kedaulatan, teritorialitas, dan keamanan pasca …
TRANSCRIPT
Global: Jurnal Politik Internasional Global: Jurnal Politik Internasional
Volume 6 Number 2 Article 1
September 2004
KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA
WESTPHALIA WESTPHALIA
Kusnanto Anggoro Centre for Strategic and International Studies, [email protected]
Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/global
Recommended Citation Recommended Citation Anggoro, Kusnanto (2004) "KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA WESTPHALIA," Global: Jurnal Politik Internasional: Vol. 6 : No. 2 , Article 1. DOI: 10.7454/global.v6i2.223 Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/global/vol6/iss2/1
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Social and Political Sciences at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Global: Jurnal Politik Internasional by an authorized editor of UI Scholars Hub.
ed u1atan, Teri tor ial i tas , dan m n a n Pasca -Wes tpha / i a
Kus A T O A N G G O R O
_b trn t������������������������������ Tlicr re I I I /111 I lea! and 11 rmaii e chm, siren ti, ned tile need lo re-
11 pt u liz tli« cone pts of tat I, , curil,y, and o r i thj. Tire ource of saver i nty, int rn I I ilim y, nd externni r co iition, ha b n in riou flux. Mor t11a11 euer be/or r
t r r 111/, ri�J h« 11 defin. d al 11 [uuct! na', n t territorini Tin . Th indi idua! ri h! to ccuriti if p r. ,r tntails n11 obli ation 011 fl1 part of the stale lo itnplem, nt this ri ht and that
iudi i uni ri lit I curihJ of Int ntnil nu obli ation on tit part of internaticnal community to imp! ·m �nt this ri l,t. N rm are itin . more imp rot! e in int rnntional relation . Recent
el pmen! II z _ that c erci po1 r is b in intr duce t i n 1/'ii phen m 11 n. 11,i article at u t/rnt er i 1h; is nonetu le s an empirical pit n menon l s than a I al and o inl ph n m n 11.
A 11 bu/ 11 [uiur at nit . In llr ab nc of t orld mm nt npnbl of a erlin its l itima! claim, 11 rm t i _ aull,ority t 011/d confront tJ,c fortr of po« er d mandin sort of non-compliance o r i rrhJ. 11, Im 1 • for /obnl norm ihrou J, c rci r i nhJ mny "nd up wit!, loba!
anarchy.
PE DAHULU N
K aulatan negar m rupakan kons p yan s rnakin lama m kin ul i t dipert hankan. Perkembang n teknolo · p rang, interdep ndensi d 1 m k hid upan antar negar , dan menguatny globali a i mern
ba " berb gait implikasi yan rnenjadikan kedauJ tan eg ra semakin r wan. Ruang gerak untuk mernilih k bij kan menjacti emakin sempit hin kep ntingan na-
sional harus dikompromikan d ngan ba ny k p rtimbangan yang ber da auh di luar tapal batas. G gas n tentang "tang
gung jawab negara" iresptm ibilihJ to pro f er) be] kangan ini m nj di ama p nting
nya d n an, jika ti ak I bih penting dari, pengerli n h k untuk m ng ola dan men
daya nakan umber daya, Namun semua itu sun hnya tidak I bih dari s k d r
1 J GLOBAL V I . 6 No. 2 i 2004
h ii p n I yang I bih dalarn, bukan temu n p ra i m ti .. 1ungkm benar bah-
a t t an hubun · an intema ional menja d i m kin kompl ks, dan oleh k renanya konsep k aulatan menghadapi tantangan yan s m kin eriu , namun s jak awal konseptualisasi kedaulatan memang sa
ngat dit ntukan ol h kompl ksita sosial .
KEDAULAT N NEGARA: DEFINISI, KONSEP, D N KONTEKS
Dalam kancah politik intemasional, tidak ada konsep yang lebih banyak diperdebat kan dan disalahgunakan dari konsep ke
d aulatan.' Secara tradisional konseptu alis si ked ulat n negara elalu dikaitkan
dengan teritorialitas padahal teritorialitas
rnerupakan suatu k.o p yang rumit dan,
' dw/. I, n, T. rit ri 1/i1r1 dan K iman n P.1. c1-1 11. 1• tph, Ii Ku n nto Anggoro
, an.
S bah itu, s benamya k nsep k daulatan j uh lebih kompleks dari apa yang selama ini dikenal dan dipahami oleh, t rut ma, para pen kaji ilmu hubungan intemasio n l yang c nderung menyederhanakan masalah menjadi aspek teritorial dan otori tas negara di dal m t ritori itu. Padah l ja uh-jauh hari sesungguhnya kedaulatan ti
dak pemah merupakan sesuatu yang ber dimensi tunggal. Kalaupun ada penekanan pada dimensi-dirnensi itu s benamya ti
dak lebih dari sekadar reaksi sirkumstansi al dan bukan karena ketiadaan kompre hensi konsep kedaulatan itu sendiri. Ke daulatan juga tidak pemah merupakan se suatu yang absolut, tetapi merup kan re sultan dari apa yang diinginkan dan pa yang kemudian diperol h.
Boleh jadi, hubungan intemasional W st phalian memang terlalu menekan�an pada kedaulatan negara. Landasan politik di ba lik persetujuan yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun itu sendiri menyebab kan "kedaulatan negara-bangsa" menjadi sumbu utama dalam hubungan intemasio nal. Untuk ratusan tahun setelah West phalia, hubungan antarnegara dipahami sebagai benturan kepentingan antamega ra: dan usaha untuk rnencegah buruknya suasana dilakukan dengan menciptakan
2
r irnban an k kuatan (balance of power) de n/ tc. u en n memb ngun rejim yang
i epakati bersarn .
Pada k nyataanny , kedaulatan negara y ng rn mb ri p n kanan pada ekskJusivi ta kewi l yahan seperti itu hanya merupa kan a l h satu d imensi saja dari kedaulat an. P mulanya, konsep kedaulatan Ie bih b rkaitan engan tertib domestik . Jean Bodin (1530-1596 ), dalam Six Livres de la
Republiqu , dan Hobbes (1588-1679), dalam Leviathan, m rumuskan kedaulatan seba
gai sesuatu yang bersifat instrumental, diperlukan untuk m lindungi masyarakat, untuk membangun tertib osial. Rumusan ini berbeda d ri Ros eau yang melihat ke d ulatan sebagai p ngejawantahan dari keinginan untuk membangun ketertiban um um.
Bodin dan Hobbes menulis karyanya pada m a ari tokrasi dan k tika orang rnasih p rcaya betu l pada keagungan divine rule.
S lain itu, mcreka b rdua m ncetuskan kegalauannya pad k kacauan sosial . Bo din ny ris terbunuh dalarn ketegangan an taragarna, pemberontakan Huguenot, di P rands (1572); dan Hobbes sangat risau dengan terbunuhnya Raja Charles I. Kece masan itu pula yang menyebabkan Bodin dan Hobbes sampai pada kesimpulan bah wa satu-satunya cara untuk menjamin ke teraturan dalarn masyarakat (social order)
adalah jika penguasa mempunyai kedau latan tak terbatas (absolute sovereignh;).
