kebijakan impor dan swasembada bawang merah:...
TRANSCRIPT
LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013
KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Oleh:
Bambang Sayaka Erwidodo
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2013
1
KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN1
PENDAHULUAN
Beberapa bulan terakhir ini, masyarakat terkejut dan resah oleh lonjakan harga
dan kelangkaan pasokan beberapa produk sayuran di pasar domestik, termasuk cabe,
bawang merah dan bawang putih. Tidak hanya konsumen rumah tangga dan
pengusaha warung tegal yang dirugikan, pedagang di pasar juga mengeluh akiba
langkanya pasokan dan harga kelewat tinggi. Masalah ini menjadi pemberitaan utama
media masa di tanah air. Bersamaan dengan masalah di dalam negeri tersebut, pada
minggu kedua Januari 2013, Pemerintah AS secara resmi mempermasalahkan kebijakan
impor produk hortikultura dan mengajukan permintaan konsultasi dengan Pemerintah
Indonesia. Konsultasi merupakan awal dari proses penyelesaian sengketa dagang
(Dispute Settlement) di WTO.
Gejolak harga dan pasokan beberapa produk hortikultura (sayuran dan buah-
buahan) tidak dapat dilepaskan dengan kebijakan pemerintah. Sejak tahun 2012,
terkait tujuan untuk mencapai kemandirian pangan, pemerintah (Kementerian
Pertanian) bermaksud untuk melakukan pembatasan impor beberapa produk
hortikultura. Sebagaimana kita ketahui, sampai saat ini Indonesia masih menjadi “net
importer” beberapa produk hortikultura. Dalam upaya untuk mendorong produksi
hortikultura di dalam negeri, pemerintah Indonesia, yang diwakili Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Pertanian, menerapkan pembatasan impor produk
hortikultura melalui “Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH)” berupa
rekomendasi besarnya kuota impor dan alokasinya kepada Importir terdaftar (IT).
Tulisan ini mencoba menelaah kebijakan impor hortikultura (RIPH) pada
umumnya dan khususnya bawang merah yang diberlakukan pemerintah saat ini.
1 Tulisan ini didasarkan analisa obyektif menggunakan data dan fakta serta landasan teoritis terhadap kebijakan pemerintah, tidak dimaksudkan untuk memojokkan atau menyalahkan pihak tertentu. Apa yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab kedua penulis sebagai peneliti, bukan menjadi tanggung jawab institusi.
2
Telaah teoritis dan empiris dilakukan untuk memahami pilihan instrumen pembatasan
impor dan potensial dampaknya. Meski dampak langsung berupa kelangkaan pasokan
dan lonjakan harga telah dirasakan namun masih terjadi pro-kons tentang kebijakan ini.
Kementan menganggap kebijakan RIPH telah tepat sasaran dan menguntungan petani.
Sementara sebagian besar pihak meragukan kesimpulan tersebut dan menyatakan
bahwa petani hortikultura tidak memperoleh manfaat dari lonjakan harga, hanya
segelintir pedagang dan importir yang diuntungkan.
Disamping menghitung dampak kuota dan tariff impor secara kuantitatif, analisa
pemilihan dan penerapan instrumen pembatasan impor ini juga dilakukan dari sudut
aturan WTO. Hal ini penting dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang aturan
WTO, bahwa: (i) aturan WTO “mengikat” seluruh anggota termasuk Indonesia, dan (ii)
semua negara anggota WTO punya hak untuk menanyakan dan mempermasalahkan
kebijakan perdagangan negara anggota lainnya yang tidak konsisten dengan aturan
WTO dan berpotensi merugikan negaranya. Sejak 1994, dengan adanya UU No. 7
tahun 1994 tentang ratifikasi WTO, Indonesia telah terikat aturan WTO.
PERKEMBANGAN PRODUKSI, KONSUMSI DAN IMPOR BAWANG MERAH
Salah satu produsen dan konsumen bawang merah (shallots) terbesar di dunia
adalah Indonesia. Beberapa Negara di Asia tenggara seperti Malaysia, Thailand,
Vietnam dan Phillipina, masyarakatnya juga mengkonsumsi bawang merah namun tidak
sebanyak konsumsi masyarakat Indonesia, karena disamping bawang merah mereka
sudah terbiasa mengkonsumsi bawang Bombay (onion). Pada kondisi demikian
beberapa negara tersebut memproduksi bawang merah banyak untuk diekspor ke
Indonesia.
Data produksi, konsumsi dan impor bawang merah disajikan dalam Tabel 1.
Dalam kurun waktu tahun 2005 -2012, produksi bawang merah di Indonesia tidak
mengalami peningkatan yang berarti dan sedikit fluktuatif (Tabel 1). Situasi yang
berbeda terjadi pada sisi permintaan, terlihat dari meningkatnya konsumsi per kapita
dan jumlah penduduk serta dugaan terus permintaan bawang merah untuk kebutuhan
industri makanan dan catering. Sebagai konsekuensi, volume impor bawang merah,
3
meski berfluktuasi, cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Fluktuasi impor bawang
merah tidak terlepas dari sifat alami fluktuasi produksi di dalam negeri. Dilihat dari
rasionya, impor bawang merah masih dalam kisaran 6-9 persen dari total konsumsi
nasional. Menurut hemat penulis rasio impor bawang merah tergolong wajar dan tidak
keluar dari status „self sufficiency on trend‟ dan „kemandirian‟ karena lebih dari 90%
konsumsi dipasok produksi domestik2.
Pengusahaan bawang merah di Indonesia hanya dilakukan di daerah tertentu
dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar 50 persen
dibudidayakan di Jawa Tengah, dengan sentra produksi Kabupaten Brebes. Urutan
produksi kedua bawang merah terbesar adalah Jawa Timur (sekitar 19,4 persen) yang
terpusat di kabupaten Nganjuk dan Probolinggo. Jawa Barat menempati urutan ketiga
terbesar produksi bawang merah nasional dengan sentra produksi di kabupaten
Cirebon. Produksi bawang merah di luar pulau Jawa terutama dilakukan di NTB,
Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Strategi pengembangan tanaman sayuran,
termasuk bawang merah, tidak mencantumkan peningkatan produksi, baik melaui
ekstensifikais maupun intensifikasi (Diten Hortikultura, 2012).
Berbeda dengan sifat musiman produksi, konsumsi dan permintaan bawang
merah cenderung merata dan biasanya mengalami lonjakan menjelang dan saat hari
raya keagamaan dan tahun baru. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab terjadinya
fluktuasi dan gejolak harga antar waktu, yang sampai sekarang belum ada jalan
keluarnya. Sistem resi gudang, sejak diluncurkan tahun 2008 (UU No 9/2006), belum
diterapkan dan dikenal petani secara meluas3. Gejolak harga akan terjadi dan tidak bisa
dihindari manakala kenaikan konsumsi terjadi di luar musim panen. Situasi menjadi
semakin parah dan lonjakan harga semakin tidak terkendali bilamana pemerintah
secara ad-hoc ingin mencapai “kemandirian” dengan memperketat impor. Perkiraan 2 Pemerintah Indonesia menggunakan ‘self sufficiency on trend’ untuk beras 90%, artinya minimal 90% konsumsi beras dipasok oleh produksi dalam negeri atau impor beras maksimal 10% dari total konsumsi. 3 Sistem resi gudang merupakan alternative sistem pembiayaan perdagangan dan manajemen suplai (tunda jual), dimana petani atau kelompok tani dapat menunda penjualan produknya dan menjualnya pada waktu yang tepat dengan harga yang lebih baik. Dengan resi gudang mereka tidak perlu kuatir kesulitan modal usaha atau memenuhi kebutuhan hidup selama masa penundaan tersebut. Resi gudang yang mereka dapatkan setelah mereka menitipkan produknya di gudang yang dikelola Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Kemoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan, bisa dijadikan jaminan kredit.
