kecap ikan int
TRANSCRIPT
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan mempunyai nilai protein tinggi dan kandungan lemaknya rendah sehingga banyak
memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh manusia. Pengolahan ikan dengan berbagai
cara dan rasa menyebabkan orang mengkonsumsi ikan lebih banyak. Pengolahan ikan
bermanfaat untuk memperbaiki bau (odor), cita rasa (flavour), penampakan
(appearance), dan tekstur (texture) daging. Selain itu juga mampu memperpanjang
umur simpan (Iskandar, 1995). Dan kecap ikan merupakan salah satu contoh produk
dari proses hidrolisis ikan yang cairannya bersih berwarna coklat dari hasil hidrolisis
ikan. Dua bahan utama dalam pembuatan kecap ikan adalah ikan dan garam. Rasio yang
digunakan berbeda-beda tetapi pada umunya 1:6 hingga 1:2 (Lopetcharat & Park,
2002).
Menurut pendapat dari Astawan & Astawan (1988), kecap ikan adalah produk hasil
hidrolisa ikan (baik secara fermentasi atau garam, enzimatis maupun kimiawi) yang
berbentuk cair dan berwarna coklat jernih. Produk ini sangat terkenal di daerah Asia
Tenggara, Asia Selatan dan Eropa. Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan bahwa
kecap ikan merupakan salah satu produk perikanan tradisional yang diolah dengan cara
fermentasi dan telah dikenal sejak lama. Kecap ikan sangat digemari oleh masyarakat
karena selain rasanya gurih, pembuatannya juga mudah dan murah.
Berbagai produk olahan dengan bahan dasar ikan sudah sering sekali ditemui. Namun
tidak semua atau seluruh bagian dari ikan dapat dimakan. Umumnya bagian yang dapat
dimakan hanya ada sekitar 70%. Bagian kepala, ekor, sirip dan isi perut semua dibuang
atau diolah menjadi produk lain (Iskandar, 1995). Hampir semua tubuh ikan dapat
diolah menjadi kecap. Selain itu, limbah ikan seperti insang dan isi perut ikan juga dapat
digunakan sebagai bahan baku kecap ikan. Akan tetapi yang paling umum diolah
menjadi kecap ikan adalah ikan-ikan berukuran kecil seperti tembang, japuh, selar, teri,
pepetek maupun ikan air tawar seperti nilam, sriwet, jempang, seluang, butuh dan ikan-
ikan kecil lainnya. Untuk menghasilkan kecap dengan rasa khusus, dapat digunakan
ikan yang khusus pula (Astawan & Astawan, 1991).
1
Pada pengolahan manufaktur, kepala dan isi perut ikan adalah limbah. Limbah ini
mengambil bagian yang cukup besar dari keseluruhan porsi ikan. Kepala dan isi perut
ikan ini dapat diolah menjadi produk kecap ikan. Dan dalam praktikum ini, bahan ikan
yang digunakan adalah kepala dan isi perut ikan. Pembuatan kecap ikan secara
fermentasi dapat dilakukan dengan melakukan penambahan garam, dalam bentuk
larutan garam. Bagian tubuh ikan dicampur dengan larutan garam dan dibiarkan
melakukan fermentasi. Selain secara fermentasi atau garam, bisa juga dilakukan dengan
cara enzimatis maupun kimiawi (Afrianto & Liviawaty, 1989).
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui tahapan proses pembuatan kecap
dari tulang dan sirip sisa praktikum pemisahan serat ikan, untuk mengetahui faktor-
faktor keberhasilan pembuatan kecap. Selain itu juga bertujuan untuk mengetahui
perbedaan warna, rasa, dan aroma dari kecap ikan yang diberi perlakuan penambahan
papain dalam berbagai konsentrasi.
