kedudukan perempuan dalam pandangan islam (analisis …
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM
(Analisis Wacana Kritis Terhadap Buku
“Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Kmunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
NUR KHOLIFAH
NIM: 1113051000003
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersediaa menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 18 Februari 2017
Nur Kholifah
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM
(Analisis Wacana Kritis Terhadap Buku
“Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Nur Kholifah
NIM: 1113051000003
Pembimbing
Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf, MA
NIP. 19490119 198003 1 001
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN
ISLAM (Analisis Wacana Kritis Terhadap Buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan”) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 24 Februari
2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 24 Februari 2017
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Hj. Roudhonah, MA Dedi Fahrudin, M.I.Kom
NIP. 19580910 198703 2 001 NIP. 19791208 201411 1 001
Anggota,
Penguji 1 Penguji 2
Dr. H. Abd. Rozak, MA Fita Fathurokhmah, M.Si
NIP. 19600509 198803 1 001 NIP. `9830610 200912 2 001
Pembimbing
Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf, MA
NIP. 19490119 198003 1 001
i
ABSTRAK
Nur Kholifah/1113051000003
Kedudukan Perempuan dalam Pandangan Islam (Analisis Wacana Kritis
Terhadap Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”)
Berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam Islam adalah hal yang
sangat penting. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa perempuan lemah
dan lebih rendah daripada laki-laki. Berkaitan dengan kedudukan perempuan,
lahirlah sebuah buku yang mengandung wacana kedudukan perempuan dalam
pandangan Islam yakni buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”. Buku
tersebut lahir pada saat munculnya rumusan UU perkawinan sekuler pada tahun
1973. Sehingga buku tersebut merupakan upaya Buya Hamka untuk membela dan
memuliakan kaum perempuan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat rumusan masalah. Adapun
rumusan masalahnya yaitu bagaimana kedudukan perempuan dilihat dari dimensi
teks? Bagaimana kedudukan perempuan dilihat dari dimensi kognisi sosial?
Bagaimana kedudukan perempuan dilihat dari dimensi konteks sosial?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan perempuan
dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” dari dimensi teks,
kognisi sosial, dan konteks sosial. Kemudian, manfaat dari penelitian ini adalah
konstribusi positif bagi pengembangan wacana keilmuan tentang gejala sosial
seperti peristiwa mengenai perempuan dan menambah pengetahuan bagi
akademisi, praktisi serta seluruh lapisan masyarakat.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori wacana Teun A. Van
Dijk. Wacana merupakan studi mengenai teks, bahasa, yang dituangkan dalam
bentuk naskah atau laporan utuh dan mengandung risalah atau nasihat. Dalam
wacana Van Dijk dibagi menjadi tiga kerangka yakni teks, kognisi sosial, dan
konteks sosial.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode
penelitian analisis wacana kritis. Sehingga, prosedur penelitian yang dihasilkan
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.
Buya Hamka menguraikan pemahaman melalui karyanya bahwa perempuan
sangat mulia. Hal tersebut dibuktikan dengan dalil Al-Qur‟an, Hadits, dan kisah
generasi-generasi shaleh. Isi buku tersebut secara umum memuat penjelasan
mengenai kemuliaan perempuan, penghargaan yang sama antara laki-laki dan
perempuan, pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan, kepemimpinan laki-
laki dan perempuan, pandangan kaum orientalis terhadap perempuan.
Kesimpulannya adalah bahwa buku “Buya Hamka Berbicara tentang
perempuan mengandung wacana kedudukan perempuan dalam pandangan Islam.
Islam sangat menghargai dan memuliakan perempuan. Dengan demikian
masyarakat seharusnya dapat menjaga dan menerapkan nilai-nilai perempuan
dengan baik.
Kata kunci: Kedudukan perempuan, wacana kritis, dan “Buya Hamka
Berbicara tentang Perempuan”.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan nikmat, karunia,
dan kekuatannya serta menuntun tangan, pikiran, untuk mampu menyelesaikan
tugas skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW. yang telah membawa ummatnya kepada jalan kebenaran.
Dalam skripsi ini tentu masih terdapat kekurangan. Akan tetapi, proses dan
penyelesaian skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya campur
tangan, dukungan, serta bantuan dari semua pihak. Untuk itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yakni:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Masran, MA selaku Ketua Jurusan dan Fita Fathurokhmah, M.Si selaku
Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
4. Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf, MA selaku dosen pembimbing yang senantiasa
sabar dan sedia dalam memberikan bimbingan serta arahan selama proses
skripsi ini berlangsung.
5. Ade Rina Farida, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membantu memperlancar dan memberi semangat dalam penggarapan skripsi
ini.
6. Kepada seluruh dosen, karyawan, serta Staff Tata Usaha Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Kepada Alm. Buya Hamka, sosok ulama yang tegas, intelektualitas, dan
berani dalam mencentuskan pemikirannya, sosok sastrawan dan penulis yang
iii
inspiratif, yang telah banyak meninggalkan karya dan ilmu bermanfaat, serta
memberi inspirasi bagi penulis untuk menulis tugas ilmiah ini. Semoga beliau
berada di sisi mulia-Nya.
8. Secara khusus dan paling utama saya persembahkan hadiah ilmiah ini untuk
Alm. kakek saya Safi‟i yang menjadi motivasi terbesar saya untuk
menyelesaikan skripsi ini, yang tidak sempat melihat saya menjadi seorang
Sarjana.
9. Kepada Alm. ayah saya Saeroni, ibu saya Sri Utami, dan nenek saya Asiah
sebagai sosok inspiratif bagi saya.
10. Kepada kedua adik saya Purbo Dwi Asrori dan Nurul Lisa Fitriyana, paman
saya Ahmad Rifa‟i yang telah bersedia susah payah mengantarkan saya
wawancara ke Gema Insani, dan seluruh keluarga saya.
11. Kepada seluruh narasumber yang telah menyediakan waktunya untuk saya
yakni Siti Nurmeliyya Baskarani, Annisa Febrinel Hendry, Ibu Sri Lintang
Rossi Aryani, Almas Sabrina, Zham Sastera, Ibu Jumi Haryani, Ibu Rahmi
Purnomowati, SP. MSi, dan Prof. Dr. Asep Usman Ismail, MA.
12. Kepada Ka Iam teman kosan yang telah memberi ide untuk menggarap
skripsi dengan tema tersebut, dan kepada Lukman Hakim yang telah
membantu saya dalam proses akhir skripsi.
13. Sahabat saya Qurrotul‟ain Nurul Ulfah, Heti Suheti, dan Khoiriyah yang telah
membantu, menemani, serta memberikan dukungan selama proses skripsi ini
berlangsung.
14. Kepada teman-teman saya KPI 2013, FLP Ciputat, Komda Uswah, Komda
FDIK, LDK Syahid, Syiar Madani LDK Syahid20, Ibu Santi Yustini selaku
iv
dosen pembimbing KKN saya, serta teman-teman KKN GELORA yakni
Hasbi, Dimas, Deni, Esa, Arin, Mella, Yosie, Farah, Zida, dan Aldila.
Demikian ucapan terimaksih yang penulis berikan. Semoga Allah senantiasa
membalas semua kebaikan serta menuntun kita ke jalan yang diridhai-Nya.
Meskipun terdapat ketidaksempurnaan dalam penyusunan skripsi ini, penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Aamiin..
Jakarta, 18 Februari 2017
Penulis,
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................................................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................................... 5
D. Metodologi Penelitian ...................................................................................... 6
1. Paradigma Penelitian ................................................................................. 6
2. Pendekatan Penelitian ................................................................................ 7
3. Metode Penelitian ...................................................................................... 7
4. Subjek dan Objek Penelitian ..................................................................... 8
5. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 8
6. Teknik Analisis Data ............................................................................... 10
7. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 10
E. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 13
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEP
A. Analisis Wacana ............................................................................................. 15
1. Analisis Wacana Teun A. Van Dijk ........................................................ 15
2. Kerangka Analisis Wacana Teun A. Van Dijk ........................................ 16
B. Konsep Gender dan Kesetaraan Gender ......................................................... 23
1. Pengertian Gender dan Kesetaraan Gender ............................................. 23
vi
2. Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender ..................................................... 29
C. Kemuliaan Perempuan dalam Islam ............................................................... 32
BAB III GAMBARAN UMUM : BUYA HAMKA DAN BUKU “BUYA
HAMKA BERBICARA TENTANG PEREMPUAN”
A. Gambaran Umum Buya Hamka ..................................................................... 37
1. Riwayat Hidup Buya Hamka ................................................................... 37
2. Karya-karya Buya Hamka ....................................................................... 48
B. Gambaran Umum Buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan” .................................................................................................... 56
1. Sinopsis Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” ................ 56
2. Tim Penyusun Buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan” ............................................................................................. 57
3. Penghargaan Buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan” ............................................................................................. 58
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Wacana Kedudukan Perempuan dari Dimensi Teks ........................ 60
B. Analisis Wacana Kedudukan Perempuan dari Dimensi Kognisi
Sosial .............................................................................................................. 89
C. Analisis Wacana Kedudukan Perempuan dari Dimensi Konteks
Sosial .............................................................................................................. 95
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 104
B. Saran ............................................................................................................. 106
vii
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 108
LAMPIRAN ........................................................................................................................ 111
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ................................................................................................................................... 16
Tabel 2 .................................................................................................................................... 17
Tabel 3 .................................................................................................................................... 22
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ................................................................................................................................ 15
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam Islam adalah hal yang
sangat penting. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa perempuan
lemah dan lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu, yang menjadi
permasalahan juga adalah berangkat dari sejarah dunia Barat dan masyarakat
Arab yang memperlakukan perempuan dengan sangat hina, tidak memiliki
hak dan harga diri, serta dijadikan barang warisan. Namun, setelah Islam
muncul, muncul pulalah nilai-nilai dan kemuliaan terhadap perempuan.
Adapun nilai-nilai dan kemuliaan perempuan dalam Islam yakni laki-laki
dilarang untuk mempusakai dan menyusahkan perempuan, perempuan
memiliki hak milik atau warisan, serta laki-laki harus berbuat baik terhadap
perempuan ataupun istrinya.
ىخزهبىا حعضيىهه ول مشهب اىىسبء حشثىا أن ىنم حو ل آمىىا اىزه أهب ب
خمىهه مب ببعض فئن ببىمعشوف وعبششوهه مبىت بفبحشت أحه أن إل آح
ئب حنشهىا أن فعسى مشهخمىهه وجعو ش شا فه الل (91) مثشا خ
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak”. (QS. An Nisa ayat 19)
جبه ب حشك اىىاىذان ىيش ب حشك اىىاىذان والقشبىن وىيىسبء وصب مم وصب مم
ب قو مىه أو مثش وصبب مفشوضب (7) والقشبىن مم
2
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan". (QS. An Nisa ayat 7)
Dalam Hadits Ibnu Majah disebutkan bahwa seorang laki-laki harus
berlaku baik terhadap perempuan yakni istrinya.
ق، عه عبذ الل به ب: حذ ثىب أ بى خب ىذ عه ال عمش، عه شق حذ ثىب أ بى مش
. ب س مم ىىسب ءهم عمش و قب ه: قب ه س سى ه ا لله خ
Abu Kuraib menyampaikan kepada kami dari Abu Khalid, dari al-
A’masy, dari Syaqiq, dari Masruq, dari Abdullah bin Amr bahwa
Rasulullah bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah
orang yang paling baik terhadap istrinya.”1
Berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam pandangan Islam,
terdapat salah satu buku yang membahas mengenai hal tersebut yakni buku
“Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”. Dalam buku tersebut Buya
Hamka menerangkan dengan jelas, tegas, dan bahasa lugas mengenai
kedudukan serta kemuliaan seorang perempuan. Buya Hamka juga
menjelaskan bagaimana peran serta sikap laki-laki yang seharusnya terhadap
perempuan.
Buku tersebut pada mulanya berjudul “Kedudukan Perempuan dalam
Islam” yang merupakan tulisan bersambung Buya Hamka di majalah Panji
Masyarakat yang terbit pada tahun 1990-an. Kemudian, buku tersebut
muncul pada saat munculnya RUU Perkawinan sekuler di Indonesia sekitar
tahun 1973.
Buku tersebut kemudian diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun
1996 untuk menjelaskan yang sebenarnya dan membantah pendapat
1 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al Qazwini Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadits Sunah
Ibnu Majah (Jakarta: Al Mahira, 2013) Cet. 1 Hadits no. 1978. h 351.
3
pengusung RUU Perkawinan yang baru. Kemudian, buku tersebut kembali
diperbaiki dengan judul baru oleh Anggota IKAPI dengan cetakan pertama,
Oktober 2014.
Selain itu, pada saat buku tersebut diterbitkan dengan judul “Kedudukan
Perempuan dalam Islam”, buku tersebut belum banyak tersebar dan diminati
oleh masyarakat. Namun, setelah diterbitkan kembali oleh Anggota IKAPI
bersama Penerbit Gema Insani dengan judul baru yakni “Buya Hamka
Berbicara tentang Perempuan”, buku tersebut banyak diminati oleh
masyarakat. Buku tersebut dicetak ulang pada Oktober 2014. Sejak 2014
sampai 2016 sudah dicetak sebanyak empat kali. Terakhir cetak April 2016.
Setiap cetaknya, buku tersebut dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Berarti
buku tersebut sudah dicetak sebanyak 12.000 eksemplar dan terjual sebanyak
9.000 eksemplar.2
Dengan banyaknya peminat buku tersebut setelah dicetak ulang, hal ini
menunjukan bahwa pemikiran Buya Hamka mengenai perempuan ternyata
banyak diminati masyarakat untuk mengubah pengetahuan mengenai
perempuan. Hal ini juga menunjukkan bahwa buku “Buya Hamka Berbicara
Tentang Perempuan” memiliki potensi untuk mengubah pola pikir dan
pandangan masyarakat mengenai perempuan, Islam dan kesetaraan gender.
Buku tersebut juga menjelaskan bahwa dengan perkembangan zaman dan
semakin pesatnya arus informasi serta teknologi, ternyata tidak membuat isu
seputar feminisme, perempuan, dan pandangan Islam terhadap perempuan
hilang. Namun, para pengusung liberalisme yang bertolak belakang dengan
2 Wawancara dengan Rendyana. Marketing di Penerbit Khatulistiwa Press dan Distributor
Buku. 14 September 2016 pukul 10:34 WIB.
4
pandangan Islam selalu berusaha untuk melakukan perang pemikiran. Mereka
berusaha melakukan propaganda negatif yang menyerang pemikiran
masyarakat Islam dengan tujuan akhir sense of belonging umat Islam
terhadap agamanya dan menjauhkan umat Islam dari pokok-pokok ajaran
Islam itu sendiri.
Berangkat dari fenomena tersebut, penulis memutuskan untuk melakukan
kajian lebih mendalam lagi terkait kedudukan perempuan dalam pandangan
Islam. Kajian tersebut kemudian dianalisis menggunakan pisau analisis Teun
A. Van Dijk. Hal ini dilakukankan dalam rangka memahami analisis wacana
model Teun A. Van Dijk yang membagi analisis menjadi tiga struktur yakni
analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Selain itu penelitian ini juga
dilakukan untuk memahami kedudukan perempuan dalam pandangan Islam
yang seharusnya dipahami oleh masyarakat sesuai ajaran yang terdapat dalam
buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Banyak hal yang dapat diteliti mengenai analisis wacana dan
perempuan, namun dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan
pada bagaimana kedudukan perempuan dalam pandangan Islam
dikonstruksi dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”.
Kemudian, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pisau analisis
wacana model Teun A. Vand Dijk yang akan membongkar isi teks,
kognisi sosial, dan konteks sosial dalam buku tersebut.
5
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
merumuskan permasalahannya sebagai berikut:
a. Bagaimana kedudukan perempuan dilihat dari dimensi teks?
b. Bagaimana kedudukan perempuan dilihat dari dimensi kognisi
sosial?
c. Bagaimana kedudukan perempuan dilihat dari dimensi konteks
sosial?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian tersebut
memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dari dimensi teks.
b. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dari dimensi kognisi
sosial.
c. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dari dimensi konteks
sosial.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi
positif bagi pengembangan wacana keilmuan tentang gejala sosial
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Seperti,
peristiwa-peristiwa yang luput dan hilang dalam perhatian kita, sama
6
halnya seperti peristiwa mengenai kedudukan perempuan yang
sangat perlu untuk dikaji dan dipahami.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
akademisi, praktisi, dan kepada pembaca pada umumnya, serta dapat
memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
D. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma artinya sama dengan perspektif atau mahzab pemikiran.
Secara ringkasnya, menggunakan perspektif artinya sama dengan
mengerjakan suatu pekerjaan atau penelitian menurut suatu cara pandang
tertentu. Sifat dari perspektif yang digunakan tidak serta merta berlaku
universal atau umum.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan perspektif atau
paradigma kritis. “Paradigma kritis menekankan pada konstelasi
kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu,
maupun strategi-strategi di dalamnya.3
Aliran teori kritis ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu
paradigma, tetapi lebih tepat disebut dengan ideolodically oriented
inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang
mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini
3 Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2007) Cet. 1 h 77.
7
meliputi: Neo-Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme,
partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara.4
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif.
“Bogdan dan Taylor yang dikutip Lexy J. Moleong
mendefinisikanpendekatani kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati.”5
Pendekatan kualitatif ini memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip
umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala
sosial di dalam masyarakat.6
3. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah analisis wacana kritis dari Teun A. Van
Dijk yang membongkar isi teks, kognisi sosial, dan kontek sosial.
Dalam analisis wacana kritis (critical discourse analisis/CDA),
wacana tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Bahasa dianalisis
bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga
menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu
dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik
kekuasaan.7
4 Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2007) Cet. 1 h 168
5 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revis (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset, 2006) Cet. 22 h 3.
6 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Kencana: Jakarta, 2007) h 23.
7 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2001) h 7.
8
4. Subjek dan Objek Penelitian
Adapun subjek penelitian ini adalah buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan”. Sedangkan objek penelitiannya adalah hanya fokus
pada Islam dan kesetaraan gender dalam buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan”.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh
peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik
atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Penghimpunan
informasi tersebut dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan
penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-
peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan
sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.8
Dalam penelitian ini nantinya, penulis akan melakukan studi
kepustakaan guna menggali informasi terkait analisis wacana,
kesetaraan gender, kemuliaan perempuan serta informasi lain terkait
pandangan Buya Hamka mengenai Islam, kesetaraan gender dan
perempuan.
b. Wawancara
Wawancara adalah alat pengumpulan data yang melibatkan
manusia sebagai subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas
atau gejala yang dipilih untuk diteliti. Selain itu, wawancara dapat
8 Febigundar.blogspot.co.id/2011/12/tekhnik-pengumpulan-data-studi.html. Diakses pada 26
September 2016 pukul 19.40 WIB.
9
digunakan untuk melacak fenomena tertentu dari perspektif orang
yang terlibat (aktor) dan melacak penilaian atau pandangan-
pandangan dari orang-orang yang terlibat (para aktor) mengenai
perilaku mereka sendiri.9
Dalam penelitian ini nantinya, penulis akan melakukan
wawancara kepada beberapa pihak guna mengetahui dimensi kognisi
sosial dan konteks sosial dari wacana kesetaraan gender dalam buku
“Buya Hamka Berbicara tentang perempuan”. Adapun pihak yang
diwawancarai adalah sebagai berikut:
1) Siti Nurmeliya Baskarani (Puti Muslimah Indonesia 2014, Aktris,
Model, dan Brand Ambassador Garnier).
2) Annisa Febrinel Hendry (Owner of Annisa Accessories,
Enterpreneur, Juara 3 lomba businessplan mahasiswa se-
Indonesia, Pembina Komunitas UINPreneur)
3) Ibu Sri Lintang Rossi Aryani (Politisi dari Partai PKS dan
Anggota Komisi 2 DPRD Tangsel).
4) Almas Shabrina (Google Students Ambassador UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2014 dan Presiden Forum Indonesia Muda
Cabang Depok-Jakarta 2016).
5) Zham Sastera (Sastrawan dan Penulis).
6) Ibu Jumi Haryani (Penyunting buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan” dari pihak Penerbit Gema Insani).
9 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif ( Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2007) Cet. 1 h 132
dan 136.
10
7) Ibu Rahmi Purnomo Wati, SP.MSi (Ketua Pusat Studi Gender
dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
8) Bapak Prof. Dr. Asep Usman Ismail, MA (Guru Besar FIDKOM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
6. Teknik Analisis Data
Dari beberapa teknik analisis data, penulis merasa perlu meneliti
wacana dengan menggunakan teknik analisis Teun Van Djik. Hal ini
dikarenakan selain menganalisis teks, Van Djik juga mengungkapkan
struktur analisis kognisi sosial dan konteks sosial.
Dalam analisis teks terbagi menjadi struktur makro dan struktur
mikro. Struktur makro yakni makna global dari suatu teks yang dapat
diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks, elemennya
adalah tematik. Super struktur, yakni kerangka teks yang meliputi bagian
pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan, elemennya adalah skematik.
Sedangkan struktur mikro yakni makna global suatu teks yang dapat
diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks,
elemennya adalah semantik, sintaksis, statistik, dan retoris.
Dalam kognisi sosial, menjelaskan bagaimana penulis mengetahui
dan memahami peristiwa yang sedang digarapnya. Kemudian, konteks
sosial yakni mengetahui bagaimana masyarakat memandang sebuah
wacana tersebut.
7. Tinjauan Pustaka
a. Skripsi Ahmad Hartanto (2009) Mahasiswa UIN Sunan Kali Jaga
Yogyakarta yang berjudul “Analisis Wacana Pemberitaan
11
Kekerasan pada Perempuan di Halaman Patroli HU Solopos
Tahun 2007”.10
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian
terdahulu, di antaranya adalah penelitian tersebut meneliti halaman
patrol HU Solopos dengan analisis wacana. Fokus penelitian Ahmad
Hartanto adalah bagaimana analisis wacana pemberitaan kekerasan
pada perempuan di halaman patrol HU Solopos Tahun 2007.
Perbedaan skripsi Kurnia Indasah dengan penelitian penulis yaitu
penelitian Ahmad Hartanto menggunakan media halaman patrol HU
Solopos dan lebih menjelaskan wacana kekerasan pada perempuan.
Sedangkan, penelitian penulis adalah tentang wacana kesetaraan
gender dalam buku “Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan”
serta lebih mengupas mengenai wacana teks, kognisi sosial, serta
konteks sosial.
b. Disertasi Drs. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag (2004) IAIN Sunan
Kalijaga yang berjudul “Konstruksi Gender Dalam Pemikiran
Mufasir Indonesia Modern (Hamka dan M. Hasbi ash-
shidiqqy”.11
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian
terdahulu, di antaranya adalah penelitian tersebut meneliti mengenai
gender dan melibatkan pemahaman dari sosok Buya Hamka. Akan
tetapi fokus penelitian Drs. Yunahar Ilyas adalah mengenai
konstruksi gender dalam pemikiran musafir Indonesia modern yang
10 digilib.uin-suka.ac.id/3049/1/BAB%20I,IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. Diakses pada
29 November 2012 pukul 11:18 WIB.
11
digilib.uin-suka.ac.id/14469. Diakses pada 26 September 2016 pukul 20.35 WIB.
12
membandingkan pemahaman dari Buya Hamka dan M. Hasbi ash-
shidiqqy. Sedangkan, penelitian penulis adalah tentang wacana
kesetaraan gender dalam buku “Buya Hamka Berbicara Tentang
Perempuan” serta lebih mengupas mengenai wacana teks, kognisi
sosial, serta konteks sosial.
c. Skripsi Faizah Ali Syibromalisi (2014) Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Perempuan Dalam Tradisi
Tafsir Kontemporer di Indonesia (Studi Perbandingan
Pemikiran Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar dan Quraish Shihab
Dalam Tafsir Al-Misbah)”.12
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian
terdahulu, di antaranya adalah penelitian tersebut meneliti mengenai
perempuan dan menggunakan pemikiran Hamka. Akan tetapi fokus
penelitian Faizah Ali adalah mengenai perempuan dalam tradisi
tafsir kontemporer di Indonesia yang menggunakan perbandingan
pemikiran Hamka dan Quraish Shihab. Sedangkan, penelitian
penulis adalah tentang wacana kesetaraan gender dalam buku “Buya
Hamka Berbicara Tentang Perempuan” serta lebih mengupas
mengenai wacana teks, kognisi sosial, serta konteks sosial.
d. Penelitian Sarah Larasati Mantovani (2015) Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta yang berjudul “Pemikiran
12 repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/.../1/Faizah%20Ali%20Syobromalisi-FU.pd.
Diakses pada 26 September 2016 pukul 20.40 WIB.
13
Haji Malik Karim Amrullah (Hamka) Tentang Partisipasi
Politik Perempuan di Indonesia (1949-1963)”.13
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian
terdahulu, di antaranya adalah penelitian tersebut meneliti mengenai
perempuan berdasarkan pemikiran Hamka. Akan tetapi fokus
penelitian Sarah Larasati adalah mengenai pemikiran Hamka
mengenai partisipasi politik perempuan di Indonesia pada tahun
1949-1963. Sedangkan, penelitian penulis adalah tentang wacana
kesetaraan gender dalam buku “Buya Hamka Berbicara Tentang
Perempuan” serta lebih mengupas mengenai wacana teks, kognisi
sosial, serta konteks sosial.
E. Sistematika Penulisan
1. BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian
(paradigma penelitian, pendekatan penelitian, metode penelitian, subjek
dan objek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan
tinjauan pustaka), dan sistematika penelitian.
2. BAB II LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEP
Dalam bab ini berisikan tentang teori analisis wacana Teun A. Van
Dijk yang membongkar isi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
Kemudian, uraian mengenai gender dan kemuliaaan perempuan dalam
Islam.
13 eprints.ums.ac.id/33333/1/Naskah%20Publikasi%20Ilmiah.pdf. Diakses pada 26 September
2016 pukul 20.50 WIB.
14
3. BAB III GAMBARAN UMUM : BUYA HAMKA DAN BUKU
“BERBICARA TENTANG PEREMPUAN”
Pada bab ini akan membahas mengenai gambaran umum Buya
Hamka dan buku “Berbicara Tentang Perempuan”. Gambaran umum
tentang Buya Hamka yakni berkaitan riwayat hidup dan karya-karya
Buya Hamka. Sedangkan gambaran umum mengenai buku “Berbicara
Tentang Perempuan” yakni berkaitan sinopsis buku “Berbicara Tentang
Perempuan”, tim penyusun Buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan, dan penghargaan buku tersebut.
4. BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS
Dalam bab ini membahas konsep mengenai analisis wacana Teun A.
Van Dijk dengan membongkar struktur teks, kognisi sosial, dan konteks
sosial dari buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”. Dalam
struktur teks terbagi menjadi struktur makro, super struktur, dan struktur
makro. Sedangkan kognisi sosial menjelaskan bagaimana Buya Hamka
mengetahui dan memahami kedudukan perempuan dalam islam.
Kemudian, dalam konteks sosial akan dijelaskan mengenai permasalahan
gender dan perempuan yang terjadi di masyarakat.
5. BAB V PENUTUP
Peneliti mengakhiri skripsi ini dengan memberikan kesimpulan yang
berfungsi memberikan jawaban umum atas pertanyaan yang terdapat
pada bab 1, serta diikuti saran dari penulis.
15
Konteks sosial
Kognisi sosial
Teks
BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEP
A. Analisis Wacana
1. Analisis Wacana Teun A. Van Dijk
Analisis wacana banyak diartikan dan dipahami oleh kebanyakan
khalayak sebagai analisis atau pembahasan yang fokus terhadap bahasa.
Khalayak mencoba menggali makna tentang bagaimana dan mengapa
bahasa tersebut dikonstruksi. Selain itu, wacana juga dipahami sebagai
studi yang berkaitan dengan kondisi sosial.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis wacana Teun A.
Van Dijk. Analisis wacana yang disampaikan oleh Teun A. Van Dijk
menekankan tiga hal yakni dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks
sosial. Diagram model analisis Van Dijk dapat digambarkan sebagai
berikut.
Gambar 1
Diagram Model Analisis Van Dijk14
Berdasarkan diagram analisis wacana Van Dijk, maka teks adalah
dimensi pertama dan terkecil dalam struktur wacana. Setelah
membongkar isi teks maka perlu juga dibedah mengenai kognisi sosial
14 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2001) h 225.