John Austin (1790-1859), yang menulis karyanya harnpir 200 tahun setelah West phalia, Tire Province of Jurisprudence Deter
mined, melihat dari perspektif yang lebih luas, Tanpa mengabaikan dimensi internal, Austin melihat pada aspek ekstemal. Da-
GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004
K y/c1ul.1 11, T. riton:1/,1,t d.111 Kr-.1111,111 n Pa 1-MI. tpl), /il Ku n nt A n g , ro
Namun demikian, dalam kenyataannya, supremasi dan/atau independensi itu pun bukan sesuatu yang turun dari langit. Se baliknya, mereka harus diperoleh melalui perjuangan dengan berbagai instrurnen,
mulai dari persuasi, negosiasi, sampai de ngan kekerasan. Lebih dari itu, tidak se mua negara yang berdaulat mampu me wujudkan independensinya. Begitu pula
baliknya, scbagian d ri ne ara-n yang mampu mewujudkan indepen inya
mun kin ga al mempcrjuan kan k au ) tannya. Monaco, Lichtenstein, dan Swis m rupak n conloh untuk yang disebut le bih dahulu: T iwan rnerupakan contoh un tuk yan di ebut belakangan .
Masalah paling rumit dalam konsepsi ke daulatan internal adalah bahwa ia memer lukan kedaulatan tak terbatas, sedang da lam kenyataannya pemerintahan negara bukannya tidak terbatas. Dalam pergaulan intemasional, sekalipun tidak ada otoritas tungga1 namun dalam kenyataannya oto ritas supranasionaJ juga menjadi semakin penting; clan suatu negara tidak mungkin begitu saja mengabaikan tuntutan-tuntut an global. Apa yang semula diharapkan menjadi "kedauJatan dalam" dan "kedau latan dari" memerlukan berbagai bentuk akomodasi dan kompromi, yang berarti melepaskan sebagian dari kedaulatan itu
sencliri.
Di mana pun juga kedaulatan selalu meru pakan sesuatu yang intersubyektif, kebe radaannya ditentukan bersama dengan yang lain. Dengan kata Iain, supremasi itu tidak taken for granted, tetapi ditentukan oleh penerimaan, yatu semacam kontrak sosial antara penguasa dan rakyat. Pe nguasa boleh saja merasa merniliki kedau latan legal (legal sovereignty) dan/atau ke dauJatan koersif (coercive sovereignty), na mun pada saat yang sama warga negara juga memiliki kedaulatan rakyat (popular sovereignhJ) dan/atau "kedaulatan untuk ti
dak mematuhi" (non-compliance sovereign-
ty).
Relasi antara dua pijakan dan kepentingan yang berbeda itu pula yang pada akhimya
m m i l i k i ke
pat m ng ya- un , n
I m , n
ul t, n
Bagaimana dua jenis kedaulatan itu dapat diwujudkan selalu m njadi tanda tanya besar. Kedaulatan, baik internal maupun ekstemal, tidak pemah dapat melepaskan diri dari kontestasi, dan oleh karenanya kekuatan relatif (relative power) vis-a-vis penantangnya. Bodin dan Hobbes boleh saja menganggap kedaulatan sebagai se suatu yang absolut. Austin bisa saja ke mudian merelativisasi derajat keabsolutan itu dengan kedauJatan dalam (sovereignty in) dan kedaulatan dari (sovereignhJ from). Negara berdaulat, bagi Austin, adalah ne gara yang mampu membuat keputusan tanpa dipengaruhi oleh pihak lain; negara merdeka ada]ah mereka yang mampu memperjuangkan haknya untuk menentu kan keputusan akhir.
n � n
t n haru I in. B i u tin, k d ulat n menj n kau uatu b ntuk hubun an t rtcntu i alum
itu uprerna i, an bent k hubun an an ij lin n ra itu engan ne r lain, aitu in ep nden i . Dua s pek ini, uprema i dan ind p n nsi, e rin i but s b i, b rturut-turut, ke d ul t n int rnal tint rnal sovereignhJ) dan k daulatan kst rnal (external souereignrf].
· 1
i GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004 3
,\' I. • u tan, T. ritoric1/it. . dan Kt1am, nan P.1: r1-l11l.cJ_ tplu /i,1 Ku n nt An goro
rn n ntuk: n der: j t uprern i n u I; ta dikua , i, Ba i B nn dan P ter , u r me i ne r t rletak pad, k m rn U1. nn , untuk men unz kan otoritas hu
kurn (lt:'\al s t er •i nty) atau in trumen ke kera an icoerci c .. o er i uly). Dalam tatan an d m kra i, upr ma i n gara itu bera d pad uatu truktur hierarkis (institusi pem rintahan, hukum dan perundangan,
p rat keamanan) yang digunakan untuk men lenggarakan otoritas negara. Mung kin aja, sebagai sesuatu yang memegang suprernasi, negara dapat dibenarkan untuk
menggunakan otoritas kedaulatan hukum n a maupun kekerasan. Pertanyaan utama daJam negara demokrasi adalah apakah supremasi itu dilakukan secara sah (legi timate) atau semata-mata berdasarkan prinsip legalitas.
Logika yang sama berlaku dalam konteks kedaulatan ekstemal. Pengakuan (recognit ion) kedaulatan suatu negara oleh negara lain tidak terlepas dari kemampuan nega ra itu untuk meyakinkan negara lain bah wa kedaulatan yang dimilikinya merupa kan sesuatu yang sah. Dalam hal ini, salah satu kontribusi penting dari Persetujuan Westphalia adalah bahwa suatu negara mempunyai hak otonomi untuk dapat me nyelenggarakan otoritasnya dalam wila yahnya yang sah tanpa interference pihak luar. Pendek kata, kedaulatan negara ber tumpu pada prinsip otonomi ekstemal berdasarkan eksklusivitas kewilayahan.4
KonseptuaJisasi kedaulatan dapat diring kas seperti tertera pada tabel di bawah ini.
KedauJatan eksternal (diharapkan) tercer min dalam pola hubungan yang setara, ber dasarkan saling pengakuan, clan bertolak pada eksklusivitas wilayah. Pola itu pula yang kemudian dilembagakan da lam hu-
4
kum intern ionaJ dalam b ntuk 11011-inter-
fer nee dalam mas, Iah-m salah domestik. Dal, m konteks internal, kedaulatan yang
secara alarni d i l mbagakan melalui pola hubungan hierarkis sebenamya dilandasi dengan perirnbangan hak dan kewajiban, balk untuk pemegang kedaulatan maupun warga negara. Dari tabel di bawah ini akan
terlihat bahwa dalam masalah-ma alah yang memiliki dimensi transnasionalitas, kedaulatan akan menimbulkan kompleksi tas melebihi kedaulatan internal dan eks ternal, antara lain karena keharusan untuk mempertimbangkan aspek legi timasi, otori tas dan sekaligus penguasaan.
