kebijakan moratorium ikan napoleon cheilinus...

19
115 Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.) KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON (Cheilinus ndulatus Rüppell 1835) Isa Nagib Edrus Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 14 Desember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 16 Maret 2011; Disetujui terbit tanggal: 23 September 2011 Abstraks Tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan bagi kebijakan perlindungan jenis ikan rawan punah, seperti ikan Napoleon. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mempertimbangkan inisiatif moratorium penangkapan ikan tersebut. Metode penulisan menggunakan analisis kebijakan publik. Pertimbangan moratorium antara lain adalah bahwa perikanan Napoleon mengalami krisis karena lebih kapasitas usaha, lebih tangkap dan cara penangkapannya yang merusak, sementara kebijakan pengelolaan ikan Napoleon tidak kondusif dari sisi lingkungan hidup, hukum dan penegakan hukum. Lebih jauh statusnya sudah digolongkan rawan punah oleh UNEP dan dibutuhkan pengelolaan yang lebih berhati-hati. Ketidak-beruntungannya adalah telah terjadi penangkapan ilegal dan tidak terdata dalam sistem transpotasinya. Kuota penangkapan ikan Napoleon hanya mengatur perdagangan global, tetapi peraturan pengelolaan yang bersifat domestik membutuhkan aturan yang lebih serius untuk menyelamatkan ikan Napoleon dari kepunahan. Inisiatif perlindungan jenis satwa rawan punah memiliki dasar hukum hingga disarankan untuk menetapkan moratorium berjangka. Sosialisasi merupakan langkah penting untuk mendapatkan penerimaan masyarakat atas moratorium. Monitoring dan evaluasi merupakan bagian siklus dari moratorium untuk melihat kemajuan dan perbaikan manajemen. KATA KUNCI: ikan napoleon, kebijakan publik, moratorium ABSTRACT: Policy synthesis of moratorium for humphead wrasse (Cheilinus undulatus). By: Isa Nagib Edrus This paper is aime to make a sinthesis of policy of endangered species protection, such as Hump Head Wrasse (HHW). This will be usefull for the Ministry for Marine and Fishery to decide a moratorium inisiative for the fish. A method used is the public- policy analysis. Some of judgements for making moratorium are that HHW fisheries were under crisis condition due to over capacity, over fishing and destructive fishing, while Napoleon fishery management was being worse for circumstances of living environment, law and law enforcement. Furthermore, HHW was listed in endanger species by UNEP and needed to carefully management. Unfortunatelly, it was happened the Illegal, Unregulated and Unmonitored (IUU) fishing. Napoleon Fishing quota was only for global market regulation; however, domestically management regulation was needed a serious protocol to keep Napoleon save from losses. More protective manner for endanger wilds have the regulation willing to use in decision making for moratorium. Moratorium translations for publics are potential suggestion to get social acceptances and understanding. Monitoring and evaluation include in moratorium cyclus to identity progress and improve management. KEYWORDS: hump head wrasse, public policy, moratorium ___________________ Kosrespondensi penulis: Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Samudera Indonesia Jakarta Utara-1440. Tlp. (021) 6602044

Upload: nguyencong

Post on 02-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

115

Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)

KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON(Cheilinus ndulatus Rüppell 1835)

Isa Nagib EdrusPeneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta

Teregistrasi I tanggal: 14 Desember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 16 Maret 2011;Disetujui terbit tanggal: 23 September 2011

Abstraks

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan bagi kebijakan perlindunganjenis ikan rawan punah, seperti ikan Napoleon. Tulisan ini diharapkan dapatbermanfaat bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mempertimbangkaninisiatif moratorium penangkapan ikan tersebut. Metode penulisan menggunakananalisis kebijakan publik. Pertimbangan moratorium antara lain adalah bahwaperikanan Napoleon mengalami krisis karena lebih kapasitas usaha, lebih tangkapdan cara penangkapannya yang merusak, sementara kebijakan pengelolaan ikanNapoleon tidak kondusif dari sisi lingkungan hidup, hukum dan penegakan hukum.Lebih jauh statusnya sudah digolongkan rawan punah oleh UNEP dan dibutuhkanpengelolaan yang lebih berhati-hati. Ketidak-beruntungannya adalah telah terjadipenangkapan ilegal dan tidak terdata dalam sistem transpotasinya. Kuotapenangkapan ikan Napoleon hanya mengatur perdagangan global, tetapi peraturanpengelolaan yang bersifat domestik membutuhkan aturan yang lebih serius untukmenyelamatkan ikan Napoleon dari kepunahan. Inisiatif perlindungan jenis satwarawan punah memiliki dasar hukum hingga disarankan untuk menetapkan moratoriumberjangka. Sosialisasi merupakan langkah penting untuk mendapatkan penerimaanmasyarakat atas moratorium. Monitoring dan evaluasi merupakan bagian siklus darimoratorium untuk melihat kemajuan dan perbaikan manajemen.

KATA KUNCI: ikan napoleon, kebijakan publik, moratorium

ABSTRACT: Policy synthesis of moratorium for humphead wrasse (Cheilinus

undulatus). By: Isa Nagib Edrus

This paper is aime to make a sinthesis of policy of endangered species protection,

such as Hump Head Wrasse (HHW). This will be usefull for the Ministry for Marine and

Fishery to decide a moratorium inisiative for the fish. A method used is the public-

policy analysis. Some of judgements for making moratorium are that HHW fisheries

were under crisis condition due to over capacity, over fishing and destructive fishing,

while Napoleon fishery management was being worse for circumstances of living

environment, law and law enforcement. Furthermore, HHW was listed in endanger

species by UNEP and needed to carefully management. Unfortunatelly, it was

happened the Illegal, Unregulated and Unmonitored (IUU) fishing. Napoleon Fishing

quota was only for global market regulation; however, domestically management

regulation was needed a serious protocol to keep Napoleon save from losses. More

protective manner for endanger wilds have the regulation willing to use in decision

making for moratorium. Moratorium translations for publics are potential suggestion

to get social acceptances and understanding. Monitoring and evaluation include in

moratorium cyclus to identity progress and improve management.

KEYWORDS: hump head wrasse, public policy, moratorium___________________

Kosrespondensi penulis:

Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Samudera Indonesia

Jakarta Utara-1440. Tlp. (021) 6602044

Page 2: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

116

J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 :

PENDAHULUAN

Keanekaragaman adalah aset untukpembangunan dan kemakmuran bangsa,sementara aset ini tidak mudah untuk dikeloladan bahkan belum dimengerti dengan baik.Sebegitu jauh keanekaragaman dianggapsebagai suatu sumber daya yang dapatdieskploitasi dengan mudah dan sedikit sekaliperhatian pada kelestariannya (Bappenas,2003). Sementara keanekaragaman sumberdaya ikan karang yang tinggi dari sisi jenisseringkali tidak diikuti oleh kelimpahan darisisi individual (Arief & Edrus, 2010). Olehkarena itu, ketika suatu jenis memiliki nilaiekonomis tinggi di pasar global denganpermintaan yang tinggi, maka pengelolaanmenjadi dibatasi oleh nilai kelimpahannyadi alam. Contohnya adalah ikan Napoleon(Cheilinus undulatus). Ancaman utamapada perdagangan ikan hidup IkanNapoleon adalah lebih tangkap danpengaruh cara penangkapan yang merusakterhadap ikan target lain, ikan non targetdan lingkungan terumbu karang (Donaldson& Sadovy, 2001; Gillett, 2010).