16
dari penulis wacana tersebut. Terakhir yakni dimensi terbesar dan terluas
dari wacana, konteks sosial. Sehingga melihat gambaran tersebut, hal ini
menunjukkan bahwa struktur wacana tidak hanya menelusuri teks
semata, melainkan membongkar kognisi sosial dan konteks sosial.
Sedangkan skema penelitian dan metode yang dapat digunakan
dalam kerangka analisis Van Dijk adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Skema penelitian dan metode Van Dijk15
STRUKTUR METODE
Teks
Mengalisis bagaimana strategi
wacana yang digunakan untuk
menggambarkan seseorang atau
peristiwa tertentu. Bagaimana
strategi tekstual yang dipakai
untuk memarjinalkan suatu
kelompok, gagasan, atau
peristiwa tertentu.
Critical Linguistic
Kognisi Sosial
Menganalisis bagaimana kognisi
penulis dalam memahami
seseorang atau peristiwa tertentu
yang akan ditulis.
Wawancara mendalam
Konteks Sosial
Menganalisis bagaimana wacana
yang berkembang dalam
masyarakat, proses produksi, dan
reproduksi seseorang atau
peristiwa digambarkan.
Studi pustaka, penelusuran
sejarah
2. Kerangka Analisis Wacana Teun A. Van Dijk
a. Dimensi Teks
15 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2001) h 275.
17
Dalam dimensi teks Van Dijk membagi struktur teks menjadi
tiga bagian yakni struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro.
Struktur elemen wacana Van Dijk seperti yang dikutip oleh Alex
Sobur dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 2
Elemen wacana Van Djik16
Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen
Struktur Makro TEMATIK
Apa yang dikatakan?
Topik
Superstruktur SKEMATIK
Bagaimana pendapat
disusun dan dirangkai?
Skema
Struktur Mikro SEMANTIK
Makna yang ingin
ditekankan dalam teks
Latar, detail, ilustrasi,
maksud, pengandaian
Struktur Mikro SINTAKSIS
Bagaimana pendapat
disampaikan ?
Bentuk kalimat,
koherensi, kata ganti
Struktur Mikro STILISTIK
Pilihan kata apa yang
dipakai ?
Leksikon
Struktur Mikro RETORIS
Bagaimana dan
dengan cara apa
penekanan dilakukan?
Grafis, metafora,
ekspresi
Berdasarkan tabel tersebut, dalam tingkatan struktur makro
akan dibedah mengenai makna global dari suatu teks yang dapat
diamati dari tema ataupun topik teks tersebut. Dalam tingkatan
superstruktur, akan dibedah mengenai skema teks secara utuh.
Skema teks tersebut meliputi bagian pendahuluan, isi, penutup, serta
kesimpulan teks tersebut. Sedangkan dalam tingkatan struktur
16 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. 3 h 74.
18
mikro, akan dibedah makna secara semantik, sintaksis, stilistik, dan
retoris.
1) Tematik
Tematik atau topik merupakan informasi yang paling
penting atau inti pesan yang ingin disampaikan oleh
komunikator. Dari topik bisa diketahui masalah dan tindakan
yang diambil oleh komunikator dalam mengatasi suatu
masalah.17
Dalam analisis wacana, tematik berarti membongkar tema
atau topik dari wacana tersebut. Dengan demikian, dengan
mengetahui tema kita akan mengetahui gambaran umum, inti,
dan ringkasan sebuah wacana.
2) Skematik
Struktur skematik menggambarkan bentuk umum dari suatu
teks. Bentuk wacana umum disusun dengan sejumlah kategori
atau pembagian umum seperti pendahuluan, isi, penutup, dan
kesimpulan. Skematik juga merupakan strategi dari komunikator
untuk mendukung makna umum dengan memberikan sejumlah
alasan mendukung.18
Dengan demikian, struktur skematik dalam analisis wacana
memberikan sebuah alur yang tersusun dan runtut sehingga
menjadikan wacana teks memiliki kesatuan arti dan dapat
dipahami.
17 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. 3 h 75.
18
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. 3 h 76.
19
3) Semantik
Semantik dalam skema Van Dijk dikategorikan sebagai
makna lokal, yakni makna yang muncul dari hubungan
antarkalimat, hubungan antarposisi yang membangun makna
tertentu dalam suatu bangunan teks. Analisis wacana banyak
memusatkan perhatian pada dimensi teks seperti makna yang
ekplisit ataupun implisit, makna yang sengaja disembunyikan
dan bagaimana orang menulis atau berbicara mengenai hal itu.19
Penjelasan mengenai semantik yang disampaikan Van Dijk
lebih ringkasnya mengandung arti bahwa dalam sebuah wacana
teks tentu mengandung makna yang biasanya makna tersebut
tidak nampak dan perlu ditelusuri. Struktur skematik tersebut
meliputi latar, detail, ilustrasi, maksud, dan pengandaian.
Latar merupakan elemen wacana yang dapat menjadi
alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar
peristiwa digunakan untuk menyediakan latar belakang hendak
kemana makna suatu teks hendak dibawa. Detail berhubungan
dengan kontrol informasi yang ditampilkan komunikator.
Illustrasi berhubungan dengan apakah informasi tertentu
disertai contoh atau tidak. Maksud berhubungan dengan apakah
teks tersebut disampaikan secara eksplisit atau tidak, apakah
fakta disajikan secara terbuka atau tidak. Terakhir pengandaian,
19 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. 3 h 78.
20
yakni berhubungan dengan pernyataaan yang digunakan untuk
mendukung makna suatu teks.20
Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam menggali
makna semantik, maka unsur-unsur semantik yang meliputi
latar, detail, ilustrasi, maksud, dan pengandaian harus
diperhatikan dan dijelaskan.
4) Sintaksis
Ramlan mengatakan, “Sintaksis ialah bagian atau cabang
dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana,
kalimat, klausa, dan frase”. Dalam sintaksis wacana terdapat tiga
bagian yakni bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Bentuk
kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara
berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Koherensi adalah
pertalian atau jalinan antarkata, proposisi, atau kalimat.
Sedangkan kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh
komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang
dalam wacana.21
Dalam struktur sintaksis wacana teks, bentuk kalimat,
koherensi, dan kata ganti sangat berkaitan dan perlu
diperhatikan dalam penggaliannya.
5) Stilistik
Pusat perhatian stilistik adalah style yaitu cara yang
digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatukan
20 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. 3 h 79.
21
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. 3 h 80-81.
21
maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Pada
gaya bahasa tersebut mencakup diksi atau pilihan leksikal
(leksikon). Elemen pemilihan leksikal pada dasarnya
menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata
atau frase atas berbagai kemungkinan kata atau frase yang
tersedia.22
Inti dari struktur stilistik ini adalah pemilihan kata.
Pemilihan kata dalam sebuah wacana sangat perlu digunakan
guna membentuk bahasa atau kalimat yang santun dan mudah
dipahami. Contoh dari pemilihan kata stilistik ini adalah kata
“meninggal” yang memiliki arti “wafat atau mati”.
6) Retoris
Retoris adalah gaya yang diungkapkan komunikator dalam
sebuah teks. Retoris ini berkaitan dengan grafis, metafora, dan
ekspresi.
b. Dimensi Kognisi Sosial
Kognisi sosial berkaitan dengan pendekatan kognitif. Menurut
Van Dijk, “Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks
tidak mempunyai makna, tetapi makna diberikan oleh pemakai
bahasa, atau lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakai
bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atasrepresentasi
kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita.”23
22 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. 3 h 82-83.
23
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2001) Cet. 7 h 260.
22
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa arti dari
kognisi sosial adalah berhubungan dengan kognisi penulis. Jadi, hal
ini berkaitan dengan bagaimana seorang penulis memahami suatu
peristiwa ataupun bagaimana seorang penulis memproduksi berita
kemudian menuangkannya lewat wacana berupa tulisan maupun
ucapan.
Menurut Van Dijk, “peristiwa dipahami dan dimengerti
didasarkan pada skema. Van Dijk menyebut skema ini sebagai
model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana
tercakup di dalamnya bagaimana kita memandang manusia, peranan
sosial, dan peristiwa.”24
Untuk memahami skema atau model kognisi
sosial Van Dijk, dapat dilihat dari gambar berikut:
Tabel 3
Skema Kognisi Sosial Van Djik25
Skema Person (Person Schemas)
Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan
dan memandang orang lain
Skema Diri (Self Schemas)
Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang,
dipahami, dan digambarkan oleh seseorang
Skema Peran (Role Schemas)
Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang
dan menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat
Skema Peristiwa (Event Schemas)
Skema ini yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu
ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu
Dari skema yang tertera pada tabel tersebut, menunjukkan
bahwa dalam dimensi kognisi tidak mudah hanya dengan
24 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2001) Cet. 7 h 261.
25
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2001) Cet. 7 h 262-263.
23
mewawancarai komunikator wacana yakni penulis atau pembicara
untuk mengetahui pengetahuan komunikator tentang wacana
tersebut. Dalam hal ini ada proses yang komplek dan runtut yang
dimulai dari skema person hingga skema peristiwa.
c. Dimensi Konteks Sosial
Dimensi ketiga dari analisis Van Djik adalah konteks sosial.
“Wacana sosial adalah bagian dari wacana yang berkembang di
masyarakat, atau bisa dikatakan analisis sosial melihat bagaimana
teks dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan
yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana.26
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka jelaslah bahwa konsep
wacana Van Dijk sangat komplek. Van Dijk tidak hanya menggali
sebuah wacana secara sederhana melalui teks semata, melainkan ia
juga menggali wacana dari kognisi penulis, kemudian juga menggali
wacana berdasarkan pemahaman masyarakat mengenai wacana
tersebut. Dengan konteks sosial tersebut, tentu wacana juga
dipahami masyarakat secara berbeda-beda, sehingga berdasarkan
pemahaman yang berbeda tersebut, penulis harus memberikan
kesimpulan atas konteks sosial yang diperoleh.
B. Konsep Gender Dan Kesetaraan Gender
1. Pengertian Gender dan Kesetaraan Gender
Isu gender dalam masyarakat Indonesia telah lama diperjuangkan.
Sebut saja pada masa penjajahan, di mana para aktor emansipasi wanita
26
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2001) Cet. 7 h 225.
24
seperti R.A Kartini dan Dewi Sartika begitu gigih memperjuangkan hak-
hak wanita untuk memperoleh pendidikan dan turut memajukan
pembangunan.
Dalam sejarah Barat menurut Dr. Zakir Naik, perempuan dihinakan
dan tidak mempunyai hak apapun menurut hukum Babilonia. Ketika
seorang laki-laki membunuh seorang perempuan, sebagai ganti atas
hukuman bagi laki-laki itu, istrinya dihukum mati. Peradaban Yunani
dianggap sebagai peradaban kuno yang paling hebat. Ironisnya, dalam
sistem “hebat” ini perempuan tidak punya hak apa-apa dan dipandang
rendah. Dalam mitologi Yunani, seorang “perempuan imajiner” bernama
Pandora adalah akar penyebab nasib buruk manusia. Orang-orang Yunani
menganggap perempuan sebagai manusia rendah dan berada di bawah
laki-laki. Ketika peradaban Romawi berada pada puncak kejayaannya,
seorang laki-laki bahkan punya hak menghabisi nyawa istrinya.
Pelacuran dan nudism adalah hal lumrah di kalangan bangsa Romawi.27
Betapa terlihat kondisi perempuan di Barat pada saat itu. Perempuan
bukan saja tidak dihargai, melainkan direndahkan, dianggap bukan
manusia, dan diperlakukan dengan sangat hina. Tidak adanya nilai-nilai
yang menjunjung tinggi dan membela kaum perempuan.
Perbedaan gender sebenarnya tidaklah menjadi masalah, namun
yang menjadi masalah adalah dengan adanya perbedaan gender akan
melahirkan ketidakadilan. Ketidakadilan tersebut secara khusus lebih
berdampak pada perempuan.
27 Dr. Zakir Naik, Debat Islam vs Non-Islam (Solo: PT. Aqwam, 2016) h 52-53.
25
Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk yakni:
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik dan kepemimpinan,
pembentukan stereotype atau melalui pelebelan negatif, kekerasan
(violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta
sosialisasi ideologi nilai peran gender.28
Lebih jauh, khususnya dalam undang-undang Indonesia juga telah
dicanangkan undang-undang mengenai kesetaraan gender dalam upaya
melindungi kaum perempuan.
Adapun undang-undang tersebut yakni, “UU No. 7 tahun 1984
tentang ratifikasi konvensi CEDAW yakni konvensi tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan berbagai kebijakan
untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia, UU
Np23/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), UUN No.21/2007 tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang (PTPPO), UU No. 23/2002 tentang Perlindungan
Anak, UU. No 12/2006 tentang kewarganegaraan, instruksi Presiden
No.9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dan kebijakan-
kebijakan lainnya.”29
Sudah terlihat bahwa Indonesia saat ini bukan lagi negara yang tidak
menghargai perempuan. Hak-hak perempuan dan perlindungan
perempuan sudah diatur dalam undang-undang. Dengan demikian yang
28 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013) h 12.
29
www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/02/17/316536/uu-keadilan-dan-kesetaraan-gender-
segera-disahkan. Diakses pada 2 Oktober 2016 pukul 21.50 WIB.
26
seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah
menegakkan dan melaksanakan undang-undang tersebut secara benar dan
bijak.
Berkaitan dengan gender dan permasalahannya, untuk lebih paham
mengenai hal tersebut, maka perlu juga diketahui pengertian gender.
Konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Dalam
hal ini dapat dikatakan bahwa laki-laki itu secara umum bersifat kuat,
perkasa, dan rasional. Namun, perempuan juga memiliki sifat lemah,
lembut, emosional, dan keibuan. Di antara sifat-sifat tersebut yakni sifat
antara laki-laki dan perempuan juga dapat dipertukarkan, menurut konsep
gender. Perubahan sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu
dan dari tempat ke tempat yang lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan
tersebut antara laki-laki dan perempuan, yang dapat berubah dari waktu
ke waktu, dan dari tempat ke tempat, itulah yang dimaksud dengan
konsep gender.30
Berdasarkan konsep gender tersebut, maka sebenarnya sifat-sifat
yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan selama ini hanyalah
stereotype atau pelabelan. Hal ini menunjukkan bahwa sifat-sifat tersebut
diciptakan oleh masyarakat. Masyarakat seringkali menganggap
perempuan lemah dan laki-laki kuat. Padahal, laki-lakipun banyak juga
yang lemah, banyak pula perempuan yang kuat. Semua sifat-sifat tersebut
bisa muncul pada siapa saja dan kapan saja.
30 Umi Sumbulah, Spektrum Gender (Mlang, UIN Malang Press, 2008) Cet. h 8.
27
Trisakti Handayani dan Sugiarti menambahkan bahwa, “Gender
dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara
laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi peran laki-laki dan
perempuan tersebut tidak ditentukan dari perbedaan biologis dan kodrat,
tetapi dibedakan berdasarkan kedudukan, fungsi, serta peranan masing-
masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.31
Pendapat tersebut bukan lagi berbicara mengenai sifat, melainkan
peran dan kedudukan. Hal yang seringkali diperdebatkan di masyarakat
mengenai gender adalah perbedaan peran dan kedudukan antara laki-laki
dan perempuan. Ada suatu tugas yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki
dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan, kemudian sebaliknya.
Umi Sumbulah juga menyebutkan bahwa permasalahan gender
merupakan fenomena sosial budaya. Artinya, gender merupakan dampak
sosial yang muncul di masyarakat karena adanya perbedaan jenis
kelamin. Dalam hal ini sebenarnya fenomena itu bersifat netral. Artinya,
hal tersebut merupakan suatu gejala yang dapat pula dilihat dan
dipecahkan dengan perspektif agama. Maka perlulah kita merujuk pada
penafsiran para ulama mengenai kepemimpinan laki-laki atas perempuan,
kewarisan perempuan, penciptaan perempuan, yang interpretasinya
sangat mungkin untuk diperdebatkan.32
Hal yang sering pula terjadi di masyarakat adalah, mereka saling
menuntut kesetaraan gender, khususnya kaum perempuan, namun di satu
sisi mereka masih menuntut perbedaan di luar kodrat. Sebagai contoh
31 Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Malang:Universitas
Muhammadiyah, 2002) Cet 1 h 6.
32
Umi Sumbulah, Spektrum Gender (Malang: UIN Malang Press, 2008) Cet. 1 h 9.
28
adalah terkait peran dan beban kerja. Kaum perempuan menuntut
kesetaraan, dan sudah jelas disebutkan bahwa untuk peran itu adalah hal
yang mampu dipertukarkan. Namun, tetap saja di masyarakat untuk
pekerjaan berat dilimpahkan pada laki-laki dan perempuan enggan
melakukannya. Begitupun tentang beban kerja di rumah tangga,
seringkali masyarakat melimpahkannya pada perempuan, laki-laki
enggan melakukannya dengan alasan itu bukanlah pekerjaan yang pantas
untuk perempuan.
Merujuk pada kesetaraan, kesetaraan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) artinya sejajar (sama tingginya), sama tingkatnya
(kedudukannya), sepadan dan seimbang.33
Kesetaraan dalam hal ini adalah sebuah persamaan kedudukan.
Sehingga, kesetaraan gender adalah sebuah persamaan kedudukan, peran,
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi
secara sosial, namun dapat dipertukarkan. Meskipun laki-laki dan
perempuan memiliki hak serta kewajiban berdasarkan konsep gender,
tentu masih terdapat perbedaan antara keduanya. Perbedaan yang lagi-
lagi dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat didukung pula oleh agama.
Masyarakat melihat dan memberikan kesimpulan atas perbedaan
berdasarkan biologis. Sehingga kesetaraan dan perbedaan gender di
masyarakat bisa saja disebabkan oleh biologis laki-laki dan perempuan.
33 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008) Cet. 1 Edisi ke 4 h 1404.
29
2. Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender
a. Marginalisasi
Marginalisasi disebut juga pemiskinan perempuan. Ada
beberapa mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena
perbedaan gender. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan
pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan
kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.34
Salah satu contoh marginalisasi perempuan adalah terjadinya
revolusi hijau pada masa Soeharto. Pada revolusi hijau pekerjaan
bertani hanya fokus pada laki-laki saja sedangkan perempuan tidak
bisa turut bertani. Akibatnya, banyak perempuan yang mengalami
kemiskinan.
Selain itu, marginalisasi yang terjadi hingga saat ini adalah
mengenai permasalahan perempuan yang bekerja. Ada anggapan
yang menyatakan bahwa perempuan tidak berkewajiban bekerja dan
mencari nafkah. Permasalahan terkait pembagian warisan juga turut
menjadi masalah marginalisasi.
b. Subordinasi
Subordinasi adalah anggapan tidak penting dalam keputusan
politik.35
Dalam hal ini, perempuan dianggap emosional, lemah,
tidak pantas memimpin, dan tidak berhak untuk turut memutuskan
sebuah kebijakan khususnya dalam hal politik di pemerintahan.
34 Trisakti Handayani dan Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Malang:
Universitas Muhammadiyah , 2002) h 16.
35
Trisakti Handayani dan Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Malang:
Universitas Muhammadiyah , 2002) h 16.
30
Subordinasi ini juga berkaitan dengan kepemimpinan. Dimana
sering menjadi perdebatan bahwa perempuan tidak berhak menjadi
pemimpin. Jika perempuan duduk di bangku politik dan
pemerintahan, maka posisinya tidak menjadi pemimpin tertinggi
negara.
c. Stereotipe
Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis
pekerjaan tertentu.36
Dalam hal ini perempuan sudah dilabel atau
dianggap lemah, lembut, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-
laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Dengan adanya
pelabelan tersebut, maka muncul tindakan yang seolah telah
menjadikan kodrat bagi perempuan.
d. Kekerasan
Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun
integritas mental psikologi seseorang. Kekerasan terhadap
perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap
perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan
perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan
seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas
perempuan.37
Kekerasan ini memang sering terjadi di masyarakat. Meski
perlindungan perempuan sudah diatur oleh agama dan undang-
36 Trisakti Handayani dan Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Malang:
Universitas Muhammadiyah , 2002) h 17.
37
Trisakti Handayani dan Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Malang:
Universitas Muhammadiyah , 2002) h 18-19.
31
undang negara, namun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
masih sering terjadi. Kekerasan tidaklah terlalu menjadi perdebatan
di masyarakat tentang boleh tidaknya kekerasan pada perempuan
dilakukan, masyarakat tentu sudah mengetahui dan sadar bahwa
kekerasan tidak boleh dilakukan. Namun yang menjadi
permasalahan adalah aturan agama dan negara tersebut masih kurang
diterapkan dengan semestinya.
e. Beban kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat
memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah
tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga
menjadi tanggung jawab kaum perempuan.38
Dalam hal ini biasanya banyak kaum laki-laki yang enggan dan
gengsi untuk turut mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Semua
tugas rumah tangga mulai dari mengurus anak, memasak, mencuci,
menyapu, mengepel, dan sebagainya hanya menjadi tugas
perempuan saja. Sehingga jika perempuan juga bekerja mencari
nafkah, maka perempuan akan memiliki pekerjaan ganda.
C. Kemuliaan Perempuan dalam Islam
Berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam Islam tentu tidak lepas
dari sejarah sebelum masa kerasulan, yakni masa sebelum munculnya Nabi
akhir zaman Muhammad SAW yang membawa risalah agama Islam. Masa itu
disebut pula dengan masa atau zaman jahiliyah yang menggambarkan
38 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2013) h 21.
32
kehidupan manusia dalam kehancuran akhlak dan moral. Di masa itu pula
wanita tidak dihargai, dianggap rendah, dan diperlakukan secara budak.
Para lelaki Arab di masa itu mempunyai banyak istri dan tidak dibatasi
jumlah istri yang dapat mereka miliki. Demikian pula sebaliknya, para wanita
di zaman itu boleh memiliki suami sebanyak yang mereka inginkan.
Perzinahan adalah hal yang umum terjadi di antara orang-orang Arab
sebelum Islam muncul. Anak tiri dapat menikahi ibu tiri mereka dan bahkan
kadang-kadang seorang saudara kandung menikahi saudari kandung mereka
sendiri. Pria dan wanita bebas melakukan apapun menuruti hasrat mereka.
Posisi wanita sangat direndahkan dalam masyarakat Arab. Mereka
diperlakukan sebagai barang yang hina dan sebagai alat pemuas nafsu belaka.
Kelahiran seorang anak perempuan dianggap sebagai kutukan yang besar.
Mempunyai anak perempuan merupakan hal yang memalukan di zaman itu,
dan mempunyai anak laki-laki adalah sebuah kebanggaan. Karenanya, tidak
jarang orang-orang Arab di masa itu membunuh bayi-bayi perempuan
mereka. Sebaliknya, mereka sangat berbangga hati apabila yang lahir adalah
bayi laki-laki. Wanita di zaman itu tidak memiliki hak waris dari suami atau
ayah kandung mereka. Kesimpulannya, wanita tidak memiliki kedudukan
dalam masyarakat.39
Kondisi jahiliyah masyarakat Arab tidaklah jauh berbeda dengan kondisi
masyarakat Barat. Perempuan bukan hanya saja tidak dihargai, namun
direndahkan, tidak dianggap penting, dianggap hina dan sebagai kutukan
39 http://www.lampuislam.org/2015/10/keadaan-masyarakat-arab-di-zaman.html. Diakses pada
15 Oktober 2016 Pukul 09.12 WIB.
33
besar. Namun di satu sisi mereka menjadikan perempuan sebagai alat pemuas
nafsu laki-laki.
Setelah Islam muncul, barulah hak-hak dan nilai-nilai perempuan
diangkat, perempuan dihargai serta dimuliakan. Penghargaan terhadap
perempuan dalam Islam tercantum dalam beberapa dalil Al-Qur‟an dan
Hadits, di antaranya sebagai berikut:
بىحبث مه رمش أو أوثى وهى مؤمه فأوىئل ذخيىن ومه عمو مه اىص
( ٤٢١اىجىت ول ظيمىن وقشا )
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam
surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. an Nisâ ayat
124)
ب أهب اىزه آمىىا ل حو ىنم أن حشثىا اىىسبء مشهب ول حعضيىهه
خمىهه إ ل أن أحه بفبحشت مبىت وعبششوهه ىخزهبىا ببعض مب آح
ببىمعشوف وعبششوهه ببىمعشوف فئن مشهخمىهه فعسى أن حنشهىا
شا مثشا ) فه خ ئب وجعو الل ( 91ش
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.” (QS. An Nisa ayat 19).
ب: حذ ثىب أ بى خب ىذ ق، عه عبذ الل به حذ ثىب أ بى مش عه ال عمش، عه شق
. عمش و قب ه: قب ه س سى ه ا لله خب س مم ىىسب ءهم
Abu Kuraib menyampaikan kepada kami dari Abu Khalid, dari al-
A’masy, dari Syaqiq, dari Masruq, dari Abdullah bin Amr bahwa
Rasulullah bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah
orang yang paling baik terhadap istrinya.”40
40 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al Qazwini Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadits Sunah
Ibnu Majah (Jakarta: Al Mahira, 2013) Cet. 1 Hadits no. 1978. h 351.
34
Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa dalam segi ibadah, laki-laki dan
perempuan memiliki kewajiban serta balasan yang sama di hadapan Allah
SWT. Mereka yang taat beribadah dan mengerjakan amal shaleh maka akan
mendapatkan balasan surga. Selain itu, laki-laki harus memperlakukan wanita
dengan baik karena seorang laki-laki yang paling baik adalah yang paling
baik terhadap istrinya.
Meski telah turun dalil-dalil mengenai kedudukan laki-laki dan
perempuan, penghargaan perempuan, permasalahan pun akan tetap muncul
mengatasnamakan perjuangan kesetaraan gender. Dalam hal ini masalah
tersebut pada umumnya dapat muncul berupa pendapat Islam mengenai
perempuan sebagai kepala negara atau pemimpin dan mengenai boleh atau
tidaknya wanita bekerja.
Isu yang terpenting dan masih selalu diperdebatkan saat ini adalah
perempuan sebagai kepala negara. Isu ini selalu mengemuka terutama jika
ada sinyal seorang perempuan mendapat dukungan rakyat untuk menjadi
presiden atau perdana menteri. Perdebatan selalu sengit. Baik kelompok yang
mendukung maupun menentang menjadikan dalil-dalil agama sebagai
argumentasinya.41
Adapun pihak yang tidak mendukung perempuan menjadi seorang kepala
negara ataupun pemimpin, mereka menggunakan dalil-dalil sebagai berikut:
جبه امىن اىش و بمب اىىسبء عيى قى فض أوفقىا وبمب بعض عيى بعضهم الل
بىحبث أمىاىهم مه ب حبفظبث قبوخبث فبىص حفظ بمب ىيغ ح الل واىل
41 Badriyah Fahyumi dkk, Isu-isu Gender dalam Islam (Jakarta: PWS UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2002) Cet. 1 h 5.
35
فئن واضشبىهه اىمضبجع ف واهجشوهه فعظىهه وشىصهه حخبفىن
هه حبغىا فل أطعىنم إن سبل عي ﴾٤١﴿ مبشا عيب مبن الل
“Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, oleh karena itu
Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena
mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah
mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa’ayat
34)
عضض حنم هه دسجت والل جبه عي هه ببىمعشوف وىيش وىهه مثو اىزي عي﴿222﴾
“… Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang menurut cara
yang baik. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya.” (QS. Al-Baqarah ayat 228)
مبة لة وآحه اىض ج اىجبهيت الوىى وأقمه اىص جه حبش وقشن ف بىحنه ول حبش
وسسى ج وطهشمم وأطعه الل جس أهو اىب ىزهب عىنم اىش ىه إومب شذ الل
(33) حطهشا
“Dan hendaklah kalian (wahai para istri nabi) tetap di rumah kalian dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” (QS. al-Ahzab ayat 33)
Selanjutnya permasalahan yang timbul adalah mengenai seorang wanita
yang bekerja. Pertanyaan yang timbul di masyarakat yakni, bolehkah
perempuan bekerja atau hanya laki-laki saja yang mencari nafkah dan
perempuan di rumah?