Tabel1
Clrl-clrl Kmaulatan Eklternal dan Kedaulatan
lnterml
Ciri-clri Ekstemal I temal
Pola • Persamaan • Hierarkis Hubungan • Ekskluslvitas • Keabsahan Antarsubyek Wilayah Wilayah
• Mutual • Hak dan Reco_Qm�ion Kewajiban
Prinsip • lndependensi • Supremasi (non- • Kedaulatan interference) Legaldan
• Hukum Koersif lntemaslonal versus
Kedaulatan Popular dan Non- compliance
Tujuan • Kedaulatan • Kedaulatan dari dalam (sovereignly ( sovereignty from) in)
• Keamanan • Keamanan I nte maslonal Dalam Negeri
(khususnya lsw and order serta keselamatan dan ketertlban um um
lsu Utama • Otoritas • Otoritas • Legltlmasl • Pengendalian
(contro� .
Masalah·masalah lntemasional -
GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 200-t
", I. u!.11.11, 7 rltori1/it,1•, l.m K .1111a11.111 P.1 a - I t !. • tphr1/J:1 Kusn nto Ang ro
L t i -
d rninan
ngan n aku n nlar: nc ara-negara
an mcrniliki k m rdekaan yuridis. K -
ul: t n \ tphalia merujuk pada organi i p l itik b rda rkan pada eksklusi pi
hak lu r d ri truktur otoritas di wilayah t rt ntu. Ked ulatan hukum intemasional dan kedaulatan Westphalia meliputi isu isu otoritas dan legitimasi, bukan pengen dalian (penguasaan). Hukum intemasional mengakui kedaulatan suatu entitas kewi1a yahan yang memiliki otoritas formal. Atur
an main daJam Westphalia adalah eksklusi pihak luar, de facto maupun de jure, dari wilayah suatu negara.
Sementara itu, kedaulatan domestik meru juk pada adanya organisasi-organisasi for mal yang memiliki otoritas politik untuk melaksanakan pengendalian efektif dalam wilayahnya sendiri. Kedaulatan interde penden merujuk pada kemampuan otori tas umum untuk mengatur arus informasi, gagasan, barang, manusia, benda polutan, ataupun modal yang terjadi di dalam wi Iayahnya. Kedaulatan domestik meliputi kewenangan dan pengaturan (control). Ke dua-duanya merupakan spesifikasi legiti masi otoritas dalam suatu masyarakat dan sejauh mana otoritas itu dapat diseleng garakan secara efektif. Kedaulatan interde penden melulu berkaitan dengan masalah pengaturan, bukan otoritas, dengan ke mampuan suatu negara untuk mengatur perpindahan segala sesuatu yang berada
GLOBAL Vol. 6 No. 2 M i 2004
d lam wilayahnya.
TERITORIALITAS: KONSEP, PRINSIP, DAN PENGELOLAAN
Kewilayahan mernil iki konotasi yang sa n at kuat dengan geografi sehing a sepin ta la lu t rdapat kesan bahwa pewacanaan t ntang rnasalah tersebut tidak serumit pe wacanaan tentang kedau Jatan. Namun, se
sungguhnya kewilayahan tidak sesederha na itu karena ia mengandung beberapa dimensi, misalnya wiJayah dan tapal batas, yang merupakan persoalan politik, Dalarn
kenyatannya, hamp ir seluruh perbatasan antamegara di dunia ini mempunyai seja rah panjang. Sebagian di antaranya meru pakan sebuah pemyataan sepihak, sebagi an yang lain merupakan bentuk penyelesai an (settlement). Seperti terlihat dari jejak-je jak sejarah, baik pemyataan sepihak mau pun penyelesaian merupakan konsekuensi dari tindak kekerasan, pertempuran, pe naklukan, dan/atau segala sesuatu yang berkaitan dengan interaksi kekuatan saja (power exchanger» Lebih dari itu, dalam in teraksi itu selalu melibatkan bukan kekuat an (power) tetapi juga pengaruh (influence). Padahal, unsur-unsur kekuatan sangat kompleks dan tidak semuanya mampu me nampilkan dirinya sebagai sumber penga ruh.
Padahal, teritorialitas itu sendiri merupa kan sesuatu yang selalu berubah. Kalau ke daulatan mempunyai berbagai dimensi, se perti dikemukakan sebelumnya, teritoriali tas selalu tidak terlepas dari ambiguitas. Secara teoritis, memang ada kemungkinan untuk mengatakan bahwa teritorialitas di tentukan oleh dinamika kekuasaan-penga ruh (power-influence) baik yang bersumber
5
/Jul.1t.11 ou 1 :J/i1., .. d.m ,•.1n1.111.111 P. 1 . 1 - I V 11 h.11!:1 Kusn nt Anggoro
r . I., t r i t , s , d m i n i tr ti , n , ruh kul lu , 1, . lau ahk: u nd i n i i n d i r i ( .. /f
u l t , k ,, i i ah
n-
yan I ·I.: iti, z tc di n inc eari batas yang lain.
lain itu, pal bat memang di dalam di rin a ndiri problematik. Dalam bahasa In · s diken l berbagai konsep yang ku ran lebih merujuk dinding pemisah, mi saln a perhinggaan (frontier), sempadan ( otmdanJ), batas (border), dan tapal batas ( orderlandi? Konsep yang pertama, front ier, merupakan konsep longgar yang me rujuk pada tapal batas imajiner yang nyaris tanpa batas, kecuali ambisi dan penge tahuan, Pada masa kejayaannya, Kekaisar an Roma mendefinisikan batas kekuasan Roma adalah tempat di mana peradaban berakhir, sebuah garis batas ketika rasa tenteram musnah dan bahaya tak tertahan
kan bermula. Pada abad ke-18, orang Ame rika mendefinsikan frontier sebagai daerah kaum Indian yang telah ditaklukkan dan
yang belum ditaklukkan. Frontier tidak
menggunakan tumpuan pada kewenangan administratif. Sebab itu dia dapat rnenjadi sumber petaka, khususnya ketika orang memperebutkan the indeterminated border land, baik karena sengketa historis maupun
karena merupakan tanah tak bertuan, se
perti tapal batas Finlandia-Rusia sampai abad ke-17 . Pernyataan Zhirinovsky yang
6
ru n h ndr ki rd .. du Rusia dapat memba uh kt. kiny di Sarnudera Hindia merupa
k n b n tu k l a in ari pernyataan seperti itu.