Sejak tahun 1990an, ikan Napoleonmenjadi komoditas unggulan dalam eksporperikanan asal Indonesia, karena wilayahperairan karang Indonesia menjadi habitatpotensialnya (Sadovy et al., 2003). Pertamasekali hal ini dianggap sebagai suatuanugrah bagi mendukung pertumbuhanekonomi dan peningkatan kesejahteraanmasyarakat nelayan. Namun dampaknegatif dari perikanan Napoleon kemudianmenjadi isu penting dalam kelestarianterumbu karang, karena carapenangkapannya yang tidak ramahlingkungan dan menimbulkan eksternalitybagi usaha lain. Untuk menanggulangikasus-kasus kerusakan karang yangsemakin sporadis, pemerintah melarangpenangkapan ikan Napoleon atas dasarekses kerusakan habitat yang ditimbulkanoleh penangkapan yang merusak. Larangan

mengacu pada Peraturan PemerintahNomor 9 tahun 1985 dan Nomor 375/Kpts/IK.250/5/95 yang ketika itu Dirjen Perikananmasih di bawah Deptan. MenteriPerdagangan pada tahun yang sama jugamengeluarkan keputusan Nomor : 95/EP/V/95 tanggal 21 Mei 1995 yang berisitentang larangan ekspor ikan Napoleon,kecuali atas izin Menteri Pertanian.Kebijakan pemerintah baru kemudianberpihak pada kepentingan pengaturanpengelolaan yang ramah lingkungan,setelah kasusnya menjadi perhatian dunia,terutama setelah diperkenalkan isu kuotapenangkapan. Kebijakan terakhir terkaitdengan Deklarasi Dirjen Perikanan No.HK.330/S3.6631/96 mengenai perubahankeputusan Dirjen Perikanan No. HK.330/Dj.8259/95 tentang ukuran, lokasi dan tatacara penangkapan ikan Napoleon. Namunregulasi ini dipandang belum efektif ketikakemudian isu perikanan Napoleonberkembang ke arah tanpa kontrol, karenaadanya kasus perdangangan bersumberdari perikanan IUU (Illegal, Unregulated and

Unmonitored). Dalam perjalanan waktu,regulasi-regulasi tersebut kemudiandianggap usang walaupun belum dicabutsecara resmi, karena situasi semakinberkembang.

Setelah terbentuknya KementerianKelautan dan Perikanan, status populasiikan Napoleon menjadi perhatian duniasetelah jenis itu yang berasal dari Indonesiamembanjiri pasar global, sebagai pertandamaraknya IUU. Akhirnya di tahun 2004semua ketentuan atau regulasi ikan inimasuk dalam tinjauan CITES dan Appendix2 yang lebih berkenaan dengan tata aturanperdagangan di tingkat global, di manaaturan dinisbahkan pada kepentingan aturanpanen yang tidak merugikan demikesinambungan produksi (non-detrimental

finding-NDF). Untuk kepentingan ituditetapkanlah kuota perdagangan IkanNapoleon di bawah tanggung jawab LIPI

115-133

Page 3: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

117

sebagai Scientific Authority danKementerian Kehutanan sebagaiManagement Authority. Sementara aturanke dalam untuk membenahi pengelolaan inisecara umum mengacu pada UU 31/2004dan UUD 45/2009 tentang perikanan danpengawasan, larangan, dan sangsi.Keberuntungannya adalah bahwa ketentuanCITES tersebut masih membuka kuotaperdagangan dan belum ditetapkanstatusnya menjadi Appendix I bagi ikanNapoleon. Kuota perdagangan ikanNapoleon, seperti terlihat pada Tabel 1,menunjukkan angka yang semakinmenurun dan angka realisasi kuota yangsemakin kecil, namun hal ini belum dapatmenjadi patokan resmi atas pemanfaatanikan Napoleon. Dua hal yang menjadiperhatian tentang mengapa kuota semakinkecil dan realisasi ekspor juga menurun.Pertama, populasi ikan Napoleon di alammemang sudah menurun drastis menujucollapse seperti beberapa hasil penelitian(Donaldson & Sadovy, 2001) dan diakuibahwa penangkapan dan perdagangan telahmenurun 50 % dalam kurun waktu 10 � 15tahun terakhir (Sadovy, 2006). Kedua,sekali lagi maraknya IUU masih menjadibatu sandungan dalam pengelolaanperikanan Napoleon, sehingga terkesankuota tidak bermanfaat lagi ketikaperdagangan gelap tidak tercatat.

Inisiatif terakhir adalah penegakanPeraturan Menteri Kelautan dan PerikananNomor PER.03/MEN/2010, tentang tatacara penetapan status perlindungan jenisikan. Diharapkan ketetapan ini menjadi pintumasuk bagi perlindungan ikan yangterancam punah, seperti ikan Napoleon, dansekaligus menjadi pedoman dalampenentuan kebijakan lebih lanjut.

Lebih jauh dunia melihat bahwameskipun Undang-Undang, regulasi dankeputusan menteri telah siap menghadapiperikanan Napoleon, tetapi kerangka kerja

kebijakan untuk pengelolaan panen,perdagangan domestik, dan ekspor ikanNapoleon belumlah dilaksanakan secaraefektif. Karena tidak ada dokumenkomprehensif yang mendeskripsikanseluruh regulasi pemerintah yang mengaturindustri, stakeholders terlihat bingung dangamang menghadapi ketetapan yang sudahada. Kebingungan seperti ini juga menjadiumum di kalangan nelayan, pengumpul,eksportir dan bahkan pada tingkat subseksidalam lingkup Kementerian Kelautan danPerikanan dan tingkat pemerintah daerah.Saat ini dirasakan sekali kurangnya protokolyang terstruktur dan komprehensif dalammengatur cara-cara yang dengannya terjadipenguatan otoritas untuk memantau,menegakan, dan mengeluarkan izinsehubungan dengan ikan Napoleon. Juga,terlihat adanya kelemahan dalam kerjasamaantara PHKA, Balai Koordinasi Sumber DayaAlam, dan Kementerian Kelautan dan Perikanandengan lembaga pemantau dan penegak hukumyang relevan, seperti Bea Cukai dan LembagaKarantina KKP (IUCN, 2006).

NoTahun(Years)

Kuota(Quota)

Realisasi(Realization)

Sisa(Rest)

1 2005 8.000 5.320 2.680

2 2006 8.000 5.970 2.030

3 2007 8.000 6.228 1.772

4 2008 7.200 3.809 3.391

5 2009 8.000 4.220 3.780

6 2010 5.400 3.810 1.590

7 2011 3.600 970 2.630

Tabel 1. Kuota perdagangan ikanNapoleon menurut tahun.

Table 1. Quota for Napoleon Trade by

years.

Sumber (Source):Direktorat KonservasiKeanekaragaman HayatiKementerian Kehutanan

Untuk alasan itu timbul suatu area yangdiistilahkan sebagai �wilayah abu-abu�(Tampubolon, 2011) yang dapat didefinisikan

Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)

Page 4: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

118

J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 :

dalam segala pengertian, yakni mulai daritidak terurus sampai salah urus, mulai daribelum terkendali sampai salah kendali,sehingga kasus-kasus IUU dapatberkembang subur di wilayah abu-abuseperti itu. Terlebih lagi regulasi penggantiKepmentan tersebut belum disusun.Menghadapi kasus-kasus seperti ini, isumoratorium dari berbagai stakeholder untukikan Napoleon kemudian muncul, meskipundisadari bahwa moratorium belum menjadijaminan secara pasti dapat mengatasikasus-kasus IUU. Namun moratoriumhanya akan mencapai target j ikadipertimbangkan secara matang melaluianalisis kebijakan publik. Peraturan MenteriKelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2010 tetang Tata Cara PenetapanStatus Perlindungan Jenis Ikan telahmemberikan landasan yang kuat dalammelakukan inisitif terhadap perlindunganikan Napoleon, yaitu salah satunya adalahmelalui analisis kebijakan.

Tujuan penulisan sintesa kebijakan iniadalah untuk memberikan rekomendasiperlindungan jenis ikan Napoleon yangdiharapkan dapat bermanfaat bagi MenteriKelautan dan Perikanan dalammempertimbangkan inisiatif moratoriumikan tersebut.

BAHAN DAN METODE

Pendekatan yang digunakan adalahanalisis kebijakan publik (Simatupang,2003), yaitu cara atau kegiatanmenformulasi beragam informasi terkaityang relevan dan termasuk juga hasilpenelitian untuk menghasilkan rekomendasikebijakan publik. Kebijakan publik yangdimaksud adalah keputusan atau tindakanpemerintah yang berpengaruh terhadaphajad hidup orang banyak.

Cara kerja dalam pengumpulan informasitersebut mencakup desk study dan

konsultasi publik, seperti telah dilakukanbeberapa kali pertemuan tahun 2010 - 2011di Direktorat Jenderal Kelautan dan PesisirPulau Pulau Kecil, Kementerian Kelautandan Perikanan. Kemudian atas informasiyang tersedia dilakukan sintesa ilmiah yangmenyangkut studi kelayakan untuk opsikebijakan dari sisi (1) hukum, (2)administratif, (3) politis, (4) biologi, (5)manajemen perikanan, (6) lingkungan, dan(7) sosial ekonomi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembangunan Berkelanjutan

Penentu kebijakan akan berhadapanpada dua kepentingan sekaligus, yaitukepentingan ekonomi versus ekologi. Jalantengah yang dapat menjadi patokan adalahamanat UU No.3 tahun 2002 tentangPertahanan Negara, Bab I pasal 21menyebutkan bahwa pendayagunaansegala sumber daya alam dan buatan harusmemperhatikan prinsip-prinsipberkelanjutan, keragaman, dan produktivitaslingkungan hidup. Oleh karena itu jikakonsep pembangunan berkelanjutandipahami dengan baik, maka moratoriumikan Napoleon dapat diadaptasi tanpa keluardari ide dasar dalam pembangunan yangberkelanjutan. Seperti diamanatkan dalamkonsep pembangunan yang bekelanjutanbahwa pembangunan ekonomi tidakdiharapkan berakhir pada hilangnyakeanekaragaman jenis atau genetis.Kesimpulannya adalah adanya programperlindungan jenis dan genetik menjadistrategi alternatif untuk pemanfaatan yangberkelanjutan.