4
produksi yang “overestimate” dibarengi dengan perkiraan kebutuhan (konsumsi) yang
kurang akurat dan cenderung “underestimate” menghasilkan keputusan “kuota impor”
yang juga underestimate. Situasi inilah yang terjadi beberapa bulan terakhir, yang
mengakibatkan kelangkaan pasokan dan lonjakan harga bawang merah dan beberapa
produk sayuran lain.
Sebelum analisa lebih lanjut, ada baiknya mencermati ketersediaan data
produksi, konsumsi dan impor bawang putih, karena sering menjadi polemik dan debat
publik yang pada akhirnya menghasilkan rumusan kebijakan yang tidak tepat. Data
area panen dan produksi bersumber dari Direktorat Jenderal hortikultura kementerian
Pertanian dan setelah melewati proses verifikasi akhirnya menjadi angka tetap nasional
yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS). Data kebutuhan dan konsumsi bawang
merah nasional tidak tersedia, yang tersedia adalah angka konsumsi per kapita yang
diperoleh dari data survei rumah tangga nasional (Susenas). Estimasi konsumsi nasional
diperoleh dengan mengalikan angka konsumsi per kapita dengan “porsi” jumlah
penduduk (Tabel 1). Angka estimasi dengan cara ini diperkirakan “underestimate”
karena data Susenas belum mencakup konsumsi industri pengolahan, restoran dan
usaha catering. Sampai saat ini tidak ada data konsumsi nasional yang dipublikasi oleh
BPS. Oleh karenanya, masing-masing pihak mempunyai estimasi konsumsi sendiri yang
seringkali berbeda satu dengan lainnya dan sulit untuk direkonsiliasi.
Pemahaman tentang ketersediaan dan ketidak-akuratan data ini seharusnya
menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk lebih serius dalam pendataan. Paling
tidak, selama data resmi belum tersedia dan masalah perbedaan data belum dapat
direkonsiliasi, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam memilih instrumen kebijakan.
Dalam situasi seperti ini, tarif impor seharusnya menjadi pilihan. Kuota impor, tanpa
mempertimbangkan aturan WTO, dapat menjadi pilihan hanya jika pemerintah
mempunyai data akurat tentang produksi dan konsumsi komoditas yang dimaksud.
Banyak keunggulan instrumen tarif dibandingkan kuota, yang akan dibahas dalam
uraian selanjutnya.
5
Tabel 1. Produksi, impor, permintaan, dan kebutuhan bawang merah, 2005-2013
Tahun Produksi
(ton)
Impor
(ton)
Permintaan1)
(ton)
Rasio
(%)4
Konsumsi
per kapita (kg/thn)
Kebutuhan2)
(ton)
2005 732.610 53.071* 785.681 6.8 2,21 491.587
2006 794.929 78.462* 873.391 9.0 2,18 492.290
2007 802.810 107.649* 910.459 11.8 3,01 690.062
2008 853.615 128.015* 981.630 13.0 2,74 637.718
2009 965.164 63.755 1.028.919 6.2 2,52 595.437
2010 1.048.934 70.573 1.119.507 6.3 2,53 601.233
2011 893.124 156.381 1.049.505 14.9 2,36 569.358
2012 960.072 95.156 1.055.228 9.0 2,76 675.981
2013 t.a. 11.9723) Ta.. t.a. t.a. t.a.
Sumber: BPS (2012), Pusdatin (2012), www.bps.go.id (2013)
Catatan : 1) Produksi plus impor
2) Konsumsi per kapita dikalikan jumlah penduduk
3) Data sampai Maret 2013
4) Rasio = impor dibagi permintaan
*) Impor 2005-2008 termasuk benih
PERKEMBANGAN HARGA ECERAN BAWANG MERAH
Data perkembangan harga eceran (rata-rata bulanan) bawang merah di 5 kota
besar di Jawa (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya) disajikan pada
Gambar 1 (Kementerian Perdagangan, 2012). Gejolak harga juga terjadi untuk
beberapa produk sayuran lain seperti cabai dan bawang putih. Sampai bulan Mei,
menjelang pemerintah mengumumkan kenaikan bahan bakar minyak (BBM), lonjakan
harga pangan pokok juga terus terus berlangsung. Sebagaimana diberitakan di
berbagai media masa, kenaikan harga bahan pokok terus berlangsung sampai saat ini,
menjelang bulan ramadhan. Tanpa harus mencari faktor penyebab secara detail, teori
ekonomi menyatakan bahwa lonjakan harga terjadi manakala terjadi “kekurangan
pasokan (shortage of supply) ”yang tidak mampu mengimbangi peningkatan
permintaan konsumen. Lonjakan harga juga akan terjadi manakala terjadi penurunan
pasokan akibat “gagal panen” dan/atau kesalahan kebijakan pemerintah (policy failure).
6
Gambar 1. Harga Eceran Bawang Merah Rata-rata di Beberapa Kota Besar di Jawa
(Rp/Kg)
Sumber : Direktorat Jenderal Perdagangan dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (2012)
Ada fenomena yang menarik untuk dicermati terkait dengan lonjakan harga
bawang merah yang terjadi mulai pertengahan tahun 2012 sampai awal tahun 2013.
Selama kurun 2008-2011 harga eceran bawang merah relatif stabil meski menunjukan
fluktuasi musiman. Harga eceran menurun pada saat musim panen (Mei-Agustus) dan
meningkat saat menjelang dan selama hari raya dan tahun baru. Namun kenaikan
harga sangat nyata terjadi sejak awal tahun 2013, dan mencapai harga Rp 45.000 per
Kg pada bulan Maret. Harga eceran dilaporkan masih terus meningkat, dan mencapai
rekor Rp 50-60 ribu per Kg pada bulan April 2013, baru kemudian mulai menurun
kembali. Namun penurunan harga yang membentuk keseimbangan baru sekitar 20.000-
25.000 tidak berlangsung lama. Sebagaimana harga bahan pokok lainnya, harga
bawang merah kembali merayap naik menjelang pemerintah mengumumkan kenaikan
harga BBM, terus meningkat menjelang bulan Ramadhan dan mencapai rekor tertinggi
Rp60.000 per kg. Mengapa hal ini terjadi dan apa faktor penyebabnya? Apakah ini
karena semata faktor alam (kegagalan panen), meningkatnya permintaan atau
kesalahan kebijakan?
Untuk memahami hal ini, marilah kita telusuri kebijakan pemerintah satu tahun
terakhir, terutama terkait dengan keluarnya kebijakan “Rekomendasi Impor Produk
Hortikultura (RIPH)” sebagai upaya membatasi impor untuk mendorong peningkatan
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
45000Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei
Juli
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
2008 2009 2010 2011 2012 2013
7
produksi hortikultura di dalam negeri. Kebijakan ini dilatar-belakangi keinginan
pemerintah (Kementerian Pertanian), untuk meningkatkan “kemandirian” pangan
termasuk produk hortikultura.
Keputusan politik untuk berswasembada dan meningkatkan kemandirian pangan
tidaklah salah dan patut untuk didukung mengingat besarnya potensi produksi dan
pasar domestik produk hortikultura4. Bisa dipahami jika, sebagai pemangku kebijakan
pertanian, Kementan terusik dengan terus melimpahnya impor produk hortikultura dari
tahun ke tahun, sementara ekspornya tumbuh sangat lambat. Situasi ini berakibat
defisit neraca perdagangan produk pangan terus meningkat. Situasi inilah yang
nampaknya melatar-belakangi keluarnya kebijakan pembatasan „port of entry‟ dan
RIPH. Akibat lain dari limpahan impor, sebagaimana terlihat dalam grafik, harga eceran
bawang merah berfluktuasi dan cenderung tertekan (menurun) sejak 2011 sampai
pertengahan tahun 2012.