Muhammad Albar berdasarkan penelitian mengenai kondisi Barat,
mengatakan, “keluarnya wanita dari rumahnya untuk bekerja akan diikuti
dengan perubahan-perubahan sosial yang tidak dapat dielakan meskipun kita
36
mengakui hal yang sebaliknya. Dalam kondisi seperti ini, perzinaan pasti
akan bertambah, dan secara bertahap hal itu akan diperbolehkan. Demikian
pula prostitusi akan dikemas dengan ungkapan-ungkapan cinta, kebebasan
dan kemajuan sampai akhir kemerosotan yang mengerikan yang mencakup
sarana informasi dari pendengaran kita setiap pagi dan petang sehingga
pernikahan akan semakin sulit. Keburukan akan berakhir sampai kondisi
sosial dan akhlak ambruk seperti di Barat. Kejahatan-kejahatan akan
bertambah banyak dengan berbagai macam bentuknya dan kenakalan remaja
juga bertambah dan kemerosotan akhlak di kalangan para remaja yang
kehilangan kasih sayang ibunya dan perlindungan keluarga karena ibunya
sibuk bekerja di pabrik-pabrik, bisnis, dan kantor-kantor.42
Dengan demikian, menurut Muhammad Albar, dengan wanita keluar
rumah untuk bekerja dapat menimbulkan banyak akibat buruk yang
membawa malapetaka bagi wanita dan masyarakat, kerugian ekonomis dan
sosial.
Berdasarkan anggapan serta pemaparan mengenai pandangan Islam
terhadap perempuan, memang ada beberapa kondisi yang diterima dan
diperdebatkan. Adapun pernyataan perempuan yang diterima yakni bahwa
perempuan dan laki-laki sama dalam hal beribadah dan nilai pahala dari
Allah. Namun yang sering diperdebatkan adalah mengenai kedudukan wanita
sebagai pemimpin dan berkarir. Untuk itu, perlu lebih jelas lagi mengkaji dan
menafsirkan dalil-dalil Al-Qur‟an dan Hadits. Namun, selain merujuk pada
dalil, perlu juga melihat konteks permasalahan dan menyesuaikannya.
42 Muhammad Albar, Wanita Karir dalam Timbangan Islam (Beirut, Daar Al-Muslim,1994),
Cet. 1 h 109.
37
BAB III
GAMBARAN UMUM: BUYA HAMKA DAN
BUKU “BUYA HAMKA BERBICARA TENTANG
PEREMPUAN”
A. Gambaran Umum Buya Hamka
1. Riwayat Hidup Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan
panggilan Hamka lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat
pada 17 Februari 1908. Selain terkenal sebagai sastrawan, ia juga seorang
intelektual Islam, wartawan, dan aktivis politik keamanan.43
Beliau merupakan putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Karim
Amrullah dan Shaffiah.44
Semasa kecil hingga remajanya, kehidupan
Hamka tidaklah bahagia melainkan penuh dengan penderitaan. Sebelum
menikah dengan ibunya, ayah Hamka telah menikah dengan Raihana
yang tak lain adalah kakak kandung Shaffiah (ibu Hamka). Setelah
Raihana meninggal, ayah Hamka menikah dengan ibunya.
Penderitaan Hamka berawal dari perceraian ayah dan ibunya di
usianya yang masih sangat muda. Seperti yang diungkapkannya,
“Barulah beberapa saat kemudian, dia mendengar dari neneknya itu,
bahwa ibunya telah diceraikan oleh ayahnya. Usianya ketika itu telah 12
tahun. Dia tahu apa artinya kesedihan. Dia menangis mendengarkan
kabar itu, sebab dilihatnya neneknya menangis. Sebab dilihatnya
43 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h. 157.
44
Irfan Hamka, Ayah (Jakarta: Republika Penerbit, 201) h 289.
38
memang mak tuanya, saudara ayahnya, sejak beberapa hari ini, berubah
sikap kepadanya. Dan dilihatnya ibu tirinya gembira. Ketika neneknya itu
datang, ditemani oleh engkunya, dengan maksud hendak menjemput
ayahnya, supaya surut kembali, kelihatan orang mencibir-cibirkan bibir.
Menyatakan tidak suka ayahnya kembali kepada ibunya”45
.
Berdasarkan penuturan Hamka, jelaslah bahwa ayahnya telah
menikah tiga kali. Ibunya adalah istri kedua. Dengan adanya perceraian
ayah dan ibunya, tentu Hamka tidak hanya mengalami kesedihan,
melainkan juga tekanan dan guncangan perasaan yang tidak karuan.
Hingga pada akhirnya Hamka harus tinggal dengan ayahnya dan berpisah
dengan ibunya. Dengan kejadian perceraian itu, meski Hamka turut
tinggal bersama ayahnya, Hamka sering tidak akur dan membenci
ayahnya. Tidak damainya Hamka dengan ayahnya beransur hingga
Hamka dewasa dan menikah.
Dari pernikahan ayah dan ibunya, Hamka merupakan anak pertama
dan memiliki tiga saudara, yakni Abd. Kudus, Abd. Mukti, dan Asma
Karim.
Hamka mengatakan, “Di umur tujuh tahun dia sudah disuruh
sembahyang tetapi puasa belum diperintahkan”46
. “Ayah ingin benar agar
dia kelak jadi ulama”47
. Berdasarkan ungkapan Hamka, dapat diketahui
bahwa sejak kecil Hamka sudah diajarkan ilmu agama oleh ayahnya yang
memang dulu adalah seorang ulama dan alim. Ayah Hamka juga
memiliki cita-cita agar Hamka kelak menjadi seorang alim dan ulama.
45 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h. 64.
46
Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 26.
47
Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 49.
39
Cita-cita ayah Hamka telah terkabul, Hamka tidak hanya menjadi alim
dan ulama, melainkan sastrawan dan aktivis politik.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau
sampai kelas dua sebelum akhirnya melanjutkan ke Sumatera Thawalib
di Padang Panjang. Di sana Hamka mempelajari agama dan Bahasa
Arab. Hamka juga mengikuti pengajian di surau yang diberikan ulama
terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan
Mansur, dll.48
Dengan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa perjalanan
pendidikan Hamka sangat panjang. Hamka tidak hanya belajar di satu
tempat, melainkan belajar di berbagai tempat, seperti sekolah, surau, dan
dari berbagai guru.
Lebih dari itu, Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan
politik (Islam maupun Barat). Penguasaannya atas Bahasa Arab
membuatnya tidak kesulitan mengaji dan mengkaji karya para ulama dan
sastrawan dari Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas
al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal, bahkan melalui
Bahasa Arab. Juga beliau meneliti karya intelektual Barat seperti Karl
Marx, Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee,
Sartre, dan Pierre Loti. Hamka sangat rajin membaca dan bertukar
pikiran dengan tokoh-tokoh besar seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Raden
Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, A.R. Sutan Mansur, dan Ki Bagus
48 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 157.
40
Hadikusumo sambil terus mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang
ahli pidato yang andal.49
Dari pernyataan ini kita juga mengetahui bahwa Hamka tidak
hanya menekuni ilmu agama dan sastra saja, melainkan juga ilmu sosial
dan politik. Hamka tidak hanya mempelajari sebatas ilmu di Indonesia,
melainkan juga Barat dan bahkan belajar dengan orang Timur Tengah.
Hal ini tentu adalah faktor Hamka memperoleh keluasan ilmu.
Pada tahun 1927 bekerja sebagai guru agama di perkebunan Tebing
Tinggi (Medan) dan pada 1929 menjadi guru agama di Padang Panjang.
Hamka kemudian menjadi dosen Universitas Islam Jakarta dan
Universitas Muhammadiyah Padang Panjang dari tahun 1957 hingga
tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi
Islam Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo Jakarta. Dari tahun 1951
sampai dengan tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi
Agama dan meletakkan jabatan itu ketika Presiden Soekarno memintanya
memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat di ranah politik
dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).50
Dalam hal ini dapat diketehui bahwa pengalaman karier Hamka
sangat panjang dan kompeten di segala bidang. Selain sebagai ulama,
sastrawan, dan pegiat politik, Hamka juga pernah menjalani profesi
sebagai guru, dosen, pegawai Tinggi Agama, dan juga sebagai seorang
rektor. Keluasan ilmu dan keluasan profesi yang ditekuni Hamka
membuat Hamka patut diapresiasi, diteladani semangat juang dan
49 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) 157-158.
50
Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 158.
41
semangat menuntut ilmunya, dan memperoleh posisi terbaik di hati
masyarakat.
Tahun 1924, Hamka berangkat ke Yogyakarta. Di sana ia mulai
aktif dalam pergerakan Muhammadiyah yang diikuti sejak mulai aktif
dalam pergerakan Muhammadiyah yang ia ikuti pendiriannya di tahun
1925. Masih di tahun yang sama ia mulai terjun dalam kegiatan politik
dan menjadi anggota partai politik Syarikat Islam. Sejak tahun 1928,
beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun
1929 Hamka mendirikan Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah dan
pada tahun 1931 beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.
Kemudian pada 1946, beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan
Muhammadiyah di Sumatera Barat. Hamka dipilih menjadi penasihat
pimpinan Pusat Muhammadiyah di tahun 1953. Pada 26 Juli 1977,
Hamka dilantik sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
tetapi beliau mengundurkan diri, pada tahun 1981, karena nasihatnya
tidak dipedulikan oleh pemerintah Orba.51
Uraian tersebut sudah cukup jelas untuk mengetahui bagaimana
pengalaman politik Hamka mulai dari menekuni organisasi
Muhammadiyah, Serikat Islam, sampai akhirnya sempat menduduki
jabatan sebagai ketua MUI. Dengan aktifnya Hamka dan keluasan
berpikirnya, Hamka juga mendirikan Universitas UHAMKA yang
bernuansa dengan pergerakan Muhammadiyah.
51 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 58-59.
42
Hamka aktif menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke
Indonesia melalui pidato dan turut turun dalam kegiatan gerilya di hutan-
hutan Sumatera Utara pada awal tahun 1945. Pada tahun 1947, Hamka
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia
menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi orator utama dalam
Pemilu tahun 1955. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka
menjalani hidup dalam penjara Orde Lama karena dianggap pro-
Malaysia. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota
Badan Musyawarah Kebajikan Nasional (BMKN), anggota Majelis
Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional,
Indonesia.52
Masa kehadiran Hamka adalah masa-masa Indonesia masih
mengalami penjajahan. Pada masa itu tentu dengan pandainya Hamka
dalam berpidato dan sifat Hamka yang keras dan pemberani, Hamka turut
menjadi penentang para penjajah Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan
seorang wartawan, penulis, editor, dan aktivis penerbitan. Sejak tahun
1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti
Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan
Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor dan
menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi
editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
52 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 159.
43
Kemahiran Hamka dalam sastra inilah yang membuat Hamka
menuangkan banyak karya yang menginpirasi dan banyak bermanfaat
bagi masyarakat. Karya-karyanya hingga saat ini masih berkembang dan
dapat dinikmati masyarakat.
Sejak muda Hamka memulai aktivitas kesastraannya dan pandai
dalam berpidato. Di waktu kanak-kanak kakek Hamka juga
mengajarkannya dongeng dan pantun-pantun.
Hamka mengatakan, “Banyak lagi pantun-pantun yang indah-
indah, baik mengenai kias dan ibarat, atau mengenai untung dan nasib,
atau mengenai kegagalan di dalam hidup. Barangkali banyak perasaian
yang ditanggungkan oleh orang tua itu di masa mudanya, yang
menyebabkan hikayat, dongeng, ceritera, dan pantun yang
ditumpahkannya pada cucunya”53
. Hanya satu pelajaran saja yang
menarik hatinya, pelajaran‟Arudh, yaitu timbangan sya‟ir Arab. Thawil,
Madid, Basit, wafer, dan lain-lain. Syair-syair itu amat menarik hatinya,
dan dapat dihafalnya. Kalau pelajaran-pelajaran yang lain, lebih banyak
dia mengantuk. Atau hanya matanya yang melihat kitab. Adapun hatinya
melayang jauh, ke Pasar Usang, ke Cinema Theater, Eddie Polo, Marie
Walcamp, “De Klauw tangan besi”, film-film bisu yang popular pada
waktu itu54
. Dalam tahun 1925, setelah kembali dari Jawa itu,
diadakannyalah kursus berpidato dalam kalangan kawan-kawannya, di
surau ayahnya di Padang Panjang. Pidato-pidato kawan-kawannya itu
dicatat dan dijadikan buku, kemudian dicetak. Pendeknya, “Tabligh
53 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 16.
54
Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 52.
44
Muhammadiyah” telah mempunyai majalah, dia yang jadi hoofdrrektur.
Pidato-pidato kawan-kawannya itu dia sendiri yang mengarangkan.
Kumpulan pidato itu dijadikan organ. Kawan-kawannya berbesar hati,
karena pidato mereka tidaklah sebagus yang dituliskannya itu. Jadi, di
tahun 1925 dia telah mulai mengarang. Dalam usia 17 tahun. Dengan
tidak ada latihan sekolah lebih dahulu.55
Uraian Hamka tersebut telah menjadi sedikit penjelasan mengenai
proses Hamka memulai aktivitas kesastraannya. Selain jiwa dan
pikirannya telah bersatu dengan sastra, Hamka juga memperoleh bakat
sastra dari kakeknya yang sering mendongengkan dan
memperdengarkannya pantun-pantu. Maka ketika dia belajar mengenai
sya‟ir Arab, pelajaran tersebut mudah diterimanya.
Perjalanan sastra Hamka juga tidak begitu mudah, Hamka
mendapatkan tentangan dari ayahnya yang ingin ia belajar ilmu agama
agar menjadi orang alim dan ulama, bukan menjadi pandai berpidato
tanpa ilmu. Tentangan dan kritikan juga muncul dari warga kampungnya.
Dalam hal ini Hamka mengatakan, “Malik hanya pandai pidato,
tetapi tidak alim, dia tidak pandai nahwu-sharaf”.56
Hamka
menambahkan, “Ayahnya pun rupanya sependirian pula dengan beberapa
kawan-kawannya itu. Perlu apa pandai berpidato saja kalau
pengetahuannya tidak cukup. Apalah perlunya kalau cuma pandai
55 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 103.
56
Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 104.
45
menghafal-hafal sya‟ir, berceritera tentang sejarah, sebagai burung
beo”57
.
Sebab Hamka lebih mudah belajar sastra dan sedikit mengabaikan
pelajaran agama, maka dari itu ia mendapat kritikan yang membuatnya
marah dan membenci semua orang termasuk warga kampung dan
ayahnya, kecuali kakek dan neneknya. Bagi Hamka yang tetap
bersahabat dengannya adalah kakek, nenek, serta buku catatannya
sebagai curahan hatinya.
Karena rasa bencinya pada semua orang, Hamka pergi untuk Haji
ke Tanah suci. Ia ingin membuktikan bahwa ia bukanlah orang rendah
seperti prasangka ayah dan warga kampungnya. Keinginannya pergi ke
Mekkah juga karena ingin memenuhi janji ayahnya yang tidak mampu
dipenuhi oleh ayahnya dulu. Hamka mengatakan, “Dia hendak ke
Mekkah, dia hendak pulang kelak dengan memakai serban. Niat ayahnya
yang dilafalkan tatkala dia dilahirkan sepuluh tahun, yang oleh ayahnya
sendiri tidak dapat dipenuhi, dia sendiri hendak memenuhi”58
.
Hamka juga mengatakan, “Pada permulaan Februari 1927 pemuda
kita meninggalkan pelabuhan Belawan, menuju Jeddah menumpang
kapal Karimata kepunyaan Stoomvaart Maatschappij Nederland”59
.
Dengan pernyataan Hamka tersebut, menunjukkan bahwa Hamka pergi
ke Tanah Suci pada tahun 1927. Hamka ke Mekkah hanya sekedar haji,
bukan untuk sekolah ataupun menuntut ilmu. Ia pun pergi ke Mekkah
dengan biaya dan bekal yang seadanya. Niat dan tekadnyalah yang
57 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 105.
58
Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 110.
59
Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 110.
46
kemudian membawa Hamka sampai ke tempat yang dituju dan kembali
ke Tanah Air.
Mengenai perjalanan cinta Hamka, Hamka dulu sempat mencintai
seorang gadis di kampungnya yang sejak kecil dipertunangkan oleh
ayahnya, namun sayang gadis itu telah menikah dengan orang lain.
Hamka mengatakan, “Guna apa saya pulang? Orang kampung tidak akan
menerima saya. Sebab saya tidak alim. Dan saya malu pulang, sebab
tunangan saya, yang dipertalikan ayah dari kecil telah dikawinkan
dengan orang kaya”60
. Maka dari itu, setelah Hamka selesai menunaikan
haji, Hamka tidak ingin pulang ke kampungnya dan bersinggah ke
Medan melanjutkan profesi mengarangnya. Sewaktu perjalanan hendak
haji, di kapal bertemu dengan seorang gadis dari Bandung bernama
Kalsum. Hamka hedak ditawarkan untuk menikah dengan Kalsum,
namun ia kemudian menolak. Hamka mengatakan, “Namun keinginan
yang amat besar itu, dapat ditahan oleh pengaruh ingatan kepada ayah
bunda di kampung itu. Mulai teringat, bagaimanalah akhirnya nanti.
Rusaklah penghargaan orang kampung atas perjalanan itu, kalau
terdengar pula kawin di kapal dengan orang Bandung. Sudah tersebut di
kampungnya, bahwa kalau kawin dengan orang Bandung, akan hilanglah
selamanya di sana. Tidak diharap pulang lagi”61
.
Meski Hamka adalah orang keras, membenci ayah dan warga
kampungnya, dalam kondisi seperti itu, Hamka masih ingat dan
menghargai warga kampung dan ayahnya. Sehingga, tawaran untuk
60 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 150.
61 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 113.
47
menikahi Kalsum ditahannya. Hamka juga menolak menikah dengan
Maryam, perempuan Hejaz di rumah syekhnya yang mendesak untuk
menikahinya.
Hamka menuliskan, “Haji Jusuf, membawanya bercakap empat
mata ke sudut surau: Ayah kecilnya itu berkata, „Malik, obatlah hati
ayahmu, beliau sudah tua. Engkau telah dipertunangkan dengan anak
perempuan Endah Sutan, namanya Siti Raham‟62
.
Hingga pada akhirnya, Hamka pulang dengan paksaan dan
menikah dengan Siti Raham pada 5 April 1929. Setelah kembalinya
Hamka dari Tanah Suci dan menikah dengan Siti Raham, Hamka
berbaikan dengan ayahnya. Ayahnya menunjukkan bukti bangganya pada
Hamka.
Dari pernikahannya dengan Siti Raham, Hamka memiliki 12 anak,
dua di antaranya yakni Hisyam dan Husna meninggal dunia saat masih
balita. Adapun 10 anaknya yang lain adalah Zaki, Rusjdi, Fachry,
Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Shaqib63
. Setelah Siti
Raham meninggal pada 1971, 6 tahun kemudian Hamka menikah lagi
dengan Hajah Siti Chadijah.64
Mengenai penghargaan yang diperoleh Hamka, Irfan Hamka
mengatakan, “Ayah juga pernah mendapatkan berbagai gelar
kehormatan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Kairo
(Mesir). Lalu gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Prof.
Moestopo Beragama. Kemudian, di tahun 1974 mendapat gelar yang
62 Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h 152.
63
Irfan Hamka, Ayah (Jakarta: Republika Penerbit, 2013) h 295.
64 Irfan Hamka, Ayah (Jakarta: Republika Penerbit, 2013) h 289.
48
sama dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Setelah meninggal dunia,
Ayah mendapat Bintang Mahaputera Madya dari Pemerintah RI di tahun
1986. Dan, terakhir di tahun 2011, Ayah mendapatkan penghormatan
dari pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional”65
.
Bukti penghargaan Hamka tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat dan pemerintah sangat mengapresiasi karya, perjuangan, dan
jejak hidup yang telah Hamka torehkan. Bahkan sampai Hamka wafat
masih mendapatkan penghargaan sebagai bukti penghormatan
terhadapnya.
Hamka meninggal dunia (di usia 73 tahun) pada 24 Juli 1981 di RS
Pusat Pertamina Jakarta dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta
Selatan66
. Perjalan hidup Hamka sangat panjang. Hamka telah hidup
selama kurang lebih 73 tahun. Sepanjang usianya telah banyak
pengalaman hidup yang dirasakan oleh Hamka dan sejumlah prestasi
hidup yang tidak dimiliki oleh orang lain.
2. Karya-karya Buya Hamka
Buya Hamka yang merupakan seorang ulama dan satrawan
sekaligus aktif di bidang perpolitikan, memiliki banyak karya yang
hingga saat ini masih hidup dan tersebar luas di masyarakat. Karya-
karyanya yang sudah dituangkan kurang lebih sekitar 118 karya.
Irfan Hamka yang merupakan anak kandung ke lima Buya Hamka
mengatakan, “Ada sekitar 118 karya tulisan (artikel dan buku) Ayah yang
telah dipublikasikan. Topik yang diangkat melingkupi berbagai bidang,
65 Irfan Hamka, Ayah (Jakarta: Republika Penerbit, 2013) h 290.
66
Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu (Jakarta: Balai Pustaka, 2015) h. 160.
49
beberapa di antaranya mengupas tentang Agama Islam, filsafat sosial,
tasawuf, roman, sejarah, tafsir Al-Qur‟an, dan otobiografi”.67
Dengan demikian, karya Buya Hamka tidak hanya terbatas dalam
bidang sastra seperti roman, novel, puisi, dan cerpen saja, melainkan juga
berupa artikel dan buku-buku keagaman.
Adapun sebagian karya-karya Buya Hamka adalah sebagai berikut:
1) Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
2) Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
3) Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
4) Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
5) Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid,
1929.
6) Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
7) Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
8) Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
9) Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
10) Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
11) Majalah Semangat Islam, 1943.
12) Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
13) Hikmat Isra‟ Mi‟raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
14) Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
15) Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
67 Irfan Hamka, Ayah (Jakarta: Republika Penerbit, 2013) h 290.
50
16) Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
17) Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak
diketahui),
18) Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar
Rasyid, 1946.
19) Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
20) Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak
diketahui).
21) Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
22) Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
23) Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
24) Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
25) Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
26) Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
27) K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
28) Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta:
Pustaka Islam, 1957.
29) Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
30) Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
31) Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak
ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan,
pada tahun 1995 dan 1999).
32) 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
33) Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
51
34) Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
35) Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
36) Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965
(awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah
sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-
Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
37) Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
38) Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
39) Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
40) Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1968.
41) Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang:
Minang Permai, 1969.
42) Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1970.
43) Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam
Indonesia, 1971.
44) Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
45) Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1973.
46) Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta:
Bulan Bintang, 1973.
47) Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1973.
52
48) Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
49) Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
50) Studi Islam, Aqidah, Syari‟ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman,
1976.
51) Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1976.
52) Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan
Nurul Islam, 1980.
53) Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1982.
54) Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
55) Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
56) Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
57) Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian,
Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
58) Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1984.
59) Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
60) Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
61) Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
62) Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
63) Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1986.
53
64) Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990.
65) Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1995.
66) Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
67) Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
68) Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
69) Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
70) Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
71) Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
72) Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada
tahun 1939).
73) Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang:
1926.
74) Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
75) Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
76) Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
77) Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
78) Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
79) Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
80) Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
81) Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai
Pustaka, 1958.
82) Di Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
54
83) Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
84) Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
85) Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
86) Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979.
87) Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan:
Pustaka Nasional, 1929.
88) Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
89) Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
90) Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
91) Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
92) Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
93) Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H.
Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
94) Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.68
Beberapa karya Buya Hamka yang telah disebutkan, membuktikan
bahwa selain Buya Hamka adalah ulama yang tidak diragukan lagi ilmu
agamanya, pengalamannya dalam menulis juga sangat mahir dan
kompeten. Selain karya-karya tersebut, Buya Hamka juga menuangkan
karya terbesarnya yakni Tafsir Al Azhar sebanyak 30 jilid. Tafsir Al
68 http://carta-de-michael.blogspot.co.id/2014/05/daftar-karya-buya-hamka.html. Diakses pada
Senin, 11 November 2016 pukul 14.30 WIB.
55
Azhar tersebut sekarang sudah dirangkum dengan kondisi baru yakni
sebanyak 9 jilid.
Karya Buya Hamka yang masih berkembang sampai sekarang juga
membuktikan bahwa ilmu yang dituangkan Buya Hamka lewat karyanya
masih dapat bermanfaat untuk masyarakat. Banyaknya karya Buya
Hamka tentu menjadikan Buya Hamka memperoleh apresiasi besar dari
masyarakat. Apresiasi tersebut dibuktikan dengan karya Buya Hamka
yang berhasil di filmkan yakni “Di Bawang Lindungan Ka‟bah” dan
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”. Selain itu, kedua karya yang
difilmkan dan karya “Merantau ke Deli” telah berhasil menjadi bacaan
wajib studi sastra di Malaysia dan Singapura.
B. Gambaran Umum Buku “Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan”
1. Sinopsis Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
Sinopsis buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
menurut Jumi Haryani dapat dikutip dari cover belakang buku, kemudian
ditambahkan dengan rangkuman singkat buku tersebut. Adapun uraian
Jumi Haryani yakni, “Untuk sinopsis bisa diambil dari cover belakang
buku dan bisa ditambahkan rangkuman”69
.
George Bernard Shaw pernah mengatakan, “Di saat seorang
perempuan bersuami, di saat itu pula semua harta miliknya, menurut
Undang-Undang Inggris, menjadi milik suaminya”. Disebutkan pula
bahwa perempuan Perancis baru memiliki hak suara dalam pemilihan
umum Kotapraja sejak tahun 1965, setelah Menteri Kehakiman
69 Wawancara dengan Ibu Jumi Haryani (Editor buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan”) di Gema Insani Penerbit, Jl. Ir. H. Juanda Depok.
56
mengadakan amandemen terhadap Undang-Undang Sipil Perancis.
Melihat latar belakang tersebut, bisa dipahami jika di dunia Barat muncul
gerakan feminism. Namun, sangat tidak pas bila kemudian feminisme
menyerang Islam dengan alasan Islam menindas perempuan karena jauh
berabad-abad sebelum gerakan ini lahir, Islam telah memuliakan
perempuan. Al-Imam al-Hafizh Ibnu Qayimal-Jauziyah, yang meninggal
pada tahun 751/H (1350/M), artinya tujuh abad yang lalu, telah
menyatakan fatwanya, “Seorang anak gadis yang telah baligh, berakal,
dan cerdas, tidaklah boleh ayahnya berbuat sesuka hati terhadap harta
kepunyaannya, kecuali kalau dia suka. Si ayah pun tidak boleh bersikeras
memaksakan mengeluarkan harta anak gadis tersebut di luar
keinginannya. Padahal, mengeluarkan semua hartanya tanpa kerelaannya
lebih mudah daripada menikahkannya dengan orang bukan pilihannya
sendiri tanpa kerelaannya. Nah, Buya Hamka dalam buku ini lebih jauh
menguraikan bahwa perempuan sangat dimuliakan dalam Islam. Hal
tersebut dibuktikan dengan dalil-dalil, baik dari Al-Qur‟an maupun al-
Hadits, serta sejarah hidup Rasulullah, sahabat, dan generasi-generasi
saleh. Buku ini juga mengingatkan umat Islam dari sumber-sumber
aslinya sehingga umat Islam dapat memahami Islam dengan benar, bukan
dari para orientalis yang ada penyakit dalam hatinya.70
Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” lebih jauh juga
mengulas mengenai perempuan yang dimuliakan dalam Islam dengan
menyebutkan beberapa dalil yang berkaitan dengan hal tersebut. Laki-
70 Sampul belakang buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” (Depok: Gema Insani,
2014).
57
laki dan perempuan memiliki penghargaan yang sama, yakni dalam
ibadah dan dalam kedudukannya di rumah tangga dan masyarakat.
Dalam pembagian tugas, laki-laki dan perempuan hendaknya saling
membantu dan menyempurnakan. Harga diri seorang perempuan juga
hendaknya dijaga dan dijunjung tinggi agar perempuan tidak dianggap
rendah oleh laki-laki. Lebih jauh buku tersebut juga menjelaskan bahwa
terhadap seorang ibu dan perempuan kita harus memuliakan,
menghormati, dan menyayanginya. Dalam hal ini, Buya Hamka juga
menyebutkan bahwa perempuan lebih mulia dari bidadari, dan
perempuan memiliki jaminan hak milik. Berkaitan dengan
kepemimpinan, laki-laki benar adalah pemimpin bagi kaum perempuan.
Jika seorang istri bekerja dan berkarier, seketika tiba di rumah ia harus
taat dan merendah pada suaminya. Meski laki-laki memiliki hak atas
perempuan, laki-laki tidak boleh semena-mena terhadap perempuan.
Terakhir, Buya Hamka juga menjelaskan hak-hak istimewa bagi seorang
perempuan yang membuktikan bahwa perempuan dipandang mulia dan
tidak lebih rendah dari laki-laki.
2. Tim Penyusun Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
Penulis : Prof. Dr. Hamka
Penyunting : Jumi Haryani
Perwajahan
dan Tata Letak : Irfan Fahmi
Desain Sampul : Irfan Lubis
Sumber Foto Sampul : en.wikipedia.org
58
Penerbit : Gema Insani71
3. Penghargaan Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
Berdasarkan informasi dari Jumi Haryani, buku tersebut belum
memiliki penghargaan selain dari banyaknya eksemplar setiap cetakan.