Ikan Napoleon Jenis Rawan Punah

Dalam pertumbuhannya ikan ini melaluibeberapa fase pertumbuhan, dimana bentukjuwana, dewasa dan tua yang berbeda darisegi bentuk dan corak warna. Ikan Napoleon

115-133

Page 5: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

119

memiliki laju rekruitmen rendah karenapertumbuhannya lambat dan reproduksinyarendah (Sadovy et al, 2003). Pada tempatbudidaya kecepatan tumbuh 3 inci dalamwaktu 5 bulan (Sim 2004). Ikan Napoleondewasa hidup soliter di terumbu karang,tempat di mana ikan ini memijah danmobilitasnya rendah karena jarang pergijauh dari tempatnya pemijahannya(Domeier & Colin, 1997). Penyelam-penyelam peneliti jarang menemukan ikanini dalam kelompok besar, di mana kawananikan juwana di luar musim reproduksi terlihatantara 3 -5 ekor. Ketika musim reproduksimungkin akan lebih besar kelompoknya,seperti yang ditemukan di Palau antara 12� 75 ekor (Anonimous, 1992). Sediaan ikanNapoleon saat ini di alam tergolong sangatjarang. Beberapa hasil survei, seperti yangdilakukan IUCN dan LIPI tahun 2005 dan2006 berkisar antara 0,4 sampai 0,86 ekor/ha dengan total lokasi sampling 125 km,yang meliputi Bunaken, Raja Ampat, NTT,Bali dan Kangean (IUCN, 2006) serta surveiBakosurtanal di 116 titik transek yangmenyebutkan bahwa sediaannya bervariasiantara 0,5 sampai 2,6 ekor/ha dengantingkat kelimpahan jarang (Edrus, 2010),seperti rendahnya frekuensikemunculannya di setiap wilayah sensus(Tabel 2). Kondisi biologis, perilaku dansediaan ikan Napoleon seperti ini jelas tidakmenguntungkan bagi populasi IkanNapoleon di alam untuk berkembang,terlebih-lebih ketika ikan ini diburu dengancara penangkapan yang merusak.

Tahun 2004 merupakan tahun titik balikdalam pembenahan pengelolaan ikan rawanpunah seperti ikan Napoleon, di mana CITESmerasa perlu menetapkan regulasiberkenaan dengan perdagangan ikan inipada pasar dunia. Melalui aturan maindalam perdangan bebas, dunia internasionalmerasa perlu mengontrol segala sesuatu

yang berkenaan dengan erosi genetik danancaman pada kepunahan satwa sampaikepada cara pengelolaan sumber daya.Suatu hal yang memang tidak bisa kitaelakan dan patut direspon dengan tindakan-tindakan internal ke dalam untuk mengelolaikan Napoleon. CITES (2004) menyebutkanbahwa semua informasi yang berasal daridata perikanan, hasil sensus bawah laut,laporan nelayan, laporan operatorpenyelam, dan semua laporan itu secarakolektif menunjukkan pertumbuhan populasiikan Napoleon akhir-akhir ini menurun padasemua lokasi penelitian.

Pada tahun 2000an kelompok spesialispeniliti ikan kerapu dan ikan Napoleon dibawah kontrak sekretariat CITES telahmelakukan survei dan pengkajian stokbersama LIPI. Hasilnya adalah bahwa ikanNapoleon dinyatakan berstatus rawanpunah (Donaldson & Sadovy, 2001; IUCN,2006; Sadovy et al., 2003). Atas dasar itupada tahun 2005 kuota perdangan ikanNapoleon ditetapkan. Selanjutnya annualkuota dapat bersifat adaptif bergantung padainformasi yang tersedia.

Kenyataan-kenyataan yang timbulkemudian adalah bahwa meskipun kuotatelah ditetapkan dan kuota tersebut ternyatamenurun sesuai dengan hasil monitoring(Tabel 1). Hal ini membuktikan bahwa ikanNapoleon benar-benar bersifat rawan punahdan diperparah oleh kasus-kasus IUU

fishing. Perlindungan ikan Napoleon dalamstatus yang demikian membawa kepadasuatu konsekuensi, yaitu perlu adanyapembatasan pemanfaatannya untukmemberi kesempatan perkembanganpopulasinya. Jenis-jenis satwa rawan punahperlu mendapat perhatian khusus karenastoknya di alam dianggap tidak mampu lagimenciptakan rente ekonomi manakalapopulasi ikan ini tertekan dan punah.

Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)

Page 6: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

120

J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 :

Tabel 2. Sediaan, stadium, dan frekuensi kemunculan ikan Napoleon pada area sensusTable 2. Stock, stadium, and appearing frquency of Humphead Wrasse in cencus areas

����� ����� �� �� �� ��� �����

���� ���� ���� ��������� ��� ������������������ ������������

������� ������������

�� ����������

��������������������� ���� �������� ������� ����� �� ��

��������� � � ����� ��������� ��������� ����� ���� �� !�" ������� ����

��!�� �#" �

#" �"��� $��%��� &�"

������������

������������� ��������� ���������� �� ��� ������ ��� � ��� 1,3 !�"����� ��

����#��$ ������%�� ��������%�

&�'�(������

)*��+*����+ ��*��,����- ���

*%�,���%- �� ��� ����� ��� � ��� 2,5 !�"����� ��

�*��� ��*��,����- ��%

*��,����- �� ��� ������ �.��� %�

�*'� ��*��,����- ���

*%�,����- ������

(�'��� ��*�%,����- ���

*��,����-

)���+�����.�+�#)(

��'���/0� �����,����- �������,�����- �% ��� ������ 12 �3 % ��� 2,6 !�"����� ��

����*�.� �����,����- �������,�����- �.��� ��

�����*4* �����,����- �����%�,�����-

&�'�����+�(����.�4�

&�5�����������

�����*����� ��6��,����- ���6�%,%���- �� ��� %����� ��� � ��� 1,6 !�"����� ��

�����*�)�$�� ��6��,����- ���6��,%���- & �.��� ��

����'��������$������ ��6��,����- ���6��,�%�%- 7/��

8*'�.���$� ��6��,����- ���6��,���%-

�����$������

( �9)#8

��������� ��6%�,����- ���6�%,����- �� ��� ������ �/) � ���� 0,5 !�"����� �

&��.�����������

����)*'��'���� �6%�,%���- ���6��,����- �� ��� %����� �/) � ��� 1,9 !�"����� ��

���� *������ �%6%�,%%��- ���6��,����- ��� �.��� ��:%�

7�'����(��*� ��6%�,����- ���6��,����- ;7/��

<��7����7�+��*'� ��6��,����- ��%6��,����-

������� ������������

���������

Sumber (Sources): diolah dari (modified from) Saputro & Edrus, 2008; Edrus, 2010; Edrus et al., 2010;Edrus & Setyawan, 2011; Setyawan & Edrus, 2011; Edrus & Suhendra, 2007

Kesenjangan antara sistem produksi

dan prinsip kehati-hatian

Pemanfaatan sumber daya yangterancam kepunahan harus dilakukandengan cara-cara bijak, dan didasarkanpada prinsip kehati-hatian. Semuaketentuan yang mengatur hal-hal tersebutsudah menjadi peraturan pemerintah, tetapicenderung dipandang sebagai suaturegulasi pengelolaan perikanan yangnormatif belaka.

Penerapan teknologi penangkapan dancara penangkapan yang ramah lingkungandalam beberapa hal sulit diimplementasikandi lapangan, karena animo masyarakatperikanan masih cenderung pada cara-carapenangkapan merusak, di mana merekalebih familiar dan merasa diuntungkandengan cara-cara merusak tersebut.

