kebijakan pembangunan sistem agribisnis...

30
363 KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADI Pantjar Simatupang dan I Wayan Rusastra I. PENDAHULUAN Walaupun cenderung menurun, sistem agribisnis padi masih tetap memegang peran penting dalam perekonomian nasional. Pertama, beras masih tetap merupakan makanan pokok penduduk, sehingga sistem agribisnis padi berperan strategis dalam pemantapan ketahanan pangan baik dalam hal penyediaan, distribusi maupun akses terhadap beras guna menjamin kecukupan pangan penduduk. Kedua, sistem agribisnis padi menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah yang sangat besar. Hingga padi menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah yang sangat besar. Hingga saat ini usahatani padi masih merupakan yang paling dominan dalam sektor pertanian. Ketiga, sistem agribisnis padi sangat instrumental dalam upaya pengentasan kemiskinan. Di satu sisi, sistem agribisnis padi merupakan lapangan kerja bagi sejumlah besar penduduk miskin. Di sisi lain, harga beras merupakan determin utma pengeluaran penduduk miskin. Keempat, sistem agribisnis padi berperan penting dalam menentukan dinamika harga beras, yang berarti dalam menentukan inflasi yang merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi makro. Peran sosial-ekonomi yang demikian besar telah membuat pembangunan sistem agribisnis padi sebagai salah satu issu politik nasional. Pembangunan sistem agribisnis padi merupakan agenda kebijakan yang senantiasa mendapatkan prioritas penanganan pemerintah. Sudah barang tentu, paradigma strategis dan langkah operasional kebijakan berubah-ubah menurut rejim pemerintahan, sesuai dengan garis kebijakan yang ditetapkan presiden dan meteri yang berkuasa serta perubahan konteks lingkungan strategis kebijakan tersebut. Kebijakan pembangunan sistem agribisnis lebih tepat dikaji berdasarkan perspektif ekonomi-politik. Berikut ini diuraikan evaluasi kebijakan pembangunan sistem agribisnis padi nasional, hasil dan dampaknya serta prospek masa depannya. Sesuai dengan ketersediaan data dan pengetahuan penulis, cakupan topik bahasan dibatasi untuk kebijakan yang dilakukan pemerintah sejak zaman Orde Baru (Orba), tepatnya sejak awal dekade 1970’an. Aspek yang dibahas difokuskan pada kebijakan ekonomi,

Upload: nguyennga

Post on 06-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

363

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADI

Pantjar Simatupang dan I Wayan Rusastra

I. PENDAHULUAN

Walaupun cenderung menurun, sistem agribisnis padi masih tetap memegang

peran penting dalam perekonomian nasional. Pertama, beras masih tetap merupakan

makanan pokok penduduk, sehingga sistem agribisnis padi berperan strategis dalam

pemantapan ketahanan pangan baik dalam hal penyediaan, distribusi maupun akses

terhadap beras guna menjamin kecukupan pangan penduduk. Kedua, sistem agribisnis

padi menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah yang sangat besar. Hingga padi

menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah yang sangat besar. Hingga saat ini

usahatani padi masih merupakan yang paling dominan dalam sektor pertanian. Ketiga,

sistem agribisnis padi sangat instrumental dalam upaya pengentasan kemiskinan. Di

satu sisi, sistem agribisnis padi merupakan lapangan kerja bagi sejumlah besar

penduduk miskin. Di sisi lain, harga beras merupakan determin utma pengeluaran

penduduk miskin. Keempat, sistem agribisnis padi berperan penting dalam menentukan

dinamika harga beras, yang berarti dalam menentukan inflasi yang merupakan salah

satu indikator fundamental ekonomi makro.

Peran sosial-ekonomi yang demikian besar telah membuat pembangunan sistem

agribisnis padi sebagai salah satu issu politik nasional. Pembangunan sistem agribisnis

padi merupakan agenda kebijakan yang senantiasa mendapatkan prioritas penanganan

pemerintah. Sudah barang tentu, paradigma strategis dan langkah operasional

kebijakan berubah-ubah menurut rejim pemerintahan, sesuai dengan garis kebijakan

yang ditetapkan presiden dan meteri yang berkuasa serta perubahan konteks

lingkungan strategis kebijakan tersebut. Kebijakan pembangunan sistem agribisnis lebih

tepat dikaji berdasarkan perspektif ekonomi-politik.

Berikut ini diuraikan evaluasi kebijakan pembangunan sistem agribisnis padi

nasional, hasil dan dampaknya serta prospek masa depannya. Sesuai dengan

ketersediaan data dan pengetahuan penulis, cakupan topik bahasan dibatasi untuk

kebijakan yang dilakukan pemerintah sejak zaman Orde Baru (Orba), tepatnya sejak

awal dekade 1970’an. Aspek yang dibahas difokuskan pada kebijakan ekonomi,

Page 2: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

364

kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya dirumuskan opsi

kebijakan pembangunan sistem agribisnis padi untuk masa mendatang.

II. KEBIJAKAN SEJAK MASA ORDE BARU

2.1. Arah dan Strategi.

Terlepas dan kekurangannnya, mesti diakui bahwa Presiden Suharto pemimpin

Orde Baru selama sekitar 30 tahun merupakan Presiden Indonesia pertama yang

memiliki obsesi dan komitmen yang paling besar untuk memacu pembangunan

agribisnis padi nasional serta melaksanakannya dengan konsisten dan berkelanjutan.

Selama periode tahun 1968-1998 kebijakan perberasan nasional diarahkan untuk

mencapai tiga tujuan pokok yang saling berhubungan: (a) Memantapkan ketahanan

pangan nasional; (b) Memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan stabilitas

ekonomi (inflasi) nasional; dan (c) Meningkatkan pendapatan petani.

Oleh karena beras merupakan makanan pokok dan mengingat peran strategis

sistem agribisnis padi baik secara ekonomi, sosial maupun politik maka makna bahan

pangan dalam konteks ketahanan pangan diartikan secara sempit yaitu praktis hanya

beras saja. Pemantapan ketahanan pangan nasional diartikan sebagai upaya untuk

menjamin kebutuhan beras penduduk. Oleh karena itu, kebijakan ketahanan pangan

terfokus pada beras. Kebijakan perberasan nasional lebih diarahkan untuk pemantapan

ketahanan pangan nasional. Setidaknya hingga tahun 1980’an, pembangunan yang

dilaksanakan rejim Orde Baru lebih difokuskan pada stabilitas dan pertumbuhan

ekonomi, dengan harapan pemerataan akan muncul dengan sendirinya sesuai dengan

hipotesis ”menetes ke bawah” (trickle down). Dengan strategi pembangunan makro

demikian maka peningkatan pendapatan petani praktis merupakan tujuan tersier.

Walaupun kurang tepat (Simatupang, 1999), pemerintah Orde Baru mengartikan

stabilitas harga beras pada tingkat yang terjangkau (murah) merupakan indikator

sempurna ketahanan pangan (Falcon and Timmer, 1991). Berdasarkan tujuan dan

paradigma di atas maka strategis yang dipilih ialah ”Strategi kembar dua” atau twin-

strategi (Simatupang, 1991; Pearson and Falcon, 1991; Pearson, Naylor and Falcon,

1991): (1) Jangka pendek ”Stabilisasi harga beras pada tingkat yang terjangkau (beras

murah dan stabil)”, dan (b) Jangka panjang: ”Swasembada mutlak”.

Strategi kembar dua di atas dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan,

setidaknya hingga swasembada beras dapat diraih pada tahun 1984. Pada

Page 3: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

365

kenyataannya, swasembada mutlak hanya dapat bertahan sekitar lima tahun saja. Sejak

awal tahun 1990’an Indonesia telah kembali menjadi negara importir beras. Menyadari

kemustahilan mempertahankan swasembada beras mutlak tersebut maka sejak

pertengahan tahun 1990’an sasaran jangka panjang diubah menjadi pencapaian

swasembada beras on trend (sapuan, 1999).

Ketergantungan terhadap beras meningkat terus. Pada krisis pangan tahun 1998

Indonesia bahkan mengimpor beras sekitar 6 juta ton, rekor tertinggi sepanjang zaman.

Perpaduan krisis ekonomi-pangan-politik membuat Presiden Suharto jatuh dari

singgasana kepresidenan. Melalui Menteri Pertanian Prof.Solahuddin, pemerintah

Transisi Reformasi yang dipimpin Prof. B.J.Habibie mencanangkan kembali upaya

pencapaian swasembada beras mutlak. Melalui program Gerakan Mandiri Padi, Kedelai

dan Jagung (Gema Palagung), dengan sangat ambisius pemerintah ingin meraih

swasembada beras mutlak pada beras, kedelai dan jagung paling lambat tahun 2003.

Program ini tidak berkelanjutan karena pemerintah Habibie hanya bertahan sekitar satu

tahun. Pada masa pemerintah Presiden Gus Dur (1999-2001) dan Megawati (2001-?)

yang memerintah saat ini, praktis tidak ada, belum ada atau tidak dapat diketahui

arah kebijakan agribisnis padi nasional. Yang dapat diketahui ialah pada masa kerja

Menteri Pertanian Dr. Prakosa sempat dimunculkan Wacana Corporate Farming dan

Prof. Bungaran Saragih, Menteri Pertanian saat ini, melontarkan wacana ”Usaha dan

Sistem Agribisnis”. Kedua wacana ini lebih tepat disebut sebagai ”taktik operasional”

daripada strategi besar pembangunan agribisnis padi.

