kebijakan penerimaan pemerintah
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN PENERIMAAN PEMERINTAH
Disusun Oleh:
Abdurrozak ZakiBetrika OktaresaIndayanita Susia SitumeangPratiwi ParowungYoga Kus Subandoro
Sekolah Tinggi Akuntansi NegaraDiploma IV – Kelas 8B BPKP
BAB I
GAMBARAN UMUM PENERIMAAN NEGARA
Untuk mewujudkan tujuan nasional dan membiayai segala pengeluarannya, semua
negara membutuhkan sumber penerimaan. Adapun sumber penerimaan negara dapat berasal
dari penerimaan Pajak dan Non Pajak. Penerimaan bukan pajak misalnya adalah penerimaan
pemerintah yang berasal dari pinjaman pemerintah baik pinjaman dalam negeri maupun
pinjaman luar negeri, penerimaan dari badan usaha milik pemerintah, penerimaan dari lelang,
dan sebagainya.
A. PAJAK
1. Definisi pajak
Banyak definisi atau batasan yang telah dikemukakan oleh pakar yang satu sama lain
pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga
mudah untuk dipahami, perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang
digunakan oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak.
Pengertian pajak secara umum adalah iuran wajib dari penduduk kepada negara
berdasarkan undang-undang yang pelaksanaannya dapat dipaksakan tanpa mendapat
imbalan secara langsung yang hasilnya digunakan untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan nasional
Menurut Remsky K. Judisseno (1997:5), “Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan
dan pengabdiaan peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk
membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan
kesejahteraan dan negara”. Sedangkan menurut Mardiasmo (2002:1), “Pajak adalah iuran
rakyat kepada negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Lebih lanjut, menurut Pajak ialah iuran rakyat kepada negara (peralihan kekayaan
dari sektor swasta ke sektor publik) berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan
dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjukan, yang digunakan
sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada
dalam bidang keuangan negara”.
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak mempunyai beberapa
unsur, antara lain:
a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya dapat
dipaksakan,
b. Dalam pembayaran pajak tidak terdapat kontra prestasi secara langsung kepada
pembayar pajak,
c. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah,
d. Pajak diperuntukkan untuk pengeluraan pemerintah.
e. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran
Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi
mengatur / regulatif).
2. Asas pemungutan pajak
Asas-asas pemungutan pajak adalah asas untuk dapat mencapai tujuan dari
pemungutan pajak. Ada banyak pendapat dari para ahli mengenai asas-asas dalam
pemungutan pajak. Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations menyebut ada empat
asas pemungutan pajak, yaitu:
a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):
pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan
dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap
wajib pajak.
b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan
UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas
kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pakak (saat
yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya
atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
d. Asas Effeciency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak
lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
Lebih lanjut, Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
a. Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar
kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin
tinggi pajak yang dibebankan.
b. Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-
kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
c. Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
d. Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan
yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
e. Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-
kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak.
Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak
Adapun asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan
untuk mengenakan pajak adalah:
a. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence
principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk
kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident)
atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan
berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara
yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya
akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan
pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan
yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
b. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan
(nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan
pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari
mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas
domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan
dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak
atas world wide income
c. Asas sumber; negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas
suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya
apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh
orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di
negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status
dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi
landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari
negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari
penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah
Indonesia.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan
asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak
lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan
kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan
pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili
(dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di
sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting.
Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya,
yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak.
Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu
penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap
penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas
sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-
penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi
lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas
nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus. Indonesia
menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya.
Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam
ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.
Contoh lain penerapan asas pemungutan pajak di negara Jepang, untuk individu
yang merupakan penduduk (resident individual) diterapkan asas domisili, di mana
berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak
penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di
Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-
resident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar
pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang.
Sementara itu di Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun swasta
yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang
diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usaha luar negeri,
hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia
3. Fungsi pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan. Berdasarkan hal tersebut maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara
dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat
diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan
rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah,
yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan
pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan
pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan
dari sektor pajak.
b. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak.
Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam
negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak.
Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea
masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
c. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan
yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan,
Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di
masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
d. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga
dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.
4. Teori Pemungutan pajak
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi hak kepada
negara untuk memungut pajak. Mardiasmo (2003:3) menyatakan bahwa teori
pemungutan pajak adalah:
a. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh
karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi
asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
b. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya
perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang
terhadap Negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.
c. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar
sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul
dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :
1) Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang
dimiliki oleh seseorang.
2) Unsur Subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang
harus dipenuhi.
d. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga Negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari
bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
e. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut
pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah
tangga Negara. Selanjutnya Negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat
dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian
kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
5. Pengaruh pajak terhadap perekonomian
Selain sebagai sumber penerimaan suatu negara, pajak juga mempunyai pengaruh
terhadap perekonomian negara, antara lain:
a. Pengaruh terhadap sistem ekonomi secara keseluruhan
Secara umum, struktur perekonomian nasional (tanpa pajak) terdiri dari
Pendapatan Nasional (Y), jumlah Konsumsi (C) dan Tabungan (S). Hubungan
dari ketiga unsur tersebut adalah Pendapatan Nasional sama dengan jumlah
Konsumsi ditambah jumlah Tabungan (Y = C + S). Apabila seluruh Tabungan (S)
digunakan sebagai Investasi (S = I), maka tidak akan pernah terjadi inflasi
atau deflasi. Kadang-kadang yang muncul adalah jumlah Tabungan (S) lebih
besar dari jumlah Investasi (I) atau dengan kata lain, tidak semua tabungan
digunakan untuk investasi (S > I) maka akan terjadi kelesuan ekonomi,
penurunan harga (deflasi), dan pengangguran. Yang sering terjadi justru jumlah
Tabungan lebih rendah dari jumlah Investasi (S < I). Kondisi ini
menyebabkan kegairahan ekonomi dan kenaikan harga (inflasi).
b. Pengaruh terhadap komposisi produksi
Pajak dapat digunakan sebagai pendorong kepada pelaku ekonomi untuk
melakukan aktivitas tertentu dengan memberikan insentif-insentif. Berkaitan
dengan dimungkinkannya penerapan insentif pajak pada suatu daerah
tertentu, menimbulkan adanya beberapa alternatif pilihan yang dapat diambil
oleh para pelaku ekonomi.
c. Pengaruh terhadap usaha kerja
Sebagian besar penerimaan negara dari pajak di Indonesia adalah pajak
penghasilan yang dikenakan atas pendapatan para pegawai. Secara teoritis,
pegawai-pegawai tersebut mempunyai dua pilihan yaitu bekerja atau tidak
bekerja (memanfaatkan waktu santai) akibat adanya pengenaan pajak
penghasilan.
d. Pengaruh terhadap distribusi pendapatan
Tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya adalah peningkatan
pendapatan per kapita nasional, penciptaan lapangan kerja, dan distribusi
pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca pembayaran
internasional. Secara teori, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin
tinggi pula persentase pendapatan yang ditabung. Dari kelompok-kelompok kaya
inilah diharapkan sejumlah dana tabungan yang dapat digunakan untuk
investasi. Dengan kata lain, masyarakat kelompok miskin tidak punya
kemampuan tabungan dan investasi. Menurut pengertian ini, pendapatan
nasional yang dikenai pajak akan banyak mempengaruhi turunnya jumlah
tabungan masyarakat bukan pada porsi pendapatan yang dikonsumsi yang
diasumsikan tetap. Tetapi pada kenyataannya, keadaan di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, pola konsumsi masyarakat cenderung lebih
tinggi dari pola konsumsi masyarakat di negara-negara maju. Sehingga sulit
didapatkan dana tabungan masyarakat. Penarikan dana masyarakat secara
sukarela dengan iming-iming bunga yang tinggi pada akhirnya juga ikut
berpengaruh pada tingkat inflasi nasional.
B. PENERIMAAN NON PAJAK
Disamping pajak, pemerintah dapat menggunakan sumber-sumber nonpajak
yang mampu menggalang dana bagi keperluan pembiayaan pengeluaran publik.
Masalah penerimaan pemerintah dari sektor nonpajak biasanya kurang mendapat
perhatian dbandingkan sengan penerimaan dari sektor pajak karena asal usul dan
pertanggungjawabannya sudah jelas. Jenis-jenis penerimaan non pajak tersebut antara
lain:
1. Retribusi
Retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintahkepada seseorang (dan
atau badan hukum) yang telahmenikmati jasa (dan barang) pemerintah. Kontra
prestasi/balas jasa atas pembayaran retribusi dapat diterima/dinikmati secara
langsung. Berlaku azas pengecualian atau exclution principle bagi yang tidak
menikmati jasa pemerintah tersebut dikecualikan dari pungutan retribusi
2. Keuntungan perusahaan negara
Adalah penerimaan pemerintah dari keuntungan dalam penjualan brang-barang dan
jasa yang dihasilkan oleh perusahaan negara.
3. Denda dan perampasan
Merupakan pungutan paksaan terhadap seseorang yang melanggar peraturan yang
dibuat pemerintah sebagau badan hukum publik.
4. Sumbangan masyarakat
Biasanya untuk jasa-jasa yang diberikan oleh pemerintah seperti pembayaran biaya
perijinan (lisensi). Perbedaanya dengan retribusi, balas jasa atas pembayaran
sumbangan masyarakat tidak diperoleh secara langsung.
5. Pencetakan uang
Karena sifat dan fungsinya, maka pemerintah memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki
oleh tiap individu dalam masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk mencetak
uang kertas sendiri atau meminta kepada Bank Sentral untuk memberikan pinjaman
kepada pemerintah walaupun tanpa suatu jaminan. Pencetakan uang harus dijalankan
secara hati-hati oleh pemerintah, karena apabila kurang hati-hati pencetakan uang
cenderung menimbulkan inflasi.
