kata sambutan -...
TRANSCRIPT
i
KATA SAMBUTAN
Sekretaris Jenderal DPR RI
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaarakatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita
semua.
Dalam kesempatan Rapat Paripurna DPR RI pada hari
selasa 2 Oktober 2018, BPK RI telah menyerahkan
kepada DPR RI Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I
(IHPS I) Tahun 2018 dari 700 Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) BPK pada pemerintah pusat,
pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan lainnya
yang meliputi hasil pemeriksaan atas 652 laporan keuangan, 12 hasil
pemeriksaan kinerja, dan 36 hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
(PDTT).
Sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 23E ayat (3), hasil pemeriksaan
tersebut ditindaklanjuti oleh DPR RI dengan melakukan penelahaan dalam
mendorong akuntabilitas dan perbaikan pengelolaan keuangan negara. Hal
ini dilakukan DPR RI sebagai bentuk menjalankan fungsi pengawasan atas
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Untuk memperkuat referensi sekaligus memudahkan pemahaman
pembacaan IHPS I Tahun 2018, Badan Keahlian melalui Pusat Kajian
Akuntabilitas Keuangan Negara dalam memberikan dukungan pelaksanaan
fungsi pengawasan DPR, telah melakukan penelahaan terhadap temuan dan
permasalahan hasil pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan
Kementerian dan Lembaga (LKKL) untuk Tahun Anggaran 2017 yang
dikelompokkan sesuai Mitra kerja Komisi Dewan dari Komisi I sampai
dengan Komisi XI.
Demikianlah hal-hal yang dapat kami sajikan. Kami berharap hasil telahaan
ini dapat memberikan informasi kepada Pimpinan dan Anggota Komisi
DPR RI sehingga dapat dijadikan acuan dasar dalam meminta
ii
pertanggungjawaban pemerintah dan melakukan pengawasan terhadap
perkembangan tindak lanjut rekomendasi atas hasil pemeriksaan BPK
tersebut, terutama terhadap tindak lanjut rekomendasi yang berstatus belum
selesai dan belum ditindaklanjuti.
Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian pimpinan dan anggota DPR
yang terhormat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
iii
KATA PENGANTAR
Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara
Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI
uji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT,
karena berkat nikmat dan rahmat-Nya Pusat Kajian Akuntabilitas
Keuangan Negara (PKAKN) Badan Keahlian DPR RI dapat
menyelesaikan buku Telaahan atas Laporan Keuangan Kementerian dan
Lembaga pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2018. Buku
disusun berbasis data hasil pemeriksaan BPK RI dan bertujuan untuk
memperkuat pengawasan DPR RI atas penggunaan keuangan negara.
Buku ini merupakan penelaahan atas Laporan Keuangan Kementerian
dan Lembaga (K/L) yang menjadi mitra kerja Komisi di DPR RI. Terkait
hal ini BPK memeriksa 86 Laporan Keuangan Kementerian dan
Lembaga (LKKL) dan 1 Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara
(LKBUN).
Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa 79 LKKL dan 1 LKBUN
memperoleh opini WTP, 6 LKKL memperoleh opini Wajar Dengan
Pengecualian (WDP) dan 2 LKKL memperoleh opini Tidak Menyatakan
Pendapat. Atas perolehan opini LKKL pada 2017, BPK menjelaskan
bahwa terdapat kenaikan jumlah K/L dengan opini WTP dari 74 K/L
pada 2016 menjadi 80 K/L pada 2017. Peningkatan jumlah K/L dengan
opini WTP ini terjadi karena adanya perbaikan berupa:
1. Pembentukan Task Force penanganan piutang;
2. Perbaikan penyajian akun persediaan; dan
3. Dilakukannya penilaian Aset Tak Berwujud (ATB),
memperhitungkan beban amortisasi ATB Lainnya, dan
menyajikan ATB dan amortisasinya pada LK Tahun 2017.
Pada akhirnya kami berharap buku ini dapat bermanfaat untuk seluruh
Alat Kelengkapan Dewan DPR RI terutama komisi-komisi terkait dan
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI sebagai bahan
pembahasan saat Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat dan kunjungan
P
iv
kerja komisi maupun perorangan. Atas kesalahan dan kekurangan pada
buku ini kami mengharapkan kritik dan masukan yang membangun
untuk perbaikan produk PKAKN kedepannya.
Jakarta, Maret 2019
Helmizar
NIP.196407191991031003
v
DAFTAR ISI
WILAYAH SURAMADU................................................................. 1
Hasil Pemeriksaan
Sistem Pengendalian Intern...................................................... 2
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan........ 3
2. BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN
GEOFISIKA.........................................................................................
6
Hasil Pemeriksaan
Sistem Pengendalian Intern...................................................... 6
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan........ 9
3. BADAN SAR NASIONAL.............................................................. 13
Hasil Pemeriksaan
Sistem Pengendalian Intern...................................................... 13
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan........ 15
4. BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR
SIDOARJO...........................................................................................
18
Hasil Pemeriksaan
Sistem Pengendalian Intern...................................................... 18
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan........ 23
5. KEMENTERIAN PERHUBUNGAN..................................... 26
Hasil Pemeriksaan
Sistem Pengendalian Intern...................................................... 26
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan........ 32
6. KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN
PERUMAHAN RAKYAT................................................................ 38
Hasil Pemeriksaan
Sistem Pengendalian Intern...................................................... 38
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan....... 51
Kata Sambutan Sekretaris Jenderal DPR RI..................................... i
Kata Pengantar Kepala Pusat KAKN............................................... iii
Daftar Isi................................................................................................. v
1. BADAN PELAKSANA-BADAN PENGEMBANGAN
vi
7. KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH
TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI................................... 76
Hasil Pemeriksaan
Sistem Pengendalian Intern...................................................... 76
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan........ 80
Pusat Kajian AKN | 1
TELAAHAN
ATAS HASIL PEMERIKSAAN BPK RI PADA
KEMENTERIAN/LEMBAGA
MITRA KERJA KOMISI V
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2018 (IHPS I 2018),
BPK mengungkap sebanyak 675 temuan dengan rekomendasi sebanyak
1.509 untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017
pada Kementerian/Lembaga Mitra Kerja Komisi V yang membidangi
Infrastruktur dan Perhubungan. Perkembangan status pemantauan tindak
lanjut atas rekomendasi masing-masing Kementerian/Lembaga dapat dirinci
sebagai berikut:
1. Badan Pelaksana – Badan Pengembangan Wilayah Suramadu
(BP-BPWS)
Perolehan opini BPK RI atas Laporan Keuangan (LK) BP-BPWS
selama tiga tahun berturut-turut sejak TA 2015 sampai dengan TA 2017
adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Berikut ini adalah gambar yang menjelaskan tentang jumlah temuan dan
rekomendasi, serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK
untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di BP-
BPWS:
2015 2016 2017
8 10 7
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
13 9 6 4 1 1 0 0 0 0 0 0
Belum
Ditindaklanjuti
Tidak Dapat
Ditindaklanjuti
Temuan
25
Rekomendasi
34
Sesuai RekomendasiBelum Sesuai
Rekomendasi
2 | Pusat Kajian AKN
Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan BP-BPWS pada
tahun 2017 mengungkap temuan yang perlu mendapatkan perhatian baik
ditinjau dari penilaian Sistem Pengendalian Intern maupun penilaian
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yaitu:
Sistem Pengendalian Intern
Penatausahaan Persediaan Barang yang Diserahkan Kepada
Masyarakat belum tertib (Temuan No. 1 atas Aset dalam LHP SPI
No.18B/LHP/XVIII/04/2018, Hal. 3)
Permasalahan tersebut juga terjadi pada tahun 2016 dengan nilai sebesar
Rp1.338.334.845,00. Hasil pemeriksaan tindak lanjut Semester II tahun 2017
menunjukkan bahwa hal tersebut sudah ditindaklanjuti dengan
menyampaikan permasalahan tersebut kepada Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN).
Temuan Pemeriksaan Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Aset
1. Penatausahaan Persediaan Barang yang Diserahkan Kepada Masyarakat
belum tertib
2. Penatausahaan Aset Tetap Tanah belum tertib
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan persediaan untuk
diserahkan kepada masyarakat senilai Rp7.752.497.864,00 belum dapat
dihapuskan dari Laporan Keuangan BPWS. Hal tersebut disebabkan karena
nilai perencanaan dan pengawasan yang telah diserahterimakan tersebut
tergabung dalam satu kontrak sehingga belum dikeluarkan dari akun
persediaan barang yang akan diserahkan kepada masyarakat. Kondisi
tersebut mengakibatkan nilai persediaan sebesar Rp7.752.497.864,00 belum
dapat didistribusikan dan dihapuskan dari LK BPWS. Sehingga BPK
merekomendasikan kepada Kepala BP-BPWS untuk memerintahkan Kepala
Satker untuk memproses penghapusan persediaan barang untuk diserahkan
kepada masyarakat.
Pusat Kajian AKN | 3
Penatausahaan Aset Tanah belum tertib (Temuan No. 2 atas Aset dalam
LHP SPI No.18B/LHP/XVIII/04/2018, Hal. 4)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa aset tanah sebesar
sebesar Rp294.955.673.780,00 dengan luas 379.906m2 belum memiliki bukti
kepemilikan berupa sertifikat tanah dari BPN. Diketahui dari luasan
tersebut, seluas 225.114m2 dengan nilai sebesar Rp183.519.692.448,00
sedang dalam proses penerbitan sertifikat pada Kantor Pertanahan BPN
Kabupaten Bangkalan, sedangkan sisanya seluas 154.792m2 dengan nilai
sebesar Rp111.435.981.332,00 belum diajukan proses pengurusan.
Selain itu terdapat pengamanan aset tanah yang telah dibebaskan pada
Kabupaten Bangkalan, yaitu berupa pemasangan plang dan patok pembatas
masih kurang memadai, karena patok pembatas yang mudah hilang dan
pindahkan.
Temuan tersebut mengakibatkan aset tanah seluas 154.792m2
berpotensi dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Sehubungan temuan
tersebut, BPK merekomendasikan Kepala BP-BPWS agar memerintahkan
Kepala Divisi Penyiapan Kawasan untuk segera mengajukan pengurusan
sertifikat atas bidang tanah seluas 74.092m2 ke Kantor Pertanahan BPN dan
mengajukan pengurusan sertifikat setelah keluar keputusan inkracht dari
pengadilan atas bidang tanah seluas 80.700m2.
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
Temuan Pemeriksaan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-
Undangan
Belanja Barang
1. Kelebihan pembayaran atas belanja keperluan perkantoran sebesar
Rp246.306.481,46
Rp16.634.250,00
2. Kelebihan pembayaran sewa mesiny fotocopy sebesar Rp43.715.000,00
3. Kelebihan pembayaran pada pekerjaan konstruksi sebesar
4 | Pusat Kajian AKN
Kelebihan pembayaran pada pekerjaan konstruksi sebesar
Rp246.306.481,46 (Temuan No. 3 atas Belanja Barang dalam LHP
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
No.18C/LHP/XVIII/04/2018, Hal. 5)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan atas pekerjaan konstruksi
yang direalisasikan dari belanja barang berupa kekurangan tebal aspal dan
agregat, ketinggian pondasi yang tidak sesuai spesifikasi, serta pemasangan
perpipaan yang tidak sesuai kontrak sehingga terjadi kelebihan pembayaran
sebesar Rp246.306.481,46.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar
Rp246.306.481,46. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, BPK
merekomendasikan Kepala BP-BPWS agar memproses kelebihan
pembayaran sebesar Rp246.306.481,46 sesuai ketentuan yang berlaku serta
menyetorkan ke Kas Negara.
Atas rekomendasi tersebut, BP-BPWS telah menindaklanjuti seluruhnya
dengan menyetorkan ke Kas Negara.
Kelebihan pembayaran pada pekerjaan konstruksi sebesar
Rp436.704.S04,67, dan denda keterlambatan sebesar Rp22.343.004,98
(Temuan No. 1 atas Belanja Modal dalam LHP Kepatuhan terhadap
Peraturan Perundang-undangan No.18C/LHP/XVIII/04/2018, Hal. 8)
Dalam temuan tersebut terdapat permasalahan pada pekerjaan
pembangunan Rest Area Sisi Barat di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu
Sisi Madura (KKJSM) Tahap II, dan Pembangunan/Pengembangan SPAM
di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu Sisi Madura (KKJSM) dari Sungai
Pocong Tahap I berupa kekurangan volume atas pekerjaan yang dikerjakan
tidak sesuai dengan kontrak pada pekerjaan instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL), beton dan balok serta pemasangan perpipaan dan aksesoris, yang
menyebabkan kelebihan pembayaran sebesar Rp436.704.504,67. Selain itu
Belanja Modal
1. Kelebihan pembayaran pada pekerjaan konstruksi sebesar
Rp436.704.504,67 dan denda keterlambatan sebesar Rp22.343.004,98
2. Kelebihan pembayaran honorarium pelaksana kegiatan sebesar
Rp62.912.000,00
Pusat Kajian AKN | 5
pekerjaan tersebut mengalami keterlambatan penyelesaian pekerjaan
sehingga harus dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp22.343.004,98.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala BP-
BPWS agar memproses kelebihan pembayaran sebesar Rp436.704.504,67,
dan kekurangan penerimaan sebesar Rp22.343.004,98 sesuai ketentuan yang
berlaku serta menyetorkan ke Kas Negara.
Atas rekomendasi tersebut, BP-BPWS telah menindaklanjuti dengan
menyetorkan ke Kas Negara sebesar Rp359.047.509,60.
6 | Pusat Kajian AKN
2. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Perolehan opini BPK RI atas Laporan Keuangan (LK) BMKG selama
tiga tahun berturut-turut sejak TA 2015 sampai dengan TA 2017 adalah
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Berikut ini adalah gambar yang menjelaskan tentang jumlah temuan dan
rekomendasi, serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK
untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di
BMKG:
Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan BMKG pada tahun
2017 mengungkap temuan yang perlu mendapatkan perhatian baik ditinjau
dari penilaian Sistem Pengendalian Intern maupun penilaian kepatuhan
terhadap terhadap peraturan perundang-undangan yaitu:
Sistem Pengendalian Intern
Temuan Pemeriksaaan Sistem Pengendalian Intern
Piutang
1. Peraturan Kepala BMKG Nomor 2 Tahun 2017 tidak sesuai kebijakan
akuntansi piutang
Aset Tetap
1. Penatausahaan Kapitalisasi Nilai Aset Tetap dari Belanja
Pemeliharaan tidak memadai
2. Pengelolaan BMN di Lingkungan BMKG belum memadai
2015 2016 2017
15 14 9
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
20 27 1 1 1 16 0 0 0 0 0 0
Sesuai RekomendasiBelum Sesuai
Rekomendasi
Belum
Ditindaklanjuti
Tidak Dapat
Ditindaklanjuti
Temuan
38
Rekomendasi
66
Pusat Kajian AKN | 7
Peraturan Kepala BMKG Nomor 2 Tahun 2017 tidak sesuai kebijakan
akuntansi piutang (Temuan No. 1 atas Piutang dalam LHP SPI No. 25B/HP/XlV/05/2018, Hal. 3)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa terdapat
penurunan saldo Piutang Bukan Pajak pada Tahun 2017 sebesar 98,73%,
dimana penurunan tersebut terjadi karena adanya pembayaran dari debitur
dan adanya jumal penyesuaian yang mengurangi nilai Piutang Bukan Pajak
dan selanjutnya nilai jumal penyesuaian tersebut diungkap dalam Catatan
atas Laporan Keuangan Unaudited. Rincian Piutang Bukan Pajak dapat
dirincikan sebagai berikut :
Piutang Bukan Pajak dan penyisihan Piutang Tidak Tertagih
Uraian 2017 2016
Piutang Bukan Pajak 449.200.000,00 35.517.183.551,00
Penyisihan Piutang Tidak
Tertagih – Piutang Bukan
Pajak
(2.246.000,00) (177.585.918,00)
Piutang Bukan Pajak (netto) 446.954.000,00 35.339.597.633,00
Sumber : Neraca BMKG Unaudited, IHPS I 2018
Adanya jurnal penyesuaian tersebut merupakan tindaklanjut atas
Peraturan Kepala BMKG Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kebijakan
Akuntansi Piutang PNBP atas Informasi Cuaca untuk penerbangan pada
BMKG. Namun atas penghapusan Piutang Bukan Pajak tersebut, BMKG
belum melakukan proses/prosedur penghapusan Piutang ke Kementerian
Keuangan. Hal tersebut mengakibatkan akun Piutang Bukan Pajak
berpotensi disajikan tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Kepala BMKG untuk melakukan revisi atas Peraturan Kepala BMKG
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kebijakan Akuntansi Piutang Penerimaan
Negara Bukan Pajak atas Informasi Cuaca Penerbangan pada BMKG sesuai
ketentuan yang berlaku
Belanja Barang
1. Penetapan jenis kontrak berdasarkan cara pembayaran tidak tepat
2. Pengendalian Internal dalam Pengadaan Barang dan Jasa yang
diselenggarakan oleh BMKG belum efektif
8 | Pusat Kajian AKN
Penatausahaan Kapitalisasi Nilai Aset Tetap dari Belanja
Pemeliharaan tidak memadai (Temuan No. 1 atas Aset Tetap dalam LHP
SPI No. 25B/HP/XlV/05/2018, Hal. 5)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa pembelian suku
cadang yang dicatat sebagai belanja barang pemeliharaan peralatan dan
mesin, selain itu terdapat suku cadang yang merupakan komponen utama
Peralatan dan Mesin belum dikapitalisasi pada Laporan Keuangan Unaudited.
BMKG tidak mencatat suku cadang diatas sebagai aset tetap karena mengacu
pada Perka BMKG Nomor 7 Tahun 2016 tentang Standar Teknis dan
Operasional Pemeliharaan Peralatan Pengamatan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika. Didalam Perka tersebut mengatur dalam pemeliharaan
peralatan untuk menggunakan akun 52 dalam mengganti yang sudah ada dan
tidak menambah nilai aset, sehingga Perka tersebut perlu dilakukan
pengakajian kembali.
Kondisi tersebut mengakibatkan adanya potensi tidak tercatatnya biaya
penggantian suku cadang yang merupakan komponen utama dan seharusnya
merupakan penambahan nilai aset tetap. Sehingga BPK merekomendasikan
kepada Kepala BMKG agar menetapkan kebijakan Akuntansi Aset Tetap
yang mengatur tentang pengeluaran setelah perolehan awal suatu aset tetap
(subsequent expenditures).
Permasalahan tersebut juga terjadi pada tahun 2016, dimana BPK juga
menemukan suku cadang yang telah diganti tidak disimpan dan
ditatausahakan secara memadai, sehingga suku cadang yang diganti tersebut
menumpuk setiap tahunnya dimana berdasarkan uji petik yang dilakukan
BPK atas 17 kontrak ditemukan 1.083 suku cadang disimpan ditempat
barang diganti, 490 suku cadang disimpan di Kantor Pusat BMKG, dan 325
suku cadang tidak diketahui keberadaannya
Pengendalian Internal dalam Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) yang
diselenggarakan oleh BMKG belum efektif (Temuan No. 2 atas Belanja
Barang dalam LHP SPI No. 25B/HP/XlV/05/2018, Hal. 13)
Dalam perencanaan dan pelaksanaan PBJ menunjukan praktik PBJ yang
dilakukan belum sepenuhnya melaksanakan SPI yang handal dan tidak
memenuhi prinsip-prinsip yang ditetapkan peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut terjadi karena adanya pekerjaan yang mendahului kontrak,
Pusat Kajian AKN | 9
terdapat pekerjaan yang sama dilaksanakan melalui beberapa paket pekerjaan
(pemecahan kontrak), adanya ketidakhematan atas penyusunan dan
perhitungan komponen biaya pekerjaan, serta terdapat barang untuk Sistem
Proteksi Internal yang tidak terpasang. Kondisi tersebut mengakibatkan
tujuan pengadaan barang dan jasa yang efisien dan efektif tidak tercapai, serta
berpotensi terjadi kerugian negara; Ketidakhematan dalam pengadaan
barang dan jasa sebesar Rp110.834.000,00; dan Pengadaan barang untuk
Sistem Proteksi Petir di Stasiun Meteorologi Cengkareng, tidak dapat
dimanfaatkan dengan maksimal.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala
BMKG agar menginstruksikan Sekretaris Utama BMKG untuk
memerintahkan PPK pada Pusat Instrumentasi, Rekayasa dan Kalibrasi dan
Pusat Meteorologi Penerbangan Sekretariat Utama BMKG dan PPK serta
Pejabat Pengadaan di STMKG untuk mentaati ketentuan yang berlaku, dan
Inspektur BMKG untuk lebih optimal dalam melakukan pengawasan atas
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BMKG.
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
Temuan Pemeriksaan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-
undangan
Belanja Pegawai
1. Pembayaran uang makan tidak sesuai kehadiran pegawai
Belanja Barang
1. Pekerjaan sewa Disaster Recovery Center (DRC) dilaksanakan tidak
sesuai ketentuan
2. Pembayaran Belanja Vakasi pada Sekolah Tinggi Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (STMKG) tidak sesuai Standar Biaya
Masukan
3. Pekerjaan Pemeliharaan Sistem Diseminasi Sirine dilaksanakan tidak
sesuai ketentuan
4. Pekerjaan Pemeliharaan AWOS dilaksanakan tidak sesuai ketentuan
5. Terdapat kelebihan pembayaran atas Pekerjaan Pemeliharaan Sistem
Processing InaTEWS
10 | Pusat Kajian AKN
Pekerjaan Sewa Disaster Recovery Center (DRC) dilaksanakan tidak
sesuai ketentuan (Temuan No. 1 atas Belanja Barang dalam LHP
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 25C/HP/XlV/05/2018, Hal. 6)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa jaringan yang tidak
dapat dimanfaatkan tepat waktu, sehingga terjadi kelebihan pembayaran
sebesar Rp398.368.200,00 atas pekerjaan yang belum siap dioperasikan.
Selain itu kegiatan corrective maintenance yang merupakan kegiatan untuk
mengatasi apabila terjadi hambatan yang mengganggu kegiatan operasional,
Sampai dengan kontrak berakhir tidak ada kegiatan mendesak yang
memerlukan corrective maintenance, sehingga terdapat kelebihan pembayar atas
pekerjaan yang tidak seharusnya dibayarkan sebesar Rp196.800.000,00.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan
menginstruksikan PPK Pengelolaan Database untuk menarik dan
menyetorkan kelebihan pembayaran ke Kas Negara sebesar
Rp536.949.928,80 (Rp398.368.200,00 + Rp196.800.000,00 – PPN sebesar
Rp54.106.200,00 - PPh sebesar Rp4.112.071,20).
Pembayaran Belanja Vakasi pada Sekolah Tinggi Meteorologi,
Klimatologi dan Geoflsika (STMKG) tidak sesuai Standar Biaya
Masukan (Temuan No. 2 atas Belanja Barang dalam LHP Kepatuhan
terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 25C/HP/XlV/05/2018, Hal.
9)
Terdapat permasalahan berupa pembayaran belanja vakasi honorarium
mengajar untuk bulan Oktober, November, dan Desember 2017 yang tidak
sesuai dengan Standar Biaya Masukan (SBM). Ketidaksesuaian tersebut
terjadi karena perhitungan pembayaran belanja vakasi honorarium mengajar
mata kuliah praktik dilakukan dengan cara mengalikan dua dari setiap SKS
mata kuliah dan kesalahan perhitungan perkalian beban SKS dengan
kehadiran. Sehingga terdapat kelebihan pembayaran sebesar
Rp394.633.500,00.
Belanja Modal
1. Terdapat kelebihan pembayaran atas Pekerjaan Jasa Kontraktor Renovasi
Gedung Pusat Komputasi
2. Jaminan pelaksanaan atas pekerjaan yang putus kontrak belum dicairkan
Pusat Kajian AKN | 11
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan h Kepala BMKG agar memerintahkan Sekretaris Utama
untuk:memerintahkan Ketua STMKG untuk membayarkan honor mengajar
sesuai Standar Biaya Masukan yang berlaku.
Pekerjaan Pemeliharaan Sistem Diseminasi Sirine Dilaksanakan
Tidak Sesuai Ketentuan (Temuan No. 3 atas Belanja Barang dalam LHP
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 25C/HP/XlV/05/2018, Hal. 10)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa teknisi daerah yang
merangkap jabatan sebagai PNS pada Unit Kerja Badan Penanggulangan
Daerah Pemprov Gorontalo. Hal ini dikarenakan PNS dilarang menjadi
penyedia jasa kecuali yang bersangkutan mengambil cuti di luar tanggungan
negara, sehingga terrdapat kelebihan pembayaran sebesar Rp61.855.200,00.
Permasalahan lain yang menjadi sorotan yaitu adanya kelebihan
pembayaran atas item pekerjaan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
kontrak sebesar Rp173.505.904,76. Tidak dilaksanakannya item pekerjaan
oleh penyedia dikarenakan tidak terdapatnya bukti Laporan Bukti
Kunjungan Pemeliharaan Pemeriksaan sehingga atas pekerjaan tersebut
tidak seharusnya dibayarkan.
Kondisi tersebut mengakibatkan adanya kelebihan pembayaran sebesar
Rp235.361.104,76. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan Kepala BMKG agar memerintahkan Sekretaris Utama
untuk memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada PPK Pusat
Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, serta PPHP Deputi Bidang Geofisika
BMKG tidak cermat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai
dengan ketentuan serta tidak cermat dalam melakukan pengawasan dan
pengendalian pekerjaan.
