
Mortalitas
Ingrowth
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (b
tg h
a-12t
h-1
)
Jangka waktu (tahun)
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Jangka waktu (tahun)
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Laj
u (btg
ha-1
2th
-1)
Jangka waktu (tahun)
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23Jangka waktu (tahun)
HSP CTR
(D) (D)
HSP CTR (SJ) (SJ)
HSP CTR
(nD) (nD)
Mortalitas
Mortalitas
Mortalitas
Mortalitas
Ingrowth
Ingrowth
Ingrowth
84
Penilaian secara kuantitatif tingkat mortalitas dan ingrowth dengan variasi kondisi
tegakan hutan setelah penebangan dengan teknik yang berbeda maupun setelah
pembebasan dengan teknik yang berbeda menunjukkan respon jenis atau kelompok jenis
yang berbeda. Hasil analisis penelitian ini memberikan manfaat evaluasi penerapan teknik
penebangan yang berbeda dan penerapan teknik pembebasan yang berbeda terutama dalam
penilaian penurunan tingkat mortalitas dan meningkatkan ingrowth tegakan. Hutan bekas
tebangan akan membentuk pembukaan kanopi yang menjadi katalis pertumbuhan
rekruitmen atau ingrowth yang tinggi hingga pada kondisi hutan tertentu (Gourlet-Fleury et al.
2005; Kao dan Iida 2006). Untuk kepentingan analisis yang lebih detail pendekatan
pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang berbeda dapat dilakukan untuk melihat
variasi pengaruh atau respon kelompok jenis terhadap variasi kondisi tegakan hutan setelah
penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al. 2004).
Dalam pengelolaan hutan produksi peningkatan ingrowth menjadi penting terutama
untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae. Perkembangan metode pengelolaan hutan yang
melibatkan pengelompokkan jenis sangat penting untuk meningkatkan akurasi dan
mengakomodasi variasi kondisi keragaman jenis penyusun tegakan (Phillips et al. 2002; Valle
et al. 2006). Karakteristik mortalitas dan ingrowth pada tegakan hutan Dipterocarpaceae
merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai pemulihan tegakan
hutan atau dinamika tegakan setelah tindakan silvikultur tertentu.
Beberapa hal penting dalam penilaian tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan setelah
penebangan dengan variasi kondisi awal tegakan adalah sebagai berikut:
1) Fluktuasi tingkat mortalitas tegakan hutan bekas tebangan cenderung akan mulai
mendekati kondisi hutan primer pada tahun ke-5 baik dengan variasi teknik penebangan
yang berbeda maupun setelah teknik pembebasan yang berbeda.
2) Tingkat ingrowth tegakan cenderung akan meningkat hingga tahun ke-9 setelah
penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan.
3) Variasi kondisi berupa penerapan teknik penebangan yang berbeda (RIL 50, RIL 60 dan
konvensional) dan teknik pembebasan yang berbeda (baik secara sistematik maupun
berbasis pohon binaan) tidak memberikan perbedaan yang nyata, baik terhadap tingkat
mortalitas dan ingrowth tegakan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae maupun non
Dipterocarpaceae.
4) Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth pada hutan primer relatif rendah dibandingkan
pada variasi kondisi hutan bekas tebangan.
5) Jangka waktu setelah penebangan mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan
tingkat mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae,
sedangkan jangka waktu setelah pembebasan mempunyai hubungan yang erat dengan
peningkatan ingrowth kelompok jenis non Dipterocarpaceae.
84
Penilaian secara kuantitatif tingkat mortalitas dan ingrowth dengan variasi kondisi
tegakan hutan setelah penebangan dengan teknik yang berbeda maupun setelah
pembebasan dengan teknik yang berbeda menunjukkan respon jenis atau kelompok jenis
yang berbeda. Hasil analisis penelitian ini memberikan manfaat evaluasi penerapan teknik
penebangan yang berbeda dan penerapan teknik pembebasan yang berbeda terutama dalam
penilaian penurunan tingkat mortalitas dan meningkatkan ingrowth tegakan. Hutan bekas
tebangan akan membentuk pembukaan kanopi yang menjadi katalis pertumbuhan
rekruitmen atau ingrowth yang tinggi hingga pada kondisi hutan tertentu (Gourlet-Fleury et al.
2005; Kao dan Iida 2006). Untuk kepentingan analisis yang lebih detail pendekatan
pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang berbeda dapat dilakukan untuk melihat
variasi pengaruh atau respon kelompok jenis terhadap variasi kondisi tegakan hutan setelah
penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al. 2004).
Dalam pengelolaan hutan produksi peningkatan ingrowth menjadi penting terutama
untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae. Perkembangan metode pengelolaan hutan yang
melibatkan pengelompokkan jenis sangat penting untuk meningkatkan akurasi dan
mengakomodasi variasi kondisi keragaman jenis penyusun tegakan (Phillips et al. 2002; Valle
et al. 2006). Karakteristik mortalitas dan ingrowth pada tegakan hutan Dipterocarpaceae
merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai pemulihan tegakan
hutan atau dinamika tegakan setelah tindakan silvikultur tertentu.
Beberapa hal penting dalam penilaian tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan setelah
penebangan dengan variasi kondisi awal tegakan adalah sebagai berikut:
1) Fluktuasi tingkat mortalitas tegakan hutan bekas tebangan cenderung akan mulai
mendekati kondisi hutan primer pada tahun ke-5 baik dengan variasi teknik penebangan
yang berbeda maupun setelah teknik pembebasan yang berbeda.
2) Tingkat ingrowth tegakan cenderung akan meningkat hingga tahun ke-9 setelah
penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan.
3) Variasi kondisi berupa penerapan teknik penebangan yang berbeda (RIL 50, RIL 60 dan
konvensional) dan teknik pembebasan yang berbeda (baik secara sistematik maupun
berbasis pohon binaan) tidak memberikan perbedaan yang nyata, baik terhadap tingkat
mortalitas dan ingrowth tegakan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae maupun non
Dipterocarpaceae.
4) Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth pada hutan primer relatif rendah dibandingkan
pada variasi kondisi hutan bekas tebangan.
5) Jangka waktu setelah penebangan mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan
tingkat mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae,
sedangkan jangka waktu setelah pembebasan mempunyai hubungan yang erat dengan
peningkatan ingrowth kelompok jenis non Dipterocarpaceae.
85
6) Penerapan teknik penebangan (intensitas tebangan) yang berbeda dan teknik
pembebasan yang berbeda belum memberikan perbedaan yang nyata terhadap
peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae.
85
6) Penerapan teknik penebangan (intensitas tebangan) yang berbeda dan teknik
pembebasan yang berbeda belum memberikan perbedaan yang nyata terhadap
peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae.
BAB 7
RIAP PERIODIK
TEGAKAN HUTAN
BAB 7
RIAP PERIODIK
TEGAKAN HUTAN
86
7 RIAP P ERIODIK TEGAKAN HUTAN
Pertumbuhan adalah perubahan atau pertambahan ukuran (dimensi) dari organ
hidup yang ada pada pohon sepanjang umurnya yang menyebabkan berubahnya ukuran
pada tinggi, diameter dan volume pohon (Prodan 1968; Davis dan Johnson 1987; Husch et
al. 2003; Glover 2008). Berdasarkan orientasi pertumbuhan dapat dikategorikan sebagai
pertumbuhan ke atas (tinggi) yang merupakan pertumbuhan primer (initial growth) dan
pertumbuhan ke samping (diameter) yang disebut sebagai pertumbuhan sekunder (secondary
growth) (Davis dan Johnson 1987). Pertumbuhan individu pohon sebagai penyusun tegakan
merupakan total interaksi yang diperoleh dari sifat genetik dan lingkungannya (Husch et al.
2003). Adam dan Kolbs (2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan untuk
jenis yang sama pada lokasi yang sama, yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungannya.
Adanya respon pertumbuhan individu pohon berdasarkan ruang tumbuh akan membentuk
pertumbuhan tegakan yang berbeda (Gersonde dan O’Hara 2005).
Pengertian pertumbuhan dibedakan dengan riap, dimana riap (increment)
didefinisikan sebagai pertambahan dimensi atau ukuran dari sifat terpilih individu pohon
atau tegakan yang terjadi dalam interval waktu tertentu (Prodan 1968; Davis and Johnson
1987; Vanclay 1994; Simon 2007). Penilaian riap seringkali dilakukan dalam penilaian hasil
tegakan atau sebagai banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada
waktu tertentu. Riap tegakan hutan berhubungan dengan jenis vegetasi penyusun, kualita
tempat tumbuh, kesehatan pohon, umur atau jangka waktu serta tindakan silvikultur yang
dilakukan (Husch et al. 2003). Tempat tumbuh (site) adalah salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan pohon atau tegakan (Oliver dan Larson 1990). Faktor tempat
tumbuh adalah totalitas dari peubah kondisi tempat tumbuh antara lain berupa bentuk
lapangan, sifat-sifat tanah dan iklim yang memiliki keeratan yang tinggi dalam hubungannya
dengan dimensi tegakan (Suhendang 1990). Sedangkan menurut Ryan et al. (1997), faktor
pertumbuhan utama meliputi genetik, biokimia dan fisiologikal jenis, serta persaingan antar
pohon.
Dengan adanya kelemahan model tegakan secara umum dalam perkembangan
penelitian growth and yield tegakan hutan, maka dibangun plot-plot permanen untuk
mengidentifikasi pertumbuhan pohon secara individu (Vanclay 1994). Dalam pemantauan
dimensi tegakan hutan alam tanah kering dengan pembangunan plot permanen mempunyai
periode pengukuran yang optimal adalah 2-3 tahun (Suhendang 1997). Diameter
merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter
pertumbuhan di hutan alam sebagai pengganti dimensi umur tanaman walaupun tidak selalu
berkorelasi positif (Richards 1964; Davis dan Johnson 1987; Davis et al. 2001). Laju
pertumbuhan pohon tropis umumnya diukur dengan perubahan dimensi berdasarkan
86
7 RIAP P ERIODIK TEGAKAN HUTAN
Pertumbuhan adalah perubahan atau pertambahan ukuran (dimensi) dari organ
hidup yang ada pada pohon sepanjang umurnya yang menyebabkan berubahnya ukuran
pada tinggi, diameter dan volume pohon (Prodan 1968; Davis dan Johnson 1987; Husch et
al. 2003; Glover 2008). Berdasarkan orientasi pertumbuhan dapat dikategorikan sebagai
pertumbuhan ke atas (tinggi) yang merupakan pertumbuhan primer (initial growth) dan
pertumbuhan ke samping (diameter) yang disebut sebagai pertumbuhan sekunder (secondary
growth) (Davis dan Johnson 1987). Pertumbuhan individu pohon sebagai penyusun tegakan
merupakan total interaksi yang diperoleh dari sifat genetik dan lingkungannya (Husch et al.
2003). Adam dan Kolbs (2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan untuk
jenis yang sama pada lokasi yang sama, yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungannya.
Adanya respon pertumbuhan individu pohon berdasarkan ruang tumbuh akan membentuk
pertumbuhan tegakan yang berbeda (Gersonde dan O’Hara 2005).
Pengertian pertumbuhan dibedakan dengan riap, dimana riap (increment)
didefinisikan sebagai pertambahan dimensi atau ukuran dari sifat terpilih individu pohon
atau tegakan yang terjadi dalam interval waktu tertentu (Prodan 1968; Davis and Johnson
1987; Vanclay 1994; Simon 2007). Penilaian riap seringkali dilakukan dalam penilaian hasil
tegakan atau sebagai banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada
waktu tertentu. Riap tegakan hutan berhubungan dengan jenis vegetasi penyusun, kualita
tempat tumbuh, kesehatan pohon, umur atau jangka waktu serta tindakan silvikultur yang
dilakukan (Husch et al. 2003). Tempat tumbuh (site) adalah salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan pohon atau tegakan (Oliver dan Larson 1990). Faktor tempat
tumbuh adalah totalitas dari peubah kondisi tempat tumbuh antara lain berupa bentuk
lapangan, sifat-sifat tanah dan iklim yang memiliki keeratan yang tinggi dalam hubungannya
dengan dimensi tegakan (Suhendang 1990). Sedangkan menurut Ryan et al. (1997), faktor
pertumbuhan utama meliputi genetik, biokimia dan fisiologikal jenis, serta persaingan antar
pohon.
Dengan adanya kelemahan model tegakan secara umum dalam perkembangan
penelitian growth and yield tegakan hutan, maka dibangun plot-plot permanen untuk
mengidentifikasi pertumbuhan pohon secara individu (Vanclay 1994). Dalam pemantauan
dimensi tegakan hutan alam tanah kering dengan pembangunan plot permanen mempunyai
periode pengukuran yang optimal adalah 2-3 tahun (Suhendang 1997). Diameter
merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter
pertumbuhan di hutan alam sebagai pengganti dimensi umur tanaman walaupun tidak selalu
berkorelasi positif (Richards 1964; Davis dan Johnson 1987; Davis et al. 2001). Laju
pertumbuhan pohon tropis umumnya diukur dengan perubahan dimensi berdasarkan
87
keliling lingkar batang atau diameter. Dimensi diameter menjadi penting dalam pengelolaan
tegakan hutan karena memiliki sifat yang berkorelasi dengan dimensi pertumbuhan lainya
(misalnya bidang dasar dan volume) dan dapat mudah diukur dan akurat (Gertner et al.
1996).
Penentuan nilai riap individu maupun tegakan hutan sangat penting dalam
pengaturan hasil yang efisien untuk menyediakan model-model pertumbuhan sebagai
perangkat kuantitatif dalam perencanaan hutan (Vanclay 1989). Salah satu manfaat model
fungsi pertumbuhan dan riap antara lain untuk menduga besarnya dimensi tegakan pada
umur tertentu atau jangka waktu tertentu sebagai dasar dalam menentukan tindakan
silvikultur yang tepat untuk suatu keadaan tegakan tertentu dalam mencapai tujuan
pengelolaan. Perkembangan penyusunan model estimasi pertumbuhan sejak 200 tahun
yang lalu dalam mendukung penyusunan perangkat manajemen hutan baik hutan alam
(hutan tidak seumur) maupun hutan tanaman (hutan seumur) masih terus dilakukan
perbaikan (Vanclay 2003; Henning dan Burk 2004; Metcalf et al. 2009). Pada hutan hujan
tropis hambatan heterogenitas dan kompleksitas berupa keragaman tegakan dan variasi
kondisi menjadi kendala penggunaan model yang dibangun berdasarkan data dan informasi
yang bersifat umum karena akan menghasilkan bias.
Ruang lingkup dalam bagian ini adalah menentukan model riap individu dan riap
tegakan hutan alam pada variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan
dan teknik pembebasan yang berbeda dalam rangka penyusunan keragaan karakteristik
biometrik hutan pada hutan alam bekas tebangan berdasarkan variasi kondisi hutan
berdasarkan runtun waktu (time series) untuk menunjang praktek pengelolaan hutan
campuran tidak seumur dengan tujuan utama menghasilkan kayu secara berkelanjutan.
7.1. Riap Individu Periodik
Nilai riap individu berdasarkan riap diameter rataan dilakukan berdasarkan
pengelompokkan jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan
Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis secara periodik setiap 2
tahun pada hutan setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda selama 23
tahun dan hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda setelah 23 tahun.
Hutan bekas tebangan dengan tindakan silvikultur berupa pembebasan akan
memiliki kecenderungan nilai riap diameter rataan untuk semua jenis (riap diameter rataan
0.67–1.95 cm 2th-1) yang lebih besar dibandingkan pada hutan bekas tebangan dengan
teknik penebangan yang berbeda (riap diameter rataan 0.35–1.69 cm 2th-1) (Tabel 14).
Hutan bekas tebangan dengan teknik konvensional mempunyai kisaran nilai riap diameter
rataan yang lebih lebar yaitu 0.35–1.69 cm 2th-1, dibandingkan dengan teknik RIL 50 (riap
87
keliling lingkar batang atau diameter. Dimensi diameter menjadi penting dalam pengelolaan
tegakan hutan karena memiliki sifat yang berkorelasi dengan dimensi pertumbuhan lainya
(misalnya bidang dasar dan volume) dan dapat mudah diukur dan akurat (Gertner et al.
1996).
Penentuan nilai riap individu maupun tegakan hutan sangat penting dalam
pengaturan hasil yang efisien untuk menyediakan model-model pertumbuhan sebagai
perangkat kuantitatif dalam perencanaan hutan (Vanclay 1989). Salah satu manfaat model
fungsi pertumbuhan dan riap antara lain untuk menduga besarnya dimensi tegakan pada
umur tertentu atau jangka waktu tertentu sebagai dasar dalam menentukan tindakan
silvikultur yang tepat untuk suatu keadaan tegakan tertentu dalam mencapai tujuan
pengelolaan. Perkembangan penyusunan model estimasi pertumbuhan sejak 200 tahun
yang lalu dalam mendukung penyusunan perangkat manajemen hutan baik hutan alam
(hutan tidak seumur) maupun hutan tanaman (hutan seumur) masih terus dilakukan
perbaikan (Vanclay 2003; Henning dan Burk 2004; Metcalf et al. 2009). Pada hutan hujan
tropis hambatan heterogenitas dan kompleksitas berupa keragaman tegakan dan variasi
kondisi menjadi kendala penggunaan model yang dibangun berdasarkan data dan informasi
yang bersifat umum karena akan menghasilkan bias.
Ruang lingkup dalam bagian ini adalah menentukan model riap individu dan riap
tegakan hutan alam pada variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan
dan teknik pembebasan yang berbeda dalam rangka penyusunan keragaan karakteristik
biometrik hutan pada hutan alam bekas tebangan berdasarkan variasi kondisi hutan
berdasarkan runtun waktu (time series) untuk menunjang praktek pengelolaan hutan
campuran tidak seumur dengan tujuan utama menghasilkan kayu secara berkelanjutan.
7.1. Riap Individu Periodik
Nilai riap individu berdasarkan riap diameter rataan dilakukan berdasarkan
pengelompokkan jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan
Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis secara periodik setiap 2
tahun pada hutan setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda selama 23
tahun dan hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda setelah 23 tahun.
Hutan bekas tebangan dengan tindakan silvikultur berupa pembebasan akan
memiliki kecenderungan nilai riap diameter rataan untuk semua jenis (riap diameter rataan
0.67–1.95 cm 2th-1) yang lebih besar dibandingkan pada hutan bekas tebangan dengan
teknik penebangan yang berbeda (riap diameter rataan 0.35–1.69 cm 2th-1) (Tabel 14).
Hutan bekas tebangan dengan teknik konvensional mempunyai kisaran nilai riap diameter
rataan yang lebih lebar yaitu 0.35–1.69 cm 2th-1, dibandingkan dengan teknik RIL 50 (riap
88
diameter rataan 0.37–1.45 cm 2th-1) maupun dengan teknik RIL 60 (riap diameter rataan
0.41–1.31 cm 2th-1). Sedangkan pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan sistematis
(riap diameter rataan 0.78–1.95 cm 2th-1) akan lebih tinggi dibandingkan dengan
pembebasan berbasis pohon binaan (riap diameter rataan 0.67–1.56 cm 2th-1). Pada
kondisi hutan primer, riap individu pohon semua jenis akan lebih kecil dibandingkan
dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa perlakuan.
Tabel 14. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK untuk semua jenis
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(cm 2th-1)
RIL50 Rataan 0.37 1.08 1.06 1.00 1.45 0.81 0.69 0.76 1.04 1.01
SD 0.06 0.37 0.48 0.31 0.46 0.16 0.22 0.12 0.19 0.22
RIL60 Rataan 0.41 0.88 0.93 0.80 1.31 0.67 0.61 0.68 0.98 0.89
SD 0.11 0.10 0.12 0.17 0.20 0.18 0.18 0.16 0.26 0.28
CNV Rataan 0.35 1.27 1.27 1.11 1.69 0.86 0.88 0.79 1.26 1.11
SD 0.11 0.35 0.38 0.30 0.33 0.22 0.25 0.15 0.16 0.32
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.39 0.57 0.46 0.54 0.82 0.46 0.41 0.51 0.95 0.76
SD 0.10 0.16 0.11 0.22 0.16 0.12 0.12 0.12 0.16 0.14
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.78 1.45 1.95 1.12 1.54 1.20 1.29 1.18 1.20
SD 0.21 0.52 0.49 0.12 0.20 0.27 0.44 0.27 0.33
PPB Rataan 0.67 1.10 1.56 0.96 1.30 0.94 0.98 1.02 0.98
SD 0.19 0.39 0.40 0.18 0.27 0.23 0.23 0.25 0.23
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.76 0.83 1.21 0.71 1.06 0.82 0.90 1.05 0.99
SD 0.20 0.30 0.23 0.15 0.22 0.23 0.19 0.20 0.21
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Berdasarkan komposisi penyusun utama tegakan dalam kelompok famili utama
yaitu Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, akan menghasilkan respon nilai riap individu
yang berbeda (Tabel 15 - 16). Secara umum, kelompok jenis Dipterocarpaceae memiliki riap
diameter rataan yang lebih besar dibandingkan non Dipterocarpaceae pada semua kondisi
hutan. Pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan dengan tujuan utama pembinaan
terhadap tegakan tinggal, kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap diameter rataan
yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda dan hutan primer. Riap diameter rataan setelah penebangan akan
lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan primer, terutama terjadi karena adanya respon
pembukaan ruang tumbuh setelah penebangan.
88
diameter rataan 0.37–1.45 cm 2th-1) maupun dengan teknik RIL 60 (riap diameter rataan
0.41–1.31 cm 2th-1). Sedangkan pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan sistematis
(riap diameter rataan 0.78–1.95 cm 2th-1) akan lebih tinggi dibandingkan dengan
pembebasan berbasis pohon binaan (riap diameter rataan 0.67–1.56 cm 2th-1). Pada
kondisi hutan primer, riap individu pohon semua jenis akan lebih kecil dibandingkan
dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa perlakuan.
Tabel 14. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK untuk semua jenis
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(cm 2th-1)
RIL50 Rataan 0.37 1.08 1.06 1.00 1.45 0.81 0.69 0.76 1.04 1.01
SD 0.06 0.37 0.48 0.31 0.46 0.16 0.22 0.12 0.19 0.22
RIL60 Rataan 0.41 0.88 0.93 0.80 1.31 0.67 0.61 0.68 0.98 0.89
SD 0.11 0.10 0.12 0.17 0.20 0.18 0.18 0.16 0.26 0.28
CNV Rataan 0.35 1.27 1.27 1.11 1.69 0.86 0.88 0.79 1.26 1.11
SD 0.11 0.35 0.38 0.30 0.33 0.22 0.25 0.15 0.16 0.32
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.39 0.57 0.46 0.54 0.82 0.46 0.41 0.51 0.95 0.76
SD 0.10 0.16 0.11 0.22 0.16 0.12 0.12 0.12 0.16 0.14
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.78 1.45 1.95 1.12 1.54 1.20 1.29 1.18 1.20
SD 0.21 0.52 0.49 0.12 0.20 0.27 0.44 0.27 0.33
PPB Rataan 0.67 1.10 1.56 0.96 1.30 0.94 0.98 1.02 0.98
SD 0.19 0.39 0.40 0.18 0.27 0.23 0.23 0.25 0.23
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.76 0.83 1.21 0.71 1.06 0.82 0.90 1.05 0.99
SD 0.20 0.30 0.23 0.15 0.22 0.23 0.19 0.20 0.21
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Berdasarkan komposisi penyusun utama tegakan dalam kelompok famili utama
yaitu Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, akan menghasilkan respon nilai riap individu
yang berbeda (Tabel 15 - 16). Secara umum, kelompok jenis Dipterocarpaceae memiliki riap
diameter rataan yang lebih besar dibandingkan non Dipterocarpaceae pada semua kondisi
hutan. Pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan dengan tujuan utama pembinaan
terhadap tegakan tinggal, kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap diameter rataan
yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda dan hutan primer. Riap diameter rataan setelah penebangan akan
lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan primer, terutama terjadi karena adanya respon
pembukaan ruang tumbuh setelah penebangan.
89
Tabel 15. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(cm 2th-1)
RIL50 Rataan 0.42 1.24 1.17 1.04 1.53 0.87 0.80 0.87 1.21 1.11
SD 0.07 0.42 0.52 0.27 0.43 0.19 0.24 0.16 0.25 0.26
RIL60 Rataan 0.48 1.01 1.05 0.90 1.45 0.76 0.71 0.77 1.11 1.21
SD 0.13 0.13 0.15 0.18 0.23 0.21 0.24 0.25 0.36 0.28
CNV Rataan 0.40 1.44 1.43 1.18 1.76 0.92 1.00 0.92 1.51 1.44
SD 0.12 0.43 0.44 0.30 0.33 0.29 0.35 0.18 0.22 0.28
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.44 0.67 0.54 0.63 0.94 0.54 0.49 0.59 1.10 0.98
SD 0.13 0.20 0.14 0.26 0.20 0.16 0.16 0.16 0.17 0.21
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.88 1.66 2.23 1.27 1.79 1.48 1.58 1.62 1.48
SD 0.28 0.63 0.58 0.14 0.27 0.39 0.53 0.45 0.38
PPB Rataan 0.75 1.24 1.80 1.08 1.48 1.12 1.16 1.21 1.11
SD 0.22 0.43 0.50 0.21 0.36 0.37 0.32 0.32 0.23
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.84 0.94 1.43 0.79 1.23 1.03 1.15 1.02 0.99
SD 0.21 0.29 0.30 0.16 0.29 0.28 0.23 0.21 0.29
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Tabel 16. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis non Dipterocarpaceae
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(cm 2th-1)
RIL50 Rataan 0.26 0.76 0.84 0.92 1.28 0.68 0.48 0.53 0.72 0.68
SD 0.06 0.27 0.42 0.43 0.55 0.19 0.20 0.07 0.09 0.29
RIL60 Rataan 0.26 0.61 0.68 0.59 1.04 0.49 0.40 0.50 0.72 0.77
SD 0.08 0.10 0.10 0.17 0.18 0.17 0.10 0.09 0.07 0.19
CNV Rataan 0.25 0.94 0.96 0.97 1.55 0.73 0.63 0.53 0.75 0.79
SD 0.10 0.20 0.31 0.34 0.44 0.25 0.11 0.13 0.11 0.11
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.30 0.39 0.30 0.36 0.60 0.28 0.26 0.35 0.66 0.69
SD 0.06 0.10 0.07 0.13 0.11 0.07 0.09 0.06 0.20 0.21
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23 PS Rataan 0.56 1.03 1.38 0.81 1.02 0.63 0.70 0.81 0.65
SD 0.09 0.33 0.38 0.11 0.12 0.08 0.28 0.24 0.23
PPB Rataan 0.51 0.81 1.07 0.73 0.94 0.60 0.63 0.67 0.65
SD 0.13 0.30 0.25 0.14 0.12 0.08 0.18 0.11 0.17
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.60 0.59 0.78 0.55 0.74 0.41 0.40 0.41 0.39
SD 0.26 0.35 0.27 0.15 0.20 0.17 0.21 0.16 0.14
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
89
Tabel 15. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(cm 2th-1)
RIL50 Rataan 0.42 1.24 1.17 1.04 1.53 0.87 0.80 0.87 1.21 1.11
SD 0.07 0.42 0.52 0.27 0.43 0.19 0.24 0.16 0.25 0.26
RIL60 Rataan 0.48 1.01 1.05 0.90 1.45 0.76 0.71 0.77 1.11 1.21
SD 0.13 0.13 0.15 0.18 0.23 0.21 0.24 0.25 0.36 0.28
CNV Rataan 0.40 1.44 1.43 1.18 1.76 0.92 1.00 0.92 1.51 1.44
SD 0.12 0.43 0.44 0.30 0.33 0.29 0.35 0.18 0.22 0.28
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.44 0.67 0.54 0.63 0.94 0.54 0.49 0.59 1.10 0.98
SD 0.13 0.20 0.14 0.26 0.20 0.16 0.16 0.16 0.17 0.21
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.88 1.66 2.23 1.27 1.79 1.48 1.58 1.62 1.48
SD 0.28 0.63 0.58 0.14 0.27 0.39 0.53 0.45 0.38
PPB Rataan 0.75 1.24 1.80 1.08 1.48 1.12 1.16 1.21 1.11
SD 0.22 0.43 0.50 0.21 0.36 0.37 0.32 0.32 0.23
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.84 0.94 1.43 0.79 1.23 1.03 1.15 1.02 0.99
SD 0.21 0.29 0.30 0.16 0.29 0.28 0.23 0.21 0.29
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Tabel 16. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis non Dipterocarpaceae
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(cm 2th-1)
RIL50 Rataan 0.26 0.76 0.84 0.92 1.28 0.68 0.48 0.53 0.72 0.68
SD 0.06 0.27 0.42 0.43 0.55 0.19 0.20 0.07 0.09 0.29
RIL60 Rataan 0.26 0.61 0.68 0.59 1.04 0.49 0.40 0.50 0.72 0.77
SD 0.08 0.10 0.10 0.17 0.18 0.17 0.10 0.09 0.07 0.19
CNV Rataan 0.25 0.94 0.96 0.97 1.55 0.73 0.63 0.53 0.75 0.79
SD 0.10 0.20 0.31 0.34 0.44 0.25 0.11 0.13 0.11 0.11
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.30 0.39 0.30 0.36 0.60 0.28 0.26 0.35 0.66 0.69
SD 0.06 0.10 0.07 0.13 0.11 0.07 0.09 0.06 0.20 0.21
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23 PS Rataan 0.56 1.03 1.38 0.81 1.02 0.63 0.70 0.81 0.65
SD 0.09 0.33 0.38 0.11 0.12 0.08 0.28 0.24 0.23
PPB Rataan 0.51 0.81 1.07 0.73 0.94 0.60 0.63 0.67 0.65
SD 0.13 0.30 0.25 0.14 0.12 0.08 0.18 0.11 0.17
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.60 0.59 0.78 0.55 0.74 0.41 0.40 0.41 0.39
SD 0.26 0.35 0.27 0.15 0.20 0.17 0.21 0.16 0.14
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
90
Respon perubahan tersebut akan meningkat sejak tahun ke-3 setelah penebangan
dan terjadi fluktuasi sepanjang tahun setelahnya. Sedangkan pada hutan bekas tebangan
pada tahun ke-3 setelah pembebasan akan meningkatkan riap diameter rataan hampir 2
kalinya dibandingkan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan baik untuk kelompok
jenis Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae. Pada kondisi hutan primer, riap individu
pohon Dipterocarpaceae lebih besar dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae. Pada
kondisi ini riap individu pohon untuk semua kelompok jenis lebih rendah dibandingkan
dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa perlakuan.
Tinjauan komposisi penyusun utama tegakan Dipterocarpaceae yang dibagi kedalam
kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Tabel 17-18), berdasarkan hasil
perhitungan riap diameter rataan menunjukkan bahwa kelompok jenis Shorea spp.
mempunyai kontribusi yang lebih besar terhadap nilai riap diameter rataan kelompok jenis
Dipterocarpaceae dibandingkan kelompok jenis lainnya. Karakteristik individu kelompok jenis
Shorea spp. mempunyai kecepatan pertumbuhan (riap) yang lebih tinggi dibandingkan jenis
lain dalam kelompok Dipterocarpaceae, ditunjukkan berdasarkan penilaian riap diameter rataan
pada kondisi hutan primer. Riap diameter rataan untuk Shorea spp. pada hutan bekas
tebangan setelah 3 tahun adalah 0.97–2.15 cm 2th-1, sedangkan respon pembebasan setelah
tahun ke-3 adalah 1.20–2.83 cm 2th-1. Hasil ini menunjukkan bahwa tindakan pembebasan
atau pemberian ruang tumbuh akan menghasilkan respon peningkatan riap.
Tabel 17. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Shorea spp.
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(cm 2th-1)
RIL50 Rataan 0.49 1.54 1.35 1.31 1.88 1.12 1.06 1.08 1.54 1.45
SD 0.12 0.68 0.65 0.44 0.57 0.38 0.32 0.37 0.38 0.32
RIL60 Rataan 0.59 1.22 1.27 1.04 1.67 0.97 0.82 1.02 1.06 1.04
SD 0.21 0.22 0.26 0.32 0.36 0.32 0.42 0.32 0.36 0.32
CNV Rataan 0.45 1.59 1.75 1.46 2.15 1.15 1.17 1.10 1.72 1.68
SD 0.10 0.40 0.54 0.42 0.52 0.50 0.59 0.28 0.34 0.32
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.52 0.83 0.65 0.74 1.09 0.65 0.61 0.66 1.27 1.1
SD 0.17 0.26 0.19 0.31 0.23 0.24 0.17 0.19 0.32 0.32
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 1.11 2.04 2.83 1.42 2.18 1.72 1.93 1.87 1.67
SD 0.26 0.64 0.55 0.17 0.23 0.24 0.57 0.45 0.46
PPB Rataan 0.90 1.43 2.13 1.20 1.76 1.33 1.41 1.34 1.41
SD 0.32 0.53 0.63 0.23 0.49 0.53 0.44 0.39 0.41
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.93 1.14 1.76 0.90 1.47 1.28 1.43 1.33 1.29
SD 0.25 0.37 0.35 0.21 0.40 0.41 0.29 0.31 0.37
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
90
Respon perubahan tersebut akan meningkat sejak tahun ke-3 setelah penebangan
dan terjadi fluktuasi sepanjang tahun setelahnya. Sedangkan pada hutan bekas tebangan
pada tahun ke-3 setelah pembebasan akan meningkatkan riap diameter rataan hampir 2
kalinya dibandingkan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan baik untuk kelompok
jenis Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae. Pada kondisi hutan primer, riap individu
pohon Dipterocarpaceae lebih besar dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae. Pada
kondisi ini riap individu pohon untuk semua kelompok jenis lebih rendah dibandingkan
dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa perlakuan.
Tinjauan komposisi penyusun utama tegakan Dipterocarpaceae yang dibagi kedalam
kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Tabel 17-18), berdasarkan hasil
perhitungan riap diameter rataan menunjukkan bahwa kelompok jenis Shorea spp.
mempunyai kontribusi yang lebih besar terhadap nilai riap diameter rataan kelompok jenis
Dipterocarpaceae dibandingkan kelompok jenis lainnya. Karakteristik individu kelompok jenis
Shorea spp. mempunyai kecepatan pertumbuhan (riap) yang lebih tinggi dibandingkan jenis
lain dalam kelompok Dipterocarpaceae, ditunjukkan berdasarkan penilaian riap diameter rataan
pada kondisi hutan primer. Riap diameter rataan untuk Shorea spp. pada hutan bekas
tebangan setelah 3 tahun adalah 0.97–2.15 cm 2th-1, sedangkan respon pembebasan setelah
tahun ke-3 adalah 1.20–2.83 cm 2th-1. Hasil ini menunjukkan bahwa tindakan pembebasan
atau pemberian ruang tumbuh akan menghasilkan respon peningkatan riap.
Tabel 17. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Shorea spp.