1.3. Manfaat Praktikum
Manfaat dari praktikum ini adalah untuk memanfaatkan limbah tulang dan sirip ikan
agar menjadi produk yang dapat digunakan lagi dan agar praktikan mengetahui
perlakuan yang paling efektif untuk menghasilkan kecap ikan kualitas terbaik dengan
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Menurut Rasyid
(2006) pembuatan kecap yang dilakukan secara tradisional memerlukan waktu yang
lama 2- 4 bulan, oleh karena itu dengan adanya penambahan enzim dapat mempercepat
terjadinya fermentasi, enzim yang digunakan pada praktikum ini adalah enzim papain
yang merupakan enzim proteolitik. Penambahan garam dapat memberi efek pengawetan
karena garam juga mampu untuk menurunkan aw, menurunkan kelarutan oksigen, serta
mengganggu keseimbangan ionik sel mikroorganisme karena terjadi peningkatan proton
di dalam sel (Desrosier & Desrosier, 1977).
Bumbu yang digunakan pada pembuatan kecap ikan bertujuan untuk menambah aroma
dan cita rasa, selain itu jua bersifat sebagai antimikrobia (Fachruddin, 1997).
Penambahan gula jawa mengakibatkan warna coklat karamel dan viskositasnya naik
2
sehingga kecap tradisional memiliki sifat kekentalan yang spesifik. Selain itu juga
terjadi pembentukan warna yang disebabkan oleh reaksi pencoklatan antara beberapa
komponen pembentuk citarasa dan gula. Pada dasarnya warna coklat pada saat
fermentasi kurang bisa nampak hanya bisa nampak atau makin menguat pada saat
pemasakan karena bertemu dengan panas yang tinggi (Kasmidjo, 1990). Menurut Budi
(1994), peran bawang putih sendiri adalah berfungsi meningkatkan citarasa makanan
dan mencegah pembusukan makanan.
Enzim papain yang digunakan merupakan enzim protease yang digunakan untuk
menghidrolisis protein, di mana enzim protease memiliki kemampuan untuk memecah
ikatan peptida pada suatu substrat di bawah kondisi yang memungkinkan. Peristiwa ini
disebut juga dengan aktivitas proteolitik. Tingkat hidrolisis yang tinggi memungkinkan
menghasilkan beberapa asam amino bebas, tetapi angka ikatan peptida pada rantai
peptida yang panjang akan berkurang. Enzim protease mampu menguraikan protein
menjadi beberapa komponen seperti peptida, pepton dan asam amino yang saling
berinteraksi menciptakan rasa yang khas. Kandungan gizi utama kecap ikan adalah
protein terhidrolisa, senyawa nitrogen terlarut dan mineral dalam bentuk garam
terutama natrium, kalsium dan iodium (Lay, 1994).
3
2. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, bekker glass,
panci, kain saring, kompor, dan pengaduk kayu.
2.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan laut (ikan kakap), enzim
papain, air, garam, gula jawa, dan bawang putih.
2.2. Metode
---- sensori warna filtrat
4
ikan kakap bukan daging
Dihancurkan dan diambil 50 g
Ditambah garam 50 gram dan enzim papain (0,2% (kel D1); 0,4% (kel D2);
0,6% (kel D3); 0,8% (kel D4); 1%(kel D5))
Dimasukkan dalam wadah fermentasi (bekker glass)
Ditutup rapat dengan kain saring dan diinkubasi 3 hari pada suhu ruang
Disaring (filtrat I)
Ampas ditambah air 250 ml
Disaring (filtrat II)
---- sensori rasa dan aroma
5
Dipanaskan dan ditambah bumbu selama + 30 menit pemanasan
Ditunggu sampai agak dingin
Disaring
3. HASIL PENGAMATAN
Data hasil pengamatan sensori kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Sensori Kecap IkanKelompok Perlakuan Warna Rasa Aroma
D1 Papain 0,2 % +++ ++++ ++++D2 Papain 0,4% +++++ ++ +D3 Papain 0,6% ++++ +++ +++D4 Papain 0,8% ++ + +++++D5 Papain 1% + +++++ ++