Pekerjaan Pemeliharaan Authomatic Weather Observation System
(AWOS) dilaksanakan tidak sesuai ketentuan (Temuan No. 4 atas
Belanja Barang dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 25C/HP/XlV/05/2018, Hal. 14)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa pelaksanaan
pekerjaan oleh teknisi yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak dan
teknisi yang melaksanakan pekerjaan bersamaan di dua tempat yang berbeda.
Ketidaksesuaian tersebut diantaranya yaitu terdapat teknisi AWOS yaitu
12 | Pusat Kajian AKN
EEA dan NY yang memiliki pengalaman kerja 6 tahun, akan tetapi bukti
sertifikat menunjukan bahwa teknisi tersebut baru mendapatkan sertifikat
AWOS masing-masing pada 10 Agustus 2012 dan 18 Juli 2013, sehingga
pengalaman kedua teknisi tersebut tidak memenuhi spesifikasi kontrak yang
menyebabkan adanya kelebihan pembayaran Rp182.070.000,00.
Permasalahan lain yang menjadi sorotan yaitu terdapat teknisi yang
melaksanakan pekerjaan pada dua lokasi yang berbeda di waktu yang sama
yaitu teknis AS, dimana pada tanggal 2-4 Agustus 2017, melakukan pekerjaan
Corrective Maintenance Khusus pada site Bandara Silampari-Lubuk
Linggau, dan Tanggal 4 Agustus melaksanakan pekerjaan Pengadaan Barang
Pembangunan AWOS Kategori I di Bandar Udara SOA-BAJAWA
Masumeli, Soa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Sehinga terdapat
kelebihan pembayaran atas pekerjaan yang tidak seharusnya dibayarkan
sebesar Rp9.450.000,00. Selain itu, terdapat permasalahan Pelaksanaan
pekerjaan oleh teknisi tidak sesuai spesifikasi teknis kontrak sebesar
Rp33.515.030,30
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan
memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada PPHP Deputi
Bidang Meteorologi, dan PPK Pusat Meteorologi Penerbangan yang tidak
cermat dalam memeriksa prestasi pekerjaan sesuai dengan item pekerjaan
dalam perjanjian, serta tidak cermat dalam melakukan pengawasan dan
pengendalian pekerjaan.
Pusat Kajian AKN | 13
3. Badan SAR Nasional
Perolehan opini BPK RI atas Laporan Keuangan (LK) Basarnas selama
tiga tahun berturut-turut sejak TA 2015 sampai dengan TA 2017 adalah
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Berikut ini adalah gambar yang menjelaskan tentang jumlah temuan dan
rekomendasi, serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK
untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di
Basarnas:
Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Badan SAR
Nasional pada tahun 2017 mengungkap temuan yang perlu mendapatkan
perhatian baik ditinjau dari penilaian Sistem Pengendalian Intern maupun
penilaian kepatuhan terhadap terhadap peraturan perundang-undangan
yaitu:
Sistem Pengendalian Intern
Temuan Pemeriksaan Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Pendapatan
1. Basarnas belum melakukan penganggaran atas Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP)
Sistem Pengendalian Aset
1. Penatausahaan dan pengamanan Persediaan Basarnas belum sesuai
ketentuan
2. Kantor SAR Jakarta belum melaksanakan Tuntutan Ganti Rugi atas
kehilangan Barang Milik Negara
3. Penerapan penyusutan pada sebagian Aset Tetap dan Amortisasi
pada sebagian Aset Tak Berwujud tidak menggambarkan nilai yang
sebenarnya
4.
2015 2016 2017
9 43 19
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
17 30 2 2 26 0 0 59 41 0 0 0
Belum Ditindaklanjuti Tidak Dapat Ditindaklanjuti
Temuan
71
Rekomendasi
177
Sesuai Rekomendasi Belum Sesuai Rekomendasi
14 | Pusat Kajian AKN
Penerapan penyusutan pada sebagian Aset Tetap dan amortisasi
pada sebagian Aset Tak Berwujud tidak menggambarkan nilai yang
sebenarnya (Temuan No. 3 atas Aset dalam LHP SPI No. 24B/HP/
XlV/05/2018, Hal. 9)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan yaitu adanya selisih atas
penyusutan aset tetap Gedung dan Bangunan, aset tetap Jalan, Irigasi, dan
Jaringan masing-masing sebesar Rp2.720.115.785,96 dan Rp141.165.961,32.
Selisih tersebut sebagian besar merupakan transaksi perolehan sebelum
tahun 2005 dan terjadi pengembangan aset maupun koreksi pencatatan
nilai/kuantitas sehingga terjadi penyusutan transaksional. Dengan adanya
penyusutan transaksional menjadikan nilai aset tetap ketika masa manfaatnya
habis masih terdapat nilai residu. Hal tersebut bertentangan dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor l/PMK.06/2013 sebagaimana diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.06/2017 tentang
Penyusutan Barang Milik Negara Berupa Aset Tetap pada Entitas
Pemerintah Pusat yang menyatakan bahwa penentuan nilai yang dapat
dilakukan untuk setiap unit Aset Tetap tanpa ada nilai residu.
Selain itu, terdapat selisih perhitungan amortisasi ATB pada SIMAK
BMN dengan perhitungan simulasi sebesar Rp3.707.724.428,38. Selisih
tersebut terjadi karena adanya pemutakhiran (update) aplikasi SIMAK BMN
pada amortisasi.
Kondisi tersebut mengakibatkan nilai akumulasi penyusutan Aset Tetap
(gedung dan bangunan dan jalan, irigasi, dan jaringan) dan amortisasi ATB
yang disajikan pada neraca Basarnas masing-masing sebesar
Rp101.828.435.255,00 dan Rp69.605.396.465,00 tidak menunjukkan nilai
yang sebenarnya. Namun demikian, ketidaksesuaian ini tidak bersifat
material dan tidak memengaruhi kewajaran penyajian Aset Tetap dan AT di
dalam Neraca.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Kepala Basrnas agar menginstruksikan Sekretaris Utama Basarnas untuk
memerintahkan petugas BMN pada Kantor Pusat dan Kansar terkait untuk
melaksanakan pemutakhiran (update) aplikasi SIMAK BMN sesuai
ketentuan, serta berkoordinasi dengan Ditjen Kekayaan Negara
4. Tiga unit kendaraan roda empat yang sudah dihentikan
penggunaannya dikuasai pihak lain
Pusat Kajian AKN | 15
Kementerian Keuangan mengoreksi saldo akumulasi penyusutan dan
amortisasi.
Tiga unit kendaraan roda empat yang sudah dihentikan
penggunaannya dikuasai pihak lain (Temuan No. 4 atas Aset dalam LHP
SPI No. 24B/HP/XlV/05/2018, Hal. 14)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa tiga kendaraan
roda empat yang fisiknya tidak dikuasai oleh Basarnas. Kendaraan tersebut
tidak dapat dipindahtangankan karena Bea Masuknya belum dibayar. Ketiga
kendaraan tersebut merupakan kendaraan operasional Kantor SAR
Denpasar, Surabaya, dan Makassar yang pada tahun 2012 memiliki kondisi
rusak berak, dan masing-masing Kantor SAR tidak mempunyai anggaran
untuk memperbaikinya. Kemudian pada tahun 2014, ketiga kendaraan
tersebut diperbaiki oleh AB (pihak lain) dan disimpan dirumahnya, namun
tanpa ada dokumen peminjaman/BAST dari Basarnas.
Kondisi tersebut mengakibatkan Basarnas tidak dapat melakukan proses
lelang atas ketiga kendaraan tersebut dan berpotensi kehilangan pendapatan
dari penjualan aset tersebut. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan Kepala Basamas agar menginstruksikan Sekretaris
Utama untuk menarik aset yang dikuasai AB dan menentukan statusnya
apakah masih layak digunakan untuk kegiatan operasional.
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
Temuan Pemeriksaan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-
undangan
Belanja
1. Perbaikan Kapal Negara (KN) Abimanyu 235 pada Kansar Ambon tidak
sesuai ketentuan sebesar Rp75,48 Juta
2. Pekerjaan Pengadaan Medium Earth Orbital-Local User Terminal
3. Pembangunan Prasarana Balai Diklat kurang volume sebesar
Rp236,48 Juta
4. Penataan Landscape Gedung, Pembangunan Gudang Peralatan SAR,
Pembangunan Rumah Genset Serta Pembangunan Shelter Kendaraan
Roda-4 pada Kansar Jakarta kurang volume sebesar Rp94,77 Juta
Mission Command Center (MEO-LUT MCC) Basarnas tidak sesuai
ketentuan
16 | Pusat Kajian AKN
Pekerjaan pengadaan Medium Earth Orbital-Local User Terminal
Mission Command Center (MEO-LUT MCC) Basamas tidak sesuai
ketentuan (Temuan No. 2 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan terhadap
Peraturan Perundang-undangan No. 24C/HP/XlV/05/2018, Hal. 7)
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap pekerjaan pengadaan Medium
Earth Orbital-Local User Terminal Mission Command Center (MEO-LUT MCC),
BPK mengungkap terdapat permasalahan yang mengakibatkan Aset Tetap
Peralatan dan Mesin lebih catat dan kelebihan pembayaran sebesar
Rp359.904.351,00, yang disebabkan KPA Kantor Pusat dan PPK Direktorat
Komunikasi tidak melakukan pengawasan dengan baik atas pelaksanaan
pekerjaan, PPHP Kantor Pusat dalam membuat BAST Pekerjaan tidak
sesuai dokumen kontrak, serta Penyedia Jasa tidak melaksanakan pekerjaan
sesuai dokumen kontrak.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala
Basamas agar menginstruksikan Sekretaris Utama untuk kepada KPA
Kantor Pusat yang tidak melakukan pengawasan dengan baik atas
pelaksanaan pekerjaan, serta menginstruksikan KPA Kantor Pusat agar
memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada PPHP Kantor
Pusat yang membuat BAST pekerjaan tidak sesuai dokumen kontrak.
Pembangunan prasarana Balai Diklat kurang volume sebesar
Rp236,48 juta (Temuan No. 3 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan terhadap
Peraturan Perundang-undangan No. 24C/HP/XlV/05/2018, Hal. 10)
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap pekerjaan Pembangunan
Prasarana Balai Diklat, BPK mengungkap terdapat kekurangan volume
pekerjaan struktur jalan dan drainase yang mengakibatkan Aset Tetap
Gedung dan Bangunan lebih catat dan kelebihan pembayaran sebesar
236.482.288,33.
5. Pekerjaan Pengembangan Gedung Kansar Surabaya lebih bayar sebesar
Rp53,21 Juta
6. Dua paket pekerjaan pada Kansar Kendari kurang volume sebesar Rp39,25
Juta
7. Pekerjaan pengadaan pembangunan satu unit Kapal Penyelamatan
(Rescue Boat) bahan aluminium panjang 40 meter untuk Kansar Ambon
(Paket III) kurang volume sebesar Rp95,31 Juta
Pusat Kajian AKN | 17
Atas temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala Basarnas agar
menginstruksikan Sekretaris Utama untuk menginstruksikan Kepala Balai
Diklat agar memerintahkan PPK Balai Diklat untuk menagih dan menyetor
kelebihan pembayaran ke Kas Negara sebesar Rp236.482.288,33, serta
memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada PPHP dan PPK
pada Balai Diklat yang membuat BAST pekeijaan tidak sesuai dokumen
kontrak.
18 | Pusat Kajian AKN
4. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
Perolehan opini BPK RI atas Laporan Keuangan (LK) Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo selama tiga tahun berturut-turut sejak TA
2015 sampai dengan TA 2017 adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
BPLS telah dibubarkan berdasarkan Perpres No. 21 Tahun 2017 tanggal 2
Maret 2017. Aset dan kewajibannya kemudian diserahterimakan kepada
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat (PUPR) c.q Pusat
Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS).
Berikut ini adalah gambar yang menjelaskan tentang jumlah temuan dan
rekomendasi, serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK
untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di BPLS:
Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan BPLS pada tahun
2017 mengungkap mengungkap temuan yang perlu mendapatkan perhatian
baik ditinjau dari penilaian Sistem Pengendalian Intern maupun penilaian
kepatuhan terhadap terhadap peraturan perundang-undangan yaitu:
Sistem Pengendalian Intern
Temuan Pemeriksaan Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian atas Neraca
1. Neraca Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyajikan Barang Milik
Negara berupa tanah yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan
tugas dan fungsinya
2015 2016 2017
7 9 8
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
7 14 0 5 4 0 1 2 13 0 0 0
Sesuai RekomendasiBelum Sesuai
Rekomendasi
Belum
Ditindaklanjuti
Tidak Dapat
Ditindaklanjuti
Temuan
24
Rekomendasi
46
Pusat Kajian AKN | 19
Neraca Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyajikan Barang
Milik Negara berupa Tanah yang tidak digunakan dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsinya (Temuan No. 1 atas Neraca dalam
LHP SPI No. 09B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 3)
Pada tahun 2017, BPLS menyajikan aset tanah yang tidak digunakan
dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya yaitu berupa Tanah untuk Jalan
Tol seluas 1.177.074 m2 di kelurahan Kalitengah s.d Gempol Kecamatan
Tanggul Angin senilai Rp373.328.407.141,00. Aset tanah tersebut
merupakan tanah yang dibebaskan oleh BPLS sebagai bagian dari kegiatan
pembelian tanah yang berada di wilayah luapan lumpur di luar area Peta
terdampak yang menjadi beban APBN. Namun sebagian besar dari tanah
tersebut seluas 1.137.344 m2 digunakan oleh Jalan Tol oleh PT Jasa Marga.
Sampai dengan pelaksanaan pemeriksaan, BPLS belum mengalihkan
aset ke Kementerian PUPR, sehingga mengakibatkan Tanah untuk Jalan Tol
tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk penyelenggaraan
tugas dan fungsi tanah untuk jalan tol oleh Ditjen Bina Marga.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala
Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) agar melaksanakan koordinasi
dengan Direktorat Jenderal Bina Marga dalam rangka serah terima aset tanah
untuk jalan tol dan tanah untuk jalan arteri tersebut dari BPLS kepada
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
2. Pengelolaan Aset Tetap Tanah pada Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo belum optimal
3. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo belum memiliki kajian teknis
terkait penambahan masa manfaat atas penggantian suku cadang
peralatan dan mesin
4. Pengamanan Aset Lain-Lain Berupa Aset Rusak yang diusulkan untuk
dihapuskan kurang memadai
Sistem Pengendalian atas LRA
1. Penganggaran Belanja Modal sebesar Rp5.322.957.900,00 tidak tepat
20 | Pusat Kajian AKN
Pengelolaan Aset Tetap Tanah pada Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo belum optimal (Temuan No. 2 atas Neraca dalam LHP SPI No. 09B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 5)
Hasil pemeriksaan BPK menunjukan pengelolaan Aset Tetap Tanah di
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo masih memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya terdapat infromasi Aset Tetap yang belum disajikan
secara rinci dalam CaLK berupa informasi daftar tanah dan rincian tanah,
serta nilai perolehan tanah yang sebagaimana telah diatur dalam PSAP dan
Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).
Selain itu, terdapat 107 NUP tanah yang tidak disertai dengan informasi
luasan bidang tanah. Dari total 107 NUP tersebut belum seluruhnya
bersertifikat atas nama Pemerintah, hanya sebanyak 40 NUP yang sudah
bersertifikasi atas nama Pemerintah.
Kelemahan pengelolaan Aset Tetap Tanah lainnya yang perlu menjadi
sorotan yaitu terdapat biaya pengadaan dan pensertifikatan tanah namun
belum diatribusikan ke masing-masing aset tanah. Hal tersebut disebabkan
Petugas BMN BPLS mengalami kesulitan dalam mengatribusikan biaya-biaya tersebut ke aset tanah terkait sehingga biaya tersebut dimasukkan
dalam sub akun tersendiri yaitu Tanah Persil Lainnya. Hal tersebut tidak
sesuai dengan definisi dan kriteria aset tetap dalam PSAP yaitu berwujud.
Kondisi tersebut mengakibatkan risiko permasalahan hukum di
kemudian hari atas aset yang belum bersertifikat. Sehubungan dengan
temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala PPLS agar:
a. Memperbaiki penyajian laporan keuangan sebagaimana disyaratkan
dalam PSAP dan Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintah (SAP);
b. Mengusulkan kegiatan sertifikasi tanah atas 16 NUP tanah yang belum
bersertifikat atas nama pemerintah; dan
c. Mengatribusikan biaya administrasi pengadaan tanah yang dicatat
sebagai Tanah Persil Lainnya pada masing-masing NUP tanah.
Pusat Kajian AKN | 21
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo belum memiliki kajian
teknis terkait penambahan masa manfaat atas penggantian suku
cadang peralatan dan mesin (Temuan No. 3 atas Neraca dalam LHP SPI
No. 09B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 9)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan yaitu terdapat barang
berupa suku cadang kapal keruk yang secara substansi tidak memenuhi
kriteria aset tetap, sehingga barang tersebut tidak dapat berdiri sendiri namun
melekat pada peralatan utama.
Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa beban penyusutan atas
mesin/suku cadang tersebut dihitung tersendiri dengan masa manfaat
mengikuti aset induknya karena dalam aplikasi SIMAK tercatat sebagai kode
barang dan tahun perolehan yang berbeda dengan Aset Tetap induknya
(kapal keruk). Hal tesebut disebabkan karena BPLS belum memiliki kajian
teknis terkait penambahan masa manfaat atas penggantian suku cadang
Peralatan dan Mesin. Setiap penggantian spare part alat berat seperti kapal
keruk (dredger), BPLS melakukan kapitalisi sebagai penambah nilai aset
induknya. Namun BPLS belum memiliki kajian teknis apakah kegiatan
perbaikan ataupun penggantian tersebut memenuhi kriteria overhoul yang
dapat menambah masa manfaat aset tetap, sehingga petugas SIMAK BMN
hanya memperkirakan saja tanpa memiliki dasar acuan yang jelas, yang
mengakibatkan terjadinya ketidakkonsistenan dalam mengkategorikan
apakah penggantian spare part dapat menambah masa manfaat.
Kondisi tersebut mengakibatkan penghitungan Beban Penyusutan Aset
Tetap Peralatan Mesin menjadi tidak akurat. Sehubungan dengan temuan
tersebut, BPK merekomendasikan Kepala PPLS agar membuat kajian terkait
penambahan masa manfaat atas penggantian suku cadang Peralatan dan
Mesin.
Pengamanan Aset Lain-lain berupa Aset rusak yang diusulkan untuk
dihapuskan kurang memadai (Temuan No. 4 atas Neraca dalam LHP
SPI No. 09B/LHP/XVII/05/2018, Hal.12)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan yaitu terdapat lokasi
penyimpanan barang rusak yang tersebar dibeberapa lokasi yang berbeda.
Sehingga beberapa barang rusak tersebut tidak teridentifikasi dengan baik
karena lokasi penyimpanan yang terpisah-pisah dan sebagian label kode
barang sudah lepas.
22 | Pusat Kajian AKN
Selain itu, terdapat barang-barang berupa suku cadang (spare part) bekas
dari kapal keruk dan pompa yang tidak tercatat dan disimpan dengan baik,
sehingga rawan hilang maupun disalahgunakan, karena barang-barang
tersebut masih memiliki nilai jual dan berpotensi menjadi PNBP.
Kondisi tersebut mengakibatkan risiko kehilangan maupun
penyalahgunaan atas aset lain-lain dan suku cadang bekas tersebut.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala
PPLS agar melakukan inventarisasi aset lain-lain yang belum teridentifikasi
serta melakukan pengamanan yang memadai atas penyimpanan aset lain-lain
tersebut.
Penganggaran Belanja Modal sebesar Rp5.322.957.900,00 tidak tepat (Temuan No. 1 atas LRA dalam LHP SPI No. 09B/LHP/XVII/05/2018,
Hal.14 )
Pada tahun 2017, BPLS menganggarkan Belanja Modal sebesar
Rp263.569.005.000,00 dan direalisasikan sebesar Rp129.493.647.930,00 atau
49,13%. Dari hasil pemeriksaan terdapat permasalahan kesalahan
penganggaran yang direalisasikan dari Belanja Modal. Adapun permasalahan
tersebut antara lain yaitu terdapat Belanja Modal Peralatan dan Mesin yang
direalisasikan untuk kegiatan sewa mobil dalam rangka menunjang kegiatan
pengadaan tanah dengan total sebesar Rp863.483.500,00. Namun atas
kesalahan penganggaran tersebut sudah dilakukan koreksi penambahan Aset
Tetap Tanah, namun belum dijelaskan pada CaLK.
Selain itu, terdapat Belanja Modal yang direalisasikan untuk kegiatan
pembangunan fasilitas sosial antara lain berupa gapura makam, bangunan
makam, dan pagar makam dengan total belanja sebesar Rp4.459.474.400,00.
Namun hasil pengadaan tersebut belum diserahkan dan masih tercatat di
Neraca sebagai Aset Gedung dan Bangunan pada Bangunan Lainnya.
Kondisi tersebut mengakibatkan Belanja Modal Peralatan Mesin dicatat
lebih tinggi dan Belanja Modal Tanah dicatat lebih rendah sebesar
Rp863.483.500,00, serta Belanja Modal dicatat lebih tinggi dan Belanja
Barang Diserahkan Kepada Masyarakat/Pemda dicatat lebih rendah sebesar
Rp4.459.474.400,00. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan Kepala Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo agar dalam
penyusunan anggaran mempedomani ketentuan yang berlaku dan
mengoptimalkan peran APIP dalam reviu anggaran.
Pusat Kajian AKN | 23
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
Pertanggungjawaban pembelian Bahan Bakar Minyak untuk
keperluan operasional tidak sesuai ketentuan (Temuan No. 1 atas
Belanja Barang dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 09C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 3)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan yaitu terdapat penggunaan
voucher BBM yang dibagikan kepada pegawai di lingkungan BPLS, namun
tidak dilampirkan kembali bukti pertanggungjawabannya berupa struk
pembelian BBM dari SPBU. Pembagian voucher BBM tersebut pada
dasarnya adalah digunakan sebagai pemberian uang untuk pembelian BBM
yang diberikan dalam bentuk tunai sehingga atas penggunaan voucher BBM
tersebut tetap harus disampaikan sebagai bukti pertanggungjawaban.
Kondisi tersebut mengakibatkan adanya risiko penggunaan voucher
BBM yang digunakan tidak sesuai peruntukannya. Sehubungan dengan
temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala PPLS agar menegur PPK
Ketatalaksanaan agar lebih cermat dalam melakukan verifikasi dan
pengawasan atas pertanggungjawaban pembelian voucher Bahan Bakar
Minyak (BBM) dengan meminta dan menyimpan kelengkapan bukti struk
pembelian BBM dari SPBU.
Temuan Pemeriksaan Kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan
Kepatuhan atas Belanja Barang
1. Pertanggungjawaban pembelian Bahan Bakar Minyak untuk keperluan
operasional tidak sesuai ketentuan
2. Bukti pertanggungjawaban dan realisasi Belanja Sewa Kendaraan Dinas
tidak sesuai ketentuan
3. Kelebihan pembayaran pekerjaan pengaliran lumpur ke kali porong
Tahun 2017 terhadap item pekerjaan yang tidak direalisasikan sebesar
Rp94.000.000,00
24 | Pusat Kajian AKN
Bukti pertanggungjawaban dan realisasi Belanja Sewa Kendaraan
Dinas tidak sesuai ketentuan (Temuan No. 2 atas Belanja Barang dalam
LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 09C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 4)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan yaitu terdapat selisih antara
uang BBM yang diserahkan dengan uang yang dibelanjakan untuk voucher
yang dibagikan sebesar Rp1.466.100,00. Selisih tersebut terjadi karena tidak
seluruh uang tunai yang diberikan penyedia jasa (dengan dasar perhitungan
menggunakan liter) dapat digunakan untuk membeli voucher BBM. Selain
itu, realisasi BBM operasional kendaraan sewa sebesar Rp230.000.000,00
hanya dilengkapi dengan pertanggungjawaban berupa tanda terima voucher
kepada masing-masing penanggung jawab kendaraan operasional tanpa ada
nomer seri voucher, bukti pembelian voucher dari SPBU untuk BBM
kendaraan sewa dan bonggol potongan voucher maupun struk nota print-
out dari SPBU juga tidak ada.
Permasalahan lain yang menjadi sorotan yaitu terdapat pemborosan atas
realisasi komponen biaya pengemudi dari selisih komponen biaya kontrak
dengan upah yang dibayarkan sebesar Rp151.644.250,00. Pemborosan
tersebut terjadi karena upah pengemudi pengganti dan koordinator
pengemudi tidak diatur dalam spesifikasi kontrak, serta adanya biaya
perbaikan dan pemeliharaan kendaraan belum diperhitungkan kedalam
komponen biaya sewa kendaraan.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran belanja sewa
senilai Rp1.466.100,00, adanya potensi pemborosan karena adanya selisih
harga kontrak untuk upah pengemudi dengan upah riil yang dibayarkan
senilai Rp151.644.250,00, serta potensi penyalahgunaan penggunaan
voucher BBM senilai Rp230.000.000,00. Sehubungan dengan temuan
tersebut, BPK merekomendasika Kepala PPLS agar menginstruksikan PPK
untuk segera menyetorkan kelebihan pembayaran belanja sewa senilai
Rp1.466.100,00 ke kas Negara, dan mengatur dengan jelas hak dan
kewajiban PPK dan Penyedia Jasa termasuk syarat pengajuan prestasi
pembayaran.