K n p yang k dua adalah boundary (sem an), yang m rujuk pada tapal batas
y n pa ti, mi alnya pengha)ang fisik atau u tu yang kasatrnata. Kategori
em ntukan batas itu send iri dapat ber m u l dz ri kriter ia geografis, ikatan primor-
ial , atau bahkan ideologi. Kategori apa pun ang digunakan, seseorang tidak lagi d: pat berperilaku bebas seperti ketika ma sih berada di dalamnya. Dalam wilayah yang sama dapat ditemukan kesadaran ko lektif (collective identity). Beberapa bentukan geologis menegakkan ba tas ala mi. Sungai, danau, dan gunung-gunung sering diguna kan untuk menentukan batas administratif. Untuk waktu yang begitu lama, batas alami itu nyaris tidak dapat ditembus. Banyak
intervensi asing yang terpaksa gagal karena membentur dinding pembatas itu, tenna suk Iskandar Agung gagal menaklukkan Darius I dari Persia. Leonid Brezhnev di tahun 1964 menggunakan ideologi ketika memaklukan doktrin kedaulatan terbatas (limited sovereignty) bagi persemakmuran sosialis.
Konsep ketiga, border (tapal batas), bertum pu pada kewenangan administratif. Tidak terlalu penting apakah dalam wilayah ad ministratif itu masyarakatnya berbeda me
nurut garis primordial, ideologi, ataupun pengalaman sejarah. Hindia Belanda, mi
salnya, lebih merupakan konsep border da ripada boundarv ataupun frontier. Di Jawa
ada tempat-tempat yang sebenamya tidak pemah dikuasai oleh Belanda atau seku rang-kurangnya tidak berada pada pengua
saan langsung (direct rule) pemerintah kolo nial. Dalam pengertian sebagai tapal batas,
GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 200-l
, , 'sulat« t rn r .,Ii., l. u Kusn nt n oro
Kompleksitas tentang bagaimana menarik pembatas itu semakin mempersulit ap yang selama ini dikenal sebagai upaya un tuk menegakkan, mempertahankan, atau menjamin kedaulatan. Secara tradisional, konsep kedaulatan negara selalu dikaitkan dengan boundary. Di Eropa, kerancuan itu diselesaikan oleh Persetujuan Westphalia, yang mengakui negara nasional (nation
states). Sejak perdamaian Westphalia (1648), yang memusatkan perhatiannya pa da legitimasi negara atas wila ahnya, nega ra teritorial telah menjadi sumbu utama da lam hubungan antamegara. Di Amerika Se rikat, kerancuan itu pada akhim a bermua ra pada pembentukan konservasi untuk orang-orang Indian dan negara-tanpa bangsa Amerika.
KEAMANAN NASIONAL, ANCAMAN,
DAN TRANSNASIONALITAS
Selama hampir empat ratus tahun, k aman an dikaitkan terutama dengan ne ar dan pada umumnya ditafsirkan seb ai 'p rlin-
L ih ru mi t I i, i b r pa n
ol nial, kewil y han dan keban a n m -
kan kons p-kon ep a in . Pe oal n ok alarn n g ra tradis ional di Asia
ra lebih berkaitan dengan "rnilik
iapa" , rip da "apa". Dalam kenyat an, ne ra-n ara meman bisa saja jatuh ba n n, tumbuh dan menyusut, namun e mu itu terjadi dalam konteks pengikut dan w r a, tidak dalarn arti geografi . De mak bi a saja m nuntut sebagai kelanjutan
Iajapahit, seperti halnya Medang dari Ia taram, tapi merek mempunyai wilayah yang berbeda. Pada waktu itu, apa yang penting bagi seorang penguasa adalah ba nyaknya orang, bukan luasnya ruang.
t -
u i in m n , nd I , n
rit t i t d: ri urnb r
n: n "an 1 itirn tif d ri
· itu m rumuskan pn eb g i Tirai Besi.
tumpah darah dibangun ber a k seimbangan emosional
............ _.. k _ lamatan dan ketakutan.
Ti ak lit untuk melihat bah, a konsep- ep itu cenderung menitikberatkan pa
d alah satu dimensi pemisahan. Dalam ken) taann seJalu ada kemungkinan tum pang tindih. Di Indonesia, konsep "dari Barat sampai ke Timur'', yang kemudian be.rubah menjadi "dari Sabang sampai Me
rauke" pada mulanya dimaksud untuk mentransformasi, jika tidak mengejav an tahkan, ide-ide frontier menjadi geografis. Konsep Hindia Belanda mungkin pada mu Ian a dimaksud untuk membangkitkan ke sadaran berbangsa, untuk menarik garis pemisah antara penakluk dan yang ditak lukkan, dan untuk mengobarkan perjuang an antikolonial pada waktu itu. Namun pa da saaat yang sama, konsep Hindia Belan da juga merujuk pada satuan administratif pemerintahan kolonial. Dengan menekan kan aspek ini, prinsip "penentuan nasib sendiri" (self-determination) akan menjadi penting dan memperoleh dukungan inter nasional.
. , i �
. .
1
GLOBAL Vol. 6 o. 2 Mei 2004 7
' Lut], !,JI , TNJI ,,,:,lir.1, d.111 A', .1/11,)/ . in / ,1, . 1 - I Vil ,, !,.1/,:1 Ku n, n t o An oro
Pengertian yang bercorak military-external,
dengan negara sebagai subyek, sangat do minan dalam pendekatan Barat mengenai ke(tidak)amanan. DaJam konsepsi-konsepsi tersebut kekuatan militer selalu dianggap ebagai unsur yang paling penting. Karena
itu, seperti kemudian disimpulkan Arnold
Kerap kali situasi itu menimbulkan masa lah serius. Di satu sisi, diperlukan kecang gihan politik tertentu untuk bisa memper tahankan diri sebagai suatu entitas politik yang diterima dan diakui sebagai entitas yang rnemiliki otoritas atas rakyatnya. Di
lain pihak, sering kali hal ini juga rnenjadi
kannya vulnerable terhadap tekanan pih k
luar (negara yang lebih besar, lembaga lembaga intemasional dan transnasional), kelompok separatis dan gerakan suprana sional . Sebagai negara yang selalu dilibat
I l f zrs, rnr s I'- h itarna yan dihadapi e lah m rnban un kekuat n
k 1 {lo deter) tau m ngal, h kr n ( / cl ifi nt) uatu r, n an. Kemun kin- l n ar, b ik k r kter pemb ntukan ne a- ra- d i Eropa rnz upun agenda nega-
rr b r e l a rn a Perang Dingin me- mt i n k : n peran n penling di balik penitik-
r: l n P'- d keam nan neg ra itu.
S b l ikny , d lam konteks negara-neg ra bcrk rnbang. definisi itu sukar seluruhnya dit rima. Tidak seperti negara-negara Barat yang lebih maju, pen inggalan kolonial (co
Ionim le ncy) menyebabkan sebagian dari mer ka terlebih dahulu berhasil memben tuk negara sebelum berhasil membangun bangsa, s hingga dalam banyak kasus me
reka menghadapi sekaligus tugas ganda "bina bangsa" (nation-building) dan bina negara (state-building). Loyalitas kepada ne gara bisa jadi merupakan prioritas yang le bih rendah dari loyalitas kepada masya rakat tradisionalnya; dan membalik priori tas itu bukan merupakan soal sederhana Tak jarang terjadi konflik kepentingan an
tara loyalitas kepada masyarakat atau ke pada negara. Akibatnya, proyek keamanan lebih banyak berkaitan dengan dimensi
politik daripada militer.