Keterangan:Warna: Rasa dan aroma:+++++ : jernih +++++ : sangat kuat++++ : agak jernih ++++ : kuat+++ : agak keruh +++ : agak lemah++ : keruh ++ : lemah+ : sangat keruh + : sangat lemah
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa pada kelompok D1 yang menggunakan perlakuan
papain 0,2%, warna kecap ikan yang dihasilkan adalah agak keruh sedangkan rasa dan
aroma kecap ikan yang dihasilkan kuat. Pada kelompok D2 yang menggunakan
perlakuan papain 0,4%, warna kecap ikan yang dihasilkan adalah jernih, rasa kecap ikan
yang dihasilkan lemah, dan aromanya sangat lemah. Pada kelompok D3 yang
menggunakan perlakuan papain 0,6%, warna kecap ikan yang dihasilkan adalah agak
jernih sedangkan rasa dan aroma kecap ikan yang dihasilkan agak lemah. Pada
kelompok D4 yang menggunakan perlakuan papain 0,8%, warna kecap ikan yang
dihasilkan adalah keruh, rasa kecap ikan yang dihasilkan sangat lemah, dan aromanya
sangat kuat. Pada kelompok D5 yang menggunakan perlakuan papain 1%, warna kecap
ikan yang dihasilkan adalah sangat keruh, rasa kecap ikan yang dihasilkan sangat kuat,
dan aromanya lemah. Selain itu, dapat dilihat bahwa dari segi warna, kecap ikan yang
diberi perlakuan papain 0,4% memiliki warna yang paling jernih sedangkan kecap ikan
yang diberi perlakuan papain 1% memiliki warna yang paling keruh. Dari segi rasa,
kecap ikan yang diberi perlakuan papain 1% memiliki rasa yang paling kuat sedangkan
kecap ikan yang diberi perlakuan papain 0,8% memiliki rasa yang paling lemah. Dari
segi aroma, kecap ikan yang diberi perlakuan papain 0,8% memiliki aroma yang paling
kuat sedangkan kecap ikan yang diberi perlakuan papain 0,4% memiliki aroma yang
paling lemah.
6
Gambar 1. Diagram Analisa Sensori Kecap Ikan
Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa dari segi warna, kecap ikan yang diberi
perlakuan papain 0,4% memiliki warna yang paling jernih sedangkan kecap ikan yang
diberi perlakuan papain 1% memiliki warna yang paling keruh. Dari segi rasa, kecap
ikan yang diberi perlakuan papain 1% memiliki rasa yang paling kuat sedangkan kecap
ikan yang diberi perlakuan papain 0,8% memiliki rasa yang paling lemah. Dari segi
aroma, kecap ikan yang diberi perlakuan papain 0,8% memiliki aroma yang paling kuat
sedangkan kecap ikan yang diberi perlakuan papain 0,4% memiliki aroma yang paling
lemah.
7
4. PEMBAHASAN
Ikan merupakan sumber protein hewani yang relatif murah dan bernilai gizi tinggi yang
bersifat cepat membusuk baik secara autolisis, biokemis, dan mikrobiologis. Ikan dapat
diawetkan secara tradisional, yaitu dengan cara pengeringan/penggaraman,
pemindangan, pengasapan, dan fermentasi (peda, kecap ikan, dan terasi) (Deswati &
Armaini, 2004). Pada praktikum kali ini, kita akan membahas mengenai salah satu hasil
olahan fermentasi dari ikan yaitu kecap asin. Menurut pendapat dari Iskandar (1995),
tujuan dari pemanfaatan hasil laut seperti ikan kakap pada praktikum kali ini untuk
memperbaiki bau (odor), cita rasa ( flavour), penampakan (appearance), dan tekstur
(texture) daging. Selain itu juga mampu memperpanjang umur simpan. Menurut Irawan
(1994), tidak semua atau seluruh bagian dari ikan dapat dimakan. Umumnya bagian
yang dapat dimakan hanya ada sekitar 70%. Bagian kepala, ekor, sirip dan isi perutnya
semuanya dibuang atau diolah menjadi produk lain misalnya dengan memuat flavor cair
dari kepala udang, dibuat kecap ikan.
