kecemerlangan ibnu rusyd dalam filsafat paripatetik _ ahlulbait indonesia
TRANSCRIPT
Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam Filsafat ParipatetikOleh:Ghulam Hossein Ebrahim Dinani
Sejarawan Barat dan mereka yang
memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat, menganggap bahwa
kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan filsafat
secara umum telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak
benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan semangat penentangan
terhadap filsafat. Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para arif dan
teolog membuat tidak ada lagi filosof yang muncul dari kawasan timur dunia
Islam.
Buku pemenang pertama festival tahunan buku Iran yang ke 24, tahun ini
(1385, 2007), dalam kategori filsafat Islam.
Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan
filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah,
berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani.
Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat
tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-
Kindi (185-260 H).
Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-
Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan
Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah
menganggap buku Ontologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles. Itulah
mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk
penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan
dengan filsafat-irfani Syaikh Maqtul Suhrawardi. Abu Ali Sina adalah salah
satu filosof lain yang menggabungkan aliran filsafat Paripatetik ini. Dengan
kejeniusannya, ia menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafat. Ia
juga berhasil mendidik muridnya Bahmaniyar menjadi salah satu pemikir
berbakat dalam filsafat Paripatetik.
Masa keemasan filsafat Paripatetik berada di tangan Ibnu Sina. Faktor ini
membuat filsafat menjadi faktor penentu budaya dan penentu ilmu-ilmu
yang lain. Dengan Ibnu Sina, para teolog dan arif menjadi tertantang. Para
arif, yang menganggap argumentasi falsafi bak tongkat kayu yang rapuh,
mulai kasak-kusuk untuk menjauhkan filsafat dari kaum muslimin.
Mereka mengatakan bahwa jalan terdekat dan satu-satunya cara untuk
mengenal al-Haq adalah dengan membersihkan hati dan ibadah. Filsafat
hanya akan membuat orang jauh dari jalan yang sebenarnya.
Di sisi lain, para teolog juga tidak dapat menerima filsafat. Mereka
berpendapat bahwa apa yang diungkapkan oleh para filosof muslim
bertentangan dengan al-Quran dan Hadis, bahkan Islam menolak filsafat.
Salah satu ahli teolog besar yang menetang keras filsafat adalah Abu Hamid
al-Ghazali. Ghazali yang dipengaruhi oleh pemikiran tasawwuf menyebutkan
bahwa dalam 20 pendapat Ibnu Sina bertentangan dengan Islam dan dalam
tiga pandangannya telah sampai pada batas kafir. Tiga pandangan Ibnu Sina
yang dianggap kafir oleh Ghazali adalah:
1. Keyakinan akan qidamnya alam.
2. Pengingkaran akan ilmu Allah atas obyek-obyek parsial dan kasuistik.
3. Pengingkaran terhadap hari kebangkitan manusia dengan jasad.
Setelah Ghazali, pemikir yang paling menentang filsafat adalah Fakhruddin
ar-Razi. Ia meyakini bahwa ide-ide filsafat Paripatetik dan semua terjemahan
pemikiran Yunani membuat agama menjadi kering.
Penentangan terhadap filsafat dan pembakaran buku-buku filsafat membuat
filsafat Islam mengalami kemunduran.
Sejarawan Barat dan mereka yang memandang filsafat Islam dengan kaca
mata Barat, menganggap bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur
dunia Islam menjadikan filsafat secara umum telah musnah di kawasan itu.
Sekalipun anggapan ini tidak benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan
semangat penentangan terhadap filsafat. Hebatnya penentangan yang
dilakukan oleh para arif dan teolog membuat tidak ada lagi filosof yang
muncul dari kawasan timur dunia Islam.
Ketika filsafat mengalami kemunduran di kawasan timur, muncul beberapa
filosof di kawasan Barat. Mereka adalah Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu
Rusyd. Ibnu Bajah mengkonsentrasikan ide-idenya untuk melawan tasawwuf.