Penangkapan ikan dengan peladak danracun sianida sudah menjadi hal biasa dankebiasaan tersebut sudah semakin meluasterjadi dalam penangkapan di wilayahperairan karang tanpa dapat dipantau dandilarang (Pet-Saode et al., 1996; Hopley &Suharsono, 2000). Ancaman kerusakankarang di Asia Tenggara diperkirakansebesar 64 % berasal dari penangkapanberlebih dan 56 % dari kegiatanpenangkapan yang merusak (Burke et al.,2002).

Kebutuhan ekonomi jangka pendek,keserakahan, lemahnya regulasi dan belumoptimalnya pelaksanaan pengawasanmerupakan kondisi faktual yang sekarangumum dijumpai di lapangan. Semua inimenjadi sesuatu yang kontradiktif terhadapeksistensi UU No. 31 tahun 2004 tentangPerikanan dan Undang-Undang

115-133

Page 7: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

121

perubahannya No. 45 tahun 2009 sertaPeraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007tentang Konservasi Sumber Daya Ikan.Sampai dengan saat ini regulasi tersebutbelum dapat berjalan secara efektif danupaya penegakan hukumnya pun masihbelum berjalan dengan baik, serta seolah-olah terjadi pembiaran. Pembiaran yangterjadi dalam jangka panjang akanmembawa kepada kepunahan ikanNapoleon.

Kegiatan penyadaran masyarakat,pengawasan dan penegakan hukummerupakan salah satu kunci utama dalampelaksanaan Non-Detrimental Finding (NDF)yang diamanatkan UNEP untukpenangkapan ikan Napoleon di Indonesia.Intisari dari apa yang dikehendaki oleh NDF

adalah kehati-hatian dalam pengelolaansumber daya rentan punah. Semua anasirpengguna sumber daya diminta untukmenciptakan cara-cara panen yang tidakmerugikan. Ketidak-beruntungannya adalahbahwa, pada tingkat pengguna sumber dayasulit diberikan pengertian tentang konsepNDF tersebut. Rata-rata nelayan kitaberpendidikan rendah dan miskin. Padatingkat pengawas, sampai dengan saat inikegiatan pengawasan dan pengendalianbaru dilakukan di jalur-jalur peredaran resmi,sedangkan pelanggaran-pelanggaran yangada di lapangan masih belum optimal darisegi tindakan penegakan hukum danpemberian sangsi. Dalam beberapa tahunke depan, kemampuan pengawasan yangdimiliki petugas lapangan dan ketersediaansarana prasarana diprediksi akan kalahtanding dengan pelaku-pelaku IUU fishing

yang semakin canggih, terorganisir dandengan cara-cara yang semakin merusak(Tampubolon, 2011). Denganmempertimbangkan aspek-aspek tersebut,kelemahan SDM dan sistem pengawasan,pemberhentian sementara kegiatanpenangkapan merupakan solusi yang tepatuntuk menekan ancaman kepunahan ikan

Napoleon di Indonesia, sampai menunggupulihnya kesadaran masyarakat tentangperbaikan sistem produksi dan pulihnyapopulasi ikan Napoleon di alam.

Ketidak pastian penerapan hukum yang

menjadi dilema

Substansi undang-undang pengelolaansumber daya sering mengatur beberapabidang persoalan secara seksama, jelasdan konfrehensif untuk melengkapikebutuhan (Sumardiman, 2002). Tetapi,pada penerapannya di tingkat lapang, baikpenegak hukum maupun pengawas masihterbentur pada kegamangan dalampenggunaan substansi-substansi pasal-pasal hukum yang sudah jelas, khususnyadalam pembagian kewenangan dan tehnispembuktian perkara serta antisipasi hal-halyang bersifat laten.

Contohnya, Substansi regulasipengelolaan ikan Napoleon yang pernahditetapkan belumlah secara tegasmenetapkan larangan atas penangkapandan hanya mengatur tentang ukuran, lokasidan tata cara penangkapan ikan Napoleon.Masalah aktual yang timbul kemudianadalah bahwa ukuran yang diperbolehkanoleh aturan justru stadium ikan-ikanNapoleon yang oleh peneliti dinyatakansudah mulai mengandung telur, karenabetina terkecil memijah di alam pada ukuranpanjang total 35 cm (Gillett, 2010),sedangkan ikan Napoleon yang selama initerjual di pasaran justru lebih banyak dalamstadium juwana yang berukuran antara 10� 15 cm (IUCN, 2006; Sadovy, 2006), danyang lebih tragis lagi adalah bahwa aturantersebut masih memberikan akses padapengumpul ikan Napoleon yang justrumenggunakan nelayan-nelayan penggunapotasisum yang merusak. Semua ini tidakmemberikan kepastian atas lestarinyasumber daya ikan Napoleon di alam.

Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)

Page 8: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

122

J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 :

Kesulitan sering muncul bukan karenakurangnya pasal-pasal dalam substansihukum yang digunakan terhadap perusaklingkungan, tetapi justru karena sulitnyamenunjukkan bukti materiil. Dinamikaperairan, seperti adanya gerakan massa air,yakni arus dan gelombang, dapatmelenyapkan bukti-bukti materiil dalamhitungan menit sampai jam. Jikapemeriksaan terlambat, gradien dampakdapat berkurang atau mungkin menghilangkarena arus kuat. Oleh karena itu, semuakasus pelanggaran perusakan lingkungansebagai akibat cara-cara penangkapan ikanhidup dengan sianida atau potas seringtidak dapat ditindak-lanjuti dalam proseshukum, kecuali pelaku tertangkap basah.Pembuktian kasus seperti ini seringterbentur bukan saja pada saling lemparkewenangan tetapi juga pada banyaknyafaktor dan ko-faktor yang bekerja ataskerusakan ekosistem karang, sehinggasulit dinisbahkan pada kejadian yangditetapkan sebagai pengrusakan.Pembuktian juga bersandar pada duapilihan yang belum tentu dapat diterima baikoleh pihak-pihak yang terlibat, yaitu apakahhanya semata-semata berdasarkan padateori (scientific) atau hasil kerjapemerikasaan di tingkat lapangan ataskerusakan hingga menghasilkan buktimateriil. Yang kedua jauh lebih sulitdilakukan dari pada yang pertama, terlebih-lebih jika kejadian pengrusakan sudahberselang lama dan akurasi datanya jugamasih terbuka untuk didiskusikan, hinggamemberikan peluang lolosnya pelakupengrusakan.

Pada umumnya penangkapan ikanNapoleon dilakukan malam hari dan padasaat yang sama tidak ada petugaspengawas dan juga tidak ada petugasanalis laboratorium di lokasi penangkapantersebut. Ketika kemudian kapal pedagangditemukan membawa hasil tangkapantersebut, mereka hanya terjerat kasus

pelanggaran penyalahgunaan dokumenSIKPI, sementara pelaku penangkapanyang merusak tidak terdeteksi. Ketikaberhadapan dengan kejadian seperti ini,pengawas lapangan tidak pula dapatmenggiring pelaku pencurian ikan ke mejahijau untuk memberikan efek jera sesuaidengan substansi UU 45 tahun 2009 atauPP 20 tahun 2007 karena beragam alasan(Tampobolon, 2011), kecuali merampashasil tangkapan yang tidak sesuai ukuran,memberikan teguran keras dan melepaskanikan Napoleon kembali ke habitatnya,sedangkan kerusakan lingkungan akibatcyanid fishing yang terjadi tidak ada beritaacaranya dan tidak ada pula ada gugatankerugian dari pihak pengguna lain. Mungkinhal ini yang dimaksud oleh Sadovy (2006)bahwa pemerintah masih terlampau lemahdalam pengawasan dan penegakan hukum.

Kasus seperti ini secara pasti jarangdipandang sebagai kasus kejahatan, karenasulitnya dalam pembuktian walaupunkelengkapan pasal-pasal undang-undangnya tersedia. Paling tidak kasus inihanya dipandang sebagai kasuseksternalitas biasa dalam rezim open

access yang tidak pula diteruskan padasanksi denda (economic sentence). Sekalilagi, untuk mempermudah danmenyederhanakan proses dalam usahamenyelamatkan ikan Napoleon perlu adanyalangkah-langkah perlindungan yang lebihkonkrit, seperti penetapan moratorium.

Landasan hukum

Perlindungan atas ikan Napoleon dapatmengacu pada Undang-Undang Nomor 31tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimanatelah diubah dengan Undang-Undang Nomor45 tahun 2009. Pasal 7 ayat 1 (u)menyatakan bahwa �dalam rangkamendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan Menteri menetapkan jenis ikanyang dilindungi�. Pada Pasal 7 ayat (6)

115-133

Page 9: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

123

disebutkan bahwa �Menteri menetapkanjenis ikan yang dilindungi dan kawasankonsevasi perairan untuk tujuan ilmupengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/ataulingkungannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikandan Konservasi jenis ikan adalah upayamelindungi, melestarikan, danmemanfaatkan sumber daya ikan, untukmenjamin keberadaan, ketersediaan dankesinambungan jenis ikan bagi generasisekarang maupun yang akan datang (Pasal21) dan konservasi jenis ikan dilakukanmelalui penggolongan jenis ikan, penetapanstatus perlindungan jenis ikan danpemeliharaan, pengembangbiakan, danpenelitian serta pengembangan.