2.2. Instrumen Kebijakan.

Berdasarkan paradigma dan strategi kebijakan seperti yang diuraikan di atas,

kebijakan perberasan semasa Orde Baru diarahkan untuk meraih produksi nasional

yang seting-tingginya dalam rangka mencapai dan mempertahankan swasembada

beras Obsesi pemerintah (presiden Suharto) yang sangat besar untuk meraih tujuan

tersebut, dan mengingat pemerintah pusat merupakan kekuatan politik yang tidak boleh

ditandingi, merupakan sumber dekungan politik yang luar biasa bagi upaya peningkatan

produksi beras. Dengan begitu, dukungan biaya dan anggaran pemerintahpun melimpah

pula. Secara umum, peningkatan produksi beras, merupakan komitmen nasional yang

mesti didukung ”secara patriotik” oleh seluruh eksponen bangsa. Dengan komitmen

yang begitu besar maka kebijakan produksi beras dapat dilakukan secara besar-

besaran. Instrumen kebijakan yang dilakukan dapat dibagi menjadi enam jenis yaitu: (a)

Page 4: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

366

pembangunan lahan dan irigasi; (b) inovasi teknologi dan intensifikasi usahatani; (c)

penyediaan sarana produksi; (d) pemberian intensif; (e) pengambangan usaha jasa alat

dan mesin pertanian; dan (f) pembanguan kelembagaan.

2.2.1. Pembangunan Lahan dan Irigasi.

Lahan dan irigasi merupakan basis usahatani padi yang berarti merupakan

penentu utama kapasitas produksi beras. Oleh karena itu langkah pertama yang

ditempuh pemerintah Orde Baru dalam memacu produksi beras ialah melakukan

”rehabilitasi lahan” dan ”sistem pengairan” yang terbengkalai selama pemerintahan Orde

Lama. Pada tahapan berikutnya langkah yang ditempuh ialah melakukan ”ekstensifikasi

lahan dan irigasi” melalui pembukan lahan baru, pencetakan sawah dan pembangunan

jaringan irigasi baru. Pembukaan lahan baru terutama dikaitkan dengan program

transmigrasi. Program ekstensifikasi dilakukan secara besar-besaran diantaranya

dengan membuka lahan pasang surut di Sumatera dan Kalimantan, pembangunan

waduk-waduk besar, khususnya di Jawa, dan pembangunan sistem irigasi di seluruh

Indonesia. Jelas sekali bahwa upaya peningkatan produksi beras dilakukan dengan

strategi” dorongan besar” (big-push). Hal ini dilakukan pada periode pertengahan tahun

1970’an, tatkala pemerintah memperoleh pendapatan yang melimpah dan bonaza

minyak yang harganya melonjak dalam periode tersebut. Investasi besar-besaran telah

mampu meningkatkan luas baku maupun kualitas lahan tanaman pangan, khususnya

lahan sawah untuk usahatani padi. Namun demikian, program perluasan lahan ini

nampaknya sudah melampaui titik optimalnya sehingga telah menimbulkan over

ekstensifikasi (Christianto, 1997).

Pembangunan lahan dan irigasi mulai mengalami perlambatan sejak awal

dekade tahun 1980’an (Simatupang, 1999). Rehabilitasi dan pencetakan lahan sawah

irigasi menurun tajam sejak tahun 1983/1984. Hal ini diduga disebabkan oleh tiga fkator:

(a) Semakin ketanya anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)(Tabel 1);

Adanya perubahan rejim kebijakan ekonomi dari sistem pasar ”dikelola pemerintah” ke

sistem pasar bebas (dalam kaitan ini pemerintah bahkan telah menerapkan sistem iuran

irigasi sebagai awal penciptaan pasar ); (c) Menurunnya obsesi untuk memacu produksi

pangan karena swasembada beras telah diraih pada tahun 1984. Ironisnya,

menurunnya investasi dalam pembukaan lahan baru ini bersamaan dengan makin

cepatnya konversi lahan pertanian untuk keperluan non-pertanian. Penurunan anggaran

pemerintah untuk irigasi diperkirakan telah menyebabkan semakin berkurangnya

Page 5: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

367

kualitas jaringan irigasi. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab utama kenapa laju

pertumbuhan produksi beras cenderung menurun dan semakin rentan terhadap

perubahan iklim sehingga menimbulkan ancaman serius terhadap ketahanan pangan

nasonal.

Tabel 1. Alokasi APBN untuk Subsidi Pupuk, Pengairan dan Sektor Pertanian dan Pengairan di Indonesia, 1989/90 - 2000 (Rp. milyar).

Subsidi Pupuk Pangairan Pertanian & Pengairan Tahun

Nilai Pangsa Nilai Pangsa Nilai Pangsa 1989/90 278 2,10 578 4,37 2.566 19,40 1993/91 265 1,63 698 4.30 1.958 12,07 1991/92 302 1,51 949 4,75 2.166 10,83 1992/93 175 0,76 1.027 4,48 2.103 9,18 1993/94 175 0,69 1,122 4,45 2.135 8,46 1994/95 815 2,97 1.687 6,16 1.771 6,46 1995/96 143 0,46 2.042 6,63 1.204 3,91 1996/97 186 0.54 2.317 6,72 1.437 4,16 1997/98 137 0,38 2.285 6,41 1.434 4,02 1998/99 1.065 1,25 4.775 5,57 9.041 10,55 1999/00 0 0 3.466 4,20 4.389 5,32

2000 0 0 2.219 5,33 2.690 6,47 Sumber : Bappenas.

Sebagai ilustrasi, pada Tabel 2 disampaikan pertimbangan proporsi lahan sawah

beririgasi terhadap total lahan sawah di daerah sentra produksi padi di Indonesia.

Sarana igrigat, proporsi lahan sawah beririgasi tidak mengalami perubahan yang berarti

selama periode 1980 – 2000, yaitu hanya meningkat dari 57,10 persen menjadi 60,08

persen. Daerah yang mengalami peningkatan relatif besar adalah Sulawesi, yaitu dari

53,81 persen (1980) menjadi 67,61 persen pada tahun 2000. Pada tahun 2000, proporsi

lahan sawah beririgasi di Bali, Nusa Tenggara, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan

Kalimantan masing-masing adalah 98,90 persen, 80,41 persen, 76,98 persen, 67,61

persen, 47,70 persen, dan 19,89 persen. Kecuali Bali, masih terdapat peluang

peningkatan lahan sawah beririgasi.

Page 6: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

368

Tabel 2. Perkembangan Luas Lahan Sawah di Sentra Produksi Padi di Indonesia,

1980-2000 (Ha).

No Propinsi 1980 1990 2000 1. Sumatera 1.708.890

(44,43) 2.210.381

(40,03) 2.244.634

(47,70) 2. Jawa 3.483.582

(71,91) 3.422.747

(74,07) 3.345.145

(76,98) 3. Sulawesi 671.282

(53,81) 838.024 (60,13)

936.125 (67,61)

4. Bali 100.295 (99,18)

92.623 (99,01)

86.086 (98,90)

5. Nusa Tenggara 260.930 (74,69)

318.304 (68,01)

330.287 (80,41)

6. Kalimantan 846.016 (14,22)

1.256.739 (13,08)

1.141.050 (19,89)

Indonesia 7.075.790 (57,10)

8.138.818 (54,02)

8.083.327 (60,08)

Catatan: Angka dalam kurung adalah proporsi lahan sawah beririgasi (%) Sumber: Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia, 1980-2000, Biro Pusat Statistik, Jakarta Semakin besarnya impor beras pada awal tahun 1990’an nampaknya telah

memaksa pemerintah untuk kembali memperhatikan investasi dalam ekstensifikasi

lahan. Untuk itu, pada tahun 1994/1995 presiden Suharto mencanangkan mega proyek

pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. Namun,proyek ini

mengalami kegagalan total, diduga sebagai akibat dari praktek KKN. Pemerintah

transisi reformasi telah memutuskan untuk menghentikan proyek ini. Dengan demikian,

kelangkaan lahan dan air irigasi akan menjadi kendala utama bagi upaya peningkatan

produksi pangan di masa mendatang. Inilah salah satu tantangan utama yang harus

mendapatkan prioritas penangan dari pemerintah saat ini.

2.2.2. Pengembangan Sistem Inovasi.

Sungguh merupakan suatu kebetulan yang sangat menguntungkan, obsesi

pemerintah untuk memacu produksi padi bertepatan pla dengan awal ”Revolusi Hijau”

yang digerakan oleh temuan terobosan teknologi benih unggul padi berumur pendek

oleh International Rice Research Institute (IRRI). Teknologi baru ini mampu

melipatgandakan produktivitas usahatani padi namun harus dilakukan di lahan beririgasi

teknis, pengelohan tanah yang baik dan disertai dengan penggunaan input kimiawi

(pupuk dan pestisida) secara intensif (Casman and Pinggali, 1995). Dengan demikian,

Page 7: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

369

program rehabilitasi dan ekstensifikasi jaringan irigasi dan lahan sawah yang telah

diuraikan sebelumnya merupakan langkah yang tepat untuk membuka kesempatan

adopsi teknologi Revolusi Hijau tersebut. Oleh karena itu, langkah pertama yang

itempuh ialah melakukan penelitian adaptasi terhadap varietas unggul padi jenis IR yang

ditemukan oleh IRRI tersebut. Selain itu, Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian (Badan Litbang Pertanian) juga melakukan penelitian mandiri untuk

memperoleh varietas unggul baru. Penelitian teknologi usahatani padi memperoleh porsi

anggaran terbesar dalam anggaran Badan Litbang Pertanian.