Pusat Kajian AKN | 25
Kelebihan pembayaran Pekerjaan Pengaliran Lumpur ke Kali Porong
Tahun 2017 terhadap item pekerjaan yang tidak direalisasikan sebesar
Rp94.000.000,00 (Temuan No. 3 atas Belanja Barang dalam LHP
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 09C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 8)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan yaitu adanya item
pekerjaan persiapan yang tidak direalisasikan sampai dengan kontrak
berakhir, sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran terhadap item
pekerjaan pengadaan alat komunikasi dan demobilisasi yang tidak
dilaksanakan sebesar Rp94.000.000,00.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala
PPLS agar menginstruksikan PPK untuk segera menyetorkan kelebihan
pembayaran atas item persiapan yang tidak direalisasikan senilai
Rp94.000.000,00 ke kas Negara.
26 | Pusat Kajian AKN
5. Kementerian Perhubungan
Perolehan opini BPK RI atas Laporan Keuangan (LK) Kementerian
Perhubungan selama tiga tahun berturut-turut sejak TA 2015 sampai dengan
TA 2017 adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Berikut ini adalah gambar yang menjelaskan tentang jumlah temuan dan
rekomendasi, serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK
untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di
Kementerian Perhubungan:
Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Kementerian
Perhubungan pada tahun 2017 mengungkap mengungkap temuan yang
perlu mendapatkan perhatian baik ditinjau dari penilaian Sistem
Pengendalian Intern maupun penilaian kepatuhan terhadap terhadap
peraturan perundang-undangan yaitu:
Sistem Pengendalian Intern
2015 2016 2017
27 25 35
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
72 24 35 16 39 82 0 4 20 1 0 0
Sesuai RekomendasiBelum Sesuai
Rekomendasi
Belum
Ditindaklanjuti
Tidak Dapat
Ditindaklanjuti
Temuan
87
Rekomendasi
293
Temuan Pemeriksaan Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Pendapatan
1. Penatausahaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Pengelolaan Kas
BLU pada Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan (ATKP) Medan
belum memadai
2. Penerimaan Kontribusi Jasa Pemanduan dan Penundaan dari PT
Pelabuhan Indonesia III (Persero) Cabang Tanjung Intan Cilacap pada
Kantor KSOP Kelas II cilacap belum dilakukan rekonsiliasi yang memadai
Pusat Kajian AKN | 27
Pengelolaan PNBP pada Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek
Tahun Anggaran 2017 belum memadai (Temuan No. 3 atas Pendapatan
dalam LHP SPI No. 23B/HP/XIV/05/2018, Hal. 12)
Pada tahun anggaran 2017, BPK menemukan bahwa pengelolaan PNBP
BPTJ belum memiliki database yang lengkap terkait data angkutan umum
dalam trayek dan tidak dalam trayek di wilayah Jabodetabek per 1 Januari
2017. Hal tersebut terjadi karena Subdit Perencanaan belum memiliki
jumlah data angkutan kota yang memadai per 31 Desember 2016.
Berdasarkan survey yang dilakukan hanya data angkutan di wilayah provinsi
DKI Jakarta yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, sedangkan
data angkutan yang di wilayah provinsi/kabupaten/kota di Jabodetabek
selain Provinsi DKI Jakarta yang diperoleh adalah soft-file dalam bentuk file
excel/word/pdf yang belum dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya
dan validitasnya.
3. Pengelolaan PNBP pada Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek
Tahun Anggaran 2017 belum memadai
4. Dasar pengenaan tarif dalam Pengelolaan PNBP pada tiga Satker Badan
Layanan Umum (BLU) tidak sesuai ketentuan
5. Pengelolaan PNBP atas Jasa Pengawasan Kegiatan Bongkar Muat Barang
pada Satker Kantor KSOP Kelas I Tanjung Emas belum memadai
Sistem Pengendalian Belanja
1. Pembayaran Honor Instuktur Penerbang dan Mekanik Pesawat pada
Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug belum didukung
standar biaya
2. Belanja Barang dalam Rangka Perawatan dan Pengoperasian Prasarana
Perkeretaapian Milik Negara tidak sesuai ketentuan
Sistem Pengendalian Aset
1. Penatausahaan Persediaan pada Lima Satker di Tiga Eselon I
Kementerian Perhubungan belum memadai
2. Penatausahaan Aset Tetap pada enam satker di Empat Eselon I
Kementerian Perhubungan belum memadai
Sistem Pengendalian Kewajiban
1. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara belum mendapat Nomor
Registrasi dan Pengesahan atas Hibah Barang dan Jasa yang disajikan
dalam Kewajiban Jangka Pendek sebesar Rp1,751 Triliun
28 | Pusat Kajian AKN
Selain itu, BPTJ juga memiliki potensi pendapatan Hak dan Perijinan
atas KP Angkutan Tidak Dalam Trayek minimal sebesar
Rp4.705.500.000,00 pada wilayah DKI Jakarta yang belum diperhitungkan
dalam pendapatan PNBP BPTJ TA 2017. Potensi pendapatan tersebut
berasal dari data angkutan taksi reguler dan taksi eksekutif yang berada pada
kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan data angkutan taksi
Bandara International Soekarno Hatta yang berada pada kewenangan
Direktorat AMM Ditjen Perhubungan Darat, serta taksi online yang belum
diperhitungkan dalam KP ASK pada TA 2017 sebanyak minimal sebanyak
11.203 unit.
Kondisi tersebut mengakibatkan BPTJ memiliki potensi pendapatan
hak dan perizinan atas KP Angkutan Tidak Dalam Trayek minimal sebesar
Rp4,7 miliar pada wilayah DKI Jakarta yang belum diperhitungkan dalam
pendapatan PNBP BPTJ TA 2017.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala
BPJT agar menginstruksikan kepada Kepala BPTJ untuk memerintahkan
Kepala Subdit Pengawasan pada BPTJ agar berkoordinasi dengan Kepala
Subdit Angkutan untuk mengonfirmasi kepada seluruh perusahaan angkutan
terkait mengenai data angkutan umum dalam trayek dan tidak dalam trayek
seluruh wilayah Jabodetabek yang tidak tercantum dalam daftar izin
penyelenggaraan dan/atau KP TA 2017 untuk mengetahui jumlah seluruh
angkutan umum yang menjadi lingkup pengawasan BPTJ dan untuk
mengetahui pendapatan yang hilang di TA 2017.
Penatausahaan persediaan pada lima satker di tiga Eselon I
Kementerian Perhubungan belum memadai (Temuan No. 1 atas Aset
dalam LHP SPI No. 23B/HP/XIV/05/2018, Hal. 35)
Hasil pemeriksaan BPK menunjukan penatausahaan persediaan di
Kementerian Perhubungan masih memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya terdapat persediaan pada Satker Kantor Pusat Setjen Kemenhub
yang tercatat dalam aplikasi Persediaan namun tidak sesuai dengan fisik
persediaan yang ada di tempat penyimpanan barang Persediaan. Selain itu
pengamanan persediaan ATK masih terdapat kelemahan, dimana Kunci
gudang persediaan ATK dipegang oleh beberapa orang, serta pengeluaran
persediaan yang dilakukan tanpa bon permintaan persediaan.
Pusat Kajian AKN | 29
Permasalahan lain yang perlu disoroti dari temuan tersebut yaitu adanya
perbedaan antara hasil pengujian fisik dengan perhitungan mundur saldo per
31 Desember 2017, serta perbedaan antara hasil pengujian fisik dengan
perhitungan penggunaan Blanko SRUT selama tahun 2017 pada Ditjen
Hubdat. Perbedaan tersebut terjadi karena tidak adanya kontrol yang
memadai terhadap blanko SRUT, tidak adanya penyetoran PNBP terhadap
blanko kosong yang diminta dan diserahkan oleh pemohon, dan tidak
adanya reviu oleh Kasie Sertifikasi Kendaraan maupun pejabat diatasnya.
Selain itu, Pengamanan Persediaan Bahan Baku pada Satker Unit
Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Wamena tidak memadai dan
berpotensi disalahgunakan sebesar Rp2.554.513.944,00. Kemudian, terdapat
Persediaan yang telah diserahterimakan namun masih tercatat pada Satker
Direktorat Navigasi Penerbangan senilai Rp14,22 miliar. Hal ini
mengakibatkan akun Persediaan yang disajikan pada Neraca Satker
Ditnavpen per 31 Desember 2017 tidak dapat diyakini kewajarannya.
Kelemahan penatausahaan lainnya yang perlu menjadi sorotan yaitu
penyimpanan barang persediaan belum dilakukan secara memadai pada
BPTJ. Hal ini terlihat dari kondisi gudang persediaan tidak dalam
pengawasaan pengurus/penyimpan BMN, dan keluar masuknya persediaan
tidak didukung kartu persediaan. Selain itu, Berita Acara Stock opname barang
persediaan Blanko Kartu Pengawasan dan Blanko SK/SKP/Lampiran tidak
berdasarkan inventarisasi fisik.
Kondisi tersebut mengakibatkan
a. Nilai persediaan ATK dan obat-obatan klinik gigi pada satker kantor
pusat Setjen Kemenhub belum andal dan belum mencerminkan kondisi
persediaan sebenarnya, serta barang persediaan di gudang penyimpanan
ATK berpotensi hilang.
b. Nilai persediaan Blanko SRUT pengadaan tahun 2016 pada Neraca
Satker Direktorat Sarana senilai Rpl1.718.222.000,00 tidak diyakini
kewajarannya.
c. Persediaan yang disajikan pada Neraca Satker Ditnavpen per 31
Desember 2017 tidak dapat diyakini kewajarannya senilai
Rp14.225.414.800,00.
d. Persediaan Bahan Baku Satker UPBU Wamena yang disajikan pada
Neraca per 31 Desember 2017 senilai Rp2.554.513.944,00 berpotensi
disalahgunakan.
30 | Pusat Kajian AKN
e. Persediaan barang cetakan pada BPTJ rentan disalahgunakan, dan
persediaan blanko pengawasan hilang sebanyak 54 kartu.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Menteri
Perhubungan agar:
a. Menginstrusikan Sekjen untuk memerintahkan KPB Kantor Pusat
Setjen Kemenhub agar lebih optimal dalam memberikan arahan atas
pengelolaan persediaan.
b. Menginstrusikan kepada Ditjen Hubdat untuk memerintahkan KPA
Satker Sarana Hubdat untuk melakukan penertiban terhadap
pencatatan dan pengelolaan persediaan dengan melakukan inventarisasi
dan pemeriksaan fisik atas persediaan secara berkala.
c. Menginstruksikan kepada Inspektur Jenderal Kemhub untuk
melakukan inventarisasi dan pemeriksaan fisik per tahun secara rutin
untuk high value inventory
d. Memerintahkan Ditjen Hubud untuk memerintahkan Direktur
Navigasi Penerbangan melakukan verifikasi atas Persediaan Navigasi
Penerbangan yang telah diserahkan ke LPPNP1 dan melakukan
koordinasi dengan DJKN Kemenkeu terkait proses penilaian ulang
untuk kemudian berkoordinasi dengan Perum LPPNPI untuk
penerbitan Berita Acara Serah Terima.
e. Memerintahkan KPB BPTJ agar lebih optimal dalam memberikan
arahan kepada bawahan terkait atas pengelolaan persediaan, serta
menelusuri persediaan blanko yang hilang sebanyak 54 kartu dan jika
tidak ditemukan agar mengganti persediaan sesuai dengan nilai
persediaan yang ada pada laporan keuangan.
Penatausahaan Aset Tetap pada enam satker di empat Eselon I
Kementerian Perhubungan belum memadai (Temuan No. 2 atas Aset
dalam LHP SPI No. 23B/HP/XIV/05/2018, Hal. 46)
Pemeriksaan atas Aset Tetap Tanah pada beberapa satker di lingkungan
kemenhub menunjukan adanya beberapa kelemahan, diantaranya yaitu
masih terdapat saldo aset tetap per 31 Desember 2017 pada satuan kerja
yang sudah tidak aktif (satker yang sudah dilikuidasi) senilai Rp104,01 miliar,
terdapat 231 aset tetap pada 42 satker yang memiliki nilai buku negatif
sebesar Rp101,41 miliar, terdapat penghapusan aset tetap peralatan dan
mesin belum tertib, terdapat nilai Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP) yang
dicatat melebihi realisasi fisik pekerjaan, terdapat mutasi kurang Aset KDP
Pusat Kajian AKN | 31
sebesar Rp1.278.012.400,00 yang tidak dapat ditelusuri dan kekurangan fisik
KDP seluas 1.859,5 M2, serta terdapat Aset Tetap yang tidak ditemukan
sesuai hasil inventarisasi BPYBDS dan belum ditindaklanjuti dengan langkah
penertiban aset.
Kelemahan penatausahaan Aset Tetap lainnya yang perlu menjadi
sorotan yaitu terdapat kegiatan perawatan yang berupa pembangunan fisik
dan pembangunan aset tetap yang tidak dikapitalisasi ke dalam nilai aset tetap
prasarana perkeretaapian oleh kemenhub yang mengakibatkan nilai aset
tetap prasarana perkeretaapian tidak menggambarkan kondisi yang
sebenarnya. Kondisi tersebut mengakibatkan Aset Tetap dan Aset Lainnya
satker inaktif di Ditjen Perhubungan Udara sebesar Rp104.014.671.324,00
berisiko disalahgunakan atau hilang, Aset Tetap yang disajikan dalam Neraca
Kemenhub per 31 Desember 2017 senilai Rp194.182.653.366,50 tidak
menunjukkan kondisi yang sebenarnya, serta Aset Tetap Peralatan dan
Mesin Satker Peningkatan dan Pengembangan Sarana Perkeretaapian berupa
sistem LAA pada dua unit kereta ukur sebesar Rp16.339.094.200,00 tidak
dapat dimanfaatkan. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan kepada Menteri Perhubungan agar menginstruksikan:
a. Dirjen Perhubungan Udara untuk:
a) Segera menyelesaikan proses likuidasi satuan kerja tidak aktif;\
b) Melakukan koordinasi dengan Ditjen Kekayaan Negara
Kementerian Keuangan untuk memperbaiki nilai aset negatif pada
SIMAK-BMN;
b. Direktur Jenderal Perkeretaapian untuk:
a) Memerintahkan kepada KPA Satker Peningkatan dan
Pengembangan Sarana Perkeretaapian agar lebih cermat dalam
perencanaan dan pengendalian serta pelaksanaan penggunaan
anggaran: dan
b) Memerintahkan Direktur Prasarana Perkeretaapian
berkoordinasi dengan Biro Keuangan Kemenhub untuk
merancang kebijakan akuntansi terkait kapitalisasi aset tetap hasil
perawatan prasarana perkeretaapian milik negara.
32 | Pusat Kajian AKN
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
Pendapatan konsesi atas pelayanan jasa kebandarudaraan Tahun
2016 belum diterima oleh Satker Direktorat Bandar Udara (Temuan
No. 3 atas Pendapatan dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan
Perundang-undangan No. 23C/HP/XIV/05/2018, Hal. 10)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa belum dipungutnya
potensi pendapatan jasa konsesi TA 2016 dan 2017 di satker Direktorat
Bandar Udara (DBU). Potensi pendapatan tersebut diperoleh dari Perjanjian
Konsensi dengan PT AP I dan PT AP II tentang Pelayanan Jasa
Kebandarudaraan.
Permasalahan tersebut terjadi karena belum berjalannya hak dan
kewajiban para pihak sesuai perjanjian, serta adanya indikasi melanggar
perjanjian yang telah dibuat antara Satker DBU dengan PT AP I dan PT AP
Temuan Pemeriksaaan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-
undangan
Pendapatan
1. Pengelolaan PNBP pada Kantor Pusat Setjen Kemenhub belum sesuai
ketentuan
2. Kekurangan PNBP atas Terminal Khusus Migas Sapulu Poleng Marine
Terminal
3. Pendapatan Konsesi atas Pelayanan Jasa Kebandarudaraan Tahun
2016 belum diterima oleh Satker Direktorat Bandar Udara
4. Biaya Perawatan Prasarana Perkeretaapian di Luar Kontrak IMO
sebesar Rp242,99 Miliar tidak diperhitungkan sebagai Komponen
PNBP Track Access Charge
Belanja
1. Terdapat kelebihan pembayaran atas pelaksanaan pekerjaan dari
Belanja Barang pada enam eselon I
2. Terdapat kelebihan pembayaran atas kegiatan yang direalisasikan
dari Belanja Modal pada empat eselon I
3. Terdapat potensi kelebihan pembayaran atas pelaksanaan pekerjaan
pada tiga eselon i untuk pekerjaan yang belum dibayarkan 100%
4. Denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan tidak segera dipungut
pada empat eselon I
5. Terdapat Belanja Barang tidak sesuai ketentuan atas dua pelaksanaan
pekerjaan pada Ditjen Perhubungan Laut
Pusat Kajian AKN | 33
II dengan tidak melakukan kewajiban pembayaran konsensi
kebandarudaraan. Kondisi tersebut mengakibatkan terlambatnya
penerimaan pendapatan senilai Rp194.083.712.854,00 (Rp91.505.657.175,00
untuk PT AP I dan Rp102.578.055.679,00 untuk PT AP II) miliar oleh satker
DBU Ditjen Hubud.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Menteri
Perhubungan agar menginstruksikan Direktur Jenderal Perhubungan Udara
untuk melakukan penagihan kepada PT AP I dan PT AP II atas pendapatan
konsesi dari Pendapatan Jasa Kebandarudaraan tahun 2016 yang telah jatuh
tempo pada April tahun 2017 masing-masing senilai Rp91.505.657.175,00
dan Rp102.578.055.679,00 untuk disetorkan ke Kas Negara.
Biaya Perawatan Prasarana Perkeretaapian di Luar Kontrak IMO
sebesar Rp242,99 Miliar tidak diperhitungkan sebagai Komponen
PNBP Track Access Charge (Temuan No. 4 atas Pendapatan dalam LHP
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 23C/HP/XIV/05/2018, Hal. 13)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa biaya perawatan
prasarana perkeretaapian di luar kontrak IMO yang tidak diperhitungkan
sebagai komponen PNBP TAC, sehingga menyebabkan masih adanya
potensi PNBP TAC yang seharusnya diterima oleh kemenhub sebesar
Rp182.239.964.663,25.
Berdasarkan hasil pemeriksaan perhitungan PNBP TAC mengacu pada
perdirjen Perkeretaapian Nomor KU.203/SK.298/DJKA/12/15 tentang
Komponen Biaya yang Diperhitungkan untuk Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berasal dari Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik Negara.
Namun perhitungan PNBP TAC yang mengacu pada perdirjen
perkeretaapian tersebut berbeda dengan yang di jelaskan pada Permenhub
PM 62 Tahun 2013 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Penggunaan
Prasarana Perkeretaapian Milik Negara sebagaimana telah diubah dengan
Permenhub Nomor PM 122 Tahun 2015, dimana biaya TAC yang dihitung
berdasarkan beban biaya penggunaan prasarana perkeretaapian yang
meliputi biaya perawatan, biaya pengoperasian dan penyusutan prasarana
dengan memperhitungkan prioritas pengoperasian kereta api yang telah
disetujui dan ditetapkan oleh Menteri.
34 | Pusat Kajian AKN
Hasil pemeriksaan menunjukan, selain realisasi pembayaran biaya IMO
kepada PT KAI (berdasarkan kontrak IMO) sebesar
Rpl.230.065.002.000,00, terdapat realisasi biaya perawatan prasarana
perkeretaapian di luar Kontrak IMO sebesar Rp124.318.397.600,00. Selain
itu, terdapat penyerahan rel tipe R.54 dari Kemenhub kepada PT KAI senilai
Rp118.668.221.951,00. Sehingga seluruh biaya perawatan prasarana di luar
kontrak IMO yang tidak diperhitungkan sebagai komponen PNBP TAC
sebesar Rp242.986.619.551,00 (Rp124.318.397.600,00 +
Rp118.668.221.951,00).
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Menteri
Perhubungan agar menginstruksikan Dirjen Perkeretaapian untuk meninjau
kembali Perdirjen Perkeretaapian Nomor KU.203/SK.298/DJKA/12/15,
dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 62 Tahun 2013 tentang
Pedoman Perhitungan Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik
Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan
Republik Indonesia Nomor PM 122 Tahun 2015.
Terdapat kelebihan pembayaran atas pelaksanaan pekerjaan dari
Belanja Barang pada Enam Eselon I (Temuan No. 1 atas Belanja dalam
LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 23C/HP/XIV/05/2018, Hal. 18)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan kelebihan pembayaran
pada Sekjen Kemenhub sebesar Rp1.296.516.096,69 yang disebabkan
pekerjaan yang dibayarkan tidak sesuai dengan nilai riil pekerjaan atas 10
paket pekerjaan penyusunan lini masa di media sosial, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban atas Belanja Barang Jasa Konsultasi belum sesuai
ketentuan, serta terdapat belanja perjalanan dinas tidak sesuai ketentuan.
Atas permasalahan kelebihan pembayaran tersebut telah ditindaklanjuti
dengan penyetoran ke Kas Negara sebesar Rp425.681.359,00, sehingga yang
belum ditindaklanjuti sebesar Rp870.834.737,69.
Selain itu, terdapat permasalahan kelebihan pembayaran pada Ditjen
Perhubungan Darat sebesar Rp3.773.935.813,60 yang disebabkan karena
adanya kekurangan volume dan adanya koreksi terhadap harga satuan
pekerjaan karena penggunaan alat berat dilapangan yang tidak sesuai
penawaran. Kemudian adanya selisih jumlah biaya berdasarkan rekapitulasi
perhitungan biaya langsung non personil dengan realisasi pembayaran. Atas
Pusat Kajian AKN | 35
permasalahan kelebihan pembayaran tersebut telah ditindaklanjuti dengan
penyetoran ke Kas Negara sebesar Rp3.275.001.514,64, sehingga yang
belum ditindaklanjuti sebesar Rp498.934.298,96.
Kelebihan Pembayaran pada Ditjen Perhubungan Udara sebesar
Rp9.383.471.567,68 yanng disebabkan adanya kelebihan bayar atas
pekerjaan pengadaan barang berupa kelengkapan pembuatan pas bandara,
terdapat pekerjaan pemeliharaan yang dikontrakkan namun tidak dikerjakan,
serta adanya selisih lebih waktu tempuh rata-rata rute penerbangan perintis
antara data rata-rata waktu tempuh penerbangan dengan RAB kontrak. Atas
permasalahan kelebihan pembayaran tersebut telah ditindaklanjuti dengan
penyetoran ke Kas Negara sebesar Rp6.071.957.358,00, sehingga yang
belum ditindaklanjuti sebesar Rp3.311.514.209,68.
Permasalahan lain yang perlu menjadi sorotan yaitu terdapat kelebihan
Pembayaran pada Ditjen Perkeretaapian sebesar Rp7.212.551.791,53 yang
disebabkan karena adanya kontrak yang tidak dilaksanakan dan tidak
menggunakan biaya riil oleh pelaksana swakelola, kekurangan volume atas
pekerjaan keprasan/galian tanah termasuk buang, kelebihan perhitungan
volume pada MC 100 atas pekerjaan pembuatan jalan akses, serta pemahalan
harga atas pekerjaan timbunan normalisasi lereng pada pekerjaan tanah dan
pembuatan jalan akses.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran yang masih
belum dikembalikan sebesar Rp11.893.835.037,86, dan kelebihan catat
Persediaan sebesar Rp3.873.940.426,75 atas kelebihan bayar yang belum
dikembalikan ke Kas Negara ataupun yang sudah dikembalikan ke Kas
Negara namun belum dilakukan koreksi atas pencatatan aset di Neraca
masing-masing satker di lingkungan Ditjen Perhubungan Darat.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri Perhubungan agar memerintahkan KPA masing-masing satker di
lingkungan Sekretariat Jenderal, Ditjen Perhubungan Darat, Ditjen
Perhubungan Udara, dan Ditjen Perkeretaapian untuk menyetor kelebihan
pembayaran senilai Rp11.893.835.037,86 serta menyampaikan salinan bukti
setor kepada BPK, serta melakukan koreksi atas nilai Persediaan di Neraca
sekurang-kurangnya sebesar Rp3.873.940.426,75 jika kelebihan pembayaran
telah disetor ke Kas Negara atas masing-masing paket pekerjaan.
36 | Pusat Kajian AKN
Terdapat kelebihan pembayaran atas kegiatan yang direalisasikan
dari Belanja Modal pada Empat Eselon I (Temuan No. 2 atas Belanja
dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 23C/HP/XIV/05/2018, Hal. 53)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan kelebihan pembayaran
pada Ditjen perhubungan darat sebesar Rp2.084.034.654,07 diantaranya
disebabkan karena adanya kelebihan bayar atas biaya langsung personil dan
non personil, dan terdapat kegiatan Testing dan Commissioning, Training, serta
pendampingan pada Pekerjaan Pengadaan Perangkat Keras/Hardware yang
dilaksanakan belum sesuai ketentuan. Selain itu terdapat kekurangan volume
atas pekerjaan Pekerjaan Peningkatan/Rehabilitasi UPPKB Balonggandu,
terdapat pekerjaan kayu dolken yang tidak dilaksanakan, adanya selisih
perhitungan bekisting yang digunakan, serta terdapat kekurangan volume
atas Pekerjaan Pembangunan Terminal Barang Internasional Entikong
Tahap I. Atas permasalahan kelebihan pembayaran tersebut telah
ditindaklanjuti dengan penyetoran ke Kas Negara sebesar Rp235.540.000,00,
sehingga yang belum ditindaklanjuti sebesar Rp1.848.494.654,07.