6. Hasil undian negara
Seperti Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Untuk Indonesia dampaknya
cenderung negatif: Produktivitasnya rendah karena masyarakat jadi malas, memicu
tindakan kriminalitas, dan silang pendapat tentang kaidah agama (halal vs haram)
7. Pinjaman
Pinjaman bisa berasal dari dalam maupun luar negeri. Pinjaman bisa dilakukan antara:
negara dengan negara; negara dengan masyarakat dalam maupun luar negeri; negara
dengan badan internasional; negara dengan lembaga keuangan; negara dengan
masyarakat.
8. Hadiah
Penerimaan negara jenis ini merupakan pemberian yang sifatnya adalah volunter tanpa
balas jasa baik langsung maupun tidak langsung. Sumber hadiah dapat berasal dari;
Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; Swasta kepada pemerintah; Pemerintah
suatu negara kepada negara lain
BAB II
PENERIMAAN PERPAJAKAN DAN PNBP DI INDONESIA
A. Perpajakan di Indonesia
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan
terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan
adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor
privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak
menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu
dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua,
bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang
merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu
perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya
kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara,
negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan
untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa
pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian
hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar
Berdasarkan wujudnya pajak di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu pajak langsung
dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang dibebankan secara langsung
kepada wajib pajak seperti pajak penghasilan. Sedangkan pajak tidak langsung adalah
pajak/pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yang
secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya.
Ditinjau dari lembaga pemungutnya pajak dibedakan menjadi dua yaitu pajak pusat dan
pajak daerah. Pajak pusat merupakan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri
dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
dan Bea Meterai. Sedangkan pajak daerah merupakan pajak yang pungut oleh pemerintah
daerah. Sesuai UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis-jenis pajak
yang dipungut daerah adalah pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan
bermotor, pajak air permukaan, pajak rokok, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak
reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak
air tanah, pajak sarang burung walet, serta pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan.
(Rencana masih mau nambahin dikit lagi tentang sistem pemungutan. Tapi belum dapat
copasan.... XD)
B. PNBP di Indonesia
Pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak mencakup semua penerimaan dengan nama
dan bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang, baik yang diterima di dalam negeri,
maupun luar negeri, diluar penerimaan perpajakan (termasuk bea cukai) serta penerimaan
minyak dan gas bumi (migas). Penerimaan ini dalam garis besarnya dikelompokkan menjadi
dua golongan yaitu Penerimaan Umum dan Penerimaan Fungsional. Penerimaan umum
adalah yang secara umum terdapat pada setiap Departemen/Lembaga. Penerimaan Umum
PNBP secara umum terdapat pada setiap departemen/lembaga seperti: (1) penerimaan
penjualan seperti penjualan barang yang dihapuskan, penjualan kenderaan bermotor; (2)
penerimaan sewa seperti sewa rumah dinas, sewa gedung dan sewa barang milik negara
lainnya; (3) penerimaan jasa meliputi penerimaan jasa giro; (4) penerimaan kembali dan
penerimaan lain-lain, contohnya penerimaan kembali kelebihan pembayaran gaji/pensiun
serta penerimaan denda.
Penerimaan fungsional adalah jenis-jenis penerimaan yang diperoleh sebagai hasil
penjualan atau pemberian pelayanan yang diberikan oleh Departemen/ Lembaga sesuai
dengan fungsinya atau yang secara spesifik berada pada Departemen/ Lembaga. Penerimaan
fungsional PNBP bersumber dari hasil penyelenggaraan tugas/fungsi teknis suatu
departemen/lembaga seperti: (1) penerimaan rutin luar negeri seperti penerimaan visa/paspor,
penerimaan pemeriksaan dsb; (2) penerimaan khusus seperti pembagian laba BUMN,
penerimaan kembali pinjaman, dan penerimaan lain-lain Departemen Keuangan; (3)
penerimaan penjualan seperti penjualan hasil pertanian, hasil farmasi, hasil penerbitan dsb;
(4) penerimaan jasa seperti jasa rumah sakit, jasa kantor catatan sipil dsb; (5) penerimaan
pendidikanseperti uang pendidikan, uang ujian masuk, uang ujian praktek dsb; (6)
penerimaan kejaksaan dan pengadilan seperti legalisasi tanda tangan, denda tilang, ongkos
perkara, uang leges dan sebagainya.
Sedangkan menurut Undang – Undang No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak, PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari
penerimaan perpajakan. Dalam Undang – Undang no. 20 tahun 1997 pasal 2 disebutkan
bahwa kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi:
1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah, antara lain berupa
penerimaan jasa giro, sisa anggaran pembangunan, dan sisa anggaran rutin.
2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam, antara lain berupa royalti di bidang
perikanan, kehutanan, dan pertambangan.
3. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, antara lain
berupa dividen, bagian laba pemerintah, dana pembangunan semesta, dan hasil penjualan
saham pemerintah.
4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah, antara lain berupa
pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pelatihan, pemberian hak paten,
merek, hak cipta, pemberian visa dan paspor, serta pengelolaan kekayaan negara yang
tidak dipisahkan.
5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda
administrasi antara lain berupa lelang barang rampasan negara dan denda.
6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah, antara lain berupa hibah dan
atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi
hak pemerintah.
7. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.
C.
BAB III
KEBIJAKAN UMUM PENERIMAAN PAJAK DAN NON PAJAK
A. Kebijakan Penerimaan Perpajakan
1. Kebijakan Umum Optimalisasi Penerimaan Pajak
Sumber pendapatan utama pemerintah yang paling potensional bersumber dari sektor
perpajakan. Oleh karena itu pajak harus dikelola dengan baik dan benar dengan
melakukan langkah-langkah yang tepat dalam melakukan optimalisasi potensi
penerimaan pajak. Optimalisasi Penerimaan Pajak dilaksanakan melalui kebijakan
ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan pajak.
Ekstensifikasi Penerimaan Pajak
Ekstensifikasi penerimaan pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan
jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam admintrasi Direktorat
Jenderal Pajak (DJP). Ektensifikasi penerimaan pajak dilakukan dalam skala makro
ataupun mikro.
Ekstensifikasi dalam skala makro, ada dalam tataran kebijakan. Fiskus mengenakan
pajak atas subyek ataupun obyek pajak yang semula belum dikenakan pajak. Ini
dilakukan sejalan dengan perkembangan potensi ekonomi, baik melalui perkembangan
teknologi industri, perdagangan, transportasi, maupun informasi. Dengan pengkajian yang
komprehensif, dapatlah ditentukan subyek ataupun obyek pajak baru yang akan
menambah penerimaan pajak.
Ekstensifikasi dalam skala mikro, fiskus menambah wajib pajak terdaftar dari hasil
mencermati adanya wajib pajak yang memiliki obyek pajak untuk dikenakan pajak,
namun belum terdaftar dalam administrasinya. Ekstensifikasi dapat terjadi secara “soft”,
yaitu wajib pajak secara suka rela mendaftarkan diri. Atau dapat juga, berdasarkan data
yang dimilikinya fiskus melakukan pengukuhan secara jabatan.
Intensifikasi Penerimaan Pajak
Intensifikasi penerimaan pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan
pajak terhadap objek serta sumber pajak yeng telah tercatat atau terdaftar dalam
administrasi DJP dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak. Dengan
intensifikasi, fiskus mencermati apakah wajib pajak telah melaporkan seluruh obyek
pajak yang ada padanya dengan jumlah yang sebenarnya. Titik beratnya adalah masalah
teknis pemungutan pajak. Secara umum dilakukan dengan penyuluhan, dengan beragam
cara dan melalui berbagai media. Secara khusus untuk wajib pajak tertentu, bisa dalam
bentuk himbauan, konseling, penelitian, pemeriksaan dan bahkan penyidikan apabila
terdapat indikasi adanya pelanggaran hukum.
Sunset Policy yang sedang gencar dikampanyekan oleh Direktorat Jenderal Pajak,
adalah kebijakan ekstensifikasi sekaligus intensifikasi. Ekstensifikasi bagi mereka yang
belum terdaftar dan intensifikasi bagi yang sudah terdaftar. Dengan fasilitas tidak
dikenakannya sanksi administrasi, diharapkan wajib pajak akanmemenuhi kewajiban
pajaknya dengan benar. Di masa kini, ekstensifikasi dan intensifikasi akan lebih
mengandalkan pada ketersediaan data. Berbagai data telah dihimpun oleh Direktorat
Jenderal Pajak untuk diolah dan dieksekusi.
Kebijakan pemerintah dalam mendukung pelaksanaan ekstensifikasi dan intensifikasi
pajak salah satunya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 yang
berlaku mulai 27 Pebruari 2012 yang mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi,
dan pihak lain untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan
ke Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi
orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran
usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai
nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan
keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar
Direktorat Jenderal Pajak.
Kebijakan ini sangat mendukung pelaksanaan sistem self assessmentsecara murni dan
konsisten. Karena dengan data dan informasi yang dihimpun, Direktorat Jenderal Pajak
akan memiliki infrastruktur yang dapat digunakan untuk mendeteksi secara cepat dan
akurat terhadap adanya kemungkinan ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya. Pengalaman empirik negara-negara maju yang berhasil
menerapkan sistem ini, kepatuhan sukarela (voluntary compliance) adalah kunci
utamanya. Dalam self assessment, wajib pajak dipercaya untuk menghitung pajaknya
sendiri. Karena wajib pajak sendirilah yang tahu berapa penghasilan yang diterimanya
dan hitungan pajak terutang, demikian juga dengan harta dan hutangnya. Kewajiban
tersebut dituangkan dan dilaporkan dalam SPT. Apa yang dilaporkan melalui SPT
tersebut pada dasarnya adalah penetapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak.
Administrasi pajak hanya menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan kepatuhan
wajib pajak. Dengan sistem ini, sepanjang tidak ditemukan data yang menyimpang, maka
otoritas penentuan besarnya jumlah pajak terutang sudah bergeser ke wajib pajak. Kondisi
ideal tersebut dibayang-bayangi dengan kondisi sebaliknya. Membayar pajak bukanlah
merupakan tindakan yang semudah dan sesederhana membayar untuk mendapatkan
sesuatu (konsumsi), tetapi dalam pelaksanaannya penuh dengan hal yang bersifat
emosional. Potensi bertahan untuk tidak membayar pajak sudah menjadi taxpayers
behavior.