, nis: id,
Ti :i .. ik mu :i h m irumu k n c n
sun uhnv J im: k u "k arnan- n" · · uri� ). B r
rita " " u h aria i , ri " cura", yang rarti ' tanpa raw at n"), ecara tradisio
nal k man n m miliki du arti pok k, yai
tu crt 111 , k bebasan dari risiko atau ba h , clan, kedua, kebebasan dari keraguan, kekhaw tiran, clan ketakutan . Kolom ke am n n nasional dalarn International En-
lo a dia of tile Social Science mendefinisi kan keamanan sebagai "kemampuan suatu
bang a untuk melindungi nilai-nilai inter naln a dari ancaman luar". Walter Lipp mann merangkum kecenderungan ini de ngan pernyataannya yang terkenal: "suatu bangsa berada dalam keadaan aman sela ma bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggap nya penting (vital) . . . dan jika dapat meng hindari perang atau, jika terpaksa melaku kannya, dapat keluar sebagai pemenang".
' .. n
8 GLOBAL Vol. 6 No. 2 1ei 2004
� deulstsn, � ritori lit. dt111 K • man n Pa .1-W. tpha/ia Kusnanto Anggoro
Margareth Mead. Studi Kelompok Roma (1972), Tl, Limits of Grounh, memberi gam bnran yang menakutkan tentang keruntuh an ekonomi dunia karena pertumbuhan penduduk dan industri yang tak terken dal i , Presid n World Watch Institute, Lester Brown, dalam makalahnya "Redefining Na tional Security" (1977), memahami ancam an kearnanan dalam arti luas, termasuk perubahan iklim, erosi, kekurangan pa ngan, dan deforestasi. Sejak saat itu mun cul penulis-penulis muda yang menantang tokoh-tokoh tua seperti Zbigniew Brze zinski, Stanley Hoffmann, Henry Kissinger, James Schlesinger, dan Theodore Sorenson. Mereka adalah, antara lain, Peter Gleick, Michael Klare, Ronnie Lipshutz, dan Joseph Romm.
Meskipun demikian, yang sesungguhnya tetjadi tampaknya tidak lebih dari sekadar proliferasi konsep dan kekhawatiran. Pan dangan McNamara, misalnya, boleh jadi menjangkau aspek-aspek yang lebih luas dari apa yang dibicarakan sampai waktu itu. Namun, tujuan akhir paparannya tidak beranjak dari tujuan dan kepentingan ter hadap "perlindungan dari kekerasan teror ganisasi", dengan kata lain dimensi kemi literan. Begitu pula halnya dengan Thomas dan Mathews, yang berusaha membuka berbagai ruang bagi konseptualisasi ke amanan komprehensif, tetapi dalam kon teks pewacanaan pada n eksistensi negara". Para ilmuwan aktivis memang menggurat kan jejak untuk memahami bahaya masa depan, tetapi tidak mampu menembus ben teng ortodoksi para pembuat kebijakan yang tetap lebih peduli persoalan urgensi dan prioritas.
Tak heran jika hingga kini belum muncul suatu paradigma baru yang secara penuh
a , irnr nr rnemantapkan ke
kr ligu m m inkan pe
al m ma y rak t interna io- n: 1 .
K kh . w tir n itu bukannya tidak di l ng- JP leh ra ilmuv an, ktiv is, maupun
I n b a-1 mba int ma ional. Bagi Caro l in 111 ma an J ica Iathews, misal n , k � m nan bukan hanya berkai an de n an 11 ru militan • xternal tetapi juga me n n kut r alita .. global. Keamanan, menu rut Th m dan fathews, bukan hanya t rbata pada dimensi militer seperti sering dia um ikan dalam diskusi tentang konsep k amanan, tetapi juga " . . . ketersediaan pa ngan, fasilitas kesehatan, uang dan perda gangan" .10 Presiden Bank Dunia Robert
kNamara, mantan Menteri Pertahanan dan arsitek utama keterlibatan Amerika da lam Perang Vietnam, pada tahun 1968 me ngeluarkan apostasy mengenai hakikat ke amanan. Dalam bukunya, The Essence of Se
curity, McNamara mengemukakan penger tian yang luas dari keamanan dengan me masukkan promosi pembangunan ekono mi, politik, dan sosial di negara-negara miskin sebagai instrumen untuk "mence gah konflik" dan mempertahankan "keter tiban dan stabilitas global".
Setelah itu semakin banyak ilmuwan dan aktivis terkemuka mulai menekankan pen tingnya ancaman nyata terhadap kelang sungan hidup manusia dan ekosistem bumi yang berasal dari degradasi lingkungan dan pertumbuhan penduduk. Mereka ada lah, antara Iain, Rachel Carson, Barry Com monor, Jacques Cousteau, Paul Erlich, Buckminster Fuller, Garrett Hardin, dan
J •
' i
J
l . j
I
.. '
: i
. ! I
GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004 9
A, . 11!.1t. 111 h: it ri.sltt.: , M n , .111ww1 I . , . 1 - l 1't1 I/ h.1!J�1 Ku ·nt nto An oro
l i t · i t \ ' ,, b., , i pr ,l n k l lSl ' f t u , l . . I m- f , i "'°' 1 1 -an y,mr l rj, d i d, lah mun-
u l t y :'l I rb: ,,i p, 1-._ I i nn.i ,,t,iu k u n : i p,,-
' l i . nh, t nt n , m, n: u rmuk. an w, c -
unt.iu ny, d. l uh ,. n
m n k , · , n , d : • n . m: n-nn .nm: n u n tr, d is i c n.il ( 1 1 1 - t n dilit 1 101 11,rcnl: al, u , n-
Hin a batas tertentu, "keamanan manu- i " dapat dianggap sebagai sebuah para
digma baru. Berbeda dari paradigma sebe lumn a yang lebih banyak berbicara dari sudut kepentingan negara, keamanan ma nusia memusatkan perhatiannya pada ke pentin.gan umat manusia. Dalam konteks ini, isu kedaulatan berdasarkan prinsip te ritorialitas digantikan dengan kedaulatan berdasarkan legitimasi demokratis. Wila yah nasional digantikan dengan transnasio nalitas; dan independensi negara berada dalam bayang-bayang interdependensi hak-hak asasi manusia. Meski tidak terlalu kuat, kewarganegaraan memperoleh tan tangan serius dari apa yang belakangan di sebut sebagai world citizenship, namun ha nya sebagian kecil dari rnereka yang berha sil menyita perhatian pengambil kebijakan. Bisa jadi sernua itu disebabkan oleh tum pang-tindih yang kerap terjadi antara para d igma keamanan manusia dengan kuasi
1 0
l nr.idi m l k , nu n, n nonkonv ... nsional l , u ol - h I 'j" I i , n k nt • m 1 rer, mi alnya
. . r : nr,l n t r ri terh: dap cd m W rid - n l r, 1 1 S pl mb r 2001.