Kecap merupakan cairan yang berwarna coklat tua dengan aroma yang tertentu dan
biasa digunakan untuk masakan oriental. Proses pengolahan merupakan sebuah proses
fermentasi yang kompleks di mana karbohidrat difermentasi menjadi alkohol dan asam
laktat. Sedangkan protein diuraikan menjadi peptida dan asam amino. Warna coklat
dihasilkan dari proses pematangan 6-8 bulan. Sifat dari kecap adalah mudah dicerna dan
diabsorbsi oleh tubuh manusia, karena komposisinya merupakan komponen yang
mempunyai berat molekul rendah. Sifat pelarutan dalam air mencapai 90% dengan rasio
nitrogen amino dan nitrogen total sebesar 45%. Senyawa protein terutama dalam bentuk
peptida-peptida sederhana dan asam-asam amino. Kandungan gizi utama kecap ikan
adalah protein terhidrolisa, senyawa nitrogen terlarut dan mineral dalam bentuk garam
terutama natrium, kalsium dan iodium (Kasmidjo, 1990).
Menurut Lopetcharat & Park (2002), kecap ikan adalah cairan bersih bewarna coklat
dari hasil hidrolisis ikan. Kecap ikan diperdagangkan dengan berbagai nama, misal
nampla di Thailand, nouc-mam di Vietnam, patis di Filipina, shottsiri di Jepang, dan
aek-jeot di Korea. Dua bahan utama dalam pembuatan kecap ikan adalah ikan dan
8
garam. Rasio yang digunakan berbeda-beda tetapi pada umunya 1:6 hingga 1:2. Kondisi
fermentasi dalam pembuatan kecap ikan pacific whiting (Merluccius prodictus) adalah
pada kadar garam 25% dan suhu 50oC. Bahan yang digunakan pada praktikum adalah
ikan kakap yang segar agar kecap yang dihasilkan juga memiliki kualitas yang baik.
Menurut Astawan & Astawan (1991), bila ikan yang digunakan untuk membuat kecap
tidak segar maka kandungan asam amino kecap ikan akan menjadi rendah.
Praktikum ini dimulai dengan bagian yang digunakan untuk pembuatan kecap adalah
bagian tulang, kepala, kulit, dan ekor, dihaluskan dan ditimbang sebanyak 50 gram dan
kemudian dimasukkan ke dalam wadah fermentasi. Penghancuran bahan daging ini
bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan bahan. Hal ini sesuai dengan pendapat
dari Saleh et al. (1996), penghancuran menyebabkan permukaan bahan menjadi
semakin luas sehingga rasio luas permukaan terhadap volume bahan semakin tinggi,
sehingga kemampuan untuk melepas komponen flavornya semakin besar. Senyawa -
senyawa pembentuk flavor biasanya terdistribusi pada bahan yang sebagian terikat
dalam bentuk ikatan dengan lemak, protein atau air, sehingga memerlukan perlakuan
awal seperti penghancuran bahan.
Setelah itu ditambah dengan enzim papain dengan konsentrasi 0,2% (kelompok D1);
0,4% (kelompok D2); 0,6% (kelompok D3); 0,8% (kelompok D4); 1% (kelompok D5)
serta 50 gram garam yang kemudian diinkubasi selama 3 hari dan dalam keadaan
tertutup pada suhu ruang. Selama inkubasi wadah harus dalam keadaan tertutup agar
dapat menciptakan kondisi anaerob sehingga proses fermentasi berjalan lebih cepat serta
untuk mencegah adanya kontaminan (kotoran) yang masuk. Pada dasarnya, fermentasi
adalah suatu proses penguraian senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam
tubuh ikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana oleh enzim atau fermen
yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri atau dari mikroorganisme dan berlangsung
dalam kondisi lingkungan yang terkontrol.
Menurut Astawan & Astawan (1988), proses fermentasi pada pembuatan kecap adalah
1-3 hari. Bila fermentasi terlalu cepat, maka enzim yang dihasilkan oleh kapang tidak
akan menghasilkan komponen - komponen yang dapat menimbulkan reaksi penting,
9
karena terlalu sedikit. Sebaliknya makin lama waktu fermentasi akan semakin banyak
dihasilkan enzim sehingga cita rasa yang dihasilkan menjadi kurang baik. Suhu saat
inkubasi juga harus dijaga pada suhu ruang. Apabila suhu terlalu tinggi, enzim akan
mengalami denaturasi karena enzim merupakan salah satu protein. Hal ini sesuai
pendapat dari Gaman & Sherrington (1994), enzim memiliki suhu optimum yaitu
sekitar 18 0 - 23 0C atau maksimal 40 0C karena pada suhu 45 0C enzim akan
terdenaturasi karena merupakan salah satu bentuk protein.
