keanekaragaman dan kelimpahan arthropoda...
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 1
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN ARTHROPODA TANAH DI LAHAN
STROBERI (Fragaria Sp) SEMBALUN KABUPATEN LOMBOK TIMUR
SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN MODUL EKOLOGI HEWAN
Abdussamiul Basir1; Iwan Doddy Dharmawibawa2; Safnowandi3
1,2,3Prodi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Mataram
e-mail : [email protected]
Abstrak: Arthropoda merupakan hewan dengan tingkat populasi terbesar antara hewan
fIlum lainnya dan tersebar di setiap wilayah dengan habitat yang berbeda-beda baik yang hidup di
perairan atau pun di darat bahkan tersembunyi di dalam tanah. Arthropoda tanah berperan penting
dalam suatu ekosistem, beberapa diantaranya dapat menguntungkan dan merugikan tanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi jenis artrhropoda tanah, (2) menganalisis indeks
keanekaragaman dan (3) mengungkap kelimpahan Arthropoda tanah di lahan Stroberi Sembalun
Kabupaten Lombok Timur, serta (4) menyusun bahan ajar berupa modul Ekologi Hewan. Penelitian
ini dilaksanakan di lahan pertanian Stroberi (fragaria sp) Sembalun Kabupaten Lombok Timur dan
identifikasi dilakukan di Laboratorium Biologi FPMIPA IKIP Mataram pada bulan Agustus 2017.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik perangkap jebak (Pitfall Trapp) untuk
mendapatkan sampel yang diidentifikasi. Hasil penelitian ditemukan 5 spesies Arthropoda tanah
antara lain, Gryllus Sp, Araneus diadematus, Camponotus modoc, Clivina fossor, dan Chelisoches
sp dengan jumlah keseluruahan sebanyak 44 individu. Nilai indeks keanekkaragaman (H`) untuk
Gryllus Sp dengan nilai 0,140, Araneus diadematus dengan nilai 0,217, Camponotus modoc dengan
nilai 0,199, Clivina fossor dengan nilai 0,183, Chelisoches sp dengan nilai 0,086 dan nilai rata-rata
dari keseluruahan Arthropoda tanah yang ditemukan adalah 0,165 sehingga Arthropoda tanah di
lahan Stroberi Sembalun Kabupaten Lombok Timur dikategorikan dengan keanekaragaman yang
rendah (Magurran, 1988). Kelimpahan Arthropoda tanah yang diperoleh dengan presentase dari
yang tertinggi sampai terendah yaitu, 77,27% Camponotus modoc, 9,09% Araneus diadematus,
6,81% Clivina fossor, 4,54% Gryllus Sp, dan 2,27% Chelisoches sp. Hasil penelitian ini
dikembangkan sebagai dasar penyusunan modul Ekologi Hewan yang divalidasi oleh beberapa
validator dengan hasil tingkat pencapaian antara lain, 82% validasi isi atau materi, 80% validasi
bahasa, dan 86% validasi tampilan dengan kategori layak untuk digunakan, serta diuji oleh 15
mahasiswa diperoleh hasil nilai rata-rata 86% dengan kategori modul terbaca.
Kata Kunci: Keanekaragaman, Kelimpahan, Arthropoda Tanah, Modul Ekologi Hewan
PENDAHULUAN Indonesia merupakan daerah yang beriklim tropis dan memiliki lahan hutan yang begitu
luas, dan sebagian diantaranya dijadikan sebagai lahan pertanian tempat mereka bercocok tanam,
pada lahan tersebut terdapat beberapa komponen mahluk hidup yang meliputi yaitu plora dan faona,
dimana kedua komponen tersebut sangat berperan penting dalam suatu keberadaan pada suatu rantai
makanan, dengan kata lain tanpa kedua komponen tersebut maka suatu ekosistem tidak akan
seimbang (I Wayan, 2010 dalam Lisnawati, 2016).
Pertanian di Indonesia terdapat berbagai macam tanaman dan salah satu diantaranya yaitu tanaman
stroberi (Fragaria sp). Stroberi merupakan tanaman yang biasa hidup di dataran tinggi biasanya
tumbuh di tempat yang lembap dan di perbukitan. Stroberi banyak tumbuh di setiap daerah daratan
tinggi atau di perbukitan indonesia salah satu daerah yaitu terletak di Sembalun Kabupaten Lombok
Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Menurut data BPS tahun 2010, dalam Noris, (2012), Nusa Tenggara Barat memiliki
kekayaaan alam yang melimpah dengan luas daratan lebih dari 20 ribu km2 yang menyimpan
kekayaan dan keanekaragaman sumber daya, terutama di daerah Kabupaten Lombok Timur.
Lombok Timur memliki luas kurang lebih 1.605,55 km2, dengan populasi total 1.105.582 jiwa dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 2
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
kepadatan 688,6 jiwa/km2. Lombok timur memiliki kekayaan alam yang berlimpah seperti, laut,
Gunung, hutan, pertanian, dan wisata alam, sebut saja potensi pertanian seperti, di Sembalun.
Daerah di lereng Gunung Rinjani ini memiliki suhu yang rendah sehingga sangat berpotensi untuk
mengolah agroindustri. Banyak hasil pertanian daerah ini seperti, stroberi, kentang, bawang, wortel,
dan berbagai jenis tanaman yang tumbuh di daerah dataran tinggi.
Sembalun merupakan daerah perbukitan yang memiliki beragam jenis hewan Arthropoda
atau serangga salah satu lahan yaitu di lahan Stroberi. Sembalun adalah salah satu pusat produksi
stroberi untuk daerah Lombok bahkan se Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Daerah ini sangat
cocok dalam budidaya tanaman stroberi dikarenakan iklim yang begitu mendukug. Sembalun
merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah 217,08 km2 dan terdiri dari 6 desa. Secara
geografis daerah Sembalun memiliki ketinggian daerah yang bervariasi yaitu berkisar antara 800
sampai 1.200 meter dari permukaan laut dan berada di lereng Gunung Rinjani, Sembalun terletak di
sebelah utara berbatasan dengan Aikmel disebelah timur berbatasan dengan Sambelia (Anonim,
2016).
Arthropoda merupakan jenis hewan yang keberadaannya terbesar di wilayah hutan maupun
lahan pertanian, dan memiliki peran penting dalam suatu ekosistem. Arthropoda tanah berperan
dalam dekompososisi bahan organik tanah untuk penyediaan unsur hara. Arthropoda merupakan
hewan invertebrata yang memiliki tubuh dan kaki beruas-ruas atau bersendi-sendi, dan Arthropoda
dibedakan menjadi beberapa kelas diantaranya yaitu, Crustacea, Arachnida, Myriapoda, dan
Insecta (Arief, 2001).
Keberadaan Arthropoda di lahan stroberi Sembalun sangatlah banyak dan beragam jenisnya, namun
dari kalangan para pelajar begitu minim dalam mengetahui keberadaan dan keragaman jenis hewan
Arthropoda tersebut, senhingga perlu adanya penelitian dalam mengungkap dan mengidentifikasi
masalah tersebut dan dibentuk dalam bentuk modul sehingga memudahkan dari kalangan para
pelajar dalam belajar.
Pada proses pembelajaran di program studi pendidikan Biologi FPMIPA IKIP mataram
dalam mata kuliah Ekologi Hewan, bahan ajar yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam belajar
masih minim, untuk itu perlu adanya bahan ajar yang digunakan oleh mahasiswa dalam belajar
sehingga memudahkan mahasiswa belajar secara mandiri ataupun dijadikan sebagai referensi
tambahan, yang dalam hal ini bahan ajar yang akan dikembangkan berupa modul ekologi hewan.
Modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistimatis, yang di
dalamnya ber isikan materi-materi dan memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan
didesain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang spesifik. Modul berfungsi
sebagai sarana belajar yang bersifat mandiri sehingga siswa dapat belajar sesuai kecepatan masing-
masing (Dikmenjur, 2008 dalam Cahyaningtiyas, 2014). Dan pada kesempatan kali ini penulis
melakukan penelitian dengan judul Keanekaragaman dan Kelimpahan Arthropoda Tanah di Lahan
Stroberi (Fragaria Sp) Sembalun Kabupaten Lombok Timur sebagai dasar Penyusunan Modul
Ekologi Hewan.
METODE PENELITIAN
1. Rancangan Penelitian Deskriptif Eksploratif
Metode penelitian yang dilakukan adalah Deskriptif-eksploratif yang merupakan suatu
penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau menggunakan sampel (Nazir,
1999 dalam Lisnawati, 2016). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik
perangkap jebak (pitfall trapp) yang ditanam sejajar di permukaan tanah, alat perangkap
dipasang secara acak disetiap plot, yang dimana plot dibentuk menjadi 4 bagian dan masing-
masing plot dipasang alat perangkap sebanyak 5 perangkap, kemudian sampel yang
terperangkap diidentifikasi di tempat dengan menggunakan panduan buku kunci determinasi,
sedangkan sampel yang berukuran mikro dibawa ke Laboratorium untuk diidentifikasi dengan
bantuan menggunakan Mikroskop.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 3
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
2. Rancangan Penelitian Pengembangan Modul
Penelitian pengembangan dilakukan dengan menggunakan 4D yaitu, Define, Design,
Develop, Disseminate, (Thiagarajan, dkk 1974). Namun pada penelitian dimodifikasi menjadi
3D yaitu, Define, Design, Develop. Bahan ajar yang dibuat divalidasi oleh 3 orang validator
ahli yaitu ahli materi atau isi, ahli tampilan, dan ahli bahasa, serta uji keterbacaan oleh
mahasiswa.
3. knik Pengumpulan Data
a. Observasi.
Teknik observasi merupakan proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis
mengenai gejala-gejala yang diteliti. Teknik observasi penelitian ini yaitu dengan
melakukan pengamatan dan pengelompokan terhadap sampel penelitian yang dimana yang
diamati yaitu banyak sampel yang terperangkap di dalam perangkap.
b. Validasi.
Teknik validasi diartikan sebagai suatu tindakan pembuktian dengan cara yang
sesuai bahwa tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme
yang digunakan dalam produksi dan pengawasan akan senantiasa mencapai hasil yang
diinginkan. Yang divalidasi dalam penelitian ini adalah produk atau hasil penelitaian yang
menjadi bahan ajar berupa modul dengan menggunakan lembar validasi ahli. Lembar
validasi ahli yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengumpulkan hasil lembar
validasi ahli yang sudah disebarkan kepada masing-masing validator yang ditentukan oleh
peneliti untuk memvalidasi modul ekologi yang dikembangkan melalui hasil penelitian.
Hasil penelitian dari validator dihitung dengan rumus total yang didapat, dibagi skor
maksimal dikali 100%, aspek yang dinilai berupa isi atau materi, bahasa dan tampilan.
c. Uji Keterbacaan
Uji keterbacaan di sini diartikan bahwa dalam pembuatan suatu produk terlebih
dahulu diuji coba dengan menggunakan beberapa Mahasiswa untuk mengetahui di mana
letak kekurangan dan bagian mana yang harus di perbaiki. Jumlah mahasiswa yang
digunakan sebanyak 15 Mahasiswa.
d. Dokumentasi (pengambilan gambar)
Teknik dokumentasi menurut Sugiyono (2013) dokumen merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seorang.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data meipuiti penghitungan Indeks Keanekaragaman dan analisis
kelimpahan Arthropoda tanah. Penghitungan Indeks Keanekaragaman menggunakan rumus
Shannon-Wienner (Magurran, 1988 dalam Rahmawaty, 2000).
a. Indeks keanekaragaman
Keterangan:
H’ = indeks keanekaragaman.
ni = banyak spesies dalam suatu plot atau jumlah individu ke-i.
N = jumlah total individu yang didapat
Dengan kriteria indeks keaneragaman (H’) menurut Magurran, 1988 dalam Rahmawaty,
2000 sebagai berikut :
Nilai H’ berkisar antara 1,5 – 3,5 :
H’ < 1,5 : Keanekaragaman Rendah.
H’ 1,5 - 3,5 : Keanekaragaman Sedang.
H’ > 3,5 : Keanekaragaman Tinggi
b. Kelimpahan jenis
Analisis Kelimpahan Arthropoda tanah menggunakan rumus sebagai berikut (Van Balen,
1984 dalam Rahmawati, 2000).
H’ = Σ Pi ln Pi
Pi = ni/N
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 4
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Dengan :
Pi = nilai kelimpahan Arthropoda tanah
Analisis jenis Arthropoda tanah menggunakan buku “Kunci Determinasi Serangga” oleh
(Subyanto dkk, 2003).
c. Teknik presentase
Teknik presentase pengembangan bahan ajar, Bahan ajar yang disusun dalam
penelitian ini adalah bahan ajar cetak berupa modul, yang hasil validasinya akan dianalisis
menggunakan teknik persentase. Data hasil validasi modul yang dilakukan oleh validator
atau beberapa ahli dianalisis menggunakan rumus persentase. Adapun rumus persentase
adalah sebagai berikut :
P =Ʃ 𝑆
𝑁x
100%
Keterangan :
P = Presentase
S = Skor rata-rata yang Diperoleh
N = Skor total (skor maksimal)
Dari hasil lembar validasi yang sudah diisi oleh tim validator kemudian di analisis
dengan persentase dengan tabel kriteria sebagai berikut:
Tabel 3.1 Konversi Revisi Bahan Ajar
Tingkat Pencapaian Kualifikasi Keterangan
>80% Sangat Baik Tidak perlu direvisi
70% - 80% Baik Tidak perlu direvisi
60% - 69% Cukup Direvisi
50% - 59% Kurang Direvisi
<50% Sangat Kurang Direvisi
(Sumber : diadaptasi dari Setyosari dan Efendi dalam Roevicka, 2014).
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di lahan Stroberi Sembalun Kabupaten
Lombok Timur, dengan menggunakan teknik perangkap jebak (Ptfall Trapp) dengan tujuan untuk
mengidentifikasi jenis Arthropoda tanah, indeks keanekaragaman dan kelimpahan serta hasil
penelitian ini dikembangkan sebagai dasar penyusunan Modul Ekologi Hewan. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilkukan di lahan Stroberi Sembalun Kabupaten Lombok Timur dapat
dipaparkan sebagai berikut :
1. Jenis Arthropoda Tanah di Lahan Stroberi Sembalun Kabupaten Lombok Timur Berdasarkan hasil pengamatan yaitu, dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4.1 Data Pengamatan Arthropoda Tanah
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jenis spesies yang ditemukan dari semua alat
perangkap yang telah disatukan bahwa hanya di 11 perangkap yang ditemukan Arthropoda
0
10
20
30
40Jenis Arthropoda Tanah
Gryllus Sp
Araneus diadematus
Camponotus modoc
Clivina fossor
Chelisoches sp
Σ Arthropoda spesies
Σ total arthropoda Pi = x 100%
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 5
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
sedangkan sisanya tidak ditemukan, artinya bahwa Arthropoda yang ditemukan sebanyak 5
spesies dengan jumlah individu sebanyak 44 individu diantaranya yaitu, 2 Gryllus Sp, 4 Araneus
diadematus 4 Camponotus modoc, 3 Clivina fossor dan 1 Chelisoches sp.
2. Keanekaragaman Arthopoda Tanah di Lahan Stroberi Sembalun Kabupaten Lombok
Timur Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4.2. Hasil Analisis indeks keanekaragaan Arthopoda tanah dilahan Stroberi Sembalun
Kabupaten Lombok Timur
Berdasarkan hasil analisis indeks keanekaragaman yang didapatkan bahwa, untuk spesies
Gryllus Sp yang didapatkan sebanyak 2 individu dengan indeks keanearagaman 0,140 angka ini
menunjukan bahwa spesies ini tergolong rendah pada lahan tersebut, ini dikarenakan kondisi tanah
lahan tersebut lembap atau sedikit basah, dan dalam bukiu Arief (2001) menyatakan bahwa spesies
ini merupakan spesies yang termasuk memiliki populasi yang sedikit dari pada spesies lainnya.
Sedangkan untuk spesies Araneus diadematus yang didapatkan yaitu sebanyak 4 individu dengan
indeks keanekaragaman 0,217 angka tersebut menunjukan tingkat spesies ini juga tergolong rendah,
ini dikarenakan spesies dari beberapa kelas hewan ini tempat tinggalnya kebanyakan bukan ditanah
sehingga sedikit ditemukan.
Sedangkan untuk spesies Camponotus modoc yang didapatkan yaitu sebanyak 34 individu,
spesies ini merupakan paling banyak ditemukan di lokasai penelitian dari pada spesies lainnya, ini
dikarenakan spesies dari golongan Semut ini hidup secara berkoloni atau seara berkelompok,
spesies ini memiliki populasi paling besar pada suatu ekosistem dari pada spesies Arthropoda
lainnya (Arief, 2001). Spesies dari famili formicidae atau Semut merupakan kelompok hewan
terestrial paling dominan di daerah tropik, hal tersebut dikarenakan spesies ini berperan dalam agen
hayati pengendalian hama, di dalam ekosistem tanah, semut dapat menggali sejumlah besar tanah
sehingga menyebabkan terangkatnya nutrisi tanah, Semut membentuk simbiosis dengan berbagai
serangga lainnya, tumbuhan dan jamur (Herlinda, 2008).
Untuk spesies Clivina fossor yang didapat yaitu 3 individu dari semua total spesies yang
didapatkan dengan indeks keanekaragaman 0,183 angka tersebut menunjukan bahwa spesies
tersebut tergolong keanekaragamannya rendah, ini dikarenakan golongan Kumbang ini sensitif
terhadap suatu kondisi suhu lingkungan (Musyafa, 2004) yang dimana lahan tersebut bersuhu
rendah atau dingin sehingga keberadaan hewan ini sedikit yang ditemukan, dan spesies dari kelas
insecata ini berperan sebagai predator.
Sedangkan untuk spesies Chelisoches sp yang ditemukan hanya 1 individu dari semua total
spesies yang didapatkan dengan hasil indeks keanekaragaman 0,086 artinya angka tersebut
menujukan bahwa spesies ini tergolong keanekaragamannya sangat rendah di lokasi penelitian,
sebenarnya spsies ini termasuk dengan populasi yang banyak namun ini disebabkann karena
keterbatasan tekhnik penangkapan Arthropoda tersebut dan juga tempat keberadaan hewan ini
menempel di setiap batang dan akar tanaman sehingga memungkinkan sedikitnya yang
terperangkap pada alat perangkap.
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25Indeks Keanekaragaman (H`)
Gryllus SpAraneus diadematusCamponotus modocClivina fossorChelisoches sp
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 6
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
3. Kelimpahan Arthopoda Tanah di Lahan Stroberi Sembalun Kabupaten Lombok Timur Berdasarkan hasil analisis kelimpahan yang diperoleh dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4.3 Hasil nilai kelimpahan Arthopoda tanah
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan bahwa Arthropoda tanah
yang didapatkan yaitu dengan jumlah total 44 individu dari 5 spesies yang berbeda yaitu 2
Gryllus Sp dengan nilai kelimpahan sebayak 4,54% dari total jumlah spesies yang ditemukan, 4
Araneus diadematus dengan nilai kelimpahan 9,09% dari total jumlah spesies yang di temukan,
34 Camponotus modoc dengan nilai kelimpahan 77,27% dari total jumlah spesies yang
ditemukan, 3 Clivina fossor dengan nilai kelimpahan 6,81% dari total jumlah spesies yang
ditemukan, dan 1 Chelisoches sp dengan nilai kelimpahan 2,27% dari total jumlah spesies yang
ditemukan.
4. Penyusunan Modul Ekologi Hewan Tabel 4.4 Analisis Skor Validasi Ahli
Tabel 4.5 Hasil Uji Keterbacaan Mahasiswa.
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
100,00%
Nilai Kelimpahan
Gryllus Sp
Araneus diadematus
Camponotus modoc
Clivina fossor
Chelisoches sp
75%
80%
85%
90%Tingkat Pencapaian Validasi Modul ekologi Hewan
isi atau materi
tampilan
bahasa
75%
80%
85%
90%
95%
Uji keterbacaan Nazim
Arilia Hidayanti
Fitriani
Ummu Rahmawati
Imanudin
Darmilumiati
Marya Gregoriana
Siti Faradila
Aipanrus
Nirmala Ainun
Aati Asmawati
Anna Fitriana
Mirawati
Lale Nirwani
Khotimah
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 7
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Berdasarkan Tabel 4.4 analisis skor dan kualifikasi penilaian modul Ekologi Hewan yang
telah diisi oleh masing-masing validator didapatkan hasil yaitu untuk validator ahli materi atau isi
oleh Nofisulastri, M.Si diperoleh nilai rata-rata 4,1 dari 9 komponen penilaian dengan
menggunakan skala likert (5, 4, 3, 2, 1) dengan tingkat pencapaian 82% yang menunjukkan bahwa
modul layak digunakan tanpa revisi, kemudian untuk validator ahli tampilan oleh Septiana Dwi
Utami, M.Pd, diperoleh nilai rata-rata 4 dari 9 komponen penilaian dengan menggunakan skala
likert (5, 4, 3, 2, 1) dengan tingkat pencapaian 80% yang menunjukkan bahwa modul layak
digunakan tanpa revisi, dan untuk validator ahli bahasa modul ekologi hewan oleh Saidil Mursali,
M.Pd, diperoleh nilai rata-rata 4,4 dari 5 komponen penilaian dengan menggunakan skala likert (5,
4, 3, 2, 1) hasil tingkat pencapaian 84% yang menunjukkan bahwa modul layak digunakan tanpa
revisi.
Hasil analisis validasi bahan ajar yang disusun dalam penelitian ini berupa Modul Ekologi
Hewan yang membahas materi tentang Arthropoda tanah. Modul Ekologi Hewan ini digunakan
sebagai salah satu panduan mata kuliah Ekologi Hewan. Modul ini telah divalidasi oleh 3 validator
ahli yaitu ahli materi atau isi oleh Nofisulastri, M.Si., validator ahli tampilan Septiana Dwi Utami,
M.Pd, dan validator ahli bahasa modul ekologi hewan oleh Saidil Mursali, M.Pd, serta uji
keterbacaan oleh 15 Orang Mahasiswa FPMIPA IKIP Mataram pada Program Studi Pendidikan
Biologi. Dari beberaapa hasil di atas bahwa bahan ajar berupa Modul Ekologi Hewan yang peneliti
susun ini layak digunakan untuk Mahasiswa khususnya Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Biologi FPMIPA IKIP Mataram.
Berdasarkan Tabel 4.5 hasil uji keterbacaan yang telah diuji oleh 15 Mahasiswa Pendidikan
Biologi IKIP Mataram dengan hasil rata-rata yang diperoleh adalah 86% angka ini menunjukan
bahwa modul yang diuji dikategorikan telah terbaca, artinya bahwa modul tersebut sudah dipahami
dan sudah bisa digunakan kepada pembaca yang disesuaikan pada kriteria yang tertera pada lembar
uji keterbacaan sehingga modul ekologi hewan tersebut layak digunakan.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di lahan Stroberi Sembalun Kabupaten Lombok
Timur dapat diambil kesimpulan bahwa Jenis-jenis Arthropoda tanah yang ditemukan di lahan
Stroberi Sembalun Kabupaten Lombok Timur dengan menggunakan teknik perangkap jebak (Pitfall
Trapp) terdiri dari 5 spesies yaitu, Gryllus Sp, Araneus diadematus, Camponotus modoc, Clivina
fossor, Chelisoches sp. Sedangkan Indeks keanekaragaman (H`) Arthropoda tanah yang ditemukan
dilahan Stroberi Sembalun Kabupaten Lombok Timur dengan menggunakan teknik perangkap
jebak (Pitfall Trapp) yaitu dengan nilai rata-rata adalah 0,165 sehingga indeks keanekaragaman dari
Arthropoda tanah di lahan Stroberi Sembalun Kabupaten Lombok Timur yaitu dengan kategori
tingkat keanekaragamn yang Rendah. Kelimpahan tertinggi dari Arthropoda tanah yang di temukan
di lahan Stroberi Sembalun Kabupaten Lombok Timur yaitu pada Camponotus modoc dengan nilai
kelimpahan 77,27% dari semua total jumlah Arthropoda yang ditemukan, sedangkan yang
terrendah yaitu pada Chelisoches sp dengan nilai kelimpahan 2,27%.. Untuk penyusunan modul
ekologi dapat disimpulkan baahwa dari hasil validasi yang di peroleh dari masing-masing validator
dengan tingkat pencapaian yaitu, 82% untuk segi materi atau isi, 80% untuk untuk segi tampilan
dan 88% untuk segi bahasa, serta meperoleh hasil uji keter bacaan dengan hasil rata-rata 86%,
sehingga modul dikategorikan bahwa layak untuk digunakan.
SARAN
Sebaiknya perlu dilakukan peneltian lebih lanjut terkait hal-hal yang kurang dalam
penelitian ini, dan sebaiknya dalam proses teknik pengambilan sampel perlu dilakukan pengulangan
sehingga hasil yang di peroleh lebih maksimal.
DAFTAR RUJUKAN
Abidin, Z. 2010. Studi Keanekaragaman Serangga di Vegetasi Savana Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
Arikunto, S. 2013. Manajemen Penelitian.Rineka Cipta: Jakarta
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 8
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Jakarta. Kanisius
Cahyaningtyas, R. 2014. Penyusunan Modul Pembelajaran KKPI Untuk Meningkatkan
Kemandirian Belajar Siswa Kelas X Pada Materi Mengoperasikan Software Spreadsheet
di SMK Negeri 1 Depok. Universitas negri Yogyakarta
Gembong, T. 1985 Taksonomi Tumbuhan. PT Glora. Gunadi, T. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta
Hadi, M. Tarwotjo, U dan Rahadian, R. 2009. Biologi Insekta Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu
Hamalik, O. 1994. Sistem Pembelajaran Jarak Jauh dan Pembinaan Ketenagaan. Bandung:
Trigenda Karya
Herlinda, S., dkk. 2008. Perbandingan Keaneragaman Spesies dan Kelimpahan Arthropoda
Predator Penghuni Tanah di Sawah Lebak yang Diaplikasi dan Tanpa Aplikasi Insektisida. Jurusan
Biologi FMIPA. Universitas Sriwijaya
Indahwati, R., dkk. 2012. Keanekaragaman Arthropoda Tanah di Lahan Apel Desa Tulungrejo
Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Universitas Diponegoro. Semarang
Kastawi, Y. 2005. Zoologi Avertebrata. UM Prees. Malang
Mariatul, Q. 2014. Keanekaragaman Arthropoda Tanah Di Perkebunan Teh PTPN XII Bantaran
Blitar. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik
Ibrahim Malang
Lisnawati. 2016. Kelimpahan Dan Keaneragaman Arthropoda Tanah Sebagai Sumber Belajar Di
Kawasan Hutan Kalasan Sumber Ubalan Kabupaten Kediri. Program Studi Pendidikan
Biologi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusantara PGRI Kediri
Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar swadaya. Jakarta
Rahmawaty. 2000. Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan Wisata Alam
Sibolangit.e-jurnal Universitas Sumatra Utara
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfa
Beta
Suheriyanto dan Dwi R. 2008. Ekologi Serangga. Malang: UIN Press.
Thiagarajan, S., Semmel, D. & Semmel, M. I. 1974. Instructional development for training teacher
of Exceptional Childre. Indiana : Indiana University Bloomington
Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengolahannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 9
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PENGEMBANGAN BUKU AJAR MICROTEACHING BERBASIS PRAKTIK UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGAJAR CALON GURU
Ade Kurniawan1; Masjudin2
1,2IKIP Mataram
e-mail: [email protected]; [email protected]
Abstak: Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perkuliahan Microteaching di IKIP
Mataram adalah belum adanya buku ajar microteaching. Akibatnya, dosen dan mahasiswa kesulitan
dalam mencari referensi yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan perkuliahan.
Mahasiswa seringkali hanya menggunakan referensi yang didownload dari blog-blog yang tidak
terjamin kebenarannya. Akibatnya, mahasiswa tidak menguasai keterampilan dasar dalam
mengajar. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah Untuk menghasilkan buku ajar
microteaching yang valid, dan efisien untuk meningkatkan keterampilan mengajar calon guru di
IKIP Mataram. Buku ajar microteaching dikembangkan dengan menyeimbangkan antara teori
dengan Praktik sesuai dengan beban mata kuliah microteaching. Jenis penelitian ini adalah
penelitian pengembangan. Penelitian ini dirancang dengan mengacu pada model pengembangan 4D
(Define, Design, Develop, Dessimination). Hasil penelitian ini baru mencapai tahap Develope.
Teknik pengambilan data menggunakan lembar validasi buku ajar. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa skor validasi buku mencapai rata-rata 84% yang berada pada kategori sangat valid.
Kata kunci: Buku Ajar, Microteaching, Praktik, Keterampilan Mengajar
PENDAHULUAN
Praktik pembelajaran pada microteaching sangatlah kompleks yakni terdiri dari berbagai
pelatihan komponen pembelajaran. Pada pelatihan perencanaan pembelajaran mahasiswa dibina
untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dalam hal ini tentu mahasiswa harus
memiliki pemahaman yang memadai tentang berbagai pengetahuan tentang teori belajar dan strategi
belajar. Pada praktik pembelajaran, mahasiswa belajar banyak aspek, baik mencakup teknis
penyampaian materi, penggunaan metode pembelajaran, penggunaan media pembelajaran,
membimbing belajar, memberi motivasi, mengelola kelas, memberikan penilaian dan seterusnya.
Oleh karena itu, pelaksanaan perkuliahan microteaching harus dilaksanakan secara maksimal dan
semua komponen pendukung baik berupa buku, ruangan, dan fasilitas lainnya harus tersedia.
Berdasarkan pengalaman peneliti sebagai pengampu mata kuliah microteaching, salah satu
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perkuliahan microteaching di IKIP Mataram pada
umumnya dan program studi pendidikan matematika pada khususnya adalah belum adanya buku
ajar microteaching. Akibatnya, dosen dan mahasiswa kesulitan dalam mencari referensi yang dapat
digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan perkuliahan. Kendala ini tentunya berdampak pada
keberhasilan pembelajaran. Perolehan keilmuan yang diperoleh mahasiswa antar kelas berbeda-
beda karena tidak adanya pedoman yang memadai. Mahasiswa seringkali hanya menggunakan
referensi yang didownload dari blog-blog yang tidak terjamin kebenarannya. Mahasiswa masih
kesulitan dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dari berbagai pendekatan,
model, strategi, maupun metode pembelajaran serta menentukan teknik evaluasinya. Akibatnya,
proses pelaksanaan latihan mengajar yang dilaksanakan menjadi tidak maksimal. Mahasiswa tidak
menguasai keterampilan dasar dalam mengajar. Oleh karena itu, dalam rangka penguasaan
keterampilan dasar mengajar, calon guru perlu berlatih bersama dosen maupun belajar secara
mandiri.
Praktik merupakan upaya untuk memberi kesempatan kepada peserta didik mendapatkan
pengalaman langsung. Ide dasar belajar berdasarkan pengalaman mendorong peserta didik untuk
merefleksikan atau melihat kembali pengalaman-pengalaman yang mereka pernah alami.
Pembelajaran Praktik merupakan suatu proses untuk meningkatkan keterampilan pebelajar dengan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 10
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
menggunakan berbagai metode yang sesuai dengan keterampilan yang diberikan dan peralatan yang
digunakan. Selain itu, pembelajaran Praktik merupakan suatu proses pendidikan yang berfungsi
membimbing peserta didik secara sistematis dan terarah untuk dapat melakukan suatu keterampilan
(Syahrir & Masjudin, 2014:4)
Pengembangan buku ajar microteaching berbasis Praktik ini sangat sejalan dengan
matakuliah microteaching yang memadukan antara konsep dengan Praktik. Dengan adanya buku
ajar microteaching berbasis Praktik ini dapat dijadikan sebagai referensi yang dapat memberikan
kemudahan dalam pelaksanaan microteaching baik bagi dosen maupun bagi mahasiswa sebagai
calon guru.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengembangan
Dalam dunia pendidikan, penelitian pengembangan memfokuskan kajiannya pada bidang
desain atau rancangan berupa perangkat keras (hardwere) seperti buku, modul, alat bantu
pembelajaran di kelas atau di laboratorium atau juga perangkat lunak (softwere) seperti program
komputer, model pembelajaran, dan lain-lain. Jenis penelitian dan pengembangan atau Research
and Development (R&D) adalah metode penelitian untuk mengembangkan produk atau
menyempurnakan produk.
Penelitian pengembangan menurut Borg dan Gall (dalam Punaji Setyosari, 2013:222)
adalah strategi untuk mengembangkan suatu produk pendidikan. Menurut Seels & Richey (dalam
Punaji Setyosari, 2013:223) penelitian dan pengembangan adalah “Opposed to simple instructional
development, has been defined as the systematic study of designing, developing and evaluating
instructional programs, processes and products that must meet the criteria of internal consistency
and effectiveness.” Berdasarkan uraian tersebut , penelitian pengembangan sebagaimana dibedakan
dengan pengembangan pembelajaran yang sederhana, didefinisikan sebagai kajian secara
sistematik untuk merancang, mengembangkan dan mengevaluasi program–program, proses dan
hasil–hasil pembelajaran yang harus memenuhi kriteria konsistensi dan keefektifan secara internal.
Menurut Seels dan Richey dalam bentuk yang paling sederhana penelitian pengembangan ini dapat
berupa: (1) kajian tentang proses dan dampak rancangan pengembangan dan upaya-upaya
pengembangan tertentu atau khusus, (2) suatu situasi dimana seseorang melakukan atau
melaksanakan rancangan, pengembangan pembelajaran, atau kegiatan-kegiatan evaluasi dan
mengkaji proses pada saat yang sama, (3) kajian tentang rancangan, pengembangan, dan proses
evaluasi pembelajaran baik yang melibatkan komponen proses secara menyeluruh atau tertentu saja.
2. Buku Ajar
Buku ajar adalah buku yang digunakan dalam proses kegiatan belajar. Buku ajar dikenal
pula dengan sebutan buku teks, buku materi, buku paket, atau buku panduan belajar. Jadi buku ajar
yang dimaksudkan identik dengan buku teks, buku paket, buku materi atau buku panduan belajar.
Buckingham mengutarakan bahwa “buku teks (ajar) adalah sarana belajar yang bisa digunakan di
sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran dan pengertian
modern dan yang umum dipahami” (Taylor Barbara, 1988 dalam Syahrir & Masjudin, 2014:32)
Selain itu, dalam Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 1 menjelaskan bahwa ”Buku
teks adalah buku acuan wajib untuk digunakan di satuan pendidikan dasar dan menengah atau
perguruan tinggi yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan,
ketakwaan, akhlak mulia, dan kepribadian, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,
peningkatan kepekaan dan kemampuan estetis, peningkatan kemampuan kinestetis dan kesehatan
yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan” (Depdikbud, 2008: Pasal 1) Buku ajar
disusun dengan alur dan logika sesuai dengan rencana pembelajaran. Buku ajar disusun sesuai
kebutuhan belajar siswa atau mahasiswa. Buku ajar disusun untuk mencapai tujuan pembelajaran
atau kompetensi tertentu
Greene dan Petty, merumuskan beberapa peranan dan kegunaan buku ajar sebagai berikut:
1. Mencerminkan suatu sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai pengajaran serta
mendemonstrasikan aplikasi dalam bahan pengajaran yang disajikan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 11
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
2. Menyajikan suatu sumber pokok masalah atau subject matter yang kaya, mudah dibaca dan
bervariasi, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa, sebagai dasar bagi program-
program kegiatan yang disarankan di mana keterampilan-keterampilan expressional diperoleh
pada kondisi yang menyerupai kehidupan yang sebenarnya.
3. Menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap mengenai keterampilan-
keterampilan expressional.
4. Menyajikan (bersama-sama dengan buku manual yang mendampinginya) metode-metode dan
sarana-sarana pengajaran untuk memotivasi siswa.
5. Menyajikan fiksasi awal yang perlu sekaligus juga sebagai penunjang bagi latihan dan tugas
praktis.
6. Menyajikan bahan atau sarana evaluasi dan remedial yang serasi dan tepat guna.
Buku ajar haruslah mempunyai sudut pandang yang jelas, terutama mengenai prinsip-
prinsip yang digunakan, pendekatan yang dianut, metode yang digunakan serta teknik-teknik
pengajaran yang digunakan. Dalam penelitian ini, buku ajar yang akan dikembangkan berbasis
Praktik. Buku ajar sebagai pengisi bahan haruslah menyajikan sumber bahan yang baik.
Susunannya teratur, sistematis, bervariasi, dan kaya akan informasi. Di samping itu harus
mempunyai daya tarik kuat karena akan mempengaruhi minat siswa terhadap buku tersebut. Oleh
karena itu, buku ajar itu hendaknya menantang, merangsang, dan menunjang aktivitas dan
kreativitas mahasiswa. Oleh karena itu, Dalam penelitian ini, akan peneliti sangat berharap dapat
menghasilkan buku ajar microteaching yang valid untuk meningkatkan keterampilan mengajar
mahasiswa.
3. Microteahing
Microteaching merupakan suatu mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh semua calon
guru. Oleh kLaughlin dan Moulton dalam Hasibuan mendefinisikan micro teaching (pengajaran
mikro) adalah sebuah metode latihan penampilan yang dirancang secara jelas dengan jalan
mengisolasi bagian-bagian komponen dari proses mengajar, sehingga guru (calon guru) dapat
menguasasi setiap komponen satu persatu dalam situasi mengajar yang disederhanakan (Hasibuan
dan Moedjiono 2009:44). Selain itu, Sukirman (2012:21) mengatakan bahwa microteaching adalah
sebuah pembelajaran dengan salah satu pendekatan atau cara untuk melatih penampilan mengajar
yang dilakukan secara “micro” atau disederhanakan. Penyederhanaan disini terkait dengan setiap
komponen pembelajaran, misalnya dari segi waktu, materi, jumlah siswa, jenis keterampilan dasar
mengajar yang dilatih, penggunaan metode dan media pembelajaran, dan unsur-unsur pembelajaran
lainnya.
Selanjutnya Hamalik mengatakan pengajaran mikro merupakan teknik baru dan menjadi
bagian dalam pembaruan. Penggunaan pengajaran mikro dalam rangka mengembangkan
keterampilan mengajar calon guru atau sebagai usaha peningkatan, adalah suatu cara baru terutama
dalam sistem pendidikan guru di negera kita (Hamalik, 2009:144).
Menurut Sardiman (2005:186) microteaching adalah meningkatkan performance yang
menyangkut keterampilan dalam mengajar atau latihan mengelola interaksi belajar mengajar. Lebih
lanjut, Sardiman mengatakan bahwa microteaching dijadikan tempat membekali calon guru dengan
memperbaiki komponen-komponen mengajar sebelum terjun ke real class room teaching.
Pengajaran mikro berfungsi sebagai Praktik keguruan, baik dalam pre-service maupun in-service
4. Praktik
Praktik merupakan upaya untuk memberi kesempatan kepada peserta mendapatkan
pengalaman langsung. Ide dasar belajar berdasarkan pengalaman mendorong peserta pelatihan
untuk merefleksikan atau melihat kembali pengalaman-pengalaman yang mereka yang pernah
alami. Pembelajaran Praktik merupakan suatu proses untuk meningkatkan keterampilan peserta
dengan menggunakan berbagai metode yang sesuai dengan keterampilan yang diberikan dan
peralatan yang digunakan. Selain itu, pembelajaran Praktik merupakan suatu proses pendidikan
yang berfungsi membimbing peserta didik secara sistematis dan terarah untuk dapat melakukan
suatu keterampilan (Syahrir & Masjudin, 2014:22-24)
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 12
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Wallace (1994) dalam (Masjudin, 2014:210-217) mengatakan bahwa ada dua sumber
pengetahuan yaitu pengetahuan yang diterima/diperoleh melalui belajar baik secara formal maupun
informal (received knowledge) dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman (experiential
knowledge). Kedua sumber pengetahuan tersebut merupakan unsur kunci bagi pengembangan
profesionalisme. Wallace berasumsi bahwa masing-masing peserta pelatihan membawa
pengetahuan dan pengalaman ketika memasuki diklat baru. Wallace lebih lanjut menjelaskan bahwa
efektifnya pelatihan tergantung pada bagaimana peserta pelatihan melakukan refleksi mengaitkan
antara pengetahuan dan pengalaman serta Praktik untuk memperbaiki pembelajarannya lebih lanjut.
Kemampuan melakukan refleksi dari Praktik yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan
menentukan pencapaian kompetensi profesional.
5. Keterampilan Mengajar
Keterampilan dapat diartikan sebagai suatu keahlian seseorang dalam melakukan suatu
pekerjaan bidang tertentu. Bagi calon guru, keterampilan yang dimaksud adalah ahli melakukan
tugas mengajar. Komponen keterampilan dasar mengajar yang dilatih dalam pengajaran mikro
(micro-teaching) menurut hasil penelitian Tumey (1973) (Dalam Syahrir & Masjudin, (2014:36)
terdapat 8 (delapan) keterampilan yang sangat berperan dalam kegiatan belajar mengajar.
Kedelapan keterampilan tersebut antara lain :
1. Keterampilan dasar membuka dan menutup pelajaran (set induction And closure)
2. Keterampilan dasar menjelaskan (explaining skills)
3. Keterampilan dasar mengadakan variasi (variation skills)
4. Keterampilan dasar memberikan penguatan (reinforcement skills)
5. Keterampilan dasar bertanya (questioning skills)
6. Keterampilan dasar mengelola kelas
7. Keterampilan dasar mengajar perorangan/kelompok kecil
8. Keterampilan dasar membimbing diskusi kelompok kecil
Kedelapan keterampilan mengajar tersebut akan dijadikan indicator dalam keterampilan
mengajar guru yang akan digunakan dalam penelitian ini.
RANCANGAN PENELITIAN
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Pengembangan.
Model pengembangan yang digunakan yaitu model pengembangan yang diadaptasi dari model
pengembangan 4D (Define, Design, Define, Develop).
Prosedur penelitian yang dilaksanakan dalam penelitian ini mengacu pada tahap-tahap
model pengembangan 4D yang meliputi tahap Define (Pendefinisian), tahap Design (Perancangan),
tahap Develop (Pengembangan), dan tahap Disseminate (Penyebaran). Kegiatan yang dilakukan
pada tahap ini dapat diuraikan sebagai berikut
a. Tahapan Define.
Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran. Tahap
ini dilakukan dengan melakukan analisis tujuan dalam batasan materi pelajaran yang akan
dikembangkan perangkatnya. Dalam tahap ini meliputi analisis kurikulum, analisis peserta didik,
analisis materi, dan merumuskan tujuan pembelajaran.
Pada tahapan ini, peneliti akan melakukan beberapa kegiatan :
1. Analisis awal-akhir.
Pada tahap ini, peneliti akan mempelajari beberapa buku yang terkait seperti belajar dan
pembelajaran, strategi pembelajaran, psikologi pendidikan, dll. Selanjutnya akan dikaji
kelebihan dan kekurangan-kekurangannya sehingga dapat dikembangkan dalam buku
microteaching berbasis Praktik
2. Analisis mahasiswa.
Pada tahap ini, peneliti mendiagnosa kebutuhan mahasiswa mengacu kepada pengalaman
yang dekat dengan mahasiswa
3. Analisis tugas.
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menganalisis target capaian mahasiswa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 13
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
4. Analisis Konsep.
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah melakukan identifikasi konsep-konsep
utama yang akan diajarkan pada mata kuliah microteaching, untuk selanjutnya dirincikan
dalam konsep-konsep yang lebih detail. Konsep-konsep tersebut selanjutnya diurutkan
berdasarkan urutan hierarkinya.
5. Penentuan indicator ketercapaian (specifying instructional objectives).
Berdasar hasil analisis tugas dan analisis konsep, selanjutnya pada tahap ini kegiatan yang
dilakukan adalah mendesain indikator-indikator ketercapaian yang akan dicapai dalam
pembelajaran matematika. Indicator-indikator tersebut nantinya akan diintegrasikan dalam
buku cerita yang disusun.
b. Tahap Design.
Pada tahap design ada beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan.
1. Constructing Criterion-Tes
Pada tahapan kegiatan ini akan ditentukan garis besar tujuan dari indicator-indikator yang
telah diuraikan pada tahap sebelumnya.
2. Pemilihan Media
Pada tahapan ini akan ditentukan media apa saja yang akan digunakan dalam buku
microteaching.
3. Pemilihan format
Pada tahapan ini akan ditentukan bahwa seperti apa penyajian materi dalam buku
microteaching berbasis Praktik.
4. Rancangan utama
Dalam tahapan ini peneliti menyusun kerangka isi buku dalam beberapa bab. Selanjutnya,
kerangka-kerangka tersebut dibuat buku. Hasil dari tahapan ini adalah adanya draf awal buku
Microteaching berbasis Praktik.
c. Tahap Develope.
Pada tahap ini ada dua kegiatan yang dilaksanakan yaitu:
1. Penilaian ahli
Pada tahap ini, pakar akan diundang untuk melakukan review. Pakar-pakar yang diundang
adalah dosen-dosen yang sudah mengampu mata kuliah microteaching di IKIP Mataram.
Masing-masing pakar akan melakukan review buku yang sudah dirancang sesuai dengan
bidang keahlian masing-masing.
2. Uji pengembangan
Pada tahap ini buku ajar akan disebarkan untuk diuji secara terbatas
d. Tahap Desimination
Pada konteks pengembangan buku microteaching berbasis Praktik
tahap dissemination dilakukan dengan cara sosialisasi buku ajar melalui pendistribusian kepada
mahasiswa. Pendistribusian ini dimaksudkan untuk memperoleh respons, umpan balik terhadap
buku yang telah dikembangkan. Apabila ada respon yang belum baik, maka selanjutnya
dilaksanakan proses revisi. Apabila respon sasaran pengguna buku sudah baik maka baru
dilakukan pencetakan dalam jumlah banyak dan pemasaran supaya bahan ajar itu digunakan oleh
sasaran yang lebih luas.
HASIL YANG DICAPAI
Penelitian ini meliputi dua tahapan, yaitu tahap pengembangan dan tahap implementasi.
Tahap pengembangan menggunakan model Four-D Mode yang meliputi tahap Define
(Pendefinisian), tahap Design (Perancangan), tahap Develop (Pengembangan), dan tahap
Disseminate (Penyebaran). Adapun uraian hasil penelitian sebagai berikut:
Produk yang dikembangkan adalah buku ajar Microteaching. Pada tahap define ini, kegiatan
yang dilakukan pada tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran.
Tahap ini dilakukan dengan melakukan analisis tujuan dalam batasan materi pelajaran yang akan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 14
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
dikembangkan perangkatnya. Dalam tahap ini meliputi analisis kurikulum, analisis peserta didik,
analisis materi, dan merumuskan tujuan pembelajaran.
Pada tahapan ini, hasil kegiatan dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Analisis awal-akhir.
Pada tahap ini, peneliti mempelajari beberapa buku yang terkait seperti pelaksanaan
pembelajaran, strategi pembelajaran, penyusunan instrumen, dll. Hasil analisis buku tersebut
diperoleh teori-teori pendukung agar mahasiswa dapat menguasai keterampilan dasar mengajar.
2. Analisis mahasiswa.
Pada tahap ini, peneliti mendiagnosa kabutuhan mahasiswa dengan mengacu kepada pengalaman
yang sudah didapatkan mahasiswa yang sudah menempuh matakuliah microteaching. Kegiatan ini
dilaksanakan dengan mewawancara beberapa mahasiswa. Hasil yang diperoleh bahwa selama ini
mahasiswa tidak memiliki referensi yang baku dalam pembelajaran microteaching, mahasiswa
membuat perangkat mengacu pada contoh-contoh yang didownload dari internet. Mahasiswa masih
kesulitan dalam mendapatkan referensi yang digunakan secara penuh dalam pembelajaran.
3. Analisis tugas.
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menganalisis target capaian yang akan diperoleh
mahasiswa. Kegiatan ini juga dilaksanakan dengan melaksanakan wawancara dengan mahasiswa
yang sudah menempuh matakuliah. Hasilnya adalah dalam pelaksanaan pembelajaran
microteaching tidak hanya melaksanakan belajar mengajar, tapi juga memerlukan teori penyusunan
perangkat/instrument pembelajaran yaitu melalui tugas terstruktur untuk membaca, menganalisis,
dan memaknainya sebelum Praktik. Oleh karena itu, dalam penyajian buku ajar dituntut agar
terdapat ruang untuk mengevaluasi pemahaman mahasiswa dengan Praktik terstruktur.
4. Analisis Konsep.
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah melakukan identifikasi konsep-konsep utama
yang akan diajarkan pada mata kuliah microteaching, untuk selanjutnya dirincikan dalam konsep-
konsep yang lebih detail. Konsep-konsep tersebut selanjutnya diurutkan berdasarkan urutan
hierarkinya. Hasil analisis konsep tersebut adalah memunculkan ide mengenai konsep yang akan
diuraikan pada buku ajar. Konsep-konsep tersebut terdiri dari pengetahuan tentang kemampuan
dasar mengajar, teknik menyusun instrument, strategi pembelajaran di kelas, dan teknik evaluasi.
5. Penentuan indicator ketercapaian (specifying instructional objectives).
Berdasar hasil analisis tugas dan analisis konsep, selanjutnya pada tahap ini kegiatan yang
dilakukan adalah mendesain indicator-indikator ketercapaian yang akan dicapai dalam
pembelajaran matematika. Indicator-indikator tersebut nantinya akan diintegrasikan dalam buku
ajar yang disusun. Hasil tahap ini adalah memunculkan Indikator-indikator sebagai berikut.
(a) Mahasiswa memiliki pengetahuan tentang kemampuan dasar mengajar;
(b) Mahasiswa memahami teknik menyusun instrument;
(c) Mahasiswa dapat memahami teknik, strategi, dan metode pembelajaran di kelas; teknik
mengelola pembelajaran.
