kegagalan globalisasi

10
Globalisasi dan ekonomi pemenang rebut semua “Sekarang Era Globalisasi”, begitu kata orang beberapa tahun lalu. Globalisasi yang beberapa tahun lalu diagung-agungkan orang akhirnya saat ini mulai kelihatan hasilnya. Perusahaan-perusahaan Multi Nasional atau bermodal besar akhirnya memonopoli berbagai sektor bisnis hingga bidang pangan. Akibatnya berbagai harga naik seperti minyak dari US$ 24/barrel jadi US$ 110/barrel, minyak goreng dari Rp 6.000/kg jadi Rp 16.000/kg, dan sebagainya. Rakyat yang penghasilannya tetap jadi bertambah miskin dengan kenaikan harga yang lebih dari ratusan persen dalam hitungan bulan. Kemiskinan, kelaparan, depresi, dan kriminalitas meningkat karenanya. Di MetroTV Highlight 6 April 2008 dengan topik: “Miskin, Lapar, dan Depresi” memberitakan kumpulan berita tentang keluarga Basse yang mati kelaparan, beberapa ibu yang membunuh anak-anaknya karena depresi dan kemiskinan. Pada era Globalisasi ini akhirnya perusahaan-perusahaan Multinasional memonopoli seluruh perekonomian dunia. Sebagai contoh 5 perusahaan besar minyak AS untung sampai US$ 123 milyar (Rp 1.131,6 trilyun) per tahun (1US$=Rp 9.200). Exxon Mobil mengantungi keuntungan US$ 40 milyar. Padahal investasinya hanya US$ 100 juta. Namun dengan monopoli kartel minyak yang menguasai berbagai sumber minyak dunia termasuk Arab dan Indonesia (kecuali Iran), kartel minyak tersebut menaikkan harga minyak dunia dari US$ 24/barrel menjadi lebih dari US$ 110/barrel. Padahal biaya pengolahan minyak tak lebih dari US$ 15/barrel. Akibatnya bukan hanya harga minyak yang melonjak, harga pangan pun melonjak juga. Zaman Soeharto dulu pengusaha/industri dilarang masuk ke sektor pertanian dan perkebunan. Karena akan mematikan mata pencarian petani dan akhirnya pangan dikontrol oleh segelintir pengusaha. Namun saat ini para pengusaha termasuk dari luar negeri bebas masuk ke sektor perkebunan dan menguasainya. Para pengusaha

Upload: husnul-hatimah

Post on 03-Jul-2015

103 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEGAGALAN GLOBALISASI

Globalisasi dan ekonomi pemenang rebut semua

“Sekarang Era Globalisasi”, begitu kata orang beberapa tahun lalu. Globalisasi yang beberapa tahun lalu diagung-agungkan orang akhirnya saat ini mulai kelihatan hasilnya.

Perusahaan-perusahaan Multi Nasional atau bermodal besar akhirnya memonopoli berbagai sektor bisnis hingga bidang pangan. Akibatnya berbagai harga naik seperti minyak dari US$ 24/barrel jadi US$ 110/barrel, minyak goreng dari Rp 6.000/kg jadi Rp 16.000/kg, dan sebagainya.

Rakyat yang penghasilannya tetap jadi bertambah miskin dengan kenaikan harga yang lebih dari ratusan persen dalam hitungan bulan. Kemiskinan, kelaparan, depresi, dan kriminalitas meningkat karenanya. Di MetroTV Highlight 6 April 2008 dengan topik: “Miskin, Lapar, dan Depresi” memberitakan kumpulan berita tentang keluarga Basse yang mati kelaparan, beberapa ibu yang membunuh anak-anaknya karena depresi dan kemiskinan.

Pada era Globalisasi ini akhirnya perusahaan-perusahaan Multinasional memonopoli seluruh perekonomian dunia. Sebagai contoh 5 perusahaan besar minyak AS untung sampai US$ 123 milyar (Rp 1.131,6 trilyun) per tahun (1US$=Rp 9.200). Exxon Mobil mengantungi keuntungan US$ 40 milyar. Padahal investasinya hanya US$ 100 juta.