Ia menganggap tasawwuf sendiri sebagai hijab dan penutup manusia dari
kebenaran. Kebalikan dari cara pandang urafa, Ibnu Bajah menganggap
satu-satunya jalan untuk mengenal adalah filsafat. Karena filsafat tidak
dicampuri oleh segala macam kelezatan fisik. Ia menambahkan bahwa
kemungkinan inilah yang membuat para filosof diasingkan oleh masyarakat
yang bodoh.
Setelah Ibnu Bajah, muncul Ibnu Thufail dengan kisah monumentalnya
Hayyu bin Yaqzhan. Kisah itu membuatnya terkenal. Dalam cerita falsafinya
itu ia berusaha untuk membuktikan bahwa manusia dengan akalnya dapat
mengenal Allah. Kemampuan itu dapat diraih sekalipun tanpa bantuan
wahyu dan Nabi. Cerita ini sangat mendapat perhatian Barat, sehingga
mereka menerjemahkannya dalam berbagai bahasa. Semua peneliti
mengetahui bahwa Daniel Defoe yang menciptakan tokoh Robinson Crusoe
benar-benar dipengaruhi oleh ide Ibnu Thufail.
Sebegitu terkenalnya kedua pemikir ini, masih di bawah bayang-bayang Abul
Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (520-595 H). Hal itu
karena pengaruh Ibnu Rusyd lebih kuat dari keduanya. Ibnu rusyd seperti
tokoh-tokoh filsafat Paripatetik lainnya, senantiasa berusaha untuk
mengharmoniskan antara filsafat dan agama. Selain itu, ia juga menulis buku
“Tahafut at-Tahafut” untuk menjawab tulisan Ghazali “Tahafut al-Falasifah”.
Dalam membela pemikiran filsafat, ia sampai pada kesimpulan bahwa hanya
filosof saja yang mengetahui rahasia-rahasia al-Quran dan yang berhak
untuk mentakwilkannya. Ibnu Rusyd menganggap bahwa kritikan Ghazali
terhadap filsafat muncul karena Ibnu Sina tidak mampu menjelaskan filsafat
sebagaimana yang dijelaskannya. Dengan itu, sebenarnya, bukan saja Ibnu
Rusyd melakukan menjawab kritikan Ghazali tapi sekaligus mengkritik ibnu
Sina.
Perbedaan ibnu Rusyd dengan farabi dan Ibnu Sina pada pengaruh ide-ide
Neo Platonisme. Ia lebih sedikit dipengaruhi oleh ide Neo Platonisme. Ia
menolak ide penciptaan dari tiada dan menetapkan keabadian materi. Ia
menulis syarah buku-buku Aristoteles yang sampai saat ini masih dikaji oleh
pengamat pikiran-pikiran Aristoteles. Begitulah William David Rush peniliti
pikiran-pikiran Aristotels dalam buku-bukunya masih mempergunakan
penjelasan Ibnu Rusyd. Dengan syarah-syarahnya atas buku Aristoteles
pemikirannya banyak di kaji di Barat. Ernest Renan menganggapnya orang
yang bebas. Sebelum menetapkan sebuah istilah ia adalah seorang yang
bebas dalam berpikir. Pengaruh Ibnu Rusyd di Barat dapat juga dilacak lewat
tulisan-tulisan pemikir Barat pada abad pertengahan yang menimbulkan
semakin luasnya ide Rasionalisme di Barat. Ironisnya, pengaruhnya di Barat
tidak sepadan dengan respon kaum muslimin di kawasan timur dunia Islam.
Pengaruh tasawwuf yang cukup kuat membuat pikiran-pikiran filsafat Ibnu
Rusyd tidak dikenal orang di sana.
Dengan penjelasan yang lebih detil, pada periode ini perjalanan filsafat
Islami ada ketaktertautan yang menganga. Di satu sisi, Ibnu Rusyd tidak
dikenal oleh kaum muslimin dan di sisi lain, dengan meninggalnya ibnu
Rusyd Barat menganggap filsafat islam telah tutup mata dan musnah.