2. Pengendalian Penerimaan Pajak
Adapun cara-cara mencegah terjadinya kebocoran perpajakan antara lain dapat
berupa:
a. Pemeriksaan pajak (tax audit)
Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Sistem Informasi dan Teknologi
Pengendalian kebocoran melalui perbaikan sitem informasi dan teknologi ini bisa
dilakukan dengan:
- Dialog dan saling tukar pandangan antara Wajib Pajak dan fiskus
Dengan adanya dialog antara wajib pajak dan fiskus ini diharapkan akan
ditemukan titik temu dalam mengatasi permasalahan yang sering dihadapi oleh
para wajib pajak yang kurang mempahami regulasi perpajakan. Dengan dialog
diharapkan para wajib pajak lebih memiliki kesadaran dalam membayar pajak.
- Penerapan Teknologi Informasi
Teknologi informasi ini merupakan faktor utama yang menopang bangunan
sistem administrasi perpajakan yang dikelola DJP, karena mampu menyajikan
informasi secara akurat. Namun seandainya informasi yang tersaji tidak akurat,
dapat dibayangkan keputusan yang diambil pun akan menjadi tidak tepat.
c. Perbaikan Administrasi Pajak
Administrasi perpajakan memiliki peranan yang krusial di dalam menentukan
seberapa efektif sistem perpajakan suatu negara. Untuk mengoptimalkan administrasi
perpajakan ini dilakukan dengan perbaikan dibeberapa sector antara lain :
- Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia selama ini merupakan sumber keluhan masyarakat
Wajib Pajak dan menjadi sumber yang menimbulkan citra negatif. Kondisi ini
harus direspon dengan melakukan perubahan dari sisi manusia. Sasaran perubahan
ini adalah dengan melaukan perbaikan pada remunerasi, perbaikan jenjang karir,
kompetensi dan pendidikan, perbaikan pada sisi job grading, serta internalisasi
nilai-nilai baru organisasi melalui penerapan kode etik.
- Struktur Organisasi
Struktur organisasi tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat yang dinamis dan cepat berubah. Struktur organisasi ini
mempengaruhi efektivitas pelayanan kepada masyarakat dan bahkan dapat
dimanfaatkan oleh pihak internal dan eksternal akibat adanya celah kelemahan
dari sisi struktur yang tidak terintegrasi.
Di sisi lain, strategi segmentasi Wajib Pajak hanya dapat dijalankan dengan
lebih efisien, terarah dan fokus apabila struktur organisasi dirombak dengan tidak
lagi berdasar jenis pajak tapi berdasar fungsi. Perubahan struktur organisasi ini
juga memberi pengaruh pada perbaikan proses bisnis, mekanisme sistem dan
prosedur, dan jalur koordinasi dan informasi.
- Prosedur Perpajakan
Prosedur pengurusan pajak diseluruh level dikeluhkan masyarakat sebagai
berbelit-belit dan tidak efisien, serta menjadi salah satu sumber ekonomi biaya
tinggi. Perbaikan pada proses bisnis merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan
dengan perbaikan pada struktur organisasi. Mekanisme dan sistem prosedur akan
menjadi lebih efisien jika proses bisnis tidak dipahami secara parsial, tetapi
merupakan suatu jaringan besar yang saling terkait dan terintegrasi. Oleh karena
itu, perbaikan prosedur harus diimbangi dengan memanfaatkan kelebihan dari
teknologi informasi.
d. Penegakan Hukum
- Penegakan Hukum Kepada Wajib Pajak
Sistem perpajakan di Indonesia adalah self assessment, di mana Wajib Pajak
diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri pajak
yang terutang. Wajib pajak juga harus melaporkan kewajiban tersebut sesuai
dengan jenis Pajak dan batas waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang
perpajakan. Agar pelaksanaan kewajiban perpajakan terwujud dengan baik, tidak
hanya dilakukan penyuluhan dan pelayanan perpajakan kepada Wajib pajak.
Tetapi juga dilksanakan tindakan penegakan hukum melalui verifikasi data,
pemeriksaan pajak, penyidikan, dan penagihan pajak.
- Penegakan Hukum kepada Fiskus
Dalam rangka penerapan Good Governance (GG) yang didukukng oleh tiga
pilar yang saling berhubungan. Dalam hal ini negara dan perangkatnya sebagai
regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna
produk dan jasa dunia usaha, maka terhadap aparat perpajakan (fiskus) perlu
dilakukan pengawasan. Penegakan hukum kepada fiskus meliputi penegakan
disiplin sebagai PNS serta penegakan hukum terhadap korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN).
B. Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak
1. Kebijakan dalam Optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pendapatan Negara Bukan Pajak yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam
baik dari sektor Minyak bumi dan gas( Migas) maupun pertambangan lain ( Non Migas)
merupakan sumber pendapatan Negara yang sangat potensial karena begitu besarnya jenis
obyek yang bisa dikenakan dan tingkat cadangan yang terkandung dalam bumi Indonesia.
Adanya upaya untuk melakukan optimalisasi PNBP yang berasal dari pemanfaatan
sumber daya alam tentunya akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan
negara dari PNBP secara keseluruhan. Langkah langkah optimalisasi PNBP yang berasal
dari pemanfaatan sumber daya alam bisa dibagi menjadi dua yaitu melalui kegiatan
intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Langkah langkah intensifikasi berarti kegiatan optimalisasi difokuskan kepada
pelaksanaan peningkatan penerimaan yang berasal dari obyek obyek maupun subyek
wajib bayar PNBP yang telah ditetapkan. Beberapa contoh kebijakan yang termasuk
langkah intensifikasi penerimaan PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam
yaitu :
a. Efisiensi cost recovery dan penurunan rasio cost recovery terhadap gross revenue;
Cost recovery adalah penggantian biaya operasi yang telah dikeluarkan kontraktor
terlebih dahulu oleh pemerintah yang terdiri atas biaya eksplorasi, biaya produksi, dan
biaya administrasi. Gross revenue adalah hasil penjualan produksi minyak dan gas
bumi sebelum dikurangi dengan biaya pokok atau biaya produksinya
b. Optimalisasi produksi pada lapangan yang saat ini ada melalui pencapaian target
lifting migas; Lifting merupakan hasil penjualan produksi minyak dan gas bumi
c. Pengawasan produksi dan pengaturan atas ekspor komoditas mineral dan batubara
tertentu
d. Penagihan atas penjualan hasil migas bagian pemerintah secara intensif
e. Revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terkait dibubarkannya
Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi
f. Reviu besaran royalti batubara untuk pengusaha penambangan pemegang Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dalam PP No.9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang semula 3-7% menjadi 10-13,5%
g. Negosiasi ulang Kontrak Kerjasama dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B)
h. Penyempurnaan peraturan tentang tata cara pemungutan, penagihan, pembayaran, dan
penyetoran PNBP sektor pertambangan mineral dan batubara, dan
i. Kerjasama dengan tim Optimalisasi Penerimaan Negara yang dibentuk oleh
Kementerian Koordinator Bidan Perekonomian dalam hal pengawasan kepatuhan
pelaksanaan kewajiban pembayaran PNBP yang dilakukan oleh pihak wajib bayar
Langkah langkah ekstensifikasi berarti kegiatan optimalisasi difokuskan kepada
peningkatan jumlah obyek maupun subyek wajib bayar PNBP. Adapun langkah langkah
ekstentifikasi yang ditempuh untuk meningkatkan penerimaan PNBP yang berasal dari
pemanfaatan Sumber Daya alam yaitu :
a. Penyederhanaan dalam proses perizinan
b. Term and Condition yang lebih menarik untuk wilayah kerja eksplorasi minyak bumi
dan gas yang berada di remote area
c. Percepatan pengembangan lapangan baru
d. Penelaahan terhadap ijin ijin tambang yang illegal dan menerbitkan ijin baru sesuai
dengan ketentuan yang berlaku
2. Pengendalian PNBP
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan penerimaan yang tidak berasal
dari pajak, namun penerimaan ini merupakan penerimaan yang bersumber dari
masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan suatu instansi pemerintah pada
masyarakat. Saat ini pemerintah sedang berupaya mengoptimalkan PNBP untuk
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembagunan nasional, oleh karena itu
dibutuhkan pengendalian internal yang baik untuk mencapai target PNBP sehingga
tujuan pemerintah dapat tercapai. Pengendalian internal terhadap prosedur PNBP yang
baik terlihat dari keakuratan pencatatan, kepatuhan, dan tingkat keefektifannya. Salah
satu contohnya adalah penerapan PP nomor 46 Tahun 2002 yang menjadi alat pengendali
internal terhadap PNBP di lingkungan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sumatera
Utara, dimana peran PP nomor 46 Tahun 2002 sebatas controller dalam PNBP bukan
sebagai pendongkrak atau penambah jumlah PNBP.
Pada 2013, pemerintah menargetkan PNBP dari sektor pertambangan sebesar Rp 31
triliun atau meningkat dari target tahun ini yang ditetapkan sekitar Rp 29 triliun. Untuk
target pendapatan negara dari pajak dan PNBP pertambangan pada 2013 adalah sebesar
Rp 110 triliun.
Sebelum tahun 1997, ketentuan perundang-undangan sebagai landasan
penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku,
meliputi berbagai ragam dan tingkatan peraturan sehingga belum sepenuhnya
mencerminkan kepastian hukum. Banyak dan beragamnya bentuk pengaturan juga
mengakibatkan kekurangtertiban dan kerumitan dalam pengelolaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak. Oleh karena itu, dibentuknya Undang – Undang Nomor 20 Tahun 1997
merupakan salah satu bentuk pengendalian Penerimaan Negara Bukan Pajak agar
optimal.