Selain itu, terdapat permasalahan kelebihan pembayaran pada Ditjen
Perhubungan Udara sebesar Rp14.551.446.526,54 diantaranya disebabkan
karena adanya pekerjaan Pengurusan Administrasi Pemasangan Catut Daya
PLN 400kVA yang kurang dilaksanakan atau dilaksanakan kurang dari
volume yang ditetapkan dalam kontrak, terdapat ketimpangan harga pada
pekerjaan pada 12 pekerjaan tanpa ada klarifikasi dari Pokja ULP pada saat
pelelangan, serta adanya selisih harga pemakaian material pipa air bersih.
Kemudian terdapat pemahalan harga galian dan pembuangan pada
pekerjaan pemotongan bukit selatan runaway, dan kelebihan perhitungan
RAB atas volume pekerjaan pemasangan pagar pengaman bandara. Atas
permasalahan kelebihan pembayaran tersebut telah ditindaklanjuti dengan
penyetoran ke Kas Negara sebesar Rp8.644.192.262,75, sehingga yang
belum ditindaklanjuti sebesar Rp5.907.254.263,79.
Kelebihan pembayaran pada Ditjen Perekeretaapian sebesar
Rp198.003.318,25 yang disebabkan karena adanya kekurangan volume
pekerjaan urugan kembali tanah bekas galian box culvert dan pembuatan
penahan balas dari pasangan batu kali pada Pekerjaan Jalur Kereta Api
Ganda Antara Stasiun Martapura-Stasiun Baturaja Km.l95+600-
Km.200+100. Selain itu, terdapat kelebihan perhitungan volume atas
Pusat Kajian AKN | 37
Pekerjaan Jasa Konstruksi Paket B2 (1) Modernisasi Fasilitas Perkeretapian
untuk Jatinegara s.d. Bekasi Pekerjaan Pembangunan Gedung Dipo
Cipinang Segmen I, serta kelebihan perhitungan volume atas Pekerjaan Jasa
Konstruksi Paket B2 (1) Modernisasi Fasilitas Perkeretapian untuk
Jatinegara s.d. Bekasi Pekerjaan Pembangunan Gedung Dipo Cipinang
Segmen II. Atas permasalahan kelebihan pembayaran tersebut telah
ditindaklanjuti dengan penyetoran ke Kas Negara sebesar Rp106.238.406,00,
sehingga yang belum ditindaklanjuti sebesar Rp91.764.912,25.
Permasalahan lain yang perlu menjadi sorotan yaitu terdapat kelebihan
pembayaran pada BPSDM sebesar Rp4.308.783.393,71 yang disebabkan
karena adanya pekerjaan yang kurang dilaksanakan atau dilaksanakan kurang
dari volume yang ditetapkan dalam kontrak, serta adanya pemahalan harga
pada pengadaan peralatan system avionics.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran yang belum
disetorkan sebesar Rp9.310.133.390,06, nilai atas pekerjaan pelatihan dan
pendampingan sebesar Rp975.000.000,00 tidak dapat diyakini kewajarannya,
serta kelebihan catat Aset Tetap sebesar Rp16.173.073.237,10 atas kelebihan
bayar yang belum dikembalikan ke Kas Negara ataupun yang sudah
dikembalikan ke Kas Negara namun belum dilakukan koreksi atas
pencatatan aset di Neraca masing-masing satker.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Menteri
Perhubungan agar menginstrusikan Dirjen Hubdat, Dirjen Hubud, Dirjen
Perkeretaapian dan Kepala BPSDMP untuk memerintahkan KPA masing-
masing satker untuk menyetor kelebihan pembayaran senilai
Rp9.310.133.390,06 serta menyampaikan salinan bukti setor kepada BPK,
dan melakukan koreksi atas nilai Aset Tetap di Neraca sekurang-kurangnya
sebesar Rp15.359.582.465,75 jika kelebihan pembayaran telah disetor ke Kas
Negara atas masing-masing paket pekerjaan.
38 | Pusat Kajian AKN
6. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Perolehan opini BPK RI atas Laporan Keuangan (LK) Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada Tahun 2015 memperoleh
opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), kemudian pada TA 2016
menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dan pada Tahun 2017
kembali memperoleh opini WTP.
Berikut ini adalah gambar yang menjelaskan tentang jumlah temuan dan
rekomendasi, serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK
untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat:
Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada tahun 2017 mengungkap
mengungkap temuan yang perlu mendapatkan perhatian baik ditinjau dari
penilaian Sistem Pengendalian Intern maupun penilaian kepatuhan terhadap
terhadap peraturan perundang-undangan yaitu:
Sistem Pengendalian Intern
Pengelolaan dana bergulir dan pendapatan tarif Program Fasilitas
Likuiditas Pembiayaan Perumahan pada Badan Layanan Umum
Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan belum memadai (Temuan No. 1 atas Pendapatan Negara dan Hibah dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 3)
Pada Tahun 2017, Pengelolaan dana bergulir program FLPP masih
menunjukan beberapa kelemahan, diantaranya belum semua Bank Pelaksana
menyampaikan daftar nama debitur setelah pencairan dana FLPP. Diketahui
bahwa selama tahun 2017 belum semua Bank Pelaksana menyampaikan
daftar nama debitur setelah pencairan dana FLPP. Selain itu, BLU PPDPP
Pusat Kajian AKN | 39
belum memiliki mekanisme perhitungan ulang dalam rangka pengujian atas
pengembalian pokok dana FLPP dan tarif dana FLPP yang dibayarkan oleh
bank pelaksana.
Kelemahan lainnya yaitu terdapat rekonsiliasi atas rekening Program
FLPP yang belum dilakukan sesuai perjanjian. Dari hasil pemeriksaan
diketahui bahwa baru 22 dari 32 bank pelaksana yang melaksanakan
rekonsiliasi tarif dana FLPP. Selain itu, BLU PPDPP belum membuat
perhitungan sendiri sehingga belum ada control pembanding besaran nilai
pengembalian pokok dan tarif layanan yang harus disetor oleh bank.
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu adanya keterlambatan
penyetoran tarif dana FLPP dari Rekening Program Bank Pelaksana ke
Rekening Operasional BLU PPDPP, yang mengakibatkan timbulnya denda
keterlambatan sebesar Rp72.971.561,00. Denda keterlambatan tersebut
muncul, karena Bank BRI terlambat membayar tarif dana FLPP ke rekening
operasional BLU PPDPP periode Juli sampai dengan Desember 2016 dan
periode Januari s.d. Desember 2017.
Selain itu, terdapat ketidak konsistenan dan tidak adanya dasar yang jelas
atas pengenaan sanksi kekurangan/keterlambatan Pengembalian Pokok dan
Tarif Dana FLPP. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya risiko
pengembalian pokok dana FLPP dan tarif dana FLPP oleh bank pelaksana
yang tidak tepat sesuai dengan perhitungan yang seharusnya, serta terdapat
potensi pendapatan Satker BLU PPDPP yang belum diterima dari denda
keterlambatan pembayaran pokok dan tarif dana FLPP oleh bank pelaksana.
Sehubungan dengan temuan tersebut, Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat agar Dirjen Pembiayaan Perumahan menginstruksikan
Direktur BLU PPDPP:
a. Melakukan rekonsiliasi data nasabah, realisasi penyaluran FLPP,
pengembalian pokok, pembayaran tarif dana FLPP, serta saldo
rekening dana kelolaan dan rekening dana operasional sesuai perjanjian;
b. Meminta rincian nama debitur pada bank pelaksana sesuai perjanjian;
c. Mengevaluasi perjanjian terkait besaran denda keterlambatan
penyetoran pengembalian pokok dan tarif FLPP.
40 | Pusat Kajian AKN
Penganggaran Belanja Barang dan Belanja Modal tidak sepenuhnya
sesuai dengan realisasi kegiatan yang dilakukan (Temuan No. 1 atas
Belanja Negara dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 9)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa realisasi belanja
barang dan belanja modal yang tidak sesuai dengan penganggarannya sebesar
Rp7.315.650.633.850,00. Hal tersebut terjadi karena adanya realisasi Belanja
Barang yang seharusnya dianggarkan pada Belanja Modal, terdapat realisasi
Belanja Modal yang seharusnya dianggarkan pada Belanja Barang, dan
adanya Belanja Modal JIJ yang direalisasikan untuk Belanja Aset Peralatan
Mesin dan Gedung Bangunan.
Kondisi tersebut mengakibatkan realisasi belanja modal dan belanja
barang pada Laporan Realisasi Anggaran tidak menggambarkan keadaan
yang sebenarnya. Sehubungan dengan temuan tesebut, BPK
merekomendasikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat agar
menginstruksikan kepada Kepala Satker di lingkungan Dirjen Cipta Karya,
Ditjen Cipta Karya, Sumber Daya Air, Bina Marga dan Penyediaan
Perumahan untuk melakukan penyusunan anggaran dengan mempedomani
ketentuan yang berlaku, serta menginstrusikan Inspektur Jenderal untuk
melakukan reviu dalam proses penyusunan anggaran
Sistem pengendalian pelaksanaan belanja pada Satker Balai Wilayah
Sungai Sumatera IV belum memadai (Temuan No. 2 atas Belanja
Negara dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 12)
Pada temuan tersebut terdapat sistem pengendalian pelaksanaan belanja
yang belum sesuai ketentuan dengan tata cara pelaksanaan belanja negara.
Belum memadainya sistem pengendalian belanja tersebut terjadi karena
adanya beberapa permasalahan, diantaranya yaitu adanya dokumen
pertanggungjawaban belanja sewa yang tidak didukung oleh kuitansi/bukti
pembayaran dari penyedia barang/jasa, PPK dalam mengajukan permintaan
pembayaran tidak menguji kelengkapan dokumen tagihan, Pejabat
Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) belum sepenuhnya
menguji kebenaran SPP beserta dokumen pendukung yang diajukan oleh
PPK sehingga SPM tetap diterbitkan meskipun bukti pendukung yang
diajukan oleh PPK belum layak dibayarkan.
Pusat Kajian AKN | 41
Selain itu, Bendahara belum mengadministrasikan seluruh dokumen
tanda terima penyerahan uang kepada PPK atau staf PPK. PPK juga tidak
mengadministrasikan tanda terima pembayaran dari bendahara. Sehingga
total SPM GU yang telah diserahkan bendahara dan telah diterima oleh PPK
tidak dapat diketahui.
Kondisi tersebut mengakibatkan adanya potensi terjadinya kelebihan
pembayaran kegiatan, tidak sepenuhmya memenui prinsip saling uji dalam
proses pembayaran, serta pembayaran dilakukan kepada pihak yang tidak
mempunyai hak tagih. Sehubungan dengan temuan tersebut,
BPK merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat menginstruksikan kepada Dirjen SDA agar menegur
secara tertulis Kepala Satker BWS Sumatera IV atas kelemahannya dalam
melakukan pengendalian atas pelaksanaan belanja di lingkungan kerjanya,
serta memberi sanksi administrasi kepada PPK, PPSPM dan Bendahara
Pengeluaran sesuai peraturan perundang-undangan.
Belanja Honorarium Asesor Kegiatan Penilaian Potensi dan
Kompetensi pada Satker Balai Penilaian Kompetensi BPSDM belum
berdasar pada Standar Biaya Keluaran (Temuan No. 3 atas Belanja
Negara dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 14)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa Kegiatan Penilaian
Potensi dan Kompetensi melalui metode Full Assessment Center dan Quasi
Assessment Center, honor narasumber yang belum ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan dalam Standar Biaya Keluaran Tahun 2017. Sehingga
penetapan standar tarif asesor didasarkan pada PP Nomor 63 tahun 2016
tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Badan
Kepegawaian Negara. Diketahui bahwa harga pembayaran jasa profesi
asesor di Balai Penilaian Kompetensi lebih rendah dibanding standar harga
yang berlaku di BKN.
Kondisi tersebut mengakibatkan belanja jasa profesi pada kegiatan
Penilaian Potensi dan Kompetensi Melalui Metode Full Assessment Center
tidak dapat dinilai kewajarannya. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat agar menginstruksikan Sekretaris Jenderal untuk berkoordinasi
dengan Kementerian Keuangan dalam penetapan Standar Biaya honor
42 | Pusat Kajian AKN
narasumber untuk Kegiatan Penilaian Potensi dan Kompetensi melalui
Metode Full Assessment Center sesuai ketentuan yang berlaku.
Pengelolaan Kas Dana Operasional pada BLU PPDPP belum
memadai (Temuan No. 1 atas Aset Lancar dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 18)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa pendapatan berupa
jasa giro, bunga deposito, dan pendapatan tarif FLPP yang sudah menjadi
hak BLU, namun masih ada di rekening dana kelolaan BLU dengan nilai
sebesar Rp650.396.137,40. Pendapatan di rekening dana kelolaan tersebut
baru diakui sebesar Rp353.306.829,62 sebagai pendapatan BLU dan
disajikan sebagai bagian Kas pada BLU.
Dengan demikian, terdapat selisih sebesar Rp297.089.307,78
(Rp650.396.137,40 - Rp353.306.829,62) yang belum tercatat sebagai
pendapatan BLU pada LRA dan belum disajikan sebagai Kas pada BLU
dalam Neraca. Hal ini terjadi karena tidak dilakukannya rekonsiliasi secara
rutin antara Bendahara Pengeluaran Dana Operasional dan Bendahara
Pengeluaran Dana Kelolaan terhadap saldo kas yang terdapat di rekening
masing-masing Bendahara.
Kondisi tersebut mengakibatkan pendapatan tahun 2017 senilai
Rp297.089.307,78 yang belum disahkan dan belum dapat diakui sebagai
pendapatan di LRA dan Kas pada BLU di Neraca. Sehubungan dengan
temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat menginstruksikan kepada Sekretaris Jenderal
agar meningkatkan koordinasi antara Bendahara Pengeluaran Dana
Operasional dan Bendahara Pengeluaran Dana Kelolaan BLU PPDPP
terkait kesesuaian pencatatan atas pengelolaan dana.
Terdapat perbedaan penafsiran atas perjanjian layanan dana bergulir
pada Ditjen Bina Marga dan sistem pencatatan piutang atas tagihan
penjualan angsuran Ditjen Cipta Karya belum memadai (Temuan No.
2 atas Aset Lancar dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 19)
Pada temuan tersebut terdapat BUJT yang tidak mengakui adanya
piutang nilai tambah dan piutang denda nilai tambah yaitu PT Translingkar
Kita Jaya (PT TKJ) (ruas Cinere – Jagorawi) sebesar Rp341.794.811.685,00.
Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan penafsiran perjanjian layanan
Pusat Kajian AKN | 43
dana bergulir dimana PT TKJ hanya mengakui masa pembebanan nilai
tambah selama 2 tahun. Sedangkan menurut amandemen I perjanjian pada
November 2010 pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa masa pembebanan nilai
tambah pinjaman adalah sampai pengadaan tanah untuk seluruh seksi selesai
dan penerima pinjaman telah mengembalikan seluruh pinjaman berikut nilai
tambah dan denda. Selain itu, masih terdapat selisih yang disajikan dilaporan
keuangan dengan nilai hasil konfirmasi, yaitu selisih pada PT MTN sebesar
Rp3.774.487.898,00, dan PT CCTW sebesar Rp76.892.367,15.
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu adanya perbedaan
antara mutasi berkurang piutang (penerimaan pembayaran piutang) dan
realisasi PNBP sebesar Rp1.607.292.410,00. Hal tersebut antara lain
disebabkan sistem pencatatan piutang belum mengakui penerimaan
pembayaran angsuran. Sehingga saldo piutang akan berkurang ketika adanya
pelunasan.
Kondisi tersebut mengakibatkan nilai piutang pada PT TKJ sebesar
Rp341.794.811.685,00 (piutang nilai tambah dan denda) berpotensi tidak
tertagih, adanya perbedaan piutang pada PT MTN sebesar
Rp3.774.487.898,00, dan PT CCTW sebesar Rp76.892.367,15 belum dapat
diselesaikan, serta terdapat perbedaan nilai penerimaan PNBP dan
berkurangnya piutang penjualan RNG III Tahun 2017 sebesar
Rp1.607.292.410,00.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat agar:
a. Menginstruksikan kepada Dirjen Bina Marga dhi. Kepala Satker BLU
Bp Set BPJT Bina Marga untuk melakukan rekonsiliasi dengan BPJT
terkait piutang BUJT dan memutakhirkan saldo piutangnya serta
menyelesaikan perbedaan penafsiran atas dasar pengenaan piutang
dengan PT Translingkar Kita Jaya;
b. Menginstruksikan kepada Dirjen Cipta Karya dhi Direktur Bina
Penataan Bangunan untuk segera berkoordinasi dengan KPPN dalam
mengidentifikasi PNBP pengelolaan RNG III dan memutakhirkan
saldo piutangnya.
44 | Pusat Kajian AKN
Penatausahaan persediaan di beberapa satuan kerja belum tertib (Temuan No. 3 atas Aset Lancar dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 23)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan pencatatan dan penyajian
nilai persediaan yang belum tertib dan konsisten. Kelemahan pencatatan dan
penyajian persediaan diantaranya berupa pencatatan persediaan yang tidak
didukung oleh bukti sumber, serta adanya perbedaan antara persediaan yang
disajikan pada laporan persediaan dengan jumlah pada kartu gudang, hasil
stock opname, dan aplikasi persediaan. Selain itu, terdapat persediaan yang
belum dicatat pada aplikasi persediaan, serta mutasi keluar persediaan yang
tidak diyakini kewajarannya.
Permasalahan lainnya yang perlu menjadi sorotan yaitu belum tertibnya
pengelolaan persediaan pada beberapa satker. Kelemahan pada pengelola
persediaan diantaranya tidak dilakukannya stock opname persediaan baik itu
sebagian maupun menyeluruh, dan tidak dibuatnya kartu persediaan oleh
petugas persediaan. Selain itu, penatausahaan dan pengelolaan persediaan
yang dilakukan oleh masing-masing PPK, dan petugas persediaan hanya
melakukan input di aplikasi persediaan sehingga Petugas persediaan tidak
mengetahui jumlah barang persediaan yang ada di masing-masing PPK pada
akhir tahun per 31 Desember 2017.
Kemudian terdapat penyimpanan persediaan berupa kawat bronjong
yang disimpan pada lahan terbuka yang mudah diakses oleh semua orang,
dan tidak adanya pemisahan yang jelas untuk tiap persediaan. Kondisi
tersebut mengakibatkan persediaan berpotensi hilang, disalahgunakan dan
menyulitkan pencatatan.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk menginstruksikan
kepada seluruh Kepala Satker terkait agar melakukan pengendalian dalam
penatausahaan persediaan secara optimal.
Pusat Kajian AKN | 45
Aplikasi persediaan tidak mengakomodasi persediaan yang memiliki
kuantitas dalam pecahan desimal Penatausahaan Persediaan di
Beberapa Satuan Kerja Belum Tertib (Temuan No. 4 atas Aset Lancar
dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 29)
Hasil pengujian secara uji petik atas buku persediaan dan bukti
pertanggungjawaban diketahui bahwa aplikasi persediaan tidak dapat
mengakomodasi penginputan persediaan dalam bentuk desimal. Hal ini
terjadi karena belum adanya kebijakan dari Kementerian PUPR dhi.
Direktorat Bina Marga untuk mengatasi permasalahan pencatatan
persediaan.
Kondisi tersebut mengakibatkan nilai persediaan tidak menunjukkan
kondisi yang sebenarnya. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat untuk menginstrusikan kepada Sekretaris Jenderal untuk
memperbaiki penyajian laporan keuangan dan berkoordinasi dengan
Kementerian Keuangan untuk mendorong penyempurnaan sistem aplikasi
persediaan dan SIMAK BMN.
Persediaan untuk diserahkan kepada masyarakat/pemerintah daerah
belum diproses hibah atau transfer keluar (Temuan No. 5 atas Aset
Lancar dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 31)
Pada temuan tersebut terdapat persediaan untuk diserahkan kepada
masyarakat/pemerintah daerah yang belum seluruhnya diproses hibah,
diantaranya yaitu terdapat persediaan perolehan tahun 2016 berupa
bangunan, peralatan, dan jaringan, yang dimaksudkan untuk diserahkan
kepada masyarakat/pemerintah daerah, namun belum diserahterimakan
pada SNVT Penyediaan Perumahan Provinsi Sulawesi Tengah.
Selain itu, terdapat Persediaan perolehan tahun 2016 berupa peralatan
Mobile Training Unit (MTU) senilai Rp3.161.760.392,00 yang dimaksudkan
untuk diserahkan kepada 34 pemerintah daerah, namun belum seluruhnya
diserahterimakan kepada pemerintah daerah.
Kondisi tersebut mengakibatkan BMN tidak sepenuhnya dikuasai dan
dikelola untuk tugas pokok dan fungsi satker, serta adanya ketidakjelasan
penanggung jawab tugas pemeliharaan dan pengendalian atas BMN.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk menginstruksikan
46 | Pusat Kajian AKN
Kepala Satuan Kerja terkait untuk segera melakukan proses hibah/alih status
BMN sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Aset Tetap pada beberapa satker tidak dapat diidentifikasi (Temuan
No. 1 atas Aset Tetap dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal.
33)
Pada temuan tersebut terdapat aset tetap yang tidak diketahui
keberadaannya dikarenakan beberapa kondisi, diantaranya terdapat aset
tetap dicatat secara total namun tidak diketahui rinciannya. Kemudian
terdapat aset tetap berupa tanah, peralatan dan mesin serta jalan, irigasi dan
jaringan yang tidak dapat diidentifikasi lokasinya, serta tedapat Aset Tetap
lainnya pada lima satker sebesar Rp45.299.851.420,00 tidak menyebutkan
secara jelas identitas, aset induk, maupun lokasi keberadaannya. Hal ini
terjadi karena Kepala Satker belum melakukan pengendalian secara optimal
dan Petugas SIMAK BMN belum melakukan pencatatan sesuai dengan
informasi yang sebenarnya
Kondisi tersebut mengakibatkan nilai aset yang disajikan pada Neraca
Kementerian PUPR sebesar Rp450.505.181.943,00 tidak dapat diyakini
kewajarannya. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat agar menginstruksikan pada Dirjen BM, Dirjen SDA dan Dirjen CK
memerintahkan Kepala Satker terkait untuk melakukan inventarisasi aset
yang belum teridentifikasi baik pencatatan maupun keberadaannya.
Pencatatan aset dengan kuantitas 1 unit (m2) serta nilai yang tidak
wajar (Temuan No. 2 atas Aset Tetap dalam LHP SPI No.
11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 36 )
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan aset berupa jalan desa dan
jalan khusus perorangan pada satker PBL Provinsi NTT yang dicatat dengan
kuantitas 1 unit (m2) sebanyak 13 NUP dengan nilai sebelum penyusutan
sebesar Rp1.840.083.500,00. Selain itu, terdapat aset berupa tanah pada
Satker BWS Nusa Tenggara II yang dicatat dengan nilai aset yang tidak wajar
yaitu tanah bangunan tempat kerja lainnya (2010104999) sebanyak delapan
NUP hanya sebesar Rp78.410.000,00.
Kondisi tersebut mengakibatkan nilai Aset Tetap tidak memberikan
informasi yang memadai. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
Pusat Kajian AKN | 47
merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat agar menginstruksikan kepada Kepala Satker PBL Provinsi NTT dan
Kepala Satker BWS Nusa Tenggara II untuk melakukan koordinasi dan
inventarisasi terhadap aset yang dicatat dengan kuantitas 1,00 m2 dan nilai
tidak wajar menjadi kuantitas dengan nilai sebenarnya.
Pendirian bangunan di atas aset tetap tanah tanpa persetujuan dan
digunakan/dimanfaatkan pihak ketiga pada Satker P2JN Provinsi
Jawa Tengah (Temuan No. 3 atas Aset Tetap dalam LHP SPI No.
11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 37)
Hasil pemeriksaan fisik atas keberadaan aset tanah Kementerian PUPR
ditemukan adanya perubahan alih fungsi lahan dan pendirian bangunan di
atas aset tanah tanpa persetujuan dan digunakan/dimanfaatkan oleh pihak
ketiga pada Satker P2JN Provinsi Jawa Tengah.
Aset tersebut merupakan Aset Tanah milik Satker P2JN Provinsi Jawa
Tengah, yang berlokasi di Jalan Kerikil No.3 Kelurahan Sumurboto,
Banyumanik, Semarang. Aset yang diperoleh tahun 2015 dengan luas 388
meter persegi dan senilai Rp2.187.188.000,00 (2010301003-01) yang
diperuntukkan sebagai sarana olahraga/lapangan badminton.
Kemudian aset tetap tanah yang diperuntukkan untuk sarana olahraga
tersebut beralih fungsi menjadi menjadi status Rumah Negara Golongan II
(sesuai KPTS Menteri PU No.402/KPTS/M/2007), namun tidak ada data
valid atas proses alih fungsi tersebut. SK Dirjen Bina Marga Nomor
772/KPTS/Bs/SIP/2013 tentang izin penghunian Rumah Negara tanggal
1 Juli 2013 tidak mengacu kepada SK Menteri PU No 402/KPTS/M/2007
tanggal 19 September 2007.
Selain itu status bangunan rumah permanen yang berada di atasnya
belum dapat ditetapkan sebagai Aset Barang Milik Negara karena tidak
diperoleh dari APBN melainkan biaya dari pihak ketiga, dan juga terdapat
perbedaan data luasan tanah dan bangunan yang tercantum di dalam Surat
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 402/KPTS/M/2007, Surat
Keputusan Direktur Jenderal Bina Marga Nomor :
772/KPTS/Bs/SIP/2013, dan dengan data yang tercatat di dalam Laporan
Simak BMN.