Akhirnya, filosof seperti Suhrawardi, Khajah Nashiruddin at-Thusi, Mir Damad
dan Mulla Shadra tidak dikenal.
Buku “Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik” (Derakhshesh-e
Ibnu Rusyd Dar Falsafe-ye Massha), merupakan buku dalam bahasa Parsi
yang secara terperinci membahas ide-ide filsafat Ibnu Rusyd. Profesor
Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani, dengan pengalaman bertahun-tahun
mengajar dan menulis berusaha untuk memperkenalkan kecemerlangan
pemikiran Ibnu Rusyd yang tidak terlalu dikenal di dunia Islam. Ia
menyebutkan:
“Ibnu Rusyd begitu terkenal di pusat-pusat penelitian dunia. Di antara filosof
Iran ia tidak begitu dikenal. Bukan omong kosong bila ada yang mengatakan
bahwa selama delapan abad setelah meninggalnya ibnu Rusyd, belum ada
buku berbahasa Parsi yang ditulis menjelaskan pemikirannya. Inilah yang
mendorong penulis untuk menulis buku ini. Penulis berusaha untuk
membahas dan menganalisa pikiran-pikiran Ibnu Ruysd. Sekaligus sebagai
buku pertama bahasa Parsi yang ditulis dalam rangka mengkaji secara
terperinci pemikiran Ibnu Rusyd.”
Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik dimulai dengan kata
pengantar yang cukup panjang. Karena di sana, dibahas juga tentang
hubungan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani. Di akhir kata
pengantar ini, Ibnu Rusyd diperkenalkan sebagai filosof yang mengikuti ide-
ide Aristoteles dan membela pemikiran Yunani.
Dinani menganggap bahwa Kebanyakan filosof muslim, terutama Farabi dan
Ibnu Sina, dalam mengkaji ide-ide Aristoteles tidak mengambil sikap pasif,
namun aktif melakukan kritik. Dengan alasan ini, kedua filosof ini tidak murni
menganut pikiran Aristoteles. Pikiran filsafat mereka dipengaruhi Plato, Neo
Platonisme dan pikiran mereka sendiri yang muncul ketika mereka
melakukan kritik terhadap pikiran Aristoteles. Atas dasar inilah, Ibnu Rusyd
menganggap ibnu Sina telah keluar dari bingkai pemikiran Aristoteles.
Ebrahimi Dinani meyakini kebenaran tuduhan Ibnu Rusyd terhadap ibnu
Sina. Namun, itu tidak berarti kekurangan ibnu Sina, melainkan untuk
menunjukkan kebebasan berpikir dari Ibnu Sina. Dan di situlah kelebihan
ibnu Sina. Dengan melihat penilaian Ibnu Rusyd atas Ibnu Sina dapat
diketahui bahwa ia benar-benar sebagai perwakilan pemikiran Aristoteles.
Bab pertama buku ini “Pengaruh pemikiran Ibnu Ruysd dan Ibnu Sina
terhadap karya-karya filsafat Barat di abad pertengahan”. Dalam bab ini,
Dinani membeberkan juga bagaimana Ibnu Ruysd dipengaruhi oleh ide-ide
pemikir Islam sebelumnya. Selain itu, penulis juga menjelaskan pengaruh
pemikiran Ibnu Rusyd selama empat abad dalam pemikiran Barat. Ia
membawakan dialog antara pemikiran Ibnu Ruysd dengan para pendeta.
Karya ibnu Rusyd pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa latin pada abad
tiga belas. Bukunya diajarkan dan menjadi primadona di universitas-
universitas Eropa. St. Aquinas pemikir paling terkenal di abad pertengahan
yang dipengaruhi oleh ide-ide ibnu Rusyd. Di kalangan Yahudi yang
terpengaruh pemikiran Ibnu Ruysd seperti; Musa bin Maimun, Yossef bin
Yahuda dan pemikir-pemikir Yahudi Andalusia. Mereka menyebut Ibnu Rusyd
sebagai semangat dan akal Aristoteles.