Adapun salah satu bentuk pengendalian yang dilakukan adalah seperti tertulis dalam
Pasal 6 Undang - Undang Nomor 20 Tahun 1997 di mana Menteri dapat menunjuk
Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut. Di sini adalah salah satu upaya
pemerintah agar PNBP yang tersebar dan banyak ini dapat dipungut oleh pihak yang
berwenang dalam bidang masing – masing, contohnya pada bidang pertambangan. Oleh
karena itu kewajiban Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berkaitan dengan
pemungutan pendapatan negara bukan pajak antara lain:
a. Mengadakan intensifikasi pemungutan pendapatan negara yang menjadi wewenang
dan tanggung jawabnya.
b. Mengintensifkan penagihan dan pemungutan piutang negara.
c. Melakukan penuntutan dan pemungutan ganti rugi atas kerugian negara.
d. Mengintensifkan pemungutan sewa penggunaan barang-barang milik Negara.
e. Melakukan penuntutan dan pemungutan denda yang telah diperjanjikan.
f. Mengenakan sanksi atas kelalaian pembayaran piutang negara tersebut di atas.
Menurut Menteri PAN-RB, peningkatan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi
supervisi dan pengendalian PNBP pada Kementerian/Lembaga dapat dilakukan dengan
cara mengefektifkan seluruh fungsi pengawasan fungsional yang dilakukan oleh
Unit Pengawasan Internal, serta pengawasan atasan langsung terhadap keseluruhan
proses pengelolaan PNBP pada Kementerian/Lembaga.
Untuk pengendalian PNBP ini, BPKP juga ikut berpartisipasi untuk menertibkan
PNBP. Salah satunya yang dilakukan oleh Deputi perekonomian Bidang Instansi
Pemerintah Pusat yang membentuk tim Optimalisasi Penerimaan Negara. Sebagai
catatan, tim Teknis OPN pada 2004 dilaksanakan 236 auditor dari BPKP dan instansi
mitra yang tergabung dalam 63 tim audit pada lima satuan tugas. Kelima satuan itu
ialah pajak, bea dan cukai, PNBP sektor pertambangan, PNBP sektor kehutanan, PNBP
sektor kelautan dan perikanan, serta PNBP sektor perhubungan. Kemudian BPKP juga
melakukan asistensi penyusunan standard operating procedure (SOP) penerimaan
pajak, bea cukai, dan bukan pajak.
C. Optimalisasi Penerimaan Negara (APBN 2013)
Pendapatan negara pada periode 2007 – 2011 mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4
persen per tahun. Pertumbuhan tersebut berasal dari kontribusi penerimaan PNBP yang
tumbuh rata-rata sebesar 11,4 persen per tahun, kontribusi penerimaan perpajakan yang
tumbuh rata-rata sebesar 15,5 persen per tahun, dan penerimaan hibah yang tumbuh rata-rata
sebesar 32,6 persen per tahun.
Sementara itu, dalam APBN 2013 yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu,
pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp1.529,7 triliun, yang terdiri atas penerimaan
perpajakan sebesar 78,01 persen, PNBP 21,7 persen, dan penerimaan hibah 0,29 persen.
Penetapan target tersebut telah memperhitungkan asumsi ekonomi makro seperti
pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, lifting migas, dan harga
minyak, juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang akan ditempuh di tahun 2013.
Target Perpajakan
Dalam APBN 2013, penerimaan perpajakan direncanakan mencapai sebesar Rp1.192.9
triliun, atau meningkat 17,38 persen dari target APBNP 2012. Rencana tersebut terdiri dari
penerimaan pajak dalam negeri sebesar Rp1.134,3 triliun dan penerimaan pajak perdagangan
internasional sebesar Rp58,7 triliun. Peneriman pajak dalam negeri terdiri dari penerimaan
pajak penghasilan sebesar Rp584,9 triliun, pajak pertambahan nilai sebesar Rp423,7 triliun,
pajak bumi dan bangunan sebesar Rp27,3 triliun, cukai sebesar Rp92 triliun, dan pajak
lainnya sebesar Rp6,3 triliun.
Sementara itu, penerimaan pajak perdagangan internasional terdiri atas penerimaan bea
masuk sebesar Rp27 triliun dan bea keluar sebesar Rp31,7 triliun. Dalam arti yang lebih
sempit (penerimaan perpajakan dibagi dengan PDB), tax ratio tahun 2013 mencapai 12,9
persen. Sementara itu, dalam arti luas di mana tax ratio mencakup penerimaan perpajakan
ditambah dengan penerimaan SDA migas dan pajak daerah dibagi dengan PDB, tax ratio
2013 mencapai 15,8 persen.
Tentu pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan perpajakan dengan tidak
mengganggu pertumbuhan ekonomi dan iklim investasi serta dunia usaha. Upaya tersebut
ditempuh antara lain dengan: 1) meningkatkan perbaikan penggalian potensi perpajakan; 2)
melakukan perbaikan kualitas pemeriksaan dan penyidikan pajak; 3) menyempurnakan
sistem informasi teknologi; 4) melakukan perbaikan kebijakan perpajakan nasional yang
diarahkan bagi perluasan basis pajak; 5) meningkatkan kegiatan sensus pajak nasional; 6)
meningkatkan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; 7) meningkatkan
pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; 8) ekstensifikasi cukai; 9)
menyesuaikan tarif PPnBM atas kelompok Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah
selain kendaraan bermotor; dan 10) pemberian insentif fiskal bagi kegiatan ekonomi strategis.
Perlu kita ketahui bahwa kebijakan di bidang perpajakan tidak hanya bertujuan
meningkatkan penerimaan perpajakan. Kebijakan di bidang perpajakan pada hakikatnya juga
untuk mendorong perekonomian nasional melalui pemberian insentif fiskal. Insentif fiskal
tersebut dapat berupa pembebasan atau pengurangan PPnBM dalam rangka mendorong
program Pemerintah untuk mengembangkan industri kendaraan bermotor. Dengan adanya
pembebasan atau pengurangan PPnBM tersebut diharapkan dapat mendorong industri untuk
menyediakan kendaraan dengan harga yang terjangkau masyarakat dan kendaraan bermotor
yang ramah lingkungan (hybrid dan low carbon emission). Selain itu, perlu kita ketahui pula
bahwa Pemerintah tetap berkomitmen untuk memberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk
pajak ditanggung Pemerintah, yang terdiri atas: 1) PPh DTP untuk komoditas panas bumi, 2)
PPh DTP atas bunga, imbal hasil dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan
kepada pemerintah dalam penerbitan SBN di pasar internasional, dan 3) bea masuk DTP.
PNBP Migas
Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013, diketahui bahwa PNBP
masih didominasi oleh penerimaan SDA migas yang ditargetkan sebear Rp174,86 triliun.
Penerimaan SDA non migas sebesar Rp22,33 triliun. Sementara itu, bagian Pemerintah atas
laba BUMN ditargetkan sebesar Rp33,5 triliun. Namun demikian, jika kita perhatikan lebih
lanjut, tentu bukan hal yang mudah untuk mencapai target penerimaan negara dari PNBP
migas. Hal ini mengingat penerimaan PNBP dari migas sangat dipengaruhi oleh beberapa hal
seperti harga minyak, lifting minyak dan gas bumi yang dijadikan sebagai dasar perhitungan
penerimaan SDA migas, dan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dalam tahun 2013.
Namun demikian, untuk mencapai target lifting migas, Pemerintah di antaranya akan
melakukan upaya-upaya sebagai berikut: 1) mendorong optimalisasi pada lapangan eksisting
dengan penerapan Enchaced Oil Recovery/EOR, 2) mempercepat pengembangan lapangan
baru dan struktur idle, 3) term and condition yang lebih menarik untuk wilayah kerja yang
berada di remote area dan/atau laut dalam, 4) meningkatkan kordinasi dengan instansi terkait
untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan regulasi perijinan, dan tumpang
tindih lahan dalam rangka peningkatan produksi minyak bumi nasional, serta 5)
melaksanakan Inpres Nomor 2 tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi
Nasional.
BAB IV
TAX POLICY FOR EMERGING MARKET : DEVELOPING COUNTRIES
Di negara berkembang, dalam menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan efisien sering
kali menghadapi beberapa tantangan yang berat. Pertama adalah masalah struktur ekonomi
yang membuatnya sulit untuk membebankan dan menagih pajak-pajak tertentu. Kedua adalah
terbatasnya kapasitas administrasi perpajakan. Ketiga adalah minimnya dan buruknya
kualitas dari database yang dimiliki. Sehingga pada akhirnya kondisi politik negara
berkembang kurang dapat menerima sistem perpajakan yang rasional.
Negara berkembang sering dicirikan dengan :
1. Pertanian memiliki jumlah yang besar dalam total output dan penyediaan lapangan kerja,
2. Banyaknya aktivitas dan pekerjaan dalam sektor informal,
3. Terdapat banyak perusahaan kecil,
4. Jumlah yang kecil dari upah pada total pendapatan nasional, perusahaan modern, dan
sebagainya.
Karakteristik ini mengurangi kemungkinan ketergantungan pada pajak modern tertentu
seperti pajak pendapatan orang pribadi dan pada pajak pertambahan nilai. Dan juga
mengurangi kemungkinan pencapaian perpajakan tingkat tinggi.
Dalam peranannya sebagai konsekuensi struktur ekonomi sebagai hasil dari literasi yang
rendah dan human capital yang rendah, ini sangat sulit untuk mengkombinasikan semua
bahan untuk membangun sebuah administrasi perpajakan yang baik. Sebagai akibatnya
Negara sering mengembangkan sisem perpajakan mereka untuk mengambil apapun pilihan
yang mereka punya daripada mengembangkan sistem perpajakan modern dan efisien. Satu
konsekuensi pada situasi ini adalah bahwa banyak negara berkembang sering berujung
dengan terlalu banyaknya sumber pajak yang kecil, terlalu besar sebuah kepercayaan
terhadap pajak perdagangan luar negeri, dan pendayagunaan pajak pendapatan orang pribadi
yang kurang maksimal.