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(cm 2th-1)
RIL50 Rataan 0.49 1.54 1.35 1.31 1.88 1.12 1.06 1.08 1.54 1.45
SD 0.12 0.68 0.65 0.44 0.57 0.38 0.32 0.37 0.38 0.32
RIL60 Rataan 0.59 1.22 1.27 1.04 1.67 0.97 0.82 1.02 1.06 1.04
SD 0.21 0.22 0.26 0.32 0.36 0.32 0.42 0.32 0.36 0.32
CNV Rataan 0.45 1.59 1.75 1.46 2.15 1.15 1.17 1.10 1.72 1.68
SD 0.10 0.40 0.54 0.42 0.52 0.50 0.59 0.28 0.34 0.32
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.52 0.83 0.65 0.74 1.09 0.65 0.61 0.66 1.27 1.1
SD 0.17 0.26 0.19 0.31 0.23 0.24 0.17 0.19 0.32 0.32
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 1.11 2.04 2.83 1.42 2.18 1.72 1.93 1.87 1.67
SD 0.26 0.64 0.55 0.17 0.23 0.24 0.57 0.45 0.46
PPB Rataan 0.90 1.43 2.13 1.20 1.76 1.33 1.41 1.34 1.41
SD 0.32 0.53 0.63 0.23 0.49 0.53 0.44 0.39 0.41
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.93 1.14 1.76 0.90 1.47 1.28 1.43 1.33 1.29
SD 0.25 0.37 0.35 0.21 0.40 0.41 0.29 0.31 0.37
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
91
Tabel 18. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(cm 2th-1)
RIL50 Rataan 0.35 0.95 0.99 0.78 1.18 0.62 0.53 0.66 0.87 0.78
SD 0.06 0.26 0.45 0.17 0.34 0.14 0.27 0.19 0.13 0.21
RIL60 Rataan 0.37 0.81 0.83 0.75 1.23 0.56 0.60 0.53 1.16 1.01
SD 0.07 0.17 0.13 0.12 0.19 0.18 0.12 0.35 0.36 0.31
CNV Rataan 0.35 1.29 1.11 0.90 1.38 0.69 0.83 0.74 1.31 1.21
SD 0.16 0.54 0.36 0.24 0.24 0.25 0.20 0.13 0.25 0.27
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.36 0.51 0.44 0.52 0.78 0.43 0.37 0.52 0.93 0.89
SD 0.11 0.17 0.13 0.26 0.24 0.14 0.19 0.16 0.05 0.19
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.66 1.28 1.64 1.13 1.40 1.24 1.24 1.25 1.24
SD 0.32 0.65 0.67 0.26 0.32 0.58 0.58 0.56 0.56
PPB Rataan 0.59 1.05 1.47 0.96 1.20 0.90 0.90 0.89 0.90
SD 0.15 0.35 0.39 0.26 0.27 0.24 0.24 0.24 0.26
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.75 0.74 1.10 0.68 0.98 0.79 0.87 0.78 0.79
SD 0.24 0.26 0.37 0.22 0.27 0.25 0.25 0.22 0.24
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Perbedaan kondisi tegakan setelah penebangan akan menghasilkan fluktuasi nilai
riap diameter rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun
semua jenis sepanjang pengamatan. Pada tegakan setelah penebangan akan menghasilkan
nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer. Teknik penebangan
konvensional dengan intensitas penebangan tertinggi akan menghasilkan nilai riap diameter
rataan kelompok Dipterocarpaceae yang selalu lebih tinggi sepanjang 23 tahun setelah
penebangan, kemudian diikuti tegakan dengan penebangan RIL 50 dan RIL 60. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan antara intensitas penebangan terhadap respon riap individu
dalam diameter rataan yang dihasilkan. Respon peningkatan nilai riap terjadi pada tahun ke-
3 setelah penebangan dan akan mulai menurun setelah tahun ke-9 setelah penebangan.
Kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap individu periodik yang lebih besar
dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae sepanjang jangka waktu setelah penebangan.
Kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter rataan yang
cenderung lebih kecil dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki nilai
riap diameter rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer.
Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan
akan mulai menurun pada tahun ke-9 setelah penebangan. Sedangkan kelompok jenis
Dipterocarpaceae non Shorea cenderung berfluktuasi sepanjang 23 tahun setelah penebangan.
91
Tabel 18. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(cm 2th-1)
RIL50 Rataan 0.35 0.95 0.99 0.78 1.18 0.62 0.53 0.66 0.87 0.78
SD 0.06 0.26 0.45 0.17 0.34 0.14 0.27 0.19 0.13 0.21
RIL60 Rataan 0.37 0.81 0.83 0.75 1.23 0.56 0.60 0.53 1.16 1.01
SD 0.07 0.17 0.13 0.12 0.19 0.18 0.12 0.35 0.36 0.31
CNV Rataan 0.35 1.29 1.11 0.90 1.38 0.69 0.83 0.74 1.31 1.21
SD 0.16 0.54 0.36 0.24 0.24 0.25 0.20 0.13 0.25 0.27
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.36 0.51 0.44 0.52 0.78 0.43 0.37 0.52 0.93 0.89
SD 0.11 0.17 0.13 0.26 0.24 0.14 0.19 0.16 0.05 0.19
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.66 1.28 1.64 1.13 1.40 1.24 1.24 1.25 1.24
SD 0.32 0.65 0.67 0.26 0.32 0.58 0.58 0.56 0.56
PPB Rataan 0.59 1.05 1.47 0.96 1.20 0.90 0.90 0.89 0.90
SD 0.15 0.35 0.39 0.26 0.27 0.24 0.24 0.24 0.26
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.75 0.74 1.10 0.68 0.98 0.79 0.87 0.78 0.79
SD 0.24 0.26 0.37 0.22 0.27 0.25 0.25 0.22 0.24
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Perbedaan kondisi tegakan setelah penebangan akan menghasilkan fluktuasi nilai
riap diameter rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun
semua jenis sepanjang pengamatan. Pada tegakan setelah penebangan akan menghasilkan
nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer. Teknik penebangan
konvensional dengan intensitas penebangan tertinggi akan menghasilkan nilai riap diameter
rataan kelompok Dipterocarpaceae yang selalu lebih tinggi sepanjang 23 tahun setelah
penebangan, kemudian diikuti tegakan dengan penebangan RIL 50 dan RIL 60. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan antara intensitas penebangan terhadap respon riap individu
dalam diameter rataan yang dihasilkan. Respon peningkatan nilai riap terjadi pada tahun ke-
3 setelah penebangan dan akan mulai menurun setelah tahun ke-9 setelah penebangan.
Kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap individu periodik yang lebih besar
dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae sepanjang jangka waktu setelah penebangan.
Kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter rataan yang
cenderung lebih kecil dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki nilai
riap diameter rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer.
Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan
akan mulai menurun pada tahun ke-9 setelah penebangan. Sedangkan kelompok jenis
Dipterocarpaceae non Shorea cenderung berfluktuasi sepanjang 23 tahun setelah penebangan.
92
Perbedaan kondisi tegakan setelah pembebasan akan menghasilkan fluktuasi nilai
riap diameter rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun
semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun. Pada tegakan hutan bekas tebangan setelah
pembebasan akan menghasilkan nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan
bekas tebangan tanpa perlakuan. Perbedaan respon teknik pembebasan (sistematis dan
berbasis pohon binaan) ditunjukkan dengan jelas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae.
Teknik pembebasan sistematis memberikan respon nilai riap diameter rataan yang lebih
besar dibandingkan kondisi tanpa perlakuan sepanjang pengamatan. Sedangkan teknik
pembebasan berbasis pohon binaan akan menghasilkan nilai riap diameter rataan kelompok
Dipterocarpaceae yang lebih tinggi hingga 11 tahun setelah pembebasan, kemudian akan
mendekati kondisi tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara teknik
pembukaan ruang tumbuh terhadap respon riap individu dalam diameter rataan yang
dihasilkan.
Seperti halnya respon dari kegiatan penebangan, pada tegakan hutan setelah
pembebasan kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter
rataan yang cenderung lebih kecil dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini
memiliki nilai riap diameter rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada
hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi
pada tahun ke-3 setelah pembebasan dan mulai menurun pada tahun ke-5 setelah
pembebasan, tetapi setelah tahun ke-7 terjadi fluktuasi yang mendekati kondisi tanpa
perlakuan.
Pendekatan riap individu pohon memiliki fleksibilitas untuk proyeksi yang lebih luas
pada berbagai batasan kondisi. Untuk hutan tropis, model pertumbuhan disusun lebih
kompleks berdasarkan ekosistem, komposisi jenis yang tinggi dan tidak relevannya variable
umur (Vanclay 1995). Sehingga persamaan riap disusun berdasarkan diameter atau bidang
dasar yang bersifat reliable untuk digunakan dalam menduga tegakan secara total berdasarkan
kondisi site dan tegakan itu sendiri. Studi pendahuluan pada lokasi penelitian yang sama
(hutan Labanan) menunjukkan riap diameter hutan bekas tebangan setelah 2 tahun menjadi
dua kali lebih besar dibandingkan dengan kondisi primer (Nguyen-The et al. 1998), dengan
riap diameter rataan tegakan hutan primer sebesar 0.22 cm th-1.
Nilai riap diameter rataan pada 10 propinsi di Indonesia untuk kelompok jenis
komersial sebesar 0.49-79 cm th-1, jenis non komersial sebesar 0.33-0.78 cm th-1 dan untuk
semua jenis sebesar 0.38-0.79 cm th-1 (Suhendang 2002). Hasil penelitian di Brazil, Costa
Rica, Guyana dan Papua New Guinea dengan pengukuran ulang pada plot permanen 3–10
tahun di 11 lokasi penelitian menghasilkan riap diameter individu pohon 0.15-1.36 cm th-1
(Alder et al. 2002). Nilai riap diameter individu pohon ini berada pada kisaran yang sama
dengan hasil penelitian ini, terutama untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae. Hal ini
menunjukkan variasi kondisi tegakan hutan tropis memiliki kisaran riap diameter pohon
92
Perbedaan kondisi tegakan setelah pembebasan akan menghasilkan fluktuasi nilai
riap diameter rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun
semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun. Pada tegakan hutan bekas tebangan setelah
pembebasan akan menghasilkan nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan
bekas tebangan tanpa perlakuan. Perbedaan respon teknik pembebasan (sistematis dan
berbasis pohon binaan) ditunjukkan dengan jelas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae.
Teknik pembebasan sistematis memberikan respon nilai riap diameter rataan yang lebih
besar dibandingkan kondisi tanpa perlakuan sepanjang pengamatan. Sedangkan teknik
pembebasan berbasis pohon binaan akan menghasilkan nilai riap diameter rataan kelompok
Dipterocarpaceae yang lebih tinggi hingga 11 tahun setelah pembebasan, kemudian akan
mendekati kondisi tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara teknik
pembukaan ruang tumbuh terhadap respon riap individu dalam diameter rataan yang
dihasilkan.
Seperti halnya respon dari kegiatan penebangan, pada tegakan hutan setelah
pembebasan kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter
rataan yang cenderung lebih kecil dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini
memiliki nilai riap diameter rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada
hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi
pada tahun ke-3 setelah pembebasan dan mulai menurun pada tahun ke-5 setelah
pembebasan, tetapi setelah tahun ke-7 terjadi fluktuasi yang mendekati kondisi tanpa
perlakuan.
Pendekatan riap individu pohon memiliki fleksibilitas untuk proyeksi yang lebih luas
pada berbagai batasan kondisi. Untuk hutan tropis, model pertumbuhan disusun lebih
kompleks berdasarkan ekosistem, komposisi jenis yang tinggi dan tidak relevannya variable
umur (Vanclay 1995). Sehingga persamaan riap disusun berdasarkan diameter atau bidang
dasar yang bersifat reliable untuk digunakan dalam menduga tegakan secara total berdasarkan
kondisi site dan tegakan itu sendiri. Studi pendahuluan pada lokasi penelitian yang sama
(hutan Labanan) menunjukkan riap diameter hutan bekas tebangan setelah 2 tahun menjadi
dua kali lebih besar dibandingkan dengan kondisi primer (Nguyen-The et al. 1998), dengan
riap diameter rataan tegakan hutan primer sebesar 0.22 cm th-1.
Nilai riap diameter rataan pada 10 propinsi di Indonesia untuk kelompok jenis
komersial sebesar 0.49-79 cm th-1, jenis non komersial sebesar 0.33-0.78 cm th-1 dan untuk
semua jenis sebesar 0.38-0.79 cm th-1 (Suhendang 2002). Hasil penelitian di Brazil, Costa
Rica, Guyana dan Papua New Guinea dengan pengukuran ulang pada plot permanen 3–10
tahun di 11 lokasi penelitian menghasilkan riap diameter individu pohon 0.15-1.36 cm th-1
(Alder et al. 2002). Nilai riap diameter individu pohon ini berada pada kisaran yang sama
dengan hasil penelitian ini, terutama untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae. Hal ini
menunjukkan variasi kondisi tegakan hutan tropis memiliki kisaran riap diameter pohon
93
yang cukup lebar. Dikutip dalam Silva et al. (2002) beberapa hasil penelitian di hutan tropis
menunjukkan bahwa riap diameter tahunan di Peninsular Malaysia sebesar 0.4-4.5 mm th-1
(Manokaran dan Kochummen 1993), di Panama sebesar 7.1-9.2 mm th-1 (Condit et al 1995),
di Tapajos Argentina adalah 2.0 mm th-1 (Silva et al. 1996); di hutan Amazon Brazil adalah
1.64 ±0.21 mm th-1 (Gomide 1997), di Costa Rica sebesar 5-18 mm th-1 (Clark dan Clark
1999) dan di Brazil sebesar 0.48-11.41 mm th-1. Hasil-hasil penelitian ini menggunakan
satuan yang berbeda untuk mengurangi bias pengukuran riap yang dilakukan setiap tahun.
Kesalahan pengukuran akibat periode pengukuran yang terlalu pendek mengakibatkan bias
yang besar, untuk mengurangi kesalahan ketidak cermatan dalam pengukuran berulang
maka periode optimal pengukuran di hutan bekas tebangan adalah 2 tahun untuk tegakan
dengan tindakan silvikultur dan periode 3 tahun untuk tegakan tanpa perlakuan
(Suhendang 1997).
7.2. Riap Tegakan Periodik
Nilai riap tegakan berdasarkan riap bidang dasar rataan tegakan dilakukan
berdasarkan pengelompokkan jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp
dan Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis secara periodik setiap 2
tahun pada hutan setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda setelah 23
tahun dan dampak dari penerapan teknik pembebasan yang berbeda setalah 23 tahun.
Berdasarkan nilai bidang dasar tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas
tebangan dengan tindakan silvikultur berupa pembebasan akan memiliki nilai yang lebih
besar (riap bidang dasar rataan 0.98–2.52 m2 ha-1 2th-1) yang lebih besar dibandingkan pada
hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda (riap bidang dasar rataan
0.27–2.10 m2 ha-1 2th-1) (Tabel 19). Teknik penebangan yang berbeda akan menghasilkan
nilai riap bidang dasar tegakan yang berbeda pula. Hutan bekas tebangan dengan teknik
konvensional (intensitas penebangan yang tertinggi) mempunyai kisaran nilai riap bidang
dasar rataan yang lebih lebar yaitu 0.27–2.10 m2 ha-1 2th-1, dibandingkan dengan teknik RIL
50 (riap bidang dasar rataan 0.35–1.87 m2 ha-1 2th-1) maupun dengan teknik RIL 60 (riap
bidang dasar rataan 0.42–1.67 m2 ha-1 2th-1). Sedangkan pada hutan bekas tebangan setelah
pembebasan sistematis (riap bidang dasar rataan 0.98–2.52 m2 ha-1 2th-1) akan mempunyai
nilai yang lebih lebar dibandingkan dengan pembebasan berbasis pohon binaan (riap bidang
dasar rataan 0.98–2.07 m2 ha-1 2th-1). Pada kondisi hutan primer, riap tegakan semua jenis
akan lebih kecil dibandingkan dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa
perlakuan.
93
yang cukup lebar. Dikutip dalam Silva et al. (2002) beberapa hasil penelitian di hutan tropis
menunjukkan bahwa riap diameter tahunan di Peninsular Malaysia sebesar 0.4-4.5 mm th-1
(Manokaran dan Kochummen 1993), di Panama sebesar 7.1-9.2 mm th-1 (Condit et al 1995),
di Tapajos Argentina adalah 2.0 mm th-1 (Silva et al. 1996); di hutan Amazon Brazil adalah
1.64 ±0.21 mm th-1 (Gomide 1997), di Costa Rica sebesar 5-18 mm th-1 (Clark dan Clark
1999) dan di Brazil sebesar 0.48-11.41 mm th-1. Hasil-hasil penelitian ini menggunakan
satuan yang berbeda untuk mengurangi bias pengukuran riap yang dilakukan setiap tahun.
Kesalahan pengukuran akibat periode pengukuran yang terlalu pendek mengakibatkan bias
yang besar, untuk mengurangi kesalahan ketidak cermatan dalam pengukuran berulang
maka periode optimal pengukuran di hutan bekas tebangan adalah 2 tahun untuk tegakan
dengan tindakan silvikultur dan periode 3 tahun untuk tegakan tanpa perlakuan
(Suhendang 1997).
7.2. Riap Tegakan Periodik
Nilai riap tegakan berdasarkan riap bidang dasar rataan tegakan dilakukan
berdasarkan pengelompokkan jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp
dan Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis secara periodik setiap 2
tahun pada hutan setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda setelah 23
tahun dan dampak dari penerapan teknik pembebasan yang berbeda setalah 23 tahun.
Berdasarkan nilai bidang dasar tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas
tebangan dengan tindakan silvikultur berupa pembebasan akan memiliki nilai yang lebih
besar (riap bidang dasar rataan 0.98–2.52 m2 ha-1 2th-1) yang lebih besar dibandingkan pada
hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda (riap bidang dasar rataan
0.27–2.10 m2 ha-1 2th-1) (Tabel 19). Teknik penebangan yang berbeda akan menghasilkan
nilai riap bidang dasar tegakan yang berbeda pula. Hutan bekas tebangan dengan teknik
konvensional (intensitas penebangan yang tertinggi) mempunyai kisaran nilai riap bidang
dasar rataan yang lebih lebar yaitu 0.27–2.10 m2 ha-1 2th-1, dibandingkan dengan teknik RIL
50 (riap bidang dasar rataan 0.35–1.87 m2 ha-1 2th-1) maupun dengan teknik RIL 60 (riap
bidang dasar rataan 0.42–1.67 m2 ha-1 2th-1). Sedangkan pada hutan bekas tebangan setelah
pembebasan sistematis (riap bidang dasar rataan 0.98–2.52 m2 ha-1 2th-1) akan mempunyai
nilai yang lebih lebar dibandingkan dengan pembebasan berbasis pohon binaan (riap bidang
dasar rataan 0.98–2.07 m2 ha-1 2th-1). Pada kondisi hutan primer, riap tegakan semua jenis
akan lebih kecil dibandingkan dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa
perlakuan.
94
Tabel 19. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk semua jenis
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(m2 ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 0.35 0.88 0.93 1.12 1.87 1.17 0.90 1.05 1.61 1.34
SD 0.09 0.17 0.24 0.28 0.60 0.22 0.33 0.14 0.26 0.27
RIL60 Rataan 0.42 0.91 1.02 0.87 1.67 0.83 0.72 0.92 1.31 1.01
SD 0.14 0.14 0.21 0.17 0.35 0.11 0.22 0.17 0.24 0.23
CNV Rataan 0.27 0.98 1.06 1.08 2.10 1.11 1.12 0.94 1.62 1.21
SD 0.07 0.13 0.18 0.17 0.36 0.30 0.23 0.25 0.18 0.23
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.51 0.71 0.54 0.67 1.05 0.57 0.48 0.65 1.28 1.01
SD 0.09 0.14 0.09 0.18 0.17 0.13 0.14 0.11 0.07 0.18
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.98 1.59 2.52 1.38 2.13 1.52 1.66 1.54 1.48
SD 0.12 0.38 0.60 0.23 0.43 0.35 0.51 0.48 0.35
PPB Rataan 0.98 1.36 2.07 1.26 1.80 1.24 1.78 1.65 1.35
SD 0.12 0.37 0.41 0.21 0.27 0.16 1.46 0.85 0.45
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.95 0.93 1.53 0.85 1.23 0.83 0.81 0.78 0.76
SD 0.32 0.44 0.46 0.25 0.37 0.35 0.39 0.32 0.32
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Berdasarkan komposisi penyusun utama tegakan dalam kelompok famili utama
yaitu Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, akan menghasilkan respon nilai riap tegakan
periodik yang berbeda (Tabel 20-21). Secara umum, kelompok jenis non Dipterocarpaceae
memiliki riap bidang dasar rataan (0.16-1.48 m2 ha-1 2th-1) yang lebih besar dan kisaran yang
lebih lebar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae (0.10-1.15 m2 ha-1 2th-1) pada semua
kondisi hutan. Riap bidang dasar rataan tegakan setelah penebangan akan lebih besar
dibandingkan pada kondisi hutan primer, terutama terjadi karena adanya respon pembukaan
ruang tumbuh setelah penebangan. Respon perubahan tersebut akan meningkat sejak
tahun ke-3 setelah penebangan. Sedangkan pada hutan bekas tebangan pada tahun ke-3
setelah pembebasan akan meningkatkan riap bidang dasar rataan hampir 2 kali nilai riap
pada kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan terutama untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae. Pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan dengan tujuan utama
pembinaan terhadap tegakan tinggal, kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap bidang
dasar rataan yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan bekas tebangan dengan
teknik penebangan yang berbeda dan hutan primer. Pada kondisi hutan primer, riap bidang
dasar tegakan Dipterocarpaceae (0.21-0.50 m2 ha-1 2th-1) akan lebih kecil dibandingkan
kelompok non Dipterocarpaceae (0.26-0.77 m2 ha-1 2th-1).
94
Tabel 19. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk semua jenis
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(m2 ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 0.35 0.88 0.93 1.12 1.87 1.17 0.90 1.05 1.61 1.34
SD 0.09 0.17 0.24 0.28 0.60 0.22 0.33 0.14 0.26 0.27
RIL60 Rataan 0.42 0.91 1.02 0.87 1.67 0.83 0.72 0.92 1.31 1.01
SD 0.14 0.14 0.21 0.17 0.35 0.11 0.22 0.17 0.24 0.23
CNV Rataan 0.27 0.98 1.06 1.08 2.10 1.11 1.12 0.94 1.62 1.21
SD 0.07 0.13 0.18 0.17 0.36 0.30 0.23 0.25 0.18 0.23
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.51 0.71 0.54 0.67 1.05 0.57 0.48 0.65 1.28 1.01
SD 0.09 0.14 0.09 0.18 0.17 0.13 0.14 0.11 0.07 0.18
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.98 1.59 2.52 1.38 2.13 1.52 1.66 1.54 1.48
SD 0.12 0.38 0.60 0.23 0.43 0.35 0.51 0.48 0.35
PPB Rataan 0.98 1.36 2.07 1.26 1.80 1.24 1.78 1.65 1.35
SD 0.12 0.37 0.41 0.21 0.27 0.16 1.46 0.85 0.45
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.95 0.93 1.53 0.85 1.23 0.83 0.81 0.78 0.76
SD 0.32 0.44 0.46 0.25 0.37 0.35 0.39 0.32 0.32
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Berdasarkan komposisi penyusun utama tegakan dalam kelompok famili utama
yaitu Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, akan menghasilkan respon nilai riap tegakan
periodik yang berbeda (Tabel 20-21). Secara umum, kelompok jenis non Dipterocarpaceae
memiliki riap bidang dasar rataan (0.16-1.48 m2 ha-1 2th-1) yang lebih besar dan kisaran yang
lebih lebar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae (0.10-1.15 m2 ha-1 2th-1) pada semua
kondisi hutan. Riap bidang dasar rataan tegakan setelah penebangan akan lebih besar
dibandingkan pada kondisi hutan primer, terutama terjadi karena adanya respon pembukaan
ruang tumbuh setelah penebangan. Respon perubahan tersebut akan meningkat sejak
tahun ke-3 setelah penebangan. Sedangkan pada hutan bekas tebangan pada tahun ke-3
setelah pembebasan akan meningkatkan riap bidang dasar rataan hampir 2 kali nilai riap
pada kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan terutama untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae. Pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan dengan tujuan utama
pembinaan terhadap tegakan tinggal, kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap bidang
dasar rataan yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan bekas tebangan dengan
teknik penebangan yang berbeda dan hutan primer. Pada kondisi hutan primer, riap bidang
dasar tegakan Dipterocarpaceae (0.21-0.50 m2 ha-1 2th-1) akan lebih kecil dibandingkan
kelompok non Dipterocarpaceae (0.26-0.77 m2 ha-1 2th-1).
95
Tabel 20. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(m2 ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 0.15 0.33 0.31 0.34 0.53 0.37 0.30 0.38 0.66 0.53
SD 0.06 0.09 0.07 0.11 0.15 0.14 0.14 0.09 0.05 0.11
RIL60 Rataan 0.18 0.40 0.44 0.35 0.66 0.33 0.31 0.36 0.48 0.51
SD 0.09 0.15 0.18 0.10 0.27 0.08 0.15 0.12 0.28 0.21
CNV Rataan 0.10 0.37 0.40 0.36 0.62 0.35 0.42 0.40 0.70 0.68
SD 0.05 0.12 0.12 0.13 0.18 0.13 0.15 0.10 0.10 0.12
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.21 0.32 0.24 0.30 0.44 0.26 0.22 0.28 0.50 0.47
SD 0.06 0.08 0.07 0.10 0.12 0.07 0.09 0.09 0.16 0.15
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.35 0.71 1.15 0.58 0.96 0.80 0.92 0.89 0.85
SD 0.08 0.24 0.34 0.14 0.29 0.30 0.38 0.21 0.29
PPB Rataan 0.34 0.57 0.90 0.51 0.70 0.52 0.56 0.48 0.49
SD 0.15 0.22 0.36 0.21 0.30 0.19 0.16 0.16 0.17
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.34 0.32 0.57 0.26 0.40 0.35 0.39 0.35 0.36
SD 0.16 0.15 0.21 0.12 0.23 0.22 0.24 0.21 0.24
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Perbedaan kondisi tegakan setelah penebangan akan menghasilkan fluktuasi nilai
riap bidang dasar tegakan rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non
Dipterocarpaceae maupun semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun setalah penebangan
dan setelah penerapan teknik pembebasan. Pada tegakan setelah penebangan akan
menghasilkan nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer baik untuk
kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun semua jenis. Teknik
penebangan konvensional dan RIL 50 mempunyai hubungan yang sama terhadap fluktuasi
nilai riap bidang dasar periodik terutama untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Respon
peningkatan nilai riap terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan mulai menurun
setelah tahun ke-9 setelah penebangan, tetapi meningkat kembali setelah tahun ke-15 untuk
kedua kelompok jenis tersebut. Kelompok jenis non Dipterocarpaceae mempunyai riap
tegakan periodik yang lebih besar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae sepanjang jangka
waktu setelah penebangan.
95
Tabel 20. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(m2 ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 0.15 0.33 0.31 0.34 0.53 0.37 0.30 0.38 0.66 0.53
SD 0.06 0.09 0.07 0.11 0.15 0.14 0.14 0.09 0.05 0.11
RIL60 Rataan 0.18 0.40 0.44 0.35 0.66 0.33 0.31 0.36 0.48 0.51
SD 0.09 0.15 0.18 0.10 0.27 0.08 0.15 0.12 0.28 0.21
CNV Rataan 0.10 0.37 0.40 0.36 0.62 0.35 0.42 0.40 0.70 0.68
SD 0.05 0.12 0.12 0.13 0.18 0.13 0.15 0.10 0.10 0.12
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.21 0.32 0.24 0.30 0.44 0.26 0.22 0.28 0.50 0.47
SD 0.06 0.08 0.07 0.10 0.12 0.07 0.09 0.09 0.16 0.15
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.35 0.71 1.15 0.58 0.96 0.80 0.92 0.89 0.85
SD 0.08 0.24 0.34 0.14 0.29 0.30 0.38 0.21 0.29
PPB Rataan 0.34 0.57 0.90 0.51 0.70 0.52 0.56 0.48 0.49
SD 0.15 0.22 0.36 0.21 0.30 0.19 0.16 0.16 0.17
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.34 0.32 0.57 0.26 0.40 0.35 0.39 0.35 0.36
SD 0.16 0.15 0.21 0.12 0.23 0.22 0.24 0.21 0.24
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Perbedaan kondisi tegakan setelah penebangan akan menghasilkan fluktuasi nilai
riap bidang dasar tegakan rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non
Dipterocarpaceae maupun semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun setalah penebangan
dan setelah penerapan teknik pembebasan. Pada tegakan setelah penebangan akan
menghasilkan nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer baik untuk
kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun semua jenis. Teknik
penebangan konvensional dan RIL 50 mempunyai hubungan yang sama terhadap fluktuasi
nilai riap bidang dasar periodik terutama untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Respon
peningkatan nilai riap terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan mulai menurun
setelah tahun ke-9 setelah penebangan, tetapi meningkat kembali setelah tahun ke-15 untuk
kedua kelompok jenis tersebut. Kelompok jenis non Dipterocarpaceae mempunyai riap
tegakan periodik yang lebih besar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae sepanjang jangka
waktu setelah penebangan.
96
Tabel 21. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(m2 ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 0.21 0.55 0.61 0.78 1.34 0.80 0.60 0.67 0.95 0.86
SD 0.05 0.11 0.22 0.28 0.60 0.25 0.26 0.13 0.31 0.28
RIL60 Rataan 0.23 0.50 0.58 0.52 1.01 0.50 0.40 0.56 0.82 0.79
SD 0.07 0.06 0.10 0.14 0.23 0.15 0.13 0.13 0.04 0.12
CNV Rataan 0.16 0.61 0.66 0.72 1.48 0.75 0.70 0.59 0.92 0.86
SD 0.06 0.13 0.18 0.19 0.41 0.32 0.16 0.16 0.19 0.19
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.30 0.39 0.30 0.37 0.61 0.30 0.26 0.37 0.77 0.75
SD 0.05 0.07 0.06 0.11 0.10 0.09 0.09 0.06 0.19 0.18
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.63 0.88 1.36 0.80 1.17 0.72 0.73 0.74 0.74
SD 0.09 0.19 0.35 0.12 0.18 0.12 0.21 0.21 0.21
PPB Rataan 0.63 0.78 1.17 0.76 1.10 0.71 1.22 0.98 0.89
SD 0.15 0.31 0.36 0.21 0.29 0.14 1.46 1.11 1.01
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.61 0.62 0.96 0.60 0.83 0.48 0.42 0.45 0.45
SD 0.22 0.32 0.33 0.17 0.28 0.18 0.35 0.32 0.31
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Perbedaan kondisi tegakan setelah pembebasan akan menghasilkan fluktuasi nilai riap
bidang dasar tegakan periodik baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non
Dipterocarpaceae maupun semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun. Pada tegakan hutan
bekas tebangan setelah pembebasan akan menghasilkan nilai riap tegakan yang lebih tinggi
dibandingkan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Perbedaan respon teknik
pembebasan (sistematis dan berbasis pohon binaan) ditunjukkan dengan jelas pada
kelompok jenis Dipterocarpaceae. Teknik pembebasan sistematis memberikan respon nilai
riap bidang dasar periodik yang lebih besar dibandingkan pembebasan berbasis pohon
binaan maupun kondisi tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara
teknik pembukaan ruang tumbuh terhadap respon riap tegakan periodik untuk kelompok
jenis Dipterocarpaceae lebih terlihat dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae.
Perhitungan nilai riap bidang dasar tegakan Dipterocarpaceae diklasifikasikan dalam
penyusun utama yang dibagi dalam kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non
Shorea (Tabel 22-23). Berdasarkan hasil perhitungan riap bidang dasar rataan dalam
kelompok jenis tersebut menunjukkan bahwa kelompok jenis Shorea spp. mempunyai
kontribusi yang lebih besar pada kondisi hutan setelah penebangan hingga 17 tahun
terhadap nilai riap bidang dasar tegakan Dipterocarpaceae, kecuali pada penebangan dengan
teknik konvensional. Begitu pula pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan, akan
96
Tabel 21. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(m2 ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 0.21 0.55 0.61 0.78 1.34 0.80 0.60 0.67 0.95 0.86
SD 0.05 0.11 0.22 0.28 0.60 0.25 0.26 0.13 0.31 0.28
RIL60 Rataan 0.23 0.50 0.58 0.52 1.01 0.50 0.40 0.56 0.82 0.79
SD 0.07 0.06 0.10 0.14 0.23 0.15 0.13 0.13 0.04 0.12
CNV Rataan 0.16 0.61 0.66 0.72 1.48 0.75 0.70 0.59 0.92 0.86
SD 0.06 0.13 0.18 0.19 0.41 0.32 0.16 0.16 0.19 0.19
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.30 0.39 0.30 0.37 0.61 0.30 0.26 0.37 0.77 0.75
SD 0.05 0.07 0.06 0.11 0.10 0.09 0.09 0.06 0.19 0.18
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.63 0.88 1.36 0.80 1.17 0.72 0.73 0.74 0.74
SD 0.09 0.19 0.35 0.12 0.18 0.12 0.21 0.21 0.21
PPB Rataan 0.63 0.78 1.17 0.76 1.10 0.71 1.22 0.98 0.89
SD 0.15 0.31 0.36 0.21 0.29 0.14 1.46 1.11 1.01
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.61 0.62 0.96 0.60 0.83 0.48 0.42 0.45 0.45
SD 0.22 0.32 0.33 0.17 0.28 0.18 0.35 0.32 0.31
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Perbedaan kondisi tegakan setelah pembebasan akan menghasilkan fluktuasi nilai riap
bidang dasar tegakan periodik baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non
Dipterocarpaceae maupun semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun. Pada tegakan hutan
bekas tebangan setelah pembebasan akan menghasilkan nilai riap tegakan yang lebih tinggi
dibandingkan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Perbedaan respon teknik
pembebasan (sistematis dan berbasis pohon binaan) ditunjukkan dengan jelas pada
kelompok jenis Dipterocarpaceae. Teknik pembebasan sistematis memberikan respon nilai
riap bidang dasar periodik yang lebih besar dibandingkan pembebasan berbasis pohon
binaan maupun kondisi tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara
teknik pembukaan ruang tumbuh terhadap respon riap tegakan periodik untuk kelompok
jenis Dipterocarpaceae lebih terlihat dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae.
Perhitungan nilai riap bidang dasar tegakan Dipterocarpaceae diklasifikasikan dalam
penyusun utama yang dibagi dalam kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non
Shorea (Tabel 22-23). Berdasarkan hasil perhitungan riap bidang dasar rataan dalam
kelompok jenis tersebut menunjukkan bahwa kelompok jenis Shorea spp. mempunyai
kontribusi yang lebih besar pada kondisi hutan setelah penebangan hingga 17 tahun
terhadap nilai riap bidang dasar tegakan Dipterocarpaceae, kecuali pada penebangan dengan
teknik konvensional. Begitu pula pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan, akan
97
mempunyai nilai riap bidang dasar rataan tegakan Shorea spp. yang lebih besar dibandingkan
kelompok Dipterocarpaceae non Shorea. Karakteristik tegakan kelompok jenis Shorea spp. dan
Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai kecepatan pertumbuhan (riap) bidang dasar yang
relatif sama besar (0.09-026 m2 ha-1 2th-1) yang ditunjukkan berdasarkan pada kondisi hutan
primer. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan terhadap tegakan baik berupa penebangan
maupun pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae. Sampai dengan
tingkat pembukaan atau pemberian ruang tumbuh akan menghasilkan respon peningkatan
riap tegakan.
Tabel 22. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Shorea spp.
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(m2 ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 0.06 0.14 0.13 0.16 0.25 0.18 0.18 0.19 0.44 0.34
SD 0.03 0.05 0.05 0.08 0.10 0.08 0.07 0.07 0.05 0.08
RIL60 Rataan 0.10 0.22 0.24 0.19 0.36 0.21 0.17 0.22 0.27 0.26
SD 0.05 0.08 0.11 0.07 0.15 0.08 0.11 0.08 0.09 0.09
CNV Rataan 0.05 0.18 0.22 0.20 0.35 0.21 0.25 0.24 0.42 0.39
SD 0.03 0.07 0.09 0.07 0.09 0.11 0.13 0.06 0.10 0.11
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.13 0.19 0.14 0.16 0.23 0.14 0.13 0.14 0.25 0.23
SD 0.05 0.05 0.05 0.06 0.06 0.05 0.05 0.06 0.06 0.06
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.26 0.54 0.86 0.38 0.69 0.55 0.61 0.59 0.61
SD 0.05 0.15 0.24 0.09 0.19 0.17 0.16 0.17 0.16
PPB Rataan 0.21 0.34 0.53 0.27 0.39 0.28 0.32 0.32 0.31
SD 0.10 0.12 0.21 0.12 0.14 0.09 0.09 0.09 0.11
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.20 0.18 0.35 0.14 0.23 0.21 0.23 0.24 0.21
SD 0.10 0.08 0.15 0.06 0.13 0.14 0.14 0.14 0.13
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Tinjauan karakteristik riap bidang dasar tegakan periodik Dipterocarpaceae dibagi
dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea. Kelompok jenis
Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter rataan yang cenderung lebih kecil
dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki nilai riap bidang dasar rataan
yang lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer. Respon peningkatan
nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan akan mulai menurun
pada tahun ke-9 setelah penebangan. Sedangkan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non
Shorea cenderung berfluktuasi sepanjang 23 tahun setelah penebangan dan setelah
pembebasan.