Namun dengan monopoli kartel minyak yang menguasai berbagai sumber minyak dunia termasuk Arab dan Indonesia (kecuali Iran), kartel minyak tersebut menaikkan harga minyak dunia dari US$ 24/barrel menjadi lebih dari US$ 110/barrel. Padahal biaya pengolahan minyak tak lebih dari US$ 15/barrel.

Akibatnya bukan hanya harga minyak yang melonjak, harga pangan pun melonjak juga.

Zaman Soeharto dulu pengusaha/industri dilarang masuk ke sektor pertanian dan perkebunan. Karena akan mematikan mata pencarian petani dan akhirnya pangan dikontrol oleh segelintir pengusaha.

Namun saat ini para pengusaha termasuk dari luar negeri bebas masuk ke sektor perkebunan dan menguasainya. Para pengusaha ini hanya memikirkan keuntungan. Bukan kepentingan rakyat. Ketika harga pangan internasional naik mereka dengan cepat menaikan harga. Tak heran jika harga minyak goreng meroket dari Rp 6.000/kg hingga menjadi Rp 16.000/kg hanya dalam hitungan bulan. Kalau rakyat tak mau beli dengan harga segitu, mereka tinggal mengekspor ke luar negeri. Pasar dunia cukup banyak untuk menampung semua produk Kelapa Sawit/Minyak goreng Indonesia.

Kenaikan harga BBM dan minyak goreng ini diikuti oleh harga pangan lainnya seperti kedelai, beras, dan sebagainya. Jika dulu beras bisa dibeli dengan harga Rp 4.000/kg, sekarang sudah Rp 6.000/kg.

Namun karena pertanian masih dikuasai petani, pemerintah dengan mudah mengaturnya. Di saat harga beras dunia naik jadi US$ 800/ton, Bulog justru menurunkan harga pembelian gabah dari Rp 2.000/kg menjadi Rp 1.800/kg pada masa panen.

Page 2: KEGAGALAN GLOBALISASI

Para petani yang tidak punya kemampuan untuk ekspor tak mampu berbuat apa-apa. Namun para ”Pelaku Pasar” melihat ”Peluang” untuk mendapatkan uang dengan mengusulkan ekspor beras meski selama ini Indonesia selalu impor beras.

Era Globalisasi juga memperkuat Pasar Uang, Pasar Modal, dan Pasar Komoditi. Saat ini uang hanya jadi bahan spekulasi untuk mendapat untung oleh para spekulan valas (valuta asing). Banyak negara seperti Inggris, Thailand, Singapura, Malysia, Korsel, bahkan Indonesia yang perekonomiannya hancur karena mata uangnya jatuh karena permainan spekulan valas.

Pasar Modal juga membuat modal yang seharusnya jadi modal untuk mendirikan banyak perusahaan hanya berputar-putar di kalangan spekulan saham untuk mendapat untung. Sekitar Rp 1.000 trilyun transaksi saham terjadi di Bursa Saham Indonesia. Namun lebih dari 90% hanya dipakai untuk spekulasi antar pemain saham. Uang mengalir ke sektor riel hanya pada saat IPO dan right issue saja. Sebagian besar transaksi saham justru terjadi di pasar sekunder antar pemain saham. Uang tidak masuk ke perusahaan. Bahkan sering gejolak harga yang ditimbulkan akibat permainan saham mengakibatkan perusahaan jadi bangkrut seperti kasus perusahaan Enron di AS.

Pasar Komoditas lebih parah lagi. Komoditas pangan yang harusnya untuk kebutuhan rakyat jadi bahan spekulasi. Beras, jagung, minyak goreng, dan sebagainya hanya jadi alat permainan para spekulan.

Privatisasi yang jadi satu kunci dari Globalisasi memaksa pemerintah menyerahkan BUMN-BUMN yang ada ke Swasta. Celakanya Swasta tidak mau menerima BUMN yang rugi. Mereka hanya mau yang untung dan menghasilkan banyak uang. Akhirnya puluhan trilyun rupiah hasil keuntungan BUMN yang biasanya masuk ke Anggaran Belanja Negara (APBN) sekarang masuk ke kantong segelintir pemilik uang.

“Pasar-pasar” di atas menyedot banyak uang yang seharusnya bisa menggerakkan sektor riel atau perekonomian. “Pasar” itu juga tak lebih dari alat spekulasi atau judi dan membuat sebagian besar uang hanya beredar di kalangan spekulan.