Untuk memfasilitasi diseminasi teknologi, pemerintah membangun sistem

perbenihan padi nasional yang menjembatani lembaga penelitian penghasil teknologi

berbasis benih dan petani pengguna akhir benih. Pada awalnya perbanyakan benih

praktis sepenuhnya dilakukan oleh Badan Benih milik pemerintah dan Badan Usaha

Milik Negara (PT.Pertani dan Sang Hyang Sri). Dalam perkembangan selanjutnya,

pemerintah juga mendorong petani dengan usaha perbenihan swasta, termasuk petani

penangkar benih.

Untuk mempercepat diseminasi teknologi, pemerintah juga membangun Balai

penyuluhan Pertanian diseluruh Indonesia dengan tenaga penyuluh, anggaran

operasional dan fasilitas kerja yang memadai. Secara umum, pemerintah membangun

sistem inovasi terpadu, lengkap dan meluas di seluruh Indonesia. Dengan begitu,

inovasi usahatani padi dapat berlangsung dengan cepat. Pembangunan sistem inovasi

tersebut merupakan langkah paling strategis dan jasa besar yang dilakukan pemerintah

Orde Baru dalam rangka memajukan pembangunan agribisnis padi.

Tidak dapat dipungkiri penelitian pemulian padi merupakan yang paling berhasil

dilihat dari segi temuan teknologi tepat guna (Darwanto, 1993; Jatileksono, 1998) Badan

Litbang Pertanian, selama periode tahun 1966 – 1999, berhasilnya dilepas 118 varietas

padi unggul baru (Tabel 3). Baik dari segi jumlah varietas maupun dari segi peningkatan

potensi hasil varietas baru, produktivitas penelitian tertingi adalah dalam periode tahun

1980-an. Namun demikian, persoalan besar saat ini ialah adanya fenomena bahwa

teknologi Revolusi Hijau sudah mengalami saturasi. Sejak pertengahan tahun 1980’an

praktis tidak ada lagi temuan varietas unggul padi dengan produktivitas yang nyata lebih

tinggi daripada temuan sebelumnya. Potensi produktivitas teknologi hasil pemuliaan

padi nampaknya telah mendekati titik frontiernya. Terobosan teknologi hasil pemulian

labih banyak pada aspek toleransi terhadap hama dan lingkungan yang kurang baik

(less favorable environment).

Page 8: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

370

Selain terobosan teknologi baru yang cukup nyata lebih unggul dari teknologi

sebelumnya praktis tidak ada dalam sepuluh tahun terakhir, infrastruktur penyuluhan

juga menunjukkan gejala penurunan kapasitas. Tenaga penyuluhan semakin didominasi

oleh kelompok umur tua, sementara struktur organisasi penyuluhan berubah-ubah

dalam interval waktu yang sangat singkat. Secara keseluruhan sistem inovasi teknologi

agribisnis padi nampaknya sudah menunjukkan gejala ”kelesuan sistem”. Dengan

demikian, peningkatan produksi melalui terobosan teknologi usahatani padi di lahan

beririgasi nampaknya sudah semakin sulit diharapkan. Peluang peningkatan

produktivitas padi di masa mendatang akan lebih besar terjadi pada usahatani di lahan

rawa dan lahan kering. Dengan prospek innovasi demikian maka dapat diduga bahwa

peningkatan produksi beras di masa mendatang akan berjalan dengan lambat. Hal ini

jelas akan merupakan tantangan serius bagi penyediaan pangan dimasa mendatang.

2.2.3. Penyediaan Sarana Produksi

Pemerintah Orde Baru sangat menyadari bahwa penyediaan input, khususnya

benih, pupuk kimia dan pestisida, merupakan masalah generasi pertama (first genration

problem) dari Revolusi Hijau. Sehubungan dengan it, bersamaan dengan program

BIMAS pemerintah pun membangun balai benih beserta jaringan penangkaran dan

pengadaan benih di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Sistem pengadaan pupuk

dan pestisida pun dibangun dengan Koperasi Unit Desa (KUD) atau kios sarana

produksi sebagai ujung tombaknya di tingkat pedesaan. Di tingkat hulu, pemerintah

membangun pabrik pupuk BUMN dan mendorong investasi (asing) untuk membangun

pabrik pestisida (industri substitusi impor). Sistem distribusi sarana produksi

dikendalikan penuh oleh pemerintah, sehingga selama Orde Baru penyediaan sarana

produksi usahatani tanaman pangan, khususnya padi, praktis tidak menjadi masalah

yang berarti. Hal inilah yang menjadi fasilitator kunci dalam inovasi teknologi Revolusi

Hijau pada usahatani padi dan usahatani tanaman pangan lainya.

Page 9: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

371

Tabel 3. Jumlah dan Karakteristik Varietas Padi yang dilepas menururt Agroekosistem di Indonesia, 1953-1999.

Agroekosistem dan karakteristik varietas

1950-1966

1966-1969

1970-1979 1980-1989

1990-1999

I Sawah dataran rendah 1. Jumlah varietas 8 4 14 41 17 2. Rata-rata hasil (ton/ha) 3,875

(3,0-4,5) 4,625

(4,0-5,5) 4,571

(4,0-5,5) 6,890 (4-8)

5,932 (4-8)

3. Umur (hari) 148 (140-155)

133 (125-145)

126 (110-140)

122 (100-140)

119 (115-130)

4. Rasa: Enak 4 2 4 18 10 Sedang 1 2 2 4 4 Kurang 3 - 8 16 2 Ketan - - - 3 1 II Sawah Dataran Tinggi 1. Jumlah varietas - - 3 3 - 2. Rata-rata hasil (ton/ha) 4,820

(4,5-5,0) 6,167

(4,0-8,0)

3. Umur (hari) 140

123 (140-150)

4. Rasa: Enak - - Sedang 1 2 Kurang 2 1 III Pasang Surut 1. Jumlah varietas - - - 7 6 2. Rata-rata hasil (ton/ha) 4,714

(3-7) 5,167 (3-6)

3. Umur (hari) 132 (125-170)

124 (118-130)

4. Rasa: Enak 1 2 Sedang 4 - Kurang 2 4 IV Lahan Kering (padi

gogo)

1. Jumlah varietas 3 - 2 11 9 2. Rata-rata hasil (ton/ha) 3,333

(3,0-3,5) 3,250

(3,0-3,5) 3,864 (3-7)

3.361 (2-5)

3. Umur (hari) 125 (110-145)

110 (105-115)

116 (105-135)

114 (95-125)

4. Rasa: Enak 3 - 4 3 Sedang - - 6 5 Kurang - 2 1 1 Jumlah Seluruh varietas 11 4 19 63 32

Page 10: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

372

Masalah mulai muncul ketika pada tahun 1998 pemerintah transisi Reformasi

melakukan kebijakan harga pupuk dualistik yaitu menerapkan pasar terkendali (harga

bersubsidi) untuk usaha pertanian tanaman pangan, dan pasar bebas (tidak bersubsidi)

untuk usaha pertanian lainya. Perbedaan harga yang cukup besar telah menyebabkan

kelangkaan pasokan pupuk untuk usahatani tanaman pangan. Dewasa ini ada tekanan

yang sangat kuat agar pemerintah melepaskan pengaturan distribusi sarana produksi

pertanian sehinggasepenuhnya tergantung pada kekuatan pasar. Perubahan sistem

tataniaga ini jelas dapat berdampak buruk terhadap ketersediaan sarana produksi

ditingkat petani, khususnya di daerah-daerah terpencil yang sarana transportasinya

belum memadai. Dengan perkataan lain, fluktuasi harga maupun pasokan sarana

produksi usahatani merupakan ancaman baru terhadap uapaya peningkatan produksi

beras di masa mendatang.

2.2.4. Pemberian Insentif

Selama era Orde Baru, lebih-lebih pada awalnya, pemerintah mendorong

produksi beras dengan memberikan berbagai insentif: (a) dukungan dan jaminan harga

jual produk dengan menetapkan harga dasar;(b) subsidi sarana produksi (benih, pupuk,

pestisida); (c) kredit bersubsidi; (d) air irigasi bersubsidi. Pemberian insentif inilah yang

merupakan salah satu faktor pendorong bagi petani dalam memacu produksi beras dan

bahan pangan lainya.

Setelah pada awalnya cenderung meningkat, pemberian insentif produksi

dirunkan secara bertahap sejak awal tahun 1980’an. Langkah penurunan ini diawali

dengan penghapusan subsidi pestisida (1989) yang kemudian dilanjutkan dengan

pengurangan subsidi pupuk K, air irigasi dan benih. Kecenderungan penurunan tajam

insentif ini dapat terlihat dengan jelas dari penurunan subsidi pupuk dalam APBN sejak

sejak tahun 1988/1989 (Tabel 1). Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan

kuat bahwa pemerintah akan terus menghapus semua insentif produksi, sehingga

usahatani padi sepenuhnya tergantung pada kekuatan pasar bebas. Petani harus

membayar air irigasi. Jaminan pengadaan kredit usahatani bersubsidi praktis sudah

tidak ada.