Untuk data penjualan, Jumi Haryani menambahkan bahwa perusahaan
Gema Insani tidak bisa menginformasikan data penjualan buku tersebut
karena hal ini menyangkut privasi perusahaan.
Adapun ungkapan dari Jumi Haryani yakni, “Terkait permintaan
Saudari tentang data penjualan buku Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan, kami sampaikan bahwa data penjualan buku tersebut secara
rinci tidak dapat kami berikan karena berkaitan dengan data perusahaan.
Namun kami sampaikan bahwa penjualan buku tersebut sangat bagus
dengan cetakan ke-4 pada tahun 2016”.72
Kemudian, berdasarkan informasi dari Rendyana, selama 2014-
2016 buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” telah dicetak
sebanyak 4 kali cetakan. Setiap cetakan, dicetak sebanyak 3.000
eksemplar dan sudah terjual sekitar 9.000 eksemplar. Artinya, semenjak
2014-2016 buku tersebut sudah dicetak sebanyak 12.000 eksemplar dan
tersisa 3.000 eksemplar. hal ini juga menunjukkan bahwa buku “Buya
Hamka Berbicara tentang Perempuan” banyak diminati oleh masyarakat
dan besar kemungkinan buku tersebut akan dicetak ulang mendatang.
71 Sampul dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” (Depok: Gema Insani,
2014).
72
Pesan email dari Jumi Haryani (Editor Gema Insani Penerbit) pada Selasa, 1 November
2016 pukul 11.49 WIB.
59
Adapun ungkapan Rendyana yakni, “Cetakan terakhir april 2016. 4
kali cetak. Sekali cetak 3 ribu buku. Sudah kejual sekitar 9 ribu buku”.73
Kesimpulan mengenai penghargaan buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan” adalah buku tersebut bagus penjualannya, banyak
diminati oleh masyarakat, dan memiliki kemungkinan besar untuk
dicetak ulang mendatang.
73 Wawancara dengan Rendyana via WhatsApp pada 14 September 2016 pukul 16.05 WIB.
60
60
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Pada bab ini penulis akan memaparkan temuan dan analisis data mengenai
kedudukan perempuan dalam pandangan Islam (Analisis Wacana Kritis Terhadap
Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”). Penulis akan menguraikan
hasil temuan berdasarkan kerangka wacana Van Dijk yang membongkar tiga hal
yakni dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Bab ini juga akan menjadi
inti atau ruh dari penelitian yang di dalamnya mengandung wacana kedudukan
perempuan dalam pandangan Islam yang menjadi tema penelitian ini.
A. Analisis Wacana Kedudukan Perempuan Dari Dimensi Teks
1. Struktur Makro
a. Tematik
Tema ataupun topik umum dari buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan” yakni mengenai kemuliaan perempuan dalam
Islam. Tema tersebut didukung oleh subtopik atau subtema yang
terdapat di bagian subjudul buku tersebut. Adapun subtopik yang
terdapat di subjudul buku tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kemuliaan perempuan dalam Al-Qur‟an
Subtopik kemulian perempuan dalam Al-Qur‟an dapat
ditemukan pada subjudul “Perempuan Juga Dimuliakan” di
halaman 1 pada buku tersebut.
Dalam buku tersebut banyak disebutkan perempuan-
perempuan yang kisahnya dituliskan dalam Al-Qur‟an atau
terdapat pula surah yang menggunakan nama perempuan. Hal
61
ini tentu menjadi kebanggaan bagi kaum perempuan dan dapat
menjadi dasar bahwa perempuan sangat dimuliakan.
Adapun teks dalam buku tersebut yang menunjukkan
kemulian perempuan dalam Al-Qur‟an di antaranya adalah
sebagai berikut:
Pertama, “Ayat pertama dari surah an-Nisaa‟ ini hanyalah
satu saja di antara banyak ayat yang mengistimewakan sebutan
terhadap kaum perempuan”.74
Kedua, “Misalnya, surah ke-19 yang diturunkan di Mekah.
Surah ini memakai nama seorang perempuan, yaitu surah
Maryam. Maryam, ibunda Isa al-Masih”.75
Ketiga, “Disebut juga dalam Al-Qur‟an tentang istri Fir‟aun
yang bernama Asiyah, yang mengangkat Musa menjadi anak
dan membela Musa sampai dewasa. Perempuan inilah yang
disebut dalam surah at-Tahrim, yang memohon kepada Allah
agar dibuatkan sebuah rumah di surga pada kehidupan di akhirat
kelak sebab istana Fir‟aun yang demikian megah di dunia ini
dipandangnya bagai neraka”.76
Keempat, “Di surah an-Naml dikisahkan tentang seorang
ratu di negeri Saba‟, yaitu Ratu Bilqis. Diterangkan mengenai
percaturan politiknya dengan Nabi Sulaiman. Dalam beberapa
ayat yang singkay diterangkan bagaimana wibawa perempuan
74 Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan (Depok: Gema Insani Penerbit, 2014) h
4.
75 Ibid., h 4.
76
Ibid., h 5.
62
yang agung itu memerintah, dan para pembesar kerajaannya
yang tunduk setia menunggu perintah. Salah satu kata bersayap
yang dia tinggalkan dan tetap terlukis di dalam Al-Qur‟an ialah,
„Sesungguhnya, raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri,
mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan penduduknya
yang mulia jadi hina..‟”.77
Kelima, “Di dalam surah Yusuf diterangkan kehidupan
mewah dalam istana, kemegahan istri para pembesar”.
Selanjutnya ditambahkan pada paragraf ke-3, “Bagaimana
mereka hendak merayu seorang pemuda dan bagaimana teguh
hati pemuda tersebut menghadapi perjuangan. Itulah Nabi
Yusuf. Kemudian, diterangkan pula kejujuran perempuan-
perempuan tersebut dan belas kasihan mereka setelah insaf
bahwa fitnah yang mereka perbuat telah menyebabkan seorang
jujur mendekam di dalam penjara”.78
Keenam, “Surah al-Mujaadilah menceritakan seorang
perempuan yang datang mengajukan gugatan kepada Rasulullah
saw. disebabkan suaminya berlaku aniaya terhadap dirinya”.79
Ketujuh, “Surah al-Mumtahanah mengisahkan ujian
keteguhan iman perempuan-perempuan yang datang kepada
Rasul saw. Setelah hijrah meninggalkan negeri mereka, mekah.
Surah an-Nuur menerangkan adab perempuan dalam rumah
77 Ibid., h 6.
78 Ibid., h 6.
79
Ibid., h 6.
63
tangga. Surah al-Ahzaab menguraikan juga dari hal kesopanan
dan sikap hidup. Surah ath-Thalaaq melengkapi yang telah
tersebut dalam surah an-Nisaa‟ dan al-Baqarah mengenai hal
rumah tangga”.80
Berdasarkan teks yang terkandung dalam buku “Buya
Hamka Berbicara tentang Perempuan tersebut, jelaslah bahwa
seorang perempuan sangat dimuliakan dan diakui
keberadaannya. Hal tersebut juga sudah terdapat dasarnya dalam
Al-Qur‟an yang banyak menyebutkan dan membahas mengenai
perempuan. Ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut juga membuktikan
bahwa perempuan tidak lebih rendah dari laki-laki, tidak
dipandang sebelah mata dan tidak disia-siakan.
2) Penghargaan perempuan yang sama dengan laki-laki
Dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
juga terdapat subtopik penghargaan perempuan yang sama
dengan laki-laki. Subtopik tersebut terdapat pada subjudul
“Penghargaan yang Sama” pada halaman ke-8. Subtopik
penghargaan perempuan di antaranya sebagai berikut:
Pertama, Buya Hamka menyebutkan surah at-Taubah ayat
71-72 pada subjudul tersebut.
واىمؤمىىن واىمؤمىبث بعضهم أوىبء بعض أمشون
لة وؤحىن ببىمعشوف وىهىن عه اىمىنش وقمىن اىص
مبة وطعىن اىض إن الل ئل سشحمهم الل وسسىىه أوى الل
80 Ibid., h 7.
64
اىمؤمىه واىمؤمىبث جىبث حجشي مه 0عضض حنم وعذ الل
ححخهب الوهبس خبىذه فهب ومسبمه طبت ف جىبث
ىل هى اىفىص اىعظم عذن وسضىان أمبش ر 0 مه الل
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat,
menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana. Allah menjanjikan kepada
orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, (akan
mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat
yang baik di dalam surga Adn. Dan, keridhaan Allah lebih
besar. Itulah kemenangan yang agung.”
Selanjutnya, berdasarkan ayat tersebut Buya Hamka
menerangkan bahwa, “Apabila kita pandang ayat-ayat ini dari
segala seginya, niscaya akan kelihatan bahwa kedudukan
perempuan mendapat jaminan yang tinggi dan mulia. Terang
dan nyata kesamaan tugasnya dengan laki-laki. Sama-sama
memikul kewajiban dan sama-sama mendapat hak. Pahit manis
beragama sama-sama ditanggungkan”.81
Kedua, Buya Hamka juga menerangkan bahwa, “Kaum
laki-laki beriman dan kaum perempuan beriman sama saja
tugasnya dalam amar ma’ruf nahi munkar ini”.82
Ketiga, “Kemudian diterangkan lagi tentang tugas bersama
mengeluarkan zakat. Jika dia ada harta lebih dari satu nisab dan
cukup tahunnya, wajib dibayarkan zakatnya, sebagaimana
81 Ibid., h 9.
82
Ibid., h 10.
65
kewajiban pada laki-laki juga. Kita semua pun telah tahu bahwa
shalat dan zakat adalah inti dari ibadah Islam”.83
Keempat, “Selain shalat dan zakat, perempuan juga wajib
berpuasa seperti halnya laki-laki, dan wajib berhaji seperti laki-
laki”.84
Kelima, “Di sinilah dapat dipahami sebuah perkataan yang
terkenal bahwasannya perempuan adalah tiang negara. Jika
perempuannya baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok,
bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang, dan biasanya tiang
rumah tidak begitu kelihatan. Namun, jika rumah sudah
condong, periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk”.85
Keenam, “Ba’dhuhum auliyaa’u ba’dhin. Sebagian mereka
menjadi sebagian yang lain, saling menjaga, saling membela,
dan saling menyemangati sehingga bukan Mukmin laki-laki saja
yang dapat menaikkan martabat jiwanya dalam iman,
perempuan pun dapat berbuat hal serupa sehingga mereka,
keduanya, sama-sama besar dalam bidang masing-masing”.86
Berdasarkan teks tersebut, maka dapat diketahui bahwa
dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
terdapat subtopik penghargaan yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Dalam beberapa teks tersebut, telah dijelaskan
bagaimana penghargaan antara laki-laki dan perempuan,
83 Ibid., h 10.
84
Ibid., h 10.
85
Ibid., h 15.
86
Ibid., h 15-16.
66
bagaimana tugas mereka dalam bergama, khusunya dalam
beribadah kepada Allah SWT. Betapa pentingnya seorang
perempuan, sehingga Buya Hamka menyebutkan bahwa
perempuan adalah tiang negara. Dengan perempuan merupakan
tiang negara, maka perempuan adalah unsur terpenting demi
tegak dan kokoh suatu kehidupan, baik di tatanan kenegaraan,
rumah tangga, lingkungan, maupun suatu peradaban.
3) Harga diri seorang perempuan
Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
mengandung subtopik harga diri seorang perempuan. Subtopik
tersebut terdapat pada subjudul “Dia Mendapat Harga Diri”.
Adapun isi teks buku tersebut yang mengandung subtopik
harga diri seorang perempuan adalah sebagai berikut:
Pertama, “Mulai dicela dan disebutkan bahwa adalah dosa
besar orang yang membenci anak perempuannya.”87
Kedua, “Sejak ayat-ayat ini diturunkan, kaum perempuan
Arab mendapat kembali kepribadiannya”. Dilanjutkan oleh
potongan kalimat selanjutnya, “... mereka pun mempunyai
peranan penting yang tidak kurang daripada peranan yang
diambil laki-laki dalam pembangunan Islam. Gengsi mereka
dengan sendirinya naik”.88
Pada bagian teks tersebut, menjelaskan bahwa pada zaman
jahiliyah kaum perempuan bukan hanya tidak dihargai, tetapi
87 Ibid., h 29.
88
Ibid., h 30.
67
tidak diinginkan kehadirannya dan dibunuh hidup-hidup
lantaran dianggap memiliki harga diri rendah yang memalukan.
Tetapi kemudian setelah masa Rasullah, kaum perempuan
diangkat harga dirinya dan dizamin haknya untuk tetap hidup
dan mengambil peran penting dalam pembangunan Islam.
4) Kemulian perempuan sebagai ibu
Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
mengandung suptopik kemuliaan perempuan sebagai ibu.
Suptopik tersebut terdapat pada subjudul “Kemuliaan Ibu”.
Adapun isi teks tersebut yang mengandung suptopik kemuliaan
perempuan sebagai ibu adalah sebagai berikut:
Pertama, “Pada surah Luqman tentang menghormati kedua
ibu bapak tersebut diperingatkan sekali, bagaimana susahnya
bunda mengandung”.89
Kedua, terdapat teks yang menerangkan bahwa berbakti
kepada ibu adalah sesuatu yang diutamakan. Adapun kutipan
teksnya yakni: Ada orang bertanya kepada Rasullah, “Kepada
siapa aku mesti memberikan pembaktian?” Rasulullah
menjawab, “Ibumu!” Ditanyanya sekali lagi, masih dijawab,
“Ibumu!” Ditanyanya sekali lagi, masih dijawab, “Ibumu!”
Tanya yang keempat barulah dijawab, “Ayahmu!”90
Ketiga, yakni mengenai seorang pemuda yang dilarang
berperang oleh Rasulullah demi menjaga ibunya. Selanjutnya
89 Ibid., h 45.
90 Ibid., h 46.
68
pada halaman ke-46 paragraf ke-4 dituliskan dalam teks bahwa
Rasulullah bersabda, “Tetaplah berada pada kedua kakinya dan
di situlah terdapat surga!”91
Keempat, dituliskan dalam teks tersebut bahwa terdapat
kisah seorang pemuda bernama Juraij yang terkena fitnah
disebabkan tidak mempedulikan ibunya ketika taat dalam
ibadah. Ibunya menyampaikan permintaan kepada Tuhan yakni
pada halaman ke-47 paragraf ke-4, “Ya Allah, sebelum anakku
Juraij meninggal, biar dilihatnya juga perempuan lacur!”.92
Kelima, disebutkan bahwa terdapat kisah seorang laki-laki
yang sedang menghadapi sakaratul maut tetapi nyawanya sulit
tercabut dan sulit mengucapkan laa ilaaha illallah. Hal ini
disebabkan karena laki-laki tersebut durhaka kepada ibunya.
“Dia sangat durhaka kepada ibu bapaknya”.93
Keenam, disebutkan bahwa, “Bahkan, jika berlainan
keyakinan atau agamanya tetap harus dihormati, sebagaimana
kejadian yang menimpa Sa‟ad bin Abi Waqqash yang sangat
cinta kepada ibunya”.94
Ketujuh, “Kedudukan yang begitu tinggi diberikan kepada
ibu adalah ajaran Islam yang tertulis hitam di atas putih, dan
91
Ibid., h 46.
92 Ibid., h 47.
93
Ibid., h 50-51.
94
Ibid., h 52.
69
durhaka kepada ibu bapak adalah termasuk sab’il mubiqaat
(tujuh dosa yang sangat besar)”.95
Beberapa kutipan teks tersebut sudah menerangkan betapa
seorang perempuan sangat dimuliakan, terlebih mereka yang
berstatus sebagai ibu, sehingga seorang anak yang tidak peduli
dan mengabaikan perintah seorang ibu akan memperoleh
hukuman dari Allah.
5) Menghormati dan menyayangi perempuan
Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” juga
mengandung subtopik menghormati dan menyayangi
perempuan. Subtopik tersebut terdapat pada subjudul
“Hormatilah dan Sayangilah Mereka”. Adapun bagian teks yang
mengandung subtopik tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, “Satu peraturan dalam Islam yang tidak terdapat
dalam agama lain ialah memandang perempuan yang telah
menyusukan kita di waktu kecil sama hukumnya dengan ibu
kandung kita sendiri”.96
Kedua, “Saudara perempuan dari ibu kita, kakak dari ibu
atau adiknya, hendaklah dihormati seperti menghormati ibu”.97
Ketiga, “Saudara perempuan diperingatkan oleh Rasulullah
saw. supaya diperhatikan dan dikasihi”.98
95 Ibid., h 52.
96
Ibid., h 53.
97
Ibid., h 54.
98
Ibid., h 58.
70
Berdasarkan pernyataan teks tersebut hendaknya laki-laki
harus menghormati dan menyayangi perempuan, perempuan pun
juga harus menghormati dan menyayangi diri mereka sendiri,
karena itu adalah salah satu dari ajaran Islam.
6) Perempuan tidak selalu salah dan berdosa
Pada buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
terdapat bagian teks yang mengandung subtopik bahwa
perempuan tidak selalu salah dan berdosa. Subtopik tersebut
terdapat pada subjudul “Kisah Adam dan Hawa”.
Bagian isi teks pada subjudul “Kisah Adam dan Hawa”
adalah mengenai sebab Adam dan Hawa turun ke dunia dan
memakan buah terlarang yang oleh beberapa pandangan Barat,
agama Yahudi dan Nasrani, perempuanlah yang salah,
perempuan menjadi penyebab malapeka, berdosa, dan tidak
memiliki pandangan tetap. Tetapi, dalam pandangan Islam
perempuan tidaklah selalu salah dan berdosa, laki-laki dan
perempuan sama-sama berdosa dan memiliki tanggung jawab,
dan bahkan yang pertama kali salah adalah laki-laki yakni Adam
yang terlebih dahulu Allah minta janji dan tanggung jawab.
Adapun bagian teks yang mengandung subjudul tersebut
adalah sebagai berikut:
Pertama, “Di dalam surah al-Baqarah ayat 36 jelas benar
dinyatakan bahwa keduanya sam-sama digelincirkan oleh setan
sehingga keduanya sama-sama dikeluarkan dari dalam surga”.
71
Kemudian dilanjutkan pada poin ke-2 yakni, “Di dalam surah al-
A‟raaf ayat 20 dijelaskan pula bahwa yang diperdayakan dan
diberi waswas oleh setan sehingga memakan buah yang
terlarang itu ialah keduanya, artinya sam-sama bertanggung
jawab dan sama-sama bersalah”.99
Kedua, disebutkan surah Thaahaa ayat 115, kemudian
disebutkan teks bahwa, “Dalam ayat ini jelas terlihat tanggung
jawab seorang laki-laki dan kepada orang yang bertanggung
jawab tersebut dijatuhkan perintah dan diambil janji bahwa tidak
akan dimakannya buah yang terlarang. Akan tetapi dia lupa akan
perintah tersebut atau dia terlalai”.100
Ketiga, terdapat bagian teks yang berbunyi, “Dijelaskan lagi
pada ayat 120 bahwa yang memperdayakan ialah setan sendiri,
langsung dari setan, bukan dari rayuan istri. Di ayat tersebut
tegas sekali dituliskan seruan setan tersebut”.101
Keempat, “… yang mendurhakai Allah adalah Adam sebab
dia tidak sanggup mengendalikan diri ketika tipu daya datang.
Dia pun tidak sanggup mencegah istrinya”.102
Berdasarkan bunyi teks tersebut, dijelaskan bahwa yang
menjadi penyebab turunnya Adam dan Hawa ke dunia sebab
memakan buah terlarang bukanlah perempuan atau Hawa,
melainkan setan yang memperdayai keduanya, terlebih Adam
99 Ibid., h 63.
100
Ibid., h 63.
101
Ibid., h 65.
102
Ibid., h 66.
72
yang terlebih dahulu diberikan pesan oleh Allah. Dengan
demikian, dapat kita ketahui bahwa pemahaman dan pernyataan
perempuan selalu berdosa, salah, dan membawa petaka tidaklah
benar. Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi berdosa
dan salah, terlebih adalah laki-laki yang seharusnya juga
bertanggung jawab atas perempuan.
7) Perempuan lebih mulia daripada bidadari
Pada buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
terdapat bagian teks yang menjadi subtopik perempuan lebih
mulia daripada bidadari. Subtopik tersebut terdapat pada
subjudul yang berjudul “Lebih Mulia daripada Bidadari”.
Teks tersebut menjadi jawaban atas pertanyaan seorang
wanita bernama Ummu Salamah yakni, lebih mulia mana
perempuan dunia dengan bidadari di surga?
Adapun bunyi teksnya sebagai berikut, “Perempuan dunia
akan masuk ke dalam surga karena amalnya, shalatnya,
shalihahnya, kesetiannya kepada suami, dan pengorbanannya
untuk anak-anaknya. Sementara, bidadari mendapat tempat
tersebut dengan tidak mengetahui betapa tinggi nilai tempat
yang didiami tersebut karena tidak didapat dengan jerih payah
dan perjuangan”.103
Teks tersebut turut menjadi pendukung struktur tematik
yakni kemuliaan perempuan dalam Islam. Dalam Islam
103
Ibid., h 81.
73
perempuan adalah sosok yang mulia bahkan lebih mulia
daripada bidadari. Dengan demikian, benar bahwa Islam
menjunjung tinggi nilai-nilai perempuan.
8) Perempuan memperoleh hak milik
Dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
terdapat bagian teks yang menunjukkan subtopik perempuan
memperoleh hak milik. Subtopik tersebut terdapat dalam
subjudul yang berjudul “Jaminan Hak Milik”.
Adapun kutipan teks yang menunjukkan subjudul tersebut
adalah sebagai berikut:
Pertama, setelah disebutkannya surah an-Nisaa ayat 7
kemudian disebutkan bahwa, “Datangnya ayat ini memberikan
penjelasan bahwa bukan laki-laki saja yang mendapat warisan,
perempuan pun mendapatkan warisan, serta tidak berdasarkan
perhitungan umur”.104
Kedua, disebutkan bahwa, “… dalam peraturan Islam
perempuan diberi kebebasan mempunyai hak milik. Harta yang
didapatnya bisa berasal dari warisan orang tuanya, atau
pemberian suaminya, dan hadiah saudara-saudaranya. Dia pun
boleh berniaga, seperti Khadijah di zaman jahiliyah dahulu pun
berniaga, dengan jalan menyuruh orang lain menjalankan
modalnya”.105
104 Ibid., h 83.
105
Ibid., h 91.
74
Kutipan teks tersebut telah menjelaskan bahwa perempuan
dimuliakan dengan cara diberikannya hak milik dan boleh
mempergunakan hak miliknya.
9) Perempuan memiliki hak istimewa
Selanjutnya, pada buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan” juga terdapat subtopik perempuan memiliki hak
istimewa yang terdapat pada subjudul yang berjudul “Hak-Hak
Istimewa Perempuan”. Hak-hak istimewa untuk perempuan di
antaranya yakni syiqaq, khulu’, dan perempuan berhak atas
dirinya.
Adapun isi teks yang mengandung subtopik perempuan
memiliki hak istimewa adalah sebagai berikut:
Pertama, mengenai syiqaq yang terdapat dalam bagian teks
bahwa, “Jika terjadi perselisihan dalam rumah tangga, dan tidak
dapat disatukan lagi, serta suami tidak dapat lagi memimpin
istrinya dengan sewajarnya, dan si istri pun tidak dapat lagi
mempercayakan pimpinan atas dirinya kepada suaminya, pada
saat itu kaum kerabat dan lingkungan hendaklah campur
tangan”.106
Kedua, yakni tentang khulu’, “Jika seorang istri merasa di
dalam pergaulan dengan suaminya ada hal-hal yang
membuatnya menderita, dia pun boleh meminta dengan jalan
damai untuk bercerai”.107
106
Ibid., h 123-126. 107
Ibid., h 129.
75
Ketiga, mengenai perempuan yang berhak atas dirinya
yakni, “Tentang menentukan siapa yang akan menjadi jodohnya,
perempuan berhak atas dirinya”.108
Beberapa kutipan teks tersebut telah menjadi wacana bahwa
perempuan sangat mulia dengan adanya hak-hak istimewa yang
diberikan untuknya.
Dengan demikian, tema mengenai kemuliaan perempuan
dalam Islam telah terdukung oleh subtema atau subtopik yang
telah diterangkan. Adapun subtopik tersebut yakni, kemuliaan
perempuan dalam Al-Qur‟an, penghargaan perempuan yang
sama dengan laki-laki, harga diri seorang perempuan, kemuliaan
perempuan sebagai ibu, menghormati dan menyayangi
perempuan, perempuan tidak selalu salah dan berdosa,
perempuan lebih mulia daripada bidadari, perempuan
memperoleh hak milik, dan perempuan memiliki hak istimewa.
2. Superstruktur
a. Skematik
Skematik ini berkaitan dengan pendahuluan, isi, penutup, dan
kesimpulan dari suatu teks. Dengan demikian, struktur skematik dari
wacana ini adalah:
1) Pendahuluan
Seperti pada buku umumnya, buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan” diawali dengan cover depan, cover dalam,
108
Ibid., h 130.
76
daftar isi, dan halaman pengantar penerbit. Pada buku “Buya
Hamka Berbicara tentang Perempuan” pendahuluan dititik
beratkan pada halaman pengantar penerbit.
Dalam halaman pengantar diterangkan mengenai proses
terciptanya buku tersebut yakni pada mulanya merupakan tulisan
bersambung Buya Hamka di majalah Panji Masyarakat. Suatu hal
yang memicu pemikiran dan semangat Buya Hamka untuk
menciptakan karya tersebut adalah pada saat itu muncul dan
hebohnya RUU Perkawinan sekuler. Sehingga karya ini hadir
untuk membantah pendapat pengusung RUU Perkawinan sekuler
dan membela kaum perempuan. Buku tersebut juga menjelaskan
bahwa semakin berkembangnya zaman dan semakin pesatnya
arus informasi serta teknologi, ternyata tidak membuat isu seputar
feminisme, perempuan, dan pandangan Islam terhadap perempuan
hilang. Terakhir disampaikan pada halaman pengantar penerbit
yakni diharapkan buku tersebut dapat menjadi salah satu
sumbangsih dalam upaya menjaga aqidah, akhlak, dan pemikiran
umat agar tetap mengacu pada Al-Qur‟an dan Hadits, serta
menjaga agar umat Islam tetap bangga dengan keislamannya.
2) Isi
Adapun isi buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan” secara umum adalah sebagai berikut:
a) Kemuliaan perempuan
77
Kemuliaan perempuan seperti yang disampaikan dalam
buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” yakni
dengan banyaknya kata perempuan dan kisah perempuan
yang disebutkan di dalam Al-Qur‟an. Adapun kata
perempuan dalam surah Al-Qur‟an yakni surah an-Nisa dan
Maryam. Dalam Al-Qur‟an juga banyak kisah tentang
perempuan seperti nama istri pertama Nabi Ibrahim yaitu
Sarah, kakak Nabi Musa yang perempuan, yang disuruh oleh
ibunya melihat kemana hanyutnya Musa. Disebut pula kedua
putri Nabi Syu‟aib menggembalakan kambing di negeri
Madyan, seorang di antaranya menjadi istri Musa, Asiah istri
Fir‟aun, ratu Saba‟ yaitu Ratu Bilqis. Dalam surah Yusuf
disebut pula nama Zulaika, surah al-Mujaadilah menceritakan
seorang perempuan yang mengajukan gugatan kepada
Rasulullah saw. disebabkan suaminya aniaya terhadapnya.
Surah al-Mumtahanah menjelaskan tentang keteguhan iman
perempuan-perempuan yang datang kepada Rasul setelah
hijrah meninggalkan negeri Mekah. Surah an-Nuur
menerangkan adab perempuan dalam rumah tangga. Selain
itu, didukung pula oleh surah al-Ahzaab dan ath-Tahalaaq
yang juga membahas mengenai perempuan.
Kemuliaan seorang perempuan dalam buku “Buya
Hamka Berbicara tentang Perempuan” juga dapat dilihat dari
sebuah pernyataan bahwa perempuan memperoleh harga diri,
78
seorang ibu harus dimuliakan, seorang perempuan harus
dihormati dan disayangi, perempuan lebih mulia daripada
bidadari, perempuan memperoleh hak milik dan waris, serta
memiliki hak istimewa seperi syiqaq dan khulu‟.
b) Penghargaan yang sama antara laki-laki dan perempuan
Penghargaan yang sama antara laki-laki dan perempuan
dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
yakni dijelaskan berdasarkan surah at-Taubah ayat 71-72.