(d) Mahasiswa dapat memahami teknik evaluasi
Pada tahap design ada beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan yaitu, Constructing Criterion-
Tes, Pemilihan Media, Pemilihan format, Rancangan utama. Hasil dari tahap ini adalah ditentukan
garis besar tujuan dari indicator-indikator yang telah diuraikan pada tahap sebelumnya. Adapun
garis besar tujuan yang dihasilkan yaitu mahasiswa mempelajari teori kemampuan dasar mengajar,
Menyusun program pembelajaran matematika, bahan ajar cetak/multimedia matematika, dan alat
evaluasi pembelajaran, kemudian melakukan Praktik pengajaran dengan menerapkan delapan
keterampilan dasar mengajar, yaitu : Keterampilan membuka dan menutup pelajaran, Keterampilan
bertanya dasar dan lanjut, Keterampilan memberikan penguatan, Keterampilan mengelola kelas,
Keterampilan mengadakan variasi, Keterampilan memimpin diskusi dan kelompok kecil,
Keterampilan menjelaskan, Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan, yang diakhiri
dengan melakukan refleksi Praktik mengajar baik melalui self-assessment maupun peer-evaluation.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 15
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Pada tahapan ini juga ditentukan bahwa seperti apa penyajian materi dalam buku microteaching
berbasis Praktik. Penyajian buku microteaching disajikan dengan menyajikan teori terlebih dahulu
yaitu keterampilan dasar mengajar, yaitu : Keterampilan membuka dan menutup pelajaran,
Keterampilan bertanya dasar dan lanjut, Keterampilan memberikan penguatan, Keterampilan
mengelola kelas, Keterampilan mengadakan variasi, Keterampilan memimpin diskusi dan
kelompok kecil, Keterampilan menjelaskan, Keterampilan mengajar kelompok kecil dan
perorangan, yang diakhiri dengan melakukan refleksi Praktik mengajar. Selanjutnya disajikan teori
cara menyusun instrument yang baik, yang meliputi cara menyusun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPS)
Tahap pengembangan ini melalui beberapa kegiatan seperti tahap uji validasi ahli oleh validator
ahli yang bertujuan untuk mengetahui kevalidan buku. Adapun hasil dari beberapa kegiatan di atas
dapat penulis jabarkan sebagai berikut :
Kegiatan uji validitas buku ajar ini akan dilakukan oleh tiga validator ahli. Adapun hasil data
kuantitatif dan data kualitatif dari validator ahli dapat penulis jabarkan pada tabel, sebagai berikut:
Tabel 1. Data Kuantitatif Uji Validitas Buku
No. Nama Validator Skor
Total
Butir
Soal
Rata-
rata
Persentase Kriteria
1 Validator 1 138 31 4,31 86, 2% Sangat Valid
2 Validator 2 131 31 4,09 81,8% Sangat Valid
3 Validator 3 138 31 4,31 86, 2% Sangat Valid
∑
Rata-rata 4,2 84% Sangat valid
Tabel 2. Data Kualitatif Uji Validitas Modul
No. Validator Komentar dan Saran
1. Validator 1 a. Isi dari buku ajar baik, ketepatan isi juga baik.
b. Ada beberapa penulisan yang tidak jelas, sebaiknya harus diperbaiki
kembali sebelum digunakan.
c. Contoh RPP cukup baik dan memuat keterampilan dasar mengajar.
2. Validator 2 a. Isi modul sangat menarik dengan ilustrasi-ilustrasi, baik untuk
menguatkan pemahaman konsep siswa.
b. Cover depan modul masih kurang menarik masih ada bagian yang
kosong.
3 Validator 3 Buku cukup baik, dan sudah merepresentasikan kebutuhan guru dalam
mengajar, kekurangannya adalah kegiatan praktiknya masih kurang sehingga
perlu ditambahkan pada setiap indikator pencapaian
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: Buku ajar microteaching berbasis
Praktik yang telah dikembangkan, divalidasi, dan direvisi, secara keseluruhan dinilai valid dan
dapat digunakan dalam pembelajaran serta bisa menjadi rujukan bagi dosen dan mahasiswa serta
pengembang pendidikan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Johan Wahyudi. 2009. Menulis untuk Masa Depan, Sunday 22 March 2009 (05:52).
Hamalik, Oemar. 2009. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi
Aksara
Bambang, Hartono. 2010. Pengajaran Mikro: Strategi Pembelajaran Calon Guru/ Guru Menguasai
Keterampilan Dasar Mengajar. Semarang: Widya Karya.
Hasibuan, J.J. dan Moedjiono.2009. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 16
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Masjudin. 2014. Teori Belajar Skinner Berbasis Talking Stick untuk Meningkatkan Aktivitas dan
Prestasi Belajar Siswa. Jurnal “Media Pendidikan Matematika” Vol. 2 No. 1, Juni 2014,
pp. 210-217, ISSN 2338-3836
Syahrir & Masjudin. 2014. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar yang
Menyenangkan. Laporan Penelitian internal LPPM IKIP Mataram.
Riduwan. 2013. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung : Alfabeta
Sardiman A.M. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja GrafindoPersada.
Setyosari, Punaji. 2013. Metode Penelitian Pendidikan & Pengembangan. Jakarta: Kencana
Sugiyono.2015. Metode Penelitian & Pengembangan. Bandung: Alfabeta
Sukirman Dadang. 2012. Pembelajaran Micro Teaching. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 17
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
ANALISIS EFEKTIVITAS, KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DESAIN MODEL
COOPERATIVE LEARNING DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL
BELAJAR GEOGRAFI LINGKUNGAN PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GEOGRAFI DI PULAU LOMBOK
Agus Herianto1; Ibrahim2
1,2Program Studi Pendidikan Geografi FKIP UM Mataram
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan efektivitas, kelebihan dan kelemahan
Desain Model Pembelajaran Cooperative Lebahing dalam Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar
Geografi Lingkungan Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi FKIP UM Mataram dan
Program Studi Pendidikan Geografi STKIP Hamzanwadi Selong. Adapun produk yang dihasilkan
dalam penelitian pengembangan ini adalah buku ajar geografi lingkungan berbasis konstruktivis
dengan model pembelajaran cooperative learning. Pengembangan bahan ajar melalui model
pembelajaran konstruktivis merupakan alternatif yang sangat efektif dalam meningkatkan motivasi
dan hasil belajar mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi pada mata kuliah geografi
lingkungan. Selama ini pembelajaran yang berlangsung didominasi oleh dosen (sentralistik) tanpa
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada mahasiswa untuk mengeksplor kemampuannya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun pertama, maka produk penelitin yang dihasilkan
berupa buku ajar geografi lingkungan berbasis konstruktivis dengan model cooperative learning ini
layak untuk digunakan oleh dosen geografi lingkungan untuk meningkatkan kualiatas proses
pembeljaran, hal ini didasari oleh: 1) penilaian produk yang telah dilakukan oleh para ahli baik ahli
isi, ahli bahasa, maupun ahli desain dengan nilai baik; 2) tanggapan atau penilaian yang dilakukan
oleh mahasiswa program studi pendidikan geografi dan dosen geografi lingkungan dengan kategori
baik dan 3) hasil uji coba terbatas dan uji coba lebih luas yang menunjukkan peningkatan motivasi
dan hasil belajar yang cukup signifikan hal ini bisa dilihat dari nilai pretes dan postes yang diperoleh.
Selanjutnya hasil validasi model pada tahun kedua menunjukkan bahwa kelas yang diajarkan dengan
produk hasil pengembangan memiliki motivasi dan hasil belajar yang lebih baik bila dibandingkan
dengan kelas kontrol yang mengunakan metode pembelajaran ceramah, diskusi dan tanya jawab.
Kata Kunci : Model Pembelajaran, Cooperative Learning, Proses Belajar Mengajar, dan Geografi
Lingkungan.
PENDAHULUAN
Bentuk komunikasi searah yang berlangsung dalam proses perkuliahan di perguruan tinggi
berdampak pada rendahnya inisiatif mahasiswa untuk berpartisipasi langsung dalam proses
perkuliahan. Iklim perkuliahan di kampus yang bersifat kaku atau searah cenderung berpengaruh pada
emosi dan perilaku mahasiswa yang tidak kondusif dalam mengikuti perkuliahan. Dalam iklim
tersebut terdapat dua jenis emosi perilaku mahasiswa. Pertama, mahasiswa tidak mampu
meyesuaikan diri dengan iklim perkuliahan sehingga mengembang emosi negatif (bosan, tertekan,
jengkel, marah) dan perilaku menghindar dari tugas-tugas kuliah. Kedua adalah mahasiswa yang
mampu menyesuaikan diri dengan iklim tersebut dengan orientasi hanya lulus kuliah. Dengan
demikian pendekatan pembelajaran yang berpusat pada dosen yang memposisikan mahasiswa
sebagai objek didik perlu segera ditinggalkan dan dirubah kearah pendekatan yang berpusat pada
mahasiswa, yaitu pendekatan pembelajaran yang memposisikan mahasiswa sebagai subjek didik
yang secara efektif terlibat dalam proses pembelajaran baik secara fisik, mental maupun emosinya.
Rendahnya motivasi belajar dan kemampuan mahasiswa untuk bertanya, mengajukan pendapat
dan berdiskusi di dalam kelas perlu segera dicarikan solusinya agar proses pembelajaran lebih
bermakna bagi mahasiswa dan pada akhirnya mampu mendongkrak mutu perkuliahan yang lebih
berkualitas.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 18
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Geografi lingkungan merupakan mata kuliah yang fokus kajiannya mengkaji aspek lingkungan
fisik dan lingkungan sosial suatu wilayah secara spesifik dan komprehensif. Tujuan perkuliahan
geografi lingkungan adalah memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang lingkungan baik
yang menyangkut lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik dalam hal ini litosfer,
hidrosfer, dan atmosfer. Sedangkan lingkungan sosial dikaji oleh geografi manusia atau antroposfer.
Sebagai salah satu mata kuliah keahlian yang peranannya sangat mendasar dalam memberikan
pemahaman tentang lingkungan fisik dan sosial, maka sudah seharusnya proses pelaksanaan
perkuliahan dapat berjalan dengan baik, dengan proses pembelajaran geografi lingkungan yang
berkualitas diharapkan mampu menghasilkan para calon pendidik yang memiliki keahlian,
keterampilan dan pengelolaan lingkungan hidup serta profesional dalam bidang pengajaran geografi
pada umumnya.
Namun, realitasnya proses pelaksanaan perkuliahan geografi lingkungan di lapangan ternyata
masih belum dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan yang diharapkan. Proses perkuliahan
geografi lingkungan menurut hasil observasi peneliti secara umum belum mampu meningkatkan
keterlibatan aktif mahasiswa dalam proses interaksi pembelajaran seperti yang terjadi pada proses
pembelajaran di perguruan tinggi pada umumnya sebagaimana telah diuraikan di depan. Hasil
wawancara penulis dengan beberapa mahasiswa yang pernah menempuh mata kuliah geografi
lingkungan pada kedua program studi tersebut menunjukkan secara umum bahwa tingkat penguasaan
pemahaman mahasiswa terhadap materi perkuliahan geografi lingkungan masih rendah. Ketika
peneliti mempertanyakan tentang beberapa model atau metode pembelajaran yang pernah mereka
pelajari, secara umum mereka tidak menjawabnya dengan baik dan jelas. Fakta tersebut diperkuat
dengan hasil tes yang diberikan peneliti kepada 40 mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi
FKIP UM dan STKIP Hamzanwadi Selong yang telah menempuh mata kuliah geografi lingkungan.
Berbagai upaya untuk mengatasi persoalan yang berkaitan dengan kualitas proses pembelajaran
di perguruan tinggi pada umumnya dan kualitas pembelajaran geografi lingkungan pada khususnya
perlu terus untuk dilakukan dan ditingkatkan. Atas dasar itulah maka dipandang perlu untuk
mengadakan pembaharuan terhadap proses perkuliahan, khususnya pada mata kuliah geografi
lingkungan guna meningkatkan kualitas proses dan outputnya, melalui pengembangan model
pembelajaran yang relevan.
Berdasarkan uraian di atas, maka model pembelajaran cooperative learning berbasis
konstruktivis dipandang sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang cukup penting untuk
meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Model pembelajaran cooperative learning merupakan
model pembelajaran yang mendorong dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa baik secara
fisik maupun mental untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran. Penerapan model pembelajaran
ini akan lebih memungkinkan mahasiswa untuk belajar secara aktif melalui kerja sama kelompok dan
berinteraksi dengan beragam sumber belajar yang lebih kaya. Dengan demikian, upaya
pengembangan model pembelajaran cooperative learning menjadi penting untuk dilakukan dalam
mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas, baik kualitas motivasi belajar maupun kualitas
hasil belajar.
Hasil penelitian tahun pertama menunjukan bahwa pengembangan bahan ajar geografi
lingkungan berbasis konstruktivis dengan model cooperative learning mendapatkan rekomendasi
yang positif dari beberapa ahli baik dari ahli isi dengan skor penilaian 80.7, ahli bahasa dengan skor
80 dan ahli desain dengan skor 74. Selanjutnya tanggapan mahasiswa terkait dengan pengembangan
bahan ajar geografi lingkungan berbasis konstruktivis dengan model cooperative learning
meunjukkan penilaian yang positif, penilaian uji coba terbatas pada semester VIa memperoeh skor
80.1 dan penilaian uji coba lebih luas pada semester VIb dan VIc masing-masing memperoleh skor
81.02 dan 81.25.
Selain itu, hasil wawancara baik dengan kelas uji coba terbatas (semester VIa) maupun dengan
kelas uji coba lebih luas (smester VIb dan VIC) menunjukkan bahwa mahasiswa setuju dan
mengapresiasi pengembangan buku ajar geografi lingkungan berbasis konstuktivis dengan model
pembelajaran cooperative learning. Selanjutnya, penilaian dari dua orang dosen mata kuliah geografi
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 19
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
lingkungan terkait dengan pengembangan bahan ajar geografi lingkungan berbasis konstruktivis
mendapatkan penilaian dan respon yang positif masing-masing dengan skor penilaian 83 dan 80.
Setelah melalui proses penilaian produk, baik oleh beberapa ahli, mahasiswa dan dosen
pengampu mata kuliah geografi lingkungan maka tahapan selanjutnya adalah melakukan uji coba
produk baik pada kelas uji coba terbatas maupun kelas uji coba lebih luas. Berdasarkan hasl uji coba
yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa penerapan model cooperative learning berbasis
konstruktivis memberikan hasil yang positif hal ini terlihat dari beberapa aspek antara lain aktivitas
dalam kerja kelomok berjalan efektif dan hasil postes menunjukan ada peningkatan hasil belajar yang
lebih baik dengan penerapan model pembelajaran cooperative learning.
Berdasarkan hasil penelitian pada tahun pertama yang udah diuraikan di atas maka dipandang
penting untuk melakukan validitas model pada tahun kedua untuk melihat efektivitas, kelebihan dan
kekurangan pengembangan bahan ajar geografi lingkungan berbasis konstruktivistik dengan model
cooperative learning yang sudah dihasilkan. Atas dasar hasil penelitian tersebut di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah efektivitas, kelebihan dan kelemahan Desain
Model Cooperative learning dalam Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Geografi Lingkungan
Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi STKIP Hamzanwadi Selong.
KAJIAN LITERATUR
Pembelajaran Konstruktivis
Pembelajaran konstruktivis merupakan teori pembelajaran kognitif yang tergolong baru dalam
psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa mahasiswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan
merevesinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi mahasiswa agar-benar memahami dan
dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan sesuatu
untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Slavin, 1994).
Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa harus mahasiswa sendiri yang menemukan dan
mentransformasikan sendiri suatu informasi kompleks apabila mereka menginginkan informasi itu
menjadi miliknya. Konstruktivisme adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa perkembangan
kognitif merupakan suatu proses dimana mahasiswa secara aktif membangun sistem arti dan
pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi mereka. Menurut pandangan
konstruktivis mahasiswa secara aktif membangun pengetahan dengan cara terus menerus
mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain konstruktivis adalah teori
perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif mahasiswa dalam membangun pemahaman
mereka tentang realita.
Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif secara intensif,
atas dasar teori bahwa mahasiswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang
sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah itu dengan temannya (Slavin,
1994). Contoh aplikasi pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran adalah mahasiswa belajar
bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain. Kelas di susun dalam
kelompok yang terdiri dari 4-5 mahasiswa, campuran mahasiswa berkemampuan tinggi, sedang dan
rendah.
Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivis menurut Suparno (dalam Trianto, 2010),
antara lain: 1) pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif; 2) tekanan dalam proses belajar terletak
pada siswa; 3) mengajar adalah membantu siswa belajar; 4) tekanan dalam proses belajar lebih pada
proses bukan pada hasil akhir; 5) kurikulum menekankan partisipasi siswa; dan 6) guru sebagai
fasilitator. Secara umum, prinsip-prinsip tersebut berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis
terhadap praktik, pembaruan, dan perencanaan pendidikan.
Model Pembelajaran
Sebelum mengemukakan secara lebih spesifik mengenai model pembelajaran cooperative learning ,
maka terlebih dahulu akan diulas pengertian model pembelajaran. Pengertian model pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 20
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
menurut Joice B. dan Weli (dalam Hermawan, 2010) mendefinisikan bahwa model pembelajaran
adalah suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau
pembelajaran dalam setting, tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran
termasuk di dalamnya buku-buku, film, dan komputer. Sementara itu, Arends mengatakan bahwa
model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran termasuk di dalamnya tujuan
pembelajaran, tahap-tahap kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Astuti (2009) menjelaskan bahwa model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk
pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh dosen. Dengan
kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan,
metode dan teknik pembelajaran.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weli (dalam Astuti, 1990)
dalam makalahnya mengetengahkan empat kelompok model pembelajaran, yaitu: 1) model interaksi
sosial; 2) model pengolahan informasi; 3) model personal-humanistik; dan 4) model modifikasi
tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut
diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan
kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar yang berfungsi sebagai pedoman dosen dalam
merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengelola lingkungan pembelajaran dan
mengelola kelas.
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative learning ) Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivistik. Pembelajaran ini muncul dari
konsep bahwa mahasiswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika
mereka saling berdiskusi dengan temannya, mahasiswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk
saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakikat soal dan penggunaan
kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif.
Di dalam kelas kooperatif mahasiswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari 4-6 orang mahasiswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin,
suku/ras, dan satu sama lain saling membantu. Tujuan dibuatnya kelompok tersebut adalah untuk
memberikan kesempatan kepada semua mahasiswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses
berpikir dan kegiatan belajar. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah
mencapai ketuntasan materi yang disajikan oleh dosen, dan saling membantu teman sekelompoknya
untuk mencapai ketuntasan belajar.
Belajar kooperatif menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok, yang hanya dapat dicapai
jika semua anggota kelompok mencapai tujuan atau penguasaan materi (Slavin, 1994). Johnson dan
Johnson (dalam Trianto, 2010) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah
memaksimalkan belajar mahasiswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara
individu maupun secara kelompok.
Zamroni (dalam Trianto, 2000) mengemukakan bahwa manfaat penerapan belajar kooperatif
adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level
individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas sosial dikalangan
mahasiswa.
Dalam modul pelatihan terintegrasi disebutkan ciri-ciri dan manfaat pembelajaran kooperatif
(Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas, 2005) sebagai berikut: 1) mahasiswa bekerja
sama dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya; 2) kelompok dibentuk
dari mahasiswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah; 3) bila memungkinkan,
anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda; dan 4)
penghargaan yang diberikan lebih berorientasi kelompok dari pada individu.
Sementara itu, manfaat belajar kooperatif bagi mahasiswa adalah: a) meningkatkan kemampuan
untuk bekerja dan bersosialisasi; b) melatih kepekaan diri, empati melalui variasi perbedaan sikap
dan perilaku selama bekerjasama; c) meningkatkan motivasi belajar, harga diri dan sikap perilaku
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 21
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
yang positif, sehingga mahasiswa akan tahu kedudukannya dan belajar untuk menghargai satu sama
lainnya; d) mengurangi rasa kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri; dan e) meningkatkan
prestasi belajar dengan menyelesaikan tugas akademik, sehingga dapat membantu mahasiswa
memahami konsep-konsep yang sulit (Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas, 2005).
Menurut Johnson dan Johnson (1994), terdapat lima unsur penting dalam belajar kooperatif,
yaitu: 1) saling ketergantungan yang bersifat positif antar mahasiswa; 2) interaksi antara mahasiswa
yang semakin meningkat; 3) tanggung jawab individual; 4) keterampilan interpersonal dan kelompok
kecil; dan 5) proses kelompok.
Selain lima unsur penting yang terdapat dalam model pembelajaran kooperatif, model
pembelajaran ini juga mengandung prinsip-prinsip yang membedakan dengan model pembelajaran
lainnya. Konsep utama dari belajar kooperatif menurut Slavin (1994), adalah sebagai berikut: 1)
penghargaan kelompok; 2) tanggung jawab individual; 3) kesempatan yang sama untuk sukses.
Selanjutnya, terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan
pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah ditunjukkan pada tabel 1 di bawah ini
Tabel 1. Fase-fase Pembelajaran Kooperatif
Fase Kegiatan Dosen
Fase I
Menyampaikan tujuan dan
memotivasi mahasiswa
Menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi
mahasiswa untuk belajar.
Fase II
Menyajikan/menyampaikan
informasi
Menyajikan informasi kepada mahasiswa dengan jalan
mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan.
Fase III
Mengorganisasikan mahasiswa
kedalam kelompok-kelompok belajar
Menjelaskan kepada mahasiswa bagaimana caranya
membentuk kelompok belajar dan membantu setiap
kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Fase IV
Membimbing kelompok bekerja dan
belajar
Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat
mereka mengerjakan tugas.
Fase V
Evaluasi
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah
diajarkan atau masing-masing kelompok.
mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase VI
Memberikan penghargaan
Mencari cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok.
(Sumber: Trianto, 2010)
Dari uraian tinjauan tentang pembelajaran kooperatif ini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif memerlukan kerjasama antar mahasiswa dan saling ketergantungan dalam struktur
pencapaian tugas, tujuan dan penghargaan. Keberhasilan pembelajaran ini tergantung dari
keberhasilan masing-masing individu dalam kelompok, di mana keberhasilan tersebut sangat berarti
untuk mencapai suatu tujuan yang positif dalam belajar kelompok.
Motivasi Belajar
Motivasi berpangkal dari kata “motif” yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di
dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan.
Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi interen (kesiapsiagaan). Menurut Mc Donald
(dalam Fathurrohman, 2007), motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai
dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.
Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam
diri mahasiswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar,
sehingga diharapkan tujuan yang ada dapat dicapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat
diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin
melakukan aktivitas belajar dengan maksimal.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 22
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Motivasi ada dua yaitu, motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul dari dalam
diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
Sedangkan motivasi ekstrinsik timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena
adanya ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau
melakukan sesuatu atau belajar.
Hamalik (2002) menyebutkan bahwa ada tiga fungsi motivasi antara lain: 1) mendorong manusia
untuk berbuat, jadi sebagai penggerak motor yang melepaskan energi; 2) menentukan arah perbuatan
yakni kearah tujuan yang hendak dicapai; 3) menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-
perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-
perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Dari beberapa uraian di atas, nampak jelas bahwa motivasi berfungsi sebagai pendorong,
pengarah dan sekaligus sebagai penggerak perilaku seseorang untuk mencapai tujuan. Dosen
merupakan faktor yang penting untuk mengusahakan terlaksananya fungsi-fungsi tersebut dengan
cara dan terutama memenuhi kebutuhan mahasiswa.
Hasil Belajar
Hasil belajar adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang dicapai
seseorang setelah melakukan suatu usaha. Bila dikaitkan dengan belajar berarti hasil belajar
menunjukkan sesuatu yang dicapai oleh seseorang yang belajar dalam selang waktu tertentu. Hasil
belajar termasuk dalam atribut kognitif yang respons hasil pengukurannya tergolong pendapat
(judgement), yaitu respon yang dapat dinyatakan benar atau salah (Suryabrata, 2005).
Sedangkan menurut Sudjana, hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki
mahasiswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2010). Dengan demikian dapat
dikatakan kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan
sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Suprijono (2009) memberikan pengertian bahwa, hasil belajar adalah perubahan perilaku secara
keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya hasil pembelajaran
yang dikategorikan tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah melainkan komprehensif. Sudjana
mengatakan bahwa, dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan
kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Bloom yang secara
garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor (Sudjana,
2010).
Berdasarkan teori tersebut dapat dijelaskan bahwa: 1) ranah kognitif berkenaan dengan hasil
belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis dan evaluasi; 2) ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yaitu
penerimaan, penilaian, organisasi dan internalisasi; 3) ranah psikomotor yang terdiri dari enam aspek
yaitu gerakan reflek, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan dan
ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Research and Development (R&D).
Digunakannya metode R&D dalam penelitian ini dikarenakan penelitian ini bermaksud
mengembangkan model pembelajaran cooperative learning pada mata kuliah geografi lingkungan.
Menurut Borg and Gall (1983) R&D is process used to develop and validate educational product”.
Yang dimaksud produk dalam konteks penelitian dan pengembangan menurut Borg and Gall (1983)
adalah tidak terbatas pada bahan-bahan material saja seperti buku teks, film pendidikan dan
sejenisnya akan tetapi juga yang menyangkut dengan prosedur dan proses misalnya seperti metode
pembelajaran dan metode pengorganisasian pembelajaran. Pengembangan model pembelajaran yang
digunakan pada penelitian adalah pengembangan model Borg and Gall (1983).
Langkah-Langkah Penelitian yang ditem[uh secara operasional dalam penelitian dan
pengembangan ini melalui tiga tahapan yaitu: (1) studi pendahuluan, (2) rancngan pengembangan
model, (3) menyusun desain awal model, (4) melaksankana uji coba model, dan (5) pengujian model
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 23
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Studi pendahuluan merupakan tahap awal penelitian pengembangan yang dilakukan dengan
melakukan survey lapangan dan studi kepustakaan. Survey lapangan dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh data tentang kondisi dan situasi empiris pembelajaran mata kuliah geografi lingkungan
saat ini. Adapun aspek-aspek yang diteliti mencakup: 1) persepsi dosen terhadap pengajaran geografi
lingkungan dan aktivitas diri dosen dalam meningkatkan kualitas pembelajaran; 2) perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi kualitas pembelajaran; 3) minat mahasiswa pada mata kuliah geografi
lingkungan, tingkat kepercayaan diri dan aktivitas mahasiswa dalam perkuliahan serta tanggung
jawab mahasiswa terhadap pelaksanaan pembelajaran mata kuliah geografi lingkungan; 4)
ketersediaan dan pemanfaatan sarana dan fasilitas lingkungan belajar selama ini.
Sedangkan studi kepustakaan dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan berbagai teori dan
konsep tentang model-model pembelajaran cooperative learning dan juga mengkaji berbagai
penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan peningkatan kualitas proses pembelajaran di
perguruan tinggi.
Tahap selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengembangan model
pembelajaran yang mencakup langkah: penyusunan desain/draf awal model pembelajaran, dan
pelaksanaan uji coba model pembelajaran. Rancangan pengembangan model yang digunakan dalam
penelitian pengembangan ini adalah rancangan pengembangan model Borg and Gall (1983) yang
terdiri dari sepuluh langkah yang disederhanakan oleh Sukmadinata (2005) menjadi tiga langkah yang
terdiri dari studi pendahuluan, pengembangan model dan validasi model.
Penyusunan desain awal merupakan langkah untuk menyusun draf awal yang berisi tentang
rencana pembelajaran dan langkah-langkah pembelajaran untuk meningkatkan kualias interaksi
proses pembelajaran. Penyusunan draf awal model dilakukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan
hasil pra-survey yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam draf ini memuat tentang rumusan tujuan
pembelajaran, materi pembelajaran, prosedur pembelajaran, metode dan media serta evaluasi
pembelajaran mata kuliah geografi lingkungan. penyusunan draf rencana pembelajaran dikerjakan
oleh peneliti dan bekerja sama dengan dosen pengampu mata kuliah geografi lingkungan.
Uji coba model dilakukan dalam dua tahap, yaitu uji coba terbatas dan uji coba lebih luas. Model
pembelajaran yang telah direncanakan, kemudian di uji coba secara terbatas dan secara lebih luas
dengan menggunakan prinsip Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research), yaitu meliputi
kegiatan penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, serta evaluasi dan
penyempurnaan desain model pembelajaran.
Dalam uji coba terbatas, penelitian difokuskan pada evaluasi proses. sedangkan uji coba lebih
luas selain difokuskan pada evaluasi proses juga difokuskan pada evaluasi hasil. Observasi proses
pelaksanaan uji coba model difokuskan untuk mengkaji dan mengevaluasi efektivitas penggunaan
model cooperative learning dalam meningkatkan motivasi belajar mahasiswa. Sementara itu, untuk
mengevaluasi efektivitas penggunaan model pembelajaran yang dikembangkan dari sisi hasil belajar
pada uji coba model secara lebih luas digunakan desain pretes-postes satu kelompok (Sukmadinata,
2007).
Desain evaluasi efektivitas penggunaan model pembelajaran terhadap hasil belajar mahasiswa
dalam uji coba lebih luas tersebut dapat digambarkan pada gambar 1 di bawah ini:
Pretes Perlakuan Postes
T1 X T2
Gambar 1. Desain Penelitian Uji Coba Lebih Luas dalam Proses Pengembangan Bahan Ajar
Langkah-langkah yang ditempuh dalam proses uji coba lebih luas berdasarkan desain di atas
adalah sebagai berikut: (1) menetapkan kelompok subjek penelitian, (2) mengadakan pretes (TI)
sebelum pembelajaran dimulai, (3) mencobakan model ”Cooperative learning ” (X), (4) mengadakan
postes (T2) setelah kegiatan pembelajaran dengan model “Cooperative learning ” berakhir, (5)
mencari rata-rata skor hasil pretes (TI) dan postes (T2) kemudian membandingkan keduanya, (6)
mencari selisih perbedaan antara kedua rata-rata skor tersebut dengan metode statistik untuk
mengetahui signifikansi pengaruh penggunaan metode pembelajaran yang dikembangkan dalam
meningkatkan motivasi dan hasil belajar terhadap materi perkulihan geografi lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 24
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Kegiatan penyempurnaan rancangan dan pelaksanaan model pembelajaran dilakukan peneliti
bersama-sama dengan dosen pengampu berdasarkan catatan hasil evaluasi peneliti selama proses
pembelajaran berlangsung. Peneliti bersama-sama dengan dosen pengampu senantiasa berdiskusi
disetiap perkuliahan, untuk menyempurnakan model dan merumuskan model final yang siap
divalidasi.
Pengujian model dilakukan dalam rangka validasi model yaitu untuk menentukan efektivitas dan
kelebihan model cooperative learning yang dikembangkan dibandingkan dengan model
pembelajaran yang selama ini digunakan dalam perkulihan geografi lingkungan. Pengujian model
dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimen kuasi jenis pretes postes Control
Group Design (Sukmadinata, 2007). Dipilihnya metode penelitian eksperimen kuasi karena dalam
eksperimen ini, peneliti tidak dapat melakukan pengambilan sampel untuk kelompok eksperimen dan
kelompok random secara penuh, tetapi menggunakan sampel kelas yang sudah ada (non-random).
Desain penelitian eksperimen dalam uji validitas model pembelajaran ini adalah sebagai berikut:
Kelas Pretes Perlakuan Postes
E (eksperimen)
K (kontrol)
TI
TI
X
-
T2
T2
Gambar 2. Desain Penelitian Eksperimen dalam Uji Validasi Model Pembelajaran yang
Dikembangkan
Sesuai dengan desain di atas, maka langkah-langkah dalam uji validasi model dapat dijelaskan
sebagai berikut: (1) menetapkan satu kelas eksperimen dan satu kelas control, (2) mengadakan pre
tes (T1) baik pada kelas eksperimen maupun kelas control, (3) melaksanakan perlakuan (X), yaitu
untuk kelas eksperimen diberikan perlakuan dengan menggunakan model cooperative learning dan
pada kelas kontrol diberikan perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran yang selama ini
dilakukan oleh dosen pengampu, (4) mengadakan postes (T2), baik pada kelas eksperimen maupun
pada kelas control (5) membandingkan skor, yaitu selisih skor dari hasil pre tes (TI) dengan postes
(T2), antara kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengkaji model pembelajaran yang mana
(antara model cooperative learning hasil pengembangan dengan model pembelajaran yang digunakan
oleh dosen selama ini) yang lebih berpengaruh dalam meningkatkan penguasaan mahasiswa terhadap
materi geografi lingkungan, dan (7) menguji signifikansi perbandingan skor antara kelas eksperimen
dan kelas kontrol tersebut dengan metode statistik, untuk menentukan efektivitas pengaruhnya.
Pada tahap pengembangan model baik uji coba model terbatas maupun uji model lebih luas, data
yang berkaitan dengan keseluruhan proses pelaksanaan uji coba model pembelajaran dikumpulkan
dengan instrumen observasi dan angket. Untuk menganalisis data hasil observasi dan angket
digunakan analisis deskriptif. Sementara itu, pada uji coba lebih luas selain menggunakan observasi
dan angket juga digunakan instrumen tes untuk mengungkap data tentang hasil belajar yaitu tingkat
penguasaan mahasiswa terhadap materi perkuliahan. Instrumen tes digunakan sebelum dan sesudah
pembelajaran berlangsung. Untuk menganalisis data tentang skor rerata hasil pretes dan postes ini
digunakan analisis kuantitatif jenis statistik deskriptif. Kemudian untuk menganalisis signifikansi
perbedaan antara skor rerata hasil pretes dan postes tersebut dilakukan uji statistik menggunakan uji
t.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian bahwa data yang diperoleh yakni nilai hasil belajar kelas eksperimen
dan nilai hasil belajar kelas kontrol adalah seagai berikut
Tabel 2 Perbandingan Hasil Belajar Antara Keleas Ekspermen Dengan Kelas Kontrol
Kelas Nilai tertinggi Nilai terendah Jumlah nilai Rerata
Eksperimen 90 77 2425 80,83
Kontrol 75 60 2061 68,7
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 25
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Perbandngan hasil belajar antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol dapat ditunjukkan dengan
gambar berikut
Gambar 3. Diagram Hasil Belajar Kelas Eksperimen Dan Kelas Kontrol
Dari hasil perhitungan uji-t polled varians diperoleh thitung sebesar 3,00 dan harga ttabel untuk
taraf signifikansi 5% dengan derajat kebebasan db n1 + n2 – 2 = 30 + 30 – 2 = 58 sebesar 2,001. Oleh
karena thitung lebih besar dari ttabel yaitu (3,00>2,001) maka dapat disimpulkan bahwa kelompok
mahasiswa yang di ajar dengan pengembangan bahan ajar geografi lingkungan berbasis konstruktivis
lebih baik dan cukup signifikan dari pada kelompok mahasiswa yang diajar dengan materi yang
dibuat oleh dosen geografi lingkungan. Selanjutnya akan disajikan hasil observasi aktivitas siswa
berupa penilaian kinerja kelompok dari pertemuan pertama sampai dengan pertemuan kedelapan.
Selain data hasil belajar antara kelas eksperiemn dan kelas kontrol berikut ini disajikan pula data
tentang penilain kenerja kelompok untuk mengukur motivasi belajar pada kelas eksperimen .
Gambar 4. Diagram Penilaian Kinerja Kelompok Pada Kelas Eksperimen
PEMBAHASAN
Efektivitas Pembelajaran Berbasis Konstruktivis dengan Model Cooperative Learning
Pembelajaran berbasis konstruktivis dengan model cooperative learning terbukti cukup efektif
dalam meningkatkan kulaitas proses pembelajaran dari sisi keaktifan mahasiswa atau motivasi belajar
mahasiswa. Model pembelajaran ini juga cukuf efektif dan signifikan dalam meningkatkan
penguasaan mahasiswa terhadap materi perkuliahan. Efektivitas model tersebut diperlihatkan oleh
adanya perbedaan hasil belajar antara skor nilai pretes dan postes khususnya dalam uji coba lebih luas
yang dilakukan pada dua kelas yang berbeda yakni kelas VIB dan kelas VIC.
Kelebihan Pembelajaran Berbasis Konstruktivis dengan Model Cooperative Learning
Pembelajaran berbasis konstruktivis dengan model cooperative learning memiliki kelebihan
yang peneliti rasa cukup berarti dan bermanfaat dibandingkan dengan model pembelajaran yang
0
20
40
60
80
100
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Nilai Terendah
Nilai Tertinggi
0
1
2
3
4
5
6
7
Series 1
Series 1
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 26
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
sebelumnya digunakan oleh dosen geogafi lingkungan baik dari sisi peningkatan keaktifan dan
keterampilan belajar mahasiswa maupun dalam peguasaan materi perkuliahan geografi lingkungan.
Dari aspek keaktifan dan keterampilan belajar mahasiswa, tingkat keaktifan dan keterampilan
belajar mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis konstruktivis dengan model
cooperative learning jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar yang
menggunakan model pembelajaran yag sebelumnya diguakan oleh dosen. Karena sebelumnya dosen
lebih banyak meyampaikan materi melalui metode ceramah dan tanya jawab.
Dibandingkan dengan model pembelajaran yang sebelumnya digunakan oleh dosen,
pembelajaran berbasis konstuktivis dengan model cooperative learning terbukti mampu: a)
membangkitkan motivasi dan perilaku setiap mahasiswa untuk secara aktif ikut bertangung jawab
terhadap penyelesaian tugas dalam kelompok, secara aktif mahasiswa belajar menguasi materi yang
dikaji, dan secara aktif mendukung dan membantu teman satu kelompok yang mengalami kesulitan
dalam memahami materi; 2) mendorong dan mengkondisikan kesiapan belajar setiap mahasiswa; 3)
meningkatkan perhatian setiap mahasiswa dalam megikuti proses persentasi dan tanya jawab; dan 4)
meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan keberanian mahasiswa untuk tampil dengan percaya
diri didepan teman-temannya.
Pembelajaran berbasis konstruktivis dengan model cooperative learning juga terbukti lebih
mampu mengembangkan keterampilan belajar mahasiswa seperti keterampilan dalam menelusuri,
menelaah dan mengkonstruksi informasi pengetahuan yang terdapat dalam buku ajar, serta
keterampilan mendengarkan, menyerap, mencacat, dan mengolah informasi.
Dari aspek penguasaan materi sebagai dampak proses pembelajaran, hal ini terlihat pada saat
melakukan uji coba lebih luas pada dua kelas yang berbeda. Pada saat melakukan eksperimen terdapat
perbedaan hasil belajar yang berbeda, nilai kelas eksperimen jauh lebih baik bila dibandingkan
dengan nilai kelas kontrol.
Kelemahan Pembelajaran Berbasis Konstruktivis dengan Model Cooperative Learning
Dari dua kali uji coba yang dilakukan baik pada saat uji coba terbatas maupun uji coba lebih luas
peneliti melihat adanya kelemahan dari model pembelajaran yang dihasilkan antara lain yaitu:
pelaksanaan model pembelajaran ini memerlukan waktu yang cukup lama, efektivitasnya sangat
tergantung pada motivasi belajar mahasiswa, keterampilan belajar, serta dedikasi dan kinerja yang
tinggi dari dosen pengampu mata kuliah, jika tidak maka hasilnya akan sama dengan model
pembelajaran yang digunakan sebelumnya.
Menurut hemat peneliti kelemahan di atas dapat ditasai dengan beberapa cara antara lain:
mengatur dan menetapkan alokasi waktu secara cermat untuk setiap langkah kegitan pembelajaran,
membangkitkan motivasi belajar dan motivasi berprestasi mahasiswa di awal pertemuan tau
perkulihan, mengajarkan keterampilan belajar, dan senantiasa meningkatkan dedikasi dan kinerja
dosen dalam proses pembelajaran.
KESIMPULAN
Efektivitas, Kelebihan dan Kelemhan Model Pembelajaan yang Dihasikan
a. Cukup efektif dalam meningkatkan kulaitas proses pembelajaran dari sisi keaktifan mahasiswa.
Model pembelajaran ini juga cukuf efektif dan signifikan dalam meningkatkan penguasaan
mahasiswa terhadap materi perkuliahan.
b. Dari aspek keaktifan dan keterampilan belajar mahasiswa, tingkat keaktifan dan keterampilan
belajar mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis konstruktivis dengan model
cooperative learning jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar
menggunakan model pembelajaran yag sebelumnya diguakan oleh dosen.
c. Pelaksanaan model pembelajaran ini memerlukan waktu yang cukup lama, efektivitasnya sangat
tergantung pada motivasi belajar mahasiswa, keterampilan beajar, serta dedikasi dan kinerja yang
tinggi dari dosen pengampu mata kuliah.
SARAN
1. Dalam proses perkuliahan perlu senantiasa memegang prinsip bahwa pembelajaran bebasis
konstruktivis dengan model cooperative learning adalah model pembelajaran yang menekankan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 27
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
pada usaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar melalui peningatan
keaktifan mahasiswa dalam proses pembelajaran.
2. Agar setiap mahsiswa dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran, pada awal perkuliahan dosen
perlu untuk membangkitkan semangat dan motivasi mahasiswa melalui berbagai teknik yang
positif sesuai dengan kebutuhan masa depan mahasiswa.
3. Agar mahsiswa dapat belajar aktif, kretaif, inovatif dan maksimal baik pada proses belajar
kelompok maupun proses belajar anatar kelompok dalam rangkaian pembelajaran berbasis
konstruktivis dengan model pembelajaran cooperative learning, dosen perlu terlebih dahulu
mengajarkan tentang keterampilan belajar kepada mahasiswa pada awal perkuliahan.
4. Penelitian ini cukup terbatas hanya mengembangkan model pembelajaran untuk meningkatkan
keaktipan dan hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah geogrfai lingkungan. Oleh sebab itu,
masih terbuka kesempatan bagi para peneliti lain atau peneliti selanjutnya untuk mengembangkan
pembelajaran berbasis konstruktivis dengan model cooperative learning pada mata kuliah yang
lain yang hakikatnya sama dengan geografi lingkungan, misalnya ilmu lingkungan, Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) dan lain-lain.
DAFTAR RUJUKAN
Astuti, Utami Widi. 2009. Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model
Pembelajaran. Makalah.
Borg, Walter R., and Gall, Meredith D. 1983. Educational Research: An Introduction. New York:
Longman.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Panduan Pengembangan IPS Terpadu. Jakarta: Depdiknas.
2005.
Fathurrohman, Pupuh. 2007. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum dan
Islami. Bandhng: PT Refika Aditama.
Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Hermawan, Maman. 2010. Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Berbasis
Masalah. Tesis.
Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology: Theory and Practise. Fourth Edition. Massachusetts:
Allyn and Bacon.
Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata, N S. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata, N S. 2005. Landasan Psikologis Pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning; Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Suryabrata, Sumardi.2005. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi.
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Strategi dan
Implementasinya dalam KTSP. Jakarta : Kencana.
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi dan Implementasinya dalam KTSP.
Jakarta : Bumi
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 28
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PENGARUH PEMBELAJARAN CTL BERBASIS ENTREPRENEURSHIP TERHADAP
PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA MATERI
MINYAK BUMI
Agus Sugandi1;Suryati2;Dahlia Rosma Indah3
1,2,3Program Studi Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Mataram E-mail:[email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak: Minyak bumi merupakan salah satu pokok bahasan yang erat kaitannya dengan kehidupan
sehari–hari namun sumber belajar yang sering digunakan masih kurang mengintegrasikan materi
dengan fenomena dalam kehidupan sehari–hari dan konsep dan pembelajaran masih berpusat pada
guru sehingga pemahaman konsep siswa rendah. Permasalahan ini dapat diatasi dengan menerapkan
model CTL berbasis Entrepreneurship. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pembelajaran CTL berbasis Entrepreneurship terhadap pemahaman konsep siswa MA NW Sepit.
Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen semu dengan desain postest-only control group
design. Penelitian yang dilaksanakan di MA NW Sepit menggunakan sampel yang ditentukan dengan
teknik sampling jenuh dari keseluruhan populasi siswa kelas X. Kelas eksperimen yang ditentukan
yaitu kelas XA (25 siswa) yang dibelajarkan dengan model CTL berbasis Entrepreneurship
sedangkan kelas XB (25 siswa) sebagai kelas kontrol dibelajarkan dengan sumber belajar
konvensional pada materi minyak bumi. Teknik pengumpulan data pemahaman konsep
menggunakan tes pilihan ganda beralasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata
pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen (72) lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata kelas
kontrol (70). Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan uji t (Independent sample t-test) dengan
bantuan SPSS 16 diketahui bahwa thitung(0,001) < α (0,05) sehingga hipotesis alternatif diterima.
Artinya, terdapat pengaruh pembelajaran CTL berbasis Entrepreneurship terhadap pemahaman
konsep siswa.
Kata Kunci :CTL Based Entrepreneurship, Pemahaman Konsep, Minyak Bumi.
PENDAHULUAN
Kimia adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur, susunan, sifat, perubahan materi, serta
energi yang menyertainya. Ilmu kimia juga tidak hanya mempelajari sifat zat, tetapi berusaha mencari
prinsip yang mengatur sifat-sifat materi tersebut serta merumuskan materi untuk menerangkan
mengapa hal itu terjadi (Purba, 2006). Kimia termasuk mata pelajaran dalam rumpun sains yang
bertujuan agar siswa mampu menguasai konsep-konsep kimia dan mampu menerapkan konsep kimia
tersebut untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari secara ilmiah. Seiring
perkembangan ilmu kimia, kimia menjadi salah satu yang mempengaruhi perkembangan dunia
pendidikan. Pembelajaran kimia diharapkan dapat menjadikan para peserta didik mampu mengikuti
perkembangan dunia pendidikan dan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan IPA (sains) memiliki potensi yang besar dan peranan strategis dalam menyiapkan
sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi
ini akan dapat terwujud jika pendidikan IPA (sains) mampu melahirkan siswa yang cakap dalam
bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis berpikir kreatif, kemampuan
memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi serta adaptif terhadap perubahan dan
perkembangan zaman.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan kepada guru dan siswa di MA NW Sepit
bahwa: (1) Guru masih menggunakan metode ceramah, sehingga pada saat proses pembelajaran
berlangsung guru masih mendominasi di kelas dan terjadi komunikasi yang cenderung berjalan satu
arah saja, (2) Dengan menerapkan metode ceramah dalam mengajar, materi yang disajikan majemuk
membuat siswa merasa bosan, apalagi materi kimia merupakan materi yang harus disampaikan
dengan metode yang sesuai agar siswa memahami konsep kimia yang bersifat abstrak dan konkrit,
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 29
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
konsep abstrak merupakan konsep yang tidak dapat dilihat secara kasat mata seperti elektron, ion,
molekul dan atom. Konsep yang bersifat konkrit ialah konsep yang dapat dilihat secara kasat mata
seperti hasil akhir dari detilasi bertingkat minyak bumi yaitu bensin, oli, paraffin (lilin), minyak tanah,
dan LPG. Artinya guru harus menjelaskan materi kimia tersebut dengan menerapkan metode
pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan karakteristik materi yang disampaikan. (3) Metode yang
guru terapkan yaitu model DI (Direct Intruction), dalam proses pembelajaran memang terjadi
interaksi akan tetapi proses interaksi tersebut tidak melibatkan semua siswa, sehingga pengetahuan
yang lebih mengenai materi yang sedang di pelajari tersebut belum didapatkan.
Proses pembelajaran konvensional membuat minat belajar siswa pada materi kimia masih
kurang, ini sejalan dengan penelitian Dewi, Arsa, dan Ariawan (2015) bahwa proses pembelajaran
seperti ini tidak memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkreativitas dalam memecahkan
masalah yang mereka hadapi sehari-hari. Pembelajaran yang diterapkan menunjukkan bahwa
kesempatan siswa untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih pada saat proses pembelajaran dan
diskusi berlangsung dengan materi yang dipelajari tidak tercapai, karena hanya sekedar mengahafal
konsep saja sehingga praktiknya di kehidupan sehari-hari tidak tercapai, sehingga hasil belajarnya
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pendidik.
Dengan proses pembelajaran seperti ini dapat berdampak pada siswa, yaitu: (1) Siswa
menganggap bahwa kimia itu sulit karena dilihat dari kebanyakan konsep kimia yang bersifat abstrak,
(2) Siswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat dan menghafal konsepnya saja tanpa mengetahui
penerapan dari konsep tersebut pada kehidupan sehari-hari, (3) Siswa kurang antusias dalam belajar
dan siswa tidak menunjukkan minatnya dalam belajar, (4) Kurang merangsang aktivitas belajar siswa
dan siswa yang kurang pandai memisahkan diri dengan temannya yang pandai. Proses pembelajaran
yang seperti ini berpengaruh pada hasil belajar siswa yang dapat dilihat dari data hasil ulangan MID
Semester, dimana pada sebagian kelas siswa mendapat nilai yang mencapai KKM dan sebagian kelas
tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) seperti yang ditetapkan oleh pihak sekolah yaitu
70.
Tabel 1 Rata-rata Nilai MID Semester Genap Tahun Ajaran 2016/2017.
Kelas Jumlah
Siswa
Siswa yang
Tuntas
Siswa yang
Tidak Tuntas
Nilai
Rata-rata
KKM
XA 29 24 5 70.65 70
XB 30 19 10 67.33 70
Sumber : Arsip Nilai Kimia MA NW Sepit Tahun Ajaran 2016/2017
Berdasarkan data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa yang didapatkan
yaitu sebesar 70.65 dan 67.33.Artinya sebagian kelas belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) seperti yang telah ditetapkan yaitu 70.
Hal ini dapat disimpulkan rendahnya hasil belajar siswa karena kurang keterlibatan siswa
dalam proses pembelajaran sehingga kemampuan kognitif siswa kurang dioptimalkan secara
maksimal. Akibatnya, dapat mempengaruhi pemahaman konsep akan rendah karena cara mengajar
guru maupun penerapan model pembelajaran tidak disesuaikan dengan situasi dan karakteristik dari
materi kimia itu sendiri, sehingga pembelajaran kimia terkesan sulit dan tidak kontekstual kondisi ini
mengakibatkan hasil akhir yang diinginkan tidak dapat mencapai KKM. Hal ini sejalan dengan
penelitian Setiawan, Arnyana dan Smarabawa (2013) yang menyatakan pengaruh model
pembelajaran sains teknologi masyarakat terhadap pemahaman konsep dan keterampilan berpikir
kreatif siswa.
Salah satu solusi yang efektif diterapkan adalah model pembelajaran CTL pada materi minyak
bumi karena pembelajaran CTL menghubungkan dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupan mereka sehingga pada saat proses
belajar mengajar guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut
untuk berbagi informasi dengan siswa lainnya dan saling belajar mengajar sesama anggota kelompok.
Melalui kerja sama dalam proses pembelajaran tersebut secara otomatis dapat memunculkan jalinan
komunikasi baik antar siswa dengan siswa maupun guru dengan siswa dalam diskusi yang membuat
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 30
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
siswa menjadi lebih aktif, kemudian menunjukkan antusias dan minatnya dalam belajar dan secara
bersama-sama dapat memahami materi yang dipelajari.