Boleh dikatakan, satu-satunya kebijakan insentif harga petani padi yang masih

bertahan hingga saat ini ialah kebijakan harga dasar gabah (HDG). Namun demikian,

kebijakan HDG inipun terbukti tidak sepenuhnya efektif. Sejak tahun 1999 harga gabah

yang diterima petani jauh di bawah HDG yang ditetapkan pemerintah. Kegagalah

Page 11: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

373

pemerintah dalam mempertahankan kebijakan HDG merupakan hasil perpeduan dari

kesalahan rancangan kebijakan dan ketidakmampuan manajerial dalam implementasi

kebijakan. Dari segi rancangan kebijakan, HDG secara teoritis sudah tidak perlu

(redundant) pada rejim perdagangan bebas (tidak ada pembatasan volume impor

beras). Selain itu, HDG yang ditetapkan pemerintah (Rp.1.500/Kg) ternyata terlalu tinggi,

tidak konsisten dengan tarif impor pendukungnya (hanya Rp.340/Kg) sehingga

menimbulkan sindrome price overhang (Simatupang, 2001) yang diindikasikan oleh

praktek penyelundupan dan atau manipulasi dokumen impor beras dan tidak dapat

diefektifkannya kebijakan HDG sudah sangat kurang karena sudah tidak memiliki hak

monopoli impor, dukungan dana bersubsidi dan pasar khususnya (penyaluran beras

untuk pegawai negeri sudah dihentikan).

2.2.5. Pengembangan Traktor.

Pesatnya pertumbuhan luas tanam padi sejak akhir tahun 1960’an telah

menyebabkan melonjaknya kebutuhan tenaga kerja pengelola tanah. Di sisi lain, musim

tanam padi biasanya harus dilakukan serentak dan dalam rentang waktu yang sempit

sehingga kebutuhan tenaga kerja pada musim tanam semakin besar lagi. Akibatnya,

tenaga kerja pengolah tanah menjadi langka pada musim tanam di beberapa daerah,

khusunya di daerah sentra produksi padi. Untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja

tersebut maka sejak awal tahun 1970’an pemerintah melaksanakan program

traktorisasi. Walaupun mendapat resistensi dari beberapa kalangan yang khawatir akan

dampak negatifnya terhadap ketersediaan lapangan kerja bagi buruh tani, pemerintah

tetap tegar dan konsisten melaksanakan program traktorisasi tersebut. Pemerintah

menyediakan hibah traktor tangan bagi kelompok tani guna mengembangkan usaha

jasa traktor tersebut. Dismaping itu, pemerintah juga menyediakan kredit murah untuk

pembelian traktor bagi usaha peorangan. Program tersebut telah berhasil mendorong

pertumbuhan usaha jasa traktor seperti yang ditunjukkan oleh pesatnya pertambhan

jumlah traktor tangan (Tabel 4).

Pesatnya perkembangan traktor inilah yang memungkinkan pelaksanaan tanam

padi tepat waktu dan yang mendorong peningkatan intensitas tanam usahatani padi.

Peningkatan intensitas tanam tidak hanya berguna meningkatkan pendapatan petani

dan produksi beras nasional, tetapi secara agregat juga meningkatkan penyediaan

lapangan kerja. Dengan demikian, traktorisasi tidak menimbulkan penurunan, tetapi

Page 12: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

374

sebaliknya, menigkatkan lapangan kerja bagi buruh tani. Dalam hal ini, kebijakan

traktorisasi yang dicanangkan pemerintah Orde Baru terbukti sangat tepat.

Tabel 4. Perkembangan Alat dan Mesin Pertanian di Indonesia 1990-1998 (Unit).

No Jenis 1990 1995 1998 1 Traktor 23.431 53.867 81.108 2. Traktor Roda empat: a. Mini 2.256 3.791 2.516 b. Sedang 872 1.261 1.042 c. Besar 257 1.072 1.098 3. Mesin penyemprot hama a. Knapsack 10.286 14.515 31.301 b. Skid 2.585 3.162 4.631 c. Swing Fag 371 786 1.729 4. Perontok Gabah 47.509 200.141 367.250 5. Pengering Gabah 1.975 5.635 5.525 6. Penggilingan padi: 46.236 69.836 79.568 a. Besar 3.965 3.957 6.462 b.Kecil 31.301 25.841 30.555 c. RMU 10.970 40.038 42.551 7. Pompa air 26.191 16.449 117.116

Sumber : BPS.

2.2.6. Pengembangan Usaha Jasa Penggilingan Padi.

Pesatnya perkembangan pertumbuhan produksi padi telah menciptakan pasar

yang besar dan meluas bagi perkembangan dan pertumbuhan usah jasa penggilingan

padi. Di sisi lain, tersedianya kredit perbankan yang murah merupakan faktor pelancar

bagi pertumbuhan pesat usaha penggilingan padi. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel

5, jumlah penggilingan padi meningkat sangat pesat dari 46.236 unit pada tahun 1990

menjadi 79.568 unit pada tahun 1998. Kiranya patut dicatat, usaha kilang padi umumnya

bersifat multi-usaha, tidak hanya usaha jasa penggilingan padi tetapi juga usaha

perdagangan padi dan beras. Dengan demikian kilang padi merupakan simpul hilir yang

terpenting dalam sistem agribisnis padi.

Boleh dikatakan peranan pemerintah dalam pengembangan usaha penggilingan

padi praktis terbatas sebagai fasilitator dan regulator pengusaha swasta saja. Untuk

memfasilitasi perkembangannya, pemerintah mendorong swasta menyediakan kredit

investasi (skala kecil) dengan suku bunga murah. Pengaturan dilakukan melalui

instrumen perijinan. Setidaknya hingga pertengahan tahun 1990’an (sebelum krisis

ekonomi) kebijakan pemerintah cukup efektif untuk memacu pertumbuhan usaha jasa

Page 13: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

375

penggilingan padi. Bahkan kemungkinan besar usaha jasa penggilingan padi sudah

menjurus over investment di beberapa wilayah, khususnya di Jawa.

Namun demikian, yang menjadi masalah ialah industri penggilingan padi

semakin didominasi oleh kilang berskala kecil jauh lebih rendah (hanya 59%) daripada

kilang berskala besar (mencapai 63%) (munsanto, et al, 1998; Nugraha, et al, 1998).

Lebih daripada itu, sejumlah besa kilang berskala kecil tersebut sudah terlalu tua

sehingga efisiensinya rendah. Inilah salah satu alasan pokok kenapa rendemen beras

menurun tajam (Simatupang, 2000). Peningkatan efisiensi industri penggilingan padi

merupakan salah satu agenda kebijakan guna meningkatkan produksi beras dan

sekaligus efisiensi sistem agribisnis padi.

2.2.7. Pengembangan Usaha Jasa Panen.

Secara selektif (terbatas untuk kegiatan usahatani tertentu) dan bertahap,

pemerintah Orde Baru melanjutkan kampanye mekanisasi usahatani padi dengan

mengembangkan usaha jasa panen padi (perontokan atu thresher) pada tahun 1980’an.

Strategi dan instrumen kebijakan yang ditempuh sama seperti program traktorisasi yaitu:

(a) diawali dengan pengembangan usaha perontokan padi mekanis melalui pemberian

peralatan secara hibah atau kredit bergulir; (b) mendorong perkembangan usaha jasa

swasta dengan fasilitas kredit murah. Program pengembangan usaha jasa panen padi

mekanis ini terbukti cukup berhasil. Jumlah alat perontok berkembang pesat dari 47.509

unit pada tahun 1990 menjadi 367.250 unit pada tahun 1998 (Tabel 4).

Pengembangan Usaha jasa panen padi mekanis telah berperan dalam

memperlonggar kendala tenaga kerja panen yang sampai menjadi kendala usahatani

padi dibeberapa wilayah sentra produksi pada tahun 1970’an. Perkembangan alat

perontok mekanis juga berperan dalam mendorong perubahan kelembagaan panen

seperti berkembangnya sistem panen borongan dan sistem tebasan menggeser sistem

bawon tradisional di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perontokan padi dengan

mesin terbukti lebih efisien dalam arti tingkat kehilangan gabah yang ditimbulkannya

lebih rendah daripada perontokan padi dengan cara banting (setyono dan Hasanudin,

1997). Tingkat kehilangan gabah pada sistem panen borongan juga lebih rendah

daripada sistem bawon. Dengan demikian, pengembangan usaha jasa panen mekanis

tidak hanya berfungsi sebagai penciptaan simpul agribisnis padi tetapi juga bermanfaat

mengurangi kehilangan panen yang berarti juga meningkatkan efisiensi sistem agribisnis

padi.

Page 14: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

376

2.2.8. Penataan Kelembagaan dan Manajemen Operasional.

Untuk memperlancar dan ”mengamankan” kebijakan perberasan seperti yang

diuraikan di atas, pemerintah Orde Baru pun membangun pranata sosial dan

adminstrasi pelaksanaanya. Dalam bidang pranata sosial, pemerintah membentuk

kelompok tani, KUD dan sistem penyuluhan di tingkat desa. Semua ini dirancang dan

difungsikan sebagai elemen untuk melaksanakan program yang ditetapkan pemerintah.

Sementara itu, jajaran pemerintah daerah, mulai dari gubernur hingga kepala desa,

wajib pula untuk ”mengamankan” dan melaksanakan kebijakan pemerintah pusat

tersebut. Keberhasilan dalam meningkatkan produksi pangan, khususnya beras,

merupakan salah satu indikator kunci keberhasilan pejabat pemerintah daerah. Dengan

sistem yang demikian, pemerintah daerah senantiasa berusaha keras untuk memacu

produksi pangan (beras) di daerahnya. Kebijakan produksi pangan dilaksanakan dengan

pendekatan kekuasaan secara top down. Dengan organisasi yang demikian, petani

merupakan ”aprat” pelaksana yang paling lemah dan wajib mengikuti perintah,

menanam padi di lahan sawah merupakan suatu kewajiban bagi petani.