Nampaknya, kekuatiran inilah yang melatarbelakangi keluarnya kebijakan
memperketat impor produk hortikultura dan pada gilirannya untuk mencapai
kemandirian produk hortikultura. Permentan No 42/2012 merupakan tindakan karantina
dan pembatasan „port of entry‟ untuk sayuran dan buah segar, sedangkan Permentan
No 43/2012 merupakan tindakan karantina dan pembatasan „port of entry‟ untuk
sayuran umbi-lapis segar. Permentan No 3/2012 tentang kebijakan Rekomendasi Impor
Produk Hortikultura (RIPH), bersama dengan Permendag No 30/2012, merupakan
kebijakan pembatasan impor yang diwujudkan dalam bentuk „rekomendasi‟ kuantitas
(kuota) impor yang dikeluarkan oleh Kementan dan alokasi kuota impor kepada
importer terdaftar (IT) yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh kedua
kementerian. Dalam perjalanan menunggu waktu implementasi, kebijakan tersebut
mengundang pro-kons dan dipertanyakan oleh beberapa negara anggota WTO dalam
sidang-sidang reguler komite WTO di Jenewa. Pada tanggal 24 September 2012,
Permentan No 3/2012 direvisi menjadi Permentan No 60/2012 pada tanggal 24
4 Perlu klarifikasi istilah swasembada dan kemandirian. Swasembada adalah suatu keadaan dimana sebagian besar atau seluruh kebutuhan konsumsi dapat dipenuhi dari produksi domestik. Kemandirian harusnya diartikan sebagai situasi dimana sebagai negara yang berdaulat Indonesia dapat memutuskan kebijakan yang terbaik bagi bangsanya dengan tetap mengacu kepada semua aturan-perundangan nasional, termasuk UU No 7 tentang Ratifikasi WTO.
8
September 2012, sedangkan Permendag No 30/2012 menjadi Permendag No 60/2012
pada tanggal 21 September 2012. Disamping RIPH, kementan juga mengeluarkan
larangan impor beberapa produk hortikultura untuk “periode tertentu”.
Meskipun telah direvisi, ternyata kebijakan tersebut masih dipertanyakan dan
dipermasalahkan oleh beberapa anggota WTO. Secara resmi pada pertengahan 10
Januari 2013, pemerintah Amerika Serikat (AS) menyampaikan keinginan untuk
melakukan konsultasi5 terkait kebijakan RIPH dan kebijakan pengaturan impor bawang
merah dan ternak (Rekomendasi Impor Produk Peternakan-RIPP). Proses konsultasi
pertama dilakukan tanggal 21-22 Februari 2013, yang kemungkinan dapat dilanjutkan
ke konsultasi berikutnya atau negara penggugat dapat langsung mengusulkan
pembentukan “Panel”. Sebelum proses konsultasi tersebut, Pemerintah AS secara resmi
telah menyampaikan pertanyaan tertulis yang harus dijawab atau diklarifikasi oleh
Pemerintah Indonesia. Setelah proses konsultasi yang pertama, terdapat dua
pandangan tentang bagaimana sebaiknya posisi pemerintah. Ada pihak yang
berpandangan keras untuk tidak menghiraukan pertanyaan dan gugatan pemerintah AS
dan tetap dalam posisi untuk mempertahankan Permentan 60/2012 dan Permendag
60/2012 serta bersiap untuk maju ke proses pembentukan panel dan „dispute
mechanism‟ di WTO. Sebagian pihak berkeinginan untuk melakukan revisi kebijakan
RIPH mengingat kenyataannya kebijakan RIPH memacu lonjakan harga di pasar
domestik dan membebani perekonomian6. Pihak ini berpendapat bahwa revisi harus
dilakukan bukan untuk memenuhi tuntutan pemerintah AS, tetapi mengacu kepada
kepentingan nasional dengan memperhatikan aturan WTO. Setelah direvisi, keluar
Permentan No 47/2013 tanggal 19 April 2013 dan Permendag No 16/2013 tanggal 22
5 Konsultasi merupakan tahapan awal proses menyelesaikan sengketa dagang di WTO. Negara penggugat menyampaikan ‘written questions’ kepada Negara tergugat. Dalam proses konsultasi, Negara tergugat wajib untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan. Jika dalam proses konsultasi tidak terjadi titik temu dan kesepahaman maka negara penggugat dapat mengusulkan untuk pembentukan ”Panel” dan selanjutnya menjadi awal proses persidangan penyelesaian sengketa dagang dalam kerangka Dispute Settlement Mechanism WTO. 6 Pihak ini berpendapat bahwa langkah revisi Kepmentan/Kepmendag no 70 2013 dan Kepmentan no.XX tentang RIPP sebaiknya dilakukan bukan karena desakan pemerintah AS, tetapi lebih karena kesadaran atas kenyataan bahwa kebijakan ini telah membebani konsumen dan perekonomian nasional. Pemerintah tidak perlu goyah dan harus tetap siap untuk menghadapi gugatan pemerintah AS dalam proses penyelesaian sengketa di WTO..
9
April 2013. Namun Pemerintah AS pada pertengahan April secara resmi mengusulkan
pembentukan Panel pada sidang Dispute Settlement Body (DSB) tanggal 24 April 2013.
MELINDUNGI PETANI TANPA MEMBEBANI KONSUMEN DAN PEREKONOMIAN
Melonjaknya harga beberapa produk sayuran, khususnya bawang merah,
bawang putih dan cabe, beberapa bulan terakhir sangat membebani konsumen rumah
tangga termasuk rumah tangga di pedesaan, usaha warung tegal, catering dan
restoran. Dampak lain dari lonjakan harga beberapa sayuran tersebut memicu laju
inflasi dan kalau dibiarkan terus berlangsung akan membebani perekonomian nasional.
Apakah produsen diuntungkan dengan lonjakan harga tersebut? Secara teoritis
kenaikan harga akan mendorong petani produk yang bersangkutan untuk memperluas
areal tanam dan meningkatkan produksi. Namun, harus juga disadari bahwa
peningkatan harga produk juga akan memacu permintaan dan harga input produksi.
Perlu monitoring dan evaluasi dampak lonjakan harga bawang merah terhadap
pendapatan dan kesejahteraan petani bawang merah. Mungkin keuntungan mereka
meningkat, meski tidak sebesar kenaikan harga eceran, tetapi belum tentu
kesejahteraannya meningkat karena meningkatnya harga kebutuhan pokok lainnya.
Perlu dihitung elastisitas transmisi harga dan elastisitas penawaran produk yang
bersangkutan. Namun, yang pasti jutaan rumah tangga miskin termasuk rumah tangga
petani di pedesaa akan terbebani dengan oleh lonjakan harga bawang merah dan
sayuran lainnya.
Meskipun tujuan pemerintah (Kementan) untuk meningkatkan produksi dan
mencapai kemandirian pangan merupakan „legitimate objective‟ namun “tidak tepat”
dalam memilih cara dan instrumen kebijakan dalam mencapai tujuan tersebut. Mustahil
dapat mencapai tujuan tersebut jika tidak dibarengi dengan program peningkatan
produksi, produktivitas dan kualitas secara kongkrit. Keberpihakan pemerintah kepada
petani bawang merah tidak seharusnya dilakukan dengan instrumen kebijakan yang
menyuburkan praktek „rent seeking‟ yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan
membebani konsumen. Menjadi sangat keliru manakala keberpihakan tersebut justru
10
tidak dinikmati oleh petani bawang merah namun hanya dinikmati oleh segelintir
pedagang dan importir bawang merah. Fenomena ini yang nampaknya terjadi. Jika
keadaan ini terus berlangsung, dapat dipastikan target pemerintah (Kementerian
Pertanian), untuk mencapai kemandirian pangan tidak akan pernah terealisasi.