48 | Pusat Kajian AKN
Temuan tersebut mengakibatkan status pemanfaatan atas tanah menjadi
tidak jelas dan berpotensi menimbulkan konflik, penyalahgunaan atau
penguasaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga dapat
menimbulkan kerugian negara di kemudian hari. Sehubungan dengan
temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat agar menginstruksikan Dirjen Bina Marga
untuk memerintahkan Kepala Satker P2JN Provinsi Jawa Tengah
mengamankan dan menertibkan aset tanah yang dikuasai pihak lain.
Penghapusan Aset Tetap Pada Satker Pjsa Bengawan Solo tidak
sesuai ketentuan (Temuan No. 4 atas Aset Tetap dalam LHP SPI No.
11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 38)
Pada tahun 2017, SNVT Pelaksanaan Jaringan Sumber Air (PJSA)
Bengawan Solo TA 2017 menyajikan Aset Tetap Jalan, Irigasi, dan Jaringan
sebesar Rp2.407.268.254.303,00. Nilai Aset Tetap JIJ tersebut berkurang
sebesar Rp438.124.658.428,00 dari saldo tahun 2016 sebesar
Rp2.845.392.912.731,00. Hal tersebut terjadi karena adanya transaksi
penghapusan BMN sebesar Rp24.332.936.764,00. Penghapusan BMN
dilakukan terhadap aset jalan irigasi dan jaringan perolehan tahun 2009,
2011, serta 2015 terkait Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air
(GNKPA).
Pengadaan Aset GNKPA tersebut dianggarkan dan direalisasikan
menggunakan MAK 53 untuk pengadaan bahan baku, honor pekerja, dan
perjalanan dinas (tahun 2009 s.d. 2011), yang seharusnya dianggarkan pada
MAK 52, yang menyebabkan pengadaan tersebut dicatat sebagai Aset Tetap,
sehingga di tahun 2017 dilakukan transaksi penghapusan BMN terhadap aset
tersebut.
Namun Penghapusan BMN tersebut tidak berdasarkan SK
Penghapusan, melainkan dengan Surat Pernyataan Kepala Satker Nomor
15/SP-BMN/SNVTPJSA.BS/2017 tanggal – November 2017 tentang
Koreksi Pencatatan dalam SIMAK BMN. Satker tidak bisa melakukan
penelusuran terhadap dokumen pendukung serah terima kepada masyarakat
karena adanya bencana alam pada tahun 2012, sehingga dokumen yang
dibutuhkan sudah tidak dapat ditemukan.
Pusat Kajian AKN | 49
Kondisi tersebut mengakibatkan potensi hilangnya Aset Tetap pada
Satker. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan
kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat agar
menginstruksikan kepada Dirjen SDA untuk memerintahkan Kepala Satker
PJSA Bengawan Solo dalam melaksanakan pengendalian dan pengawasan
atas penatausahaan BMN memedomani peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Aset Tetap dan Aset Lainnya yang digunakan/dikelola pihak lain
belum diproses hibah atau transfer keluar (Temuan No. 5 atas Aset
Tetap dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 39)
Pada temuan tersebut diketahui masih terdapat aset lainnya yang belum
seluruhnya diproses hibah atau transfer keluar. Permasalahan tersebut
diantaranya yaitu terdapat aset lainnya yang direncanakan untuk diserahkan
kepada Masyarakat/ Pemerintah Daerah dan pihak lain sebesar
Rp4.890.645.620.106,00, namun belum seluruhnya diproses hibah.
kemudian terdapat Aset Tetap yang sudah dimanfaatkan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan sebesar Rp592.704.000,00 dan Dinas PU
provinsi/kabupaten/kota sebesar Rp304.000.000,00 namun belum
dilakukan proses hibah. Selain itu, terdapat Aset lain-lain berupa Instalasi Air
Bersih yang pengerjaaanya sudah selesai 100% senilai Rp7.369.321.400,00,
namun belum dilakukan penyerahan aset kepada PDAM Kota Jayapura.
Kemudian terdapat Aset Tetap Lainnya senilai Rp33.052.263.327,00
merupakan Aset Tetap Renovasi (ATR), atas Jalan, Irigasi dan Jaringan (JIJ)
yang diperoleh sejak tahun 2010 s.d. 2012 namun belum proses hibah.
Kondisi tersebut mengakibatkan ketidakjelasan penanggung jawab tugas
pemeliharaan dan pengendalian atas Aset Tetap senilai
Rp4.960.409.933.064,00. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat melalui Dirjen terkait agar segera memproses hibah/alih status
BMN/ Transfer keluar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
50 | Pusat Kajian AKN
Penatausahaan KDP pada Ditjen Bina Marga dan Ditjen Sumber
Daya Air Kementerian PUPR tidak tertib (Temuan No. 6 atas Aset Tetap
dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 41)
Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa terdapat beberapa kelemahan
dalam penatausahaan KDP pada Ditjen Bina Marga dan Ditjen Sumber
Daya yang menyebabkan Nilai KDP masing-masing satker tidak
menggambarkan nilai yang wajar. Kelemahan tersebut diantaranya yaitu
terdapat 55 NUP KDP pada enam satuan kerja di Ditjen Bina Marga yang
memiliki nilai tidak wajar, dimana terdapat nilai KDP yang bersaldo negatif.
Selain itu pada Satker PJN Wilayah IX Provinsi Papua, terdapat nilai
saldo KDP pada keempat NUP yang seharusnya bernilai Nihil.
No NUP Saldo (Rp)
1 13 2.850.364.250,00
2 14 (2.850.364.250,00)
3 23 2.034.560,00
4 25 (2.034.560,00)
Jumlah 0,0
Hal ini terjadi karena adanya kesalahan pada saat KDP NUP dijadikan
aset definitif, dan adanyan kesalahan penginputan nilai SP2D yang
seharusnya diinput pada NUP 25 namun diinput pada NUP 23. Namun
kesalahan tersebut tidak berpengaruh tidak berpengaruh pada nilai aset
definitif maupun total saldo KDP pada laporan keuangan.
Kelemahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu CaLK Ditjen SDA
hanya memuat informasi mutasi tambah kurang selama tahun 2017 dan tidak
memuat informasi seperti rincian kontrak KDP, nilai kontrak konstruksi dan
sumber pembiayaannya, jumlah biaya yang telah dikeluarkan sampai dengan
tanggal neraca, serta uang muka kerja yang dibutuhkan dan jumlah retensi.
Sebagaian rincian atas nilai tersebut dijabarkan dalam CaLBMN, namun
belum seluruh rincian KDP memuat informasi tingkat penyelesaian dan
jangka waktu kontrak, uang muka kerja yang diberikan dan jumlah retensi.
Kondisi tersebut mengakibatkan nilai KDP sebesar
Rp119.429.660.910,00 pada Ditjen Bina Marga tidak menggambarkan nilai
yang wajar, dan nilai KDP sebesar Rp48.575.373.901,00 pada Ditjen SDA
tidak menggambarkan nilai yang wajar. Sehubungan dengan temuan
tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat melalui Dirjen terkait agar segera mengidentifikasi dan
melakukan penelusuran KDP yang bersaldo negatif dan mengatribusikan
Pusat Kajian AKN | 51
KDP yang telah selesai masa pekerjaannya pada Aset Tetap yang
bersangkutan.
Aset Tak Berwujud belum dapat ditelusuri (Temuan No. 1 atas Aset
Lainnya dalam LHP SPI No. 11B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 45)
Pada temuan tersebut diketahui terdapat Aset Tak Berwujud (ATB)
senilai Rp4.480.183.155,00 yang belum dapat ditelusuri. ATB tersebut
terdapat pada Satker Pengembangan Sistem Penyehatan Lingkungan
Permukiman (PSPLP) Papua Barat senilai Rp2.499.404.195,00 dan Balai
Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS) senilai Rp1.980.778.960,00. Kondisi
tersebut mengakibatkan Aset Tak Berwujud Rp4.480.183.155,00 tidak
menggambarkan penyajian dan pengungkapan yang jelas. Sehubungan
dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen terkait untuk
melakukan penelusuran terhadap Aset Tak Berwujud dan menetapkan status
pemanfaatannya.
Temuan Pemeriksaan Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Pendapatan Negara dan Hibah
1. Pengelolaan Dana Bergulir dan Pendapatan Tarif Program Fasilitas
Likuiditas Pembiayaan Perumahan pada Badan Layanan Umum Pusat
Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan belum memadai
Sistem Pengendalian Belanja Negara
1. Penganggaran Belanja Barang dan Belanja Modal tidak sepenuhnya
sesuai dengan realisasi kegiatan yang dilakukan
2. Sistem Pengendalian Pelaksanaan Belanja pada Satker Balai Wilayah
Sungai Sumatera IV belum memadai
3. Belanja Honorarium Asesor Kegiatan Penilaian Potensi dan Kompetensi
pada Satker Balai Penilaian Kompetensi BPSDM belum berdasar pada
Standar Biaya Keluaran
Sistem Pengendalian Aset Lancar
1. Pengelolaan Kas Dana Operasional pada BLU PPDPP belum memadai
2. Terdapat perbedaan penafsiran atas perjanjian layanan dana bergulir
pada Ditjen Bina Marga dan sistem pencatatan piutang atas tagihan
penjualan angsuran Ditjen Cipta Karya belum memadai
52 | Pusat Kajian AKN
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
Penatausahaan PNBP pada Satuan Kerja di Direktorat Jenderal Cipta
Karya dan Direktorat Jenderal Bina Marga Belum Sesuai Ketentuan (Temuan No. 1 atas Pendapatan dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan
Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 4)
Pemeriksaan atas penatausahaan pendapatan menunjukan adanya
beberapa kelemahan diantaranya yaitu belum memadainya pelaksanaan
perjanjian kerja sama pemanfaatan tanah pada Ditjen CK yang menyebabkan
adanya kurang penerimaan kontribusi tetap dan denda keterlambatan masing
- masing sebesar Rp1.612.862.108,00 dan Rp3.285.628.484,00.
Selain itu, terdapat pendapatan sewa kamar dan aula wisma sanita yang
terlambat disetorkan ke kas negara senilai Rp617.830.000,00. Hal tersebut
tejadi karena Bendahara Penerimaan tidak menyetorkan PNBP setiap akhir
hari kerja, namun seminggu sekali tiap hari Jumat atau lebih.
3. Penatausahaan persediaan di beberapa satuan kerja belum tertib
4. Aplikasi persediaan tidak mengakomodasi persediaan yang memiliki
kuantitas dalam pecahan desimal
5. Persediaan untuk diserahkan kepada masyarakat/Pemerintah Daerah
digunakan/dimanfaatkan pihak ketiga pada Satker P2JN Provinsi Jawa
Tengah
4. Penghapusan Aset Tetap pada Satker PJSA Bengawan Solo tidak sesuai
ketentuan
5. Aset Tetap dan Aset Lainnya yang digunakan/dikelola pihak lain belum
diproses hibah atau transfer keluar
Sistem Pengendalian Aset Lainnya
1. Aset Tak Berwujud belum dapat ditelusuri
6. Penatausahaan KDP pada Ditjen Bina Marga dan Ditjen Sumber Daya
Air Kementerian PUPR tidak tertib
belum diproses hibah atau transfer keluar
Sistem Pengendalian Aset Tetap
1. Aset Tetap pada beberapa Satker tidak dapat diidentifikasi
2. Pencatatan Aset dengan kuantitas 1 unit (m2) serta nilai yang tidak
wajar
3. Pendirian bangunan di atas Aset Tetap Tanah tanpa persetujuan dan
Pusat Kajian AKN | 53
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu terdapat
keterlambatan penyetoran pembayaran tunai pada Ditjen Bina Marga
sebesar 270,110,000.00. Selain itu, terdapat pendapatan jasa pengujian
laboratorium yang digunakan langsung senilai Rp2.710.000,00. Hal tersebut
terjadi karena DIPA Tahun 2017 tidak menganggarkan biaya operasional
laboratorium.
Kondisi tersebut mengakibatkan kekurangan penerimaan negara dari
kontribusi tetap dan denda keterlambatan yang belum dikenakan senilai
Rp4.898.490.592,00, penerimaan tidak dapat segera dimanfaatkan atas
keterlambatan penyetoran senilai Rp890.650.000,00, serta pendapatan dan
belanja pada LRA TA 2017 tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya
senilai Rp2.710.000,00.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta
Karya dan Kepala BPJN X supaya meningkatkan pengendalian dan
pembinaan dalam penatausahaan pendapatan, termasuk kepada Bendahara
Penerimaan agar menyetorkan pendapatan secara tepat waktu sesuai
ketentuan yang berlaku, serta menginstrusikan Sekretaris Direktorat Jenderal
Cipta Karya berkoordinasi dengan Kepala Biro Pengelolaan Barang Milik
Negara dan Layanan Pengadaan untuk menagih kekurangan pendapatan
kontribusi tetap senilai Rp1.612.862.108,00 dan denda keterlambatan
penyetoran kontribusi tetap senilai Rp3.285.628.484,00 atas perjanjian kerja
sama pemanfaatan tanah.
Pelaksanaan Belanja Barang Konstruksi tidak sesuai ketentuan,
diantaranya terdapat kelebihan pembayaran senilai
Rp1.900.655.397,79 dan sanksi yang belum dikenakan senilai
Rp516.862.409,70 (Temuan No. 1 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan
terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 8)
Pada temuan tersebut ditemukan permasalahan berupa pelaksanaan
pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai ketentuan, baik pekerjaan
pembangunan maupun pemeliharaan, sehingga menimbulkan kelebihan
pembayaran. Hal tersebut terjadi pada 21 paket pekerjaan di tujuh satuan
kerja dengan nilai senilai Rp1.900.655.397,79 dan sebagian telah disetorkan
kembali ke Kas Negara senilai Rp576.370.720,79.
54 | Pusat Kajian AKN
Selain itu, terdapat empat penyedia jasa yang terlambat menyelesaikan
pekerjaan sesuai kontrak namun belum dikenakan sanksi denda
keterlambatan senilai Rp178.703.315,03 dan dua penyedia jasa yang tidak
dapat melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak belum dikenakan sanksi
pencairan jaminan pelaksanaan senilai Rp516.862.409,70. Atas permasalaha
tersebut, telah dilakukan penyetoran ke Kas Negara senilai
Rp146.191.570,45.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran kepada
penyedia jasa yang belum disetor ke Kas Negara senilai Rp1.324.284.677,00,
dan Kekurangan penerimaan negara dari sanksi denda keterlambatan yang
belum dibayar minimal senilai Rp32.511.744,58 serta dari sanksi pencairan
jaminan pelaksanaan senilai Rp516.862.409,70 atau seluruhnya senilai
Rp549.374.154,28.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Sekretaris Jenderal, Kepala Balitbang,
Dirjen Cipta Karya, Dirjen Sumber Daya Air dan Dirjen Penyediaan
Perumahan untuk memerintahkan PPK terkait mempertanggungjawabkan
kelebihan pembayaran dengan menyetorkan senilai Rp1.324.284.677,00 ke
Kas Negara dan menyampaikan bukti setor kepada BPK, dan menagih dan
menyetorkan denda keterlambatan minimal senilai Rp32.511.744,58 serta
mempertanggungjawabkan jaminan pelaksanaan yang tidak dicairkan senilai
Rp516.862.409,70 ke Kas Negara dan menyampaikan bukti setor ke BPK.
Pelaksanaan pekerjaan Pengolahan Sampah dan Belanja Sewa pada
beberapa satuan kerja tidak mengikuti ketentuan dan menimbulkan
kelebihan pembayaran senilai Rp602.716.364,00 serta ketidakhematan
senilai Rp575.453.700,00 (Temuan No. 2 atas Belanja dalam LHP
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No.
11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 10)
Pemeriksaan atas realisasi belanja barang pada beberapa satuan kerja
menunjukkan adanya beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya
diantaranya yaitu pelaksanaan pekerjaan Pengelolaan Sampah di Sekjend
Kemen PUPR belum sepenuhnya sesuai ketentuan. Permasalahan tersebut
disebabkan karena adanya HPS yang tidak disusun dan masih menggunakan
nilai tahun sebelumnya, pengawas pekerjaan tidak melaksanakan tugasnya
dengan baik diantaranya tidak melakukan pengawasan secara berkala,
penyedia jasa tidak melakukan uji mutu per empat bulan sekali, adanya
Pusat Kajian AKN | 55
pemahalan biaya tenaga kerja senilai Rp307.320.000,00, serta adanya
kemahalan sewa alat pengolahan minimal Senilai Rp208.400.700,00.
Selain itu, terdapat pemborosan biaya sewa laptop dan printer senilai
Rp213.653.000,00 pada dua kegiatan di Sekertariat Ditjen Cipta Karya. Hal
tersebut disebakan karena pengadaaan sewa laptop di kedua kegiatan tidak
menerapkan prinsip efisiensi.
Pada BWS Sumatera IV, terdapat pembayaran sewa rumah yang
melebihi nilai sebenarnya senilai Rp78.500.000,00 dan memboroskan
Keuangan Negara senilai Rp97.000.000,00. Pemborosan tersebut terjadi
karena pelaksanaan anggaran belanja belum memperhatikan prinsip-prinsip
efisiensi, dimana terdapat lima unit rumah yang digunakan bukan pejabat
eselon yang tidak berhak atas fasilitas rumah tersebut. Selain itu juga,
terdapat permasalahan pembayaran sewa kendaraan roda empat yang
melebihi nilai sebenarnya senilai Rp30.000.000,00.
Pada Satker Dinas SDA dan BM Provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat
pembayaran yang tidak seharusnya senilai Rp76.160.000,00, atas nilai sewa
wajar atas pemakaian kendaraan selama 8 bulan. Selain itu pada BWS
Sulawesi IV, perjanjian sewa yang dilakukan PPK dengan penyedia jasa tidak
memenuhi kualifikasi yang menyebabkan pemborosan keuangan negara
sebesar Rp34.560.000,00. Hal serupa juga terjadi pada OP BWS Sulawesi IV,
dimana PPK melakukan perjanjian sewa kendaraan roda empat dengan
pihak penyedia yang tidak memenuhi kualifikasi yang menyebabkan
pemborosan keuangan negara sebesar Rp21.840.000,00.
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu terdapat kelebihan
pembayaran pada Satuan Kerja Penyediaan Perumahan Provinsi Sulawesi
Tenggara sebesar Rp110.736.364,00. Kelebihan pembayaran tersebut terjadi
karena adanya selisih Belanja sewa gedung kantor yang dibayarkan kepada
penyedia jasa (CV RP) sebesar Rp122.236.364,00 per tahun, dengan nilai
sewa menyewa yang disahkan oleh notaris yang hanya sebesar
Rp11.500.000,00 per tahun (Rp10.000.000,00 + Rp1.500.000,00
(keuntungan 15% dari harga sewa)).
Kondisi tersebut mengakibatkan Kelebihan pembayaran senilai
Rp602.716.364,00, dan pemborosan keuangan negara senilai
Rp575.453.700,00 atas pembayaran yang tidak memperhatikan prinsip
efisiensi. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan
kepada Menteri PUPR agar menginstruksikan Sekretaris Jenderal, Dirjen
56 | Pusat Kajian AKN
Cipta Karya, Dirjen Sumber Daya Air dan Dirjen Penyediaan Perumahan
untuk memerintahkan PPK terkait untuk mempertanggungjawabkan
kelebihan pembayaran dengan menyetorkan senilai Rp602.716.364,00 ke
rekening Kas Negara dan menyampaikan bukti setor kepada BPK.
Pembayaran Biaya Perjalanan Dinas dan Honorarium pada kegiatan-
kegiatan paket meeting di lima satuan kerja melebihi ketentuan dan
tidak hemat masing-masing senilai Rp272.435.000,00 dan senilai
Rp77.881.800,00 (Temuan No. 3 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan
terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018,
Hal. 16)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan kelebihan pembayaran
pada Sekjen Kementerian PUPR atas uang harian dan pembayaran uang
fullboard atas pelaksanaan 15 kegiatan paket meeting yang dilaksanakan di luar
kota. Kelebihan tersebut terjadi karena pembayaran yang dilaksanakan lebih
besar dari yang diatur dalam Standar Biaya Masukan yaitu pemberian uang
harian atau uang saku fullboard kepada narasumber.
Pada Direktorat Jenderal Cipta Karya, terdapat kelebihan pembayaran
sebesar Rp17.780.000,00 atas Kegiatan Pemutakhiran Data Audit BPKP.
Kelebihan pembayaran tersebut diantaranya terjadi karena adanya
pembayaran yang tidak seharusnya, tarif honorarium moderator dan
narasumber yang melebihi Standar Biaya Masukan TA 2017, serta adanya
pembayaran kepada narasumber yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan
dengan surat keputusan penetapan narasumber.
Selain itu terdapat kelebihan realisasi pembayaran senilai
Rp185.890.000,00 pada Sekertariat Ditjen CK. Kelebihan pembayaran
tersebut terjadi karena jumlah anggota tim yang menerima honorarium
melebihi jumlah tim yang ditetapkan dalam SBM, Pembayaran honorarium
narasumber kepada personel yang tidak sesuai dengan surat keputusan
narasumber, serta terdapat pembayaran honorarium terhadap lima
narasumber yang melebihi standar. Pada Direktorat Bina Penataan
Bangunan, terdapat pemborosan senilai Rp49.381.800,00 dan kelebihan
pembayaran Rp38.525.000,00.
Pada Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR, terdapat pemborosan
Keuangan Negara senilai Rp28.500.000,00. Pemborosan tersebut
disebabkan karena panitia kegiatan melakukan pemesanan kamar non
Pusat Kajian AKN | 57
fullboard melebihi jumlah undangan. Dimana dari nilai yang dibayarkan untuk
53 kamar senilai Rp79.500.000,00, hanya 34 kamar yang digunakan sehingga
terdapat 19 kamar yang tidak digunakan.
Kondisi tersebut mengakibatkan pemborosan senilai Rp77.881.800,00
dan kelebihan pembayaran senilai Rp272.435.000,00. Sehubungan dengan
temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri PUPR
menginstruksikan Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal dan Dirjen Cipta
Karya agar memerintahkan PPK terkait untuk mempertanggungjawabkan
kelebihan pembayaran dengan menyetorkan senilai Rp272.435.000,00 ke
rekening Kas Negara dan menyampaikan bukti setor kepada BPK.
Pembayaran honorarium pelaksanaan kegiatan pada tiga satuan kerja
di Sekretariat Jenderal tidak sesuai ketentuan senilai Rp888.767.000,00 (Temuan No. 4 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan
Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 22)
Pada temuan tesebut terdapat permasalahan kelebihan pembayaran
sebesar Rp132.765.000,00 pada Biro Keuangan Kementerian PUPR.
Kelebihan bayar tersebut terjadi karena honor yang diberikan melebihi
jumlah tim yang diperbolehkan dalam standar biaya masukan dan nama
penerima tidak ada di SK, serta terdapat jumlah panitia yang diberikan honor
melebihi yang diperbolehkan dalam standar biaya masukan. Selain itu,
adanya indikasi tidak dilaksanakannya kegiatan sebagai narasumber dan
moderator sesuai tanggal dokumen pembayaran karena tidak berkesesuaian
dengan dokumen tiket kepulangan senilai Rp2.295.000,00.
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu, terdapat kelebihan
pembayaran sebesar Rp640.820.000,00 pada Satker P4SBPUPRL.
Kelebihan pembayaran tersebut terjadi karena adanya pembayaran
honorarium tim kepada Tim Narasumber sebanyak tujuh orang yang
seharusnya tidak menerima honorarium, besarnya honorarium yang tidak
sesuai karena melebihi tarif yang ditetapkan dalam surat keputusan, terdapat
personel yang tidak ditetapkan sebagai narasumber namun menerima
honorarium narasumber, dan adanya personel yang menjadi narasumber
namun diberikan juga honorarium fullboard meeting. Selain itu, Pada Biro
Perencanaan Anggaran dan Kerjasama Luar Negeri terdapat pemberian
honorarium kegiatan yang melebihi jumlah yang diperbolehkan dalam
Standar Biaya Masukan sebesar Rp98.382.000,00.
58 | Pusat Kajian AKN
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran
Rp888.767.000,00. Atas kelebihan pembayaran tersebut telah dilakukan
penyetoran ke Kas Negara sebesar Rp45.885.000,00. Sehubungan dengan
temuan tersebut, BPK merekomendasikan memerintahkan PPK terkait
untuk mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran dengan
menyetorkan senilai Rp842.882.000,00 ke rekening Kas Negara dan
menyampaikan bukti setor kepada BPK.
Pelaksanaan pengadaan jasa konsultan tidak mengikuti ketentuan,
diantaranya tidak dilengkapi dokumen pendukung dasar
pembayaran senilai Rp4.615.015.000,00 dan terdapat kelebihan
pembayaran senilai Rp535.064.942,00 (Temuan No. 5 atas Belanja dalam
LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No.