NE ARA PASCAMODERN, GLO B I J\ I, DAN "KEDAULATAN KON
INGENSI"
perti tel, h ikernukakan sebelumnya, rnunculnya kon p kedaul tan senantiasa t rk: it n an harapan mengenai sesuatu yang langsung m upun tidak berkaitan de ngan kcarnanan. Ketika kewilayahan men jadi salah satu parameter dala m kedauJatan itu, tujuan utamanya adalah juga untuk menjamin dan mempertahankan keamanan tersebut. Meskipun konsep Westphalian terlampau menitikberatkan pada dimensi kewilayahan, tidak berarti negara dapat mengabaikan salah satu komponen yang berada di dalamnya. Karena a1asan legiti masi, misalnya, negara Westphalian me ngand ung asumsi ten tang keharusan pe
megang kedaulatan bertanggung jawab atas keamanan wilayah maupun segala se suatu yang berada di dalarnnya." Sejak
awal konsep kedaulatan, misalnya yang di kemukakan oleh Austin, men .gisyaratkan bahwa tanpa memenuhi persyaratan itu Iegitimasi negara akan goyah karena rakyat juga mempunyai kedaulatan untuk tidak mema tuhi otori tas negara.
Bersamaan dengan itu, globalisasi, yang di gambarkan dalam berbagai istilah mulai dari transnational scene hingga global ouku mene, tidak lagi dapat disangkal sebagai fe nomena yang telah membawa konsekuensi serius pada viabilitas tapal batas.'? Bebera
pa penemuan di bidang teknologi militer dan kornunikasi telah secara berarti mengi-
GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004
Ac ,w/.1t,m, r1rir n:1/it ,_,. rl.111 Kt .1111.m,m P.1s ,·,.1 r tptutt. Ku n: nto Anggor
an, demokra i, dan gov rnauce m mi l ik i Je git imasi ynng kuat. Sul i t menyangbl bah wa tujuan utarna keamanan nasional mau pun internasional adalah untuk memba n un kehidupan bersarna berdasarkan rnartabat (dignity), persamaan (equality), serta kebersarnaan (solidarity). Bahkan ne gara pada awalnya dibentuk sebagai kon trak sosial untuk tujuan seperti itu namun memberi tempat kepada nilai-nilai kema nusiaan sebagai kedaulatan yang absolut selalu mengandung risiko simplifikasi legi timasi menjadi justifikasi. Berbagai kasus dalam intervensi kemanusiaan (humani tarian intervention) seringkali tidak lebih da ri manifestasi dari messianism negara-nega ra besar yang mengatasnamakan legitimasi kemanusiaan.
kis dim "'n. i ru: n • de n v , k tu , Dim n i rnfis in n r: lam! k nlrr k i ; dan waktu
� , n diperl k u untuk mcngantisipnsi an , am: n ( rl: 1 min ) m nj di semak in
.n :l k. Ber a i ntuk an arnan, mil i ter m mpunyai dr yn
makin besar . 1 lune In ni ta- njata ertekn logi tinz i, khu u nya yon t rmasuk dalarn wilt · h k 1� u ,,. 'Y ar a ), nyaris mcngha
an antara enjata defensif dan f n if. liniaturi asi hu lu ledak adalah nin katan d ya tab n karena dengan de
mikian mernperrnudah upaya untuk me n mbun ikan diri tetapi sekaligus juga
nin ·kat n manuverability dan oleh sebab itu da a serangnya.
Tonggak penting lain dalam kemajuan tek nologi komunikasi adalah intemet.13 Seper ti halnya miniaturisasi hulu ledak, internet semakin mengumandangkan the death of distance. Lebih dari sekadar menimbulkan kontraksi geografis, jejaring elektronik mungkin di kemudian hari mampu men dptakan "bangsa maya" (virtual nations). Kalau terjadi, bisa dipastikan itu akan merupakan tantangan serius bagi kewi layahan sebagai salah satu landasan p n ting negara-bangsa. Seandainya bangsa da pat dibentuk tanpa wilayah, maka kedau Iatan menjadi semakin tidak relevan. Iden titas kolektif mungkin akan terbentuk, kali ini berupa nilai-nilai global yang tidak berada dalam jangkauan bingkai fisik ke wilayahan.
Masih dalam konteks globalisasi, muncul nya paradigma keamanan manusia dan ke khawatiran terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia membawa pertanyaan ten tang penguasaan. Tak diragukan bahwa ke khawatiran tentang nilai-nilai kemanusia-
Secara tradisional, hubungan internasional merupakan interaksi antamegara-negara berdaulat dalam dunia anarki. Dalam kon sepsi Westphalian, negara mempunyai mo nopoli penggunaan kekerasan dalam wila yahnya sendiri. Pada tataran intemasional, ketertiban dicapai melalui difusi kekuatan antamegara, khususnya terbentuknya pola hubungan perimbangan kekuatan (balance of power). Tidak mudah untuk menempat kan kontraksi kewilayahan dan relativisasi kedaulatan itu dalam konteks sistem nega
ra-negara. Benang merah yang muncul adalah bahwa setiap usaha untuk mema hami masalah keamanan harus dilakukan dengan obyek dan ruang lingkup yang je Ias dan oleh karenanya otoritas apa yang kemudian harus bertanggung jawab untuk itu.
Meskipun gejala ini ditahbiskan sebagai sistem negara pascamodem akan terdapat sekurang-kurangnya tiga kategori. Pertama adalah negara-negara pramodem (misal-
GLOBAL Vol . 6 No. 2 Mei 2004 1 1
" .w/Jtan, Tc ritorialit. . d. n Ke m nan Pr1. a - o rphali, Kusnanto Anggoro
nvr m: I i , Af hani t n, dan Liberia). l r k: n ' ri · k hilan an k mampuannya
untuk m n ihkan, baik independ nsi mt upun supremasi k daulatannya. K 'dua
a , l h n ra modem yang masih dapat rnern rtahankan s b gian b ar dari fung- i kla ikn eb: g i peny dia jasa keaman-
an. ti a dal h ncgara pascamodcrn yang en an ukar 1 ' b r edia melepaskan inde
P n n si an upr masi kedaulatannya. I r -neg ra ang terg bung dalam Uni Eropa, misalnya, termasuk dalam kategori k ti ini. Hubung n di antara mereka di tandai oleh hubungan interdependen yang t rwujud, antara lain, dalam mutual inter-
[crcuce, komitmen untuk mematuhi rejim keamanan bersama yang telah dikodifikasi kan, dan transparansi dalam masalah-ma salah keamanan.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, re sultan antara kedaulatan negara dan ke wilayahan negara membawa serta berbagai isu dalam hubungan antarnegara. Dalam model Westphalian, hubungan antamegara berpusar pada isu utama otoritas dan le gitimasi. Penguasaan tidak menjadi isu uta ma karena kesepakatan tentang, misalnya, non-interference. Sementara itu, dinamika internal bertolak dari hierarki internal se hingga menjadikan legitimasi bukan men jadi isu u tam a, yang tetap masih berpusar pada soal otoritas dan penguasaan. Masa Iah-masalah keamanan transnasional bisa jadi menyebabkan legitimasi, otoritas, dan penguasaan akan menjadi tolok ukur pen ting dalam hubungan antarnegara.