Bab kedua “Hakikat ganda atau dua hal yang dicerap dari hakikat yang
satu”. Bab kedua ini membicarakan tentang substansi hakikat menurut
pandangan Ibnu Rusyd. “Hakikat ganda” atau “hakikat muzdawij”
merupakan pandangan khas milik Ibnu Rusyd. Pendapat ini sangat menarik
perhatian pemikir-pemikir Barat. Yang dimaksud dengan ide hakikat ganda
Ibnu Rusyd adalah “Memiliki arti bahwa Ibnu Rusyd ingin membedakan
antara hakikat yang dibawa oleh agama dan hakikat yang dipahami oleh
para filosof”. Setelah menukilkan dan menjelaskan teori hakikat ganda milik
Rusyd, penulis kemudian melakukan analisa kritis terhadapnya. Yang paling
menarik dalam bab ini adalah usaha penulis untuk menerapkan teori ini
dalam berbagai disiplin ilmu; dimulai dari hubungan antara agama dan
negara sampai masalah pluralisme agama.
Pada akhir dari bab ini, Dinani menukil ibarat Ibnu Rusyd dan
menganalisanya dan menyimpulkan bahwa sebenarnya ide Rusyd tidak
bermakna ada dua hakikat tapi ada dua tingkatan hakikat; batin dan lahir.
Mereka yang meyakini bahwa hakikat ada dua, dan bukan dua tingkatan,
tidak tepat dalam memahami ibarat Ibnu Rusyd.
Bab ketiga “Musuh para teolog telah menggantikan mereka”. Pada bab ini,
dapat ditemukan kajian Dinani tentang hubungan pemikiran keagamaan
Ibnu Rusyd dan Ghazali. Di sini, penulis membawakan contoh-contoh
pentakwilan dari Ibnu Rusyd. Setelah membawakan contoh-contoh itu,
penulis kemudian melakukan analisa. Akhirnya, Dinani meyakini bahwa
kritikan dan cibiran Ibnu Rusyd terhadap para teolog mencakup dirinya juga.
Mengapa demikian? Dinani melihat bahwa Ibnu Rusyd dari sisi kefaqihan dan
pemikirannya membuatnya lebih mirip ahli teolog.
Bab keempat membicarakan usaha Ibnu Rusyd untuk mengharmoniskan
fiqih dan filsafat. Cara pandang ibnu Rusyd terhadap fiqih membawa pada
keyakinan akan terbukanya pintu ijtihad. Sayangnya, itu tidak diikuti dengan
penjelasan yang lebih tentang substansi ijtihad dan bagaimana terbukanya
pintu ijtihad itu.
Bab kelima “Tahafut at-Tahafut Ibnu Ruysd kritikan terhadap Ghazali
ataukah kepada Ibnu Sina?”. Bab ini menganalisa dua buku masyhur Ghazali
dan Ibnu Rusyd. Di sela-sela itu, penulis membawakan pemikiran Ibnu Sina.
Bab ini sangat menarik, karena penulis secara terperinci dan luas mengkaji
kehidupan dan aktivitas sosial Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Informasi ini sangat
menarik karena menyingkap banyak hubungan-hubungan yang selama ini
tidak diperhatikan. Dan denganmembaca buku ini, semua itu dapat teraba
dengan baik.
Bab keenam masih merupakan kelanjuta bahasan sebelumnya. Bab ini
merupakan bagian paling sensasional. Karena membahas perbedaan antara
Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Perbedaan mendasar pada masalah paling prinsip
“hubungan antara mahiyah dan wujud”. Penulis meyakini akan pentingnya
masalah ini. Oleh karenanya, dengan sabar ia membahas masalah ini sejelas
mungkin. Di akhir bab ini, penulis membawakan pandangan Ibnu Rusyd
sambil juga membawakan pandangan pemikir-pemikir Islam dan kemudian
menganalisanya.