Kantor perpajakan dan statistik mempunyai kesulitan dalam hal menghasilkan statistic yang
dapat diandalkan dan detail. Hal ini dikarenakan peran yang luas dimainkan oleh kegiatan
informal, persyaratan pelaporan/pemberitaan yang dibatasi, banyak kegiatan yang tidak
dilaksanakan oleh perusahaan modern, dan karena adanya keterbatasan pembiayaan.
Kekuarangan data yang dapat diandalkan ini, memberikan kesulitan bagi pembuat kebijakan
untuk menilai dampak potensial dari perubahan sistem perundang-undangan perpajakan.
Akhirnya ini baik untuk diketahui bahwa negara berkembang cenderung memiliki distribusi
pendapatan yang lebih buruk dibanding dengan negara industry. Distribusi pendapatan yang
sangat tidak merata ini mempunyai 2 implikasi, pertama bahwa untuk menghasilkan
penerimaan pajak yang tinggi, deciles yang tinggi harus dipajaki secara signifikan dan
proporsional dari pada deciles yang rendah. Kedua, kekuatan ekonomi dan politik sering di
konsentrasikan pada deciles yang tinggi sehingga wajib pajak yang lebih kaya mampu untuk
menghindar dari reformasi perpajakan yang akan berpengaruh buruk terhadap mereka.
TINGKAT DAN SUSUNAN PENERIMAAN PAJAK
Dalam perspektif makroekonomi, aspek dari sistem perpajakan yang menjadi perhatian dari
para pembuat kebijakan di Negara berkembang adalah :
1. Apakah tingkat perpajakan keseluruhan yang ada, yang ditunjukan sebagai rasio
pendapatan perpajakan terhadap pendapatan domestic bruto telah sesuai,
2. Level khusus yang diberikan, apakah komposisi penerimaan pajak yang ada telah
sesuai (biasanya dalam urusan penerimaan relative terhadap pajak konsumsi).
Sesuai yang diharapkan disini sebagian berasal dari keyakinan publik bahwa biaya
kesejahteraan meningkat dengan adanya peningkatan perpajakan, dan bahwa, dalam pilihan
antara penerimaan pajak dan konsumsi, yang terakhir adalah lebih buruk dalam
mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang. Literatur yang luas tentang teori pajak optimal
memberikan sedikit panduan praktis dalam pilihan tingkat perpajakan secara keseluruhan.
Literature yang ada sedikit lebih membantu dalam pilihan antara pajak pendapatan dan pajak
konsumsi, tapi bahkan di sini nilainya terbatas.
Tingkat Pendapatan Pajak Pertimbangan Teoritis
Alasan utama mengapa teori pajak optimal hanya sedikit membahas tentang memilih
keseluruhan beban pajak bagi perekonomian yakni bahwa banyak dari teori ini telah
dikembangkan untuk menyarankan struktur pajak yang optimal dalam konteks statis untuk
menaikkan beban pajak yang diberikan. Dengan demikian, teori tradisional belum
mengintegrasikan sisi pengeluaran dari anggaran dalam analisisnya. Untuk itu perlu, tujuan
pola kebijakan normatif, adanya model yang memiliki manfaat yang jelas pada pengeluaran
publik yang akan dibiayai oleh penerimaan pajak. Dengan kata lain, menentukan tingkat
pajak optimal secara konseptual setara untuk menentukan tingkat pengeluaran pemerintah
yang optimal.
Perbandingan-perbandingan internasional
Kurang jelasnya pendekatan alternatif untuk menilai apakah tingkat pajak secara keseluruhan
di negara berkembang sudah "tepat" , telah diperbandingkannya rata-rata beban pajak antara
negara berkembang dan maju, dengan memperhitungkan karakteristik beberapa negara. Hal
ini jelas bahwa pendekatan berdasarkan statistic yang meskipun populer dan berguna, tidak
memiliki dasar teoritis yang kuat.
Pendekatan ini menjadi cukup modis, terutama di tahun 1960-an dan 1970-an. Rasio
penerimaan pajak ini berkorelasi terhadap PDB (variabel dependen) untuk kelompok negara
besar terhadap beberapa variabel independen, untuk negara-negara yang sama, yang dapat
diharapkan mempengaruhi rasio pajak. Variabel yang sering digunakan dalam studi
pendapatan per kapita adalah pangsa output pertanian dalam PDB, pangsa ekspor mineral
dalam PDB, keterbukaan ekonomi (diukur dengan pangsa impor dan ekspor dalam GDP),
rasio uang untuk PDB, dan variabel lainnya. Ketika diselesaikan dengan data untuk negara
tertentu, persamaan regresi diperkirakan menyediakan rasio pajak hipotetis untuk negara itu.
Hal ini, rasio pajak kemudian dibandingkan dengan ratio pajak negara yang sebenarnya.
Perbandingan antara rasio pajak yang diperkirakan dari persamaan dan tingkat actual
perpajakan bagi negara menunjukkan apakah, dalam perbandingan dengan Negara lain, dan
dengan mempertimbangkan karakteristik sendiri, tingkat pajak negara di atas atau di bawah
yang diharapkan. Pajak yang berasal dari rasio ini telah ditafsirkan untuk mencerminkan
upaya tingkat pajak yang negara itu. Seperti dikatakan sebelumnya, seperti pendekatan
statistic yang tidak memiliki dasar teoritis dan tidak boleh ditafsirkan untuk menunjukkan
beban pajak "Optimal" bagi Negara manapun. Seperti Pendekatan yang telah sesuai baik
dalam pembentukan benchmark dimana suatu tingkat pajak negara bisa dinilai terhadap
norma dari Negara-negara yang sejenis dan dalam mengantisipasi kemungkinan
perkembangan masa depan dimana perekonominya menjadi lebih maju. Bahkan, regresi
biasanya menunjukkan bahwa, Ceteris Paribus pendapatan per kapita yang lebih tinggi
diimbangi dengan rasio dari pendapatan pajak terhadap PDB yang lebih tinggi.
Seperti telah disebutkan, banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi faktor
penentu tingkat pajak. Salah satu faktor penentu yang paling umum digunakan yakni
pendapatan per kapita, biasanya dengan alasan bahwa pembangunan ekonomi akan
membawa dampak pada peningkatan permintaan dalam pengeluaran publik (Tanzi, 1987)
serta pasokan/penawaran yang lebih besar dari kapasitas/potensi perpajakan untuk memenuhi
tuntutan tersebut (Musgrave, 1969).
Pertimbangan ini menyarankan dengan dukungan empiris umum yang kuat bahwa ada
korelasi positif antara tingkat pajak dan ekonomi pembangunan. Mereka juga menyarankan,
dalam teori, bahwa arah sebab-akibat cenderung bergeser dari pembangunan pada tingkat
pajak, dan bukan sebaliknya. Hal ini penting karena umumnya gagasan bahwa tingkat pajak
yang lebih tinggi akan menghasilkan distorsi yang lebih besar dan dengan demikian akan
merugikan/menghambat pertumbuhan, ini tidak selalu bertentangan dengan korelasi yang
diamati antara tingkat pajak dan pembangunan. Implikasi kebijakan utama dari diskusi di
atas untuk negara-negara berkembang adalah bahwa pembangunan ekonomi akan lebih sering
tidak menghasilkan tambahan kebutuhan atas penerimaan pajak untuk membiayai kenaikan
pengeluaran publik sementara pada saat yang sama meningkatkan kemampuan negara untuk
meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut
Isu penting dalam diskusi ini melibatkan komposisi pendapatan, pertama,
penghasilan relatif perpajakan atas konsumsi, dan kedua, di bawah konsumsi perpajakan,
pengenaan pajak pada impor konsumsi domestik. Pertimbangan pertama masalah konsumsi
pendapatan pajak campuran yang optimal. Dalam mengevaluasi manfaat dari kedua basis
pajak, baik efisiensi dan ekuitas terutama dalam Negara berkembang diberikan Gini koefisien
yang tinggi. Namun, literatur teoritis cenderung berfokus pada terdahulu.
Kepercayaan bahwa pajak pendapatan memerlukan biaya kesejahteraan yang lebih tinggi
(efisiensi) daripada pajak konsumsi terutama berdasarkan pengamatan bahwa pajak
pendapatan terdiri dari dua komponen besar: pajak tenaga kerja dan pajak modal. Karena
pajak tenaga kerja adalah setara dengan pajak atas konsumsi dalam kerangka antarwaktu,
pendapatan pajak menimbulkan tambahan distorsi dalam tabungan-yang hilang dari pajak
konsumsi. keputusan yang didasarkan pada pertimbangan siklus hidup, campuran/kombinasi
optimal pajak pendapatan dan pajak konsumsi akan tergantung sepenuhnya pada elastisitas
yang relevan, yaitu persediaan tenaga kerja dan saving.
Di negara berkembang, dampak perpajakan pada akumulasi modal fisik secara tradisional
menerima perhatian yang besar yang pada gilirannya telah menyebabkan penggunaan insentif
pajak untuk promosi yang berlebihan. Keprihatinan lain dalam pilihan antara pajak
pendapatan dan pajak konsumsi melibatkan dampak relatif (vertikal) ekuitas. Kekhawatiran
ini sangat penting mengingat distribusi pendapatan tidak merata di negara berkembang.
Secara tradisional, telah terpikirkan bahwa pajak konsumsi inheren lebih regresif dari pajak
pendapatan, karena secara administrative tidak layak untuk menerapkan secara efektif, dalam
skala yang luas, ukuran tarif pajak pada consumption.
Dari penilitian didapat beberapa hasil yang meragukan yaitu bahwa
Pertama, bentuk pajak konsumsi tradisional, yaitu pajak konsumsi terjadi (seperti pajak
pertambahan nilai (PPN) atau pajak penjualan ritel), telah ditemukan menjadi jauh lebih
regresif dari umumnya ketika dilihat dari siklus hidup- dari pada perspective statis, Kedua,
setidaknya dalam teori, konsumsi dapat dikenakan pajak atas dasar ukuran yang sama
sebagai pendapatan, dengan memungkinkan pemotongan tak terbatas dari pendapatan dari
tabungan.