Siswa tidak hanya belajar secara kontekstual yang dimana mengaitkan materi dengan
kehidupan sehari-hari pada pokok pembahasan minyak bumi tetapi mengajarkan dan melatih siswa
untuk mengimplementasikan materi yang di ajarkan ke dalam kehidupan siswa dengan cara
entepreneurship atau kewirausahaan sehingga tidak hanya siswa mempelajari secara akademik di
sekolah tetapi dapat di terapkan dalam kehidupannya. Akibatnya, berdampak pada kemampuan
kognitif siswa yang dimana siswa berperan langsung, lebih aktif dan secara tidak langsung melatih
siswa menjadi wirausaha sehingga pemahaman konsep tentang materi yang di ajarkan dapat tercapai.
Menggunakan penerapan belajar bersama (contextual teaching learning) berbasis
entrepreneurship diharapkan siswa dapat menerapkan pengetahuan yang telah didapat pada
kehidupan sehari-hari dengan penggunaan kelompok pembelajaran yang heterogen dan menekankan
pada interpendensi positif (perasaan kebersamaan), interaksi face to face atau tatap muka yang saling
mendukung, saling membantu, dan saling menghargai, serta tanggung jawab individual dan
kelompok kecil demi keberhasilan pembelajaran.
Pada saat proses pembelajaran berlangsung guru berperan dalam membantu atau
memfasilitasi munculnya minat wirausaha siswa sedini mungkin agar mencapai perkembangan diri
yang optimal. Dalam hal ini guru memiliki peran yang penting dalam mengarahkan dan atau mendidik
siswa untuk menekuni dunia usaha setelah mereka mengetahui manfaat dari materi yang dipelajari.
Untuk dapat menekuni dunia usaha sebagai seorang entrepreneur, siswa perlu memiliki pengetahuan,
keterampilan dan minat entrepreneurshipnya, sehingga sejak kelas X mereka telah memiliki tujuan
yang jelas untuk mengikuti proses pembelajaran dengan dibekali minat entrepreneurship yang
mantap untuk meniti karirnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sa’idah (2010) menyimpulkan bahwa penerapan
pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dapat meningkatkan pemahaman konsep.
Penelitian lainnya yang meneliti tentang entrepreneurship yaitu dilakukan oleh Sudirman (2010)
menyimpulkan bahwa terbukti mampu menumbuhkan minat wirausaha siswa. Penelitian lainnya
yang oleh Karim (2011) tentang penerapan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran
matematika untuk meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa.
Penelitian Muderawan, Sadia dan Sastrika (2013) yang menyatakan pengaruh model pembelajaran
berbasis proyek terhadap pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pembelajaran model Contextual Teaching
Learning (CTL) Berbasis Entrepreneurship Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif Dan
Pemahaman Konsep
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experimental. Quasi
experimental merupakan penelitian yang dilakukan untuk mencari pengaruh sebab akibat antara
variabel-variabel yang terkontrol. Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat
berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan
eksperimen (Arikunto, 2012).
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X MA NW Sepit Labuapi. Pengambilan
sampel penelitian ditentukan dengan teknik sampling jenuh. Kelas eksperimen yang ditentukan yaitu
kelas XA (29 siswa) yang dibelajarkan dengan model CTL berbasis Entrepreneurship sedangkan
kelas XB (30 siswa) sebagai kelas kontrol dibelajarkan dengan sumber belajar konvensional pada
materi minyak bumi. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model CTL berbasis
Entrepreneurship, sedangkan variabel terikatnya adalah keterampilan berpikir kreatif. Hasil uji coba
isntrumen dengan bantuan Rasch Model untuk menguji validitas, realibilitas dan tingkat kesukaran
soal.
Uji Validitas Pemahaman Konsep
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 31
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Data dianalisis dengan menggunakan Rasch Model. Kriteria validitas dilihat dari nilai probalitas-
nya semua butir soal nilai rata-rata probabilitas 1.0000 yang menunjukkan nilainya lebih besar dari
5 % (0,05) sehingga dikatakan valid.
Tabel 2 Validitas Rasch Model
Realibilitas Pemahaman Konsep
Instrumen yang digunakan adalah pilihan ganda beralasan untuk menguji reliabilitas
instrumen digunakan Rasch Model K-R 20 (Cronbach Alpa). Nilai reliabilitas butir soal
didapat 0,71 dengan kriteria bagus.
Kelayakan pencapain Kualifikasi
< 0,5 Buruk
0,5-0,6 Jelek
0,6-0,7 Cukup
0,7-0,8 Bagus
> 0,8 Bagus sekali
Tabel 3 Realibilitas
Tingkat Kesukaran Pemahaman Konsep
Data dianalisis menggunakan Rasch Model, data tingkat kesukaran dapat dilihat pada
Tabel 4
Tabel 4 tingkat kesukaran
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 32
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Hasil yang didapat soal nomor 6 berada ditingkat kesukaran yang lebih tinggi atau
dapat dikatakan soal nomor 6 sulit dibandingkan dengan soal yang lainnya. Nilai logit
soal 6 adalah 2,69 sehingga soal tersebut dikatakan sukar, nilai soal nomor 8 berada
pada tigkat kesukaran paling rendah atau soal dapat dikatakan mudah dengan nilai
logitnya -1,38. Dilihat dari skala logit (measure) semakin tinggi nilai skala logitnya
maka semakin sukar soal tersebut. Dapat dilihat juga berdasarkan total score, semakin
banyak total score yang diperoleh pada soal maka semakin mudah soal tersebut.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari instrumen perlakuan dan
instrumen pengukuran. Instrumen perlakuan berupa perangkat pembelajaran yang digunakan baik
pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Instrumen perlakuan berupa silabus, RPP, LKS pada kelas
eksperimen dan buku paket pada kelas kontrol Sedangkan instrumen pengukuran yang digunakan
terdiri dari dua jenis,Yaitu (1) instrumen keterampilan berpikir kreatif, dan (2) instrumen pemahaman
konsep siswa.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir kreatif dan pemahaman
konsep siswa adalah tes yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran CTL berbasis
Entrepreneurship terhadap keterampilan berpikir kreatif dan pemahaman konsep. Tes yang
digunakan berbentuk pilihan ganda beralasan untuk pemahaman konsep dan essay untuk
keterampilan berpikir kreatif.
Tabel 5 Rubrik Penilaian Pemahaman Konsep
Skor Uraian
3 Jawaban benar, alasan benar dan lengkap
2 Jawaban benar, alasan kurang lengkap
1 Jawaban benar, alasan salah
0 Tidak menjawab atau jawaban salah
(Sumber: Didik Juliawan, 2012)
𝑃𝐾 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑥 100
Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis statistik t
(Independent samples t-test). Analisis statistik digunakan untuk menggambarkan proses
pembelajaran sedangkan analisis statistik yang digunakan adalah uji prasyarat analisis data, dan uji
hipotesis dengan uj t (Independent samples t-test) dengan bantuan SPSS 16 for windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) Berbasis Entrepreneurship
terhadap Pemahaman Konsep. Data pemahaman konsep siswa diperoleh dari nilai hasil tes pilihan ganda beralasan yang
diberikan setelah seluruh kegiatan pembelajaran dilakukan. Hasil nilai rata-rata tes pemahaman
konsep pada kelas kontrol dan eksperimen siswa dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Nilai Posstest Pemahaman Konsep
Kelas Nilai Rata-Rata
Eksperimen 72
Kontrol 70
Hasil Uji hipotesis tes akhir menggunakan uji t dengan bantuan SPSS 16 for windows.
Hasil Uji Hipotesis
Variabel Sig (p) α =
0,05
Alat analisis
Berpikir kreatif 0.001
Uji t
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 33
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Berdasarkan pada table di atas nilai signifikansi lebih kecil dari taraf signifikansi (α = 0.05),
sehingga hipotesis nihil (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Kesimpulannya bahwa
terdapat pengaruh signifikan pemahaman konsep siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol
atau dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh model CTL berbasis entrepreneurship terhadap
pemahaman konsep siswa.
Berdasarkan analisis perhitungan pemahaman konsep siswa, maka nilai rata-rata pemahaman
konsep siswa dapat dilihat di bawah ini.
Berdasarkan Grafik diatas, terlihat bahwa nilai rata-rata pemahaman konsep siswa pada kelas
eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol, artinya siswa pada kelas eksperimen lebih paham
dari kelas kontrol dengan jumlah rata-rata pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen adalah
72 dan kelas kontrol adalah 70. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan dengan
model pembelajaran yang diterapkan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Ini terbukti dari
analisis data posttest uji statistik dengan SPSS 16.0 for windows menggunakan uji t pada tabel uji
hipotesis hasil yang didapatkan sebesar 0,001 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
pengaruh pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) berbasis entrepreneurship terhadap
keterampilan berpikir kreatif dan pemahaman konsep materi minyak bumi.
Adanya perbedaan rata-rata pemahaman konsep siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
disebabkan karena perbedaan langkah-langkah pembelajaran yang digunakan pada kedua kelas.
Dalam penelitian ini nilai pemahaman konsep didapatkan dari hasil tes setelah proses pembelajaran
selesai. Dimana pada kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching
Learning (CTL) berbasis entrepreneurship, dalam model pembelajaran ini menekankan siswa pada
proses keterlibatan secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan mereka. Pada tahap kelas eksperimen siswa menggunakan lembar
kerja siswa yang disusun berdasarkan langkah CTL sehingga siswa lebih bisa menerapkan materi
dengan dunia nyata.
gambar LKS kelas eksperimen
64
66
68
70
72
74
Sebelumperlakuan
SesudahPerlakuan
Eksprimen
Kontrol67
72
7070
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 34
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Pada tahap selanjutnya siswa disajikan permasalahan yang terdapat pada kehidupan sehari-
hari tujuan dari kegiatan 1 mengalih informasi awal dari siswa tentang materi minyak bumi dan
membuat hipotesis dari masalah yang di sajikan di LKS.
kegiatan eksplorasi pada tahap pertama
pada tiap pertemuan siswa dijelaskan materi disertai dengan pembuktian melalui kegiatan
praktikum.
kegiatan praktikum entrepreneurship
Dengan kegiatan praktikum ini ditunjukkan agar siswa lebih memahami konsep materi secara
teori maupun praktik, dengan cara praktikum pembuatan biodiesel dari minyak bekas atau minyak
jelantah sehinga siswa dapat mengaitkan materi dengan praktiknya sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh pembelajaran CTL terhadap pemahaman konsep siswa pada materi minyak
bumi.
Adapun pada kelas kontrol yang dibelajarkan dengan menggunakan model konvensional
(diskusi, ceramah dan tanya jawab), pada saat melakukan kegiatan diskusi kelompok mereka hanya
melakukan diskusi dengan anggota kelompoknya saja tanpa adanya interaksi dengan kelompok lain,
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 35
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
sehingga pertukaran informasi hanya terjadi di dalam lingkaran kelompok tersebut dan pada saat
mengerjakan soal tes hanya sebatas informasi yang didapatkan dari hasil diskusi dengan anggota
kelompoknya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Yustiqvar (2017) yang
menyatakan bahwa terdapat pengaruh penggunaan modul CTL berorientasi green chemistry pada
materi asam basa terhadap literasi sains siswa. yang dilakukan oleh Rizal, Akmil dan Armiati (2012)
menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan model pembelajaran CTL meningkatkan
pemahaman konsep siswa sesuai dengan prinsip CTL model pembelajaran CTL kemampuan
kemampuan seperti kemampuan bertanya dan kemampuan bekerja sama berkembang dan
kemampuan siswa dalam melakukan percobaannya adalah hal yang membuat siswa lebih aktif dalam
menggali dan menemukan konsep. Hasil penelitian Sa’idah (2010) menunjukkan bahwa
pembelajaran CTL dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa. Penelitian Ulfah (2014)
menyatakan bahwa pengaruh pembelajaran Contextual Teaching Learning dengan pemanfaatan gelas
plastic dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh. Hal ini dibuktikan bahwa(1) Model pembelajaran CTL berbasis
entrepreneurship berpengaruh signifikan terhadap pemahaman konsep siswa. Hal ini dapat
dibuktikan dari nilai rata-rata pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dengan
nilai sebesar 72 dibandingkan dengan kelas kontrol yaitu 70 dengan kategori pemahaman konsep
baik. Hal ini juga dapat dibuktikan melalui uji hipotesis ( ujit ) dimana didapatkan nilai uji signifikan
lebih kecil di bandingkan nilai signifikan 0.001 < 0.05.
REFRENSI
Ahmadi, H, Suryati, dan Khery, Y. 2016. Pengembangan Modul CTL Berorientasi Green
Chemistry Pada Materi Asam Basa Untuk Menumbuhkan Literasi Sains Siswa.1(4): 17-25.
Alma, B. 2009. Kewirausahaan. Alfabeta: Bandung
Arikunto, S. 2012. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta
Alma, B. 2009. Kewirausahaan. Alfabeta: Bandung
Arikunto, S. 2012. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta
Aswin, T. J. 2016. Pengembangan Instrumen Penilaian Pengetahuan Mata Pelajaran Pendidikan
Jasmani dan Olahraga dan Kesehatan (PJOK) Kelas XI Semester Gasal. Jurnal
Pendidikan.1(8):1659-1664.
Dewi, N.P.A.L., P.S. Arsa, dan K.U. Ariawan. 2015. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe LT (Learning Together) Pada Pelajaran Prakarya Dan Kewirausahaan Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas XI MIPA2 SMA Negeri 3 Singaraja Tahun
Ajaran 2014/2015. e-Journal Jurnal JPTE Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan
Pendidikan Teknik Elektro. Vol 4, No 1.
Holbrook, J, dan Rannikmae, M., 2009. The Meaning of Scientific Literacy. International Journal
of Environmental & Science Education, Vol 4, No 3. Hal 275-288.
Hudson, C, C. 2007. Contextual Teaching and Learning for Practitioners. USA: Valdosta State
University Valdosta, GA 31602, Volume 6 - number 4
Juliawan, D. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Pemahaman Konsep
Dan Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 2 Kuta Tahun
Pelajaran 2011/2012. Skripsi. Universitas Pendidikan Ganesha.
Kusumawati. 2008. Pemahaman Konsep Matematik Dalam Pembeljaran Matematika. Skripsi.
Universitas PGRI Palembang.
Listari, E. (2013). Pengaruh model pembelajaran problem based learning berorientasi
chemoenterpreneurship terhadap hasil belajar kimia siswa. Jurnal kependidikan kimia
hydrogen, 1(2).
Mulyasa, E. 2009. Menjadi Guru Professional. Remaja Rosdikarya: Bandung
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 36
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Muslich, M. 2009. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi Dan Kontekstual. Bumi Aksara:
Jakarta
Ridwan, 2013. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru-Karyawan Dan Peneliti Pemula. Alfabeta:
Bandung
Rizal, Y., Akmil, A.R., dan Armiati. 2012. Implementasi CTL Dalam Meningkatkan Pemahaman
Konsep Matematika Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika, 1(1):24-29.
Sa’idah, N.U. 2010. Peningkatan Pemahaman Konsep-Konsep IPA Melalui Pendekatan Contextual
Teaching And Learning (CTL) Pada Siswa Kelas V SD Negeri Sondakan No. 11 Surakarta
Tahun Pelajaran 2009/2010. Skripsi. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana
Prenada Media Group: Jakarta
Sudirman. 2010. Menumbuhkan Minat Wirausaha Mahasiswa Melalui Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Berbasis Entrepreneurship Pada Materi Elektroplating. Jurnal Teknis. 5(3):
137–144.
Sugiyanto. 2008. Model Model Pembelajran. Depdikbud: Bandung
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta: Bandung
Suherman, E. 2010. Desain Pembelajaran Kewirausahaan.Alfabeta: Bandung
Sunarya, Y. dan Setiabudi. 2009. Mudah Aktif Belajar Kimia 1. Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional: Jakarta
Suyanti, R.D. 2010. Strategi Pembelajaran Kimia. Graha Ilmu: Yogyakarta
Ulfah, R.R. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)
Dengan Pemanfaatan Gelas Plastik Bekas Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa
Tentang Pemahaman Konsep Penjumlahan Dan Pengurangan Pada Aljabar. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Utami, B. 2009. Kimia Untuk SMA Dan MA Kelas X. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional: Jakarta
Vinindita, L. (2016). Penerapan Metode Pembelajaran Make A Match Pada Materi Pengolahan
Buah Dan Sayuran Untuk Meningkatkan Pemahaman Pada Mata Pelajaran Prakarya
Aspek Pengolahan Kelas Vii C Di Smp Negeri 4 Kalasan (Doctoral dissertation, UNY).
Waluya. 2008. Penggunaan Model Pembelajaran Generative Untuk Meningkatkan Pemahaman
Siswa Pada Konsep Geografi. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.
Yustiqvar, M. Suryati, mashami R.A. 2017. pengaruh penggunaan modul CTL berorientasi green
chemistry pada materi asam basa terhadap literasi sains siswa. skripsi.IKIP Mataram.1(1):
34.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 37
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PENGARUH PENAMBAHAN SENYAWA PENGOMPLEKS PADA FASA PENERIMA
TERHADAP PEMISAHAN LOGAM PERAK DENGAN TEKNIK SLM (SUPPORTED
LIQUID MEMBRANE)
Ainun Jariah1, Yeti Kurniasih2, Yusran Khery3
1,2,3Program Studi Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Mataram Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak: Penggunaan perak dalam bidang industri penyepuhan akan menghasilkan limbah yang
berbahaya bagi lingkungan apabila tidak ditangani secara tepat, maka pemungutan kembali
(recovery) perak dari limbah sangat diperlukan baik dengan alasan ekonomis maupun lingkungan.
Salah satu teknik yang dapat digunakan ialah teknik membran cair berpendukung (SLM). SLM
memiliki tiga komponen yaitu fasa umpan, fasa membran, dan fasa penerima. Untuk menjaga agar
ion Ag+ yang sudah dilepaskan melalui fasa membran ke fasa penerima stabil atau tidak kembali
bereaksi dengan senyawa pembawa menuju fasa umpan, maka diperlukan penambahan senyawa
pengompleks yang memiliki peran mempercepat proses pelepasan ion Ag+ dari senyawa pembawa
pada membran melalui pembentukan senyawa kompleks dengan ion Ag+. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi pengaruh penambahan senyawa pengompleks terhadap pemisahan logam
perak. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan mengacu pada model Rancangan
Acak Lengkap (RAL). Persen transpor Ag yang terekstrak dari fasa umpan ke fasa penerima dapat
dihitung menggunakan rumus persen ekstraksi. Membran pendukung yang digunakan adalah PTFE
yang direndam selama 2 jam dalam senyawa pengemban gabungan D2EHPA dan TBP dengan
perbandingan 5:20 dan konsentrasi total 1 M dalam pelarut kerosene. Kondisi optimum dipelajari
dengan cara memvariasikan jenis senyawa pengompleks yaitu Na2EDTA; Na2S2O3 beserta
konsentrasinya yaitu 0,000M; 0,001M; 0,010M; 0,025M; 0,050M; dan 0,100M dalam media asam
nitrat 0,05M. Dari penelitian ini, didapatkan kondisi optimum pada penambahan senyawa
pengompleks Na2EDTA konsentrasi 0,010M dimana terjadi kenaikan persen transport sebesar
35,36%, sedangkan pada penambahan senyawa pengompleks Na2S2O3 tidak dapat menaikkan persen
transport Ag.
Kata Kunci : Pemisahan Perak, Membran Cair Berpendukung, Senyawa Pengompleks.
PENDAHULUAN
Perak merupakan logam transisi berwarna putih mengkilap, dapat ditempa karena
mempunyai tingkat kekerasan yang lebih tinggi daripada emas, memiliki konduktivitas paling tinggi
diantara semua logam, tahan terhadap udara murni dan air, tetapi menjadi kusam ketika terpapar udara
atau air yang mengandung hidrogen sulfida, serta kurang reaktif dibandingkan dengan tembaga. Sifat-
sifat fisik dan kimia tersebut menjadikan perak mudah diolah dan dibuat menjadi produk komersial.
Pada umumnya perak dipergunakan dalam proses penyepuhan (electroplating) logam
seperti besi, kuningan, dan aluminium yang banyak digunakan sebagai peralatan rumah tangga.
Penyepuhan dimaksudkan untuk melindungi logam terhadap korosi dan meningkatkan mutu
permukaan terutama dari segi penampilan. Electroplating atau lapis listrik atau penyepuhan
merupakan salah satu proses pelapisan bahan padat dengan lapisan logam menggunakan arus listrik
melalui suatu larutan elektrolit, melalui prinsip bahwa logam yang akan disepuh diperlakukan sebagai
katoda, dan logam penyepuh diperlakukan sebagai anoda. Dalam penyepuhan, kedua elektroda
dimasukkan dalam larutan elektrolit, yaitu larutan yang mengandung ion logam penyepuh.
Penyepuhan benda dengan bahan penyepuh perak, anoda yang digunakan adalah perak dan larutan
elektrolitnya adalah perak nitrat. Larutan yang digunakan untuk penyepuhan logam perak harus
diganti setiap dua minggu karena mutu hasil menurun akibat ketahanan kehalusan permukaan dan
penampakannya (Istiyono,dkk., 2008). Penggantian larutan dari proses penyepuhan ini menghasilkan
limbah yang berbahaya apabila dibuang langsung ke lingkungan. Perak merupakan salah satu logam
berat yang memiliki densitas dan berat atom yang tinggi sehingga sulit untuk diurai. Limbah yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 38
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
mengandung logam berat mempunyai sifat beracun dan dapat memasuki tubuh atau organ serta
tinggal menetap di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama. Dampak akut dari logam berat Ag
adalah pusing, mual, keram perut, terjadinya kerusakan organ jaringan seperti gangguan ginjal dan
liver. Berdasarkan hasil uji tim fakulas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, air
limbah industri perak mengandung logam Perak (Ag) 0,36 mg/l (ppm), tembaga 201,90 mg/l (ppm),
krom 0,18 mg/l (ppm), aluminium 4,23 mg/l (ppm) dan nikel 0,30 mg/l (ppm) (Sekarwati, dkk.,
2015).
Salah satu metode untuk pemisahan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan
teknik pemisahan Membran Cair Berpendukung atau Supported Liquid Membrane (SLM).
Keuntungan dari teknik SLM adalah bahwa kebutuhan ekstraktan/senyawa pembawa yang digunakan
untuk ekstraksi sedikit, pengoperasiannya sederhana dan biayanya yang murah. Metode pemisahan
ini memiliki kelebihan, seperti dapat diterapkan walaupun konsentrasi ion logam terlarut rendah,
proses berlangsung secara sinambung, menggunakan sedikit pelarut organik (Maming,dkk,. 2007).
Membran cair berpendukung (SLM) secara teoritis adalah salah satu metode pemisahan
berbasis membran yang dikembangkan dari teknik ekstraksi pelarut, yaitu dengan mengamobilkan
zat pengekstraksi (carrier) pada suatu membran polimer berpori (Basir, 2015). Ada tiga komponen
utama dalam membran cair berpendukung yaitu fasa umpan yang mengandung komponen yang ingin
dipisahkan, fasa penerima yang mengandung komponen yang telah terpisahkan, dan fasa membran
yang mengandung molekul pengemban ion dalam membran.
Transport ion terjadi apabila senyawa pembawa kehilangan satu proton dan berintetraksi
dengan ion Ag+ membentuk suatu kompleks senyawa pembawa-logam pada membran. Kompleks ini
akan berdifusi ke antarmuka sisi fasa penerima, dimana selanjutnya membebaskan ion Ag+ ke dalam
larutan penerima. Secara bersamaan senyawa pembawa mengambil proton dari larutan penerima dan
berdifusi kembali ke larutan umpan-permukaan SLM untuk mengambil ion logam lainnya dan proses
terus berlanjut dimana senyawa pembawa akan bolak-balik antara sisi antar muka larutan umpan dan
larutan penerima (Djunaidi, dkk., 2007).
Untuk menjaga agar ion Ag+ yang sudah dilepaskan melalui fasa membran ke fasa
penerima stabil atau tidak kembali bercampur dengan senyawa pembawa menuju fasa umpan, maka
diperlukan penambahan senyawa pengompleks pada fasa penerima. Senyawa pengompleks memiliki
peran mempercepat proses pelepasan ion Ag+ dari senyawa pembawa pada membran melalui
pembentukan senyawa kompleks dengan ion Ag+. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh penambahan senyawa pengompleks yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi
pemisahan logam perak.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan mengacu pada model Rancangan
Acak Lengkap (RAL). Adapun perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah memvariasikan
jenis dan konsentrasi senyawa pengompleks dalam fasa penerima untuk dilihat pengaruhnya terhadap
persen transpor logam perak dari fasa umpan ke fasa penerima.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah seperangkat alat pemisahan SLM, Spektrofotometer Serapan
Atom (SSA) untuk menentukan persen transpor logam perak, seperangkat alat destilasi dan peralatan
gelas lainnya. Bahan yang digunakan adalah AgNO3 sebagai standar perak dan sebagai larutan fasa
umpan, di-2-etilheksilfosfat (D2EHPA) dan Tri-n-butilfosfat (TBP) sebagai senyawa pengemban,
Na2EDTA dan Na2S2O3 sebagai senyawa pengompleks pada fasa penerima, HNO3 0,05 M sebagai
media dalam senyawa pengompleks, membran WHATMAN politetrafluoroetilen (PTFE) dengan
diameter 47 mm dan ukuran pori 0,5 µm sebagai membran pendukung, kerosen sebagai pelarut
organik senyawa pengemban dan aquades.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 39
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di laboratorium kimia dan dilanjutkan dengan
menganalisis sampel hasil di Laboratorium Pengujian BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
NTB) yang berlokasi di Jln. Narmada, Lombok Barat.
Prosedur Percobaan
Proses Pemisahan Perak dengan Teknik SLM
Pada percobaan ini variabel yang dibuat tetap yaitu 100 mL larutan AgNO3 20 ppm pada fasa
umpan, membran pendukung PTFE yang direndam dalam 25 mL senyawa pengemban gabungan
yang terdiri dari D2EHPA dan TBP 1 M dengan perbandingan volume 5:20 selama 2 jam pada fasa
membran. Sedangkan variabel yang dibuat berubah yaitu senyawa pengompleks Na2EDTA dan
Na2S2O3 dengan konsentrasi yang divariasikan yaitu 0,000M; 0,001M; 0,010M; 0,025M; 0,050M;
dan 0,100M pada fasa penerima. Selanjutnya membran yang telah direndam diambil dan diletakkan
di antara kertas saring dengan tujuan untuk mengurangi kelebihan larutan senyawa pengemban,
kemudian diletakkan sedemikian rupa pada alat pemisahan di antara fasa umpan dan fasa penerima
yang ditunjukkan pada gambar 1. Analisis kandungan ion logam pada fasa penerima setelah proses
pemisahan dilakukan dengan spektrometer serapan atom (SSA).
Gambar 1. Skema Kerja Alat SLM
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pengaruh penambahan senyawa pengompleks terhadap persen transpor logam perak
dilakukan dengan cara memvariasikan jenis dan konsentrasi senyawa pengompleks yang
ditambahkan ke dalam fasa penerima. Jenis pengompleks yang digunakan ialah Na2EDTA dan
Na2S2O3, dengan variasi konsentrasi 0,001 M, 0,01 M, 0,025 M,0,05 M, 0,1 M. Persentase transpor
logam perak ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Persentase Transpor Logam Perak denganPenambahan Senyawa
Pengompleks Na2EDTA dan Na2S2O3 pada Berbagai Konsentrasi
Konsentrasi Senyawa
Pengompleks (M)
Transpor Ag (%)
Na2EDTA Na2S2O3
0,000 12,50 12,50
0,001 15,17 00,30
0,010 16,92 00,31
0,025 11,48 03,91
0,050 08,10 05,58
0,100 06,51 03,30
Pembahasan
Dalam menjaga agar ion Ag+ yang sudah dilepaskan melalui fasa membran ke fasa penerima
stabil atau tidak bereaksi kembali dengan senyawa pengemban menuju fasa umpan, maka dapat
ditambahkan senyawa pengompleks dalam fasa penerima. Senyawa pengompleks memiliki peran
mempercepat proses pelepasan ion Ag+ dari senyawa pengemban pada membran melalui
pembentukan senyawa kompleks dengan ion Ag+. Pada penelitian ini, senyawa pengompleks yang
ditambahkan dalam fasa penerima adalah Na2EDTA dan Na2S2O3. Hasil pengukuran persen transpor
logam perak dengan penambahan senyawa pengompleks dapat dilihat pada Gambar 2.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 40
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Gambar 2. Grafik Jenis dan Konsentrasi Senyawa Pengompleks pada
Fasa Penerima terhadap Persen Transpor Logam Perak
Gambar 2. menunjukkan grafik hubungan antara penambahan senyawa pengompleks dalam
fasa penerima terhadap persen ekstraksi. Berdasarkan gambar 2 tersebut, transpor logam Ag tanpa
adanya penambahan senyawa pengompleks memberikan persen ekstraksi sebesar 12,5%. Dengan
penambahan senyawa pengompleks persen transpor logam Ag meningkat dengan peningkatan
optimum terjadi pada penambahan senyawa pengompleks Na2EDTA konsentrasi 0,01 M dengan
kenaikan persen transpor sebesar 36,35%.
Etilendiamina tetra asetat (EDTA) ialah salah satu jenis asam amina polikarboksilat. EDTA
merupakan senyawa yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua nitrogen dan
keempat gugus karboksil atau disebut ligan multidentat yang mengandung lebih dari dua atom
koordinasi per molekul. Pada penelitian ini, digunakan pengompleks EDTA dalam bentuk garam
dinatrium etilendiamina tetraasetat (Na2EDTA) yang mempunyai rumus bangun seperti pada gambar
3.
COOH CH2
N CH2
CH2COONa
CH2 N
CH2 COONa
CH2 COOH
Gambar 3. Rumus Bangun Na2EDTA
Sebagai pengompleks logam, digunakan EDTA dalam bentuk garam (Na2H2Y), karena EDTA
dalam bentuk H4Y dan NaH3Y tidak larut dalam air. Pada larutan penerima Na2EDTA yang berada
dalam media asam nitrat dengan konsentrasi 0,05 M, ion Na+ dari Na2EDTA akan bereaksi dengan
asam nitrat membentuk senyawa natrium nitrat. EDTA memiliki peran dalam proses penarikan ion
Ag+ dari senyawa pembawa pada membran membentuk senyawa kompleks sebagaimana reaksi
dibawah ini:
Na2H2Y + 2HNO3 H3Y- + 2NaNO3 + H+
Ag+ + H3Y-+ H+ AgH3Y + H+
AgH3Y + H+ [AgH4Y]+
Senyawa kompleks [AgH4Y]+ memiliki struktur oktahedral, dimana ada interaksi antara
gugus fungsi pada EDTA dengan logam ion pusat Ag, dua atom N dan empat atom O dari ligan
EDTA terletak pada pojok-pojok oktahedral. Dalam senyawa koordinasi, EDTA dalam bentuk
0
5
10
15
20
Na2EDTA
Na2S2O3
0,001 0,010 0,025 0,050 0,100
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 41
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
[(HO2CCH2)2NCH2CH2N(CH2CO2H)2] berperan sebagai ligan. EDTA mengikat kation logam Ag
melalui dua amina dan empat gugus O dari gugus karboksilat. Struktur [Ag(EDTA)]+ dapat dilihat
pada gambar 4.
Ag
O
O
O O
N N
C
OC
O
C O
C
O+
Gambar 4. Struktur [Ag(EDTA)]+
Penambahan senyawa pengompleks Na2EDTA dengan konsentrasi 0,01 M memberikan
persen transpor logam perak lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa adanya penambahan senyawa
pengompleks. Namun demikian, penambahan senyawa pengompleks dengan konsentrasi yang terlalu
tinggi dapat menurunkan persen transpor. Hal ini disebabkan oleh selain susunan ruang dan
konfigurasi ligan yang sesuai dengan ion logam, pH juga mempengaruhi pembentukan ikatan. Dalam
larutan Na2EDTA yang bersifat asam (pH ≤ 2), molekul Na2EDTA yang memiliki spesies asam H2Y2-
(Ka = 6,92 × 10-7) mengalami proses ionisasi yang lemah . Hal ini disebabkan oleh karena kedua
proton dalam H2Y2- tergabung pada kedua atom nitrogen dan tidak begitu cepat hilang dibandingkan
dengan proton yang tergabung pada oksigen sehingga mempengaruhi pembentukan ion Ag+ dan ligan
EDTA. Ionisasi yang lemah mengakibatkan penguraian EDTA relatif kecil, sehingga ligan EDTA
memiliki kecenderungan tidak terurai untuk dapat mengikat ion Ag+. Umumnya, kompleks EDTA
dengan ion logam monovalen dan divalen akan stabil dalam larutan basa atau sedikit asam. Sehingga
pada larutan Na2EDTA yang bersifat asam dengan ion logam monovalen akan mengalami
pembentukan kompleks yang tidak stabil, yang mengakibatkan terjadinya penurun transpor logam.
Penambahan senyawa pengompleks Na2S2O3 tidak dapat menaikkan persen transpor logam
Ag. Hal ini dikarenakan pada pH rendah kompleks Ag-tiosulfat tidak stabil dan mengalami
penguraian dengan pembentukan koloidal sulfur dan sulfur oksida sebagaimana persamaan reaksi
berikut :
Na2S2O3(aq)+ 2HNO3(aq) H2S2O3-aq)+ 2NaNO3(aq) + H+
Ag+ + 2 S2O32– + H+ [Ag(S2O3)2]
3–(aq) + H+
2H+ + Ag(S2O3)23-
(aq) Ag+ + 2HS2O3-(aq)
Ag+ + 2HS2O3-(aq) Ag+ + HSO3
-(aq) + S(s)
Ag+ + HSO3-(aq) + S(s) Ag+ + SO2
-(g) + S(s) + H2O(l)
Hasil pengukuran pH senyawa pengompleks Na2S2O3 dalam media asam nitrat diperoleh
harga pH berkisar antara 1,43 – 2,04. Sedangkan kompleks Ag-tiosulfat stabil pada harga pH ≥ 4 dan
pada pH yang lebih rendah Ag-tiosulfat akan terputus ikatannya atau tidak stabil pada harga pH ≤ 2,5
(Djunaidi,2007). Berdasarkan persamaan reaksi diatas pada pH rendah sejumlah tiosulfat yang
berikatan dengan Ag jumlahnya akan menurun dan kompleksitas Ag-tiosulfat semakin sedikit. Pada
pH yang rendah akan memberikan hasil transpor yang relatif kecil, karena terbentuknya endapan
sulfur. Endapan ini menyebabkan permukaan membran terhalang sehingga proses interaksi ion Ag+
dengan senyawa pengompleks membentuk kompleks atau dengan kata lain kemampuan senyawa
pengompleks untuk membentuk kompleks dengan ion Ag+ terbatas, yang menyebabkan transpor ion
Ag+ menjadi kecil.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :1) Terdapat pengaruh sebelum dan
sesudah ditambahkannya senyawa pengompleks pada fasa penerima dengan pengaruh positif pada
penambahan senyawa pengompleks Na2EDTA yang memberikan kenaikan persen transpor, dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 42
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
pengaruh negatif pada penambahan senyawa pengompleks Na2S2O3 yang menurunkan persen
transpor dibandingkan sebelum ditambahkan senyawa pengompleks. 2) Keadaan optimum diperoleh
pada penambahan senyawa pengompleks Na2EDTA 0,01 M sebesar 16,92%, dengan kenaikan persen
transpor 35,36%.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, maka disarakan kepada peneliti yang lain:
1) Perlu dilakukan studi lebih lanjut tentang kontrol pH terhadap pemisahan logam dengan teknik
membran cair berpendukung (Supported Liquid Membrane, SLM) terhadap efisiensi pemisahan. 2)
Perlu dilakukan studi lebih lanjut tentang pengaruh waktu terhadap pemisahan logam dengan teknik
membran cair berpendukung (Supported Liquid Membrane, SLM) terhadap efisiensi pemisahan.
REFRENSI
Basir, Djabal Nur. 2015. Kemurnian dan Nilai Faktor Pemisahan Transpor Unsur La Terhadap Unsur
Nd, Gd, Lu, dengan Teknik Membran Cair Berpendukung. Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.
6, No. 11.
Djunaidi, M.C., dkk. 2007. Recovery Perak dari Limbah Fotografi melalui Membran Cair
Berpendukung dengan Senyawa Pembawa Asam Di-2-Etil Heksilfosfat (D2EHPA). Reaktor.
Vol 11, No. 2, Hal : 98-103.
Istiyono, Edi., dkk. 2008. Pengelolaan Limbah Industri Penyepuhan Logam Perak (Elektroplating).
INOTEK. Vol 12, No. 2.
Sekarwati, Novita., dkk. 2015. Dampak Logam Berat Cu (Tembaga) dan Ag (Perak) Pada Limbah
Cair Industri Perak Terhadap Kualitas Sumur dan Kesehatan Masyarakat Serta Upaya
Pengendaliannya di Kota Gede Yogyakarta. Jurnal EKOSAINS, Vol VII, No. 1.
Sugiyono. 2015. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 43
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
KAJIAN PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK (PROJECT
BASED LEARNING) DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KREATIF MATEMATIS
Aminullah
Universitas Mahasaraswati Mataram
e-mail: [email protected]
ABSTRAK: Siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan
kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama yang diperoleh melalui pembelajaran matematika.
Salah satu permasalahan yang dihadapi siswa yaitu kurangnya kemampuan berpikir kreatif.
Kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan untuk menghasilkan ide atau cara baru dalam
menyelesaikan masalah atau menghasilkan suatu produk yang dipicu melalui masalah yang
menantang. Permasalahan dalam pembelajaran salah satunya dapat diatasi melalui pemilihan metode
pembelajaran yang sesuai. Sehingga tujuan dari tulisan ini adalah untuk memaparkan kajian
penggunaan metode pembelajaran berbasis proyek (Project based learning) dalam meningkatkan
kemampuan berfikir kreatif siswa. Pembelajaran berbasis proyek berdasarkan penelitian yang relevan
terbukti dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa karena pada metode pembelajaran
berbasis proyek siswa dilatih melalui permasalahan dan pertanyaan yang menantang dalam bentuk
proyek untuk menghasilkan atau menemukan sesuatu yang baru.
Kata Kunci : Pembelajaran berbasis proyek (Project based learning), Kemampuan berpikir kreatif.
PENDAHULUAN
Kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu kemampuan kognitif untuk
meningkatkan keterampilan atau psikomotorik dalam menyelesaikan suatu permasalahan atau
menghasilkan suatu produk baru. Pengembangan kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu
fokus pembelajaran matematika. Melalui pembelajaran matematika, siswa diharapkan memiliki
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja
sama (Depdiknas, 2004). Pengembangan kemampuan berpikir kreatif memang perlu dilakukan
karena kemampuan ini merupakan salah satu kemampuan yang dikehendaki dunia kerja (Mahmudi,
2010). Tak diragukan lagi bahwa kemampuan berpikir kreatif juga menjadi penentu keunggulan suatu
bangsa. Daya kompetitif suatu bangsa sangat ditentukan oleh kreativitas sumber daya manusianya.
Maka pembelajaran matematika perlu dirancang sedemikian sehingga berpotensi mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif siswa terutama setelah diterapkan kurikulum 2013.
Abad sekarang ini di Indonesia telah diterapkan kurikulum 2013 yang memiliki sasaran
pembelajaran yang jelas seperti disebutkan pada Permendikbud No. 65 Tahun 2013 yang mengatakan
“ Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah
sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang di elaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga ranah
kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda. Sikap diperoleh
melalui aktivitas: menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan. Pengetahuan
diperoleh melalui aktivitas: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi,
mencipta. Keterampilan diperoleh melalui aktivitas: mengamati, menanya, mencoba, menalar,
menyaji, dan mencipta. Karakteristik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta
mempengaruhi karakteristik standar proses. Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific),
tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu
diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk
mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun
kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya
berbasis pemecahan masalah (Project Based Learning)”.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 44
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Penggunaan metode pembelajaran sesuai aturan kurikulum 2013 yaitu pembelajaran dengan
pendekatan ilmiah (scientific). Keputusan pengajar dalam menerapkan metode tersebut harus
disesuaikan dengan kompetensi atau tingkat kemampuan peserta didik serta mata pelajaran yang
diajarkan. Guru bukan hanya dituntut untuk memilki pengetahuan dan kemampuan mengajar
melainkan juga harus kreatif yang dicerminkan melalui sikap aktif siswa. Menurut Hosnan (2013)
kreativitas guru merupakan hal penting dalam kegiatan belajar mengajar, dan bahkan dapat menjadi
entry point dalam upaya meningkatkan pencapaian hasil belajar siswa. Seperangkat perilaku
pembelajaran yang dicerminkan oleh guru cenderung kurang bermakna dan memperoleh hasil belajar
yang tidak memadai apabila tidak diimbangi dengan pemahaman tentang makna mengajar dan belajar
dan perilaku pembelajaran yang kreatif. Kreativitas guru atau pengajar sangat penting dalam
menghasilkan lulusan atau siswa yang kreatif juga, salah satu bentuk kreatif guru yaitu mampu
memilih metode yang tepat dalam pembelajaran.
Pemilihan metode pembelajaran harus disesuaikan dengan kompetensi atau tingkat
kemampuan peserta didik, lingkungan belajar serta mata pelajaran yang diajarkan. Misalkan
pelajaran matematika yang menuntut siswa supaya memiliki kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama, maka perlu memilih metode,
strategi atau pendekatan yang bisa menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan atau kompetensi
tersebut. Salah satu kemampuan yang dikaji dalam kajian ini yaitu kemampuan berpikir kreatif,
karena dipandang sangat krusial dalam menghadapi persaingan di dunia modern ini. Sedangkan
metode yang dipilih berdasarkan hasil penelitian dalam meningkat kemampuan berpikir kreatif yaitu
metode pembelajaran berbasis proyek (project based learning). Pemilihan metode PjBL (project
based learning) sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis
berdasarkan kajian hasil penelitian relevan serta teori-teori dan peraturan pemerintah yang dipaparkan
dalam pembahasan pada tulisan ini.
PEMBAHASAN
Berpikir Kreatif
Menurut Martin (2009) kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan untuk menghasilkan
ide atau cara baru dalam menghasilkan suatu produk. Pada umumnya, berpikir kreatif dipicu oleh
masalah-masalah yang menantang. Kemampuan kreatif dapat dipahami sebagai bentuk kemampuan
kognitif yang mendasari kemampuan untuk beroperasi pada representasi simbol-simbol rutin yang
memungkinkan simbol-simbol baru akan dibangun. Lebih khususnya kemampuan berpikir kreatif
siswa yang dimaksud adalah kemampuan berpikir kreatif matematis. Oleh karena itu, kreativitas
dalam matematika lebih tepat di istilahkan sebagai berpikir kreatif matematis. Meski demikian, istilah
kreativitas dalam matematika atau berpikir kreatif matematis dipandang memiliki pengertian yang
sama, sehingga dapat digunakan secara bergantian (Mahmudi 2010).
Ada banyak pengertian tentang kreativitas, pengertian yang paling sederhana tentang
kreativitas adalah kemampuan menemukan hubungan atau keterkaitan baru dari dua atau lebih konsep
yang ada dalam pikiran (Ismaimuza, 2010). Kreativitas dapat dipandang sebagai produk hasil dari
pemikiran atau perilaku manusia dan sebagai proses memikirkan berbagai gagasan dalam
menghadapi perseolan atau masalah. Sedangkan menurut Semiawan, dan Munandar (1987)
kreativitas dipandang sebagai proses bermain dengan gagasan-gagasan atau unsur-unsur yang ada
dalam pikiran, sehingga merupakan suatu kegiatan yang penuh tantangan bagi siswa yang kreatif.
Berpikir kreatif dipandang sebagai perubahan dalam persepsi, atau melihat kombinasi ide
baru, hubungan baru, makna baru, atau aplikasi baru yang dirasa belum dimiliki sebelumnya (Tan,
2009:7). Menurut Fisher (dalam Ismaimuza, 2010) berpikir kreatif adalah menciptakan hipotesis
dengan menggunakan pengetahuan dan inspirasi, dalam berpikir kreatif kita juga menggunakan
penalaran dan pemecahan masalah. Berpikir kreatif juga merupakan kemampuan yang mencerminkan
kelancaran, keluwesan dan keaslian dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi suatu
gagasan (Waliyatimas, 2005). Sedangkan menurut Harris (2000) terdapat tiga aspek kemampuan
berpikir kreatif, yaitu kesuksesan, efisiensi, dan koherensi. Kesuksesan berkaitan dengan kesesuaian
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 45
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
solusi dengan masalah yang diselesaikan. Efisiensi berkaitan dengan kepraktisan strategi
penyelesaian masalah. Sedangkan aspek koherensi berkaitan dengan kesatuan atau keutuhan ide atau
solusi. Ide yang koheren adalah ide yang terorganisasi dengan baik, holistis, sinergis, dan estetis.
Menurut Costa (dalam Jazuli Akhmad, 2009) Berfikir kreatif meliputi cognitive skill
(kecakapan kognisi), metacognitive skill (kecakapan metakognisi) dan affective skill (kecakapan
sikap). Kecakapan-kecakapan ini dapat diterapkan dalam kehidupan di semua bidang. Berfikir kreatif
masuk dalam domain kreativitas dan merefleksikan sifat beraneka ragam gagasan yang lebih luas.
Selanjutnya Costa menjabarkan kecakapan kognisi dan kecakapan sikap yang lebih detail. Kecakapan
kognisi dalam berfikir kreatif meliputi: (1) mengidentifikasi masalah dan peluang; (2) mengajukan
pertanyaan yang lebih baik dan berbeda; (3) menilai relevan dari data yang tidak relevan; (4)
memisahkan masalah produktif dan peluang; (5) mengutamakan persaingan pilihan dan informasi;
(6) menaikan diantara ide produksi [fluency]; (7) menaikan produksi kategori yang berbeda dan
macam-macam ide [flexibility]; (8) menaikan produksi ide baru atau ide yang berbeda [originality];
(9) melihat hubungan diantara pilihan (option) dan pengganti (alternatif); (10) menghentikan pola
pikir lama dan kebiasaan; (11) membuat koneksi baru; (12) merinci, mengembangkan atau
menyaring ide, situasi atau rencana [elaboration]; (13) melihat dengan cermat kriteria; (14)
mengevaluasi pilihan.
Adapun indikator berfikir kreatif menurut Jazuli Akhmad (2009) yaitu :
1. Fluency: dapat lancar memberikan banyak ide untuk menyelesaikan suatu masalah (termasuk
banyak dalam memberikan contoh).
2. Flexibility: dapat memunculkan ide baru (untuk mencoba dengan cara lain) dalam menyelesaikan
masalah yang sama.
3. Originality: dapat menghasilkan ide yang luar biasa untuk menyelesaikan suatu masalah. (dapat
menjawab menurut caranya sendiri)
4. Elaboration: dapat mengembangkan ide dari ide yang telah ada atau merinci masalah menjadi
masalah yang lebih sederhana.
Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif
merupakan kemampuan untuk menghasilkan ide atau cara baru dalam menyelesaikan masalah atau
menghasilkan suatu produk yang dipicu melalui masalah yang menantang. Adapun indicator berpikir
kreatif meliputi fluency, flexibility, originality, dan elaboration. Sedangkan kemampuan berpikir
kreatif matematis merupakan kemampuan untuk menghasilkan ide atau cara baru dalam
menyelesaikan masalah matematis atau menghasilkan suatu produk yang dipicu melalui masalah
yang menantang.
Project Based Learning (PjBL)
Salah satu model pembelajaran yang mengajak siswa dapat berpikir kreatif, untuk ambil
bagian dalam unjuk kerja dan mengalami langsung yang dikerjakannya adalah Project-Based
Learning (PjBL), karena model ini merupakan sebuah model yang mengatur pembelajaran melalui
proyek-proyek tertentu. Istilah pembelajaran berbasis proyek merupakan istilah pembelajaran yang
diterjemahkan dari istilah bahasa Inggris Project-Based Learning (PjBL). Buck Institute for
Education (BIE) (dalam Trianto, 2014) mengemukakan bahwa PjBL adalah model pembelajaran yang
melibatkan peserta didik dalam kegiatan pemecahan masalah dan memberi peluang peserta didik
bekerja secara otonom mengonstruksi belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk
karya siswa bernilai realistik. PjBL juga merupakan model pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas melibatkan kerja proyek (Wina,
2009). Sedangkan Trianto (2004) menjelaskan bahwa PjBL merupakan pembelajaran inovatif yang
berpusat pada siswa (student centered) dan menempatkan guru sebagai motivator dan fasilitator,
dimana siswa diberi peluang bekerja secara otonom mengonstruksi belajarnya. Kemudian Sugiyastin,
dkk (2012) mengemukakan PjBL merupakan metode yang menggunakan belajar kontekstual, dimana
para siswa berperan aktif untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, meneliti,
mempresentasikan, dan membuat dokumen.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 46
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PjBL memerlukan keterampilan merancang kegiatan pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik melakukan penyelidikan terhadap suatu masalah secara mandiri. Trianto (2004)
mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran ini, yaitu:
(1) membuat tugas menjadi bermakna, jelas dan menantang; (2) menganekaragamkan tugas; (3)
menaruh perhatian pada tingkat kesulitan; (4) memonitor kemajuan peserta didik. Selanjutnya
menurut Capraro & Slough 2009 (dalam Hidayanti Lufia 2012) PjBL mengharuskan siswa untuk
berpikir kritis, analitis, menggunakan kemampuan berpikir yang tinggi, membutuhkan kolaborasi,
komunikasi, pemecahan masalah dan pembelajaran yang mandiri.
Menurut Buck Institute of Education (dalam Hosnan, 2013: 322) PjBL memiliki karakteristik
yaitu (a) Siswa mengambil keputusan sendiri dalam kerangka kerja yang telah ditentukan bersama
sebelumnya, (b) Siswa berusaha memecahkan sebuah masalah atau tantangan yang tidak memiliki
satu jawaban pasti, (c) Siswa ikut merancang proses yang akan ditempuh dalam mencari solusi, (d)
Siswa didorong untuk berfikir kritis, memecahkan masalah, berkolaborasi serta mencoba berbagai
macam bentuk komunikasi, (e) Siswa bertanggung jawab mencari dan mengelola sendiri informasi
yang mereka kumpulkan, (f) Pakar-pakar dalam bidang yang berkaitan dengan proyek yang
dijalankan sering diundang menjadi guru tamu dalam sesi-sesi tertentu untuk memberi pencerahan
bagi siswa, (g) Evaluasi dilakukan secara terus menerus selama proyek berlangsung (h) Siswa secara
reguler merefleksikan dan merenungi apa yang telah mereka lakukan baik proses maupun hasilnya,
(i) Produk akhir dari proyek (belum tentu berupa material, tapi bisa berupa presentasi, drama dan
lain-lain) dipresentasikan didepan umum (maksudnya, tidak hanya pada gurunya tapi juga bisa pada
dewan guru, orang tua dan lain-lain) dan dievaluasi kualitasnya, (j) Didalam kelas dikembangkan
suasana penuh toleransi terhadap kesalahan dan perubahan, serta mendorong bermunculnya umpan
balik serta revisi.