97
mempunyai nilai riap bidang dasar rataan tegakan Shorea spp. yang lebih besar dibandingkan
kelompok Dipterocarpaceae non Shorea. Karakteristik tegakan kelompok jenis Shorea spp. dan
Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai kecepatan pertumbuhan (riap) bidang dasar yang
relatif sama besar (0.09-026 m2 ha-1 2th-1) yang ditunjukkan berdasarkan pada kondisi hutan
primer. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan terhadap tegakan baik berupa penebangan
maupun pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae. Sampai dengan
tingkat pembukaan atau pemberian ruang tumbuh akan menghasilkan respon peningkatan
riap tegakan.
Tabel 22. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Shorea spp.
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(m2 ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 0.06 0.14 0.13 0.16 0.25 0.18 0.18 0.19 0.44 0.34
SD 0.03 0.05 0.05 0.08 0.10 0.08 0.07 0.07 0.05 0.08
RIL60 Rataan 0.10 0.22 0.24 0.19 0.36 0.21 0.17 0.22 0.27 0.26
SD 0.05 0.08 0.11 0.07 0.15 0.08 0.11 0.08 0.09 0.09
CNV Rataan 0.05 0.18 0.22 0.20 0.35 0.21 0.25 0.24 0.42 0.39
SD 0.03 0.07 0.09 0.07 0.09 0.11 0.13 0.06 0.10 0.11
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.13 0.19 0.14 0.16 0.23 0.14 0.13 0.14 0.25 0.23
SD 0.05 0.05 0.05 0.06 0.06 0.05 0.05 0.06 0.06 0.06
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.26 0.54 0.86 0.38 0.69 0.55 0.61 0.59 0.61
SD 0.05 0.15 0.24 0.09 0.19 0.17 0.16 0.17 0.16
PPB Rataan 0.21 0.34 0.53 0.27 0.39 0.28 0.32 0.32 0.31
SD 0.10 0.12 0.21 0.12 0.14 0.09 0.09 0.09 0.11
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.20 0.18 0.35 0.14 0.23 0.21 0.23 0.24 0.21
SD 0.10 0.08 0.15 0.06 0.13 0.14 0.14 0.14 0.13
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Tinjauan karakteristik riap bidang dasar tegakan periodik Dipterocarpaceae dibagi
dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea. Kelompok jenis
Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter rataan yang cenderung lebih kecil
dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki nilai riap bidang dasar rataan
yang lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer. Respon peningkatan
nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan akan mulai menurun
pada tahun ke-9 setelah penebangan. Sedangkan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non
Shorea cenderung berfluktuasi sepanjang 23 tahun setelah penebangan dan setelah
pembebasan.
98
Tabel 23. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(m2 ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 0.08 0.19 0.19 0.18 0.28 0.19 0.12 0.19 0.22 0.19
SD 0.04 0.06 0.04 0.07 0.08 0.12 0.10 0.09 0.09 0.08
RIL60 Rataan 0.08 0.18 0.20 0.16 0.30 0.12 0.15 0.14 0.22 0.21
SD 0.05 0.10 0.11 0.06 0.16 0.03 0.07 0.09 0.20 0.21
CNV Rataan 0.05 0.18 0.18 0.17 0.27 0.15 0.18 0.16 0.29 0.28
SD 0.02 0.07 0.06 0.08 0.11 0.07 0.08 0.07 0.11 0.11
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.09 0.13 0.11 0.14 0.21 0.12 0.09 0.13 0.26 0.26
SD 0.04 0.05 0.04 0.06 0.09 0.05 0.05 0.05 0.11 0.11
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.09 0.17 0.29 0.20 0.28 0.25 0.32 0.29 0.27
SD 0.05 0.11 0.18 0.09 0.14 0.16 0.30 0.16 0.11
PPB Rataan 0.13 0.23 0.37 0.24 0.32 0.24 0.23 0.23 0.23
SD 0.08 0.14 0.21 0.13 0.21 0.15 0.13 0.14 0.13
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.14 0.14 0.22 0.12 0.17 0.14 0.16 0.16 0.15
SD 0.08 0.07 0.09 0.07 0.11 0.10 0.11 0.11 0.10
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Karakteristik riap tegakan periodik kedua kelompok jenis ini memiliki nilai riap
bidang dasar periodik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan bekas
tebangan tanpa perlakuan. Setelah pembebasan kelompok jenis Shorea spp mempunyai nilai
riap bidang dasar yang lebih besar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae non Shorea spp.
Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa respon pembebasan akan lebih terlihat pada
kelompok jenis Shorea jika dibandingkan dengan kondisi tegakan bekas tebangan tanpa
perlakuan. Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah
pembebasan dan mulai menurun pada tahun ke-5 setelah pembebasan, tetapi setelah tahun
ke-7 terjadi peningkatan nilai riap kembali hingga tahun ke-13.
Riap bidang dasar tegakan berkorelasi dengan intensitas penebangan, tetapi tidak
selalu intensitas penebangan yang tinggi akan menghasilkan riap tegakan yang besar. Riap
bidang dasar tegakan rataan pada 19 tahun setelah penebangan pada hutan subtropics yang
memiliki keragaman menyerupai hutan tropis adalah 0.48 ± 0.17 m2 ha-1 th-1 (Smith dan
Nichols 2005), memiliki nilai riap bidang dasar tegakan hutan Dipterocarpaceae setelah
penebangan.
98
Tabel 23. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea
Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
(m2 ha-1 2th-1)
RIL50 Rataan 0.08 0.19 0.19 0.18 0.28 0.19 0.12 0.19 0.22 0.19
SD 0.04 0.06 0.04 0.07 0.08 0.12 0.10 0.09 0.09 0.08
RIL60 Rataan 0.08 0.18 0.20 0.16 0.30 0.12 0.15 0.14 0.22 0.21
SD 0.05 0.10 0.11 0.06 0.16 0.03 0.07 0.09 0.20 0.21
CNV Rataan 0.05 0.18 0.18 0.17 0.27 0.15 0.18 0.16 0.29 0.28
SD 0.02 0.07 0.06 0.08 0.11 0.07 0.08 0.07 0.11 0.11
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.09 0.13 0.11 0.14 0.21 0.12 0.09 0.13 0.26 0.26
SD 0.04 0.05 0.04 0.06 0.09 0.05 0.05 0.05 0.11 0.11
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.09 0.17 0.29 0.20 0.28 0.25 0.32 0.29 0.27
SD 0.05 0.11 0.18 0.09 0.14 0.16 0.30 0.16 0.11
PPB Rataan 0.13 0.23 0.37 0.24 0.32 0.24 0.23 0.23 0.23
SD 0.08 0.14 0.21 0.13 0.21 0.15 0.13 0.14 0.13
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.14 0.14 0.22 0.12 0.17 0.14 0.16 0.16 0.15
SD 0.08 0.07 0.09 0.07 0.11 0.10 0.11 0.11 0.10
Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi
Karakteristik riap tegakan periodik kedua kelompok jenis ini memiliki nilai riap
bidang dasar periodik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan bekas
tebangan tanpa perlakuan. Setelah pembebasan kelompok jenis Shorea spp mempunyai nilai
riap bidang dasar yang lebih besar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae non Shorea spp.
Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa respon pembebasan akan lebih terlihat pada
kelompok jenis Shorea jika dibandingkan dengan kondisi tegakan bekas tebangan tanpa
perlakuan. Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah
pembebasan dan mulai menurun pada tahun ke-5 setelah pembebasan, tetapi setelah tahun
ke-7 terjadi peningkatan nilai riap kembali hingga tahun ke-13.
Riap bidang dasar tegakan berkorelasi dengan intensitas penebangan, tetapi tidak
selalu intensitas penebangan yang tinggi akan menghasilkan riap tegakan yang besar. Riap
bidang dasar tegakan rataan pada 19 tahun setelah penebangan pada hutan subtropics yang
memiliki keragaman menyerupai hutan tropis adalah 0.48 ± 0.17 m2 ha-1 th-1 (Smith dan
Nichols 2005), memiliki nilai riap bidang dasar tegakan hutan Dipterocarpaceae setelah
penebangan.
99
Perbedaan respon riap bidang dasar periodik pada masing-masing kelompok jenis
berdasarkan variasi kondisi site (tempat tumbuh) memiliki keeratan dalam hubungannya
dengan dimensi tegakan dan pertumbuhan ditentukan oleh interaksi faktor potensi
keturunan pohon (genetik), faktor lingkungan yang meliputi iklim (suhu, cahaya, angin,
hujan) dan tanah dan teknik silvikultur yang diberikan (Kramer dan Kozlowski 1960; Husch
et al. 1982; Oliver dan Larson 1996; Suhendang 1990; Husch et al. 2003). Adam dan Kolbs
(2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan jenis yang sama pada lokasi yang
sama, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan meliputi kekeringan, temperature,
kelerengan dan komposisi jenis. Adanya hubungan yang signifikan antara pertumbuhan
individu pohon dan ruang tumbuh juga menjelaskan bentuk pertumbuhan pada berbagai
status dalam tegakan (Gersonde dan O’Hara 2005).
7.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Riap Individu dan Tegakan
Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan
bekas tebangan dengan hutan primer terhadap riap individu diameter periodik untuk
kelompok jenis Dipterocarpaceae, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua
jenis menunjukkan hasil yang signifikan berbeda pada dengan taraf 95% (Fhit > Ftabel(3,32;0.05) =
2.9011), sedangkan kelompok jenis Shorea spp mempunyai hasil yang berbeda sangat
signifikan dengan taraf 99% (Fhit > Ftabel(3,32;0.01) = 4.4954). Sedangkan perbedaan antar teknik
penebangan RIL 50, RIL 60 dan konvensional tidak memberikan hubungan yang nyata
terhadap terhadap riap individu diameter periodik untuk semua kelompok jenis
(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis),
yang menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) =
3.4028). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan bahwa perbedaan teknik
penebangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap riap individu diameter
periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas
tebangan. Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai riap
diameter periodik dilakukan analisis regresi dengan bentuk persamaan terpilih berdasarkan
nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah untuk masing-
masing kelompok jenis (Tabel 24) dengan bentuk hubungan disajikan pada Gambar 47.
99
Perbedaan respon riap bidang dasar periodik pada masing-masing kelompok jenis
berdasarkan variasi kondisi site (tempat tumbuh) memiliki keeratan dalam hubungannya
dengan dimensi tegakan dan pertumbuhan ditentukan oleh interaksi faktor potensi
keturunan pohon (genetik), faktor lingkungan yang meliputi iklim (suhu, cahaya, angin,
hujan) dan tanah dan teknik silvikultur yang diberikan (Kramer dan Kozlowski 1960; Husch
et al. 1982; Oliver dan Larson 1996; Suhendang 1990; Husch et al. 2003). Adam dan Kolbs
(2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan jenis yang sama pada lokasi yang
sama, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan meliputi kekeringan, temperature,
kelerengan dan komposisi jenis. Adanya hubungan yang signifikan antara pertumbuhan
individu pohon dan ruang tumbuh juga menjelaskan bentuk pertumbuhan pada berbagai
status dalam tegakan (Gersonde dan O’Hara 2005).
7.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Riap Individu dan Tegakan
Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan
bekas tebangan dengan hutan primer terhadap riap individu diameter periodik untuk
kelompok jenis Dipterocarpaceae, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua
jenis menunjukkan hasil yang signifikan berbeda pada dengan taraf 95% (Fhit > Ftabel(3,32;0.05) =
2.9011), sedangkan kelompok jenis Shorea spp mempunyai hasil yang berbeda sangat
signifikan dengan taraf 99% (Fhit > Ftabel(3,32;0.01) = 4.4954). Sedangkan perbedaan antar teknik
penebangan RIL 50, RIL 60 dan konvensional tidak memberikan hubungan yang nyata
terhadap terhadap riap individu diameter periodik untuk semua kelompok jenis
(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis),
yang menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) =
3.4028). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan bahwa perbedaan teknik
penebangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap riap individu diameter
periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas
tebangan. Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai riap
diameter periodik dilakukan analisis regresi dengan bentuk persamaan terpilih berdasarkan
nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah untuk masing-
masing kelompok jenis (Tabel 24) dengan bentuk hubungan disajikan pada Gambar 47.
100
Tabel 24. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok Jenis
Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HBT y = 0.0007x3 - 0.0253x2 + 0.2667x + 0.3749 0.4126 0.3143 0.01
HP y = 1E-04x3 - 0.0029x2 + 0.0397x + 0.4692 0.3885 0.2107 0.04
S HBT y = 0.0008x3 - 0.0313x2 + 0.3355x + 0.4055 0.3577 0.4131 0.02
HP y = 0.0001x3 - 0.0037x2 + 0.0484x + 0.5648 0.3405 0.2600 0.02
D-s HBT y = 0.0005x3 - 0.0181x2 + 0.1899x + 0.3575 0.425 0.2599 0.02
HP y = 9E-05x3 - 0.0024x2 + 0.0327x + 0.3729 0.4006 0.1828 0.03
nD HBT y = 0.0007x3 - 0.0262x2 + 0.2755x + 0.0628 0.4014 0.2716 0.01
HP y = 8E-05x3 - 0.0017x2 + 0.0168x + 0.3087 0.3316 0.1419 0.03
SJ HBT y = 0.0006x3 - 0.0247x2 + 0.2637x + 0.2804 0.4157 0.2919 0.01
HP y = 4E-05x3 - 0.0013x2 + 0.0246x + 0.4217 0.3839 0.1837 0.01
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap diameter periodik (cm 2th-1)
Gambar 47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter
periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p d
iam
eter
per
iodik
(cm
2th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
(a)
100
Tabel 24. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok Jenis
Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HBT y = 0.0007x3 - 0.0253x2 + 0.2667x + 0.3749 0.4126 0.3143 0.01
HP y = 1E-04x3 - 0.0029x2 + 0.0397x + 0.4692 0.3885 0.2107 0.04
S HBT y = 0.0008x3 - 0.0313x2 + 0.3355x + 0.4055 0.3577 0.4131 0.02
HP y = 0.0001x3 - 0.0037x2 + 0.0484x + 0.5648 0.3405 0.2600 0.02
D-s HBT y = 0.0005x3 - 0.0181x2 + 0.1899x + 0.3575 0.425 0.2599 0.02
HP y = 9E-05x3 - 0.0024x2 + 0.0327x + 0.3729 0.4006 0.1828 0.03
nD HBT y = 0.0007x3 - 0.0262x2 + 0.2755x + 0.0628 0.4014 0.2716 0.01
HP y = 8E-05x3 - 0.0017x2 + 0.0168x + 0.3087 0.3316 0.1419 0.03
SJ HBT y = 0.0006x3 - 0.0247x2 + 0.2637x + 0.2804 0.4157 0.2919 0.01
HP y = 4E-05x3 - 0.0013x2 + 0.0246x + 0.4217 0.3839 0.1837 0.01
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap diameter periodik (cm 2th-1)
Gambar 47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter
periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p d
iam
eter
per
iodik
(cm
2th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
(a)
101
Gambar 47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter
periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer (Lanjutan)
Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan
bekas tebangan dengan hutan primer terhadap riap bidang dasar tegakan periodik untuk
semua kelompok jenis Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non
Dipterocarpaceae dan semua jenis menunjukkan hasil yang tidak signifikan berbeda pada
dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(3,32;0.05) = 2.9011). Begitu pula perbedaan antar teknik
penebangan RIL 50, RIL 60 dan konvensional tidak memberikan hubungan yang nyata
terhadap terhadap riap bidang dasar tegakan periodik untuk semua kelompok jenis
(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis)
dengan hasil tidak signifikan pada dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028).
Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan bahwa perbedaan teknik
penebangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap riap individu diameter
periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas
tebangan. Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai riap bidang
dasar tegakan periodik dilakukan analisis regresi dengan bentuk persamaan terpilih
berdasarkan nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah
untuk masing-masing kelompok jenis (Tabel 25 dan Gambar 48).
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p d
iam
eter
per
iod
ik (
cm 2
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
(b)
101
Gambar 47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter
periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer (Lanjutan)
Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan
bekas tebangan dengan hutan primer terhadap riap bidang dasar tegakan periodik untuk
semua kelompok jenis Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non
Dipterocarpaceae dan semua jenis menunjukkan hasil yang tidak signifikan berbeda pada
dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(3,32;0.05) = 2.9011). Begitu pula perbedaan antar teknik
penebangan RIL 50, RIL 60 dan konvensional tidak memberikan hubungan yang nyata
terhadap terhadap riap bidang dasar tegakan periodik untuk semua kelompok jenis
(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis)
dengan hasil tidak signifikan pada dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028).
Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan bahwa perbedaan teknik
penebangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap riap individu diameter
periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas
tebangan. Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai riap bidang
dasar tegakan periodik dilakukan analisis regresi dengan bentuk persamaan terpilih
berdasarkan nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah
untuk masing-masing kelompok jenis (Tabel 25 dan Gambar 48).
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p d
iam
eter
per
iod
ik (
cm 2
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
(b)
102
Tabel 25. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok Jenis
Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HBT y = 0.0007x3 - 0.0209x2 + 0.1769x - 0.0197 0.4475 0.1266 0.42
HP y = 0.0005x3 - 0.0134x2 + 0.0991x + 0.1102 0.3844 0.0929 0.84
S HBT y = 0.0004x3 - 0.0111x2 + 0.0941x - 0.0185 0.4698 0.0762 0.35
HP y = 0.0002x3 - 0.0064x2 + 0.0468x + 0.082 0.3169 0.0449 0.61
D-s HBT y = 0.0003x3 - 0.0098x2 + 0.0828x - 0.0012 0.2675 0.0746 0.47
HP y = 0.0003x3 - 0.007x2 + 0.0523x + 0.0283 0.3836 0.0555 0.94
nD HBT y = 0.001x3 - 0.0333x2 + 0.3208x - 0.1367 0.3590 0.2769 0.05
HP y = 0.0008x3 - 0.0207x2 + 0.1431x + 0.1322 0.4531 0.1449 0.44
SJ HBT y = 0.0018x3 - 0.0546x2 + 0.5006x - 0.1604 0.4544 0.3434 0.12
HP y = 0.0014x3 - 0.0341x2 + 0.2422x + 0.2424 0.4971 0.2055 0.41
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1)
Gambar 48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar
periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p b
idan
g das
ar p
erio
dik
(m
2 h
a-12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
(a)
102
Tabel 25. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok Jenis
Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HBT y = 0.0007x3 - 0.0209x2 + 0.1769x - 0.0197 0.4475 0.1266 0.42
HP y = 0.0005x3 - 0.0134x2 + 0.0991x + 0.1102 0.3844 0.0929 0.84
S HBT y = 0.0004x3 - 0.0111x2 + 0.0941x - 0.0185 0.4698 0.0762 0.35
HP y = 0.0002x3 - 0.0064x2 + 0.0468x + 0.082 0.3169 0.0449 0.61
D-s HBT y = 0.0003x3 - 0.0098x2 + 0.0828x - 0.0012 0.2675 0.0746 0.47
HP y = 0.0003x3 - 0.007x2 + 0.0523x + 0.0283 0.3836 0.0555 0.94
nD HBT y = 0.001x3 - 0.0333x2 + 0.3208x - 0.1367 0.3590 0.2769 0.05
HP y = 0.0008x3 - 0.0207x2 + 0.1431x + 0.1322 0.4531 0.1449 0.44
SJ HBT y = 0.0018x3 - 0.0546x2 + 0.5006x - 0.1604 0.4544 0.3434 0.12
HP y = 0.0014x3 - 0.0341x2 + 0.2422x + 0.2424 0.4971 0.2055 0.41
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1)
Gambar 48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar
periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p b
idan
g das
ar p
erio
dik
(m
2 h
a-12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
(a)
103
Gambar 48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar
periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer (Lanjutan)
Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan
bekas tebangan setelah pembebasan dengan kondisi tanpa perlakuan terhadap riap diameter
periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea dan
semua jenis menunjukkan hasil yang signifikan berbeda pada dengan taraf 95% (Fhit >
Ftabel(2,18;0.05) = 3.5546), sedangkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae tidak berbeda pada
taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,18;0.05) = 3.5546). Sedangkan perbedaan antar teknik pembebasan
sistematis dan pembebasan berbasis pohon binaan tidak mempunyai hubungan yang nyata
terhadap terhadap riap diameter periodik untuk semua kelompok jenis (Dipterocarpaceae,
Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis) pada dengan taraf
95% (Fhit < Ftabel(1,12;0.05) = 4.7472). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan
bahwa perbedaan teknik pembebasan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap
riap individu diameter periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi teknik pembebasan
dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan.
Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai riap diameter periodik
dilakukan berdasarkan analisis regresi. Bentuk persamaan regresi terpilih berdasarkan nilai
koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah untuk masing-
masing kelompok jenis (Tabel 26).
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p b
idan
g d
asar
per
iod
ik (
m2 h
a-12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
(b)
103
Gambar 48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar
periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer (Lanjutan)
Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan
bekas tebangan setelah pembebasan dengan kondisi tanpa perlakuan terhadap riap diameter
periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea dan
semua jenis menunjukkan hasil yang signifikan berbeda pada dengan taraf 95% (Fhit >
Ftabel(2,18;0.05) = 3.5546), sedangkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae tidak berbeda pada
taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,18;0.05) = 3.5546). Sedangkan perbedaan antar teknik pembebasan
sistematis dan pembebasan berbasis pohon binaan tidak mempunyai hubungan yang nyata
terhadap terhadap riap diameter periodik untuk semua kelompok jenis (Dipterocarpaceae,
Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis) pada dengan taraf
95% (Fhit < Ftabel(1,12;0.05) = 4.7472). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan
bahwa perbedaan teknik pembebasan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap
riap individu diameter periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi teknik pembebasan
dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan.
Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai riap diameter periodik
dilakukan berdasarkan analisis regresi. Bentuk persamaan regresi terpilih berdasarkan nilai
koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah untuk masing-
masing kelompok jenis (Tabel 26).
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p b
idan
g d
asar
per
iod
ik (
m2 h
a-12th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
(b)
104
Tabel 26. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok Jenis
Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HSP y = 0.0007x3 - 0.0261x2 + 0.277x + 0.7274 0.3015 0.4394 0.03
CTR y = 0.0002x3 - 0.0141x2 + 0.3246x - 1.2502 0.182 0.2973 0.13
S HSP y = 0.0008x3 - 0.0316x2 + 0.3278x + 0.901 0.306 0.5078 0.04
CTR y = 0.0002x3 - 0.0157x2 + 0.3756x - 1.5066 0.2072 0.4144 0.01
D-s HSP y = 0.0006x3 - 0.025x2 + 0.2594x + 0.5052 0.2589 0.4097 0.03
CTR y = 0.0001x3 - 0.0104x2 + 0.2286x - 0.7089 0.1466 0.1969 0.19
nD HSP y = 0.0005x3 - 0.0197x2 + 0.1843x + 0.4689 0.4991 0.2015 0.04
CTR y = 0.0002x3 - 0.0159x2 + 0.315x - 1.2696 0.6483 0.2295 0.03
SJ HSP y = 0.0007x3 - 0.0264x2 + 0.2643x + 0.6171 0.3406 0.3541 0.04
CTR y = 9E-05x3 - 0.0065x2 + 0.1522x - 0.2027 0.1201 0.2645 0.16
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap diameter periodik (cm 2th-1)
Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan
bekas tebangan setelah pembebasan dengan kondisi tanpa perlakuan terhadap riap bidang
dasar tegakan periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan Shorea spp. menunjukkan
hasil yang berbeda pada taraf 99% (Fhit > Ftabel(2,18;0.01) = 6.0129), sedangkan kelompok jenis
Dipterocarpaceae non Shorea dan semua jenis berbeda pada taraf 95% (Fhit > Ftabel(2,18;0.05) =
3.5546). Sedangkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae perbedaan kondisi tersebut tidak
berbeda signifikan terhadap nilai riap bidang dasar tegakan periodik (Fhit < Ftabel(2,18;0.05) =
3.5546). Perbedaan antar teknik pembebasan sistematis dan pembebasan berbasis pohon
binaan mempunyai hubungan yang nyata terhadap terhadap riap bidang dasar tegakan
periodik hanya untuk kelompok jenis Shorea spp. dengan taraf 95% (Fhit > Ftabel(1,12;0.05) =
4.7472). Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai riap bidang
dasar tegakan periodik dilakukan berdasarkan analisis regresi. Bentuk persamaan regresi
terpilih berdasarkan nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error
terendah untuk masing-masing kelompok jenis (Tabel 27).
104
Tabel 26. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok Jenis
Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HSP y = 0.0007x3 - 0.0261x2 + 0.277x + 0.7274 0.3015 0.4394 0.03
CTR y = 0.0002x3 - 0.0141x2 + 0.3246x - 1.2502 0.182 0.2973 0.13
S HSP y = 0.0008x3 - 0.0316x2 + 0.3278x + 0.901 0.306 0.5078 0.04
CTR y = 0.0002x3 - 0.0157x2 + 0.3756x - 1.5066 0.2072 0.4144 0.01
D-s HSP y = 0.0006x3 - 0.025x2 + 0.2594x + 0.5052 0.2589 0.4097 0.03
CTR y = 0.0001x3 - 0.0104x2 + 0.2286x - 0.7089 0.1466 0.1969 0.19
nD HSP y = 0.0005x3 - 0.0197x2 + 0.1843x + 0.4689 0.4991 0.2015 0.04
CTR y = 0.0002x3 - 0.0159x2 + 0.315x - 1.2696 0.6483 0.2295 0.03
SJ HSP y = 0.0007x3 - 0.0264x2 + 0.2643x + 0.6171 0.3406 0.3541 0.04
CTR y = 9E-05x3 - 0.0065x2 + 0.1522x - 0.2027 0.1201 0.2645 0.16
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap diameter periodik (cm 2th-1)
Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan
bekas tebangan setelah pembebasan dengan kondisi tanpa perlakuan terhadap riap bidang
dasar tegakan periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan Shorea spp. menunjukkan
hasil yang berbeda pada taraf 99% (Fhit > Ftabel(2,18;0.01) = 6.0129), sedangkan kelompok jenis
Dipterocarpaceae non Shorea dan semua jenis berbeda pada taraf 95% (Fhit > Ftabel(2,18;0.05) =
3.5546). Sedangkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae perbedaan kondisi tersebut tidak
berbeda signifikan terhadap nilai riap bidang dasar tegakan periodik (Fhit < Ftabel(2,18;0.05) =
3.5546). Perbedaan antar teknik pembebasan sistematis dan pembebasan berbasis pohon
binaan mempunyai hubungan yang nyata terhadap terhadap riap bidang dasar tegakan
periodik hanya untuk kelompok jenis Shorea spp. dengan taraf 95% (Fhit > Ftabel(1,12;0.05) =
4.7472). Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai riap bidang
dasar tegakan periodik dilakukan berdasarkan analisis regresi. Bentuk persamaan regresi
terpilih berdasarkan nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error
terendah untuk masing-masing kelompok jenis (Tabel 27).
105
Tabel 27. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok
Jenis Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HSP y = 0.002x3 - 0.0483x2 + 0.3495x + 0.0387 0.2913 0.2512 0.03
CTR y = 0.0007x3 - 0.0148x2 + 0.0927x + 0.2408 0.0304 0.2157 013
S HSP y = 0.0014x3 - 0.0347x2 + 0.2421x + 0.0268 0.2424 0.1817 0.00
CTR y = 0.0005x3 - 0.0104x2 + 0.0635x + 0.1287 0.0351 0.1374 0.02
D-s HSP y = 0.0005x3 - 0.0136x2 + 0.1074x + 0.012 0.2223 0.1153 0.03
CTR y = 0.0002x3 - 0.0045x2 + 0.0292x + 0.1121 0.0238 0.0798 0.04
nD HSP y = 0.0021x3 - 0.0499x2 + 0.351x + 0.2967 0.2511 0.2599 0.05
CTR y = 0.0003x3 - 0.0134x2 + 0.123x + 0.4725 0.3181 0.2220 0.00
SJ HSP y = 0.004x3 - 0.0982x2 + 0.7006x + 0.3355 0.3325 0.4400 0.01
CTR y = 0.0009x3 - 0.0282x2 + 0.2157x + 0.7133 0.1498 0.4029 0.04
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1)
Bentuk hubungan waktu setelah pembebasan pada tegakan hutan bekas tebangan
terhadap riap diameter periodik berdasarkan kelompok jenis tersebut disajikan pada
Gambar 49. Sedangkan hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap
bidang dasar periodik untuk masing-masing kelompok jenis pada variasi kondisi tersebut
disajikan pada Gambar 50.
105
Tabel 27. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)
Kelompok
Jenis Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue
D HSP y = 0.002x3 - 0.0483x2 + 0.3495x + 0.0387 0.2913 0.2512 0.03
CTR y = 0.0007x3 - 0.0148x2 + 0.0927x + 0.2408 0.0304 0.2157 013
S HSP y = 0.0014x3 - 0.0347x2 + 0.2421x + 0.0268 0.2424 0.1817 0.00
CTR y = 0.0005x3 - 0.0104x2 + 0.0635x + 0.1287 0.0351 0.1374 0.02
D-s HSP y = 0.0005x3 - 0.0136x2 + 0.1074x + 0.012 0.2223 0.1153 0.03
CTR y = 0.0002x3 - 0.0045x2 + 0.0292x + 0.1121 0.0238 0.0798 0.04
nD HSP y = 0.0021x3 - 0.0499x2 + 0.351x + 0.2967 0.2511 0.2599 0.05
CTR y = 0.0003x3 - 0.0134x2 + 0.123x + 0.4725 0.3181 0.2220 0.00
SJ HSP y = 0.004x3 - 0.0982x2 + 0.7006x + 0.3355 0.3325 0.4400 0.01
CTR y = 0.0009x3 - 0.0282x2 + 0.2157x + 0.7133 0.1498 0.4029 0.04
Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1)
Bentuk hubungan waktu setelah pembebasan pada tegakan hutan bekas tebangan
terhadap riap diameter periodik berdasarkan kelompok jenis tersebut disajikan pada
Gambar 49. Sedangkan hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap
bidang dasar periodik untuk masing-masing kelompok jenis pada variasi kondisi tersebut
disajikan pada Gambar 50.
106
Gambar 49. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter
periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol)
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p d
iam
eter
per
iod
ik (
cm 2
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
Ria
p d
iam
eter
per
iodik
(cm
2th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S D-s nD SJ
(a)
(b)
106
Gambar 49. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter
periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol)
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p d
iam
eter
per
iod
ik (
cm 2
th-1
)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
Ria
p d
iam
eter
per
iodik
(cm
2th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S D-s nD SJ
(a)
(b)
107
Gambar 50. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar
periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol)
Pada kondisi tegakan hutan setelah penebangan, hubungan jangka waktu setelah
penebangan mempunyai hubungan yang kurang dari 50% terhadap nilai riap diameter
periodik maupun riap bidang dasar tegakan untuk semua kelompok jenis Dipterocarpaceae dan
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p b
idan
g d
asar
per
iod
ik (
m2
ha-1
2th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p b
idan
g das
ar p
erio
dik
(m
2ha-1
2th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
(a)
(b)
107
Gambar 50. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar
periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol)
Pada kondisi tegakan hutan setelah penebangan, hubungan jangka waktu setelah
penebangan mempunyai hubungan yang kurang dari 50% terhadap nilai riap diameter
periodik maupun riap bidang dasar tegakan untuk semua kelompok jenis Dipterocarpaceae dan
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p b
idan
g d
asar
per
iod
ik (
m2
ha-1
2th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Ria
p b
idan
g das
ar p
erio
dik
(m
2ha-1
2th
-1)
Jangka waktu setelah tebangan (tahun)
D S Ds nD SJ
(a)
(b)
108
non Dipterocarpaceae dalam tegakan. Begitu pula dengan hubungan jangka waktu setelah
pembebasan mempunyai hubungan yang kurang dari 50% terhadap nilai riap diameter
periodik maupun riap bidang dasar tegakan untuk semua kelompok jenis Dipterocarpaceae dan
non Dipterocarpaceae dalam tegakan. Pembukaan kanopi akibat penebangan ataupun kegiatan
pembebasan akan membentuk ruang tumbuh yang mendukung bagi pertumbuhan atau
meningkatkan laju riap baik secara individu maupun tegakan. Tingkat pembukaan yang
optimal akan mendukung pertumbuhan yang optimal (Gourlet-Fleury et al. 2005).
Penilaian secara kuantitatif riap individu dan riap tegakan dengan variasi kondisi
tegakan hutan setelah penebangan dengan teknik yang berbeda maupun setelah
pembebasan dengan teknik yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda terhadap
kelompok jenis. Pendekatan pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang berbeda
dapat dilakukan untuk melihat variasi pengaruh atau respon kelompok jenis terhadap variasi
kondisi tegakan hutan setelah penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al. 2004). Respon
yang berbeda dari jenis atau kelompok jenis merupakan salah satu tinjauan karakteristik
penilaian kuantitatif dimensi tegakan yang penting untuk pertimbangan variasi keragaman
jenis penyusun tegakan (Phillips et al. 2002; Valle et al. 2006). Dengan tersedianya kurva
estimasi bagi variable input dalam model pertumbuhan sebagai perangkat kuantitatif dalam
perencanaan hutan yang baik (Vanclay 1989). Penilaian dimensi kuantitatif dalam jangka
panjang juga bermanfaat evaluasi teknik silvikultur yang diberikan dan sebagai updating
inventarisasi hutan (Garcia 2001). Dengan meninjau karakteristik kelompok jenis
penyusun tegakan merupakan hal penting dalam mempelajari pertumbuhan jenis pohon
berdasarkan ekologi dan pembentukan kualitas pohon (Carvalho et al. 2004).
Dalam penentuan riap individu dan tegakan hutan setelah penebangan secara
periodik, beberapa simpulan yang diperoleh adalah:
1) Dimensi riap diameter individu periodik kelompok jenis Dipterocarpaceae lebih tinggi
dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan
kontribusi terbesar dari kelompok jenis Shorea spp., tetapi total riap bidang dasar
tegakan periodik lebih besar untuk non Dipterocarpaceae.
2) Tindakan atau perlakuan terhadap tegakan baik berupa penebangan maupun
pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae dengan respon yang
meningkat pada tahun ke-3 setelah perlakuan.
3) Variasi kondisi hutan bekas tebangan dan hutan primer mempunyai hubungan dengan
nilai riap individu diameter periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non
Dipterocarpaceae, tetapi tidak mempunyai perbedaan yang nyata terhadap nilai riap bidang
dasar tegakan periodik untuk kedua kelompok jenis tersebut.
4) Variasi intensitas logging dengan limit tebangan 50 cm dan 60 cm tidak mempunyai
perbedaan yang nyata dengan riap diameter individu dan riap bidang dasar tegakan
108
non Dipterocarpaceae dalam tegakan. Begitu pula dengan hubungan jangka waktu setelah
pembebasan mempunyai hubungan yang kurang dari 50% terhadap nilai riap diameter
periodik maupun riap bidang dasar tegakan untuk semua kelompok jenis Dipterocarpaceae dan
non Dipterocarpaceae dalam tegakan. Pembukaan kanopi akibat penebangan ataupun kegiatan
pembebasan akan membentuk ruang tumbuh yang mendukung bagi pertumbuhan atau
meningkatkan laju riap baik secara individu maupun tegakan. Tingkat pembukaan yang
optimal akan mendukung pertumbuhan yang optimal (Gourlet-Fleury et al. 2005).