Selanjutnya Peraturan Menteri Kelautandan Perikanan Nomor PER-03/MEN/2010memberikan dasar-dasar tentang Tata CaraPenetapan Status Perlindungan Jenis Ikan.

Implikasi politis atas Undang-Undang

Orientasi politik adalah untukkepentingan rakyat maka kemakmuranrakyat adalah segala-galanya (UUD 1945pasal 33 ayat 3) dengan tetapmemperhatikan keseimbangan, kelestarianlingkungan dan sanksi hukum (UU no. 45tahun 2009).

Penerapan Undang-Undang dan regulasiperikanan bukan berarti mempolitisasiperikanan untuk tendensi kepentingantertentu atau sektor, namun untukmemperjuangkan pembangunan perikananbagi kepentingan rakyat dan kelestariansumber daya perairan. Dua frasa ini, yaitu�kepentingan rakyat� dan �kelestariansumber daya�, merupakan kunci politisuntuk masuk pada usaha pembatasanpemanfaatan ikan Napoleon. Segala

sesuatu yang berkenaan dengan�pembatasan pemanfaatan� sumber dayaalam dapat menjadi pertengkaran dandigunakan sebagai alat politis yang justrumembatasi fungsi-fungsi eksekutif dalampengelolaan perikanan, di mana eksekutifdianggap telah melakukan pelanggaranterhadap undang-undang, meskipunpelestarian sumber daya alam juga diaturoleh undang-undang yang legal karenauntuk kepentingan bersama.

Pembatasan pemanfaatan ikanNapoleon bukan berarti memperkosa hak-hak ulayat, tetapi lebih kepada aturanbagaimana masyarakat dapatmemanfaatkan ikan Napoleon dalam cara-cara yang baik dan bijaksana.

Manajemen Perikanan

Lebih kapasitas dalam perikanan

Seperti yang disinyalir oleh oleh Fauzi(2005), sumber utama krisis perikananNapoleon adalah buruknya pengelolaanperikanan Napoleon yang ditunjukkan olehdua hal yang menonjol, seperti lebih

kapasitas (overcapacity) dan destruksi

habitat (penggunaan potas).

Sumber daya ikan Napoleon bersifatdapat diperbaharui (renewable), tetapi bukantidak mungkin akan menuju kepadakepunahannya (collapse), karena ketikalaju ekstraksi ikan tersebut telah melebihikemampuan regenerasinya, pasti akanterjadi perubahan dalam populasi.

Destruksi habitat dan konsekuensinya

dalam perikanan

Meski situasi lebih tangkap di Indonesiarelatif tidak sederastis pada skala global dibanyak wilayah subtrofis, tetapi destruksihabitat justru sering menjadi masalahutama di wilayah negara berkembang yangdisebabkan oleh kemiskinan dan lemahnya

Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)

Page 10: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

124

J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 :

pengawasan. Destruksi ekosistem tercatatrelatif tinggi pada negara-negara Asia,khususnya Filipina dan Indonesia (Burke et

al., 2002). Untuk alasan ini sering kalinegara-negara maju, baik sebagai donormaupun sebagai importir merasa haruscampur tangan karena sumber daya ikantelah diklaim menjadi kepentingan dankeperihatinan Global. Privasi sumber dayaperikanan melalui kuota akhirnya menjadiagenda global. Sebagai konsekuensinyaadalah bahwa beragam kebijakan perikanansering terbentur pada regulasi yangditetapkan dalam perdagangan global. Issuenvironmental labelling, yang tercantumdalam Doha agenda pada pertemuan WTOke-4 di Doha, Qatar, justru menjadi dilemabagi negara-negara berkembang, sepertiIndonesia. Sekarang kita menghadapikasus yang sama bahwa ikan Napoleontelah diberikan kuota yang tiap tahun akandikaji terus untuk direvisi. Jika ingin masukpada perdagangan global, mau tidak mauatau suka tidak suka, kita wajib berperanaktif untuk menunjukkan bahwa kita ramahdan perhatian penuh pada masalahdegradasi ekosistem.

Sifat buruk perikanan Napoleon

Pengelolaan perikanan Napoleon saat inisudah masuk pada kategori over eksploitasidan merusak ekosistem karang (Sadovy et

al., 2003; Sadovy, 2006; IUCN, 2006).Laporan WWF menyebutkan bahwa lebihdari 6000 penangkap ikan hidup telahmenggunakan 150.000 kg potas dan dalambentuk larutan disemprotkan ke 33 jutaonggok karang setiap tahun. Jika praktikperacunan tersebut terus berlangsung,diperkirakan tahun 2020 semua terumbukarang akan rusak (Michael, 2011).

Pengelolaan ikan Napoleon yangberstatus rawan punah sudah harus dalambentuk pembatasan penangkapan, yangbukan saja dalam bentuk penetapan kuota,

tetapi juga dalam bentuk pelaranganpenangkapan untuk memberikankesempatan pada pertumbuhanpopulasinya di alam. Karakteristik di sektorperikanan Napoleon adalah unik, selainbersifat ordinary-rare resource (sejatinyaadalah sumber daya yang terbatas), jugabersifat common property resource (sumberdaya sebagai hak kepemilikan umum).Interaksi kedua faktor ini seringmenimbulkan eksternalitas yangmendorong terjadinya lebih tangkap dankemudian justru menimbulkan penurunanstok sumber daya dalam waktu yangpendek dan kemudian sulit untuk tumbuhkembali secara cepat (Burke et al. 2002).

Untuk alasan ini, penanganan masalahperikanan memerlukan pendekatantersendiri. Pilihan yang terbaik bagimanajemen perikanan Napoleon diIndonesia adalah melakukan perubahanpundamental dari sekadar mengelola sisisuplai ke mengelola manusia sebagaipengguna, karena yang dikelola ini adalahsumber daya rentan punah danpenggunanya adalah penentu kebijakanyang buruk dan bahkan sekaligus perusaklingkungan (Salm et al., 2000). Dengandemikian, pembatasan total adalah langkahyang dianggap tepat dibanding penetapankuota penangkapan. Selama ini kuota justruakan memberikan celah yang lebih besarpada ilegal fishing, sementara denganpelarangan diharapkan akan lebihmemudahkan pengawasan.

Gangguan dari perikanan Napoleon

Keuntungan ekonomi perikananadakalanya tidak sepadan dengan ongkosyang ditanggung masyarakat danlingkungan (environmental cost) yangmemang tidak pernah diperhitungkan dalamanalisa finansial tentang keuntungan bersih(Cesar, 1996; Pet-Soede et al., 1996).Terumbu karang di Indonesia menyediakan

115-133

Page 11: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

125

keuntungan ekonomi tahunan sebesar US$ 1,6 juta (Burke et al., 2002), tetapi tidaksedikit pula kerugian yang ditanggung olehekosistem. Usaha individual perikananyang menggunakan racun (sianid fishing)memperoleh keuntungan bersih 33.000 US$ per km2 dalam periode 20 tahun, tetapitotal kerugian yang ditimbulkannya bagiusaha masyarakat dalam perikanantangkap yang berkelanjutan dan usahapariwisata mencapai 40.000 sampai446.000 US $ per km2 dalam periode yangsama, di mana nilai tersebut belum terhitungkerugian dari sisi kehilangan biodiversitasdan proteksi lingkungan (Cesar, 1997;dalam Burke et al., 2002).

Contoh gangguan (eksternalitas) yanglebih spesifik adalah perikanan Napoleondi Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi,Kendari. Perikanan Napoleon disinyalirmenggunakan potas (Sianida) danmenimbulkan ekses pada perikanan kerapuhidup (Purnomo, 2009). Produksi kerapuantara 2009 sampai 2011, menurun sebagaiakibat pengaruh perikanan potas (Gambar1). Semua orang mengerti bahwa Wakatobiadalah salah satu area yang dilindungi(Taman Laut Nasional), tetapi kasus-kasusperikanan potas tidak dapat ditanggulangi.