Mengambil pelajaran dari sukses pemerintah mencapai swasembada beras,
dapat kita ingat kembali berbagai program dan langkah kongkrit yang dilakukan, mulai
dari dibentuknya Badan Bimas mulai dari Pusat sampai daerah termasuk Dewan
Pembina Bimas yang diketuai langsung oleh Presiden, program intensifikasi dan
ekstensifikasi, pembangunan sarana dan saluran irigasi, keterlibatan BULOG dalam
melaksanakan stabilisasi harga beras, pengaturan impor beras dan ketersediaan dana
BLBI untuk mendukungnya. Semua itu merupakan sebagian dari berbagai program dan
langkah yang diambil pemerintah. Pertanyaan menarik untuk diajukan adalah, apa
program dan langkah kongkrit yang dilakukan Kementan (Pemerintah) saat ini untuk
mencapai kemandirian pangan dan produk hortikultura?
Dari sisi produksi, belum terlihat keberadaan program yang kongkrit dalam
upaya peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas bawang merah (produk
hortikultura lain) berikut skema pendanaan. Kalaupun ada program, masih bersifat
normatif dan sebatas rencana, belum didukung skema pendanaan dan koordinasi antar
instansi lingkup Kementan dalam pelaksanaannya. Belum ada peta jalan (road-map),
komoditas apa akan dikembangkan didaerah mana, kapan dan berapa luasnya? Hal
yang sama juga dapat diamati dari kenyataan tidak adanya upaya dan program khusus
yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian terkait dengan target mencapai
kemandirian pangan, khususnya produk hortikultura7. Pernyataan ini didukung hasil
wawancara dan data terkait program dan kegiatan litbang pertanian, khususnya litbang
hortikultura. Kalau informasi ini benar maka dapat dipastikan dari sekarang bahwa
program kemandirian hortikultura hanya akan menjadi impian dan „jauh panggang dari
api‟.
7 Yang perlu dicegah adalah pemikiran bahwa kemandirian pangan dapat segera dicapai dengan cara membatasi dan/atau melarang impor, tanpa peduli terjadinya kelangkaan pasokan dan lonjakan harga.
11
Kementerian Pertanian, lewat kebijakan RIPH, terkesan lebih memfokuskan
langkahnya untuk membatasai impor. Pembatasan impor tidak salah dan perlu
didukung jika diperlukan untuk mengendalikan limpahan bawang merah impor agar
petani bawang merah tidak rugi. Namun pengendalian impor saja mustahil dapat
mengantar Indonesia mencapai kemandirian produk hortiultura sebagaimana dicita-
citakan. Pembatasan impor harusnya dipandang „hanya salah satu‟ dari seperangkat
instruments kebijakan dalam mendukung dan mensukseskan program swasembada
bawang merah. Kebijakan perdagangan, kususnya pembatasan impor, tidak dapat
dipandang segalanya sebagai penyelesaian masalah untuk mencapai swsembada.
INSTRUMEN PERDAGANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH
Pembatasan impor diperlukan agar budidaya bawang merah tidak merugi akibat
melimpahnya impor bawang merah. Dalam teori perdagangan internasional, dikenal
argumen „Terms of Trade‟ dan „Domestic market failure‟ sebagai justifikasi penerapan
proteksi perdagangan. Masalahnya adalah instrumen pembatasan impor apa yang
digunakan? Teori dan ilmu perdagangan internasional memberikan landasan teoritis
untuk memilih instrumen kebijakan impor yang efektif dan tidak berdampak negatif
terhadap konsumen dan perekonomian. Aturan WTO, yang memang „guided by
landasan teoritis dan bukti empiris‟, juga mengatur instrumen pembatasan impor yang
„less trade distorting‟. Jika ada kebijakan perdagangan, termasuk pembatasan impor,
yang diterapkan negara anggota tidak konsisten dengan aturan WTO maka akan
dipertanyakan atau dipermasalahkan oleh negara anggota lain yang merasa dirugikan.
Adalah hak setiap negara anggota WTO untuk mempertanyakan kebijakan negara
anggota yang melanggar aturan WTO dan merugikan kepentingan ekspornya.
Aturan WTO, sebagaimana tertuang dalam GATT 1994 Article XI “General
Elimination of Quantitative Restriction” melarang negara anggota menerapkan impor
kuota dan restriksi impor kuantitatif lainnya. Namun demikian masih ada instrumen
pembatasan dan perlindungan yang tersedia dan dapat dipergunakan oleh negara
anggota, mulai dari tariff, lisensi impor, standar dtindakan technical barriers to trade,
12
karantina (sanitary and phytosanitary-SPS) sampai ke bentuk „trade remedies‟ termasuk
anti-dumping, anti-subsidy dan counterveiling measures lainnya.
Tarif impor bawang merah dan produk hortikultura lainnya yang berlaku
umumnya berkisar 5% sementara „bound tariff‟ sebesar 50-60%. Artinya, Indonesia
masih dapat menaikan tarif impor jika diperlukan untuk melindungi petani produsen di
Indonesia. Disamping itu, Indonesia dapat menerapkan kebijakan lisensi impor, namun
harus bersifat „automatic‟ dan konsisten dengan aturan WTO. Pemerintah dapat
menerapkan tingkat „tariff equivalent kuota‟, yakni tingkat tariff impor yang kalau
diterapkan akan menjamin jumlah impor sebesar target (kuota) impor yang diinginkan
pemerintah.
Secara teoritis tariff impor lebih baik (superior) dibandingkan kuota (Krugman
dan Obstfeld, 2003). Pertama, pemerintah menerima „revenue‟ dari tariff impor yang
berlaku. Kedua, tariff impor dikenal sebagai „the second best policy‟ karena „less trade
distorting‟ dan lebih transparan dibandingkan kuota. Ketiga, tariff impor tidak
menyuburkan praktek „rent seeking‟. Keempat, kebijakan tariff tidak mengakibatkan
melonjaknya harga produk yang bersangkutan di pasar domestik manakala terjadi
kenaikan permintaan, sebaliknya terjadi untuk kebijakan kuota impor.
Penjelasan untuk kelebihan terakhir dari tarif impor digambarkan dalam gambar
2. Sebagai ilustrasi, misalkan Do merupakan kurva permintaan sedangkan So kurva
penawaran bawang merah di Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia merupakan Negara
net-importer bawang merah, sebagian kebutuhan dalam negeri masih diimpor.
Dibandingkan total permintaan impor dunia, pangsa impor bawang merah Indonesia
tergolong kecil, sehingga Indonesia sebagai „price taker‟ yang menghadapi kurva
penawaran Po. Jika pemerintah tidak ada pembatasan impor, maka kuantitas impor
Indonesia akan sebesar Qmo.
Dalam upaya melindungi petani bawang merah, pemerintah lewat kebijakan
RIPH membatasi impor dengan kuota impor dan membatasi jumlah importir lewat
kebijakan lisensi impor. Sebagai ilustrasi, misalkan pada tahun 2012, pemerintah
menetapkan kuota impor sebesar Qm1. Secara teoritis, kuota impor ini equivalent
dengan pengenaan tarif advalorem sebesar t% per kg (atau tarif spesifik Rp T per kg),
13
artinya pemerintah dapat menetapkan tarif impor sebesar t% per satuan berat tersebut
agar realisasi volume impor bawang merah sebesar Qm1. Akibat pengenaan kuota
impor sebesar Qm1 tersebut, harga bawang merah di pasar domestik meningkat
sebesar T per kg dari Po menjadi P1.