Penilaian secara kuantitatif riap individu dan riap tegakan dengan variasi kondisi
tegakan hutan setelah penebangan dengan teknik yang berbeda maupun setelah
pembebasan dengan teknik yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda terhadap
kelompok jenis. Pendekatan pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang berbeda
dapat dilakukan untuk melihat variasi pengaruh atau respon kelompok jenis terhadap variasi
kondisi tegakan hutan setelah penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al. 2004). Respon
yang berbeda dari jenis atau kelompok jenis merupakan salah satu tinjauan karakteristik
penilaian kuantitatif dimensi tegakan yang penting untuk pertimbangan variasi keragaman
jenis penyusun tegakan (Phillips et al. 2002; Valle et al. 2006). Dengan tersedianya kurva
estimasi bagi variable input dalam model pertumbuhan sebagai perangkat kuantitatif dalam
perencanaan hutan yang baik (Vanclay 1989). Penilaian dimensi kuantitatif dalam jangka
panjang juga bermanfaat evaluasi teknik silvikultur yang diberikan dan sebagai updating
inventarisasi hutan (Garcia 2001). Dengan meninjau karakteristik kelompok jenis
penyusun tegakan merupakan hal penting dalam mempelajari pertumbuhan jenis pohon
berdasarkan ekologi dan pembentukan kualitas pohon (Carvalho et al. 2004).
Dalam penentuan riap individu dan tegakan hutan setelah penebangan secara
periodik, beberapa simpulan yang diperoleh adalah:
1) Dimensi riap diameter individu periodik kelompok jenis Dipterocarpaceae lebih tinggi
dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan
kontribusi terbesar dari kelompok jenis Shorea spp., tetapi total riap bidang dasar
tegakan periodik lebih besar untuk non Dipterocarpaceae.
2) Tindakan atau perlakuan terhadap tegakan baik berupa penebangan maupun
pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae dengan respon yang
meningkat pada tahun ke-3 setelah perlakuan.
3) Variasi kondisi hutan bekas tebangan dan hutan primer mempunyai hubungan dengan
nilai riap individu diameter periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non
Dipterocarpaceae, tetapi tidak mempunyai perbedaan yang nyata terhadap nilai riap bidang
dasar tegakan periodik untuk kedua kelompok jenis tersebut.
4) Variasi intensitas logging dengan limit tebangan 50 cm dan 60 cm tidak mempunyai
perbedaan yang nyata dengan riap diameter individu dan riap bidang dasar tegakan
109
periodik untuk semua kelompok jenis dalam tegakan baik Dipterocarpaceae maupun non
Dipterocarpaceae)
5) Variasi kondisi tegakan setelah pembebasan akan mempunyai perbedaan yang nyata
terhadap nilai riap diameter periodik individu pohon dan riap bidang dasar tegakan
periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (termasuk Dipterocarpaceae non Shorea dan
Shorea spp.) tetapi tidak terhadap kelompok jenis non Dipterocarpaceae.
6) Teknik pembebasan secara sistematis dalam tegakan akan direspon positif oleh
kelompok jenis Shorea spp berdasarkan nilai riap bidang dasar tegakan periodik
dibandingkan kelompok jenis lainnya.
7) Adanya hubungan antara teknik pembukaan ruang tumbuh dengan respon riap individu
tegakan Dipterocarpaceae dan jangka waktu respon tegakan baik setelah penebangan
maupun setelah pembebasan merupakan faktor yang membentuk dimensi dinamis
tegakan.
109
periodik untuk semua kelompok jenis dalam tegakan baik Dipterocarpaceae maupun non
Dipterocarpaceae)
5) Variasi kondisi tegakan setelah pembebasan akan mempunyai perbedaan yang nyata
terhadap nilai riap diameter periodik individu pohon dan riap bidang dasar tegakan
periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (termasuk Dipterocarpaceae non Shorea dan
Shorea spp.) tetapi tidak terhadap kelompok jenis non Dipterocarpaceae.
6) Teknik pembebasan secara sistematis dalam tegakan akan direspon positif oleh
kelompok jenis Shorea spp berdasarkan nilai riap bidang dasar tegakan periodik
dibandingkan kelompok jenis lainnya.
7) Adanya hubungan antara teknik pembukaan ruang tumbuh dengan respon riap individu
tegakan Dipterocarpaceae dan jangka waktu respon tegakan baik setelah penebangan
maupun setelah pembebasan merupakan faktor yang membentuk dimensi dinamis
tegakan.
BAB 8DIMENSI KUANTITATIF
EKOLOGI TEGAKAN
BAB 8DIMENSI KUANTITATIF
EKOLOGI TEGAKAN
110
8. DIMENSI KUANTITATIF EKOLOGI TEGAKAN
Hutan Dipterocarpaceae merupakan tegakan hutan yang didominasi oleh famili
Dipterocarpaceae (Ashton 1982), penyebarannya di Indonesia berada di hutan-hutan
tropika basah di Sumatera dan Kalimantan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Kalimantan
merupakan pusat terkaya dari keanekaragaman Dipterocarpaceae di dunia dengan 267
species dalam 9 genera, sedangkan di Sumatera terdapat 72 species dengan konsentrasi
species terdapat di antara ketinggian 300-400 m dari permukaan laut (Indrawan 2002).
Tegakan hutan dalam suatu areal umumnya memiliki beberapa karakteristik atau kombinasi
karakteristik dari sejarah kondisi, komposisi jenis penyusun tegakan dan dimensinya yang
dapat dibedakan dari kelompok tegakan hutan lain (Husch et al. 2003). Populasi tegakan
dan perilakunya merupakan proses pada tingkat individu pohon dan tegakan yang
membangun bentuk ekologinya (Krebs 2006). Dalam pengelolaan hutan hujan tropika
memiliki pertimbangan yang menyangkut segi teknis, produksi, ekonomi dan keseimbangan
ekologis yang beragam (Baker et al. 1987; Whitmore 1990). Variasi karakteristik tegakan
akan menjadi kebutuhan dalam penyediaan kebutuhan pengetahuan dalam pengelolaan
hutan.
Kegiatan penebangan hutan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas tegakan
hutan. Tinjauan ragam kondisi pada hutan bekas tebangan menunjukkan adanya perbedaan
struktur dan komposisi jenis serta nilai potensi hutan dibandingkan pada kondisi hutan
primer (Ishida et al. 2005). Tingkat Keanekaragaman jenis pohon hutan-hujan akan
bervariasi secara regional berdasarkan kondisi site hutan (Fedorov 1966 diacu dalam Ipor et
al. 1999). Pengelolaan hutan hujan tropika yang sangat beragam memerlukan pengetahuan
dan keahlian tentang karakteristik dan dinamika tegakan hutan. Hal ini menunjukkan
kebutuhan akan metode pengaturan hasil yang mempertimbangkan aspek kelestarian
produksi maupun aspek konservasi menjadi sangat penting.
Inventarisasi keanekaragamanhayati hutan tropis umumnya dipandang sebagai
individu jenis pohon berdasarkan life-forms, sehingga keanekaragaman jenis pohon
merupakan aspek penting dalam keragaman ekosistem dan nilai total keanekaragamanhayati
hutan tropis. Jumlah jenis dalam satuan luas yang menunjukkan kekayan jenis untuk dataran
rendah pada hutan Dipterocarpaceae dibatasi oleh ukuran sampling. Perhitungan
keragaman jenis dalam skala regional masih merupakan tantangan karena kesulitan dalam
pengukuran kelimpahan dan distribusi jenis, sehingga inventarisasi floristik dan studi
dinamika hutan umumnya dilakukan pada plot sampling. Penilaian kuantitatif sampling
floristik dalam inventarisasi keragaman jenis pohon terutama mencakup jumlah, ukuran
atau dimensi dan bentuk plot sampling yang memberikan dasar kondisi floristik yang sangat
penting dalam konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani dan Parthasarathy 2006).
110
8. DIMENSI KUANTITATIF EKOLOGI TEGAKAN
Hutan Dipterocarpaceae merupakan tegakan hutan yang didominasi oleh famili
Dipterocarpaceae (Ashton 1982), penyebarannya di Indonesia berada di hutan-hutan
tropika basah di Sumatera dan Kalimantan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Kalimantan
merupakan pusat terkaya dari keanekaragaman Dipterocarpaceae di dunia dengan 267
species dalam 9 genera, sedangkan di Sumatera terdapat 72 species dengan konsentrasi
species terdapat di antara ketinggian 300-400 m dari permukaan laut (Indrawan 2002).
Tegakan hutan dalam suatu areal umumnya memiliki beberapa karakteristik atau kombinasi
karakteristik dari sejarah kondisi, komposisi jenis penyusun tegakan dan dimensinya yang
dapat dibedakan dari kelompok tegakan hutan lain (Husch et al. 2003). Populasi tegakan
dan perilakunya merupakan proses pada tingkat individu pohon dan tegakan yang
membangun bentuk ekologinya (Krebs 2006). Dalam pengelolaan hutan hujan tropika
memiliki pertimbangan yang menyangkut segi teknis, produksi, ekonomi dan keseimbangan
ekologis yang beragam (Baker et al. 1987; Whitmore 1990). Variasi karakteristik tegakan
akan menjadi kebutuhan dalam penyediaan kebutuhan pengetahuan dalam pengelolaan
hutan.
Kegiatan penebangan hutan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas tegakan
hutan. Tinjauan ragam kondisi pada hutan bekas tebangan menunjukkan adanya perbedaan
struktur dan komposisi jenis serta nilai potensi hutan dibandingkan pada kondisi hutan
primer (Ishida et al. 2005). Tingkat Keanekaragaman jenis pohon hutan-hujan akan
bervariasi secara regional berdasarkan kondisi site hutan (Fedorov 1966 diacu dalam Ipor et
al. 1999). Pengelolaan hutan hujan tropika yang sangat beragam memerlukan pengetahuan
dan keahlian tentang karakteristik dan dinamika tegakan hutan. Hal ini menunjukkan
kebutuhan akan metode pengaturan hasil yang mempertimbangkan aspek kelestarian
produksi maupun aspek konservasi menjadi sangat penting.
Inventarisasi keanekaragamanhayati hutan tropis umumnya dipandang sebagai
individu jenis pohon berdasarkan life-forms, sehingga keanekaragaman jenis pohon
merupakan aspek penting dalam keragaman ekosistem dan nilai total keanekaragamanhayati
hutan tropis. Jumlah jenis dalam satuan luas yang menunjukkan kekayan jenis untuk dataran
rendah pada hutan Dipterocarpaceae dibatasi oleh ukuran sampling. Perhitungan
keragaman jenis dalam skala regional masih merupakan tantangan karena kesulitan dalam
pengukuran kelimpahan dan distribusi jenis, sehingga inventarisasi floristik dan studi
dinamika hutan umumnya dilakukan pada plot sampling. Penilaian kuantitatif sampling
floristik dalam inventarisasi keragaman jenis pohon terutama mencakup jumlah, ukuran
atau dimensi dan bentuk plot sampling yang memberikan dasar kondisi floristik yang sangat
penting dalam konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani dan Parthasarathy 2006).
111
Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan kondisi tegakan
hutan atau risalah tegakan akan memberikan variasi karakteristik ekologi tegakan yang
mencakup tingkat keanekaragaman (Fedorov 1966 dalam Ipor et al. 1999; Ng et al. 2009),
kekayaan jenis (Bischoff et al. 2005; Sodhi et al. 2010) dan sebaran spasial jenis dalam
tegakan (Bunyavejchewin et al. 2003; Lee et al. 2006). Dengan kondisi hutan alam Indonesia
didominasi oleh hutan alam bekas tebangan (> 50%) dan adanya variasi kondisi hutan
Dipterocarpaceae yang bersifat spesifik, maka pengetahuan dimensi kuantitatif ekologis
tegakan menjadi penting dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tuntutan dalam
pengelolaan hutan yang lestari. Ruang lingkup dimensi ekologis kuantitatif meliputi
karakteristik tegakan berdasarkan variasi kondisi hutan alam bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda dan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan runtun waktu
yang meliputi: nilai penting jenis, tingkat dominansi jenis, keanekaragaman, kelimpahan
jenis, kekayaan jenis, tingkat kemerataan, kesamaan tegakan dan pola sebaran spasial jenis
dalam tegakan.
8.1. Komposisi Jenis
Hasil identifikasi jenis yang dilakukan pada semua tegakan pohon dengan limit
diameter 10 cm pada plot STREK, mencakup 68 famili penyusun tegakan hutan (Tabel 28).
Tabel 28. Famili penyusun vegetasi tegakan hutan pada Plot STREK
Famili Famili Famili Famili
Actinidiaceae Dilleniaceae Moraceae Saxifragaceae
Alangiaceae Dipterocarpaceae Myristicaceae Simaroubaceae
Amonaceae Ebenaceae Myrsinaceae Sonneratiaceae
Anacardiaceae Elaeocarpaceae Myrtaceae Sterculiaceae
Annonaceae Euphorbiaceae Ochnaceae Symplocaceae
Apocynaceae Fagaceae Olacaceae Theaceae
Aquifoliaceae Flacourtiaceae Oleaceae Thymelaeaceae
Araucariaceae Clusiaceae Oxalidaceae Tiliaceae
Bignoniaceae Hypericaceae Polygalaceae Ulmaceae
Bombacaceae Icacinaceae Proteaceae Urticaceae
Burseraceae Juglandaceae Rhamnaceae Verbenaceae
Caesalpiniaceae Lauraceae Rhizophoraceae
Celastraceae Lecythidaceae Rosaceae
Chrysobalanaceae Fabaceae Rubiaceae
Combretaceae Loganiaceae Rutaceae
Connaraceae Lythraceae Sapindaceae
Convolvulaceae Magnoliaceae Sapotaceae
Crypteroniceae Melastomataceae Sapuidaceae
Datiscaceae Meliaceae Sarcotheca
111
Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan kondisi tegakan
hutan atau risalah tegakan akan memberikan variasi karakteristik ekologi tegakan yang
mencakup tingkat keanekaragaman (Fedorov 1966 dalam Ipor et al. 1999; Ng et al. 2009),
kekayaan jenis (Bischoff et al. 2005; Sodhi et al. 2010) dan sebaran spasial jenis dalam
tegakan (Bunyavejchewin et al. 2003; Lee et al. 2006). Dengan kondisi hutan alam Indonesia
didominasi oleh hutan alam bekas tebangan (> 50%) dan adanya variasi kondisi hutan
Dipterocarpaceae yang bersifat spesifik, maka pengetahuan dimensi kuantitatif ekologis
tegakan menjadi penting dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tuntutan dalam
pengelolaan hutan yang lestari. Ruang lingkup dimensi ekologis kuantitatif meliputi
karakteristik tegakan berdasarkan variasi kondisi hutan alam bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda dan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan runtun waktu
yang meliputi: nilai penting jenis, tingkat dominansi jenis, keanekaragaman, kelimpahan
jenis, kekayaan jenis, tingkat kemerataan, kesamaan tegakan dan pola sebaran spasial jenis
dalam tegakan.
8.1. Komposisi Jenis
Hasil identifikasi jenis yang dilakukan pada semua tegakan pohon dengan limit
diameter 10 cm pada plot STREK, mencakup 68 famili penyusun tegakan hutan (Tabel 28).
Tabel 28. Famili penyusun vegetasi tegakan hutan pada Plot STREK
Famili Famili Famili Famili
Actinidiaceae Dilleniaceae Moraceae Saxifragaceae
Alangiaceae Dipterocarpaceae Myristicaceae Simaroubaceae
Amonaceae Ebenaceae Myrsinaceae Sonneratiaceae
Anacardiaceae Elaeocarpaceae Myrtaceae Sterculiaceae
Annonaceae Euphorbiaceae Ochnaceae Symplocaceae
Apocynaceae Fagaceae Olacaceae Theaceae
Aquifoliaceae Flacourtiaceae Oleaceae Thymelaeaceae
Araucariaceae Clusiaceae Oxalidaceae Tiliaceae
Bignoniaceae Hypericaceae Polygalaceae Ulmaceae
Bombacaceae Icacinaceae Proteaceae Urticaceae
Burseraceae Juglandaceae Rhamnaceae Verbenaceae
Caesalpiniaceae Lauraceae Rhizophoraceae
Celastraceae Lecythidaceae Rosaceae
Chrysobalanaceae Fabaceae Rubiaceae
Combretaceae Loganiaceae Rutaceae
Connaraceae Lythraceae Sapindaceae
Convolvulaceae Magnoliaceae Sapotaceae
Crypteroniceae Melastomataceae Sapuidaceae
Datiscaceae Meliaceae Sarcotheca
112
Untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae hasil identifikasi jenis yang ditemukan
meliputi 8 genera yaitu Anisoptera, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Parashorea,
Shorea, Vatica dengan mencakup 92 jenis (Tabel 29). Dibandingkan dengan kondisi di dunia
yang mencakup 9 genera dengan 267 species (Indrawan 2002), hasil identifikasi pada plot
penelitian ini menunjukkan bahwa hutan Labanan merupakan sebagai salah satu hutan
Dipterocapaceae campuran yang memiliki keanekaragaman jenis dengan tingkat
keanekaragaman yang tinggi bahkan pada tingkat famili vegetasi penyusun tegakan hutan
alam.
Tabel 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK
No Jenis No Jenis
1 Anisoptera costata 36 Hopea sangal
2 Anisoptera laevis 37 Hopea semicuneata
3 Anisoptera sp 38 Hopea sp
4 Cotylelobium melanoxylon 39 Parashorea malaanonan
5 Cotylelobium sp 40 Parashorea smythiesii
6 Dipterocarpus acutangulus 41 Parashorea sp
7 Dipterocarpus caudiferus 42 Shorea agamii ssp agamii
8 Dipterocarpus confertus 43 Shorea almon
9 Dipterocarpus conformis 44 Shorea angustifolia
10 Dipterocarpus costulatus 45 Shorea atrinervosa
11 Dipterocarpus elongatus 46 Shorea beccariana
12 Dipterocarpus fusiformis 47 Shorea bentongenensis
13 Dipterocarpus glabrigemmatus 48 Shorea confusa
14 Dipterocarpus gracilis 49 Shorea exelliptica
15 Dipterocarpus grandiflorus 50 Shorea faguetiana
16 Dipterocarpus hasseltii 51 Shorea falciferoides
17 Dipterocarpus humeratus 52 Shorea fallax
18 Dipterocarpus mundus 53 Shorea guiso
19 Dipterocarpus pachyphyllus 54 Shorea hopeifolia
20 Dipterocarpus palembanica 55 Shorea inappendiculata
21 Dipterocarpus stellatus 56 Shorea johorensis
22 Dipterocarpus tempehes 57 Shorea laevis
23 Dipterocarpus verrucosus 58 Shorea lamellata
24 Dipterocarpus sp 59 Shorea leprosula
25 Dryobalanops beccarii 60 Shorea leptoderma
26 Dryobalanops lanceolata 61 Shorea longisperma
27 Dryobalanops sp 62 Shorea macrophylla
28 Hopea bracteata 63 Shorea macroptera
29 Hopea cernua 64 Shorea maxwelliana
30 Hopea dryobalanoides 65 Shorea mecistopteryx
112
Untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae hasil identifikasi jenis yang ditemukan
meliputi 8 genera yaitu Anisoptera, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Parashorea,
Shorea, Vatica dengan mencakup 92 jenis (Tabel 29). Dibandingkan dengan kondisi di dunia
yang mencakup 9 genera dengan 267 species (Indrawan 2002), hasil identifikasi pada plot
penelitian ini menunjukkan bahwa hutan Labanan merupakan sebagai salah satu hutan
Dipterocapaceae campuran yang memiliki keanekaragaman jenis dengan tingkat
keanekaragaman yang tinggi bahkan pada tingkat famili vegetasi penyusun tegakan hutan
alam.
Tabel 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK
No Jenis No Jenis
1 Anisoptera costata 36 Hopea sangal
2 Anisoptera laevis 37 Hopea semicuneata
3 Anisoptera sp 38 Hopea sp
4 Cotylelobium melanoxylon 39 Parashorea malaanonan
5 Cotylelobium sp 40 Parashorea smythiesii
6 Dipterocarpus acutangulus 41 Parashorea sp
7 Dipterocarpus caudiferus 42 Shorea agamii ssp agamii
8 Dipterocarpus confertus 43 Shorea almon
9 Dipterocarpus conformis 44 Shorea angustifolia
10 Dipterocarpus costulatus 45 Shorea atrinervosa
11 Dipterocarpus elongatus 46 Shorea beccariana
12 Dipterocarpus fusiformis 47 Shorea bentongenensis
13 Dipterocarpus glabrigemmatus 48 Shorea confusa
14 Dipterocarpus gracilis 49 Shorea exelliptica
15 Dipterocarpus grandiflorus 50 Shorea faguetiana
16 Dipterocarpus hasseltii 51 Shorea falciferoides
17 Dipterocarpus humeratus 52 Shorea fallax
18 Dipterocarpus mundus 53 Shorea guiso
19 Dipterocarpus pachyphyllus 54 Shorea hopeifolia
20 Dipterocarpus palembanica 55 Shorea inappendiculata
21 Dipterocarpus stellatus 56 Shorea johorensis
22 Dipterocarpus tempehes 57 Shorea laevis
23 Dipterocarpus verrucosus 58 Shorea lamellata
24 Dipterocarpus sp 59 Shorea leprosula
25 Dryobalanops beccarii 60 Shorea leptoderma
26 Dryobalanops lanceolata 61 Shorea longisperma
27 Dryobalanops sp 62 Shorea macrophylla
28 Hopea bracteata 63 Shorea macroptera
29 Hopea cernua 64 Shorea maxwelliana
30 Hopea dryobalanoides 65 Shorea mecistopteryx
113
Tabel 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK (Lanjutan)
31 Hopea ferruginea 66 Shorea multiflora
32 Hopea mengarawan 67 Shorea ochracea
33 Hopea nervosa 68 Shorea ovalis ssp ovalis
34 Hopea pachycarpa 69 Shorea parvifolia
35 Hopea rudiformis 70 Shorea parvistipulata
71 Shorea patoiensis 82 Shorea sp
72 Shorea pauciflora 83 Vatica albiramis
73 Shorea pinanga 84 Vatica micrantha
74 Shorea scrobiculata 85 Vatica nitens
75 Shorea semicuneata 86 Vatica oblongifolia
76 Shorea seminis 87 Vatica odorata
77 Shorea smithiana 88 Vatica rassak
78 Shorea superba 89 Vatica sarawakensis
79 Shorea symingtonii 90 Vatica umbonata
80 Shorea virescens 91 Vatica vinosa
81 Shorea xanthophylla 92 Vatica sp
Rekapitulasi jumlah jenis pada setiap pengukuran untuk masing-masing kondisi
tegakan yang berbeda menunjukkan adanya perubahan kelimpahan jumlah jenis penyusun
tegakan hutan baik setelah penebangan maupun setelah pembebasan (Tabel 30).
Tabel 30. Rekapitulasi jumlah jenis pada plot STREK setelah penebangan dan pembebasan
Risalah kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Jumlah jenis
RIL50 Rataan 140 134 133 144 149 152 153 154 158 159 159
SD 23 22 23 17 17 17 16 16 17 23 23
RIL60 Rataan 152 143 143 149 154 158 157 158 165 171 170
SD 15 13 11 11 13 12 11 11 12 2 3
CNV Rataan 125 116 118 128 134 136 137 138 142 143 143
SD 16 19 19 17 16 15 16 15 16 18 17
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 166 164 166 166 166 167 167 166 170 165 170
SD 15 14 15 15 14 14 14 13 12 9 12
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 95 100 106 121 129 127 128 125 126 127
SD 13 13 10 13 16 15 13 13 13 14
PPB Rataan 109 112 115 129 135 135 136 134 135 136
SD 12 13 15 16 17 18 18 18 17 17
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 115 115 116 126 128 128 128 125 125 128
SD 8 8 7 4 3 3 3 3 3 4
113
Tabel 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK (Lanjutan)
31 Hopea ferruginea 66 Shorea multiflora
32 Hopea mengarawan 67 Shorea ochracea
33 Hopea nervosa 68 Shorea ovalis ssp ovalis
34 Hopea pachycarpa 69 Shorea parvifolia
35 Hopea rudiformis 70 Shorea parvistipulata
71 Shorea patoiensis 82 Shorea sp
72 Shorea pauciflora 83 Vatica albiramis
73 Shorea pinanga 84 Vatica micrantha
74 Shorea scrobiculata 85 Vatica nitens
75 Shorea semicuneata 86 Vatica oblongifolia
76 Shorea seminis 87 Vatica odorata
77 Shorea smithiana 88 Vatica rassak
78 Shorea superba 89 Vatica sarawakensis
79 Shorea symingtonii 90 Vatica umbonata
80 Shorea virescens 91 Vatica vinosa
81 Shorea xanthophylla 92 Vatica sp
Rekapitulasi jumlah jenis pada setiap pengukuran untuk masing-masing kondisi
tegakan yang berbeda menunjukkan adanya perubahan kelimpahan jumlah jenis penyusun
tegakan hutan baik setelah penebangan maupun setelah pembebasan (Tabel 30).
Tabel 30. Rekapitulasi jumlah jenis pada plot STREK setelah penebangan dan pembebasan
Risalah kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Jumlah jenis
RIL50 Rataan 140 134 133 144 149 152 153 154 158 159 159
SD 23 22 23 17 17 17 16 16 17 23 23
RIL60 Rataan 152 143 143 149 154 158 157 158 165 171 170
SD 15 13 11 11 13 12 11 11 12 2 3
CNV Rataan 125 116 118 128 134 136 137 138 142 143 143
SD 16 19 19 17 16 15 16 15 16 18 17
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 166 164 166 166 166 167 167 166 170 165 170
SD 15 14 15 15 14 14 14 13 12 9 12
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 95 100 106 121 129 127 128 125 126 127
SD 13 13 10 13 16 15 13 13 13 14
PPB Rataan 109 112 115 129 135 135 136 134 135 136
SD 12 13 15 16 17 18 18 18 17 17
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 115 115 116 126 128 128 128 125 125 128
SD 8 8 7 4 3 3 3 3 3 4
114
Perubahan komposisi jenis penyusun tegakan pada hutan bekas tebangan akan
menurun hingga tahun ke-3, kemudian meningkat setelah tahun ke-5. Begitu pula yang
terjadi pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan. Perubahan jumlah jenis yang
terjadi karena penambahan detil jenis karena dilakukannya identifikasi lanjutan pada tingkat
genus menjadi tingkat species yang berbeda pada periode pengukuran setelah tahun 1997
memberikan pergeseran nama jenis kurang dari 5%.
8.2. Indeks Nilai Penting Jenis
Dominansi jenis komposisi penyusun tegakan berdasarkan Indek nilai penting (INP)
menggambarkan dominasi suatu jenis dalam suatu komunitas berdasarkan tingkat kerapatan,
frekuensi dan dominansinya (Soerianegara dan Indrawan 2005). Perubahan dominansi jenis
pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda menunjukkan
pola perubahan yang berbeda. Dengan salah satu penciri jenis pioneer yaitu Macaranga sp,
dalam 10 jenis dominan penyusun tegakan maka teknik penebangan yang berbeda akan
mempengaruhi pola dominansi jenis dalam tegakan. Berdasarkan intensitas penebangan
terbesar tinggi yaitu teknik penebangan konvensional, Macaranga sp akan masih
mendominasi hingga pada tahun ke-23 sedangkan pada teknik RIL 50 pada tahun ke-5 dan
teknik RIL 60 dengan intensitas terendah akan didominasi jenis tersebut pada tahun ke-9.
Dari penelitian Bischoff et al. (2005) di Sabah Malaysia, hutan Dipterocarpaceae pada
jangka waktu 8-13 tahun setelah penebangan akan memiliki keanekaragaman jenis pohon
yang tersusun dari kelompok jenis-jenis pioner.
Rekapitulasi perubahan dominansi 10 jenis berdasarkan indeks nilai penting
tertinggi disusun berdasarkan pada kondisi sebelum penebangan, tahun pertama setelah
penebangan dan 23 tahun setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda
disajikan pada Gambar 51-54.
114
Perubahan komposisi jenis penyusun tegakan pada hutan bekas tebangan akan
menurun hingga tahun ke-3, kemudian meningkat setelah tahun ke-5. Begitu pula yang
terjadi pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan. Perubahan jumlah jenis yang
terjadi karena penambahan detil jenis karena dilakukannya identifikasi lanjutan pada tingkat
genus menjadi tingkat species yang berbeda pada periode pengukuran setelah tahun 1997
memberikan pergeseran nama jenis kurang dari 5%.
8.2. Indeks Nilai Penting Jenis
Dominansi jenis komposisi penyusun tegakan berdasarkan Indek nilai penting (INP)
menggambarkan dominasi suatu jenis dalam suatu komunitas berdasarkan tingkat kerapatan,
frekuensi dan dominansinya (Soerianegara dan Indrawan 2005). Perubahan dominansi jenis
pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda menunjukkan
pola perubahan yang berbeda. Dengan salah satu penciri jenis pioneer yaitu Macaranga sp,
dalam 10 jenis dominan penyusun tegakan maka teknik penebangan yang berbeda akan
mempengaruhi pola dominansi jenis dalam tegakan. Berdasarkan intensitas penebangan
terbesar tinggi yaitu teknik penebangan konvensional, Macaranga sp akan masih
mendominasi hingga pada tahun ke-23 sedangkan pada teknik RIL 50 pada tahun ke-5 dan
teknik RIL 60 dengan intensitas terendah akan didominasi jenis tersebut pada tahun ke-9.
Dari penelitian Bischoff et al. (2005) di Sabah Malaysia, hutan Dipterocarpaceae pada
jangka waktu 8-13 tahun setelah penebangan akan memiliki keanekaragaman jenis pohon
yang tersusun dari kelompok jenis-jenis pioner.
Rekapitulasi perubahan dominansi 10 jenis berdasarkan indeks nilai penting
tertinggi disusun berdasarkan pada kondisi sebelum penebangan, tahun pertama setelah
penebangan dan 23 tahun setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda
disajikan pada Gambar 51-54.
115
Gambar 51. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan
dengan teknik RIL 50 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
(a)
(b)
(c)
115
Gambar 51. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan
dengan teknik RIL 50 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
(a)
(b)
(c)
116
Gambar 52. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan
dengan teknik RIL 60 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)(a)
(b)
(c)
116
Gambar 52. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan
dengan teknik RIL 60 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)(a)
(b)
(c)
117
Gambar 53. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan
dengan teknik konvensional pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan
0
5
10
15
20
25
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
25
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
25
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
(a)
(b)
(c)
117
Gambar 53. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan
dengan teknik konvensional pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan
0
5
10
15
20
25
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
25
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
25
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
(a)
(b)
(c)
118
Gambar 54. Sepuluh jenis dominan berdasarkan indeks nilai penting tertinggi pada hutan
primer pada kondisi (a) awal pengukuran (b) 1 tahun pengukuran dan (c) 23 tahun pengukuran
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
(a)
(b)
(c)
118
Gambar 54. Sepuluh jenis dominan berdasarkan indeks nilai penting tertinggi pada hutan
primer pada kondisi (a) awal pengukuran (b) 1 tahun pengukuran dan (c) 23 tahun pengukuran
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
(a)
(b)
(c)
119
Perubahan dominansi jenis pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik
pembebasan yang berbeda menunjukkan pola pergeseran dominansi jenis yang berbeda.
Dengan penciri salah satu jenis pioneer yang merupakan jenis non komersial dalam areal
bekas tebangan yaitu Macaranga sp dalam 10 jenis dominan tegakan, maka teknik
pembebasan yang berbeda akan mempengaruhi pola dominansi jenis dalam tegakan.
Respon teknik pembebasan terhadap pergeserean dominansi jenis sangat bervariasi antar
plot penelitian. Berikut perubahan dominansi 10 jenis berdasarkan indeks nilai penting
tertinggi pada kondisi awal pengukuran, tahun pertama setelah pembebasan dan 23 tahun
setelah pembebasan dengan teknik pembebasan yang berbeda (Gambar 55-57).
119
Perubahan dominansi jenis pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik
pembebasan yang berbeda menunjukkan pola pergeseran dominansi jenis yang berbeda.
Dengan penciri salah satu jenis pioneer yang merupakan jenis non komersial dalam areal
bekas tebangan yaitu Macaranga sp dalam 10 jenis dominan tegakan, maka teknik
pembebasan yang berbeda akan mempengaruhi pola dominansi jenis dalam tegakan.
Respon teknik pembebasan terhadap pergeserean dominansi jenis sangat bervariasi antar
plot penelitian. Berikut perubahan dominansi 10 jenis berdasarkan indeks nilai penting
tertinggi pada kondisi awal pengukuran, tahun pertama setelah pembebasan dan 23 tahun
setelah pembebasan dengan teknik pembebasan yang berbeda (Gambar 55-57).
120
Gambar 55. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan
teknik pembebasan sistematis pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
(a)
(b)
(c)
120
Gambar 55. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan
teknik pembebasan sistematis pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
(a)
(b)
(c)
121
Gambar 56. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan
teknik pembebasan berbasis pohon binaan pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)(a)
(b)
(c)
121
Gambar 56. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan
teknik pembebasan berbasis pohon binaan pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)(a)
(b)
(c)
122
Gambar 57. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan tanpa
perlakuan pada kondisi (a) 11 tahun setelah penebangan (b) 13 tahun setelah penebangan dan (c) 35 tahun setelah penebangan
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)(a)
(b)
(c)
122
Gambar 57. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan tanpa
perlakuan pada kondisi (a) 11 tahun setelah penebangan (b) 13 tahun setelah penebangan dan (c) 35 tahun setelah penebangan
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)
0
5
10
15
20
Inde
ks N
ilai P
entin
g (%
)(a)
(b)
(c)
123
Dengan sistem tebang pilih pada ketiga teknik penebangan yang dilakukan
menunjukkan dominansi jenis dalam tegakan tidak didominansi oleh satu jenis saja, tetapi
terdistribusi oleh beberapa jenis baik pada setelah penebangan 1 tahun ataupun 23 tahun.
Pada hutan primer hampir tidak terjadi pergeseran dominansi jenis dalam tegakan.
Kelompok jenis Dipterocarpaceae cukup besar mendominasi tegakan baik pada hutan
setelah penebangan, setelah pembebasan maupun pada hutan primer. Pergeseran
dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae terjadi terutama pada tahun ke-1 setelah
penebangan dan cenderung meningkat pada 23 tahun setelah penebangan.
Penilaian dominansi menggunakan indeks nilai penting menggambarkan komponen
kepadatan populasi, penguasaan dimensi dalam tegakan dan tingkat penyebaran dalam
tegakan. Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), indeks nilai penting merupakan salah
satu parameter yang dapat memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis dalam
komunitasnya. Dominansi dan distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi
oleh kondisi lingkungannya. Keberhasilan setiap jenis tumbuhan untuk menguasai suatu
komunitas tegakan dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap
seluruh faktor lingkungan atau tempat tumbuh baik fisik, biotik dan kimia (Krebs 1994).
Beberapa jenis tumbuhan di hutan tropika beradaptasi dengan kondisi intensitas cahaya
dalam tegakan atau pembukaan kanopi hutan (Balakrishnan et al. 1994).
8.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kelimpahan Jenis (N1)
Indeks keanekaragaman jenis menggambarkan tingkat keanekaragaman vegetasi
penyusun pada suatu komunitas hutan yang merupakan indikator jumlah jenis dan
kemerataan individu yang ditunjukkan dengan besaran nilai H’. Semakin tinggi nilai H’ akan
menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin tinggi dengan kata lain semakin
tinggi nilai H’ maka semakin banyak jenis yang menyusun komunitas hutan tersebut. Hasil
perhitungan indeks keanekaragaman jenis (H’) pada variasi kondisi hutan setelah
penebangan dan setelah pembebasan dengan nilai rataan dan standar deviasi untuk masing-
masing kondisi tegakan ditunjukkan pada Tabel 31.