Beralih ke isu pajak impor, ketergantungan tradisional bea masuk impor sebagai pemegang
pajak yang potensial dalam Negara berkembang menyiratkan bahwa menurunkan tarif harga
bisa menyebabkan konsekuensi ekonomi dan pendapatan yang signifikan dalam negara ini.
Pertama dan terpenting, pengurangan tarif, ketika terstruktur dengan wajar dan tidak disertai
dengan kenaikan lain secara eksplisit atau hambatan perdagangan implisit, akan mengarah
turunya nominal dan perlindungan efektif. Kedua, pengurangan tarif juga bisa mengakibatkan
kerugian yang signifikan pada pendapatan anggaran, setidaknya dijalankan dalam jangka
pendek sebelum volume impor masuk direspon. Sementara mengurangi perlindungan industri
domestic dari persaingan asing adalah konsekuensi yang tak terelakkan atau bahkan tujuan
dari setiap program liberalisasi perdagangan, mengurangi pendapatan anggaran bisa menjadi
tidak diinginkan oleh-produk dari program yang perlu ditujukan. Pendapatan kompensasi
yang layak di dalam situasi yang hampir selalu melibatkan penambahan pajak konsumsi
dalam negeri; hal ini jarang akan meningkatkan pajak pendapatan yang akan dianggap
sebagai pilihan yang layak atas dasar kebijakan baik (karena dianggap mereka berdampak
negatif terhadap investasi) dan perbandingan-perbandingan internasional.
Meskipun sulit untuk menarik kejelasan pola kebijakan normatif dari
atas perbandingan internasional mengenai campuran pendapatan pajak konsumsi,
menarik implikasi kebijakan positif diungkapkan oleh perbandingan ini adalah bahwa
ekonomi pembangunan cenderung menyebabkan pergeseran relative atas komposisi
pendapatan dari pajak konsumsi ke pajak pendapatan pribadi. Pada setiap titik waktu tertentu,
bagaimanapun kebijakan perpajakan negara-negara berkembang tidak begitu banyak
menentukan campuran pajak optimal seperti pada
a. memahami dengan jelas tujuannya yang akan dicapai oleh setiap pergeseran dalam
campuran,
b. menilai konsekuensi/dampak ekonomi dari pergeseran-dalam efisiensi dan masalah
ekuitas-dalam maksud tujuan yang memungkinkan, dan
c. menerapkan tindakan kompensasi-kemungkinan non-pajak (misalnya, pengeluaran),
jika mereka yang dibuat lebih buruk oleh pergeseran ini adalah dari desil yang
miskin.
ISU KEBIJAKAN DALAM PAJAK UTAMA YANG DIPILIH
Di negara-negara berkembang di mana pasar mengambil peranan penting dalam
mengalokasikan sumber daya, yang paling penting dari tujuan kebijakan pajak adalah untuk
meminimalkan campur tangan sistem pajak dalam proses alokasi, subjek, pendapatan dan
redistribusi kebutuhan. Ini berarti bahwa sistem perpajakan harus netral dalam desain yang
memungkinkan, itu juga harus memiliki prosedur dan aturan yang sederhana, dan
administrasi yang transparan. Berikut ini adalah subbagian kebijakan perpajakan yang
penting yang terjadi di Negara berkembang.
Pajak Pendapatan Orang Pribadi
Umum konseptual masalah yang berhubungan dengan Personal Income Tax (PIT) telah
dibahas secara komprehensif di Cnossen dan Bird (1990), meskipun fokus studi yang ada di
OECD
negara. Di negara berkembang isu mengenai bunga biasanya dalam lingkup yang lebih
sempit, tetapi umumnya membutuhkan perhatian yang lebih yang dibayar untuk implikasi
administrasi mereka, mengingat bahwa kemampuan administrasi jauh lebih mengikat dalam
negara-negara ini dibandingkan di negara maju. Juga, fakta bahwa pendapatan upah sering
kali merupakan bagian kecil dari pendapatan nasional yang memberikan kontribusi terhadap
kesulitan dalam menyelenggarakan PIT tersebut sebagai sumber pendapatan yang signifikan.
Struktur tariff
Setiap pembahasan tentang PIT di negara-negara berkembang harus mulai dengan
pengamatan bahwa pajak ini telah menghasilkan pendapatan yang sangat sedikit di sebagian
besar negara dan bahwa jumlah individu yang dikenakan pajak ini dan, terutama, yang wajib
pada tarif pajak tertinggi marjinal, sangat kecil. Tingkat struktur PIT sering menjadi
instrumen kebijakan yang paling nyaman dan terlihat bagi kebanyakan pemerintah dalam
mengembangkan negara untuk menekankan komitmen mereka dengan keadilan sosial, dan
karenanya untuk mendapatkan dukungan politik untuk kebijakan mereka. Oleh karena itu,
tidak mengherankan untuk menemukan bahwa banyak negara-negara berkembang sangat
mementingkan untuk mempertahankan beberapa tingkat tariff progresivitas nominal PIT
dengan menerapkan banyak golongan tarif pajak, dan enggan untuk melakukan reformasi PIT
yang akan menyarankan untuk mengurangi komitmen tersebut. Dan dengan kebanyakan
pengurangan dan pemotongan khusus yang umumnya ditemukan dalam mengembangkan
negara-negara berkembang dengan keuntungan pendapatannya tinggi. (misalnya, potongan
keuntungan modal dari pajak, potongan sumbangan untuk biaya medis dan pendidikan,
randahnya pajak atas pendapatan finansial).
Keringanan pajak diberikan dalam bentuk pemotongan ini sangat mengkhawatirkan di bawah
tarif progresif nominal PIT yang tinggi (dalam hal penghematan pajak tersirat) karena
nilainya bertambah dengan golongan tarif dimana wajib pajak berada. Pengalaman dengan
reformasi PIT di Negara berkembang (maupun di negara maju negara, dalam hal ini)
cenderung untuk menyarankan, bahwa tarif progresif efektif dapat ditingkatkan dengan
mengurangi tingkat tarif progresivitas nominal dan jumlah golongan tarif, dan mengurangi
pengecualian dan pemotongan. Jika kendala batasan politik mencegah arti dari restrukturisasi
tarif, peningkatan ekuitas substansial masih dapat dicapai dengan mengganti pemotongan PIT
dengan kredit pajak, yang akan memberikan keuntungan yang sama bagi pembayar pajak
pada semua golongan tarif. Penggunaan kredit pajak yang signifikan sejauh ini,
bagaimanapun, masih sangat jarang di negara berkembang.
Basis pajak
Sebagai tambahan terhadap masalah tingginya tingkat pemotongan dan pengurangan yang
cenderung mempersempit dasar pajak dan menghilangkan banyak progresivitas efektif dari
struktur tariff progresif nominal, seperti disebutkan di atas, adalah umum untuk menemukan
bahwa PIT (serta CITS, dalam hal ini) di negara berkembang yang penuh dengan pelanggaran
berat terhadap dua prinsip dasar kebijakan pajak yang baik pada tingkat praktis : simetri dan
inclusiveness.
Prinsip simetri ini mengacu pada pemulihan untuk tujuan perpajakan dari keuntungan dan
kerugian dari setiap sumber pendapatan, misalnya, jika keuntungan dikenakan pajak, maka
kerugian harus menjadi pengurang pajak. Prinsip inklusif berhubungan dengan menangkapan
dari aliran pendapatan dalam pajak bersih(kecuali eksplisit dikecualikan) di beberapa titik
sepanjang bagian aliran, misalnya, jika pembayaran adalah dikecualikan di pihak penerima,
kemudian seharusnya tidak menjadi pengurang pada pihak pembayar. Pelanggaran atas
prinsip ini secara umum, menyebabkan distorsi dan ketidakadilan.
Sangat mudah untuk melihat bagaimana ketentuan-ketentuan perpajakan dapat dimanfaatkan
untuk derajat yang bervariasi oleh para pembayar pajak untuk menghindari pajak. Untuk
mengatasi mereka, perbaikan adalah dengan penghapusan baik pengurangan atau
pembebasan (Tapi tidak keduanya), dan pilihan antara keduanya tergantung sebagian besar
pada pertimbangan administrasi.
Penjagaan Pajak Atas pendapatan Finansial
Perlakuan pajak atas penghasilan Finansial khususnya dalam Negara berkembang dengan
kemampuan administrasi pajak yang terbatas, sebagai bentuk penghasilan alternatif tersebut
dapat dengan mudah disamarkan, ditukarkan, dan sebaliknya jika ketentuan-ketentuan pajak
tidak ditulis dengan cermat untuk berurusan dengan mereka. Di sini, dibahas dua isu penting
berhubungan dengan perpajakan bunga dan dividen.
Di banyak negara berkembang, pendapatan bunga, jika dikenakan pajak secara keseluruhan,
dikenakan pajak untuk alasan administrasi melalui pemotongan pajak final dengan tarif yang
umumnya di bawah batas atas PIT rate dan tarif CIT. Rendahnya tarif pajak atas pendapatan
bunga ditambah dengan pemotongan penuh pengeluaran bunga yang menyiratkan bahwa
yang signifikan penghematan pajak dapat direalisasikan cukup jelas melalui transaksi
tersebar. Oleh karena itu, penting bahwa aplikasi pemotongan final atas pendapatan bunga
ditargetkan secara hati-hati, misalnya, pemotongan pajak final tidak diterapkan jika wajib
pajak memiliki pendapatan usaha. Perlakuan pajak atas dividen menimbulkan masalah
perpajakan ganda yang terkenal. Dalam kebanyakan negara-negara berkembang, pengenaan
pajak ganda dividen dihilangkan, atau setidaknya sebagian diatasi melalui berbagai langkah-
langkah bantuan baik di perusahaan atau level pemegang saham. Untuk sebagian besar
negara berkembang, pilihan yang wajar adalah lebih baik dividen dibebaskan dari PIT sama
sekali, atau pajak mereka dikenakan tarif rendah, mungkin melalui suatu pemotongan pajak
final pada tingkat yang sama seperti yang dikenakan pada pendapatan bunga (jika ada).