Bab ketujuh “Ibnu Rusyd dan usaha menetapkan keberadaan Allah dengan
dua dalil; Inayah dan Ikhtira’”. Cara menetapkan keberadaan Allah lewat
argumentasi imkan dan wujub tidak diterima oleh Ibnu Rusyd. Untuk itu, ia
menawarkan argumentasi lain. Pertama, argumentasi Inayah yang
berlandaskan kesiapan dunia untuk manusia dan tersedianya segala sesuatu
untuk mannusia di dunia. Kedua, argumentasi Ikhtira’, di mana manusia
adalah mukhtara’ (yang dibuat/dicipatakan) perlu akan mukhtari’ (pencipta).
Dalam bab ini, Dinani menganalisa pendapat ibnu Rusyd dengan
membandingkannya dengan pendapat para filosof lainnya.
Bab kedelapan penulis membahas pengertian “Ghair Mutanahi bil Fi’l”.
Apakah pengertian ini kontradiksi atau tidak, dikaji secara terperinci.
Pengertian istilah ini merupakan kajian yang dibahas baik dalam filsafat
Yunani dan Islam. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan teori fisika dan
meta fisika. Di sini, Dinani membahasnya dari sudut pandang Ibnu Rusyd
dan pemikir lainnya.
Bab kesembilan membahas tentang “Kulli Tabi’i”. Pertanyaan penting dalam
masalah ini adalah, “apakah kulli tabi’i ada secara faktual?” Masalah wujud
kulli merupakan kajian paling penting dalam sejarah filsafat. Dinani,
membawakan pandangan para filosof Paripatetik, khususnya Ibnu Rusyd,
sekaligus bentuk penafsiran-penafsirannya atas masalah ini.
Bab kesepuluh “Ibnu Rusyd beribicara tentang Maqashid Syariah”. Filosof
paling pertama yang berbicara tentang masalah ini adalah Ibnu Rusyd. Ia
menolak cara pandang Mu’tazilah dan Asya’irah dan membawakan
pandangannya dalam masalah ini. Menurutnya, mengetahui maqashid
syariah sangat membantu seorang teolog dan faqih.
Bab sebelas “Tanpa akal fa’al tidak ada yang dapat berpikir”. Posisi Ibnu
Rusyd dalam masalah akal dijelaskan panjang lebar. Dalam bab ini
dijelaskan mengenai tahapan-tahapan pengetahuan mulai dari akal hayulani
hingga akal fa’al. Dijelaskan juga mengenai kekhususan setiap tahapan dan
bagaimana mendapatkan pengetahuan. Akal fa’al bagi para pensyarah
Aristoteles merupakan bahasan yang penting, namun senantiasa buram dan
ambigu. Itulah yang membuat Ibnu Rusyd membahas masalah ini juga. Di
akhirnya dijelaskan pandangan Ibnu Rusyd tentang akal fa’al.
Bab kedua belas membahas kekhususan metode Ibnu Rusyd dalam
tafsirannya terhadap filsafat Aristoteles. Bab ini masih merupakan kelanjutan
kajian epistemologi filosof Andalusia ini dan hubungannya dengan disiplin
lain seperti teologi.
Bab terakhir “Menurut Ibnu Rusyd, argumentasi rasional merupakan masalah
batin”. Pertemuan Ibnu Rusyd dengan Ibnu Arabi dan apa saja yang terjadi
dengan keduanya dijelaskan di sini. Dari sini, penulis menuliskan kesamaan
dan perbedaan antara dua pemikir besar ini. Yang satunya adalah tokoh
Paripatetik dan satunya lagi tokoh tasawwuf. Selain itu, penulis juga
membahas pikiran-pikiran lain Ibnu Rusyd.
Pentingnya buku ini karena ditulis oleh filosof tentang seorang filosof yang
tidak begitu dikenal. Padahal, Ibnu Rusyd merupakan filosof penting Islam.