123
Dengan sistem tebang pilih pada ketiga teknik penebangan yang dilakukan
menunjukkan dominansi jenis dalam tegakan tidak didominansi oleh satu jenis saja, tetapi
terdistribusi oleh beberapa jenis baik pada setelah penebangan 1 tahun ataupun 23 tahun.
Pada hutan primer hampir tidak terjadi pergeseran dominansi jenis dalam tegakan.
Kelompok jenis Dipterocarpaceae cukup besar mendominasi tegakan baik pada hutan
setelah penebangan, setelah pembebasan maupun pada hutan primer. Pergeseran
dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae terjadi terutama pada tahun ke-1 setelah
penebangan dan cenderung meningkat pada 23 tahun setelah penebangan.
Penilaian dominansi menggunakan indeks nilai penting menggambarkan komponen
kepadatan populasi, penguasaan dimensi dalam tegakan dan tingkat penyebaran dalam
tegakan. Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), indeks nilai penting merupakan salah
satu parameter yang dapat memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis dalam
komunitasnya. Dominansi dan distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi
oleh kondisi lingkungannya. Keberhasilan setiap jenis tumbuhan untuk menguasai suatu
komunitas tegakan dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap
seluruh faktor lingkungan atau tempat tumbuh baik fisik, biotik dan kimia (Krebs 1994).
Beberapa jenis tumbuhan di hutan tropika beradaptasi dengan kondisi intensitas cahaya
dalam tegakan atau pembukaan kanopi hutan (Balakrishnan et al. 1994).
8.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kelimpahan Jenis (N1)
Indeks keanekaragaman jenis menggambarkan tingkat keanekaragaman vegetasi
penyusun pada suatu komunitas hutan yang merupakan indikator jumlah jenis dan
kemerataan individu yang ditunjukkan dengan besaran nilai H’. Semakin tinggi nilai H’ akan
menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin tinggi dengan kata lain semakin
tinggi nilai H’ maka semakin banyak jenis yang menyusun komunitas hutan tersebut. Hasil
perhitungan indeks keanekaragaman jenis (H’) pada variasi kondisi hutan setelah
penebangan dan setelah pembebasan dengan nilai rataan dan standar deviasi untuk masing-
masing kondisi tegakan ditunjukkan pada Tabel 31.
124
Tabel 31. Indeks keanekaragaman jenis (H’) tegakan setelah penebangan dan setelah
pembebasan
Risalah
kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Indeks keanekaragaman jenis (H’)
RIL50 Rataan 4.33 4.42 4.43 4.45 4.42 4.43 4.44 4.46 4.48 4.54 4.54
SD 0.19 0.13 0.12 0.18 0.24 0.24 0.23 0.21 0.20 0.15 0.20
RIL60 Rataan 4.42 4.48 4.49 4.54 4.56 4.57 4.57 4.57 4.59 4.69 4.71
SD 0.15 0.15 0.15 0.15 0.15 0.14 0.14 0.14 0.13 0.06 0.18
CNV Rataan 4.13 4.25 4.28 4.36 4.30 4.32 4.35 4.32 4.36 4.41 4.43
SD 0.24 0.20 0.20 0.17 0.18 0.21 0.24 0.23 0.22 0.15 0.15
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 4.73 4.71 4.72 4.73 4.74 4.74 4.74 4.74 4.77 4.79
SD 0.11 0.11 0.11 0.10 0.08 0.09 0.09 0.08 0.08 0.10
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13
PS Rataan 3.84 3.89 4.01 4.14 4.21 4.21 4.24 4.21
SD 0.13 0.13 0.15 0.16 0.21 0.21 0.20 0.20
PPB Rataan 3.86 3.97 4.09 4.20 4.27 4.28 4.29 4.23
SD 0.21 0.19 0.17 0.18 0.19 0.18 0.18 0.19
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25
CTR Rataan 4.16 4.17 4.19 4.26 4.30 4.31 4.31 4.26
SD 0.11 0.09 0.09 0.08 0.10 0.10 0.10 0.09
Berdasarkan klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Magurran (1988) menunjukkan
bahwa pada semua plot penelitian baik tegakan setelah penebangan maupun setelah
pembebasan mempunyai nilai indeks keanekaragaman jenis dengan klasifikasi tinggi (H’ >
3.5). Secara relatif indeks keanekaragaman jenis pada hutan bekas tebangan mempunyai
tingkat keragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan primer. Sedangkan
tindakan pembebasan pada hutan bekas tebangan dengan tujuan membebaskan pohon-
pohon dengan jenis-jenis terpilih (pohon binaan), menunjukkan tingkat keanekaragaman
jenis tegakan hutan yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan tanpa perlakuan. Fungsi
waktu pemulihan setelah penebangan ataupun setelah pembebasan yang menunjukkan pola
perubahan atau pergerakan indeks keanekaragaman jenis tegakan dihitung sepanjang
periode pengamatan.
Dengan membandingkan nilai-nilai indeks keanekaragaman jenis dari suatu vegetasi
hutan dapat diketahui tingkat stabilitasnya, dimana nilai indeks keanekaragaman jenis yang
lebih tinggi menunjukan tingkat stabilitas yang lebih tinggi pula pada vegetasi hutan tersebut.
Pada tegakan 6 bulan setelah penebangan mempunyai indeks keanekaragaman untuk tingkat
pohon di Kalimantan Timur sebesar 3.37 dengan klasifikasi keanekaragaman sedang
(Indrawan 2000). Sedangkan pada kondisi 1 bulan setelah penebangan di Kalimantan
Tengah menunjukkan indeks keanekaragaman sebesar 2.73 dengan klasifikasi
124
Tabel 31. Indeks keanekaragaman jenis (H’) tegakan setelah penebangan dan setelah
pembebasan
Risalah
kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Indeks keanekaragaman jenis (H’)
RIL50 Rataan 4.33 4.42 4.43 4.45 4.42 4.43 4.44 4.46 4.48 4.54 4.54
SD 0.19 0.13 0.12 0.18 0.24 0.24 0.23 0.21 0.20 0.15 0.20
RIL60 Rataan 4.42 4.48 4.49 4.54 4.56 4.57 4.57 4.57 4.59 4.69 4.71
SD 0.15 0.15 0.15 0.15 0.15 0.14 0.14 0.14 0.13 0.06 0.18
CNV Rataan 4.13 4.25 4.28 4.36 4.30 4.32 4.35 4.32 4.36 4.41 4.43
SD 0.24 0.20 0.20 0.17 0.18 0.21 0.24 0.23 0.22 0.15 0.15
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 4.73 4.71 4.72 4.73 4.74 4.74 4.74 4.74 4.77 4.79
SD 0.11 0.11 0.11 0.10 0.08 0.09 0.09 0.08 0.08 0.10
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13
PS Rataan 3.84 3.89 4.01 4.14 4.21 4.21 4.24 4.21
SD 0.13 0.13 0.15 0.16 0.21 0.21 0.20 0.20
PPB Rataan 3.86 3.97 4.09 4.20 4.27 4.28 4.29 4.23
SD 0.21 0.19 0.17 0.18 0.19 0.18 0.18 0.19
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25
CTR Rataan 4.16 4.17 4.19 4.26 4.30 4.31 4.31 4.26
SD 0.11 0.09 0.09 0.08 0.10 0.10 0.10 0.09
Berdasarkan klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Magurran (1988) menunjukkan
bahwa pada semua plot penelitian baik tegakan setelah penebangan maupun setelah
pembebasan mempunyai nilai indeks keanekaragaman jenis dengan klasifikasi tinggi (H’ >
3.5). Secara relatif indeks keanekaragaman jenis pada hutan bekas tebangan mempunyai
tingkat keragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan primer. Sedangkan
tindakan pembebasan pada hutan bekas tebangan dengan tujuan membebaskan pohon-
pohon dengan jenis-jenis terpilih (pohon binaan), menunjukkan tingkat keanekaragaman
jenis tegakan hutan yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan tanpa perlakuan. Fungsi
waktu pemulihan setelah penebangan ataupun setelah pembebasan yang menunjukkan pola
perubahan atau pergerakan indeks keanekaragaman jenis tegakan dihitung sepanjang
periode pengamatan.
Dengan membandingkan nilai-nilai indeks keanekaragaman jenis dari suatu vegetasi
hutan dapat diketahui tingkat stabilitasnya, dimana nilai indeks keanekaragaman jenis yang
lebih tinggi menunjukan tingkat stabilitas yang lebih tinggi pula pada vegetasi hutan tersebut.
Pada tegakan 6 bulan setelah penebangan mempunyai indeks keanekaragaman untuk tingkat
pohon di Kalimantan Timur sebesar 3.37 dengan klasifikasi keanekaragaman sedang
(Indrawan 2000). Sedangkan pada kondisi 1 bulan setelah penebangan di Kalimantan
Tengah menunjukkan indeks keanekaragaman sebesar 2.73 dengan klasifikasi
125
keanekaragaman sedang (Pamoengkas 2006). Pada penelitian Muhdi (2012) menunjukkan
bahwa nilai keanekaragaman pada kondisi sebelum penebangan sebesar 3.204–3.263 dan
setelah penebangan relatif terjadi penurunan dengan nilai berkisar 3.198–3.240 tetapi dalam
klasifikasi keanekaragaman yang sama yaitu sedang. Makana dan Thomas (2006)
menyatakan bahwa keanekaragaman jenis lebih rendah pada hutan setelah penebangan 5–10
tahun dibandingkan pada hutan setelah pemanenan tua (> 40 tahun) dan hutan primer.
Berdasarkan indeks keanekaragaman jenis suatu tegakan dihitung jumlah
kelimpahan jenis (N1) untuk masing-masing kondisi tegakan hutan dengan nilai rekapitulasi
disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32. Kelimpahan jumlah jenis (N1) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan
Risalah
kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Kelimpahan jenis (N1)
RIL50 Rataan 77 84 84 87 85 86 86 88 89 94 95
SD 15 10 10 13 17 18 17 16 17 13 14
RIL60 Rataan 84 89 90 94 97 98 97 97 99 109 108
SD 12 12 12 13 13 12 12 12 12 6 7
CNV Rataan 64 71 73 79 75 76 80 77 80 83 84
SD 15 15 15 13 14 15 19 17 17 13 14
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 113 112 113 114 114 115 115 115 119 121 122
SD 12 12 12 11 10 10 10 9 9 11 11
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 47 49 56 63 69 68 71 69 69 71
SD 7 7 8 10 14 13 14 13 13 14
PPB Rataan 49 54 60 68 73 73 74 70 69 72
SD 10 10 10 11 13 12 12 12 11 11
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 64 65 66 71 74 75 75 71 73 75
SD 7 6 6 5 7 7 8 6 6 7
Kelimpahan jumlah jenis menunjukkan peluang jumlah jenis dominan yang akan
muncul pada suatu tegakan hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis
dominan yang sering muncul pada areal bekas tebangan dengan teknik yang berbeda sampai
dengan 23 tahun berkisar 71–108 sedangkan pada hutan primer mempunyai kelimpahan
yang lebih tinggi yaitu 113-121. Pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan
yang berbeda mempunyai nilai kelimpahan jenis berkisar 49-73, sedangkan pada hutan
bekas tebangan tanpa perlakuan berkisar 64-74. Hal ini menunjukkan bahwa tegakan hutan
setelah penebangan maupun setelah pembebasan akan mempunyai nilai kelimpahan jenis
125
keanekaragaman sedang (Pamoengkas 2006). Pada penelitian Muhdi (2012) menunjukkan
bahwa nilai keanekaragaman pada kondisi sebelum penebangan sebesar 3.204–3.263 dan
setelah penebangan relatif terjadi penurunan dengan nilai berkisar 3.198–3.240 tetapi dalam
klasifikasi keanekaragaman yang sama yaitu sedang. Makana dan Thomas (2006)
menyatakan bahwa keanekaragaman jenis lebih rendah pada hutan setelah penebangan 5–10
tahun dibandingkan pada hutan setelah pemanenan tua (> 40 tahun) dan hutan primer.
Berdasarkan indeks keanekaragaman jenis suatu tegakan dihitung jumlah
kelimpahan jenis (N1) untuk masing-masing kondisi tegakan hutan dengan nilai rekapitulasi
disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32. Kelimpahan jumlah jenis (N1) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan
Risalah
kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Kelimpahan jenis (N1)
RIL50 Rataan 77 84 84 87 85 86 86 88 89 94 95
SD 15 10 10 13 17 18 17 16 17 13 14
RIL60 Rataan 84 89 90 94 97 98 97 97 99 109 108
SD 12 12 12 13 13 12 12 12 12 6 7
CNV Rataan 64 71 73 79 75 76 80 77 80 83 84
SD 15 15 15 13 14 15 19 17 17 13 14
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 113 112 113 114 114 115 115 115 119 121 122
SD 12 12 12 11 10 10 10 9 9 11 11
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 47 49 56 63 69 68 71 69 69 71
SD 7 7 8 10 14 13 14 13 13 14
PPB Rataan 49 54 60 68 73 73 74 70 69 72
SD 10 10 10 11 13 12 12 12 11 11
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 64 65 66 71 74 75 75 71 73 75
SD 7 6 6 5 7 7 8 6 6 7
Kelimpahan jumlah jenis menunjukkan peluang jumlah jenis dominan yang akan
muncul pada suatu tegakan hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis
dominan yang sering muncul pada areal bekas tebangan dengan teknik yang berbeda sampai
dengan 23 tahun berkisar 71–108 sedangkan pada hutan primer mempunyai kelimpahan
yang lebih tinggi yaitu 113-121. Pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan
yang berbeda mempunyai nilai kelimpahan jenis berkisar 49-73, sedangkan pada hutan
bekas tebangan tanpa perlakuan berkisar 64-74. Hal ini menunjukkan bahwa tegakan hutan
setelah penebangan maupun setelah pembebasan akan mempunyai nilai kelimpahan jenis
126
yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan primer. Tegakan setelah terganggu akan
mempunyai kecenderungan jumlah kelimpahan jenis yang meningkat seiring jangka waktu
setelah penebangan maupun setelah pembebasan.
Pengaruh tebang pilih pada tegakan hutan terhadap keanekaragaman jenis tegakan
akan bervariasi pada setiap tempat tumbuh (Sodhi et al. 2010). Pada beberapa studi
menunjukkan bahwa pengaruh penebangan secara selektif tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap keanekaragaman jenis pada hutan 18-20 tahun setelah penebangan
(Verburg dan van Eijk-Bos 2003 dalam Sodhi et al. 2010). Jika dibandingkan dengan
kondisi hutan primer, maka hutan bekas tebangan 41 tahun mempunyai tingkat
keanekaragaman jenis yang lebih rendah (Okuda et al. 2003 dalam Sodhi et al. 2010).
8.4. Indeks Kekayaan Jenis Margallef (R1)
Penilaian kekayaan jenis tegakan yang menggambarkan tingkat kelimpahan jenis
dalam suatu komunitas hutan dilakukan dengan pendekatan indeks Margalef R1. Hasil
perhitungan indeks kekayaan jenis Margalef (R1) pada variasi kondisi hutan setelah
penebangan dan setelah pembebasan dengan rekapitulasi nilai rataan dan standar deviasi
(SD) ditunjukkan pada Tabel 33.
Tabel 33. Indeks kekayaan jenis (R1) pada plot penelitian berdasarkan teknik penebangan dan teknik pembebasan
Risalah
kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Indeks kekayaan jenis (R1)
RIL50 Rataan 22.45 22.33 22.29 23.72 24.16 24.55 24.72 24.86 25.36 25.56 25.62
SD 3.11 2.73 2.88 2.25 2.40 2.44 2.39 2.33 2.38 3.24 4.32
RIL60 Rataan 24.24 23.75 23.81 24.56 25.25 25.73 25.64 25.70 26.49 27.73 26.88
SD 2.19 1.98 1.71 1.73 1.98 1.94 1.80 1.82 1.87 0.91 1.01
CNV Rataan 20.30 19.85 20.20 21.44 22.17 22.30 22.51 22.49 23.10 23.42 24.32
SD 2.44 2.80 2.79 2.49 2.45 2.41 2.46 2.40 2.50 2.69 2.41
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 26.97 26.72 26.96 27.03 27.17 27.33 27.34 27.23 27.80 27.50 27.50
SD 1.94 1.89 1.95 1.87 1.82 1.74 1.84 1.62 1.60 1.47 1.47
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 15.36 16.06 17.12 19.43 20.54 20.37 20.57 20.18 20.21 20.47
SD 2.19 2.17 1.81 1.99 2.50 2.32 2.18 2.24 2.21 2.17
PPB Rataan 17.31 17.82 18.39 20.56 21.55 21.59 21.75 21.48 21.47 21.57
SD 1.96 2.25 2.49 2.71 2.48 2.81 2.75 2.85 2.71 2.75
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 18.70 18.72 18.91 20.32 20.82 20.88 20.88 20.55 20.67 20.87
SD 1.27 1.22 1.01 0.66 0.35 0.34 0.41 0.38 0.41 0.39
126
yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan primer. Tegakan setelah terganggu akan
mempunyai kecenderungan jumlah kelimpahan jenis yang meningkat seiring jangka waktu
setelah penebangan maupun setelah pembebasan.
Pengaruh tebang pilih pada tegakan hutan terhadap keanekaragaman jenis tegakan
akan bervariasi pada setiap tempat tumbuh (Sodhi et al. 2010). Pada beberapa studi
menunjukkan bahwa pengaruh penebangan secara selektif tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap keanekaragaman jenis pada hutan 18-20 tahun setelah penebangan
(Verburg dan van Eijk-Bos 2003 dalam Sodhi et al. 2010). Jika dibandingkan dengan
kondisi hutan primer, maka hutan bekas tebangan 41 tahun mempunyai tingkat
keanekaragaman jenis yang lebih rendah (Okuda et al. 2003 dalam Sodhi et al. 2010).
8.4. Indeks Kekayaan Jenis Margallef (R1)
Penilaian kekayaan jenis tegakan yang menggambarkan tingkat kelimpahan jenis
dalam suatu komunitas hutan dilakukan dengan pendekatan indeks Margalef R1. Hasil
perhitungan indeks kekayaan jenis Margalef (R1) pada variasi kondisi hutan setelah
penebangan dan setelah pembebasan dengan rekapitulasi nilai rataan dan standar deviasi
(SD) ditunjukkan pada Tabel 33.
Tabel 33. Indeks kekayaan jenis (R1) pada plot penelitian berdasarkan teknik penebangan dan teknik pembebasan
Risalah
kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Indeks kekayaan jenis (R1)
RIL50 Rataan 22.45 22.33 22.29 23.72 24.16 24.55 24.72 24.86 25.36 25.56 25.62
SD 3.11 2.73 2.88 2.25 2.40 2.44 2.39 2.33 2.38 3.24 4.32
RIL60 Rataan 24.24 23.75 23.81 24.56 25.25 25.73 25.64 25.70 26.49 27.73 26.88
SD 2.19 1.98 1.71 1.73 1.98 1.94 1.80 1.82 1.87 0.91 1.01
CNV Rataan 20.30 19.85 20.20 21.44 22.17 22.30 22.51 22.49 23.10 23.42 24.32
SD 2.44 2.80 2.79 2.49 2.45 2.41 2.46 2.40 2.50 2.69 2.41
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 26.97 26.72 26.96 27.03 27.17 27.33 27.34 27.23 27.80 27.50 27.50
SD 1.94 1.89 1.95 1.87 1.82 1.74 1.84 1.62 1.60 1.47 1.47
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 15.36 16.06 17.12 19.43 20.54 20.37 20.57 20.18 20.21 20.47
SD 2.19 2.17 1.81 1.99 2.50 2.32 2.18 2.24 2.21 2.17
PPB Rataan 17.31 17.82 18.39 20.56 21.55 21.59 21.75 21.48 21.47 21.57
SD 1.96 2.25 2.49 2.71 2.48 2.81 2.75 2.85 2.71 2.75
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 18.70 18.72 18.91 20.32 20.82 20.88 20.88 20.55 20.67 20.87
SD 1.27 1.22 1.01 0.66 0.35 0.34 0.41 0.38 0.41 0.39
127
Berdasarkan kriteria kekayaan jenis dalam Magurran (1988), semua plot penelitian
baik pada tegakan setelah penebangan maupun setelah pembebasan adalah tinggi (R1 >5.0)
sepanjang jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan setelah pembebasan. Secara
relatif tingkat kekayaan hutan setelah tebangan akan menurun sampai dengan tahun ke-3
pada ketiga teknik penebangan yang dilakukan dan selanjutnya akan meningkat sepanjang
jangka waktu pemulihan tegakan. Sedangkan jangka waktu setelah pembebasan akan
mempunyai kecenderungan meningkatnya tingkat kekayaan jenis tegakan hutan. Pada
hutan primer mempunyai indeks kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi
hutan yang telah terganggu.
Tingkat kekayaan jenis tegakan pada hutan bekas tebangan setelah 23 tahun masih
memiliki tingkat yang lebih rendah dibandingkan pada kondisi hutan primer. Sedangkan
pada tegakan hutan setelah penebangan yang dilakukan pembebasan, akan memiliki tingkat
kekayaan jenis yang mendekati sama pada tahun ke-5 setelah pembebasan. Hal ini berkaitan
dengan kecenderungan perubahan komposisi jumlah jenis penyusun tegakan, pada tegakan
setelah pembebasan akan menurun hingga tahun ke-3 yang kemudian meningkat setelah
tahun ke-5. Tingkat kekayaan dan kelimpahan jenis pada hutan yang terganggu akan
menurun dibandingkan pada kondisi hutan klimaks (Sodhi et al. 2010).
Setelah dilakukan tebang pilih akan terjadi peningkatan kekayaan dan keanekaragam
jenis terutama pada areal-areal yang terbuka. Kondisi ini mendukung terjadinya
perkembangan jenis-jenis yang sebelumnya tidak mendapat kesempatan berkembang
dibawah tajuk (gap opportunist species). Pembukaan kanopi yang diakibatkan penebangan
memacu pertumbuhan jenis-jenis pionerr (Bischoff et al. 2005). Menurut Holloway et al.
(1992 dalam Sodhi et al. 2010), hal inilah yang menyebabkan perubahan struktur vegetasi
dan keanekaragaman hutan setelah penebangan.
8.5. Indeks Kemerataan Jenis Pielou J’ (E)
Indeks kemerataan jenis (E) menunjukkan tingkat kemerataan kelimpahan jenis-
jenis vegetasi penyusun pada suatu komunitas hutan (Magurran 1988). Semakin besar nilai
E menunjukkan komposisi jenis semakin merata atau tidak dominan pada satu jenis tertentu
saja. Hasil perhitungan indeks kemerataan jenis Pielou J’ (E) pada masing-masing plot
dengan rekapitulasi variasi kondisi hutan setelah penebangan dan setelah pembebasan pada
plot STREK ditunjukkan pada Tabel 34.
127
Berdasarkan kriteria kekayaan jenis dalam Magurran (1988), semua plot penelitian
baik pada tegakan setelah penebangan maupun setelah pembebasan adalah tinggi (R1 >5.0)
sepanjang jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan setelah pembebasan. Secara
relatif tingkat kekayaan hutan setelah tebangan akan menurun sampai dengan tahun ke-3
pada ketiga teknik penebangan yang dilakukan dan selanjutnya akan meningkat sepanjang
jangka waktu pemulihan tegakan. Sedangkan jangka waktu setelah pembebasan akan
mempunyai kecenderungan meningkatnya tingkat kekayaan jenis tegakan hutan. Pada
hutan primer mempunyai indeks kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi
hutan yang telah terganggu.
Tingkat kekayaan jenis tegakan pada hutan bekas tebangan setelah 23 tahun masih
memiliki tingkat yang lebih rendah dibandingkan pada kondisi hutan primer. Sedangkan
pada tegakan hutan setelah penebangan yang dilakukan pembebasan, akan memiliki tingkat
kekayaan jenis yang mendekati sama pada tahun ke-5 setelah pembebasan. Hal ini berkaitan
dengan kecenderungan perubahan komposisi jumlah jenis penyusun tegakan, pada tegakan
setelah pembebasan akan menurun hingga tahun ke-3 yang kemudian meningkat setelah
tahun ke-5. Tingkat kekayaan dan kelimpahan jenis pada hutan yang terganggu akan
menurun dibandingkan pada kondisi hutan klimaks (Sodhi et al. 2010).
Setelah dilakukan tebang pilih akan terjadi peningkatan kekayaan dan keanekaragam
jenis terutama pada areal-areal yang terbuka. Kondisi ini mendukung terjadinya
perkembangan jenis-jenis yang sebelumnya tidak mendapat kesempatan berkembang
dibawah tajuk (gap opportunist species). Pembukaan kanopi yang diakibatkan penebangan
memacu pertumbuhan jenis-jenis pionerr (Bischoff et al. 2005). Menurut Holloway et al.
(1992 dalam Sodhi et al. 2010), hal inilah yang menyebabkan perubahan struktur vegetasi
dan keanekaragaman hutan setelah penebangan.
8.5. Indeks Kemerataan Jenis Pielou J’ (E)
Indeks kemerataan jenis (E) menunjukkan tingkat kemerataan kelimpahan jenis-
jenis vegetasi penyusun pada suatu komunitas hutan (Magurran 1988). Semakin besar nilai
E menunjukkan komposisi jenis semakin merata atau tidak dominan pada satu jenis tertentu
saja. Hasil perhitungan indeks kemerataan jenis Pielou J’ (E) pada masing-masing plot
dengan rekapitulasi variasi kondisi hutan setelah penebangan dan setelah pembebasan pada
plot STREK ditunjukkan pada Tabel 34.
128
Tabel 34. Indeks kemerataan jenis (E) pada plot STREK setelah penebangan dan setelah pembebasan
Risalah
kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Indeks kemerataan jenis (E)
RIL50 Rataan 0.88 0.91 0.91 0.90 0.88 0.88 0.88 0.89 0.88 0.90 0.90
SD 0.02 0.02 0.01 0.02 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.02 0.03
RIL60 Rataan 0.88 0.90 0.91 0.91 0.91 0.90 0.90 0.90 0.90 0.91 0.90
SD 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.02
CNV Rataan 0.86 0.90 0.90 0.90 0.88 0.88 0.89 0.88 0.88 0.89 0.90
SD 0.03 0.02 0.02 0.02 0.03 0.03 0.04 0.03 0.03 0.01 0.02
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.92 0.92 0.92 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.94 0.94
SD 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.03
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.85 0.85 0.86 0.86 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87
SD 0.02 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
PPB Rataan 0.83 0.84 0.86 0.87 0.87 0.87 0.87 0.86 0.86 0.87
SD 0.05 0.03 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.03 0.02 0.03
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.88 0.88 0.88 0.88 0.89 0.89 0.89 0.88 0.89 0.89
SD 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
Berdasarkan klasifikasi indeks kemerataan menurut Magurran (1988), pada tegakan
setelah penebangan maupun setelah pembebasan akan menunjukkan tingkat kemerataan
yang tinggi (E > 0.6). Hal ini menunjukkan bahwa dalam tegakan tersebut mempunyai
dominansi yang menyebar ke banyak jenis atau dengan kata lain tidak terpusat ke satu jenis
saja. Pada hutan bekas tebangan mempunyai kenaikan tingkat kemerataan hingga tahun ke-
5 setelah penebangan, kemudian menurun dan cenderung tidak berubah. Kondisi
kemerataan jenis pada tegakan setelah penebangan sampai dengan 23 tahun masih lebih
rendah dibandingkan pada kondisi hutan primer. Pada tindakan pembebasan tegakan
setelah penebangan mempunyai tingkat keragaman yang relatif tidak berubah setelah tahun
ke-3. Pergeseran kemerataan sebaran jenis dalam tegakan yang ditunjukkan berdasarkan
indeks nilai penting menunjukkan tingkat kemerataan yang relatif tetap tetapi dominansinya
berubah. Sehingga perlu untuk meninjau komposisi penyusun dalam tingkat kemerataan
jenis tersebut, sebagaimana dinyatakan Krebs (2006) bahwa dalam penilaian ekologi tegakan
merupakan penilaian dalam tingkat jenis (species) penyusun vegetasi.
128
Tabel 34. Indeks kemerataan jenis (E) pada plot STREK setelah penebangan dan setelah pembebasan
Risalah
kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Indeks kemerataan jenis (E)
RIL50 Rataan 0.88 0.91 0.91 0.90 0.88 0.88 0.88 0.89 0.88 0.90 0.90
SD 0.02 0.02 0.01 0.02 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.02 0.03
RIL60 Rataan 0.88 0.90 0.91 0.91 0.91 0.90 0.90 0.90 0.90 0.91 0.90
SD 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.02
CNV Rataan 0.86 0.90 0.90 0.90 0.88 0.88 0.89 0.88 0.88 0.89 0.90
SD 0.03 0.02 0.02 0.02 0.03 0.03 0.04 0.03 0.03 0.01 0.02
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 0.92 0.92 0.92 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.94 0.94
SD 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.03
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 0.85 0.85 0.86 0.86 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87
SD 0.02 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
PPB Rataan 0.83 0.84 0.86 0.87 0.87 0.87 0.87 0.86 0.86 0.87
SD 0.05 0.03 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.03 0.02 0.03
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 0.88 0.88 0.88 0.88 0.89 0.89 0.89 0.88 0.89 0.89
SD 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
Berdasarkan klasifikasi indeks kemerataan menurut Magurran (1988), pada tegakan
setelah penebangan maupun setelah pembebasan akan menunjukkan tingkat kemerataan
yang tinggi (E > 0.6). Hal ini menunjukkan bahwa dalam tegakan tersebut mempunyai
dominansi yang menyebar ke banyak jenis atau dengan kata lain tidak terpusat ke satu jenis
saja. Pada hutan bekas tebangan mempunyai kenaikan tingkat kemerataan hingga tahun ke-
5 setelah penebangan, kemudian menurun dan cenderung tidak berubah. Kondisi
kemerataan jenis pada tegakan setelah penebangan sampai dengan 23 tahun masih lebih
rendah dibandingkan pada kondisi hutan primer. Pada tindakan pembebasan tegakan
setelah penebangan mempunyai tingkat keragaman yang relatif tidak berubah setelah tahun
ke-3. Pergeseran kemerataan sebaran jenis dalam tegakan yang ditunjukkan berdasarkan
indeks nilai penting menunjukkan tingkat kemerataan yang relatif tetap tetapi dominansinya
berubah. Sehingga perlu untuk meninjau komposisi penyusun dalam tingkat kemerataan
jenis tersebut, sebagaimana dinyatakan Krebs (2006) bahwa dalam penilaian ekologi tegakan
merupakan penilaian dalam tingkat jenis (species) penyusun vegetasi.
129
8.6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)
Penilaian tingkat kesamaan komunitas tegakan pada petak penelitian setelah
penebangan dan pembebasan yang berbeda dengan menggunakan koefisien kesamaan
komunitas atau indeks kesamaan (IS) (Soerianegara dan Indrawan 2005). Perhitungan nilai
indeks kesamaan dilakukan pada kondisi tegakan awal sebelum penebangan atau
pembebasan terhadap setiap perubahan kondisi tegakan sepanjang periode pengukuran
(setiap 2 tahun). Hasil perhitungan indeks kesamaan jenis berdasarkan jumlah individu per
jenis atau kerapatan (ISn) dalam tegakan dilakukan untuk masing-masing plot penelitian.
Nilai IS berkisar antara 0-100%, dimana jika semakin mendekati nilai 100 maka tingkat
kesamaan komunitas semakin sama sebaliknya semakin rendah atau mendekati 0 maka
kondisi tegakan akan semakin berbeda. Rekapitulasi indeks kesamaan jenis tegakan
berdasarkan jumlah individu pada tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan
disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35. Indeks kesamaan komunitas (ISn) pada kondisi awal tegakan dan tegakan setelah penebangan dan pembebasan
Risalah
kondisi
HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Indeks kesamaan komunitas (ISn)
RIL50 Rataan 85.5 79.4 67.4 68.9 66.6 64.7 64.6 64.2 63.0 64.6
SD 6.5 8.2 13.3 10.8 10.1 9.7 9.5 9.3 15.4 9.5
RIL60 Rataan 86.6 82.1 79.3 75.6 73.0 71.6 71.3 69.8 64.9 67.8
SD 5.2 6.3 5.8 5.4 7.4 8.5 7.1 7.6 13.0 9.1
CNV Rataan 82.3 74.3 71.1 67.6 65.3 64.1 63.0 62.6 62.9 63
SD 6.5 9.9 11.3 10.5 11.0 10.9 10.7 10.5 9.8 9.8
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 97.2 94.0 91.2 87.9 86.6 85.1 84.5 82.6 78.8 80.8
SD 1.5 2.8 4.0 4.2 3.9 4.2 4.0 4.6 6.6 5.6
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 96.2 86.6 80.6 72.6 71.7 70.0 71.5 70.1 71.1
SD 1.6 2.7 3.0 2.6 2.4 2.9 2.5 2.6 2.7
PPB Rataan 95.3 86.3 81.0 75.4 74.5 73.5 72.6 72.8 73.3
SD 2.0 4.4 5.9 5.7 5.5 5.4 5.7 5.4 5.5
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 96.8 93.1 89.3 82.6 82.5 81.1 79.9 81.1 82.1
SD 1.5 3.0 3.3 3.6 4.5 4.9 7.4 6.2 4.3
Berdasarkan nilai kuantitatif jumlah individu jenis atau kerapatan, indeks kesamaan
komunitas antara tegakan sebelum penebangan (hutan primer) dengan tegakan setelah
penebangan terjadi perubahan atau pergeseran tingkat kesamaan yang semakin menurun
sepanjang waktu pengamatan.
129
8.6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)
Penilaian tingkat kesamaan komunitas tegakan pada petak penelitian setelah
penebangan dan pembebasan yang berbeda dengan menggunakan koefisien kesamaan
komunitas atau indeks kesamaan (IS) (Soerianegara dan Indrawan 2005). Perhitungan nilai
indeks kesamaan dilakukan pada kondisi tegakan awal sebelum penebangan atau
pembebasan terhadap setiap perubahan kondisi tegakan sepanjang periode pengukuran
(setiap 2 tahun). Hasil perhitungan indeks kesamaan jenis berdasarkan jumlah individu per
jenis atau kerapatan (ISn) dalam tegakan dilakukan untuk masing-masing plot penelitian.
Nilai IS berkisar antara 0-100%, dimana jika semakin mendekati nilai 100 maka tingkat
kesamaan komunitas semakin sama sebaliknya semakin rendah atau mendekati 0 maka
kondisi tegakan akan semakin berbeda. Rekapitulasi indeks kesamaan jenis tegakan
berdasarkan jumlah individu pada tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan
disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35. Indeks kesamaan komunitas (ISn) pada kondisi awal tegakan dan tegakan setelah penebangan dan pembebasan
Risalah
kondisi
HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
Indeks kesamaan komunitas (ISn)
RIL50 Rataan 85.5 79.4 67.4 68.9 66.6 64.7 64.6 64.2 63.0 64.6
SD 6.5 8.2 13.3 10.8 10.1 9.7 9.5 9.3 15.4 9.5
RIL60 Rataan 86.6 82.1 79.3 75.6 73.0 71.6 71.3 69.8 64.9 67.8
SD 5.2 6.3 5.8 5.4 7.4 8.5 7.1 7.6 13.0 9.1
CNV Rataan 82.3 74.3 71.1 67.6 65.3 64.1 63.0 62.6 62.9 63
SD 6.5 9.9 11.3 10.5 11.0 10.9 10.7 10.5 9.8 9.8
HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Rataan 97.2 94.0 91.2 87.9 86.6 85.1 84.5 82.6 78.8 80.8
SD 1.5 2.8 4.0 4.2 3.9 4.2 4.0 4.6 6.6 5.6
P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Rataan 96.2 86.6 80.6 72.6 71.7 70.0 71.5 70.1 71.1
SD 1.6 2.7 3.0 2.6 2.4 2.9 2.5 2.6 2.7
PPB Rataan 95.3 86.3 81.0 75.4 74.5 73.5 72.6 72.8 73.3
SD 2.0 4.4 5.9 5.7 5.5 5.4 5.7 5.4 5.5
HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Rataan 96.8 93.1 89.3 82.6 82.5 81.1 79.9 81.1 82.1
SD 1.5 3.0 3.3 3.6 4.5 4.9 7.4 6.2 4.3
Berdasarkan nilai kuantitatif jumlah individu jenis atau kerapatan, indeks kesamaan
komunitas antara tegakan sebelum penebangan (hutan primer) dengan tegakan setelah
penebangan terjadi perubahan atau pergeseran tingkat kesamaan yang semakin menurun
sepanjang waktu pengamatan.