Enzim papain yang digunakan merupakan enzim protease. Menurut Lay (1994),
protease merupakan enzim yang digunakan untuk menghidrolisis protein, di mana
enzim protease memiliki kemampuan untuk memecah ikatan peptida pada suatu substrat
di bawah kondisi yang memungkinkan. Peristiwa ini disebut juga dengan aktivitas
proteolitik. Tingkat hidrolisis yang tinggi memungkinkan menghasilkan beberapa asam
amino bebas, tetapi angka ikatan peptida pada rantai peptida yang panjang akan
berkurang. Enzim protease mampu menguraikan protein menjadi beberapa komponen
seperti peptida, pepton dan asam amino yang saling berinteraksi menciptakan rasa yang
khas. Penambahan garam dilakukan untuk memberi rasa asin, memberi efek
pengawetan dan menguatkan rasa. Penambahan garam dapat memberi efek pengawetan
karena garam juga mampu untuk menurunkan aw, menurunkan kelarutan oksigen, serta
mengganggu keseimbangan ionik sel mikroorganisme karena terjadi peningkatan proton
di dalam sel (Desrosier & Desrosier, 1977).
Hasil dari fermentasi tersebut disaring menggunakan kain saring dan filtrat yang
diperoleh direbus hingga mendidih selama 30 menit. Menurut Fachruddin (1997),
penyaringan dilakukan dengan tujuan agar cairan hasil fermentasi tersebut bebas dari
kotoran. Selama perebusan tersebut dilakukan penambahan bumbu-bumbu yang telah
dihaluskan (50 gram bawang putih, 50 gram garam, 1 butir gula jawa), selanjutnya
setelah mendidih kemudian dilakukan penyaringan kedua.
Bumbu digunakan untuk menambah aroma dan cita rasa. Bumbu-bumbu tersebut dapat
berfungsi sebagai pengawet, karena bawang putih mengandung zat allicin yang efektif
membunuh bakteri, sehingga bersifat antimikrobia (Fachruddin, 1997). Selain itu,
10
menurut Astawan & Astawan (1991), penggunaan gula jawa tersebut mengakibatkan
warna coklat karamel dan viskositasnya naik sehingga kecap tradisional memiliki sifat
kekentalan yang spesifik. Selain itu juga terjadi pembentukan warna yang disebabkan
oleh reaksi pencoklatan antara beberapa komponen pembentuk citarasa dan gula. Warna
coklat pada kecap bisa juga muncul karena reaksi browning pada saat pemasakan yang
mengakibatkan gula dan komponen cita rasa lainnya bereaksi satu sama lain serta
bereaksi dengan panas yang juga mengakibatkan karamelisasi pada gula. Pada dasarnya
warna coklat pada saat fermentasi kurang bisa nampak hanya bisa nampak atau makin
menguat pada saat pemasakan karena bertemu dengan panas yang tinggi (Kasmidjo,
1990). Reaksi Maillard ini merupakan reaksi yang terjadi antara gugus-gugus asam
amino yang terkandung dalam daging ikan dengan gula pereduksi yang terkandung
dalam gula jawa, sehingga menyebabkan timbulnya warna coklat (Lees & Jackson,
1973)
Dari hasil pengamatan didapatkan data-data yang berbeda pada setiap perlakuan. Bila
dilihat dari segi warna, papain sebesar 0,2% oleh kelompok D1 menghasilkan warna
coklat agak keruh (+++), papain 0,4% oleh kelompok D2 menghasilkan warna coklat
jernih. Pada perlakuan ketiga dengan 0,6% papain menghasilkan warna coklat agak
jernih. Sedangkan pada dua perlakuan terakhir dengan kadar papain 0,8% dan 1%
menghasilkan warna coklat keruh dan coklat sangat keruh. Hal ini sudah cukup sesuai
dengan apa yang disebutkan oleh Afrianto & Liviawaty (1989), kecap ikan berwarna
kekuningan sampai coklat muda, dan banyak mengandung senyawa nitrogen. Selain itu,
semakin banyak enzim yang digunakan maka warna kecap ikan akan semakin tua.