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum laki-laki beriman
dan perempuan beriman sama saja tugasnya yakni beramar
ma’ruf nahi munkar. Kemudian disebutkan pula, lelaki
sukses di belakangnya ada perempuan yang menjadi
pendukungnya, seperti kesuksesan Muhammad saw. dalam
berdakwah yang didukung oleh Khadijah. Buya Hamka juga
menerangkan bahwa perempuan adalah tiang negara. Jika
perempuannya baik, baik pula negaranya, dan jika bobrok,
bobrok pulalah negaranya. Mereka atau perempuan adalah
tiang, dan biasanya tiang rumah tidak begitu terlihat. Namun,
jika rumah sudah condong, periksalah tiangnya, tandanya
tianglah yang lapuk.
c) Pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan
Dijelaskan secara ringkas dalam buku “Buya Hamka
Berbicara tentang Perempuan” bahwa rumah tangga yang
aman dan damai ialah gabungan antara tegapnya laki-laki
79
dengan halusnya perempuan. Laki-laki mencari dan
perempuan mengatur. Disebutkan pula bahwa rumah tangga
itu ibarat kapal yang berlayar di lautan, ombak terus
menerjang di buritan, tali temali berentangan, layar terkipas
kiri dan kanan. Untuk itu, salah seorang antara laki-laki dan
perempuan harus tegak mengemudi dan salah seorang lagi
tegak di haluan. Jika keduanya sama pandai, selamatlah
keduanya hingga tujuan. Tetapi, jika keduanya tidak bijak
dan kurang bisa mengendalikan kapal akan karam dan tidak
akan sampai pada tujuan.
Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan
harus saling membagi tugas dan mengerjakan tugas secara
bersama-sama.
d) Kepemimpinan laki-laki dan perempuan
Dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan” disampaikan bahwa seorang laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum perempuan. Tidak dilarang juga
seorang perempuan yang menjadi pemimpin di ruang publik,
menjadi pejabat dan berkarier. Akan tetapi, setelah sampai di
rumah, ia harus taat dan merendah pada suaminya.
Disampaikan juga bahwa laki-laki ibarat presiden dan
perempuan ibarat sekretarisnya. Artinya, seorang perempuan
harus mampu menjaga rahasia rumah tangga dan suaminya.
Hal ini dikarenakan budi seorang istri yang luhur adalah
80
memelihara rahasia yang tersembunyi sebagai hal yang telah
dipelihara oleh Allah.
Kemudian, meskipun laki-laki memiliki hak atas
perempuan, laki-laki tidaklah diperbolehkan untuk berlaku
semena-mena dan main pukul. Dalam segala hal, laki-laki
diperintahkan untuk berlaku baik kepada istri dan jangan
berlaku kasar, pegang perempuan baik-baik atau ceraikan
dengan baik pula.
e) Pandangan kaum orientalis mengenai perempuan
Pandangan kaum orientalis seperti yang disampaikan
dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”,
perempuan tidaklah penting dan tidak berhak diberikan
warisan. Seorang perempuan diberikan warisan karena belas
kasihan. Para orientalis menginginkan agar para pelajar
mempelajari Islam dari mereka, sebab menurut mereka opini
merekalah yang benar dan objektif. Akan tetapi pemikiran itu
belumlah tepat dan tidak sesuai syariat Islam.
3) Penutup dan kesimpulan
Penutup dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan” juga merupakan kesimpulan dari buku tersebut.
Kesimpulannya adalah bahwa perempuan sangat mulia,
kedudukan perempuan tidak lebih rendah dari laki-laki, laki-laki
dan perempuan sama-sama memiliki penghargaan dan pembagian
tugas. Maka dengan demikian, nilai-nilai persamaan kedudukan
81
antara laki-laki dan perempuan di masyarakat harus diterapkan
dengan baik dan kemuliaan terhadap perempuan harus tetap
dijaga.
3. Struktur Mikro
a. Semantik
1) Latar
Latar berkaitan dengan hendak kemana makna atau arah
suatu teks akan dibawa. Pada buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan” terdapat tiga latar yakni latar masyarakat
jahiliyyah, umat Islam, dan kaum orientalis.
Latar masyarakat jahiliyyah, Buya Hamka ingin
mengarahkan pada pembaca bahwa pada zaman jahiliyyah
perempuan sangat tidak dihargai, perempuan tidak diinginkan
keberdaannya bahkan dikubur dan dibunuh hidup-hidup, tidak
diberi warisan bahkan dijadikan sebagai barang warisan.
Latar umat Islam, Buya Hamka ingin mengarahkan pada
pembaca bahwa umat Islam seharusnya berpedoman pada Al-
Qur‟an, hadist, serta mengambil hikmah dari kisah-kisah
Rasulullah dan generasi shaleh mengenai kehidupan rumah
tangga, kepemimpinan laki-laki dan perempuan, pembagian tugas,
pembagian hak milik, serta bagaimana seharusnya memuliakan
perempuan. Latar tersebut ditunjukkan dari beberapa uraian
subjudul isi buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”.
82
Latar kaum orientalis, Buya Hamka ingin mengarahkan dan
memberitahukan pada pembaca bahwa pandangan kaum orientalis
adalah salah. Kaum orientalis salah satunya yakni Mr. Wirjoyo
yang mengemukakan opini bahwa perempuan tidak ada hak sama
sekali mendapat waris, yang berhak hanya laki-laki. Jika
perempuan diberi, hanyalah belas kasihan saja.
2) Detail
Dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”
terdapat banyak detail. Detail tersebut salah satunya yakni Buya
Hamka menampilkan informasi dan menjabarkan kandungan Al-
Qur‟an dan Hadits yang berhubungan dengan perempuan.
Sehingga dengan demikian, penjabaran tersebut menguntungkan
dirinya karena mendukung pernyataan dan pandangan Buya
Hamka tentang perempuan. Informasi lain yang ditampilkan Buya
Hamka yakni dikutipnya kitab kejadian (Perjanjian Lama) yang
menerangkan bahwa perempuan yang salah sebab memakan buah
terlarang dan memberikannya pada laki-laki (Adam). Dengan
demikian nyatalah bahwa dalam agama lain perempuan kurang
dihargai dan dalam Islam serta pendapat Buya Hamka, perempuan
dihargai.
3) Ilustrasi
Dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”,
Buya Hamka memberikan ilustrasi yakni memberikan contoh atas
informasi yang diberikan. Contoh tersebut salah satunya yakni
83
pada bab “Kemuliaan Ibu” terdapat kisah-kisah seorang anak
yang mendapat hukuman ataupun azab karena mendurhakai
ibunya. Kisah yang bersumber dari Hadits tersebut yakni kisah
Juraij yang mendapat fitnah dari perempuan pelacur karena
melalaikan ibunya dalam ketaatan ibadahnya. Selain itu, adanya
kisah seorang laki-laki yang sulit menghadapi sakaratul maut
dikarenakan durhaka kepada ibu dan bapaknya.
4) Maksud
Dalam buku tersebut, Buya Hamka menyampaikan isi teks
secara eksplisit dan terbuka sehingga ditemukan maksud yang
dapat dipahami. Hal ini dinyatakan oleh banyaknya penjabaran
dan penjelasan yang ditulis oleh Buya Hamka dalam beberapa
bab. Setiap bab, Buya Hamka secara detail namun ringkas
menerangkan mengenai perempuan. Selain itu, Buya Hamka
secara langsung dan berani menyebutkan beberapa tokoh
orientalis dan memberikan kritikan terhadap kaum orientalis yang
salah memberikan pernyataan dalam memposisikan perempuan.
Hal ini disampaikan dalam bab “Pandangan Kaum Orientalis”.
5) Pengandaian
Salah satu bentuk pengandaian dalam buku “Buya Hamka
Berbicara tentang Perempuan” yakni makna yang menyebutkan
bahwa perempuan lebih mulia daripada bidadari pada subjudul
“Lebih Mulia daripada Bidadari”. Dijelaskan dalam teks bahwa
yang dimaksud perempuan lebih mulia daripada bidadari yakni
84
perempuan memperoleh surga dikarenakan jerih payahnya selama
di dunia dengan amal, shalat, kesetiaannya pada suami, dan
pengorbanannya untuk anak-anaknya, sedangkan bidadari
diciptakan tanpa jerih payah dan langsung ditakdirkan berada di
surga.
b. Sintaksis
1) Bentuk kalimat
Dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”,
terdapat banyak sekali bentuk kalimat yang membedakan mana
subjek, predikat, objek, dan keterangan. Misalnya yakni:
Perempuan (S) tidak diperintahkan sujud (P) kepada
suaminya (O).
Laki-laki dan perempuan (S) sama-sama diwajibkan
berpuasa (P) pada bulan Ramadhan (Keterangan waktu).
2) Koherensi
Adapun dalam teks buku tersebut yang mengandung
koherensi yakni salah satunya terdapat teks:
“Di dalam tiga agama, Yahudi, Kristen, dan Islam terdapat
satu persamaan ajaran tentang asal usul nenek moyang manusia,
Adam dan Hawa, yang diberi Allah kediaman di tempat yang
mulia, yaitu Adn. Lalu, mereka diperdayakan oleh iblis sehingga
terusir dari tempat tersebut. Mereka disuruh turun ke dunia ini
untuk hidup di sini turun temurun hingga meninggal dunia”.109
109
Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan (Depok: Gema Insani, 2014) h 61.
85
Dalam contoh kalimat tersebut terdapat kata hubung yang
menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki susunan kalimat yang
koheren dan berhubungan satu sama lain.
3) Kata ganti
Dalam buku tersebut, Buya Hamka sebagai penulis
menggunakan kata ganti “saya” dalam memposisikan dirinya.
Dalam menyebut seorang tokoh, Buya Hamka lebih banyak
langsung menyebutkan namanya. Untuk laki-laki dan perempuan
yang menjadi topik pembahasan dalam buku, Buya Hamka lebih
banyak menyebut kata “Laki-laki (suami) dan perempuan (istri)”.
Namun Buya Hamka juga beberapa kali menyebutkan kata “Dia”
sebagai kata ganti subjek dan objek.
c. Stilistik
1) Leksikon/leksikal
Dalam teks buku tersebut, juga terdapat beberapa leksikal di
antaranya yakni:
Pertama, terdapat bunyi teks “… coraknya, jantan dengan
betina, hakikat jenisnya tetap satu..”110
. Terdapat kata corak yang
artinya adalah jenis ataupun status. Selanjutnya terdapat kata
jantan dan betina yang artinya laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya terdapat juga bunyi teks, “Apabila manusia telah
mempergunakan akal yang waras..”111
. Kata waras artinyanya
adalah sehat, murni, dan benar. Selanjutnya “Allah sebagai Maha
110
Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan (Depok: Gema Insani, 2014) h 2. 111
Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan (Depok: Gema Insani, 2014) h 3.
86
Pencipta alam dan insan”. Kata insan artinya adalah makhluk
hidup ataupun manusia.
d. Retoris
1) Grafis
Dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”,
hal yang ditekankan adalah keinginan kuat Buya Hamka untuk
memuliakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai perempuan.
Penekanan ini terletak pada isi buku yang membahas tentang
perempuan. Selain itu, kutipan pengantar menyebutkan, “Buku ini
menguraikan bahwa justru perempuan sangat dimuliakan dalam
Islam” dan “Dengan berkembangnya zaman dan semakin
pesatnya arus informasi dan teknologi, ternyata tidak membuat
isu seputar feminisme, perempuan, dan pandangan Islam terhadap
perempuan meredup atau hilang”.
2) Metafora
Dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”,
terdapat ungkapan metafora. Adapaun ungkapan tersebut di
antaranya yakni:
Pertama, “.. bahwasannya perempuan adalah tiang negara.
Jika perempuan baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok,
bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang, dan biasanya tiang
rumah tidak begitu kelihatan. Namun, jika rumah sudah condong,
periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk”.112
112 Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan (Depok: Gema Insani, 2014) h 15.
87
Dalam kutipan tersebut, Buya Hamka ingin memahamkan
pembaca mengenai kedudukan perempuan yang sangat penting
dan utama sehingga perempuan diibaratkan sebagai tiang yang
menjadi landasan berdirinya negara dan rumah tangga dengan
baik dan kokok.
Kedua, Buya Hamka mengutip karya romannya yang
berjudul Si Sabariyah (1928), “Kapal berlayar di lautan, ombak
bersabung di buritan, tali temali berentangan, layar terkipas kiri
dan kanan, yang seorang tegak di kemudi, seorang tegak di
haluan. Jika keduanya sama pandai, selamat sampai tujuan, jika
keduanya tidak bijak atau salah seorang tak bestari, karam di tepi
kapal itu, tidaklah sampai ke tujuan…”.113
Dalam kutipan tersebut, Buya Hamka menjelaskan bahwa
laki-laki dan perempuan harus saling bekerjasama untuk
mencapai suatu tujuan.
Ketiga, “Semua orang menyaksikan sikap beliau yang halus,
lemah lembut, dan penuh cinta kepada anak-anak beliau yang
perempuan, laksana siang dan malam di antara sikap beliau
dengan orang zaman jahiliyyah”.114
Dalam kutipan tersebut, Buya Hamka menyatakan bahwa
sikap baik Rasulullah terhadap anak perempuannya berbeda
dengan sikap orang jahiliyah yang dengan buruk memperlakukan
113
Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan (Depok: Gema Insani, 2014) h 22.
114
Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan (Depok: Gema Insani, 2014) h 35.
88
anak perempuan dan kaum perempuan, sehingga Buya Hamka
mengibaratkannya seperti langit dan bumi.
Keempat, Buya Hamka mengutip keputusan Sancta Agustin
tentang perempuan, “Perempuan itu hendaklah dipandang selalu
kurang, baik dalam kedudukannya sebagai istri maupun dalam
kedudukannya sebagai ibu sebab perempuan itu adalah sebangsa
binatang merayap di muka bumi atau makhluk yang tidak
mempunyai pendirian tetap”.115
Dalam kutipan tersebut Buya Hamka mengatakan mengenai
pendapat Sancta Agustin yang sangat buruk memandang
perempuan. Perempuan dianggap hina sebagai diibaratkan
binatang merayap yang artinya tidak memiliki pendirian tetap.
3) Ekspresi
Bentuk ekspresi dalam buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan” sangat banyak sekali. Bentuk ekspresi
tersebut dinyatakan dengan adanya tulisan di dalam text box
berwarna abu-abu dan dicetak tebal sebagai petunjuk bahwa
teks bagian tertentu adalah hal yang sangat penting.
Adapun bagian ekspresi teks buku di antaranya yakni di
halaman 5:
115 Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan (Depok: Gema Insani, 2014) h 67.
Perempuan-
perempuan yang
terhormat dan mulia
banyak tersebut
dalam Al-Qur’an.
89
B. Analisis Wacana Kedudukan Perempuan Dari Dimensi Kognisi Sosial
Wacana dalam dimensi kognisi sosial berhubungan dengan kognisi
ataupun pengetahuan dari penulis dalam memahami suatu peristiwa. Metode
kognisi menurut Van Dijk yakni dengan wawancara mendalam. Selanjutnya,
untuk mengetahui sejauh mana penulis mencampurkan pengetahuannya
melalui tulisannya, dalam hal ini Van Dijk menganalisis melalui empat
skema, yakni skema person, diri, peran, dan peristiwa. Menganalisis kognisi
penulis, peneliti tidak dapat menggali informasi berdasarkan wawancara
langsung dan mendalam dengan penulis buku tersebut yakni Buya Hamka.
Hal ini dikarenakan Buya Hamka sudah wafat sejak tahun 1981. Untuk itu,
penulis melakukan penggalian kognisi penulis berdasarkan karyanya yakni
Tafsir al-Azhar pada jilid yang membahas khusus perempuan, wawancara
dengan pihak editor, dan menganalisis penelitian terdahulu yang menjadi
tinjauan pustaka, serta data lain yang berhubungan dengan analisis kognisi
Buya Hamka. Adapun analisis wacana kedudukan perempuan dalam buku
“Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” ditinjau dari dimensi kognisi
sosial yakni sebagai berikut:
1. Skema Person
Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan
dan memandang orang lain. Dalam hal ini skema person dari Buya
Hamka dapat dilihat dari Tafsir al-Azhar. Kemudian, penggambaran
skema person Buya Hamka berdasarkan Tafsir al- Azhar juga dapat
diamati dari Skripsi Faizah Ali Syibromalisi (2014) Mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Perempuan Dalam Tradisi
90
Tafsir Kontemporer di Indonesia (Studi Perbandingan Pemikiran
Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar dan Quraish Shihab Dalam Tafsir
Al-Misbah)”. Penelitian tersebut menggunakan dan membedah Tafsir
Al-Azhar sehingga dapat pula diketahui kognisi Buya Hamka
berdasarkan skema person.
Berdasarkan penelitian Faizah tersebut, menurut Hamka hukum
yang diberlakukan kepada istri yang nusyuz tidak hanya berlaku bagi
istri, tetapi juga berlaku bagi suami nusyuz. Maka istri juga berhak
melakukan hal yang sama, yaitu menasehati suami atau memperlihatkan
keengganannya ketika diajak tidur bersama. Apabila suami memang
tidak dapat disadarkan, bahkan sering menganiaya istrinya, maka Islam
juga memberikan jalan keluar bagi para istri melalui khulu‟. Hamka juga
mengatakan bahwa istri boleh meminta cerai jika melihat suaminya tidak
tahu kewajiban, baik kewajiban rumah tangga ataupun kewajiban kepada
Allah, atau ia disia-siakan. Namun sebelum terjadi perceraian harus
melalui rekonsiliasi dan mediasi dimana keluarga dan hakim mesti turut
campur tangan untuk menyatukan kembali keutuhan keluarga.
Namun pada umumnya, Buya Hamka juga berpendapat bahwa
kesetaraan gender dalam talak adalah merupakan petunjuk agama, jika
terjadi perselisihan atau sesuatu sebab hal ini menjadi alasan kuat dalam
memutuskan perkawinan.
Menurut Hamka isi ayat (QS. al-Baqarah ayat 228) adalah
keputusan yang amat penting bagi perempuan. Ayat ini menetapkan
bahwa perempuan mempunyai hak dan kewajiban, sebagaimana laki-laki
91
mempunyai hak dan kewajiban. Ini berarti laki-laki dan perempuan
sama-sama mendapat taklif dari Allah dalam hal iman dan dalam amal
soleh, ibadah, muamalah dan pendidikan.di masyarakat maupun dalam
keluarga, perempuan mempunyai hak untuk dihargai, ha katas
kepemilikan dan atas dirinya. Faizah kemudian menjelaskan bahwa
berdasarkan uraian tersebut, Hamka mengingatkan bahwa hak-hak
perempuan yang diberikan Islam bukanlah digunakan untuk menandingi
hak serta kedudukan laki-laki.
Dengan uraian tersebut, Hamka ingin menunjukkan bahwa suami
tetap memiliki keutamaan dalam keluarga. Hal ini disebabkan karena
suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah
tangga (dalam surat an-Nisaa‟ ayat 34). Laki-laki dan perempuan,
keduanya memiliki keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki
laki-laki lebih kepada tugas kepemimpinan. Sedangkan, keistimewaan
perempuan lebih mengenai tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan
tenang kepada laki-laki serta lebih bertugas untuk mendidik dan
membesarkan anak-anaknya.
Faizah dalam menguraikan Tafsir al-Azhar juga menjelaskan
bahwa Hamka mencela sikap laki-laki yang tidak mendidik istrinya dan
tidak memberinya peluang untuk menambah ilmu dan iman tapi justru
mengurungnya dalam rumah. Hal ini dapat disebabkan oleh keinginan
laki-laki atau suami untuk menguasai istrinya. Dengan demikian, hal ini
akan menjadikan perempuan atau istri kehilangan jati diri dan
kepercayaannya sebagai perempuan.
92
2. Skema Diri
Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang,
dipahami, dan digambarkan oleh seseorang. Dalam hal ini peneliti
melakukan wawancara dengan Jumi Haryani (Editor buku “Buya Hamka
Berbicara tentang Perempuan”) untuk mengetahui bagaimana sosok Buya
Hamka dipandang. Berdasarkan hasil wawancara, sosok Buya Hamka
dipandang sebagai seorang ulama, ayah yang baik, penulis yang karyanya
banyak dan diminati masyarakat. Jalan pemikiran Buya Hamka juga
bagus sehingga karyanya cocok untuk masyarakat Indonesia.
Selain itu, dipandang oleh Jumi Haryani bahwa Buya Hamka
menulis buku tersebut tujuannya adalah ingin memuliakan perempuan.
Terkadang masyarakat masih menganggap sebelah mata seorang
perempuan. Sehingga dengan karyanya tersebut, Buya Hamka ingin
menunjukkan bahwa perempuan itu selain mulia juga kuat. Islam sangat
menghargai perempuan. Buya Hamka membuktikannya dengan dalil Al-
Qur‟an dan Hadits. Buya Hamka menyatakan bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama, salah satunya
beramar ma’ruf dan nahi munkar.
Jadi, berdasarkan pemikiran Buya Hamka yang bagus, sosok ulama
dan penulis yang memiliki pengetahuan luas, Buya Hamka mampu
menuliskan peristiwa tersebut dan memberikan pemahaman mengenai
perempuan yang mengandung nilai-nilai kesetaraan gender berdasarkan
Al-Qur‟an dan Hadits. Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh
93
Buya Hamka sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat diterima
oleh masyarakat.
3. Skema Peran
Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang
dan menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat.
Dalam hal ini peneliti menganalisis skema peran Buya Hamka yakni
dengan menggali data yang bersumber dari penelitian terdahulu.
Berdasarkan disertasi Drs. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag (2004) IAIN Sunan
Kalijaga yang berjudul “Konstruksi Gender Dalam Pemikiran
Mufasir Indonesia Modern (Hamka dan M. Hasbi ash-shidiqqy”,
bahwa Hamka hanya memberikan penjelasan rasional terhadap
penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan yakni tentang
poligami, perkawinan, beda agama, kepemimpinan dalam keluarga dan
warisan. Untuk tema peran publik tidak ada penjelasan rasional karena
memang Hamka tidak melarang peran publik bagi perempuan. Sehingga
berdasarkan disertasi Drs. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag, peran publik bagi
perempuan diperbolehkan dan tidak dilarang.
Selanjutnya berdasarkan Penelitian Sarah Larasati Mantovani
(2015) Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
yang berjudul “Pemikiran Haji Malik Karim Amrullah (Hamka)
Tentang Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia (1949-1963)”,
dapat diketahui skema peran Buya Hamka terhadap perempuan dalam
bidang politik. Dalam hal ini, Buya Hamka memperbolehkan perempuan
(khususnya muslimah) untuk berperan dan berpartisipasi dalam politik
94
asalkan memenuhi syarat. Syarat tersebut menurut Buya Hamka yakni:
paham agama dan berilmu, tidak melupakan tugas utamanya sebagai istri
dan ibu, kritis, mempunyai semangat juang Islam yang tinggi, dan berani.
4. Skema Peristiwa
Skema ini yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu
ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu. Dalam hal ini skema
peristiwa berkaitan dengan peristiwa yang melatarbelakangi Buya Hamka
menuangkan tulisan tersebut.
Latar belakang Buya Hamka menuangkan tulisan tersebut atau
munculnya buku tersebut yakni disebabkan oleh hebohnya RUU
Perkawinan sekuler di Indonesia sekitar tahun 1973 yang menurut
beberapa sumber bahwa RUU Perkawinan sekuler yang diajukan
merupakan upaya kaum sekuler untuk menggantikan UU Perkawinan
yang telah ada. Hal tersebut timbul sebagai upaya Buya Hamka untuk
membela kaum perempuan.
Peristiwa ini juga termuat dalam berita dakta.com yang
dipublikasikan pada Ahad, 21 Juni 2015 pukul 08.43 WIB. Berdasarkan
berita di dakta.com pada akhir tahun 1973 terdapat kelompok-kelompok
sekuler yang mengajukan RUU perkawinan sekuler atau beda agama.
RUU yang diajukan tersebut mirip dengan hukum perdata Barat.
Akhirnya pengajuan RUU tersebut ditentang oleh umat Islam di seluruh
Indonesia. Terjadi reaksi luar biasa waktu itu. Seluruh umat Islam
berdemo dan Presiden Soeharto kala itu memanggil para alim ulama.
95
Inti dari RUU Perkawinan sekuler adalah bahwa perkawinan
dianggap sah apabila berdasarkan kesepakatan masing-masing atau
sering disebut dengan asas “suka sama suka”. Umat Islam yang sangat
tidak menyetujui RUU tersebut, kemudian membuat UU baru sebagai
tandingan atas RUU Perkawinan sekuler. UU tersebut yakni UU No. 1
Tahun 1974. Inti dari UU tersebut adalah perkawinan dianggap sah
apabila berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan
alasan tersebut, munculnya buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan” juga merupakan salah satu upaya Buya Hamka untuk
melindungi kaum perempuan.
C. Analisis Wacana Kedudukan Perempuan Dari Dimensi Konteks Sosial
Konteks sosial berhubungan dengan bagaimana wacana atau peristiwa
berkembang di masyarakat dan bagaimana masyarakat memandang sebuah
wacana tersebut. Metode konteks sosial menurut Van Dijk yakni dengan studi
pustaka dan penelusuran sejarah. Akan tetapi, dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode lain untuk mengetahui konteks sosial kedudukan
perempuan, yakni dengan metode wawancara. Dengan metode wawancara
dapat pula dilakukan penelusuran sejarah berkaitan dengan perkembangan
kedudukan perempuan. Adapun hasil analisis berdasarkan wawancara dengan
beberapa tokoh tersebut yakni:
1. Siti Nurmeliya Baskarani
Menurut Siti Nurmeliya, yang dinamakan kesetaraan adalah dimana
laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kebebasan. Perempuan
berhak melakukan apa saja, menginginkan apa saja, asal itu positif.
96
Perempuan juga memiliki hak untuk menjadi pemimpin dengan syarat ia
mampu dan memenuhi kriteria menjadi pemimpin. Dalam hal
pendidikan, perempuan berpendidikan tinggi adalah sebuah keharusan
karena perempuan adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya kelak.
Berkaitan dengan bekerja ataupun berkarir, perempuan boleh bekekerja
dan berkarir selagi perempuan mampu bertanggung jawab dan bekerja
untuk hal positif, laki-laki tidak berhak terlalu melarang perempuan
bekerja. Dalam urusan rumah tangga, laki-laki dan perempuan harus
saling membantu, apalagi jika keduanya sama-sama bekerja.116
2. Annisa Febrinel Hendry
Berkaitan dengan kepemimpinan perempuan, jika perempuan kuat,
tegas, mampu mengambil keputusan, memegang sikap dan keputusan,
berhasil mengikuti prosedur, maka ia juga berhak menjadi pemimpin.
Berdasarkan pendidikan, tidak ada larangan untuk perempuan
berpendidikan tinggi. Berkaitan dengan perempuan yang bekerja, laki-
laki tidak berhak terlalu melarang perempuan untuk bekerja. Perempuan
juga berhak memperoleh penghasilan, apalagi tujuannya memperoleh
penghasilan adalah tujuan yang baik. Jika laki-laki melarang perempuan
bekerja dan berdiam diri di rumah, maka hal ini akan berdampak pada
psikologis perempuan.117
116 wawancara dengan Siti Nurmeliya Baskarani. Putri Muslimah Indonesia 2014. 12 Oktober
2016 pukul 16.00 WIB.
117 wawancara dengan Annisa Febrinel Hendry. Owner of Annisa Accessories. 12 Oktober
2016 pukul 16.00 WIB.
97
3. Ibu Sri Lintang Rossi Aryani
Menurut Ibu Lintang, dalam Islam tidak ada dalil yang membahas
mengenai kesetaraan gender. Dalil yang ada hanya mengenai menuntut
ilmu dimana laki-laki dan perempuan sama-sama berkewajiban menuntut
ilmu. Selain itu, dalam Islam juga dinyatakan bahwa dalam hal ibadah,
laki-laki dan perempuan kewajibannya sama. Berkaitan dengan
stereotype yang menganggap perempuan lemah, dalam hal ini laki-laki
dan perempuan sama-sama lemah. Sebagian perempuan memang lemah
dalam hal fisik, tetapi dalam hal ruhiyah perempuan memiliki potensi
lebih kuat. Laki-laki juga memiliki kelemahan yakni berupa harta, tahta,
dan wanita.
Dalam hal kepemimpinan, perempuan boleh menjadi pemimpin jika
memenuhi syarat. Akan tetapi, dalam hal sholat hanya laki-laki yang
menjadi pemimpin atau imam sholat bagi perempuan. Berdasarkan surat
An-Nisa ayat 34, yang dikatakan laki-laki mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada perempuan adalah dalam hal fisik. Dalam hal fisik
dapat diakui bahwa laki-laki memang lebih kuat daripada perempuan.