Dampak Ekonomi Perikanan Napoleon

Secara ekonomi, pelaranganpenangkapan ikan Napoleon tidak akanberpengaruh besar terhadap pendapatanmasyarakat nelayan artisanal. IkanNapoleon bukan menjadi target utamapenangkapan bagi kebanyakan RumahTangga Perikanan (RTP). Rumah TanggaPerikanan Napoleon relatif kecil (Tabel 2)jika dibanding RTP perikanan secara umum.

Sedangkan jumlah eksportir ikan hidupNapoleon kurang lebih 15 perusahaan(Dirhamsyah, 2011). Moratorium terhadappenangkapan ikan Napoleon hanya akanberpengaruh pada perikanan padat modaldan eksportir (Tabel 3), karena justrumereka yang mendapat keuntunganterbesar.

Gambar 1. Penurunan produksi ikankerapu hidup akibatperikanan potas di Wangi-Wangi,Wakatobi, SulawesiTenggara

Figure 1. Decreasing in live grouper

production due to cyanide

fishing in Wangi-Wangi,

W a k a t o b i , S u l a w e s i

Tenggara

Pelarangan penangkapan ikan Napoleonjuga tidak akan berpengaruh signifikanterhadap kontribusi terhadap PenghasilanNasional Bukan Pajak (PNBP) sektorperikanan, karena nilai PNBP hanya sekitarRp. 48.000.000,-/tahun sesuai denganbesaran kuota. Pelarangan ekspor ikanNapoleon juga tidak berpengaruh secarasignifikan terhadap nilai ekspor ikan karangIndonesia, karena proporsi ikan Napoleonkurang dari 10% dari total ekspor ikankarang (Ruchimat, 2011).

Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)

Page 12: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

126

J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 :

Tabel 2. Jumlah Rumah TanggaPerikanan yang khususmenangkap Ikan Napoleon.

Table 2. Fisherman household numbers

that are specially in Napoleon

fishing.

WILAYAH / Regions JUMLAH / Totals

Natuna 100 Banggai 100 Derawan 79 - 90 Mentawai 50 Pulau Sembilan 50 Wakatobi 20 - 30 Komodo 20 - 30 Karimun Jawa 0 Bangka Belitung 0

Keragaan Sistem Perikanan Napoleon

Seperti dijelaskan di atas bahwamasalah utama krisis perikanan adalahtidak terkendalinya upaya (input) daristakeholders dalam mengelola sumber dayaikan. Sejauh ini masalah-masalahperikanan sering bersifat latent atau tidaktanpak di permukaan sebagai suatupermasalahan krusial yang harusdipecahkan lebih dahulu. Sering kaliprogram-program pembangunan perikananberada di jalan buntu dan bahkankontroversial dalam pelaksanaannya. Untuk

membedah akar permasalahan dankebijakan yang selama ini dirasa kurangtepat, Smith dan Link (Fauzi, 2005)menyarankan untuk melakukan �otopsi�terhadap perikanan agar kebijakan yangberbasis pada kegagalan masa lalu dapatditetapkan.

Permasalahan perikanan secarasederhana adalah turunan dari dua faktorgenerik, yaitu penanganan sumber daya(termasuk pendugaan serta penilaian stok),dan penanganan �input� untuk mengekstraksisumber daya (termasuk kapital, nelayan dankebijakan dan sebagainya). Stok sangatbersifat dinamis dan mengharuskan kitamempelajari stok di masa lalu dangangguan-gangguan yang menyebabkanperubahan stok di masa lalu. Gangguanpada stok di luar kendali manusia,sedangkan gangguan pada �input� beradasepenuhnya di tangan pengelola. Dengandemikian, masalah sumber daya bukanlahsemata-mata masalah lingkunganmelainkan masalah manusia yang timbulberulang-ulang di tempat yang berbedadalam konteks politik, sosial dan sistemekonomi yang berbeda pula. Selayaknyaperumusan kebijakan yang tepat harus lebihdahulu diarahkan pada sisi tersebut (Salmet al., 2000 ; Fauzi, 2005).

115-133

Page 13: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

127

Tabel 3. Volume ekspor dan nilai ekspor ikan Napoleon asal Indonesia ke pasar

HongkongTable 3. Export volumes and values of Napoleon fish coming from Indonesia to

Hongkong market

Parameter Tahun (Years)

2000 2001 2003 2004 2005 2006

Volume ekspor (kg) (Export Volumes) 875 499 5344 2526 544 4619

Kisaran Harga borongan di pasar Hongkong (Rank of Hongkong Market Prices) � US $/kg 45 - 70 50 - 65 50 - 70 25 - 95 27 - 111 27 - 111 Harga rata-rata (Mean Price) � US $/kg 57,5 57,5 60 60 69 69 Rata-rata Nilai Ekspor (Mean Export Value) - US $

50.313

28.693

320.640

151.560

37.536

318.711

Secara lebih tegas dapat dikatakanbahwa kegagalan masa lalu adalah kurangtanggapnya stakeholder terhadap sifat stokikan Napoleon yang sudah jelas, di manadalam situasi tanpa tekanan (tanpaeksploitasi), populasi ikan Napoleon di alammemang sudah memiliki sifat rendahkelimpahan dan kepadatannya. Hasilpenilaian stok tidak pernah mendapatpenghargaan yang layak. Penggunaterlampau berorientasi pada tingginyapermintaan pasar dengan harga yang tinggi,sehingga dorongan peningkatan investasitidak dapat dibendung. Di sisi lain ekploitasiyang tinggi dalam interval waktu yang rapatdan berjangka panjang tidak memberikankesempatan proses regenerasi populasiikan Napoleon. Akhirnya status normalnyayang �jarang� dan �sedikit� tadi menjaditerpuruk ke status rawan punah. AkibatnyaCITES menetapkan statusAppendix II untukikan Napoleon, sementara kajian mendalamuntuk mengembangkan protokolpenangkapan dan perdagangan yangkomprehensif serta terkontrol tidakdilakukan. Hal ini berujung pada maraknyakasus-kasus IUU perikanan Napoleon.Kasus-kasus IUU tersebut jika tetap tidak

terkendali akan kembali menjadi batusandungan bagi industri perikanan Napoleondi Indonesia, di mana pada akhirnya akanberujung pada peningkatan status yangditerapkan CITES dari appendix II menjadiAppendix I.

OPSI KEBIJAKAN

Membangun perhatian masyarakat

Dalam asumsi pengelolaan yang efektifsebenarnya lebih bertumpu padapenanganan pengguna (untuk merubahsikap) dari pada hanya sekadarpenanganan yang bertumpu pada kegiatanrestologi, restocking, rehabilitasi,introduksi teknologi dan legislasi/regulasi.

Regulasi dapat diciptakan silih bergantidan begitu juga teknologi serta management

tools, namun adaptasi dan penerimaankontrol atas semua itu bergantung padakemauan dan penerimaan masyarakat.Perhatian masyarakat (Public awareness)adalah kunci dari inisiatif keterlibatanmasyarakat dalam perlindungan jenis ikanrawan punah. Masalah terberat di tingkat

Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)

Page 14: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

128

J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 :

lapang dengan intensitas yang meluas diIndonesia adalah membangun situasi yangkondusif di antara hubungan usaha-usahapreventif dari pemerintah dan penerimaanmasyarakat. Pemerintah diharapkanmampu membangun rasa saling percayadan presiden yang baik jika inginmembentuk integritas masyarakat padamasalah lingkungan. Dalam hal inimasyarakat percaya bahwa mereka masihpunya kesempatan mendapat profit dariketerlibatannya. Pemerintah memberikancontoh yang baik dalam penegakan hukum,terutama peran aparat keamanan di tingkatlapang merupakan aktor yang harusdisegani, menjadi presiden yang baik danbukan menjadi aktor perusak kesepakatan(korup) yang terbentuk hingga menjadikontra produktif bagi pengelolaan sumberdaya yang dianggap akan punah. Tidakdiharapkan masyarakat menjadi pesimisdan apatis hanya karena tidak berjalannyapenegakan hukum. Diharapkankesungguhan penegakan hukum olehpemerintah akan lebih mendorong integritasmasyarakat untuk secara aktif sebagaimitra mencegah kerusakan lingkungan danilegal fishing.

Mengembangkan protokol umum

Pada tingkat pemerintah masalah yangmendesak adalah masalah tersedianyaketetapan holistik untuk mengatur perikananNapoleon. Kebijakan di tingkat duniasemakin cepat berubah seiring dengansemakin cepatnya kerusakan ekosistemdan lingkungan hidup. Melalui moratoriumsemuanya diharapkan akan menjadi jelasdan meyakinkan, khususnya bagi pejabatpembuat kebijakan, pemberi izin, pengawaslapangan, penegak hukum, pengusahaperikanan dan nelayan untuk masing-masing sesuai fungsinya mengerti dankemudian bersepakat menjaga ikanNapoleon dari kepunahan.