Namun, tetap ada hasil yang kurang sesuai yaitu pada kelompok D1 dan D2 di mana
seharusnya warna coklat pada D1 lebih muda/ lebih jernih dikarenakan enzim papain
yang ditambahkan lebih sedikit. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penambahan
gula jawa sehingga warna yang dihasilkan lebih coklat ataupun penggunaan panas atau
lamanya pemanasan yang berbeda sehingga warna coklat dari reaksi karamelisasi yang
dihasilkan berbeda. Peppler & Perlman (1979) menambahkan pada umumnya kecap
berwarna coklat kehitaman yang pada prinsipnya warna kecap yang dihasilkan ini
disebabkan karena adanya penambahan bumbu-bumbu saat pemasakan, khususnya gula
kelapa/jawa.
11
Pengujian sensori selanjutnya adalah rasa dari kecap asin. Rasa yang dilihat adalah
berasa ikan atau tidak. Dari data yang didapat, pada penambahan papain sebesar 0,2%
oleh kelompok D1 menghasilkan rasa ikan yang kuat, papain 0,4% oleh kelompok D2
menghasilkan rasa ikan yang lemah. Pada perlakuan ketiga dengan 0,6% papain
menghasilkan rasa ikan agak lemah. Sedangkan pada dua perlakuan terakhir dengan
kadar papain 0,8% dan 1% menghasilkan rasa ikan sangat lemah dan sangat kuat. Hasil
yang diperoleh kurang sesuai dengan pustaka yang ada. Semakin banyak kandungan
papain, maka rasa yang dihasilkan seharusnya tidak berbau ikan. Menurut pendapat dari
Afrianto & Liviawaty (1989), hal ini terjadi karena dalam proses penguraian protein
dengan bantuan enzim bromelin dan papain terbentuk senyawa peptida tertentu yang
dapat menimbulkan rasa pahit dan bau kurang sedap. Selain itu, penambahan ekstrak
buah pepaya akan semakin menutupi rasa asli dari kecap ikan. Selain itu, rasa kecap
ikan juga dipengaruhi penambahan bumbu atau rempah-rempah lainnya yang berfungsi
untuk meningkatkan aroma dan cita rasa pada produk akhir yang dihasilkan (Astawan &
Astawan, 1991).
Untuk pengujian sensori aroma didapatkan, pada penambahan papain sebesar 0,2% oleh
kelompok D1 menghasilkan aroma ikan yang kuat, papain 0,4% oleh kelompok D2
menghasilkan aroma ikan yang sangat lemah. Pada perlakuan ketiga dengan 0,6%
papain menghasilkan aroma ikan agak lemah. Sedangkan pada dua perlakuan terakhir
dengan kadar papain 0,8% dan 1% menghasilkan aroma ikan sangat kuat dan lemah.
Hasil yang diperoleh masih kurang sesuai dengan pustaka yang ada. Semakin banyak
kandungan papain, seharusnya aroma yang dihasilkan yaitu amis tidak semakin tajam.
Menurut Astawan & Astawan (1988), adanya jumlah enzim papain yang besar, maka
kemampuan enzim tersebut untuk memecah protein yang ada pada daging ikan juga
akan lebih besar sehingga proses fermentasi akan berjalan dengan lebih sempurna.
Penyimpangan yang terjadi dapat disebabkan beberapa hal, salah satunya adalah
kandungan garam. Sesuai pendapat dari Gaman & Sherrington (1994), garam bisa
mengikat air sehingga kelarutan enzim sebagai protein akan berkurang dan selanjutnya
kompleks enzim substrat sulit terbentuk.