Berkaitan dengan surat al-Ahzab ayat 33, ayat tersebut bukan ayat
larangan bekerja, melainkan ayat yang menerangkan bahwa perempuan
tidak boleh tabarruj. Bekerja banyak macamnya, sehingga ketika
perempuan keluar rumah untuk bekerja dan hal yang positif boleh saja,
asalkan tidak maksiat. Dalam urusan pekerjaan rumah tangga, laki-laki
seharusnya membantu pekerjaan perempuan untuk menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga secara bersama. Perempuan berpendidikan tinggi
98
bukanlah suatu larangan. Tetapi, bagi perempuan yang sudah bersuami
harus izin dengan suaminya terlebih dahulu. Ketika perempuan harus izin
ke suami untuk melanjutkan pendidikan, hal ini menunjukkan bahwa itu
adalah salah satu kelebihan suami dibanding istri. Terakhir, hal yang
harus dilakukan perempuan kepada laki-laki adalah mensupport.
Perempuan harus memberikan kepercayaan kepada laki-laki dan tidak
terlalu bersikap curiga.118
4. Almas Sabrina
Pada zama sekarang sudah banyak emansipasi wanita yang akhirnya
juga membuktikan bahwa perempuan boleh bekerja, bahkan banyak
founder perusahaan besar adalah perempuan. Akan tetapi, ketidakadilan
tentu masih saja ada. Yang disebut kesetaraan gender bukanlah
melakukan sesuatu hal yang sama, melainkan melakukan sesuatu sesuai
posisi, porsi, kodrat, dan kemampuannya.
Berkaitan dengan stereotype atau pelabelan terhadap perempuan
yang dianggap lemah, hal ini bergantung pada perempuannya sendiri.
Jika seorang perempuan dari kecil sudah dilatih untuk mandiri maka dia
akan memiliki kematangan emosional yang baik. Ketika dikatakan
perempuan itu lemah, hal ini menunjukkan bahwa ada suatu ketika
perempuan merasa ingin dilindungi. Dalam hal kepemimpinan
perempuan, bekerja, dan berpendidikan tinggi, perempuan boleh saja
melakukannya. Sama halnya dengan pekerjaan rumah tangga, laki-laki
118 Wawancara dengan Ibu Sri Lintang Rossi Aryani. Politisi dari Partai PKS. 15 Oktober
2016 pukul 15.15 WIB.
99
dan perempuan harus saling membantu karena pekerjaan rumah tangga
bukan kewajiban seorang istri saja.119
5. Zham Sastera
Dalam hal tenaga mungkin laki-laki dan perempuan berbeda, namun
bukan berarti perempuan lemah. Dalam hal kepemimpinan perempuan,
bekerja, dan berpendidikan tinggi, perempuan berhak melakukannya
asalkan memiliki kemampuan dan bertujuan baik. Dalam hal pekerjaan
rumah tangga, ketika perempuan sudah memutuskan untuk menjadi
seorang wanita karier, berarti konsekunsinya seorang perempuan harus
mampu menyeimbangkan pekerjaannya dengan pekerjaan rumah tangga.
Bagi seorang laki-laki seharusnya juga membantu kerja perempuan.120
6. Ibu Rahmi Purnomowati
Menurut Ibu Rahmi, bentuk ketidakadilan seperti marginalisasi,
subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban kerja masih ada dan masih
terjadi di masyarakat. Bukan hal yang mudah untuk benar-benar
menghilangkan semua bentuk ketidakadilan tersebut dari masyarakat.
Tindakan yang harus kita lakukan terkait hal ini yakni minimal dengan
menyebarluaskan atau mensosialisasikan kepada masyarakat agar mereka
tahu dan dapat memposisikan perannya.
Berkaitan dengan perempuan yang menjadi pemimpin,
berpendidikan tinggi, dan bekerja bukanlah hal yang dilarang dan
perempuan berhak melakukannya. Dalam Islam tidak ada larangan untuk
119 Wawancara dengan Almas Shabrina. Google Students Ambassador 2014. 25 Oktober 2016
pukul 16.00 WIB.
120
Wawancara dengan Zham Sastera. Sastrawan dan Penulis. 3 November 2016 pukul 12.30
WIB.
100
perempuan menjadi pemimpin. Pemimpin yang dimaksud adalah
pemimpin yang bukan imam sholat. Adapun perempuan yang
berpendidikan tinggi itu adalah keharusan. Seorang perempuan yang
berpendidikan tinggi selain akan mengangkat harkat dan martabat diri
sendiri, ia juga mengangkat harkat dan martabat keluarga serta
lingkungan. Jika perempuan berpendidikan tinggi dan mampu
berkontribusi untuk masyarakat maka itu adalah hal yang baik. Jadi, hal
tersebut berkaitan dengan kompetensi, kemampuan, loyalitas, komitmen,
dan pelayanan seorang perempuan.121
7. Prof. Dr. Asep Usman Ismail, MA
Analisis berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Asep yakni
bahwa Al-Qur‟an turun untuk meluruskan fenomena sosial sejak zaman
abad ke 7 Masehi dan mengangkat serta memberikan penghormatan
terhadap perempuan. Fenomena yang terjadi saat itu yakni wanita
dianggap sebagai separuh manusia, dianggap sebagai komoditas yakni
sebagai harta dan barang yang dapat diwariskan.
Untuk memahami ayat Al-Qur‟an, maka kita perlu melakukan
tafsir Al-Qur‟an. Ayat Al-Qur‟an ada yang bersifat mutlak yakni ayat
tersebut benar-benar firman Allah dan mutlak dari segi subtansi yang
dikandungnya. Hal ini terjadi pada ayat-ayat yang bersifat muhkamat.
Muhkamat adalah ayat yang sudah terang benderang dan jelas. Terdapat
juga ayat mutasyabihat yakni ayat yang maknanya samar. Ayat yang
berkaitan dengan pembagian waris ini termasuk ayat yang muhkamat dan
121 Wawancara dengan Ibu Rahmi Purnomowati. Ketua Pusat Studi Gender UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2 November 2016 WIB.
101
tidak mengandung unsur mutasyabihat. Wanita mendapat bagian 1 itu
untuk dirinya sendiri, sedangkan laki-laki mendapatkan bagian 2 untuk
dibagikan lagi atau didistribusikan lagi kepada keluarganya, anak-anak
dan istrinya. Sehingga dalam hal ini juga berkaitan dengan hukum fiqh,
dimana perempuan memiliki hak milik secara sah dan memiliki otoritas
penuh terhadap hartanya.
Terkait urusan pekerjaan. Laki-laki bekerja merupakan kewajiban,
sedangkan wanita bekerja adalah kebaikan. Ketika wanita bekerja untuk
kebaikan itu artinya wanita dapat mengembangkan dirinya, melakukan
tanggungjawab sosial dan tanggung jawab profesi, selain itu dapat juga
memanfaatkan ilmu. Apabila seorang suami bekerja tetapi tidak
mencukupi kebutuhan keluarga sehingga seorang istri harus bekerja
untuk membantu suami, maka hal ini benar-benar adalah sebuah
kebaikan, sumbangan yang sangat berharga bagi keluarga.
Berkaitan dengan surat an-Nisa ayat 34 dan al-Baqarah ayat 228
mengenai kepemimpinan laki-laki dan perempuan, hal ini merujuk pada
kata امىن Qowwam itu artinya membimbing, mengasuh, dan .قى
memimpin. Dalam hal ini, yang ingin menjadikan Al-Qur‟an dalam
kondisi yang murni pasti menolak jika perempuan menjadi pemimpin dan
tampil di ruang publik. Hal ini disebabkan jika perempuan menjadi
pemimpin, maka sebagian fungsi laki-laki dikhawatirkan akan terambil.
Tetapi jika kita mencoba Al-Qur‟an diadabtasikan dengan konteks sosial
maka terjadilah kompromi dan masyarakat modern akan mengambil
sikap tengah. Sehingga dengan demikian, perempuan boleh menjadi
102
pemimpin dan terjun di dunia publik dengan syarat mampu melakukan
dua fungsi. Di satu sisi ia harus melaksanakan fungsi publik dan di satu
sisi ia melakukan fungsi domestik atau urusan rumah tangga.
Berdasarkan potongan surat an-Nisa ayat 34 yakni “Oleh karena
itu Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain”, yang
dimaksud memiliki adalah laki-laki dengan kelebihan fungsional.
Kelebihan fungsional merupakan fungsi berupa laki-laki diberikan
kewajiban dan bertanggung jawab untuk mencari nafkah. Meskipun
Allah melebihkan laki-laki dengan perempuan, Allah juga memberikan
kelebihan serta keistimewaan terhadap perempuan. Kelebihan seorang
perempuan dibandingkan laki-laki yakni perempuan memiliki fungsi
reproduksi, hamil, melahirkan, menyusui, membesarkan, mengasuh,
mendidik. Dengan demikian, seorang ibu akan melahirkan generasi dan
SDM yang kuat, berkarakter, penuh perjuangan, penuh keislaman tanpa
mental yang rapuh.
Berkaitan dengan surat al-Ahzab ayat 33 mengenai anjuran
perempuan untuk di rumah saja, hal tersebut bukanlah ayat yang
melarang perempuan untuk bekerja dan terjun ke ruang publik. Jadi hal
ini berkaitan dengan bagaimana seorang wanita menjaga kehormatannya
ketika berada di ruang publik. Ayat tersebut merupakan ayat yang
melarang perempuan/wanitauntuk tabarruj atau membuka aurat dan
berbaur dengan laki-laki.122
122 Wawancara dengan Prof. Dr. Asep Usman Ismail, MA. Guru Besar FIDKOM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 3 November 2016 pukul 10.00 WIB.
103
Berdasarkan hasil uraian dan analisis wawancara, maka didapatlah
sebuah kesimpulan konteks sosial yakni erkaitan dengan marginalisasi dan
subordinasi, boleh saja perempuan bekerja, terjun ke dunia politik, dan
publik. Begitupun berdasarkan dalil Al-Qur‟an yang diterjemahkan secara
lurus dan dikompromikan. Perempuan juga boleh berpendidikan tinggi,
karena dengan berpendidikan tinggi perempuan juga dapat meningkatkan
ekonomi diri dan keluarga. Salah satu segi positif perempuan berpendidikan
tinggi juga adalah perempuan dapat berfungsi dalam menata kehidupan
politik dan publik menjadi lebih baik. Berkaitan dengan stereotype yang
menganggap perempuan lemah sehingga tidak boleh terjun ke dunia politik,
publik, dan menjadi pemimpin bukanlah anggapan yang tepat. Apabila
perempuan memiliki kapasitas dan loyalitas, kemampuan, komitmen, dan
memenuhi syarat serta mampu secara bersamaan melaksanakan fungsinya di
keluarga maka boleh saja perempuan terjun ke dunia politik, publik, dan
menjadi pemimpin.
Berkaitan dengan kekerasan, juga masih terjadi. Akantetapi kasus ini
tidak bisa dilacak dan diketahui secara 100% karena luasnya negara
Indonesia. Berkaitan dengan beban kerja atau pekerjaan rumah tangga,
perempuan dan laki-laki harus saling bekerjasama. Pekerjaan rumah tangga
dan mengasuh anak bukan hanya pekerjaan perempuan saja, akan tetapi
keduanya, apalagi jika perempuan juga bekerja untuk mencari nafkah.
104
104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menjelaskan dan menganalisa data pada bab-bab sebelumnya
serta diperkuat dengan wawancara langsung dengan beberapa narasumber
terkait konteks sosial, maka ditemukan sebuah kesimpulan. Adapun
kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan dimensi teks
a. Struktur makro
Mengenai tema buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan” adalah kemuliaan perempuan dalam Islam. Tema
tersebut didukung oleh subtema kemuliaan perempuan dalam Al-
Qur‟an, penghargaan perempuan yang sama dengan laki-laki, harga
diri seorang perempuan, kemuliaan perempuan sebagai ibu,
menghormati dan menyayangi perempuan, perempuan tidak selalu
salah dan berdosa, perempuan lebih mulia daripada bidadari,
perempuan memperoleh hak milik, dan perempuan memiliki hak
istimewa. Tema tersebut telah menjadi pernyataan bahwa kedudukan
perempuan sangat penting dan mulia.
b. Superstruktur
Mengenai skematik, buku tersebut diawali dengan cover depan,
cover dalam, daftar isi, dan halaman pengantar penerbit yang
memberitahukan latar belakang disusunnya buku tersebut. Kemudian
105
105
Isi secara keseluruhan buku tersebut yakni mengenai kemuliaan
perempuan, penghargaan perempuan, pembagian tugas,
kepemimpinan laki-laki dan perempuan, dan pandangan kaum
orientalis terhadap perempuan. Kemudian kesimpulannya adalah
perempuan sangat mulia, kedudukan perempuan tidak lebih rendah
dari laki-laki, serta nilai-nilai perempuan yang sangat dijaga dan
dihormati.
c. Struktur mikro
Berdasarkan semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris, dijumpai
beberapa pemaknaan kata yang menunjukkan bahwa buku “Buya
Hamka Berbicara tentang Perempuan” merupakan buku yang
membahas mengenai kemuliaan perempuan serta kedudukan
perempuan.
2. Berdasarkan dimensi kognisi sosial
Buya Hamka memberikan pandangannya mengenai Islam,
kesetaraan gender dan perempuan tidak hanya berdasarkan pengetahuan,
latar belakang, serta status kepribadiannya sebagai seorang tokoh
penting, ulama, dan penulis. Akan tetapi, Buya Hamka memberikan
pendapatnya juga berdasarkan peristiwa yang terjadi di zamannya.
Sehingga, dalam hal ini Buya Hamka tidak hanya menggunakan skema
person, skema diri, skema peran, melainkan juga skema peristiwa. Skema
peristiwa tersebut yakni pada tahun 1973 muncul dan munculnya RUU
Perkawinan sekuler di Indonesia yang menurut beberapa sumber bahwa
RUU Perkawinan sekuler yang diajukan merupakan upaya kaum sekuler
106
untuk menggantikan UU Perkawinan yang telah ada. Hal tersebut timbul
sebagai upaya Buya Hamka untuk membela kaum perempuan.
3. Berdasarkan dimensi konteks sosial
Berdasarkan konteks sosial, perempuan boleh bekerja, terjun ke
dunia politik, dan publik. Begitupun berdasarkan dalil Al-Qur‟an yang
diterjemahkan secara lurus dan dikompromikan. Perempuan juga boleh
berpendidikan tinggi. Salah satu segi positif perempuan berpendidikan
tinggi juga adalah perempuan dapat berfungsi dalam menata kehidupan
politik dan publik menjadi lebih baik. Perempuan bukanlah makhluk
yang lemah. Apabila perempuan memiliki kapasitas dan loyalitas,
kemampuan, komitmen, dan memenuhi syarat serta mampu secara
bersamaan melaksanakan fungsinya di keluarga maka boleh saja
perempuan terjun ke dunia politik, publik, dan menjadi pemimpin.
B. Saran
Berdasarkan penelitian mengenai Analisis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”, maka penulis
ingin memberikan saran sebagai berikut:
1. Kepada masyarakat khususnya kaum laki-laki harus lebih menghormati
dan menghargai kedudukan perempuan, menyayangi, serta
memuliakannya. Akan tetapi, perempuan juga harus memuliakan dirinya
sendiri sebelum menginginkan kemuliaan dari orang lain ataupun kaum
laki-laki.
2. Kepada masyarakat, hendaknya membaca buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan” agar lebih memahami kedudukan perempuan dalam
107
Islam, memuliakan perempuan, dan memahami hak serta kewajiban laki-
laki maupun perempuan,.
3. Kepada penerbit Gema Insani, untuk ke depan juga harus menuangkan
karya lain yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam Islam,
kesetaraan gender dalam Islam dan buku-buku pembahasan lain yang
berkaitan. Hal ini guna mendukung pendapat Buya Hamka yang telah
dibaca dan banyak diminati oleh masyarakat, serta memberi manfaat bagi
masyarakat.
108
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aan, Munawar Syamsudin. Resolusi Neo-Metode Riset Komunikasi Wacana.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Albar, Muhammad. Wanita Karir dalam Timbangan Islam. Beirut: Daar Al-
Muslim,1994.
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Ensiklopedia Shahih Al-
Bukhari 2. Jakarta Timur: Al Mahira, 2012.
Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2007.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2001.
Fahyumi, Badriyah, dkk. Isu-isu Gender dalam Islam. Jakarta: PWS UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2002.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013.
Hamka, Irfan, Ayah. Jakarta: Republika Penerbit, 2015.
Hamka, Kenang-kenangan Hidup Buku Satu. Jakarta: Balai Pustaka, 2015.
Hamka. Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan. Depok: Gema Insani, 2014.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2002.
Jorgensen, Marianne W. dan Phillips, Louise J. Analisis Wacana Teori dan
Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al Qazwini Ibnu. Ensiklopedia
Hadits Sunah Ibnu Majah. Jakarta: Al Mahira, 2013.
109
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya Offset, 2006.
Naik, Zakir. Debat Islam Versus non Islam. Solo: PT. Aqwam, 2016.
Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2007.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004
Sumbulah, Umi. Spektrum Gender. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Internet
digilib.uin-suka.ac.id/3049/1/BAB%20I,IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf.
digilib.uin-suka.ac.id/14469.
eprints.ums.ac.id/33333/1/Naskah%20Publikasi%20Ilmiah.pdf.
Febigundar.blogspot.co.id/2011/12/tekhnik-pengumpulan-data-studi.html.
http://carta-de-michael.blogspot.co.id/2014/05/daftar-karya-buya-hamka.html.
http://www.lampuislam.org/2015/10/keadaan-masyarakat-arab-di-zaman.html.
repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/.../1/Faizah%20Ali%20Syobromalisi-
FU.pd.
www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/02/17/316536/uu-keadilan-dan-
kesetaraan-gender-segera-disahkan.
Hasil wawancara
Wawancara dengan Rendyana. Marketing di Penerbit Khatulistiwa Press dan
Distributor Buku. 14 September 2016 pukul 10:34 WIB.
Wawancara dengan Siti Nurmeliya Baskarani. Putri muslimah 2014. 12 Oktober
2016 pukul 16.00 WIB.
Wawancara dengan Annisa Febrinel Hendry. Owner of Annisa Accessories. 12
Oktober 2016 pukul 16.00 WIB.
Wawancara dengan Ibu Sri Lintang Rossi Aryani. Anggota Komisi 2 DPRD
Tangsel. 15 Oktober 2016 pukul 15.15 WIB.
110
Wawancara dengan Almas Shabrina. Google Student Ambassador 2014. 25
Oktober 2016 pukul 16.00 WIB.
Wawancara dengan Zham Sastera. Sastrawan dan Penulis. 3 November 2016
pukul 12.30 WIB.
Wawancara dengan Ibu Jumi Haryani. Editor Gema Insani Penerbit. 1 November
2016 pukul 10.30 WIB.
Wawancara dengan Ibu Rahmi Purnomowati. Ketua Pusat Studi Gender UIN
Syarif Hidayatullah Jaakarta. 2 November 2016 pukul 16.00 WIB.
Wawancara dengan Prof. Dr. Asep Usman Ismail, MA. Guru Besar FIDKOM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3 November 2016 pukul 10.00 WIB.
111
LAMPIRAN
LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Hari/tanggal : Rabu, 12 Oktober 2016
Pukul : 16. 00 WIB
Lokasi : Kosan Pondok Harapan, Jl Kertamukti Kec. Pisangan, Ciputat,
Tangerang Selatan
Narasumber : Siti Nurmeliya Baskarani (Putri Muslimah Indonesia 2014,
Entertainer, Model, dan Brand Ambassador of Garnier)
1. Menurut Ka Melly apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender?
Yang dinamakan kesetaraan adalah dimana laki-laki dan perempuan
sama-sama memiliki kebebasan. Laki-laki tidak banyak melarang dan
mengekang perempuan. Perempuan berhak melakukan apa saja,
menginginkan apa saja, asal itu positif. Selagi perempuan mampu
memberikan kepercayaan dan mampu untuk melakukan apa yang ia inginkan,
maka itu adalah hak perempuan. Seperti contoh menjadi pemimpin. Jika ia
memiliki kemampuan memimpin yang baik, ia pantas untuk menjadi
pemimpin.
2. Bentuk ketidakadilan gender salah satunya adalah stereotype/pelabelan,
benarkah perempuan itu lemah?
Sebenarnya perempuan itu tidaklah lemah. Perempuan hanya
mengedepankan perasaan. Ia lembut. Meskipun sebenarnya sifat-sifat tersebut
tidak hanya saja dimiliki oleh perempuan, melainkan ada juga laki-laki yang
lemah dan lembut. Semua itu dapat dipertukarkan. Banyak juga ditemui
perempuan yang tegas dan keras. Namun jika perempuan yang penuh
perasaan agaknya mengkhawatirkan jika harus menjadi pemimpin atau
pejabat. Karena perempuan seperti itu sulit untuk mengambil keputusan.
3. Berkaitan dengan subordinasi/anggapan tidak penting dalam hal politik,
bagaimana pendapat Ka Melly mengenai seorang perempuan yang
menjadi pemimpin?
Perempuan juga memiliki hak untuk menjadi pemimpin dengan syarat ia
mampu dan memenuhi kriteria menjadi pemimpin. Namun sifat dan sikapnya
juga perlu diperhatikan. Jika ia lemah, terlalu bermain dengan perasaan, maka
lebih baik perempuan tersebut tidak menjadi pemimpin.
4. Bagaimana pendapat Ka Melly mengenai perempuan yang
berpendidikan tinggi?
Perempuan berpendidikan tinggi itu harus. Perempuan harus terdidik
karena perempuan adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya kelak.
Untuk mencetak generasi yang baik, maka seorang perempuan harus
berpendidikan.
5. Bagaimana pendapat Ka Melly mengenai perempuan yang bekerja dan
laki-laki yang melarang perempuan bekerja?
Saya setuju dengan perempuan bekerja. Itu adalah haknya untuk bebas.
Selagi perempuan mampu bertanggung jawab dan bekerja untuk hal positif,
itu boleh saja. Laki-laki tidak berhak terlalu melarang perempuan bekerja.
Namun, seorang perempuan harus memilih pekerjaan yang selektif agar
mampu membagi waktu untuk keluarga. Sekarang saya sebagai seorang
entertain, saya masih single maka saya masih bebas. Namun jika nanti saya
sudah berkeluarga dan memiliki suami, maka saya harus memilih profesi
yang sesuai yang tidak terlalu memberatkan saya nantinya. Saya tidak
berpikir untuk mencari solusi memperoleh suami seorang actor ataupun
entertain juga, karena profesi yang sama tidak menjamin rumah tangga akan
damai.
6. Bagaimana pendapat Ka Melly pembagian kerja rumah tangga, apakah
urusan mengurus rumah dan anak adalah tugas perempuan saja?
Pekerjaan rumah tangga bukan hanya saja tugas seorang perempuan, itu
bukanlah kodrat seorang perempuan. Laki-laki dan perempuan harus saling
membantu, apalagi jika keduanya sama-sama bekerja.
Mengetahui,
Penulis Narasumber
Nur Kholifah Siti Nurmeliya Baskarani
LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Hari/tanggal : Rabu, 12 Oktober 2016
Pukul : 16. 00 WIB
Lokasi : Kosan Pondok Harapan, Jl Kertamukti Kec. Pisangan, Ciputat,
Tangerang Selatan
Narasumber : Annisa Febrinel Hendry (Owner of Annisa Accessories,
Entrepreneur, Juara 3 Lomba Businessplan Mahasiswa se-
Indonesia 2014, Pembina Komunitas UINPreneur)
1. Menurut Ka Annisa apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender?
Kesetaraan gender itu adalah dimana laki-laki dan perempuan memiliki
hak dan kewajiban yang sama. Seorang laki-laki atau suami janganlah sempit
pemikiran. Jangan terlalu mengekang keras istri dan membiarkannya tetap di
dalam rumah. Seorang istri harus memiliki aktivitas. Selain itu, seorang
perempuan hendaknya harus mandiri dan jangan terlalu bergantung pada
suami. Karena bisa saja seorang suami nantinya meninggal lebih dulu dan
perempuan bingung menghidupi anak-anak dan keluarganya.
2. Bentuk ketidakadilan gender salah satunya adalah stereotype/pelabelan,
benarkah perempuan itu lemah?
Perempuan itu tidak lemah. Lemah itu adalah sifat. Sifat setiap orang
berbeda-beda. Jika hanya karena faktor sifat seseorang dilarang masuk ranah
politik dan menjadi pemimpin, maka seharusnya yang dinamakan kesetaraan
gender harus mengacu pada persyaratan pemilihan pemimpin dan syarat
tergabung dalam dunia politik. Jika seorang perempuan tegas, berhasil
mengikuti tahap yang sudah ditentukan maka ia memiliki hak untuk
melakukan apa yang dia inginkan.
3. Berkaitan dengan subordinasi/anggapan tidak penting dalam hal politik,
bagaimana pendapat Ka Annisa mengenai seorang perempuan yang
menjadi pemimpin?
Seperti yang tadi saya sampaikan. Jika perempuan kuat, tegas, mampu
mengambil memegang sikap dan keputusan, berhasil mengikuti prosedur,
maka ia juga berhak menjadi pemimpin.
4. Bagaimana pendapat Ka Annisa mengenai perempuan yang
berpendidikan tinggi?
Memperoleh pendidikan tinggi untuk perempuan boleh saja. Jika seorang
laki-laki atau suami melarang karena takut tersaingi tingkat pendidikannya,
maka seorang laki-laki harus sama-sama berpendidikan. Namun yang harus
diperhatikan untuk seorang perempuan yang sudah berkeluarga, meminta izin
untuk melanjutkan pendidikan juga perlu. Dalam rumah tangga saling
berkomunikasi itu adalah keharusan. Jika ingin melanjutkan pendidikan,
harusnya perempuan jangan jauh-jauh dan tetap bertanggungjawab serta
memberikan waktu yang cukup untuk keluarga.
5. Bagaimana pendapat Ka Annisa mengenai perempuan yang bekerja dan
laki-laki yang melarang perempuan bekerja?
Laki-laki tidak berhak terlalu melarang perempuan untuk bekerja.
Perempuan juga berhak memperoleh penghasilan, apalagi tujuannya
memperoleh penghasilan baik. Jika laki-laki melarang perempuan bekerja dan
berdiam diri di rumah, ini akan berdampak pada psikologis perempuan.
Perempuan jika hanya diam di rumah maka ia akan stress. Perlu juga
diperhatikan oleh perempuan, jika ingin bekerja jangan mencari pekerjaan
yang mengikat dan menghabiskan waktu untuk pekerjaan sehingga waktu
untuk anak dan keluarga berkurang. Jika kita bekerja terikat secara tidak
sadar kita sudah buang-buang waktu untuk kepentingan orang lain, membantu
kerja orang lain tapi melupakan kewajiban sebagai ibu rumah tangga.
6. Bagaimana pendapat Ka Annisa pembagian kerja rumah tangga,
apakah urusan mengurus rumah dan anak adalah tugas perempuan
saja?
Pekerjaan rumah tangga seharusnya dikerjakan secara bersama-sama.
Laki-laki harus membantu perempuan dalam urusan rumah tangga dan
mengurus anak. Laki-laki tidak bisa melimpahkan urusan rumah tangga
kepada perempuan saja. Bahkan seharusnya secara tidak sadar dan sering
dilupakan masyarakat, ketika seorang laki-laki melakukan akad saat menikahi
perempuan, itu berarti laki-laki berikrar dan berjanji untuk perempuan. Ia
berjanji untuk menafkahi, mengurusnya, melindunginya, bahkan seharusnya
membantu urusan rumah tangga.
Mengetahui,
Penulis Narasumber
Nur Kholifah Annisa Febrinel Hendry
LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Hari/tanggal : Sabtu, 15 Oktober 2016
Pukul : 15.15 WIB
Lokasi : Rumah Ibu Lintang di Jl. Jambu 1 no. 23 B, Pisangan,
Ciputat, Tangerang Selatan
Narasumber : Ibu Sri Lintang Rossi Aryani (Politisi dari Partai PKS
dan Anggota Komisi 2 DPRD Tangsel)
1. Bagaimana pendapat ibu mengenai kesetaraan gender yang berlaku di
masyarakat? Dan bagaimana pula pandangan ibu mengenai kesetaraan
gender yang seharusnya?