Seorang Dirut Bursa Saham berkata bahwa Bursa Saham terbukti berhasil menggerakan sektor riel. Buktinya dengan Go Public-nya Telkom, ratusan ribu pedagang voucher telpon bisa hidup. Kenyataannya, sebelum Go Public pun Telkom sudah jalan dan merupakan perusahaan telekomunikasi terkemuka di Indonesia. Ratusan ribu pedagang voucher pun hidup bukan dari Bursa Saham, tapi dari modal mereka sendiri. Spekulasi saham Telkom justru bisa mengakibatkan Telkom bangkrut mengikuti nasib perusahaan Enron di AS jika harganya jatuh.

Page 3: KEGAGALAN GLOBALISASI

Nike dan Tantangan Penguatan Produk Lokal

R Ferdian Andi R

Sejak pekan pertama bulan ini, publik tanah air digemparkan dengan berita pemutusan kontrak produksi sepatu merek tenar asal Paman Sam, Nike dengan dua perusahaan milik Hartati Moerdaya yaitu, PT Hardaya Aneka Soesh Industry (HASI) dan PT Nagasaki Paramshoes Industry (Nasa). Hingga kini, kedua belah pihak dalam tahap negosiasi. Peristiwa pemutusan order sepihak dari Nike, jelas memberikan efek penting bagi investasi tanah air. Di samping persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 14.000 karyawan menjadi problem yang cukup serius di tengah sulitnya akses lapangan kerja saat ini.

Peristiwa Nike dapat dijadikan hikmah bagi perusahaan dalam negeri dalam melakukan negosiasi kontrak kerja di satu sisi. Di sisi lain ,penguatan kualitas produksi menjadi sebuah keniscayaan. Alasan yang mencuat dalam pemutusan kontrak Nike terhadap dua perusahaan milik Hartati Moerdaya di antaranya kualitas produksi yang jauh lebih kompetitif dibanding dengan Negara lainnya, setidaknya Vietnam dipandang sebagai Negara yang lebih kompetitif sebagai singgahan Nike setelah Indonesia.

Setidaknya, terdapat dua hal penting pasca peristiwa Nike versus Hartati. Pertama, peningkatan performa produktivitas perusahaan lokal (dalam negeri) menjadi sebuah tuntutan. Point ini menjadi cukup penting, terlebih paska kejadian pemutusan kontrak Nike terhadap perusahaan sepatu dalam negeri HASI dan Nasa. Produktivitas dan efesiensi sebuah perusahaan menjdai titik tolak penting dalam menjalankan sebuah usahanya. Imbas dari efefektifitas dan produktifitas sebuah perusahaan, akan berdampak pada low cost production sehingga perusahaan dapat lebih kompetitifness. Selain itu iklim usaha di tanah air segera untuk dibenahi seperti sistem ketenagakerjaan, yang kadang membuat ngeri investor asing masuk ke dalam negeri.

Kedua, Hubungan Nike- HASI dan Nasa dalam permintaan order produksi sepatu masuk dalam ranah peraturan lisensi. Singkat kata, HASI dan Nasa membeli brand Nike. Dalam hal ini, Amir Karamoy, Ketua Perhimpunan Waralaba Indonesia (Wali) ketika dihubungi INN mengatakan, peristiwa Nike harus diambil hikmahnya terutama dalam hal perjanjian lisensi. "Pemerintah harus menyiapkan regulasi lisensi seperti lisensi harus diatur dalam bahasa Indonesia, dan menggunakan peraturan Indonesia," tegasnya seraya menyebutkan langkah ini untuk menguatkan posisi tawar perusahaan dalam negeri terhadap perusahaan asing.

Selain kedua hal tersebut, peristiwa Nike dapat dijadikan momentum oleh stakeholder industri persepatuan tanah air. Penguatan terhadap national branded menjadi sebuah keharusan sebagai langkah pengangkatan atas produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk-produk luar. Kendati, hal tersebut harus mendapat sokongan semua pihak tak terkecuali pemerintah seperti ketersediaan regulasi dan insentif lainnya guna mendorong kemajuan produk lokal, termasuk produk sepatu seperti Cibaduyut, Tanggul Angin dan merek berbasis lokalitas lainnya.