Metode PjBL berdasarkan Permendikbud No. 65 Tahun 2013 disarankan untuk digunakan
pada pembelajaran untuk mendorong kemampuan peserta didik dalam menghasilkan karya
kontekstual, baik individual maupun kelompok. Adapun langkah-langkah PjBL menurut The George
Lucas Educational Foundation (2005) dalam Trianto, 2014 yaitu: (1) dimulai dengan pertanyaan
yang esensial; (2) perencanaan aturan pengerjaan proyek; (3) membuat jadwal aktifitas; (3)
memonitoring perkembangan peserta didik; (4) penilaian hasil kerja peserta didik; (4) evaluasi
pengalaman belajar peserta didik.
Suatu metode pembelajaran tentunya tidak akan selalu sempurna, berikut diungkapkan
tentang kelebihan dan kekurangan dari PjBL. Trianto (2014) menyebutkan beberapa kelebihan dari
PjBL di antaranya:
a. Merombak pola pikir peserta didik dari yang sempit menjadi lebih luas dan menyeluruh dalam
memandang dan memecahkan masalah yang dihadapi,
b. Membina peserta didik menerapkan pengetahuan, sikap dan keterampilan terpadu, yang
diharapkan berguna dalam kehidupan sehari-hari,
c. Sesuai dengan prinsip didaktik modern yaitu memperhatikan kemampuan individu dalam
kelompok, bahan pelajaran tidak terlepas dari kehidupan riil, pengembangan kreativitas, dan
pengalaman yang tak terpisahkan antara teori dan praktik.
d. Meningkatkan motivasi, kemampuan pemecahan masalah, dan kolaborasi.
e. Meningkatkan kemampuan mengelola sumber.
Meski demikian, menurut Susanti (2008) berdasarkan pengalaman yang ditemukan
dilapangan, PjBL memiliki beberapa kekurangan di antaranya:
a. Kondisi kelas agak sulit dikontrol dan mudah menjadi ribut saat pelaksanaan proyek, karena
adanya kebebasan pada siswa sehingga memberi peluang untuk ribut dan untuk itu diperlukan
kecakapan guru dalam penguasaan dan pengelolaan kelas yang baik.
b. Walaupun sudah mengatur alokasi waktu yang cukup, masih saja memerlukan waktu yang lebih
banyak untuk pencapaian hasil yang maksimal.
Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan Project Based Learning (PjBL)
merupakan pembelajaran inovatif yang berpusat pada siswa (student centered) dan menempatkan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 47
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
guru sebagai motivator dan fasilitator, dimana siswa diberi peluang bekerja secara otonom
mengonstruksi belajarnya dalam memecahkan masalah, mengambil keputusan, meneliti,
mempresentasikan melalui kerja proyek, dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa bernilai
realistik.
Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif dengan Metode PjBL
Abad pengetahuan saat ini, menginginkan paradigma belajar yang berorientasi pada proyek,
masalah, penyelidikan (inquiry), penemuan dan penciptaan” (Ardhana, 2000 dalam Rais 2010). Salah
satu strategi pembelajaran yang dapat membantu mahasiswa agar memiliki kreativitas berfikir,
pemecahan masalah, dan interaksi serta membantu dalam penyelidikan yang mengarah pada
penyelesaian masalah-masalah nyata adalah project based learning (PjBL) atau pembelajaran
berbasis proyek (Turgut 2008 dalam Rais 2010).
Berdasarkan beberapa teori yang diungkapkan dapat dikatakan bahwa metode PjBL
merupakan metode yang tepat dan yang diharapkan untuk digunakan pada proses pembelajaran di
sekolah dan lebih-lebih pada perkuliahan untuk meningkatkan kemampuan berfikir kreatif dan
keterampilan lainnya.
Metode PjBL dikatakan dapat meningkatkan kemampuan berfikir kreatif dapat diketahui
melalui hasil-hasil penelitian yang relevan atau hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya
oleh beberapa peneliti seperti :
1. Jurnal oleh Hesti Noviyana (2017) yang berjudul “Pengaruh Model Project Based Learning
Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematika Siswa”. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu
ada pengaruh model Project Based Learning terhadap kemampuan berpikir kreatif matematika
siswa kelas VIII semester genap SMP Negeri 3 Bandar Lampung tahun pelajaran 2016/2017.
Adapun perolehan rata–rata kemampuan berpikir kreatif matematika siswa yang menggunakan
model pembelajaran Project Based Learning yaitu 86,39 lebih tinggi dari rata-rata kemampuan
berpikir kreatif matematika siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional yaitu 53,77.
2. Jurnal oleh Ika Wahyu Anita (2017) yang berjudul “Implementasi Pembelajaran Berbasis Proyek
Untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Mahasiswa”. Hasil penelitian yang
diperoleh yaitu pembelajaran matematika berbasis proyek berjalan dengan baik, selama
pelaksanaan pembelajaran ini dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif matematis
mahasiswa
3. Jurnal oleh Ferawati Wahida1, Nurdin Rahman, dan Siang Tandi Gonggo (2015) yang berjudul
“Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan
Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Parigi”. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu model
pembelajaran berbasis proyek berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan berpikir
kreatif dan hasil belajar siswa. Hasil ini kemudian didukung oleh n-Gain dalam kategori sedang.
Selain itu, peningkatan nilai pada aspek afektif dan psikomotor siswa dalam kategori sangat baik.
4. Jurnal oleh Diah Mulhayatiah (2014) yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Berbasis
Proyek untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Mahasiswa”. Hasil penelitian yang
diperoleh yaitu penerapan model pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif mahasiswa dengan rata-ratanya berada pada kategori sedang dengan nilai 0,68.
5. Jurnal oleh Rina Putri Utami, Riezky Maya Probosari, dan Umi Fatmawati (2015) dengan judul
“Pengaruh Model Pembelajaran Project Based Learning Berbantu Instagram Terhadap
Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Surakarta”. Hasil penelitian yang
diperoleh yaitu ada pengaruh model pembelajaran PjBL berbantu instagram terhadap kemampuan
berpikir kreatif siswa kelas X SMA Negeri 8 Surakarta dengan didukung dari hasil rata-rata siswa
pada kelas eksperimen (82,72) lebih tinggi dibanding dengan kelas kontrol (77,12).
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 48
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
6. Artikel Ilmiah oleh Milla Minhatul Maula, Jekti Prihatin, dan Kamalia Fikri (2014) yang berjudul
“pengaruh Model PjBL (Project-Based Learning) Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Dan
Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pengelolaan Lingkungan”. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu
penerapan model PjBL (project based learning) pada materi pengelolaan lingkungan berbeda
signifikan (p=0,00) dengan model konvensional terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa kelas
VII di SMP Negeri 2 Balung Jember. skor rerata kemampuan berpikir kreatif kelas kontrol lebih
rendah sebesar 70,25 ± 12,29 jika dibandingkan dengan skor rerata kemampuan berpikir kreatif
siswa kelas eksperimen sebesar 86,17 ± 4,70.
7. Jurnal oleh Wiwin Sugiyastini, dkk (2013) dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis
Proyek Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Pada Mata Pelajaran IPA Kelas V SD
Gugus V Banjar”. Hasil penelitiannya yaitu Kemampuan berpikir kreatif siswa kelompok
eksperimen yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning)
cenderung tinggi dan Terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kreatif antara
kelompok siswa yang belajar mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis
proyek dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional pada siswa kelas V
di SD Negeri 2 dan 3 Sidetapa.
8. Prosiding oleh Maria Anita Titu (2015) yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Project
Based Learning (PjBL) Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Pada Materi Konsep Masalah
Ekonomi”. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu Penerapan pembelajaran project based learning
sangat mendukung kreativitas siswa di mana Kreativitas adalah kemampuan untuk memberikan
gagasan-gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Kreativitas meliputi baik
ciri-ciri aptitude seperti kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), dan keaslian (originality)
dalam pemikiran, maupun ciri-ciri non aptitude, seperti rasa ingin tahu, senang mengajukan
pertanyaan dan selalu ingin mencari pengalaman-pengalaman baru. Sehingga penerapan model
pembelajaran project based learning dapat dijadikan alternatif dalam meningkatkan kreativitas
siswa pada materi konsep masalah ekonomi.
9. Jurnal oleh Edang Sri. W, Ai Sutini, dan Hana Yunansah (2015) yang berjudul “Pengaruh
Penggunaan Model Project Based Learning (PjBL) Terhadap Kreativitas Berpikir Siswa Pada
Konsep Lingkungan”. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu terdapat pengaruh pada kreativitas
berpikir siswa setelah diberi perlakuan dengan menggunakan model Project Based Learning,
berdasarkan perolehan nilai N-gain yang menunjukan kreativitas berpikir siswa mengalami
peningkatan dengan kategori cukup signifikan, 0,3 ˂ 0,63 ≤ 0,7.
10. Jurnal oleh Tri Nova Hasti Yunianta, dkk (2012) yang berjudul “Kemampuan Berpikir Kreatif
Siswa pada Implementasi Project-Based Learning dengan Peer And self-Assessment untuk
Materi Segiempat Kelas VII SMPN RSBI 1 Juwana di Kabupaten Pati”. Hasil penelitian yang
diperoleh yaitu PBL dengan PSA, ditinjau melalui aspek berpikir kreatif, PBL dengan PSA semua
aspek kecenderungan meningkat, sedangkan untuk pembelajaran konvensional, aspek keaslian
dalam berpikir kreatif siswa turun. Peningkatan pada PBL dengan PSA ini dapat membawa siswa
yang awalnya kurang kreatif untuk aspek kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi dan
sensitivitas, setelah pembelajaran menjadi cukup kreatif untuk aspek kelancaran, keaslian,
elaborasi dan sensitivitas, sedangkan untuk aspek keluwesan levelnya tetap.
11. Penelitian tesis yang telah dilakukan oleh Ni Luh Putu Mery Marlinda (2012) yang berjudul
“Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif dan
Kinerja Ilmiah Siswa”. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu Terdapat perbedaan kemampuan
berpikir kreatif siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis
proyek (MPjBL) dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional
(MPK), diterima, karena harga F hitung (16,584) lebih besar dari F tabel (3,91). Untuk nilai rata-
rata dalam kinerja ilmiah, untuk kelompok MPjBL adalah sebesar 21,96 dan MPK 19,49,
kemudian didukung oleh analisis multivarian yang menunjukkan Fhitung = 28,878 > Ftabel =
3,91 (p < 0,05).
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 49
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
12. Penelitian tesis yang telah dilakukan oleh Kusriyatun (2014) dengan judul ”Pengaruh Penerapan
Metode Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) Terhadap Peningkatan
Kemampuan Berfikir Kreatif Siswa“. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa pada kelas eksperimen yang mendapat perlakuan
metode pembelajaran proyek (Proyek based learning) pada pengukuran awal (pre-tes) dengan
pengukuran akhir (post-test). Metode PjBL menunjukkan hasil yang baik, siswa mampu berfikir
kreatif terutama dalam membuat karya kreativitas yang bernilai jual.
13. Penelitian tesis oleh Satria Mihardi (2013) yang berjudul “Pengaruh Model Project Based
Learning Dengan Lembar Kerja KWL (Know-Want-Learn) Terhadap Berpikir Kreatif pada
Penyelesaian Masalah Fisika”. Hasil penelitiannya yaitu menunjukkan Berpikir Kreatif Siswa
dengan model Project Based Learning lebih besar daripada model Cooperative Learning, adanya
perbedaan Berpikir Kreatif Siswa yang dicapai melalui model Project Based Learning dengan
lembar kerja KWL dan model Cooperative Learning dalam menyelesaikan permasalahan Fisika.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran
berbasis proyek (Project based learning) dapat diterapkan pada proses pembelajaran di sekolah untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif. Metode PjBL dalam penerapannya atau penggunaannya
untuk meningkatkan berpikir kreatif, juga dapat dikolaborasikan dengan pendekatan-pendekatan dan
media pembelajaran lainnya seperti Peer And self-Assessment, Lembar Kerja KWL (Know-Want-
Learn), Instagram, dan juga bisa dengan pendekatan saintifik karena disarankan oleh kurikulum 2013.
Selain dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, PjBL juga dapat meningkatkan kerja ilmiah
dan hasil belajar.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang berupa kajian-kajian teori dan hasil penelitian yang relevan
diatas dapat disimpulkan bahwa Metode Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
merupakan metode yang memuat proyek atau tugas yang kompleks berdasarkan pada pertanyaan dan
permasalahan yang sangat menantang, dan menuntut siswa bekerja melalui serangkaian tahap metode
ilmiah, sehingga siswa akan dapat menghasilkan sesuatu yang baru dari hasil pembelajaran. Siswa
dalam menemukan atau menghasilkan sesuatu yang baru membutuhkan kemampuan yang disebut
dengan kreatif atau berpikir kreatif, sehingga metode PjBL akan dapat menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan berfikir kreatif siswa melalui pertanyaan dan permasalahan yang
menantang dalam bentuk proyek-proyek pada proses pembelajaran.
Saran
Kemampuan berpikir kreatif sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap siswa dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran dan khususnya pembelajaran matematika.
Kreativitas tidak hanya dibutuhkan oleh siswa melainkan yang lebih membutuhkan adalah lulusan
untuk menghadapi persaingan di masyarakat, sehingga untuk melatih dan meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif siswa khususnya bagi guru disarankan menggunakan metode project based learning
dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah
Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakata: Depdiknas
Diah Mulhayatiah. (2014). Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Proyek untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kreatif Mahasiswa. Jurnal EDUSAINS. Vol VI No.01, tahun 2014, 18-
22.
Edang Sri. W, Ai Sutini, dan Hana Yunansah. (2015). Pengaruh Penggunaan Model Project Based
Learning (PjBL) Terhadap Kreativitas Berpikir Siswa Pada Konsep Lingkungan. Jurnal
Antologi Mei 2015
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 50
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Ferawati Wahida1, Nurdin Rahman, dan Siang Tandi G. (2015). Pengaruh Model Pembelajaran
Berbasis Proyek Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Hasil Belajar Siswa Kelas X
SMA Negeri 1 Parigi. Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, Volume 4 Nomor 3, Agustus 2015
hlm 36-43, ISSN: 2089-8630.
Harris R. (2000). Criteria for Evaluating a Creative Solution. [Online].Tersedia:
/www.indiana.edu/~global/educational/allschooldocuments/CriteriaforEvaluatingaCreativeSol
ution.
Hesti Noviyana. (2017.) Pengaruh Model Project Based Learning Terhadap Kemampuan Berpikir
Kreatif Matematika Siswa. Jurnal Edumath , Volume 3 No. 2 (2017) Hlm. 110-117, ISSN Cetak
: 2356-2064, ISSN Online : 2356-2056.
Hidayanti Lufi. (2012). https://www.academia.edu/8055236/Project_Based_Learning/ Diakses hari
senin tanggal 24 November 2014 jam 20:23.
Hosnan. (2013). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia
Indonesia
Ika Wahyu Anita. (2017). Implementasi Pembelajaran Berbasis Proyek Untuk Menumbuhkan
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Mahasiswa. Jurnal JPPM Vol. 10 No. 1 (2017).
Ismaimuza Dasa. (2010). Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP Melalui
Pembelajaran Berbasis masalah dengan Strategi Konflik Kognitif. Disertasi. Bandung: Upi
Jazuli Akhmad. (2009). Berfikir Kreatif Dalam Kemampuan Komunikasi Matematika. Jurnal.
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Kemendikbud. (2013). Permendikbud No. 65 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Kusriyatun. (2014). Pengaruh Penerapan Metode Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based
Learning) Terhdap Peningkatan Kemampuan Berfikir Kreatif Siswa. Tesis. UPI Bandung.
Mahmudi Ali. (2010). Mengukur kemampuan berpikir Kraetif Matematis. Jurnal Staf pengajar UNY
Mahmudi Ali. (2010). Pengarus Pembelajaran dengan Strategi MHM Berbasis Masalah Terhadap
Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis,
Serta Persepsi terhadap Kreativitas.Disertasi. Upi: Bandung.
Maria Anita Titu. (2015). Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning (PjBL) Untuk
Meningkatkan Kreativitas Siswa Pada Materi Konsep Masalah Ekonomi. Prosiding Seminar
Nasional 9 Mei 2015.
Martin. (2009). Thinking skill in psychology. [online]. Tersedia:
http://www.eruptingmind.com/thinking-skills-in-psychology/
Mihardi Satria. (2013). Pengaruh Model Project Based Learning Dengan Lembar Kerja KWL (Know-
Want-Learn) Terhadap Berpikir Kreatif Pada Penyelesaian Masalah Fisika. Tesis. Universitas
Negeri Medan
Milla Minhatul M, Jekti Prihatin, dan Kamalia Fikri. (2014). pengaruh Model PjBL (Project-Based
Learning) Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Hasil Belajar Siswa Pada Materi
Pengelolaan Lingkungan. Artikel Ilmiah Mahasiswa, 2014. Universitas Jember.
Ni Luh Putu Mery Marlinda. (2012). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap
Kemampuan Berpikir Kreatif dan Kinerja Ilmiah Siswa.Tesis, Universitas Pendidikan Ganesha.
Semiawan, C., Munandar, A.S., (1987). Memupuk Bakat Dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah.
Jakarta: Gramedia
Rais Muh. (2010). PROJECT-BASED LEARNING: Inovasi Pembelajaran yang Berorientasi Soft
skills .Jurnal. Staf Pengajar Universitas Negeri Makasar.
Rina Putri Utami, Riezky Maya Probosari, dan Umi Fatmawati. (2015). Pengaruh Model
Pembelajaran Project Based Learning Berbantu Instagram Terhadap Kemampuan Berpikir
Kreatif Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Surakarta. Jurnal BIO-PEDAGOGI 4(1): 46-52, April
2015.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 51
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Sugiyastini ,dkk. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap Kemampuan
Berpikir Kreatif Siswa Pada Mata Pelajaran IPA Kelas V SD Gugus V Banjar. Jurnal.
Universitas Pendidikan Ganesha
Tan, One-Seng. (2009). PBL and Creativity. Cengage Learning Asia Pte Ltd. Singapore
Trianto. (2014). Mendesain model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual. Jakarta:
Kencana
Waliyatimas, Sarso Dj Pomalato. (2005). Pengaruh penerapan model treffinger pada pembelajaran
matematika dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah
matematika siswa. Upi: Disertasi
Wina, Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual
Operasional. Jakarta: Bumi Aksara
Yunianta Hasti, dkk. 2(012). Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa pada Implementasi Project-Based
Learning dengan Peer And self-Assessment untuk Materi Segiempat Kelas VII SMPN RSBI 1
Juwana di Kabupaten Pati. Jurnal. Universitas Negeri Semarang
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 52
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
KURIKULUM SEBAGAI JANTUNG PENDIDIKAN
Arif Munandar
Pendidik STKIP Bima
e-mail: [email protected]
Abstrak: Pengembangan kurikulum cukup radikal di dunia pendidikan Indonesia. Sejarah
pengembangan kurikulum di Indonesia (11x) sering terdapat pendirian yang berbeda-beda dan sering
bertentangan, akan tetapi mengajukan kurikulum yang ekstrim sering mendiskreditkan kurikulum
yang sudah ada. sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawan pendidikan dalam
rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. bertujuan menjaminkan mutu pendidikan
nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsadan membentuk watak, serta peradaban
bangsa yang bermartabat. secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan
negara. James Ricchardson Logan adalah orang pertama yang menggunakan kata Indonesia yang
mulanya oleh Mr Earl diberi nama Indunesia.Istilah kurikulum telah dikenal sejak kurang lebih 1
abad yang lampau. Dalam kamus webster pada tahun 1856, kurikulum dipakai dalam bidang
olahraga. perkiraan istilah ini telah dipergunakan semenjak tahun 1890, Di Indonesia pada tahun 1854
Gubernur Jenderal Eerens diinstruksikan meluaskan pendidikan bagi pribumi, Peraturan pertama
mengenai pendidikan dikeluarkan tahun 1871 yang memberikan uraian yang panjang lebar tentang
Kurikulum Pendidikan Pendidik. Peraturan 1871 segera diganti dengan keputusan 1885 yang
mengurangi biaya pendidikan dan menyederhanakan kurikulum, perkembangan pesat sesudah 1863
sewaktu ekonomi membumbung tinggi dibawah menteri liberal “Van De Putte”, segera terhenti
setelah depresi ekonomi 1885., kemudian statuta tahun 1874 menyatakan bahwa semua pelajaran
agama dilarang di sekolah.
Faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar mengajar (proses pembelajaran), yaitu: 1.
Kualitas Pendidik, bertanggung jawab dalam gerakan penyelenggaraan pendidikan (transfer ilmu). 2.
Anak didik, dua aspek yang mempengaruhi perkembangan kepribadian anak didik. Pertama, latar
belakang, yang mencakup keluarga, dan tempat dia tinggal. Kedua, aspek sifat, meliputi kemampuan
dasar (knowleadge) sikap anak didik, 3. Sarana dan prasarana. 4. Lingkungan, sekolah maupun
lingkungan tempat bermain, dan lingkungan rumah (orang tua). pendidik lebih banyak berhadapan
dengan tugas-tugas penelitian, analisis, pemecahan masalah, dan pengembangan dari pemecahan
masalah itu sendiri. Perhatian terhadap attitude, aptitude, dan behavioris anak didik (generasi). Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak dan wajib mengikuti sekolah dasar, dan
pemerintah wajib membiayainya.
PENDAHULUAN
A. Pengembangan Kurikulum
Pendidikan pada dasarnya lahir di Mesir Kuno, kegiatan pembelajaran tidak dilakukan dalam
ruang-ruang kelas seperti sekolah modern sekarang, akan tetapi dilaksanakan di lapangan terbuka
mirip kampanye atau rapat akbar saat ini (Agus Wibowo, 2008). Institusi sekolah saat ini merupakan
wahana yang dipergunakan sebagai tempat berlangsungnya proses pemupukan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap guna mewujudkan segenap potensi yang ada dalam diri anak didik. Untuk
mengikuti proses pendidikan sudah menjadi harapan dan cita-cita manusia yang berfikir, tak peduli
lagi keadaan ekonomi lemah. Pendidikan sudah seperti raja dalam kehidupan manusia, dengan
harapan melalui pendidikan manusia bisa dibentuk dan dibekali pengetahuan dan keterampilannya,
sehingga ia menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang banyak (INOVATIF), menjaga dan
menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketidakpuasan dengan kurikulum yang ada memaksa untuk membuat kurikulum yang baru
dalam rangka menghasilkan peserta didik yang benar (tidak hanya baik). Sejarah pengembangan
kurikulum di Indonesia (11x) sering terdapat pendirian yang berbeda-beda dan sering bertentangan,
akan tetapi mengajukan kurikulum yang ekstrim sering mendiskreditkan kurikulum yang sudah ada.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 53
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Berangkat dari itu kurikulum merupakan langkah konkret untuk menjemput impian pendidikan dalam
memanusiakan manusia, sebab kurikulum adalah alat untuk membentuk watak dan sifat anak didik.
Di dalam kurikulum terdapat aturan-aturan proses belajar dan mengajar. Kurikulum adalah rencana
pelajaran (a plan for learning) yang diberikan kepada pendidik untuk diterapkan pada peserta didik
agar anak didiknya bisa menjadi manusia yang terampil, inovatif, kreatif, serta aktif dalam menjawab
polemik berkehidupan.
Pengembangan kurikulum cukup radikal di dunia pendidikan Indonesia ini, yang
mencerminkan pengaruh dan tekanan yang berbeda, yang berasal dari pemerintah, pendidik, orang
tua, serta dari anak didik itu sendiri. Perubahan itu mencerminkan pada dimana dan kapan tempat
terjadinya pendidikan dan pelatihan. Masalah seperti ini cukup kompleks dan mendasar, karena
terdapat berbagai pendapat yang bertentangan antara satu sama lain tentang tujuan pendidikan yang
harus diabdi oleh pendidikan. Pendidikan merupakan proses segala sesuatu yang akan membentuk
pola pikir anak didik yang bertanya tentang pengetahuan yang dirinya (self) miliki, pengetahuan apa
yang harus dimiliki oleh diri, siapa yang akan memberi pengetahuan yang akan dimiliki oleh diri,
serta bagaimana cara mendapatkan pengetahuan itu sendiri. Dari rasa ketidaktahuan/ketidakmilikan
pengetahuan itu, menjadi anak didik yang memiliki pengetahuan. Dalam hal ini anak didik diharapkan
dapat bermanfaat untuk diri, masyarakat, bangsa, dan negara. Melalui itu, proses pencetakan anak
didik yang ideal dengan difasilitasi oleh segenap pendidik yang memiliki dan memahami tentang
kompetensi-kompetensi (keharusan) dimiliki oleh seorang pendidik dalam rangka mewujudkan anak
didik yang paripurna sesuai dengan amanat Undang-Undang No 20 Tahun 2003.
Disamping itu, semua orang sibuk dengan kehebohan peringkat sekolah, secara bersama
pendidik dan orang tua (masyarakat) meyakinkan pemerintah untuk mempertimbangkan situasi
sekolah (di mana sekolah itu berdiri). Haruskah penilian dalam bentuk apapun digunakan hanya untuk
mengindikasikan sekolah mana yang kinerjanya paling bagus atau visi utamanya memberikan
feedback tentang kemajuan anak didik? Perlu sekiranya untuk diketahui bahwa terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan belajarmengajar (proses pembelajaran), yaitu: 1. Kualitas
Pendidik, pendidik menurut Undang-Undang merupakan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
atau sebutan lain (pamong belajar, konselor) yang ikut serta dan bertanggung jawab dalam gerakan
penyelenggaraan pendidikan (transfer ilmu). 2. Anak didik, dua aspek yang mempengaruhi
perkembangan kepribadian anak didik. Pertama, latar belakang, yang mencakup keluarga yang
bagaimana anak didik dilahirkan, dan dari lingkungan seperti apa tempat dia tinggal. Kedua, aspek
sifat, meliputi kemampuan dasar (knowleadge) anak didik dan sikap anak didik, karena setiap
manusia memiliki kemampuan yang berbeda. 3. Sarana dan prasarana, semisal: media pembelajaran,
alat-alat pembelajaran, dan lain sebagainya. 4. Lingkungan, baik lingkungan sekolah (banyak dan
sedikitnya peserta didik dalam ruangan kelas, serta kompetensi yang dimiliki oleh teman dalam
kelas), maupun lingkungan tempat bermain, dan lingkungan dalam rumah (orang tua).
Sebelum ditarik benang merah kebijakan putusan pendidikan dalam hal membuat sekolah
lebih baik, pemerintah mesti memperhatikan daya tarik untuk orang tua anak didik yang memang
menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Saya kira kita terjerumus masuk
dalam konsep ketidaksiapan anak didik dari segi mengembangkan keterampilan, kompetensi, dan
kualitas yang dibutuhkan dunia kerja yang lebih luas atau pendidikan lanjutan. Kerja sama dan
kompetisi yang sehat tidak akan dapat duduk bersama (apalagi berdampingan) tanpa ada kenyamanan
anak didik dalam ruang kelas (class room). Semestinya pendidik harus lebih banyak berhadapan
dengan tugas-tugas penelitian, analisis, pemecahan masalah, dan pengembangan dari pemecahan
masalah itu sendiri, selain daripada mendidik dan membimbing serta membina dan menjaga
hubungan dengan masyarakat. Secara universal pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945, jika dilirik pendidikan lama punya
kelemahan, yakni membuat perbandingan yang tidak pantas antara ketidakmatangan anak didik
dengan kematangan orang dewasa, dan ingin mengenyahkan ketidakmatangan itu secepat mungkin
dan sebanyak-banyaknya, tidak melihat bahaya pendidikan baru terletak pada anggapannya bahwa
daya-daya dan minat-minat anak didik saat ini adalah sesuatu yang sudah final, meski sebenarnya
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 54
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
secara mendasar kegiatan belajar anak dan prestasi anak, cair dan mengalir dari hari ke hari terus
berubah hingga jam ke jam (John Dewey, 2012:229).
Dalam BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 31 ayat 4 menyatakan
memprioritaskan sekurang-kurangnya 20% anggaran pendidikan yang diambil dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional, kemudian pasal 5 dan 3 pemerintah mengusahakan, memajukan, menyelenggarakan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama (keimanan,
ketakwaan, akhlak mulia) dan persatuan untuk peradaban manusia serta kesejahteraan umat manusia,
dan pasal 1 dan 2 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang
layak dan wajib mengikuti sekolah dasar, dan pemerintah wajib membiayainya (________, 2010: 43).
B. Peran Pendidik
Upaya pendidik dalam mencetak manusia yang ideal sangat diharapkan, yaitu yang mampu
menjawab dinamika sosial dan hilangnya budaya yang syarat akan nilai. Tidak mengesampingkan,
bahwa Westernisasi dan globalisasi selalu menjadi bahan pembicaraan kaum intelek dan para
pencerdas/pemerhati moral. Seperti yang kita ketahui pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didiknya agar anak didiknya secara aktif
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh dirinya untuk memiliki kekuatan intelektual, spiritual
keagamaan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh diri (self),
masyarakat, bangsa dan negara atau menciptakan manusia paripurna (insan kamil). Apakah ini
Manusia Paripurna sebagaimana para pejabat negara melakukan korupsi, saling menyalahkan dalam
topeng amal maaruf sesungguhnya menjalankan nahi mungkar. Kita hanya ingin agar masyarakat
mendapat hak-haknya terlebih dahulu, dan pendidik mengajarkan kepada anak didik mereka
bagaimana membaca, menulis, menjumlah, serta sikap hormat dan disiplin serta mengetahui
perbedaan antara yang hak dan batil.Penting bagi pendidik bahwa ilmu (science), pengetahuan
(knowleadge) dan keterampilan merupakan aset kunci agar suatu sekolah/lembaga memiliki
keunggulan kompetitif yang kontinyu (Paul L. Tobing, 2007:24). Yang kompetensi-kompetensi itu
akan membantu pandidik untuk menguasai materi ajar dan tanggung jawab diri (self accountability)
sebagai pendidik.
Esensinya setiap anak didik terlahir seperti kertas putih yang masih kosong (tabularasa) dan
tinggal bagaimana cara pendidik mendidik dan mengenal untuk mengarahkan. Jangan hanya alam
yang diandalkan dalam mengembangkan kemampuan atau keterampilan anak didik (karena alam tak
akan mengubahnya), pengembangan kemampuan anak didik juga harus terencanakan dan apa yang
direncanakan tersebut harus dilaksanakan di sekolah-sekolah. Memang, bagaimana pun
pengembangan kurikulum perlu dilakukan agar nantinya tujuan dan sasaran yang disepakati itu
(curriculum) dapat dievaluasi terhadap keluaran-keluaran berikutnya, karena kurikulum harus
mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman. Dalam UUGD (Undang-Undang Guru dan Dosen)
kompetensi-kompetensi yang wajib dimiliki oleh pendidik di antaranya adalah: 1. Kepribadian, yang
merupakan kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, berakhlak
mulia, yang kemudian akan menjadi teladan untuk anak didiknya; 2. Profesional, yang merupakan
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan
mendidik anak didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional
pendidikan; 3. Paedagogik, yang merupakan kemampuan pendidik dalam mengelola pembelajaran
anak didik yang meliputi pemahaman terhadap anak didik, perancang dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi hasil belajar, dan pengembangan anak didik yang mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki oleh anak didik kita sendiri; 4. Sosial, merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan anak didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua/wali anak didik, dan masyarakat lingkungannya (________,
2012:11).
Berangkat dari itu UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB XI
Pasal 39 dan 40 sebagai faktor pendukung pendidik juga merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pelajaran, melakukan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 55
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang
berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan
dialogis serta memiliki komitmen secara profesional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
dan menjadi uswatun hasanah dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai
dengan kepercayaan yang diamanatkan kepadanya (________, 2011:31).
C. Kurikulum Sebagai Ideologi
Kurikulum merupakan sebuah peta yang kemudian dijadikan kompas dalam proses belajar-
mengajar terlepas dari bagaimana cara pendidik mengajar, namun tidak dikesampingkan bahwa
kurikulum merupakan langkah kongkret dalam membentuk watak dan sikap anak didik. Untuk itu
hendaklah ada segolongan umat yang menyeru pada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran,
bahwa pendidik yang memiliki hak veto/ prerogatif mendidik bukan hanya pada tataran tenaga
kependidikan, namun juga adalah semua yang memiliki perhatian terhadap attitude, aptitude, dan
behavioris anak didik (generasi). Perkembangan iman dan ketakwaan anak didik merupakan
tanggung jawab bersama dalam rangka menciptakan insan Indonesia yang pancasilais dan memiliki
kemauan mengindonesiakan Indonesia dalam arti cinta dan menghargai akan keragaman budaya dan
bahasa, pemerintah pendidikan kelebihan power memikirkan mencerdaskan kehidupan bangsa hanya
pada, di mana seorang pemimpin itu berasal atau dia tinggal. Maka negara juga harus memikirkan
bagaimana keberadaan (sarana dan prasarana) pendidikan di daerah 3T (tertinggal, terluar,
terpinggir), karena Bumi Pancasila tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang atau kelompok, tapi
dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia yang rindu akan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemerdekaan dalam belajar anak didik merupakan langkah konkret agar anak didik bisa
menentukan sikap dan tujuannya, disamping itu pendidik secara jeli menelaah kurikulum (bukan
kurikulum rekayasa) karena kurikulum merupakan jantungnya pendidikan, ketika pendidik tidak bisa
menerapkan kurikulum sesuai dengan karakter dan sikap anak didik, maka tidak heran jika
pendidikan untuk abad-abad selanjutnya akan melahirkan anak didik (generasi) yang bingung
(dilema) dan manusia hasil rekayasa. Para pendidik pun dilatih dan dikembangkan agar tidak
menyebarkan buah pikiran yang bertentangan dengan moral atau melanggar undang-undang
pendidikan, dengan harapan insan pendidikan dapat memahami masalah-masalah kemanusiaan
secara holistik.
Dalam dunia pendidikan istilah kurikulum telah dikenal sejak kurang lebih 1 abad yang
lampau. Dalam kamus webster pada tahun 1856, istilah kurikulum digunakan untuk pertama kalinya.,
pada waktu itu, kurikulum dipakai dalam bidang olahraga. Ada pula yang berpendapat bahwa tanggal
dan tahun yang pasti tentang awal penggunaan istilah kurikulum sukar dilacak.Tetapi perkiraan istilah
ini telah dipergunakan semenjak tahun 1890, pada tahun itu, di Amerika Serikat diadakan pertemuan
komisi utama pendidikan yang membahas pengorganisasian kembali pendidikan yang
memperdebatkan perihal kurikulum (Afifudin, 2013:131). Di Indonesia pada tahun 1854 Gubernur
Jenderal Eerens diinstruksikan meluaskan pendidikan bagi pribumi, akan tetapi karena konsekuensi
finansialnya pendidikan hanya dibatasi untuk anak-anak priayi sehingga menjauh dari pendidikan
pribumi. Peraturan pertama mengenai pendidikan dikeluarkan tahun 1871 yang memberikan uraian
yang panjang lebar tentang kurikulum pendidikan pendidik. Peraturan 1871 segera diganti dengan
keputusan 1885 yang mengurangi biaya pendidikan dan menyederhanakan kurikulum, karena
perkembangan pesat sesudah 1863 sewaktu ekonomi membumbung tinggi dibawah menteri liberal
“Van De Putte”, segera terhenti setelah depresi ekonomi 1885. Sekolah rendah sebelum 1892 tidak
mempunyai kurikulum yang uniform. Walaupun dalam aturan 1871 ada petunjuk yang menentukan
kegiatan sekolah.Terdapat4 (empat) mata pelajaran yang diharuskan kala itu, yakni: membaca,
menulis, bahasa (bahasa daerah/bahasa melayu), dan berhitung, kemudian statuta tahun 1874
menyatakan bahwa semua pelajaran agama dilarang di sekolah (Nasution, 2001:37).
Kurikulum sebagai ideologi pendidikan adalah arah jalannya, atau gagasan yang dijadikan
sebagai pedoman dalam memajukan pendidikan. Kurikulum merupakan bagian integral dalam
pendidikan yang mengandung ruang lingkup yang sangat luas.Konsep ini bukan hanya mencakup
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 56
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
kegiatan mempelajari dasar-dasarnya, tetapi juga menelaah kurikulum yang dikembangkan dan
dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan.pokokbahasan dalam kurikulum, yaitu: perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum. Perencanaan dan pengembangan merupakan hal yang integral,
karena dalam konsep ini akan dipelajari perencanaan dan pengembangan selanjutnya. Penting
mendapat perhatian, karena terkait erat dengan faktor-faktor mendasar, peran berbagai pihak dan cara
pengembangan, sehingga menjadi suatu proses keseluruhan dan proses pengembangan kurikulum.
Pelaksanaan, bidang ini erat kaitannya dengan keterlaksanaan kurikulum di sekolah atau lembaga
pendidikan dan latihan, serta peran kepala sekolah dan guru mendapat sorotan yang tajam. Evaluasi,
perbaikan kurikulum merupakan upaya membina relevansi pendidikan dan peningkatan mutu
pendidikan yang harus sejalan dengan perkembangan pola masyarakat secara menyeluruh dan
mendasar, hingga pada esensinya akan mewujudkan atau dikembangkan kurikulum yang lebih baik
dari sebelumnya.
Masyarakat macam apakah yang akan menjadi hasil dari kebijakan-kebijakan kurikulum
abad-abad selanjutnya? dan apakah hal ini dianggap masalah? Apakah kebijakan itu kurang lebih
akan komprehensif, akuntabel, dan univer? Apakah anak didik tidak bisa makan dan minum karena
tidak disusupi beras dan air (menunggu hujan turun)?. Para pemikir pendidikan sibuk memikirkan
Pengembangan Kurikulum sebagai proyek memperkaya diri dan keluarga, kurikulum merupakan
tongkat pendidikan, tanpa kurikulum pengetahuan yang dibutuhkan oleh diri anak didik atau dalam
pengertian luasnya masyarakat tidak akan terealisasi. Negara ini adalah negara demokrasi, maka tidak
mungkin Joko Widodo terus yang akan menjadi Presiden.
Dengan demikian perlu dilihat kemudian diamati apa yang dibutuhkan bangsa yang kemudian
diberikan kepada anak didik dalam memajukan harkat dan martabat bangsa, karena pendidikan
merupakan suatu lembaga yang konstruktif untuk memperbaiki masyarakat. Pendidikan tidak
mempunyai tujuan, hanya para pengambil kebijakan (pemerintah pendidikan), pendidik, orang tua,
dan masyarakat yang memiliki tujuan. Dalam rangka mengembangkan kurikulum ada aliran-aliran
yang mendasari dan melandasi terbentuknya anak didik yang paripurna.
D. Aliran-Aliran Pengembangan Kurikulum
Menurut Galatthorn perkembangan kurikulum dapat dibagi dalam 6 aliran-aliran, yaitu:
saintisme akademik (academik scientism), fungsionalisme progresif (progressive functionalism),
komformisme perkembangan (development conformism), strukturalisme (scholarly structuralism),
radikalisme romantik (romantic radicalism), dan konservatisme privatistik (privatic conservatism)
(Achasius Kaber, 1988:22). Yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1.Saintisme Akademik (1890-1916)
Istilah ini menunjukkan adanya 2 pengaruh yang kuat, yaitu akademik dan ilmu
(science).Akademik menunjukkan usaha sistimatik dari perguruan tinggi membina kurikulum untuk
dasar pendidikan saintis menunjukkan usaha ahli pendidikan mempergunakan pengetahuan ilmiah
dalam mengambil keputusan tentang misi sekolah dan isi kurikulum. Tokoh akademis yang terkenal
Charles W. Eliot, Presiden Universitas Harvard, Charles mengajukan kurikulum akademik sebagai
yang terbaik bagi semua anak didik. Kaum saintis dipengaruhi oleh pandangan Herbart. Sains
merupakan inti kurikulum. Tugas pokok sekolah mempersiapkan anak didik untuk mengenal dunia
(bukan hanya bumi).Persiapan itu melalui studi dunia fisik dan sosial. Sains dipandang sebagai alat
meningkatkan pendidikan di sekolah. Kurikulum meliputi empat bidang studi, yaitu: sains, industri,
estetika, dan civics. Lalu kemudian 5 langkah mengajar yang dikemukakan Herbert menjadi populer
melalui: a. Persiapan: Guru menarik perhatian anak didik. b. Presentasi: Menyajikan bahan baru,
outline, ikhtisar. c. Asosiasi: Menghubungkan gagasan baru dengan yang lama. d. Generalisasi:
Menarik kesimpulan, prinsip-prinsip. e. Aplikasi: Penyamarataan (generalisasi) diterapkan dalam
situasi khusus.
2. Fungsionalisme Progresif (1917-1940)
Aliran ini merupakan perpaduan dua aliran yaitu progresivisme dan fungsionalisme. Aliran
ini berasal dari John Dewey. Kaum progresif menganggap bahwa kurikulum harus berpusat pada
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 57
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
anak didik dan menggunakan metode proyek. Menurut kaum (isme) ini anak didik pada dasarnya
ingin mengetahui dan bersifat kreatif. Mereka haus untuk belajar dan membutuhkan kesempatan
untuk mengekspresikan diri (self ekspresi). Konsep ini berpengaruh pada isi dan proses kurikulum.
Kurikulum bertolak dari minat anak didik. Dan metode proyektor berasal dari Kilpatrick. Menurutnya
setiap pengalaman yang bermakna baik intelektual, fisik, maupun estetik, sosial dapat merupakan
pusat, topik proyek, sepanjang itu berkaitan dengan tujuan. Belajar akan berarti manakala terjadi
sebuah pemecahan masalah. Berangkat dari itu John Dewey juga merupakan reformator terhadap
peranan sekolah. Dewey berpendapat sekolah memegang peranan sentral dalam perjuangan menuju
masyarakat yang lebih baik, untuk itu anak didik harus dibekali, dilengkapi menghadapi masalah
sosial, dan tugas sekolah bukan memberi pengajaran (indoktrinasi) melainkan memampukan mereka
mengarahkan diri sendiri. Kurikulum mementingkan masalah sosial, lingkungan sekolah dan
masyarakat pada dasarnya satu, tidak terpisah, dimana terjadi interaksi, komunikasi, dan kerja sama.
Fungsionalisme berkaitan dengan teori pendidikan berasal dari Klickbard yang dikenal
sebagai pendidik sosial yang mengutamakan efisiensi. Klickbard berpendapat kurikulum bersumber
dari analisis fungsi-fungsi atau kegiatan-kegiatan penting orang dewasa. Pandangan ini dipengaruhi
oleh manajemen ilmiah Frederic Taylor yang menyatakan tiap tugas dapat dianalisis untuk mencapai
efisiensi optimal dengan mengamati pekerjaan yang terampil, mempelajari apa yang dilakukannya,
waktu yang diperlukan dan menghilangkan kesalahan-kesalahan atau gerak yang tak berguna.
Pandangan ini dipengaruhi pula oleh teori rangsangan reaksi (stimulus-respons R-S) Thorndike yang
mendukung pentingnya praktik atau latihan berhasil.
3. Konformisme Perkembangan (1941-1956)
Kaum developmentalis menaruh perhatian terhadap minat dan perkembangan anak
didik.Tokoh aliran ini adalah Havigurst, Piaget, Charles, A. Prosser, Hollis Caswell, dan Tyler.
Having Hurst mengajukan konsep tugas perkembangan. Tugas ini dimana kalau dia berhasil
melakukan tugas tersebut akan membawa kesenangan dan akan mudah menghadapi tugas berikutnya
dan sebaliknya kalau gagal akan membawa kepada ketidakbahagiaan. Tugas perkembangan
bersumber dari berbagai faktor, yaitu faktor biologis yang perannya untuk mematangkan tugas
sosialnya, dan selanjutnya pengaruh kebudayaan dan tuntutan masyarakat. Tokoh lain yaitu Charles
A. Prosser yang memperkenalkan pendidikan untuk penyesuaian hidup. Pendukung aliran ini
berpendapat bahwa tujuan sekolah adalah mengarahkan anak didik untuk program karier yang telah
ditetapkan. Tujuan keduanya adalah mengutamakan hasil berupa pengetahuan dan keterampilan yang
mempunyai nilai langsung bagi anak didik.
Tokoh lain adalah Ralph Tyler dan Hollis Caswell. Tyler mengatakan beberapa pertanyaan
mendasar yang harus dijawab dalam mengembangkan kurikulum. Pertanyaan pertamanya adalah apa
tujuan pendidikan yang diinginkan oleh sekolah untuk dicapai? tujuan pedidikan dapat dicapai
melalui 3 (tiga) sumber, yaitu: studi tentang anak didik, studi tentang civil sosaity, dan saran dari para
ahli pendidikan atau ahli mata pelajaran. Analisis komprehensif ini akan menghasilkan banyak tujuan,
untuknya para ahli dalam bidang kurikulum harus bisa memilih prioritas dengan mempergunakan
filterisasi antara filsafat pendidikan dan psikologi belajar. Pertanyaan kedua adalah bagaimana
pengalaman-pengalaman belajar dipilih untuk mencapai tujuan pendidikan? Untuk tujuan tertentu
anak didik harus mempraktikkan tingkah laku yang diinginkan. Anak didik harus mempunyai dan
memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas yang termasuk dalam tujuan kurikulum itu sendiri.
Pertanyaan ketiga adalah bagaimana pengalaman belajar dapat diorganisasi untuk pengajaran yang
efektif? Dalam hal ini pembinaan kurikulum mempertimbangkan kontinuitas, sekuens, dan integrasi.
Kontinuitas bersifat vertikal, menyatakan tingkat bahan, sekuens bersifat horisontal menunjukkan
peruntuhan bahan, sedangkan integrasi menunjukkan perpaduan bahan atau pengalaman, berarti juga
berbagai konsep, keterampilan dari berbagai disiplin saling tunjang-menunjang.
Pertanyaan keempat bagaimana keefektifan pengalaman belajar dapat dinilai? Dalam rangka
ini suatu tes yang baku dan dapat diandalkan perlu disusun. Hollis Caswell merupakan tokoh pertama
yang mengerti pentingnya peranan pengembangan staf sebagai fondasi untuk pengembangan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 58
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
kurikulum. Disamping itu tokoh lain developmentelisme adalah Piaget yang terkenal dengan
penyelidikannya mengenai tingkat perkembangan intelek anak. Piaget membagi perkembangan
intelek atas empat tingkat, yaitu: pertama, sensori-motorik, ditandai perkembangan penginderaan
anak didik untuk menghayati; kedua, praoperasional, dalam tahap ini anak didik belajar lambang
benda; ketiga, operasi konkret, pada tahap ini anak didik melakukan logika elementer (logik
mendasar), berdasarkan pertimbangan persepsi anak didik. Dalam hal anak didik yang melakukan
penyelidikan, mengadakan klasifikasi, penyusunan, urut-urutan objek, mengerti benda antara pikiran
dan perbuatan; keempat, operasi formal, pada tingkat ini anak didik mampu mengadakan abstraksi,
berfikir secara hipotetik, menganalisis, imajinasi, dan memecah masalah secara formal.
4. Strukturalisme (1957-1967)
Tokoh aliran ini adalah Jerome Bruner dan Joseph Schwab. Bruner menegaskan kurikulum
sekolah harus mementingkan dan memperlancar transfer dalam belajar. Transfer dapat dicapai jika
kurikulum membantu anak didik mengerti struktur disiplin, bukan mempelajari sejumlah fakta yang
saling tidak berhubungan. Joseph Schwab, berpendapat banyak cara untuk mengerti dunia ini, karena
itu dia memperkenalkan pendekatan yang lebih permisif-eklektif (terbuka dan berpendirian) yang
kemudian penyelidik mempelajari fenomena alam dan sosial dengan metode yang sahih. Bruner
menaruh perhatian pada struktur disiplin terutama pada bidang IPA yang mempunyai tuntutan
kebiasaan menggunakan pendekatan penyelidikan.
5. Radikalisme Romantik (1968-1974)
Aliran ini berusaha mengadakan eksperimen dalam rangka mengembangkan program sekolah
yang berpusat pada anak. Percobaan itu dalam bentuk sekolah alternatif, kelas terbuka, dan program
efektif. Tokoh yang terkenal adalah Carl Rogers, dan John Holt. Carl Rogersseorang ahli psikologi
dan konselor menganjurkan sekolah yang bebas dan kelas terbuka, dia merupakan pelopor mengajar
tidak langsung. Dia mengatakan pendidik merupakan fasilitator dan mengajar yang efektif adalah bila
ada harmoni, empati, dan kepercayaan, pendidik membimbing anak didik belajar bagaimana
menemukan, menyediakan sumber, yang dibutuhkan dalam penyelidikan, mengatur kelompok-
kelompok dalam kelas dan memperlancar evaluasi diri (self evaluation).John Holt memandang bahwa
pendidik adalah kurikulum itu sendiri. Bagi John sekolah tidak perlu memiliki pedoman tentang ruang
lingkup dan rentetan (sekuens), tujuan yang jelas, kegiatan belajar, yang spesifik tetapi yang
diperlukan adalah pendidik yang imijinatif yang dapat merancang lingkungan belajar dan dapat
melibatkan anak didik dalam belajar.
6. Konservatisme Privatistik (1975)
Aliran ini timbul di Amerika Serikat karena masyarakat sudah jemu dengan kekerasan,
percobaan, dan protes. Mereka mengharapkan perdamaian, stabilitas, dan nilai-nilai tradisional. Juga
pengaruh keyakinan agama yang menghendaki eliminasi aborsi, pembatasan homoseks, kembali pada
ajaran agama dan pendidikan agama di sekolah. Filsafat konservatif dikumandangkan oleh Presiden
Regan sebagai “the great communicator”. Periode ini ditandai atau dijuluki abad informasi di mana
98% rumah tangga memiliki televisi.Pendukung pendidikan konservatif memandang bahwa
kurikulum harus mempersiapkan anak didik untuk menjadi masyarakat berteknologi. Tokoh aliran
konservatif lain adalah Bloom (ahli psikologi, terkenal dengan taksonominya) dan Goodlad.