Tidak dapat dipungkiri, pendekatan kekuasaan dengan organisasi

sentralistik tersebut berhasil memaksa petani untuk memacu produksi beras maupun

bahan pangan lainnya. Namun, sistem ini jelas sangat feodalistik dan merugikan petani.

Petani benar-benar dieksploitasi demi untuk ”kepentingan nasional” yaitu pencapaian

swasembada beras/pangan. Pemerintah transisi Reformasi tidak lagi melakukan praktek

ini. Dewasa ini petani bebas memilih tanaman apa yang dianggapnya lebih

menguntungkan sesuai dengan UU No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman.

Pelaksanaan pembangunan pertanian di tingkat petani dikelola pemerintah kabupaten

sebagai pelaksanaan dari otonomi daerah. Ini jelas merupakan perubahan yang sangat

baik.

2.3 Evaluasi Hasil dan Dampak.

Tidak dapat dipungkiri, berkat komitmen politik yang tinggi, konsisten dan

berkelanjutan, dukungan anggaran pemerintah yang sangat besa, dan pengorbanan

patriotik para petani, program peningkatan produksi beras nsional sangat berhasil

secara kuantitatif sehingga Indonesia berubah status dari importir beras terbesar di

dunia menjadi berswasebada beras pada tahun 1984. Keberhasilan inilah salah satu

alasan utama kenapa Indonesia cukup berhasil dalam menjaga ketahanan pangan

Page 15: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

377

sehingga tidak pernah terjadi insiden kelaparan skala besar. Disamping itu, peningkatan

produksi dalam negeri telah berhasil mengurangi ketergantungan terhadap impor beras

yang sangat penting untuk meningkatkan kemndirian dan mengurangi resiko pengadaan

beras akibat gejolak pasar dan politik luar negeri. Namun demikian, jika dilihat dari

perspektif pengadaan pangan berkelanjutan kebijakan yang dilakukan selama ini jelas

kurang berhasil.

Pertama, walaupun dengan ongkos besar, waktu yang dibutuhkan untuk meraih

swasembada beras ternyata sangat lama (lebih dari 25 tahun) dan praktis hanya dapat

dipertahankan sekitar lima tahun saja. Disamping itu, peningkatan derajat swasembada

beras diikuti dengan peningkatan defisit bahan pangan lain (kedelai dan jagung) karena

produksi ketiga tanaman pangan dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

pangan secara berkelanjutan. Swasembada pangan tidak realistis dijadikan sebagai

tujuan kebijakan penyediaan pangan dalam rangka pemantapan ketahanan pangan

nasional, lebih-lebih di masa mendatang.

Kedua, kebijakan yang berorientasi pada peningkatan produksi beras nasional

telah menyebabkan petani terperangkap dalam kemiskinan dan tidak kondusif pula bagi

pemantapan ketahanan pangan keluarga di pedesaan secara umum dan petani gurem

pada khusunya. Disamping itu, kebijakan yang ditempuh terfokus pada peningkatan

produksi beras di daerah persawahan sehingga bias negatif terhadap penduduk yang

bahan pangan pokoknya non-beras dan yang hidup di daerah lahan kering atau dataran

tinggi. Dalam konteks ini, kebijakan produksi yang ditempuh selama ini tidak sesuai

dengan kriteria perataan (equity). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kasus rawan

pangan atau kelaparan seperti Irian Jaya. Nusa Tenggara Timur, dan sebagainya.

Ketiga, Internsifikasi usahatani dan penurunan kualitas irigasi telah membuat

usahatani pangan rentan terhadap serangan hama dan perubahan iklim sehingga

produksi pangan tidak stabil menurut waktu. Ancaman ketidakstabilan produksi ini

semakin berbahaya karena fenomena El-Nino telah menunjukkan gejala perubahan

menjadi semakin sering dan tidak menentu. Dengan demikian produksi domestik

semakin tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengadaan beras nasional.

Keempat, Kebijakan produksi beras telah menyebabkan overekstensifikasi

penggunaan lahan dan overintensifikasi penggunaan input kimia (pupuk dan pestisida)

sehingga menimbulkan efek negatif terhadap kualitas lingkungan hidup. Fenomena

overekstensifikasi (Tabel 1) menyebabkan inefisiensi penggunaan lahan dan eksploitasi

lahan-lahan marjinal. Fenomena overekstensifikasi ditunjukkan oleh penggunaan pupuk

Page 16: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

378

(Adiningsih, 1997;Roche, 1994) dan pestisida secara berlebihan. Overekstensifikasi dan

overintensifikasi ini juga merupakan faktor penyebab gejala penurunan produktivitas

total faktor produksi usahatani padi. Penurunan produktivitas total faktor produksi

merupakan indikator ketidak berlanjutan usahatani ( Simatupang, 1994; Simatupang et

al, 1996; Pinggali and Heisey, 1996).

Dari uraian di atas jelaslah kiranya bahwa kebijakan produksi beras yang

dilakukan tidak berhasil memacu produksi beras dan pendapatan petani secara

berkelanjutan, Disamping itu, kebijakan yang ditempuh memerlukan dukungan

pembiayaan yang sangat besar dari pemerintah serta dilaksanakan secara ”top-down”

dengan tanpa memperhatikan aspirasi petani. Hal ini jelas tidak sesuai dengan kondisi

obyektif ekonomi-politik Indonesia saat ini. Oleh karena itu kebijakan perberasan yang

dilakukan selama ini sudah harus segera dirancang ulang.

III. REORIENTASI ARAH DAN PENYESUAIAN KEBIJAKAN

3.1. Konteks kebijakan.

3.11. Krisis Ekonomi, Masalah Kemiskinan dan Kerawanan Pangan.

Oleh karena sudah menjelma menjadi spiral krisis ekonomi-sosial-politik, krisis

ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 merupakan yang

paling parah dan paling lambat pemulihannya dibandingkan dengan semua negara yang

terkena krisis ekonomi Asia. Hingga lima tahun mendatang. Pemulihan ekonomi

diperkirakan masih akan tetap merupakan agenda utama pembangunan ekonomi. Krisis

ekonomi tersebut telah pula menimbulkan kerawanan pangan dan peningkatan jumlah

penduduk miskin. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan dan pengadaan jaring

pengaman ketahanan pangan keluarga haruslah tetap merupakan prioritas utama

pembangunan ekonomi dalam lima tahun ini. Disamping untuk mencegah insiden

kerawanan pangan yang berdampak buruk terhadap kesejahteraan hidup warga negara,

pemantapan ketahanan pangan juga sangat penting untuk menurunkan inflasi serta

mencegah gejala sosial ekonomi yang merupakan faktor kunci dalam pemulihan

ekonomi.

3.1.2. Keterbatasan Kebijakan Fiskal dan Moneter.

Krisis ekonomi jelas berdampak buruk terhadap penerimaan pemerintah

sehingga kemampuan pemerintah untuk membiayai investasi publik dan subsidi petani

Page 17: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

379

akan menurun tajam. Dalam pad itu, krisis perbankan dan ancaman inflasi akan

memaksa pemerintah untuk membatasi pemberian kredit untuk sektor pertanian

maupun untuk seluruh perekonomian secara umum. Dengan demikian, kapasitas

kebijakan fiskal dan moneter untuk membantu pengembangan agribisnis padi akan

sangat terbatas paling tidak hingga perekonomian nasional stabil dan tumbuh kembali

pada kapasitas normalnya.

3.1.3 Liberalisasi Perdagangan.

Sesuai dengan kesepakatan WTO dan desakan kuat IMF, tidak ada pilihan lain

nampaknya pemerintah akan menerapkan kebijaksanaan pasar bebas untuk produk

maupun sarana produksi pertanian. Satu-satunya produk yang masih mungkin

dikecualikan ialah beras. Inipun tidak boleh dengan melakukan pembatasan volume

impor. Subsidi sarana produksi, termasuk pupuk, harus pula dihapuskan. Dengan

demikian, eksistensi dan pertumbuhan usahatani haruslah didasarkan pada keunggulan

kompetitif riilnya. Peningkatan produktivitas total faktor produksi haruslah dijadikan

prioritas dalam upaya peningkatan daya saing ini.

3.1.4. Integrasi Pasar.

Liberalisasi perdagangan, revolusi transportasi danteknologi informasi akan

menyebabkan usahatani padi mengalami proses globalisasi dalam artian terintegrasi

kuat dengan pasar global. Fluktuasi harga beras dan sarana produksi usahatani padi di

pasar global akan ditransmisikan dengan cepat dan hampir sempurna hingga ditingkat

petani. Hal ini juga akan meyebabkan terciptanya media transaksi bagi nilai tukar rupiah

untuk secara cepat dan kuat mempengaruhi harga produk gabah dan sarana produksi di

tingkat petani. Buku empiris menunjukkan bahwa harga gabah/beras dan sarana

produksi usahatani (pupuk, pestisida) bersifat fluktuatif. Sementara itu, selama proses

pemulihan ekonomi nilai tukar rupiah juga penuh dengan ketidakpastian. Dengan

demikian, pada masa mendatang petani akan menghadapi resiko dan ketakpastian

harga yang sangat besar sehingga manjemen usahatani semakin kompleks.