Semua produk legislasi perlindunganjenis ikan rawan punah (dalam hal inimoratorium) perlu tindakan-tindakanpengawalan. Pemahaman dan penerimaanmasyarakat merupakan kunci keberhasilanatas perlindungan sumber daya (Salm et

al., 2000). Masyarakat perlu diberikesempatan untuk memahami alasanmengapa moratorium ditetapkan, sehinggamereka mampu membentuk regulasi yangbersifat tradisional dengan dasar-dasarekologis menurut pengertian merekasendiri.

Mengantisipasi kegagalan moratorium

IUU Fishing dapat dipastikan akan terustimbul sebagai konsekuensi negatif daripenetapan moratorium. Masa depanmoratorium dalam menghadapi hal tersebutakan sangat bergantung pada integritasmasyarakat dan kemauan politis aparatpengawas serta penegakan hukum.Tumpuan pada integritas masyarakat akanlebih menonjol j ika memperhatikanketerbatasan pemerintah di tingkat lapang.Oleh karena itu, tipe moratorium harus lebihmasuk akal menurut perhitungan untungrugi masyarakat dan bukan sekadar alasanekologis semata-mata. Lebih jauhmoratorium tidak boleh dijadikan sebagaialat kesepakatan politis yang menyimpang(KKN), karena akan menjadi beban dalampenegakan integritas masyarakat.Sinergitas antara masyarakat danpemerintah harus terbentuk dalamoperasional penegakan moratorium.Pemerintah perlu tetap memelihara kinerjadan citra yang baik (good governance) untukmembangun perhatian masyarakat.

Moratorium terbatas

Prinsip pembangunan yangberkelanjutan membawa kepadapengelolaan sumber daya yang lebihbijaksana dari sisi pemanfaatan sumber

115-133

Page 15: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

129

daya berkelanjutan sebagai akibat dariusaha-usaha menjaga kelestariannya.Pembatasan mutlak pada pemanfaatansumber daya yang dapat diperbaharui akanmenjadi paradoks bagi kesejahteraanmasyarakat. Oleh karena itu, untuk kasuspemanfaatan ikan Napoleon perluditetapkan jalan tengah melalui perlindunganyang tidak menimbulkan kontrovesrsial.

Tipe perlindungan jenis selain penetapankuota dan belum dicoba adalah moratorium.Moratorium pada dasarnya adalah laranganyang bersifat temporal. Penetapanmoratorium disinyalir akan menghadapibanyak kritik bahkan perlawanan massa.Kemudian timbul inisiatif wacanamoratorium terbatas yang sebenarnya telahberkembang sebelumnya di tengahmasyarakat Maluku, yaitu praktekperlindungan jenis secara tradisional yangdisebut �adat sasi�. Perlindungan jenis alamoratorium terbatas mungkin lebih mudahdiadopsi masyakat. Moratorium terbatasdapat diaplikasikan dalam dua pola, yaituperlindungan secara spasial dan temporal.Perlindungan spasial, dalam hal ini adalahbuka tutup wilayah tangkap ikan Napoleon,yaitu pada waktu tertentu ada wilayahtertutup yang ditetapkan, sementara wilayahlain terbuka untuk eksploitasi. Perlindungantemporal adalah larangan penangkapan disemua wilayah dalam waktu yangditentukan. Perlindungan temporal sepertiini lebih mirip adat sasi di Maluku yangnampak sederhana tetapi efektif.

Namun pengalaman sebelumnya telahmemberikan pelajaran bahwa peluangsekecil apapun dalam rezim open access

akan menimbulkan pelanggaran terhadapketentuan legislasi, karena doronganekonomi lebih dominan. Dengan demikian,pola perlindungan jenis secara spasialmenjadi tidak ideal ketika diperuntukanuntuk jenis ikan bernilai ekonomis tinggiseperti ikan Napoleon dan bahkan tetap

akan menimbulkan kesulitan dalampengawasannya.

Pola perlindungan jenis secara temporaldianggap akan mempermudah sistempengawasan dalam rentang waktu yangditentukan, sehingga perlu dicoba dandisosialisasikan untuk menyelamatkan ikanNapoleon dari kepunahan. Moratoriumterbatas hendaknya menjadi konsensusnasional yang kemudian dapat diadopsi olehmasyarakat menjadi aturan-aturan adatyang lebih bisa diterima mereka.

Penangkapan ikan Napoleon sepertidijelaskan di muka telah menjadi masalahdalam 10 � 15 tahun sebelumnya, di manaproduksi menurun hingga 50 % sementarastatus kepadatan ikan Napoleon di alamsaat ini rata-rata kurang dari 2 ekor/ha.Moratorium temporal terbatas dapatmengacu pada waktu 10 sampai 15 tahun,untuk kemudian dievaluasi setelahnyadengan indikator kepadatan yangmeningkat melebihi 4 ekor/ha untukpenghapusan moratorium.

Alternatif yang lebih menguntungkan

Opsi moratorium adalah yang palingstrategis untuk kepentingan menyelamatkanjenis ikan rawan punah, habitatnya danlingkungan hidup organisma laut sertamempermudah pengawasannya.Moratorium penangkapan ikan Napoleonakan menempatkan ikan itu sendiri sebagaiobjek material pembuktian pelanggaranhukum, karena telah menjadi bendaterlarang untuk ditangkap. Dengan adanyamoratorium maka pekerjaan-pekerjaanpengawasan dan pembuktian yang dianggaprumit menjadi lebih disederhanakan.

Keuntungan lain dari moratorium adalahbahwa moratorium dapat menimbulkan isulain yang akan menempatkan ikanNapoleon menjadi objek menarik sebagai

Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)

Page 16: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

130

J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 :

hewan langka dan pada akhirnya akanmenarik dalam wisata bahari. Laporan Gillett(2010), ikan Napoleon yang biasa disebut�Wally� oleh penyelam lokal Australiaternyata dapat diajak bermain dan mudahdidekati (friendly) oleh penyelam-penyelamdi Norman Reef of Australian�s Geret Barrier

Reefs (Gambar 2). Untuk alasan itu,pengembangan ekonomi wilayah, dimanaikan Napoleon ditemukan, pasti akan terjadiapabila wilayah tersebut dipromosikansebagai area tujuan wisata penyelam-penyelam domestik maupun dunia untukbermain dengan ikan Napoleon, sepertikasus yang sama untuk ikan mola diwilayah Nusa Penida Bali. Banyakpendapatan alternatif akan diperoleh melaluipengembangan Napoleon Dive Cruise.

Gambar 2. Keuntungan lain dari ikanNapoleon sebagai objekwisata bahari

Figure 2. Further benefits of

Napoleon fish in terms of

marine tourismSumber (Source): http://ikanmania.wordpress.com

Moratorium bukan saja dapatmemberikan kesempatan perkembanganpopulasi ikan Napoleon di alam, tetapi jugamerangsang usaha-usaha budidayanya(hatchery) yang mulai dirintis dan berhasildilakukan oleh Balai Besar Budidaya Ikandi Gondol, Bali (Sim, 2004).

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KEBIJAKAN

Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat disimpulkanbagi penentu kebijakan antara lain adalah :1) Perikanan Napoleon mengalami krisis

yang ditunjukkan oleh dua sifat yangmenonjol, seperti intensitaspenangkapan yang tidak memberikankesempatan pada perkembanganstoknya di alam dan cara penangkapanyang merusak habitat dan lingkunganhidup ikan, hingga berdampak burukpada usaha perikanan karangberkelanjutan dan pariwista.

2) Kebijakan pengelolaan ikan Napoleontidak kondusif dari sisi substansilegislasi dan efektifitas pengawasan danpenegakan hukum, seperti ditunjukkanoleh maraknya IUU fishing.

3) Respon dunia dalam hal status ikanNapoleon sebagai rawan punah(Appendix II) bersifat positif hinggatimbul inisiatif NDF, tetapi responperdagangannya negatif karenamendorong eksploitasi tidak terbatasyang tidak selaras dengan ide NDF.

4) Kuota perdagangan ikan Napoleonsebagai upaya perlindungan jenis rawanpunah hanya mengakomodasi danmengatur pada tingkat perdaganganglobal, tetapi peraturan pengelolaanyang bersifat domestik membutuhkanperaturan lebih serius untukmenyelamatkan ikan Napoleon darikepunahan.