130
Perbedaan teknik penebangan akan menghasilkan penurunan tingkat kesamaan
komunitas yang berbeda. Tegakan setelah penebangan dengan teknik konvensional akan
mempunyai penurunan yang lebih besar dibandingkan pada kondisi RIL. Pada kondisi
tegakan dengan teknik penebangan RIL 60 atau dengan intensitas yang terendah, akan
mempunyai tingkat kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan teknik penebangan lainnya.
Tingkat kesamaan komunitas tegakan setelah penebangan sepanjang 23 tahun masih
memiliki kesamaan > 62% dibandingkan kondisi hutan awal (hutan primer). Pada hutan
primer sepanjang 23 tahun pengamatan, akan mengalami perubahan komunitas dengan
tingkat kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan kondisi tegakan setelah penebangan (>
78%). Begitu pula pada tegakan setelah pembebasan akan memiliki indeks kesamaan
komunitas > 70% dibandingkan kondisi awalnya. Sedangkan pada kondisi hutan bekas
tebangan tanpa perlakuan mempunyai tingkat kesamaan komunitas yang relatif lebih tinggi
dibandingkan kondisi setelah pembebasan.
8.7. Pola Sebaran Spasial Kelompok Jenis (IM)
Hasil kajian pada plot STREK, pola sebaran spasial jenis atau kelompok jenis
menunjukkan pola sebaran atau distribusi jenis atau kelompok jenis tersebut dalam tegakan,
baik bersifat acak, mengelompok ataupun seragam. Untuk mengetahui pola sebaran
tersebut dilakukan dengan pendekatan indeks Morisita (Id), standarisasi indeks Morisita (Ip),
indeks keseragaman (Mu) dan indeks mengelompok (Mc) (Krebs 1989), yang dilakukan pada
plot penelitian setelah penebangan dan setelah pembebasan untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae (terbagi dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea) dan non
Dipterocarpaceae. Rekapitulasi pola sebaran spasial untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan
non Dipterocarpaceae pada variasi kondisi hutan disajikan pada Tabel 36-37.
Tabel 36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK Risalah kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
RIL 50 Ip 0.50 0.50 0.50 0.47 0.45 0.50 0.50 0.50 0.50 0.41 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
RIL 60 Ip 0.29 0.24 0.22 0.25 0.27 0.28 0.29 0.30 0.37 0.39 0.37
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
CNV Ip 0.47 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.42 0.44 0.42 0.50 0.44
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Ip 0.43 0.48 0.42 0.36 0.42 0.44 0.44 0.45 0.48 0.37 0.48
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
130
Perbedaan teknik penebangan akan menghasilkan penurunan tingkat kesamaan
komunitas yang berbeda. Tegakan setelah penebangan dengan teknik konvensional akan
mempunyai penurunan yang lebih besar dibandingkan pada kondisi RIL. Pada kondisi
tegakan dengan teknik penebangan RIL 60 atau dengan intensitas yang terendah, akan
mempunyai tingkat kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan teknik penebangan lainnya.
Tingkat kesamaan komunitas tegakan setelah penebangan sepanjang 23 tahun masih
memiliki kesamaan > 62% dibandingkan kondisi hutan awal (hutan primer). Pada hutan
primer sepanjang 23 tahun pengamatan, akan mengalami perubahan komunitas dengan
tingkat kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan kondisi tegakan setelah penebangan (>
78%). Begitu pula pada tegakan setelah pembebasan akan memiliki indeks kesamaan
komunitas > 70% dibandingkan kondisi awalnya. Sedangkan pada kondisi hutan bekas
tebangan tanpa perlakuan mempunyai tingkat kesamaan komunitas yang relatif lebih tinggi
dibandingkan kondisi setelah pembebasan.
8.7. Pola Sebaran Spasial Kelompok Jenis (IM)
Hasil kajian pada plot STREK, pola sebaran spasial jenis atau kelompok jenis
menunjukkan pola sebaran atau distribusi jenis atau kelompok jenis tersebut dalam tegakan,
baik bersifat acak, mengelompok ataupun seragam. Untuk mengetahui pola sebaran
tersebut dilakukan dengan pendekatan indeks Morisita (Id), standarisasi indeks Morisita (Ip),
indeks keseragaman (Mu) dan indeks mengelompok (Mc) (Krebs 1989), yang dilakukan pada
plot penelitian setelah penebangan dan setelah pembebasan untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae (terbagi dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea) dan non
Dipterocarpaceae. Rekapitulasi pola sebaran spasial untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan
non Dipterocarpaceae pada variasi kondisi hutan disajikan pada Tabel 36-37.
Tabel 36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK Risalah kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
RIL 50 Ip 0.50 0.50 0.50 0.47 0.45 0.50 0.50 0.50 0.50 0.41 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
RIL 60 Ip 0.29 0.24 0.22 0.25 0.27 0.28 0.29 0.30 0.37 0.39 0.37
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
CNV Ip 0.47 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.42 0.44 0.42 0.50 0.44
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Ip 0.43 0.48 0.42 0.36 0.42 0.44 0.44 0.45 0.48 0.37 0.48
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
131
Tabel 36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK (Lanjutan)
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Ip 0.19 0.25 0.25 0.21 0.20 0.18 0.29 0.27 0.29 0.27
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
PPB Ip 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Ip 0.25 0.29 0.34 0.35 0.39 0.31 0.34 0.33 0.34 0.34
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)
Tabel 37. Pola sebaran spasial kelompok jenis non Dipterocarpaceae pada plot STREK Risalah kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
RIL 50 Ip 0.40 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.43 0.39 0.45 0.42 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
RIL 60 Ip 0.24 0.50 0.50 0.50 0.50 0.38 0.33 0.28 0.27 0.27 0.28
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
CNV Ip 0.20 0.50 0.50 0.50 0.44 0.40 0.44 0.45 0.39 0.45 0.45
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Ip 0.08 0.07 0.07 0.16 0.21 0.21 0.27 0.27 0.33 0.50 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Ip 0.40 0.30 0.31 0.34 0.26 0.23 0.40 0.38 0.38 0.39
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
PPB Ip 0.29 0.08 0.17 0.16 0.25 0.22 0.20 0.21 0.21 0.23
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Ip 0.21 0.16 0.12 0.07 0.15 0.11 0.09 0.09 0.09 0.09
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)
Untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae terbagi dalam kelompok Shorea spp. dan
Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai pola sebaran spasial yang disajikan pada Tabel 38-39
berikut.
131
Tabel 36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK (Lanjutan)
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Ip 0.19 0.25 0.25 0.21 0.20 0.18 0.29 0.27 0.29 0.27
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
PPB Ip 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Ip 0.25 0.29 0.34 0.35 0.39 0.31 0.34 0.33 0.34 0.34
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)
Tabel 37. Pola sebaran spasial kelompok jenis non Dipterocarpaceae pada plot STREK Risalah kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
RIL 50 Ip 0.40 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.43 0.39 0.45 0.42 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
RIL 60 Ip 0.24 0.50 0.50 0.50 0.50 0.38 0.33 0.28 0.27 0.27 0.28
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
CNV Ip 0.20 0.50 0.50 0.50 0.44 0.40 0.44 0.45 0.39 0.45 0.45
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Ip 0.08 0.07 0.07 0.16 0.21 0.21 0.27 0.27 0.33 0.50 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Ip 0.40 0.30 0.31 0.34 0.26 0.23 0.40 0.38 0.38 0.39
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
PPB Ip 0.29 0.08 0.17 0.16 0.25 0.22 0.20 0.21 0.21 0.23
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Ip 0.21 0.16 0.12 0.07 0.15 0.11 0.09 0.09 0.09 0.09
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)
Untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae terbagi dalam kelompok Shorea spp. dan
Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai pola sebaran spasial yang disajikan pada Tabel 38-39
berikut.
132
Tabel 38. Pola sebaran spasial kelompok jenis Shorea spp. pada plot STREK Risalah kondisi HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
RIL 50 Ip 0.24 0.24 0.30 0.23 0.21 0.29 0.28 0.31 0.35 0.07 0.35
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
RIL 60 Ip 0.23 0.23 0.25 0.33 0.38 0.34 0.29 0.33 0.40 0.27 0.32
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
CNV Ip 0.47 0.43 0.37 0.39 0.40 0.50 0.31 0.36 0.32 0.21 0.32
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Ip 0.19 0.26 0.29 0.24 0.30 0.30 0.30 0.31 0.31 0.28 0.28
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Ip 0.37 0.38 0.38 0.42 0.39 0.34 0.41 0.37 0.41 0.37
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
PPB Ip 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Ip 0.21 0.35 0.43 0.50 0.37 0.37 0.50 0.46 0.46 0.46
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip =
standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)
Tabel 39. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea pada plot STREK Risalah kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
RIL 50 Ip 0.48 0.43 0.40 0.43 0.45 0.44 0.39 0.35 0.40 0.22 0.32
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
RIL 60 Ip 0.35 0.19 0.15 0.12 0.13 0.15 0.18 0.15 0.13 0.24 0.24
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
CNV Ip 0.39 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.47 0.50 0.49 0.50 0.49
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Ip 0.30 0.28 0.25 0.21 0.23 0.25 0.24 0.22 0.22 0.27
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Ip 0.12 0.12 0.07 0.03 0.10 0.11 0.10 0.13 0.13 0.13
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
PPB Ip 0.47 0.47 0.41 0.45 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Ip 0.09 0.12 0.12 0.13 0.27 0.25 0.13 0.14 0.25 0.13
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)
132
Tabel 38. Pola sebaran spasial kelompok jenis Shorea spp. pada plot STREK Risalah kondisi HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
RIL 50 Ip 0.24 0.24 0.30 0.23 0.21 0.29 0.28 0.31 0.35 0.07 0.35
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
RIL 60 Ip 0.23 0.23 0.25 0.33 0.38 0.34 0.29 0.33 0.40 0.27 0.32
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
CNV Ip 0.47 0.43 0.37 0.39 0.40 0.50 0.31 0.36 0.32 0.21 0.32
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Ip 0.19 0.26 0.29 0.24 0.30 0.30 0.30 0.31 0.31 0.28 0.28
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Ip 0.37 0.38 0.38 0.42 0.39 0.34 0.41 0.37 0.41 0.37
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
PPB Ip 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Ip 0.21 0.35 0.43 0.50 0.37 0.37 0.50 0.46 0.46 0.46
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip =
standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)
Tabel 39. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea pada plot STREK Risalah kondisi
HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23
RIL 50 Ip 0.48 0.43 0.40 0.43 0.45 0.44 0.39 0.35 0.40 0.22 0.32
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
RIL 60 Ip 0.35 0.19 0.15 0.12 0.13 0.15 0.18 0.15 0.13 0.24 0.24
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
CNV Ip 0.39 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.47 0.50 0.49 0.50 0.49
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23
HP Ip 0.30 0.28 0.25 0.21 0.23 0.25 0.24 0.22 0.22 0.27
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23
PS Ip 0.12 0.12 0.07 0.03 0.10 0.11 0.10 0.13 0.13 0.13
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
PPB Ip 0.47 0.47 0.41 0.45 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35
CTR Ip 0.09 0.12 0.12 0.13 0.27 0.25 0.13 0.14 0.25 0.13
Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl
Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)
133
Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae
mempunyai variasi dengan kecenderungan yang mengelompok. Analisis distribusi spasial
jenis dengan pendekatan indeks Morisita terhadap 4 jenis Dipterocarpaceae sebagai penyusun
kanopi utama (Anisoptera costata, Dipterocarpus alatus, Hopea odorata dan Vatica cinerea)
mempunyai kecenderungan distribusi yang mengelompok (Bunyavejchewin et al. 2003).
Bentuk sebaran spasial jenis umumnya akan mengelompok, sesuai dengan batasan atau
kebutuhan akan tempat tumbuh yang spesifik. Penilaian status jenis atau kelompok jenis
dalam tegakan memerlukan pengetahuan tentang factor-faktor yang mempengaruhi
pembentukannya yaitu sifat genetis dan proses ekologisnya (Lee et al. 2006).
Pertimbangan dimensi biodiversitas terutama pada areal-areal hutan produksi
menjadi penting untuk pengelolaan populasi tegakan Dipterocarpaceae di hutan-hutan bekas
tebangan dengan tujuan kelestarian hasil dan konservasi jenis (Naito et al. 2008; Sodhi et al.
2010). Beberapa hal penting dalam dimensi ekologis kuantitatif adalah sebagai berikut:
Perubahan dominansi jenis dalam tegakan pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda menunjukkan pola perubahan yang berbeda.
1) Pergeseran dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae pada hutan setelah penebangan
dikarenakan perkembangan gap opportunist species
2) Tegakan hutan setelah penebangan maupun setelah pembebasan mempunyai nilai
keanekaragaman, kelimpahan jumlah jenis dan kekayaan jenis yang lebih rendah
dibandingkan kondisi hutan primer yang kemudian cenderung meningkat seiring waktu
pemulihan.
3) Pergeseran kemerataan sebaran jenis dalam tegakan hutan bekas tebangan menunjukkan
tingkat kemerataan yang relatif tetap tetapi dominansi jenis penyusun dalam tegakan
yang berubah.
4) Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai
kecenderungan yang mengelompok.
133
Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae
mempunyai variasi dengan kecenderungan yang mengelompok. Analisis distribusi spasial
jenis dengan pendekatan indeks Morisita terhadap 4 jenis Dipterocarpaceae sebagai penyusun
kanopi utama (Anisoptera costata, Dipterocarpus alatus, Hopea odorata dan Vatica cinerea)
mempunyai kecenderungan distribusi yang mengelompok (Bunyavejchewin et al. 2003).
Bentuk sebaran spasial jenis umumnya akan mengelompok, sesuai dengan batasan atau
kebutuhan akan tempat tumbuh yang spesifik. Penilaian status jenis atau kelompok jenis
dalam tegakan memerlukan pengetahuan tentang factor-faktor yang mempengaruhi
pembentukannya yaitu sifat genetis dan proses ekologisnya (Lee et al. 2006).
Pertimbangan dimensi biodiversitas terutama pada areal-areal hutan produksi
menjadi penting untuk pengelolaan populasi tegakan Dipterocarpaceae di hutan-hutan bekas
tebangan dengan tujuan kelestarian hasil dan konservasi jenis (Naito et al. 2008; Sodhi et al.
2010). Beberapa hal penting dalam dimensi ekologis kuantitatif adalah sebagai berikut:
Perubahan dominansi jenis dalam tegakan pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik
penebangan yang berbeda menunjukkan pola perubahan yang berbeda.
1) Pergeseran dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae pada hutan setelah penebangan
dikarenakan perkembangan gap opportunist species
2) Tegakan hutan setelah penebangan maupun setelah pembebasan mempunyai nilai
keanekaragaman, kelimpahan jumlah jenis dan kekayaan jenis yang lebih rendah
dibandingkan kondisi hutan primer yang kemudian cenderung meningkat seiring waktu
pemulihan.
3) Pergeseran kemerataan sebaran jenis dalam tegakan hutan bekas tebangan menunjukkan
tingkat kemerataan yang relatif tetap tetapi dominansi jenis penyusun dalam tegakan
yang berubah.
4) Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai
kecenderungan yang mengelompok.
BAB 9FORMULASI PENILAIAN
PEMULIHAN TEGAKAN
BAB 9FORMULASI PENILAIAN
PEMULIHAN TEGAKAN
134
9 FORMULASI PENILAIAN P EMULIHAN TEGAKAN
9.1. Keragaan Karakteristik Biometrik (KKB)
Penilaian pemulihan tegakan hutan setelah penebangan dapat didekati dengan
penilaian keragaan karakteristik biometrik (KKB) tegakan hutan alam setelah penebangan.
Penilaian ini perlu mempertimbangkan variasi kondisi dan risalah tegakan. Penilaian
keragaan karakteristik biometrik tegakan atau hutan dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu (a)
dimensi statis tegakan Dipterocarpaceae yang mencakup: kerapatan tegakan, dominansi jenis,
keanekaragaman jenis tegakan, kekayaan atau kelimpahan, kemerataan, kesamaan dan pola
sebaran spasial jenis tegakan Dipterocarpaceae dan (b) dimensi dinamis tegakan Dipterocarpaceae
yang mencakup: model dinamis struktur tegakan Dipterocarpaceae berdasarkan variasi
intensitas penebangan dan teknik pembebasan, model kematian/mortality dan alih
tumbuh/ingrowth.
Karakteristik dimensi statis biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran pada variasi
kondisi hutan 23 tahun setelah penebangan telah mempunyai dimensi kuantitatif mendekati
kondisi hutan primer berdasarkan dimensi statis tegakan (kerapatan dan bidang dasar
tegakan). Akan tetapi, dari segi komposisi jenis masih didominasi oleh kelompok jenis non
Dipterocarpaceae terutama jenis-jenis pioner. Dimensi kuantitatif tegakan pada hutan bekas
tebangan 13 tahun setelah pembebasan baik secara sistematis maupun berbasis pohon
binaan belum memberikan peningkatan yang nyata pada kelompok jenis Dipterocarpaceae baik
berdasarkan kerapatan maupun bidang dasar tegakan. Pemulihan tegakan dan respon
tindakan pembebasan berdasarkan struktur harizontal tegakan untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae akan lebih lambat dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Kajian
ini menunjukkan bahwa model sebaran lognormal dapat digunakan untuk menerangkan
struktur tegakan kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea),
non Dipterocarpaceae dan semua jenis.
Pada berbagai kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang
berbeda, dimensi statis tegakan hutan Dipterocarpacaeae campuran menunjukkan pola
perubahan dominansi jenis. Pergeseran dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae pada
hutan setelah penebangan dikarenakan perkembangan gap opportunist species. Tegakan hutan
setelah penebangan maupun setelah pembebasan mempunyai nilai keanekaragaman,
kelimpahan jumlah jenis dan kekayaan jenis yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan
primer yang kemudian cenderung meningkat seiring waktu pemulihan. Pergeseran
kemerataan sebaran jenis dalam tegakan hutan bekas tebangan menunjukkan tingkat
kemerataan yang relatif tetap, akan tetapi dominansi jenis penyusun dalam tegakan yang
berubah. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae
mempunyai kecenderungan yang mengelompok.
134
9 FORMULASI PENILAIAN P EMULIHAN TEGAKAN
9.1. Keragaan Karakteristik Biometrik (KKB)
Penilaian pemulihan tegakan hutan setelah penebangan dapat didekati dengan
penilaian keragaan karakteristik biometrik (KKB) tegakan hutan alam setelah penebangan.
Penilaian ini perlu mempertimbangkan variasi kondisi dan risalah tegakan. Penilaian
keragaan karakteristik biometrik tegakan atau hutan dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu (a)
dimensi statis tegakan Dipterocarpaceae yang mencakup: kerapatan tegakan, dominansi jenis,
keanekaragaman jenis tegakan, kekayaan atau kelimpahan, kemerataan, kesamaan dan pola
sebaran spasial jenis tegakan Dipterocarpaceae dan (b) dimensi dinamis tegakan Dipterocarpaceae
yang mencakup: model dinamis struktur tegakan Dipterocarpaceae berdasarkan variasi
intensitas penebangan dan teknik pembebasan, model kematian/mortality dan alih
tumbuh/ingrowth.
Karakteristik dimensi statis biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran pada variasi
kondisi hutan 23 tahun setelah penebangan telah mempunyai dimensi kuantitatif mendekati
kondisi hutan primer berdasarkan dimensi statis tegakan (kerapatan dan bidang dasar
tegakan). Akan tetapi, dari segi komposisi jenis masih didominasi oleh kelompok jenis non
Dipterocarpaceae terutama jenis-jenis pioner. Dimensi kuantitatif tegakan pada hutan bekas
tebangan 13 tahun setelah pembebasan baik secara sistematis maupun berbasis pohon
binaan belum memberikan peningkatan yang nyata pada kelompok jenis Dipterocarpaceae baik
berdasarkan kerapatan maupun bidang dasar tegakan. Pemulihan tegakan dan respon
tindakan pembebasan berdasarkan struktur harizontal tegakan untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae akan lebih lambat dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Kajian
ini menunjukkan bahwa model sebaran lognormal dapat digunakan untuk menerangkan
struktur tegakan kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea),
non Dipterocarpaceae dan semua jenis.
Pada berbagai kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang
berbeda, dimensi statis tegakan hutan Dipterocarpacaeae campuran menunjukkan pola
perubahan dominansi jenis. Pergeseran dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae pada
hutan setelah penebangan dikarenakan perkembangan gap opportunist species. Tegakan hutan
setelah penebangan maupun setelah pembebasan mempunyai nilai keanekaragaman,
kelimpahan jumlah jenis dan kekayaan jenis yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan
primer yang kemudian cenderung meningkat seiring waktu pemulihan. Pergeseran
kemerataan sebaran jenis dalam tegakan hutan bekas tebangan menunjukkan tingkat
kemerataan yang relatif tetap, akan tetapi dominansi jenis penyusun dalam tegakan yang
berubah. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae
mempunyai kecenderungan yang mengelompok.
135
Berdasarkan dimensi dinamis, karakteristik biometrik tegakan hutan Dipterocarpaceae
campuran bekas tebangan pada beberapa kondisi hutan memiliki tingkat mortalitas yang
cenderung akan mulai mendekati kondisi hutan primer pada tahun ke-5 baik pada tegakan
setelah dengan teknik penebangan yang berbeda maupun dengan teknik pembebasan yang
berbeda. Tingkat ingrowth tegakan cenderung akan meningkat hingga tahun ke-9 setelah
penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan. Variasi kondisi berupa penerapan teknik
penebangan yang berbeda (RIL 50, RIL 60 dan konvensional) dan teknik pembebasan yang
berbeda (sistematik dan berbasis pohon binaan) tidak memberikan perbedaan yang nyata,
baik terhadap tingkat mortalitas maupun ingrowth tegakan baik untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae. Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth pada
hutan primer relatif rendah dibandingkan pada variasi kondisi hutan bekas tebangan. Jangka
waktu setelah penebangan mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan tingkat
mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, sedangkan jangka
waktu setelah pembebasan mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan ingrowth
kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Penerapan teknik penebangan (intensitas tebangan)
yang berbeda dan teknik pembebasan yang berbeda belum memberikan perbedaan yang
nyata terhadap peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae.
Ukuran dimensi dinamis tegakan hutan Dipterocarpaceae campuran menunjukkan riap
diameter individu yang lebih tinggi dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae dengan
kondisi pada hutan bekas tebangan dengan kontribusi terbesar dari kelompok jenis Shorea
spp. Tindakan atau perlakuan terhadap tegakan baik berupa penebangan maupun
pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae dengan respon yang
meningkat pada tahun ke-3 setelah perlakuan. Variasi kondisi hutan bekas tebangan dan
hutan primer mempunyai hubungan dengan nilai riap individu diameter periodik untuk
kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, tetapi tidak mempunyai perbedaan
yang nyata terhadap nilai riap bidang dasar tegakan periodik untuk kedua kelompok jenis
tersebut. Variasi intensitas logging dengan limit tebangan 50 cm dan 60 cm tidak
mempunyai perbedaan yang nyata dengan riap diameter individu dan riap bidang dasar
tegakan periodik untuk semua kelompok jenis dalam tegakan baik Dipterocarpaceae maupun
non Dipterocarpaceae). Variasi kondisi tegakan setelah pembebasan memperlihatkan adanya
perbedaan yang nyata terhadap nilai riap diameter periodik individu pohon dan riap bidang
dasar tegakan periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (termasuk Dipterocarpaceae non
Shorea dan Shorea spp.) tetapi tidak terhadap kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Teknik
pembebasan secara sistematis dalam tegakan akan direspon positif oleh kelompok jenis
Shorea spp berdasarkan nilai riap bidang dasar tegakan periodik dibandingkan kelompok
jenis lainnya. Adanya hubungan antara teknik pembukaan ruang tumbuh dengan respon
riap individu tegakan Dipterocarpaceae dan jangka waktu respon tegakan baik setelah
penebangan maupun setelah pembebasan merupakan faktor yang membentuk dimensi
dinamis tegakan.
135
Berdasarkan dimensi dinamis, karakteristik biometrik tegakan hutan Dipterocarpaceae
campuran bekas tebangan pada beberapa kondisi hutan memiliki tingkat mortalitas yang
cenderung akan mulai mendekati kondisi hutan primer pada tahun ke-5 baik pada tegakan
setelah dengan teknik penebangan yang berbeda maupun dengan teknik pembebasan yang
berbeda. Tingkat ingrowth tegakan cenderung akan meningkat hingga tahun ke-9 setelah
penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan. Variasi kondisi berupa penerapan teknik
penebangan yang berbeda (RIL 50, RIL 60 dan konvensional) dan teknik pembebasan yang
berbeda (sistematik dan berbasis pohon binaan) tidak memberikan perbedaan yang nyata,
baik terhadap tingkat mortalitas maupun ingrowth tegakan baik untuk kelompok jenis
Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae. Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth pada
hutan primer relatif rendah dibandingkan pada variasi kondisi hutan bekas tebangan. Jangka
waktu setelah penebangan mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan tingkat
mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, sedangkan jangka
waktu setelah pembebasan mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan ingrowth
kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Penerapan teknik penebangan (intensitas tebangan)
yang berbeda dan teknik pembebasan yang berbeda belum memberikan perbedaan yang
nyata terhadap peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae.
Ukuran dimensi dinamis tegakan hutan Dipterocarpaceae campuran menunjukkan riap
diameter individu yang lebih tinggi dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae dengan
kondisi pada hutan bekas tebangan dengan kontribusi terbesar dari kelompok jenis Shorea
spp. Tindakan atau perlakuan terhadap tegakan baik berupa penebangan maupun
pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae dengan respon yang
meningkat pada tahun ke-3 setelah perlakuan. Variasi kondisi hutan bekas tebangan dan
hutan primer mempunyai hubungan dengan nilai riap individu diameter periodik untuk
kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, tetapi tidak mempunyai perbedaan
yang nyata terhadap nilai riap bidang dasar tegakan periodik untuk kedua kelompok jenis
tersebut. Variasi intensitas logging dengan limit tebangan 50 cm dan 60 cm tidak
mempunyai perbedaan yang nyata dengan riap diameter individu dan riap bidang dasar
tegakan periodik untuk semua kelompok jenis dalam tegakan baik Dipterocarpaceae maupun
non Dipterocarpaceae). Variasi kondisi tegakan setelah pembebasan memperlihatkan adanya
perbedaan yang nyata terhadap nilai riap diameter periodik individu pohon dan riap bidang
dasar tegakan periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (termasuk Dipterocarpaceae non
Shorea dan Shorea spp.) tetapi tidak terhadap kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Teknik
pembebasan secara sistematis dalam tegakan akan direspon positif oleh kelompok jenis
Shorea spp berdasarkan nilai riap bidang dasar tegakan periodik dibandingkan kelompok
jenis lainnya. Adanya hubungan antara teknik pembukaan ruang tumbuh dengan respon
riap individu tegakan Dipterocarpaceae dan jangka waktu respon tegakan baik setelah
penebangan maupun setelah pembebasan merupakan faktor yang membentuk dimensi
dinamis tegakan.
136
Perbedaan respon riap bidang dasar periodik pada masing-masing kelompok jenis
berdasarkan variasi kondisi site (tempat tumbuh) memiliki keeratan dalam hubungannya
dengan dimensi tegakan dan pertumbuhan ditentukan oleh interaksi faktor potensi
keturunan pohon (genetik), faktor lingkungan yang meliputi iklim (suhu, cahaya, angin,
hujan) dan tanah dan teknik silvikultur yang diberikan (Kramer dan Kozlowski 1960; Husch
et al. 1982; Oliver dan Larson 1996; Suhendang 1990; Husch et al. 2003). Adam dan Kolbs
(2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan jenis yang sama pada lokasi yang
sama, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan meliputi kekeringan, temperature,
kelerengan dan komposisi jenis. Adanya hubungan yang signifikan antara pertumbuhan
individu pohon dan ruang tumbuh juga menjelaskan bentuk pertumbuhan pada berbagai
status dalam tegakan (Gersonde dan O’Hara 2005). Penilaian secara kuantitatif individu
pohon dan tegakan hutan dengan variasi kondisi tegakan hutan setelah penebangan (teknik
penebangan dan teknik pembebasan yang berbeda) menunjukkan respon yang berbeda
terhadap kelompok jenis. Pendekatan pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang
berbeda dapat dilakukan untuk melihat variasi pengaruh atau respon kelompok jenis
terhadap variasi kondisi tegakan hutan setelah penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al.
2004). Dengan meninjau karakteristik kelompok jenis penyusun tegakan merupakan hal
penting dalam mempelajari pertumbuhan jenis pohon berdasarkan ekologi dan
pembentukan kualitas pohon (Carvalho et al. 2004).
9.2. Formulasi Penilaian Pemulihan
Analisis variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan
Dipterocarpaceae menggunakan pendekatan Analisis Komponen Utama (Principal Component
Analysis/PCA). Pendekatan ini digunakan untuk mengubah gugus peubah (dimensi data
kuantitatif) menjadi suatu gugus peubah yang lebih kecil (komponen utamanya saja) namun
tetap mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang terkandung pada data asal
(Timm 2002; Soemartini 2008; Mattjik dan Sumertajaya 2011). Principal Component Analysis
digunakan untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif dimensi tegakan
baik yang bersifat statis maupun dinamis.
Hasil analisis komponen utama pada hutan bekas tebangan menunjukkan bahwa
penilaian karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran disusun berdasarkan 10
variabel yang meliputi: kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap bidang dasar (rBd),
jumlah jenis (J), indeks keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis (N1), indeks
kekayaan (R1), indeks kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan ingrowth (I). Secara
bertahap dilakukan analisis komponen utama keragaan karakteristik biometrik pada kondisi
tegakan hutan bekas tebangan 5 tahun (KKB HBT5), 7 tahun (KKB HBT7), 9 tahun (KKB
HBT9), 11 tahun (KKB HBT11), 15 tahun (KKB HBT15), 17 tahun (KKB HBT17) dan 23
tahun (KKB HBT23). Tidak ada batasan jelas untuk batas minimal persentase kumulatif
136
Perbedaan respon riap bidang dasar periodik pada masing-masing kelompok jenis
berdasarkan variasi kondisi site (tempat tumbuh) memiliki keeratan dalam hubungannya
dengan dimensi tegakan dan pertumbuhan ditentukan oleh interaksi faktor potensi
keturunan pohon (genetik), faktor lingkungan yang meliputi iklim (suhu, cahaya, angin,
hujan) dan tanah dan teknik silvikultur yang diberikan (Kramer dan Kozlowski 1960; Husch
et al. 1982; Oliver dan Larson 1996; Suhendang 1990; Husch et al. 2003). Adam dan Kolbs
(2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan jenis yang sama pada lokasi yang
sama, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan meliputi kekeringan, temperature,
kelerengan dan komposisi jenis. Adanya hubungan yang signifikan antara pertumbuhan
individu pohon dan ruang tumbuh juga menjelaskan bentuk pertumbuhan pada berbagai
status dalam tegakan (Gersonde dan O’Hara 2005). Penilaian secara kuantitatif individu
pohon dan tegakan hutan dengan variasi kondisi tegakan hutan setelah penebangan (teknik
penebangan dan teknik pembebasan yang berbeda) menunjukkan respon yang berbeda
terhadap kelompok jenis. Pendekatan pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang
berbeda dapat dilakukan untuk melihat variasi pengaruh atau respon kelompok jenis
terhadap variasi kondisi tegakan hutan setelah penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al.
2004). Dengan meninjau karakteristik kelompok jenis penyusun tegakan merupakan hal
penting dalam mempelajari pertumbuhan jenis pohon berdasarkan ekologi dan
pembentukan kualitas pohon (Carvalho et al. 2004).
9.2. Formulasi Penilaian Pemulihan
Analisis variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan
Dipterocarpaceae menggunakan pendekatan Analisis Komponen Utama (Principal Component
Analysis/PCA). Pendekatan ini digunakan untuk mengubah gugus peubah (dimensi data
kuantitatif) menjadi suatu gugus peubah yang lebih kecil (komponen utamanya saja) namun
tetap mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang terkandung pada data asal
(Timm 2002; Soemartini 2008; Mattjik dan Sumertajaya 2011). Principal Component Analysis
digunakan untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif dimensi tegakan
baik yang bersifat statis maupun dinamis.
Hasil analisis komponen utama pada hutan bekas tebangan menunjukkan bahwa
penilaian karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran disusun berdasarkan 10
variabel yang meliputi: kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap bidang dasar (rBd),
jumlah jenis (J), indeks keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis (N1), indeks
kekayaan (R1), indeks kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan ingrowth (I). Secara
bertahap dilakukan analisis komponen utama keragaan karakteristik biometrik pada kondisi
tegakan hutan bekas tebangan 5 tahun (KKB HBT5), 7 tahun (KKB HBT7), 9 tahun (KKB
HBT9), 11 tahun (KKB HBT11), 15 tahun (KKB HBT15), 17 tahun (KKB HBT17) dan 23
tahun (KKB HBT23). Tidak ada batasan jelas untuk batas minimal persentase kumulatif
137
proporsi keragaman yang mampu dijelaskan (Mattjik dan Sumertajaya 2011), tetapi dalam
penelitian ini menggunakan kumulatif proporsi keragaman total yang dapat dijelaskan >80%
dan nilai eigenvalue >1. Berdasarkan kriteria tersebut pada HBT5 dan HBT7 terpilih 2
komponen utama (principal component/PC), sedangkan pada HBT9, HBT11, HBT15 dan
HBT17 terpilih 3 PC. Penilaian konsistensi variabel penyusun pada masing-masing
komponen utama/principal component (PC) untuk keragaan karakteristik biometrik hutan
Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan disajikan pada Tabel 40.
Tabel 40. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan
Analisis Komponen
Utama Variabel penyusun Konsisten
2 PC PC1 Bidang dasar, kerapatan, riap bidang dasar,
jumlah jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth HBT5, HBT7
PC2 indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, jumlah jenis, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis.
HBT5, HBT7
3 PC PC1 Indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman,
tingkat kelimpahan, jumlah jenis dan kerapatan HBT9, HBT11, HBT15, HBT17, HBT23
PC2 Kerapatan, bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth
HBT9, HBT11, HBT15, HBT17, HBT23
PC3 Kerapatan, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis dan tingkat mortalitas
HBT11, HBT15, HBT17, HBT23
Penilaian konsistensi penyusun komponen utama dilakukan pada HBT9, HBT11,
HBT15, HBT17 dan HBT23 menunjukkan bahwa untuk PC1 dan PC2 akan konsisten sejak
HBT9 sedangkan PC3 konsisten sejak HBT11. Penilaian komponen matrik pada PC1
menunjukkan peubah penting penyusun yang konsisten yang meliputi: indeks kekayaan
jenis, indeks keanekaragaman, tingkat kelimpahan, jumlah jenis dan kerapatan. Peubah ini
lebih menunjukkan atau mendekati pada penilaian ekologis hutan sehingga dikategorikan
sebagai indeks ekologi (ecological index). Pada PC2 menunjukkan peubah penting penyusun
meliputi: kerapatan, bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis, tingkat
mortalitas dan ingrowth, yang lebih memberikan penilaian pada tingkat pemulihan tegakan
sehingga dikategorikan sebagai recovery index. Pada PC3 menunjukkan peubah penting
penyusun meliputi: kerapatan, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis dan tingkat
mortalitas, yang menunjukkan dimensi dinamis tegakan hutan sehingga komponen utama
ini dikategorikan sebagai indeks dinamis (dynamic index).