Page 4: KEGAGALAN GLOBALISASI

AMUNGME GUGAT PT FREEPORT

Frtriyan Zamzami

Suku Amungme menuntut ganti rugi 32,5 miliar dolar AS.

JAKARTA - Masyarakat suku Amungme, Kabupaten Timika, Papua, kembali mengajukan gugatan terhadap PT Freeport ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Kali ini, gugatan mereka fokuskan pada perampasan tanah ulayat secara paksa tahun 1969 silam."Gugatan ini dilakukan atas perampasan tanah masyarakat adat suku Amungme, di wilayah tambang operasi Freeport, Kabupaten Timika," kata Pengampanye Tambang dari LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Pius Ginting, yang mendampingi penggugat, di PN Jakarta SelataYi, Senin (8/3).

Menurut dia, pencaplokan tanah ulayat milik suku Amungme untuk ditambang oleh PT Freeport dilakukan secara sepihak.Ia menuding pengambilan tanah sejak 1969 tersebut, dilakukan secara paksa dan tanpa persetujuan anggota suku Amungme yang mengklaim memiliki hak adat terhadap tanah itu.Selain itu, menurut Pius, pemerintah juga tak pernah meminta izin kepada suku Amungme untuk mengambil tanah tersebut.Selepas pencaplokan tanah tersebut, suku Amungme direlokasi ke tanah ulayat milik suku Kamoro. Hal ini, menurut Pius, kerap menimbulkan konflik antarkedua suku.

Kuasa hukum, suku Amungme, Jhonson Panjaitan, mengatakan mereka meminta PT Freeport mengganti sejumlah kerugian. Yaitu, kerugian materiil sebesar 2,5 miliar dolar AS dan kerugian nonmateriil sebesar 30 miliar dolar AS.Pihak yang digugat, antara lain PT Freeport Indonesia Copper Inf es-tama, Kementerian Energi dan SDM, serta gubernur Papua.Rencananya, gugatan juga akan diajukan terhadap kantor pusat PT Freeport di New Orleans, Amerika Serikat.Putra kepala suku Amungme, Titus Natkime, mengatakan, gugatan akan mereka lakukan secara bertahap.

"Pertama, kami gugat masalah perampasan tanah ulayatnya terlebih dahulu. Setelah itu, baru masalah kerusakan lingkungan hidup, pelanggaran HAM," ujar Titus.Ia menerangkan bahwa gugatan dilakukan di PN Jakarta Selatan karena kantor pusat PT Freeport terletak di wilayah PN Jaksel.Selain itu, Titus khawatir jika digugat di tingkat lokal, tak ada jaminan hakim di sana bisa berlaku netral.Sebelumnya, suku Amungme sudah pernah mengajukan gugatan terhadap PT Freeport pada 2009. Saat itu, hakim meminta dilakukan mediasi yang berakhir tanpa keputusan. Karena itulah, gugatan diajukan kembali.

Tak berdasar

Pihak PT Freeport Indonesia (PTFI) menilai gugatan yang diajukan oleh suku Amungme terhadap mereka tak berdasar. Menurut Juru Bicara PTFI, Budiman, tanah yang mereka gunakan untuk menambang bukan tanah adat yang digunakan untuk berburu dan mencari hasil hutan oleh suku itu.

"Kesepakatan kami dengan masyarakat suku Amungme pada 1974 merupakan pelopor rekognisi di Indonesia terhadap hak masyarakat adat atas tanah yang tak dimanfaatkan untuk berburu dan mencari hasil hutan. Berbagai kesepakatan yang kami lakukan dengan kedua

Page 5: KEGAGALAN GLOBALISASI

suku sudah melampaui apa yang diwajibkan secara hukum," jawab Budiman melalui surat elektronik.Menurut dia, gugatan serupa oleh suku Amungme sebelumnya sudah ditolak oleh peradilan di Indonesia dan Amerika Serikat. Penolakan itu disebabkan para penggugat tak mampu mengajukan bukti-bukti guna mendukung gugatan mereka.