Namun ketiga-tiganya belum tentu dapat diterapkan secara legitimate dalam hubung an antamegara, khususnya ketika negara negara tidak berada dalam suatu sistem yang mampu melembagakan otoritas de-
1 2
mokratis. Sejak Sarajevo (1995) hingga Baghdad (2003), Washington memperke nalkan ''kedaulatan kontingensi" (conti
ngent sovereignty) dan sekaligus hak untuk melakukan serangan kepada sesuatu yang diidentifikasikan sebagai musuh (anticipato ry self-defence). Kecenderungan ini sebenar nya tidak lebih dari sekadar pengukuhan model kedaulatan berdimensi tunggal. Ka lau kecenderungan ini berlanjut, besar ke mungkinan negara-negara tidak dapat mencegah erosi gradual dari derajat inde pendensi yang mereka miliki. Semakin ba nyak mereka kehilangan independensinya, semakin lemah dia untuk mencegah erosi Iebih lanjut, dan, lebih penting lagi, sema kin lemah posisinya untuk mempertahan kan independensinya yang tersisa.
.
Pertanyaannya adalah apakah semua itu
merupakan isu kedaulatan atau meluJu isu tentang penggunaan kekuatan dalam hubungan antamegara. Banyak kecende rungan yang menunjukkan untuk yang di sebut belakangan. Jauh-jauh hari gagasan tentang kedaulatan tidak seluruhnya di wujudkan secara konsisten dengan ke daulatan absolut. Menjelang akhir abad ke- 17, otoritas politik di Inggris telah terbagi, di tangan raja dan parlemen. Sementara itu, para pendiri republik di Amerika Serikat mengguratkan suatu mekanisme checks and
balances dan kedaulatan "serbaragam" (multiple sovereignty) yang didistribusikan kepada pemerintahan negara bagian. yang dengan sendirinya tidak konsisten dengan gagasan hierarki dan supremasi. Berbeda dari yang dibayangkan Bodin dan Hobbes, keadilan dan ketertiban sosial justru ber hasil ditawarkan oleh negara demokrasi modem yang dikelola dengan prinsip-prin si p yang antitesis kepada gagasan bahwa kedaulatan berarti kekuasaan domestik
GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004
' f.wl.u. n, Nit r,:1/it.1. cl.111 K,,.m,.111111 P., ,, .. 1 Vi ... tp!,,1/,:1 Ku n nto An gor
i ' I
I
!
. i l
,1 in i tu, k t ik: b: n
l hw: k l a u l t, n n
1' t i d a
k, n ti , mun kin, " i n gnrn-negara
nd Ii , n l ir: n b ran t rtentu ( oft
ilm, u u) t t" pi m ih untuk yang lain. b r pa hal, aliran kapital in- tern � i n I I b i h i ifikan pada waktu da rip da k rang. S lama abad ke-19, mi alnx a, n gara-negara Amerika Latin (dan
hin tingkat tertentu, Kanada, Amerika Serikat dan Eropa) terjerembab dalam kri-
i moneter. Masa Depresi Besar (the Great Dept -ion) yang m mpunyai dampak luar bia a pada politik domestik waktu itu juga dimulai oleh runtuhnya sistem pinjaman intemasional. Krisis moneter Asia 1990-an merupakan miniscule dibandingkan dengan Depresi Besar pada waktu itu.
Begitu pula halnya dengan apa yang sela ma ini dikenal sebagai efek CNN. Sulit di sangkal jika penemuan baru di bidang tele komunikasi modem mengingatkan kita pa da penemuan mesin cetak beberapa ratus tahun silam. Di jam an i tu, dalam waktu se puluh tahun setelah Marthin Luther King mengajukan 95 tesisnya ke gereja Witten berg, gagasannya menjangkau Eropa. Be berapa pemimpin segera menerima prinsip tersebut dan menggunakan reformasi Pro testan untuk mengukuhkan kekuasaannya. Tidak satu pun penguasa monarki yang da pat membendung kons p ini dan beberapa d i antaranya bahkan haru turun dari sing gasana . Kontroversi ektari n pada abad
GLOBAL Vol . 6 N . 2 M i 2004
k - J • n k - 1 7 mun ak in m m b w k n e
k u en i pol itik lebih hebat dari , ru inf r
mr i tr n nasi nal aat ini .
Dibukanya pengir iman barang dalam jum lah be ar pad abad ke-19 menimbulkan p rsoa! n yang lebih serius dar i l iberali a i
p rd gangan. Depresi dan meros tnya har
ga gandum memak a Kanselir Jerman Otto von Bismarck rnernpunyai alasan untuk menyita tanah milik para aristokrat dan ke mud ian menjadikannya perusahaan negara yang m njalin aliansi dengan industrialis
kota. Koalisi baja-beras (iron and rye) men dominasi politik Jerman selama puluhan tahun. Persoalan tarif juga sudah membe lah politik domestik Amerika pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Namun, meskipun meningkatnya tingkat impor dan ekspor sejak 1950-an, politisasi perdagang an rnenjadi berkurang karena pemerintah mengembangkan pola pengamanan sosial (social safety net) yang memperlunak dam pak persaingan intemasional.
Semua itu menunjukkan bahwa negara na sional mempuyai kemampuan cukup un tuk melakukan berbagai penyesuaian. Jadi, mungkin agak terlalu tergesa-gesa untuk menarik kesimpulan bahwa negara nasio nal telah punah. James N. Rosenau pemah mengatakan bahwa "pemerintahan nasio nal masih tetap mempunyai kemampuan untuk mempartahankan keamanan dan ke tertiban, meski mungkin lebih cenderung mengandalkan kedaulatan koersif". Pe ngertian konvensional tentang negara teri torial memang perlu diperbarui karena ke bijakan dan peraturan nasional dibuat ber dasarkan premis penguasaan efektif dalam satu wilayah. Hal yang sama tidak dila kukan pada tingkat intemasional, baik k - rena persoalan legitimasi maupun keter-
1 3
Ku n nt An goro
i l i rn : i itu m . n ,. AfTAR PUSTAKA
Buku
P r UTU
l r
n: aul. l n int m l kstern L I til h
uni , u ,
l h , n .. ml -
i '\ , F. 1999. E olulion of the Doctrine nnd
Pvactic if Humanitarian Intervention. The
H e: Kluw r.