Untuk kesetaraan gender yang berlaku di masyarakat menurut saya
belum semuanya paham. Patriarki masih kuat tertanam dalam masyarakat
kita. Buktinya seperti ini, ketika kemarin saya bertemu dengan banyak
ikhwan, salah satu ikhwan bertanya, “Gimana ya kok di Tangsel yang
menjadi dewan akhwat semua?”. Lalu ikhwan yang lain menanggapi,
“Memang kenapa dengan akhwat?”
Kemudian saya menanggapi, “Harusnya antum itu bertanya kenapa
akhwat yang menang, kenapa ikhwan nggak menang?”. Nah hal itu
menunjukkan bahwa banyak orang yang belum mengakui kemampuan
perempuan.
Dalam pencalonan pemilu kita hanya memenuhi kuota 30%. Misalnya
ada 10 orang, berarti akhwatnya 3. Kemarin itu ikhwan ada 4 orang dan
akhwat ada 2 orang. Nah semuanya akhwat yang memangkan pemilu. Di
semua dapil ikhwan 4, akhwat 2. Di semua dapil yang menang akhwat. Hal
ini harusnya membuktikan bahwa peran laki-laki kurang dirasakan oleh
masyarakat. Dengan banyaknya perempuan yang memenangkan pemilu
sekarang bapak-bapak lebih menghargai perempuan. Sekarang bapak-bapak
tidak menyentuh. Kalau dulu bapak-bapak yang menjadi dewan sering
mengatakan, “Oh ibu-ibu ini kurang ya untuk PMP, kurang ya untuk
PKKnya, kurang ya untuk pelatihan perempuan”. Hal semacam itu tidak
hanya berlaku di Partai PKS. Tapi memang di Tangsel ini PKS paling
banyak perempuan. Maksudnya 12 perempuan. Kan ada 50 orang kalau
memenuhi kuota kan berarti kita harusnya 15. Tapi kita hanya 12. Nah dari
12 itu 4 perempuannya dari PKS. PDIP 2, Golkar tidak ada, Hanura 1,
Gerindra 1, Nasdem 1, PKB 1, semua 1.
Jadi menurut saya belum semua paham tentang kesetaraan gender.
Patriarki masih berlaku di masyarakat. Semua masih untuk laki-laki.
Meskipun semua juga tidak seperti itu. Sebagai contoh di Padang,
pemegang warisan itu dari ahli mama, artinya perempuan yang mendapat
warisan. Hasrusnya tidak seperti itu.
2. Apakah perempuan itu lemah? Sebenarnya kekuatan dan kelemahan
laki-laki juga perempuan itu apa saja?
Kita sebagai perempuan mempunyai kelemahan dibandingkan laki-
laki. Kelemahan perempuan itu pada fisiknya. Sedangkan laki-laki lemah
dengan tiga hal yakni harta, tahta, dan wanita. Tetapi perempuan meskipun
ada yang lemah fisiknya ia juga harus kuat ruhiyahnya. Laki-lakipun juga
memiliki tiga kelemahan tersebut. Untuk itu laki-laki juga harus kuat dalam
hal ruhiyah.
Perempuan itu dengan melahirkan itu membuktikan bahwa perempuan
kuat. Perempuan jika dia kuat ruhiyahnya dia bisa menjadi pemimpin
apapun. Pemimpin dalam manajemen rumah tangga. Jika perempuan fisik
dan ruhiyahnya lebih bagus, dia bisa menjadi pemimpin dibandingkan laki-
laki. Dan menurut saya, perempuan itu kuat ketika ia dekat dengan Allah.
3. “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, oleh karena itu
Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain” (Q.S an-
Nisa ayat 34)
“… Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang menurut cara
yang baik. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya.” (Q.S al-Baqarah:228)
Bagi yang kontra terhadap kepemimpinan perempuan, kedua dalil
tersebut sering menjadi dasar yang membuktikan bahwa perempuan
tidak pantas menjadi pemimpin. Benar atau tidak?
Perempuan itu boleh menjadi pemimpin. Tetapi tetap dalam sholat
laki-laki yang harus menjadi pemimpin. Hal ini karena Allah yang sudah
menetapkan. Jika dalam rumah tangga tetap laki-laki yang menjadi
qowwam, tetapi ketika suami sakit boleh perempuan memimpin. Menjadi
qowwan atau pemimpin itu tidak mudah, itu susah karena dia harus
memimpin. Qowwam itu jika dalam perusahaan ibarat pemimpinnya dan
perempuan atau seorang ibu adalah sekretarisnya.
Berkaitan dengan ayat tersebut, sebenarnya ayat tersebut tergolong
ayat mutasyabihat yang artinya sulit dipahami. Orang yang mengatakan
bahwa ayat tersebut menjadi dasar bahwa perempuan tidak berhak menjadi
pemimpin, belum paham dengan ayat tersebut. Setiap ayat turun pasti ada
asbabul nuzulnya. Seperti dulu orang-orang jahiliyah, banyak perempuan
memimpin tetapi memimpin sebagai dukun-dukun.
Perempuan boleh menjadi pemimpin. Asalkan perempuan itu kuat fisik,
ruhiyah, dan mampu memimpin. Laki-laki juga tidak bisa menjadi jika ia
lemah. Laki-laki yang lemah akalnya, fisiknya tidak bisa menjadi
pemimpin. Tetapi jika hanya lemah fisik tetapi kuat akal masih bisa menjadi
pemimpin. Ahmad Yasin contohnya, dia fisiknya lemah, tetapi akalnya
bagus dan ruhiyahnya bagus bisa menjadi pemimpin.
Banyak juga pemimpin kita yang lemah tetapi ruhnya bagus, seperti jenderal
sudirman. Akalnya bagus. Seperti Cut Nyak Dien, dia perempuan yang kuat
dan ruhnya juga kuat.
4. Menurut surat an-Nisa ayat 34 tersebut, yang dikatakan laki-laki
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada perempuan itu dalam
hal apa?
Ya laki-laki itu pemimpin bagi perempuan, khususnya pemimpin
sholat. Yang dilebihkan laki-laki itu adalah fisiknya. Sehingga yang
disebutkan pada ayat Al-Qur‟an adalah Allah melebihkan sebagian yang
lain dan sebagian adalah penolong bagi sebagian yang lain. Sehingga
dengan Allah melebihkan laki-laki maka laki-laki harus menjadi pelindung
bagi perempuan. Sehingga laki-laki memiliki sifat untuk melindungi.
5. “Dan hendaklah kalian (wahai para istri nabi) tetap di rumah kalian dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
jahiliyah dulu.” (Q.S al-Ahzab ayat 33)
Berdasarkan ayat tersebut, bagaimana menurut ibu mengenai
perempuan yang bekerja/berkarir?
Ada tokoh yang mengatakan, dengan perempuan bekerja di luar
rumah banyak malapetakanya, anak tidak terurus, keluarga
berantakan, bisa menimbulkan fitnah, bisa terjerumus dari dosa, benar
atau tidak?
Ayat tersebut bukan ayat larangan kerja, melainkan ayat yang
menerangkan bahwa perempuan tidak boleh tabarruj. Yang namanya
pekerjaan juga banyak macamnya. Ketika perempuan online di rumah tetapi
memberikan
penghasilan, itu sudah bekerja. Penulis yang menulis di rumah juga bekerja.
Mengerjakan urusan rumah tangga juga bekerja. Jadi bekerja itu banyak
macamnya. Jadi ketika perempuan keluar rumah asalkan untuk hal yang
positif itu boleh saja, asalkan tidak maksiat.
Dan bagus juga untuk tokoh yang mengatakan bahwa perempuan yang
keluar rumah akan menimbulkan petaka. Hal ini agar perempuan yang
keluar rumah tidak melakukan hal maksiat. Maksud ayat tersebut juga
sebenanrnya untuk menerangkan agar perempuan tidak bercampur baur,
tidak ikhlilat.
Bahkan Allah menerangkan juga untuk manusia bekerja. Bahkan
sebagai contoh adalah Khadijah istri Rasullah. Khadijah adalah pengusaha
sukses dan kaya di zamannya. Bekerja itu harusnya ada tujuan. Tujuan
bekerja itu ada tiga. Pertama bekerja untuk ibadah. Kedua untuk dakwah.
Dan ketiga baru bekerja untuk memperoleh penghasilan.
6. Mengenai beban kerja. Apakah pekerjaan rumah tangga dan
mengurus anak adalah kodrat seorang perempuan?
Nah untuk urusan rumah tangga itu membutuhkan banyak tenaga
kerja. Karena laki-laki Allah berikan kelebihan maka laki-laki harus
membantu urusan rumah tangga. Sebagai contoh saya cuci piring, suami
saya juga bisa cuci piring. Rasullah dulu juga begitu, Rasullah menggiling
gandum, mencuci baju sendiri. Jadi laki-laki dan perempuan sama-sama
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sama-sama membantu.
7. Bagaimana pendapat ibu mengenai perempuan yang berpendidikan
tinggi?
Perempuan berpendidikan tinggi juga tidak apa-apa. Tetapi bagi yang
sudah bersuami dia harus izin dengan suaminya terlebih dahulu. Jika
seorang istri mendapat kesempatan untuk lanjut kuliah ke luar negeri
biasanya suaminya juga ikut. Bahkan mereka bisa sama-sama ke luar negeri
melanjutkan pendidikan.
Perempuan harus izin ke suami ketika melanjutkan pendidikan
menunjukkan bahwa itu adalah salah satu kelebihan suami dibanding istri.
Jika laki-laki tidak diberikan kelebihan, maka sebagai seorang istri kita tidak
mungkin harus izin terlebih dahulu. Ketika seorang laki-laki melarang, kita
harus mencoba bertanya kenapa kita dilarang. Itu bukan berarti kita ngeyel,
melainkan kita harus tahu alasan kenapa laki-laki melarang kita.
8. Dalam buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” disebutkan,
“Laki-laki sukses di belakangnya ada perempuan hebat”, maka apakah
yang seharusnya dilakukan perempuan untuk laki-laki?
Hal yang harus dilakukan perempuan kepada laki-laki adalah
mensupport. Perempuan harus memberikan kepercayaan kepada laki-laki.
Sebagai contoh adalah ketika seorang suami pulang malam. Maka seorang
istri jangan mudah curiga dan marah pada suami. Seorang istri harus
berkata, “Saya percaya abi pulang malam karena ada urusan yang baik. Saya
percaya abi tidak mungkin melakukan hal yang buruk”.
9. “Rumah tangga yang aman dan damai ialah gabungan dari tegapnya
laki-laki dengan halusnya perempuan. Laki-laki mencari dan
perempuan mengatur”. Apakah dengan adanya pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa hanya laki-laki yang patut mencari nafkah?
Maksudnya bukan seperti itu. Laki-laki dan perempuan boleh sama-
sama bekerja. Ibarat di perusahaan. Laki-laki adalah manajer dan
perempuan adalah sekretaris. Mereka sama-sama bekerja, saling membantu
dan melengkapi.
Mengetahui,
Penulis Narasumber
Nur Kholifah Sri Lintang Rossi Aryani
LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Hari/tanggal : Selasa, 25 Oktober 2016
Pukul : 16. 00 WIB
Lokasi : Masjid Fathullah Ciputat, Tangerang Selatan
Narasumber : Almas Shabrina (Google Students Ambassador 2014 dan
Presiden Forum Indonesia Muda Cabang Depok-Jakarta
2016)
1. Bagaimana pendapat Ka Almas sendiri mengenai kesetaraan gender
yang seharusnya berlaku?
Menurut Ka Almas kesetaraan ini berhubungan dengan pekerjaan.
Dan ketika melihat suatu pekerjaan seharusnya dilihat dari kemampuan dan
kodrat masing-masing. Yang disebut kesetaraan gender bukanlah melakukan
sesuatu hal yang sama melainkan melakukan sesuatu sesuai posisi, porsi,
kodrat, dan kemampuannya. Jadi ambilah sesuatu yang baik, yakni memilih
yang pantas untuk dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
2. Berkaitan dengan stereotype/pelabelan, benarkah perempuan itu lemah
dan emosional?
Teori pelabelan ini berarti seperti teori labeling. Dalam teori ini
misalnya dinyatakan bahwa ketika seseorang dikatakan bodoh maka
seseorang itu akan diledekin dan dianggap bodoh oleh orang lain. Dan
seseorang itu juga pasti akan menganggap bahwa dirinya akan bodoh terus.
Menurut Ka Almas ini bergantung pada perempuannya sendiri. Jika
seorang perempuan dari kecil sudah dilatih untuk mandiri maka dia akan
memiliki kematangan emosional yang bagus. Hal itu juga berkaitan dengan
faktor keluarga, lingkungan, dan teman bermainnya. Dan jika dibilang
perempuan itu lemah itu menunjukkan bahwa ada suatu ketika perempuan
itu ingin dilindungi. Jika dibilang lemah perempuan itu mungkin iya lemah,
tetapi jika dibilang emosional menurut Ka Almas tidak. Tetapi lemah disini
yang dimaksud bukan berarti seorang perempuan tidak sanggup mengangkat
beban berat atau takut naik angkot sendirian. Tetapi lemah disini adalah
perempuan butuh dikuatkan. Seperti ungkapan, bahkan yang kuatpun masih
butuh dikuatkan. Seperti itulah perempuan. Jadi disini lemah juga
mengartikan bahwa perempuan butuh dilindungi.
3. Berkaitan dengan kepemimpinan perempuan, bagaimana pendapat Ka
Almas mengenai seorang perempuan yang menjadi pemimpin? Boleh
atau tidak?
Menurut Ka Almas boleh saja perempuan menjadi pemimpin.
Misalkan saja Ka Almas, dulu Kakak itu tipe orang yang dari SD, SMP, dan
SMA selalu menjadi pemimpin upacara. Jadi menurut Ka Almas boleh
banget perempuan menjadi pemimpin asalkan batasnya hanya sampai
gubernur. Tetapi jika pada tingkat yang lebih atas lagi misalnya presiden
sepertinya tidak etis.
Salah satu alasan Ka Almas tidak setuju presiden perempuan adalah
perempuan bermain dengan perasaan dan itu berkaitan dengan
psikologisnya. Kedua, perempuan itu memang labil emosinya, perempuan
sensi dan sering mut-mutan, dan perempuan yang menjadi presiden tidak
pantas memiliki sikap dan sifat seperti itu. Jadi menurut Ka Almas boleh
banget perempuan menjadi pemimpin asalkan tidak sampai pada tahap
presiden. Bahkan saya juga pernah memiliki keinginan untuk menjadi
Bupati dan sampai saat ini juga masih memiliki keinginan. Tapi lihat sajalah
nanti, ikutin saja alurnya.
4. Bagaimana pendapat Ka Almas mengenai perempuan yang
berpendidikan tinggi? Boleh atau tidak?
Boleh banget, karena kan kecerdasan seorang anak berasal dari
ibunya. Kalau ibunya tidak pintar bagaimana anaknya akan pintar. Dan
perlu juga diperhatikan bahwa seorang perempuan berpendidikan tujuannya
adalah untuk keluarga. Ada juga yang seorang perempuan pendidikannya
sampai S3 dan sibuk bekerja sehingga anaknya diasuh oleh pembantu, itu
kan sayang banget.
5. Bagaimana pendapat Ka Almas mengenai perempuan yang bekerja
dan laki-laki yang melarang perempuan bekerja?
Perempuan bekerja itu boleh saja. Hal itu kembali pada komitmen
masing-masing pasangan. Kemudian kalau melihat para pekerja di kereta-
kereta banyak juga ibu-ibu rumah tangga, mereka berangkat pagi dan pulang
sore bahkan malam, lalu bagaimana waktu untuk anak dan keluarga? Itu
miris juga.
Harusnya ketika seseorang berkeluarga perlu mandiri finansial
sehingga ia bisa wirausaha atau menghasilkan uang di rumah. Nah untuk
para pekerja politik misalkan Gubernur, itu juga membuat seseorang
mengeluarkan banyak waktunya, lalu bagaimana dengan keluarga? Biasanya
syarat untuk menjadi Gubernur adalah umur. Ada umur batasan umur. Dan
biasanya mereka yang menjadi Gubernur anak-anaknya sudah besar
sehingga seorang perempuan bisa memberikan waktunya untuk terjun ke
dunia politik.
Mengetahui,
Penulis Narasumber
Nur Kholifah Almas Shabrina
LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Hari/tanggal : Kamis, 3 November 2016
Pukul : 12.30 WIB
Lokasi : Sekretariat FLP Ciputat, Jl. Pasangrahan Gd. Baitun Najwa
Lt. 2 Cempaka Putih, Ciputat, Tangerang Selatan
Narasumber : Zham Sastera (Sastrawan dan Penulis)
1. Bagaimana pendapat Ka Zham sendiri mengenai kesetaraan gender
yang seharusnya berlaku di masyarakat?
Harusnya kita mau menerima kesetaraan gender yang berlaku di
masyarakat. Jangan terlalu banyak anggapan perbedaan. Dalam hal kinerja
jangan membedakan pekerjaan laki-laki dan perempuan dengan alasan
perempuan itu lemah. Seperti presiden kita yakni Ibu Megawati sudah
menjadi contoh kesetaraan gender dimana perempuan juga berperan penting
dalam kenegaraan dan politik.
2. Berkaitan dengan stereotype/pelabelan, benarkah perempuan itu lemah
dan emosional?
Menurut saya jika perempuan dianggap lemah itu adalah kesalahan
besar. Dalam hal tenaga memang mungkin laki-laki dan perempuan
berbeda. Namun bukan berarti perempuan itu lemah. Jika kita mau
memandang ke masalalu dimana terdapat perjuangan dari R.A Kartini, itu
membuktikan bahwa perempuan kuat. Perempuan tidak jauh berbeda dari
laki-laki. Jika perempuan dikatakan emosial mungkin iya, karena
perempuan itu condong bersifat sensitif dan bermain perasaan dalam
pandangan psikologi. Tetapi perempuan itu kuat. Lihat saja contoh ibu kita.
Bagaimana ia mengandung dan merawat kita itu adalah bukti bahwa
perempuan kuat.
3. Berkaitan dengan kepemimpinan perempuan, bagaimana pendapat Ka
Zham mengenai seorang perempuan yang menjadi pemimpin? Boleh
atau tidak?
Kalau menurut saya perempuan menjadi pemimpin boleh bahkan
menjadi menjadi presiden juga boleh. Selagi seorang perempuan mampu
boleh saja dan itu perlu kita dukung.
4. Bagaimana pendapat Ka Zham mengenai perempuan yang
berpendidikan tinggi? Boleh atau tidak?
Perempuan berpendidikan tinggi sangat boleh menurut saya. Hal ini
dikarenakan ketika perempuan berpendidikan tinggi bukan saja ia
mengangkat derajat keluarga, melainkan juga mengangkat derajat dirinya
sendiri. Perempuan berpendidikan itu penting sehingga menurut saya sangat
boleh perempuan berpendidikan tinggi.
5. Bagaimana pendapat Ka Zham mengenai perempuan yang bekerja dan
laki-laki yang melarang perempuan bekerja?
Jika perempuan bekerja boleh saja. Kita lihat banyak juga perempuan-
perempuan karier. Itu semua kembali ke diri masing-masing. Jika laki-laki
atau seorang suami melarang perempuan atau istri bekerja asal dia mampu
dan mencukupi juga tidak apa-apa, istri tidak perlu bekerja. Ketika istri
bekerja juga harus berdasarkan izin dari suami agar rumah tangga tidak
mengalami perpecahan.
6. Bagaimana menurut Ka Zham mengenai beban kerja/urusan
pekerjaan rumah tangga, apakah hanya perempuan saja yang berhak
mengerjakannya?
Ketika perempuan sudah memutuskan menjadi seorang wanita karier
berarti konsekunsinya dia harus mampu menyeimbangkan pekerjaannya
dengan pekerjaan rumah tangga. Bagi seorang laki-laki seharusnya juga
membantu kerja perempuan. Suami juga boleh mencuci piring, mencuci
baju dan sebagainya. Pekerjaan rumah tangga tidak harus perempuan saja
yang
mengerjakannya. Ketika perempuan dan laki-laki mampu bekerjasama itu
menandakan tidak adanya bias gender.
Mengetahui,
Penulis Narasumber
Nur Kholifah Zham Sastera
LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Hari/tanggal : Selasa, 1 November 2016
Pukul : 10.30 WIB
Lokasi : Gd. Gema Insani Penerbit, Jl. Ir. H. Juanda Depok
Narasumber : Ibu Jumi Haryani (Editor buku “Buya Hamka Berbicara
tentang Perempuan”)
1. Bagaimana sejarah penyusunan buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan”?
Buku “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan adalah terbitan
Gema Insani. Kami dapat langsung dari ahli waris Buya Hamka. Kemudian
kami terbitkan. Sehingga terkait hak cipta, kami dapat langsung dari ahli
waris penulis.
2. Editor/penyunting di Gema Insani siapa saja? Kenapa ibu Jumi
Haryani yang harus menyunting buku tersebut?
Editor di Gema Insani itu banyak. Ada bagian tersendiri. Ada yang
menjadi editor di bagian buku anak, buku umum dan referensi, dan buku
agama.
Saya menyunting buku tersebut karena buku tersebut adalah buku
mengenai perempuan dan saya adalah editor perempuan. Kebetulan, saya
juga ditugasi untuk mengedit buku tersebut, sehingga saya yang
mengerjakan pengeditan buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan”. Kemudian, saat itu saya yang bisa mengedit buku tersebut,
sedangkan editor yang lain sedang sibuk dengan tugas lain.
3. Awalnya buku tersebut berjudul “Kedudukan Perempuan dalam
Islam”, apa tujuannya Gema Insani mencetak ulang dan melakukan
perubahan judul pada buku tersebut?
Tujuan kami mencetak ulang dan melakukan perubahan judul pada
buku tersebut yang pertama adalah agar menarik. Menarik juga karena ada
sosok Buya Hamka di bagian cover. Buku tersebut juga berbicara tentang
perempuan. Sehingga kami ingin menyampaikan bagaimana pendapat Buya
Hamka mengenai perempuan itu sendiri. Jadi intinya agar buku tersebut
lebih menarik untuk dibaca oleh khalayak.
4. Apa perbedaan konten buku tersebut sebelum dan sesudah dicetak oleh
Gema Insani?
Untuk buku ini kami tidak terlalu banyak merubah dan merombak
isinya dikarenakan kami ingin khalayak tahu bagaimana ciri khas Buya
Hamka. Hanya yang kami rubah adalah gaya bahasanya menjadi kekinian.
Buku tersebut adalah terbitan lama sehingga gaya bahasanya kami rubah.
Dengan perubahan tersebut, buku “Buya Hamka Berbicara tentang
Perempuan” akan lebih mudah dipahami. Tetapi isi dan maknanya tidak
dirubah dan tetap sama dikarenakan kami ingin menyampaikan kepada
khalayak mengenai ciri dan pendapat Buya Hamka.
5. Kendala apa yang dirasakan dalam penyusunan, pencetakan, dan
pemasaran buku tersebut?
Kendalanya adalah kami tidak ada filenya dan mendapat langsung dari
ahli waris berupa buku. Sehingga banyak file yang hilang dan tulisannya
kurang jelas sehingga kami harus teliti lagi. Setelah mendapat langsung dari
ahli waris kita menscan tulisan tersebut, sehingga ketika dipindahkan ke
Microsoft Word, tulisannya kurang jelas dan perlu dicermati.
Dari segi percetakan kami tidak terkendala. Dalam segi pemasaran
buku tersebut juga bagus penjualannya. Buku tersebut sampai dicetak ulang
4 kali oleh Gema Insani. Hal ini berarti menunjukkan bahwa respon
masyarakat terhadap buku tersebut sangat bagus.
6. Buku tersebut dicetak berapa kali dan berapa banyak jumlahnya? Apa
saja penghargaan buku tersebut?
Iya buku tersebut sudah cetak ulang ke-4. Untuk penghargaan, buku
tersebut belum mendapatkan penghargaan selain penjualannya yang bagus.
7. Sebagai penyunting, bagaimana Ibu Jumi Haryani memandang sosok
Buya Hamka?
Buya Hamka adalah seorang ulama, ayah yang baik, penulis yang
karyanya banyak dan banyak diminati masyarakat. Tulisannya tafsir Al-
Azhar juga bermanfaat. Novel-novelnya banyak mengajak pada kebaikan
bukan novel-novel yang merusak. Jalan pemikiran Buya Hamka juga bagus
sehingga karyanya cocok untuk masyarakat Indonesia.
8. Menurut ibu, apa tujuan Buya Hamka menghadirkan tulisannya lewat
buku tersebut?
Buya Hamka menulis buku tersebut tujuannya adalah ingin
memuliakan perempuan. Terkadang masyarakat masih menganggap sebelah
mata seorang perempuan. Sehingga dengan karyanya tersebut, Buya Hamka
ingin menunjukkan bahwa perempuan itu selain mulia juga kuat. Islam
sangat menghargai perempuan. Buya Hamka membuktikannya dengan dalil
Al-Qur‟an dan Hadits. Buya Hamka menyatakan bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama, salah satunya beramar
ma’ruf dan nahi munkar.
9. Menurut ibu, apakah yang disampaikan Buya Hamka dalam buku
tersebut sudah benar dan dapat diterapkan di masyarakat?
Menurut saya apa yang disampaikan Buya Hamka sudah baik karena
sudah berlandaskan Al-Qur‟an dan Hadits. Buku tersebut juga dapat
diterima dan diterapkan oleh masyarakat. Buku tersebut sudah sesuai
dengan kehidupan masyarakat. Dengan banyaknya buku yang terjual
membuktikan bahwa buku tersebut sangat dibutuhkan dan diterima oleh
masyarakat untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan.
10. Bagaimana harapan ibu terhadap masyarakat setelah hadirnya buku
tersebut?
Harapannya adalah perempuan dapat memuliakan dirinya sendiri
bukan malah menurunkan dirinya sendiri. Perempuan harus mampu cerdas
dan bertanggungjawab. Hal ini dikarena tugas menjadi seorang perempuan
tidak mudah dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.
Mengetahui,
Penulis Narasumber
Nur Kholifah Jumi Haryani
LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Hari/tanggal : Rabu, 2 November 2016
Pukul : 16.00 WIB
Lokasi : Kantor Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Narasumber : Ibu Rahmi Purnomowati, SP.MSi (Ketua PSGA UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta)
1. Bagaimana pendapat Ibu mengenai kasus kesetaraan gender yang
berlaku di masyarakat? Sudah berjalan dengan sebenarnya atau masih
mengalami ketidakadilan dan merugikan sebelah pihak?
Kesetaraan gender saat ini belum berlaku 100%. Masih banyak terjadi
ketidakadilan atau bias gender di masyarakat. Tetapi secara umum sudah
banyak perubahan atau perbaikan dari kesetaraan gender. Tetapi saya tidak
menyebutkan data statistik karena hingga hari ini saya belum memiliki
angka tentang itu. Akan tetapi, jika dilihat dari jumlah perempuan yang
mengisi jabatan publik, baik di pemerintahan, di akademik, di pendidikan,
kemudian di perusahaan-perusahaan semakin banyak perempuan yang
mengisi jabatan publik. Indikatornya saat ini tentu lebih baik, negara kita
lebih baik daripada negara tetangga kita, katakanlah Malaysia.
Terkait pekerjaan laki-laki dan perempuan sudah tidak lagi banyak
perbedaan. Seperti contohnya pengemudi grab, trans Jakarta, pilot sudah
banyak yang dilakukan oleh perempuan. Kesetaraan gender dalam bidang
pekerjaan sudah bukan lagi halangan walaupun tidak menutup mata pada
beberapa tempat atau kondisi masih terjadi ketidakadilan gender. Hal
tersebut tentu merugikan perempuan. Misalnya, di beberapa tempat terjadi
perbedaan posisi pekerja, dimana mereka tidak menerima perempuan untuk
menduduki jabatan tertentu, alasan tersebut pada umumnya adalah fisik,
dimana perempuan dianggap lemah. Ada shift malam dan sifatnya
menggunakan tenaga. Walaupun hal tersebut tidak tertulis formal, tetapi jika
ada seleksi maka perempuan itu gugur. Mereka tidak berani untuk tidak
menerima perempuan dan menuliskannya dalam persyaratan, tapi ternyata
dalam posisi tertentu yang terpilih adalah laki-laki. Contoh lain dari
ketidakadilan gender adalah posisi pekerja di bidang pertambangan dan
pengeboran yang hanya ditujukan kepada laki-laki, padahal jika diterapkan
ada beberapa perempuan yang memenuhi kriteria tersebut dan mampu
melakukan pekerjaan tersebut. Dengan demikian, menurut saya sebagian
perempuan ada yang cocok untuk mengisi suatu pekerjaan yang pada
umumnya hanya dapat dilakukan laki-laki, jika perempuan memiliki
kemampuan.