Page 6: KEGAGALAN GLOBALISASI

MEGNAKERTRANS DAN INSIDEN I8 JULI

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Soeparno, mengatakan pemerintah akan mengadakan pertemuan dengan Country Manager Nike di Indonesia, John Richard, pada 18 Juli di Departemen Perdagangan. 14.000 Buruh Terancam PHK, Nike Batalkan Order Sepihak Menakertrans dan Mendag Bahas Masalahnya 18 Juli Jakarta, Pelita Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Soeparno, mengatakan pemerintah akan mengadakan pertemuan dengan Country Manager Nike di Indonesia, John Richard, pada 18 Juli di Departemen Perdagangan. Hal itu terkait dengan terancamnya PHK 14.000 buruh, karena Nike membatalkan order sepihak. Pertemuan itu akan diikuti selain Menakertrans Erman Soeparno, Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Pangestu, juga Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Luthfi. Pertemuan ini untuk memfasilitasi apa sebenarnya permasalahan yang terjadi sehingga Nike menghentikan ordernya di dua pabrik milik Central Cipta Murdaya (CCM), yakni PT Hardaya Aneka Shoes Industry (HASI) dan Naga Sakti Paramashoes Industry (Nasa). Kemarin sebenarnya kita sudah mengadakan pertemuan dengan pemilik Nike di Indonesia. Kita juga pertemukan dengan serikat pekerja, jelas Erman Suparno, di sela-sela peresmian PT TVS Motor Company Indonesia di Kawasan Industri Surya Cipta, Karawang, Jawa Barat, Senin (16/7). Pemerintah meminta keputusan Nike untuk menghentikan pesanan jangan sampai menyebabkan 14.000 buruh yang bekerja di kedua perusahaan itu di-PHK. Apabila Nike tetap menghentikan pesanan harus dilakukan dengan cara agar kedua pabrik itu bisa mendapat order dari pihak lain sehingga pekerjanya tidak menganggur. Job security bisa terjamin. Untuk awal kita belum bicara tentang PHK, yang penting adalah menjaga kelangsungan pekerja agar mereka bisa terus bekerja, ujar Erman. Pada pertemuan 18 Juli nanti akan dibahas mengenai tanggung jawab yang harus dipikul Nike, dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi PHK. Hal ini perlu agar tidak terjadi lempar tanggung jawab, tegasnya. Kepala BKPM, M Luthfi, mengaku cukup kaget dengan keputusan Nike. Saya akan bicara dengan Nike, ini masalahnya apa? " tambahnya. Hartati: Nike semena-mena Pimpinan CCM Grup sekaligus pemilik kedua perusahaan, Siti Hartati Murdaya kemarin siang menggelar jumpa pers. Dia menjelaskan HASI dan Nasa melayani order sepatu Nike sejak tahun 1989. Kedua perusahaannya selalu menjaga kualitas Nike. Karena itu dia menolak tuduhan Nike bahwa produknya tidak baik. Hartati Murdaya yang didampingi anaknya Prajna Murdaya menjelaskan, selama hampir 20 tahun ini mengerjakan sepatu eksklusif Nike; berbagai penghargaan diterimanya, termasuk dari Nike sendiri. Bahkan Nasa dan HASI pernah menjadi pabrik nomor tiga dan nomor dua di dunia membuat sepatu Nike.  "Nike melakukan termination terhadap HASI dan Nasa merupakan perbuatan yang tidak etis dan tidak bermartabat. HASI dan Nasa merupakan perusahaan yang sedang teraniaya oleh Nike dengan perilakunya yang sewenang-wenang, " kata Hartati Murdaya dengan suara bergetar. Sebagai pengusaha ia menyatakan untung atau rugi adalah biasa, tapi kalau harus mengorbankan 14.000 orang karyawannya, ia tidak bisa melakukannya.  "Sebenarnya semakin cepat berhenti, itu bagus. Tapi bagaimana dengan nasib 14.000 karyawan? " tanyanya lagi. Karena itu ia berharap agar Nike tetap memberikan order, sehingga tidak terjadi PHK. Apalagi CCM Gruplah yang menarik dan mengembangkan Nike di Indonesia. Transaksi di BEJ normal Sementara itu, meski dikepung demo ribuan karyawan sepatu Nike dari pabrik PT HASI dan PT Nasa, aktivitas bisnis di Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ), Senin (16/7), tidak terganggu. Transaksi saham berjalan normal, begitu pula dengan kegiatan perusahaan yang berkantor di BEJ tetap beraktivitas seperti biasa. Lobi Gedung BEJ yang steril dari aksi demo tetap dipenuhi orang yang berlalu-lalang. Sejumlah bank seperti BCA, Bank Lippo, Bank Danamon, Bank Niaga, BNI, BII, tetap menjalankan kegiatan transaksinya. Demikian pula perusahaan-perusahaan sekuritas yang bermarkas di BEJ. Gerai