12
Secara umum, proses fermentasi secara enzimatis dalam pembuatan kecap memang
berlangsung lebih cepat. Hal ini dikarenakan adanya enzim proteolitik seperti enzim
papain. Dengan fermentasi cara ini waktu yang dibutuhkan jauh lebih singkat dengan
nilai protein yang lebih tinggi. Akan tetapi kecap ikan yang dibuat dengan cara ini
mempunyai aroma dan cita rasa yang masih kurang disukai masyarakat yang telah
terbiasa mengkonsumsi kecap ikan secara fermentasi dengan garam (Astawan &
Astawan, 1988). Selain itu, permasalahan waktu bisa menjadi kekurangan proses ini.
Bila fermentasi terlalu cepat, maka enzim yang dihasilkan oleh kapang tidak akan
menghasilkan komponen - komponen yang dapat menimbulkan reaksi penting, karena
terlalu sedikit. Sebaliknya makin lama waktu fermentasi akan semakin banyak
dihasilkan enzim sehingga cita rasa yang dihasilkan menjadi kurang baik.
Selain metode dengan enzimatis, adapun fermentasi kecap asin dengan penggunaan
garam. Menurut pendapat dari Astawan & Astawan (1988) prinsipnya adalah penarikan
komponen - komponen ikan terutama protein oleh garam. Garam dalam jumlah yang
tinggi akan mempunyai tekanan osmotik yang tinggi, sehingga dapat menarik air dari
dalam tubuh ikan untuk keluar. Air yang keluar dari dalam tubuh ikan sudah barang
tentu sarat akan gizi seperti protein dan mineral. Adanya garam dalam dosis tinggi juga
akan melindungi ikan dari pencemaran oleh lalat, serangan belatung dan pembusukan
oleh bakteri pembusuk. Namun, kelemahan dari pembuatan kecap asin dengan
fermentasi dengan garam adalah waktu. Afrianto & Liviawaty (1989) menjelaskan
bahwa pembuatan kecap ikan secara fermentasi dengan menggunakan garam yang
memakan waktu berbulan – bulan.
Keberhasilan dari pembuatan kecap asin secara enzimatis dipengaruhi oleh enzim serta
penambahan bumbu-bumbu yang ada. Sesuai pendapat Muhidin (1999), daya
memecahkan molekul protein yang dimiliki papain dapat berlangsung kalau pH, suhu,
kemurnian dan konsentrasi papain berada pada kondisi yang tepat. Selain itu,
penambahan bumbu-bumbu juga harus diperhatikan. Salah satunya adalah garam.
Menurut pendapat Gaman & Sherrington (1994), garam bisa mengikat air sehingga
kelarutan enzim sebagai protein akan berkurang dan selanjutnya kompleks enzim
substrat sulit terbentuk. Hal-hal yang berpengaruh terhadap optimalisasi reaksi kondisi
13
proses produksi kecap ikan adalah suhu, konsentrasi garam, dan waktu reaksi. Semakin
tinggi temperatur, semakin singkat waktu fermentasi yang diibutuhkan. Dengan
mengurangi konsentrasi garam yang digunakan dalam proses fermentasi, protein yang
dihasilkan akan melebihi 1,5-2%. Semakin rendah kandungan garam selama proses, laju
fermentasi akan meningkat sehingga dapat meningkatkan kandungan nutrisinya
(Hjalmarsson et al, 2005).
14
5. KESIMPULAN
Tujuan dari pemanfaatan hasil laut adalah untuk memperbaiki bau (odor), cita rasa
( flavour), penampakan (appearance), dan tekstur (texture) daging.
Kecap ikan adalah cairan bersih bewarna coklat dari hasil hidrolisis ikan.
Penghancuran bahan daging bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan bahan.
Selama inkubasi wadah harus dalam keadaan tertutup agar dapat menciptakan
kondisi anaerob sehingga proses fermentasi berjalan lebih cepat serta untuk
mencegah adanya kontaminan (kotoran) yang masuk.
Enzim protease merupakan enzim yang digunakan untuk menghidrolisis protein, di
mana enzim protease memiliki kemampuan untuk memecah ikatan peptida pada
suatu substrat di bawah kondisi yang memungkinkan.