Goodlad dipandang sebagai ahli kurikulum yang memahami sekolah, mempunyai visi yang
jelas tentang sekolah dan mempunyai gagasan. Menurutnya ada beberapa usaha membangun sekolah
dalam mencapai tujuan yang dapat dilakukan, sebagai berikut. a. Mengusahakan keseimbangan
kurikulum dengan relokasi waktu untuk setiap bidang studi. b. Mengadakan pusat pembinaan
kurikulum, pusat pengembangan riset dalam lapangan kurikulum. c. Mengadakan sekolah perintis
dalam tiap daerah yang bertanggung jawab terhadap percobaan program baru yang
menyebarluaskannya. d. Memberi sekolah besar dalam bentuk unit yang lebih kecil untuk
memperoleh keuntungan yang kecil dalam yang besar. e. Mengembangkan kepemimpinan
pendidikan, menuju pengawasan dari sekolah senior untuk membantu sekolah yang muda. Dengan
demikian kurikulum merupakan proses pembelajaran (relations) yang terjadi antara pendidik dan
anak didik dalam atau luar sekolah yang dipimpin di bawah naungan sekolah/lembaga atau pendidik.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 59
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Untuknya kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU Sistem Pendidikan Nasional 2011:6).
Tujuan pendidikan yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa, dengan upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia, dalam
mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka dalam rangka untuk membentuk atau
menyusun rencana peningkatan dalam mengembangkan mutu sumber daya manusia, yaitu melalui 4
komponen dalam perencanaan SDM, diantaranya adalah Pengaturan Staf dalam rangka mengevaluasi
pekerja baru dan pegawai yang ada untuk bekerja di tatanan multibudaya. Rencana Manjemen Bakat
dalam rangka mencari bakat terbaik maka stakeholders perlu menyiapkan grafik pengganti, grafik
pengganti digunakan untuk memastikan bahwa perusahaan siap untuk mengisi jabatan utama ketika
pemegang jabatan pergi karena alasan apapun. Rencana Pelatihan, upaya ini untuk membantu
pegawai melihat dan menelaah bagaimana pendidik bisa masuk ke dalam gambaran besar yang
menghasilkan rencana-rencana SDM yang menekankan pada aktivitas pelatihan dalam membantu
pimpinan memainkan peran baru.
Rencana Pengembangan Kepemimpinan ketika perusahaan/lembaga (School) menjadi global,
prioritas utamaya adalah memenuhi tantangan kepemimpinan. Di samping menjawab pertanyaan
mengenai siapa yang akan memerankan kepemimpinan senior, rencana SDM memberikan cara untuk
memastikan bahwa orang yang tersedia memiliki kemampuan yang diperlukan untuk melakukan
pekerjaan tersebut. Aktivitas pengembangan kepemimpinan penting bagi lembaga-lembaga
pendidikan yang sasaran strategisnya adalah berkembang untuk menjadi lembaga yang multinasional
(Susan E. Jakson, et.al. 2010:123- 125).Keberadaan suatu perusahaan memiliki tanggug jawab sosial
untuk berkontribusi dalam hal kemajuan pendidikan nasional. Sesuai dengan deklarasi organisasi
buruh internasional 1998 bahwa pada abad ke-21 ini, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tidak
sebatas pada kesejahteraan pekerjanya saja, juga kepada masyarakat tempat perusahaan itu berdiri
dan berkiprah, lewat itu pula Janice Bellace, seorang ahli Studi Legal, Etika Berbisnis dan
Manajemen, dari The Wharton School, Universitas of Pennsylvinia Amerika Serikat, memberikan
kuliah umum di fakultas ekonomi dan bisnis Universitas Indonesia di Jakarta dengan judul CSR di
Abad ke-21 beliau menegaskan bahwa “Perusahaan tidak mungkin sukses apabila masyarakatnya
tidak stabil, maka perusahaan memiliki andil besar untuk membantu pembentukan masyarakat yang
baik” dan pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan masyarakat menuju abad-21
(Kompas, Rabu 11 Maret 2015:12).
Suatu kurikulum, apakah itu kurikulum untuk pendidikan dasar (SD), pendidikan menengah
atau pendidikan tinggi, kurikulum sekolah umum atau kejuruan merupakan penerapan dari teori-teori
atau aliran-aliran. Aliran-aliran tersebut merupakan hasil pengkajian dan pengembangan para ahli
kurikulum, karena meskipun kurikulum bukan suatu ilmu minimal suatu bidang studi yang akan
dipelajari. Ada 4 (empat) aliran atau teori pendidikan yang dipandang sebagai rencana konkret
penerapan suatu pendidikan (Nana Syaodih Sukmadinata, 1988:8-13), yaitu sebagai berikut.
1.Pendidikan Klasik (Classical Education)
Merupakan aliran pendidikan tertua, aliran ini bertolak dari asumsi bahwa seluruh
pengetahuan, ide-ide atau nilai-nilai telah ditemukan oleh ahli-ahli yang terdahulu. Pendidikan
berfungsi memelihara, mengawetkan, dan meneruskan semua warisan budaya kepada generasi
berikutnya. Pendidik tidak dipandang perlu untuk mencari atau menciptakan yang baru, karena
semuanya telah tersedia, tinggal menguasi dan mengajarkannya kepada anak didik. Pendidikan ini
pula lebih mengarahkan akan isi pendidikan daripada bagaimana mengajarkannya. Dalam konsep
pendidikan klasik, pendidik adalah expect atau ahli dalam bidang ilmu, tetapi juga contoh atau model
dari pribadi yang ideal. Anak didik merupakan penerima pelajaran yang pasif. Meski demikian, dalam
pendidikan klasik anak didik bekerja keras menguasai apa-apa yang diajarkan dan ditugaskan oleh
pendidik. Pendidikan lebih menekankan perkembangan segi-segi intelektual daripada segi emosional
dan psikomotorik.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 60
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
2. Pendidikan Pribadi (Prsonalized Education)
Pendidikan ini lebih mengutamakan peranan anak didik, pendidikan ini bertolak dari
anggapan dasar bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi untuk berbuat dan
memecahkan masalah serta belajar dan berkembang sendiri. Pendidikan laksana persemaian, hanya
berfungsi menciptakan lingkungan yang menunjang dan terhindar dari penyakit. Tugas pendidik
seperti halnya petani adalah mengusahakan tanah yang gembur, pupuk, air, udara yang sesuai dengan
kebutuhan dan minat anak. Anak didik menjadi subjek pendidikan, anak didiklah yang menduduki
tempat utama, dan pendidik menempati posisi kedua, bukan penyampai materi, tapi pendidik berubah
menjadi psikolog yang mengerti tentang segala kebutuhan dan masalah anak didik, berubah seperti
bidan yang membantu anak didik melahirkan segala ide-idenya. Ia pembimbing, pendorong, hingga
menjadi pelayan bagi anak didik.
3. Teknologi Pendidikan.
Pendidikan ini mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan
dalam mentransmisi informasi. Yang diutamakan oleh teknologi pendidikan adalah pembentukan dan
penguasaan kompetensi bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Teknologi pendidikan
lebih berorientasi pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dalam teknologi pendidikan,
pendidikan adalah ilmu bukan seni, pendidikan adalah cabang dari teknologi ilmiah. Dengan
pengembangan program desain ilmiah, pendidikan menjadi sangat efisien, dalam pengembangan
program desain teknologi pendidikan melibatkan penggunaan perangkat keras, alat-alat audio visual,
dan media elektronika. Karena sifat ilmiahnya, maka aliran ini mengutamakan segi-segi empiris,
informasi objektif yang dapat diamati dan diukur serta dihitung secara statistik. Teknologi pendidikan
kurang menghargai hal-hal yang bersifat kualitatif dan spiritual. Menurut mereka dunia ini adalah
dunia material dunia empiris. Meskipun kompleks, manusia tidak ada bedanya dengan binatang,
dalam mereaksi perangsang-perangsang dari lingkungannya.
4. Pendidikan Interaksional
Pembelajaran dalam model interaksional terjadi melalui dialog dengan orang lain, entah
dengan pendidik, teman, atau yang lainnya. Belajar adalah kerja sama dan saling ketergantungan
dengan orang lain. Anak didik belajar memperhatikan, menerima, kemudian menilai pendapat orang
lain, serta menyampaikan pendapat dan sikapnya sendiri. Pendidik menciptakan dialog yang saling
mempercayai dan saling membantu. Bahan ajar diambil dari lingkungan sosial budaya. Mereka diajak
untuk menghayati nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat, memberikan penilaian yang kritis, untuk
kemudian mereka kembangkan persepsinya sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan. Sekolah
berbeda dengan pendidikan tetapi mempunyai peranan penting dalam sistem masyarakat, ia
merupakan pintu untuk memasuki masyarakat, menentukan stratifikasi sosial dan memberikan
kesiapan untuk melakukan berbagai pekerjaan.
Sekolah menyiapkan anak didik dengan berbagai keterampilan sosial juga keterampilan kerja.
Lebih jauh sekolah juga berperan di dalam membina sikap positif terhadap dunia kerja, disiplin kerja,
dan lain sebagainya .Anak didik selalu berinteraksi dengan lingkungannya, selalu terjadi hubungan
timbal balik antara keduanya. Pandangan-pandangannya mempengaruhi bentuk dan pola lingkungan,
dilain pihak kekuatan dan keterbatasan lingkungan mempengaruhi individu. Lingkungan merupakan
bagian dari kehidupan. Menurut pendidikan interaksional kebenaran tidak akan diyakini apabila tidak
dicobakan dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Aliran ini pun bertolak dari pemikiran bahwa
kehidupan itu merupakan kehidupan bersama. Dalam kehidupan demikian manusia berinteraksi dan
bekerja sama dengan orang lain. Karena dengan kerja sama tersebut dapat hidup berkembang dan
memecahkan masalah. Pendidikan Interaksional mengkritik pelaksanaan pendidikan klasik dan
teknologi pendidikan. Menurutnya dalam pendidikan klasik dan teknologi pendidikan terjadi sepihak
dari pendidik kepada anak didik, sedangkan dalam pendidikan romantik dan progresif dari anak didik
ke pendidik.
Pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak (dari pendidik ke anak didik dan
dari anak didik ke pendidik), lebih luas lagi interaksi itu pun terjadi antara anak didik dengan bahan
ajar, lingkungan, dan pemikiran anak didik dengan kehidupannya, dan interaksi ini melalui dialog.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 61
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Pendidikan Interaksional menekankan belajar lebih dari hanya sekedar mempelajari fakta-fakta. Anak
didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretatif
yang menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Interaksi ini tidak hanya sekedar
pada tingkatan apa dan bagaimana, akan tetapi lebih jauh lagi akan tingkatan mengapa, yaitu tingkat
mencari makna-makna sosial dan makna-makna pribadi diri (self).
Daftar Pustaka
______. (2010). Amandemen Undang-Undang 1945 “Dilengkapi: Sejarah Bedirinya NKRI, Daftar
Wilayah NKRI, Daftar Presiden & Wakil Presiden, Pemilu Di Indonesia”. (Cetakan
Kedua).Yogyakarta: New Merah Putih.
______. (2011). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. (Cetakan Keempat). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
______. (2012). Undang-Undang Guru dan Dosen. (Cetakan Ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, S. 2001. Sejarah Pendidikan di Indonesi Ed. 2. (Cetaka Kedua). Jakarta: Bumi Aksara.
Kompas.2015. Tanggung Jawab Sosial Jaringan Peningkat Kualitas SDM Dibutuhkan. Jakarta:
Kompas “Amanat Hati Nurani Rakyat”. Rabu 11 Maret 2015.
Kaber, Ichasius. 1988. Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (P2LPTK).
Kesowo, Bambang. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Diundangkan di Jakarta pada Tanggal 8 Juli 2003: Sekertaris
Negara Republik Indonesia.
Jackson, Susan. E. et.al. 2010. Managing Human Resource. Alih Bahasa oleh Benny Prihartanto
Menjadi: Pengelolaan Sumber Daya Manusia. (Edisi Kesepuluh). Jakarta: Salemba Empat.
Freire, Paulo. 2002. The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation. Diterjemahkan oleh:
Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, menjadi “Politik Pendidikan: Kebudayaan,
Kekuasaan, dan Pembebasan”. (Cetakan Ketiga). Yogyakarta: ReaD Bekerja Sama dengan
Pustaka Pelajar.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 1988. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan).
Tobing, Paul L. 2007. Knowleadge Management: Konsep, Arsitektur, dan Implementasi. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2357-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 62
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
The Uses of Scientific Approach In English Teaching Based
On Curriculum 2013 At Senior High School Level
Arif Rahman
Dosen Pascasarjana IKIP Mataram
Abstracts; This study examine the use of scientific Approach in teaching english based on
curriculum 2013 by teachers. Moreover, the study describes the teachers’ perception, difficulties
and the its solutions in teaching english, using Scientific Approach. This study is a descriptive
qualitative research;. The subjects were four English teachers of SMA Al Wildan Tangerang. The
teachers were teaching the topic of “Reported Speech” for the XI grade students in the Academic
Year 2016/2017. The data were gathered from interviews with teachers, observation of teaching
learning process, and the teachers’ lesson plan. The findings shown that firstly, the procedures of
teaching English using Scientific Approach conducted by teachers consisted of: observing,
questioning, experimenting, associating, and communicating; secondly, the teachers shared similar
perception in which the Scientific Approach is regarded as an approach that integrate students’
attitude, skills, and knowledge by implementing observing, questioning, experimenting, associating,
and communicating in the teaching learning process; thirdly, the difficulties faced by the teachers in
applying Scientific Approach were: the students’ lack of critical thinking, the students’ difficulty in
finding the answer of the problem, the students’ weaknesses in analyzing the material, and the
students’ lack of vocabulary mastery; and fourth, the teachers’ strategies to cover the problem in
using Scientific Approach, i.e. engage and triger the students’ motivation to be more active in
learning, give some stimulating questions related to the material, give comparisons of the recent
material with the previous materials, and translate the difficult words within the text.
Keywords :Scientific Approach, teaching english, teacher perception, and difficulties
INTRODUCTION
Curriculum is a fundamental part of educational program. Curriculum refers to the means
and materials with which students will interact for the purpose of achieving identified educational
outcomes (www.education.com). As stated in the Law No.20/2003 about National Education
System, the curriculum is a set of plans and arrangements regarding the purpose, content, and
teaching materials and methods used as guidelines for use learning activities to achieve specific
educational goals. In 2013, the Indonesian Government released the Curriculum 2013. The
Curriculum 2013 is the development of the 2006 Curriculum or well known as Curriculum-based
Competence. In the Regulation issued by the Minister of Education and Culture (Permendikbud)
No. 81a/2013, it is stated that the process learning according to the curriculum 2013 is a process of
education provide opportunities for students to be able to develop any pattern learning that occurs
inside the twoway interaction between teachers and student, meaning that teachers do not have to
always be the more dominant (author translation). The curriculum determines the process of
educational outcomes. The strategy of effective and efficient curriculum implementation in learning
is very necessary to achieve educational goals.
The paradigm of teaching learning process must be developed. It frames the teaching
learning process by focusing on students as the subject who is actively involved in the teaching
learning process, so it is also known as student-centered curriculum. The curriculum is implemented
to adjust the development of science and technology, to develop educational program, and to
improve the quality of human resource. As stated in litbang.kemdikbud.go.id, Curriculum 2013 is a
concept of education and culture that develop the students’ probity characteristic (author
translation). The teacher must stimulate students to observe, make question, associate, experiment,
and then communicate. All those steps are called as Scientific Approach. Curriculum 2013 aims to
prepare the Indonesian people to have the ability to live as individuals and citizens who believe,
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2357-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 63
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
productive, be creative, be innovative, and be affective and be able to contribute to society, nation,
state, and world civilization (Permendikbud 70/2013). Curriculum 2013 defines the appropriate
Graduates’ Competency Standards as the criteria regarding the qualifications of graduates’
capabilities that include attitudes, knowledge, and skills (Sani, 2015: 45).
As stated in Teacher’s Materials of Curriculum 2013 Workshop 2015 (Materi Pelatihan
Guru Kurikulum 2013 Tahun 2015, 2015: 11), Curriculum 2013 is designed with the following
characteristics: (1) Develop a balance between the development of spiritual and social attitudes,
curiosity, creativity, cooperation with intellectual and psychomotoric abilities; (2) The school is part
of the community that provide a planned learning experience where learners apply what is learned
in school into the community and take advantage of the community as a learning resource; (3) Give
the flexible time to develop the attitudes, knowledge, and skills; (4) Develop the competencies that
are expressed in the form of class core competencies further specified in the basic competency
subjects; (5) Develop the core competencies into the element organizer (organizing elements) basic
competence, where all basic competencies and learning processes developed to achieve competence
stated in core competencies; (6) Develop the basic competence to the principle accumulatively,
mutually reinforcing and enrich between subjects and levels of education (organization horizontal
and vertical) (author translation).
Curriculum 2013 defines the appropriate Graduates’ Competency Standards, which are the
criteria regarding the qualifications of graduates’ capabilities that include attitudes, knowledge, and
skills (Sani, 2015: 45). Teaching – learning process in Curriculum 2013 must use a Scientific
Approach or a science-based approach, including teaching English. The Scientific Approach can
use several strategies like contextual learning. This learning model is a form of learning that has a
name, characteristics, syntax, settings, and culture, for example: discovery learning, project-based
learning, problem-based learning, and inquiry learning. Scientific Approach is believed to be the
golden bridge and the development of attitudes, skills and knowledge of students. In the approach
or process that meets the criteria of scientific work, scientists put forward the inductive reasoning
compared with deductive reasoning. Deductive reasoning look at general phenomenon then draw
the specific conclusions. In the contrary, inductive reasoning look at the phenomena or specific
situation then draw conclusions overall. The steps for conducting Scientific Approach in the
learning process includes digging through observation, questioning, trial, and then process the data
or information, presenting data or information, followed by analyzing, reasoning, then concluded,
and creates (Daryanto, 2014: 59). There are five steps on Scientific Approach, namely: observing,
questioning, collecting information or experimenting, associating or information processing, and
communicating (Fauziati, 2014: 157). Sani (2015: 50) explained that Scientific Approach involves
observation activities which are needed to formulate a hypothesis or collect data. The scientific
method is generally based on the exposure data obtained through observation or experiment.
Therefore, activity experiments can be replaced with an activity to obtain information from various
sources.
Fauziati (2014: 157) explained that scientific teaching approach is an approach of teaching
which is designed with the same rigor as science at its best; learners make observations, develop
hypotheses about phenomena, devise tests to investigate their hypotheses, and communicate their
findings to others. With this nature, scholars believe that Scientific Approach as a teaching method
could encourage learners to be curious toward science, to improve their oral communication and
critical thinking.
In conducting Scientific Approach, the teaching procedures hold the big role. Fauziati (2014:
14) defined the procedure as classroom techniques, practices, and behaviors observed when
method is used: resources in terms of time, space and equipment; interactional patterns observed in
lessons; tactics and strategies used by teachers and learners when the method is being used. In a
learning process, teachers should select and determine appropriate teaching procedures, such as
approach, strategies and methods of teaching in order that the learning objectives will be achieved
successfully.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2357-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 64
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Teacher’s perception of Scientific Approach also has the big role to attach the successful on
teaching learning process. Rao and Narayan (1998: 329-330) stated that perception is the process
whereby people select, organize, and interpret sensory stimulations into meaningful information
about their work environment. They argued that perception is the single most important determinant
of human behavior, stating further that there can be no behavior without perception. Rosyida (2015:
11) described the importance of teachers’ perception. She stated that teachers are one of the most
important personnel in educational system who are in the front line of education, heavily involved
in various teaching and learning process, and also the final practitioners of educational principles
and theories. Factors influencing teachers’ perceptions can be from personal experience, experience
with schooling and instruction, experience with formal knowledge both school subjects and
pedagogical knowledge that influence practices of teaching and learning, students’ ability and
situation (Richardson in Rosyida, 2015: 13). Barcelos in Rosyida (2015: 12) states that language
teachers’ perception influence what language teachers do in the classroom.
This study focuses on : (1) the procedures used by the teachers in applying Scientific
Approach used in English teaching based on the Curriculum 2013?; (2) the perceptions of teachers
in applying Scientific Approach used in English teaching based on the Curriculum 2013?; (3) What
are the difficulties faced by the teachers in applying Scientific Approach used in English teaching
based on the Curriculum 2013?; (4) How do the teachers solve the difficulties in applying Scientific
Approach used in English teaching based on the Curriculum 2013? SMA Al Wildan Tangerang has
adopted the international curriculum to promote its school programme that is required for all level
students to learn English. According to Permendikbud 70/2013, all vocational schools should
implement Curriculum 2013. One of the approaches in Curriculum 2013 is Scientific Approach.
Therefore, it is interesting to investigate how the Scientific Approach is implemented in SMA Al
Wildan Tangerang.
METHOD
This study conducted a descriptive qualitative research to describe the use of Scientific
Approach in SMA setting. Creswell (2012:19) states that in qualitative research, statistics does not
intend to analyze the data, instead, the inquirer analyzes words (e.g., transcriptions from interviews)
or images (e.g., photographs). In this study, the data were in the form of interview script,
observation report, and documentation of lesson plan. The research was conducted in SMA at
Tangerang on April 1st to June 30th, 2017. The object of research was the use of Scientific
Approach based on the Curriculum 2013.
The subjects of the current study were four English teachers of SMA Al Wildan Tangerang
who were teaching the same material to the same level.
The data of the research were the information concerning the strategy and the difficulties on
teaching learning process, and the perception of English teacher in applying Scientific Approach
based on Curriculum 2013. The current study used three techniques for collecting data, these being:
Interview was used to report the information about teachers’ perception of Scientific Approach, the
difficulty in applying Scientific Approach, and the solution to overcome the problems in applying
Scientific Approach; Observation was used to obtain the data concerning on the procedure in
applying Scientific Approach, the difficulty in applying Scientific Approach, and the solution to
overcome the problem in applying Scientific Approach; Review of teachers’ lesson plan to
complete the information that was obtained through observation and interview.
Data Analisis
This section out lined the data analysis dealing with data data gathering from interview and
observation of teaching learning process. the data analisis are lay out as bellow.
The teachers’ procedures in applying Scientific Approach in English teaching based on the
Curriculum 2013
To find out the procedures used by teachers in applying Scientific Approach, the researcher
run observation. The observation was conducted for four times with four different teachers (T1, T2,
T3, and T4) teaching the same level. The result of observation is summarized in the following table:
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2357-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 65
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Table 1. Teaching Procedure
Procedure T1 T2 T3 T4
Observing Wrote some
dialogues
related to the
material on the
whiteboard
Made
conversation
with students
related to the
recent material
Asked students
to
make
conversations
related the
material
Wrote some
sentences related
to the material.
Questioning Asked the students to make questions related with the material
Experimenting Divided students
into groups.
Each
group had to
find
out the rule of
Reported
Speech
Divided students
into group to
divide the
Reported
Speech
statement
Asked each
student to find
out the alteration
of sentences to
Asked students to
arrange Reported
Speech based on the
written statements
Reported Speech on
the whiteboard
Associating Asked the
students
to work in group
to
analyze
expressions
of Reported
Speech
Asked students
to
make
expressions
of Reported
Speech
Asked students
to analyze
Reported Speech
based on the
pieces of paper
Asked the students
to analyze the
grammar alteration
of Reported Speech
Communicating Asked students to present their result of discussion
The results of observation were also supported by the lesson plans written by teachers. For example,
in Observing phase, T1 gave picture to the students, the student clearly get poin of the main idea of
the text:
Mengamati :
Dalam kelompok, peserta didik mengamati gambar dan dibimbing oleh guru peserta didik belajar
menemukan gagasan pokok dari teks yang menyertainya dan mendiskusikan beberapa kosakata.
(Lesson Plan T1: p.3)
Observing:
(In group, students observe the pictures, and are guided by teacher to learn how to find the main
idea based on the related texts and discuss some vocabularies)
Similarly, Communicating phase was also reflected in T4’s lesson plan, as illustrated below:
Mengkomunikasikan
Mempraktekkan hasil diskusi masing-masing kelompok secara bergantian (Lesson plan T4: p5)
Communicating:
(Students present the result of discussion in turn)
Based on the observation, the four teachers conducted similar procedures in applying
Scientific Approach, these being: Observing, Questioning, Experimenting, Associating, and
Communicating. This is in accord with Sani (2015: 53) who stated that Scientific Approach can be
implemented in teaching learning process through the following steps: 1) observing; 2) questioning;
3) experimenting; 4) associating; and 5) communicating. Similarly, the findings also resonates
Istiqomah’s research (2015) in which the teachers in her study implemented all steps of Scientific
Approach: Observing, Questioning, Experimenting, Associating, and Communicating. The finding
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2357-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 66
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
of the current study indicated that the four teachers have understood the concept of Scientific
Approach as well as how to implement it in the class.
The teachers’ similar procedure regarding the use of Scientific Approach is possibly
influenced by professional development they have attended before. Based on the data from
interviews, all teachers have attended workshop on the use of Curriculum 2013, therefore, it is
possible that the teachers had good understanding regarding how the Scientifc Approach should be
implemented in teaching learning process. This is also supported by Purnamawati’s findings
(bdkpadang.kemenag.go.id) in which the workshop had significant impact on teachers’ teaching
competence.
Based on the observation, the four teachers conducted similar procedures in applying
Scientific Approach, these being: Observing, Questioning, Experimenting, Associating, and
Communicating. This is in accord with Sani (2015: 53) who stated that Scientific Approach can be
implemented in teaching learning process through the following steps: 1) observing; 2) questioning;
3) experimenting; 4) associating; and 5) communicating.
Similarly, the findings also resonates Istiqomah’s research (2015) in which the teachers in
her
study implemented all steps of Scientific Approach: Observing, Questioning, Experimenting,
Associating, and Communicating. The finding of the current study indicated that the four teachers
have understood the concept of Scientific Approach as well as how to implement it in the class.
The teachers’ similar procedure regarding the use of Scientific Approach is possibly
influenced by professional development they have attended before. Based on the data from
interviews, all teachers have attended workshop on the use of Curriculum 2013, therefore, it is
possible that the teachers had good understanding regarding how the Scientifc Approach should be
implemented in teaching learning process. This is also supported by Purnamawati’s findings
(bdkpadang.kemenag.go.id) in which the workshop had significant impact on teachers’ teaching
competence.
The Teachers’ perceptions in applying Scientific Approach in English
teaching based on the Curriculum 2013
To find out the perceptions of teachers in applying Scientific Approach used in English
teaching based on the Curriculum 2013, the researcher conducted semi-structured interview to all
teachers. In semi-structured interviews, the researcher asked seven questions regarding the teachers’
perceptions of the use of Scientific Approach in their classes. The interviews were conducted in the
different place and different time. The results of the interviews can be summarized in the following
table:
Table 2. Teacher’s Perception
Teachers Perception
T1
An approach on teaching learning process which uses Scientific Approach
that want to raise 3 domains: affective, cognitive, and psychomotor.
Teaching learning process will produce the productive, creative, innovative,
and effective students by strengthens of integrated attitude, skill, and
knowledge.
T2 An approach on learning with scientific process that the strategy used is
contextual learning such as: Discovery Learning, Project Based Learning,
Problem Based Learning, and Inquiry Learning.
T3 A learning that uses Scientific Approach based on 3 areas: affective,
cognitive, and psychomotor. To create the productive, creative, and
innovative students not only on science or skill but also on attitude.
T4 A learning approach with scientific process which uses contextual learning
strategies such as: Discovery Learning, Project Based Learning, Problem
Based Learning, and Inquiry Learning.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2357-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 67
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Based on the results of interviews, the four teachers shared similar perceptions about
Scientific Approach. In their point of view, Scientific Approach is an approach that integrating
students’ attitude, skills, and knowledge by implementing observing, questioning, experimenting,
associating, and communicating on teaching learning process. The findings are in line with
Ariyati’s study (2015) in which the teachers believed that Scientific Approach is conducted through
a sequence of steps: Observing, Questioning, Experimenting, Associating, and Communicating.
This study reveal that the four teachers got and used the concept of Scientific Approach. The
teachers’ similar perception regarding the use of Scientific Approach is possibly influenced by
professional development they have attended before. Based on the data from interviews, all teachers
have attended workshop on the use of Curriculum 2013, therefore, it is possible that the teachers
had good understanding regarding what the Scientific Approach is. In addition, the location of the
school being investigated was in the metro area, hence, it is possible that the teachers had more
access to professional development than those who were teaching in rural area.
The teachers’ difficulties in applying Scientific Approach in English teaching based on the
Curriculum 2013
Interview and observation were conducted to find the data concerning the difficulties in
applying Scientific Approach used in English teaching based on the Curriculum 2013. In this case,
the difficulties faced by the teachers in applying 5 steps of Scientific Approach: Observing,
Questioning, Experimenting, Associating, and Communicating. Beginning from Questioning phase,
the teachers had difficulty in asking students to make question. In Experimenting phase, the teacher
had difficulty in motivating the students to work independently. In Associating phase, the teacher
found it hard to invite the students to analyze the material. In motivating phase, the students to
present their work in English. There were four factors contributing to the teachers’ difficulties in
implementing Scientific Approach, these being: the students’ lack of critical thinking; the students’
difficulty in finding the answer; the students’ inability in analyzing the material; and the students’
lack of vocabulary mastery.
The situations is maybe due to several factors. First, it is possible that the students are still
influenced by language teaching method focusing in structure aspects and reading comprehension,
therefore, the students’ still have difficulties in the productive language skills. Second, it is also
possible to assume that the students’ previous education was still influenced by teacher-centered
method, consequently, the students’ critical thinking hampered. Fourth, environtment surrounding
the students does not allow them to practice English, hence thery are not motivated to practice
English and tend to be passive in the class. This is also supported by Astuti’ study (2013) in which
the students were lack of motivation because they don’t have friends to talk. Similarly, Exley
(2005) characterized Indonesian students as passive, shy, and quiet.
The teacher solutions to cover the problem in applying Scientific Approach in English
teaching based on the Curriculum 2013
Based on the interviews conducted with the four teachers, the strategies used by then teachers to
solve the problems mentioned in 3.3 are presented on the following table:
Table 3. Teachers’ Solutions
Step T1 T2 T3 T4
Questioning Gave motivation to the students to make them more active.
Experimenting Gave the students
some stimulating
questions related
to the material
Gave the
questions related
to the material
material
Gave some
questions and
examples related
to the recent
Gave some
questions
related
to the recent
material
Associating Gave comparison
of the current
material to the
previous materials
Asked students
to
compare the
previous
material
Asked the
students to
compare the
materials related
to the recent
Gave the
students
the comparisons
of the materials
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2357-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 68
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
with the recent
material
material
Communicating Gave students the
correct words or
sentences while
they speak the
wrong words
Translated the
students’
missing
word or
sentences
Translated the
difficult words
Translated the
difficult words
in
presentation
The results of the study are also found in Apriani’s research (2015). In her research, the
teachers stated that they implemented Scientific Approach by asking the students to observe and
identify the objects of observation in observing stage; giving opportunity to the students to ask in
questioning stage; giving time and facilitating students to find the information related to the
material; asking the students to discuss the information that was received in the group discussion
and designing the discussion result that would be presented in communicating stage.
The similar ways of teachers to overcome the difficulties in applying Scientific Approach,
maybe due to the same workshop of Curriculum 2013 they had attended before the current study
was conducted. This is also supported by Purnamawati’s findings. (bdkpadang.kemenag.go.id) in
which the workshop had significant impact on teachers’ teaching competence.Secondly, since the
four teachers are teaching in the same school it is possible to assume that they experience similar
culture that influence their perception. As claimed by Richardson (in Rosyida, 2015: 13), factors
that influence teachers’ perceptions can be from personal experience, experience with schooling and
instruction, experience with formal knowledge both school subjects and pedagogical knowledge
that influence practices of teaching and learning, students’ ability and situation.
CONCLUSION
There were procedures used by teachers in teaching English based on scientific approach:
Observing, Questioning, Experimenting, Associating, and Communicating. Those steps were
written in the lesson plan as the rule of teacher in conducting teaching learning process. It can be
concluded that the teachers perceived Scientific Approach as an approach used in teaching learning
process focusing on three domains: affective, cognitive, and psychomotor and hoped to create the
productive, creative, and innovative students not only on science or skill but also on attitude. The
difficulties faced by teachers in implementing Scientific Approach were: the students’ lack of
critical thinking; the students’ difficulty in finding the answer of the problem; the students’s
inability in analyzing the material; and the students’ lack of vocabulary mastery. The solutions used
by the teachers to overcome the problem in applying Scientific Approach were: motivating the
students to be more active in learning, giving some stimulates questions related to the material,
comparing between the recent material and the previous materials, and translating the difficult
words found by the students.
Since the current study investigating the teachers in the same school, it is possible that the
contexts where they are teaching influenced the way they responded the interviews. Hence, it is
more interesting to include teachers from different schools in the future studies to get rich and
comprehensive information. In addition, the next research can employ survey using questionnaire to
obtain general pattern from the wider teachers’ population.
REFERENCES
Astuti, D.K. (2013). The Gap between English Competence & Performance (Performance: The
Learners` Speaking Ability). Jakarta: State Islamic Jakarta University
Briggs, Martin.Master Of Second Language Teaching, :the Roles of Teachers, Students, and the
Classroom Environment" (2014). Utah University. digitalcommons.usu.edu/viewcontent
Creswell, J.W. (2003). Research Design Qualitative, Quantitative and Mixed Method Approaches
(2nd Edition) Thousand Oaks.CA: Sage Publication.
Permendikbud No. 81a/2013 tentang Implementasi Kurikulum.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2357-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 69
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Rao, V. S. P. And Narayana, P. S. (1998). Organization Theory and Behaviour, Delhi: Konark
Publishing Company.
Daryanto (2014). Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013. Yogyakarta: Penerbit Gava
Media
Fauziati, E. (2014). Method of Teaching English as a Foreign Language (TEFL): Traditional
Method, Designer Method, Communicative Approach, Scientific Approach. Surakarta: Era
Pustaka Utama
Istiqomah, N. (2015). Teacher’s Attitude toward the Implementation of Scientific Approach of
Curriculum 2013 to teach English (A Case Study of the Seventh Grade Class of Junior High
Schools in Surakarta in the Academic Year of 2013/2014). Surakarta: Universitas Sebelas
Maret
Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Tahun 2015, Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Rosyida, M.R. (2013). Teachers’ Perception toward the Use of English Textbook. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Richard, C. Jack and Rodger. S.Theodore (2001). Approaches and methods in language teaching.
Cambridge
university press.
Sani, R.A. (2013). Pembelajaran Saintifik Untuk Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi
Aksara
Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional www.bdkpadang.kemenag.go.id
accessed on August 10th, 2017 at 2.30 p.m
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 70
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
ANALISIS KARAKTER PESERTA DIDIK KELAS V PADA PEMBELAJARAN
PENJASKES DI SEKOLAH DASAR NEGERI
SE-KECAMATAN SEKARBELA
Arif Yanuar Musrifin1; Andi Anshari Bausad2
1,2Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, FPOK IKIP Mataram
e-mail: [email protected]
Abstrak: Pendidikan pembelajaran penjaskes memberikan sokongan terhadap perkembangan
karakter. Pelaksanaan proses pembelajaran yang ada di sekolah dasar memang merupakan poin
penting untuk membentuk pendidikan karakter siswa, namun hal ini juga didukung oleh peran guru,
perangkat pembelajaran seperti apa yang sudah dibuat sebagai pijakan atau dasar untuk mengajar.
Melalui pembelajaran Penjaskes, karakter peserta didik sekolah dasar negeri di Kecamatan Sekarbela
akan terbentuk dengan baik. Tujuan penelitian ini yang akan dicapai adalah (1) Mengukur hasil proses
pembelajaran penjaskes melalui penerapan kurikulum pendidikan karakter pada karakter peserta
didik kelas V se Kecamatan Sekarbela. (2) Mengidentifikasi nilai pendidikan karakter yang dicapai
melalui pembelajaran penjaskes melalui penerapan kurikulum pendidikan karakter peserta didik kelas
V se Kecamatan Sekarbela. Metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif-kuantitatif. Penelitian
ini adalah penelitian populasi yang mengikutkan keseluruhan jumlah populasi sebagai sampel,
sekolah dasar negeri yang ada di Kecamatan Sekarbela sebanyak 16 sekolah. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini meliputi metode Dokumentasi, Wawancara, Kuesioner atau Angket dan
Observasi. Instrumen Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan kuesioner nilai-nilai pendidikan
karakter penelitian. Teknik analisis data, dalam penelitian ini statistik deskriptif yang. Hasil Penelitian
(1) Rerata total hasil nilai-nilai pendidikan karakter di Kecamatan Sekarbela sebesar 77,86 (2) Rerata
total prosentase setiap nilai-nilai pendidikan karakter di Kecamatan Sekarbela, kategori sikap nilai
jujur sangat baik 61,47 %, baik 24,26 %, kurang 10,61 %, kurang 0,19 %. Kategori sikap nilai hormat
sangat baik 56,64 % baik 29,11 %, kurang 13, 73 %, sangat kurang 0,52 %. Ketegori sikap nilai
tanggung jawab sangat baik 34,42 %, baik 41,45 %, kurang 27,05 %, kurang sekali 0,67 %. Kategori
sikap nilai adil sangat baik 46,14 %, baik 32,41 %, kurang 19,26 %, kurang sekali 2, 19 %. Kategori
sikap nilai peduli sangat baik 48,37 %, baik 38,24 %, kurang 13,40 %, kurang sekali 0 %. Ketegori
sikap nilai kewarganegaran sangat baik 58,58 %, baik 25,57 %, Kurang 15,01 %, Kurang sekali 0,84
%. Kesimpulan (1) Hasil proses pembelajaran penjaskes melalui penerapan kurikulum pendidikan
karakter pada karakter peserta didik kelas V se Kecamatan Sekarbela dalam kategori sangat baik. (2)
Nilai-nilai Pendidikan Karakter yang dicapai melalui pembelajaran penjaskes melalui penerapan
kurikulum pendidikan karakter pada karakter peserta didik kelas V se Kecamatan Sekarbela adalah
nilai jujur, hormat dan kewarganegaraan dalam kriteria interprestasi skor baik.
Kata Kunci: Karakter, Peserta Didik, Penjaskes
PENDAHULUAN
Pelaksanaan proses pembelajaran yang ada di sekolah dasar memang merupakan poin penting
untuk membentuk pendidikan karakter siswa, namun hal ini juga didukung oleh peran guru, perangkat
pembelajaran seperti apa yang sudah dibuat sebagai pijakan atau dasar untuk mengajar. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Zulnuraini, 2012. Pendidikan karakter: Konsep, Implementasi dan
Pengembangan di sekolah dasar di kota Palu. (Jurnal DIKDAS, No. 1 Vol. 1). Pertama, bahwa guru
merupakan faktor penting penentu keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. Kedua,
Muatan pendidikan karakter dalam pembelajaran yang benar-benar terlihat adalah nilai jujur, peduli,
tanggung jawab, disiplin dan rasa hormat. Sedangkan nilai tekun, dapat dipercaya, berani, kelulusan,
ketelitian, dan kewarganegaraan tidak terlihat. Ketiga, nilai karakter yang diutamakan di sekolah
disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta masalah yang sering terjadi di sekolah religius, peduli
lingkungan, disiplin, dan gemar membaca.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 71
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Peserta didik pada kelas V atau diusia 10-12 tahun merupakan tahap peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa remaja awal yang merupakan kondisi dimana pertumbuhan dan perkembangan
peserta didik akan mengalami banyak perubahan. Dalam masa peralihan inilah banyak perubahan
yang terjadi dalam diri peserta didik. Perubahan kognisi, psikologis, emosi, perasaan, perilaku seksual
dan lain-lain memberi dampak yang sangat besar terhadap pengaruh kualitas karakter peserta didik.
Transisi keluar dari masa kanak-kanak menjadikan peserta didik untuk tumbuh dan berkembang
dengan resiko yang cukup besar. Sebagian peserta didik kesulitan menangani begitu banyak
perubahan yang terjadi dalam satu waktu dan mungkin membutuhkan perhatian untuk menghadapi
perubahan-perubahan tersebut.
Melalui analisis karakter peserta didik kelas V pada pembelajaran Penjasorkes di sekolah
dasar negeri akan menjadi pemetaan nilai-nilai karakter siswa se Kecmatan Sekarbela yang nantinya
ada menjadi bahan evaluasi untuk ke depannya, sehingga ada pembenaran atau perbaikan proses
pelaksanaan pembelajaran Penjasorkes yang ada di sekolah dasar negeri se Kecamatan Sekarbela.
KAJIAN LITERATUR
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dalam membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ada tiga isu dalam dunia pendidikan saat ini, yakni
visi, berkaitan dengan ke mana generasi ini akan diarahkan, arah hidup mereka; isu kedua adalah
kompetensi, berkaitan dengan kualitas keterampilan dan pengetahuan yang akan menjadi bekal
generasi muda; isu ketiga adalah karakter, berkaitan dengan kualitas pribadi untuk menjadi anggota
masyarakat yang unggul (Huiit,2000, dalam Cholik,2011:39).
Muh. Yusuf, 2012. (Membangun karakter peserta didik melalui pendidikan karakter Jurnal
Ilmiah SPIRT, Vol. 12 No. 1 Tahun 2012) Keunggulan pendidikan olahraga dalam pembentukan
karakter terletak pada konkretisasi nilai-nilai ke dalam perilaku sehari-hari. Hal ini merupakan ciri
yang tidak mudah dilakukan pada subtansi lain dalam kurikulum dan pembelajaran yang cenderung
teoritik, abstrak dan verbalistik. Untuk itu sebagai orang tua dan guru pendidikan jasmani memiliki
kewajiban menanamkan, budaya dan melestarikan pendidikan karakter melalui aktivitas jasmani serta
pendidikan jasmani.
Peserta kelas didik kelas V merupakan klasifikasi kolompok umur ketiga apabila dilihat dari
kegemaran terhadap permainan, dalam mengikuti kelas Penjasorkes tidak hanya untuk kegembiraan,
tetapi peserta didik kelas V merupakan tingkatan yang paling Terakhir dalam jenjang pendidikan
sekolah dasar, sehingga mereka sudah memiliki keterampilan dan ketangkasan sudah mulai lebih baik
sudah bisa berfikir tentang kesiapan dirinya dalam mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani,
olahraga dan kesehatan. Pembelajaran Penjaskes di sekolah dasar sendiri merupakan salah satu sarana
yang penting untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan siswa dalam kehidupannya. Khusus
untuk kurikulum penjas telah mengalami perubahan nama mata pelajaran dan subtansinya mulai
dengan mata pelajaran dan subtansinya, mulai dengan istilah pendidikan jasmani olahraga kesehatan,
penjas dan Terakhir pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan. Pergantian nama kurikulum penjas
ini, berkonsekuensinya kepada perubahan berbagai infra struktur pembelajaran mulai dari penentuan
tujuan, penentuan isi, proses (strategi pendekatan) serta evaluasinya (Rukmana, 2008).
Dalam penyelenggaraan pendidikan karakter maka harus diketahui nilai-nilai apa yang
kemudian terkandung dalam pendidikan karakter itu sendiri. Hal ini penting agar kita mampu
mengetahui indikator-indikator dari setiap nilai pendidikan karakter agar nantinya kita akan lebih
mudah untuk menanamkan nilai-nilai tersebut kepada para peserta didik tentunya dalam proses
pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan sebagai media pengembangan pendidikan
karakter. Ada enam macam pilar karakter, dua pilar versi Lickona (1991) yakni hormat dan tanggung
jawab, dan empat pilar lainnya versi Marteens (2004) yakni peduli, jujur, adil dan warga negara yang
baik. Dari penjelasan pilar dan komponen pendidikan karakter diatas maka pilar-pilar tersebut dapat
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 72
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
dijadikan landasan untuk mengembangkan pendidikan karakter, baik itu dalam lingkungan keluarga,
masyarakat, maupun di sekolah. Dengan pola pendidikan yang dirancang dengan tepat dan terarah
diharapkan semua pilar tersebut dapat dikembangkan secara bersamaan dalam praktik kehidupan
mereka sehari-hari. Dengan pemberian contoh dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari maka
akan sangat memungkinkan pilar-pilar tersebut dapat dikembangkan dan memberi kontribusi
terhadap pendidikan karakter itu sendiri.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kuantitatif. Penelitian deskriptif karena
variabel utamanya adalah pendidikan karakter dan tidak ada perbandingan dengan variabel yang lain.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik
satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau penghubung dengan variabel
lain (Sunarno dan Sihombing: 2011). Pendekatan kuantitatif karena data utama yang akan didapatkan
berupa angka yang akan diolah melalui perhitungan statistik.
A. Subyek Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian populasi, dimana mengikutkan keseluruhan jumlah
populasi menjadi sampel penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa sekolah dasar negeri
kelas V se Kecamatan Sekarbela yang berjumlah 17 sekolah.
B. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian digunakan untuk melakukan pengukuran dengan menghasilkan data
kuantitatif yang akurat. Instrumen dalam penelitian ini berupa Kuesioner (angket), kuesioner
merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan
atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2012). Instrumen Kuesioner
dalam penelitian ini mengunakan kuesioner nilai-nilai pendidikan karakter penelitian Bausad, 2012.
Implementasi model pembelajaran kooperatif pada pembelajaran penjasorkes memberikan perubahan
karakter peserta didik kelas V SDN Batang Kaluku Kab. Gowa. Instrumen Kuesioner ini sudah teruji
nilai validitasnya. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang
seharusnya diukur.
Kusioner nilai-nilai karakter terdiri dari 6 item karakter dan setiap item terdiri dari 4
pertanyaan/pernyataan. Adapun nilai-nilai karakter dalam instrumen tersebut adalah jujur, hormat,
tanggung jawab, adil, peduli, kewarganegaraan. Instrumen tes nilai-nilai karakter berjumlah 24 item
(4 soal/tiap item) dengan tiap item masing-masing memiliki 2 pernyataan/pertanyaan positif dan 2
pernyataan/pertanyaan negatif dengan menggunakan skala likert. Skala likert digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial
(Sugiyono, 2012).
C. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan yang dilakukan setelah data dari seluruh proses penelitian
terkumpul. Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Teknik analisis
data yang dilakukan dengan statistik yaitu statistik deskriptif. Statistik deskriptif adalah statistik yang
digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang
telah dikumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk
umum atau generalisasi (Sugiono, 2012: 208). Dalam penelitian ini statistik deskriptif yang
ditampilkan adalah penyajian data melalui tabel, grafik, perhitungan rata-rata, standar deviasi dan
perhitungan persentase.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 73
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data Penelitian
1. Hasil Rerata Total Hasil Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Sekolah Dasar Negeri Se
Kecamatan Sekarbela
No Nama HASIL
1. SDN 10 AMPENAN 76,83
2. SDN 15 AMPENAN 73,81
3. SDN 27 AMPENAN 69,01
4. SDN 31 AMPENAN 83,36
5. SDN 35 AMPENAN 81,5
6. SDN 38 AMPENAN 75,12
7. SDN 41 AMPENAN 83,41
8. SDN 4 KURANJI 66,76
9. SDN 19 AMPENAN 84,46
10 SDN 25 AMPENAN 82,34
11 SDN 40 AMPENAN 63,42
12 SDN 45 AMPENAN 82,75
13 SDN 2 AMPENAN 85,33
14 SDN 37 AMPENAN 79,94
15 SDN 2 KURANJI 70,1
16 SDN 4 BAJUR 80,27
17 SDN 43 AMPENAN 85,21
RERATA TOTAL 77,86
2. Hasil Rerata Total Prosentase Nilai Pendidikan Karekter Jujur dan Hormat Setiap
Kategori Sikap Dari 17 Sekolah Dasar Negeri Se Kecamatan Sekarbela
3. Hasil Rerata Total Prosentase Nilai Pendidikan Karekter Tanggung Jawab dan Adil
Setiap Kategori Sikap Dari 17 Sekolah Dasar Negeri Se Kecamatan Sekarbela
4. Hasil Rerata Total Prosentase Nilai Pendidikan Karekter Peduli dan Kewarganegaraan
Setiap Kategori Sikap Dari 17 Sekolah Dasar Negeri Se Kecamatan Sekarbela
No Nama Jujur Hormat
SB B K KS SB B K KS
1 Rerata Total (%) 61,47 24,26 10,61 0,19 56,64 29,11 13,79 0,52
No Nama Tanggung jawab Adil
SB B K KS SB B K KS
1 Rerata Total (%) 34,42 41,45 27,05 0,67 46,14 32,41 19,26 2,19
No Nama Peduli Kewarganegaraan
SB B K KS SB B K KS
1. Rerata Total (%) 48,37 38,24 13,40 0 58,58 25,57 15,01 0,84
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 74
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Keterangan
SB : Sangat baik
B : Baik
K : Kurang
SK : Kurang Sekali
B. Pembahasan
1. Hasil proses pembelajaran penjaskes melalui penerapan kurikulum pendidikan karakter pada
karakter peserta didik kelas V se Kecamatan Sekarbela
Hasil penelitian yang ditunjukkan dalam deskripsi data penelitian untuk rerata total nilai-nilai
pendidikan karakter sekolah dasar negeri se kecamatan sekarbela menunjukkan angka 77,86 dalam
kategori sikap sangat baik. Maka proses pembelajaran penjaskes yang dilakukan oleh guru-guru
penjaskes se kecamatan sekarbela berjalan dnegna baik dan memiliki tujuan yang sejalan dengan
tujuan pendidikan yang dapat memberi kontribusi yang sangat berharga dan memberi inspirasi bagi
kesejahteraan hidup manusia. Makna yang terkandung dalam pendidikan jasmani tidak sekedar
sebagai pendidikan yang bersifat aktivitas fisik semata tetapi lebih luas lagi keterkaitan nya dengan
tujuan pendidikan. Andi Anshari Bausad 2012, Pendidikan jasmani yang dirancang dengan baik
dengan memperhatikan aspek-aspek apa saja yang ingin dikembangkan bisa menjadikan tujuan
pendidikan karakter bisa terpenuhi melalui proses pembelajaran pendidikan jasmani.
2. Nilai-nilai Pendidikan Karakter yang dicapai melalui pembelajaran penjaskes melalui penerapan
kurikulum pendidikan karakter pada karakter peserta didik kelas V se Kecamatan Sekarbela
Hasil penelitian yang ditunjukkan dalam deskripsi data penelitian hasil rerata total prosentase
kategori sikap sangat baik nilai pendidikan karakter jujur 61,47 %, hormat 56,64 % dan
kewarganegaraan 58,58 % dalam kriteria interprestasi skor baik. Nilai pendidikan karakter jujur,
hormat dan kewarganegaraan merupakan nilai pendidikan karakter yang ada dalam setiap proses
pembelajaran penjaskes di sekolah dasar negeri se kecamatan sekarbela pada siswa kelas V.