Buku ini tidak hanya sekedar sejarah. Namun, sebagaimana tulisan lain
profesor Dinani “Ma Jara-ye Fekre Falsafi Dar Jahan-e Eslam”, buku ini
dipenuhi dengan analisa mendalam dan menarik petualangan akal dalam
pemikiran dan hati kaum muslimin. Mungkin itulah yang mendasari penulis
untuk tidak memberikan sebuah tempat khusus untuk menuliskan sejarah
hidup Ibnu Rusyd secara lengkap. Namun, di sela-sela pembahasannya
setiap kali perlu menjelaskan kehidupan Ibnu Rusyd itu dilakukannya.
Penjelasan global seperti ini tidak dapat menjelaskan substansi buku ini.
Sudah pasti bahwa tidak ada model pengetahuan apapun yang dapat
menggantikan membaca. Bagi yang ingin membaca buku ini disyaratkan
sedikit banyak telah mengetahui tentang filsafat Islam dan sejarahnya.
Buku ini dapat menjadi jembatan untuk lebih mengenal siapa Ibnu Rusyd,
sekaligus menghidupkan kembali sisi-sisi yang selama ini tersembunyi dari
filsafat dan budaya Islam. Kecemerlangan filsafat Islam membutuhkan karya-
karya seperti ini.
Tentang Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani
Doktor Ghulam Hossein Ebrahim Dinani lahir pada tahun 1313 HS atau kira-
kira 72 tahun lalu di desa Dinan bagian dari propinsi Isfahan. Di tempat
kelahirannya ia menyelesaikan SD nya. Pada waktu itu, keinginannya keras
sekali untuk belajar agama. Ini mengantarkannya belajar fiqih, usul fiqih,
nahwu, saraf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia belajar pada Syaikh
Muhammad Ali Habib Abadi dan Syaikh Abbas Ali Habib Abadi.
Beliau pada tahun pertama dari dekade 1330, 55 tahun lalu, pergi ke Qom.
Di sana, secara serius ia melanjutkan pendidikannya. Di Qom, ia belajar
Syarah Lum’ah, Rasail, Makasib. Begitu juga ia mengikuti bahts kharijnya di
sana. Ia belajar pada Syaikh Abdul Javad Sedehi, Sulthani Thaba’taba’i,
Mujahidi, Imam Khomeini, Sayyid Muhammad Damad, Ayatullah Boroujerdi
dan lain-lain. Pada saat yang sama, ia juga belajar Asfar Mulla Shadra dan
Syifa Ibnu Sina kepada Allamah Thaba’thaba’i. Daya tarik pelajaran Allamah
membuat profesor Dinani mengikuti kelas khususnya. Dan dengan izin dari
Allamah ia mengikutinya.
Pada tahun 1340, 40 tahun lalu, ia berhijrah menuju Teheran. Ia mengikuti
ujian dan berhasil mengikuti kuliah di fakultas ushuluddin universitas
Teheran. Di fakultas ini, ia bertemu dengan pemikir-pemikir seperti doktor
Javad Muslih, Malekshahi dan Rashid memberikan mata kuliah. Pada masa-
masa itu, ia diterima oleh kementrian pendidikan sebagai pegawai negeri.
Pada tahun 1350, berdasarkan usulan Syahid Murtadha Muthahhari ia
mengikuti ujian untuk menjadi asisten dosen di universitas Ferdousi Mashad.
Ia di dua bidang; sejarah agama dan filsafat meraih urutan pertama. Ia
kemudian memilih untuk lebih banyak aktif di bagian filsafat. Pada saat yang
sama ia menyelesaikan program doktornya di Teheran. Akhirnya beliau
secara resmi di terima di bagian filsafat universitas Ferdousi Mashad.
Doktor Dinani pada tahun 1361 dipindahkan ke Teheran masih dalam
kelompok yang sama, filsafat. Semenjak itu, ia menjadi anggota tim studi
filsafat universitas Teheran. Selain di bidang filsafat punya pandangan-
pandangan khusus, ia juga seorang pemikir dalam bidang irfan dan fiqih.
Dan dalam dua bidang ini, ia mempunyai banyak tulisan. (irib indonesia)