11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 25)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan kelebihan pembayaran
sebesar Rp535.064.942,00. Kelebihan pembayaran tersebut diantaranya
terjadi pada Ditjen Bina Marga sebesar Rp462.539.942,00, yang dikarenakan
adanya perhitungan atas tenaga ahli yang tidak sesuai ketentuan, pengalaman
tenaga ahli yang tidak sesuai yang dipersyaratkan, penggantian personel team
leader tidak sesuai kualifikasi, dan adanya kelebihan pembayaran biaya
langsung non personil berupa bukti invoice yang ditagihkan namun tidak
sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Kelebihan pembayaran lainnya yaitu terdapat pada Ditjen Pembiayaan
Perumahan sebesar Rp43.275.000,00. Kelebihan pembayaran tersebut
terjadi karena adanya pembayaran konsultan yang tidak sesuai dengan nilai
kontrak. Selain itu, terdapat juga kelebihan pembayaran pada BPSDM
sebesar Rp29.250.000,00. Kelebihan pembayaran tersebut terjadi karena
adanya pembayaran honorarium pembahas sebanyak 39 orang (invoice tahap
1, invoice tahap 2, dan invoice tahap 3) yang seharusnya tidak menerima
honorarium.
Permasalahan lainnya yang menajdi sorotan yaitu terdapat belanja jasa
konsultan di lingkungan Sekretariat Jenderal senilai Rp4.615.015.000,00 yang
tidak dilengkapi dokumen pendukung dasar pembayaran, sehinngga belanja
jasa tersebut tidak diyakini kewajarannya. Hal tersebut terjadi karena PPK
yang tidak menyusun HPS, adanya penunjukan konsultan yang tidak
didasarkan penilaian yang memadai karena konsultan tidak melampirkan
sertifikasi keahlian dan tidak melampirkan referensi riwayat hasil pekerjaan
Pusat Kajian AKN | 59
yang dapat divalidasi, serta terdapat konsultan yang tidak menyusun laporan
secara lengkap. Selain itu, terdapat konsultan yang memiliki latar belakang
pendidikan yang tidak sesuai persyaratan dalam KAK, dan adanya Kerangka
Acuan Kerja (KAK) yang tidak menyebutkan secara jelas lingkup pekerjaan
dan hasil keluaran.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran senilai
Rp535.064.942,00, dan Belanja jasa konsultan di lingkungan Sekretariat
Jenderal senilai Rp4.615.015.000,00 tidak dapat diyakini kewajarannya. Atas
kelebihan pembayaran tersebut telah dilakukan penyetoran ke Kas Negara
sebesar Rp72.525.000,00.
Sehubungan dengan temuan tersbeut, BPK merekomendasikan
memerintahkan PPK terkait untuk mempertanggungjawabkan kelebihan
pembayaran dengan menyetorkan senilai Rp462.539.942,00 ke rekening Kas
Negara dan menyampaikan bukti setor kepada BPK.
Pembayaran biaya perjalanan dinas pada beberapa satuan kerja
dilaksanakan tidak sesuai ketentuan sehingga terdapat kelebihan
pembayaran senilai Rp1.733.088.872,79 (Temuan No. 6 atas Belanja
dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No.
11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 37)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan kelebihan pembayaran
sebesar Rp1.733.088.872,79. Kelebihan pembayaran tersebut diantaranya
terjadi pada Sekertariat Jendral Kementerian PUPR sebesar
Rp1.518.240.903,00. Hal tersebut terjadi karena adanya perjalanan dinas
yang menggunakan kuitansi penginapan yang terindikasi fiktif serta biaya
tiket yang ditagihkan melebihi harga dari maskapai. Kemudian terdapat
pembayaran uang harian yang dibayarkan 100%, namun uang harian yang
dibayarkan hanya boleh sebesar 40% karena pada saat perjalanan dinas pergi
dan pulang, serta adanya biaya tiket yang tidak sesuai dengan harga
sebenarnya. Selain itu, terdapat bukti pertanggungjawaban tiket dan hotel
yang tidak valid, dan pembayaran biaya tranportasi dengan pesawat udara
tidak didukung bukti-bukti yang lengkap dan sah.
Kelebihan pembayaran lainnya yaitu terdapat pada Direktorat Jenderal
Bina Marga sebesar Rp38.631.880,00, dimana kelebihan pembayaran
tersebut terjadi karena pembayaran harga tiket tidak sesuai dengan harga
60 | Pusat Kajian AKN
sebenarnya. Selain itu, terdapat dokumen pertanggungjawaban berupa tiket
pesawat udara yang terindikasi fiktif.
Pada Ditjen Cipta Karya, terdapat kelebihan pembayaran sebesar
Rp97.920.151,00. Hal tersebut terjadi karena pembayaran biaya tiket pesawat
udara tidak sesuai dengan harga tiket yang sebenarnya, dan terdapat
pembayaran uang harian, uang penginapan, uang saku dan biaya taksi yang
diterima tidak sesuai dengan masa pelaksanaan tugas.
Pada Ditjen Sumber Daya Air, terdapat kelebihan pembayaran sebesar
Rp21.422.000,00 yang dikarenakan bukti pertanggungjawaban biaya
transportasi berupa tiket dan boarding pass pesawat udara tidak sesuai
kondisi sebenarnya. Kelebihan pembayaran lainnya yaitu terdapat pada
Ditjen Penyediaan Perumahaan sebesar Rp56.873.938,79 yang dikarenakan
adanya perbedaan antara biaya tiket yang dipertanggungjawabkan pelaksana
perjalanan.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran belanja
perjalanan dinas senilai Rp1.733.088.872,79. Atas kelebihan pembayaran
tersebut telah dilakukan penyetoran ke Kas Negara sebesar
Rp184.617.999,00.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan
memerintahkan PPK bersangkutan untuk mempertanggungjawabkan
kelebihan pembayaran atas belanja perjalanan dinas dengan menyetorkan
senilai Rp1.548.470.873,79 ke rekening Kas Negara dan menyampaikan
bukti setor kepada BPK.
Pembayaran pemeliharaan Kendaraan Dinas Operasional tidak
sesuai ketentuan senilai Rp906.115.943,00 (Temuan No. 7 atas Belanja
dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No.
11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 42)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa kelebihan
pembayaran pemeliharaan dan operasional Kendaraan Dinas Operasional
sebesar Rp499.258.000,00. Kelebihan pembayaran tersebut diantaranya
terjadi pada Ditjen Bina Marga sebesar Rp370.410.000,00 yang disebabkan
adanya pembelian kupon BBM yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
dikarenakan adanya kupon BBM yang tidak dapat didistribusikan. Selain itu,
terdapat kendaraan yang menerima biaya pemeliharaan dan operasional dua
Pusat Kajian AKN | 61
kali dari dua PPK yang berbeda, serta terdapat distribusi kupon/voucher
BBM yang diberikan kepada pegawai yang bukan pemegang KDO.
Kelebihan pembayaran lainnya yaitu terdapat pada Ditjen Sumber Daya
Air sebesar Rp73.824.000,00. Hal tersebut terjadi karena adanya pembayaran
fee belanja BBM yang tidak sesuai SPK, dan bukti pertanggungjawaban satu
KDO roda empat yang tidak didukung dengan tanda terima BBM. Selain itu
juga terdapat kelebihan pembayaran sebesar Rp55.024.000,00.
Permasalahan lainnya yang perlu menjadi sorotan yaitu adanya
pemborosan keuangan sebesar Rp406.857.943,00 pada Ditjen Bina Marga,
Ditjen Cipta Karya, Ditjen Sumber Daya Air, dan Inspekroat Jenderal
Kementerian PUPR. Pemborosan tersebut terjadi karena adanya belanja
pemeliharaan kendaraan yang melebihi standar biaya masukan yang telah
ditetapkan.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran pemeliharaan
dan operasional KDO senilai Rp499.258.000,00, dan pemborosan senilai
Rp406.857.943,00. Atas kelebihan pembayaran tersebut telah dilakukan
penyetoran ke Kas Negara sebesar Rp72.174.250,0.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Dirjen Bina Marga, Dirjen Cipta
Karya, Dirjen Sumber Daya Air dan Inspektur Jenderal untuk
memerintahkan PPK bersangkutan untuk mempertanggungjawabkan
kelebihan pembayaran dengan menyetorkan senilai Rp427.083.750,00 ke
rekening Kas Negara dan menyampaikan bukti setor kepada BPK.
Pertanggungjawaban Belanja Barang tidak memadai sehingga
pembayaran tidak dapat diyakini kewajarannya senilai
Rp1.644.805.784,00 dan kelebihan pembayaran senilai
Rp206.292.000,00 (Temuan No. 8 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan
terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 47)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan kelebihan pembayaran
sebesar Rp206.292.000,00 atas pembayaran yang tidak selayaknya
dibayarkan. Kelebihan pembayaran tersebut diantaranya terjadi pada Biro
Umum Sekertariat Jenderal Kementerian PUPR sebesar Rp52.500.00,00
yang dikarenakan adanya Pekerjaan Layanan Kinerja pada Inspeksi Periodik
Parking System Maintenance yang tidak dilaksanakan oleh PT AP.
62 | Pusat Kajian AKN
Kelebihan pembayaran lainnya yaitu terjadi pada Satker OP BWS Papua
sebesar Rp153.792.000,00. Hal tersebut terjadi karena kelebihan penyaluran
dana kepada lima P3A/GP3A yang disebabkan karena adanya penumpukan
tagihan pada saat menjelang akhir tahun anggaran dan adanya retur tagihan.
Selain itu tidak kompetennya personel di bagian keuangan yang
menyebabkan pekerjaan dilaksanakan sendiri oleh PPSPM.
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu terdapat belanja
pengadaan BBM senilai Rp1.644.805.784,00 yang tidak didukung data-data
yang memadai, sehingga belanja barang tersebut tidak diyakini kewajarannya.
Hal tersebut terjadi karena penyedia jasa yang melaksanakan pengadaan
BBM, seluruhnya tidak memiliki kompetensi maupun persyaratan legal
untuk melaksanakan kegiatan niaga BBM, dimana seluruh penyedia jasa tidak
memiliki peralatan maupun alat angkut BBM serta tidak memiliki izin
penyimpanan, pengangkutan dan niaga BBM. Selain itu, penyedia jasa tidak
dapat menunjukan dokumen faktur pajak masukan (atas pembelian BBM
kepada depo), invoice, purchase order (PO) dan surat jalan/delivery order untuk
membuktikan bahwa penyedia jasa telah membeli BBM kepada depo
Pertamina.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran senilai
Rp206.292.000,00 atas pembayaran yang tidak selayaknya, dan realisasi
Belanja Barang tidak dapat diyakini kewajarannya senilai Rp1.644.805.784,00
atas pengadaaan BBM yang tidak didukung data-data yang memadai.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Sekretaris Jenderal dan Dirjen
Sumber Daya Air untuk memerintahkan PPK terkait tuntuk
mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran senilai Rp206.292.000,00
dengan menyetorkan ke rekening Kas Negara dan menyampaikan bukti
setor kepada BPK.
Pusat Kajian AKN | 63
Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun (Design and
Build) Penerapan Terbatas (Pilot Project) Dermaga Apung senilai
Rp10.769.369.000,00 dan Pilot Project Sistem Modular Wahana Apung
(Break Water) senilai Rp2.197.000.000,00 tidak menghasilkan output
sehingga tujuan pembangunannya tidak tercapai (Temuan No. 9 atas
Belanja dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 51)
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Pekerjaan Konstruksi
Terintegrasi Rancang dan Bangun (Design and Build), BPK mengungkap
permasalahan yang mengakibatkan Potensi kerugian negara pada Pekerjaan
Penerapan Terbatas (Pilot Project) Dermaga Apung senilai
Rp10.769.369.000,00, apabila PT WKB tidak melaksanakan perbaikan atas
kerusakan yang terjadi. Hal tersebut terjadi karena adanya Dermaga Apung
dalam kondisi rusak dan tidak terpasang akibat gelombang tinggi yang terjadi
pada bulan Januari 2018.
Selain itu BPK juga mengungkap permasalahan atas pekerjaan Pilot
Project Sistem Modular Wahana Apung (Break Water), dimana pembayaran
pekerjaan yang telah dilaksanakan untuk TA 2016 senilai
Rp1.867.450.000,00 dengan progres fisik sebesar 85% tidak selayaknya
dibayarkan karena ouput tidak tercapai sesuai ketentuan dalam kontrak
lumpsum.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan
memerintahkan Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Pantai Buleleng supaya meminta PT WKB dan CV L melaksanakan
perbaikan atas pekerjaan yang rusak, apabila tidak dilakukan perbaikan
supaya mempertanggungjawabkan dengan menyetorkan ke Kas Negara
senilai Rp12.636.819.000,00.
Pelaksanaan beberapa paket pekerjaan konstruksi tidak mengikuti
ketentuan sehingga terdapat kelebihan pembayaran senilai
Rp50.502.657.213,18 (Temuan No. 10 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan
terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 56)
Pada tahun anggaran 2017, terdapat kelebihan pembayaran senilai
Rp50.502.657.213,18. Jumlah tersebut merupakan hasil pemeriksaan secara
uji petik terhadap pelaksanaan paket-paket pekerjaaan pada 18 provinsi di
64 | Pusat Kajian AKN
seluruh Indonesia. Sebanyak Rp43.925.275.477,00 merupakan pembayaran
yang melebihi prestasi fisik pekerjaan yang disebabkan pekerjaan kurang
dilaksanakan atau dilaksanakan kurang dari volume yang ditetapkan atau
tidak sesuai spesifikasi yang dipersyaratkan dalam kontrak pada 115 paket
pekerjaan di 72 satuan kerja.
Sebanyak Rp3.860.683.242,05 merupakan kelebihan pembayaran akibat
perubahan harga satuan pekerjaan yang tidak sesuai pelaksanaan di lapangan
pada 15 paket pekerjaan di 10 satuan kerja. Salah satu contohnya terjadi pada
satker pada PJPA BWS Nusa Tenggara I Provinsi Nusa Tenggara Barat
dimana harga satuan pekerjaan “Galian tanah lumpur/sedimen (kondisi
berair) dibuang setempat termasuk meratakan dan merapikan” setelah
addendum melebihi harga berdasarkan pelaksanaan.
Sebanyak Rp910.236.515,00 merupakan kelebihan pembayaran atas
pekerjaan yang tidak sesuai ketentuan dimana terdapat pembayaran yang
tidak didukung bukti pertanggungjawaban dan terdapat realisasi Belanja
Modal diantaranya digunakan untuk pembayaran honorarium panitia
pengadaan barang/jasa. Dan sebanyak Rp1.806.461.979,13 merupakan
kelebihan pembayaran yang disebabkan amandemen kontrak untuk
menambah volume atas pekerjaan dengan harga satuan timpang/lebih tinggi
dari HPS di 7 satuan kerja pada 10 paket pekerjaan. Atas kelebihan
pembayaran tersebut telah dilakukan penyetoran ke Kas Negara sebesar
Rp6.789.469.126,75.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran senilai
Rp43.713.188.086,43 yang belum disetor ke Kas Negara. Sehubungan
dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri PUPR
agar menginstruksikan Dirjen Bina Marga, Dirjen Sumber Daya Air, Dirjen
Cipta Karya, Dirjen Penyediaan Perumahan, dan Kepala Balitbang untuk
memerintahkan PPK terkait untuk mempertanggungjawabkan kelebihan
pembayaran senilai Rp43.713.188.086,43 dengan menyetorkan ke Kas
Negara dan menyampaikan bukti setor kepada BPK.
Pusat Kajian AKN | 65
Pembayaran kemajuan fisik Tahun 2017 atas pekerjaan yang
diperpanjang sampai tahun anggaran selanjutnya melebihi kuantitas
terpasang senilai Rp33.569.814.104,53 (Temuan No. 11 atas Belanja dalam
LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No.
11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 64)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa pembayaran atas
kemajuan (progres) fisik pekerjaan per 31 Desember 2017 yang melebihi
kuantitas terpasang, yaitu pada Pembangunan Jalan Mamberamo - Elelim III
dan Pembangunan Rumah Susun Sewa di Kabupaten Tanah Bumbu yang
mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar Rp33.569.814.104,53. Hal
tersebut terjadi karena pelaksanaan pekerjaan yang belum dilaksanakan
namun telah dilakukan pembobotan dalam laporan back up quantity.
Sedangkan Pembobotan tersebut tidak sesuai dengan pelaksanaan pekerjaan
yang sebenarnya.
Selain itu, pelaksanaan pekerjaan menunjukan adanya kelemahan seperti
Bank Garansi atas sisa pekerjaan belum ditambahkan dengan PPh dan PPN,
PPK tidak dapat menunjukkan kemajuan pekerjaan per 31 Desember 2017
sebagai dasar penetapan anggaran dalam APBN TA 2018, Pembayaran atas
prestasi pekerjaan penyedia jasa tidak didukung dengan laporan progres fisik
pekerjaan dari konsultan, pengendalian progres pekerjaan yang tidak
memadai, dan perubahan rekening pembayaran kontrak yang tidak
dilaporkan kepada PPK.
Hasil pemeriksaan menunjukan progres pekerjaan Pembangunan
Rumah Susun Sewa baru sebesar 76,59% senilai Rp15.292.407.329,49 dan
sampai dengan tanggal 01 April 2018 kemajuan baru mencapai sebesar
91,29%. Sehingga PPK mengenakan sanksi denda keterlambatan kepada
penyedia jasa minimal selama 90 hari atau senilai Rp1.976.807.340,00.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran Belanja Modal
per 31 Desember 2017 senilai Rp33.569.814.104,53, dan kurang penerimaan
atas sanksi denda keterlambatan yang belum diterima Kas Negara senilai
Rp1.976.807.340,00.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Dirjen Bina Marga dan Dirjen
Penyediaan Perumahan untuk memerintahkan PPK Pembangunan Jalan
Mamberamo - Elelim III bersama-sama dengan konsultan pengawas dan
PPHP untuk melakukan pemeriksaan secara detail atas hasil pekerjaan yang
66 | Pusat Kajian AKN
telah dilakukan penyedia jasa dan memperhitungkan kelebihan pembayaran
senilai Rp32.291.478.691,33 dalam pembayaran berikutnya dengan
sebelumnya dilakukan reviu oleh Inspektorat Jenderal, apabila tidak dapat
diperhitungkan agar disetorkan ke Kas Negara, serta memerintahkan PPK
Pembangunan Rumah Susun Sewa di Kabupaten Tanah Bumbu
mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran senilai
Rp1.278.335.413,20 dan menagih denda keterlambatan penyelesaian
pekerjaan senilai Rp1.976.807.340,00 untuk disetor ke Kas Negara dan bukti
setor disampaikan ke BPK.
Pembayaran kemajuan fisik Tahun 2017 atas pekerjaan tahun jamak
(multi years contract) melebihi kuantitas terpasang dan tidak sesuai
spesifikasi senilai Rp42.505.061.089,03 dan terdapat potensi kelebihan
pembayaran senilai Rp13.281.472.256,14 (Temuan No. 12 atas Belanja
dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 69)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa pembayaran
melebihi prestasi fisik pekerjaan yang terpasang senilai Rp42.505.061.089,03
dan potensi kelebihan pembayaran atas pekerjaan yang tidak sesuai kondisi
riil dan tidak sesuai spesifikasi namun belum dibayar senilai
Rp13.281.472.256,14. Kelebihan pembayaran tersebut diantaranya terjadi
pada pekerjaan Pembangunan Bendungan Sindangheula Kabupaten Serang
sebesar Rp27.684.203.983,90 yang disebabkan karena adanya selisih volume
pekerjaan 10.716,50 m3 antara volume yang telah dibayarkan dengan volume
pekerjaan terpasang, serta terdapat pekerjaan yang tidak dapat dibayarkan
terpisah karena telah menjadi tanggung jawab kontraktor atau telah termasuk
dalam harga satuan pekerjaan lainnya.
Selain itu, terdapat Kelebihan pembayaran pada Pembangunan
Bendungan Rotiklot di Kabupaten Belu (MYC) sebesar Rp5.493.014.157,70
yang disebabkan adanya kesalahan perhitungan volume galian tanah untuk
main dam. Kemudian terdapat kelebihan pada Pembangunan Bendungan
Raknamo di Kabupaten Kupang (MYC) sebesar Rp2.180.777.724,05 yang
disebabkan adanya kelebihan perhitungan volume galian tanah dan batu
pada bangunan pengelak dan bangunan pelimpah.
Kelebihan pembayaran lainnya yaitu terjadi pada Pekerjaan Supervisi
Pembangunan Bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang sebesar
Rp113.854.650,00 yang disebabkan biaya perjalanan dinas berupa tiket
Pusat Kajian AKN | 67
pesawat penerbangan yang dipertanggungjawabkan tidak sesuai dan/atau
tidak terdaftar pada database maskapai bersangkutan. Selain itu, terdapat
kelebihan pembayaran pada Pembangunan Bendungan Sei Gong sebesar
Rp3.520.942.532,00 yang disebabkan karena belum dilakukannya pengadaan
atas pompa tersebut, serta belum seluruhnya pekerjaan instrumen terpasang
dan dioperasikan.
Kemudian terdapat kelebihan pembayaran pada Pekerjaan
Pembangunan Bendungan Logung (MYC) Kabupaten Kudus sebesar
Rp1.447.305.082,80 yang disebabkan karena adanya tagihan ganda atas
galian tanah dan kupasan pada area di antara STA 14 dan STA 15 pada main
dam dan main coffer dam yang sudah ditagih sebelumnya pada item galian
tanah saluran pengelak. Selain itu, terdapat kelebihan pembayaran Pekerjaan
Pembangunan Bendungan Tapin Kabupaten Tapin sebesar
Rp613.252.476,84 yang disebabkan karena adanya harga satuan timpang
yang tidak mengacu ke HPS.
Kelebihan pembayaran lainnya yaitu terjadi pada Pembangunan
Bendungan Tugu di Kabupaten Trenggalek sebesar Rp1.451.710.283,00
yang disebabkan adanya penghitungan volume yang lebih tinggi atas
beberapa jenis timbunan pada cofferdam dan main dam dibandingkan dengan
volume lapangan yang ditagihkan dan dibayarkan terakhir.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Dirjen Bina Marga dan Dirjen
Sumber Daya Air untuk memerintahkan PPK terkait untuk
mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran senilai
Rp42.505.061.089,03 dengan melakukan penyesuaian terhadap volume yang
masih akan dilaksanakan dengan sebelumnya dilakukan reviu oleh
Inspektorat Jenderal atau melakukan penyetoran ke Kas Negara apabila
tidak dapat dilakukan penyesuaian, serta untuk mempertanggungjawabkan
potensi kelebihan pembayaran senilai Rp13.281.472.256,14 dalam
pembayaran tahap berikutnya dengan sebelumnya dilakukan reviu oleh
Inspektorat Jenderal.
68 | Pusat Kajian AKN
Pengenaan sanksi atas pekerjaan tidak selesai tepat waktu tidak
sesuai ketentuan dan terdapat sanksi denda keterlambatan belum
dikenakan minimal senilai Rp21.770.468.348,36 dan jaminan
pelaksanaan belum dicairkan senilai Rp1.633.754.600,00 (Temuan No.
13 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 84)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa adanya
perhitungan nilai jaminan pelaksanaan dari nilai sisa pekerjaan yang
menyalahi ketentuan karena nilai jaminan pelaksanaan atas pekerjaan yang
belum selesai seharusnya sama dengan nilai jaminan pelaksanaan saat awal
pelaksanaan pekerjaan senilai Rp1.524.095.241,48. Hal tersebut berdampak
pada kurangnya nilai jaminan pelaksanaan yang seharusnya diserahkan
penyedia jasa kepada PPK senilai Rp1.134.487.761,48.
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu terdapat pekerjaan
tidak dapat diselesaikan sesuai jangka waktu perjanjian namun belum
dikenakan sanksi denda keterlambatan minimal senilai Rp22.211.394.422,36.
Atas permasalahan tersebut, telah dilakukan penyetoran ke Kas Negara
senilai Rp440.926.074,00, sehingga terdapat denda keterlambatan yang
belum disetor ke Kas Negara sebesar Rp21.770.468.348,36. Selain itu,
terdapat pencairan jaminan pelaksanaan atas pemutusan kontrak yang belum
dilaksanakan senilai Rp1.633.754.600,00.
Kondisi tersebut mengakibatkan kekurangan penerimaan negara atas
sanksi denda keterlambatan yang belum dibayar sebesar minimal
Rp21.770.468.348,36 dan dari sanksi pencairan jaminan pelaksanaan senilai
Rp1.633.754.600,00, serta adanya risiko pengamanan penyelesaian pekerjaan
atas jaminan pemeliharaan dan jaminan pelaksanaan yang tidak ada atas
pelaksanaan pekerjaan yang dilanjutkan pada TA 2018 senilai
Rp2.737.559.404,48.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Menteri
PUPR agar menginstruksikan Dirjen Bina Marga, Dirjen Penyediaan
Perumahan, Dirjen Sumber Daya Air dan Dirjen Cipta Karya untuk
memerintahkan PPK terkait untuk menagih dan menyetorkan denda
keterlambatan penyelesaian pekerjaan senilai Rp21.770.468.348,36 dan
mempertanggungjawabkan jaminan pelaksanaan yang tidak dicairkan senilai
Rp1.633.754.600,00 ke Kas Negara serta menyampaikan bukti setor kepada
BPK.
Pusat Kajian AKN | 69
Pembayaran pekerjaan tidak didukung dokumen
pertanggungjawaban yang memadai sehingga tidak dapat diyakini
kewajarannya senilai Rp30.409.913.027,77 (Temuan No. 14 atas Belanja
dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No.
11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 91)
Hasil pemeriksaan mengungkapkan terdapat pembayaran pekerjaan
yang tidak didukung dokumen pertanggungjawaban yang memadai.