137
proporsi keragaman yang mampu dijelaskan (Mattjik dan Sumertajaya 2011), tetapi dalam
penelitian ini menggunakan kumulatif proporsi keragaman total yang dapat dijelaskan >80%
dan nilai eigenvalue >1. Berdasarkan kriteria tersebut pada HBT5 dan HBT7 terpilih 2
komponen utama (principal component/PC), sedangkan pada HBT9, HBT11, HBT15 dan
HBT17 terpilih 3 PC. Penilaian konsistensi variabel penyusun pada masing-masing
komponen utama/principal component (PC) untuk keragaan karakteristik biometrik hutan
Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan disajikan pada Tabel 40.
Tabel 40. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan
Analisis Komponen
Utama Variabel penyusun Konsisten
2 PC PC1 Bidang dasar, kerapatan, riap bidang dasar,
jumlah jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth HBT5, HBT7
PC2 indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, jumlah jenis, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis.
HBT5, HBT7
3 PC PC1 Indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman,
tingkat kelimpahan, jumlah jenis dan kerapatan HBT9, HBT11, HBT15, HBT17, HBT23
PC2 Kerapatan, bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth
HBT9, HBT11, HBT15, HBT17, HBT23
PC3 Kerapatan, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis dan tingkat mortalitas
HBT11, HBT15, HBT17, HBT23
Penilaian konsistensi penyusun komponen utama dilakukan pada HBT9, HBT11,
HBT15, HBT17 dan HBT23 menunjukkan bahwa untuk PC1 dan PC2 akan konsisten sejak
HBT9 sedangkan PC3 konsisten sejak HBT11. Penilaian komponen matrik pada PC1
menunjukkan peubah penting penyusun yang konsisten yang meliputi: indeks kekayaan
jenis, indeks keanekaragaman, tingkat kelimpahan, jumlah jenis dan kerapatan. Peubah ini
lebih menunjukkan atau mendekati pada penilaian ekologis hutan sehingga dikategorikan
sebagai indeks ekologi (ecological index). Pada PC2 menunjukkan peubah penting penyusun
meliputi: kerapatan, bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis, tingkat
mortalitas dan ingrowth, yang lebih memberikan penilaian pada tingkat pemulihan tegakan
sehingga dikategorikan sebagai recovery index. Pada PC3 menunjukkan peubah penting
penyusun meliputi: kerapatan, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis dan tingkat
mortalitas, yang menunjukkan dimensi dinamis tegakan hutan sehingga komponen utama
ini dikategorikan sebagai indeks dinamis (dynamic index).
138
Untuk menentukan faktor-faktor utama yang paling mempengaruhi variabel
dependen dari variabel dimensi statis dan dinamis pembentuk keragaan karakteristik
biometrik dilakukan dengan analisis faktor. Hasil analisis faktor pada hutan bekas tebangan
pada HBT9, HBT11, HBT15, HBT17 dan HBT23 menunjukkan hasil uji Bartlett’s Test of
Sphericity dengan nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin) >0.5 (Timm 2002; Mattjik dan
Sumertajaya 2011). Hal ini menyatakan bahwa variabel penyusun analisis mempunyai
korelasi yang signifikan dalam keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan Dipterocarpaceae
campuran meliputi bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis
yang disusun dengan bentuk persamaan berikut:
KKB HBT9 = 0.73 Bd + 0.79 rBd + 0.77 E + 0.79 N1
KKB HBT11 = 0.77 Bd + 0.74 rBd + 0.83 E + 0.80 N1
KKB HBT15 = 0.76 Bd + 0.65 rBd + 0.84 E + 0.80 N1
KKB HBT17 = 0.72 Bd + 0.70 rBd + 0.84 E + 0.81 N1
KKB HBT23 = 0.71 Bd + 0.70 rBd + 0.83 E + 0.80 N1
Berdasarkan kecenderungan koefisien penyusun pada hutan bekas tebangan dan
penilaian konsistensi variabel penyusun analisis komponen utama maka penilaian KKB
dapat dilakukan sejak HBT11 atau untuk penilaian praktis di lapangan dapat dilakukan pada
tahun ke-10 setelah penebangan. Secara grafis penilaian KKB HBT yang mendekati pada
kondisi hutan primer disajikan pada Gambar 58. Ukuran KKB tegakan hutan setelah
penebangan pada kisaran nilai yang diarsir mengindikasikan kondisi yang mendekati kearah
kondisi tegakan hutan primer.
Keterangan: BB = batas bawah; BA= batas bawah
KKB = keragaan karakteristik biometrik; HBT = hutan bekas tebangan Gambar 58. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah penebangan
70
80
90
100
HBT9 HBT11 HBT15 HBT17 HBT23
KK
B
Jangka waktu (tahun)
BB
BA
138
Untuk menentukan faktor-faktor utama yang paling mempengaruhi variabel
dependen dari variabel dimensi statis dan dinamis pembentuk keragaan karakteristik
biometrik dilakukan dengan analisis faktor. Hasil analisis faktor pada hutan bekas tebangan
pada HBT9, HBT11, HBT15, HBT17 dan HBT23 menunjukkan hasil uji Bartlett’s Test of
Sphericity dengan nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin) >0.5 (Timm 2002; Mattjik dan
Sumertajaya 2011). Hal ini menyatakan bahwa variabel penyusun analisis mempunyai
korelasi yang signifikan dalam keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan Dipterocarpaceae
campuran meliputi bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis
yang disusun dengan bentuk persamaan berikut:
KKB HBT9 = 0.73 Bd + 0.79 rBd + 0.77 E + 0.79 N1
KKB HBT11 = 0.77 Bd + 0.74 rBd + 0.83 E + 0.80 N1
KKB HBT15 = 0.76 Bd + 0.65 rBd + 0.84 E + 0.80 N1
KKB HBT17 = 0.72 Bd + 0.70 rBd + 0.84 E + 0.81 N1
KKB HBT23 = 0.71 Bd + 0.70 rBd + 0.83 E + 0.80 N1
Berdasarkan kecenderungan koefisien penyusun pada hutan bekas tebangan dan
penilaian konsistensi variabel penyusun analisis komponen utama maka penilaian KKB
dapat dilakukan sejak HBT11 atau untuk penilaian praktis di lapangan dapat dilakukan pada
tahun ke-10 setelah penebangan. Secara grafis penilaian KKB HBT yang mendekati pada
kondisi hutan primer disajikan pada Gambar 58. Ukuran KKB tegakan hutan setelah
penebangan pada kisaran nilai yang diarsir mengindikasikan kondisi yang mendekati kearah
kondisi tegakan hutan primer.
Keterangan: BB = batas bawah; BA= batas bawah
KKB = keragaan karakteristik biometrik; HBT = hutan bekas tebangan Gambar 58. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah penebangan
70
80
90
100
HBT9 HBT11 HBT15 HBT17 HBT23
KK
B
Jangka waktu (tahun)
BB
BA
139
Hasil analisis komponen utama pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan
menunjukkan bahwa penilaian karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran
disusun berdasarkan 10 variabel yang meliputi: kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap
bidang dasar (rBd), jumlah jenis (J), indeks keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis
(N1), indeks kekayaan (R1), indeks kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan ingrowth (I).
Secara bertahap dilakukan analisis komponen utama keragaan karakteristik biometrik pada
kondisi tegakan setelah pembebasan 5 tahun (KKB HSP5), 7 tahun (KKB HSP7), 9 tahun
(KKB HSP9), 11 tahun (KKB HSP11), 13 tahun (KKB HSP13), 15 tahun (KKB HSP15)
dan 23 tahun (KKB HSP23). Berdasarkan kumulatif proporsi keragaman total yang dapat
dijelaskan >80% dan nilai eigenvalue >1 pada semua jangka waktu setelah pembebasan
terpilih 3 PC. Penilaian konsistensi variabel penyusun pada masing-masing komponen
utama/principal component (PC) untuk keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae
campuran setelah pembebasan disajikan pada Tabel 41.
Tabel 41. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan
Dipterocarpaceae campuran setelah pembebasan
Analisis Komponen
Utama Variabel penyusun Konsisten
PC1 Indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman,
tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks
kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth
HSP7, HSP9,
HSP11, HSP13,
HSP15, HSP23
PC2 Kerapatan dan indeks kemerataan jenis HSP9, HSP11,
HSP13, HSP15,
HSP23
PC3 Riap bidang dasar HSP7, HSP9,
HSP11, HSP13,
HSP15, HSP23
Penilaian konsistensi penyusun komponen utama pada HSP menunjukkan bahwa
pada PC1 dan PC3 akan konsisten sejak HSP7 sedangkan PC2 konsisten sejak HSP9.
Penilaian komponen matrik pada PC1 menunjukkan variabel penting penyusun yang
konsisten yang meliputi: indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman, tingkat kelimpahan,
jumlah jenis, indeks kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth. Variable ini lebih
menunjukkan atau mendekati pada penilaian ekologis hutan sehingga dikategorikan sebagai
indeks ekologi (ecological index). Pada PC2 menunjukkan variabel penting penyusun meliputi:
kerapatan dan indeks kemerataan jenis yang lebih memberikan penilaian pada tingkat
pemulihan tegakan sehingga dikategorikan sebagai recovery index. Pada PC3 menunjukkan
variabel penting penyusun adalah riap bidang dasar, yang menunjukkan dimensi dinamis
tegakan hutan sehingga komponen utama ini dikategorikan sebagai indeks dinamis (dynamic
index). Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik tegakan hutan Dipterocarpacaeae campuran
139
Hasil analisis komponen utama pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan
menunjukkan bahwa penilaian karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran
disusun berdasarkan 10 variabel yang meliputi: kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap
bidang dasar (rBd), jumlah jenis (J), indeks keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis
(N1), indeks kekayaan (R1), indeks kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan ingrowth (I).
Secara bertahap dilakukan analisis komponen utama keragaan karakteristik biometrik pada
kondisi tegakan setelah pembebasan 5 tahun (KKB HSP5), 7 tahun (KKB HSP7), 9 tahun
(KKB HSP9), 11 tahun (KKB HSP11), 13 tahun (KKB HSP13), 15 tahun (KKB HSP15)
dan 23 tahun (KKB HSP23). Berdasarkan kumulatif proporsi keragaman total yang dapat
dijelaskan >80% dan nilai eigenvalue >1 pada semua jangka waktu setelah pembebasan
terpilih 3 PC. Penilaian konsistensi variabel penyusun pada masing-masing komponen
utama/principal component (PC) untuk keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae
campuran setelah pembebasan disajikan pada Tabel 41.
Tabel 41. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan
Dipterocarpaceae campuran setelah pembebasan
Analisis Komponen
Utama Variabel penyusun Konsisten
PC1 Indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman,
tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks
kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth
HSP7, HSP9,
HSP11, HSP13,
HSP15, HSP23
PC2 Kerapatan dan indeks kemerataan jenis HSP9, HSP11,
HSP13, HSP15,
HSP23
PC3 Riap bidang dasar HSP7, HSP9,
HSP11, HSP13,
HSP15, HSP23
Penilaian konsistensi penyusun komponen utama pada HSP menunjukkan bahwa
pada PC1 dan PC3 akan konsisten sejak HSP7 sedangkan PC2 konsisten sejak HSP9.
Penilaian komponen matrik pada PC1 menunjukkan variabel penting penyusun yang
konsisten yang meliputi: indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman, tingkat kelimpahan,
jumlah jenis, indeks kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth. Variable ini lebih
menunjukkan atau mendekati pada penilaian ekologis hutan sehingga dikategorikan sebagai
indeks ekologi (ecological index). Pada PC2 menunjukkan variabel penting penyusun meliputi:
kerapatan dan indeks kemerataan jenis yang lebih memberikan penilaian pada tingkat
pemulihan tegakan sehingga dikategorikan sebagai recovery index. Pada PC3 menunjukkan
variabel penting penyusun adalah riap bidang dasar, yang menunjukkan dimensi dinamis
tegakan hutan sehingga komponen utama ini dikategorikan sebagai indeks dinamis (dynamic
index). Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik tegakan hutan Dipterocarpacaeae campuran
140
pada hutan bekas tebangan dan hutan setelah pembebasan akan mempunyai penyusun
variable penting yang berbeda.
Hasil analisis faktor pada hutan bekas tebangan pada HSP7, HSP9, HSP11, HSP13,
HSP15 dan HSP23 menunjukkan hasil uji Bartlett’s Test of Sphericity dengan nilai KMO
(Kaiser Meyer Olkin) >0.5. Hal ini menyatakan bahwa variabel penyusun analisis
mempunyai korelasi yang signifikan dalam keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan
Dipterocarpaceae campuran meliputi: indeks keanekaragaman, kelimpahan jenis, tingkat
mortalitas dan ingrowth yang disusun dengan bentuk persamaan berikut:
KKB HSP7 = 0.72 H’ + 0.83 N1 + 0.72 M + 0.63 I
KKB HSP9 = 0.83 H’ + 0.78 N1 + 0.84 M + 0.76 I
KKB HSP11 = 0.83 H’ + 0.80 N1 + 0.80 M + 0.69 I
KKB HSP13 = 0.83 H’ + 0.90 N1 + 0.79 M + 0.71 I
KKB HSP15 = 0.83 H’ + 0.90 N1 + 0.80 M + 0.70 I
KKB HSP23 = 0.82 H’ + 0.89 N1 + 0.80 M + 0.71 I
Berdasarkan kecenderungan koefisien penyusun pada hutan bekas tebangan setelah
pembebasan menunjukkan penilaian KKB dapat dilakukan sejak tahun ke-9 setelah
pembebasan (HSP9). Secara grafis penilaian KKB HSP yang mendekati pada kondisi hutan
primer disajikan pada Gambar 59. Ukuran KKB tegakan hutan setelah pembebasan pada
kisaran nilai yang diarsir mengindikasikan kondisi yang mendekati kearah kondisi tegakan
hutan primer.
Keterangan: BB = batas bawah; BA = batas bawah
KKB = keragaan karakteristik biometrik; HSP = hutan setelah pembebasan
Gambar 59. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan
70
80
90
100
110
120
HSP7 HSP9 HSP11 HSP13 HSP15 HSP23
KK
B
Jangka waktu (tahun)
BB
BA
140
pada hutan bekas tebangan dan hutan setelah pembebasan akan mempunyai penyusun
variable penting yang berbeda.
Hasil analisis faktor pada hutan bekas tebangan pada HSP7, HSP9, HSP11, HSP13,
HSP15 dan HSP23 menunjukkan hasil uji Bartlett’s Test of Sphericity dengan nilai KMO
(Kaiser Meyer Olkin) >0.5. Hal ini menyatakan bahwa variabel penyusun analisis
mempunyai korelasi yang signifikan dalam keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan
Dipterocarpaceae campuran meliputi: indeks keanekaragaman, kelimpahan jenis, tingkat
mortalitas dan ingrowth yang disusun dengan bentuk persamaan berikut:
KKB HSP7 = 0.72 H’ + 0.83 N1 + 0.72 M + 0.63 I
KKB HSP9 = 0.83 H’ + 0.78 N1 + 0.84 M + 0.76 I
KKB HSP11 = 0.83 H’ + 0.80 N1 + 0.80 M + 0.69 I
KKB HSP13 = 0.83 H’ + 0.90 N1 + 0.79 M + 0.71 I
KKB HSP15 = 0.83 H’ + 0.90 N1 + 0.80 M + 0.70 I
KKB HSP23 = 0.82 H’ + 0.89 N1 + 0.80 M + 0.71 I
Berdasarkan kecenderungan koefisien penyusun pada hutan bekas tebangan setelah
pembebasan menunjukkan penilaian KKB dapat dilakukan sejak tahun ke-9 setelah
pembebasan (HSP9). Secara grafis penilaian KKB HSP yang mendekati pada kondisi hutan
primer disajikan pada Gambar 59. Ukuran KKB tegakan hutan setelah pembebasan pada
kisaran nilai yang diarsir mengindikasikan kondisi yang mendekati kearah kondisi tegakan
hutan primer.
Keterangan: BB = batas bawah; BA = batas bawah
KKB = keragaan karakteristik biometrik; HSP = hutan setelah pembebasan
Gambar 59. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan
70
80
90
100
110
120
HSP7 HSP9 HSP11 HSP13 HSP15 HSP23
KK
B
Jangka waktu (tahun)
BB
BA
141
Hasil analisis faktor pada hutan primer menunjukkan rumusan berikut :
KKB HP = 0.624K + 0.926Bd + 0.724J + 0.807H’ + 0.665R1 + 0.838 N1 + 0.635M.
Pada kondisi hutan primer mempunyai struktur yang lebih kompleks dibandingkan pada
hutan bekas tebangan maupun hutan setelah pembebasan. Respon yang berbeda dari jenis
atau kelompok jenis merupakan salah satu tinjauan karakteristik penilaian kuantitatif
dimensi tegakan yang penting untuk pertimbangan variasi keragaman jenis penyusun
tegakan (Phillips et al. 2002; Valle et al. 2006). Penilaian dimensi kuantitatif dalam jangka
panjang juga bermanfaat dalam evaluasi teknik silvikultur yang diberikan dan sebagai
updating dalam kegiatan inventarisasi hutan (Garcia 2001). Ukuran akhir dalam keragaan
karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan penilaian tingkat
kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer yang mendukung
pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi hutan alam yang
pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).
9.3. Komponen Utama Penilaian Pemulihan
Penilaian pemulihan hutan alam setelah penebangan berdasarkan hasil analisis
komponen utama yang disusun berdasarkan 10 variabel dimensi kuantitatif meliputi:
kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap bidang dasar (rBd), jumlah jenis (J), indeks
keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis (N1), indeks kekayaan (R1), indeks
kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan tingkat alih tumbuh atau ingrowth (I). Analisis
variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae
menggunakan pendekatan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA).
Pendekatan ini digunakan untuk mengubah gugus peubah (dimensi data kuantitatif) menjadi
suatu gugus peubah yang lebih kecil (komponen utamanya saja) namun tetap mampu
mempertahankan sebagian besar informasi yang terkandung pada data asal (Timm 2002;
Soemartini 2008; Mattjik dan Sumertajaya 2011). Principal Component Analysis digunakan
untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif dimensi tegakan baik yang
bersifat statis maupun dinamis. Analisis biplot membantu sebaran variable penting sebagai
penyusun dalam komponen utama keragaan karakteristik biometrik tegakan hutan (Gambar
60).
Rumusan KKB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat pemulihan struktur
tegakan setelah mendapat gangguan (penebangan) menuju ke arah kondisi asal. Ukuran
akhir dalam keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan
penilaian tingkat kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer
141
Hasil analisis faktor pada hutan primer menunjukkan rumusan berikut :
KKB HP = 0.624K + 0.926Bd + 0.724J + 0.807H’ + 0.665R1 + 0.838 N1 + 0.635M.
Pada kondisi hutan primer mempunyai struktur yang lebih kompleks dibandingkan pada
hutan bekas tebangan maupun hutan setelah pembebasan. Respon yang berbeda dari jenis
atau kelompok jenis merupakan salah satu tinjauan karakteristik penilaian kuantitatif
dimensi tegakan yang penting untuk pertimbangan variasi keragaman jenis penyusun
tegakan (Phillips et al. 2002; Valle et al. 2006). Penilaian dimensi kuantitatif dalam jangka
panjang juga bermanfaat dalam evaluasi teknik silvikultur yang diberikan dan sebagai
updating dalam kegiatan inventarisasi hutan (Garcia 2001). Ukuran akhir dalam keragaan
karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan penilaian tingkat
kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer yang mendukung
pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi hutan alam yang
pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).
9.3. Komponen Utama Penilaian Pemulihan
Penilaian pemulihan hutan alam setelah penebangan berdasarkan hasil analisis
komponen utama yang disusun berdasarkan 10 variabel dimensi kuantitatif meliputi:
kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap bidang dasar (rBd), jumlah jenis (J), indeks
keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis (N1), indeks kekayaan (R1), indeks
kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan tingkat alih tumbuh atau ingrowth (I). Analisis
variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae
menggunakan pendekatan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA).
Pendekatan ini digunakan untuk mengubah gugus peubah (dimensi data kuantitatif) menjadi
suatu gugus peubah yang lebih kecil (komponen utamanya saja) namun tetap mampu
mempertahankan sebagian besar informasi yang terkandung pada data asal (Timm 2002;
Soemartini 2008; Mattjik dan Sumertajaya 2011). Principal Component Analysis digunakan
untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif dimensi tegakan baik yang
bersifat statis maupun dinamis. Analisis biplot membantu sebaran variable penting sebagai
penyusun dalam komponen utama keragaan karakteristik biometrik tegakan hutan (Gambar
60).
Rumusan KKB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat pemulihan struktur
tegakan setelah mendapat gangguan (penebangan) menuju ke arah kondisi asal. Ukuran
akhir dalam keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan
penilaian tingkat kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer
142
yang mendukung pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi
hutan alam yang pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).
Gambar 60. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan
Sistem tebang pilih yang diterapkan masih memberikan pertimbangan yang minimal
terhadap aspek ekologi terutama dalam perkembangan regenerasi setelah penebangan (Sist
et al. 2003). Pengaruh tebang pilih pada tegakan hutan terhadap keanekaragaman jenis
tegakan akan bervariasi pada setiap tempat tumbuh (Sodhi et al. 2010). Pada beberapa studi
menunjukkan bahwa pengaruh penebangan secara selektif tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap keanekaragaman jenis pada hutan 18-20 tahun setelah penebangan
(Verburg dan van Eijk-Bos 2003 dalam Sodhi et al. 2010). Jika dibandingkan dengan
kondisi hutan primer, maka hutan bekas tebangan 41 tahun mempunyai tingkat
keanekaragaman jenis yang lebih rendah (Okuda et al. 2003 dalam Sodhi et al. 2010).
Pertimbangan dimensi biodiversitas terutama pada areal-areal hutan produksi menjadi
penting untuk pengelolaan populasi tegakan Dipterocarpaceae di hutan-hutan bekas tebangan
dengan tujuan kelestarian hasil dan konservasi jenis
5.02.50.0-2.5-5.0
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
PC 1
PC
2
I
M
N1
E
R1
H
J
rBD
BD
K
Biplot KKB HBT
142
yang mendukung pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi
hutan alam yang pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).
Gambar 60. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan
Sistem tebang pilih yang diterapkan masih memberikan pertimbangan yang minimal
terhadap aspek ekologi terutama dalam perkembangan regenerasi setelah penebangan (Sist
et al. 2003). Pengaruh tebang pilih pada tegakan hutan terhadap keanekaragaman jenis
tegakan akan bervariasi pada setiap tempat tumbuh (Sodhi et al. 2010). Pada beberapa studi
menunjukkan bahwa pengaruh penebangan secara selektif tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap keanekaragaman jenis pada hutan 18-20 tahun setelah penebangan
(Verburg dan van Eijk-Bos 2003 dalam Sodhi et al. 2010). Jika dibandingkan dengan
kondisi hutan primer, maka hutan bekas tebangan 41 tahun mempunyai tingkat
keanekaragaman jenis yang lebih rendah (Okuda et al. 2003 dalam Sodhi et al. 2010).
Pertimbangan dimensi biodiversitas terutama pada areal-areal hutan produksi menjadi
penting untuk pengelolaan populasi tegakan Dipterocarpaceae di hutan-hutan bekas tebangan
dengan tujuan kelestarian hasil dan konservasi jenis
5.02.50.0-2.5-5.0
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
PC 1
PC
2
I
M
N1
E
R1
H
J
rBD
BD
K
Biplot KKB HBT
BAB 10
PENUTUP
BAB 10
PENUTUP
143
10 PENUTUP
Pendekatan penilaian keragaan karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah
penebangan dapat dilakukan dengan pendekatan tiga komponen utama yaitu (1) indeks
ekologi (ecological index) yang meliputi variabel: indeks keanekaragaman, indeks kekayaan
jenis, tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks kemerataan, bidang dasar dan riap bidang
dasar; (2) indeks pemulihan tegakan (recovery index) meliputi variabel: kerapatan, bidang dasar
dan tingkat ingrowth dan (3) indeks dinamis (dynamic index) meliputi variabel: riap bidang
dasar dan tingkat mortalitas.
Pendekatan penilaian arah perkembangan tegakan hutan setelah pembebasan dapat
menggunakan tiga komponen utama yang meliputi : (1) indeks ekologi (ecological index):
indeks keanekaragaman, indeks kekayaan jenis, tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks
kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth; (2) indeks pemulihan tegakan (recovery index)
meliputi variabel: kerapatan dan indeks kemerataan jenis dan (3) indeks dinamis (dynamic
index) dengan variabel riap bidang dasar.
Rumusan peubah penting penyusun keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan
alam setelah penebangan pada tegakan hutan bekas tebangan (HBT) meliputi: bidang dasar,
riap bidang dasar, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis, sedangkan tegakan hutan
setelah pembebasan (HSP) mempunyai peubah penting meliputi: indeks keanekaragaman,
kelimpahan jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth. Penilaian efektif arah pemulihan tegakan
hutan adalah pada umur 11 tahun setelah penebangan dan 9 tahun setelah perlakuan
pembebasan. Rumusan KKB hutan Dipterocarpaceae campuran disusun dengan bentuk
persamaan berikut:
KKB HBT = 0.77 Bd + 0.74 rBd + 0.83 E + 0.80 N1
KKB HSP = 0.83 H’ + 0.78 N1 + 0.84 M + 0.76 I
Rumusan KKB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat pemulihan struktur
tegakan setelah mendapat gangguan (penebangan) menuju ke arah kondisi asal. Ukuran
akhir dalam keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan
penilaian tingkat kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer
yang mendukung pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi
hutan alam yang pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).
Tinjauan ini menunjukkan adanya variable penting yang berbeda yang menjadi
komponen penilai dalam pemulihan tegakan hutan. Sehingga berdasarkan hasil yang
diperoleh dalam penelitian ini, hal yang disarankan adalah penyusunan perencanaan yang
lebih efektif perlu meninjau karakteristik biometrik tegakan hutan berdasarkan variasi
kondisi dengan evaluasi respon yang beragam dari kelompok jenis yang berbeda.
143
10 PENUTUP
Pendekatan penilaian keragaan karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah
penebangan dapat dilakukan dengan pendekatan tiga komponen utama yaitu (1) indeks
ekologi (ecological index) yang meliputi variabel: indeks keanekaragaman, indeks kekayaan
jenis, tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks kemerataan, bidang dasar dan riap bidang
dasar; (2) indeks pemulihan tegakan (recovery index) meliputi variabel: kerapatan, bidang dasar
dan tingkat ingrowth dan (3) indeks dinamis (dynamic index) meliputi variabel: riap bidang
dasar dan tingkat mortalitas.
Pendekatan penilaian arah perkembangan tegakan hutan setelah pembebasan dapat
menggunakan tiga komponen utama yang meliputi : (1) indeks ekologi (ecological index):
indeks keanekaragaman, indeks kekayaan jenis, tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks
kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth; (2) indeks pemulihan tegakan (recovery index)
meliputi variabel: kerapatan dan indeks kemerataan jenis dan (3) indeks dinamis (dynamic
index) dengan variabel riap bidang dasar.
Rumusan peubah penting penyusun keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan
alam setelah penebangan pada tegakan hutan bekas tebangan (HBT) meliputi: bidang dasar,
riap bidang dasar, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis, sedangkan tegakan hutan
setelah pembebasan (HSP) mempunyai peubah penting meliputi: indeks keanekaragaman,
kelimpahan jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth. Penilaian efektif arah pemulihan tegakan
hutan adalah pada umur 11 tahun setelah penebangan dan 9 tahun setelah perlakuan
pembebasan. Rumusan KKB hutan Dipterocarpaceae campuran disusun dengan bentuk
persamaan berikut:
KKB HBT = 0.77 Bd + 0.74 rBd + 0.83 E + 0.80 N1
KKB HSP = 0.83 H’ + 0.78 N1 + 0.84 M + 0.76 I
Rumusan KKB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat pemulihan struktur
tegakan setelah mendapat gangguan (penebangan) menuju ke arah kondisi asal. Ukuran
akhir dalam keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan
penilaian tingkat kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer
yang mendukung pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi
hutan alam yang pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).
Tinjauan ini menunjukkan adanya variable penting yang berbeda yang menjadi
komponen penilai dalam pemulihan tegakan hutan. Sehingga berdasarkan hasil yang
diperoleh dalam penelitian ini, hal yang disarankan adalah penyusunan perencanaan yang
lebih efektif perlu meninjau karakteristik biometrik tegakan hutan berdasarkan variasi
kondisi dengan evaluasi respon yang beragam dari kelompok jenis yang berbeda.
144
Konsekuensi pemilihan input atau tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai
tujuan pengelolaan terutama dalam rangka memacu produktivitas tegakan perlu didasarkan
evaluasi karakteristik biometrik tegakan hutan yang khas dengan mempertimbangkan
karakteristik variabel-variabel penting dalam tegakan tersebut
Penyusunan status riset plot STREK yang telah berumur 25 tahun, memberikan
beberapa catatan penting bahwa dalam perencanaan yang lebih efektif perlu meninjau
karakteristik biometrik tegakan hutan berdasarkan variasi kondisi dengan evaluasi respon
yang beragam dari kelompok jenis yang berbeda. Konsekuensi pemilihan input atau
tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai tujuan pengelolaan terutama dalam
rangka memacu produktivitas tegakan berdasarkan evaluasi karakteristik biometrik tegakan
hutan yang khas dengan mempertimbangkan karakteristik variabel-variabel penting dalam
tegakan tersebut.
Manfaat keberadaan Plot STREK sangat penting baik dari sisi penelitian (berbagai
kajian ilmiah) maupun pendidikan (sarana pendidikan alam) yang tidak ternilai. Data dan
informasi pengukuran Plot STREK merupakan kekayaan Badan Litbang Kehutanan yang
sangat berharga. Database yang dihasilkan Plot STREK telah digunakan sebagai input
rekomendasi kebijakan teknis terutama dalam pemodelan dan pengelolaan manajemen
hutan lestari. Tersedianya data monitoring yang akurat dan bersifat jangka panjang serta
periodik (setiap 2 tahun) menjadi sangat penting sebagai pembelajaran bagi evaluasi kegiatan
pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia dari berbagai aspek. Hal yang krusial adalah
bagaimana melindungi hutan dari gangguan atau aktivitas pengrusakan, seperti penebangan
ilegal, perambahan dan kebakaran sehingga hutan dapat meningkat produktifitasnya pada
rotasi selanjutnya.
Hasil ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama sebagai teknik
pengukuran kemungkinan atau kedekatan pemulihan tegakan setelah gangguan (penebangan)
dengan mengetahui karakteristik variabel-variabel penting dalam tegakan. Diperlukan
penyusunan perencanaan dan pengelolaan hutan alam produksi terutama aspek produksi
dan ekologi yang lebih berdasarkan pada lokal spesifik. Didukung adanya konsekuensi
pemilihan input atau tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai tujuan
pengelolaan terutama dalam rangka memacu produktivitas tegakan.
144
Konsekuensi pemilihan input atau tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai
tujuan pengelolaan terutama dalam rangka memacu produktivitas tegakan perlu didasarkan
evaluasi karakteristik biometrik tegakan hutan yang khas dengan mempertimbangkan
karakteristik variabel-variabel penting dalam tegakan tersebut
Penyusunan status riset plot STREK yang telah berumur 25 tahun, memberikan
beberapa catatan penting bahwa dalam perencanaan yang lebih efektif perlu meninjau
karakteristik biometrik tegakan hutan berdasarkan variasi kondisi dengan evaluasi respon
yang beragam dari kelompok jenis yang berbeda. Konsekuensi pemilihan input atau
tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai tujuan pengelolaan terutama dalam
rangka memacu produktivitas tegakan berdasarkan evaluasi karakteristik biometrik tegakan
hutan yang khas dengan mempertimbangkan karakteristik variabel-variabel penting dalam
tegakan tersebut.
Manfaat keberadaan Plot STREK sangat penting baik dari sisi penelitian (berbagai
kajian ilmiah) maupun pendidikan (sarana pendidikan alam) yang tidak ternilai. Data dan
informasi pengukuran Plot STREK merupakan kekayaan Badan Litbang Kehutanan yang
sangat berharga. Database yang dihasilkan Plot STREK telah digunakan sebagai input
rekomendasi kebijakan teknis terutama dalam pemodelan dan pengelolaan manajemen
hutan lestari. Tersedianya data monitoring yang akurat dan bersifat jangka panjang serta
periodik (setiap 2 tahun) menjadi sangat penting sebagai pembelajaran bagi evaluasi kegiatan
pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia dari berbagai aspek. Hal yang krusial adalah
bagaimana melindungi hutan dari gangguan atau aktivitas pengrusakan, seperti penebangan
ilegal, perambahan dan kebakaran sehingga hutan dapat meningkat produktifitasnya pada
rotasi selanjutnya.
Hasil ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama sebagai teknik
pengukuran kemungkinan atau kedekatan pemulihan tegakan setelah gangguan (penebangan)
dengan mengetahui karakteristik variabel-variabel penting dalam tegakan. Diperlukan
penyusunan perencanaan dan pengelolaan hutan alam produksi terutama aspek produksi
dan ekologi yang lebih berdasarkan pada lokal spesifik. Didukung adanya konsekuensi
pemilihan input atau tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai tujuan
pengelolaan terutama dalam rangka memacu produktivitas tegakan.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
145
DAF TAR P USTAKA
Adams HD, Kolbs TE. 2005. Tree growth response to drought and temperature in a mountain landscape in Northern Arizona, USA. J Biogeogr. 32:1629-1640.
Alder D, Oavika F, Sanchez M, Silva JNM, van der Hout P, Wright HL. 2002. A comparison of species growth rates from four moist tropical forest region. International Forestry Review. 4(3):196-205.
[ANU] The Australian National University. 1999. Stand Structure. Forest Measurement and Modelling.
Ashton PS. 1982. Dipterocarpaceae. F Males. 1(9):237-552. Baker FS, Helms JA, Daniel TW. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono J, penerjemah.
Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Balakrishnan M, Borgstrom R, Bie SW. 1994. Tropical Ecosystem, a Synthesis of Tropical Ecology
and Conservation. New York (US): International Science Publisher. [B2PD] Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. 2010. Kondisi kawasan hutan dengan Tujuan
Khusus [Internet]. [diunduh 2013 Mei 5]. Tersedia pada: http://diptero.or.id/?q=node/18.
Bertault JG, Kadir K. 1998. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta (ID): CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I.
Bischoff W, Newbery DM, Lingenfelder M, Schnaeckel R, Petol GH, Madani L, Risdale CE. 2005. Secondary succession and Dipterocarp recruitment in Bornean rain forest after logging. Forest Ecol Manag. 218:174-192. doi:10.1016/j.foreco.2005.07.009.
Bonino EE, Araujo P. 2005. Structural differences between a primary and a secondary forest in the Argentine dry chaco and management implications. Short Communication. Forest Ecol Manag. 206:407-412. doi:10.1016/j.foreco.2004.11.009.
Boreel A. 2009. Struktur tegakan dan sebaran spasial jenis pohon Torem (Manilkara kanosiensis H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku
Tenggara Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bunyavejchewin S, LaFrankie JV, Baker PJ, Kanzaki M, Ashton PS, Yamakura. 2003.
Spatial distribution pattern of the dominant canopy Dipterocarp species in a seasonal dry evergreen forest in Western Thailand. Forest Ecol Manag. 175:87-101.
Carvalho JOP, Silva JNM, Lopes JCA. 2004. Growth rate of a terra firme rain forest in Brazilian Amazonia over an eight-year period in response to logging. Acta Amaz. 34(2).