Page 7: KEGAGALAN GLOBALISASI

makanan dan minuman seperti Starbuck dan Daily Bread juga tetap buka. Karyawan PT Nasa dan PT HASI menuntut untuk bertemu manajemen Nike Indonesia yang berada di lantai 24 tower 2 Gedung BEJ. Kita akan tongkrongin BEJ sampai jam lima sore kalau tidak ketemu John Richard (pimpinan Nike di Indonesia). Kalau tidak ketemu, kita datang lagi, ujar seorang karyawan yang ikut demo. Akibat demo ke gedung BEJ, kegiatan produksi sepatu Nike di pabrik PT HASI dan PT Nasa lumpuh total karena ditinggal karyawannya. Dua pabrik yang memiliki 14.000 karyawan tersebut berada di wilayah Tangerang. Pabrik sepatu HASI berlokasi di Jatikupang, Tangerang dan Nasa di Pasar Kemis, Tangerang. "Kegiatan dua pabrik itu terhenti total, kata Sunardi, karyawan PT Nasa, seperti dikutip detikcom. Kapasitas pabrik PT Nasa dan PT HASI saat ini mencapai 900.000 sampai 1 juta pasang sepatu per bulan. Namun kapasitas pabrik tersebut banyak menganggur, karena order yang diberikan Nike turun drastis hanya sebesar 200-300.000/bulan. Nike juga akan menghentikan kontrak dengan PT Central Cipta Murdaya yang merupakan induk PT Nasa dan PT HASI sampai akhir tahun ini. Sunardi mengaku belum tahu kapan pabrik akan beroperasi lagi. Ribuan karyawan PT Nasa dan PT HASI bertekad bertemu dengan perwakilan Country Manager Nike Indonesia John Richard. Karyawan juga berharap Departemen Perindustrian dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menengahi masalah ini. Nike diminta tidak tinggalkan RI Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Ansari Bukhari, mengatakan pemerintah akan berusaha sekuat mungkin menahan principal sepatu Nike untuk tidak mengalihkan ordernya keluar dari Indonesia. Karena dari 1,5 miliar dolar AS ekspor sepatu pada tahun 2006, sebanyak 50 persennya merupakan pesanan Nike atau menempati peringkat pesanan ekspor nomor satu. Sebelumnya, Nike menyatakan akan menghentikan pemesanan dari pabrik sepatu PT HASI dan PT Nasa pada akhir tahun 2007. Ancaman ini dikeluarkan Nike karena menilai kedua perusahaan itu tidak mampu menjaga standar kualitas dan pengiriman produk sepatu. Kita akan dorong Nike tetap di sini, jangan sampai karena dia putus hubungan dengan dua perusahaan itu lantas meninggalkan Indonesia. Saat ini Nike tercatat mengorder di tujuh perusahaan di Indonesia, ungkap Ansari. Nike pernah berkomitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksinya. Dengan demikian, diharapkan pengalihan ordernya pun tetap kepada perusahaan di sini. Ansari akan menanyakan perihal alasan Nike menghentikan ordernya di dua perusahaan tersebut, mengingat selama Nike mengorder belum pernah sekalipun ada keluhan. Ini masalahnya business to business. Nike memang sangat ketat menerapkan standar mutu dan ketepatan waktu pengiriman. Setahu saya perusahaan sebesar Nike tidak akan tiba-tiba memutus kontrak tanpa surat peringatan, maka akan saya tanyakan perihal hal ini, ujarnya. Pihaknya akan berusaha melakukan mediasi antara Nike dengan kedua perusahan tersebut. Karena ratusan ribu buruh pabrik sepatu sangat tergantung dari order perusahaan sepatu asal Amerika ini.