5) Inisiatif perlindungan jenis satwa rawanpunah telah memiliki mandat tetapmelalui Peraturan Menteri Kelautan danPerikanan Nomor PER.03/MEN/2010.

Rekomendasi

Rekomendasi bagi penentu kebijakanantara lain :

115-133

Page 17: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

131

1) Perlu menetapkan perlindungan ikanNapoleon dengan cara pelaranganpenangkapan selama rentang waktu 10sampai 15 tahun.

2) Perlu melakukan sosialisasi yangberkenaan dengan pelarangan tersebutdan melibatkan masyarakat dalammentranslasi ketentuan moratorium kedalam bentuk yang mudah difahami danditerima masyarakat.

3) Perlu melakukan monitoring berkalapopulasi ikan Napoleon selamaberlakunya moratorium dan melakukanevaluasi summatif pasca berakhirnyaketetapan moratorium.

4) Perlu melakukan propaganda pariwisatadengan tema �Indonesian Dive Cruise

Year for Napoleon Fish�.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1992. Palau Fishery Report,Annual report. Division of MarineResources. Bureau of Natural Resourcesand Development. Ministry of Resourcesand Development, Koror, Palau, 99 pp.

Arief, S. & I.N. Edrus. 2010. StrukturKomunitas Ikan Karang di PerairanKarang Kabupaten Maluku Barat Daya.Jur. Pen. Perikanan Indonesia Vol 16(3): 235 - 250.

BAPPENAS. 2003. Indonesian BiodiversityStrategy and Action Plan. NATIONAL

DOCUMENT.The National DevelopmentPlanning Agency.

Burke, L., E. Selig & M. Spalding. 2002.Reefs at Risk in Southeast Asia. WorldResources Institute, Washington DC. 76pp.

Cesar, H. 1996. �Economic Analysis ofIndonesian Coral Reefs,� Working Paper

Series �Work in Progress�, Washington,

DC: World Bank.

CITES. 2004. Amendments to Appendices

I and II of CITES [proposal]. Conventionon the International Trade in EndangeredSpecies, 13th Meeting of the Conferenceof the Parties.

Dirhamsyah. 2011. Study on Fisheries

Management of Napoleon Wrasse in

Indonesian Waters. P2O-LIPI�s Working

Paper dalam: �Temu Pakar PenyusunanRencana Aksi Pengelolaan Jenis IkanNapoleon Wrasse (Cheilinus undulatus),di Blue Sky Pandurata Hotel, Jakarta,11Agustus 2011, KKJI � KKP (Publishedin print)

Domeier, M.I. and P.L. Colin. 1997. Tropicalreef fish spawning aggregation definedand revieuwed. Bull. Mar. Sci. 60(3), 698-726.

Donaldson, T. J. & Y. Sadovy. 2001Threatened Fishes of The World :Cheilinus undulatus Ruppell, 1835(Labridae). Env. Biol. Fish. 62: 428.

Edrus, I.N., S. Arief, & I.E. Setyawan. 2010.Kondisi Kesehatan Terumbu KarangTeluk Saleh, Sumbawa: Tinjauan AspekSubstrat Dasar Terumbu danKeanekaragaman Ikan Karang. Jurnal

Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (2).

Edrus, I.N. & I.E. Setyawan. 2011.Keanekaragaman Ikan Karang PerairanBelitung dan Pengaruh Kecerahan AirLaut. Jurnal Penelitian Perikanan

Indonesia.( In press).

Edrus, I.N. 2010. Ikan Napoleon (Cheilinus

undulatus Rüppell 1835) dalam SorotanDunia. Kertas Kerja. Seminar Konsultasi

Publik. Sorong, Papua, Nopember 2010.KP3K-KKP.

Edrus, I.N. & D. Suhendra. 2007. Sumber

daya Ikan Karang. Dalam: Pulau

Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)

Page 18: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

132

J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 :

Manterawu, Sumber daya Alam Pulau

Kecil Teluar. S. Hartini & G.B. Saputra(Eds). Penerbit Pusat Survei SumberDayaAlam Laut, Bakosurtanal, CibinongBogor. 135 pp.

Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan

Kelauatan: isu, Sintesis, dan Gagasan.Gramedia, Jakarta. 185 pp.

Gillett, R. 2010. Monitoring andManagement of the Humphead Wrasse,Cheilinus undulatus. FAO Fisheries andAquaculture Circular No. 1048, Rome.62 pp.

Hopley, D. & Suharsono. 2000. The status

and management of coral reefs in

eastern Indonesia. The AustralianInstitute of Marine Science for the David& Lucile Packard Foundation, USA. 145pp.

IUCN. 2006. Development of fisheriesmanagement tools for trade in humpheadwrasse, Cheilinus undulatus , incompliance with Article IV of CITES. Final

Report of CITES Project No. A-254undertaken by the International Union forthe Conservation of Nature and NaturalResources - World Conservation Union/Species Survival Commission (IUCN/SSC) Groupers & Wrasses SpecialistGroup and led by Dr Yvonne Sadovy.

Michael,A.W. 2011. Cyanide and DynamiteFishing, Who�s really Responsible?Ocean N Environment Ltd. P.O. Box2138, Carlingford Court Post OfficeCarlingford NSW 2118, Australia. email:[email protected]. http://www. Ocean NEnvironment.com.au.Diunduh dari http://www.eepsea.org. Juli2011.

Pet-Soede L., H. Cesar, & J. Pet. 1996.�Blasting Away: The Economics of Blast

Fishing on Indonesian Coral Reefs,� inH. Cesar, ed., Collected Essays on theEconomics of Coral Reefs, pp. 77-84.

Purnomo, H. 2009. Masalah PerikananNapoleon. Kertas Kerja pada Forum

Konsultasi Publik, Jakarta, September,2009. KP3K - KKP.

Ruchimat, T. 2011. Usulan Inisiatif StatusPerlindungan Jenis Ikan Napoleon(Cheilinus undulatus). Kerta Kerja padaWorkshop FASILITASI PENETAPAN

STATUS PERLINDUNGAN IKAN

NAPOLEON (Cheilinus undulatus) diHotel Blue Sky - Jakarta, 8 Juli 2011,KP3K � KKP.

Sadovy, Y., Kulbicki, M., Labrosse, P.,Letourneur, Y., Lokani, P. & Donaldson,T. J. 2003. The Humphead Wrasse,Cheilinus undulates: synopsis of athreatened an poorly known coral reef

fish. Review in Fish Biology and Fisheries13 : 327-364

Sadovy, Y. 2006. Napoleon Fish (HumpheadWrasse), Cheilinus undulatus, Trade inSouthern China and Underwater VisualCensus Survey in Southern Indonesia.Final Report: IUCN Groupers & WrassesSpecialist Group. 25 pp.

Saputro, B.S. & I.N. Edrus. 2008. SumberDaya Ikan Karang Perairan KabupatenBanggai, Sulawesi Tengah. Jurnal

Penelitian Perikanan Indonesia. 14 (1 ):73 -113.

Salm, R.V., J. Clark, & E. Siirila. 2000.Marine and Coastal Protected Areas: A

guide for planners and managers. IUCN.Washington DC. 371pp.

Setyawan, I.E. & I.E. Edrus. 2011. StrukturKomunitas ikan Karang di Empat Zona

115-133

Page 19: KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON Cheilinus …bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Isa_Nagib1.pdf · Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara

133

Perairan Kendari. Jurnal Penelitian

Perikanan Indonesia.( In press).

Sim, S.Y. 2004. First Breeding Success ofNapoleon Wrasse and Coral Trout.Magazine. Asia-Pacific Marine Finfish

Aquaculture Network. Bangkok,Thaoland,April-June, No. 1.

Simatupang, P. 2003. Analisis Kebijakan:Konsep Dasar dan ProsedurPelaksanaan. Jurnal Analisis

Kebijakan, Edisi Maret: 14 - 35, PusatSosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sumardiman, A. 2002. PeraturanPembinaan Perlindungan Lingkungan

Suaka Perikanan terumbu karang. Buku

Petunjuk. Kerjasama COREMAPdenganAusAID,Australian Government.

Tampubolon, S.A. 2011. PemanfaatanPengawasan Ikan Napoleon. KertasKerja Direktur Pengawasan Sumberdaya Kelautan. DITJEN PENGAWASANSUMBER DAYA KELAUTAN - KKPdalam Workshop : FASILITASIPENETAPAN STATUS PERLINDUNGANIKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus)di Hotel Blue Sky - Jakarta, 8 Juli 2011,KP3K � KKP.

Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)