Gambar 2. Ilustrasi Dampak Tariff Impor Versus Kuota Impor Bawang merah
Anggaplah kuota impor yang ditetapkan pemerintah tersebut dihitung secara
hati-hati dan „akurat‟ mencerminkan kebutuhan bawang merah di pasar domestik. Apa
yang terjadi manakala mendadak terjadi peningkatkan permintaan bawang merah atau
jika pemerintah „underestimate‟ dalam menghitung kuota impor? Situasi ini sering
terjadi saat menjelang bulan puasa, Idul Fitri dan Natal serta tahun baru, yang di dalam
grafik digambarkan sebagai pergeseran kurva permintaan dari Do ke D1. Karena kuota
impor fixed Qm1 maka harga di pasar domestik akan meningkat menjadi P1*, kecuali
Qm1**
P1
Po
P1*
Do D1
So
Q
P
Qmo
Qm1
Qm1*
14
jika pemerintah segera merevisi dengan cara menaikan kuota impor menjadi Qm1*
harga bawang merah akan tetap bertahan P1. Masalahnya, pemerintah „imperfect
insight‟ atau untuk memutuskan kenaikan kuota impor tidak mudah, karena
menyangkut alokasi „rente ekonomi‟ yang memerlukan proses panjang yang sensitif
karena terkait isu „who gets what and how much‟.
Dampak yang berbeda terjadi jika pemerintah menerapkan kebijakan tarif impor.
Kenaikan permintaan bawang merah (pergeseran kurva permintaan) akan direspon oleh
importir bawang merah secara otomatis yakni dengan menambah kuantitas impor
bawang merah menjadi Qm1**, dengan tetap membayar tari impor sebesar t%,
sehingga harga bawang merah di pasar domestik akan tetap bertahan sebesar P1.
Dengan ilustrasi ini jelas bahwa tarif impor lebih transparan dan „less distortive‟
dibandingkan kuota. Dengan tarif impor negara/pemerintah menerima „revenues‟ dari
tarif yang dapat dipergunakan untuk mendukung program peningkatan populasi dan
budidaya ternak sapi potong.
HARGA PARITAS IMPOR (IMPORT PARITY PRICE)
Sebelum melakukan pembandingan antara tarif dan kuota impor serta
menghitung tarif impor optimum, ada baiknya dipahami tingkat distorsi dan imperfeksi
pasar domestik, dengan cara membandingkan harga eceran dengan harga paritas
impor bawang merah di tingkat eceran. Harga paritas impor (import parity price) adalah
tingkat harga komoditas/produk impor di pasar domestik bilamana pemerintah tidak
menerapkan pembatasan. Harga paritas impor juga dikenal sebagai harga „ekonomis‟
suatu produk atau komoditas.
Pada Tabel 2, disajikan harga dunia (CIF), harga paritas impor di tingkat eceran
dan harga eceran bawang merah beberapa titik waktu pada periode 2011-2013,
sedangkan perkembangan harga paritas dan harga eceran selama 2009-2013 disajikan
pada Gambar 3. Harga paritas impor bawang merah di pasar retail berkisar antara Rp
2.984per kg (September 2012) hingga Rp 6.323 per kg (September 2011). Harga
paritas impor ini jauh lebih rendah dibandingkan harga eceran yang terjadi, yakni
berkisar antara Rp 12.150 per kg (Oktober 2012) hingga Rp 43.636 per kg (Maret
15
2013). Perbedaan ini disebabkan oleh kebijakan pembatasan impor non tarif dan juga
oleh faktor lain yang menyebabkan „imperfeksi pasar‟ domestik.
Mulai akhir 2012 hingga beberapa bulan pada awal 2013 banyak kontainer impor
hortikultura termasuk bawang merah segar yang tertahan di pelabuhan karena
“persyaratan impor” yang belum terpenuhi. Selama kontainer ditahan di pelabuhan agar
komoditas impor tidak rusak atau busuk maka pengatur suhu udara harus terus
dihubungkan dengan aliran listrik di pelabuhan. Biaya listrik untuk mengatur suhu udara
di pelabuhan adalah Rp 4 juta per kontainer per hari. Jika sampai batas waktu tertentu
importir tidak bis amemenuhi persyaratan, maka importir dibebani biaya Rp 25 juta per
kontainer untuk pemusnahan. Biaya transportasi dari pelabuhan impor, misalnya
Tanjung Perak di Surabaya, ke daerah distribusi (misalnya Jabotabek) memerlukan
biaya yang sangat besar karena selain biaya resmi angkutan masih ada biaya tidak
resmi yang harus dibayar importir maupun distributor. Menurut informasi dari importir
hortikultura, minimal 70 persen dari harga eceran adalah biaya tarnsportasi serta marjin
importir dan pedagang. Harga beli komoditas di negara asal maksimal 30 persen dari
harga eceran. Dalam situasi pasar “imperfect” hanya sebagian kecil dari perbedaan
harga tersebut dinikmati oleh petani produsen, sebagian besar justru dinikmati oleh
importir dan pedagang besar yang memperoleh kuota impor paling besar. Perbedaan
harga inilah yang disebut rente ekonomi (economic rent).
Tabel 2. Harga CIF, paritas impor, dan eceran bawang merah, 2010-2013 (Rp/kg)
Bulan 2011 2012 2013
CIF Paritas Eceran Cif Paritas Eceran Cif Paritas Eceran
Jan 4.323 5.122 24.056 4.202 4.979 12.584 5.173 6.130 19.867
Feb 4.263 5.051 24.710 4.371 5.179 12.621 4.897 5.803 25.786
Mar 4.418 5.235 24.710 4.490 5.320 12.657 4.416 5.232 43.636
Apr 4.303 5.098 24.214 4.348 5.152 13.909 - - -
Mei 4.287 5.079 19.424 4.404 5.218 16.260 - - -
Jun 4.302 5.097 19.943 3.332 3.948 17.684 - - -
Jul 4.668 5.531 20.794 3.534 4.187 15.244 - - -
Ags 4.812 5.702 17.672 3.939 4.667 13.449 - - -
Sep 5.336 6.323 15.672 2.518 2.984 12.783 - - -
Okt 4.943 5.857 14.643 3.199 3.791 12.150 - - -
16
lBulan 2011 2012 2013
CIF Paritas Eceran Cif Paritas Eceran Cif Paritas Eceran
Nov 4.397 5.209 14.065 4.753 5.632 14.271 - - -
Des 3.939 4.667 13.388 5.619 6.658 16.507 - - - Sumber: www.bps.go.id (2013), Kemendag (2012,) dan http://www.bawang-merah.com/harga-bawang-merah.html (2013)
Gambar 3. Perkembangan Harga Paritas Impor dan Harga Eceran Bawang merah 2009-
2013
TARIF VERSUS KUOTA DI FTA
Apakah kebijakan menaikan tariff impor tidak dimungkinkan dan tidak efektif
dalam konteks FTA, misalnya di ASEAN (AFTA) dan ASEAN+partner? Ada pemahaman
banyak pihak, baik di Kemendag maupun Kementan, bahwa instrument „import tariff‟
tidak lagi berguna dan tidak efektif dalam memberikan perlindungan kepada petani dan
produsen domestik umumnya, karena tingkat tariff impor di AFTA dan ASEAN+partner
umumnya sdh „zero‟ atau „rendah‟. Mereka berpendapat bahwa menaikan tarif, apapun
alasannya, tidak berlaku bagi Nngara anggota ASEAN dan ASEAN+partner. Mereka
berpandangan bahwa kalau Indonesia menaikan tarif impor, harus melakukan
renegosiasi dengan seluruh anggota ASEAN dan ASEAN+partner, sedangkan kalau
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
45000
50000
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
2009 2010 2011 2012 2013
P-Eceran
IPP-Eceran
17
menerapkan kuota impor tidak perlu renegosiasi. Mereka juga berpandangan bahwa
tidak ada larangan di ASEAN dan ASEAN+partner untuk menerapkan kuota impor. Tidak
mengherankan kalau belakangan muncul pemahaman bahwa kuota impor lebih
berguna dan lebih efektif dibandingkan tariff impor untuk memberikan perlindungan
kepada petani. Oleh karenanya, tidak heran kalau kuota impor belakangan menjadi
populer dan menjadi andalan Kemendag maupun Kementan8.