Pajak Penghasilan Perusahaan
Tarif CIT ganda
Negara berkembang (misalnya, Mesir, Paraguay, Vietnam, Zambia) lebih rentan memiliki
tariff ganda yang dibedakan di sepanjang garis sektoral (termasuk pembebasan lengkap dari
sektor pajak tertentu, terutama sektor parastatal) dibandingkan di negara-negara maju,
mungkin sebagai peninggalan rezim ekonomi masa lalu yang menekankan peran negara
dalam alokasi sumber daya. Bagaimanapun, Praktek semacam ini, jelas merugikan
berfungsinya kekuatan pasar (yakni, alokasi sektoral sumber daya akan terdistorsi oleh
perbedaan dalam tarif pajak) dan, karenanya, tidak dapat dipertahankan jika pemerintah
berkomitmen nyata untuk ekonomi pasar. Penyatuan tariff ganda lintas sektor dimana mereka
berada adalah isu kebijakan pajak penting yang beredar di negara-negara berkembang.
Penyusutan
Depresiasi diperbolehkan atas aset fisik untuk tujuan pajak adalah salah satu elemen yang
paling penting dalam struktur CIT dalam menentukan biaya modal, dan profitabilitas
investasi. Merancang sistem depresiasi yang tepat, sangat penting untuk mendorong iklim
investasi yang menguntungkan. Namun, meskipun kelemahan yang paling umum ditemukan
dalam sistem depresiasi dalam Negara berkembang meliputi: (1) jumlah kategori aset dan
tingkat depresiasi berlebihan; (2) rendahnya tariff penyusutan yang berlebihan, dan (3)
struktur tarif depresiasi yang tidak sesuai dengan tingkat keusangan relatif aset pada
kategori asset yang berbeda. Perbaikan kekurangan ini harus mendapatkan prioritas tinggi
dalam musyawarah kebijakan pajak di negara-negara.
Dalam sistem penyusutan restrukturisasi, negara-negara berkembang dapat berpedoman pada
beberapa hal berikut: (1), mengklasifikasikan asset, katakanlah kedalam tiga atau empat
kategori yang seharusnya lebih dari cukup; (2) hanya satu tarif penyusutan yang harus
melekat pada setiap kategori aset; (3) tariff penyusutan umumnya harus ditetapkan lebih
tinggi dari umur ekonomis yang sebenarnya sebagai kompensasi atas inflasi mekanisme dan
(4) dengan alasan administratif, metode saldo menurun masih belum umum digunakan di
negara-negara berkembang, mereka lebih suka metode garis lurus. Metode saldo menurun
memungkinkan penyatuan dari semua aset pada kategori aset yang sama dan akun untuk
untuk capital gain dan kerugian dari pelepasan aset, sehingga secara substansial
menyederhanakan persyaratan pembukuan.
Pajak Pertambahan Nilai, Cukai, dan Tarif Impor
Pajak Pertambahan Nilai
Salah satu reformasi pajak yang paling terlihat dilakukan oleh negara-negara berkembang
selama tiga dekade terakhir telah dikenalkan sebagai PPN. Karena PPN sekarang dapat
ditemukan dimayoritas besar negara berkembang, 34 isu kebijakan pajak yang beredar di
bidang pajak konsumsi dalam negeri di negara-negara tidak lagi menggantikan omset pajak
mengalir, kecuali desain PPN yang tepat dan ruang lingkup pajak cukai. Sementara PPN yang
telah diadopsi di negara-negara berkembang, hampir tanpa pengecualian, diterapkan melalui
kredit-faktur mekanisme negara-negara di Eropa Barat, sering menderita dari keterbatasan
ketidak lengkapan dalam aplikasi dalam satu bentuk atau lainnya. Hal ini terlalu umum untuk
ditemukan, misalnya, bahwa sektor penting, terutama jasa dan sektor grosir dan eceran, telah
keluar meninggalkan jaring PPN, atau bahwa mekanisme kredit yang terbatas (yakni,
penolakan atau penundaan dalam memberikan kredit yang tepat untuk pemasukan PPN),
terutama ketika datangnya capital goods. Fitur ini memungkinkan tingkat aliran yang pokok
untuk tetap dalam sistem, dan dengan demikian sangat mengurangi manfaat dari
memperkenalkan PPN di tempat pertama. Keterbatasan Perbaikan seperti dalam desain PPN
dan administrasi oleh karena itu harus diberikan prioritas yang tinggi di negara berkembang.
Aspek lain yang layak perhatian adalah adopsi pada bagian dari banyak Negara berkembang
dari dua atau tingkat lebih (termasuk tariff nol penawaran nonexport tertentu).
Sementara tariff ganda cenderung mempersulit administrasi PPN, mereka secara politik
pura-pura menarik melayani-meskipun tidak selalu efektif untuk sebuah tujuan ekuitas. Pada
kenyataannya, sebagian besar Negara-negara OECD juga memiliki beberapa tariff ganda.
Namun, tarif administratif untuk menangani ekuitas memiliki tarif ganda PPN yang
cenderung lebih tinggi dalam negara berkembang dibandingkan di negara maju.
Cukai
Kelemahan yang paling menonjol dari sistem cukai yang ditemukan di banyak negara
berkembang adalah tidak tepatnya luasan cakupan mereka terhadap produk- yang sering
dijadikan untuk alasan pendapatan, tapi kadang-kadang untuk alasan yang sulit untuk
dibedakan sebagai penerimaan marjinal yang dibangkitkan dari beberapa barang dibebani
cukai (yang seharusnya tidak excisable) dapat juga tidak signifikan.
Seperti diketahui, alasan ekonomi dari cukai yang mengesankan ini sangat berbeda dari
pembebanan pajak konsumsi secara umum, seperti PPN. Sementara yang terakhir harus
berbasis luas sehingga untuk memaksimalkan pendapatan dengan distorsi minimal, yang
terdahulu harus sangat selektif, menargetkan beberapa barang sebagian besar dengan alasan
bahwa konsumsi mereka menyebabkan eksternalitas negatif pada masyarakat. Kebetulan
bahwa daftar barang biasanya dianggap excisable atas dasar seperti (Misalnya, tembakau,
alkohol, dan minyak produk; serta kendaraan bermotor) yang biasanya sangat sedikit dan
permintaan inelastis. Jadi, sistem cukai yang baik adalah selalu tanpa terkecuali dicirikan oleh
kemampuan untuk menghasilkan pendapatan dari dasar sempit dan dengan biaya relatif
administrasi rendah.
Tarif impor
Seperti dicatat sebelumnya, mengurangi tarif impor sebagai bagian dari keseluruhan program
perdagangan bebas merupakan tantangan kebijakan utama saat ini yang dihadapi sejumlah
besar negara berkembang. Dari perspektif kebijakan pajak, tantangan ini melibatkan dua
keprihatinan yang memerlukan kehati-hatian. Pertama, adalah penting untuk memastikan
bahwa tarif nominal yang dikurangi tidak menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan
dalam tingkat yang relatif terhadap perlindungan efektif di sektor yang mungkin terjadi dari
kecerobohan atau perbedaan yang membingungkan sejauh yang pengurangan tarif nominal
dipengaruhi pada input dan output. Sementara perlindungan yang efektif adalah konsep yang
dibangun dengan baik dalam ilmu ekonomi, dalam praktek perhatian program pengurangan
tariff program adalah semua terlalu sering terfokus pada tingkat tariff nominal. Salah satu
cara sederhana memastikan bahwa konsekuensi yang tidak diharapkan akan mengurangi
semua tarif harga nominal dengan proporsi yang sama kapan tarif tersebut perlu diubah.
Perhatian kedua pengurangan tarif nominal adalah kemungkinan hilangnya pendapatan
jangka pendek mereka mungkin perlukan. di sini, strategi harus relatif jelas, dan harus
melibatkan tiga langkah kompensasi yang dipertimbangkan dalam urutan: (1) mengurangi
lingkup pengecualian tarif di sistem yang ada; (2) kompensasi untuk pengurangan tarif pada
impor yang dikenakan cukai dengan peningkatan yang sepadan dalam tariff cukai mereka
tingkat, dan akhirnya (3) menyesuaikan tingkat pajak konsumsi umum (seperti sebagai PPN)
untuk memenuhi sisa penerimaan yang dibutuhkan.
Insentif Pajak
Pemberian insentif perpajakan sering ditujukan untuk menarik investasi baru missal seperti
dorongan investasi dalam area yang kurang berkembang, atau mengecilkan investasi di area
yang ramai. Namun hal ini juga memberikan kekhawatira akan adanya tambahan biaya yang
harus dikeluarkan negara (misalnya, insentif pajak dapat disalahgunakan oleh perusahaan
yang sudah ada menyamar sebagai kontrak baru melalui reorganisasi nominal). Untuk
investor asing, target utama dari insentif pajak dalam Negara berkembang adalah keputusan
untuk memasuki sebuah negara yang biasanya akan tergantung pada seluruh faktor, antara
lain yang ketersediaan insentif pajak, namun ini tidak menjadi hal yang penting bagi mereka.
Keberadaan sumber daya alam , stabilitas politik dan ekonomi, transparansi hukum dan
peraturan sistem, serta tersedianya institusi pendukung (misalnya, perbankan, transportasi,
komunikasi, dan infrastruktur lainnya fasilitas), kemudahan repatriasi/pengembalian
keuntungan, dan ekonomi dan tenaga kerja yang terampil, biasanya jauh lebih menentukan
daripada pertimbangan pajak dalam menentukan lokasi investasi yang cocok. Jika faktor-
faktor yang menguntungkan, dan sistem pajak negara sejalan dengan norma-norma
internasional, maka insentif pajak akan memainkan peran pada margin dalam mempengaruhi
keputusan investor . Insentif pajak juga bisa menjadi nilai yang dapat dipertanyakan kepada
investor asing karena manfaat yang sebenarnya dari insentif dapat tidak menjadi perhatian
investor yang bersangkutan, melainkan perbendaharaan negara asalnya. Hal ini muncul
karena penghasilan apapun yang terhindar dari pajak oleh negara tuan rumah dapat dikenakan
pajak oleh Negara asal investor jika sistem pajak yang terakhir ini didasarkan pada prinsip
asal (yakni, insentif bisa mengurangi jumlah kredit pajak yang tersedia untuk investor),
kecuali klausa penghindaran pajak termasuk dalam perjanjian bilateral pajak berganda. Saat
ini, banyak negara maju semakin enggan untuk memberikan treaties/pengecualian.