Penambahan garam dilakukan untuk memberi rasa asin, memberi efek pengawetan
dan menguatkan rasa.
Penyaringan dilakukan dengan tujuan agar cairan hasil fermentasi tersebut bebas
dari kotoran.
Reaksi Maillard merupakan reaksi yang terjadi antara gugus-gugus asam amino
yang terkandung dalam daging ikan dengan gula pereduksi yang terkandung dalam
gula jawa, sehingga menyebabkan timbulnya warna coklat.
Adanya jumlah enzim papain yang besar memungkinkan untuk memecah protein
yang ada pada daging ikan juga akan lebih besar sehingga proses fermentasi akan
berjalan dengan lebih sempurna.
Ada juga fermentasi kecap asin dengan penggunaan garam yang prinsipnya adalah
penarikan komponen - komponen ikan terutama protein oleh garam.
Keberhasilan dari pembuatan kecap asin secara enzimatis dipengaruhi oleh enzim
serta penambahan bumbu-bumbu yang ada.
Semarang, 4 Oktober 2010
Praktikan, Asisten dosen :
- Monica Riani A.
- Melissa Hapsari K.
Martha Intan B. - Fabian Praska H. P.
15
6. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. dan Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Astawan M.W. & M.W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan dan Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV.
Budi, Hieronymus. 1994. Kecap & Tauco Kedelai. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Desrosier, N. W. and Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Deswati & Armaini. (2004). Pemanfaatan Ikan Bernilai Ekonomis Rendah untuk Pembuatan Kecap Ikan di Tempat Pelelangan Ikan Gaung Kecamatan Lubuk Begalung Kota Padang. Warta Pengabdian Andalas Volume XVI Nomor 24 Juni 2010.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobilogi. UGM Press. Yogyakarta.
Hjalmarsson, Gustaf Helgi, Jae W. Park, & Kristbergsson. (2005). Seasonal Effects on The Physicochemical characteristics of Fish Sauce Made From Capelin (Mallotus villous). Food Chemistry 103 (2007) 495-504. doi:10.1016/j.foodchem.2006.08.029. http://www.elsevier.com/locate/foodchem.
Iskandar, H.M. (1995). Teori Pengolahan Makanan. Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lees, R. and E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.
16
Lopetcharat, K. and J. W. Park. (2002). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Journal of Food Science. Vol 67 No. 2.
Muhidin, D. ( 1999 ). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Peppler, H. J. & D. Perlman. (1979). Microbial Technology, Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.
Rasyid, M. J. (2006). Optimalisasi Fermentasi dengan Pemanfaatan Enzim Kulit Nanas dan Pepaya pada Pembuatan Kecap Asin Limbah Kepala Udang Windu (Panaeus monodon Fabricus). Majalah Teknik Industri Vol. 11 No. 19, hal. 1-15.
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
17
7. LAMPIRAN
7.1. Foto
Gambar 1. Proses Pemotongan Ikan. Gambar 2. Proses Penghalusan Ikan.
Gambar 3. Ikan dimasukkan dalam gelas beker. Gambar 4. Garam ditambahkan.
Gambar 5. Ikan dan garam dicampur. Gambar 6. Hasil inkubasi ikan.
18
Gambar 7. Sebelum penyaringan I. Gambar 8. Penyaringan I.
Gambar 9. Hasil Penyaringan I. Gambar 10. Penambahan air.
Gambar 11. Sebelum Penyaringan II. Gambar 12. Hasil penyaringan II.
19
Gambar 13. Pencampuran Filtrat I dan Filtrat II. Gambar 14. Bumbu-bumbu dihaluskan.
Gambar 15. Filtrat direbus. Gambar 16. Filtrat dicampur bumbu.
Gambar 17. Pemasakan kecap ikan. Gambar 18. Kecap ikan setelah dimasak.
20
Gambar 19. Penyaringan 3. Gambar 20. Hasil akhir kecap ikan.
Gambar 21. Sensori Aroma. Gambar 22. Sensori rasa.
7.2. Jurnal
7.3. Laporan Sementara
21