Chertov O, Komarov A, Mikhailov A, Andrienko G, Andrienko N, Gatalsky P. 2005. Geovisualization of forest simulation modeling results: A case study of carbon sequestration and biodiversity. Comput Electron Agr. 49:175-191.
Coates KD, Burton PJ. 1997. A gap-based approach for development of silvicultural system to address ecosystem management objectives. Forest Ecol Manag. 99:337-354.
Davis LS, Johnson NK. 1987. Forest Management. Third Edition. New York (US): McGraw Hill Company.
Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic and Social Value. Fourth Edition. New York (US): McGraw-Hill.
145
DAF TAR P USTAKA
Adams HD, Kolbs TE. 2005. Tree growth response to drought and temperature in a mountain landscape in Northern Arizona, USA. J Biogeogr. 32:1629-1640.
Alder D, Oavika F, Sanchez M, Silva JNM, van der Hout P, Wright HL. 2002. A comparison of species growth rates from four moist tropical forest region. International Forestry Review. 4(3):196-205.
[ANU] The Australian National University. 1999. Stand Structure. Forest Measurement and Modelling.
Ashton PS. 1982. Dipterocarpaceae. F Males. 1(9):237-552. Baker FS, Helms JA, Daniel TW. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono J, penerjemah.
Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Balakrishnan M, Borgstrom R, Bie SW. 1994. Tropical Ecosystem, a Synthesis of Tropical Ecology
and Conservation. New York (US): International Science Publisher. [B2PD] Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. 2010. Kondisi kawasan hutan dengan Tujuan
Khusus [Internet]. [diunduh 2013 Mei 5]. Tersedia pada: http://diptero.or.id/?q=node/18.
Bertault JG, Kadir K. 1998. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta (ID): CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I.
Bischoff W, Newbery DM, Lingenfelder M, Schnaeckel R, Petol GH, Madani L, Risdale CE. 2005. Secondary succession and Dipterocarp recruitment in Bornean rain forest after logging. Forest Ecol Manag. 218:174-192. doi:10.1016/j.foreco.2005.07.009.
Bonino EE, Araujo P. 2005. Structural differences between a primary and a secondary forest in the Argentine dry chaco and management implications. Short Communication. Forest Ecol Manag. 206:407-412. doi:10.1016/j.foreco.2004.11.009.
Boreel A. 2009. Struktur tegakan dan sebaran spasial jenis pohon Torem (Manilkara kanosiensis H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku
Tenggara Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bunyavejchewin S, LaFrankie JV, Baker PJ, Kanzaki M, Ashton PS, Yamakura. 2003.
Spatial distribution pattern of the dominant canopy Dipterocarp species in a seasonal dry evergreen forest in Western Thailand. Forest Ecol Manag. 175:87-101.
Carvalho JOP, Silva JNM, Lopes JCA. 2004. Growth rate of a terra firme rain forest in Brazilian Amazonia over an eight-year period in response to logging. Acta Amaz. 34(2).
Chertov O, Komarov A, Mikhailov A, Andrienko G, Andrienko N, Gatalsky P. 2005. Geovisualization of forest simulation modeling results: A case study of carbon sequestration and biodiversity. Comput Electron Agr. 49:175-191.
Coates KD, Burton PJ. 1997. A gap-based approach for development of silvicultural system to address ecosystem management objectives. Forest Ecol Manag. 99:337-354.
Davis LS, Johnson NK. 1987. Forest Management. Third Edition. New York (US): McGraw Hill Company.
Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic and Social Value. Fourth Edition. New York (US): McGraw-Hill.
146
[FAO] Food and Agricultural Organization of the United Nations. 2001. State of The World Forest. Rome (IT): FAO.
Feng FL. 1989. The growth and stand structure of natural and man made forest in the tropical forest region of Taiwan. Bull Expt Forest of NCHU. 11:21-40.
Flewelling JW, Monserud RA. 2002. Comparing Methods for Modelling Tree Mortality. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-25:168-177.
Garcίa O. 2001. Growth and Yield in British Columbia, Background and Discussion. University of Northern British Columbia.
Gertner GZ, Parysow P, Guan B. 1996. Projection variance partitioning of a conceptual forest growth model with orthogonal polynomials. Forest Sci. 42:474-486.
Gersonde RF, O’Hara KL. 2005. Comparative tree growth efficiency in Sierra Nevada mixed-conifer forests. Forest Ecol Manag. 219:95–108.
Glover G. 2008. Growth and yield: How will my forest grow? School of Forestry & Wildlife Sciences. Auburn University.
Gourlet-Fleury S, Cornu G, Jesel S, Dessard H, Jourget JG, Blanc L, Picard N. 2005. Using models to predict recovery and assess tree species vulnerability in logged tropical forests: A case study from French Guiana. Forest Ecol Manag. 209:69-86.doi:10.1016/j.foreco.2005.01.010.
Guldin JM. 1991. Uneven aged BDq regulation of Sierra Nevada mixed conifer. West J Apl For. 6(2): 27-32.
Gullison JJ, Bourque CPA. 2001. Spatial prediction of tree and shrub succession in a small watershed in Northern Cape Breton Island, Nova Scotia, Canada. Ecol Model. 137(2-3):181–199.
Harcombe PA, Bill CJ, Fulton M, Glitzenstein JS, Marks PL, Elsik IS. 2002. Stand dynamics over 18 years in a Southern Mixed Hardwood Forest, Texas, USA. J Ecol. 90:947-957.
Hardiansyah G, Hardjanto T, Mulyana M. 2005. A Brief Note on TPTJ (Modified Indonesia Selective Cutting System) from Experience of PT. Sari Bumi Kusuma (PT SBK) Timber Concessionaire. International Workshop on Promoting Permanent Sample Plots in Asia and The Pacific Region. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR).
Henning JG, Burk TE. 2004. Improving growth and yield estimates with a process model derived growth index. Can J Forest Res. 34:1274-1282.
Husch B, Miller C, Beers TW. 1982. Growth of the Tree. Florida (US): John Willey and Sons Inc. Krieger Publishing Company.
Husch B, Beers TW, Kershaw Jr JA. 2003. Forest Mensuration. Fourth Edition. New Jersey (US): John Wiley & Sons Inc.
Ibie BF. 1997. Pendugaan dimensi tegakan hutan rawa gambut sekunder berdasarkan
struktur tegakan di arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Indrawan A. 2000. Perkembangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam
Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Indrawan A. 2002. Penerapan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada hutan Dipterocarpaceae, hutan hujan dataran rendah di HPH PT. Hugurya, Aceh. J Man Hut Trop. 18(2):75-88.
146
[FAO] Food and Agricultural Organization of the United Nations. 2001. State of The World Forest. Rome (IT): FAO.
Feng FL. 1989. The growth and stand structure of natural and man made forest in the tropical forest region of Taiwan. Bull Expt Forest of NCHU. 11:21-40.
Flewelling JW, Monserud RA. 2002. Comparing Methods for Modelling Tree Mortality. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-25:168-177.
Garcίa O. 2001. Growth and Yield in British Columbia, Background and Discussion. University of Northern British Columbia.
Gertner GZ, Parysow P, Guan B. 1996. Projection variance partitioning of a conceptual forest growth model with orthogonal polynomials. Forest Sci. 42:474-486.
Gersonde RF, O’Hara KL. 2005. Comparative tree growth efficiency in Sierra Nevada mixed-conifer forests. Forest Ecol Manag. 219:95–108.
Glover G. 2008. Growth and yield: How will my forest grow? School of Forestry & Wildlife Sciences. Auburn University.
Gourlet-Fleury S, Cornu G, Jesel S, Dessard H, Jourget JG, Blanc L, Picard N. 2005. Using models to predict recovery and assess tree species vulnerability in logged tropical forests: A case study from French Guiana. Forest Ecol Manag. 209:69-86.doi:10.1016/j.foreco.2005.01.010.
Guldin JM. 1991. Uneven aged BDq regulation of Sierra Nevada mixed conifer. West J Apl For. 6(2): 27-32.
Gullison JJ, Bourque CPA. 2001. Spatial prediction of tree and shrub succession in a small watershed in Northern Cape Breton Island, Nova Scotia, Canada. Ecol Model. 137(2-3):181–199.
Harcombe PA, Bill CJ, Fulton M, Glitzenstein JS, Marks PL, Elsik IS. 2002. Stand dynamics over 18 years in a Southern Mixed Hardwood Forest, Texas, USA. J Ecol. 90:947-957.
Hardiansyah G, Hardjanto T, Mulyana M. 2005. A Brief Note on TPTJ (Modified Indonesia Selective Cutting System) from Experience of PT. Sari Bumi Kusuma (PT SBK) Timber Concessionaire. International Workshop on Promoting Permanent Sample Plots in Asia and The Pacific Region. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR).
Henning JG, Burk TE. 2004. Improving growth and yield estimates with a process model derived growth index. Can J Forest Res. 34:1274-1282.
Husch B, Miller C, Beers TW. 1982. Growth of the Tree. Florida (US): John Willey and Sons Inc. Krieger Publishing Company.
Husch B, Beers TW, Kershaw Jr JA. 2003. Forest Mensuration. Fourth Edition. New Jersey (US): John Wiley & Sons Inc.
Ibie BF. 1997. Pendugaan dimensi tegakan hutan rawa gambut sekunder berdasarkan
struktur tegakan di arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Indrawan A. 2000. Perkembangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam
Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Indrawan A. 2002. Penerapan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada hutan Dipterocarpaceae, hutan hujan dataran rendah di HPH PT. Hugurya, Aceh. J Man Hut Trop. 18(2):75-88.
147
Ipor IB, Tawan CS, Ismail J, Bojo O. 1999. Floristic Compositions and Structures of Forest at Bario Highlands, Sarawak. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental Conservation. 15hlm.
Ishida H, Hattori T, Takeda Y. 2005. Comparison of species composition and richness between primary and secondary lucidophyllous forests in two altitudinal zones of Tsushima Island, Japan. Forest Ecol Manag. 213:273-287.
Kao D, Iida S. 2006. Structural characteristics of logged evergreen forests in Preah Vihear, Cambodia, 3 years after logging. Forest Ecol Manag. 225:62-73.doi:10.1016/j.foreco.2005.12.056.
Kariuki M, Kooyman RM, Smith RGB, Wardell-Johnson G, Vanclay JK. 2006. Regeneration Changes in Tree Species Abundance, Diversity and Structure in Logged and Unlogged Subtropical Rainforest Over a 36-year Period. Forest Ecol Manag. 236:162-176.doi:10.1016/j.foreco.2006.09.021.
Kramer PJ, Kozlowski TT. 1960. Physiology of Trees. New York (US): Mc Graw-Hill Book Company Inc.
Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper & Row Publisher. Krebs CJ. 1994. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York
(US): Addison-Wesley Educational Publishers. Krebs CJ. 2006. Ecology after 100 years: Progress and pseudo-progress. N Z J Ecol.
30(1):3-11. Krisnawati H. 2001. Pengaturan hasil hutan tidak seumur dengan pendekatan dinamika
struktur tegakan (Kasus hutan alam bekas tebangan) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kurinobu S, Hardjono A, Eko H, Tomiyasu M. 2006. Growth model for predicting stand development of Acacia mangium in South Sumatra, Indonesia, Using the reciprocal equation of size-density effect. Forest Ecol Manag. 228:91-97.doi:10.1016/j.foreco.2006.01.049.
Lee HS, Davies SJ, LaFrankie JV, Tan S, Itoh A, Yamakura T, Okhubo T, Ashton PS. 2002. Floristic and structural diversity of mixed dipterocarp forest in Lambir Hills National Park, Sarawak, Malaysia. J Trop For Sci. 14(3):379-400.
Lee SL, Ng KKS, Sawa LG, Lee CT, Muhammad N, Tanib N, Tsumurab Y, Koskelac J. 2006. Linking the gaps between conservation research and conservation management of rare dipterocarps: A case study of Shorea lumutensis. Biol Conser. 131:72-91.
Lewis SL, Phillips OL, Sheil D, Vinceti B, Baker TR, Brown S, Graham AW, Higuchi N, Hilbert DW, Laurance WF et al. 2004. Tropical forest tree mortality, recruitment and turnover rates: Calculation, interpretation and comparison when census intervals vary. J Ecol. 92:929-944.
Loetcsh F, Zohrer F, Haller KE. 1973. Forest Inventory. Volume II. Translated into English by Panzer KF. Munchen (DE): BLV Verlagsgesellschaft mbH.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London (GB): Croom Helm Limited.
Makana JR, Thomas SC. 2006. Impacts of selective logging and agricultural clearing on forest structure, floristic composition and diversity, and timber tree regeneration in the Ituri Forest, Democratic Republic of Congo. Biodiver Conserv. 15:1375–1397.doi:10.1007/s10531-005-5397-6.
147
Ipor IB, Tawan CS, Ismail J, Bojo O. 1999. Floristic Compositions and Structures of Forest at Bario Highlands, Sarawak. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental Conservation. 15hlm.
Ishida H, Hattori T, Takeda Y. 2005. Comparison of species composition and richness between primary and secondary lucidophyllous forests in two altitudinal zones of Tsushima Island, Japan. Forest Ecol Manag. 213:273-287.
Kao D, Iida S. 2006. Structural characteristics of logged evergreen forests in Preah Vihear, Cambodia, 3 years after logging. Forest Ecol Manag. 225:62-73.doi:10.1016/j.foreco.2005.12.056.
Kariuki M, Kooyman RM, Smith RGB, Wardell-Johnson G, Vanclay JK. 2006. Regeneration Changes in Tree Species Abundance, Diversity and Structure in Logged and Unlogged Subtropical Rainforest Over a 36-year Period. Forest Ecol Manag. 236:162-176.doi:10.1016/j.foreco.2006.09.021.
Kramer PJ, Kozlowski TT. 1960. Physiology of Trees. New York (US): Mc Graw-Hill Book Company Inc.
Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper & Row Publisher. Krebs CJ. 1994. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York
(US): Addison-Wesley Educational Publishers. Krebs CJ. 2006. Ecology after 100 years: Progress and pseudo-progress. N Z J Ecol.
30(1):3-11. Krisnawati H. 2001. Pengaturan hasil hutan tidak seumur dengan pendekatan dinamika
struktur tegakan (Kasus hutan alam bekas tebangan) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kurinobu S, Hardjono A, Eko H, Tomiyasu M. 2006. Growth model for predicting stand development of Acacia mangium in South Sumatra, Indonesia, Using the reciprocal equation of size-density effect. Forest Ecol Manag. 228:91-97.doi:10.1016/j.foreco.2006.01.049.
Lee HS, Davies SJ, LaFrankie JV, Tan S, Itoh A, Yamakura T, Okhubo T, Ashton PS. 2002. Floristic and structural diversity of mixed dipterocarp forest in Lambir Hills National Park, Sarawak, Malaysia. J Trop For Sci. 14(3):379-400.
Lee SL, Ng KKS, Sawa LG, Lee CT, Muhammad N, Tanib N, Tsumurab Y, Koskelac J. 2006. Linking the gaps between conservation research and conservation management of rare dipterocarps: A case study of Shorea lumutensis. Biol Conser. 131:72-91.
Lewis SL, Phillips OL, Sheil D, Vinceti B, Baker TR, Brown S, Graham AW, Higuchi N, Hilbert DW, Laurance WF et al. 2004. Tropical forest tree mortality, recruitment and turnover rates: Calculation, interpretation and comparison when census intervals vary. J Ecol. 92:929-944.
Loetcsh F, Zohrer F, Haller KE. 1973. Forest Inventory. Volume II. Translated into English by Panzer KF. Munchen (DE): BLV Verlagsgesellschaft mbH.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London (GB): Croom Helm Limited.
Makana JR, Thomas SC. 2006. Impacts of selective logging and agricultural clearing on forest structure, floristic composition and diversity, and timber tree regeneration in the Ituri Forest, Democratic Republic of Congo. Biodiver Conserv. 15:1375–1397.doi:10.1007/s10531-005-5397-6.
148
Mani S, Parthasarathy N. 2006. Tree diversity and stand structure in island and coastal tropical dry evergreen forests of peninsular India. Curr Sci. 90(9):1238-1246.
Marin GC, Robert N, Benigno GR, Per CO. 2005. Stand Dynamics and Basal Area Change in A Tropical Dry Forest Reserve in Nicaragua. Forest Ecol Manag. 208:63-75.
Mattjik AA, Sumertaya IM. 2011. Sidik Peubah Ganda dengan Menggunakan SAS. Bogor (ID): Departemen Statistika Institut Pertanian Bogor.
Metcalf CJE, Clark JS, Clark DA. 2009. Tree growth inference and prediction when the point of measurement changes: modelling around buttresses in tropical forests. J Trop Ecol. 25:1–12.
Meyer 1952 Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Bortoo RA. 1961. Forest Management. New
York (US): The Ronald Press Company. hlm 47-131. Mex PM. 2005. Progress on The Studies of Growth of Logged Over Natural Forest in
Papua New Guinea. International Workshop on Promoting Permanent Sample Plots in Asia and The Pacific Region. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR).
Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York (US): John Wiley & Son.
Muhdi. 2012. Efektivitas pemanenan kayu dengan teknik Reduced Impact Logging terhadap cadangan massa karbon di hutan alam tropika, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Muhdin. 2012. Dinamika struktur tegakan hutan tidak seumur untuk pengaturan hasil hutan kayu berdasarkan jumlah pohon (kasus pada areal bekas tebangan hutan alam hujan tropika dataran rendah tanah kering di Kalimantan) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Muhdin, Suhendang E, Wahjono D, Purnomo H, Istomo, Simangunsong BCH. 2008. Keragaman struktur tegakan hutan alam sekunder. J Man Hut Trop. 16(2):81-87.
Mulyanto L, Jaya INS. 2004. Analisis spasial degradasi hutan dan deforestasi: Studi kasus di PT. Duta Maju Timber, Sumatera Barat. J Man Hut Trop. 10(1):29-42.
Naito Y, Kanzaki M, Iwata H, Obayashi K, Lee SL, Muhammad N, Okuda T, Tsumura Y. 2008. Density-dependent selfing and its effects on seed performance in a tropical canopy tree species, Shorea acuminata (Dipterocarpaceae). Forest Ecol Manag. 256:375-383.
Ng KKS, Lee SL, Ueno S. 2009. Impact of selective logging on genetic diversity of two tropical tree species with contrasting breeding systems using direct comparison and simulation methods. Forest Ecol Manag. 257:107-116. doi:10.1016/j.foreco.2008.08.035.
Nguyen-The, N, Favrichon V, Sist P, Houde L, Bertault JG, Fauvet N. 1998. Growth and mortality pattern before and after logging. In: Bertault JG, Kadir K, editor. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta. CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I. hlm 181-184.
Nishimua TB, Suzuki E, Kohyama T, Tsuyuzaki S. 2006. Mortality and growth of trees in peat-swamp and heath forests in Central Kalimantan after severe drought. Plant Ecol. 188:165-177.
Oliver CD, Larson BC. 1990. Forest Stand Dynamics. New York (US): McGraw Hill Inc.
148
Mani S, Parthasarathy N. 2006. Tree diversity and stand structure in island and coastal tropical dry evergreen forests of peninsular India. Curr Sci. 90(9):1238-1246.
Marin GC, Robert N, Benigno GR, Per CO. 2005. Stand Dynamics and Basal Area Change in A Tropical Dry Forest Reserve in Nicaragua. Forest Ecol Manag. 208:63-75.
Mattjik AA, Sumertaya IM. 2011. Sidik Peubah Ganda dengan Menggunakan SAS. Bogor (ID): Departemen Statistika Institut Pertanian Bogor.
Metcalf CJE, Clark JS, Clark DA. 2009. Tree growth inference and prediction when the point of measurement changes: modelling around buttresses in tropical forests. J Trop Ecol. 25:1–12.
Meyer 1952 Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Bortoo RA. 1961. Forest Management. New
York (US): The Ronald Press Company. hlm 47-131. Mex PM. 2005. Progress on The Studies of Growth of Logged Over Natural Forest in
Papua New Guinea. International Workshop on Promoting Permanent Sample Plots in Asia and The Pacific Region. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR).
Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York (US): John Wiley & Son.
Muhdi. 2012. Efektivitas pemanenan kayu dengan teknik Reduced Impact Logging terhadap cadangan massa karbon di hutan alam tropika, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Muhdin. 2012. Dinamika struktur tegakan hutan tidak seumur untuk pengaturan hasil hutan kayu berdasarkan jumlah pohon (kasus pada areal bekas tebangan hutan alam hujan tropika dataran rendah tanah kering di Kalimantan) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Muhdin, Suhendang E, Wahjono D, Purnomo H, Istomo, Simangunsong BCH. 2008. Keragaman struktur tegakan hutan alam sekunder. J Man Hut Trop. 16(2):81-87.
Mulyanto L, Jaya INS. 2004. Analisis spasial degradasi hutan dan deforestasi: Studi kasus di PT. Duta Maju Timber, Sumatera Barat. J Man Hut Trop. 10(1):29-42.
Naito Y, Kanzaki M, Iwata H, Obayashi K, Lee SL, Muhammad N, Okuda T, Tsumura Y. 2008. Density-dependent selfing and its effects on seed performance in a tropical canopy tree species, Shorea acuminata (Dipterocarpaceae). Forest Ecol Manag. 256:375-383.
Ng KKS, Lee SL, Ueno S. 2009. Impact of selective logging on genetic diversity of two tropical tree species with contrasting breeding systems using direct comparison and simulation methods. Forest Ecol Manag. 257:107-116. doi:10.1016/j.foreco.2008.08.035.
Nguyen-The, N, Favrichon V, Sist P, Houde L, Bertault JG, Fauvet N. 1998. Growth and mortality pattern before and after logging. In: Bertault JG, Kadir K, editor. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta. CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I. hlm 181-184.
Nishimua TB, Suzuki E, Kohyama T, Tsuyuzaki S. 2006. Mortality and growth of trees in peat-swamp and heath forests in Central Kalimantan after severe drought. Plant Ecol. 188:165-177.
Oliver CD, Larson BC. 1990. Forest Stand Dynamics. New York (US): McGraw Hill Inc.
149
Oliver CD, Larson BC. 1996. Forest Stand Dynamics, Update edition. New York (US): John Wiley and Sons.
Pamoengkas P. 2006. Kajian aspek vegetasi dan kualitas tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi kasus di areal PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Phillip MS. 1998. Measuring Trees and Forest. Second Edition. Wallingford (UK): CABI Publishing.
Phillips PD, Yasman I, Brash TE, van Gardingen PR. 2002. Grouping tree species for analysis of forest data in Kalimantan (Indonesian Borneo). Forest Ecol Manag. 157:205-216.
Primack RB, Ashton P, Chai P, Lee HS. 1985. Growth rates and population structure of Moraceae trees in Sarawak, East Malaysia. Ecol. 66:577-588.
Prodan M. 1968. Forest Biometrics. First Edition. Gardiner SH, penerjemah. Oxford (GB): Pergamon Press. Terjemahan dari: Forstliche Biometrie.
Richards PW. 1964. The Tropical Rain Forest. An Ecological Study. New York (US): Cambridge at The University Press Company.
Ryan MG, Binkley D, Fownes JH. 1997. Age-related decline in forest productivity: Pattern and process. Adv Ecol Res. 27:213-262.
Saridan A, Susanty FH. 2005. Plot STREK: Tehnik silvikultur untuk pemuliaan hutan bekas tabangan di Kalimantan Timur. Samarinda (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan.
Seng HW, Wickneswari R, Shukor MN, Mahani MC. 2004. The effects of the timing and method of logging on forest structure in Peninsular Malaysia. Forest Ecol Manag. 203:209-228.
Setiawan A. 2013. Keragaan struktur tegakan dan kepadatan tanah pada tegakan tinggal di
hutan alam produksi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Silva JNM, deCarvalhoa JOP, Lopes JCA, de Almeidaa BF, Costa DHM, de Oliveira LC,
Vanclay JK, Skovsgaardd JP. 1995. Growth and yield of a tropical rain forest in the Brazilian Amazon 13 years after logging. Forest Ecol Manag. 71:267-274.
Silva RP, dos Santos J, Tribuzy ES, Chambers JQ, Nakamura S, Higuchi N. 2002. Diameter increment and growth patterns for individual tree growing in Central Amazon, Brazil. Forest Ecol Manag. 166:295-301.
Simon H. 2007. Metode Inventore Hutan. Yogyakarta (ID): Penerbit Pustaka Pelajar. Sist P, Abdurachman. 1998. Liberation thinning in logged-over forest. In: Bertault JG,
Kadir K, editor. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta (ID): CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I. hlm 171-180.
Sist P, Ferreira FN. 2007. Sustainability of reduced-impact logging in the Eastern Amazon. Forest Ecol Manag. 243:199-209.
Sist P, Fimbel R, Sheil D, Nasi R, Chevallier MH. 2003. Towards sustainable management of mixed Dipterocarp forests of South-East Asia: Moving beyond minimum diameter cutting limits. Environ Conserv. 30(4):364-374.
Smith RGB, Nichols JD. 2005. Patterns of basal area increment, mortality and recruitment were related to logging intensity in subtropical rainforest in Australia over 35 years. Forest Ecol Manag. 218:319-328. doi:10.1016/j.foreco.2005.08.030.
149
Oliver CD, Larson BC. 1996. Forest Stand Dynamics, Update edition. New York (US): John Wiley and Sons.
Pamoengkas P. 2006. Kajian aspek vegetasi dan kualitas tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi kasus di areal PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Phillip MS. 1998. Measuring Trees and Forest. Second Edition. Wallingford (UK): CABI Publishing.
Phillips PD, Yasman I, Brash TE, van Gardingen PR. 2002. Grouping tree species for analysis of forest data in Kalimantan (Indonesian Borneo). Forest Ecol Manag. 157:205-216.
Primack RB, Ashton P, Chai P, Lee HS. 1985. Growth rates and population structure of Moraceae trees in Sarawak, East Malaysia. Ecol. 66:577-588.
Prodan M. 1968. Forest Biometrics. First Edition. Gardiner SH, penerjemah. Oxford (GB): Pergamon Press. Terjemahan dari: Forstliche Biometrie.
Richards PW. 1964. The Tropical Rain Forest. An Ecological Study. New York (US): Cambridge at The University Press Company.
Ryan MG, Binkley D, Fownes JH. 1997. Age-related decline in forest productivity: Pattern and process. Adv Ecol Res. 27:213-262.
Saridan A, Susanty FH. 2005. Plot STREK: Tehnik silvikultur untuk pemuliaan hutan bekas tabangan di Kalimantan Timur. Samarinda (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan.
Seng HW, Wickneswari R, Shukor MN, Mahani MC. 2004. The effects of the timing and method of logging on forest structure in Peninsular Malaysia. Forest Ecol Manag. 203:209-228.
Setiawan A. 2013. Keragaan struktur tegakan dan kepadatan tanah pada tegakan tinggal di
hutan alam produksi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Silva JNM, deCarvalhoa JOP, Lopes JCA, de Almeidaa BF, Costa DHM, de Oliveira LC,
Vanclay JK, Skovsgaardd JP. 1995. Growth and yield of a tropical rain forest in the Brazilian Amazon 13 years after logging. Forest Ecol Manag. 71:267-274.
Silva RP, dos Santos J, Tribuzy ES, Chambers JQ, Nakamura S, Higuchi N. 2002. Diameter increment and growth patterns for individual tree growing in Central Amazon, Brazil. Forest Ecol Manag. 166:295-301.
Simon H. 2007. Metode Inventore Hutan. Yogyakarta (ID): Penerbit Pustaka Pelajar. Sist P, Abdurachman. 1998. Liberation thinning in logged-over forest. In: Bertault JG,
Kadir K, editor. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta (ID): CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I. hlm 171-180.
Sist P, Ferreira FN. 2007. Sustainability of reduced-impact logging in the Eastern Amazon. Forest Ecol Manag. 243:199-209.
Sist P, Fimbel R, Sheil D, Nasi R, Chevallier MH. 2003. Towards sustainable management of mixed Dipterocarp forests of South-East Asia: Moving beyond minimum diameter cutting limits. Environ Conserv. 30(4):364-374.
Smith RGB, Nichols JD. 2005. Patterns of basal area increment, mortality and recruitment were related to logging intensity in subtropical rainforest in Australia over 35 years. Forest Ecol Manag. 218:319-328. doi:10.1016/j.foreco.2005.08.030.
150
Soerianegara I, Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sodhi NS, Koh LP, Clements R, Wanger TC, Hill JK, Hamer KC, Clough Y, Tscharntke T,
Posa MRC, Lee TM. 2010. Conserving Southeast Asian forest biodiversity in human-modified landscapes. Biol Conserv. 143:2375-2384.doi:10.1016/j.biocon.2009.12.029.
Soemartini 2008. Principal Component Analysis (PCA) sebagai salah satu metode untuk mengatasi masalah multikolinearitas. Jatinangor (ID): Jurusan Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-2. Sumantri B, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics.
Stone JN, Porter LP. 1998. What is Forest Stand Structure and How to Measure It? Northwest Science, Volume 72, Special Issue No. 2. Canada (US): Washington State University Press.
Suhendang E. 1985. Studi model struktur tegakan hutan alam hujan tropika dataran rendah
di Bengkunat. Propinsi Daerah Tingkat I Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Suhendang E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus merkusii Jungh. et
de Vriese di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suhendang E. 1997. Penentuan periode pengukuran optimal untuk petak ukur permanen
di hutan alam tanah kering. J Man Hut Trop. 3(1):1-12. Suhendang E. 2002. Growth and yield studies: The implication for the management of
Indonesian tropical forest. In: Saharudin MI, Kiam TS, Hwai YY, Othman D, Korsgaard, editor. International Workshop on Growth and Yield of Managed Tropical Forest; 2002 Jun 25-29; Kualalumpur, Malaysia. Kuala Lumpur: Malaysia-ITTO.
Sundarapandian SM, Swamy PS. 2000. Forest ecosystem structure and composition along an altitudinal gradient in the Western Ghats, South India. J Trop For Sci. 12:104–123.
Susanty FH, Iskandar A, Wiati CB, Andriansyah M, Supriyanto A, Rojikin A. 2015. Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Hutan Penelitian Labanan 2015 – 2019. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Susilawati, Jaya INS. 2003. Evaluasi Kerusakan Tegakan Tinggal akibat Pemanenan Menggunakan Landsat 7 ETM+ di HPH PT Sri Buana Dumai Provinsi Riau. J Man Hut Trop. 9(1):1-16.
Timm NH. 2002. Applied Multivariate Analysis. New York (US): Springer-Verlag. Trunbull KJ. 1963. Population dynamics in mixed forest stand: A system of mathematical
models of mixed growth and structure [dissertation]. Washington (US): University of Washington.
Udiansyah. 1994. Studi efisiensi penggunaan struktur tegakan dalam menduga beberapa dimensi tegakan. Kalimantan Scientiae. 33(12):67-72.
[UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 1978. Tropical Forest Ecosystem. France (FR): Natural Resources Research. 14:122-136.
150
Soerianegara I, Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sodhi NS, Koh LP, Clements R, Wanger TC, Hill JK, Hamer KC, Clough Y, Tscharntke T,
Posa MRC, Lee TM. 2010. Conserving Southeast Asian forest biodiversity in human-modified landscapes. Biol Conserv. 143:2375-2384.doi:10.1016/j.biocon.2009.12.029.
Soemartini 2008. Principal Component Analysis (PCA) sebagai salah satu metode untuk mengatasi masalah multikolinearitas. Jatinangor (ID): Jurusan Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-2. Sumantri B, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics.
Stone JN, Porter LP. 1998. What is Forest Stand Structure and How to Measure It? Northwest Science, Volume 72, Special Issue No. 2. Canada (US): Washington State University Press.
Suhendang E. 1985. Studi model struktur tegakan hutan alam hujan tropika dataran rendah
di Bengkunat. Propinsi Daerah Tingkat I Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Suhendang E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus merkusii Jungh. et
de Vriese di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suhendang E. 1997. Penentuan periode pengukuran optimal untuk petak ukur permanen
di hutan alam tanah kering. J Man Hut Trop. 3(1):1-12. Suhendang E. 2002. Growth and yield studies: The implication for the management of
Indonesian tropical forest. In: Saharudin MI, Kiam TS, Hwai YY, Othman D, Korsgaard, editor. International Workshop on Growth and Yield of Managed Tropical Forest; 2002 Jun 25-29; Kualalumpur, Malaysia. Kuala Lumpur: Malaysia-ITTO.
Sundarapandian SM, Swamy PS. 2000. Forest ecosystem structure and composition along an altitudinal gradient in the Western Ghats, South India. J Trop For Sci. 12:104–123.
Susanty FH, Iskandar A, Wiati CB, Andriansyah M, Supriyanto A, Rojikin A. 2015. Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Hutan Penelitian Labanan 2015 – 2019. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Susilawati, Jaya INS. 2003. Evaluasi Kerusakan Tegakan Tinggal akibat Pemanenan Menggunakan Landsat 7 ETM+ di HPH PT Sri Buana Dumai Provinsi Riau. J Man Hut Trop. 9(1):1-16.
Timm NH. 2002. Applied Multivariate Analysis. New York (US): Springer-Verlag. Trunbull KJ. 1963. Population dynamics in mixed forest stand: A system of mathematical
models of mixed growth and structure [dissertation]. Washington (US): University of Washington.
Udiansyah. 1994. Studi efisiensi penggunaan struktur tegakan dalam menduga beberapa dimensi tegakan. Kalimantan Scientiae. 33(12):67-72.
[UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 1978. Tropical Forest Ecosystem. France (FR): Natural Resources Research. 14:122-136.
151
Valle D, Mark S, Edson V, James G, Marcio S. 2006. Identifying bias in stand-level growth and yield estimations: A case study in Eastern Brazilian Amazonia. Forest Ecol Manag. 236:127-135.
Vanclay JK. 1988. A stand growth model for Cypress pine. In: JW Leech, RE McMurtrie, PW West, RD Spencer, BM Spencer, editor. Modelling trees, stands and forests. School of Forestry Univ Melbourne. Bulletin No 5:310-332.
Vanclay JK. 1989. A growth model for North Queensland rainforests. Forest Ecol Manag. 27:245-271.
Vanclay JK. 1994. Modelling Forest Growth and Yield. CAB International. United Kingdom. Vanclay JK. 1995. Growth models for tropical forests: A synthesis of models and methods.
Forest Sci. 41:7-42. Vanclay JK. 2003. Growth modelling and yield prediction for sustainable forest
management. Malays For. 66(1):58-69. Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford (GB): Clarendon Press. Whitmore TC. 1990. Tropical rain forest dynamics and its implications for management. Di
dalam: Gomez-Pompa A, Whitmore TC, Hadley M, editors. Rain Forest Regeneration and Management. Man and the Biosphere Series. Volume 6. Paris (FR): Parthenon Publishing Group. hlm 67-89.
151
Valle D, Mark S, Edson V, James G, Marcio S. 2006. Identifying bias in stand-level growth and yield estimations: A case study in Eastern Brazilian Amazonia. Forest Ecol Manag. 236:127-135.
Vanclay JK. 1988. A stand growth model for Cypress pine. In: JW Leech, RE McMurtrie, PW West, RD Spencer, BM Spencer, editor. Modelling trees, stands and forests. School of Forestry Univ Melbourne. Bulletin No 5:310-332.
Vanclay JK. 1989. A growth model for North Queensland rainforests. Forest Ecol Manag. 27:245-271.
Vanclay JK. 1994. Modelling Forest Growth and Yield. CAB International. United Kingdom. Vanclay JK. 1995. Growth models for tropical forests: A synthesis of models and methods.
Forest Sci. 41:7-42. Vanclay JK. 2003. Growth modelling and yield prediction for sustainable forest
management. Malays For. 66(1):58-69. Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford (GB): Clarendon Press. Whitmore TC. 1990. Tropical rain forest dynamics and its implications for management. Di
dalam: Gomez-Pompa A, Whitmore TC, Hadley M, editors. Rain Forest Regeneration and Management. Man and the Biosphere Series. Volume 6. Paris (FR): Parthenon Publishing Group. hlm 67-89.