3.1.5. Ketimpangan Distribusi Pembangunan dan Masalah Marjinalisasi Pasar.

Mesti diakui bahwa distribusi spasial pembangunan infrastruktur dan tingkat

pendapatan di Indonesia masih sangat timpang. Hingga saat ini masih banyak terdapat

kawasan pemukiman terpencil yang dicirikan oleh prasarana transportasi dan

Page 18: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

380

komunikasi yang buruk sehingga ongkos distribusi pemasaran ke atau dari daerah ini

realtif sangat tinggi. Di sisi lain, penduduk di daerah ini biasanya relatif jarang dan

tingkat pendapatannya pun rendah pula. Oleh karena itu, apabila distribusi sarana

produksi dan produksi tanaman pangan sepenuhnya diatur oleh kekuatan pasar maka

daerah-daerah yang terpencil akan mengalami kelangkaan pasokan sarana produksi

modern (benih, pupuk, pestisida), sementara hasil produksinya tidak dapat dijual ke luar

daerah. Di sisi lain, distribusi pangan akan cenderung menjauh kawasan terpencil dan

didominasi oleh penduduk miskin sehingga daerah-daerah yang tidak mampu

berswasembada akan mengalami ancman kekurangan pangan akut.

3.1.6. Desentralisasi Pembangunan.

Desentralisi pembangunan dengan memberikan otonomi yang lebih luas kepada

pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan akan

sangat berpengaruh terhadap kebijakan perberasan dan lebih-lebih terhadap kebijakan

pangan nasional. Produksi dan pengadaan pangan secara umum tidak dapat lagi

direncanakan secara sentralistik. Setiap propinsi akan menetapkan kebijakan produksi

pangan sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan komparatif daerahnya. Dalam kondisi

seperti ini koordinasi kebijakan dan manajemen sistem pengadaan pangan nasional

akan menjadi tantangan serius dalam upaya pemantapan sistem ketahanan pangan

nasional.

3.1.7. Perubahan Pola Iklim.

Fenomena El Nino-La Nina merupakan faktor resiko alam yang paling

berbahaya terhadap produksi pertanian secara umum dan produksi padi khusunya.

Perkembangan historis menunjukkan bahwa fenomena El Nino-La Nina telah

mengalami perubahan pola sehingga semakin tidak menentu dan frekuensinya semakin

tinggi. Fenomena inilah salah satu ancaman terbesar terhadap usahatani padi maupun

terhadap ketersediaan pangan secara nasional. Kemampuan untuk mengantisipasi

insiden El Nino-La Nina merupakan faktor kunci dalam mengatasi masalah ini. Namun,

hingga kini insiden El Nino-La Nina masih belum dapat diduga secara akurat.

3.2. Tantangan dan Hambatan Internal.

Disamping lingkungan strategis yang kurang kondusif, upaya pengembangan

agribisnis padi di masa mendatang akan menghadapi berbagai tantangan dan kendala

Page 19: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

381

internal yang sangat serius. Berdasarkan perkembangan historis hingga saat ini,

beberapa tantangan utama yang akan dihadapi ialah.

1. Kecenderungan penurunan daya saing: Hal ini ditunjukkan oleh gejala penurunan

produktivitas total faktor produksi dan profitabilitas usahatani padi. Jika hal ini

berlangsung terus maka usahatani padi dalam negeri akan kalah-saing dari produksi

pangan, khusunya beras, akan menurun.

2. Marjinalisasi kapaitas usahatani : Kecenderungan ini terjadi sebagai akibat dari

perpaduan antara marjinalisasi luas pemilikan lahan, penurunan laju pertumbuhan

produktivitas dan penurunan profitabilitas. Kecenderungan ini akan menyebabkan upaya

pemantapan ketahanan pangan dan penghapusan kemiskinan keluarga tani semakin

sulit dilakukan.

3. Kecenderungan penurunan laju pertumbuhan produksi: Gejala ini merupakan hasil

perpaduan antara perlambatan laju pertumbuhan luas panen dan produktivitas

usahatani padi. Kecenderungan ancaman serius terhadap perkembangan agribisnis

padi dan ketersediaan pangan nasional.

4. Kecenderungan peningkatan variabilitas produksi: Hal ini terjadi sebagai akibat

dari semakin rentannya usahatani padi terhadap perubahan iklim, sementara ancaman

perubahan iklim cenderung meningkat serta semakin tidak menentu pula. Pada masa

mendatang, peningkatan resiko dan ketidak pastian harga sebagai akibat liberalisasi

pasar akan semakin memperburuk masalah harga sebagai akibat liberalisasi pasar akan

semakin memperburuk masalah variabilitas produksi dan pendpatan usahatani padi.

Kecenderungan ini merupakan ancaman serius terhadap sistem agribisnis padi maupun

penyediaan pangan nasional.

Tantangan di atas jelas sangat berat, lebih-lebih karena adanya berbagai

hambatan internal sementara lingkungan eksternal tidak kondusif pula. Hambatan

internal yang paling mendasar diantarannya ialah:

1. Kendala sumberdaya lahan dan air: (a) Lahan sawah telah menunjukkan gejala

over ekstensifikasi dan over intensifikasi sehingga luas panen sulit ditingkatkan

sementara produktivitasnya akan cenderung menurun; (b) Luas baku lahan semakin

langka karena pembukaan lahan baru sangat lambat, sementara konversi fungsinya

cenderung meningkat; (c) Rata-rata luas pemilikan lahan pertanian cenderung turun; (d)

Pembangunan sistem irigasi berjalan lambat, sementara kapasitas sistem irigasi lama

cenderung menurun; (e) Sumber air untuk pertanian semakin langka sebagai akibat dari

Page 20: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

382

kerusakan alam; dan (f) Degradasi lahan sawah intensif dan adanya cekaman biotik dan

abiotik, terutama air dananomali iklim.

2. Kendala teknologi: (a)Teknologi hijau nampaknya sudah mengalami saturasi

sehingga produktivitas potensialnya sudah sulit ditingkatkan; (b) Rendemen beras

cenderung menurun; (c) Usahatani makin sensitif terhadap perubahan iklim dan

serangan hama; (d) Belum semua VUB memiliki mutu beras tinggi; (e) Penguasaan

teknologi pengolahan dan pengembangan produk masih terbats; (f) Terbatasnya

penguasaan prasaran/sarana penyimpanan tingkat petani; dan (g) Lambat, diseminasi

dan promosi VUB.

3. Kendala modal dan sarana produksi; (a) Sebagian besar petani padi adalah,

keluarga miskin yang lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan pokok saat ini

daripada masa mendatang sehingga penggunaan modal untuk membiayai ongkos

usahatani dan investasi bukan merupakan prioritas utama; (b) Lambatnya proses

penyediaan dan penyebaran benih bermutu; (c) Terpatasnya partisipasi swasta dalam

produksi benih; (d) Keterbatasan tenaga kerja belum diimbangi dengan penyediaan

alsintan; dan (e) Beredarnya pupuk alternatif bermutu rendah dan pestisida palsu serta

lemahnya sistem pengendalian, mekanisme dan pelaksanaan sertifikasi.

3.3. Reorientasi Tujuan.

Telah dikemukakan bahwa masalah kemiskinan dan pemantapan jaring

pengaman ketahanan pangan keluarga merupakan masalah nasional yang perlu

mendapatkan prioritas penangan dalam beberapa tahun mendatang. Sejalan dengan itu

kebijakan penanganan nasional hendaklah diarahkan untuk mengatasi kedua masalah

tersebut. Dalam kaitan ini kiranya patut diingat bahwa sebagaian besar penduduk miskin

Indonesia hidup di pedesaan dan menggantungkan hidupnya pada usaha pertanian,

khususnya agribisnis padi yang merupakan basis perekonomian sebagian besar

pedesaan. Dengan demikian peningkatan peningkatanproduksi dan pendapatan

usahatani padi merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan ketahanan

pangan keluarga tani dan mengentaskan mereka dari kemiskinan. Sementera itu, harus

pula diingat bahwa produksi beras domestik merupakan sumber pengadaan pangan

yang sangat penting untuk pemantapan ketahanan pangan nasional. Dengan demikian,

kebijakan pengembangan agribisnis hendaklah diarahkan untuk tujuan ganda berikut:

(1) Meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan petani padi; (2) Memantapkan

ketahanan pangan nasional; dan (3) Mendinamisir perekonomian desa.

Page 21: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

383

Tujuan ganda yang diusulkan di atas jelas sangat berbeda dari tujuan kebijakan

sebelumnya. Pada masa lalu kebijakan produksi pangan praktis hanya bertujuan untuk

memantapkan ketahanan pangan nasional dan kurang memperhatikan ketahanan

pangan maupun pendapatan keluarga tani. Peranan petani lebih difokuskan sebagai alat

untuk mencapai tujuan swasembada beras. Kedua tujuan tersebut haruslah dipandang

secara berjenjang. Tujuan pertama, merupakan sasaran prioritas, sedangkan tujuan

kedua, dan ketiga merupakan implikasi dari pencapaian tujuan pertama. Dengan

demikian, rancangan ini didasarkan pada prinsip ”apa yang baik bagi petani adalah juga

baik bagi negara”, sedangkan apa yang baik bagi negara belum tentu baik bagi petani”.