Sedangkan 3 nilai pendidikan karakter lainya seperti tanggung jawab, adil dan peduli yang sesuai
dengan instrument penelitian yang digunakanbelum tampak dalam setiap proses pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru-guru penjaskes se kecamatan Sekarbela. Kategori sikap kurang nilai
pendidikan karakter tanggung jawab didapat rerata total paling tinggi dari 6 item nilai-nilai
pendidikaan karakter dimana di dapatkan angka 27,05 % ini menunjukkan bahwa nilai pendidikan
karakter tanggung jawab kurang dimilki oleh siswa kelas V sekolah dasar negeri se kecamatan
Sekarbela.
Banyak nilai yang terkandung dalam kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan
kesehatan artinya bermain melalui permainan dan olahraga, maka secara tidak langsung bisa
menumbuhkan nilai-nilai tersebut. Persoalannya kemudian adalah banyak guru pendidikan jasmani,
olahraga dan kesehatan yang masih fokus pada penguasaan gerak dan teknik dasar pada permainan
dan olahraga, masih belum optimal menanamkan nilai-nilai dengan sungguh-sungguh kepada peserta
didik meskipun pada rancangan pembelajaran yang mereka buat telah mereka cantumkan beberapa
poin karakter yang mereka ingin capai.
Dalam penyelenggaraan pendidikan karakter maka harus diketahui nilai-nilai apa yang
kemudian terkandung dalam pendidikan karakter itu sendiri. Hal ini penting agar kita mampu
mengetahui indikator-indikator dari setiap nilai pendidikan karakter agar nantinya kita akan lebih
mudah untuk menanamkan nilai-nilai tersebut kepada para peserta didik tentunya dalam proses
pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan sebagai media pengembangan pendidikan
karakter.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 75
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hasil proses pembelajaran penjaskes melalui penerapan kurikulum pendidikan karakter pada
karakter peserta didik kelas V se Kecamatan Sekarbela di dapatkan rerata total dalam angka
77,86 dalam kategori sangat baik.
2. Nilai-nilai Pendidikan Karakter yang dicapai melalui pembelajaran penjaskes melalui
penerapan kurikulum pendidikan karakter pada karakter peserta didik kelas V se Kecamatan
Sekarbela dengan kategori sikap sangat baik nilai jujur 61,47 %, hormat 56,64 % dan
kewarganegaraan 58,58 % dalam kriteria interprestasi skor baik.
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas maka akan diberikan saran antara lain:
1. Bagi Guru Penjasorkes:
a. Memperbanyak menggunakan model-model pembelajaran dalam proses belajar mengajar
di sekolah.
b. Memperbanyak kreativitas untuk membentuk permainan-permainan yang dapat
menumbuhkan nilai-nilai pendidikan karakter pada peserta didiknya, seperti nilai-nilai
jujur, hormat, sportive, adil, tanggung jawab, saling berbagi tempat dan alat dan lain-lain.
c. Pemahaman dan malakukan evaluasi nilai-nilai pendidikan karakter peserta didik yang
diajar di setiap akhir pembelajaran, sub materi ataupun setiap akhir semester.
2. Bagi pemerintah daerah atau dinas pendidikan kota mataram
a. Memperhatikan standar sarana dan prasarana sekolah menurut permendiknas no 24
tahun 2017, tentang standar sarana dan prasarana di jenjang sekolah dasar
b. Memperbanyak ruang terbuka publik untuk siswa beraktivitas di luar jam sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarno, A dan Sihombing, D. 2011. Metode Penelitian Keolahragaan. Surakarta: Yuma Pustaka.
Bausad, A.A. 2102. Implementasi model pembelajaran kooperatif pada pembelajaran penjasorkes
memberikan perubahan karakter peserta didik kelas V SDN Batang Kaluku Kab. Gowa. Gelora:
Jurnal pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP Mataram. Vol. 2. No. 2. Mataram 2014.
Mutohir, C., dkk. 2011. Berkarakter Dengan berolahraga Berolahragalah Dengan Berkarakter.
Surabaya: PT. Java Pustaka Group
Muh Yusuf, 2012. Membangun Karakter peserta didik melalui pendidikan Jasmani dan Olahraga.
Jurnal Ilmiah SPIRIT, ISSN: 1411-8319 Vol.12 No. 1 Tahun 2012.
Rukmana, Anin. 2008. Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan
Dasar. Nomor: 9 – April 2008.
Sugiono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Zulnuraini, 2012. Pendidikan karakter: Konsep, Implementasi dan Pengembangan di sekolah dasar
di kota Palu. Jurnal DIKDAS, No. 1 Vol.1
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 76
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PENINGKATAN KEMAMPUAN DALAM BERBICARA SISWA KELAS III
SDN 02 TAWANGREJO MADIUN MELALUI TEKNIK PEMODELAN
Arni Gemilang Harsanti
Universitas PGRI Madiun
e-mail: [email protected]
Abstrak: Masalah rendahnya hasil belajar telah lama menjadi bahan para guru SDN 02 Tawangrejo
Madiun, terutama pada mata pelajaran keterampilan berbicara. Pada umumnya siswa menampakkan
sikap kurang bergairah dan kurang berani, dan lancar sehingga suasana kurang aktif, interaksi antar
guru dan siswa sangat kurang apalagi antara siswa dengan siswa. Kemampuan bercerita siswa kelas
III SDN 02 Tawangrejo Madiun dapat diatasi dengan menggunakan teknik pembelajaran yang tepat
adalah teknik pemodelan.
Kata kunci: Pemodelan, Keterampilan Berbicara
PENDAHULUAN
Kemampuan berbicara merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang
perlu dimiliki seseorang, terutama siswa sebagai pelajar. Kemampuan berbicara secara formal
memerlukan latihan dan pengarahan atau bimbingan intensif. (Arsjad dan Mukti, 1988 : 11).
Keterampilan berbicara adalah keterampilan untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan
secara lisan. Berbicara adalah bentuk komunikasi yang membentuk perilaku manusia yang
memanfaatkan faktor fisik, yaitu alat ucap, berupa suara, gerakan tubuh, mimik, untuk mempertegas
isi pembicaraan. Melihat kenyataan berbahasa, seseorang lebih banyak berkomunikasi secara
lisan dibandingkan dengan cara lain. Secara alamiah seseorang mampu berbicara. Namun, dalam
situasi formal sering timbul rasa gugup, sehingga gagasan dan bahasanya pun yang
dikemukakan menjadi tidak teratur, bahkan ada yang tidak berani berbicara. Arsjad dan Mukti
(1988:170) menyatakan, untuk menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara selain harus
memberikan kesan bahwa ia menguasai masalah yang dibicarakan, pembicara juga harus
memperlihatkan keberanian dan kegairahan. Pembicara tidak gugup dan bergairah dalam
berbicara merupakan modal utama untuk berbicara.
Berdasarkan hasil pengamatan, para siswa SD senang menceritakan apa yang telah dilihat dan
dialaminya yang dilakukannya secara santai dan spontanitas. Tetapi, apabila siswa SD tersebut
diminta untuk bercerita pada guru dan teman-temannya di depan kelas, tidak ada keberanian dari
siswa SD tersebut. Hal ini disebabkan oleh perasaan takut untuk berbicara dalam kondisi formal atau
kondisi resmi, seperti dalam lingkungan sekolah. Untuk itu, siswa perlu diberi motivasi agar siswa
tidak takut lagi untuk bercerita serta memberikan pengarahan kepada siswa untuk berani
mengungkapkan pendapatnya di depan teman-temannya. Ada siswa yang bercerita dengan suara yang
pelan, dan ada juga siswa yang tidak berani maju ke depan kelas untuk bercerita. Selain itu,
permasalahan yang dialami oleh siswa adalah belum mampu bercerita dengan lancar, pembelajaran
yang kurang menarik bagi siswa, dan kurangnya bekal pengetahuan tentang hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam bercerita. Hal ini disebabkan karena pada saat mengajarkan bercerita pengalaman
pribadi, metode yang digunakan kurang tepat dan guru belum menjelaskan hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam bercerita yang baik, sehingga siswa tidak tahu bagaimana bercerita yang baik.
Berdasarkan permasalahan di atas, perlu adanya pembenahan suatu proses pembelajaran yang
dapat menimbulkan ketertarikan dan merangsang semangat belajar siswa terutama pada pelajaran
bercerita Agar pelajaran bercerita ini tidak membosankan perlu adanya suatu teknik yang mendukung
pelaksanaan pelajaran tersebut dengan menggunakan teknik pemodelan. Teknik pemodelan dapat
merangsang siswa untuk berfikir mengungkapkan dengan kata-kata sendiri sesuai dengan
pengalaman pribadi seperti apa yang telah dicontohkan oleh model tersebut. Teknik pemodelan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 77
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
merupakan cara belajar yang menyenangkan, santai, dan efektif yang akan membuat siswa lebih
bersemangat dan termotivasi (Dermawan, dalam Nurida, 2008:4).
Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran dengan menggunakan
teknik pemodelan yang dapat meningkatkan kemampuan bercerita siswa kelas III SDN 02
Tawangrejo Madiun dan mendeskripsikan kemampuan bercerita siswa kelas III SDN 02 Tawangrejo
Madiun dengan menggunakan teknik pemodelan. Diharapkan penelitian ini berguna bagi guru pada
umumnya dan guru SDN 02 Tawangrejo Madiun pada khususnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan
bahan masukan untuk menggunakan metode pembelajaran khususnya keterampilan bercerita. Bagi
siswa kelas III SDN 02 Tawangrejo Madiun, hasil penelitian ini dapat menambah keberanian,
semangat, dan daya kreativitas siswa untuk bercerita lebih baik lagi.Bagi peneliti selanjutnya, hasil
penelitian ini dapat memberikan motivasi, ide, dan gagasan untuk lebih meneliti pembelajaran
bercerita.
METODOLOGI PENELITIAN
Subjek penelitian adalah siswa kelas III SDN 02 Tawangrejo Madiun. Jumlah siswa dalam
penelitian ini adalah 34 siswa, yang terdiri atas 17 siswa laki-laki dan 17 siswa perempuan. Penelitian
ini menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bertujuan untuk memecahkan masalah
yang terdapat dalam pembelajaran kemampuan bercerita siswa di kelas III. Penelitian Tindakan Kelas
digunakan karena kemampuan siswa kelas III SDN 02 Tawangrejo Madiun dalam bercerita masih
tergolong rendah dan belum mencapai ketuntasan belajar. Siklus 1 dilaksanakan pada tanggal 8 – 21
Juni 2017 dan Siklus II pada tanggal 22 Juni – 5 Juli 2017. Setiap siklus melalui tahap perencanaan
tindakan, implementasi tindakan, observasi, dan refleksi. Secara umum alur pelaksanaan tindakan
dalam penelitian kelas ini digambarkan oleh Kemmis dan Mc Taggart (dalam Soepeno, 2000:33).
Seperti dalam gambar berikut ini.
Prasiklus
Perencanaan I Tindakan I
Observasi
Refleksi
Observasi Refleksi
Tindakan II
Perencanaan II
Kemampuan Siswa Meningkat
Gambar 1: Alur pelaksanaan tindakan (Kemmis dan Mc Taggart, dalam Soepeno, 2000:34)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus 1
Setelah dilakukan tindakan-tindakan pada siklus 1, terdapat perubahan yaitu kemampuan
bercerita. Hasil tes di skor dan dinilai sesuai dengan kriteria penilaian (kriteria penilaian bisa dilihat
pada teknik analisis data). Hasil skor dan nilai dari tes kemampuan bercerita dapat dilihat dari tabel
berikut ini:
Tabel 1: Tes Kemampuan Bercerita Siswa Tahap Siklus I
Siswa Jumlah Persentase
Siswa Yang Tuntas (nilai ≥ 60) 16 48 %
Siswa Yang Tidak Tuntas (nilai < 60). 18 54 %
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 78
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Tabel di atas menunjukkan bahwa siswa yang mencapai ketuntasan nilai (nilai ≥ 60) sebanyak
16 siswa atau sebesar 48% dari total 34 siswa. Sisanya sebanyak 18 siswa atau sebesar 54% dari total
34 siswa belum mencapai ketuntasan nilai (nilai ≤ 60). Jadi, secara klasikal (≥ 85% dari total jumlah
siswa) siswa kelas 3 yang mencapai ketuntasan nilai hanya mencapai 48%.
Setelah penyekoran dan penilaian tes kemampuan bercerita siswa. Langkah selanjutnya
adalah merefleksi seluruh kegiatan pembelajaran di kelas (hasil observasi) dan hasil tes kemampuan
bercerita siswa tersebut. Hasil refleksi ini guna menyiapkan skenario pembelajaran dengan
menerapkan teknik pemodelan yang lebih baik di siklus II.
1. Ketepatan Ucapan
Dari 34 siswa kejelasan ucapan : 5 siswa atau 15% pengucapan lafal setiap kata terdengar sangat
jelas, 19 siswa atau 56% pengucapan lafal sebagian kata terdengar samar-samar, dan 10 siswa atau
29% pengucapan lafal setiap kata terdengar kurang jelas. Ketepatan teknik melafalkan bunyi huruf
: 1 siswa atau 3% semua huruf yang dilafalkan dalam cerita tepat, 24 siswa atau 71% sebagian
lebih dari 50% huruf yang dilafalkan dalam cerita tepat, dan 9 siswa atau 26% semua huruf yang
dilafalkan dalam cerita kurang tepat.
2. Pilihan kata
Dari 34 siswa pilihan kata tepat dan jelas: 6 siswa atau 18% siswa memilih kata-kata yang tepat
dan mudah dipahami oleh pendengar, 14 siswa atau 41% siswa memilih kata-kata yang hampir
sebagian tepat dan mudah dipahami oleh pendengar, dan 14 siswa atau 41% siswa memilih kata-
kata kurang tepat dan tidak mudah dipahami oleh pendengar. Pilihan kata bervariasi: 13 siswa atau
38% siswa menggunakan kata-kata cukup bervariasi dan sesuai dengan cerita, dan 21 siswa atau
62% siswa menggunakan kata-kata yang kurang bervariasi dan tidak sesuai dengan cerita.
3. Ketepatan sasaran pembicaraan
Dari 34 siswa Kalimat efektif: 4 siswa atau 12% bercerita menggunakan kalimat sederhana pada
semua kalimat, 16 siswa atau 47% siswa bercerita masih sebagian menggunakan kalimat
sederhana, dan 14 siswa atau 41% siswa bercerita dengan menggunakan kalimat yang salah.
Kalimat mengenai sasaran: 2 siswa atau 6 % Siswa menggunakan kalimat yang dapat
mengungkapkan maksud isi cerita secara tepat sehingga mudah dipahami oleh pendengar, 15 siswa
atau 44% siswa menggunakan kalimat yang berulang-ulang sehingga susah dipahami oleh
pendengar, dan 17 siswa atau 50% siswa menggunakan kalimat yang kurang mudah dimengerti
oleh pendengar.
4. Gerak-gerik / mimik
Dari 34 siswa kesesuaian gerak dengan isi: 1 siswa atau 3% gerakan anggota tubuh sesuai dengan
apa yang dideskripsikan, 22 siswa atau 65% gerakan anggota tubuh kurang sesuai dengan apa yang
dideskripsikan, dan 11 siswa atau 32% gerakan anggota tubuh tidak sesuai dengan apa yang
dideskripsikan. Kewajaran gerak: 1 siswa atau 3 % gerakan masih wajar dan sesuai dengan isi
cerita, 20 siswa atau 59% gerakan yang wajar tetapi tidak sesuai dengan isi cerita, dan 13 siswa
atau 38% gerakan yang ditampilkan tidak wajar dan tidak sesuai dengan isi cerita.
5. Kenyaringan
Dari 34 siswa, suara bisa didengar oleh semua orang: 8 siswa atau 24% suara siswa sangat bisa
didengar oleh semua orang, 21 siswa atau 62% suara siswa cukup bisa didengar oleh semua orang,
dan 5 siswa atau 15% suara siswa kurang bisa didengar oleh semua orang. Suara yang diucapkan
jelas: 5 siswa atau 15% suara yang diucapkan siswa sangat jelas, 23 siswa atau 68% suara yang
diucapkan siswa cukup jelas, dan 6 siswa atau 18% suara yang diucapkan siswa kurang jelas.
6. Kelancaran
Dari 34 siswa, tidak terbata-bata dalam bercerita: 6 siswa atau 18% siswa dalam bercerita sangat
lancar dan tidak terbata-bata, 23 siswa atau 68% siswa dalam bercerita cukup lancar dan sedikit
terbata-bata, dan 5 siswa atau 15% siswa dalam bercerita kurang lancar dan terbata-bata. Bunyi
yang diucapkan jelas: 5 siswa atau 15% setiap bunyi lafal dan intonasi yang diucapkan oleh siswa
jelas, 21 siswa atau 62% setiap bunyi lafal dan intonasi yang diucapkan oleh siswa cukup jelas,
dan 8 siswa atau 24% bunyi lafal dan intonasi yang diucapkan oleh siswa kurang jelas.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 79
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
7. Penalaran
Dari 34 siswa, cerita yang diceritakan dari awal sampai akhir harus berhubungan: 1 siswa atau 3%
cerita yang diceritakan dari awal sampai akhir runtut, 11 siswa atau 32% cerita yang diceritakan
dari awal sampai akhir kurang runtut, dan 22 siswa atau 65% cerita yang diceritakan dari awal
sampai akhir tidak runtut. Hubungan kalimat dengan kalimat berhubungan dengan isi cerita: 3
siswa atau 9% hubungan setiap kalimat dengan kalimat yang lain berhubungan dengan isi cerita,
10 siswa atau 29% hubungan setiap kalimat dengan kalimat yang lain masih ada sebagian yang
kurang sesuai dengan isi cerita, dan 21 siswa atau 62% hubungan setiap kalimat dengan kalimat
lain tidak sesuai dengan isi cerita.
8. Keberanian
Dari 34 siswa, tampil dengan berani: 9 siswa atau 26% siswa tampil dengan berani dan tenang, 21
siswa atau 62% siswa tampil dengan ragu-ragu dan gugup, dan 4 siswa atau 12% siswa tampil
tidak berani tampil.
Siklus II
Siklus II merupakan tindakan remidial dari siklus I. Hasil tes bercerita siswa kemudian diskor
dan dinilai sesuai dengan kriteria penyekoran dan penilaian pada siklus I. Hasil penyekoran dan
penilaian pada siklus II adalah sebagai berikut:
Tabel 2: Tes Kemampuan Bercerita Siswa Tahap Siklus II
Siswa Jumlah Persentase
Siswa Yang Tuntas (nilai ≥
60)
27 81 %
Siswa Yang Tidak Tuntas
(nilai < 60).
7 21%
Tabel di atas menunjukkan bahwa siswa yang mencapai ketuntasan nilai (nilai ≥ 60) pada
siklus II ini sebanyak 27 siswa atau 81% dari total 34 siswa. Sisanya sebanyak 7 siswa atau sebesar
21% dari total 34 siswa belum mencapai ketuntasan nilai (nilai ≤ 60). Jadi 27 siswa atau 81% siswa
kelas 3 sudah mencapai ketuntasan nilai.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pada tahap siklus I, siswa yang mencapai
ketuntasan nilai dalam bercerita sebanyak 16 siswa atau 48% dari total 34 siswa dan pada siklus II
meningkat menjadi 27 siswa atau 81% dari total 34 siswa. Hal ini menunjukkan bahwa antara siklus
I ke siklus II terjadi peningkatan sebanyak 11 siswa atau sebesar 32% dari total 34 siswa. Perolehan
nilai kemampuan bercerita juga dapat dilihat per kriteria kemampuan bercerita. Berikut ini
dijelaskan perolehan nilai per kriteria kemampuan bercerita siswa.
1) Ketepatan Ucapan
Dari 34 siswa kejelasan ucapan : 17 siswa atau 50% pengucapan lafal setiap kata terdengar
sangat jelas, 16 siswa atau 47% pengucapan lafal sebagian kata terdengar samar-samar, dan 1
siswa atau 3% pengucapan lafal setiap kata terdengar kurang jelas. Ketepatan teknik melafalkan
bunyi huruf : 11 siswa atau 32% semua huruf yang dilafalkan dalam cerita tepat, 21 siswa atau
62% sebagian lebih dari 50% huruf yang dilafalkan dalam cerita tepat, dan 2 siswa atau 6% semua
huruf yang dilafalkan dalam cerita kurang tepat.
2) Pilihan kata
Dari 34 siswa pilihan kata tepat dan jelas: 1 siswa atau 3% siswa memilih kata-kata yang tepat
dan mudah dipahami oleh pendengar, 30 siswa atau 88% siswa memilih kata-kata yang hampir
sebagian tepat dan mudah dipahami oleh pendengar, dan 3 siswa atau 15% siswa memilih kata-
kata kurang tepat dan tidak mudah dipahami oleh pendengar. Pilihan kata bervariasi: 25 siswa atau
74% siswa menggunakan kata-kata cukup bervariasi dan sesuai dengan cerita, dan 9 siswa atau
26% siswa menggunakan kata-kata yang kurang bervariasi dan tidak sesuai dengan cerita.
3) Ketepatan sasaran pembicaraan
Dari 34 siswa Kalimat efektif: 2 siswa atau 6% bercerita menggunakan kalimat sederhana
pada semua kalimat, 23 siswa atau 68% siswa bercerita masih sebagian menggunakan kalimat
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 80
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
sederhana, dan 9 siswa atau 26% siswa bercerita dengan menggunakan kalimat yang salah.
Kalimat mengenai sasaran: 3 siswa atau 15 % siswa menggunakan kalimat yang dapat
mengungkapkan maksud isi cerita secara tepat sehingga mudah dipahami oleh pendengar, 24 siswa
atau 71% siswa menggunakan kalimat yang berulang-ulang sehingga susah dipahami oleh
pendengar, dan 7 siswa atau 21% siswa menggunakan kalimat yang kurang mudah dimengerti oleh
pendengar.
4) Gerak-gerik / mimik
Dari 34 siswa kesesuaian gerak dengan isi: 7 siswa atau 21% gerakan anggota tubuh sesuai
dengan apa yang dideskripsikan, 12 siswa atau 35% gerakan anggota tubuh kurang sesuai dengan
apa yang dideskripsikan, dan 15 siswa atau 44% gerakan anggota tubuh tidak sesuai dengan apa
yang dideskripsikan. Kewajaran gerak: 6 siswa atau 18% gerakan masih wajar dan sesuai dengan
isi cerita, 11 siswa atau 32% gerakan yang wajar tetapi tidak sesuai dengan isi cerita, dan 17 siswa
atau 50% gerakan yang ditampilkan tidak wajar dan tidak sesuai dengan isi cerita.
5) Kenyaringan
Dari 34 siswa, suara bisa didengar oleh semua orang: 15 siswa atau 44% suara siswa sangat
bisa didengar oleh semua orang, dan 19 siswa atau 56% suara siswa cukup bisa didengar oleh
semua orang. Suara yang diucapkan jelas: 14 siswa atau 41% suara yang diucapkan siswa sangat
jelas, 19 siswa atau 56% suara yang diucapkan siswa cukup jelas, dan 1 siswa atau 3% suara yang
diucapkan siswa kurang jelas.
6) Kelancaran
Dari 34 siswa, tidak terbata-bata dalam bercerita: 6 siswa atau 18% siswa dalam bercerita
sangat lancar dan tidak terbata-bata, 25 siswa atau 74% siswa dalam bercerita cukup lancar dan
sedikit terbata-bata, dan 3 siswa atau 9% siswa dalam bercerita kurang lancar dan terbata-bata.
Bunyi yang diucapkan jelas: 5 siswa atau 15% setiap bunyi lafal dan intonasi yang diucapkan oleh
siswa jelas, 25 siswa atau 74% setiap bunyi lafal dan intonasi yang diucapkan oleh siswa cukup
jelas, dan 4 siswa atau 12% bunyi lafal dan intonasi yang diucapkan oleh siswa kurang jelas.
7) Penalaran
Dari 34 siswa, cerita yang diceritakan dari awal sampai akhir harus berhubungan: 8 siswa atau
24% cerita yang diceritakan dari awal sampai akhir runtut, 24 siswa atau 71% cerita yang
diceritakan dari awal sampai akhir kurang runtut, dan 2 siswa atau 6% cerita yang diceritakan dari
awal sampai akhir tidak runtut. Hubungan kalimat dengan kalimat berhubungan dengan isi cerita:
5 siswa atau 15% hubungan setiap kalimat dengan kalimat yang lain berhubungan dengan isi cerita,
24 siswa atau 71% hubungan setiap kalimat dengan kalimat yang lain masih ada sebagian yang
kurang sesuai dengan isi cerita, dan 5 siswa atau 15% hubungan setiap kalimat dengan kalimat
lain tidak sesuai dengan isi cerita.
8) Keberanian
Dari 34 siswa, tampil dengan berani: 34 siswa atau 100% siswa tampil dengan berani dan
tenang.
Pembahasan
Penggunaan teknik pemodelan dalam pembelajaran bercerita siswa kelas III SDN 02
Tawangrejo Madiun merupakan tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam bercerita pengalaman pribadinya. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil observasi yang
dilakukan peneliti selama proses pembelajaran berlangsung. Model yang diperankan oleh siswa kelas
5 dan guru kelas 3 dapat memotivasi dan menjadi pemicu semangat siswa dalam belajar bercerita.
Hasilnya, siswa tampak lebih berani dan kreatif dalam bercerita di tengah-tengah lingkaran. Hal
tersebut dapat dijadikan model oleh siswa dalam bercerita pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Jalannya pembelajaran juga terkesan santai dan menyenangkan. Siswa tampak serius dan aktif dalam
menerima pembelajaran dan kemampuan siswa dalam bercerita juga mengalami peningkatan sesudah
diterapkannya teknik pemodelan. Artinya, penggunaan teknik pemodelan dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam bercerita dan pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil
penelitian, diketahui bahwa pada tahap siklus I, siswa yang mencapai ketuntasan nilai dalam bercerita
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 81
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
sebanyak 16 siswa atau 48% dari total 34 siswa dan pada siklus II meningkat menjadi 27 siswa atau
81% dari total 34 siswa. Hal ini menunjukkan bahwa antara siklus I ke siklus II terjadi peningkatan
sebanyak 11 siswa atau sebesar 32% dari total 34 siswa.
Jumlah siswa yang mencapai ketuntasan nilai dari siklus I ke siklus II memang mengalami
peningkatan, akan tetapi jika dikaitkan dengan ketuntasan nilai secara klasikal, jumlah 27 siswa atau
81% dari total 34 siswa belum mencapai ketuntasan secara klasikal. Namun, penggunaan teknik
pemodelan sudah tepat jika digunakan dalam pembelajaran bercerita dan dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam bercerita pengalaman pribadinya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dalam dua siklus, dari hasil
kegiatan ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Rendahnya kemampuan bercerita kelas III SDN 02 Tawangrejo Madiun dapat ditingkatkan
dengan menggunakan teknik pemodelan. Penerapan pembelajaran menggunakan teknik
pemodelan dapat meningkatkan kemampuan bercerita siswa kelas III SDN 02 Tawangrejo Madiun
dengan menghadirkan model dalam pembelajaran. Hal ini dilakukan agar siswa dapat lebih fokus
dalam mengamati dan mempelajari model tersebut, sehingga siswa dapat bercerita dengan lebih
kreatif dan percaya diri.
2. Kegiatan siswa dan guru selama proses pembelajaran berlangsung lancar dan terjadi peningkatan
dari prasiklus, siklus I, dan Siklus II. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah siswa yang
menjawab pertanyaan, memperhatikan penjelasan guru, dan keaktifan siswa dalam bercerita.
3. Kemampuan bercerita siswa kelas III SDN 3 Seneporejo Banyuwangi setelah pembelajaran
dengan menggunakan teknik pemodelan terjadi peningkatan pada siklus I ke siklus II sebanyak 11
siswa dari total 34 siswa. Sebelum menggunakan teknik pemodelan (prasiklus) hanya terdapat 25
siswa yang mencapai nilai ≥ 60. Setelah diterapkan teknik pemodelan, pada siklus I terdapat 16
siswa atau 48% dari total 34 siswa dan pada siklus II meningkat menjadi 27 siswa atau 81% dari
total 34 siswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan teknik pemodelan dalam
pembelajaran bercerita dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam bercerita. Selain itu, siswa
lebih aktif, kreatif, berani, dan percaya diri untuk tampil bercerita di tengah-tengah lingkaran
dihadapan teman-temannya.
Saran
Penggunaan teknik pemodelan dalam bercerita dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
bercerita, dalam praktik pelaksanaannya disarankan kepada Kepala Sekolah dasar terutama pada guru
kelas untuk memperhatikannya dan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pembelajaran
bercerita.
DAFTAR PUSTAKA
Arsjad, M. dan Mukti U.S. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta :
Erlangga.
Haryadi dan Zamzami. 1997. Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia. Jakarta
:Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Majid, A. A. 2002. Mendidik Dengan Cerita. Bandung : Rosda.
Soepeno, B. 2000. Penelitian Tindakan Kelas : Universitas Jember.
Srisetyaningsih. 2000. Kemampuan Bercerita Siswa SMPN 1 Bondowoso. Panorama Kawah Ijen :
Tenggarang Bondowoso.
Tarigan, H. G. 1990. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 82
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PENGARUH MODEL PRAKTIKUM FISIKA BEBRASIS GUIDED INKUIRI UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS MAHASISWA PENDIDIKAN
FISIKA UIN MATARAM
Bahtiar,
[email protected] 1Dosen Pendidikan Fisika FTK UIN Mataram
Abstract: The recent study aims to investigate the influence of the physic practice model based on
guided inkuiri to improve student science process skills (SPS) student physics UIN Mataram on the
topic about temperature and heat. The research method used for this purpose is quasi experiment of
one group pretest and posttest design which involving student physics UIN Mataram. The instruments
being used are written test, students worksheet, and observation sheet. The findings show that the
physics practice model based on guided inkuiri significantly improves student science process skills
(SPS) with average score 75.76% and 76.01% and N-gain score 0.51 dan 0.47 with the medium
category. The highest improvement occurs on date analysis. Meanwhile, the lowest improvement
occurs on the indicator of operational definition variable. In general, students give positive responses
to the learning process where the learning process provides them the opportunity to actively take
participation and improves students’ interest and motivation since it is connected to students
experience of their daily life.
Keywords: Science Process Skills, Physics Practice, and Guided Inkuiri
PENDAHULUAN
IPA berkaitan dengan cara memahami alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya
sebatas penguasaan kumpulan pengetahuan (produk ilmu) yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,
atau prinsip-prinsip saja, tetapi lebih sebagai proses penemuan. Pembelajaran IPA diharapkan dapat
menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan lingkungannya, serta prospek
pengembangan lebih lanjut dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses
pembelajaran IPA hendaknya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi menjelajahi dan memahami alam secara ilmiah. Pembelajaran IPA
diarahkan pada inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman
yang lebih bermakna tentang alam sekitar. Selanjutnya standar kompetensi lulusan mata pelajaran
fisika SMA/MA siswa dituntut untuk melakukan percobaan, antara lain merumuskan masalah,
mengajukan dan menguji hipotesis, menentukan variabel, merancang dan merakit instrumen,
mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan data, menarik kesimpulan, serta mengomunikasikan hasil
percobaan secara lisan dan tertulis. Berdasarkan pernyataan tersebut, seorang guru harus memiliki
peran yang sangat penting dalam memfasilitasi, memotivasi, mengarahkan, dan membimbing siswa
di dalam kegiatan percobaan untuk melakukan penemuan. Kegiatan penemuan tersebut yang
dimaksud adalah inkuiri ilmiah (scientific inkuiri ) (Depdiknas, 2006).
IPA fisika pada hakikatnya dapat dipandang sebagai produk, proses, dan sikap. Oleh karena
itu, pembelajaran fisika tidak boleh mengesampingkan proses ditemukannya konsep. Fisika sebagai
proses meliputi keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dimiliki oleh para ilmuwan untuk
memperoleh dan mengembangkan pengetahuan. Keterampilan-keterampilan inilah yang disebut
keterampilan proses sains (KPS). Fisika sebagai produk meliputi sekumpulan pengetahuan yang
terdiri atas fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip fisika.
Berkaitan dengan penyataan di atas, banyak sekolah-sekolah yang belum mampu menerapkan
hakikat IPA fisika sebagai proses, seperti merancang dan melaksanakan kegiatan praktikum. Hal ini
di dukung hasil Penelitian Balitbang Depdiknas tentang kemampuan guru dalam merancang
praktikum masih rendah. Sekitar 51% guru IPA SMP dan 43% guru fisika SMA tidak dapat
menggunakan alat-alat laboratorium yang tersedia di sekolah (Djohar Makmun, 2012). Hasil
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 83
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
penelitian Sumintono Bambang, dkk (2010), tentang pengajaran sains dengan praktikum
laboratorium: perspektif dari guru-guru sains SMPN di Kota Cimahi. Sampel sejumlah 10 sekolah
diambil sekitar 62 guru, hasil penelitianya adalah: (1) pelaksanaan kegiatan praktikum untuk setiap
semester hanya 2-3 kali (43%); (2) praktikum menjadi kurang efektif (71%), karena ruang
laboratorium yang tidak memadai, peralatan laboratorium yang kurang lengkap, praktik tidak
beraturan dan tidak terencana dengan baik; (3) Jenis praktikum laboratorium yang dilakukan, seperti
menemukan dan mengonfirmasi fakta ilmiah (37%); (4) sumber rancangan praktik laboratorium sains
yang paling banyak adalah berasal dari buku teks pelajaran sains (36%), buku praktikum (34%),
membuat/merancang sendiri (17%) sisanya diakses di internet (13%).
Berdasarkan analisis oleh the West African Senior Secondary School Certificate di Negeria
dalam kurun waktu 10 tahun (1998-2007) bahwa keterampilan proses sains fisika masih rendah. Hal
ini terlihat pada perolehan nilai persentase keterampilan proses sains siswa yaitu: memanipulasi
(17%); menghitung (14%); merekam atau mencatat (14%); mengamati (12%), dan
mengomunikasikan (11%) (Akinyemi, O.A., & Folashade, A., 2010). Indonesia juga mengalami hal
serupa, di mana hasil penelitian menunjukkan keterampilan proses sains siswa masih belum
menggembirakan. Berikut hasil penelitian oleh Nur (2011) menunjukkan bahwa nilai rata-rata
keterampilan proses sains SMA Al Hikmah Surabaya seperti: mengidentifikasi pernyataan tentang
pengamatan (0.39), inferensi (0.42), prediksi (0.43), klasifikasi (0.47), model (0.55), hipotesis (0.54),
mengidentifikasi variabel independen dari suatu eksperimen (0.40), dan mengidentifikasi variabel
dependen dari suatu eksperimen (0,13); hasil penelitian Widiyanto (2009) menunjukkan bahwa
perolehan nilai rata-rata persentase keterampilan proses sains siswa SMAN 3 Sragen, yaitu observasi,
mengklasifikasi, memprediksi, menyimpulkan, mengidentifikasi variabel, membuat tabel data,
membuat grafik menganalisis variabel, menyusun hipotesis, mengukur, dan merancang penelitian
sebesar 48,66%. Hal ini didukung hasil pra penelitian Bahtiar (2016), pada 60 mahasiswa,
menunjukkan bahwa keterampilan proses sains (KPS) mahasiswa masih rendah yaitu: merumuskan
masalah 41,67% (25 mahasiswa), merumuskan hipotesis 58,33% (35 mahasiswa), identifikasi
variabel 25% (15 mahasiswa), definisi operasional variabel 28,33% (17 mahasiswa), melakukan
penyelidikan 66,67% (40 mahasiswa), analisa data 75% (45 mahasiswa), menyimpulkan 76,67% (46
mahasiswa). Hal ini yang menyebabkan keterlibatan dan keaktifan siswa sangat kecil.
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran tersebut di atas, diperlukan dosen yang memiliki
kompetensi profesional mengajar dan kompetensi pedagogik yang baik, karena dengan kedua
kompetensi tersebut guru akan mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran
dengan model inkuiri atau model praktikum. Kenyataan di lapangan, penelitian oleh Donnell et al.,
(2007), menemukan kendala-kendala seperti: (1) pelaksanaan praktikum ekspositori oleh sebagian
besar institusi/sekolah tidak memberikan kesempatan kepada siswa/mahasiswa untuk berpikir tentang
tujuan dari penyelidikan dan urutan tugas-tugas yang dibutuhkan hanya untuk mengejar penyelesaian
tugas-tugas tersebut, (2) asesmen secara sungguh-sungguh diabaikan, memberikan kesan bahwa
praktikum tidak perlu dilakukan secara serius, dan (3) terbatasnya sumber daya praktikum yang
memadai. McGarvey (dalam Donnell et al., 2007) menambahkan praktikum di sekolah tidak
memperhatikan kreativitas atau kontekstualisasi, dan sering dimanfaatkan sebagai suatu verifikasi
atau pengujian teori yang telah dipresentasikan dalam pembelajaran. Selanjutnya Bennett dan
O'Neale (dalam Limniou et al., 2007), menyatakan kegiatan praktikum biayanya relatif mahal dalam
hal peralatan, bahan habis pakai, dan membutuhkan waktu cukup lama dalam kegiatan praktikum
seperti harus membantu siswa memperoleh keterampilan teknis seperti keterampilan saintifik inkuiri.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk membekali KPS bagi
mahasiswa adalah model praktikum fisika berbasis guided inkuiri , karena dengan praktikum
mahasiswa dapat mengembangkan keterampilan dasar eksperimen. Hal tersebut menjadi sarana
tercapainya orientasi pembelajaran sains, yaitu selain berorientasi produk juga berorientasi pada
proses. Menurut Rustaman (2005), praktikum merupakan sarana terbaik dalam mengembangkan
KPS. Pembelajaran dengan metode praktikum memberi kesempatan kepada siswa untuk mengalami
sendiri atau melakukan sendiri. Pada umumnya, praktikum yang dilakukan di sekolah belum
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 84
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
memberikan pengalaman kepada siswa untuk membuat hipotesis, menguji kebenaran hipotesis dan
menganalisis data. Hal tersebut disebabkan prosedur praktikum yang digunakan umumnya hanya
berisi instruksi langsung. Siswa mengerjakan langkah-langkah sesuai perintah, sehingga kurang
melatih keterampilan berpikir dan KPS. Selain itu, kegiatan praktikum yang dilakukan belum
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam melakukan eksperimen
untuk menemukan konsep sendiri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka diperlukan suatu praktikum yang dapat
mengembangkan kemampuan berpikir serta mengembangkan KPS, salah satunya adalah praktikum
fisika berbasis inkuiri. Menurut Rustaman (2005), inkuiri lebih menekankan siswa untuk menemukan
konsep melalui percobaan di laboratorium menggunakan langkah-langkah ilmiah dibantu dengan
petunjuk praktikum. Dalam pembelajaran dengan metode praktikum, diperlukan materi fisika yang
cocok dengan metode tersebut. Berdasarkan analisis yang telah
dilakukan, materi laju reaksi dapat dibelajarkan melalui metode praktikum. Terkait dengan penelitian
inkuiri, Sidharta (2005) menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis inkuiri pada materi asam basa
dapat meningkatkan pemahaman konsep, mengembangkan kemampuan berpikir kreatif serta
mengembangkan KPS siswa. Akhyani (2008) juga menunjukkan keberhasilannya dalam
pembelajaran inkuiri pada materi kesetimbangan fisika. Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran
inkuiri dapat meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada pembelajaran
yang dapat meningkatkan KPS melalui praktikum fisika berbasis guided inkuiri .
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan one group pre-
test and post-test design. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika FTK
UIN Mataram yang terdiri atas Kelas A sebanyak 29 orang dan kelas B sebanyak 31 orang.
Implementasi model pembelajaran ini dimulai dengan pemberian tes awal yang bertujuan untuk
mengetahui bagaimana keterampilan proses sains awal yang dimiliki mahasiswa. Mahasiswa
kemudian diberi perlakuan berupa penerapan pembelajaran model praktikum fisika berbasis guided
inkuiri. Setelah selesai, dilakukan postes untuk mengetahui bagaimana KPS mahasiswa setelah
diterapkannya model praktikum fisika tersebut. Instrumen yang digunakan dalam penelitian, berupa
soal tes tertulis, lembar observasi, dan LKM.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan model praktikum fisika berbasis guided inkuiri dilakukan melalui beberapa
tahap di antaranya:
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 85
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Keterampilan Proses Sains (KPS) Mahasiswa
1. KPS Keseluruhan Mahasiswa
Rata-rata persentase ketuntasan keterampilan proses sains pada mahasiswa secara
sebesar75,76% dan 76,01% (tuntas). Hasil rekapitulasi ketuntasan indikator keterampilan proses
sains mahasiswa dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1
Ketuntasan Indikator Keterampilan Proses Sains
Nomor
Indikat
or
Jumlah Skor
Tiap Indikator
Skor
Maksimum
Persentase
Ketuntasan
(%)
Keterangan
Kls A Kls B Kls A Kls B Kls A Kls B Kls A Kls B
1 86 100 116 124 74,14
%
80,64
%
T T
2 86 91 116 124 74,14
%
73,38
%
T T
3 63 72 116 124 54,31
%
58,06
%
TT TT
4 66 77 116 124 56,89
%
62,09
%
TT TT
5 98 98 116 124 84,84
%
79,03
%
T T
6 102 101 116 124 87,93
%
81,45
%
T T
7 103 110 116 124 88,79
%
88,70
%
T T
8 99 105 116 124 85,34
%
84,68
%
T T
Rata-
rata
87,88 94,25 116 124 75,76
%
76,01
%
T T
T = Tuntas TT= Tidak Tuntas
Indikator 1 = merumuskan masalah Indikator 5 = melakukan penyelidikan
Indikator 2 = merumuskan hipotesis Indikator 6 = mengumpulkan data
Indikator 3 = identifikasi variabel Indikator 7 = menganalisa data
Indikator 4 = definisi operasional variabel Indikator 8 = menyimpulkan
Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 diperoleh informasi bahwa pembelajaran dengan model
praktikum fisika berbasis guided inkuiri dapat meningkatkan keterampilan proses sains
mahasiswa, terkecuali untuk indikator nomor 3 dan 4 yaitu, kemampuan mahasiswa
mengidentifikasi variabel dan mendefinisikan operasional variabel. Peningkatan KPS mahasiswa
dianalisis lebih lanjut pada setiap indikator. Hal ini didukung oleh penelitian Ergül Remziye
(2011), menunjukkan bahwa penggunaan model guided inkuiri secara signifikan meningkatkan
keterampilan proses sains dan sikap mahasiswa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 86
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Berdasarkan data pada Grafik 1 dan 2, tampak bahwa peningkatan tertinggi terjadi
pada indikator analisa data 88,79% (kelas A), 88,70% (kelas B) dan menyimpulkan dengan
persentase ketuntasan 85,34% (kelas A), 84,68% (kelas B), mahasiswa telah mencapai
peningkatan yang maksimal pada kedua indikator tersebut, walaupun dengan N-gain 0,51 dan
0,47 (kategori sedang). Untuk nilai terendah terjadi pada indikator kemampuan mahasiswa
mengidentifikasi variabel 54,31% (kelas A), 58,06% (kelas B) dan mendefinisikan operasional
variabel 56,89% (kelas A), 62,09% (kelas B). Berdasarkan data peningkatan keterampilan proses
sains pada setiap indikator tampak bahwa indikator analisa data mengalami peningkatan tertinggi
pada kelas A dan kelas B. Hal ini dikarenakan, saat pembelajaran mahasiswa dilatih menemukan
sendiri pola dan keteraturan dari data hasil percobaan. Ketika mahasiswa melakukan pengamatan
dan menganalisis hasil pengamatan, maka mahasiswa akan menemukan suatu pola yang dapat
memprediksi keadaan yang belum terjadi atau diamati. Secara umum, hal ini menunjukkan
keterampilan proses sains pada setiap kategori pada mahasiswa setelah melaksanakan kegiatan
pembelajaran mengalami peningkatan. Meskipun dari rata-rata N-Gain sedang tetapi model
praktikum fisika berbasis guided inkuiri dapat meningkatkan keterampilan proses sains pada
semua mahasiswa.
2. Tanggapan Mahasiswa terhadap Pembelajaran
Secara umum mahasiswa memberikan tanggapan positif terhadap pembelajaran suhu dan
kalor dengan menggunakan model praktikum fisika berbasis guided inkuiri . Mahasiswa
berpendapat bahwa pembelajaran yang diterapkan telah memberi kesempatan kepada mahasiswa
untuk berpartisipasi secara aktif, meningkatkan minat dan motivasi belajar, serta membantu
51
86
50
86
43
63
38
66
79
98
77
102
66
103
65
99
0
20
40
60
80
100
120
Pre Pos Pre Pos Pre Pos Pre Pos Pre Pos Pre Pos Pre Pos Pre Pos
64
100
58
91
6672
50
77 80
98
77
101
76
110
74
105
0
20
40
60
80
100
120
Pre Pos Pre Pos Pre Pos Pre Pos Pre Pos Pre Pos Pre Pos Pre Pos
Grafik 1. KPS Mahasiswa Kelas A
Grafik 2. KPS Mahasiswa Kelas B
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 87
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
mahasiswa menemukan konsep berdasarkan eksperimen sehingga materi pembelajaran lebih
mudah dipahami. Mahasiswa berpendapat bahwa pembelajaran yang diterapkan telah memberi
kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi secara aktif, meningkatkan minat dan motivasi
belajar, serta membantu mahasiswa menemukan konsep berdasarkan eksperimen sehingga materi
pembelajaran lebih mudah dipahami.
KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
model praktikum fisika berbasis guided inkuiri terhadap peningkatan keterampilan proses sains
(KPS) mahasiswa pendidikan fisika FTK UIN Mataram. Pelaksanaan pembelajaran dengan model
praktikum fisika berbasis guided inkuiri dapat berlangsung sesuai dengan sintaknya, di mana pada
setiap sintaknya diberikan bimbingan. Pembelajaran ini mampu menarik minat dan motivasi
mahasiswa karena masalah yang diungkapkan dikaitkan dengan pengalaman mahasiswa dalam
kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang telah dilakukan pada penelitian ini dapat mengembangkan
keterampilan proses dengan N-Gain kategori sedang. Peningkatan tertinggi terjadi pada indikator
analisa data sedangkan terendah pada indikator identifikasi variabel dan definisi operasional variabel.
Mahasiswa memberikan tanggapan positif terhadap pembelajaran model praktikum fisika
berbasis guided inkuiri pada materi suhu dan kalor. Mahasiswa berpendapat bahwa pembelajaran
yang diterapkan telah memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi secara aktif,
meningkatkan minat dan motivasi belajar, serta membantu mahasiswa menemukan konsep
berdasarkan eksperimen sehingga materi pembelajaran lebih mudah dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Akhyani, A. 2008. Model Pembelajaran Kesetimbangan Fisika Berbasis Inkuri Laboratorium untuk
Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA. Tesis:
Tidak Diterbitkan.
Akinyemi, O.A. & Folashade, A., 2010. Analysis of Science Process Skills in West Africa Senior
Secondary School Certificate Examination Practical Physics in Nigeria. America-Eurasian
scientific journal of reseach 5 (4), 234-240.
Anitah, S. (2007). Strategi Pembelajaran Fisika. Jakarta: Gramedia.
Bahtiar. 2013. Laporan Preliminary Study Pada Mahasiswa Prodi Fisika FTK UIN Mataram.
Dahar, R. W. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Darliana. (1990). Keterampilan Proses Sains IPA. Bandung: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Depdiknas. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006: Standar Isi. Jakarta:
BSNP.
Depdiknas. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
Djohar Maknun, dkk. (2012). Keterampilan Esensial Dan Kompetensi Motorik Laboratorium
Mahasiswa Calon Guru Biologi Dalam Kegiatan Praktikum Ekologi. Jurnal Pendidikan IPA
Indonesia. Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung,
Indonesia.
Donnell, C. Mc, O’Connor, C. dan Seery, M. K. (2007). “Developing Practical Chemistry Skills by
Means of Student-Driven Problem Based Learning Mini-Projects”. Journal of Chemistry
Education Research and Practice. 8(2), 130-139. [Online]. Tersedia:
http://www.rsc.org/images/issue%208/2/2_tcm18/85055.pdf .[1 Desember 2012].
Ergul Remziye. (2011). The Effects Of Inkuiri -Based Science Teaching On Elementary School
Students’ Science Process Skills And Science Attitudes. Bulgarian Journal Of Science And
Education Policy (BJSEP), Volume 5, Number 1, 2011.
Hake, R.R. (1998). Interactive Angagement Methods In Introductory Mechanichs Courses. [Online].
Limniou, M., Nikos Papadopoulos, Andreas Giannakoudakis, David Roberts, and Oliver Otto.
(2007). “The Integration of A Viscosity Simulator in An Chemistry Laboratory”. Journal of
Chemistry Education Research and Practice. 8(2), 220-231. [Online].
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 88
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Tersedia:http://www.rsc.org/images/issue%208/2/2tcm18/85055.pdf. [12
November 2012].
Tersedia:http://www.physics.Indiana.edu/~sdi/IeM-2b.pdf.accessed on [13 September
2010]
Nur, M. (2011). Modul Keterampilan-Keterampilan Proses Sains. Surabaya: Unesa Pusat Sains dan
Matematika Sekolah.
Rustaman, N. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: UM Press.
Semiawan, C. (1987). Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Gramedia.
Sidharta, A. (2005). Model Pembelajaran Asam Basa Berbasis Inkuiri Laboratorium sebagai
Wahana pembelajaran Sains Siswa SMP. Tesis PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Sumintono, Bambang, dkk., (2010). Pengajaran Sains dengan Praktikum Laboratorium: Perspektif
Dari Guru-Guru Sains SMPN di Kota Cimahi. Jurnal Pengajaran MIPA, Volume 15, Nomor
2, Oktober 2010. Hal.120-127.
Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Widiyanto. 2009. Pengembangan Keterampilan Proses dan Pemahaman Siswa Kelas X melalui KIT
Optik. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia Vol.5 No. 1, 4-5.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 89
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PENGARUH PENGGUNAAN SENYAWA PENGEMBAN GABUNGAN TERHADAP
PEMISAHAN LOGAM PERAK DENGAN TEKNIK SLM (SUPPORTED LIQUID
MEMBRANE)
Baiq Irena Gufron1, Yeti Kurniasih2, Baiq Asma Nufida3 1Mahasiswa Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Mataram
2,3Dosen Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Mataram
E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak: Dalam proses fotografi kristal AgBr digunakan sebagai bahan dasar pelapis lembaran film
dan membentuk gambar hasil pemotretan sehingga dapat menghasilkan limbah yang berbahaya bagi
kesehatan dan lingkungan karena mengandung ion logam perak (Ag+) dalam bentuk kompleks perak
tiosulfat ([Ag(S2O3)2]-3). Oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan logam Ag sehingga logam
tersebut tidak mencemari lingkungan dan dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Salah satu cara untuk
memisahkan logam Ag adalah dengan teknik membran cair berpendukung (SLM). Membran cair
berpendukung memiliki tiga komponen penting yaitu fasa umpan yang mengandung komponen yang
akan dipisahkan, fasa membran mengandung senyawa pengemban, dan fasa penerima mengandung
komponen yang telah terpisahkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbandingan
konsentrasi D2EHPA : TBP dan konsentrasi senyawa pengemban dalam fasa membran terhadap
persen transpor logam perak melalui SLM. Untuk mendapatkan komposisi pengemban gabungan
yang efektif dalam fasa membran dilakukan dengan memvariasikan perbandingan konsentrasi
D2EHPA : TBP dalam fasa membran dan memvariasikan konsentrasi total senyawa pengemban dalan
fasa membran. Pengukuran konsentrasi ion logam Ag+ sebelum dan sesudah transpor ditentukan
dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) pada panjang gelombang 328,22 nm. Berdasarkan
hasil penelitian bahwa persen transpor optimum diperoleh pada penggunaan senyawa pengemban
gabungan D2EHPA : TBP dengan perbandingan (0,75 : 0,25) dan konsentrasi total senyawa
pengemban dalam fasa membran sebesar 1,5 M, dimana persen transport Ag yang diperoleh sebesar
58,00 %.
Kata kunci: Membran Cair Berpendukung (SLM), Limbah Fotografi, Perak
PENDAHULUAN
Perak merupakan logam putih mengkilap, tahan korosi dan ringan serta penghantar listrik
yang baik. Perak memiliki nilai komersial yang cukup tinggi setelah emas dan platina. Pada umumnya
perak ditemukan bersama-sama dengan Zn, Pb, Co, Ni dan Au. Perak diperoleh dari hasil pelelehan
dan pemurnian logam dari bijihnya. Selain diperoleh dari bijih mineral yang ada di alam, logam perak
juga diperoleh dari pengolahan limbah fotografi. Pengembangan film menyebabkan limbah fotografi
mengandung Ag pada larutan fixer dan air bilasan masing-masing sebesar 1.000-10.000 dan 50-200
mg/L. Perak merupakan zat yang berbahaya sehingga harus dipungut kembali (recovery) secara
sempurna baik dari segi ekonomi maupun alasan lingkungan (Djunaidi dkk, 2007).
Hasil buangan yang masih mengandung logam perak jika dibuang di perairan tanpa
pengolahan limbah lebih lanjut akan membahayakan kehidupan organisme terutama bakteri,
tumbuhan serta makhluk hidup, karena logam perak merupakan logam berat yang sangat toksik.
Logam berat ini dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia tergantung pada bagian mana
logam berat tersebut terikat pada tubuh. Daya racun yang dimiliki akan bekerja sebagai penghalang
kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Lebih jauh lagi, logam berat ini akan
bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen, teratogen, atau karsinogen bagi manusia. Jalur
masuknya adalah melalui kulit, pernapasan dan pencernaan. Oleh sebab itu perlu dilakukan
pemisahan untuk menurunkan kadar logam perak dari limbah sebelum dibuang ke lingkungan.
Berbagai teknologi digunakan untuk mendapatkan kembali Ag dari limbah fotografi dimana
kebanyakan efektif pada batas konsentrasi Ag tertentu. Perak dalam bentuk kompleks anionik
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 90
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
tiosulfat [Ag(S2O3)2]3- dapat dipisahkan dari larutannya dengan cara elektrolisis, pergantian logam
(metallic replacement), pengendapan, penukaran ion, membran cair emulsi (ELM) (Nusa, 2010).
Metode elektrolisis memiliki keuntungan yaitu mendapatkan kemurnian Ag yang besar
namun metode ini hanya dapat digunakan pada konsentrasi perak yang tinggi. Metode pengendapan
dan pergantian logam memiliki keuntungan yaitu biaya operasinya relatif murah namun
menghasilkan endapan yang tidak murni sehingga membutuhkan pemurnian lebih lanjut. Selain itu
metode ini tidak dapat digunakan pada konsentrasi Ag+ kurang dari 100 mg/L. Metode resin penukar
anion hanya efektif digunakan pada konsentrasi Ag+ yang kecil (Djunaidi dkk, 2007).
Oleh sebab itu teknik pemisahan yang memberikan prospek terbaik untuk pemisahan logam
perak adalah teknik membran cair berpendukung (Supported Liquid Membrane, SLM). Dimana
teknik SLM merupakan teknik yang dikembangkan dari metode ekstraksi pelarut, yaitu dengan cara
mengamobilkan zat pengekstraksi (carrier) pada suatu membran polimer berpori (Rumhayati, 2000).
Dengan cara ini selain selektifitas transpor meningkat, juga jumlah pengekstraksi yang diperlukan
menjadi sangat sedikit (kurang dari 1% dari yang diperlukan pada ekstraksi pelarut biasa).
Teknik Membran cair berpendukung merupakan teknik pemisahan yang selektif, efisien,
sederhana dan biayanya murah. Dalam teknik SLM terdiri dari tiga komponen penting yaitu fasa
umpan, fasa membran, dan fasa penerima. Dimana fasa umpan merupakan fasa yang berisi larutan
yang akan dipisahkan, fasa membran merupakan senyawa pengemban yang diimobilisasi dalam
membran pendukung, dan fasa penerima merupakan fasa yang berisi larutan hasil pemisahan. Pada
pemisahan di SLM transpor ion logam dari fasa umpan ke fasa penerima dilakukan oleh senyawa
pengemban yang terdapat dalam membran pendukung. Struktur molekuler pengemban dan peristiwa
kimia yang terlibat dalam kompleksasi adalah faktor yang paling menentukan dalam meningkatkan
selektifitas membran. Senyawa pengemban gabungan dan konsentrasi senyawa pengemban gabungan
dalam fasa membran juga akan mempengaruhi proses transpor logam perak dari fasa umpan ke fasa
penerima (La Harimu dkk, 2010).
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
pengaruh penggunaan senyawa pengemban gabungan dan konsentrasi senyawa pengemban gabungan
terhadap pemisahan logam perak dengan teknik membran cair berpendukung (Supported Liquid
Membrane, SLM).
METODE PENELITIAN
Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: seperangkat alat pemisahan SLM,
Spektrofotometer Serapan Atom (AAS) untuk menentukan persen transport logam perak, seperangkat
alat destilasi dan peralatan gelas lainnya. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah: larutan AgNO3 sebagai standar perak, larutan pengemban (D2EHPA dan TBP), HNO3,
membrane WHATMAN politetrafluoroetilen (PTFE) dengan diameter 47 mm ukuran pori 0,5 μm,
kerosen sebagai pelarut organik dan aquades.
Prosedur Penelitian Membran cair dibuat dengan melarutkan masing-masing senyawa pengemban D2EHPA dan
TBP dalam pelarut kerosen dengan variasi perbandingan konsentrasi pengemban yaitu 1 : 0; 0,75 :
0,25; 0,5 : 0,5; 0,25 : 0,75 dan 0 : 1 M serta dengan memvariasikan konsentrasi pengemban dalam
fasa membran mulai dari 0 M; 0,5 M; 1 M, 1,5 M dan 2 M. Membran pendukung PTFE direndam
dalam larutan pengemban tersebut selama 2 jam, selanjutnya diambil dan diletakkan di antara kertas
tisu dengan tujuan untuk mengurangi kelebihan larutan senyawa pengemban, kemudian diletakkan
sedemikian rupa pada alat pemisahan di antara fasa umpan dan fasa penerima seperti gambar 1. Proses
pemisahan ion perak dari fasa umpan ke fasa penerima melalui fasa membrane dilakukan selama 5
jam dengan kecepatan pengadukan 300 rpm.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 91
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Gambar 1. Alat SLM
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengaruh penggunaan senyawa pengemban gabungan terhadap persen transpor logam
perak Untuk memperoleh data pengaruh penggunaan senyawa pengemban gabungan terhadap
transpor logam perak dilakukan dengan cara menggabungkan dua senyawa pengemban yang
berbeda. Senyawa pengemban yang digunakan adalah gabungan D2EHPA dan TBP dengan
perbandingan konsentrasi yang divariasikan, namun konsentrasi totalnya tetap 1 M. Hasil transpor
logam perak dari fasa umpan ke fasa penerima dengan menggunakan senyawa pengemban
gabungan ditunjukkan dalam tabel 1 dan gambar 2.
Tabel 1. Pengaruh senyawa pengemban gabungan terhadap persen trasnpor logam perak
Perbandingan konsentrasi
D2EHPA : TBP
Fraksi D2EHPA % transpor
logam perak
1 : 0 1 17,80
0,75 : 0,25 0,75 52,80
0,5 : 0,5 0,5 11,05
0,25 : 0,75 0,25 10,45
0 : 1 0 4,75
Gambar 2. Grafik hubungan antara fraksi D2EHPA dengan persen transport logam perak
Berdasarkan grafik tersebut, penggunaan gabungan pengemban D2EHPA dan TBP
memberikan transpor perak yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan masing-masing
pengemban dalam bentuk tunggalnya. Hal ini menunjukkan adanya efek sinergis antara kedua
pengemban tersebut dalam mentranspor perak. Perbandingan optimum terjadi pada perbandingan
konsentrasi D2EHPA : TBP = 0,75 : 0,25 atau dengan kata lain pada fraksi D2EHPA 0,75 dimana
persen transpor yang dihasilkan sebesar 52,80 %. Efek sinergis tersebut terjadi pada fraksi
D2EHPA yang lebih besar dibandingkan fraksi TBP dalam larutan pengemban. Hal ini terjadi
karena kemampuan D2EHPA dalam mentranspor perak lebih besar dibandingkan TBP. D2EHPA
sebagai pengompleks pada fasa membran dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion Ag+,
0
10
20
30
40
50
60
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2
% t
ran
spo
r lo
ga
m p
era
k
Fraksi D2EHPA
Pengaruh Fraksi D2EHPA dalam fasa membran
terhadap persen transpor logam perak
0,75 : 0,25
HNO3 0,1 M
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 92
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
sehingga akan menetralkan muatan positif ion logam setelah terdisosiasi melepaskan ion H+nya.
Sedangkan TBP dalam hal ini berperan sebagai pengemban netral yang mensolvasi kompleks
yang telah terbentuk antara D2EHPA dengan logam perak.
Dilihat dari struktur molekul D2EHPA, Senyawa D2EHPA merupakan senyawa yang
bersifat asam berbasa satu, sehingga bisa dituliskan sebagai HDEHP (asam di-etil heksil posfat)
yang dapat melepaskan ion H+. Saat pembentukan kompleks dengan ion logam Ag+, senyawa ini
akan memutuskan salah satu ikatan hidrogen dari gugus hidroksinya sehingga terbentuk struktur
DEHP- dengan persamaan reaksi sebagai berikut:
CH3 C3H6 CH
H2C
CH2 O
CH3 C3H6 CH
H2C
CH2 O
P
OH
O
CH3
CH3
CH3 C3H6 CH
CH2 CH3
CH2 O
P
O-
O
OCH3 C3H6 CH
CH2 CH3
CH2
Gambar 3. Struktur DEHP-
HDEHP yang kehilangan ion H+ akan bermuatan negatif dan dalam kondisi ini ion Ag+ akan
menggantikan ion H+ yang terlepas untuk membentuk struktur kompleks AgDEHP. Struktur
kompleks AgDEHP sebagai berikut :
CH3 C3H6 CH
CH2 CH3
CH2 O
P
O
O
OCH3 C3H6 CH
CH2 CH3
CH2 Ag
Gambar 4. Struktur kompleks AgDEHP
Kemampuan TBP dalam mengekstraksi ion Ag dapat dilihat dari struktur molekulnya. TBP
memiliki dua pasang elektron bebas yang terdapat pada atom oksigen yang berikatan rangkap
dengan fosfat sehingga TBP dapat membentuk senyawa koordinasi dengan ion logam dan dapat
mensolvasi kompleks yang terbentuk. Ion logam cenderung terikat pada oksigen yang memiliki
pasangan elektron bebas, sehingga struktur senyawa koordinasi yang mungkin terbentuk seperti
pada gambar 5.
CH3
OP
O
O
O
CH3
CH3
Ag
+
Gambar 5. Struktur koordinasi perak dengan TBP
2. Pengaruh konsentrasi senyawa pengemban gabungan terhadap persen transport logam
perak Untuk memperoleh data pengaruh konsentrasi total senyawa pengemban terhadap persen
transpor logam perak dilakukan dengan cara memvariasikan konsentrasi total senyawa
pengemban gabungan dalam fasa membran mulai dari 0 M, 0,5 M, 1 M, 1,5 M, dan 2 M, tapi
perbandingan konsentrasi D2EHPA : TBP tetap 0,75 : 0,25. Hasil transpor logam perak dari fasa
umpan ke fasa penerima dapat ditunjukkan dalam tabel 2 dan gambar 6.
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi senyawa pengemban gabungan terhadap persen trasnpor logam
perak
+ H+
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 93
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Konsentrasi
(M)
%
transport
0 4,75
0,5 36
1 52
1,5 58
2 40
Gambar 6. Grafik hubungan konsentrasi dengan persen transpor logam perak
Berdasarkan grafik hubungan antara konsentrasi senyawa pengemban dalam fasa
membran terhadap persen transpor logam perak seperti yang terlihat pada Gambar 6 tersebut,
dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi pengemban maka persen transpor meningkat,
tetapi apa bila konsentrasi pengemban ditingkat lagi maka persen transpor menurun. Pada
konsentrasi pengemban 0 M (pelarut kerosen saja) persen transpor yang diperoleh adalah 4,75 %.
Hal ini menunjukkan bahwa ion Ag+ masih bisa tertranspor melewati fasa membran. Ion logam
dapat tertranspor melewati fasa membran karena ion logam tersebut membentuk kompleks
pasangan ion atau kompleks asosiasi dengan ion lain yang muatannya berlawanan. Dalam hal ini
ion Ag+ akan membentuk pasangan ion dengan ion NO3- karena fasa penerima mengandung
HNO3 sehingga Ag tertranspor ke dalam fasa penerima sebagai [Ag+,NO3-].
Pada gambar tersebut, dengan adanya penambahan konsentrasi senyawa pengemban
dalam fasa membran persen transpor mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi terjadi pada
konsentrasi senyawa pengemban 1,5 M dengan persen transpor 58 %. Terjadinya kenaikan persen
transpor disebabkan karena dengan bertambahnya konsentrasi pengemban maka jumlah molekul
pengemban yang mengikat ion Ag+ membentuk senyawa kompleks juga semakin banyak. Hal
tersebut menyebabkan jumlah ion Ag+ yang tertranspor ke dalam fasa penerima meningkat.
Namun pada konsentrasi yang lebih tinggi dari 1,5 M terjadi penurunan persen transpor. Hal ini
disebabkan karena pada konsentrasi pengemban yang terlalu tinggi, maka viskositas fasa
membran semakin tinggi sehingga meskipun senyawa kompleks yang terbentuk banyak tapi sulit
menembus fasa membran menuju fasa penerima.
DAFTAR PUSTAKA
Djunaidi, M.C., dkk. 2007. “Recovery Perak dari Limbah Fotografi melalui Membran Cair
Berpendukung dengan Senyawa Pembawa Asam Di-2-Etil Heksilfosfat (D2EHPA)”. Reaktor,
Vol 11, No. 2, Hal : 98-103.
Harimu, La., dkk. 2010. “Separation of Fe(III), Cr(III), Cu(II), Ni(II), Co(II), and Pb(II) Metal Ions
Using Poly(EugenylOxyacetic Acid) as an Ion Carrier by a Liquid Membrane Transport
0
10
20
30
40
50
60
70
0 0,5 1 1,5 2 2,5
% t
ran
spo
r lo
ga
m A
g
Konsentrasi (M)
Pengaruh konsentrasi terhadap persen transpor
logam perak
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 94
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Method”. Vol. 10, No. 1, 69-74. Yogyakarta: Jurusan Kimia FPMIPA Universitas Gadjah
Mada.
Nusa, I.D.,. 2010. “Metode Penghilangan Logam Berat (As, Cd, Cr, Ag, Cu, Pb, Ni, dan Zn) di
dalam Air Limbah Industri”. JAI, Vol. 6, No. 2, 136-148. Jakarta pusat: Pusat Teknologi
Lingkungan, BPPT.
Rumhayati, B. 2000. Transpor Lantanum melalui Membran Cair Berpendukung Ganda, Tesis
Institut Teknologi Bandung
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 95
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARIAS UNTUK MENINGKATKAN
PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA MATERI POKOK REAKSI REDUKSI
OKSIDASI DI KELAS X MA
Baiq Puspa Erlian1;Nusuki2;Lalu saparwadi3 1SMK Mapar Selong, Indonesia
2,3Universitas Hamzanwadi, Indonesia
e-mail: [email protected].
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan konsep siswa setelah penerapan
model pembelajaran ARIAS pada materi pokok reaksi oksidasi reduksi. Model pembelajaran ARIAS
merupakan singkatan dari Assurance, Relevance, Interest, Assessment, dan Satisfaction. Model
pembelajaran ini diawali dengan meningkatkan motivasi siswa agar percaya diri, kesesuaian materi
pembelajaran dengan kebutuhan siswa, menarik minat dan perhatian siswa, serta penilaian hasil
pembelajaran dan kepuasan siswa terhadap hasil yang dicapai. Penelitian ini merupakan penelitian
tindakan kelas atau classroom action research yang di terapkan pada siswa kelas X MA Syaikh
Zainuddin NW Anjani Lombok Timur NTB yang berjumlah 29 orang. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan instrumen penelitian berupa lembar observasi, lembar kerja siswa (LKS), dan tes hasil
belajar. Data penelitian yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa meningkatnya nilai aktifivitas dan penguasaan konsep hasil belajar siswa pada
tiap siklus mengalami peningkatan. Pada siklus 1 nilai aktivitas belajar siswa menunjukkan
peningkatan dilihat dari nilai dominan siswa pada proses pembelajaran yang diproleh pada pertemuan
ke-1 sebesar 93.91, pertemuan ke-2 sebesar 97.09, dan pertemuan ke-3 sebesar 100, sedangkan pada
siklus II pertemuan ke-1 sebesar 97.50, pertemuan ke-2 sebesar 98.31, dan pertemuan ke-3 sebesar
100. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa pada setiap siklus mengalami peningkatan,
hal ini membuktikan pada proses pembelajaran di dalam kelas didominasi dan lebih berpusat pada
siswa dan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator. Sedangkan untuk nilai rata-rata hasil belajar
siswa pada siklus I sebesar 79.31% mengalami peningkatan pada siklus II sebesar 93.10% dan
persentasi peningkatan hasil penguasaan konsep siswa yaitu 13.79%. Berdasarkan hasil penelitian di
atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan model ARIAS pada materi pokok reaksi oksidasi reduksi
sudah efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa.
Kata Kunci: Model pembelajaran ARIAS, reaksi oksidasi reduksi, penguasaan konsep
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat pada era global saat ini
menyebabkan berkembangnya tuntutan masyarakat dalam berbagai kehidupan, termasuk dalam
bidang pendidikan. Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Untuk
meningkatkan mutu pendidikan, negara Indonesia melakukan berbagai macam cara, salah satunya
dengan penyempurnaan kurikulum disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kurikulum
2013 sebagai penyempurnaan kurikulum KTSP 2006, lebih menitikberatkan pembelajaran yang
mengaktifkan siswa. Seorang guru harus mampu menguasai materi dan strategi-strategi penyampaian
materi tersebut, sehingga mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan memotivasi
siswa untuk aktif dan hasil belajarnya meningkat.
Kurikulum 2013 juga menganut pandangan konstruktivisme, bahwa pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari guru kepada siswa. Siswa adalah subjek yang memiliki kemampuan
untuk secara aktif mencari, mengolah, mengonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Pembelajaran
harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengonstruksi pengetahuan dalam proses
kognitifnya. Pengetahuan dapat benar-benar dipahami jika siswa didorong untuk bekerja
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 96
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berupaya keras mewujudkan
ide-idenya (Kemendikbud, 2013).
Permasalahan utama yang dihadapi oleh dunia pendidikan dalam mengembangkan potensi
peserta didik adalah permasalahan proses pembelajaran. Sejauh ini, proses pembelajaran yang terjadi
di dalam kelas lebih diutamakan pada perolehan kognitif. Siswa lebih dituntut menghafal pelajaran
tanpa diminta memahami dan menghubngkan pelajaran yang diperolehnya untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga ketika siswa lulus dari sekolah, siswa pandai secara teori, tetapi tidak
mampu mengaplikasikannya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran kimia di MA Syaikh Zainuddin
NW Anjani Lombok Timur NTB, diperoleh informasi bahwa pembelajaran yang pernah dilakukan
guru meliputi ceramah dan tanya jawab. Selain itu guru tidak pernah melakukan praktikum, sehingga
pembelajaran menjadi kurang menyenangkan bagi siswa. Rendahnya hasil belajar siswa pada materi
reaksi oksidasi reduksi disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi selama proses
pembelajaran berlangsung. Faktor-faktor tersebut adalah cara mengajar guru dalam penyampaian
materi kepada siswa yang masih bersifat klasikal atau dengan kata lain guru lebih banyak
mendominasi siswa sehingga siswa kurang terlibat aktif dalam proses pembelajaran, serta kurangnya
motivasi siswa dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa bosan dan tidak fokus ketika guru
sedang menyampaikan materi di depan kelas.
Model pembelajaran sangat penting bagi siswa, karena minat dan perhatian dapat
meningkatkan interaksi siswa dan guru. Siswa merasa tertarik untuk mengikuti kegiatan
pembelajaran. Materi yang diajarkan harus disesuaikan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh
siswa agar mudah memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses belajar
mengajar yang berlangsung dalam kelas akan berjalan dengan baik jika guru dan siswa sudah
mempunyai cukup persiapan-persiapan dalam belajar mengajar. Persiapan-persiapan tersebut dimulai
dari persiapan mental baik guru maupun siswa, persiapan pengenalan terhadap tujuan pembelajaran,
dan persiapan waktu belajar yang disesuaikan dengan tahap perkembangan siswa hingga persiapan
materi yang kesemuanya terangkum dalam perangkat pembelajaran. Guru merancang dan membuat
perangkat pembelajaran sesuai urutan semua kegiatan yang akan dilakukan, strategi, atau metode
pembelajaran yang akan digunakan, media pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan apa
yang dibutuhkan, dan bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan. Terdapat banyak model,
pendekatan, dan metode pembelajaran yang inovatif di era modern ini, namun metode pembelajaran
yang digunakan guru saat proses pembelajaran kurang inovatif yaitu menggunakan metode ceramah
sehingga lebih bersifat satu arah.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan di
atas adalah model pembelajaran ARIAS yang merupakan model pembelajaran motivasi yang
berhubungan dengan sikap percaya diri, berhubungan dengan kehidupan/pengalaman siswa yang
aktual, berhubungan dengan minat/perhatian siswa, berhubungan dengan evaluasi terhadap siswa,
dan berhubungan dengan rasa bangga dengan apa yang dicapai oleh siswa (Rahman, 2014). Adanya
hubungan timbal balik dalam proses belajar mengajar dikelas baik antara guru dengan siswa atau
antar siswa sendiri, sehingga proses belajar mengajar akan lebih menyenangkan yang dapat
mempengaruhi meningkatnya hasil belajar siswa. Penggunaan model pembelajaran motivasi tidak
hanya berfokus kepada guru tetapi dapat membuat siswa untuk turut lebih aktif dalam proses belajar
mengajar.
Model pembelajaran ARIAS diawali dengan kegiatan guru yang memberikan motivasi
kepada siswa dengan membangkitkan percaya diri siswa terlebih dahulu dengan menampilkan potret
salah satu tokoh terkenal atau menyampaikan materi prasyarat yang dapat memotivasi siswa agar
berhasil mengikuti semua kegiatan pembelajaran dengan menggunakan suatu standar yang
memungkinkan siswa untuk mencapainya, mengembangkan sikap mental dan emosi, serta percaya
diri siswa.
Guru selanjutnya menyampaikan tujuan pembelajaran dan manfaat materi atau relevansi
pembelajaran terhadap kehidupan siswa baik sekarang maupun akan datang. Guru akan melanjutkan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 97
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
dengan menumbuhkan minat siswa untuk selalu aktif dalam proses pembelajaran dengan
menggunakan variasi dengan cara membagikan siswa dalam beberapa kelompok dan guru akan
mengajar dengan memberikan beberapa contoh yang dapat membuat siswa menjadi mudah mengerti
terhadap materi tersebut dan siswa selalu tertarik dalam mengikuti pelajaran.
Hubungan antara minat dan pembelajaran dalam literatur minat telah difokuskan pada tiga
jenis minat yakni individu, situasional, dan topik. Minat individu yang dianggap sebagai
kecenderungan individu untuk menghadiri terhadap rangsangan tertentu, peristiwa, dan benda. Minat
situasional yang ditimbulkan oleh aspek-aspek tertentu dari lingkungan hidup. Ini termasuk fitur
konten seperti aktivitas manusia atau tema kehidupan, dan fitur struktural seperti cara di mana tugas
diatur dan disajikan. Minat topik, tingkat minat dipicu ketika topik tertentu disajikan, tampaknya
memiliki kedua aspek individu dan situasional (Berndorff, et al., 2002). Guru selanjutnya
mengadakan evaluasi yaitu memberikan tugas kepada siswa dan siswa mengerjakan secara kelompok.
Hasil dari tugas kelompok tersebut dapat dipersentasikan atau diperiksa oleh guru. Penilaian dan
pemberian penguatan atas keberhasilan siswa merupakan langkah selanjutnya dalam proses
pembelajaran dengan model ARIAS.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dalam proses pembelajaran materi pokok
reaksi reduksi oksidasi diperlukan model pembelajaran yang dapat mengatasi permasalahan tersebut,
salah satunya adalah penerapan model pembelajaran ARIAS.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas atau classroom action research.
Subyek Penelitian
Siswa kelas X IPA MA Syaikh Zainuddin NW Anjani Lombok Timur NTB pada semester
genap tahun ajaran 2016/2017 sebanyak 29 siswa. Penelitian ini sebanyak dua siklus yang terdiri dari
tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi.
Teknik Pengumpulan Data
• Pengamatan. Teknik ini bertujuan untuk mengumpulkan data penelitian mengenai, aktivitas siswa
• Pemberian tes penguasaan konsep. Teknik ini digunakan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran
terhadap peningkatan penguasaan konsep siswa. Pada tes penguasaan konsep tes pilihan ganda sesuai
dengan tujuan pembelajaran dan indikator yang tercantum pada RPP.
Teknik Analisis Data
Data-data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis secara deskriptif kualitatif dan
kuantitatif. Data aktivitas siswa dihitung melalui persentase. Data hasil belajar siswa dianalisis sesuai
Permendikbud No.104 tentang Pedoman Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Perencanaan Penelitian
Perencanaan pembelajaran pada penelitian tindakan kelas ini mengacu pada penggunaan
model pembelajaran ARIAS.
Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) disusun dengan menggunakan tahapan-tahapan
dalam model pembelajaran ARIAS yaitu assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction.
Selain itu, peneliti menyiapkan lembar evaluasi yang disesuaikan dengan materi pembelajaran yang
diajarkan yaitu tentang reaksi oksidasi reduksi. Peneliti juga menyiapkan lembar observasi guru dan
lembar observasi siswa yang mengacu pada tahapan-tahapan model pembelajaran ARIAS serta
instrument penelitian lainnya yaitu catatan lapangan, angket dan dokumentasi. Kemudian
menyiapakan media pembelajaran serta LKS untuk menarik minat dan perhatian siswa dan membantu
siswa menemukan konsep dalam pembelajarannya.
Deskripsi Pelaksanaan Tindakan Siklus ke-1
Penelitian siklus ke-1 dilaksanakan 2 s/d 12 maret 2016 pada pertemuan 1. Jumlah siswa yang
hadir yaitu 29 siswa. Materi yang disampaikan yaitu tentang konsep reaksi reduksi oksidasi. Kegiatan
awal pada tindakan pertama yaitu Guru memberi salam serta mempersilahkan siswa untuk berdoa
dan mengecek kehadiran siswa, kemudian menyampaikan apersepsi dan tujuan pembelajaran.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 98
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Kegiatan inti dilakukan sesuai dengan tahapan model pembelajaran ARIAS. Pada tahap assurance,
Guru memotivasi belajar siswa secara kontekstual sesuai manfaat dan aplikasi materi ajar dalam
kehidupan sehari-hari dan menanamkan rasa percaya diri kepada siswa dalam mengikuti proses
belajar mengajar dengan mengajukan pertayaan untuk menuntun siswa dalam mempelajari topik yang
akan dibahas seperti mengulas sekilas tentang materi sebelumnya yaitu materi ikatan kimia yang
berkaitan dengan materi yang akan di bahas sekarang berupa tanya jawab seperti unsur apa saja yang
dapat membentuk ikatan ion dan mengapa buah apel, kentang, pisang, dan manggis yang tadinya
berwarna putih setelah dibiarkan di udara menjadi warna coklat.
Pada tahap relevance, guru menjelaskan tujuan dan manfaat mempelajari materi reaksi
oksidasi reduksi terkait dengan penomena yang diamati. Pada tahap interest, guru mengadakan
beberapa variasi dalam pembelajaran untuk menarik minat dan perhatian siswa. guru menjawab
pertayaan atau mengklarifikasikan jawaban siswa mengenai pertayaan yang dikemukakan di awal
kemudian membentuk kelompok dan memberikan LKS pokok pembahasan tentang konsep oksidasi
reduksi dan melakukan percobaan reaksi pembakaran. Setelah itu guru membimbing dan mengamati
siswa selama berdiskusi mengerjakan LKS serta menilai siswa yang aktif dalam kelompok dan
kerjasama antar kelompok dalam menyelesaikan LKS.
Pada tahap assessment, Secara berkelompok siswa diminta untuk mempresentasikan hasil
percobaannya ke depan kelas dengan menggunakan suara yang jelas dan guru meminta kelompok
lain mendengarkan dan menghargai setiap pendapat kelompok yang mempresentasikan hasil
percobaannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang telah diberikan dan guru memberikan
umpan balik terhadap jawaban siswa dengan mengacu pada kunci LKS. Pada tahap satisfaction, guru
bersama siswa menyimpulkan materi yang sudah dipelajari dan guru memberikan penghargaan
berupa nilai tambahan kepada kelompok yang memperoleh nilai baik. Setelah itu, mengadakan
evaluasi dengan membagikan soal untuk mengetahui hasil belajar siswa terhadap materi yang
diajarkan.
Pertemuan 2 jumlah siswa yang hadir yaitu sebanyak 29 siswa, materi yang diajarkan yaitu
tentang bilangan oksidasi unsur dalam senyawa atau ion. Pembelajaran dilakukan dengan mengikuti
langkah-langkah pada pembelajaran sebelumnya. Pada tindakan ini siswa melakukan percobaan
reaksi Fe dengan larutan CuSO4 dan logam seng (Zn) dengan larutan CuSO4.
Pertemuan 3 jumlah siswa yang hadir yaitu sebanyak 29 siswa. Materi yang diajarkan adalah
mengenai tata nama senyawa. Pembelajaran dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah pada
pembelajaran sebelumnya. Bedanya pada tahap interest, siswa tidak melakukan praktikum hanya saja
menjawab LKS secara berkelompok.
Refleksi Siklus ke-1
Berdasarkan hasil analisis siklus ke-1, maka perlu diadakan perbaikan sebagai berikut.
1. Mengondisikan siswa agar tidak banyak main-main atau ribut dalam mengikuti proses
pembelajaran.
2. Menanamkan rasa percaya diri agar lebih berani dan tidak malu untuk berpendapat.
3. Memberikan arahan yang jelas kepada siswa agar lebih fokus terhadap pembelajaran.
4. Membimbing dan mendorong siswa lebih percaya diri dalam menyimpulkan pembelajaran.
5. Pembagian kelompok yang bersifat heterogen
Deskripsi Pelaksanaan Tindakan Siklus ke-2
Penelitian siklus ke-2 dilaksanakan pada tanggal 6 s/d 16 april 206 pertemuan 1. Jumlah siswa
yang hadir yaitu 29 siswa. Materi yang diajarkan yaitu tentang konsep reaksi oksidasi reduksi.
Pembelajaran dilakukan sesuai tahapan yang dilakukan pada tindakan sebelumnya.
Pertemuan 2 jumlah siswa yang hadir yaitu 29 siswa. Materi yang diajarkan adalah tentang bilangan
oksidasi unsur dalam senyawa atau ion.
Pelaksanaan pembelajaran pada tindakan 2 ini mengikuti langkah-langkah pada pembelajaran
sebelumnya. Bedanya pada kegiatan inti siswa membedakan media
gambar yang ditampilkan mengenai bilangan oksidasi unsur dalam senyawa atau ion
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 99
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Tindakan 3 jumlah siswa yang hadir yaitu 29 siswa. Materi yang diajarkan adalah tata nama senyawa.
Pelaksanaan pembelajaran pada tindakan 3 ini mengikuti langkah-langkah pada pembelajaran
sebelumnya.
Refleksi Siklus ke-2
Berdasarkan data yang diperoleh dan telah dianalisis, penerapan model ARIAS pada
pembelajaran Kimia materi reaksi oksidasi reduksi memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi lebih
banyak, menarik minat dan perhatian siswa dalam tahap interest, memotivasi siswa untuk lebih
semangat belajar, serta menciptakan pembelajaran yang membekali pengalaman dan bermakna untuk
siswa. Untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran pada pembelajaran berikutnya maka
temuan-temuan tersebut harus diperbaiki yaitu:
1. Meningkatkan pengelolaan kelas dalam mengondisikan kelompok .
2. Memberikan dorongan dan bimbingan kepada siswa yang masih kurang percaya diri.
3. Pemberian motivasi dengan cara bervariasi.
PEMBAHASAN
Aktivitas Siswa
Untuk menguji keberhasilan penerapan model pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran siklus I dan
siklus II diamati menggunakan lembar pengamatan aktivitas siswa yang diamati oleh dua orang
pengamat selama tiga kali pertemuan.
Hasil Analisis peningkatan persentase aktivitas belajar siswa siklus I, dan siklus II dapat dilihat pada
Tabel 1. Indikator aktivitas belajar siswa
∑S Siklus I Siklus II
PR1 PR2 PR3 PR1 PR2 PR3
Rata-rata Persentasi Aktivitas Belajar Siswa %
Rata-Rata Persentasi Aktivitas Belajar Siswa %
1 29 21.98 21.84
2 29 14.04 14.11
3 29 6.71 5.66
4 29 7.94 8.69
5 29 9.17 9.52
6 29 10.28 11.81
7 29 14.41 14.41
8 29 6.71 7.83
9 29 3.00 1.40
Dominasi siswa 93.91 97.09 100 97.50 98.31 100
Hasil pengamatan aktivitas siswa selama proses pembelajaran pada uji lapangan dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Aktivitas Siswa pada Uji Lapangan
Keterangan:
Aktivitas 1 : Mendengarkan /memperhatikan penjelasan guru/mengamati media
Aktivitas 2 : Membaca BAS dan LKS atau mencari informasi sesuai materi
Aktivitas 3 : Menyiapkan alat dan bahan sesuai rancangan percobaan
Aktivitas 4 : Melakukan percobaan sesuai LKS
Aktivitas 5 : Mendiskusikan pertanyaan dalam LKS
Aktivitas 6 : Mempresentasikana/menyampaiakan pendapat
Aktivitas 7 : Tanya jawab/Menanggapi pertanyaan teman atau guru
Aktivitas 8 : Menyimpulkan pelajaran
Aktivitas 9 : Berperilaku tidak relevan siswa
Aktivitas dominan siswa yang terjadi di kelas pada siklus 1 mengalami peningkatan di siklus 2, yakni
pada siklus 1 proses pembelajaran yang diproleh pada pertemuan ke-1 sebesar 93.91, pertemuan ke-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 100
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
2 sebesar 97.09, dan pertemuan ke-3 sebesar 100, sedangkan pada siklus II pertemuan ke-1 sebesar
97.50, pertemuan ke-2 sebesar 98.31, dan pertemuan ke-3 sebesar 100. Aktivitas siswa ini meliputi
aktivitas kerjasama antar kelompok/mendiskusikan pertanyaan dalam LKS, membaca BAS/LKS,
melakukan percobaan sesuai LKS, menganalisis data percobaan, mencatat data hasil pengamatan
dan hasil diskusi sesuai LKS, mempresentasikan atau menyampaikan pendapat, menanggapi
pertanyaan teman atau guru, tanya jawab dengan guru/siswa, menyimpulkan pelajaran.
Aktivitas yang tidak relevan dalam proses pembelajaran terjadi karena siswa tidak terbiasa
dengan metode saintifik dan melakukan percobaan dilaboratorium, oleh karena itu solusi yang
diterapkan guru dengan segera memberikan bimbingan kepada siswa dalam proses pembelajaran
dengan ini aktivitas siswa berjalan normal kembali dan perilaku siswa yang tidak relevan mengalami
penurunan untuk setiap pertemuan, bahkan pada pertemuan ke 3 perilaku siswa yang tidak relevan
tersebut tidak muncul lagi, ini dikarenakan siswa sudah dapat secara terus menerus terlibat aktif dalam
proses pembelajaran.
Adanya dominasi dari aktivitas siswa yang meliputi aktivitas fisik maupun mental di setiap
pertemuan dan keterlibatan siswa secara aktif selama proses pembelajaran berlangsung, menunjukkan
bahwa penerapan model pembelajaran ARIAS lebih berpusat pada siswa.
Penguasaan Konsep Siswa
Analisis ketuntasan individu setelah penerapan model pembelajaran ARIAS secara singkat
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Tes Penguasaan Konsep Siswa
Siswa No. SIKLUS I SIKLUS II Nilai Pr KET Nilai Pr KET
1 3.2 B+ T 3.4 B+ T
2 3.4 B+ T 3.5 B+ T
3 3.3 B+ T 3.3 B+ T
4 2.7 B- TT 3.3 B+ T
5 3.4 B+ T 3.8 A T
6 3.6 A- T 3.9 A T
7 2.2 C+ TT 2.4 C+ TT
8 3.5 B+ T 3.5 B+ T
9 3.2 B+ T 3.2 B+ T
10 3.6 A- T 3.6 A- T
11 3.3 B+ T 3.3 B+ T
12 2.7 B- TT 2.8 B- T
13 3.6 A- T 3.6 A- T
14 3.4 B+ T 3.5 B+ T
15 3.8 A T 3.8 A T
16 2.6 B- TT 3.1 B T
17 3.4 B+ T 3.4 B+ T
18 3.2 B+ T 3.4 B+ T
19 3.5 B+ T 3.5 B+ T
20 3.4 B+ T 3.6 A- T
21 2.6 B- TT 3.1 B T
22 3.6 A- T 3.6 A- T
23 3.5 B+ T 3.5 B+ T
24 2.4 C+ TT 2.5 C+ TT
25 3.2 B+ T 3.6 A- T
26 3.4 B+ T 3.4 B+ T
27 3.3 B+ T 3.3 B+ T
28 3.4 B+ T 3.5 B+ T
29 2.9 B T 3.4 B+ T
Rata-Rata 3,20 3,40
Ketuntasan Klasikal 79,31% 93,10%
% Peningkatan 13,79%
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 101
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Keterangan:
KET : Ketuntasan Individual
T : Tuntas
TT : Tidak Tuntas
Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I sebesar 79.31% mengalami peningkatan pada
siklus II sebesar 93.10%. Dilihat dari nilai rata-rata hasil belajar siswa bahwa ketuntasan individual
siswa pada siklus I dari 29 siswa 23 siswa dinyatakan tuntas dan 6 siswa dinyatakan tidak tuntas
sedangkan pada siklus II dari 29 siswa 27 siswa dinyatakan tuntas dan 2 siswa dinyatakan tidak
tuntas.
Dari hasil persentasi ketuntasan klasikal hasil belajar siswa pada siklus II sudah mencapai
standar yang diinginkan yaitu persentase klasikal yang diproleh siswa sebesar 93,10% ini
menunjukkan lebih dari 85%. Dari hasil tersebut ditetapkan bahwa indikator penelitian sudah
tercapai. Oleh karena itu tidak perlu lagi mengulangi tindakan, dalam arti tindakan dapat dihentikan.
Berdasarkan nilai rata-rata hasil belajar siswa dapat disimpulkan bahwa penerapan model
pembelajaran ARIAS dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa terhadap materi yang
disampaikan oleh guru.
Penggunaan lima tahap dalam model pembelajaran ARIAS yakni Assurance, Relevance,
Interest, Assessment, dan Satisfaction dapat meningkatkan baik kemampuan pengajaran
kontruktivistik maupun lima domain dalam taksonomi untuk pendidikan sains, sehingga diharapkan
akan meningkatkan kemampuan minimal anak-anak yang tercermin dalam lima ranah tersebut, yaitu
pengetahuan, keterampilan, kreativitas, sikap, dan penerapan sains yang dikaitkan dalam kehidupan
nyata (Prasetyo, 2011).
Proses pembelajaran materi reaksi oksidasi reduksi yang menggunakan model pembelajaran
ARIAS terbukti efektif mampu meningkatkan penguasaan konsep siswa, hal tersebut dapat terjadi
karena pembelajaran menggunakan model ini dianggap menarik oleh siswa sesuai dengan teori Piaget
bahwa faktor utama yang mendorong perkembangan kognitif seseorang adalah motivasi atau daya
diri si individu sendiri untuk mau belajar dan berinteraksi dengan lingkungannya (Slavin, 2008). Agar
dalam diri siswa dapat termotivasi untuk belajar, guru berperan untuk menciptakan pembelajaran
yang menarik, salah satunya adalah seperti yang telah disebutkan di atas yaitu dengan menerapkan
model pembelajaran motivasi yaitu model pembelajaran ARIAS dalam pembelajaran kimia.
Fase Assurance pada tahapan ARIAS, membantu siswa mengingat kembali pengetahuan
prasyarat dan memberikan motivasi kepada siswa secara kontekstual sesuai manfaat dan aplikasi
materi ajar dalam kehidupan sehari-hari seperti memberikan demontrasi, menyajikan fenomena-
fenomena, fakta-fakta yang berkaitan atau berhubungan dengan materi reaksi oksidasi reduksi serta
mengajukan pertayaan agar siswa memiliki rasa ingin tahu dan diharapkan lebih aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Penyampaian materi prasyarat dan motivasi yang diberikan kepada siswa ditunjukkan
agar memunculkan sikap positip siswa terhadap dirinya sendiri sehingga mereka sadar akan kekuatan
diri dalam mengikuti pembelajaran. Salah satu cara yang digunakan untuk mempengaruhi sikap
percaya diri adalah membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan pada
siswa gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Pendapat ini sesuai dengan teori Gagne menyatakan
bahwa siswa harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa belajar dengan harapan akan
dapat memenuhi keingintahuan mereka tentang suatu pokok bahasan, akan berguna bagi mereka atau
dapat menolong mereka untuk memproleh angka yang lebih baik. Menurut Gagne bagian yang paling
kritis dalam proses belajar adalah pemberian kode pada informasi yang berasal dari memori jangka
pendek yang disimpan dalam memori jangka panjang. Guru dapat berusaha menolong siswa-siswa
dalam mengingat atau mengeluarkan pengetahuan yang disimpan dala memori jangka panjang itu.
Cara menolong ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertayaan-pertayaan pada siswa, yang
merupakan suatu cara pengulangan.
Fase relevance (relevansi) dalam pembelajaran kimia pada umumnya hendaknya pendidik
memakai contoh-contoh yang relevan supaya proses pembelajaran lebih bermakna, sehingga siswa
akan terdorong atau termotivasi dan lebih percaya diri dalam mempelajari sesuatu yang akan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 102
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
dipelajari jika ada hubungannya dengan kehidupan mereka sehari-hari dan memiliki tujuan yang jelas.
Pendapat ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ausubel bahwa pembelajaran bermakna
merupakan suatu proses pembelajaran dimana infomasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian
yang sudah dimiliki seseorang yang sedang dalam proses pembelajaran. Pembelajaran bermakna
terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka.
Tahap interst (minat) guru membangkitkan minat dan keingintahuan siswa dengan cara
membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Guru memberikan kesempatan pada siswa belajar
dengan melakukan percobaan pada tahap ini. Fase ketiga dari sintak ARIAS ini sesuai dengan teori
belajar penemuan yang dikemukakan oleh Bruner. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar
melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka memperoleh
pengalaman dan melakukan eksperiemen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan
prinsip-prinsip itu sendiri. Salah satu cara menumbuhkan intelektual anak menurut Bruner adalah
meningkatkan kemampuan untuk menyampaikan pengalaman yang telah dilakukan dan yang akan
dilakukan.
Peningkatan aspek pengetahuan tersebut juga berkaitan erat dengan aktivitas siswa dan respon
yang ditunjukkan siswa. Adanya respon positif dari siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung
juga dapat mempertinggi harapan untuk mencapai keberhasilan. Respon positif tersebut merupakan
salah satu bukti bahwa proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas menyenangkan dan menarik.
Adanya suasana dan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan, akan memotivasi dan
merangsang siswa untuk ingin belajar sehingga pada akhirnya akan meningkatkan hasil belajar
mereka.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis, diskusi, dan temuan dalam penelitian, maka dapat disimpulkan
bahwa penerapan model pembelajaran ARIAS efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa
pada materi pokok reaksi oksidasi reduksi.
Saran
Perlu dilakukan penelitian penerapan model pembelajaran ARIAS untuk meningkatkan
pengajaran konsep kimia pada materi pokok yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Kriana, N.A., Waluyo, J. & Prihatin, J. (2014). Penerapan Model Pembelajaran Arias (Assurance,
Relevance, Interest, Assessment, And Satisfaction) Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan
Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas XI IPA 4 MAN 1 Jember. (Vol. 3, No. 2, hal 73-82, Mei
2014).
Akbar, S. (2013). Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Berndorff, D., Hidi, S., & Ainley, M. (2002). Interest, Learning, and the Psychological Processes that
Mediate their Relationship. Journal of Educational Psychology. 94(3):545–561.
Kemendikbud. (2013c). Permendikbud No.66 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta:
Kemendikbud.
Kemendikbud. (2014). Permendikbud No.104 tentang Pedoman Penilaian Hasil Belajar oleh
Pendidik. Jakarta: Kemendikbud.
Prasetyo, Z.K. (2011). Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Sains. Yogyakarta: Pendidikan IPA
FMIPA UNY. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/zuhdan-kun-prasetyo-
med-dr-prof/handbook-pendidikan-karakter-2011.pdf. Diakses pada tanggal 4 Maret 2015.
Rahman, M. dan Amri, S. (2014). Model Pembelajaran ARIAS Terintegratif dalam Teori dan Praktik
untuk Menunjang Penerapan Kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Riduwan. (2012). Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Slavin, R.E. (2011b). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik. Jilid 1. Edisi Kesembilan. Jakarta: PT.
Indeks.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 103
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PENGEMBANGAN MEDIA ANIMASI DENGAN APLIKASI MAKROMEDIA
FLASH PADA MATERI LISTRIK STATIS UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN
KONSEP MAHASISWA
Bq Azmi Syukroyanti 1 Wirawan Putrayadi 2 1,2IKIP Mataram
e-mail: [email protected].
Abstrak: Pengembangan media pembelajaran sangatlah penting guna mendukung proses belajar
mengajar di kelas supaya konsep konsep abstrak di bidang fisika dapat dimengerti dan dipahami
dengan mudah. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengembangkan Media Animasi Dengan
Aplikasi Makromedia Flash Pada Materi Listrik Statis, (2) Mengetahui peningkatan Pemahaman
Konsep Mahasiswa dengan media animasi yang dikembangkan. Jenis penelitian ini adalah
penelitian pengembangan model ADDIE (Analisis, Desain, Development, Implementation,
Evaluation). Variabel dalam penelitian ini ada 2 yakni Variabel bebas dan terikat, Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah media animasi dengan aplikasi makromedia flash. Sedangkan variabel
terikat dalam penelitian ini adalah Pemahaman Konsep Mahasiswa. Dalam penelitian ini data
dikumpulkan dengan angket Angket dan Tes. Angket digunakan untuk mengukur indikator program
yang berkenaan dengan, isi program media pembelajaran, tampilan program dan kualitas teknis
program. Angket menggunakan format respon empat point dari skala likert, dimana alternatif
responnya adalah sangat baik (4 point), baik (3 point), kurang baik (2 point) dan jelek (1 point).
Sedangkan Tes digunakan untuk mengetahui pemahaman konsep mahasiswa setelah belajar
menggunakan media animasi. rata – rata pemahaman konsep mahasiswa pendidikan fisika Ikip
Mataram pada materi Listrik Statis adalah 74,67% dalam kategori sedang.
Kata Kunci : Media animasi, Makromedia flash, Listrik statis, Pemahaman konsep.
PENDAHULUAN
Model pembelajaran fisika dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis komputer
sangat sesuai dengan hakikat standar proses pembelajaran. Pendidikan harus diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik.
Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa metode dan media pembelajaran
yang di aplikasikan kebanyakan pendidik sains umumnya kurang menyiapkan siswa untuk terlibat
dalam upaya penggunaan dan pengembangan pola penalaran sains. Pembelajaran umumnya lebih
berpusat pada guru. Siswa kurang dilibatkan dalam mendiskusikan dan menanyakan sebagai
informasi yang berkaitan dengan materi pembelajaran, melainkan tidak lebih dari sekedar
mendengarkan secara pasif, menghafalkan rumus, dan mengulangi jawaban-jawaban yang
diharapkan sehingga tuntutan hakikat standar proses pembelajaran tidak terpenuhi.
Macromadia flash adalah sebuah aplikasi animasi yang telah banyak digunakan oleh para
desainer untuk menghasilkan desain yang professional. Macromedia flash dengan keunggulannya
dapat digunakan untuk membuat berbagai animasi yang menarik sehingga dengan program ini
pembelajaran fisika dapat dikemas menjadi lebih menarik bagi siswa. Program ini cukup fleksibel
dan lebih unggul dibandingkan program animasi lain yang sejenis, sehingga banyak animator yang
mulai menggunakan program ini untuk membuat animasi. Dengan menggunakan program inipun
dapat juga dibuat animasi yang bagus. Hal ini sangat bergantung pada daya kreativitas dan selera
seni programer.