Tax Holiday dan pengurangan Tarif Pajak
Dari semua berbagai bentuk insentif pajak, tax holiday adalah yang paling populer di negara-
negara berkembang. Sementara diakui sederhana untuk mengelola, mereka memiliki banyak
kekurangan , bahkan meskipun bersama untuk beberapa derajat jenis insentif lainnya,
terutama: (1) dengan membebaskan keuntungan terlepas jumlah mereka, tax holiday
cenderung memberikan manfaat kepada investor yang mengharapkan keuntungan yang tinggi
dan akan dilakukan yang investasi bahkan jika tidak ada insentif yang diberikan; (2) liburan
pajak memberikan insentif yang kuat untuk menghindari pajak, sebagai perusahaan yang
dipajaki bisa masuk ke dalam hubungan ekonomi dengan perusahaan yang dikecualikan
untuk menggeser keuntungan kepada perusahaan tersebut melalui transfer pricing; (3) durasi
liburan pajak, bahkan jika secara resmi terikat waktu, rawan terhadap penyalahgunaan dan
pengembangan oleh investor melalui pendesainan kembali investasi yang ada sebagai
investasi baru (misalnya, menutup dan restart proyek yang sama dengan nama yang berbeda
tetapi dengan kepemilikan yang sama); (4) tax holiday yang terikat waktu cenderung menarik
proyek jangka pendek, yang biasanya tidak bermanfaat bagi ekonomi. Yang terakhir ini
mungkin menjadi menguntungkan hanya menjelang akhir liburan dan, karenanya, dapat
menggunakan sedikit seperti liburan bahkan jika kerugian dapat dilakukan ke depan
melampaui masa liburan (jika kerugian tidak diperbolehkan untuk dibawa maju ke periode
pasca-liburan, liburan pajak bisa, dalam kondisi tertentu, menjadi disinsentif untuk
investment, dan (5) biaya pendapatan untuk anggaran jarang transparan, kecuali perusahaan
yang menikmati taxholiday masih diperlukan untuk file tepat penembalian pajak, dalam hal
administrasi sumber daya harus ditujukan untuk kegiatan yang menghasilkan pendapatan
yang kecil/nirlaba, dan sering kali manfaat dari liburan pajak akan ditiadakan:
memungkinkan investor untuk tidak berurusan dengan otoritas pajak.
Tunjangan Investasi dan kredit pajak
Dibandingkan dengan tax holiday , insenive pajak ini memiliki sejumlah keunggulan.
Mereka, misalnya, instrument penargetan jauh lebih baik dari tax holiday untuk
mempromosikan jenis investasi tertentu, dan biaya pendapatan mereka jauh lebih transparan
dan lebih mudah untuk dikontrol. Sebuah cara khusus yang sederhana dan efektif mengelola
sistem kredit pajak adalah sebagai berikut. Setelah jumlah kredit pajak untuk diberikan pada
sebuah perusahaan yang berkualitas ditentukan, maka akan "disetor" ke akun pajak khusus
(disimpan hanya di perusahaan wajib pajak) dalam bentuk entri pembukuan.
Perusahaan kualifikasi untuk insentif ini akan sama dalam segala hal diperlakukan seperti
wajib pajak biasa, oleh karena itu, tunduk pada semua ketentuan pajak yang berlaku dan,
termasuk perhitunga keuntungan kena pajak dan persyaratan dalam pengembalian pajak.
Perbedaan hanya bahwa pendapatan kewajiban pajak akan dibayar dari kredit "ditarik" dari
akun pajak perusahaan sampai saldo berkurang ke nol. Jika diinginkan, seperti rekening pajak
dapat ditutup setelah jangka waktu tertentu. (misalnya, ketentuan matahari terbenam
terpasang ke account), sehingga semua kredit pajak yang dapat dikompensasi hanya diizinkan
untuk berakhir. Dengan cara ini, informasi tentang total pendapatan periode terdahulu atas
setiap insentif yang diberikan tersedia setiap saat. Selanjutnya, sebagai jumlah kredit pajak
diberikan kepada perusahaan yang memenuhi syarat dikenal dengan kepastian di muka, ini
dapat dengan mudah termasuk dalam anggaran sebagai pengeluaran pajak dan tunduk pada
pengawasan yang sama seperti jenis pengeluaran lainnya dalam proses anggaran , sehingga
mencapai tingkat tinggi transparansi. Pengakuan secara eksplisit atas pengeluaran pajak
adalah praktek yang dapat ditemukan dalam peningkatan jumlah Negara berkembang dan
Negara maju, dan sangat dapat memfasilitasi dalam peninjauan oleh pembuat kebijakan dari
efektivitas-biaya dari insentif pajak. Ada dua kelemahan menonjol terkait dengan tunjangan
investasi atau kredit pajak. Pertama, insentif ini cenderung mendistorsi pilihan aset modal
berumur pendek yang, sejak penyisihan lanjut atau kredit menjadi tersedia setiap waktu untuk
mengganti aset. Kedua, perusahaan berkualitas dapat mencoba untuk penyalahgunaan sistem
dengan menjual dan membeli aset yang sama untuk mengklaim tunjangan atau kredit pajak
ganda, atau dengan bertindak sebagai agen pembeli untuk perusahaan tidak memenuhi syarat
untuk menerima insentif. Oleh karena itu, perlindungan harus dibangun seperti sistem insentif
untuk meminimalkan bahaya ini, misalnya, dengan menetapkan holding period minimum
untuk aset yang memiliki yang telah diberikan insentif.
Percepatan penyusutan
Menyediakan insentif pajak dalam bentuk penyusutan yang dipercepat memiliki sedikit
kekurangan terkait dengan liburan pajak dan semua kebaikan yang terkait dengan investasi
tunjangan / kredit pajak- dan mengatasi kelemahan yang terakhir untuk menghilangkan.
Karena hanya mempercepat depresiasi aset tidak akan meningkatkan total nominal depresiasi
aset yang diijinkan melampaui biaya aslinya, sedikit distorsi mendukung dihasilkannya asset
jangka pendek dan juga tidak ada banyak insentif bagi perusahaan yang terlibat dalam
penyalahgunaan pajak yang berhubungan dengan investasi tunjangan / kredit pajak semacam
itu.
Dibandingkan dengan jenis lain dari insentif pajak, penyusutan yang dipercepat memiliki dua
tambahan manfaat. Pertama, umumnya paling mahal, karena pendapatan yang hilang (relatif
terhadap tidak ada percepatan) di tahun-tahun awal di setidaknya sebagian ditemukan di
tahun berikutnya dalam umur ekonomis suatu aset. Kedua, jika percepatan diberikan hanya
sementara,maka bisa (semua hal lainnya sama) mendorong lonjakan d jangka pendek
signifikan dalam investasi, karena investor cenderung untuk membawa rencana investasi
maju untuk masa depan untuk mengambil keuntungan dari insentif.
Investasi subsidi
Sementara subsidi investasi membagi beberapa dari manfaat tunjangan investasi / kredit
pajak, seperti kemudahan penargetan, mereka biasanya cukup bermasalah, dengan ini bahkan
mereka melakukan resiko pendapatan yang lebih serius dalam anggarannya daripada liburan
pajak. Mereka melibatkan pengeluaran diluar anggaran oleh pemerintah di depan, dan mereka
mendapat manfaat yang tidak berkesinambungan atas investasi sebanyak mungkin
keuntungan. Sebaliknya, jenis-jenis insentif pajak pendapatan hanya bernilai untuk yang
terakhir. Oleh karena itu, penggunaan investasi subsidi jarang dianjurkan.
Insentif pajak tidak langsung
Insentif pajak tidak langsung sangat rentan terhadap penyalahgunaan, seperti pembelian yang
berkualitas dapat dengan mudah dialihkan ke pembeli yang tidak diinginkan untuk menerima
insentif. Mereka juga sulit untuk membenarkan atas dasar kebijakan, kecuali dalam keadaan
yang sangat terbatas. Membebaskan bahan baku dan barang modal dari PPN, misalnya, akan
membuat sedikit perbedaan dengan beban pajak ultimat/keseluruhan perusahaan yang
bersangkutan, karena PPN pembelian seperti biasanya dapat dikreditkan. Jika tujuan insentif
tersebut hanya untuk meringankan perusahaan dari arus kas beban PPN perusahaan, maka
lebih baik solusi pasti akan berada di tempat lain, terutama dalam memberikan dengan
meminta pengembalian uang PPN. Membebaskan barang modal dan bahan baku digunakan
untuk menghasilkan ekspor dari tarif impor agak lebih dibenarkan, seperti menghapus bea
masuk yang melekat dalam isi barang ekspor melalui mekanisme pengurangan bea masuk
standar tanpa terkecuali adalah kompleks dan tidak tepat. kesulitan dengan pembebasan ini
Tentu saja terletak, dalam memastikan bahwa pembelian yang dikecualikan sebenarnya akan
digunakan sebagai yang dimaksudkan dari pemberian insentif. Banyak Negara telah berusaha
untuk memecahkan masalah ini dengan membangun zona produksi ekspor khusus
/pengolahan yang batas-batas yang dijamin dengan kontrol bea cukai. Impor barang modal
dan bahan baku ke dalam zona ini bebas dari tarif impor, namun tariff dikenakan pada semua
ekspor dari zona ini keseluruh negara tujuan.