O nn, S. I. n R. S. Peters. 1959. Tlte Prin cip!« if Politicn/ Thou iit, New York: Free
C h n, Avner dan Steven Lee. (eds.). 1986. Nuclear Weapons and the Future of Humanity. Totowa, NJ: Rowman and Allenheld.
Dicey, A. V. 1982. n« Law of the Con stitution. Indianapolis, IN: Liberty Classics.
Follesdal, Andreas dan Peter Koslowski. (eds.). 1998. Democracy and the European Union. Berlin: Springer Verlag.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, ba n ak bukti yang menunjukkan betapa ke daulatan seperti itu menghadapi tantangan yang semakin serius, baik karena perkem bangan teknologi maupun introduksi nilai nilai global seperti responsibility to proteci+'
amun semuanya sebenarnya lebih meru pakan persoalan power politics daripada persoalan kedaulatan negara. Pertama, ka rena kedaulatan negara memang sejak awal tidak pemah dikonsepsikan sebagai sesua tu yang bersifat monodimensional; kedua, negara nasional tampaknya mempunyai kemampuan untuk melakukan berbagai penyesuaian. Oleh karenanya, jika tertib dunia dirancang dengan tumpuan kedau latan koersif tanpa memberi hak kedau latan non-compliance kepada negara-negara nasiona), yang akan terjadi adalah anarki
global .
1 4
Henkin, L. 1995. International Law: Politics and Values. London: Martinus Nijhoff.
Joerges, Christian, et. al. (eds.). 2000. What Kind of Constitution for What Kind of Polihj? San Domenico di Fiesole, Italy: Robert Schuman Centre for Advanced Studies.
Katzenstein, P . J. dan Stephen D. Krasner. 1999. Exploration and Coniestation in the Study of World Politics. Cambridge, MA:
MIT Press.
Krasner, S. D. 1999. Sovereignty: Organized Hypocrisy. Princeton: Princeton University Press.
Marshall, J. 1969. Swords and Symbols: 111e
Technique of Souereignrf, New York: Funk &
Wagnalls.
McNeill, W. H. 1963. The Rise of the West: A Histon; of the Human Community. New York: New American Library.
GLOBAL Vol . 6 No. 2 Mei 2004
't-• I. ubt. n, Teri« ti 1/it.1 · rl.111 K,wn,111,111 /1,1 ,,-1,1 t' tph,1/ic1 Kusn nto An
Bahan Presentasi
1 p ndan an ini antara lain dikemukakan ol h Bri n
Iichc 1 Jenkin , "High Technology Terrorism nd
urrogate War: The Impact of New Technology n
Low-L vel Viol nc ", Proj cl Rand Report #P-5339 S n
ta Monka, Th Rand Corporation, 1975).
6 KedauJatan selalu terkait dengan penaklukan
dan/atau perlindungan. Tak heran jika siapa yang
mempunyai kew nangan legitimate untuk memegang
kedaulatan juga bergeser dari waktu ke waktu. di
mulai dengan perlindungan "benteng'', berubah men
jadi bayangan raja, dan kemudian bayangan kedaulat
an negara". Lihat Arthur Larson, C. Wilfred Jenks,
dan lain-lain, Sovereignty within the Law (Dobbs Ferry,
New York: Oceana Publications, 1965), hlm. 28.
� B rry Buzan, "Sovereignty," dalam 11,e Concise Ox
ford Dictionary of Politics, Iain Mclean, (ed.), (0 ford
and New York: 0 ford University Press, 1996), hlm .
464 dan Evans dan Newnham, Dictionary, hlm. 504.
s Stephen D. Krasner, "Compromising WestphaJia,"
Int rnntional Security Vol. 20 {Winter 1995-1996), him.
115 .
ty: Or anized H 1 cri y (Prine ton: Prine t n Uni r i
ty Pr , 1999), dan Dani I Philpott, Rev lution in S -
rel 1 1 / 1 : Hotu ldeas Shn; cd Modem Int rnati nal R -
Inti 11 (Princeton: Prine ton Univ r ity Pr , 2001).
Menurut G orge Evans dan John Newnham, kon p
kedaulatan pada mulanya dirnaksudkan hanya untuk
negara-negara Kristen Eropa, dan kemudian terma uk
negara-negara di Amerika Utara. Konsep iru tidak di
maksudkan untuk negara-negara Afrika dan Asia, yang mungkin memang mempunyai pandangan la in . Bodin danHobbes hidup pada masa penuh ketegang an osial di, berturut-turut Perancis dan Inggris. Lihat,
George Evans dan John Newnham, Dictionary of lnter
national Relations (London: Penguin Books, 1998), 572.
7 Ruggero Ranieri dan Vibecke Sorensen, 111e Frontier
of National Sooerei nty: History and 17,eory 1945-1992
(London: Routledge, 1992).
Nichola Tarling, Nations and States in Souutheas! Asia
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
9 Latar belakang pembentukan negara bangsa di Eropa lihat Chari s Tilly, "Reflections on the History of
European State-Making," dalam Charle Tilly, (ed.),
r n n. 1 9 2. Th
11/y - Hi Ion 11d nd n. R ut l d
. T , muitii 11 of National 1 1r / • Prin t n Uni-
1 1 ', V 1. 2 N . 2, May-
. I , [anu ry-March 2001. ] . 7 ---,
Int rnational S curitv, 20, Winter 1995-1996.
Jenkins, B. M. "High Technology Terrorism and Surrogate War: The Impact of New Technology on Low-Level Violence", Project Rand Report #P-5339/1975 (Santa
onica, The Rand Corporation).
J urual of De111ocraC1J, July 2002.
Mill �11i11m: Journal of International Studies 26.
CATATANBELAKANG
thi s n 1 1 1 / 1 1 t , rnati nnl Affair , 6, 1992.
Jumal
La po ran
Schreuer, C. "The Waning of the Sovereign State: Towards a New Paradigm for Inter national Law?", Presentasi Paul H. Nitze School of Advanced International Studies (SAIS) di Washington D.C. pada 21 Februari 1992.
I Lihat, antara Jain, "Sa kia Sas en, Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization", Leonard Ha •
ting Schoff Memorial Lecture , (New York: Columbia Uni er ity Pr , 1996; Stephen D. Kra ner, So erei 11-
1
. j
l
GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004 1 5
TI,
r
ul. tan, 7i ritorietit d. n Kt
, t i o I SI tr it1
lph lia Kus n n or
I I J arat Chopr
5.
Chi
I Ci mpi
), hlrn. l 2.
ni
hun
ociati n,
l
i nt •, In t nlion,
mp in
Principl ," Milltnni11m: loum I of J ilem tio J I S.ludit
2 (1 7). him. 77;
GLOB, Vol. 6 o. 2 M i 2004