Benarkah pemahaman seperti itu? Apakah aturan WTO/GATT 1994 yang
melarang penggunaan kuota dan restriksi kuantitatif lainnya tidak berlaku di FTA (WTO,
1995)? Artinya, apakah perjanjian FTA membolehkan penggunaan kuota, sementara
aturan WTO telah melarangnya. Demikian juga, apakah menaikan tariff tidak
dimungkinkan sedangkan aturan WTO membolehkan Negara anggota untuk menaikan
tariff impor bila diperlukan untuk membendung banjir impor sepanjang tidak melampaui
„bound tariff‟?
Menurut logika dan pemahaman penulis, semua aturan WTO berlaku di FTA.
Oleh karenanya FTA dikenal sebagai WTO plus. Kuota impor dan restriksi kuantitatif lain
yang dilarang oleh aturan WTO, pastinya juga (harus) dilarang di FTA. Sebaliknya,
kebijakan menaikan tarif impor, sebagai „general safeguard instrument‟ untuk
melindungi petani dan produsen dari banjir impor yang diperbolehkan WTO seharusnya
juga dapat berlaku atau diperbolehkan di FTA. Namun demikian, adalah kewajiban bagi
Negara anggota yang memberlakukan kebijakan tersebut untuk menotifikasikan ke
semua negara anggota WTO lewat sekretariat WTO dan ke negara anggota FTA lewat
sekretariat FTA9. Notifikasi yang sama atau mungkin „re-negosiasi‟ tentunya harus
dilakukan oleh dan antara anggota FTA bila ada kebijakan salah satu anggota yang
bersifat „restriktif‟, baik itu kenaikan tarif maupun penerapan kuota. Kalau Indonesia
menerapkan kuota impor akan dipertanyakan oleh negara anggota WTO, termasuk
ASEAN dan ASEAN+partner, sedangkan kalau menaikan tarif impor hanya akan
8 Pemahaman ini secara resmi tercermin dalam Nota Dinas dari Kepala Badan Ketahanan Pangan kepada Menteri Pertanian, tanggal 7 Mei 2013, tentang pertimbangan penggunaan tarif impor produk hortikultura 9 Menjadi kewajiban Negara anggota untuk menotifikasikan setiap ‘trade and trade related measure’ kepada seluruh anggota WTO, lewat sekretariat WTO. Kegagalan atau kesengajaan untuk tidak menotifikasi ke WTO akan dipertanyakan dan dipermasalahkan Negara anggota dan ini akan menjadi titik lemah jika kasusnya dibawa ke proses panel sengketa dagang di Dispute Settlement-WTO.
18
dipertanyakan oleh negara anggota ASEAN dan ASEAN+partner. Hal ini terbukti,
kebijakan RIPH ternyata dipertanyakan baik oleh negara non-anggota maupun anggota
ASEAN dan ASEAN+partner.
Ringkasnya, aturan WTO tetap berlaku dan mengikat seluruh negara anggota
WTO, termasuk mereka yang terikat dalam perjanjian FTA. Aturan WTO, tidak dapat
digugurkan oleh aturan FTA. Oleh karena itu, kebijakan menaikan tariff impor untuk
memberikan perlindungan kepada petani dari banjir impor, dalam konteks „general
safeguard‟, dapat diterapkan dalam konteks perdagangan regional di ASEAN.
Sebaliknya, penggunaan kuota impor yang dilarang WTO juga dilarang di FTA.
Sebagai ilustrasi, kebijakan penerapan kuota impor, non-automatic import
licensing, dan larangan impor produk hortikultura untuk periode tertentu telah
dipermasalahkan oleh Amerika Seriat dan beberapa negara anggota WTO lainnya.
Apakah kebijakan ini juga berlaku bagi Negara anggota AFTA dan ASEAN+partner?
Jawabannya ya, terbukti Australia yang terikat dalam FTA ASEAN+NZ, menjadi salah
satu negara anggota WTO yang mempermasalahkan kebijakan tersebut dan telah
menyatakan menjadi „third party‟ dalam proses penyelesaian sengketa di form DSB.
Dalam kaitan kasus ini, pertanyaannya adalah, lebih efisien dan efektif mana
bagi pemerintah Indonesia dalam melindungi petani dari produk impor, apakah dengan
menggunakan kuota dan larangan impor atau menaikan tarif impor? Kebijakan yang
pertama, yang diterapkan pemerintah saat ini, ternyata telah dipermasalahkan oleh
Negara anggota WTO dan anggota ASEAN+ANZ FTA. Kalau pemerintah melakukannya
dengan menaikan tariff impor „optimal‟ yang tidak melampaui „bound tariff‟ mungkin
akan dipertanyakan oleh Negara anggota WTO dan juga mereka yang terikat di
ASEAN+ANZ, tetapi kecil kemungkinannya untuk dibawa ke proses sengketa dagang
DSB. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah memilih kebijakan perlindungan dengan
instrument tariff impor. Jika kebijakan tariff dinilai tidak cukup efektif, maka pemerintah
dapat menerapkan instrumen non-tariff, misalnya penerapan standar baik dalam
konteks TBT maupun SPS.
Ada suatu fakta yang perlu diketahui oleh pembuat kebijakan di Kementan
adalah bahwa pemanfaatan tarif preferential dalam kerangka perdagangan antara
19
negara (intra-trade) di AFTA dan ASEAN+partner ternyata masih sangat terbatas.
Perdagangan intra ASEAN dan ASEAN+partner lebih banyak menggunakan MFN tariff
(Gambar 4). Informasi yang diperoleh menyatakan bahwa proses administrasi dan
pengisian form SKA (Surat Keterangan Asal) untuk memanfaatkan tarif preferential
dinilai cukup rumit dan menjadi beban importer, sehingga mereka memilih menggunaan
tariff MFN. Hal ini dapat dijadikan petunjuk bahwa manfaat tarif preferential bagi
importer-exporter dinilai lebih kecil dibandingkan energi, waktu dan biaya untuk
mengurus SKA dan menlengkapi proses administrasi. Oleh karena itu, terkait dengan
tujuan untuk melindungi petani dan produsen, pemerintah sebaiknya dan sedapat
mungkin menggunakan instrument kebijakan yang konsisten dengan aturan WTO, tidak
malahan menggunakan instrumen yang dilarang WTO.
Gambar 4. Pemanfaatan Preferensi Tarif AFTA dan ASEAN+partner
2,965
5,753
9,561
2,875
452 1,113
1,589
3,758
1,636 1,111
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
AKFTA ACFTA AFTA IJEPA AIFTA
US$ j
uta
2010
Triwulan I '2011
20
PERHITUNGAN TARIFF IMPOR OPTIMUM
Adalah suatu kewajiban bagi semua Negara anggota WTO untuk menyesuaikan
kebijakan perdagangannya agar “compliance with” aturan WTO. Seperti telah diuraikan
sebelumnya, aturan WTO melarang penerapan restriksi perdagangan kuantitatif
termasuk kuota impor. Dengan demikian, penerapan kuota impor yang belakangan ini
marak dilakukan secara terbuka oleh Indonesia jelas menyalahi atau tidak konsisten
dengan aturan WTO. Kebijakan pengenaan tarif impor yang dilakukan Indonesia setiap
saat dapat dipermasalahkan oleh negara anggota WTO lainnya yang merasa atau
secara potensial dirugikan. Jika dibawa ke proses penyelesaian sengketa (DSB), hampir
dapat dipastikan Indonesia akan kalah, karena jelas-jelas melanggar aturan WTO.