3.4. Strategi.

Dengan memperhatikan tujuan, kendala, dan konteks yang telah diuraikan

sebelumnya maka strategi peningkatan produksi beras yang dipandang cocok untuk

lima tahun mendatang ialah ”optimalisasi dan efisiensi” sisitem agribisnis padi yang

mencakup: (1) Optimalisasi penggunaan sumberdaya; (2) Efisiensi usahatani padi; dan

(3) Efisiensi pasaca panen.

Pada prinsipnya pendekatan ini tidak lain ialah bagaimana meningatkan produksi

dan pendapatan usahatani padi dengan memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya

yang ada saat ini. Pilihan ini dilakukan karena bagaimanapun harus diakui bahwa

peningkatan produksi melalui peningkatan kapasitas produski dengan ekstensifikasi

sumberdaya lahan dan infrastruktur tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan dana

investasi, baik investasi swasta maupun investasi pemerntah. Dengan dana yang sangat

terbatas maka strategi investasi haruslah didasarkan pada prinsip quick impact-small

investment dapat memberikan hasil dengan cepat dan dengan dana yang relatif kecil.

Strategi tersebut juga sangat sesuai dari segi upaya untuk meningkatkan daya

saing melalui peningkatan produktivitas total faktor produksi. Di sisi lain efisiensi akan

menurunkan ongkos usahatani dan atau meningkatkan produksi yang berarti juga akan

menngkatkan laba usahatani (pendapatan petani) seraya meningkatkan produksi beras

nasional. Dengan demikian, strategi ini cocok untuk meraih tiga tujuan sekaligus:

memantapkan ketahanan pangan dan meningkatkan pedapatan keluarga tani,

memantapkan sistem pengadaan pangan nasional dan mendinamisir perekonomian

desa.

Page 22: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

384

3.5. Paket Program dan Instrumen.

Sebagai implemantasi dari strategi, berikut ini diusulakn 10 paket program

beserta dengan komponen utama, instrumen dan atau langkah operasional. Usulan ini

dapat dipandang sebagai butir-butir pikiran yang tentunya masih harus diempurnakan

lebih lanjut oleh pihak-pihak berwenang.

1. Mendorong Rasionalisasi Manajemen Usahatani.

Komponen Utama.

a. Memberikan Kebebasan, Kesempatan dan kemampuan bagi petani untuk

mengelola usahataninya secara mandiri sesuai dengan UU No. 12 tahun 1992

tentang Sistem Budinaya Tanaman.

b. Mendorong differensiasi usahatni padi melalui pengembangan varietas padi

bernilai tinggi termasuk varietas lokal, varietas unggul aromatik, dsb.

c. Mndorong diversifikasi usahatani dengan mengembangkan cabang usaha non–

usahatani padi guna mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki keluarga tani.

d. Mendorong rasionalisasi penggunaan input, khususnya pupuk, pestisida dan

jasa alat mekanis, guna meningkatkan produktifitas dan atau menekan biaya

pokok produksi.

e. Mendorong percepatan adopso teknologi baru dan optimalisasi penerapan

teknologi yang ada.

Instrumen atau Langkah Operasional

a. Menerbitlkan dan mensosialisasikan petunjuk pelakanaan UU No. 12/1992.

b. Menyediakan informasi dan jasa penyuluhan sesuai kebutuhan petani.

c. Menyediakan alternatif benih varietas bernilai tinggi, termasuk non padi

d. Menyediakan fasilitas dan insentif guna percepatan difernsiasi dan diversifikasi

usahatni.

2. Rekonstruksi Lembaga Pelayanan dan Pemberdayaan Petani.

Komponen Utama

a. Menyedikan pelayanan lengkap dan terpadu di tingkat lokal.

b. Menumbuhkan-kembangkan usaha pertanian kooperatif

Page 23: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

385

c. Menumbuhkan dan memperkuat organisasi petani untuk mengelola common

resources dan common interest seperti organisasi pengguna air, pemberantasan

hama, dsb.

d. Menumbuh-kembangkan organisasi advokasi kepentingan petani.

Instruman atau Langkah Opresional

A. membantu pemerintah daerah untuk membangun Pusat Pelayanan Agribisnis

Terpadu (P2AT) di pedesaan dengan merekonstruksi Balai Informasi dan

Penyuluhan Pertanian (BIPP) yang telah ada saat ini.

B. Memberikan bantuan teknis dan fasilitas pemberdayaan kepada petani dalam

rangka pengembangan usaha kooperatif.

C. Memberikan bimbingan teknis dalam penumbuhan dan pemberdayaan

organisasi petani.

D. Memberikan bantuan teknis dan fasilitas pemberdayaan guna menumbuhkan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bagi advokasi kepentingan petani.

3. Revitalisasi Sistem Inovasi Teknologi.

Komponen Utama

a. Menumbuh–kembangkan usaha penangkaran benih ditingkat lokal.

b. Revitalisasi Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi berorientasi

pada kebutuhan petani (demand driven research).

c. Mendorong penelitian dan pengembangan teknologi oleh lembaga swasta.

d. Membangun jaring inovasi (innovation network) yang interaktif antara petani

penyuluh-lembaga penelitian.

Instrumen atau Langkah Operasional

a. Melengkapi P2AT dengan kebun penangkaran benih

b. Memberikan bimbingan teknis, pasokan benih dasar dan fasilitas pemberdayaan

lain kepada penangkar benih.

c. Memberikan insentif fiskal bagi perusahaan swasta yang melakukan penelitian

dan pengembangan teknologi

d. Penajaman program, penyediaan dukungan dana dan sumberdaya penelitian

serta peningkatan perangsang bagi peneliti guna meningkatkan produktivitas

Page 24: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

386

Lembaga Penelitian dan Pengembangan pemerintah dalam menghasilkan

teknologi terobosan sesuai kebutuhan petani

e. Membentuk jaring innovasi teknologi pertanian di bawah koordinasi Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian .

4. Pemulihan, Peningkatan dan Perluasan Infrastruktur.

Komponen Utama

a. Pemulihan dan peningkatan kualitas jaringan irigasi serta optimalisasi

pemanfaatan sumberdaya air.

b. Pemulihan peningkatan kualitas dan perluasan jalan pedesaan

c. Pembangunan jaringan kelistrikan pedesaan

d. Pembangunan jaringan telepon pedesaan

Instrumen atau Langkah Operasional

a. Meningkatkan anggaran belanja pemerintah untuk peningkatan kualitas,

pemeliharaan dan perluasan jaringan irigasi dan transportasi pedesaan.

b. Mendorong PT. PLN dan PT. Telkom untuk meneruskan dan memperluas

program listrik dan telepon masuk desa.

c. Mendorong perkembangan usaha swasta di bidang jasa irigasi transportasi,

kelistrikan dan telekomunikasi pedesaan.

5. Rekonstruksi Sistem Penyedian Sarana Produksi dan Pemiayaan Usahatani.

Komponen Utama

a. Menjamin akases pupuk sesuai kebutuhan petani

b. Menumbuh kembangkan usaha jasa mekanisasi pertanian, khususnya di luar

jawa.

c. Mencegah dan memberantas peredaran pupuk dan pestisida palsu

d. Menjamin akses dana bagi petani guna membiayai usahatani

Instrumen atau Langkah Operasional

a. Memperbaiki mekanisasi distribusi pupuk dengan mewajibkan pabrik pupuk

menjamin pasokan pupuk hingga tingkat kecamatan

b. Mewajibkan labelsisasi mutu dari indentitas produsen pupuk dan pestisida yang

diperdagangkan di pasar bebas

Page 25: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

387

c. Memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan usaha jasa alat dan mesin

pertanian di luar jawa

d. Mengembangkan lembaga pembiayaan khusus bagi usaha pertanian

6. Rekonstruksi Paket Kebijakan Harga dan Perdagangan.

Komponen Utama.

a. Menjamin profitabilitas minimum usahatni padi guna melindungi petani dari

mekanisme pasar yang tidak sehat

b. Mengendalikan nilai tukar input (input term of trade) khususnya rasio harga

gabah dan pupuk, guna merangsang optimalisasi penggunaan sarana produksi

c. Mencegah lojakan harga beras ditingkat konsumen guna memantapkan

ketahanan pangan rumah tanggga.

Instrumen Kebijakan atau Langkah Operasional

a. Menetapkan kisaran harga gabah ditingkat petani dan harga beras ditingkat

konsumen (price band)

b. menetapkan harga acuan pupuk maksimum ditingkat petani sesuai dengan

patokan rasionya dengan harga gabah

c. menetapkan tarif impor beras sesuai dengan kebutuhan untuk mendukung

harga patokan gabah.

7. Revitalisasi Industri Pasca Panen.

Komponen Utama.

a. Mendorong renovasi mesin penggilingan padi guna meningkatkan efisiensinya

khususnya melalui minimalisasi kehilangan

b. Mendorong pembangunan lantai jemur dan investasi mesin pengering padi

c. Mendorong perkembangan usaha jasa perontokan padi mekanis

Instrumen Kebijakan atau Langkah Operasional

a. menetapkan standar minimum efiensi unjuk kerja mesin penggilingan padi dan

wajib uji kir setiap tahun

b. menyediakan kredit komersial untuk investasi pada industri pasca panen

c. membantu pertumbuhan usaha perintis dibidang jasa pengeringan dan

perontokan padi

Page 26: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

388

8. Pengembangan Jaringan Pengaman Sosial Bagi Petani dan Penduduk Miskin

Komponen Utama.

a. Mengembangkan lumbung pangan di daerah terpencil rawan pangan.

b. Melaksanakan Operasi Pasar Khusus (OPK)

c. Membangun system deteksi dini dan rencana darurat antisipasi bencana gagal

panen.