Permasalahan tersebut diantaranya terjadi pada satker PJN Wilayah I
Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Pembangunan Jalan Labuan Bajo–
Boleng–Terang–Kendidi, dimana terdapat perbedaaan antara fisik di
lapangan dengan as built drawing. Potongan melintang tiap STA yang ada pada
as built drawing tidak mencerminkan kondisi senyatanya di lapangan, sehingga
mengakibatkan pemeriksa tidak dapat menghitung volume riil galian di
lapangan karena sudah tidak dapat diukur.
Selain itu, terdapat kekurangan volume sebesar
Rp1.881.211.226,48.pada Pengembangan Infrastruktur Permukiman Aruk
Kabupaten Sambas. Hal tersebut terjadi karena pelaksanaan pekerjaan yang
dilakukan oleh rekanan tidak mengikuti volume yang diminta dalam
adendum kontrak melainkan menyesuaikan kondisi di lapangan sehingga
terdapat item-item pekerjaan yang kurang dan item pekerjaan baru, serta
perubahan tersebut tidak dituangkan dalam adendum kontrak. Tim
pemeriksa tidak dapat menyakini atas pembayaran pekerjaan senilai
Rp1.881.211.226,48 yang tidak didasari adendum.
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu terjadi pada Sekretariat
Badan Penelitian dan Pengembangan, dimana terdapat permasalahan pada
realisasi paket belanja modal TA 2017 berupa dokumen peminjaman barang
(Laptop/Notebook dan iPad) yang belum seluruhnya dibuat dan hanya
berupa tanda terima dari pengurus barang kepada pengguna, tanpa ada
informasi mengenai nomor seri barang elektronik maupun nomor aset. Hal
tersebut mengakibatkan belanja senilai Rp811.834.000,00 atas barang-
barang yang diadakan Sekretariat Balitbang pada TA 2017 tidak dapat
diyakini kewajarannya.
Kondisi tersebut mengakibatkan realisasi pembayaran kepada penyedia
jasa senilai Rp30.409.913.027,77 tidak dapat diyakini kewajarannya.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Dirjen Bina Marga, Dirjen Cipta
70 | Pusat Kajian AKN
Karya, dan Kepala Balitbang untuk memerintahkan PPK untuk melengkapi
dokumen pendukung pelaksana pekerjaan sebagai dasar pembayaran dengan
sebelumnya dilakukan reviu oleh Inspektorat Jenderal.
Perencanaan Pekerjaan pada P2JN Provinsi Nusa Tenggara Barat
tidak memadai sehingga menimbulkan ketidakhematan pembayaran
senilai Rp662.114.120,00 (Temuan No. 15 atas Belanja dalam LHP
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No.
11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 96)
Hasil pemeriksaan mengungkapkan usulan addendum atas Pengawasan
Teknik Rehabilitasi Minor Jalan Kuripan-Sulin, Cakranegara-Mantang,
Rekonstruksi Jalan Sengkol-Kuta dan Preservasi Jembatan (Paket 3) tidak
sesuai ketentuan, karena tidak terdapat perubahan lingkup, lokasi kegiatan,
data dan fasilitas, alih pengetahuan serta pendekatan dan metodologi yang
dapat menjadi alasan untuk diperlukannya tambahan personel bagi penyedia
jasa untuk melaksanakan tugasnya sesuai kontrak. Hal tersebut tidak sesuai
dengan justifikasi yang dilakukan oleh Panitia Peneliti Kontrak dan PPK
sebagai dasar untuk melakukan adendum kontrak dengan penyedia jasa.
Analisis atas perhitungan kembali biaya yang sewajarnya direalisasikan oleh
penyedia jasa dalam rangka pelaksanaan kontrak seharusnya hanya senilai
Rp2.577.354.000,00 atau terdapat pemborosan senilai Rp170.522.120,00.
Permasalahan serupa juga terjadi pada Pengawasan Rehabilitasi Mayor
Jalan Pemenang-Bayan-Sembalun Bumbung dan Preservasi Jembatan (Paket
4) dan Pengawasan Teknik Pembangunan Jembatan Dodokan, Peningkatan
Jembatan Lendangluar dan Jembatan Batu Dawe dan Preservasi Rutin Jalan
dan Jembatan (Paket 5), dimana usulan perubahan addendum tidak sesuai
ketentuan yang menyebabkan adanya pemborosan masing-masing senilai
Rp316.065.000,00 dan Rp175.527.000,00.
Kondisi tersebut mengakibatkan ketidakhematan keuangan negara
senilai Rp662.114.120,00. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan Menteri PUPR agar menginstruksikan Dirjen Bina
Marga untuk memerintahkan Kepala Satuan Kerja untuk memberikan sanksi
sesuai ketentuan kepada PPK terkait untuk mengikuti ketentuan yang
berlaku.
Pusat Kajian AKN | 71
Perencanaan Pembangunan Bendungan Logung di Kabupaten
Kudus Provinsi Jawa Tengah tidak dilaksanakan secara memadai
sehingga biaya yang telah ditetapkan menjadi lebih tinggi senilai
Rp65.000.000.000,00 (Temuan No. 16 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan
terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 99)
Hasil pemeriksaan mengungkapkan terdapat kesalahan dalam
perencanaan pembangunan bendungan logung yang berakibat pada
bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan senilai Rp65.000.000.000,00
sehingga keseluruhan biaya menjadi lebih besar dari kontrak awal yang
direncanakan, maka pembangunan Bendungan Logung berpotensi tidak
layak dibangun secara ekonomis.
Kondisi tersebut mengakibatkan pembangunan Bendungan Logung
berpotensi tidak layak bangun secara ekonomis karena biaya naik 29,49%
dari asumsi biaya awal Rp529.000.000.000,00 menjadi
Rp685.000.000.000,00.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Dirjen Sumber Daya Air untuk
melakukan reviu studi kelayakan atas aspek kelayakan ekonomi
pembangunan bendungan yang berkaitan adanya tambahan biaya senilai
Rp65.000.000.000,00 tersebut.
Sisa dana satuan kerja yang tidak dapat direalisasikan tidak segera
disetor kembali ke kas negara sesuai ketentuan (Temuan No. 1 atas Aset
Lancar dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 101)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan keterlambatan
pengembalian sisa kas ke rekening Kas Negara pada akhir tahun anggaran,
yaitu pada Satuan Kerja PSPAM Provinsi Papua Barat dan Satuan Kerja
PSPLP Provinsi Papua. Hal tersebut terjadi karena tidak optimalnya Kepala
Satuan Kerja dalam melaksanakan pembinaan dan pengendalian atas
penatausahaan kas di satuan kerjanya.
Kondisi tersebut mengakibatkan sisa dana yang tidak segera
dikembalikan tidak dapat segera dimanfaatkan untuk kegiatan lain.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan agar
menginstruksikan Dirjen Cipta Karya untuk memberikan teguran tertulis
72 | Pusat Kajian AKN
kepada Kepala Satuan Kerja terkait untuk lebih meningkatkan pembinaan
dan pengendalian pelaksanaan pekerjaan, dan memerintahkan Kepala Satuan
Kerja terkait untuk memberikan teguran tertulis kepada Bendahara
Pengeluaran terkait untuk mengikuti ketentuan yang berlaku.
Temuan No. 2 atas Aset
Lancar dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 103)
Pada tahun 2016, Ditjen Penyediaan Perumahan mengacu PMK Nomor
181/PMK.06/2016 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara (BMN),
mengeluarkan BMN yang akan diserahkan dari Persediaan di Laporan
Keuangan (ekstrakomptabel) senilai Rp7.747.068.545.509,00. BMN tersebut
dikeluarkan karena tidak dalam penguasaan satuan kerja selaku Kuasa
Pengguna Barang. Namun BMN tersebut belum diajukan permohonan
pemindahtanganan kepada Pengelola Barang (Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara Kementerian Keuangan).
Kondisi tersebut mengakibatkan ketidakjelasan tanggung jawab atas
pengendalian, penggunaan maupun pemeliharaaan atas BMN tersebut.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Dirjen Penyediaan Perumahan untuk
segera melakukan proses hibah/alih status BMN sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pengamanan Barang Milik Negara berupa Tanah pada beberapa
Satuan Kerja kurang memadai (Temuan No. 1 atas Aset Tetap dalam
LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No.
11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 105)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan berupa aset tanah yang
belum didukung bukti kepemilikan yang sah secara hukum yaitu belum
adanya sertifikat tanah. Tidak adanya bukti kepemilikan tanah
mengakibatkan aset tanah berisiko hilang dari penguasaan pemerintah. Adapun besaran Tanah yang belum mempunyai sertipikat senilai
Rp25.749.905.957.608,00. Kondisi tersebut mengakibatkan tanah tersebut
berpotensi disalahgunakan.
Barang untuk diserahkan kepada pihak lain yang tidak disajikan
dalam neraca pada Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan belum
diproses hibah/serah terima sesuai ketentuan (
Pusat Kajian AKN | 73
Sehubungan dengan temuan tersbeut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Dirjen Bina Marga dan Dirjen
Sumber Daya Air untuk memerintahkan Kepala Satuan Kerja terkait untuk
meningkatkan koordinasi dengan Kepala Kantor Pertanahan di wilayah kerja
masing-masing dalam rangka sertipikasi tanah.
Barang Milik Negara pada tujuh satuan kerja dikuasai pihak lain
tanpa dasar hukum yang sah (Temuan No. 2 atas Aset Tetap dalam LHP
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 11C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 107)
Hasil pemeriksaan mengungkapkan terdapat BMN yang dikuasai oleh pihak
lain tanpa dasar hukum yang sah, yaitu pada PJN I Provinsi Riau dan BWS
Sumatera III Provinsi Riau dimana terdapat kendaraan dinas operasional
yang dikuasai oleh pihak di luar pegawai di lingkungan PJN I Provinsi Riau
dan BWS Sumatera III Provinsi Riau tanpa didukung dokumen pinjam pakai
sehingga tidak dapat digunakan untuk kegiatan operasional satuan kerja.
Kondisi tersebut mengakibatkan BMN berpotensi hilang, menimbulkan
konflik dengan pihak lain masa mendatang dan tidak dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan satuan kerja.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri PUPR agar menginstruksikan Dirjen Bina Marga, Dirjen
Penyediaan Perumahan, Dirjen Cipta Karya, dan Dirjen SDA untuk
memerintahkan Kepala Satuan Kerja terkait meningkatkan pengamanan
BMN yang berada dalam penguasaannya serta meningkatkan pengelolaan
aset yang menjadi tanggung jawabnya
Selain itu pada BBPJN VII Semarang, terdapat lima unit bangunan
rumah negara golongan II dihuni oleh purnabakti pegawai Kementerian
PUPR, yang mengakibatkan status bangunan yang berdiri di atas tanah
bangunan kantor pemerintah dan tanah bangunan rumah negara golongan
II menjadi tidak jelas. Kemudiaan pendistribusian aset berupa enam unit
laptop senilai Rp44.450.000,00, lima unit notebook senilai Rp35.475.000,00,
dan dua unit eksternal/portable hard disk senilai Rp2.060.000,00 tidak didukung dengan berita acara pinjam pakai.
74 | Pusat Kajian AKN
Temuan Pemeriksaan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-
undangan
Pendapatan
1. Penatausahaan PNBP pada Satuan Kerja di Direktorat Jenderal Cipta
Karya dan Direktorat Jenderal Bina Marga belum sesuai ketentuan
Belanja
1. Pelaksanaan Belanja Barang Konstruksi tidak sesuai ketentuan,
diantaranya terdapat kelebihan pembayaran senilai Rp1.900.655.397,79
dan sanksi yang belum dikenakan senilai Rp516.862.409,70
2. Pelaksanaan Pekerjaan Pengolahan Sampah dan Belanja Sewa pada
beberapa Satuan Kerja tidak mengikuti ketentuan dan menimbulkan
kelebihan pembayaran senilai Rp602.716.364,00 serta ketidakhematan
senilai Rp575.453.700,00
3. Pembayaran Biaya Perjalanan Dinas dan Honorarium pada kegiatan-
kegiatan paket meeting di lima satuan kerja melebihi ketentuan dan tidak
hemat masing-masing senilai Rp272.435.000,00 dan senilai
Rp77.881.800,00
4. Pembayaran Honorarium pelaksanaan kegiatan pada tiga satuan kerja di
Sekretariat Jenderal tidak sesuai ketentuan senilai Rp888.767.000,00
5. Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konsultan tidak mengikuti ketentuan,
diantaranya tidak dilengkapi dokumen pendukung dasar pembayaran
senilai Rp4.615.015.000,00 dan terdapat kelebihan pembayaran senilai
Rp535.064.942,00
6. Pembayaran Biaya Perjalanan Dinas pada beberapa satuan kerja
dilaksanakan tidak sesuai ketentterdapat kelebihan pembayaran senilai
Rp1.733.088.872,79
7. Pembayaran Pemeliharaan Kendaraan Dinas Operasional tidak sesuai
ketentuan senilai Rp906.115.943,00
8. Pertanggungjawaban Belanja Barang tidak memadai sehingga
pembayaran tidak dapat diyakini kewajarannya senilai
Rp1.644.805.784,00 dan kelebihan pembayaran senilai Rp206.292.000,00
9. Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun (Design and Build)
Penerapan Terbatas (Pilot Project) Dermaga Apung senilai
Rp10.769.369.000,00 dan Pilot Project Sistem Modular Wahana Apung
(Break Water) Senilai Rp2.197.000.000,00 tidak menghasilkan output
sehingga tujuan pembangunannya tidak tercapai
Pusat Kajian AKN | 75
10. Pelaksanaan beberapa paket pekerjaan konstruksi tidak mengikuti
ketentuan sehingga terdapat kelebihan pembayaran senilai
Rp50.502.657.213,18
11. Pembayaran Kemajuan Fisik Tahun 2017 atas pekerjaan yang
diperpanjang sampai tahun anggaran selanjutnya melebihi kuantitas
terpasang senilai Rp33.569.814.104,5
12. Pembayaran Kemajuan Fisik Tahun 2017 atas Pekerjaan Tahun Jamak
(Multi Years Contract) melebihi kuantitas terpasang dan tidak sesuai
spesifikasi senilai Rp42.505.061.089,03 dan terdapat potensi kelebihan
pembayaran senilai Rp13.281.472.256,14
13. Pengenaan sanksi atas pekerjaan tidak selesai tepat waktu tidak sesuai
ketentuan dan terdapat sanksi denda keterlambatan belum dikenakan
minimal senilai Rp21.770.468.348,36 dan jaminan pelaksanaan belum
dicairkan senilai Rp1.633.754.600,00
14. Pembayaran pekerjaan tidak didukung dokumen pertanggungjawaban
yang memadai sehingga tidak dapat diyakini kewajarannya senilai
Rp30.409.913.027,77
15. Perencanaan pekerjaan pada P2JN Provinsi Nusa Tenggara Barat tidak
memadai sehingga menimbulkan ketidakhematan pembayaran senilai
Rp662.114.120,00
16. Perencanaan Pembangunan Bendungan Logung di Kabupaten Kudus
Provinsi Jawa Tengah tidak dilaksanakan secara memadai sehingga biaya
yang telah ditetapkan menjadi lebih tinggi senilai Rp65.000.000.000,00
Aset Lancar
1. Sisa dana satuan kerja yang tidak dapat direalisasikan tidak segera disetor
kembali ke kas negara sesuai ketentuan
2. Barang untuk diserahkan kepada pihak lain yang tidak disajikan dalam
Neraca pada Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan belum diproses
hibah/serah terima sesuai ketentuan
Aset Tetap
1. Pengamanan Barang Milik Negara Berupa Tanah pada beberapa satuan
dasar hukum yang sah
kerja kurang memadai
2. Barang Milik Negara pada tujuh satuan kerja dikuasai pihak lain tanpa
76 | Pusat Kajian AKN
7. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi
Perolehan opini BPK RI atas Laporan Keuangan (LK) Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada Tahun 2015
memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), kemudian pada TA
2016 menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dan pada Tahun 2017
kembali memperoleh opini WTP.
Berikut ini adalah gambar yang menjelaskan tentang jumlah temuan dan
rekomendasi, serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK
untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi:
Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada tahun 2017
mengungkap mengungkap temuan yang perlu mendapatkan perhatian baik
ditinjau dari penilaian Sistem Pengendalian Intern maupun penilaian
kepatuhan terhadap terhadap peraturan perundang-undangan yaitu:
Sistem Pengendalian Intern
2015 2016 2017
38 47 11
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
28 3 0 80 145 35 0 0 0 0 0 0
Sesuai RekomendasiBelum Sesuai
Rekomendasi
Belum
Ditindaklanjuti
Tidak Dapat
Ditindaklanjuti
Temuan
96
Rekomendasi
291
Temuan Pemeriksaan Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Aset Lancar
1. Penatausahaan Kas di Bendahara Pengeluaran, Bendahara Pengeluaran
Pembantu dan Pemegang Uang Muka tidak tertib.
2. Pengendalian dan penatausahaan Persediaan belum tertib.
Pusat Kajian AKN | 77
Penatausahaan Kas di Bendahara Pengeluaran, Bendahara
Pengeluaran Pembantu dan Pemegang Uang Muka tidak tertib (Temuan No. 1 atas Aset Lancar dalam LHP SPI No.
80B/HP/XVI/05/2018, Hal. 3)
Hasil pemeriksaan mengungkapkan adanya selisih lebih sebesar
Rp307.080.566 dan selisih kurang sebesar Rp7.508.000 atas saldo kas tunai
pada BP, BPP dan PUM. Selisih lebih tersebut disebabkan karena belum
dilakukannya pencatatan pada BKU atas SP2D yang telah diterbitkan.
Selain itu, terdapat saldo tunai pada BP, BPP dan PUM yang melebihi
batas maksimal yang diperbolehkan. Saldo tunai pada BPP dan PUM yang
melebihi batas maksimal tersebut masih diperbolehkan sesuai PMK
162/PMK.05/2013 dengan syarat BPP membuat berita acara yang
ditandatangani oleh BPP dan PPK, namun berita acara dimaksud belum
dibuat oleh BPP dan PUM.
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu penatausahaan uang
kegiatan dari BPP tidak tertib diantaranya sebesar Rp4.400.070.499 tidak
dipertanggungjawabkan secara tepat waktu oleh PUM. Hal tersebut belum
diadministrasikan dengan tertib karena hanya berupa kuitansi dan tidak
dibukukan ke dalam BKU sebagai pemberian uang muka kegiatan. Selain itu,
terdapat realisasi perjalanan dinas tidak didukung bukti perjalanan dinas,
kelebihan pembayaran dan berindikasi tidak riil pada Biro SDM dan Umum
sebesar Rp2.890.887.887 yang disebabkan karena proses pencairan dana dari
BP dan BPP langsung ke PPK dan Pelaksana Kegiatan.
Hasil pemeriksaan menunjukan terdapat tempat penyimpanan uang
tunai sebesar Rp285.382.800 pada PUM tidak berada dalam brankas namun
dibawa secara tunai maupun disimpan di rumah pelaksana kegiatan. Selain
itu, Kuasa Pengguna Anggaran atau Pejabat Pembuat Komitmen atas nama
Kuasa Pengguna Anggaran tidak pernah melakukan pemeriksaan kas secara
riil yang dilakukan dengan cara menghitung uang tunai dalam penguasaan
BP, BPP dan PUM. Berita Acara Pemeriksaan Kas sesuai format Lampiran
V Perdirjen Perbendaharaan Nomor Per-3/PB/2014 hanya dibuat secara
Sistem Pengendalian Aset Tetap
1. Pencatatan dan penatausahaan Aset Tetap dan Aset Lain-Lain belum
tertib
78 | Pusat Kajian AKN
proforma dengan cara membuat Berita Acara Pemeriksaan tanpa dilakukan
penghitungan fisik uang tunai secara riil.
Kondisi tersebut mengakibatkan penyajian akun Kas di Bendahara
Pengeluaran belum sepenuhnya didukung dengan pembukuan keuangan
yang memadai, dan tidak tertibnya penatausahaan dan pelaporan
UP/TUP/LS Bendahara membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kas
tunai UP/TUP/LS Bendahara.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar
menginstruksikan masing-masing Kepala Unit Kerja Eselon 1 di lingkungan
Kemendesa PDTT untuk meningkatkan pengendalian atas penatausahaan
kas BP dan BPP.
Pengendalian dan penatausahaan persediaan belum tertib (Temuan
No. 2 atas Aset Lancar dalam LHP SPI No. 80B/HP/XVI/05/2018, Hal. 11)
Dari temuan tersebut diketahui bahwa pengendaliaan dan
penatausahaan persediaan di lingkungan Kemendesa PDTT masih memiliki
beberapa kelemahan, diantaranya yaitu pengelolaan persediaan dilakukan
oleh petugas persediaan/operator aplikasi persediaan yang penujukannya
tidak berdasarkan oleh Surat Keputusan (SK). Kemudian pemeriksaan fisik
(opname) yang dilakukan setiap semester tidak pernah dilakukan secara riil
dengan cara menghitung persediaan, namun dilakukan secara proforma. Hal
tersebut dilakukan karena tidak ada gudang penyimpanan persediaan.
Selain itu, Penyajian saldo Persediaan belum seluruhnya didukung
dengan Berita Acara Inventarisasi fisik saldo akhir Persediaan (Stock
Opname). Diketahui bahwa jumlah persediaan yang dilaporkan di Neraca
sebesar Rp399.770.817.759, terdapat saldo persediaan barang yang akan
diserahkan kepada masyarakat sebesar Rp393.644.693.118. Dari jumlah
tersebut, persediaan sebesar Rp105.152.991.296 tidak didukung dengan
Berita Acara Stock Opname fisik barang persediaan.
Kelemahan lainnya yaitu tedapat pekerjaan yang volume
penyelesaiannya tidak sesuai kontrak (tidak mencapai 100%) namun telah
dicatat sebagai barang persediaan untuk diserahkan ke masyarakat/pemda
sebesar 100%, sehingga persediaan yang disajikan di neraca tidak
menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Diketahui juga terdapat pekerjaan
yang sampai dengan posisi laporan keuangan per 31 Desember 2017 belum
Pusat Kajian AKN | 79
selesai 100%. Pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan pengadaan barang
untuk diserahkan kepada masyarakat/pemda. Dimana dari 41 paket
pekerjaan yang di uji petik, terdapat sebelas paket pekerjaan sebesar
Rp33.145.325.000 yang belum diselesaikan sampai dengan pelaksanaan
pemeriksaan fisik dilapangan.
Tindak lanjut atas rekomendasi hasil pemeriksaan sebelumnya pada
pengelolaan persediaan belum seluruhnya dilaksanakan sesuai rekomendasi,
antara lain belum terdapat sanksi kepada petugas persediaan dan penerima
barang yang tidak mematuhi ketentuan pengelolaan dan pelaporan
persediaan, belum terdapat diklat terkait pengelolaan persediaan bagi para
petugas persediaan dan penerima barang di masing-masing Satker, serta
belum adanya SOP terkait pengelolaan dan mekanisme stock opname
persediaan barang untuk diserahkan kepada pihak ketiga/masyarakat.
Kondisi tersebut mengakibatkan lemahnya pengendalian atas
pengamanan barang persediaan. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi agar menginstruksikan masing-masing Kuasa Pengguna
Barang di lingkungan Kemendesa PDTT untuk meningkatkan pengendalian
atas penatausahaan.
Pencatatan dan penatausahaan Aset Tetap dan Aset Lain-Lain belum
tertib (Temuan No. 1 atas Aset Tetap dalam LHP SPI No.
80B/HP/XVI/05/2018, Hal. 18)
Dari temuan tersebut diketahui bahwa pencatatan dan penatausahaan
Aset Tetap dan Aset Lain-Lain di lingkungan Kemendesa PDTT masih
memiliki beberapa kelemahan, yaitu terdapat laporan hasil inventarisasi yang
tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya, diantaranya sebesar
Rp81.352.383.535 pada Sekretariat Jenderal belum dilakukan inventarisasi.
Diketahui juga bahwa jumlah BMN yang terdapat dalam Daftar Status
Penggunaan BMN pada aplikasi Simak BMN tidak sama dengan jumlah
BMN yang dilaporkan dalam Neraca LK Kementerian, yang disebabkan
karena data BMN pada Aplikasi Simak BMN tidak terkoneksi langsung
dengan laporan BMN sehingga adanya peng-update-an secara manual pada
aplikasi excel. Selain itu, penginputan aset tetap dalam aplikasi Simak BMN
tidak sesuai dengan data realisasi perolehan aset tetapnya dikarenakan
pencatatan aset tetap dalam Simak BMN dilakukan secara satu kesatuan.
80 | Pusat Kajian AKN
Kelemahan penatausahaan aset lainnya yaitu terdapat Aset Tetap hasil
pengadaan belanja modal TA 2017 sebesar Rp139.751.250 tidak dapat
ditelusuri keberadaanny, yang disebabkan karena tidak adanya keterangan
lokasi yang tercatat pada aplikasi Simak BMN. Disamping itu juga tidak
terdapat label kode barang, sehingga penelusuran akan keberadaan fisik
barang menjadi sulit dilakukan. Selain itu terdapat aset tetap yang
penggunaannya bersifat pribadi / melekat pada pribadi pegawai yang tidak
didukung dengan bukti kepemilikan.
Tindak lanjut atas rekomendasi hasil pemeriksaan sebelumnya pada
pengelolaan aset tetap belum seluruhnya dilaksanakan sesuai rekomendasi.