Seandainya secara politik pemerintah ingin melindungi petani dengan cara
membatasi impor maka pemerintah dapat menghitung „tariff equivalent quota‟ yang
sekaligus menjadi „tariff optimum‟ yang menjamin petani memperoleh keuntungan layak
untuk tetap berusaha tani dan konsumen tidak terbebani oleh harga produk yang
kelewat tinggi. Lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK), pemerintah langsung dapat
mengenakan tarif impor, tanpa harus berpolemik tentang keakuratan data untuk
menghitung besarnya kuota impor. Tarif „optimum‟ harus menjamin harga „remuneratif‟
bagi produsen, yakni menjamin keuntungan bersih usahatani diatas 30 persen (30-
35%) tetapi tidak membebani konsumen.
2007 2008 2009 2010 Triwulan I '2011
Total 1.907 15.884 13.106 19.867 9.207
AFTA 1.360 9.434 6.417 8.710 3.758
AKFTA 343 2.942 1.603 2.776 1.113
ACFTA 204 1.804 2.607 5.287 1.589
IJEPA 0 1.705 2.479 2.642 1.636
AIFTA 0 - 0,0 452 1.111
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000 US
$ jut
aNilai SKA berdasarkan Tipe Preferensi FTA
21
Dengan penerapan tarif optimum ini, pemerintah tidak perlu mengumumkan
kuota impor dan repot melakukan pembagian kuota ke importir terdaftar, yang terbukti
menyuburkan „rent seeking behavior‟ dan kasus suap-menyuap yang menimbulkan
gonjang ganjing politik nasional. Importir Terdaftar (IT) tidak perlu RIPH, semua IT
dapat mengimpor produk yang bersangkutan sepanjang membayar tarif impor yang
telah ditetapkan. Dengan kebijakan seperti ini, akan terjadi seleksi pasar terhadap IT,
dimana hanya IT yang efisien yang akan beroperasi, dan dapat mencegah terjadinya
kasus suap-menyuap yang memicu ekonomi biaya tinggi. Yang pasti, potensi „quota
rent‟ yang hanya dinikmati oleh beberapa importir dan oknum pemerintah dan politisi,
masuk ke kas negara dalam bentuk penerimaan pemerintah dari tarif (tariff revenue).
Perhitungan tarif optimum bawang merah dilakukan dengan menggunakan
analisis keseimbangan parsial, memperhitungkan tingkat keuntungan petani bawang
merah, kesejahteraan produsen, konsumen dan penerimaan pemerintah, serta
meminimumkan „social welfare loss‟ di perekonomian. Untuk keperluan ini, diperlukan
data-data dan informasi, antara lain: data produksi bawang merah, struktur ongkos
usahatani, harga FOB/CIF, realisasi impor, harga eceran, biaya pemasaran (angkutan
dan bongkar muat), dan nilai tukar rupiah. Disamping itu, juga diperlukan beberapa
parameter antara lain, elastisitas penawaran, elastisitas permintaan, elastisitas harga
sendiri dan harga silang permintaan faktor produksi, serta elastisitas transmisi harga
eceran ke tingkat farm-gate.
Hasil perhitungan tarif impor dan dampaknya dengan menggunakan data tahun
2012 disajikan dalam Tabel 3. Pada tahun 2012, dengan tarif sebesar 5%, impor
bawang merah tercatat 95.000 ton. Harga rata-rata eceran bawang merah sekitar Rp
12.000 per kg, sedangkan harga di tingkat petani (farmgate) sebesar Rp 4.695 per kg.
Dengan tingkat harga farmgate ini, petani bawang merah menikmati keuntungan bersih
sebesar 26% dari total biaya produksi, dibawah tingkat optimum yang ditargetkan
(30%). Penerimaan pemerintah dari tarif sebesar Rp28 milyar. Tarif optimum sebesar
10-15%, jauh lebih rendah dibandingkan „bound tariff‟ bawang merah sebesar 50%.
Dengan tariff tersebut, petani bawang merah menerima keuntungan bersih 30-35%
untuk terus berusahatani. Konsumen tidak terlalu dibebani dengan adanya harga
22
eceran bawang merah sebesar Rp 12.500-13.000 per kg. Pemerintah memperoleh
revenue dari tariff sebesar Rp 39-41 milyar, meningkat sebesar 37-43 persen.
Tambahan penerimaan ini akan hilang dan menjadi „quota rent‟ yang akan dinikmati
oleh beberapa importir/pedagang dan oknum bilamana pemerintah menerapkan kuota
impor. Terbatasnya jumlah importir dan dominasi beberapa importir besar akan
membuat harga eceran dan „quota rent‟ bertambah besar.
Dengan tariff optimum ini, volume impor bawang putih akan menurun dan
terkendali dalam kisaran 40.000-70.000 ton per tahun, atau 4-6% dari total konsumsi
bawang merah nasional. Secara ekonomi-politik, angka impor ini seharusnya tidak perlu
merisaukan mengingat Indonesia masih dalam status „self sufficiency on trend‟ dan
tidak mengurangi „kemandirian‟ bangsa. Bila terjadi lonjakan permintaan bawang merah
diluar musim panen seperti saat ini, peluang terjadinya lonjakan harga eceran dapat
dihindari karena importir akan menambah impor dengan tetap membayar tariff impor
yang berlaku. Dengan kebijakan ini, konsumen tidak dirugikan oleh lonjakan harga,
pemerintah memperoleh tambahan revenue impor, dan produsen terlindungi dengan
penerapan tarif impor tersebut.
Tabel 3. Hasil Perhitungan dan Dampak Pengenaan Tarif Impor Bawang Merah
Uraian Base
BM=5 BM=10 BM=15 BM=20 BM=25
CIF Price Tanjung Periok (US$/ton) 480 480 480 480 480
Nilai Tukar (Rp/$) 9.600 9.600 9.600 9.600 9.600 Harga Perbatasan (Rp/kg) 6.048 6.048 6.048 6.048 6.048
Bea masuk Advalorem (%) 5 10 15 20 25 Specifik (Rp/kg) 302 605 907 1.210 1.512
Harga Paritas Impor Eceran (Rp/kg) 7.583 7.945 8.306 8.667 9.028
Harga Aktual Eceran (Rp/kg) 12.000 12.571 13.143 13.714 14.286 Harga Petani (Farmgate price) (Rp/kg) 4.695 5.163 5.632 6.100 6.569
Produksi Bawang Merah (000 ton) 1.048 1.057 1.066 1.073 1.080
Perubahan (000 ton) 0 9 18 25 32 Perubahan (%) 0 1 2 2 3
23
Uraian Base BM=5 BM=10 BM=15 BM=20 BM=25
Import Bawang Merah (000 ton) 95 68 43 21 0 Perubahan (000 ton) 0 -27 -52 -74 -95
Perubahan (%) 0 -28 -54 -78 -100
Permintaan Bawang Merah (000 ton) 1.203 1.185 1.169 1.154 1.140 Perubahan (000 ton) 0 -18 -34 -49 -63
Perubahan (%) 0 -1 -3 -4 -5
Penerimaan Pemerintah (milyar Rp) 28.728 41.160 39.422 25.285 237 Perubahan (milyar Rp) 0 12.432 10.694 -3.443 -28.491 Perubahan (%) 43 37 -12 -99
Produktivitas Bawang Merah
(kg/ha) 9.000 9.000 9.257 9.385 9.514 Keuntungan Petani (%) 23 30 36 40 45
Jika kebijakan tarif impor optimum juga diterapkan untuk komoditi hortikultura
lain, sebagai pengganti kebijakan kuota dan lisensi impor (RIPH) serta larangan impor
periode tertentu, diharapkan kelangkaan pasokan, gejolak serta lonjakan harga produk
hortikultura tidak akan terjadi dan meresahkan masyarakat dan membebani
perekonomian. Tentu saja tarif impor bukan satu-satunya intrumen untuk melindungi
petani domestik dari banjir impor terutama akibat “unfair trading”, pemerintah dapat
memanfaatkan instrumen “trade remedies dan trade defense instruments” lain, jika
memang diperlukan. Pemerintah perlu mulai lebih serius untuk mendalami dan
memanfaatkan standar dan persyaratan karantina (SPS) dalam upaya melindungi pasar
domestik dan sektor pertanian dari limpahan produk pertanian yang tidak memenuhi
standar.