2. Sebagai Ketua Pusat Studi Gender, bagaimana pendapat Ibu mengenai
kesetaraan gender yang seharusnya berlaku di masyarakat?
Berkaitan dengan kesetaraan gender maka kita harus merujuk pada
apa yang dimaksud dengan definisi gender. Gender adalah pembagian peran
sosial antara laki-laki dan perempuan dimana peran itu dapat dipertukarkan.
Berbeda dengan peran secara kodrati yakni hamil, melahirkan, dan
menyusui.
Peran tersebut adalah peran secara kodrati dan tidak dapat
dipertukarkan. Tetapi jika peran mengantarkan anak ke Puskemas,
memandikan anak, merawat dan menjaga tumbuh kembang anak, mendidik
anak adalah peran yang dapat dipertukarkan serta dapat dilakukan oleh laki-
laki maupun perempuan secara bersamaan. Mencari nafkah itu juga
merupakan peran sosial yang bukan kodrati. Misalnya laki-laki bekerja,
perempuan bekerja, kemudian dalam segi pendapatan perempuan lebih
tinggi daripada laki-laki tidak perlu laki-laki marah. Hal ini disebabkan
perempuan bekerja sama-sama untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam
beberapa kasus juga ditemui bahwa perempuan menjadi tulang punggung
keluarga.
Pada masa sekarang telah dicanangkan program pemerintah yakni
PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga. Hal ini sudah cukup menjadi bukti
bahwa pemerintah responsif terhadap gender dan perempuan. Hal ini juga
dikarenakan banyak kasus bahwa perempuan menjadi tulang ekonomi
keluarga. Adapun contoh kasus tersebut yang pertama adalah kasus seorang
janda, dimana ia ditinggal pergi atau mati seorang suami sehingga ia
memperolah tanggungan atau beban, minimal menghidupi dirinya sendiri.
Sehingga hal ini mengajarkan bahwa perempuan harus mandiri dan tidak
tergantung pada orang lain. Kasus kedua adalah perempuan yang ditinggal
jauh suaminya. Sebagai contoh, suami perantau atau seorang TKI. Kasus
ketiga, seorang istri yang suaminya sakit atau diPHK. Terakhir, misalnya
suaminya ada, tetapi ia sebagai seorang perempuan harus meningkatkan
kapasitasnya untuk bisa mandiri secara finansial terutama untuk menopang
ekonomi keluarga.
3. Bentuk ketidaksetaraan gender di antaranya adalah marginalisasi,
subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban kerja yang sering dialami
oleh perempuan. Bagaimana pendapat Ibu mengenai bentuk
ketidakadilan tersebut?
Menurut saya bentuk ketidakadilan semacam itu benar masih ada.
Sulit untuk benar-benar menghilangkan semua bentuk ketidakadilan tersebut
dari masyarakat. Tindakan yang harus kita lakukan terkait hal ini yakni
minimal kita menyebarluaskan atau mensosialisasikan kepada masyarakat
agar mereka tahu dan dapat memposisikan perannya. Hal ini juga agar laki-
laki tahu bagaimana cara menghormati perempuan. Berkaitan dengan
subordinasi itu merupakan anggapan bahwa laki-laki memiliki posisi lebih
tinggi daripada perempuan. Salah satu contoh subordinasi adalah ketika
seorang pasangan yakni laki-laki dan perempuan atau pasangan suami istri
sama-sama memiliki gelar dan kedudukan di masyarakat. Akan tetapi,
seorang istri dipanggil dengan gelar suami sehingga seorang istri
kehilangan jati dirinya. Contoh kasus tersebut misalnya, seorang ibu
bernama Indriana dan bapak bernama Kurdi. Ibu tersebut adalah seorang
dokter, maka ibu tersebut yang seharusnya dipanggil dengan nama Dokter
Indriana malah berubah menjadi Dokter Kurdi, padahal yang dokter adalah
istrinya. Selain itu, contoh subordinasi adalah mengenai pengambilan
keputusan dimana seorang perempuan harus bergantung pada laki-laki.
Dalam hal ini gender bukan mengajarkan perempuan untuk memberontak,
melainkan untuk memutuskan secara bersama-sama antara laki-laki dan
perempuan. Itulah maksud dan tujuan yang diinginkan oleh gender. Gender
menginginkan jika salah satunya berada di posisi yang lebih rendah,
maka yang berada di posisi lebih tinggi harus sama-sama mengangkat agar
keduanya dapat berjalan bersama. Konsep subordinasi lebih jauh
menekankan bahwa perempuan itu harus selalu patuh, harus selalu
mengalah dan tunduk. Catatan pentingnya untuk menghadapai subordinasi
ini adalah perempuan tidak boleh memberontak melainkan secara
bersamaan memutuskan permasalahan.
Stereotype itu adalah label atau sesuatu yang diberikan. Contoh dari
stereotype atau label ini adalah perempuan dianggap sering marah, apakah
laki-laki tidak ada yang pemarah? Apakah perempuan tidak ada yang
penyabar? Banyak. Banyak laki-laki yang pemarah dan perempuan yang
penyabar. Laki-laki dianggap ceroboh, perempuan hati-hati. Tetapi banyak
perempuan yang ceroboh dan laki-laki yang hati-hati. Laki-laki dianggap
tidak rapih dan perempuan rapih. Sekarang banyak sekali ditemui
mahasiswa atau bapak-bapak yang justru lebih rapih daripada perempuan.
Untuk kekerasan kasusnya masih banyak. Namun ada yang
terlaporkan dan ada yang tidak terlaporkan. Kasus kekerasan yang
terlaporkan dapat kita lihat di pengadilan agama, sebagian besar mereka
yang mengajukan gugatan cerai adalah mereka yang mengalami KDRT atau
kekerasan dalam rumah tangga. Itu salah satu contoh kekerasan yang dapat
kita lacak. Jika dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Timur masih
menganggap kekerasan adalah hal yang tabu. Mereka menganggap bahwa
kekerasan adalah berupa pemukulan. Padahal, yang dinamakan kekerasan
bukanlah hanya kekerasan fisik melainkan juga dapat berupa kekerasan
emosional. Kekerasan emosional itu dapat berupa ucapan verbal seperti
ucapan yang melecehkan. Selain itu, terdapat juga kekerasan psikis,
contohnya yakni perempuan yang didiamkan oleh laki-laki. Kekerasan
psikis tersebut tentu akan membuat perempuan merasa tidak nyaman dan
tidak enak hati. Banyak ibu-ibu yang mengalami tekanan batin akibat
kekerasan dalam bentuk psikis.
4. Bagimana pendapat Ibu mengenai seorang wanita yang menjadi
pemimpin, berpendidikan tinggi, dan bekerja? Apakah menurut Ibu
perempuan boleh menjadi pemimpin, berpendidikan tinggi, dan
bekerja?
Perempuan menjadi pemimpin boleh saja. Dalam Islam tidak ada
larangan untuk perempuan menjadi pemimpin. Pemimpin yang dimaksud
disini adalah pemimpin yang bukan imam sholat. Perempuan berpendidikan
tinggi itu adalah keharusan. Seorang perempuan yang berpendidikan tinggi
selain akan mengangkat harkat dan martabat diri sendiri, ia juga
mengangkat harkat dan martabat keluarga serta lingkungan. Jika perempuan
berpendidikan tinggi dan mampu berkontribusi untuk masyarakat itu adalah
hal yang baik. Sebagai contoh terkait hal tersebut adalah mereka yang
berprofesi sebagai guru dan ustadzah. Memang ustadzah tidak keren jika ia
S3? Itu bagus. Contoh lain adalah ibu rumah tangga yang ia tidak bekerja
tetapi ia seorang pembisnis. Ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai
pembisnis adalah hak yang diperbolehkan dan itu bagus.
Jadi intinya untuk perempuan yang menjadi pemimpin itu boleh, baik
pemimpin negara maupun pemimpin lainnya, asalkan bukan pemimpin
sholat. Hal ini juga disebabkan belum tentu jika laki-laki menjadi pemimpin
pasti adil dan perempuan yang menjadi pemimpin pasti dzalim. Itu
pernyataan yang tidak benar. Jadi dalam hal ini kita berkaitan dengan
kompetensi, kemampuan, loyalitas, komitmen, dan pelayanan. Mereka yang
memiliki kompetensi, kemampuan, loyalitas, komitmen, serta pelayanan
yang baik tentu dapat bekerja dan menjadi seorang pemimpin.
Mengetahui,
Penulis Narasumber
Nur Kholifah Rahmi Purnomowati, SP.MSi
LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Hari/tanggal : Kamis, 3 November 2016
Pukul : 10.00 WIB
Lokasi : Komplek Pamulang Permai 1 Jl. Permai III RT 03 RW 12
Blok
AX 13 No 13 Pamulang
Narasumber : Prof. Dr. Asep Usman Ismail, MA (Guru Besar FIDKOM
UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta)
“Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, oleh karena itu Allah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka
telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-
cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.” (Q.S an-Nisa ayat 34)
“… Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang menurut cara
yang baik. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya.” (QS. al-Baqarah ayat 228)
“Dan hendaklah kalian (wahai para istri nabi) tetap di rumah kalian dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah
dulu….” (QS. al-Ahzab ayat 33)
1. Bagaimana pendapat Bapak mengenai kasus kesetaraan gender yang
berlaku di masyarakat? Sudah berjalan dengan sebenarnya atau masih
mengalami ketidakseimbangan dan merugikan sebelah pihak? Mohon
uraian Bapak.
Kesetaraan gender itu harus dirumuskan terlebih dahulu agar jelas dan
terang. Dengan demikian kita dapat mengukur fenomena sosial itu secara
jelas dan terang. Jika kita ingin menjelaskan ataupun merumuskan
kesetaraan gender dalam Al-Qur‟an maka kita harus memahami Al-Qur‟an
dan memahami kondisi bagaimana Al-Qur‟an itu diturunkan. Al-Qur‟an
turun untuk meluruskan fenomena sosial sejak zaman abad ke 7 Masehi di
Saudi Arabiyah yang memperlakukan wanita secara tidak benar. Ada tiga
hal fenomena di zaman itu. Pertama, wanita dianggap sebagai separuh
manusia dan itu menyakitkan. Kedua, manusia eksistensi dan subjek hukum,
manusia dianggap sebagai komoditas yakni sebagai barang. Hal tersebut
dapat dilihat dalam hukum pewarisan. Di masa itu, ketika seorang laki-laki
meninggal yang diwariskan bukan hanya saja harta, melainkan juga istrinya.
Sehingga dengan demikian anak-anak dapat berebut harta warisan, termasuk
berebut tentang ibu tiri mereka. Semua itu adalah fenomena yang tidak
mencerminkan penghargaan terhadap wanita. Hal tersebut tidak dapat
dirumuskan sebagai kesetaraan gender, melainkan ketimpangan gender yang
sangat berat seperti langit dan bumi. Wanita tidak berhak mendapatkan
waris saat itu dan dianggap sebagai komoditas atau harta dan barang yang
dapat diwariskan. Kondisi itu kemudian dirombak dalam Al-Qur‟an secara
kaffah. Maksud perombakan tersebut adalah saat itu yang kondisi
masyarakat mengalami ketimpangan gender, maka oleh Al-Qur‟an diangkat
untuk memperoleh penghargaan dan penghormatan gender. Pengangkatan
tersebut yang pertama adalah diangkat dengan cara menjadikan wanita
bukan harta kekayaan dan benda yang dapat diwariskan, wanita adalah
manusia yang memiliki subjek hukum, wanita juga sama seperti kaum laki-
laki yang berhak mendapatkan waris. Dalam hal ini Al-Qur‟an menjadi
pengangkat gender dan wanita, akan tetapi terkadang Al-Qur‟an sering
disalahpahami. Banyak masyarakat sering menyoroti dan salah persepsi.
Adapun persepsi yang salah dipahami adalah ketika al-Quran menyatakan
bahwa bagian perempuan adalah separuh dari laki-laki dan laki-laki
memperoleh ½ bagian. Jadi dalam hal ini laki-laki mendapatkan 2 dan
perempuan mendapatkan 1. Secara harfiah pernyataan tersebut memang
tidak sama, dan hal tersebut belum tentu tidak adil. Dalam kondisi ini adil
itu bukanlah kuantitatif, adil itu kualitatif. Pernyataan tersebut sering
menjadi pangkal orang modern memandang Al-Qur‟an dengan pandangan
yang salah, sehingga perspektifnya adalah perspektif menggugat. Padahal
seharusnya pahami konteksnya secara luas dan dalam. Sehingga dengan
demikian muncullah problem-problem mengenai Al-Qur‟an. sehingga
seolah-olah Al-Qur‟an tidak memihak pada kesetaraan gender. Secara
matematik dan kuantitatif mengenai perhitungan pembagian tersebut, laki-
laki memperoleh bagian lebih banyak yakni 2 sedangkan perempuan
mendapat lebih sedikit yakni 1. Itu artinya, wanita dihargai separuh laki-laki
dan ini dianggap oleh sebagian pemikir belum beranjak dari masyarakat dan
tradisi klasik yang menempatkan wanita secara tidak hormat. Untuk itu
perlu kita dalami dan pahami, menurut saya justru pernyataan tersebut
sangat menghargai wanita.
Untuk memahami hal tersebut, kita perlu melakukan tafsir Al-Qur‟an.
Al-Qur‟an sering ditafsirkan berbeda dan bebas oleh semua masyarakat.
Dan itu bukanlah hal yang benar. Salah satunya adalah ayat-ayat yang qod
illallah
buruj. Qod itu artinya mutlak dan pasti benarnya, ada dua kemutlakan Al-
Qur‟an. Mutlak adalah bahwa itu benar-benar firman Allah, mutlak itu juga
tentang subtansi yang dikandungnya. Hal itu terjadi pada ayat-ayat yang
bersifat muhkamat. Muhkamat adalah ayat yang sudah terang benderang dan
jelas. Terdapat juga ayat mutasyabihat yakni ayat yang maknanya samar.
Ayat yang berkaitan dengan pembagian waris ini termasuk ayat yang
muhkamat dan tidak mengandung unsur mutasyabihat.
Untuk itu kita harus menghubungkan bagaimana Al-Qur‟an
memberikan penghargaan yang mendalam terhadap wanita. Wanita
mendapat bagian 1 itu untuk dirinya sendiri, sedangkan laki-laki
mendapatkan bagian 2 untuk dibagikan lagi atau didistribusikan lagi kepada
keluarganya, anak-anak dan istrinya. Ini adalah penghargaan terhadap
wanita. Terdapat banyak indikator keberhargaan wanita. Salah satunya
yakni dalam proses reproduksi wanita memiliki satu unsur reproduksi yang
namanya sama dengan nama Allah yakni “Rahim”. “Rahim” artinya adalah
kasih sayang, sehingga itu artinya Allah memberikan kasih sayang terhadap
wanita. Kasih sayang itulah yang perlu dijaga dan dipelihara. Bentuk kasih
sayang Allah itu adalah biarkan wanita memperoleh warisan 1 bagian, tetapi
itu untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak diberikan
kewajiban untuk membaginya dengan oranglain.
Sehingga dalam hal ini juga berkaitan dengan hukum fiqh. Biarkanlah
wanita memiliki hak milik yang benar, tetapi ketika bersuami pisahkan
mana harta istri dan mana harta suami. Sehingga wanita memiliki otoritas
penuh terhadap hartanya. Wanita dapat menggunakan hartanya tanpa izin
suami.
Tetapi secara etika, akhlak, dan moral lebih baiknya adalah antara
suami dan istri harus saling terbuka. Sehingga keputusan yang akan
dilakukan wanita harus dikonsultasikan kepada suami.
Terkait urusan pekerjaan. Laki-laki bekerja itu adalah kewajiban.
Sedangkan wanita bekerja adalah kebaikan. Ketika wanita bekerja untuk
kebaikan itu artinya wanita dapat mengembangkan dirinya, melakukan
tanggungjawab sosial dan tanggung jawab profesi, selain itu dapat juga
memanfaatkan ilmu. Apabila seorang suami bekerja tetapi tidak mencukupi
kebutuhan keluarga sehingga seorang istri harus bekerja untuk membantu
suami, itu benar-benar adalah sebuah kebaikan, sumbangan yang sangat
berharga bagi keluarga. Ketika terjadi penghasilan istri lebih besar daripada
suami maka harus diingat bahwa menikah itu adalah atas dasar kerelaan dan
diikat oleh mitsaqan ghaliza yakni janji yang kokoh. Maka, itu tidak perlu
diperdebatkan.
Jadi intinya Al-Qur‟an sangat memberikan penghargaan terhadap
wanita, memberi apresiasi terhadap wanita, mengangkat posisi wanita dalam
posisi yang terhormat. Sehingga dengan demikian, ayat Al-Qur‟an jangan
ditafsirkan bebas, dan di luar konteks. Jangan mengikuti pandangan-
pandangan di luar Islam yang ingin menyudutkan bahwa Al-Qur‟an tidak
memberikan kontribusi terhadap penyetaraan gender. Selanjutnya berkaitan
dengan masyarakat, masyarakat perlu dididik dan diarahkan yang benar.
Sebab masyarakat belum semua paham terhadap kesetaraan gender dan
bagaimana penghargaan terhadap kaum wanita. Bisa juga penyebab mereka
belum paham adalah mereka terlalu
memahami bias gender, memahami pandangan yang bernuansa negatif
tentang Islam, Al-Qur‟an, dan tentang laki-laki serta wanita. Untuk itu, kita
harus memberikan pemahaman yang baik dan benar terhadap masyarakat
berdasarkan Al-Qur‟an.
2. Berdasarkan surat an-Nisa ayat 34 dan Al-Baqarah ayat 228,
bagaimana pendapat Bapak mengenai perempuan yang menjadi
pemimpin? Apakah kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya
laki-laki saja yang pantas menjadi pempimpin? Mohon uraian Bapak.
Berkaitan dengan kepemimpinan, hal ini merujuk pada kata امىن .قى
Qowwam itu artinya yang pertama adalah membimbing. Kedua, mengasuh.
Ketiga, memimpin. Berdasarkan ayat tersebut, yang dimaksud pemimpin
bukanlah pemimpin yang absolut dan otoriter. Tetapi yang dimaksud
pemimpin disini adalah pemimpin yang syuro.
Dalam masyarakat, yang ingin menjadikan Al-Qur‟an dalam kondisi
yang murni pasti menolak jika perempuan menjadi pemimpin dan tampil di
ruang publik. Hal ini disebabkan jika perempuan menjadi pemimpin, dengan
demikian sebagian fungsi laki-laki dikhawatirkan akan terambil. Tetapi jika
kita mencoba Al-Qur‟an diadabtasikan dengan konteks sosial dan kondisi
kekinian, maka terjadilah kompromi, yang dimaksud kompromi itu
bukanlah kemudian fungsi-fungsi perempuan hilang total. Seorang
perempuan itu juga disebut sebagai tiang negara. Tetapi yang dimaksud
sebagai tiang negara bukanlah dengan menjadi gubernur, melainkan adalah
bagaimana menyiapkan generasi
yang baik. Jika ayat Al-Qur‟an dikompromikan maka masyarakat modern
akan mengambil sikap tengah. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan
adalah, sanggupkah seorang wanita melaksanakan dua fungsi ataupun dwi
fungsi sekaligus? Di satu sisi ia harus melaksanakan fungsi publik dan di
satu sisi ia melakukan fungsi domestik. Jika ternyata kemudian wanita tidak
bisa melakukan dua fungsi secara bersamaan dan kemudian menimbulkan
masalah, maka haruslah kembali kepada penghargaan Al-Qur‟an yang
murni dan tekstual. Jika kemudian wanita mampu melakukan dua fungsi
tersebut secara bersamaan, tidak apa-apa wanita terjun ke dunia publik.
Sehingga disini Allah tidak membebani seorang wanita. Jika wanita
memiliki kapasitas, tidak masalah ia terjun ke dunia publik dan telah
menunaikan fungsi domestiknya.
Tetapi dalam hal ini bukan berarti semua wanita harus terjun menjadi
DPR, pemimpin gubernur ataupun walikota. Jika semua wanita terjun ke
dunia pemimpin seperti itu maka akan muncul bencana yang tidak disadari.
3. Berdasarkan potongan surat an-Nisa ayat 34 yakni “Oleh karena itu
Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain”, menurut
Bapak bagaimana tafsir ayat tersebut? Siapakah yang dilebihkan dari
sebagian yang lain dan apa yang Allah lebihkan darinya? Mohon
penjelasan dari Bapak.
Berdasarkan surat An-Nisa ayat 34, laki-laki yang memiliki kelebihan.
Tetapi kelebihan itu bukan kelebihan intelektualitas, spritualitas, rohani, dan
emosional. Kelebihan yang dimaksud tersebut adalah kelebihan fungsional.
Kelebihan fungsional ini adalah bahwa laki-laki diberikan kewajiban untuk
mencari nafkah. Kelebihan ini harusnya dapat dipahami dengan baik antara
suami dengan istri. Maksud dari potongan ayat:
و بمب فض أمىاىهم مه أوفقىا وبمب بعض عيى بعضهم الل
“Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan
karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka.”
Hal ini berkaitan dengan tugas, yakni laki-laki harus lebih tegas untuk
mencari nafkah. Mencari nafkah itu juga harus dengan cara yang baik dan
benar. Setelah nafkah diperoleh, hendaknya diberikan kepada istri
seluruhnya secara terbuka. Sehingga yang tadi dimaksud fungsional juga
harus rasional yakni penuh dengan etika, nilai-nilai kejujuran, dan dengan
integritas. Seorang suami mencari nafkah itu berarti suami bekerja di ruang
publik, setelah uang diperoleh, maka harus diserahkan kepada istri
semuanya. Biarlah istri diberikan kepercayaan untuk mengatur dengan
sebaik-baiknya. Jadi, perbedaan sebenarnya hanya satu langkah atau satu
tingkat saja.
Kemimpinan modern ini, laki-laki atau suami tidak memiliki
kelebihan yang absolut. Suami memiliki kelebihan yang sifatnya fungsional,
rasional, dan itu mencerminkan tanggung jawab serta keterbukaan. Allah
memberikan kelebihan kepada laki-laki itu adalah karunia, dan pasti Allah
juga akan memberikan kepada wanita berupa karunia lain. Sehingga dengan
demikian secara keseluruhan ada keseimbangan antara laki-laki dan
perempuan. Jadi kelebihan laki-laki salah satunya adalah memiliki tanggung
jawab di ruang publik.
Kata أوفقى memiliki arti “saluran” atau “lubang”. Artinya yakni ibarat
air di suatu tempat harus diberikan lubang agar air tersebut mengalir. Laki-
laki telah memperoleh kelebihan, secara kumulatif memperoleh uang, maka
tidak boleh dikuasai sendiri, harus disalurkan kepada istri untuk kepentingan
mereka berdua, untuk anak-anak. Jadi kelebihan laki-laki ada dua hal.
Pertama, kelebihan bertanggungjawab mencari nafkah. Kedua, kelebihan
untuk mendistribusikan penghasilannya kepada istri.
Dengan demikian, bukan berarti istri berada di posisi rendah. Ada
fungsi lain yang harus dihubungkan dengan Al-Qur‟an dan harus dipahami
secara komprehensif, jangan terpisah. Wanita memiliki fungsi lain yang
tidak bisa dilakukan oleh laki-laki. Salah satunya yakni fungsi reproduksi,
hamil, melahirkan, menyusui, membesarkan, mengasuh, mendidik. Semua
itu adalah fungsi yang melekat pada ibu, meskipun mendidik itu bukan
hanya ibu tetapi kolaborasi antara ayah dan ibu. Sebetulnya kelebihan istri
lebih unggul daripada suami. Ketika mendapatkan penghargaan, ibu lebih
tinggi karena nama ibu selalu disebutkan. Nama ibu disebutkan tiga kali
yakni “ummuka.. ummuka.. ummuka”. Baru yang keempat disebutkan nama
ayah “abaka..”. Sehingga dengan demikian, laki-laki lebih dominan di
sektor publik, sedangkan perempuan lebih dominan di sektor domestik.
Faktor domestik itulah yang kemudian akan melahirkan generasi dan SDM
yang kuat, berkarakter, penuh perjuangan, penuh keislaman bukan yang
sekuler, bukan liberal, bukan yang
mentalnya rapuh. Sehingga dengan demikian jika ditarik kesimpulan, lebih
unggul perempuan daripada laki-laki.
4. Bagaimana pendapat bapak mengenai makna dari surat al-Ahzab ayat
33 tersebut? Mohon uraian dari Bapak.
Ayat tersebut secara khusus berkenaan dengan istri-istri nabi. Ketika
nabi pergi ke medan perang, para istri tetap bertahan di rumah, kecuali jika
sewaktu-waktu sang nabi mengajaknya. Hal ini kembali lagi tentang
bagaimana kita memaknai Al-Qur‟an. Apakah kita akan memaknai secara
harfiah atau atas dasar pertimbangan? Jadi hal ini juga berkaitan dengan
bagaimana wanita menjaga kehormatannya ketika berada di ruang publik.
Jadi hal ini harus dipertimbangkan asalkan wanita tidak tabarruj. Wanita
boleh berada di ruang publik dan bekerja sebagai guru, dosen, dan profesi
lainnya asalkan ia tetap menjaga kehormatan dirinya. Jadi ayat tersebut
adalah ayat yang melarang untuk berbuat tabarruj zaman jahiliyah yakni
membuka aurat. Sehingga jika perempuan yang berada di ruang publik
tetapi mampu menjaga kehormatannya sebagai seorang istri dan tetap
melaksanakan fungsinya sebagai ibu rumah tangga, itu bukanlah menjadi
permasalahan.
Mengetahui,
Penulis Narasumber
Nur Kholifah Prof. Dr. Asep Usman Ismail, MA
LAMPIRAN
Biodata Narasumber
Narasumber 1
Nama : Siti Nurmeliya Baskarani
TTL : Jakarta, 19 Juni 1994
Alamat : Jagakarsa, Jakarta Selatan
No HP : 0822 1308 8248
E-mail : [email protected]
Narasumber 2
Nama : Annisa Febrinel Hendry
TTL : Padang Lawas, 27 Februari 1991
Alamat : Sawangan Residence Ideal, RC 03, Bojongsari, Depok
No HP : 0813 2005 4655
E-mail : [email protected]
Narasumber 3
Nama : Ibu Sri Lintang Rossi Aryani
TTL : Jakarta, 19 April 1966
Alamat : Jl. Jambu 1 no. 23B, Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan
No HP : 0815 1430 0200
E-mail : [email protected]
Narasumber 4
Nama : Almas Shabrina
TTL : Tangerang, 13 Agustus 1994
Alamat : Jl. H. Afandi no. 19, Karadenan, Cibinong, Bogor
No HP : 0813 6082 4907
E-mail : [email protected]
Narasumber 5
Nama : Zham Sastera
TTL : Pandeglang, 8 Januari 1993
Alamat : Kp. Baru Cireunde, Ciputat Timur
No HP : 0852 8868 3853
E-mail : [email protected]
Narasumber 6
Nama : Ibu Jumi Haryani
TTL : Jakarta, 8 Juni 1979
Alamat : Komplek Bumi Pertiwi 2, Blok FM 9D, Bogor
No HP : 021-89633972
E-mail : [email protected] atau [email protected]
Narasumber 7
Nama : Rahmi Purnomowati, SP.MSi
TTL : Jakarta, Agustus 1974
Alamat : Taman Yasnin, Bogor
No HP : 0812 8044 714
E-mail : [email protected]
Narasumber 8
Nama : Prof. Dr. Asep Usman Ismail, MA
TTL : Sukabumi, 20 Juli 1960
Alamat : Komplek Pamulang Permai 1 Jl. Permai III RT 03 RW 12 Blok
Foto wawancara dengan Siti Nurmeliya Baskarani dan Annisa Febrinel H.
Foto wawancara dengan Foto wawancara dengan Almas Sabrina
Ibu Sri Lintang Rossi Aryani
Foto wawancara dengan Zham Sastera
Foto wawancara dengan Ibu Jumi Haryani
Foto wawancara dengan Ibu Rahmi Purnomowati, SP.MSi
Foto wawancara dengan Prof. Dr. Asep Usman Ismail, MA
Dokumentasi pesan email dari Ibu Jumi Haryani mengenai data penjualan buku
Dokumentasi pesan WhatsApp dari Rendyana (Distributor buku) mengenai
data percetakan buku