Kondisi tersebut mengakibatkan aset tetap berupa peralatan dan mesin
pada Setjen belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya, dan
pengamanan aset tetap tidak terjamin, terutama terhadap aset tetap yang
penggunaannya melekat pada personal pegawai dan tidak didukung dengan
bukti kepemilikan. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi agar menginstruksikan masing-masing Kuasa Pengguna
Barang di lingkungan Kemendesa PDTT untuk meningkatkan pengendalian
atas penatausahaan Aset Tetap dan Aset Lain-lain.
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
Temuan Pemeriksaan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-
undangan
Pendapatan Negara Bukan Pajak
1. Pengelolaan PNBP oleh Biro SDM dan Umum Sekretariat Jenderal tidak
tertib
Belanja
1. Perhitungan Belanja Tunjangan Kinerja belum didasarkan atas
perhitungan kehadiran pegawai sebesar Rp2.345.862.032 dan terdapat
pembayaran ganda kepada 11 pegawai sebesar Rp124.436.489
2. Perhitungan Belanja Tunjangan Kinerja belum didasarkan atas
perhitungan kehadiran pegawai sebesar Rp2.345.862.032 dan terdapat
pembayaran ganda kepada 11 pegawai sebesar Rp124.436.489
3. Realisasi Belanja Lembur pada Sekretariat Jenderal dan Ditjen PKP2Trans
berindikasi tidak riil sebesar Rp4.418.305.200
Pusat Kajian AKN | 81
Pengelolaan PNBP oleh Biro SDM dan Umum Sekretariat Jenderal
tidak tertib (Temuan No. 1 atas PNBP dalam LHP Kepatuhan terhadap
Peraturan Perundang-undangan No. 80C/HP/XVI/05/2018, Hal. 3)
Pada temuan tersebut diketahui bahwa penatausahaan penerimaan sewa
Gedung Serbaguna Balai Makarti Muktitama masih memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya terdapat selisih penerimaan uang sewa yang belum
disetor ke Kas Negara sebesar Rp6.000.000,00. Selain itu, diketahui juga
bahwa pencatatan penerimaan uang sewa pada buku penerimaan tidak
dicatat pada saat diterima dan tidak disetorkan ke kas negara pada tanggal
penerimaan.
Kelemahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu terdapat pemanfaatan
BMN oleh pihak ketiga yang tidak didasarkan atas perjanjian dan belum
dilakukan pemungutan sewa. Selain itu atas pemanfaatan BMN tersebut
seluruhnya belum memperoleh ijin dari Kemenkeu dan penetapan tarif sewa
belum mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. Dari hasil pemeriksaan
diketahui bahwa terdapat lima pendapatan sewa atas lahan/ruang/gedung
yang dipungut oleh pihak lain dan tidak disetorkan ke Kas Negara minimal
sebesar Rp61.900.000 per tahun.
4. Realisasi Belanja Perjalanan Dinas pada sembilan UKE-I tidak tertib
sebesar Rp9.457.746.946
5. Realisasi Belanja Barang dan Jasa berindikasi tidak riil sebesar
Rp3.709.091.570 dan tidak dilengkapi bukti pertanggungjawaban yang
sah sebesar Rp2.093.777.550
6. Realisasi Belanja Jasa Konsultansi dan Belanja Jasa Lainnya berindikasi
tidak riil sebesar Rp4.113.463.656
7. Realisasi Belanja Modal Peralatan dan Mesin berindikasi tidak riil sebesar
Rp131.654.545, selisih harga spesifikasi sesuai SPK sebesar
Rp184.795.000 dan kekurangan volume pekerjaan atas dua paket
pekerjaan Belanja Modal Gedung dan Bangunan sebesar Rp93.600.647
pada Sekretariat Jenderal
8. Kekurangan volume pekerjaan atas 57 paket pekerjaan sebesar
Rp7.432.642.534, denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan belum
dipungut sebesar Rp760.782.919, jaminan pelaksanaan belum dipungut
sebesar Rp610.098.600 dan bukti pertanggungjawaban non fisik
berindikasi tidak riil sebesar Rp872.961.941 pada 5 UKE-I dan OPD di 5
Provinsi
82 | Pusat Kajian AKN
Kondisi tersebut mengakibatkan penerimaan PNBP atas sewa Gedung
Balai Makarti Muktitama oleh Biro Umum Sekretariat Jenderal Kemendesa
PDTT rawan penyalahgunaan dan penerimaan sebesar Rp6.000.000 belum
disetor ke Kas Negara.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar
menginstruksikan Sekretaris Jenderal Kemendesa PDTT untuk mengelola
Pendapatan dari BMN atas Sewa Gedung dan Bangunan mematuhi
ketentuan yang berlaku, serta menyetorkan realisasi PNBP sebesar
Rp6.000.000 ke Kas Negara, dan menyampaikan salinan bukti setor kepada
BPK.
Perhitungan Belanja Tunjangan Kinerja belum didasarkan atas
perhitungan kehadiran pegawai sebesar Rp2.345.862.032 dan terdapat
pembayaran ganda kepada 11 Pegawai sebesar Rp124.436.489 (Temuan No. 1 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan
Perundang-undangan No. 80C/HP/XVI/05/2018, Hal. 10)
Pada temuan tersebut diketahui bahwa realisasi Belanja Tunjangan
Kinerja tidak didukung bukti perhitungan yang memadai diantaranya
terdapat selisih kelebihan pembayaran tunjangan kinerja berdasarkan
penilaian kehadiran sebesar Rp2.345.862.032. Hal tersebut terjadi karena
perhitungan Belanja Tunjangan Kinerja belum didasarkan atas perhitungan
kehadiran pegawai yang valid.
Selain itu, terdapat pembayaran tunjangan kinerja kepada 11 pegawai
yang sama dalam bulan yang sama namun berbeda UKE-I dan berbeda
dokumen SPM, yang mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar
Rp124.436.489. Kondisi tersebut mengakibatkan pembayaran tunjangan
kinerja belum didasarkan atas penilaian kehadiran yang valid sebesar
Rp2.345.862.032, dan adanya kelebihan pembayaran tunjangan kinerja yang
dibayarkan ganda kepada 11 pegawai/pejabat sebesar Rp124.436.489.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar:
a. Menginstruksikan Sekretaris Jenderal Kemendesa PDTT, Kepala
Balilatfo dan Dirjen PKP2Trans berkoordinasi dengan Inspektur
Jenderal untuk melakukan verifikasi atas pembayaran tunjangan kinerja
bagi pegawai sebesar Rp2.345.862.032 yang tidak didukung dengan
Pusat Kajian AKN | 83
absen mesin rekam kehadiran elektronik. Jika ditemukan kelebihan
pembayaran, agar disetorkan ke Kas Negara. Salinan bukti setor
disampaikan kepada BPK.
b. Menarik kelebihan pembayaran tunjangan kinerja yang dibayarkan
ganda kepada 10 pegawai/pejabat sebesar Rp117.177.489
(Rp124.436.489 - Rp7.259.000) dan menyetorkannya ke Kas Negara.
Salinan bukti setor disampaikan kepada BPK.
Realisasi Belanja Lembur pada Sekretariat Jenderal dan Ditjen
PKP2Trans berindikasi tidak riil sebesar Rp4.418.305.200 (Temuan No.
2 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-
undangan No. 80C/HP/XVI/05/2018, Hal. 16)
Pada temuan tersebut diketahui bahwa terdapat realiasi Belanja Lembur
yang tidak didukung dengan bukti rekam kehadiran sesuai print-out mesin
rekam kehadiran elektronik, namun realisasi Belanja Lembur tersebut
didasarkan atas daftar hadir manual yang ditandatangani oleh pegawai. Dari
hasil pemeriksaan menunjukan terdapat pegawai yang melaksanakan lembur
di hari libur, namun tidak terekam dalam bukti print-out mesin rekam
kehadiran elektronik., yaitu pada Biro SDM dan Umum sebesar
Rp2.188.822.700, dan pada Ditjen PKP2Trans sebesar Rp2.229.482.500.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran atas Belanja
Lembur yang berindikasi tidak riil sebesar Rp4.418.305.200. Sehubungan
dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar memerintahkan
PPK untuk menarik dan menyetor kelebihan pembayaran realisasi Belanja
Lembur sebesar Rp4.018.305.200 (Rp4.418.305.200 – Rp200.000.000 –
Rp200.000.000) ke Kas Negara dan menyampaikan salinan bukti setor
kepada BPK.
Realisasi Belanja Perjalanan Dinas pada Sembilan UKE-I tidak tertib
sebesar Rp9.457.746.946 (Temuan No. 3 atas Belanja dalam LHP
Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 80C/HP/XVI/05/2018, Hal. 21)
Pada temuan tersebut diketahui bahwa terdapat sisa atas pencairan
SPM/SP2D-LS Bendahara atas Belanja Perjalanan Dinas yang belum
disetorkan ke kas negara setelah tahun anggaran berakhir sebesar
Rp3.645.146.309, yang mengakibatkan sisa uang tersebut rawan
84 | Pusat Kajian AKN
disalahgunakan. Hal tersebut disebabkan karena perjalanan dinas
dilaksanakan di akhir tahun dengan menggunakan LS di muka dan
perhitungan atas biaya riil perjalanan dinas baru dilakukan di awal tahun
2018. Selain itu, terdapat pegawai yang melakukan rekam kedatangan dan
kepulangan secara elektronik pada hari perjalanan dinas sebesar
Rp6.471.324.448.
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan yaitu realisasi Belanja
Perjalanana Dinas berindikasi tidak riil sebesar Rp2.383.193.900. Hal
tersebut disebabkan karena pembayaran uang saku dan uang transport tidak
terdapat tanda tangan pelaksana perjalanan dinas, bukti perjalanan dinas
tidak diikuti dengan bukti/kuitansi Daftar Pengeluaran Riil (DPR)
perjalanan dinas. serta adanya bukti daftar hadir yang seluruhnya tidak
ditandatangani oleh peserta rapat. Selain itu, terdapat bukti pembayaran
RDK yang seharusnya tidak dibayarkan karena pelaksanaan RDK tidak
mengundang dan tidak dihadiri oleh peserta dari eselon II lainnya/eselon I
lainnya/Kementerian Negara/Lembaga lainnya/Instansi
Pemerintah/masyarakat, dan RDK dilaksanakan kurang dari tiga jam yang
mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar Rp55.255.000.
Lebih lanjut, hasil pemeriksaan menunjukan terdapat kelebihan
pembayaran belanja perjalanan sebesar Rp452.438.987 yang disebabkan
adanya selisih dari perhitungan jumlah SPM dengan jumlah bukti
pelaksanaan perjalanan dinas, adanya bukti perjalanan dinas yang tidak
didukung dengan bukti pertanggungjawaban perjalanan dinas, serta bukti
pertanggungjawaban perjalanan dinas yang hanya didukung fotocopy bukti dari
pelaksanaan perjalanan dinas. Selain itu, terdapat kemahalan harga pada 35
tiket pesawat dengan sebesar Rp29.104.611.
Kondisi tersebut mengakibatkan sisa uang dari SPM LS Bendahahara
atas Belanja Perjalanan Dinas tidak segera disetorkan ke Kas Negara setelah
tahun anggaran berakhir sebesar Rp3.645.146.309 rawan disalahgunakan,
dan kelebihan pembayaran atas belanja perjalanan dinas yang berindikasi
tidak riil sebesar Rp9.457.746.946.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar
memerintahkan PPK untuk menarik dan menyetor kelebihan pembayaran
realisasi Belanja Perjalanan Dinas sebesar Rp9.224.468.346 ke Kas Negara
dan menyampaikan salinan bukti setor kepada BPK.
Pusat Kajian AKN | 85
Realisasi Belanja Barang dan Jasa berindikasi tidak riil sebesar
Rp3.709.091.570 dan tidak dilengkapi bukti pertanggungjawaban
yang sah sebesar Rp2.093.777.550 (Temuan No. 4 atas Belanja dalam
LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No.
80C/HP/XVI/05/2018, Hal. 33)
Pada temuan tersebut diketahui bahwa terdapat realisasi Belanja Barang
dan Jasa dari mekanisme SPM-LS sebesar Rp923.997.755 berindikasi tidak
riil. Hal tersebut disebabkan karena perusahaan penyedia barang/jasa tidak
melaksanakan seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa. Selain itu, hasil
pengadaan barang tidak sesuai dengan bukti faktur penjualan yang
dikeluarkan perusahaan, di mana pengadaan barang/jasa tidak pernah
diterima.
Permasalahan serupa juga terjadi pada realisasi Belanja Barang dan Jasa
dengan mekanisme SPM-GUP/TUP yang berindikasi tidak riil sebesar
Rp2.785.093.815, yang disebabkan bukti pertanggungjawaban yang
dikeluarkan oleh toko/usaha sebesar Rp2.785.093.815 tidak sesuai dengan
hasil permintaan keterangan atas kebenaran bukti pembelian kepada para
pemilik toko/usaha.
Selain itu, terdapat Realisasi Belanja BBM Kendaraan melalui kupon
maupun tunai tidak dilengkapi dengan bukti struk pembelian bahan bakar
sebesar Rp2.093.777.550. Hal tersebut terjadi karena PPK tidak mewajibkan
penerima kupon atau penerima tunai untuk melaporkan penggunaan BBM
tersebut dengan melengkapi struk sebagai bukti pertanggungjawaban
pengisian BBM.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran atas realisasi
Belanja Barang dan Jasa yang berindikasi tidak riil sebesar Rp3.709.091.570,
dan risiko penggunaan belanja BBM tidak sesuai dengan peruntukannya.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar:
a. Memerintahkan PPK untuk menarik dan menyetor kelebihan
pembayaran atas realisasi Belanja Barang dan Jasa dari mekanisme SPM
LS dan SPM-GUP/TUP yang berindikasi tidak riil sebesar
Rp3.600.466.315 ke Kas Negara dan menyampaikan salinan bukti setor
kepada BPK.
86 | Pusat Kajian AKN
b. Memerintahkan kepada masing-masing KPA, PPK, Bendahara
Pengeluaran/BPP dan pelaksana kegiatan untuk masa yang akan datang
menyampaikan bukti pertanggungjawaban yang sah atas pembelian
BBM dan kemudian menetapkan SOP yang mengatur tentang
pengelolaan dan pertanggungjawaban pembelian BBM yang lebih
akuntabel di lingkungan Kemendesa PDTT.
Realisasi Belanja Jasa Konsultansi dan Belanja Jasa Lainnya
berindikasi tidak riil sebesar Rp4.113.463.656 (Temuan No. 5 atas
Belanja dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
No. 80C/HP/XVI/05/2018, Hal. 41)
Pada temuan tersebut diketahui bahwa terdapat realisasi Belanja Jasa
Kosultan dan Jasa Lainnya pada Biro Perencanaan yang berindikasi tidak riil
sebesar Rp2.181.731.838. Hal serupa juga terjadi pada Direktorat Identifikasi
dan Perencanaan Daerah Tertinggal Ditjen PDT, dimana realisasi Belanja
Jasa Konsultan dan Jasa Lainnya berindikasi tidak riil sebesar
Rp1.272.727.273, diantaranya disebabkan adanya bukti pertanggungjawaban
pengeluaran biaya yang tidak diyakini kebenarannya karena bukti
pertanggungjawaban tidak sesuai dengan hasil konfirmasi.
Selain itu, hasil pekerjaaan pada empat kontrak/perjanjian kerja
berindikasi tumpang tindih sebesar Rp659.004.545, dimana pada Biro
Humas terdapat output laporan hasil berupa video yang berindikasi sama
dengan Pekerjaan Iklan Layanan Masyarakat di Televisi. Sedangkan pada
Direktorat Pengembangan Daerah Perbatasan Ditjen PDTu terdapat output
laporan hasil berupa video yang berindikasi sama dengan Pekerjaan Promosi
Investasi Produk Unggulan Daerah Perbatasan Tahun Anggaran 2017.
Kondisi tersebut mengakibatkan realisasi belanja Jasa Konsultan dan
Jasa Lainnya berindikasi tidak riil sebesar Rp4.113.463.656. Sehubungan
dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar memerintahkan
KPA mengawasi dan mengendalikan kegiatan yang berada di bawah
tanggungjawabnya secara berkala, serta memerintahkan PPK untuk menarik
dan menyetor kelebihan pembayaran atas realisasi belanja Jasa Konsultan
dan Jasa Lainnya berindikasi tidak riil sebesar Rp4.113.463.656 ke Kas
Negara dan menyampaikan salinan bukti setor kepada BPK.
Pusat Kajian AKN | 87
Realisasi Belanja Modal Peralatan dan Mesin Berindikasi tidak riil
sebesar Rp131.654.545, Selisih Harga Spesifikasi sesuai SPK sebesar
Rp184.795.000 dan kekurangan volume pekerjaan atas dua paket
pekerjaan Belanja Modal Gedung dan Bangunan sebesar
Rp93.600.647 pada Sekretariat Jenderal (Temuan No. 6 atas Belanja
dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 80C/HP/XVI/05/2018, Hal. 55)
Pada temuan tersebut diketahui bahwa terdapat pengadaan 12 unit
Peralatan dan Mesin sebesar Rp131.654.545 berindikasi tidak riil, karena
tidak ditemukan keberadaannya. Selain itu, hasil pengadaan Belanja Modal
atas 69 unit Aset Tetap Mesin dan Peralatan sebesar Rp797.255.000
diketahui berbeda dengan spesifikasi dalam dokumen SPK. Dari hasil
perhitungan ulang atas harga riil pembelian Belanja Modal Aset Tetap Mesin
dan Peralatan, diketahui harga rill atas aset tersebut hanya sebesar
Rp567.875.000, sehingga terdapat selisih kemahalan sebesar
Rp184.795.000,00.
Permasalahan lainnya yaitu terdapat kekurangan volume fisik pada
beberapa item pekerjaan Rehabilitasi Pujasera dan Rehabilitasi Parkir Motor
sebesar Rp93.600.647. Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK
merekomendasikan kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi agar memerintahkan KPA mengawasi dan mengendalikan
kegiatan yang berada di bawah tanggungjawabnya secara berkala, serta
menarik dan menyetor kelebihan pembayaran ke Kas Negara serta
menyampaikan salinan bukti setor kepada BPK atas:
a. 12 unit Aset Tetap Mesin dan Peralatan hasil pengadaan Belanja Modal
Mesin dan Peralatan sebesar Rp131.654.545 yang tidak ditemukan
keberadaanya.
b. Kemahalan harga atas 69 unit Aset Tetap Mesin dan Peralatan hasil
pengadaan Belanja Modal Mesin dan Peralatan sebesar Rp184.795.000
yang tidak sesuai spesifikasi dalam SPK.
c. Kekurangan volume pekerjaan Belanja Modal Gedung dan Bangunan
sebesar Rp93.600.647.
88 | Pusat Kajian AKN
Kekurangan volume pekerjaan atas 57 paket pekerjaan sebesar
Rp7.432.642.534, denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan belum
dipungut sebesar Rp760.782.919, jaminan pelaksanaan belum
dipungut sebesar Rp610.098.600 dan bukti pertanggungjawaban non
fisik berindikasi tidak riil sebesar Rp872.961.941 pada 5 UKE-I dan
OPD di 5 Provinsi (Temuan No. 7 atas Belanja dalam LHP Kepatuhan
terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 80C/HP/XVI/05/2018, Hal.
63)
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas 57 paket pekerjaan Belanja
Barang dan Belanja Modal pada 5 UKE-I dan OPD Provinsi/Kabupaten
dalam bentuk Dana Tugas Pembantuan pada Provinsi Sumatera Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara
Timur menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
a. Kekurangan volume pekerjaan atas delapan paket pekerjaan sebesar
Rp1.287.129.408 dan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan
belum dipungut sebesar Rp355.820.964 pada Satker Direktorat
Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu
b. Kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp955.612.156, denda
keterlambatan penyelesaian pekerjaan belum dipungut sebesar
Rp185.778.292 dan bukti pertanggungjawaban non fisik sebesar
Rp872.961.941 berindikasi tidak riil pada Satker Direktorat Jenderal
Pembangunan Daerah Tertinggal
c. Kekurangan volume atas sepuluh paket pekerjaan sebesar
Rp978.226.440 dan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan
kurang dipungut sebesar Rp167.766.387 pada Direktorat Jenderal
Pembangunan Kawasan Perdesaan.
d. Kekurangan volume atas tiga paket pekerjaan sebesar Rp371.738.124
pada OPD Dana Tugas Pembantuan Distransnaker Kabupaten Kolaka
Timur
e. Kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp2.637.956 pada OPD Dana
Tugas Pembantuan Disnakertrans Kabupaten Konawe Selatan
f. Kekurangan volume atas tiga paket pekerjaan sebesar Rp93.520.666
pada OPD Dana Tugas Pembantuan Disnakertrans Kabupaten Belu
g. Kekurangan volume pekerjaan atas dua paket pekerjaan sebesar
Rp237.167.417 pada OPD Dana Tugas Pembantuan Distransnaker
Kabupaten Sumba Timur
Pusat Kajian AKN | 89
h. Kekurangan volume atas lima paket pekerjaan sebesar Rp314.073.351
pada OPD Dana Tugas Pembantuan Disnakertrans Kabupaten
Nagekeo
i. Kekurangan volume pekerjaan pembangunan talud lanjutan sebesar
Rp5.688.209 pada OPD Dana Tugas Pembantuan Distransnaker
Kabupaten Toli-Toli
j. Kekurangan volume pekerjaan pembangunan RTJK sebesar
Rp228.285.318 pada OPD Dana Tugas Pembantuan Dinsosnakertrans
Kabupaten Sintang
k. Kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp129.555.155 dan belum
dipungutnya jaminan pelaksanaan sebesar Rp223.562.500 atas dua
paket pekerjaan pada OPD Dana Tugas Pembantuan Dinsosnakertrans
Kabupaten Sanggau
l. Kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp13.860.348 dan belum
dipungutnya jaminan pelaksanaan sebesar Rp386.536.100 atas empat
paket pekerjaan pada OPD Dana Tugas Pembantuan
Dinkopnakertrans Kabupaten Bengkayang
m. Kekurangan volume pekerjaan atas tiga paket pekerjaan sebesar
Rp1.076.635.899 pada OPD Dana Tugas Pembantuan Disnakertrans
Kabupaten Lahat
n. Kekurangan volume pekerjaan atas tiga paket pekerjaan sebesar
Rp1.076.635.899 pada OPD Dana Tugas Pembantuan Disnakertrans
Kabupaten Lahat Kekurangan volume Pekerjaan Pembangunan
Jembatan KTM Rambutan Parit (Tahap II) sebesar Rp258.070.938
pada OPD Dana Tugas Pembantuan Disnakertrans Kabupaten Ogan
Ilir
o. Kekurangan volume pekerjaan atas lima paket pekerjaan sebesar
Rp441.079.140 pada OPD Dana Tugas Pembantuan Disnakertrans
Provinsi Sumatera Selatan
p. Kekurangan volume pekerjaan dari empat paket pekerjaan sebesar
Rp1.039.362.009 dan denda keterlambatan yang belum dipungut
sebesar Rp51.417.276 pada OPD Dana Tugas Pembantuan
Disnakertrans Kabupaten Banyuasin.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Kelebihan pembayaran atas atas kekurangan volume pekerjaan sebesar
Rp6.585.920.548.
90 | Pusat Kajian AKN
b. Pekerjaan fisik atas Pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang
oleh LKFT-UGM sebesar Rp846.721.986 tidak dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat secara tepat waktu sesuai kontrak.
c. Bukti pertanggungjawaban non fisik atas Pekerjaan Pembangunan
Jembatan Penyeberangan Orang sebesar Rp872.961.941 berindikasi
tidak riil.
d. PNBP belum diterima oleh Negara atas denda keterlambatan
penyelesaian pekerjaan dan jaminan pelaksanaan sebesar
Rp1.370.881.519.
Sehubungan dengan temuan diatas, BPK merekomendasikan kepada
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar:
a. Memerintahkan KPA mengawasi dan mengendalikan kegiatan yang
berada di bawah tanggungjawabnya secara berkala.
b. Memerintahkan PPK untuk menarik dan menyetor kelebihan
pembayaran atas kekurangan volume pekerjaan sebesar
Rp6.114.218.911 ke Kas Negara dan menyampaikan salinan bukti setor
kepada BPK.
c. Memerintahkan PPK atas Pekerjaan Pembangunan Jembatan
Penyeberangan Orang di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Parigi
Moutong, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Belu, dan
Kabupaten Seruyan menginstruksikan kepada LKFT-UGM untuk
segera menyelesaikan sisa pekerjaan sesuai kontrak sebesar
Rp846.721.986 dan apabila LKFT-UGM tidak sanggup menyelesaikan
pekerjaan sesuai kontrak agar menyetorkan ke Kas Negara serta
menyampaikan bukti setor kepada BPK.\
d. Memerintahkan kepada Inspektur Jenderal agar melakukan
pemeriksaan bukti pertanggungjawaban non fisik Pekerjaan
Pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang oleh LKFT-UGM atas
kebenaran bukti pertanggungjawaban kepada penyedia barang dan jasa
sebesar Rp872.961.941 dan apabila dari hasil pemeriksaan terdapat
bukti pertanggungjawaban tidak riil agar dilakukan penyetoran ke Kas
Negara serta menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada BPK.
e. Memerintahkan PPK untuk menarik dan menyetor denda
keterlambatan penyelesaian pekerjaan sebesar Rp760.782.919 ke Kas
Negara dan menyampaikan bukti setor kepada BPK.
Pusat Kajian AKN | 91
f. Memerintahkan PPK untuk menarik dan menyetor jaminan
pelaksanaan pekerjaan sebesar Rp610.098.600 ke Kas Negara dan
menyampaikan bukti setor kepada BPK.