Instrumen Kebijakan atau Langkah Operasional

a. Memberikan bantuan teknis dan finansial kepada masyarakat pedesaan di

kawasan terpencil rawan pangan guna membangun lumbung pangan lokal.

b. Meneruskan dan menyempurnakan program Operasional Pasar Khusus yang

sudah dilaksanakan beberapa tahun ini.

c. Membentuk dan membudayakan unit kerja yang bertugas untuk melakukan

deteksi dini dan rencana darurat antisipasi bencana gagal panen.

d. Desentralisasi dan Harmonisasi Manajemen Pembangunan.

9. Pemantapan Desentralisasi Pembangunan dan Harmonisasi Kebijakan

Komponen Utama.

a. Menyerahkan tugas dan wewenang pembimbingan dan pemberdayaan petani

kepada pemerintah daerah kabupaten

b. Desentralisasi operasi pengamanan kebijakan harga gabah/beras dan pupuk

c. Harmonisasi kebijakan nasional antar sektoral, antar propinsi dan antar

pemerintah pusat dan pemerintah daerah

Instrumen Kebijakan atau Langkah Operasional

a. merumuskan petunjuk pelaksanaan desentralisasi tugas dan wewenang

manajemen pembangunan pertanian

b. membentuk dewan kebijakan ketahanan pangan yang bertugas merumuskan

paket kwebijakan terpadu antar departemen

c. membentuk forum konsultasi kebijakan pembangunan pertanian antar

pemerintah pusat dan daerah

d. perluasan areal dan pemetaan kelembagaan agraria

Page 27: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

389

10. Pembukaan dan optimalisasi serta pengendalian konservasi lahan pertanian.

Komponen Utama.

a. Optimalisasi pemanfaatan lahan gambut dan pasang surut

b. Pembukaan areal pertanian baru

c. Menghambat fragmantasi dan mendorong konsolidasi kepemilikan lahan

pertanian

d. Menghambat proses konversi lahan pertanian ke fungsi lainnya

Instrumen Kebijakan atau Langkah Operasional

a. mengkaji ulang proyek pengembangan lahan gambut dan pasng surut masa lalu

b. mengkaji merencanakan dan melaksanakan program perluasan areal pertanian

jangka panjang

c. mengkaji ulang dan merumuskan hukum dan peratutan agraia guna mencegah

fragmantasi dan mendorong konsolidasi lahan menghambat alih fungsi lahan

dan mencegah penelantaran lahan (lahan tidur)

Page 28: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

390

IV. KESIMPULAN

Terlepas dari segala kekurangannya, mesti diakui bahwa Presiden Suharto

merupakan pemimpin pemerintahan Indonesai pertama yang memeiliki komitmen luar

biasa dalam membangun system agribisnis padi hingga swasembada beras dapat diraih

pada tahun 1984. Keberhasilan tersebut dipandang sebagai prestasi luar baisa karena

beranjak dari kondisisistem agribisnis yang sangat parah dan volume impor yang sangat

besar (terbesar di dunia) serta dalam kurun waktu dimana permintaabn beras domestik

meningkat pesat sebagai akibat dari sangat tingginya laju pertumbuhan penduduk dan

tingkat pendapatan per kapita.

Pilar keberhasilan tersebut ialah: adanya kesempatan terobosan teknologi dan

paket kebijakan komprehensif. Pilar pertama ialah momentum perkembangan teknologi

“Revolusi Hijau” yang kebetulan pada fase percepatan pada tahun 1970’an. Pilar kedua

ialah paket “mega” kebijakan yang mencakup semua elemen penopang agribisnis yaitu

”Lima I”: Sistem Inovatif, Infrastruktur, invesatasi, insentif, dan institusi. Namun sejak

akhri tahun 1980’an kedua pilar ini mengalami pengurangan. Teknologi “Revolusi Hijau”

telah menunjukan gejala stagnasi, sementara paket kebijakan perberasan mengalami

dekontruksi.

Usahatani padi telah menunjukan gejala sindroma overintensifikasi yang

menyebabkan perlambatan pertumbuhan hasil dan total factor produksi. Ekstensifikasi

saweah semakin sulit dilakukan dan bahkan di Jawa luas sawah baku cenderung

menurun. Akibatnya ialah laju pertumbuhan produksi beras mengalami perlambatan

dan semakin tidak stabil pula. Hal inilah yang menyebabkan swasembada beras tidak

dapat dipertahankan. Sejak awal tahun 1990’an Indonesai telah kembali menjadi

importir beras dan bahkan menjadi importir terbesar di dunia sejak tahun 1990’an.

Revitalisasi system agribisnis merupakan Program mendesak guna menstabilkan

pertumbuhan produksi bera yang sangat strategis dalm pemantapan ketahanan

pangan, peningkatan pendapatan petani dan dinamisasi perekonomian desa (dalam

rangka penentasan kemiskinan dan pemeratan pembangunan). Untuk itu, kebijakan

perberasan nasional haruslah direkontruksi secara komprehensif. Kebijakan harga dasr

sudah kurang sesuai dengan tatanan perkenomian global dan tidak akan efektif untuk

Page 29: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

391

revitalisasi system agribisnis. Oleh karena itu, pemerintah sudah harus memikirkan

suatu paket kebijakan komprehensif tidak hanya berkutat pada harga dasar gabah saja.

DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, J.S. 1997. Peranan Efisiensi penggunaan Pupuk untuk Melestarikan

Swasembada Pangan. Proseding Simposium Nasional dan Kongres VI Peragi, hal. 65-85. Perhinpunan Agronomi Indonesia.

Casman and P.L. Pingali. 1995. Intensification of Irrigated Rice System: Learning from

the Past to Meet Future Challenges. Geojurnal 5(3):299-306. Christianto, L. 1997. Potensi dan Kendala Sumberdaya Tanah Menunjang Produksi

Pertanian di Indonesia. Proseding symposium Nasional dan Kongres VI Peragi, hal. 65-85. Perhinpunan Agronomi Indonesia.

Darwanto, DH. 1993. Rice Varietal Improvement and Productivity Growth in Indonesia,

Ph.D. Dissertation, University of the Philippines, Los Banos. Falcon, WP and CP Timmer. 1991. Food Security in Indonesia: Defining the Issues,.

Indonesian Food Jpurnal 2(3):8-20 Hossain, M. 1997. Rice Supply and Demand in Asia a Socioeconomic and Biophysical

analysis. In D.S. Teng (Eds.), Application of Systems Approaches at the Farm and Regional Levels. P265-279. Kluwer Academic Publisher, Netherlands.

Jatilaksono, T. 1998. Impact of Rice Research and Technology Dissemination in

Indonesia. In P.L. Pingali and M. Hossain (eds.). Impact of Rice Research, p.293-310. Thailand Development Research Institute, Bangkok and International Research Institute. Manila.

Munarso, US., A. Setyono, Susimono dan Jumali. 1998. Tinjauan tentang Rendemen

Beras Giling: Evaluasi Mutu dan Rendemen Beras Giling, di Tingkat Petani. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Nugrasa, US, SJ. Munarso, Susimono dan A. Setyono. 1998. Tinjauan tentang

Rendemen Beras Giling dan Susut Pasca Panen: Masalah Sekitar Rendemen Beras Giling, Susut dan pemecahannya. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Pearson, SR Naylor, and W. Falcon. 1991. Recent Police Influence of Rice Production.

In Pearson, et al. (Ed.) Rice Police in Indonesia, p 8-21 Cornell University Press, Ithaca.

Pingali, PL and PL Heisey. 1996. Cereal Crop Productivity in Developing Countries; Past

Trend and Future Prospects. Paper presented at the conference on Global Agricultural Science Police tc the 21st Century. Melbourne, Australia, 25-28 August.

Page 30: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADIpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_05.pdf · 364 kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya

392

Roche, FC. 1994. The Technical and Price Efficiency of fertilizer Use in Irrigated Rice Production. Bulletin of Indonesia Economic Studies 30(1):59-83.

Sapuan. 1999. Perkembangan Manajemen Pengendalian Harga Beras di Indonesia

1969-1998. Agro ekonomika 29 (10:19-37. Setyono, A. dan A. Hasanudin. 1997. Teknologi Pasca Panen Padi, Pelatihan

Pascapanen dan Pengolahan Hasil Tanaman Pangan. BPLPP Cibitung, 21-25 Juli 1997.

Simatupang, P. 1994. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Total Faktor

Produksi Usahatani Padi di Indonesia. Pusat Peneltian Sosisl Ekonomi Pertanian. Bogor. Mimeo.

Simatupang, P. 1999. Sudaryanto, A. Purwanto, and Saptana. 1996. Projection and

Policy Implentaions of Medium and Long-term Rice Supply and Demand in Indonesia. Center for Agro-socioeconomic Research, Bogor-International Food Policy Reseacr Institute, Washington DC.

Simatupang, P. 2000. Fenomena Perlambatan dan instabilitas Pertumbuhan Produksi

Beras Nasional: Akar Penyebab dan Kebijakan pemulihannya. Makalah disampaikan pada Pra Seminar Nasional “Sektor Pertanian Tahun 2002: Kendala, Tantangan dan Prospek”. Bogor 4 Oktober 200, Pusat peneltian Sosial Ekonomi Pertanian.