Disamping memberikan perlindungan dari ancaman produk impor (border
measures), sangat diperlukan kebijakan yang mencerminkan keberpihakan dan
perhatian lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas dan kualitas
bawang merah dan produk hortikultura pada umumnya (beyond the border measures).
Bahkan yang terakhir ini lebih penting bila „kemandirian‟ produk hortikultura menjadi
tujuan nasional. Tidak hanya kecukupan anggaran, kontinuitas program dan komitmen
24
politik, langkah ini harus gerakan nasional, sebagaimana dilakukan pemerintah saat
menggulirkan program swasembada beras akhir tahun 70an. Yang pasti, tujuan
kemandirian produk hortikultura tidak mungkin dapat dicapai jika hanya mengandalkan
pembatasan impor (border measures).
KESIMPULAN
Dalam merumuskan kebijakan publik, Pemerintah seharusnya memperhatikan
kepentingan semua pihak, baik konsumen, produsen maupun importer/pedagang
secara keseluruhan, bukan hanya menguntungkan „konstituen‟ partai politik tertentu.
Hal yang sama harus dilakukan pemerintah dalam merumuskan kebijakan pertanian
dan perdagangan produk pertanian. Kebijakan pemerintah untuk memberikan
perlindungan kepada petani tidak harus membebani konsumen dan perekonomian,
karena pada gilirannya juga akan membebani petani produk yang bersangkutan akibat
effek inflatoir.
Disamping itu, sebagai anggota WTO, Pemerintah Indonesia dalam merumuskan
kebijakan perdagangan harus tetap memperhatikan dan mengacu aturan WTO.
Pemerintah seyogyanya menggunakan instrumen kebijakan perdagangan yang
diperbolehan dan sedapat mungkin menghindari penggunaan instrumen yang dilarang
aturan WTO. Aturan WTO mengikat semua negara anggota termasuk Indonesia.
Ketidak-konsistenan dan pelanggaran terhadap aturan WTO oleh negara anggota akan
dipertanyakan dan dipermasalahkan oleh negara anggota yang lain, dan negara yang
kebijakan perdagangannya melanggar aturan WTO harus siap untuk „diadili‟ dan „kalah‟
dalam proses sengketa dagang-Dispute Settlement Mechanism di WTO.
Dalam bentuknya saat ini, kebijakan RIPH yang terlalu berfokus kepada
pembatasan impor lewat kuota dan lisensi impor serta larangan impor periodik terbukti
telah memicu lonjakan harga eceran yang membebani konsumen dan tidak efektif
dalam memberikan perlindungan kepada petani. Kebijakan ini terbukti kurang
transparan, menciptaan ketidak-pastian, dan menyuburkan praktek pencarian rente
ekonomi dan suap-menyuap yang menimbulkan gonjang ganjing politik nasional.
25
Keberpihakan dan perlindungan kepada petani dapat dan harus dilakukan oleh
pemerintah tidak hanya dengan „border measures‟ lewat pembatasan/larangan impor
tetapi juga harus dilakukan „beyond the border‟ lewat kebijakan untuk mendorong
peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produksi, peningkatan margin
keuntungan petani lewat perbaikan infrastruktur dan system logistik nasional.
Hasil perhitungan dengan menggunakan data tahun 2012, menghasilkan tariff
optimum berkisar 10-15%, jauh lebih rendah dibandingkan „bound tariff‟ bawang merah
sebesar 50% tetapi lebih tinggi dibandingkan „applied tariff‟ saat ini sebesar 5%.
Dengan tariff optimum tersebut, Indonesia akan mengimpor bawang merah dalam
kisaran 40.000-70.000 ton per tahun, atau 4-6 persen dari total konsumsi bawang
merah nasional. Dengan angka impor ini status „self sufficiency on trend‟ dan
„kemandirian‟ tetap dapat dipertahankan. Dengan tarif impor optimum ini, petani
bawang merah terlindungi dari banjir impor dan memperoleh keuntungan bersih 30-
35% untuk terus berusahatani. Konsumen tidak dirugikan oleh lonjakan harga,
pemerintah memperoleh tambahan revenue impor, dan produsen terlindungi dari banjir
impor sehingga tetap dapat berproduksi secara menguntungkan. Baik petani, konsumen
dan pemerintah (Negara) diuntungkan dengan kebijakan tarif impor, meskipun tentu
saja segelintir pihak „pencari rente‟ akan dirugikan karena tidak ada lagi kesempatan
untuk mengambil rente ekonomi sebagaimana terjadi jika pemerintah menerapkan
kebijakan kuota dan lisensi impor yang ketat.
Semua aturan WTO berlaku dan mengikat semua negara anggota yang di FTA.
Oleh karenanya FTA dikenal sebagai WTO plus. Kuota impor yang dilarang oleh aturan
WTO, juga dilarang diterapkan di FTA. Aturan WTO memperbolehkan negara anggota
menaikkan tarif impor (MFN), sebagai „general safeguard instrument‟ untuk melindungi
petani dan produsen dari banjir impor. Kenaikan tarif ini juga dapat diberlakukan di
FTA. Adalah keliru pendapat yang menyatakan kuota impor dapat diberlakukan
sedangkan tarif impor untuk „general safeguard‟ tidak berlaku di FTA. Namun demikian,
adalah menjadi kewajiban anggota WTO, AFTA dan ASEAN+partner, untuk
menotifikasikan kebijakan perdagangannya ke Sekretariat WTO dan kalau memang
26
diwajibkan harus melakukan renegosiasi dengan semua anggota AFTA dan
ASEAN+partner.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2012. Produksi Sayuran di Indonesia, 2008-2012. Jakarta.
Ditjen Hortikultura. 2006. Tanaman Sayuran: Buku Tahunan Hortikultura. Ditjen Hortikultura. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Ditjen Hortikultura. 2012. Cetak Biru Pengembangan Hortikultura Tahun 2011-2015. Kementaerian Pertanian. Jakarta.
Kementerian Perdagangan. 2012. Tinjauan Pasar Bawang Merah. Edisi: Bawang Merah/Desember 2012. Jakarta
Krugman, Paul R and M. Obstfeld. 2003. Internasional Economics: Theory and Policy.
6th edition. World Student Series, Addison Wesley, New York.
Pusdatin 2012. Statistik Konsumsi Pangan 2012. Sekretraita Jenderal, Kementerian
Pertanian. Jakarta.
WTO. 1995. The Legal Text. World Trade Organization, Geneve, Switzerland.