Pengembangan media pembelajaran menggunakan media Macromedia Flash ini masih
jarang dilakukan. Sehingga diperlukan pengembangan dalam mendesain sebuah media animasi
berbasis macromedia flash dengan teknik dan metode pengembangan yang sesuai, mulai dari tahap
perencanaan (persiapan), desain media pembelajaran, Review (pengecekan desain), dan pengujian
desain media pembelajaran Materi listrik statis. Alasan peneliti mengembangkan media materi
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 104
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
listrik statis adalah karena dalam materi ini sangat abstrak, Listrik statis dapat menjelaskan
bagaimana sebuah penggaris yang telah digosok-gosokkan ke rambut dapat menarik potongan-
potongan kecil kertas. Gejala tarik menarik antara dua buah benda seperti penggaris plastik dan
potongan kecil kertas dapat dijelaskan menggunakan konsep muatan listrik. Muatan listrik hanya
dapat di amati dampaknya tetapi bukan kongkritnya.
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini mengacu pada pengembangan ADDIE yang meliputi lima tahap
yaitu:
Gambar 3.1 bagan prosedur penelitian pengembangan
3.2 Teknik Analisa Data
Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data dari lembar validator, dan angket
respon mahasiswa.
1. Analisis data kelayakan hasil validasi oleh validator ahli akan dianalisis secara deskriptif
kualitatif, yaitu dengan memberikan gambaran dan paparan kualitas dari media
pembelajaran. Perolehan data dari penilaian para ahli dianalisis dengan menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
a) Menghitung skor rata-rata penilaian menggunakan rumus:
N
XX
………………………………………………. (3.1)
Keterangan :
X : Skor rata-rata
X : Jumlah skor
N : Jumlah butir pertanyaan
b) Mengubah skor rata-rata yang diperoleh ke dalam bentuk kualitatif berdasarkan Tabel
3.1 berikut:
Analisis Kebutuhan
Perencanaan pembuatan
media
Evaluasi Ahli Pengembangan / Produksi
media
Pelaksanaan (uji coba ahli
materi dan media)
Pelaksanaan (uji coba
pemakaian oleh mahasiswa) Revisi 2
Revisi 1
Evaluasi Akhir / Produk akhir
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 105
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Table 3.2 Kriteria Penilaian Produk
Skor rata-rata ( X ) Kriteria
3,25 < X 4,00 Sangat baik (SB)
2,50 < X 3,25 Baik (B)
1,75 < X 2,50 Kurang (K)
1,00 < X 1,75 Jelek (J)
1. Analisis pemahaman konsep mahasiswa menggunakan soal pilihan ganda dengan terlebih
dahulu menyusun kisi-kisi soal pemahaman konsep. Perolehan data yang dianalisis dengan
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
Untuk mengukur peningkatan Pemahaman konsep siswa digunakan tes tertulis
berbentuk pilihan ganda. Penilaian tes pilihan ganda menggunakan rumus sebagai berikut:
x 100%....................................................................................(3.3)
Keterangan:
x = persentase pemahaman konsep yang dimiliki siswa
a = skor rata-rata jawaban benar yang dicapai siswa
b = skor maksimal yang mungkin dicapai
Setelah diperoleh nilai ” x ”, kemudian diterjemahkan menurut kriteria di bawah ini
Tabel 3.4 Kualifikasi Tingkat Pemahaman Konsep Fisika mahasiswa
Persentase (%) tingkat pemahaman
konsep Fisika siswa
Ketegori
80 < x ≤ 100 Tinggi
56 ≤ x ≤ 79 Sedang
0 ≤ x ≤ 55 Rendah
(Syamsinar, 2013)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rancangan media animasi Listrik Statis telah divalidasi dan diperbaiki sesuai saran dan
masukan pakar, selanjutnya di uji coba awal pada 10 mahasiswa dan 5 orang mahasiswa pada uji
coba kelompok kecil. Uji coba awal ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keterbacaan dan
kemudahan akses materi, hal ini penting dalam rangka perbaikan media animasi yang didasarkan
pada persepsi mahasiswa sebagai pengguna. Pada tahap ini diperoleh beberapa informasi penting
untuk perbaikan media. Hasil uji coba awal dan dampaknya terhadap media dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Hasil Uji Coba Awal dan Dampaknya Terhadap Media
Komponen Yang Perlu Perbaikan Substansi Perbaikan Pada Media
Ukuran dan Jenis Huruf Ukuran huruf pada materi harus diperbesar, karena ketika
terlihat pada slide sangat kecil
Tambahan Pada Slide Awal Ditambahkan kata media animasi fisika, nama peneliti,
dan Keterangan lembaga
Gambar Tampilan Pada Menu
Evaluasi
Pada menu evaluasi ditambahkan tampilan selait yang
lebih menarik dan berwarna
Tambahan Teori Ditambahkan teori-teori yang menunjang kegiatan
pembelajaran pada konsep hukum coloumb, dan medan
listrik
Tombol perintah dan lanjutan
belum jelas
Memperjelas tombol perintah yang mengarah ke lanjut
dan animasi, serta tombol kembalinya
Pada menu evaluasi di tampilkan
kunci jawaban
Di akhir sesi evaluasi, dibuatkan kunci jawaban sehingga
mahasiswa bisa mengoreksi sendiri letak kesalahannya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 106
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Setelah melakukan perbaikan pada media animasi dari masukan pada uji coba awal
selanjutnya dilakukan uji coba terbatas pada 5 orang mahasiswa. Uji coba terbatas ini dimaksudkan
untuk mendapatkan sejumlah informasi tambahan yang berkaitan dengan penggunaan media
animasi dalam pembelajaran fisika. Hasil uji coba terbatas dan dampaknya terhadap media animasi
adalah terlihat pada tabel 5.
Tabel 5 Hasil Uji Coba Terbatas dan Dampaknya Pada Media Animasi
Komponen Yang Perlu Perbaikan Substansi Perbaikan Pada Media
Tambahan materi
Pada awalnya materi yang disajikan hanya
memuat gambar dan perumusan langsung
setelah mendapatkan masukan maka
perbaikan dilakukan pada pengantar sebelum
rumus dan Keterangannya
Waktu pembelajaran yang terbatas
Perlu mempertimbangkan untuk memadukan
sesi tampilan media, mode pembelajaran,
diskusi dan penjelasan materi dengan tes
pemahaman konsep mahasiswa agar waktu
yang tersedia dapat dioptimalkan
Dari hasil uji coba awal maupun uji coba terbatas, selanjutnya digunakan untuk
menyempurnakan media animasi dan mempersiapkan desain pembelajaran yang tepat. Media yang
telah disempurnakan kemudian diujicobakan di skala pengujian yang lebih luas pada tahap
pengujian media di kelas penelitian.
1. Hasil Pemahaman konsep Mahasiswa
Tabel Analisis Data Pemahaman Konsep Mahasiswa
NO Nama Siswa Soal a x Kategori
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (%)
1 Nurfatimah 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 7 70 Sedang
2 Siti bayyinah H 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 100 Tinggi
3 Lintang Pratama 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 5 50 Rendah
4 Reni safitri 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Tinggi
5 Ridha Asri cahyani 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 100 Tinggi
6 Toby Exandra 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 6 60 Sedang
7 Sumarni A Gere 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 8 80 Tinggi
8 Lalu Muh Alfian 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 8 80 Tinggi
9 M. Yusril Yusuf 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 8 80 Tinggi
10 Sri Latifa 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 9 90 Tinggi
11 Ade Kurnia Ardian 1 1 1 0 0 1 0 1 1 0 6 60 Sedang
12 Astiana alfrida wati 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 8 80 Tinggi
13 Eka Febriyanti 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 6 60 Sedang
14 Khairunnisa 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 6 60 Sedang
15 M. Arafatir Aljar 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 6 60 Sedang
Jumlah 1120
Rata – rata 74,67 Sedang
Perhitungan Tes Pemahaman Konsep mahasiswa
Data pemahaman konsep siswa dianalisis dengan rumus :
Keterangan:
x = persentase pemahaman konsep yang dimiliki mahasiswa
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 107
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
a = skor rata-rata jawaban benar yang dicapai mahasiswa
b = skor maksimal yang mungkin dicapai (10)
n = jumlah mahasiswa
rata – rata pemahaman konsep mahasiswa adalah :
Kualifikasi Tingkat Pemahaman Konsep Fisika mahasiswa
Persentase (%) tingkat pemahaman
konsep Fisika siswa
Ketegori
80 < x ≤ 100 Tinggi
56 ≤ x ≤ 79 Sedang
0 ≤ x ≤ 55 Rendah
Jadi rata – rata pemahaman konsep mahasiswa pendidikan fisika Ikip Mataram pada materi
Listrik Statis adalah 74,67% dalam kategori sedang.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, Dede. 2014. Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Flash pada Mata Pelajaran
IPA Terpadu Pokok Bahasan Wujud Zat dan Perubahannya Kelas VII SMP N 5 Satu
Atap Bumijawa, Skripsi, Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Ginanjar, Anton. 2010. Pengembangan Media Pembelajaran Modul Interaktif Mata Kuliah
Pemindahan Tanah Mekanik, Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Holiwarni, Betty. 2013. Pengembangan Media Pembelajaran Berbantukan Komputer (Computer
Assisted Instruction/CIA) UNTUK Pembelajaran Kimia Sma, Jurnal Sorot Vol 9 No 1
April Hal 1 –12, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau.
Rahman, Arief. 2010. Perancangan media pembelajaran fisika berbasi animasi komputer untuk
sekolah menengah atas pokok bahasan hukum newton tentang gerak, Skripsi, Program
Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad
Dahlan. Yogyakarta.
Syamsinar. 2013. Pemahaman Konsep Siswa Kelas X SMA Negeri 9 Palu pada Materi Pembiasan
Cahaya. Palu: Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako. ISSN 9 772338 324004. Hal (1 -5)
Widyoko, Eko Putro. 2012. Tehnik Penyususnan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka belajar
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 108
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PELAKSANAAN KEWENANGAN GUBERNUR
DALAM PENGAWASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
DI NUSA TENGGARA BARAT
Darmini
Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Komputer Mataram
e-mail: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara normatif mengenai bagaimana
pelaksanaan pengawasan kewenangan Gubernur selaku Kepala Daerah terhadap pengawasan
pembentukan Peraturan Daerah di Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini tergolong penelitian hukum
normatif dan empirik yang mengkaji bahan-bahan hukum sekaligus efektifitasnya di lapangan (law
in action). Bentuk pengawasan preventif yang terpenting dalam kaitannya dengan pengawasan
terhadap Peraturan Daerah adalah pengesahan (goedkering), sebagai salah satu dari alat dengan
mana pemerintah pusat mengadakan pengawasan atas badan hukum publik bawahan. Gubernur
dalam melaksanakan kewenangannya dalam pengawasan pembentukan Peraturan Daerah belum
efektif dikarenakan Kabupaten/Kota tidak konsisten terhadap berbagai peraturan perundang-
undangan tentang pengawasan. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum seluruhnya
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota kepada Gubernur
untuk dilakukan evaluasi, klarifikasi dan fasilitasi sesuai batas waktu yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kata Kunci: Pengawasan, Kewenangan, Peraturan Daerah
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemerintahan Daerah merupakan sub sistem dari Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Oleh karena itu segala tujuan dan cita-cita yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah juga cita-cita dan tujuan Pemerintah
Daerah yang harus dicapai. Dengan desentralisasi, Pemerintah Daerah merupakan pemegang
kendali pelaksanaan Pemerintahan di Daerah.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan bahwa
pemberian otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan (public service), pemberdayaan (empowerment), dan peran serta
masyarakat (participation) dalam pembangunan nasional di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Selanjutnya melalui otonomi luas, daerah mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi Pancasila, pemerataan, keistimewaan, dan kekhususan, serta
potensi, karakteristik/kondisi khusus, dan keanekaragaman daerah dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelenggaraan otonomi daerah sangat menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah. Di samping itu penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang
diwujudkan dalam bentuk pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nsional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan otonomi daerah
secara utuh pada daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan daerah Provinsi hanya berkedudukan
sebagai daerah otonom dan sekaligus wilayah administratif yang melaksanakan kewenangan
pemerintah yang didelegasikan kepada Gubernur.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 109
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Penyelenggaraan otonomi daerah yang demikian dalam implementasinya acapkali
menghadapi kendala antara lain dalam menetapkan kebijakan daerah. Oleh sebab itu, Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam Pasal 217 sampai dengan 223 mengatur tentang
kewenangan pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Peraturan
Daerah dan Peraturan kepala Daerah yang telah ditetapkan daerah. Selain itu, pembinaan dan
pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah ditetapkan pula dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Pasal 217 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa:
Pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh pemerintah,
meliputi:
a. Koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan;
b. Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
c. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan;
d. Pendidikan dan pelatihan, dan
e. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan
pemerintahan.
Sementara itu, Pasal 218 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menentukan,
bahwa:
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh pemerintah
yang meliputi:
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
b. Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.
Dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah,
pemerintah melimpahkan kewenangannya kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah.
Kewenangan yang dilimpahkan tersebut antara lain menyangkut kewenangan untuk melakukan
pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
Peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Daerah yang ada saat ini masih banyak
yang tumpang tindih, inkonsisten dan pertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan
yang lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih tinggi
dengan peraturan di bawahnya.
Dalam Pasal 220 sampai dengan Pasal 223 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah mengatur standar, norma, prosedur dan sanksi dapat diberikan oleh
Pemerintah dalam rangka pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Kepala
Daerah atau Wakil Kepala Daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah
dan kepala desa. Sanksi tersebut diberikan kepada daerah yang menetapkan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah yang materi muatannya tidak sesuai dengan kepentingan umum dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah penting untuk dikaji
secara normatif mengenai bagaimana pelaksanaan pengawasan pemerintah terhadap Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota dan implikasi yuridis atas pembatalan Peraturan Daerah yang tidak sesuai
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengkaji substansi
permasalahan dengan mengangkat judul “Pelaksanaan Kewenangan Gubernur Dalam Pengawasan
Pembentukan Peraturan Daerah di Nusa Tenggara Barat”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apakah Kewenangan Gubernur dalam pengawasan pembentukan Peraturan Daerah telah
dilaksanakan sebagaimana mestinya ?
2. Apa kendala dalam pengawasan pembentukan Peraturan Daerah di Nusa Tenggara Barat?
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 110
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
3. Apa yang menyebabkan tidak terlaksananya atau batalnya Peraturan Daerah di Nusa Tenggara
Barat dan Implikasi Yuridis terhadap Peraturan Daerah yang telah dibatalkan ?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengenai pelaksanaan kewenangan Gubernur dalam pengawasan
pembentukan Peraturan Daerah di Nusa Tenggara Barat, yakni:
a. Untuk mengetahui kewenangan Gubernur dalam pengawasan pembentukan Peraturan
Daerah di Nusa Tenggara Barat, apakah telah dilaksanakan sebagaimana mestinya;
b. Untuk mengetahui kendala dalam pengawasan pembentukan Peraturan Daerah di
Nusa Tenggara Barat;
c. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan tidak terlaksananya atau batalnya Peraturan
Daerah di Nusa Tenggara Barat dan untuk mengetahui implikasi yuridis terhadap
Peraturan Daerah yang sudah dibatalkan.
3.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pihak-pihak yang
berkepentingan baik untuk kepentingan praktis maupun teoritis sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum
khususnya ilmu hukum pemerintahan yang dapat dijadikan referensi dalam pengkajian
ilmu hukum dan perundang-undangan.
2. Manfaat praktis
Sebagai bahan masukan, baik bagi Pemerintah Daerah (Eksekutif) maupun bagi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif) di dalam Pembentukan Peraturan
Daerah di Nusa Tenggara Barat sehingga sesuai dengan asas-asas dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif dan empirik yang mengkaji bahan-
bahan hukum sekaligus efektifitasnya di lapangan (law in action).
a. Dalam penelitian normatif dipelajari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Yang dimaksud dengan bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat
mengikat yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang
dimaksud dengan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan
bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku atau literatur-literatur yang relevan
dengan masalah yang dibahas.
b. Dalam penelitian empirik dipelajari data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan. Adapun informasi atau
wawancara ini dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait. Sedangkan data sekunder
adalah data yang diperoleh melalui studi pustaka dengan mempelajari berbagai buku
dan tulisan yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah :
a. Pendekatan Peraturan perundang-undangan (statute approach), yakni mengkaji
Peraturan Perundang-undangan yang relevan dengan masalah yang di bahas.
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) yaitu pendekatan dengan
mengkaji konsep-konsep atau pandangan para ahli yang berhubungan dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
c. Pendekatan Socio legal, yaitu pendekatan yang melihat hukum sebagai gejala
sosial (implementasi) hukum di masyarakat.
2. Sumber bahan hukum dan data
a. Bahan Hukum
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 111
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat yang diperolah
dari peraturan perundang-undangan antara lain:
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
(3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
(4) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
(5) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
(6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
(7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2007 tentang
Tatacara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan Rancangan Peraturan Kepala
Daerah Tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(8) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 tentang
Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.
(9) Berbagai peraturan daerah yang berhasil diinventarisir.
2. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum yang
diperoleh dari buku-buku atau literatur-literatur yang relevan dengan masalah
yang dibahas.
b. Data
Data yang dikumpulkan berupa data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif yang
terdiri dari data primer dan data sekunder:
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka dengan
mempelajari berbagai buku dan tulisan-tulisan.
3. Prosedur pengumpulan data dan bahan hukum
a. Pengumpulan Data Primer dilakukan dengan menginventarisir, menyusun
berdasarkan subyek, selanjutnya dikaji / dipelajari kemudian diklasifikasi sesuai
dengan pokok masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Teknik
pengumpulan data ialah tehnik studi Dokumentasi dengan penggunaan alat Bantu
Kartu Kutipan (card system) berdasarkan pengarang / penulis (subyek) maupun
tema ataupun pokok masalah (obyek). Untuk data yang merupakan penunjang
kajian normatif diperoleh dengan melakukan wawancara dengan Kepala Biro
Hukum Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tim Pengawasan Peraturan Daerah
Nusa Tenggara Barat.
b. Pengumpulan Data Sekunder dilakukan dengan mengkaji data melalui dokumen-
dokumen hasil pengawasan Peraturan Daerah oleh Tim yang dibentuk oleh
Gubernur.
4. Analisis bahan hukum dan data
Setelah bahan hukum dan data penunjang terkumpul selanjutnya diklasifikasi
sedemikian rupa selanjutnya dianalisis secara deskriptif analitik untuk mendapatkan
jawaban permasalahan penelitian. Bahan-bahan hukum dianalisis dengan pemaparan
secara sistematis sesuai metode interpretasi hukum.
Teknik analisis data dalam jenis penelitian normatif dimulai dari identifikasi
masalah, yang kemudian dideskripsikan, disistematisasikan, dan disinkronisasikan
dengan seluruh ketentuan-ketentuan hukum positif.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 112
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pelaksanaan Kewenangan Gubernur Dalam Pengawasan Pembentukan Peraturan
Daerah
1.1. Tinjauan Umum Pengawasan
Pengawasan (controle) terhadap pemerintah menurut Paulus Effendi Lotulung,
adalah upaya menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja maupun tidak
disengaja, sebagai usaha preventif, atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi
kekeliruan itu, sebagai usaha represif.
Ditinjau dari segi saat / waktu dilaksanakannya suatu kontrol atau pengawasan,
menurut Paulus Effendi Lotulung, kontrol dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu Kontrol
A-Priori dan Kontrol A-Posteriori. Dikatakan sebagai Kontrol A-Priori, bilamana
pengawasan itu dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan
Pemerintah atau pun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi wewenang
Pemerintah. Dalam hal ini tampak jelas unsur preventif dari maksud kontrol itu, sebab tujuan
utamanya adalah mencegah atau menghindari terjadinya kekeliruan. Misalnya pengeluaran
suatu peraturan yang untuk berlaku sah dan dilaksanakan, harus terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dan pengesahan dari instansi atasan, atau peraturan pemerintah daerah-daerah
tingkat II (Kabupaten/Kota) harus mendapat pengesahan terlebih dahulu dari pemerintah
daerah tingkat I (Provinsi), demikian seterusnya. Sebaliknya, Kontrol A-Posteriori adalah
bilamana pengawasan itu baru terjadi sesudah terjadinya tindakan / putusan / ketetapan
Pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan / perbuatan Pemerintah. Dengan kata lain, arti
pengawasan di sini adalah dititikberatkan pada tujuan yang bersifat korektif dan memulihkan
suatu tindakan yang keliru.
Dalam Memorie van Antwoord atas ketentuan UUD 1983 Pasal 132 ayat (2)
disebutkan antara lain: ”Kebebasan yang luas dalam ikatan negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi tidak akan ada tanpa tersedia cara-cara dari pemerintah tingkat lebih atas untuk
melakukan berbagai koreksi.” Sedangkan dalam Memorie van Toelichting usul
pembaharuan UU Gemeente, terdapat penjelasan berikut; ”Fungsi terpenting pengawasan
adalah untuk menjamin kesatuan pemerintahan. Pengawasan terhadap pemerintahan yang
lebih rendah merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Dalam banyak hal, pengawasan
bahkan merupakan syarat untuk dapat mengambil keputusan sebagai cara
pertanggungjawaban atas pelaksanaan wewenang yang terdapat dalam desentralisasi”.
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pengawasan terhadap segala kegiatan
Pemerintah Daerah termasuk Keputusan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah, merupakan
suatu akibat mutlak dari adanya Negara Kesatuan. Di dalam Negara Kesatuan kita tidak
mengenal bagian yang lepas dari atau sejajar dengan negara, tidak pula mungkin ada negara
di dalam negara. Di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan pada umumnya, haruslah
diusahakan selalu adanya keserasian atau harmoni antara tindakan pusat atau negara dengan
tindakan daerah, agar dengan demikian kesatuan negara dapat tetap terpelihara.
Menurut Bagir Manan, prinsip yang terkandung dalam negara kesatuan ialah bahwa
Pemerintah Pusat berwenang untuk campur tangan yang lebih intensif terhadap persoalan-
persoalan di daerah. Pemerintah bertanggungjawab menjamin keutuhan negara kesatuan,
menjamin pelayanan yang sama untuk seluruh rakyat negara (asas equal treatment),
menjamin keseragaman tindakan dan pengaturan dalam bidang-bidang tertentu (asas
uniformitas). Pembatasan atas keleluasaan Daerah dalam mengatur dan mengurus urusan
rumah tangganya dengan beberapa kewajiban tersebut, merupakan konsekuensi logis
dianutnya prinsip negara hukum.
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pengawasan terhadap segala kegiatan
Pemerintah Daerah termasuk Keputusan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah, merupakan
suatu akibat mutlak dari adanya Negara Kesatuan. Di dalam Negara Kesatuan kita tidak
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 113
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
mengenal bagian yang lepas dari atau sejajar dengan Negara, tidak pula mungkin ada Negara
di dalam Negara.
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum suatu keputusan
atau peraturan perundang-undangan efektif berlaku. Pengawasan preventif berbentuk
memberi pengesahan atau tidak memberi (menolak) pengesahan. Sesuai dengan sifatnya,
pengawasan preventif dilakukan sesudah Peraturan Daerah ditetapkan, tetapi sebelum
Peraturan Daerah itu mulai berlaku. Dengan kata lain, suatu Peraturan Daerah dalam arti
luas, termasuk juga Peraturan Daerah, yang dikenai pengawasan preventif hanya dapat mulai
berlaku, apabila Peraturan itu telah lebih dahulu disahkan oleh penguasa yang berwenang
mengesahkan.
Ada beberapa bentuk dari pengawasan preventif, yaitu pengesahan (goedkeuring),
persetujuan (toestemming vooraf), pembebasan (ontheffing), penguasaan (machtiging),
pernyataan tidak keberatan (verklaring van geen bezwaar), atau keharusan pemberitahuan
(kennisplicht). Di antara beberapa bentuk pengawasan preventif ini, yang terpenting dalam
kaitannya dengan pengawasan terhadap Peraturan Daerah adalah pengesahan (goedkering),
sebagai salah satu dari alat dengan mana pemerintah pusat mengadakan pengawasan atas
badan hukum publik bawahan.
Pengesahan ini umumnya diterapkan terhadap suatu keputusan atau peraturan organ
pemerintahan yang untuk pemberlakuannya disyaratkan harus terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan organ pemerintahan lain yang lebih tinggi. Dengan kata lain, organ
pemerintahan itu sebenarnya memiliki kewenangan mengambil keputusan secara mandiri,
namun untuk mulai berlakunya keputusan tersebut tergantung pada pengesahan organ
pemerintahan lainnya. Pengesahan atau persetujuan ini merupakan perwujudan atau dilihat
sebagai hak placet (recht van placet), yakni hak yang diberikan kepada organ pemerintahan
yang lebih tinggi untuk membatalkan atau mengukuhkan suatu keputusan atau peraturan
pejabat pemerintahan yang lebih rendah tingkatannya sebelum peraturan atau keputusan itu
diberlakukan atau mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pengesahan senantiasa
diperlukan karena:
a) Pengesahan merupakan perwujudan pengawasan (toezich). Pengawasan itu sendiri
merupakan salah satu sendi sistem penyelenggaraan pemerintahan berotonomi. Tiada
sistem penyelenggaraan pemerintahan berotonomi tanpa pengawasan.
b) Pengesahan merupakan perwujudan hak ”placet” yaitu hak yang ada pada satuan atau
pejabat yang lebih tinggi tingkatannya untuk mencegah atau mengukuhkan agar suatu
keputusan satuan yang lebih rendah tingkatannya mempunyai kekuatan mengikat.
c) Pengesahan dapat juga dipandang sebagai tindak lanjut dalam pembuatan Peraturan
Daerah atau keputusan lain yang memerlukan pengesahan.
d) Pengesahan merupakan cara melakukan pemeriksaan (checking), dalam rangka
mempertahankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya,
kepentingan pemerintahan daerah lain yang mungkin terkena (baik langsung maupun
tidak langsung) dan lain sebagainya.
Pengawasan represif dilakukan setelah suatu keputusan atau peraturan perundang-
undangan diberlakukan. Pengawasan represif itu berwujud; a) mempertangguhkan
berlakunya suatu Peraturan Daerah dan/atau Keputusan Kepala Daerah; b) membatalkan
suatu Peraturan Daerah dan/atau Keputusan Kepala Daerah. Pembatalan dilakukan jika
Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersangkutan bertentangan dengan
kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Pengawasan represif ini bersifat negatif, dalam arti organ pemerintahan yang lebih
tinggi dan berwenang untuk melakukan pengawasan itu akan melakukan tindakan
penundaan atau pembatalan Peraturan Daerah ketika ditemukan bertentangan dengan
kepentingan umum atau peraturan yang lebih tinggi. Organ pemerintahan yang lebih tinggi
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 114
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
akan membiarkan Peraturan Daerah selagi tidak ditemukan bertentangan dengan
kepentingan umum atau peraturan yang lebih tinggi.
Pengawasan preventif dan pengawasan umum lebih mengindikasikan pembatasan
bahkan pengekangan daerah, karena itu dalam batas-batas tertentu akan bertentangan dengan
esensi otonomi yaitu kebebasan dan kemandirian daerah untuk mengatur sendiri dan
mengurus sendiri urusan rumah tangga daerah. Pengawasan represif bersifat negatif, artinya
akan dilaksanakan ketika Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan. Sebagai
peraturan perundang-undangan, kewenangan untuk menangguhkan atau membatalkan
berada di tangan Mahkamah Agung, sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-
Undang nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; ”Mahkamah Agung
berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat
yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung; ”Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang”. Berdasarkan ketentuan Pasal
tersebut, jelaslah bahwa penundaan dan pembatalan semua jenis peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung, bukan
pemerintah.
1.2. Pengawasan Peraturan Daerah Dalam Beberapa Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Rincian, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Staf Ahli Gubernur Nusa Tenggara Barat.
Biro Hukum mempunyai tugas menyiapkan bahan dan materi penyusunan, perumusan
kebijakan, pembinaan, koordinasi, dan evaluasi penyelenggaraan Perundang-undangan,
Bantuan Hukum, Pembinaan dan Pengawasan Produk Hukum, dan Pembinaan Hukum dan
Hak Azasi Manusia.
Sehubungan dengan tugas dan fungsi Biro Hukum maka salah satu tugas dan fungsi
Biro Hukum yang terkait dengan perumusan kebijakan produk hukum daerah
Kabupaten/Kota adalah Pembinaan dan Pengawasan Produk Hukum, yang telah diatur
dengan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 118
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5A dan Pasal 25A menentukan bahwa:
a. dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
ditetapkan.
b. dalam hal Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
pemerintah dapat membatalkan Peraturab Daerah dimaksud.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
1. Pasal 145:
(1) Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 115
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh pemerintah.
2. Pasal 186:
(1) Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang APBD yang telah disetujui
bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD
sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota Paling lama 3 (tiga) hari disampaikan
kepada Gubernur untuk dievaluasi.
(2) Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama 15
(lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Pasal 189:
Proses penetapan rancangan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan pajak daerah,
retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Peraturan Daerah, berlaku Pasal 185 dan
Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan
terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan
dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang.
4. Pasal 218:
(1) Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh
Pemerintah yang meliputi:
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
b. Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
1. Pasal 7:
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki
peraturan perundang-undangan.
2. Pasal 44:
(1) Penyusunan rancangan Peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan
teknik penyusunan Peraturan perundang-undangan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
1. Pasal 4:
(2) Bupati/Walikota menyampaikan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan
Bupati / Walikota kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri
paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi.
2. Pasal 7:
(1) Untuk melakukan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Gubernur
membentuk Tim Klarifikasi yang keanggotaannya terdiri atas satuan kerja perangkat
daerah sesuai kebutuhan.
(2) Tim Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur.
5. Pasal 8:
(1) Tim Klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) melaporkan hasil
klarifikasi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati / Walikota kepada Gubernur dalam
bentuk Berita Acara.
(2) Hasil klarifikasi peraturan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dijadikan bahan usulan Gubernur kepada Menteri Dalam
Negeri untuk pembatalan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 116
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
(3) Hasil klarifikasi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah dan Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dijadikan bahan usulan Gubernur kepada
Menteri Dalam Negeri untuk pembatalan.
6. Pasal 37:
(1) Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah
paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan.
(2) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah.
7. Pasal 39:
(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Rencana Tata Ruang Daerah disampaikan
paling lama 3 (tiga) hari setelah disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan
Rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah.
(4) Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah
dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya rancangan
dimaksud.
8. Pasal 40:
(1) Gubernur dan Bupati/Walikota menindak lanjuti hasil evaluasi paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak diterima
(3) Apabila Bupati/Walikota tidak menindak lanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan tetap menetapkan menjadi Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah,
Gubernur dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tersebut
dengan Peraturan Gubernur.
9. Pasal 41:
(1) Apabila Bupati/Walikota tidak menerima keputusan Pembatalan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dengan alasan yang
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Bupati/Walikota dapat mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak
diterimanya pembatalan.
A.3. Kewenangan Gubernur Dalam Pengawasan Pembentukan Peraturan Daerah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dijelaskan mengenai pengawasan
pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang meliputi:
a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Provinsi;
b. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Kabupaten/Kota; dan
c. Pelaksanaan urusan pemerintahan desa.
Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Provinsi terdiri dari:
a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat wajib;
b. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat pilihan;
c. Pelaksanaan urusan pemerintahan menurut dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Kabupaten/Kota terdiri dari:
a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat wajib;
b. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat pilihan;
c. Pelaksanaan urusan pemerintahan menurut tugas pembantuan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 117
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ditegaskan pengawasan
terhadap urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern
Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Aparat Pengawas Intern Pemerintah
adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota. Pelaksanaan pengawasan
dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah. Pejabat pengawas pemerintah ditetapkan oleh
Menteri / Menteri Negara / Pimpinan Lembaga Pemerintah non Departemen di tingkat pusat,
oleh Gubernur di tingkat Provinsi, dan oleh Bupati / Walikota di tingkat Kabupaten / Kota
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Adapun pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah diatur dalam
Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 sebagai berikut:
(1) Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling
lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan.
(2) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah.
(3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri.
(5) Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum, Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Menteri.
Gubernur selaku Kepala Daerah Otonom melakukan pengawasan fungsional atas
kegiatan Pemerintah Provinsi. Gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan pengawasan
fungsional penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten dan Kota sesuai dengan kewenangan
yang dilimpahkan. Pengawasan dilaksanakan oleh Badan / Lembaga Pengawasan Daerah
Provinsi.
Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah telah melaksanakan kewenanganya
dalam pengawasan pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana mestinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan pengawasan pembentukan
Peraturan Daerah. Kewenangan Gubernur dalam melaksanakan pengawasan Peraturan
Daerah adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi
Evaluasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan Peraturan Daerah untuk
mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
tentang APBD/perubahan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah paling
lama 3 (tiga) hari setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRD termasuk rancangan
peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD kepada
Gubernur untuk mendapatkan evaluasi.
Untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
tentang APBD/perubahan APBD/pertanggungjawaban APBD, rancangan peraturan
Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD, Gubernur
membentuk tim evaluasi yang keanggotaannya terdiri atas satuan kerja perangkat daerah
sesuai kebutuhan.
Tim evaluasi melaporkan evaluasi rancangan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota
tentang APBD / perubahan APBD/pertanggungjawaban APBD, rancangan peraturan
Bupati/Walikota tentang penjabaran perubahan APBD kepada Gubernur. Hasil evaluasi
dimuat dalam berita acara untuk dijadikan bahan keputusan Gubernur.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 118
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Gubernur dalam melakukan evaluasi rancangan Peraturan Daerah tentang pajak
daerah dan retribusi daerah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dan tata
ruang daerah dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang melalui Menteri Dalam
Negeri. Hasil koordinasi dijadikan bahan keputusan Gubernur.
Gubernur menyampaikan evaluasi rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
tentang APBD/perubahan APBD/pertanggungjawaban APBD, pajak daerah, retribusi
daerah, tata ruang daerah, rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran
APBD/penjabaran perubahan APBD kepada Bupati/Walikota tentang penjabaran
APBD/penjabaran perubahan APBD kepada Bupati/Walikota paling lambat 15 (lima belas)
hari kerja sejak diterimanya rancangan dimaksud. Bupati/Walikota menindaklanjuti hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya hasil evaluasi.
Apabila Bupati/Walikota tidak menindaklanjuti hasil evaluasi dan tetap menetapkan
menjadi Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati/Walikota, Gubernur membatalkan
Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Bupati/Walikota tersebut dengan Peraturan Gubernur.
2. Klarifikasi
Klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap Peraturan Daerah untuk
mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Bupati/Walikota menyampaikan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Gubernur
dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan
untuk mendapatkan klarifikasi.
Untuk melakukan klarifikasi, Gubernur membentuk tim klarifikasi yang
keanggotaannya terdiri atas satuan kerja perangkat daerah sesuai kebutuhan. Tim klarifikasi
ditetapkan dengan keputusan Gubernur. Tim klarifikasi melaporkan hasil klarifikasi
Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota kepada Gubernur dalam bentuk berita
acara. Hasil klarifikasi peraturan Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan kepentingan
umum, peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dijadikan
bahan usulan Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk pembatalan.
Pembatalan terhadap sebagian atau seluruh materi Peraturan Daerah harus disertai
alasan. Alasan pembatalan dengan menunjukkan Pasal dan/atau ayat yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pembatalan ditetapkan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan
Daerah. Bupati/Walikota menghentikan pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya peraturan pembatalan.
Gubernur dalam kewenangannya melaksanakan pengawasan terhadap pembentukan
Peraturan Daerah di Nusa Tenggara Barat belum efektif dikarenakan Kabupaten/Kota tidak
konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pengawasan
Peraturan Daerah. Dapat dikatakan bahwa Kabupaten/Kota pasif, jika tidak diminta untuk
mengirimkan Peraturan Daerah untuk dievaluasi, maka Kabupaten/Kota tidak akan
mengirimkan Peraturan Daerah tersebut. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum
seluruhnya menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota
kepada Gubernur untuk dilakukan evaluasi, klarifikasi dan fasilitasi sesuai batas waktu yang
telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Biro Hukum Nusa Tenggara Barat, terkaji dan
terevaluasinya Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota Per Oktober 2009 sebanyak
95 buah dengan rincian: Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota se Nusa Tenggara
Barat yang dievaluasi sebanyak 74 buah, Rancangan Peraturan Daerah yang diklarifikasi
sebanyak 17 buah, Rancangan Peraturan Daerah yang difasilitasi sebanyak 3 buah dan yang
diharmonisasi sebanyak 1 buah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 119
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Gubernur dalam melakukan pengawasan telah menyusun Kerangka Acuan
Penyusunan Draf Rancangan Peraturan Gubernur Tentang Mekanisme Pengawasan
Rancangan Produk Hukum dan Produk Hukum dan Produk Hukum Daerah Kabupaten/Kota.
Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dimaksudkan agar rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau produk hukum lainnya.
2. Kendala Yang Dihadapi Dalam Pengawasan Pembentukan Peraturan Daerah Peraturan Daerah merupakan salah satu ciri daerah yang mempunyai hak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom). Urusan rumah tangga daerah berasal dari
dua sumber, yakni otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Karena itu Peraturan
Daerah akan terdiri dari peraturan di bidang otonomi dan Peraturan Daerah di tugas
pembantuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Peraturan Daerah di bidang otonomi adalah
Peraturan Daerah yang bersumber dari atribusi, sementara Peraturan Daerah di bidang tugas
pembantuan adalah Peraturan Daerah yang bersumber dari kewenangan delegasi.
Pembentukan Peraturan Daerah merupakan kewenangan Kepala Daerah bersama-
sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Inisiatif pembentukan Peraturan Daerah
bisa berasal dari Kepala Daerah maupun inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum
Daerah.
Di dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 ditentukan
jenis produk hukum daerah terdiri atas:
a. Peraturan Daerah;
b. Peraturan Kepala Daerah;
c. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
d. Keputusan Kepala Daerah; dan
e. Instruksi Kepala Daerah.
Menurut ketentuan umum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006
yang dimaksud dengan produk hukum daerah adalah peraturan-peraturan daerah yang
diterbitkan oleh Kepala Daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Produk hukum daerah bersifat pengaturan dan penetapan. Produk hukum daerah yang
bersifat pengaturan meliputi:
a. Peraturan Daerah atau sebutan lain;
b. Peraturan Kepala Daerah;
c. Peraturan bersama Kepala Daerah;
Produk hukum daerah yang bersifat penetapan meliputi:
a. Keputusan Kepala Daerah;
b. Instruksi Kepala Daerah.
Penyusunan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dilakukan berdasarkan
Program Legislasi Daerah (Prolegda). Proses penyusunan rancangan produk hukum daerah
dilakukan dapat didelegasikan kepada Biro Hukum atau Bagian Hukum. Penyusunan produk
hukum daerah dibentuk Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah. Tim tersebut diketuai oleh
Pimpinan Satuan Kerja Perangkat daerah pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala
Daerah dan Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum berkedudukan sebagai
sekretaris.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Sofwan, SH., M.Hum (Tim Ahli di Biro Hukum
yang dibentuk oleh Gubernur) dan Muslim M. Saleh, SH, MH. (Kepala Bagian Pembinaan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 120
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
dan Pengawasan Produk Hukum Biro Hukum Setda Provinsi Nusa Tenggara Barat) kendala
yang dihadapi dalam pengawasan pembentukan Peraturan Daerah di Nusa Tenggara Barat
antara lain:
1. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum seluruhnya menyampaikan Rancangan
Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah kepada Gubernur untuk dilakukan evaluasi dan
klarifikasi sesuai batas waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.
Jadi dalam hal ini, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota masih bersifat pasif, dalam artian
jika tidak diminta untuk mengirimkan Peraturan Daerah untuk dievaluasi, maka
Kabupaten/Kota tidak akan mengirimkan Peraturan Daerah tersebut.
Bagian Hukum Daerah Kabupaten/Kota belum memahami ketentuan-ketentuan yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan
Pembinaan dan Pengawasan Produk Hukum Daerah.
2. Kurangnya Sumber Daya Manusia di bidang pembinaan dan pengawasan produk hukum
yang bertugas mengevaluasi produk hukum daerah.
Tenaga Ahli yang tersedia di bidang pembinaan dan pengawasan produk hukum
sejumlah 12 orang. Terhadap tenaga ahli di bidang pembinaan dan pengawasan perlu
adanya peningkatan Sumber Daya Manusia guna mengoptimalkan fungsi pembinaan
dan pengawasan
3. Dana untuk pelaksanaan pembinaan dan pengawasan produk hukum daerah masih
kurang.
Kegiatan inventarisasi dan monitoring produk hukum daerah ke Kabupaten/Kota belum
dapat dilaksanakan secara optimal mengingat keterbatasan anggaran.
4. Tidak adanya sanksi yang tegas bagi pemerintah Kabupaten/Kota sehingga tidak
mendorong kepatuhan terhadap ketentuan Undang-Undang.
Sejauh ini upaya dalam mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan diatur
dalam Pasal 45 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang berupa:
a. Penataan kembali suatu daerah otonom;
b. Pembatalan pengangkatan pejabat;
c. Penangguhan dan pembatalan suatu kebijakan daerah;
Dari sanksi yang ditentukan dalam Peraturan pemerintah tersebut sangat sulit diterapkan
dalam hal mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Sebagai pelaksanaan tugas Gubernur dalam melakukan pengawasan terhadap
Peraturan Daerah/Rancangan Peraturan Daerah, baik dalam bentuk klarifikasi maupun dalam
bentuk evaluasi, maka Gubernur Nusa Tenggara Barat mengirimkan surat kepada
Bupati/Walikota se Nusa Tenggara Barat dalam rangka pengawasan Peraturan
Daerah/Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan data yang ada pada Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Barat dengan Triwulan III (ketiga) Tahun 2009 terdapat 3 (tiga) Kabupaten/Kota yang telah
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan/atau Retribusi
Daerah kepada Gubernur yaitu Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, dan
Kota Bima untuk dilakukan evaluasi.
Sesuai pemberitahuan dengan surat yang disampaikan kepada Bupati/Walikota se
Nusa Tenggara Barat, diminta perhatian para Bupati/Walikota untuk menyampaikan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah paling lama 3 (tiga)
hari kerja setelah disetujui bersama DPRD untuk dilakukan evaluasi sesuai dengan ketentuan
Pasal 39 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005, menyampaikan setiap
Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah
ditetapkan untuk mendapat klarifikasi sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 121
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah, dan melakukan kajian kembali terhadap produk-produk hukum
daerah secara seksama sehingga tidak lagi membentuk Peraturan Daerah yang menghambat
iklim investasi di Kabupaten/Kota dan tidak memberlakukan Peraturan Daerah yang sudah
dibatalkan Menteri Dalam Negeri.
Dapat dilihat bahwa Gubernur dalam melakukan pengawasan terhadap Peraturan
Daerah telah dilaksanakan secara optimal dengan upaya menyampaikan surat pemberitahuan
kepada Bupati/Walikota se Nusa Tenggara Barat agar pelaksanaan pengawasan
pembentukan Peraturan Daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam upaya pemecahan masalah yang terkait dengan kendala dalam pembinaan dan
pengawasan Peraturan Daerah, maka Biro Hukum Provinsi Nusa Tenggara Barat melakukan
upaya sebagai berikut:
1. Melaksanakan rapat koordinasi dengan Bagian Hukum Kabupaten/Kota dan bagian
yang menangani bagian hukum pada Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota.
2. Menyampaikan rekomendasi hasil rapat koordinasi kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota untuk dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan tugas terkait dengan
pembinaan dan pengawasan produk hukum daerah.
3. Melaksanakan konsultasi dengan Bagian Hukum Departemen Dalam Negeri terkait
dengan permasalahan Pembinaan dan Pengawasan Produk Hukum Daerah
Kabupaten/Kota.
4. Menyusun Rancangan Peraturan Gubernur tentang Mekanisme Pengawasan
Rancangan Produk Hukum Daerah Kabupaten/Kota untuk dijadikan sebagai acuan
dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan produk hukum daerah Kabupaten/Kota.
5. Menyampaikan Draf Rancangan Peraturan Gubernur tentang Mekanisme
Pengawasan Rancangan Produk Hukum dan Produk Hukum Daerah
Kabupaten/Kota kepada Instansi terkait untuk mendapatkan saran dan masukan guna
penyempurnaan Rancangan Peraturan Gubernur dimaksud.
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab di muka, maka dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut.
1. Gubernur dalam melaksanakan kewenangannya dalam pengawasan pembentukan
Peraturan Daerah belum efektif dikarenakan Kabupaten/Kota tidak konsisten terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan tentang pengawasan. Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota belum seluruhnya menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah dan
Peraturan Bupati/Walikota kepada Gubernur untuk dilakukan evaluasi, klarifikasi dan
fasilitasi sesuai batas waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Kewenangan Gubernur dalam melaksanakan pengawasan Peraturan Daerah adalah
sebagai berikut:
a. Evaluasi
Evaluasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan Peraturan
Daerah untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Evaluasi dilakukan terhadap
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota terhadap APBD/perubahan APBD, pajak
daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah.
b. Klarifikasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 122
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap Peraturan Daerah untuk
mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Dalam pengawasan pembentukan Peraturan Daerah di Nusa Tenggara Barat, ada
beberapa hal yang menjadi kendala antara lain:
a. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum seluruhnya menyampaikan
Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah kepada Gubernur untuk
dilakukan evaluasi dan klarifikasi sesuai batas waktu yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.
b. Kurangnya Sumber Daya Manusia di bidang pembinaan dan pengawasan produk
hukum yang bertugas mengevaluasi produk hukum daerah.
c. Dana untuk pelaksanaan pembinaan dan pengawasan produk hukum daerah
masih kurang.
Kegiatan inventarisasi dan monitoring produk hukum daerah ke Kabupaten/Kota
belum dapat dilaksanakan secara optimal mengingat keterbatasan anggaran.
d. Tidak adanya sanksi yang tegas bagi pemerintah Kabupaten/Kota sehingga tidak
mendorong kepatuhan terhadap ketentuan Undang-Undang.
B. Saran
Dari uraian, pembahasan dan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran sebagai
berikut:
1. Dalam setiap pembentukan Peraturan Daerah hendaknya terlebih dahulu dilakukan
penelitian/riset yang mendalam dan komprehensif, hal ini penting agar Peraturan Daerah
yang dibuat benar-benar dapat dioperasionalkan dan bermanfaat bagi masyarakat dan
Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah yang baik akan mendorong partisipasi masyarakat.
2. Karena banyak Peraturan Daerah yang selama ini bertentangan dengan kepentingan
umum atau peraturan yang lebih tinggi, langkah yang ditempuh pemerintah sebaiknya
melakukan pembinaan (evaluasi) kepada daerah, khususnya dalam pembuatan Peraturan
Daerah secara berkelanjutan, Rancangan Peraturan Daerah yang kurang tepat segera
dikembalikan untuk direvisi. Sehingga kemungkinan adanya kesalahan dalam pembuatan
Peraturan Daerah dapat diminimalisir.
3. Diharapkan kerjasama Kabupaten/Kota untuk mengirimkan hasil pembahasan Peraturan
Daerah di Dewan untuk dievaluasi oleh Gubernur dalam rangka pelaksanaan pengawasan
Peraturan Daerah guna meminimalisir banyaknya Peraturan Daerah yang bermasalah.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudirjo, S. Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1994.
Fachruddin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, P.T.
Alumni, 2004.
Gie, The Liang, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III,
Gunung Agung, Jakarta, 1968.
Hadjon, M. Philipus,et al, Pengantar Hukum Admnistrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian Admistrative Law), Gadjah Mada Press, 1993.
Handoko, T. Hani, Manajemen, BPFE, Yogyakarta, 1991.
Hamidi, Jazim dan Budiman N.P.D Sianaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Dalam Sorotan, PT. Tatanusa, Malang. 2005.
Hamidi, Jazim, Dhia Al Uyun, dkk, Meneropong Legislasi di Daerah, Penerbit: Universitas
Negeri Malang. 2008.
Hamzah, Halim dan Kemal Redindo Syahrul P., Cara Praktis Menyusun dan Merancang
Peraturan Daerah, Kencana, Jakarta, 2009.
Huda, Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2009.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 123
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
______________, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2007.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar
Pustaka Harapan, Jakarta, 2000.
Koesoemahatinadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bina Cipta,
Bandung, 1997.
Kurde, Nukthoh Afrawie, Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Latief, Abdul. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan
Daerah, Penerbit: UII Press, Jogjakarta, 2005.
Lotulung, Paulus Effendi, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Lubis, M. Solly, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintahan
Daerah, Alumni, Bandung, 1983.
Mahendra Putra Kurnia, dkk., Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif (Urgensi,
Strategi, dan Proses bagi Pembentukan Perda yang baik). Kreasi Total Media,
Yogyakarta, 2007.
Manan, Bagir, Perjalanan Historis Pusat 18 UUD 1945, UNSIKA, 1993.
, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat
Daerah, LPPM-Unisba, Bandung, 1995.
Ma’ruf, Moh., Pengarahan Menteri Dalam Negeri pada Rapat koordinasi Pemantapan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah se- Regional I, Palembang, 16 Juni 2006, Media
Praja Depdagri, Volume 1 No.09, Juni 2006.
Mattalatta, Andi, Panduan Praktis Perancangan Peraturan Daerah, Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-Undangan bekerjasama dengan United Nation Development
Programme, 2008.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006.
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992.
Muslimin, Amrah, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986.
Qomaruddin, Membentuk Peraturan Daerah Yang Aspiratif dan Responsif Sesuai Dengan
Asas-Asas Pembentukan Peraturan-Perundang-undangan Yang Baik, Makalah,
Lokakarya Hukum dan HAM, Mataram, September 2008.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Perundang-undangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2009.
Siagian, S.P, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1990.
Situmorang, Victor M. dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan
Aparatur Pemerintahan. Cet II, Rineka Cipta, Jakarta, 1998.
Soejito, Irawan, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,
Bina Aksara, Jakarta, 1983.
Soekanto, Soerjono, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, Remadja Karya, Bandung, 1985.
Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Surachmad, Winarno, Metodelogi Penelitian, Aneka Cipta, Jakarta, 1998.
Syafrudin Ateng , Titik Berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II dan Perkembangannya,
Mandar Maju, Bandung, 1991.
, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Cet. Ke-II, Citra Adjtia
Bakti, Bandung, 1993.
Tamrin, Husni, Makalah Legal Drafting dikutip dari Bagir Manan, Diklat Legal Drafter,
Bagian Hukum Setda Kota Mataram, 2005.
Terry, George R., Asas-asas Manajemen, diterjemahkan oleh Winardi, Alumni, Bandung,
1986.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 124
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4389).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437).
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
dan Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593).
Peraturam Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah
dan Peraturan Kepala Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk
Hukum Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk
Hukum Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pedoman Evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Rancangan
Peraturan Kepala Daerah Tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tatacara Evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah.
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan
Tatakerja Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Barat, dan Staf Ahli Gubernur Nusa Tenggara Barat.